12.07.2015 Views

D:\Data Penting\Fenomena Vol 2 - DPPM UII - Universitas Islam ...

D:\Data Penting\Fenomena Vol 2 - DPPM UII - Universitas Islam ...

D:\Data Penting\Fenomena Vol 2 - DPPM UII - Universitas Islam ...

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

54Penegakan Supremasi Hukum di Era Reformasi ... oleh: Jawahir ThontowPenegakan Supremasi Hukum di Era ReformasiPemerintahan BJ. Habibie danAbdurrahman WahidJawahir ThontowiFakultas Hukum<strong>Universitas</strong> <strong>Islam</strong> Indonesia YogyakartaAbstractThis research represent research punish normatif through approach of juridis-empiris, thatis with studying regulation of yielded by law is governance of BJ. Habibie And AbdurrahmanWahid, and also efforts performed within realizing rule of law at this reform era Result ofresearch indicate that big change in its bearing with straightening of law have been conductedby BJ. Habibie. That thing is in marking for example with giving of liberty of thepress guarantee, komitmen at clean governance creation (government clean and governancegood), military jurisdiction execution for the man who impinge HAM Trisakti and KKNpemeberantasan though that thing not yet succeeded. And also also yielding of some lawand regulation product which is reformatif. In its bearing with effort uphold system of judicatureand law, seen that governance of Abdurrahman enough have strong komitmen. Thatthing is for example expressly place to domicile Police as enforcer punish and societypengayom. But that way, image of[is straightening of previous law in the early reform haveshown positive symptom, is again smeared by law scandal befalling Abdurrahman One asPresident at the time, in the form of releasing of Memorandum I, II And III by DPR which tipof who is from Presidency chairKeywords: Rule of law, reform era, Habibie, Abdul Rahman Wahid (Gus Dur)Usaha untuk menegakkan supremasi hukum harus selalu terkait dengan dua elemen dasaryang meliputi: Pertama, hukum sebagai kumpulan peraturan-peraturan yang mengandung nilaimoral dan sumber yang berfungsi sebagai dasar pijakan prilaku individu dan kelompok masyarakat.Kedua, hukum dalam arti prosedur atau formal berarti sebagai ketentuan atau tata cara mengenaibagaimana seseorang dalam kehidupan bermasyarakat dapat memilih lembaga-lembaga hukum,dimana mereka dapat menyelesaikan pertikaian secara damai dan adil.Tegaknya supremasi hukum dalam suatu masyarakat umumnya ditentukan oleh adanyakeserasian antara substansi hukum material dengan peranan institusi hukum dalam dataranrealitas sosial. Dalam praktek, jurang pemisah antara hukum dengan material hukum formalacapkali tidak mudah dipertemukan. Ketidaksesuaian tersebut timbul disebabkan beberapafaktor: 1), substansi hukum tidak selalu didukung oleh aparat penegak hukum yang cukup memilikiintegritas dan komitmen yang tinggi, sehingga sekumpulan peraturan hukum yang baik akantetap gagal memainkan fungsi secara efektif bilamana tidak dijalankan oleh aparat penegakhukum yang baik pula. 2) ketidaksesuaian terjadi disebabkan karena penegak hukum dalammasyarakat tidak dibimbing atau diarahkan oleh peraturan hukum yang mengandung kepastian.Mereka bukan saja tidak mudah merumuskan fakta-fakta hukum yang konkrit,Fenomena: <strong>Vol</strong>. 2 No. 1 Maret 2004 ISSN : 1693-4296


Penegakan Supremasi Hukum di Era Reformasi ... oleh: Jawahir Thontow55melainkan juga penegak hukum seringkali kehilangan acuan mengenai kepastian hukum.Akibatnya proses penerapan hukum dapat berlangsung tetapi masyarakat tidak akan memperolehhasil optimal. 3) tidak ada supremasi hukum dalam suatu negara sebagai pemegang kedaulatanhukum. Hal ini disebabkan baik peraturan hukum substantif maupun sistem penegak hukumsama-sama tidak bisa dipergunakan. Akibatnya, tirani individu dan kolektif yang berwujud dalamtindakan main hakim sendiri semakin subur dan berkembang dalam masyarakat. Ketiga faktordi atas, menjadi menarik bilamana dikaitkan dengan problematika penegak hukum di Indonesia.Usaha untuk menegakkan supremasi hukum perlu ditinjau kembali mulai dari produk hukumPemerintah Orde Baru hingga Era Reformasi. Secara lebih khusus, identifikasi problempenegakan hukum tersebut mencakup beberapa aspek, baik di dalam maupun di luar peraturanperundang-undangan yang berpengaruh secara langsung terhadap ketidakberdayaan penegakanhukum dalam masyarakat.Usaha untuk menjelaskan ada atau tidaknya kaitan antara peraturan-peraturan hukumdengan peranan penegak hukum dalam masyarakat akan menjadi prioritas utama dalampenelitian ini.Rumusan Masalah dan Tujuan PenelitianDari deskripsi latar belakang masalah di atas, maka ada beberapa permasalahan yangpenting untuk diteliti, yaitu: (1) Apakah supremasi hukum dapat direalisasikan tanpa adanyapembaharuan-pembaharuan atas konstruksi juridis terhadap berbagai peraturan hukum?; (2)Bagaimana hubungan antara aspek-aspek juridis-nonjuridis di dalam dan di luar hukum terhadapketidakberdayaan penegak hukum dalam menjalankan tugas yang mandiri?; dan (3) Usahausahakonkrit apakah yang telah dilakukan Pemerintahan Gus Dur baik secara juridis maupunpolitis yang dapat mengarah pada terciptanya supremasi hukum di Indonesia?Dari permaslahan penelitian diatas, penelitian ini mempunyai tujuan, yaitu: (1)mengidentifikasi berbagai peraturan hukum: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keppresyang terkait dengan tugas dan wewenang penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan Pengacara);(2) mengklasifikasi ketentuan-ketentuan hukum, baik yang relevan maupun yang tidak, terhadapsupremasi hukum dalam era Indonesia Baru; (3) mengklasifikasi peraturan hukum dan kebijakanpemerintah yang kotradiktif antara peranan penegak hukum yang satu dengan penegak hukumyang lainnya; dan (4) mengidentifikasi peraturan-peraturan hukum yang memberikan peluangadanya penyimpangan dan penumpukan peranan pada satu institusi tertentu.Kerangka Teoritis dan JuridisApa yang didefinisikan oleh L.A. Harts (1989) kaitan antara hukum, moral dan keadilan,begitu jelas dalam hubungannya dengan supremasi hukum. Hukum, selain berarti peraturanyang terdiri dari peraturan-peraturan (law of rulers), juga mengandung moralitas sehinggabilamana hukum tidak mengartikulasikan keadilan, peraturan itu bukanlah hukum. Bagi Hartskeadilan mutlak harus menjadi bagian terpenting dari hukum unjust law is not law. Senadadengan itu, Scholten (1999) juga menegaskan bahwa suatu peraturan hukum selain ditentukanoleh logika alamiah, juga ketentuan hukum itu harus benar-benar mempertimbangkan keyakinanruhaniah masyarakat. Karena itu, kewibawaan hukum harus diartikan selain sebagai pembatasankekuasaan atas tindakan negara oleh hukum, juga unsur keadilan dan aspirasi ruhaniahmasyarakat mutlak perlu dalam membangun supremasi hukum.Supremasi hukum bisa diartikan sebagai usaha mengutamakan, atau menempatkan prioritashukum lebih utama dari kekuasaan. Perubahan proses sosial yang mendasar ditandai olehadanya kewibawaan hukum menjadi syarat perubahan optimal. Revolusi material hukum,Fenomena: <strong>Vol</strong>. 2 No. 1 Maret 2004 ISSN : 1693-4296


