24.08.2015 Views

Reformasi Sistem Peradilan Pidana dalam ... - Fakultas Hukum

Reformasi Sistem Peradilan Pidana dalam ... - Fakultas Hukum

Reformasi Sistem Peradilan Pidana dalam ... - Fakultas Hukum

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

108REFORMASI SISTEM PERADILAN PIDANADALAM RANGKA PENANGGULANGAN MAFIA PERADILANJ. Pajar Widodo<strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong> Universitas LampungE-mail: Wiedjar@yahoo.co.idAbstractThe purpose of reformation criminal justice system is to strengthen the principle of independenceand impartiality criminal justice. Strengthening of independence principle and impartiality criminaljustice is done in the process of constitutional amendment and legislation. The reformation of thecriminal justice system includes the substance of the law of one roof system design of judicial powerthat culminated in the Supreme Court. The strengthening of the principle of independence andimpartiality criminal justice is to overcome judicial mafia practice that equipped by lawreformation culture to uphold the value system, which are values and principles due process of law.Keyword: Judicial reform, independence, judicial mafiaAbstrakTujuan reformasi sistem peradilan pidana adalah untuk memperkuat prinsip independensi danimparsialitas peradilan. Penguatan prinsip independensi dan imparsialitas peradilan dilakukan <strong>dalam</strong>proses legislasi <strong>dalam</strong> amandemen konstitusi dan peraturan perundang-undangan. <strong>Reformasi</strong> sistemperadilan meliputi substansi hukum yaitu desain one roof system kekuasaan kehakiman yangberpuncak pada Mahkamah Agung. Penguatan prinsip independensi dan imparsialitas peradilanmerupakan sarana untuk menanggulangi praktik mafia peradilan, yang dilengkapi dengan reformasikultur hukum untuk menegakkan sistem nilai, yaitu nilai-nilai dan prinsip-prinsip due process of law.Kata kunci : <strong>Reformasi</strong> peradilan, independensi, mafia peradilanPendahuluanFungsi ideal pengadilan sebagai institusipenegak hukum yang bertugas menegakkan hukumdan keadilan, serta menjamin perlindunganhak asasi manusia, pada saat ini mengalamiketerpurukan, yang disebabkan karena adanyarekayasa, diskriminatif dan ketidakadilan sebagaihasil korupsi pengadilan (judicial corrupttion),yang populer disebut mafia peradilan. 1Mafia peradilan merupakan bentuk kegagalanperadilan sebagai sarana mencari keadilan, telahmenjadi pola tindakan menyimpang <strong>dalam</strong>proses peradilan pidana.Praktik mafia peradilan merupakan perbuatanmelawan hukum yang merusak sendi-1Lihat arti isitlah mafia peradilan pada Donny Daradono,“Uang, Ideologi, Jabatan <strong>dalam</strong> Mafia <strong>Peradilan</strong>,Reduksi terhadap The Political”, Renai, Jurnal KajianPolitik Lokal dan Studi Humaniora. Tahun VII No 2.Tahun 2007. Yayasan Percik. Salatiga. hlm. 5.sendi independensi dan imparsialitas pengadilan,karena rekayasa hukum yang dilakukan sindikatmafia peradilan melanggar prinsip-prinsipdue process of law <strong>dalam</strong> proses peradilan pidana.Akibat langsung dari praktik mafia peradilanmenimbulkan diskriminasi perlakuan terhadappencari keadilan berdasarkan pertimbanganrasionalitas–pragmatisme, bertumpu padakekuatan “uang dan kekuasaan”, mengabaikanprinsip penegakan hukum pidana yang adil.Proses peradilan pidana dijalankan berdasarkanpertimbangan “transaksional” antarpara pihak yang mempunyai kekuatan ekonomidengan kekuasaan publik yaitu penengak hukum,menghasilkan penegakan hukum pidanayang tidak adil dan diskriminatif. Praktik mafiaperadilan menjadi catatan buruk bagi pengadilankarena merusak integritas pengadilan, bahkanada sebagian hakim yang menganggap tugasnyasebagai profit-driven industry atau ben-


<strong>Reformasi</strong> <strong>Sistem</strong> <strong>Peradilan</strong> <strong>Pidana</strong> <strong>dalam</strong> Rangka Penanggulangan Mafia <strong>Peradilan</strong> 109tuk usaha yang diarahkan untuk mendapatkankeuntungan. 2 Jika putusan hakim sudah terkontaminasikepentingan materi, maka putusan tidakberpihak pada keadilan, sehingga masyarakattidak percaya kepada pengadilan. Ketidakpercayaanmasyarakat terhadap pengadilan bisaberupa main hakim sendiri (eigenrichting)atau penghinaan terhadap pengadilan (obstructionof justice). 3Penegakan hukum pidana terdistorsi rasionalitastransaksi ekonomi, sehingga prosesperadilan pidana tidak lebih dari lembaga yangberusaha mencari “pembenaran (justification),yang seharusnya pengadilan mencari” kebenaran(truth) dan keadilan (justice). Praktik mafiaperadilan semakin kreatif <strong>dalam</strong> membuatpembenaran proses hukum yaitu dengan membentuktim lobi sebagai bagian strategi pembelaanperkara tim pengacara untuk merekayasaproses hukum. Pembelaan perkara pidana tidaklagi dibangun atas dasar argumentasi hukumyang logis, te-tapi berdasarkan kekuatan lobilobidan pendekatan ke berbagai pihak yaitupenyidik, penuntut umum atau hakim untukmemenangkan perkara, meringankan pidanaatau membebaskan terdakwa kliennya. Bahkankekuatan mafia peradilan juga telah merambahke komunitas akademik, dengan cara “mengatur”keterangan hukum ahli saksi <strong>dalam</strong> pembuktianmemberikan keterangan di muka pengadilan.Proses peradilan pidana saat ini menunjukkankaburnya orientasi para penegak hukumantara usaha menegakkan hukum dan menegakkankeadilan. Tujuan utama <strong>dalam</strong> berperkarabukan untuk menegakkan hukum dan keadilan,tetapi untuk memenangkan perkara. Pergeseranorientasi para penegak hukum <strong>dalam</strong> peradilanpidana yang lebih menekankan rasionalitaspragmantis, mendistorsi nilai etis moral pe-23Noor Aziz Said, “Rekonstruksi Pertanggungjawaban<strong>Pidana</strong> terhadap Tindak <strong>Pidana</strong> Korupsi APBD yangDilakukan Anggota Dewan”, Jurnal Dinamika <strong>Hukum</strong>.Volume 11 Edisi Khusus. Februari 2011. <strong>Fakultas</strong> hukumUNSOED, Purwokerto, hlm. 131-132.Nurhayati Mardin, “Makna Kepala Putusan Pengadilan:Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa(Tinjauan Rechtphilosopie)”, Jurnal <strong>Hukum</strong> Aktualita.Vol II No 3 Desemebr-Maret 2007, <strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong>Universitas Tadulako, hlm. 279.negakan hukum dan keadilan, kemudian dibelokkanpada juga berkaitan dengan problemkonseptual yuridis. Paradigma positivime hukumyang mewarnai hukum modern, mengedepankanfungsi peraturan perundang-undangan,cenderung terikat pada formalisme dan proseduralperaturan perundang-undangan, kurangmenggali nilai-nilai substansial dari hukum, sehinggamenimbulkan kritik tajam. Kritik terhadapkarakter hukum modern yaitu bagimanakeluar dari formalisme yang membabi-buta danbagaimana mendamaikan prinsip legalitas hukumdengan moralitas. 4Konsep hukum sebagai teks undang-undang<strong>dalam</strong> penerapannya bertolak dari silogismemetodologis, terstruktur <strong>dalam</strong> silogismededuktif-logis, sehingga subjektivitas nilai etismoralterperangkap <strong>dalam</strong> logika deduktif-logis.Putusan pengadilan tidak lebih sebagai hasilkonklusi dari deduksi teks undang-undangterhadap peristiwa konkrit <strong>dalam</strong> suatu kasus,sehingga pertimbangan adil dan tidak adil menjadisangat nisbi, karena argumentasi hukumhakim berakhir <strong>dalam</strong> konklusi logika deduksiyang lebih menekankan kepastian hukum, mengabaikannilai-nilai moral keadilan. 5 <strong>Peradilan</strong>seharusnya menjalankan fungsi kemasyarakatan,dengan menggerakan pengadilan untuk menyelesaikanmasalah masyarakat, tidak sebatasmenerapkan peraturan perundangan yang menekankankepastian hukum. 6Berdasarkan karakteristik yang sedemikian,7 maka bisa di pahami secara konseptual,mengapa praktik mafia peradilan bisa lolos daripenilaian sebagai perbuatan melanggar hukum.Para penegak hukum berlindung <strong>dalam</strong> aras positivismehukum, bertolak dari logika rasional,4567C. Maya Indah S, “Refleksi sosial atas Kelemahan hukumModern,suatu diseminasi hukum tradional <strong>dalam</strong> citrahukum Indonesia”, Jurnal Masalah-Masalah <strong>Hukum</strong>,<strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong> Universitas Diponegoro, Semarang, Vol103 No. 37 tahun 2008, hlm. 164.M. Syamsudin, “Faktor-Faktor Sosio-legal yang MenentukanDalam penanganan Perkara Korupsi di Pengadilan”,Jurnal Media <strong>Hukum</strong>. UMJ. Yogyakarta. 2010, hlm. 408.Edy Rifai, 2010, “Peran Hakim Dalam Penemuan <strong>Hukum</strong>dan Menciptakan <strong>Hukum</strong> Pada Era <strong>Reformasi</strong>”, JurnalIlmu <strong>Hukum</strong> “Praevia” <strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong> Unila. Vol. 4.No. 1 tahun 2010, hlm. 49.Anis Ibrahim, “<strong>Hukum</strong> Progresif: Solusi atas Keterpurukan<strong>Hukum</strong> Indonesia”, Jurnal <strong>Hukum</strong> Progresif, Vol 2No. 1/April 2006 PDIH Undip, Semarang.


110 Jurnal Dinamika <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 1 Januari 2012membangun argumentasi rasional <strong>dalam</strong> strukturlogis-sistematis, antara lain <strong>dalam</strong> rentangminimal-maksi-mal pidana, jenis pidana yangmenguntungkan terdakwa. Terdapat kecenderunganumum (mainstream) para hakim mengikutipola pikir legal positivism berupa pola pikirlegal formal mengesampingkan nilai etis-substansialhukum. 8Argumentasi hukum yang dibangun hakim,tidak tampak cacat hukum serta dapat dipertanggungjawabkan lepas dari produk putusankolutif. Bahkan putusan pengadilan hanyabisa dikoreksi secara internal <strong>dalam</strong> strukturvertikal proses hukum selanjutnya mulai dariupaya hukum banding di Pengadilan Tinggi, kasasidan penunjauan kembali di MahkamahAgung. Putusan kolutif yang penuh rekayasa,dengan demikian tidak terjangkau dari koreksiatau eksaminasi eksternal pengadilan, khususnyamasyarakat yang menjadi tujuan dari produkputusan pengadilan. Semangat untuk memberantaspraktik korupsi di pengadilan hanyamenyalahkan sistem yang ada, kurang berorientasipada pengawasan kinerja profesionalitaspenegak hukum, sehingga terhalang perilakupenegak hukum yang menyalahgunakan kekuasaan(abuse of power) yang tersamar <strong>dalam</strong>legalitas kewenangan penegak hukum 9Persoalan konseptual yang menyangkutstruktur penegakan hukum pidana, bersumberdari sistem penegakan hukum yang dibangunberdasarkan desain konstitusional. Pasca amandemenke-3 UUD 1945, yang kemudian diikutiterbitnya UU No. 48 Tahun 2009 tentang KekuasaanKehakiman sebagai peraturan pelaksana,terdapat koreksi pada ‘Kekuasaan Kehakiman’.Desain kekuasaan kehakiman <strong>dalam</strong> UUD 1945Amandemen ke-3, sebagaimana tersebut <strong>dalam</strong>Bab IX, meliputi Mahkamah Agung dan peradilandibawahnya, Mahkamah Konstitusi dan KomisiYudisial. Keberadaan Komisi Yudisial <strong>dalam</strong>89M. Syamsudin, “Rekonstruksi Pola Pikir Hakim <strong>dalam</strong>Memutus Perkara Korupsi Berbasis <strong>Hukum</strong> Progresif”Jurnal Dinamika <strong>Hukum</strong>, Vol 11 No 1 Januari 2011,<strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong> UNSOED Purwokerto, hlm. 10Jawade Hafidz, “<strong>Sistem</strong> Pertanggungjawaban PerkaraKorupsi Dalam Percepatan Penyelematan KeuanganNegara”, Jurnal Dinamika <strong>Hukum</strong>. Vol 11 Edisi Khusus,<strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong> UNSOED, Purwokerto, Februari 2011.hlm. 116Bab IX bersama-sama dengan Mahkamah Agungdan Mahkamah Konstitusi, pada dasarnya didesainsebagai lembaga yang melaksanakan kekuasaankehakiman, yaitu sebagai supportingelement berpasangan dengan Mahkamah Agungdan Mahkamah Konstitusi, untuk memperkuatprinsip kekuasaan kehakiman yang independendan imparsial, guna menegkkan hukum dan keadilan.Derivasi persoalan konseptual kekuasaankehakiman selanjutnya adalah legalitas dan kedudukanlembaga penyidikan dan penuntutanyang tidak jelas. Apabila politik hukum kekuasaankehakiman berorientasi pada upaya memperkuatindependensi dan imparsialitas peradilanpidana, sudah pada tempatnya, dilakukanevaluasi dan koreksi secara konseptual, bahwakeseluruhan penegak hukum <strong>dalam</strong> peradilanpidana adalah lembaga penegak hukum kekuasaankehakiman yang bersandar konstitusi. Penyidikdan penuntut umum secara legal formalbukanlah bagian dari kekuasaan kehakiman karenamasuk <strong>dalam</strong> ranah kekuasaan eksekutif,tetapi secara fungsional bersama-sama denganpengadilan melaksanakan kekuasaan kehakiman(rechterlijke macht). Pengertian sistem peradilanpidana, secara konseptual sering dipahamisecara keliru karena komponen pendukungnyasecara normatif, terdiri dari sub sistempenyidikan, penuntutan, pengadilan dan pelaksanapidana. Kebijakan formulasi lembaga pendukungsistem peradilan yang bersifat parsial,yang menempatkan penyidikan dan penuntutandi luar kekuasaan kehakiman, akan tetapimenjalankan kekuasaan bersama pengadilan,menimbulkan kelemahan koordinasi dan pengawasankekuasaan kehakiman. Desain kekuasaankehakiman pasca amandemen ke-3 UUD1945, masih bersifat parsial dan belum integral<strong>dalam</strong> keseluruhan kekuasaan peradilan.Keseluruhan proses peradilan pidana dijalankanatas prinsip kekuasaan kehakiman, tetapipenyidik, penuntut umum dan pelaksanaeksekusi putusan pengadilan berada <strong>dalam</strong> ranahkekuasaan eksekutif. Problem hukum darikebijakan sistem peradilan pidana yang bersifatparsial menyebabkan lemahnya prinsip independensidan imparsialitas peradilan dan le-


<strong>Reformasi</strong> <strong>Sistem</strong> <strong>Peradilan</strong> <strong>Pidana</strong> <strong>dalam</strong> Rangka Penanggulangan Mafia <strong>Peradilan</strong> 111mahnya pengawasan internal dan eksternal darimasyarakat. Kelemahan ini menjadi kendalasistematis penanggulangan mafia peradilan.Permasalahan penanggulangan mafia peradilanberkaitan dengan masalah apakah ada problemkonseptual-juridis dan bagaimana reformasi sistemperadilan pidana yang integral untuk memperkuatindependensi peradilan.Mafia <strong>Peradilan</strong> dan PermasalahannyaTerdapat empat bentuk modus operandiaktivitas “mafia peradilan yang terjadi <strong>dalam</strong>proses peradilan. Pertama, penundaaan pembacaanputusan oleh majelis hakim. Hakimakan menghindar bila ditanyakan alasan penundaan,dengan menyatakan, ”kalau ditanyakanke panitera akan mendapatkan sinyal, bahwahakim minta sesuatu”. Kedua, hakim sengajatidak memberi penilaian atas suatu fakta ataubukti tertentu, sehingga putusan pengadilan ringan,bahkan putusan bebas. Ketiga, manipulasipenerapan peraturan perundang-undanganyang tidak sesuai dengan fakta hukum yang terungkapdi persidangan. Majelis hakim mencariperaturan hukum sendiri, sehingga fakta hukumditafsirkan berbeda, akhirnya dakwaan tidakterbukti, putusan bebas. Keempat, pencarianperaturan perundang-undangan oleh majelisHakim, agar dakwaan Jaksa beralih ke pihaklain, terutama pada kasus korupsi, dibuat agarterdakwa melakukan hal tersebut atas perintahatasan, sehingga terdakwa dibebaskan.Modus operandi praktik mafia peradilansemakin rapi dan melibatkan banyak pihak, denganperanan yang berbeda-beda, sehinggabersifat sistematis seperti sindikat. 10 Secaraumum praktik mafia peradilan di persidanganpengadilan meliputi: pertama, permintaanuang jasa, <strong>dalam</strong> hal ini pengacara harus menyiapkanuang ekstra bagian registrasi perkara;kedua, penentuan majelis hakim, dilakukansendiri atau meminta jasa panitera pengadilan;dan ketiga, negosiasi putusan pengadilan, sudahada kordinasi sebelumnya tentang tuntutanJaksa Penuntut Umum yang berujung pada10Busryo Muquddas. Mafia <strong>Peradilan</strong> Berjalan <strong>Sistem</strong>ik.Lihat <strong>dalam</strong> http://beritasore.com/2009/07/16/mafiaperadilan.Diunduh 12 juli 2011.vonis hakim, terjadi negosiasi tawar menawarantara hakim, jaksa, pengacara tentang hukumandan uang yang harus dibayarkan.Praktik mafia peradilan pada tahap pemeriksaandi Penyidikan (kepolisian) dan PenuntutUmum, tidak jauh dari modus opreandidi pengadilan yang mengarah pada perbuatanmengkondisikan proses hukum sebagai ruangmenarik keuntungan materi, dengan mengabaikanhukum. Di Kepolisian, 11 dibedakan pada tahappenyelidikan, modus operandi meliputi:pertama, pemintaan uang jasa, laporan ditindaklanjutisetelah (pelapor) menyerahkan laporanuang jasa; dan kedua, penggelapan perkara,penanganan perkara dihentikan setelahsetelah ada kesepakatan membayar sejumlahuang jasa kepada polisi (penyelidik). Pada tahappenyidikan, modus operandinya meliputi:pertama, negosiasi perkara, tawar menawarpasal yang dikenakan terhadap tersangka denganimbalan uang yang berbeda-beda, menundasurat pemberitahuan dimulainya penyididikan(SDPD) kepada kejaksaan; dan kedua, pemerasanoleh polisi, tersangka dianiaya terlebihdahulu agar mau koorporatif dan menyerahkanuang, mengarahkan kasus lalu menawarkan jalandamai. Pengaturan ruang tahanan, penempatandi ruang tahanan menjadi alat tawarmenawar.12Mafia peradilan di kejaksaan meliputi:pertama, pemerasan, penyidikan diperpanjanguntuk merundingkan uang damai, surat panggilansengaja tanpa status ” saksi” atau “tersangka”,pada ujungnya saat pemeriksaan akandi-mintai uang agar statusnya tidak “tersangka”;kedua, negosiasi status, perubahan statustahanan tersangka menjadi alat tawar menawar;ketiga, pelepasan tersangka, melalui suratperintah penghentian penyidikan (SP3) dengansengaja membuat dakwaan yang kabur (obscuurlibel) sehingga terdakwa divonis bebas;1112M. Edi Santoso, “Kebijakan <strong>Pidana</strong> Dalam ProsesGerakan Sosial Melalui <strong>Sistem</strong> <strong>Peradilan</strong> <strong>Pidana</strong>terhadap Mafia <strong>Peradilan</strong>”, Jurnal Gema, Vol XVIII. No33 Tahun 2005, Universitas Islam Batik, Surakarta, hlm.104.Wahyu Wiriadinata, “Masalah Mafia <strong>Peradilan</strong> danKorupsi di Indonesia”, Jurnal Syiar <strong>Hukum</strong>, Vol XIL No 1Maret 2010, <strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong> Universitas Islam Bandung.hlm. 54


112 Jurnal Dinamika <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 1 Januari 2012keempat, penggelapan perkara, berkas perkaradihentikan jika memberikan sejumlah uang,saat dilimpahkan ke kejaksaan, polisi mengatakan“sudah ada yang mengurus”, sehingga tidaktercatat <strong>dalam</strong> register; kelima, negosiasi perkara,proses penyidikan yang diulur-ulur merupakanisyarat agar keluarga tersangka menemuiJaksa, bisa melibatkan calo perkara yangberasal dari kejaksaan, anak pejabat, pengacararekanan jaksa, berat–ringannya dakwaanmenjadi alat tawar menawar; dan keenam, pengurangantuntutan, tuntutan pidana bisa diringankanbila terdakwa memberikan sejumlahuang, Berita Pemeriksaan (BAP) dibocorkan saatpenyidikan, Pasal yang disangakakan juga dapatdiperdagangkan.Modus operandi mafia peradilan yangdigambarkan di atas, tergambar pula ada KasusGayus Tambunan Pegawai Direktorat JendralPajak Depkeu di Jakarta. Proses penanganankasus Gayus sejak tahap penyidikan, penuntutansampai putusan penegadilan ditemukankejanggalan. Pada tahap penyidikan dan Prapenuntutan,Pasal pelanggaran hukum yang diterapkanpenyidikan, kumudian dikoreksi PenuntutUmum, sudah ada gejala “rekayasa”.Semestinya tersangka dijerat tiga pasal yaitupelanggaran tindak pidana korupsi, pencucianuang dan penggelapan. Hasil pra penuntutanTersangka “diarahkan” pada pelanggaran Pasalpencucian uang dan penggelapan, kemudianPenuntut Umum membuat Dakwaan Alternatif,pelanggaran tindak pidana pencucian uang ataupeng-gelapan. Hasil pembuktian persidangan diPN. Tangerang, terdakwa divonis bebas, karenatidak terbuktinya dakwaan, serta sudah ada pengembalianuang dari terdakwa kepada saksiAndi Kosasih. Putusan Kasus Gayus membuat bingungmasyarakat, mengapa Jaksa sembronomenyusun dakwaan, hingga tidak terbukti, mengapahakim bisa keliru membuat putusan?Mungkin inilah yang disebut mafia peradilan.Putusan pembebasan Gayus membuatkontroversi di masyarakat, kemudian Kapolrimembentuk Tim Penyidik Independen, hasilnyapenyidik kasus Gayus menjadi tersangka kasussuap, Kejagung membentuk Tim Eksaminasi,hasilnya Tim Jaksa Peneliti melakukan ketidakcermatanyang disengaja, seharusnya dakwaandisusun secara kumulatif yaitu tindak pidanakorupsi, pencucian uang dan penggelapan, kenyataandisusun alternatif tindak pidana pencucianuang dan penggelapan. Vonis bebas,memaksa Komisi Yudisial memanggil HakimKetua Sidang PN Tangerang. Hasilnya, HakimAsnun mengaku mendapatkan uang suap dariGayus lima puluh juta rupiah. Penuntut umumdan Hakim kasus Gayus, saat ini telah menjadiTerdakwa dan dipidana di pengadilan dan dipidana.Praktik mafia peradilan pada umumnyamenggunakan dan menyamarkan “kewenangan/kekuasaan hukum”, sebagai dalih untuk melakukanpraktik suap menyuap. Pemegang kekuasaanjudisial dengan berdalih kekuasaan judisialyang bebas dan independen, <strong>dalam</strong> ketertupanproses hukum melakukan penyimpangan hukumditukar dengan keuntungan materi pribadi. 13Akibat korupsi peradilan, kewibawaan lembagaperadilan meluncur kebawah, sebagaimana dinyatakanPara Cumaraswani, Pelapor kasus padaPerserikatan Bangsa-bangsa yang menyimpulkanbahwa korupsi peradilan di Indonesiaadalah salah satu yang terburuk di dunia, yanghanya mungkin disamai oleh Meksiko, negarayang mayoritas rakyatnya tidak terkejut samasekali dengan fenomena korupsi peradilan. 14Fenomena praktik suap menyuap <strong>dalam</strong>mafia peradilan pada dasarnya merupakan bentukpertukaran kekuasaan, yaitu barter antara“kekuasaan hukum” yang dipegang penegak hukumdengan “kekuasaan materi/uang” yang dipegangpara pencari keadilan (tersangka/terdakwa).Pertukaran kekuasan tersebut, bisa dijelaskandengan teori pertukaran (exchangetheory) dari Peter M. Blau, yang bertolak daripertukaran kekuasaan. Pertukaran kekuasaanterjadi lebih massif apabila ada kesenjanganpenguasaan “kekuasaan” antara “powerful”dengan “powerless”. Carut marut penegakan1314Bambang Wijoyanto, “Harmonisasi Peran Penegak <strong>Hukum</strong>Dalam Pemberantasan Korupsi”, Jurnal LegsilasiIndonesia, Vol 4 No. 1 Maret 2007. Direktorat JenderalPerundang-undangan Depkumham RI, hlm. 7.Noor Azis Said. op,cit, hlm. 132


<strong>Reformasi</strong> <strong>Sistem</strong> <strong>Peradilan</strong> <strong>Pidana</strong> <strong>dalam</strong> Rangka Penanggulangan Mafia <strong>Peradilan</strong> 113hukum pidana, yang dimulai dari rusaknya komponenkultur, kemudian merambah pada komponenstruktur penegakan hukum. Pengertianstruktur penegakan hukum sebagaimana dimaksudFriedman sebagai “… the structure of thesystem is it skeletal frame work, it is the permanentshape, the institutional body of thesystem, the tough, rigid bones that keep theprocess flowing within bounds”, adalah serangkaiansyarat dan prosedur hukum <strong>dalam</strong> keseluruhanproses peradilan pidana, dengan standaryang telah ditentukan. Misalnya <strong>dalam</strong> pedomanpenyelidikan dan penyidikan di kepolisian.Prosedur Tetap Penuntutan di Kejaksaan, ProtapRencana Dakwaan (Rendak), Protap Rentut,yang sudah baku. Pelangaran aspek Strukturyang menyebabkan carut marut penegakan hukumpidana, terdapat dua aspek, yaitu rusaknyasistem prosedur (procedural/fisical system),seperti Protap di atas dan sistem nilai(value system) yaitu asas-asas penegakan hukumdue process of law, seperti asas persamaandi depan hukum.Terungkapnya beberapa kasus suap-menyuapdi lembaga peradilan pidana yang melibatkanjajaran penegak hukum <strong>dalam</strong> prosesperadilan pidana, sebagai bentuk Judicial Corruption(korupsi peradilan), menjadi titik balikdan anomali reformasi peradilan pidana yangditujukan pada penguatan prinsip independensipengadilan. <strong>Reformasi</strong> peradilan secara substansialtelah berhasil menempatkan lembagapengadilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakimanyang independen, yaitu dengan desainsistem penegakan hukum yang bertumpu padaone roof system (sistem satu atap/sistem ataptunggal), dengan puncak kekuasaan kehakimandi Mahkamah Agung. <strong>Sistem</strong> penegakan hukumatap tunggal ini, secara konseptual memberikanjaminan “kekuasaan kehakiman yang merdeka”,lepas campur tangan kekuasaan ekstrajudisial.Judicial Corruption yang melibatkan parapenegak hukum telah menghambat laju reformasiperadilan, <strong>dalam</strong> usaha pembaharuan institusiperadilan, merusak independensi dan imparsialitaspengadilan, menurunkan tingkat kepercayaanmasyarakat terhadap lembaga pengadilan.Apabila konsisten dengan tujuan reformasipengadilan yang telah memperkuat prinsipindependensi dan imparsialitas pengadilan <strong>dalam</strong>konstitusi dan peraturan perundang-undangan,seharusnya tidak akan ditemukan judicialcorruption. Kenyataan membuktikan lain,bahwa judicial corruption yang kemudian dikenalsebagai “mafia peradilan”, bahkan telahmenjadi “ikon” tindakan menyimpang <strong>dalam</strong>proses peradilan pidana. Mafia peradilan merupakanjejaring illegal antar para pihak yangterlibat <strong>dalam</strong> pelaksanaan peradilan pidana,dijalankan secara sistemik transaksional yangbertujuan mencari keuntungan materi denganmenyamarkan penyalahgunaan hukum <strong>dalam</strong>batasan-batasan kekuasaan peradilan, yaitupara penegak hukum dengan pihak lain yangterlibat <strong>dalam</strong> penyelenggaraan peradilan pidana.Praktik mafia peradilan yang melibatkanpara penegak hukum dengan pihak yang berperkara,pada umumnya berorientasi pada keuntunganfinansial dengan kompensasi penyalahgunaankekuasaan publik (illegal abuse ofpublic power). Proses interaksi antar para pihakyang terlibat mafia peradilan berdasarkanlogika transaksional yaitu mempertukarkan barangdengan jasa sebagai komoditi. 15 Gejalasuap menyuap sebagai bentuk praktik mafia peradilan,secara teoritis bisa dijelaskan denganteori pertukaran (exchange theory) dari PeterM. Blau. Titik awal teori pertukaran ialah pertukaranbarang-barang dan jasa, yang menekankanpada pentingnya norma-norma “reciprocity”(norma pertukaran). Menurut PeterBlau, <strong>dalam</strong> in-teraksi para pihak yang berkepentingan,ketika terjadi ketimpangan pertukaran,maka perbedaan kekuasaan akan muncul<strong>dalam</strong> asosiasi para pihak yang berinteraksi. 16Peter M. Blau lebih lanjut menyatakanbahwa <strong>dalam</strong> hubungan sosial terdapat hubunganketergantungan antar pihak berdasarkan1516Susetiawan, “Masyarakat Indonesia Dalam BingkaiPerubahan Dialektis”, Jurnal Mimbar <strong>Hukum</strong> <strong>Fakultas</strong><strong>Hukum</strong> UGM. 2007 hlm.135..Peter M. Blau <strong>dalam</strong> George Ritzer & Douglas J. Goodman,2009, Teori Sosiologi, Dari teori Sosiologi Klasik,sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Post Modern,Cet. Ketiga, Penerjemah Inyiak Ridwan Muzir.Yogjakarta: Penerbit Kreasi Wacana, hlm. 459.


114 Jurnal Dinamika <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 1 Januari 2012perbedaan kekuasaan dan konsekuensi materi.Hubungan yang tidak seimbang <strong>dalam</strong> penguasaankekuasaan, pihak yang lebih berkuasaakan dapat memaksakan kehendak dan kepentingannyakepada pihak lain ketika berhubungansecara sosial. Kekuasaan tersebut dapat dipertukarkanuntuk menghasilkan hubungan sosialyang relatif setara dengan imbalan materi. Ketikasatu pihak <strong>dalam</strong> hubungan sosial memerlukansesuatu dari pihak lainnya, tidak memilikisesuatu yang sebanding untuk ditawarkan, tersediaempat alternatif. Pertama, orang dapatmemaksa orang untuk membantunya; kedua,mencari sumber lain untuk mencari apa yangdiperlukan; ketiga, mereka terus menjalaninya,meskipun tanpa sesuatu yang diperlukan dariorang lain; dan keempat, ini yang terpenting,mereka dapat meletakkan diri mereka padaposisi yang lebih rendah dari orang lain, sehinggamemberikan “nilai umum” kepada orang lain<strong>dalam</strong> hubungan sosial yang dijalani, selanjutnyaorang lain dapat menarik kembali penilaiantersebut ketika mereka ingin melakukan sesuatu(alternatif terakhir ini, tentu saja, merupakanciri terpenting dari kekuasaan).Berdasarkan hasil penerapan teori pertukaran,terlihat bahwa penetapan dari suaturancangan “reciprocity” akan memberikan suatukesempatan untuk menghindarkan strukturstrukturhukum yang membeku dan membantuyang akan dapat, di <strong>dalam</strong> beberapa wilayahsocial life, memudahkan proses-proses ekonomi.Konsekuensi negatif dari proses-prosesekonomi yang bersifat “negatif”, yaitu berhubunganproses pengkaratan (corrosion) dari sistemhukum yang berlangsung secara sistematisdan konstan akibat adanya serangan dari perilaku,dimana perilaku tersebut mengguntingprestise dari sistem hukum tersebut. Situasi sulit,antara lain berupa black-mail (pemerasan)dan “keharusan” untuk mengeluarkan uangsuap, semua ini telah dianggap sebagai sesuatuyang secara informal harus diterima sebagaisesuatu yang umum dan dijadikan pola-polastruktural operasional dari perilaku-perilakuyang terkoordinasi.Suap menyuap aparat peradilan dapat dijelaskandengan teori pertukaran kekuasaandari Peter M. Blau, bahwa aparat penegak hukumdiposisikan sebagai pihak yang mempunyaikekuasaan besar, sedang pihak terdakwa pihakyang lemah kekuasaan. Dalam proses hukumterjadi interaksi sosial yang mendekatkan duakepentingan, yaitu aparat penegak hukum danterdakwa, interaksi dua kepentingan bertemu<strong>dalam</strong> hubungan resiprositas (reciprocity relation),pada akhirnya terjadilah hubungan pertukarankekuasaan, yaitu pertukaran antara kekuasaanyang dimiliki penegak hukum berupakewenangan hukum (jasa) dengan kekuasaanterdakwa berupa materi (uang/barang). Secarastrukural operasional muncullah pertukaran barangdengan jasa.Telaah teortis terhadap gejala “mafia peradilan”sebagaimana telah dibahas berdasarkanteori pertukaran (exchange theory) dari PeterM. Blau di atas, juga bisa dijelaskan <strong>dalam</strong>konteks Lembaga <strong>Peradilan</strong> <strong>Pidana</strong> dengan menggunakanteori integrasi dari Harry .C. Bredemeier.Teori yang dikembangkan Bredermeiermerupakan derivasi dari teori sibernetik TalcotParson. Bertolak dari kerangka Talcot Parsons,Bredermeier menggambarkan bagaimana prosespertukaran (interchange) antara sub-sub sistem<strong>dalam</strong> kerangka Parsons. Dibawah ini dijelaskan<strong>dalam</strong> bentuk bagan supaya lebih jelas: 1717Lihat <strong>dalam</strong> Satjipto Rahardjo, 1982, Ilmu <strong>Hukum</strong>, Bandung:Alumni, hlm. 39-40.


