Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...
Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...
Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
BAB <strong>II</strong><br />
TINJAUAN PUSTAKA<br />
2.1. Emisi CO2 pada Sistem Perumahan Perkotaan<br />
Pengendalian emisi CO2 pada skala perkotaan, regional dan nasional menjadi<br />
tujuan penting dalam dekade terakhir ini untuk mengurangi emisi karbon yang<br />
berdampak pada kenaikan iklim global. Dalam upaya pengendalian tersebut maka<br />
pemahaman yang lebih baik tentang emisi karbon dalam berbagai skala<br />
geographis menjadi prasyarat penting dalam usaha mengelola emisi CO2 di udara.<br />
Dalam skala kota ini berarti bahwa pemahaman komprehensif atas penggunaan<br />
energi di perkotaan dan emisi CO2, dan lebih jauh pemahaman mendalam atas 2<br />
(dua) sektor terbesar yaitu; lingkungan binaan (bangunan-bangunan termasuk<br />
perumahan) dan transportasi serta perlunya dilakukan intervensi teknologi dan<br />
perubahan gaya hidup akan menyumbang pengurangan emisi CO2 (Astuti, 2005;<br />
Bhattachayya, 2010; Herawati, 2010). Beberapa literatur meyakini bahwa emisi<br />
CO2 secara langsung di perkotaan adalah sangat penting akan tetapi emisi<br />
tersembunyi yang berasal dari sektor-sektor jasa dan barang adalah juga perlu<br />
dicermati serius karena kawasan perkotaan adalah tempat bertumbuh dan<br />
berkembangnya berbagai gaya hidup yang melahirkan emisi karbon (Hartfield,<br />
2000; Firth dan Lomas, 2009).<br />
Karbon dioksida (CO2) adalah suatu gas penting dan dalam kadar yang<br />
normal sangat bermanfaat dalam melindungi kehidupan manusia di bumi.<br />
Komposisi ideal dari CO2 dalam udara bersih seharusnya adalah 314 ppm<br />
sehingga jumlah yang berlebihan di atmosfer bumi akan mencemari udara serta<br />
15<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
menimbulkan efek gas rumah kaca – GRK (Kirby, 2008). Emisi CO2 berasal dari<br />
pembakaran bahan bakar fosil merupakan penyebab terbesar sekitar 50% dari efek<br />
GRK (Puslitbangkim, 2005). Umumnya, pencemaran yang diakibatkan oleh emisi<br />
CO2 bersumber dari 2 (dua) kegiatan yaitu; alam (natural), dan manusia<br />
(antropogenik) seperti emisi CO2 yang berasal dari transportasi, sampah, dan<br />
konsumsi energi listrik rumah tangga. Emisi CO2 yang dihasilkan dari kegiatan<br />
manusia (antropogenik) konsentrasinya relatif lebih tinggi sehingga mengganggu<br />
sistem kesetimbangan di udara dan pada akhirnya merusak lingkungan dan<br />
kesejahteraan manusia (Yoshinori, et al., 2009)<br />
Kebutuhan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang banyak terpusat<br />
di daerah perkotaan di Indonesia, telah menyebabkan naiknya populasi penduduk<br />
perkotaan (Budihardjo, 2006). Kenaikan ini selanjutnya meningkatkan<br />
penggunaan bahan bakar fosil, sumber timbulan emisi CO2 ke udara. Aktifitas<br />
penduduk perkotaan ini menyebabkan konsentrasi gas buang seperti CO2 makin<br />
bertambah dalam udara ( Wackernagel, N. dan Ress, W. E., 1996). Sumber gas<br />
buang atau emisi CO2 di daerah perkotaan ini terkait dengan beragam fungsi<br />
bangunan dan aktifitas transportasi (Astuti, 2005). Sementara, sumber emisi CO2<br />
pada perumahan ataupun pemukiman adalah berasal dari konsumsi energi akibat<br />
proses pembangunan perumahan yaitu; mulai dari pabrikasi bahan bangunan,<br />
konstruksi bangunan, penggunaan energi dari aktifitas domestik, sampai dengan<br />
demosili pasca hunian. Oleh karena itu, untuk mengetahui besaran emisi CO2 dari<br />
penyelenggaraan perumahan perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi<br />
setiap tahapan dalam proses pembangunan perumahan (Zubaidah, 2005).<br />
16<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Sejak tahun 1990 konsentrasi CO2 telah meningkat menjadi 350 ppm naik<br />
sebesar 63 ppm dari tingkat yang ada di tahun 1850 sebesar 290 ppm. Apabila<br />
digunakan asumsi konsumsi dan pertumbuhan ekonomi sama seperti saat ini maka<br />
diperkirakan pada tahun 2100 konsentrasi CO2 adalah sekitar 580 ppm.<br />
Industrialisasi dan urbanisasi disertai dengan gaya hidup berbagai kegiatan<br />
perkotaan manusia modern telah mempercepat kenaikan timbulan emisi CO2 di<br />
atmosfer. Pada dasarnya, penyumbang terbesar emisi CO2 perkotaan modern<br />
adalah berasal dari bahan bakar fosil yaitu dari penggunaan; pembangkit listrik,<br />
kendaraan, serta akitifitas pembakaran hutan melalui konversi lahan terutama di<br />
daerah tropis. Data tahun 1989 menunjukkan sekitar 71 persen sampai dengan 89<br />
persen dari keseluruhan perkiraan emisi CO2 sebesar 5,8 juta ton sampai 8,7 juta<br />
ton berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, sementara antara 10 persen sampai<br />
28 persen bersumber dari pembakaran hutan (Puslitbangkim, 2006).<br />
Di Indonesia, emisi CO2 dari sektor rumah tangga, tidak termasuk kendaraan<br />
pribadi, memberi sumbangan sebesar 11% dari keseluruhan emisi nasional<br />
(Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2002). Ini belum termasuk emisi<br />
tidak langsung dari konsumsi energi listrik pada rumah tangga sebesar 38,6% dari<br />
konsumsi energi listrik nasional seperti tampak pada gambar 2.1. Penelitian di<br />
Kampung Naga menunjukkan bahwa upaya pengurangan emisi CO2 melalui<br />
konstruksi rumah berkaitan langsung dengan perilaku kehidupan masyarakat<br />
perumahan melalui aturan yang mengatur tahap pembangunan rumah, sumber<br />
material bangunan, pembatasan penggunaan lahan, kendaraan dan peralatan yang<br />
digunakan dalam proses konstruksi (Dewi, I.K. dan Sudjono, P. 2007). Akan<br />
tetapi, pada penyelenggaran perumahan perkotaan modern, timbulan emisi CO2<br />
17<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
di udara dapat dikendalikan sejak dari proses pra-konstruksi, konstruksi, hingga<br />
aktifitas pasca-konstruksi terutama melalui konsumsi energi listrik dan bahan<br />
bakar dari keperluan rumah tangga (Priemus, 2005; Suhedi, 2007).<br />
Juta Ton<br />
250<br />
200<br />
150<br />
100<br />
50<br />
0<br />
Emisi CO2 Nasional<br />
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000<br />
Pembangkit Listrik Rumah Tangga & Komersial Industri Transportasi Lainnya<br />
Gambar 2.1 Grafik emisi CO2 Nasional<br />
Sumber: Deptambem ESDM, 2002<br />
Besarnya timbulan emisi CO2 yang bersumber dari energi akibat aktifitas<br />
domestik dalam rumah tangga sangat berkaitan erat dengan gaya hidup, budaya,<br />
pola kehidupan di rumah masing-masing individu ataupun kelompok masyarakat.<br />
Lebih jauh juga, emisi karbon yang berasal dari konsumsi energi rumah tangga<br />
atas penggunaan bahan bakar organik (fosil) dan listrik erat berhubungan dengan<br />
tingkat penghasilan masyarakat (Bhattacharyya dan Ghoshal, 2010). Selain itu,<br />
berbagai aktifitas rumah tangga lainnya seperti membersihkan rumah serta cuci<br />
setrika secara kumulatif ikut pula memberi kontribusi bagi besarnya emisi karbon<br />
dari penyelenggaraan perumahan. Protokol Kyoto 1997 menekankan perlunya<br />
pengurangan emisi sebesar 5,2 persen sebelum tahun 2012 dari tingkat emisi pada<br />
18<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
tahun 1990. Sementara, perkiraan emisi CO2 tahun 1990 adalah 105,7 juta ton<br />
dimana sebesar 23 persen berasal dari pembangkit energi dan 16 persen dari<br />
penyelenggaraan perumahan atau sektor rumah tangga.<br />
Emisi CO2 pada penyelenggaraan perumahan sederhana perkotaan<br />
dihasilkan mulai dari proses pembuatan bahan bangunan dan transportasi bahan<br />
bangunan, penggunaan peralatan selama proses konstruksi sampai dengan<br />
aktifitas rumah tangga ketika rumah dihuni (Yudhi, C.O. dan Sudjono, P. 2007).<br />
Oleh karena itu komponen sistem perancangan rumah dapat mempengaruhi<br />
peningkatan timbulan karbon apabila terjadi aktifitas perbaikan, perubahan,<br />
maupun penambahan luasan bangunan rumah. Selain itu, berbagai kegiatan<br />
pemanfaatan fungsi ruang di dalam rumah melalui pengkondisian ruang baik<br />
berupa udara maupun cahaya turut juga memberi dampak pada peningkatan emisi<br />
CO2.<br />
Beberapa pendekatan pada penyelenggaraan perumahan berkelanjutan<br />
perkotaan telah dikembangkan untuk mengurangi timbulan emisi karbon di udara.<br />
Hal ini dilakukan dengan misalnya, pertama adalah hemat bahan bangunan yang<br />
diarahkan kepada terbentuknya masyarakat “Zero-Emmission” melalui daur ulang<br />
material dan bangunan-bangunan tahan lama, atau kedua hemat energi melalui<br />
perbaikan sistem bahan dan konstruksi bangunan, dan ketiga adalah melalui<br />
optimalisasi sistem jaringan lalulintas perkotaan (Kobayashi, 2010).<br />
2.2. Kota Berkelanjutan<br />
Kota berkelanjutan berkaitan erat dengan kemampuan dari suatu kota<br />
bertahan hidup serta tumbuh dan berkembang sejalan dengan populasi penduduk<br />
yang terus bertambah akibat urbanisasi (Bugliarello, 1999). Pengertian ini erat<br />
19<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
hubungannya dengan pengaruh dari suatu kota terhadap bagian dunia yang lain<br />
dan secara diagramatis diilustrasikan pada gambar 2.2 sebagai perpotongan antara<br />
urbanisasi dengan dunia berkelanjutan. Biasanya, kemampuan suatu kota bertahan<br />
hidup dan memberi kesejahteraan pada penduduknya dalam jangka waktu cukup<br />
lama melibatkan berbagai faktor: ekonomi suatu kota; ketersediaan lapangan<br />
kerja, perumahan dan berbagai sektor jasa; kesejahteraan dan daya tarik dari<br />
lingkungan kota; ketersediaan sumber-sumber air, bahan-bahan pokok, energi;<br />
demikian juga tentu ruang-ruang yang memberi peluang terjadinya pertumbuhan<br />
(Siregar, Doli, 2004; Budihardjo, 2006).<br />
Ada 3 (tiga) tantangan utama yang dihadapi setiap kota agar dapat menjadi<br />
suatu kota berkelanjutan (Shireman, 1992, Thinh et al., 2002):<br />
1. teknis: menemukan sumber-sumber air, menggali dan menciptakan<br />
tempat-tempat penimbunan limbah/sampah, mengatasi keterbatasan lahan<br />
kota dengan menyediakan lahan untuk pengembangan.<br />
2. sosio-ekonomi: menyediakan lapangan kerja, perumahan, jasa-jasa bagi<br />
orang tidak mampu, menghubungkan sistem transportasi dan tata guna<br />
lahan, membuat kebijakan-kebijakan yang efektif bagi mendorong<br />
pembangunan.<br />
3. biological sphere: dampak dari kehidupan kota terhadap warga kota –<br />
dampak jadwal kerja dengan jarak antara hunian dan tempat kerja baik<br />
dari segi waktu dan jadwal makan, berkurangnya aktifitas fisik berkaitan<br />
dengan transportasi dengan kendaraan motor, makanan cepat saji,<br />
penyakit jantung dan obesitas, dampak tingkat kebisingan dengan<br />
gangguan pendengaran.<br />
20<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Gambar 2.2 Kota berkelanjutan sebagai perpotongan dari dua phenomena<br />
Sumber: Bugliarello, 2006.<br />
Selanjutnya, Bugliarello (2006) mengembangkan 2 (dua) paradigma untuk<br />
memahami dan menghadapi tantangan-tantangan diatas serta seluruh dilema yang<br />
terjadi.<br />
a. Paradigma kota sebagai konsentrator<br />
Kota adalah sebagai pusat tempat berkumpulnya (konsentrator) populasi,<br />
sumber daya (manusia, material, tata guna lahan, air, dan energi), informasi,<br />
ekonomi dan peluang-peluang; demikian juga polusi, disfungsionalitas mulai dari<br />
kemacetan lalulintas sampai ke kriminal. Lebih jauh, kota kontemporer juga<br />
sering disebut sebagai pusat informasi yaitu; melalui jaringan keberadaaan<br />
universitas-universitas, kompleks-kompleks perkantoran, perpustakaan, bank-<br />
bank data, transmisi telekomunikasi, jaringan pos, dan komunikasi antar individu<br />
yang dilakukan di kota. Beberapa keuntungan dari kota konsentrator adalah:<br />
1. sebagai tempat bagi percampuran beragam genetika.<br />
2. sebagai tempat penggunaan energi efisien akibat penggunaan<br />
transportasi publik.<br />
21<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
3. sebagai tempat penggunaan lahan yang minimal akibat tidak ada sub-<br />
sub pusat kota.<br />
4. sebagai tempat penggunaan materi optimal karena perumahan<br />
menyediakan beragam kebutuhan ekonomi.<br />
5. sebagai tempat penggunaan air minimal karena rumah-rumah pribadi<br />
memiliki halaman tidak luas.<br />
b. Paradigma Biosoma (Biologi, sosial, mesin)<br />
Paradigma ini menekankan kompleksitas alami yang dimiliki suatu kota, yang<br />
melibatkan komponen-komponen; biologi, sosial dan mesin yang saling berkaitan<br />
di dalam lingkungan kota seperti tampak pada gambar 2.3. Paradigma ini melihat<br />
kota sebagai suatu entitas Biologi - Sosial - Mesin. Komponen biologi adalah<br />
manusia, dan spesies-spesies lainnya, yang secara bersama akan menghadirkan<br />
keseimbangan bagi keduanya. Keseimbangan ini selanjutnya memberi arti bagi<br />
keberlanjutan kehidupan seperti misalnya kesenangan manusia atas tumbuhan,<br />
burung-burung, dan binatang peliharaan. Komponen sosial termasuk organisasi-<br />
organisasi, pemerintah kota, kelompok-kelompok etnis dan informal, keluarga dan<br />
lain lain. Komponen mesin termasuk artefak-artefak, mulai dari infrastruktur<br />
hingga perumahan, dari industri sampai kendaraan-kendaraan, komputer sampai<br />
ke pakaian. Sedangkan lingkungan adalah termasuk udara, air, dan tanah. Semua<br />
perbedaan kapabilitas dari komponen-komponen biosoma menawarkan beragam<br />
kemungkinan dalam penanganan tantangan-tantangan kota berkelanjutan.<br />
22<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Bio So Ma<br />
Manusia<br />
Spesies<br />
lainnya<br />
SO BIO MA<br />
Organisasi-organisasi:<br />
Pemerintah<br />
Bisnis<br />
Kesehatan<br />
Keluarga<br />
Agama<br />
Budaya<br />
Gambar 2.3 Komponen-komponen bio-so-ma<br />
Sumber: Bugliarello, 2006.<br />
Perumahan<br />
Infrastruktur<br />
Transportasi<br />
Listrik, air, telepon<br />
...........<br />
Dlsbnya<br />
Kedua paradigma dimaksud, yaitu “konsentrator” dan “biosoma”<br />
melahirkan pertanyaan tentang masa depan kota-kota dunia seperti; bagaimana<br />
konsekuensi-konsekuensi bio-sosial dari konsentrator. Semakin besar peran kota<br />
sebagai konsentrator, semakin penting untuk diperhatikan tentang dampaknya<br />
terhadap alam dan kehidupan yang berkelanjutan. Apakah, misalnya peran<br />
konsentrator yang ekstrim dari suatu kota akan mempengaruhi keseimbangan bio-<br />
sosial seperti misalnya, individualitas. Apakah tingginya tingkat efisiensi<br />
penggunaan energi suatu kota konsentrator, misalnya karena transportasi massal,<br />
bangunan tinggi, rumah ramah lingkungan, ruang terbuka hijau, menjadi faktor<br />
23<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
penting dalam usaha mengurangi efek gas rumah kaca (GRK) yang berasal dari<br />
emisi CO2 dan pemanasan global?<br />
2.3. Ekosistem Kota<br />
Usaha-usaha untuk memahami interaksi antara pengembangan suatu kota<br />
dan perubahan lingkungan melahirkan konsep model kota sebagai suatu<br />
ekosistem, yang mana didalamnya termasuk alam dan manusia, dalam konteks<br />
lingkungan binaan manusia (Douglas, 1983; Odum, 1997) . Ahli lingkungan<br />
menggambarkan kota adalah sebagai “heterotrophik ekosistem”. Heterotrophik<br />
ekosistem adalah ekosistem dimana kebutuhan-kebutuhan energi dan kebutuhan-<br />
kebutuhan makanannya sangat tergantung dari daerah diluar batas-batasnya (Firth,<br />
2008). Ekosistem kota terdiri dari beberapa sub-sistem yang saling terkait baik –<br />
sosial, ekonomi, kelembagaan, lingkungan. Setiap sub-sistim memiliki sistem<br />
yang kompleks serta mempengaruhi sub-sistem lain secara struktural dan<br />
fungsional di berbagai tingkatan.<br />
Beberapa faktor yang menambah kompleksitas sistem antara lain; pertama,<br />
dampak proses industri kontemporter dimana banyak jenis material yang<br />
digunakan belum diketahui apakah berbahaya. Sering terjadi yang dulu dianggap<br />
punya nilai lingkungan baik ternyata merusak lingkungan. Kedua, kota-kota<br />
dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat menghadapi transisi sosial, ekonomi<br />
dan budaya, sudah tentu pula menghadirkan tantangan lingkungan bagi<br />
masyarakat pendapatan rendah, menengah, tinggi secara bersamaan. Ketiga,<br />
ketika tuntutan desentralisasi dipacu untuk tujuan memindahkan tanggung jawab<br />
penanganan lingkungan kota dari pusat ke daerah, dalam banyak kasus tidak<br />
disertai dengan penyerahan kemampuan keuangan kepada pemerintah daerah.<br />
24<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Situasi ini, memaksa pemerintah daerah secara keliru mencari dana dari sektor<br />
swasta dengan privatisasi menangani utilitas kota. Keempat, lebih banyak pihak<br />
terlibat atau berkeinginan untuk dilibatkan, menciptakan situasi politik yang<br />
kompleks dalam pembuatan keputusan pengembangan lingkungan kota. Ini<br />
termasuk, misalnya, pemangku kepentingan lokal dan perusahaan utilitas asing<br />
yang menawarkan jasa untuk pengadaan infrastruktur kota (UNU/IAS Report,<br />
2003).<br />
Pengembangan suatu kota sangat menentukan struktur dari ekosistem kota<br />
dan secara signifikan akan mempengaruhi fungsi ekosistem alam melalui<br />
(UNU/IAS Report, 2003):<br />
(a) konversi lahan dan transformasi bentang alam;<br />
(b) pemanfaatan sumber daya alam;<br />
(c) pelepasan gas-gas emisi dan sampah-sampah.<br />
(d) penyediaan berbagai jasa penting bagi populasi manusia di kota.<br />
(e) perubahan lingkungan; skala lokal, regional dan global – seperti<br />
kontaminasi pada daerah tangkapan air, hilangnya keaneka-ragaman<br />
hayati, dan perubahan iklim yang mempengaruhi kesehatan dan<br />
kesejahteraan manusia.<br />
(f) strategi pengelolaan.<br />
Beberapa aktifitas mungkin memiliki dampak lingkungan dominan pada<br />
bagian kecil kota, lainnya mempengaruhi ekosistem dengan skala sangat luas<br />
ukurannya (McGranahan et al., 2001). Ada terdapat 3 (tiga) kategori umum<br />
dengan skala geografi berbeda menggambarkan ekosistem kota berkaitan dengan<br />
25<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
aktifitas kota dan hubungannya dengan faktor-faktor sosial dan faktor-faktor bio-<br />
fisik:<br />
1. Ekosistem-ekosistem kota: cakupan fokusnya pada: taman-taman kota,<br />
”wildlife” pada taman kota, pertanian kota, perumahan (Fitpatrick, 2000;<br />
LaGory, 2000).<br />
2. Kota sebagai ekosistem: melihat kota sebagai konsumer dan pengguna<br />
sumber daya serta sekaligus penghasil produk limbah. Kota dipandang<br />
sebagai organisma yang memiliki proses metabolis dengan input-output<br />
yang dapat diukur, dan informasi ini sangat penting untuk membuat<br />
kebijakan-kebijakan ekonomi publik misalnya; mengatasi kekurangan air,<br />
polusi udara dan lain-lain ( Wolman, 1965).<br />
3. Kota-kota didalam Ekosistem Regional dan Global: Pertengahan tahun<br />
1980 kota-kota secara cepat terhubungkan satu sama lain melalui: aliran<br />
barang-barang, jasa-jasa, investasi, keuangan, manusia dan pengetahuan.<br />
Pada saat bersamaan kota-kota dunia adalah juga dipengaruhi dan cepat<br />
mempengaruhi ekosistem dimana-mana dengan skala yang besar (Sassen,<br />
1991).<br />
Ketiga kategori ekosistem kota diatas digunakan sebagai awal bagi<br />
pembentukan kerangka kerja untuk menganalisa isu-isu lingkungan kota. Dari<br />
tabel 2.1 dikembangkan untuk membantu membatasi satu aspek penting tentang<br />
bagaimana penelitian tentang ekosistem kota dapat dilaksanakan. Dari tabel dapat<br />
ditentukan parameter-parameter yang membentuk dasar bagi pengujian dengan<br />
membagi berbagai skala dampak aktifitas kota pada tingkat sosial dan ekonomi<br />
yang berbeda. Selanjutnya, tabel menggunakan “Driving-Force-Pressure-State-<br />
26<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Impact-Response” (DPSIR) framework, yang memberi secara menyeluruh<br />
mekanisma untuk menganalisa masalah-masalah lingkungan, dan membantu<br />
mengorganisasikan data serta menyeleksi indikator-indikator (UNU/IAS Report,<br />
2003).<br />
Sistem Manusia<br />
Manusia adalah merupakan penggerak sangat menentukan dalam dinamika<br />
ekosistem kota. Gaya penggerak utama manusia adalah demographi, organisasi<br />
sosial-ekonomi, struktur politik dan teknologi. Perilaku manusia yang menjadi<br />
dasar bertindak bagi gaya pergerak tersebut secara langsung mempengaruhi<br />
penggunaan tanah dan kebutuhan dan penyediaan berbagai sumber daya (Turner,<br />
et al., 1985).<br />
Tabel 2.1 Kerangka kerja mempelajari skala gangguan lingkungan kota<br />
D = Driving Forces: industri dan sistem transportasi; P = Pressures of the<br />
environment: polusi; S = State of the Environment: kualitas dari udara, air dan tanah;<br />
I = Impacts: semua polusi terjadi pada kesehatan manusia dan ekosistem; R =<br />
Responses: berbagai kebijakan mengurangi dampak-dampak lingkungan di atas.<br />
Sumber:UNU/IAS Report, May 2003.<br />
Dalam konteks perumahan kota, gaya ini secara bersama mempengaruhi<br />
distribusi ruang sebagai akibat dari berbagai aktifitas yang terjadi, akhirnya<br />
27<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
melahirkan heterogenitas ruang karena adanya proses-proses alami dan<br />
kerusakan-kerusakan. Oleh karena itu, jelaslah sangat tidak mungkin membuat<br />
model ekosistem perumahan tanpa mengikutsertakan manusia didalamnya. Akan<br />
tetapi, sekedar hanya mengikutkan manusia saja dalam ekosistem tanpa<br />
memperlihatkan fungsi sosial dan ekologis manusia adalah juga percuma<br />
(Openshaw, 1995).<br />
Menyajikan peran manusia dan institusi-institusinya dalam model-model<br />
ekosistem kota akan menjadi langkah penting menuju penyajian dimensi manusia<br />
yang lebih realistis dalam perubahan lingkungan. Banyak dampak manusia dalam<br />
lingkungan fisik diwakili institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang<br />
mengendalikan dan mengatur aktifitas-aktifitas manusia. Manusia mampu secara<br />
sadar menyesuaikan dirinya dan selanjutnya mengubah aturan-aturan yang ada,<br />
misalnya merestruktur bahan-bahan dan mengubah aliran energi (Lynch, 1981).<br />
Sistem alam<br />
Kekuatan-kekuatan lingkungan – seperti iklim, hidrologi, muka tanah,<br />
adalah pengendali sistem-sistem kota. Lebih jauh, gangguan alam seperti; badai,<br />
banjir, longsor dapat mengakibatkan kekacauan dalam sistem-sistem sosial. Akan<br />
tetapi, kebanyakan model dari sistem manusia secara mudah mengabaikan<br />
kekuatan-kekuatan lingkungan. Gambar 2.4 memperlihatkan dinamika dari<br />
heterogenitas ruang dan pengaruh berbagai faktor-faktor sosial dan lingkungan<br />
dalam pola-pola ruang pada siklus dan perubahan dari sumber daya daya penting<br />
baik fisik maupun sosial seperti; energi, nutrisi, informasi, organisasi, modal,<br />
budaya, kepercayaan, bahan-bahan organik dan non-organik. Selanjutnya, dapat<br />
ditentukan, diklasifikasi, dan dianalisa interaksi pengaruh-pengaruh sosial, budaya<br />
28<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
dalam pengembangan kawasan kota sehingga dapat dipahami dinamika ekosistem<br />
kota melalui penelusuran ekosistem manusia secara terpadu (Grove, Burch, 1997).<br />
Gambar 2.4 Konsep kerja ekosistem kota<br />
Sumber: UNU/IAS Report, May 2003<br />
2.4. Sistem Perumahan Perkotaan di Indonesia<br />
Berbagai literatur kebijakan publik sektor perumahan selalu mengalami<br />
kesulitan dalam merumuskan permasalahan penyelenggaraan perumahan secara<br />
tepat dan akurat agar dapat menghasilkan kebijakan yang efektif dan efisien<br />
(Priemus, H., 2005). Kesulitan ini akan tampak jelas manakala penyelenggaraan<br />
perumahan perkotaan ditempatkan sebagai suatu rangkaian proses yang saling<br />
kait-mengkait dan sekaligus juga produk yang sangat ditentukan oleh berbagai<br />
bentuk kebijakan publik yang ada diberbagai sektor seperti; pertanahan,<br />
pembiayaan, infrastruktur, perindustrian dan perdagangan, industri konstruksi,<br />
lingkungan, kesehatan, pemerintah pusat dan lain sebagainya. Lebih jauh,<br />
perumahan juga adalah merupakan komoditas properti yang memiliki perilaku<br />
pasar tertentu sehingga dalam aspek tertentu, setiap kebijakan perumahan adalah<br />
29<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
merupakan kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi pasar perumahan<br />
(Simanungkalit, 2009). Oleh karena itu, apabila melihat kompleksitas<br />
penyelenggaraan perumahan maka jelaslah diperlukan suatu perangkat sistem<br />
yang dapat digunakan sebagai kerangka analisis yang komprehensif yang dapat<br />
digunakan dalam memahami akibat-akibat dan bentuk-bentuk interaksi dari<br />
berbagai sektor dalam proses pembuatan kebijakan sektor perumahan (Adib,<br />
2007).<br />
Secara umum kebijakan penyelenggaraan perumahan dapat dibagi dalam<br />
tiga kelompok kategori kebijakan publik. Kategori pertama adalah termasuk<br />
dalam kelompok kebijakan masukan (input) dalam proses seperti; pertanahan,<br />
infrastruktur, perhubungan, tata ruang, pengembangan kawasan dan pembiayaan.<br />
Kategori kedua adalah merupakan kelompok kebijakan keluaran (output) dalam<br />
proses, dimana melalui arah pembangunan dari sektor-sektor tertentu kebijakan<br />
perumahan dapat dikembangkan seperti; perindustrian, perkotaan, pengembangan<br />
kawasan khusus, pertanian dan pedesaan, kelautan dan perikanan,<br />
ketenagakerjaan, pembangunan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Kategori<br />
ketiga adalah kelompok kebijakan pendukung seperti lingkungan hidup,<br />
kesehatan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya (Siregar, 2008). Oleh karena<br />
itu, pilihan bagi setiap bentuk kebijakan penyelenggaraan perumahan yang efektif<br />
dan efisien tentu haruslah mampu menggerakkan ketiga kategori kebijakan<br />
tersebut secara bersamaan.<br />
Sistem perumahan perkotaan di Indonesia tidak lepas dari perkembangan<br />
yang terjadi di masyarakat dan juga kebijakan perumahan yang dibuat pemerintah<br />
dari masa ke masa. Sejalan dengan hal tersebut maka sistem perumahan perkotaan<br />
30<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
tidak dapat ditinjau sebagai masalah fungsional dan fisik bangunan semata, tetapi<br />
lebih jauh berkaitan erat dengan beragam dimensi kehidupan seperti sosial,<br />
ekonomi, budaya, teknologi, ekologi maupun politik (Syahrin, 2003). Oleh karena<br />
itu, apabila kebijakan penyelenggaraan perumahan akan dikembangkan haruslah<br />
mengaitkan sistem alam, ekonomi, dan lingkungan serta proses ekologi agar tidak<br />
hanya mengurangi tekanan pada ekosistem kawasan semata melainkan juga<br />
menciptakan perumahan yang berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian<br />
sumber daya ekosistem setempat serta selalu memperhatikan dimensi konservasi<br />
lingkungan seperti pada gambar 2.5.<br />
SISTEM PERUMAHAN PERKOTAAN DI INDONESIA<br />
Dimensi Sosial, Budaya,<br />
Ekonomi<br />
Bagaimana mampu<br />
memenuhi kebutuhan<br />
sosial masyarakat lokal<br />
DUA DIMENSI<br />
PERLU STRATEGI<br />
Dimensi Ekologi<br />
Bagaimana mempertahankan<br />
fungsi-fungsi ekologis<br />
ekosistem perumahan<br />
Gambar 2.5 Dimensi penyelenggaraan perumahan perkotaan di Indonesia<br />
Secara umum, ada tiga masalah mendasar saling berkaitan yang menjadikan<br />
karakter kebijakan perumahan di Indonesia sangat kompleks, paling tidak, pasca<br />
tidak berfungsinya lagi BKP4N (Badan Kebijakan dan Pengendalian<br />
31<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional) yang sebelumnya bernama<br />
BKPN (Badan Kebijakan Perumahan Nasional). Masalah dasar pertama adalah<br />
kurangnya pemahaman akan sektor perumahan sendiri, terutama oleh para pihak<br />
pembuat kebijakan. Kedua adalah masalah politik, yang sangat terkait dengan<br />
masalah dasar pertama. Akibat kurangnya pemahaman secara komprehensif maka<br />
intervensi politik dalam pembuatan kebijakan perumahan cenderung mengambil<br />
langkah-langkah pragmatis. Masalah ketiga adalah kemampuan pengelolaan<br />
kebijakan yang memiliki kompleksitas tinggi (Siregar, 2008). Oleh karena itu,<br />
masalah dasar pemahaman dan politik praktis pada akhirnya cenderung<br />
mempengaruhi sedemikian rupa setiap proses pembuatan kebijakan<br />
penyelenggaraan perumahan.<br />
Sebagai bagian dari sistem masyarakat internasional, penyelenggaraan<br />
perumahan di Indonesia terkait erat dengan agenda global yaitu Agenda 21 bidang<br />
