Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...
Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...
Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
2.1. Definisi Kanker Paru<br />
BAB 2<br />
TINJAUAN PUSTAKA<br />
Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru,<br />
mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari<br />
luar paru (metastasis tumor di paru). Namun dalam penelitian ini, yang<br />
dimaksud dengan kanker paru adalah kanker paru primer, yaitu tumor ganas<br />
yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus (bronchogenic<br />
carcinoma). 18<br />
2.2. Epidemiologi Kanker Paru<br />
Kanker paru masih menjadi salah satu keganasan yang paling sering,<br />
berkisar 20% dari seluruh kasus kanker pada laki-laki dengan risiko terkena 1<br />
dari 13 orang dan 12% dari semua kasus kanker pada perempuan dengan<br />
risiko terkena 1 dari 23 orang. Di Inggris rata-rata 40.000 kasus baru<br />
dilaporkan setiap tahun. Perkiraan insidensi kanker paru pada laki-laki tahun<br />
2005 di Amerika Serikat adalah 92.305 dengan rata-rata 91.537 orang<br />
meninggal karena kanker. 19 American Cancer Society mengestimasikan<br />
kanker paru di Amerika Serikat pada tahun 2010 sebagai berikut : 20<br />
- Sekitar 222.520 kasus baru kanker paru akan terdiagnosa (116.750 orang<br />
laki-laki dan 105.770 orang perempuan).<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
- Estimasi kematian karena kanker paru sekitar 157.300 kasus (86.220 pada<br />
laki-laki dan 71.080 pada perempuan), berkisar 28% dari semua kasus<br />
kematian karena kanker.<br />
Risiko terjadinya kanker paru sekitar 4 kali lebih besar pada laki-laki<br />
dibandingkan perempuan dan risiko meningkat sesuai dengan usia: di Eropa<br />
insidensi kanker paru 7 dari 100.000 laki-laki dan 3 dari 100.000 perempuan<br />
pada usia 35 tahun, tetapi pada pasien >75 tahun, insidensi 440 pada laki-laki<br />
dan 72 pada perempuan. Variasi insidensi kanker paru secara geografik yang<br />
luas juga dilaporkan dan hal ini terutama berhubungan dengan kebiasaan<br />
merokok yang bervariasi di seluruh dunia. 19<br />
Di Indonesia data epidemiologi belum ada. Di Rumah Sakit<br />
Persahabatan jumlah kasus tumor ganas intratoraks cukup sering ditemukan.<br />
Kekerapan kanker paru di rumah sakit itu merupakan 0.06% dari jumlah<br />
seluruh penderita rawat jalan dan 1.6% dari seluruh penderita rawat inap. 18<br />
2.3. Faktor Risiko dan Etiologi Kanker Paru<br />
Banyak penelitian menyatakan bahwa merokok merupakan penyebab<br />
utama kanker paru, dengan periode laten antara dimulainya merokok dengan<br />
terjadinya kanker paru adalah 15-50 tahun. Selain itu, jumlah pack rokok<br />
dalam 1 tahun yang dihabiskan dan usia dimulainya merokok, sangat erat<br />
dihubungkan dengan risiko terjadinya kanker paru. Variasi geografik dan pola<br />
dari insidensi kanker paru baik pada laki-laki maupun perempuan<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
erhubungan dengan kebiasaan merokok. Di Asia kebiasaan merokok masih<br />
tinggi, tetapi angka kebiasaan merokok pada laki-laki berkurang. Angka<br />
kebiasaan merokok pada perempuan Asia masih rendah, tetapi sekarang<br />
semakin meningkat pada perempuan-perempuan usia muda. 21<br />
Penyebab lain dari kanker paru adalah polusi udara, paparan terhadap<br />
arsen, asbestos, radon, chloromethyl ethers, chromium, mustard gas,<br />
penghalusan nikel, hidrokarbon polisiklik, beryllium, cadmium, dan vinyl<br />
chloride. Insidensi kanker paru yang lebih tinggi juga ditemukan pada<br />
industri-industri gas-batu bara, proses penghalusan logam. Predisposisi<br />
genetik juga memegang peranan dalam etiologi kanker paru. 19<br />
2.4. Diagnosis Kanker Paru<br />
2.4.1. Manifestasi Klinis<br />
Manifestasi klinis baik tanda maupun gejala kanker paru sangat<br />
bervariasi. Faktor-faktor seperti lokasi tumor, keterlibatan kelenjar getah<br />
bening di berbagai lokasi, dan keterlibatan berbagai organ jauh dapat<br />
mempengaruhi manifestasi klinis kanker paru. 22<br />
Manifestasi klinis kanker paru dapat dikategorikan menjadi : 19,22<br />
2.4.1.1. Manifestasi Lokal Kanker Paru (Intrapulmonal Intratorakal)<br />
Gejala yang paling sering adalah batuk kronis dengan/tanpa produksi<br />
sputum. Produksi sputum yang berlebih merupakan suatu gejala karsinoma sel<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
onkoalveolar (bronchoalveolar cell carcinoma). Hemoptisis (batuk darah)<br />
merupakan gejala pada hampir 50% kasus. Nyeri dada juga umum terjadi dan<br />
bervariasi mulai dari nyeri pada lokasi tumor atau nyeri yang lebih berat oleh<br />
karena adanya invasi ke dinding dada atau mediastinum. Susah bernafas<br />
(dyspnea) dan penurunan berat badan juga sering dikeluhkan oleh pasien<br />
kanker paru. Pneumonia fokal rekuren dan pneumonia segmental mungkin<br />
terjadi karena lesi obstruktif dalam saluran nafas. Mengi unilateral dan<br />
monofonik jarang terjadi karena adanya tumor bronkial obstruksi. Stridor<br />
dapat ditemukan bila trakea sudah terlibat.<br />
2.4.1.2. Manifestasi Ekstrapulmonal Intratorakal<br />
Manifestasi ini disebabkan oleh adanya invasi/ekstensi kanker paru ke<br />
struktur/organ sekitarnya. Sesak nafas dan nyeri dada bisa disebabkan oleh<br />
keterlibatan pleura atau perikardial. Efusi pleura dapat menyebabkan sesak<br />
nafas, dan efusi perikardial dapat menimbulkan gangguan kardiovaskuler.<br />
Tumor lobus atas kanan atau kelenjar mediastinum dapat menginvasi atau<br />
menyebabkan kompresi vena kava superior dari eksternal. Dengan demikian<br />
pasien tersebut akan menunjukkan suatu sindroma vena kava superior, yaitu<br />
nyeri kepala, wajah sembab/plethora, lehar edema dan kongesti, pelebaran<br />
vena-vena dada. Tumor apeks dapat meluas dan melibatkan cabang simpatis<br />
superior dan menyebabkan sindroma Horner, melibatkan pleksus brakialis dan<br />
menyebabkan nyeri pada leher dan bahu dengan atrofi dari otot-otot kecil<br />
tangan. Tumor di sebelah kiri dapat mengkompresi nervus laringeus rekurens<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
yang berjalan di atas arcus aorta dan menyebabkan suara serak dan paralisis<br />
pita suara kiri. Invasi tumor langsung atau kelenjar mediastinum yang<br />
membesar dapat menyebabkan kompresi esophagus dan akhirnya disfagia.<br />
2.4.1.3. Manifestasi Ekstratorakal Non Metastasis<br />
Kira-kira 10-20% pasien kanker paru mengalami sindroma<br />
paraneoplastik. Biasanya hal ini terjadi bukan disebabkan oleh tumor,<br />
melainkan karena zat hormon/peptida yang dihasilkan oleh tumor itu sendiri.<br />
Pasien dapat menunjukkan gejala-gejala seperti mudah lelah, mual, nyeri<br />
