20.11.2016 Views

CERMIN MAGAZINE

Majalah untuk segala kalangan yang diharapkan bisa menumbuhkan rasa literasi sejak dini

Majalah untuk segala kalangan yang diharapkan bisa menumbuhkan rasa literasi sejak dini

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Cermin<br />

AYO! GERAKKAN<br />

LITERASI SEJAK DINI<br />

2016<br />

edisi November 2016


onjour<br />

Assalamualaikum wr.wb<br />

Alhamdulillah puji syukur<br />

kehadirat Allah swt yang telah<br />

melimpahkan begitu banyak rahmat-<br />

Nya sehingga dapat terselesainya<br />

Majalah Cermin. Kami juga<br />

mengucapkan banyak terimakasih<br />

kepada semua anggota redaksi yang<br />

telah bekerja keras dalam pembuatan<br />

Majalah Cermin dan seluruh pihak<br />

yang telah membantu dan<br />

mendampungi kami.<br />

Majalah Cermin ini dibuat untuk<br />

wadah yang suka membaca dan<br />

menulis cerita pendek. Tim redaksi<br />

berharap, adanya majalah ini dapat<br />

memberikan ruang berkreasi.<br />

Menumbuhkan minat membaca,<br />

sekaligus minat tulis menulis. Tema kita<br />

kali ini "Literasi Sejak Dini" yang berarti<br />

membiasakan membaca dan menulis<br />

sejak usia muda.<br />

Mungkin masih banyak<br />

kekurangan dan kesalahan dari<br />

penulisan majalah ini. Maka dari itu,<br />

kritik dan saran yang membangun<br />

sangat kami harapkan untuk<br />

membenahi kekurangan dan<br />

kesalahan sehingga menjadikannya<br />

lebih baik.


SALAM<br />

Hai sahabat!<br />

REDAKSI<br />

<strong>CERMIN</strong><br />

DAFTAR ISI<br />

1. WAKTU<br />

2. KATY DAN KUPU-KUPU<br />

3. BARONGSAI YIN YAN<br />

4. CRESCENT MOON<br />

5. BIMBANG<br />

6. SESIMPLE TALI SEPATU<br />

7. ANTARA CINTA DAN<br />

SAHABAT<br />

8. PUITIKA<br />

9. RESENSI BUKU<br />

Majalah <strong>CERMIN</strong> ini<br />

ditujukan untuk semua<br />

kalangan. untuk<br />

mendukung budaya<br />

literasi sejak dini dan juga<br />

sebagai wadah kreatifitas<br />

juga penyalur bakat<br />

litaratur<br />

Selamat Datang<br />

Susunan redaksi :<br />

Editor :Tamana Febriyanti.<br />

Reporter :Reisa Atqiya, Azizi putri<br />

SMA Khadijah Surabaya


ACTION<br />

WAKTU<br />

oleh : cyntia febrianti


“aku tidak bisa,” jawab Zoya akhirnya.<br />

Victor dan Zee hanya memandangnya<br />

dengan bingung. “meskipun aku<br />

mengembalikan waktu, Daniel tidak akan<br />

bisa bertahan,” jelas Zoya. “apa<br />

maksudmu?” Tanya Zee. “ aku sudah<br />

pernah mencobanya, Zee. Kau ingat tujuh<br />

tahun lalu saat ayah meninggal dalam<br />

tidurnya? Ayah seharusnya tidak<br />

meninggal dengan cara itu. Ayah<br />

seharusnya sudah tiada saat kita pergi ke<br />

taman hiburan, tapi aku tidak ingin pergi<br />

'kan? Sebenarnya aku sudah memutar<br />

waktunya saat itu. Aku sudah<br />

mencegahnya, mencegah agar ayah tidak<br />

mati, tapi aku tidak menyangka bahwa<br />

hasilnya sama saja. Tidak peduli apa yang<br />

aku lakukan. Aku pengendali waktu, itu<br />

benar, tapi aku bukan pengendali takdir,”<br />

ucap Zoya dengan frustasi. Mereka semua<br />

terdiam, menunggu takdir apa yang akan<br />

mereka hadapi.


