24.08.2015 Views

Download - Jurnal Dinamika Hukum

Download - Jurnal Dinamika Hukum

Download - Jurnal Dinamika Hukum

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai Upaya Pertama dan Terakhir… 397jek hukum internasional. 2 Sejalan dengan pengakuanindividu sebagai subjek hukum Internasional,untuk pelanggaran terhadap hukum internasionalyang dikatagorikan sebagai kejahataninternasional, dikenal tanggung jawab pidanaindividu.Pelanggaran berat hak asasi manusia dalamlingkup hukum internasional merupakan kejahataninternasional, kejahatan yang dianggapsebagai musuh bersama umat manusia (hostishumanis generis), karena berkaitan dengankepentingan masyarakat internasional secarakeseluruhan. Oleh karena menjadi tanggung jawabsemua umat manusia (obligatio erga omnes)untuk menyelesaikannya secara hukum,menghukum pelakunya secara adil. 3 Terhadappelaku kejahatan internasional akan dimintapertanggungjawaban individu secara pidanadan yurisdiksi yang berlaku dalam hal ini adalahyurisdiksi universal. Yurisdiksi universal adalahrespon hukum internasional atas fenomena impunitasbagi pelaku pelanggaran kejahatan seriusmenurut hukum internasional, yang karenamendapatkan impunitas, pelaku dengan bebasmelakukan kegiatan di berbagai belahan dunia,tanpa tuntutan hukum. 4Keinginan masyarakat internasional untukmeminta pertanggungjawaban pidana individutelah lama ada, namun baru terlembagasetelah Perang Dunia II, yaitu dengan adanyaInternational Military Tribunal at Nuremberg1945 dan International Military Tribunal forFar East 1946. Setelah dua tribunal tersebut,konsep tanggung jawab pidana individu (individualcriminal responsibility) semakin diakui dalamhukum internasional. Dalam tribunal tersebut,pertama kali dikenal konsep tanggung ja-234Rein A. Mullerson, “Human Rights and the Individual asa Subject of International Law: A Soviet View”, EuropeanJournal of International Law (EJIL), Vol.1 No. 1,1990, Badia Fiesolana: European University Institut.hlm.34.Asmara Nababan, “Penyelesaian Pelanggaran Hak AsasiManusia yang Berat: Belajar dari Pengalaman”, <strong>Jurnal</strong>HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Vol.2 N0.2,Nopember 2004, Jakarta: Komisi Nasional Hak AsasiManusia. hlm. 94.Ridarson Galingging, “Universal Jurisdiction in Absentia*Congo v. Belgium, ICJ, Feb.14, 2002”, <strong>Jurnal</strong> <strong>Hukum</strong>Internasional Vol. 1 No. 2, Agustus 2002, Jakarta: LembagaPengkajian <strong>Hukum</strong> Internasional Fakultas <strong>Hukum</strong>Universitas Indonesia, hlm. 103.wab individu untuk tiga jenis kejahatan yangdikatagorikan sebagai kejahatan internasional,yaitu kejahatan terhadap perdamaian (crimesagainst peace), kejahatan perang (war crimes)dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimesagainst humanity). 5Meskipun kedua tribunal seringkali dikatakansebagai pengadilan dari pihak pemenangperang untuk pihak yang kalah perang (victoryjustice), namun beberapa hal dapat dicatatmemberikan sumbangan bagi perkembanganhukum internasional. Dalam tanggung jawab pidanaindividu, seseorang tidak dapat berlindungdi balik negara, mekipun pada saat itu sedangmelaksanakan tugas negara. 6Keberhasilan Tribunal Nuremberg danTokyo menjadi inspirasi pada beberapa waktukemudian untuk membentuk pengadilan ad hocdalam penyelesaian kasus yang terjadi di Yugoslaviadan Rwanda. Berdasar Resolusi DewanKeamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnyadisingkat DK PBB) 827 tanggal 2 Mei 1993dibentuk International Criminal Tribunal forFormer Yugoslavia (ICTY) dan berdasar ResolusiDK PBB 955 8 November 1994 dibentuk InternationalCriminal Tribunal for Rwanda (ICTR).Perkembangan berikutnya dalam rangkapenegakan kejahatan internasional adalah pengadilancampuran (hybrid tribunal) yang memadukanatau menggabungkan antara unsur-unsurlokal/nasional dan internasional. Bentuk pengadilanyang demikian merupakan jawabanatas pengalaman dari pengadilan-pengadilansebelumnya, yaitu ”gap” antara pengadilan nasionaldan internasional. Untuk pengadilan nasional,masalah utama adalah kurangnya kredibilitasdan inkompeten, sementara pengadilaninternasional memiliki keterbatasan dalamhal kewenangan dan mandat. Saat ini telah dibentukempat pengadilan campuran, tiga didirikanantara tahun 1999 dan 2001 di Timor Timur(the Special Panels for Serious Crimes of theDistrict Court of Dili), di Kosovo (Regulation64” Panels in the Courts of Kosovo), di Sierra56Edoardo Greppi, “The Evolution of Individual CriminalResponsibility under International Crime”, InternationalReview of the Red Cross No.835, 1999, hlm. 531-534.Ibid, hlm. 535.


Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai Upaya Pertama dan Terakhir… 399Tabel 1. Perbandingan Hasil Penyelidikan KPP-HAM dengan Kejaksaan Agung pada Kasus PelanggaranBerat HAM di Timor Timur.PolaKejahatanPeristiwaKejahatanTempatKejahatanYangdidugapelakuRentangWaktuDakwaanKejaksaan Agung1. Pembunuhan2. PenganiayaanEmpat peristiwa :1. Pembantaiandi Liquica2. Pembantaiandi Gereja Suai3. Penyeranganrumah ManuelCarrascalao4. Penyeranganrumah UskupBeloTiga lokasi/kabupaten:1. Suai2. DiliLaporan KPP-HAM1. Pembunuhan massal2. Penyiksaan & penganiayaan3. Penghilangan paksa4. Perbudakan seksual dan perkosaan5. Operasi bumi hangus6. Pemindahan paksa dan deportasi7. Penghancuran dan penghilangan buktiEnam belas kasus utama, meskipun tidak terbatasDi semua 13 kabupaten Timor Timur3. Liquica16 individu Lebih dari 100 individu,termasuk mereka yang di-duga melakukankejahatan secara langsung dan me-reka yang berada pada komando palingtinggiApril 1999 danSeptember 1999Januari hingga September 1999Dalam kasus Timor Timur, PengadilanHAM ad hoc Jakarta Pusat mempunyai kompetensidan kewenangan untuk mengadili perkaratersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 KeppresRI nomor 96 tanggal 1 Agustus 2001, yang merupakanpenyempurnaan dari Keppres RI nomor53 tahun 2001 yang memutuskan bahwa yangberwenang untuk memeriksa dan mengadiliperkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadidi Timor Timur adalah Pengadilan HAM JakartaPusat.Pengadilan yang GagalSebanyak 12 persidangan pada peradilanHAM ad hoc yang berlangsung sejak bulan Maret2002 di PN Jakarta Pusat, telah menghasilkanputusan sebagaimana tampak pada Tabel 2 dibawah ini. Proses yang diadakan untuk menyelesaikankasus yang terjadi di Timor Timur, daripenyelidikan, penyidikan sampai persidangan,penilaian bahwa proses tersebut dilakukan tidakdengan persiapan yang matang dan sungguh-sungguhtidak dapat diabaikan. Dimulaidengan perbedaan hasil penyelidikan oleh KPP-HAM dengan hasil penyidikan oleh KejaksaanAgung memperlihatkan apa yang dilakukanhanyalah untuk meredam desakan yang munculdari berbagai elemen masyarakat. Putusan yangdijatuhkan kepada para terdakwa memperlihatkanadanya suatu kelemahan dari sistem yangada. Suatu proses pengadilan dikatakan sesuaidengan standar internasional haruslah memenuhikriteria sebagai suatu pengadilan yang adil(fair trial). Banyaknya terdakwa yang bebas bukanberarti dapat dikatakan tidak ber-langsungperadilan yang sesuai dengan standar internasional,namun yang lebih penting adalah mekanismeyang ada telah sesuai dengan kriteria pengadilanyang mandiri dan tidak memihak.Pada pengadilan yang berlangsung, paraterdakwa dinyatakan melakukan pelanggaranhak asasi manusia, yaitu kejahatan terhadapkemanusiaan. Namun, dalam pelaksanaannya,majelis hakim tidak mempunyai persepsi yangsama, terutama mengenai makna unsur meluasdan sistematik. Adanya pemahaman yang tidak