<strong>Reformasi</strong> <strong>Sistem</strong> <strong>Peradilan</strong> <strong>Pidana</strong> <strong>dalam</strong> Rangka Penanggulangan Mafia <strong>Peradilan</strong> 115Bredermeier berusaha menjelaskan teorinyadengan melakukan analisis bagaimana hukumsaling berinterelasi dengan pattern variablesyang ada <strong>dalam</strong> sistem sosial masyarakat.Pattern variables <strong>dalam</strong> sistem sosial meliputipattern variable of adaption (economy, science,and technology), pattern variable of goalpursuance (polity) dan pattern maintenance(society ) yang mempunyai fungsi pemeliharaaneksistensi sistem sosial. Sebaliknya posisi hukummerupakan out put dari solidaritas sosialdari hasil interpretasi terhadap rasa keadilan.Integrasi antar pattern variable <strong>dalam</strong> sistemsosial dengan out put berupa hukum, pada dasarnyamemposisikan hukum melakukan konkretisasibentuk-bentuk struktur peran, tugas dankewajiban, tetapi efisiensi dari dari proses konkretisasitergantung kepada goal structure yangdimiliki masyarakat, serta kemampuan masyarakatuntuk mendayagunakan seluruh potensiyang ada <strong>dalam</strong> hukum yang dimilikinya.Proses integrasi antar pattern variablesistem sosial tergantung dari hukum yang merupakanilmu tentang fungsi dari berbagai jenisperilaku. Persoalan tentang intensitas fungsihukum <strong>dalam</strong> menjalankan integrasi, sesungguhnyaberada di luar hukum sebagai sistemnormatif, sehingga solusi atas permasalahantersebut hanya bisa dijelaskan dari kekuatanpattern variable yang melingkupinya. Interrelasiantar pattern variable akan menggambarkanbagaimana hubungan sosial sebagai sistem sosialbisa berfungsi mengatur satu sistem sosialtertentu. Integrasi antara pattern variableakan menciptakan suatu mekanisme tertentuuntuk mencapai tujuan <strong>dalam</strong> sistem sosial. <strong>Hukum</strong>berperan untuk melakukan interpretasirespon-respon dari polity enforcement procedure,akan tetapi apabila akan menerapkankebijakan hukum berdasarkan goal pursuancekasus-kasus individu, diperlukan pengetahuanbentuk hubungan sosial yang terjadi dan mungkinakan merintangi penerapan kebijakan tersebut.<strong>Hukum</strong> <strong>dalam</strong> menjalankan fungsinya,akan membentuk organisasi <strong>dalam</strong> masyarakatdan kemampuan inilah yang menjadi ciri utamahukum yang disebut adaptive process.Terjadinya proses hukum yang koruptif,yang lazim disebut mafia peradilan, pada dasarnyamerupakan hasil dari interelasi antarpara pihak dengan latar belakang yang beragam,serta dibedakan dari aspek jabatan dankewenangan, kemampuan materi ekonomi, kekuasaanpolitik. Berdasarkan teori pertukarankekuasaan (exchange theory) dari Peter M. Blaudan teori intergrasi dari Harry. C. Bredemeier,serta bertolak dari peristiwa pertukaran (exchange)antar sub sistem sosial, dengan latarbelakang ekonomi, politik dan sosial. Pertukaranantar sub sistem sosial tersebut, bisa berubahmenjadi kriminogen, apabila dimotivasitindakan menyimpang untuk memenuhi kepentinganbersama antar pihak-pihak, dengan mengorbankandan mengabaikan tujuan umumdari sistem sosial, yaitu keadilan, legalitas hukumdan ketertiban yang tercakup <strong>dalam</strong> sistemsosial.Praktik mafia peradilan pada hakikatnyamerupakan tindakan yang merusak sistem sosialdan menghasilkan out put hukum yang tidakadil. Mafia peradilan yang dilakukan secarasistematis oleh para penegak hukum merupakanpengabaian secara sengaja dan terencana terhadapsistem penegakan hukum yang sudahbaku <strong>dalam</strong> mekanisme dan prosedur. Penggerogotandan perusakan terhadap sistem penegakanhukum, tidak hanya pada sistem prosedural(procedural/physical system), tetapi jugamerusak dan mengabaikan sistem tata nilai (valuesystem) berupa asas-asas hukum yang adil,kedua sistem tersebut tercakup <strong>dalam</strong> sistemdue process of law.Praktik mafia peradilan merupakan perbuatanmelanggar hukum dan melanggar sistemnilai (moralitas) <strong>dalam</strong> peradilan pidana. Pelanggaranterhadap prinsip-prinsip dasar proseshukum yang adil (due process of law) menimbulkanproses hukum yang sewenang-wenang(arbitrary process). Praktik suap penegak hukumtelah merusak sistem prosedur dan sistemnilai. Akibat praktik mafia peradilan, terjadipenyimpangan dan pelanggaran prosedur bakudan melanggar nilai-nilai moralitas yang ada<strong>dalam</strong> asas penegakan hukum due process oflaw. Carut marut penegakan hukum pidana da-


