12.12.2019 Views

Wisnu Nurcahyo toksoplasmosis (pdf)

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.


TOKSOPLASMOSIS

PADA HEWAN


Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta]

1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan

prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa

mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(Pasal 1 ayat [1]).

2. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki

hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan cip taan; b. Penggandaan ciptaan

dalam segala bentuknya; c. Pener jemahan ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemenan,

atau pentransformasian ciptaan; e. pendistribusian ciptaan atau salinannya;

f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman ciptaan; h. Komunikasi ciptaan; dan

i. Penyewaan ciptaan. (Pasal 9 ayat [1]).

3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang

Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk

Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4

(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [3]).

4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang

dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama

10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00

(empat miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [4]).


TOKSOPLASMOSIS

PADA HEWAN

Wisnu Nurcahyo

Dwi Priyowidodo


Katalog Dalam Terbitan (KDT)

© Wisnu Nurcahyo dan Dwi Priyowidodo

Toksoplasmosis pada Hewan / Yogyakarta: Samudra Biru, 2019.

viii + 202 hlm. ; 15,5 x 23 cm.

ISBN : 978-623-7080-36-7

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang me ngutip atau

memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk

apapun juga tanpa izin tertulis dari penerbit.

Cetakan I, Maret 2019

Penulis : Wisnu Nurcahyo

Dwi Priyowidodo

Editor : Joko Prastowo

Desain Sampul : Ityan Jauhar

Layout : M. Hakim

Diterbitkan oleh:

Penerbit Samudra Biru (Anggota IKAPI)

Jln. Jomblangan Gg. Ontoseno B.15 RT 12/30

Banguntapan Bantul DI Yogyakarta

Email: admin@samudrabiru.co.id

Website: www.samudrabiru.co.id

Call: 0812-2607-5872

WhatsApp Only: 0811-264-4745


KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan segala tauhid dan hidayah-Nya, sehingga penulis

dapat menyelesaikan buku Toksoplasmosis pada Hewan ini. Buku

ini ditulis sebagai wujud keprihatinan merebaknya penyakit

toksoplasmosis pada hewan dan ternak di Indonesia, khususnya pada

kucing. Toksoplasmosis masih merupakan parasit yang menghantui

masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan mengingat bahaya infeksi

toksoplasma pada manusia dan hewan yang begitu tinggi. Kebutuhan

hidup manusia yang meningkat tajam bidang protein hewani khususnya

daging, sesuai dengan pertambahan populasi penduduk menuntut

penyediaan makanan yang sehat bagi seluruh masayarakat. Kejadian

toksoplasmosis makin diperparah dengan kondisi lingkungan sekitar

masyarakat yang kian menurun kualitasnya. Hal ini merupakan suatu

tantangan atau tugas yang besar bagi semua pihak, khususnya yang

berkepentingan dengan masalah kesehatan hewan, dokter hewan,

sarjana peternakan, dan para petugas kesehatan dan karantina hewan

dalam mencegah, mendiagnosa, mendeteksi, dan menjaga penularan

toksoplasmosis pada hewan dan ternak.

Toksoplasmosis pada Hewan

v


Berbagai usaha dan pendekatan telah diupayakan dalam

penanggulangan penyakit toksoplasmosis pada hewan dan ternak,

namun belum menunjukkan hasil yang memuaskan, terutama

dalam hal diagnosa dini, deteksi secara cepat, efisien, dan akurat.

Pemeriksaan klinis dan patologis kucing akibat infeksi Toksoplasmosis

yang menyerang kucing merupakan suatu langkah awal yang sangat

penting dalam pencegahan penyakit parasiter ini. Metode-metode

pemeriksaan toksoplasmosis saat ini sudah berkembang jauh lebih

maju jika dibanding sepuluh tahun yang lalu, mulai dari metode

konvensional yang biasa diterapkan di lapangan hingga metode

mutakhir seperti penerapan bioteknologi pada penyakit hewan dapat

dipakai sebagai alat diagnosa atau deteksi penyakit parasiter.

Diharapkan dari buku ini dapat memberikan gambaran

mengenai cara diagnosa toksoplasmosis pada hewan bagi mahasiswa,

petugas kesehatan hewan, dan masyarakat luas yang berminat dalam

masalah toksoplasmosis sebagai upaya dalam menanggulangi dan

meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko penularannya. Selain itu

diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu

pengetahuan khususnya di bidang parasitologi.

Yogyakarta, Januari 2019

Penulis

vi

Toksoplasmosis pada Hewan


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................v

DAFTAR ISI.............................................................................vii

BAB I

PENDAHULUAN..................................................................... 1

BAB II

TOKSOPLASMOSIS................................................................ 7

BAB III

BIOLOGI DAN SIKLUS HIDUP......................................... 15

BAB IV

BIOLOGI MOLEKULER...................................................... 33

BAB V

GEJALA KLINIS..................................................................... 37

BAB VI

PATOGENESIS....................................................................... 53

BAB VII

IMUNOLOGI................................................................................... 67

BAB VIII

DIAGNOSA KLINIS.............................................................. 81

Toksoplasmosis pada Hewan

vii


BAB IX

DIAGNOSA BIOLOGIS........................................................ 91

BAB X

DIAGNOSA LABORATORIS............................................... 95

BAB XI

DIAGNOSA SEROLOGIS...................................................103

BAB XII

DIAGNOSA BIOLOGI MOLEKULER..............................115

BAB XIII

ISOLASI PARASIT................................................................131

BAB XIV

PREVALENSI TOKSOPLASMOSIS...................................137

BAB XV

PENULARAN DAN PENCEGAHAN................................145

BAB XVI

STUDI KASUS TOKSOPLASMOSIS.................................155

BAB XVII

KESIMPULAN DAN SARAN..............................................171

DAFTAR PUSTAKA .................................................................173

BIOGRAFI...................................................................................187

GLOSARIUM.............................................................................191

INDEKS.......................................................................................195

viii

Toksoplasmosis pada Hewan


BAB I

PENDAHULUAN

A. Sejarah

Berdasarkan asal katanya, Toxoplasma, berasal dari kata toxon yang

memiliki arti cekung, sedangkan plasma berarti bentuk. Selanjutnya,

istilah ini digunakan untuk menjelaskan bentuk toksoplasma yang

menyerupai bulan sabit atau pisang. Toksoplasmosis merupakan suatu

penyakit yang bersifat anthropozoonosis dari suatu penyakit parasiter

yang disebabkan oleh protozoa parasit yaitu Toxoplasma gondii. Parasit

ini dapat menyerang berbagai hewan berdarah panas, ternak, hewan

kesayangan dan manusia. Penularan penyakit ini dapat terjadi secara

kongenital, menelan makanan dan minuman yang mengandung sista

atau terkontaminasi oosista sebagai bentuk lain dari stadiumnya

(Soulsby, 1982).

Parasit yang menyerupai Leishmania ini mula-mula ditemukan

oleh Nicolle dan Mancaeux pada tahun 1908 dari limfa dan hati sejenis

binatang mengerat di Afrika Utara yang disebut gundi, sehingga

untuk nama spesies digunakan gondii (Ctenodactylus gondi). Dua

tahun setelah itu, Splendore (1910) menemukan adanya organisme

yang berbentuk mirip dengan penemuan Nicolle dan Manceaux pada

Toksoplasmosis pada Hewan

1


kelinci di Sao Paulo (Brasilia) dan kemudian diberi nama Toxoplasma

caniculi. Seorang ahli mata di Paraguay yang bernama Janku pada

tahun 1923 kemudian menemukan kasus toksoplasmosis pada

manusia. Beliau menemukan sista parasit dalam retina pasien berumur

11 bulan yang menderita hidrosefalus kongenital dan mikroptalmus.

Organisme tersebut oleh Levaditi pada tahun 1928 dikenali sebagai

Toxoplasma pada manusia yang kemudian timbul dugaan awal bahwa

ada hubungan antara hidrosefalus kongenital dan toksoplasmosis.

Selanjutnya pada tahun 1939, Wolf et al. berhasil mengisolasi parasit

ini dan memastikan-nya sebagai penyakit kongenital pada neonatus.

Kasus toksoplasmosis yang fatal pada orang dewasa dikemukakan

oleh Pinkerton dan Weinmann pada tahun 1940. Parasit ini merupakan

koksidia intraseluler obligat yang sudah tersebar di seluruh dunia dan

mendapat perhatian yang sangat serius karena menyangkut kesehatan

hewan dan manusia. Akibat yang ditimbulkan dari infeksi parasit

ini cukup tinggi terutama di negara-negara berkembang di daerah

tropis. Toxoplasma gondii mempunyai hospes tetap yaitu kucing piara

dan jenis hewan yang sebangsa dengan kucing. Manusia dan hewan

dapat terinfeksi secara kongenital dengan cara menelan daging yang

mengandung sista yang tidak dimasak atau tertelannya oosista yang

telah bersporulasi. Parasit tersebut ditemukan pada banyak hewan,

sehingga memiliki sinonim di antaranya: T. caniculi, T. caviae, T.

canis, T. musculi, T. ratti, T. laidlawi, T. sciuri, dan T. pyrogenes (Levine,

1990). Toxoplasma gondii dapat dikatakan menjadi salah satu parasit

yang paling “sukses” di dunia. Infeksi parasit ini dapat menimbulkan

berbagai macam gejala klinis yang berbeda di setiap hospesnya, bahkan

dapat menyebabkan penyakit yang berakibat fatal pada beberapa

spesies mamalia laut dan marsupial, karena hewan-hewan tersebut

telah lama berkembang biak di daerah yang jauh dari jangkauan

parasit. Pada spesies lain seperti hewan ternak dan manusia, infeksi

kongenital umum terjadi (Dubey and Beattie, 1988).

2 Toksoplasmosis pada Hewan


Gambar 1. Toxoplasma gondii; a. Takizoit; b. Ultrastuktur dari

Takizoit; c. Sista berisi Bradizoit. (sumber : jotscroll.com)

B. Klasifikasi

Secara umum klasifikasi untuk T. gondii menurut Soulsby (1982)

adalah sebagai berikut:

Filum

Klas

: Apicomplexa

: Sporozoa

Subklas : Coccidia

Ordo

: Eucoccidiidae

Subordo : Eimeriina

Famili

Genus

: Sarcocystidae

: Toxoplasma

Spesies : Toxoplasma gondii

Di dalam familia Sarcocystidae, meron dan merozoit terdapat

di dalam hewan yang dimangsa dan oosista-oosista terdapat pada

hewan-hewan predator berupa mamalia, burung atau ular. Semua

anggota dari familia ini menghasilkan oosista-oosista yang berisi 2

sporosista, kemudian masing-masing sporosista ini berisi 4 sporozoit.

Oosista-oosista dihasilkan dari dalam sel-sel usus hewan predator

Toksoplasmosis pada Hewan

3


(pemangsa), sedangkan stadium asekualnya berlangsung pada hewan

yang dimangsa (Levine, 1990).

Pada genus Toxoplasma, merogoni terjadi pada hospes definitif

dan hospes perantara. Oosista dihasilkan dari dalam sel-sel usus hospes

definitif. Mengingat pentingnya genus ini sebagai penyebab penyakit

pada manusia, maka spesies T. gondii merupakan satu-satunya anggota

genus yang paling banyak diperhatikan pada penelitian. Spesies ini

biasa ditemukan di seluruh dunia. Kira-kira 25-30% populasi manusia

di dunia memiliki antibodi terhadap toksoplasmosis. Selain itu,

penyakit ini juga telah ditemukan praktis pada hampir semua jenis

hewan peliharaan (Levine, 1990).

1. Hospes Perantara

Pada mulanya T. gondii ditemukan pada rodensia di Afrika

Utara yang bernama gondi (Ctenodactylus gondi). Sejak saat itu,

parasit tersebut dari berbagai laporan para peneliti telah ditemukan

dalam lebih dari 200 spesies mamalia dan burung. Daftar hospes

ini mencakup rodensia, lagomorf-lagomorf, insektivora, karnivora,

marsupiala, primata (termasuk manusia), spesies-spesies dari burung

termasuk ayam, merpati dan burung kenari. Pada kura-kura, kadal,

tokek, bunglon dan sebangsanya dilaporkan juga dapat terinfeksi

secara buatan (Levine, 1990).

4 Toksoplasmosis pada Hewan


Gambar 2. Tikus Salah Satu Hospes Perantara Toksoplasma

(Ilustrasi; sumber : Alkestida, shutterstock)

2. Hospes Definitif

Sebagai hospes definitif dari T. gondii adalah anggota-anggota

dalam familia karnivora Felidae. Termasuk dalam familia ini di

antaranya adalah: kucing (Felis catus), jaguar (F. yagouroundi), ocelot (F.

paradalis), singa gunung (F. concolor), kucing leopard (F. bengalensis),

lynx (Lynx pardinus) dan berbagai jenis kucing lainnya.

Toksoplasmosis pada Hewan

5


Gambar 3. Lynx, Salah Satu Hewan yang Dapat Bertindak sebagai

Hospes Definitif atau Inang Tetap Toxoplasma gondii (sumber :

Sciencedaily dan Programa de Conservación Ex-situ del Lince

Ibérico / www.lynxexsitu.es)

3. Lokasi

Meron dan stadium seksual dari T. gondii terdapat di da lam

sel-sel epitel villi usus halus kucing. Pada hospes perantara terdapat

juga meron dan merozoit-merozoit yang tersebar dibanyak tipe selsel

hospes, termasuk di dalamnya misalnya neuron-neuron, mikroglia,

endotel, sel-sel parenkim hati, sel-sel epitel paru-paru dan kelenjar,

sel-sel jantung dan otot-otot kerangka, selaput-selaput fetal dan

sel-sel darah putih. Pada kejadian infeksi akut, bentuk-bentuk dari

merozoit dapat ditemukan bebas di dalam aliran darah dan eksudat

peritoneal (Levine, 1990).

6 Toksoplasmosis pada Hewan


BAB II

TOKSOPLASMOSIS

Toksoplasma merupakan penyakit zoonosis yang banyak

menimbulkan permasalahan bagi manusia dan hewan. Toksoplasmosis

merupakan suatu penyakit yang bersifat anthropozoonosis dari

suatu penyakit parasiter yang disebabkan oleh protozoa parasit

yaitu Toxoplasma gondii. Parasit yang dapat menyerang berbagai

hewan berdarah panas, ternak, hewan kesayangan dan manusia ini

penularannya dapat terjadi secara kongenital, menelan makanan dan

minuman yang mengandung sista atau terkontaminasi oosista sebagai

bentuk lain dari stadiumnya (Soulsby, 1986).

Toksoplasmosis merupakan salah satu dari sekian banyak

penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang secara alami dapat menular

dari hewan ke manusia. Gejala klinis dari penyakit ini tidak nampak,

namun telah banyak menimbulkan kerugian baik bagi manusia

maupun hewan yang terkena infeksinya. Di bidang kedokteran

misalnya, kekhawatiran terhadap adanya infeksi toksoplasmosis

selalu menghantui pada kaum wanita dan terutama ibu-ibu yang

sedang hamil. Hal ini dapat dimaklumi mengingat akibat yang

Toksoplasmosis pada Hewan

7


ditimbulkan pada manusia lebih banyak berhubungan dengan

kaum wanita, yaitu apabila infeksi toksoplasmosis terjadi secara

kongeital dapat menyebabkan akibat pada bayi berupa perkapuran,

korioretinitis, hidrosefalus, mikrosefalus, gangguan psikologis,

gangguan perkembangan mental pada anak setelah lahir dan kejangkejang.

Infeksi tersebut dapat menjadi lebih parah apabila menyerang

penderita AIDS yang kemudian menyebabkan toksoplasmosis akut.

Pada hewan, toksoplasmosis banyak menimbulkan kerugian

ekonomi yang tidak kalah pentingnya, karena dapat menyebabkan

abortus, kematian dini dan kelainan kongenital. Kerugian ekonomi ini

belum termasuk biaya pemeliharaan yang sangat besar pada suatu usaha

peternakan rakyat dan skala industri. Dalam hal ini, hewan memegang

peranan yang sangat penting sebagai salah satu bentuk penularan.

Seperti diketahui, manusia dapat tertular toksoplasma dengan cara

menelan oosista toksoplasma bersama makanan, makan daging yang

kurang matang secara langsung yang mengandung bradizoit atau salah

satu bentuk dalam daur hidup toksoplasma, melalui luka terbuka yang

kemasukan oosista atau bermain-main dengan hewan kesayangan,

seperti kucing, anjing dan burung. Selain itu, masih banyak lagi modus

penularan yang lain yang berpotensi sebagai gerbang masuknya infeksi

toksoplasmosis pada manusia dan hewan (Nurcahyo, 2001).

Manusia dan hewan termasuk unggas dapat menderita

toksoplasmosis yang secara garis besar melalui 3 cara : yaitu

mengkonsumsi daging yang kurang masak yang terinfeksi takizoit

(pada fase akut) atau menelan bentuk bradizoit (fase kronis) dengan

cara mengkonsumsi makanan dan minuman yang tercemar oosista

yang berasal dari tinja kucing yang terinfeksi dan secara transplasental

dari induk yang terinfeksi selama masa kehamilan. Tidak seperti

pada berbagai penyakit lainnya, kasus toksoplasmosis umumnya tidak

menunjukkan adanya gejala klinis baik pada hospes definitif maupun

hospes perantara. Pada kucing misalnya, toksoplasmosis umumnya

8 Toksoplasmosis pada Hewan


jarang disertai timbulnya gejala klinis meskipun kucing tersebut

terinfeksi oleh oosista yang jumlahnya berjuta-juta. Sementara itu,

data-data mengenai toksoplasmosis di Indonesia masih sangat kurang

yang disebabkan karena penyakit ini secara klinis tidak menunjukkan

gejala klinis yang spesifik.

Gambar 4. Ilustrasi Sumber Infeksi T. gondii dari Lingkungan

Maupun Hewan yang Menyebabkan Zoonosis pada Manusia

(Robert-Gangneux dan Dardé, 2012).

Kucing dan beberapa golongan Felidae sangat berperan penting

sebagai kunci perkembangan dan penyebaran toksoplasmosis,

karena hewan-hewan ini bertindak sebagai hospes definitif pada

toksoplasmosis. Biasanya oosista toksoplasma akan dilepaskan oleh

kucing dalam keadaan belum bersporulasi. Setelah sporulasi, di dalam

Toksoplasmosis pada Hewan

9


oosista tersebut berkembang menjadi 2 sporosista yang masing-masing

mengandung sporozoit. Kucing di seluruh dunia merupakan sumber

laten dari infeksi Toxoplasma gondii. Berbagai penelitian pada kucing

- kucing di seluruh dunia, terdeteksi antibodi terhadap toksoplasmosis

sebanyak 20 - 90 %. Namun pada kucing yang diberi makan yang

matang dan senantiasa tinggal di rumah, pada kenyataannya sangat

jarang terinfeksi toksoplasmosis (Rommel et al.,, 1987). Selain

perkembangan di dalam intestinum, oosista juga aktif berkembang

di luar usus atau organ pada kucing sebagaimana perkembangan yang

terjadi pada hewan-hewan perantara lainnya. Infeksi toksoplasmosis

bagi kucing justru tidak menimbulkan masalah, karena pada kucing

tidak menunjukkan gambaran klinis yang spesifik. Infeksi alam pada

kucing akan menunjukkan gejala-gejala anoreksia, demam, gejala

gangguan pernafasan dan ensefalitis.

Suatu hal yang perlu diketahui sebelumnya, ada pendapat

bahwa kucing sebagai hewan kesayangan merupakan sumber dari

penyakit toksoplasmosis. Pendapat yang selama ini berkembang

pada masyarakat tersebut adalah keliru. Pada kenyataannya, apabila

hewan-hewan tersebut dipelihara dengan baik dan benar dengan

selalu menjaga kesehatan dan kebersihan hidupnya, seperti halnya

manusia menjaga kesehatan diri dan lingkungannya, maka infeksi ini

sangat jarang terjadi. Bagi kucing sendiri, toksoplasmosis tidak akan

mengakibatkan gejala klinis yang berat, meskipun di dalam tubuhnya

didapati berjuta-juta oosista toksoplasma. Ini menunjukkan bahwa

parasit tersebut sangat baik mengembangkan adaptasi dirinya di

dalam tubuh kucing dan kucing juga mampu mengembangkan sistim

kekebalan dengan baik. Sementara itu, pada tubuh hospes perantara,

yaitu pada manusia dan hewan mamalia, dapat mengakibatkan

kejadian penyakit akut dan kronis.

Toksoplasmosis pada domba dan kambing memiliki arti penting.

Hal ini mengingat masyarakat Indonesia yang sangat menggemari

10 Toksoplasmosis pada Hewan


jenis masakan sate. Dikhawatirkan sate yang dimasak kurang matang

terutama di bagian tengah memungkinkan sista bradizoit masih

aktif sehingga dapat menginfeksi manusia yang mengkonsumsi.

Gejala-gejala klinis toksoplasmosis pada domba dan kambing juga

tidak tampak jelas, mungkin dapat dijumpai demam hingga 41,5 °C,

anemia, batuk-batuk, diare, nafsu makan hilang, kelumpuhan, otot

paha gemetar dan gejala syaraf. Apabila infeksi ini melanjut akan

terjadi keguguran, lahir cacat atau kematian (Marques dan Dacosta,

1985). Infeksi yang terjadi pada kambing diketahui lebih parah

dibandingkan domba (Dubey, 1990).

Kasus toksoplasmosis berbeda dengan penyakit pada

umumnya, penyakit ini tidak menunjukkan gejala klinis spesifik

baik saat berada pada hospes definitif maupun hospes perantara.

Pada kucing misalnya, kucing yang terinfeksi oleh oosista meskipun

dengan jumlah berjuta-juta masih tidak tampak timbulnya

gejala klinis. Hal ini juga menyebabkan data-data mengenai

toksoplasmosis pada hewan di Indonesia masih sangat kurang, salah

satunya disebabkan karena penyakit ini tidak menunjukkan gejala

klinis spesifik. Diagnosa toksoplasmosis secara klinis pada hewan

dan manusia sangat sulit diteguhkan mengingat penyakit ini bersifat

asimptomatis atau subklinis pada infeksi kronis, sedangkan pada

infeksi yang akut, gejala umumnya mirip dengan penyakit infeksi

lain. Sehingga perlu dilakukan upaya pembuktian adanya Toxoplasma

gondii dengan berbagai cara. Secara umum, diagnosa toksoplasmosis

dapat ditegakkan dengan mengelompokkan menjadi 3 macam, yaitu

diagnosa klinis, biologis dan laboratoris. Diagnosa akan menjadi

lebih sulit, jika gejala klinis toksoplasmosis menyerupai penyakit

infeksi dan non infeksi yang lain. Untuk itu, perlu dilakukan

diagnosa lain yang meyakinkan dengan cara isolasi parasit tersebut

dan menginokulasikan jaringan yang diduga pada mencit atau

hewan-hewan percobaan lain yang peka (Soulsby, 1982).

Toksoplasmosis pada Hewan

11


Diagnosa-diagnosa tersebut di atas, masing-masing memiliki

kelebihan dan kekurangan. Diagnosa serologis dilakukan untuk

mendeteksi adanya antibodi di dalam serum berupa IgM dan IgG,

serta adanya antigen dalam tubuh hospes (Wilson et al., 1990).

Kadang-kadang suatu diagnosa menjadi tidak sensitif terutama

pada pasien yang memiliki respon imun kurang. Selain itu, dengan

pemeriksaan histologis juga terkadang tidak dapat ditemukan adanya

parasit, mengingat perubahan pada toksoplasmosis tidak spesifik

(Spencer, 1972). Diagnosis secara konvensional umumnya tidak

sensitif atau sering dapat menimbulkan positif palsu yang disebabkan

karena penggunaan antigen dari luar negeri yang tidak sama dengan

isolat Indonesia. Selain itu, uji serologis yang ada di pasaran masih

sangat mahal yang pada dasarnya disebabkan karena terbatas pada

penyediaan antigen. Aplikasi dalam teknik ELISA penangkap

antibodi memang dirasa masih merupakan teknik diagnosa yang

handal yang diharapkan mempunyai keunggulan dibanding metode

konvensional sehingga dapat mengganti kit diagnosa yang sampai

saat ini masih impor dari luar negeri. Namun, permasalahan pada

hewan ternak adalah metode ini masih terlalu mahal. Kebanyakan

peternak di Indonesia masih menggangap masalah kesehatan hewan

ternaknya tidak begitu penting sehingga pada umunya enggan untuk

mengeluarkan biaya untuk diagnosa dan pengobatan. Penggunaan

isolat lokal diharapkan dapat menjadi material dasar untuk pembuatan

antigen membran rekombinan yang akan dapat diproduksi untuk

mendeteksi toksoplasmosis di Indonesia dengan spesifitas dan

sensitifitas yang tinggi.

Berbagai permasalahan terkait toksoplasma ini perlu

dijadikan landasan untuk mendorong perbaikan sistem penanganan

toksoplasmosis di Indonesia. Mulai dari masih sangat kurang

pemahaman tentang penyakit toksoplasma, terutama karena penyakit

ini secara klinis tidak menunjukkan gejala yang spesifik. Pemilihan

12 Toksoplasmosis pada Hewan


metode diagnosa yang terbaik untuk toksoplasma, terutama karena

aplikasi teknik ELISA penangkap antibodi dan biologi molekuler

yang diandalkan kenyataannya masih merupakan teknik diagnosa yang

mahal untuk diaplikasikan pada hewan. Sampai kepada pendataan

penyakit yang lebih akurat untuk penanggulangan toksoplasma yang

lebih baik.

Toksoplasmosis pada Hewan

13


14 Toksoplasmosis pada Hewan


BAB III

BIOLOGI DAN SIKLUS HIDUP

Oosista

Toxoplasma gondiii adalah termasuk dalam golongan koksidia

yang terdiri dari tiga bentuk yaitu : oosista, endozoit (takzoit) dan

sistozoit (bradizoit). Perkembangan dari skizogoni dan gametogoni

terjadi di dalam epitel usus kucing yang kemudian akan menghasilkan

oosista bentuk bulat dengan dinding terdiri dari dua lapis yang akan

keluar bersama tinja. Di luar tubuh kucing, oosista tersebut akan

mengalami sporogoni dengan membentuk dua sporosista yang msaingmasing

memiliki 4 sporozoit (Neva dan Brown, 1994). Oosista yang

dikeluarkan bersama dengan kotoran kucing dalam waktu 1- 2 minggu

setelah infeksi primer terjadi, selanjutnya akan mengalami sporulasi

kurang lebih 1-5 hari, tergantung pada temperatur lingkungan

kelembaban dan aerasi. Menurut Jacobs dan Frenkel (1982) oosista

dapat tahan hidup selama 14 hari pada kelembaban udara 22-44 % dan

18 hari pada kelembaban 80 %. Untuk oosista yang telah bersporulasi

dapat bertahan 28 hari pada suhu –20 o C.

Toksoplasmosis pada Hewan

15


Gambar 5. Bentuk Oosista Toxoplasma gondi pada Feses Kucing

Oosista yang keluar dari hospes definitf akan mengalami

sporulasi di bawah kondisi alam yang sesuai menjadi 8 sporozoit,

yaitu bentuk yang infektif pada manusia dan hewan (Frenkel, 1990).

Apabila oosista yang telah bersporulasi ini mencemari makanan

atau minuman dan kemudian tertelan oleh hospes perantara, maka

akan pecah di dalam usus. Sporozoit yang dikeluarkan tersebut akan

menginfeksi dan selanjutnya mengadakan multiplikasi di dalam sel

epitel usus dan limfonodus di sekitarnya, sehingga akhirnya terbentuk

trofozoit. Trofozoit ini akan menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran

darah dan limfe. Selanjutnya terjadilah fase multiplikasi secara seksual

yang akan membentuk sista jaringan dengan kandungan bradizoit

yang banyak (Dubey, 1994; Neva dan Brown, 1994).

Secara seksual (gametogenesis), trofozoit akan mengadakan

multiplikasi dan diferensiasi intraseluler secara endodiogeni,

sehingga masing-masing trofozoit akan menghasilkan dua

merozoit. Siklus reproduksi yang repetitif tersebut akan membentuk

koloni organisme yang berbentuk roset dengan sel mukosanya yang

mengalami pembengkakan, kemudian pada akhirnya akan pecah.

16 Toksoplasmosis pada Hewan


Proses selanjutnya adalah pembelahan secara skizogoni yang akan

menghasilkan 5 sampai 32 merozoit yang masuk ke dalam lumen

usus dan menembus sel epitel usus di sekitarnya. Merozoit tersebut

selanjutnya akan mengalami proses pembentukan gamet atau

gametogoni yang akan menghasilkan mikrogamet (gamet jantan)

dan makrogamet (gamet betina). Apabila kedua gamet tersebut

bersatu, maka terjadilah zigot atau bentukan yang dinamakan

oosista. Oosista tersebut selanjutnya akan keluar bersama dengan

feses yang masih non infektif. Melalui suatu proses yang dinamakan

sporulasi, oosista tersebut akan berkembang menjadi sporoblas

yang di dalamnya masing-masing mengandung sporosista.

Sporosista tersebut masing-masing akan membelah diri lagi untuk

menghasilkan 4 sporozoit. Sehingga di dalam 1 oosista terdapat 8

sporozoit (Desmonts, 1990). Gametosit sendiri pembentukannya

berlangsung di dalam usus halus selama 3 sampai 15 hari setelah

infeksi terjadi. Periode yang dibutuhkan mulai dari masuknya

oosista atau parasit ke dalam tubuh hospes hingga terjadinya gejala

klinik atau periode prepaten dari toxoplasma adalah 20 - 40 hari.

Perkembangan selanjutnya akan berakhir di dalam usus kucing, yaitu

dengan terbentuknya oosista (Soulsby, 1982). Untuk berkembang

menjadi oosista di dalam tubuh kucing dapat memerlukan yang

lebih singkat, apabila infeksi yang terjadi berupa penelanan sistozoit

atau bentuk bradizoitnya, yaitu berkisar antara 3 - 21 hari. Apabila

kucing tersebut menelan bentuk takizoit, maka perlu waktu 19 -

48 hari (Cheng, 1986). Selain itu, siklus perkembangan Toxoplasma

gondii akan lebih sempurna apabila kucing memakan jaringan atau

daging dari hospes perantara yang mengandung sista jika dibanding

menelan oosista dari tanah. Dengan demikian maka jumlah oosista

yang dikeluarkan bersama kotoran kucing akan lebih banyak setelah

menelan sista jaringan apabila dibanding dengan menelan oosista

yang bersporulasi (Dubey, 1994).

Toksoplasmosis pada Hewan

17


Oosista adalah bentuk dari T. gondii yang hanya terdapat pada

kotoran (feses) kucing dan sebangsanya yang menderita toksoplasmosis.

Oosista ini mempunyai bentuk sperikal dengan ukuran untuk yang

bersporulasi adalah 11 - 14 x 9 - 11 µm, tanpa mikropil, residu atau

butir polar dan berisi 2 sporosista berbentuk elip dengan ukuran kirkira

8,5 x 6 µm, tanpa disertai benda stieda. Sporozoit memiliki ukuran

8 x 2 µm (Levine, 1985). Tiap-tiap oosista mengandung 4 sporosista

yang mempunyai bentuk elipsoid. Sporulasi terjadi pada temperatur

24 °C dalam waktu 2 sampai 3 hari dan oosista yang bersporulasi

memiliki ukuran 13 x 12 µm. Bentuk ini sangat tahan terutama yang

telah mengalami sporulasi (mengandung sporozoit) dapat bertahan

selama 306 hari pada suhu 37 °C dan pada suhu antara 37 °C - 50 °C

oosista yang belum bersporulasi hanya akan dapat bertahan selama

24 jam. Dengan pendinginan pada suhu - 21 °C pada oosista yang

belum bersporulasi akan dapat bertahan sampai 28 hari. Sedangkan

pada suhu -6 °C oosista ini mampu bertahan sampai 14 hari (Frenkel,

1975).

Pada infeksi ekstraintestinal, setelah oosista, bradizoit dalam

sista atau takizoit tertelan, terjadilah infeksi enterik yang kemudian

akan dapat meluas ke limfoglandula di sekitarnya dan kemudian

melalui vena porta menuju hati atau melalui duktus torasikus menuju

ke paru-paru. Setelah itu, parasit akan tersebar secara sistemik menuju

jaringan yang lain. Pada infeksi yang akut, T. gondii dapat diisolasi

dari darah dan sering dengan titer yang tinggi. Akan tetapi pada

infeksi kronis, parasitemia jarang terdapat dan titer antibodinyapun

nampak rendah (Soulsby, 1982).

Takizoit

Setelah menembus lamina propia usus, protozoa ini akan

menyebar dalam darah dan limfe yang akhirnya terbentuklah takizoit

yang akan menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah dan

limfe. Takizoit sendiri dapat menembus sel-sel yang besar di dalam tubuh

18 Toksoplasmosis pada Hewan


dan memperbanyak diri secara intraseluler sampai sel yang ditempati

menjadi hancur. Adanya kombinasi antara tanggap kebal berperantara

sel dan humoral yang terjadi pada individu yang imunokompeten akan

dapat menghambat replikasi, sehingga akan menyebabkan terhambatnya

perkembangan sista jaringan yang mengandung bradizoit. Perbanyakan

dari takizoit akan dapat menyebabkan luka pada jaringan yang apabila

berlangsung lama akan menjadi parah dan menimbulkan kematian

akibat imnudefisiensi. Bradizoit sebetulnya tidak terlibat dalam proses

yang dapat menimbulkan peradangan. Oleh karena itu dapat bertahan

dalam jaringan selama hidup hospes. Bentuk dari sista jaringan akan

lebih mudah terbentuk dalam sistem syaraf pusat, otot dan organ-organ

dalam. Bradizoit yang ada di dalam sista dapat juga menjadi aktif,

menyebabkan parasitemia, menimbulkan infeksi dan pecahnya jaringan

sehingga dapat menimbulkan gejala klinis. Kasus ini terutama terlihat

pada para penderita AIDS yang mengalami imunosupresif berat atau

akibat pemberian glukokortikoid dosis tinggi (Frenkel, 1990; Lappin,

1994).

Gambar 6. Bentukan Takizoit dari Toxoplasma gondii

Toksoplasmosis pada Hewan

19


Gambar 7. Takizoit dengan Panjang 6-8 μm (Kaufman. 1996)

Pada infeksi akut, bentuk takizoit yang terlihat, dapat menginvasi

semua tipe sel-sel yang berinti (Krahenbuhl dan Remington, 1982).

Pada hewan selain Felidae, takizoit merupakan stadium pertama setelah

hewan tersebut menelan oosista yang telah bersporulasi. Perkembagan

takizoit ini berlangsung di dalam vakuola beberapa tipe sel termasuk

fibroblas, hepatosit, sel-sel retikuler dan sel-sel miokardial. Takizoit

tersebut bentuk seperti bulan sabit, oval dengan salah satu ujungnya

yang runcing, sedangkan ujung yang lain tumpul, dengan panjang 4-8

µm dan lebar 2-4 µm. Pada tubuh kucing, perkembangan dari takizoit

terjadi di dalam lamina propria, limfonodus mesenterika, jejenum

dam ileum. Pada hewan yang lain, bentuk takizoit berkembang dalam

vakuola dari bermacam-macam sel seperti fibroblas hepatosit, sel

retikuler dan sel miokardial, takizoit ini memperbanyak diri, kemudian

terjadi akumulasi menjadi 8 sampai 16 organisme di dalam sel inang.

20 Toksoplasmosis pada Hewan


Gambar 8. Ultrastruktur Takhizoit Toksoplasma gondii (Ajioka et

al., 2001)

Gambar 9. (A) Takizoit yang terlihat di Dalam Sel; (B) Kista yang

Berisi Bradizoit (Garcia dan Bruckner, 1996)

Bentuk toksoplasma akut dapat terjadi di dalam saluran

pencernaan dan akan membentuk takizoit melalui siklus enteroepitelial.

Infeksi ini akan menyebar melalui pembuluh darah dan limfe. Takizoit

Toksoplasmosis pada Hewan

21


ini selanjutnya akan masuk ke jaringan limfonodus di sekitarnya dan

jaringan tubuh yang lain misalnya : sistim saraf pusat, otot rangka

dan sistim peredaran darah dan organ-organ dalam. Timbul suatu

dugaan bahwa takizoit dapat mengalami replikasi di dalam sel-sel

jaringan hospes. Selama infeksi akut ini, parasit akan mengalami

replikasi dengan cepat terutama pada saat takizoit berbentuk lancip

lonjong yang siap mengadakan invasi dan melisiskan sel hospes.

Semua sel yang memiliki inti memiliki potensi untuk diinfeksi oleh

takizoit (Werk, 1985). Kejadian tersebut akan menjadi semakin

parah apabila terjadi kerusakan jaringan pada hospes dengan disertai

imunodefisiensi yang selanjutnya dapat berakibat kematian. Selain

itu, penyebaran infeksi toksoplasma dapat terjadi dari satu sel ke sel

yang lain atau melalui aliran darah (Frenkel, 1990). Pada beberapa

hospes yang bersifat imunokompeten, proliferasi parasit selama

infeksi akut dikendalikan oleh sejumlah sistim efektor tanggap kebal

hospes dengan mediator utama limfosit T sitotoksik. Peran ini sangat

besar dalam penghancuran takizoit dengan disertai interferon gamma

(IFN-γ) dengan sejumlah efek imunostimulator dan parasitik lain. Di

samping itu, antibodi yang spesifik juga telah disiapkan oleh tubuh

untuk menghadapi infeksi pada fase akut (Lappin, 1994).

Pada infeksi akut, takizoit dapat menginvasi semua tipe sel-sel

yang berinti (Krahenbuhl dan Remington, 1982). Pada hewan selain

Felidae, takizoit merupakan stadium pertama setelah hewan tersebut

menelan oosista yang telah bersporulasi. Perkembangan takizoit ini

berlangsung di dalam vakuola beberapa tipe sel termasuk fibroblas,

hepatosit, sel-sel retikuler dan sel-sel miokardial. Takizoit tersebut

bentuknya seperti bulan sabit, oval dengan salah satu ujungnya yang

runcing, sedangkan ujung yang lain tumpul dengan panjang 4 - 8 µm

dan lebar 2 - 4 µm. Pada tubuh kucing, perkembangan dari takizoit

terjadi di dalam lamina propia, limfonodus mesenterika, jejenum

dan ileum. Pada hewan yang lain, bentuk takizoit berkembang

22 Toksoplasmosis pada Hewan


dalam vakuola dari bermacam-macam sel seperti fibroblas hepatosit,

sel retikuler dan sel miokardial. Takizoit ini memperbanyak diri,

kemudian terjadi akumulasi menjadi 8 sampai 16 organisme di dalam

sel inang (Soulsby, 1986).

Bradizoit

Suatu fraksi dari bentuk takizoit pada toksoplasma yang

mengalami diferensiasi akan berkembang lebih lambat yang disebut

bradizoit. Bentuk ini dapat menembus jaringan intraseluler dan

membentuk sista (Remington dan Cavanaugh, 1965). Struktur dari

bradizoit berbeda dengan takizoit. Di dalam jaringan hospes, terdapat

bradizoit yang tubuhnya terdiri atas organela konoid, mikrotubuli,

roptri, mikronema, inti dan plasma lema yang tersusun dari 3 lapisan.

Gambar 10. Bentuk Bradizoit Toxoplasma gondii

(sumber : www.wikiwand.com/tr/Toksoplazma_gondii)

Bradizoit yang terdapat di dalam sista terlihat hanya pada

infeksi kronis, terutama terdapat di dalam otak, jantung dan otototot

skeletal. Bradizoit ini berbiak secara perlahan-lahan dengan

cara endodiogeni intraseluler. Suatu sista yang berisi ribuan bradizoit

Toksoplasmosis pada Hewan

23


mampu bertahan bertahun-tahun setelah infeksi. Di dalam sista ini,

bradizoit letaknya bergerombol secara berdekatan dengan bentuk

seperti taji (melengkung lancip). Terbentuknya sista biasanya terjadi

seiring dengan terbentuknya imunitas. Di bagian ujung posterior

parasit terdapat inti. Selain itu, pada bradizoit juga terdapat banyak

granula amilopektin dengan mikronema yang susunannya tidak

teratur. Bentuk sista (bradizoit) dengan ukuran 200 μm dapat dilihat

mulai hari ke delapan pascainfeksi yang berlokasi di berbagai sel,

jaringan atau organ pada otak, otot jantung dan otot kerangka yang

merupakan sumber infeksi.