400 <strong>Jurnal</strong> <strong>Dinamika</strong> <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 3 September 2012Tabel 2.Rekapitulasi Persidangan HAM Ad Hoc di Pengadilan Negeri Jakarta PusatBerkas Terdakwa TuntutanVonisTingkat I Banding Kasasi PKI Timbul Silaen Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -(Kapolda Tim-Tim Tahun 6 BulanII Abilio Jose Soares Pidana Penjara 10 Pidana Penjara 3 Tahun 3 Tahun Bebas(Mantan Gubernur Tahun3 TahunTim-TimIII Herman Sedyono Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -(Mantan Bupati KDH TahunTk. II Covalima)Liliek Koeshadianto Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -(Mantan PLH DandimSuai)Tahun 6 BulanGatot Subiyaktoro Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -(Mantan Kapolres Tahun 3 BulanSuai)Achmad Syamsudin Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -(Mantan Kasdim Tahun1635 Suai)Sugito (Mantan Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -Danramil Suai TahunJohny W. Usman - - - Bebas -Daud SihombingBebasIV Asep Kuswani Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -(Mantan Dandim TahunLiquisa)Adios Salopa Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -(Mantan Kapolres TahunLiquisa)Leonito Martin Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -(Mantan Bupati TahunLiquisa)V Endar Priyanto Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -(Mantan Dandim TahunDili)VI Sudjarwo (Mantan Pidana Penjara 10 Pidana Penjara Bebas Bebas -Dandim Dili) Tahun5 TahunVII Hulman Gultom Pidana Penjara 10 Pidana Penjara Bebas Bebas -(Mantan Kapolres Tahun5 TahunDili)VIII Eurico Guterres Pidana Penjara 10 10 Tahun 5 Tahun 10 Tahun -(Mantan Wakil TahunPanglima ProIntegrasi)IX Adam Damiri BebasPidana Penjara Bebas Bebas -(Mantan Pangdam3 TahunUdayanaX Tono Suratman Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas, karena-(Mantan Danrem TahunJPU lupaWiradharma)membuat memorikasasiXI Noer Muis (Mantan Pidana Penjara 10 Pidana Penjara Bebas Bebas -DanremWiradharma)Tahun5 TahunXII Yayat Sudarajat Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -(Mantan Dansatgas TahunTribuana)


Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai Upaya Pertama dan Terakhir… 401sama dari majelis hakim nampak juga padakonsep tanggung jawab komandan. Formulasiyang tidak jelas atas kejahatan terhadap kemanusiaandan kurangnya pemahaman tentangtanggung jawab komandan nampak pada putusanbebas untuk seluruh terdakwa, khususnyaatas dakwaan tanggung jawab komandan. 12Penyebab lain dari kegagalan proses pengadilanini adalah terkait dengan hukum acaranya.Meskipun Undang-undang Nomor 26 Tahun2000 menjadi dasar dari suatu pengadilanhak asasi manusia yang merupakan perkarapidana yang luar biasa (extra ordinary crime),namun tidak dilengkapi dengan hukum acarayang luar biasa juga. Bahkan untuk hukum acara,merujuk pada hukum acara pidana biasayang diatur melalui Kitab Undang-undang <strong>Hukum</strong>Acara Pidana (KUHAP). Hal ini menunjukkanketidaksesuaian antara kriteria kejahatandengan prosedur hukum dalam implementasinya.Terkait dengan pengadilan ad hoc untukTimor Timur, banyak pihak yang dari awal meragukankeberhasilan pengadilan untuk TimorTimur, bahkan Sekjen PBB Kofi Anan dalamkunjungannya ke Timor Leste menyatakan: kamiberjanji untuk memastikan bahwa pihakpihakyang terbukti melakukan pelanggaranHAM semasa dan pasca penentuan jajak pendapatbulan Agustus 1999 akan dibawa ke pengadilan.Jika ingin menghindari pengadilan internasional,pemerintah Indonesia harus membuktikanbahwa pengadilan HAM yang dilakukannyabenar-benar transparan dan memenuhistandar internasional. 13Kelemahan Pengadilan Hak Asasi Manusia adhoc Timor TimurProses pengadilan HAM ad hoc untuk TimorTimur di Pengadilan Negeri Jakarta Pusattelah selesai dan hasilnya jauh dari memuaskan.Uji coba pengadilan ad hoc nasional untuk1213Devy Sondakh, “Kejahatan terhadap Kemanusiaan”,<strong>Jurnal</strong> <strong>Hukum</strong> Humaniter, Vol.2, No.3, Oktober 2006,Pusat Studi <strong>Hukum</strong> Humaniter dan HAM (terAS), FHUniversitas Trisakti, Jakarta, hlm. 550-551.Dikutip dari Tb Rony Rahman Nitibaskara, “PengadilanHak Asasi Manusia (HAM) dan Masyarakat internasional”,Kompas, 20 Februari 2002, h.4.pelanggaran berat hak asasi manusia di TimorTimur gagal memperlihatkan proses yang memenuhistandar internasional. Persidangan yangada tidak dilaksanakan secara konsisten sebagaimanamaksud diadakan pengadilan tersebut,yaitu mewujudkan keadilan dan membawa merekasebagai pelaku untuk bertanggung jawab.14 Berbagai pihak yang melakukan pengamatandan analisa mengungkapkan bahwa pengadilanyang telah berlangsung di bawah standar,kurangnya penguasaan mengenai perkaradan hukum acaranya, dan kemauan politik pemerintahyang tidak kuat.Dari hasil tersebut, dicoba untuk mengelompokkanhal-hal yang dianggap menjadi kelemahandan hambatan dari proses peradilan tersebut,sebagai berikut. Pertama, Undang-undangNomor 26 Tahun 2000. Harapan besar lahirpada awal diundangkannya Undang-undangNomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan hakasasi manusia. Selain akan menjadi payung hukumbagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaranberat hak asasi manusia, juga menunjukkanmartabat dan harga diri bangsa. Namun kenyataannyajauh panggang dari api, karena sampaisaat ini belum ada satupun kasus yang ada,tuntas diselesaikan melalui proses pengadilanyang memenuhi rasa keadilan. Pengadilan HAMhingga kini gagal menekan impunitas. 15Tidak dapat dipungkiri, lahirnya UndangundangNomor 26 Tahun 2000 tentang PengadilanHak Asasi Manusia sebagai akibat dari desakanmasyarakat nasional maupun internasionalterhadap peristiwa yang terjadi di Timor Timur.Atas dasar itulah, pada tanggal 8 Oktober 1999,untuk melaksanakan ketentuan Pasal 104 ayat(1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, diundangkanPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang(Perppu) Nomor 1 Tahun 1999tentang Pengadilan HAM.1415Suzannah Linton, “Unravelling the First Three Trials atIndonesia's Ad Hoc Court for Human Rights Violations inEast Timor”, Leiden Journal of International Law,Vol.17 issue 02, 2004, Rapenburg: Universiteit Leiden.hlm.303.Halili, “Pengadilan HAM dan Pelanggengan BudayaImpunitas”, CIVICS (<strong>Jurnal</strong> Kajian Kewarganegaraan),Vol. 7 No. 1, Juni 2010, Yogyakarta: Jurusan PendidikanKewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial UNY. hlm. 2.


