06.12.2012 Views

pasang surut hubungan tionghoa-islam dalam panggung sejarah ...

pasang surut hubungan tionghoa-islam dalam panggung sejarah ...

pasang surut hubungan tionghoa-islam dalam panggung sejarah ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Untuk mengatasi perkembangan tersebut Bong Swi Hoo terpaksa mengambil inisiatif mengepalai<br />

mayarakat Tionghoa Islam Hanafi yang makin mundur di pulau Jawa, Palembang dan Sambas,<br />

tanpa ada <strong>hubungan</strong> dengan daratan Tiongkok. Ia kemudian mengganti bahasa Tionghoa dengan<br />

bahasa Jawa dan memperkuat masyarakat Tionghoa Islam Hanafi yang sedang mundur dengan<br />

orang-orang Jawa. Inilah proses dimulainya Jawanisasi yang dilakukan oleh penyebar-penyebar<br />

agama Islam di Jawa yang sebenarnya orang-orang Tionghoa.<br />

Pada tahun 1451 Campa yang menjadi pusat agama Islam Hanafi di Nanyang direbut oleh orangorang<br />

Buddha, penduduk asli dari pe<strong>dalam</strong>an yaitu Pnom Penh. Menghadapi hal ini Bong Swi Hoo<br />

kemudian meninggalkan komunitas Tionghoa Islam di Bangil, di muara sungai Brantas sebelah kiri<br />

(kali Porong) dan dengan para pengikutnya orang-orang Jawa yang baru di Islamkannya, ia<br />

mendirikan pedepokan di Ngampel, di dekat muara sungai Brantas sebelah kanan (Kali Mas).<br />

Antara tahun 1451-1477 Bong Swi Hoo di Ngampel dengan kepemimpinannya yang sangat kuat,<br />

memimpin pembentukan masyarakat Islam Jawa di pesisir Utara pulau Jawa dan di pulau Madura.<br />

Selama dia berdiam di Ngampel,masyarakat Tionghoa Islam di Tuban, Palembang dan Sambas tetap<br />

tunduk kepadanya, namun mesjid Tionghoa di Bangil, sepeninggalnya berubah menjadi klenteng<br />

Sam Po Kong. Bong Swi Hoo kemudian terkenal sebagai Sunan Ngampel, salah seorang Walisongo<br />

yang paling berjasa dan berpengaruh <strong>dalam</strong> penyebaran agama Islam di Jawa.<br />

Bong Swi Hoo mempunyai seorang putera yang bernama Bong Ang (Bonang) yang kelak menjadi<br />

Sunan Bonang. Bonang diasuh oleh Sunan Ngampel bersama Giri (Raden Paku), anak Maulana Wali<br />

Lanang alias Maulana Iskak yang menikah dengan puteri Blambangan.Giri kelak dikenal sebagai<br />

Sunan Giri dan Maulana Wali Lanang atau Sayid Iskak (Maulana Iskak) adalah paman Bong Swi Hoo,<br />

anak Bong Tak Keng dari Campa.<br />

Gan Eng Cu juga mempunyai seorang putera yang murtad (bukan Islam) bernama Gan Si Cang<br />

yang bersama Kin San alias Raden Kusen anak Swan Liong alias Arya Damar mengembangkan<br />

galangan kapal di Semarang yang dibangun Laksamana Cheng Ho. Dengan meniru kapal milik Ja Tik<br />

Su (Jafar Sidik gelar Sunan Kudus) orang Ta Cih yang sedang berlabuh di galangan kapal di<br />

Semarang karena mengalami kerusakan. Mereka berdua memimpin pembuatan jung-jung besar<br />

yang mempunyai kecepatan tinggi. Jung-jung yang diperlengkapi meriam-meriam besar buatan Kin<br />

San inilah yang pada tahun 1521 digunakan armada Kesultanan Demak untuk menyerang Portugis<br />

di Malaka.<br />

Pada tahun 1481 atas desakan para tukang kayu di galangan kapal di Semarang, Gan Si Tjang<br />

selaku kapten Tionghoa menyampaikan permohonan kepada Kin San sebagai Bupati Semarang<br />

untuk ikut menyelesaikan pembangunan Mesjid Agung Demak. Permintaan ini diteruskan kepada Jin<br />

Bun sebagai penguasa tertinggi di Demak. Jin Bun menyetujuinya dan dengan demikian<br />

pembangunan Mesjid Agung Demak diselesaikan oleh para tukang kayu dari galangan kapal di<br />

Semarang di bawah pimpinan Gan Si Cang. Saka tatal Mesjid Agung Demak dibuat dengan<br />

mempergunakan teknik konstruksi tiang kapal,tersusun dari kepingan-kepingan kayu yang sangat<br />

tepat dan rapi. Tiang tatal yang demikian itu lebih kuat menahan angin laut atau taufan dari pada<br />

tiang utuh. Ternyata Sunan kali Jaga atau Raden Said adalah Gan Si Cang anak Gan Eng Cu alias<br />

Arya Teja, kapten Tionghoa di Tuban, mertua Bong Swi Hoo atau Sunan Ngampel.<br />

Raden Patah yang dikenal sebagai Sultan Demak pertama yang merupakan kesultanan Islam<br />

pertama di Jawa sebenarnya adalah Jin Bun anak Kung Ta Bu Mi (Kertabumi) atau Prabu Brawijaya<br />

V, Raja Majapahit terakhir yang menikah dengan puteri Cina, anak pedagang Tionghoa bernama Ban<br />

Hong (babah Bantong). Semasa kanak-kanaknya Jin Bun dipelihara oleh Swan Liong (Arya Damar)<br />

bersama Kin San (Raden Kusen) di Palembang. Jin Bun meninggal pada tahun 1518 <strong>dalam</strong> usia 63<br />

tahun. Kin San adalah ahli pembuat petasan dan mesiu yang dipelajarinya dari ayahnya, Swan Liong<br />

yang pernah menjadi kepala pabrik mesiu di Semarang, Setelah Jin Bun berhasil merebut Majapahit<br />

pada tahun 1478, Kin San diangkat menjadi Bupati Semarang.<br />

Demikian juga Sultan Demak yang kedua, Sultan Yunus (Adipati Unus) adalah Yat Sun putera Jin<br />

Bun. Adipati Unus sangat terkenal karena pada tahun 1521 berani menyerang Portugis di kota<br />

Malaka yang telah didudukinya sejak tahun 1511, sehingga ia dijuluki Pangeran Sabrang Lor. Adipati<br />

Unus hanya memerintah tiga tahun karena meninggal dunia dan digantikan oleh saudaranya Tung<br />

Ka Lo alias Pangeran Trenggana yang memerintah selama 40 tahun. Pangeran Trenggana digantikan<br />

oleh puteranya Muk Ming yang sebelumnya menggantikan Kin San menjadi Bupati Semarang.<br />

5 / 10

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!