Wisnu Nurcahyo toksoplasmosis (pdf)
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
TOKSOPLASMOSIS
PADA HEWAN
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta]
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan
prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa
mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(Pasal 1 ayat [1]).
2. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki
hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan cip taan; b. Penggandaan ciptaan
dalam segala bentuknya; c. Pener jemahan ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemenan,
atau pentransformasian ciptaan; e. pendistribusian ciptaan atau salinannya;
f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman ciptaan; h. Komunikasi ciptaan; dan
i. Penyewaan ciptaan. (Pasal 9 ayat [1]).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [3]).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [4]).
TOKSOPLASMOSIS
PADA HEWAN
Wisnu Nurcahyo
Dwi Priyowidodo
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
© Wisnu Nurcahyo dan Dwi Priyowidodo
Toksoplasmosis pada Hewan / Yogyakarta: Samudra Biru, 2019.
viii + 202 hlm. ; 15,5 x 23 cm.
ISBN : 978-623-7080-36-7
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang me ngutip atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk
apapun juga tanpa izin tertulis dari penerbit.
Cetakan I, Maret 2019
Penulis : Wisnu Nurcahyo
Dwi Priyowidodo
Editor : Joko Prastowo
Desain Sampul : Ityan Jauhar
Layout : M. Hakim
Diterbitkan oleh:
Penerbit Samudra Biru (Anggota IKAPI)
Jln. Jomblangan Gg. Ontoseno B.15 RT 12/30
Banguntapan Bantul DI Yogyakarta
Email: admin@samudrabiru.co.id
Website: www.samudrabiru.co.id
Call: 0812-2607-5872
WhatsApp Only: 0811-264-4745
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala tauhid dan hidayah-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan buku Toksoplasmosis pada Hewan ini. Buku
ini ditulis sebagai wujud keprihatinan merebaknya penyakit
toksoplasmosis pada hewan dan ternak di Indonesia, khususnya pada
kucing. Toksoplasmosis masih merupakan parasit yang menghantui
masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan mengingat bahaya infeksi
toksoplasma pada manusia dan hewan yang begitu tinggi. Kebutuhan
hidup manusia yang meningkat tajam bidang protein hewani khususnya
daging, sesuai dengan pertambahan populasi penduduk menuntut
penyediaan makanan yang sehat bagi seluruh masayarakat. Kejadian
toksoplasmosis makin diperparah dengan kondisi lingkungan sekitar
masyarakat yang kian menurun kualitasnya. Hal ini merupakan suatu
tantangan atau tugas yang besar bagi semua pihak, khususnya yang
berkepentingan dengan masalah kesehatan hewan, dokter hewan,
sarjana peternakan, dan para petugas kesehatan dan karantina hewan
dalam mencegah, mendiagnosa, mendeteksi, dan menjaga penularan
toksoplasmosis pada hewan dan ternak.
Toksoplasmosis pada Hewan
v
Berbagai usaha dan pendekatan telah diupayakan dalam
penanggulangan penyakit toksoplasmosis pada hewan dan ternak,
namun belum menunjukkan hasil yang memuaskan, terutama
dalam hal diagnosa dini, deteksi secara cepat, efisien, dan akurat.
Pemeriksaan klinis dan patologis kucing akibat infeksi Toksoplasmosis
yang menyerang kucing merupakan suatu langkah awal yang sangat
penting dalam pencegahan penyakit parasiter ini. Metode-metode
pemeriksaan toksoplasmosis saat ini sudah berkembang jauh lebih
maju jika dibanding sepuluh tahun yang lalu, mulai dari metode
konvensional yang biasa diterapkan di lapangan hingga metode
mutakhir seperti penerapan bioteknologi pada penyakit hewan dapat
dipakai sebagai alat diagnosa atau deteksi penyakit parasiter.
Diharapkan dari buku ini dapat memberikan gambaran
mengenai cara diagnosa toksoplasmosis pada hewan bagi mahasiswa,
petugas kesehatan hewan, dan masyarakat luas yang berminat dalam
masalah toksoplasmosis sebagai upaya dalam menanggulangi dan
meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko penularannya. Selain itu
diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang parasitologi.
Yogyakarta, Januari 2019
Penulis
vi
Toksoplasmosis pada Hewan
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................v
DAFTAR ISI.............................................................................vii
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................... 1
BAB II
TOKSOPLASMOSIS................................................................ 7
BAB III
BIOLOGI DAN SIKLUS HIDUP......................................... 15
BAB IV
BIOLOGI MOLEKULER...................................................... 33
BAB V
GEJALA KLINIS..................................................................... 37
BAB VI
PATOGENESIS....................................................................... 53
BAB VII
IMUNOLOGI................................................................................... 67
BAB VIII
DIAGNOSA KLINIS.............................................................. 81
Toksoplasmosis pada Hewan
vii
BAB IX
DIAGNOSA BIOLOGIS........................................................ 91
BAB X
DIAGNOSA LABORATORIS............................................... 95
BAB XI
DIAGNOSA SEROLOGIS...................................................103
BAB XII
DIAGNOSA BIOLOGI MOLEKULER..............................115
BAB XIII
ISOLASI PARASIT................................................................131
BAB XIV
PREVALENSI TOKSOPLASMOSIS...................................137
BAB XV
PENULARAN DAN PENCEGAHAN................................145
BAB XVI
STUDI KASUS TOKSOPLASMOSIS.................................155
BAB XVII
KESIMPULAN DAN SARAN..............................................171
DAFTAR PUSTAKA .................................................................173
BIOGRAFI...................................................................................187
GLOSARIUM.............................................................................191
INDEKS.......................................................................................195
viii
Toksoplasmosis pada Hewan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Sejarah
Berdasarkan asal katanya, Toxoplasma, berasal dari kata toxon yang
memiliki arti cekung, sedangkan plasma berarti bentuk. Selanjutnya,
istilah ini digunakan untuk menjelaskan bentuk toksoplasma yang
menyerupai bulan sabit atau pisang. Toksoplasmosis merupakan suatu
penyakit yang bersifat anthropozoonosis dari suatu penyakit parasiter
yang disebabkan oleh protozoa parasit yaitu Toxoplasma gondii. Parasit
ini dapat menyerang berbagai hewan berdarah panas, ternak, hewan
kesayangan dan manusia. Penularan penyakit ini dapat terjadi secara
kongenital, menelan makanan dan minuman yang mengandung sista
atau terkontaminasi oosista sebagai bentuk lain dari stadiumnya
(Soulsby, 1982).
Parasit yang menyerupai Leishmania ini mula-mula ditemukan
oleh Nicolle dan Mancaeux pada tahun 1908 dari limfa dan hati sejenis
binatang mengerat di Afrika Utara yang disebut gundi, sehingga
untuk nama spesies digunakan gondii (Ctenodactylus gondi). Dua
tahun setelah itu, Splendore (1910) menemukan adanya organisme
yang berbentuk mirip dengan penemuan Nicolle dan Manceaux pada
Toksoplasmosis pada Hewan
1
kelinci di Sao Paulo (Brasilia) dan kemudian diberi nama Toxoplasma
caniculi. Seorang ahli mata di Paraguay yang bernama Janku pada
tahun 1923 kemudian menemukan kasus toksoplasmosis pada
manusia. Beliau menemukan sista parasit dalam retina pasien berumur
11 bulan yang menderita hidrosefalus kongenital dan mikroptalmus.
Organisme tersebut oleh Levaditi pada tahun 1928 dikenali sebagai
Toxoplasma pada manusia yang kemudian timbul dugaan awal bahwa
ada hubungan antara hidrosefalus kongenital dan toksoplasmosis.
Selanjutnya pada tahun 1939, Wolf et al. berhasil mengisolasi parasit
ini dan memastikan-nya sebagai penyakit kongenital pada neonatus.
Kasus toksoplasmosis yang fatal pada orang dewasa dikemukakan
oleh Pinkerton dan Weinmann pada tahun 1940. Parasit ini merupakan
koksidia intraseluler obligat yang sudah tersebar di seluruh dunia dan
mendapat perhatian yang sangat serius karena menyangkut kesehatan
hewan dan manusia. Akibat yang ditimbulkan dari infeksi parasit
ini cukup tinggi terutama di negara-negara berkembang di daerah
tropis. Toxoplasma gondii mempunyai hospes tetap yaitu kucing piara
dan jenis hewan yang sebangsa dengan kucing. Manusia dan hewan
dapat terinfeksi secara kongenital dengan cara menelan daging yang
mengandung sista yang tidak dimasak atau tertelannya oosista yang
telah bersporulasi. Parasit tersebut ditemukan pada banyak hewan,
sehingga memiliki sinonim di antaranya: T. caniculi, T. caviae, T.
canis, T. musculi, T. ratti, T. laidlawi, T. sciuri, dan T. pyrogenes (Levine,
1990). Toxoplasma gondii dapat dikatakan menjadi salah satu parasit
yang paling “sukses” di dunia. Infeksi parasit ini dapat menimbulkan
berbagai macam gejala klinis yang berbeda di setiap hospesnya, bahkan
dapat menyebabkan penyakit yang berakibat fatal pada beberapa
spesies mamalia laut dan marsupial, karena hewan-hewan tersebut
telah lama berkembang biak di daerah yang jauh dari jangkauan
parasit. Pada spesies lain seperti hewan ternak dan manusia, infeksi
kongenital umum terjadi (Dubey and Beattie, 1988).
2 Toksoplasmosis pada Hewan
Gambar 1. Toxoplasma gondii; a. Takizoit; b. Ultrastuktur dari
Takizoit; c. Sista berisi Bradizoit. (sumber : jotscroll.com)
B. Klasifikasi
Secara umum klasifikasi untuk T. gondii menurut Soulsby (1982)
adalah sebagai berikut:
Filum
Klas
: Apicomplexa
: Sporozoa
Subklas : Coccidia
Ordo
: Eucoccidiidae
Subordo : Eimeriina
Famili
Genus
: Sarcocystidae
: Toxoplasma
Spesies : Toxoplasma gondii
Di dalam familia Sarcocystidae, meron dan merozoit terdapat
di dalam hewan yang dimangsa dan oosista-oosista terdapat pada
hewan-hewan predator berupa mamalia, burung atau ular. Semua
anggota dari familia ini menghasilkan oosista-oosista yang berisi 2
sporosista, kemudian masing-masing sporosista ini berisi 4 sporozoit.
Oosista-oosista dihasilkan dari dalam sel-sel usus hewan predator
Toksoplasmosis pada Hewan
3
(pemangsa), sedangkan stadium asekualnya berlangsung pada hewan
yang dimangsa (Levine, 1990).
Pada genus Toxoplasma, merogoni terjadi pada hospes definitif
dan hospes perantara. Oosista dihasilkan dari dalam sel-sel usus hospes
definitif. Mengingat pentingnya genus ini sebagai penyebab penyakit
pada manusia, maka spesies T. gondii merupakan satu-satunya anggota
genus yang paling banyak diperhatikan pada penelitian. Spesies ini
biasa ditemukan di seluruh dunia. Kira-kira 25-30% populasi manusia
di dunia memiliki antibodi terhadap toksoplasmosis. Selain itu,
penyakit ini juga telah ditemukan praktis pada hampir semua jenis
hewan peliharaan (Levine, 1990).
1. Hospes Perantara
Pada mulanya T. gondii ditemukan pada rodensia di Afrika
Utara yang bernama gondi (Ctenodactylus gondi). Sejak saat itu,
parasit tersebut dari berbagai laporan para peneliti telah ditemukan
dalam lebih dari 200 spesies mamalia dan burung. Daftar hospes
ini mencakup rodensia, lagomorf-lagomorf, insektivora, karnivora,
marsupiala, primata (termasuk manusia), spesies-spesies dari burung
termasuk ayam, merpati dan burung kenari. Pada kura-kura, kadal,
tokek, bunglon dan sebangsanya dilaporkan juga dapat terinfeksi
secara buatan (Levine, 1990).
4 Toksoplasmosis pada Hewan
Gambar 2. Tikus Salah Satu Hospes Perantara Toksoplasma
(Ilustrasi; sumber : Alkestida, shutterstock)
2. Hospes Definitif
Sebagai hospes definitif dari T. gondii adalah anggota-anggota
dalam familia karnivora Felidae. Termasuk dalam familia ini di
antaranya adalah: kucing (Felis catus), jaguar (F. yagouroundi), ocelot (F.
paradalis), singa gunung (F. concolor), kucing leopard (F. bengalensis),
lynx (Lynx pardinus) dan berbagai jenis kucing lainnya.
Toksoplasmosis pada Hewan
5
Gambar 3. Lynx, Salah Satu Hewan yang Dapat Bertindak sebagai
Hospes Definitif atau Inang Tetap Toxoplasma gondii (sumber :
Sciencedaily dan Programa de Conservación Ex-situ del Lince
Ibérico / www.lynxexsitu.es)
3. Lokasi
Meron dan stadium seksual dari T. gondii terdapat di da lam
sel-sel epitel villi usus halus kucing. Pada hospes perantara terdapat
juga meron dan merozoit-merozoit yang tersebar dibanyak tipe selsel
hospes, termasuk di dalamnya misalnya neuron-neuron, mikroglia,
endotel, sel-sel parenkim hati, sel-sel epitel paru-paru dan kelenjar,
sel-sel jantung dan otot-otot kerangka, selaput-selaput fetal dan
sel-sel darah putih. Pada kejadian infeksi akut, bentuk-bentuk dari
merozoit dapat ditemukan bebas di dalam aliran darah dan eksudat
peritoneal (Levine, 1990).
6 Toksoplasmosis pada Hewan
BAB II
TOKSOPLASMOSIS
Toksoplasma merupakan penyakit zoonosis yang banyak
menimbulkan permasalahan bagi manusia dan hewan. Toksoplasmosis
merupakan suatu penyakit yang bersifat anthropozoonosis dari
suatu penyakit parasiter yang disebabkan oleh protozoa parasit
yaitu Toxoplasma gondii. Parasit yang dapat menyerang berbagai
hewan berdarah panas, ternak, hewan kesayangan dan manusia ini
penularannya dapat terjadi secara kongenital, menelan makanan dan
minuman yang mengandung sista atau terkontaminasi oosista sebagai
bentuk lain dari stadiumnya (Soulsby, 1986).
Toksoplasmosis merupakan salah satu dari sekian banyak
penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang secara alami dapat menular
dari hewan ke manusia. Gejala klinis dari penyakit ini tidak nampak,
namun telah banyak menimbulkan kerugian baik bagi manusia
maupun hewan yang terkena infeksinya. Di bidang kedokteran
misalnya, kekhawatiran terhadap adanya infeksi toksoplasmosis
selalu menghantui pada kaum wanita dan terutama ibu-ibu yang
sedang hamil. Hal ini dapat dimaklumi mengingat akibat yang
Toksoplasmosis pada Hewan
7
ditimbulkan pada manusia lebih banyak berhubungan dengan
kaum wanita, yaitu apabila infeksi toksoplasmosis terjadi secara
kongeital dapat menyebabkan akibat pada bayi berupa perkapuran,
korioretinitis, hidrosefalus, mikrosefalus, gangguan psikologis,
gangguan perkembangan mental pada anak setelah lahir dan kejangkejang.
Infeksi tersebut dapat menjadi lebih parah apabila menyerang
penderita AIDS yang kemudian menyebabkan toksoplasmosis akut.
Pada hewan, toksoplasmosis banyak menimbulkan kerugian
ekonomi yang tidak kalah pentingnya, karena dapat menyebabkan
abortus, kematian dini dan kelainan kongenital. Kerugian ekonomi ini
belum termasuk biaya pemeliharaan yang sangat besar pada suatu usaha
peternakan rakyat dan skala industri. Dalam hal ini, hewan memegang
peranan yang sangat penting sebagai salah satu bentuk penularan.
Seperti diketahui, manusia dapat tertular toksoplasma dengan cara
menelan oosista toksoplasma bersama makanan, makan daging yang
kurang matang secara langsung yang mengandung bradizoit atau salah
satu bentuk dalam daur hidup toksoplasma, melalui luka terbuka yang
kemasukan oosista atau bermain-main dengan hewan kesayangan,
seperti kucing, anjing dan burung. Selain itu, masih banyak lagi modus
penularan yang lain yang berpotensi sebagai gerbang masuknya infeksi
toksoplasmosis pada manusia dan hewan (Nurcahyo, 2001).
Manusia dan hewan termasuk unggas dapat menderita
toksoplasmosis yang secara garis besar melalui 3 cara : yaitu
mengkonsumsi daging yang kurang masak yang terinfeksi takizoit
(pada fase akut) atau menelan bentuk bradizoit (fase kronis) dengan
cara mengkonsumsi makanan dan minuman yang tercemar oosista
yang berasal dari tinja kucing yang terinfeksi dan secara transplasental
dari induk yang terinfeksi selama masa kehamilan. Tidak seperti
pada berbagai penyakit lainnya, kasus toksoplasmosis umumnya tidak
menunjukkan adanya gejala klinis baik pada hospes definitif maupun
hospes perantara. Pada kucing misalnya, toksoplasmosis umumnya
8 Toksoplasmosis pada Hewan
jarang disertai timbulnya gejala klinis meskipun kucing tersebut
terinfeksi oleh oosista yang jumlahnya berjuta-juta. Sementara itu,
data-data mengenai toksoplasmosis di Indonesia masih sangat kurang
yang disebabkan karena penyakit ini secara klinis tidak menunjukkan
gejala klinis yang spesifik.
Gambar 4. Ilustrasi Sumber Infeksi T. gondii dari Lingkungan
Maupun Hewan yang Menyebabkan Zoonosis pada Manusia
(Robert-Gangneux dan Dardé, 2012).
Kucing dan beberapa golongan Felidae sangat berperan penting
sebagai kunci perkembangan dan penyebaran toksoplasmosis,
karena hewan-hewan ini bertindak sebagai hospes definitif pada
toksoplasmosis. Biasanya oosista toksoplasma akan dilepaskan oleh
kucing dalam keadaan belum bersporulasi. Setelah sporulasi, di dalam
Toksoplasmosis pada Hewan
9
oosista tersebut berkembang menjadi 2 sporosista yang masing-masing
mengandung sporozoit. Kucing di seluruh dunia merupakan sumber
laten dari infeksi Toxoplasma gondii. Berbagai penelitian pada kucing
- kucing di seluruh dunia, terdeteksi antibodi terhadap toksoplasmosis
sebanyak 20 - 90 %. Namun pada kucing yang diberi makan yang
matang dan senantiasa tinggal di rumah, pada kenyataannya sangat
jarang terinfeksi toksoplasmosis (Rommel et al.,, 1987). Selain
perkembangan di dalam intestinum, oosista juga aktif berkembang
di luar usus atau organ pada kucing sebagaimana perkembangan yang
terjadi pada hewan-hewan perantara lainnya. Infeksi toksoplasmosis
bagi kucing justru tidak menimbulkan masalah, karena pada kucing
tidak menunjukkan gambaran klinis yang spesifik. Infeksi alam pada
kucing akan menunjukkan gejala-gejala anoreksia, demam, gejala
gangguan pernafasan dan ensefalitis.
Suatu hal yang perlu diketahui sebelumnya, ada pendapat
bahwa kucing sebagai hewan kesayangan merupakan sumber dari
penyakit toksoplasmosis. Pendapat yang selama ini berkembang
pada masyarakat tersebut adalah keliru. Pada kenyataannya, apabila
hewan-hewan tersebut dipelihara dengan baik dan benar dengan
selalu menjaga kesehatan dan kebersihan hidupnya, seperti halnya
manusia menjaga kesehatan diri dan lingkungannya, maka infeksi ini
sangat jarang terjadi. Bagi kucing sendiri, toksoplasmosis tidak akan
mengakibatkan gejala klinis yang berat, meskipun di dalam tubuhnya
didapati berjuta-juta oosista toksoplasma. Ini menunjukkan bahwa
parasit tersebut sangat baik mengembangkan adaptasi dirinya di
dalam tubuh kucing dan kucing juga mampu mengembangkan sistim
kekebalan dengan baik. Sementara itu, pada tubuh hospes perantara,
yaitu pada manusia dan hewan mamalia, dapat mengakibatkan
kejadian penyakit akut dan kronis.
Toksoplasmosis pada domba dan kambing memiliki arti penting.
Hal ini mengingat masyarakat Indonesia yang sangat menggemari
10 Toksoplasmosis pada Hewan
jenis masakan sate. Dikhawatirkan sate yang dimasak kurang matang
terutama di bagian tengah memungkinkan sista bradizoit masih
aktif sehingga dapat menginfeksi manusia yang mengkonsumsi.
Gejala-gejala klinis toksoplasmosis pada domba dan kambing juga
tidak tampak jelas, mungkin dapat dijumpai demam hingga 41,5 °C,
anemia, batuk-batuk, diare, nafsu makan hilang, kelumpuhan, otot
paha gemetar dan gejala syaraf. Apabila infeksi ini melanjut akan
terjadi keguguran, lahir cacat atau kematian (Marques dan Dacosta,
1985). Infeksi yang terjadi pada kambing diketahui lebih parah
dibandingkan domba (Dubey, 1990).
Kasus toksoplasmosis berbeda dengan penyakit pada
umumnya, penyakit ini tidak menunjukkan gejala klinis spesifik
baik saat berada pada hospes definitif maupun hospes perantara.
Pada kucing misalnya, kucing yang terinfeksi oleh oosista meskipun
dengan jumlah berjuta-juta masih tidak tampak timbulnya
gejala klinis. Hal ini juga menyebabkan data-data mengenai
toksoplasmosis pada hewan di Indonesia masih sangat kurang, salah
satunya disebabkan karena penyakit ini tidak menunjukkan gejala
klinis spesifik. Diagnosa toksoplasmosis secara klinis pada hewan
dan manusia sangat sulit diteguhkan mengingat penyakit ini bersifat
asimptomatis atau subklinis pada infeksi kronis, sedangkan pada
infeksi yang akut, gejala umumnya mirip dengan penyakit infeksi
lain. Sehingga perlu dilakukan upaya pembuktian adanya Toxoplasma
gondii dengan berbagai cara. Secara umum, diagnosa toksoplasmosis
dapat ditegakkan dengan mengelompokkan menjadi 3 macam, yaitu
diagnosa klinis, biologis dan laboratoris. Diagnosa akan menjadi
lebih sulit, jika gejala klinis toksoplasmosis menyerupai penyakit
infeksi dan non infeksi yang lain. Untuk itu, perlu dilakukan
diagnosa lain yang meyakinkan dengan cara isolasi parasit tersebut
dan menginokulasikan jaringan yang diduga pada mencit atau
hewan-hewan percobaan lain yang peka (Soulsby, 1982).
Toksoplasmosis pada Hewan
11
Diagnosa-diagnosa tersebut di atas, masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Diagnosa serologis dilakukan untuk
mendeteksi adanya antibodi di dalam serum berupa IgM dan IgG,
serta adanya antigen dalam tubuh hospes (Wilson et al., 1990).
Kadang-kadang suatu diagnosa menjadi tidak sensitif terutama
pada pasien yang memiliki respon imun kurang. Selain itu, dengan
pemeriksaan histologis juga terkadang tidak dapat ditemukan adanya
parasit, mengingat perubahan pada toksoplasmosis tidak spesifik
(Spencer, 1972). Diagnosis secara konvensional umumnya tidak
sensitif atau sering dapat menimbulkan positif palsu yang disebabkan
karena penggunaan antigen dari luar negeri yang tidak sama dengan
isolat Indonesia. Selain itu, uji serologis yang ada di pasaran masih
sangat mahal yang pada dasarnya disebabkan karena terbatas pada
penyediaan antigen. Aplikasi dalam teknik ELISA penangkap
antibodi memang dirasa masih merupakan teknik diagnosa yang
handal yang diharapkan mempunyai keunggulan dibanding metode
konvensional sehingga dapat mengganti kit diagnosa yang sampai
saat ini masih impor dari luar negeri. Namun, permasalahan pada
hewan ternak adalah metode ini masih terlalu mahal. Kebanyakan
peternak di Indonesia masih menggangap masalah kesehatan hewan
ternaknya tidak begitu penting sehingga pada umunya enggan untuk
mengeluarkan biaya untuk diagnosa dan pengobatan. Penggunaan
isolat lokal diharapkan dapat menjadi material dasar untuk pembuatan
antigen membran rekombinan yang akan dapat diproduksi untuk
mendeteksi toksoplasmosis di Indonesia dengan spesifitas dan
sensitifitas yang tinggi.
Berbagai permasalahan terkait toksoplasma ini perlu
dijadikan landasan untuk mendorong perbaikan sistem penanganan
toksoplasmosis di Indonesia. Mulai dari masih sangat kurang
pemahaman tentang penyakit toksoplasma, terutama karena penyakit
ini secara klinis tidak menunjukkan gejala yang spesifik. Pemilihan
12 Toksoplasmosis pada Hewan
metode diagnosa yang terbaik untuk toksoplasma, terutama karena
aplikasi teknik ELISA penangkap antibodi dan biologi molekuler
yang diandalkan kenyataannya masih merupakan teknik diagnosa yang
mahal untuk diaplikasikan pada hewan. Sampai kepada pendataan
penyakit yang lebih akurat untuk penanggulangan toksoplasma yang
lebih baik.
Toksoplasmosis pada Hewan
13
14 Toksoplasmosis pada Hewan
BAB III
BIOLOGI DAN SIKLUS HIDUP
Oosista
Toxoplasma gondiii adalah termasuk dalam golongan koksidia
yang terdiri dari tiga bentuk yaitu : oosista, endozoit (takzoit) dan
sistozoit (bradizoit). Perkembangan dari skizogoni dan gametogoni
terjadi di dalam epitel usus kucing yang kemudian akan menghasilkan
oosista bentuk bulat dengan dinding terdiri dari dua lapis yang akan
keluar bersama tinja. Di luar tubuh kucing, oosista tersebut akan
mengalami sporogoni dengan membentuk dua sporosista yang msaingmasing
memiliki 4 sporozoit (Neva dan Brown, 1994). Oosista yang
dikeluarkan bersama dengan kotoran kucing dalam waktu 1- 2 minggu
setelah infeksi primer terjadi, selanjutnya akan mengalami sporulasi
kurang lebih 1-5 hari, tergantung pada temperatur lingkungan
kelembaban dan aerasi. Menurut Jacobs dan Frenkel (1982) oosista
dapat tahan hidup selama 14 hari pada kelembaban udara 22-44 % dan
18 hari pada kelembaban 80 %. Untuk oosista yang telah bersporulasi
dapat bertahan 28 hari pada suhu –20 o C.
Toksoplasmosis pada Hewan
15
Gambar 5. Bentuk Oosista Toxoplasma gondi pada Feses Kucing
Oosista yang keluar dari hospes definitf akan mengalami
sporulasi di bawah kondisi alam yang sesuai menjadi 8 sporozoit,
yaitu bentuk yang infektif pada manusia dan hewan (Frenkel, 1990).
Apabila oosista yang telah bersporulasi ini mencemari makanan
atau minuman dan kemudian tertelan oleh hospes perantara, maka
akan pecah di dalam usus. Sporozoit yang dikeluarkan tersebut akan
menginfeksi dan selanjutnya mengadakan multiplikasi di dalam sel
epitel usus dan limfonodus di sekitarnya, sehingga akhirnya terbentuk
trofozoit. Trofozoit ini akan menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran
darah dan limfe. Selanjutnya terjadilah fase multiplikasi secara seksual
yang akan membentuk sista jaringan dengan kandungan bradizoit
yang banyak (Dubey, 1994; Neva dan Brown, 1994).
Secara seksual (gametogenesis), trofozoit akan mengadakan
multiplikasi dan diferensiasi intraseluler secara endodiogeni,
sehingga masing-masing trofozoit akan menghasilkan dua
merozoit. Siklus reproduksi yang repetitif tersebut akan membentuk
koloni organisme yang berbentuk roset dengan sel mukosanya yang
mengalami pembengkakan, kemudian pada akhirnya akan pecah.
16 Toksoplasmosis pada Hewan
Proses selanjutnya adalah pembelahan secara skizogoni yang akan
menghasilkan 5 sampai 32 merozoit yang masuk ke dalam lumen
usus dan menembus sel epitel usus di sekitarnya. Merozoit tersebut
selanjutnya akan mengalami proses pembentukan gamet atau
gametogoni yang akan menghasilkan mikrogamet (gamet jantan)
dan makrogamet (gamet betina). Apabila kedua gamet tersebut
bersatu, maka terjadilah zigot atau bentukan yang dinamakan
oosista. Oosista tersebut selanjutnya akan keluar bersama dengan
feses yang masih non infektif. Melalui suatu proses yang dinamakan
sporulasi, oosista tersebut akan berkembang menjadi sporoblas
yang di dalamnya masing-masing mengandung sporosista.
Sporosista tersebut masing-masing akan membelah diri lagi untuk
menghasilkan 4 sporozoit. Sehingga di dalam 1 oosista terdapat 8
sporozoit (Desmonts, 1990). Gametosit sendiri pembentukannya
berlangsung di dalam usus halus selama 3 sampai 15 hari setelah
infeksi terjadi. Periode yang dibutuhkan mulai dari masuknya
oosista atau parasit ke dalam tubuh hospes hingga terjadinya gejala
klinik atau periode prepaten dari toxoplasma adalah 20 - 40 hari.
Perkembangan selanjutnya akan berakhir di dalam usus kucing, yaitu
dengan terbentuknya oosista (Soulsby, 1982). Untuk berkembang
menjadi oosista di dalam tubuh kucing dapat memerlukan yang
lebih singkat, apabila infeksi yang terjadi berupa penelanan sistozoit
atau bentuk bradizoitnya, yaitu berkisar antara 3 - 21 hari. Apabila
kucing tersebut menelan bentuk takizoit, maka perlu waktu 19 -
48 hari (Cheng, 1986). Selain itu, siklus perkembangan Toxoplasma
gondii akan lebih sempurna apabila kucing memakan jaringan atau
daging dari hospes perantara yang mengandung sista jika dibanding
menelan oosista dari tanah. Dengan demikian maka jumlah oosista
yang dikeluarkan bersama kotoran kucing akan lebih banyak setelah
menelan sista jaringan apabila dibanding dengan menelan oosista
yang bersporulasi (Dubey, 1994).
Toksoplasmosis pada Hewan
17
Oosista adalah bentuk dari T. gondii yang hanya terdapat pada
kotoran (feses) kucing dan sebangsanya yang menderita toksoplasmosis.
Oosista ini mempunyai bentuk sperikal dengan ukuran untuk yang
bersporulasi adalah 11 - 14 x 9 - 11 µm, tanpa mikropil, residu atau
butir polar dan berisi 2 sporosista berbentuk elip dengan ukuran kirkira
8,5 x 6 µm, tanpa disertai benda stieda. Sporozoit memiliki ukuran
8 x 2 µm (Levine, 1985). Tiap-tiap oosista mengandung 4 sporosista
yang mempunyai bentuk elipsoid. Sporulasi terjadi pada temperatur
24 °C dalam waktu 2 sampai 3 hari dan oosista yang bersporulasi
memiliki ukuran 13 x 12 µm. Bentuk ini sangat tahan terutama yang
telah mengalami sporulasi (mengandung sporozoit) dapat bertahan
selama 306 hari pada suhu 37 °C dan pada suhu antara 37 °C - 50 °C
oosista yang belum bersporulasi hanya akan dapat bertahan selama
24 jam. Dengan pendinginan pada suhu - 21 °C pada oosista yang
belum bersporulasi akan dapat bertahan sampai 28 hari. Sedangkan
pada suhu -6 °C oosista ini mampu bertahan sampai 14 hari (Frenkel,
1975).
Pada infeksi ekstraintestinal, setelah oosista, bradizoit dalam
sista atau takizoit tertelan, terjadilah infeksi enterik yang kemudian
akan dapat meluas ke limfoglandula di sekitarnya dan kemudian
melalui vena porta menuju hati atau melalui duktus torasikus menuju
ke paru-paru. Setelah itu, parasit akan tersebar secara sistemik menuju
jaringan yang lain. Pada infeksi yang akut, T. gondii dapat diisolasi
dari darah dan sering dengan titer yang tinggi. Akan tetapi pada
infeksi kronis, parasitemia jarang terdapat dan titer antibodinyapun
nampak rendah (Soulsby, 1982).
Takizoit
Setelah menembus lamina propia usus, protozoa ini akan
menyebar dalam darah dan limfe yang akhirnya terbentuklah takizoit
yang akan menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah dan
limfe. Takizoit sendiri dapat menembus sel-sel yang besar di dalam tubuh
18 Toksoplasmosis pada Hewan
dan memperbanyak diri secara intraseluler sampai sel yang ditempati
menjadi hancur. Adanya kombinasi antara tanggap kebal berperantara
sel dan humoral yang terjadi pada individu yang imunokompeten akan
dapat menghambat replikasi, sehingga akan menyebabkan terhambatnya
perkembangan sista jaringan yang mengandung bradizoit. Perbanyakan
dari takizoit akan dapat menyebabkan luka pada jaringan yang apabila
berlangsung lama akan menjadi parah dan menimbulkan kematian
akibat imnudefisiensi. Bradizoit sebetulnya tidak terlibat dalam proses
yang dapat menimbulkan peradangan. Oleh karena itu dapat bertahan
dalam jaringan selama hidup hospes. Bentuk dari sista jaringan akan
lebih mudah terbentuk dalam sistem syaraf pusat, otot dan organ-organ
dalam. Bradizoit yang ada di dalam sista dapat juga menjadi aktif,
menyebabkan parasitemia, menimbulkan infeksi dan pecahnya jaringan
sehingga dapat menimbulkan gejala klinis. Kasus ini terutama terlihat
pada para penderita AIDS yang mengalami imunosupresif berat atau
akibat pemberian glukokortikoid dosis tinggi (Frenkel, 1990; Lappin,
1994).
Gambar 6. Bentukan Takizoit dari Toxoplasma gondii
Toksoplasmosis pada Hewan
19
Gambar 7. Takizoit dengan Panjang 6-8 μm (Kaufman. 1996)
Pada infeksi akut, bentuk takizoit yang terlihat, dapat menginvasi
semua tipe sel-sel yang berinti (Krahenbuhl dan Remington, 1982).
Pada hewan selain Felidae, takizoit merupakan stadium pertama setelah
hewan tersebut menelan oosista yang telah bersporulasi. Perkembagan
takizoit ini berlangsung di dalam vakuola beberapa tipe sel termasuk
fibroblas, hepatosit, sel-sel retikuler dan sel-sel miokardial. Takizoit
tersebut bentuk seperti bulan sabit, oval dengan salah satu ujungnya
yang runcing, sedangkan ujung yang lain tumpul, dengan panjang 4-8
µm dan lebar 2-4 µm. Pada tubuh kucing, perkembangan dari takizoit
terjadi di dalam lamina propria, limfonodus mesenterika, jejenum
dam ileum. Pada hewan yang lain, bentuk takizoit berkembang dalam
vakuola dari bermacam-macam sel seperti fibroblas hepatosit, sel
retikuler dan sel miokardial, takizoit ini memperbanyak diri, kemudian
terjadi akumulasi menjadi 8 sampai 16 organisme di dalam sel inang.
20 Toksoplasmosis pada Hewan
Gambar 8. Ultrastruktur Takhizoit Toksoplasma gondii (Ajioka et
al., 2001)
Gambar 9. (A) Takizoit yang terlihat di Dalam Sel; (B) Kista yang
Berisi Bradizoit (Garcia dan Bruckner, 1996)
Bentuk toksoplasma akut dapat terjadi di dalam saluran
pencernaan dan akan membentuk takizoit melalui siklus enteroepitelial.
Infeksi ini akan menyebar melalui pembuluh darah dan limfe. Takizoit
Toksoplasmosis pada Hewan
21
ini selanjutnya akan masuk ke jaringan limfonodus di sekitarnya dan
jaringan tubuh yang lain misalnya : sistim saraf pusat, otot rangka
dan sistim peredaran darah dan organ-organ dalam. Timbul suatu
dugaan bahwa takizoit dapat mengalami replikasi di dalam sel-sel
jaringan hospes. Selama infeksi akut ini, parasit akan mengalami
replikasi dengan cepat terutama pada saat takizoit berbentuk lancip
lonjong yang siap mengadakan invasi dan melisiskan sel hospes.
Semua sel yang memiliki inti memiliki potensi untuk diinfeksi oleh
takizoit (Werk, 1985). Kejadian tersebut akan menjadi semakin
parah apabila terjadi kerusakan jaringan pada hospes dengan disertai
imunodefisiensi yang selanjutnya dapat berakibat kematian. Selain
itu, penyebaran infeksi toksoplasma dapat terjadi dari satu sel ke sel
yang lain atau melalui aliran darah (Frenkel, 1990). Pada beberapa
hospes yang bersifat imunokompeten, proliferasi parasit selama
infeksi akut dikendalikan oleh sejumlah sistim efektor tanggap kebal
hospes dengan mediator utama limfosit T sitotoksik. Peran ini sangat
besar dalam penghancuran takizoit dengan disertai interferon gamma
(IFN-γ) dengan sejumlah efek imunostimulator dan parasitik lain. Di
samping itu, antibodi yang spesifik juga telah disiapkan oleh tubuh
untuk menghadapi infeksi pada fase akut (Lappin, 1994).
Pada infeksi akut, takizoit dapat menginvasi semua tipe sel-sel
yang berinti (Krahenbuhl dan Remington, 1982). Pada hewan selain
Felidae, takizoit merupakan stadium pertama setelah hewan tersebut
menelan oosista yang telah bersporulasi. Perkembangan takizoit ini
berlangsung di dalam vakuola beberapa tipe sel termasuk fibroblas,
hepatosit, sel-sel retikuler dan sel-sel miokardial. Takizoit tersebut
bentuknya seperti bulan sabit, oval dengan salah satu ujungnya yang
runcing, sedangkan ujung yang lain tumpul dengan panjang 4 - 8 µm
dan lebar 2 - 4 µm. Pada tubuh kucing, perkembangan dari takizoit
terjadi di dalam lamina propia, limfonodus mesenterika, jejenum
dan ileum. Pada hewan yang lain, bentuk takizoit berkembang
22 Toksoplasmosis pada Hewan
dalam vakuola dari bermacam-macam sel seperti fibroblas hepatosit,
sel retikuler dan sel miokardial. Takizoit ini memperbanyak diri,
kemudian terjadi akumulasi menjadi 8 sampai 16 organisme di dalam
sel inang (Soulsby, 1986).
Bradizoit
Suatu fraksi dari bentuk takizoit pada toksoplasma yang
mengalami diferensiasi akan berkembang lebih lambat yang disebut
bradizoit. Bentuk ini dapat menembus jaringan intraseluler dan
membentuk sista (Remington dan Cavanaugh, 1965). Struktur dari
bradizoit berbeda dengan takizoit. Di dalam jaringan hospes, terdapat
bradizoit yang tubuhnya terdiri atas organela konoid, mikrotubuli,
roptri, mikronema, inti dan plasma lema yang tersusun dari 3 lapisan.
Gambar 10. Bentuk Bradizoit Toxoplasma gondii
(sumber : www.wikiwand.com/tr/Toksoplazma_gondii)
Bradizoit yang terdapat di dalam sista terlihat hanya pada
infeksi kronis, terutama terdapat di dalam otak, jantung dan otototot
skeletal. Bradizoit ini berbiak secara perlahan-lahan dengan
cara endodiogeni intraseluler. Suatu sista yang berisi ribuan bradizoit
Toksoplasmosis pada Hewan
23
mampu bertahan bertahun-tahun setelah infeksi. Di dalam sista ini,
bradizoit letaknya bergerombol secara berdekatan dengan bentuk
seperti taji (melengkung lancip). Terbentuknya sista biasanya terjadi
seiring dengan terbentuknya imunitas. Di bagian ujung posterior
parasit terdapat inti. Selain itu, pada bradizoit juga terdapat banyak
granula amilopektin dengan mikronema yang susunannya tidak
teratur. Bentuk sista (bradizoit) dengan ukuran 200 μm dapat dilihat
mulai hari ke delapan pascainfeksi yang berlokasi di berbagai sel,
jaringan atau organ pada otak, otot jantung dan otot kerangka yang
merupakan sumber infeksi.
Gambar 11. Sista di jaringan (Kaufman, 1996)
24 Toksoplasmosis pada Hewan
Gambar 12. Sista Oosista Toxoplasma gondii dalam Jaringan Otak
Rakun (Addante et al., 2006)
Bentukan bradizoit membelah dengan lambat di dalam sista
jaringan dan terjadi setelah terbentuk antibodi atau kekebalan tubuh.