Gambar 11. Sista di jaringan (Kaufman, 1996)

24 Toksoplasmosis pada Hewan


Gambar 12. Sista Oosista Toxoplasma gondii dalam Jaringan Otak

Rakun (Addante et al., 2006)

Bentukan bradizoit membelah dengan lambat di dalam sista

jaringan dan terjadi setelah terbentuk antibodi atau kekebalan tubuh.

Bentuk ini ditemukan pada keadaan penyakit yang sudah kronis dan

umumnya sista jaringan terdapat pada otot skelet, otak dan jantung.

Sista tersebut dapat berisi 60.000 bradizoit dan mampu bertahan

selama beberapa hari dalam jaringan setelah hospes mati (Soulsby,

1982). Dengan pembekuan atau pemanasan yang lebih dari 60°C

ataupun pengeringan akan dapat menghancurkan bentuk sista

jaringan. Pada suhu 4°C, sista mampu hidup selama 2 bulan. Jaringan

berisi sista mati yang disimpan pada suhu -9°C atau -20°C akan dapat

tahan selama 3-4 jam atau lebih (Fayer, 1981).

Toksoplasmosis pada Hewan

25


Gambar 13. Bradizoit yang Terdapat pada Otot Tikus

Suatu infeksi buatan pernah dilakukan terhadap kucing dengan

memberikan 1 juta oosista per oral. Pada saat defekasi pertama, dapat

ditemukan 1 juta oosista-oosista dari 1 gr dalam tinja kucing. Jumlah

tersebut memang tergantung pada infeksi yang diberikan sebelumnya.

Dalam proses selanjutnya selama periode prepaten, dapat dihasilkan

hingga 600 juta oosista (Rommel et al., 1987).

Pada infeksi ekstraintestinal, setelah oosista, bradizoit dalam

sista atau takizoit tertelan, terjadilah infeksi enterik yang kemudian

akan dapat meluas ke limfoglandula di sekitarnya dan kemudian

melalui vena porta menuju hati atau melalui duktus torasikus menuju

ke paru-paru. Setelah itu, parasit akan tersebar secara sistemik menuju

jaringan yang lain. Pada infeksi yang akut, T. gondii dapat diisolasi dari

darah dan sering dengan titer yang tinggi. Akan tetapi pada infeksi

kronis, parasitemia jarang terdapat dan titer antibodinyapun nampak

rendah (Soulsby, 1982).

26 Toksoplasmosis pada Hewan


Gambar 14. Sista Toxoplasma gondii (Shah dan Stille, 1992)

Stadium Perkembangan

Dalam daur perkembangannya, Toxoplasma gondii dibagi

menjadi 2 macam, yaitu daur enteroepitelial atau daur yang belangsung

di dalam usus golongan kucing Felidae, dan daur yang beralngsung

di luar jaringan usus felidae. Untuk daur enteroepitelial terdiri atas

stadium multiplikatif enteroepitelial dan gamon yang menghasilkan

oosista secara sporogoni. Stadium multiplikatif sendiri dibagi menjadi

empat tipe yaitu A, B, C, D dan E. Tipe A akan tampak sekitar 12

- 18 jam setelah infeksi yang merupakan suatu tipe paling kecil dan

membelah secara endodiogeni, artinya pembentukan sel anakan

dengan cara pembentukan kuncup ke dalam. Untuk tipe B akan muncul

12 - 54 jam setelah infeksi yang membelah secara endodiogeni dan

Toksoplasmosis pada Hewan

27


endopoligeni. Pada tipe ini terdapat inti yang berada di tengah dengan

disertai sebuah nukleolus jelas. Pada tipe C yang terbentuk 24 - 54

jam setelah infeksi terjadi, pembelahan berlangsung secara skizogoni

dengan bentuknya yang memanjang dan memiliki inti yang letaknya di

subterminal. Pada tipe D terjadi sekitar 32 jam hingga 15 hari setelah

infeksi yang ditandai dengan bentuknya yang lebih kecil daripada tipe

C dengan pembelahan secara endodiogeni, skizogoni dan pemisahan

merozoit-merozoit tunggal dari masa inti. Namun demikian urutan

perkembangan dari empat tipe ini tidak jelas maksudnya, karena cara

pembelahannya pada 3 tipe berlangsung secara simultan. Untuk tipe

E yang mirip dengan tipe D, pembelahannya secara skizogoni dan

terjadi 3 - 15 hari setelah infeksi (Soulsby, 1982).

Siklus Hidup

Siklus hidup dari Toxoplasma gondii dimulai setelah oosista

tertelan oleh hewan berdarah panas atau manusia (lihat gambar

2). Parasit tersebut merupakan parasit intraseluler pada jaringan,

terutama pada otot dan epitel usus. Pada infeksi akut yang berat,

parasit dapat ditemukan dalam darah dan eksudat peritoneal. Pada

kucing dan genus Felidae, siklus ini meliputi fase enteroepitelial dan

ekstraintestinal, sedangkan pada hospes lain hanya terdapat fase

ekstraintestinal (Long, 1990). Siklus di dalam kucing ini sendiri dapat

berlangsung kira-kira 20 - 24 hari setelah infeksi dengan oosista, akan

tetapi dapat hanya 3 sampai 5 hari apabila kucing tersebut menelan

daging misalnya daging tikus yang di dalamnya terdapat sista. Baik

hospes definitif maupun hospes perantara dapat terinfeksi dengan

cara menelan oosista infektif maupun sista yang terdapat dalam

jaringan hewan penderita. Oosista tersebut di dalam usus akan pecah

dan melepaskan 8 sporozoit yang selanjutnya akan berkembang secara

intraseluler di dalam usus dan nodus limfatikus (Frenkel, 1990).

28 Toksoplasmosis pada Hewan


Gambar 15. Siklus Hidup Toxoplasma gondii

(sumber : medical-dictionary.thefreedictionary.com/toxoplasmosis)

Setelah menembus lamina propia usus, organisme akan menyebar

dalam darah dan limfe yang akhirnya terbentuklah takizoit yang

akan menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah dan limfe.

Takizoit sendiri dapat menembus sel-sel yang besar di dalam tubuh

dan memperbanyak diri secara intraseluler sampai sel yang ditempati

menjadi hancur. Adanya kombinasi antara tanggap kebal berperantara

sel dan humoral yang terjadi pada individu yang imunokompeten, akan

dapat menghambat replikasi, sehingga akan menyebabkan terhambatnya

perkembangan sista jaringan yang mengandung bradizoit.

Toksoplasmosis pada Hewan

29


Perbanyakan dari takizoit akan dapat menyebabkan luka pada jaringan

yang apabila berlangsung lama, akan menjadi parah dan menimbulkan

kematian akibat imnudefisiensi. Bradizoit sebetulnya tidak terlibat

dalam proses yang dapat menimbulkan peradangan. Oleh karena itu

Bradizoit dapat bertahan dalam jaringan selama hidup hospes. Bentuk

dari sista jaringan akan lebih mudah terbentuk dalam sistem saraf

pusat, otot dan organ-organ dalam. Bradizoit yang ada di dalam sista

dapat juga menjadi aktif, menyebabkan parasitemia, menimbulkan

infeksi dan pecahnya jaringan sehingga dapat menimbulkan gejala

klinis. Kasus ini terutama terlihat pada para penderita AIDS yang

mengalami imunosupresif berat atau akibat pemberian glukokortikoid

dosis tinggi (Frenkel, 1990; Lappin, 1994).

Oosista yang keluar dari hospes definitif akan mengalami

sporulasi di bawah kondisi alam yang sesuai menjadi 8 sporozoit,

yaitu bentuk yang infektif pada manusia dan hewan (Frenkel, 1990).

Apabila oosista yang telah bersporulasi ini mencemari makanan

atau minuman dan kemudian tertelan oleh hospes perantara, maka

akan pecah di dalam usus. Sporozoit yang dikeluarkan tersebut akan

menginfeksi dan selanjutnya mengadakan multiplikasi di dalam sel

epitel usus dan limfonodus di sekitarnya, sehingga terbentuklah

trofozoit. Trofozoit ini akan menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran

darah dan limfe. Selanjutnya terjadilah fase multiplikasi secara seksual

yang akan membentuk sista jaringan dengan kandungan bradizoit

yang banyak (Dubey, 1994; Neva dan Brown, 1994).

Secara seksual (gametogenesis), trofozoit akan mengadakan

multiplikasi dan diferensiasi intraseluler secara endodiogeni, sehingga

masing-masing trofozoit akan menghasilkan dua merozoit. Siklus

reproduksi yang repetitif tersebut akan membentuk koloni organisme

yang berbentuk roset dengan sel mukosanya yang mengalami

pembengkakan, kemudian pada akhirnya akan pecah. Proses selanjutnya

adalah pembelahan secara skizogoni yang akan menghasilkan 5 sampai

30 Toksoplasmosis pada Hewan


32 merozoit yang masuk ke dalam lumen usus dan menembus sel epitel

usus di sekitarnya. Merozoit tersebut selanjutnya akan mengalami

proses pembentukan gamet atau gametogoni yang akan menghasilkan

mikrogamet (gamet jantan) dan makrogamet (gamet betina). Apabila

kedua gamet tersebut bersatu, maka terjadilah zigot atau bentukan

yang dinamakan oosista. Oosista tersebut selanjutnya akan keluar

bersama dengan feses yang masih non infektif. Melalui suatu proses

yang dinamakan sporulasi, oosista tersebut akan berkembang menjadi

sporoblas yang di dalamnya masing-masing mengandung sporosista.

Sporosista tersebut masing-masing akan membelah diri lagi untuk

menghasilkan 4 sporozoit, sehingga di dalam 1 oosista terdapat 8

sporozoit (Desmonts, 1990). Gametosit sendiri pembentukannya

berlangsung di dalam usus halus selama 3 sampai 15 hari setelah

infeksi terjadi. Periode yang dibutuhkan mulai dari masuknya oosista

atau parasit ke dalam tubuh hospes hingga terjadinya gejala klinik atau

periode prepaten dari toxoplasma adalah 20-40 hari. Perkembangan

selanjutnya akan berakhir di dalam usus kucing, yaitu dengan

terbentuknya oosista (Soulsby, 1982). Untuk berkembang menjadi

oosista di dalam tubuh kucing dapat memerlukan yang lebih singkat,

apabila infeksi yang terjadi berupa penelanan sistozoit atau bentuk

bradizoitnya, yaitu berkisar antara 3-21 hari. Apabila kucing tersebut

menelan bentuk takizoit, maka perlu waktu 19-48 hari (Cheng, 1986).

Siklus perkembangan Toxoplasma gondii akan lebih sempurna apabila

kucing memakan jaringan atau daging dari hospes perantara yang

mengandung sista jika dibanding menelan oosista dari tanah. Dengan

demikian, maka jumlah oosista yang dikeluarkan bersama kotoran

kucing akan lebih banyak setelah menelan sista jaringan apabila

dibanding dengan menelan oosista yang bersporulasi (Dubey, 1994).

Toksoplasmosis pada Hewan

31


32 Toksoplasmosis pada Hewan


BAB IV

BIOLOGI MOLEKULER

A. Organisasi Genom

Toksoplasma diduga memiliki genom dari inti yang haploid

dengan ukuran kurang lebih 7,8 x 107 bp dari hasil pengukuran

dengan Cytofluorometri (Cornelissen et al., 1984). Selanjutnya,

dengan menggunakan Pulse Field Gel Electrophoresis (PFGE) dapat

dilakukan pemisahan kromosoma-kromosoma toksoplasma tersebut

dan hasilnya menunjukkan, bahwa organisasi genom dari Toksoplasma

gondii ini terdiri dari paling sedikit 11 kromosoma yang berbeda,

dengan ukuran yang bervariasi antara 2 Mb hingga 10 Mb (Sibley dan

Boothroyd, 1992). Lebih lanjut disebutkan, bahwa di dalam genom

inti tersebut, terdapat 2 buah organela seperti halnya pada anggota

Apicomplexa yang lain.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai struktur molekuler dari

Toxoplasma gondii, teknik selanjutnya adalah kloning dan karakterisasi

terhadap lebih dari 30 macam gena yang termasuk di dalamnya adalah

bermacam-macam gena dari tubuh toksoplasma itu sendiri, gena yang

mengkode antigen permukaan, gena dari antigen yang disekresikan

dan antigen ribosoma RNA (GenBank Release date, March 1995).

Toksoplasmosis pada Hewan

33


Dari hasil tersebut, terdapat sekitar 50-55% kandungan nukleotida

GC. Namun demikian, tidak terdapat indikasi adanya transkripsi

bentuk polycistronic atau trans-splicing. Dari gambaran ini, kloning

dan karakterisasi dari gena-gena tersebut menjadi relatif lebih

mudah, jika dibanding dengan genom dari Plasmodium yang ternyata

memiliki lebih banyak nukleotida AT. Pada gena-gena toksoplasma

juga tidak dijumpai adanya intron, kecuali pada gena yang mengkode

dihydrofolate reductase (DHFR), uracyl phosphoribosyl transferase

dan hypoxanthine xanthine guanosine phosphoribosyl transferase yang

dipotong oleh sejumlah intron kecil di dalamnya (Roos, 1993). Pola

dari struktur organisasi ini memang tidak biasa ada pada toksoplasma,

karena pada gena yang lain, seperti gena yang mengkode tubulin,

NTPase dan aktin, tidak dijumpai adanya interupsi oleh intron (Nagel

et al., 1988; Asai et al., 1995).

Adanya DNA repetisi telah dikarakterisasi oleh Burg et al.

(1989). Lebih lanjut dikemukakannya, bahwa ada suatu fragmen yang

disebut B1 besarnya 2 kB, secara tandem mengalami repetisi pada

kromosoma IX. Meskipun keberadaan dari gena B1 ini tidak bersifat

polimorfis, namun sangat berguna sebagai penanda (marker) dalam

deteksi PCR dengan sensitivitas dan spesivitas yang tinggi. Selain

gena tersebut, masih ada lagi gena-gena yang lain, seperti gena inti

rDNA dan 5.8S RNA, large subunit dan 5S RNA yang keberadaannya

sangat penting untuk diagnosa, deteksi dan perbandingan filogenetika

pada toksoplasma (Gagnon, 1993).

B. Struktur Genetika Populasi Toxoplasma gondii

Antigen SAG1 dan SAG2 yang merupakan antigen hasil ekspresi

parasit selama stadium takizoit, dapat digunakan sebagai penanda

terhadap antigen dari galur spesifik. Di antara antigen-antigen yang

diperoleh dari suatu galur toksoplasma tersebut, terdapat kemiripan

antara satu dengan yang lain yang ditunjukkan dari hasil analisa data

sequencing pada antigen permukaan (SAG) dari takizoit. Hasil ini

34 Toksoplasmosis pada Hewan


menunjukkan, sangat sedikit perbedaan pada antigen toksoplasma

(Rinder et al., 1995). Pada penelitian lain yang dilakukan melalui

seleksi polimorfis dengan menggunakan isoensim atau penanda

DNA, mendukung adanya hasil yang rendah pada tingkat diversitas di

antara galur-galur pada toksoplasma. Dari 18 ensim yang digunakan,

hanya 6 isoensim polimorfis yang teridentifikasi (Dardee, 1988).

Dengan adanya perkembangan dari teknik PCR, memungkinkan

untuk mengamplifikasi suatu lokus genetika yang spesifik melalui

teknik Restriction Fragment Long Polymorphisme (RFLP-PCR)

dari sejumlah kecil sel. Melalui teknik ini, memungkinkan peneliti

untuk menganalisa secara langsung struktur genetika populasi

dari toksoplasma, tanpa harus membiakannya di laboratorium

dan juga memungkinkan untuk merubahnya di luar hospes yang

sesungguhnya. Dengan menggunakan PCR, seorang peneliti juga

dapat mengidentifikasi adanya polimorfis pada fragmen DNA

dari suatu galur yang spesifik, melalui teknik Random Amplified

Polymorphisme DNA (RAPD)(Williams et al., 1990).

Adanya keragaman populasi dari klon toksoplasma dapat

digunakan untuk menjelaskan korelasi antara genotip dari suatu

parasit dengan patogenitas yang terjadi pada hospes yang terinfeksi.

Galur dari tipe 1 misalnya, identik dengan infeksi akut pada mencit

dengan tingkat parasitemia tinggi dan berbeda dengan galur lain

pada suatu lokus. Sedangkan pada tipe 2 lebih spesifik pada kasus

infeksi kronis dan lebih umum terjadi pada pasien yang menderita

AIDS (Howe dan Sibley, 1995). Pendekatan genetika molekuler juga

memungkinkan para ahli untuk membuat semacam peta genetika dan

mengidentifikasi gena-gena yang bertanggung jawab dalam proses

patogenesis dari toksoplasmosis.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai struktur genetika dari

Toxoplasma gondii, perlu dilakukan suatu pemetaan genetika dengan

melibatkan seluruh mata rantai genetika dan informasi pemetaan secara

Toksoplasmosis pada Hewan

35


fisik, misalnya mengenai posisi informasi genetika dalam pemetaan itu

sendiri. Pendekatan ini tidak hanya akan memberikan suatu gambaran

luas di dalam meneliti dasar-dasar genetika dari suatu fenotip yang

menarik, namun juga akan dapat membantu menerangkan banyak hal

yang berkaitan dengan fungsi dan struktur suatu kromosom. Manfaat

utama dari pemetaan genetika ini adalah sebagai alat bantu dalam

identifikasi dan kloning dari suatu gena. Pada kloning toksoplasma,

penyusunan pustaka genetika dapat dengan menggunakan Bacterial

Artificial Chromosome (BAC) sebagai vektor dengan insert berukuran

60 kb dari galur Rh (Khan dan Ajioka, data yang tidak dipublikasikan).

Data-data yang diperoleh dari penyusunan pustaka genetika ini,

selanjutnya dianalisa lebih lanjut oleh Richard Durbin (MRC, LMB,

Cambridge, UK) dan Jean-Thierry-Mieg (CNRS, Montpellier, France)

melalui suatu program khusus yang memuat database parasit-parasit

untuk dimanfaatkan dan dikembangkan pada penelitian lebih lanjut.

C. Transfeksi dan Transformasi

Berbagai penelitian yang berkaitan dengan biologi molekuler

toksoplasma terus berkembang dengan pesat tanpa henti. Salah satu

bidang yang tidak sedikit peranannya dalam upaya mengungkapkan

peranan masing-masing gena, berhubungan dengan fungsinya,

adalah transfeksi dan transformasi. Pada toksoplasma, teknik ini

memungkinkan, karena parasit tersebut dapat dibiakkan secara in

vitro di suatu media khusus untuk mempelajari lebih lanjut tentang

protein trafficking, sekresi antigen dan resistensi terhadap obat.

Dengan teknik elektroporasi dan transformasi ini, DNA akan dapat

disisipkan ke dalam suatu gena tertentu yang dikehendaki. Untuk

selanjutnya, parasite tersebut dibiakan kembali dalam media buatan.

Dalam teknik ini, ada 2 reporter gena yang dipakai, yaitu gena yang

mengkode cat dan LacZ. Kemudian, tingkat ekspresi dari transfeksi ini

akan meningkat dalam waktu 24 jam setelah elektroporasi dilakukan

(Soldati dan Boothroyd, 1993).

36 Toksoplasmosis pada Hewan


BAB V

GEJALA KLINIS

Pada umumnya toksoplasmosis pada manusia dan hewan tidak

menunjukkan gejala yang khas. Hal tersebut terjadi terutama pada kasus

selama siklus enteroepitelial, sehingga penyakit ini tidak memberikan

gambaran spesifik pada saluran gastrointestinal. Berlainan dengan

kasus toksoplasmosis ekstraintestinal, gambaran klinisnya lebih

terlihat dengan infeksi yang melalui plasenta. Hal ini dapat berakibat

kematian pada anak yang dikandungnya. Gejala-gejala klinis yang

sering terlihat misalnya demam, hiperestesia otot, turunnya berat

badan tubuh, anoreksia dan ataksia (Lappin, 1994). Tidak seperti

pada berbagai penyakit lainnya, kasus toksoplasmosis umumnya tidak

menunjukkan adanya gejala klinis baik pada hospes definitif maupun

hospes perantara. Pada kucing misalnya, toksoplasmosis umumnya

jarang disertai timbulnya gejala klinis meskipun kucing tersebut

terinfeksi oleh oosista yang jumlahnya berjuta-juta.

A. Kucing

Kucing dan beberapa golongan Felidae sangat berperan penting

sebagai kunci perkembangan dan penyebaran toksoplasmosis.

Toksoplasmosis pada Hewan

37


Biasanya oosista toksoplasma akan dilepaskan oleh kucing dalam

keadaan belum bersporulasi. Setelah sporulasi, di dalam oosista

tersebut berkembang menjadi 2 sporosista yang masing-masing

mengandung sporozoit. Kucing di seluruh dunia merupakan sumber

laten dari infeksi Toxoplasma gondii. Kucing-kucing di Eropa Tengah

terdeteksi antibodi terhadap Toksoplasmosis sebanyak 20 - 90%.

Namun demikian bagi kucing yang diberi makan yang matang dan

senantiasa tinggal di rumah, sangat jarang terinfeksi. Dari sampelsampel

tinja kucing yang diperiksa di Eropa, didapat prevalensi oosista

yang berkisar antara 0,1-6% (Rommel et al., 1987).

Perkembangan dari oosista pada kucing berlangsung secara

aseksual melalui skizogoni yang terjadi di dalam sel epitel usus halus.

Proses pembentukan oosista hingga dikeluarkan bersama-sama

dengan feses berlangsung 1-14 hari tergantung bentuk infeksi awal

yang diperoleh. Pada keadaan oksigen, kelembaban dan temperatur

yang sesuai, sporulasi oosista hingga infektif dapat berlangsung dalam

2-4 hari.

Selain perkembangan di dalam intestinum, oosista juga aktif

berkembang di luar usus atau organ pada kucing sebagaimana

perkembangan yang terjadi pada hospes perantara lainnya. Pada

hari ke 9 - 10 setelah infeksi terjadi dapat ditemukan adanya sista

di dalam otot jantung dan otak serta beberapa organ yang lain.

Infeksi ini bertahan paling sedikit 1,5 tahun hingga sepanjang

umur dari hospes. Kucing yang mendapat infeksi oosista per oral,

selanjutnya oosista tersebut dapat menembus organ-organ dalam

dan berkembang lebih lanjut sebagaimana di dalam jaringan hospes

perantara (perkembangan endodiogeni dan pembentukan sista).

Setelah melampaui perkembangan tersebut, parasit akan kembali ke

dinding usus dan mengalami perkembangan secara skizogoni dan

gametogoni lebih lanjut dengan periode prepaten 20-36 hari (Boch,

1984; Dubey dan Beattie, 1988; Rommel et al., 1987).

38 Toksoplasmosis pada Hewan


Gambar 16. Makrogamet pada Sel Usus Kecil Kucing (Dubey, 1988)

Infeksi toksoplasma pada kucing tidak menunjukkan gambaran

klinis yang spesifik. Dari suatu penelitian hanya dijumpai gejala klinis

pada kucing yang baru dilahirkan dengan gejala klinis seperti enteritis,

hepatitis, miokarditis, miositis, pneumoni dan ensefalitis. Setelah 2

minggu kemudian gejala klinis ini menjadi hilang dan kadang-kadang

masih disertai temperatur tubuh yang meningkat. Gejala-gejala

spesifik yang lain tidak dijumpai. Pada kucing yang dijumpai dengan

mengeliminasikan oosista dalam jumlah besar, hanya sedikit terjadi

diare ringan (Schnieder, 1982). Beberapa laporan penelitian dari

pengamatan terhadap kejadian infeksi alam pada kucing dijumpai

adanya gejala-gejala anoreksia, demam, gejala gangguan pernafasan

dan ensefalitis. toksoplasmosis yang kronis sering disertai adanya

gejala-gejala anoreksia, anemia, abortus, steril, gangguan saraf pusat,

demam, miokarditis dan gangguan pernafas an. Pada kucing umur 2

minggu dengan toksoplasmosis akut, sebelum mati akan menunjukkan

gejala pneumonia, hepatitis, miokarditis, ensefalitis dan retinitis

yang kemungkinan besar infeksi ini diperoleh secara transplasenter

Toksoplasmosis pada Hewan

39


(Dubey dan Beattie, 1988). Penelitian pada kucing yang menderita

toksoplasmosis bersama dengan infeksi Feline Immunodeficiency Virus

(FIV), infeksi dapat berkembang menjadi suatu infeksi dengan gejalagejala

penyakit klinis (Heidel et al., 1990).

Gambar 17. Siklus Hidup Toksoplasma pada Kucing (icatcare.org)

Secara umum gejala klinis yang sering muncul pada kucing

adalah demam, hilangnya nafsu makan, dan letargi. Berbagai gejala

klinis pada kucing lebih banyak terjadi pada kucing yang mengalami

gangguansistem imune, termasuk pada anak kucing dan kucing yang

mengalami feline leukemia virus (FeLV) atau feline immunodeficiency

virus (FIV).

40 Toksoplasmosis pada Hewan


Gambar 18. Uveitis pada Kucing yang Mengalami Toksoplasmosis.

Terlihat bentuk irregular pupil, warna opag, pupil berkabut, dan

mata yang menjadi lebih gelap (www.vet.cornell.edu)

Gejala lain yang muncul tergantung apakah infeksinya akut

atau kronis dan dimana lokasi parasit menginfeksi pada tubuh hewa.

Pada paru-paru, infeksi T. gondii dapat menyebabkan pneumonia,

yang akan menimbulkan gejala kesulitan bernafas yang akan semakin

buruk seiring berjalannya waktu. Infeksi pada hati dapat menyebabkan

penyakit kuning yang dapat dilihat dari kulit dan membrane mukosa

(jaundice). Toksoplasmosis dapat juga menyerang mata dan sistem

syaraf pusat, menghasilkan inflamasi pada mata, atau pigmentasi

sebagian bagian mata (uveitis), retina, atau ruangan diantara lensa

mata dan kornea (anterior chamber), ukuran pupil yang abnormal dan

kepekaan terhadap cahaya, kebutaan, kurang terkoordinasi, terlalu

sensitive pada sentuhan, perubahan perilaku, jalan berputar-putar,

gangguan pada telinga, kesulitan untuk mengunyah dan menelan

makanan, kejang, dan hilangnya kontrol terhadap proses urinasi dan

defekasi.

Toksoplasmosis pada Hewan

41


B. Anjing

Toxoplasma gondii merupakan penyakit parasiter yang sering

terjadi juga pada hewan karnivora. Anjing dalam hal ini juga berperan

penting dalam penyebaran toksoplasmosis. Penelitian secara serologis

pada anjing di Eropa menunjukkan adanya tingkat prevalensi yang

besarnya 7-89 % (Dubey dan Beattie, 1988; Svoboda et al., 1987).

Anjing biasanya mendapat infeksi dari T. gondii terutama karena

makan daging yang mengandung sista. Infeksi yang lain dapat

diperoleh melalui kontaminasi dari kotoran kucing yang terinfeksi

toksoplasmosis. Dari infeksi ini, anjing merupakan awal dari sumber

infeksi untuk hewan yang lain. Sista yang diperoleh per oral dalam

bentuk sporozoit akan menembus organ dan berkembang lebih lanjut

secara endodiogeni.

Infeksi toksoplasmosis pada anjing pada umumnya juga berjalan

tanpa menunjukkan gejala klinis yang spesifik, karena parasit ini

secara teratur dikeluarkan oleh anjing yang sehat. Gejala klinis pada

anjing tampak pada anjing umur 1 tahun yang kemungkinan akibat

faktor immunosupresif yang ditimbulkan oleh hospes terhadap infeksi

toksoplasmosis. Namun demikian pada kasus infeksi yang bersamaan

dengan infeksi lain (misalnya Erlichiosis) atau kondisi stres akan

menyebabkan anjing dapat menderita toksoplasmosis (Dubey et

al., 1989). Pada anjing juga pernah dilaporkan adanya infeksi yang

terjadi secara transplasenter atau toksoplasmosis neonatal (Dubey dan

Beattie, 1988).

Infeksi buatan pada anjing yang diberi makan daging yang

mengandung sista toksoplasma, tidak menunjukkan gejala kli nis yang

spesifik, hanya mungkin dijumpai adanya pembengkakan pada nodus

limfatikus. Pada pemberian oosista dalam jumlah yang lebih besar

akan tampak gejala seperti diare dan peningkatan temperatur tubuh.

Pada anjing yang mendapat infeksi alam, menunjukkan gejala-gejala

yang dapat dibagi menjadi 3 kriteria:

42 Toksoplasmosis pada Hewan


1. Bentuk umum pada anjing umur 7-12 bulan: demam,

tonsilitis, dyspnoe dan diare.

2. Bentuk sistim saraf pusat pada anjing umur lebih dari 4

bulan: ataksia, tremor, hemiparese dan kelesuan (Dubey dan

Beattie, 1988).

3. Bentuk yang terjadi akibat paralisa yang progresif dan

radikuloneuritis pada anjing umur 3 bulan

Pada anjing penyakit toksoplasmosis jarang menjadi penyakit

utama. Sebagian laporan menyatakan bahwa anjing yang mengalami

gangguan penyakit immunosupresif dan tidak divaksin virus distemper

rentan terhadap infeksi toksoplasma. Gejala klinis yang sangat tampak

pada anjing tua yang terinfeksi toksoplasma pada system syaraf dan

otot. Gejala gangguan syaraf tergantung pada lokasi dimana infeksi

berada cerebrum, cerebellum, atau batang otak. Gejala seperti kejang,

tremors, ataksia, dan paralisis kemungkinan dapat terlihat. Anjing

yang mengalami myositis dapat memperlihatkan gejala cara berjalan

yang tidak normal, kelemahan dan kekakuan otot (Dubey, 2005).

Atropi otot pada daerah femoral, hyperextension pada kaki belakang

serta penurunan berat badan juga dapat terjadi (Migliore et al., 2017).

Gambar 19.

Anjing yang

mengalami

Hyperextension

pada Kaki

Belakang

Akibat

Toksoplasmosis

(Migliore et al.,

2017).

Toksoplasmosis pada Hewan

43


Toksoplasmosis pada anjing yang menyerang sistem respirasi,

gastrointestinal, atau syaraf dan otot dapat memperlihatkan gejala

demam, muntah-muntah, diare, dispnea, dan icterus. Beberapa anjing

yang diduga mengalami toksoplasmosis neuromuskular mungkin

dapat memperlihatkan gejala neosporosis. Infeksi pada myocardium

akibat toksoplasmosis dapat mengakibatkan ventricular arrhythmias,

dyspnea, vomiting, atau diare.

C. Unggas

Infeksi laten Toksoplasma pada unggas diduga dijumpai pada

berbagai jenis burung dan unggas yang dipelihara di rumah. Dari

jenis-jenis unggas yang mungkin dapat terinfeksi adalah: ayam, kalkun,

burung merpati dan itik. Selain itu pada burung kenari dan bangau

pernah juga dilaporkan adanya kematian akibat toksoplasmosis (Dubey

dan Beattie, 1988). Dalam industri peternakan unggas yang dipelihara

secara intensif, kasus infeksi toksoplasmosis jarang dijumpai. Penelitian

yang dilakukan di Jerman misalnya menyebutkan adanya prevalensi

toksoplasmosis pada unggas berkisar 0,4 % dengan gambaran patologis,

ditemukan sista toksoplasma di otak dan otot jantung (Boch, 1980).

Pada unggas terutama burung merpati di Belgia yang dipelihara

secara alami (bebas) terdapat prevalensi serologis yang lebih besar

yaitu 3,2 % positif dari 200 burung merpati yang diperiksa di suatu

kota (Berger, 1966). Kebanyakan unggas mendapatkan infeksi

toksoplasmosis melalui pakan yang tercemar oosista yang bersporulasi.

Infeksi dapat juga diperoleh melalui gigitan dari insekta atau menelan

cacing yang membawa oosista. Lalat dan moluska kemungkinan juga

dapat berperan sebagai vektor bagi penyebaran oosista toksoplasmosis

yang berasal dari kotoran kucing. Sisa-sisa potongan daging yang

tercemar sista toksoplasma yang dimakan ayam, dapat juga menjadi

sumber penularan. Suatu penularan melalui telur belum pernah

ditemukan (Biancifiori et al., 1986). Infeksi laten toksoplasmosis pada

unggas, tidak dijumpai adanya gejala spesifik toksoplasmosis.

44 Toksoplasmosis pada Hewan


Gambar 20. Ilustrasi Siklus Hidup Toxoplasma gondii pada Ayam

(ilustrasi : Bethany Caskey, pada The Chicken Health Handbook)

Kejadian infeksi toksoplasma pada ayam lebih banyak terjadi

pada ayam yang dipelihara secar tradisional daripada ayam komersil.

Gejala toksoplasmosis dapat dilihat dari gangguan system syaraf

pusat, kondisi reproduksi, otot dan tulang, serta kondisi orgasn

visceral. Gejala klinis dapat dilihat pada ayam yang terinfeksi sebelum

umur 8 minggu. Sedangkan pada ayam yang lebih dewasa, infeksi bisa

jadi tidak menampakkan gejala atau bersifat laten (gejala hanya akan

muncul jika kondisi ayam menurun).

Toksoplasmosis pada Hewan

45


Gambar 21. Pemeliharaan Ayam secara Tradisional yang Rentan

Penularan Toksoplasma pada Unggas

Ayam yang mendapat infeksi alam akan menunjukkan gejala

tidak mau makan, kekurusan, diare, penyusutan jengger, penurunan

produksi telur, gemetar, tortikolis, gangguan gerakan, pelebaran pupil

mata, perubahan pada retina dan kebutaan (Boch, 1980; Dubey dan

Beattie, 1988). Burung merpati yang diberi infeksi buatan dengan

500 oosista menunjukkan adanya gambaran infeksi seperti diare,

gangguan lokomosi yang dapat berakibat pada kematian. Namun

demikian dalam kondisi infeksi alam, gambaran tersebut pada merpati

jarang dijumpai (Biancifiori et al., 1986).

Perubahan pasca mati pada jenis-jenis burung yang terinfeksi

akut toksoplasmosis dijumpai adanya ensefalitis, korioretinitis,

miokarditis, pembengkakan otot jantung, nekrosis lokal pada hati dan

limfa, enteritis dan abses di dinding usus serta pneumoni (Dubey dan

46 Toksoplasmosis pada Hewan


Beattie, 1988). Infeksi buatan oosista toksoplasma pada ayam umur

1 hari tidak menunjukkan gejala yang berarti, sedangkan pada ayam

dewasa menunjukkan parasitemia pada hari 1 sampai 39 dengan gejala

kelesuan. Infeksi per oral yang berat yang diberikan pada anak ayam

akan berakibat kematian. Pemberian oosista sebesar 50.000 tidak

memberikan gejala klinis yang spesifik, kecuali peningkatan mortalitas

embrio di dalam telur ayam yang terinfeksi (Biancifiori et al., 1986).

D. Domba dan Kambing

Gejala penyakit pada domba dan kambing mirip dengan gejala

pada manusia, yaitu infeksinya secara asimtomatik (Nurcahyo, 2004).

Penyakit ini dapat ditandai dengan plasentitis, abortus, ensefalitis

dan lesi pada mata. Pada domba yang menderita plasentitis, abortus

terjadi pada akhir bulan dari kebuntingan atau dapat menyebabkan

kelahiran mati. Foki nekrotik warna abu-abu dapat ditemukan pada

kotiledon. Infeksi kongenital pada anak domba dapat menyebabkan

inkoordinasi, gangguan fisik dan tidak dapat makan sendiri (Acha dan

Syzfres, 1980). Pada domba betina dengan umur kebuntingan kurang

dari 120 hari, abortus terjadi pada 26 - 55 hari setelah inokulasi

(Munday dan Dubey, 1986). Penyakit reproduksi yang utama akibat

infeksi parasit ini pada kambing adalah abortus, mumifikasi, stillbirth

dan kematian perinatal (Nurse dan Lenghaus, 1986).

Toksoplasmosis pada Hewan

47


Gambar 22. Abortus pada Kambing karena Infeksi Toxoplasma

gondii (sumber : Kansas State Veterinary Diagnostic Laboratory)

Menurut Cole (Levine, 1978) kematian pada anak domba dan

domba dewasa yang menderita toksoplasmosis umumnya disebabkan

oleh gangguan syaraf dan pernafasan. Dubey dkk (1986) melaporkan

adanya infeksi toksoplasmosis yang diperoleh sebelum 50 hari

kebuntingan yang besar kemungkinan disebabkan oleh kematian

embrio dan resorbsi, sedangkan infeksi yang diperoleh antara 50 -

90 hari kebuntingan, mungkin menyebabkan kematian fetus dan

mumifikasi, stillbirth dan kematian neonatal. Infeksi selama akhir

kebuntingan mungkin menghasilkan toksoplasmosis yang tidak

tampak.

E. Sapi

Sapi dapat menjadi hospes perantara bagi T. gondii meskipun

parasit tersebut berlokasi di dalam tubuh sapi. Suatu penelitian pada

sapi yang dilakukan oleh Dubey dan Beattie (1988) dengan memberi

infeksi buatan T. gondii menunjukkan adanya Toksoplasma yang

48 Toksoplasmosis pada Hewan


dapat bertahan hingga periode yang lama di dalam daging dan organ,

namun demikian tidak menunjukkan titer antibodi yang berarti. Sapi

menunjukkan gejala demam, kelesuan dan nafsu makan menurun.

Empat minggu setelah sapi tersebut diinfeksi, dapat dideteksi adanya

Toksoplasma dari berbagai organ, akan tetapi segera dieliminasikan

dari tubuh sapi hingga minggu ke 8. Diagnosa yang dilakukan dengan

uji Sabin Feldman (SFT) yang ditujukan untuk melihat aktifitas

antibodi mencapai nilai maksimum pada hari ke 9 - 30. Selanjutnya

pada bulan ke 2 hingga 6 aktifitas tersebut kembali menghilang. Uji

yang dilakukan dengan metode Aglutinasi menunjukkan hasil adanya

titer antibodi dalam waktu yang lebih lama.

Gambaran patologi - anatomi dari sapi yang terinfeksi sangat

sedikit, terutama hanya dijumpai pembengkakan limfa dan nodus

limfatikus. Kondisi yang lebih parah pernah dilaporkan oleh beberapa

peneliti pada anak-anak sapi yang menderita toksoplasmosis dengan

kematian 2 - 6 hari setelah lahir atau lahir dalam keadaan mati. Gejalagejala

yang nampak pada hewan tersebut adalah demam, kesulitan

bernafas, batuk, menggigil dan gangguan sistim syaraf pusat. Dalam

kondisi alam kasus toksoplasmosis dengan akibat keguguran pada sapi

tidak lagi dijumpai yang kemungkinan besar sapi-sapi tersebut telah

mendapatkan imunitas perolehan. Sehingga suatu pengobatan khusus

pada sapi terhadap toksoplasmosis tidak mutlak diperlukan (Dubey

dan Beattie, 1988). Daging sapi kurang memiliki arti yang penting

bagi sumber infeksi toksoplasmosis pada manusia. Susu sapi yang

di dapat dari peternakan juga jarang dijumpai adanya kontaminasi

akibat toksoplasmosis. Apabila susu sapi tersebut terkontaminasi oleh

oosista toksoplasma, besar kemungkinan parasit tersebut akan mati

dalam proses pasteurisasi (Dubey dan Beattie, 1988).

F. Babi

Infeksi toksoplasmosis pertama kali pada babi dilaporkan oleh

Farrel pada tahun 1952 (Soulsby, 1982). Babi penderita toksoplasmosis

Toksoplasmosis pada Hewan

49


biasanya secara kongenital. Babi umur 3 - 4 minggu adalah paling peka

terhadap infeksi secara perolehan. Gejala lain yang tampak adalah

demam, dispnoe, batuk-batuk, tremor, relaksasi otot perut, diare, asites

dan abortus, atau bisa berakibat fatal jika babi masih tetap bertahan

hidup, maka gejala-gejala syaraf masih sering timbul sampai dewasa.

Pada babi dewasa gejala bersifat asimtomatik, namun parasit dapat

diisolasi dari air seni, ludah dan air susu (Bruner dan Gillespie, 1973).

Gambar 23. Abortus karena Pengaruh Infeksi T. gondii pada Babi

(sumber : sciencedirect)

Gejala klinis yang terjadi pada induk babi yang terinfeksi toksoplasmosis

antara lain adalah kelemahan, inkoordinasi, batuk, tremor,

relaksasi otot abdomen dan diare tanpa demam. Pada babi muda,

bentuk akut ditandai dengan demam tinggi dan diare yang kemudian

dapat berakhir dengan kematian setelah beberapa minggu. Pada babi

50 Toksoplasmosis pada Hewan


umur 2 - 4 minggu, gejala yang tampak yaitu : kekurusan, sesak nafas,

batuk, tanda-tanda syaraf dan ataksia (Blood dkk., 1983).

