24.08.2015 Views

Download - Jurnal Dinamika Hukum

Download - Jurnal Dinamika Hukum

Download - Jurnal Dinamika Hukum

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

PERADILAN BERBASIS HARMONI DALAMDALAM GUYUB BUDAYA LAMAHOLOT - FLORES Karolus Kopong MedanFakultas <strong>Hukum</strong> Universitas Nusa Cendana KupangE-mail : komed2001@yahoo.comAbstractThis study tried to offer a new theoretic perspective about settlement form of criminal case.Through law anthropolgy study by using etnography approach and hermeneutic analysis method, thisstudy more strengthen the faith that the final goal of every court process is not only to determinewho is wrong and who is right, but also to find out the justice and the truth. But, additionallyjudicial process has to make a harmony or rebuild a social relation among the victims of conflict.Even, a social harmony that was built is managed generally as individual, and collective context, andas also vertically to the Almighty God. The judicial orientation with rich philosophy of harmony canbe applied to social sphere, because actually the harmony value is everybody’s dream in the world.Key words: judicial, criminal, harmony, adat tradition, Lamaholot society.AbstrakKajian ini mencoba menawarkan sebuah wawasan teoretik baru tentang pola penyelesaian kasuskriminal. Melalui studi antropologi hukum dengan menggunakan pendekatan etnografis dan metodeanalisis hermeneutika, studi ini semakin memperkuat keyakinan bahwa sasaran akhir dari setiapproses peradilan tidak hanya untuk menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar atau pun jugatidak hanya menemukan kebenaran dan keadilan. Melainkan, lebih jauh dari itu proses peradilanharus sedapat mungkin mendamaikan atau membangun kembali relasi sosial para pihak yang rusaksebagai akibat dari pertikaian. Bahkan, harmoni sosial yang dibangun itu dikelola dalam konteks yanglebih luas, baik secara individual, kolektif, dan secara vertikal dengan Sang Ilahi. Orientasi peradilanyang sarat dengan filosofi harmoni itu tampaknya dapat diterapkan dalam berbagai ruang sosial,karena nilai harmoni itu sesungguhnya merupakan dambaan dari semua manusia di belahan duniamana pun.Kata Kunci: peradilan, kriminal, harmoni, tradiasi adat, masyarakat Lamaholot.PendahuluanDewasa ini institusi peradilan yang ditetapkanoleh negara sebagai institusi resmi dalammenyelesaian berbagai kasus sengketa yangdihadapi oleh masyarakat sudah mulai diragukanketerandalan dan kesahihannya. Keraguanitu semakin mengemuka karena institusi pera-Tulisan ini merupakan sari dari Penelitian Hibah Kompetensitahun I & II(2010, 2011) berjudul “Menuju ModelPeradilan Berbasis Harmoni dalam Penyelesaian KasusKriminal Menurut Tradisi Masyarakat Lamaholot di FloresBagian Timur”. Penelitian ini merupakan pengembanganlebih lanjut dari Disertasi berjudul “Peradilan Rekonsiliatif:Konstruksi Penyelesaian Kasus Kriminal MenurutTradisi Masyarakat Lamaholot di Flores, Nusa TenggaraTimur (NTT)” di PDIH Undip Semarang tahun 2006 dibawah Promotor Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., danProf.Dr. Esmy Warassih, S.H,M.S.dilan negara ini belum sepenuhnya menyentuhesensi yang sesungguhnya dari suatu proses hukumyang berorientasi pada perwujudan perdamaiandi antara para pihak, termasuk antara(para) pelaku dengan (para) korban beserta seluruhkeluarganya. Kebanyakan orang lebih berpikirbahwa dengan adanya keadilan diputuskanoleh hakim dan dilanjutkan dengan proses eksekusimaka dianggap sudah selesai urusannya.Proses hukum yang demikian itu justru masihmenyimpan suatu dendam kusumat yang sewaktu-waktubakal muncul, bahkan mungkin sema-


Peradilan Berbasis Harmoni dalam Guyub Budaya Lamaholot - Flores 209kin kompleks dan memperburuk hubungan sosialdi antara mereka. 1Persoalan substansial yang lain yang melataritulisan ini adalah bahwa sekalipun peradilannegara sudah ditetapkan sebagai wadah resmiuntuk menyelesaikan sengketa yang dihadapioleh masyarakat, namun tidak menutup kemungkinanbagi masyarakat di tingkat lokal untukmenyelesaikan sengketanya melalui wadahperadilan adat yang dikemas mengikuti tradisimasing-masing daerah (kelompok suku). Bahkan,terkadang pula terjadi perpaduan antarakedua pola tersebut, baik dilakukan secara terang-teranganmaupun secara diam-diam dalampraktik penanganan kasus sengketa.Suatu hal yang patut dicermati dalamproses penanganan kasus sengketa, termasukkasus kriminal di tingkat lokal adalah soal bagaimanapola-pola peradilan yang dikemas menuruttradisi masyarakat lokal mampu membangunharmonisasi di antara para pihak yangbertikai (berperkara). Persoalan ini semakinmenarik untuk dikaji ketika ditemukan bahwaternyata pada masyarakat yang masih bersahajaseperti masyarakat Lamaholot di FloresProvinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memilikitradisi perdamaian yang dikemas dalam ritualadat mela sare atau tapan holo. 2 Tradisi perdamaianini tampaknya merupakan salah satu“kunci” bagi masyarakat Lamaholot untuk12Tragedi pengrusakan gedung Pengadilan Negeri Rutengdan penikaman Ketua Pengadilan H.A. Pardede yangmenangani perkara sengketa tanah suku Tenda danKumba di Manggarai-Flores pada bulam Mei 1991 silammerupakan sebuah contoh yang bagus untuk menjelaskanlemahnya institusi hukum negara dalam menanganikasus sengketa, terutama yang terjadi pada masyarakatlokal [Anto Achdiat, “Penyelesaian Sengketa dan HancurnyaHubungan Kekerabatan: Kasus Sengketa Tanahpada Masyarakat Ruteng di Kabupaten Manggarai, FloresBarat, Nusa Tenggara Timur” dalam T.O. Ihromi (ed),1993. Antropologi <strong>Hukum</strong>, Sebuah Bunga Rampai, Jakarta:Obor Indonesia.Secara harafiah istilah “mela sare” terdiri dari dua katayang memiliki makna hampir sama, yakni “mela” dan“sare” (sareka). “Mela” berarti baik atau menjadi baikkembali, sedangkan “sare” dimaknakan sebagai damaiatau berbaik kembali dalam suasana hati yang bersih,tiada dendam dan tiada amarah. Istilah “mela sare” disepadankandengan istilah “tapan holo” yang terdiri daridua kata, yakni “tapan” dan “holo”. Istilah “tapan”dimaknakan sebagai tambah (menambah), membuatatau memperbaiki kembali, sedangkan “holo” berartisambung, tersambung, terhubung kembali (termasukrelasi sosial yang terganggu akibat konflik atau sengketayang dihadapi.membangun kembali relasi sosial di antara parapihak yang bertikai. Masyarakat Lamaholot dalammenyelesaikan kasus sengketa apa punjenisnya dan melalui institusi peradilan manapun (baik peradilan lokal maupun peradilan negara),selalu mengupayakannya hingga ke tahapanperdamaian dengan menyelenggarakanritus adat mela sare (perdamaian). 3Berbagai latar tematik sebagaimana diuraikansecara sepintas di atas menjadikan fenomenayang ditampilkan oleh masyarakat Lamaholotini semakin urgen untuk dikaji lebihjauh untuk menemukan landasan filosofis danteoretik dari pola-pola peradilan yang dikonstruksikanoleh masyarakat Lamaholot dalammenyelesaikan kasus sengketa secara damai.Secara lebih spesifik, kajian terhadap konstruksiperadilan yang demikian itu akan lebih difokuskanpada praktik penyelesaian kasus kriminal.Fokus kajian yang demikian didasarkanpada pertimbangan bahwa pada dasarnya tradisiperdamaian ini sudah sangat lazim dalampraktik penyelesaian kasus perdata. Bahkan dalampenyelesaian kasus perdata, langkah-langkahperdamaian sangat dianjurkan untuk ditempuhpada saat-saat awal proses berlangsung.Hal ini sangat berbeda dengan proses penyelesaiankasus kriminal (pidana) di mana tradisiperdamaian tidak menjadi titik pijak pertamadan terutama. Oleh karena itu, tradisi penyelesaiankasus kriminal yang dipraktikkan oleh masyarakatLamaholot akan sangat bermanfaatdalam rangka pengembangan sistem peradilanpidana di Indonesia maupun sistem peradilanpada umumnya.PermasalahanMinimal ada dua permasalahan mendasaryang menjadi fokus kajian ini. Pertama, bagaimanaproses perdamaian adat mela sare atautapan holo itu berlangsung dalam forum-forumperadilan agar kasus kriminal yang ditanganidapat diselesaikan secara damai? Domain yang3Karolus Kopong Medan dkk, 2002 & 2004, “PengembanganPola Peradilan Semi-otonom Menurut BudayaLokal Lamaholot di Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur”,Laporan Riset Unggulan Kemasyarakatan danKemanusiaan (RUKK) III, Kerjasama Kantor KementerianRiset dan Teknologi, LIPI, dan Lemlit Undana, Kupang.


210 <strong>Jurnal</strong> <strong>Dinamika</strong> <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 2 Mei 2012menjadi fokus tulisan ini terutama mengenaipola-pola konstruksi peradilan berbasis harmonidalam kerangka budaya Lamaholot.Kedua, apakah forum-forum peradilan berbasisharmoni yang dikemas dengan memadukantradisi adat mela sare atau tapan holo itudapat diandalkan untuk menyelesaikan kasuskriminal secara damai? Persoalan kedua inipaling tidak berfokus pada dua domain utama:(a) keutamaan atau keunggulan dari forum peradilanberbasis harmoni, (b) orientasi yang hendakdicapai oleh forum-forum peradilan tersebutdalam menyelesaikan kasus kriminal.Hasil dan PembahasanBasis Harmoni dalam Peradilan: Belajar dariKearifan Masyarakat lamaholotSekalipun sudah ada kerangka umum yangberlaku secara nasional dan secara unifikatif dituangkandalam tata aturan hukum tentang sistemperadilan di Indonesia, namun dalam praktiknyamasyarakat Lamaholot dapat mengkonstruksikansecara berbeda menurut latar sosiokulturalyang dimiliki. Masyarakat Lamaholot tidaksaja mengandalkan pola peradilan negarayang disiapkan oleh negara, tetapi justru menampilkanjuga pola-pola peradilan versi lain,seperti pola peradilan adat dan pola peradilancampuran (baik campuran antara peradilanadat dengan peradilan negara maupun antaraperadilan adat dengan lembaga pemerintahanmodern: RT, RW, Dusun, Desa, dan lain sebagainya).Sekalipun pola peradilan berbasis harmoniditampilkan beragam, namun pola-pola peradilantersebut selalu memanfaatkan institusiadat mela sare atau tapan holo (perdamaian)sebagai sarana untuk mendamaikan atau memperbaikirelasi sosial para pihak yang bertikai. 4Selama Institusi adat ini belum bekerja makahubungan atau relasi sosial di antara pihak-pihakyang bertikai belum dipulihkan secara adatkarena masih dibatasi oleh “sekat adat” kene-4Selain institusi adat perdamaian mela sare, institusi sogasumpa (sumpah adat) sebagai sarana penuntut bagisemua pihak yang terlibat dalam proses penyelesaiansengketa untuk menemukan keadilan dan kebenaranyang hakiki). Karolus Kopong Medan, dkk, op cit.tun-bewoten sebagai simbol yang membatasi“para pihak sebagai musuh”. 5Pertama, mengenai model konstruksi peradilanberbasis harmoni melalui forum adat.Realitas yang dapat ditangkap dari kehidupanhukum pada masyarakat Lamaholot adalah bahwaforum-forum peradilan adat (forum sukudan forum kampung) ternyata masih tetap dipertahankan,sekalipun “peradilan swapraja”dan “peradilan adat” sudah dinyatakan tidakberlaku lagi sejak dikeluarkan UU No. 19/1964tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok KekuasaanKehakiman, dan UU No. 13/1965 tentang Pengadilandalam Lingkungan Peradilan Umum danMahkamah Agung. 6Proses penyelesaian kasus-kasus kriminalmelalui forum peradilan adat pada prinsipnyaberupaya agar para pihak yang terlibat dalamkasus kriminal, baik sebagai pelaku maupunkorban, dapat berdamai dalam suasana persaudaraan(mela sareka atau sare dame). Baik diAdonara, Lembata, Flores Darat maupun di Solorditemukan tipologi peradilan adat yanghampir mirip, sekalipun di sana sini ada sedikitperbedaan, terutama dalam hal istilah atauungkapan adat yang digunakan karena perbedaandialek kebahasaan.Proses penyelesaian kasus kriminal melaluiforum adat dimulai dengan laporan dari masyarakatatau pengaduan dari pihak yang menjadikorban atau keluarganya kepada BelenSuku Onen (pembesar dalam suku, kepala suku),kalau pelaku dan korbannya bersasal darisatu suku atau klen, dan dampak dari kasus kriminaltersebut tidak terlalu luas sehingga bisaditangani oleh kepala suku dalam lingkup kelompokwarga yang masih kecil. Jika pelaku dankorban kasus kriminal berasal dari suku yang56Masyarakat Lamaholot berkeyakinan bahwa apabila sekatpemisah adat kenetun bewotene ini dilanggar makayang bersangkutan dan seluruh kerabatnya akan mengalamimusibah berupa sakit, celaka, dan bahkan meninggaldunia.Penjelasan yang relatif memadai tentang pergeserankebijakan pemerintah tentang tentang sistem peradilandi Indonesia, yakni Sudikno Mertokusumo, 1983, SejarahPeradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia danapakah Kemanfaatannya bagi Kita Bangsa Indonesia.Yogyakarta: UGM, Cetakan II; dan R. Tresna, 1957,Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad. Amsterdam-Jakarta: W. Versluys N.V,.


Peradilan Berbasis Harmoni dalam Guyub Budaya Lamaholot - Flores 211berbeda, dan memiliki dampak yang diperkirakanakan mengganggu sendi-sendi kehidupandalam kampung (lewotana), maka kasus tersebutlangsung dibawa ke Kebelen Lewotana(pembesar kampung, kepala kampung). 7Pihak Kepala Suku (Kebelen Suku Onen)atau Kepala Kampung (Kebelen Lewotana) dalamproses penanganan kasus kriminal, tidakbertindak sendiri dalam mengambil keputusan,melainkan semua tokoh adat dan tokoh masyarakatdalam kampung dihadirkan untuk bersama-samamencarikan jalan keluar yang terbaikuntuk menyelesaikan kasus tersebut. Selain itu,terdapat pula pihak yang disebut lima lei uhuwanan atau lei raran (mediator adat), yakni pihakyang dipercayakan menjadi mediator antarapelaku dan korban bersama keluarganya masing-masingagar dampak dari kasus ini tidakmeluas dan menimbulkan persoalan baru yanglebih rumit.Untuk mengawali proses penanganan kasus(kriminal) di hadapan sidang suku (sidan suku)yang dipimpin oleh Kepala Suku (KebelenSuku Onen) maupun di hadapan sidang kampung(sidan lewotana) yang dipimpin oleh KepalaKampung (Kebelen Lewotana), dilakukan ritualadat bau lolon 8 untuk memohon tuntunan dariDewa Rerawulan Tanaekan, Leluhur (Ama OpoKoda Kewokot) dan seluruh kekuatan Dewa dariseluruh penjuru mata angin agar semua pihakyang terlibat dalam proses itu dapat menyelesaikankasus ini secara benar dan adil. Semuapihak yang terlibat dalam ritual adat itu - pemimpinsidang, para pihak (pelaku dan korban),dan para saksi - secara bergilir menuangkan sedikittuak 9 ke atas tanah seraya mengucapkan789Dalam struktur pemerintahan adat Atawatun di KecamatanIle Ape misalnya, Kebelen Lewotana yang yangbertugas menangani kasus sengketa, termasuk kasuskriminal adalah para pembesar adat yang terdiri dariLewo Nimun Tana Alawan, Taran Nekin, Taran Wanan,Kapitan Lake dan Kapitan Wae.Bau lolon merupakan sebuah bentuk ritual adat Lamaholotuntuk mendahulukan, menghadirkan dan menyertakanDewa Rerawulan Tanaekan dan para leluhur dalamsetiap peristiwa adat. Ritual bau lolon ini biasanyadipadukan dengan upacara pao boe yakni pemeriansesajen bagi Dewa dan leluhur.Terkadang tuak yang dipakai dalam ritual adat bau lolonini dicampur dengan tanah yang sudah diritualkansecara adat oleh Atamua Rerawulan Alapen (wakil RerawulanTanaekan di dunia). Ritual adat bau lolon ini10mantra adat memohon kehadiran Dewa RerawulanTanaekan dan Leluhur Ama Opo Koda Kewokotuntuk menyaksikan sekaligus menunjukkankebenaran dan keadilan atas kasus yang sedangditangani.Setelah ritual adat bau lolon, dimulailahpemeriksaan untuk mendapatkan keterangan,baik dari pelaku, korban maupun para saksi. Tidakada tata cara yang paten dalam pemeriksaanini seperti yang terjadi dalam proses peradilanmodern. Proses yang berlangsung dalamperadilan adat ini, yang paling penting adalahkejelasan informasi yang disampaikan oleh semuapihak, dan berupaya agar persoalan ini tidakmenimbulkan semakin rusaknya hubungankekerabatan dan persaudaraan di antara parapihak (pelaku dan korban) dan masyarakat padaumumnya. Jadi, proses penye-lesaian kasus kriminalmelalui forum peradilan adat lebih mengutamakanaspek harmonisasi atau keseimbangan10 dalam kehidupan masyarakat secara keseluruhan,bukan semata mengadili dan menghukumpara pihak yang terlibat dalam kasus kriminaltersebut.Sekalipun orientasinya lebih diarahkankepada terciptanya perdamaian demi harmonisasiatau keseimbangan, namun dalam prosesperadilan adat ini pun sampai pada penentuansanksi bagi pelaku yang terbukti melakukan tindakkriminal yang dituduhkan kepadanya, yangdisebut dengan istilah nedhan dei (membayardenda/kewajiban adat) dan pate helo ele kirin(ganti rugi). Dalam referensi-referensi tertentukedua bentuk sanksi adat ini disebut denganistilah “Reaksi adat” atau “reaksi masyarakatadat”, yaitu segala reakasi (koreksi) adat terhadapsegala tindakan untuk menetralisir pelanggaranhukum, dan bertujuan untuk memulihkankeseimbangan, baik keseimbangan dunialahir dan dunia gaib, keseimbangan dalam kehidupanmasyarakat pada umumnya, keseimbangdipimpinpula oleh Atamua Rerawulan Alapen (wakilDewa Rerawulan Tanaekan di dunia).Orientasi peradilan adat Lamaholot ini sejalan dengankonsep “harmonisasi” atau “keseimbangan” yang dianutoleh masyarakat adat Lamaholot, yakni hikun teti wananlali lein lau weran rae uak tukan wai mata sebagaimanadiuraikan pada bagian terdahulu.


212 <strong>Jurnal</strong> <strong>Dinamika</strong> <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 2 Mei 2012an antara kelompok masyarakat dan orang perorangan.11Kedua, pola konstruksi peradilan rekonsiliatifmelalui forum negara. Selain peradilanadat, masyarakat juga masih memiliki alaternatiflain untuk menyelesaikan kasus sengketayang dihadapinya, termasuk kasus-kasus kriminal,yakni forum peradilan negara. Oleh karenamasyarakat Lamaholot memiliki dan menjadikan“nilai harmoni” sebagai salah satu unsurpenting dalam menjaga keseimbangan dunia sosialnya,maka sekalipun forum yang digunakanadalah forum peradilan negara, masyarakatmasih tetap memanfaatkan institusi adat melasare (institusi adat perdamaian) sebagai jalankeluar untuk tetap menjaga harmonisasi kehidupansosial.Menyadari akan karakteristik peradilannegara dalam menangani kasus-kasus kriminal(kasus pidana) memiliki daya paksa dari negara,proses adat perdamaian itu dilakukan secaradiam-diam, dan hal ini dipandang sangat fungsionaldalam menyelesaikan kasus sengketa padaumumnya secara damai. Dengan demikian, prosesrekonsiliasi yang berlangsung dalam wadahperadilan negara telah menciptakan “area gelap”,yakni area yang tidak menjadi perhatianutama para penegak hukum formal (penyidik,jaksa, hakim, dan petugas pemasyarakatan).“Area gelap” itu sesungguhnya sengaja diciptakanoleh masyarakat Lamaholot untuk mengatasiketidak-memadaian institusi peradilan negara.Pola konstruksi peradilan rekonsiliatif dalamforum negara seperti itu sekaligus mengisyaratkan,bahwa soal diakui atau tidak secaraformal oleh negara terhadap proses adat perdamaianyang dilaksanakannya itu, bukan merupakansesuatu yang penting bagi masyarakatLamaholot. Bagi mereka, yang paling pentingdan terutama adalah terjalinnya kembali relasisosial para pihak yang berperkara dalam suasanadamai. Keterbatasan peradilan negara da-11R. Soepomo, 1977, Bab Bab tentang <strong>Hukum</strong> Adat di KemudianHari. Jakarta: Pradnya Paramita, hlm. 115. Jugadalam B. Ter Haar. 1981, Azas-Azas dan Sususnan<strong>Hukum</strong> Adat., edisi terjemahan oleh K. Ng. SoebaktiPoesponoto, Jakarta: Pradnya Paramita, Cet. Ke-6,hlm. 256.lam menangkap rasa keadilan dan kebenaranmasyarakat Lamaholot itu pulalah yang terkadangmembuat mereka menolak putusan pengadilannegara. 12 Dalam konteks yang demikianitu, masyarakat Lamaholot tampaknya tidak hanyasekedar memandang kehadiran hukum negara(peradilan negara) sebagai beban, 13 tetapimereka pun terus berusaha agar beban budayayang ditimbulkannya itu tidak terlalu berat.Itulah sebabnya, masyarakat Lamaholot denganpenuh kesadaran berusaha keluar dari “rel-rel”hukum modern dengan mengoptimalkan institusiadat perdamaian mela sare atau tapan holo.Model ini memperlihatkan, bahwa ketikakepolisian mendapat laporan atau pengaduandari masyarakat dan/atau korban tentang telahterjadi tindak kriminal, maka sejak saat itupula perangkat sistem peradilan pidana mulaibekerja. Pihak penyidik kepolisian mulai mencaritahu dan mengumpulkan bukti-bukti termasukmenangkap dan menahan orang yang diduga kuat melakukan tindak kriminal tersebut.Proses yang berlangsung dalam sistem peradilanpidana bergulir terus, mulai dari pemberkasanberita acara pemeriksaan perkara (BAP) danmenyerahkannya kepada Jaksa Penunut Umum(JPU), selanjutnya JPU membuat dakwaan untukdikirimkan kepada pihak pengadilan untukdisidangkan.Melalui sidang pengadilan kemudian ditetapkan,apakah orang yang dituduhkan itu terbuktisecara sah dan meyakinkan melakukantindak kriminal atau tidak. Pada setiap tahapanpemeriksaan, bisa saja terjadi dua kemungkinanbagi orang yang disangka atau didakwa,yaitu dibebaskan karena tidak cukup bukti atau1213Deskripsi yang relatif lengkap mengenai hukum negara(peradilan negara) sebagai “beban budaya” bagi masyarakattradisional dapat ditemukan dalam Bernard LTanya, 2000, Beban Budaya Lokal Menghadapi <strong>Hukum</strong>Negara: Analisis Budaya Atas Kesulitan Sosio-kulturalOrang Sabu Menghadapi Regulasi Negara, DisertasiDoktor Ilmu <strong>Hukum</strong>, Semarang: PDIH Undip.Harus diakui pula bahwa kehadiran hukum negarasebagai konsekuensi logis dari adanya pemerintahanmodern memang telah menyebabkan sebagian peranyang dimainkan oleh kebelen suku onen (kepala suku),kebelen Lewotana (kepala Kampung), lembaga adat DemonPagong di Flores Darat, pemerintahan adat WatunLewo Pito di Ile Ape Lembata, dan lain sebagainya semakinterkikis/pudar, termasuk perannya dalam menyelesaikankasus sengketa.


Peradilan Berbasis Harmoni dalam Guyub Budaya Lamaholot - Flores 213diproses terus sampai mendapatkan penetapanhukuman dari pengadilan untuk dijalani di LembagaPemasya-rakatan atau dikenakan hukumanjenis lain seperti denda, dan lain sebagainya.Secara formal, klimaks dari proses hukumyang berlangsung melalui sistem peradilan pidanaadalah ketika hakim menetapkan putusannyadan dilanjutkan dengan proses eksekusi pelakuuntuk menjalani hukuman, baik di LembagaPemasyarakatan maupun menjalani hukumanjenis lain. Pihak penyelenggara peradilan pidanatidak mau tahu lagi tentang bagimana kondisidan keberadaan si pelaku di masyarakat,termasuk bagaimana relasi sosial antara pelakudengan korban dan lingkungan sosialnya.Menyadari akan kelemahan pola peradilannegara itu, maka “secara diam-diam” tanpa sepengetahuanpihak penyelenggara peradilanpidana, pihak pelaku dan keluarganya secaratahu dan mau untuk memenuhi kewajiban adat(nedhan dei dan pate ele kirin) dan melaksanakanritual adat mela sareka atau ritual tapanholo (ritual adat perdamaian) demi menjagaharmonisasi atau keseimbangan di dalam masyarakat.Keseimbangan yang dimaksud adalahkeseimbangan sosial secara menyeluruh dalamkomunitas Lewotana (kampung) dan komunitassuku, maupun secara personal antar para pihakdan keluarga. Pihak yang mengatur pemenuhankewajiban adat dan perayaan ritus adat melasareka atau tapan holo ini adalah pembesar sukudan pembesar lewotana, Ata Molan (TabibAdat), Atamua Rerawulan Alapen (wakil DewaRerawulan Tanaekan di dunia), dan para pihakbeserta seluruh keluarganya.Ketiga, fenomena lain yang menunjukkankreativitas masyarakat Lamaholot dalam mengkonstruksimodel penyelesaian kasus kriminalsecara damai adalah “peradilan berbasis harmoniversi campuran”. Model ini tampil dalamdua varian model peradilan yang merupakancampuran antara peradilan adat dengan mekanismepenyelesaian oleh pemerintahan modern(RT, RW, Kepala Desa).Konstruksi yang demikian bisa saja terjadisebagai konsekuensi logis dari semakinmendominasinya sistem pemerintahan modernsejak diberlakukan undang-undang No. 5 Tahun1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan diDaerah. Gambaran tentang pola peradilan campuranini sekaligus menunjukkan bahwa ternyatasudah ada unsur baru (unsur lain) yang digunakandalam proses penyelesaian kasus kriminal.Dalam kasus-kasus tertentu aparat pemerintahandesa (modern) seperti: RT (Rukun Tetangga),seperti RW (Rukun Warga), Dusun, KepalaDesa ikut dilibatkan dalam proses penyelesaiannya.Bahkan, di sejumlah desa ditemukanadanya peraturan desa yang mengatur tentangtata cara penyelesaian kasus-kasus sengketa,termasuk kasus-kasus kriminal beserta pedomanpenetapan sanksi-sanksi desa.Hasil temuan sebagaimana dideskripsikanpada bagian-bagian terdahulu memperlihatkanadanya “varian-varian forum penyelesaian kasuskriminal”. Tampak bahwa dari penelitianyang dilakukan secara terbatas di kawasan budayaLamaholot saja, ditemukan adanya keragamancara yang ditempuh oleh masyarakat Lamaholotuntuk menyelesaikan kasus kriminalyang dihadapi. Itu berarti, dapatlah dibayangkanbahwa dalam konteks Indonesia akan tampilbegitu beragamnya forum penyelesaiansengketa yang dikonstruksikan oleh masyarakatdi seluruh belahan Indonesia dengan mengikutipola budayanya masing-masing.Realitas yang demikian membenarkan tesisSatjipto Rahardjo, 14 bahwa forum peradilannegara yang disiapkan oleh negara bukan satusatunyaforum bagi masyarakat untuk menyelesaikankasus sengketa yang dihadapi. Optik sosio-antropologisjusteru memperlihatkan begitubanyak forum yang bisa dipakai oleh masyarakatuntuk menemukan keadilan dan kebenaran.Keutamaan Peradilan berbasis HarmoniPola peradilan berbasis harmoni yang dikonstruksikanoleh masyarakat Lamaholot denganmemadukan institusi adat mela sare dalampenyelesaian kasus kriminal itu sesungguhnyaberorientasi kepada upaya untuk membangunharmoni atau keseimbangan dalam konteksyang lebih luas, baik harmonisasi dalamlingkungan sosial secara keseluruhan maupun14Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu <strong>Hukum</strong>. Bandung: CitraAditya Bakti, hlm. 281-282.


214 <strong>Jurnal</strong> <strong>Dinamika</strong> <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 2 Mei 2012harmonisasi secara personal antara para pihakyang bertikai. Bahkan, proses penyelesaian kasuskriminal itu pun memiliki aspek religiustiasuntuk membangun harmonisasi secara vertikalantara manusia dengan Sang Ilahi. Singkatnya,Institusi adat mela sare merupakan saranapenghubung untuk menghantar para pihak yangbertikai beralih dari dunia penuh konflik menujudunia penuh bahagia, aman dan damai.Oleh karena proses rekonsiliasi yang dijalankanoleh masyarakat Lamaholot itu juga secarareligius-magis dengan mengikutsertakanDewa Rerawulan Tanaekan dan para LeluhurAma Opo Koda Kewokot, maka proses rekonsiliasiyang dilaksanakan itu memiliki daya ikatyang sangat kuat antara para pihak yang bertikai.Kekuatan daya ikat dari proses peradilanberbasis harmoni itu sangat diresapi oleh masyarakatLamaholot yang menjalaninya, sehinggahubungan sosial di antara mereka pascarekonsiliasibenar-benar berada dalam suasanabaru, yaitu suasana penuh bahagia, aman dandamai. Suasana batin dan suasana kehidupansosial pasca-rekonsiliasi memang sungguh berbedadengan suasana sebelumnya, karena sudahtidak ada lagi “sekat pemisah” berupa kenetunbewotenen (pemutusan hubungan secaraadat) yang melarang para pihak untuk membangunrelasi sosial dalam bentuk apapun.Bagi masyarakat Lamaholot, proses rekonsiliasimerupakan salah satu bagian dari prosespenyelesaian sengketa yang sangat menentukanmasa depan para pihak. Menyadari akanhal ini, dalam berbagai kasus yang berhasil dihimpundi lokasi penelitian menunjukkan bahwainstitusi rekonsiliasi mela sare atau tapanholo itu merupakan bagian dari proses hukumyang dilakukan secara adat. Bahkan, konseprekonsiliasi yang dipahami oleh masyarakat Lamaholottidak sekedar rekonsiliasi individual,melainkan juga rekonsiliasi dalam artian yanglebih luas meliputi: berdamai dengan lingkungansosial (lewotana), berdamai dengan SangDewa Rerawulan Tanaekan, dan berdamai denganLeluhur Ama Opo Koda Kewokot.Persoalannya sekarang adalah apakah pola-polaperadilan berbasis harmoni yang dikonstruksikanitu mampu membangun relasi sosialpara pihak ke arah yang lebih baik? Pertanyaanpenuntun ini menuntut untuk dicari tahu lebihjauh tentang bagaimana proses menuju perdamaianyang berlangsung dalam wadah peradilanberbasis harmoni. Hal ini secara tersiratakan menjelaskan tentang bagaimana masyarakatLamaholot berusaha untuk menata suatukehidupan dalam dunia yang penuh konflik menujusebuah dunia baru yang penuh damai melaluiwadah peradilan berbasis harmoni.Ketika suatu kasus kriminal terjadi danberdampak pada terciptanya situasi sosial yangpenuh konflik, maka saluran hukum yang ditempuhadalah bervariasi, baik melalui forum peradilanadat, peradilan negara maupun peradilancampuran. Forum-forum peradilan tersebut,tidak hanya mengadili dan menjatuhkan pidanabagi para pelakunya, melainkan dapat membukaruang yang lebih luas untuk membangunkembali dunia sosial yang rusak dan menghantarpara pihak (pelaku, korban, keluarga) sertamasyarakat secara keseluruhan menuju duniayang penuh bahagia, aman, damai dan sejahtera.Institusi yang dipakai untuk memperbaikidunia sosial yang penuh konflik menuju duniapenuh bahagia itu adalah institusi adatperdamaian mela sare atau tapan holo. Tahapan-tahapanritual adat yang berlangsung dalaminstitusi adat perdamaian mela sareka itubolehlah dipandang sebagai “tangga” yang harusdigunakan oleh lembaga peradilan untukmenyelesaikan kasus-kasus kriminal secara damai.15 Dalam pandangan yang lebih umum“tangga perdamaian” tersebut berfungsi untukmenghubungkan dua dunia dengan kondisi dansituasinya yang amat berbeda atau bertolakbelakang. Dunia yang pertama adalah “duniayang penuh dengan konflik”, yakni dunia di manaselalu terjadi pertikaian, peperangan, pembunuhan,penganiayaan, dan kasus-kasus kriminallainnya. Sebaliknya, dunia yang kedua adalah“dunia yang aman dan damai”, yakni duniadi mana masyarakat hidup dengan aman dan15Tahapan-tahapan ritual adat tersebut, menurut masyarakatLamaholot merupakan suatu keharusan untukdilaksanakan, karena kalau tidak maka relasi sosial diantara para pihak yang bertikai masih tetap terputus(kenetun bewoten).


216 <strong>Jurnal</strong> <strong>Dinamika</strong> <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 2 Mei 2012yang dihadapi pun diyakini akan ikut terpolaoleh nilai harmonisasi tersebut. 18Beberapa riset yang dilakukan di beberapadaerah di Indonesia menunjukkan bahwa nilaiharmonisasi sangat menyemangati prosespenyelesaian sengketa pada umumnya. Beberapadi antaranya adalah yang dipraktikkan oleh:(a) masyarakat Bengkalan Madura” yang menempatkankepala desa sebagai mediator perdamaian;19 (b) masyarakat petani dan nelayandi Tuban, Jawa Timur yang lebih memilih bentukperadilan konsiliasi; 20 (c) masyarakat Timor(Belu, TTU, dan TTS) juga selalu menerapkantradisi adat perdamaian hak neter malu danhalan dalam menyelesaikan setiap sengketa; 21(d) masyarakat di Flores seperti di Manggaraimemiliki tradisi perdamaian hambor, 22 di EndeLio dengan institusi adat perdamaian tura jaji;23 (e) masyarakat di pedalaman Jawa juga181920212223Kerangka pemikiran yang demikian sejalan denganpemikiran Barda Nawawi Arief yang memandangtatanan hukum (termasuk tatanan hukum prosedural)dengan tatanan nilai merupakan satu kesatuan. Dalamarti bahwa tatanan nilai semestinya harus mewarnaipembentukan dan penegakan tatanan hulum [BardaNawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu<strong>Hukum</strong> Pidana: Menyongsong Generasi Baru <strong>Hukum</strong>Pidana Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalamIlmu <strong>Hukum</strong>, Semarang: Fakultas <strong>Hukum</strong> Undip, 25 Juni1994, hlm. 28-30.Mochamad Munir, 1996, Eksistensi Pengadilan NegeriSebagai Lemabaga Formal untuk Penyelesaian Sengketadalam Masyarakat: Studi Sosio-hukum yang Berkaitandengan Penyelesaian Sengketa Tanah di KabupatenBengkalan Madura, Disertasi Doktor Ilmu <strong>Hukum</strong>, Surabaya:Program Pascasarjana Universitas Airlangga, hlm.186.Indah Sri Utari, 2004, Makna Sosial <strong>Hukum</strong> Bagi MasyarakatPetani dan Nelayan di Tuban: Kajian tentang AlasanSosial dalam Memilih atau Tidak Memilih PengadilanSebagai Forum Penyelesaian Sengketa Tanah, DisertasiDoktor Ilmu <strong>Hukum</strong>, Semarang: PDIH UniversitasDiponegoro, hlm. 234-264.John Kotan & Rafael R. Tupen, 2002, Kajian <strong>Hukum</strong>Adat dalam Penyelesaian Masalah Tanah di Nusa TenggaraTimur, Laporan Hasil Studi. Kupang: KerjasamaBAPPEDA NTT & Laboratorium <strong>Hukum</strong> FH Undana, hlm.16-29.Beni Tukan, dkk., 2003, Konflik Tanah Suku di PropinsiNusa Tenggara Timur: Studi tentang ManajemenKonflik, Laporan Hasil Riset Unggulan Kemasyarakatandan Kemanusiaan (RUKK) Tahap II, Kupang: KerjasamaKementerian Riset dan Teknologi – LIPI – BalibangdaNTT, hlm. 76-78.Blasius Raja, 2002, Tura Jaji: Perjanjian Adat sebagaiPedoman Kohesif dalam Membina Kehidupan SosialMasyarakat Suku Lio di Flores, Laporan Hasil Riset UnggulanKemasyarakatan dan Kemanusiaan (RUKK) IIITahun I, Kupang: Kerjasama Kantor Kementerian Risetdan Teknologi – LIPI – Unika Widya Mandira Kupang, 29-39.mengenal pola peradilan “padu” atau “pepadun”dan cukup fungsional pada jaman kerajaandan masa-masa awal penjajahan Belanda;24 dan masih banyak yang lain.Temuan tersebut memang tidak menunjuksecara tegas tentang tipologi peradilanberbasis harmoni, namun jika dilihat dari aspeksubstansi atau muatan yang dihasilkan dari proses-prosespenyelesaian sengketa, maka tampakbahwa konsep tentang peradilan berbasisharmoni bukan merupakan sesuatu yang khasdan hanya dimiliki oleh masyarakat Lamaholot.Jiwa dan semangat dari peradilan yang saratdengan nilai harmoni tersebut dapat ditemukandi semua daerah di Indonesia.Sekalipun terdapat semangat yang sama,namun pola-pola peradilan berbasis harmoniyang dikonstruksikan oleh masyarakat di masing-masingdaerah jelas akan berbeda-beda,karena sangat tergantung pada konteks sosialdan pandangan dunia dari masyarakat yang bersangkutan.Konteks sosial dan pandangan dunialahyang membuat pola peradilan berbasisharmoni versi Lamaholot berbeda dengan yangdikonstruksikan oleh masyarakat lain.Dari pelacakan lebih jauh terhadap tatananhukum yang dikonstruksikan oleh masyarakatdi Jepang misalnya, ternyata orientasi yangingin dituju dari sebuah proses hukum adalahsama, yakni berusaha membangun kembali harmonisasiatau keseimbangan dalam konteksyang lebih luas. Semangat harmonisasi yang ditampilkanoleh masyarakat Jepang dalam tatananhukumnya itu sesungguhnya disemangatioleh konsep hidup amaeru, yakni konsep hidupyang berusaha untuk merajut kehidupan yangpenuh bahagia dalam suasana kebersamaan.Pada tataran teoretik, data hasil studiyang ditemukan dari masyarakat Lamaholot ituternyata memiliki seperangkat konsep teoretikyang merupakan dasar bagi peradilan berbasisharmoni, yakni konsep kriminalitas, peradilan(pidana), rekonsiliasi, kebenaran dan keadilan,dan konsep harmonisasi. Apabila sekalian konsepteoretik tersebut dihubung-hubungkan antarasatu dengan yang lain, maka akan melahir-24Hilman Hadikusuma, 1989, Peradilan di Indonesia. Jakarta:CV. Miswar, hlm. 8-12.


Peradilan Berbasis Harmoni dalam Guyub Budaya Lamaholot - Flores 217kan sejumlah proposisi (pernyataan teoretik),yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkansecara ilmiah. Pertama, munculnya tindakkriminal atau kasus sengketa pada umumnyaakan mengakibatkan chaos atau ketidakteraturanyang mengganggu keharmonisan kehidupansosial; kedua, jalinan antara peradilan atau pola-polapenyelesaian sengketa pada umumnyadengan proses rekonsiliasi akan membantu pihak-pihakyang bertikai untuk menghilangkankhaos dan sekaligus menghantar mereka menujutatanan kehidupan sosial yang harmonis;ketiga, harmonisasi tatanan kehidupan sosialyang diupayakan melalui proses peradilan berbasisharmoni itu tidak hanya dikembangkanatau diusahakan secara individual (antara parapihak), melainkan dalam tatanan kehidupan sosialsecara menyeluruh dalam sebuah komunitas;keempat, harmonisasi yang diupayakanmelalui peradilan berbasis harmoni dimaksudkanjuga untuk memperbaiki kembali sekaligusmemperbaharui relasi antara manusia denganYang Ilahi; kelima, seluruh proses hukum yangberlangsung dalam forum peradilan berbasisharmoni berada di bawah tuntanan dan kontrolkekuatan sosial (kekuatan duniawi) maupun kekuatanadikodrati (kekuatan Ilahi); keenam, kebenaran,keadilan, dan rekonsiliasi yang diupayakanmelalui proses peradilan merupakan kuncibagi para pihak dan masyarakat secara keseluruhandalam membangun kehidupan sosialyang harmonis; dan ketujuh, harmonisasi kehidupansosial yang dibangun melalui proses peradilanberbasis harmoni itu tidak hanya dimaksudkanuntuk membangun keselarasan secarahorisontal dalam kehidupan nyata (kehi-dupanduniawi), melainkan juga membangun keselarasanhubungan secara vertikal dengan SangIlahi.Harmonisasi kehidupan sosial yang dibangunmelalui peradilan berbasis harmoni Dalamtataran yang paling abstrak, sesunnggunya diletakkandi atas dasar teoretik yang kokoh yangdisebut teori hukum “mela sare”, yakni teorihukum yang lebih mengutamakan keselarasanatau keharmonisan dalam tiga dimensi (dimensiindividual, sosial dan imanen).Mencermati karakteristik teori hukum“mela sare” yang menjadi landasan bekerjanyaperadilan berbasis harmoni, tampak adanya kesejajarannyadengan teori (hukum) “kosmovision”,yakni teori (hukum) yang berorientasipada keselarasan kosmos secara total. Teoriperadilan yang demikian jelas akan menopangproses peradilan yang berusaha untuk membangunkeseimbangan kosmos beserta seluruhisinya. Peradilan yang dibangun di atas landasanteori tersebut, tidak hanya memikirkan nasibpelaku atau korban tindak kriminal secaraindividual, melainkan memikirkan keseimbanganlingkungan sosial secara keseluruhan, dankeselarasan hubungan dengan Sang Ilahi.Kerangka teoretik yang demikian itu puntampaknya sejalan dengan pandangan FilsafatTimur pada umumnya yang lebih bersifat sotereologis(sooteria artinya keselamatan). FilsafatTimur lebih menaruh perhatiannya kepadaupaya untuk mencapai keselamatan denganmelepaskan diri dari ikatan dunia ini, dan jalanuntuk menuju keselamatan itu bersifat religiusdan askese. 25 Pandangan yang seperti itu pulalahyang mungkin mendorong lahirnya pola-polaperilaku ekspresif masyarakat Lamaholot dalammengkonstruksi pola-pola penyelesaian sengketadan proses-proses rekonsiliasi yang sarat dengannilai-nilai religiusitas.Apabila pandangan sotereologis itu dihubungkandengan dunia peradilan (pidana), makadapatlah dikatakan bahwa peradilan yangbaik atau peradilan yang benar ialah peradilanyang mampu menyelamatkan. Proses-prosesyang berlangsung dalam suatu sistem peradilan(pidana) harus mampu menghantar semua pihakyang terlibat secara langsung dalam proses peradilanpidana (pelaku dan korban beserta keluarganyamasing-masing), dan seluruh wargamasyarakat secara keseluruhan menuju keselamatan(sooteria). Keselamatan yang diusahakanmelalui proses peradilan (pidana) adalah “ke-25Hasrat untuk menuju peradilan yang menyelamatkanmenyentuh hakikat Filsafat Timur, khususnya Hinduismedan Buddhisme, yang menekankan bahwa “pengetahuanyang benar adalan jalan menuju keselamatan. AdelbertSnijders, 2006, “Manusia dan Kebenaran: Sebuah FilsafatPengetahuan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm.40-45.


218 <strong>Jurnal</strong> <strong>Dinamika</strong> <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 2 Mei 2012bahagiaan sejati”. Kebahagiaan sejati dalampandangan Buddhisme, misalnya, dapat terwujudketika seseorang mencapai “Nirvana” (peniadaanatau kekosongan total). Peniadaanatau kekosongan total yang dimaksudkan di siniadalah peniadaan penderitaan-penderitaan, keputusasaan,penyakit, dan kesedihan selama hidup.Melalui meniadaan penderitaan-penderitaansemacam itu maka muncullah kemudiankete-nangan dan kedamaian (absolut). 26Memang apa yang berlangsung dalam sebuahproses hukum tidak akan mungkin menggapaikebahagiaan sejati sebagaimana yang diidealkanoleh para penganut Buddhisme, namundengan berlandaskan pada teori hukum kosmovision,lembaga peradilan semakin menemukansemangatnya untuk memperbarui atau mendekonstruksiorientasinya menuju harmonisasisecara utuh. Kalau selama ini pikiran kalanganyuris hanya terpusat pada upaya-upaya untukmenemukan kebenaran dan keadilan, maka sudahsaatnya berpikir lebih maju lagi untukmembangun harmonisasi secara utuh. Dengandemikian, proses-proses rekonsiliasi yang selamaini diupayakan dipandang sebagai bukan bagiandari proses hukum, melainkan merupakansatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan begitusaja dari sebuah proses hukum secara keseluruhan.Masuknya dimensi imanen atau spiritualitaske dalam bangunan teori hukum seperti inimengisyaratkan bahwa sistem atau teori hukumyang sesungguhnya diidealkan tidak lagi bersifatsekuler, melainkan bersifat holistik yang tidakmemisahkan hukum dari aspek spiritualitasatau moralitas keagamaan. Karakteristik tatananhukum yang bersifat holistik itu, oleh OwenHaley, diindetifikasikan sebagai sebuah prinsipfundamental yang membedakan tradisi-tradisihukum Asia Timur dengan yang berlaku di Eropa.Dari “Kitab Hammurabi” sampai “HinduDharmais”, misalnya, tersirat bahwa semulaundang-undang yang dibuat secara eksplisitmencantumkan “sumber Ilahi” sebagai pedomanbagi para pembuat dan penegak hukum.Demikian pula dalam konsep agama Yahudi juga26Adelbert Snijders, ibid., 2006, hlm. 44-45.tidak memisahkan secara tegas antara Tuhansebagai pemberi hukum dan hakim sebagai pelaksanahukum, dan dengan demikian hukumitu sendiri merupakan sebuah ekspresi darinorma-norma agama dan sosial yang mengaturhubungan antara Tuhan dengan manusia, danantara manusia di dalam masyarakat. 27Stoic sebagaimana dikutip oleh Schillermenyatakan, bahwa para pembuat hukum Yunanidan romawi kuno telah mengenal sebuah“hukum alam” yang berakar dalam kepercayaanakan adanya agama, dan dari sanalah konsepkeadilan muncul sebagai seperangkat standarkejujuran yang berlaku secara universal. Olehkarena itu pulalah almahrum Ulpianus, seorangyurist Romawi, selalu mengingatkan, bahwa“orang yang ingin mempelajari hukum haruspertama-tama mengetahui dari mana nama“ius” (hukum) itu berasal. Sekarang, nama itudiambil dari kata iustitia yang oleh Celsus didefinisikansecara baik sebagai seni dari kebaikandan kejujuran (ars boni et aequl)”. 28 Bertolakdari pandangan yang demikian itu, maka apayang diupayakan melalui peradilan berbasisharmoni jelas tidak terlepas dari aspek imanen,karena selalu mendapat tuntunan dari SangIlahi.Penutup : Beberapa ImplikasiHasil kajian sebagaimana diuraikan diatas secara langsung maupun tidak langsungberimplikasi kepada kehidupan hukum pada tataranteoretik maupun pada tataran praktis.Pertama, pada tataran teoretik hasil studi iniberimplikasi pada kerangka pemikiran teoretikyang selama ini dikembangkan dalam peradilanpidana yang lebih berorientasi kepada penetapankesalahan dan penghukuman (pemidanaan).Memang tidak ada salahnya kalau dalam sebuahproses peradilan pidana diorientasikan untukmencari orang atau kelompok orang guna mempertanggungjawabkansuatu peristiwa pidanayang terjadi, tetapi yang paling penting juga2728John Owen Haley, 1991, Authority Without Power: Lawand Japanese Paradox, New York: Oxford UniversityPress, Hlm. 24.Pendapat Stoic tersebut dikutip oleh A. Arthur Schiller,1978, Roman Law, New York: Mouton Publisher, hlm.555; John Owen Haley, loc. cit., hlm. 24.


Peradilan Berbasis Harmoni dalam Guyub Budaya Lamaholot - Flores 219adalah bagaimana agar relasi sosial dari parapihak yang terlibat dalam kasus kriminal tersebutdapat dipulihkan kembali dalam lingkup sosialyang lebih besar.Peradilan pidana di Indonesia memangsudah mulai memikirkan masalah perlindungankorban, terutama dalam hal pemberian gantirugi atau kompensasi, namun relasi sosial dalamkonteks yang lebih besar perlu mendapatperhatian serius. Hal ini menjadi penting, karenabaik pelaku maupun korban tidak akan pernahmenghidarkan diri dari kehidupan sosialdalam komunitasnya. Oleh karena itu, harmonisasisosial sangat perlu dibangun kembali agarpara pihak yang bertikai dapat kembali ke lingkungansosialnya secara aman dan damai.Pada tataran teoretik ini pula temuanstudi ini secara tidak langsung memperkuat argumentasipara pengeritik teori social defencenyaMarc Ancel, yang berusaha memasukan aspek“pemulihan keseimbangan sosial” dalamkebijakan kriminal. Jika dicermati teori socialdefence yang digagas oleh Marc Ancel lebih mengutamakankepentingan-kepentingan secaraindividual dalam lingkup pelaku dan korban tindakkriminal, maka peradilan berbasis harmoniyang dikembangkan ini memiliki landasan pijakyang justru lebih luas, mencakup harmonisasidalam lingkup kehidupan sosial secara total.Wawasan peradilan berbasis harmoni yang demikianitu sebagai konsekuensi logis dari teorihukum “mela sare” atau kosmovision yang lebihmengedepankan keselarahan dalam sebuah kosmologisosial.Kedua, apabila temuan teoretik dalamstudi ini ditarik masuk ke dalam ranah praksismaka jelas akan memberikan beberapa implikasiterhadap kebijakan peradilan pada umumnya,terutama berkaitan dengan pola dan prosedurperadilan pidana di Indonesia. Temuandari studi ini akan merombak atau mendekonstruksisistem peradilan pada umumnya, terutamasistem peradilan pidana (SPP). Apabila masalahrekonsiliasi dimasukan sebagai bagian integraldari sebuah proses peradilan (pidana),maka diperlukan sebuah tahapan baru dalamsistem peradilan (pidana), yakni tahapan rekonsiliasiuntuk membangun kembali relasi sosialpara pihak yang bertikai.Apabila peradilan berbasis harmoni diangkatdan dilembagakan dalam sebuah prosesperadilan pada tataran yang lebih luas dalamkonteks Indonesia yang sangat beragam aspeksosio-kulturalnya ini, maka langkah itu harus ditunjangpula oleh politik hukum yang bersifat“multi-sentralistik”. Politik hukum yang demikianitu akan memungkinkan masing-masing daerahmemiliki kebebasan untuk menata dan mengembangkanperadilan rekonsiliatif versi merekadengan memanfaatkan secara maksimalkearifan-kearifan lokal milik mereka. Implikasitemuan tersebut mengisyaratkan bahwa peranperanadat (termasuk menjalankan kewajibanadat dan perdamaian adat) tidak bisa direduksibegitu saja menjadi peran-peran yang dijalankanoleh aparat penegak hukum formal dalamsistem peradilan pidana. Apabila institusi adatperdamaian mela sare ditarik masuk sebagaibagian dari sistem peradilan (pidana) untuk diterapkandi Lamaholot, maka hal ini akan berkonsekuensipada keterlibatan fungsionaris adatdalam proses penyelesaian kasus kriminal untukmemfungsionalkan institusi adat perdamaian.Daftar PustakaAchdiat, Anto. “Penyelesaian Sengketa danHancurnya Hubungan Kekerabatan: KasusSengketa Tanah pada Masyarakat Rutengdi Kabupaten Manggarai, Flores Barat,Nusa Tenggara Timur” dalam T.O. Ihromi(ed). 1993. Antropologi <strong>Hukum</strong>, SebuahBunga Rampai. Jakarta: Obor Indonesia;Haley, John Owen. 1991. Authority WithoutPower: Law and Japanese Paradox, NewYork: Oxford University Press;Hilman Hadikusuma. 1989. Peradilan di Indonesia.Jakarta: CV. Miswar;Kopong Medan, Karolus, dkk. 2002 & 2004. PengembanganPola Peradilan Semi-otonomMenurut Budaya Lokal Lamaholot di Flores,Provinsi Nusa Tenggara Timur. LaporanRiset Unggulan Kemasyarakatandan Kemanusiaan (RUKK) III, KerjasamaKantor Kementerian Riset dan Teknologi,LIPI, dan Lemlit Undana, Kupang;Kotan, John & Tupen, Rafael R. 2002. Kajian<strong>Hukum</strong> Adat dalam Penyelesaian Masalah


220 <strong>Jurnal</strong> <strong>Dinamika</strong> <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 2 Mei 2012Tanah di Nusa Tenggara Timur. LaporanHasil Studi. Kupang: Kerjasama BAPPEDANTT & Laboratorium <strong>Hukum</strong> FH Undana;Mertokusumo, Sudikno, 1983. Sejarah Peradilandan Perundang-undangannya di Indonesiadan Apakah Kemanfaatannya bagi KitaBangsa Indonesia. Yogyakarta: UGM,Cetakan II;Munir, Mochamad. 1996. Eksistensi PengadilanNegeri Sebagai Lembaga Formal untukPenyelesaian Sengketa dalam Masyarakat:Studi Sosio-hukum yang Berkaitandengan Penyelesaian Sengketa Tanah diKabupaten Bengkalan Madura. DisertasiDoktor Ilmu <strong>Hukum</strong>, Surabaya: ProgramPascasarjana Universitas Airlangga;Nawawi Arief, Barda. Beberapa Aspek PengembanganIlmu <strong>Hukum</strong> Pidana: MenyongsongGenerasi Baru <strong>Hukum</strong> Pidana Indonesia.Pidato Pengukuhan Guru Besar dalamIlmu <strong>Hukum</strong>, Semarang: Fakultas <strong>Hukum</strong>Undip, 25 Juni 1994;Rahardjo, Satjipto. Ilmu <strong>Hukum</strong>. Bandung: CitraAditya Bakti, 1991;Raja, Blasius. 2002. Tura Jaji: Perjanjian Adatsebagai Pedoman Kohesif dalam MembinaKehidupan Sosial Masyarakat Suku Lio diFlores. Laporan Hasil Riset Unggulan Kemasyarakatandan Kemanusiaan (RUKK)III Tahun I. Kupang: Kerjasama KantorKementerian Riset dan Teknologi – LIPI –Unika Widya Mandira Kupang;Schiller, A. Arthur. 1978. Roman Law, NewYork: Mouton Publisher;Snijders, Adelbert. 2006. Manusia dan Kebenaran:Sebuah Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:Penerbit Kanisius;Soepomo, R. 1977. Bab Bab tentang <strong>Hukum</strong>Adat di Kemudian Hari. Jakarta: PradnyaParamita;Sri Utari, Indah. 2004. Makna Sosial <strong>Hukum</strong> BagiMasyarakat Petani dan Nelayan di Tuban:Kajian tentang Alasan Sosial dalamMemilih atau Tidak Memilih PengadilanSebagai Forum Penyelesaian SengketaTanah. Disertasi Doktor Ilmu <strong>Hukum</strong>,Semarang: PDIH Universitas Diponegoro,Tanya Bernard L. 2000. Beban Budaya LokalMenghadapi <strong>Hukum</strong> Negara: Analisis BudayaAtas Kesulitan Sosio-kultural OrangSabu Menghadapi Regulasi Negara. DisertasiDoktor Ilmu <strong>Hukum</strong>, Semarang: PDIHUndip;Ter Haar. B. 1981. Azas-Azas dan Sususnan <strong>Hukum</strong>Adat., edisi terjemahan oleh K. Ng.Soebakti Poesponoto, Jakarta: PradnyaParamita;Tresna, R. 1957. Peradilan di Indonesia dariAbad ke Abad. Amsterdam-Jakarta: W.Versluys N.V;Tukan, Beni, dkk. 2003 & 2004. Konflik TanahSuku di Propinsi Nusa Tenggara Timur:Studi tentang Manajemen Konflik. LaporanHasil Riset Unggulan Kemasyarakatandan Kemanusiaan (RUKK) Tahap II & III,Kupang: Kerjasama Kementerian Risetdan Teknologi – LIPI – Balibangda NTT.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!