perumahan yang mempersyaratkan penerapan prinsip-prinsip pembangunan<br />
berkelanjutan secara bertahap. Selain itu, Indonesia juga memiliki tanggung jawab<br />
berkaitan dengan Agenda Habitat dimana setelah Deklarasi Habitat <strong>II</strong> Indonesia<br />
menempatkan masalah hunian sebagai kebutuhan dasar manusia dan hak semua<br />
orang (KSNPP, 2002).<br />
Penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan pada<br />
penyelenggaraan perumahan perkotaan di Indonesia dalam kenyataannya<br />
dihadapkan dengan tiga isu strategis. Isu strategis pertama adalah adanya<br />
kesenjangan pelayanan dimana implementasi kebijakan perumahan belum<br />
sepenuhnya memberi perhatian dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat<br />
banyak. Isu kedua adalah tingkat urbanisasi dan industrialisasi yang tinggi belum<br />
32<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
menciptakan lingkungan perumahan yang sehat, aman, harmonis dan<br />
berkelanjutan. Hal ini berkaitan dengan belum diterapkannya secara optimal<br />
standar pelayanan minimal perumahan berbasis indeks pembangunan<br />
berkelanjutan. Isu strategis ketiga adalah lemahnya manajemen pembangunan<br />
yang bersumber dari keterbatasan kinerja tata pemerintahan yang berdampak pada<br />
lemahnya implementasi kebijakan yang telah ditetapkan dan juga inkonsistensi<br />
pemanfaatan lahan (Suprijanto, 2004).<br />
Pentingnya menetapkan prinsip-prinsip berkelanjutan juga jelas tampak<br />
pada Amandemen Pasal 33 Ayat 4 Undang-undang Dasar RI 1945 yang<br />
menekankan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas asas<br />
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,<br />
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga<br />
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Amandemen Pasal 33<br />
Ayat 4 UUD 1945). Pembangunan berkelanjutan secara resmi didefinisikan oleh<br />
The World Commision for Environment and Development sebagai pembangunan<br />
yang mampu memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengabaikan kemampuan<br />
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (Brundtland,<br />
1987). Akan tetapi, banyak pemangku kepentingan menyadari bahwa definisi<br />
dari berbagai disiplin tentang pembangunan berkelanjutan terlalu luas dan tidak<br />
jelas serta memiliki kelemahan-kelemahan. Oleh karena itu, sebaiknya diterapkan<br />
suatu sistem berdasarkan definisi sains yang mengakomodasi beragam tingkatan<br />
berkelanjutan dari berbagai displin sains, rekayasa dan humaniora (Halog, 2008).<br />
Berkelanjutan sesungguhnya ditujukan untuk mempertahankan sistem-<br />
sistem tetap berfungsi dalam jangka panjang, dan terhindar dari kerusakan yang<br />
33<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
tak dapat diperbaiki, serta memberikan kepada generasi mendatang pilihan<br />
bagaimana mereka mempergunakan sumber daya yang dimiliki agar dapat<br />
memberi suatu kualitas hidup sesuai dengan pilihannya (Charter dan Tischer,<br />
2001). Definisi ini tidak hanya berkaitan dengan ekosistem-ekosistem alam<br />
seperti; air, udara, tetapi juga sistem sosial, ekonomi, dan institusi. Ronnie,<br />
Carolyn, dan Mehreen (2009) menggambarkan dimensi dari berkelanjutan seperti<br />
pada gambar 2.6.<br />
Gambar 2.6 Tiga dimensi berkelanjutan<br />
Source : Harding, hal. 29 (2009)<br />
Lebih jauh, para pemangku kepentingan perumahan dari berbagai latar-<br />
belakang sering kali menentukan tujuan-tujuan dari pembangunan berkelanjutan<br />
secara spesifik sesuai dengan kebutuhannya (Ronnie, Carolyn, dan Mehreen,<br />
2009). Oleh karena itu, menjadi penting untuk menemukan parameter-<br />
parameter yang dapat diukur baik kualitatif ataupun kuantitatif yang dapat<br />
34<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
memetakan interpretasi berbagai keinginan para pemangku kepentingan terhadap<br />
pembangunan berkelanjutan setepat mungkin (Azapagis, Perdan, dan Clift, 2004).<br />
Konsep berkelanjutan memiliki kerangka waktu yang tetap, merujuk secara<br />
jelas kepada masa yang akan datang sehingga dicapai harmoni antara kegiatan-<br />
kegiatan manusia dan lingkungan dalam rentang waktu tertentu (Budihardjo, dan<br />
Sujarto, 2005). Selain itu, konsep berkelanjutan juga mengandung arti adanya<br />
keterbatasan dan batas untuk bertumbuh manakala pertumbuhan diartikan sebagai<br />
sesuatu yang membesar secara fisik (Siregar, 2004). Oleh karena itu, didalam<br />
mengkaji berkelanjutan suatu sistem penyelenggaraan perumahan, pendekatan<br />
yang digunakan sebaiknya berbasis sistem, multi-disiplin, multikriteria dan<br />
sebaiknya mengikut-sertakan seluruh pandangan berbagai pemangku kepentingan<br />
yang berbeda-beda dan sebanyak mungkin menyertakan dimensi waktu.<br />
Terdapat beberapa tingkatan didalam pengambilan keputusan pada<br />
penyelenggaraan perumahan di Indonesia. Di tingkat nasional sebagai jenjang<br />
tertinggi, pengambilan keputusan terutama ditujukan pada kebijakan-kebijakan<br />
jangka panjang. Walaupun terkadang terlibat dalam kebijakan jangka pendek dan<br />
ad-hoc tetapi hanya sebagai komplemen kebijakan jangka panjang. Keputusan-<br />
keputusan kebijakan ad-hoc biasanya untuk situasi tanggap darurat, dibuat oleh<br />
forum lintas departemen dan instansi terkait. Sementara di tingkat daerah, provinsi<br />
dan kabupaten / kota keputusan dibuat hanya untuk lokasi tertentu yang<br />
berhubungan dengan pengembangan kota dan regional. Di tingkat terendah<br />
(masyarakat) keputusan dilakukan untuk memilih standar rumah dan mobilisasi<br />
sumber daya. Diperkirakan hampir 85% stok perumahan yang ada di Indonesia<br />
saat ini adalah produk swadaya masyarakat (Siregar, 2008; KSNPP, 2002).<br />
35<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Selanjutnya terdapat 3 (tiga) kebijakan dasar yang menjadi landasan<br />
pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia. Pertama yaitu kebijakan<br />
yang ditujukan untuk memecahkan keterbatasan pengadaan perumahan serta<br />
menawarkan peningkatan perumahan berkelanjutan melalui desentralisasi<br />
tanggung jawab dengan menyatukan semua peran, fungsi, kemampuan semua<br />
pihak. Kedua adalah kebijakan memadukan program perumahan dan permukiman<br />
dengan program pengentasan kemiskinan. Ketiga adalah merupakan kebijakan<br />
memfasilitasi masyarakat berpenghasilan rendah mendapat akses kepada tanah,<br />
infrastruktur dan lembaga keuangan untuk memperoleh kehidupan yang sehat.<br />
Pada hakekatnya rumah adalah merupakan salah satu kebutuhan dasar<br />
manusia bagi peningkatan kualitas kehidupan. Oleh sebab itu, pengembangan<br />
perumahan yang sehat dan layak bagi masyarakat Indonesia ditujukan untuk<br />
wadah pengembangan sumber daya masyarakat. Gambaran dari upaya yang<br />
dilakukan masyarakat di Indonesia mencukupi tempat huniannya secara tradisi<br />
dapat terlihat dari berbagai bentuk perumahan tradisional dan bentuk rumah adat<br />
yang sangat beragam. Pendekatan yang umum dilakukan dalam penyelenggaraan<br />
perumahan adalah atas dasar unit keluarga sebagai inti yang selalu diupayakan<br />
agar harmonis dengan lingkungan sekitarnya sehingga rumah sering dianggap<br />
sebagai identitas komunitas (Rapoport, 1977; Silas, 1989; Suganda, 2006).<br />
Pendekatan ini hingga sekarang masih terus berlangsung diperkotaan Indonesia<br />
dimana daya dukung lingkungan perkotaan sudah makin terbatas dan<br />
kemampuaan masyarakat umumnya masih rendah serta konsep pengadaan<br />
perumahan publik oleh pemerintah juga belum jelas (Syahrin, 2003; Siregar,<br />
2008).<br />
36<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Umumnya, pada setiap pembangunan perumahan dan permukiman lahan<br />
peruntukannya selalu lebih besar dari lahan bagi peruntukan lainnya yang ada di<br />
perkotaan. Akan tetapi, kenyataan yang ada sampai saat ini adalah walaupun lebih<br />
banyak memakai lahan perkotaan, tetap saja pembangunan perumahan dan<br />
permukiman bagi masyarakat golongan menengah ke bawah di kota Medan,<br />
dalam setiap proses perencanaan dan pengelolaan perumahan, penekanan<br />
terhadap aspek lingkungan hidup belumlah menjadi prioritas dalam pembangunan<br />
perumahan.<br />
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman<br />
(UUPP) pasal 3 dan 4 menekankan kelestarian lingkungan hidup sebagai salah<br />
satu azas dan tujuan penataan perumahan dan permukiman di Indonesa.<br />
Kelestarian lingkungan hidup tidak dapat hanya dilihat dari masalah lingkungan<br />
tetapi juga harus dikaitkan dengan masalah-masalah sosial seperti; tidak ada<br />
pemerataan dan tidak ada kesejahteraan, kemiskinan, pelanggaran atas hak-hak<br />
asasi manusia, yang semuanya erat hubungannya dengan tingkat pertumbuhan<br />
penduduk yang cukup tinggi dan kegiatan-kegiatan ekspansif manusia yang<br />
mengganggu atau merusak lingkungan kehidupannya sendiri.<br />
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan<br />
Lingkungan Hidup (UUPPLH) tahun 2009 mempersyaratkan adanya kewajiban<br />
memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang<br />
untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan. Usaha untuk memahami<br />
hubungan antara pembangunan yang berkesinambungan dan perumahan<br />
perkotaan berhubungan erat dengan konsep urbanisasi berkelanjutan. Urbanisasi<br />
berkelanjutan hanya mungkin tercipta bila tersedia komponen-komponen seperti;<br />
37<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, teknologi tepat guna, manajemen kota,<br />
penciptaan lapangan kerja (Budihardjo dan Sujarto, 2005). Seluruh komponen ini<br />
dibutuhkan dalam kerangka kerja pemenuhan kebutuhan perumahan perkotaan<br />
berkelanjutan.<br />
Perumahan berkelanjutan adalah perumahan yang memiliki dampak negatif<br />
lingkungan minimal berkaitan dengan effek rumah kaca (greenhouse effect);<br />
kualitas udara, air, tanah, suara, bau-bauan, material dan sumber daya alam tak<br />
terbarukan, serta keanekaragaman hayati (Knudstrup, Hansen, Brunsgaard C.,<br />
2009). Sementara itu, mengaitkan keputusan-keputusan operasional suatu<br />
lingkungan binaan berkelanjutan kedalam konsep strategis pembangunan<br />
perumahan berkelanjutan untuk memenuhi rumah bagi masyarakat yang<br />
berpengahasilan menengah ke bawah sudah tentu akan sulit dilakukan. Hal ini<br />
terutama dikarenakan dasar-dasar penyusunan membuat konsep pembangunan<br />
berkelanjutan yaitu; keragaman yang permanen dari suatu kawasan, keberlanjutan<br />
penggunaan sumber daya yang ada, keberlanjutan keterlibatan banyak pihak.<br />
Ketiga dimensi ini disebut juga sebagai kawasan/area, aliran/flow, aktor/manusia<br />
(Halog, 2008).<br />
Di Indonesia pembangunan rumah secara masal telah dilakukan sejak<br />
diterbitkannya Keputusan Presiden RI No.29/1974 tentang pembentukan<br />
Perusahaan Umum Perumahan Nasional (Perum Perumnas). Perumnas<br />
mempunyai misi untuk melaksanakan pembangunan perumahan, terutama untuk<br />
melayani penduduk berpenghasilan menengah ke bawah. Upaya Perumnas untuk<br />
meningkatkan jumlah pengadaan rumah baru setiap tahun dilakukan dengan tetap<br />
menggunakan konsep rumah sederhana sehat. Rumah sederhana sehat adalah<br />
38<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
umah dengan material dan konstruksi bangunan sederhana serta dibangun<br />
dengan tetap memenuhi standar kenyamanan, kesehatan, dan keamanan minimal<br />
dan dengan mempertimbangkan serta memanfaatkan potensi yang ada disekitar<br />
lokasi seperti; bahan bangunan, geologis dan iklim setempat serta potensi sosial<br />
budaya seperti arsitektur lokal dan cara hidup masyarakat di sekitar lokasi<br />
perumahan (Puslitbangkim, 2002).<br />
Rumah sederhana sehat harus memberi kehidupan sehat bagi penghuninya<br />
terutama dalam menjalankan aktifitas keseharian secara layak. Aspek-aspek<br />
kebutuhan ruang minimal harus diperhatikan pada rumah sederhana sehat antara<br />
lain; kebutuhan luas bangunan per jiwa, kebutuhan luas bangunan per kepala<br />
keluarga, kebutuhan luas lahan per unit bangunan.Untuk kebutuhan ruang<br />
minimal per orang dihitung berdasarkan kegiatan dasar penghuni yaitu kegiatan-<br />
kegiatan meliputi; makan, kerja, duduk, tidur, masak, mandi, cuci, kakus. Standar<br />
kebutuhan minimal yang digunakan oleh Perumnas adalah 9 (sembilan) m 2 dan<br />
dengan menggunakan rata-rata ketinggian plafon 2,80 m. Sementara, untuk<br />
menghemat energi dalam sistem desain rumah sederhana sehat dilakukan dengan<br />
memanfaatkan secara maksimal angin dan matahari daerah tropis terutama<br />
kebutuhan penerangan siang hari (UU RI No.1 tahun 2011, Lippsmeier, 1997).<br />
Puslitbangkim (2006) menyatakan bahwa strandar kesehatan dan<br />
kenyamanan dari rumah sederhana sehat yang sejalan dengan konsep rumah<br />
hemat energi ditentukan oleh:<br />
Pencahayaan yaitu upaya pemanfaatan terang langit dari sinar matahari<br />
secara merata di dalam ruangan untuk menunjang seluruh aktifitas manusia di<br />
dalam rumah. Kualitas cahaya yang masuk ke ruang dalam rumah ditentukan<br />
39<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
oleh: jenis kegiatan dalam ruang, lamanya kegiatan dalam ruang, dimensi lubang<br />
cahaya berupa; pintu, jendela, lubang angin, dengan luas minimal sepersepuluh<br />
dari luas lantai, serta sinar matahari langsung masuk ke dalam ruangan minimal 1<br />
jam per hari dan efektif diperoleh sejak matahari terbit (Puslitbangkim, 2006).<br />
Penghawaan dimaksudkan agar udara segar melalui aliran udara silang<br />
secara terus menerus dapat masuk ke dalam ruangan sekaligus dapat<br />
menghasilkan kenyamanan dan menciptakan rumah yang sehat. Untuk tujuan<br />
tersebut maka ketentuan lubang penghawaan yang dibutuhkan adalah sebesar 5<br />
(lima) persen dari luas lantai ruangan dan pengaturan letak lubang penghawaan<br />
dapat mengalirkan volume udara masuk sama dengan jumlah udara keluar<br />
ruangan. Beberapa faktor yang menentukan keberadaan aliran udara pada<br />
perumahan adalah terdapatnya area terbuka pada kawasan, perbandingan area<br />
terbuka dengan bangunan, kepadatan bangunan, sistem jaringan jalan perumahan<br />
(Santamouris dan Asimakopoulos, 1996).<br />
Temperatur dan kelembaban udara sangat mempengaruhi persyaratan<br />
rumah sehat. Radiasi matahari dan suhu udara tinggi kemudian dipicu oleh<br />
kelembaban tinggi adalah masalah utama pada perumahan di daerah tropis<br />
(Antaryama, 2002). Jika suhu dan kelembaban udara di dalam ruangan sama<br />
dengan temperatur normal tubuh manusia maka akan membantu menciptakan<br />
ruang yang nyaman dan sehat. Apabila sistem penghawaan suatu rumah tidak baik<br />
maka akan menaikkan suhu udara dalam ruangan dan kelembaban udara dalam<br />
ruangan juga akan naik.<br />
40<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
2.5. Emisi CO2 Pada Perumahan Sederhana Perkotaan<br />
Dalam membangun satu unit rumah sederhana di perkotaan dibutuhkan<br />
berbagai bahan bangunan sebagai material utama seperti batu kali, pasir, batu<br />
bata, besi, semen, kayu, dan genteng. Berbagai studi menunjukkan bahwa seluruh<br />
proses pengadaan bahan-bahan ini menghasilkan emisi CO2 mulai dari proses<br />
pengadaan bahan baku, pembuatan material bangunan, bahan bakar fosil yang<br />
digunakan, dan proses distribusi bahan-bahan bangunan tersebut. Demikian pula<br />
pada saat pembangunan rumah dilakukan pembuangan gas CO2 dihasilkan<br />
melalui proses konstruksi rumah, aktifitas transportasi material bangunan selama<br />
pembangunan rumah, serta respirasi yang dihasilkan para pekerja (Puslitbangkim,<br />
2007). Selanjutnya pada masa penghunian, timbulan emisi CO2 di udara juga<br />
dapat dihasilkan dari aktifitas penghuni sehari-hari seperti memasak, mencuci,<br />
penerangan, pengkondisian ruang, timbulan sampah, dan transportasi dari dan ke<br />
rumah.<br />
Perhitungan emisi CO2 berbagai tipe rumah pada perumahan sederhana<br />
pada kawasan perkotaan tertentu dapat dilakukan berdasarkan 3 (tiga) unsur<br />
utama yakni pembuatan bahan bangunan, supply material bangunan, dan tipe<br />
rumah. Berdasarkan jenis bahan bangunan maka emisi CO2 yang dihasilkan<br />
persatuan bahan dapat diketahui. Penghitungan emisi CO2 dari setiap bahan<br />
bangunan dilakukan dengan menggunakan rumus berikut (Octaviana, 2007):<br />
Emisi tiap bahan bangunan (kg-C) = (kegiatan transportasi x faktor emisi<br />
41<br />
bahan bakar) + (pengolahan x faktor emisi pada<br />
pengolahan) + (tenaga kerja x faktor emisi tenaga<br />
kerja)<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Keterangan:<br />
Kegiatan transportasi adalah kegiatan pengangkutan bahan baku dari tempat asal<br />
ke tempat pengolahan bahan bangunan. Pengolahan adalah kegiatan pengolahan<br />
bahan baku menjadi bahan bangunan siap pakai. Tenaga kerja adalah jumlah tena<br />
ga manusia yang digunakan dalam membuat bahan bangunan.<br />
Dalam penelitian ini maka faktor emisi bahan bakar yang digunakan adalah<br />
berasal dari penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman (2002)<br />
seperti tampak pada tabel 2.2.<br />
Tabel 2.2 Faktor emisi bahan bakar<br />
Tipe Energi Faktor Emisi<br />
Kayu (kg-C/m 3 ) 0.37<br />
Sekam (kg-C/m 3 ) 0,18<br />
Solar (kg-C/liter) 2,68<br />
Bensin (kg-C/liter) 1,59<br />
Gas (kg-C/kg) 3<br />
Listrik (kg-C/kWh) 0,719<br />
Minyak Tanah (kg-C/liter) 2,5359<br />
Sumber: Puslitbangkim (2002)<br />
Perhitungan jumlah bahan bangunan yang digunakan pada setiap tipe rumah<br />
baik rumah RSh 29, RSh 36, RS 36 dan RS 54 seperti terdapat pada Perumnas<br />
Griya Martubung I, Medan, didasarkan atas Analisa Biaya Konstruksi Gedung<br />
dan Perumahan (SNI, 2002). Pada tabel 2.3 diperlihatkan variasi penggunaan<br />
bahan bangunan menurut masing-masing tipe rumah sederhana yang ada di<br />
Perumahan Griya Martubung I Medan.<br />
42<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Tabel 2.3 Kebutuhan bahan bangunan per tipe rumah<br />
Bahan Pasangan Pondasi Satuan Tipe 29 Tipe 36 Tipe 54<br />
Batu Belah<br />
Semen Portland<br />
Pasir Pasang<br />
Pekerja<br />
Bahan Pasangan Lantai<br />
Semen Portland<br />
Pasir Pasang<br />
Pekerja<br />
Lantai Keramik (30 x 30)<br />
cm 2<br />
Ubin keramik (30 x 30) cm 2<br />
Semen Portland<br />
Pasir pasang<br />
Semen warna<br />
Pekerja<br />
Bahan Pasangan Dinding<br />
Bata Merah<br />
Semen Portland<br />
Pasir pasang<br />
Pekerja<br />
Bahan Pekerjaan Plesteran<br />
Semen Portland<br />
Pasir Pasang<br />
Pekerja<br />
Bahan Pek. Kuda-kuda<br />
Kayu<br />
Kayu Balok<br />
Besi<br />
Pekerja<br />
Pek. Atap, Kaso kayu<br />
Kayu Kaso<br />
Kayu reng<br />
Besi<br />
Pekerja<br />
Pekerjaan List plang Kayu<br />
Kayu papan<br />
Besi<br />
Pekerja<br />
Pekerjaan Plafon<br />
Multipleks 9 mm<br />
Kayu balok<br />
Pekerja<br />
Pekerjaan Kusen, Pintu,<br />
Jendela<br />
m 3<br />
kg<br />
m 3<br />
orang<br />
kg<br />
m 3<br />
orang<br />
buah<br />
kg<br />
m 3<br />
kg<br />
orang<br />
buah<br />
kg<br />
m 3<br />
orang<br />
kg<br />
m 3<br />
orang<br />
m 3<br />
kg<br />
orang<br />
m 3<br />
m 3<br />
kg<br />
orang<br />
m 3<br />
kg<br />
orang<br />
m 2<br />
m 3<br />
orang<br />
31,9<br />
4727<br />
15<br />
64,7<br />
31,9<br />
3390,7<br />
16,9<br />
483<br />
328<br />
1,217<br />
43,5<br />
17,97<br />
4057<br />
643,4<br />
2,96<br />
18,84<br />
374,4<br />
0,58<br />
5,79<br />
31,88<br />
457,88<br />
115,9<br />
4,78<br />
115,92<br />
4,35<br />
5,79<br />
0,20<br />
1,45<br />
9,4<br />
31,9<br />
30,43<br />
31,30<br />
43,2<br />
6396<br />
20,4<br />
87,6<br />
43,2<br />
4591<br />
22,1<br />
600<br />
409,34<br />
1,51<br />
53,95<br />
22,3<br />
5036<br />
798,5<br />
3,7<br />
23,4<br />
464,7<br />
0,72<br />
7,19<br />
39,57<br />
568,33<br />
143,88<br />
5,94<br />
143,9<br />
5,4<br />
7,2<br />
0,25<br />
1,80<br />
11,70<br />
39,6<br />
37,77<br />
38,85<br />
43<br />
64,8<br />
9594<br />
28<br />
131,4<br />
115,5<br />
12285<br />
57,6<br />
900<br />
563,3<br />
2,08<br />
74,25<br />
30,69<br />
7554<br />
1197,7<br />
5,55<br />
35,1<br />
697<br />
1,08<br />
10,8<br />
59,36<br />
852,5<br />
215,8<br />
8,91<br />
215,8<br />
8,1<br />
10,8<br />
0,375<br />
2,70<br />
17,55<br />
59,4<br />
56,65<br />
58,27<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Kayu Balok<br />
Multipleks 12mm<br />
Lis kayu profil<br />
Pekerja<br />
Bahan Pekerjaan Genteng<br />
Genteng<br />
Genteng Bubung<br />
Semen Portland<br />
Pasir Pasang<br />
Pekerja<br />
m 3<br />
m 2<br />
m<br />
orang<br />
buah<br />
buah<br />
kg<br />
m 3<br />
orang<br />
9,85<br />
333,27<br />
1,25<br />
9,27<br />
456,75<br />
33<br />
278,2<br />
6,08<br />
21,45<br />
12,23<br />
413,65<br />
1,55<br />
11,5<br />
567<br />
40<br />
345,3<br />
7,55<br />
26,62<br />
Sumber: SNI Analisis Biaya Konstruksi Bangunan Gedung dan Perumahan, 2002.<br />
44<br />
18,34<br />
620,47<br />
2,33<br />
17,25<br />
850<br />
60<br />
517,95<br />
11,32<br />
39,93<br />
Sementara itu, Seo dan Hwang (2001) menghitung besaran emisi CO2 tiap<br />
bahan bangunan berdasarkan proses pembuatan material seperti pada tabel 2.4.<br />
No.<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
Nama<br />
bahan<br />
Batubata<br />
(10.000)<br />
buah<br />
Genteng<br />
(13.500)<br />
buah<br />
Kayu<br />
(200 m 3 )<br />
Semen<br />
(8.760 kg)<br />
Tabel 2.4 Pembuatan dan besar emisi tiap bahan bangunan<br />
Kegiatan<br />
Transportasi<br />
bahan baku<br />
Pengolahan<br />
dengan sekam<br />
Tenaga Kerja<br />
Transportasi<br />
bahan baku<br />
Pengolahan<br />
dengan molen<br />
Pengolahan<br />
dengan press<br />
Pengolahan<br />
dengan kayu<br />
Tenaga Kerja<br />
Pengolahan<br />
dengan solar<br />
Tenaga Kerja<br />
Transportasi<br />
bahan baku<br />
Pengolahan<br />
Kebutuhan<br />
energi<br />
20 liter<br />
40 m 3<br />
100<br />
30 liter<br />
80 liter<br />
8 liter<br />
5,94 m 3<br />
100<br />
10 liter<br />
10<br />
10 liter<br />
400 liter<br />
Faktor<br />
emisi<br />
2,68<br />
0,18<br />
0,5<br />
2,68<br />
2,68<br />
2,536<br />
0,37<br />
0,5<br />
2,68<br />
0,5<br />
2,68<br />
2,68<br />
Emisi<br />
tiap<br />
kegiatan<br />
53,6<br />
7,2<br />
50<br />
80,4<br />
214,4<br />
20,287<br />
2,198<br />
50<br />
2,68<br />
0,5<br />
26,8<br />
1072<br />
Emisi<br />
per<br />
satuan<br />
bahan<br />
0,0111<br />
0,0272<br />
0,159<br />
1,7727<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
5.<br />
6.<br />
7.<br />
Besi baja<br />
(3,124 kg)<br />
Pasir<br />
(1.000 m 3 )<br />
Batukali<br />
(1.000 m 3 )<br />
dengan solar<br />
Pengolahan<br />
dengan listrik<br />
Tenaga Kerja<br />
Transportasi<br />
bahan baku<br />
Pengolahan<br />
dengan solar<br />
Pengolahan<br />
dengan listrik<br />
Tenaga Kerja<br />
Transportasi<br />
bahan baku<br />
Pengolahan<br />
dengan genset<br />
Tenaga kerja<br />
Transportasi<br />
bahan baku<br />
Pengolahan<br />
dengan traktor<br />
Tenaga kerja<br />
20000 kWh<br />
100<br />
10 liter<br />
400 liter<br />
20000 kWh<br />
100<br />
40 liter<br />
50 liter<br />
9<br />
40 liter<br />
50 liter<br />
3<br />
0,719<br />
0,5<br />
2,68<br />
2,68<br />
0,719<br />
0,5<br />
2,68<br />
2,68<br />
0,5<br />
2,68<br />
2,68<br />
0,5<br />
14380<br />
50<br />
26,8<br />
1072<br />
14380<br />
50<br />
107,2<br />
268<br />
4,5<br />
107,2<br />
268<br />
1,5<br />
1,1832<br />
0,3797<br />
0,3767<br />
8. Asbestos 0,0109<br />
9. Keramik 0,2061<br />
Sumber: Seo dan Hwang (2001)<br />
Adanya kecenderungan pengurangan luas bangunan dan luas tanah oleh<br />
Perumnas akibat meningkatnya kebutuhan pengadaan rumah tidak disertai<br />
peningkatan kualitas rumah yang dibangun. Selain itu, jenis ruang dan tampilan<br />
atau tampak bangunan yang sama disertai kebutuhan yang beragam<br />
mengakibatkan banyak rumah diubah sesuai dengan perkembangan kebutuhan<br />
dan kemampuan ekonomi penghuni. Umumnya ada 3 (tiga) faktor pendorong<br />
perubahan rumah sederhana perkotaan ( Ellyta, 2008; Herawati, 2010) yaitu:<br />
1. Orientasi ataupun sikap penghuni pada pemenuhan kebutuhan ruang,<br />
mendorong terjadinya penambahan luas rumah, jumlah ruang untuk<br />
45<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
mewadahi kebutuhan penghuni.<br />
2. Desain rumah, luasan rumah, dan luas persil yang ada, tidak dapat<br />
mendukung aktifitas kehidupan penghuni akibat kebutuhan identitas diri,<br />
perubahan gaya hidup, pemakaian teknologi baru, umur bahan bangunan<br />
yang mengharuskan penggantian.<br />
3. Kualitas pelaksanaan pembangunan akibat penerapan peraturan yang tidak<br />
efisien dan tidak efektif serta persyaratan bangunan yang tidak spesifik.<br />
Ketiga faktor pendorong ini turut juga memberi kontribusi bagi peningkatan<br />
pembuangan gas CO2 di udara.<br />
2.6. Model Sistem Interrelasi Pada Perumahan Sederhana Perkotaan<br />
Pelaksanaan pembangunan perumahan sederhana oleh Perum Perumnas dan<br />
kemudian dilanjutkan dengan usaha penghuni menyesuaikan rumahnya agar<br />
mampu mengakomodasi kebutuhan aktifitas sehari-hari, keseluruhannya<br />
menghasilkan emisi CO2 ke atmosfir (Chendy dan Sudjono, 2007). Para<br />
pemangku kepentingan perumahan sederhana perkotaan umumnya mengabaikan<br />
adanya korelasi antara naiknya timbulan emisi CO2 dengan berbagai proses<br />
penyelenggaraan perumahan sederhana (Puslitbangkim,2005). Perubahan<br />
peruntukan lahan perkotaan mulai dari proses pra-konstruksi, konstruksi, sampai<br />
dengan tahapan penggunaan rumah dan selanjutnya demosili seluruh proses ini<br />
menggunakan energi dalam proses yang ada, dan mengeluarkan emisi CO2 ke<br />
udara seperti tampak pada diagram 2.1.<br />
46<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
CO2<br />
Pra-<br />
Konstruksi<br />
Energi<br />
Konstruksi Penggunaan Demolisi Rekontruksi<br />
Bahan<br />
Bangunan<br />
Restorasi,<br />
Renovasi,<br />
CO2 CO2<br />
CO2 CO2<br />
Energi Energi Energi Energi<br />
Diagram 2.1 Sumber emisi dalam penyelenggaraan perumahan<br />
Sumber: Seo dan Hwang (2001)<br />
Umumnya beberapa tahun setelah dihuni, penghuni melakukan beberapa<br />
perubahan seperti; perubahan ruang, perubahan fungsi ruang, ataupun perubahan<br />
elemen bangunan misalnya atap, lantai, pintu, dan jendela. Selain itu, ruang<br />
terbuka dari persil yang ada sering juga beralih fungsi untuk tujuan perluasan<br />
rumah. Berbagai masalah kompleks muncul terutama berkaitan dengan timbulan<br />
emisi CO2 yang dihasilkan sejalan dengan dinamika penyelenggaraan perumahan<br />
sederhana. Permasalahan ini dapat ditinjau sebagai suatu sistem interaksi yang<br />
kompleks dari berbagai komponen yang ada antara lain seperti penghuni rumah,<br />
pengelola perumahaan, masyarakat sekitar perumahan, perancangan rumah<br />
sederhana sehat, pendapatan, pendidikan, bahan bangunan, atribut rumah, rencana<br />
tapak bangunan, lalu lintas di kawasan perumahan, ruang terbuka hijau, badan air,<br />
energi penunjang aktifitas rumah tangga, transportasi lokal, Dinas Tata Kota dan<br />
Bangun-Bangunan, Kebijakan Pengelolaan Perumahan.<br />
47<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Selanjutnya, masing-masing komponen ini berperan dan saling melengkapi<br />
menciptakan keseimbangan secara optimal dan berkelanjutan pada perumahan<br />
sederhana. Apabila salah satu komponen berubah, maka secara langsung atau<br />
tidak langsung kompenen lain juga berubah. Dengan menggunakan Model Sistem<br />
Interrelasi maka dapat digambarkan bagaimana komponen-komponen desain<br />
perumahan membentuk sistem yang dikenali saling mempengaruhi dalam<br />
pengendalian timbulan emisi CO2 dalam sistem perumahan sederhana.<br />
Selanjutnya, melalui model interelasi ini diperoleh suatu pemahaman system wide<br />
focus atau holistic tentang suatu situasi sosial yang kompleks, dan bagaimana<br />
suatu komponen saling berkaitan dengan komponen lain, membentuk hubungan<br />
antara variabel bebas dan variabel terikat atau sebagai suatu pengaruh dan<br />
penyebab dalam suatu sistem yang ada. Analisis timbulan emisi CO2 dilakukan<br />
dengan system thinking yaitu suatu teknik berpikir yang dilakukan untuk<br />
menjelaskan bagaimana sesuatu berinteraksi dengan sesuatu yang lainnya. Sistem<br />
ini digunakan sebagai dasar dalam pembuatan model system interrelasi (SIM).<br />
48<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara