Modul Etika Bisnis
- No tags were found...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
BAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
Perilaku seseorang tidak bisa dilepaskan dari<br />
persepsinya terhadap sesuatu. Pada posisi apapun dia, ketika<br />
dia melakukan suatu aktifitas pasti dipengaruhi oleh<br />
persepsinya. Sebagai contoh adalah persepsi seseorang<br />
terhadap orang yang dicintainya akan membentuk perilaku<br />
yang berlawanan dari orang tersebut terhadap orang lain<br />
yang dibencinya, karena dia memiliki persepsi kebencian<br />
terhadapnya. Begitu juga akan berbeda terhadap orang yang<br />
sama sekali tidak dikenalnya, karena dia tidak memiliki<br />
persepsi apapun terhadap orang tersebut. Jadi tingkah laku<br />
seseorang berkaitan erat dengan persepsi yang dimilikinya. 1<br />
Kaedah perbuatan diatas juga berlaku untuk aktifitas<br />
bisnis. Jika diterapkan pada aktifitas bisnis, maka bunyi<br />
kaedah tersebut menjadi seperti berikut: aktifitas bisnis<br />
seseorang tidak bisa dilepaskan dari persepsinya tentang<br />
bisnis. Jika dia memandang bisnis itu sebagai usaha untuk<br />
hanya sekedar mengumpulkan kekayaan yang sebanyakbanyaknya,<br />
dengan tanpa ada pertimbangan ke-agama-an<br />
sama sekali, maka perilaku bisnisnya akan mengikuti etika<br />
kapitalisme. Sementara etika seorang muslim dalam<br />
melakukan bisnis, harusnya mempertimbangkan persepsi<br />
tentang halal-haram terhadap segala sesuatu, sesuai dengan<br />
Islam, agama yang menjadi keyakinannya.<br />
Perilaku bisnis yang ada pada masa-masa sekarang<br />
ini lebih banyak didominasi oleh etika kapitalisme. Mengingat<br />
kekuatan ideologi kapitalisme yang menghegemoni dunia<br />
mengalahkan ideologi komanditer sejak era 1990-an, maka<br />
1 An-Nabhany, Peraturan Hidup Dalam Islam, Cet. Ke-8 (Jakarta: HTI Press, 2011),<br />
hal. 7<br />
1
tak pelak jika perilaku bisnis dan teori etikanya pun<br />
menginduk kepadanya. Tak terkecuali sistem ekonomi yang<br />
diberlakukan di negeri ini, dari jaman orde lama sampai orde<br />
reformasi. 2 Sehingga analogi yang disampaikan oleh Ismail<br />
Yusanto (2002:24) bahwa umat Islam yang melakukan bisnis<br />
pada masa-masa sekarang ini ibaratnya ikan air tawar yang<br />
hidup di air laut adalah analogi yang tepat sekali. Lebih jelas,<br />
Ismail Yusanto (2002: 24) memaparkan kondisi ideal untuk<br />
bisnis Islami adalah berada di sistem Islam bukan di sistem<br />
selain Islam (Sistem Kapitalis atau Sosialis). 3<br />
Tabel 1:<br />
Peluang hidup bisnis Islami dan Non Islami dalam sistem Islami, Kapitalis dan Sosialis<br />
Untuk itulah kemudian muncul tantangan bagi<br />
kalangan pebisinis muslim agar kehidupan bisnisnya aman<br />
dan terus beroperasi, syukur-syukur mengalami keberkahan<br />
di tengah-tengah iklim bisnis yang serba kapitalistik ini.<br />
Tantangan bisa datang dari dalam lingkungan bisnis, meliputi:<br />
semangat dan keahlian manajemen (produksi, keuangan dan<br />
pemasaran), maupun pengembangan kepribadian bisnis<br />
(kreasi, inovasi, negosiasi, dan lain-lain) serta modal. Terkait<br />
dengan jaminan kehalalan bisnis adalah pemahaman pelaku<br />
2 Dwi Condro Triono, “Bahaya Ekonomi Neo-Liberal di Indoensia”, al-Wa’ie, No. 57<br />
Tahun V (1-31 Mei 2005), hal. 8<br />
3 Yusanto, Menggagas <strong>Bisnis</strong> Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hal. 24<br />
2
isnis tentang aturan-aturan Islam mengenai riba, akad-akad<br />
kerjasama, dan sebagainya. Adapun tantangan eksternal<br />
akan terasa lebih berat lagi karena pebisnis muslim akan<br />
menghadapi regulasi ekonomi yang menyangkut ribawi,<br />
perizinan yang berbelit-belit yang membuka peluang praktek<br />
riswah (suap), dan persaingan yang menghalalkan segala<br />
cara. 4<br />
Pengaruh kapitalisme dalam etika dunia bisnis<br />
kontemporer ini paling tidak tampak pada asas atau landasan<br />
aktifitas manajemennya. Jika aktifitas manajemen bisnisnya<br />
berlandaskan pada keterpisahan dari agama dalam<br />
pengaturan usaha bisnisnya, maka bisnis tersebut<br />
berlandaskan ideologi kapitalisme-sekuler. Namun jika etika<br />
bisnisnya dilandaskan pada aturan-aturan atau norma-norma<br />
agama, maka bisnis tersebut tidak bisa disebut sekuler. Hal<br />
ini tampak dari tolok ukur yang digunakan, menggunakan<br />
asas manfaat atau asas halal-haram. Harusnya seorang<br />
muslim dalam menjalankan bisnisnya tidak mengambil<br />
manfaat sebagai landasan manajemen, melainkan landasan<br />
halal dan haram. Dia harus bisa membedakan mana<br />
manajemen sebagai tools dan mana manajemen sebagai<br />
sebuah aktifitas. Sebagai sebuah tools, maka manajemen<br />
bersifat universal bebas nilai, namun sebagai sebuah<br />
aktifitas, manajemen tentu terikat dengan pandangan hidup<br />
tertentu. Dan hendaknya pelaku bisnis muslim menjalankan<br />
aktifitas manajemen bisnisnya didasarkan pada hukumhukum<br />
Islam, karena ada kaidah perbuatan bagi muslim. 5<br />
Bahkan menurut Sofyan S. Harahap (2011: 1) dalam<br />
pengantarnya di buku <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong> Dalam Perspektif Islam<br />
menuliskan bahwa politik, ekonomi, bisnis dan berbagai<br />
4 Ibid, hal. 10<br />
5 Abdullah, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah,<br />
2002), hal. 9<br />
3
aspek lain yang hadir di sekeliling kita ini adalah politik,<br />
ekonomi, bisnis, yang tidak dibarengi dengan etika atau non<br />
value laden. 6 Dia menjelaskan bahwa peradaban kapitalisme<br />
yang menguasai dunia sekarang ini tidak memperhatikan<br />
bahkan tidak mengakui keberadaan Tuhan termasuk<br />
pertanggungjawaban di akhirat nanti. Hal ini berimplikasi<br />
pada teori etika bisnis yang dikembangkan. Mengingat setiap<br />
perilaku seseorang dipengaruhi oleh persepsinya terhadap<br />
sesuatu, artinya: teori etika yang berkembang mengawali<br />
etika praktis yang diamalkan oleh kalangan pebisnis,<br />
termasuk pebisnis muslim menjadi latar belakang perlunya<br />
dilakukan pendalaman terhadap teori etika bisnis yang<br />
selama ini diajarkan di bangku-bangku perkuliahan karena<br />
teori etika bisnis tersebut akan menjadi bekal yang<br />
dipraktekkan oleh para alumni bangku perkuliahan tersebut.<br />
Dalam hal ini STEI Hamfara yang juga mengajarkan<br />
mata kuliah etika bisnis perlu serius mempelajari teori etika<br />
yang diajarkan kepada peserta didiknya. Seperti apakah mata<br />
kuliah etika bisnis yang diajarkan di STEI Hamfara? Apakah<br />
mata kuliah etika bisnis yang diajarkan di STEI Hamfara<br />
kepada peserta didiknya sudah sesuai dengan idealisme<br />
founding fathernya? Lebih-lebih Hamfara memiliki warna<br />
yang unik dalam hal pendidikan yang menyatu dan berbasis<br />
pesantren dengan pendekatan fundamental radikalnya.<br />
Disinilah kemudian laporan penelitian ini ditulis dalam judul:<br />
<strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong>; Sebuah Perspektif Dengan Pendekatan<br />
Fundamental Radikal STEI Hamfara.<br />
6 Harahap, <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong> Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2011), hal.<br />
1<br />
4
BAB II<br />
TEORI ETIKA BISNIS<br />
Buku-buku etika bisnis yang ada di perpustakaan STEI<br />
Hamfara sangat terbatas. Hal ini disebabkan karena<br />
terbatasnya pola pengadaan buku sebagai bahan ajar,<br />
misalnya dengan koleksi dari calon alumni, pengajuan dosen<br />
mata kuliah kepada pihak perpustakaan dan inisiatif bagian<br />
perpustakaan untuk pengadaan buku-buku tertentu. Semua<br />
pola tadi bertumpu pada ketersediaan dana yang masih<br />
sangat minim. 7<br />
Untuk buku etika bisnis, paling tidak penulis<br />
menenemukan empat judul buku sebagai berikut: <strong>Etika</strong><br />
Protestan dan Semangat Kapitalisme, sebuah buku terjemah<br />
karya Max Weber, diterbitkan oleh Pustaka Promethea tahun<br />
2000. Di perpustakaan STEI Hamfara, buku ini diberi kode<br />
290 MAX E C.2. <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong>; Konsep dan Kasus, buku<br />
terjemah karya Manuel G. Velasquez, diterbitkan oleh Andi<br />
tahun 2005. Di perpustakaan STEI Hamfara buku ini diberi<br />
kode 650.1 VEL E C.1. Buku ketiga adalah <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong> dalam<br />
Perspektif Islam, karya Sofyan S. Harahap penerbit Salemba<br />
tahun 2011. Di perpustakaan STEI Hamfara diberi kode 2x6<br />
HAR E C.2. Buku terakhir adalah <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong> terjemahan dari<br />
Business Ethic karya Laura Hartman dan Joe Desjardins<br />
diterbitkan oleh Penerbit Erlangga tahun 2008. Di<br />
perpustakaan STEI Hamfara diberi kode 650.1 DES E C.1.<br />
Untuk mempermudah penyebutan dalam mengungkap teori<br />
etika bisnis sebagai isi buku tersebut, maka penulis<br />
menggunakan penyebutan yang dinisbatkan kepada<br />
7 Wawancara dengan Inti Rosita, Amd selaku pegawai STEI Hamfara yang<br />
menangani bagian perpustakaan pada hari Kamis, 20 Agustus 2015 jam 09.15 sampai<br />
jam 09.45 di ruang perpustakaan STEI Hamfara.<br />
5
penulisnya, yaitu buku pertama dengan penyebutan buku<br />
max, buku kedua dengan penyebutan buku manuel, buku<br />
ketiga dengan penyebutan buku harahap dan buku keempat<br />
dengan penyebutan buku laura.<br />
Keempat buku etika bisnis diatas selain sebagai teori<br />
yang akan disajikan juga menjadi data yang akan diteliti.<br />
Relasi antara data dengan teori seperti ini lazim terjadi di<br />
penelitian kualitatif dengan desain penelitian deskriptif dan<br />
model deduktif. 8 Buku-buku etika bisnis yang ada di<br />
perpustakaan STEI Hamfara banyak menjelaskan persoalan<br />
subyek manusia yang umumnya tidak taat terhadap asas,<br />
memiliki subyektifitas individual, emosional dan sebagainya,<br />
sehingga lebih layak jika penelitian ini menggunakan<br />
pendekatan fenomenologis. 9 Penelitian dengan pendekatan<br />
fenomenologis adalah proses menganalisis berlangsungnya<br />
suatu peristiwa – dalam hal ini sudah tercatat dalam bukubuku<br />
etika bisnis di atas – atau fenomena sosial,<br />
mengungkapkan semua proses etik yang ada dalam suatu<br />
fenomena sosial, mendiskripsikan kejadian sehingga tersusun<br />
suatu pengetahuan yang sistematis mengenai fenomena<br />
sosial dan seluruh atribut-atributnya tadi. 10<br />
Garis besar buku pertama (buku max) terbagi<br />
menjadi dua bagian; bagian masalah dan bagian etika praktis<br />
protestantisme. Mengandung lima bab, bab satu sampai bab<br />
tiga ada di bagian pertama, yaitu: bab 1 afiliasi agama dan<br />
stratifikasi sosial, bab 2 semangat kapitalisme, bab 3 konsepsi<br />
luther. Adapun dua bab sisanya ada di bagian kedua, yaitu:<br />
bab 4 dasar-dasar keagamaan, bab 5 askese dan spirit<br />
kapitalisme. Garis besar buku kedua (buku manuel) terdiri<br />
dari empat bagian dengan delapan bab. Bagian pertama<br />
8 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, (Jakarta; Kencana, 2010), hal. 24<br />
9 Ibid, hal. 143<br />
10 Ibid, hal. 153<br />
6
tentang prinsip-prinsip dasar meliputi bab 1 tentang etika<br />
dan bisnis, bab 2 tentang prinsip-prinsip etis dalam bisnis.<br />
Bagian kedua tentang pasar dan bisnis meliputi bab 3 sistem<br />
bisnis dan bab 4 etika di pasar. Bagian ketiga mengenai bisnis<br />
dan pertukaran eksternal-ekologi dan konsumen, maliputi<br />
bab 5 tentang etika dan lingkungan, bab 6 tentang etika<br />
produksi dan pemasaran konsumen. Bagian keempat tentang<br />
bisnis dan konstituen internalnya-masalah kepegawaian<br />
terdiri dari bab 7 tentang etika diskriminasi pekerjaan dan<br />
bab 8 mengenai peran individu dalam organisasi.<br />
Garis besar buku ketiga (buku harahap) tersusun<br />
dalam tiga belas bab. Bab 1 pendahuluan, mengenai<br />
kapitalisme skandal korporasi, etika dan tren bisnis, agama<br />
dan ekonomi. Bab 2 tentang definisi dan pengertian etika,<br />
mengenai moral, etika, etiket, dan filsafat. Bab 3 tentang<br />
teori etika dan pergeseran paradigm. Bab 4 tentang etika<br />
dalam bisnis dan ekonomi kapitalisme. Bab 5 tentang etika<br />
dan agama. Bab 6 tentang skandal korporasi. Bab 7 tentang<br />
prinsip dasar etika islami. Bab 8 tentang etika pemerintahan<br />
islami menjelaskan islam sebagai suatu general system. Bab 9<br />
tentang etika perusahaan Islami. Bab 10 etika transaksi,<br />
marketing dan iklan. Bab 11 tentang hal-hal yang dilarang<br />
dalam bisnis Islami. Bab 12 tentang pengawasan etika dan<br />
bab terakhir, bab 13 tentang penutup dan agenda masa<br />
depan berisi kritik epistemology sekuler dan demoralisasi<br />
ilmu.<br />
Garis besar buku keempat (buku laura) terdiri dari 10<br />
bab. Bab 1 tentang etika dan bisnis. Bab 2 tentang<br />
pengambilan keputusan yang etis. Bab 3 tentang etika<br />
filosofis dan bisnis. Bab 4 tentang budaya perusahaan. Bab 5<br />
tentang tanggungjawab sosial perusahaan. Bab 6 tentang<br />
pengambilan keputusan yang etis; tanggungjawab pemberi<br />
kerja dan hak karyawan. Bab 7 tentang pengambilan<br />
7
keputusan yang etis; tekhnologi dan privasi di tempat kerja.<br />
Bab 8 tentang etika dan pemasaran. Bab 9 tentang bisnis,<br />
lingkungan dan keberlanjutan (sustainability). Bab 10 tentang<br />
pengambilan keputusan yang etis; tata kelola perusahaan,<br />
akuntansi dan keuangan.<br />
Tabel 2: Isi garis besar buku etika bisnis di perpustakaan STEI Hamfara<br />
A. Pengertian <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong> Islam<br />
<strong>Etika</strong> bisnis Islam merupakan rangkaian dari tiga kata<br />
yang berkumpul menjadi satu dan membentuk makna yang<br />
8
ditangkap oleh pembaca sesuai dengan interpretasinya<br />
sendiri-sendiri. Tiga kata itu adalah etika, bisnis dan Islam.<br />
Sehingga secara bahasa (etimologi) bisa diambil pengertian<br />
berdasarkan arti bahasa masing-masing kata tersebut. Kata<br />
etika sendiri ketika dibuka di kamus selalu bersinggungan<br />
dengan kata lain, seperti: moral, etiket, etos, akhlak, norma,<br />
aturan nurani, sopan santun, budi pekerti, nilai dan lain<br />
sebagainya. 11 Kata etika berasal dari bahasa Yunani ethos<br />
yang memiliki arti tempat tinggal, padang rumput, kandang,<br />
kebiasaan, adat, perasaan, cara berfikir, sikap. Lebih<br />
sederhana, etika bisa diartikan sebagai sebuah kajian<br />
mengenai moralitas. Sebagai sebuah cabang filsafat yang<br />
berkaitan dengan pemikiran benar atau salah, pemikiran<br />
moral yang mempelajari tentang apa yang harus dikerjakan<br />
dan apa yang tidak boleh dikerjakan.<br />
Adapun kata bisnis menurut kamus bahasa Indonesia<br />
diartikan sebagai usaha dagang, usaha komersial di dunia<br />
perdagangan dan bidang usaha. <strong>Bisnis</strong> juga bisa diartikan<br />
sebagai sebuah aktifitas produksi dan distribusi suatu barang<br />
atau jasa. Aktifitas tersebut mengalami pergeseran<br />
paradigma, yang dahulunya sebatas pada perilaku individu,<br />
orang per-orang yang berproduksi atau melakukan distribusi,<br />
hingga sekarang menjadi pelaku korporasi, atau perusahaan<br />
bisnis bahkan mencakup bisnis global yang sekarang<br />
mendominasi sektor ekonomi. 12 Aktifitas bisnis cenderung<br />
dinisbatkan kepada aktifitas pasar yang sejak awal memiliki<br />
makna negatif, bahwa pasar itu tidak bermoral, sejelekjeleknya<br />
tempat di muka bumi ini adalah pasar, sehingga<br />
seakan-akan tidak bisa ditemukan antara bisnis satu sisi<br />
dengan etika disisi lain.<br />
11 Harahap, <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong> Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2011),<br />
hal. 15<br />
12 Manuel, <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong>, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2005), hal. 13<br />
9
Sedangkan kata Islam, merujuk pada definisi<br />
normatif yang sudah baku adalah agama yang diturunkan<br />
Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw yang mengatur<br />
interaksi manusia dengan Allah SWT seperti dalam urusan<br />
akidah dan ibadah, mengatur hubungan manusia dengan<br />
sesama manusia, seperti dalam perkara muamalah, sosial,<br />
politik, ekonomi dan lain-lain, mengatur hubungan manusia<br />
dengan dirinya sendiri seperti dalam perkara makanan,<br />
pakaian dan akhlak. 13 Islam membahas bisnis dalam<br />
kaitannya dengan aturan interaksi antar sesama manusia,<br />
misalnya dalam bidang muamalah seperti kerja, wirausaha,<br />
dan aktifitas-aktifitas yang lain yang terkait dengan harta<br />
benda, apakah pengembangan harta maupun distribusi harta<br />
kekayaan. 14 Gambar disamping menjelaskan ruang lingkup<br />
ajaran Islam dalam tiga dimensi diatas, dimensi yang<br />
mengatur interaksi manusia dengan Allah SWT, dimensi yang<br />
mengatur interaksi<br />
manusia dengan dirinya<br />
sendiri dan dimensi yang<br />
mengatur interaksi<br />
manusia dengan sesama<br />
manusia.<br />
Uraian mengenai<br />
pengertian dari masingmasing<br />
kata pembentuk<br />
etika bisnis Islam<br />
menjelaskan kepada kita beberapa hal, pertama terkait<br />
dengan definisi dan kedua terkait dengan pergeseran<br />
paradigma tentang etika bisnis. Terkait dengan definisi etika<br />
13 An-Nabhany, Peraturan Hidup Dalam Islam, Cet. Ke-8 (Jakarta: HTI Press, 2011),<br />
hal. 117<br />
14 Abdullah, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah,<br />
2002), hal. 12<br />
10
isnis Islam tidak ada yang bisa dijadikan acuan baku<br />
sehingga bisa memenuhi kreteria sebagai sebuah definisi,<br />
yaitu jami’ dan mani’. Jami’ maksudnya menyeluruh, yaitu<br />
mencakup dari seluruh bagian-bagian dan sifat-sifat dari<br />
sesuatu yang didefinisikan. Mani’ maksudnya mencegah,<br />
yaitu mencegah masuknya makna asing dari sesuatu yang<br />
didefinisikan. Disinilah kemudian kita tidak bisa<br />
mendefinisikan etika bisnis Islam sehingga memenuhi<br />
kreteria dari sebuah definisi sebagaimana dijelaskan diatas. 15<br />
Harahap (2011: 69) menjelaskan etika sebagai<br />
sebuah istilah umum adalah ukuran dari perilaku yang baik. 16<br />
Dia sudah menginterpretasikan etika dengan sesuatu yang<br />
baik, artinya jika sesuatu itu tidak beretika berarti sesuatu itu<br />
tidak baik. Dia menganggap kata etika sudah mengandung<br />
nilai sendiri, yaitu baik. Sehingga menurutnya, orang yang<br />
memiliki etika itu baik, sementara orang yang tidak beretika<br />
itu tidak baik. Padahal kita tahu ada etika-etika yang terpuji,<br />
yang baik dan etika-etika yang tidak terpuji, yang buruk,<br />
misal: berbohong, rakus, khianat dan lain-lain. Lebih tegas<br />
bahkan dia mengatakan bahwa etika yang baik itu adalah<br />
akhlak dalam Islam. <strong>Etika</strong> atau moral dalam Islam merupakan<br />
buah dari keimanan, keislaman dan ketakwaan yang<br />
didasarkan pada keyakinan yang kuat pada kebenaran Allah<br />
SWT. Islam diturunkan Allah SWT pada hakikatnya untuk<br />
memperbaiki akhlak atau etika umat manusia. Bahkan untuk<br />
kepentingan itu, Allah SWT mengutus Nabi Muhammad saw<br />
sebagai teladan yang baik (uswatun hasanah). 17<br />
Jika dikatakan bahwa etika itu akhlak, sebagaimana<br />
dijelaskan oleh Harahap (2011: 69) diatas maka bisa<br />
15 Ibid, hal. 9<br />
16 Harahap, <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong> Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2011),<br />
hal. 69<br />
17 Ibid, hal. 70<br />
11
ditegaskan bahwa akhlak itu merupakan ajaran Islam yang<br />
tidak terpisah dengan ajaran Islam yang lain, seperti: sholat,<br />
zakat, bekerja, berkeluarga, jihad dan lain-lain. Islam<br />
mengatur hukum-hukum akhlak berdasarkan sebuah<br />
anggapan bahwa akhlak adalah perintah dan larangan Allah<br />
SWT yang menyatu pada perbuatan manusia. Dengan kata<br />
lain, akhlak adalah sifat dari suatu perbuatan yang dilakukan<br />
oleh seorang muslim. Seorang muslim yang baik ketika dia<br />
bekerja maka akan amanah, ketika berjanji tidak akan<br />
berkianat, dia akan selalu semangat, giat bekerja, disiplin,<br />
kreatif, dan akan selalu bersifat dengan sifat-sifat terpuji<br />
yang lain karena dorongan keimanannya kepada Allah SWT.<br />
Sebaliknya dia akan menjauhi sifat-sifat tercela, seperti:<br />
malas, berbohong, boros, dan lain-lain karena keimanannya<br />
pula. 18<br />
Dengan pandangan ini bisa dijelaskan bahwa etika<br />
bisnis Islam adalah ajaran-ajaran Islam terhadap sifat-sifat<br />
seseorang pelaku bisnis. Sifat-sifat dari serangkaian aktifitas<br />
bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak terbatas dalam<br />
kuantitasnya, kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk<br />
profitnya, namun dibatasi dari sisi cara perolehan dan<br />
pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram).<br />
B. Antara <strong>Etika</strong>, <strong>Bisnis</strong>, Ekonomi dan Agama; Pergeseran<br />
Paradigma<br />
<strong>Etika</strong> bisnis mengalami pergeseran paradigma.<br />
Paradigma lama mengatakan bisnis adalah bisnis, etika bisnis<br />
tidak berguna, bicara etika dalam bisnis justru akan<br />
menghambat bisnis dan pada akhirnya akan menghambat<br />
laju pertumbuhan ekonomi. <strong>Etika</strong> dalam bisnis adalah ketika<br />
perusahaan itu telah mendapatkan keuntungan dan<br />
18 Abdullah, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah,<br />
2002), hal. 100.<br />
12
menyelesaikan tanggungjawab sosialnya. Menurut Milton<br />
Friedman dalam Harahap (2011: 35), hanya satu etika bisnis<br />
dalam ekonomi kapitalisme, yaitu mencari laba. Jika suatu<br />
perusahaan sudah mendapatkan laba, maka dia sudah<br />
memenuhi tugas dan tanggung jawab sosialnya karena<br />
perusahaan tersebut sudah mampu memberikan barang dan<br />
jasa yang disuplay ke pasar untuk kepentingan manusia. 19<br />
Paradigma semacam ini wajar terjadi karena dominasi<br />
ideologi kapitalisme sekuler yang menafikan nilai-nilai<br />
transendental ke-Tuhan-nan turut campur dalam urusan<br />
kehidupan manusia, dalam hal ini termasuk bisnis. Menurut<br />
paradigma lama, sifat rakus atau sifat tamak yang ada pada<br />
manusia justru bisa mendorong produktifitas manusia dalam<br />
berkarya, termasuk bisnis. Sifat tamak ini menjadi sebuah<br />
etos yang dimiliki seseorang dalam bekerja. 20<br />
Seseorang ketika menuntut dirinya untuk bisa<br />
bertahan hidup maka dia harus mampu bekerja. Dengan etos<br />
kerja yang tinggi akan mendorong dirinya pada pencapaian<br />
derajat sosial yang tinggi pula karena bisa memiliki alat<br />
pemuas kebutuhan yang tidak dimiliki oleh orang lain.<br />
Bahkan dia bisa investasi dan saving kekayaannya untuk<br />
jangka waktu yang lama yang orang lain tidak bisa melakukan<br />
itu karena tidak memiliki etos kerja yang tinggi sebagaimana<br />
dirinya. Kualitas moral personal seperti diatas tidak ada<br />
hubungannya dengan nilai etika apa saja. Hasrat kerja yang<br />
tinggi karena dorongan materi adalah cermin dari semangat<br />
kapitalisme, sekalipun kemudian ada kolaborasi dengan<br />
penguasa dan tuntutan pengakuan dari sesama manusia. 21<br />
Bahkan kerjasama antara pengusaha kapitalis dengan<br />
19 Harahap, <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong> Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2011),<br />
hal. 36<br />
20 Max Weber, <strong>Etika</strong> Protestan dan Semangat Kapitalisme, (Surabaya: Pustaka<br />
Promethea, 2000), hal. 78<br />
21 Ibid, hal. 106<br />
13
ilmuwan melahirkan kemajuan tekhnologi yang luar biasa<br />
yang dengan tekhnologi itu manusia bisa bebas sebebasbebasnya<br />
memenuhi kepuasannya. Peduli amat dengan<br />
etika, yang penting bisa berkarya. Itulah paradigma lama<br />
mengenai etika dan bisnis, yaitu paradigma kapitalisme<br />
sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, termasuk<br />
sektor ekonomi dan bisnis. 22<br />
Pergeseran paradigma terjadi disebabkan oleh<br />
gagalnya kapitalisme mensejahterakan umat manusia.<br />
Kebebasan yang tidak bertanggungjawab mendorong<br />
dekadensi moral ada dimana-mana. Dengan tekhnologi yang<br />
canggih yang bisa dimanfaatkan dimana dan kapan saja<br />
memunculkan hedonisme budaya, industri hiburan dengan<br />
pornografi dan sex bebas, perjudian, pendidikan tidak lagi<br />
untuk mencari ilmu melainkan untuk mencari harta, maka<br />
wajar jika berbagai disiplin ilmu didesain dalam rangka untuk<br />
mengabdi kepada pasar. Ilmu bisnis, manajemen, akuntansi<br />
dan keuangan, investasi, pasar modal, dan perbankan<br />
berkembang pesat agar bisa memburu harta dengan cepat,<br />
singkat, dan banyak tanpa harus menunggu lama dan dengan<br />
tenaga yang banyak. 23<br />
Pergeseran paradigma bisnis, yang pada awalnya<br />
hanya berorientasi pada materi saja, menjauhi nilai-nilai<br />
transendental ke-Tuhan-an, nilai-nilai etika dan moral<br />
menjadi lebih perhatian kepada etika dan moral. Paradigma<br />
lama dinilai tidak rasional ketika menganggap keserakahan,<br />
ketamakan dan kerakusan sebagai sebuah etos positif yang<br />
melepaskan diri dari eksistensinya sebagai makhluk yang<br />
terbatas, membutuhkan yang lain dan lemah. Hal ini terjadi<br />
22 An-Nabhany, Peraturan Hidup Dalam Islam, Cet. Ke-8 (Jakarta: HTI Press, 2011),<br />
hal. 70<br />
23 Harahap, <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong> Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2011),<br />
hal. 2<br />
14
karena paradigma lama lebih menekankan kepada<br />
individualisme atau ego pribadi satu pihak saja, tidak ada<br />
perhatian terhadap faktor eksternal, apakah mitra kerja,<br />
lingkungan kerja maupun stake holder yang lain, tidak ada<br />
sikap empati kepada pihak diluar dirinya sendiri. Dengan kata<br />
lain, paradigma ini memiliki kecenderungan yang merusak.<br />
Pergeseran paradigma juga terjadi pada teori-teori<br />
dalam ilmu etika. Klasifikasi aliran etika muncul seiring<br />
dengan subyektifitas penggagasnya. Misalnya, De George<br />
(Setya Nugraha, 2003: 5 dan Keraf, 1991) dalam Harahap<br />
(2011: 23) membagi etika dalam tiga kelompok: etika<br />
deskriptif, etika normatif dan etika analitis. Ketiga kategori<br />
aliran etika diatas didasarkan pada sebuah asumsi bahwa<br />
etika adalah sebuah ilmu pengetahuan yang didapat melalui<br />
penelaahan terhadap realitas, apakah realitas itu bersifat<br />
deskriptif, atau normatif, atau perlu dianalisis kembali, maka<br />
lahirlah tiga kategori etika sebagaimana di atas. Keraf (1991)<br />
dalam Harahap (2011: 24) menjelaskan kategori etika dalam<br />
dua jenis, etika deontologi dan etika teleologi. <strong>Etika</strong><br />
deontologi menjelaskan bahwa manusia melakukan suatu<br />
perbuatan karena kewajiban (duty) tanpa melihat proses,<br />
tujuan dan akibat dari tindakannya itu. Sementara etika<br />
teleologi menjelaskan etika dari sisi perbuatan manusia<br />
dinilai baik atau bermoral jika tujuan dan akibat dari tindakan<br />
itu baik, misalnya mencuri untuk diberikan kepada orangorang<br />
yang kelaparan. 24 Lain lagi menurut Beekun (1997)<br />
dalam Harahap (2011: 25) membagi teori etika menjadi enam<br />
bagian: relativisme (etika dianggap relatif karena muncul dari<br />
kepentingan pribadi), utilitarisme (etika dilihat dari sisi<br />
kemanfaatan, biasanya manfaat ekonomis atau material, jika<br />
bermanfaat disebut etis), universalisme (etika dianggap sama<br />
24 Ibid, hal. 24<br />
15
di semua tempat), rights (etika ditentukan dari pemenuhan<br />
hak-hak individu), distributive justice (etika ditekankan pada<br />
distribusi kekayaan yang adil) dan eternal law (etika diukur<br />
dari wahyu atau kitab suci, karena disiplin ilmu ini lahir di<br />
barat maka kitab suci yang dimaksud adalah injil). 25<br />
Paradigma baru bisnis tidak sekedar berorientasi<br />
pada laba yang bersifat materi saja. Paradigma baru bisnis<br />
mulai memperhatikan faktor etika, moral, norma-norma dan<br />
sebagainya sebagai satu kesatuan dalam aktifitas bisnis.<br />
Dengan begitu bisnis tidak terasa kering jauh dari sentuhan<br />
spiritual, melainkan bisnis merupakan bagian dari ibadah<br />
kepada Sang Pencipta Alam dan Manusia. Perhatian terhadap<br />
norma-norma, moral dan etika menjadi sebuah keniscayaan<br />
mengingat mulai adanya kesadaran bahwa tujuan utama<br />
manusia bukanlah materi semata melainkan kebahagiaan,<br />
yaitu terpenuhinya kebutuhan manusia, baik kebutuhan fisik<br />
berupa materi-materi, maupun kebutuhan non fisik, seperti:<br />
kebanggaan, rasa malu, kesucian, kehormatan, keyakinan<br />
beragama dan lain-lain. Sehingga antara bisnis dan etika<br />
menjadi satu. 26<br />
Dengan bergesernya paradigma bisnis, dari sekedar<br />
tuntutan kapitalisme, capaian target-target materi belaka,<br />
mengejar kepuasan lahiriyah saja, terus kemudian bergeser<br />
kepada tuntutan bathin, kepuasan spiritual, maka bergeser<br />
pula makna relasi antara ekonomi dengan agama. Disinilah<br />
posisi penting etika bisnis dibahas, yaitu sebagai garis yang<br />
membedakan antara bisnis yang benar dengan bisnis yang<br />
salah. Pertanyaannya, dari mana standar benar atau salah itu<br />
muncul? Maka tentang munculnya standar benar dan salah<br />
itu ada dua pendapat, pendapat pertama yang mengatakan<br />
25 Ibid, hal. 25<br />
26 Abdurrahman, Muqoddimah Sistem Ekonomi Islam, (Bogor: al-Azhar Press, 2011),<br />
hal. 48<br />
16
ahwa ukuran benar dan salah itu muncul dari rasionalitas<br />
manusia. Menurut pendapat ini, manusia dengan akal dan<br />
rasionalitasnya bisa menemukan kebenaran hakiki. Dan<br />
pendapat kedua mengatakan bahwa kebenaran itu harus<br />
mengacu kepada ketentuan Sang Pencipta Alam. 27<br />
<strong>Etika</strong> bisnis yang selama ini kita kenal dalam dunia<br />
barat adalah hasil dari kontemplasi dan pemikiran rasio<br />
manusia. Sebagai sebuah realitas, maka hal ini menurut Islam<br />
tidak masalah. Jujur karena memang fakta kejujuran itu<br />
sendiri atau agar orang lain juga jujur kepadanya. Disiplin<br />
karena memang fakta dari kedisiplinan itu sendiri atau<br />
karena lingkungannya yang disiplin. Tetapi kemudian apakah<br />
etika yang demikian itu mendapatkan pahala disisi Allah SWT<br />
atau tidak? Inilah kemudian yang membedakan etika<br />
menurut Islam dan etika dalam kaca mata universal.<br />
Hendaknya bagi umat Islam menjalankan bisnisnya dengan<br />
etika Islam karena semata-mata perintah dan larangan dari<br />
Allah SWT. Dengan etika Islam, seorang muslim pelaku bisnis<br />
akan mempertimbangkan bisnisnya dengan halal atau haram,<br />
selain professional untuk mendapatkan profit, dia juga<br />
berbisinis semata-mata untuk mendapatkan pahala dari Allah<br />
SWT. Dalam hal ini ada kaidah perbuatan manusia yang harus<br />
terikat dengan hukum syara’ 28 yaitu:<br />
األصل في أفعال الناس التقيد باألحكام الشرعي<br />
Pada dasarnya setiap aktifitas manusia terikat dengan hukum<br />
syara’.<br />
27 Harahap, <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong> Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2011),<br />
hal. 7<br />
28 Abdullah, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah,<br />
2002), hal. 9<br />
17
Agama, dalam hal ini Islam sangat peduli dalam<br />
urusan etika bisnis sama pedulinya dengan syariat Islam yang<br />
lain seperti sholat, zakat, puasa, haji, jihad dan lain<br />
sebagainya. Disinilah kemudian penting melakukan<br />
pendekatan studi etika untuk menjadi rumusan yang baku<br />
agar peserta didik dan pelaku bisnis tidak mengamalkan<br />
konsep etika yang salah yang bisa menyesatkan perilaku<br />
bisnisnya. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah<br />
pendekatan fundamental radikal, yaitu proses internalisasi,<br />
koreksi, substitusi, adisi, dan fiksasi sebagaimana ditawarkan<br />
oleh STEI Hamfara seperti penjelasan di sub pembahasan<br />
berikut ini.<br />
18
BAB III<br />
PENDEKATAN FUNDAMENTAL RADIKAL<br />
Kegagalan ekonomi dengan paradigma kapitalisme<br />
membawa kesejahteraan sebagaimana yang dicita-citakan<br />
telah nyata tidak terbukti. 29 Hal ini berdampak pada krisis<br />
multidimensi terjadi di seluruh sektor kehidupan manusia;<br />
kemiskinan, kebodohan, kedzoliman, kemerosotan moral,<br />
ketidakadilan dan lain-lain melanda negeri ini. Kondisi diatas<br />
disebabkan oleh sistem sekuler yang diterapkan di negeri ini,<br />
akhirnya tatanan ekonominya bersifat kapitalistik, sistem<br />
politiknya oportunistik, pola pendidikannya materialistik,<br />
budaya hedonistik, tata sosial individualistik, dan kehidupan<br />
beragama sinkristik.<br />
Solusi fundamental bersifat radikal harus diambil<br />
dalam rangka<br />
menyelamatkan negeri<br />
ini pada seluruh aspek<br />
kehidupannya.<br />
Solusinya dengan<br />
menerapkan sistem<br />
kehidupan Islam,<br />
menerapkan tatanan<br />
berdasarkan syariah<br />
dalam bidang ekonomi,<br />
politik, pendidikan,<br />
budaya, tata sosial<br />
melalui lembagalembaga<br />
pelaku<br />
pendidikan yang ada,<br />
yaitu; keluarga,<br />
29 ------------, Buku Panduan Akademik STEI Hamfara, (2014), hal. 3<br />
19
sekolah dan masyarakat. 30 Keluarga, sekolah dan masyarakat<br />
secara bersama-sama memberikan perhatian yang serius<br />
terhadap etika yang berkembang di masyarakat agar tercipta<br />
tatanan kehidupan yang sesuai dengan syariah Islam. Jika<br />
demikian tadi dilakukan, maka negeri ini akan mendapatkan<br />
ridho dari Allah SWT dan sesuai dengan bunyi al-Qur’an<br />
sebagaimana terdapat dalam surat Saba’ (34:15) berikut ini:<br />
كلوا من رزق ربكم و اشكروا له بلدة طيبة و رب غفور<br />
Makanlah olehmu dari rizki Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-<br />
Nya, negerimu adalah negeri yang baik (nyaman), sedang<br />
(Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.<br />
Disinilah peran STEI Hamfara sebagai lembaga<br />
pendidikan tinggi, yaitu menyiapkan kurikulum yang<br />
paradigmatik, sistem pengajaran dan budaya kampus yang<br />
Islami, dosen yang professional berintegritas tinggi<br />
(bersyakhsiyyah Islamiyah) dan sarana prasarana yang<br />
memadai. Kurikulum yang paradigmatik dikembangkan<br />
seiring dengan gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan di<br />
negeri-negeri muslim bahkan juga di negara Barat.<br />
Diantaranya The International Institute of Islamic Thought<br />
(IIIT) di Virginia, Amerika Serikat telah banyak melakukan<br />
upaya untuk membuka wacana baru bagi perkembangan<br />
pemikiran ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam. 31<br />
Dua kelompok penentu standar kebenaran<br />
sebagaimana telah dijelaskan diatas bisa diterima<br />
pendapatnya. Pendapat pertama yang mengatakan bahwa<br />
standar kebenaran itu muncul dari rasionalitas manusia bisa<br />
30 Powerpoint “Menggagas Pendidikan Ekonomi Islam Hamfara” disampaikan oleh<br />
Ismail Yusanto pada acara parenting setiap mengawali tahun ajaran baru di STEI<br />
Hamfara.<br />
31 Yusanto, Menggagas <strong>Bisnis</strong> Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hal. 1<br />
20
digunakan untuk menentukan kebenaran-kebenaran yang<br />
sifatnya universal. Misalnya tentang ilmu ekonomi, seperti<br />
bagaimana memproduksi suatu barang tertentu, seperti ilmu<br />
manajemen sebagai tools untuk merencanakan agenda<br />
tertentu, dan lain-lain. Dalam hal ini kaum muslimin boleh<br />
mengambil dari bangsa mana saja, sebagaimana hadits<br />
riwayat Baihaqi dan Ibnu Adi, Rasulullah saw bersabda:<br />
“Tuntuntlah ilmu walau ke negeri China”. Adapun pendapat<br />
kedua yang mengatakan bahwa kebenaran itu harus<br />
mengacu kepada ketentuan Allah SWT dipakai untuk standar<br />
kebenaran yang bersifat keimanan dan hukum. Misalnya<br />
larangan menerapkan teori evolusinya Darwin yang<br />
mengatakan bahwa perkembangan manusia berawal dari<br />
hewan primata. Teori ini bertentangan dengan al-Qur’an<br />
surat Ali Imron (3: 59) yang berbunyi:<br />
مثل عيسى عند هللا كمثل آدم خلقه من تراب ثم قال له كن<br />
فيكون<br />
Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah<br />
seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah,<br />
kemudian berfirman kepadanya: Jadilah, maka jadilah dia.<br />
Dari sanalah kemudian peradaban Islam melahirkan<br />
ribuan ulama dan cendekiawan dalam setiap bidang<br />
kehidupan yang ada. Diantaranya Imam Syafi’i, selain pakar<br />
dalam hukum Islam juga seorang sastrawan yang ahli dalam<br />
kesehatan. Ibnu Kholdun pakar sosiologi dengan bukunya<br />
yang monumental “Mukaddimah” mengajarkan kita<br />
mengenai etika dan peradaban manusia. Abu Ishaq al-Kindi,<br />
ahli kedokteran, filsafat, olahraga, syair, ilmu mantik, bahkan<br />
juga ahli musik. Ada Ibnu Sina yang multi talenta, satu sisi dia<br />
menguasai ilmu al-Qur’an dan tsaqafah Islam pada sisi yang<br />
21
lain dia juga pakar dalam bidang kesehatan, matematika,<br />
syair, ilmu mantiq, dan filsafat. 32<br />
Bagaimana dengan Ismail Yusanto? Tentu tidak<br />
dalam rangka membandingkannya dengan ulama-ulama<br />
kaliber Imam Syafi’i diatas. Tetapi sebagai founding father<br />
sekaligus sebagai ketua STEI Hamfara sampai sekarang, patut<br />
menjadi catatan bagi peneliti mengenai beberapa<br />
pemikirannya dalam bidang ilmu pengetahuan. Misal<br />
bukunya yang berjudul “Islam Ideologi” diterbitkan oleh al-<br />
Izzah tahun 1998, “Membangun Kepribadian Islam”<br />
diterbitkan oleh Khoirul Bayan tahun 2002, “Menggagas<br />
<strong>Bisnis</strong> Islami” diterbitkan oleh Gema Insani Press tahun 2002,<br />
“Pengantar Manajemen Syariat” diterbitkan oleh Khoirul<br />
Bayan tahun 2002, “Manajemen Strategi Perspektif Syariah”<br />
diterbitkan oleh Khoirul Bayan tahun 2003, “Menggagas<br />
Pendidikan Islami” diterbitkan oleh al-Azhar Press tahun<br />
2004, dan buku-buku yang lain yang secara langsung maupun<br />
tidak langsung ada kaitannya dengan tema penelitian ini.<br />
Ismail Yusanto meletakkan dasar-dasar pendidikan di STEI<br />
Hamfara melalui buku-buku hasil pemikirannya sebagaimana<br />
diatas.<br />
Inspirasi STEI Hamfara, sebagaimana terdapat dalam<br />
buku panduan tahun 2014 adalah turut ambil bagian dalam<br />
mengembangkan dan mensosialisasikan ekonomi Islam<br />
dengan memberikan pengabdiannya yang excellence dalam<br />
bidang pendidikan tinggi. 33 Turut menjawab kebutuhan SDM<br />
yang berkualitas sebagai pelaku ekonomi yang memamhami<br />
dan mengamalkan etika bisnis Islam dalam kegiatan<br />
bermuamalah, kompeten dalam dunia bisnis, sekaligus<br />
matang dalam memahami konsep serta pengembangan ilmu<br />
ekonomi Islam. Disinilah kemudian STEI Hamfara berdiri<br />
32 Ibid, hal. 3<br />
33 ------------, Buku Panduan Akademik STEI Hamfara, (2014), hal. 3<br />
22
dengan mengusung kebenaran ilmu pengetahuan yang bisa<br />
diuji bahkan dihadapan publik.<br />
A. Kebenaran Ilmu<br />
Ismail Yusanto (2002: 4) dalam bukunya “Menggagas<br />
<strong>Bisnis</strong> Islami” menjelaskan secara mendalam tentang<br />
kebenaran dari realitas keilmuan yang terbagi menjadi tiga<br />
macam kebenaran: kebenaran imani (i’tiqadi), kebenaran<br />
syar’i dan kebenaran realitas (waqi’i). 34 Kebenaran i’tiqadi<br />
atau kebenaran imani menyangkut segala sesuatu yang<br />
menjadi bagian dari keimanan atau keyakinan seorang<br />
muslim yang bersifat pasti. Kebenaran ini bersifat mutlak<br />
karena bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits yang secara<br />
rasional bisa dibuktikan memang benar-benar merupakan<br />
firman Allah SWT. Karenanya, segala sesuatu yang<br />
diberitakan oleh kedua sumber tadi pasti benar adanya.<br />
Misalnya tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT,<br />
tentang hari kiamat yang akan tiba, adanya yaumul hisab,<br />
termasuk adanya surga dan neraka itu semua pasti benar<br />
adanya. Termasuk kebenaran i’tiqadi adalah bahwa syariat<br />
Islam diturunkan Allah SWT untuk mengatur hidup manusia<br />
pasti membawa rahmah bagi seluruh alam semesta, juga<br />
berita mengenai tujuan diciptakannya manusia untuk<br />
beribadah kepada Allah SWT, sebagaimana bunyi al-Qur’an<br />
surah adz-Dzuriyat (51: 56) berikut:<br />
و ما خلقت الجن و اإلنس إال ليعبدون<br />
Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah<br />
kepadaku.<br />
34 Yusanto, Menggagas <strong>Bisnis</strong> Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hal. 4<br />
23
Adapun kebenaran syar’i adalah kebenaran yang<br />
ditetapkan berdasarkan keputusan syariat. Bahwa syariat<br />
melarang mengkonsumsi minuman keras (khamr), larangan<br />
riba, larangan judi, larangan suap dan sebagainya itu<br />
merupakan kebenaran syar’i. Perintah untuk bekerja,<br />
perintah bersegera dalam menjalankan aturan-aturan Allah<br />
SWT, perintah jujur, larangan malas, dan lain sebagainya<br />
merupakan kebenaran syar’i.<br />
Adapun kebenaran realitas atau kebenaran waqi’i<br />
muncul dari ketetapan formula penginderaan atas fakta-fakta<br />
empiris terhadap segala sesuatu yang bisa diindera. Karena<br />
kebenaran ini lahir dari pengamatan inderawi maka sifatnya<br />
menjadi universal, setiap bangsa akan mempunyai standar<br />
yang sama terhadap kebenaran macam ketiga ini. Artinya,<br />
siapa pun yang mengamati suatu fakta tertentu, lepas dari<br />
latar belakang kebangsaan, agama, suku, ras maupun<br />
ideologi yang dianutnya pasti akan menghasilkan kesimpulan<br />
yang sama. Sehingga yang disebut benar pada jenis ketiga ini<br />
adalah siapa yang paling tepat dalam pengamatannya, atau<br />
paling tepat dalam memformulasikan pengamatannya, baik<br />
dalam bentuk kata-kata, secara grafis maupun secara<br />
matematis.<br />
Tabel berikut menjelaskan perbandingan kebenaran<br />
sains dan tsaqafah (antara tsaqafah Islam dengan tsaqafah<br />
selain Islam, misal sistem ekonomi kapitalisme, sosialisme<br />
dan sebagainya) dari sisi tiga macam kebenaran yang telah<br />
dijelaskan diatas, i’tiqadi, syar’i, dan waqi’i. 35<br />
35 Ibid, hal. 5<br />
24
Tsaqafah<br />
Kebenaran Sains Tsaqafah<br />
Islam<br />
Tsaqafah Selain<br />
Islam<br />
I’tiqadi - Pasti benar Pasti salah<br />
Syar’i - Pasti benar Pasti salah<br />
Waqi’i<br />
Bisa benar<br />
Bisa salah<br />
- -<br />
Tabel 3: Perbandingan kebenaran<br />
Kebenaran sains bersifat waqi’i. Nilainya bisa benar<br />
dan bisa salah tergantung pada kecermatan pengamatan dan<br />
kepandaian dalam memformulasikan dalam kata-kata atau<br />
dalam lambang-lambang matematika. Kebenran ini bersifat<br />
universal, artinya siapa saja dapat menemukan kebenaran<br />
waqi’i dari sains. Hanya saja untuk perkara-perkara sosial,<br />
seperti perilaku manusia yang kemudian melahirkan ilmu<br />
psikologi, atau interaksi manusia dalam suatu komunitas,<br />
hasil pengamatan seorang ilmuwan atau ahli tidaklah selalu<br />
benar, terkadang hal ini bisa berbenturan dengan kebenaran<br />
syar’i atau bahkan kebenaran i’tiqadi. Ketika rumusan dalam<br />
sains (sosial) berbenturan dengan akidah dan syariah maka<br />
rumusan itu harus dinyatakan salah, bagi seorang muslim<br />
tidak boleh untuk mengadopsinya. Misal, teori tentang<br />
lahirnya peraturan di tengah-tengah masyarakat yang<br />
menurut sebagian teori sosial merupakan kesepakatan sosial<br />
(masyarakat), mungkin benar untuk daerah tertentu tetapi<br />
tetap harus ditolak karena tidak sesuai dengan kebenaran<br />
i;tiqadi dan kebenaran syar’i. Dalam Islam, aturan-aturan di<br />
tengah-tengah masyarakat yang bersifat syar’i ditetapkan<br />
oleh Allah SWT, menurut akidah Islam, hanya Allah SWT<br />
sajalah yang berhak menetapkan aturan bagi kehidupan<br />
manusia.<br />
25
Contoh dalam dunia bisnis, misalkan seorang<br />
pimpinan perusahaan akan mengambil sebuah keputusan<br />
didasarkan dari kebenaran realitas hasil pengamatannya,<br />
berikut informasi-informasi yang didapat dari tim kerjanya.<br />
Dia bisa mengambil keputusan secara benar, namun tidak<br />
menutup kemungkinan juga bisa salah. Keputusan yang<br />
diambil bisa benar jika distorsi pengamatan terhadap<br />
faktanya dihilangkan, hanya saja hal ini tidak bisa menjamin<br />
100% benar. Sebagai contoh, proses mengambil keputusan<br />
untuk prediksi kecenderungan permintaan (demand) di<br />
masyarakat akan produk yang harus disediakan (supply) oleh<br />
perusahaannya. Kesalahan dalam mengambil contoh<br />
(sampling), asumsi, metode pengambilan keputusan,<br />
termasuk perhitungan kuantitatifnya akan memungkinkan<br />
terjadi kesalahan dalam menyimpulkan. Hal itu terjadi karena<br />
keterbatasan manusia dalam memahami fakta. Kesalahan<br />
dalam hal ini tidak berimplikasi dosa bagi pelakunya, selama<br />
tidak bersinggungan dengan kebenara i’tiqadi dan kebenaran<br />
syar’i. Artinya, kesalahan tersbut berkutat di ranah mubah<br />
saja, menyangkut pengamatan sebuah fakta.<br />
Sekalipun pengamatan fakta diyakini benar, namun<br />
bila tekhnis pengambilan keputusannya disandarkan pada<br />
mekanisme yang salah secara syar’i maka bisa menimbulkan<br />
kesalahan. Misalnya pengambilan keputusan dengan suara<br />
mayoritas untuk fakta pelacuran, pabrik minuman keras, riba<br />
dan lain sebagainya. Dengan mekanisme suara mayoritas<br />
memungkinkan terjadi pembolehan dalam hal-hal tersebut<br />
diatas, padahal jelas, secara syar’i perkara-perkara tersebut<br />
dilarang dalam Islam. Bahkan pada dataran tertentu bisa<br />
melanggar prinsip-prinsip kebenara i’tiqadi ketika pengambil<br />
keputusan tersebut mengingkari hak pembuat hukum<br />
hanyalah Allah SWT semata.<br />
26
Kasus-kasus seperti diatas sangat banyak terjadi di<br />
dunia bisnis. Mengingat sifat manusia yang rakus dan tamak<br />
terhadap harta, sekaligus kecintaannya terhadap kekayaan<br />
membuat lupa pada norma-norma atau etika-etika yang<br />
diajarkan agama akan membuat pelaku bisnis menghalalkan<br />
segala cara. Oleh karena itu, sebelum mahasiswa terjun<br />
kedunia bisnis nyata perlu dibekali ilmu etika bisnis dengan<br />
pendekatan fundamental radikal sebagaimana di STEI<br />
Hamfara.<br />
B. Fundamental Radikal STEI Hamfara<br />
Seorang muslim harusnya tidak begitu saja puas<br />
dengan kebenaran waqi’i yang dia dapat dari hasil<br />
pengamatannya. Bagi muslim, sebuah ilmu harusnya tidak<br />
dibiarkan saja benar dalam arti waqi’i namun hendaknya juga<br />
bisa menjamin benar secara syar’i dan i’tiqadi sehingga dia<br />
bisa tenteram (qana’ah) dalam menjalani kehidupannya.<br />
Untuk itu diperlukan sikap yang berani dalam melakukan<br />
sejumlah langkah agar ilmu pengetahuan yang dipelajari<br />
mengandung tiga kebenaran diatas sekaligus. Inilah<br />
semangat Islamisasi ilmu pengetahuan yang sering<br />
diwacanakan oleh kalangan intelektual muslim sebagaimana<br />
telah dijelaskan. Perlakuan ini dapat disebut sebagai<br />
pendekatan fundamental radikal. 36<br />
Pendekatan fundamental radikal di STEI Hamfara<br />
biasa disebut juga dengan pendekatan lima-i (5-i) karena<br />
setiap pendekatannya berakhir dengan huruf i. Pendekatan<br />
fundamental radikal ini mencakup lima langkah, sebagai<br />
berikut: (1). Internalisasi, yaitu melakukan proses<br />
internalisasi nilai-nilai Islam ke dalam materi-materi (dalam<br />
hal ini etika bisnis) sehingga sesuai dengan pemikiran,<br />
36 ------------, Buku Panduan Akademik STEI Hamfara, (2014), hal. 16<br />
27
pendapat dan hukum Islam. (2). Koreksi, yaitu melakukan<br />
koreksi terhadap materi-materi (dalam hal ini etika bisnis)<br />
yang bertentangan dengan pemikiran, pendapat dan hukum<br />
Islam. (3). Substitusi, yaitu melakukan penggantian terhadap<br />
materi-materi (dalam hal ini etika bisnis) yang tidak sesuai<br />
dengan pemikiran, pendapat dan hukum Islam. (4). Adisi,<br />
yaitu menambahkan beberapa sub materi baru (dalam hal ini<br />
etika bisnis) ke dalam materi yang sudah ada. (5). Fiksasi,<br />
yaitu pembakuan materi etika bisnis yang sudah ada.<br />
Dalam penelitian ini semua pendekatan dilakukan.<br />
Jika diurutkan berdasarkan banyaknya penggunaan<br />
pendekatan maka didapat pendekatan yang paling banyak<br />
adalah adisi (52%), kemudian internalisasi (25%), fiksasi<br />
(13%) dan koreksi-substitusi masing-masing 5%. Penerapan<br />
pendekatan fundamental radikal pada mata kuliah etika<br />
bisnis bisa dilihat dalam gambar 3 kerangka berfikir<br />
penelitian berikut ini:<br />
Adanya sejumlah penyimpangan ilmu etika bisnis<br />
secara syar’i membuatnya harus dilakukan koreksi. Hal ini<br />
agar materi-materi dalam etika bisnis sesuai dengan<br />
pemikiran, pendapat dan hukum Islam. Kemudian dilakukan<br />
28
internalisasi, yaitu proses memasukkan nilai-nilai Islam<br />
kedalam materi kuliah etika bisnis. Dengan dua pendekatan<br />
tadi diharapkan mata kuliah etika bisnis bebas dari virus atau<br />
penyakit ilmu pengetahuan yang pada awalnya berbasis<br />
sekuler menjadi berbasis Islam.<br />
Mata kuliah etika bisnis di STEI Hamfara diajarkan di<br />
semester ganjil tahun ketiga perkuliahan (semester 5)<br />
dengan kredit semester dua beban ( 2 SKS) sehingga<br />
disampaikan dalam dua belas kali pertemuan, masing-masing<br />
pertemuan disampaikan dalam batas waktu 140 menit.<br />
Karena itulah kemudian proses pendekatan fundamental<br />
radikal tidak diterapkan semuanya pada bahan-bahan<br />
perkuliahan etika bisnis, melainkan diterapkan pada faktorfaktor<br />
penting mata kuliah tersebut, misalnya pada sub bab<br />
definisi etika, dan lain-lain sebagaimana nanti dilaporkan<br />
dalam analisis etika bisnis dibawah ini.<br />
29
BAB IV<br />
ANALISIS ETIKA BISNIS<br />
Analisis etika bisnis dilakukan dalam rangka<br />
menyaring dan menyeleksi materi-materi kuliah etika bisnis<br />
yang ada di buku-buku etika bisnis di perpustakaan STEI<br />
Hamfara (empat buku yang sudah disebutkan di atas) agar<br />
pembelajaran di perkuliahan seperti yang diharapkan oleh<br />
founding father STEI Hamfara melalui pendekatan<br />
fundamental radikal. Analisis etika bisnis dilakukan juga<br />
dalam rangka menyusun materi-materi perkuliahan etika<br />
bisnis selama dua belas kali pertemuan selama satu semester<br />
ganjil (semester lima). Dengan demikian analisis etika bisnis<br />
dibatasi oleh administrasi akademik selama satu semester<br />
masa perkuliahan saja.<br />
Dalam menganalisis, penulis membagi materi etika<br />
bisnis yang ada di dalam buku-buku etika bisnis di atas<br />
menjadi empat bagian, sebagai berikut: Bagian Pertama:<br />
Pendahuluan; berisi tentang definisi etika, ruang lingkup<br />
kajian etika, antara etika dan akhlaq. Bagian Kedua: <strong>Etika</strong><br />
dan Aktifitas <strong>Bisnis</strong>; berisi tentang aktifitas bisnis muslim,<br />
motivasi dan nilai perbuatan manusia, pentingnya aqad<br />
dalam bisnis. Bagian Ketiga: <strong>Bisnis</strong> dan Tanggung Jawab<br />
Sosial; berisis tentang etika pelaku bisnis, tanggungjawab<br />
sosial, kerangka dasar etika bisnis Islam. Bagian Keempat:<br />
<strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong> Islam; berisi tentang etika produksi, etika<br />
distribusi dan pemasaran, etika konsumsi.<br />
Bagian Pertama: Pendahuluan; berisi tentang definisi<br />
etika, ruang lingkup kajian etika, antara etika dan akhlak.<br />
Analisis dilakukan dengan pendekatan internalisasi pada<br />
definisi etika menurut buku manuel. Sebelum diinternalisasi,<br />
definisi etika menurut Manuel adalah sebuah disiplin ilmu<br />
yang mendalami tentang standar moral individu dan standar<br />
30
moral masyarakat. Kemudian diinternalisasi dengan nilai-nilai<br />
Islam bahwa Islam memandang individu dengan masyarakat<br />
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah layaknya<br />
kesatuan anggota tubuh. Koreksi dilakukan untuk<br />
pembahasan ruang lingkup kajian etika, ruang lingkup kajian<br />
etika yang pada mulanya mengacu pada pembagian tiga<br />
cabang filsafat sebagai bangunan ilmu pengetahuan, yaitu:<br />
filsafat ilmu, filsafat seni dan filsafat moral kemudian<br />
dikoreksi dengan pembahasan ruang lingkup etika dalam<br />
Islam sesungguhnya menyatu dengan ajaran-ajaran Islam<br />
yang lain. 37<br />
Dalam ajaran Islam, aqidah Islam sebagai sumber (mashdar)<br />
ilmu pengetahuan yang darinya muncul etika (akhlaq) dari<br />
cabang-cabang pengetahuan, seperti ekonomi, sosial, politik,<br />
tekhnologi, hukum, dan lain-lain. Aqidah Islam juga sebagai<br />
standar (miqyas) ilmu pengetahuan yang dengan standar<br />
tersebut suatu ilmu pengetahuan boleh diambil dan<br />
37 Surajiyo, Ilmu Filsafat; Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hal. 88 -<br />
108<br />
31
diterapkan atau tidak boleh diambil dan tidak boleh<br />
diterapkan.<br />
Adapun kajian mengenai etika dan akhlaq cukup dengan<br />
pendekatan fiksasi, karena tidak ada penyimpangan yang<br />
terjadi yang menyalahi pemikiran, pendapat dan hukum<br />
Islam.<br />
Bagian Kedua: <strong>Etika</strong> dan Aktifitas <strong>Bisnis</strong>; berisi<br />
tentang aktifitas bisnis muslim, motivasi dan nilai perbuatan<br />
manusia, pentingnya aqad dalam bisnis. Analisis dilakukan<br />
dengan pendekatan adisi, yaitu menambahkan pembahasan<br />
tentang aktifitas bisnis muslim, bahwa aktifitas muslim dalam<br />
bisnis selain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya juga<br />
dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Dijelaskan<br />
macam-macam bisnis muslim, antara bekerja pada orang lain<br />
dengan bekerja pada dirinya sendiri. Jika bekerja pada orang<br />
lain, seseorang akan menjadi karyawan atau pegawai yang<br />
berhak mendapatkan gaji atau upah dari pekerjaan yang<br />
dilakukannya. Adapun bekerja pada dirinya sendiri, istilah<br />
lainnya adalah wirausaha maka dia tidak akan mendapatkan<br />
upah dari orang lain, karena dia bekerja untuk dirinya sendiri,<br />
baik di sektor produksi (barang dan jasa) maupun di sektor<br />
32
perdagangan. Bila berhasil dia akan untung, dan jika rugi<br />
akan ditanggung sendiri. Adisi juga dilakukan dengan<br />
menambahkan teori motivasi dan nilai perbuatan manusia<br />
serta pentingnya aqad dalam bisnis muslim.<br />
Bagian Ketiga: <strong>Bisnis</strong> dan Tanggungjawab Sosial;<br />
berisi tentang etika pelaku bisnis, tanggungjawab sosial,<br />
kerangka dasar etika bisnis Islam. <strong>Etika</strong> pelaku bisnis dirinci<br />
dalam tiga kategori, pelaku personal, pelaku perusahaan dan<br />
pelaku negara. Proses perincian ini sekaligus menggunakan<br />
analisa pendekatan substitusi untuk pembahasan individu<br />
dalam organisasi bisnis yang ada di buku kedua. Menurut<br />
Manuel pelaku bisnis hanya terdiri dari dua pihak, yaitu<br />
pegawai dan perusahaan saja. Padahal secara realitas bisa<br />
kita lihat bahwa pelaku bisnis itu meliputi tiga unsur:<br />
individu, perusahaan dan<br />
negara. Analisa dengan<br />
pendekatan kombinasi antara<br />
internalisasi dengan adisi<br />
diberlakukan untuk sub<br />
pembahasan tanggung jawab<br />
sosial. Adapun sub<br />
pembahasan kerangka dasar<br />
etika bisnis Islam diadisi dari<br />
buku ketiga, bukunya Harahap<br />
(2011: 73). Harahap<br />
menjelaskan kerangka teori<br />
etika Islam dengan menyatakan<br />
bahwa sumber tata nilai dalam Islam hanya satu saja, yaitu<br />
Allah SWT. Dia yang menciptakan alam semesta, manusia dan<br />
kehidupan. Dia memberikan petunjuk bagi manusia<br />
mengenai tata cara menjalani kehidupan ini agar selamat<br />
dengan menurunkan al-Qur’an dan mengutus Nabi<br />
Muhammad saw. Nabi Muhammad saw diutus untuk menjadi<br />
33
ahmat seluruh alam, diutus dalam rangka menyempurnakan<br />
akhlaq manusia. Nabi Muhammad saw membangun<br />
masyarakat Islam di Madinah, merumuskan aturan-aturan<br />
yang kemudian menjadi konsensus di masyarakat dan<br />
mempengaruhi perilaku individu anggota masyarakat.<br />
Sehingga anggota masyarakat Islam memiliki etika, akhlaq<br />
dan berperilaku sebagaimana layaknya konsesnsus yang<br />
berlaku di masyarakat Madinah pada waktu itu. Hal ini perlu<br />
adisi materi mengenai kondisi masyarakat sekarang, dimana<br />
konsensus yang berlaku adalah konsensus warisan penjajah<br />
Belanda. Pemikiran, perasaan dan aturan yang berlaku di<br />
masyarakat sekarang tidak mencerminkan etika Islam. Adisi<br />
dilakukan dengan memberikan gambaran masyarakat Islam<br />
serta pengaruhnya terhadap perilaku individu anggota<br />
masyarakat sampai kemudian individu-individu anggota<br />
masyarakat Islam tadi memiliki etika Islam.<br />
Bagian Keempat: <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong> Islam; berisi tentang<br />
etika produksi, etika distribusi dan pemasaran, etika<br />
konsumsi. Pada bagian ini analisa pendekatan lebih banyak<br />
menggunakan fiksasi, adisi dan internalisasi untuk buku<br />
ketiga, bukunya Harahap, mengingat tidak ada hal prinsip<br />
yang menyimpang dari pemikiran, pendapat dan hukum<br />
Islam. <strong>Etika</strong> produksi diadisi dengan kaidah mengenai<br />
kepemilikan dan pemanfaatan kepemilikan berupa barang<br />
dan jasa. Pada dasarnya seluruh harta kekayaan yang ada di<br />
muka bumi ini milik Allah SWT yang kemudian diserahkan<br />
kepada manusia untuk mengelolanya sebagaimana yang<br />
diperintahkan-Nya. Produksi barang dan jasa terikat pada<br />
kaedah mengenai barang dan jasa, yaitu kemubahan seluruh<br />
barang dan jasa kecuali adanya hukum yang<br />
mengharamkannya, misal: haramnya produksi minuman<br />
keras (khamr), haramnya jasa lokalisasi untuk perbuatan zina,<br />
mubahnya industri wisata alam, dan lain-lain dan lain-lain.<br />
34
Untuk etika distribusi dan pemasaran fiksasi pada<br />
pembahasan monopoli, oligopoli, persaingan sempurna dan<br />
sebagainya sebagaimana terdapat dalam buku kedua,<br />
bukunya Manuel. Adapun etika konsumsi lebih ditekankan<br />
pada etika perilaku konsumen dengan pendekatan adisi,<br />
dengan menambahkan materi tentang kaedah perbuatan<br />
manusia yang harus terikat dengan hukum syara’ yang lima:<br />
wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Wajib hukumnya<br />
seorang muslim mengkonsumsi barang-barang yang halal<br />
dan thoyyib, seperti: mengkonsumsi buah-buahan segar hasil<br />
tanaman sendiri atau beli dari toko buah. Haram bagi<br />
seorang muslim mengkonsumsi khamr, baik sedikit maupun<br />
banyak. Dan seterusnya.<br />
Proses analisis terhadap buku-buku etika bisnis<br />
dengan pendekatan fundamental radikal STEI Hamfara<br />
dicukupkan dengan empat bagian diatas. Analisis dengan<br />
pendekatan fundamental radikal akan berkembang seiring<br />
dengan berkembangnya materi-materi kuliah etika bisnis<br />
baik secara teori dari buku-buku yang tersedia di<br />
perpustakaan, maupun dari perkembangan bisnis di lapangan<br />
terutama yang dilakukan oleh individu atau perusahaanperusahan<br />
muslim. Dinamika analisis ini tidak akan<br />
mempengaruhi pendekatan yang ada, kecuali kebijakan STEI<br />
Hamfara yang kemudian tidak memberlakukan atau<br />
membekukan pendekatan fundamental radikal sebagai<br />
gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan yang digagasnya.<br />
35
BAB V<br />
PENUTUP<br />
Dalam penelitian ini telah ditemukan rumusan materi<br />
kuliah etika bisnis Islam yang akan menjadi bahan ajar pada<br />
semester ganjil (semester 5), khususnya tahun ajaran<br />
2015/2016. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang<br />
diharapkan oleh founding father STEI Hamfara karena<br />
pendekatan yang dilakukan peneliti adalah pendekatan yang<br />
menjadi kebijakan STEI Hamfara, yaitu pendekatan<br />
fundamental radikal. Beberapa catatan dalam penelitian ini<br />
perlu diperhatikan, diantaranya adalah keterbatasan waktu<br />
penelitian. Untuk penelitian materi etika, idealnya memakan<br />
waktu lama, paling tidak dugaan penulis membutuhkan<br />
waktu dua sampai tiga bulan, tetapi kenyataannya penelitian<br />
ini bisa dilaporkan dalam jangka waktu satu minggu selesai.<br />
Penelitian juga sengaja dibatasi hanya pada bukubuku<br />
materi etika bisnis yang ada di perpustakaan STEI<br />
Hamfara, mengingat dari buku-buku tersebutlah referensi<br />
materi etika bisnis diajarkan. Namun sebetulnya bisa saja dari<br />
buku-buku etika bisnis yang lain yang tentunya lebih banyak<br />
lagi tersedia di perpustakaan-perpustakaan umum atau di<br />
jurnal-jurnal ilmiah yang sudah terpublikasikan. Hanya karena<br />
mengingat kepentingan dari penelitian ini sajalah kemudian<br />
pembatasan itu diambil. Semoga ada peneliti lain atau pada<br />
kesempatan lain, penelitian ini bisa dilanjutkan dengan lebih<br />
sempurna lagi.<br />
36
DAFTAR PUSTAKA<br />
Abdullah, Muh. Husein, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam, Bogor:<br />
Pustaka Thariqul Izzah, 2002<br />
Abdurrahman, Hafidz, Muqoddimah Sistem Ekonomi Islam, Bogor: al-<br />
Azhar Press, 2011<br />
An-Nabhany, Taqyuddin, Peraturan Hidup Dalam Islam, Cet. Ke-8,<br />
Jakarta: HTI Press, 2011<br />
Anonim, Al-Qur’an dan Terjemah New Cordova, Cet. ke-1, Bandung:<br />
Syamil Qur’an, 2012<br />
______, Buku Panduan Akademik STEI Hamfara, Yogyakarta: 2014<br />
Bertens, K, Pengantar <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong>, Yogyakarta: Penerbit Kanisius,<br />
2013<br />
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi,<br />
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta; Kencana,<br />
tahun 2010<br />
Dwi Condro Triono, “Bahaya Ekonomi Neo-Liberal di Indoensia”, al-<br />
Wa’ie, No. 57 Tahun V Edisi 1-31 Mei 2005<br />
Harahap, Sofyan S. <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong> Dalam Perspektif Islam, Jakarta:<br />
Salemba Empat, 2011<br />
Laura P. Hartman & Joe Dasjardins, <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong>; Pengambilan<br />
Keputusan Untuk Integritas Pribadi dan Tanggung Jawab<br />
Sosial, Jakarta: Erlangga, 2011<br />
Manuel G. Velasquez, <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong>; Konsep Dan Kasus, Yogyakarta:<br />
Penerbit Andi, 2005<br />
Max Weber, <strong>Etika</strong> Protestan dan Semangat Kapitalisme, Surabaya:<br />
Pustaka Promethea, 2000<br />
Surajiyo, Ilmu Filsafat; Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi<br />
Aksara, 2012<br />
Yusanto, Muh. Ismail, Islam Ideologi, Bangil: al-Izzah, 1998<br />
_________________, Membangun Kepribadian Islam, Bogor: Khoirul<br />
Bayan, 2002<br />
_________________, Menggagas <strong>Bisnis</strong> Islami, Jakarta: Gema Insani<br />
Press, 2002<br />
_________________, Pengantar Manajemen Syariat, Bogor: Khoirul<br />
Bayan, 2002<br />
_________________, Manajemen Strategi Perspektif Syariah, Bogor:<br />
Khoirul Bayan, 2003<br />
_________________, Menggagas Pendidikan Islami, Bangil: al-Azhar<br />
Press, 2004<br />
37
LAMPIRAN<br />
Silabus Perkuliahan <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong> Islam<br />
Pertemuan sebelum Ujian Tengah Semester (UTS):<br />
6 x pertemuan:<br />
Bagian I : Pendahuluan<br />
1) Definisi <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong> Islam<br />
2) Ruang Lingkup Kajian <strong>Etika</strong><br />
3) Antara <strong>Etika</strong> dan Akhlaq<br />
Bagian II : <strong>Etika</strong> Dan Aktifitas <strong>Bisnis</strong><br />
4) Aktifitas <strong>Bisnis</strong> Muslim<br />
5) Motivasi Dan Nilai Perbuatan Manusia<br />
6) Pentingnya Aqad Dalam <strong>Bisnis</strong> Muslim<br />
Pertemuan sebelum Ujian Akhir Semester (UAS)<br />
6 x pertemuan:<br />
Bagian III: <strong>Bisnis</strong> Dan Tanggung Jawab Sosial<br />
7) <strong>Etika</strong> Pelaku <strong>Bisnis</strong><br />
8) Tanggung Jawab Sosial<br />
9) Kerangka Dasar <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong> Islam<br />
Bagian IV: <strong>Etika</strong> <strong>Bisnis</strong> Islam<br />
10) <strong>Etika</strong> Produksi<br />
11) <strong>Etika</strong> Distribusi dan Pemasaran<br />
12) <strong>Etika</strong> Konsumsi<br />
38