56Penegakan Supremasi Hukum di Era Reformasi ... oleh: Jawahir Thontowterutama yang menyangkut konstitusi tampaknya menjadi ide yang tidak bisadikesampingkan (Miranda Risang Ayu, Kompas, 23-9-1999).Kehendak pemerintah untuk mengangkat supremasi hukum melalui usaha memperbanyakUndang-Undang tidak terlalu tepat, Sebuah negara yang menyediakan banyak perundangundangantidak ada jaminan UU itu mengartikulasikan keadilan masyarakat. Oleh karena itupenegakan supremasi hukum tidak identik dengan banyaknya undang-undang, melainkanseberapa jauh undang-undang tersebut memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Supremasihukum dapat terwujud bilamana keadilan diperjuangkan melalui proses hukum yang semestinya(due process) (Kompas, 23-9-1999).Pada prinsipnya penegakan supremasi hukum merupakan misi the rule of law (LoebyLoqman. Kompas, 23-9-1999).The rule of law (Inggris) atau Rechtstaats (Jerman) suatu konsepyang dipergunakan supaya negara dan pemerintahnya, termasuk warga negara tidak melakukantindakan kecuali berdasarkan peraturan hukum.Timothy O’Hogan di dalam The End of Law dan A.V. Docey dalam Law and The Constitutionmenyebutkan prinsip-prinsip utama negara hukum dalam kaitannya dengan tegaknyasupremasi hukum. Pertama, the rule of law harus diselenggarakan dalam suatu pemerintahanyang mengutamakan hukum dan menghindarkan kekuasaan yang sewenang-wenang. Kedua,the rule of law harus menempatkan kesederajatan untuk menaati peraturan hukum (equalitybefore the law). Ketiga, kekuasaan negara harus menerapkan cara-cara yang adil danterselenggaranya pembagian hak-hak dasar manusia. Keempat, penyelenggaraan peradilanyang baik harus dilengkapi dengan alat paksa yang dapat menekan tumbuhnya absolutisme.Kelima, adanya pembagian kekuasaan yang mengisyaratkan tidak adanya kekuasaan negarapada suatu tangan (J. Thontowi, Jurnal Hukum No. 12 IV, 1999; 92).Dalam realitas sosial, sebagaimana diklaim di atas terbukti bahwa supremasi hukum tidakidentik dengan banyaknya produk hukum. Kabinet Habibie mencoba melakukan reformasi dalambidang hukum, tidak kurang dari 69 produk undang-undang telah disahkan oleh Dewan PerwakilanRakyat bersama Pemerintah. Namun, hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh IMPAK (InisiatifMasyarakat untuk Menegakkan Hukum) membuktikan penolakannya.Dari 18 responden (sementara) kalangan penegak hukum formal, (Pengacara, Polisi, Jaksadan Hakim) menyebutkan bahwa pelaksanaan penegakan hukum oleh aparat penegak hukumdan polisi amat bervariasi. Ada yang menyatakan bahwa penegak hukum telah berjalan denganbaik, dan sebagian ada yang menyatakan kurang baik dan sangat tidak memenuhi tuntutan(Media Indonesia, 16-9-1999).Untuk menjelaskan adanya penyimpangan di kalangan penegak hukum dan alasan-alasanmengapa supremasi hukum tidak bisa ditegakkan di Indonesia, perlu dipertimbangkan pemikiranSatjipto Raharjo. Penegak hukum dan pengguna hukum adalah dua hal yang berbeda. Orangdapat menegakkan hukum untuk keadilan, tapi juga orang dapat menegakkan hukum untukdigunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan lain. Maka menegakkan hukum tidak samapersis dengan menggunakan hukum (Satjipto Raharjo, Kompas 19-7,1999).Kerangka pemikiran Satjipto tersebut menjadi sangat relevan terutama ketika dipergunakanuntuk melihat bagaimana pemerintah Orde Baru menggunakan hukum bagi pencapaiankepentingan ketimbang fungsi penegak hukum untuk keadilan masyarakat. Itulah sebabnyapakar-pakar hukum, seperti Loebby Loqman, Maria Sriwulani Sumarjono dan Sri Redjekimenegaskan perlunya peninjauan atas seluruh UU Produk Orde Baru. Mengkaji ulang produklegislatif Orde Baru bukanlah merupakan tugas sederhana, tetapi ini menjadi penting untukmengetahui mana yang bisa dan tidak bisa dipergunakan lagi.Alasan-alasan perlunya pemajuan kembali produk-produk legislatif antara lain, LoebbyLuqman mengakui bahwa kondisi Indonesia (era reformasi) mirip saat memasuki kemerdekaantahun 1945. Masyarakat menilai bahwa semua yang berbau Belanda adalah “jelek”. Pada eraFenomena: <strong>Vol</strong>. 2 No. 1 Maret 2004 ISSN : 1693-4296


Penegakan Supremasi Hukum di Era Reformasi ... oleh: Jawahir Thontow57reformasi, masyarakat juga menganggap bahwa segala sesuatu yang berbau Orde Lamaatau Orde Baru, termasuk perundang-undangannya adalah buruk dan harus diganti. Hal initentu tidak seluruhnya benar. Untuk sampai pada kesimpulan bahwa produk Undang-UndangOrde Lama atau Orde Baru tidak berguna lagi, diperlukan sebuah kajian (legislative Reviwe).Pertimbangan kedua, peninjauan atas produk legislatif Orde Lama atau Orde Barusebenarnya terkait dengan banyaknya penyimpangan yang asasi, Sri Redjeki dengan Mariasepakat bawha, saat ini (Orla-Orba), produk Undang-Undang cenderung tidak taat asas. Produkundang-undang tersebut tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi (tidak mengindahkanbasic ideal Hukum). Bahkan tidak jarang ditemuai perundang-undangan yang tumpang tindihdengan peraturan lainnya, (Kompas, 11-8-1999).Dengan demikian, untuk meninjau ada atau tidaknya peraturan hukum yang relevan denganpenegakkan supremasi hukum di era reformasi, peninjauan terhadap produk legislatif Orba mutlakdiperlukan. Usaha tersebut secara khusus mencakup produk-produk hukum yang bertaliandengan peran penegak hukum dalam mencapai tegaknya fungsi hukum serta terselenggaranyakeadilan masyarakat.Metode PenelitianJenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Data penelitian ini mencakup duasumber, yaitu bahan hukum primer dan sekunder. Pengambilan bahan hukum primer akandikaji melalui peraturan hukum, UU, perpu, dan Keppres. Sementara itu, bahan-bahan sekunderdiambil melalui telaah-telaah ahli di berbagai jurnal hokum, kemudian fakta-fakta hukum diambilmelalui beberapa media massa tertentu diantaranya Republika, Kompas, Kedaulatan Rakyatdan Tempo.Untuk pengolahan dan analisis data digunakan teknik analisis data secara diskriptif denganmenggunakan teknik pengidentifikasian dan pengkategorian masalah sesuai dengan maksuddan tujuan dari penelitian ini.Hasil Penelitian dan PembahasanPenegakan Supremasi Hukum di Awal ReformasiPada bagian ini ada beberapa persoalan hukum yang diasumsikan sebagai kegagalanPemerintan transisi B.J. Habibie. Kegagalan pemerintah transisi B.J. Habibie tersebut terutamadalam merestrukturisasi hukum (reformasi hukum) dalam upaya penegakan supremasi hukum.Krisis ekonomi dan krisis kepercayaan yang berkepanjangan pada awal 1997 telahmendorong rakyat Indonesia untuk menuntut perubahan. Terpilihnya kembali H.M. Soehartosebagai presiden pada periode 1998-2003 dan pembentukan Kabinet Pembangunan VII yangpenuh dengan rekayasa politik dan kolusi membuat masyarakat semakin kehilangan kepercayaankeapda pemerintah. Selanjutnya rakyat menuntut reformasi, tidak hanya reformasi di bidangekonomi yang menyebabkan krisis namun juga reformasi total. Meliputi reformasi politik, reformasisosial dan reformasi hukum untuk menegakkan supremasi hukum.Untuk menguji sekaligus menjadi legitimasi bagi keinginan rakyat yang menghendakikepemimpinan nasional yang baru (dalam pengertian sempit kepemimpinan nasional yang “bersih”dari unsur Orde Baru). Seluruh komponen bangsa yang dipelopori oleh mahasiswa menetapkanagenda reformasi yang dalam waktu singkat harus dilaksanakan oleh pemerintah transisi, yaitu:1) Adili Soeharto; 2) Bersihkan pemerintahd ari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme; 3) Cabut dwifungsi ABRI; 4) Percepat Pemilu; 5) Cabut lima paket Undang-Undang Politik; 6)Amandemen Undnag-Undang Dasar 1945.Pemerintah B.J. Habibie dituntut untuk melaksanakan agenda tersebut dalam batas waktuyang sangat singkat. Kontroversialnya legitimasi kedudukan B.J. Habibie sebagai penggantiFenomena: <strong>Vol</strong>. 2 No. 1 Maret 2004 ISSN : 1693-4296