abdomen, confusion, atau gejala yang lebih spesifik seperti galaktorea<br />
(galactorrhea). Produksi hormon lebih sering terjadi pada karsinoma sel kecil<br />
dan beberapa sel menunjukkan karakteristik neuro-endokrin. Peptida yang<br />
disekresi berupa adrenocorticotrophic hormone (ACTH), antidiuretic<br />
hormone (ADH), kalsitonin, oksitosin dan hormon paratiroid. Walaupun kadar<br />
peptide-peptida ini tinggi pada pasien-pasien kanker paru, namun hanya<br />
sekitar 5% pasien yang menunjukkan sindroma klinisnya. Jari tabuh (clubbing<br />
finger) dan hypertrophic pulmonary osteo-arthropathy (HPOA) juga termasuk<br />
manifestasi non metastasis dari kanker paru. Neuropati perifer dan sindroma<br />
neurologi seperti sindroma miastenia Lambert-Eaton juga dihubungkan<br />
dengan kanker paru.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Tabel 1. Sindroma Paraneoplastik 19<br />
Sering terjadi Jarang terjadi<br />
Secara umum<br />
Anoreksia<br />
Kaheksia<br />
Penurunan berat badan<br />
Jari tabuh<br />
HPOA<br />
Demam<br />
Endokarditis marantik<br />
Endokrin<br />
Hiperkalsemia<br />
SIADH<br />
Hematologi<br />
Anemia<br />
Polisitemia<br />
Jaringan ikat/vaskulitis<br />
Dermatomiositis/polimiositis<br />
Systemic Lupus Erythematosus<br />
Kulit<br />
Acanthosis nigricans<br />
Iktiosis didapat<br />
Keratoderma palmoplantar<br />
didapat<br />
Dermatomiositis<br />
Eritema annulare<br />
Dermatitis eksfoliatif<br />
Pemfigus<br />
Pruritis<br />
Hiperkalsitonemia<br />
Hipoglikemia<br />
Hipofosfatemia<br />
Asidosis laktat<br />
Hematologi<br />
Amiloidosis<br />
Eosinofilia<br />
Lekositosis<br />
Reaksi lekoeritroblastik<br />
Polisitemia<br />
Trombositopenia<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Neurologi<br />
Sindroma miastenia Lam<br />
bert-Eaton<br />
Neuropati perifer<br />
Endokrin<br />
Akromegali<br />
Sindroma karsinoid<br />
Sindroma Cushing<br />
Ginekomastia<br />
2.4.1.4. Manifestasi Ekstratorakal Metastasis<br />
Neurologi<br />
Neuropati otonomik<br />
Degenerasi serebelar<br />
Ensefalitis limbic<br />
Mielinosis pontin<br />
Retinopati<br />
Ginjal<br />
Glomerulonefritis<br />
Tubulointerstitial<br />
Penurunan berat badan >20% dari berat badan sebelumnya (bulan<br />
sebelumnya) sering mengindikasikan adanya metastasis. Pasien dengan<br />
metastasis ke hepar sering mengeluhkan penurunan berat badan. Kanker paru<br />
umumnya juga bermetastasis ke kelenjar adrenal, tulang, otak, dan kulit.<br />
Keterlibatan organ-organ ini dapat menyebabkan nyeri local. Metastasis ke<br />
tulang dapat terjadi ke tulang mana saja namun cenderung melibatkan tulang<br />
iga, vertebra, humerus, dan tulang femur. Bila terjadi metastasis ke otak, maka<br />
akan terdapat gejala-gejala neurologi, seperti confusion, perubahan<br />
kepribadian, dan kejang. Kelenjar getah bening supraklavikular dan servikal<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
anterior dapat terlibat pada 25% pasien dan sebaiknya dinilai secara rutin<br />
dalam mengevaluasi pasien kanker paru.<br />
2.4.2. Pemeriksaan Fisik<br />
Pemeriksaan fisik sangat penting dalam mendiagnosis suatu penyakit.<br />
Tumor paru ukuran kecil dan terletak di perifer dapat memberikan gambaran<br />
normal pada pemeriksaan fisik. Tumor dengan ukuran besar, terlebih bila<br />
disertai atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau<br />
penekanan vena kava akan memberikan hasil yang informatif. Pada pasien<br />
kanker paru dapat ditemukan demam, kelainan suara pernafasan pada paru,<br />
pembesaran pada kelenjar getah bening, pembesaran hepar, pembengkakan<br />
pada wajah, tangan, kaki, atau pergelangan kaki, nyeri pada tulang, kelemahan<br />
otot regional atau umum, perubahan kulit seperti rash, daerah kulit<br />
menghitam, atau bibir dan kuku membiru, pemeriksaan fisik lainnya yang<br />
mengindikasikan tumor primer ke organ lain. 22<br />
2.4.3. Pemeriksaan Radiologi<br />
2.4.3.1. Foto toraks<br />
Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral, kelainan dapat dilihat bila<br />
massa tumor berukuran >1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi<br />
yang ireguler, disertai indentasi pleura, tumor satelit, dan lain-lain. Pada foto<br />
toraks juga dapat ditemukan invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi<br />
perikard dan metastasis intrapulmoner. 22<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Pemberian OAT pada penderita golongan risiko tinggi yang tidak<br />
menunjukkan perbaikan atau bahkan memburuk setelah 1 bulan harus<br />
menimbulkan pemikiran kemungkinan kanker paru dan melakukan<br />
pemeriksaan penunjang lain sehingga kanker paru dapat disingkirkan.<br />
Pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah pemberian antibiotik<br />
selama 1 minggu juga harus menimbulkan dugaan kemungkinan tumor di<br />
balik pneumonia tersebut. 18<br />
Tabel 2. Gambaran foto toraks berdasarkan tipe histologi kanker paru. 2<br />
Gambaran<br />
radiologi<br />
Karsinoma<br />
sel<br />
skuamosa<br />
Adenokar<br />
sinoma<br />
Karsinoma<br />
sel kecil<br />
Karsinoma<br />
sel besar<br />
Nodul ≤4 cm 14% 46% 21% 18%<br />
Lokasi perifer 29% 65% 26% 61%<br />
Lokasi sentral 64% 5% 74% 42%<br />
Massa<br />
hilar/perihilar<br />
40% 17% 78% 32%<br />
Kavitas<br />
Keterlibatan<br />
5% 3% 0% 4%<br />
pleura/dinding<br />
dada<br />
3% 14% 5% 2%<br />
Adenopati hilar 38% 19% 61% 32%<br />
Adenopati<br />
mediastinum<br />
5% 9% 14% 10%<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
2.4.3.2. CT scan toraks<br />
CT scan toraks (Computerized Tomographic Scans) dapat mendeteksi<br />
tumor yang berukuran lebih kecil yang belum dapat dilihat dengan foto toraks,<br />
dapat menentukan ukuran, bentuk, dan lokasi yang tepat dari tumor oleh<br />
karena 3 dimensi. CT scan toraks juga dapat mendeteksi pembesaran kelenjar<br />
getah bening regional. 22 Tanda-tanda proses keganasan tergambar dengan<br />
baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intrabronkial,<br />
atelektasis, efusi pleura yang tidak massif dan telah terjadi invasi ke<br />
mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala. Demikian juga<br />
ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner. Pemeriksaan<br />
CT scan toraks sebaiknya diminta hingga suprarenal untuk dapat mendeteksi<br />
ada/tidak adanya pembesaran KGB adrenal. 18<br />
2.4.3.3. MRI (Magnetic Resonance Imaging Scans)<br />
MRI tidak rutin digunakan untuk penjajakan pasien kanker paru. Pada<br />
keadaan khusus, MRI dapat digunakan untuk mendeteksi area yang sulit<br />
diinterpretasikan pada CT scan toraks seperti diafragma atau bagian apeks<br />
paru (untuk mengevaluasi keterlibatan pleksus brakial atau invasi ke<br />
vertebra). 22<br />
2.4.3.4. PET scan (Positron Emission Tomography)<br />
PET scan merupakan teknologi yang relatif baru. Molekul glukosa<br />
yang memiliki komponen radioaktif diinjeksikan ke dalam tubuh kemudian<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
scan diambil. Banyaknya radiasi yang digunakan sangat kecil. Sel-sel kanker<br />
mengambil lebih banyak glukosa daripada sel yang normal karena sel-sel<br />
kanker bertumbuh dan bermultiplikasi dengan cepat. Oleh karena itu, jaringan<br />
dengan sel kanker tampak lebih terang daripada jaringan yang normal. Tumor<br />
primer, kelenjar getah bening dengan sel-sel keganasan, dan tumor metastasis<br />
tampak sebagai spot yang terang pada PET scan. 22<br />
PET scan tidak rutin digunakan sebagai tes diagnostik lini pertama<br />
untuk kanker paru, kadang digunakan setelah foto toraks atau CT scan toraks<br />
untuk membedakan antara tumor jinak dan ganas. PET scan khusus digunakan<br />
untuk mendeteksi penyebaran tumor ke kelenjar getah bening regional dan<br />
metastasis jauh. Bagaimanapun, terdapat beberapa kondisi yang lain dari<br />
kanker yang juga dapat menyebabkan gambaran positif PET scan. Gambaran<br />
PET scan sebaiknya diinterpretasikan dengan hati-hati dan dikorelasikan<br />
dengan hasil pemeriksaan penunjang lainnya. 22<br />
2.4.4. Sitologi Sputum<br />
Sputum adalah sekret abnormal yang berasal/diekspektorasikan dari<br />
sistem bronkopulmoner. Sputum bukanlah air liur (saliva) dan bukan pula<br />
berasal dari nasofaring. Sputum yang dibatukkan oleh seorang pasien<br />
mengindikasikan adanya suatu proses patologis pada sistem bronkopulmoner<br />
yang sedang berlangsung. Sputum terdiri dari material seluler, non seluler,<br />
dan non pulmoner tergantung dari proses patologis yang mendasarinya.<br />
Komponen seluler terdiri dari sel-sel inflamasi atau sel darah merah dari<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
saluran nafas, sel-sel bronkial dan alveolar yang dieksfoliasikan, atau sel-sel<br />
keganasan dari tumor paru. Sel-sel non pulmoner seperti sel-sel skuamosa<br />
orofaring atau sisa-sisa makanan yang dapat menjadi bagian dari sputum<br />
apabila mengalami aspirasi ke paru dan kemudian dibatukkan. Air merupakan<br />
komponen utama dari sputum (90%), selebihnya terdiri dari protein, enzim,<br />
karbohidrat, lemak, dan glikoprotein. Yang dapat dievaluasi dari sputum<br />
adalah karakteristik fisiknya, mikroorganismenya, adanya sel-sel keganasan,<br />
proses inflamasi, dan perubahan patologis dari mukosa bronkus. 23<br />
Analisa sputum dapat melengkapi pemeriksaan CT scan toraks, oleh<br />
karena sel-sel tumor yang terletak di saluran nafas sentral akan ber-eksfoliatif<br />
ke dalam sputum lebih banyak dibandingkan sel-sel tumor yang berada di<br />
perifer. 24 Dasar dari gambaran sitologi sel-sel epitel bronkus mengalami<br />
eksfoliatif ke dalam sputum dapat memprediksikan risiko terjadinya kanker<br />
paru yaitu dari pemikiran bahwa perubahan sitologi sel epitel bronkus karena<br />
sel-sel mengalami progresi melalui tahapan-tahapan dari inflamasi menjadi<br />
kanker paru. Dasar ini dibuktikan dengan sering ditemukannya gambaran<br />
metaplasia skuamosa bronkus dan sel-sel atipik pada kanker paru yang invasif,<br />
dan penemuan dari beberapa kasus bahwa pasien-pasien dengan sitologi<br />
sputum yang jelek atau atipik sedang memiliki risiko yang tinggi untuk<br />
menderita kanker paru. 25<br />
Pemeriksaan sitologi sputum saat ini menjadi satu-satunya metode non<br />
invasif yang dapat mendeteksi kanker paru dan lesi-lesi pre-keganasan secara<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
dini. Walaupun spesifitas sitologi sputum konvensional sangat tinggi (98%),<br />
namun sensitivitasnya sangat rendah. 24 Sitologi sputum memiliki spesifitas<br />
99% dan sensitivitas 66%, tetapi sensitivitas lebih tinggi pada lesi-lesi sentral<br />
(71%) dibandingkan dengan lesi perifer (49%). 6,14 Jenis sel tumor, lokasi, dan<br />
ukuran tumor mempengaruhi sensitivitas sitologi sputum. Cakupan diagnostik<br />
paling tinggi pada karsinoma skuamosa dan karsinoma sel kecil, tetapi paling<br />
rendah pada adenokarsinoma. Tumor yang lokasinya di sentral atau berada di<br />
lobus bawah dan berdiameter >2 cm memiliki cakupan yang lebih tinggi.<br />
Sitologi sputum memiliki akurasi 50-80% tergantung dari derajat diferensiasi<br />
sel-sel tumor. Tumor berdiferensiasi buruk akan lebih sulit untuk menentukan<br />
subtipe-nya. Pada pasien-pasien dengan tumor perifer yang berukuran kecil<br />
yang dapat dideteksi dengan CT scan toraks, hanya sekitar 4-11% kasus yang<br />
dapat dideteksi dengan sitologi sputum saja, dan 7-15% kasus dapat terdeteksi<br />
dengan kedua modalitas tersebut. 24,26 Pemeriksaan sitologi sputum sangat<br />
bergantung pada kemampuan untuk mengumpulkan sampel sputum yang<br />
adekuat, yang mencakup elemen-elemen seluler saluran nafas bawah. Akurasi<br />
diagnostik dari sitologi sputum, bagaimanapun, tergantung dari pengambilan<br />
sampel (minimal 3 sampel) dan teknik pengumpulan sputum, serta lokasi<br />
(sentral atau perifer) dan ukuran tumor. Blocking dkk. telah menunjukkan<br />
bahwa sensitivitas sitologi sputum dari 1 sampel berkisar 68%, dari 2 sampel<br />
berkisar 78%, dan dari ≥3 sampel berkisar 85-86%. 14 Cara yang paling mudah<br />
adalah dengan cara batuk spontan di pagi hari, dengan mengumpulkan tiga<br />
buah sampel sputum sekuensial I selama 3 hari dan 3 buah sampel sputum<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
sekuensial <strong>II</strong> selama 3 hari, untuk mendapatkan sputum yang sama adekuat<br />
dengan sputum induksi NaCl 3%. Sampel sputum sekuensial <strong>II</strong> dapat<br />
mencakup lebih banyak kelainan dibandingkan dengan sekuensial I, oleh<br />
karena pasien sudah belajar membatukkan. Pada pasien-pasien yang tidak<br />
dapat mengeluarkan sputum secara spontan, induksi dengan NaCl 3% dapat<br />
lebih efektif. Perkusi dan vibrasi dada juga dapat meningkatkan cakupan<br />
diagnostik sputum. 25,27 Sputum pertama di pagi hari atau sputum setelah/post<br />
bronkoskopi cenderung memiliki cakupan diagnostik yang lebih tinggi.<br />
Cakupan diagnostik dari hanya satu sampel sputum berkisar 40%, namun<br />
dengan pengumpulan yang berulang dapat mencapai >80% dari 4 sampel<br />
sputum. Bila ditangani oleh tenaga yang terampil, maka kekerapan terjadinya<br />
“false-postive” tidak melebihi dari 1%. 26<br />
Terdapat dua metode untuk mengumpulkan/fiksasi sputum untuk<br />
pemeriksaan sitologi sputum, yaitu teknik pick-and-smear (sputum<br />
langsung/segar) dan teknik Saccomanno (blended). Teknik pick-and-smear<br />
merupakan metode yang cepat, sederhana, dan murah untuk mengumpulkan<br />
