27.12.2013 Views

Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

BAB <strong>II</strong><br />

METODE PENELITIAN<br />

2.1 JENIS PENELITIAN<br />

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian<br />

deskriptif dengan menggunakan metode survei dimaksudkan karena lebih<br />

relevan dalam penggunaan pendekatan kuantitatif namun untuk<br />

penyempurnaan data juga digunakan metode kualitatif sebagai pelengkap.<br />

2.2 LOKASI PENELITIAN<br />

Penelitian ini berlokasi di Desa Leuge kecamatan Peureulak Kota<br />

kabupaten Aceh Timur, adapun alasan memilih lokasi ini adalah :<br />

1. Lokasi ini merupakan daerah pertama masuknya islam di Nusantara dan<br />

daerah basis konflik GAM-RI<br />

2. Kecamatan Peureulak Kota adalah pusat perkantoran, perbelanjaan dan<br />

pendidikan, daerah tersebut merupakan tempat berkumpulnya komunitas<br />

berbagai lapisan masyarakat.<br />

2.3. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel<br />

2.3.1 Populasi<br />

Populasi adalah keseluruhan gejala/satuan yang ingin diteliti. (<br />

Prasetyo, 2005: 119 ) adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini<br />

adalah masyarakat desa Leuge yang dilihat berdasarkan tingkat pendidikan.<br />

Kriteria ini ditentukan karena tingkat pendidikan mempengaruhi pemahaman<br />

dan pandangan masyarakat terhadap fungsi Syari’at Islam. Populasi dalam<br />

penelitian ini berjumlah 1516 (Sumber data desa Leuge 2009)<br />

Sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi sumber data<br />

sebenarnya dalam suatu penelitian. Dengan kata lain, sampel adalah sebagian<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