58Penegakan Supremasi Hukum di Era Reformasi ... oleh: Jawahir ThontowH.M. Soeharto telah menjadi faktor sukarnya. Presiden B.J. Habibie mempertahankanjabatannya (Pasal 8 UUD 1945). Keterkaitan B.J. Habibie dengan Orde Baru membuat B.J.Habibie dianggap “tidak memenuhi syarat” untuk menjadi bagiand ari sistem pemerintahanreformasi. Hal ini dapat terlihat dari penolakan Laporan Pertanggungjawaban B.J. Habibie padaSidang Umum MPR Oktober 1999. Penolakan ini tentu saja mengandung konsekuensi politisyaitu , B.J. Habibie tidak dapat mencalonkan diri sebagai calon Presiden untuk periode 1999-2004. Penolakan B.J. Habibie sekaligus membuktikan awal dari pengaruh Partai Golkar yangmulai menurun. Dengan demikian pencalonan B.J. Habibie oleh partai Golkar sebagai calonPresiden tidak cukup pantas diajukan dalam Sidang Umum MPR.Kedudukan B.J. Habibie dianggap bagian dari rezim Orde Baru dan orang dekat mantanPresiden H.M Soeharto jelas tidak bisa diterima oleh kalangan reformis. Khususnya dalamkaitannya dengan usaha memperbaiki sistem peradilan.Sistem Peradilan Era Pemerintahan Transisi B.J. HabibieUsaha melakukan peningkatan penegakan supremasi hukum tidak saja tergantung daripara penegak hukumnya, melainkan juga dari upaya kongkrit melalui perbaikan Undang-undang.Pertanyaannya adalah apakah usaha-usaha yang dilakukan pada masa pemerintahan transisiB.J. Habibie telah mengarah kepada perbaikan supremasi hukum.Dalam waktu singkat, pemerintahan transisi dituntut dapat menggelar pengadilan bagiSoeharto, karena dianggap pada saat berkuasa, Soeharto telah melakukan berbagaipenyelewengan. Diantaranya kolusi dan nepotisme (selanjutnya disebut KKN), pelanggaranHAM dan penyalahgunaan wewenang sebagai Presiden melalui berbagai produk perundangan(Undang-Undang, Perpu, PP, Kepres dan Inpres). Misalnya Keppres tentang Mobil Nasionalyang melanggengkan praktek monopoli dan perlakuan diskriminatif terhadap satu kelompoktertentu (dalam hal ini pemberian fasilitas khusus kepada keluarga Soeharto).Sebelum diuraikan secara lebih jauh, apakah pemerintahan transisi B.J. Habibie berhasilatau gagal melaksanakan agenda reformasi. Ada beberapa hal menarik yang merupakanperubahan besar dalam rangka kehidupan berpolitik pada era B.J. Habibie. Diakui yaknikebebasan pers yang mencerminkan kebebasan berpendapat menjadi lebih leluasa, desekralisasilembaga kepresidenan dengan sistem politik yang lebih terbuka dan lenturnya birokrasipemerintahan, merupakan terobosan yang tidak pernah dijamin bahkan tabu untuk dibicarakanpada masa Orde Baru (Kompas, 26/11/1999). Konsep B.J. Habibie tentang pemerintahan yanglebih terbuka merupakan bukti bahwa, pada dasarnya pemerintahan transisi telah “mencoba”proses demokrasi dan berupaya mendorong percepatan reformasi. Namun kehendak reformasitotal tersebut tidak didukung oleh instrumen hukum yang diperlukan. Memang benar bahwapada masa pemerintahan transisi B.J. Habibie, mampu menerbitkan sekitar 67 Undang-Undang.Namun banyaknya undang-undang tidak identik dengan jaminan terciptanya supremasi hukum.Abdul Hakim Garuda Nusantara (Forum Keadilan Edisi No. 20, 22/8/ 1999). mengemukakanbahwa pada dasarnya Pemerintahan transisi B.J. habibie “hanya” memperbanyak Undang-Undang. Memproduk undang-undang, tentu saja berkaitan dengan agenda reformasi yaitumelakukan reformasi hukum. Reformasi hukum pada dasarnya mengandung pengertian bahwahukum hendak diubah menjadi ideologi hukum yang berorientasi kepada keadilan dan kepastianhukum. Ideologi hukum yang sebelumnya adalah ideologi instrumentalis yang mementingkankekuasaan, diubah menjadi hukum yang mengedepankan supremasi hukum.Untuk terciptanya supremasi hukum, dimana peraturan hukum dapat menjadi instrumenpengatur dan juga kepastian bagi masyarakat menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara diperlukantiga aspek yang harus dilakukan yaitu, tahap pertama, adalah pada aspek substansi hukum,dengan perbaikan Undang-Undang. Tahap kedua adalah pada aspek struktur hukum,Fenomena: <strong>Vol</strong>. 2 No. 1 Maret 2004 ISSN : 1693-4296


Penegakan Supremasi Hukum di Era Reformasi ... oleh: Jawahir Thontow59yaitu dengan perbaikan pada struktur kekuasaan yang berpengaruh pada penegakan hukum.Yang dimaksud adalah reformasi pada sistem kekuasaan baik eksekutif, legislatif dan yudikatif.Tahap terakhir, adalah pada aspek budaya hukum, Artinya, reformasi dilakukan pada usahamenumbuhkan nilai-0nilaiu yang memihak pada supremasi hukum. Menyelesaikan segala urusanmenurut prosedur hukum yang benar dan pasti termasuk pada penerapan persamaan di depanhukum dan mengeliminir diskriminasi dalam bentuk apapun di hadapan hokum (Forum KeadilanEdisi No. 20, 22/8/ 1999).Pada dasarnya B.J. Habibie beserta Kabinet Reformasi telah memberikan reaksi yang positifpada desakan reformasi, khususnya reformasi hukum. Namun demikian, usaha-usaha yangdilakukan pemerintah transisi ini tidak cukup untuk memecahkan persoalan hukum yang mengakarselama 32 tahun. Terutama masalah supremasi hukum. Secara substantif Pemerintahan transisiB.J. Habibie telah mengundangkan beberapa produk perundang-undangan yang terkait denganrespon atas agenda reformasi. Khususnya reformasi pada bidang politik (SI MPR, Pemilu,Pencabutan 5 Paket Undang-Undang Politik dan pemberantasan KKN).Jika diperhatikan secara prosedural, pemerintahan transisi B.J. Habibie pada dasarnyatelah mengambil langkah yang cukup relevan dengan merumuskan perundang-undangan politik(sesuai pula dengan agenda reformasi). Namun, pemerintahan transisi B.J. Habibie gagal dalammelaksanakan misi itu oleh karena terjepit pada dua kelompok besar yaitu kelompok reformisdan kelompok Orde Baru (yang menciptakan status quo). Bahwa B.J. Habibie adalah bagianpenting dari Orde baru membuat pemerintahan transisi mandul dalam melaksanakan supremasihukum dan peradilan. Satu agenda penting reformasi adalah pengadilan Soeharto termasukyang tidak sama sekali tersentuh dalam pemerintahan transisi B.J. Habibie.Misalnya, Pengadilan Soeharto yang terkesan diulur-ulur, padahal untuk pengusutannyabahkan telah diamanatkan oleh Pasal 4 TAP MPR No. X/MPR/1998. Pasal ini menyebutkan bahwaupaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun, baik pejabat negara,mantan pejabat negara, keluarga dan kroni-kroninya, termasuk mantan Presiden Soeharto kePengadilan. Beberapa diantaranya ialah pertama, di tengah proses penyelidikan dan penyidikankasus ini, mantan Presiden Soeharto terkena stroke, serangan pertama tanggal 22 Juli 1999.Akibatnya, secara medis Soeharto dinyatakan tidak bisa secara kooperatif dalam proses penyidikandan penyelidikan. Apabila kemudian kondisi tersebut dijadikan alasan oleh tim penasihat hukummatan Presiden Soeharto (Jawa Pos, 11/1999). Kedua, batas waktu pemerintahan transisi untukmempertanggungjawabkan pelaksanaan TAP MPR No. X/1998 sangat pendek. Apalagi ditambahdengan berbagai tekanan politik dari Orde Baru.Meskipun Undang-Undang tentang Pemberantasan KKN telah diundangkan, intervensikekuasaan politik ke pengadilan tetap dominan. Sikap pengadilan yang ambivalen tersebut terlihatketika tersadapnya pembicaraan pertelepon antara Andi M. Ghalib dengan B.J. Habibie.Khususnya menyangkut tentang proses pengadilan Soeharto, kroni-kroni dan keluarganya.Contohnya, pada masa pemerintahan transisi B.J. Habibie, Tomy Soeharto sempat divonis bebasdalam kasus tukar guling Bulog dengan Goro. Kasus ini dapat dijadikan contoh, bahwakemandirian peradilan pada masa transisi belum terwujud. Adanya campur tangan kekuasaan,bahkan mantan penguasa pada pengadilan kasus Tommy sekaligus menandakan bahwasupremasi hukum belum bisa ditegakkan karena masih sangat diskriminatif. Sehingga mustahilapabila kemudian banyak pihak berharap banyak pada pemerintahan transisi untuk mengadiliSoeharto.Hal ini disebabkan oleh, pertama, masih kuatnya pengaruh kekuasaan Orde Baru. Kedua,hal ini sekaligus menjadi indikasi tentang ketakutan pemerintahan transisi. Bahwa terungkapnyakasus KKN pada masa Orde Baru juga sekaligus akan melibatkan pemerintahan transisi. Ketiga,adanya tawar menawar politik yang memberi jaminan bahwa dengan tidak mengungkapFenomena: <strong>Vol</strong>. 2 No. 1 Maret 2004 ISSN : 1693-4296


60Penegakan Supremasi Hukum di Era Reformasi ... oleh: Jawahir Thontowkasus-kasus tersebut secara tuntas maka ada pihak dari parpol besar mempertahankanposisi B.J. Habibie, sebagai presiden sampai dengan 2004.Alasan lain mengapa Kabinet Reformasi telah gagal secara positif dalam merealisasikanagenda reformasi dalam aspek perundang0undangan tersebut. Lihat pada tabel produkperundang-undangan pemerintahan transisi B.J. Habibie dalam bidang hukum terlampir.Berdasarkan data di atas pemerintahan transisi B.J. habibie tidak sepenuhnya gagal dalammerealisasikan hukum secara substantif, khususnya merumuskan berbagai produk perundangundangan.Beberapa langkah perbaikan pada sistem peradilan sebenarnya telah dilakukan pemerintahantransisi B.J. Habibie (sekali lagi substantif), yaitu: 1) Menyatuatapkan kekuasaan kehakiman dibawah MA (Undang-Undang No. 35/199 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaankehakiman); 2) Pembuktian intervensi terbalik pada kasus pemberantasan KKN (Undang-UndangNo. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN); 3) Mengurangiintervensi politik pada sistem peradilan (Undang-Undang No. 27/1999 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 11/PN 85/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi); 4) Mengeliminirdiskriminasi di hadapan hukum (Undang-Undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia danPerpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan hak Asasi Manusia).Meskipun belum ada bukti mengenai dampak positif keempat Undang-Undang terkaitperadilan upaya tersebut tetap berarti. Akan tetapi benarkah keempat Undang-Undang tersebutsesuai dengan kehendak reformasi, ada beberapa faktor yang dapat digunakan sebagai indikasi.Dari keempat produk perundang-undangan pemerintahan transisi B.J. Habibie ini. Makakeempat-empatnya mengandung kontroversi. hal ini disebabkan oleh masih kuatnya unsur politispada setiap pembentukan dan realisasi Undang-Undang tersebut di lapangan. Masihdiskriminatifnya pemberlakuan Undang-Undang tersebut pada berbagi kasus dan belum efektifnyaproduk perundang-undangan tersebut di pengadilan, dengan indikator bahwa masih kuatnyakekuasaan di luar kekuasaan yudikatif, pada proses pengadilan.Kegagalan Pemerintahan Transisi B.J Habibie Mengadili SoehartoPerspektif Hukum dan PolitikPada bagian ini akan diuraikan mengenai hubungan antara gagalnya B.J Habibie mengadiliSoeharto dengan skandal-skandal hukum lainnya. Ada beberapa pertanyaan mendasar yangperlu dikemukakan dalam kaitannya dengan hal tersebut, yaitu: (1) benarkah kegagalan ini adahubungannya dengan keinginan B.J Habibie untuk dicalonkan kembali sebagai presiden padaperiode 1999-2004, atau (2) apakah kegagalan ini hanya merupakan cermin ketidakberesankinerja kabinet reformasi, khususnya dalam penegakan supremasu hukum?Uraian mengenai hal tersebut akan dimulai dari konstruksi hukum pidana khusus dalam halini korupsi. Pada dasarnya Kabinet Reformasi telah memberikan respon positif pada tuntutanuntuk mengadili Soeharto. Hal itu dibuktikan dengan upaya merumuskan pembentukan KomisiPemberantasan Korupsi (KPK). Misalnya, dengan menyiapkan perangkat perundang-undanganuntuk pemberantasa KKN, UU No.28 tahun 1999. Namun demikian dalam realisasinyapemerintahan BJ Habibie terkesan lamban, mengapa demikian?Adanya kesalahan konstruksi hukum.Sejak awal lahirnya reformasi terdapat kesalahan konstruksi hukum terutama dalamkaitannya dengan wewenang untuk melakukan penyidikan, seperti pada kasus tindak pidanakorupsi atau penyalahgunaan wewenang/jabatan. Hal itu ditandai dengan timbulnya konflikkewenangan antara Kepolisian dan kejaksaan. Konflik tersebut bermula dari ketentuan KUHAPyang menyatakan, pertama, Jaksalah yang mempunyai wewenang menjadi koordinator penyidik.Fenomena: <strong>Vol</strong>. 2 No. 1 Maret 2004 ISSN : 1693-4296


Penegakan Supremasi Hukum di Era Reformasi ... oleh: Jawahir Thontow61Kedua, Tim penyelidikan korupsi dipimpin oleh Jaksa Agung. Ketiga, penyidikan menjadiwewenang Polri, namun karena keterbatasannya Polri untuk menangani kasus korupsi diserahkankepada Kejaksaan. Payung hukum dari ketentuan tersebut adalah Inpres No.15 tahun 1983,UU No.5 tahun 1991 tentang Kejaksaan, dan Keppres No.55 tahun 1991.Dengan demikian, jelaslah bahwa penanganan kasus korupsi mengalami perubahan darizaman ke zaman. Namun yang jelas wewenang korupsi lebih banyak ada pada ke Jaksaanketimbang Kepolisian. Akibatnya intervensi kekeuasaan eksekutif dalam proses peradilan begitumudah. Sebab, posisi Jaksa Agung merupakan kepanjangan tangan kekuasaan eksekutif diperadilan. Sehingga sejalan dengan itu “posisi basah” sebagai Jaksa Agung ini dapay disinyalirlebih mengutamakan kepentingan kekuasaan ketimbang kepentingan umum.Peran dan wewenang Jaksa Agung terbukti berkaitan dengan kenyataan kepemimpinanyang kurang profesional dalam sejarah. Pada sekitar tahun 1955 Jaksa Agung di jabat oleh R.Soeprapto yang secara sistematis telah berupaya menegakkan kewibawaan kejaksaan, hal itudilakuakn dengan upaya mengedepankan wibawa hukum. Namun sikap ini dinilai penguasawaktu itu sebagai sikap yang tidak sejalan dengan semangat revolusi. Demikian jua ketika jabatanJaksa Agung di ganti oleh Gatot Tanumihadjo dari MURBA sangat mendukun konsep revolusiBung Karno. Namun Gatot pun mengakhiri jabatannya dengan sejarah yang sama seperti ketikaR. Soeprapto diberhentikan dari jabatannya, karena membongkar kasus penyelundupan diTanjung Priok yang melibatkan Brigjend Ibnu Sutowo yang sangat dilindungi oleh Letjen A.HNasution, KSAD TNI waktu itu.Rentetan kejadian tersebut kemudian menggugah kesadaran militer betapa strategisnyajabatan Jaksa Agung tersebut, dan begitu berbahayanya jika dipegang oleh ahli hukum yangidealis yang amenjadi hukum sebagai panglima. Oleh karenanya, cukup beralasan kalau pejabatJaksa Agung selalu berasal dari militer. Militeristik dikalangan kejaksaan tampak jelas sebagaipeluang baik untuk terciptanya penegakan hukum yang inkonsisten maupun peluang bagiterjadinya intervensi pihak eksekutif. Perubahan mulai tampak ketika pada masa Orde baruketika jabatan Jaksa Agung ini dikembalikan kepada Jaksa karir, Singgih, SH. Namun hal itu,tidak seluruhnya dilakukan, sebab umumnya Jaksa Agung Muda dibidang intelejen tetap darikalangan militer. Tidak lama kemudian ketika di era transisi pemerintahan BJ. Habibie jabatanJaksa Agung kembali dipegang oleh militer, yaitu HM. Andi Ghalib. Sehingga jabatan ini dapatdigunakan sebagai alat untuk merekayasa pengusutan dan penyidikan terhadap berbagai kasusbesar. Kasus dugaan korupsi Soeharto beserta kroni-kroninya dan berbagai skandal hukum,seperti skandal Bank Bali tidak dapat dituntaskan.Adanya Tekanan dari berbagai pihakKuatnya pengaruh mantan Presiden Soeharto kepada pemerintahan BJ. Habibie berimplikasibesar terhadap proses penegakan supremasi hukum yang telah dirumuskan. Hal itu ditandaidengan sulitnya membawa mantan presiden Soeharti ke Pengadilan. Realita tersebut disebabkanoleh beberapa faktor, yaitu: pertama, adanya tekanan dari Panglima Tinggi ABRI Wiranto terhadapBJ. Habibie. Pengakuan ini cukup beralasan, mengingat hanya dua hari setelah PresidenSoeharto mengundurkan diri Panglima ABRI Wiranto waktu itu dalam siaran persnya berjanjiakan melindungi Presiden Soeharto dan keluarganya. Kedua, tekanan tidak langsung datingdari mantan penguasa Orde Baru itu sendiri. Keterikatan yang erat antara BJ Habibie denganOrde Baru justru membuat pemerintahan transisi menjadi gamang. Bukan saja karena Soehartodengan BJ Habibie mempunyai hubungan khusus melainkan mereka sama-sama terikat denganprinsip hutang budi. Oleh karena logikanya jika kasus korupsi yang disangkakan kepada Soehartodibawa ke pengadilan, maka hampir bias dipastikan separuh pejabat pemerintahan transisi akanikut terseret ke pengadilan, minimal sebagaiFenomena: <strong>Vol</strong>. 2 No. 1 Maret 2004 ISSN : 1693-4296


62Penegakan Supremasi Hukum di Era Reformasi ... oleh: Jawahir Thontowsaksi. Demikian pula halnya penegakan hokum dibidang HAM, sama-sama tumpul, meskipunlegitimasi hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM di amasa lalu melalui UU No.39 Tahun1999 tentang Hak Asasi Manusia. Karena hal itu tidak didukung oleh kemauan politik daripemerintah.Jika demikian halnya, kegagalan supremasi hukum dalam pemerintahan BJ. Habibiememang sangat komplek, selain aspek politik juga budaya untuk menjunjung tinggi kekuasaanSoeharto sebagai mantan penguasa Orde Baru sangat mengakar, baik dalam sipil maupunmiliter. Peribahasa Jawa menyebutkan “Mikul duwur mendhem jero” tampaknya berlaku padasetiap usaha untuk mengungkap kasus Soeharto.Supremasi Hukum Dalam Kabinet GusDurAda beberapa parameter utama dalam pembahsan mengenai penegakan supremasi hukumpada era pemerintahan Abdurrahman Wahid (GusDur). Beberapa parameter yang dimaksudadalah (1) sejauhmana reposisi polisi sebagai penegak hukum di masyarakat telah dilakukan;(2) bagaimana pembaharuan peradilan; (3) dan terobosan-teroban yang dilakukan olehMahkamah Agung. Dengan membahas sekitar masalah-maslah tersebut, akan terlihat sejauhmana reformasi menuju supremasi hukum pada pemerintahan Abdurrahman Wahid telahdilakukan.Reposisi Polisi sebagai penegak hukum masyarakatSalah agenda penegakan supremasi hukum sebagai bagian dari paket reformasi, adalahmembersihkan peradilan dari penyelewengan-penyelewengan termasuk unsur-unsur yang terkait,seperti aparat kepolisian, Jaksa, Hakim dan Pengacara. Melihat kepolisian berada dalam unsurperadilan, maka pelaksanaan tugas kepolisian yang bersih adalah juga termasuk usahapenegakan hukum yang sesungguhnya.Organisasi kepolisian secara umum mempunyai tujuan terciptanya kondisi tertib hukum(maintaining order) dan keadilan hukum (enforcing of law) dalam semua usahanya. Kondisi daritujuan-tujuan itu berarti terciptanya supremasi hukum dalam suatu masyarakat tersebut. Artinyabaik pemerintah maupun masyarakat harus memiliki kesetiaan dalam mematuhi peraturan hukumyang berlaku. Usaha-usaha kepolisian dalam menciptakan hal tersebut sangat beraneka tajam,sesuai dengan tuntutan keadaan dan sistem hukum disuatu negara tersebut, termasuk pulakepolisian di Indonesia.Tugas kepolisian Republik Indonesia menurut ketentuan Pasal 13 UU no. 28 Tahun 1997tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a) selaku alat negara penegak hukummemelihara serta meningkatkan tertib hukum; b) melaksanakan tugas kepolisian selakupengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknyaketentuan perundang-undangan; c) bersama-sama dengan segenap komponen kekuatanpertahanan keamanan negara lainnya membina ketentraman masyarakat dalam wilayah negaraguna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat; d) membimbing masyarakat bagiterciptanya kondisi yang menunjang usaha dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a,huruf b, dan huruf c; e) melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Dalam sistem peradilan, polisi adalah sebagai institusi yang bertugas mengadakanpenyidikan terhadap suatu kasus. Sebagaimana terdapat dalam Pasal 14 UU No.28 tahun 1997ayat (1) poin (a) yang menyatakan, bahwa diantara tugas kepolisian adalah melakukanpenyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan HukumAcara Pidanadan Peraturan perundang-undangan lainnya; poin (b) menyelenggrakan identifikasi kepolisian,kedokteran kepolisian, dan laboratorium forensik serta psikologi kepolisian untukFenomena: <strong>Vol</strong>. 2 No. 1 Maret 2004 ISSN : 1693-4296


Penegakan Supremasi Hukum di Era Reformasi ... oleh: Jawahir Thontow63kepentingan tugas kepolisian. Tugas tersebut adalah berkaitan dengan peradilan yangdisebut criminal justice system.Sebagai bagian dari criminal justice system, maka kemandirian polisi dari intervensi pihakpihaklain yang sering merusak citra kepolisian dan menghambat tugas pokok kepolisian, adalahhal sangat penting bagi lembaga kepolisian, dalam menentukan kebijakan sendiri sesuaikebutuhan dan tuntutan. Dalam mrangka menuju kemandirian dan profesionalisme kerjanya,maka polisi yang telah berpuluh tahun lamanya menjadi subordinasi TNI, maka sejak tanggal 1Juli 1999 telah diadakan pemisahan diantara keduanya, yang cukup membawa implikasi besarterhadap polisi dalam kelembagaannya. Mereka (Polisi) menganggap, sebagai Polisi tidak merasalagi adanya dualisme dengan tentara dalam menjalankan tugas, baik sebagai aparat penegakhukum (law enforcement), penjaga ketertiban (law order maintenance), maupun termasuk didalamnya melakukan fungsi pembasmi kejahatan (crime fighter).Pada era pemerintahan Gusdur telah dilakukan upaya-upaya konkrit untuk membenahikinerja kepolisian dengan cara melakukan reposisi dan pemecatan terhadap aparat yangmelakukan pelanggran secara serius. Serta juga upaya mempublikasikan report kinerja kepolisiansecara terbuka kepada masyarakat. Namun demikian masih terdapat sejumlah kendala dalamproses pembenahan tersebut, antara lain: 1), masih rendahnya kualitas SDM kepolisian yangberimplikasi pada buruknya kualitas pelayanan kepada masyarakat sehingga kondisi tersebutmasih belum menghilangkan stigma masyarakat terhadap kinerja kepolisian. Rendahnya SDMkepolisian itu tidak terlepas dari faktor-faktor seperti rekruitment, pendidikan dan penggajian. 2)Pendidikan yang militeristik dalam proses membangun profesionalisme kinerja kepolisian. Dalamketentuan pasal 20 UU No.28 tahun 1999 tentang kepolisian NKRI dijelaskan, bahwa pembinaankemampuan profesi kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan keputusan Panglima.Ini berarti pembinaan profesi tersebut tidak sepenuhnya oleh instansi Polri tapi oleh PanglimaABRI. 3) Sistem penggajian yang masih rendah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh LitbangKompas (30 Juni 2000) ditemukan fakta, maka seluruh Polisi yang diwawancarai tidak menutupmata atas kemungkinan penyalahgunaan profesi oleh sesama Polisi. Kebanyakan hal tersebutdilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 4) Sistem rekrutmen yang tidak menggunakanstandar yang jelas, dimana pengaruh suap dan nepostime menjadi tradisi yang menyeluruhdalam lembaga kepolisian. 5) Faktor politik yang banyak diintervensi oleh berbagai pihak terutamaeksekutif. Sehingga dalam pelaksanaan tugasnya polisi masih belum bisa bersikap profesional.6) Faktor citra masyarakat yang masih kuat menstigmatisasi polisi dengan label-label yang jelek,sehingga mereka sering merasa dilematis dalam menjalankan tugas dan perannya di masyarakat.Pembaharuan peradilan tanpa perubahan sistemUsaha menegakkan supremasi di Indonesia, adalah dimulai dengan mereformasi peradilansebagai ujung terakhir proses penegakan hukum. Pengertian pembaharuan sistem adalahpembaharuan kesatuan bagian-bagian yang ada di dalamnya. Misalnya, ada aturan tentangkepengacaraan yang selama ini masih dianggap sebagai bagian luar dari sistem peradilan, dankarena pengacara tidak termasuk bagian yang tidak dapat dipisahkan dari peradilan, maka iaharus dimasukkan sebagai salah satu dari komponen peradilan.Terdapat beberapa pendapat yang kontroversial mengenai perlunya perubahan sistemperadilan tersebut, yaitu: pertama, pendapat yang menyebutkan pembaharuan sistem peradilanharus dimulai dengan membubarkan atau menghentikan seluruh Hakim-hakim yang ada selamaini, pandangan ini dikemukankan oleh Daniel S. Lev. Kedua, pembaharuan perdailan perludilakukan namun terbatas pada segi-segi tertentu saja. Misalnya, mengupayakan sistem kontrolperadilan yang lebih terbuka, dan kemandirian Hakim lebih ditingkatkan. Ketiga,Fenomena: <strong>Vol</strong>. 2 No. 1 Maret 2004 ISSN : 1693-4296