DONGENG<br />

KATY dan<br />

KUPU-KUPU


BARONGSAI YIN YAN<br />

Oleh : Antok Habib<br />

Paman A Hong mengajak Kak Sam, melihat<br />

koleksi kepala barongsai miliknya. "Dari sepuluh<br />

kepala barongsai ini, hanya satu yang tak pernah ikut<br />

kompetisi. ini dia, namanya Yin Yan," kata Paman A<br />

Hong, sambil mengusap kepala barongsai itu, berulang<br />

kali.<br />

Kak Sam mengernyitkan dahinya. Mengapa Paman A<br />

Hong enggan menampilkannya? Padahal menurut Kak<br />

Sam, dari seluruh koleksi itu Yin Yan-lah yang paling<br />

keren. Hidung, kelopak mata, dan telinga Yin Yan<br />

terbuat dari emas. Wiiih, keren sekali!<br />

"Paman A Hong, boleh aku mencoba mengangkat<br />

kepala barongsai ini?" tanya Kak Sam penuh harap.<br />

Paman A Hong tersenyum, sambil mengangguk. Kak<br />

Sam lalu mengangkatnya, dengan sangat hati-hati.<br />

Wiiih barongsai ini bagus banget Ternyata, kain<br />

barongsai itu terbuat dari tembaga.<br />

"Paman kalau Yin Yan ini tampil di kompetisi, aku<br />

yakin dia pasti juaranya. Dijamin, deh! Apalagi kalau<br />

yang menarikan P{aman A Hong sendiri. Wiiih, pasti<br />

keren abis!" komentar Kak Sam.<br />

Anehnya, Paman A Hong malah tertegun melihat Kak<br />

Sam dengan entengnya, mengangkat Yin Yan. "Ada apa<br />

paman? Apa ada yang salah?" tanya Kak Sam<br />

penasaran.<br />

"Oh, tidak. Kau ini pemuda yang baik dan tulus,tentu<br />

tidak ada yang salah," jawab Paman A Hong misterius,<br />

sambil menepuk pundak Kak Sam berulang kali.<br />

Menurut cerita Paman A Hong,barongsai Yin<br />

Yan itu warisan leluhurnya. Ia sendiri pewaris generasi<br />

kelima. Konon, barongsai itu adalah kesayangan<br />

panglima kerajaan, zaman Dinasti Hwa. Sepanjang<br />

sejarahnya, barongsai itu hanya pernah sekali saja<br />

dimainkan oleh sang panglima, pada saat perayaan<br />

Imlek. Tak lama kemudian, panglima itu mangkat.<br />

Yang aneh, setiap tanggal kematian sasng panglima,<br />

kepala barongsai Yin Yan selalu mengeluarkan bau<br />

harum. keunikan dan keindahan kepala barongsai Yin<br />

Yan, membuatnya terkenal. Tak jarang, banyak<br />

kolektor berebut ingin memilikinya. Mereka rela<br />

membayar mahal, tapi keluarga Paman A Hong selalu<br />

menolaknya.<br />

MISTERI<br />

Namun, orang-orang yang sangat berambisi,<br />

selalu saja berupaya dengan segala cara. Tak<br />

terhitung, berapa kali kepala barongsai itu<br />

akan dicuri. Tapi, semuanya gagal. Beberapa<br />

dari para pencuri itu mengaku, tak kuat<br />

membawa kepala barongsai itu keluar rumah,<br />

karena sangat berat! Yang aneh, pernah suatu<br />

ketika ada dua ornag pencuri ditemukan tak<br />

sadarkan diri, di sisi kepala barongsai itu.<br />

Setelah siuman, mereka mengaku melihat<br />

sesorang lelaki tinggi besar, berkumis,<br />

bercambang lebat, dan membawa pedang<br />

menghardik mereka, dengan wajah yang sangat<br />

menyeramkan!.<br />

Kak Sam tercenung mendengar cerita Paman A<br />

Hong. Benarkah kepala barongsai Yin Yan<br />

seberat itu? Mengapa ia bisa mengangkatnya,<br />

dengan begitu mudahnya?. Bau harum tibatiba<br />

menyeruak. Sejenak kemudian, Kak Sam<br />

mendengar suara aneh dari ruang<br />

penyimpanan barongsai. Kak Sam berjalan<br />

menuju ruang barongsai. Bau harum tercium<br />

makin menyengat. Kak Sam mendengar suarasuara<br />

aneh. Kak Sam terus memberanikan diri,<br />

menuju ruang penyimpanan barongsai. Di<br />

bawah cahaya yang remang-remang, Kak Sam<br />

melihat tiga orang berpakaian hitam, di dekat<br />

barongsai Yin Yan. Entah apa yang dilakukan.<br />

mungkinkah mereka adalah murid-murid<br />

Paman A Hong? Tapi, Mengapa mereka bicara<br />

sambil berbisik, dan gerak-geriknya pun sangat<br />

mencurigakan? Kak Sam


Crescent<br />

moon<br />

oleh : Veronica Rahma Suwandi<br />

Udara malam di kawasan jembatan<br />

Suramadu membuatku merinding, ini sudah<br />

hampir pukul 12 tengah malam namun bagi<br />

perempuan sepertiku bukanlah masalah karna<br />

malam ini adalah malam minggu yang harus di<br />

habiskan dengan bersenang-senang dengan<br />

kawan seumuranku, menghabiskan malam<br />

dengan candatawa di temani sebungkus rokok<br />

dan beberapa kaleng bir murahan itu sudah<br />

cukup menggambarkan jutaan kebahagiaan<br />

yang akan tergambar sepanjang malam. Malam<br />

ini untuk pertama kalinya aku tak berselera<br />

tertawa, aku hanya duduk di kursi kayu yang<br />

hampir melapuk sembari menatap langit<br />

mendengarkan candatawa kawan disekitarku<br />

yang sama sekali tak kuhiraukan, sesekali<br />

mereka menawariku rokok gratis atau<br />

beberapa teguk bir, tetapi aku tetap tak<br />

berselera.Hampa adalah satu kata yang dapat<br />

menggambarkan sejuta kesedihan yang<br />

terbelenggu di dalam hati, kepalaku teramat<br />

berat memikirkannya, ingin menangis pun aku<br />

sudah bosan menangisihal yang sama,<br />

menangisi keadaan, menangisi seorang<br />

bajingan.<br />

Aku tidak sedang memikirkan<br />

pasangan,cinta atau apalah, karna hal<br />

itu terlalu murahan, aku tak butuh cinta<br />

dan aku tidak percaya cinta. Pernah<br />

kalian bayangkan jahatnya seorang<br />

sepasang kekasih ternyata membunuh<br />

kekasihnya sendiri?Atau ternyata<br />

seorang dokter tega membunuh<br />

pasiennya?Sama seperti apa yang<br />

kurasakan saat ini, Apa yang aku kira<br />

selama ini adalah<br />

kebahagiaanku,pelindungku,malaikatku<br />

adalah orang yang ternyata<br />

membunuhku, bukan membunuh fisik,<br />

lebih parah lagi, batin dan hatiku telah<br />

mati di bunuhnya.


