24.08.2015 Views

dengan perdagangan permasalahan mengingat Kabupatenkabupaten wilayah perbatasan

analisis antropologi hukum terhadap perdagangan lintas batas di ...

analisis antropologi hukum terhadap perdagangan lintas batas di ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

ANALISIS ANTROPOLOGI HUKUM TERHADAPPERDAGANGAN LINTAS BATAS DI KALIMANTAN BARAT(UPAYA PENCARIAN MODEL DAN POLA PERLINDUNGAN HUKUM)*HermansyahFakultas Hukum Universitas Tanjungpura PontianakE-mail: hermansyah_fh@yahoo.comAbstrackDue to its geographic location bordering directly with neighboring countries, the border in WestKalimantan as the outer limit of the state of Indonesia is one region that has not received attention,especially attention with regard to activities in the economic field. Cross Border Trade and Marketin the Border area, for example, is so much economic activity along the border there is a transactioninvolving the people who come from two different countries and have different legal systems. In theperspective of legal anthropology, it is probably legal system that applies to communities in theborder area showed such legal pluralism, if not addressed carefully, it did not rule out the tradeproblems that occur in communities in the border area will be sticking to the issue betweencountries, because of differences in existing law. Therefore, efforts to create a model that wouldbe able to accommodate the parties-such as community, nation and state of Indonesia-Malaysiawould need to be pursued, so the problem is not a legal issue to drag on the interests of each party.Key words: Cross Border Trade, legal systems and legal pluralism.AbstrakKarena kondisi geografis yang berbatasan secara langsung <strong>dengan</strong> Negara tetangga, maka KalimantanBarat merupakan salah satu <strong>wilayah</strong> Negara Indonesia yang berbatasan secara langsung <strong>dengan</strong>Negara tetangga yang belum mendapatkan perhatian terutama berkenaan <strong>dengan</strong> aktivitas<strong>perdagangan</strong> yang sudah berlangsung sejak lama. Perdagangan di daerah <strong>perbatasan</strong> merupakan<strong>perdagangan</strong> yang melibatkan dua warga Negara yang berbeda, terutama perbedaan sistem hukumyang ada. Dalam perspektif antropologi hukum, aturan yang ada dalam <strong>perdagangan</strong> di daerah<strong>perbatasan</strong> memperlihatkan pluralitas hukum. Oleh karena itu, perlu dicarikan sebuah model aturanyang mampu memberikan kepastian semua pihak jika terjadi sengketa dagang di pasar <strong>perbatasan</strong>.Kata Kunci: <strong>perdagangan</strong> daerah <strong>perbatasan</strong>, sistem hukum dan pluralisme hukumPendahuluanNegara Kesatuan Republik Indonesia <strong>dengan</strong>luas <strong>wilayah</strong> sekitar 5.800.000 km 2 beradapada posisi yang sangat strategis di antaranegara-negara di dunia, karena berada padaposisi silang di antara pertengahan jalur <strong>perdagangan</strong>dunia. Namun posisi yang strategis itudiperkirakan dapat menimbulkan berbagai <strong>permasalahan</strong>,apalagi <strong>mengingat</strong> semakin ter-* Tulisan ini merupakan hasil penelitian Hibah KompetensiDirektorat Jenderal Pendidikan Tinggi KementerianPendidikan Nasional Sesuai Dengan Surat PerjanjianPenugasan Hibah Kompetensi Nomor: 391/SP2H/PP/DP2M/VI/2010 tanggal 11 juni 2010.batasnya sumber daya alam, perkembangan danpertumbuhan ekonomi global dan regional.Permasalahan akan semakin kompleks <strong>mengingat</strong>bahwa berdasarkan data KementerianNegara Pembangunan Daerah Tertinggal 2005menunjukkan bahwa sebagian besar <strong>Kabupatenkabupaten</strong>di <strong>wilayah</strong> <strong>perbatasan</strong> tergolong <strong>wilayah</strong>tertinggal. Padahal kabupaten di <strong>wilayah</strong><strong>perbatasan</strong>, termasuk pulau-pulau kecil di <strong>perbatasan</strong>,memiliki peran yang menentukan


2 Jurnal Dinamika HukumVol. 11 No. 1 Januari 2011sebagai garda terdepan perekonomian bangsaIndonesia. 1Kondisi tersebut di atas kiranya yang menyebabkanberbagai persoalan, terutama kejahatanyang terjadi di daerah <strong>perbatasan</strong>seperti penebangan kayu secara ilegal (illegallogging), pencurian ikan (illegal fishing), <strong>perdagangan</strong>wanita dan anak (women and childtratdes), dan pemasukan imigran gelap (illegalimmigrants) atau illegal traffikcing in persons,dan penyelundupan baik manusia maupun barang(people, arms and explosives smuggling),serta berbagai konflik sosial dan politik yangterjadi di <strong>wilayah</strong>-<strong>wilayah</strong> <strong>perbatasan</strong>, dan lainsebagainya. Di mana kesemua persoalan tersebutpada akhirnya bisa berdampak keamanandan ketertiban negara, terutama keamanan danketertiban warga masyarakat yang tinggal di<strong>wilayah</strong> <strong>perbatasan</strong>. 