pasang surut hubungan tionghoa-islam dalam panggung sejarah ...
pasang surut hubungan tionghoa-islam dalam panggung sejarah ...
pasang surut hubungan tionghoa-islam dalam panggung sejarah ...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Menurut buku-buku ceritera orang Jawa,Muk Ming membunuh saudara tuanya yang menjadi putera<br />
mahkota agar bisa menjadi Sultan Demak. Kemudian Muk Ming digulingkan oleh keponakannya,<br />
Arya Panangsang dari Kerajaan Jipang yang membalas kematian ayahnya, sang putera mahkota<br />
yang kemudian disebut Panegran Seda Ing Lepen atau “gugur di sungai”. Kecuali mesjid, seluruh<br />
kota dan Kraton Demak musnah. Karena tidak kuat menahan serangan pasukan Jipang, prajurit<br />
Demak mundur ke Semarang dan terjepit di kapal-kapal yang kemudian berhasil dihancurkan.<br />
Demikian juga kota Semarang diporak-porandakan, galangan kapal habis dibakar dan banyak<br />
orang-orang Tionghoa non Islam yang dibunuh oleh prajurit Jipang yang membuat sebagian besar<br />
masyarakat Tionghoa Semarang marah dan tidak bersimpati kepada pasukan Jipang. Inilah awal<br />
dari <strong>surut</strong>nya para pengikut Islam Tionghoa di daerah Semarang dan di pesisir utara Jawa Tengah.<br />
Mereka akhirnya kemudian berangsur-angsur kembali kepada agama dan kepercayaan asalnya<br />
Khonghucu dan Tao.<br />
Selanjutnya pasukan Jipang dikalahkan pasukan Pajang yang pada masa pemerintahannya kurang<br />
memperhatikan masalah maritim. Kemudian lahirlah Kerajaan Mataram yang berada di pe<strong>dalam</strong>an<br />
yang makin menggeser kekuatan politik dari pantai utara jauh ke pe<strong>dalam</strong>an. Dengan demikian<br />
berakhirlah riwayat Raja-raja Islam keturunan Tionghoa Yunnan di Demak sejak Jin Bun bersama<br />
ketiga keturunannya memerintah selama 71 tahun.<br />
Pada tahun 1415 Laksamana Haji Kung Wu Ping mendirikan menara mercu suar di atas bukit<br />
Gunung Jati. Dekat situ kemudian dibentuk masyarakat Tionghoa Islam Hanafi si Sembung, Sarindil<br />
dan Talang, masing-masing lengkap dengan mesjid. Kampung Sarindil ditugaskan untuk<br />
menghasilkan kayu jati untuk perbaikan kapal-kapal. Kampung Talang ditugaskan perawatan<br />
pelabuhan dan kampung Sembung untuk perawatan mercu suar. Namun pada masa 1450-1475<br />
seperti di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, masyarakat Islam Tionghoa sangat merosot<br />
jumlahnya, karena terputus <strong>hubungan</strong> dengan daratan Tiongkok. Mesjid di Sarindil sudah berubah<br />
menjadi tempat pertapaan, karena masyarakat Tionghoa Islam di sana sudah tidak ada lagi. Mesjid<br />
di Talang kemudian berubah menjadi klenteng Sam Po Kong/Khonghucu dan Tao. Sebaliknya<br />
masyarakat Tionghoa Islam di Sembung malah berkembang biak dan mereka sangat teguh di <strong>dalam</strong><br />
agama Islam.<br />
Pada tahun 1526 armada dan tentara Islam Demak di bawah pimpinan Panglima tentara Demak<br />
Syarif Hidayat Fatahillah (Faletehan) putera Sultan Demak Tung Ka Lo (Trenggana) singgah di<br />
pelabuhan Talang. Ikut <strong>dalam</strong> rombongan tersebut seorang peranakan Tionghoa Kin San yang<br />
pandai berbahasa Tionghoa. Mereka adalah utusan Sultan Demak untuk menemui Haji Tan Eng<br />
Hoat, Imam Sembung yang sedang bertapa di Sarindil.Bersama Haji Tan Eng Hoat tentara Islam<br />
Demak dengan damai masuk ke Sembung. Kemudian Panglima Perang Demak atas nama Sultan<br />
Demak memberi gelar Haji Tan Eng Hoat “Mu La Na Fu Di Li Ha Na Fi” Tentara Demak kemudian<br />
kembali ke kapal melajutan pelayarannya ke Barat. Kin San tinggal bersama Haji Tan Eng Hoat<br />
sebulan lamanya.<br />
Ketika Fatahillah pada tahun 1552 datang untuk kedua kalinya di Sembung, keadaan dirinya sudah<br />
jauh berbeda. Kalau pada pertama kalinya ia datang sebagai Panglima tentara Kesultanan Demak<br />
yang gagah perkasa, maka kedatangannya yang kedua kali <strong>dalam</strong> usia yang mulai senja dan<br />
dengan sedikit pengikut. Ketika itu di Kesultanan Demak telah terjadi perselisihan di antara<br />
keturunan Jin Bun yang saling berebut kekuasaan dan terjadi banyak pembunuhan di antara<br />
sesamanya.<br />
Mendengar hal ini Haji Tan Eng Hoat merasa sedih, apalagi orang-orang Tionghoa Islam mulai<br />
terdesak oleh orang-orang Tionghoa non Islam. Kedua hal inilah yang mendorong ia meyakinkan<br />
Fatahillah untuk mendirikan Kesultanan Islam di Kesepuhan, Cirebon.<br />
Dengan demikian Kesultanan Cirebon pada tahun 1522 didirikan oleh Haji Tan Eng Hoat alias<br />
Mohamad Ifdil Hanafi bersama Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayat Fatahillah atau Faletehan) yang<br />
pernah menjadi Panglima tentara Kesultanan Demak dan mantan Raja Kesultanan Islam Banten<br />
dengan didukung oleh orang-orang Tionghoa Islam di Sembung. Sunan Gunung Jati menjadi Sultan<br />
pertama Kesultanan Islam Cirebon dengan mendirikan kraton Kesepuhan.<br />
Kemudian pada tahun 1553 Sunan Gunung Jati menikahi puteri Haji Tan Eng Hoat, Ong Tin yang<br />
terkenal dengan sebutan Puteri Cina. Upacara iring-iringan mempelai Pueri Cina dari Sembung<br />
sampai ke Kraton Kesepuhan berlangsung laksana upacara raja-raja di Tiongkok dengan pengiring<br />
6 / 10