Pikiranku selalu kacau, pening dan sakit<br />

tapi tak berdarah.Menyiksa.Tak kukira orang<br />

semacam dia yang kukira akan melindungiku dan<br />

menjagaku seperti pada hakikatnya tetapi pada<br />

akhirnya akan mendorongku keras jatuh pada<br />

lubang kegelapan terdalam. Kejadian itu bermula<br />

saat ketika pulang dari sekolah dan aku mampir ke<br />

warung kecil ibuku, membantunya menutup<br />

warung dan berjalan pulang, pernah terbesit di<br />

kepalaku bahwa aku akan berhenti sekolah saja<br />

karna melihat kondisi ibuku yang sudah menua<br />

dan tak kuat untuk mencari tambahan nafkah<br />

untuk keluarga, tetapi hal itu selalu aku urungkan<br />

karena ibu selalu bilang bahwa aku harus tetap<br />

sekolah agar dapat mendapatkan kehidupan yang<br />

lebih baik daripada dia. Sesampainya di rumah,<br />

pemandangan yang sangat memalukan sekaligus<br />

memilukan batin melihat bagaimana seorang ayah,<br />

ayah kandungku sendiri berada di rumah bersama<br />

perempuan lain, kacau, remuk, dan rapuh seluruh<br />

hatiku dan sejak saat itu tak pernah kulihat wajah<br />

dari ayah ku, dia pergi kabur entah kemana.<br />

Bukan kali pertama melihat kedua orang<br />

tuaku selalu beradu mulut di rumah, itulah alasan<br />

terkuat mengapa aku tak pernah menemukan<br />

tempat yang kusebut rumah dan kali ini, sejak<br />

kejadian itu aku bahkan seakan tak pernah<br />

mengenal kata rumah.Aku tak pernah pulang<br />

kerumah, caraku menemukan rumah dan<br />

kebahagiaan yang ada di dalamnya adalah dengan<br />

berkumpul bersama kawan sebayaku, tak pernah<br />

kulihat pemandangan adu mulut yang<br />

memusingkan, hanya canda tawa, kadang jika<br />

terlalu berat isi kepalaku, kuangkat dengan<br />

bantuan tiga botol bir dan sepuluh biji pil<br />

penghilang susah. Maka, bimsalabim hilang sudah<br />

pening di kepala.<br />

Ayah jangan pernah kau salahkan<br />

putri mu jika aku menjadi bersikap<br />

menyimpang dariapa yang di harapkan.<br />

Melihat mu setiap hari bertengkar dengan<br />

ibu dan mengeluarkan sumpah serapah yang<br />

kasar telah menjadi salah satu hal yang<br />

membuatku hilang akal dan tertekan.Dan<br />

sekarang ayah bahkan tega menjadi psikopat<br />

bagi putrinya sendiri.<br />

Aku tak pernah tahu<br />

bagaimana tuhan mengirimkanku turun dan<br />

lahir di tengah keluarga yang bahkan tak bisa<br />

kusebut keluarga, tuhan umurku baru 16<br />

tahun, aku tak mampu menahan beban di<br />

kepalaku ini.Bahkan jika kau berkata tak<br />

akan memberikan cobaan diluar batas<br />

kemampuan hambanya lalu aku ini<br />

bagaimana?<br />

Bulan sabit di malam ini telah<br />

menjadi saksi percakapanku dengan tuhan,<br />

Bulan sabit malam ini berdiri dengan<br />

kokohnya melihatku terduduk lemah lantah<br />

takberdaya, Bulan sabit malam ini dengan<br />

jahatnya berdiri indah sedangkan aku<br />

terduduk tak berdaya.Tuhan mengapa kau<br />

ciptakan aku dalam kondisi sangat tak<br />

normal seperti ini?Tuhan aku merindukan<br />

sosok yang dapat mengerti aku, aku<br />

merindukan sosok yang dapat melindungiku,<br />

aku merindukan sosok yang dapat<br />

melarangku berbuat kemaksiatan, Tuhan aku<br />

rindu bajingan itu.Tuhan aku rindu ayah.


Meja makan sudah berisi piring-piring<br />

berisi lauk pauk. Aku segera melangkah mantab<br />

menuju salah satu kursi, mengambil rolade<br />

buatan nenekku dan meletakkannya di piringku<br />

yang suda berisi nasi. Ibuku datang dengan baju<br />

tidurnya, mulai membuka percakapan dengan<br />

tema pendaftaran pondok.<br />

“Luna, sepertinya Sabtu besok kita akan<br />

ke pondok untuk mendaftarkan mu” Aku<br />

menatap dengan tatapan tak berdaya,<br />

bagaimana bisa? Aku sudah sejak seminggu yang<br />

lalu merencanakan kulinerku dengan saudarasaudaraku<br />

ke salah satu mall di Surabaya.<br />

“Oh, ya sudah” Aku hanya bisa pasrah, walaupun<br />

sebenarnya aku masih menganggap itu belum<br />

pasti. Tak selang lama, aku sudah siap berangkat.<br />

Sepanjang perjalanan aku hannya menatap<br />

kosong jalan raya yang padat sambil sesekali<br />

melirik jam tangan. Sebenarnya aku masih ragu,<br />

apakah aku benar-benar ingin di pondok atau<br />

tidak. Tapi setidaknya aku bisa membuat orang<br />

tuaku tersenyum tadi pagi. Hari demi hari sudah<br />

kulewati, dua hari sebelum hari Sabtu tiba, aku<br />

mengatkan hal itu kepada salah satu saudaraku.<br />

“Sepertinya aku tak bisa ikut acara<br />

kuliner kita...” Baru satu kata ku ungkapkan,<br />

berpuluh-puluh pertanyaan sudah menyerbuku.<br />

'Mengapa?','Ada apa?', 'Memangnya kak Luna<br />

tidak ingin ikut?','Kak Luna bagaimana sih?', dan<br />

berbagai pertanyyan lainnya.<br />

“Maaf kak Luna tak bisa...'' jawabku. Disitulah<br />

saat dimana hatiku bingung apakah aku benar<br />

benar ingin SMP di pondok. Mataku memberi<br />

peringatan, air mataku akan segera terjun.<br />

“Aku pulang dulu...'' pamitku, lantas<br />

berlari ke kamar. Saat itulah dinding yang<br />

sudah kubangun kuat kuat akan roboh. Benar<br />

saja, air mataku berbondong bondong turun,<br />

untungnya saat air mataku keluar aku segera<br />

mengusapnya. Karena tak selang beberapa<br />

waktu ibuku membuka pintu kamar. Lantas<br />

menutupnya kembali. Saat air mata pertama<br />

jatuh kembali setelah ibuku menutup pintu<br />

kamar ia malah memanggilku, aku<br />

berpikir'lalu untuk apa tadi ibu masuk ke<br />

kamarku? Kenapa tidak sekalian saja?'<br />

“Ada apa?” tanyaku.<br />

“Tak usah menangis, bukankah SMP<br />

di pondok itu keinginanmu sendiri bukan?<br />

Lalu untuk apa? Bukankah kau juga sudah<br />

sering kuliner? Itu urusanmu, jika kamu tak<br />

bisa ya berarti kamu merugikan dirimu<br />

sendiri...” Ibu berusaha mengokohkan<br />

p e n d i r i a n k u . I b u t a k m l a n j u t k a n<br />

perkataannya, sementara aku masih<br />

menimbang nimbang perkataan ibuku.<br />

Setelah beberapa menit memutuskan<br />

kembali ke kamar. Memikirkan apa yang<br />

terjadi jika aku hari Sabtu besok ke gedung<br />

p e n d a f t a r a n p o n d o k , d a n<br />

membandingknnya dengan pergi jalan jalan<br />

kuliner. Dan memutuskan besok Sabtu aku<br />

akan pergi ke gedung pendaftaran pondok.<br />

Aku sudah menyiapkan hatiku dengan<br />

mantab. Dan memastikan tembok yang satu<br />

ini tak akan roboh.<br />

BIMBANG<br />

OLEH: AIDAH FITRIYAH


SESIMPLE TALI<br />

SEPATU<br />

oleh : Lintang Nur Rizky<br />

Suasana pagi yang sangat cerah, matahari<br />

sangat bersemangat untuk memancarkan sinarnya<br />

dan tersenyum sangat indah, hari ini adalah hari<br />

Minggu, hari yang digunakan untuk berkumpul<br />

bersama keluarga, teman maupun bersama para<br />

tetangga, namun kali ini, Minggu pagi ini<br />

digunakan sebagai acara rutin, membersihkan<br />

halaman sekitar. Semarak dengan semangat para<br />

warga keluar dari tempat berlindung mereka<br />

dengan menenteng sapu, cikrak, gunting rumput<br />

bahkan ada yang membawa golok untuk menebang<br />