2Di samping aktivitas yang sifatnya illegal,sesungguh di daerah <strong>perbatasan</strong> ada suatuaktivitas yang bernilai positif dan sudah lamadilakukan oleh masyarakat kedua negara yaituaktivitas <strong>perdagangan</strong>, dimana pada awalnyaaktivitas tersebut mereka lakukan sebagaibagian dari upaya mereka memenuhi kebutuhanhidup sehari-hari. Seperti sayur-sayuran, hasilalam seperti buah-buah dan lain sebagainya.Namun sehubungan <strong>dengan</strong> perkembangan zaman,maka produk yang diperjualbelikan tidaklagi beruapa sayuran, atau hasil alam sematamata,tetapi sudah mengarah kepada berbagaimacam produk yang merupakan hasil tehnologipada masing-masing negara. Mulai dari daripakaian, pangan sampai pada hasil kerajinanrakyat diperjual belikan disana.Sirikin, Lubuk Antu atau Sajingan adalahsekian banyak daerah <strong>perbatasan</strong> KalimantanBarat <strong>dengan</strong> Malaysia yang memperlihatkanaktivitas <strong>perdagangan</strong> sebagaimana yang di-12Mustafa Abubakar, 2006, Menata Pulau-pulau KecilPerbatasan: Belajar dari Kasus Sipadan, Ligitan danSebatik, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. viiiPoltak Partigo Nainggolan, “Masalah-masalah Keamanandi Perbatasan Indonesia <strong>dengan</strong> Negara-negara lain:Perspektif Tradisional dan Non-tradisional”, dalamNainggolan, Poltak Partigo (Ed.), 2004, Batas-batasWilayah dan Situasi Perbatasan di Indonesia: Ancamanterhadap Integritas Teritorial, Jakarta: Tiga Putra Utama,2004. hlm. 155-156maksud di atas. Bahkan masyarakat di daerahtersebut melakukan hubungan hukum tidakhanya dalam bentuk <strong>perdagangan</strong> saja, tetapijuga dalam bentuk lain seperti perkawinan.Belajar dari pengalaman dan kenyataanbahwa banyaknya barang-barang yang merupakanproduk bangsa indonesia yang diakui hakpatennya oleh Negara tentangga (terutamaMalaysia), maka adalah tepat jika <strong>perdagangan</strong>yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia didaerah <strong>perbatasan</strong> tersebut diatur sedemikianrupa sehingga akan tercipta perlindungan hukum,baik terhadap masyarakat Indonesia sendiriberserta berbagai produk yang diperjualbelikantersebut. Bahkan perlindungan hukumyang kiranya penting juga adalah bagaimanamemberikan perlindungan hukum jika dalamaktivitas <strong>perdagangan</strong> yang dilakukan tersebutdikemudian hari timbul permasalah sepertiwanprestasi atau diklaimnya produk kerajinanindonesia oleh negara tetangga. Pengabaianakan pemberian perlindungan hukum inilahyang kiranya merupakan salah satu penyebabsehingga banyaknya produk yang dihasilkanoleh bangsa Indonesia diakui dan dipatenkanoleh negara tetangga.Dari pra penelitian yang dilakukan, kiranyaselama ini belum ada satu model dan polaperlindungan hukum yang diberikan oleh negarakepada masyarakat yang melakukan aktivitas<strong>perdagangan</strong> di <strong>perbatasan</strong> kedua negara, terutamadalam hal ini perlindungan hukum darinegara. Memang selama ini masyarakat dikedua<strong>perbatasan</strong> tersebut telah mengembangkansistem dan model perlindungan hukum sendiriyang mereka lakukan secara turun temurun,seperti pola dan model negosiasi.PermasalahanMendasarkan pada paparan tersebut diatas, secara umum <strong>permasalahan</strong> dalam tulisanini adalah bagaimana perlindungan hukumterhadap aktivitas <strong>perdagangan</strong> yang ada didaerah <strong>perbatasan</strong>. Permasalahan ini menjadipenting <strong>mengingat</strong> belum adanya satu bentukperlindungan hukum yang diberikan terhadappara pelaku <strong>perdagangan</strong> yang ada di daerah<strong>perbatasan</strong> yang keberadaannya sudah lama


Analisis Antropologi Hukum Terhadap Perdagangan Lintas Batas … 3dilakukan oleh masyarakat yang ada di daerah<strong>perbatasan</strong> tersebut, sementara jika dilihatdari subyek hukum yang ada pada pasar <strong>perbatasan</strong>adalah subyek hukum yang berasal daridua negara yang bertentangga (Malaysia danKalimantan Barat) yang memiliki sistem danbudaya hukum yang berbeda satu <strong>dengan</strong> yanglainnya serta banyaknya <strong>permasalahan</strong> hukumyang muncul dalam aktivitas <strong>perdagangan</strong><strong>perbatasan</strong> tersebut.Metode PenelitianRiset tentang aktivitas <strong>perdagangan</strong> lintasbatas di <strong>wilayah</strong> <strong>perbatasan</strong> Kalimantan Barat(Indonesia) <strong>dengan</strong> Malaysia <strong>dengan</strong> MalaysiaUtara, terutama di tiga titik daerah <strong>perbatasan</strong>yaitu daerah Sirikin (Kabupaten Bengkayang),Lubuk Antu (Kabupaten Kapuas Hulu) danSajingan (Kabupaten Sambas) menggunakanparadigma konstruktivisme, <strong>dengan</strong> menggunakanberbagai macam pendekatan seperti pendekatankualitatif, dialietikal, analisis kasus, 3dan pendekatan budaya.Teknik penentuan dan pengambilan sumberinformasi menggunakan teknik snow ball(bola salju). Melalui ‘semi-structured interview’,peneliti berpedomankan pada daftarpertanyaan yang disusun secara terbuka sehinggamemberikan kesempatan untuk probingatau melakukan penyelidikan/pemeriksaan lebihjauh. Penggunaan teknik probing ini dimaksudkan agar narasumber (informan) memilikikesempatan untuk mengemukakan pendapatnyatentang apa yang dilihat, dengar,lakukan atau baca tentang informasi yangberkaitan <strong>dengan</strong> masalah aktivitas legal<strong>perbatasan</strong> yang menjadi obyek utama riset ini.Guna diperolehnya data yang memilikivaliditas (kesahihan) yang dapat dipertanggungjawabkan,maka data yang diperoleh melaluiwawancara dilakukan uji mutu data. Dan salah3Lihat penjelasan tentang pendekatan ini dalam Indarti,Erlyn. “Legal Constructivism: Paradigma Baru PendidikanDalam Rangka Pembangunan Masyarakat Madani”,dalam Majalah Ilmiah Masalah-Masalah Hukum, Vol.XXX, No. 3, Juli – September 2001, hlm. 139-154 danSuparlan, Parsudi, “Paradigma Naturalistik dalam PenelitianPendidikan: Pendekatan Kualitatif dan Penggunaannya”,Majalah Antropologi Indonesia No. 53, Vol. 21 –1997, diterbitka oleh FISIP UI Jakarta.satu tehnik untuk melakukan uji mutu data<strong>dengan</strong> tinggal bersama <strong>dengan</strong> orang-orangyang diteliti selama suatu periode tertentu.Selain validitas data, maka hal yang terpentingjuga data tersebut harus memiliki sifat reliabilitas(keterandalan), kemudian data tersebutakan di komfirmasi