64Penegakan Supremasi Hukum di Era Reformasi ... oleh: Jawahir Thontowpembahruan peradilan harus dilakukan secara simultan dari keseluruhan komponen sistemyang terkait di dalamnya.Mahkamah Agung: suatu terobosanMahkamah Agung adalah benteng terakhir suatu peradilan. Pada dirinya masyarakatmengharapkan suatu keadilan. Selama ini sistem peradilan termasuk MA telah terjangkiti olehberbagai stigmatisasi buruk dari masyarakat yang pada intinya berpusar pada terjadinya praktekKKN atau yang disebut mafia peradilan.Kemudian kondisi tersebut, kemudian sebuah terobosan pembaharuan disampaikan olehGusDur. Menurutnya, untuk membangun lembaga yudikatif yang bersih dan berwibawa agarperekrutan hakim agung dan penetapan ketua MA terbuka bagi orang-orang yang buka hakimkarir. Sebab, jika hal itu terbuka dilakukan terbuka untuk masyarakat luas, tapi denganpertimbangan integritas tinggi dan punya pengalaman penegakan hukum, maka diharapkanperubahan di MA akan terasa oleh masyarakat. Namun demikian, para penegak hukum darilingkungan masing-masing perlu juga diberi peluang untuk masuk kesana melalui pemikiranmasyarakat dan seleksi yang ketat dari DPR.Kontroversi Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid dalam kaitannya dengan supremasihukum Supremasi HukumSecara umum masyarakat memandang GusDur sebagai pendekar demokrasi yang humanis.Akan tetapi, seringkali kebijakan yang dikeluarkannya banyak keluar dari peraturan hukum.Kebebasan dalam berdemokrasi mulai tumbuh, tetapi kepastian hukum terabaikan. Beberapabukti yang dapat ditunjukkan dari hal tersebut antara lain: Pertama, praduga tak bersalah, Dalamkaitannya dengan penyimpangan terhadap asa praduga tak bersalah ini, misalnya kasuspemecatan dua menteri dalam kabinetnya, yaitu Laksamana Sukardi dan Yusuf Kalla, padatanggal 24 April 2000. Mereka dituduh melakukan KKN tanpa proses pembuktian yang transparan.Meskipun sebenarnya presiden punya hak prerogatif untuk melakukan pemecatan terhadapmenterinya itu. Namun dengan menuduh dan memacatnya tanpa dasar bukti hukum yang kuat,maka hal itu telah melanggar asa praduga tak bersalah. Karena itu tepat kiranya jika DPRmelakukan pemanggilan kepada Presiden untuk dimintai keterangan mengenai alasan-alasanpemberhentian kedua menterinya tersebut. Dalam kasus itu seolah-olah GusDur menempatkandirinya sebagai Hakim.Kedua, peradilan Soeharto Penuh Kegamangan, Salah satu tuntutan reformasi yang palingkuat adalah supaya mantan presiden Soeharto dibawa ke pengadilan terkait dengan kasuskasusKKN di masa pemerintahannya. Tuntutan tersebut menguat terutama pada masapemerintahan BJ Habibie dengan Jaksa Agungnya Andi M. Galib. Namun demikian, karenapemerintahan BJ Habibie disinyalir oleh masyarakat sebagai pemerintahan Orde Baru jilid II,maka sangat tidak mungkin membawa Soeharto ke meja peradilan terlebih Habibie sendiri menjadianak masnya Soeharto ketika masih menjabat presiden.Pemerintahan reformasi mewarisi dihentikannya kasus Soeharto. Dampak negatif masihdirasakan pada pemerintahan GusDur. Jaksa Agung yang baru, Marzuki Darusman menyadaribahwa kredibilitas pemerintahan barunyaakan diukur dari seberapa jauh lembaganya mampumembuat perhitungan hukum terhadap Soeharto. Karena itu, tindakan pertama yang ia lakukanadalah membuka kembali penyidikan Soeharto untuk kasus 3 Yayasannya, Dharmais,Supersemar da Dakab, dimana Soeharto sebagai tersangkanya. Ketiga Yayasan ini didugamemperoleh dana dari semua BUMN dengan penyalahgunaan wewenang melalui PP No.15tahun 1976 dan Kepmenkeu No.33 tahun 1978. Penyalurannya disinyalir hanya ke sejumlahkroninya saja. Dengan demikian, ada penyalahgunaan keuangan negara tidak kepada seluruhFenomena: <strong>Vol</strong>. 2 No. 1 Maret 2004 ISSN : 1693-4296


Penegakan Supremasi Hukum di Era Reformasi ... oleh: Jawahir Thontow65rakyat tetapi kepada beberapa orang saja, dan ini jelas melanggar ketentuan UUD 1945khususnya Pasal 33.Setelah melalui proses panjang, dan peradilanpun dijalankan secara spektakuler, namunJaksa selaku penuntut umum tidak pernah bisa mengahdirkan Soeharto di Pengadilan. Sehinggapada putara ketiga sidang pengadilan terhadap Soeharto menetapkan bahwa kasus Soehartotidak bisa diadili karena tiga kali Jaksa tidak bisa menghaduirkan terdakwa.Putusan tersebut merupakan puncak dari kekecewaan masyarakat terhadap pengadilanSoeharto yang berlarut-larut. Bahkan tidak kurang GusDur pun mengungkapkan kekecewaannya.Ia meminta pjs MA untuk mencari hakim yang bersih untuk menangani kasus Soeharto.Ada beberapa hal yang perlu dicermati pada penetapan hakim tersebut. Pertama,penolakanhakim terhadap kasus Soeharto yang terlalu cepat, dalam hal ini mestinya hakim menunda dulupersidangan sampai Soeharto sembuh. Kedua, pencoretan kasus Soeharto seharusnya tidakdilakukan. Sebab, dihapusnya kasus Soeharto seolah-olah kasus ini tidak pernah ada. Sebab,mestinya kasus ini disimpan karena bisa dibuka kembali lain waktu. Ketiga, tidak hadirnyaterdakwa, mestinya hal ini dikoordinasikan dengan tim dokter yang menangani Soeharto.Perdilan HAM Para JenderalKeraguan pemerintahan GusDur dalam menegakkan supremasi hukum, khususnyaperadilan juga bisa dilihat dalam kaitannya dengan peradilan HAM. Secara de jure, pemerintahanGusDur sudah mengundangkan UU no.39 tahun 2000 mengenai HAM, namun dalampelaksanaannya sulit menjangkau para tokoh militer yang terkena kasus HAM.Kenyataan ini terlihat ketika aparat penegak hukum tidak mampu secara cepat membawakasus pelanggaran HAM ke Pengadilan. Kasus-kasus yang dianggap penting, tetapi terabaikanpelaksanaannya, seperti pembumihangusan Timor-Timur, operasi DOM Aceh, kasus TanjungPriok dan kasuS Tommy Soeharto. Menurut pandangan masyarakat internasional, pihak militerterlibat di belakang kasus tersebut. Atas dasar itu, PBB membentuk komisi penyidik CIET (Commissionof Inquiry on East Timor). Sedangkan pemerintah Indonesia sendiri membentuk KomisiPenyelidik Pelanggaran (KPP) HAM pada tanggal 22 September 1999. Misi utama komisi iniadalah menyelamatkan para pelaku pelanggaran HAM dari pengadilan internasional. Komisi inidiketahui oleh Albert Hasibuan.Setelah beberapa bulan bekerja KPP HAM ini menyerahkan hasil temuannya pada tanggal31 Januari 2001 kepada Jaksa Agung dan CIET menyerahkannya kepada Sekjend PBB KofiAnan. Menurut laporannya KPP HAM menemukan keterlibatan secara langsung sejumlah petinggimiliter, para pimpinan milisi dan para Bupati dalam aksi bumi hangus tersebut. Demikian pula,sejumlah Jenderal aktif seperti Wiranto, diduga terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui praktekpelanggaran HAM di Timor-Timur. Menurut catatan Forum Keadilan (13/1/2000) ada tiga puluhnama yang disebut terlibat dalam kasus tersebut. Setidak-tidaknya kejahatan atas kemanusiaandimana pejabat dianggap terlibat dengan membiarkan terjadinya kejahatan kemanusiaan ituberlangsung, dan mereka bisa diadili.Terhadap temuan KPP HAM tersebut, kalangan DPR menolak keras. Meraka menuduhanggota KPP HAM anti <strong>Islam</strong>, anti Habibie, tidak nasionalis, bekerja atas motif balas dendamdan lain sebagainya (Tempo, 6/2/2000).Kasus AcehPada masa pemerintahan BJ Habibie telah dibentuk Komisi Independen pengusustan tidakkekerasan di Aceh yang diketuai oleh Zamzam. Meskipun legitimasinya lemah, namunFenomena: <strong>Vol</strong>. 2 No. 1 Maret 2004 ISSN : 1693-4296


66Penegakan Supremasi Hukum di Era Reformasi ... oleh: Jawahir Thontowkomisi ini telah menyudahi pengusutan terhadap para pelaku kejahatan di Aceh. Tercatatratusan nama prajurit TNI, mulai dari Kopral sampai Kolonel di Kodam I Bukit Barisan, sebagaitersangka. Kemudian Komisi ini berdasarkan temuannya tersebut, merekomendasikandibentuknya pengadilan semacam Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILUB).Kontan saja rekomendasi Komisi Independen tersebut, ditentang oleh banyak piahk, sebabMAHMILUB dipandang tidak cukup untuk menangnai kasus ini. Disamping itu, temuan ini tidakmencantumkan orang-orang yang bertanggungjawab mengambil keputusan politik terhadapdaerah itu, tetapi terbatas pada prajurityang terlibat dilapangan saja. Padahal kejadian dilapangantidak terlepas dari kebijakan institusional TNI dengan berbagai bentuk operasi militernya, mulaidari Benny Moerdany, Tri Strisno, Edy Sudrajat, Faisal Tanjung, sampai Wiranto, layak dijadikantersangka. Termasuk Gubernur Aceh ketika itu, Ibrahim Hasan yang menyetujui DOM di Acehsejak tahun 1989 hingga 1998.Konsekuensi dari lingkaran rumit dalam proses pengungkapan dan peradilan kasus DOMAceh yang melibatkan unsur TNI, kemudian sangat memperlambat proses penyelesaiaannyaoleh pemerintahan reformasi. Baru satu kasus yang sudah ditindaklanjuti, yaitu kasuspembunuhan Teungku Bantaqiyah (Kompas, 14/12/2000). Menurut temuan Komisi Independendalam kasus ini aparat telah memvonis mati Tengku Bantaqiyah beserta para pengikutnya, tanpamengindahkan asa praduga tak bersalah. TNI tidak punya cukup bukti untuk membantahnya,bahwa korban terbunuh dalam sebuah kontak senjata, demikian keterangan para saksi.Kasus Tanjung PriokKemajuan yang dicapai selama masa reformasi selain kebebasan pers dan berorganisasi,juga diapresiasinya aspirasi keluarga korban kekerasan untuk mengajukan tuntutan. BeberapaTim atau organisasi yang peduli terhadap korban terbunuh mulai tumbuh, termasuk Tim yangdibuat masyarakat muslim Tanjung Priok, yaitu Koordinator Keluarga Besar Korban Kasus (KBKK)Tanjung Priok, yang diketuai oleh Amir Biki.Pada masa BJ Habibie, pemerintah melalui Komnas HAM yang diketuai oleh BahrudinLopa, melakukan pencarian fakta-fakta mengenai kasus Priok. Setelah menyelesaikan tugasnyaKomisi ini, kemudian merekomendasikan kepada Pemerintah agar pelaku dan penanggungjawabpelanggaran HAM diselesaikan secara tuntas melalui jalur hukum. Namun sayangnya kasus initerkatung-terkatung dikarenakan belum ada payung hukum yang bisa menjerat para pelakuketika itu. Kemudian atas deskan masyarakat luas dibentuk KPP HAM yang berfungsi membantuKomnas HAM dalam menindaklanjuti pekerjaan yang sudah dilakukan, tetapi tidak tuntas. Halitu disinyalir karena penangungjawab pemerintahan dan penanggungjawab peristiwa priok itumasih berada dalam kekuasaan saat Komnas HAM melakukan penelitian.Deskriminasi tampak dalam Tim KPP HAM tersebut, dimana mayoritas anggotanya adalahnon muslim yang jelas tidak menguntungkan bagi keluarga korban yang notabenenya adalahmuslim. Hal itu kemudian akhirnya, tidak bisa mengungkap secara adil kasus tersebut kepadamasyarakat. Sebab, pada pertengahan Juni 2000 Komnas HAM kembali mengumumkan hasiltemuannya yang menyatakan, bahwa komisi tidak menemukan bukti terjadinya pembantaianmassal dalam kasus Tanjung Priok. Alasannya aparat menembak karena terdesak , dan jugaditegaskan bahwa pelanggaran HAM tidak hanya dilakukan oleh aparat, tetapi juga olehmasyarakat yang beringas.Pertemuan Presiden dengan Tommy SoehartoPelanggaran etis dan moral yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, adalahFenomena: <strong>Vol</strong>. 2 No. 1 Maret 2004 ISSN : 1693-4296


Penegakan Supremasi Hukum di Era Reformasi ... oleh: Jawahir Thontow67kasus pertemuannya dengan Tommy Soeharto yang statusnya sebagi terdakwa dalam kasusKorupsi tukar guling tanah milik Bulog dengan PT Goro Batara Sakti di Kelapa Gading.Sehingga pada 14 Oktober 1999 terdakwa Tommy bersama Ricardo Gelael di vonis bebasoleh Hakim. Majelis berpendapat bahwa unsur melawan hukum tidak terbukti dan unsur merugikannegara tidak ada. Tidak adanya kerugian negara, sebab Bulog tidak mengajukan tuntutan perdataatas kerugian itu (Forum Keadilan,15/10/2000).Terhadap putusan tersebut, kemudian Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi. Ataspermohonan kasasi tersebut, Mahkamah Agung mengabulkannya, sehingga ia membatalkanputusan PN Jakarta Selatan sebelumnya. Putusan MA menyatakan mereka terbukti melanggarUU No.3 tahun 1971 jo UU NO.14 tahun 1970 jo UU no.35 tahun 1979 jo UU No.8 tahun 1981dan UU no.14 tahun 1985, dan menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan penjaraserta menghukum terdakwa dengan 10 juta ditambah membayar ganti rugi 35,68 miliar. KemudianTommy mengajukan grasi kepada Presiden tetapi permohonan grasi tersebut ditolak olehPresiden. Namun belakangan Tommy melarikan diri dari sel tahanannya. Semenatar orangmensinyalir larinya Tommy tersebut ada hubungannya dengan pertemuannya dengan Presidendi hotel Borobudur beberapa bulan sebelumnya.SimpulanPembahasan tersebut di atas telah membuktikan bahwa penegakan supremasi hukum padaera reformasi mengalami perubahan-perubahan. Akan tetapi, perubahan ke arah penegakansupremasi hukum, khususnya dalam bidang peradilan tersebut tidaklah sama pada masapemerintahan Habibie dengan pemerintahan Abdurrahman Wahid. Karena itu, terdapat beberapakesimpulan yang secara faktual bisa diperbandingkan dengan masa-masa sebelumnya.Pertama, Masyarakat mengakui bahwa perubahan besar dalam kaintannya dengan penegakanciri dari negara hukum telah dilakukan oleh Habibie dalam masa pemerintahan transisi. Sepertikebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendaoat. Meskipun banyak pandangan yang ekstrimterhadap pemerintahan transisi Habibie, pemberian self-determination terhadap Timor Timur jugamerupakan bukti dari penegakan hukum yang positif dan dapat diakui oleh masyarakat.internasional. Kebijakan melepaskan Timtim dari Indonesia membawa efek internal yang positif,yaitu lepasnya Timtim telah meringankan beban psikologis bagi status dan citra Indonesia di dalammasyarakat internasional.Akan tetapi, kecenderungan positif era pemerintah transisi Habibie segerasirna oleh karena periode pemerintahan Habibie selama satu tahun delapan bulan tersebut tidaksama sekali menyentuh program pelaksanaan enam tuntutan reformasi. Lebih rumit dari itu, polahubungan antara Habibie dengan mantan Presiden Suharto tampak telah menimbulkan persoalanpenegakan hukum yang amat dilematis.Kedua, Adanya kesan Pemerintahan transisi Habibie lamban dalam merespon penegakanhukum dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, terkait dengan faktor esensi hukum proseduralmengenai ambivalensi wewenang antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam melakukan penyidikanterhadap kasus korupsi. Di luar konteks hukum, nilai-nilai sosial budaya, khususnya hubunganbaik antara Soeharto dengan kroninya, termasuk Habibie memang tidak mudah diputuskan.Hubungan sosial yang tetap relevan diperhitungkan misalnya, hubungan antara Habibie, JaksaAgung Andi Ghalib dan tokoh-tokoh Irama Suka (Irian Jaya, Sulawesi dan Kalimantan)memperlihatkan fakta-fakta yang mengindikasikan adanya lingkaran setan yang salingmelumpuhkan tegaknya Peraturan hukum. Nilai budaya mengenai hutang budi (indebtedness ofgratitude) memperlihatkan pola hubungan di atas dan tidak berlebihan bilamana macetnya Proseshukum dalam penanganan korupsi diakibatkan oleh situasi tersebut.Ketiga, Langkah progresif yang dilakukan Pemerintahan transisi Habibie adalah mengenaiupaya untuk memperhatikan hukum internasional, khususnya yang berkaitan dengan penegakanFenomena: <strong>Vol</strong>. 2 No. 1 Maret 2004 ISSN : 1693-4296