pohon yang sudah menua dan tinggi. Semua<br />

tersenyum, anak-anak berlari kesana-kemari--<br />

sesekali menggoda temannya hingga marah,<br />

mereka tidak ada yang menampakkan wajah kesal<br />

dan terpaksa, ibu-ibu menggosip dipojok rumah<br />

berdinding merah maroon, membahas tukang<br />

bubur yang anaknya berangkat ke Amerika karena<br />

beasiswa-- sambil melirik sinia tukang bubur yang<br />

ikut bekerja bakti bersama beberapa warga sekitar.<br />

Namun, diantara banyaknya orang yang<br />

bersemangat membersihkan halaman sekitar<br />

sambil tertawa dengan senang, renungan itu<br />

datang, dia duduk dihalaman rumahnya dengan<br />

wajah takzim, sudah lama ia merindukan<br />

kebersamaan itu, sudah hampir 3 tahun semua<br />

kenangan itu hanyalah sebatas kaset yang diputar<br />

berulang kali, hanya lewat, hanya lewat dan hanya<br />

lewat. Anya benar-benar tak menyangka semua<br />

akan seperti ini, sungguh sebuah kehidupan diluar<br />

skenario otak-nya. Kehidupannya sekarang<br />

sangatlah hampa, seperti tali sepatu yang tak dapat<br />

disatukan, sepatu dengan tali adalah satu kesatuan,<br />

layaknya perangko dengan amplop-nya. Yaa.. Anya<br />

merasakan kehidupannya seperti tali sepatu yang<br />

lepas, semua memang bisa disatukan, namun<br />

bukan saatnya. Waktu terus berputar, kenangan<br />

demi kenangan sanggup Anya lewati dengan mulus<br />

dan ceria, dibalik renungan itu, dia menemukan<br />

secuil kebahagiaan, kebahagiaan yang membuat<br />

dirinya mengerti arti kebahagiaan itu<br />

sesungguhnya.<br />

ROMANCE<br />

Pagi, hari Minggu sudah tiba, Minggu<br />

kesekian kalinya, kemarin Anya hanya duduk<br />

diteras rumahnya ketika seminggu lalu, acara<br />

membersihkan halaman rumah bersama-sama<br />

kembali digelar, kemeriahan yang sama, keceriaan<br />

yang sama, gosip yang sama-- tukang bubur itu<br />

ikut bekerja lagu kesekian kalinya, rumah<br />

berdinding merah maroon itu kembali menjadi<br />

sasaran ibu-ibu yang sama, anak-anak berlari<br />

kesana-kemari-- mengejar temannya atau<br />

menggoda hingga marah, namun ada yang<br />

berbeda kali ini, Anya turun dan ikut bergabung<br />

bersama dengan semuanya, menggelung rambut<br />

indahnya, dan menyapu bersama dengan para<br />

tetangganya, tertawa, senang, bahagia, semua<br />

karena mengenal Dimas, orang yang sanggup<br />

membuat bibir manis itu kembali tersenyum.<br />

Dimas, pertemuan dengan lelaki itu sanggup<br />

merubah kehidupan dirinya, kehidupan yang<br />

dulu suram menjadi lebih berwarna bagaikan<br />

pelangi, semua sudah dilalui Anya bersama<br />

dengan Dimas, lelaki yang mengukir sejarah<br />

indah di dalam kehidupan Anya, bagaikan<br />

malaikat penolong yang memberikan kecerahan<br />

dan penerangan, semua berjalan bagaikan air<br />

disungai, mengalun bagaikan melodi yang indah,<br />

petikan demi petikan keindahan dan kehidupan<br />

diberikan oleh Dimas. Anya mengenal Dimas<br />

disaat tali sepatu itu terlepas, Dimas yang merasa<br />

menyebabkan tali sepatu gadis itu lepas segera<br />

berbalik arah, "eh, aku tidak sengaja menginjak<br />

tali sepatumu" tanpa persetujuan Anya, badan itu<br />

berubah jadi berjongkok dan membenarkan tali<br />

sepatu itu, sempurna! Tali simpul pita yang<br />

cantik, semua menjadi awal cerita indah dan<br />

bahagia, kata-kata yang singkat dan sederhana<br />

namun menjadi alasan kedekatan dan rasa itu ada<br />

dan tumbuh, bagaikan bunga mawar merah yang<br />

mulai menunjukkan tangkainya perlahan-lahan.<br />

Tali sepatu bukanlah sebuah alasan kuat dibalik<br />

dekatnya manusia berbeda jenis kelamin itu,<br />

namun tali sepatu mengajarkan arti ketulusan<br />

dan kebahagiaan dengan sesungguhnya.


Dipertengahan dirinya bertemu dengan Dimas,<br />

disaat itu pula secuil ketulusan diajarkan oleh Dimas.<br />

Malam itu, Dimas datang dan berkata bahwa ia akan<br />

pindah ke luar pulau karena mengikuti orang tuanya,<br />

sebucket bunga mawar merah yang segar dipegangnya<br />

dengan erat, status mereka bukanlah sepasang kekasih,<br />

namun semua belum jelas, sama sama suka namun<br />

malu mengungkapkan-- takut saling menyakiti. Dimas<br />

memeluk Anya yang mulai berkaca-kaca, semua sudah<br />

berada dipenghujung cerita. Hari-hari Anya mulai<br />

suram, sebuah ketulusan mulai hilang, seseorang yang<br />

berhasil membuatnya tertawa itu, menjadi cikal-bakal<br />

kembali datangnya renungan itu. Anya, duduk diteras<br />

rumahnya lagi dengan diam takzim, kembali berpikir<br />

dan merenung, kebahagiaan yang belum sempat ia<br />

rasakan ternyata sudah meredup dan nyaris tak ada<br />

jejak dalam hitungan detik saja, tali sepatu<br />

mengajarkannya ketulusan, ketulusan yang saling<br />

melengkapi, saling mensupport, saling memeluk dan<br />

saling mengeratkan hingga akhirnya membentuk<br />

sebuah simpul indah seperti kupu-kupu ataupun pita.<br />

"Dimas, terimakasih telah mengajarkanku sebuah<br />

ketulusan yang indah, simple dan sangat bermakna, se<br />

simple tali sepatu."


ROMANCE<br />

ANTARA CINTA<br />

DAN PERSAHABATAN<br />

OLEH : SISKA DWI JAYANTI<br />

Dinding sudah menunjukan jam 5:15. Aku segera berangkat ke sekolah, aku<br />

bersekolah di SMP N 1 Gresik. Aku termasuk anak cerewet dan jenius. Aku punya teman<br />

yang bernama Chika. Ia adalah sahabat terbaikku, kami berdua sering membicarakan<br />

tentang Cinta. Hingga disuatu hari Alna bercerita kalau dia menyukai seorang laki-laki<br />

tampan yang bernama Irvan, Irvan adalah sahabat terbaiku juga, jadi aku memberitahu<br />

Irvan bahwa Chika menyukainya. Irvan juga pernah bercerita kepadaku kalau ia dulu<br />

juga pernah mencintai Chika, jadi aku memberitahu Chika bahwa Irvan juga<br />

mencintainya. Tanpa berfikir lama lagi Irvan pun langsung menembak Chika, hingga<br />

akhirnya mereka berdua jadian.<br />

Hari demi hari mereka lalui dengan penuh rasa Kasih sayang, dan penuh dengan<br />

kemesraan, bila mereka berdua ada masalah, aku selalu memberi masukan dan<br />

solusinya, hingga hubungan mereka kembali rekat lagi.<br />

Setelah 3 tahun kemudian, aku dan teman-teman satu sekolah mengadakan suatu<br />

perpisahan, perpisahan sekolah terasa menyenangkan hingga kita semua sampai lupa<br />

waktu, hingga sore perpisahan pun belum selesai, adzan maghrib terdengar sedang<br />

berkumandang, kami semua segera bergantian mengambil air wudhu.<br />

Setelah selesai sholat berjamaah kami semua berpamitan kepada guru guru<br />

kami, dan meminta doanya, agar kami semua bisa mencapai ke jenjang sekolah yang<br />

lebih tinggi dan menggapai cita-cita kami. Kami semua pun segera pulang ke rumah<br />

masing-masing dengan rasa bahagia dan capek.<br />

Jam berputar dengan cepat hingga tidak terasa bahwa aku dan teman-teman harus<br />

mencari sekolah kejuruan yang kami inginkan. Aku pun mengjak Chika untuk ke<br />

sekolah yang aku inginkan, akan tetapi Chika pun tidak mau, karena ia kasihan sama<br />

orang tuanya yang tidak sanggup membiayainya, chia masuk ke sekolah yang agak<br />

relatif murah, yang biayanya dapat dijangkau oleh kedua orangtuanya.<br />

Aku memilih sekolah yang aku inginkan. Pertama kali masuk ke sekolah kejuruan<br />

terasa seperti mimpi. Dari dulu aku memang ingin masuk ke sekolah kejuruan. Aku<br />

memilih jurusan Teknik Komputer dan Jaringan atau TKJ. Aku memang menyukai<br />

dengan bidang elektronik.<br />

Setelah lama tidak bertemu dengan sahabatku chika, aku pun pergi kerumahnya<br />

setelah pulang dari sekolah. Setelah sampai dirumah Chika, Chika bercerita banyak<br />

tentang hubungannya dengan Irvan. Ia bercerita bahwa hubungan mereka sudah<br />

kandas ditengah jalan. Aku pun turut prihatin atas semua kejadian yang dialami Chika.<br />

Sepulang dari rumah Chika, aku menuju rumahnya Irvan, aku bertanya ke Irvan<br />

"Mengapa sampai hubungan kalian berdua kandas di tengah jalan?". Irvan menjawab<br />

"Sebenarnya aku dari dulu tidak mencintai Chika, tapi aku mencintai kamu". Aku pun<br />

terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Irvan. Aku menjawab semua perkataan itu<br />

dengan lembut. "aku sebenarnya juga mencintai kamu van, tapi aku memendam rasa<br />

itu karena aku tahu kalau sahabatku sendiri juga mencintaimu.. "


PUITIKA<br />

RASA<br />

oleh : Anggi Mytha<br />

Memendam rasa<br />

tak bisa ungkapkan rangkaian kata<br />

Sebutir cinta telah tumbuh<br />

Serpihan harapan telah hilang<br />

RINDU SAHABAT<br />

oleh :citra eka<br />

Di kala malam datang<br />

aku meridunkanmu<br />

Ysng jauh di negeri orang<br />

Yang terpisahkan oleh jarak yang<br />

begitu jauh<br />

Andai kau tahu<br />

aku disini selalu merindumu<br />

Aku rindu pada sosok dirimu yang<br />

ceria<br />

Entah bagaimana keadaanmu sekarang<br />

Hanya gambarmu yang bisa menepis<br />

rindu ini<br />

kau adalah sahabat terbaikku<br />

jangan lupakan aku<br />

walau raga kita jauh<br />

Pejamkan mata sejenak<br />

Hanya untukmmu<br />

Memberi kenyataan dalam khayalan<br />

Tuk bisa milikmu<br />

Hingga ku terlelap<br />

Takkan ku sesali<br />

Hingga ku terbangun<br />

Kan kubawa inta ini<br />

sampai nanti<br />

WAHAI PURNAMA YANG MEREDUP<br />

OLEH : HOGI CAESAR<br />

Wahai purnama yang meredup<br />

mengapa kau redupkan matamu<br />

Disaat diriku diigigit rasa sendu<br />

Dan kurasakan pahitnya dunia<br />

Wahai penerang malam<br />

Mengapa kau tinggalkan ku sendiri<br />

Membuat hati gelap tiada arti<br />

Mengubah jiwa yang hidup menjaid mati<br />

Membuat malam menjadi penuh misteri<br />

Wahai purnama yang terang<br />

Ku mohon kembali benderang<br />

Kembalilah menyinari diriku<br />

Karena hati ku rindu padamu


RESENSI BUKU<br />

SI DINGIN YANG<br />

HANGAT<br />

Judul: Sunshine Becomes You<br />

Penulis: Ilana Tan<br />

Tanggal penerbitan: Januari, 2012<br />

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama<br />

Tebal halaman: 432<br />

Sebuah rasa memang kebanyakan hadir karena terbiasa.<br />

Sama halnya yang terjadi pada Alex Hirano, pianis yang<br />

terkenal. Sosok dingin yang keren ini bukan orang yang<br />

terbuka, tiba – tiba saja harus berurusan dengan gadis biasa<br />

bernama Mia Mlark, akibat sebuah insiden yang<br />

membuatnya Alex rugi. Kebencian yang muncul di hati satu<br />

sama lain berubah menjadi sebuah perasaan berwarna<br />

merah muda dihati mereka.<br />

Halhal yang biasa mereka lakukan membuat mereka rindu<br />

ketika mereka jauh. Konflik, perseteruan, dan kisah haru<br />

diantara mereka membuat kisah ini membuat penasaran<br />

para pembacanya. Ilana Tan sukses menggambarkan suasana<br />

New York yang nyaman untuk para pembaca novel Sunshine<br />

Becomes You ini

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!