ulang kepada sumberinformasi.PembahasanPasar di daerah Perbatasan: Beberapa PemaknaanSecara geografis Negara Indonesia merupakansalah satu negara kepulauan yang berbatasanlangsung <strong>dengan</strong> negara tetangga. Kondisigeografis seperti ini bisa menimbulkanberbagai persoalan bagi dua negara yang salingberbatasan, baik persoalan dalam bidang geografisseperti masalah tapal batas antar keduanegara, maupun persoalan kondisi sosial, ekonomi,politik dan dan bahkan persoalan budaya.Apalagi antara kedua Negara memperlihatkankondisi yang berbeda secara tajam.Namun demikian, di samping berbagaipersoalan seperti tersebut di atas, kiranya <strong>wilayah</strong><strong>perbatasan</strong>, juga memiliki berbagai macampotensi yang cukup besar bagi suatuNegara, mulai potensi sumber daya alam yangdimiliki, serta dapat dijadikan tempat yangrelatif mudah dalam mengatur hubungan sosialdan ekonomi antara antara kedua negara yangsaling bertetangga. Bahkan karena berbatasansecara langsung <strong>dengan</strong> Negara tetangga kiranyadaerah <strong>perbatasan</strong> merupakan daerah yangsangat strategis dari sisi ideologi, politik ekonomi,sosial budaya, dan pertahanan dan keamanan.Namun demikian dalam kenyataannya posisiyang strategis tersebut karena tidak dikelola <strong>dengan</strong> baik maka justru yang munculadalah berbagai persoalan sosial, ekonomi danbudaya yang mengedepan.Kabupaten sambas (Sajingan), KabupatenBengkayang (Sirikin) dan Kabupaten Kapuas Hulu(Lubuk Antu) adalah tiga <strong>wilayah</strong> yang letakgeografisnya secara langsung berbatasan <strong>dengan</strong>negara tetangga. Di tiga daerah yang berbatasanlangsung <strong>dengan</strong> Malaysia tersebut terdapatpasar. Sebagai tempat pertemuan manu-


4 Jurnal Dinamika HukumVol. 11 No. 1 Januari 2011sia <strong>dengan</strong> segala macam keunikan yang adapadanya, menjadikan pemaknaan terhadap pasarmemperlihatkan keberagaman. Dalam maknanyayang awal misalnya, pasar merupakantempat pemenuhan kebutuhan pokok manusia,meskipun tidak selama terpenuhi. 4Keberadaan pasar yang ada di <strong>perbatasan</strong>sebagai tempat jual beli barang antara pedagangKalbar dan Sarawak (Malaysia) yangsudah berlangsung cukup lama, yang pelaksanaantransaksinya terjadi pada hari-haritertentu yaitu pada hari sabtu dan minggu. 5Aktivitas pada hari-hari tertentu ini memperlihatkanbahwa pasar yang ada di daerah <strong>perbatasan</strong>masih dalam bentuk yang sederhana. 6Pada sisi lain, keberadaan pasar juga dinilaioleh masyarakat merupakan salah satusolusi terhadap persoalan kerja, pasar dinilaimampu menawarkan kesempatan kerja yang456Lebih jauh lihat Walter C. Naele, “The Market in Theoryand History” dalam Karl Polonyi et.al. (ed), 1971,Trade and Market in The Early Empires: Economics inTheory And History, Chicago Henry Regnery Company,hlm. 360-365. Lihat dan bandingkan <strong>dengan</strong> A. Stoler,“Garden Use and Hosehold Economy in Rural Java”,Bulletin of Indonesian Economic Studies XIV (2), 1981;dan Adri Poesoro, “Pasar Tradisional Di Era PersainganGlobal”, Newsletter SMERU, Lembaga Penelitian SMERUNo. 22, April-Juni 2007.Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadappasar yang ada di daerah <strong>perbatasan</strong>, bahwa kegiatanpasar tidak dilaksanakan pada setiap harinya tetapihanya pada hari-hari tertentu. Di daerah Sirikin,Sajingan dan Badau misalnya, pasar ini pada umumnyahanya melaksanakan aktivitasnya selama tiga (3) haridalam satu minggunya, yaitu pada hari Jum’at, Sabtudan Minggu. Memang di hari-hari lain ada juga yangmelakukan kegiatan di pasar tersebut, tetapi intensitasdan volume <strong>perdagangan</strong>nya tidaklah seramai dansebanyak pada hari-hari tersebut. Mengapa pada hariharitersebut—jum’at, sabtu dan minggu—merupakanhari yang ramai dalam melakukan transaksi di pasaryang ada di daerah <strong>perbatasan</strong> tersebut, hal iniberkenaan <strong>dengan</strong> banyaknya orang yang berasal darinegara tetangga yaitu Malaysia, datang pada haritersebut untuk melakukan transaksi di pasar tersebut.Lebih jauh tentang pasar kota dan pasar desa ini lihatM. Dien Majid, 1988, “Pasar Angkup (Studi KasusPerilaku Pasar)”, dalam Perdagangan, Pengusaha Cina,Perilaku Pasar (Pengantar Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti). Jakarta : PT. Pustaka Grafika Kita, hlm.289.Lihat dan bandingkan pula <strong>dengan</strong> Sumintarsih, 2007,“Perilaku Ekonomi Penduduk di Daerah PerbatasanPacitan – Wonogiri”, Jurnal Patrawidya, Vol. VIII. No. 3,September 2007.Lihat dalam Titi Surti Nastiti, 2003, Pasar di Jawa MasaMataram Kuna Abad VIII-IX Masehi, Jakarta: PT. DuniaPustaka Jaya, hlm. 140. Lihat juga F.A. Sutjipto, ”BeberapaTjatatan Singkat Tentang Pasar-Pasar Di DjawaTengah (Abad 17-18)”, Buletin Fakultas Sastra danKebudayaan, No. 3, Tahun 1970.cukup lebar dan menjadi “jawaban spontan(yang) penuh prakarsa dari rakyat terhadapnegara yang dinilai belum mampu memenuhikebutuhan pokok golongan penduduk yang adadi sekitar <strong>perbatasan</strong>”, di samping sebagai tempatuntuk mengalirkan dan menyalurkan kelebihanbarang yang diproduksi untuk dijual. 7Di samping pemaknaan tersebut di atas,kiranya pasar dapat juga dilihat dalam perspektifantropologi, 8 yang tidak hanya memperhatikankeberadaan masyarakat yang masihsederhana, tetapi juga memperhatikan interaksidan dinamika masyarakat moderen.Seperti yang telah diuraikan di atas bahwasesunggunya masyarakat yang tinggal didaerah <strong>perbatasan</strong> pada umumnya merekamempunyai hubungan kekeluargaan <strong>dengan</strong>penduduk dari negara tetangga, baik karenaperkawinan ataupun memang karena sejakawalnya mereka berasal dari satu keturunan. 9Hubungan yang erat ini juga tentunya berpengaruhpada bentuk dan sifat relasi sosialantar etnik yang ada di daerah <strong>perbatasan</strong>,juga tentunya pola hubungan ekonomi antarakeduanya. Hanya karena batas dan teritorialnegara sajalah yang memisahkan mereka. Kondisiinilah yang kiranya transaksi diantara merekamengenal sistem barter. Sistem barter inibiasanya dilakukan oleh penduduk asli yangberasal dari Kalimantan Barat <strong>dengan</strong> pendudukMalaysia yang ada di sekitar masyarakat <strong>perbatasan</strong>,terutama yang dijadikan obyek untuk789Titi Surti Nastiti, op.cit, hlm. 21.Lebih diskursus tentang pengertian antropologi dalam S.Budhisantoso, 1992/1993, “Pembinaan dan PengembanganKebudayaan Nasional”, Jurnal KebudayaanNo. 4 Tahun II 1992/1993, Jakarta: Departemen Pendidikandan Kebudayaan.Dari beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnyaterlihat bahwa suku yang mendiami sepanjang daerah<strong>perbatasan</strong> Kalimantan Barat pada umumnya adalahsuku dayak Iban. Di Badau misalnya, suku dayak ibanyang ada di sana pada umumnya adalah pendatang dariBatang Aek Sarawak Malaysia yang meurpakan kawasansempadan (termasuk Nanga Badau ) dan basis persebaransuku Iban, dan dahulunya merupakan <strong>wilayah</strong>pembunuhan atau pengayauan yang disebut oleh parapengkaji dari barat sebagai “pintu bunoh” atau thedoor of killing, “pintu kayau” atau the door of raiding.Lebih jauh lihat Sandin, B. “The Westward Migration ofthe Sea Dayaks”, dalam The Sarawak Museum JournalVol VII, 1956. Kuching, Museum Sarawak. Ibrahim MS.,“Orang Iban di Badau”, dalam Yusriadi, Chong Sin danDedy Ari Aspar (Eds), 2007, Kelompok Ibanik diKalimantan Barat, Pontianak: STAIN Pontianak Press.


Analisis Antropologi Hukum Terhadap Perdagangan Lintas Batas … 5barter adalah barang hasil pertaniannya darikedua penduduk. Dan barter ini hanya berlakupada masyarakat yang ada di sekitar <strong>perbatasan</strong>tersebut yang memiliki hubungan kekeluargaansatu <strong>dengan</strong> yang lainnya, baik hubungankarena garis keturunan maupun karena perkawinan.10Pada sisi inilah sesungguhnya dapat dilihatbahwa barter ataupun jual beli yang terjadisesungguhnya bukan semata-mata dilihatsebagai aktivitas ekonomi semata, tetapi jugamemiliki makna berupa pertemuan diantaramereka yang memiliki hubungan kekeluargaan.Dalam pertemuan inilah akan terjadi pertukaraninformasi tentang keadaan keluarga merekamasing-masing.Manusia tidak terlepas dari kebudayaannya,dimana kebudayaan yang dipunyai olehmanusia merupakan jembatan antara hubungankegiatan manusia <strong>dengan</strong> lingkungannya. Kebudayaanmerupakan alat kontrol bagi kelakuandan tindakan manusia. Menurut Koentjaraningrat11 kebudayaan itu sendiri mempunyai tigawujud: pertama, kebudayaan sebagai suatukompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,peraturan dan sebagainya. Kedua,kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitaskelakuan berpola dari manusia dalam masya-1011Pasar yang ada di daerah <strong>perbatasan</strong> tidaklah selaludalam bentuk transaksi jual beli antara pedagang<strong>dengan</strong> pembeli, tetapi juga ada aktivitas tukar menukarbarang atau yang dikenal <strong>dengan</strong> istilah barter.Sistem barter ini biasanya dilakukan oleh penduduk asliyang berasal dari Kalimantan Barat <strong>dengan</strong> pendudukMalaysia yang ada di sekitar masyarakat <strong>perbatasan</strong>,terutama yang dijadikan obyek untuk barter adalahbarang hasil pertaniannya dari kedua penduduk. Danbarter ini hanya berlaku pada masyarakat yang ada disekitar <strong>perbatasan</strong> tersebut yang memiliki hubungankekeluargaan satu <strong>dengan</strong> yang lainnya, baik hubungankarena garis keturunan maupun karena perkawinan.Lihat dan bandingkan <strong>dengan</strong> tulisan Wilson, “Adaptationto Uncertainty and Small Number Exchange: TheNew Sugland Fish Market”, Journal of Economic 11,1980. Lihat dan bandingkan <strong>dengan</strong> M. Firdaus, “TheIntegrated Empowerment of Women, Micro-and Small-Scale Traders”, Newsletter SMERU, Lembaga PenelitianSMERU No. 22, April-Juni 2007.Koentjaraningrat, 1971, Manusia dan Kebudayaan diIndonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, hm.l 5. Lihatdan bandingkan rangkaian pengertian kebudayaan inidalam Hutomo, Suripan Sadi, “Nilai Budaya IndonesiaDalam Sastra Jawa”, Jurnal Kebudayaan No. 2,1991/1992, Jakarta: Dep. Pendikan dan Kebudayaanrakat. Wujud kebudayaan yang ketiga adalahsebagai benda-benda hasil karya manusia.Di pasar juga akan <strong>dengan</strong> mudah orangakan melihat terjadi perubahan nilai, gagasan,norma, kepercayaan dan aktivitas berpola darimanusia dalam masyarakat. Pasar memilikimulti peran, yaitu tidak hanya berperan sebagaitempat bertemunya antara penjual danpembeli tetapi pasar juga memiliki fungsi sebagaitempat bertemunya budaya yang dibawaoleh setiap mereka yang memanfaatkan pasar.Interaksi tersebut tanpa mereka sadari telahterjadi pengaruh mempengaruhi budaya masing-masingindividu. 12Pasar juga dapat dilihat sebagai tempatdimana aktivitas dan komunikasi sosial antarasatu orang <strong>dengan</strong> orang yang lain, degantentunya dari latar belakang sosial, budayayang berbeda. Memang ciri khas pasar yangpaling menonjol adalah adanya arus barang danjasa yang diperjualbelikan. Namun demikian,pasar juga dapat dilihat sebagai sistem sosialkebudayaan. Bahkan pasar di dalamnya menawarkanalternatif-alternatif kebudayaan yangberlainan dari kebudayaan masyarakat setempat,sedangkan kebudayaan itu adalah seperangkatnilai-nilai dan keyakinan, pilihan hidupdan alat komunikasi. 13Pasar sebagai pintu gerbang diperkirakanakan terjadi perubahan nilai, gagasan, dankeyakinan. Pasar dapat pula diartikan sebagaisentral dari masyarakat yang berada disekitarnya.Pasar di dalamnya bukan saja akanterjadi saling interaksi sesama warga masyarakatyang ada disekitar tempat tersebut,tetapi akan terjadi pula tukar-menukar bendahasil produksi bahkan informasi-informasi tentangberbagai pengalaman diantara sesamawarga masyarakat. Pasar sebagai sentral <strong>dengan</strong>segala perangkat yang ada di dalamnyadapat pula menjadi panutan masyarakat. Halini menunjukkan bahwa bukan hanya peranan1213Titi Surti Nastiti, op.cit. Lihat tentang interaksi di pasarini pada Prattis, J.I., “Synthesis, or a New Problematicin Economic Anthro-pology”, Journal of Theory andSociety, Vol. 11, 1982.Sri-Edi Swasono, “Kebudayaan dan Ekonomi: KedaulatanRakyat, Demokrasi Ekonomi dan Kepentingan Nasional(Pendekatan Normatif)”, Jurnal Kebudayaan No. 4 TahunII 1992/1993


6 Jurnal Dinamika HukumVol. 11 No. 1 Januari 2011ekonomi, tetapi peranan kebudayaan terhadapmasyarakat disekitarnya cukup besar. Perananperanantersebut <strong>dengan</strong> demikian akan menimbulkanperubahan-perubahan baik dalambidang ekonomi maupun sosial budaya. Bahkanpasar mampu menciptakan dan menumbuhkankelas-kelas baru dalam masyarakat, hal inidikarenakan pasar memiliki kemampuan dankekuatan yang revolusioner dan proses pemasaranmasyarakat yang mempunyai akibatyang jauh bagi perkembangan sejarah. Pasarmenuntut perilaku rasional dalam menentukanpilihan-pilihan. 14Demikianlah misalnya di pasar yang adadi <strong>perbatasan</strong>, karena perkembangannya makaorang yang berjualan di sana saat ini bukanhanya orang-orang yang berasal dari masyarakatsekitar yang tinggal di daerah <strong>perbatasan</strong>,tetapi mereka-mereka berasal dari luar daerahtersebut. Bahkan dari penelitian yang dilakukanetnis yang berdagang disana sudah memperlihatkanpluralitas etnis di dalamnya. Mulai dariorang Padang, Melayu, bahkan orang yang berasaldari Nusa Tenggara Barat (NTB) juga adaberjualan dan berdagang di sana.Dari segi bahasa misalnya, orang yangberada di pasar pada umumnya menggunakanbahasa yang campuran, artinya tidak sematamatamenggunakan bahasa Indonesia saja,tetapi terkadang menggunakan bahasa Inggrisatau bahasa Malaysia. Hal ini dilakukan olehmasyarakat sebagai bagian dari upaya agarmempermudah komunikasi antara pedangangyang pada umumnya berasal dari Indonesia<strong>dengan</strong> pembeli yang pada umumnya berasaldari Malaysia. Pola percakapan yang campuranini tidak hanya terjadi pada saat transaksi<strong>perdagangan</strong> dilakukan, tetapi juga terbawapada saat mereka melakukan komunikasisesama pedagang, artinya telah terjadi bentukpertukaran dan percampuran budaya—terutamadari sisi bahasa—antara budaya Malaysia danIndonesia.14Lihat dan bandingkan <strong>dengan</strong> Plattner, “EconomicDecision Making in a Public Market-place”, AmericanEthnologist 9, 1982; Merrit, “On Questions FollowingQuestions”, Language in Society 5, 1978, hlm. 315-357.Pasar dan Persoalan (Pluralisme) HukumDi samping memilik potensi ekonomi yangsangat besar, aktivitas <strong>perdagangan</strong> yang ada didaerah <strong>perbatasan</strong> kiranya menyimpan banyakpersoalan, mulai dari persoalan keamanan danpertahanan, sampai masalah ketahanan sosial,budaya dan ekonomi suatu Negara. MenurutGanjar Nugroho, dalam perspektif sosialis, pasardapat menjadi tempat dan pencitpa sertapelanggeng kemiskinan. Hal ini terjadi, karenadipasar akan terbangun kekayaan yang mencolokbagi sebagian kelas dan kemiskinan bagisebagian yang lain. Pedagang serta pengusahadipandang hanya memikirkan kepentingan akumulasiekonomi untuk dirinya sendiri. Merekatidak punya moral ekonomi sosial dan takbanyak peduli <strong>dengan</strong> nasib kaum miskin sertakelas pekerja. Pasar juga dinilai pilih kasih,yang hanya diperuntukan bagi yang punya uanguntuk membeli dan menelantarkan kaum miskinyang berpenghasilan rendah tanpa konsumsinan mencukupi. 15Kondisi ini bisa dilihat di pasar yang adadi <strong>perbatasan</strong>, dimana mereka yang berjualandi pasar tersebut pada umumnya adalah merekayang bukan berasal dari masyarakat setempattetapi berasal dari daerah luar sepertiorang-orang yang berasal dari Pontianak sertadaerah lainnya, maka mendasarkan pada strukturberpikir Ganjar Nugroho tersebut di atasmaka sesungguhnya yang memperoleh keuntunganekonomi yang cukup besar bukan masyarakatasli (suku Dayak) yang ada di sepanjang<strong>perbatasan</strong> tersebut, tetapi mereka yangberasal dari luar. Pada hal pada satu sisi barangyang menjadi salah satu komoditi utama yangada di pasar <strong>perbatasan</strong> tersebut adalah berbagaihasil karya dari masyarakat Dayak seperti15Lihat Ganjar Nugroho, Dominasi-Habitasi Pasar Dan Integrasi-ResistensiStructural Wong Cilik, dalam MakalahWorkshop Asian Studying Cultural in Asian Context,Kunci Cultural Studies Center, Yogyakarta, 16-17 Mei2002. Bandingkan <strong>dengan</strong> Sri Budiyati,”Pasar TradisionalDengan Struktur Bangunan Bertingkat: Siapa yangDiuntungkan”, Newsletter SMERU, Lembaga PenelitianSMERU No. 22, April-Juni 2007 dan Sri Budiyati, “QuoVadis Pasar Tradisional”, Newsletter SMERU, LembagaPenelitian SMERU No. 22, April-Juni 2007. Dalamkonteks hukum, lihat Marc Galanter, “Why the “Haves”Come Out Ahead: Speculations on the Limits of LegalChange”, Law and Society Review Vol. 9, 1974.


Analisis Antropologi Hukum Terhadap Perdagangan Lintas Batas … 7Biday 16 dan lain sebagainya, di samping tentunyaberbagai macam hasil alam dan hasil hutanyang ada disekitar daerah <strong>perbatasan</strong> sepertirotan, durian dan lain sebagainya.Berkenaan <strong>dengan</strong> penelitian ini, yangtidak kalah pentingnya persoalan yang ada dipasar <strong>perbatasan</strong> adalah persoalan hukum yaitudiantaranya yaitu tidak adanya perlindunganhukum terhadap karya para penduduk asli (Dayak)seperti biday, serta banyaknya penyelundupanbarang yang seharusnya dilindungi <strong>dengan</strong>dokumen dalam aktivitas <strong>perdagangan</strong>nya.Biday misalnya, sebagai hasil karya aslimasyarakat Dayak, ternyata telah beredar dantertera Made in Kuching (Sarawak, MalaysiaTimur), bahkan menurut camat Jagoi Babanghasil kerajinan Biday dari Masyarakat DesaJagoi Kecamatan Jagoi Babang KabupatenBengkayang sudah beredar di luar negeri seperti“Di London biday ini Made in Kuching,” danhal ini terjadi karena menurut Kades JagoiMarkus Mijem mereka (Malaysia) <strong>dengan</strong> mudahmembeli dan mengolah kembali dari masyarakatkita. 17Sebenarnya Pemerintah Kabupaten Bengkayangpernah menegaskan, agar PemerintahProvinsi Kalbar dan Pemerintah Pusat segerabertindak untuk menyelamatkan Kerajinan Bidaydari klaim Malaysia. "Menurut saya di duniaini, saya hanya pernah melihat Kerajnan Bidayitu hanya ada di Seluas, Jagoi dan Siding. Iniadalah aset daerah kita yang dimiliki olehnegara," 18Masyarakat Dayak pada umumnya menjualbiday masih dalam bentuk sederhana, apaadanya dan belum mendapatkan sentuhanteknologi. Kondisi itu ternyata menjadi kesempatanbagi Malaysia memperbaiki <strong>dengan</strong> kualitaslebih baik kemudian dijual lagi kepadapihak lain. Menurut Camat Jagoi Babang. sudahmenjadi rahasia umum kalau kerajinan bidaiyang masuk ke Malaysia itu sudah berubah danmereka jual kembali. Dan menurut dia, bahwamasyarakat sebenarnya telah meminta kepada161718Biday merupakan kerajinan tangan terbuat dari rotan,yang hasilnya berupa tikar, tas, dan lain sebagainya.Wawancara <strong>dengan</strong> Bupati Bengkayang Suryadman Gidot,pada 24 Juli 2010 di Kantor Bupati Bengkayang.IbidDinas Perindustrian dan Perdagangan setempatagar melakukan koordinasi <strong>dengan</strong> Dinas Perindustriandan Perdagangan Provinsi Kalbar terkaitmasalah ini.Belum adanya perlindungan hukum terhadapbarang hasil karya penduduk asli sepertibiday, <strong>permasalahan</strong> hukum yang sering terjadidi pasar <strong>perbatasan</strong> adalah penyelundupan yangsudah bersifat “transborders crimes” atau“transnational crimes”, seperti illegal loggingserta berbagai komoditi lain seperti rokok, batik,satwa/fauna (anggrek alam) yang dilindungi.Karena nilai jualnya yang sangat tinggimenjadikan barang atau komoditi ini menjadisalah satu barang yang diperjual belikan secaraillegal di pasar yang ada di daerah Perbatasankedua negara tersebut.Barang-barang tersebut adalah barangbarangyang mudah dan laku dijual di daerahMalaysia, bahkan dilihat dari sisi ekonomi lebihmenguntungkan jika dijual ke pasar dalamnegeri. Hal ini dikarenakan nilai tukar dan nilaimata uang Malaysia (ringgit) lebih tinggi jikadibandingkan <strong>dengan</strong> mata uang rupiah. 19Masyarakat tidak pernah menyadari bahwaaktivitas tersebut merupakan perbuatanyang dilarang menurut hukum negara, sehinggapola penyelesaiannya yang dilakukan oleh masyarakat— jika terjadi persoalan diantara mereka— adalah <strong>dengan</strong> menyelesaikan secaradamai antara kedua belah pihak karena dinilailebih efektif. Pada hal persoalan tersebut munculantara dua subyek hukum yang berbeda,baik tempat domisilinya maupun sistem hukumnya,sehingga pluralitas hukum yang melingkupiaktivitas <strong>perdagangan</strong> di <strong>perbatasan</strong> tidak hanyamemperlihatkan aspek hukum lokal semata,tetapi juga sudah menyentuh aspek hukumnasional bahkan aspek hukum internasional. 201920Wawancara <strong>dengan</strong> Ketua LSM LIRA Kabupaten Sintang.Masaji Chiba, “The Intermediate Variable Of LegalConcepts”, Journal Of Legal Pluralism 1998 - nr. 41,hlm. 131; Martha-Marie Kleinhans & Roderick A. Macdonald,“What is a Critical Legal Pluralism”, CanadianJournal of Law and Society, Vol. 2 No. 2 1997; JohnGriffiths, “What is Legal Pluralism”, Journal of LegalPluralism and Unofficail Law, No. 24, 1986; dan SallyEngle Merry, “Legal Pluralism”, Law and Society Review,Vol. 22, 1988.


8 Jurnal Dinamika HukumVol. 11 No. 1 Januari 2011Seperti diketahui bahwa pasar yang adadi daerah <strong>perbatasan</strong> merupakan tempat bertemunyaberbagai macam kalangan yangmemiliki perbedaan budaya, keyakinan, agamabahkan perbedaan asal negara. Dan basis sosialhukum selalu terkorelasi <strong>dengan</strong> budaya, keyakinan,agama dan bahkan ideologi, sehinggamenjadikan hukum yang ada juga berbeda.Sehingga dalam perspektif pluralisme hukum,adanya berbagai macam sistem hukum yang adadi Pasar, seperti sistem hukum Masyarakat Lokal(Masyarakat dayak), sistem hukum Nasionalmasing-masing negara (Indonesia dan MalaysiaUtara), serta berlakunya ketentuan hukumInternasional.Masyarakat dayak Iban yang ada di PasarPerbatasan misalnya, keberadaan hukum adatmereka masih tetap dipanuti dan tetap menjadipedoman utama mereka dalam melakukan interaksidi pasar, karena hukum adat mereka(Masyarakat Dayak Iban) sulit hilang dalamranah kehidupan mereka meski upaya menghilangkannyatelah dilakukan <strong>dengan</strong> memperkuatkeberadaan hukum nasional di tengahkehidupan sosial mereka. 21 Demikian juga halnya<strong>dengan</strong> para pembeli yang berasal dariNegara Malaysia, dalam melakukan aktivitas diPasar mereka masih tetap berpegang teguhkepada tradisi hukum mereka, yang umumnyaberbasiskan pada hukum islam, pada hal hukuminternasional sendiri telah meletakkan normauniversal berkenaan <strong>dengan</strong> kehidupan negarayang bertetangga.21Dari penelitian yang dilakukan oleh Gordon dan Meggitt(1985); Moore (1986); Ottley dan Zorn (1983),memperlihatkan bahwa eksistensi hukum lokal atauhukum adat tidaklah hilang <strong>dengan</strong> begitu saja seiring<strong>dengan</strong> menguatnya hukum nasional suatu Negarabahkan <strong>dengan</strong> di jajah sekalipun. Lebih jauh lihatJennifer Corrin Care and Jean G. Zorn; “LegislatingPluralism Statutory ‘Developments’ In Melanesian CustomaryLaw”, dalam Journal Of Legal Pluralism, No.46, 2001, hlm. 51; F. von Benda-Beckmann, “From theLaw of Primitive Man to Socio-Legal Study of ComplexSocieties”, Antropologi Indonesia, Majalah AntropologiSosial dan Budaya No. 47 Tahun XIII, 1989, Jakarta:FISIP UI. Lihat dan bandingkan <strong>dengan</strong> SunaryatiHartono, ”Kebijakan Pembangunan Hukum MenujuSistem Hukum Nasional”, Jurnal Analisis CSIS, 1993-1;dan I Nyoman Nurjaya, “Pluralisme Hukum SebagaiInstrumen Integrasi Kehidupan Berbangsa danBernegara”, Majalah Forum Keadilan, No. 51, 30 April2006Tidak jarang persoalan, seperti menjualsecara bebas barang-barang hasil karya masyarakatsetempat atau hasil alam yang seharusnyadilindungi oleh dokumen negara, yang ada dipasar daerah <strong>perbatasan</strong> tak terselesaikan <strong>dengan</strong>baik lantaran adanya perbedaan persepsitentang keberadaan hukum yang ada di Pasartersebut. Masyarakat Dayak misalnya, Bidaydipahami oleh mereka sebagai bentuk karyayang tidak perlu mendapatkan perlindunganhukum sebagai Hak Kekayaan Intelektual darinegara, karena itu merupakan tradisi yang sudahlama ada pada masyarakat yang bersangkutan,miskipun menurut Hukum Negaraperlu mendapatkan perlindungan hukum.Demikian juga perkawanian yang terjadiantara penduduk yang berasal dari KalimantanBarat <strong>dengan</strong> penduduk yang berasal dari Kuching(Malaysia Utara) tidak pernah atau jarangdilakukan <strong>dengan</strong> mendasarkan pada ketentuanhukum yang berlaku, baik hukum yang berlakumenurut hukum negara Indonesia ataupun Malaysia.Persoalan ini sesungguhnya tidaklah sederhana,sebab menyangkut keberadaan duawarga negara yang tunduk pada hukum yangberbeda, serta akan menimbulkan persoalanhukum — terutama persoalan hukum kewarganegaraa— terhadap anak-anak mereka kelak dikemudian hari.Persoalan inilah yang dirasakan kurangdiperhatikan oleh Pemerintah/negara dalamupayanya melakukan penataan terhadap pasarpasaryang ada di Perbatasan antara PropinsiKalimantan Barat (Negara Indonesia) <strong>dengan</strong>Negara Malaysia Utara. Upaya penataan pasaryang dituangkan dalam penataan hukum masihterfokus kepada bagaimana memperkuat keberadaanhukum negara (Indonesia) <strong>dengan</strong> tetapmemperhatikan ketentuan-Ketentuan hukuminternasional pada suatu negara yangberbatasan langsung <strong>dengan</strong> negara lain. Sebagaicontoh Pemerintah Indonesia sudah mengesahkanUndang-undang No. 43 Tahun 2008 tentangWilayah Negara dan Peraturan Presiden(Perpu) No. 12 Tahun 2010 tentang Badan NasionalPengelola Perbatasan (BNPP), penerbitanUndang-Undang tersebut merupakan salahsatu bentuk keseriusan pemerintah dalam me-


Analisis Antropologi Hukum Terhadap Perdagangan Lintas Batas … 9nangani persoalan-persoalan di kawasan <strong>perbatasan</strong>Negara. Namun yang perlu digaris bawahibahwa keberadaan hukum adat (hukumlokal) yang ada pada masyarakat di sepanjang<strong>perbatasan</strong> masih belum mendapatkan perhatiandalam kedua aturan tersebutPenutupSimpulanBerdasarkan <strong>permasalahan</strong> dan hasil penelitian,penulis menyimpulkan, pertama, berdirinyapasar di <strong>perbatasan</strong> pada dasarnya tidakdiketahui secara pasti kapan mulai ada, tetapidari keterangan penduduk sekitar, bahwa pasardi daerah <strong>perbatasan</strong> tersebut ramainya diperkirakansejak 1900-an. Kedua, pola penyelesaianyang diambil oleh masyarakat, jika terjadipersoalan atau sengketa dagang antarapedagang dan pembeli, lebih menekankan padaproses damai, dan menghindari penyelesaianmelalui badan atau lembaga formal sepertipengadilan ataupun Kepolisian. Hal ini terjadikarena ada kekhawatiran dari masyarakat jikahal ini dilaporkan ke lembaga formal makabukan menyelesaikan persoalan, tetapi justrumenimbulkan <strong>permasalahan</strong> baru, sepertihilangnya pelanggan mereka.SaranBerdasarkan uraian di atas, ada beberaparekomendasi yang peneliti ajukan, diantaranyaadalah diperlukan adanya penelitian lanjutanyang berkenaan <strong>dengan</strong> mekanisme penyelesaian,baik yang berasal dari sistem hukum masyarakatsetempat, penyelesaian hukum menurutsistem hukum negara Serawak sebagai negarabagian Malaysia, serta sistem penyelesaian menuruthukum Indonesia, agar diperoleh bentukperlindungan hukum yang mendasarkan padaprinsip-prinsip hukum internasional, Nasionalserta tetap memperhatikan tatanan hukumyang berlaku dalam masyarakat (lokal).Daftar PustakaAbubakar, Mustafa. 2006. Menata Pulau-pulauKecil Perbatasan: Belajar dari KasusSipadan, Ligitan dan Sebatik. Jakarta:Penerbit Buku Kompas;Benda, F. Von and Beckmann. “From the Lawof Primitive Man to Socio-Legal Study ofComplex Societies”. Antropologi Indonesia.Majalah Antropologi Sosial dan BudayaNo. 47 Tahun XIII. 1989. Jakarta: FISIPUI;Budhisantoso, S. “Pembinaan dan PengembanganKebudayaan Nasional”, Jurnal KebudayaanNo. 4 Tahun II 1992/1993, Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan;Budiyati, Sri. “Pasar Tradisional <strong>dengan</strong> StrukturBangunan Bertingkat: Siapa yangDiuntungkan”, Newsletter SMERU. LembagaPenelitian SMERU No. 22. April-Juni2007;-------. “Quo Vadis Pasar Tradisional”.Newsletter SMERU. Lembaga PenelitianSMERU. No. 22. April-Juni 2007;Care, Jennifer Corrin and Jean G. Zorn;“Legislating Pluralism Statutory DevelopmentsIn Melanesian Customary Law”.Journal Of Legal Pluralism. No. 46.Tahun 2001;Chiba, Masaji. “The Intermediate Variable OfLegal Concepts”, Journal Of LegalPluralism. No. 41. Year 1998;Erlyn. “Legal Constructivism: Paradigma BaruPendidikan Dalam Rangka PembangunanMasyarakat Madani”, Majalah IlmiahMasalah-Masalah Hukum, Vol. XXX, No.3, Juli – September 2001;Firdaus, M. “The Integrated Empowerment ofWomen, Micro and Small Scale Traders”,Newsletter SMERU. No. 22. April-Juni2007. Lembaga Penelitian SMERU;Galanter, Marc. “Why the “Haves” Come OutAhead: Speculations on the Limits ofLegal Change”, Law and Society ReviewVol. 9. Year 1974;Griffiths, John. “What is Legal Pluralism”.Journal of Legal Pluralism and UnofficailLaw. No. 24. Year 1986;Hartono, Sunaryati. ”Kebijakan PembangunanHukum Menuju Sistem Hukum Nasional”,Jurnal Analisis CSIS, 1993-1;Hutomo, Suripan Sadi. “Nilai Budaya IndonesiaDalam Sastra Jawa”, Jurnal KebudayaanNo. 2, 1991/1992, Jakarta: DepartemenPendikan dan Kebudayaan;Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaandi Indonesia. Jakarta: PenerbitDjambatan;


10 Jurnal Dinamika HukumVol. 11 No. 1 Januari 2011Majid, M. Dien. 1988. Pasar Angkup (Studi KasusPerilaku Pasar). Jakarta: PT. PustakaGrafika Kita;Martha, Marie Kleinhans & Roderick A.Macdonald. “What is a Critical LegalPluralism”, Canadian Journal of Law andSociety. Vol. 2 No. 2. Year 1997;Merrit. “On Questions Following Questions”.Language in Society 5. 1978;Merry, Sally Engle. “Legal Pluralism”. Law andSociety Review. Vol. 22. Year 1988;Nastiti, Titi Surti. 2003. Pasar di Jawa MasaMataram Kuna Abad VIII-IX Masehi. Jakarta:PT. Dunia Pustaka Jaya;Nugroho, Ganjar. Dominasi-Habitasi Pasar DanIntegrasi-Resistensi Structural Wong Cilik,Makalah Workshop Asian StudyingCultural in Asian Context, Kunci CulturalStudies Center di Yogyakarta tanggal 16-17 Mei 2002;Nurjaya, I Nyoman. “Pluralisme Hukum SebagaiInstrumen Integrasi Kehidupan Berbangsadan Bernegara”. Majalah Forum Keadilan.No. 51. 30 April 2006;Partigo, Poltak. (ed). 2004. Batas-batas Wilayahdan Situasi Perbatasan di Indonesia:Ancaman terhadap Integritas Teritorial.Jakarta: Tiga Putra Utama;Plattner. “Economic Decision Making in a PublicMarket-place”. American Ethnologist 9.Year 1982;Poesoro, Adri. “Pasar Tradisional Di Era PersainganGlobal”. Newsletter SMERU No.22. April-Juni 2007. Lembaga PenelitianSMERU;Polonyi, Karl. et.al. (ed). 1971. Trade and Marketin The Early Empires: Economics inTheory And History, Chicago: Henry RegneryCompany;Prattis, JI. “Synthesis, or a New Problematic inEconomic Anthropology”, Journal ofTheory and Society. Vol. 11. Year 1982;Sandin, B. “The Westward Migration of the SeaDayaks”, The Sarawak Museum JournalVol. 7. Year 1956. Kuching: Museum Sarawak;Stoler, A. “Garden Use and Hosehold Economyin Rural Java”. Bulletin of IndonesianEconomic Studies Vol. 14 No. 2. Tahun1981;Sumintarsih. 2007. “Perilaku Ekonomi Pendudukdi Daerah Perbatasan Pacitan – Wonogiri”.Jurnal Patrawidya, Vol. 8 No. 3.September 2007;Suparlan, Parsudi. “Paradigma Naturalistikdalam Penelitian Pendidikan: PendekatanKualitatif dan Penggunaannya”, MajalahAntropologi Indonesia No. 53, Vol. 21 –1997. Jakarta: FISIP UI Jakarta;Sutjipto, FA. ”Beberapa Tjatatan Singkat TentangPasar-Pasar Di Djawa Tengah (Abad17-18)”. Buletin Fakultas Sastra dan Kebudayaan.No. 3. 1970;Wilson. “Adaptation to Uncertainty and SmallNumber Exchange: The New Sugland FishMarket”. Journal of Economic. Vol. 11.Year 1980;Swasono, Sri Edi. “Kebudayaan dan Ekonomi:Kedaulatan Rakyat, Demokrasi Ekonomidan Kepentingan Nasional (PendekatanNormatif)”. Jurnal Kebudayaan. No. 4Tahun II. Tahun 1992/1993;Yusriadi, Chong Sin dan Dedy Ari Aspar (ed).2007. Kelompok Ibanik di KalimantanBarat. Pontianak: STAIN Pontianak Press;

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!