Toksoplasmosis pada Hewan

51


52 Toksoplasmosis pada Hewan


BAB VI

PATOGENESIS

Takizoit dilaporkan dapat menginfeksi hampir semua jenis

hewan, juga dapat menular ke manusia, sel dan organ yang paling

sering diinfeksi oleh takizoit bergantung kepada rute infeksi dan

jenis hospesnya. Takizoit merupakan stadium dimana toksoplasma

membelah dengan cepat dalam waktu sekitar 6 - 8 jam pasca infeksi,

dan pada fase ini mampu menginfeksi semua sel yang berinti, untuk

selanjutnya berkembang biak secara endodiogeni.

Infeksi pada saat yang relatif cepat ini adalah infeksi akut, yang

ditandai replikasi takizoit yang sangat cepat. Takizoit ini kemudian

akan menyebar dengan cepat melalui saluran-saluran limfatik, melalui

darah masuk ke hati, paru-paru, kemudian beredar ke seluruh tubuh.

Berbeda dengan infeksi akut, pada infeksi yang kronis, replikasi takizoit

berjalan lambat. Bradizoit berkembang dan terjadi pembentukan

sista pada jaringan, ini merupakan awal dari masa dormansi parasit.

Perkembangan dari takizoit menjadi bradizoit juga merupakan saat

dimulainya pembentukan kekebalan untuk proteksi.

Waktu yang dibutuhkan takizoit hanya kurang dari 30 detik

untuk masuk ke dalam sel target. Selanjutnya, fagositosis memerlukan

Toksoplasmosis pada Hewan

53


waktu 2-4 menit. Proses invasi ini melibatkan tiga tahap yang berjalan

berurutan, yaitu perlekatan, penetrasi aktif, dan pembentukan vakuola

parasitoforus yang akan membentuk dinding sista.

Infeksi dan invasi T. gondii mengakibatkan terjadinya kerusakan

masif pada jaringan atau organ terinfeksi. Kerusakan jaringan terjadi

dalam waktu yang singkat meskipun infeksi terjadi dengan dosis

tinggi maupun rendah terutama jika terjadi pada leukosit. Terjadinya

awal deplesi dan destruksi masif diperkirakan dimulai sejak hari

pertama infeksi dan terus berlanjut sampai periode tertentu. Proses

ini disebabkan adanya lytic cycle selama perkembangan aseksual. Pada

saat infeksi takizoit ke sel terjadi di dalam vakuola parasitoforus, maka

dimulailah fase perkembangan secara vegetatif. Proses pembelahan

diri takizoit disebut juga endodyogoni ataupun poliendodyogoni.

Pernah dilaporkan bahwa di dalam periode yang bersamaan dengan

hancurnya sel atau lisis, jumlah takizoit dapat bertambah sampai

256 takizoit baru atau lebih. Periode tersebut adalah periode yang

sama dengan periode dimana satu sel akan membelah secara mitosis

menjadi dua sel. Adanya kecepatan replikasi takizoit yang demikian

cepat dan tidak sebanding dengan kemampuan sel untuk bermitosis

mengakibatkan kerusakan yang terjadi berat dan meluas seiring

semakin lamanya infeksi. Faktor lingkungan mempengaruhi kondisi

oosista ditanah, lingkungan yang sesuai dengan suhu kurng lebih 24°C

akan menyebabkan oosista bersporulasi atau mengalami pemasakan

menjadi oosista infektif dalam waktu 2 - 3 hari.

A. Infeksi Akut

Bentuk T. gondii di dalam saluran pencernaan biasanya dapat

menimbulkan infeksi yang bersifat akut dalam bentuk takizoit melalui

siklus enteroepitelial. Infeksi ini akan menyebar melalui pembuluh darah

dan limfe. Takizoit ini selanjutnya akan masuk ke jaringan limfonodus

di sekitarnya dan jaringan tubuh yang lain, misalnya: sistem saraf pusat,

otot rangka dan sistim peredaran darah dan organ-organ dalam. Timbul

54 Toksoplasmosis pada Hewan


suatu dugaan bahwa takizoit dapat mengalami replikasi di dalam sel-sel

jaringan hospes. Hal ini terjadi karena selama infeksi akut ini, parasit akan

mengalami replikasi dengan cepat terutama pada saat takizoit berbentuk

lancip lonjong yang siap mengadakan invasi dan melisiskan sel hospes.

Semua sel yang memiliki inti memiliki potensi untuk diinfeksi oleh takizoit

(Werk, 1985). Kejadian tersebut akan menjadi semakin parah apabila

terjadi kerusakan jaringan pada hospes dengan disertai imunodefisiensi

yang selanjutnya dapat berakibat kematian. Selain itu, penyebaran infeksi

T. gondii dapat terjadi dari satu sel ke sel yang lain atau melalui aliran

darah (Frenkel, 1990; Lappin, 1994). Pada beberapa hospes yang bersifat

imunokompeten, proliferasi parasit selama infeksi akut ini dikendalikan

oleh sejumlah sistem efektor tanggap kebal hospes dengan mediator

utama limfosit T sitotoksik. Peran ini sangat besar dalam penghancuran

takizoit dengan disertai interferon gamma (IFN-g) dengan sejumlah efek

imunostimulator dan parasitik lain. Di samping itu, antibodi yang spesifik

juga telah disiapkan oleh tubuh untuk menghadapi infeksi pada fase akut

(Smith et al., 1995).

B. Infeksi Kronis

Suatu fraksi dari bentuk takizoit pada T. gondii yang mengalami

diferensiasi menjadi bentuk yang lebih lambat perkembangannya

disebut bradizoit. Bentuk ini dapat menembus jaringan intraseluler dan

membentuk sista (Remington dan Cavanaugh, 1965). Struktur dari

bradizoit ini berbeda dengan takizoit. Pada bradizoit terjadi akumulasi

granula amilopektin di dalam sitoplasma. Bradizoit ini selanjutnya

akan di kelilingi oleh dinding yang berupa sista di dalam jaringan.

Bentukan ini terjadi dari akumulasi material dan sitoskleton saraf

dari parasit dan membran vakuola sel hospes yang terinfeksi. Diduga

timbulnya sista ini berhubungan erat dengan terbentuknya kekebalan

pada hospes. Selainitu, diduga adanya respon kekebalan humoral yang

memicu terbentuknya sista jaringan di dalam otak dengan disertai

respon kekebalan seluler yang mengontrol pembentukan sista jaringan

Toksoplasmosis pada Hewan

55


tersebut (Long, 1990 dan Cheng, 1986). Kadangkala beberapa

hancuran dari sista yang dilepaskan oleh bradizoit selama infeksi

kronis akan menginfeksi sel-sel baru yang akan dapat berjalan selama

periode yang lama (Frenkel dan Escajadillo, 1987). Pembentukan sista

dalam jaringan ini hanya sedikit mengakibatkan perubahan pada sel

selama hidup dari hospes tanpa memperlihatkan perubahan patologi

yang nyata.

C. Gambaran Histopatologi

Infeksi T. gondii dapat menyebabkan kerusakan pada berbagai

jenis sel berinti tanpa membedakan jaringan tertentu. Jika infeksi

terjadi melalui mulut maka dapat menyebabkan enteritis subklinis.

Infeksi yang terjadi melalui sirkulasi darah, T. gondii tersebut dapat

menyebar ke jaringan atau organ hati, paru-paru, jantung, dan otak.

Toxoplasma gondii yang menyebar melalui jaringan limfatik akan

menuju limfonodus di sekitarnya dan paru-paru. Jika takizoit dalam

sel berkembang, maka akan terbentuk nekrotik fokal yang disertai

infiltrasi sel radang mononuclear. Lesi patologis toksoplasmosis yang

terjadi tergantung pada spesies hewan. Pada umumnya gambaran

patologis yang terlihat terutama ensefalitis, pneumonia, dan

pancreatitis (Frenkel, 1990).

Infeksi T. gondii menyebabkan perubahan histopatologis pada

organ-organ non limfoid seperti adanya infiltrasi sel-sel bulat yang

menyerupai limfosit dengan beberapa sel plasma serta makrofag dan

eosinophil namun jarang terlihat. Infiltrasi sel cenderung bersifat local

pada jaringan-jaringan seperti otak, paru-paru, hati, atau jaringan

interstitial pada jantung dan otot kerangka. Lesi yang bersifat lokal

lebih banyak terjadi pada otak dan hati berupa nekrosis sentral. Pada

paru-paru, perubahan lesi biasanya tidak terjadi, hanya terlihat adanya

fibrosis yang juga terjadi di jantung, otot kerangka, dan hati. Pada

proses penyembuhan ditandai adanya pengapuran seperti pada otak

manusia, otak domba, dan plasenta sapi (Soulsby, 1974).

56 Toksoplasmosis pada Hewan


Multiplikasi takizoit pada infeksi berat menyebabkan nekrosis

pada organ vital seperti pada miokardium, paru-paru, hati, dan

otak. Selama fase ini berlangsung hospes mengalami pireksia dan

limfadenopati. Fase kronis bersifat asimptomatik pada pembentukan

bradizoit (Urquhart et al., 1996).

Perubahan inflamatorik berkembang pada 7-14 hari infeksi dan

biasanya mencapai tahap maksimal pada minggu ketiga dan keempat.

Sel-sel yang menginfiltrasi, terutama sel mononuclear, beberapa

makrofag dan beberapa sel plasma. Sel-sel polimorfonuklear jarang

terlihat. Setelah itu inflamasi secara bertahap mereda sehingga pada

minggu ke-12 terdapat sedikit aktivitas. Fibrosis merupakan penemuan

utama tetapi unsur stromal residual masih dapat terlihat. Perubahan

yang terjadi pada nodus limfatikus dan limpa juga berkembang dengan

cepat dan biasanya dalam jangka waktu yang sama dengan perubahan

inflamatorik pada organ non limfoid (Soulsby, 1974).

Infeksi pertama T. gondii pada hewan yang bunting atau ibu

hamil mengakibatkan penyakit kongenital, terlihat lesi prodominan

pada system syaraf pusat, meskipun jaringan lain dapat juga terinfeksi.

Korioretinitis merupakan lesi yang secara berkala pada toksoplasmosis

kongenital (Urquhart et al., 1996).

Perbedaan gambaran histopatologis organ kucing yang telah

diperiksa baik pada kucing yang telah diperiksa positif secara serologi

maupun yang telah diinfeksikan dengan T. gondii, disajikan pada Tabel

1. Organ-organ yang diperiksa menunjukkan adanya reaksi radang

yang ditandai dengan adanya proliferasi inti sel, infiltrasi leukosit

dan makrofag, infiltrasi sel eosinofil dan juga infiltrasi sel leukosit

(Hanafiah et al., 2017). Parasit T. gondii menginfeksi semua sel

berinti, termasuk makrofag yang seharusnya berfungsi memfagositosis

dan mengeliminasi patogen (Ahn et al., 2006). Pada jaringan organ

kucing yang positif toksoplasmosis tidak ditemukan adanya bentukan

yang menyerupai sista (Hanafiah et al., 2017). Hal ini kemungkinan

Toksoplasmosis pada Hewan

57


toksoplasmosis masih dalam stadium akut sehingga belum ditemukan

dalam bentuk sista bradizoit, dan sista tersebut umumnya ditemukan

dalam stadium kronis (Frenkel, 1988).

Tabel 1. Perubahan Histopatologi pada Organ Kucing yang

Terinfeksi Toxoplasma Menggunakan Pewarnaan Hemataoxilin dan

Eosin (HE) (Hanafiah et al., 2017)

Organ yang

diamati

Perbedaan yang terlihat

Kucing positif secara serologis

(Natural infection)

Kucing yang diinfeksikan

Toxoplasma (Experimental

infection)

infiltrasi sel-sel eosinofil

Ileum proliferasi sel epitel, infiltrasi

sel-sel leukosit dan makrofag

Jejenum tidak ada reaksi keradangan infiltrasi sel-sel eosinofil

Duodenum tidak ada reaksi keradangan tidak ada reaksi keradangan

Ginjal infiltrasi sel eosinofil dan juga tidak ada reaksi keradangan

infiltrasi sel leukosit

Otak tidak ada reaksi keradangan tidak ada reaksi keradangan

Paru-paru tidak ada reaksi keradangan infiltrasi sel eosinofil

Hati infiltrasi sel eosinofil dan juga tidak ada reaksi keradangan

infiltrasi sel leukosit

Limpa tidak ada reaksi keradangan tidak ada reaksi keradangan

Hasil pemeriksaan histologi (Hanafiah et al., 2017)

menunjukkan bahwa baik kucing yang secara serologi positif

dengan Card Agglutination Test (CATT) (Pastorex Bio-Rad, Lot

number 72724) maupun yang diinfeksikan Toxoplasma pada sampel

pemeriksaan usus halus (duodenum, jejenum, dan ileum) stadium

skizon berisi banyak merozoit telah masak hanya terlihat di bagian

ileum (Gambar 24 A dan B), sedangkan di duodenum dan jejenum

tidak ditemukan.

58 Toksoplasmosis pada Hewan


Gambar 24. Usus kucing.

A. Ileum kucing yang positif Toxoplasma secara serologi Pastorex Toxo,

B. Ileum kucing yang diinfeksikan Toxoplasma. Tanda panah terlihat

adanya perkembangan siklus seksual (meront) (skala bar 20 μm).

Pada organ paru selain ditemukan adanya infiltrasi sel-sel

leukosit juga terlihat bentukan menyerupai sista (gambar 25 A).

Adanya sista atau pseudosista ini (Gambar 25 B) disebabkan oleh

karena takizoit yang membelah secara biner atau membelah dua,

dan masing-masing pecahan kemudian membelah lagi, membentuk

suatu pseudosista intraseluler yang mengubah bentuk sel inang, dan

akhirnya menyebabkan pecahnya sel tersebut. Takizoit yang dilepaskan

dari proses ini segera menginvasi sel-sel yang ada di dekatnya. Secara

periodik terjadilah eksitasi atau pecahnya pseudosista dan pelepasan

Toxoplasma yang mengakibatkan kerusakan seluler dalam jaringan

(Pfeffekom, 1990).

Toksoplasmosis pada Hewan

59


Gambar 25. Paru Kucing yang Diinfeksikan dengan Toxoplasma

A. Tanda panah terlihat adanya infiltrasi sel-sel polimorfonuklear;

B. Tanda panah terlihat adanya pseudosista (skala bar 20μm).

Sedangkan hasil pemeriksaan jaringan organ ginjal (Gambar 26

A dan B) kucing yang positif secara serologi menunjukkan infiltrasi sel

polimorfonuklear (eosinofil) dan juga infiltrasi sel mononuklear (leukosit).

Infiltrasi sel polimorfonuklear dan mononuklear mengindikasikan adanya

infeksi T. gondii yang bersifat akut (Frenkel, 1988).

Gambar 26. Ginjal kucing yang positif Toxoplasma secara serologi

terlihat adanya nefritis. Infiltrasi sel polimorfonuklear (P) dan

infiltrasi sel mononuklear (M), nekrosis pada tubulus ginjal kucing.

60 Toksoplasmosis pada Hewan


Pengecatan hematoksilin eosin (HE) (skala bar 20 μm).

D. Imunohistokimia

Metode imunohistokimia yang banyak digunakan dan sangat

sensitive adalah metode avidin biotin atau disebut metode Avidin

Biotin Complex (ABC). Metode ini merupakan modifikasi dari

metode tidak langsung, namun antigen yang telah berikatan langsung

dengan antibodi primer, selanjutnya antibodi primer dengan antibodi

sekunder yang telah mengalami biotinilasi (terkonjugasi dengan

biotin), pada setiap ujung tangan antibodi sekunder telah terkonjugasi

dengan biotinyang dapat mengikat molekul avidin dengan menetaskan

larutan kompleks avidin biotin maka antibody sekunder membentuk

kompleks dengan avidin melalui bitin. Biotin pada ABC diikatkan

dengan peroksidase dan enzim tersebut divisualisasikan melalui ikatan

dengan substrat yang telah diberi kromogen (Bionisch, 2001).

Penelitian toksoplasmosis pada burung merpati (Columba livia)

dengan teknik imunohistokimia streptavidin-biotin menunjukkan

reaksi positif sista T. gondii pada salah satu sampel (Hamdani,

1998). Metode avidin biotin yang sering digunakan adalah Labeled

Avidin Biotin (LAB) atau Labeled Streptovidin Avidin Biotin (LSAB)

yang menggunakan biotinylide secondary antibody dan 3 reagen dari

peroksidase atau alkaline phosphatase berlabel avidin, dan metode ini

memiliki sensitivitas yang lebih tinggi diantara metode ABC lainnya.

Antibodi yang baik unutk imunohistokimia memiliki ciri spesifikasi

tinggi yaitu antibodi harus dapat berikatan secara spesifik dengan

satu antigen saja, memiliki titer yang cukup tinggi karena titer yang

tinggi menggambarkan jumlah antibodi yang banyak sehingga dapat

mengikat banyak antigen (Ramosvara, 2005).

E. Perubahan Patologis pada Beberapa Jenis Hewan

Infeksi Toxoplasma gondii dapat mengakibatkan berbagai macam

perubahan patologis. Perubahan-perubahan tersebut bervariasi

Toksoplasmosis pada Hewan

61


tergantung pada tingkat infeksi dan jenis hewan, seperti sebagai

berikut :

1. Kucing

Perubahan patologi anatomis pada kucing yang menderita

toksoplasmosis dapat terlihat adanya ensefalitis, infiltrasi perivaskuler,

perubahan degeneratif pada otak dan sumsum tulang belakang,

nervus optikus, pembengkakan pada nodus limfatikus, bintik putih

yang multipel pada paru-paru, sarang nekrosis ditemukan pada limfa,

hati dan paru-paru, kolangitis, pankreatitis, nefritis interstitial kronis

dan pneum onia (Boch, 1992). Pada kucing, pneumonia terjadi lebih

intensif, rongga alveoli berisi fibroblast, sehingga konsistensinya

berubah menjadi seperti paru-paru janin. Dari luar, paru-pans terlillat

nekrotik yang tersebar dalam satu atau beberapa lobus. Anak-anak

kucing yang induknya diinokulasi toksoplasma pada saat bunting

menunjukkan multifocal granulomatous encephalitis, miokarditis,

miositis dan pneumonia interstitialis.

Gambar 27. Usus kucing yang serologis positif Toxoplasama (Tanda

panah); (A). Ileum terlihat adanya perkembangan siklus seksual

(meront), (1). Proliferasi sel epitel; (B). Jejenum tidak terlihat adanya

perkembangan siklus seksual (meront) (Perbesaran 1000x)

2. Anjing

62 Toksoplasmosis pada Hewan


Pada anjing yang terinfeksi toksoplasmosis secara buatan akan

memperlihatkan perubahan pasca mati berupa pembengkakan nodus

limfatikus mesenterial. Selain itu, dijumpai adanya fokal nekrosa pada

paru-paru, hati dan jantung serta gliosis pada sistem saraf pusat, dapat

juga dijumpai eksudat serosanguinous pada rongga tubuh, terjadi

pembengkakan limfoglandula regional, pada usus terdapat tukak kecil

terutama pada duodenum dan anus. Perivascular cuffing ditemukan

di serebrum dan medula spinalis, sista ditemukan di otot, paru paru,

limps, dan jantung. Pada gejala yang tersifat pada sistem saraf pusat,

terlihat adanya nekrosis, gliosis, vaskulitis dan meni-ngoensefalitis.

Beberapa sistem saraf dapat mengalami pembengkakan, demielinasi

dan polimiositis (Dubey dan Beattie, 1988).

Gambar 28. Myositis pada Otot Anjing Akibat Toksoplasmosis

3. Unggas

Perubahan pascamati yang terjadi pada unggas tidak spesifik.

Meskipun demikian, unggas, seperti ayam dan beberapa jenis burung,

dapat mati akibat infeksi toksoplasmosis akut dengan menunjukkan

gejala-gejala seperti ensefalitis, korioretinitis, miokarditis, pembengkakan

otot jantung, lokal nekrosis pada hati dan limfa, emteritis dan abses di

dinding lambung serta pneumoni (Dubey dan Beattie, 1988).

Toksoplasmosis pada Hewan

63


Gambar 29. Irisan retina primata yang menunjukkan adanya

nekrosis yang ekstensif dengan disrupsi dari bentukan retina

normal, infiltrasi sel mononuklir dan koroiditis.

4. Kambing

Pada kambing, terdapat bentuk akut dengan lesi fokal nekrosis

sedangkan pada bentuk kronis tampak adanya noduli glial dan pada

saat tersebut dapat ditemukan adanya sista (Soulsby, 1982). Ada

laporan yang menunjukkan bahwa pada domba di bagian kotiledon

terdapat perubahan berwarna putih yang multifokal dengan diameter

3 milimeter. Sementara itu, di bagian interkotiledonaria biasanya

dalam keadaan normal (Dubey et al., 1986). Pada anak kambing yang

dilahirkan, terlihat mengalami mumifikasi dengan warna coklat tua

dan hampir semua cairan tubuhnya mengalami resorbsi (Nurse dan

Lenghaus, 1986). Secara histologis, pada pemeriksaan otak tampak

adanya multifokal nekrosis, meningitis non supuratif dan fokal

ensefalitis dengan mineralisasi fokal dan malasia dari neutrofil. Selain

itu, paru-paru domba dapat mengalami bronkopneumonia. Pada hati

ditemukan adanya fokal agregat dari sel mononuklear yang letaknya

tersebar dan beberapa di antaranya terletak di sekeliling foki nekrotik

yang kecil (Nurse dan Lenghaus, 1986). Pada domba, sista ditemukan

dalam otak bersamaan dengan adanya pembendungan dan infitrasi

64 Toksoplasmosis pada Hewan


sel-sel perivascular cuffing.

Gambar 30. Multifokal Nekrosis and Non-Suppuratif Encefalitis

pada Otak. (sumber : Kansas State Veterinary Diagnostic

Laboratory)

5. Sapi

Toksoplasmosis pada sapi menunjukkan pembesaran

limfoglandula submaksillaris, pneumonia hemorhagika dan kalsifikasi

dinding pembuluh darah. Kondisi yang lebih parah pada anak-anak

sapi yang menderita toksoplasmosis dapat menyebabkan kematian 2 -

6 hari setelah lahir atau lahir dalam keadaan mati.

6. Babi

Perubahan pascamati pada babi umur 4 minggu biasanya terjadi

di beberapa organ usus yang terkena, mulai dari mukosa, lamina propia,

sub mukosa, otot longitudinal dan otot sirkuler. Parasit dapat ditemukan

di daerah mukosa usus. Selain itu, limfonodus juga mengalami nekrosa

multifokalis, nekrosa vaskuler dan trombosis. Hati juga mengalami

nekrosa dengan sedikit infiltrasi limforetikuler. Perubahan yang lain

adalah pembengkakan limfa, pulpa berwarna merah kadang-kadang

hiperplasia retinoendotelial, nekrosa multifokalis terjadi di pulpa dan

Toksoplasmosis pada Hewan

65


selaput retikuler dengan sedikit mononuklear. Takizoit dapat juga

ditemukan di daerah yang mengalami perubahan tersebut (Dubey et

al., 1976).

66 Toksoplasmosis pada Hewan


BAB VII

IMUNOLOGI

Toxoplasma gondii merupakan parasit protozoa yang berlokasi di

dalam sel dan jaringan tubuh. Antigen dari toksoplasma dapat dijumpai

selama infeksi tersebut berlangsung, pada saat menginvasi hospes dan

dilepaskan saat parasit tersebut menyusup ke dalam sel hospes. Berkaitan

dengan hal tersebut, respon kekebalan yang ditimbulkan bergantung pada

faktor-faktor antara lain lokasi di mana parasit tersebut di dalam hospes,

tingkat adaptasinya terhadap hospes, kompleksitas dari antigen dan

bagaimana caranya untuk menghidar dari respon imun yang dibuat oleh

hospes. Mengingat lokasi Toxoplasma gondii yang sistemik atau dapat tinggal

di hampir seluruh jaring-an hospes di dalam makrofag dan ekstraseluler

dalam cairan darah, maka parasit ini dapat dikatakan memiliki kemampuan

adaptasi yang begitu baik, sehingga tidak mengherankan hidupnya dapat

bertahan begitu lama dan tanpa menimbulkan gejala penyakit pada hospes

yang ditempatinya (Irwin, 1995).

Toksoplasma merupakan parasit euriksenosa terhadap hospes

intermedier, artinya parasit ini pada fase takizoit dapat menginfeksi berbagai

spesies mamalia termasuk manusia. Namun demikian, pada fase koksidia,

Toksoplasmosis pada Hewan

67


toksoplasma hanya akan menginfeksi genus dari Felidae (kucing dan

sebangsanya). Mengingat toksoplasma yang di dalam tubuh hospes dapat

beradaptasi dengan baik hingga dapat hidup lama tanpa menimbulkan

gejala klinis, tetapi ini tidak berarti bahwa parasit tersebut tidak berbahaya.

Pada kenyataannya parasit ini sangat antigenik, artinya toksoplasma dapat

mengembangkan mekanisme pertahanan diri untuk dapat tetap bertahan

hidup di dalam hospes, meskipun selama itu timbul respon kekebalan yang

dibentuk oleh hospes. Respon kekebalan yang ditimbulkan oleh hospes

dapat berupa respon imun humoral, yaitu dengan terbentuknya antibodiantibodi

terhadap toksoplasma yang hidup bebas dalam aliran darah dan

cairan jaringan. Sementara itu, respon imun berperantara sel akan aktif

mengeliminasi parasit yang berada di dalam sel. Selanjutnya, produksi

antibodi serum yang ditujukan terhadap antigen permukaan toksoplasma,

dapat menghasilkan suatu reaksi opsonisasi, aglutinasi dan membatasi

gerakan parasit. Bersama dengan sistem komplemen dan sel sitotoksik,

antibodi-antibodi ini kemudian akan membunuh parasit tersebut dan

sebagian dari antibodinya yang berupa ablastin akan menghambat ensim

yang dikeluarkan oleh protozoa. Dengan demikian, replikasi dari parasit

dapat dicegah (Tizard, 1987).

Respon imun yang berperan penting pada Toxoplasma gondii adalah

respon imun berperantara sel, mengingat parasit ini pada stadium takizoit

berkembang biak dengan baik di dalam sel. Apabila di dalam sel tersebut

berlangsung proses proliferasi sebagai bagian dari perkembangan dari

toksoplasma, maka sel yang ditempatinya dapat pecah. Selanjutnya, parasit

tersebut akan keluar dari sel dan menulari sel yang ada di dekatnya. Demikian

dan seterusnya akan terjadi perusakan sel-sel yang bera da di sekitarnya,

hingga jaringan yang ditempati menjadi rusak. Apabila takizoit menyerang

makrofag, maka makrofag ini tidak dihancurkan. Hal ini dapat terjadi

karena Toxoplasma gondii dapat melepaskan adenosin monofosfat ke dalam

fagosom, yang akan menghambat proses perusakan tersebut lebih lanjut.

Lisosom mungkin saja bergerak ke arah fagosom, namun tidak bergabung

68 Toksoplasmosis pada Hewan


dengannya. Dengan demikian takizoit dapat tetap hidup bebas berkembang

biak di dalam sel dalam suatu kondisi yang terhindar dari antibodi dan

ensim lisosom (Tizard, 1987).

Kehadiran dari antibodi bersama dengan komplemen akan dapat

mengeliminasikan parasit yang hidup bebas di dalam cairan tubuh, sehingga

lambat laun dapat mengurangi penyebaran parasit tersebut yang hidup

dia ntara sel-sel. Akan tetapi antibodi tersebut juga terbatas jumlahnya,

sehingga seringkali tidak mampu berbuat banyak apabila di antara parasit

tersebut sudah masuk ke dalam sel. Untuk itu, perlu adanya suatu respon

imun berperantara sel dari respon rangsangan tanggap kebal. Pada respon

ini, Sel T akan berinteraksi dengan antigen toksoplasma dan melepaskan

limfokin yang mampu merangsang aktivitas sitotoksik makrofag. Dengan

demikian lisosom sebagai penghalang akan dihancurkan secara intraseluler

(Tizard, 1987).

Toksoplasma dapat menginfeksi hampir semua jenis sel. Bagaimana

dan mekanisme invasi dari toksoplasma tersebut ke dalam sel. Pada awalnya,

toksoplasma akan mendekatkan diri pada sel (A). Proses penempelan ini

melibatkan aktivitas biokimiawi dari parasit dengan perantara Glikosil-

Fosfatidil-Inositol (GPI) (McConville, 1993). Adanya kontak di bagian

ujung apikal toksoplasma dengan membran sel hospes akan merangsang

aktifasi proses invasi. Dari kontak tersebut akan berlanjut menjadi suatu

gerakan intensif yang akan membuka sel yang ditempati parasit tersebut

(B). Selanjutnya, dengan suatu gerakan berputar dari parasit tersebut (C)

maka terbentuklah lubang yang lebih dalam. Sedikit demi sedikit parasit

tersebut akan semakin masuk ke dalam sel (D), hingga akhirnya parasit

dapat menembus dinding sel dan masuk lebih ke dalam sel (E). Setelah

berhasil masuk, di sekeliling dari parasit tersebut akan terbentuk suatu

vakuola yang dinamakan vakuola parasitoporus (VP) yang fungsinya

sebagai pelindung terhadap lisosom sel hospes (Werk, 1985). Selanjutnya,

multiplikasi dari Toxoplasma gondii ini terjadi hanya di dalam intraseluler

dalam suatu kompartemen khusus vakuola parasitoporus. Antigen pada

Toksoplasmosis pada Hewan

69


stadium intraseluler ini juga ditemukan pada permukaan sel hospes yang

terinfeksi dan antigen ini akan dilepaskan pada saat sel hospes tersebut

mengalami lisis (More, 1995).

Pada proses invasi toksoplasma tersebut, sebenarnya tidak lepas dari

peran di bagian anterior toksoplasma yang disebut roptri (lihat morfologi

toksoplasma). Berdasarkan penelitian dari de Souza dan SoutoPadron

(1978), terdapat komposisi kimia tertentu yang dikeluarkan dari bagian

roptri tersebut yang akan memudahkan trofozoit tersebut masuk ke dalam

sel hospes. Protein pada roptri yang kaya akan histidin tersebut sebenarnya

mirip pada merozoit Plasmodium. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk

meneliti lebih lanjut dan mengkarakterisasi kandungan protein tersebut.

Meskipun struktur kimiawinya belum diketahui, Lycke dan Norrby (1966)

telah menduga jauh sebelumnya, bahwa protein yang diberi nama sebagai

Penetration Enhancing Factor (PEF) tersebut, berperan aktif dalam invasi.

Adanya faktor ini, diduga merupakan penyebab terbentuknya virulensi dari

galur-galur pada toksoplasma pada mencit dengan ditunjukkan adanya

kematian yang lebih cepat dan lebih tinggi pada hewan-hewan percobaan

yang terinfeksi. Namun demikian, Hughes dan Knapen (1982) menduga,

bahwa sekresi antigen beredar dari toksoplasma juga berperan penting

seperti halnya PEF dan antigen ini dilepaskan pada saat parasit tersebut

masuk ke dalam hospes.

A. Antigen Toksoplasma

Antigen dari toksoplasma dapat dijumpai selama infeksi

tersebut berlangsung, pada saat menginvasi hospes dan dilepaskan saat

parasit tersebut menyusup ke dalam sel hospes. Berkaitan dengan hal

tersebut, respon kekebalan yang ditimbulkan bergantung pada faktorfaktor

antara lain lokasi dimana parasit tersebut di dalam hospes,

tingkat adaptasinya terhadap hospes, kompleksitas dari antigen dan

bagaimana caranya untuk menghidar dari respon imun yang dibuat

oleh hospes. Mengingat lokasi Toxoplasma gondii yang sistemik atau

dapat tinggal di hampir seluruh jaringan hospes di dalam makrofag

70 Toksoplasmosis pada Hewan


dan ekstraseluler dalam cairan darah, maka parasit ini dapat dikatakan

memiliki kemampuan adaptasi yang begitu baik, sehingga tidak

mengherankan hidupnya dapat bertahan begitu lama dan tanpa

menimbulkan gejala penyakit pada hospes yang ditempatinya (Irwin,

1995).

Pada kenyataannya Toxoplasma gondii sangat antigenik, artinya

toksoplasma dapat mengembangkan mekanisme pertahanan diri

untuk dapat tetap bertahan hidup di dalam hospes, meskipun selama

itu timbul respon kekebalan yang dibentuk oleh hospes. Respon

kekebalan yang ditimbulkan oleh hospes dapat berupa respon imun

humoral, yaitu dengan terbentuknya antibodi-antibodi terhadap

toksoplasma yang hidup bebas dalam aliran darah dan cairan jaringan.

Sementara itu, respon imun berperantara sel akan aktif mengeliminasi

parasit yang berada di dalam sel. Selanjutnya, produksi antibodi

serum yang ditujukan terhadap antigen permukaan toksoplasma,

dapat menghasilkan suatu reaksi opsonisasi, aglutinasi dan membatasi

gerakan parasit. Bersama dengan sistim komplemen dan sel sitotoksik,

antibodi-antibodi ini kemudian akan membunuh parasit tersebut dan

sebagian dari antibodinya yang berupa ablastin akan menghambat

ensim yang dikeluarkan oleh protozoa. Dengan demikian, replikasi dari

parasit dapat dicegah (Tizard, 1996). Patogenesis pada toksoplasmosis

akut berkaitan erat dengan imunitas kompleks yang secara bersamaan

akan timbul bersama gejala klinisnya. Hal ini dapat dideteksi dengan

melihat aktifitas serumnya. Kompleksitas dari pembentukan imun ini

terjadi dengan adanya ikatan reseptor pada permukaan limfosit dan

fagosit yang akan berpengaruh pada respon imun humoral dan seluler

(Frenkel, 1990).

Kehadiran dari antibodi bersama dengan komplemen akan

dapat mengeliminasikan parasit yang hidup bebas di dalam cairan

tubuh, sehingga lambat laun dapat mengurangi penyebaran parasit

tersebut yang hidup diantara sel-sel. Akan tetapi antibodi tersebut

Toksoplasmosis pada Hewan

71


juga terbatas jumlahnya, sehingga seringkali tidak mampu berbuat

banyak apabila diantara parasit tersebut sudah masuk ke dalam sel.

Untuk itu, perlu adanya suatu respon imun berperantara sel dari respon

rangsangan tanggap kebal. Pada respon ini, Sel T akan berinteraksi

dengan antigen toksoplasma dan melepaskan limfokin yang mampu

merangsang aktifitas sitotoksik makrofag. Dengan demikian lisosom

sebagai penghalang akan dihancurkan secara intraseluler (Tizard,

1996).

Banyak penelitian sudah dilakukan untuk mengidentifikasi

antigen-antigen yang dapat digunakan dalam mendiagnosa dan

mencari kandidat vaksin untuk toksoplasmosis. Penelitian-penelitian

tersebut umumnya dilakukan pada toksoplasmosis manusia (Strain

RH), sedangkan pada hewan masih sangat sedikit penelitiannya.

Namun demikian banyak penelitian tersebut mengalami kegagalan

karena kerumitan susunan membran toksoplasma yang berkaitan

dengan banyaknya komponen protein antigen dalam hubungannya

dengan diagnosa, kekebalan dan respon imun hospes. Seperti

diketahui, masalahmasalah inilah merupakan bagian awal dalam

memahami imunologi infeksi Toxoplasma gondii.

Kerumitan dari susunan membran toksoplasmosis berkaitan

dengan banyaknya komponen protein antigen dalam hubungannya

dengan diagnosa, kekebalan dan respon imun hospes, merupakan

bagian awal dalam memahami imunologi infeksi Toxoplasma gondii.

Pada mulnya, diduga ada 4-5 macam antigen yang terdapat pada

permukaan parasit. Diantara ke-empat antigen tersebut beberapa

diantaranya memiliki komponen glikiporotein (Hughes et al, 1982).

Selanjutnya, dengan menggunakan teknik yang lebih sensitif seperti

Westernblot dan lektin yang dilabel radioaktif, menunjukkan adanya

aktifitas spesifik dari karbohidrat pada infeksi akut (Sharma et al.,

1983). Selain itu, sejumlah antigen yang spesifik terhadap stadiumstadium

pada toksoplasma juga telah dikarakterisasi. Antigen

72 Toksoplasmosis pada Hewan


yang diberi nama SAG 1 dan SAG 2 ini, merupakan antigen yang

dieskpresikan oleh parasit ini selama stadium takizoit. Untuk antigen

yag mengkode permukaan bradizoit, Bohne et al. (1993) telah berhasil

mengisolasinya dari makrofag tikus. Namun demikian, penemuanpenemuan

tersebut belum dapat mengungkapkan keberadaan antigen

konversi yang diespresikan dianata fase takizoit dan bradizoit. Antigen

ini sebenarnya lebih berperan penting dalam mempelajari lebih lanjut

mengenai reaktifitasinya pada infeksi kronis. Diantara antigen-antigen

yang diperoleh dari suatu galur toksoplasma tersebut, terdapat suatu

kemiripan antara satu dengan yang lain yang ditunjukkan dari hasil

analisa data sequencing major surface antigen (SAG) dari takizoit. Hasil

menunjukkan, bahwa sebenarnya sangat sedikit terdapat perbedaan

antigen yang ada pada toksoplasma (Rinder et al., 1995).

Seiring dengan meningkatnya infeksi toksoplasmosis, jumlah

antigenemia yang disekresikan oleh parasit senantiasa meningkat. Pada

sekresi antigen secara in vitro, menunjukkan bahwa dalam waktu 12

hari, pada biakan dari galur Rh terdapat suatu periode puncak sekresi

antigen pada hari ke 6 (Desgeorges et al., 1980). Antigen ini selanjutnya

diisolasi dan digunakan untuk tujuan diagnosa toksoplasmosis seperti

pada Skin test untuk pasien di klinik (Ambroise-Thomas et al., 1982).

Dengan menggunakan antigen spesifik toksoplasma, antibodi pada

serum manusia atau hewan dapat dideteksi dengan teknik ELISA,

setelah hewan diinduksi secara eksperimental. Antigen pada penderita

subklinis akan beredar dalam 4 minggu, setelah itu dapat dideteksi

keberadaannya selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun setelah

infeksi. Namun kadang-kadang pada kucing yang terinfeksi dengan

toksoplasmosis klinispun terjadi antigenemia tanpa terdeteksi adanya

antibodi dalam serum (Lappin, 1994).

Invasi dari takizoit ke dalam sel hospes berlangsung melalui

suatu mekanisme aktif akan mensekresikan protein antigen ke dalam

sirkulasi darah. Antigen beredar ini dapat merupakan produk parasit

Toksoplasmosis pada Hewan

73


yang dihasilkan pada saat prasit tersebut menginvasi sel makrofag.

Adanya antigen ini menunjukkan, bahwa infeksi tersebut berlangsung

akut atau masih aktif. Antigen beredar pada prinsipnya memiliki

kesamaan komposisi dan struktur dengan antigen solubel. Selain itu,

pada media kultur, 72 jam setelah parasit dibiakkan, dapat ditemukan

antigen beredar yang mempunyai berat molekul 30, 45, 63 dan 77

kDa (Cazabone et al., 1994).

Dugaan adanya kemiripan diantara 5 stadium dari Toxoplasma

gondii (skizon, gametosit, sporozoit, takizoit dan bradizoit) dan antigen

yang spesifik terhadap strain telah dikemukakan oleh Dubey et al. (1970)

meskipun belum dikarakterisasi lebih lanjut. Dugaan tersebut kemudian

ditindaklanjuti dengan beberapa penelitian lainnya yang menyatakan

bahwa parasit ini memiliki antigen yang spesifik terhadap stadium dan

kemungkinan juga antigen spesifik terhadap strain (Hadman et al.,

1980; Lunde dan Jacobs, 1983; Kasper dan Ware, 1985). Selanjutnya

telah teridentifikasi juga adanya empat atau lima antigen membran

pada permukaan parasit. Namun demikian masih sedikit sekali

informasi mengenai keberadaan lapisan glikoproteinnya (Handman

et al., 1980b). Antigen mayor yang umum dijumpai pada sporozoit

dan takizoit adalah 97 kDa, 66 kDa, 44 kDa dan 22 kDa (Kasper dan

Ware, 1985). Sporozoit dari strain C selanjutnya diketahui memiliki 2

lapisan membran protein sebesar 65 dan 25 kDa yang tidak dijumpai

pada stadium takizoit (Kasper et al., 1984). Dengan menggunakan

teknik yang lebih sensitif seperti Westernblot dan lektin yang dilabel

radioaktif, hasil menunjukkan adanya aktifitas spesifik dari karbohidrat

pada infeksi akut. Serum yang digunakan pada teknik Western blot

mampu mendeteksi paling sedikit adanya 4 antigen selama infeksi akut

dan hingga 20 antigen selama kondisi kronis (Sharma et al., 1983).

Identifikasi protein antigen Toksoplasma untuk diagnosa dan

kandidat vaksin telah lama dilakukan. Meskipun demikian penelitianpenelitian

tersebut umumnya dilakukan pada toksoplasmosis

74 Toksoplasmosis pada Hewan


manusia (Strain RH), sedangkan pada hewan masih sangat sedikit

penelitiannya.

Tabel 2. Karakterisasi Beberapa Protein Tertentu pada T. gondii

dan Protein yang Terkait (Groβ, 1994)

No Gen Protein

Post Trans.

Modif.

Lokasi Fungsi

1 B1 ? Ada ? ?

2 P21 GRA5 ? Granula ?

3 P22 P22 (SAG) Ada Membran ?

4 P23 ESA23 Ada Granula Ikatan Ca

5 P30 P30 (SAG1) Ada Membran Adesi/invasi

6 P40 GRA4 Ada Granula ?

7 P54 α Tubulin Ada Mikrotubuli Motilitas/Invasi

8 P54 β Tubulin Ada Mikrotubuli Motilitas/Invasi

9 P54 ROP2 ? Roptri Invasi

10 P61 ROP1-PEF ? Roptri Adesi

11 P63 NTPase ? Membran Metabol. Purin

Selain itu, sejumlah antigen yang spesifik terhadap stadiumstadium

pada toksoplasma juga telah dikarakterisasi. Antigen yang

diberi nama SAG1 dan SAG2 ini, juga merupakan antigen yang

diekspresikan oleh parasit ini selama stadium takizoit. Untuk antigen

yang mengkode permukaan bradizoit, Bohne et al. (1993) telah

berhasil mengisolasinya dari makrofag tikus. Namun demikian,

penemuan-penemuan tersebut belum dapat mengungkapkan

keberadaan antigen konversi yang diekspresikan diantara fase takizoit

dan bradizoit. Antigen ini sebenarnya lebih berperan penting dalam

mempelajari lebih lanjut mengenai reaktifasinya pada infeksi kronis.

Diantara antigen-antigen yang diperoleh dari suatu galur toksoplasma

tersebut, terdapat suatu kemiripan antara satu dengan yang lain yang

ditunjukkan dari hasil analisa data sequencing major surface antigen

(SAG) dari takizoit. Hasilnya menunjukkan, bahwa sebenarnya

sangat sedikit terdapat perbedaan antigen yang ada pada toksoplasma

(Bohne et al., 1993).

Toksoplasmosis pada Hewan

75


B. Antibodi Toksoplasma

Adanya infeksi toksoplasmosis, maka akan mendorong tubuh

hospes untuk memproduksi antibodi spesifik terhadap toksoplasma.

Kehadiran antibodi bersama dengan komplemen dapat mengeliminasi

parasit yang hidup bebas di dalam cairan tubuh, sehingga lambat laun

dapat mengurangi penyebaran parasit tersebut yang hidup diantara

sel-sel. Akan tetapi antibodi tersebut juga terbatas jumlahnya, sehingga

seringkali tidak efektif apabila parasit tersebut masuk ke dalam sel.

Untuk itu, perlu adanya suatu respon imun perantara sel dari respon

rangsangan tanggap kebal. Pada respon ini, sel T akan berinteraksi

dengan antigen Toxoplasma dan melepaskan limfokin yang mampu

merangsang aktifitas sitotoksik makrofag. Dengan demikian lisosom

sebagai penghalang akan dihancurkan secara intraseluler (Tizard,

1996). Sri Hartati dkk (1997) melaporkan bahwa telah berhasil

diisolasi T. gondii strain lokal dari diafragma domba dengan pola

protein yang berbeda dengan galur RH. Hal ini menunjukkan bahwa

galur yang berbeda akan menghasilkan pola yang berbeda dengan

sifat immunogenik yang berbeda. Menurut Sri Hartati dkk (1998)

telah berhasil diproduksi 7 klon antibodi monoklonal yaitu TL 88,

TL 106, TL 112, TL 124, TL 127, TL 130 dan TL 142; dengan

metode ELISA dan Dot blot semua antibodi monoklonal tersebut

menunjukkan reaksi dengan protein membran takizoit T. gondii isolat

lokal.

C. Antibodi Monoklonal

Antibodi monoklonal adalah tipe antibodi yang murni

mengandung satu jenis antibodi untuk sisi antigenik (epitop) yang

khas dari antigen tersebut. Antibodi monoklonal sering dipakai

untuk diagnosa suatu penyakit yang sangat berbahaya dan keperluan

penelitian dengan spesifitas yang sempit sehingga Adanya infeksi

toksoplasmosis pada suatu hospes merupakan indikasi adanya

antigen toksoplasma dalam serum darah manusia dan hewan. Untuk

76 Toksoplasmosis pada Hewan


itu, keberadaan dari antigen beredar ini dapat dideteksi dengan

menggunakan antibodi monoklonal. Antibodi monoklonal adalah

antibodi spesifik yang dihasilkan oleh satu klon sel saja (Antczak,

1982). Antibodi ini merupakan hasil fusi dari sel mieloma dan

limfosit B untuk menghasilkan hibridoma. Sel yang dikehendaki,

adalah sel yang mampu hidup di kultur dan menghasilkan antibodi

spesifik terhadap antigen toksoplasma. Keunggulan dari teknik

antibodi monoklonal adalah kemampuannya sebagai pelacak yang

sangat kuat untuk mengidentifikasi imunodeterminan spesifik pada

infeksi toksoplasmosis, sehingga dengan cepat dapat diketahui status

infeksinya. Kemampuan antibodi yang spesifik mengenal satu epitop

dari satu antigen toksoplasma, membuat teknik ini sangat penting.

Produksi dari antigen ini tidak terbatas tanpa kehilangan spesifitasnya

(Araujo et al., 1982).

Deteksi antigen beredar dapat dilakukan dengan bantuan antibodi

monoklonal yang spesifik terhadap antigen membran toksoplasma

(Long, 1990; Cazabone et al., 1994). Untuk itu diperlukan antibodi

monoklonal yang spesifik terhadap membran toksoplasma dari isolat

yang sejenis. Diharapkan dari produksi antibodi monoklonal tersebut

terdapat kesesuaian antara agen yang dilacak dengan reagen pelacak.

Dalam hal ini, antibodi monoklonal merupakan pelacak yang kuat

untuk mengidentifikasi imunodeterminan spesifik pada agen penyakit

dan dapat digunakan untuk mendeteksi antigen toksoplasma dalam

serum (Fortier et al., 1991).

Araujo dan kawan-kawan (1980) pertama kali berhasil

menemukan 4 macam antibodi monoklonal terhadap antigen

membran toksoplasma yang selanjutnya dapat digunakan untuk

mendeteksi antigenemia pada pasien penderita toksoplasmosis dan

mencit yang terinfeksi buatan. Namun hasil tersebut masih memiliki

sensitivitas rendah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan, bahwa

meskipun antigen membran ada dalam sirkulasi darah selama kejadian

Toksoplasmosis pada Hewan

77


toksoplasmosis akut, namun masih memiliki konsentrasi yang rendah,

sehingga kurang memberikan respon dalam deteksi antigenemia atau

tidak bermakna untuk deteksi antigenemia.

Dari gambaran klinis toksoplasmosis kongenital yang diperoleh

selama periode kehamilan, maka infeksi pada fase ini merupakan

yang paling berbahaya. Infeksi yang terjadi secara intra uterin jarang

terjadi dan kebanyakan berlangsung sebagai suatu infeksi subklinis.

Toksoplasmosis yang terjadi setelah bayi lahir, secara umum tidak

akan menimbulkan suatu penyakit yang serius. Manifestasi klinisnya

memang sangat bervariasi, tergantung pada virulensi dari galur dan

lokasi parasit. Bentuk klinis yang paling sering terjadi adalah bentuk

limfatik yang tidak lain adalah bentuk limfadenopati.

Suatu infeksi toksoplasmosis yang terjadi pada manusia dapat

atau tidak berkembang lebih lanjut menjadi infeksi klinis, tergantung

pada status imunologis pada saat infeksi terjadi. Sehingga pada

toksoplasmosis dikenal adanya kerentanan dari masing-masing

individu. Pada pasien yang menderita AIDS, atau pada kondisi yang

imunosupresif akibat adanya infeksi bersama dengan penyakit lain,

infeksi akan berkembang menjadi toksoplasmosis serebralis akut.

Untuk itu pengobatan harus dilanjutkan untuk jangka waktu yang

lama agar dapat mempertahankan respon klinik (Wanke et al., 1987).

Patogenesis pada toksoplasmosis akut berkaitan erat dengan

imunitas kompleks yang secara bersamaan akan timbul bersama gejala

klinisnya. Hal ini dapat dideteksi dengan melihat aktivitas serumnya.

Kompleksitas dari pembentukan imun ini terjadi dengan adanya ikatan

reseptor pada permukaan limfosit dan fagosit yang akan berpengaruh

pada respon imun humoral dan seluler (Frenkel, 1988).

Peran mekanisme respon kekebalan seluler pada toksoplasma

adalah sangat penting. Peranan tersebut tidak lepas dari aktivitas sel

T, bersama pelepasan limfokin dan aktifasi dari sel NK setelah infeksi

78 Toksoplasmosis pada Hewan


toksoplasma tersebut terjadi. Limfokin dari sel T, IFN-Ó, menunjukkan

peranannya dalam mengaktifkan makrofag untuk membunuh

toksoplasma, menghambat pertumbuhan parasit tersebut pada media

fibroblas dan mengaktifkan sel NK yang terjadi selama toksoplasmosis

akut (Shirata et al., 1980). Selain itu, limfokin sel T yang lainnya, yaitu

interleukin-2 (IL-2) menunjukkan aktivitas protektifnya pada infeksi

takizoit secara in vivo (Sharma et al., 1985). Secara in vitro, produksi

Tumor Necrosis Factor (TNF), yang disekresikan sebagai akibat dari

aktifasi makrofag dan produksi interleukin 1 (IL-1) berperan penting

untuk modulasi respon imun hospes terhadap infeksi toksoplasmosis

(Chang et al., 1990). Lebih lanjut, produksi TNF tersebut akan

merangsang aktivitas anti-toksoplasma dari makrofag.

Secara umum suatu infeksi toksoplasmosis yang terjadi pada

kucing akan memberikan suatu respon kekebalan yang berlangsung

mulai dari saat pelepasan oosista, terjadi reinfeksi kembali hingga

tingkatan tertentu dari reinfeksi. Setelah reinfeksi berlangsung

beberapa minggu kemudian, kucing akan mengeluarkan kira-kira

hanya 11% oosista saja. Kekebalan ini akan berlangsung hingga kirakira

selama 2 tahun. Pada kucing yang lebih tua, diduga terdapat

respon kekebalan yang lebih baik dibanding pada anak kucing atau

kucing muda yang ternyata lebih rentan terhadap infeksi. Infeksi

oosista pada anak kucing akan mengakibatkan eliminasi oosistaoosista

yang lebih banyak dibanding pada kucing dewasa dengan

dosis infeksi yang sama. Adanya titer antibodi dalam serum kucing

tersebut menunjukkan adanya kekebalan yang sedang berlangsung

(Dubey dan Beattie, 1988).

Hal-hal yang berkaitan dengan terjadinya perbedaan dalam

virulensi strain-strain toksoplasma masih sangat sedikit informasi.

Dari penelitian yang dilakukan di Jerman oleh Rommel et al. (1987)

menunjukkan bahwa perbedaan virulensi dari galur-galur yang ada pada

toksoplasma sebenarnya lebih berkaitan dengan perkembangannya

Toksoplasmosis pada Hewan

79


di dalam tubuh hewan-hewan percobaan. Sedangkan pada infeksi

alami, perbedaan galur ini mungkin tidak begitu berperan. Pada

hewan percobaan, suatu galur kemungkinan akan dapat berkembang

lebih cepat sehingga hewan tersebut akan mati dalam waktu yang

singkat sebelum sistem kekebalan tubuh terbentuk.Apabila galur

tersebut dicoba pada hewan percobaan jenis lain akan menunjukkan

hasil yang berbeda, parasit berkembang lebih lambat, hewan mampu

mengendalikan infeksi dan kekebalan lambat laun akan terbentuk.

Toksoplasma yang diisolasi dari hewan percobaan memang biasanya

kurang virulen. Dengan demikian apabila galur tersebut diberikan

pada hewan percobaan akan menjadi kurang infektif dan tidak

menunjukkan gejala klinis yang berarti. Di samping kemampuan dari

toksoplasma untuk menghambat pelepasan lysosoma dan fagosoma

dalam makrofag, aktifasi sel supresor melalui antigen toksoplasma

dilihat sebagai faktor pemicu terjadinya virulensi. Faktor lain adalah

adanya aktivitas interferon yang berperan dalam pertumbuhan dan

pengaturan stadium bradizoit dari toksoplasma yang dapat dihambat

melalui induksi interferon maupun pembentukan substansisubstansinya.

Penelitian di atas ternyata berbeda dengan hasil

penelitian yang dilaporkan Ware dan Kasper (1987), karena perbedaan

virulensi dari galur toksoplasma tetap ada, meskipun hanya dilaporkan

pada galur toksoplasma manusia (Rh strain). Galur ini diperoleh dari

jaringan manusia yang terinfeksi pada tahun 1941 dan secara terus

menerus dipelihara melalui passage pada tikus atau membiakkannya

dalam biakan fibroblas manusia (Sabin, 1941). Pada perbedaan galur

yang terjadi ini lebih berhubungan dengan ada tidaknya pelepasan

ikatan glikosilasi dari antigen P22 dan P30 yang mungkin hilang

pada setiap aktivitas passage (Ware dan Kasper, 1987). Jadi, variasi

antigen kemungkinan besar terjadi di dalam infeksi toksoplasmosis.

Meskipun demikian adanya diferensiasi imunogenik pada galur Rh

ini masih belum terpecahkan.

80 Toksoplasmosis pada Hewan


BAB VIII

DIAGNOSA KLINIS

A. Diagnosa Klinis

Diagnosa toksoplasmosis sulit dilakukan kalau hanya

didasarkan pada gejala-gejala klinis. Hal ini dsebabkan, karena gejala

yang ditimbulkan toksoplasmosis tidaklah spesifik dan mirip dengan

gejala akibat infeksi penyakit lain. Gejala klinis yang ditimbulkan

toksoplasmosis memang dapat bervariasi, tergantung pada umur

penderita, virulensi, kerentanan hospes dan perkembangan imunitas

perolehan masing-masing hospes. Untuk itu, perlu peneguhan

dengan melakukan diagnosa yang lain seperti biologis atau

laboratoris (Soulsby, 1982). Pada kasus selama siklus enteroepitelial

toksoplasmosis, penyakit ini tidak memberikan gambaran spesifik

pada saluran gastrointestinal. Berlainan dengan kasus toksoplasmosis

ekstraintestinal, gambaran klinisnya lebih terlihat dengan infeksi

melalui plasenta. Hal ini dapat berakibat kematian pada anak yang

dikandungnya.

Toksoplasmosis pada Hewan

81


Gambar 31. Kucing yang Nampak Sehat Tidak Menjamin Bebas

82 Toksoplasmosis pada Hewan

Toksoplasmosis

Infeksi Toksoplasma pada kucing tidak menunjukkan

gambaran klinis yang spesifik. Pada kucing yang dijumpai dengan

mengeliminasikan oosista dalam jumlah besar, hanya sedikit terjadi

diare ringan. Pada kucing umur 2 minggu dengan toksoplasmosis

akut, sebelum mati akan menunjukkan gejala pneumonia, hepatitis,

miokarditis, ensefalitis dan retinitis yang kemungkinan besar

infeksi ini diperoleh secara transplasenter. Penelitian pada kucing

yang menderita toksoplasmosis bersama dengan infeksi Feline

Immunodeficiency Virus (FIV), infeksi dapat berkembang menjadi

suatu infeksi dengan gejala-gejala penyakit klinis. Identifikasi asalusul

kucing juga perlu dilakukan untuk melihat persebaran habitat

kucing yang ada di wilayah Yogyakarta dengan dibagi antara lain jenis

kucing rumah, kucing semi liar (masih berinteraksi dengan rumah,

diberi pakan di rumah, kemudian pergi), kucing liar yang tidak ada

pemiliknya, kucing yang berkeliaran di pasar-pasar, kucing yang

berkeliaran di rumah-rumah sakit, dan kucing yang sering ditemukan

di sekitar sawah. Pengambilan sampel kucing dilakukan secara


acak. Pengamatan terhadap kucing dan habitatnya, perlu dilakukan

pemeriksaan fisik dan klinis pada kucing serta dilakukan pengambilan

sampel feses. Metode pemeriksaan feses ini sangat cocok untuk

menentukan adanya oosista. Belum ada uji serologis yang akurat untuk

memprediksi kapan kucing mengeluarkan oosista, karena pada saat itu

hasil uji menunjukan seronegative sedangkan kucing yang seropositif

biasanya tidak mengeluarkan oosista (Nelson dan Couto, 2003).

Gambar 32. Pemeriksaan Feses Kucing Ditemukan Oosista

Toksoplasma

Parasit dapat dijumpai pada semua organ dan jaringan hospesnya,

sehingga untuk mencari dan mengisolasi parasit harus dilakukan

nekropsi hospes secara lengkap bila ingin mempelajari fauna parasit.

Parasit dapat dicari pada organ-organ masif seperti: hati, ginjal, otak,

pankreas, otot; organ-organ berongga seperti : saluran pencernaan,

organ respirasi, saluran genital, mata; permukaan tubuh seperti : kulit

Toksoplasmosis pada Hewan

83


dan rambut/bulu; cairan tubuh seperti : darah; sekret dan ekskret

seperti : feses, urin, leleran lendir dan lain sebagainnya.

Pada prinsipnya pencarian parasit lebih baik dilakukan pada

organ yang baru diambil segera setelah nekropsi. Namun demikian

bila ada keterbatasan waktu organ-organ tersebut dapat disimpan

dalam freezer.

Kerokan kulit

Inspeksi

Darah

Eksudat

Pemeriksaan

kan hidup

Pemeriksaan

klinis

Pemeriksaan

Langsung

Pemeriksaan

tidak langsung

Palpasi

Deteksi

ektoparasit

Deteksi

endoparasit

Serologis

Makroskopis

Mikroskopis

Protozoa

Cacing

Sekret

Mukus

Makroskopis

Mikroskopis

Darah

Keradangan

Natif

Sentrifus

McMaster

Biakan larva

Diagnosa

Parasitologi

Pemeriksaan

pasca mati

Normal

Pengujian

Darurat

Pemeriksaan

permukaan

tubuh

Pemeriksaan

otot

Pemeriksaan

organ

Serum

Organ

jaringan

Sekret

Mukus

Kultur jaringan

Hematologi

Pemeriksaan

sekret

Presipitasi

Aglutinasi

Pemeriksaan

Lingkungan

Lapangan

Air

Tanah

Pakan

Imunofloresen

PCR

Kolam/Akuarium

Vegetasi

Lantai

Western Blot

Limbah

Peralatan

DNA Probe

Gambar 33. Bagan alur diagnosa penyakit parasit pada kucing dari

pengujian konvensional hingga molekuler

1. Diagnosa pada Kucing

Toksoplasmosis dapat didiagnosa berdasarkan rekam

medis kucing, gejala klinis penyakit, dan pemeriksaan laboratoris.

Pemeriksaan 2 tipe antibodi T. gondii pada sampel darah, IgG dan

IgM, dapat dilakukan untuk meneguhan diagnosa toksoplasmosis.

Antibodi IgG terhadap T. gondii yang tinggi pada kucing yang sehat

dapat disebabkan karena kucing pernah terinfeksi toksoplasma dan

kemungkinan besar sudah mempunyai kekebalan tubuh terhadap

toksoplasma dan tidak mengeluarkan oosista di fesesnya. Kucing

84 Toksoplasmosis pada Hewan


tersebut dapat dikatakan tidak akan menjadi sumber infeksi pada hewan

lain. Sebaliknya, jika ditemukan level antibodi IgM yang tinggi, dapat

disimpulkan bahwa kucing sedang mengalami infeksi yang aktif. Jika

tidak ditemukan adanya antibodi T. gondii pada kucing sehat dapat

diduga kucing tersebut rentan terhadap infeksi toksoplasma dan bisa

jadi akan mengeluarkan oosista 2 minggu setelah infeksi terjadi.

Deteksi oosista pada feses merupakan metode yang sederhana

namun tidak terlalu dapat diandalkan untuk diagnosis karena because

bentuknya yang mirip dengan parasit lain. Pada sisi lain, kucing

hanya mengeluarkan oosista pada periode waktu yang sangat pendek

dan seringkali tidak mengelurakan oosista saat gejala klinis terlihat.

Pemeriksaan lanjutan diperlukan untuk meneguhkan diagnosa seperti

pemeriksaan mikroskopis sampel jaringan untuk menemukan takizoit

dan diagnosa serologis yang sesuai dengan sampel yang dipunyai.

Prognosa toksoplasmosis pada kucing bergantung pada

organ atau sistems tubuh yang terinfeksi, jarak waktu antara infeksi

dan pengobatan, serta respon awal saat terapi. Umumnya, kucing

yang terkena toksoplasmosis pada sistema syaraf pusat dan mata;

memperlihaatkan respon terhadap terapi dengan lambat, tetapi

memiliki prognosa yang baik jika terjadi gejala membaik pada 2-3 hari

setelah diterapi. Sedangkan prognosa untuk kucing yang mengalami

toksoplasmosis pada hati dan paru-paru biasanya lebih buruk.

2. Diagnosa pada Anjing

Pada anjing terdapat beberapa gejala yang mungkin terjadi akibat

infeksi toksoplasma namun biasanya tidak ada gejala yang spesifik.

Pada kasus yang diduga toksoplasmosis, deteksi melalui pemeriksaan

serum atau plasma seperti ELISA atau agglutination assay adalah

metode yang dapat dipilih. Hasil positif antibodi IgG menunjukkan

adanya infeksi. Meskipun demikian karena oosista dapat bertahan

lama dan antibodi IgG bertahan selama hidup, infeksi akut hanya

dapat dideteksi dengan antibodi IgM atau meningkatkan titer IgG.

Toksoplasmosis pada Hewan

85


Untuk mengkonfirmasi infeksi T. gondii, biopsi otot dapat dilakukan

untuk melakukan ekstraksi DNA (Migliore, 2017).

Pemeriksaan hematologi rutin dan parameter biokimia mungkin

berubah pada infeksi akut toksoplasmosis. Anemia non regeneratif,

leukosit neutrofilik, limfositosis, monositosis, dan eosinofilia adalah hasil

pemeriksaan darah yang paling sering muncul. Leukopenia juga dapat

muncul dan menyebabkan kematian. Hal ini biasa diikuti limfopenia

absolut dan neutropenia dengan, eosinopenia, dan monositopenia.

Pada fase infeksi akut hasil pemeriksaan dapat dijumpai

hipoproteinemia dan hipoalbuminemia. Peningkatan serum alanine

aminotransferase (ALT) dan aspartate aminotransferase (AST) juga

dapat dijumpai pada hewan dengan penyakit hepar akut dan nekrosis

otot. Anjing umumnya akan mengalami peningkatan aktifitas serum

alkaline phosphatase (ALP) dengan nekrosis hepar, tetapi hal ini

jarang terjadi pada kucing. Aktifitas serum kreatinin kinase juga

meningkat pada kasus nekrosis otot. Selain itu, level bilirubin akan

naik pada hewan yang mengalami nekrosis hepatic akut. Anjing yang

menderita pancreatitis mungkin akan memperlihatkan peningkatan

pada aktifitas amilase dan lipase.

Diagnosa antemortem toksoplasmosis pada anjing dapat

dilakukan dengan kombinasi pemeriksaan serologis dan parameter

klinis sebagai berikut : 1. Bukti serologis atau infeksi yang terdeteksi

titer IgM yang tinggi, atau adanya peningkatan dan penurunan

drastis titer IgG (4 kali lipat atau lebih) setelah terapi atau saat masa

pemulihan; 2. Pengecualian dari penyebab lain dengan gejala klinis

yang mirip; 3. Manfaat dari obat anti Toxoplasma dilihat dari respon

klinisnya. Pada pemeriksaan makroskopis dan mikrokopis mungkin

akan ditemukan ciri patologis pada semua organ. Granuloma dapat

ditemukan pada intestinum dan limfo nodus mesenterikus. Toxoplasma

gondii schizon (bukan takizoit) pernah ditemukan pada epitelium

biliari pada penyakit yang terjadi alami dan percobaan (Dubey, 2005).

86 Toksoplasmosis pada Hewan


Gambar 34. Anjing yang Menjalani Terapi Toksoplasmosis dan

Terus Dievaluasi Efek Pengobatannya Selama 4 Minggu (Migliore

et al., 2017)

3. Diagnosa pada unggas

Diagnosa pada ayam dapat dilakukan dengan memperhatikan

sistem pemeliharaan ayam. Kejadian ayam yang terinfeksi toksoplasma

lebih banyak terjadi pada ayam yang dipelihara secara tradisional

dibanding dengan ayam komersil. Perevalensi kejadian toksoplasma

pada ayam yang dipelihara secara tradisional (Dubey, 2010). Oleh

karena itu, observasi terhadap kemungkinan infeksi toksoplasma

dari lingkungan sangat penting, contohnya dengan memperhatikan

apabila ada hospes definitif seperti kucing maupun hospes perantara

lain disekitar kandang, yang diduga dapat menyebabkan penularan

toksoplasma pada ayam. Meskipun sebagian ayam tidak menampakkan

gejala klinis yang dapat teramati, ayam yang berumur dibawah 8

minggu dengan sistem imun yang belum berkembang dengan baik

dapat mengalami infeksi akut. Pada ayam dewasa hal tersebut dapat

juga terjadi jika ayam mengalami stres atau penurunan kondisi. Infeksi

akut ini dapat berpengaruh pada sistema syaraf pusat, menimbulkan

Toksoplasmosis pada Hewan

87


infeksi Marek’s disease atau penyakit serupa yang menyerang sistem

syaraf. Gejala yang sering terjadi adalah penurunan produksi telur dan

konsumsi pakan, emasikasi, berak putih, tortikolis, paralisis, kebutaan

dan kematian mendadak.

Gambar 35. Pemerliharaan Ayam yang Berdekatan dengan Hospes

Natural Toxoplasma gondii. (sumber : Countrysidedaily)

4. Diagnosa pada Kambing dan Domba

Proses diagnosa pada hewan ternak memerlukan observasi dan

anamnesa yang lengkap untuk mempermudah pemilihan diagnosa

laboratoris maupun uji serologis. Adanya kucing, tikus, atau hewan

lain sebagai pembawa toksoplasma di daerah peternakan menjadi salah

satu pertimbangan penting dalam proses diagnosa. Gejala penyakit

pada domba dan kambing mirip dengan gejala pada manusia, yaitu

infeksinya secara asimtomatik (Nurcahyo, 2004). Penyakit ini dapat

ditandai dengan plasentitis, abortus, ensefalitis dan lesi pada mata.

Diagnosa dapat dilakukan dengan mengamati gejala klinis,

namun uji laboratorium harus dilakukan untuk mengetahui diagnosa

definitif. Salah satunya adalah dengan melakukan nekropsi pada

88 Toksoplasmosis pada Hewan


kambing atau domba yang memiliki beberapa gejala abortus,

mummifikasi, stillbirth yang sering terjadi pada kehamilan kembar

dimana satu anak dapat bertahan hidup, atau domba dengan gejala

pelemahan yang tidak dapat menyusu kepada induknya.

Gejala klinis yang menjadi karakteristik aborsi karena

toksoplasma adalah adanya lesi berwarna putih pada kotiledon

plasenta. Hal ini disebabkan adanya fokal nekrosis di area plasenta

karena proses multiplikasi organisme Toksoplasma. Jika dilakukan

pemotongan pada area putih tersebut akan didapati adanya kalsifikasi.

Pemeriksaan histologi menunjukkan multifokal nekrosis dan inflamasi

non-supuratif pada berbagai jaringan seperti pada otak, jantung, ginjal,

dan otot-otot yang menenmpel pada tulang.

Gambar 36. Plasenta Domba yang Mengalami Abortus Karena

Toksoplasmosis (sumber : msd-animal-health.ie)

B. Diagnosa Banding

Pada kambing dan domba kejadian keguguran akibat toksoplasma

seringkali sulit dibedkan dengan keguguran yang diakibatkan infeksi

Chlamydophila abortus, Coxiella burnetii, Brucella melitensis, Caprine

Toksoplasmosis pada Hewan

89


dan Ovine brucellosis, Campylobacter fetus fetus, Salmonella spp, Border

disease, Bluetongue, Wesselsbron’s disease dan penyakit akabane. Pada

babi, kasus abortus ini juga sulit dibedakan dengan kasus Brucella suis.

Kasus toksoplasmosis juga terkadang mirip dengan distemper (anjing

dan kucing), sistemik mikosis (histoplasmosis, cryptococcosis) dan

Neospora caninum (wiki.isikhnas.com).

90 Toksoplasmosis pada Hewan


BAB IX

DIAGNOSA BIOLOGIS

Diagnosa biologis toksoplasmosis dapat dilakukan dengan cara

menginfeksi jaringan hewan yang diduga menderita Toksoplasmosis

kemudian menyuntikan atau memasukannya ke dalam tubuh

hewan percobaan seperti tikus, mencit atau kelinci. Cara yang lain

dapat dilakukan dengan mengisolasi parasit tersebut, kemudian

membiakkan di laboratorium dan menginfeksikannya pada hewan

percobaan. Namun demikian sangat sedikit laboratorium klinik

yang menawarkan pemeriksaan dengan pembiakan (kultur) yang

spesifik untuk suatu parasit. Selain metodenya yang rumit, fasilitas

laboratorium juga harus mendukung pelaksanaan metode tersebut

dengan disertai suatu kualitas kontrol yang terjamin, sehingga metode

kultur tidak sesuai untuk dipakai sebagai diagnosa rutin. Diagnosa

ini dilakukan dengan cara isolasi parasit (oosista) dari tanah, tinja

kucing, darah penderita yang mendertita korioretinitis kongenital

atau perolehan. Selain itu, dapat pula dilakukan isolasi parasit dari

jaringan yang diduga terinfeksi, misalnya dari urat daging, spesimenspesimen

biopsi, sel ”buffy coat”, cairan spinal, otak dan isolasi dari

kelenjer lidah dan air liur (Soulsby, 1982).

Toksoplasmosis pada Hewan

91


Uji pada hewan percobaan dapat dilakukan dengan cara

menginfeksi toksoplasma secara buatan pada mencit atau tikus.

Organisme toksoplasma dapat ditemukan di seluruh tubuh hewan,

setelah terjadi penyebaran dengan melalui peredaran darah dan limfa.

Setiap jaringan tubuh atau cairan dapat dipergunakan sebagai bahan

inokulasi. Spesimen yang paling umum dipakai untuk inokulasi adalah

darah, cairan kelenjar limfa dan cairan spinal. Bahan yang digunakan

untuk inokulasi, jumlahnya dapat sangat sedikit, yaitu kurang dari

0,25 ml, harus didapat secara steril dan harus diinokulasikan secara

intraperitoneal. Dapat juga digunakan mencit putih apapun jenis

kelamin dan umurnya. Setelah itu, hewan harus diperiksa setiap

hari untuk melihat gejala-gejala penyakit yang muncul. Setelah

beberapa hari, organisme dapat ditemukan dari caiaran peritoneal.

Dari bahan tersebut, selanjutnya dapat dibuat preparat apus darah

tebal dan dipulas dengan pulasan Giemsa. Hewan percobaan yang

negatif, dianjurkan untuk dilakukan blind passage yaitu dengan cara

menginfeksi kembali cairan peritoneal dari hewan yang dibedah ke

hewan percobaan yang lain. Pada infeksi buatan dari galur toxoplasma

dengan tingkat virulensi tinggi, akan menyebabkan suatu infeksi

yang sifatnya akut pada hewan percobaan dalam waktu 1-14 hari

setelah penyuntikan secara intraperitoneal. Akibat dari infeksi buatan

tersebut akan terjadi ascites pada hewan percobaan. Apabila pada

stadium proliferatif dilakukan pemeriksaan dengan preparat apus,

maka akan tampak adanya parasit. Inokulasi parasit yang dilakukan

secara serebral, akan memperlihatkan adanya infeksi yang lebih cepat

pada hewan percobaan. Galur Toxoplasma dengan virulensi yang lebih

rendah, akan memperlihatkan gejala penyakit pada minggu ketiga

setelah inokulasi, dengan diperjelas lagi adanya pseudosista pada otak

(Soulsby, 1982).

Untuk inokulasi jaringan, sebelumnya jaringan tersebut digerus

terlebih dahulu dalam NaCl 0,85 % yang steril. Selanjutnya dibuat

92 Toksoplasmosis pada Hewan


suspensi yang terdiri dari 10 % jaringan dan 90 % NaCl. Setelah itu

diinokulasikan ke enam mencit secara peritoneal dengan masingmasing

mendapat 1 ml. Pada hari berikutnya dapat dilakukan

reinokulasi dengan dosis 1 ml. Perubahan-perubahan yang ada pada

hewan percobaan tersebut harus diamati setiap hari. Apabila hewan

tersebut menjadi tidak sakit pada hari ke 6, maka segera diambil satu

tetes dari cairan intraperitonealnya dan langsung dibuat preparat

apus dengan dilakukan pengecatan Giemsa untuk mendeteksi

kemungkinan parasit yang ada.

Diagnosa laboratoris pada toksoplasmosis, pada umumnya

dilakukan secara serologis untuk mendeteksi adanya IgM dan IgG.

Namun demikian, diagnosa ini memiliki kelemahan, yaitu dengan

terdeteksinya IgM, tidak berarti dapat mendeteksi toksoplasmosis

secara dini, karena IgM pada infeksi akut primer, baru akan muncul

sekitar seminggu setelah ifeksi terjadi dan pada reinfeksi IgM justru

tidak muncul. Selain itu, dengan adanya IgG-nya di dalam serum

penderita tidak dapat untuk menentukan toksoplasmosis stadium

infektif, terutama bila titer IgG rendah (Desmonts et al., 1981).

Toksoplasmosis pada Hewan

93


94 Toksoplasmosis pada Hewan


BAB X

DIAGNOSA LABORATORIS

A. Pemeriksaan Feses

Pemeriksaan feses merupakan metode yang umum dilakukan.

Pada kucing, permeriksaan feses sangat cocok untuk mendeteksi ada

atau tidaknya oosista. Sampai saat ini belum ada metode yang akurat

untuk memprediksi kapan kucing mengeluarkan oosista.

Metode pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan pemeriksaan

langsung, yaitu pemeriksaan langsung feses dilakukan untuk

menemukan telur cacing dalam feses. Bila fesesnya sangat padat

harus dihancurkan dulu dan diencerkan dengan cairan fisiologis yang

dididihkan kemudian diteteskan diantara dek dan obyek gelas baru

kemudian diamati dengan mikroskop. Preparat feses tersebut harus

cukup tipis sehingga lebih mudah mengamatinya. Bila feses kondisinya

cair tidak perlu diencerkan dalam larutan fisiologis. Pemeriksaan

mikroskopis dilakukan dengan perbesaran 60-100x bila kurang besar

dapat diperiksa dengan perbesaran yang lebih kuat. Bila ada mukus

dipermukaan feses, mukus tersebut dibuat preparat langsung pada

obyek gelas dan langsung diperiksa.

Toksoplasmosis pada Hewan

95


Metode lainnya adalah dengan metode konsentrasi; Metode

ini dilakukan bila jumlah telurnya sedikit. Prinsipnya membuang

debris feses sehingga yang tersisa hanya telur cacing, caranya dengan

memanfaatkan perbedaan densitas atau berat jenis bahan yang ada

dalam feses termasuk telur di dalamnya. Banyak metode yang dapat

dilakukan seperti metode pengendapan, metode pengapungan atau

kombinasi keduanya yang tidak dibicarakan disini.

Penghitungan telur; Penghitungan telur sangat penting untuk

menentukan intensitas suatu infeksi parasit. Penghitungan dapat

dilakukan dengan menggunakan metode Natif, Sentrifuse, Sporulasi,

dan metode McMaster :

1. Metode Natif

- Ambil sedikit tinja, gerus dengan mortir lalu tambahkan air

secukupnya

- Teteskan gerusan feses pada obyek gelas dan tutup dengan

dek gelas

- Periksa dengan mikroskop ( perbesaran 10 x 10 )

2. Metode Sentrifuse

- Ambil 2 gr tinja taruh dalam mortir, tambahkan sedikit air

dan diaduk-aduk sampai larut (atau sisa pemeriksaan secara

natif )

- Tuangkan ke dalam tabug sentrifuse sampai ¾ tabung

- Putar dengan alat sentrifuse selama 5 menit

- Buang cairan jernih diatas endapan

- Tuang NaCl jenuh diatas endapan sampai ¾ tabung dan

aduklah hingga tercampur merata.

- Putar lagi dengan alat sentrifuse selama 5 menit

- Letakkan tabung sentrifuse tadi diatas rak

96 Toksoplasmosis pada Hewan


- Teteskan NaCl jenuh diatas cairan dalam tabung sampai

permukaan cairan menjadi cembung. Dan tunggu selama 3

menit

- Tempelkan obyek gelas pada permukaan yang cembung

dengan hati-hati, kemudian dengan cepat balik obyek gelas

tersebut

- Tutup obyek gelas dengan kaca penutup dan periksa dengah

mikroskop perbesaran 10x10

Gambar 37. Oosista T.gondii yang Belum Mengalami Sporulasi

pada Feses Kucing (tanda panah) (perbesaran 10 x 100 x)

3. Sporulasi

Untuk membedakan genus Eimeria dengan genus Isospora

perlu dilakukan sporulasi. Sporulasi dapat dilakukan dengan

mencampur feses yang positif mengandung oosista koksidia dengan

kalium bikhromat 2% dengan perbandingan 1 g feses : 20 ml kalium

bikhromat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan setiap hari dan

bila sudah sporulasi, oosista tersebut dicatat beserta isi dan waktu

sporulasinya.

Toksoplasmosis pada Hewan

97


Gambar 38.Oosista T.gondii yang telah mengalami sporulasi pada

feses kucing (tanda panah) (perbesaran 100x)

4. Metode McMaster (untuk menghitung jumlah telur cacing atau

jumlah oosista setiap 1 gram tinja).

- Segumpal tinja diambil dan ditimbang

- Tinja yang telah ditimbang dimasukan ke dalam gelas

beker dengan perbandingan setiap gram tinja ditambah air

menjadi 15 ml

- Diaduk dengan pengaduk (stirer) sampai campuran merata.

- Doubel obyek gelas disiapkan dan dimasukan 0,3 ml gula

jenuh dalam dobel obyek gelas tadi menggunakan spuit

ukuran 1 cc

- Dalam keadaan masih teraduk, campuran tinja disedot

sebanyak 0,3 cc dan dimasukkan tepat pada gula jenuh

dalam dobel obyek gelas.

- Campuran tinja dan gula jenuh diaduk dengan menggunakan

jarum dan tunggu selama 3 menit

- Setelah itu diperiksa dengan mikroskop menggunakan

perbesaran 10x10

- Lalu dihitung masing-masing telur cacing yang ada

maupun oosista koksidia( biasanya menempel pada obyek

gelas bagian atas.

98 Toksoplasmosis pada Hewan


- Hasil penghitungan dikalikan 50 = jumlah setiap 1 gram

tinja

B. Pencarian Parasit pada Organ-Organ Masif

1. Bahan dan Alat: lar. fisiologis, akuades, gunting, skalpel,

pinset, beker gelas, cawan petri, nampan plastik dan

mikroskop stereoskopis

2. Metode :

Untuk protozoa:

Beberapa stadium protozoa dapat ditemukan pada organ

masif seperti sista demikian juga oosista. Untuk mencari

stadium tersebut organ hati digerus dengan mortir dengan

diberi sedikit cairan fisiologis atau akuades. Hasil gerusan

diteteskan pada obyek gelas. Setelah itu ditutup dengan

gelas penutup dan diamati di bawah mikroskop. Metode

lain juga dapat dilakukan dengan mendepres jaringan hati

diantara dua obyek gelas lalu diamati di bawah mikroskop.

C. Preparat Histologis

Pembuatan preparat histologi dapat dilakukan dengan

menggunakan sampel hati, limfa, ginjal, paru, jantung, otak, dan

otot diafragma yang telah difiksasi dengan formalin 10% selama

24 jam, dibuat sediaan histologi dan diwarnai dengan hematoksilin

eosin (HE). Jaringan yang telah difiksasi dipotong melintang dengan

ketebalan ± 4 mm dan difiksasi kembali dalam larutan formalin 10%

selama 24 jam. Sediaan jaringan kemudian dimasukkan ke dalam

etanol berturut-turut etanol 80% satu kali, etanol 95% dua kali, etanol

100% tiga kali, masing-masing selama dua jam. Setelah dipindahkan

ke dalam larutan xylene tiga kali dan ke dalam paraffin tiga kali

masing-masing selama dua jam, kemudian jaringan dicetak dalam

parafin.

Toksoplasmosis pada Hewan

99


Sediaan yang telah dicetak dipotong dengan menggunakan

mikrotom dengan ketebalan 5-7 mikron dan kemudian diletakkan di

atas gelas objek yang diolesi dengan Mayer’s egg albumin dan dibiarkan

selama 24 jam. Selanjutnya, sediaan jaringan direndam dalam larutan

xylene dua kali masing-masing selama lima menit etanol 100 % dua kali

masing-masing selama satu menit, etanol 95 % dua kali masing-masing

selama satu menit, etanol 70% selama satu menit, Harris’s hematoksilin

selama 10 menit, dibilas ke dalam air sebanyak empat celupan, serta

dalam acid alkohol 3-10 celupan, dicuci dengan air mengalir selama

15 menit, larutan eosin selama 15 detik, dibilas ke dalam etanol 70%

satu kali celupan, dua kali larutan etanol 95 % masing-masing satu kali

celupan, dua kali celupan etanol 100 % masing-masing selama satu

dua menit, tiga kali larutan xylene masingmasing selama dua menit,

dan kemudian ditutup dengan gelas penutup menggunakan entelan

(Direktorat Bina Kesehatan Hewan, 1999).

D. Imunohistokimia

Imunohistokimia adalah gabungan antara ilmu histologi,

sitologi, dan imunologi dengan pewarnaan substansi/bahan aktif

didalam jaringan dengan menggunakan prinsip dasar imunologi, yaitu

terjadinya ikatan bahan aktif (antigen) pada sisi aktif yang spesifik

oleh suatu anti-bahan aktf (antibodi). Antibodi kemudian diikat

oleh penanda yang dapat divisualisasikan sehingga dapat menandai

keberadaan antigen tersebut di dalam jaringan (Bionisch, 2001).

Sampel yang dibutuhkan berupa zat atau bahan yang diproduksi

tubuh baik sekresi maupun ekskresi berupa protein, karbohidrat,

asam nukleat, atau lemak. Sampel-sampel tersebut dapat digunakan

karena memiliki antigen atau antibodi yang cukup banyak sehingga

dapat diikat oleh antibodi spesifik dan menyebabkan ikatan antigenantibodi

yang dapat divisualisasikan (Ramosvara, 2005).

Metode imunohistokimia yang banyak digunakan dan sangat

sensitive untuk mendiagnosa toksoplasmosis adalah metode avidin

100 Toksoplasmosis pada Hewan


biotin atau disebut Avidin Biotin Complex (ABC). Pada sesekor burung

merpati (Columba livia) pemeriksaan dengan teknik imunohistokimia

streptavidin-biotin menunjukkan reaksi positif sista T. gondii (Hamdani,

1998). Metode avidin biotin yang sering digunakan adalah Labeled Avidin

Biotin (LAB) atau Labeled Streptovidin Avidin Biotin (LSAB) yang

menggunakan biotinylide secondary antibody dan 3 reagen dari peroksidase

atau alkaline phosphatase berlabel avidin, dan metode ini memiliki

sensitivitas yang lebih tinggi diantara metode ABC lainnya.

E. Skin Test

Protein membran dari stadium akut Toksoplasma yaitu takizoit

dapat digunakan sebagai bahan untuk skin test pada hewan dan ternak

(Nurcahyo et al., 2011). Bulu pada daerah pangkal ekor dicukur bersihbersih

dengan diameter 5 cm. Secara intradermal l disuntikkan 1.5

ml antigen Toxoplasma di tengah tempat yang telah dicukur bulunya,

dengan pompa suntik Rautmann automatik. Setelah 15-30 menit

daerah bekas suntikan diperiksa. Jika terdapat penebalan kulit yang

mengeras, penebalan tersebut diukur diameternya dengan kutimeter.

Daerah suntikan dihindarkan dari sentuhan tangan, digosok alkohol

atau antiseptik lain sampai saat pengukuran. Diagnosa dianggap positif

jika diameter penebalan kulit sama atau melebihi 15 mm, hasilnya

dianggap negatif jika diametar pe nebalan kurang dari 15 mm.

Toksoplasmosis pada Hewan

101


Gambar 39. Contoh Hasil Pemeriksaan Toksoplasmosis Positif

dengan Menggunakan Skin Test pada Domba

102 Toksoplasmosis pada Hewan


BAB XI

DIAGNOSA SEROLOGIS

Diagnosa toksoplasmosis secara klinis sulit ditegakkan karena

gejalanya sangat mirip degnan infeksi penyakit lain. Oleh karena

itu, untuk menegakkan diagnosa toksoplasmosis, perlu dilakukan

diagnosa laoratoris yang pada umumnya dilakukan secara serologis.

Pada saat ini uji ini banyak dilakukan meskipun memiliki kendala

seperti kurang sensitif, mahal, dan sulit digunakan pada sampel yang

berjumlah banyak (Tenter et al., 1992). Diagnosa serologis juga telah

banyak mengalami perkembangan menjadi bermacam-macam uji yang

didasarkan pada antibodi terhadap T. gondii misalnya uji-uji seperti : uji

Sabin-Fieldman Test (SFT), Indirect Fluoresence Antibodi Test (IFAT),

Enzym Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA), Complement Fixation

Test (CFT), Latex Aglutination Test (LA), Indirect Aglutination Test

(IHA) dan Direct Aglutination Test (DA) (Gandahusada, 1992; Wilson

et al., 1990). Melihat pentingnya diagnosis serologis ini, maka perlu

diketahui karakteristik antigen dan antibodi toksoplasma sebelum

lebih jauh membahas tentang uji yang akan dilakukan.

Jenis-Jenis Uji Serologis Toksoplasmosis

Uji serologis yang sering dilakukan saat ini, menggunakan

prinsip untuk mendeteksi adanya zat anti IgM dan IgG di dalam

serum. Berikut ini jenis uji yang dapat digunakan, yaitu:

Toksoplasmosis pada Hewan

103


A. Sabin-Fieldman Test (SFT),

Sapi dapat menjadi hospes perantara bagi T. gondii meskipun

parasit tersebut berlokasi di dalam tubuh sapi. Suatu penelitian pada sapi

yang dilakukan oleh Dubey dan Beattie (1988) dengan memberi infeksi

buatan T. gondii menunjukkan adanya Toksoplasma yang dapat bertahan

hingga periode yang lama di dalam daging dan organ, namun demikian

tidak menunjukkan titer antibodi yang berarti. Sapi menunjukkan gejala

demam, kelesuan dan nafsu makan menurun. Empat minggu setelah

sapi tersebut diinfeksi, dapat dideteksi adanya Toksoplasma dari berbagai

organ, akan tetapi segera dieliminasikan dari tubuh sapi hingga minggu

ke 8. Diagnosa yang dilakukan dengan uji Sabin Feldman (SFT) yang

ditujukan untuk melihat aktifitas antibodi mencapai nilai maksimum

pada hari ke 9 - 30. Selanjutnya pada bulan ke 2 hingga 6 aktifitas tersebut

kembali menghilang. Uji yang dilakukan dengan metode Aglutinasi

menunjukkan hasil adanya titer antibodi dalam waktu yang lebih lama.

Uji ini pada prinsipnya adalah melihat adanya antibodi yang

mengcegah pewarna methylene blue untuk memasuki sitoplasma

toksoplasma. Serum pasien dengan tropozoit toksoplasma dan

komplemen sebagai aktivator kemudian diinkubasi. Setelah masa

inkubasi ditambahkan methylene blue. Jika muncul reaksi antibodi

anti-toksoplasma pada serum, tropozoit toksoplasma tidak akan

terwarnai (reaksi positif ) karena antibodi ini akan aktif jika

bersinggungan dengan komplemen dan melisiskan membrane dari

parasite. Apabila tidak ada antibodi tropozoit yang masih mempunyai

membran akan terwarnai dan tampak berwarna biru dibawah

mikroskop (reaksi negative). Uji ini mempunyai seisitifitas yang tinggi

dan spesifik, selama ini belum ada laporan yang menyatakan adanya

positif paslu pada uji ini. Namun, uji ini mempunyai keterbatasan,

yaitu : 1. Sangat sulit untuk menjaga dan memelihara takizoit hidup;

2. Uji ini mendeteksi immunoglobulin G (IgG) antibodi, oleh sebab

itu tidak dapat digunakan untuk membedakan infeksi lama dan baru.

104 Toksoplasmosis pada Hewan


B. Indirect Flouresence Antibodi Test (IFAT)

Uji Indirect fluorescent antibody test (IFAT) ini adalah uji semi

kuantitatif, sensitive, dan menjadi rapid test terutama untuk deteksi

anti-rabies virus immunoglobulin M (IgM) dan G (IgG) antibodi pada

serum and sampel cerebral spinal fluid (CSF). Perbedaan IFAT dengan

direct IF (DIF) ada pada penggunaan antibodi untuk diarahkan pada

target. Pada DIF digunakan satu antibodi yang mengarah pada target,

antibodi primer ini lansung dikonjugasikan pada suatu fluorophore.

Sedangkan pada IFAT digunakan dua antibodi, antibodi primernya

tidak dikonjugasikan dan baru pada antobodi sekundernya yang telah

dikonjugasikan dengan fluorophore diarahkan pada antibodi primer

digunakan sebagai pendeteksi.

Uji ini pertama kali dilakukan oleh Goldman pada tahun 1957

(Soulsby, 1982). Pada pengujian toksoplasmosis, dasar dari uji ini

adalah dengan menggunakan seluruh organisme sebagai antigen dan

takizoitnya difiksasi dalam formalin, kemudian dikeringkan dengan

slide. Serum dari pasien penderita diinkubasi pada slide dan dilabel

dengan bahan flouresence dan ditambah konjugat antibodi pasien

untuk memberi gambaran reaksi (Wilson et al., 1990). Pemeriksaan

slide dilakukan untuk melihat adanya ikatan antibodi pada sel dengan

menggunakan mikroskop fluorescent kemudian dilakukan pengukuran

intensitas sinyal fluorescence.

C. Enzyme Linked Immuno Sorben Assay (ELISA)

Uji ini digunakan untuk mengukur antibodi atau antigen. Pada

pemeriksaan toksoplasmosis dapat dipakai indirect ELISA. Jika pada

pemeriksaan terdapat antibodi spesifik, maka antibodi ini akan terikat

pada antigen antibodi spesifik. Antibodi ini akan berikatan dengan

antigen membentuk komplek antigen antibodi. Kemudian pada tahap

kedua ditambahkan konjugat dan substrat yang spesifik yang akan

menimbulkan proses enzimatik untuk rekasi imunologi sehingga akan

menimbulkan perubahan warna.

Toksoplasmosis pada Hewan

105


Indirect ELISA merupakan uji ELISA dua tahap yang

menggunakan 2 proses pengikatan antibodi primer dan pelabelan

antibodi sekunder. Antibodi primer diinkubasi dengan antigen

kemudian setelahnya diinkubasi dengan antibodi sekunder. Namun

demikian, perlakuan ini dapat menyebabkan sinyal yang tidak spesifik

karena adanya reaksi silang dengan antibodi sekunder. Metode secara

singkatnya dijelaskan sebagai berikut :

- Micro-well plates diinkubasikan dengan antigen, kemudian

dicuci

- Sample degnan antibodi ditambahkan, lalu dicuci kembali

- Tambahkan Enzyme linked antibodi sekunder dan cuci

- Substrat ditambahkan, dan enzim pada antibodi akan

mengeluarkan suatu sinyal chromogenic atau fluorescent.

Gambar 40. Perbandingan Beberapa Metode ELISA

(sumber: www.elisa-antibody.com)

106 Toksoplasmosis pada Hewan


D. Complement Fixation Test (CFT)

Sabin dan Warren pertama kali mengembangkan uji ini pada

tahun 1942 dengan menggunakan eritrosit dan antigen parasit yang

dapat larut dan berbeda dengan organisme yang digunakan pada Dye

Test. Antibodi akan mengikat komplemen lebih lambat dan menurun

lebih cepat daripada antibodi pada uji pewarnaan, sehingga uji ini

baru bisa positif satu bulan setelah infeksi. Reaksi akan positif bila

eritrosit menjadi lisis (Soulsby, 1982). Uji CFT ini sangat bervariasi

dan bergantung pada tahap penyiapan antigen. Dengan demikian

kemungkinan akan dapat menghasilkan sensitifitas rendah, sehingga

untuk saat ini uji CF sudah jarang digunakan (Wilson et al., 1990).

Prinsip CFT ini menggunakan reaksi natural pada komplemen

yang aktif saat ada antigen-antibodi. Pada tahap awal serum yang

dipanaskan menghancurkan komplemen pada sampel. Kemudian

sejumlah komplem dan antigen ditambahkan pada serum. Jika

terdapat antibodi pada serum, zat komplemen ini akan terikat karena

adanya pembentukan kompleks Ag-Ab. Namun, bila tidak terdapat

antibodi disana maka komplemenakan tetap bebas. Untuk mengukur

apakah zat komplemen telah terikat, eritrosit domba dan antibodi

yang berlawanan dengan eritrosit domba ditambahkan. Hasil positif

akan menunjukkan adanya ikatan komplemen dengan kompleks Ag-

Ab dan tidak terjadinya hemolisis eritrosit, jadi dapat disimpulkan

adanya antibodi. Pada hasil negative tidak terdapat reaksi Ag-Ab dan

komplemen masih tetap bebas. Komplemen yang bebas ini berikatan

dengan eritrosit domba dan menyebabkan hemolisis, ditandai dengan

perubahan warna menjadi merah muda.

Material dan reagen yang digunakan adalah sebagai berikut :

- Suspensi eritrosit domba (5% suspensi eritrosit domba)

- Hemolisin (rabbit anti-sheep red-cell antibody)

- Komplemen dari marmut, bebas dari antibodi dari agen target

Toksoplasmosis pada Hewan

107


- Pelarut Barbital-buffered

- Microtitre plate plastik

- Adapter sentrifuse untuk microtitre plate

- Water bath untuk inkubasi plate

- Standar warna untuk mengukur hemolisis

Gambar 41. Prosedur Complement Fixation Test (CFT) dan

Hasilnya. (Sumber : laboratoryinfo.com)

108 Toksoplasmosis pada Hewan


E. Latex Aglutination Test (LA)

Uji LA ini digunakan untuk memeriksa keberadaan

imunoglobulin G (IgG). Serum dari pasien penderita direaksikan

dengan partikel latex yang peka. Apabila terdapat antibodi yang

spesifik terhadap toksoplasma, maka akan terjadi aglutinasi. Titer

yang ada kemudian diabndingkan dengan hasil tanpa Dye Test dan

IFAT. Uji ini terutama digunakan sebagai seleksi terhadap infeksi

seropositif semu (Wilson et al. (1990). Reaksi antara partikel antigen

dan antibodi menghasilkan aglutinasi. Antibodi yang menyebabkan

reaksi ini disebut aglutinin. Prinsip aglutinasi mirip dengan reaksi

presipitasi; semuanya tergantung pada ikatan silang polyvalent

antigens. Saat antigennya adalah eritrosit maka disebut hemaglutinasi.

Secara teori semua antibodi dapat mengaglutinasi partikel antigen

tetapi IgM, secara spesifik merupakan agglutinin yang baik.

Latex agglutination test dapat digunakan untuk mendeteksi

antibodi atau antigen pada beberapa sampel dari cairan tubuh, termasuk

ludah, urin, cairan serebrospinal, dan darah. Metode pemeriksaannya

juga tergantung jenis sampel yang dikerjakan. Sampel yang dikirim ke

laboratorium, dilapisi latex dengan antibodi dan antigen spesifik. Jika

terdapat substrat yang akan diperiksa latex akan mengalami aglutinasi.

Hasil ini dapat didapatkan setelah 15 sampai 1 jam pemeriksaan

dilakukan (Aoyagi et al., 2017). Tidak ada aglutinasi yang dapat

diamati jika konsentrasi antibodi tinggi, dan dapat dilakukan pelarutan

kembali agar aglutinasi dapat teramati. Ada Prozone effect yang berarti

terhalangnya visibilitas aglutinasi saat konsentrasi antibodi tinggi

karena antibodi yang berlebihan membentuk kompleks yang tidak

akan tergabung untuk menyebabkan aglutinasi terlihat.

F. Indirect Hemaglutination Test (IHA)

Pertama kali uji ini dikembangkan oleh Jacobs dan Lunde pada

tahun 1957. Uji hemaglutinasi ini didasarkan pada adanya reaksi

aglutinasi antara eritrosit yang di bagian permukaannya dilapisi

Toksoplasmosis pada Hewan

109


antigen terhadap antibodi dalam serum yang homolog. Serum dari

penderita, kemudian diinkubasi dengan sel-sel yang positif. Apabila

pasien mempunyai antibodi terhadap toksoplasma, maka sel darah

merah akan mengalami aglutinasi (Wilson et al., 1990). Uji IHA ini

sering ditemukan negatif pada toksoplasmosis kongenital dan hanya

akurat pada infeksi akut. Selain itu juga sering terjadi infeksi silang

dengan Antibodi Anti Nukleus (ANA) dan faktor rhematoid (RF)

(Bellanti, 1993).

G. Direct Aglutination Test (DA)

Pada awalnya uji ini tidak banyak digunakan karena sulit

untuk mendapatkan toksoplasma yang cukup untuk antigen. Fulton

danTurk mengembangkan uji ini pada tahun 1959 yang kemudian

dimodifikasi oleh Desmon dan Remington tahun 1980. Dasar

dari uji ini adalah dengan mempertahankan serum pasien dengan

penambahan 2-mercaptoethanol untuk menurunkan kadar IgM,

kemudian diinkubasi dengan antigen toksoplasma. Aglutinasi akan

terjadi apabila pasien mempunyai antibodi terhadap toksoplasma

(Wilson et al., 1990). Uji DA memiliki prosedur yang kelihatnnya

lebih sederhana, akan tetapi dapat digunakan untuk mendeteksi

toksoplasmosis akut ( Johnson et al., 1995). Direct agglutination test ini

merupakan prinsip dari Card Agglutination Test (CATT) yang banyak

digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap parasit dalam serum

atau plasma dari hewan yang terinfeksi. Metode berbasis antigen ini

sangat bermanfaat untuk penelitian sero-epidemiologi.

Pemeriksaan sampel serum terhadap adanya antobodi T. gondii

dilakukan dengan cara sebagai berikut : pada kertas kit diteteskan satu

tetes kontrol positif dan kontrol negative, kemudian diteteskan satu

tetes (kira-kira 45 mikroliter) suspensi antigen per lingkaran kartu

plastic. Selanjutnya ditambahkan 25 mikroliter serum atau plasma

yang diuji untuk setiap lingkaran dan masing-masing satu lingkaran.

Batang pendek digunakan untuk mengaduk suspensi yang kemudian

110 Toksoplasmosis pada Hewan


disebarkan keseluruh bagian lingkaran kurang lebih 1 mm dari

pinggir lingkaran. Selanjutnya kartu digoyang dengan menggunakan

alat agitator 60-70 rpm atau dengan tangan selama 5 menit. Reaksi

dianggap positif apabila warna masing-masing sampel sama dengan

kontrol positif. Kit yang sering digunakan adalah CATT Pastorex TM .

Gambar 42. Hasil Positif terhadap Pemeriksaan Sampel Serum

Kucing Menggunakan CATT (Pastorex Toxo). Ket : Tanda panah

= hasil positif Toksoplasmosis

H. Methylen Blue Dye Test (DT)

Pertama kali uji ini dikembangkan oleh Sabin dan Feldman

pada tahun 1948 (Soulsby, 1982; Dubey, 1977). Uji ini mempunyai

spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Dasar dari uji ini sebenarnya

adalah parasit yang hidup tidak dapat mengambil zat warna

biru methilen pada pH 11, jika ada zat anti dan faktor tambahan.

Sebaliknya parasit yang dipengaruhi oleh zat anti akan mengambil

warna dengan mudah (Brown, 1979). Menurut Wilson et al.. (1990)

Dye test ini dibuat dengan berdasarkan reaksi takizoit hidup dengan

serum darah penderita dan komplemen yang ditambahkan methylen

Toksoplasmosis pada Hewan

111


blue. Apabila seorang pasien memiliki antibodi terhadap toksoplasma,

maka dinding sel dari parasit tersebut akan lisis, karena efek dari

antibodi spesifik dan faktor tambahan, sehingga tidak bergabung

dengan dye. Kelemahan dari uji DT ini adalah harus digunakannya

organisme hidup dan plasma atau serum segar yang bebas antibodi

anti toksoplasma. Selain itu juga mengandung komplemen dan dapat

terjadi reaksi silang (cross reaction) dengan antigen lain, sehingga

spesifikasinya diragukan (Fleck, 1989).

I. IgM – ISAGA

Kombinasi antara uji DS dan IgM ELISA dengan DA

merupakan teknik dasar dari ISAGA. Pada uji ini tidak digunakan

ensim konjugat. Uji ini lebih sensitif daripada IgM-IFAT, karena tidak

menimbulkan reaksi seropositif dan seronegatif semu akibat adanya

faktor rhematoid (RF) dan antibodi anti nukleus (ANA) dalam serum.

Meskipun spesifikasinya sama, uji ISAGA sendiri kurang sensitif jika

dibanding uji IgM-ELISA (Wilson et al., 1990).

Rescaldani et al., 1986 pernah mengujikan Immunoglobulin M

immunosorbent agglutination assay (IgM ISAGA) ini kepada sampel

yang diuji juga dengan tes yang lain seperti indirect immunofluorescence

antibody (IFA), passive hemagglutination (HA), IgM enzyme-linked

immunosorbent assay (IgM ELISA) untuk membandingkan efektivitas

uji ini. Kesimpulannya IgM ISAGA merupakan uji yang lebih spesifik

dibandingkan dengan IgM ELISA atau IgM IFA untuk mendeteksi

Toxoplasma gondii IgM. Sensitivitas IgM ISAGA sama baiknya

dengan direct IgM ELISA dan lebih baik dibandingkan dengan IgM

IFA untuk diagnosa infeksi toksoplasma akut.

J. Enzyme Immuno Assay (EIA)

Uji ini dapat digunakan pada kasus toksoplasmosis akut dan

lebih sensitif daripada uji IFAT dan DT. Pengganbungan antara DS-

ELISA dan ISAGA yang dilakukan pada uji ini, dengan menggunakan

112 Toksoplasmosis pada Hewan


antigen terlarut yang diinkubasikan dengan serum penderita, akan dapat

memberikan hasil yang lebih sensitif (Remington dan Desmonts, 1990).

Metode ini menggunakan basis ilmu immunologi tentang

konsep ikatan antigen dengan antibodi spesifik, seperti molekul

antigen yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi sampel yang

berupa cairan, termasuk peptid, hormon and protein. Enzim yang

biasa dipakai dalam proses ini adalah glucose oxidase dan alkaline

phosphase. Antigen dalam larutan akan berikatan dengan antibodi

yang kemudian terdeteksi dengan enzyme-coupled antibody yang lan.

Perubahan warna atau munculnya warna fluorescence mengindikasikan

adanya antigen. Jumlah molekul biologi yang dicari dapat disimpulkan

dari warna atau fluorescence yang teramati.

Terdapat beberapa teknik EIA yang dapat mendeteksi molekul

biologi dalam konsentrasi yang rendah, yaitu indirect dan sandwich

EIA. Metode EIA ini juga telah berkembang, saat ini sudah tersedia

kit yang murah dan mudah dibawa sehingga dapat digunakan untuk

penelitian dalam jumlah populasi yang besar dengan modal yang

relatif sedikit. Walaupun begitu, seperti halnya metode-metode yang

lain metode EIA ini juga memiliki kekurangan. Kekuatan perubahan

warna dapat berubah dan terkadang kurang mencerminkan jumlah

antibodi yang sebenarnya pada uji sampel cairan. Hal ini dapat terjadi

apabila larutan yang digunakan disimpan terlalu lama sehingga dapat

menimbulkan positif palsu.

Beberapa pedoman yang dapat digunakan dalam menilai hasil

serologi :

1. Infeksi primer akut dapat dicurigai bila

• Terdapat serokonversi IgG atau peningkatan IgG 2-4

kali lipat dengan interval 2-3 minggu.

• Terdapatnya IgA dan IgM positif menunjukkan infeksi

1-3 minggu yang lalu.

Toksoplasmosis pada Hewan

113


• IgG avidity yang rendah

• Hasil Sabin-Feldman / IFA > 300 IU/ml atau 1 : 1000

• IgM-IFA 1:80 atau IgM-ELISA 2.600 IU/ml

2. IgG yang rendah dan stabil tanpa disertai IgM diperkirakan

merupakan infeksi lampau.

3. Ada 5% penderita dengan IgM persisten yang bertahuntahun

akan positif

4. Satu kali pemeriksaan dengan IgG dan IgM positif tidak

dapat dipastikan sebagai infeksi akut dan harus dilakukan

pemeriksaan ulang atau pemeriksaan lain

114 Toksoplasmosis pada Hewan


BAB XII

DIAGNOSA BIOLOGI MOLEKULER

Kemajuan di bidang biologi molekuler telah banyak

memberikan dukungan bagi pengembangan terutama perangkat

diagnostik baru yang akan mampu memberikan sensitivitas dan

spesivitas yang lebih baik daripada metode konvensional. Kloning

molekuler parasit dan produksi protein rekombinan telah membuka

cakrawala baru dalam penyediaan material antigen (Nurcahyo, 1998).

Dalam kasus toksoplasmosis, penerapan biologi molekuler sangat

membantu dalam upaya peneguhan suatu diagnosa. Keberhasilan

diagnosa molekuler ini tidak lepas dari penemuan teknik Polymerase

Chain Reaction (PCR) yang dengan menggunakan probe dan primer

spesifik akan dapat mengamplifikasi fragmen spesifik terhadap

toksoplasmosis. Dengan demikian hasil yang diperoleh dari teknik

ini, akan dapat memberikan jaminan, bahwa dalam hospes tersebut

terdapat suatu organisme parasit. Selain itu, teknik yang diterapkan

dari PCR, adalah Rapid Amplification Polymorphism DNA (RAPD

PCR) yang terbukti dapat membantu dalam penentuan galur-galur

Toxoplasma gondii (dari galur hewan atau manusia - Rh). Akan

tetapi dari kemajuan suatu teknologi ini, tentu masih memerlukan

suatu interpretasi hasil secara hati-hati dan dengan pertimbangan

yang benar.

Toksoplasmosis pada Hewan

115


A. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Metode ini terbukti efektif untuk mendiagnosa toksoplasmosis.

PCR merupakan metode yang sensitive dan spesifik serta relative

cepat dalam mendiagnosa toksoplasmosis menggunakan sampel klinis

seperti cairan serebrospinal, darah, biopsy jaringan, cairan amnion dan

urin ( James et al., 1996; Fuentes et al., 1996).

Perkembangan PCR telah memberikan kemungkinan dalam

deteksi toksoplasmosis ataupun spesies parasit yang lain. Keberhasilan

dari teknik ini tidak lepas dari bantuan DNA polymerase yang tahan

pada temperatur tinggi yang diproduksi oleh bakteri Thermus aquaticus.

Diagnosa dengan teknik PCR banyak digunakan pada toksoplasmosis

kongenital dan pasien imunosupresif (Montoya dan Liensenfeld,

2004; Roberts dan Janovy, 2000). Untuk meningkatkan sensitivitas

diagnostik molekuler toksoplasmosis juga telah diperkenalkan yaitu

nested PCR, meskipun dalam beberapa tahun terakhir real-time

PCR telah menunjukan sensitivitas serta spesifitas yang jauh lebih

tinggi (Edvisson et al., 2006). Deteksi Real-time PCR juga memiliki

kemampuan untuk menghitung T. gondii dalam sampel biologis

(Djurkovic-Djakovic et al., 2012).

116 Toksoplasmosis pada Hewan


Gambar 43. Prinsip-Prinsip dalam Amplifikasi DNA dalam Teknik

PCR yang Dapat Digunakan untuk Mendeteksi Toksoplasmosis

(Nurcahyo, 1998).

Dalam teknik PCR, diperlukan suatu perangkat yang diberi

nama “thermal cycler” yang akan memperbanyak fragmen-fragmen

sampel DNA sesuai dengan primer yang dipakai. Primer-primer

tersebut dibuat sesuai dengan tempat yang spesifik dari sequence

DNA toksoplasma. Sehingga dalam waktu singkat oleh mesin PCR,

akan diamplifikasi sejumlah fragmen dalam jumlah banyak. Untuk

melihat fragmen hasil PCR tersebut, perlu visualisasi yang didapat

dari hasil running elektroferesis gel agarose. Dengan demikian, dengan

Toksoplasmosis pada Hewan

117


menggunakan DNA parasit yang minimal, misalnya lebih kecil dari

10 pikogram, maka dapat terdeteksi adanya toksoplasma. Pada kasus

toksoplasmosis, telah dapat digunakan material dengan jumlah hanya

2 oosista saja.

Teknik diagnosa yang banyak dipakai di laboratorium klinik,

adalah serologis dan deteksi langsung toksoplasma pada kultur jaringan.

Namun demikian, teknik ini sering kurang sensitif. Sedangkan untuk

suatu hasil yang lebih sensitif membutuhkan waktu sekitar 6 minggu.

Selain itu, konfirmasi hasil serologis terhadap toksoplasmosis yang

masih aktif juga memiliki kendala. Sebagai contoh pada penderita

yang imunokompeten dengan toksoplasmosis limfadenopati, respon

IgM mungkin ada (Brooks, 1987). Tidak adanya respon IgM

pada kelahiran baru mungkin disebabkan ketidaklengkapannya

proses pemasakan dari sistem respon imun yang untuk lengkapnya

menuntut uji lebih lanjut selama beberapa bulan, sebelum diagnosa

toksoplasmosis diteguhkan.

Mengingat keterbatasan tersebut di atas, diagnosa dengan

menggunakan PCR memiliki potensi yang besar dan sangat bermanfaat

sebagai alat diagnosa toksoplasmosis aktif dengan sensitivitas dan

spesivitas yang tinggi. Teknik PCR ini telah dapat digunakan untuk

mendeteksi toksoplasmosis pada manusia dengan bahan pemeriksaan

yang diambil dari cairan serebrospinal darah (Dupon et al., 1995).

Hasil akurat dari PCR, ini telah diuji kembali dengan menginokulasi

jaringan yang diduga terinfeksi pada hewan percobaan dan membuat

preparat histopatologisnya. Dengan demikian, metode diagnosa ini

sangat sesuai untuk diagnosa toksoplasmosis kongenital dan pada

pasien penderita AIDS (Gross et al., 1992).

Nurcahyo et al., 2012 mengembangkan teknik PCR memakai

primer spesifikuntuk diagnosis awal toksoplasmosis. Primer yang

digunakan pada penelitian tersebut adalah rDNA, P30, and B1.

Toksoplasma dapat terdeteksi pada 500 bp dan 600 bp menggunakan

118 Toksoplasmosis pada Hewan


primer tersebut. Sedangkan pada primer rDNA tidak terdeteksi.

Potensi penggunaan PCR untuk mendeteksi infeksi

toksoplasmosis kongenital telah dilakukan dengan mengambil sampel

darah atau cairan amnion (Casenave et al., 1992). Pada deteksi ini,

DNA yang dipakai sebagai material dasar diambil dari pelet hasil

sentrifugasi sel-sel, kemudian dilanjutkan dengan pemanasan dan

sentrifugasi kembali untuk menghilangkan hancuran dari sel-sel

lain yang ikut terambil. Setelah itu, dilakukan pemotongan dengan

proteinase. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa deteksi

dengan PCR pada infeksi toksoplasmosis kongenital sangat sesuai

sebagai bahan konfirmasi diagnosis yang akurat.

B. Antigen Rekombinan

Kebanyakan pada uji diagnostik (misalnya ELISA), deteksi

antibodi di dalam serum dari hewan atau manusia yang terinfeksi,

tergantung pada kemampuan penyediaan protein antigen murni

dalam jumlah cukup. Pada kasus toksoplasmosis misalnya, antigen

yang diperoleh dari hewan percobaan dengan teknik in vivo seringkali

tidak mencukupi dalam jumlah besar. Selain itu di negara-negara

maju teknik in vivo yang menggunakan hewan percobaan dalam

jumlah besar mendapat larangan dan aturan penggunaan yang sangat

ketat. Teknik in vitro sendiri juga belum banyak hasil yang dicapai,

karena banyak bergantung pada keahlian di laboratorium dan media

yang digunakan. Untuk itu, sebagai alternatif, digunakan metode

bioteknologis dengan melalui penggunaan teknologi DNA.

Toksoplasmosis pada Hewan

119


Gambar 44. Prinsip Dasar yang Dipakai untuk Menghasilkan

Antigen dengan Teknik DNA Rekombinan (Nurcahyo, 1998).

Dengan teknik ini memungkinkan produksi antigen toksoplasma

dalam jumlah besar dalam waktu singkat untuk digunakan dalam

diagnosa serologis.

120 Toksoplasmosis pada Hewan


Prinsip dasar dari teknologi rekombinan DNA adalah

pemanfaatkan “vektor” berupa bakteri, yeast atau sel mamalia yang

disisipi oleh gena yang mengkode antigen toksoplasma. Dengan

demikian, akan dapat diekspresikan sejumlah antigen tiruan yang

dikenal dengan antigen rekombinan dari vektor tersebut. Dalam waktu

singkat, dapat diperoleh antigen toksoplasma yang murni. Selain

itu, antigen tersebut juga dapat direkayasa dengan cara membuang

bagian yang menimbulkan reaksi silang. Dari teknik ini, yang penting

adalah antigen mudah diperoleh, dapat disimpan untuk jangka

waktu yang lama dan diproduksi dalam jumlah yang besar. Produk

antigen rekombinan ini dapat digunakan untuk analisa serologis dan

imunologis, seperti ELISA, Immunoblot dan Westernblot.

C. Loop-Mediated Isothermal Amplification (L-AMP)

Perkembangan teknik diagnosis molekuler berdasarkan teknik

amplifikasi DNA seperti PCR, sudah banyak digunakan dalam

diagnosis berbagai penyakit baik pada hewan maupun manusia. PCR

merupakan teknik yang akurat dan sensitif dibandingkan dengan

teknik diagnosis konvensional yang didasarkan pada gejala klinis

penyakit, isolasi dan identifikasi penyebab penyakit, histopatologi,

atau penggunaan teknik serologis seperti enzyme-linked immunosorbent

assay (ELISA), tetapi teknik PCR membutuhkan peralatan dan

personil yang memadahi sehingga sulit diterapkan di lapangan.

Metode diagnosis molekuler menggunakan L-AMP akhirakhir

ini banyak dikembangkan untuk mendeteksi berbagai macam

penyakit dengan cara mengamplifikasi DNA dalam satu suhu yang

dikembangkan oleh Notomi et al. pada tahun 2000, sehingga tidak

diperlukan lagi suhu yang bertingkat seperti halnya PCR.

Metode L-AMP, akhir akhir ini banyak dikembangngkan untuk

mendeteksi penyakit-penyakit hewan yang disebabkan oleh parasit,

seperti trypanosomiasis, toksoplasmosis, plasmodium penyebab

Toksoplasmosis pada Hewan

121


malaria dan lain-lain. Metode L-AMP juga banyak dikembangkan

untuk deteksi penyakit-penyakit pada ikan baik yang disebabkan oleh

parasit maupun virus, juga banyak diaplikasikan untuk mendeteksi

penyakit-penyakit pada tanaman.

Loop-mediated isothermal amplification (L-AMP) merupakan

metode diagnosis berbagai penyakit yang mampu mengamplifikasi

DNA secara cepat, akurat, dan efektif . Metode L-AMP tidak

lagi memerlukan tahap denaturasi DNA cetakan dan DNA dapat

diamplifikasi dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang

relatif singkat, serta hasil dapat dilihat secara langsung dengan mata

telanjang; sehingga metode ini dapat dikatakan sederhana karena

hanya memerlukan water bath atau heating block untuk membuat suhu

konstan dalam proses amplifikasi.

Metode L-AMP bekerja dengan memanfaatkan enzim Bst

DNA polymerase yang diperoleh dari Bacillus stearothermophylus. Enzim

tersebut memiliki aktivitas yang tinggi untuk memisahkan rantai

ganda DNA. Metode L-AMP juga memerlukan 4 pasang primer

yang dirancang mampu mengenali 6 sekuen pada DNA target. Inisiasi

proses amplifikasi pada metode L-AMP dijalankan oleh sepasang

primer dalam (inner primer); selanjuatnya sepasang primer luar (outer

primer) dengan bantuan enzim Bst DNA polymerse akan memisahkan

untai ganda DNA target dan melepaskan DNA untai tunggal untuk

proses amplifikasi selanjutnya. Proses amplifikasi merupakan proses

siklik yang dalam setiap siklus akan dihasilkan banyak loop, dan

pada akhirnya akan membentuk stem loop DNA atau struktur yang

menyerupai cauliflower dengan banyak loop, dan reaksi pada L-AMP

dapat dipercepat dengan menambahkan sepasang primer Loop.

Prinsip rancangan primer L-AMP

Rancangan primer yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas

tinggi dalam proses amplifikasi pada metode L-AMP merupakan

hal yang sangat penting. Empat primer dibutuhkan dalam metode

122 Toksoplasmosis pada Hewan


L-AMP, yaitu satu pasang primer luar dan satu pasang primer dalam.

Primer luar hanya dibutuhkan pada awal proses atau pada tahap non

siklik; sedangkan primer dalam dibutuhkan pada tahap non siklik

maupun tahap akhir atau tahap siklik.

Primer luar terdiri dari Forward primer (F3) dan backward

primer (B3), sedangkan primer dalam terdiri dari forward inner primer

(FIP) dan backward inner primer (BIP). Primer FIP maupun BIP

mengandung masing-masing 2 sekuen berbeda dan merupakan

sekuen sense dan antisense dari target DNA yang sesuai dengan kedua

sekuen tersebut, kedua sekuen dihubungkan dengan 4 T (TTTT).

Loop primer yang terdiri dari forward loop primer (FLP) dan

backward loop primer (BLP) merupakan primer yang ditambahkan

dalam proses amplifikasi, berfungsi untuk mempercepat amplifikasi

sehingga akan menyingkat waktu. Posisi masing-masing primer

L-AMP pada target gen dapat dilihat pada Gambar 13.

(Parida et.al., 2008).

Gambar 45. Skema Posisi Masing-Masing Primer L-AMP pada

Target Gen.

Sekuen dan ukuran primer dapat dipilih dengan memperhatikan

melting temperature (T m

), berkisar antara 60-65 o C yang merupakan

suhu optimal dari enzim Bst DNA Polymerase. Nilai T m

F1c dan B1c

harus lebih tinggi dari F2 dan B2; sedangkan Nilai T m

F3 dan B3

harus lebih rendah dari F2 dan B2 untuk menjamin bahwa primer

Toksoplasmosis pada Hewan

123


dalam akan memulai sintesis lebih dulu baru kemudian primer luar,

selanjutnya konsentrasi primer dalam harus lebih tinggi dari primer

luar.Ukuran target DNA merupakan faktor yang sangat penting

dalam efisiensi L-AMP, sebab amplifikasi akan dibatasi oleh

terpisahnya untai DNA, dan untuk mendapatkan hasil yang optimal,

ukuran target DNA berkisar antara 130 – 200 bp. Syarat lain yang

dibutuhkan untuk menjamin primer L-AMP bekerja dengan baik

sehingga memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi diantaranya

primer L-AMP harus memiliki GC kontens 50-60%, jarak antara 5’

dari F2 dan B2 berkisar antara 120-180 bp, sedangkan jarak antara

F2 dan F3 sama dengan jarak antara B2 dan B3 antara 0-20 bp, jarak

untuk daerah pembentukan loop (5’ dari F2 sampai 3’ dari F1, 5’ dari

B2 sampai 3’ dari B1) berkisar antara 40-60 bp.

Reaksi L-AMP

Prinsip dasar dalam reaksi L-AMP merupakan rangkaian

reaksi dalam pemisahan dan penyusunan DNA (amplifikasi DNA)

yang berjalan pada suhu konstan antara 60-65 o C selama 45-60 menit

dengan bantuan enzim Bst DNA polymerase, dNTPs, primer spesifik

dan template DNA sebagai target amplifikasi; konsentrasi masingmasing

bahan untuk reaksi L-AMP dapat dilihat pada Tabel 1.

Mekanisme amplifikasi dalam metode L-AMP terdiri dari 3 tahap

reaksi, yaitu : tahap pembentukan stuktur awal, tahap perbanyakan

(amplifikasi) dan tahap perpanjangan dan resiklik, namun secara garis

besar tahap-tahap tersebut hanya terdiri dari dua tahap reaksi, yaitu

tahap non siklik dan tahap siklik.

Tahap pembentukan struktur awal. Tahap ini juga sering

disebut dengan tahap non siklik (Gambar 2), karena tidak akan terjadi

siklus berulang, pada tahap ini hanya akan dibentuk struktur awal

yang sering disebut dengan “dumb-bell structure” dan struktur ini yang

kemudian akan diamplifikasi dalam tahap selanjutnya (tahap siklik).

124 Toksoplasmosis pada Hewan


(Eiken Chemical Co.Ltd., Japan, 2005).

Gambar 46. Prinsip Amplifikasi dalam Metode L-AMP, Tahap

Non Siklik (1-8) untuk Membentuk Struktur Awal “dumb-bell

structure” yang Berguna pada Tahap Siklik.

Untai ganda DNA memiliki keseimbangan dinamis pada suhu

65 o C, primer L-AMP akan menempel pada sekuen yang komplementer

dari untai ganda DNA target, selanjutnya terjadi sintesis DNA dengan

bantuan enzim Bst DNA polymerase yang memiliki kemampuan

memisahkan untai ganda DNA sehingga akan dilepaskan untai

tungal DNA. Tahap ini dimulai dengan penempelan pada daerah F2

dari FIP, diikuti dengan F3 yang akan menyusun untai ganda DNA

yang komplementer serta akan melepaskan untai tunggal DNA yang

komplementer dengan FIP. Untai tunggal ini akan membentuk loop

pada salah satu ujung dengan menempelnya F1 dan F1c, selanjutnya

primer BIP akan menempel pada untai tersebut melalui daerah B2

dan tersusun untai ganda DNA yang komplementer dengan BIP,

selanjutnya primer B3 akan menempel dan menghasilkan untai ganda

DNA yang komplementer dengan melepaskan untai tunggal DNA

yang pada masing-masing ujungnya akan membentuk loop, inilah yang

sering disebut dengan bentuk “dumb-bell structure” yang merupakan

Toksoplasmosis pada Hewan

125


struktur awal dimulainya siklik amplifikasi dalam reaksi L-AMP.

Tabel 3. Konsentrasi Masing-Masing Bahan dalam Reaksi

L-AMP

No. Bahan (Reagen)

Konsentrasi Volume

Reaksi Reaksi (µL)

1. Betain (5M) 0,6 M 3

2. MgSO4 (150 mM) 6 mM 1

3. dNTP mix (10 mM) 1,4 mM 3,5

4. Buffer bst thermopol (10x) 1 x reaksi 2,5

5. FIP (50 µM) 2 µM 1

6. BIP (50 µM) 2 µM 1

7. F3 (5 µM) 0,2 µM 1

8. B3 (5 µM) 0,2 µM 1

9. LF (25 µM) 1 µM 1

10. LB (25 µM) 1 µM 1

11. Template 2

12. Bst Polymerase (8000 U/mL) 8 U 1

13. H 2

O*, nuclease free

Total volume reaksi 25

Keterangan: *) ditambahkan hinga volume total 25 µL

Tahap perbanyakan. Tahap ini disebut dengan tahap siklik,

karena terjadi reaksi yang berulang untuk perbanyakan struktur

awal yang dihasilkan pada tahap non siklik. Tahap siklik (Gambar

3) dimulai dengan perubahan secara cepat dari struktur awal “bumbbell

structure” menjadi tangkai loop DNA (stem loop DNA). Primer

FIP akan menempel pada daerah untai tunggal dari tangkai loop

DNA, terjadi sintesis dan pelepasan hasil sintesis, serta pemisahan

DNA untai ganda. Pelepasan untai tunggal dari struktur tangkai

loop terjadi karena penempelan pada daerah B1c dan B1, selanjutnya

ujung 3’ pada daerah B1 akan memulai sintesis dengan menggunakan

struktur tersebut sebagai cetakan dan melepaskan untai DNA yang

komplementer dengan FIP, juga akan dihasilkan bentuk “dumbbell

structure” dimana pada kedua ujungnya mempunyai daerah F1-

F1c dan B1c-B1, struktur ini hanya kebalikan dari struktur yang

126 Toksoplasmosis pada Hewan


dihasilkan pada tahap non siklik sebelumnya. Sama dengan reaksi

sebelumnya, dengan terbentuknya “dumb-bell structure” yang baru,

sintesis akan dimulai melalui dari ujung 3’ daerah B1, selanjutnya BIP

akan menempel melalui B2 pada daerah B2c, demikian seterusnya

terjadi sintesis dan pemisahan untai ganda DNA dan akhir dari

proses tersebut akan dihasilkan campuran antara struktur “stem-loop

DNA” dengan panjang tangkai yang bervariasi dengan “cauliflowerlike

structure” dengan banyak terbentuk loop.

(Eiken Chemical Co.Ltd., Japan, 2005).

Gambar 47. Prinsip Amplifikasi dalam Metode L-AMP, Tahap

Siklik (8-11), Amplifikasi secara Eksponensial dari Struktur Awal

dengan Primer Dalam.

Reaksi siklik secara kontinyu akan menghasilkan 10 9 kopi dari

DNA target dalam waktu kurang dari 1 jam. Amplifikasi pada tahap

siklik ini juga dapat dipercepat dengan menambahkan 2 primer loop

baik FLP maupun BLP sehingga reaksi akan lebih efisien.

Visualisasi hasil amplifikasi L-AMP

Hasil amplifikasi dengan metode L-AMP dapat dideteksi

dengan berbagai cara, secara umum menggunakan agarose gel

Toksoplasmosis pada Hewan

127


elektroforesis dengan menambahkan DNA staining seperti ethidium

bromide. Hasil positif akan terlihat adanya banyak pita DNA dengan

ukuran yang bervariasi.

Hasil amplifikasi juga dapat dilihat secara langsung dengan

menambahkan SYBR green I yang mempunyai kemampuan berikatan

dengan DNA, hasil positif akan terlihat warna hijau berpendar di bawah

sinar ultra violet., visualisasi hasil L-AMP dengan menambahkan

SYBR green I dapat dilihat pada Gambar 16.

Penambahan fluorescent detection reagent (FDR), seperti calcein

sebelum dilakukan amplifikasi juga dapat dilakukan, sehingga akan

dapat melihat hasil amplifikasi secara langsung di bawah ultra

violet (UV) illuminator segera sesudah amplifikasi dengan L-AMP

dan mengurangi kontaminasi. Calcein pada awalnya akan berikatan

dengan ion magnesium, hasil reaksi L-AMP akan menghasilkan ion

pyrophosphate yang akan berikatan dan memisahkan magnesium dari

calcein, sehingga akan terlihat berpendar di bawah UV.

Gambar 48. Visualisasi hasil L-AMP dengan menambahkan

SYBR green I; Hasil positif ditunjukkan sampel nomor 1-4

(berwarna hijau); hasil negative sampel nomor 5 (berwarna orange).

Hasil amplifikasi L-AMP, juga dapat dideteksi dengan melihat

kekeruhan reaksi sesudah amplifikasi menggunakan turbidimeter

128 Toksoplasmosis pada Hewan


maupun secara langsung dengan mata telanjang, tetapi dengan cara

ini hasilnya akan sangat subyektif dan agak bias karena pada hasil

L-AMP dengan hasil amplifikasi DNA yang sedikit sangat sulit

dibedakan dengan hasil L-AMP negatif.

Kekeruhan hasil amplifikasi disebabkan oleh adanya presipitat

magnesium pyrophosphate yang dihasilkan pada reaksi amplifikasi dan

kekeruhan hasil reaksi juga berhubungan dengan jumlah DNA yang

tersintesis, semakin banyak DNA yang disintesis maka reaksi akan

semakin keruh. Hasil amplifikasi dengan L-AMP juga dapat dilihat

dengan elektroforesis pada agarose, dimana hasil positif L-AMP

terlihat adanya pita DNA yang multiband pada hasil elektroforesis,

sedang hasil negative tidak terlihat adanya pita DNA (Gambar).

Gambar 49. Visualisasi hasil L-AMP menggunakan elektroforesis;

M: marker DNA, K+: Kontrol positif, K-: Kontrol negatif, 1-4:

hasil positif (terlihat multiband).

Protokol L-AMP

Metode L-AMP dengan menggunakan berbagai bahan yang

sudah diuraikan di atas, dapat dikerjakan disemua laboratorium

Toksoplasmosis pada Hewan

129


yang masih sangat terbatas peralatannya sekalipun, dan berikut ini

merupakan protokol L-AMP yang dapat dipakai sebagai acuan.

- Buat L-AMP mix dengan mencampurkan (1.5µl MgSo4 +

3.5µl dNTP + 2.5 µl Buffer bst Thermopol)

- Masukkan 7.5 µl L-AMP mix kedalam tabung PCR

- Masukkan primer set (F3,B3, FIP, BIP, LF,LB) asingmasing

1 µl

- Masukkan template DNA sebanyak 2 µl

- Tambahkan bst DNA polymerase sebanyak 1 µl

- Tambahkan ddH2O semapai volume 25 µl , atau sebanyak

8.5 µl

- Vortex selama 10 detik, kemudian spindown selama 1 menit

- Panaskan pada suhu 63 o C selama (45-60 menit)

- Panaskan dalam suhu 80 o C dalam 2 menit

- Teteskan 0.5 µl SBRY green I

- Visualisasi di atas UV transluminator

130 Toksoplasmosis pada Hewan


BAB XIII

ISOLASI PARASIT

Isolasi Takizoit

Isolat parasit Toxoplasma gondii dapat dilakukan dengan cara

menginokulasi hewan yang terinfeksi toksoiplasmosis. Hewan yang

biasa digunakan untuk memperoleh isolat toksoplasma adalah kucing

lokal atau kucing liar. Dari organ otak, jantung, limfa, hepar, dan usus

selanjutnya dapat disuntikan ke hewan percobaan seperti mencit atau

tikus. Hewan-hewan percobaan yang telah diinfeksi secara per oral

atau peritoneal tersebut setelah satu minggu akan menunjukan gejala

ascites, bila hewan tersebut positif terhadap toksoplasmosis. Dari

cairan peritoneal selanjutnya dapat dihasilkan takizoit dari Toxoplasma

gondii.

Perbanyakan Takizoit

Strain Toksoplasma tersebut dipelihara secara berlanjut melalui

passage hewan laboratorium mencit strain Balb/c. Untuk persiapan

parasit, mencit mula-mula disuntik dengan takizoit dengan dosis 1

X 10 7 untuk perbanyakan. Setelah 72-96 jam diinfeksi maka mencit

menunjukkan gejala klinis yang ditandai dengan bulu berdiri, lemah,

tidak ada nafsu makan dan minum, frekuensi pernafasan menurun

Toksoplasmosis pada Hewan

131


dan denyut jantung cepat. Gejala yang tampak lainnya adalah

pembentukan cairan ascites di rongga abdomen mencit. Setelah

menunjukkan gejala-gejala tersebut, mencit kemudian dibunuh dan

diambil cairan ascitesnya dengan cara menyuntikan NaCl fisiologis

ke dalam rongga perut. Cairan ascites yang terkumpul selanjutnya

diamati dan dihitung di bawah mikroskop dengan menggunakan bilik

hitung hemositometer.

Isolasi Bradizoit

Bradizoit merupakan sista yang berada di jaringan hospes.

Sista tersebut dapat diperoleh dari hospes yang terinfeksi dengan

cara menghancurkan jaringan menggunakan grinder. Dalam isolasi

ini kemungkinan hanya sedikit sista yang diperoleh karena sulitnya

mendapatkan hewan yang terinfeksi kronis Toksoplasma. Untuk

itu digunakan cara dengan memberi obat toksoplasma pada mencit

yang terinfeksi secara akut (Sodium Sulfadiazine 15 mg/100 ml air

minum dari hari ke 4 hingga 12 setelah infeksi). Setelah itu mencitmencit

dibunuh, dilakukan nekropsi, beberapa organ dibuat preparat

histopatologi dan sisa jaringannya dihancurkan dengan grinder.

Untuk mendapatkan bradizoit di jaringan terlebih dahulu diinfeksikan

sebanyak 30 ekor mencit dengan takizoit 10 7 per ekor. Selanjutnya

dipisahkan bradizoit dari jaringan inang yang sudah terbentuk dengan

menambah 20% larutan dextran setelah dipanaskan dan sentrifuse

dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit, ditambahkan tripsin

atau cara menghancurkan jaringan menggunakan grinder. Dalam

isolasi tersebut kemungkinan hanya sedikit sista yang diperoleh karena

sulitnya mendapatkan hewan yang terinfeksi kronis Toxoplasma.

Untuk itu digunakan cara dengan memberi obat anti Toxoplasma pada

tikus yang terinfeksi secara akut (Sodium Sulfadiazine 15 mg/100 ml

air minum dari hari ke 4 hingga 12 setelah infeksi). Suspensi jaringan

sebanyak 2-3 ml kemudian ditambah 5-10% Fetal calf serum (FCS).

Suspensi kemudian dituang ke dalam tabung dan disentrifus pada 250-

132 Toksoplasmosis pada Hewan


300 g selama lima menit. Dihitung menggunakan mikroskop dihitung

bradizoit yang diperoleh dari hasil sentrifus. Sista yang terkumpul

kemudian diisolasi protein membrannya. Untuk kebutuhan protein

membran bradzioit T. gondii, maka 30 ekor mencit di injeksi i.p.

dengan 10 7 takizoit. Konsentrasi protein yang solubel dan membran

dihitung dengan BioRadMicro Assay system dan keberadaan protein

dikonfirmasi dengan elektroforesis protein Sodium Dodecyl Sulphat

Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS PAGE) (Hanafiah et al.,

2009).

Uji sensitifitas dan spesifitas. Hasil pemeriksaan dengan metode skin

test yang mengunakan antigen membran Toxoplasma dibandingkan

dengan hasil pemeriksaan serologis menurut Armitage (1973), untuk

memperoleh sensitifitas dan spesifitas antigen membran Toksoplasma.

Gambar 50. Hasil Pemeriksaan Serologis Darah Kambing Kelompok

Perlakuan, Kontrol dan Mencit dengan Menggunakan CATT

Hal ini menunjukkan bahwa domba yang sebelumnya telah

diberi infeksi buatan toksoplasmosis tersebut mengalami reaksi

Toksoplasmosis pada Hewan

133


hipersensitifitas terhadap penyuntikan protein membran Toksoplasma.

Hasil tersebut membuktikan bahwa domba tersebut positif mengalami

toksoplasmosis.

Gambar 51. Hasil Pemeriksaan dengan Menggunakan Skin Test

pada Domba

Sementara itu pengujian pada domba yang tidak diinfeksi

toksoplasma (hanya diberi NaCl fisiologis) seperti terlihat dalam

dalam gambar 18 tidak menunjukkan adanya penebalan kulit setelah

penyuntikan dan ditunggu kemungkinan kemunculan reaksinya

selama ± 20-30 menit dengan menggunakan protein membran

Toxoplasma gondii. Ini menunjukkan bahwa domba tersebut negatif

terhadap Toksoplasmosis.

134 Toksoplasmosis pada Hewan


Gambar 52. Mencit yang Dilakukan Skin Test dengan Protein

Membran Toxoplasma gondii

Pada pengujian terhadap mencit (gambar 53) terlihat bahwa

terjadi penebalan pada daerah yang dicukur di tempat dilakukan skin

test.

Gambar 53. Mencit yang Positif Toksoplasmosis dengan

Menggunakan Skin Test

Toksoplasmosis pada Hewan

135


Dari gambar 53 terlihat mencit yang positif menderita

toksoplasmosis mengalami nekrosis area fokal pada bagian hati secara

makroskopis. Hal ini membuktikan bahwa takizoit yang diinfeksikan

ke mencit terbukti mengalami multiplikasi di dalam tubuh mencit.

Foki nekrosis terlihat begitu kuat pada bagian organ yang terinfeksi

sehingga menjadi suatu bentukan yang nampak dengan mata telanjang

(Soulsby, 1982). Kematian dan kerusakan jaringan tubuh hewan yang

terinfeksi toksoplasmosis tergantung pada jumlah parasit dan umur

hewan yang dipakai. Kematian dan kerusakan jaringan pada hewan

yang lebih muda lebih cepat dari pada hewan yang tua (Gandahusada,

1990).

136 Toksoplasmosis pada Hewan


BAB XIV

PREVALENSI TOKSOPLASMOSIS

Penelitian prevalensi sangat perlu dilakukan untuk memonitor

perkembangan penyakit toksoplasmosis. Hal ini dapat dipahami

seiring dengan makin meningkatnya kesejahteraan dan perubahan

perilaku hidup pada masyarakat. Dengan makin meningkatnya

populasi kucing di beberapa daerah yang bertindak sebagai hospes

definitif dari Toksoplasma, maka penyebaran penyakit ini semakin

meluas.

Tingkat prevalensi Toksoplasma pada kucing melalui

pemeriksaan serum darah kucing sebesar menunjukkan nilai 6,8% dari

132 serum yang diperiksa dan 9,4% pemeriksaan 116 sampel feses.

Infeksi toksoplasmosis yang terjadi pada kucing secara umum dari

pemeriksaan klinis tidak mempunyai gejala yang spesifik (Nurcahyo

et al., 2015). Beberapa kucing dapat dengan mudah dijumpai di

sekitar lokasi peternakan domba/kambing sehingga membuat proses

penularan ini lebih cepat dan sempurna melalui feses kucing yang

mungkin mengandung oosista toksoplasma (lihat gambar 54).

Toksoplasmosis pada Hewan

137


Gambar 54. Kucing yang Membuang Kotoran di Pasir pada Lahan

Terbuka Merupakan Sumber Penularan Toksoplasmosis yang

Sangat Potensial

Meskipun demikian oosista ini menurut pendapat Boch (1992)

yang menyatakan bahwa pada kenyataannya, infeksi yang terjadi

melalui oosista dari kucing, ternyata kurang berperan menimbulkan

toksoplasmosis jika dibanding dengan infeksi yang diperoleh melalui

daging domba atau babi yang tercemar sista. Penularan pada manusia

yang paling sering memang terjadi dengan cara mengkonsumsi daging

mentah atau daging kurang matang, terutama daging domba dan babi.

Selain itu juga sering terjadi akibat makan sayuran mentah yang tidak

dicuci sebelumnya. Kemungkinan sayuran tersebut tercemar oosista

Toxoplasma yang berasal dari tinja kucing. Infeksi lain yang potensial

adalah melalui plasenta, minum air susu domba atau menghirup udara

yang tercemar oosista (Frankel, 1977; Sasmita dkk, 1986). Penerapan

138 Toksoplasmosis pada Hewan


(

)

P

r

e

v

a

l

e

n

s

i

diagnosa toksoplasmosis pada domba/kambing dengan memanfaatkan

protein membran takizoit melalui suntikan intradermal memberikan

harapan yang baik bagi dunia kesehatan hewan.

Nurcahyo et al., 2011, melakukan riset tentang prevalensi

toksoplasmosis pada kambing dan domba di Daerah Istimewa

Yogyakarta. Riset ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi

toksoplasmosis pada kambing dan domba menggunakan metode skin

test. Hasil penelitian prevalensi toksoplasmosis di beberapa daerah

kabupaten di DIY menunjukan hasil yang mengkhawatirkan. Hal ini

mengingat dari sampel-sampel yang diambil rata-rata menunjukan

seroprevalensi dan dengan skin test yang tinggi atau di atas 50 %.

Hasil yang tertinggi pada gambar 28 dan tabel 5 adalah di Sleman,

kemudian disusul kota Yogyakarta dan daerah yang lain. Kabupaten

Sleman yang dikenal daerah asal peternakan domba dan kambing

merupakan daerah pertanian yang subur dan banyak dijumpai sentrasentra

peternakan. Banyaknya kucing yang dijumpai di sekitar lokasi

peternakan domba/kambing tersebut diduga sebagai pemicu tingginya

angka prevalensi tersebut.

%

90

80

70

60

50

40

30

20

10

0

GK KP Bantul Sleman Kodya DIY

Daerah Skin test CATT

Gambar 55. Histogram Prevalensi Toksoplasmosis di Beberapa

Kabupaten di DIY dengan Metode Skin Test dan Serologis CATT.

Dengan metode skin test, penentuan prevalensi ini menunjukan

hasil yang bervariasi untuk ke lima daerah pemeriksaan. Meskipun

Toksoplasmosis pada Hewan

139


demikian pada tabel 3 telihat metode serologis ada perbedaan yang

jauh antara Daerah Sleman (81,5 %) dengan Gunung Kidul (61,5

%) dan Kulon Progo (65,4 %). Kemungkinan hal tersebut dapat

terjadi, meskipun kota Yogyakarta padat penduduknya, namun karena

minimnya usaha peternakan domba/kambing dan pola hidup menjaga

kebersihan di kota Yogyakarta dan Bantul sudah lebih baik dibanding

dengan masyarakat Sleman, maka prevalensi toksoplasmosis pada

hewan ternak relatif lebih rendah. Untuk Gunung Kidul (61,5 %),

sebagai daerah yang kering dimusim kemarau juga menjadikan

angka prevalensi toksoplasmosis pada domba/kambing relatif tinggi.

Prevalensi di daerah Sleman yang berkisar 81,5 % merupakan angka

yang perlu mendapat perhatian, mengingat daerah ini banyak dijumpai

usaha peternakan domba, kambing dan sapi. Seperti diketahui hewanhewan

tersebut berperan sebagai hospes perantara dari toksoplasmosis.

Sensitifitas dan spesifitas protein membran Toxoplasma gondii

Pada tabel 4 dan 5 menunjukkan perhitungan sensitifitas dan

spesifitas diagnosa toksoplasmosis dengan menggunakan skin test dan

serologis yang kemudian diperjelas pada gambar 19 berupa histogram

perbandingan dari kedua metode tersebut. Sensitifitas skin test untuk

Kodya Yogyakarta adalah 95,65%% merupakan angka tertinggi,

disusul Gunung Kidul (93,75%), Kulon Progo (93,33%), Bantul

(90%) dan terendah Sleman (80,95%). Sementara itu angka spesifitas

di daerah Gunung Kidul adalah tertinggi, yaitu 92,86%, disusul

Bantul (90%), Kodya (85,71%) dan Sleman dengan angka 66,67%.

Daerah Sleman angka spesifitasnya sebesar 66,67% merupakan angka

terendah dibanding ke empat daerah lainnya. Secara keseluruhan

di Daerah Istimewa Yogyakarta, sensitifitas uji diagnosa ini adalah

90,52%, sedangkan sensitifitasnya adalah 83,64%.

Sebagai suatu perangkat diagnosa, metode skin test harus dapat

memenuhi kriteria untuk menyeleksi asai diagnostik. Kriteria tersebut

telah dimiliki metode skin test ini dalam memecahkan masalah yang

140 Toksoplasmosis pada Hewan


dihadapi khususnya dalam pencegahan toksoplasmosis pada hewan.

Sensitifitas skin test yang digunakan dalam penelitian ini merupakan

suatu uji diagnostik yang berbasis pemanfaatan antigen toksoplasma

untuk mendeteksi respon imun pada hewan yang menderita

toksoplasmosis.

Tabel 4. Angka Prevalensi Toksoplasmosis di 5 Kabupaten di

Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasakan Pemeriksaan Skin

Test dan Metode Serologis.

Daerah Skin test Serologis

Gunung Kidul

Kulon

16/26 X 100 % 61,5 % 16/30 X 100 % 53,3 %

Progo 17/26 X 100 % 65,4 % 15/30 X 100 % 50 %

Bantul

Sleman

Yogyakarta

DIY

19/27 X 100 % 70,4 % 20/30 X 100 % 66,7 %

22/27 X 100 % 81,5 % 21/30 X 100 % 70 %

20/26 X 100 % 76,9 % 21/30 X 100 % 70 %

94/132X100% 71,2 % 93/150X100% 62 %

Tabel 5. Hasil Diagnosa Skin Test Terhadap Toksoplasmosis

pada Domba dengan Antigen (Protein Membran) Takizot

Toxoplasma Gondii Isolat Lokal dan Pemeriksaan Serologis

Daerah

Gunung

Kidul

Kulon

Progo

Pemeriksaan Pemeriksaan dengan antigen Total

serologis membran toksoplasma

+ -

+ 15 1 16

- 1 13 14

Total 16 14 30

+ -

+ 14 3 17

- 1 12 13

Total 15 15 30

Toksoplasmosis pada Hewan

141


Bantul

Sleman

Yogyakarta

DIY

+ -

+ 18 1 19

- 2 9 11

Total 20 10 30

+ -

+ 17 3 20

- 4 6 10

Total 21 9 30

+ -

+ 22 1 23

- 1 6 7

Total 23 7 30

+ -

+ 86 9 95

- 9 46 55

Total 95 55 150

Sesuai pendapat Burgess (1988), pada dasarnya sensitifitas

berkaitan dengan kemampuan untuk mendeteksi antigen dalam

jumlah sedikit atau unuk mendeteksi respon imun yang kecil. Namun

demikian, skin test yang dibuat dalam penelitian ini belum dapat

membedakan kejadian akut atau kronis toksoplasmosis, karena hasil

yang diperoleh hanya berdasarkan pada reaksi hipersensitifitas yang

muncul sebagai akibat penyuntikan antigen toksoplasma secara

intradermal. Hal tersebut berkaitan dengan bahan dasar yang diambil

dari stadium takizoit yang kemunculannya dalam siklus hidup

toksoplasma pda kejadian akut. Sementara pada kejadian kronis,

stadium yang banyak terlibat dalam proses imunologis adalah bradizoit.

Di sisi lain bradizoit sangat sulit untuk diperoleh dari jaringan hewan

yang terinfeksi toksoplasmosis, karena letaknya di dalam jaringan atau

organ sehingga menyulitkan dalam mengisolasi proteinnya.

142 Toksoplasmosis pada Hewan


P 100

e

r 80

s

e

60

n

t

40

a

s

e 20

0

GK KP Bantul Sleman Kodya DIY

Daerah Sensitivitas Spesifitas

Gambar 56. Histogram Sensitifitas dan Spesifitas Diagnosa Skin

Test dan Serologis terhadap Toksoplasmosis pada Domba di

Daerah Istimewa Yogyakarta

Spesifitas dalam diagnosa toksoplasmosis ini erat kaitannya

dengan kemampuan untuk membedakan antigen dari parasit lainnya.

Kesulitan yang dihadapi dalam diagnosa parasit toksoplasma adalah

karena toksoplasma termasuk parasit fakultatif, khususnya pada

hospes intermedier yang terdapat pada hampir semua hewan mamalia

dan unggas.

Tabel 6. Sensitifitas dan Spesifisitas Protein Membran

Toxoplasma Gondii yang Digunakan untuk Melakukan Diagnosa

Toksoplasmosis dengan Metode Skin Test dan Serologis.

No Daerah Sensitifitas Spesifisitas

1 Gunung Kidul 15/16 X 100% = 93,75 % 13/14 X 100% = 92,86 %

2 Kulon progo 14/15 X 100% = 93,33 % 12/15 X 100% = 80 %

3 Bantul 18/20 X 100% = 90 % 9/10 X 100% = 90 %

4 Sleman 17/21 X 100% = 80,95 % 6/9 X 100% = 66,67 %

5 Yogyakarta 22/23 X 100% = 95,65 % 6/7 X 100% = 85,71 %

6 DIY 86/95 X 100% = 90,52 % 46/55 X 100% = 83,64 %

Dalam tabel 6 disajikan hasil sensitifitas dan spesifitas protein

membran toksoplasma dalam mendiagnosa toksoplasmosis pada

Toksoplasmosis pada Hewan

143


domba. Hasil menunjukan bahwa di beberapa tempat sensitifitas

begitu tinggi, namun dengan spesifitas yang lebih rendah. Wawasan

mengenai penerapan skin test sebagai bahan diagnostik toksoplasmosis

akan lebih baik lagi hasilnya apabila telah dilakukan pada sampel yang

lebih banyak lagi, sehingga dengan pengujian statistik dapat dievaluasi

lebih lanjut kinerjanya. Selain itu, dalam mengestimasi spesifitas dan

spesifitas yang melibatkan identifikasi kelompok hewan sakit dan

sehat akan lebih baik bila menggunakan metode standar yang telah

baku, misalnya ELISA atau PCR yang telah dipercaya sebagai metode

emas untuk mendiagnosa suatu penyakit. Kelemahan yang dihadapi

dalam penelitian ini adalah penggunaan metode pembanding,

yaitu metode serologis, yang sama dengan metode skin test untuk

mendeteksi keberadaan antibodi aktif dalam respon imun terhadap

toksoplasmosis.

144 Toksoplasmosis pada Hewan


BAB XV

PENULARAN DAN PENCEGAHAN

A. Penularan

Toksoplasmosis banyak menimbulkan permasalahan bagi

kesehatan manusia dan hewan. Pada manusia, apabila infeksi

toksoplasmosis terjadi secara kongenital dapat menyebabkan

akibat pada bayi berupa perkapuran, korioretinitis, hidrosefalus,

mikrosefalus, gangguan psikologis, gangguan perkembangan mental

pada anak setelah lahir dan kejang-kejang. Sementara itu pada hewan

toksoplasmosis banyak menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak

kalah pentingnya, karena dapat menyebabkan abortus, kematian dini

dan kelainan kongenital. Kerugian ekonomi ini belum termasuk biaya

pemeliharaan yang sangat besar pada suatu usaha peternakan rakyat

dan skala industri.

Hospes definitif memegang peranan yang sangat penting dalam

infeksi toksoplasmosis sebagai salah satu bentuk penularan. Kucing

dan beberapa golongan Felidae sangat berperan penting sebagai kunci

perkembangan dan penyebaran toksoplasmosis. Biasanya oosista

toksoplasmosis akan dilepaskan oleh kucing dalam keadaan belum

bersporulsi. Setelah sporulasi, di dalam oosista tersebut berkembang

Toksoplasmosis pada Hewan

145


menjasi 2 sporosista yang masing-masing mengandung sporozit.

Kucing di seluruh dunia merupakan sumber laten dari infeksi

Toxoplasma gondii. Berbagai penelitian pada kucing-kucing di seluruh

dunia, terdeteksi antibodi terhadap toksoplasmosis sebanyak 20-90 %.

Namun pada kucing yang diberi makan yang matang dan senantiasa

tinggal di rumah, pada kenyataannya sangat jarang terinfeksi

toksoplasmosis (Rommel et al., 1987). Hal ini selaras dengan temuan

Hanafiah et al., 2015 bahwa aktor-faktor yang berpengaruh terhadap

adanya toksoplasmosis pada kucing berdasarkan analisis bivariat adalah

pembersihan kotak pasir 1 kali sehari dan mandi 2-3 kali seminggu

sedangkan faktor-faktor yang memiliki peluang meningkatkan

seropositif toksoplasmosis berdasarkan analisis multivariat adalah

pemeliharaan kucing yang bebas di dalam rumah, dimandikan lebih

dari 1 kali seminggu, dan dimandikan lebih besar dari 1 bulan sekali.

Toksoplasmosis

Manusia/hewan

Kongenital

Perolehan

Plasenta

(asimtomatik)

Per Oral

Janin luka telur cacing makanan

Perantara daging mentah minum susu menghirup

/kurang matang tercemar udara yang

tercemar

Makan hospes injeksi transfusi hewan penghisap

pemindah (siput/ parenteral sel darah putih darah (nyamuk, lalat

kecoak) takizoit atau kelelawar)

Gambar 57. Ikhtisar Kemungkinan Penularan Toxoplasmosis pada

Gambar 57. Ikhtisar kemungkinan penularan toxoplasmosis pada hewan dan manusia

Hewan dan Manusia

Penularan pada manusia paling sering terjadi dengan cara mengkonsumsi daging

146 Toksoplasmosis pada Hewan

mentah atau daging kurang matang, terutama daging domba dan babi. Selain itu juga sering

terjadi akibat makan sayuran mentah yang tidak dicuci sebelumnya. Kemungkinan sayuran


Penularan pada manusia paling sering terjadi dengan cara

mengkonsumsi daging mentah atau daging kurang matang, terutama

daging domba dan babi. Selain itu juga sering terjadi akibat makan

sayuran mentah yang tidak dicuci sebelumnya. Kemungkinan sayuran

tersebut tercemar oosista Toxoplasma yang berasal dari tinja kucing.

Infeksi lain yang potensial adalah melalui plasenta, minum air susu

domba atau menghirup udara yang tercemar oosista (Frankel, 1977;

Sasmita dkk, 1986). Penularan secara transplasenta dari seorang ibu

hamil yang terinfeksi toksoplasmosis pada janinnya pada trimester

pertama kehamilan jarang terjadi infeksi secara kongenital dengan

gejala klinis yang berat. Selanjutnya, infeksi yang bersifat kongenital

pada trimester ketiga kehamilan akan sering terjadi namun dengan

gejala klinis yang ringan hingga tanpa gejala sama sekali (asimtomatik)

(Soebianto dan Suharto, 1984).

Data kejadian toksoplasmosis di Indonesia belum dapat

menggambarkan secara pasti kondisi sebenarnya, program surveilen

yang ada sulit menjelaskan kejadian sebenarnya karena perencanaan

program yang belum berkesinambungan. Data-data yang ada belum

dapat digunakan sebagai acuan dan bahan pengkajian komparatif antar

daerah di Indonesia dikarenakan tidak sebanding secara epidemiologis.

Menurut data sistem ISIKHNAS Kementerian Pertanian prevalensi

toksoplasmosis pada domba 32,18 – 71,97 %, kambing 23,5 – 60 %,

kucing 5,56 – 40 %, sapi 36,4 %, babi 28 – 32 %, kerbau 27,3 %, ayam

19,6 – 24 %, dan pada itik 6,1 %. Secara kumulatif, kasus toksoplasmosis

pada manusia ada diatas 40 % secara uji serologis atau dapat dikatakan

kasus dengan tingkat kejadian yang tinggi. Bahkan di Jakarta pernah

dilaporkan bahwa terdapat 60 % dari pemeriksaan antibodi pada

donor darah mengandung antibodi T. gondii. Data secara geografis di

Indonesia belum ada, tetapi di Asia data prevalensi toksoplasmosis dari

kucing berdasarkan uji serologis adalah sebagai berikut : Singapore 31

%, Jepang 19 %, Korea Selatan 13 %, Taiwan 8 %.

Toksoplasmosis pada Hewan

147


B. Pencegahan

Beberapa cara berikut ini dianjurkan sebagai upaya untuk

mencegah infeksi toksoplasmosis pada manusia : Daging yang

akan dikonsumsi, harus dimasak terlebih dahulu agar sista-sista

toksoplasma yang mungkin terbawa di dalam daging tersebut mati.

Kucing yang dipelihara di rumah sebaiknya diberi pakan matang

untuk mencegah infeksi yang masuk ke dalam tubuh kucing. Tempat

pakan, minum dan alas tidur harus selalu dicuci/dibersihkan. Bak

pasir kotoran kucing dibuang ke dalam kakus. Hindari kontak antara

kucing yang dipelihara dengan hewan - hewan mamalia liar, seperti

rodensia liar (tikus, bajing, musang, dll.) dan reptilia kecil seperti

cecak, kadal dan bengkarung yang kemungkinan dapat sebagai hewan

perantara toksoplasmosis. Penanganan terhadap kotoran kucing,

sebaiknya dengan menggunakan sarung tangan yang disposable

(dibuang setelah dipakai). Bagi wanita yang mengandung, terutama

yang dinyatakan secara serologis sudah negatif, jangan memelihara

atau menangani kucing, kecuali apabila memakai sarung tangan.

Apabila seseorang sedang memegang daging, bekerja dengan daging

atau organ yang masih mentah, hindari untuk tidak menyentuh mata,

mulut atau hidung. Peralatan dapur setelah selesai, sebaiknya segera

dicuci dengan sabun. Bagi orang yang senang berkebun atau bekerja

di kebun, sebaiknya menggunakan sarung tangan, mencuci sayuran

atau buah sebelum dimakan. Darah penderita seropositif tidak

boleh ditransfusikan pada penderita yang menderita imunosupresif,

demikian pula transplantasi organ pada penderita seronegatif harus

dari seseorang dengan seronegatif Toxoplasmosis. Pemberantasan

terhadap lalat dan kecoa sebagai pembawa oosista perlu dilakukan.

Penggunaan desinfektan komersial yang ada di toko-toko dapat

berguna untuk membasmi oosista. Sebaiknya selalu memeriksakan

hewan kesayangannya tersebut pada dokter hewan praktek secara

rutin (Nurcahyo, 2004).

148 Toksoplasmosis pada Hewan


Secara khusus Center for Disease Control and Prevention

(CDC) memberikan rekomendasi sesuai standar USDA untuk

pengurangan resiko tertular toksoplasmosis, sebagai berikut :

- Untuk daging (kecuali daging ayam), sebaiknya dimasak

dengan suhu mencapai 63° C pada bagian dalam daging,

lalu istirahatkan daging pada suhu tersebut selama 3 menit.

- Daging giling (selain daging ayam), masak sekurangkurangnya

sampai 71° C.

- Daging ayam, suhu internal yang diperlukan adalah 74° C.

- Daging disarankan disimpan dalam keadaan beku selama

beberapa hari karena dapat mengurangi kemungkinan

infeksi. Meskipun demikian, hal tersebut tidak dapat

membunuh beberapa parasit lain seperti beberapa spesies

Trichinella atau bakteri berbahaya. Cara terbaik untuk

menghindari penularan pathogen adalah dengan memasak

sesuai dengan suhu internal yang direkomendasikan.

- Mengupas dan mencuci buah-buahan dan sayuran sebelum

dikonsumsi.

- Mencuci alas potong, pring, gelas, peralatan dapur dan

membersihkan tempat penyimpanannya serta mencuci

tangan dengan sabun setelah kontak dengandaging mentah,

seafood, atau buah dan sayur yang belum dicuci.

- Tidak meminum susu kambing atau domba yang belum

dipasteurisasi

- Jangan memakan seafood seperti tiram, kerang atau kepiting

dalam keadaan mentah atau setengah matang. Makanan

tersebut bisa saja terkontaminasi Toksoplasma yang terbawa

hingga ke laut.

Toksoplasmosis pada Hewan

149


Selain pencegahan penularan dari makanan, CDC juga mengeluarkan

himbauan untuk mengurangi resiko penularan Toksoplasma dari

lingkungan, dengan cara :

- Menghindari meminum air yang belum mengalami

pengolahan untuk memastikan kebersihannya.

- Menggunakan kaos tangan jika berkebun atau lainnya yang

melakukan kontak langsung dengan tanah atau pasir, karena

bisa saja tercemar oleh kotoran kucing yang terinfeksi

toksoplasma.

- Mencuci tangan setelah berkebun

- Ajarkan kepada anak-anak pentngnya cuci tangan untuk

mencegah penyakit.

- Beri pakan kucing dengan makanan yang terjamin

kebersihannya seperti pakan komersil atau pakan yang

dimasak dengan baik. Bukan pakan mentah.

- Pastikan litter box hewan kesayangan diganti setiap hari.

Toksoplasma tidak akan menjadi infeksius sampai 1-5 hari

setelah dikeluarkan oleh kucing.

C. Pelaporan

Untuk kasus di Indonesia masih belum diwajibkan laporan

kepada Dinas Peternakan maupun Dinas Kesehatan adanya kasus

toksoplasmosis pada hewan. Namun dibeberapa negara bagian

Amerika wajib melaporkan kejadian toksoplasmosis pada pihat terkait

yang berfugsi untuk pemahaman lebih lanjut terhadap epidemiologi

penyakit ini. Hewan penderita tidak memerlukan tindakan isolasi dan

karantina. Imunisasi juga tidak diperlukan. Perlakuan pemotongan

hewan dan daging hewan yang terinfesi toksoplasmosis harus dimasak

dengan baik hingga matang untuk membunuh parasit ini, sehingga

aman untuk dikonsumsi.

150 Toksoplasmosis pada Hewan


D. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen Sampel

Pada kambing dan domba yang mengalami keguguran sampel

diambil dari bagian kotiledon plasenta atau jaringan otak. Kemudian

sebanyak 2 – 5 gr kotiledon atau jaringan sampel dimasukkan ke dalam PBS

(Phosphate Buffered Saline) dengan pH 7,4 yang sudah ditambah dengan

antibiotic (100 IU/mlpenicillin dan 745 IU/ml streptomycin). Sampel lalu

dapat dikirimkan ke laboratorium dan diinokulasikan ke mencit. Sebagai

tambahan, setelah pengambilan sampel baiknya sampel tidak dimasukkan

ke dalam freezer karena dapat membunuh parasit yang ada.

Sampel dari rumah potong hewan (RPH) diambil dari pemotongan

bagian otot diafragma sekitar 10 gr. Kemudian dimasukkan pada wadah dan

disimpan di dalam boks pendingin (6 ˚C) atau lemari pendingin 4 ˚C, sebelum

dibawa ke laboratorium. Pengambilan sampel tinja kucing sebaiknya dengan

berat kurang lebih 10 gr dan disimpan pada lemari pendingin 4 ˚C sebelum

pemeriksaan lebih lanjut di laboratorium (wiki.isikhnas.com).

E. Pengobatan

Pengobatan pada ternak dapat dilakukan dengan pemberian

preparat Clindamycin dengan dosis 12,5-25 mg/kg berat badan

sekali pemberian per oral, diberikan pagi dan sore. Pengobatan ini

disarankan sampai 2 minggu setelah gejala klinis tidak nampak. Selain

itu, Sulfidazine dengan dosis 30 mg/kg berat badan dapat diberikan

setiap 12 jam per oral, bersama dengan pemberian pyrimethamine 0,5

mg/kg berat badan, dan sebagai pengurang efek samping yang dapat

timbul, penambahan folinic acid 5 mg/hari juga disarankan.

Terapi lain yang dianggap cukup efektif adalah dengan

mengkombinasikan pyrimethamine dengan trisulfapyrimidine,

perpaduan keduanya dilaporkan mampu menghambat siklus p-amino

asam benzoat dan siklus asam foist. Dosis yang dianjurkan untuk

pyrimethamine adalah 25-50 mg per hari dengan lama waktu

pemberian satu bulan, sedangkan trisulfapyrimidine 2.000 - 6.000 mg

Toksoplasmosis pada Hewan

151


per hari untuk satu bulan. Akan tetapi, pengobatan ini memiliki efek

samping, yaitu dapat menyebabkan leukopenia dan trombositopenia,

karenaya tambahan asam folat dan yeast selama pengobatan

sangat dianjurkan. Obat lain seperti Trimetoprim juga efektif

untuk pengobatan toxoplasmosis tetapi trimetoprim masih kalah

efektifitasnya jika dibandingkan dengan yang lain seperti kombinasi

antara pyrimethamine dan trisulfapyrimidine.

Spiramycin juga merupakan obat yang dapat dipilih, walaupun

dianggap kurang efektif tetapi efek samping Spiramycin paling ringan

dibanding pengobatan sebelumnya. Dosis pemberian Spiramycin

yang dianjurkan adalah 2 - 4 gr per hari yang di bagi dalam 2 atau 4

kali pemberian (wiki.isikhnas.com).

Terapi untuk hewan yang menderita toksoplasmosis dapat

dilakukan dengan memberikan preparat Sulfonamid. Untuk mencegah

terjadinya kasus abortus pada domba dan kambing, hewan tersebut

perlu dijauhkan dari kucing, terutama kucing liar yang berkeliaran

di kandang dan ruangan untuk penyimpanan pakan atau minum.

Pada kasus yang berat dan mengancam hewan-hewan ternak yang

masih muda, maka perlu diberikan setiap hari Monensin 16 mg pada

masing-masing hewan. Untuk menghindari efek toksik yang mungkin

muncul dari Monensin tersebut, pemberian sebaiknya tidak lebih dari

30 mg/kg pakan.

Produksi oosista pada kucing dapat dikurangi dengan pengobatan

kombinasi sulfadiazin 120 mg/kg berat badan dan pyrimitamin 1

mg/kg berat badan. Sulfadiazin dan pyrimetamin termasuk inhibitor

kompetitif dari vitamin asam folat. Kombinasi keduanya dianjurkan

untuk pengobatan toksoplasmosis, karena memiliki efek sinergi bila

digunakan bersama (Frenkel, 1990). Kombinasi kedua obat tersebut

efektif untuk menghancurkan pseudosista atau sista semu dan efektif

pada stadium proliferatif (Soulsby, 1982).

152 Toksoplasmosis pada Hewan


Untuk menghidari eliminasi oosista-oosista toksoplasma yang

dikeluarkan kucing bersama tinjanya, pakan dapat diberikan apabila

sudah dimasak atau untuk daging yang sudah disimpan minimal 3 hari

pada lemari es suhu - 20°C. Melalui pemberian pakan yang dicampur

dengan Toltrazuril (Baycox) dengan dosis 5 mg/kg berat badan setiap

hari dapat membatasi perkembangan oosista toksoplasma lebih lanjut

(Rommel et al., 1987).

F. Vaksinasi

Di bidang parasitologi, hingga saat ini belum banyak

dikembangkan vaksinasi yang efektif untuk mencegah infeksi

parasit seperti halnya beberapa vaksin yang dikembangkan terhadap

penyakit bakterial atau viral. Faktor-faktor yang menyebabkan

kurang berkembangnya vaksin parasit di antaranya adalah kurangnya

respon imunitas protektif dari hospes yang divaksin, tingginya

tingkat kesulitan yang dihubungkan dengan penyediaan material

parasit sebagai sumber bahan vaksin dan adanya kompleksitas dari

siklus hidup organisme parasit. Di samping faktor-faktor tersebut,

masih terdapat banyak lagi faktor yang mendukung rendahnya

tingkat imunitas hospes dalam suatu infeksi atau reinfeksi parasit

yang mencerminkan variasi dari modus infeksi dan predeleksi infeksi

dari berbagai organisme parasit.

Usaha vaksinasi terhadap toksoplasma baru dilakukan di bidang

kedokteran hewan, yaitu pada domba di Selandia baru (O’Connel et

al., 1988). Percobaan vaksin untuk domba ini menunjukkan hasil yang

signifikan terutama pada anak domba baru lahir yang divaksin jika

dibandingkan dengan yang tidak divaksin pada kasus toksoplasmosis

yang berefek abortus. Galur untuk membuat vaksin ini diperoleh dari

kasus abortus toksoplasmosis domba yang dipelihara sejak tahun 1958

secara terus menerus dengan cara passage melalui mencit (Wilkins et

al., 1987). Masing-masing domba diberi dosis vaksinasi intramuskuler

sebanyak 10000-1000000 takizoit toksoplasma galur 48 dari eksudat

Toksoplasmosis pada Hewan

153


peritoneal mencit. Vaksin yang diberi nama komersial Toxovac ini

telah dilepas ke pasar sejak tahun 1992 (Wilkins dan O’Connel, 1992).

Vaksinasi Toxoplasmosis yang saat ini tersedia adalah vaksin

hidup untuk domba, misalnya di Belanda terdapat Toxovax, Intervet

BV; di New Zealand (Toxovax, Agvax, Ag Research). Saat ini vaksinvaskin

tersebut telah mendapatkan lisensi untuk digunakan di UK,

lrlandia, Perancis, Portugal dan Spanyol. Vaksin ini akan menstimulasi

immun protektif selama sekurang- kurangnya 18 bulan pasca

pemberian dosis tunggal dan mempunyai waktu efektif yang pendek

serta berpotensi mempunyai dampak immunosupresi (wiki.isikhnas.

com).

Perlu diperhatikan, bahwa pemberian vaksin pada ternak

juga harus mempertimbangkan faktor-faktor kesehatan daging. Ini

mengingat hewan ternak yang divaksin akan membawa toksoplasma

pada sepanjang hidupnya, sehingga penggunaan live vaccine pada ternak

masih diperdebatkan oleh para ahli. Sedangkan pemberian vaksin dari

galur toksoplasma yang sudah tidak aktif tidak menunjukkan hasil

yang baik (Buxton et al., 1989).

154 Toksoplasmosis pada Hewan


BAB XVI

STUDI KASUS TOKSOPLASMOSIS

A. Toksoplasmosis pada Satwa Liar (Robert-Gangneux and

Dardé, 2012)

Infeksi Toksoplasma dilaporkan telah ditemukan pada

lebih dari 350 jenis hewan, baik mamalia maupun burung, dengan

sebagian besarnya terjadi pada hewan-hewan yang hidup di alam liar

(Duszynski et al., 2000; Lindsay dan Dubey, 2007; Tenter et al., 2000).

Kontaminasi lingkungan yang mengakibatkan hewan liar sebagai

hospes intermedier terhubung dengan kotoran yang tercemar oosista

ialah hewan jenis felidae, baik liar ataupun domestik yang hidup

berdekatan dengan peternakan atau jenis felidae liar yang lain. Bukti

adanya infeksi adalah dengan pemeriksaan serologis terhadap 31 dari

39 spesies felidae di dunia (Dubey, 2010). Prevalensi serologis felidae

liar biasanya sangat tinggi bahkan dapat mencapai 100%. Sedangkan

prevalensi pada hospes intermedier tergantung pada keberadaan

felidae di habitatnya. Namun, proses terjadinya infeksi pada hewan liar

sangat kompleks dan dipengaruhi interaksi baik secara fisik, biologi,

dan karakteristik ekologi, seperti :

Toksoplasmosis pada Hewan

155


1. karakter iklim, dimana area dengan iklim kering dan panas

kurang menguntungkan bagi oosista agar dapat bertahan

hidup. Sehingga daerah ini prevalensi terjadinya infeksi

Toksoplasma pada hewan liar lebih rendah dibanding iklim

lembab di negara-negara tropis;

2. Kerentanan hospes pada infeksi Toksoplasma. Sebagian

spesies mungkin resisten atau secara spontan dapat

merespon untuk membersihkan infeksi;

3. ukuran dan berat badan hewan yang umumnya berkaitan

dengan masa hidup, oleh karenanya berpengaruh pada

kemungkinan terinfeksi dan juga sedikit menjelaskan alasan

rendahnya tingkat infeksi (hanya 1 to 5%) pada rodensia

kecil (Mus musculus) pada beberapa studi (Afonso et al.,

2007; Dabritz et al., 2008);

4. Pakan dan kebiasaan makan hospes, dimana prevalensi

terjadinya infeksi seringkali lebih pada herbivora

dibandingkan dengan omnivora dan carnivora dikarenakan

adanya akumulasi parasit akibat dari siklus predator-mangsa

(Smith dan Frenkel, 1995).

Di antara hewan mamalia ada di daerah hutan Amazonian

(French Guiana), mamalia terestrial lebih banyak terekspos T. gondii

dibandingkan mamalia arboreal karena kebiasaan beraktifitas di

tanah (De Thoisy et al., 2003). Wilayah utara belahan bumi, tingkat

prevalensi yang tinggi juga ditemukan pada hewan-hewan karnivora

seperti beruang hitam dan rubah merah atau pada hewan-hewan

omnivora seperti babi liar, yang dapat terinfeksi oosista dan sista

pada jaringan yang termakan. Pendekatan ekologi untuk mempelajari

sirkulasi parasit ini pada hewan liar dapat dilakukan melalui studi

tentang factor-faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhi

persebaran parasit seperti migrasi burung-burung liar, fragmentasi

156 Toksoplasmosis pada Hewan


daratan (berupa sungai, jalanan, daerah pertanian, desa, dan lain-lain),

penyebaran oosista, atau perilaku berburu dari berbagai jenis felidae

di berbagai lingkungan.

Hasl yang menarik akhir-akhir ini adalah terkait toksoplasma

pada mamalia laut. Berbagai jenis mamalia laut seperti berang-berang

laut, lumba-lumba, anjing laut, dan walrus dilaporkan terinfeksi

Toksoplasma dengan tingkat prevalesi berkisar antara 47 sampai 100%.

Jenis mamalia laut selama ini telah menjadi penjaga dari kontaminasi

lingkungan oleh oosista yang mengalir dari wilayah perairan tawar ke

ekosistem laut (Conrad et al., 2005).

B. Toksoplasmosis pada Kawanan Kanguru (Erin Edwards,

Gabriel Gomez, and Jay Hoffman, 2019)

Laboratoriun Texas A&M Veterinary Medical Diagnostic

Laboratory (TVMDL) mendapatkan pasien 4 ekor kangguru yang

terdiagnosa toksoplasmosis. Ketika ditemukan kangguru-kangguru

tersebut dilaporkan sudah mati tanpa memperlihatkan gejala

penyakit sebelumnya. Hanya satu ekor yang terlihat mengalami

sesak nafas sebelum mati. Pada waktu nekropsi, 3 kangguru didapati

mengalami pneumonia ditandai dengan lesi bintik-bintik ungu

kemerahan dan kerusakan jaringan paru-paru. Sampel jaringan

kemudian disimpan dalam formalin dan dilakukan pemeriksaan

histopatologi. Dari hasil histopatologi sampel, terkonfirmasi

adanya inflamasi multifokal dan ringan pda organ jantung dan

paru-paru. Setelah diamati lebih seksama, ditemukan organisme

yang diperkirakan adalah Toxoplasma gondii tersebar di jaringan,

terutama di jantung juga sebagian kecil di otak dan paru-paru.

Sebagai diagnosa lanjutan, dilakukan pemeriksaan dengan PCR

untuk memeriksa apakah protozoa tersebut adalah T. gondii. Hasil

PCR dilakukan pada sampel jaringan jantung dan otak salah satu

kangguru menunjukkan hasil positif.

Toksoplasmosis pada Hewan

157


Kasus outbreak toksoplasmosis ini memiliki tingkat kematian

yang tinggi dan hanya menyisakan sedikit kangguru yang selamat

dalam satu kawanan. Kangguru dan walabi sangat rentan terhadap

infeksi toksoplasma sistemik dan kasus semacam ini bisa sangat

berbahaya. Pada kedua spesies ini, hewan yang terinfeksi seringkali

mengalami kematian mendadak, meskipun pada beberapa kejadian

tampak gejala gangguan syaraf atau pernafasan sebelum mati. Begitu

juga hasil nekropsi, pada sebagian kasus tidak ditemukan adanya lesi

sementara pada kasus lain tampak adanya ciri-ciri pneumonia seperti

pada kasus ini. Meskipun sulit dicari, toksoplasma sering dapat

ditemukan dalam pemeriksaan histopatologi.

Dari hasil investigasi tim, kanguru diduga terinfeksi toksoplasma

melalui lingkungan atau pakan yang terkontaminasi feses kucing.

Sebagai hospes definitif, kucing mengeluarkan parasite ini dalam

jumlah yang sangat banyak ke lingkungan disekitarnya. Salah

satu saran yang diberikan untuk penanggulangan kasus penularan

toksoplasma pada kangguru ini adalah membatasi akses kucing

ke kangguru meskipun secara praktek akan sulit dilakukan, namun

demikian hal tersebut penting untuk mencegah terulangnya kembali

kasus penyakit ini.

158 Toksoplasmosis pada Hewan


Gambar 58. Inflamasi Myocardial dan Beberapa Toxoplasma gondii

(panah).

Gambar 59. Inflamasi Jaringan dan Salah Satu Sista T. gondii

(panah) di Otak.

Toksoplasmosis pada Hewan

159


C. Outbreak Toxoplasmosis pada Peternakan Kambing Perah di

Brazil (Ferreira et al., 2018)

Sekumpulan peneliti di Brazil melakukan investigasi terhadap

outbreak toksoplasmosis pada kambing perah yang terjadi pada

periode September sampai dengan Oktober 2013 di wilayah Arapoti,

Parana, Brazil. Daerah ini merupakan daerah sub tropikal dan

termasuk dalam area Atlantic forest biome. Populasi ternak kambing

yang diinvestigasi berjumlah 179 kambing Saanen; 78 ekor sedang

masa laktasi, 1 indukan, 65 ekor betina muda (≤ 6 bulan), dan 35 ekor

pejantan muda (≤ 6 bulan).

Pada saat investigasi dilakukan, didapati 33 ekor hewan

yang menunjukkan gejala klinis, seperti lymphadenopathy, diare,

piloerection, turunnya berat badan, aborsi pada 6 betinadi trimester

akhir kebuntingan, dan kelahiran bayi yang lemah, yang kemudian

mati pada minggu pertama atau menunjukkan gejala klinis, seperti

obstruksi rectal, hiperemia, diare, dan kebutaan. Sekitar 60% betina

mengalami gangguan reproduksi, antara lain sulit bunting dan estrus

berkelanjutan. Dilaporkan juga bahwa ada 3 ekor kambing yang mati,

2 diantaranya mengalami gejala seperti mengayuh sepeda sebelum

mati. Kondisi peternakan sangat terbuka dan hewan lain seperti anak

kucing bisa masuk ke ruang pemerahan susu, tempat penyimpanan

pakan dan gudang dimana alat-alat untuk memberi pakan disimpan.

Tim investigasi mengambil sampel darah pada 33 ekor kambing

yang mengalami gejala klinis. Kemudian mereka juga mengambil

sampel darah kambing di peternakan tersebut serta 2 ekor kucing

dan 2 ekor anjing yang ada disana. Sampel susu diambil dari 78 ekor

kambing yang sedang masa laktasi. Termasuk juga 4 sampel tanah

dan 4 sampel sisa pakan yang ada di tempat pakan kambing. Selain

mengambil sampel tim juga memberikan kuisioner epidemiologis

untuk mendapatkan informasi tentang sanitasi baik personil maupun

hewan dan peternakan.

160 Toksoplasmosis pada Hewan


Analisis sampel menggunakan metode Immunofluorescence

antibody test (IFA) untuk serodiagnosis, analisis molekuler juga

dilakukan dengan polymerase chain reaction (PCR), sedangkan untuk

isolasi agen etiologi digunakan bioassay. Hasilnya, analisis IFA

menunjukkan bahwa 76.53% (137/179) dari total kambing, 2 ekor

kucing dan 2 ekor anjing terdeteksi seropositif Toxoplasma gondii.

Dari bioassay terlihat 1 buffy coat dan 2 sampel susu tercemar T. gondii.

Sedangkan hasil PCR, seluruh 11 sampel darah, 8 sampel susu, 3 sisa

pakan, dan seluruh sampel tanah menunjukkan hasil positif.

Hasil tersebut mengkonfirmasi bahwa outbreak ini disebabkan

oleh kontaminasi yang berasal dari lingkungan sekitar peternakan (tanah

dan pakan). Oosista T. gondii juga dimungkinkan berasal dari anak

kucing yang hidup di lingkungan peternakan dan memiliki akses ke stok

pakan kambing dan fasilitas lainnya. Sebagai usaha penanganan dan

pencegahan kembali terjadinya outbreak toksoplasmosis ini diperlukan

pendampingan dokter hewan untuk memperbaiki manajemen tata

kelola peternakan.

D. Outbreak Toksoplasmosis karena Air Minum di Kanada

(Bowie et al., 1997)

Kejadian outbreak kasus terjadi secara tidak terjadi secara

periodik. Pada bulan Maret tahun 1995, terjadi peningkatan mendadak

toksoplasmosis akut yang terdeteksi secara uji serologis di daerah

Greater Victoria of British Columbia, Canada. Dalam jangka waktu

yang sama, terjadi 7 kasus acute toxoplasma retinitis yang saling tidak

terkait. Hal ini ditemukan setelah selama 5 tahun sebelumnya tidak

pernah diketahui ada kasus toksoplasmosis.

Pemerintah setempat kemudian melakukan program

penyaringan terhadap kasus ini. Berbagai metode dilakukan seperti

uji serologis dan pemeriksaan klinis pada warga Greater Victoria.

Program khusus juga dijalankan untuk wanita yang sedang hamil.

Toksoplasmosis pada Hewan

161


Selain itu juga dilakukan pemetaan secara geografis pada kasus

outbreak dan kasus kontrol studi pada kasus simptomatik dan wanita

yang mengikuti program penyaringan khusus.

Hasilnya, ditemukan bahwa 100 individu yang berumur 6

sampai 83 tahun yang terdiagnosa toksoplasma akut. Sebagian besar

atau 94 orang tinggal di Greater Victoria dan 6 lainnya pernah

berkunjung kesana dalam beberapa waktu yang lalu. Ditemukan 19

orang yang terkena retinitis, 51 menderita lymphadenopathy, dan 4

lainnya mengalami gejala yang sesuai dengan gejala toksoplasmosis,

sementara 7 diantara yang lain didapati gejala lain, ada 18 orang tidak

menunjukkan gejala, dan 1 orang tidak memberikan informasi. Dari

3812 wanita hamil atau yang baru saja melahirkan 36 (0.9%) orang

terpapar oleh toksoplasma. Pada kasus ini tidak ditemukan adanya

kasus yang sama disekitar Greater Victoria.

Penyebab infeksi toksoplasma dilaporkan bukan seperti

umumnya kasus toksoplasmosis. Pemetaan kasus ini, penyaringan pada

para wanita, serta studi kasus kontrol menunjukkan adanya hubungan

yang signifikan antara infeksi akut toksoplasma ini dengan sistem

distribusi air dari salah satu sumber air di Greater Victoria. Kasus

epidemik ini mencapai puncaknya pada Desember 1994 dan Maret

1995, hal ini diduga karena peningkatan curah hujan dan kekeruhan

air yang mempengaruhi sumber air.

Dari seluruh hasil investigasi dari pemerintahan setempat

disimpulkan bahwa sistem air pada wilayah tersebut yang tidak

difilter dan diklorinasi, sebagaimana mestinya untuk pengunaan air

permukaan menjadi sebab outbreak toksoplasmosis ini terjadi dan

menelan banyak orang di sebuah komunitas yang besar.

E. Studi Aplikasi Skin Test untuk Toksoplasmosis pada Ternak di DIY

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari 5 kabupaten,

yaitu Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul, Sleman

162 Toksoplasmosis pada Hewan


dan kotamadya Yogyakarta. Berbagai permasalahan di bidang

kesehatan hewan dihadapi oleh propinsi ini, mulai dari penyakit

infeksi seperti penyakit bakterial, viral, parasiter dan jamur hingga

non infeksi. Seperti diketahui, pada hewan, toksoplasmosis banyak

menimbulkan kerugian ekonomi. Dalam hal ini, hewan memegang

peranan yang sangat penting sebagai salah satu bentuk penularan.

Seperti diketahui, manusia dapat tertular toksoplasma dengan cara

menelan oosista toksoplasma bersama makanan, makan daging

yang kurang matang secara langsung yang mengandung bradizoit

atau salah satu bentuk dalam daur hidup toksoplasma, melalui luka

terbuka yang kemasukan oosista atau bermain-main dengan hewan

kesayangan, seperti kucing, anjing dan burung. Selain itu, masih

banyak lagi modus penularan yang lain yang berpotensi sebagai

gerbang masuknya infeksi toksoplasmosis pada manusia dan hewan,

sehingga prevalensi toksoplasmosis diduga meningkat dari tahun ke

tahun. Penelitian prevalensi yang pernah dilakukan di Yogyakarta

pada domba dan babi dinyatakan terinfeksi 36% dan 50% (Sri

Hartatik, 1993). Hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian

lagi mengenai prevalensi pada hewan ternak.

Dalam pelaksanaan pengambilan sampel dari ternak domba

dan kambing, terdapat kendala yang dijumpai di lapangan. Hal ini

terutama berkaitan dengan kurangnya informasi pada masyarakat

mengenai penyakit toksoplasmosis. Sehingga banyak peternak yang

enggan untuk diambil sampel darahnya dan dilakukan pemeriksaan

skin test. Hal ini dapat dimengerti mengingat bahan yang disuntikan

ke dalam tubuh ternak tersebut adalah komponen dari Toksoplasma.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, telah dilakukan pendekatan

melalui kegiatan penyuluhan pada kelompok tani ternak mengenai

kesehatan hewan secara umum dan penyakit toksoplasmosis secara

khusus bagi ibu-ibu.

Toksoplasmosis pada Hewan

163


Gambar 60. Penyuluhan Perlu Dilakukan Khususnya kepada Kaum

Wanita Mengenai Bahaya Toksoplasmosis.

Setelah didata mengenai peternak, umur, kandang, pakan dan

kemungkinan memelihara kucing, ternak-ternak domba dan kambing

dicukur bulunya di daerah pangkal ekor. Pemberian dosis 1.5 ml secara

intradermal antigen toksoplasma merupakan dosis optimal yang telah

diteliti. Setelah 15-30 menit daerah bekas suntikan apabila terjadi

reaksi positif akan dijumpai penebalan kulit disertai pengerasan.

164 Toksoplasmosis pada Hewan


Gambar 61. Reaksi Positif Ditandai dengan Adanya Penebalan

pada Kulit Domba Akibat Penyuntikan Intradermal Protein

Membran Takizoit

Gambar 62. Reaksi Negatif Ditandai dengan Tidak Adanya

Penebalan pada Kulit Domba Akibat Penyuntikan Intradermal

Protein Membran Takizoit

Toksoplasmosis pada Hewan

165


Diagnosa dianggap positif jika diameter penebalan kulit

sama atau melebihi 15 mm, hasilnya dianggap negatif jika diameter

penebalan kurang dari 15 mm (gambar 58 dan 59). Reaksi penebalan

kulit dan lama reaksi tersebut terjadi setelah disuntik intradermal

potein toksoplasmosis. Lama reaksi bervariasi mulai dari 12 menit

hingga 30 menit dengan ukuran yang bervariasi antara 8 hingga

19 milimeter. Lama reaksi dan diameter kebengkakan kulit yang

bervariasi ini disebabkan karena adanya respon imunologis pada

masing-masing hospes yang beragam yang disebabkan oleh infeksi

toksoplasma. Bagi hospes yang mampu mengembangkan respon

kekebalan terhadap suntikan ini maka akan timbul reaksi. Reaksi

hipersensitifitas yang terjadi pada kulit domba terjadi sebagai akibat

terbentuknya antibodi untuk melawan infeksi yang diberikan melalui

suntikan yang berisi protein membran toksoplasma (gambar 58, 59,

60). Diagnosa ini didasarkan pada reaksi alergi yang terbentuk setelah

penyuntikan intradermal.

166 Toksoplasmosis pada Hewan


Gambar 63. Penyuntikan Intradermal Protein Membran Takizoit

Toxoplasma gondii

Pengujian Reaksi Klinis Hipersensitifitas Kulit pada Domba

Dari hasil pemeriksaan darah rutin domba kelompok perlakuan

dan kelompok kontrol terlihat bahwa TPP kelompok perlakuan

meningkat jumlahnya mulai dari minggu 1, 2 dan 4. Jumlah Hb

menurun mulai minggu ke 2 dan 4. Sedangkan kadar eosinofil

meningkat tajam pada minggu ke 4 injeksi protein membran

Toxoplasma gondii.

Toksoplasmosis pada Hewan

167


Tabel 7. Pemeriksaan Darah Rutin pada Domba Kelompok

Perlakuan dan Kontrol

Darah

Minggu ke-

RBC

x10 6 /μL

WBC

sel/ μL

TPP

g/100ml

Hb

g/100 ml

Eosinofil

%

Kontrol 1 9.37 8400 6.8 9.3 4

2 10.93 11500 7.0 8.1 6

4 14.49 13800 7.1 9.0 8

Perlakuan 1 8.29 10350 8.5↑ 9.3 8

2 9.16 9950 8.8↑ 7.2↓ 4

4 12.18 11200 8.7↑ 7.8↓ 26↑

Normal 8,0-18.0

x10 6 4.0-13.0

x10 3 6.0-7.50 8.0-12.0 1-8

Optimalisasi Dosis Skin Test pada Kambing

Dosis optimal protein membran takizoit yang dipergunakan

pada kambing, dimana pada dosis tersebut reaksi hipersensitifitas

muncul yaitu dosis 1.5 mg/ml/ekor, sedangkan pada dosis yang lain

reaksi hipersensitifitas tidak muncul.

Sensitifitas dan Spesifitas Skin Test di Laboratorium

Hasil diagnosa toksoplasmosis pada mencit dengan antigen

(protein membran) takizoit Toxoplasma gondii dan pemeriksaan paska

mati diketahui bahwa 24 sampel menunjukkan reaksi positif terhadap

antigen (protein membran) Toxoplasma gondii dan 25 sampel

menujukkan adanya takizoit Toxoplasma gondii pada pemeriksaan

paska mati, dimana 1 diantaranya adalah positif palsu. Empat sampel

adalah negatif terhadap antigen (protein membran) Toxoplasma, dan

5 sampel tidak menunjukkan adanya takizoit Toxoplasma gondii pada

pemeriksaan paska mati, sedangkan 1 diantaranya adalah negatif

palsu. Keadaan seperti ini dapat diringkaskan seperti pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil diagnosa skin test terhadap Toksoplasmosis

pada mencit dengan antigen (protein membran) takizot

Toxoplasma gondii isolat lokal dan pemeriksaan pasca mati

168 Toksoplasmosis pada Hewan


Pemeriksaan Pemeriksaan dengan antigen Total

paska mati (protein membran) Toxoplasma

+ _

+ 24 1 25

_ 1 4 5

Total 25 5 30

Dari Tabel 7 dapat disimpulkan bahwa sensitifitas antigen

(protein membran) Toxoplasma untuk diagnosa Toksoplasmosis

pada mencit adalah : 24/25 x 100 % = 96.0 %, dan spesifitasnya

adalah : 4/5 x 100 % = 80.0 %. Dengan tingkat sensitifitas 96.0 %

dan spesifitas 80.0 % diagnosa dengan antigen (protein membran)

takizot Toxoplasma gondii untuk mengetahui adanya Toksoplasmosis

nampaknya memberikan harapan sebagai metoda diagnosa cepat

Toxoplasma.

Pengujian Serologis

Setelah dilakukan skin test kemudian ternak-ternak tersebut

diambil darahnya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan serologis.

Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan Card Aglutination Test

(CATT) yang dilakukan di Laboratorium Parasitologi FKH UGM

atau langsung di lapangan (lihat gambar 61). Hasil dari metode

CATT ini dapat ditunggu sekitar 10-15 menit hingga kartu baca yang

ditetesi serum dan kit pereaksi mengering. Tujuan dari pemeriksaan

ini adalah sebagai acuan dan pembanding diagnosa skin test apakah

kambing-kambing tersebut menderita toksoplamosis atau tidak.

Hasil pemeriksaan dengan metode skin test dengan menggunakan

antigen membran toksoplasma selanjutnya dibandingkan dengan

hasil pemeriksaan serologis untuk memperoleh angka sensitifitas dan

spesifitas antigen membran toksoplasma (Armitage, 1973).

Toksoplasmosis pada Hewan

169


Gambar 64. Contoh Hasil Pemeriksaan Serologis dengan Metode

CATT untuk Mendeteksi Toksoplasmosis pada Domba

Pada gambar 64 pada pemeriksaan serologis dengan metode

CATT terlihat bahwa hewan yang positif menderita Toksoplasmosis

ditunjukkan dengan warna yang mendekati warna kontrol positif

yaitu hijau (kode M). Sedangkan pada hewan yang lain menunjukan

warna yang masih meragukan, yaitu mendekati warna kontrol positif

yaitu hijau kecoklatan (P). Khusus untuk penilaian terhadap warna

yang meragukan atau penebalan kulit yang kurang dari diameter

yang ditentukan ini dapat dimasukan dalam kriteria positif atau

negatif palsu. Pada beberapa hasil menunjukan reaksi tersebut. Untuk

hewan yang tidak menderita toksoplasmosis ditunjukan dengan

warna kecoklatan pada permukaan kartu diagnosa. Metode CATT

pada dasarnya cukup efektif untuk mendeteksi toksoplasmosis pada

domba dan kambing. Meskipun demikian harga dari perangkat yang

digunakan dalam metode ini masih relatif mahal untuk diaplikasikan

pada ternak.

170 Toksoplasmosis pada Hewan


BAB XVII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil uraian berbagai penjelasan terkait Toksoplasmosis

pada hewan dapat disimpulkan bahwa:

1. Toksoplasmosis pada hewan memegang peranan penting

dalam kaitannya dengan penyebaran penyakit zoonosis di

Indonesia

2. Terdapat berbagai metode dalam diagnosis Toksoplasmosis

yang sudah dikembangkan mulai dari metode konvensional

hingga molekuler yang masing-masing memiliki kelebihan

dan kekurangan dalam aplikasinya pada hewan dan ternak.

3. Metode serologis merupakan metode standar yang banyak

digunakan untuk mendeteksi toksoplasmosis hewan dan

ternak. Meskipun demikian metode ELISA masih terbatas

penerapannya pada laboratorium yang memiliki peralatan

dan sumber daya manusia yang memadai.

4. Metode molekuler PCR dapat menjadi andalan bagi

diagnosis Toksoplasmosis mengingat metode ini dapat

Toksoplasmosis pada Hewan

171


memberikan hasil yang akurat, cepat dan efisien.

5. Kesadaran masyarakat terhadap bahaya toksoplasmosis

masih rendah, khususnya di pedesaan. Untuk itu senantiasa

diperlukan sosialisasi, pencegahan penyakit dan pengobatan

bagi hewan ternak yang telah terinfeksi.

B. Saran

1. Perlu dilakukan kerjasama yang lebih baik antar instansi

dan perguruan tinggi dalam penanggulangan penyakit

Toksoplasmosis pada hewan dan ternak, sehingga potensi

penularan dari hewan ke manusia dapat diminimalisir.

2. Perlu dikembangkan penelitian lebih lanjut untuk

merancang kit diagnostik berbasis serologi dan molekuler

berbasis pada isolate local untuk menciptakan kemandirian

bangsa terhadap kebutuhan akan perangkat diagnostic

khususnya pada hewan dan ternak.

3. Agar diperoleh hasil yang maksimal perlu dilakukan

standarisasi metode dan uji banding dengan metode-metode

molekuler sehingga dapat distandarisasi kemampuan

diagnostik uji tersebut terhadap toksoplasmosis pada hewan

dan ternak.

172 Toksoplasmosis pada Hewan


DAFTAR PUSTAKA

Aoyagi K, Ashihara Y, Kasahara Y. Immunoassays and

immunochemistry. In: McPherson RA, Pincus MR, eds.

Henry’s Clinical Diagnosis and Management by Laboratory

Methods. 23rd ed. St Louis, MO: Elsevier; 2017:chap 44.

Afonso E, Thulliez P, Pontier D, Gilot-Fromont E. 2007. Toxoplasmosis

in prey species and consequences for prevalence in feral cats:

not all prey species are equal. Parasitology 134:1963–1971.

Armitage, P. 1973. Statistical methods in medical research. John Wiley

and Sons, New York. Hal 433-435.

Araujo, F.G., and J.S. Remington. 1980. Antigenemia in Recently

Aquired Acute Toxoplasmosis. J. Infect. Dis. 141:144-150

Ballweber, L. R. 2001. The Practical Veterinarian-Veterinary Parasitology.

USA : Butterworth–Heinemann Publishing

Bohne, W., Gross, U., and Heesemann, J. 1993. Differentiation

between mouse-virulent and avirulent strains of Toxoplasma

gondii by a monoclonal antibody recognizing a 27 kilodalton

antigen. J. Clin. Microbiol. 31, 1641.

Toksoplasmosis pada Hewan

173


Bouchard, É., Sharma, R., Bachand, N., Gajadhar, A.A. and Jenkins,

E.J., 2017. Pathology, clinical signs, and tissue distribution

of Toxoplasma gondii in experimentally infected reindeer

(Rangifer tarandus). International Journal for Parasitology:

Parasites and Wildlife, 6(3), pp.234-240.

Bowie, W.R., King, A.S., Werker, D.H., Isaac-Renton, J.L., Bell, A.,

Eng, S.B. and Marion, S.A., 1997. Outbreak of toxoplasmosis

associated with municipal drinking water. The Lancet,

350(9072), pp.173-177.

Bowman, D.D., Hendrix, C.M., Lindsay, D.S. dan Barr, S.C. 2002.

Feline Clinical Parasitology. USA : Iowa State University

Press.

Burg, L.J., C.M. Grover, P. Pouletty and J.C. Boothyroyd. 1989.

Direct and Sensitive Detection of a Pathogenic Protozoan,

Toxoplasma Gondii, by polymerase chain reaction. J. Clin.

Microbiol. 27:1787-1792.

Cazabone, P., Bessieress, M.H. and Seguella, J.P. 1994. Kinetics

study and characterization of immunoglobulin G,M,A and

E antibodies from mice infected with different strain of T.

gondii. J. Parasitol. 80:58-63.

CDC, 2009. Parasits and Health: Toxoplasmosis (Toxoplasma

gondii), http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/Toxoplasmosis.

htm tanggal akses 18 Februari 2019

Chang GN, Tsai SS, Kuo M, Dubey JP. Serological Survey of Swine

Toxoplasmosis in Taiwan. J Chin Soc Vet Sci. 1990;16:103–

11.

Cornelissen, A.W.C.A., J.P. Overdulve and M. Van Der Ploeg.

1984. Determination of Nuclear DNA of Five Eucoccidian

Parasites, Isospora (Toxoplasma) Gondii, Sarcocystis Cruzi,

Eimeria Tenella, E. Acervulina, and Plasmodium Berghei,

174 Toksoplasmosis pada Hewan


with Special Reference to Gametogenesis and Meiosis in I.

(T.) gondii. Parasitology 88:531-553.

Cheng, T.C. 1986. General Parasitology. 2 nd ed. Academic Press

College Division. : 189-191

Chiodini, P. L., Moody, A. H., Manser, D. W. 2001. Helminthology and

Protozoology. London: Churchill Livingstone

Conrad PA, et al. 2005. Transmission of Toxoplasma: clues from the

study of sea otters as sentinels of Toxoplasma gondii flow

into the marine environment. Int. J. Parasitol. 35:1155–1168.

Dabritz HA, et al. 2008. Risk factors for Toxoplasma gondii infection

in wild rodents from central coastal California and a review

of T. gondii prevalence in rodents. J. Parasitol. 94:675– 683.

Desmonts, G., Naot, Y. and Remington, J.S. 1981. Immunoglobulin

M immunosorbent agglutination assay for diagnosis of

infectious diseases : Diagnosis of acute congenital and

acquired toxoplasma infection. J. Clin. Microbiol.14 : 486-

491.

De Souza, W., and T. Souto-Padrón. 1978. Ultrastructural Localization

of Basic Proteins on the Conoid, Rhoptries and Micronemes

of Toxoplasma Gondii. Z. Parasitenkd. 56:123-129.

De Thoisy B, Demar M, Aznar C, Carme B. 2003. Ecologic correlates

of Toxoplasma gondii exposure in free-ranging neotropical

mammals. J. Wildl. Dis. 39:456–459.

Dubey, J.P., Miller, N.L., and Frenkel, J.K. 1970. Characterization of

the new fecal form of Toxoplasma gondii. J. Parasitol., 56, 447.

Dubey, J. P., and C. P. Beattie. 1988. Toxoplasmosis of Animals and Man.

Florida: CRC Press Boca Raton.

Dubey, J.P. 1993. Recent advances in neosporosis, toxoplasmosis and

sarcocystosis with special reference to abortion in livestock.

Toksoplasmosis pada Hewan

175


Proceeding.Vi th International Coccidiosis Conference( June ).

Guelph, Canada.

Dubey, J.P. 1994. Toxoplasmosis : zoonosis update. JAVMA. 20 :

1593-1598.

Dubey, J.P., 2005. Toxoplasmosis in Cats and Dogs. Proc World Small

Anim Vet Assoc Mexico City, Mexico.

Dubey JP. 2010. Toxoplasmosis of Animals and Humans, 2nd ed. CRC

Press, Boca Raton, FL.

Duszynski DW, Lee Couch L, Upton SJ. August 2000, posting

date. Coccidia (Eimeriidae) of Canidae and Felidae. http://

biology.unm.edu/biology/coccidia/carniv1.html.

Erin Edwards, Gabriel Gomez, and Jay Hoffman, 2019. Toxoplasmosis

in a Herd of Kangaroos. http://tvmdl.tamu.edu/2019/01/03/

toxoplasmosis-in-a-herd-of-kangaroos/

Estuningsih, E. S. 2005. Toxocariasis pada Hewan dan Bahayanya

pada Manusia. Bogor Wartazoa Vol. 15 No. 3.

Ferreira Neto, J.M., Ferreira, F.P., Miura, A.C., Almeida, J.C.D.,

Martins, F.D.C., Souza, M.D., Bronkhorst, D.E., Romanelli,

P.R., Pasquali, A.K.S., Santos, H.L.E.P.L. and Benitez,

A.D.N., 2018. An outbreak of caprine toxoplasmosisinvestigation

and case report. Ciência Rural, 48(5).

Flynn, R. J. 1973. Parasites of Laboratory Animal, Edisi pertama.Iowa :

The Iowa State University Press.

Foreyt, W. 2001.Veterinary Parasitology Reference Manual, Fifth

Edition. Iowa : Blackwell Publishing.

Franzen, C., M. Altfeld, P. Hegener, P. Hartman, G. Arendt, H.

Jablonowski, J. Rockstroh, V. Diehl, B. Salzberger, and G.

Fatkenhuer. 1997. Limited value of PCR for detection of

Toxoplasma gondii in blood from human immunodeficiency

176 Toksoplasmosis pada Hewan


virus-infected patients. J. Clin. Microbiol. 35 (10): 2639-

2641.

Frenkel, J.K. 1990. Toxoplasmosis in Human Being. JAVMA. 196(2)240-

248

Frenkel, J.K. 1990. Transmission of toxoplasmosis and the role of

immunity in limiting transmission and illness.JAVMA. 196:

233-240.

Gandahusada, S. 1990. Toksoplasmosis: Epidemiologi, Patogenesis

dan Diagnostik. Dalam kumpulan Makalah Simposium

Toxoplasmosis. Editor Gandahusada, S. dan Susanto, I. FK

UI. Jakarta.

Gillespie, S. H., Pearson, R. D. 2001. Principle and Practice of Clinical

Parasitology. New York: John Wiley & Sons, Ltd.

Griffiths, H. J. A 1978.Handbook of Veterinary Parasitology Domestic

Animalks of North America. United States : University of

Minnesota Press.

Grandahusada, S. 1992. Diagnosis dan Penatalaksanaan

Toksoplasmosis. Majalah Parasitol. Indonesia. 5 (1):7-13.

Groβ, U. 1994. Toxoplasmose. In Immunologische und molekulare

Parasitologie. Roellinghoff, M and Rommel, M

(Herausgeber). Gustav Fischer Verlag. Jena.

Hanafiah, M., Nurcahyo, W., Mufti, K. and Fadrial, K., 2009.

Produksi dan Isolasi Protein Membran Stadium Bradizoit

Toxoplasma gondii: Suatu Usaha untuk Mendapatkan

Material Diagnostik dalam Mendiagnosa Toksoplasmosis.

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Aceh,

10(3), pp.156-164.

Hanafiah, M., Nurcahyo, W., Prastowo, J. and Hartati, S., 2015. Faktor

risiko infeksi Toxoplasma gondii pada kucing domestik

Toksoplasmosis pada Hewan

177


yang dipelihara di Yogyakarta. Jurnal Kedokteran Hewan-

Indonesian Journal of Veterinary Sciences, 9(1).

Hanafiah, M., Nurcahyo, W., Prastowo, J. and Hartati, S., 2017.

Gambaran histopatologi toksoplasmosis pada kucing

peliharaan. Jurnal Veteriner, 18(1), pp.11-17.

Handman, E and Remington, J.S. 1980. Serological and

immunochemical characterization of monoclonal antibodies

to Toxoplasma gondii. Immunology 40 : 579-588.

Handman, E, Goding, J.W. and Remington, J.S. 1980b. Detection and

characterization of membran antigens of Toxoplasma gondii.

J. Immunol 124:2578-2583

Howe, D. K., and L. D. Sibley. 1995. Toxoplasma Gondii Comprises

Three Clonal Lineages: Correlation of Parasite Genotype

with Human Disease. J. Infect. Dis. 172:1561-1566.

Hughes, HPA & Van Knapen, F. 1982. Characterisation of a Secretory

Antigen from Toxoplasma Gondii and its Role in Circulating

Antigen Production. Int. J. Parasitol. 12, 433.

Irwin, P.J. 1995. Respon Imun terhadap Parasit protozoa. Dalam

G.W. Burgess (Ed). Teknologi ELISA dalam Diagnosis

dan Penelitian, Terjemahan oleh Wayan T.A., Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta. 456.

Jacobs, L. and Frenkel, J.K. 1982. Toxoplasmosis. In: Jacobs, L. (eds).

Parasitic Zoonosis. C.R.C. Press, Inc. Boca Raton, Florida.

167-185.

Karleson F, Steen H, and Nesland J. 1995. SYBR green I DNA staining

increases the detection sensitivity of viruses by polymerase

chain reaction., J. Virol. Methods, 55:153-156.

Kasper, L. H. and Ware, P.L. 1985. Recognition and characterization

of stage-spesific oocyst/sporozoite antigens of Toxoplasma

178 Toksoplasmosis pada Hewan


gondii by human sera, J. Clin. Invest., 75, 1570, 1985

Kaufmann. Johannes, 1996. Parasitic Infection s of Domestic Animals

A Diagnostic Manual, Birkhauser Verlag, Postfach, Basel,

Schweiz.

Knoll, J.L. and Boothroyd, C.J. 1998. Isolation of developmentally

regulation genes from Toxoplasma gondii selectable marker

hypoxantine – xantine guanine phosphorybosyltransferase.

Mol. Cell Biol. 18 (2) : 807-814

Krahenbuhl, J.L. and Remington, J.S. 1982. Immunology of

Toxoplasma and toxoplasmosis. In : Cohen S, Warren K.S,.

(Eds) Immunology of parasitic infections, 2nd Ed, Blackwell

Oxford.

Lappin, M.R. 1994. Feline toxoplasmosis. Weltham Focus. 4(4) : 2-8

Levine, N.D. 1985. Veterinary Protozoology.1 st ed. Iowa State University

Press. Iowa

Levine, N. D. 1994. Parasitologi Veteriner, diterjemahkan oleh Prof.

Dr. Gatut Ashadi dari Textbook of Veterinary Parasitology.

Yogyakarta : Gadjah Mada University.

Lindsay DS, Dubey JP. 2007. Toxoplasmosis in wild and domestic

animals, p 133–152. In Weiss LM, Kim K (ed), Toxoplasma

gondii: the model apicomplexan. Perspectives and methods.

Academic Press, London, United Kingdom.

Long, P. L. 1990. Coccidiosis of Man and Domestic Animals. Florida:

CRC Press.

Lunde, M. N. and Jacobs, L. 1983. Antigenics differences between

endozoites and cystozoites of Toxoplasma gondii. J. Parasitol.,

69, 806, 1983

Maatsura, T. Tegoshi, T. Furuta – Matsuura and Sugane, K. 1992.

Epitope selected monospesific antibody to recombinant

Toksoplasmosis pada Hewan

179


antigens from Toxoplasma gondii reacted with dense granules

of tachyzoit. J. Histochem and Cytochem. 40(11) : 1725 –

1730.

Migliore, S., La Marca, S., Stabile, C., Presti, V.D.M.L. and Vitale, M.,

2017. A rare case of acute toxoplasmosis in a stray dog due to

infection of T. gondii clonal type I: public health concern in

urban settings with stray animals?. BMC veterinary research,

13(1), p.249.

Monnig, H. O. 1950. Veterinary Helminthology and Entomology. South

Africa : Baltimore The Williams and Wilkins Company

Mori Y, and Notomi T. 2009. Loop-mediated isothermal amplification

(LAMP): a rapid, accurate, and cost-effective diagnostic

method for infectious diseases. J. Infect. Chemother. 15:62-

69.

Mori Y, Nagamine K, Tomita N, and Notomi T. 2001. Detection of

loop-mediated isothermal amplification reaction by turbidity

derived from magnesium pyrophosphate formation, Biochem.

Biophys. Res. Commun., 289 (1): 150-154.

Nagamine K, Watanabe K, Ohtsuka K, Hase T, and Notomi T. 2001.

Loop mediated isothermal amplification reaction using a

nondenaturated template. Clinical Chemistry, 47 (9): 1742-

174

Nagamine K, Kuzuhara Y, and Notomi T. 2002a. Isolation of singlestranded

DNA from loop-mediated isothermal amplification

products. Biochem. Biophys. Res. Com., 290 : 1195-1198.

Nagamine K, Hase T, and Notomi T. 2002b. Accelerated reaction by

loop-mediated isothermal amplification using loop primers.

Mol. Cell. Probes, 16:223-229.

Nagel, S.D., and J.C Boothyroyd. 1988. The Alpha- and -Tubulins

180 Toksoplasmosis pada Hewan


of Toxoplasma Gondii are Encoded by Single Copy Genes

Containing Multiple Introns. Mol. Biochem. Parasitol.

29:261-273.

Natadisastra, D., Agoes, R. 2005. Parasitologi Keedokteran Ditinjau

dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta : EGC Penerbit

buku kedokteran.

Noble, E. R., Noble, G. A. 1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan,

Edisi Lima, Diterjemahkan drh. Ardianto.Yogyakarta :

Gadjah Mada University.

Neva, F.A. and Brown,H.W. 1994. Basic Clinical Parasitology. 6 th

Eds. Prentice Hall International Inc. New York. USA. 44-50

Nicolle, C., and L. Manceaux, 1908: Sur une infection A corps de

Leishman (ou organismes voisins) du gondi. C. R. Hebd.

Seances Acad. Sci. 147, 763–766.

Nicolle, C., and L. Manceaux, 1909. Sur un Protozoaire Nouveau du

Gondi, C. R. Soc. Biol. (Paris) 148 (1909), pp. 369–372.

Njiru ZK, Mikosza AS, Matovu E, Enyaru JC, Ouma JO, Kibona

SN, Thomson RC, and Ndung’u JM. 2008. African

trypanosomiasis: sensitive and rapid detection of the sub genus

trypanozoon by loop-mediated isothermal amplification

(LAMP) of parasite DNA. Int. J. Parasitol., 38: 589-599.

Notomi T, Okayama H, Masubuchi H, Yonekawa T, Watanabe K,

Amino N, and Hase T. 2000. Loop-mediated isothermal

amplification of DNA. Nucleic Acids Research, 28 (12): 63.

Nurcahyo, W. 1998. Isolierung rekombinanten Varianzglykoproteine

(VSG) Trypanosoma congolense aus Escherichia coli.

Veterinary Journal Dissertation FU Berlin – Germany No.

2233.

Nurcahyo, W. 2001. Tinjauan ilmiah toksoplasmosis pada manusia

Toksoplasmosis pada Hewan

181


dan hewan. Makalah utama pada seminar nasional

Toksoplasmosis pada manusia dan hewan : Tinjauan medis,

klinis dan sosial pada masyarakat. Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta, 26 Mei 2001.

Nurcahyo, W. 2004. Pemeliharaan kesehatan ternak sebagai upaya

dalam meningkatkan produktivitas ternak ruminansia kecil.

Makalah pada Workshop “Small ruminant development”,

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta, 27-28 Januari 2004.

Nurcahyo, W., Prastowo, J. and Sahara, A., 2011. Toxoplasmosis

prevalence in sheep in Daerah Istimewa Yogyakarta. Animal

Production 13(2) 122-130.

Nurcahyo, W., Prastowo, J. and Sahara, A., 2012. Molecular detection

of toxoplasmosis using specific primers P30, B1, and rDNA.

Jurnal Veteriner, 13(1) 9-13.

Nurcahyo, W., Prastowo, J. and Priyowidodo, P., 2014. Identifikasi

Toksoplasmosis pada feses kucing secara mikroskopis dan

serologis. Jurnal Kedokteran Hewan - Indonesian Journal of

Veterinary Sciences, 8 (2) 147-150.

Olsen, O. W., 1962. Animal Parasites : Their Biology and Life Cycles.

Minneapolis : Burgess Publishing Company

Parida M, Sannarangaiah S, Kumar Dash P, Rao PVL, and Morita K.

2008. Loop mediated isothermal amplification (LAMP): a

new generation of innovative gene amplification technique;

perspectives in clinical diagnosis of infectious diseases., Rev.

Med. Virol. 18: 407-421.

Remington, J. S. and Desmonts, G. 1990. Toxoplasmosis. In : J.S.

Remington and J. O. Klein (eds). Infection diseases of the

first and new born infant. 3nd ed. WB. Saunders Company.

Philadelphia. 89-195.

182 Toksoplasmosis pada Hewan


Rescaldani, R., Filice, G., Vigorè, L., Viganò, E.F., Giltri, G. and

Restuccia, C.M., 1986. IgM ISAGA test in the diagnosis of

acute acquired Toxoplasma infections. Quaderni Sclavo di

diagnostica clinica e di laboratorio, 22(2), pp.135-147.

Rinder, H., A. THomschke, M.-L. Darde, and T. Loscher.1995.

Spesific DNA Polymorphism Discriminate Between

Virulence and Non-virulence to Mice in Nine Toxoplasma

Gondii Strains. Mol. Biochem. Parasitol. 69-123-126.

Robert-Gangneux, F. and Dardé, M.L., 2012. Epidemiology of and

diagnostic strategies for toxoplasmosis. Clinical microbiology

reviews, 25(2), pp.264-296.

Rommel, M, Schnieder, Krause, H.D. and Westerhoff. 1987. Trials to

suprress the formation of oocysts and cysts of Toxoplasma

gondii in cats by medication of feed with tortrazuril. Vet.

Med. Rev. 58 : 141-153.

Roos T, Martius J, Gross U, Schrod L. Systematic Serologic

Screening for Toxoplasmosis in Pregnancy. Obstet Gynecol.

1993;81:243– 50.

Sabin, A. B., 1939: Biological and immunological identity of

Toxoplasma of animal and human origin. Proc. Soc. Exp.

Biol. 41, 75–80.

Sharma, S.D., Mullenax, J., Araujo, F.G., Erlich, H.A., and Remington,

J.S. 1983. Western blot analysis of the antigens of Toxoplasma

gondii recognized by human IgM and IgG antibodies. J.

immunology 131: 977-983.

Sibley, L. D., and J. C. Boothroyd. 1992. Virulent Strains of Toxo

plasma Gondii Comprise a Single Clonal Lineage. Nature

359:82-85.

Smith, J. 1995. Produksi Serum Hiperimmun. Dalam G.W. Burgess

Toksoplasmosis pada Hewan

183


(Eds). Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian.

Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 15-32.

Smith DD, Frenkel JK. 1995. Prevalence of antibodies to Toxoplasma

gondii in wild mammals of Missouri and east central Kansas:

biologic and ecologic considerations of transmission. J. Wildl.

Dis. 31:15–21.

Soldati, D., and J.C. Boothyroyd. 1993. Transient Transfection and

Expression in the Obligate Intracellular Parasite Toxoplasma

Gondii. Science 260:349-352.

Soulsby, E. U. L. 1982. Helminth, Anthropods and Protozoa of

Domesticates Animal. Edisi ke 7. London: English Language

Book Society and Bailliere

Soulsby, E.J.L. 1986. “Helminths, Arthropods and protozoa of Domesticated

Animal”.7 th ed. Bailliere Tindall. London. : 629-678

Splendore, A., 1908: Un nuovo protoaz parassita de’conigli incontrato

nelle lesioi anatomiche d’une malatti che ricorda in molti

punti il Kala-azar dell’ umo. Nota prelininaire pel. Rev. Soc.

Sci. Sao. Paulo. 3, 109–112.

Sri Hartati, W.T. Artama, Sumartono dan H. Wuryastuti. 1997.

Identifikasi molekuler Toxoplasma gondii isolat lokal.

Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Fak. Kedokteran Hewan

UGM. Yogyakarta.

Sri Hartati, Artama, W.T, Sumartono dan S. Indarjulianto. 1998.

Identifikasi Molekuler Toxoplasma gondii. Laporan Penelitian.

FKH UGM. Yogyakarta.

Subronto.2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mibkroba pada Anjing dan

Kucing. Edisi pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press

Taylor, M. A., Coop. R. L., Wall, R. L. 2007. Veterinary Parasitology

184 Toksoplasmosis pada Hewan


Third Edition.Oxford :Blackwell Publishing

Tizard, I.R. 1996. Veterinary immunology : an introduction. 5 th Ed.

W.B. Saunders Company. Philadelphia.

Tomita N, Mori Y, Kanda H, and Notomi T. 2008. Loop-mediated

isothermal amplification (LAMP) of gene sequencesand

siple visual detection of products. Nat. Protoc., 3 (5): 877-882.

Tenter, A. M., Vietmeyer, C. and Johnson, A. M. 1992. Development

of ELISA based on recombinant antigens for detection of

Toxoplasma gondii specific antibodies in sheep and cats. Vet.

Parasitol. 43:189-201.

Tenter AM, Heckeroth AR, Weiss LM. 2000. Toxoplasma gondii:

from Animals to Humans. Int. J. Parasitol. 30:1217–1258.

Ushikubo H. 2004. Principle of LAMP method- a simple and rapid

gene amplification method. Uirusu, 54 (1): 107-112.

Urquhart, G. M., Armour, J., Duncan, J. L., Dunn, A. M., Jennings, F.

W. 1987. Veterinary Parasitology. UK: Blackwell Publishing.

Werk, R. 1985. How Does Toxoplasma Gondii Enter Host Cells. Rev.

Infect. Dis. 7:449-457.

Wilson, M., Wae, D. A. Juranek, D. D. 1990. Serological Aspect of

Toxoplasmosis. J. Am. Vet. Med. Assoc. 196(2):277-280.

Wyler, D. J. 1990. Modern Parasite Biology : Celluler, Immunological

and Molecular Aspect. W. H. Freemen and Company. New

York. 26-50

wiki.isikhnas.com/images/2/23/Penyakit_TOXOPLASMOSIS.pdf

Williams, D.M., D.M Magee, L.F. Bonewald, J.G. Smith, C.A.Bleicker,

G.I. Byrne, and J.Schachter. 1990. A Role in Vivo for Tumor

Necrosis Factor Alpha in Host Defense Against Chlamydia

Trachomatis. Infect. Immun. 58:1572-1576.

Toksoplasmosis pada Hewan

185


Youssefi, M. R., Hoseini, S. H., Hoseini, S. M., Zaheri, B. A., Tabari,

M. A. First Report of Ancylostoma tubaeforme in Persian

Leopard (Panthera pardus saxicolor).Iranian J Parasitol: Vol.

5, No.1, 2010, pp. 61-63

Zajac, A. M., Conboy, G. A. 2011. Veterinary Clinical Parasitology, 8 th

Edition. Iowa :Wiley-BlackwellZhang H, Thekisoe OMM,

Aboge GO, Kyan H, Yamagushi J, Inoue N, Nishikawa Y,

Zakimi S, and Xuan X. 2009., Toxoplasma gondii:sensitive

and rapid detection of infection by loop mediated isothermal

amplification (LAMP) method. J. Exp. Parasitol., 122 (1):

47-50.

Zhang H, Thekisoe OMM, Aboge GO, Kyan H, Yamagushi J, Inoue

N, Nishikawa Y, Zakimi S, and Xuan X. 2009., Toxoplasma

gondii:sensitive and rapid detection of infection by loop

mediated isothermal amplification (LAMP) method. J. Exp.

Parasitol., 122 (1): 47-50.

186 Toksoplasmosis pada Hewan


BIOGRAFI

Dr. drh. R. Wisnu Nurcahyo. Lahir 21 Februari 1965 di

Klaten, Jawa Tengah. Setelah menamatkan Sekolah Dasar (SD),

Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas

(SMA) Negeri II di Purwokerto, selanjutnya meneruskan ke jenjang

Perguruan Tinggi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah

Mada (FKH UGM) di Yogyakarta pada tahun 1983. Setelah lulus

sebagai dokter hewan, kemudian menjadi staf pengajar di Fakultas

Kedokteran Hewan UGM pada tahun 1990. Karier sebagai Staf

Pengajar dimulai dari jabatan Asisten Ahli pada tahun 1990 di Bagian

Parasitologi FKH UGM pada tahun 1990.

Pada tahun 1993, melanjutkan diri menempuh studi lanjut atas

beasiswa dari Deutsche Akademische Austauschdienst (DAAD) Republik

Federal Jerman dengan memulai penelitiannya pada tahun 1993 di

Institutfuer Parasitologie, Humboldt Universitaet zu Berlin, Berlin,

Jerman, di bawah bimbingan Prof. Dr. Theodore Hiepe, dilanjutkan

dengan promotor oleh Prof. Dr. Ing. Erwin Reinwald dengan copromotor

Prof. Dr. Hans Jorg Risse di Institut fuer Veterinaer biochemie,

FreieUniversitaet (FU) Berlin, Jerman, dengan judul Isolierung

Toksoplasmosis pada Hewan

187


rekombinanten varianzglykoproteinen (VSG) Trypanosoma congolenseaus

Eschericia coli. Berbagai pendidikan, pelatihan dan penelitian di bidang

biologi molekuler telah diikutinya selama pendidikan doktor (S3) di

Jerman tersebut, dan akhirnya pada tahun 1998 berhasil meraih gelar

Doktor der Veterinaermedizin (Dr. vet. med.) di bidang Parasitologi

Molekuler dari FU Berlin German.

Dr. drh. R. Wisnu Nurcahyo kemudian memulai kariernya

kembali sebagai staf pengajar di FKH UGM pada tahun 1999 di

Bagian Parasitologi untuk mata kuliah Parasitologi Dasar dan Ilmu

Penyakit Parasit Veteriner bagi mahasiswa Sarjana (S1), beberapa

mata kuliah terkait Parasitologi bagi mahasiswa Pascasarjana (S2 dan

S3), menjadi pembimbing mahasiswa S2 dan S3 di FKH, Fakultas

Peternakan, Fakultas Kehutanan, Fakultas Kedokteran dan Fakultas

Pertanian jurusan Perikanan UGM. Berbagai jabatan pernah diemban

adalah pada tahun 2000 hingga tahun 2004 menjadi Pengelola

Program Diploma III Kesehatan Hewan FKH UGM, Kepala Bagian

Parasitologi (2004) dan Sekretaris Senat fakultas (2004). Selain

itu, aktif juga di kegiatan alumni Jerman dan menjadi Sekretaris

Pusat Studi Jerman (2002-2004). Pada tahun 2004, mendapat

kesempatan untuk melakukan penelitian kembali di Jerman melalui

Program Wiedereinladung atas biaya dari DAAD, di Institut fuer

Molekulaerparasitologie, Humboldt Universitaetzu Berlin, Jerman, di

bawah grup riset Prof. Dr. Richard Lucius.

Karier di Universitas dimulai pada tahun 2005 hingga 2012,

dengan menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Penelitian (Lemlit)

UGM yang akhirnya lembaga tersebut bergabung bersama Lembaga

Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) menjadi Lembaga Penelitian

dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UGM pada tahun

2006. Berbagai kegiatan terkait penelitian dan pengabdian kepada

masyarakat dijalaninya menjadi reviewer penelitian di UGM dan

DIKTI. Selain itu pada tahun 2006-2009 pernah menjadi Vice Director

188 Toksoplasmosis pada Hewan


Higher Education Linked Program (Hi-Link) yang merupakan kegiatan

kolaborasi University-Industry-Community (UIC) di UGM dengan

dana dari Japan International Cooperation Agency ( JICA) Jepang. Pada

tahun 2011-2012 dia menjabat sebagai penanggung jawab kegiatan

terkait Disaster Risk Reduction di LPPM UGM dengan dana dari

World Bank.

Berbagai penelitian di bidang Parasitologi telah dilakukan

terkait protozoa, cacing dan ektoparasit pada hewan dan ikan. Dalam

bidang publikasi, telah banyak publikasi dihasilkan di jurnal tingkat

nasional dan internasional.

Pada tahun 2011, Dr. drh. R. Wisnu Nurcahyo mendapat

kesempatan menjadi visiting professor di Universiti Teknologi

Malaysia (UTM), Johor, Malaysia dan Masaryk University Brno,

Czech Republic. Pada tahun yang sama juga mendapat Innovative

Lecturer Award (Innolec) dari Masaryk University (MU) Brno, Czech

Republic, di bidang Biodiversity of Tropical Animal Parasites.

Terakhir menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Lembaga

Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) hingga tahun

2012 dan saat ini menjabat sebagai Ketua Program Pascasarjana Sain

Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan UGM hingga 2016.

Pada tahun 2018, Dr. drh. R. Wisnu Nurcahyo mendapat

penghargaan sebagai peneliti kolaboratif terbaik untuk Perguruan

Tinggi Negeri se-Jawa dari Kementerian Riset, Teknologi dan

Pendidikan Tinggi RI.

Toksoplasmosis pada Hewan

189


190 Toksoplasmosis pada Hewan


GLOSARIUM

Anthropozoonosis

Suatu penyakit yang dapat menular dari hewan atau ikan

ke manusia

Endodiogeni

Pembentukan dua sel anakan yang sama dalam satu sel

induk

Endopoligeni

Reproduksi aseksual pada protozoa dengan progeni baru

yang dihasilkan dengan cara penunasan dalam sel induk

Epidemologi

Kajian hubungan berbagai faktor yang menentukan

frekuensi dan distribusi penyakit pada suatu populasi

Hospes

Induk semang parasit

Hospes definitif

Hospes alami parasit dewasa tempat parasit melakukan

reproduksi seksual

Toksoplasmosis pada Hewan

191


Isospora

Suatu genus protozoa famili emiridae, berciri dengan dua

sporosista dalam oosistanya yang telah bersporulasi dan tiap

sporosistanya mengandung empat sporozoit

Merozoit

Sel-sel kecil uninukleus yang terbentuk pada saat skizon

membelah

Mikropil

Lubang kecil pada suatu kulit telur

Mikrogamet

Suatu gemet kecil, bergerak, biasanya memiliki satu atau

lebih flagella, dianggap sebagi sperma atau gamet jantan

Oosista

Parasit

Suatu sista yang dibentuk oleh makrogamet setelah

dimasuki mikrogamet

Suatu organism yang hidup pada atau dalam organism lain

Prevalensi

Tingkat kejadian suatu penyakit

Protozoa

Organisme bersel satu dengan perwujudan sederhana yang

diduga sebagai pendahulu hewan multi seluler

Sista

Suatu stadium siklus hidup protozoa yang tubuhnya

dikelilingi membran yang jelas, biasanya merupakan

stadium istirahat yang relaiitif resisten terhadap perupahan

lingkungan

Skizogoni

192 Toksoplasmosis pada Hewan


Suatu bentuk reproduksi dimana karena inti selnya

berkembang, intinya membelah sedangkan sitoplasmanya

membelah kemudian, sampai perlembangannnya sempurna

Sporosista

Larva trematoda berbentuk kantong dalam hepatopankreas

moluska. Pada stadium sporosista berlangsung perkembang

biakan secara poliembrional

Sporozoit

Bentuk infektif dari sporozoa parasit, berkembang dari

pembelahan zigot

Tropozoit

Suatu siklus hidup protozoa antara sporozoit dan skizon

Vektor

Suatu agen yang menularkan parasit dari suatu hospes ke

hospes lainnya. Vektor dapat bersifat biologis, bila parasit

hidup dan berkembangbiak didalam vektor, atau dapat

bersifat mekanik bila tidak ada perkembangbiakan parasit

didalamnya

Toksoplasmosis pada Hewan

193


194 Toksoplasmosis pada Hewan


INDEKS

A

Abortus 8, 39, 47, 50, 88, 89, 145, 152, 153

Afrika Utara 1, 4

Ajioka 21, 36

Akut 6, 8, 10, 11, 18, 20, 21, 22, 26, 28, 35, 39, 41, 46, 50, 53, 54, 63, 64,

71, 72, 74, 78, 79, 82, 85, 86, 87, 92, 93, 101, 110, 112, 113, 114, 132,

142, 161, 162

Anjing 42, 43, 62, 86, 87, 184

Anthropozoonosis 1, 7

Antibodi 4, 10, 12, 13, 22, 25, 38, 49, 55, 61, 68, 69, 71, 73, 76, 77, 79, 84,

85, 100, 103, 104, 105, 106, 107, 109, 110, 112, 113, 119, 144, 146,

147, 166

Antibodi monoklonal 76

Antigen 12, 33, 34, 36, 61, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 80, 100,

101, 103, 105, 106, 107, 109, 110, 112, 113, 115, 119, 120, 121, 133,

141, 142, 143, 164, 168, 169, 173

Antigen Rekombinan 119

Asai 34

Asimptomatik 57

Toksoplasmosis pada Hewan

195


B

Babi 49, 65

Bacterial Artificial Chromosome 36

Berger 44

Biancifiori 44, 46, 47

Biologi Molekuler 13, 33, 36, 115, 188

Blind Passage 92

Boch 38, 44, 46, 62, 138

Bohne 73, 75, 173

Bradizoit 3, 8, 11, 15, 16, 18, 19, 21, 23, 25, 26, 29, 30, 53, 55, 57, 73, 74,

75, 80, 132, 142, 163

Burg 34, 174

C

Cheng 17, 31, 56, 175

Complement Fixation Test 103, 107, 108

Cornelissen 33, 174

D

Dardee 35

Definitif 4, 5, 6, 8, 9, 11, 28, 30, 37, 87, 88, 137, 145, 158, 191

Desmonts 17, 31, 93, 113, 175, 182

De Souza dan SoutoPadron 70

Diagnosa 11, 12, 49, 81, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 91, 93, 101, 103, 104, 116,

166

Diagnosa klinis 11

Diagnosis molekuler 121

Diare 11, 39, 42, 43, 44, 46, 50, 82, 160

Dihydrofolate Reductase 34

Direct Aglutination 103, 110

Djurkovic-Djakovic 116

DNA 34, 35, 36, 86, 115, 116, 117, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126,

127, 128, 129, 130, 174, 178, 180, 181, 183

Domba 10, 47, 48, 56, 64, 76, 88, 89, 102, 107, 133, 134, 137, 138, 139,

140, 141, 143, 144, 147, 149, 151, 152, 153, 154, 163, 166, 167, 168,

170

Dosis 19, 30, 54, 79, 93, 131, 151, 153, 154, 164, 168

Dubey 2, 11, 16, 17, 30, 31, 39, 42, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 64, 66, 74, 79, 86,

87, 104, 111, 155, 174, 175, 176, 179

196 Toksoplasmosis pada Hewan


Dubey dan Beattie 38, 40, 42, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 63, 79, 104

E

ELISA 12, 13, 73, 76, 85, 103, 105, 106, 112, 114, 119, 121, 144, 178, 184,

185

Endodiogeni 16, 23, 27, 28, 30, 38, 42, 53

Ensefalitis 10, 39, 46, 47, 56, 62, 63, 64, 82, 88

Enzyme Immuno Assay 112

Eritrosit 107, 109

F

Fayer 25

Felidae 5, 9, 20, 22, 27, 28, 37, 68, 145, 176

Feline Immunodeficiency Virus 40, 82

Feses 16, 17, 18, 31, 38, 83, 84, 85, 95, 96, 97, 98, 137, 158

Frenkel 15, 16, 18, 19, 22, 28, 30, 55, 56, 71, 78, 152, 156, 175, 177, 178,

184

G

Gagnon 34

Gametosit 74

Gejala klinis 2, 8, 9, 10, 11, 19, 30, 37, 39, 40, 42, 47, 68, 80, 81, 84, 85, 86,

87, 88, 121, 131, 147, 151, 160

Genom 33, 34

H

Hadman 74

Hati 1, 6, 18, 26, 41, 46, 53, 56, 57, 62, 63, 64, 83, 85, 97, 99, 115, 136

Heidel 40

Hidrosefalus 2, 8, 145

Hospes 2, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 16, 17, 19, 22, 23, 25, 28, 30, 31, 35, 37,

38, 42, 48, 55, 57, 67, 69, 70, 71, 72, 73, 76, 79, 81, 83, 87, 88, 104,

115, 132, 137, 140, 143, 145, 153, 155, 156, 158, 166, 191, 193

Hughes 70, 72, 178

Hughes dan Knapen 70

I

IgG 12, 84, 85, 86, 93, 103, 104, 105, 109, 113, 114, 183

IgM 12, 84, 85, 86, 93, 103, 105, 109, 110, 112, 113, 114, 118, 183

IgM – ISAGA 112

Imun 12, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 76, 78, 79, 87, 118, 141, 142, 144

Toksoplasmosis pada Hewan

197


Imunohistokimia 61, 100

Imunologi 67

Indirect Fluorescent Antibody Test 105

Indirect Hemaglutination 109

Infeksi 2, 8, 10, 11, 21, 38, 39, 41, 42, 44, 47, 48, 49, 53, 54, 55, 56, 57, 61,

78, 79, 82, 87, 113, 138, 147, 155, 184

Inflamasi 159

Irwin 67, 71, 178

Isolat 12, 76, 77, 131, 141, 168, 184

K

Kanguru 157

Kasper dan Ware 74

Kongenital 1, 2, 7, 8, 47, 50, 57, 78, 91, 110, 116, 118, 119, 145, 147

Krahenbuhl dan Remington 20, 22

Kronis 8, 10, 11, 18, 23, 25, 26, 35, 39, 41, 53, 56, 57, 62, 64, 73, 74, 75,

132, 142

Kucing v, vi, 2, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 15, 16, 17, 18, 20, 22, 26, 27, 28, 31, 37,

38, 39, 40, 41, 42, 44, 62, 68, 73, 79, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 90, 91,

95, 97, 98, 111, 131, 137, 138, 139, 145, 147, 148, 150, 151, 152, 153,

158, 160, 161, 163, 164

L

Lappin 19, 22, 30, 37, 55, 73, 179

Latex Aglutination 103, 109

Levine 2, 4, 6, 18, 48, 179

Limfa 1, 46, 49, 62, 63, 65, 92, 131

Loop-Mediated Isothermal Amplification 121

Lunde dan Jacobs 74

Lynx 5

M

Makrofag 56, 57, 67, 68, 69, 70, 72, 73, 74, 75, 76, 79, 80

Mamalia 2, 3, 4, 10, 67, 121, 143, 148, 155, 156, 157

Marques dan Dacosta 11

meron 3, 6

Merozoit 3, 6, 16, 28, 30, 70

Methylen Blue Dye Test 111

Metode vi, 12, 13, 49, 61, 76, 85, 91, 95, 96, 100, 104, 106, 113, 115, 116,

118, 119, 122, 124, 125, 127, 133, 139, 140, 141, 143, 144, 161, 169,

198 Toksoplasmosis pada Hewan


170, 172

Migliore 43, 86, 87, 180

Mikrogamet 17, 31, 192

Miokarditis 39, 46, 62, 63, 82

Montoya dan Liensenfeld 116

N

Nagel 34, 180

Natif 96

Nekrosis 46, 56, 57, 62, 63, 64, 65, 86, 89, 136

Nelson dan Couto 83

Neva dan Brown 15, 16, 30

Nicolle dan Mancaeux 1

Nurcahyo iii, 8, 47, 88, 115, 117, 120, 148, 181, 182, 188, 189

Nurse dan Lenghaus 47, 64

O

Oosista 1, 2, 3, 4, 7, 8, 9, 10, 11, 15, 16, 17, 18, 20, 22, 25, 26, 27, 28, 30, 31,

37, 38, 39, 42, 44, 46, 47, 49, 54, 79, 82, 83, 84, 85, 91, 95, 97, 98, 99,

118, 137, 138, 145, 147, 148, 152, 153, 155, 156, 157, 161, 163, 192

Otak 23, 25, 38, 43, 44, 55, 56, 57, 62, 64, 65, 83, 89, 91, 92, 131, 151, 157,

159

P

Parasit v, 1, 2, 4, 7, 10, 11, 12, 17, 18, 22, 24, 26, 28, 31, 34, 35, 36, 38, 41,

42, 47, 48, 49, 50, 53, 55, 65, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 78,

79, 80, 83, 84, 85, 91, 92, 93, 96, 99, 104, 107, 110, 111, 115, 116,

118, 121, 131, 136, 143, 149, 150, 151, 153, 156, 178, 181, 184, 188,

191, 192, 193

Parasitemia 18, 19, 26, 30, 35, 47

Paru-paru 6, 18, 26, 41, 53, 56, 57, 62, 63, 64, 85, 157

PCR 34, 35, 115, 116, 117, 118, 119, 121, 130, 144, 157, 161, 176

Pelaporan 150

Pencegahan 148

Pengobatan 151

Penularan 1, 138, 145, 147

Perantara 4

Perivascular Cuffing 65

Pinkerton dan Weinmann 2

Polymerase Chain Reaction 115, 116

Toksoplasmosis pada Hewan

199


Protozoa 1, 7, 18, 67, 68, 71, 99, 157, 178, 184, 189, 191, 192, 193

R

Remington dan Cavanaugh 23, 55

Restriction Fragment Long Polymorphisme 35

Rinder 35, 73, 183

Robert-Gangneux dan Dardé 9

Roberts dan Janovy 116

Rommel 10, 26, 38, 79, 146, 153, 177, 183

Roos 34, 183

S

Sabin Fieldman Test 103, 104

Sampel 38, 61, 82, 83, 84, 85, 100, 103, 105, 107, 109, 110, 111, 112, 113,

116, 117, 119, 128, 139, 144, 151, 157, 160, 161, 163, 168

Sapi 48, 49, 56, 65, 104, 140, 147

Satwa liar 155

Schnieder 39, 183

Sentrifuse 96, 108

Serologis 12, 42, 44, 62, 83, 85, 86, 88, 93, 103, 118, 120, 121, 133, 139,

140, 141, 143, 144, 147, 148, 155, 161, 169, 170

Serum 12, 68, 71, 73, 76, 77, 79, 85, 86, 93, 103, 104, 105, 107, 110, 111,

112, 113, 119, 169

Sharma 72, 74, 79, 174, 183

Sibley dan Boothroyd 33

Skin Test 102, 134, 135, 140

Skizogoni 15, 17, 28, 30, 38

Skizon 74, 192, 193

Soldati dan Boothroyd 36

Soulsby 1, 3, 7, 11, 17, 18, 23, 25, 26, 28, 31, 49, 56, 57, 64, 81, 91, 92, 105,

107, 111, 136, 152, 184

Splendore 1, 184

Sporogoni 15, 27

Sporosista 3, 10, 15, 17, 18, 31, 38, 146, 192, 193

Sporozoit 3, 10, 15, 16, 17, 18, 28, 30, 31, 38, 42, 74, 192, 193

Sri Hartati 76, 184

T

Takizoit 3, 8, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 26, 29, 31, 34, 53, 54, 55, 56, 57, 67,

68, 73, 74, 75, 76, 79, 85, 86, 101, 104, 111, 131, 136, 139, 142, 153,

200 Toksoplasmosis pada Hewan


165, 167, 168

T. gondii 3, 4, 5, 6, 9, 18, 26, 41, 42, 48, 50, 54, 55, 56, 57, 61, 75, 76, 84, 86,

101, 103, 104, 110, 116, 147, 156, 157, 159, 161, 174, 175, 180

Tizard 68, 69, 71, 72, 76, 185

Toksoplasma 7, 21, 33, 44, 48, 67, 69, 70, 74, 76, 80, 82, 83, 89, 101, 104,

131, 132, 133, 134, 137, 149, 150, 155, 156, 157, 163

Toksoplasmosis v, vi, 1, 7, 10, 38, 41, 44, 65, 78, 84, 91, 103, 111, 134, 141,

143, 145, 155, 157, 168, 169, 170, 177, 182

Toxoplasma gondii 1, 2, 3, 6, 7, 10, 11, 17, 19, 23, 25, 27, 28, 29, 31, 33, 34,

35, 38, 42, 45, 48, 56, 61, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 86, 88, 112, 115,

131, 134, 135, 140, 141, 143, 146, 157, 159, 161, 167, 168, 169, 173,

174, 175, 176, 178, 179, 180, 183, 184, 185, 186

Transplasental 8

Trofozoit 16, 30, 70

U

Unggas 8, 44, 63, 87, 143

Uveitis 41

V

Vaksinasi 153

W

Ware dan Kasper 80

Werk 22, 55, 69, 185

Westernblot 72, 74, 121

Wilson 12, 103, 105, 107, 109, 110, 111, 112, 185

Wolf 2

Y

Yogyakarta vi, 82, 139, 140, 141, 142, 143, 162, 178, 179, 181, 182, 184,

187

Z

Zoonosis 7, 9, 176

Toksoplasmosis pada Hewan

201


202 Toksoplasmosis pada Hewan

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!