06.12.2012 Views

pasang surut hubungan tionghoa-islam dalam panggung sejarah ...

pasang surut hubungan tionghoa-islam dalam panggung sejarah ...

pasang surut hubungan tionghoa-islam dalam panggung sejarah ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Menurut buku-buku ceritera orang Jawa,Muk Ming membunuh saudara tuanya yang menjadi putera<br />

mahkota agar bisa menjadi Sultan Demak. Kemudian Muk Ming digulingkan oleh keponakannya,<br />

Arya Panangsang dari Kerajaan Jipang yang membalas kematian ayahnya, sang putera mahkota<br />

yang kemudian disebut Panegran Seda Ing Lepen atau “gugur di sungai”. Kecuali mesjid, seluruh<br />

kota dan Kraton Demak musnah. Karena tidak kuat menahan serangan pasukan Jipang, prajurit<br />

Demak mundur ke Semarang dan terjepit di kapal-kapal yang kemudian berhasil dihancurkan.<br />

Demikian juga kota Semarang diporak-porandakan, galangan kapal habis dibakar dan banyak<br />

orang-orang Tionghoa non Islam yang dibunuh oleh prajurit Jipang yang membuat sebagian besar<br />

masyarakat Tionghoa Semarang marah dan tidak bersimpati kepada pasukan Jipang. Inilah awal<br />

dari <strong>surut</strong>nya para pengikut Islam Tionghoa di daerah Semarang dan di pesisir utara Jawa Tengah.<br />

Mereka akhirnya kemudian berangsur-angsur kembali kepada agama dan kepercayaan asalnya<br />

Khonghucu dan Tao.<br />

Selanjutnya pasukan Jipang dikalahkan pasukan Pajang yang pada masa pemerintahannya kurang<br />

memperhatikan masalah maritim. Kemudian lahirlah Kerajaan Mataram yang berada di pe<strong>dalam</strong>an<br />

yang makin menggeser kekuatan politik dari pantai utara jauh ke pe<strong>dalam</strong>an. Dengan demikian<br />

berakhirlah riwayat Raja-raja Islam keturunan Tionghoa Yunnan di Demak sejak Jin Bun bersama<br />

ketiga keturunannya memerintah selama 71 tahun.<br />

Pada tahun 1415 Laksamana Haji Kung Wu Ping mendirikan menara mercu suar di atas bukit<br />

Gunung Jati. Dekat situ kemudian dibentuk masyarakat Tionghoa Islam Hanafi si Sembung, Sarindil<br />

dan Talang, masing-masing lengkap dengan mesjid. Kampung Sarindil ditugaskan untuk<br />

menghasilkan kayu jati untuk perbaikan kapal-kapal. Kampung Talang ditugaskan perawatan<br />

pelabuhan dan kampung Sembung untuk perawatan mercu suar. Namun pada masa 1450-1475<br />

seperti di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, masyarakat Islam Tionghoa sangat merosot<br />

jumlahnya, karena terputus <strong>hubungan</strong> dengan daratan Tiongkok. Mesjid di Sarindil sudah berubah<br />

menjadi tempat pertapaan, karena masyarakat Tionghoa Islam di sana sudah tidak ada lagi. Mesjid<br />

di Talang kemudian berubah menjadi klenteng Sam Po Kong/Khonghucu dan Tao. Sebaliknya<br />

masyarakat Tionghoa Islam di Sembung malah berkembang biak dan mereka sangat teguh di <strong>dalam</strong><br />

agama Islam.<br />

Pada tahun 1526 armada dan tentara Islam Demak di bawah pimpinan Panglima tentara Demak<br />

Syarif Hidayat Fatahillah (Faletehan) putera Sultan Demak Tung Ka Lo (Trenggana) singgah di<br />

pelabuhan Talang. Ikut <strong>dalam</strong> rombongan tersebut seorang peranakan Tionghoa Kin San yang<br />

pandai berbahasa Tionghoa. Mereka adalah utusan Sultan Demak untuk menemui Haji Tan Eng<br />

Hoat, Imam Sembung yang sedang bertapa di Sarindil.Bersama Haji Tan Eng Hoat tentara Islam<br />

Demak dengan damai masuk ke Sembung. Kemudian Panglima Perang Demak atas nama Sultan<br />

Demak memberi gelar Haji Tan Eng Hoat “Mu La Na Fu Di Li Ha Na Fi” Tentara Demak kemudian<br />

kembali ke kapal melajutan pelayarannya ke Barat. Kin San tinggal bersama Haji Tan Eng Hoat<br />

sebulan lamanya.<br />

Ketika Fatahillah pada tahun 1552 datang untuk kedua kalinya di Sembung, keadaan dirinya sudah<br />

jauh berbeda. Kalau pada pertama kalinya ia datang sebagai Panglima tentara Kesultanan Demak<br />

yang gagah perkasa, maka kedatangannya yang kedua kali <strong>dalam</strong> usia yang mulai senja dan<br />

dengan sedikit pengikut. Ketika itu di Kesultanan Demak telah terjadi perselisihan di antara<br />

keturunan Jin Bun yang saling berebut kekuasaan dan terjadi banyak pembunuhan di antara<br />

sesamanya.<br />

Mendengar hal ini Haji Tan Eng Hoat merasa sedih, apalagi orang-orang Tionghoa Islam mulai<br />

terdesak oleh orang-orang Tionghoa non Islam. Kedua hal inilah yang mendorong ia meyakinkan<br />

Fatahillah untuk mendirikan Kesultanan Islam di Kesepuhan, Cirebon.<br />

Dengan demikian Kesultanan Cirebon pada tahun 1522 didirikan oleh Haji Tan Eng Hoat alias<br />

Mohamad Ifdil Hanafi bersama Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayat Fatahillah atau Faletehan) yang<br />

pernah menjadi Panglima tentara Kesultanan Demak dan mantan Raja Kesultanan Islam Banten<br />

dengan didukung oleh orang-orang Tionghoa Islam di Sembung. Sunan Gunung Jati menjadi Sultan<br />

pertama Kesultanan Islam Cirebon dengan mendirikan kraton Kesepuhan.<br />

Kemudian pada tahun 1553 Sunan Gunung Jati menikahi puteri Haji Tan Eng Hoat, Ong Tin yang<br />

terkenal dengan sebutan Puteri Cina. Upacara iring-iringan mempelai Pueri Cina dari Sembung<br />

sampai ke Kraton Kesepuhan berlangsung laksana upacara raja-raja di Tiongkok dengan pengiring<br />

6 / 10

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!