68HAM melalui UU No. 39/1999. Secara substansial masih terdapat beberapa kelemahanmendasar, seperti persoalan impunity (Penyelesaian di luar hukum) dengan cara memaafkan,namun jauh lebih memprihatinkan adalah Peraturan tersebut tidak bisa diimplementasikan. Pertama,adanya kontradiksi dalam hal azas hukum seperti persoalan kadaluwarsa (retroactive). Kedua,ketidakjelasan rumusan hukum mengenai pelaku langsung dalam pelanggaran HAM (direct actordan indirect actor), yang terkait dengan konsep Ignorance, Omission, Commission. Oknum pejabatmiliter tidak bisa diadili bilamana ia secara tidak langsung terlibat dalam kasus kejahatankemanusiaan meskipun ia benar-benar mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh bawahannya.Ketiga, adalah keterlibatan militer dalam berbagai penanganan dan Penyelesaian konflik masihtetap tidak bisa ditekan sehingga korban-korban kekerasan militer, khususnya di daerah konflikseperti Aceh, Maluku, Poso dan Irian Jaya.Keempat, Dalam kaitannya dengan upaya menegakkan hukum dan sistem peradilan kebijakanPolitik Gus Dur mengenai sistem peradilan secara prinsipal diakui cukup komprehensif. Pertama,secara juridis UU No. 28/1997 telah secara tegas menempatkan kedudukan Polisi sebagai penegakhukum dan pengayom masyarakat. Namun, di dalam realisasinya tetap bermasalah. PelanggaranHAM, penggunaan kekerasan dalam penanganan perkara dan juga kurang gesit dalam mencegahtimbulnya berbagai peristiwa pelanggaran hukum terus berlangsung. Perlakuan diskriminatif ataskasus-kasus hukum, terutama terkait dengan kasus korupsi dan politik, begitu juga terlanggarnyapraduga tak bersalah fakta-fakta yang tidak bisa sembunyikan pada masa pemerintahan Gus Dur.Perubahan ke arah penegakan hukum dan peradilan yang memberikan jaminan atas kepastianhukum di era Gus Dur ini memang menjadi akar penyebab dari timbulnya situasi yang tidak menentusecara sosial, politik dan ekonomi, termasuk keamanan. Semakin menurunnya kepercayaanmasyarakat terhadap Gus Dur, bukan saja dibuktikan melalui hilangnya dukungan di DPR ketikapenentukan keluarnya Memorandum I, II dan III, melainkan karena Gus Dur mengeluarkan kebijakanyang tidak konsisten dengan sistem hukum nasional.SaranSebagaimana disimpulkan di atas terdapat beberapa rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti.Perlu diadakan penelitian mengenai berbagai faktor terkait dengan kemungkinan penegakansupremasi hukum, khususnya mengenai peranan dan fungsi kehakiman dalam satu atap. Tindaklajutnya, adalah selain kemungkinan perlunya diadakan amandemen atas pasal 24 UUD 1945,juga perlu diadakan identitifikasi persoalan yang menjadi faktor penghambat terlaksananyasupremasi hukum, baik di dalam sistem hukum itu sendiri maupun aspek-aspek terkait lainnya diluar hukum.Pustaka AcuanBuku LiteraturTimothy O’Hogan, The End of LawA.V. Dicey, Law and The ConstitutionBagir Manan, 1999, Lembaga Kepresidenan, Gama Media, YogyakartaL.A. Harts, 1989, The Concept of LawSatjipto Rahardjo, 1982. Ilmu Hukum, Alumni, BandungMakalahPenegakan Supremasi Hukum di Era Reformasi ... oleh: Jawahir ThontowSalman Luthan, Kontroversi Pengeluaran dan Pencabutan SP-3, Makalah disampaikan padadisukusi rutin, Ta’mir Masjid Al-Azhar, FH <strong>UII</strong>, Tanggal 12 Juli 2000Fenomena: <strong>Vol</strong>. 2 No. 1 Maret 2004 ISSN : 1693-4296


Penegakan Supremasi Hukum di Era Reformasi ... oleh: Jawahir Thontow69JurnalJurnal Hukum No. 12 <strong>Vol</strong>. IVMedia MassaBisnis Indonesia, 1 Juli 1999; 10 Juli 1999; 24 Juli 1999; 10 Oktober 1999Jawa Pos, September 2000; 7 Desember 2000; 3 Februari 2001; 15 Februari 2001; 23Januari 2001.Kompas, 16 Januari 1999; 24 Januari 1999; 18 Februari 1999; 30 Juni 2000; 1 Juli 1999; 16Juli 1999; 19 Juli 1999; 22 Juli 1999; 31 Juli 1999; 11 Agustus 1999; 23 Agustus 1999; 23September 1999; 26 September 1999; 12 Oktober 1999; 13 Oktober 1999; 14 Oktober 1999; 16Oktober 1999; 19 Oktober 1999; 18 Februari 2000; 20 November 2000; 21 November 2000; 2Desember 2000; 3 Desember 2000; 5 Desember 2000; 9 Desember 2000; 11 Desember 2000;14 Desember 2000; 19 Desember 2000; 4 Januari 2001; 21 Januari 2001; 22 Januari 2001; 27Januari 2001; 3 Februari 2001; 4 Februari 2001.Kedaulatan Rakyat, 11 Mei 2000; 2 Juli 2000; 18 Desember 2000; 20 Januari 2001; 21Januari2001; 23 Januari 2001; 24 Januari 2001; 30 Januari 2001Media Indonesia, 1 Juli 1999; 11 Juli 1999; 16 September 1999; 25 September 1999; 18Oktober 1999; 25 Oktober 1999; 25 November 1999Republika, Juni 1999; 12 Juli 1999; 30 Agustus 1999; 18 Januari 2000; 18 Februari 2000;23 Februari 2000; 29 Februari 2000.Forum Keadilan, Edisi No. 6 Tanggal 29 Juni 1998; Edisi No. Tanggal 4 Februari 1999;Edisi No. 9 Tanggal 6 Juni 1999; Edisi No. 13 Tanggal 4 Juli 1999; Edisi No. 14 Tanggal 11 Juli1999; Edisi No. 17 Tanggal 1 Agustus 1999; Edisi No. 20 Tanggal 22 Agustus 1999; Edisi No. 30Tanggal 29 Oktober 1999; Edisi No. 32 Tanggal 14 November 1999; Edisi No. 33 Tanggal 21November 1999; Edisi No. 33 Tanggal 31 November 1999; Edisi No. 37 Tanggal 14 Desember 1999; EdisiNo. 17 Tanggal 30 Juli 1999; Edisi No. 18 Tanggal 8 Agustus 1999; Edisi No. 21 Tanggal 29Agustus 1999; Edisi No. 35 Tanggal 5 Desember 1999; Edisi No. 41 Tanggal 23 Januari 2000;Edisi No. 49 Tanggal 19 Maret 2000; Edisi No. 51 Tanggal 2 April 2000; Edisi No. 5 Tanggal 7Mei 2000; Edisi No. 6 Tanggal 14 Mei 2000; Edisi No. 8 Tanggal 28 Mei 2000; Edisi No. 28Tanggal 15 Oktober 2000; Edisi No. 8 Tanggal 25 Oktober 2000; Edisi No. 30 Tanggal 12 November 2000Gatra, 23 September 2000; Gatra, 18 November 2000Tempo, 30 April 2000; 1 Oktober 2000; 15 Oktober 2000; 31 Oktober 2000; 20 November2000; 26 November 2000; 3 Desember 2000; 19 Desember 2000Peraturan Perundang-undanganUUD 1945; UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi; UU No. 13 Tahun1961 Tentang Kepolisian; UU No. 12 Tahun 1961 Tentang Kejaksaan; UU No. 14 Tahun 1970Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman; UU No. 14 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum;UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama; UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAMTAP MPR No. III/MPR/1978 Tentang Hak Uji Materiil; TAP MPRS No. II Tahun 1960; KeppresNo. 21 Tahun 1961Fenomena: <strong>Vol</strong>. 2 No. 1 Maret 2004 ISSN : 1693-4296

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!