Bentuk ini ditemukan pada keadaan penyakit yang sudah kronis dan
umumnya sista jaringan terdapat pada otot skelet, otak dan jantung.
Sista tersebut dapat berisi 60.000 bradizoit dan mampu bertahan
selama beberapa hari dalam jaringan setelah hospes mati (Soulsby,
1982). Dengan pembekuan atau pemanasan yang lebih dari 60°C
ataupun pengeringan akan dapat menghancurkan bentuk sista
jaringan. Pada suhu 4°C, sista mampu hidup selama 2 bulan. Jaringan
berisi sista mati yang disimpan pada suhu -9°C atau -20°C akan dapat
tahan selama 3-4 jam atau lebih (Fayer, 1981).
Toksoplasmosis pada Hewan
25
Gambar 13. Bradizoit yang Terdapat pada Otot Tikus
Suatu infeksi buatan pernah dilakukan terhadap kucing dengan
memberikan 1 juta oosista per oral. Pada saat defekasi pertama, dapat
ditemukan 1 juta oosista-oosista dari 1 gr dalam tinja kucing. Jumlah
tersebut memang tergantung pada infeksi yang diberikan sebelumnya.
Dalam proses selanjutnya selama periode prepaten, dapat dihasilkan
hingga 600 juta oosista (Rommel et al., 1987).
Pada infeksi ekstraintestinal, setelah oosista, bradizoit dalam
sista atau takizoit tertelan, terjadilah infeksi enterik yang kemudian
akan dapat meluas ke limfoglandula di sekitarnya dan kemudian
melalui vena porta menuju hati atau melalui duktus torasikus menuju
ke paru-paru. Setelah itu, parasit akan tersebar secara sistemik menuju
jaringan yang lain. Pada infeksi yang akut, T. gondii dapat diisolasi dari
darah dan sering dengan titer yang tinggi. Akan tetapi pada infeksi
kronis, parasitemia jarang terdapat dan titer antibodinyapun nampak
rendah (Soulsby, 1982).
26 Toksoplasmosis pada Hewan
Gambar 14. Sista Toxoplasma gondii (Shah dan Stille, 1992)
Stadium Perkembangan
Dalam daur perkembangannya, Toxoplasma gondii dibagi
menjadi 2 macam, yaitu daur enteroepitelial atau daur yang belangsung
di dalam usus golongan kucing Felidae, dan daur yang beralngsung
di luar jaringan usus felidae. Untuk daur enteroepitelial terdiri atas
stadium multiplikatif enteroepitelial dan gamon yang menghasilkan
oosista secara sporogoni. Stadium multiplikatif sendiri dibagi menjadi
empat tipe yaitu A, B, C, D dan E. Tipe A akan tampak sekitar 12
- 18 jam setelah infeksi yang merupakan suatu tipe paling kecil dan
membelah secara endodiogeni, artinya pembentukan sel anakan
dengan cara pembentukan kuncup ke dalam. Untuk tipe B akan muncul
12 - 54 jam setelah infeksi yang membelah secara endodiogeni dan
Toksoplasmosis pada Hewan
27
endopoligeni. Pada tipe ini terdapat inti yang berada di tengah dengan
disertai sebuah nukleolus jelas. Pada tipe C yang terbentuk 24 - 54
jam setelah infeksi terjadi, pembelahan berlangsung secara skizogoni
dengan bentuknya yang memanjang dan memiliki inti yang letaknya di
subterminal. Pada tipe D terjadi sekitar 32 jam hingga 15 hari setelah
infeksi yang ditandai dengan bentuknya yang lebih kecil daripada tipe
C dengan pembelahan secara endodiogeni, skizogoni dan pemisahan
merozoit-merozoit tunggal dari masa inti. Namun demikian urutan
perkembangan dari empat tipe ini tidak jelas maksudnya, karena cara
pembelahannya pada 3 tipe berlangsung secara simultan. Untuk tipe
E yang mirip dengan tipe D, pembelahannya secara skizogoni dan
terjadi 3 - 15 hari setelah infeksi (Soulsby, 1982).
Siklus Hidup
Siklus hidup dari Toxoplasma gondii dimulai setelah oosista
tertelan oleh hewan berdarah panas atau manusia (lihat gambar
2). Parasit tersebut merupakan parasit intraseluler pada jaringan,
terutama pada otot dan epitel usus. Pada infeksi akut yang berat,
parasit dapat ditemukan dalam darah dan eksudat peritoneal. Pada
kucing dan genus Felidae, siklus ini meliputi fase enteroepitelial dan
ekstraintestinal, sedangkan pada hospes lain hanya terdapat fase
ekstraintestinal (Long, 1990). Siklus di dalam kucing ini sendiri dapat
berlangsung kira-kira 20 - 24 hari setelah infeksi dengan oosista, akan
tetapi dapat hanya 3 sampai 5 hari apabila kucing tersebut menelan
daging misalnya daging tikus yang di dalamnya terdapat sista. Baik
hospes definitif maupun hospes perantara dapat terinfeksi dengan
cara menelan oosista infektif maupun sista yang terdapat dalam
jaringan hewan penderita. Oosista tersebut di dalam usus akan pecah
dan melepaskan 8 sporozoit yang selanjutnya akan berkembang secara
intraseluler di dalam usus dan nodus limfatikus (Frenkel, 1990).
28 Toksoplasmosis pada Hewan
Gambar 15. Siklus Hidup Toxoplasma gondii
(sumber : medical-dictionary.thefreedictionary.com/toxoplasmosis)
Setelah menembus lamina propia usus, organisme akan menyebar
dalam darah dan limfe yang akhirnya terbentuklah takizoit yang
akan menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah dan limfe.
Takizoit sendiri dapat menembus sel-sel yang besar di dalam tubuh
dan memperbanyak diri secara intraseluler sampai sel yang ditempati
menjadi hancur. Adanya kombinasi antara tanggap kebal berperantara
sel dan humoral yang terjadi pada individu yang imunokompeten, akan
dapat menghambat replikasi, sehingga akan menyebabkan terhambatnya
perkembangan sista jaringan yang mengandung bradizoit.
Toksoplasmosis pada Hewan
29
Perbanyakan dari takizoit akan dapat menyebabkan luka pada jaringan
yang apabila berlangsung lama, akan menjadi parah dan menimbulkan
kematian akibat imnudefisiensi. Bradizoit sebetulnya tidak terlibat
dalam proses yang dapat menimbulkan peradangan. Oleh karena itu
Bradizoit dapat bertahan dalam jaringan selama hidup hospes. Bentuk
dari sista jaringan akan lebih mudah terbentuk dalam sistem saraf
pusat, otot dan organ-organ dalam. Bradizoit yang ada di dalam sista
dapat juga menjadi aktif, menyebabkan parasitemia, menimbulkan
infeksi dan pecahnya jaringan sehingga dapat menimbulkan gejala
klinis. Kasus ini terutama terlihat pada para penderita AIDS yang
mengalami imunosupresif berat atau akibat pemberian glukokortikoid
dosis tinggi (Frenkel, 1990; Lappin, 1994).
Oosista yang keluar dari hospes definitif akan mengalami
sporulasi di bawah kondisi alam yang sesuai menjadi 8 sporozoit,
yaitu bentuk yang infektif pada manusia dan hewan (Frenkel, 1990).
Apabila oosista yang telah bersporulasi ini mencemari makanan
atau minuman dan kemudian tertelan oleh hospes perantara, maka
akan pecah di dalam usus. Sporozoit yang dikeluarkan tersebut akan
menginfeksi dan selanjutnya mengadakan multiplikasi di dalam sel
epitel usus dan limfonodus di sekitarnya, sehingga terbentuklah
trofozoit. Trofozoit ini akan menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran
darah dan limfe. Selanjutnya terjadilah fase multiplikasi secara seksual
yang akan membentuk sista jaringan dengan kandungan bradizoit
yang banyak (Dubey, 1994; Neva dan Brown, 1994).
Secara seksual (gametogenesis), trofozoit akan mengadakan
multiplikasi dan diferensiasi intraseluler secara endodiogeni, sehingga
masing-masing trofozoit akan menghasilkan dua merozoit. Siklus
reproduksi yang repetitif tersebut akan membentuk koloni organisme
yang berbentuk roset dengan sel mukosanya yang mengalami
pembengkakan, kemudian pada akhirnya akan pecah. Proses selanjutnya
adalah pembelahan secara skizogoni yang akan menghasilkan 5 sampai
30 Toksoplasmosis pada Hewan
32 merozoit yang masuk ke dalam lumen usus dan menembus sel epitel
usus di sekitarnya. Merozoit tersebut selanjutnya akan mengalami
proses pembentukan gamet atau gametogoni yang akan menghasilkan
mikrogamet (gamet jantan) dan makrogamet (gamet betina). Apabila
kedua gamet tersebut bersatu, maka terjadilah zigot atau bentukan
yang dinamakan oosista. Oosista tersebut selanjutnya akan keluar
bersama dengan feses yang masih non infektif. Melalui suatu proses
yang dinamakan sporulasi, oosista tersebut akan berkembang menjadi
sporoblas yang di dalamnya masing-masing mengandung sporosista.
Sporosista tersebut masing-masing akan membelah diri lagi untuk
menghasilkan 4 sporozoit, sehingga di dalam 1 oosista terdapat 8
sporozoit (Desmonts, 1990). Gametosit sendiri pembentukannya
berlangsung di dalam usus halus selama 3 sampai 15 hari setelah
infeksi terjadi. Periode yang dibutuhkan mulai dari masuknya oosista
atau parasit ke dalam tubuh hospes hingga terjadinya gejala klinik atau
periode prepaten dari toxoplasma adalah 20-40 hari. Perkembangan
selanjutnya akan berakhir di dalam usus kucing, yaitu dengan
terbentuknya oosista (Soulsby, 1982). Untuk berkembang menjadi
oosista di dalam tubuh kucing dapat memerlukan yang lebih singkat,
apabila infeksi yang terjadi berupa penelanan sistozoit atau bentuk
bradizoitnya, yaitu berkisar antara 3-21 hari. Apabila kucing tersebut
menelan bentuk takizoit, maka perlu waktu 19-48 hari (Cheng, 1986).
Siklus perkembangan Toxoplasma gondii akan lebih sempurna apabila
kucing memakan jaringan atau daging dari hospes perantara yang
mengandung sista jika dibanding menelan oosista dari tanah. Dengan
demikian, maka jumlah oosista yang dikeluarkan bersama kotoran
kucing akan lebih banyak setelah menelan sista jaringan apabila
dibanding dengan menelan oosista yang bersporulasi (Dubey, 1994).
Toksoplasmosis pada Hewan
31
32 Toksoplasmosis pada Hewan
BAB IV
BIOLOGI MOLEKULER
A. Organisasi Genom
Toksoplasma diduga memiliki genom dari inti yang haploid
dengan ukuran kurang lebih 7,8 x 107 bp dari hasil pengukuran
dengan Cytofluorometri (Cornelissen et al., 1984). Selanjutnya,
dengan menggunakan Pulse Field Gel Electrophoresis (PFGE) dapat
dilakukan pemisahan kromosoma-kromosoma toksoplasma tersebut
dan hasilnya menunjukkan, bahwa organisasi genom dari Toksoplasma
gondii ini terdiri dari paling sedikit 11 kromosoma yang berbeda,
dengan ukuran yang bervariasi antara 2 Mb hingga 10 Mb (Sibley dan
Boothroyd, 1992). Lebih lanjut disebutkan, bahwa di dalam genom
inti tersebut, terdapat 2 buah organela seperti halnya pada anggota
Apicomplexa yang lain.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai struktur molekuler dari
Toxoplasma gondii, teknik selanjutnya adalah kloning dan karakterisasi
terhadap lebih dari 30 macam gena yang termasuk di dalamnya adalah
bermacam-macam gena dari tubuh toksoplasma itu sendiri, gena yang
mengkode antigen permukaan, gena dari antigen yang disekresikan
dan antigen ribosoma RNA (GenBank Release date, March 1995).
Toksoplasmosis pada Hewan
33
Dari hasil tersebut, terdapat sekitar 50-55% kandungan nukleotida
GC. Namun demikian, tidak terdapat indikasi adanya transkripsi
bentuk polycistronic atau trans-splicing. Dari gambaran ini, kloning
dan karakterisasi dari gena-gena tersebut menjadi relatif lebih
mudah, jika dibanding dengan genom dari Plasmodium yang ternyata
memiliki lebih banyak nukleotida AT. Pada gena-gena toksoplasma
juga tidak dijumpai adanya intron, kecuali pada gena yang mengkode
dihydrofolate reductase (DHFR), uracyl phosphoribosyl transferase
dan hypoxanthine xanthine guanosine phosphoribosyl transferase yang
dipotong oleh sejumlah intron kecil di dalamnya (Roos, 1993). Pola
dari struktur organisasi ini memang tidak biasa ada pada toksoplasma,
karena pada gena yang lain, seperti gena yang mengkode tubulin,
NTPase dan aktin, tidak dijumpai adanya interupsi oleh intron (Nagel
et al., 1988; Asai et al., 1995).
Adanya DNA repetisi telah dikarakterisasi oleh Burg et al.
(1989). Lebih lanjut dikemukakannya, bahwa ada suatu fragmen yang
disebut B1 besarnya 2 kB, secara tandem mengalami repetisi pada
kromosoma IX. Meskipun keberadaan dari gena B1 ini tidak bersifat
polimorfis, namun sangat berguna sebagai penanda (marker) dalam
deteksi PCR dengan sensitivitas dan spesivitas yang tinggi. Selain
gena tersebut, masih ada lagi gena-gena yang lain, seperti gena inti
rDNA dan 5.8S RNA, large subunit dan 5S RNA yang keberadaannya
sangat penting untuk diagnosa, deteksi dan perbandingan filogenetika
pada toksoplasma (Gagnon, 1993).
B. Struktur Genetika Populasi Toxoplasma gondii
Antigen SAG1 dan SAG2 yang merupakan antigen hasil ekspresi
parasit selama stadium takizoit, dapat digunakan sebagai penanda
terhadap antigen dari galur spesifik. Di antara antigen-antigen yang
diperoleh dari suatu galur toksoplasma tersebut, terdapat kemiripan
antara satu dengan yang lain yang ditunjukkan dari hasil analisa data
sequencing pada antigen permukaan (SAG) dari takizoit. Hasil ini
34 Toksoplasmosis pada Hewan
menunjukkan, sangat sedikit perbedaan pada antigen toksoplasma
(Rinder et al., 1995). Pada penelitian lain yang dilakukan melalui
seleksi polimorfis dengan menggunakan isoensim atau penanda
DNA, mendukung adanya hasil yang rendah pada tingkat diversitas di
antara galur-galur pada toksoplasma. Dari 18 ensim yang digunakan,
hanya 6 isoensim polimorfis yang teridentifikasi (Dardee, 1988).
Dengan adanya perkembangan dari teknik PCR, memungkinkan
untuk mengamplifikasi suatu lokus genetika yang spesifik melalui
teknik Restriction Fragment Long Polymorphisme (RFLP-PCR)
dari sejumlah kecil sel. Melalui teknik ini, memungkinkan peneliti
untuk menganalisa secara langsung struktur genetika populasi
dari toksoplasma, tanpa harus membiakannya di laboratorium
dan juga memungkinkan untuk merubahnya di luar hospes yang
sesungguhnya. Dengan menggunakan PCR, seorang peneliti juga
dapat mengidentifikasi adanya polimorfis pada fragmen DNA
dari suatu galur yang spesifik, melalui teknik Random Amplified
Polymorphisme DNA (RAPD)(Williams et al., 1990).
Adanya keragaman populasi dari klon toksoplasma dapat
digunakan untuk menjelaskan korelasi antara genotip dari suatu
parasit dengan patogenitas yang terjadi pada hospes yang terinfeksi.
Galur dari tipe 1 misalnya, identik dengan infeksi akut pada mencit
dengan tingkat parasitemia tinggi dan berbeda dengan galur lain
pada suatu lokus. Sedangkan pada tipe 2 lebih spesifik pada kasus
infeksi kronis dan lebih umum terjadi pada pasien yang menderita
AIDS (Howe dan Sibley, 1995). Pendekatan genetika molekuler juga
memungkinkan para ahli untuk membuat semacam peta genetika dan
mengidentifikasi gena-gena yang bertanggung jawab dalam proses
patogenesis dari toksoplasmosis.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai struktur genetika dari
Toxoplasma gondii, perlu dilakukan suatu pemetaan genetika dengan
melibatkan seluruh mata rantai genetika dan informasi pemetaan secara
Toksoplasmosis pada Hewan
35
fisik, misalnya mengenai posisi informasi genetika dalam pemetaan itu
sendiri. Pendekatan ini tidak hanya akan memberikan suatu gambaran
luas di dalam meneliti dasar-dasar genetika dari suatu fenotip yang
menarik, namun juga akan dapat membantu menerangkan banyak hal
yang berkaitan dengan fungsi dan struktur suatu kromosom. Manfaat
utama dari pemetaan genetika ini adalah sebagai alat bantu dalam
identifikasi dan kloning dari suatu gena. Pada kloning toksoplasma,
penyusunan pustaka genetika dapat dengan menggunakan Bacterial
Artificial Chromosome (BAC) sebagai vektor dengan insert berukuran
60 kb dari galur Rh (Khan dan Ajioka, data yang tidak dipublikasikan).
Data-data yang diperoleh dari penyusunan pustaka genetika ini,
selanjutnya dianalisa lebih lanjut oleh Richard Durbin (MRC, LMB,
Cambridge, UK) dan Jean-Thierry-Mieg (CNRS, Montpellier, France)
melalui suatu program khusus yang memuat database parasit-parasit
untuk dimanfaatkan dan dikembangkan pada penelitian lebih lanjut.
C. Transfeksi dan Transformasi
Berbagai penelitian yang berkaitan dengan biologi molekuler
toksoplasma terus berkembang dengan pesat tanpa henti. Salah satu
bidang yang tidak sedikit peranannya dalam upaya mengungkapkan
peranan masing-masing gena, berhubungan dengan fungsinya,
adalah transfeksi dan transformasi. Pada toksoplasma, teknik ini
memungkinkan, karena parasit tersebut dapat dibiakkan secara in
vitro di suatu media khusus untuk mempelajari lebih lanjut tentang
protein trafficking, sekresi antigen dan resistensi terhadap obat.
Dengan teknik elektroporasi dan transformasi ini, DNA akan dapat
disisipkan ke dalam suatu gena tertentu yang dikehendaki. Untuk
selanjutnya, parasite tersebut dibiakan kembali dalam media buatan.
Dalam teknik ini, ada 2 reporter gena yang dipakai, yaitu gena yang
mengkode cat dan LacZ. Kemudian, tingkat ekspresi dari transfeksi ini
akan meningkat dalam waktu 24 jam setelah elektroporasi dilakukan
(Soldati dan Boothroyd, 1993).
36 Toksoplasmosis pada Hewan
BAB V
GEJALA KLINIS
Pada umumnya toksoplasmosis pada manusia dan hewan tidak
menunjukkan gejala yang khas. Hal tersebut terjadi terutama pada kasus
selama siklus enteroepitelial, sehingga penyakit ini tidak memberikan
gambaran spesifik pada saluran gastrointestinal. Berlainan dengan
kasus toksoplasmosis ekstraintestinal, gambaran klinisnya lebih
terlihat dengan infeksi yang melalui plasenta. Hal ini dapat berakibat
kematian pada anak yang dikandungnya. Gejala-gejala klinis yang
sering terlihat misalnya demam, hiperestesia otot, turunnya berat
badan tubuh, anoreksia dan ataksia (Lappin, 1994). Tidak seperti
pada berbagai penyakit lainnya, kasus toksoplasmosis umumnya tidak
menunjukkan adanya gejala klinis baik pada hospes definitif maupun
hospes perantara. Pada kucing misalnya, toksoplasmosis umumnya
jarang disertai timbulnya gejala klinis meskipun kucing tersebut
terinfeksi oleh oosista yang jumlahnya berjuta-juta.
A. Kucing
Kucing dan beberapa golongan Felidae sangat berperan penting
sebagai kunci perkembangan dan penyebaran toksoplasmosis.
Toksoplasmosis pada Hewan
37
Biasanya oosista toksoplasma akan dilepaskan oleh kucing dalam
keadaan belum bersporulasi. Setelah sporulasi, di dalam oosista
tersebut berkembang menjadi 2 sporosista yang masing-masing
mengandung sporozoit. Kucing di seluruh dunia merupakan sumber
laten dari infeksi Toxoplasma gondii. Kucing-kucing di Eropa Tengah
terdeteksi antibodi terhadap Toksoplasmosis sebanyak 20 - 90%.
Namun demikian bagi kucing yang diberi makan yang matang dan
senantiasa tinggal di rumah, sangat jarang terinfeksi. Dari sampelsampel
tinja kucing yang diperiksa di Eropa, didapat prevalensi oosista
yang berkisar antara 0,1-6% (Rommel et al., 1987).
Perkembangan dari oosista pada kucing berlangsung secara
aseksual melalui skizogoni yang terjadi di dalam sel epitel usus halus.
Proses pembentukan oosista hingga dikeluarkan bersama-sama
dengan feses berlangsung 1-14 hari tergantung bentuk infeksi awal
yang diperoleh. Pada keadaan oksigen, kelembaban dan temperatur
yang sesuai, sporulasi oosista hingga infektif dapat berlangsung dalam
2-4 hari.
Selain perkembangan di dalam intestinum, oosista juga aktif
berkembang di luar usus atau organ pada kucing sebagaimana
perkembangan yang terjadi pada hospes perantara lainnya. Pada
hari ke 9 - 10 setelah infeksi terjadi dapat ditemukan adanya sista
di dalam otot jantung dan otak serta beberapa organ yang lain.
Infeksi ini bertahan paling sedikit 1,5 tahun hingga sepanjang
umur dari hospes. Kucing yang mendapat infeksi oosista per oral,
selanjutnya oosista tersebut dapat menembus organ-organ dalam
dan berkembang lebih lanjut sebagaimana di dalam jaringan hospes
perantara (perkembangan endodiogeni dan pembentukan sista).
Setelah melampaui perkembangan tersebut, parasit akan kembali ke
dinding usus dan mengalami perkembangan secara skizogoni dan
gametogoni lebih lanjut dengan periode prepaten 20-36 hari (Boch,
1984; Dubey dan Beattie, 1988; Rommel et al., 1987).
38 Toksoplasmosis pada Hewan
Gambar 16. Makrogamet pada Sel Usus Kecil Kucing (Dubey, 1988)
Infeksi toksoplasma pada kucing tidak menunjukkan gambaran
klinis yang spesifik. Dari suatu penelitian hanya dijumpai gejala klinis
pada kucing yang baru dilahirkan dengan gejala klinis seperti enteritis,
hepatitis, miokarditis, miositis, pneumoni dan ensefalitis. Setelah 2
minggu kemudian gejala klinis ini menjadi hilang dan kadang-kadang
masih disertai temperatur tubuh yang meningkat. Gejala-gejala
spesifik yang lain tidak dijumpai. Pada kucing yang dijumpai dengan
mengeliminasikan oosista dalam jumlah besar, hanya sedikit terjadi
diare ringan (Schnieder, 1982). Beberapa laporan penelitian dari
pengamatan terhadap kejadian infeksi alam pada kucing dijumpai
adanya gejala-gejala anoreksia, demam, gejala gangguan pernafasan
dan ensefalitis. toksoplasmosis yang kronis sering disertai adanya
gejala-gejala anoreksia, anemia, abortus, steril, gangguan saraf pusat,
demam, miokarditis dan gangguan pernafas an. Pada kucing umur 2
minggu dengan toksoplasmosis akut, sebelum mati akan menunjukkan
gejala pneumonia, hepatitis, miokarditis, ensefalitis dan retinitis
yang kemungkinan besar infeksi ini diperoleh secara transplasenter
Toksoplasmosis pada Hewan
39
(Dubey dan Beattie, 1988). Penelitian pada kucing yang menderita
toksoplasmosis bersama dengan infeksi Feline Immunodeficiency Virus
(FIV), infeksi dapat berkembang menjadi suatu infeksi dengan gejalagejala
penyakit klinis (Heidel et al., 1990).
Gambar 17. Siklus Hidup Toksoplasma pada Kucing (icatcare.org)
Secara umum gejala klinis yang sering muncul pada kucing
adalah demam, hilangnya nafsu makan, dan letargi. Berbagai gejala
klinis pada kucing lebih banyak terjadi pada kucing yang mengalami
gangguansistem imune, termasuk pada anak kucing dan kucing yang
mengalami feline leukemia virus (FeLV) atau feline immunodeficiency
virus (FIV).
40 Toksoplasmosis pada Hewan
Gambar 18. Uveitis pada Kucing yang Mengalami Toksoplasmosis.
Terlihat bentuk irregular pupil, warna opag, pupil berkabut, dan
mata yang menjadi lebih gelap (www.vet.cornell.edu)
Gejala lain yang muncul tergantung apakah infeksinya akut
atau kronis dan dimana lokasi parasit menginfeksi pada tubuh hewa.
Pada paru-paru, infeksi T. gondii dapat menyebabkan pneumonia,
yang akan menimbulkan gejala kesulitan bernafas yang akan semakin
buruk seiring berjalannya waktu. Infeksi pada hati dapat menyebabkan
penyakit kuning yang dapat dilihat dari kulit dan membrane mukosa
(jaundice). Toksoplasmosis dapat juga menyerang mata dan sistem
syaraf pusat, menghasilkan inflamasi pada mata, atau pigmentasi
sebagian bagian mata (uveitis), retina, atau ruangan diantara lensa
mata dan kornea (anterior chamber), ukuran pupil yang abnormal dan
kepekaan terhadap cahaya, kebutaan, kurang terkoordinasi, terlalu
sensitive pada sentuhan, perubahan perilaku, jalan berputar-putar,
gangguan pada telinga, kesulitan untuk mengunyah dan menelan
makanan, kejang, dan hilangnya kontrol terhadap proses urinasi dan
defekasi.
Toksoplasmosis pada Hewan
41
B. Anjing
Toxoplasma gondii merupakan penyakit parasiter yang sering
terjadi juga pada hewan karnivora. Anjing dalam hal ini juga berperan
penting dalam penyebaran toksoplasmosis. Penelitian secara serologis
pada anjing di Eropa menunjukkan adanya tingkat prevalensi yang
besarnya 7-89 % (Dubey dan Beattie, 1988; Svoboda et al., 1987).
Anjing biasanya mendapat infeksi dari T. gondii terutama karena
makan daging yang mengandung sista. Infeksi yang lain dapat
diperoleh melalui kontaminasi dari kotoran kucing yang terinfeksi
toksoplasmosis. Dari infeksi ini, anjing merupakan awal dari sumber
infeksi untuk hewan yang lain. Sista yang diperoleh per oral dalam
bentuk sporozoit akan menembus organ dan berkembang lebih lanjut
secara endodiogeni.
Infeksi toksoplasmosis pada anjing pada umumnya juga berjalan
tanpa menunjukkan gejala klinis yang spesifik, karena parasit ini
secara teratur dikeluarkan oleh anjing yang sehat. Gejala klinis pada
anjing tampak pada anjing umur 1 tahun yang kemungkinan akibat
faktor immunosupresif yang ditimbulkan oleh hospes terhadap infeksi
toksoplasmosis. Namun demikian pada kasus infeksi yang bersamaan
dengan infeksi lain (misalnya Erlichiosis) atau kondisi stres akan
menyebabkan anjing dapat menderita toksoplasmosis (Dubey et
al., 1989). Pada anjing juga pernah dilaporkan adanya infeksi yang
terjadi secara transplasenter atau toksoplasmosis neonatal (Dubey dan
Beattie, 1988).
Infeksi buatan pada anjing yang diberi makan daging yang
mengandung sista toksoplasma, tidak menunjukkan gejala kli nis yang
spesifik, hanya mungkin dijumpai adanya pembengkakan pada nodus
limfatikus. Pada pemberian oosista dalam jumlah yang lebih besar
akan tampak gejala seperti diare dan peningkatan temperatur tubuh.
Pada anjing yang mendapat infeksi alam, menunjukkan gejala-gejala
yang dapat dibagi menjadi 3 kriteria:
42 Toksoplasmosis pada Hewan
1. Bentuk umum pada anjing umur 7-12 bulan: demam,
tonsilitis, dyspnoe dan diare.
2. Bentuk sistim saraf pusat pada anjing umur lebih dari 4
bulan: ataksia, tremor, hemiparese dan kelesuan (Dubey dan
Beattie, 1988).
3. Bentuk yang terjadi akibat paralisa yang progresif dan
radikuloneuritis pada anjing umur 3 bulan
Pada anjing penyakit toksoplasmosis jarang menjadi penyakit
utama. Sebagian laporan menyatakan bahwa anjing yang mengalami
gangguan penyakit immunosupresif dan tidak divaksin virus distemper
rentan terhadap infeksi toksoplasma. Gejala klinis yang sangat tampak
pada anjing tua yang terinfeksi toksoplasma pada system syaraf dan
otot. Gejala gangguan syaraf tergantung pada lokasi dimana infeksi
berada cerebrum, cerebellum, atau batang otak. Gejala seperti kejang,
tremors, ataksia, dan paralisis kemungkinan dapat terlihat. Anjing
yang mengalami myositis dapat memperlihatkan gejala cara berjalan
yang tidak normal, kelemahan dan kekakuan otot (Dubey, 2005).
Atropi otot pada daerah femoral, hyperextension pada kaki belakang
serta penurunan berat badan juga dapat terjadi (Migliore et al., 2017).
Gambar 19.
Anjing yang
mengalami
Hyperextension
pada Kaki
Belakang
Akibat
Toksoplasmosis
(Migliore et al.,
2017).
Toksoplasmosis pada Hewan
43
Toksoplasmosis pada anjing yang menyerang sistem respirasi,
gastrointestinal, atau syaraf dan otot dapat memperlihatkan gejala
demam, muntah-muntah, diare, dispnea, dan icterus. Beberapa anjing
yang diduga mengalami toksoplasmosis neuromuskular mungkin
dapat memperlihatkan gejala neosporosis. Infeksi pada myocardium
akibat toksoplasmosis dapat mengakibatkan ventricular arrhythmias,
dyspnea, vomiting, atau diare.
C. Unggas
Infeksi laten Toksoplasma pada unggas diduga dijumpai pada
berbagai jenis burung dan unggas yang dipelihara di rumah. Dari
jenis-jenis unggas yang mungkin dapat terinfeksi adalah: ayam, kalkun,
burung merpati dan itik. Selain itu pada burung kenari dan bangau
pernah juga dilaporkan adanya kematian akibat toksoplasmosis (Dubey
dan Beattie, 1988). Dalam industri peternakan unggas yang dipelihara
secara intensif, kasus infeksi toksoplasmosis jarang dijumpai. Penelitian
yang dilakukan di Jerman misalnya menyebutkan adanya prevalensi
toksoplasmosis pada unggas berkisar 0,4 % dengan gambaran patologis,
ditemukan sista toksoplasma di otak dan otot jantung (Boch, 1980).
Pada unggas terutama burung merpati di Belgia yang dipelihara
secara alami (bebas) terdapat prevalensi serologis yang lebih besar
yaitu 3,2 % positif dari 200 burung merpati yang diperiksa di suatu
kota (Berger, 1966). Kebanyakan unggas mendapatkan infeksi
toksoplasmosis melalui pakan yang tercemar oosista yang bersporulasi.
Infeksi dapat juga diperoleh melalui gigitan dari insekta atau menelan
cacing yang membawa oosista. Lalat dan moluska kemungkinan juga
dapat berperan sebagai vektor bagi penyebaran oosista toksoplasmosis
yang berasal dari kotoran kucing. Sisa-sisa potongan daging yang
tercemar sista toksoplasma yang dimakan ayam, dapat juga menjadi
sumber penularan. Suatu penularan melalui telur belum pernah
ditemukan (Biancifiori et al., 1986). Infeksi laten toksoplasmosis pada
unggas, tidak dijumpai adanya gejala spesifik toksoplasmosis.
44 Toksoplasmosis pada Hewan
Gambar 20. Ilustrasi Siklus Hidup Toxoplasma gondii pada Ayam
(ilustrasi : Bethany Caskey, pada The Chicken Health Handbook)
Kejadian infeksi toksoplasma pada ayam lebih banyak terjadi
pada ayam yang dipelihara secar tradisional daripada ayam komersil.
Gejala toksoplasmosis dapat dilihat dari gangguan system syaraf
pusat, kondisi reproduksi, otot dan tulang, serta kondisi orgasn
visceral. Gejala klinis dapat dilihat pada ayam yang terinfeksi sebelum
umur 8 minggu. Sedangkan pada ayam yang lebih dewasa, infeksi bisa
jadi tidak menampakkan gejala atau bersifat laten (gejala hanya akan
muncul jika kondisi ayam menurun).
Toksoplasmosis pada Hewan
45
Gambar 21. Pemeliharaan Ayam secara Tradisional yang Rentan
Penularan Toksoplasma pada Unggas
Ayam yang mendapat infeksi alam akan menunjukkan gejala
tidak mau makan, kekurusan, diare, penyusutan jengger, penurunan
produksi telur, gemetar, tortikolis, gangguan gerakan, pelebaran pupil
mata, perubahan pada retina dan kebutaan (Boch, 1980; Dubey dan
Beattie, 1988). Burung merpati yang diberi infeksi buatan dengan
500 oosista menunjukkan adanya gambaran infeksi seperti diare,
gangguan lokomosi yang dapat berakibat pada kematian. Namun
demikian dalam kondisi infeksi alam, gambaran tersebut pada merpati
jarang dijumpai (Biancifiori et al., 1986).
Perubahan pasca mati pada jenis-jenis burung yang terinfeksi
akut toksoplasmosis dijumpai adanya ensefalitis, korioretinitis,
miokarditis, pembengkakan otot jantung, nekrosis lokal pada hati dan
limfa, enteritis dan abses di dinding usus serta pneumoni (Dubey dan
46 Toksoplasmosis pada Hewan
Beattie, 1988). Infeksi buatan oosista toksoplasma pada ayam umur
1 hari tidak menunjukkan gejala yang berarti, sedangkan pada ayam
dewasa menunjukkan parasitemia pada hari 1 sampai 39 dengan gejala
kelesuan. Infeksi per oral yang berat yang diberikan pada anak ayam
akan berakibat kematian. Pemberian oosista sebesar 50.000 tidak
memberikan gejala klinis yang spesifik, kecuali peningkatan mortalitas
embrio di dalam telur ayam yang terinfeksi (Biancifiori et al., 1986).
D. Domba dan Kambing
Gejala penyakit pada domba dan kambing mirip dengan gejala
pada manusia, yaitu infeksinya secara asimtomatik (Nurcahyo, 2004).
Penyakit ini dapat ditandai dengan plasentitis, abortus, ensefalitis
dan lesi pada mata. Pada domba yang menderita plasentitis, abortus
terjadi pada akhir bulan dari kebuntingan atau dapat menyebabkan
kelahiran mati. Foki nekrotik warna abu-abu dapat ditemukan pada
kotiledon. Infeksi kongenital pada anak domba dapat menyebabkan
inkoordinasi, gangguan fisik dan tidak dapat makan sendiri (Acha dan
Syzfres, 1980). Pada domba betina dengan umur kebuntingan kurang
dari 120 hari, abortus terjadi pada 26 - 55 hari setelah inokulasi
(Munday dan Dubey, 1986). Penyakit reproduksi yang utama akibat
infeksi parasit ini pada kambing adalah abortus, mumifikasi, stillbirth
dan kematian perinatal (Nurse dan Lenghaus, 1986).
Toksoplasmosis pada Hewan
47
Gambar 22. Abortus pada Kambing karena Infeksi Toxoplasma
gondii (sumber : Kansas State Veterinary Diagnostic Laboratory)
Menurut Cole (Levine, 1978) kematian pada anak domba dan
domba dewasa yang menderita toksoplasmosis umumnya disebabkan
oleh gangguan syaraf dan pernafasan. Dubey dkk (1986) melaporkan
adanya infeksi toksoplasmosis yang diperoleh sebelum 50 hari
kebuntingan yang besar kemungkinan disebabkan oleh kematian
embrio dan resorbsi, sedangkan infeksi yang diperoleh antara 50 -
90 hari kebuntingan, mungkin menyebabkan kematian fetus dan
mumifikasi, stillbirth dan kematian neonatal. Infeksi selama akhir
kebuntingan mungkin menghasilkan toksoplasmosis yang tidak
tampak.
E. Sapi
Sapi dapat menjadi hospes perantara bagi T. gondii meskipun
parasit tersebut berlokasi di dalam tubuh sapi. Suatu penelitian pada
sapi yang dilakukan oleh Dubey dan Beattie (1988) dengan memberi
infeksi buatan T. gondii menunjukkan adanya Toksoplasma yang
48 Toksoplasmosis pada Hewan
dapat bertahan hingga periode yang lama di dalam daging dan organ,
namun demikian tidak menunjukkan titer antibodi yang berarti. Sapi
menunjukkan gejala demam, kelesuan dan nafsu makan menurun.
Empat minggu setelah sapi tersebut diinfeksi, dapat dideteksi adanya
Toksoplasma dari berbagai organ, akan tetapi segera dieliminasikan
dari tubuh sapi hingga minggu ke 8. Diagnosa yang dilakukan dengan
uji Sabin Feldman (SFT) yang ditujukan untuk melihat aktifitas
antibodi mencapai nilai maksimum pada hari ke 9 - 30. Selanjutnya
pada bulan ke 2 hingga 6 aktifitas tersebut kembali menghilang. Uji
yang dilakukan dengan metode Aglutinasi menunjukkan hasil adanya
titer antibodi dalam waktu yang lebih lama.
Gambaran patologi - anatomi dari sapi yang terinfeksi sangat
sedikit, terutama hanya dijumpai pembengkakan limfa dan nodus
limfatikus. Kondisi yang lebih parah pernah dilaporkan oleh beberapa
peneliti pada anak-anak sapi yang menderita toksoplasmosis dengan
kematian 2 - 6 hari setelah lahir atau lahir dalam keadaan mati. Gejalagejala
yang nampak pada hewan tersebut adalah demam, kesulitan
bernafas, batuk, menggigil dan gangguan sistim syaraf pusat. Dalam
kondisi alam kasus toksoplasmosis dengan akibat keguguran pada sapi
tidak lagi dijumpai yang kemungkinan besar sapi-sapi tersebut telah
mendapatkan imunitas perolehan. Sehingga suatu pengobatan khusus
pada sapi terhadap toksoplasmosis tidak mutlak diperlukan (Dubey
dan Beattie, 1988). Daging sapi kurang memiliki arti yang penting
bagi sumber infeksi toksoplasmosis pada manusia. Susu sapi yang
di dapat dari peternakan juga jarang dijumpai adanya kontaminasi
akibat toksoplasmosis. Apabila susu sapi tersebut terkontaminasi oleh
oosista toksoplasma, besar kemungkinan parasit tersebut akan mati
dalam proses pasteurisasi (Dubey dan Beattie, 1988).
F. Babi
Infeksi toksoplasmosis pertama kali pada babi dilaporkan oleh
Farrel pada tahun 1952 (Soulsby, 1982). Babi penderita toksoplasmosis
Toksoplasmosis pada Hewan
49
biasanya secara kongenital. Babi umur 3 - 4 minggu adalah paling peka
terhadap infeksi secara perolehan. Gejala lain yang tampak adalah
demam, dispnoe, batuk-batuk, tremor, relaksasi otot perut, diare, asites
dan abortus, atau bisa berakibat fatal jika babi masih tetap bertahan
hidup, maka gejala-gejala syaraf masih sering timbul sampai dewasa.
Pada babi dewasa gejala bersifat asimtomatik, namun parasit dapat
diisolasi dari air seni, ludah dan air susu (Bruner dan Gillespie, 1973).
Gambar 23. Abortus karena Pengaruh Infeksi T. gondii pada Babi
(sumber : sciencedirect)
Gejala klinis yang terjadi pada induk babi yang terinfeksi toksoplasmosis
antara lain adalah kelemahan, inkoordinasi, batuk, tremor,
relaksasi otot abdomen dan diare tanpa demam. Pada babi muda,
bentuk akut ditandai dengan demam tinggi dan diare yang kemudian
dapat berakhir dengan kematian setelah beberapa minggu. Pada babi
50 Toksoplasmosis pada Hewan
umur 2 - 4 minggu, gejala yang tampak yaitu : kekurusan, sesak nafas,
batuk, tanda-tanda syaraf dan ataksia (Blood dkk., 1983).