116 Jurnal Dinamika <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 1 Januari 2012lam kasus Gayus misalnya, berdasarkan hasilEksaminasi Kejagung ditemukan “Ketidakcermatanyang disengaja” yaitu pelanggaran prosesdan prosedur penuntutan, sehingga PenuntutUmum dan Jaksa Peneliti dianggap melakukankecerobohan yang berakhir dengan bebasnyaterdakwa karena Surat Dakwaan tidak bisadibuktikan. Penyalahgunaan kekuasaan publikoleh penegak hukum untuk memperoleh keuntunganmateri, pada hakikatnya telah sengaja“memperdagangkan hukum”. <strong>Hukum</strong> menjadikomoditi bisnis, masuk <strong>dalam</strong> permasalahansebagai “pertukaran antara penawaran dan permintaan”.Urusan hukum tidak lagi menjadiurusan moral, yang menyebabkan masyarakat(pencari keadilan) tidak bisa mengelak dari tarikanekonomi, menyebabkan gangguan moralitashukum semakin berambah besar terhadaphukum, khususnya penegakan hukum pidana 18 .<strong>Reformasi</strong> <strong>Sistem</strong> <strong>Peradilan</strong> <strong>Pidana</strong> dan UsahaPenanggulangan Mafia <strong>Peradilan</strong><strong>Peradilan</strong> pidana merupakan bagian penting<strong>dalam</strong> usaha penanggulangan kejahatandengan sarana hukum pidana. <strong>Peradilan</strong> pidanabekerja <strong>dalam</strong> suatu sistem penegakan hukumpidana yang bersifat terpadu, menitikberatkanpada keterpaduan sistem, sehingga lazim disebut<strong>Sistem</strong> <strong>Peradilan</strong> <strong>Pidana</strong>. Keterpaduan <strong>dalam</strong>sistem peradilan pidana dimaksudkan agarproses peradilan berjalan secara efektif danefisien, saling menunjang antar penegak hukum<strong>dalam</strong> menemukan hukum dan menerapkanyang tepat untuk menjamin kepuasan pencarikeadilan yaitu mewujudkan keadilan <strong>dalam</strong> kesadarankenyataan hukum masyarakat. 19Apabila peradilan pidana dipahami dariaspek pendekatan sistem hukum, maka bekerjanyaperadilan pidana sangat teragantung darisinkronisasi dan harmonisasi dari komponenperadilan pidana, yaitu sub sistem penyidikan,sub sistem penuntutan, sub sistem pengadilan1819Kamri Ahmad, “Membangun Visi Baru: PemberantasanKorupsi dengan <strong>Hukum</strong> Progresif”, Jurnal <strong>Hukum</strong> Progresif,Vol 1/No 2 Oktober 2005. PDIH UNDIP. Semarang,hlm. 133.Hafrida, “Sinkronisasi Antar Lembaga Penegak hukum<strong>dalam</strong> Mewujudkan <strong>Sistem</strong> <strong>Peradilan</strong> <strong>Pidana</strong> yangTerpadu”, Jurnal <strong>Hukum</strong> Forum Cendekia, Vol 18 No. 2Oktober 2008, hlm. 66dan sub sistem pelaksanaan putusan pengadilanyaitu Lembaga Pemasyarakatan. Praktikmafia peradilan, pada hakikatnya adalah perbuatansistematis yang merusak sistem <strong>dalam</strong>peradil-an pidana. Rusaknya sistem peradilanpidana, pada dasarnya bisa bersumber dari sistemprosedural (procedural/physical system)dan sistem nilai (values system). Kedua komponenini akan runtuh apabila salah satu mengalamiserangan yang merusak. Perilaku penegakhukum yang menerima uang suap merupakantindakan merusak komponen kultur hukum (legalculture), akibatnya penegak hukum yangmengabaikan asas-asas peradilan yang baik,juga merusak sistem interaksi yang sudah bakustandarnya, yang terjadi kemudian adalah carutmarut penegakan hukum pidana. Penegak hukumyang terlibat mafia peradilan, menukar kewenanganhukum dengan keuntungan materi.<strong>Sistem</strong> peradilan pidana sering diartikansecara sempit sebagai sistem pengadilan yangmenyelenggarakan keadilan atas nama negaraatau sebagai mekanisme untuk menyelesaikansuatu perkara/sengketa. Dalam arti sempit, peradilanpidana hanya melihat aspek struktural(yaitu “system of court” sebagai institusi) danhanya melihat aspek kekuasaan mengadili/menyelesaikanperkara (administration justice/mechanism for the resolution of disputes). <strong>Peradilan</strong>pidana sebagai sistem mencakup duaaspek, yaitu aspek struktur institusi yang melibatkanbeberapa instansi penegak hukum danaspek nilai, yaitu asas-asas penegakan hukumpidana yang tercakup <strong>dalam</strong> due process oflaw. Interaksi antar instansi penegak hukum <strong>dalam</strong>mekanisme proses peradilan mencakuprantai kewenangan sistem peradilan pidana.Secara konseptual, inti dan arti penegakanhukum terletak pada kegiatan menyerasikanhubungan nilai-nilai yang dijabarkan <strong>dalam</strong> kaidah-kaidahyang mantab dan mengejawantahserta sikap tindak sebagai rangkaian penjabarannilai tahap akhir, untuk menciptakan, memeliharadan mempertahankan kedamaian danketertiban masyarakat. 20 Substansi nilai meru-20Hibnu Nugroho, “Optimalisasi Penegakan <strong>Hukum</strong> Dalampenanggulangan Kejahatan Global di Indonesia”, Jurnal


<strong>Reformasi</strong> <strong>Sistem</strong> <strong>Peradilan</strong> <strong>Pidana</strong> <strong>dalam</strong> Rangka Penanggulangan Mafia <strong>Peradilan</strong> 117pakan fondasi filosofis <strong>dalam</strong> rangka memperkuatasas-asas penegakan hukum yang adil (dueprocess of law), sebaliknya konsep penegakanhukum yang lebih menekankan pada pendekatansistem yang kaku dan prosedural, mengejartujuan tetapi mengabaikan aspek kemanusiaandan tujuan hukum yaitu mewujudkan keadilan.<strong>Hukum</strong> adalah alat yang digunakan untuk menegakkannilai-nilai kemanusiaan, bukan hanyasebatas pemenuhan prosedur hukum yang kaku,tetapi untuk menjunjung tinggi nilai kemanusiaan,karena sesungguhnya hukum adalah untukmanusia. 21Penegakan hukum pidana yang dijalankanberdasarkan konsep penegakan hukum sama denganpenegakan undang-undang, memberikanpeluang penyalahgunaan kekuasaan, yaitu tindakanhukum yang sewenang-wenang (arbitraryprocess of law). <strong>Hukum</strong> dijalankan <strong>dalam</strong>mekanisme dan prosedur yang kaku, mengabaikanunsur nilai kemanusiaan. Pertimbangankemanusiaan menjadi berkurang, umumnya padatindakan hukum penggunaan upaya paksa sepertipenangkapan dan penahanan. Penegakanhukum berdasarkan wewenang tidak keliru, tetapimenjadi kurang manusiawi apabila dipergunakansecara berlebihan. Untuk peningkatkankua-litas penegakan hukum yang berorientasipada spirit due process of law, maka perlu melakukanreformasi peradilan pidana.<strong>Reformasi</strong> sistem penegakan hukum pidanayang bersifat integral, dimulai dengan melakukanreformlasi dan rekonseptualisasi “kekuasaankehakiman” dan “desain penerapan kekuasaankehakiman”. Kekuasaan kehakiman dibidang hukum pidana bukan hanya diwujudkan<strong>dalam</strong> “kekuasaan mengadili”, tetapi diwujudkan/diimplementasikan<strong>dalam</strong> keseluruhan prosesperadilan pidana, yaitu tahap penyidikan,penuntutan, sidang pengadilan dan pelaksanaan21Media <strong>Hukum</strong>, UMY Yogyakarta Vol XVII No 4 Desember2007, hlm. 517Secara garis besar bekerjanya hukum di masyarakatditentukan beebrapa faktor, yaitu faktor juridis normatif(UU), penegak hukum, faktor juridis sosiologis,yaitu aspek ekonomi dan kultur hukum. Lihat YohanesSuhardin. 2009. Penegakan <strong>Hukum</strong> yang Berkeadilan Sosialdan Berdimensi HAM (Studi Penggusuran KelompokMarginal), Jurnal Media <strong>Hukum</strong> UMY Yogyakarta, Vol 16No.3putusan pengadilan. Keseluruhan proses peradilanpidana yang melibatkan lembaga-lembagapenegak hukum tersebut lazim dikenal denganistilah “sistem peradilan pidana yang terpadu”(integrated criminal justice system).Menata ulang “kekuasaan kehakiman” <strong>dalam</strong>proses peradilan pidana menjadi penting,karena pemberian kekuasaan kehakiman yanghanya tertuju kepada pengadilan menjadi titiklemah <strong>dalam</strong> sistem peradilan itu sendiri. Halini berkaitan dengan definisi dan ruang lingkup“kekuasan kehakiman” sebagaimana tersebut<strong>dalam</strong> Pasal 1 ayat (l) UU No. 48 Tahun 2009Tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagai kekuasaannegara yang merdeka untuk menyelenggarakanperadilan guna menegakkan hukum dankeadilan. Kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaannegara yang merdeka, akan sangat menentukankualitas, kredibilitas, dan integritaskeseluruhan proses peradilan. Lembaga yangmempunyai kekuasaan kehakiman hanya lembagapengadilan, maka hanya lembaga pengadilanyang bersih dan kebal (clean and immune) darisegala campur tangan pihak kekuasaan ekstrajudisial, sedangkan lembaga penyidik, penuntutumum, dan lembaga pemasyarakatan menjadirentan dan rawan intervensi kekuasaanekstra judicial dan penyalahgunaan kekua-saanpublik (illegal abuse of public power).Usaha mengatasi kelemahan hukum <strong>dalam</strong>pengaturan kekuasaan kehakiman menurutBarda Nawawi Arief, 22 ada dua kemungkinanyang dapat ditempuh. Pertama, membuat perundang-undanganbaru atau merevisi ketentuanperundang-undangan yang berlaku saat ini denganmenegaskan pejabat mana yang dipandangsebagai “pejabat pengendali” itu. Kedua,kekosongan perundang-undangan itu diisi lewatyurisprudensi. Dalam hal pertama, bahwa MahkamahAgung-lah yang ditetapkan sebagai “pejabatpengendali”. Alasannya, menurut Pasal24 UUD 1945, Mahkamah Agung-lah yang melaksanakanfungsi “Kekuasaan Kehakiman”. Pengertian“kekuasaan kehakiman” seyogianya22Barda nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Penegakandan Pengembangan <strong>Hukum</strong> <strong>Pidana</strong>, Bandung: PT. CitraAditya Bakti, hlm. 33