dari populasi yang diambil dengan cara-cara tertentu ( Nawawi, 199: 144 )<br />

sampel dalam penelitian ini berjumlah 94 orang dengan menggunakan rumus<br />

Taro Yamane, sedangkan pengambilan sampel berdasarkan jenis kelamin dan<br />

jenjang pendidikan menggunakan teknik acak kelompok (Cluster Random<br />

Sampling). Untuk mengetahui jumlah populasi berdasarkan jenis kelamin dan<br />

jenjang pendidikan dapat dilihat pada Tabel.1<br />

Tabel .1 Distribusi jenis kelamin dan tingkat jenjang pendidikan<br />

Tingkat Pendidikan<br />

Tidak<br />

Jenis<br />

Tamat Tamat Tamat Tamat<br />

tamat<br />

kelamin<br />

SD/seder SLTP/sed SLTA/seder PT/D<br />

SD/seder<br />

ajat erajat ajat 3<br />

ajat<br />

Jlh<br />

Laki-laki 86 93 165 303 135 782<br />

perempuan 94 87 159 289 125 734<br />

jumlah 160 180 324 592 260 1516<br />

Sumber : Data statistik kantor kepala desa Leuge 2009.<br />

2.3.2.1 Penarikan Sampel Secara Kuantitatif<br />

Penetapan jumlah total sampel adalah 94 orang dengan menggunakan<br />

rumus Taro Yamane, selanjutnya untuk memperoleh sampel berdasarkan jenis<br />

kelamin dan jenjang pendidikan menggunakan teknik penarikan sampel acak<br />

kelompok (Cluster Random Sampling)<br />

Berdasarkan data populasi pada Tabel 1. maka untuk menghitung jumlah<br />

sampel digunakan rumus Taro Yamane dengan tingkat kepercayaan 90 %,<br />

(Rakhmat, 2002:82) yakni sebagai berikut:<br />

n =<br />

N<br />

Nd 2 1<br />

Keterangan:<br />

n = Sampel<br />

N = Populasi<br />

2<br />

d = Presisi<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


Dari data populasi dengan menggunakan rumus Taro Yamane, maka<br />

jumlah sampel yang di peroleh adalah:<br />

n =<br />

n =<br />

n =<br />

N<br />

Nd 2 1<br />

1516<br />

1516(0,1)<br />

1516<br />

1516(0,01)<br />

2 <br />

1<br />

2 <br />

1<br />

1516<br />

n =<br />

16,16<br />

n = 93,81 = 94<br />

Berdasarkan populasi di atas maka untuk menghitung jumlah sampel<br />

digunakan rumus sebagai berikut:<br />

Sampel<br />

1<br />

<br />

Populasi1<br />

Total populasi<br />

xTotal sampel<br />

Populasi seluruhnya = 1516<br />

Sampel tidak tamat SD/sederajat Lk: 86/1516 x 94 = 5<br />

Pr : 94/1516 x 94 = 5<br />

Sampel tamat SD/sederajat Lk: 93/1516 x 94 = 6<br />

Pr : 87/1516 x 94 = 5<br />

Sampel tamat SLTP/sederajat Lk: 165/1516 x94 = 10<br />

Pr : 159/1516 x94 = 10<br />

Sampel tamat SLTA/sederajat Lk: 303/1516 x94 = 19<br />

Pr : 289/1516x94 = 18<br />

Sampel tamat PT/D3 Lk: 135/1516 x94 = 8<br />

Pr : 125/1516 x94 = 8<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


Dari rumus tersebut diperoleh jumlah sampel berdasarkan jenis<br />

kelamin dan jenjang pendidikan, jumlah sampel penelitian dari setiap jenis<br />

kelamin dan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut dibawah ini:<br />

Tabel .2 Distribusi sampel menurut jenis kelamin dan tingkat jenjang<br />

pendidikan<br />

Tingkat Pendidikan<br />

Jenis<br />

Tidak<br />

Tamat Tamat Tamat<br />

kelamin<br />

tamat<br />

Tamat<br />

SD/sede SLTP/sede SLTA/sede<br />

SD/sede<br />

PT/D3<br />

rajat rajat rajat<br />

rajat<br />

JLH<br />

Laki-laki 5 6 10 19 8 48<br />

Perempuan 5 5 10 18 8 46<br />

Jumlah 10 11 20 37 16 94<br />

Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat desa Leuge<br />

Kecamatan Peureulak Kota yaitu:<br />

1. Laki-laki dan perempuan yang berusia 21-55 tahun, batasan ini<br />

dimaksudkan karena pada usia 21 tahun dianggap usia dewasa dan<br />

sedikit banyak telah memahami norma-norma dan nilai-nilai Syari’at<br />

Islam yang harus dijalankan.<br />

2. Telah menetap di desa Leuge minimal 5 tahun. Hal ini dimaksudkan<br />

karena responden yang telah menetap minimal selama 5 tahun sedikit<br />

banyak telah mengetahui situasi dan kondisi Penerapan syari’at Islam di<br />

Kecamatan Peureulak Kota khususnya di desa Leuge.<br />

2.3.2.2 Informan Dengan Menggunakan Metode Kualitatif<br />

Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan<br />

informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Lx.J.Moleong 2002: hal<br />

90). Informan dalam penelitian ini di ambil secara porposif berdasarkan<br />

kebutuhan kriteria yaitu:<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


‣ Laki-laki dan perempuan yang berusia 21 tahun keatas. Batasan ini<br />

dimaksud karena pada usia 21 tahun keatas seseorang dianggap balihg<br />

(mampu membedakan yang haram-halal).<br />

‣ Telah menetap di desa Leuge Kecamatan Peureulak Kota selama penerapan<br />

Syari’at Islam dilaksanakan, sedikit banyak telah mengatahui situasi dan<br />

kondisi dari semenjak diterapkan Syari’at Islam sampai sekarang di desa<br />

Leuge Kecamatan Peureulak Kota Kabupaten Aceh Timur.<br />

Maka menurut peneliti yang mewakili dari Wilayatul Hisbah ( Petugas<br />

Syari’at Islam ) sebanyak 5 orang, mewakili dari tokoh agama/adat sebanyak<br />

3 orang, mewakili dari tokoh pemuda sebanyak 3 orang, dan mewakili dari<br />

tokoh perempuan sebanyak 2 orang,. Jadi jumlah informan seluruhnya yang<br />

mewakili data berjumlah 15 orang.<br />

2.4 TEKNIK PENGUMPULAN DATA<br />

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini<br />

adalah sebagai berikut:<br />

2.4.1 Metode Kuantitatif<br />

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dengan metode<br />

kuantitatif dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:<br />

1. Data Primer<br />

Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil quesioner, quesioner<br />

adalah merupakan lembaran yang berisi beberapa pertanyaan dengan<br />

beberapa alternatif jawaban, yang disebarkan pada objek penelitian untuk<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


mendapatkan jumlah komposisi masyarakat yang beranggapan Syariat<br />

Islam berfungsi sebagai alat kontrol bagi tindakan dan prilaku yang<br />

menyimpang di masyarakat.<br />

2. Data Sekunder<br />

Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek<br />

penelitian. Data sekunder ini dapat berupa dokumentasi baik berupa buku,<br />

koran, majalah maupun internet yang dapat menunjang tulisan ini dan<br />

sebagai data pelengkap, yang berguna untuk mengetahui fungsi penerapan<br />

Syari’at Islam sebagai kontrol sosial bagi masyarakat.<br />

2.4.2. Metode Kualitatif<br />

1. Data Primer<br />

a. Wawancara<br />

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi dengan<br />

mengajukan beberapa pertanyaan secara lisan dan dijawab secara lisan<br />

pula. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode wawancara<br />

bebas dan mendalam (depth interview) dengan menggunakan pedoman<br />

wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya, yang berfungsi untuk<br />

memperoleh berbagai data atau keterangan yang bersifat informal dan<br />

juga mengetahui alasan yang sebenarnya dari informan.<br />

b. Observasi<br />

Merupakan suatu pengamatan dengan cara melibatkan diri secara<br />

langsung terhadap gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian<br />

tersebut. Dari obsevasi ini peneliti dapat mengetahui gambaran secara<br />

faktual, cermat, dan terperinci mengenai kondisi dilapangan dan fungsi<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


pelaksanaan dan penerapan Syari’at Islam sebagai alat kontrol bagi<br />

masyarakat.<br />

2. Data Sekunder<br />

Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek<br />

penelitian. Data sekunder ini dapat berupa dokumentasi baik berupa buku,<br />

koran, majalah maupun internet yang dapat menunjang tulisan ini dan<br />

sebagai data pelengkap, yang berguna untuk mengetahui fungsi penerapan<br />

Syari’at Islam sebagai kontrol sosial bagi masyarakat.<br />

2.5. TEKNIK ANALISIS DATA<br />

2.5.1. Analisa Data Kuantitatif<br />

Analisa data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang<br />

lebih mudah dibaca dan di interpretasikan (Masri Singarimbun:1989, hal<br />

263). Untuk analisis data kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan<br />

metode statistik deskriptif yaitu pengolahan data yang dilakuakan dengan<br />

Tabel distribusi frekuensi untuk mendapatkan gambaran komposisi<br />

masyarakat mengeanai fungsi penerapan Syari’at Islam terhadap masyarakat.<br />

2.5.2 Interpretasi Data Kualitatif<br />

Data kualitatif dilakukan dengan cara mengatur, mengurutkan,<br />

mengelompokkan, memberikan kode, mengatagorikan dan di interpretasikan.<br />

(Lx J. Moleong 2002, hal 103). Pengolahan data ini dimulai dengan<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu ,<br />

wawancara, pengamatan yang sudah ditulis dalam catatan lapangan, dan<br />

dokumen resmi.<br />

Data tersebut dibaca, dipelajari, dan ditelaah, maka langkah<br />

selanjutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan<br />

abstraksi, Abstraksi merupakan usaha untuk membuat rangkuman yang inti,<br />

proses, dan pernyataan yang perlu dijaga, sehingga tetap dalam fokus<br />

penelitian.<br />

2.6 KAJIAN PUSTAKA<br />

Dalam pembahasan kajian pustaka terdapat beberapa penjelasan<br />

mengenai pengaruh Islam terhadap masyarakat Aceh, dan fungsi agama,<br />

serta pendapat pendapat para ahli tentang Struktural Fungsional dengan<br />

menggunakan konsep AGIL<br />

2.6.1 Pengaruh Islam terhadap Masyarakat Aceh<br />

Masuknya Islam ke Aceh pada abad ketujuh atau kedelapan masehi,<br />

banyak sekali mempengaruhi adat istiadat Aceh. Malahan pengaruh Islam itu<br />

sangat besar, sehingga ada pepatah yang berbunyi : Hukom ngon adat lagee<br />

zat ngon sipheut (Hukum dengan adat seperti benda dengan sifatnya, tidak<br />

terpisah). Yang dimaksud dengan hukum disini adalah hukum islam yang<br />

diajarkan oleh para Ulama. Ini ditunjukkan oleh pepatah lain yang berbunyi:<br />

Adat bak meureuhom, Hukum Bak Syiah ulama (wewenang adat pada<br />

Sulthan, Hukum pada ulama Syiah Kuala ) yang dimaksud dengan peutoe<br />

Meureuhom ialah Almarhum Sulthan Iskandar Muda.(Ismuha, 1995 : 37).<br />

Demikian besar pengaruh di Aceh, sehingga sapaan waktu dan ucapan waktu<br />

berpisah, tidak lagi ucapan yang lain-lain melainkan sudah menjadi<br />

Assalamu’alaikum (selamat, Tuan) dan jawabannya : Wa’alaikum Salam Wa<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


Rahmatullah (Tuan juga selamat beserta rahmat Allah). Bila seseorang<br />

menerima pemberian dari orang lain, tidak lagi mengucapakan terima kasih<br />

melainkan diganti dengan Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah). Apabila<br />

mendengar orang meninggal, segera mengucapakan: Innalillahi Wa Inna<br />

Lillahi Raaji’uun (semua kita milik Allah dan semua kita kembali kepada-<br />

Nya).<br />

Tempat umum di tiap-tiap kampung di Aceh khususnya di Peureulak<br />

disebut : Meunasah. Berasal dari bahasa Arab, Madrasah yang berarti Tempat<br />

belajar membaca Al-Qur’an dan pelajaran-pelajaran lain. Fungsi lain dari<br />

Meunasah itu adalah sebagai tempat shalat lima waktu untuk kampung itu.<br />

Dalam hubungan ini, di atur pula letak madrasah harus berbeda dengan letak<br />

rumah, supaya orang dapat mengetahui mana yang rumah dan mana yang<br />

Meunasah dan sekligus juga orang dapat mengetahui kemana arah kiblat kalau<br />

akan shalat. Fungsi lain ialah sebagai tempat shalat taraweh dan tempat<br />

membaca Al-Qur’an bersama-sama di bulan puasa, serta tempat kenduri<br />

maulud pada bulan mauludan. Juga sebagai tempat menyerahkan zakat fitrah<br />

pada hari Raya Puasa, tempat menyembelih Qurban pada hari raya haji, tempat<br />

mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung itu,<br />

tempat bermusyawarah dalam segala urusan, dan lainnya.<br />

2.6.2 Fungsi Agama<br />

Menurut Shcarf (1995) sosiologi melihat agama sebagai salah satu dari<br />

institusi sosial, sebagai sub sistem sosial yang mempunyai fungsi sosial<br />

tertentu, misalnya sebagai salah satu pranata sosial, social intitution. Karena<br />

posisinya sebagai sub sistem, maka eksistensinya dan peran agama dalam<br />

suatu masyarakat tak ubahnya dengan posisi dan peran subsistem lainnya,<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


meskipun tetap mempunyai fungsi yang berbeda. Dengan kata lain, posisi<br />

agama dalam suatu masyarakat bersama-sama subsistem lainnya (seperti<br />

subsistem ekonomi, politik kebudayaan, dan lain-lain) mendukung terhadap<br />

eksitensi masyarakat. Agama tidak dilihat berdasarkan apa dan bagaimana isi<br />

ajaran dan doktrin keyakinan, melainkan bagaimana ajaran dan keyakinan<br />

agama itu dilakukan dan mewujud dalam prilaku para pemeluknya dalam<br />

kehidupan sehari-hari.<br />

Perilaku keagamaan sesungguhnya merupakan perilaku yang terdapat<br />

dalam alam kenyataan dan karenanya dapat diamati dan diteliti, bila fenomena<br />

sosial berubah maka akan diikuti perubahan fenomena keagamaan, dan<br />

sebaliknya keduanya saling berkaitan secara erat (Bellah, 146).<br />

Menurut Sunarto (1993) mengemukakan bahwa agama merupakan<br />

istitusi penting yang mengatur kehidupan manusia istilah agama disini<br />

merupakan terjemahan dari kata religion, suatu istilah yang ruang lingkupnya<br />

lebih luas dari istilah agama yang digunakan pemerintah RI, yang hanya<br />

mencakup agama-agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Kristen<br />

Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan Kongguchu.<br />

Horton dan Hunt (1991) melihat agama berkaitan dengan hal-hal yang<br />

sifatnya yang sifatnya lebih dari perilaku moral. Agama menawarkan suatu<br />

pandangan dunia dan jawaban atas berbagai persoalan yang membingungkan<br />

manusia. Agama mendorong manusia untuk tidak melulu memikirkan<br />

kepentingan dirinya sendiri, melainkan juga memikirkan kepentingan orang<br />

bersama.<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


Agama juga seperangkat hukum atau atauran tingkah laku maupun<br />

sikap yang selalu mengacu pada kehendak Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu,<br />

semua hukum maupun peraturan tersebut pada umumnya diciptakan oleh<br />

Tuhan dan sebagian lain oleh manusia tertentu yang mendapatkan<br />

kepercayaan-Nya. Peraturan atau kaidah yang terdapat didalam agama dapat<br />

berupa petunjuk-petunjuk, keharusan atau perintah, maupun larangan, yang<br />

semua itu agar ada keselerasan, ketertiban, dan keseimbangan hubungan antara<br />

manusia dengan manusia lain, manusia dengan lingkungan alam, dan manusia<br />

dengan Tuhan Yang Maha Kuasa dapat tercapai.<br />

Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya,<br />

mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan<br />

kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan Hadith. Dalam<br />

menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga<br />

dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada<br />

aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan<br />

mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat<br />

tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa<br />

jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan<br />

sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam<br />

memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam<br />

kehidupan masyarakat itu.<br />

Adat Aceh sebagai aspek budaya, tidak identik dalam pemahaman “<br />

budaya “ pada umumnya, karena segmen-segmen integritas bangunan adat<br />

juga bersumber dari nilai-nilai agama (syariat) yang menjiwai kreasi<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


udayanya. “ Adat ngon agama lagei zat ngon sifeut “(Adat dan agama<br />

seperti zat dan sifat). Roh Islami ini telah menjiwai dan menghidupkan budaya<br />

Aceh, sehingga melahirkan nilai-nilai filosofis, yang akhirnya menjadi patron<br />

landasan Budaya ideal dalam bentuk narit naja<br />

“Adat Bak Poe Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala,<br />

Qanun Bak Putroe Phang, Reusan Bak Lakseumana“.<br />

( kekuasaan adat ada pada Sulthan, hukum ada pada ulama Syiah Kuala,<br />

peraturan pada sulthan, dan nilainya pada ahli adat)<br />

Pou Teumeureuhom; Simbol pemegang kekuasaan. Syiah Kuala;<br />

Simbol hukum syari’at/agama dari ulama. Qanun; Perundang-undangan yang<br />

benilai agama dan adat dari badan legeslasi yang terus berkembang. Reusam;<br />

Tatanan protokuler/seremonial adat istiadat dari ahli-ahli adat yang terus<br />

berjalan. Pengembangan nilai-nilai tatanan ini, mengacu kepada sumber asas,<br />

yaitu ” Agama (hukum) ngon Adat, lagei zat ngon Sifeut ”<br />

Mengacu kepada asas narit naja ini maka budaya adat mengandung dua<br />

sumber nilai yaitu:<br />

Pertama: nilai adat istiadat, yaitu format seremonial, prilaku ritualitasi,<br />

keindahan, seni apresiasi dalam berbagai format upacara dan kreasi<br />

Kedua: nilai normatif/ prilaku tatanan ( hukum adat ), yaitu format materi<br />

aturan dan bentuk sanksi-sanksi terhadap pelanggar-pelanggaran.<br />

Mengacu kepada budaya adat Aceh yang sarat dengan nilai-nilai<br />

Islami, maka pada dasarnya, dalam pengembangan budaya adat berpegang<br />

kepada beberapa asas, antara lain:<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


a. Setia kepada aqidah Islami (hablum minallah)<br />

b. Bersifat universal (tidak ada gap antar agama, antar bangsa dan antar<br />

suku)<br />

c. Persatuan dan kesatuan (hablum minan nas)<br />

d. Rambateirata (kegotong royongan, tolong menolong)<br />

e. Patuh kepada imam (pemimpin)<br />

f. Cerdas dengan ilmu membaca dan menulis (iqra’ dan kalam/menulis )<br />

Pertumbuhan budaya adat Aceh, andainya menjadi bagian kesetiaan<br />

dalam konteks harkat dan martabat identitas keacehan, menghadapi tantangan<br />

sebaran budaya global, maka wujud budaya idealis, akan mudah adaptatis,<br />

akselirasasi dan berakumulasi secara kompetitif dan terprogram.<br />

Muatan budaya adat Aceh sebagaimana tersebut diatas, secara teori<br />

memenuhi pandangan-pandangan yang dikemukakan antara lain oleh :<br />

a. E.B.Taylor dalam bukunya : Primitive Culture, Boston, 1871, dengan<br />

rumusan : Culture or Civilization is that complex whole whitch includes<br />

knowledge, belief, art, morals, law, customs and any other capabilities,<br />

acquired by man as a member of society. (E.M.K.Masinambau, Hukum<br />

dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2000,<br />

hal.1)<br />

Maksudnya; Budaya adalah suatu peradaban yang mengandung berbagai<br />

nilai ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasan dan<br />

berbagai kemampuan rekayasa (keterampilan) seseorang sebagai anggota<br />

masyarakat3<br />

b. Abidin Hasyim, formula dasar kebudayaan Aceh, dengan<br />

mengemukakan, bahwa: Kebudayaan Aceh telah menemukan<br />

identitasnya yang bernafas keislaman. Sistem tata nilailah yang menjadi<br />

tolak ukur untuk menyaring pengaruh baru dari luar, mana yang bisa<br />

diterima dan mana yang harus ditolak. Sistem tata nilai Islam yang<br />

dianut masyarakat Aceh, dalam menghadapi pengaruh modern, bukanlah<br />

pertentangan antara keislaman tradisional dengan modern, sebab Islam<br />

tidak berwatak tradisional, karena padanya terkandung pula unsur-unsur<br />

modern (Seksi Seminar PKA-3, Bunga Rampai Temu Budaya Nasional,<br />

tulisan Abidin Hasyim, bertajuk: Kebudayaan Aceh Dalam Dilema<br />

Konflik dan Konsensus, hal.195)<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


c. Soejito Sastrodiharjo, dalam topik tulisannya, Hukum Adat dan Realitas<br />

Penghidupan, dengan mengangkat dan setuju dengan pandangan<br />

Kluckhohn, yang mengatakan :.<br />

Nilai itu merupakan ”a conception of desirable”. Pada nilai ada beberapa<br />

tingkatan, yaitu nilai primer dan nilai sekunder. Nilai primer merupakan<br />

pegangan hidup bagi suatu masyarakat (abstrak), misalnya: kejujuran,<br />

keadilan, keluhuran budi dan lain-lain, sedangkan nilai skunder adalah<br />

nilai-nilai yang berhubungan dengan kegunaan, misalnya dasar-dasar<br />

menerima keluarga berencana atau untuk memecahkan persoalan yang<br />

sedang dihadapi. Nilai skunder muncul sesudah penyaringan nilai primer.<br />

Kemajuan yang dicapai oleh Jepang, disebabkan karena orang Jepang<br />

mempertahankan nilai-nilai primernya, tetapi mengubah nilai-nilai<br />

skundernya (M.Syamsuddin, dkk, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum,<br />

Fak.Hukum U<strong>II</strong>, Yogyakarta, 1998, hal 113 )<br />

Untuk memelihara tumbuhnya adat istiadat Aceh, ada dua kawasan yang<br />

perlu diprogramkan pengembangan apresiasi adat, dimana para tokoh<br />

adat (leading) sektor dengan perangkatnya amat berperan di dalamnya,<br />

yaitu kawasan Gampong dan kawasan Mukim<br />

(http://www.acehforum.or.id/wujud-budaya-aceh 05/06/2008)<br />

Dalam konteks budaya ideal, aktualisasi produk paket-paket budaya<br />

adat, dapat memasuki pasar global, dengan memperhatikan beberapa<br />

unsur, sebagai berikut:<br />

1. Berakhlak agamis: kuat aqidah dalam penegakan syiar dan syariat Islam.<br />

2. Berjiwa adatis: Penampilan prilaku yang adatis, dengan norma-norma<br />

adat dalam upacara-upacara kekhidmatan, bernilai ekonomi, harkat dan<br />

martabat. 3. Bertata Etika: budaya adat yang transparan (bermasyarakat,<br />

beraturan, berencana, berorganisasi, bergerak dan rensponsif), dibawah<br />

manajemen Keuchik dan perangkatnya.<br />

4. Bertata Estetika. implimentas kreasi, apersiasi dalam format dengan<br />

nilai-nilai seni keindahan, bersih anggun, menarik (cantik), penuh nilainilai<br />

martabat yang santun, kebanggaan dan berwibawa.<br />

5. Pengembangan nilai-nilai sejarah: Gedung memorial, monumen Daerah<br />

Modal, Monumen Perjuangan, Istimewa, Serambi Mekah, Syariat Islam,<br />

musium alat-alat teknologi pertanian tradisional, transportasi, musium<br />

perikanan, musium kereta api dan lainnya.<br />

6. Tempat-tempat Rekreasi: Membangun pantai-pantai wisata, restoran,<br />

taman rekreasi, salon-salon, yang fasilitas penampilannya bernuansa adat<br />

dan Islami<br />

7. Membangun Panggung Festival: Menyediakan sarana festival seni yang<br />

bernafaskan Islam,menjadi media dakwah (kalender festival), dalail<br />

khairat, saman gayo, seudati, rapai, drama, tarian tradisional Aceh<br />

(klassik), tarian seni modern (Islami), pameran seni lukis, kaligrafi,<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


makanan dan pakaian adat. Peranan pengusaha, secara komersial dan<br />

terprogram permanen. Membangun taman-taman hiburan untuk<br />

penyaluran minat kreasi, hiburan anak-anak yang tetap dan permanen.<br />

Taman rekreasi sungai Aceh<br />

8. Membangun maket-maket souvenir Aceh: Memperbanyak kegiatan<br />

bisinis bidang jasa melalui toko-toko souvenir, pakaian adat, kue-kue<br />

Aceh, barang-barang antik Aceh, barang perhiasan, keramik dan lain-lain.<br />

(http://www.acehforum.or.id/wujud-budaya-aceh 05/06/2008.)<br />

Menurut Parsons (1950-1960) terdapat fungsi-fungsi atau kebutuhan<br />

tertentu yang harus dipenuhi oleh setiap sistem yang hidup demi kelestarian.<br />

Dan pokok penting dalam kebutuhan fungsional ini adalah pertama, yang<br />

berhubungan dengan lingkungan. Kedua, yang berhubungan dalam percapaian<br />

sasaran atau tujuan serta saran yang perlu untuk mencapai tujuan tersebut.<br />

Berdasarkan premis itu Parsons menciptakan empat kebutuhan fungsional :<br />

1. A- Adaptation ( Adaptasi )<br />

a. Bahwa semua sistem sosial berawal dari hubungan dua orang<br />

sampai sistem sosial yang lebih besar dan rumit, harus mampu<br />

menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dihadapinya baik<br />

itu lingkungan fisik maupun sosial.<br />

b. Harus terdapat suatu penyesuaian dari sistem itu terdapat<br />

tuntutan kenyataan yang keras dan mungkin tak dapat di ubah<br />

dari lingkungan.<br />

c. Juga dapat di lakukan proses transformasi aktif dari situasi itu,<br />

yakni menggunakan keadaan lingkungan sebagai alat untuk<br />

mencapai tujuan.<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


2. G – Goal Attaiment ( Percapaian Tujuan )<br />

Persyaratan ini sama sekali tidak sulit untuk dimengerti. Setiap orang<br />

dalam tindakannya selalu mempunyai tujuan tertentu. Namun<br />

demikian, bukan tujuan individu yang dipentingkan disisi, melainkan<br />

tujuan bersama antara mereka yang termasuk dalam sistem interaksi<br />

itu.<br />

3. I- Integration ( Ingrasi )<br />

Agar suatu sistem sosial dapat berfungsi secara efektif, maka<br />

diperlukan adanya tingkatan solidaritas diantara individu-individu<br />

terlibat. Masalah integrasi merujuk pada kebutuhan untuk menjamin<br />

bahwa ikatan emosional yang mampu menghasilkan solidaritas dan<br />

kerelaan untuk bekerja sama dikembangkan dan di pertahankan.<br />

4. L – Latent Pattern Maintenance ( Pemeliharaan Pola-Pola Yang Laten<br />

)<br />

Latent berarti tersembunyi, atau yang tidak kelihatan, Pattern berarti<br />

Pola, sedangkan Maintenance berarti Pemeliharaan. Permasalahan<br />

yang mendasar yang berhubungan dengan persyaratan ini adalah<br />

menjawab pertanyaan berikut : kalau sistem sosial itu menghadapi<br />

kemungkinan bahaya perpecahan karena anggotanya berjalan keluar<br />

dari rel, apa yang harus dibuat oleh sistem itu ? jawaban atas<br />

pertanyaan ini adalah bagaimana pola sistem ini mempertahankan diri<br />

dari kehancuran dan pola ini tidak kelihatan. ( Latent )<br />

Dalam perspektif Fungsionalis suatu masyarakat dilihat sebagai suatu<br />

jaringan kelompok kerja sama yang secara teroganisasi yang bekerja dalam<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


suatu cara yang agak teratur. Menurut seperangkat peraturan dan nilai yang di<br />

anut oleh sebagian besar masyarakat tersebut, masyarakat di pandang sebagai<br />

suatu sistem yang stabil dan suatu sistem kerja yang selaras dan seimbang (<br />

Paul Horton, 1984:23 ).<br />

Parsons yakin bahwa metodelogi yang paling memadai adalah<br />

metodelogi ‘’ Fungsionalisme Struktural ‘’, menurutnya teori yang tepat<br />

adalah mengenai proses dinamis tidak ada, tetapi memang terdapat<br />

kemungkinan untuk menganalisis regularitas dalam terjadinya pelbagai relasi,<br />

yang bisa dianggap sebagai “ struktur’’ gagasan mengenai fungsi berguna agar<br />

kita terus mengamati apa yang disumbangkan oleh sesuatu bagian dari struktur<br />

terhadap sistem yang dianalisis, atau tepatnya apa fungsi yang dijalankan<br />

dalam sistem itu. Ia menyayangkan bahwa ia disebut sebagai ‘’ seorang<br />

funsionalis struktural ‘’, sebab ia bermaksud tetap memisahkan fungsi, yang<br />

merupakan istilah penjelas, dari pasangan deskriptifnya, yakni struktur dan<br />

proses.<br />

Sebagaimana Teori Struktural Fungsional dalam konsep AGIL yang di<br />

kemukakan oleh Talcott Parsons mengenai Integrasi (Integration), maka<br />

posisi agama sangatlah berfungsi dalam menguatkan struktur dalam<br />

masyarakat dimana agama sangat berperan dan doktrin untuk selalu berbuat<br />

baik dan berhubungan sesama insan. Untuk mencapai kebahagiaan dunia dan<br />

akhirat, maka dengan demikian adanya peraturan nilai-nilai agama dan<br />

hukum-hukum yang secara kolektif diberlakukan kepada umatnya, dengan<br />

tujuan untuk dipatuhi secara kolektif juga. Sehingga tumbuhnya rasa<br />

kebersamaan dan tanggung jawab sosial secara bersama untuk menegakkan<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


dan merealisasikan nilai-nilai agama secara bersama-sama. Disinilah<br />

masyarakat terintegrasi sebagaimana yang di kemukakan oleh Talcott Parsons.<br />

2.7 DEFINISI OPERASIONAL<br />

Definisi Operasional dimaksudkan untuk mempermudah pengertian<br />

terhadap fenomena yang ada sehingga dapat menjadi panduan bagi peneliti<br />

untuk menindak lanjutin fenomena tersebut. Beberapa konsep penting yang<br />

terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :<br />

1. Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan<br />

sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia dan keseluruhan bangunan<br />

dari peraturan dalam agama Islam baik lewat syari’at, fikih, dan<br />

pengembangannya seperti fatwa, qanun, qiyasah dan lain-lain.<br />

2. Syari’at Islam ialah seperangkat peraturan atau tutunan ajaran islam<br />

tentang kehidupan, yaitu ‘’susunan, peraturan dan ketentuan yang di<br />

Syari’atkan oleh Tuhan dengan lengkap atau pokoknya saja, supaya<br />

manusia mempergunakannya dalam mengatur hubungan dengan Tuhan,<br />

hubungan dengan saudara seagama, hubungan dengan saudaranya sesama<br />

manusia serta dengan alam besar dan kehidupan.<br />

3. Qanun: Peraturan pemerintah daerah Nanggro Aceh Darussalam yang di<br />

Hidupkan kembali setelah hilang beberapa Tahun lamanya<br />

4. Kontrol Sosial Merupakan semua proses yang ditempuh dan sarana yang<br />

digunakan oleh masyarakat untuk membatasi kemungkinan terjadinya<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran norma sosial oleh individu<br />

warga masyarakat.<br />

5. Pengendalian sosial (social Kontrol) adalah berbagai cara yang<br />

digunakan masyarakat untuk menertibkan anggota yang membangkang<br />

yaitu dengan membujuk, memperolok-olok, mendesas-desuskan,<br />

mempermalukan dan mengucilkan, atau pun dipaksa untuk menyesuaikan<br />

diri pada kebiasaan dan nilai hidup kelompok<br />

6. Meunasah adalah suatu tempat yang digunakan masyarakat gampoeng<br />

yang mempunyai banyak fungsi diantara lain sebagai tempat<br />

melaksanakan shalat lima waktu, mendamaikan orang bersengketa, tempat<br />

pengajian, melaksanakan acara rapat, dll.<br />

7. Gampong adalah Kesatuan masyarakat hukum yang merupakan<br />

organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah mukim yang<br />

menempati wilayah tertentu, dipimpin oleh Keuchik dan yang berhak<br />

menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.<br />

8. Wilayatul Hisbah (Polisi Syari’at Islam) adalah pemberi ingat dan<br />

badan pengawas yaitu bertugas mengawasi, membina, dan melakukan<br />

advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang<br />

Syari’at Islam dalam rangka melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar<br />

(Perda, 2006: 179)<br />

9. Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong (Qanun, No.5 Tahun 2003)<br />

10. Khamar dan sejenisnya adalah minuman yang memabukkan, apabila<br />

dikonsumsi dapat menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran, dan daya<br />

pikir (Qanun 12/ 03, ps 1 angka 20)<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


11. Maisir (Perjudian) adalah kegiatan dan atau perbuatan yang bersifat<br />

taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang menang<br />

mendapatkan bayaran (Qanun 13/03,ps 1 angka 20)<br />

12. Khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang<br />

mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa<br />

ikatan perkawinan (Qanun 14/03,ps 1 angka 20).<br />

13. Berbusana Islami adalah suatu kewajiban bagi umat muslim untuk<br />

menutup aurat (bagian anggota badan) yang haram di perlihatkan kepada<br />

orang lain (yang bukan muhrim)<br />

14. Shalat Jum’at adalah suatu kewajiban bagi laki-laki dewasa yang<br />

dilaksanakan pada setiap hari jum’at dengan berjama’ah.<br />

15. Hukuman/Sanksi adalah suatu tindakan yang di berikan kepada si<br />

pelanggar qanun, dalam bentuk peringatan, penjara, cambuk, denda uang<br />

dengan tujuan masyarakat dapat memetuhi qanun.<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!