Toksoplasmosis pada Hewan
51
52 Toksoplasmosis pada Hewan
BAB VI
PATOGENESIS
Takizoit dilaporkan dapat menginfeksi hampir semua jenis
hewan, juga dapat menular ke manusia, sel dan organ yang paling
sering diinfeksi oleh takizoit bergantung kepada rute infeksi dan
jenis hospesnya. Takizoit merupakan stadium dimana toksoplasma
membelah dengan cepat dalam waktu sekitar 6 - 8 jam pasca infeksi,
dan pada fase ini mampu menginfeksi semua sel yang berinti, untuk
selanjutnya berkembang biak secara endodiogeni.
Infeksi pada saat yang relatif cepat ini adalah infeksi akut, yang
ditandai replikasi takizoit yang sangat cepat. Takizoit ini kemudian
akan menyebar dengan cepat melalui saluran-saluran limfatik, melalui
darah masuk ke hati, paru-paru, kemudian beredar ke seluruh tubuh.
Berbeda dengan infeksi akut, pada infeksi yang kronis, replikasi takizoit
berjalan lambat. Bradizoit berkembang dan terjadi pembentukan
sista pada jaringan, ini merupakan awal dari masa dormansi parasit.
Perkembangan dari takizoit menjadi bradizoit juga merupakan saat
dimulainya pembentukan kekebalan untuk proteksi.
Waktu yang dibutuhkan takizoit hanya kurang dari 30 detik
untuk masuk ke dalam sel target. Selanjutnya, fagositosis memerlukan
Toksoplasmosis pada Hewan
53
waktu 2-4 menit. Proses invasi ini melibatkan tiga tahap yang berjalan
berurutan, yaitu perlekatan, penetrasi aktif, dan pembentukan vakuola
parasitoforus yang akan membentuk dinding sista.
Infeksi dan invasi T. gondii mengakibatkan terjadinya kerusakan
masif pada jaringan atau organ terinfeksi. Kerusakan jaringan terjadi
dalam waktu yang singkat meskipun infeksi terjadi dengan dosis
tinggi maupun rendah terutama jika terjadi pada leukosit. Terjadinya
awal deplesi dan destruksi masif diperkirakan dimulai sejak hari
pertama infeksi dan terus berlanjut sampai periode tertentu. Proses
ini disebabkan adanya lytic cycle selama perkembangan aseksual. Pada
saat infeksi takizoit ke sel terjadi di dalam vakuola parasitoforus, maka
dimulailah fase perkembangan secara vegetatif. Proses pembelahan
diri takizoit disebut juga endodyogoni ataupun poliendodyogoni.
Pernah dilaporkan bahwa di dalam periode yang bersamaan dengan
hancurnya sel atau lisis, jumlah takizoit dapat bertambah sampai
256 takizoit baru atau lebih. Periode tersebut adalah periode yang
sama dengan periode dimana satu sel akan membelah secara mitosis
menjadi dua sel. Adanya kecepatan replikasi takizoit yang demikian
cepat dan tidak sebanding dengan kemampuan sel untuk bermitosis
mengakibatkan kerusakan yang terjadi berat dan meluas seiring
semakin lamanya infeksi. Faktor lingkungan mempengaruhi kondisi
oosista ditanah, lingkungan yang sesuai dengan suhu kurng lebih 24°C
akan menyebabkan oosista bersporulasi atau mengalami pemasakan
menjadi oosista infektif dalam waktu 2 - 3 hari.
A. Infeksi Akut
Bentuk T. gondii di dalam saluran pencernaan biasanya dapat
menimbulkan infeksi yang bersifat akut dalam bentuk takizoit melalui
siklus enteroepitelial. Infeksi ini akan menyebar melalui pembuluh darah
dan limfe. Takizoit ini selanjutnya akan masuk ke jaringan limfonodus
di sekitarnya dan jaringan tubuh yang lain, misalnya: sistem saraf pusat,
otot rangka dan sistim peredaran darah dan organ-organ dalam. Timbul
54 Toksoplasmosis pada Hewan
suatu dugaan bahwa takizoit dapat mengalami replikasi di dalam sel-sel
jaringan hospes. Hal ini terjadi karena selama infeksi akut ini, parasit akan
mengalami replikasi dengan cepat terutama pada saat takizoit berbentuk
lancip lonjong yang siap mengadakan invasi dan melisiskan sel hospes.
Semua sel yang memiliki inti memiliki potensi untuk diinfeksi oleh takizoit
(Werk, 1985). Kejadian tersebut akan menjadi semakin parah apabila
terjadi kerusakan jaringan pada hospes dengan disertai imunodefisiensi
yang selanjutnya dapat berakibat kematian. Selain itu, penyebaran infeksi
T. gondii dapat terjadi dari satu sel ke sel yang lain atau melalui aliran
darah (Frenkel, 1990; Lappin, 1994). Pada beberapa hospes yang bersifat
imunokompeten, proliferasi parasit selama infeksi akut ini dikendalikan
oleh sejumlah sistem efektor tanggap kebal hospes dengan mediator
utama limfosit T sitotoksik. Peran ini sangat besar dalam penghancuran
takizoit dengan disertai interferon gamma (IFN-g) dengan sejumlah efek
imunostimulator dan parasitik lain. Di samping itu, antibodi yang spesifik
juga telah disiapkan oleh tubuh untuk menghadapi infeksi pada fase akut
(Smith et al., 1995).
B. Infeksi Kronis
Suatu fraksi dari bentuk takizoit pada T. gondii yang mengalami
diferensiasi menjadi bentuk yang lebih lambat perkembangannya
disebut bradizoit. Bentuk ini dapat menembus jaringan intraseluler dan
membentuk sista (Remington dan Cavanaugh, 1965). Struktur dari
bradizoit ini berbeda dengan takizoit. Pada bradizoit terjadi akumulasi
granula amilopektin di dalam sitoplasma. Bradizoit ini selanjutnya
akan di kelilingi oleh dinding yang berupa sista di dalam jaringan.
Bentukan ini terjadi dari akumulasi material dan sitoskleton saraf
dari parasit dan membran vakuola sel hospes yang terinfeksi. Diduga
timbulnya sista ini berhubungan erat dengan terbentuknya kekebalan
pada hospes. Selainitu, diduga adanya respon kekebalan humoral yang
memicu terbentuknya sista jaringan di dalam otak dengan disertai
respon kekebalan seluler yang mengontrol pembentukan sista jaringan
Toksoplasmosis pada Hewan
55
tersebut (Long, 1990 dan Cheng, 1986). Kadangkala beberapa
hancuran dari sista yang dilepaskan oleh bradizoit selama infeksi
kronis akan menginfeksi sel-sel baru yang akan dapat berjalan selama
periode yang lama (Frenkel dan Escajadillo, 1987). Pembentukan sista
dalam jaringan ini hanya sedikit mengakibatkan perubahan pada sel
selama hidup dari hospes tanpa memperlihatkan perubahan patologi
yang nyata.
C. Gambaran Histopatologi
Infeksi T. gondii dapat menyebabkan kerusakan pada berbagai
jenis sel berinti tanpa membedakan jaringan tertentu. Jika infeksi
terjadi melalui mulut maka dapat menyebabkan enteritis subklinis.
Infeksi yang terjadi melalui sirkulasi darah, T. gondii tersebut dapat
menyebar ke jaringan atau organ hati, paru-paru, jantung, dan otak.
Toxoplasma gondii yang menyebar melalui jaringan limfatik akan
menuju limfonodus di sekitarnya dan paru-paru. Jika takizoit dalam
sel berkembang, maka akan terbentuk nekrotik fokal yang disertai
infiltrasi sel radang mononuclear. Lesi patologis toksoplasmosis yang
terjadi tergantung pada spesies hewan. Pada umumnya gambaran
patologis yang terlihat terutama ensefalitis, pneumonia, dan
pancreatitis (Frenkel, 1990).
Infeksi T. gondii menyebabkan perubahan histopatologis pada
organ-organ non limfoid seperti adanya infiltrasi sel-sel bulat yang
menyerupai limfosit dengan beberapa sel plasma serta makrofag dan
eosinophil namun jarang terlihat. Infiltrasi sel cenderung bersifat local
pada jaringan-jaringan seperti otak, paru-paru, hati, atau jaringan
interstitial pada jantung dan otot kerangka. Lesi yang bersifat lokal
lebih banyak terjadi pada otak dan hati berupa nekrosis sentral. Pada
paru-paru, perubahan lesi biasanya tidak terjadi, hanya terlihat adanya
fibrosis yang juga terjadi di jantung, otot kerangka, dan hati. Pada
proses penyembuhan ditandai adanya pengapuran seperti pada otak
manusia, otak domba, dan plasenta sapi (Soulsby, 1974).
56 Toksoplasmosis pada Hewan
Multiplikasi takizoit pada infeksi berat menyebabkan nekrosis
pada organ vital seperti pada miokardium, paru-paru, hati, dan
otak. Selama fase ini berlangsung hospes mengalami pireksia dan
limfadenopati. Fase kronis bersifat asimptomatik pada pembentukan
bradizoit (Urquhart et al., 1996).
Perubahan inflamatorik berkembang pada 7-14 hari infeksi dan
biasanya mencapai tahap maksimal pada minggu ketiga dan keempat.
Sel-sel yang menginfiltrasi, terutama sel mononuclear, beberapa
makrofag dan beberapa sel plasma. Sel-sel polimorfonuklear jarang
terlihat. Setelah itu inflamasi secara bertahap mereda sehingga pada
minggu ke-12 terdapat sedikit aktivitas. Fibrosis merupakan penemuan
utama tetapi unsur stromal residual masih dapat terlihat. Perubahan
yang terjadi pada nodus limfatikus dan limpa juga berkembang dengan
cepat dan biasanya dalam jangka waktu yang sama dengan perubahan
inflamatorik pada organ non limfoid (Soulsby, 1974).
Infeksi pertama T. gondii pada hewan yang bunting atau ibu
hamil mengakibatkan penyakit kongenital, terlihat lesi prodominan
pada system syaraf pusat, meskipun jaringan lain dapat juga terinfeksi.
Korioretinitis merupakan lesi yang secara berkala pada toksoplasmosis
kongenital (Urquhart et al., 1996).
Perbedaan gambaran histopatologis organ kucing yang telah
diperiksa baik pada kucing yang telah diperiksa positif secara serologi
maupun yang telah diinfeksikan dengan T. gondii, disajikan pada Tabel
1. Organ-organ yang diperiksa menunjukkan adanya reaksi radang
yang ditandai dengan adanya proliferasi inti sel, infiltrasi leukosit
dan makrofag, infiltrasi sel eosinofil dan juga infiltrasi sel leukosit
(Hanafiah et al., 2017). Parasit T. gondii menginfeksi semua sel
berinti, termasuk makrofag yang seharusnya berfungsi memfagositosis
dan mengeliminasi patogen (Ahn et al., 2006). Pada jaringan organ
kucing yang positif toksoplasmosis tidak ditemukan adanya bentukan
yang menyerupai sista (Hanafiah et al., 2017). Hal ini kemungkinan
Toksoplasmosis pada Hewan
57
toksoplasmosis masih dalam stadium akut sehingga belum ditemukan
dalam bentuk sista bradizoit, dan sista tersebut umumnya ditemukan
dalam stadium kronis (Frenkel, 1988).
Tabel 1. Perubahan Histopatologi pada Organ Kucing yang
Terinfeksi Toxoplasma Menggunakan Pewarnaan Hemataoxilin dan
Eosin (HE) (Hanafiah et al., 2017)
Organ yang
diamati
Perbedaan yang terlihat
Kucing positif secara serologis
(Natural infection)
Kucing yang diinfeksikan
Toxoplasma (Experimental
infection)
infiltrasi sel-sel eosinofil
Ileum proliferasi sel epitel, infiltrasi
sel-sel leukosit dan makrofag
Jejenum tidak ada reaksi keradangan infiltrasi sel-sel eosinofil
Duodenum tidak ada reaksi keradangan tidak ada reaksi keradangan
Ginjal infiltrasi sel eosinofil dan juga tidak ada reaksi keradangan
infiltrasi sel leukosit
Otak tidak ada reaksi keradangan tidak ada reaksi keradangan
Paru-paru tidak ada reaksi keradangan infiltrasi sel eosinofil
Hati infiltrasi sel eosinofil dan juga tidak ada reaksi keradangan
infiltrasi sel leukosit
Limpa tidak ada reaksi keradangan tidak ada reaksi keradangan
Hasil pemeriksaan histologi (Hanafiah et al., 2017)
menunjukkan bahwa baik kucing yang secara serologi positif
dengan Card Agglutination Test (CATT) (Pastorex Bio-Rad, Lot
number 72724) maupun yang diinfeksikan Toxoplasma pada sampel
pemeriksaan usus halus (duodenum, jejenum, dan ileum) stadium
skizon berisi banyak merozoit telah masak hanya terlihat di bagian
ileum (Gambar 24 A dan B), sedangkan di duodenum dan jejenum
tidak ditemukan.
58 Toksoplasmosis pada Hewan
Gambar 24. Usus kucing.
A. Ileum kucing yang positif Toxoplasma secara serologi Pastorex Toxo,
B. Ileum kucing yang diinfeksikan Toxoplasma. Tanda panah terlihat
adanya perkembangan siklus seksual (meront) (skala bar 20 μm).
Pada organ paru selain ditemukan adanya infiltrasi sel-sel
leukosit juga terlihat bentukan menyerupai sista (gambar 25 A).
Adanya sista atau pseudosista ini (Gambar 25 B) disebabkan oleh
karena takizoit yang membelah secara biner atau membelah dua,
dan masing-masing pecahan kemudian membelah lagi, membentuk
suatu pseudosista intraseluler yang mengubah bentuk sel inang, dan
akhirnya menyebabkan pecahnya sel tersebut. Takizoit yang dilepaskan
dari proses ini segera menginvasi sel-sel yang ada di dekatnya. Secara
periodik terjadilah eksitasi atau pecahnya pseudosista dan pelepasan
Toxoplasma yang mengakibatkan kerusakan seluler dalam jaringan
(Pfeffekom, 1990).
Toksoplasmosis pada Hewan
59
Gambar 25. Paru Kucing yang Diinfeksikan dengan Toxoplasma
A. Tanda panah terlihat adanya infiltrasi sel-sel polimorfonuklear;
B. Tanda panah terlihat adanya pseudosista (skala bar 20μm).
Sedangkan hasil pemeriksaan jaringan organ ginjal (Gambar 26
A dan B) kucing yang positif secara serologi menunjukkan infiltrasi sel
polimorfonuklear (eosinofil) dan juga infiltrasi sel mononuklear (leukosit).
Infiltrasi sel polimorfonuklear dan mononuklear mengindikasikan adanya
infeksi T. gondii yang bersifat akut (Frenkel, 1988).
Gambar 26. Ginjal kucing yang positif Toxoplasma secara serologi
terlihat adanya nefritis. Infiltrasi sel polimorfonuklear (P) dan
infiltrasi sel mononuklear (M), nekrosis pada tubulus ginjal kucing.
60 Toksoplasmosis pada Hewan
Pengecatan hematoksilin eosin (HE) (skala bar 20 μm).
D. Imunohistokimia
Metode imunohistokimia yang banyak digunakan dan sangat
sensitive adalah metode avidin biotin atau disebut metode Avidin
Biotin Complex (ABC). Metode ini merupakan modifikasi dari
metode tidak langsung, namun antigen yang telah berikatan langsung
dengan antibodi primer, selanjutnya antibodi primer dengan antibodi
sekunder yang telah mengalami biotinilasi (terkonjugasi dengan
biotin), pada setiap ujung tangan antibodi sekunder telah terkonjugasi
dengan biotinyang dapat mengikat molekul avidin dengan menetaskan
larutan kompleks avidin biotin maka antibody sekunder membentuk
kompleks dengan avidin melalui bitin. Biotin pada ABC diikatkan
dengan peroksidase dan enzim tersebut divisualisasikan melalui ikatan
dengan substrat yang telah diberi kromogen (Bionisch, 2001).
Penelitian toksoplasmosis pada burung merpati (Columba livia)
dengan teknik imunohistokimia streptavidin-biotin menunjukkan
reaksi positif sista T. gondii pada salah satu sampel (Hamdani,
1998). Metode avidin biotin yang sering digunakan adalah Labeled
Avidin Biotin (LAB) atau Labeled Streptovidin Avidin Biotin (LSAB)
yang menggunakan biotinylide secondary antibody dan 3 reagen dari
peroksidase atau alkaline phosphatase berlabel avidin, dan metode ini
memiliki sensitivitas yang lebih tinggi diantara metode ABC lainnya.
Antibodi yang baik unutk imunohistokimia memiliki ciri spesifikasi
tinggi yaitu antibodi harus dapat berikatan secara spesifik dengan
satu antigen saja, memiliki titer yang cukup tinggi karena titer yang
tinggi menggambarkan jumlah antibodi yang banyak sehingga dapat
mengikat banyak antigen (Ramosvara, 2005).
E. Perubahan Patologis pada Beberapa Jenis Hewan
Infeksi Toxoplasma gondii dapat mengakibatkan berbagai macam
perubahan patologis. Perubahan-perubahan tersebut bervariasi
Toksoplasmosis pada Hewan
61
tergantung pada tingkat infeksi dan jenis hewan, seperti sebagai
berikut :
1. Kucing
Perubahan patologi anatomis pada kucing yang menderita
toksoplasmosis dapat terlihat adanya ensefalitis, infiltrasi perivaskuler,
perubahan degeneratif pada otak dan sumsum tulang belakang,
nervus optikus, pembengkakan pada nodus limfatikus, bintik putih
yang multipel pada paru-paru, sarang nekrosis ditemukan pada limfa,
hati dan paru-paru, kolangitis, pankreatitis, nefritis interstitial kronis
dan pneum onia (Boch, 1992). Pada kucing, pneumonia terjadi lebih
intensif, rongga alveoli berisi fibroblast, sehingga konsistensinya
berubah menjadi seperti paru-paru janin. Dari luar, paru-pans terlillat
nekrotik yang tersebar dalam satu atau beberapa lobus. Anak-anak
kucing yang induknya diinokulasi toksoplasma pada saat bunting
menunjukkan multifocal granulomatous encephalitis, miokarditis,
miositis dan pneumonia interstitialis.
Gambar 27. Usus kucing yang serologis positif Toxoplasama (Tanda
panah); (A). Ileum terlihat adanya perkembangan siklus seksual
(meront), (1). Proliferasi sel epitel; (B). Jejenum tidak terlihat adanya
perkembangan siklus seksual (meront) (Perbesaran 1000x)
2. Anjing
62 Toksoplasmosis pada Hewan
Pada anjing yang terinfeksi toksoplasmosis secara buatan akan
memperlihatkan perubahan pasca mati berupa pembengkakan nodus
limfatikus mesenterial. Selain itu, dijumpai adanya fokal nekrosa pada
paru-paru, hati dan jantung serta gliosis pada sistem saraf pusat, dapat
juga dijumpai eksudat serosanguinous pada rongga tubuh, terjadi
pembengkakan limfoglandula regional, pada usus terdapat tukak kecil
terutama pada duodenum dan anus. Perivascular cuffing ditemukan
di serebrum dan medula spinalis, sista ditemukan di otot, paru paru,
limps, dan jantung. Pada gejala yang tersifat pada sistem saraf pusat,
terlihat adanya nekrosis, gliosis, vaskulitis dan meni-ngoensefalitis.
Beberapa sistem saraf dapat mengalami pembengkakan, demielinasi
dan polimiositis (Dubey dan Beattie, 1988).
Gambar 28. Myositis pada Otot Anjing Akibat Toksoplasmosis
3. Unggas
Perubahan pascamati yang terjadi pada unggas tidak spesifik.
Meskipun demikian, unggas, seperti ayam dan beberapa jenis burung,
dapat mati akibat infeksi toksoplasmosis akut dengan menunjukkan
gejala-gejala seperti ensefalitis, korioretinitis, miokarditis, pembengkakan
otot jantung, lokal nekrosis pada hati dan limfa, emteritis dan abses di
dinding lambung serta pneumoni (Dubey dan Beattie, 1988).
Toksoplasmosis pada Hewan
63
Gambar 29. Irisan retina primata yang menunjukkan adanya
nekrosis yang ekstensif dengan disrupsi dari bentukan retina
normal, infiltrasi sel mononuklir dan koroiditis.
4. Kambing
Pada kambing, terdapat bentuk akut dengan lesi fokal nekrosis
sedangkan pada bentuk kronis tampak adanya noduli glial dan pada
saat tersebut dapat ditemukan adanya sista (Soulsby, 1982). Ada
laporan yang menunjukkan bahwa pada domba di bagian kotiledon
terdapat perubahan berwarna putih yang multifokal dengan diameter
3 milimeter. Sementara itu, di bagian interkotiledonaria biasanya
dalam keadaan normal (Dubey et al., 1986). Pada anak kambing yang
dilahirkan, terlihat mengalami mumifikasi dengan warna coklat tua
dan hampir semua cairan tubuhnya mengalami resorbsi (Nurse dan
Lenghaus, 1986). Secara histologis, pada pemeriksaan otak tampak
adanya multifokal nekrosis, meningitis non supuratif dan fokal
ensefalitis dengan mineralisasi fokal dan malasia dari neutrofil. Selain
itu, paru-paru domba dapat mengalami bronkopneumonia. Pada hati
ditemukan adanya fokal agregat dari sel mononuklear yang letaknya
tersebar dan beberapa di antaranya terletak di sekeliling foki nekrotik
yang kecil (Nurse dan Lenghaus, 1986). Pada domba, sista ditemukan
dalam otak bersamaan dengan adanya pembendungan dan infitrasi
64 Toksoplasmosis pada Hewan
sel-sel perivascular cuffing.
Gambar 30. Multifokal Nekrosis and Non-Suppuratif Encefalitis
pada Otak. (sumber : Kansas State Veterinary Diagnostic
Laboratory)
5. Sapi
Toksoplasmosis pada sapi menunjukkan pembesaran
limfoglandula submaksillaris, pneumonia hemorhagika dan kalsifikasi
dinding pembuluh darah. Kondisi yang lebih parah pada anak-anak
sapi yang menderita toksoplasmosis dapat menyebabkan kematian 2 -
6 hari setelah lahir atau lahir dalam keadaan mati.
6. Babi
Perubahan pascamati pada babi umur 4 minggu biasanya terjadi
di beberapa organ usus yang terkena, mulai dari mukosa, lamina propia,
sub mukosa, otot longitudinal dan otot sirkuler. Parasit dapat ditemukan
di daerah mukosa usus. Selain itu, limfonodus juga mengalami nekrosa
multifokalis, nekrosa vaskuler dan trombosis. Hati juga mengalami
nekrosa dengan sedikit infiltrasi limforetikuler. Perubahan yang lain
adalah pembengkakan limfa, pulpa berwarna merah kadang-kadang
hiperplasia retinoendotelial, nekrosa multifokalis terjadi di pulpa dan
Toksoplasmosis pada Hewan
65
selaput retikuler dengan sedikit mononuklear. Takizoit dapat juga
ditemukan di daerah yang mengalami perubahan tersebut (Dubey et
al., 1976).
66 Toksoplasmosis pada Hewan
BAB VII
IMUNOLOGI
Toxoplasma gondii merupakan parasit protozoa yang berlokasi di
dalam sel dan jaringan tubuh. Antigen dari toksoplasma dapat dijumpai
selama infeksi tersebut berlangsung, pada saat menginvasi hospes dan
dilepaskan saat parasit tersebut menyusup ke dalam sel hospes. Berkaitan
dengan hal tersebut, respon kekebalan yang ditimbulkan bergantung pada
faktor-faktor antara lain lokasi di mana parasit tersebut di dalam hospes,
tingkat adaptasinya terhadap hospes, kompleksitas dari antigen dan
bagaimana caranya untuk menghidar dari respon imun yang dibuat oleh
hospes. Mengingat lokasi Toxoplasma gondii yang sistemik atau dapat tinggal
di hampir seluruh jaring-an hospes di dalam makrofag dan ekstraseluler
dalam cairan darah, maka parasit ini dapat dikatakan memiliki kemampuan
adaptasi yang begitu baik, sehingga tidak mengherankan hidupnya dapat
bertahan begitu lama dan tanpa menimbulkan gejala penyakit pada hospes
yang ditempatinya (Irwin, 1995).
Toksoplasma merupakan parasit euriksenosa terhadap hospes
intermedier, artinya parasit ini pada fase takizoit dapat menginfeksi berbagai
spesies mamalia termasuk manusia. Namun demikian, pada fase koksidia,
Toksoplasmosis pada Hewan
67
toksoplasma hanya akan menginfeksi genus dari Felidae (kucing dan
sebangsanya). Mengingat toksoplasma yang di dalam tubuh hospes dapat
beradaptasi dengan baik hingga dapat hidup lama tanpa menimbulkan
gejala klinis, tetapi ini tidak berarti bahwa parasit tersebut tidak berbahaya.
Pada kenyataannya parasit ini sangat antigenik, artinya toksoplasma dapat
mengembangkan mekanisme pertahanan diri untuk dapat tetap bertahan
hidup di dalam hospes, meskipun selama itu timbul respon kekebalan yang
dibentuk oleh hospes. Respon kekebalan yang ditimbulkan oleh hospes
dapat berupa respon imun humoral, yaitu dengan terbentuknya antibodiantibodi
terhadap toksoplasma yang hidup bebas dalam aliran darah dan
cairan jaringan. Sementara itu, respon imun berperantara sel akan aktif
mengeliminasi parasit yang berada di dalam sel. Selanjutnya, produksi
antibodi serum yang ditujukan terhadap antigen permukaan toksoplasma,
dapat menghasilkan suatu reaksi opsonisasi, aglutinasi dan membatasi
gerakan parasit. Bersama dengan sistem komplemen dan sel sitotoksik,
antibodi-antibodi ini kemudian akan membunuh parasit tersebut dan
sebagian dari antibodinya yang berupa ablastin akan menghambat ensim
yang dikeluarkan oleh protozoa. Dengan demikian, replikasi dari parasit
dapat dicegah (Tizard, 1987).
Respon imun yang berperan penting pada Toxoplasma gondii adalah
respon imun berperantara sel, mengingat parasit ini pada stadium takizoit
berkembang biak dengan baik di dalam sel. Apabila di dalam sel tersebut
berlangsung proses proliferasi sebagai bagian dari perkembangan dari
toksoplasma, maka sel yang ditempatinya dapat pecah. Selanjutnya, parasit
tersebut akan keluar dari sel dan menulari sel yang ada di dekatnya. Demikian
dan seterusnya akan terjadi perusakan sel-sel yang bera da di sekitarnya,
hingga jaringan yang ditempati menjadi rusak. Apabila takizoit menyerang
makrofag, maka makrofag ini tidak dihancurkan. Hal ini dapat terjadi
karena Toxoplasma gondii dapat melepaskan adenosin monofosfat ke dalam
fagosom, yang akan menghambat proses perusakan tersebut lebih lanjut.
Lisosom mungkin saja bergerak ke arah fagosom, namun tidak bergabung
68 Toksoplasmosis pada Hewan
dengannya. Dengan demikian takizoit dapat tetap hidup bebas berkembang
biak di dalam sel dalam suatu kondisi yang terhindar dari antibodi dan
ensim lisosom (Tizard, 1987).
Kehadiran dari antibodi bersama dengan komplemen akan dapat
mengeliminasikan parasit yang hidup bebas di dalam cairan tubuh, sehingga
lambat laun dapat mengurangi penyebaran parasit tersebut yang hidup
dia ntara sel-sel. Akan tetapi antibodi tersebut juga terbatas jumlahnya,
sehingga seringkali tidak mampu berbuat banyak apabila di antara parasit
tersebut sudah masuk ke dalam sel. Untuk itu, perlu adanya suatu respon
imun berperantara sel dari respon rangsangan tanggap kebal. Pada respon
ini, Sel T akan berinteraksi dengan antigen toksoplasma dan melepaskan
limfokin yang mampu merangsang aktivitas sitotoksik makrofag. Dengan
demikian lisosom sebagai penghalang akan dihancurkan secara intraseluler
(Tizard, 1987).
Toksoplasma dapat menginfeksi hampir semua jenis sel. Bagaimana
dan mekanisme invasi dari toksoplasma tersebut ke dalam sel. Pada awalnya,
toksoplasma akan mendekatkan diri pada sel (A). Proses penempelan ini
melibatkan aktivitas biokimiawi dari parasit dengan perantara Glikosil-
Fosfatidil-Inositol (GPI) (McConville, 1993). Adanya kontak di bagian
ujung apikal toksoplasma dengan membran sel hospes akan merangsang
aktifasi proses invasi. Dari kontak tersebut akan berlanjut menjadi suatu
gerakan intensif yang akan membuka sel yang ditempati parasit tersebut
(B). Selanjutnya, dengan suatu gerakan berputar dari parasit tersebut (C)
maka terbentuklah lubang yang lebih dalam. Sedikit demi sedikit parasit
tersebut akan semakin masuk ke dalam sel (D), hingga akhirnya parasit
dapat menembus dinding sel dan masuk lebih ke dalam sel (E). Setelah
berhasil masuk, di sekeliling dari parasit tersebut akan terbentuk suatu
vakuola yang dinamakan vakuola parasitoporus (VP) yang fungsinya
sebagai pelindung terhadap lisosom sel hospes (Werk, 1985). Selanjutnya,
multiplikasi dari Toxoplasma gondii ini terjadi hanya di dalam intraseluler
dalam suatu kompartemen khusus vakuola parasitoporus. Antigen pada
Toksoplasmosis pada Hewan
69
stadium intraseluler ini juga ditemukan pada permukaan sel hospes yang
terinfeksi dan antigen ini akan dilepaskan pada saat sel hospes tersebut
mengalami lisis (More, 1995).
Pada proses invasi toksoplasma tersebut, sebenarnya tidak lepas dari
peran di bagian anterior toksoplasma yang disebut roptri (lihat morfologi
toksoplasma). Berdasarkan penelitian dari de Souza dan SoutoPadron
(1978), terdapat komposisi kimia tertentu yang dikeluarkan dari bagian
roptri tersebut yang akan memudahkan trofozoit tersebut masuk ke dalam
sel hospes. Protein pada roptri yang kaya akan histidin tersebut sebenarnya
mirip pada merozoit Plasmodium. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk
meneliti lebih lanjut dan mengkarakterisasi kandungan protein tersebut.
Meskipun struktur kimiawinya belum diketahui, Lycke dan Norrby (1966)
telah menduga jauh sebelumnya, bahwa protein yang diberi nama sebagai
Penetration Enhancing Factor (PEF) tersebut, berperan aktif dalam invasi.
Adanya faktor ini, diduga merupakan penyebab terbentuknya virulensi dari
galur-galur pada toksoplasma pada mencit dengan ditunjukkan adanya
kematian yang lebih cepat dan lebih tinggi pada hewan-hewan percobaan
yang terinfeksi. Namun demikian, Hughes dan Knapen (1982) menduga,
bahwa sekresi antigen beredar dari toksoplasma juga berperan penting
seperti halnya PEF dan antigen ini dilepaskan pada saat parasit tersebut
masuk ke dalam hospes.
A. Antigen Toksoplasma
Antigen dari toksoplasma dapat dijumpai selama infeksi
tersebut berlangsung, pada saat menginvasi hospes dan dilepaskan saat
parasit tersebut menyusup ke dalam sel hospes. Berkaitan dengan hal
tersebut, respon kekebalan yang ditimbulkan bergantung pada faktorfaktor
antara lain lokasi dimana parasit tersebut di dalam hospes,
tingkat adaptasinya terhadap hospes, kompleksitas dari antigen dan
bagaimana caranya untuk menghidar dari respon imun yang dibuat
oleh hospes. Mengingat lokasi Toxoplasma gondii yang sistemik atau
dapat tinggal di hampir seluruh jaringan hospes di dalam makrofag
70 Toksoplasmosis pada Hewan
dan ekstraseluler dalam cairan darah, maka parasit ini dapat dikatakan
memiliki kemampuan adaptasi yang begitu baik, sehingga tidak
mengherankan hidupnya dapat bertahan begitu lama dan tanpa
menimbulkan gejala penyakit pada hospes yang ditempatinya (Irwin,
1995).
Pada kenyataannya Toxoplasma gondii sangat antigenik, artinya
toksoplasma dapat mengembangkan mekanisme pertahanan diri
untuk dapat tetap bertahan hidup di dalam hospes, meskipun selama
itu timbul respon kekebalan yang dibentuk oleh hospes. Respon
kekebalan yang ditimbulkan oleh hospes dapat berupa respon imun
humoral, yaitu dengan terbentuknya antibodi-antibodi terhadap
toksoplasma yang hidup bebas dalam aliran darah dan cairan jaringan.
Sementara itu, respon imun berperantara sel akan aktif mengeliminasi
parasit yang berada di dalam sel. Selanjutnya, produksi antibodi
serum yang ditujukan terhadap antigen permukaan toksoplasma,
dapat menghasilkan suatu reaksi opsonisasi, aglutinasi dan membatasi
gerakan parasit. Bersama dengan sistim komplemen dan sel sitotoksik,
antibodi-antibodi ini kemudian akan membunuh parasit tersebut dan
sebagian dari antibodinya yang berupa ablastin akan menghambat
ensim yang dikeluarkan oleh protozoa. Dengan demikian, replikasi dari
parasit dapat dicegah (Tizard, 1996). Patogenesis pada toksoplasmosis
akut berkaitan erat dengan imunitas kompleks yang secara bersamaan
akan timbul bersama gejala klinisnya. Hal ini dapat dideteksi dengan
melihat aktifitas serumnya. Kompleksitas dari pembentukan imun ini
terjadi dengan adanya ikatan reseptor pada permukaan limfosit dan
fagosit yang akan berpengaruh pada respon imun humoral dan seluler
(Frenkel, 1990).
Kehadiran dari antibodi bersama dengan komplemen akan
dapat mengeliminasikan parasit yang hidup bebas di dalam cairan
tubuh, sehingga lambat laun dapat mengurangi penyebaran parasit
tersebut yang hidup diantara sel-sel. Akan tetapi antibodi tersebut
Toksoplasmosis pada Hewan
71
juga terbatas jumlahnya, sehingga seringkali tidak mampu berbuat
banyak apabila diantara parasit tersebut sudah masuk ke dalam sel.
Untuk itu, perlu adanya suatu respon imun berperantara sel dari respon
rangsangan tanggap kebal. Pada respon ini, Sel T akan berinteraksi
dengan antigen toksoplasma dan melepaskan limfokin yang mampu
merangsang aktifitas sitotoksik makrofag. Dengan demikian lisosom
sebagai penghalang akan dihancurkan secara intraseluler (Tizard,
1996).
Banyak penelitian sudah dilakukan untuk mengidentifikasi
antigen-antigen yang dapat digunakan dalam mendiagnosa dan
mencari kandidat vaksin untuk toksoplasmosis. Penelitian-penelitian
tersebut umumnya dilakukan pada toksoplasmosis manusia (Strain
RH), sedangkan pada hewan masih sangat sedikit penelitiannya.
Namun demikian banyak penelitian tersebut mengalami kegagalan
karena kerumitan susunan membran toksoplasma yang berkaitan
dengan banyaknya komponen protein antigen dalam hubungannya
dengan diagnosa, kekebalan dan respon imun hospes. Seperti
diketahui, masalahmasalah inilah merupakan bagian awal dalam
memahami imunologi infeksi Toxoplasma gondii.
Kerumitan dari susunan membran toksoplasmosis berkaitan
dengan banyaknya komponen protein antigen dalam hubungannya
dengan diagnosa, kekebalan dan respon imun hospes, merupakan
bagian awal dalam memahami imunologi infeksi Toxoplasma gondii.
Pada mulnya, diduga ada 4-5 macam antigen yang terdapat pada
permukaan parasit. Diantara ke-empat antigen tersebut beberapa
diantaranya memiliki komponen glikiporotein (Hughes et al, 1982).
Selanjutnya, dengan menggunakan teknik yang lebih sensitif seperti
Westernblot dan lektin yang dilabel radioaktif, menunjukkan adanya
aktifitas spesifik dari karbohidrat pada infeksi akut (Sharma et al.,
1983). Selain itu, sejumlah antigen yang spesifik terhadap stadiumstadium
pada toksoplasma juga telah dikarakterisasi. Antigen
72 Toksoplasmosis pada Hewan
yang diberi nama SAG 1 dan SAG 2 ini, merupakan antigen yang
dieskpresikan oleh parasit ini selama stadium takizoit. Untuk antigen
yag mengkode permukaan bradizoit, Bohne et al. (1993) telah berhasil
mengisolasinya dari makrofag tikus. Namun demikian, penemuanpenemuan
tersebut belum dapat mengungkapkan keberadaan antigen
konversi yang diespresikan dianata fase takizoit dan bradizoit. Antigen
ini sebenarnya lebih berperan penting dalam mempelajari lebih lanjut
mengenai reaktifitasinya pada infeksi kronis. Diantara antigen-antigen
yang diperoleh dari suatu galur toksoplasma tersebut, terdapat suatu
kemiripan antara satu dengan yang lain yang ditunjukkan dari hasil
analisa data sequencing major surface antigen (SAG) dari takizoit. Hasil
menunjukkan, bahwa sebenarnya sangat sedikit terdapat perbedaan
antigen yang ada pada toksoplasma (Rinder et al., 1995).
Seiring dengan meningkatnya infeksi toksoplasmosis, jumlah
antigenemia yang disekresikan oleh parasit senantiasa meningkat. Pada
sekresi antigen secara in vitro, menunjukkan bahwa dalam waktu 12
hari, pada biakan dari galur Rh terdapat suatu periode puncak sekresi
antigen pada hari ke 6 (Desgeorges et al., 1980). Antigen ini selanjutnya
diisolasi dan digunakan untuk tujuan diagnosa toksoplasmosis seperti
pada Skin test untuk pasien di klinik (Ambroise-Thomas et al., 1982).
Dengan menggunakan antigen spesifik toksoplasma, antibodi pada
serum manusia atau hewan dapat dideteksi dengan teknik ELISA,
setelah hewan diinduksi secara eksperimental. Antigen pada penderita
subklinis akan beredar dalam 4 minggu, setelah itu dapat dideteksi
keberadaannya selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun setelah
infeksi. Namun kadang-kadang pada kucing yang terinfeksi dengan
toksoplasmosis klinispun terjadi antigenemia tanpa terdeteksi adanya
antibodi dalam serum (Lappin, 1994).
Invasi dari takizoit ke dalam sel hospes berlangsung melalui
suatu mekanisme aktif akan mensekresikan protein antigen ke dalam
sirkulasi darah. Antigen beredar ini dapat merupakan produk parasit
Toksoplasmosis pada Hewan
73
yang dihasilkan pada saat prasit tersebut menginvasi sel makrofag.
Adanya antigen ini menunjukkan, bahwa infeksi tersebut berlangsung
akut atau masih aktif. Antigen beredar pada prinsipnya memiliki
kesamaan komposisi dan struktur dengan antigen solubel. Selain itu,
pada media kultur, 72 jam setelah parasit dibiakkan, dapat ditemukan
antigen beredar yang mempunyai berat molekul 30, 45, 63 dan 77
kDa (Cazabone et al., 1994).
Dugaan adanya kemiripan diantara 5 stadium dari Toxoplasma
gondii (skizon, gametosit, sporozoit, takizoit dan bradizoit) dan antigen
yang spesifik terhadap strain telah dikemukakan oleh Dubey et al. (1970)
meskipun belum dikarakterisasi lebih lanjut. Dugaan tersebut kemudian
ditindaklanjuti dengan beberapa penelitian lainnya yang menyatakan
bahwa parasit ini memiliki antigen yang spesifik terhadap stadium dan
kemungkinan juga antigen spesifik terhadap strain (Hadman et al.,
1980; Lunde dan Jacobs, 1983; Kasper dan Ware, 1985). Selanjutnya
telah teridentifikasi juga adanya empat atau lima antigen membran
pada permukaan parasit. Namun demikian masih sedikit sekali
informasi mengenai keberadaan lapisan glikoproteinnya (Handman
et al., 1980b). Antigen mayor yang umum dijumpai pada sporozoit
dan takizoit adalah 97 kDa, 66 kDa, 44 kDa dan 22 kDa (Kasper dan
Ware, 1985). Sporozoit dari strain C selanjutnya diketahui memiliki 2
lapisan membran protein sebesar 65 dan 25 kDa yang tidak dijumpai
pada stadium takizoit (Kasper et al., 1984). Dengan menggunakan
teknik yang lebih sensitif seperti Westernblot dan lektin yang dilabel
radioaktif, hasil menunjukkan adanya aktifitas spesifik dari karbohidrat
pada infeksi akut. Serum yang digunakan pada teknik Western blot
mampu mendeteksi paling sedikit adanya 4 antigen selama infeksi akut
dan hingga 20 antigen selama kondisi kronis (Sharma et al., 1983).
Identifikasi protein antigen Toksoplasma untuk diagnosa dan
kandidat vaksin telah lama dilakukan. Meskipun demikian penelitianpenelitian
tersebut umumnya dilakukan pada toksoplasmosis
74 Toksoplasmosis pada Hewan
manusia (Strain RH), sedangkan pada hewan masih sangat sedikit
penelitiannya.
Tabel 2. Karakterisasi Beberapa Protein Tertentu pada T. gondii
dan Protein yang Terkait (Groβ, 1994)
No Gen Protein
Post Trans.
Modif.
Lokasi Fungsi
1 B1 ? Ada ? ?
2 P21 GRA5 ? Granula ?
3 P22 P22 (SAG) Ada Membran ?
4 P23 ESA23 Ada Granula Ikatan Ca
5 P30 P30 (SAG1) Ada Membran Adesi/invasi
6 P40 GRA4 Ada Granula ?
7 P54 α Tubulin Ada Mikrotubuli Motilitas/Invasi
8 P54 β Tubulin Ada Mikrotubuli Motilitas/Invasi
9 P54 ROP2 ? Roptri Invasi
10 P61 ROP1-PEF ? Roptri Adesi
11 P63 NTPase ? Membran Metabol. Purin
Selain itu, sejumlah antigen yang spesifik terhadap stadiumstadium
pada toksoplasma juga telah dikarakterisasi. Antigen yang
diberi nama SAG1 dan SAG2 ini, juga merupakan antigen yang
diekspresikan oleh parasit ini selama stadium takizoit. Untuk antigen
yang mengkode permukaan bradizoit, Bohne et al. (1993) telah
berhasil mengisolasinya dari makrofag tikus. Namun demikian,
penemuan-penemuan tersebut belum dapat mengungkapkan
keberadaan antigen konversi yang diekspresikan diantara fase takizoit
dan bradizoit. Antigen ini sebenarnya lebih berperan penting dalam
mempelajari lebih lanjut mengenai reaktifasinya pada infeksi kronis.
Diantara antigen-antigen yang diperoleh dari suatu galur toksoplasma
tersebut, terdapat suatu kemiripan antara satu dengan yang lain yang
ditunjukkan dari hasil analisa data sequencing major surface antigen
(SAG) dari takizoit. Hasilnya menunjukkan, bahwa sebenarnya
sangat sedikit terdapat perbedaan antigen yang ada pada toksoplasma
(Bohne et al., 1993).
Toksoplasmosis pada Hewan
75
B. Antibodi Toksoplasma
Adanya infeksi toksoplasmosis, maka akan mendorong tubuh
hospes untuk memproduksi antibodi spesifik terhadap toksoplasma.
Kehadiran antibodi bersama dengan komplemen dapat mengeliminasi
parasit yang hidup bebas di dalam cairan tubuh, sehingga lambat laun
dapat mengurangi penyebaran parasit tersebut yang hidup diantara
sel-sel. Akan tetapi antibodi tersebut juga terbatas jumlahnya, sehingga
seringkali tidak efektif apabila parasit tersebut masuk ke dalam sel.
Untuk itu, perlu adanya suatu respon imun perantara sel dari respon
rangsangan tanggap kebal. Pada respon ini, sel T akan berinteraksi
dengan antigen Toxoplasma dan melepaskan limfokin yang mampu
merangsang aktifitas sitotoksik makrofag. Dengan demikian lisosom
sebagai penghalang akan dihancurkan secara intraseluler (Tizard,
1996). Sri Hartati dkk (1997) melaporkan bahwa telah berhasil
diisolasi T. gondii strain lokal dari diafragma domba dengan pola
protein yang berbeda dengan galur RH. Hal ini menunjukkan bahwa
galur yang berbeda akan menghasilkan pola yang berbeda dengan
sifat immunogenik yang berbeda. Menurut Sri Hartati dkk (1998)
telah berhasil diproduksi 7 klon antibodi monoklonal yaitu TL 88,
TL 106, TL 112, TL 124, TL 127, TL 130 dan TL 142; dengan
metode ELISA dan Dot blot semua antibodi monoklonal tersebut
menunjukkan reaksi dengan protein membran takizoit T. gondii isolat
lokal.
C. Antibodi Monoklonal
Antibodi monoklonal adalah tipe antibodi yang murni
mengandung satu jenis antibodi untuk sisi antigenik (epitop) yang
khas dari antigen tersebut. Antibodi monoklonal sering dipakai
untuk diagnosa suatu penyakit yang sangat berbahaya dan keperluan
penelitian dengan spesifitas yang sempit sehingga Adanya infeksi
toksoplasmosis pada suatu hospes merupakan indikasi adanya
antigen toksoplasma dalam serum darah manusia dan hewan. Untuk
76 Toksoplasmosis pada Hewan
itu, keberadaan dari antigen beredar ini dapat dideteksi dengan
menggunakan antibodi monoklonal. Antibodi monoklonal adalah
antibodi spesifik yang dihasilkan oleh satu klon sel saja (Antczak,
1982). Antibodi ini merupakan hasil fusi dari sel mieloma dan
limfosit B untuk menghasilkan hibridoma. Sel yang dikehendaki,
adalah sel yang mampu hidup di kultur dan menghasilkan antibodi
spesifik terhadap antigen toksoplasma. Keunggulan dari teknik
antibodi monoklonal adalah kemampuannya sebagai pelacak yang
sangat kuat untuk mengidentifikasi imunodeterminan spesifik pada
infeksi toksoplasmosis, sehingga dengan cepat dapat diketahui status
infeksinya. Kemampuan antibodi yang spesifik mengenal satu epitop
dari satu antigen toksoplasma, membuat teknik ini sangat penting.
Produksi dari antigen ini tidak terbatas tanpa kehilangan spesifitasnya
(Araujo et al., 1982).
Deteksi antigen beredar dapat dilakukan dengan bantuan antibodi
monoklonal yang spesifik terhadap antigen membran toksoplasma
(Long, 1990; Cazabone et al., 1994). Untuk itu diperlukan antibodi
monoklonal yang spesifik terhadap membran toksoplasma dari isolat
yang sejenis. Diharapkan dari produksi antibodi monoklonal tersebut
terdapat kesesuaian antara agen yang dilacak dengan reagen pelacak.
Dalam hal ini, antibodi monoklonal merupakan pelacak yang kuat
untuk mengidentifikasi imunodeterminan spesifik pada agen penyakit
dan dapat digunakan untuk mendeteksi antigen toksoplasma dalam
serum (Fortier et al., 1991).
Araujo dan kawan-kawan (1980) pertama kali berhasil
menemukan 4 macam antibodi monoklonal terhadap antigen
membran toksoplasma yang selanjutnya dapat digunakan untuk
mendeteksi antigenemia pada pasien penderita toksoplasmosis dan
mencit yang terinfeksi buatan. Namun hasil tersebut masih memiliki
sensitivitas rendah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan, bahwa
meskipun antigen membran ada dalam sirkulasi darah selama kejadian
Toksoplasmosis pada Hewan
77
toksoplasmosis akut, namun masih memiliki konsentrasi yang rendah,
sehingga kurang memberikan respon dalam deteksi antigenemia atau
tidak bermakna untuk deteksi antigenemia.
Dari gambaran klinis toksoplasmosis kongenital yang diperoleh
selama periode kehamilan, maka infeksi pada fase ini merupakan
yang paling berbahaya. Infeksi yang terjadi secara intra uterin jarang
terjadi dan kebanyakan berlangsung sebagai suatu infeksi subklinis.
Toksoplasmosis yang terjadi setelah bayi lahir, secara umum tidak
akan menimbulkan suatu penyakit yang serius. Manifestasi klinisnya
memang sangat bervariasi, tergantung pada virulensi dari galur dan
lokasi parasit. Bentuk klinis yang paling sering terjadi adalah bentuk
limfatik yang tidak lain adalah bentuk limfadenopati.
Suatu infeksi toksoplasmosis yang terjadi pada manusia dapat
atau tidak berkembang lebih lanjut menjadi infeksi klinis, tergantung
pada status imunologis pada saat infeksi terjadi. Sehingga pada
toksoplasmosis dikenal adanya kerentanan dari masing-masing
individu. Pada pasien yang menderita AIDS, atau pada kondisi yang
imunosupresif akibat adanya infeksi bersama dengan penyakit lain,
infeksi akan berkembang menjadi toksoplasmosis serebralis akut.
Untuk itu pengobatan harus dilanjutkan untuk jangka waktu yang
lama agar dapat mempertahankan respon klinik (Wanke et al., 1987).
Patogenesis pada toksoplasmosis akut berkaitan erat dengan
imunitas kompleks yang secara bersamaan akan timbul bersama gejala
klinisnya. Hal ini dapat dideteksi dengan melihat aktivitas serumnya.
Kompleksitas dari pembentukan imun ini terjadi dengan adanya ikatan
reseptor pada permukaan limfosit dan fagosit yang akan berpengaruh
pada respon imun humoral dan seluler (Frenkel, 1988).
Peran mekanisme respon kekebalan seluler pada toksoplasma
adalah sangat penting. Peranan tersebut tidak lepas dari aktivitas sel
T, bersama pelepasan limfokin dan aktifasi dari sel NK setelah infeksi
78 Toksoplasmosis pada Hewan
toksoplasma tersebut terjadi. Limfokin dari sel T, IFN-Ó, menunjukkan
peranannya dalam mengaktifkan makrofag untuk membunuh
toksoplasma, menghambat pertumbuhan parasit tersebut pada media
fibroblas dan mengaktifkan sel NK yang terjadi selama toksoplasmosis
akut (Shirata et al., 1980). Selain itu, limfokin sel T yang lainnya, yaitu
interleukin-2 (IL-2) menunjukkan aktivitas protektifnya pada infeksi
takizoit secara in vivo (Sharma et al., 1985). Secara in vitro, produksi
Tumor Necrosis Factor (TNF), yang disekresikan sebagai akibat dari
aktifasi makrofag dan produksi interleukin 1 (IL-1) berperan penting
untuk modulasi respon imun hospes terhadap infeksi toksoplasmosis
(Chang et al., 1990). Lebih lanjut, produksi TNF tersebut akan
merangsang aktivitas anti-toksoplasma dari makrofag.
Secara umum suatu infeksi toksoplasmosis yang terjadi pada
kucing akan memberikan suatu respon kekebalan yang berlangsung
mulai dari saat pelepasan oosista, terjadi reinfeksi kembali hingga
tingkatan tertentu dari reinfeksi. Setelah reinfeksi berlangsung
beberapa minggu kemudian, kucing akan mengeluarkan kira-kira
hanya 11% oosista saja. Kekebalan ini akan berlangsung hingga kirakira
selama 2 tahun. Pada kucing yang lebih tua, diduga terdapat
respon kekebalan yang lebih baik dibanding pada anak kucing atau
kucing muda yang ternyata lebih rentan terhadap infeksi. Infeksi
oosista pada anak kucing akan mengakibatkan eliminasi oosistaoosista
yang lebih banyak dibanding pada kucing dewasa dengan
dosis infeksi yang sama. Adanya titer antibodi dalam serum kucing
tersebut menunjukkan adanya kekebalan yang sedang berlangsung
(Dubey dan Beattie, 1988).
Hal-hal yang berkaitan dengan terjadinya perbedaan dalam
virulensi strain-strain toksoplasma masih sangat sedikit informasi.
Dari penelitian yang dilakukan di Jerman oleh Rommel et al. (1987)
menunjukkan bahwa perbedaan virulensi dari galur-galur yang ada pada
toksoplasma sebenarnya lebih berkaitan dengan perkembangannya
Toksoplasmosis pada Hewan
79
di dalam tubuh hewan-hewan percobaan. Sedangkan pada infeksi
alami, perbedaan galur ini mungkin tidak begitu berperan. Pada
hewan percobaan, suatu galur kemungkinan akan dapat berkembang
lebih cepat sehingga hewan tersebut akan mati dalam waktu yang
singkat sebelum sistem kekebalan tubuh terbentuk.Apabila galur
tersebut dicoba pada hewan percobaan jenis lain akan menunjukkan
hasil yang berbeda, parasit berkembang lebih lambat, hewan mampu
mengendalikan infeksi dan kekebalan lambat laun akan terbentuk.
Toksoplasma yang diisolasi dari hewan percobaan memang biasanya
kurang virulen. Dengan demikian apabila galur tersebut diberikan
pada hewan percobaan akan menjadi kurang infektif dan tidak
menunjukkan gejala klinis yang berarti. Di samping kemampuan dari
toksoplasma untuk menghambat pelepasan lysosoma dan fagosoma
dalam makrofag, aktifasi sel supresor melalui antigen toksoplasma
dilihat sebagai faktor pemicu terjadinya virulensi. Faktor lain adalah
adanya aktivitas interferon yang berperan dalam pertumbuhan dan
pengaturan stadium bradizoit dari toksoplasma yang dapat dihambat
melalui induksi interferon maupun pembentukan substansisubstansinya.
Penelitian di atas ternyata berbeda dengan hasil
penelitian yang dilaporkan Ware dan Kasper (1987), karena perbedaan
virulensi dari galur toksoplasma tetap ada, meskipun hanya dilaporkan
pada galur toksoplasma manusia (Rh strain). Galur ini diperoleh dari
jaringan manusia yang terinfeksi pada tahun 1941 dan secara terus
menerus dipelihara melalui passage pada tikus atau membiakkannya
dalam biakan fibroblas manusia (Sabin, 1941). Pada perbedaan galur
yang terjadi ini lebih berhubungan dengan ada tidaknya pelepasan
ikatan glikosilasi dari antigen P22 dan P30 yang mungkin hilang
pada setiap aktivitas passage (Ware dan Kasper, 1987). Jadi, variasi
antigen kemungkinan besar terjadi di dalam infeksi toksoplasmosis.
Meskipun demikian adanya diferensiasi imunogenik pada galur Rh
ini masih belum terpecahkan.
80 Toksoplasmosis pada Hewan
BAB VIII
DIAGNOSA KLINIS
A. Diagnosa Klinis
Diagnosa toksoplasmosis sulit dilakukan kalau hanya
didasarkan pada gejala-gejala klinis. Hal ini dsebabkan, karena gejala
yang ditimbulkan toksoplasmosis tidaklah spesifik dan mirip dengan
gejala akibat infeksi penyakit lain. Gejala klinis yang ditimbulkan
toksoplasmosis memang dapat bervariasi, tergantung pada umur
penderita, virulensi, kerentanan hospes dan perkembangan imunitas
perolehan masing-masing hospes. Untuk itu, perlu peneguhan
dengan melakukan diagnosa yang lain seperti biologis atau
laboratoris (Soulsby, 1982). Pada kasus selama siklus enteroepitelial
toksoplasmosis, penyakit ini tidak memberikan gambaran spesifik
pada saluran gastrointestinal. Berlainan dengan kasus toksoplasmosis
ekstraintestinal, gambaran klinisnya lebih terlihat dengan infeksi
melalui plasenta. Hal ini dapat berakibat kematian pada anak yang
dikandungnya.
Toksoplasmosis pada Hewan
81
Gambar 31. Kucing yang Nampak Sehat Tidak Menjamin Bebas
82 Toksoplasmosis pada Hewan
Toksoplasmosis
Infeksi Toksoplasma pada kucing tidak menunjukkan
gambaran klinis yang spesifik. Pada kucing yang dijumpai dengan
mengeliminasikan oosista dalam jumlah besar, hanya sedikit terjadi
diare ringan. Pada kucing umur 2 minggu dengan toksoplasmosis
akut, sebelum mati akan menunjukkan gejala pneumonia, hepatitis,
miokarditis, ensefalitis dan retinitis yang kemungkinan besar
infeksi ini diperoleh secara transplasenter. Penelitian pada kucing
yang menderita toksoplasmosis bersama dengan infeksi Feline
Immunodeficiency Virus (FIV), infeksi dapat berkembang menjadi
suatu infeksi dengan gejala-gejala penyakit klinis. Identifikasi asalusul
kucing juga perlu dilakukan untuk melihat persebaran habitat
kucing yang ada di wilayah Yogyakarta dengan dibagi antara lain jenis
kucing rumah, kucing semi liar (masih berinteraksi dengan rumah,
diberi pakan di rumah, kemudian pergi), kucing liar yang tidak ada
pemiliknya, kucing yang berkeliaran di pasar-pasar, kucing yang
berkeliaran di rumah-rumah sakit, dan kucing yang sering ditemukan
di sekitar sawah. Pengambilan sampel kucing dilakukan secara
acak. Pengamatan terhadap kucing dan habitatnya, perlu dilakukan
pemeriksaan fisik dan klinis pada kucing serta dilakukan pengambilan
sampel feses. Metode pemeriksaan feses ini sangat cocok untuk
menentukan adanya oosista. Belum ada uji serologis yang akurat untuk
memprediksi kapan kucing mengeluarkan oosista, karena pada saat itu
hasil uji menunjukan seronegative sedangkan kucing yang seropositif
biasanya tidak mengeluarkan oosista (Nelson dan Couto, 2003).
Gambar 32. Pemeriksaan Feses Kucing Ditemukan Oosista
Toksoplasma
Parasit dapat dijumpai pada semua organ dan jaringan hospesnya,
sehingga untuk mencari dan mengisolasi parasit harus dilakukan
nekropsi hospes secara lengkap bila ingin mempelajari fauna parasit.
Parasit dapat dicari pada organ-organ masif seperti: hati, ginjal, otak,
pankreas, otot; organ-organ berongga seperti : saluran pencernaan,
organ respirasi, saluran genital, mata; permukaan tubuh seperti : kulit
Toksoplasmosis pada Hewan
83
dan rambut/bulu; cairan tubuh seperti : darah; sekret dan ekskret
seperti : feses, urin, leleran lendir dan lain sebagainnya.
Pada prinsipnya pencarian parasit lebih baik dilakukan pada
organ yang baru diambil segera setelah nekropsi. Namun demikian
bila ada keterbatasan waktu organ-organ tersebut dapat disimpan
dalam freezer.
Kerokan kulit
Inspeksi
Darah
Eksudat
Pemeriksaan
kan hidup
Pemeriksaan
klinis
Pemeriksaan
Langsung
Pemeriksaan
tidak langsung
Palpasi
Deteksi
ektoparasit
Deteksi
endoparasit
Serologis
Makroskopis
Mikroskopis
Protozoa
Cacing
Sekret
Mukus
Makroskopis
Mikroskopis
Darah
Keradangan
Natif
Sentrifus
McMaster
Biakan larva
Diagnosa
Parasitologi
Pemeriksaan
pasca mati
Normal
Pengujian
Darurat
Pemeriksaan
permukaan
tubuh
Pemeriksaan
otot
Pemeriksaan
organ
Serum
Organ
jaringan
Sekret
Mukus
Kultur jaringan
Hematologi
Pemeriksaan
sekret
Presipitasi
Aglutinasi
Pemeriksaan
Lingkungan
Lapangan
Air
Tanah
Pakan
Imunofloresen
PCR
Kolam/Akuarium
Vegetasi
Lantai
Western Blot
Limbah
Peralatan
DNA Probe
Gambar 33. Bagan alur diagnosa penyakit parasit pada kucing dari
pengujian konvensional hingga molekuler
1. Diagnosa pada Kucing
Toksoplasmosis dapat didiagnosa berdasarkan rekam
medis kucing, gejala klinis penyakit, dan pemeriksaan laboratoris.
Pemeriksaan 2 tipe antibodi T. gondii pada sampel darah, IgG dan
IgM, dapat dilakukan untuk meneguhan diagnosa toksoplasmosis.
Antibodi IgG terhadap T. gondii yang tinggi pada kucing yang sehat
dapat disebabkan karena kucing pernah terinfeksi toksoplasma dan
kemungkinan besar sudah mempunyai kekebalan tubuh terhadap
toksoplasma dan tidak mengeluarkan oosista di fesesnya. Kucing
84 Toksoplasmosis pada Hewan
tersebut dapat dikatakan tidak akan menjadi sumber infeksi pada hewan
lain. Sebaliknya, jika ditemukan level antibodi IgM yang tinggi, dapat
disimpulkan bahwa kucing sedang mengalami infeksi yang aktif. Jika
tidak ditemukan adanya antibodi T. gondii pada kucing sehat dapat
diduga kucing tersebut rentan terhadap infeksi toksoplasma dan bisa
jadi akan mengeluarkan oosista 2 minggu setelah infeksi terjadi.
Deteksi oosista pada feses merupakan metode yang sederhana
namun tidak terlalu dapat diandalkan untuk diagnosis karena because
bentuknya yang mirip dengan parasit lain. Pada sisi lain, kucing
hanya mengeluarkan oosista pada periode waktu yang sangat pendek
dan seringkali tidak mengelurakan oosista saat gejala klinis terlihat.
Pemeriksaan lanjutan diperlukan untuk meneguhkan diagnosa seperti
pemeriksaan mikroskopis sampel jaringan untuk menemukan takizoit
dan diagnosa serologis yang sesuai dengan sampel yang dipunyai.
Prognosa toksoplasmosis pada kucing bergantung pada
organ atau sistems tubuh yang terinfeksi, jarak waktu antara infeksi
dan pengobatan, serta respon awal saat terapi. Umumnya, kucing
yang terkena toksoplasmosis pada sistema syaraf pusat dan mata;
memperlihaatkan respon terhadap terapi dengan lambat, tetapi
memiliki prognosa yang baik jika terjadi gejala membaik pada 2-3 hari
setelah diterapi. Sedangkan prognosa untuk kucing yang mengalami
toksoplasmosis pada hati dan paru-paru biasanya lebih buruk.
2. Diagnosa pada Anjing
Pada anjing terdapat beberapa gejala yang mungkin terjadi akibat
infeksi toksoplasma namun biasanya tidak ada gejala yang spesifik.
Pada kasus yang diduga toksoplasmosis, deteksi melalui pemeriksaan
serum atau plasma seperti ELISA atau agglutination assay adalah
metode yang dapat dipilih. Hasil positif antibodi IgG menunjukkan
adanya infeksi. Meskipun demikian karena oosista dapat bertahan
lama dan antibodi IgG bertahan selama hidup, infeksi akut hanya
dapat dideteksi dengan antibodi IgM atau meningkatkan titer IgG.
Toksoplasmosis pada Hewan
85
Untuk mengkonfirmasi infeksi T. gondii, biopsi otot dapat dilakukan
untuk melakukan ekstraksi DNA (Migliore, 2017).
Pemeriksaan hematologi rutin dan parameter biokimia mungkin
berubah pada infeksi akut toksoplasmosis. Anemia non regeneratif,
leukosit neutrofilik, limfositosis, monositosis, dan eosinofilia adalah hasil
pemeriksaan darah yang paling sering muncul. Leukopenia juga dapat
muncul dan menyebabkan kematian. Hal ini biasa diikuti limfopenia
absolut dan neutropenia dengan, eosinopenia, dan monositopenia.
Pada fase infeksi akut hasil pemeriksaan dapat dijumpai
hipoproteinemia dan hipoalbuminemia. Peningkatan serum alanine
aminotransferase (ALT) dan aspartate aminotransferase (AST) juga
dapat dijumpai pada hewan dengan penyakit hepar akut dan nekrosis
otot. Anjing umumnya akan mengalami peningkatan aktifitas serum
alkaline phosphatase (ALP) dengan nekrosis hepar, tetapi hal ini
jarang terjadi pada kucing. Aktifitas serum kreatinin kinase juga
meningkat pada kasus nekrosis otot. Selain itu, level bilirubin akan
naik pada hewan yang mengalami nekrosis hepatic akut. Anjing yang
menderita pancreatitis mungkin akan memperlihatkan peningkatan
pada aktifitas amilase dan lipase.
Diagnosa antemortem toksoplasmosis pada anjing dapat
dilakukan dengan kombinasi pemeriksaan serologis dan parameter
klinis sebagai berikut : 1. Bukti serologis atau infeksi yang terdeteksi
titer IgM yang tinggi, atau adanya peningkatan dan penurunan
drastis titer IgG (4 kali lipat atau lebih) setelah terapi atau saat masa
pemulihan; 2. Pengecualian dari penyebab lain dengan gejala klinis
yang mirip; 3. Manfaat dari obat anti Toxoplasma dilihat dari respon
klinisnya. Pada pemeriksaan makroskopis dan mikrokopis mungkin
akan ditemukan ciri patologis pada semua organ. Granuloma dapat
ditemukan pada intestinum dan limfo nodus mesenterikus. Toxoplasma
gondii schizon (bukan takizoit) pernah ditemukan pada epitelium
biliari pada penyakit yang terjadi alami dan percobaan (Dubey, 2005).
86 Toksoplasmosis pada Hewan
Gambar 34. Anjing yang Menjalani Terapi Toksoplasmosis dan
Terus Dievaluasi Efek Pengobatannya Selama 4 Minggu (Migliore
et al., 2017)
3. Diagnosa pada unggas
Diagnosa pada ayam dapat dilakukan dengan memperhatikan
sistem pemeliharaan ayam. Kejadian ayam yang terinfeksi toksoplasma
lebih banyak terjadi pada ayam yang dipelihara secara tradisional
dibanding dengan ayam komersil. Perevalensi kejadian toksoplasma
pada ayam yang dipelihara secara tradisional (Dubey, 2010). Oleh
karena itu, observasi terhadap kemungkinan infeksi toksoplasma
dari lingkungan sangat penting, contohnya dengan memperhatikan
apabila ada hospes definitif seperti kucing maupun hospes perantara
lain disekitar kandang, yang diduga dapat menyebabkan penularan
toksoplasma pada ayam. Meskipun sebagian ayam tidak menampakkan
gejala klinis yang dapat teramati, ayam yang berumur dibawah 8
minggu dengan sistem imun yang belum berkembang dengan baik
dapat mengalami infeksi akut. Pada ayam dewasa hal tersebut dapat
juga terjadi jika ayam mengalami stres atau penurunan kondisi. Infeksi
akut ini dapat berpengaruh pada sistema syaraf pusat, menimbulkan
Toksoplasmosis pada Hewan
87
infeksi Marek’s disease atau penyakit serupa yang menyerang sistem
syaraf. Gejala yang sering terjadi adalah penurunan produksi telur dan
konsumsi pakan, emasikasi, berak putih, tortikolis, paralisis, kebutaan
dan kematian mendadak.
Gambar 35. Pemerliharaan Ayam yang Berdekatan dengan Hospes
Natural Toxoplasma gondii. (sumber : Countrysidedaily)
4. Diagnosa pada Kambing dan Domba
Proses diagnosa pada hewan ternak memerlukan observasi dan
anamnesa yang lengkap untuk mempermudah pemilihan diagnosa
laboratoris maupun uji serologis. Adanya kucing, tikus, atau hewan
lain sebagai pembawa toksoplasma di daerah peternakan menjadi salah
satu pertimbangan penting dalam proses diagnosa. Gejala penyakit
pada domba dan kambing mirip dengan gejala pada manusia, yaitu
infeksinya secara asimtomatik (Nurcahyo, 2004). Penyakit ini dapat
ditandai dengan plasentitis, abortus, ensefalitis dan lesi pada mata.
Diagnosa dapat dilakukan dengan mengamati gejala klinis,
namun uji laboratorium harus dilakukan untuk mengetahui diagnosa
definitif. Salah satunya adalah dengan melakukan nekropsi pada
88 Toksoplasmosis pada Hewan
kambing atau domba yang memiliki beberapa gejala abortus,
mummifikasi, stillbirth yang sering terjadi pada kehamilan kembar
dimana satu anak dapat bertahan hidup, atau domba dengan gejala
pelemahan yang tidak dapat menyusu kepada induknya.
Gejala klinis yang menjadi karakteristik aborsi karena
toksoplasma adalah adanya lesi berwarna putih pada kotiledon
plasenta. Hal ini disebabkan adanya fokal nekrosis di area plasenta
karena proses multiplikasi organisme Toksoplasma. Jika dilakukan
pemotongan pada area putih tersebut akan didapati adanya kalsifikasi.
Pemeriksaan histologi menunjukkan multifokal nekrosis dan inflamasi
non-supuratif pada berbagai jaringan seperti pada otak, jantung, ginjal,
dan otot-otot yang menenmpel pada tulang.
Gambar 36. Plasenta Domba yang Mengalami Abortus Karena
Toksoplasmosis (sumber : msd-animal-health.ie)
B. Diagnosa Banding
Pada kambing dan domba kejadian keguguran akibat toksoplasma
seringkali sulit dibedkan dengan keguguran yang diakibatkan infeksi
Chlamydophila abortus, Coxiella burnetii, Brucella melitensis, Caprine
Toksoplasmosis pada Hewan
89
dan Ovine brucellosis, Campylobacter fetus fetus, Salmonella spp, Border
disease, Bluetongue, Wesselsbron’s disease dan penyakit akabane. Pada
babi, kasus abortus ini juga sulit dibedakan dengan kasus Brucella suis.
Kasus toksoplasmosis juga terkadang mirip dengan distemper (anjing
dan kucing), sistemik mikosis (histoplasmosis, cryptococcosis) dan
Neospora caninum (wiki.isikhnas.com).
90 Toksoplasmosis pada Hewan
BAB IX
DIAGNOSA BIOLOGIS
Diagnosa biologis toksoplasmosis dapat dilakukan dengan cara
menginfeksi jaringan hewan yang diduga menderita Toksoplasmosis
kemudian menyuntikan atau memasukannya ke dalam tubuh
hewan percobaan seperti tikus, mencit atau kelinci. Cara yang lain
dapat dilakukan dengan mengisolasi parasit tersebut, kemudian
membiakkan di laboratorium dan menginfeksikannya pada hewan
percobaan. Namun demikian sangat sedikit laboratorium klinik
yang menawarkan pemeriksaan dengan pembiakan (kultur) yang
spesifik untuk suatu parasit. Selain metodenya yang rumit, fasilitas
laboratorium juga harus mendukung pelaksanaan metode tersebut
dengan disertai suatu kualitas kontrol yang terjamin, sehingga metode
kultur tidak sesuai untuk dipakai sebagai diagnosa rutin. Diagnosa
ini dilakukan dengan cara isolasi parasit (oosista) dari tanah, tinja
kucing, darah penderita yang mendertita korioretinitis kongenital
atau perolehan. Selain itu, dapat pula dilakukan isolasi parasit dari
jaringan yang diduga terinfeksi, misalnya dari urat daging, spesimenspesimen
biopsi, sel ”buffy coat”, cairan spinal, otak dan isolasi dari
kelenjer lidah dan air liur (Soulsby, 1982).
Toksoplasmosis pada Hewan
91
Uji pada hewan percobaan dapat dilakukan dengan cara
menginfeksi toksoplasma secara buatan pada mencit atau tikus.
Organisme toksoplasma dapat ditemukan di seluruh tubuh hewan,
setelah terjadi penyebaran dengan melalui peredaran darah dan limfa.
Setiap jaringan tubuh atau cairan dapat dipergunakan sebagai bahan
inokulasi. Spesimen yang paling umum dipakai untuk inokulasi adalah
darah, cairan kelenjar limfa dan cairan spinal. Bahan yang digunakan
untuk inokulasi, jumlahnya dapat sangat sedikit, yaitu kurang dari
0,25 ml, harus didapat secara steril dan harus diinokulasikan secara
intraperitoneal. Dapat juga digunakan mencit putih apapun jenis
kelamin dan umurnya. Setelah itu, hewan harus diperiksa setiap
hari untuk melihat gejala-gejala penyakit yang muncul. Setelah
beberapa hari, organisme dapat ditemukan dari caiaran peritoneal.
Dari bahan tersebut, selanjutnya dapat dibuat preparat apus darah
tebal dan dipulas dengan pulasan Giemsa. Hewan percobaan yang
negatif, dianjurkan untuk dilakukan blind passage yaitu dengan cara
menginfeksi kembali cairan peritoneal dari hewan yang dibedah ke
hewan percobaan yang lain. Pada infeksi buatan dari galur toxoplasma
dengan tingkat virulensi tinggi, akan menyebabkan suatu infeksi
yang sifatnya akut pada hewan percobaan dalam waktu 1-14 hari
setelah penyuntikan secara intraperitoneal. Akibat dari infeksi buatan
tersebut akan terjadi ascites pada hewan percobaan. Apabila pada
stadium proliferatif dilakukan pemeriksaan dengan preparat apus,
maka akan tampak adanya parasit. Inokulasi parasit yang dilakukan
secara serebral, akan memperlihatkan adanya infeksi yang lebih cepat
pada hewan percobaan. Galur Toxoplasma dengan virulensi yang lebih
rendah, akan memperlihatkan gejala penyakit pada minggu ketiga
setelah inokulasi, dengan diperjelas lagi adanya pseudosista pada otak
(Soulsby, 1982).
Untuk inokulasi jaringan, sebelumnya jaringan tersebut digerus
terlebih dahulu dalam NaCl 0,85 % yang steril. Selanjutnya dibuat
92 Toksoplasmosis pada Hewan
suspensi yang terdiri dari 10 % jaringan dan 90 % NaCl. Setelah itu
diinokulasikan ke enam mencit secara peritoneal dengan masingmasing
mendapat 1 ml. Pada hari berikutnya dapat dilakukan
reinokulasi dengan dosis 1 ml. Perubahan-perubahan yang ada pada
hewan percobaan tersebut harus diamati setiap hari. Apabila hewan
tersebut menjadi tidak sakit pada hari ke 6, maka segera diambil satu
tetes dari cairan intraperitonealnya dan langsung dibuat preparat
apus dengan dilakukan pengecatan Giemsa untuk mendeteksi
kemungkinan parasit yang ada.
Diagnosa laboratoris pada toksoplasmosis, pada umumnya
dilakukan secara serologis untuk mendeteksi adanya IgM dan IgG.
Namun demikian, diagnosa ini memiliki kelemahan, yaitu dengan
terdeteksinya IgM, tidak berarti dapat mendeteksi toksoplasmosis
secara dini, karena IgM pada infeksi akut primer, baru akan muncul
sekitar seminggu setelah ifeksi terjadi dan pada reinfeksi IgM justru
tidak muncul. Selain itu, dengan adanya IgG-nya di dalam serum
penderita tidak dapat untuk menentukan toksoplasmosis stadium
infektif, terutama bila titer IgG rendah (Desmonts et al., 1981).
Toksoplasmosis pada Hewan
93
94 Toksoplasmosis pada Hewan
BAB X
DIAGNOSA LABORATORIS
A. Pemeriksaan Feses
Pemeriksaan feses merupakan metode yang umum dilakukan.
Pada kucing, permeriksaan feses sangat cocok untuk mendeteksi ada
atau tidaknya oosista. Sampai saat ini belum ada metode yang akurat
untuk memprediksi kapan kucing mengeluarkan oosista.
Metode pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan pemeriksaan
langsung, yaitu pemeriksaan langsung feses dilakukan untuk
menemukan telur cacing dalam feses. Bila fesesnya sangat padat
harus dihancurkan dulu dan diencerkan dengan cairan fisiologis yang
dididihkan kemudian diteteskan diantara dek dan obyek gelas baru
kemudian diamati dengan mikroskop. Preparat feses tersebut harus
cukup tipis sehingga lebih mudah mengamatinya. Bila feses kondisinya
cair tidak perlu diencerkan dalam larutan fisiologis. Pemeriksaan
mikroskopis dilakukan dengan perbesaran 60-100x bila kurang besar
dapat diperiksa dengan perbesaran yang lebih kuat. Bila ada mukus
dipermukaan feses, mukus tersebut dibuat preparat langsung pada
obyek gelas dan langsung diperiksa.
Toksoplasmosis pada Hewan
95
Metode lainnya adalah dengan metode konsentrasi; Metode
ini dilakukan bila jumlah telurnya sedikit. Prinsipnya membuang
debris feses sehingga yang tersisa hanya telur cacing, caranya dengan
memanfaatkan perbedaan densitas atau berat jenis bahan yang ada
dalam feses termasuk telur di dalamnya. Banyak metode yang dapat
dilakukan seperti metode pengendapan, metode pengapungan atau
kombinasi keduanya yang tidak dibicarakan disini.
Penghitungan telur; Penghitungan telur sangat penting untuk
menentukan intensitas suatu infeksi parasit. Penghitungan dapat
dilakukan dengan menggunakan metode Natif, Sentrifuse, Sporulasi,
dan metode McMaster :
1. Metode Natif
- Ambil sedikit tinja, gerus dengan mortir lalu tambahkan air
secukupnya
- Teteskan gerusan feses pada obyek gelas dan tutup dengan
dek gelas
- Periksa dengan mikroskop ( perbesaran 10 x 10 )
2. Metode Sentrifuse
- Ambil 2 gr tinja taruh dalam mortir, tambahkan sedikit air
dan diaduk-aduk sampai larut (atau sisa pemeriksaan secara
natif )
- Tuangkan ke dalam tabug sentrifuse sampai ¾ tabung
- Putar dengan alat sentrifuse selama 5 menit
- Buang cairan jernih diatas endapan
- Tuang NaCl jenuh diatas endapan sampai ¾ tabung dan
aduklah hingga tercampur merata.
- Putar lagi dengan alat sentrifuse selama 5 menit
- Letakkan tabung sentrifuse tadi diatas rak
96 Toksoplasmosis pada Hewan
- Teteskan NaCl jenuh diatas cairan dalam tabung sampai
permukaan cairan menjadi cembung. Dan tunggu selama 3
menit
- Tempelkan obyek gelas pada permukaan yang cembung
dengan hati-hati, kemudian dengan cepat balik obyek gelas
tersebut
- Tutup obyek gelas dengan kaca penutup dan periksa dengah
mikroskop perbesaran 10x10
Gambar 37. Oosista T.gondii yang Belum Mengalami Sporulasi
pada Feses Kucing (tanda panah) (perbesaran 10 x 100 x)
3. Sporulasi
Untuk membedakan genus Eimeria dengan genus Isospora
perlu dilakukan sporulasi. Sporulasi dapat dilakukan dengan
mencampur feses yang positif mengandung oosista koksidia dengan
kalium bikhromat 2% dengan perbandingan 1 g feses : 20 ml kalium
bikhromat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan setiap hari dan
bila sudah sporulasi, oosista tersebut dicatat beserta isi dan waktu
sporulasinya.
Toksoplasmosis pada Hewan
97
Gambar 38.Oosista T.gondii yang telah mengalami sporulasi pada
feses kucing (tanda panah) (perbesaran 100x)
4. Metode McMaster (untuk menghitung jumlah telur cacing atau
jumlah oosista setiap 1 gram tinja).
- Segumpal tinja diambil dan ditimbang
- Tinja yang telah ditimbang dimasukan ke dalam gelas
beker dengan perbandingan setiap gram tinja ditambah air
menjadi 15 ml
- Diaduk dengan pengaduk (stirer) sampai campuran merata.
- Doubel obyek gelas disiapkan dan dimasukan 0,3 ml gula
jenuh dalam dobel obyek gelas tadi menggunakan spuit
ukuran 1 cc
- Dalam keadaan masih teraduk, campuran tinja disedot
sebanyak 0,3 cc dan dimasukkan tepat pada gula jenuh
dalam dobel obyek gelas.
- Campuran tinja dan gula jenuh diaduk dengan menggunakan
jarum dan tunggu selama 3 menit
- Setelah itu diperiksa dengan mikroskop menggunakan
perbesaran 10x10
- Lalu dihitung masing-masing telur cacing yang ada
maupun oosista koksidia( biasanya menempel pada obyek
gelas bagian atas.
98 Toksoplasmosis pada Hewan
- Hasil penghitungan dikalikan 50 = jumlah setiap 1 gram
tinja
B. Pencarian Parasit pada Organ-Organ Masif
1. Bahan dan Alat: lar. fisiologis, akuades, gunting, skalpel,
pinset, beker gelas, cawan petri, nampan plastik dan
mikroskop stereoskopis
2. Metode :
Untuk protozoa:
Beberapa stadium protozoa dapat ditemukan pada organ
masif seperti sista demikian juga oosista. Untuk mencari
stadium tersebut organ hati digerus dengan mortir dengan
diberi sedikit cairan fisiologis atau akuades. Hasil gerusan
diteteskan pada obyek gelas. Setelah itu ditutup dengan
gelas penutup dan diamati di bawah mikroskop. Metode
lain juga dapat dilakukan dengan mendepres jaringan hati
diantara dua obyek gelas lalu diamati di bawah mikroskop.
C. Preparat Histologis
Pembuatan preparat histologi dapat dilakukan dengan
menggunakan sampel hati, limfa, ginjal, paru, jantung, otak, dan
otot diafragma yang telah difiksasi dengan formalin 10% selama
24 jam, dibuat sediaan histologi dan diwarnai dengan hematoksilin
eosin (HE). Jaringan yang telah difiksasi dipotong melintang dengan
ketebalan ± 4 mm dan difiksasi kembali dalam larutan formalin 10%
selama 24 jam. Sediaan jaringan kemudian dimasukkan ke dalam
etanol berturut-turut etanol 80% satu kali, etanol 95% dua kali, etanol
100% tiga kali, masing-masing selama dua jam. Setelah dipindahkan
ke dalam larutan xylene tiga kali dan ke dalam paraffin tiga kali
masing-masing selama dua jam, kemudian jaringan dicetak dalam
parafin.
Toksoplasmosis pada Hewan
99
Sediaan yang telah dicetak dipotong dengan menggunakan
mikrotom dengan ketebalan 5-7 mikron dan kemudian diletakkan di
atas gelas objek yang diolesi dengan Mayer’s egg albumin dan dibiarkan
selama 24 jam. Selanjutnya, sediaan jaringan direndam dalam larutan
xylene dua kali masing-masing selama lima menit etanol 100 % dua kali
masing-masing selama satu menit, etanol 95 % dua kali masing-masing
selama satu menit, etanol 70% selama satu menit, Harris’s hematoksilin
selama 10 menit, dibilas ke dalam air sebanyak empat celupan, serta
dalam acid alkohol 3-10 celupan, dicuci dengan air mengalir selama
15 menit, larutan eosin selama 15 detik, dibilas ke dalam etanol 70%
satu kali celupan, dua kali larutan etanol 95 % masing-masing satu kali
celupan, dua kali celupan etanol 100 % masing-masing selama satu
dua menit, tiga kali larutan xylene masingmasing selama dua menit,
dan kemudian ditutup dengan gelas penutup menggunakan entelan
(Direktorat Bina Kesehatan Hewan, 1999).
D. Imunohistokimia
Imunohistokimia adalah gabungan antara ilmu histologi,
sitologi, dan imunologi dengan pewarnaan substansi/bahan aktif
didalam jaringan dengan menggunakan prinsip dasar imunologi, yaitu
terjadinya ikatan bahan aktif (antigen) pada sisi aktif yang spesifik
oleh suatu anti-bahan aktf (antibodi). Antibodi kemudian diikat
oleh penanda yang dapat divisualisasikan sehingga dapat menandai
keberadaan antigen tersebut di dalam jaringan (Bionisch, 2001).
Sampel yang dibutuhkan berupa zat atau bahan yang diproduksi
tubuh baik sekresi maupun ekskresi berupa protein, karbohidrat,
asam nukleat, atau lemak. Sampel-sampel tersebut dapat digunakan
karena memiliki antigen atau antibodi yang cukup banyak sehingga
dapat diikat oleh antibodi spesifik dan menyebabkan ikatan antigenantibodi
yang dapat divisualisasikan (Ramosvara, 2005).
Metode imunohistokimia yang banyak digunakan dan sangat
sensitive untuk mendiagnosa toksoplasmosis adalah metode avidin
100 Toksoplasmosis pada Hewan
biotin atau disebut Avidin Biotin Complex (ABC). Pada sesekor burung
merpati (Columba livia) pemeriksaan dengan teknik imunohistokimia
streptavidin-biotin menunjukkan reaksi positif sista T. gondii (Hamdani,
1998). Metode avidin biotin yang sering digunakan adalah Labeled Avidin
Biotin (LAB) atau Labeled Streptovidin Avidin Biotin (LSAB) yang
menggunakan biotinylide secondary antibody dan 3 reagen dari peroksidase
atau alkaline phosphatase berlabel avidin, dan metode ini memiliki
sensitivitas yang lebih tinggi diantara metode ABC lainnya.
E. Skin Test
Protein membran dari stadium akut Toksoplasma yaitu takizoit
dapat digunakan sebagai bahan untuk skin test pada hewan dan ternak
(Nurcahyo et al., 2011). Bulu pada daerah pangkal ekor dicukur bersihbersih
dengan diameter 5 cm. Secara intradermal l disuntikkan 1.5
ml antigen Toxoplasma di tengah tempat yang telah dicukur bulunya,
dengan pompa suntik Rautmann automatik. Setelah 15-30 menit
daerah bekas suntikan diperiksa. Jika terdapat penebalan kulit yang
mengeras, penebalan tersebut diukur diameternya dengan kutimeter.
Daerah suntikan dihindarkan dari sentuhan tangan, digosok alkohol
atau antiseptik lain sampai saat pengukuran. Diagnosa dianggap positif
jika diameter penebalan kulit sama atau melebihi 15 mm, hasilnya
dianggap negatif jika diametar pe nebalan kurang dari 15 mm.
Toksoplasmosis pada Hewan
101
Gambar 39. Contoh Hasil Pemeriksaan Toksoplasmosis Positif
dengan Menggunakan Skin Test pada Domba
102 Toksoplasmosis pada Hewan
BAB XI
DIAGNOSA SEROLOGIS
Diagnosa toksoplasmosis secara klinis sulit ditegakkan karena
gejalanya sangat mirip degnan infeksi penyakit lain. Oleh karena
itu, untuk menegakkan diagnosa toksoplasmosis, perlu dilakukan
diagnosa laoratoris yang pada umumnya dilakukan secara serologis.
Pada saat ini uji ini banyak dilakukan meskipun memiliki kendala
seperti kurang sensitif, mahal, dan sulit digunakan pada sampel yang
berjumlah banyak (Tenter et al., 1992). Diagnosa serologis juga telah
banyak mengalami perkembangan menjadi bermacam-macam uji yang
didasarkan pada antibodi terhadap T. gondii misalnya uji-uji seperti : uji
Sabin-Fieldman Test (SFT), Indirect Fluoresence Antibodi Test (IFAT),
Enzym Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA), Complement Fixation
Test (CFT), Latex Aglutination Test (LA), Indirect Aglutination Test
(IHA) dan Direct Aglutination Test (DA) (Gandahusada, 1992; Wilson
et al., 1990). Melihat pentingnya diagnosis serologis ini, maka perlu
diketahui karakteristik antigen dan antibodi toksoplasma sebelum
lebih jauh membahas tentang uji yang akan dilakukan.
Jenis-Jenis Uji Serologis Toksoplasmosis
Uji serologis yang sering dilakukan saat ini, menggunakan
prinsip untuk mendeteksi adanya zat anti IgM dan IgG di dalam
serum. Berikut ini jenis uji yang dapat digunakan, yaitu:
Toksoplasmosis pada Hewan
103
A. Sabin-Fieldman Test (SFT),
Sapi dapat menjadi hospes perantara bagi T. gondii meskipun
parasit tersebut berlokasi di dalam tubuh sapi. Suatu penelitian pada sapi
yang dilakukan oleh Dubey dan Beattie (1988) dengan memberi infeksi
buatan T. gondii menunjukkan adanya Toksoplasma yang dapat bertahan
hingga periode yang lama di dalam daging dan organ, namun demikian
tidak menunjukkan titer antibodi yang berarti. Sapi menunjukkan gejala
demam, kelesuan dan nafsu makan menurun. Empat minggu setelah
sapi tersebut diinfeksi, dapat dideteksi adanya Toksoplasma dari berbagai
organ, akan tetapi segera dieliminasikan dari tubuh sapi hingga minggu
ke 8. Diagnosa yang dilakukan dengan uji Sabin Feldman (SFT) yang
ditujukan untuk melihat aktifitas antibodi mencapai nilai maksimum
pada hari ke 9 - 30. Selanjutnya pada bulan ke 2 hingga 6 aktifitas tersebut
kembali menghilang. Uji yang dilakukan dengan metode Aglutinasi
menunjukkan hasil adanya titer antibodi dalam waktu yang lebih lama.
Uji ini pada prinsipnya adalah melihat adanya antibodi yang
mengcegah pewarna methylene blue untuk memasuki sitoplasma
toksoplasma. Serum pasien dengan tropozoit toksoplasma dan
komplemen sebagai aktivator kemudian diinkubasi. Setelah masa
inkubasi ditambahkan methylene blue. Jika muncul reaksi antibodi
anti-toksoplasma pada serum, tropozoit toksoplasma tidak akan
terwarnai (reaksi positif ) karena antibodi ini akan aktif jika
bersinggungan dengan komplemen dan melisiskan membrane dari
parasite. Apabila tidak ada antibodi tropozoit yang masih mempunyai
membran akan terwarnai dan tampak berwarna biru dibawah
mikroskop (reaksi negative). Uji ini mempunyai seisitifitas yang tinggi
dan spesifik, selama ini belum ada laporan yang menyatakan adanya
positif paslu pada uji ini. Namun, uji ini mempunyai keterbatasan,
yaitu : 1. Sangat sulit untuk menjaga dan memelihara takizoit hidup;
2. Uji ini mendeteksi immunoglobulin G (IgG) antibodi, oleh sebab
itu tidak dapat digunakan untuk membedakan infeksi lama dan baru.
104 Toksoplasmosis pada Hewan
B. Indirect Flouresence Antibodi Test (IFAT)
Uji Indirect fluorescent antibody test (IFAT) ini adalah uji semi
kuantitatif, sensitive, dan menjadi rapid test terutama untuk deteksi
anti-rabies virus immunoglobulin M (IgM) dan G (IgG) antibodi pada
serum and sampel cerebral spinal fluid (CSF). Perbedaan IFAT dengan
direct IF (DIF) ada pada penggunaan antibodi untuk diarahkan pada
target. Pada DIF digunakan satu antibodi yang mengarah pada target,
antibodi primer ini lansung dikonjugasikan pada suatu fluorophore.
Sedangkan pada IFAT digunakan dua antibodi, antibodi primernya
tidak dikonjugasikan dan baru pada antobodi sekundernya yang telah
dikonjugasikan dengan fluorophore diarahkan pada antibodi primer
digunakan sebagai pendeteksi.
Uji ini pertama kali dilakukan oleh Goldman pada tahun 1957
(Soulsby, 1982). Pada pengujian toksoplasmosis, dasar dari uji ini
adalah dengan menggunakan seluruh organisme sebagai antigen dan
takizoitnya difiksasi dalam formalin, kemudian dikeringkan dengan
slide. Serum dari pasien penderita diinkubasi pada slide dan dilabel
dengan bahan flouresence dan ditambah konjugat antibodi pasien
untuk memberi gambaran reaksi (Wilson et al., 1990). Pemeriksaan
slide dilakukan untuk melihat adanya ikatan antibodi pada sel dengan
menggunakan mikroskop fluorescent kemudian dilakukan pengukuran
intensitas sinyal fluorescence.
C. Enzyme Linked Immuno Sorben Assay (ELISA)
Uji ini digunakan untuk mengukur antibodi atau antigen. Pada
pemeriksaan toksoplasmosis dapat dipakai indirect ELISA. Jika pada
pemeriksaan terdapat antibodi spesifik, maka antibodi ini akan terikat
pada antigen antibodi spesifik. Antibodi ini akan berikatan dengan
antigen membentuk komplek antigen antibodi. Kemudian pada tahap
kedua ditambahkan konjugat dan substrat yang spesifik yang akan
menimbulkan proses enzimatik untuk rekasi imunologi sehingga akan
menimbulkan perubahan warna.
Toksoplasmosis pada Hewan
105
Indirect ELISA merupakan uji ELISA dua tahap yang
menggunakan 2 proses pengikatan antibodi primer dan pelabelan
antibodi sekunder. Antibodi primer diinkubasi dengan antigen
kemudian setelahnya diinkubasi dengan antibodi sekunder. Namun
demikian, perlakuan ini dapat menyebabkan sinyal yang tidak spesifik
karena adanya reaksi silang dengan antibodi sekunder. Metode secara
singkatnya dijelaskan sebagai berikut :
- Micro-well plates diinkubasikan dengan antigen, kemudian
dicuci
- Sample degnan antibodi ditambahkan, lalu dicuci kembali
- Tambahkan Enzyme linked antibodi sekunder dan cuci
- Substrat ditambahkan, dan enzim pada antibodi akan
mengeluarkan suatu sinyal chromogenic atau fluorescent.
Gambar 40. Perbandingan Beberapa Metode ELISA
(sumber: www.elisa-antibody.com)
106 Toksoplasmosis pada Hewan
D. Complement Fixation Test (CFT)
Sabin dan Warren pertama kali mengembangkan uji ini pada
tahun 1942 dengan menggunakan eritrosit dan antigen parasit yang
dapat larut dan berbeda dengan organisme yang digunakan pada Dye
Test. Antibodi akan mengikat komplemen lebih lambat dan menurun
lebih cepat daripada antibodi pada uji pewarnaan, sehingga uji ini
baru bisa positif satu bulan setelah infeksi. Reaksi akan positif bila
eritrosit menjadi lisis (Soulsby, 1982). Uji CFT ini sangat bervariasi
dan bergantung pada tahap penyiapan antigen. Dengan demikian
kemungkinan akan dapat menghasilkan sensitifitas rendah, sehingga
untuk saat ini uji CF sudah jarang digunakan (Wilson et al., 1990).
Prinsip CFT ini menggunakan reaksi natural pada komplemen
yang aktif saat ada antigen-antibodi. Pada tahap awal serum yang
dipanaskan menghancurkan komplemen pada sampel. Kemudian
sejumlah komplem dan antigen ditambahkan pada serum. Jika
terdapat antibodi pada serum, zat komplemen ini akan terikat karena
adanya pembentukan kompleks Ag-Ab. Namun, bila tidak terdapat
antibodi disana maka komplemenakan tetap bebas. Untuk mengukur
apakah zat komplemen telah terikat, eritrosit domba dan antibodi
yang berlawanan dengan eritrosit domba ditambahkan. Hasil positif
akan menunjukkan adanya ikatan komplemen dengan kompleks Ag-
Ab dan tidak terjadinya hemolisis eritrosit, jadi dapat disimpulkan
adanya antibodi. Pada hasil negative tidak terdapat reaksi Ag-Ab dan
komplemen masih tetap bebas. Komplemen yang bebas ini berikatan
dengan eritrosit domba dan menyebabkan hemolisis, ditandai dengan
perubahan warna menjadi merah muda.
Material dan reagen yang digunakan adalah sebagai berikut :
- Suspensi eritrosit domba (5% suspensi eritrosit domba)
- Hemolisin (rabbit anti-sheep red-cell antibody)
- Komplemen dari marmut, bebas dari antibodi dari agen target
Toksoplasmosis pada Hewan
107
- Pelarut Barbital-buffered
- Microtitre plate plastik
- Adapter sentrifuse untuk microtitre plate
- Water bath untuk inkubasi plate
- Standar warna untuk mengukur hemolisis
Gambar 41. Prosedur Complement Fixation Test (CFT) dan
Hasilnya. (Sumber : laboratoryinfo.com)
108 Toksoplasmosis pada Hewan
E. Latex Aglutination Test (LA)
Uji LA ini digunakan untuk memeriksa keberadaan
imunoglobulin G (IgG). Serum dari pasien penderita direaksikan
dengan partikel latex yang peka. Apabila terdapat antibodi yang
spesifik terhadap toksoplasma, maka akan terjadi aglutinasi. Titer
yang ada kemudian diabndingkan dengan hasil tanpa Dye Test dan
IFAT. Uji ini terutama digunakan sebagai seleksi terhadap infeksi
seropositif semu (Wilson et al. (1990). Reaksi antara partikel antigen
dan antibodi menghasilkan aglutinasi. Antibodi yang menyebabkan
reaksi ini disebut aglutinin. Prinsip aglutinasi mirip dengan reaksi
presipitasi; semuanya tergantung pada ikatan silang polyvalent
antigens. Saat antigennya adalah eritrosit maka disebut hemaglutinasi.
Secara teori semua antibodi dapat mengaglutinasi partikel antigen
tetapi IgM, secara spesifik merupakan agglutinin yang baik.
Latex agglutination test dapat digunakan untuk mendeteksi
antibodi atau antigen pada beberapa sampel dari cairan tubuh, termasuk
ludah, urin, cairan serebrospinal, dan darah. Metode pemeriksaannya
juga tergantung jenis sampel yang dikerjakan. Sampel yang dikirim ke
laboratorium, dilapisi latex dengan antibodi dan antigen spesifik. Jika
terdapat substrat yang akan diperiksa latex akan mengalami aglutinasi.
Hasil ini dapat didapatkan setelah 15 sampai 1 jam pemeriksaan
dilakukan (Aoyagi et al., 2017). Tidak ada aglutinasi yang dapat
diamati jika konsentrasi antibodi tinggi, dan dapat dilakukan pelarutan
kembali agar aglutinasi dapat teramati. Ada Prozone effect yang berarti
terhalangnya visibilitas aglutinasi saat konsentrasi antibodi tinggi
karena antibodi yang berlebihan membentuk kompleks yang tidak
akan tergabung untuk menyebabkan aglutinasi terlihat.
F. Indirect Hemaglutination Test (IHA)
Pertama kali uji ini dikembangkan oleh Jacobs dan Lunde pada
tahun 1957. Uji hemaglutinasi ini didasarkan pada adanya reaksi
aglutinasi antara eritrosit yang di bagian permukaannya dilapisi
Toksoplasmosis pada Hewan
109
antigen terhadap antibodi dalam serum yang homolog. Serum dari
penderita, kemudian diinkubasi dengan sel-sel yang positif. Apabila
pasien mempunyai antibodi terhadap toksoplasma, maka sel darah
merah akan mengalami aglutinasi (Wilson et al., 1990). Uji IHA ini
sering ditemukan negatif pada toksoplasmosis kongenital dan hanya
akurat pada infeksi akut. Selain itu juga sering terjadi infeksi silang
dengan Antibodi Anti Nukleus (ANA) dan faktor rhematoid (RF)
(Bellanti, 1993).
G. Direct Aglutination Test (DA)
Pada awalnya uji ini tidak banyak digunakan karena sulit
untuk mendapatkan toksoplasma yang cukup untuk antigen. Fulton
danTurk mengembangkan uji ini pada tahun 1959 yang kemudian
dimodifikasi oleh Desmon dan Remington tahun 1980. Dasar
dari uji ini adalah dengan mempertahankan serum pasien dengan
penambahan 2-mercaptoethanol untuk menurunkan kadar IgM,
kemudian diinkubasi dengan antigen toksoplasma. Aglutinasi akan
terjadi apabila pasien mempunyai antibodi terhadap toksoplasma
(Wilson et al., 1990). Uji DA memiliki prosedur yang kelihatnnya
lebih sederhana, akan tetapi dapat digunakan untuk mendeteksi
toksoplasmosis akut ( Johnson et al., 1995). Direct agglutination test ini
merupakan prinsip dari Card Agglutination Test (CATT) yang banyak
digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap parasit dalam serum
atau plasma dari hewan yang terinfeksi. Metode berbasis antigen ini
sangat bermanfaat untuk penelitian sero-epidemiologi.
Pemeriksaan sampel serum terhadap adanya antobodi T. gondii
dilakukan dengan cara sebagai berikut : pada kertas kit diteteskan satu
tetes kontrol positif dan kontrol negative, kemudian diteteskan satu
tetes (kira-kira 45 mikroliter) suspensi antigen per lingkaran kartu
plastic. Selanjutnya ditambahkan 25 mikroliter serum atau plasma
yang diuji untuk setiap lingkaran dan masing-masing satu lingkaran.
Batang pendek digunakan untuk mengaduk suspensi yang kemudian
110 Toksoplasmosis pada Hewan
disebarkan keseluruh bagian lingkaran kurang lebih 1 mm dari
pinggir lingkaran. Selanjutnya kartu digoyang dengan menggunakan
alat agitator 60-70 rpm atau dengan tangan selama 5 menit. Reaksi
dianggap positif apabila warna masing-masing sampel sama dengan
kontrol positif. Kit yang sering digunakan adalah CATT Pastorex TM .
Gambar 42. Hasil Positif terhadap Pemeriksaan Sampel Serum
Kucing Menggunakan CATT (Pastorex Toxo). Ket : Tanda panah
= hasil positif Toksoplasmosis
H. Methylen Blue Dye Test (DT)
Pertama kali uji ini dikembangkan oleh Sabin dan Feldman
pada tahun 1948 (Soulsby, 1982; Dubey, 1977). Uji ini mempunyai
spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Dasar dari uji ini sebenarnya
adalah parasit yang hidup tidak dapat mengambil zat warna
biru methilen pada pH 11, jika ada zat anti dan faktor tambahan.
Sebaliknya parasit yang dipengaruhi oleh zat anti akan mengambil
warna dengan mudah (Brown, 1979). Menurut Wilson et al.. (1990)
Dye test ini dibuat dengan berdasarkan reaksi takizoit hidup dengan
serum darah penderita dan komplemen yang ditambahkan methylen
Toksoplasmosis pada Hewan
111
blue. Apabila seorang pasien memiliki antibodi terhadap toksoplasma,
maka dinding sel dari parasit tersebut akan lisis, karena efek dari
antibodi spesifik dan faktor tambahan, sehingga tidak bergabung
dengan dye. Kelemahan dari uji DT ini adalah harus digunakannya
organisme hidup dan plasma atau serum segar yang bebas antibodi
anti toksoplasma. Selain itu juga mengandung komplemen dan dapat
terjadi reaksi silang (cross reaction) dengan antigen lain, sehingga
spesifikasinya diragukan (Fleck, 1989).
I. IgM – ISAGA
Kombinasi antara uji DS dan IgM ELISA dengan DA
merupakan teknik dasar dari ISAGA. Pada uji ini tidak digunakan
ensim konjugat. Uji ini lebih sensitif daripada IgM-IFAT, karena tidak
menimbulkan reaksi seropositif dan seronegatif semu akibat adanya
faktor rhematoid (RF) dan antibodi anti nukleus (ANA) dalam serum.
Meskipun spesifikasinya sama, uji ISAGA sendiri kurang sensitif jika
dibanding uji IgM-ELISA (Wilson et al., 1990).
Rescaldani et al., 1986 pernah mengujikan Immunoglobulin M
immunosorbent agglutination assay (IgM ISAGA) ini kepada sampel
yang diuji juga dengan tes yang lain seperti indirect immunofluorescence
antibody (IFA), passive hemagglutination (HA), IgM enzyme-linked
immunosorbent assay (IgM ELISA) untuk membandingkan efektivitas
uji ini. Kesimpulannya IgM ISAGA merupakan uji yang lebih spesifik
dibandingkan dengan IgM ELISA atau IgM IFA untuk mendeteksi
Toxoplasma gondii IgM. Sensitivitas IgM ISAGA sama baiknya
dengan direct IgM ELISA dan lebih baik dibandingkan dengan IgM
IFA untuk diagnosa infeksi toksoplasma akut.
J. Enzyme Immuno Assay (EIA)
Uji ini dapat digunakan pada kasus toksoplasmosis akut dan
lebih sensitif daripada uji IFAT dan DT. Pengganbungan antara DS-
ELISA dan ISAGA yang dilakukan pada uji ini, dengan menggunakan
112 Toksoplasmosis pada Hewan
antigen terlarut yang diinkubasikan dengan serum penderita, akan dapat
memberikan hasil yang lebih sensitif (Remington dan Desmonts, 1990).
Metode ini menggunakan basis ilmu immunologi tentang
konsep ikatan antigen dengan antibodi spesifik, seperti molekul
antigen yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi sampel yang
berupa cairan, termasuk peptid, hormon and protein. Enzim yang
biasa dipakai dalam proses ini adalah glucose oxidase dan alkaline
phosphase. Antigen dalam larutan akan berikatan dengan antibodi
yang kemudian terdeteksi dengan enzyme-coupled antibody yang lan.
Perubahan warna atau munculnya warna fluorescence mengindikasikan
adanya antigen. Jumlah molekul biologi yang dicari dapat disimpulkan
dari warna atau fluorescence yang teramati.
Terdapat beberapa teknik EIA yang dapat mendeteksi molekul
biologi dalam konsentrasi yang rendah, yaitu indirect dan sandwich
EIA. Metode EIA ini juga telah berkembang, saat ini sudah tersedia
kit yang murah dan mudah dibawa sehingga dapat digunakan untuk
penelitian dalam jumlah populasi yang besar dengan modal yang
relatif sedikit. Walaupun begitu, seperti halnya metode-metode yang
lain metode EIA ini juga memiliki kekurangan. Kekuatan perubahan
warna dapat berubah dan terkadang kurang mencerminkan jumlah
antibodi yang sebenarnya pada uji sampel cairan. Hal ini dapat terjadi
apabila larutan yang digunakan disimpan terlalu lama sehingga dapat
menimbulkan positif palsu.
Beberapa pedoman yang dapat digunakan dalam menilai hasil
serologi :
1. Infeksi primer akut dapat dicurigai bila
• Terdapat serokonversi IgG atau peningkatan IgG 2-4
kali lipat dengan interval 2-3 minggu.
• Terdapatnya IgA dan IgM positif menunjukkan infeksi
1-3 minggu yang lalu.
Toksoplasmosis pada Hewan
113
• IgG avidity yang rendah
• Hasil Sabin-Feldman / IFA > 300 IU/ml atau 1 : 1000
• IgM-IFA 1:80 atau IgM-ELISA 2.600 IU/ml
2. IgG yang rendah dan stabil tanpa disertai IgM diperkirakan
merupakan infeksi lampau.
3. Ada 5% penderita dengan IgM persisten yang bertahuntahun
akan positif
4. Satu kali pemeriksaan dengan IgG dan IgM positif tidak
dapat dipastikan sebagai infeksi akut dan harus dilakukan
pemeriksaan ulang atau pemeriksaan lain
114 Toksoplasmosis pada Hewan
BAB XII
DIAGNOSA BIOLOGI MOLEKULER
Kemajuan di bidang biologi molekuler telah banyak
memberikan dukungan bagi pengembangan terutama perangkat
diagnostik baru yang akan mampu memberikan sensitivitas dan
spesivitas yang lebih baik daripada metode konvensional. Kloning
molekuler parasit dan produksi protein rekombinan telah membuka
cakrawala baru dalam penyediaan material antigen (Nurcahyo, 1998).
Dalam kasus toksoplasmosis, penerapan biologi molekuler sangat
membantu dalam upaya peneguhan suatu diagnosa. Keberhasilan
diagnosa molekuler ini tidak lepas dari penemuan teknik Polymerase
Chain Reaction (PCR) yang dengan menggunakan probe dan primer
spesifik akan dapat mengamplifikasi fragmen spesifik terhadap
toksoplasmosis. Dengan demikian hasil yang diperoleh dari teknik
ini, akan dapat memberikan jaminan, bahwa dalam hospes tersebut
terdapat suatu organisme parasit. Selain itu, teknik yang diterapkan
dari PCR, adalah Rapid Amplification Polymorphism DNA (RAPD
PCR) yang terbukti dapat membantu dalam penentuan galur-galur
Toxoplasma gondii (dari galur hewan atau manusia - Rh). Akan
tetapi dari kemajuan suatu teknologi ini, tentu masih memerlukan
suatu interpretasi hasil secara hati-hati dan dengan pertimbangan
yang benar.
Toksoplasmosis pada Hewan
115
A. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Metode ini terbukti efektif untuk mendiagnosa toksoplasmosis.
PCR merupakan metode yang sensitive dan spesifik serta relative
cepat dalam mendiagnosa toksoplasmosis menggunakan sampel klinis
seperti cairan serebrospinal, darah, biopsy jaringan, cairan amnion dan
urin ( James et al., 1996; Fuentes et al., 1996).
Perkembangan PCR telah memberikan kemungkinan dalam
deteksi toksoplasmosis ataupun spesies parasit yang lain. Keberhasilan
dari teknik ini tidak lepas dari bantuan DNA polymerase yang tahan
pada temperatur tinggi yang diproduksi oleh bakteri Thermus aquaticus.
Diagnosa dengan teknik PCR banyak digunakan pada toksoplasmosis
kongenital dan pasien imunosupresif (Montoya dan Liensenfeld,
2004; Roberts dan Janovy, 2000). Untuk meningkatkan sensitivitas
diagnostik molekuler toksoplasmosis juga telah diperkenalkan yaitu
nested PCR, meskipun dalam beberapa tahun terakhir real-time
PCR telah menunjukan sensitivitas serta spesifitas yang jauh lebih
tinggi (Edvisson et al., 2006). Deteksi Real-time PCR juga memiliki
kemampuan untuk menghitung T. gondii dalam sampel biologis
(Djurkovic-Djakovic et al., 2012).
116 Toksoplasmosis pada Hewan
Gambar 43. Prinsip-Prinsip dalam Amplifikasi DNA dalam Teknik
PCR yang Dapat Digunakan untuk Mendeteksi Toksoplasmosis
(Nurcahyo, 1998).
Dalam teknik PCR, diperlukan suatu perangkat yang diberi
nama “thermal cycler” yang akan memperbanyak fragmen-fragmen
sampel DNA sesuai dengan primer yang dipakai. Primer-primer
tersebut dibuat sesuai dengan tempat yang spesifik dari sequence
DNA toksoplasma. Sehingga dalam waktu singkat oleh mesin PCR,
akan diamplifikasi sejumlah fragmen dalam jumlah banyak. Untuk
melihat fragmen hasil PCR tersebut, perlu visualisasi yang didapat
dari hasil running elektroferesis gel agarose. Dengan demikian, dengan
Toksoplasmosis pada Hewan
117
menggunakan DNA parasit yang minimal, misalnya lebih kecil dari
10 pikogram, maka dapat terdeteksi adanya toksoplasma. Pada kasus
toksoplasmosis, telah dapat digunakan material dengan jumlah hanya
2 oosista saja.
Teknik diagnosa yang banyak dipakai di laboratorium klinik,
adalah serologis dan deteksi langsung toksoplasma pada kultur jaringan.
Namun demikian, teknik ini sering kurang sensitif. Sedangkan untuk
suatu hasil yang lebih sensitif membutuhkan waktu sekitar 6 minggu.
Selain itu, konfirmasi hasil serologis terhadap toksoplasmosis yang
masih aktif juga memiliki kendala. Sebagai contoh pada penderita
yang imunokompeten dengan toksoplasmosis limfadenopati, respon
IgM mungkin ada (Brooks, 1987). Tidak adanya respon IgM
pada kelahiran baru mungkin disebabkan ketidaklengkapannya
proses pemasakan dari sistem respon imun yang untuk lengkapnya
menuntut uji lebih lanjut selama beberapa bulan, sebelum diagnosa
toksoplasmosis diteguhkan.
Mengingat keterbatasan tersebut di atas, diagnosa dengan
menggunakan PCR memiliki potensi yang besar dan sangat bermanfaat
sebagai alat diagnosa toksoplasmosis aktif dengan sensitivitas dan
spesivitas yang tinggi. Teknik PCR ini telah dapat digunakan untuk
mendeteksi toksoplasmosis pada manusia dengan bahan pemeriksaan
yang diambil dari cairan serebrospinal darah (Dupon et al., 1995).
Hasil akurat dari PCR, ini telah diuji kembali dengan menginokulasi
jaringan yang diduga terinfeksi pada hewan percobaan dan membuat
preparat histopatologisnya. Dengan demikian, metode diagnosa ini
sangat sesuai untuk diagnosa toksoplasmosis kongenital dan pada
pasien penderita AIDS (Gross et al., 1992).
Nurcahyo et al., 2012 mengembangkan teknik PCR memakai
primer spesifikuntuk diagnosis awal toksoplasmosis. Primer yang
digunakan pada penelitian tersebut adalah rDNA, P30, and B1.
Toksoplasma dapat terdeteksi pada 500 bp dan 600 bp menggunakan
118 Toksoplasmosis pada Hewan
primer tersebut. Sedangkan pada primer rDNA tidak terdeteksi.
Potensi penggunaan PCR untuk mendeteksi infeksi
toksoplasmosis kongenital telah dilakukan dengan mengambil sampel
darah atau cairan amnion (Casenave et al., 1992). Pada deteksi ini,
DNA yang dipakai sebagai material dasar diambil dari pelet hasil
sentrifugasi sel-sel, kemudian dilanjutkan dengan pemanasan dan
sentrifugasi kembali untuk menghilangkan hancuran dari sel-sel
lain yang ikut terambil. Setelah itu, dilakukan pemotongan dengan
proteinase. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa deteksi
dengan PCR pada infeksi toksoplasmosis kongenital sangat sesuai
sebagai bahan konfirmasi diagnosis yang akurat.
B. Antigen Rekombinan
Kebanyakan pada uji diagnostik (misalnya ELISA), deteksi
antibodi di dalam serum dari hewan atau manusia yang terinfeksi,
tergantung pada kemampuan penyediaan protein antigen murni
dalam jumlah cukup. Pada kasus toksoplasmosis misalnya, antigen
yang diperoleh dari hewan percobaan dengan teknik in vivo seringkali
tidak mencukupi dalam jumlah besar. Selain itu di negara-negara
maju teknik in vivo yang menggunakan hewan percobaan dalam
jumlah besar mendapat larangan dan aturan penggunaan yang sangat
ketat. Teknik in vitro sendiri juga belum banyak hasil yang dicapai,
karena banyak bergantung pada keahlian di laboratorium dan media
yang digunakan. Untuk itu, sebagai alternatif, digunakan metode
bioteknologis dengan melalui penggunaan teknologi DNA.
Toksoplasmosis pada Hewan
119
Gambar 44. Prinsip Dasar yang Dipakai untuk Menghasilkan
Antigen dengan Teknik DNA Rekombinan (Nurcahyo, 1998).
Dengan teknik ini memungkinkan produksi antigen toksoplasma
dalam jumlah besar dalam waktu singkat untuk digunakan dalam
diagnosa serologis.
120 Toksoplasmosis pada Hewan
Prinsip dasar dari teknologi rekombinan DNA adalah
pemanfaatkan “vektor” berupa bakteri, yeast atau sel mamalia yang
disisipi oleh gena yang mengkode antigen toksoplasma. Dengan
demikian, akan dapat diekspresikan sejumlah antigen tiruan yang
dikenal dengan antigen rekombinan dari vektor tersebut. Dalam waktu
singkat, dapat diperoleh antigen toksoplasma yang murni. Selain
itu, antigen tersebut juga dapat direkayasa dengan cara membuang
bagian yang menimbulkan reaksi silang. Dari teknik ini, yang penting
adalah antigen mudah diperoleh, dapat disimpan untuk jangka
waktu yang lama dan diproduksi dalam jumlah yang besar. Produk
antigen rekombinan ini dapat digunakan untuk analisa serologis dan
imunologis, seperti ELISA, Immunoblot dan Westernblot.
C. Loop-Mediated Isothermal Amplification (L-AMP)
Perkembangan teknik diagnosis molekuler berdasarkan teknik
amplifikasi DNA seperti PCR, sudah banyak digunakan dalam
diagnosis berbagai penyakit baik pada hewan maupun manusia. PCR
merupakan teknik yang akurat dan sensitif dibandingkan dengan
teknik diagnosis konvensional yang didasarkan pada gejala klinis
penyakit, isolasi dan identifikasi penyebab penyakit, histopatologi,
atau penggunaan teknik serologis seperti enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA), tetapi teknik PCR membutuhkan peralatan dan
personil yang memadahi sehingga sulit diterapkan di lapangan.
Metode diagnosis molekuler menggunakan L-AMP akhirakhir
ini banyak dikembangkan untuk mendeteksi berbagai macam
penyakit dengan cara mengamplifikasi DNA dalam satu suhu yang
dikembangkan oleh Notomi et al. pada tahun 2000, sehingga tidak
diperlukan lagi suhu yang bertingkat seperti halnya PCR.
Metode L-AMP, akhir akhir ini banyak dikembangngkan untuk
mendeteksi penyakit-penyakit hewan yang disebabkan oleh parasit,
seperti trypanosomiasis, toksoplasmosis, plasmodium penyebab
Toksoplasmosis pada Hewan
121
malaria dan lain-lain. Metode L-AMP juga banyak dikembangkan
untuk deteksi penyakit-penyakit pada ikan baik yang disebabkan oleh
parasit maupun virus, juga banyak diaplikasikan untuk mendeteksi
penyakit-penyakit pada tanaman.
Loop-mediated isothermal amplification (L-AMP) merupakan
metode diagnosis berbagai penyakit yang mampu mengamplifikasi
DNA secara cepat, akurat, dan efektif . Metode L-AMP tidak
lagi memerlukan tahap denaturasi DNA cetakan dan DNA dapat
diamplifikasi dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang
relatif singkat, serta hasil dapat dilihat secara langsung dengan mata
telanjang; sehingga metode ini dapat dikatakan sederhana karena
hanya memerlukan water bath atau heating block untuk membuat suhu
konstan dalam proses amplifikasi.
Metode L-AMP bekerja dengan memanfaatkan enzim Bst
DNA polymerase yang diperoleh dari Bacillus stearothermophylus. Enzim
tersebut memiliki aktivitas yang tinggi untuk memisahkan rantai
ganda DNA. Metode L-AMP juga memerlukan 4 pasang primer
yang dirancang mampu mengenali 6 sekuen pada DNA target. Inisiasi
proses amplifikasi pada metode L-AMP dijalankan oleh sepasang
primer dalam (inner primer); selanjuatnya sepasang primer luar (outer
primer) dengan bantuan enzim Bst DNA polymerse akan memisahkan
untai ganda DNA target dan melepaskan DNA untai tunggal untuk
proses amplifikasi selanjutnya. Proses amplifikasi merupakan proses
siklik yang dalam setiap siklus akan dihasilkan banyak loop, dan
pada akhirnya akan membentuk stem loop DNA atau struktur yang
menyerupai cauliflower dengan banyak loop, dan reaksi pada L-AMP
dapat dipercepat dengan menambahkan sepasang primer Loop.
Prinsip rancangan primer L-AMP
Rancangan primer yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas
tinggi dalam proses amplifikasi pada metode L-AMP merupakan
hal yang sangat penting. Empat primer dibutuhkan dalam metode
122 Toksoplasmosis pada Hewan
L-AMP, yaitu satu pasang primer luar dan satu pasang primer dalam.
Primer luar hanya dibutuhkan pada awal proses atau pada tahap non
siklik; sedangkan primer dalam dibutuhkan pada tahap non siklik
maupun tahap akhir atau tahap siklik.
Primer luar terdiri dari Forward primer (F3) dan backward
primer (B3), sedangkan primer dalam terdiri dari forward inner primer
(FIP) dan backward inner primer (BIP). Primer FIP maupun BIP
mengandung masing-masing 2 sekuen berbeda dan merupakan
sekuen sense dan antisense dari target DNA yang sesuai dengan kedua
sekuen tersebut, kedua sekuen dihubungkan dengan 4 T (TTTT).
Loop primer yang terdiri dari forward loop primer (FLP) dan
backward loop primer (BLP) merupakan primer yang ditambahkan
dalam proses amplifikasi, berfungsi untuk mempercepat amplifikasi
sehingga akan menyingkat waktu. Posisi masing-masing primer
L-AMP pada target gen dapat dilihat pada Gambar 13.
(Parida et.al., 2008).
Gambar 45. Skema Posisi Masing-Masing Primer L-AMP pada
Target Gen.
Sekuen dan ukuran primer dapat dipilih dengan memperhatikan
melting temperature (T m
), berkisar antara 60-65 o C yang merupakan
suhu optimal dari enzim Bst DNA Polymerase. Nilai T m
F1c dan B1c
harus lebih tinggi dari F2 dan B2; sedangkan Nilai T m
F3 dan B3
harus lebih rendah dari F2 dan B2 untuk menjamin bahwa primer
Toksoplasmosis pada Hewan
123
dalam akan memulai sintesis lebih dulu baru kemudian primer luar,
selanjutnya konsentrasi primer dalam harus lebih tinggi dari primer
luar.Ukuran target DNA merupakan faktor yang sangat penting
dalam efisiensi L-AMP, sebab amplifikasi akan dibatasi oleh
terpisahnya untai DNA, dan untuk mendapatkan hasil yang optimal,
ukuran target DNA berkisar antara 130 – 200 bp. Syarat lain yang
dibutuhkan untuk menjamin primer L-AMP bekerja dengan baik
sehingga memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi diantaranya
primer L-AMP harus memiliki GC kontens 50-60%, jarak antara 5’
dari F2 dan B2 berkisar antara 120-180 bp, sedangkan jarak antara
F2 dan F3 sama dengan jarak antara B2 dan B3 antara 0-20 bp, jarak
untuk daerah pembentukan loop (5’ dari F2 sampai 3’ dari F1, 5’ dari
B2 sampai 3’ dari B1) berkisar antara 40-60 bp.
Reaksi L-AMP
Prinsip dasar dalam reaksi L-AMP merupakan rangkaian
reaksi dalam pemisahan dan penyusunan DNA (amplifikasi DNA)
yang berjalan pada suhu konstan antara 60-65 o C selama 45-60 menit
dengan bantuan enzim Bst DNA polymerase, dNTPs, primer spesifik
dan template DNA sebagai target amplifikasi; konsentrasi masingmasing
bahan untuk reaksi L-AMP dapat dilihat pada Tabel 1.
Mekanisme amplifikasi dalam metode L-AMP terdiri dari 3 tahap
reaksi, yaitu : tahap pembentukan stuktur awal, tahap perbanyakan
(amplifikasi) dan tahap perpanjangan dan resiklik, namun secara garis
besar tahap-tahap tersebut hanya terdiri dari dua tahap reaksi, yaitu
tahap non siklik dan tahap siklik.
Tahap pembentukan struktur awal. Tahap ini juga sering
disebut dengan tahap non siklik (Gambar 2), karena tidak akan terjadi
siklus berulang, pada tahap ini hanya akan dibentuk struktur awal
yang sering disebut dengan “dumb-bell structure” dan struktur ini yang
kemudian akan diamplifikasi dalam tahap selanjutnya (tahap siklik).
124 Toksoplasmosis pada Hewan
(Eiken Chemical Co.Ltd., Japan, 2005).
Gambar 46. Prinsip Amplifikasi dalam Metode L-AMP, Tahap
Non Siklik (1-8) untuk Membentuk Struktur Awal “dumb-bell
structure” yang Berguna pada Tahap Siklik.
Untai ganda DNA memiliki keseimbangan dinamis pada suhu
65 o C, primer L-AMP akan menempel pada sekuen yang komplementer
dari untai ganda DNA target, selanjutnya terjadi sintesis DNA dengan
bantuan enzim Bst DNA polymerase yang memiliki kemampuan
memisahkan untai ganda DNA sehingga akan dilepaskan untai
tungal DNA. Tahap ini dimulai dengan penempelan pada daerah F2
dari FIP, diikuti dengan F3 yang akan menyusun untai ganda DNA
yang komplementer serta akan melepaskan untai tunggal DNA yang
komplementer dengan FIP. Untai tunggal ini akan membentuk loop
pada salah satu ujung dengan menempelnya F1 dan F1c, selanjutnya
primer BIP akan menempel pada untai tersebut melalui daerah B2
dan tersusun untai ganda DNA yang komplementer dengan BIP,
selanjutnya primer B3 akan menempel dan menghasilkan untai ganda
DNA yang komplementer dengan melepaskan untai tunggal DNA
yang pada masing-masing ujungnya akan membentuk loop, inilah yang
sering disebut dengan bentuk “dumb-bell structure” yang merupakan
Toksoplasmosis pada Hewan
125
struktur awal dimulainya siklik amplifikasi dalam reaksi L-AMP.
Tabel 3. Konsentrasi Masing-Masing Bahan dalam Reaksi
L-AMP
No. Bahan (Reagen)
Konsentrasi Volume
Reaksi Reaksi (µL)
1. Betain (5M) 0,6 M 3
2. MgSO4 (150 mM) 6 mM 1
3. dNTP mix (10 mM) 1,4 mM 3,5
4. Buffer bst thermopol (10x) 1 x reaksi 2,5
5. FIP (50 µM) 2 µM 1
6. BIP (50 µM) 2 µM 1
7. F3 (5 µM) 0,2 µM 1
8. B3 (5 µM) 0,2 µM 1
9. LF (25 µM) 1 µM 1
10. LB (25 µM) 1 µM 1
11. Template 2
12. Bst Polymerase (8000 U/mL) 8 U 1
13. H 2
O*, nuclease free
Total volume reaksi 25
Keterangan: *) ditambahkan hinga volume total 25 µL
Tahap perbanyakan. Tahap ini disebut dengan tahap siklik,
karena terjadi reaksi yang berulang untuk perbanyakan struktur
awal yang dihasilkan pada tahap non siklik. Tahap siklik (Gambar
3) dimulai dengan perubahan secara cepat dari struktur awal “bumbbell
structure” menjadi tangkai loop DNA (stem loop DNA). Primer
FIP akan menempel pada daerah untai tunggal dari tangkai loop
DNA, terjadi sintesis dan pelepasan hasil sintesis, serta pemisahan
DNA untai ganda. Pelepasan untai tunggal dari struktur tangkai
loop terjadi karena penempelan pada daerah B1c dan B1, selanjutnya
ujung 3’ pada daerah B1 akan memulai sintesis dengan menggunakan
struktur tersebut sebagai cetakan dan melepaskan untai DNA yang
komplementer dengan FIP, juga akan dihasilkan bentuk “dumbbell
structure” dimana pada kedua ujungnya mempunyai daerah F1-
F1c dan B1c-B1, struktur ini hanya kebalikan dari struktur yang
126 Toksoplasmosis pada Hewan
dihasilkan pada tahap non siklik sebelumnya. Sama dengan reaksi
sebelumnya, dengan terbentuknya “dumb-bell structure” yang baru,
sintesis akan dimulai melalui dari ujung 3’ daerah B1, selanjutnya BIP
akan menempel melalui B2 pada daerah B2c, demikian seterusnya
terjadi sintesis dan pemisahan untai ganda DNA dan akhir dari
proses tersebut akan dihasilkan campuran antara struktur “stem-loop
DNA” dengan panjang tangkai yang bervariasi dengan “cauliflowerlike
structure” dengan banyak terbentuk loop.
(Eiken Chemical Co.Ltd., Japan, 2005).
Gambar 47. Prinsip Amplifikasi dalam Metode L-AMP, Tahap
Siklik (8-11), Amplifikasi secara Eksponensial dari Struktur Awal
dengan Primer Dalam.
Reaksi siklik secara kontinyu akan menghasilkan 10 9 kopi dari
DNA target dalam waktu kurang dari 1 jam. Amplifikasi pada tahap
siklik ini juga dapat dipercepat dengan menambahkan 2 primer loop
baik FLP maupun BLP sehingga reaksi akan lebih efisien.
Visualisasi hasil amplifikasi L-AMP
Hasil amplifikasi dengan metode L-AMP dapat dideteksi
dengan berbagai cara, secara umum menggunakan agarose gel
Toksoplasmosis pada Hewan
127
elektroforesis dengan menambahkan DNA staining seperti ethidium
bromide. Hasil positif akan terlihat adanya banyak pita DNA dengan
ukuran yang bervariasi.
Hasil amplifikasi juga dapat dilihat secara langsung dengan
menambahkan SYBR green I yang mempunyai kemampuan berikatan
dengan DNA, hasil positif akan terlihat warna hijau berpendar di bawah
sinar ultra violet., visualisasi hasil L-AMP dengan menambahkan
SYBR green I dapat dilihat pada Gambar 16.
Penambahan fluorescent detection reagent (FDR), seperti calcein
sebelum dilakukan amplifikasi juga dapat dilakukan, sehingga akan
dapat melihat hasil amplifikasi secara langsung di bawah ultra
violet (UV) illuminator segera sesudah amplifikasi dengan L-AMP
dan mengurangi kontaminasi. Calcein pada awalnya akan berikatan
dengan ion magnesium, hasil reaksi L-AMP akan menghasilkan ion
pyrophosphate yang akan berikatan dan memisahkan magnesium dari
calcein, sehingga akan terlihat berpendar di bawah UV.
Gambar 48. Visualisasi hasil L-AMP dengan menambahkan
SYBR green I; Hasil positif ditunjukkan sampel nomor 1-4
(berwarna hijau); hasil negative sampel nomor 5 (berwarna orange).
Hasil amplifikasi L-AMP, juga dapat dideteksi dengan melihat
kekeruhan reaksi sesudah amplifikasi menggunakan turbidimeter
128 Toksoplasmosis pada Hewan
maupun secara langsung dengan mata telanjang, tetapi dengan cara
ini hasilnya akan sangat subyektif dan agak bias karena pada hasil
L-AMP dengan hasil amplifikasi DNA yang sedikit sangat sulit
dibedakan dengan hasil L-AMP negatif.
Kekeruhan hasil amplifikasi disebabkan oleh adanya presipitat
magnesium pyrophosphate yang dihasilkan pada reaksi amplifikasi dan
kekeruhan hasil reaksi juga berhubungan dengan jumlah DNA yang
tersintesis, semakin banyak DNA yang disintesis maka reaksi akan
semakin keruh. Hasil amplifikasi dengan L-AMP juga dapat dilihat
dengan elektroforesis pada agarose, dimana hasil positif L-AMP
terlihat adanya pita DNA yang multiband pada hasil elektroforesis,
sedang hasil negative tidak terlihat adanya pita DNA (Gambar).
Gambar 49. Visualisasi hasil L-AMP menggunakan elektroforesis;
M: marker DNA, K+: Kontrol positif, K-: Kontrol negatif, 1-4:
hasil positif (terlihat multiband).
Protokol L-AMP
Metode L-AMP dengan menggunakan berbagai bahan yang
sudah diuraikan di atas, dapat dikerjakan disemua laboratorium
Toksoplasmosis pada Hewan
129
yang masih sangat terbatas peralatannya sekalipun, dan berikut ini
merupakan protokol L-AMP yang dapat dipakai sebagai acuan.
- Buat L-AMP mix dengan mencampurkan (1.5µl MgSo4 +
3.5µl dNTP + 2.5 µl Buffer bst Thermopol)
- Masukkan 7.5 µl L-AMP mix kedalam tabung PCR
- Masukkan primer set (F3,B3, FIP, BIP, LF,LB) asingmasing
1 µl
- Masukkan template DNA sebanyak 2 µl
- Tambahkan bst DNA polymerase sebanyak 1 µl
- Tambahkan ddH2O semapai volume 25 µl , atau sebanyak
8.5 µl
- Vortex selama 10 detik, kemudian spindown selama 1 menit
- Panaskan pada suhu 63 o C selama (45-60 menit)
- Panaskan dalam suhu 80 o C dalam 2 menit
- Teteskan 0.5 µl SBRY green I
- Visualisasi di atas UV transluminator
130 Toksoplasmosis pada Hewan
BAB XIII
ISOLASI PARASIT
Isolasi Takizoit
Isolat parasit Toxoplasma gondii dapat dilakukan dengan cara
menginokulasi hewan yang terinfeksi toksoiplasmosis. Hewan yang
biasa digunakan untuk memperoleh isolat toksoplasma adalah kucing
lokal atau kucing liar. Dari organ otak, jantung, limfa, hepar, dan usus
selanjutnya dapat disuntikan ke hewan percobaan seperti mencit atau
tikus. Hewan-hewan percobaan yang telah diinfeksi secara per oral
atau peritoneal tersebut setelah satu minggu akan menunjukan gejala
ascites, bila hewan tersebut positif terhadap toksoplasmosis. Dari
cairan peritoneal selanjutnya dapat dihasilkan takizoit dari Toxoplasma
gondii.
Perbanyakan Takizoit
Strain Toksoplasma tersebut dipelihara secara berlanjut melalui
passage hewan laboratorium mencit strain Balb/c. Untuk persiapan
parasit, mencit mula-mula disuntik dengan takizoit dengan dosis 1
X 10 7 untuk perbanyakan. Setelah 72-96 jam diinfeksi maka mencit
menunjukkan gejala klinis yang ditandai dengan bulu berdiri, lemah,
tidak ada nafsu makan dan minum, frekuensi pernafasan menurun
Toksoplasmosis pada Hewan
131
dan denyut jantung cepat. Gejala yang tampak lainnya adalah
pembentukan cairan ascites di rongga abdomen mencit. Setelah
menunjukkan gejala-gejala tersebut, mencit kemudian dibunuh dan
diambil cairan ascitesnya dengan cara menyuntikan NaCl fisiologis
ke dalam rongga perut. Cairan ascites yang terkumpul selanjutnya
diamati dan dihitung di bawah mikroskop dengan menggunakan bilik
hitung hemositometer.
Isolasi Bradizoit
Bradizoit merupakan sista yang berada di jaringan hospes.
Sista tersebut dapat diperoleh dari hospes yang terinfeksi dengan
cara menghancurkan jaringan menggunakan grinder. Dalam isolasi
ini kemungkinan hanya sedikit sista yang diperoleh karena sulitnya
mendapatkan hewan yang terinfeksi kronis Toksoplasma. Untuk
itu digunakan cara dengan memberi obat toksoplasma pada mencit
yang terinfeksi secara akut (Sodium Sulfadiazine 15 mg/100 ml air
minum dari hari ke 4 hingga 12 setelah infeksi). Setelah itu mencitmencit
dibunuh, dilakukan nekropsi, beberapa organ dibuat preparat
histopatologi dan sisa jaringannya dihancurkan dengan grinder.
Untuk mendapatkan bradizoit di jaringan terlebih dahulu diinfeksikan
sebanyak 30 ekor mencit dengan takizoit 10 7 per ekor. Selanjutnya
dipisahkan bradizoit dari jaringan inang yang sudah terbentuk dengan
menambah 20% larutan dextran setelah dipanaskan dan sentrifuse
dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit, ditambahkan tripsin
atau cara menghancurkan jaringan menggunakan grinder. Dalam
isolasi tersebut kemungkinan hanya sedikit sista yang diperoleh karena
sulitnya mendapatkan hewan yang terinfeksi kronis Toxoplasma.
Untuk itu digunakan cara dengan memberi obat anti Toxoplasma pada
tikus yang terinfeksi secara akut (Sodium Sulfadiazine 15 mg/100 ml
air minum dari hari ke 4 hingga 12 setelah infeksi). Suspensi jaringan
sebanyak 2-3 ml kemudian ditambah 5-10% Fetal calf serum (FCS).
Suspensi kemudian dituang ke dalam tabung dan disentrifus pada 250-
132 Toksoplasmosis pada Hewan
300 g selama lima menit. Dihitung menggunakan mikroskop dihitung
bradizoit yang diperoleh dari hasil sentrifus. Sista yang terkumpul
kemudian diisolasi protein membrannya. Untuk kebutuhan protein
membran bradzioit T. gondii, maka 30 ekor mencit di injeksi i.p.
dengan 10 7 takizoit. Konsentrasi protein yang solubel dan membran
dihitung dengan BioRadMicro Assay system dan keberadaan protein
dikonfirmasi dengan elektroforesis protein Sodium Dodecyl Sulphat
Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS PAGE) (Hanafiah et al.,
2009).
Uji sensitifitas dan spesifitas. Hasil pemeriksaan dengan metode skin
test yang mengunakan antigen membran Toxoplasma dibandingkan
dengan hasil pemeriksaan serologis menurut Armitage (1973), untuk
memperoleh sensitifitas dan spesifitas antigen membran Toksoplasma.
Gambar 50. Hasil Pemeriksaan Serologis Darah Kambing Kelompok
Perlakuan, Kontrol dan Mencit dengan Menggunakan CATT
Hal ini menunjukkan bahwa domba yang sebelumnya telah
diberi infeksi buatan toksoplasmosis tersebut mengalami reaksi
Toksoplasmosis pada Hewan
133
hipersensitifitas terhadap penyuntikan protein membran Toksoplasma.
Hasil tersebut membuktikan bahwa domba tersebut positif mengalami
toksoplasmosis.
Gambar 51. Hasil Pemeriksaan dengan Menggunakan Skin Test
pada Domba
Sementara itu pengujian pada domba yang tidak diinfeksi
toksoplasma (hanya diberi NaCl fisiologis) seperti terlihat dalam
dalam gambar 18 tidak menunjukkan adanya penebalan kulit setelah
penyuntikan dan ditunggu kemungkinan kemunculan reaksinya
selama ± 20-30 menit dengan menggunakan protein membran
Toxoplasma gondii. Ini menunjukkan bahwa domba tersebut negatif
terhadap Toksoplasmosis.
134 Toksoplasmosis pada Hewan
Gambar 52. Mencit yang Dilakukan Skin Test dengan Protein
Membran Toxoplasma gondii
Pada pengujian terhadap mencit (gambar 53) terlihat bahwa
terjadi penebalan pada daerah yang dicukur di tempat dilakukan skin
test.
Gambar 53. Mencit yang Positif Toksoplasmosis dengan
Menggunakan Skin Test
Toksoplasmosis pada Hewan
135
Dari gambar 53 terlihat mencit yang positif menderita
toksoplasmosis mengalami nekrosis area fokal pada bagian hati secara
makroskopis. Hal ini membuktikan bahwa takizoit yang diinfeksikan
ke mencit terbukti mengalami multiplikasi di dalam tubuh mencit.
Foki nekrosis terlihat begitu kuat pada bagian organ yang terinfeksi
sehingga menjadi suatu bentukan yang nampak dengan mata telanjang
(Soulsby, 1982). Kematian dan kerusakan jaringan tubuh hewan yang
terinfeksi toksoplasmosis tergantung pada jumlah parasit dan umur
hewan yang dipakai. Kematian dan kerusakan jaringan pada hewan
yang lebih muda lebih cepat dari pada hewan yang tua (Gandahusada,
1990).
136 Toksoplasmosis pada Hewan
BAB XIV
PREVALENSI TOKSOPLASMOSIS
Penelitian prevalensi sangat perlu dilakukan untuk memonitor
perkembangan penyakit toksoplasmosis. Hal ini dapat dipahami
seiring dengan makin meningkatnya kesejahteraan dan perubahan
perilaku hidup pada masyarakat. Dengan makin meningkatnya
populasi kucing di beberapa daerah yang bertindak sebagai hospes
definitif dari Toksoplasma, maka penyebaran penyakit ini semakin
meluas.
Tingkat prevalensi Toksoplasma pada kucing melalui
pemeriksaan serum darah kucing sebesar menunjukkan nilai 6,8% dari
132 serum yang diperiksa dan 9,4% pemeriksaan 116 sampel feses.
Infeksi toksoplasmosis yang terjadi pada kucing secara umum dari
pemeriksaan klinis tidak mempunyai gejala yang spesifik (Nurcahyo
et al., 2015). Beberapa kucing dapat dengan mudah dijumpai di
sekitar lokasi peternakan domba/kambing sehingga membuat proses
penularan ini lebih cepat dan sempurna melalui feses kucing yang
mungkin mengandung oosista toksoplasma (lihat gambar 54).
Toksoplasmosis pada Hewan
137
Gambar 54. Kucing yang Membuang Kotoran di Pasir pada Lahan
Terbuka Merupakan Sumber Penularan Toksoplasmosis yang
Sangat Potensial
Meskipun demikian oosista ini menurut pendapat Boch (1992)
yang menyatakan bahwa pada kenyataannya, infeksi yang terjadi
melalui oosista dari kucing, ternyata kurang berperan menimbulkan
toksoplasmosis jika dibanding dengan infeksi yang diperoleh melalui
daging domba atau babi yang tercemar sista. Penularan pada manusia
yang paling sering memang terjadi dengan cara mengkonsumsi daging
mentah atau daging kurang matang, terutama daging domba dan babi.
Selain itu juga sering terjadi akibat makan sayuran mentah yang tidak
dicuci sebelumnya. Kemungkinan sayuran tersebut tercemar oosista
Toxoplasma yang berasal dari tinja kucing. Infeksi lain yang potensial
adalah melalui plasenta, minum air susu domba atau menghirup udara
yang tercemar oosista (Frankel, 1977; Sasmita dkk, 1986). Penerapan
138 Toksoplasmosis pada Hewan
(
)
P
r
e
v
a
l
e
n
s
i
diagnosa toksoplasmosis pada domba/kambing dengan memanfaatkan
protein membran takizoit melalui suntikan intradermal memberikan
harapan yang baik bagi dunia kesehatan hewan.
Nurcahyo et al., 2011, melakukan riset tentang prevalensi
toksoplasmosis pada kambing dan domba di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Riset ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi
toksoplasmosis pada kambing dan domba menggunakan metode skin
test. Hasil penelitian prevalensi toksoplasmosis di beberapa daerah
kabupaten di DIY menunjukan hasil yang mengkhawatirkan. Hal ini
mengingat dari sampel-sampel yang diambil rata-rata menunjukan
seroprevalensi dan dengan skin test yang tinggi atau di atas 50 %.
Hasil yang tertinggi pada gambar 28 dan tabel 5 adalah di Sleman,
kemudian disusul kota Yogyakarta dan daerah yang lain. Kabupaten
Sleman yang dikenal daerah asal peternakan domba dan kambing
merupakan daerah pertanian yang subur dan banyak dijumpai sentrasentra
peternakan. Banyaknya kucing yang dijumpai di sekitar lokasi
peternakan domba/kambing tersebut diduga sebagai pemicu tingginya
angka prevalensi tersebut.
%
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
GK KP Bantul Sleman Kodya DIY
Daerah Skin test CATT
Gambar 55. Histogram Prevalensi Toksoplasmosis di Beberapa
Kabupaten di DIY dengan Metode Skin Test dan Serologis CATT.
Dengan metode skin test, penentuan prevalensi ini menunjukan
hasil yang bervariasi untuk ke lima daerah pemeriksaan. Meskipun
Toksoplasmosis pada Hewan
139
demikian pada tabel 3 telihat metode serologis ada perbedaan yang
jauh antara Daerah Sleman (81,5 %) dengan Gunung Kidul (61,5
%) dan Kulon Progo (65,4 %). Kemungkinan hal tersebut dapat
terjadi, meskipun kota Yogyakarta padat penduduknya, namun karena
minimnya usaha peternakan domba/kambing dan pola hidup menjaga
kebersihan di kota Yogyakarta dan Bantul sudah lebih baik dibanding
dengan masyarakat Sleman, maka prevalensi toksoplasmosis pada
hewan ternak relatif lebih rendah. Untuk Gunung Kidul (61,5 %),
sebagai daerah yang kering dimusim kemarau juga menjadikan
angka prevalensi toksoplasmosis pada domba/kambing relatif tinggi.
Prevalensi di daerah Sleman yang berkisar 81,5 % merupakan angka
yang perlu mendapat perhatian, mengingat daerah ini banyak dijumpai
usaha peternakan domba, kambing dan sapi. Seperti diketahui hewanhewan
tersebut berperan sebagai hospes perantara dari toksoplasmosis.
Sensitifitas dan spesifitas protein membran Toxoplasma gondii
Pada tabel 4 dan 5 menunjukkan perhitungan sensitifitas dan
spesifitas diagnosa toksoplasmosis dengan menggunakan skin test dan
serologis yang kemudian diperjelas pada gambar 19 berupa histogram
perbandingan dari kedua metode tersebut. Sensitifitas skin test untuk
Kodya Yogyakarta adalah 95,65%% merupakan angka tertinggi,
disusul Gunung Kidul (93,75%), Kulon Progo (93,33%), Bantul
(90%) dan terendah Sleman (80,95%). Sementara itu angka spesifitas
di daerah Gunung Kidul adalah tertinggi, yaitu 92,86%, disusul
Bantul (90%), Kodya (85,71%) dan Sleman dengan angka 66,67%.
Daerah Sleman angka spesifitasnya sebesar 66,67% merupakan angka
terendah dibanding ke empat daerah lainnya. Secara keseluruhan
di Daerah Istimewa Yogyakarta, sensitifitas uji diagnosa ini adalah
90,52%, sedangkan sensitifitasnya adalah 83,64%.
Sebagai suatu perangkat diagnosa, metode skin test harus dapat
memenuhi kriteria untuk menyeleksi asai diagnostik. Kriteria tersebut
telah dimiliki metode skin test ini dalam memecahkan masalah yang
140 Toksoplasmosis pada Hewan
dihadapi khususnya dalam pencegahan toksoplasmosis pada hewan.
Sensitifitas skin test yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
suatu uji diagnostik yang berbasis pemanfaatan antigen toksoplasma
untuk mendeteksi respon imun pada hewan yang menderita
toksoplasmosis.
Tabel 4. Angka Prevalensi Toksoplasmosis di 5 Kabupaten di
Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasakan Pemeriksaan Skin
Test dan Metode Serologis.
Daerah Skin test Serologis
Gunung Kidul
Kulon
16/26 X 100 % 61,5 % 16/30 X 100 % 53,3 %
Progo 17/26 X 100 % 65,4 % 15/30 X 100 % 50 %
Bantul
Sleman
Yogyakarta
DIY
19/27 X 100 % 70,4 % 20/30 X 100 % 66,7 %
22/27 X 100 % 81,5 % 21/30 X 100 % 70 %
20/26 X 100 % 76,9 % 21/30 X 100 % 70 %
94/132X100% 71,2 % 93/150X100% 62 %
Tabel 5. Hasil Diagnosa Skin Test Terhadap Toksoplasmosis
pada Domba dengan Antigen (Protein Membran) Takizot
Toxoplasma Gondii Isolat Lokal dan Pemeriksaan Serologis
Daerah
Gunung
Kidul
Kulon
Progo
Pemeriksaan Pemeriksaan dengan antigen Total
serologis membran toksoplasma
+ -
+ 15 1 16
- 1 13 14
Total 16 14 30
+ -
+ 14 3 17
- 1 12 13
Total 15 15 30
Toksoplasmosis pada Hewan
141
Bantul
Sleman
Yogyakarta
DIY
+ -
+ 18 1 19
- 2 9 11
Total 20 10 30
+ -
+ 17 3 20
- 4 6 10
Total 21 9 30
+ -
+ 22 1 23
- 1 6 7
Total 23 7 30
+ -
+ 86 9 95
- 9 46 55
Total 95 55 150
Sesuai pendapat Burgess (1988), pada dasarnya sensitifitas
berkaitan dengan kemampuan untuk mendeteksi antigen dalam
jumlah sedikit atau unuk mendeteksi respon imun yang kecil. Namun
demikian, skin test yang dibuat dalam penelitian ini belum dapat
membedakan kejadian akut atau kronis toksoplasmosis, karena hasil
yang diperoleh hanya berdasarkan pada reaksi hipersensitifitas yang
muncul sebagai akibat penyuntikan antigen toksoplasma secara
intradermal. Hal tersebut berkaitan dengan bahan dasar yang diambil
dari stadium takizoit yang kemunculannya dalam siklus hidup
toksoplasma pda kejadian akut. Sementara pada kejadian kronis,
stadium yang banyak terlibat dalam proses imunologis adalah bradizoit.
Di sisi lain bradizoit sangat sulit untuk diperoleh dari jaringan hewan
yang terinfeksi toksoplasmosis, karena letaknya di dalam jaringan atau
organ sehingga menyulitkan dalam mengisolasi proteinnya.
142 Toksoplasmosis pada Hewan
P 100
e
r 80
s
e
60
n
t
40
a
s
e 20
0
GK KP Bantul Sleman Kodya DIY
Daerah Sensitivitas Spesifitas
Gambar 56. Histogram Sensitifitas dan Spesifitas Diagnosa Skin
Test dan Serologis terhadap Toksoplasmosis pada Domba di
Daerah Istimewa Yogyakarta
Spesifitas dalam diagnosa toksoplasmosis ini erat kaitannya
dengan kemampuan untuk membedakan antigen dari parasit lainnya.
Kesulitan yang dihadapi dalam diagnosa parasit toksoplasma adalah
karena toksoplasma termasuk parasit fakultatif, khususnya pada
hospes intermedier yang terdapat pada hampir semua hewan mamalia
dan unggas.
Tabel 6. Sensitifitas dan Spesifisitas Protein Membran
Toxoplasma Gondii yang Digunakan untuk Melakukan Diagnosa
Toksoplasmosis dengan Metode Skin Test dan Serologis.
No Daerah Sensitifitas Spesifisitas
1 Gunung Kidul 15/16 X 100% = 93,75 % 13/14 X 100% = 92,86 %
2 Kulon progo 14/15 X 100% = 93,33 % 12/15 X 100% = 80 %
3 Bantul 18/20 X 100% = 90 % 9/10 X 100% = 90 %
4 Sleman 17/21 X 100% = 80,95 % 6/9 X 100% = 66,67 %
5 Yogyakarta 22/23 X 100% = 95,65 % 6/7 X 100% = 85,71 %
6 DIY 86/95 X 100% = 90,52 % 46/55 X 100% = 83,64 %
Dalam tabel 6 disajikan hasil sensitifitas dan spesifitas protein
membran toksoplasma dalam mendiagnosa toksoplasmosis pada
Toksoplasmosis pada Hewan
143
domba. Hasil menunjukan bahwa di beberapa tempat sensitifitas
begitu tinggi, namun dengan spesifitas yang lebih rendah. Wawasan
mengenai penerapan skin test sebagai bahan diagnostik toksoplasmosis
akan lebih baik lagi hasilnya apabila telah dilakukan pada sampel yang
lebih banyak lagi, sehingga dengan pengujian statistik dapat dievaluasi
lebih lanjut kinerjanya. Selain itu, dalam mengestimasi spesifitas dan
spesifitas yang melibatkan identifikasi kelompok hewan sakit dan
sehat akan lebih baik bila menggunakan metode standar yang telah
baku, misalnya ELISA atau PCR yang telah dipercaya sebagai metode
emas untuk mendiagnosa suatu penyakit. Kelemahan yang dihadapi
dalam penelitian ini adalah penggunaan metode pembanding,
yaitu metode serologis, yang sama dengan metode skin test untuk
mendeteksi keberadaan antibodi aktif dalam respon imun terhadap
toksoplasmosis.
144 Toksoplasmosis pada Hewan
BAB XV
PENULARAN DAN PENCEGAHAN
A. Penularan
Toksoplasmosis banyak menimbulkan permasalahan bagi
kesehatan manusia dan hewan. Pada manusia, apabila infeksi
toksoplasmosis terjadi secara kongenital dapat menyebabkan
akibat pada bayi berupa perkapuran, korioretinitis, hidrosefalus,
mikrosefalus, gangguan psikologis, gangguan perkembangan mental
pada anak setelah lahir dan kejang-kejang. Sementara itu pada hewan
toksoplasmosis banyak menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak
kalah pentingnya, karena dapat menyebabkan abortus, kematian dini
dan kelainan kongenital. Kerugian ekonomi ini belum termasuk biaya
pemeliharaan yang sangat besar pada suatu usaha peternakan rakyat
dan skala industri.
Hospes definitif memegang peranan yang sangat penting dalam
infeksi toksoplasmosis sebagai salah satu bentuk penularan. Kucing
dan beberapa golongan Felidae sangat berperan penting sebagai kunci
perkembangan dan penyebaran toksoplasmosis. Biasanya oosista
toksoplasmosis akan dilepaskan oleh kucing dalam keadaan belum
bersporulsi. Setelah sporulasi, di dalam oosista tersebut berkembang
Toksoplasmosis pada Hewan
145
menjasi 2 sporosista yang masing-masing mengandung sporozit.
Kucing di seluruh dunia merupakan sumber laten dari infeksi
Toxoplasma gondii. Berbagai penelitian pada kucing-kucing di seluruh
dunia, terdeteksi antibodi terhadap toksoplasmosis sebanyak 20-90 %.
Namun pada kucing yang diberi makan yang matang dan senantiasa
tinggal di rumah, pada kenyataannya sangat jarang terinfeksi
toksoplasmosis (Rommel et al., 1987). Hal ini selaras dengan temuan
Hanafiah et al., 2015 bahwa aktor-faktor yang berpengaruh terhadap
adanya toksoplasmosis pada kucing berdasarkan analisis bivariat adalah
pembersihan kotak pasir 1 kali sehari dan mandi 2-3 kali seminggu
sedangkan faktor-faktor yang memiliki peluang meningkatkan
seropositif toksoplasmosis berdasarkan analisis multivariat adalah
pemeliharaan kucing yang bebas di dalam rumah, dimandikan lebih
dari 1 kali seminggu, dan dimandikan lebih besar dari 1 bulan sekali.
Toksoplasmosis
Manusia/hewan
Kongenital
Perolehan
Plasenta
(asimtomatik)
Per Oral
Janin luka telur cacing makanan
Perantara daging mentah minum susu menghirup
/kurang matang tercemar udara yang
tercemar
Makan hospes injeksi transfusi hewan penghisap
pemindah (siput/ parenteral sel darah putih darah (nyamuk, lalat
kecoak) takizoit atau kelelawar)
Gambar 57. Ikhtisar Kemungkinan Penularan Toxoplasmosis pada
Gambar 57. Ikhtisar kemungkinan penularan toxoplasmosis pada hewan dan manusia
Hewan dan Manusia
Penularan pada manusia paling sering terjadi dengan cara mengkonsumsi daging
146 Toksoplasmosis pada Hewan
mentah atau daging kurang matang, terutama daging domba dan babi. Selain itu juga sering
terjadi akibat makan sayuran mentah yang tidak dicuci sebelumnya. Kemungkinan sayuran
Penularan pada manusia paling sering terjadi dengan cara
mengkonsumsi daging mentah atau daging kurang matang, terutama
daging domba dan babi. Selain itu juga sering terjadi akibat makan
sayuran mentah yang tidak dicuci sebelumnya. Kemungkinan sayuran
tersebut tercemar oosista Toxoplasma yang berasal dari tinja kucing.
Infeksi lain yang potensial adalah melalui plasenta, minum air susu
domba atau menghirup udara yang tercemar oosista (Frankel, 1977;
Sasmita dkk, 1986). Penularan secara transplasenta dari seorang ibu
hamil yang terinfeksi toksoplasmosis pada janinnya pada trimester
pertama kehamilan jarang terjadi infeksi secara kongenital dengan
gejala klinis yang berat. Selanjutnya, infeksi yang bersifat kongenital
pada trimester ketiga kehamilan akan sering terjadi namun dengan
gejala klinis yang ringan hingga tanpa gejala sama sekali (asimtomatik)
(Soebianto dan Suharto, 1984).
Data kejadian toksoplasmosis di Indonesia belum dapat
menggambarkan secara pasti kondisi sebenarnya, program surveilen
yang ada sulit menjelaskan kejadian sebenarnya karena perencanaan
program yang belum berkesinambungan. Data-data yang ada belum
dapat digunakan sebagai acuan dan bahan pengkajian komparatif antar
daerah di Indonesia dikarenakan tidak sebanding secara epidemiologis.
Menurut data sistem ISIKHNAS Kementerian Pertanian prevalensi
toksoplasmosis pada domba 32,18 – 71,97 %, kambing 23,5 – 60 %,
kucing 5,56 – 40 %, sapi 36,4 %, babi 28 – 32 %, kerbau 27,3 %, ayam
19,6 – 24 %, dan pada itik 6,1 %. Secara kumulatif, kasus toksoplasmosis
pada manusia ada diatas 40 % secara uji serologis atau dapat dikatakan
kasus dengan tingkat kejadian yang tinggi. Bahkan di Jakarta pernah
dilaporkan bahwa terdapat 60 % dari pemeriksaan antibodi pada
donor darah mengandung antibodi T. gondii. Data secara geografis di
Indonesia belum ada, tetapi di Asia data prevalensi toksoplasmosis dari
kucing berdasarkan uji serologis adalah sebagai berikut : Singapore 31
%, Jepang 19 %, Korea Selatan 13 %, Taiwan 8 %.
Toksoplasmosis pada Hewan
147
B. Pencegahan
Beberapa cara berikut ini dianjurkan sebagai upaya untuk
mencegah infeksi toksoplasmosis pada manusia : Daging yang
akan dikonsumsi, harus dimasak terlebih dahulu agar sista-sista
toksoplasma yang mungkin terbawa di dalam daging tersebut mati.
Kucing yang dipelihara di rumah sebaiknya diberi pakan matang
untuk mencegah infeksi yang masuk ke dalam tubuh kucing. Tempat
pakan, minum dan alas tidur harus selalu dicuci/dibersihkan. Bak
pasir kotoran kucing dibuang ke dalam kakus. Hindari kontak antara
kucing yang dipelihara dengan hewan - hewan mamalia liar, seperti
rodensia liar (tikus, bajing, musang, dll.) dan reptilia kecil seperti
cecak, kadal dan bengkarung yang kemungkinan dapat sebagai hewan
perantara toksoplasmosis. Penanganan terhadap kotoran kucing,
sebaiknya dengan menggunakan sarung tangan yang disposable
(dibuang setelah dipakai). Bagi wanita yang mengandung, terutama
yang dinyatakan secara serologis sudah negatif, jangan memelihara
atau menangani kucing, kecuali apabila memakai sarung tangan.
Apabila seseorang sedang memegang daging, bekerja dengan daging
atau organ yang masih mentah, hindari untuk tidak menyentuh mata,
mulut atau hidung. Peralatan dapur setelah selesai, sebaiknya segera
dicuci dengan sabun. Bagi orang yang senang berkebun atau bekerja
di kebun, sebaiknya menggunakan sarung tangan, mencuci sayuran
atau buah sebelum dimakan. Darah penderita seropositif tidak
boleh ditransfusikan pada penderita yang menderita imunosupresif,
demikian pula transplantasi organ pada penderita seronegatif harus
dari seseorang dengan seronegatif Toxoplasmosis. Pemberantasan
terhadap lalat dan kecoa sebagai pembawa oosista perlu dilakukan.
Penggunaan desinfektan komersial yang ada di toko-toko dapat
berguna untuk membasmi oosista. Sebaiknya selalu memeriksakan
hewan kesayangannya tersebut pada dokter hewan praktek secara
rutin (Nurcahyo, 2004).
148 Toksoplasmosis pada Hewan
Secara khusus Center for Disease Control and Prevention
(CDC) memberikan rekomendasi sesuai standar USDA untuk
pengurangan resiko tertular toksoplasmosis, sebagai berikut :
- Untuk daging (kecuali daging ayam), sebaiknya dimasak
dengan suhu mencapai 63° C pada bagian dalam daging,
lalu istirahatkan daging pada suhu tersebut selama 3 menit.
- Daging giling (selain daging ayam), masak sekurangkurangnya
sampai 71° C.
- Daging ayam, suhu internal yang diperlukan adalah 74° C.
- Daging disarankan disimpan dalam keadaan beku selama
beberapa hari karena dapat mengurangi kemungkinan
infeksi. Meskipun demikian, hal tersebut tidak dapat
membunuh beberapa parasit lain seperti beberapa spesies
Trichinella atau bakteri berbahaya. Cara terbaik untuk
menghindari penularan pathogen adalah dengan memasak
sesuai dengan suhu internal yang direkomendasikan.
- Mengupas dan mencuci buah-buahan dan sayuran sebelum
dikonsumsi.
- Mencuci alas potong, pring, gelas, peralatan dapur dan
membersihkan tempat penyimpanannya serta mencuci
tangan dengan sabun setelah kontak dengandaging mentah,
seafood, atau buah dan sayur yang belum dicuci.
- Tidak meminum susu kambing atau domba yang belum
dipasteurisasi
- Jangan memakan seafood seperti tiram, kerang atau kepiting
dalam keadaan mentah atau setengah matang. Makanan
tersebut bisa saja terkontaminasi Toksoplasma yang terbawa
hingga ke laut.
Toksoplasmosis pada Hewan
149
Selain pencegahan penularan dari makanan, CDC juga mengeluarkan
himbauan untuk mengurangi resiko penularan Toksoplasma dari
lingkungan, dengan cara :
- Menghindari meminum air yang belum mengalami
pengolahan untuk memastikan kebersihannya.
- Menggunakan kaos tangan jika berkebun atau lainnya yang
melakukan kontak langsung dengan tanah atau pasir, karena
bisa saja tercemar oleh kotoran kucing yang terinfeksi
toksoplasma.
- Mencuci tangan setelah berkebun
- Ajarkan kepada anak-anak pentngnya cuci tangan untuk
mencegah penyakit.
- Beri pakan kucing dengan makanan yang terjamin
kebersihannya seperti pakan komersil atau pakan yang
dimasak dengan baik. Bukan pakan mentah.
- Pastikan litter box hewan kesayangan diganti setiap hari.
Toksoplasma tidak akan menjadi infeksius sampai 1-5 hari
setelah dikeluarkan oleh kucing.
C. Pelaporan
Untuk kasus di Indonesia masih belum diwajibkan laporan
kepada Dinas Peternakan maupun Dinas Kesehatan adanya kasus
toksoplasmosis pada hewan. Namun dibeberapa negara bagian
Amerika wajib melaporkan kejadian toksoplasmosis pada pihat terkait
yang berfugsi untuk pemahaman lebih lanjut terhadap epidemiologi
penyakit ini. Hewan penderita tidak memerlukan tindakan isolasi dan
karantina. Imunisasi juga tidak diperlukan. Perlakuan pemotongan
hewan dan daging hewan yang terinfesi toksoplasmosis harus dimasak
dengan baik hingga matang untuk membunuh parasit ini, sehingga
aman untuk dikonsumsi.
150 Toksoplasmosis pada Hewan
D. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen Sampel
Pada kambing dan domba yang mengalami keguguran sampel
diambil dari bagian kotiledon plasenta atau jaringan otak. Kemudian
sebanyak 2 – 5 gr kotiledon atau jaringan sampel dimasukkan ke dalam PBS
(Phosphate Buffered Saline) dengan pH 7,4 yang sudah ditambah dengan
antibiotic (100 IU/mlpenicillin dan 745 IU/ml streptomycin). Sampel lalu
dapat dikirimkan ke laboratorium dan diinokulasikan ke mencit. Sebagai
tambahan, setelah pengambilan sampel baiknya sampel tidak dimasukkan
ke dalam freezer karena dapat membunuh parasit yang ada.
Sampel dari rumah potong hewan (RPH) diambil dari pemotongan
bagian otot diafragma sekitar 10 gr. Kemudian dimasukkan pada wadah dan
disimpan di dalam boks pendingin (6 ˚C) atau lemari pendingin 4 ˚C, sebelum
dibawa ke laboratorium. Pengambilan sampel tinja kucing sebaiknya dengan
berat kurang lebih 10 gr dan disimpan pada lemari pendingin 4 ˚C sebelum
pemeriksaan lebih lanjut di laboratorium (wiki.isikhnas.com).
E. Pengobatan
Pengobatan pada ternak dapat dilakukan dengan pemberian
preparat Clindamycin dengan dosis 12,5-25 mg/kg berat badan
sekali pemberian per oral, diberikan pagi dan sore. Pengobatan ini
disarankan sampai 2 minggu setelah gejala klinis tidak nampak. Selain
itu, Sulfidazine dengan dosis 30 mg/kg berat badan dapat diberikan
setiap 12 jam per oral, bersama dengan pemberian pyrimethamine 0,5
mg/kg berat badan, dan sebagai pengurang efek samping yang dapat
timbul, penambahan folinic acid 5 mg/hari juga disarankan.
Terapi lain yang dianggap cukup efektif adalah dengan
mengkombinasikan pyrimethamine dengan trisulfapyrimidine,
perpaduan keduanya dilaporkan mampu menghambat siklus p-amino
asam benzoat dan siklus asam foist. Dosis yang dianjurkan untuk
pyrimethamine adalah 25-50 mg per hari dengan lama waktu
pemberian satu bulan, sedangkan trisulfapyrimidine 2.000 - 6.000 mg
Toksoplasmosis pada Hewan
151
per hari untuk satu bulan. Akan tetapi, pengobatan ini memiliki efek
samping, yaitu dapat menyebabkan leukopenia dan trombositopenia,
karenaya tambahan asam folat dan yeast selama pengobatan
sangat dianjurkan. Obat lain seperti Trimetoprim juga efektif
untuk pengobatan toxoplasmosis tetapi trimetoprim masih kalah
efektifitasnya jika dibandingkan dengan yang lain seperti kombinasi
antara pyrimethamine dan trisulfapyrimidine.
Spiramycin juga merupakan obat yang dapat dipilih, walaupun
dianggap kurang efektif tetapi efek samping Spiramycin paling ringan
dibanding pengobatan sebelumnya. Dosis pemberian Spiramycin
yang dianjurkan adalah 2 - 4 gr per hari yang di bagi dalam 2 atau 4
kali pemberian (wiki.isikhnas.com).
Terapi untuk hewan yang menderita toksoplasmosis dapat
dilakukan dengan memberikan preparat Sulfonamid. Untuk mencegah
terjadinya kasus abortus pada domba dan kambing, hewan tersebut
perlu dijauhkan dari kucing, terutama kucing liar yang berkeliaran
di kandang dan ruangan untuk penyimpanan pakan atau minum.
Pada kasus yang berat dan mengancam hewan-hewan ternak yang
masih muda, maka perlu diberikan setiap hari Monensin 16 mg pada
masing-masing hewan. Untuk menghindari efek toksik yang mungkin
muncul dari Monensin tersebut, pemberian sebaiknya tidak lebih dari
30 mg/kg pakan.
Produksi oosista pada kucing dapat dikurangi dengan pengobatan
kombinasi sulfadiazin 120 mg/kg berat badan dan pyrimitamin 1
mg/kg berat badan. Sulfadiazin dan pyrimetamin termasuk inhibitor
kompetitif dari vitamin asam folat. Kombinasi keduanya dianjurkan
untuk pengobatan toksoplasmosis, karena memiliki efek sinergi bila
digunakan bersama (Frenkel, 1990). Kombinasi kedua obat tersebut
efektif untuk menghancurkan pseudosista atau sista semu dan efektif
pada stadium proliferatif (Soulsby, 1982).
152 Toksoplasmosis pada Hewan
Untuk menghidari eliminasi oosista-oosista toksoplasma yang
dikeluarkan kucing bersama tinjanya, pakan dapat diberikan apabila
sudah dimasak atau untuk daging yang sudah disimpan minimal 3 hari
pada lemari es suhu - 20°C. Melalui pemberian pakan yang dicampur
dengan Toltrazuril (Baycox) dengan dosis 5 mg/kg berat badan setiap
hari dapat membatasi perkembangan oosista toksoplasma lebih lanjut
(Rommel et al., 1987).
F. Vaksinasi
Di bidang parasitologi, hingga saat ini belum banyak
dikembangkan vaksinasi yang efektif untuk mencegah infeksi
parasit seperti halnya beberapa vaksin yang dikembangkan terhadap
penyakit bakterial atau viral. Faktor-faktor yang menyebabkan
kurang berkembangnya vaksin parasit di antaranya adalah kurangnya
respon imunitas protektif dari hospes yang divaksin, tingginya
tingkat kesulitan yang dihubungkan dengan penyediaan material
parasit sebagai sumber bahan vaksin dan adanya kompleksitas dari
siklus hidup organisme parasit. Di samping faktor-faktor tersebut,
masih terdapat banyak lagi faktor yang mendukung rendahnya
tingkat imunitas hospes dalam suatu infeksi atau reinfeksi parasit
yang mencerminkan variasi dari modus infeksi dan predeleksi infeksi
dari berbagai organisme parasit.
Usaha vaksinasi terhadap toksoplasma baru dilakukan di bidang
kedokteran hewan, yaitu pada domba di Selandia baru (O’Connel et
al., 1988). Percobaan vaksin untuk domba ini menunjukkan hasil yang
signifikan terutama pada anak domba baru lahir yang divaksin jika
dibandingkan dengan yang tidak divaksin pada kasus toksoplasmosis
yang berefek abortus. Galur untuk membuat vaksin ini diperoleh dari
kasus abortus toksoplasmosis domba yang dipelihara sejak tahun 1958
secara terus menerus dengan cara passage melalui mencit (Wilkins et
al., 1987). Masing-masing domba diberi dosis vaksinasi intramuskuler
sebanyak 10000-1000000 takizoit toksoplasma galur 48 dari eksudat
Toksoplasmosis pada Hewan
153
peritoneal mencit. Vaksin yang diberi nama komersial Toxovac ini
telah dilepas ke pasar sejak tahun 1992 (Wilkins dan O’Connel, 1992).
Vaksinasi Toxoplasmosis yang saat ini tersedia adalah vaksin
hidup untuk domba, misalnya di Belanda terdapat Toxovax, Intervet
BV; di New Zealand (Toxovax, Agvax, Ag Research). Saat ini vaksinvaskin
tersebut telah mendapatkan lisensi untuk digunakan di UK,
lrlandia, Perancis, Portugal dan Spanyol. Vaksin ini akan menstimulasi
immun protektif selama sekurang- kurangnya 18 bulan pasca
pemberian dosis tunggal dan mempunyai waktu efektif yang pendek
serta berpotensi mempunyai dampak immunosupresi (wiki.isikhnas.
com).
Perlu diperhatikan, bahwa pemberian vaksin pada ternak
juga harus mempertimbangkan faktor-faktor kesehatan daging. Ini
mengingat hewan ternak yang divaksin akan membawa toksoplasma
pada sepanjang hidupnya, sehingga penggunaan live vaccine pada ternak
masih diperdebatkan oleh para ahli. Sedangkan pemberian vaksin dari
galur toksoplasma yang sudah tidak aktif tidak menunjukkan hasil
yang baik (Buxton et al., 1989).
154 Toksoplasmosis pada Hewan
BAB XVI
STUDI KASUS TOKSOPLASMOSIS
A. Toksoplasmosis pada Satwa Liar (Robert-Gangneux and
Dardé, 2012)
Infeksi Toksoplasma dilaporkan telah ditemukan pada
lebih dari 350 jenis hewan, baik mamalia maupun burung, dengan
sebagian besarnya terjadi pada hewan-hewan yang hidup di alam liar
(Duszynski et al., 2000; Lindsay dan Dubey, 2007; Tenter et al., 2000).
Kontaminasi lingkungan yang mengakibatkan hewan liar sebagai
hospes intermedier terhubung dengan kotoran yang tercemar oosista
ialah hewan jenis felidae, baik liar ataupun domestik yang hidup
berdekatan dengan peternakan atau jenis felidae liar yang lain. Bukti
adanya infeksi adalah dengan pemeriksaan serologis terhadap 31 dari
39 spesies felidae di dunia (Dubey, 2010). Prevalensi serologis felidae
liar biasanya sangat tinggi bahkan dapat mencapai 100%. Sedangkan
prevalensi pada hospes intermedier tergantung pada keberadaan
felidae di habitatnya. Namun, proses terjadinya infeksi pada hewan liar
sangat kompleks dan dipengaruhi interaksi baik secara fisik, biologi,
dan karakteristik ekologi, seperti :
Toksoplasmosis pada Hewan
155
1. karakter iklim, dimana area dengan iklim kering dan panas
kurang menguntungkan bagi oosista agar dapat bertahan
hidup. Sehingga daerah ini prevalensi terjadinya infeksi
Toksoplasma pada hewan liar lebih rendah dibanding iklim
lembab di negara-negara tropis;
2. Kerentanan hospes pada infeksi Toksoplasma. Sebagian
spesies mungkin resisten atau secara spontan dapat
merespon untuk membersihkan infeksi;
3. ukuran dan berat badan hewan yang umumnya berkaitan
dengan masa hidup, oleh karenanya berpengaruh pada
kemungkinan terinfeksi dan juga sedikit menjelaskan alasan
rendahnya tingkat infeksi (hanya 1 to 5%) pada rodensia
kecil (Mus musculus) pada beberapa studi (Afonso et al.,
2007; Dabritz et al., 2008);
4. Pakan dan kebiasaan makan hospes, dimana prevalensi
terjadinya infeksi seringkali lebih pada herbivora
dibandingkan dengan omnivora dan carnivora dikarenakan
adanya akumulasi parasit akibat dari siklus predator-mangsa
(Smith dan Frenkel, 1995).
Di antara hewan mamalia ada di daerah hutan Amazonian
(French Guiana), mamalia terestrial lebih banyak terekspos T. gondii
dibandingkan mamalia arboreal karena kebiasaan beraktifitas di
tanah (De Thoisy et al., 2003). Wilayah utara belahan bumi, tingkat
prevalensi yang tinggi juga ditemukan pada hewan-hewan karnivora
seperti beruang hitam dan rubah merah atau pada hewan-hewan
omnivora seperti babi liar, yang dapat terinfeksi oosista dan sista
pada jaringan yang termakan. Pendekatan ekologi untuk mempelajari
sirkulasi parasit ini pada hewan liar dapat dilakukan melalui studi
tentang factor-faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhi
persebaran parasit seperti migrasi burung-burung liar, fragmentasi
156 Toksoplasmosis pada Hewan
daratan (berupa sungai, jalanan, daerah pertanian, desa, dan lain-lain),
penyebaran oosista, atau perilaku berburu dari berbagai jenis felidae
di berbagai lingkungan.
Hasl yang menarik akhir-akhir ini adalah terkait toksoplasma
pada mamalia laut. Berbagai jenis mamalia laut seperti berang-berang
laut, lumba-lumba, anjing laut, dan walrus dilaporkan terinfeksi
Toksoplasma dengan tingkat prevalesi berkisar antara 47 sampai 100%.
Jenis mamalia laut selama ini telah menjadi penjaga dari kontaminasi
lingkungan oleh oosista yang mengalir dari wilayah perairan tawar ke
ekosistem laut (Conrad et al., 2005).
B. Toksoplasmosis pada Kawanan Kanguru (Erin Edwards,
Gabriel Gomez, and Jay Hoffman, 2019)
Laboratoriun Texas A&M Veterinary Medical Diagnostic
Laboratory (TVMDL) mendapatkan pasien 4 ekor kangguru yang
terdiagnosa toksoplasmosis. Ketika ditemukan kangguru-kangguru
tersebut dilaporkan sudah mati tanpa memperlihatkan gejala
penyakit sebelumnya. Hanya satu ekor yang terlihat mengalami
sesak nafas sebelum mati. Pada waktu nekropsi, 3 kangguru didapati
mengalami pneumonia ditandai dengan lesi bintik-bintik ungu
kemerahan dan kerusakan jaringan paru-paru. Sampel jaringan
kemudian disimpan dalam formalin dan dilakukan pemeriksaan
histopatologi. Dari hasil histopatologi sampel, terkonfirmasi
adanya inflamasi multifokal dan ringan pda organ jantung dan
paru-paru. Setelah diamati lebih seksama, ditemukan organisme
yang diperkirakan adalah Toxoplasma gondii tersebar di jaringan,
terutama di jantung juga sebagian kecil di otak dan paru-paru.
Sebagai diagnosa lanjutan, dilakukan pemeriksaan dengan PCR
untuk memeriksa apakah protozoa tersebut adalah T. gondii. Hasil
PCR dilakukan pada sampel jaringan jantung dan otak salah satu
kangguru menunjukkan hasil positif.
Toksoplasmosis pada Hewan
157
Kasus outbreak toksoplasmosis ini memiliki tingkat kematian
yang tinggi dan hanya menyisakan sedikit kangguru yang selamat
dalam satu kawanan. Kangguru dan walabi sangat rentan terhadap
infeksi toksoplasma sistemik dan kasus semacam ini bisa sangat
berbahaya. Pada kedua spesies ini, hewan yang terinfeksi seringkali
mengalami kematian mendadak, meskipun pada beberapa kejadian
tampak gejala gangguan syaraf atau pernafasan sebelum mati. Begitu
juga hasil nekropsi, pada sebagian kasus tidak ditemukan adanya lesi
sementara pada kasus lain tampak adanya ciri-ciri pneumonia seperti
pada kasus ini. Meskipun sulit dicari, toksoplasma sering dapat
ditemukan dalam pemeriksaan histopatologi.
Dari hasil investigasi tim, kanguru diduga terinfeksi toksoplasma
melalui lingkungan atau pakan yang terkontaminasi feses kucing.
Sebagai hospes definitif, kucing mengeluarkan parasite ini dalam
jumlah yang sangat banyak ke lingkungan disekitarnya. Salah
satu saran yang diberikan untuk penanggulangan kasus penularan
toksoplasma pada kangguru ini adalah membatasi akses kucing
ke kangguru meskipun secara praktek akan sulit dilakukan, namun
demikian hal tersebut penting untuk mencegah terulangnya kembali
kasus penyakit ini.
158 Toksoplasmosis pada Hewan
Gambar 58. Inflamasi Myocardial dan Beberapa Toxoplasma gondii
(panah).
Gambar 59. Inflamasi Jaringan dan Salah Satu Sista T. gondii
(panah) di Otak.
Toksoplasmosis pada Hewan
159
C. Outbreak Toxoplasmosis pada Peternakan Kambing Perah di
Brazil (Ferreira et al., 2018)
Sekumpulan peneliti di Brazil melakukan investigasi terhadap
outbreak toksoplasmosis pada kambing perah yang terjadi pada
periode September sampai dengan Oktober 2013 di wilayah Arapoti,
Parana, Brazil. Daerah ini merupakan daerah sub tropikal dan
termasuk dalam area Atlantic forest biome. Populasi ternak kambing
yang diinvestigasi berjumlah 179 kambing Saanen; 78 ekor sedang
masa laktasi, 1 indukan, 65 ekor betina muda (≤ 6 bulan), dan 35 ekor
pejantan muda (≤ 6 bulan).
Pada saat investigasi dilakukan, didapati 33 ekor hewan
yang menunjukkan gejala klinis, seperti lymphadenopathy, diare,
piloerection, turunnya berat badan, aborsi pada 6 betinadi trimester
akhir kebuntingan, dan kelahiran bayi yang lemah, yang kemudian
mati pada minggu pertama atau menunjukkan gejala klinis, seperti
obstruksi rectal, hiperemia, diare, dan kebutaan. Sekitar 60% betina
mengalami gangguan reproduksi, antara lain sulit bunting dan estrus
berkelanjutan. Dilaporkan juga bahwa ada 3 ekor kambing yang mati,
2 diantaranya mengalami gejala seperti mengayuh sepeda sebelum
mati. Kondisi peternakan sangat terbuka dan hewan lain seperti anak
kucing bisa masuk ke ruang pemerahan susu, tempat penyimpanan
pakan dan gudang dimana alat-alat untuk memberi pakan disimpan.
Tim investigasi mengambil sampel darah pada 33 ekor kambing
yang mengalami gejala klinis. Kemudian mereka juga mengambil
sampel darah kambing di peternakan tersebut serta 2 ekor kucing
dan 2 ekor anjing yang ada disana. Sampel susu diambil dari 78 ekor
kambing yang sedang masa laktasi. Termasuk juga 4 sampel tanah
dan 4 sampel sisa pakan yang ada di tempat pakan kambing. Selain
mengambil sampel tim juga memberikan kuisioner epidemiologis
untuk mendapatkan informasi tentang sanitasi baik personil maupun
hewan dan peternakan.
160 Toksoplasmosis pada Hewan
Analisis sampel menggunakan metode Immunofluorescence
antibody test (IFA) untuk serodiagnosis, analisis molekuler juga
dilakukan dengan polymerase chain reaction (PCR), sedangkan untuk
isolasi agen etiologi digunakan bioassay. Hasilnya, analisis IFA
menunjukkan bahwa 76.53% (137/179) dari total kambing, 2 ekor
kucing dan 2 ekor anjing terdeteksi seropositif Toxoplasma gondii.
Dari bioassay terlihat 1 buffy coat dan 2 sampel susu tercemar T. gondii.
Sedangkan hasil PCR, seluruh 11 sampel darah, 8 sampel susu, 3 sisa
pakan, dan seluruh sampel tanah menunjukkan hasil positif.
Hasil tersebut mengkonfirmasi bahwa outbreak ini disebabkan
oleh kontaminasi yang berasal dari lingkungan sekitar peternakan (tanah
dan pakan). Oosista T. gondii juga dimungkinkan berasal dari anak
kucing yang hidup di lingkungan peternakan dan memiliki akses ke stok
pakan kambing dan fasilitas lainnya. Sebagai usaha penanganan dan
pencegahan kembali terjadinya outbreak toksoplasmosis ini diperlukan
pendampingan dokter hewan untuk memperbaiki manajemen tata
kelola peternakan.
D. Outbreak Toksoplasmosis karena Air Minum di Kanada
(Bowie et al., 1997)
Kejadian outbreak kasus terjadi secara tidak terjadi secara
periodik. Pada bulan Maret tahun 1995, terjadi peningkatan mendadak
toksoplasmosis akut yang terdeteksi secara uji serologis di daerah
Greater Victoria of British Columbia, Canada. Dalam jangka waktu
yang sama, terjadi 7 kasus acute toxoplasma retinitis yang saling tidak
terkait. Hal ini ditemukan setelah selama 5 tahun sebelumnya tidak
pernah diketahui ada kasus toksoplasmosis.
Pemerintah setempat kemudian melakukan program
penyaringan terhadap kasus ini. Berbagai metode dilakukan seperti
uji serologis dan pemeriksaan klinis pada warga Greater Victoria.
Program khusus juga dijalankan untuk wanita yang sedang hamil.
Toksoplasmosis pada Hewan
161
Selain itu juga dilakukan pemetaan secara geografis pada kasus
outbreak dan kasus kontrol studi pada kasus simptomatik dan wanita
yang mengikuti program penyaringan khusus.
Hasilnya, ditemukan bahwa 100 individu yang berumur 6
sampai 83 tahun yang terdiagnosa toksoplasma akut. Sebagian besar
atau 94 orang tinggal di Greater Victoria dan 6 lainnya pernah
berkunjung kesana dalam beberapa waktu yang lalu. Ditemukan 19
orang yang terkena retinitis, 51 menderita lymphadenopathy, dan 4
lainnya mengalami gejala yang sesuai dengan gejala toksoplasmosis,
sementara 7 diantara yang lain didapati gejala lain, ada 18 orang tidak
menunjukkan gejala, dan 1 orang tidak memberikan informasi. Dari
3812 wanita hamil atau yang baru saja melahirkan 36 (0.9%) orang
terpapar oleh toksoplasma. Pada kasus ini tidak ditemukan adanya
kasus yang sama disekitar Greater Victoria.
Penyebab infeksi toksoplasma dilaporkan bukan seperti
umumnya kasus toksoplasmosis. Pemetaan kasus ini, penyaringan pada
para wanita, serta studi kasus kontrol menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan antara infeksi akut toksoplasma ini dengan sistem
distribusi air dari salah satu sumber air di Greater Victoria. Kasus
epidemik ini mencapai puncaknya pada Desember 1994 dan Maret
1995, hal ini diduga karena peningkatan curah hujan dan kekeruhan
air yang mempengaruhi sumber air.
Dari seluruh hasil investigasi dari pemerintahan setempat
disimpulkan bahwa sistem air pada wilayah tersebut yang tidak
difilter dan diklorinasi, sebagaimana mestinya untuk pengunaan air
permukaan menjadi sebab outbreak toksoplasmosis ini terjadi dan
menelan banyak orang di sebuah komunitas yang besar.
E. Studi Aplikasi Skin Test untuk Toksoplasmosis pada Ternak di DIY
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari 5 kabupaten,
yaitu Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul, Sleman
162 Toksoplasmosis pada Hewan
dan kotamadya Yogyakarta. Berbagai permasalahan di bidang
kesehatan hewan dihadapi oleh propinsi ini, mulai dari penyakit
infeksi seperti penyakit bakterial, viral, parasiter dan jamur hingga
non infeksi. Seperti diketahui, pada hewan, toksoplasmosis banyak
menimbulkan kerugian ekonomi. Dalam hal ini, hewan memegang
peranan yang sangat penting sebagai salah satu bentuk penularan.
Seperti diketahui, manusia dapat tertular toksoplasma dengan cara
menelan oosista toksoplasma bersama makanan, makan daging
yang kurang matang secara langsung yang mengandung bradizoit
atau salah satu bentuk dalam daur hidup toksoplasma, melalui luka
terbuka yang kemasukan oosista atau bermain-main dengan hewan
kesayangan, seperti kucing, anjing dan burung. Selain itu, masih
banyak lagi modus penularan yang lain yang berpotensi sebagai
gerbang masuknya infeksi toksoplasmosis pada manusia dan hewan,
sehingga prevalensi toksoplasmosis diduga meningkat dari tahun ke
tahun. Penelitian prevalensi yang pernah dilakukan di Yogyakarta
pada domba dan babi dinyatakan terinfeksi 36% dan 50% (Sri
Hartatik, 1993). Hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian
lagi mengenai prevalensi pada hewan ternak.
Dalam pelaksanaan pengambilan sampel dari ternak domba
dan kambing, terdapat kendala yang dijumpai di lapangan. Hal ini
terutama berkaitan dengan kurangnya informasi pada masyarakat
mengenai penyakit toksoplasmosis. Sehingga banyak peternak yang
enggan untuk diambil sampel darahnya dan dilakukan pemeriksaan
skin test. Hal ini dapat dimengerti mengingat bahan yang disuntikan
ke dalam tubuh ternak tersebut adalah komponen dari Toksoplasma.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, telah dilakukan pendekatan
melalui kegiatan penyuluhan pada kelompok tani ternak mengenai
kesehatan hewan secara umum dan penyakit toksoplasmosis secara
khusus bagi ibu-ibu.
Toksoplasmosis pada Hewan
163
Gambar 60. Penyuluhan Perlu Dilakukan Khususnya kepada Kaum
Wanita Mengenai Bahaya Toksoplasmosis.
Setelah didata mengenai peternak, umur, kandang, pakan dan
kemungkinan memelihara kucing, ternak-ternak domba dan kambing
dicukur bulunya di daerah pangkal ekor. Pemberian dosis 1.5 ml secara
intradermal antigen toksoplasma merupakan dosis optimal yang telah
diteliti. Setelah 15-30 menit daerah bekas suntikan apabila terjadi
reaksi positif akan dijumpai penebalan kulit disertai pengerasan.
164 Toksoplasmosis pada Hewan
Gambar 61. Reaksi Positif Ditandai dengan Adanya Penebalan
pada Kulit Domba Akibat Penyuntikan Intradermal Protein
Membran Takizoit
Gambar 62. Reaksi Negatif Ditandai dengan Tidak Adanya
Penebalan pada Kulit Domba Akibat Penyuntikan Intradermal
Protein Membran Takizoit
Toksoplasmosis pada Hewan
165
Diagnosa dianggap positif jika diameter penebalan kulit
sama atau melebihi 15 mm, hasilnya dianggap negatif jika diameter
penebalan kurang dari 15 mm (gambar 58 dan 59). Reaksi penebalan
kulit dan lama reaksi tersebut terjadi setelah disuntik intradermal
potein toksoplasmosis. Lama reaksi bervariasi mulai dari 12 menit
hingga 30 menit dengan ukuran yang bervariasi antara 8 hingga
19 milimeter. Lama reaksi dan diameter kebengkakan kulit yang
bervariasi ini disebabkan karena adanya respon imunologis pada
masing-masing hospes yang beragam yang disebabkan oleh infeksi
toksoplasma. Bagi hospes yang mampu mengembangkan respon
kekebalan terhadap suntikan ini maka akan timbul reaksi. Reaksi
hipersensitifitas yang terjadi pada kulit domba terjadi sebagai akibat
terbentuknya antibodi untuk melawan infeksi yang diberikan melalui
suntikan yang berisi protein membran toksoplasma (gambar 58, 59,
60). Diagnosa ini didasarkan pada reaksi alergi yang terbentuk setelah
penyuntikan intradermal.
166 Toksoplasmosis pada Hewan
Gambar 63. Penyuntikan Intradermal Protein Membran Takizoit
Toxoplasma gondii
Pengujian Reaksi Klinis Hipersensitifitas Kulit pada Domba
Dari hasil pemeriksaan darah rutin domba kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol terlihat bahwa TPP kelompok perlakuan
meningkat jumlahnya mulai dari minggu 1, 2 dan 4. Jumlah Hb
menurun mulai minggu ke 2 dan 4. Sedangkan kadar eosinofil
meningkat tajam pada minggu ke 4 injeksi protein membran
Toxoplasma gondii.
Toksoplasmosis pada Hewan
167
Tabel 7. Pemeriksaan Darah Rutin pada Domba Kelompok
Perlakuan dan Kontrol
Darah
Minggu ke-
RBC
x10 6 /μL
WBC
sel/ μL
TPP
g/100ml
Hb
g/100 ml
Eosinofil
%
Kontrol 1 9.37 8400 6.8 9.3 4
2 10.93 11500 7.0 8.1 6
4 14.49 13800 7.1 9.0 8
Perlakuan 1 8.29 10350 8.5↑ 9.3 8
2 9.16 9950 8.8↑ 7.2↓ 4
4 12.18 11200 8.7↑ 7.8↓ 26↑
Normal 8,0-18.0
x10 6 4.0-13.0
x10 3 6.0-7.50 8.0-12.0 1-8
Optimalisasi Dosis Skin Test pada Kambing
Dosis optimal protein membran takizoit yang dipergunakan
pada kambing, dimana pada dosis tersebut reaksi hipersensitifitas
muncul yaitu dosis 1.5 mg/ml/ekor, sedangkan pada dosis yang lain
reaksi hipersensitifitas tidak muncul.
Sensitifitas dan Spesifitas Skin Test di Laboratorium
Hasil diagnosa toksoplasmosis pada mencit dengan antigen
(protein membran) takizoit Toxoplasma gondii dan pemeriksaan paska
mati diketahui bahwa 24 sampel menunjukkan reaksi positif terhadap
antigen (protein membran) Toxoplasma gondii dan 25 sampel
menujukkan adanya takizoit Toxoplasma gondii pada pemeriksaan
paska mati, dimana 1 diantaranya adalah positif palsu. Empat sampel
adalah negatif terhadap antigen (protein membran) Toxoplasma, dan
5 sampel tidak menunjukkan adanya takizoit Toxoplasma gondii pada
pemeriksaan paska mati, sedangkan 1 diantaranya adalah negatif
palsu. Keadaan seperti ini dapat diringkaskan seperti pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil diagnosa skin test terhadap Toksoplasmosis
pada mencit dengan antigen (protein membran) takizot
Toxoplasma gondii isolat lokal dan pemeriksaan pasca mati
168 Toksoplasmosis pada Hewan
Pemeriksaan Pemeriksaan dengan antigen Total
paska mati (protein membran) Toxoplasma
+ _
+ 24 1 25
_ 1 4 5
Total 25 5 30
Dari Tabel 7 dapat disimpulkan bahwa sensitifitas antigen
(protein membran) Toxoplasma untuk diagnosa Toksoplasmosis
pada mencit adalah : 24/25 x 100 % = 96.0 %, dan spesifitasnya
adalah : 4/5 x 100 % = 80.0 %. Dengan tingkat sensitifitas 96.0 %
dan spesifitas 80.0 % diagnosa dengan antigen (protein membran)
takizot Toxoplasma gondii untuk mengetahui adanya Toksoplasmosis
nampaknya memberikan harapan sebagai metoda diagnosa cepat
Toxoplasma.
Pengujian Serologis
Setelah dilakukan skin test kemudian ternak-ternak tersebut
diambil darahnya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan serologis.
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan Card Aglutination Test
(CATT) yang dilakukan di Laboratorium Parasitologi FKH UGM
atau langsung di lapangan (lihat gambar 61). Hasil dari metode
CATT ini dapat ditunggu sekitar 10-15 menit hingga kartu baca yang
ditetesi serum dan kit pereaksi mengering. Tujuan dari pemeriksaan
ini adalah sebagai acuan dan pembanding diagnosa skin test apakah
kambing-kambing tersebut menderita toksoplamosis atau tidak.
Hasil pemeriksaan dengan metode skin test dengan menggunakan
antigen membran toksoplasma selanjutnya dibandingkan dengan
hasil pemeriksaan serologis untuk memperoleh angka sensitifitas dan
spesifitas antigen membran toksoplasma (Armitage, 1973).
Toksoplasmosis pada Hewan
169
Gambar 64. Contoh Hasil Pemeriksaan Serologis dengan Metode
CATT untuk Mendeteksi Toksoplasmosis pada Domba
Pada gambar 64 pada pemeriksaan serologis dengan metode
CATT terlihat bahwa hewan yang positif menderita Toksoplasmosis
ditunjukkan dengan warna yang mendekati warna kontrol positif
yaitu hijau (kode M). Sedangkan pada hewan yang lain menunjukan
warna yang masih meragukan, yaitu mendekati warna kontrol positif
yaitu hijau kecoklatan (P). Khusus untuk penilaian terhadap warna
yang meragukan atau penebalan kulit yang kurang dari diameter
yang ditentukan ini dapat dimasukan dalam kriteria positif atau
negatif palsu. Pada beberapa hasil menunjukan reaksi tersebut. Untuk
hewan yang tidak menderita toksoplasmosis ditunjukan dengan
warna kecoklatan pada permukaan kartu diagnosa. Metode CATT
pada dasarnya cukup efektif untuk mendeteksi toksoplasmosis pada
domba dan kambing. Meskipun demikian harga dari perangkat yang
digunakan dalam metode ini masih relatif mahal untuk diaplikasikan
pada ternak.
170 Toksoplasmosis pada Hewan
BAB XVII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil uraian berbagai penjelasan terkait Toksoplasmosis
pada hewan dapat disimpulkan bahwa:
1. Toksoplasmosis pada hewan memegang peranan penting
dalam kaitannya dengan penyebaran penyakit zoonosis di
Indonesia
2. Terdapat berbagai metode dalam diagnosis Toksoplasmosis
yang sudah dikembangkan mulai dari metode konvensional
hingga molekuler yang masing-masing memiliki kelebihan
dan kekurangan dalam aplikasinya pada hewan dan ternak.
3. Metode serologis merupakan metode standar yang banyak
digunakan untuk mendeteksi toksoplasmosis hewan dan
ternak. Meskipun demikian metode ELISA masih terbatas
penerapannya pada laboratorium yang memiliki peralatan
dan sumber daya manusia yang memadai.
4. Metode molekuler PCR dapat menjadi andalan bagi
diagnosis Toksoplasmosis mengingat metode ini dapat
Toksoplasmosis pada Hewan
171
memberikan hasil yang akurat, cepat dan efisien.
5. Kesadaran masyarakat terhadap bahaya toksoplasmosis
masih rendah, khususnya di pedesaan. Untuk itu senantiasa
diperlukan sosialisasi, pencegahan penyakit dan pengobatan
bagi hewan ternak yang telah terinfeksi.
B. Saran
1. Perlu dilakukan kerjasama yang lebih baik antar instansi
dan perguruan tinggi dalam penanggulangan penyakit
Toksoplasmosis pada hewan dan ternak, sehingga potensi
penularan dari hewan ke manusia dapat diminimalisir.
2. Perlu dikembangkan penelitian lebih lanjut untuk
merancang kit diagnostik berbasis serologi dan molekuler
berbasis pada isolate local untuk menciptakan kemandirian
bangsa terhadap kebutuhan akan perangkat diagnostic
khususnya pada hewan dan ternak.
3. Agar diperoleh hasil yang maksimal perlu dilakukan
standarisasi metode dan uji banding dengan metode-metode
molekuler sehingga dapat distandarisasi kemampuan
diagnostik uji tersebut terhadap toksoplasmosis pada hewan
dan ternak.
172 Toksoplasmosis pada Hewan
DAFTAR PUSTAKA
Aoyagi K, Ashihara Y, Kasahara Y. Immunoassays and
immunochemistry. In: McPherson RA, Pincus MR, eds.
Henry’s Clinical Diagnosis and Management by Laboratory
Methods. 23rd ed. St Louis, MO: Elsevier; 2017:chap 44.
Afonso E, Thulliez P, Pontier D, Gilot-Fromont E. 2007. Toxoplasmosis
in prey species and consequences for prevalence in feral cats:
not all prey species are equal. Parasitology 134:1963–1971.
Armitage, P. 1973. Statistical methods in medical research. John Wiley
and Sons, New York. Hal 433-435.
Araujo, F.G., and J.S. Remington. 1980. Antigenemia in Recently
Aquired Acute Toxoplasmosis. J. Infect. Dis. 141:144-150
Ballweber, L. R. 2001. The Practical Veterinarian-Veterinary Parasitology.
USA : Butterworth–Heinemann Publishing
Bohne, W., Gross, U., and Heesemann, J. 1993. Differentiation
between mouse-virulent and avirulent strains of Toxoplasma
gondii by a monoclonal antibody recognizing a 27 kilodalton
antigen. J. Clin. Microbiol. 31, 1641.
Toksoplasmosis pada Hewan
173
Bouchard, É., Sharma, R., Bachand, N., Gajadhar, A.A. and Jenkins,
E.J., 2017. Pathology, clinical signs, and tissue distribution
of Toxoplasma gondii in experimentally infected reindeer
(Rangifer tarandus). International Journal for Parasitology:
Parasites and Wildlife, 6(3), pp.234-240.
Bowie, W.R., King, A.S., Werker, D.H., Isaac-Renton, J.L., Bell, A.,
Eng, S.B. and Marion, S.A., 1997. Outbreak of toxoplasmosis
associated with municipal drinking water. The Lancet,
350(9072), pp.173-177.
Bowman, D.D., Hendrix, C.M., Lindsay, D.S. dan Barr, S.C. 2002.
Feline Clinical Parasitology. USA : Iowa State University
Press.
Burg, L.J., C.M. Grover, P. Pouletty and J.C. Boothyroyd. 1989.
Direct and Sensitive Detection of a Pathogenic Protozoan,
Toxoplasma Gondii, by polymerase chain reaction. J. Clin.
Microbiol. 27:1787-1792.
Cazabone, P., Bessieress, M.H. and Seguella, J.P. 1994. Kinetics
study and characterization of immunoglobulin G,M,A and
E antibodies from mice infected with different strain of T.
gondii. J. Parasitol. 80:58-63.
CDC, 2009. Parasits and Health: Toxoplasmosis (Toxoplasma
gondii), http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/Toxoplasmosis.
htm tanggal akses 18 Februari 2019
Chang GN, Tsai SS, Kuo M, Dubey JP. Serological Survey of Swine
Toxoplasmosis in Taiwan. J Chin Soc Vet Sci. 1990;16:103–
11.
Cornelissen, A.W.C.A., J.P. Overdulve and M. Van Der Ploeg.
1984. Determination of Nuclear DNA of Five Eucoccidian
Parasites, Isospora (Toxoplasma) Gondii, Sarcocystis Cruzi,
Eimeria Tenella, E. Acervulina, and Plasmodium Berghei,
174 Toksoplasmosis pada Hewan
with Special Reference to Gametogenesis and Meiosis in I.
(T.) gondii. Parasitology 88:531-553.
Cheng, T.C. 1986. General Parasitology. 2 nd ed. Academic Press
College Division. : 189-191
Chiodini, P. L., Moody, A. H., Manser, D. W. 2001. Helminthology and
Protozoology. London: Churchill Livingstone
Conrad PA, et al. 2005. Transmission of Toxoplasma: clues from the
study of sea otters as sentinels of Toxoplasma gondii flow
into the marine environment. Int. J. Parasitol. 35:1155–1168.
Dabritz HA, et al. 2008. Risk factors for Toxoplasma gondii infection
in wild rodents from central coastal California and a review
of T. gondii prevalence in rodents. J. Parasitol. 94:675– 683.
Desmonts, G., Naot, Y. and Remington, J.S. 1981. Immunoglobulin
M immunosorbent agglutination assay for diagnosis of
infectious diseases : Diagnosis of acute congenital and
acquired toxoplasma infection. J. Clin. Microbiol.14 : 486-
491.
De Souza, W., and T. Souto-Padrón. 1978. Ultrastructural Localization
of Basic Proteins on the Conoid, Rhoptries and Micronemes
of Toxoplasma Gondii. Z. Parasitenkd. 56:123-129.
De Thoisy B, Demar M, Aznar C, Carme B. 2003. Ecologic correlates
of Toxoplasma gondii exposure in free-ranging neotropical
mammals. J. Wildl. Dis. 39:456–459.
Dubey, J.P., Miller, N.L., and Frenkel, J.K. 1970. Characterization of
the new fecal form of Toxoplasma gondii. J. Parasitol., 56, 447.
Dubey, J. P., and C. P. Beattie. 1988. Toxoplasmosis of Animals and Man.
Florida: CRC Press Boca Raton.
Dubey, J.P. 1993. Recent advances in neosporosis, toxoplasmosis and
sarcocystosis with special reference to abortion in livestock.
Toksoplasmosis pada Hewan
175
Proceeding.Vi th International Coccidiosis Conference( June ).
Guelph, Canada.
Dubey, J.P. 1994. Toxoplasmosis : zoonosis update. JAVMA. 20 :
1593-1598.
Dubey, J.P., 2005. Toxoplasmosis in Cats and Dogs. Proc World Small
Anim Vet Assoc Mexico City, Mexico.
Dubey JP. 2010. Toxoplasmosis of Animals and Humans, 2nd ed. CRC
Press, Boca Raton, FL.
Duszynski DW, Lee Couch L, Upton SJ. August 2000, posting
date. Coccidia (Eimeriidae) of Canidae and Felidae. http://
biology.unm.edu/biology/coccidia/carniv1.html.
Erin Edwards, Gabriel Gomez, and Jay Hoffman, 2019. Toxoplasmosis
in a Herd of Kangaroos. http://tvmdl.tamu.edu/2019/01/03/
toxoplasmosis-in-a-herd-of-kangaroos/
Estuningsih, E. S. 2005. Toxocariasis pada Hewan dan Bahayanya
pada Manusia. Bogor Wartazoa Vol. 15 No. 3.
Ferreira Neto, J.M., Ferreira, F.P., Miura, A.C., Almeida, J.C.D.,
Martins, F.D.C., Souza, M.D., Bronkhorst, D.E., Romanelli,
P.R., Pasquali, A.K.S., Santos, H.L.E.P.L. and Benitez,
A.D.N., 2018. An outbreak of caprine toxoplasmosisinvestigation
and case report. Ciência Rural, 48(5).
Flynn, R. J. 1973. Parasites of Laboratory Animal, Edisi pertama.Iowa :
The Iowa State University Press.
Foreyt, W. 2001.Veterinary Parasitology Reference Manual, Fifth
Edition. Iowa : Blackwell Publishing.
Franzen, C., M. Altfeld, P. Hegener, P. Hartman, G. Arendt, H.
Jablonowski, J. Rockstroh, V. Diehl, B. Salzberger, and G.
Fatkenhuer. 1997. Limited value of PCR for detection of
Toxoplasma gondii in blood from human immunodeficiency
176 Toksoplasmosis pada Hewan
virus-infected patients. J. Clin. Microbiol. 35 (10): 2639-
2641.
Frenkel, J.K. 1990. Toxoplasmosis in Human Being. JAVMA. 196(2)240-
248
Frenkel, J.K. 1990. Transmission of toxoplasmosis and the role of
immunity in limiting transmission and illness.JAVMA. 196:
233-240.
Gandahusada, S. 1990. Toksoplasmosis: Epidemiologi, Patogenesis
dan Diagnostik. Dalam kumpulan Makalah Simposium
Toxoplasmosis. Editor Gandahusada, S. dan Susanto, I. FK
UI. Jakarta.
Gillespie, S. H., Pearson, R. D. 2001. Principle and Practice of Clinical
Parasitology. New York: John Wiley & Sons, Ltd.
Griffiths, H. J. A 1978.Handbook of Veterinary Parasitology Domestic
Animalks of North America. United States : University of
Minnesota Press.
Grandahusada, S. 1992. Diagnosis dan Penatalaksanaan
Toksoplasmosis. Majalah Parasitol. Indonesia. 5 (1):7-13.
Groβ, U. 1994. Toxoplasmose. In Immunologische und molekulare
Parasitologie. Roellinghoff, M and Rommel, M
(Herausgeber). Gustav Fischer Verlag. Jena.
Hanafiah, M., Nurcahyo, W., Mufti, K. and Fadrial, K., 2009.
Produksi dan Isolasi Protein Membran Stadium Bradizoit
Toxoplasma gondii: Suatu Usaha untuk Mendapatkan
Material Diagnostik dalam Mendiagnosa Toksoplasmosis.
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Aceh,
10(3), pp.156-164.
Hanafiah, M., Nurcahyo, W., Prastowo, J. and Hartati, S., 2015. Faktor
risiko infeksi Toxoplasma gondii pada kucing domestik
Toksoplasmosis pada Hewan
177
yang dipelihara di Yogyakarta. Jurnal Kedokteran Hewan-
Indonesian Journal of Veterinary Sciences, 9(1).
Hanafiah, M., Nurcahyo, W., Prastowo, J. and Hartati, S., 2017.
Gambaran histopatologi toksoplasmosis pada kucing
peliharaan. Jurnal Veteriner, 18(1), pp.11-17.
Handman, E and Remington, J.S. 1980. Serological and
immunochemical characterization of monoclonal antibodies
to Toxoplasma gondii. Immunology 40 : 579-588.
Handman, E, Goding, J.W. and Remington, J.S. 1980b. Detection and
characterization of membran antigens of Toxoplasma gondii.
J. Immunol 124:2578-2583
Howe, D. K., and L. D. Sibley. 1995. Toxoplasma Gondii Comprises
Three Clonal Lineages: Correlation of Parasite Genotype
with Human Disease. J. Infect. Dis. 172:1561-1566.
Hughes, HPA & Van Knapen, F. 1982. Characterisation of a Secretory
Antigen from Toxoplasma Gondii and its Role in Circulating
Antigen Production. Int. J. Parasitol. 12, 433.
Irwin, P.J. 1995. Respon Imun terhadap Parasit protozoa. Dalam
G.W. Burgess (Ed). Teknologi ELISA dalam Diagnosis
dan Penelitian, Terjemahan oleh Wayan T.A., Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta. 456.
Jacobs, L. and Frenkel, J.K. 1982. Toxoplasmosis. In: Jacobs, L. (eds).
Parasitic Zoonosis. C.R.C. Press, Inc. Boca Raton, Florida.
167-185.
Karleson F, Steen H, and Nesland J. 1995. SYBR green I DNA staining
increases the detection sensitivity of viruses by polymerase
chain reaction., J. Virol. Methods, 55:153-156.
Kasper, L. H. and Ware, P.L. 1985. Recognition and characterization
of stage-spesific oocyst/sporozoite antigens of Toxoplasma
178 Toksoplasmosis pada Hewan
gondii by human sera, J. Clin. Invest., 75, 1570, 1985
Kaufmann. Johannes, 1996. Parasitic Infection s of Domestic Animals
A Diagnostic Manual, Birkhauser Verlag, Postfach, Basel,
Schweiz.
Knoll, J.L. and Boothroyd, C.J. 1998. Isolation of developmentally
regulation genes from Toxoplasma gondii selectable marker
hypoxantine – xantine guanine phosphorybosyltransferase.
Mol. Cell Biol. 18 (2) : 807-814
Krahenbuhl, J.L. and Remington, J.S. 1982. Immunology of
Toxoplasma and toxoplasmosis. In : Cohen S, Warren K.S,.
(Eds) Immunology of parasitic infections, 2nd Ed, Blackwell
Oxford.
Lappin, M.R. 1994. Feline toxoplasmosis. Weltham Focus. 4(4) : 2-8
Levine, N.D. 1985. Veterinary Protozoology.1 st ed. Iowa State University
Press. Iowa
Levine, N. D. 1994. Parasitologi Veteriner, diterjemahkan oleh Prof.
Dr. Gatut Ashadi dari Textbook of Veterinary Parasitology.
Yogyakarta : Gadjah Mada University.
Lindsay DS, Dubey JP. 2007. Toxoplasmosis in wild and domestic
animals, p 133–152. In Weiss LM, Kim K (ed), Toxoplasma
gondii: the model apicomplexan. Perspectives and methods.
Academic Press, London, United Kingdom.
Long, P. L. 1990. Coccidiosis of Man and Domestic Animals. Florida:
CRC Press.
Lunde, M. N. and Jacobs, L. 1983. Antigenics differences between
endozoites and cystozoites of Toxoplasma gondii. J. Parasitol.,
69, 806, 1983
Maatsura, T. Tegoshi, T. Furuta – Matsuura and Sugane, K. 1992.
Epitope selected monospesific antibody to recombinant
Toksoplasmosis pada Hewan
179
antigens from Toxoplasma gondii reacted with dense granules
of tachyzoit. J. Histochem and Cytochem. 40(11) : 1725 –
1730.
Migliore, S., La Marca, S., Stabile, C., Presti, V.D.M.L. and Vitale, M.,
2017. A rare case of acute toxoplasmosis in a stray dog due to
infection of T. gondii clonal type I: public health concern in
urban settings with stray animals?. BMC veterinary research,
13(1), p.249.
Monnig, H. O. 1950. Veterinary Helminthology and Entomology. South
Africa : Baltimore The Williams and Wilkins Company
Mori Y, and Notomi T. 2009. Loop-mediated isothermal amplification
(LAMP): a rapid, accurate, and cost-effective diagnostic
method for infectious diseases. J. Infect. Chemother. 15:62-
69.
Mori Y, Nagamine K, Tomita N, and Notomi T. 2001. Detection of
loop-mediated isothermal amplification reaction by turbidity
derived from magnesium pyrophosphate formation, Biochem.
Biophys. Res. Commun., 289 (1): 150-154.
Nagamine K, Watanabe K, Ohtsuka K, Hase T, and Notomi T. 2001.
Loop mediated isothermal amplification reaction using a
nondenaturated template. Clinical Chemistry, 47 (9): 1742-
174
Nagamine K, Kuzuhara Y, and Notomi T. 2002a. Isolation of singlestranded
DNA from loop-mediated isothermal amplification
products. Biochem. Biophys. Res. Com., 290 : 1195-1198.
Nagamine K, Hase T, and Notomi T. 2002b. Accelerated reaction by
loop-mediated isothermal amplification using loop primers.
Mol. Cell. Probes, 16:223-229.
Nagel, S.D., and J.C Boothyroyd. 1988. The Alpha- and -Tubulins
180 Toksoplasmosis pada Hewan
of Toxoplasma Gondii are Encoded by Single Copy Genes
Containing Multiple Introns. Mol. Biochem. Parasitol.
29:261-273.
Natadisastra, D., Agoes, R. 2005. Parasitologi Keedokteran Ditinjau
dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta : EGC Penerbit
buku kedokteran.
Noble, E. R., Noble, G. A. 1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan,
Edisi Lima, Diterjemahkan drh. Ardianto.Yogyakarta :
Gadjah Mada University.
Neva, F.A. and Brown,H.W. 1994. Basic Clinical Parasitology. 6 th
Eds. Prentice Hall International Inc. New York. USA. 44-50
Nicolle, C., and L. Manceaux, 1908: Sur une infection A corps de
Leishman (ou organismes voisins) du gondi. C. R. Hebd.
Seances Acad. Sci. 147, 763–766.
Nicolle, C., and L. Manceaux, 1909. Sur un Protozoaire Nouveau du
Gondi, C. R. Soc. Biol. (Paris) 148 (1909), pp. 369–372.
Njiru ZK, Mikosza AS, Matovu E, Enyaru JC, Ouma JO, Kibona
SN, Thomson RC, and Ndung’u JM. 2008. African
trypanosomiasis: sensitive and rapid detection of the sub genus
trypanozoon by loop-mediated isothermal amplification
(LAMP) of parasite DNA. Int. J. Parasitol., 38: 589-599.
Notomi T, Okayama H, Masubuchi H, Yonekawa T, Watanabe K,
Amino N, and Hase T. 2000. Loop-mediated isothermal
amplification of DNA. Nucleic Acids Research, 28 (12): 63.
Nurcahyo, W. 1998. Isolierung rekombinanten Varianzglykoproteine
(VSG) Trypanosoma congolense aus Escherichia coli.
Veterinary Journal Dissertation FU Berlin – Germany No.
2233.
Nurcahyo, W. 2001. Tinjauan ilmiah toksoplasmosis pada manusia
Toksoplasmosis pada Hewan
181
dan hewan. Makalah utama pada seminar nasional
Toksoplasmosis pada manusia dan hewan : Tinjauan medis,
klinis dan sosial pada masyarakat. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 26 Mei 2001.
Nurcahyo, W. 2004. Pemeliharaan kesehatan ternak sebagai upaya
dalam meningkatkan produktivitas ternak ruminansia kecil.
Makalah pada Workshop “Small ruminant development”,
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta, 27-28 Januari 2004.
Nurcahyo, W., Prastowo, J. and Sahara, A., 2011. Toxoplasmosis
prevalence in sheep in Daerah Istimewa Yogyakarta. Animal
Production 13(2) 122-130.
Nurcahyo, W., Prastowo, J. and Sahara, A., 2012. Molecular detection
of toxoplasmosis using specific primers P30, B1, and rDNA.
Jurnal Veteriner, 13(1) 9-13.
Nurcahyo, W., Prastowo, J. and Priyowidodo, P., 2014. Identifikasi
Toksoplasmosis pada feses kucing secara mikroskopis dan
serologis. Jurnal Kedokteran Hewan - Indonesian Journal of
Veterinary Sciences, 8 (2) 147-150.
Olsen, O. W., 1962. Animal Parasites : Their Biology and Life Cycles.
Minneapolis : Burgess Publishing Company
Parida M, Sannarangaiah S, Kumar Dash P, Rao PVL, and Morita K.
2008. Loop mediated isothermal amplification (LAMP): a
new generation of innovative gene amplification technique;
perspectives in clinical diagnosis of infectious diseases., Rev.
Med. Virol. 18: 407-421.
Remington, J. S. and Desmonts, G. 1990. Toxoplasmosis. In : J.S.
Remington and J. O. Klein (eds). Infection diseases of the
first and new born infant. 3nd ed. WB. Saunders Company.
Philadelphia. 89-195.
182 Toksoplasmosis pada Hewan
Rescaldani, R., Filice, G., Vigorè, L., Viganò, E.F., Giltri, G. and
Restuccia, C.M., 1986. IgM ISAGA test in the diagnosis of
acute acquired Toxoplasma infections. Quaderni Sclavo di
diagnostica clinica e di laboratorio, 22(2), pp.135-147.
Rinder, H., A. THomschke, M.-L. Darde, and T. Loscher.1995.
Spesific DNA Polymorphism Discriminate Between
Virulence and Non-virulence to Mice in Nine Toxoplasma
Gondii Strains. Mol. Biochem. Parasitol. 69-123-126.
Robert-Gangneux, F. and Dardé, M.L., 2012. Epidemiology of and
diagnostic strategies for toxoplasmosis. Clinical microbiology
reviews, 25(2), pp.264-296.
Rommel, M, Schnieder, Krause, H.D. and Westerhoff. 1987. Trials to
suprress the formation of oocysts and cysts of Toxoplasma
gondii in cats by medication of feed with tortrazuril. Vet.
Med. Rev. 58 : 141-153.
Roos T, Martius J, Gross U, Schrod L. Systematic Serologic
Screening for Toxoplasmosis in Pregnancy. Obstet Gynecol.
1993;81:243– 50.
Sabin, A. B., 1939: Biological and immunological identity of
Toxoplasma of animal and human origin. Proc. Soc. Exp.
Biol. 41, 75–80.
Sharma, S.D., Mullenax, J., Araujo, F.G., Erlich, H.A., and Remington,
J.S. 1983. Western blot analysis of the antigens of Toxoplasma
gondii recognized by human IgM and IgG antibodies. J.
immunology 131: 977-983.
Sibley, L. D., and J. C. Boothroyd. 1992. Virulent Strains of Toxo
plasma Gondii Comprise a Single Clonal Lineage. Nature
359:82-85.
Smith, J. 1995. Produksi Serum Hiperimmun. Dalam G.W. Burgess
Toksoplasmosis pada Hewan
183
(Eds). Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 15-32.
Smith DD, Frenkel JK. 1995. Prevalence of antibodies to Toxoplasma
gondii in wild mammals of Missouri and east central Kansas:
biologic and ecologic considerations of transmission. J. Wildl.
Dis. 31:15–21.
Soldati, D., and J.C. Boothyroyd. 1993. Transient Transfection and
Expression in the Obligate Intracellular Parasite Toxoplasma
Gondii. Science 260:349-352.
Soulsby, E. U. L. 1982. Helminth, Anthropods and Protozoa of
Domesticates Animal. Edisi ke 7. London: English Language
Book Society and Bailliere
Soulsby, E.J.L. 1986. “Helminths, Arthropods and protozoa of Domesticated
Animal”.7 th ed. Bailliere Tindall. London. : 629-678
Splendore, A., 1908: Un nuovo protoaz parassita de’conigli incontrato
nelle lesioi anatomiche d’une malatti che ricorda in molti
punti il Kala-azar dell’ umo. Nota prelininaire pel. Rev. Soc.
Sci. Sao. Paulo. 3, 109–112.
Sri Hartati, W.T. Artama, Sumartono dan H. Wuryastuti. 1997.
Identifikasi molekuler Toxoplasma gondii isolat lokal.
Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Fak. Kedokteran Hewan
UGM. Yogyakarta.
Sri Hartati, Artama, W.T, Sumartono dan S. Indarjulianto. 1998.
Identifikasi Molekuler Toxoplasma gondii. Laporan Penelitian.
FKH UGM. Yogyakarta.
Subronto.2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mibkroba pada Anjing dan
Kucing. Edisi pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press
Taylor, M. A., Coop. R. L., Wall, R. L. 2007. Veterinary Parasitology
184 Toksoplasmosis pada Hewan
Third Edition.Oxford :Blackwell Publishing
Tizard, I.R. 1996. Veterinary immunology : an introduction. 5 th Ed.
W.B. Saunders Company. Philadelphia.
Tomita N, Mori Y, Kanda H, and Notomi T. 2008. Loop-mediated
isothermal amplification (LAMP) of gene sequencesand
siple visual detection of products. Nat. Protoc., 3 (5): 877-882.
Tenter, A. M., Vietmeyer, C. and Johnson, A. M. 1992. Development
of ELISA based on recombinant antigens for detection of
Toxoplasma gondii specific antibodies in sheep and cats. Vet.
Parasitol. 43:189-201.
Tenter AM, Heckeroth AR, Weiss LM. 2000. Toxoplasma gondii:
from Animals to Humans. Int. J. Parasitol. 30:1217–1258.
Ushikubo H. 2004. Principle of LAMP method- a simple and rapid
gene amplification method. Uirusu, 54 (1): 107-112.
Urquhart, G. M., Armour, J., Duncan, J. L., Dunn, A. M., Jennings, F.
W. 1987. Veterinary Parasitology. UK: Blackwell Publishing.
Werk, R. 1985. How Does Toxoplasma Gondii Enter Host Cells. Rev.
Infect. Dis. 7:449-457.
Wilson, M., Wae, D. A. Juranek, D. D. 1990. Serological Aspect of
Toxoplasmosis. J. Am. Vet. Med. Assoc. 196(2):277-280.
Wyler, D. J. 1990. Modern Parasite Biology : Celluler, Immunological
and Molecular Aspect. W. H. Freemen and Company. New
York. 26-50
wiki.isikhnas.com/images/2/23/Penyakit_TOXOPLASMOSIS.pdf
Williams, D.M., D.M Magee, L.F. Bonewald, J.G. Smith, C.A.Bleicker,
G.I. Byrne, and J.Schachter. 1990. A Role in Vivo for Tumor
Necrosis Factor Alpha in Host Defense Against Chlamydia
Trachomatis. Infect. Immun. 58:1572-1576.
Toksoplasmosis pada Hewan
185
Youssefi, M. R., Hoseini, S. H., Hoseini, S. M., Zaheri, B. A., Tabari,
M. A. First Report of Ancylostoma tubaeforme in Persian
Leopard (Panthera pardus saxicolor).Iranian J Parasitol: Vol.
5, No.1, 2010, pp. 61-63
Zajac, A. M., Conboy, G. A. 2011. Veterinary Clinical Parasitology, 8 th
Edition. Iowa :Wiley-BlackwellZhang H, Thekisoe OMM,
Aboge GO, Kyan H, Yamagushi J, Inoue N, Nishikawa Y,
Zakimi S, and Xuan X. 2009., Toxoplasma gondii:sensitive
and rapid detection of infection by loop mediated isothermal
amplification (LAMP) method. J. Exp. Parasitol., 122 (1):
47-50.
Zhang H, Thekisoe OMM, Aboge GO, Kyan H, Yamagushi J, Inoue
N, Nishikawa Y, Zakimi S, and Xuan X. 2009., Toxoplasma
gondii:sensitive and rapid detection of infection by loop
mediated isothermal amplification (LAMP) method. J. Exp.
Parasitol., 122 (1): 47-50.
186 Toksoplasmosis pada Hewan
BIOGRAFI
Dr. drh. R. Wisnu Nurcahyo. Lahir 21 Februari 1965 di
Klaten, Jawa Tengah. Setelah menamatkan Sekolah Dasar (SD),
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas
(SMA) Negeri II di Purwokerto, selanjutnya meneruskan ke jenjang
Perguruan Tinggi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah
Mada (FKH UGM) di Yogyakarta pada tahun 1983. Setelah lulus
sebagai dokter hewan, kemudian menjadi staf pengajar di Fakultas
Kedokteran Hewan UGM pada tahun 1990. Karier sebagai Staf
Pengajar dimulai dari jabatan Asisten Ahli pada tahun 1990 di Bagian
Parasitologi FKH UGM pada tahun 1990.
Pada tahun 1993, melanjutkan diri menempuh studi lanjut atas
beasiswa dari Deutsche Akademische Austauschdienst (DAAD) Republik
Federal Jerman dengan memulai penelitiannya pada tahun 1993 di
Institutfuer Parasitologie, Humboldt Universitaet zu Berlin, Berlin,
Jerman, di bawah bimbingan Prof. Dr. Theodore Hiepe, dilanjutkan
dengan promotor oleh Prof. Dr. Ing. Erwin Reinwald dengan copromotor
Prof. Dr. Hans Jorg Risse di Institut fuer Veterinaer biochemie,
FreieUniversitaet (FU) Berlin, Jerman, dengan judul Isolierung
Toksoplasmosis pada Hewan
187
rekombinanten varianzglykoproteinen (VSG) Trypanosoma congolenseaus
Eschericia coli. Berbagai pendidikan, pelatihan dan penelitian di bidang
biologi molekuler telah diikutinya selama pendidikan doktor (S3) di
Jerman tersebut, dan akhirnya pada tahun 1998 berhasil meraih gelar
Doktor der Veterinaermedizin (Dr. vet. med.) di bidang Parasitologi
Molekuler dari FU Berlin German.
Dr. drh. R. Wisnu Nurcahyo kemudian memulai kariernya
kembali sebagai staf pengajar di FKH UGM pada tahun 1999 di
Bagian Parasitologi untuk mata kuliah Parasitologi Dasar dan Ilmu
Penyakit Parasit Veteriner bagi mahasiswa Sarjana (S1), beberapa
mata kuliah terkait Parasitologi bagi mahasiswa Pascasarjana (S2 dan
S3), menjadi pembimbing mahasiswa S2 dan S3 di FKH, Fakultas
Peternakan, Fakultas Kehutanan, Fakultas Kedokteran dan Fakultas
Pertanian jurusan Perikanan UGM. Berbagai jabatan pernah diemban
adalah pada tahun 2000 hingga tahun 2004 menjadi Pengelola
Program Diploma III Kesehatan Hewan FKH UGM, Kepala Bagian
Parasitologi (2004) dan Sekretaris Senat fakultas (2004). Selain
itu, aktif juga di kegiatan alumni Jerman dan menjadi Sekretaris
Pusat Studi Jerman (2002-2004). Pada tahun 2004, mendapat
kesempatan untuk melakukan penelitian kembali di Jerman melalui
Program Wiedereinladung atas biaya dari DAAD, di Institut fuer
Molekulaerparasitologie, Humboldt Universitaetzu Berlin, Jerman, di
bawah grup riset Prof. Dr. Richard Lucius.
Karier di Universitas dimulai pada tahun 2005 hingga 2012,
dengan menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Penelitian (Lemlit)
UGM yang akhirnya lembaga tersebut bergabung bersama Lembaga
Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) menjadi Lembaga Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UGM pada tahun
2006. Berbagai kegiatan terkait penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat dijalaninya menjadi reviewer penelitian di UGM dan
DIKTI. Selain itu pada tahun 2006-2009 pernah menjadi Vice Director
188 Toksoplasmosis pada Hewan
Higher Education Linked Program (Hi-Link) yang merupakan kegiatan
kolaborasi University-Industry-Community (UIC) di UGM dengan
dana dari Japan International Cooperation Agency ( JICA) Jepang. Pada
tahun 2011-2012 dia menjabat sebagai penanggung jawab kegiatan
terkait Disaster Risk Reduction di LPPM UGM dengan dana dari
World Bank.
Berbagai penelitian di bidang Parasitologi telah dilakukan
terkait protozoa, cacing dan ektoparasit pada hewan dan ikan. Dalam
bidang publikasi, telah banyak publikasi dihasilkan di jurnal tingkat
nasional dan internasional.
Pada tahun 2011, Dr. drh. R. Wisnu Nurcahyo mendapat
kesempatan menjadi visiting professor di Universiti Teknologi
Malaysia (UTM), Johor, Malaysia dan Masaryk University Brno,
Czech Republic. Pada tahun yang sama juga mendapat Innovative
Lecturer Award (Innolec) dari Masaryk University (MU) Brno, Czech
Republic, di bidang Biodiversity of Tropical Animal Parasites.
Terakhir menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) hingga tahun
2012 dan saat ini menjabat sebagai Ketua Program Pascasarjana Sain
Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan UGM hingga 2016.
Pada tahun 2018, Dr. drh. R. Wisnu Nurcahyo mendapat
penghargaan sebagai peneliti kolaboratif terbaik untuk Perguruan
Tinggi Negeri se-Jawa dari Kementerian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi RI.
Toksoplasmosis pada Hewan
189
190 Toksoplasmosis pada Hewan
GLOSARIUM
Anthropozoonosis
Suatu penyakit yang dapat menular dari hewan atau ikan
ke manusia
Endodiogeni
Pembentukan dua sel anakan yang sama dalam satu sel
induk
Endopoligeni
Reproduksi aseksual pada protozoa dengan progeni baru
yang dihasilkan dengan cara penunasan dalam sel induk
Epidemologi
Kajian hubungan berbagai faktor yang menentukan
frekuensi dan distribusi penyakit pada suatu populasi
Hospes
Induk semang parasit
Hospes definitif
Hospes alami parasit dewasa tempat parasit melakukan
reproduksi seksual
Toksoplasmosis pada Hewan
191
Isospora
Suatu genus protozoa famili emiridae, berciri dengan dua
sporosista dalam oosistanya yang telah bersporulasi dan tiap
sporosistanya mengandung empat sporozoit
Merozoit
Sel-sel kecil uninukleus yang terbentuk pada saat skizon
membelah
Mikropil
Lubang kecil pada suatu kulit telur
Mikrogamet
Suatu gemet kecil, bergerak, biasanya memiliki satu atau
lebih flagella, dianggap sebagi sperma atau gamet jantan
Oosista
Parasit
Suatu sista yang dibentuk oleh makrogamet setelah
dimasuki mikrogamet
Suatu organism yang hidup pada atau dalam organism lain
Prevalensi
Tingkat kejadian suatu penyakit
Protozoa
Organisme bersel satu dengan perwujudan sederhana yang
diduga sebagai pendahulu hewan multi seluler
Sista
Suatu stadium siklus hidup protozoa yang tubuhnya
dikelilingi membran yang jelas, biasanya merupakan
stadium istirahat yang relaiitif resisten terhadap perupahan
lingkungan
Skizogoni
192 Toksoplasmosis pada Hewan
Suatu bentuk reproduksi dimana karena inti selnya
berkembang, intinya membelah sedangkan sitoplasmanya
membelah kemudian, sampai perlembangannnya sempurna
Sporosista
Larva trematoda berbentuk kantong dalam hepatopankreas
moluska. Pada stadium sporosista berlangsung perkembang
biakan secara poliembrional
Sporozoit
Bentuk infektif dari sporozoa parasit, berkembang dari
pembelahan zigot
Tropozoit
Suatu siklus hidup protozoa antara sporozoit dan skizon
Vektor
Suatu agen yang menularkan parasit dari suatu hospes ke
hospes lainnya. Vektor dapat bersifat biologis, bila parasit
hidup dan berkembangbiak didalam vektor, atau dapat
bersifat mekanik bila tidak ada perkembangbiakan parasit
didalamnya
Toksoplasmosis pada Hewan
193
194 Toksoplasmosis pada Hewan
INDEKS
A
Abortus 8, 39, 47, 50, 88, 89, 145, 152, 153
Afrika Utara 1, 4
Ajioka 21, 36
Akut 6, 8, 10, 11, 18, 20, 21, 22, 26, 28, 35, 39, 41, 46, 50, 53, 54, 63, 64,
71, 72, 74, 78, 79, 82, 85, 86, 87, 92, 93, 101, 110, 112, 113, 114, 132,
142, 161, 162
Anjing 42, 43, 62, 86, 87, 184
Anthropozoonosis 1, 7
Antibodi 4, 10, 12, 13, 22, 25, 38, 49, 55, 61, 68, 69, 71, 73, 76, 77, 79, 84,
85, 100, 103, 104, 105, 106, 107, 109, 110, 112, 113, 119, 144, 146,
147, 166
Antibodi monoklonal 76
Antigen 12, 33, 34, 36, 61, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 80, 100,
101, 103, 105, 106, 107, 109, 110, 112, 113, 115, 119, 120, 121, 133,
141, 142, 143, 164, 168, 169, 173
Antigen Rekombinan 119
Asai 34
Asimptomatik 57
Toksoplasmosis pada Hewan
195
B
Babi 49, 65
Bacterial Artificial Chromosome 36
Berger 44
Biancifiori 44, 46, 47
Biologi Molekuler 13, 33, 36, 115, 188
Blind Passage 92
Boch 38, 44, 46, 62, 138
Bohne 73, 75, 173
Bradizoit 3, 8, 11, 15, 16, 18, 19, 21, 23, 25, 26, 29, 30, 53, 55, 57, 73, 74,
75, 80, 132, 142, 163
Burg 34, 174
C
Cheng 17, 31, 56, 175
Complement Fixation Test 103, 107, 108
Cornelissen 33, 174
D
Dardee 35
Definitif 4, 5, 6, 8, 9, 11, 28, 30, 37, 87, 88, 137, 145, 158, 191
Desmonts 17, 31, 93, 113, 175, 182
De Souza dan SoutoPadron 70
Diagnosa 11, 12, 49, 81, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 91, 93, 101, 103, 104, 116,
166
Diagnosa klinis 11
Diagnosis molekuler 121
Diare 11, 39, 42, 43, 44, 46, 50, 82, 160
Dihydrofolate Reductase 34
Direct Aglutination 103, 110
Djurkovic-Djakovic 116
DNA 34, 35, 36, 86, 115, 116, 117, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126,
127, 128, 129, 130, 174, 178, 180, 181, 183
Domba 10, 47, 48, 56, 64, 76, 88, 89, 102, 107, 133, 134, 137, 138, 139,
140, 141, 143, 144, 147, 149, 151, 152, 153, 154, 163, 166, 167, 168,
170
Dosis 19, 30, 54, 79, 93, 131, 151, 153, 154, 164, 168
Dubey 2, 11, 16, 17, 30, 31, 39, 42, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 64, 66, 74, 79, 86,
87, 104, 111, 155, 174, 175, 176, 179
196 Toksoplasmosis pada Hewan
Dubey dan Beattie 38, 40, 42, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 63, 79, 104
E
ELISA 12, 13, 73, 76, 85, 103, 105, 106, 112, 114, 119, 121, 144, 178, 184,
185
Endodiogeni 16, 23, 27, 28, 30, 38, 42, 53
Ensefalitis 10, 39, 46, 47, 56, 62, 63, 64, 82, 88
Enzyme Immuno Assay 112
Eritrosit 107, 109
F
Fayer 25
Felidae 5, 9, 20, 22, 27, 28, 37, 68, 145, 176
Feline Immunodeficiency Virus 40, 82
Feses 16, 17, 18, 31, 38, 83, 84, 85, 95, 96, 97, 98, 137, 158
Frenkel 15, 16, 18, 19, 22, 28, 30, 55, 56, 71, 78, 152, 156, 175, 177, 178,
184
G
Gagnon 34
Gametosit 74
Gejala klinis 2, 8, 9, 10, 11, 19, 30, 37, 39, 40, 42, 47, 68, 80, 81, 84, 85, 86,
87, 88, 121, 131, 147, 151, 160
Genom 33, 34
H
Hadman 74
Hati 1, 6, 18, 26, 41, 46, 53, 56, 57, 62, 63, 64, 83, 85, 97, 99, 115, 136
Heidel 40
Hidrosefalus 2, 8, 145
Hospes 2, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 16, 17, 19, 22, 23, 25, 28, 30, 31, 35, 37,
38, 42, 48, 55, 57, 67, 69, 70, 71, 72, 73, 76, 79, 81, 83, 87, 88, 104,
115, 132, 137, 140, 143, 145, 153, 155, 156, 158, 166, 191, 193
Hughes 70, 72, 178
Hughes dan Knapen 70
I
IgG 12, 84, 85, 86, 93, 103, 104, 105, 109, 113, 114, 183
IgM 12, 84, 85, 86, 93, 103, 105, 109, 110, 112, 113, 114, 118, 183
IgM – ISAGA 112
Imun 12, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 76, 78, 79, 87, 118, 141, 142, 144
Toksoplasmosis pada Hewan
197
Imunohistokimia 61, 100
Imunologi 67
Indirect Fluorescent Antibody Test 105
Indirect Hemaglutination 109
Infeksi 2, 8, 10, 11, 21, 38, 39, 41, 42, 44, 47, 48, 49, 53, 54, 55, 56, 57, 61,
78, 79, 82, 87, 113, 138, 147, 155, 184
Inflamasi 159
Irwin 67, 71, 178
Isolat 12, 76, 77, 131, 141, 168, 184
K
Kanguru 157
Kasper dan Ware 74
Kongenital 1, 2, 7, 8, 47, 50, 57, 78, 91, 110, 116, 118, 119, 145, 147
Krahenbuhl dan Remington 20, 22
Kronis 8, 10, 11, 18, 23, 25, 26, 35, 39, 41, 53, 56, 57, 62, 64, 73, 74, 75,
132, 142
Kucing v, vi, 2, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 15, 16, 17, 18, 20, 22, 26, 27, 28, 31, 37,
38, 39, 40, 41, 42, 44, 62, 68, 73, 79, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 90, 91,
95, 97, 98, 111, 131, 137, 138, 139, 145, 147, 148, 150, 151, 152, 153,
158, 160, 161, 163, 164
L
Lappin 19, 22, 30, 37, 55, 73, 179
Latex Aglutination 103, 109
Levine 2, 4, 6, 18, 48, 179
Limfa 1, 46, 49, 62, 63, 65, 92, 131
Loop-Mediated Isothermal Amplification 121
Lunde dan Jacobs 74
Lynx 5
M
Makrofag 56, 57, 67, 68, 69, 70, 72, 73, 74, 75, 76, 79, 80
Mamalia 2, 3, 4, 10, 67, 121, 143, 148, 155, 156, 157
Marques dan Dacosta 11
meron 3, 6
Merozoit 3, 6, 16, 28, 30, 70
Methylen Blue Dye Test 111
Metode vi, 12, 13, 49, 61, 76, 85, 91, 95, 96, 100, 104, 106, 113, 115, 116,
118, 119, 122, 124, 125, 127, 133, 139, 140, 141, 143, 144, 161, 169,
198 Toksoplasmosis pada Hewan
170, 172
Migliore 43, 86, 87, 180
Mikrogamet 17, 31, 192
Miokarditis 39, 46, 62, 63, 82
Montoya dan Liensenfeld 116
N
Nagel 34, 180
Natif 96
Nekrosis 46, 56, 57, 62, 63, 64, 65, 86, 89, 136
Nelson dan Couto 83
Neva dan Brown 15, 16, 30
Nicolle dan Mancaeux 1
Nurcahyo iii, 8, 47, 88, 115, 117, 120, 148, 181, 182, 188, 189
Nurse dan Lenghaus 47, 64
O
Oosista 1, 2, 3, 4, 7, 8, 9, 10, 11, 15, 16, 17, 18, 20, 22, 25, 26, 27, 28, 30, 31,
37, 38, 39, 42, 44, 46, 47, 49, 54, 79, 82, 83, 84, 85, 91, 95, 97, 98, 99,
118, 137, 138, 145, 147, 148, 152, 153, 155, 156, 157, 161, 163, 192
Otak 23, 25, 38, 43, 44, 55, 56, 57, 62, 64, 65, 83, 89, 91, 92, 131, 151, 157,
159
P
Parasit v, 1, 2, 4, 7, 10, 11, 12, 17, 18, 22, 24, 26, 28, 31, 34, 35, 36, 38, 41,
42, 47, 48, 49, 50, 53, 55, 65, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 78,
79, 80, 83, 84, 85, 91, 92, 93, 96, 99, 104, 107, 110, 111, 115, 116,
118, 121, 131, 136, 143, 149, 150, 151, 153, 156, 178, 181, 184, 188,
191, 192, 193
Parasitemia 18, 19, 26, 30, 35, 47
Paru-paru 6, 18, 26, 41, 53, 56, 57, 62, 63, 64, 85, 157
PCR 34, 35, 115, 116, 117, 118, 119, 121, 130, 144, 157, 161, 176
Pelaporan 150
Pencegahan 148
Pengobatan 151
Penularan 1, 138, 145, 147
Perantara 4
Perivascular Cuffing 65
Pinkerton dan Weinmann 2
Polymerase Chain Reaction 115, 116
Toksoplasmosis pada Hewan
199
Protozoa 1, 7, 18, 67, 68, 71, 99, 157, 178, 184, 189, 191, 192, 193
R
Remington dan Cavanaugh 23, 55
Restriction Fragment Long Polymorphisme 35
Rinder 35, 73, 183
Robert-Gangneux dan Dardé 9
Roberts dan Janovy 116
Rommel 10, 26, 38, 79, 146, 153, 177, 183
Roos 34, 183
S
Sabin Fieldman Test 103, 104
Sampel 38, 61, 82, 83, 84, 85, 100, 103, 105, 107, 109, 110, 111, 112, 113,
116, 117, 119, 128, 139, 144, 151, 157, 160, 161, 163, 168
Sapi 48, 49, 56, 65, 104, 140, 147
Satwa liar 155
Schnieder 39, 183
Sentrifuse 96, 108
Serologis 12, 42, 44, 62, 83, 85, 86, 88, 93, 103, 118, 120, 121, 133, 139,
140, 141, 143, 144, 147, 148, 155, 161, 169, 170
Serum 12, 68, 71, 73, 76, 77, 79, 85, 86, 93, 103, 104, 105, 107, 110, 111,
112, 113, 119, 169
Sharma 72, 74, 79, 174, 183
Sibley dan Boothroyd 33
Skin Test 102, 134, 135, 140
Skizogoni 15, 17, 28, 30, 38
Skizon 74, 192, 193
Soldati dan Boothroyd 36
Soulsby 1, 3, 7, 11, 17, 18, 23, 25, 26, 28, 31, 49, 56, 57, 64, 81, 91, 92, 105,
107, 111, 136, 152, 184
Splendore 1, 184
Sporogoni 15, 27
Sporosista 3, 10, 15, 17, 18, 31, 38, 146, 192, 193
Sporozoit 3, 10, 15, 16, 17, 18, 28, 30, 31, 38, 42, 74, 192, 193
Sri Hartati 76, 184
T
Takizoit 3, 8, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 26, 29, 31, 34, 53, 54, 55, 56, 57, 67,
68, 73, 74, 75, 76, 79, 85, 86, 101, 104, 111, 131, 136, 139, 142, 153,
200 Toksoplasmosis pada Hewan
165, 167, 168
T. gondii 3, 4, 5, 6, 9, 18, 26, 41, 42, 48, 50, 54, 55, 56, 57, 61, 75, 76, 84, 86,
101, 103, 104, 110, 116, 147, 156, 157, 159, 161, 174, 175, 180
Tizard 68, 69, 71, 72, 76, 185
Toksoplasma 7, 21, 33, 44, 48, 67, 69, 70, 74, 76, 80, 82, 83, 89, 101, 104,
131, 132, 133, 134, 137, 149, 150, 155, 156, 157, 163
Toksoplasmosis v, vi, 1, 7, 10, 38, 41, 44, 65, 78, 84, 91, 103, 111, 134, 141,
143, 145, 155, 157, 168, 169, 170, 177, 182
Toxoplasma gondii 1, 2, 3, 6, 7, 10, 11, 17, 19, 23, 25, 27, 28, 29, 31, 33, 34,
35, 38, 42, 45, 48, 56, 61, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 86, 88, 112, 115,
131, 134, 135, 140, 141, 143, 146, 157, 159, 161, 167, 168, 169, 173,
174, 175, 176, 178, 179, 180, 183, 184, 185, 186
Transplasental 8
Trofozoit 16, 30, 70
U
Unggas 8, 44, 63, 87, 143
Uveitis 41
V
Vaksinasi 153
W
Ware dan Kasper 80
Werk 22, 55, 69, 185
Westernblot 72, 74, 121
Wilson 12, 103, 105, 107, 109, 110, 111, 112, 185
Wolf 2
Y
Yogyakarta vi, 82, 139, 140, 141, 142, 143, 162, 178, 179, 181, 182, 184,
187
Z
Zoonosis 7, 9, 176
Toksoplasmosis pada Hewan
201
202 Toksoplasmosis pada Hewan