118 Jurnal Dinamika <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 1 Januari 2012tidak hanya diartikan sebagai “kekuasaan mengadili”,tetapi lebih luas lagi, yaitu sebagai“kekuasaan untuk menegakkan hukum dan undang-undang.Apabila kekuasaan kehakiman diartikan secara luas, maka Mahkamah Agung tidakhanya berfungsi mengawasi penegakan hukumoleh badan-badan pengadilan, tetapi jugamengawasi seluruh proses penegakan hukumyang dilakukan mulai proses penyidikan, penuntutan,sampai pada putusan pengadilan dijatuhkandan dilaksanakan/dieksekusi.Penataan kembali “kekuasaan kehakiman”<strong>dalam</strong> rangka menjalankan “kekuasaan penegakanhukum”, yang memberikan kedudukanMahkamah Agung sebagai otorita tunggal <strong>dalam</strong>penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yangmerdeka dan mandiri, mampu mengintegrasikankeseluruhan lembaga penegak hukum <strong>dalam</strong>menjalankan sistem peradilan pidana. MenempatkanMahkamah Agung menjadi “pengawasdan pengendali puncak/tertinggi (the topleader atau the top law enformcement officer)dari keseluruhan proses penegakkan hukumpidana (mulai tahap penyidikan, penuntutan,sampai pada proses mengadili, menjatuhkanputusan/pidana dan eksekusi pidana). Adanya“pengendali puncak/tertinggi “ini merupakankonsekuensi logis dari manajemen SPP yangterpadu (integrated criminal justice system ).Tanpa adanya pengendali puncak, dikhawatirkanbekerjanya SPP bersifat “fragmentaris”atau “instansi sentries”. 23Nilai-nilai dasar akuntabilitas publik <strong>dalam</strong>penegakan hukum, khususnya <strong>dalam</strong> upayapemberantasan mafia peradilan, meliputi prinsip-prinsip,pertama adalah access to justice(akses kepada keadilan), pada proses hukumdan putusan; kedua adalah timelines of justicedelivery (standar waktu untuk mencapai keadilan);ketiga adalah quality of justice delivery(kualitas keadilan dari penegak hukum dan putusanhakim); dan keempat adalah independence,impartiality and fairness of the judiciary(independensi, imparsialitas juga keterbukaandari kekuasaan peradilan); kelima adalah publictrust in judiciary (kepercayaan masyarakat23Ibid.pada kekuasaan kehakiman/peradilan). 24 Prinsip-prinsipdi atas merupakan bagian dari arusbesar globalisasi yang mensyaratkan prinsipprinsipGood Governance, seperti transparansi,keterbukaan, akuntabilitas publik, proporsionalitas<strong>dalam</strong> kegiatan organisasi.Desain sistem atap tunggal kekuasaan kehakimanyang ditujukan pada spirit independensiperadilan tidak mempunyai arti sama sekali,bahkan terjadi distorsi makna kebebasan/independensi peradilan. Independensi peradilanbisa dijalankan dan lepas dari campur tangankekuasaan eksekutif dan legislatif, tetapi penegakhukum tidak mampu bertahan dari godaanmateri dan uang yang berlimpah. Kekuatan materidan uang mereduksi independensi peradilandan terjerumus <strong>dalam</strong> mafia peradilan denganmodus operandi menyalahgunakan kekuasaan(illegal ab-se of publik power). Makna kebebasanperadilan perlu dikoreksi <strong>dalam</strong> konteksyang lebih proporsional, yaitu “keseimbanganantara prinsip kebebasan peradilan danakuntabilitas”, agar setiap produk penegakanhukum “membumi”, diterima masyarakat dandipercaya sebagai lembaga negara yang menjalankanmonopoli peradilan pidana. Kondisiyang diinginkan hukum hanya dapat terwujudapabila hukum ditopang penegak hukum yangterampil, tetapi juga bermoral dan berdedikasitinggi 25 Keberadaan Komisi Yudisial bertujuan untukmenampung keluhan masyarakat pencarikeadilan yang diperlakukan tidak adil <strong>dalam</strong>proses hukum. Untuk menjalankan fungsi kontrolterhadap kinerja pengadilan, KY dan MA,berdasarkan UU. No. 3 Tahun 2009 tentang MA,dibentuk Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yangmasih bersifat ad hoc, dengan komposisi anggota3 nama berasal dari MA dan 4 nama dariKY. MKH adalah sarana institusi kontrol terhadapperilaku hakim secara internal peradilan.MKH dibentuk untuk mengambil keputusan terhadappelanggaran kode etik dan perilaku Ha-2425Bambang Wijoyanto, op.cit, hlm. 3.Mahmutarom HR, “Pembangunan <strong>Hukum</strong> Nasional <strong>dalam</strong>Konteks Global”, Jurnal Masalah-Masalah <strong>Hukum</strong>, FHUNDIP, Semarang, 2006, hlm. 86.


<strong>Reformasi</strong> <strong>Sistem</strong> <strong>Peradilan</strong> <strong>Pidana</strong> <strong>dalam</strong> Rangka Penanggulangan Mafia <strong>Peradilan</strong> 119kim dengan hukuman pemberhentian secara tidakhormat atau pemberhentian sementara.Untuk memperkuat akuntabilitas peradilandi masyarakat, beberapa NGO (non governmentorganization), seperti ICW, TII, MaPPI FHUI, beberapa Perguruan Tinggi melakukan EksaminasiPublik terhadap putusan pengadilanyang terindikasi praktik mafia peradilan. Peranserta masyarakat <strong>dalam</strong> pengawasan kinerjapenegak hukum <strong>dalam</strong> pemberantasan korupsi,dapat dilakukan dengan membangun gerakanmassa anti korupsi (critical mass) terutama dijalankan NGO sebagai kekuatan pedobrak (socialmovement) seluruh masyarakat memperkuatnilai-nilai dan institusi demokrasi dan supremasisi-pil. 26 Penguatan prinsip akuntabilitaspublik atas putusan pengadilan dapat dilakukanmasyarakat sebagai partisipasi pengawasan sistemperadilan pidana sejalan dengan spirittransparansi dan akuntabilitas publik. Partisipasimasyarakat <strong>dalam</strong> mengawasi kinerja lembagaperadilan pada dasarnya menjadi bagian<strong>dalam</strong> reformasi sistem peradilan pidana <strong>dalam</strong>ber-bagai peraturan perundang-undangan. Bahkanpada era teknologi informasi ini, pola pengawasanmasyarakat terhadap kinerja peradilanakan lebih mudah dan efektif dengan dukunganperangkat teknologi informasi. 27PenutupSimpulanPraktik mafia peradilan berlangsung <strong>dalam</strong>proses peradilan pidana secara sistemik,melibatkan penegak hukum dan pihak lain. Formalitashukum digunakan untuk pembenarantransaksional bermotif keuntungan materi denganmengorbankan nilai-nilai keadilan menjadipola perilaku yang permisif karena desain sistemperadilan pidana masih bersifat parsial sehinggakontrol dan pengawasan terhadap peradilanmasih lemah.2627George Aditjondro, ‘Dialektika antara Agency denganStruktur <strong>dalam</strong> Pemberantasan Korupsi di Indonesia”,Renai, Jurnal Kajian Politik Lokal dan Studi Humaniora,Tahun VII No 2 2007, Yayasan Percik, Salatiga, hlm. 9.Agus Raharjo, Sunaryo dan Nurul Hidayat, “PendayagunaanTeknologi Informasi <strong>dalam</strong> PemberdayaanMasyarakat Untuk Mengawasi <strong>Sistem</strong> <strong>Peradilan</strong> <strong>Pidana</strong> diJateng”, Jurnal Dinamika <strong>Hukum</strong>, Vol 10 No 3 September2010, FH UNSOED Purwokerto hlm. 206-207.<strong>Reformasi</strong> sistem peradilan pidana dariaspek substansi hukum tercakup <strong>dalam</strong> desainkekuasaan kehakiman one roof system masihbersifat parsial, karena belum meliputi lembagapenyidik dan penuntut umum, hanya padabadan-badan pengadilan. <strong>Reformasi</strong> sistem peradilanpidana dapat dilakukan dengan desainsistem peradilan pidana yang integral berpuncakpada Mahkamah Agung sebagai top leaderkekuasaan kehakiman yang bisa mengontrol keseluruhanpraktik penegakan hukum termasukpenyidik dan penuntut umum sebagai bagiankekuasaan kehakiman serta aspek kultur hukumdengan menegakkan perilaku penegak hukummenjunjung tinggi asas due process of law.SaranUsaha penanggulangan mafia peradilanbisa dilakukan dengan desain kekuasaan kehakimanyang meliputi keseluruhan lembaga penegakhukum yaitu penyidik, penuntut umum,hakim dan pelaksana putusan pengadilan sebagaiinstitusi kekuasaan kehakiman yang berpuncakpada Mahkamah Agung sebagai top leaderkekuasaan kehakiman. Pengawasan yang ketatdan penerapan sanksi berat pada pelaku mafiaper-adilan menjadi pilihan untuk menanggulangipraktik mafia peradilan.Usaha menanggulangi praktik mafia peradilanyang bersumber dari perilaku menyimpang,bisa dimulai dengan penguatan kultur hukumyaitu menegakkan kode etik profesi penegakhukum. Penegakan kode etik profesi penegakhukum akan lebih efektif apabila dilaksanakan<strong>dalam</strong> sistem peradilan pidana <strong>dalam</strong>desain kekuasaan kehakiman yang meliputi keseluruhanlembaga pendukung sistem peradilanpidana yang berpuncak pada Mahkamah Agungsebagai Top Leader <strong>dalam</strong> penegakan kode etikprofesi penegak hukum.Daftar PustakaAditjondro, George. “Dialektika antara Agencydengan Struktur <strong>dalam</strong> PemberantasanKorupsi di Indonesia”. Renai, Jurnal KajianPolitik Lokal dan Studi Humaniora,Tahun VII No 2 2007. Yayasan Percik, Salatiga;


120 Jurnal Dinamika <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 1 Januari 2012Ahmad, Kamri. “Membangun Visi Baru: PemberantasanKorupsi dengan <strong>Hukum</strong> Progresif”.Jurnal <strong>Hukum</strong> Progresif, Vol 1/No 2Oktober 2005. PDIH UNDIP. Sema-rang;Arief, Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Penegakandan Pengembangan <strong>Hukum</strong> <strong>Pidana</strong>.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti;Daradono, Donny. “Uang, Ideologi, Jabatan <strong>dalam</strong>Mafia <strong>Peradilan</strong>, Reduksi terhadapThe Political”. Renai, Jurnal Kajian PolitikLokal dan Studi Humaniora. Tahun VIINo 2 Tahun 2007. Yayasan Percik Salatiga;Hafidz, Jawade. “<strong>Sistem</strong> PertanggungjawabanPerkara Korupsi Dalam Percepatan PenyelematanKeuangan Negara”. JurnalDinamika <strong>Hukum</strong> Vol 11 Edisi KhususFebruari 2011. FH UNSOED;Hafrida. “Sinkronisasi Antar Lembaga Penegakhukum <strong>dalam</strong> Mewujudkan <strong>Sistem</strong> <strong>Peradilan</strong><strong>Pidana</strong> yang Terpadu”. Jurnal <strong>Hukum</strong>Forum Cendekia, Vol 18 No. 2 Oktober2008;HR, Mahmutarom. “Pembangunan <strong>Hukum</strong> Nasional<strong>dalam</strong> Konteks Global”. JurnalMasalah-Masalah <strong>Hukum</strong>, 2006 FH UNDIP;Ibrahim, Anis. “<strong>Hukum</strong> Progresif: Solusi atasKeterpuruk-an <strong>Hukum</strong> Indonesia”, Jurnal<strong>Hukum</strong> Progresif, Vol 2 No. 1/April 2006PDIH Undip Semarang;Indah S, C. Maya. “Refleksi sosial atas Kelemahanhukum Modern,suatu diseminasihukum tradional <strong>dalam</strong> citra hukum Indonesia”.Jurnal Masalah-Masalah <strong>Hukum</strong>,Vol 103 No. 37 Tahun 2008. FH UNDIP;Mardin, Nurhayati. “Makna Kepala Putusan Pengadilan:Keadilan Berdasarkan KetuhananYang Maha Esa (Tinjauan Rechtphilosopie)”.Jurnal <strong>Hukum</strong> Aktualita. Vol IINo 3 Desemebr-Maret 2007, FH UniversitasTadulako;Muquddas, Busryo. Mafia <strong>Peradilan</strong> Berjalan<strong>Sistem</strong>ik. Lihat <strong>dalam</strong> http://beritasore.com/2009/07/16/mafia-peradilan.Diunduh 12 juli 2011;Nugroho, Hibnu. “Optimalisasi Penegakan <strong>Hukum</strong>Dalam penanggulangan KejahatanGlobal di Indonesia”. Jurnal Media <strong>Hukum</strong>,Vol XVII No 4 Desember 2007. UMYYogyakarta;Rahardjo, Satjipto. 1982. Ilmu <strong>Hukum</strong>, Bandung:Alumni;Raharjo, Agus. Sunaryo dan Nurul Hidayat.“Pendayagunaan Teknologi Informasi <strong>dalam</strong>Pemberdayaan Masyarakat Untuk Mengawasi<strong>Sistem</strong> <strong>Peradilan</strong> <strong>Pidana</strong> diJateng”. Jurnal Dinamika <strong>Hukum</strong>, Vol 10No 3 September 2010, FH UNSOED;Rifai, Edy. “Peran Hakim Dalam Penemuan <strong>Hukum</strong>dan Menciptakan <strong>Hukum</strong> Pada Era<strong>Reformasi</strong>”. Jurnal Ilmu <strong>Hukum</strong> “Praevia”.Vol. 4. No. 1 tahun 2010. FH Unila;Ritzer, George & Douglas J. Goodman, 2009,Teori Sosiologi, Dari Teori Sosiologi Klasik,sampai Perkembangan Mutakhir TeoriSosial Post Modern. Cet. Ketiga, PenerjemahInyiak Ridwan Muzir. Yogjakarta:Penerbit Kreasi Wacana;Said, Noor Aziz. “Rekonstruksi Pertanggungjawaban<strong>Pidana</strong> terhadap Tindak <strong>Pidana</strong>Korupsi APBD yang Dilakukan AnggotaDewan”. Jurnal Dinamika <strong>Hukum</strong>. Vol. 11Edisi Khusus. Februari 2011. FH UNSOED,Purwokerto;Santoso, M. Edi. “Kebijakan <strong>Pidana</strong> Dalam ProsesGerakan Sosial Melalui <strong>Sistem</strong> <strong>Peradilan</strong><strong>Pidana</strong> terhadap Mafia <strong>Peradilan</strong>”.Jurnal Gema, Vol XVIII. No 33 Tahun2005. Universitas Islam Batik, Surakarta;Suhardin, Yohanes. “Penegakan <strong>Hukum</strong> yangBerkeadilan Sosial dan Berdimensi HAM(Studi Penggusuran Kelompok Marginal)”,Jurnal Media <strong>Hukum</strong> Vol 16 No.3. UMYYogyakarta;Susetiawan. “Masyarakat Indonesia Dalam BingkaiPerubahan Dialektis”. Jurnal Mimbar<strong>Hukum</strong>. 2007. <strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong> UGM;Syamsudin, M. “Faktor-Faktor Sosio-legal yangMenentu-kan Dalam penanganan PerkaraKorupsi di Pengadilan”. Jurnal Media <strong>Hukum</strong>.2010. UMJ. Yogyakarta;--------. “Rekonstruksi Pola Pikir Hakim <strong>dalam</strong>Memutus Perkara Korupsi Berbasis <strong>Hukum</strong>Progresif”. Jurnal Dinamika <strong>Hukum</strong>, Vol11 No 1 Januari 2011, FH UNSOED;Widjojanto, Bambang. “Harmonisasi PeranPenegak <strong>Hukum</strong> Dalam PemberantasanKorupsi”. Jurnal Legsilasi Indonesia, Vol4 No. 1 Maret 2007. Direktorat JenderalPerundang-undangan Depkumham RI;Wiriadinata, Wahyu. “Masalah Mafia <strong>Peradilan</strong>dan Korupsi di Indonesia”. Jurnal Syiar<strong>Hukum</strong>, Vol XIL No 1 Maret 2010. <strong>Fakultas</strong><strong>Hukum</strong> Universitas Islam Bandung.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!