warta perempuan10Partisipasi Perempuandalam MusrenbangPartisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunansangatlah penting dan, bahkan menentukan.Menurut Ginanjar Kartasasmita (1955),“Pembangunan memang dapat juga berjalan denganmengandalkan kekuatan yang ada pada pemerintah…namun hasilnya tidak akan sama jika dibandingkan denganpembangunan yang mendapat dukungan dan partisipasirakyat.”Ada empat indikator partisipasi masyarakat, yakni:pengambilan keputusan (dalam perencanaan), implementasi(pelaksanaan), mendapatkan manfaat (benefit)dan evaluasi (evaluation), atau dapat pula disebutkanbahwa masyarakat harus senantiasa ikut serta dalamsetiap tahapan kegiatan pembangunan.Berbicara mengenai partisipasi masyarakat, perempuanadalah bagian dari masyarakat itu sendiri. Adabeberapa dasar hukum yang melandasi partisipasiperempuan dalam pembangunan, misalnya Inpres No. 9Tahun 2000 tentang Pelaksanaan PUG dan PembangunanNasional, yang mengintegrasikan gender menjadisatu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan,pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakandan program pembangunan nasional.Selain itu, juga ada Permendagri No. 15 Tahun 2008tentang Pedoman Umum pelaksanaan PUG di Daerah;Perpres No. 21 tahun 2009 tentang Rencana KerjaPemerintah (RKP) Tahun 2010; Perpres No. 5 Tahun2010 tentang RPJMN 2010-2014; Peraturan MenteriKeuangan Nomor 104/PMK 02/2010 tentang petunjukpenyusunan dan Penelaahan (Rencana Kerja dan Anggaran-Kementrian/Lembaga(RKA-KL) dan PengesahanPelaksanaan DIPA TA. 2011Sebelumnya telah ada Peraturan Menteri Keuangan(PMK) No. 119 tahun 2009 dimana diatur bahwa menunjuk7 kementrian yang menjadi inti (core) untuk proyekpenyusunan analisis gender budgeting. Tujuh kementerianitu adalah Kementerian Keuangan, Bapenas, KNPPdan PA, Kemendiknas, Kementerian Kesehatan, KementerianPekerjaan Umum dan Kementrian Pertanian.Untuk dasar hukum internasional, ada UU Nomor7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi MengenaiPenghapusan Segala Bentuk Diskriminasi TerhadapPerempuan (CEDAW); 1994 ICPD: International Conferenceon Population and Development), tahun 1994;BPFA : Beijing Platform for Action, tahun 1995; MDGs,tahun 2000.Perempuan Bergerak | Edisi I | Januari-Maret 2011Tentang MusrenbangBerkaitan dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan(Musrenbang), sesuai amanat dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem PerencanaanPembangunan Nasional, pasal 1 ayat (1) menyatakan,bahwa perencanaan adalah proses untuk menentukantindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihandengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia.Pengertian sumberdaya yang dimaksud adalah potensi,kemampuan, dan kondisi lokal, termasuk anggaran,untuk dikelola dan dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraanmasyarakat.Sementara itu, Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah, menyatakan bahwa kabupaten/kotamerupakan daerah otonom, dalam artian bahwadaerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerahuntuk memberikan pelayanan, peningkatan partisipai, prakarsa,dan pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untukpemberdayaan daerah dan peningkatan kesejahteraanrakyat.Musrenbang sendiri memiliki tujuan antara lain: Menampungdan menetapkan kegiatan prioritas sesuai kebutuhanmasyarakat yang diperoleh dari musyawarahperencanaan yang sesuai dengan tingkatan di bawahnya;Menetapkan kegiatan yang dibiayai melalui APBD maupunsumber pendanaan lainnya.Adapun fungsi dilaksanakannya musrenbang untukmenghasilkan kesepakatan-kesepakatan antar pelakupembangunan tentang rancangan rencana kerja pemerintahdan rancangan kerja pemerintah daerah, yang menitikberatkanpada pembahasan untuk sinkronisasi rencanakerja antar kementrian/lembaga/satuan kerja perangkatdaerah dan antar daerah.Bagaimana Partisipasi Perempuan?Dengan berbagai kebijakan yang sudah ada teryatatidak menjamin partisipasi perempuan dalam proses musrenbang.Perempuan masih sangat jarang dilibatkan dalamproses tersebut. Bahkan banyak sekali perempuan yangtidak tahu apa itu musrenbang.Pertanyaan mengelitik coba ditanyakan Lutri kepadapeserta diskusi “Kesetaraan Gender dan PartisipasiPerempuan dalam Musrenbang”, yang diadakan <strong>Kalyanamitra</strong>bekerjasama dengan OXFAM GB, akhir Januari 2011
yang lalu. “Sebelum saya memulai pertanyaan, saya maubertanya ke audiens semua apakah bapak/ibu semua disini pernah mengikuti proses musrenbang?” Jawaban yangdiperoleh teryata sangat mengejutkan, dari seratus lebihpeserta yang hadir, semuanya menjawab belum pernahmengikuti proses musrenbang.Hal tersebut tentu memperlihatkan bukti nyata bahwaproses musrenbang sosialisasinya sangat kurang. Teryatatidak hanya perempuan yang tidak tahu tentang musrenbang,tetapi laki-laki juga mengalami hal yang sama. Pertayaanyang kemudian muncul adalah “Bagaimana dengandi daerah, bila di Jakarta atau level nasional masyarakatmasih banyak yang tidak tahu tentang musrenbang?”Kepmendagri No. 66 jelas menunjukkan juklak, juknisuntuk proses musrenbang seperti apa. Bapeda harus mempunyaianggaran khusus untuk pelaksanaan musrenbang,baik di tingkat desa/kelurahan, kecamatan, dan kabupatenkota. Staf Bapeda juga harus menghadiri proses musrenbangtersebut. Aparat desa wajib memfasilitasi prosesmusrenbang. Dalam aturan juga disebutkan agar perempuandiberikan hak untuk bersuara, memberikan usulan.Tetapi kenyataannya sangat berbeda, masyarakat masihbanyak yang belum tahu mengenai musrenbang. Mencarisiapa yang harus disalahkan, bukanlah jalan terbaik menyelesaikanmasalah, karena ketika berbicara mengenaikebijakan sudah banyak landasannya.Rendahnya partisipasi perempuan memperlihatkanbahwa mereka masih dianggap sebagai makluk nomordua. Kehadirannya dalam forum-forum semacam musrenbangtidak diperhitungkan. Hal tersebut terjadi karena adaketimpangan gender di masyarakat. Forum musrenbangdianggap sebagai forum laki-laki, karena itu ada di wilayahpublik, perempuan dianggap tidak perlu ikut campur dalamproses perencanaan pembangunan, karena perempuanhanya mengurus rumah tangga.Rena Herdiyani, Direktur eksekutif <strong>Kalyanamitra</strong> dalamsambutan acara tersebut, mengatakan bahwa meskipunkesetaran gender dan partisipasi perempuan dalam musrenbangsudah lama diperjuangkan tetapi realitasnya kitamasih melihat ketimpangan itu. Hal itu bisa dilihat masihrendahnya partisipasi perempuan dalam politik. “Kalau kitalihat jumlah di DPRD dan di DPR, perempuan masih sangatrendah. Demikian juga perempuan-perempuan yang memegangjabatan publik, mulai dari tingkatan terendah, misalnyaketua RT, RW, kepala desa, bupati, gubernur, masihdidominasi oleh laki-laki”, ungkap Rena Herdiyani.Hal lain yang masih terjadi adalah kepala keluargamasih identik dengan laki-laki/suami. Maka ketika rapatRT, RW atau musyawarah di desa, yang diundang adalahlaki-laki. Bila perempuan datang, hanya berurusan dengankonsumsi.Rena Herdiyani menambahkan bahwa masih banyaknyamasyarakat, khususnya perempuan yang belum memahamimusrenbang, karena belum mendapat informasi bahkantidak dilibatkan dan diundang dalam proses musrenbang.“Jadi kita masih harus terus mensosialisasikan soal kesetaraangender dan partisipasi perempuan dalam musrenbangterutama ke masyarakat luas”, tambahnya.Masyarakat harus tahu bahwa mereka punya hak untukmenyampaikan kepentingan perempuan karena ketikaperempuan tidak hadir, tidak terlibat dalam proses perumusanmusrenbang, maka hasil perencanaan pembangunandari mulai desa, kecamatan, kabupaten sampainasional tidak akan mengakomodir kepentingan perempuan.Mengenai tidak diundangnya perempuan dalam forummusrenbang, Rena menyarankan agar mereka mintadiundang karena itu adalah haknya. “Jadi penting sekali,bila kita tidak diundang, kita minta untuk diundang karenaperempuan berhak untuk menyampaikan aspirasi dalammusrenbang”.Persoalan Musrenbang di Tingkat LokalTerkait dengan Musrenbang dan dalam rangka pembuatankomik mengenai musrenbang, <strong>Kalyanamitra</strong> bekerjasamadengan OXFAM GB telah melakukan kajian padapertengahan 2010 yang lalu di 2 wilayah, yakni di AcehUtara dan Papua. Dari hasil dan temuan yang didapatkanmemang tidak ada sosialisasi kepada perempuan tentangmusrenbang. Kebanyakan narasumber tidak mengetahuiapa itu musrenbang dan seperti apa bentuknya.Di Aceh Utara misalnya, masyarakat memahami bahwamusrenbang adalah PNPM. Sedangkan di Papua, musrenbangdipahami sebagai Respek, padahal keduanya berbedakarena respek dibeayai dengan otonomi khusus di Papua,sedangkan musrenbang dari APBD. Dari hal tersebutdapat dilihat, bahwa sosialisasi musrenbang di masyarakatsendiri tidak ada, apalagi untuk perempuan.Proses musrenbang sering sangat tidak partisipatif terhadapperempuan. Sebagai contoh, perempuan diundanghanya menjadi tolak ukur bahwa perempuan secara fisikhadir, tetapi dalam prosesnya perempuan tidak terlibat.Selain itu, tidak ada keakraban dari pemerintah desa kepadaperempuan.Masalah lain yang ditemukan dari kajian tersebut adalahsoal tranparansi anggaran yang tidak terjadi. Di duadaerah yang dikaji, keduanya sama-sama tidak menunjukanadanya transparansi anggaran. Bahkan di Aceh Utara,dari informasi yang di dapat, anggaran masih dianggaprahasia negara.Tidak adanya sosialiasi Musrenbang juga dirasakanoleh Eti, salah seorang peserta yang hadir dalam diskusitersebut. Eti meyayangkan bahwa dana untuk pemberdayaanperempuan hanya isu karena selama ia aktif ditingkat RT maupun RW, dana yang diberikan hanya untukkebutuhan fisik semata. Sebagai pekerja sosial, Eti jugaEdisi I | Januari-Maret 2011 | Perempuan Bergerak11