24.08.2015 Views

perspektif mengkonsepsikan mengandung written doktrinal

Download - Jurnal Dinamika Hukum - Unsoed

Download - Jurnal Dinamika Hukum - Unsoed

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

89RELASI HUKUM DENGAN KEKUASAAN:MELIHAT HUKUM DALAM PERSPEKTIF REALITASFX.Adji SamektoFakultas Hukum Universitas DiponegoroE-mail: adjisamekto@yahoo.comAbstractAutonomous law reflects enforceability of modern legal system which is promoting the achievementof formal justice and has biased value on the weak, the poor and the marginalized. Limitations ofautonomous law further encourages the birth of responsive law, legal typology which reflects aneffort to the substantive justice. Discourse about responsive law actually extremely close to theidea of progressive law offers by Satjipto Rahardjo. In the context of this progressive law indeed weare invited to think out of the box of autonomous law way of thinking. Thinking about out of thebox here is that we are not constrained by the way of thinking only in modern legal systems - whichreflect autonomous law - and consider that it is the most correct way of thinking, as provenautonomous law in practice of modern legal system is only able to realize the formal justice.Meaning contained in these progressive laws can explain the typology meaning of responsive law.Based on analysis study, the application of legal typology of repressive law, autonomous law andresponsive law to the community can be carried out by the authorities at the same time dependingon that typology of society.Key words: repressive law, autonomous law, responsive law, progressive law, law and authorityAbstrakAutonomous law merefleksikan keberlakuan sistem hukum modern yang sangat mengedepankanpencapaian keadilan formal dan belum memiliki nilai keberpihakan pada yang lemah, miskin dankaum marginal. Keterbatasan autonomous law mendorong lahirnya responsive law, yangmerefleksikan upaya menciptakan keadilan substantif. Diskursus tentang responsive law sangat dekatdengan ide (gagasan) hukum progresif yang ditawarkan Satjipto Rahardjo. Dalam konteks hukumprogresif ini memang kita diajak berpikir out of the box dari cara berpikir autonomous law. Berpikirout of the box disini dimaksud agar kita tidak terbatasi oleh cara berpikir dalam sistem hukummodern saja - yang merefleksikan autonomous law - dan menganggap cara berpikir itu adalah yangpaling benar, karena terbukti autonomous law dalam praktek sistem hukum modern hanya mampumewujudkan formal justice. Makna yang terkandung dalam hukum progresif ini bisa menjelaskanmakna tipologi responsive law. Berdasarkan kajian analisis, penerapan tipologi hukum repressive law,autonomous law dan responsive law sangat tergantung pada tipe masyarakatnya.Kata kunci: repressive law, autonomous law, responsive law, hukum progresif, hukum dan kekuasaanPendahuluanIlmu hukum dapat dikaji dalam dua <strong>perspektif</strong>.Pertama, ilmu hukum yang <strong>mengkonsepsikan</strong>hukum sebagai ajaran, norma yang <strong>mengandung</strong>nilai-nilai (values). Kajiannya bersifatnormatif yang berciri law as what in the <strong>written</strong>atau law as what in the books. Ilmu hukumdalam kajian yang bersifat normatif atau <strong>doktrinal</strong>ini memuat keharusan-keharusan (whatought to be), jadi bersifat das sollen. Di dalamkajian <strong>perspektif</strong> normatif (<strong>doktrinal</strong>) termasukpula kajian filosofis yang sifatnya apriori, yangartinya tidak mendasarkan pada bukti-buktidulu tetapi pada ajaran-ajaran, nilai-nilai yangsifatnya abstrak. 11Kajian-kajian yang bersifat yuridis-filosofis mempelajaridasar-dasar yang bersifat meta-yuridis terutama mempelajarinilai-nilai, ajaran-ajaran yang melahirkan suatunorma. Misalnya pengkajian tentang latar belakangmengapa muncul ajaran tentang fiksi hukum. Ajaranfiksi hukum menyangkut nilai-nilai tentang hubunganindividu-masyarakat dan kekuasaan. Kajian ini tentuharus menelusuri nilai-nilai, ajaran-ajaran dari filosoffilosofbesar masa yang lalu. Baca FX. Adji Samekto,


90 Jurnal Dinamika HukumVol. 13 No. 1 Januari 2013Kedua, ilmu hukum yang <strong>mengkonsepsikan</strong>hukum sebagai realitas. Kajian ini mempelajariimplementasi suatu aturan di ranah fakta.Apabila sudah membicarakan hukum di tingkatimplementasinya, maka kesadaran utamayang harus dimunculkan adalah, ketika hukumsudah diimplementasikan di masyarakat ,makahukum (aturan hukum) hanya merupakan salahsatu sub-sistem di dalam masyarakat. Masih adasub-sistem lain yang bekerja di masyarakat,seperti sub-sistem politik, sub-sistem ekonomi,sub-sistem budaya, sub-sistem agama dan sejenisnya.Dengan demikian berlakunya aturan hukumitu pun akan terpengaruh oleh sub-sistemyang lain. Dapat pula kemudian dinyatakanbahwa ketika hukum sudah bekerja dimasyarakat,tidak tertutup kemungkinan ia tidak bebasdari kepentingan tertentu. Kepentingan itu bisabersifat positif bisa pula bersifat negatif 2 .2“Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan AjaranHukum Doktrinal”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No.1 Januari 2012, Purwokerto: FH UNSOED; lihat dan bandingkandengan Yusriyadi, "Paradigma Positivisme DanImplikasinya Terhadap Penegakan Hukum Di Indonesia",Jurnal hukum, Vol. 14, N0. 3, April 2004, Semarang :Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNIS-SULA); dan Wibisono Oedoyo, "Beberapa Prinsip PenerapanTeori Hukum Yang Dikemukakan Aliran PositivismeDalam Putusan MA RI No. 02 K/N/1998", Jurnal HukumThemis, V0l.2 N0.1, Oktober 2007, Jakarta : FakultasHukum Universitas Pancasila; Rusli Muhammad, "KajianKritis Terhadap Teori Hukum Positif (Positivisme)",Jurnal Hukum Respublica, Vol. 5, No. 2, Tahun 2006,Pekanbaru: Fakultas Hukum Universitas Lancang KuningKetika membicarakan hukum sebagai realitas, makasecara ontologis, hukum bisa dimaknai sesuai denganparadigma yang kita anut. (a) Paradigma positivisme<strong>mengkonsepsikan</strong> hukum sebagai seperangkat aturanyang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang,bentuknya tertulis, <strong>mengandung</strong> sanksi dan kewajiban;(b) Paradigma Post-Positivisme <strong>mengkonsepsikan</strong> hukumm<strong>mengkonsepsikan</strong> bahwa aturan hukum adalahseperangkat peraturan yang berlakunya di masyarakatakan dipengaruhi faktor-faktor lain; (c) Paradigma kritikal,<strong>mengkonsepsikan</strong> hukum sebagai alat bagi kekuasaanuntuk melakukan dominasinya, atau sebagai instrumenuntuk melanggengkan kekuasaan; (d) Paradigmakons-truktivisme, <strong>mengkonsepsikan</strong> hukum sebagai resultantedari penafsiran-penafsiran dari subjek-subjek,dimanapenafsiran subjek sangat dipengaruhi olehpengalaman sosial, agama, aliran ideologi dan sebagainya.Bandingkan dengan M. Manelia, "Kritik TerhadapHukum Modern Dalam Perspektif Studi Hukum Kritis",Jurnal Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan, Vol. 6,No. 2, 2008, Jakarta: Direktorat Hukum Bank Indonesia;C. Maya Indah S, "Refleksi Sosial Atas Kelemahan HukumModern: Suatu Diseminasi Nilai Kebenaran TradisiDalam Citra Hukum Indonesia", Jurnal Masalah-MasalahHukum, Vol. 37, N0. 3, 2008, Semarang : Fakultas HukumUniversitas Diponegoro. Baca juga Anthon F. Susanto,“Keraguan dan Ketidakadilan Hukum (SebuahBerikut ini diuraikan kajian hukum dalam<strong>perspektif</strong> realitas (<strong>mengkonsepsikan</strong> hukum sebagairealitas). Salah satu faktor yang mempengaruhibekerjanya hukum di masyarakat adalahkekuasaan. Tujuan penulisan ini adalah untukmengurai bagaimana sesungguhnya relasiantara hukum dengan kekuasaan itu. Untuk kepentinganitu di dalam uraian ini pendapat-pendapatPhilippe Nonet dan Philip Selznick dalamkaryanya Toward Responsive Law: Law and Societyin Transition 3 akan menjadi bahan untukmelakukan pengembangan analisis. Dalam menjelaskanrelasi hukum dengan kekuasaan, Nonetdan Selznick melakukan pembagian tipologi hukumdalam hukum represif (repressive law),hukum yang otonom (autonomous law) dan hukumyang responsive (responsive law).Nonet dan Selznick sangat baik dalammenjelaskan bilamana suatu sistem sosial harusdilayani oleh hukum dengan corak repressivelaw, autonomous law dan responsive law. Permasalahannya,apakah tumbuhnya repressivelaw, autonomous law dan responsive law merupakansuatu keniscayaan yang dapat berlaku secarabersamaan, ataukah memang corak hukumyang masing-masing berdiri sendiri. Penulis mengajukanpertanyaan itu dengan latar belakangasumsi bahwa: suatu masyarakat selalu akanberkembang dari masyarakat yang kacau, miskin,tidakberdaya berkembang menuju arahmasyarakat yang lebih baik, yang selalu menginginkanketeraturan (regularities). Keteraturandiperlukan untuk mempertahankan keberlanjutankehidupan. 434Pembacaan Dekonstruktif)”, Jurnal Keadilan Sosial,Edisi 1 tahun 2010.Philippe Nonet & Philip Selznick, 2001, Toward ResponsiveLaw: Law and Society inTransition, New Brunswick(USA) and London (UK):Transaction Publishers. Lihatjuga Al. Wisnubroto, “Upaya Mengembalikan KemandirianHakim melalui Pemahaman Realitas Sosialnya”,Jurnal Hukum Pro Justitia Tahun XX No. 1 Januari2003, Bandung: FH UNPAR; baca juga Lintong O. Siahaan,"Peran Hakim Dalam Pembaharuan Hukum di Indonesia",Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke 36N0. 1 Januari 2006, Jakarta: Fakultas Hukum UniversitasIndonesiaAjaran Cicero (106-43 SM) yang sangat terkenal: Ubisocietas, ibi ius (dimana ada masyarakat, disana adahukum) mencerminkan bahwa keteraturan dalam sistemsosial sudah menjadi keinginan suatu masyarakat sejakmasa lalu. Keteraturan itu diwujudkan dengan


Relasi Hukum dengan Kekuasaan: Melihat Hukum dalam Perspektif Realitas 91Hukum Dalam Perspektif Repressive LawTidak bisa dipungkiri, terbentuknya komunitas(masyarakat) selalu diawali dengan keadaanyang tidak tertib, kacau bahkan mencerminkankeadaan yang bersifat homo homini lupus.Disinilah diperlukan hukum yang bersifatrepresif. Penegakan hukum yang bersifat represiftentu memerlukan kekuasaan yang dominan.Di dalam tipologi hukum represif ini, Nonet danSelznick menyatakan, hukum menjadi instrumenuntuk menjalankan kekuasaan sekaligusmenjadi instrumen legitimasi kekuasaan. Sebagaiimplikasinya dalam masyarakat dengan tipologihukum yang represif ini maka dikatakanNonet dan Selznick: law is subordinated to powerpolitics. Oleh karena itu penegakan hukumpun dilakukan untuk mengabdi pada kepentingankekuasaan. Menurut pandangan penulis, daripengembangan penjelasan hukum represif inimaka pengertian “kepentingan kekuasaan” selaludimaknai dalam pengertian negatif. Hukumyang bersifat represif bukan diabdikan untukkepentingan masyarakat agar mengarah padayang lebih baik. Manakala kekuasaan mulai melakukanmanipulasi hukum untuk kepentingannya,maka kekuasaan tersebut sesungguhnyakehilangan kepercayaan (akuntabilitas) danakan kehilangan legitimasinya 5 . Dia memerintahhanya karena tangan besi bukan karena adamandate dari rakyatnya. Tipologi repressivelaw dilakukan oleh penguasa terhadap masyarakatyang lemah dari aspek ekonomi, kapasitassumber dayanya dan masyarakat sipilnya. Dalammasyarakat dengan kondisi seperti itumaka kekuasaan itu akan mendorong masyarakatuntuk bersedia menyerahkan sebagian kebebasannyauntuk diikat oleh hukum. Selanjutnyakekuasaan akan berperan penting untukmenjamin keberlanjutan kehidupan masyarakatyang bersangkutan. Akan tetapi, ketika masyarakatmulai menunjukkan dirinya berperanpenting dalam keberlajutan kehidupan negara,maka kecenderungan untuk menjauhkan hukumdari kekuasaan akan semakin menguat 6 . Bagipenulis, inilah yang kemudian melahirkan bibittumbuhnya hukum yang bersifat otonom (autonomouslaw). Hukum yang bersifat otonom merupakanhukum yang mulai dilepaskan dari pengaruhkepentingan kekuasaan, sebagaimana dikatakan Nonet dan Selznick: in political systemscharacterized by autonomous law, law isindependent of politics.Uraian tentang hukum yang bersifat otonomakan menjadi sangat jelas manakala deskripsinyadikaitkan dengan tumbuhnya masyarakatkapitalisme di Eropa Barat pada abad XVIII-XIX yang bersamaan dengan tumbuhnya sistemhukum modern. Secara historis, tumbuhnya masyarakatkapitalisme di Eropa Barat dapat ditelusurisejak perkembangan Era Rasionalisme(Modernisme) pada abad XVI-XVII. Era Rasionalisme(Modernisme)adalah era dimana tatanansosial di Eropa Barat tidak lagi disandarkan padadogma-dogma agama, perintah-perintahagama, tetapi mulai disandarkan pada ide-ide,gagasan-gagasan yang didasarkan pada akal manusiaitu sendiri. 7 Salah satunya adalah pemikiranAdam Smith (1723-1790) yang termuat dalamkaryanya The Wealth of Nations (1776).Pada pokoknya karya Adam Smith ini hendakmenyatakan bahwa kesejahteraan masyarakatakan tercapai dengan peran perdagangan bebas.Apabila setiap orang diberi kesempatanuntuk membuat produk yang berguna bagi masyarakat,maka yang diuntungkan adalah masyarakatitu sendiri. Masyarakat akan semakindiuntungkan apabila diantara produsen dicipta-5adanya hukum yang harus ditaati bersama demi keberlanjutankehidupan masyarakat itu sendiri.Sumber: Robert A. Kagan, “Introduction to the TransactionEdition” dalam buku Philippe Nonet dan PhilipSelznick, op.cit, No. 3, p vii – xxv. Lihat dan bandingandengan Yohanes Suhardin, “Paradigma Rule Breakingdalam Penegakan Hukum yang Berkeadilan”, Jurnal HukumPro Justitia, Vol. 26 No. 3 Juli 2008, Bandung: FHUNPAR; M. Husni, "Moral Dan Keadilan Sebagai LandasanPenegakan Hukum Yang Responsif", Jurnal Hukum Equality,Vol. 11, N0.1, Pebruari 2006, Sumatera Utara: FakultasHukum Universitas Sumatra Utara67Apabila pemerintah tidak bersedia merubah tipe hukumnyauntuk mengakomodasi aspirasi masyarakatnyamaka akan muncul ketegangan-ketegangan yangbermuara pada tuntutan perubahan tatanan sosial dancorak hukumnya.Ide-ide tersebut bersumber dari pemikiran-pemikirancemerlang seperti Rene Descartes (1596-1650) yangmenemukan geometri dan menciptakan gagasan filosofimodern dengan teorinya mengenai mind (pikiran)dan matter (materi); John Locke (1632-1704), filsufInggris yang mengajarkan bahwa tugas pemerintahadalah melindungi hak asasi warganegara dalam halhidup, kebebasan dan hak milik.


92 Jurnal Dinamika HukumVol. 13 No. 1 Januari 2013kan persaingan bebas untuk menciptakan produk.Gagasan-gagasan Adam Smith dinilai naturalsehingga mendorong masyarakat untuk menciptakanproduk yang dapat dijual di masyarakat.Akhirnya di Inggris dan Perancis, terlihatsekali implikasinya. Di kedua negara ini mulaimuncul kelompok-kelompok pedagang yangkuat, yang mulai berani menunjukkan identitasdiri serta kekuatannya. Kelompok ini menjadikaya bukan karena kekuasaannya, tetapi menjadikaya karena pekerjaannya, sesuatu yangberbeda dari kaum bangsawan masa itu. Kelompokpedagang yang mulai menguat inilahyang kemudian disebut sebagai kelompokmasyarakat Burg.Selanjutnya, pada akhir abad pertengahan,dengan munculnya peran kaum Burg (Bourgeouis)maka terjadilah pergeseran pusat-pusatkegiatan, yang semula pusat-pusatnya adalahbiara-biara dan kerajaan, beralih ke kota-kotasebagai pusat-pusat kegiatan perdagangan denganhegemoni pahamnya yang baru pula yangdisebut sebagai kapitalisme 8 . Implikasi lebihlanjut terjadilah perubahan bentuk pengorganisasianekonomi, sosial dan politik. Jelas bahwauntuk menjalankan sistem ekonomi berskalabesar dibutuhkan bentuk organisasi yang sangatberbeda dengan sebelumnya. Tolok ukur yangkemudian dipakai dalam kegiatan ekonomi, danyang kemudian meluas menjadi pengorganisasianmasyarakat pada umumnya adalah: rasionalitas,prosedur formal, kecepatan, ketepatandan impersonal. 989Soetandyo Wignyosoebroto, ”Doktrin Supremasi Hukum:Sebuah Tinjauan Kritis Dari Perspektif Historik”, dalam,Wajah Hukum Di Era Reformasi, (Kumpulan KaranganMenyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo), editor:IS Susanto dan Bernanrd L. Tanya, 2000, Bandung:Alumni, hlm. 161 – 178; baca juga Erwin, "Upaya MereformasiHukum Sebagai Akibat Dominasi PositivismeDalam Pembentukan dan Penegakan Hukum Di Indonesia",Jurnal Hukum Progresif Vol.1, N0.1, Juni 2007,Semarang: Program Doktor Ilmu Hukum UniversitasDiponegoroDalam hal ini sangat penting deskripsi dari BoaventuraDe Sousa Santos tentang hubungan Modernisme denganKapitalisme: “Modernity and capitalism are two differentand autonomous historical processes. The socioculturalparadigm of modernity emerged between thesixteenth and the end of the eighteenth century,beforeindustrial capitalism became dominant in today’s corecountries. From then on, the two historical processesconverged and interpenetrated each other, but in spiteof that, the conditions and the dynamics of their deve-Tuntutan untuk mewujudkan sistem ekonomiberskala besar yang menghendaki adanyarasionalitas, prosedur formal dan impersonaloleh kaum Burg tersebut memaksa pemerintahanmonarkhi – yang menjadi kaya karena kekuasaannya- untuk melonggarkan dominasi kekuasaanatas rakyatnya, terutama kaum Burg. Dominasikekuasaan raja yang dilakukan denganhukum yang bersifat represif (repressive law)mulai terdesak, karena aturan-aturan tersebuttidak mampu menjadi sarana pencapaian tujuankelompok Bourgeouis. Kaum Bourgeouismendesak segera dibentuknya aturan hukumyang tidak mengabdi pada kepentingan kekuasaan,tetapi aturan hukum yang dapat melindungihak-hak mereka dalam melakukan kegiatanekonomi dan perdagangan. Timbullah kemudianperlawanan-perlawanan terhadap pemerintahanmonarchi yang puncaknya berwujudpada Revolusi Perancis Tahun 1789. Sejarahtumbangnya kekuasaan Louis XV,raja absolutdari Perancis 10 melambangkan berakhirnya dominasifeodalisme menuju tatanan masyarakatbaru yaitu kapitalisme, dimana tuntutan untukmemberi ruang seluas-luasnya bagi masyarakatuntuk berkegiatan ekonomi, menjadi utama.Apabila boleh dipakai terminologi Nonet danSelznick, tumbangnya Louis XV juga menjelaskanberakhirnya tatanan repressive law menujupembentukan hukum yang berkarakter autonomouslaw.Hukum dalam Perspektif Autonomous LawNonet dan Selznick menyebutkan bahwadalam tipologi hukum yang bercorak repressivelaw maka law is subordinated to power politics.Oleh karena itu penegakan hukum dilakukansemata-mata mengabdi pada kepentingankekuasaan (politik). Akan tetapi di dalam autonomouslaw, hukum tidak lagi mengabdi pada10lopment remained separate and relatively autonomous”.Boaventura De Sousa Santos, 1995, Toward ANew Common Sense: Law,Science And Politics in theParadigmatic Transition, London: Routledge, hlm. 1.Raja Louis XV,raja absolut dari Perancis. Disebut “SangMatahari” yang percaya bahwadirinya merupakan perwakilanTuhan di bumi. Semboyannya yang terkenal:Segalanya bagi rakyat tetapi tidak oleh rakyat. Sumber:Anna Grapes, Juliet Duff,2006, How GovernmentsWork The inside guide to the politics of the world,London: Dorlin Kindersley Limited, hlm. 71.


Relasi Hukum dengan Kekuasaan: Melihat Hukum dalam Perspektif Realitas 93kepentingan kekuasaan. Beberapa pokok pikiranNonet dan Selznick tentang autonomous lawdituliskan kembali Robert A. Kagan dan dirangkumoleh penulis sebagai berikut di bawah ini. 11Pertama, In political systems characterizedby autonomous law, law is independent ofpolitics and acts as a restraint on political power;kedua, In a regime of autonomous law,the judiciary is institutionally separated fromthe realm of politics; it decides disputes andpunishes violations solely by reference to formallypromulgated legal rules or precedents,which are applicable equally to all litigants,rich or poor, politically favored or social denigrated;dan ketiga, the government itself isbound by legal rules. In consequence, citizensand business organization have certain legalrights – against the state as well as against othercitizens and organizations.Butir-butir tersebut di atas kemudian dikenalsebagai variable-variabel penting dalamdoktrin rule of law, sebagaimana yang kita kenalsekarang. Dengan demikian jelas bahwaautonomous law menghendaki kehadiran hukumyang tidak berpihak, netral dan bebas dari kepentinganpolitik. Hal itu pula yang menjadilandasan ide rule of law. Akan tetapi apabilakita pelajari lebih lanjut uraian Nonet danSelznick , maka ada beberapa hal menarik yangharus diungkap. Ternyata tujuan penciptaanhukum dalam autonomous law terbukti sebenarnyamasih sempit. Penulis menyatakan demikiankarena ternyata autonomous law tidakmembicarakan sampai pada pencapaian idealidealhukum (autonomous law does not exhausthuman aspirations concerning the ideal of legality).Hukum dalam tatanan autonomous lawmasih sekedar perangkat peraturan untuk menjaminkepastian, prediktabilitas dan perlindunganhak, bukan berbicara tentang keadilansubstansial sebagai ideal pencapaian hukum.Konkretnya dalam autonomous law, hukum belummemuat nilai keberpihakan melindungiyang lemah, miskin dan tidak berdaya. Demikianpula autonomous law belum dapat menjadisarana bagi warga yang lemah dalam mengha-11Philippe Nonet dan Philip Selznick, op.cit, No. 3, hlm.ix.dapi sistem hukum yang prosedural denganbiaya tinggi.Karakter yang ada pada autonomous lawini sangat terlihat pada sistem hukum modern.(the modern legal system) yang wujudnyaadalah ketentuan hukum yang formal-rasional,dinyatakan (articulated) melalui hukum positif.Munculnya sistem hukum modern menurutSatjipto Rahardjo, merupakan respon terhadapsistem produksi ekonomi baru (kapitalis), karenasistem yang lama sudah tidak bisa lagi melayaniperkembangan-perkembangan dari dampakbekerjanya sistem ekonomi kapitalis tersebut.12 Dengan demikian tidak dapat disangkalbahwa sistem hukum modern (the modern legalsystem) merupakan konstruksi yang berasal daritatanan sosial masyarakat Eropa Barat semasaberkembangnya kapitalisme pada abad ke -19.Dalam konteks sosial-kemasyarakatan, hubungan-hubungandan tindakan pemerintah kepadawarganegaranya didasarkan pada peraturandan prosedur yang bersifat impersonal dan tidakmemihak (impartial). Dari sinilah kemudianmuncul konsep the rule of law. Dengan demikiantidak bisa dipungkiri bahwa konsep therule of law mempunyai social sources yang spesifik,yaitu masyarakat kapitalis di Eropa padaabad ke sembilan belas. 13 Penjelasan rule oflaw yang berbasis autonomous law dari Nonetdan Selznick, bagi penulis akan sangat terangapabila dijelaskan dari uraian tentang rule oflaw yang ditulis oleh Gerald Turkel dalam <strong>perspektif</strong>critical. 14“the rule of law ... is not oriented towardsocial goals or solving social pro-121314Satjipto Rahardjo,“Mempertahankan Pikiran Holistikdan Watak Hukum Indonesia”, dalam, Masalah-MasalahHukum, Edisi Khusus, FH UNDIP, Semarang, 1997, hlm22-37. Lihat juga Theresiana Anita Christiani, “StudiHukum Berdasarkan Perkembangan Paradigma PemikiranHukum Menuju Metode Holistik”, Jurnal Hukum ProJustitia Vol. 26 No. 4 Oktober 2008, Bandung: FH UN-PAR; Ridwan, “Memunculkan Karakter Hukum Progresifdari Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik SolusiPencarian dan Penemuan Keadilan Substantif”, JurnalHukum Pro Justitia, Vol. 27 No. 1 April 2009, Bandung:FH UNPAR; Dey Revena, "Konsepsi Dan Wacana HukumProgresif", Jurnal Hukum Suloh, Penelitian Dan PengkajianHukum, Vol. VII, N0. 1, April 2009, Aceh: FakultasHukum Universitas Malikussaleh (UNIMAL)Gerald Turkel, 1995, Law and Society: Critical Approaches,Toronto: Allyn and Bacon, p.48-49 ;Ibid, hlm. 10-11.


94 Jurnal Dinamika HukumVol. 13 No. 1 Januari 2013blems by creating and implementing policies.Law is not an arena for solvingproblems of poverty, unemployment…Rather, the rule of law provides a stableorder for individuals and business topursue their economic interests. It is aframework for the conduct of social andeconomic activities. Like the rules ofchess or baseball, the rule of law appliesto all players equal and impartially withoutconcern for the outcome of the game“Pernyataan di atas menyiratkan bahwakonsepsi the rule of law sebenarnya tidak berurusandengan substantive justice yang menurutNonet dan Selznick, seharusnya muncul sebagaihasil (outcome) dari pemberlakuan hukum.Oleh karena itu selaras dengan pendapatNonet dan Selznick, dikatakan oleh Gerald Turkelbahwa rule of law sekedar sebagai “peganganuntuk permainan bukan untuk menciptakanhasil yang mencerminkan substantive justice”.Di dalam autonomous law, memang penguasa(yang dipilih secara demokratis) membuataturan-aturan hukum yang oleh Nonet danSelznick dikategorikan sebagai the primary legalrules, seperti hukum pajak maupun hukumpidana. 15 Bahkan penguasa pun sudah menyatakan:the judiciary serves the interests of orderand public policy by applying those rules in apredictable and unbiased rules. Akan tetapipredictable and unbiased rules ini bukan dimaksuduntuk menyelesaikan problem-problemmendasar tentang keadilan, kemiskinan, ketidakberdayaanyang seharusnya mewujud dalampublic policy.Hukum dengan corak autonomous law,dengan demikian tidak dimaksud untuk memberikanefek yang lebih luas. Hukum yang ingindibentuk dalam karakter autonomous law ini,hanya mampu mewujudkan keadilan formal,15Uraian tentang the primary legal rules dijelaskan olehHLA Hart, dalam pembagian karakter hukum sebagaithe primary rules of obligation dan the secondary rulesof obligation.The primary rules of obligation merupakanaturan-aturan hukum yang secara langsung memberikanhak dan kewajiban kepada orang-per orang. Thesecondary rules of obligation merupakan aturan hukumyang memberikan hak dan kewajiban kepada penguasauntuk mengatur masyarakatnya. Kesimpulan penulis daribuku: H.L.A. Hart, 1961, The Concept of Law, Oxford:Clarendon).bukan keadilan yang diistilahkan oleh Nonetdan Selznick sebagai keadilan substantive. Keadilanformal dimaksud disini adalah keadilanyang tercipta semata-mata berbasis aturanhukum yang diterapkan secara ketat denganpendekatan yang sangat deduktif. Dari sinilahkemudian-menurut Nonet dan Selznick adadorongan-dorongan untuk mewujudkan responsivelaw.Sinergi Responsive Law dengan Hukum ProgresifApabila nilai hukum yang utama di dalamautonomous law adalah adanya regularities(keteraturan) yang membentuk formal justice,maka tatanan hukum dalam responsive law bermaksudmewujudkan substantive justice. Idedasar responsive law menurut Nonet dan Selznickadalah menafsirkan dan mereformulasi ketentuan-ketentuanhukum sesuai dengan fakta(to interpret and reformulated rules in light oftheir actual consequences). Nonet dan Selznickselanjutnya juga menyatakan: in the ideal ofresponsive law , law is facilitator of responseof social needs and aspirations.Oleh karena ituresponsive law membutuhkan pembangunan tatanan-tatananhukum yang baru (responsivelaw requires the development of new legal institutions)danmendelegitimasi tatanan-tatananhukum lama yang menghambat pencapaian keadilanyang substansial. Responsive law dengandemikian memuat ideal-ideal untuk mencapaikeadilan substansial. Apabila dilihat ideal-idealyang dideskripsikan Nonet dan Selznick, makadalam tatanan responsive law, peran penegakhukum sangat penting, karena bagaimana hukumakan dapat memenuhi substantive justicesangat tergantung dari penegak hukumnya. Penegakhukum, dalam responsive law berperanpenting untuk membuat hukum lebih fleksibeldalam penegakannya. Dalam konteks responsivelaw, ini memang kita diajak berpikir out ofthe box dari cara berpikir autonomous law.Berpikir out of the box disini dimaksud agar kitatidak terbatasi oleh cara berpikir dalam sistemhukum modern saja - yang merefleksikanautonomous law - dan menganggap cara berpikiritu adalah yang paling benar, karena terbuk-


Relasi Hukum dengan Kekuasaan: Melihat Hukum dalam Perspektif Realitas 95ti autonomous law dalam praktek sistem hukummodern hanya mampu mewujudkan formal justice.Terkait dengan pemikiran out of the boxini, maka ide (gagasan) hukum progresif yangdiperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo (1930-2009) Guru Besar dari Universitas Diponegoro,sesungguhnya dapat disinergikan dengan responsivelaw dari Nonet dan Selznick.Gagasan hukum progresif dilatarbelakangioleh kejadian-kejadian di Indonesia pasca gerakanreformasi pada tahun 1998, yang telah menumbangkankekuasaan Jenderal (Purnawirawan)Soeharto, sebagai Presiden Republik Indonesiasejak 1968. 16 Upaya mewujudkan keadilan16Gagasan hukum progresif dari Satjipto Rahardjo diperkenalkansejak 2000. Penjelasan hukum progresif di dalamtulisan ini bersumber dari: Satjipto Rahardjo, 2006,Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Jakarta: Penebit UKIPRESS; Satjipto Rahardjo, 2008, Negara Hukum yangMembahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta: Penerbit GentaPress; Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif: Hukumyang Membebaskan”, Jurnal Hukum Progresif Vol. 1 No.1, April 2005; Kaum Tjipian Neo-Aliran Pleburan, 2009,Evolusi Pemikiran Hukum Baru, Yogyakarta: PenerbitGenta Press. Tentang Jenderal (Purnawirawan) Soeharto,walaupun ditumbangkan sebagai Presiden RI padatahun 1998, tetapi jasanya sangat signifikan pada masaperjuangan kemerdekaan Indonesia. Adalah LetnanKolonel Soeharto (Komandan Wherkreise III Yogyakarta)yang memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949, suatuperlawanan terhadap Belanda yang masa itu mendudukiYog-yakarta. Pada tanggal 1 Maret 1949 tepat jam 6pagi sejumlah lebih kurang 25 ribu gerilyawan TNI telahmelakukan Serangan Umum ke kota Yogya dan berhasilmenduduki kota tersebut sampai jam 17 petang. SeranganUmum merupakan serangan terhebat yangdilakukan gerilya TNI sejak Agresi Ke-II Tentara Belanda,dan berhasil memulihkan kesan kepada dunia waktuitu, bahwa TNI tidak hancur.Letnan Kolonel Soehartoberprestasi sejak pertempuran-pertempuran melucutiJepang di Jogya,dan serangan Ambarawa tahun 1945(Sumber: Album Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950Dari Negara Kesatuan Ke Negara Kesatuan (Penyusun:Radik Utoyo Sudirjo, 1950, Jakarta: Penerbit CV Alda,hlm 364, 404-405). Adalah Soeharto pula ketika berpangkatMayor Jenderal yang ditunjuk Presiden Soekarnountuk menjadi Panglima Operasi Mandala dalamrangka pembebasan Irian Barat pada tahun 1962. Akantetapi pengaruh globalisasi dan pasar bebas multilateraltelah memberi pengaruh kepada rakyat Indonesia tentangkesadaran-kesadaran demokrasi, HAM, kebebasanberpendapat, kebebasan berserikat, anti monopoli. Kesadaran-kesadarantentang hal itu mendorong masyarakatIndonesia untuk menyuarakan tuntutannya perwujudannyaoleh penguasa. Keberanian masyarakat untukmenyuarakan aspirasinya juga karena telah terjadi peningkatanpendidikan, maupun ekonomi yang signifikanpada masyarakat. Kekuatan kelompok menengah inikemudian menjadi salah satu pendorong upaya-upayademokratisasi di Indonesia, dan upaya untuk melepaskanhukum dari kepentingan penguasa. Puncak dariupaya-upaya ini adalah Reformasi 1998 yang menumbangkankekuasaan Presiden Soeharto.khususnya bagi korban-korban pelanggaran HAMdi masa lampau, maupun upaya untuk mewujudkankeadilan bagi rakyat akibat perilaku koruppenguasa, ternyata tidak membuahkan hasilyang memadai karena dipergunakannya aturan-aturanyang bertipologi autonomous lawdalam penegakan hukumnya. Padahal keadaanpasca reformasi bisa disebut sebagai masa transisiyang membutuhkan perwujudan transitionaljustice. Penegakan hukum dalam transitionaljustice membutuhkan ide-ide kreatif daripenegak hukum untuk menegakkan hukum secaralebih bijaksana daripada sekedar menegakkanhukum dalam karakter autonomous law.Jadi penegakan hukum dalam konteks responsivelaw, tidak sekedar berbicara hukum positif,karena ternyata hukum positif terlebih dalamsuasana transisi, tidak mampu memberimanfaat untuk mewujudkan keadilan yang sesungguhnya(substantial justice). Apabila dibandingkanketika Nonet dan Selznick menjelaskanresponsive law, Satjipto Rahardjo – dengangagasan hukum progresifnya - lebih lugasdalam menjelaskan kenapa hukum harus mampumewujudkan substantial justice.Menurut Satjipto Rahardjo, cara berhukumyang masih didominasi ”berhukum denganperaturan” daripada ”berhukum dengan akalsehat” adalah cara berhukum yang minimalis,yaitu sekedar menjalankan hukum dengan caramenerapkan apa yang tertulis dalam teks secaramentah-mentah. Jiwa dan roh (conscience)hukum tidak ikut dibawa-bawa. Supremasi hukum– sebagaimana tercemin dalam prinsip ruleof law - masih sekedar diartikan negara diperintahberdasarkan hukum yang sudah dibuatdan disediakan sebelumnya, dan penguasanyapun tunduk kepada hukum tersebut. Akan tetapimenurut Satjipto Rahardjo, supremasi hukumyang seperti itu sesungguhnya adalah supremasihukum yang lebih mengutamakan bentukdaripada isi. Ia tidak memedulikan kandunganmoral kemanusiaan. Autonomous law sebagaimanadiperkenalkan Nonet dan Selznick,sesungguhnya merefleksikan penjelasan SatjiptoRahardjo tersebut di atas. Manakala supremasihukum diidentikkan dengan bangunanperundang-undangan maka, kualitas negara hu-


96 Jurnal Dinamika HukumVol. 13 No. 1 Januari 2013kum hanya ditentukan oleh ketundukannya kepadahukum, tidak peduli ia memuat kandunganmoral atau tidak. Dalam konteks ini legalitasmenjadi prinsip dasar yang berpotensi tidakmempedulikan etika dan moral. Tipe inilahyang oleh Satjipto Rahardjo dikatakan , telahmelahirkan keadilan formal seperti pencapaianpada autonomous law dalam terminologi Nonetdan Selznick.Satjipto Rahardjo juga menyatakan, kitabundang-undang dan peraturan hukum itu memilikijangkauan terbatas karena hanya berisirumusan kaidah secara umum dan untuk keadaanyang bersifat umum pula (general rules).Apabila jangkauan yang umum itu dijadikan pegangansecara mentah-mentah, negara hukumhanya akan merupakan negara teks undangundang,bukan negara hukum bernurani (withconscience). Dengan demikian sekalipun suatunegara dinamakan negara hukum, tetapi ia bisamenjadi tidak bermakna apabila manusia tidakturut campur, karena sesungguhnya hukum jugamembutuhkan mobilisasi, bukan hanya mobilisasipenegak hukum yang formil saja, tetapi jugapenguasa maupun rakyatnya sendiri.Lalu apa yang harus dilakukan? SatjiptoRahardjo menyatakan, berhukum memang dimulaidari teks, tetapi sebaiknya kita tidak berhentisampai di situ. Teks hukum yang bersifatumum itu memerlukan akurasi atau penajamanyang kreatif saat diterapkan pada kejadian nyatadi masyarakat, yaitu melalui hukum denganakal sehat. Pada akhirnya apakah negara hukumdapat memberikan manfaat bagi kemanusiaan,tidak bertumpu pada bunyi pasal-pasalUndang-Undang, melainkan pada perilaku penegakhukum yang dapat bertindak beyond thecall of duty. Meminjam kata-kata Ronald Dworkin,kita perlu taking rights seriously dan melakukanmoral reading of the law. Berhukum denganteks baru merupakan awal perjalananpanjang untuk mewujudkan tujuan agar hukumdapat mewujudkan keadilan dan kemanfaatanbagi kemanusiaan. 1717Lihat dan bandingkan dengan Suadarma Ananda, “Hukumdan Moralitas”, Jurnal Hukum Pro Justitia Vol. 24No. 3 Juli 2006. Bandung: FH UNPAR; M. Husni, “Moraldan Keadilan Sebagai Landasan Penegakan Hukum YangKembali pada tipologi hukum sebagaimanadisebut Nonet dan Selznick, tipologi hukumyang dideskripsikan Nonet dan Selznick keberlakuannyabisa bersamaan. Di dalam Introductionto the Transaction Edition dari buku karya Nonetdan Selznick itu sendiri, juga dituliskan:“…Nonet and Selznick acknowledge, in actuallegal systems, elements of repressive, autonomous,and responsive law often coexist”. 18Pendapat ini kurang jelas maksudnya, karenaketika membahas repressive law dan autonomouslaw, sebenarnya kita membahas corakmasyarakat yang sudah berbeda. Sebagaimanadisebut di atas, repressive law bisa berlaku ketikamasyarakat ada dalam posisi lemah, tidakmemiliki bargaining position yang kuat, sehinggapenguasa bisa dominan. Namun ketika masyarakatmulai mempunyai kekuatan tawar-menawarkarena kekuatan ekonomi maupun peoplepower nya, maka keinginan melepaskan hukumdari kekuasaan makin kuat. Itulah yang kemudianmelahirkan autonomous law dan memaksapenguasa harus demokratis. Selanjutnyaketika masyarakat semakin kuat posisinya makaideal-ideal sebagaimana terangkum dalam responsivelaw sangat mungkin diwujudkan. Demikianlahmaka tipologi hukum repressive, autonomousdan responsive sulit untuk bisa dijalankanoleh penguasa secara ko-eksisten.PenutupSimpulanTipologi hukum dalam repressive law,autonomous law dan responsive law merupakantipologi-tipologi hukum yang berada dalamdiskursus hubungan hukum dengan kekuasaan.Diskursus tentang tipologi hukum tersebut sebagianbersifat das sein, namun sebagian bersifatdas sollen. Berdasarkan pemahaman terhadappemikiran Nonet dan Selznick, tipologihukum dalam repressive law, autonomous lawdan responsive law sangat berkaitan dengan ti-18Responsif”, Jurnal Equality Fakultas Hukum UniversitasSumatera Utara, Vol. 11 No. 1 Februari 2006; danM. Syamsuddin," Rekonstruksi Pola Pikir Hakim DalamMemutus Perkara Korupsi Berbasis Hukum Progresif",Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11 No. 1 Januari 2011,Purwokerto : FH Universitas Jenderal SoedirmanPhilippe Nonet Philip Selznick, op.cit, No.3, hlm. xii


Relasi Hukum dengan Kekuasaan: Melihat Hukum dalam Perspektif Realitas 97pe masyarakatnya. Oleh karena itu sulit untukmengatakan bahwa penguasa dapat menggunakanrepressive law, autonomous law dan responsivelaw dalam satu waktu yang sama.Repressive law merupakan tipologi hukumyang berlaku dalam kekuasaan yang menerapkanhukum demi kepentingan kekuasaannya.Jadi penegakan hukum dimanipulasi untukkepentingan kekuasaan. Tipologi seperti ini bisadijalankan ketika masyarakat lemah dari segalasisi: lemah secara ekonomi, lemah dalam kapasitassumber daya, dan kekuatan rakyat tidakbisa dibentuk.Autonomous law, <strong>mengandung</strong> implikasibahwa hukum harus dilepaskan dari kepentinganpolitik, hukum harus impersonal, netral dantidak berpihak. Ajaran di dalam autonomouslaw bisa dikatakan merupakan penjabaran darirule of law. Autonomous law sangat tercermindalam sistem hukum modern yang lahir dariEropa Barat pada abad XVIII-XIX. Secara konsepautonomous law hanya bisa diberlakukan dalammasyarakat demokratik yang dijiwai semangatkebebasan dalam berusaha.Diskursus tentang responsive law dariNonet dan Selznick sesungguhnya sangat dekatdengan ide (gagasan) hukum progresif yang ditawarkanSatjipto Rahardjo. Gagasan hukumprogresif bisa digunakan untuk semakin menjelaskanhakekat responsive law dari Nonet danSelznick, karena keduanya bertujuan menegakkankeadilan yang bersifat substansif. Hukumprogresif berangkat dari kebuntuan karena hukum(yang dikatakan bersifat otonom) tidakmampu memberi manfaat untuk mewujudkankeadilan substansial. Oleh karenanya teks hukumyang bersifat umum sesungguhnya memerlukanakurasi (penajaman) yang kreatif daripenegak hukumnya pada saat hukum itu diterapkanpada kejadian nyata. Disinilah diperlukanpemikiran progresif. Penegakan hukumyang bersifat substantif memerlukan kesadarankembali, bahwa hukum, pada hakekatnya adalahuntuk manusia, dan penegasan itu ada dalamgagasan hukum progresif. Di dalam implementasinyajelas diperlukan penegak hukumyang kreatif, mengetahui betul posisinya sebagaiorgan negara yang mengabdi pada kepentinganrakyat dan tidak menafsirkan secara kakuperaturan hukum pada tingkat lapangan.Daftar Pustaka :Ananda, Suadarma. “Hukum dan Moralitas”,Jurnal Hukum Pro Justitia Vol. 24 No. 3Juli 2006. Bandung: FH UNPARChristiani, Theresiana Anita. “Studi Hukum BerdasarkanPerkembangan Paradigma PemikiranHukum Menuju Metode Holistik”.Jurnal Hukum Pro Justitia Vol. 26 No. 4Oktober 2008, Bandung: FH UNPAR;Douzinas, Costas. Ronnie Warrington, ShaunMcVeigh. 1991. Postmodern JurisprudenceThe Law of the text in the texts oflaw. London: Routledge;Erwin. "Upaya Mereformasi Hukum SebagaiAkibat Dominasi Positivisme Dalam Pembentukandan Penegakan Hukum Di Indonesia".Jurnal Hukum Progresif Vol.1, No.1 Juni 2007, Semarang: Program DoktorIlmu Hukum Universitas Diponegoro;Hart, H.L.A. 1961. The Concept of Law, Oxford:Clarendon;Husni, M. “Moral dan Keadilan Sebagai LandasanPenegakan Hukum Yang Responsif”.Jurnal Equality Fakultas Hukum UniversitasSumatera Utara, Vol. 11 (1) Februari2006;Kaum Tjipian Neo-Aliran Pleburan. 2009. EvolusiPemikiran Hukum Baru. Yogyakarta:Penerbit Genta Press;Manelia, M. "Kritik Terhadap Hukum ModernDalam Perspektif Studi Hukum Kritis".Jurnal Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan,Vol. 6, No. 2, 2008, Jakarta: DirektoratHukum Bank Indonesia;Muhammad, Rusli. "Kajian Kritis Terhadap TeoriHukum Positif (Positivisme)". JurnalHukum Respublica, Vol. 5, No. 2, Tahun2006, Pekanbaru: Fakultas HukumUniversitas Lancang Kuning (Unilak);Nonet, Philippe & Philip Selznick. 2001. TowardResponsive Law: Law and Society inTransition, New Brunswick (USA) andLondon (UK): Transaction Publishers;Oedoyo, Wibisono. "Beberapa Prinsip PenerapanTeori Hukum Yang Dikemukakan AliranPositivisme Dalam Putusan MA RI No. 02K/N/1998". Jurnal Hukum Themis, Vol.2N0.1, Oktober 2007, Jakarta: FakultasHukum Universitas Pancasila;


98 Jurnal Dinamika HukumVol. 13 No. 1 Januari 2013Rahardjo, Satjipto. “Mempertahankan PikiranHolistik dan Watak Hukum Indonesia”Masalah-Masalah Hukum. Edisi Khusus1997. FH UNDIP, Semarang;-------. “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”,Jurnal Hukum Progresif Vol.1 No. 1, April 2005;-------. Hukum Dalam Jagat Ketertiban.Jakarta: Penebit UKI PRESS;-------. 2008. Negara Hukum yang MembahagiakanRakyatnya. Yogyakarta: PenerbitGenta Press;Revena, Dey. "Konsepsi Dan Wacana HukumProgresif". Jurnal Hukum Suloh, PenelitianDan Pengkajian Hukum, Vol. VII, N0.1, April 2009, Aceh: Fakultas HukumUniversitas Malikussaleh (UNIMAL);Ridwan, “Memunculkan Karakter Hukum Progresifdari Asas-asas Umum Pemerintahanyang Baik Solusi Pencarian dan PenemuanKeadilan Substantif”. Jurnal Hukum ProJustitia, Vol. 27 No. 1 April 2009, Bandung:FH UNPAR;S, C. Maya Indah. "Refleksi Sosial Atas KelemahanHukum Modern: Suatu Diseminasi NilaiKebenaran Tradisi Dalam Citra HukumIndonesia". Jurnal Masalah-Masalah Hukum,Vol. 37, N0. 3, 2008, Semarang:Fakultas Hukum Universitas Diponegoro;Samketo, FX. Adji “Menggugat Relasi FilsafatPositivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal”.Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12No. 1 Januari 2012, Purwokerto: FHUNSOED;Santos , Boaventura De Sousa. 1995. Toward ANew Common Sense: Law,Science and Politicsin the Paradigmatic Transition.London: Routledge;Siahaan, Lintong O. "Peran Hakim Dalam PembaharuanHukum di Indonesia". JurnalHukum dan Pembangunan, Tahun ke 36N0.1 Januari 2006, Jakarta: FakultasHukum Universitas Indonesia;Suhardin, Yohanes. “Paradigma Rule Breakingdalam Penegakan Hukum yang Berkeadilan”.Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 26No. 3 Juli 2008, Bandung: FH UNPAR.Susanto, Anthon F. “Keraguan dan KetidakadilanHukum (Sebuah Pembacaan Dekonstruktif)”.Jurnal Keadilan Sosial, Edisi 1tahun 2010;Turkel, Gerald. 1995. Lawand Society: Criti-cal Approaches.Toronto: Allyn and Ba-con;Syamsuddin, M. "Rekonstruksi Pola Pikir HakimDalam Memutus Perkara Korupsi BerbasisHukum Progresif", Jurnal Dinamika Hukum,Vol. 11 No. 1 Januari 2011, Purwokerto:FH UNSOED;Wignyosoebroto, Soetandyo. ”Doktrin SupremasiHukum: Sebuah Tinjauan Kritis dariPerspektif Historik”. dalam IS Susantodan Bernanrd L.Tanya (eds). 2000. WajahHukum Di Era Reformasi (Kumpulan KaranganMenyambut 70 Tahun Prof. Dr. SatjiptoRahardjo) Bandung: Alumni.Wisnubroto, Al. “Upaya Mengembalikan KemandirianHakim melalui Pemahaman RealitasSosialnya”. Jurnal Hukum Pro JustitiaTahun XX No. 1 Januari 2003, Bandung:FH UNPAR.Yusriyadi. "Paradigma Positivisme Dan ImplikasinyaTerhadap Penegakan Hukum Di Indonesia".Jurnal hukum, Vol. 14, N0. 3,April 2004, Semarang: Fakultas HukumUniversitas Islam Sultan Agung (UNISSU-LA).

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!