402 <strong>Jurnal</strong> <strong>Dinamika</strong> <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 3 September 2012Oleh karena Perppu 1/1999 tersebut diatas dianggap tidak memadai oleh Dewan PerwakilanRakyat (DPR) untuk dijadikan Undangundang,maka Perppu tersebut dicabut dan sebagaipenggantinya, pada 23 November 2000,diundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 26 Tahun2000 ini menetapkan kewenangan PengadilanHAM yang dibentuk menurut Undang-undangini, yaitu memeriksa dan memutus perkara pelanggaranhak asasi manusia yang berat.Selain desakan dari dalam negeri, pembentukanpengadilan HAM juga akibat desakanluar negeri. Adanya kerusuhan sebelum dan sesudahjajak pendapat di Timor Timur menyebabkanDewan Keamanan (untuk selanjutnyadisingkat DK) PBB mengeluarkan Resolusi nomor1264 pada tanggal 15 September 1999. Resolusiini mendesak pemerintah Indonesia agar segeramengadili mereka yang bertanggung jawabterhadap terjadinya kekerasan di Timor Timur.Resolusi ini memberikan kewajiban internasionalsecara mandatory kepada pemerintah Indonesiauntuk mengadili pelaku pelanggaran HAMberat di Timor Timur melalui pengadilan adhoc. Berdasarkan Pasal 25 Piagam PBB, Indonesiaterikat secara hukum terhadap resolusi DK.Jika Indonesia tidak melaksanakan kewajibannya,DK PBB dapat menjatuhkan sanksi penangguhanhak-hak dan keistimewaan sebagai anggotaPBB (Pasal 5), mengeluarkan Indonesia darikeanggotaan PBB (Pasal 6) dan membentukpengadilan ad hoc internasional (Pasal 29). 16Dengan kondisi yang demikian, UndangundangNomor 26 Tahun 2000 lahir. Sebagaiakibatnya, berbagai kelemahan mulai munculpada saat undang-undang yang menjadi dasarberdirinya pengadilan HAM ad hoc diimplementasikan.Beberapa hal yang dapat dicatat sebagaikelemahan Undang-undang nomor 26 tahun2000 adalah: undang-undang hanya mengadopsiStatuta Roma 1998 yang melandasi berdirinyaICC secara parsial, sementara secara tersurat16Sumaryo Suryokusumo, “Aspek Moral dan Etika dalamPenegakan <strong>Hukum</strong> Internasional”, <strong>Jurnal</strong> <strong>Hukum</strong>Internasional Vol. 2 No. 2, Agustus 2003, Jakarta:Lembaga Pengkajian <strong>Hukum</strong> Internasional Fakultas<strong>Hukum</strong> Universitas Indonesia, hlm. 104-105.dalam penjelasan Pasal 7 dinyatakan untukkejahatan genosida dan kejahatan terhadapkemanusiaan sesuai dengan Pasal 6 dan 7 StatutaRoma 1998; 17 undang-undang tidak mengaturketentuan yang sangat penting bagi pelaksanaanproses peradilan yang merdeka dan tidakmemihak sebagaimana diatur dalam Pasal70 dan 71 Statuta Roma 1998 mengenai offensesagainst the administration of justice dansanctions for misconduct before the court; 18dan dapat dicatat disini, bahwa Undang-undangNomor 26 Tahun 2000 tidak secara lengkap mengaturmengenai kejahatan internasional yangmenjadi kompetensi yurisdiksi ICC, yaitu kejahatanperang dan kejahatan agresi. Terlepasdari pendapat mengenai termasuk tidaknyakejahatan perang dalam pelanggaran berat hakasasi manusia atau tidak, sudah seharusnya Indonesiamempunyai mekanisme hukum ataupengadi-lan untuk setiap pelanggaran <strong>Hukum</strong>Humaniter Internasional atau kejahatan perang19 (dalam persidangan, dalam kasus AbilioSoares dan dua kasus lainnya, majelis hakimmenya-takan peristiwa yang terjadi di TimorTimur juga pelanggaran terhadap Pasal 3 commonarticle Konvensi Jenewa 1949 mengenaikonflik bersenjata yang berkarakter non-internasional).Kedua, aspek hukum acara Undang-undangNomor 26 tahun 2000 tidak disertai prosedurhukum acara dalam rangka pengadilan hakasasi manusia tersebut. Hal ini berbeda denganStatuta Roma 1998 yang dilengkapi dengan hukumacara khusus dan penjelasan unsur-unsurkejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC, yaitudalam Rules of Procedure dan Ele-ment of Crime.2017181920Bhatara Ibnu Reza, “Yurisdiksi Universal Praktik, Prinsipdan Realitas”, <strong>Jurnal</strong> HAM Komisi Nasional Hak AsasiManusia, Vol.2 N0.2, Nopember 2004, Jakarta: KomisiNasional Hak Asasi Manusia. hlm.77.Muladi, “Mekanisme Domestik untuk Mengadili PelanggaranHAM Berat melalui Sistem Pengadilan atas dasarUU No.26 th 2000”, Seri Bacaan Kursus HAM untukPengacara X tahun 2005, Jakarta: Lembaga Studi danAdvokasi Masyarakat (ELSAM), hlm.8.Rina Rusman, “Konsep Pelanggaran Berat Hak AsasiManusia dilihat dari Sisi <strong>Hukum</strong> Humaniter”, <strong>Jurnal</strong> HAMKomisi Nasional Hak Asasi Manusia, Vol.2 N0.2,Nopember 2004, Jakarta: Komisi Nasional Hak AsasiManusia. hlm. 5.Halili, op.cit., hlm. 6.


Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai Upaya Pertama dan Terakhir… 403Ketiga, aparat penegak hukum dari prosesyang ada, timbul penilaian bahwa peradilanyang berlangsung tersebut tidak didukung denganaparat penegak hukum yang handal danmemadai. Penguasaan mereka pada materi, karakteristikkejahatan, pemahaman mekanismeyang ada yang mungkin bisa merujuk pada prosespengadilan internasional yang telah ada sebelumnya,kurang nampak, hanya sedikit darihakim yang benar-benar menguasai.Keempat, faktor-faktor lainnya selainfaktor di atas (faktor hukum), ketidakberhasilandari proses yang ada disebabkan faktor lainnyaseperti politik, sosial dan budaya. Tidakbisa diabaikan, lahirnya Undang-undang Nomor26 Tahun 2000 tidak murni lahir atas kesadarandan kesungguhan pemerintah Indonesia untukpenegakan HAM, melainkan akibat tekananyang terus menerus dari masyarakat, baik nasionalmaupun internasional. Sebagai akibatnya,Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tidakdipersiapkan secara matang dan sungguhsungguh,yang akan menjadi dasar mekanismenasional yang efektif. Terbukti, meskipun disebutkanmengadopsi Statuta Roma 1998, namuntidak secara keseluruhan kompetensi yurisdiksiICC juga menjadi kompetensi yurisdiksi pengadilanHAM ad hoc berdasar Undang-undang Nomor26 Tahun 2000. Nampak tidak adanya kemauanpolitik pemerintah untuk membuat perundang-undangannasional yang efektif.Faktor sosial dan budaya, dapat dilihatpada lemahnya penegakan hukum di tingkatnasional, tidak hanya untuk kasus pelanggaranberat HAM di Timor Timur, namun juga pelanggaranhukum lainnya. Dalam konteks penangananpelanggaran hak asasi manusia di Indonesia,terdapat tiga pendekatan untuk menyelesaikannya.21 Pertama, memaafkan dan melupakan (toforgive and to forget). Kedua, menuntut semuapelaku melalui jalur hukum dengan pengadilanhak asasi manusia (to punish). Ketiga, menerimaapa yang terjadi pada masa lalu, pada suatutingkat dan kondisi tertentu dengan fokus uta-21Agung Yudhawiranata, “Menyelesaikan Pelanggaran HakAsasi Manusia di Masa Lalu: Masalah Indonesia PascaTransisi Politik”, Dignitas, Vol. I No.I tahun 2003,hlm.25.ma menguak kebenaran serta menyediakankompensasi dan rehabilitasi untuk para korbandengan mendirikan suatu Komisi Kebenaran danhanya menuntut pelaku utama untuk diajukanke pengadilan.Berdasarkan Undang-undang Nomor 26Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Undang-undangNomor 27 tahun 2004 tentang KomisiKebenaran dan Rekonsiliasi, terdapat duaformat penyelesaian kasus pelanggaran hak a-sasi manusia di Indonesia. Penegakan hukumuntuk pelanggaran hak asasi manusia semestinyasangat menjanjikan dengan adanya duamekanisme tersebut, namun kenyataannya jauhdari harapan.Menjadikan Pengadilan Nasional sebagai yangPertama dan TerakhirBerdirinya Pengadilan HAM ad hoc di Indonesia,khususnya untuk Timor Timur, sebenarnyamerupakan kesempatan yang sangat bagusbagi Indonesia dalam hal penegakan danpenghormatan akan hak asasi manusia. Seba-gaianggota masyarakat internasional, merupa-kankesempatan untuk membuktikan bahwa Indonesiaberkehendak (willing) dan mampu (able)menyelesaikan pelanggaran berat hak asasi manusia,khususnya yang terjadi di Timor Timur.Sayangnya proses peradilan yang ada tidakmemperlihatkan kesungguhan tersebut. Banyakpihak menilai pengadilan yang dilaksanakan diIndonesia hanyalah untuk menghindari pengadilaninternasional dan bertujuan melindungi pihak-pihakyang bersalah. Catatan lainnya adalahketerlambatan dari mulai hasil penyelidikanKPP-HAM sampai terbentuknya Undang-undangNomor 26 tahun 2000, hasil KPP-HAM yang tidakdijadikan pegangan untuk menuntut oleh jaksapenuntut umum, perekrutan jaksa dan hakimyang tidak transparan dan berbagai persoalanlainnya yang mengakibatkan pengadilan yangberlangsung jauh dari harapan.Menurut hukum internasional, mekanismenasional memang merupakan prioritas dalammenyelesaikan kasus-kasus sebagaimana diatas.Setelah ICC berdiri pun, meskipun per-manen,namun sifatnya adalah melengkapi (komplementaris)terhadap pengadilan nasional. De-


406 <strong>Jurnal</strong> <strong>Dinamika</strong> <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 3 September 2012Mullerson, Rein A. “Human Rights and the Individualas a Subject of InternationalLaw: A Soviet View”. European Journalof International Law (EJIL). Vol. 1 No. 1Tahun 1990. Badia Fiesolana: EuropeanUniversity Institut;Nababan, Asmara. “Penyelesaian PelanggaranHak Asasi Manusia yang Berat : Belajardari Pengalaman”. <strong>Jurnal</strong> HAM KomisiNasional Hak Asasi Manusia. Vol. 2 No. 2edisi Nopember 2004. Jakarta: KomisiNasional Hak Asasi Manusia;Reza, Bhatara Ibnu. “Yurisdiksi Universal Praktik,Prinsip dan Realitas” <strong>Jurnal</strong> HAM KomisiNasional Hak Asasi Manusia. Vol. 2N0. 2 edisi Nopember 2004. Jakarta: KomisiNasional Hak Asasi Manusia;Rizki, Rudi M. “Beberapa Catatan tentang PengadilanPidana Internasional Ad Hoc untukYugoslavia dan Rwanda serta PenerapanPrinsip Tanggung Jawab Negaradalam Pelanggaran Berat HAM”. <strong>Jurnal</strong><strong>Hukum</strong> Humaniter. Vol. 1, No. 2 edisi April2006. Jakarta: Pusat Studi <strong>Hukum</strong> Humaniterdan HAM (terAS), FH UniversitasTrisakti;Rusman, Rina. “Konsep Pelanggaran Berat HakAsasi Manusia dilihat dari Sisi <strong>Hukum</strong>Humaniter”. <strong>Jurnal</strong> HAM Komisi NasionalHak Asasi Manusia. Vol. 2 No. 2 edisi November2004. Jakarta: Komisi NasionalHak Asasi Manusia;Sondakh, Devy. “Kejahatan terhadap Kemanusiaan”.<strong>Jurnal</strong> <strong>Hukum</strong> Humaniter. Vol. 2No. 3 edisi Oktober 2006. Jakarta: PusatStudi <strong>Hukum</strong> Humaniter dan HAM (terAS),FH Universitas Trisakti;Sujatmoko, Andrey. “Pengadilan Campuran(“Hybrid Tribunal”) sebagai ForumPenyelesaian atas Kejahatan Internasional”.<strong>Jurnal</strong> <strong>Hukum</strong> Humaniter. Vol. 3No. 5 edisi Oktober 2007. Jakarta: PusatStudi <strong>Hukum</strong> Humaniter dan HAM (terAS),FH Universitas Trisakti;Suryokusumo, Sumaryo. “Aspek Moral dan Etikadalam Penegakan <strong>Hukum</strong> Internasional”.<strong>Jurnal</strong> <strong>Hukum</strong> Internasional. Vol. 2 No. 2edisi Agustus 2003. Jakarta: LembagaPengkajian <strong>Hukum</strong> Internasional Fakultas<strong>Hukum</strong> Universitas Indonesia;Tb Rony Rahman Nitibaskara, “Pengadilan HakAsasi Manusia (HAM) dan Masyarakat Internasional”.Kompas, 20 Februari 2002;Yudhawiranata, Agung. “Menyelesaikan PelanggaranHak Asasi Manusia di Masa Lalu:Masalah Indonesia Pasca Transisi Politik”.Dignitas. Vol. I No. I tahun 2003;

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!