24.11.2012 Views

MENGKAJI ULANG FAHAM ITTIHAD ABU YAZID AL-BUSTAMI Oleh ...

MENGKAJI ULANG FAHAM ITTIHAD ABU YAZID AL-BUSTAMI Oleh ...

MENGKAJI ULANG FAHAM ITTIHAD ABU YAZID AL-BUSTAMI Oleh ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>MENGKAJI</strong> <strong>ULANG</strong> <strong>FAHAM</strong> <strong>ITTIHAD</strong> <strong>ABU</strong> <strong>YAZID</strong> <strong>AL</strong>-<strong>BUSTAMI</strong><br />

<strong>Oleh</strong>: Asmaran As. ∗<br />

ABSTRAK<br />

Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al-Bustami<br />

disebut sebagai sufi pertama yang membawa faham ittihad<br />

(persatuan mistik, mystical union) dalam arti seorang telah merasa<br />

dirinya bersatu dengan Tuhan, karena kesadarannya telah lebur<br />

bersatu dengan eksistensi Tuhan. Munculnya faham ini telah<br />

menimbulkan sikap dan pandangan pro kontra di kalangan ulama.<br />

Tulisan ini berupaya mengkaji ulang persoalan ini dalam sudut<br />

pandang pemahaman dunia tasawuf. Dunia tasawuf adalah dunia<br />

rasa yang sarat dengan pengalaman spiritual yang seringkali<br />

berada di luar lingkungan rasional. Perlu disadari bahwa sebelum<br />

terjadinya ittihad, seorang sufi telah mengalami fana’ dan baqa’.<br />

Dalam kondisi demikian tentu tidak bisa dipakai ukuran yang bisa<br />

digunakan untuk menilai suatu ekspresi luar biasa (syathahat)<br />

yang keluar dari mulut seseorang yang dalam keadaan sadar.<br />

Hanya sangat disayangkan pengalaman sufistik seperti itu sering<br />

terungkap kepada khalayak hingga dipandang sebagai ucapan yang<br />

menyesatkan karena secara lahiriah melanggar prinsip tanzih<br />

dalam ajaran Islam.<br />

Kata kunci: Fana’, baqa’, ittihad, syathahat.<br />

PENDAHULUAN<br />

Abu Yazid al-Bustami, nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa<br />

bin Syurusan al-Bustami. Dia lahir sekitar tahun 200 H (813 M) di Bustam,<br />

bagian Timur Laut Persia. Di Bustam ini pula ia meninggal dunia pada<br />

tahun 261 H (875 M); dan makamnya masih ada hingga saat ini (Fariduddin<br />

al-Attar, 1979: 100). Makamnya yang terletak di tengah kota menarik<br />

∗ Penulis adalah Guru Besar Ilmu Tasawuf pada Fakultas Ushuluddin dan<br />

Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin


anyak pengunjung dari berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan<br />

denngan kuburan Hujwiri. Nasiri Khusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313 M.<br />

didirikan di atanya sebuah kubah yang indah oleh seorang Sultan Mongol,<br />

Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya Syekh Syafruddin, salah<br />

seoarang keturunan dari Bustam itu (Aboebakar Atjeh, 1984: 259).<br />

Abu Yazid adalah seorang tokoh sufi yang terkenal pada abad<br />

ketiga Hijriyah. Kakeknya Surusyan adalah seorang penganut agama<br />

Zoroaster, yang kemudian masuk Islam. Sedikit sekali orang mengetahui<br />

tentang sejarah hidupnya. Jika tidak ada pengarang seperti at-Attar, orang<br />

tidak mengenalnya sama sekali. Siapa Abu Yazid itu, beberapa catatan<br />

mengenai hidupnya hanya berupa anekdot-anekdot sufi belaka (Fariduddin<br />

al-Attar, 1979: 101-105).<br />

Sebelum Abu Yazid mempelajari tasawuf, ia belajar agama Islam<br />

menurut mazhab Hanafi. Kemudian ia memperoleh pelajaran tentang ilmu<br />

tauhid dan hakikat, begitu juga tentang ilmu tauhid dan hakikat, begitu juga<br />

tentang fana’ dari Abu Ali Sindi. Dia tidak meninggalkan tulisan,<br />

tetapi pengikut-pengikutnyalah mengumpulkan ucapan/ajaran-ajarannya<br />

(Aboebakar Atjeh, 1984: 135-136).<br />

Abu Yazid adalah seorang zahid yang terkenal. Baginya zahaid itu<br />

adalah seoarang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan<br />

dengan Allah. Hal ini berjalan melalui tiga fase, yaitu zuhud terhadap dunia,<br />

zuhud terhadap akhirat dan zuhud terhadap selain Allah. Dalam fase terakhir<br />

ini ia berada dalam kondisi mental yang menjadikan dirinya tidak<br />

mengingat apa-apa lagi selain Allah.<br />

Abu Yazid merupakan seorang tokoh sufi yang membawa ajaran<br />

yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran yang<br />

dibawanya banyak ditentang oleh ulama Fiqh dan Kalam, yang menjadi<br />

sebab ia keluar masuk penjara. Meskipun demikian, ia memperoleh banyak<br />

pengikut yang percaya kepada ajaran yang dibawanya. Pengikutpengikutnya<br />

menamakannya Taifur. Kata yang diucapkannya seringkali<br />

mempunyai arti yang begitu mendalam, sehingga jika ditangkap secara lahir<br />

akan membawa kepada syirik, karena mempersekutukan antara Tuhan<br />

dengan manusia.<br />

Memang dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid<br />

dipandang sebagai pembawa faham al-fana’ dan al-baqa’ serta sekaligus<br />

pencetus faham al-ittihād; dan A. J. Arberry menyebutnya sebagai “first of


the ‘intoxicated’ sufis”. (Orang pertama dari kaum sufi yang mabuk<br />

kepayang) (A. J. Arberry, 1979: 54).<br />

Apa yang dimaksud dengan al-fana’, al-baqa’ dan al-ittihād yang<br />

menjadi inti dari ajaran tasawuf Abu Yazid ini akan diuraikan pada bagian<br />

kedua berikut ini, yang disertai dengan beberapa penilaian orang dan analisa<br />

seperlunya. Terakhir, bagaian ketiga, akan dirumuskan beberapa<br />

kesimpulan.<br />

AJARAN TASAWUF <strong>ABU</strong> <strong>YAZID</strong><br />

Irfan Abdul Hamid Fattah Mengatakan bahwa dalam sejarah<br />

perkembnagan tasawuf, Abu Yazid al-Bustami dipandang sebagai pembawa<br />

arah timbulnya aliran “kesatuan wujud” atau ittihad (Irfan Abdul Hamid<br />

Fattah,1973: 169). Perkembangan ajaran tasawauf ke arah ini digambarkan<br />

oleh Prof. Dr. H. Aboebakar Atheh sebagai berikut:<br />

Lalu sampailah pada abad yang ke-III orang membicarakan<br />

latihan rohani, yang dapat membawa manusia kepada Tuhannya.<br />

Jika pada akhir abad ke-II ajaran sufi merupakan kezuhudan<br />

(asceticisme), dalam abad ke-III ini orang sudah meningkat kepada<br />

wusul dan ittihad dengan Tuhan (mistikisme). Orang sudah ramai<br />

membicarakan tentang lenyap tentang kecintaan, fana fil mahbub,<br />

bersatu dengan kecintaan, ittihād fil mahbub, bertemu dengan<br />

Tuhan, liqa’; dan menjadi satu dengan Dia. ‘ainul jama’ sebagai<br />

yang diucapkan oleh Abu Yazid Bisthami (Aboebakar Atheh, 1984:<br />

169).<br />

Sebelum seorang sufi memasuki tahap persatuan dengan Tuhan<br />

(al-ittihād), ia harus terlebih dahulu dapat menghancurkan dirinya melalui<br />

fana’. Penghancuran diri (fana’) dalam khazanah sufi senantiasa diiringi<br />

dengan baqa’. Apa yang disebut dengan fana’ dan baqa’ itu ?<br />

1. Al-Fana’ dan Baqa’<br />

Secara logawi, fana’ berarti hancur, lebur, musnah, lenyap, hilang<br />

atau tiada; dan baqa’ berarti tetap, kekal, abadi atau hidup terus (l;awan dari


fana’). Fana’ dan baqa’ merupakan kembar dua dalam arti bahwa adanaya<br />

fana’ menunjukkan adanya baqa’. Dalam istilah R. A. Nicholson dikatakan:<br />

“The complement and consummation of death to self (fana’) is everlasting<br />

life in God (baqa’)” (R. A. Nicholson, 1973: 214). Yakni, “Kelengkapan<br />

dan kesempurnaan dari leburnya pribadi (fana) ialah kehidupan abadi di<br />

dalam wujud Tuhan (baqa)”. Hal ini memang dapat dilihat dari fahamfaham<br />

sufi berikut :<br />

ﺕﺎﻘﻓﺍﻮﳌﺍ ﰱ ﻰﻘﺑ ﺕﺎﻔﻟﺎﺨﳌﺍ ﻦﻋ<br />

ﲎﻓ ﻦﻣ<br />

ﺓﺩﻮﻤﶈﺍ ﻑﺎﺻﻭﻻﺎﺑ ﻰﻘﺑ ﺔﻣﻮﻣﺬﳌﺍ ﻑﺎﺻﻭﻷﺍ ﻦﻋ ﲎﻓ ﻦﻣ<br />

ﻖﳊﺍ ﻑﺎﺻﻭﺄﺑ ﻰﻘﺑ ﻪﻓﺎﺻﻭﺃ ﻦﻋ ﲎﻓ ﻦﻣ<br />

- Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan<br />

tinggal ialah taqwanya.<br />

- Siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak) yang buruk,<br />

tinggal baginya sifat-sifat yang baik.<br />

- Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, tinggal baginya<br />

sifat-sifat Tuhan. (Harun Nasution, 1973: 80)<br />

Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu<br />

al-fana’‘an al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’ ‘an al-nafs ialah<br />

hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh<br />

kasarnya dan alam sekitarnya.<br />

Al-Qusyairi tentang ini mengatakan :<br />

ﻪﺴﻔﻨﺑ ﻪﺳﺎﺴﺣﺇ ﻝﺍﻭﺰﺑ ﻖﻠﳋﺍ ﻦﻋ ﻭ ﻪﺴﻔﻧ ﻦﻋ ﻩﺅﺎﻨﻓ<br />

....... ﻢﺑﻬﻭ<br />

ﻢﺑﻬ ﻪﻟ ﻢﻠﻋ ﻻ ﻪﻨﻜﻟﻭ ﻥﻭﺩﻮﺟﻮﻣ<br />

ﻖﻠﳋﺍﻭ ﺓﺩﻮﺟﻮﻣ ﻪﺴﻔﻨﻓ<br />

ﻪﺑﻻﻭ<br />

-<br />

-<br />

-


Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi<br />

dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk<br />

lain itu……. Sebenarnya dirinya ada dan demikian pula makhluk<br />

lain ada. Tetapi Ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya<br />

(Al-Qusyairi, t.th: 37).<br />

Dr. Ibrahim Basyuni, setelah mengumpulkan beberapa definisi<br />

pengertian fana’ ini sebagai berikut :<br />

ﺲﻔﻨﻟﺍﻭ ﻥﻮﻜﻟﺎﺑ ﻥﺎﺴﻧﻻﺍ ﻖﺋﻼﻋ ﺎﻬﻴﻓ ﻰﺤﻤﻨﺗ ﺔﻴﺴﻔﻧ ﺔﻟﺎﺣ ﺀﺎﻨﻔﻟﺍ<br />

ﻪﺘﻳﺮﺸﺑ ﻰﺤﻨﺗ ﻥﺍ ﻥﻭﺩ<br />

Fana, keadaan jiwa yang menghilangkan hubungan manusia<br />

dengan alam dan raganya, bukan menghilangkan wujud<br />

kemanusiaannya (Ibrahim Basyuni, t.th: 239).<br />

Dalam hal pengertian fana’ ini, di dunia tasawuf, kata Dr. Ibrahim<br />

Madkur berarti :<br />

ﺲﻔﻨﻟﺎﺑ ﺭﻮﻌﺸﻟﺍ ﻡﺍﺪﻌﻧﺍﻭ<br />

ﻰﻋﻮﻟﺍﻭ ﺲﳊﺍ ﺏﺎﻫﺫ ﰱ ﺺﺨﻠﺘﺗ ﺔﻳﺮﻈﻧ<br />

ﺪﺒﻌﻟﺍ ﲎﻔﻴﻓ<br />

,<br />

ﺏﺮﻟﺍ ﻝﻼﺟ ﰱ ﺪﺒﻌﻟﺍ ﺀﺎﺤﳕﺍﻭ<br />

,<br />

ﻰﺟﺭﺎﳋﺍ ﱂﺎﻌﻟﺎﺑ ﻭ<br />

ﺔﻴﻔﺼﺗ ﻭ ﺓﺪﻟﺎﳎ ﻭ ﺓﺪﻫﺎﳎ ﺪﻌﺑ , ﻪﺑﺭ ﰱ ﻰﻘﺒﻳ ﻭ , ﻪﺼﺨﺷ ﰱ<br />

ﺲﻔﻨﻠﻟ<br />

Teori yang pada kesimpulannya menjelaskan tentang<br />

hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam sekitar,<br />

terhapusnya seorang hamba di dalam kebesaran Tuhan, sirnanya<br />

seorang hamba terhadap wujud diri-nya dan kekal (tinggal) di dalam<br />

wujud Tuhannya setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta<br />

pembersihan jiwa (Ibrahim Madkur, 1979: 141).


Dan dalam masalah ini pula, Nicholson mengatakan : To Pass<br />

away from self (fana’) is to realize that self does not exist, and that nothing<br />

exista except God (tauhid)” (R. A. Nicholson, 1973: 50).<br />

Sebenarnya dalam sepanjang sejarah tasawuf, istilah fana’ kata<br />

Nicholson, memiliki beberapa tingkatan, aspek dan makna. Semuanya dapat<br />

diringkaskan sebagai berikut :<br />

a. Transformasi moral dari jiwa yang dicapai melalaui pengendalian<br />

nafsu dan keinginan.<br />

b. Abstarksi mental dan berlakunya pikiran dari seluruh objek persepsi,<br />

pemikiran, tindakan dan perasaan; dan dengan mana kemudian<br />

memusatkan fikiran tentang Tuhan. Yang dimaksud dengan<br />

memikirkan Tuhan adalah memikirkan dan merenunggi sifat-sifat-<br />

Nya.<br />

c. Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran. Tingkat fana yang<br />

tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentanag fana itu sendiri<br />

juga hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal “kefanaan dari fana”<br />

atau lenyapnya kesadaran tentang tiada (fana’ al-fana’)<br />

(R. A. Nicholson, 1975: 60-61).<br />

Selanjutnya, kata Nicholson, tahap terakhir dari fana’ adalah<br />

lenyapnya diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa,<br />

yang artinya berkesinambungan di dalam Tuhan (Nicholson, 1975: 61).<br />

Dengan demikian jelaslah bahwa dalam faham fana ini, materi<br />

manusianya tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang hilang<br />

hanya kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi akan<br />

eksistensi jasad kasarnya. Nicholson mengertikan faham ini sebagai: fana<br />

the passing-away of the Sufi from his phenomenal existence, in volves<br />

baqa’, the continuance of his real existence. He who dies to self lives in<br />

God, and fana, the consummation of this death, marks the attainment or<br />

baqa’, or union with the divine life” (Nicholson, 1973: 149). Yakni, “Fana,<br />

sirnanya sufi terhadap wujud dirinya, masuk ke dalam baqa, kesinambungan<br />

wujudnya yang sebenarnya. Dia orang yang kelihatan pribadi, hidup<br />

bersama Tuhan, dan fana, kesempurnaan dari kematian (kehancuran) ini,<br />

menandakan tercapainya baqa, atau persatuan dengan kehidupan Ilahi”.<br />

Al-Junaid, sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Basyuni,<br />

menggambarkan fana’ sebagai “sirnanya daya tangkap hati terhadap yang


ersifat indrawi karena menyaksikan sesuatu, maksudnya lenyap segala<br />

yang ada dihadapan serta segala sesuatu dari serapan indrawi sehingga tidak<br />

ada sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan” (Ibrahim Basyuni, t.th: 238).<br />

Abu Yazid al-Bustami, yang dalam sejarah tasawuf dipandang<br />

sebagai sufi pertama yang menimbulkan faham fana dan baqa ini<br />

mengartikan fana sebagai hilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi<br />

(al-fana’ ‘an al-nafs) sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya<br />

sebagai manusia, kesadarannya menyatu ke dalam iradah Tuhan, bukan<br />

menyatu dengan wujud-Nya (Team Penyusun Naskah, 1981-1982: 72).<br />

Lebih jelas lagi faham ini tersimpul dalam kata-katanya :<br />

ﺖﻴﻴﺤﻓ ﻪﺑ ﻪﺘﻓﺮﻋ ﰒ ﺖﻴﻨﻓ ﱴﺣ ﰉ ﻪﻓﺮﻋﺃ -<br />

- Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur,<br />

kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya maka akupun<br />

hidup.<br />

Dan katanya pula :<br />

ﻥﻮﻨﳉﺍ ﺖﻠﻘﻓ<br />

......<br />

ﺖﺸﻌﻓ ﻪﺑ ﲎﻨﺟ ﰒ ّﺖﻤﻓ ﰉ ﲎﻨﺟ<br />

ﺀﺎﻘﺑ ﻚﺑ ﻥﻮﻨﳉﺍ ﻭ ﺀﺎﻨﻓ ﰉ<br />

- Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati;<br />

kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup,<br />

………..aku berkata : Gila pada diriku adalah kehancuran<br />

dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup. (Harun Nasution,<br />

1973: 81)<br />

Jadi kalau seoarang sufi telah mencapai al-fana’ ‘an al-nafs, yaitu<br />

kalau wujud jasmaniah tidak ada lagi yaitu kalau wujud jasmaninya tidak<br />

ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi) maka yang akan tinggal ialah<br />

wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan. Dan<br />

kelihatannya persatuan denngan Tuhan ini terjadi langsung setelah<br />

tercapainya al-fana’ ‘an al-nafs.<br />

-


2. Al-Ittihād<br />

Dilihat dari sudut etimologi, ittihād (al-Ittihād) berarti peratuan,<br />

Dalam kamus sufisme berarti perasatuan antara manusia dengan Tuhan.<br />

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, yang dimaksud dengan ittihād<br />

kelihatannya ialah satu tingkatan tasawuf di mana seorang sufi telah merasa<br />

dirinya bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan di mana yang mencintai dan<br />

yang dicintai telah menjadi satu (Harun Nasution, 1973: 82).<br />

Ittihād dalam ajaran tasawuf kata Ibrahim Madkur adalah tingkat<br />

tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Orang yang<br />

telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi satu,<br />

terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah<br />

dilihat oleh mata, mendengar sesuatu yang tidak pernbah didengar oleh<br />

telinga dan tidak pernah terlintas di hati. Pada saat itu sering keluar ucapanucapan<br />

yang ganjil dan aneh yang disebut tasawuf dengan syatahat (Ibrahim<br />

Madkur, 1979: 2).<br />

Ittihād itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat<br />

menghilangkan kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh<br />

kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya.<br />

Menurut Nicolson, dalam faham ittihād hilangnya kesadaran adalah<br />

permulaan untuk memasuki tingkat ittihād yang sebenarnya dicapai dengan<br />

adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang<br />

disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran (“abiding after<br />

passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran (fana’)<br />

yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihād itu adalah pemberian<br />

Tuhan kepada seorang sufi (Nicholson, 1973: 218).<br />

Sekarang kalau memang fana yang merupakan prasyarat untuk<br />

mencapai ittihād itu adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan<br />

datang sendirinya setelah seorang sufi dengan kesungguhan dan<br />

kesabarannya dalam ibadah dalam usaha memberikan jiwa sebagaimana<br />

dikemukakan di atas.<br />

Dalam Ittihād, kata A. R. al-Badawi seperti dikutip oleh Harun<br />

Nasution, yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya ada dua<br />

wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan<br />

hanya satu wujud, maka dalam ittihād bisa terjadi pertukaran peranan antara<br />

sufi dengan Tuhan (Harun Nasution, 1973: 82-83).


Faham ittihād ini dalam istilah Abu Yazid disebut tajrîd fana’ fî<br />

al-tauhîd,(Aboebakar Atheh, 1984: 136). yaitu perpaduan dengan Tuhan<br />

tanpa diantarai sesuatu apapun. Uangkapan Abu Yazid tentang peristiwa<br />

mi’rajnya berikut ini akan memperjelas pengertian ini. Dia mengatakan :<br />

ﻰﻘﻠﺧ ﻥﺍ<br />

:<br />

ﺪﻳﺰﻳ ﺎﺑﺍ ﺎﻳ ﱃ ﻝﺎﻗ ﻭ ﻪﻳﺪﻳ ﲔﺑ ﲎﻣﺎﻗﺄﻓ ﺓﺮﻣ ﷲﺍ ﲎﻌﻓﺭ<br />

ﲎﻌﻓﺭﺍ ﻭ ﻚﺘﻴﻧﺎﻧﺍ ﲎﺴﺒﻟﺍﻭ ﻚﺘﻴﻧﺍﺪﺣﻮﺑ ﲎﻳﺯ ﺖﻠﻘﻓ ﻙﻭﺮﻳ ﻥﺍ ﻥﻮﺒﳛ<br />

ﻙﺍﺫ ﺖﻧﺃ ﻥﻮﻜﺘﻓ ﻙﺎﻨﻳﺃﺭ ﺍﻮﻟﺎﻗ ﻚﻘﻠﺧ ﱏﺍﺭ ﺍﺫﺍ ﱴﺣ ﻚﺘﺑﺪﺣﺃ ﱃﺍ<br />

ﻙﺎﻨﻫ ﺎﻧﺃ ﻥﻮﻛﺃ ﻻﻭ<br />

Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan Ia<br />

berkata : Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihat engkau, Aku<br />

Menjawab : Kekasih-Ku, aku tidak ingin melihat mereka. Tetapi<br />

jika itulah kehendak-Mu, maka aku tidak berdaya untuk menentang<br />

kehendak-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika<br />

makhluk-Mu melihat daku, mereka akan berkata : Telah kami lihat<br />

Engkau. Tetapi yang merasa lihat akan aku tidak ada di sana<br />

(Abdul Qadir Mahmud, t.th: 313).<br />

Rangkaian ungkapan Abu Yazid ini merupakan ilustrasi proses<br />

terjadinya ittihād. Dalam bagian awal ungkapan itu melukiskan alam<br />

ma’rifah dan selanjutnya memasuki alam fana’ ‘an nafs sehingga ia berada<br />

sangat dekat dengan Tuhan dan akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihād<br />

ini lebih jelas lagi dalam ungkapannya :<br />

ﻭ ﺖﻧﺃ ﺎﻧﺄﻓ<br />

:<br />

ﺖﻠﻘﻓ ﻙﲑﻏ ﻰﻘﻠﺧ ﻢﻬﻠﻛ ﻢﻧﻬﺇ ﺪﻳﺰﻳ ﺎﺑﺍ ﺎﻳ : ﻝﺎﻗ<br />

ﺖﻧﺃ ﺎﻧﺃ ﻭ ﺎﻧﺃ ﺖﻧﺃ


Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah<br />

makhluk-Ku. Ataupun berkata: Aku adalah Engkau, Engkau adalah<br />

aku dan aku adalah Engkau (Harun Nasution, 1973: 85).<br />

Selanjutnya Abu Yazid berkata :<br />

ﱏﺪﺒﻋﺎﻓ ﺎﻧﺃ<br />

ﻻﺇ ﻪﻟﺍ ﻻ ﷲﺍ ﺎﻧﺃ ﱏﺇ<br />

Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain<br />

Aku, maka sembahlah Aku (Harun Nasution, 1973: 86).<br />

Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid di atas itu<br />

seakan-akan ia mengaku dirinya Tuhan. Akan tetapi bukan demikian<br />

maksudnya. Di sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai<br />

gambaran dari diri Abu Yazid sendiri, tetapi sebagai gambaran Tuhan,<br />

karena Abu Yazid telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan kata lain Abu<br />

Yazid dalam ittihād berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih tepat lagi<br />

Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Dalam hal ini Abu Yazid<br />

menjelaskan :<br />

ﺖﻴﻨﻓ ﺪﻘﻓ ﺎﻧﺃ ﺎﻣﺃ ﱏﺎﺴﻨﺑ ﻢﻠﻜﺘﻳ ﻯﺬﻟﺍ ﻮﻫ ﻪﻧﻷ<br />

Sebenarnya Dia berbicara melalui lidahku sedang aku sendiri<br />

dalam keadaan fana (Abdul Qadir Mahmud, t.th: 310).<br />

<strong>Oleh</strong> karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya<br />

sebagai Tuhan. Kata-kata serupa di atas bukan diucapkan oleh Abu Yazid<br />

sebagai kata-katanya sendiri, tetapi kata-kata itu diucapkan dalam keadaan<br />

ittihād.<br />

TINJAUN<br />

Seperti dikemukan diatas, semenjak masanya Abu Yazid pendapat<br />

sufi condong kepada kepada konsepsi “kesatuan wujud”. Faham ini muncul<br />

sebagai konsepsi lanjut dari pendapat sufi bahwa dunia fenomena ini<br />

hanyalah bayangan dari “realita” yang sesungguhnya, yaitu Tuhan. Satusatunya<br />

wujud yang hakiki hanyalah wujud Tuhan, sesuatu yang menjadi


dasar bagi adanya segala sesuatu yang ada. Dunia hanyalah bayangan dan<br />

khayal, wujudnya tergantung pada wujud Tuhan.<br />

Atas dasar pemikiran tentang Tuhan yang demikian itu, mereka<br />

berpendapat, bahwa alam ini termasuk manusia merupakan refleksi dari<br />

hakikat Ilahi. Dalam diri manusia terdapat unsur ketuhanan karena ia<br />

merupakan pancaran Nur Ilahi, seperti pancaran cahaya matahari. <strong>Oleh</strong><br />

karena itu, jiwa manusia selalu bergerak berusaha untuk bersatu kembali<br />

dengan sumber asalnya.<br />

Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya seesensi<br />

dengan Tuhan dapat bersatu dengan Tuhan dapat bersatu dengan-Nya<br />

apabila ia mampu melebur eksistensi keberadaannya sebagai suatu pribadi<br />

sehingga ia tidak menyadari pribadinya, fana’ ‘an al-nafs (Team Penyusun<br />

Naskah, 1981/1982: 160). Dengan istilah lain, barang siapa yang mampu<br />

menghapuskan kesadaran pribadinya dan mampu membebaskan diri dari<br />

alam sekelilingnya, ia akan memperoleh jalan kembali kepada sumber<br />

asalnya. Ia akan memperoleh jalan kembali kepada sumber asalnya. Ia akan<br />

menyatu padu dengan yang Tunggal, yang dilihat dan dirasakannya hanya<br />

satu. Keadaan seperti inilah yang disebut ittihād, yang oleh Abu Yazid<br />

disebut tajrîd fanā’ fî al-tauhîd.<br />

Nampaknya kontroversi sekitar faham fana’, baqa’ dan ittihād<br />

dalam tasawuf terus berkembang hingga sekarang. Masalahnya apakah ia<br />

berasal dari ajaran Islam atau import dari luar ?. Ibrahim Madkur melihat<br />

bahwa faham ittihād ini adalah sesuatu yang paling rumit di dalam tasawuf<br />

Islam, sehingga para pengamat tasawuf dalam menilainya bisa dibagi<br />

menjadi dua kelompok: ada yang menerimanya tetapi juga ada yang<br />

menolaknya (Ibrahim Madkur, 1976: 65).<br />

Selanjutnya Madkur dengan tegas mengatakan bahwa faham<br />

ittihād ini sebenarnya tidak bersumber dari Islam. Katanya, al-Qur’an<br />

dengan ungkapan yang tegas, secara mutlak, tidak memberi tempat pada<br />

adanya faham ittihād. Hanya saja, para pendukungnya tidak kehilangan akal<br />

untuk melandasinya dengan ayat al-Qur’an dan hadis Nabi (Ibrahim<br />

Madkur, 1976: 65). Penilaian serupa juga dikemukakan oleh Aboebakar<br />

Atjeh. Dengan nada yang agak moderat, beliau mengatakan :<br />

Sebenarnya tidak ada sesuatu petunjuk pun dalam Qur’an yang<br />

dengan tegas-tegas menerangkan ada ittihād itu. Ada beberapa ayat


qur’an yang menerangkan keadaan akrabnya Tuhan dengan hamba-<br />

Nya, seperti ayat : “Kami lebih dekat padanya dari pada kedua urat<br />

leharnya” (Qur’an L : 16). ayat : “Ia (Tuhan) selalu bersama<br />

kamu, dimanapun kamu berada” (Qur’an), ……. (Aboebakar Atjeh,<br />

1984: 137).<br />

Selanjutnya ada sebuah hadis qudsi yang berbunyi :<br />

Mutaqqarribun itu tidaklah dapat mendekati Aku dengan<br />

hanya menunaikan segala ibadah yang perlu, yang sudah diwajibkan<br />

kepadanya, tetapi seorang hamba-Ku yang senantiasa mengerjakan<br />

segala ibadat-ibadat sunnat, dapatlah mendekati Daku, sehinga ia<br />

mencintai Daku dan Aku mencintai dia, maka pendengaran-Ku<br />

menjadi pendengarannya dan penglihatan-Ku menjadi matanya<br />

untuk melihatnya. (Aboebakar Atjeh, 1984: 137).<br />

Ada pendapat yang mengatakan bahwa faham fana’ dalam tasawuf<br />

Islam ini berasal dari ajaran Buddhaisme tentang faham nirwana, karena<br />

faham nirwana dalam ajaran Buddhaisme ini hampir serupa dengan faham<br />

fana’ dalam tasawuf. Untuk mencapai nirwana orang harus meninggalkan<br />

dunia dan memasuki hidup kontemplasi.<br />

Dikatakan, ajaran-ajaran non Islam seperti ajaran Buddhaisme ini,<br />

masuk ke dalam ajaran Islam seperti dalam tasawuf, adalah akibat logis dari<br />

perluasan daerah kekuasaan Islam, pertemuan berbagai suku bangsa,<br />

kebudayaan, agama dan kepercayaan di dalam satu wadah pergaulan<br />

pemerintahan Islam pasti akan saling mempengaruhi antara yang satu<br />

dengan lainnya.<br />

Dalam persoalan ini Nicholson mengatakan bahwa konsepsi sufi<br />

tentang kefanaan diri adalah dapat dipastikan berasal dari India.<br />

Penganjurannya seorang ahli mistik Persi, Bayazid dari Bistam mungkin<br />

telah menerima dari gurunya, Abu Ali dari Sind (India). Tambahan lagi<br />

bahwa dalam sejarah, selama ribuan tahun sebelum kemenangan umat Islam<br />

Buddhisme pernah memiliki akar yang kuat di kawasan timur Persia dan<br />

Bactria, sehingga oleh karenanya hampir dapat dipastikan adanya pengaruh


terhadap perkembangan ajaran tasawuf di daerah tersebut (Nicholson,<br />

1975: 17-18, Saiyid Athar Abbas Rizvi, 1978: 44-45).<br />

Demikian pendapat yang mengatakan bahwa faham fana’, baqa’<br />

dan ittihād ini berasal dari luar Islam (Buddhisme). Namun keteranganketerangan<br />

yang ada belum memberikan kepastian dalam keputusan kepada<br />

kita, karena analisis yang diberikan hanya berupa pemikiran-pemikiran<br />

belaka. Saya kira, terlepas dari maksud untuk menerima atau menolaknya,<br />

faham ini dapat saja lahir dari ajaran Islam sendiri, baik dari al-Qur’an<br />

ataupun Hadis. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Rahman<br />

ayat 26-27 :<br />

ﹺﻡﺍَﺮﹾﻛِﻹﺍَﻭ ﹺﻝﹶﻼَﺠﹾﻟﺍ ﻭﹸﺫ َﻚﱢﺑَﺭ ُﻪْﺟ َﻭ ﻰﹶﻘْﺒَﻳَﻭ<br />

,<br />

ٍﻥﺎﹶﻓ ﺎَﻬْﻴﹶﻠَﻋ ْﻦَﻣ ﱡﻞﹸﻛ<br />

Semua yang ada di bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal<br />

Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.<br />

(Al-Rahman/55 : 26-27)<br />

Dan sabda Rasulullah saw. :<br />

ﱏﻮﻓﺮﻋ ﱮﻓ ﻖﻠﳋﺍ ﺖﻘﻠﺨﻓ<br />

ﻑﺮﻋﺃ ﻥﺃ ﺖﺒﺒﺣﺄﻓ ﺎﻴﻔﳐ ﺍﱰﻛ ﺖﻨﻛ<br />

Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian<br />

Aku ingin dikenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku<br />

merekapun kenal pada-Ku (Harun Nasution, 1973: 61).<br />

Memang seperti dikatakan oleh mereka yang menolak faham yang<br />

dibawa oleh Abu Yazid ini, bahwa ayat atau hadis digunakan sering<br />

diselewengkan maksudnya. Tetapi kita mungkin bisa bertanya setelah kita<br />

melihat penjelasan kaum sufi, apakah mereka yang menolak faham ini tidak<br />

memaksakan pendapatnya dalam melihat dan menafsirkan ayat atau hadis<br />

yang digunakan kaum sufi, karena ayat atau hadis tersebut dapat<br />

mengandung lebih dari satu arti. Kita mengenal biasanya orang sufi<br />

mengambil arti batin, arti yang tersirat; sementara orang lain mengambil arti


lahir, arti yang tersurat. Mereka menilai tasawuf dengan norma-norma atau<br />

nilai-nilai yang berlaku di kalangan mereka, sehingga berkesimpulan bahwa<br />

ajaran tasawuf tersebut bertentangan dengan Islam atau tidak bersumber dari<br />

ajaran Islam.<br />

Alasan lain dari mereka yang menolak adanya faham ittihād<br />

adalah tidak mungkin terjadi persatuan antara dua subtansi (zat), antara<br />

manusia dengan Tuhan. Dengan tegas Muhammad al-Sadiq Arjun<br />

mengatakan :<br />

ﺪﺒﻌﻟﺍ ﻥﺍ ﻞﺋﺎﻘﻟﺍ ﻝﻮﻗ ﻥﻻ ﻪﻧﻼﻄﺑ ﺮﻬﻇﺍ ﺎﻀﻳﺍ ﻚﻟﺬﻓ ﺩﺎﲢﻻﺍ......<br />

ﺏﺮﻟﺍ ﻩﱰﻳ ﻥﺍ ﻰﻐﺒﻨﻳ ﻞﺑ ﻪﺴﻔﻧ ﰱ ﺾﻗﺎﻨﺘﻣ ﻡﻼﻛ ﺏﺮﻟﺍ ﻮﻫ ﺭﺎﺻ<br />

ﻭ ﺕﻻﺎﶈﺍ ﻩﺬﻫ ﻝﺎﺜﻣﺄﺑ ﻪﻘﺣ ﰱ ﻥﺎﺴﻠﻟﺍ ﻱﺮﳛ ﻥﺍ ﻦﻋ ﻪﻧﺎﺤﺒﺳ<br />

ﻝﺎﳏ ﺮﺧﺍ ﺎﺌﻴﺷ ﺭﺎﺻ ﺎﺌﻴﺷ ﻥﺍ ﻞﺋﺎﻘﻟﺍ ﻝﻮﻗ ﻥﺍ ﺎﻘﻠﻄﻣ ﻻﻮﻗ ﻝﻮﻘﻧ<br />

ﻕﻼﻃﻹﺍ<br />

…….., Demikian juga ittihād, nampak sekali salahnya, karena<br />

perkataan seseorang bahwa seorang hamba dapat menjadi Tuhan<br />

adalah perkataan yang paradoks dalam wujudnya, Padahal<br />

seyogyanya dia mensucikan diri dari segala perkataan yang<br />

mustahil-mustahil ini. Kita dapat berkata dengan tegas (mutlak)<br />

bahwa perkataan seseorang, sesuatu dapat menjadi sesuatu yang lain<br />

adalah mutlak mustahilnya (Muhammad al-Sadiq Arjun,1967: 118).<br />

Jika kita kembali kepeda pengertian ittihād seperti yang terurai di<br />

atas, bukanlah yang dimaksud dengan ittihād itu berpadunya dua subtansi<br />

menjadi satu, tetapi merupakan satu keadaan rohani yang diperoleh melalui<br />

al-fana’ ‘an al-nafs, yakni hilangnya kesadaran seorang sufi akan wujud<br />

dirinya dan yang tinggal dalam kesadarannya hanya wujud Tuhan. Hal ini<br />

dalam ungkapan sufi sebagaimana dikutipkan di atas, tidak ubahnya seperti<br />

hilangnya maksiat dan sifat-sifat buruk. Dengan hancurnya hal-hal ini,<br />

maka yang tinggal ialah taqwa dan kelakuan baik.


Dengan melihat uraian di atas, penolakan terhadap adanya faham<br />

ittihād dalam tasawuf belum memberikan alasan yang meyakinkan. Saya<br />

kira ada dua hal yang mempengaruhi sebagian para pengamat ajaran<br />

tasawuf, khususnya faham ittihād selama ini :<br />

1. Mereka melihat dan menilai tasawuf dengan kacamata yang cocok<br />

untuk dirinya, maksudnya menilai tasawuf menurut norma-norma<br />

yang mereka yakini.<br />

2. Mereka menggunakan batasan ittihād menurut persepsinya.<br />

ITTIHĀD DI PAHAMI SEBAGAI PERSATUAN DUA SUBTANSI,<br />

MANUSIA DENGAN TUHAN, YANG TERJADINYA BERDIRI<br />

SENDIRI-SENDIRI<br />

Tasawuf atau sufisme, sebagaimana halnya dengan mistisisme<br />

diluar agama Islam, mempunyai tujuan untuk memperoleh hubungan<br />

langsung dan disadari dengan Tuhan sehingga disadari benar bahwa<br />

seseorang berada di hadirad Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk di<br />

dalamnya tasawuf, ialah kesadaran akan adanya kemonikasi dan dialog<br />

antara ruh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan<br />

berkontemplasi. Kesaaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil<br />

bentuk ittihād (Harun Nasution, 1973: 56). Tujuan utama yang menjadi inti<br />

ajaran tasawuf, demikian kesimpulan Abdul al-Hakim Hassan, adalah<br />

sampai kesadaran bersatu dengan Allah (Abdul al-Hakim Hassan, 1954: 19).<br />

Menurut Ibrahim Basyuni, tasawuf adalah kesadaran sejatinya manusia<br />

yang mebngarahkan jiwa yang benar untuk selalu berjuang hingga ia dapat<br />

merasakan perjumpaan dengan wujud mutlak (Allah) (Ibrahim Basyuni, t.th:<br />

28).<br />

Dalam konteks ini semua aktivitas ketasawufan, langsung atau<br />

tidak, bekaitan dengan penghayatan dan ma’rifah pada Allah. Hal ini bukan<br />

hasil pengamatan panca indera atau penalaran rasio, tetapi merupakan<br />

penghayatan spiritual atau pengalaman yang bersifat mistik (mystical<br />

experience). Pengalaman kejiwaan seperti ini dalam dunia tasawuf disebut<br />

fana’. Terjadinya kondisi fana’ kerena begitu mendalamnya rasacinta yang<br />

termanifestasi dalam aktivitas sufi sehari-hari. Dalam mabuk cinta itu, sang<br />

sufi akan mengalami penghayatan wahdat al-syuhud, apa saja yang


dipandang tampak sebagai Tuhan. Al-Syibli, misalnya, pernah menyatakan:<br />

“Aku tak pernah melihat sesuatu kecuali Tuhan” (Simuh, 1997: 104).<br />

Aktivitas yang mutlak dilakukan sang sufi adalah zikir. Melalui<br />

konsentrasi dalam zikir, yang oleh sufi disebut dengan menenggelamkan<br />

hati dalam zikir kepada Allah, akan menghantarkannya pada pengalaman<br />

dan prenghayatan fana’ secara total pada Allah. Fana’ adalah proses<br />

beralihnya kesadaran dari alam inderawi atau alam lahir kealam kejiwaan<br />

atau alam batin. <strong>Oleh</strong> kerena itu kondisi fana’ merupakan bagian yang<br />

esensial dalam tasawuf.<br />

Proses terjadinya fana’ hingga mencapai ittihad aau menyatu<br />

dengan wujud Allah digambarkan sebagai berikut:<br />

Pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-sifat<br />

peribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya<br />

kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah<br />

memulai menyaksikan keindahan wajah Allah; lalu lenyapnya<br />

kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya<br />

kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah<br />

mulai menyaksikan keindahan wajah Allah; kemudian akhirnya lenyap<br />

kesadaran akan kefanaannya itu sendiri lantaran telah merasa lebur<br />

menyatu dalam wujud Allah. (Simuh, 1997: 106).<br />

Kutipan di atas memperhatikan bahwa sebelum terjadinya itihad<br />

seorang sufi harus melalui tiga tahapan. Pertama, lenyapnya kesadaran akan<br />

alam sekelilingnya lantaran seluruh kesadarannya telah beralih dan<br />

terpusat ke alam batin. Itulah baqa’ dalam penghayatan gaib yang dalam<br />

tasawuf dinamakan kasyf. Pada tingkat kedua mulai menyaksikan langsung<br />

apa yang mereka yakini sebagai zat al-Haqq (Tuhan). Itulah penghayatan<br />

ma’rifatullah. Yang mereka hayati dalam alam kejiwaan sewaktu fana’.<br />

Pada tingkat ketiga atau pada puncak penghayatan ma’rifah adalah fana’ alfana’,<br />

yakni lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran telah<br />

terhisap dan luluh dalam kesatuan dengan Tuhannya.<br />

Salam satu dalil tentang adanya fana’ ini yang sering disitir dalam<br />

kitab-kitab tasawuf adalah firman Allah dalam surah Yusuf ayat 31 sebagai<br />

berikut:


ْﺖَﺗﺍَﺀَﻭ ﹰﺄﹶﻜﱠﺘُﻣ ﱠﻦُﻬﹶﻟ ْﺕَﺪَﺘْﻋﹶﺃَﻭ ﱠﻦﹺﻬْﻴﹶﻟﹺﺇ ْﺖﹶﻠَﺳْﺭﹶﺃ ﱠﻦِﻫﹺﺮﹾﻜَﻤﹺﺑ ْﺖَﻌِﻤَﺳ ﺎﱠﻤﹶﻠﹶﻓ<br />

ُﻪَﻧْﺮَﺒﹾﻛﹶﺃ ُﻪَﻨْﻳﹶﺃَﺭ ﺎﱠﻤﹶﻠﹶﻓ ﱠﻦﹺﻬْﻴﹶﻠَﻋ ْﺝُﺮْﺧﺍ ِﺖﹶﻟﺎﹶﻗَﻭ ﺎًﻨﻴﱢﻜِﺳ ﱠﻦُﻬْﻨِﻣ ٍﺓَﺪِﺣﺍَﻭ ﱠﻞﹸﻛ<br />

ٌﻚﹶﻠَﻣ ﺎﱠﻟﹺﺇ ﺍﹶﺬَﻫ ﹾﻥﹺﺇ ﺍًﺮَﺸَﺑ ﺍﹶﺬَﻫ ﺎَﻣ ِﻪﱠﻠِﻟ َﺵﺎَﺣ َﻦﹾﻠﹸﻗَﻭ ﱠﻦُﻬَﻳِﺪْﻳﹶﺃ َﻦْﻌﱠﻄﹶﻗَﻭ<br />

. ٌﱘﹺﺮﹶﻛ<br />

Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka,<br />

diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka<br />

tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka<br />

sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata<br />

(kepada Yusuf): "Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada<br />

mereka." Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum<br />

kepada (keelokan rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya<br />

dan berkata: "Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia.<br />

Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.<br />

(Yusuf/12: 31).<br />

Dalam mengomentari ayat di atas Imam al-Qusyairi berkata: Ini<br />

baru ketuhanan seorang makhluk tatkala menyaksikan keindahan makhluk<br />

lain.sudah fana’. Bayangkan bagaimana seorang sufi yang menghayati<br />

terbukanya tabir lalu menyaksikan keindahan wajah Ilahi. Jadi tidak<br />

mengherankan bila dia fana’, tidak sadar akan dirinya dan akan makhlik<br />

sejenisnya (Al-Qusyairi, t.th.: 68). Hanya dengan melihat wajah Nabi Yusuf<br />

yang ganteng mereka telah terpesona hingga tak sadar, memotong jari<br />

mereka dan tidak merasa sakitnya. Apalagi bagi sang sufi yang terpesona<br />

melihat keelokan wajah Tuhannya yang tidak bisa dilukiskan dengan katakata.<br />

Untuk memahami pengalaman mistis seperti yang diuraikan di atas<br />

patut diperhatikan pernyatakan William James dalam bukunya The Varieties<br />

of Religion Experience. Menurutnya ada empat karakter khas pengalaman<br />

mistis; dan dengan cara menjelaskan keempat karakter tersebut diharapkan<br />

mampu menghindari dari perselisihan verbal dan sikap saling menyalahkan.


1. Tidak bisa diungkapkan. Orang yang mengalaminya mengatakan<br />

bahwa pengalaman itu tidak bisa diungkapkan; tidak ada uraian<br />

manapun yang memadai untuk bisa mengisahkannya dalam katakata.<br />

Ini berarti bahwa kualitas semacam ini harus dialami secara<br />

langsung dan tidak bisa diberikan atau dipindahkan kepada orang<br />

lain.<br />

2. Kualitas neotik. Meskipun sangat mirip dengan situasi perasaan,<br />

bagi orang yang mengalami situasi mistis ini juga adalah situasi<br />

berpengetahuan. Dalam situasi ini, orang mendapatkan wawasan<br />

tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali melalui intelek<br />

yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan<br />

dab pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti yang hanya bisa<br />

dirasakan.<br />

3. Situasi transien. Keadaan mistik tidak bisa dipertahankan dalam<br />

waktu yang cukup lama. Kecuali pada kesempatan-kesempatan yang<br />

jarang terjadi; batas-batas yang bisa dialami seseorang sebelum<br />

kemudian pulih kekeadaan biasa adalah sekitar setengah jam, atau<br />

paling lama satu atau dua jam.<br />

4. Kefasifan. Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa<br />

tindakan pendahuluan yang dilakukan secara sengaja, seperti<br />

melakukan pemusatan pikiran, gerakan tubuh tertentu, atau<br />

menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam pelbagai buku<br />

panduan mistisime. Meskipun demikian, saat kesadaran khas yang<br />

ada pada situasi ini muncul, sang mistikus merasa bahwa untuk<br />

sementara hasratnya menghilang dan ia merasa direngkuh dan<br />

dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi (William James,<br />

2004: 506-508).<br />

Dengan mengikuti keterangan jaman diatas , maka situasi ittikad<br />

Abu Yazid harus dipahami dalam konteks pengalaman kejiwaan seorang<br />

sufi. Sebagai pengalaman kejiwaan yang berdeminsi spiritual tentu sangat<br />

bersifat personal dan unik. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri: Sangat sulit,<br />

bahkan mustahil di ungkapkan dengan kata-kata; menimbulkan pencerahan<br />

dan kesadaran adanya Yang Mahakuasa yang menguasai ruang dan waktu,<br />

hanya terjadi dalam waktu singkat, dan berlakunya kepasifan total yang di


awali dengan perasaan tertentu yang meredakan segala hasrat dan diakhiri<br />

dengan perasaan dikuasai oleh suatu daya yang luar bias.<br />

KESIMPULAN<br />

Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al- Bustani<br />

dipandang sebagai pencetus tahun fana’, baqa’ dan ittihad, fana ‘ dan baqa’<br />

merupakan kembar dua dalam pencapaian ittihad. Dengan katalain, ittihad<br />

itu barutercapai setelah melewati fana dan baqa.<br />

Fana’ yang dimaksudkan disini ialah hilangnya kesadaran akan<br />

ujud dirinya (al-fana ‘an nafs ) dan ujud alam sekelilingnya (al-fana ‘an al-<br />

Khaluq) hingga ia (sufi) tidak tahu bahwa dirinya dalam keadan fana’<br />

(al-fana ‘an Allah). Kerena seluruh aktivitas dan kesadarannay<br />

terkonsentrasi pada Allah, maka ia larut dalam kesadaran Allah (al-fana fi<br />

Allah) dan akhirnya pada saat itu yang ada dalam perasaannya hanyalah<br />

Allah (al-baqa bi Allah). Dalam keadaan demikian ia merasa dirinya telah<br />

bersatu dengan Allah (ittihad)<br />

Ittihad sebagai pengalaman sufistik haruslah dikaji dalam konteks<br />

kejiwaan, ia memiliki beberapa cirri yang harus diperhatikan oleh<br />

pengkajian tasawuf. Pro kontra faham ittihad harus dilihat dari sudut ini.<br />

Beberapa ciri pengalaman sufistik itu adalah:<br />

1. tidak bisa diungkap kepada orang yang belum mampu atau belum siap<br />

menerimanya.<br />

2. memberikan pencerahan dan kesadaran baru yang tidak bisa dijelaskan<br />

hanya dengan nalar intelik.<br />

3. pengalaman seperti itu hanya terjadi sebentar, paling lama hanya<br />

berlangsung dua jam.<br />

4. terjadi kepasifan total dimana perasaannya butuh kedalam kesadaran<br />

terhadap sesuatu yang menguasai dirinya.<br />

Pengalaman misik tertinggi memeng mengahasilkan situasi<br />

kejiwaan yang disebut ekstase. Dalam khazanah kaum sufi’, ekstase itu<br />

sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman<br />

kebenaran (al-Haqq) yang memabukkan. Bahkan untuk mereka minuman<br />

yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang mereka namakan dlamir<br />

al-sya’n, yaitu kata “an” yang berarti “bahwa” dalam kalimat syahadath<br />

pertama asyhadu al lailaha illa Allah (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan


selain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensenya mereka<br />

menghayati tauhid, sehingga mereka menyadari apapun yang lain selain Dia<br />

yang Maha Ada.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Arberry, A. J., Sufism An Account of the Mystics of Islam, Unwin<br />

Paperbacks, London, 1979.<br />

Arjun, Muhammad al-Sadiq, Al-Tasawwuf fi al-Islam Manabi’uhu wa<br />

Atwaruhu, Maktabah al-Kulliyah al-Athariyah, Cairo, 1967.<br />

Atjeh, Aboebakar, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf, Ramadhani, Solo,<br />

1984.<br />

Al-Attar, Fariduddin, Muslim Saints and Mystics, terjemahan A. J. Arberry,<br />

Reutledge & Regan Paul, London, 1979.<br />

Basyuni, Ibrahim, Nasy’atu al-Tasawwuf al-Islamy,Dar al-Ma’arif, Cairo,<br />

t.t.<br />

Fattah, Irfan Abdul Hamid, Nasy’atu al-Falsafah al-Sufiyah wa<br />

Tatawwuruhu, al-Maktab al-Islamy, Bairut, 1973.<br />

Hassan, Abd al-Hakim, Al-Tasawwuf fi al-Syi’ri al-‘Arabi, Maktabah<br />

al-Anjalu al-Misriyah, Mesir, 1954.<br />

James, William, The Varietiės of Religion Experience, diterjemahkan oleh,<br />

Gunawan Admiranto, Perjumpaan dengan Tuhan, Mizan,<br />

Bandung, 2004.<br />

Madkur, Ibrahim, Fi al-Falsafah al-Islamiyah Manhaj wa Tatbiquhu, I,<br />

Dar al-Ma’arif, Cairo, 1976.<br />

-------------, al-Mu’jam al-Falsafy, al-Hai’ah al-‘Ammah li Syu’ub<br />

al-Matabi’ al-Amiriyah, Cairo, 1979.


Mahmud, Abdul Qadir, Al-Falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, Dar al-Fikri al-<br />

Araby, Cairo, t.t.<br />

Nasution, Harun, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang,<br />

Jakarta, 1973.<br />

Nicholson, R. A., Studies in Islamic Mysticism, Cambridge University Press,<br />

London, 1973.<br />

-------------, The Mystics of Islam, Routledge and Kegan Paul, London,<br />

1975.<br />

Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Kutub al-‘Arabiyah<br />

al-Kubra, Cairo, t.t.<br />

Rizvi, Saiyid Athar Abbas, A History of Sufisme in India, Munashiram<br />

Manoharlal, New Delhi, 1978.<br />

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, PT. RajaGrafindo<br />

Persada, Jakarta, 1997.<br />

Team Penyusun Naskah, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Binperta IAIN<br />

Sumatera Utara, Medan, 1981/1982.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!