CERMIN MAGAZINE

More documents

Recommendations

Info

Crescent moon oleh : Veronica Rahma Suwandi Udara malam di kawasan jembatan Suramadu membuatku merinding, ini sudah hampir pukul 12 tengah malam namun bagi perempuan sepertiku bukanlah masalah karna malam ini adalah malam minggu yang harus di habiskan dengan bersenang-senang dengan kawan seumuranku, menghabiskan malam dengan candatawa di temani sebungkus rokok dan beberapa kaleng bir murahan itu sudah cukup menggambarkan jutaan kebahagiaan yang akan tergambar sepanjang malam. Malam ini untuk pertama kalinya aku tak berselera tertawa, aku hanya duduk di kursi kayu yang hampir melapuk sembari menatap langit mendengarkan candatawa kawan disekitarku yang sama sekali tak kuhiraukan, sesekali mereka menawariku rokok gratis atau beberapa teguk bir, tetapi aku tetap tak berselera.Hampa adalah satu kata yang dapat menggambarkan sejuta kesedihan yang terbelenggu di dalam hati, kepalaku teramat berat memikirkannya, ingin menangis pun aku sudah bosan menangisihal yang sama, menangisi keadaan, menangisi seorang bajingan. Aku tidak sedang memikirkan pasangan,cinta atau apalah, karna hal itu terlalu murahan, aku tak butuh cinta dan aku tidak percaya cinta. Pernah kalian bayangkan jahatnya seorang sepasang kekasih ternyata membunuh kekasihnya sendiri?Atau ternyata seorang dokter tega membunuh pasiennya?Sama seperti apa yang kurasakan saat ini, Apa yang aku kira selama ini adalah kebahagiaanku,pelindungku,malaikatku adalah orang yang ternyata membunuhku, bukan membunuh fisik, lebih parah lagi, batin dan hatiku telah mati di bunuhnya.
Pikiranku selalu kacau, pening dan sakit tapi tak berdarah.Menyiksa.Tak kukira orang semacam dia yang kukira akan melindungiku dan menjagaku seperti pada hakikatnya tetapi pada akhirnya akan mendorongku keras jatuh pada lubang kegelapan terdalam. Kejadian itu bermula saat ketika pulang dari sekolah dan aku mampir ke warung kecil ibuku, membantunya menutup warung dan berjalan pulang, pernah terbesit di kepalaku bahwa aku akan berhenti sekolah saja karna melihat kondisi ibuku yang sudah menua dan tak kuat untuk mencari tambahan nafkah untuk keluarga, tetapi hal itu selalu aku urungkan karena ibu selalu bilang bahwa aku harus tetap sekolah agar dapat mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada dia. Sesampainya di rumah, pemandangan yang sangat memalukan sekaligus memilukan batin melihat bagaimana seorang ayah, ayah kandungku sendiri berada di rumah bersama perempuan lain, kacau, remuk, dan rapuh seluruh hatiku dan sejak saat itu tak pernah kulihat wajah dari ayah ku, dia pergi kabur entah kemana. Bukan kali pertama melihat kedua orang tuaku selalu beradu mulut di rumah, itulah alasan terkuat mengapa aku tak pernah menemukan tempat yang kusebut rumah dan kali ini, sejak kejadian itu aku bahkan seakan tak pernah mengenal kata rumah.Aku tak pernah pulang kerumah, caraku menemukan rumah dan kebahagiaan yang ada di dalamnya adalah dengan berkumpul bersama kawan sebayaku, tak pernah kulihat pemandangan adu mulut yang memusingkan, hanya canda tawa, kadang jika terlalu berat isi kepalaku, kuangkat dengan bantuan tiga botol bir dan sepuluh biji pil penghilang susah. Maka, bimsalabim hilang sudah pening di kepala. Ayah jangan pernah kau salahkan putri mu jika aku menjadi bersikap menyimpang dariapa yang di harapkan. Melihat mu setiap hari bertengkar dengan ibu dan mengeluarkan sumpah serapah yang kasar telah menjadi salah satu hal yang membuatku hilang akal dan tertekan.Dan sekarang ayah bahkan tega menjadi psikopat bagi putrinya sendiri. Aku tak pernah tahu bagaimana tuhan mengirimkanku turun dan lahir di tengah keluarga yang bahkan tak bisa kusebut keluarga, tuhan umurku baru 16 tahun, aku tak mampu menahan beban di kepalaku ini.Bahkan jika kau berkata tak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hambanya lalu aku ini bagaimana? Bulan sabit di malam ini telah menjadi saksi percakapanku dengan tuhan, Bulan sabit malam ini berdiri dengan kokohnya melihatku terduduk lemah lantah takberdaya, Bulan sabit malam ini dengan jahatnya berdiri indah sedangkan aku terduduk tak berdaya.Tuhan mengapa kau ciptakan aku dalam kondisi sangat tak normal seperti ini?Tuhan aku merindukan sosok yang dapat mengerti aku, aku merindukan sosok yang dapat melindungiku, aku merindukan sosok yang dapat melarangku berbuat kemaksiatan, Tuhan aku rindu bajingan itu.Tuhan aku rindu ayah.
Page 1 and 2: Cermin AYO! GERAKKAN LITERASI SEJAK
Page 3 and 4: SALAM Hai sahabat! REDAKSI CERMIN D
Page 5 and 6: “aku tidak bisa,” jawab Zoya ak
Page 7: BARONGSAI YIN YAN Oleh : Antok Habi
Page 11 and 12: SESIMPLE TALI SEPATU oleh : Lintang
Page 13 and 14: ROMANCE ANTARA CINTA DAN PERSAHABAT
Page 15: RESENSI BUKU SI DINGIN YANG HANGAT

CERMIN MAGAZINE

Create successful ePaper yourself

Delete template?

Save as template?