sputum, dimana sputum yang segar diperiksakan fragmen-fragmen<br />
jaringannya, darah, atau keduanya. Apusan dibuat dengan segera dan difiksasi<br />
dalam etanol 95%. Modifikasi dari metode ini adalah teknik fiksasi<br />
Saccomanno, dimana sputum dikumpulkan dalam larutan etanol 50% dan<br />
polietilen glikol (carbowax) 2%. Sputum yang terkumpul kemudian<br />
dihomogenisasi dalam blender dan dikonsentrasikan dengan menggunakan<br />
sentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Beberapa sediaan apus (smears) dapat dibuat dari material seluler yang telah<br />
dikonsentrasikan (sedimen), dengan menggunakan dua buah kaca objek,<br />
dikeringkan di udara ruangan selama minimal 1 jam, kemudian diwarnai<br />
dengan teknik Papanicolaou. Larutan fiksasi Saccomanno yang mengandung<br />
carbowax lebih efektif/superior dibandingkan dengan hanya menggunakan<br />
etanol saja. Keuntungan dari teknik fiksasi Saccomanno ini adalah<br />
pengumpulan sampel sputum yang homogen, pengawetan sel-sel yang lama,<br />
dan preparasi sel yang tipis (thin-layer cell preparation). Sedangkan<br />
kekurangannya adalah pemecahan agregat-agregat sel dan fragmen-fragmen<br />
jaringan sewaktu homogenisasi, serta membutuhkan tenaga laboran yang<br />
terampil. 25,27,28<br />
Pada penelitian Rizzo dkk., lebih banyak sel yang dapat didiagnosis<br />
dan ditemukan pada sputum yang dikumpulkan dengan teknik fiksasi<br />
Saccomanno daripada teknik pick-and-smear. Lebih banyak informasi<br />
diagnostik dan lebih sedikit terjadinya negatif palsu bila menggunakan teknik<br />
Saccomanno. 11<br />
Kategori diagnostik untuk pemeriksaan sitologi meliputi : 28<br />
a. Tidak dapat didiagnosis (non-diagnostic specimens)<br />
Bila pada spesimen tidak terdapat materi seluler, hanya ditemukan adanya<br />
sel-sel darah atau artefak-artefak sewaktu preservasi. Termasuk dalam<br />
kategori ini adalah specimen yang terdiri dari elemen-elemen seluler jinak<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
(epitel, makrofag, sel-sel inflamasi). Dalam hal ini harus dikemukakan<br />
alasan kenapa dimasukkan ke dalam kategori ini.<br />
b. Lesi jinak spesifik (specific benign lesions)<br />
Kategori ini meliputi semua neoplasma jinak, proses inflamasi, dan apusan<br />
pada proses infeksi (jamur, mycobacterium, dan bakteri), serta harus<br />
dideskripsikan secara spesifik, seperti jinak-hamartoma, jinak-inflamasi<br />
granuloma yang sesuai dengan tuberculosis, dan lain sebagainya.<br />
c. Atipikal, kemungkinan jinak (atypical cells present, probably benign)<br />
Kategori ini digunakan bila ditemukan komponen epitel atau mesenkim<br />
dengan inti atipik (nuclear atypia) sebagai perubahan yang reaktif atau<br />
reparatif (reparative). Diagnosis ini tidak berdiri sendiri tetapi<br />
membutuhkan korelasi patologi klinik dan pemeriksaan tambahan bila ada<br />
indikasi secara klinis.<br />
d. Atipikal, curiga keganasan (atypical, suspicious malignancy)<br />
Kategori ini meliputi specimen yang menunjukkan gambaran atipik yang<br />
diyakini berisiko tinggi terjadinya keganasan (sel-sel sangat abnormal).<br />
e. Keganasan (malignancy)<br />
Kategori ini dibuat bila ditemukan adanya diagnosis definitif keganasan,<br />
disertai dengan jenis histologi karsinoma. Harus dideskripsikan apakah<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
keganasan berasal dari epital atau non-epitel, dan bila berasal dari epitel,<br />
harus dijabarkan lebih lanjut apakah sel kecil (small cell) atau bukan sel<br />
kecil (non small cell) ataukah metastasis. Oleh karena itu sangat<br />
dibutuhkan korelasi dengan klinis.<br />
Sitologi sputum telah dipublikasikan sebagai metode untuk mengetahui<br />
risiko terjadinya kanker paru. Saccomanno dkk. melaporkan progresi dari<br />
perubahan sitologi sampai menjadi karsinoma pada populasi risiko tinggi di<br />
Colorado Barat. Perubahan morfologi sitologi ini dapat mendeteksi dini<br />
kanker paru dan perubahan lesi-lesi pre-keganasan dapat terdeteksi beberapa<br />
tahun sebelum diagnosis kanker paru ditegakkan secara klinis. 6,18 Telah<br />
dilaporkan dalam beberapa penelitian bahwa atipik berat akan berisiko 45%<br />
berkembang menjadi kanker paru dalam 2 tahun. Pada penelitian Johns<br />
Hopkins dalam National Cancer Institute Cooperative Early Lung Cancer<br />
Detection Project, dinyatakan bahwa atipik sedang juga berisiko berkembang<br />
menjadi kanker paru. Sebanyak 40% pasien dengan atipik sedang berkembang<br />
menjadi kanker paru dalam waktu yang lama, dibandingkan dengan 3% pasien<br />
non atipik. 27<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Gambar 1A Gambar 1B<br />
Gambar 1. Sitologi sputum 27<br />
Keterangan :<br />
1A. Pewarnaan Papanicolaou dari sel-sel bronkus yang normal pada<br />
sputum, dengan inti yang eksentrik dan sitoplasma apical yang<br />
banyak.<br />
1B. Pewarnaan Papanicolaou dari sel-sel bronkus pada sputum dengan<br />
Induksi sputum<br />
atipik sedang, sel eosinofilik dengan rasio inti : sitoplasma besar,<br />
membran inti ireguler, dan nukleolus yang berbeda.<br />
Sputum yang didapatkan menggambarkan bagian bronkus. Sputum<br />
berisi hasil sekresi dari sel-sel epitel dan submukosa pernafasan. Dengan<br />
induksi didapatkan sputum yang adekuat dari saluran nafas bawah. Induksi<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
sputum juga mengandung saliva, transudat, dan larutan sodium klorid. Tujuan<br />
induksi sputum adalah mengumpulkan sampel yang cukup dari saluran nafas<br />
individu yang tidak dapat mengeluarkan sputum secara spontan. Induksi<br />
sputum dapat menstimulasi batuk yang lebih produktif. 23 Sputum induksi<br />
mempunyai korelasi dengan BAL dan kumbah bronkus (bronchial washing)<br />
tetapi lebih kecil dibandingkan dengan biopsi bronkus. 8<br />
Belum ada metode standar untuk induksi sputum. Prinsip yang ada<br />
pada berbagai metode ialah : 8<br />
1. Pengobatan awal dengan bronkodilator (salbutamol) kerja singkat<br />
2. Monitoring faal paru<br />
3. Nebulisasi dengan nebulizer ultrasonik/jet nebulizer<br />
4. Konsentrasi cairan saline umumnya 3%, 4%, atau 5%.<br />
Efek samping dari nebulisasi jarang terjadi, umumnya berupa pusing<br />
(dizziness) karena hiperventilasi atau mual (nausea) karena larutan saline<br />
hipertoniknya. 29 Selain itu dapat terjadi juga bronkospasme terutama pada<br />
pasien-pasien dengan riwayat asma, dapat dicegah dengan pemberian<br />
bronkodilator (salbutamol 2.5 mg) sebelum pemberian cairan saline.<br />
Pemberian saline hipertonik lebih efektif dibandingkan saline normal dalam<br />
hal menginduksi pengeluaran sputum. Tidak ada perbedaan hasil komposisi<br />
sel akibat perbedaan konsentrasi saline. Penggunaan nebulizer ultrasonik lebih<br />
berhasil dibandingkan dengan nebulizer jet. 8,27 Menurut Marek dkk. induksi<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
sputum dapat dilakukan dengan inhalasi NaCl 3% selama 20 menit (disertai<br />
dengan 2.5 mg Salbutamol dalam 20 ml NaCl 3%). 30<br />
Pada kondisi normal, sel-sel epitel yang melapisi pohon<br />
trakeobronkial berdampingan (koheren) dengan ketat dan tidak dapat<br />
dieksfoliasikan dengan mudah ke dalam sputum. Oleh karena itu, pertanda<br />
yang paling baik dari batuk yang dalam (sputum adekuat) adalah adanya<br />
fagosit alveolar. Sebaliknya, air liur (saliva) ditandai oleh adanya sel-sel<br />
skuamosa superfisial dari mukosa mulut, sering dengan partikel-partikel<br />
makanan dan debris-debris seluler dan aselular. Kadang air liur pasti<br />
menyertai/bercampur dengan sputum; seorang ahli harus dapat<br />
mengidentifikasi dan memisahkan sputum dari air liur sebelum pemrosesan. 29<br />
Sputum Post Bronkoskopi<br />
Ada beberapa teknik diagnostik yang biasanya dilakukan pada<br />
tindakan bronkoskopi, terutama bronkoskopi serat optik lentur/fleksibel, yaitu<br />
washing, sikatan bronkus/brushing, bronchoalveolar lavage/BAL, biopsi<br />
bronkus, dan juga sitologi sputum post bronkoskopi. Penelitian-penelitian<br />
terdahulu menyatakan sputum post bronkoskopi merupakan diagnostik yang<br />
valid. 31<br />
Pada penelitian Kvale, Bode, dan Kini (1976), tindakan bronkoskopi<br />
dilakukan pada 228 orang pasien. Penelitian bersifat prospektif untuk<br />
menentukan teknik pengambilan spesimen yang mana yang memberikan<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
cakupan diagnostik paling besar dalam mendiagnosis kanker paru, apakah<br />
sputum post bronkoskopi masih menjadi metode yang paling akurat, seperti<br />
waktu hanya bronkoskopi kaku (rigid bronchoscopy) yang tersedia.<br />
Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan sitologi dilakukan dari sikatan<br />
bronkus (brushing), biopsi bronkus, sikatan bronkus dalam larutan saline,<br />
cucian bronkus (washing), dan tiga buah sampel sputum post bronkoskopi<br />
selama 16-20 jam setelah tindakan post bronkoskopi. Sikatan bronkus dan<br />
biopsi bronkus memiliki cakupan diagnostik yang tinggi (65%), sedangkan<br />
sputum post bronkoskopi kurang (40%). Kombinasi sikatan bronkus dan<br />
biopsi bronkus memberikan akurasi yang paling optimal (79%). Sedangkan<br />
kombinasi washing dan sputum post bronkoskopi tidak meningkatkan cakupan<br />
diagnostik yang bermakna. Namun ada peneliti-peneliti lainnya yang<br />
memikirkan bahaya terjadinya hipoksemia oleh karena instilasi larutan saline<br />
ke dalam saluran napas pada saat bronkoskopi. Spesimen sputum post<br />
bronkoskopi dapat menempati peranan tersendiri. Walaupun pasien yang<br />
koperatif dapat melakukannya sendiri di rumah atau rumah sakit, tetapi<br />
tanggung jawab tersebut tetap berada pada tenaga paramedis. 17<br />
Penelitian Funahashi dkk. (1979) melakukan tindakan bronkoskopi<br />
pada 273 orang pasien untuk menentukan juga peranan aspirasi bronkus dan<br />
sputum post bronkoskopi (setelah prosedur, dalam 4 jam setelah prosedur,<br />
dan 24 jam setelah prosedur) dalam penegakan diagnosis kanker paru.<br />
Didapatkan hasil sensitivitas kombinasi sitologi aspirasi bronkus dengan<br />
sputum post bronkoskopi meningkat dari 41% (17 orang menunjukkan hasil<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
positif dari 41 pasien yang tidak tampak kelainannya secara bronkoskopi)<br />
menjadi 61% (25 orang positif dari 41 pasien yang tidak tampak kelainannya<br />
secara bronkoskopi). Sedangkan kombinasi biopsi forseps dan sikatan<br />
bronkus memiliki cakupan sebesar 97% (61 orang positif dari 63 orang<br />
pasien dengan tumor yang terlihat secara bronkoskopi). 16<br />
Larutan Fiksasi Saccomanno<br />
Saccomanno merupakan larutan fiksasi yang terdiri dari etanol 50%<br />
dan polietilen glikol (carbowax) 2%. Etanol dapat diencerkan dari cairan<br />
etanol 96% dengan perbandingan 26 ml etanol 96% ditambah dengan 24 ml<br />
akuades. Polietilen glikol (PEG) atau yang disebut juga dengan<br />
carbowax/carbowax sentry, Lipoxol, Lutrol E, Pluriol E. PEG adalah produk<br />
polimerasi dari etilen oksida atau produk kondensasi dari etilen glikol.<br />
Pemilihan kondisi reaksinya diperoleh produk dengan tingkat polimerasi yang<br />
berbeda, yang dinyatakan dengan berat molekul rata-rata. Dalam penelitian ini<br />
yang dipakai sebagai campuran Saccomanno adalah PEG 400, yang memiliki<br />
rumus kimia :<br />
H-(O-CH2-CH2)nOH dengan n = 8.2 dan 9.1<br />
PEG 400 adalah cairan kental jernih, tidak berwarna, praktis tidak berwarna,<br />
bau khas lemah, agak higroskopik, larut dalam air, etanol 95%, aseton, dan<br />
hidrokarbon aromatik. PEG bersifat bakterisida, penyimpanannya selama<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
eberapa bulan tidak perlu mengkhawatirkan adanya pencemaran bakteri, oleh<br />
karena itu tidak diperlukan pengawetan sediaan. 32<br />
2.4.5. Bronkoskopi<br />
Bronkoskopi adalah tindakan medis yang bertujuan untuk melakukan<br />
visualisasi trakea dan bronkus, melalui bronkoskop, yang berfungsi dalam<br />
prosedur diagnostik dan terapi penyakit paru. 33 Bronkoskopi dengan tujuan<br />
diagnostik dapat diandalkan untuk mengambil jaringan atau bahan agar dapat<br />
dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan ada tidaknya massa intra<br />
bronkus atau perubahan mukosa saluran nafas, seperti terlihat kelainan<br />
mukosa, misalnya berbenjol-benjol, hiperemis, atau stenosis infiltratif, mudah<br />
berdarah. Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar<br />
getah bening, yaitu dengan menilai karina yang terlihat tumpul akibat<br />
pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus. Tampakan<br />
yang abnormal sebaiknya diikuti dengan tindakan biopsi tumor/dinding<br />
bronkus, bilasan, sikatan atau kerokan bronkus. 18<br />
Jenis Bronkoskopi<br />
Berdasarkan bentuk dan sifat alat bronkoskopi, saat ini dikenal dua<br />
macam bronkoskopi, yaitu Bronkoskopi Kaku (Rigid) dan Bronkoskopi Serat<br />
Optik Lentur (BSOL)/Fleksibel. 33<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL)/Fleksibel<br />
Bronkoskopi ini mulai diperkenalkan oleh Shigeta Ikedo pada<br />
International Congress on Diseases of The Chest ke-9 di Kopenhagen tahun<br />
1966. 33 Bronkoskopi serat optik lentur (BSOL) juga dikenal sebagai Fiber<br />
Optic Bronchoscopy (FOB), atau Flexible Bronchoscopy (FB) umumnya<br />
digunakan untuk diagnostik invasif dan tindakan terapeutik. 33,34<br />
Gambar 2. Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL). 34<br />
Indikasi BSOL/FB baik untuk diagnostik antara lain adalah<br />
hemoptisis/batuk darah, adanya wheezing/stridor, infiltrat paru yang tidak<br />
diketahui etiologinya, kolaps paru yang tidak diketahui penyebabnya, curiga<br />
karsinoma paru, massa mediastinal/hilus, trauma dada/ruptur saluran nafas<br />
sentral, dan lain-lain. Sedangkan kontraindikasinya adalah : 35<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
a. Kontraindikasi absolut (hipoksemia yang tidak dapat dikoreksi, pasien<br />
inkooperatif, kurangnya keterampilan operator maupun fasilitas/peralatan,<br />
unstable angina, aritmia yang tidak terkontrol).<br />
b. Kontraindikasi relatif (hiperkarbia yang berat, asma yang tidak terkontrol,<br />
koagulopati yang tidak terkoreksi, unstable cervical spine, membutuhkan<br />
pengambilan spesimen dalam jumlah banyak, debilitas, usia lanjut,<br />
malnutrisi).<br />
Pengambilan Spesimen<br />
Dengan menggunakan bronkoskop dapat dilakukan berbagai teknik<br />
pengambilan spesimen untuk dilakukan pemeriksaan sitologi ataupun<br />
histopatologi yang sangat penting untuk membantu menegakkan diagnosa.<br />
Spesimen dapat diambil dengan cara, seperti : 35<br />
1. Cucian bronkus (bronchial washing)<br />
Manfaat cucian bronkus ini kebanyakan adalah untuk diagnosis<br />
penyakit saluran napas termasuk tumor paru primer ataupun sekunder dan<br />
infeksi jamur atau mikobakterium. Cucian bronkus merupakan<br />
pengambilan spesimen yang paling mudah tetapi memiliki cakupan<br />
diagnostik yang paling kecil dalam tindakan bronkoskopi (sensitivitas 27-<br />
90%), dengan cakupan yang paling besar untuk lesi-lesi sentral.<br />
2. Sikatan bronkus (bronchial brushing)<br />
Pertama kali diperkenalkan tahun 1973 dan menunjukkan cakupan<br />
diagnostik yang cukup tinggi pada kebanyakan kasus kanker paru.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Umumnya sikatan bronkus ini positif pada 72% kasus kanker paru sentral<br />
dan 45% kasus kanker paru perifer, tetapi bila dikombinasikan dengan<br />
biopsi endobronkial lesi sentral akan mencakup 79-96% kasus. Biasanya<br />
sikatan bronkus dilakukan setelah semua spesimen diambil untuk<br />
mencegah terjadinya perdarahan atau distorsi sel yang akan mengaburkan<br />
interpretasi sewaktu tindakan bronkoskopi.<br />
3. Protected Specimen Brush<br />
Pertama kali diperkenalkan tahun 1979 oleh Wimberley dkk.<br />
sebagai suatu teknik pengambilan untuk mendapatkan diagnosis yang<br />
akurat pada pasien-pasien pneumonia. Pada kasus VAP (Ventilator-<br />
associated pneumonia), sensitivitasnya berkisar antara 58-86% dan<br />
spesifisitasnya 71-100%. Namun sekarang, teknik ini kurang dipopulerkan<br />
lagi.<br />
4. Bronchoalveolar Lavage (BAL)<br />
Teknik ini merupakan prosedur standar diagnostik pada semua<br />
pasien yang dicurigai mengalami kelainan paru difus (infeksi, non infeksi,<br />
imunologik, atau keganasan). BAL mencakup komponen seluler maupun<br />
non seluler dari lapisan cairan alveolus dan permukaan epitel saluran<br />
napas bawah, mewakili proses inflamasi dan status imun dari saluran<br />
napas bawah dan alveoli. BAL dianjurkan bila ada kemungkinan<br />
terjadinya perdarahan saat dilakukannya sikatan bronkus, biopsi<br />
transbronkial, aspirasi jarum transbronkial, ataupun bila tidak ada fasilitas<br />
fluoroskopi. BAL juga dapat mendiagnosis kanker paru primer perifer<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
dengan cakupan diagnostik sekitar 33-69%, bronkoalveolar carcinoma,<br />
maupun lymphangitic carcinomatosis.<br />
5. Biopsi endobronkial<br />
Teknik ini sangat penting dan sederhana untuk mendiagnosis<br />
kanker paru, dilakukan pada lesi-lesi yang jelas terlihat selama<br />
bronkoskopi. Biopsi endobronkial memiliki cakupan diagnostik berkisar<br />
antara 51-97%. Tiga sampel biopsi yang diambil dari lesi endobronkial<br />
akan memberikan cakupan sebesar 97%, tetapi bisa menunjukkan hasil<br />
yang negatif palsu bila terdapat nekrosis perifer.<br />
6. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)<br />
TBNA merupakan teknik yang sensitif, akurat, aman, dan efektif<br />
secara finansial untuk diagnosis maupun penentuan stadium kanker paru.<br />
Pada beberapa kasus juga dapat digunakan untuk lesi-lesi benign (jinak).<br />
Prinsipnya tidak ada kontraindikasi absolut dari TBNA. Sindroma vena<br />
kava superior (SVKS) merupakan kontraindikasi relatif TBNA oleh karena<br />
dapat menyebabkan risiko perdarahan. Penegakan diagnosis dan staging<br />
karsinoma bronkogenik dapat menggunakan jarum sitologi ukuran 21-22<br />
gauge, tetapi untuk lesi jinak dan limfoma menggunakan jarum yang lebih<br />
besar (19-gauge). Pada kanker paru TBNA memiliki sensitivitas 60-90%,<br />
spesifisitas 98-100%, dan akurasi 60-90%. Sedangkan untuk mediastinal<br />
staging TBNA memiliki sensitivitas 50%, spesifisitas 96%, dan akurasi<br />
78%. TBNA juga aman dipakai pada pasien-pasien yang menggunakan<br />
ventilasi mekanik.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
7. Biopsi transbronkial<br />
1. Normal<br />
Teknik ini menggunakan forseps yang fleksibel yang diposisikan<br />
ke lesi-lesi perifer (parenkim paru) melalui bronkoskop fleksibel. Pada<br />
beberapa keadaan teknik ini dapat menggantikan biopsi paru terbuka (open<br />
lung biopsy). Teknik ini memiliki sensitivitas berkisar antara 38-79%<br />
(rata-rata 52%) tergantung dari kelainan yang mendasarinya. Biasanya<br />
dibuat 6-10 sampel dengan menggunakan tuntunan fluoroskopi. Bila<br />
dilakukan bersamaan dengan sikatan bronkus dan aspirasi jarum<br />
transbronkial (TBNA) maka akan meningkatkan cakupan diagnostik untuk<br />
kanker paru yang perifer.<br />
Penilaian visualisasi saluran trakeobronkial (tracheobronchial system) : 36<br />
Gambar 3. Percabangan bronkus yang dapat dilihat bronkoskopis pada<br />
posisi pasien telentang (supine). 36<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
2. Perubahan inflamasi<br />
Inflamasi dapat bersifat generalisata (generalized) seperti pada bronkitis<br />
kronis, atau terlokalisasi (localized) misalnya inflamasi di sekitar benda asing<br />
(corpus alineum). Dapat juga bersifat akut (pneumonia segmental) atau kronis<br />
(tuberkulosis). Perubahan inflamasi meliputi :<br />
a. Mukosa hiperemis dan vaskuler bertambah (merah gelap atau beefy-red).<br />
Mukosa bronkus yang normal berwarna merah muda kepucatan (palepink)<br />
atau peach-coloured.<br />
Gambar 4. Perubahan inflamasi pada bronkitis kronis. 36<br />
b. Pembengkakan (swelling)<br />
Pada inflamasi yang ringan, sudut karina dapat sedikit tumpul atau<br />
kabur, atau hilangnya kontur kartilago bronkus. Sedangkan pada inflamasi<br />
yang berat, bronkus dapat menyempit.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
c. Sekresi<br />
Mukosa yang normal hanya memproduksi sedikit mukus yang<br />
jernih untuk tujuan pembersihan. Pada inflamasi, sekresi dapat menjadi<br />
kental, misalnya mukoid berlebihan (bronkitis kronis), mukus kental dan<br />
tebal, membentuk plug (asma), secret purulen (infeksi berat, bronkitis<br />
purulen).<br />
d. Perubahan lokal (localized changes)<br />
Reaksi lokal mendukung pada kemungkinan adanya pneumonia,<br />
abses paru, tuberkulosis, inhalasi benda asing, bronkiektasis, kanker paru,<br />
dan lain-lain.<br />
e. Perubahan lainnya (associated changes)<br />
Terutama dapat terlihat pada pasien-pasien PPOK (Penyakit Paru<br />
Obstruktif Kronis), yang meliputi atrofi submukosa, hipertrofi dinding<br />
membran bronkiolus-bronkiolus kecil.<br />
f. Tuberkulosis<br />
Dapat terlihat inflamasi endobronkial atau distorsi lumen<br />
trakea/bronkus oleh karena limfadenopati ekstrabronkial.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
g. Tumor paru<br />
utama :<br />
Secara bronkoskopi, tumor paru dapat terlihat dalam tiga bentuk<br />
- Distorsi dari bronkus karena tekanan dari luar pada pohon bronkus;<br />
limfadenopati sekunder mengakibatkan karina melebar, dinding<br />
trakea/bronkus utama menonjol.<br />
- Keterlibatan dinding bronkus dengan distorsi lokal atau ulserasi mukosa.<br />
- Pertumbuhan intralumen bisa berasal dari tumor itu sendiri, perluasan dari<br />
massa tumor, atau rupturnya kelenjar getah bening ke dinding bronkus.<br />
Pertumbuhan intralumen dapat terjadi sebagian atau total menutupi lumen<br />
bronkus.<br />
Karakteristik bronkoskopi :<br />
- Tampak massa berlobus-lobus atau nekrotik dan berwarna putih/krem,<br />
bercak-bercak darah dan pelebaran pembuluh darah di permukaan mukosa<br />
bronkus.<br />
2.5. Klasifikasi Kanker Paru<br />
Klasifikasi kanker paru secara histologi dibagi menjadi 4 jenis untuk<br />
kebutuhan klinis, yaitu : 18<br />
1. Karsinoma skuamosa (karsinoma epidermoid)<br />
2. Karsinoma sel kecil (small cell carcinoma)<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
3. Adenokarsinoma (adenocarcinoma)<br />
4. Karsinoma sel besar (large cell carcinoma)<br />
Dalam 1554 data-data yang dikombinasikan dari penelitian-penelitian<br />
di Cancer Incidence in Five Continents, dinyatakan bahwa karsinoma sel kecil<br />
berkisar 20% dari seluruh kasus dan karsinoma sel besar/undifferentiated<br />
sekitar 9%. Namun tipe histologi lainnya berbeda berdasarkan jenis kelamin,<br />
yaitu: karsinoma sel skuamosa sekitar 44% dari seluruh kasus kanker paru<br />
pada laki-laki dan 25% pada perempuan, sedangkan adenokarsinoma sekitar<br />
28% pada laki-laki dan 42% pada perempuan. 2<br />
Karsinoma sel skuamosa merupakan tipe histologi kanker paru yang<br />
paling sering pada laki-laki. Insidensinya pada laki-laki menurun sejak awal<br />
tahun 1980-an, berbeda dengan adenokarsinoma, insidensinya semakin<br />
meningkat sampai tahun 1990-an. Pada pertengahan tahun 1990-an<br />
adenokarsinoma menjadi tipe histologi kanker paru yang paling banyak pada<br />
laki-laki di Amerika Serikat. Di negara-negara barat lainnya, karsinoma sel<br />
skuamosa masih menjadi tipe yang paling banyak pada laki-laki. Pada<br />
perempuan, adenokarsinoma menjadi tipe yang paling sering (± 1/3 kasus),<br />
demikian juga insidensinya semakin meningkat. 21 Adenokarsinoma terutama<br />
banyak ditemukan pada perempuan-perempuan Asia (72% dari kasus kanker<br />
di Jepang, 65% di Korea, 61% di Cina Singapura). 2 Perbedaan tipe histologi<br />
tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan kebiasaan merokok secara<br />
epidemi. 2,21<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
2.6. Sitologi Kanker Paru<br />
2.6.1. Karsinoma Sel Skuamosa<br />
Karsinoma sel skuamosa adalah suatu tumor epitel ganas yang<br />
menunjukkan keratinisasi skuamosa dan keratinisasi intraselular dengan/tanpa<br />
intercellular bridges, yang berasal dari epitel bronkus. Sinonimnya adalah<br />
karsinoma epidermoid. Pada umumnya karsinoma sel skuamosa ini berada<br />
sentral di bronkus utama, bronkus lobar atau segmental. Tidak jarang<br />
karsinoma sel skuamosa memiliki kavitas. 2,24<br />
Manifestasi sitologi dari karsinoma sel skuamosa bergantung pada<br />
derajat diferensiasi histologi dan jenis sampelnya. Pada latar belakang<br />
nekrosis dan debris seluler, sel tumor yang besar menunjukkan inti (nukleus)<br />
hiperkromatik yang ireguler dan terletak di tengah, dengan satu atau lebih<br />
anak inti (nukleolus) dan sitoplasma yang sedikit. Sel tumor biasanya<br />
terisolasi dan dapat menunjukkan bentuk bizarre, seperti bentuk spindle dan<br />
tadpole. Sel-sel tampak dalam bentuk agregat yang kohesif, biasanya bentuk<br />
datar dengan nukleus yang panjang atau spindel. Pada karsinoma sel skuamosa<br />
yang berdiferensiasi baik, sitoplasma yang berkeratin tampak seperti robin’s<br />
egg blue pada pewarnaan Romanowsky, sedangkan dengan pewarnaan<br />
Papanicolaou, tampak berwarna orange atau kuning. Pada sampel yang<br />
eksfoliatif, lebih dominan sel-sel berasal dari permukaan tumor dan tampak<br />
sebagai sel yang mengalami keratinisasi sitoplasma prominen dan nukleus<br />
piknotik yang gelap. Sebaliknya, pada sikatan bronkus, sel-sel berasal dari<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
lapisan yang lebih dalam, menunjukkan jauh lebih banyak agregat yang<br />
kohesif. 2<br />
Gambar 5A Gambar 5B Gambar 5C<br />
Gambar 5. Sitologi karsinoma sel skuamosa. 2<br />
5A. Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi (pewarnaan Papanicolaou).<br />
5B. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (pewarnaan Papanicolaou).<br />
5C. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (aspirasi jarum halus,<br />
pewarnaan Papanicolaou).<br />
2.6.2. Adenokarsinoma<br />
Adenokarsinoma adalah suatu tumor epitel ganas dengan diferensiasi<br />
glandular atau produksi mukus, menunjukkan bentuk pertumbuhan asinar,<br />
papiler, bronkioloalveolar, atau solid dengan mukus, atau campuran dari<br />
bentuk-bentuk tersebut. Adenokarsinoma biasanya berada di perifer. 2,15<br />
Klasifikasi WHO membagi tumor ini menjadi tipe asinar atau papilar,<br />
walaupun dalam prakteknya kedua tipe ini bisa didapatkan bersamaan dalam<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
satu tumor. Keduanya cenderung memproduksi mukus. Klasifikasi WHO<br />
juga meliputi karsinoma bronkioloalveolar (juga dikenal sebagai karsinoma<br />
sel alveolar) sebagai tipe adenokarsinoma. Penelitian dengan mikroskop<br />
elektronik menunjukkan bahwa tumor ini berasal dari sel epitel pada atau lebih<br />
distal dari bronkiolus terminalis. Secara inspeksi, batas tumor tampak kurang<br />
tegas dibandingkan dengan jenis lainnya, sering tampak sebagai nodul<br />
pulmoner multipel atau sebagai konsolidasi pneumonia perifer. Sel tumor<br />
sering mengalami eksfoliasi dan dapat dideteksi pada sputum. 24<br />
Diagnosis adenokarsinoma secara sitologi berdasarkan gabungan<br />
sitomorfologi sel secara individual dan tampilan kelompok-kelompok sel. Sel<br />
adenokarsinoma bisa sendiri atau tersusun dalam morula tiga dimensi, asinus,<br />
pseudopapila, papilla sejati dengan inti fibrovaskular, dengan/tanpa potongan<br />
sel. Batas kelompok sel tegas dan khas. Volume sitoplasma bervariasi tetapi<br />
biasanya relatif sedikit. Biasanya khas bersifat sianofilik dan lebih translusen<br />
dibandingkan dengan karsinoma sel skuamosa. Pada umumnya sitoplasma<br />
bersifat homogen atau granular dan sebagian bersifat ‘foamy’ oleh karena<br />
adanya vakuola-vakuola kecil. Vakuola besar, tunggal, yang berisi mukus<br />
banyak ditemukan, dan pada beberapa kasus, dapat meregangkan sitoplasma<br />
dan menekan nukleus ke satu arah, membentuk yang disebut signet-ring cell.<br />
Nukleus biasanya tunggal, eksentrik, berbentuk bulat sampai oval dengan<br />
kontur yang relatif halus dan sedikit ireguler. Kromatin cenderung bergranular<br />
halus dan tersebar pada tumor yang berdiferensiasi baik tetapi terdistribusi<br />
kasar dan ireguler atau hiperkromatik pada tumor yang berdiferensiasi buruk.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Pada kebanyakan tumor, nukleolus prominen dan secara khas bersifat tunggal,<br />
makronukleolus, bervariasi mulai dari halus sampai bulat ireguler. 2<br />
Gambar 6A Gambar 6B Gambar 6C<br />
Gambar 6. Sitologi adenokarsinoma. 2<br />
6A. Tiga dimensi, kelompok besar sel-sel ganas, dengan struktur nukleus yang<br />
tidak jelas, nukleolus, dan sitoplasma yang bervakuola halus (pewarnaan<br />
Papanicolaou).<br />
6B. Kelompok kohesif 3-dimensi dengan bentuk papilar (pewarnaan<br />
Papanicolaou).<br />
6C. Kelompok sel-sel ganas dengan batas sitoplasma yang kurang jelas, tetapi<br />
menunjukkan vakuolisasi (pewarnaan Papanicolaou).<br />
2.6.3. Karsinoma sel besar<br />
Karsinoma sel besar adalah kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil<br />
yang tidak berdiferensiasi, yang tidak menunjukkan gambaran karsinoma sel<br />
kecil dan glandular atau diferensiasi skuamosa. 2 Jenis tumor ini berkisar 15%<br />
dari kanker paru, heterogen, dan banyak peneliti menganggap karsinoma ini<br />
menjadi diagnosis keranjang sampah. 24 Karsinoma sel besar sebelumnya<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
disebut karsinoma anaplastik sel besar dan karsinoma sel besar tidak<br />
berdiferensiasi. Sebelum deskripsi istilah karsinoma neuroendokrin sel besar<br />
seperti tumor neuroendokrin sel besar, karsinoma neuroendokrin dengan<br />
diferensiasi sedang, tumor paru endokrin atipikal, dan karsinoma paru sel<br />
besar dengan diferensiasi neuroendokrin digunakan untuk tumor-tumor yang<br />
sekarang kita sebut sebagai karsinoma sel besar dengan diferensiasi<br />
neuroendokrin. Karsinoma sel besar dengan diferensiasi neuroendokrin<br />
dideskripsikan pada tahun 1991; karsinoma basaloid dipublikasikan pada<br />
tahun 1992, dan keduanya dikenal sebagai jenis yang jarang dalam klasifikasi<br />
WHO tahun 1999. 2<br />
Umumnya karsinoma sel besar tidak memiliki penampakan sitologi<br />
yang spesifik. Gambaran sitologi menunjukkan agregasi seluler; sel-sel jarang<br />
tersebar. Batas sel tidak jelas sehingga sinsitium sel tidak teratur. Nukleus<br />
bervariasi mulai dari bulat sampai bentuk yang sangat tidak teratur dengan<br />
kromatin inti yang ireguler. Nukleolus umumnya prominen. Sitoplasma<br />
basofilik, biasanya rasio inti: sitoplasma besar. Karsinoma sel besar dengan<br />
diferensiasi neuroendokrin menunjukkan gambaran neuroendokrin (inti<br />
palisade dan molding), tetapi dapat dibedakan dari karsinoma sel kecil dengan<br />
adanya nukleolus yang prominen dan nukleus lebih besar 3x dari diameter<br />
limfosit kecil. Karsinoma basaloid pada sediaan apusan terdiri dari sel tumor<br />
dan agregasi kohesif. Sel tumor bentuk spindel memiliki nukleus besar soliter<br />
dengan nukleolus yang besar, bercampur dengan sejumlah limfosit kecil.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Clear cell carcinoma terdiri dari sel-sel bulat yang besar dengan sitoplasma<br />
yang terang. 2<br />
Gambar 7. Sitologi karsinoma sel besar (pewarnaan Papanicolaou). 2<br />
2.6.4. Karsinoma sel kecil<br />
Karsinoma sel kecil adalah suatu tumor epitel ganas yang terdiri dari<br />
sel-sel kecil dengan sitoplasma yang jarang, batas sel yang tidak tegas,<br />
kromatin inti bergranular halus, dan nukleolus tidak ada. Sel-sel berbentuk<br />
bulat, oval dan spindel. Nuclear molding prominen. Secara tipikal nekrosis<br />
bersifat luas dan jumlah mitotik banyak. 2 Karsinoma sel kecil berkisar 20-<br />
25% dari kasus kanker paru, biasanya berasal dari bronkus sentral. Biasanya<br />
karsinoma sel kecil berkembang dengan cepat dan bermetastase dengan cepat<br />
dan luas (hepar, tulang, sistem saraf pusat, kelenjar getah bening, adrenal, dan<br />
organ abdomen lainnya). 24 Klasifikasi sebelumnya menggunakan istilah<br />
karsinoma sel oat, karsinoma anaplastik sel kecil, karsinoma sel kecil tidak<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
erdiferensiasi, tipe sel intermediet, dan kombinasi karsinoma sel kecil/sel<br />
besar, tetapi sekarang tidak dipergunakan lagi. 2<br />
Gambaran sitologi menunjukkan kelompok sel yang jarang, ireguler,<br />
atau sinsitium, sel-sel tumor umumnya tersusun dalam bentuk linear. Pada<br />
agregasi kohesif, nuclear molding terbentuk. Mitosis mudah terlihat. Masing-<br />
masing sel neoplastik memiliki rasio inti : sitoplasma yang besar dengan<br />
kontur inti yang ovoid sampai ireguler. Gambaran sel yang difiksasi dengan<br />
baik menunjukkan distribusi kromatin yang uniform dan bergranular halus,<br />
membentuk gambaran ‘salt and pepper’, sedangkan sel yang tidak terfiksasi<br />
dengan baik menunjukkan kromatin yang tidak berstruktur, warna biru gelap.<br />
Nukleolus yang jelas jarang didapat atau tidak ada. Oleh karena nukleus<br />
keganasan bersifat rapuh, gambaran kromatin biasanya tampak pada semua<br />
sediaan apusan, tetapi terutama pada biopsi aspirasi dan sikatan bronkus.<br />
Selain itu, latar belakang apusan sering menunjukkan badan-badan apoptotik<br />
dan debris nekrosis granular. 2<br />
Gambar 8. Kelompok sel dengan sitoplasma yang sedikit, nuclear molding, dan<br />
kromatin bergranular halus, nukleolus tidak ada, formasi rosette yang baru jadi. 2<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara