KELIRUMOLOGI KURIKULUM
Kelirumologi-Kurikulum-isi-buku
Kelirumologi-Kurikulum-isi-buku
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
<strong>KELIRUMOLOGI</strong> <strong>KURIKULUM</strong><br />
Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM<br />
<strong>KURIKULUM</strong> 2006 atau <strong>KURIKULUM</strong> 2013?
<strong>KELIRUMOLOGI</strong> <strong>KURIKULUM</strong><br />
Penulis<br />
Editor<br />
Perwajahan Isi<br />
Desain Sampul<br />
: Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM<br />
: Yoen<br />
: Simages<br />
: Simages<br />
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang<br />
Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh<br />
isi buku ini ke dalam bentuk apa pun, secara elektronis<br />
maupun mekanis, tanpa izin tertulis dari penerbit dan penulis.<br />
All Rights Reserved<br />
Diterbitkan oleh:<br />
Sibuku Media<br />
Alamat : Ngringinan, Palbapang, Kec. Bantul, Kab. Bantul, Yogyakarta.<br />
Hp. : 085643895795<br />
E-mail : penerbitsibuku@gmail.com<br />
Web : www.sibuku.com<br />
Katalog Dalam Terbitan (KDT)<br />
Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM, Kelirumologi Kurikulum; Editor: Yoen—<br />
Cetakan 1—Yogyakarta: Sibuku Media, 2015<br />
xii+ 194; 21 x 29 cm<br />
ISBN: 978-602-6814-02-9<br />
Cetakan 1, 2015
Pendidikan kita masih mengajarkan ketaatan pada kekuasaan,<br />
bukan pada nilai,<br />
serta tidak mengembangkan kreativitas.<br />
(Ignas Kleden)<br />
1
DAFTAR ISI<br />
KATA PENGANTAR (Telaah Kesalahan “Mind Set”) i 2<br />
PENDAHULUAN (Telaah Legalistik) 110<br />
BAB I FILOSOFI PENDIDIKAN (Telaah Filosofis) 39<br />
BAB II PENDIDIKAN vs PERSEKOLAHAN (Kebijakan vs Tehnik<br />
Implementasi) (Telaah Paedagogis) 72 67<br />
BAB III DUALISME PRANATA (Telaah Sosiologis) 93 81<br />
BAB IV <strong>KURIKULUM</strong> vs KOMPETENSI (Telaah Etimologis) 102 118<br />
BAB V KOMPETENSI vs PENILAIAN (Telaah Metodik) 113 137<br />
BAB VI <strong>KURIKULUM</strong> vs PENGAJARAN (Telaah Didaktis) 123 149<br />
PENUTUP (Telaah Demokratisasi Pendidikan) 143 180<br />
KILAS BALIK (Telaah Sejarah Pendidikan) 144 181<br />
KESIMPULAN 148 186<br />
DAFTAR PUSTAKA 150 189<br />
10
KATA PENGANTAR<br />
Ada beberapa kekeliruan yang mendasar : Pertama, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan<br />
(KTSP) secara harafiah berarti kurikulum tingkat sekolah sehingga sejalan dengan arti harafiahnya,<br />
kurikulum setiap sekolah akan berbeda sesuai dengan Visi dan Misi sekolah masing-masing. Hal ini<br />
sudah lama dipraktekkan di Perguruan Tinggi dan di sekolah-sekolah internasional di Indonesia.<br />
Sama-sama belajar iptek dan terakreditasi A, tapi kurikulum ITB akan berbeda dengan kurikulum<br />
ITS sehingga masyarakat mempunyai alternatif pilihan untuk masa depan putra putrinya. Sama-sama<br />
sekolah internasional yang terakreditasi secara internasional, tetapi segera nampak bedanya antara<br />
Binus International School di Simpruk, Jakarta (yang menggunakan Kurikulum IB), dan Gandhi<br />
Memorial School di Kemayoran, Jakarta, (yang menggunakan Kurikulum Cambridge), bukan saja<br />
karena kurikulum masing-masing sekolah itu berbeda, tetapi yang lebih dapat ditonjolkan adalah<br />
sekolah-sekolah tersebut dapat menentukan ciri khasnya sendiri berdasar model kurikulum yang<br />
dipilihnya, sehingga Visi dan Misi dapat dirumuskan sesuai kondisi sekolahnya.<br />
Dalam perbedaan itu, selalu ada sesuatu hal yang sama sehingga dengan cepat kita dapat<br />
menyatakan bahwa suatu institusi termasuk dalam institut teknologi atau bukan, atau suatu lembaga<br />
dapat disebut SMA atau bukan. Sudah tentu tidak dilihat dari papan namanya, tapi dari benang<br />
merah persamaan dasariahnya. Kemampuan dasar tentang apa yang minimal harus dikuasai seorang<br />
siswa atau mahasiswa itu sama (dengan kata lain, Standar Pelayanan Minimalnya sama (SPM-nya<br />
sama), tetapi masing-masing sekolah atau perguruan tinggi mencari keunggulan lokalnya sendiri,<br />
yang akan menjadi ciri khasnya (brand image). SPM dalam bidang engineering di ITB dan ITS itu<br />
sama, tetapi masing-masing perguruan tinggi akan menonjolkan keunggulan lokalnya masingmasing.<br />
SPM Binus International School dan Gandhi Memorial School sama, yaitu penguasaan<br />
dasar-dasar pengetahuan (foundation) atau pemahaman ilmu-ilmu dasar, sebagai bekal agar siswa<br />
dapat mengikuti kuliah dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan akademik di perguruan<br />
tinggi, namun masing-masing sekolah akan unjuk keunggulan lokalnya yang menjadi ciri khas dan<br />
jati diri sekolahnya. Dengan kata lain, yang “dijual” oleh perguruan tinggi dan sekolah adalah<br />
kurikulum yang diusung dengan keunggulan lokal pada model evaluasinya (yang menentukan<br />
kualitas lulusannya), serta SDM yang mengampu kurikulum itu. Hal inilah yang membentuk budaya<br />
ilmiah di perguruan tinggi atau budaya pembelajar di sekolah. Budaya pembelajar sekolah Taman<br />
Siswa : ing ngarso sung tulodo (emong), ing madya mbangun karsa (among), tut wuri handayani<br />
(pamong), (di depan memberi teladan (tuntun), di tengah menyemangati (bimbing), dan memberi<br />
dorongan dari belakang (dukung), akan sangat berbeda dengan budaya pembelajar SMA Seminari St<br />
2<br />
i
Petrus Canisius Mertoyudan, Magelang : sanctitas (kesucian), sanitas (sehat), dan scientia<br />
(pengetahuan).<br />
Dengan analogi itu, sesungguhnya KTSP mengusung semboyan Bhineka Tunggal Ika (unity<br />
in diversity). Jadi seharusnya tidak ada kurikulum tunggal dan seragam secara nasional, karena<br />
hal itu berarti Kemdikbud menjadi inisiator, implementor dan eksekutor serta regulator pendidikan,<br />
bahkan sampai menjadi evaluator keberhasilan proyek launching kurikulum baru, suatu hal yang<br />
melanggar sepuluh prinsip good governance dan menyalahi semangat debirokratisasi dan deregulasi<br />
yang digaungkan oleh pemerintah sendiri melalui Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009.<br />
Yang selalu dikuatirkan oleh para birokrat Kemdikbud adalah : “Apa tidak menjadi terlalu<br />
liberal?” Tidak, sebab :<br />
(1) Pertanyaan itu sebenarnya tidak relevan lagi diajukan sejak pemerintah mengeluarkan PP<br />
No.77 Tahun 2007 yang mengijinkan pemodal asing (PMA) berinvestasi di sektor pendidikan<br />
(pemerintah sudah lama membuka pintu bagi liberalisasi pendidikan).<br />
(2) Kurikulum selalu menganut azas kebhinekaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 ayat 2<br />
UU Sisdiknas tentang diversifikasi kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi sekolahnya,<br />
potensi daerahnya dan keadaan siswanya.<br />
Sedangkan kewajiban pemerintah (yang mencerminkan azas keikaan) sudah dirumuskan dalam Pasal<br />
38 ayat 1 UU Sisdiknas : pemerintah hanya merumuskan kerangka dasar dan struktur kurikulum.<br />
Kita semua pernah mengalami penerapan Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas ini, yaitu pada Kurikulum<br />
1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, dan Kurikulum 1994 : kurikulum setiap sekolah berbeda<br />
sesuai dengan Visi dan Misi sekolah masing-masing, sehingga ciri khas sekolahnya akan nampak<br />
jelas, Kurikulum Sekolah Taman Siswa akan berbeda dengan Kurikulum Sekolah Muhammadiyah,<br />
bahkan kurikulum antar sekolah negeripun bisa berbeda. Akibatnya, para guru terasah untuk<br />
berlomba-lomba menggali keunggulan lokal sekolah masing-masing sehingga mau tidak mau,<br />
kompetensi (kemampuan) gurunya akan terbaca oleh masyarakat. Keunggulan sekolahnya adalah<br />
pembeda yang menjadi ciri khas sekolah tersebut. Apa akibatnya? Para guru akan terpacu untuk<br />
menyusun kurikulum sampai ke tingkat HOT (Higher Order of Thinking). Kualitas pendidikan<br />
meningkat dan Ujian Nasional (EBTANAS) hanya dipandang sebagai salah satu bentuk tes biasa<br />
saja. Tidak ada istiqosah atau “pengarahan” menjelang pelaksanaan Ujian Nasional (EBTANAS)<br />
saat itu. Ijazah sekolah kita diakui di luar negeri (siswa tidak perlu menempuh kelas persiapan<br />
(foundation) di pre-university. Malaysiapun pernah meminta guru-guru dari Indonesia untuk<br />
mengajar di berbagai sekolah di sana.<br />
Situasi mulai berubah ketika ada upaya untuk menyeragamkan kurikulum di tingkat nasional<br />
seiring dengan wacana digulirkannya dana 20% dari APBN untuk pendidikan pada sidang-sidang<br />
ii<br />
3
MPR tahun 2000. Pertanyaannya adalah : “untuk apa anggaran yang begitu besar itu?”, “bagaimana<br />
kalau anggaran itu tidak terserap habis, bukankah kinerja kementerian dinilai dari banyaknya<br />
program yang mencerap anggaran itu?”. Sehingga solusinya adalah pelaksanaan “program yang<br />
konsumtif” (sekedar menghabiskan anggaran), seperti acara bagi-bagi uang melalui program<br />
sertifikasi guru yang tidak terkait dengan profesionalitas guru, pemberlakuan UN dan<br />
peluncuran kurikulum baru, karena ketiga program ini pasti meliputi banyak proyek yang akan<br />
mencerap anggaran sangat besar, sekali tepuk dapat beberapa lalat, mulai dari diklat sertifikasi untuk<br />
jutaan guru, biaya UN : pencetakan jutaan lembar soal dan pendistribusiannya ke seluruh Indonesia,<br />
sampai biaya peluncuran kurikulum baru : proyek pelatihan guru secara massal, proyek pencetakan<br />
buku baru dan anggaran untuk proyek monitoring bagi para Pengawas di daerah serta pencetakan<br />
ijazah/rapor baru. Mulai saat itu dicanangkanlah program sertifikasi guru yang tidak terkait dengan<br />
uji kompetensi guru (UKG) dan kinerja guru, pemberlakuan Ujian Nasional sebagai satu-satunya<br />
penentu kelulusan, dan peluncuran kurikulum baru, seperti Kurikulum 2004 (KBK), yang dikoreksi<br />
melalui Kurikulum 2006, KTSP Bimtek (2008), lalu makin nampak instruksional pada tahun 2013<br />
(Kurikulum 2013). Akibatnya segera terasa, pendidikan yang diproyekkan menyebabkan kualitas<br />
pendidikan kita makin merosot, yang tercermin dari makin rendahnya score para siswa kita dalam<br />
pemahaman IPA dan Matematika pada TIMSS (Trends in International Mathematics and Science<br />
Study), rendahnya score pengetahuan umum dan kemampuan bernalar siswa kita dalam PISA<br />
(Programme in International Students Assessment), serta rendahnya score siswa kita dalam<br />
kemahiran membaca apa yang tersirat melalui test PIRL (Progress in International Reading<br />
Literature) (Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bab I A No. 2 b, yang dicabut dalam<br />
Permendikbud No. 57 Tahun 2014, tapi anehnya isinya persis sama (copy paste) dengan Lampiran<br />
Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bab I A No. 2 b. Jadi pencabutan permendikbud ini hanya untuk<br />
melegalkan pembuatan silabus oleh pemerintah dan memangkas kewenangan guru sebagaimana<br />
tercantum dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen)<br />
Kekeliruan kedua, Kurikulum 2006 (KTSP awal) sering disamakan dengan KTSP Bimtek<br />
(2008), padahal konsepnya berbeda. Kurikulum 2006 (KTSP awal) mengacu pada Pasal 36 ayat 2<br />
UU Sisdiknas, dan Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 yang menjunjung azas diversifikasi kurikulum,<br />
disesuaikan dengan potensi daerah, kondisi sekolah dan keadaan siswanya. Oleh sebab itu, para<br />
guru harus menyusun kurikulumnya sendiri, sesuai dengan amanat Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan<br />
Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, yang diperkuat dengan ketentuan turunannya pada Pasal 20<br />
PP No. 19 Tahun 2005 (Rincian isi pasal-pasal itu dapat dilihat pada Catatan kaki No. 2 tentang dasar<br />
hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan). Dengan kata lain, Kurikulum 2006 (KTSP awal)<br />
mengusung semangat otonomi guru dan otonomi sekolah. Sedangkan KTSP Bimtek (KTSP<br />
4<br />
iii
Bimbingan Teknis (2008) yang muncul setelah portofolio guru tidak lagi digunakan dalam proses<br />
sertifikasi guru, adalah kurikulum hasil pelatihan guru yang seragam dalam Diklat sertifikasi guru.<br />
Diklat sertifikasi guru ini juga tidak menyertakan LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan) dan<br />
PPPG (Pusat Pengembangan dan Penataran Guru) atau PPPPTK (Pusat Pengembangan dan<br />
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) atau Kepala Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan<br />
yang ada di daerah (semua sudah ditentukan dari pusat, bahkan penatarpun ditunjuk dari pusat),<br />
sehingga sifat penyeragaman kurikulum ini makin menonjol. Jadi KTSP Bimtek (2008) adalah<br />
kurikulum tunggal dan seragam secara nasional yang menunjukkan hegemoni pemerintah, yang<br />
dikemudian hari juga dipakai sebagai acuan dalam akreditasi sekolah. Di DKI Jakarta,<br />
penyeragaman kurikulum ini terlihat melalui program SAS (Sistim Administrasi Sekolah) dan SIP<br />
(Sistim Informasi Pendidikan) yang menjadi wahana untuk mengontrol dan “mengendalikan”<br />
sekolah secara ketat sehingga semua sekolah di DKI Jakarta (termasuk mantan sekolah RSBI)<br />
kehilangan daya saingnya menghadapi sekolah-sekolah internasional yang makin menjamur.<br />
Para Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran 1 membuat semuanya berjalan makin paralel<br />
dan seragam, tidak boleh melenceng sedikitpun dari ketentuan yang sudah digariskan oleh<br />
Kemdikbud, dengan demikian ciri khas sekolah menjadi hilang. Visi dan Misi sekolah hanya menjadi<br />
slogan dan hiasan dinding saja. Dengan kata lain, KTSP Bimtek (2008) telah menafsirkan kata<br />
“bimbingan teknis” itu menjadi kata “wajib dibimbing”. Inilah saat hegemoni pemerintah mulai<br />
merasuki dunia pendidikan kita, lengkap dengan UN sebagai penentu kelulusan dan para pengawal<br />
hegemoni itu, yaitu para Pengawas (Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran) (Lihat<br />
Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b).<br />
Kekeliruan ketiga adalah menganggap Kurikulum 2013 sebagai perbaikan dari Kurikulum<br />
2006 (KTSP awal), padahal Kurikulum 2013 secara sengaja menghapus frasa penting dari Pasal 20<br />
PP No.19 tahun 2005 : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus, rencana pelaksanaan<br />
pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode<br />
pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”; Pasal yang menunjuk pada<br />
profesionalitas guru ini diubah menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 :<br />
“Perencanaan pembelajaran merupakan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)<br />
untuk setiap muatan pembelajaran”.<br />
1<br />
Jabatan Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran ini tidak tercantum dalam UU No. 14 Tahun 2015 tentang<br />
Guru dan Dosen (artinya guru dan dosen tidak perlu diawasi/otonom). Guru dan dosen itu otonom sesuai amanat<br />
Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen. Bahkan kalau mengacu pada Pasal 19 ayat 3<br />
PP No. 19 Tahun 2005 yang tidak diubah dalam Pasal 19 ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 : fungsi pengawasan itu melekat<br />
pada tugas profesional guru (Menurut PP ini, Kurikulum 2013 seharusnya tidak mengenal adanya jabatan Pengawas)<br />
Pada Pasal 10 UU Sisdiknas : pengawasan itu bukan diartikan sebagai watch dog, tetapi sebagai capacity building<br />
(membimbing dan membantu) komunitas guru. Pengawas sebagai watch dog baru muncul pada Lampiran<br />
Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b. (Pengawas menjadi eksekutor, regulator dan evaluator pendidikan)<br />
5<br />
iv
Jadi nampak jelas bahwa Kurikulum 2013 memangkas kewenangan guru dalam menyusun<br />
silabus, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar dan penilaian hasil belajar, dan<br />
mengerdilkannya menjadi hanya menyusun RPP saja. Guru diturunkan martabatnya menjadi<br />
hanya sekedar tukang mengajar dan petugas administrasi pengajaran. Fungsi pendidik<br />
profesional sebagaimana dituntut dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU<br />
Guru dan Dosen menjadi sumir. Proses panjang monitoring proses belajar dan penilaian hasil belajar<br />
menjadi tidak berarti, karena test sesaat (UN) adalah penentu kelulusan, lalu sekarang ditambah<br />
dengan menghilangkan kemampuan guru untuk menyusun Silabus, diktat (bahan ajar/materi/sumber<br />
belajar) dan menilai hasil belajar tidak menurut situasi dan kondisi sekolahnya. Sejak awal, “proyek<br />
besar penyerapan anggaran” dalam bentuk Kurikulum 2013 didisain untuk penyerapan anggaran<br />
sebesar-besarnya (untuk menghabiskan dana 20% dari APBN yang dialokasikan untuk pendidikan)<br />
melalui (1) pelaksanaan sertifikasi guru secara massal yang abai pada kinerja guru, (2) pemberlakuan<br />
UN dan (3) launching kurikulum baru (pelatihan guru secara massal untuk aplikasi kurikulum baru,<br />
dropping silabus, membuat buku ajar bagi siswa (karena materi ajar/sumber belajar sekarang<br />
ditentukan oleh Kemdikbud), menyosialisasikan metode baru (metode 5 M) dan membuat buku<br />
pegangan guru (menentukan buku panduan proses pembelajaran di kelas), serta merumuskan sistim<br />
penilaian yang berkali-kali diubah itu (tanpa penjelasan yang memadai kenapa program penilaian itu<br />
diubah lagi). Dengan demikian, Kemdikbud mempunyai legitimasi untuk meluncurkan program<br />
sinterklas sertifikasi guru, evaluasi tunggal bersama (UN) dan menyosialisasikan kurikulum baru<br />
yang seragam dan sama secara nasional, mengabaikan fungsi LPMP dan PPPG/PPPPTK atau Kepala<br />
Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan setempat, serta mengabaikan ketentuan Pasal 36 ayat 2 UU<br />
Sisdiknas serta Pasal 17 PP No. 19 tahun 2005, oleh sebab itu secara jelas memotong kewenangan<br />
guru, yang disebut dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas, Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, dan<br />
Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 (Rincian isi pasal-pasal ini dapat dilihat pada Catatan kaki No. 2<br />
tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan)<br />
Kewenangan LPMP juga dipangkas menjadi sekedar pengawas EDS (Evaluasi Diri Sekolah)<br />
: pemerhati administratif yang tidak mempunyai otoritas seperti Pengawas, dan fungsi supervisi<br />
akademik LPMP digantikan oleh Pengawas Mata Pelajaran, sedangkan fungsi supervisi manajerial<br />
LPMP digantikan oleh Pengawas Sekolah (lihat Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab<br />
VI No. 2 : Sistim dan Entitas Pengawasan).<br />
Pelatihan guru yang seragam secara nasional yang dilengkapi dengan dropping buku ajar<br />
siswa, buku pegangan guru, metode yang seragam dan program penilaian yang salah, lalu diubah<br />
berkali-kali itu, sebenarnya melanggar dasar hukum dari Kurikulum 2013 itu sendiri, yaitu PP<br />
No. 32 Tahun 2013. Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013 : Kurikulum Tingkat Satuan<br />
6<br />
v
Pendidikan merupakan Kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masingmasing<br />
satuan pendidikan. Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : : Kurikulum Tingkat Satuan<br />
Pendidikan ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan<br />
Pengerdilan Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 serta<br />
pengabaian Pasal 77 M PP No.32 Tahun 2013 ini secara kasat mata merupakan proyek<br />
penghamburan uang rakyat demi penyerapan anggaran, yang mencoba mengaburkan apa yang sudah<br />
ditanam pada Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Bukan saja<br />
mempertaruhkan kualitas pendidikan Indonesia di masa lalu yang sudah diakui di luar negeri, tetapi<br />
juga menjauhkan kita dari tujuan pendidikan nasional yang telah dirumuskan dalam Pembukaan<br />
UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, yang dijabarkan dalam Pasal 3 UU Sisdiknas<br />
(Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta<br />
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa). Jadi, jelas<br />
bukan untuk meningkatkan kompetensi orang per orang, seperti yang diusung oleh KBK (2004) dan<br />
Kurikulum 2013 (Lihat Lampiran Permendikbud No 67 Tahun 2013 II B Landasan Teoritis :<br />
Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (competency-based curriculum) yang dicabut<br />
dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 tapi ajaibnya, isinya persis sama (copy paste) dengan<br />
Lampiran Permendikbud No. 57 Tahun 2014 Bab II D Landasan Teoritis (Catatan * : Permendikbud<br />
No. 67 Tahun 2013 ini diulang pada Permendikbud No.68, No.69 Tahun 2013 tergantung pada unit<br />
sekolahnya (SD, SMP, atau SMA/SMK) dan dicabut (sebenarnya diperbarui (di copy paste) dalam<br />
Permendikbud No.57 Tahun 2014, yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59 dan No.60<br />
tergantung pada unit sekolahnya (isi Permendikbud itu sama, kecuali bagian yang melegalkan<br />
pembuatan Silabus oleh Kemdikbud dan pemangkasan hak mendidik guru menjadi hanya sekedar<br />
hak mengajar dan petugas administrasi sekolah, pemangkasan hak yang sebelumnya merupakan<br />
wewenang dan hak kewajiban guru (lihat Catatan kaki No.2 di Bab Pendahuluan).<br />
Jadi Kurikulum 2013 itu tidak lain adalah pengembangan KBK. Padahal Kurikulum<br />
2004 (KBK) itu sudah diganti menjadi Kurikulum 2006 (KTSP awal) karena adanya problematik<br />
pengukuran kompetensi (kemampuan) siswa. Jadi problematik pengukuran kompetensi<br />
(kemampuan) siswa atau problem sistim penilaian, pasti akan berulang pada Kurikulum 2013.<br />
Maka tidak heran kalau sampai saat ini, Kemdikbud tidak berani mencetak buku rapor (LHB) untuk<br />
Kurikulum 2013 dan terlambat mencetak ijazah, sesuatu yang belum pernah terjadi selama 70 tahun<br />
Indonesia merdeka.<br />
Kurikulum 2006 (KTSP awal) mewajibkan para guru untuk bisa membuat kurikulumnya sendiri,<br />
termasuk mampu melaksanakan evaluasi hasil belajar sendiri, seperti pada kurikulum-kurikulum<br />
sebelumnya. Namun kalau guru mahir dalam penyusunan kurikulum dan evaluasi hasil belajar,<br />
vi<br />
7
pemerintah akan kehilangan “proyek penyerapan anggaran 20% dari APBN” melalui (1) program<br />
bagi-bagi uang lewat sertifikasi guru yang tak terkait uji kompetensi guru dan tanpa check & recheck<br />
kinerja guru, (2) pemberlakuan UN, (3) launching kurikulum baru melalui pelatihan guru, pembuatan<br />
buku ajar (materi ajar/sumber belajar) dan penentuan buku pegangan guru (buku panduan proses<br />
pembelajaran di kelas). Maka Kemdikbud kemudian memilih tetap melanjutkan acara tebar uang<br />
untuk guru, melestarikan UN dan meluncurkan KTSP Bimtek di tahun 2008, yang berlanjut pada<br />
Kurikulum 2013, demi pencitraan kinerja kementerian melalui kecepatan penyerapan anggaran.<br />
Seperti biasa, Kemdikbud mengabaikan begitu banyak kritik dari para pakar pendidikan yang banyak<br />
dimuat di media massa dan melupakan sejarah panjang dunia pendidikan kita, seolah-olah semuanya<br />
dimulai lagi dari nol.<br />
Kekeliruan keempat adalah memaksakan melanjutkan penerapan Kurikulum 2013<br />
meskipun rezim telah berganti, pemaksaan dengan ancaman sanksi ini melupakan :<br />
- Isi Surat Edaran Mendikbud No.179342/MPK/KR/2014 tertanggal 5 Desember 2014 dan isi<br />
Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No.160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014<br />
yang mengijinkan permberlakuan kembali Kurikulum 2006, dan mengabaikan dasar hukum<br />
Kurikulum 2013 sendiri yaitu Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013<br />
- Isi dari Nawa Cita No.8 : pemerintah akan menata kembali kurikulum pendidikan nasional<br />
(bukan melanjutkan kurikulum 2013 yang mengandung banyak kesalahan) yang terbukti<br />
menyebabkan pendidikan kita makin merosot (lihat hasil survey berbagai lembaga<br />
internasional tentang rendahnya kualitas pendidikan RI di bagian akhir dari Bab Pendahuluan<br />
- Pemaksaan pemberlakuan Kurikulum 2013 ini melanggar prinsip kebebasan mimbar<br />
akademik yang dijunjung dalam Pasal 39 ayat 3 UU No.14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen)<br />
: guru harus bebas dari ancaman, intimidasi dan perlakuan tidak adil dari birokrasi, yang<br />
dirinci pada Pasal 14 ayat 1 butir (c ) dan butir (g), serta Pasal 7 butir (h) UU Guru dan Dosen<br />
Kekeliruan kelima adalah menganggap apapun kurikulumnya pasti compatible dengan SKS<br />
(sistim kredit semester), padahal penerapan SKS memerlukan kemampuan (kompetensi) guru dalam<br />
penyusunan diktat, LKS, dan modul, serta monitoring proses belajar + evaluasi hasil belajar, yang<br />
dilengkapi dengan keahlian guru dalam menyusun program pengayaan, sehingga program<br />
prerequisite pengambilan angka kredit pada IP tertentu, dapat berjalan secara simultan. Misalnya<br />
untuk belajar statistika, prerequisitenya : para siswa harus sudah diajar tentang parabola, sehingga<br />
para guru tidak perlu menerangkan dari awal tentang pengertian kurva normal dan statistika tidak<br />
hanya dipandang sebagai sekumpulan rumus-rumus belaka. Guru Biologi yang ingin menerangkan<br />
tentang membran sel, harus yakin bahwa difusi dan osmose sudah diajarkan di Fisika. Dengan kata<br />
lain, penerapan analisis vertikal dan analisis horizontal pada Analisis Kurikulum harus sahih (valid).<br />
8<br />
vii
Jelas sekali hal ini tidak mungkin dicapai bila profesionalitas guru dipangkas pada Kurikulum 2013<br />
melalui Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 (guru hanya menyusun RPP saja). Bisa-bisa yang muncul<br />
adalah penerapan paket SKS (bukan penerapan sistim baku SKS) yang tidak lain adalah penerapan<br />
kelas akselerasi yang sudah banyak diterapkan di berbagai sekolah unggulan atau sekolah-sekolah<br />
mantan RSBI dulu.<br />
Kekeliruan keenam adalah upaya Kemdikbud untuk membendung arus globalisasi dan<br />
liberalisasi pendidikan. Karena Kemdikbud abai pada amanat Perpres No. 77 Tahun 2007 dimana<br />
sektor pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi modal asing (PMA) dan ketentuan Pasal 5<br />
Permendikbud No. 158 Tahun 2014 : sekolah yang terakreditasi A, dapat menerapkan SKS (sistim<br />
kredit semester). (Bukan penerapan paket SKS, tetapi penerapan sistim baru yaitu SKS).<br />
Tanpa melihat konteksnya dengan WTO (World Trade Organization) dan ACMW (ASEAN<br />
Committee on Migrant Workers), Kemdikbud mencoba melakukan pembatasan arus masuk modal<br />
asing dan lalu lintas SDM asing itu melalui Permendikbud No. 31 Tahun 2014, sesuatu yang absurd<br />
ditengah arus globalisasi dan liberalisasi pendidikan yang sudah kita ratifikasi dalam AFTA 2015<br />
dan APEC 2020. Apalagi ide pembatasan arus lalu lintas SDM asing itu hendak dijabarkan melalui<br />
“pengakuan sertifikasi keahlian tenaga kerja” yang bisa menjadi bumerang bagi tenaga kerja kita<br />
sendiri yang kebanyakan unwell-educated dan unskilled labour (lihat score siswa kita dalam TIMSS,<br />
PISA dan PIRL yang tak kunjung membaik). Kenapa? Karena sesuai dengan perjanjian WTO,<br />
AFTA dan APEC, suatu keputusan itu selalu bersifat resiprokal (negara lain berhak melakukan dan<br />
menerapkan peraturan yang sama). Negara lain bisa menuntut sertifikasi keahlian dari TKI/TKW<br />
kita yang akan bekerja di luar negeri, seperti yang kita tuntut.<br />
Maka tak ada jalan lain, dunia pendidikan kita harus mengadopsi e-learning melalui Disain<br />
Kurikulum Digital dan TQM (Total Quality Management) agar dapat memenuhi standar ISO<br />
9001:2008 sehingga kita dapat menjalankan amanat Pasal 3 UU Sisdiknas dan Pasal 5 Permendikbud<br />
No. 158 Tahun 2014. Dengan demikian, kita mewujudkan komitmen kita dalam bersaing secara<br />
kreatif pada era global saat ini.<br />
Harapannya agar pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat menjamin<br />
terselenggarakannya pendidikan yang bermutu, sesuai amanat Pasal 3 dan Pasal 11 UU Sisdiknas,<br />
sehingga dapat menjadi rujukan bagi negara-negara lain seperti yang sudah pernah terjadi dimasa<br />
lalu, dan para diplomat kita dan tenaga kerja migran kita sudi mengirim kembali anak-anaknya<br />
bersekolah di Sekolah Indonesia di luar negeri.<br />
Pemenang Indonesia MDGs Award 2011<br />
Penggagas e-learning dengan Disain Kurikulum Digital<br />
Finalis untuk Asian CSR Award Category Education Improvement 2015, Bangkok, Sept 2015<br />
viii<br />
9
PENDAHULUAN<br />
Tahun ajaran baru sudah dimulai pada bulan Juli 2015, namun Kemdikbud malah<br />
memaksakan kelanjutan penerapan Kurikulum 2013, lupa akan adanya Surat Edaran Mendikbud<br />
No. 179342/MPK/KR/2014 tertanggal 5-12-2014 dan Permendikbud No.160 Tahun 2014 tertanggal<br />
11-12-2014, yang memberlakukan Kurikulum 2006 dan hendak mengkaji ulang Kurikulum 2013<br />
sesuai Nawa Cita No.8 (bukan melakukan perubahan tambal sulam terhadap Kurikulum 2013)<br />
Dua kurikulum yang sangat berbeda, yaitu Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan Kurikulum 2013 :<br />
1. Kurikulum 2006 2 mengusung ide “bhineka tunggal ika” (unity in diversity) dan otonomi<br />
pendidikan (otonomi sekolah, otonomi guru dan kebebasan mimbar akademik) serta<br />
desentralisasi pendidikan.<br />
2<br />
Kurikulum 2006 (KTSP awal) adalah kurikulum kontekstual berbasis local wisdom yang mengusung azas<br />
kebhinekaan : Pasal 36 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) : “Kurikulum pada semua jenjang dan<br />
jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi<br />
daerah, dan peserta didik”. Diperkuat dengan turunannya yaitu Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 : “KTSP<br />
dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan<br />
peserta didik”. Azas keikaan nampak dalam kewajiban pemerintah yang sudah dirumuskan dalam Pasal 38<br />
ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) : “Kerangka dasar dan struktur kurikulum ditetapkan oleh<br />
pemerintah”. (bukan merambah sampai ke Silabus, Buku Ajar, buku Pegangan Guru dan metode<br />
pembelajaran (5 M); Karena guru harus membuat semuanya sendiri, maka guru tersebut disebut guru<br />
profesional sesuai ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU No.20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) : “Pendidik merupakan<br />
tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil<br />
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan”. (guru adalah konseptor dan inisiator kurikulum)<br />
Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen) : “Dalam<br />
melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru berkewajban merencanakan pembelajaran, melaksanakan<br />
proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran”. ; Dielaborasi<br />
dengan turunannya yaitu Pasal 19 ayat 3 PP No.19 Tahun 2005 : “Setiap satuan pendidikan melakukan<br />
perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan<br />
pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien”. Yang<br />
dirinci secara detail dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi<br />
silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran,<br />
materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”. (Jadi pembuatan silabus dan<br />
penentuan materi ajar serta pemilihan sumber belajar mencerminkan otonomi guru (hak guru). Hal ini<br />
diperkuat oleh Pasal 52 ayat 1 (a) PP No. 19 Tahun 2005 : “Setiap satuan pendidikan harus memiliki pedoman<br />
yang mengatur tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Silabus”. Pasal 52 ayat 2 PP No. 19 Tahun<br />
2005 : “Pedoman sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (a) diputuskan oleh rapat Dewan Pendidikan dan<br />
ditetapkan oleh Kepala Satuan Pendidikan”. Penetapan kurikulum oleh kepala sekolah mencerminkan<br />
otonomi sekolah. Lokalitas kurikulum terlihat dalam Pasal 14 PP No. 19 Tahun 2005 : “Kurikulum dapat<br />
memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal”. (kurikulum menjadi kontekstual, tidak lagi kurikulum<br />
tunggal dan seragam di tingkat nasional) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas;<br />
Pasal 1 ayat 1 Permendiknas No.22 Tahun 2006 : “Standar Isi mencakup lingkup materi minimal, dan tingkat<br />
kompetensi minimal, untuk mencapai tingkat kelulusan minimal”. (pemerintah menyusun SPM (standar<br />
pelayanan minimal ) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas)<br />
: “Pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan SPM berbasis MBS”. (manajemen berbasis sekolah), bukan<br />
manajemen ala Kemdikbud atau Dinas Pendidikan); dan Pasal 1 ayat 2 Permendiknas No. 24 Tahun 2006 :<br />
“Satuan pendidikan dapat mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi”. (bukan<br />
kurikulum seragam apapun visi dan misi sekolahnya)<br />
11<br />
1
Dasar pemberlakuan kembali Kurikulum 2006 (KTSP awal) adalah Pasal 1 dan Pasal 2 ayat<br />
3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014. Yang sebenarnya juga<br />
termaktub dalam Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 yang ditanda tangani<br />
oleh Presiden SBY tanggal 7 Mei 2013 (dalam tata perundangan : PP setingkat di atas<br />
Permendikbud sehingga Permendikbud seharusnya mengacu pada PP)<br />
Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013 : “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan<br />
merupakan Kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing<br />
satuan pendidikan”.<br />
(Secara harafiah, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) itu bukan kurikulum tunggal dan<br />
seragam secara nasional, tetapi kurikulum tingkat sekolah, maka dari itu kurikulum setiap sekolah<br />
seharusnya berbeda, seperti yang sudah kita alami pada Kurikulum 1968, Kurikulum 1975,<br />
Kurikulum 1984 dan Kurikulum 1994 dimana ijazah kita diakui di luar negeri, oleh karenanya para<br />
guru kita diakui kualifikasinya sehingga banyak yang diminta mengajar di luar negeri). Kenapa?<br />
Karena kebebasan mimbar akademik di sekolah dijaga (pemerintah hanya menyusun kerangka<br />
dasar dan struktur kurikulum saja). Fungsi Dinas Pendidikan adalah men-supervisi apakah kurikulum<br />
sungguh-sungguh dikembangkan sesuai ketentuan Standar Proses, sehingga bisa bersaing dengan<br />
standar negara tetangga (siswa familiar dengan soal-soal GMAT, TOEFL, SAT, dll) (Lihat Pasal 38<br />
ayat 2 UU Sisdiknas). Maka dari tahun ke tahun, para guru harus bisa menunjukkan adanya<br />
perubahan pada Silabus dan RPP sebagai wujud pengembangan kurikulum (lihat Standar Proses<br />
Kurikulum 2006). Akibat kontinuitas pengembangan Silabus dan RPP ini, kualitas pendidikan<br />
meningkat, Sekolah Indonesia di luar negeri juga diminati warga asing, tidak seperti sekarang,<br />
diplomat Indonesia dan para buruh migranpun tak mau menyekolahkan anaknya di Sekolah Indonesia<br />
di luar negeri karena kualitasnya terus merosot.<br />
Para asesor akreditasi sekolah dan Kepala Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan setempat saat<br />
itu, bekerja bahu membahu untuk suksesnya penerapan Pasal 11 UU Sisdiknas : “Pemerintah dan<br />
Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya<br />
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Para guru selalu diarahkan<br />
untuk dapat mengembangkan Silabus dan RPP sehingga guru terdorong menjadi manusia<br />
pembelajar (kualitas pendidikan makin meningkat). Masyarakat tahu dan bisa menilai, mana sekolah<br />
yang sungguh-sungguh ‘bermutu” : artinya menjalankan semua ketentuan dalam Standar Proses dan<br />
mana sekolah yang bersikap minimalis. Tanpa memasang iklan seperti sekarang, peminat ke<br />
sekolah-sekolah yang mengembangkan kurikulum sampai ke tingkat HOT (Higher Order of<br />
Thinking), selalu diserbu (dalam arti harafiah) oleh masyarakat.<br />
2<br />
12
Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa KTSP itu harus disusun sendiri oleh para guru (bukan<br />
menunggu dropping silabus, buku ajar, dan buku pegangan guru, serta penetapan metode<br />
pembelajaran tunggal dan seragam, seperti metode saintifik (5 M), maka seharusnya KTSP<br />
dilaksanakan sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing). Guru bukan sekedar petugas<br />
administrasi pengajaran (hanya sekedar membuat RPP), yang tunduk pada arahan instruktur<br />
Kurikulum 2013 dan petunjuk para Pengawas. Harap diingat bahwa RPP bukan barang baru bagi<br />
para guru. RPP sudah dikenal dalam Kurikulum 2006 dan KTSP Bimtek (2008). Jadi jelas, pelatihan<br />
Kurikulum 2013 yang hanya bertumpu pada pembuatan RPP dengan segala kelengkapannya,<br />
melecehkan program pendidikan S-1 para guru (menganggap program pendidikan calon guru di<br />
LPTK : FKIP/PGSD itu jelek), dan menisbikan program diklat sertifikasi guru yang telah<br />
menghasilkan jutaan guru bersertifikat. Kemampuan guru dalam menyusun kurikulumnya sendiri<br />
menunjukkan profesionalitas guru sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas<br />
dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, yang dijabarkan dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005<br />
dan Pasal 52 ayat 1 PP No. 19 Tahun 2005 3 (Lihat dasar hukum Kurikulum 2006 di Catatan kaki<br />
No.2 pada Bab Pendahuluan). Harap diingat, istilah KTSP tetap dipakai dalam Kurikulum 2013,<br />
sehingga maknanya tidak boleh digeser menjadi berlawanan dengan ketentuan Pasal 77 M ayat 1 PP<br />
No. 32 Tahun 2013 (kurikulum yang disusun oleh masing-masing satuan pendidikan (sekolah) dan<br />
dilaksanakan di masing masing satuan pendidikan (sekolah). Sebab ada upaya keras untuk<br />
mengubahnya menjadi “kurikulum yang disusun dan ditetapkan oleh pemerintah dan harus<br />
dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (sekolah)” yang berarti Kemdikbud menjadi<br />
inisiator, implementor dan eksekutor, serta regulator dan evaluator pendidikan, suatu hal yang<br />
melanggar sepuluh prinsip good governance dan menyalahi semangat debirokratisasi dan deregulasi<br />
yang dicetuskan pemerintah sendiri melalui Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009.<br />
Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan<br />
ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan”.<br />
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ini ditetapkan oleh kepala sekolah, artinya<br />
Kurikulum 2006 (KTSP awal) itu sebenarnya mengakomodasi otonomi sekolah, yang dieksplisitkan<br />
dalam Pasal 52 ayat 2 PP No. 19 Tahun 2005 (lihat dasar hukum Kurikulum 2006 di Catatan kaki<br />
No.2 di Bab Pendahuluan). Fungsi Dinas Pendidikan adalah menjamin terlaksananya Standar Proses<br />
(pengembangan Silabus, pengembangan RPP, implementasi PAKEM/PAIKEM/PAIKEM<br />
GEMBROT, dan penerapan pendidikan yang kontekstual (contextual teaching learning) seperti yang<br />
3<br />
Jadi profesionalitas guru ditentukan dari kemampuannya membuat kurikulum sendiri, bukan melalui kelulusan pada<br />
program Diklat sertifikasi guru (lihat ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen<br />
13<br />
3
sudah diuraikan di atas. Dengan efektivitas penerapan Standar Proses, pengadopsian Pasal 11 UU<br />
Sisdiknas menjadi lebih mudah dilaksanakan.<br />
Karena menjunjung azas otonomi sekolah ini, maka dalam Kurikulum 2006 (KTSP awal) tidak<br />
pernah disebut adanya para pengawas 4 dalam artian Pengawas sekarang (baik Pengawas Sekolah<br />
maupun Pengawas Mata Pelajaran), karena fungsi pengawasan dalam Kurikulum 2006 (KTSP awal)<br />
itu inheren dengan tugas profesional guru dan mencerminkan otonomi guru (Lihat Catatan kaki<br />
No.2 tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab ini, dan UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan<br />
Dosen). Keberadaan Pengawas Sekolah saat ini menafikan kepemimpinan (leadership) kepala<br />
sekolah yang sudah dibina oleh LPPKS (Lihat Catatan kaki no.4). Keberadaan Pengawas saat ini<br />
betul-betul menjadi watch dog kebijakan sekolah, melupakan fungsi pembinaan sekolah untuk<br />
mempercepat pencapaian Standar Nasional Pendidikan (SNP), sebagaimana diamanatkan dalam<br />
Pasal 10 UU Sisdiknas (pengawasan sebagai capacity building bagi kepala sekolah dan guru :<br />
“membantu dan membimbing”). Pengawasan gaya watch dog ini mempersulit sekolah dalam<br />
menerapkan azas diversifikasi kurikulum sesuai amanat Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas karena<br />
Pengawas hanya berpegang pada peraturan yang lebih rendah yaitu Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013<br />
(Defungsionalisasi guru : guru hanya menyusun RPP saja, guru bukan lagi pendidik, tetapi hanya<br />
sekedar tukang mengajar dan petugas administrasi pengajaran) Bandingkan Catatan kaki No.2 dan<br />
peraturan yang lebih rendah lagi yaitu Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b (supervisi<br />
akademik oleh Pengawas Mata Pelajaran dan supervisi Manajerial oleh Pengawas Sekolah,<br />
sedangkan LPMP dikerdilkan menjadi sekedar pengawas administrasi : pengawas EDS saja).<br />
4<br />
Kurikulum 2006 tidak mengenal adanya jabatan Pengawas (baik Pengawas Sekolah maupun Pengawas Mata<br />
Pelajaran sebagaimana adanya sekarang) karena pengawasan itu melekat pada tugas profesional guru : Pasal 19 ayat<br />
3 PP No. 19 Tahun 2005 : “Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan<br />
proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya<br />
proses pembelajaran yang efektif dan efisien”, yang isinya sama dengan Pasal 19 ayat 3 PP No.32 Tahun 2013<br />
(pengawasan itu inheren dalam KBM sehingga Kurikulum 2013 itu seharusnya juga tidak mengenal adanya pengawas<br />
eksternal atau Pengawas Manajerial/Pengawas Akademik. Guru itu otonom sesuai dengan UU Guru dan Dosen. Jadi<br />
Pengawas yang dimaksud dalam Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No.2 bertentangan dengan<br />
dasar hukum Kurikulum 2013 sendiri, yaitu Pasal 19 ayat 3 PP 32 Tahun 2013<br />
Kriteria Kepala Sekolah sebagai pengawas internal pendidikan dan manajer sekolah juga sudah dibakukan dalam Pasal<br />
38 PP No. 19 Tahun 2005 (yang tidak diubah dalam PP No. 32 tahun 2013) – Peraturan turunan dari PP ini sudah<br />
dirumuskan dengan baik dalam Permendiknas No.28 Tahun 2010 tentang prasyarat menjadi kepala sekolah.<br />
Permendiknas ini menguatkan eksistensi LPPKS (Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah) yang<br />
didirikan atas dasar Permendiknas No.6 Tahun 2009 – jadi Kurikulum 2006 (KTSP awal) tidak mengenal jabatan<br />
pengawas eksternal. Dengan kata lain, Kurikulum 2006 menjunjung azas otonomi pendidikan.<br />
Pengawas sebagai watch dog kebijakan sekolah muncul dalam peraturan yang lebih rendah : Permendikbud No.65<br />
Tahun 2013 Bab VI No. 2 b. (Lihat juga Catatan kaki No. 1) : Pengawas dalam Lampiran Permendikbud No.65 Tahun<br />
2013 Bab VI No.2 b adalah wujud dari inisiator, konseptor, implementor, eksekutor, regulator dan evaluator proyek<br />
pendidikan yang menyalahi sepuluh prinsip good governance yang diusung dalam Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009.<br />
4<br />
14
Sayang sekali, semua ayat penting yang mendukung pelaksanaan otonomi pendidikan ini tidak<br />
tersosialisasikan dengan baik kepada para kepala sekolah dan para guru. Nampaknya hal ini sudah<br />
dipatronkan oleh Mendikbud M.Nuh saat meluncurkan Kurikulum 2013 tanggal 28 November 2012<br />
di Hotel Mega Anggrek Jakarta : “Tidak ada pertanyaan”, lalu beliau pergi dari tempat pertemuan<br />
begitu saja, meninggalkan para undangan dengan 5 M (melongo, menganga, mengernyitkan dahi,<br />
yang berujung pada mengekor dan membebek apapun yang diputuskan). Saat itu, mulailah<br />
dikumandangkan pemujaan pada pendangkalan (cult of philistinism). Banyak pihak selalu lupa<br />
makna harafiah dari KTSP 5 , apalagi makna filosofisnya.<br />
Makna filosofisnya tercermin dari diusungnya azas otonomi pendidikan dan desentralisasi<br />
pendidikan, serta azas bhineka tunggal ika (unity in diversity) pada Kurikulum 2006, sehingga<br />
Kurikulum 2006 sering juga disebut KTSP dalam arti harafiah (KTSP awal).<br />
Azas bhineka tunggal ika (unity in diversity) dalam Kurikulum 2006 (KTSP awal) dijabarkan<br />
menjadi azas kebhinekaan yang mengacu pada ketentuan Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas : diversifikasi<br />
kurikulum sesuai dengan potensi daerah, kondisi sekolah dan keadaan siswanya, yang diperkuat<br />
dengan peraturan turunannya yaitu Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 : KTSP dikembangkan sesuai<br />
dengan satuan pendidikan, potensi daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik<br />
Penjabarannya terlihat di Pasal 52 ayat 1 butir (a) PP No. 19 Tahun 2005, dan Pasal 52 ayat 2 PP No.<br />
19 Tahun 2005 (lihat Catatan kaki No.5 tentang kurikulum sekolah (KTSP)<br />
Sedangkan azas keikaan digariskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas : pemerintah hanya<br />
berkewajiban menyusun kerangka dasar dan struktur kurikulum (tidak merambah kemana-mana,<br />
sampai ikut menyusun Silabus, buku ajar (materi ajar/sumber belajar), buku pegangan guru (buku<br />
pedoman pelaksanaan proses pembelajaran), tidak merambah penilaian (yang terbukti salah) serta<br />
penentuan metode pembelajaran (5 M), karena hal itu berarti menjadikan Kemdikbud sebagai<br />
inisiator dan konseptor, implementor dan eksekutor, serta regulator dan evaluator program sekaligus,<br />
menyalahi azas good governance dan debirokratisasi dan deregulasi yang digaungkan pemerintah<br />
sendiri. Maka langkah Mendikbud Anies Baswedan untuk menghentikan fungsi UN sebagai satusatunya<br />
penentu kelulusan itu sudah benar : mengembalikan otonomi sekolah dalam proses kelulusan<br />
5<br />
KTSP : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Kurikulum sekolah), kurikulum tiap sekolah akan berbeda sesuai dengan<br />
Visi dan Misi sekolah masing-masing, mengacu pada Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas tentang diversifikasi kurikulum dan<br />
Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas tentang tugas profesional guru, yang diperkuat dengan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan<br />
Dosen, yang dijabarkan dalam Pasal 17 PP No.19 Tahun 2005 dan Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005, serta Pasal 52 ayat<br />
1 butir (a) PP No. 19 Tahun 2005 : “Setiap satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur KTSP dan<br />
Silabus”, yang dirinci dalam Pasal 52 ayat 2 PP No. 19 Tahun 2005 : “Pedoman dimaksud diputuskan oleh rapat dewan<br />
pendidikan dan ditetapkan oleh kepala sekolah”, serta Pasal 1 ayat 2 Permendiknas No.24 Tahun 2006 : “Satuan<br />
pendidikan dapat mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi”. (bukan kurikulum seragam). Hal<br />
ini sejalan dengan tugas profesional seorang guru sesuai ketentuan Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 yang dirinci<br />
dalam Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005 (lihat Catatan kaki No.9), yang diperkuat dengan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3<br />
PP No.32 Tahun 2013 (lihat Catatan kaki No.26)<br />
15<br />
5
Kemdikbud harusnya bergerak di tataran policy, bukan mencampuri urusan implementasi<br />
(pemerintah mengakui otonomi sekolah dalam proses penentuan kelulusan). Sedangkan dalam<br />
Kurikulum 2013 : Pemerintah sekaligus bertindak sebagai konseptor, pelaksana sekaligus pelaku<br />
monev (monitoring dan evaluasi), sesuatu yang sebenarnya sangat ditentang oleh fungsi pengawasan<br />
DPR/DPRD. Kalau mengacu pada Pasal 77 M ayat 3 PP No.32 Tahun 2013, seharusnya penetapan<br />
kurikulum oleh kepala sekolah itu juga harus dihormati oleh Kemdikbud.<br />
Azas bhineka tunggal ika dalam kurikulum ini sudah lama diterapkan dalam Kurikulum 1968,<br />
Kurikulum 1975, Kurikulum 1984 dan pada penerapan Kurikulum 1994, dimana kurikulum lama ini<br />
masih mengembangkan 6 wilayah makna yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika<br />
dan sinoptis. Oleh sebab itu, pendalaman tentang sejarah pendidikan di Indonesia itu penting<br />
sekali dikaji agar kurikulum kita tidak menjadi makin miskin (lihat Catatan * di Kata Pengantar,<br />
yang tercermin dari perubahan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, yang dikerdilkan menjadi Pasal 20<br />
PP No. 32 Tahun 2013 (defungsionalisasi guru : wewenang guru dipangkas hingga hanya tinggal<br />
penyusunan RPP) (Isi lengkap dari pasal-pasal ini dapat dilihat pada Catatan kaki No.2 : dasar hukum<br />
Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan)(Lihat juga Catatan kaki No.21)<br />
2. Sedangkan Kurikulum 2013 6 dalam prakteknya, justru menegasikan dan menafikan otonomi<br />
pendidikan serta menegakkan hegemoni pemerintah atas dunia pendidikan dan pengajaran,<br />
oleh karenanya mencoba menyentralisasi kembali pendidikan dan pengajaran kita sehingga<br />
menabrak ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen yang<br />
sudah mengatur tugas profesional seorang guru, serta melanggar azas desentralisasi pendidikan<br />
sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas (lihat Catatan kaki No.2)<br />
Kurikulum 2013 juga abai pada dasar hukumnya sendiri, yaitu PP No.32 Tahun 2013 yang ditanda<br />
tangani oleh Presiden SBY tanggal 7 Mei 2013. (Otonomi pendidikan tertuang dalam Pasal 77 M<br />
ayat 1 : menjunjung otonomi guru, karena kurikulum disusun oleh guru di masing-masing sekolah,<br />
dan Pasal 77 M ayat 3 : menjunjung otonomi sekolah, karena kurikulum ditetapkan oleh kepala<br />
sekolah), namun pasal ini kurang disosialisasikan, bahkan kurang dikenal isinya di kalangan para<br />
birokrat Kemdikbud cq Puskurbuk Balitbang Kemdikbud. Dasar hukum Kurikulum 2013 hanya<br />
setingkat Peraturan Menteri (ada 28 permendikbud terkait dengan Kurikulum 2013, tapi anehnya<br />
6<br />
Dasar hukum dari Kurikulum 2013 ternyata hanya setingkat 28 Peraturan Menteri (terakhir menurut laman Kemdikbud<br />
adalah Permendikbud No.108 Tahun 2014) yang justru menabrak perundangan di atasnya (Pasal 38 ayat 1 UU<br />
Sisdiknas, dan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013). Juga Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas tentang<br />
diversifikasi kurikulum, dan merampas hak dan kewenangan guru yang diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan<br />
Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen (lihat Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 yang justru mendefungsionalkan guru yang<br />
sudah diatur dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005)<br />
Permendikbud terakhir yang ditanda tangani oleh Mendikbud M.Nuh terkait dengan Kurikulum adalah Permendikbud<br />
No. 158 Tahun 2014 tertanggal 17 Oktober 2014, Pasal 5 justru menyebut pemberlakuan SKS, bukan Kurikulum 2013<br />
16<br />
6
semua permendikbud itu menyebut KTSP, padahal KTSP punya arti dan konotasi khusus, seperti<br />
yang sudah diuraikan di Catatan kaki No.5). Karena dasar hukumnya peraturan menteri, maka<br />
menyalahi tata urutan perundangan yang berlaku (Permen (peraturan menteri) seharusnya mengacu<br />
pada PP (peraturan pemerintah) yang ditanda tangani oleh Presiden, sebab Menteri adalah pembantu<br />
Presiden) : 28 Permendikbud terkait Kurikulum 2013 itu seharusnya mengacu pada PP No.32 Tahun<br />
2013 yang menjadi dasar hukum Kurikulum 2013.<br />
Penegasian dan penafian otonomi pendidikan ini tercermin dari :<br />
<br />
<br />
<br />
pelatihan guru dalam menyusun kurikulum tunggal dan seragam secara nasional, padahal<br />
menurut ketentuan Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013 : kurikulum harus disusun sendiri<br />
oleh para guru di masing-masing sekolah, sesuai dengan makna harafiah KTSP dan makna<br />
filosofis KTSP (lihat Catatan kaki No. 5 tentang kurikulum sekolah (KTSP). Pelatihan ini<br />
mengabaikan kualitas pendidikan S-1 para guru di FKIP/PGSD dan menisbikan pengakuan<br />
profesionalitas guru lewat program sertifikasi guru, yang juga sudah melewati diklat khusus.<br />
munculnya Pengawas Sekolah sebagai supervisor manajerial dan Pengawas Mata Pelajaran<br />
sebagai supervisor akademik (Lihat Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No.2<br />
: Sistim dan Entitas Pengawasan), padahal pada Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan<br />
kurikulum-kurikulum sebelumnya, fungsi pengawasan itu melekat pada tugas profesional<br />
guru (Lihat Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005, yang tidak diubah dalam Pasal 19 ayat 3<br />
PP No. 32 Tahun 2013) (rincian isi Pasal-pasal ini dapat dilihat catatan kaki No. 9).<br />
Keberadaan Pengawas saat ini sebagai watch dog kebijakan sekolah juga mengacaukan arti<br />
Pasal 10 UU Sisdiknas (fungsi pengawasan sebagai capacity building kepala sekolah dan<br />
guru : “membantu dan membimbing”) serta merendahkan hakekat kepemimpinan<br />
(leadership) kepala sekolah yang sudah dibina oleh LPPKS (lihat Catatan kaki No.4),<br />
akibatnya budaya organisasi sekolah juga tidak teraktualisasikan dengan baik, karena<br />
Kemdikbud sekaligus berfungsi sebagai konseptor, inisiator, implementor, eksekutor dan<br />
regulator serta evaluator, sesuatu yang sebenarnya sangat ditentang dalam era reformasi ini,<br />
karena melanggar sepuluh prinsip good governance dan debirokratisasi serta deregulasi yang<br />
digaungkan pemerintah sendiri, melalui Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009<br />
guru itu seharusnya otonom (mempunyai kebebasan mimbar akademik, sesuai ketentuan<br />
Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen). Kebebasan mimbar<br />
akademik juga dijamin melalui Pasal 39 ayat 3 UU Guru dan Dosen (yang dijabarkan dalam<br />
Pasal 14 ayat 1 butir (c ) dan Pasal 7 butir (h) UU Guru dan Dosen), sehingga tugas<br />
pengawasan itu melekat pada tugas profesional seorang guru. Maka jabatan pengawas itu<br />
17<br />
7
tidak pernah disebut dalam UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan<br />
Dosen). Sayangnya, hal ini hanya dipraktekkan di dunia perguruan tinggi (dosen itu tidak<br />
mempunyai pengawas), padahal UU yang mengatur guru dan dosen itu sama.<br />
pemangkasan isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP No.32<br />
Tahun 2013 melalui pemberlakuan silabus tunggal dan seragam, buku ajar (buku teks/materi<br />
pelajaran/sumber belajar) dan buku pegangan guru (buku panduan proses pembelajaran di<br />
kelas) yang sama meskipun kondisi sekolah dan keadaan siswanya berbeda, padahal<br />
seharusnya penetapan semuanya itu bukan dilakukan oleh pemerintah, tapi oleh kepala<br />
sekolah sendiri sesuai dengan amanat Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 (Pasal 77 M<br />
ayat 3 ini mencerminkan diakuinya otonomi sekolah). Akibat pemangkasan itu, sekolah tidak<br />
mempunyai pilihan, kecuali menghamba pada kekuasaan. Wewenang kepala sekolah selaku<br />
manajer sekolah juga dipangkas melalui Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI<br />
No.2 : Sistim dan entitas pengawasan<br />
pemberlakuan model pendekatan yang seragam yaitu pendekatan saintifik (metode 5 M),<br />
padahal masih ada begitu banyak metode, strategi dan model pembelajaran yang lain yang<br />
lebih kontekstual dan situasional. Ukuran kinerja guru menjadi sangat terbatas, karena<br />
metode hanya bisa diaplikasikan untuk peningkatan prestasi/kemampuan akademik siswa,<br />
sesuai dengan Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II A No.3, yang di copy<br />
paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II A No.3 (Lihat Catatan * di Kata<br />
Pengantar). Padahal metode tidak bisa mengatasi kemalasan siswa atau kebosanan/kejenuhan<br />
belajar siswa. Kemalasan belajar siswa harus diatasi dengan penerapan strategi pembelajaran,<br />
sedangkan kebosanan/kejenuhan belajar siswa harus diatasi dengan model pembelajaran.<br />
Akibat penerapan metode tunggal (5 M) ini, kinerja guru dalam manajemen kelas menjadi<br />
sangat terkungkung dalam satu tafsir. Manajemen berbasis sekolah (MBS) seturut Pasal 51<br />
ayat 1 UU Sisdiknas, hanya tinggal kenangan saja.<br />
karena Kurikulum 2013 itu dasarnya adalah KBK (2004) 7 , maka masalah KBK berulang<br />
pada Kurikulum 2013 yaitu pada masalah pengukuran capaian kompetensi siswa (program<br />
penilaian). Program penilaian yang berkali-kali diubah 8 dan tetap salah secara matematis itu<br />
menurunkan wibawa akademik Kemdikbud. Tidak heran bila kemudian Perguruan Tinggi<br />
diminta keluar dari naungan Kemdikbud dan bergabung dengan Kemristek, dengan harapan<br />
agar Kemdikbud fokus pada pencapaian Pasal 3 dan Pasal 11 UU Sisdiknas.<br />
7<br />
Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis )(lihat Catatan * di Kata Pengantar)<br />
8<br />
Penilaian Kurikulum 2013 ada di Permendikbud No. 66 Tahun 2013, diubah melalui Lampiran IV Permendikbud No.<br />
81 A Tahun 2013, lalu diubah lagi menjadi Lampiran II Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No.<br />
5496/C/KR/2014 dan No. 7915/D/KP/2014, tanpa penjelasan matematis yang memadai kenapa penilaian diubah<br />
18<br />
8
Kecerdikan Presiden SBY untuk menyelipkan pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013<br />
yang mengusung semangat otonomi pendidikan ini ternyata tidak diikuti oleh Mendikbud M.Nuh<br />
dan jajarannya, yang masih berkutat dengan semangat hegemoni pemerintah melalui “proyek<br />
penyerapan anggaran 20% dari APBN” sehingga melanggar Pasal 38 ayat 1 UU No.20 Tahun<br />
2003 (UU Sisdiknas) dimana kewajiban pemerintah hanyalah sebatas menyusun kerangka dasar<br />
dan struktur kurikulum saja, dan menabrak azas diversifikasi kurikulum, kurikulum yang<br />
disesuaikan dengan potensi daerah, kondisi sekolah dan keadaan siswanya sebagaimana<br />
dinyatakan dalam Pasal 36 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas). Sesuai dengan makna<br />
harafiah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), maka guru adalah penyusun kurikulum<br />
(tugas profesional guru sudah dirumuskan dalam Pasal 39 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 (UU<br />
Sisdiknas) dan Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen), maka dari itu,<br />
tugas pemerintah sudah dirumuskan dengan baik dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas, yaitu<br />
menentukan kerangka dasar dan struktur kurikulum. Dengan kata lain, porsi terbesar pembuatan<br />
kurikulum seharusnya mengacu pada ketentuan Pasal 77 M ayat 1 PP No.32 Tahun 2013,<br />
kurikulum disusun oleh guru sendiri di masing-masing sekolah. 9<br />
Jadi sebenarnya pemberlakuan Kurikulum 2013 itu melanggar undang-undang, menabrak<br />
10 prinsip good governance, abai pada debirokratisasi dan deregulasi, dan tidak mempunyai<br />
pijakan hukum. 10 (pijakan hukumnya sangat lemah, hanya setingkat Peraturan Menteri yang<br />
justru mengabaikan PP No. 32 Tahun 2013 yang disebut-sebut sebagai dasar hukumnya (lihat Pasal<br />
77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013). Azas bhineka tunggal ika (unity in diversity) dan<br />
otonomi pendidikan direnggut dengan memangkas profesionalitas guru melalui pemangkasan isi<br />
Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, yang dikerdilkan menjadi Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 (lihat<br />
catatan kaki No.2 tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan)<br />
Permendikbud No. 81 A tahun 2013 yang disebut-sebut sebagai dasar hukumnya (pada saat<br />
gencar-gencanrya pelatihan guru dalam Kurikulum 2013), ternyata hanyalah menyebut tentang SKS<br />
(Lampiran I C Permendikbud No. 81A Tahun 2013) dan pedoman penilaian dalam Kurikulum 2013<br />
9<br />
Lihat Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 : “Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses<br />
pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses<br />
pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien” , yang dirinci dalam Pasal 20 PP No.<br />
19 Tahun 2005 : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, yang<br />
memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian<br />
hasil belajar”. (Lihat juga Catatan kaki No.4 dan Catatan kaki No.5)<br />
10<br />
Bandingkan dengan dasar hukum dari Kurikulum 2006 pada catatan kaki No.2 di Bab Pendahuluan.<br />
Dasar hukum Kurikulum 2013 adalah 28 Peraturan Menteri (yang terakhir adalah Permendikbud No.108 Tahun<br />
2014) Permendikbud No. 158 Tahun 2014 justru tidak menyebut Kurikulum 2013, tapi SKS (lihat Pasal 5).<br />
Seharusnya 28 Permendikbud itu gugur menghadapi peraturan yang lebih tinggi yaitu Pasal 77M PP No. 32 Tahun 2013<br />
(28 Peraturan Menteri itupun juga hanya menyebut KTSP, bukan kurikulum baru atau KTSP 2013)<br />
19<br />
9
(Lampiran IV Permendikbud No. 81 A Tahun 2013) yang kemudian diubah beberapa kali. Padahal<br />
penerapan SKS memerlukan prasyarat tumbuhnya kebebasan (mimbar) akademik, yang dijunjung<br />
tinggi dalam otonomi pendidikan dan bertolak belakang dengan hegemoni pemerintah. Memang<br />
pemerintah meng-claim sudah menjalankan SKS di beberapa sekolah, tetapi hal itu bukan penerapan<br />
SKS dalam arti sesungguhnya seperti di sekolah-sekolah internasional atau di perguruan tinggi, yang<br />
membutuhkan prerequisite mata pelajaran lanjutan yang akan diambil siswa dan mengenal<br />
penambahan angka kredit untuk siswa yang mendapat IP tinggi (yang diwujudkan dengan<br />
disiapkannya modul berkelanjutan, adanya moving class dan micro teaching), tetapi SKS yang<br />
diterapkan di beberapa sekolah itu adalah SKS paket (1 semester 24 SKS, tak ada moving class dan<br />
prerequisite penambahan angka kredit untuk IP yang berbeda-beda). SKS paket ini tak ubahnya<br />
seperti penerapan kelas akselerasi yang sudah umum dilakukan pada sekolah unggulan dan RSBI.<br />
Dengan demikian, nampak kebingungan birokrat Kemdikbud dengan Kurikulum 2013 :<br />
a. Dicabutnya Permendikbud No. 67 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur<br />
Kurikulum (yang sebenarnya mengacu pada Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas), diganti dengan<br />
Permendikbud No. 57 Tahun 2014 (Implementasi Kurikulum 2013 di SD), dimana terlihat<br />
jelas hegemoni pemerintah dan pemasungan otonomi sekolah dan pemangkasan otonomi<br />
guru, yang dapat disimak pada bunyi ketentuan Pasal 1 ayat 2 (b) : (Kurikulum 2013 SD<br />
terdiri atas Silabus) dan Pasal 1 ayat 2 (c) : (Kurikulum 2013 SD terdiri atas Pedoman Mata<br />
Pelajaran dan Pembelajaran Tematik Terpadu) , juncto Pasal 9 ayat 2 (Silabus mata<br />
pelajaran Agama dan Budi Pekerti dikembangkan oleh pemerintah) dan Pasal 9 ayat 3<br />
(Silabus tematik terpadu dikembangkan oleh pemerintah dan dapat diperkaya dengan<br />
muatan lokal oleh pemerintah daerah), serta Pasal 10 ayat 2 (Pedoman Mata Pelajaran dan<br />
pembelajaran Tematik Terpadu dikembangkan oleh Pemerintah dan atau Pemerintah<br />
Daerah).<br />
Padahal kewajiban pemerintah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas 11 dan<br />
kewajiban Pemerintah Daerah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas 12 agar<br />
pemerintah fokus pada layanan pendidikan yang bermutu sebagaimana diamanatkan pada<br />
Pasal 11 UU Sisdiknas dan Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas tentang penetapan SPM dan MBS<br />
11<br />
Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas : “Pemerintah hanya menyusun kerangka dasar kurikulum dan struktur kurikulum saja”.<br />
12<br />
Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas : Pemerintah Daerah hanya berfungsi sebagai koordinator dan supervisor dalam<br />
pengembangan kurikulum (sesuai Standar Proses Kurikulum 2006), bukan malah sibuk mengikuti instruksi Pusat atau<br />
sibuk menyusun dan mengembangkan kurikulum menurut penafsiran sendiri, sehingga ketika terjadi keterlambatan<br />
pembagian ijazah lulusan sekolah saat ini, pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan tidak tahu mesti berbuat apa.<br />
20<br />
10
. Dicabutnya Permendikbud No. 68 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur<br />
Kurikulum (yang sebenarnya mengacu pada Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas), diganti dengan<br />
Permendikbud No. 58 Tahun 2014 tentang Implementasi Kurikulum 2013 di SMP, dimana<br />
terlihat jelas hegemoni pemerintah dan pemasungan otonomi sekolah dan pemangkasan<br />
otonomi guru, yang dapat disimak pada bunyi ketentuan Pasal 1 ayat 2 (b) : (Kurikulum 2013<br />
SMP terdiri atas Silabus) dan Pasal 1 ayat 2 (c) : (Kurikulum 2013 SMP terdiri atas Pedoman<br />
Mata Pelajaran), juncto Pasal 9 ayat 2 (Silabus mata pelajaran umum kelompok A<br />
dikembangkan oleh pemerintah) dan Pasal 9 ayat 3 (Silabus mata pelajaran umum kelompok<br />
B dikembangkan oleh pemerintah dan dapat diperkaya dengan muatan lokal oleh pemerintah<br />
daerah), serta Pasal 10 ayat 2 (Pedoman Mata Pelajaran dikembangkan oleh Pemerintah dan<br />
atau Pemerintah Daerah).<br />
Padahal kewajiban pemerintah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas dan<br />
kewajiban Pemerintah Daerah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas agar<br />
pemerintah fokus pada layanan pendidikan yang bermutu sebagaimana diamanatkan pada<br />
Pasal 11 UU Sisdiknas dan Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas tentang penetapan SPM dan MBS<br />
c. Dicabutnya Permendikbud No. 69 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum (yang<br />
sebenarnya mengacu pada Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas), diganti dengan Permendikbud No.<br />
59 Tahun 2014 tentang Implementasi Kurikulum 2013 di SMA, dimana terlihat jelas<br />
hegemoni pemerintah dan pemasungan otonomi sekolah dan pemangkasan otonomi guru,<br />
yang dapat disimak pada bunyi ketentuan Pasal 1 ayat 2 (b) : (Kurikulum 2013 SMA terdiri<br />
atas Silabus) dan Pasal 1 ayat 2 (c) : (Kurikulum 2013 SMA terdiri atas Pedoman Mata<br />
Pelajaran), juncto Pasal 9 ayat 2 (Silabus mata pelajaran umum kelompok A dikembangkan<br />
oleh pemerintah), Pasal 9 ayat 3 (Silabus mata pelajaran umum kelompok B dikembangkan<br />
oleh pemerintah dan dapat diperkaya dengan muatan lokal oleh pemerintah daerah), Pasal<br />
9 ayat 4 (Silabus mata pelajaran peminatan Kelompok C dikembangkan oleh pemerintah),<br />
serta Pasal 10 ayat 2 (Pedoman Mata Pelajaran dikembangkan oleh Pemerintah dan atau<br />
Pemerintah Daerah).<br />
Padahal kewajiban pemerintah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas dan<br />
kewajiban Pemerintah Daerah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas agar<br />
pemerintah fokus pada layanan pendidikan yang bermutu sebagaimana diamanatkan pada<br />
Pasal 11 UU Sisdiknas dan perumusan Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas tentang penetapan SPM<br />
dan MBS<br />
21<br />
11
Dengan demikian, nampak jelas bahwa pencabutan Permendikbud No.67, No.68, No.69 dan No.70<br />
Tahun 2013 hanya untuk memuluskan jalan bagi Kemdikbud dalam pembuatan Silabus tunggal<br />
dan seragam serta dropping buku siswa dan buku pegangan guru, karena isi Bagian I A sampai<br />
Bagian II D Permendikbud No.57, No.58, No.59 dan No.60 Tahun 2014 itu persis sama (copy paste)<br />
dengan permendikbud yang dicabut tersebut. (Lihat Catatan * di Kata Pengantar). Di sinilah<br />
pemujaan terhadap pendangkalan (cult of philistinism) mulai diterapkan dalam pendidikan.<br />
Pemaksaan pemberlakuan kembali Kurikulum 2013 menunjukkan bahwa jajaran<br />
Kemdikbud bersikukuh pada visi dan misinya sendiri, meskipun rezim telah berganti, yang<br />
mengabaikan Surat Edaran Mendikbud No. 179342/MPK/KR/2014 tertanggal 5 Desember<br />
2014 dan Pasal 1 + Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember<br />
2014. Pemaksaan itu sebenarnya adalah bentuk pembangkangan terhadap visi dan misi<br />
Presiden RI yaitu Nawa Cita No. 5 (peningkatan kualitas pendidikan), dan Nawa Cita No. 8 (akan<br />
menata ulang kurikulum pendidikan nasional) : lihat hasil survey berbagai lembaga internasional<br />
terhadap rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia di bagian akhir dari Bab Pendahuluan.<br />
Jadi kontradiksinya adalah ketidak-sinkronannya peraturan menteri dengan peraturan<br />
perundangan di atasnya, berbagai ketentuan dalam pasal-pasal permendikbud di atas ini jelasjelas<br />
melanggar Undang-undang yaitu :<br />
Pasal 38 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) tentang batas yang boleh dilakukan<br />
oleh pemerintah agar tidak terjebak menjadi Kementerian Persekolahan atau Dinas<br />
Persekolahan (hanya sebatas menyusun Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum saja).<br />
Kemdikbud terjebak menjadi konseptor, eksekutor, implementor dan regulator. Kemdikbud<br />
merambah sampai ke jantung persekolahan, sehingga keterlambatan pembagian ijazah<br />
lulusan hanya dianggap sebagai masalah administrasi, bukan masalah pelanggaran hak azasi<br />
siswa yang akan bekerja atau melanjutkan ke pendidikan berikutnya (para lulusan tidak<br />
dibekali ijazah asli yang justru dituntut oleh semua lembaga penyeleksi para lulusan itu).<br />
Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas dengan pasal turunannya yaitu Pasal 17 PP No.19 Tahun 2005<br />
: tentang diversifikasi kurikulum yang kontekstual (azas bhineka tunggal ika (unity in<br />
diversity)<br />
Jadi penyusunan kurikulum tunggal dan seragam untuk seluruh Indonesia itu<br />
yang disosialisasikan melalui pelatihan guru yang seragam dan dikontrol oleh<br />
para Pengawas itu, mengabaikan prinsip diversifikasi kurikulum (tidak<br />
kontekstual dan abai pada aspek lokalitas (local wisdom) (Lihat catatan kaki No.4)<br />
Sesuai dengan prinsip good governance, sesuatu yang sifatnya top down selalu<br />
bermasalah (hal itulah yang hendak dicegah melalui PP No.19 Tahun 2005 pada Pasal<br />
12<br />
22
19 ayat 3, Pasal 20, Pasal 52 ayat 1 dan Pasal 52 ayat 2). Pasal-pasal penting dalam<br />
PP No.19 Tahun 2005 ini justru dihapus dalam Kurikulum 2013 (tidak ada lagi dalam<br />
PP No.32 Tahun 2013). Namun Pasal 19 ayat 3 tetap dipertahankan, artinya<br />
pengawasan itu melekat pada tugas profesional guru, tapi anehnya : ada jabatan<br />
Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran, padahal di daerah sudah ada LPMP<br />
(Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan) dengan tugas dan wewenang yang persis sama<br />
dengan Pengawas itu (lihat Pasal 1 ayat 31 PP No. 32 Tahun 2013).<br />
Kontradiksi mulai dimunculkan lagi di Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013<br />
Bab VI No.2 : Sistim dan Entitas Pengawasan :<br />
i. Pengawas Sekolah melakukan supervisi manajerial<br />
ii. Pengawas Mata Pelajaran melakukan fungsi supervisi akademik<br />
iii. LPMP melakukan pengawasan administratif melalui EDS (Evaluasi Diri<br />
Sekolah)<br />
Maka Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 : Sistim dan<br />
Entitas Pengawasan, ini bertentangan dengan dasar hukum Kurikulum 2013<br />
yaitu isi Pasal 19 ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 (Lihat juga catatan kaki No.4)<br />
Banyak pihak yang salah mengartikan : dikira Pengawas ini sudah ada sejak dulu karena<br />
mengacu pada Pasal 10 UU Sisdiknas. Padahal pengawasan oleh Dinas Pendidikan di masa<br />
lalu, sesuai dengan bunyi lengkap Pasal 10 UU Sisdiknas, bukan hanya berfungsi sebagai<br />
capacity building (koordinator dan supervisor pengembangan kurikulum) tetapi juga<br />
membimbing dan membantu sekolah, bukan watch dog kebijakan sekolah, yang memastikan<br />
bahwa Standar Proses dilaksanakan di tiap sekolah (Pengembangan Silabus, Pengembangan<br />
RPP, implementasi PAKEM, dan pelaksanaan Pendidikan yang Kontekstual), tolok ukurnya<br />
adalah sekolah berhasil menyusun Silabus dan RPP yang makin lama makin menunjukkan<br />
kualitas pengembangan intelektual (sampai ke tingkat HOT (Higher Order of Thinking),<br />
sehingga memastikan bahwa sekolah siap go international menjadi SBI (bukan sekedar<br />
RSBI) yang ditunjukkan dengan siswa yang terbiasa dengan kurikulum internasional,<br />
termasuk soal-soalnya (GMAT, SAT, TOEFL). Bukankah hal ini yang ditekankan pada<br />
sekolah-sekolah unggulan dulu? Dengan demikian fungsi pengawasan oleh Dinas<br />
Pendidikan adalah memastikan agar pertemuan rutin Majelis Guru Mata Pelajaran (MGMP)<br />
menghasilkan pendidikan kolaboratif dan partisipatif sesuai prinsip PAKEM (bukan<br />
supervisi manajerial atau supervisi akademik). Kalau di lapangan terbukti bahwa pertemuan<br />
MGMP itu tidak lebih dari pertemuan arisan, maka yang perlu diperbaiki adalah pola<br />
recruitment calon guru di PGSD/FKIP. Para calon guru SD harus lulusan SMA IPA karena<br />
23<br />
13
mereka akan mengampu Mata Pelajaran IPA dan Matematika sepanjang hari di kelas, terbiasa<br />
dengan kegiatan praktikum IPA yang diperlukan dalam pembimbingan metode 5 M, dan<br />
terpola untuk berpikir deduktif yang diperlukan dalam abstraksi tematik integratif di SD.<br />
Dalam hal ini, kita harus belajar dari sekolah Pelita Harapan, Dian Harapan, dan Lentera<br />
Harapan (Lippo Grup) yang kurang mempercayai kualitas calon guru di PGSD/FKIP yang<br />
ada dan mendidik calon gurunya sendiri melalui Teacher College di Universitas Pelita<br />
Harapan, Lippo Karawaci, Tangerang. Atau Prof. Yohanes Surya yang kecewa dengan<br />
menurunnya kualitas guru sains hingga mendidik calon guru sains sendiri melalui STKIP<br />
Surya Institute di Sumarecon, Tangerang Selatan. Atau Sampoerna Academy Boarding<br />
School, yang kecewa dengan kualitas cara mengajar guru sains dan matematika hingga<br />
menyiapkan tenaga guru sendiri berbekal STEM (Science, Technology, Engineering dan<br />
Mathematics) melalui Mathematics Education di Sampoerna University. Namun masalah<br />
belum selesai karena mereka menghadapi persoalan baru yaitu turunnya minat generasi muda<br />
berkualitas untuk menjadi guru (satu-satunya profesi yang mempunyai banyak pengawas<br />
resmi).<br />
Lalu Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 diamputasi menjadi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 :<br />
guru hanya menyusun RPP (hak untuk menyusun silabus, menentukan materi ajar dan<br />
sumber belajar (buku teks pelajaran), serta pelaksanaan proses pembelajaran (buku<br />
pegangan guru) dirampas demi “proyek penyerapan anggaran”. Hak untuk menyusun<br />
RPP itu juga dikebiri melalui pelatihan guru secara seragam di tingkat nasional yang<br />
dikontrol ketat oleh para Pengawas, mengabaikan fungsi PPPG (Pusat Pengembangan<br />
dan Penataran Guru) atau PPPPTK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan<br />
Pendidik dan Tenaga Kependidikan) dan LPMP, serta Kepala Seksi Kurikulum Dinas<br />
Pendidikan di daerah, seolah-olah RPP adalah “barang baru” yang belum dikenal guru<br />
Padahal Kurikulum 2006 sudah mengenal pembuatan Silabus dan RPP oleh guru<br />
sendiri. Hal ini nampak dari Pasal 52 PP No. 19 Tahun 2005 tentang pedoman<br />
penyusunan dan penetapan silabus, yang dihapus karena isi PP No. 32 Tahun 2013<br />
langsung melompat dari Pasal 43 terus ke Pasal 64 (Pasal 52 dihapus). Dengan<br />
demikian, guru bisa tidak tahu lagi cara membuat Silabus. Kalau guru tidak menguasai<br />
pembuatan Silabus, bahayanya guru tidak lagi tahu cara membuat diktat dan modul<br />
(sekolah tidak dapat menerapkan sistim baku SKS (bukan paket SKS). Kualitas guru<br />
bukannya ditingkatkan untuk menghadapi era globalisasi dan liberalisasi<br />
pendidikan saat ini, tetapi profesionalitas guru malah dipangkas dan guru<br />
menjadi subordinasi Pengawas (supervisor akademik guru), bahkan dikesankan<br />
14<br />
24
menjadi subordinasi para instruktur : harus mengikuti semua omongan<br />
instruktur : otonomi guru hilang. Nampak jelas bahwa Kemdikbud menganut<br />
pemujaan terhadap pendangkalan (cult of philistinism), sebab profesionalitas guru<br />
sudah dirumuskan dengan baik pada Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir<br />
(a) UU Guru dan Dosen. (Isi pasal-pasal ini dapat dilihat di Catatan kaki No.2).<br />
Profesionalitas guru ini diamputasi melalui ketentuan Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013<br />
(isinya memangkas kewenangan guru sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 PP No.<br />
19 Tahun 2005) (Isi lengkap dari pasal-pasal ini dapat dilihat Catatan kaki No.2 di<br />
Bab Pendahuluan). Dalam Kurikulum 2013 ini, Kemdikbud bukan saja<br />
bertindak sebagai inisiator dan konseptor, tetapi sekaligus bertindak sebagai<br />
implementor dan eksekutor, serta regulator, bahkan kebablasan sampai<br />
menjadi evaluator keberhasilan pelaksanaan Kurikulum 2013 (survey kepuasan<br />
publik atas Kurikulum 2013 juga dilakukan dan dibiayai oleh Kemdibud sendiri) :<br />
betul-betul top down yang abai pada partisipasi publik (demokrasi “dibunuh” di<br />
jantungnya sendiri : di sektor pendidikan, di sektor penyiapan generasi muda) suatu<br />
hal yang menyalahi ketentuan Pasal 4 UU No. 25 Tahun 2009<br />
Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas : tentang tugas profesional seorang guru<br />
Jadi guru tidak boleh menunggu dropping silabus, buku ajar, buku pegangan<br />
guru dan menunggu arahan bagaimana menerapkan metode pendekatan<br />
saintifik (5 M), semuanya harus disusun sendiri, agar mampu membuat diktat,<br />
LKS dan modul sendiri, sehingga siap maju ke SKS sebagaimana tertulis dalam<br />
Lampiran I Permendikbud No. 81 A Tahun 2013 dan Pasal 5 Permendikbud No.<br />
158 Tahun 2014<br />
Setelah keberadaan RSBI dihapus oleh MK (Mahkamah Konstitusi) melalui Keputusan MK<br />
No.5/PUU-X/2012, Kemdikbud bukannya mendorong sekolah-sekolah agar maju ke SBI,<br />
agar supaya bisa menerapkan SKS (sehingga kurikulumnya terakreditasi secara internasional<br />
dan manajemen sekolah tersertifikasi ISO 9001:2008), tetapi Kemdikbud seperti<br />
kehilangan arah, malah memangkas kewenangan guru melalui penetapan Pasal 20 PP No.<br />
32 Tahun 2013 (guru hanya tinggal menyusun RPP saja : guru menjadi sekedar tukang<br />
mengajar dan petugas administrasi pengajaran). Kemdikbud malah terjebak dalam “pemujaan<br />
terhadap kedangkalan” (cult of philistinism), luput menjadikan sekolah sebagai center of<br />
excellence, dan lalai menjadikan pendidikan untuk “memanusiakan manusia muda”<br />
Kemdikbud alpa untuk memberdayakan bonus demografi dalam penciptaan strong human<br />
capital dan culture of excellence.<br />
25<br />
15
Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen : tentang kewajiban profesi guru;<br />
Menjadi guru profesional berarti guru yang mampu merencanakan semua<br />
kegiatan belajar-mengajar (KBM) sendiri, termasuk mampu menilai secara<br />
benar 13 Guru profesional jangan dikerdilkan menjadi guru yang lulus Diklat<br />
sertifikasi guru selama 3 hari itu, tapi guru yang mampu memenuhi ketentuan isi Pasal<br />
1 ayat 2 Permendiknas No. 24 Tahun 2006 : guru yang mampu mengembangkan<br />
kurikulum dengan standar yang lebih tinggi<br />
Dengan diberlakukannya AFTA 2015 dan APEC 2020 maka profesionalitas guru<br />
ditentukan dari kelulusan dalam sertifikasi internasional, kalau tidak memenuhi<br />
ketentuan intenasional itu, kita akan terlindas dalam era globalisasi ini<br />
Pasal 77 M PP No. 32 Tahun 2013 ayat 1 dan ayat 3 tentang otonomi guru dan otonomi<br />
sekolah (kurikulum disusun sendiri oleh guru dan ditetapkan oleh Kepala Sekolah) sehingga<br />
eksistensi Kurikulum 2013 dapat dipertanyakan, terutama dalam persiapan kita menyongsong<br />
MEA 2015 dan APEC 2020, yang memerlukan kurikulum yang go international yang<br />
diterapkan di SBI (sekolah Indonesia yang terakreditasi secara internasional)<br />
Masalah SBI (sekolah bertaraf internasional) hendaknya tidak diartikan sebagai<br />
sekedar memasang papan nama, tetapi sungguh-sungguh menyiapkan e-learning dan<br />
digital library, termasuk keberadaan Bank Soal yang valid, kesemuanya itu<br />
memerlukan kebebasan mimbar akademik dan otonomi pendidikan (otonomi sekolah<br />
dan otonomi guru) seperti yang sudah dikembangkan pada era sekolah RSBI dulu dan<br />
era sebelum Kurikulum 1994, yang seharusnya diacu pada penerapan SKS (Pasal 5<br />
Permendikbud No.158 Tahun 2014).<br />
Rujukan dasar hukum yang secara eksplisit tidak menyebut adanya Kurikulum 2013 tercermin dalam<br />
Lampiran I C butir 1 b dan Lampiran I C butir 2 b Permendikbud No. 81 A Tahun 2013, yang justru<br />
menyebutkan adanya SKS, bukan adanya kurikulum baru.<br />
Padahal Permendikbud No. 81 A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum ini ditanda tangani<br />
oleh Mendikbud M.Nuh tanggal 27 Juni 2013, pada saat sibuk-sibuknya pelaksanaan pelatihan<br />
Kurikulum 2013 (rupanya M. Nuh mengacu pada dasar hukum dari Kurikulum 2013, yaitu Pasal 77<br />
M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 : kalau guru mampu menyusun kurikulumnya sendiri,<br />
maka guru juga dapat membuat diktat, LKS dan modul, hingga mampu melakukan monitoring proses<br />
belajar (penilaian berbasis kelas), serta ahli dalam menyusun program pengayaan sendiri, oleh<br />
karenanya bisa melangkah maju ke SKS), yang dikuatkan dengan ketentuan Pasal 5 Permendikbud<br />
13<br />
Lihat Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, serta Pasal 20 PP No.19 tahun 2005<br />
26<br />
16
No.158 tahun 2014 yang ditanda tangani oleh Mendikbud M.Nuh tanggal 17 Oktober 2014 : “sekolah<br />
yang terkareditasi A, dapat menerapkan SKS”.<br />
28 Permendikbud tentang Kurikulum 2013 kalau diteliti dengan cermat, sama sekali tidak<br />
memuat adanya kurikulum baru, yang ada adalah KTSP, lalu kenapa pemerintah cq Kemdikbud<br />
sibuk dengan kurikulum baru? Bukankah KTSP itu sudah dirumuskan dengan baik dasar<br />
hukumnya dan panduannya? (Lihat catatan kaki No.2 tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di<br />
Bab Pendahuluan)<br />
Kurikulum 2013 baru disebut dengan jelas dalam Pasal 2 ayat 1 Permendikbud No. 160 Tahun<br />
2014 (istilah Kurikulum 2013 justru muncul setelah pergantian Mendikbud dan setelah penghentian<br />
pelaksanaan Kurikulum 2013 lewat implementasi Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160<br />
Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014 itu), sebelumnya Kurikulum 2013 ini dikenal sebagai<br />
KTSP 2013 (sebagaimana sudah diuraikan di atas, secara harafiah KTSP itu adalah kurikulum<br />
sekolah, bukan kurikulum tunggal di level nasional. KTSP itu sifatnya lokal dan kontekstual. Jadi<br />
istilah KTSP 2013 itu rancu, karena pengertian KTSP yang benar adalah KTSP awal (Kurikulum<br />
2006) (Lihat dasar hukum Kurikulum 2006 pada catatan kaki No.2 di Bab Pendahuluan) (Lihat 28<br />
permendikbud terkait Kurikulum 2013 yang semuanya menyebut KTSP)(Lihat Catatan kaki No.5).<br />
Akibat pemberlakuan kurikulum ganda yang saling bertolak belakang ini, muncullah :<br />
- (Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan sistim baku SKS (bukan paket SKS) yang mengusung<br />
otonomi pendidikan, serta<br />
- KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013 yang mengusung hegemoni pemerintah,<br />
maka kerancuan dan kekeliruan terus membayangi dunia pendidikan dan pengajaran kita, lupa pada<br />
Perpres No. 77 Tahun 2007 yang ditanda tangani oleh Presiden SBY tanggal 3 Juli 2007, yang<br />
menyatakan bahwa pendidikan terbuka bagi PMA (Penanaman Modal Asing) dan abai pada<br />
pemberlakuan pasar bebas ASEAN (AFTA : ASEAN Free Trade Agreement) dimana sektor jasa<br />
pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi arus modal asing dan lalu lintas SDM (sumber daya<br />
manusia) dari negara lain. Apalagi menghadapi APEC 2020, dianggap masih jauh dan tak terbayang.<br />
Pembatasan akses modal asing dalam sektor pendidikan dilakukan melalui Permendikbud No.31<br />
Tahun 2014 14 yang justru bisa memancing reaksi negatif dari WTO dan menegasikan mekanisme<br />
Badan Sektoral Khusus Buruh Migran (ACMW : ASEAN Committee on Migrant Workers) : hak<br />
guru untuk bermigrasi ke negara lain adalah hak azasi manusia yang harus dilindungi. Pembatasan<br />
melalui Permendikbud No.31 Tahun 2013 itu justru menunjukkan ketidak mampuan kita dalam<br />
menyiapkan strong human capital dan culture of excellence dalam menghadapi era globalisasi ini.<br />
14<br />
Permendikbud No.31 Tahun 2014 tentang Kerja sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh Lembaga<br />
Pendidikan Asing<br />
27<br />
17
Jadi kita harus siap menerima para guru asing yang terlatih dalam pembuatan silabus,<br />
penyusunan diktat (materi ajar/sumber belajar) dan modul, e-learning, dll, sementara guru kita<br />
justru :<br />
- makin konsumtif (akibat penghamburan dana sertifikasi untuk kegiatan non pendidikan),<br />
karena program sertifikasi guru tidak terkait dengan uji kompetensi guru dan kinerja guru<br />
- tidak lagi menguasai teknik pembuatan silabus, buta cara menyusun diktat, dan modul<br />
- kurang memanfaatkan digital library (dikira digital library itu sama dengan e-book), serta<br />
- kurang menguasai program penilaian menggunakan excell<br />
Memang pemerintah pernah melaksanakan UKG (Uji Kompetensi Guru) beberapa tahun yang lalu<br />
dan akan melaksanakan lagi di bulan November 2015, namun mengingat profesionalitas guru sudah<br />
dipangkas melalui Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, maka hasilnya bisa ditebak, semua guru akan<br />
dibuat lulus UKG (seperti semua siswa akan dibuat lulus UN). Sebab hasil UKG itu bisa<br />
mendelegitimasi program sertifikasi guru (atas dasar apa tunjangan sertifikasi selama ini dikucurkan)<br />
Sinyalemen yang penulis tuturkan pada peluncuran Cetakan 1 di bulan September 2015 ini sekarang<br />
terbukti. Direktur Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan<br />
IPA, Kemdikbud, Sudiono, meminta guru tak mengkhawatirkan perolehan nilai. Hasil UKG tidak<br />
akan mempengaruhi apa pun kecuali menjadi dasar pemberian program pengembangan<br />
kompetensi. “Ini hanya akan menjadi dasar pemberian materi atau modul dan bentuk diklat untuk<br />
masing-masing guru,”, katanya. Jadi program tebar uang melalui sertifikasi guru yang tak terkait<br />
dengan kompetensi atau kinerja guru memang terbukti. Bahkan melalui sertifikasi guru bisa<br />
dirancang proyek baru yang berkelanjutan : diklat baru (jangan tanya diklat yang dulu itu untuk apa)<br />
Pemerintah mencoba menyiasati MEA 2015 ini melalui pemberlakuan sertifikasi tenaga ahli<br />
yang boleh bekerja di Indonesia, lupa pada ketentuan azas resiprokal dalam WTO. Kalau program<br />
sertifikasi ini diterapkan oleh negara lain bagi TKI/TKW kita yang bekerja di luar negeri, akan<br />
menjadi “senjata makan tuan” dan berakibat fatal bagi diri kita sendiri. Jutaan TKI/TKW kita akan<br />
dipulangkan karena termasuk dalam uncertified workers, padahal lapangan kerja yang tersedia di<br />
tanah air sudah semakin sempit. Dampak sosialnya akan sangat besar bagi negara kita.<br />
Kerancuan berpikir ini hanya menunjukkan bahwa Kemdikbud selalu sibuk dengan misinya<br />
sendiri, yaitu “penyerapan anggaran sebesar-besarnya” melalui 3 program besar : (1) program tebar<br />
uang lewat sertifikasi guru yang tak terkait dengan kompetensi dan kinerja guru, (2) pemberlakuan<br />
UN manual, meskipun sudah digagas pemberlakuan UN Online yang logikanya bertolak belakang<br />
dengan penghapusan Mata Pelajaran TIK di sekolah, dan (3) pemaksaan keberlanjutan Kurikulum<br />
2013, abai pada Nawa Cita (Nawa Cita No.1, No.5 dan No.8), serta abai pada Nawa Kerja.<br />
18<br />
28
Pemberlakuan kurikulum ganda yang saling bertolak belakang ini akhirnya :<br />
Membiaskan tujuan pendidikan nasional, dari mencerdaskan kehidupan bangsa 15 menjadi<br />
meningkatkan kompetensi konseptual orang per orang 16 , yang nampak dari rumusan kerangka<br />
dasar kurikulum (Kurikulum 2013), yaitu Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD),<br />
yang tidak koheren dan ambigu 17 Rumusan KI dan KD dalam Kurikulum 2013 yang sudah<br />
disosialisasikan (dengan menambahkan kata SPIRITUAL pada KI dan KD) ternyata<br />
dikembalikan lagi menjadi rumusan SK dan KD pada Kurikulum 2006 melalui Lampiran<br />
Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab III A No. 1 c : “Kompetensi Inti merupakan gambaran<br />
secara kategorial mengenai kompetensi dalam aspek sikap, pengetahuan dan ketrampilan<br />
yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas atau mata pelajaran”.<br />
(Kata “spiritual” yang tercantum eksplisit dalam Pasal 77 C PP No. 32 Tahun 2013, dihapus<br />
(sikap sosial dan spiritual disatukan), dan Bab III A No. 1 d : “Kompetensi Dasar merupakan<br />
kemampuan spesifik yang mencakup sikap, pengetahuan dan ketrampilan yang terkait<br />
dengan muatan atau mata pelajaran”. (Kata “spiritual” yang tercantum eksplisit dalam<br />
Pasal 77 D PP No. 32 Tahun 2013, dihapus (sikap sosial dan spiritual disatukan)<br />
Puskurbuk Kemdikbud berdalih : sikap adalah penyatuan sikap spiritual dan sikap sosial. Jadi<br />
bukan sikap yang dipahami sebagai afektif dalam KTSP awal (Kurikulum 2006) dan KTSP<br />
Bimtek (2008)<br />
Pendekatan ini menimbulkan masalah baru :<br />
Sikap sebagai penyatuan sikap spiritual dan sikap sosial, mengandung arti pendidikan<br />
nilai, pengukuran sikap spiritual seharusnya menggunakan Spiritual Quotient (SQ),<br />
sedangkan pengukuran sikap sosial seharusnya menggunakan Civic Quotient (CQ).<br />
Sedangkan sikap, pengetahuan dan ketrampilan dalam KTSP itu yang dimaksud adalah nama<br />
lain dari afektif, kognitif dan psikomotor, mengandung arti pendidikan holistik. Sikap<br />
(afektif) sendiri adalah pengembangan daya cipta, pengukurannya menakar afeksi yang<br />
15<br />
Tujuan pendidikan nasional sudah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 : mencerdaskan kehidupan bangsa,<br />
yang dijabarkan dalam Pasal 3 UU Sisdiknas<br />
16<br />
Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis : Kurikulum 2013 dikembangkan<br />
atas teori KBK (competency-based curriculum) yang juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun<br />
2014 Bagian II D Landasan Teoritis (lihat juga pada Catatan * tentang Permendikbud ini di Kata Pengantar)<br />
17<br />
Rumusan Kompetensi Inti mirip dengan rumusan Standar Kompetensi (Kurikulum 2006), hanya ditambah kata :<br />
SIKAP SPIRITUAL (Pasal 77 C PP No.32 Tahun 2013), sedangkan rumusan KD Kurikulum 2013 mirip dengan<br />
rumusan KD Kurikulum 2006, hanya ditambah kata : SIKAP SPIRITUAL (Pasal 77 D PP No.32 Tahun 2013, sehingga<br />
pengukurannya seharusnya menggunakan pengukuran Kecerdasan Spiritual (SQ) dalam Multiple Intelligence.<br />
Namun rumusan ini diubah lagi melalui Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab III A No 1 c (untuk KI) dan Bab<br />
III A No. 1 d (untuk KD) : sikap spiritual dan sikap sosial disatukan sehingga rumusan KI dimirip-miripkan dengan SK,<br />
dan rumusan KD pada Kurikulum 2013 dimirip-miripkan dengan KD pada Kurikulum 2006<br />
29<br />
19
tercermin pada pemilihan Kata Kerja Operasional dengan skor pada Analisis Esensi Materi.<br />
Dua pengertian yang berbeda jauh, yang membawa konsekuensi pada perbedaan pengukuran<br />
keberhasilannya.<br />
Rumusan KI dan KD yang baru ini membawa Kurikulum 2013 di simpang jalan : sebenarnya<br />
Kurikulum 2013 itu ada atau tidak? Kalau KI pada Kurikulum 2013 dimirip-miripkan<br />
dengan SK pada Kurikulum 2006, dan KD pada Kurikulum 2013 dimirip-miripkan dengan<br />
KD pada Kurikulum 2006, maka nampaknya Kemdikbud berhasrat atau ingin<br />
mengimplementasikan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 itu, tapi mata<br />
anggaran di dalam APBN untuk pelatihan guru, pembuatan silabus, penyusunan buku ajar<br />
dan buku pegangan guru nampaknya sudah terlanjur cair, the show must go on (at all cost).<br />
Akibat sikap ambigu itu adalah kacaunya pedoman penilaian (beberapa kali harus diubah<br />
tanpa penjelasan yang memadai dan tanpa memperhatikan bahwa rapor terdahulu sudah<br />
terlanjur dibagikan ke orang tua) sehingga menyulitkan penulisan rapor siswa (rapor masih<br />
manual dengan tingkat subyektivitas tinggi (tidak computerized), hingga rapor bukan lagi<br />
penilaian otentik, karena narasi tidak berkorelasi secara langsung dengan capaian nilai<br />
(dalam Rapor Lembar I : Evaluasi Hasil Belajar), dan narasi juga tidak berkaitan langsung<br />
dengan hasil pengamatan (observasi) guru (dalam Rapor Lembar II : Monitoring Proses<br />
Belajar), hingga mengacaukan arti KKM (Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal) sebagai batas<br />
bawah kompetensi siswa 18 dan KKI (Kriteria Ketuntasan Belajar Ideal) sebagai batas atas<br />
kompetensi siswa. Dalam beberapa kali perubahan penilaian (Permendikbud No.66 Tahun<br />
2013, Lampiran IV Permendikbud No.81 A Tahun 2013, dan Peraturan Bersama Dirjen<br />
Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014) terlihat bahwa<br />
KKM tidak lagi digunakan pada program penilaian Kurikulum 2013 (KKM : 75 ≠ C, dan<br />
KKM : 75 ≠ IP : 2). Kemdikbud membuat acuan baru, yaitu batas lolos adalah B ~ 2,67 atau<br />
2,67~75%, yang justru membuat penilaian makin rancu, lihat Bab V Kompetensi vs Penilaian<br />
Itulah sebabnya Kemdikbud sampai hari ini tidak berani mencetak buku rapor (Laporan Hasil<br />
Belajar) Lembar I (evaluasi hasil belajar) dan Lembar II (monitoring proses belajar).<br />
Kalau melihat pergantian istilah “Tugas Terstruktur” menjadi “Proyek” dan mengkaji<br />
implementasi metode saintifik (metode 5 M), maka sebenarnya Kurikulum 2013 ini mengacu<br />
pada PBL (project-based learning) sehingga penilaiannya seharusnya mengacu pada<br />
18<br />
Beberapa kali Pedoman Penilaian ini diubah (Permendikbud No.66 Tahun 2013, tapi masih salah, lalu diubah lagi<br />
dengan Lampiran IV Permendikbud No. 81 A Tahun 2013 : kesalahannya dapat dilihat di Bab V, sehingga diubah lagi<br />
lewat Lampiran II Peraturan Bersama Dirjen Dikdas Hamid Muhammad dan Dirjen Dikmen Achmad Jazidie No.<br />
5496/C/KR/2014 dan No. 7915/D/KP/2014 yang juga salah secara matematis, oleh karenanya program penilaian tidak<br />
bisa dilakukan secara computerized (interval nilai, konversi nilai dan predikat, serta KKM tidak terumuskan secara<br />
benar), padahal kita sudah memasuki era digital<br />
30<br />
20
Penilaian Rubrik, dimana kinerja siswa dihargai sebagai capaian paedagogisnya – padahal<br />
Kurikulum 2013 masih menggunakan soal-soal Pilihan Ganda yang tidak cocok sama sekali<br />
untuk penilaian rubrik yang sebenarnya mengukur tahap-tahap perkembangan kinerja siswa.<br />
Portofolio (yang merujuk pada grafik kemajuan belajar siswa), dan monitoring proses belajar<br />
siswa (yang menunjukkan daya serap siswa) tidak terukur, sehingga pendidikan holistik tetap<br />
hanya menjadi slogan (rumusan kata-kata “sikap”, “pengetahuan” dan “ketrampilan” pada KI<br />
dan KD itu tidak dapat serta merta ditafsirkan sebagai “afektif”, “kognitif” dan<br />
“psikomotor”) 19 Narasi pada rapor menjadi subyektif dan kualitatif, bahkan masih banyak<br />
yang ditulis secara manual (bukan authentic assessment lagi).<br />
Akibatnya, SPM, MBS dan manajemen kelas berdasarkan pemetaan potensi siswa (multiple<br />
intelligence) menjadi terabaikan. Apa saja yang mesti dikuasai oleh anak kelas 6 SD ? Apa<br />
saja yang mesti dikuasai oleh anak kelas 9 SMP sebagai bekal untuk penentuan jurusannya di<br />
kelas 10 SMA? Apa saja yang mesti dikuasai anak kelas 12 SMA sebagai bekal untuk masuk<br />
ke perguruan tinggi ? 20<br />
Kalau SPM tidak kunjung ditetapkan, jangan heran kalau Bimbel (bimbingan belajar) dan les<br />
privat menjamur dimana-mana. Orang tidak percaya lagi pada kualitas sekolah kita. Dengan<br />
kata lain, mengirim anak ke sekolah hanya dipahami agar anak tidak menganggur di rumah,<br />
sedangkan perkara intelektualitasnya diurus diluar jam sekolah melalui Bimbel/les privat. Hal<br />
ini nampak jelas pada anak-anak yang akan melanjutkan studi ke luar negeri, mereka harus<br />
menempuh kelas persiapan khusus (foundation) di berbagai lembaga pre-universities yang<br />
makin menjamur, baru kemudian anak itu bisa menempuh test GMAT, SAT, TOEFL, dll<br />
Padahal sampai satu dasa warsa yang lalu, ijazah kita masih diakui di luar negeri karena bobot<br />
kurikulum kita yang sangat tinggi.<br />
Puskurbuk berkilah bahwa SPM itu sudah ditetapkan dalam Permendikbud No.23 Tahun<br />
2013, padahal kalau kita kaji, isinya adalah standar sarana dan prasarana yang minimal harus<br />
ada di suatu sekolah, bukan SPM akademik yang dapat menjawab kenyataan : “kenapa<br />
banyak materi uji dalam TIMSS dan PISA yang tidak terdapat dalam kurikulum kita?” 21<br />
19<br />
Rumusan “kognitif”, “psikomotor”, dan “afektif” pada KTSP selalu dikaitkan dengan pemilihan ranah Kata Kerja<br />
Operasional, bukan dipatok sejak awal melalui rumusan KI dan KD dimana sikap adalah gabungan dari sikap spiritual<br />
dan sikap sosial yang sukar terukur (sikap spiritual harus diukur melalui SQ dan sikap sosial melalui CQ)<br />
20<br />
Bandingkan dengan kurikulum internasional yang secara jelas mencantumkan SPM, seperti IB (International<br />
Baccalaureate), CIE (Cambridge International Examination), ACT (Australian Capital Territory Certification), SAT<br />
(Scholastic Aptitude Test atau Scholastic Assessment Test dari USA)<br />
21<br />
Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian IA No 2 b Tantangan Eksternal, yang di copy paste dalam<br />
Lampiran Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian I A No.2 b Tantangan Eksternal (lihat Catatan * pada Kata<br />
Pengantar)<br />
31<br />
21
(Uraian lebih rinci tentang SPM Akademik dapat dibaca pada Bab I Filosofi Pendidikan dan<br />
Bab II Pendidikan vs Persekolahan pada bagian MBS dan SPM)<br />
PTK dan PTS menjadi kegiatan yang berdiri sendiri, lepas dari konteksnya dalam strategi<br />
pemecahan masalah pada pencapaian target kurikulum dan model belajar (siswa mau<br />
diarahkan ke kognitivisme, behaviorisme, atau ke konstruktivisme, atau tidak kemana-mana)<br />
Akibat dari pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam secara nasional pada KTSP<br />
Bimtek dan Kurikulum 2013 ini, ciri khas sekolah menjadi hilang, semua menjadi serba sama,<br />
(Silabus sama, buku ajar sama, buku pegangan guru sama, bahkan metode pembelajarannya<br />
(Metode 5 M) sama. Dengan demikian Visi dan Misi sekolah kehilangan konteksnya dalam<br />
pembelajaran di kelas. Masing-masing guru mengajar tanpa menghiraukan Visi dan Misi<br />
sekolah yang telah menjadi hiasan dinding itu. Beberapa sekolah mencoba merumuskan<br />
ciri khas dan keunggulan komparatifnya melalui pendidikan humaniora dan<br />
religiositas, namun terkendala cara pengukuran keberhasilannya dan bagaimana<br />
mengintegrasikannya dalam rapor yang mengukur kompetensi siswa.<br />
Melihat problematika SPM dan MBS yang tak kunjung diselesaikan ini, (SPM Akademik<br />
belum terumuskan dan para Pengawas tidak mendorong agar sekolah dapat memperoleh<br />
sertifikasi manajemen ISO 9001:2008), ditambah dengan rancunya menakar urgensi otonomi<br />
pendidikan dan kebebasan mimbar akademik di sekolah, maka beberapa lembaga kemudian<br />
berinisiatif mendidik tenaga gurunya sendiri. (Teacher College Universitas Pelita Harapan<br />
untuk melayani kebutuhan guru sekolah-sekolah Lippo Grup (Sekolah Pelita Harapan, Dian<br />
Harapan dan Lentera Harapan di berbagai kota), STKIP Surya Institute untuk melayani<br />
kebutuhan guru sains dan matematika yang mampu membimbing siswa dalam Olimpiade<br />
Sains dan Matematika, Mathematics Education Sampoerna University untuk melayani guru<br />
yang memenuhi kualifikasi STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) bagi<br />
Sampoerna Academy Boarding School. Masalahnya, generasi muda yang berkualitas<br />
terlanjur tidak tertarik untuk menjadi guru, sehingga harus “dipancing” dengan beasiswa.<br />
(Uraian lebih rinci tentang SPM dan MBS dapat dilihat di Bab II Pendidikan vs Persekolahan<br />
pada bagian MBS dan SPM)<br />
Mengapa peluncuran Kurikulum 2013 ini memunculkan resistensi tinggi hingga perlu<br />
pemaksaan dari Dinas Pendidikan setempat ? Karena rumusan KI (KI 1 – KI 4) sangat berbeda<br />
dengan rumusan KI universal (KI 1 – KI 6) (lihat penjelasan tentang KI yang harus dikuasai siswa<br />
pada Bab IV : Kurikulum vs Kompetensi), akibatnya KI dan KD tidak koheren, serta pijakan<br />
hukumnya rancu :<br />
22<br />
32
PP No. 32 Tahun 2013 : Pasal 77 M ayat 1 (“Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan<br />
merupakan Kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing<br />
satuan pendidikan”) dan ayat 3 (“Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ditetapkan oleh<br />
kepala satuan pendidikan”) tidak pernah disosialisasikan. Kemdikbud tetap<br />
melaksanakan pelatihan guru secara seragam dengan pengawasan ketat dari para Pengawas<br />
(Pengawas menjadi eksekutor, regulator dan evaluator kurikulum), melupakan sejarah<br />
pendidikan dimana kualitas pendidikan kita pernah diakui di luar negeri dan para guru kita<br />
pernah diminta mengajar di luar negeri. Pengambil-alihan wewenang sekolah dalam<br />
menyusun kurikulumnya sendiri di sekolahnya sendiri memancing reaksi : apakah para guru<br />
inti (instruktur) itu mempunyai kompetensi (apakah mereka spesialis disain kurikulum) dan<br />
apakah rekam jejaknya (track record) memadai untuk menjalankan fungsi implementor dan<br />
eksekutor “proyek”, karena yang dipertaruhkan adalah masa depan generasi muda kita.<br />
Istilah “instruktur” juga memunculkan konotasi “subordinasi” (para instruktur merasa<br />
mempunyai wewenang untuk mengharuskan macam-macam hal kepada para guru, padahal<br />
banyak guru S-2 mempunyai jam terbang yang cukup tinggi dalam mengajar di sekolah<br />
unggulan atau mantan RSBI atau kelas akselerasi, tapi sekarang mereka yang mumpuni ini<br />
menjadi subordinasi instruktur yang hanya mendapat pelatihan beberapa hari itu), Apakah<br />
para instruktur itu peduli dengan kemerosotan score para siswa kita dalam TIMSS (Trends in<br />
International Mathematics and Science Study), PIRL (Progress in International Reading<br />
Literacy) dan PISA (Programme in International Students Assessments)? (Banyak materi<br />
yang diujikan dalam TIMSS dan PISA tidak ada dalam kurikulum kita (Lihat Bagian I A No.<br />
2b Tantangan Eksternal pada Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013, yang di copy<br />
paste dalam Lampiran Permendikbud No. 57 Tahun 2014 (Lihat Catatan * di Kata Pengantar).<br />
Dengan kata lain, Kurikulum 2013 yang ditatar lewat para instruktur itu makin miskin<br />
materi. Apakah mereka peduli dengan makin menurunnya jumlah siswa yang mendapat<br />
beasiswa dalam sains dan iptek ke luar negeri yang mencerminkan kualitas luaran kurikulum<br />
kita yang tidak mampu bersaing di era global? Mengapa pertanyaan ini diajukan? Karena<br />
para instruktur itu selalu menjalankan lurus-lurus apa yang didapat hanya dalam beberapa<br />
hari pelatihan di tingkat nasional tanpa peduli bahwa dikemudian hari, permendikbud-nya<br />
bisa berubah lagi. Karena permendikbud yang baru harus mengacu pada tata perundangan<br />
yang lebih tinggi, yaitu PP No. 32 Tahun 2013, terutama harus mengacu pada Pasal 77 M<br />
ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 serta Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir<br />
(a) UU Guru dan Dosen yang sudah mengatur profesionalitas guru. Harap diingat bahwa<br />
permendikbud yang baru juga harus mengacu pada Nawa Cita No. 8 : “Akan menata kembali<br />
33<br />
23
kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan<br />
kewarganegaraan” dan Presiden Jokowi sudah menyatakan : “Tidak ada lagi visi dan misi<br />
kementerian, yang ada adalah visi dan misi Presiden” (Pidato Presiden Jokowi pada<br />
pelantikan para menteri Kabinet Kerja tanggal 27 Oktober 2014). Ada upaya Kemdikbud<br />
untuk “melupakan” dan mengabaikan Nawa Cita No. 8 dan Pidato Presiden Jokowi<br />
pada pelantikan menteri ini, lalu sibuk dengan misi Kemdikbud sendiri (meskipun<br />
rezim sudah berganti), yaitu menggolkan Kurikulum 2013 bikinan rezim lama at all<br />
cost.<br />
Pasal 77 F PP No. 32 Tahun 2013 tidak sinkron dengan Pasal 38 UU Sisdiknas<br />
Didalam Pasal 77 F PP No. 32 Tahun 2013 ayat 1 : “Silabus merupakan rencana<br />
pembelajaran pada mata pelajaran atau tema tertentu dalam pelaksanaan kurikulum”, dalam<br />
ayat 3 : “Silabus sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikembangkan oleh Pemerintah,<br />
pemerintah daerah dan satuan pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing”.<br />
Sedangkan kewenangan pemerintah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU No. 20<br />
Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : “Kerangka dasar dan<br />
struktur kurikulum ditetapkan oleh pemerintah”. (tidak merambah sampai ke silabus, buku<br />
ajar, buku pegangan guru, dll)<br />
Kewenangan Pemerintah Daerah sebagai koordinator dan supervisor pengembangan<br />
kurikulum, juga sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 tentang<br />
Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah<br />
dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan<br />
dan komite sekolah/madrasah dibawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan atau<br />
kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk<br />
pendidikan menengah”.<br />
Jadi dropping Silabus tunggal dan seragam melalui pelatihan guru yang seragam secara<br />
nasional itu melanggar kewenangan satuan pendidikan (sekolah) serta hak koordinasi dan<br />
supervisi dari Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten atau Dinas Pendidikan Propinsi, untuk<br />
mengembangkan kurikulum yang relevan bagi daerahnya (azas diversifikasi kurikulum<br />
seharusnya dipertahankan). Kenapa potensi daerah tidak tergarap? Karena wewenang Kepala<br />
Seksi Kurikulum di Dinas Pendidikan tumpang tindih dengan tugas para Pengawas, dan tugas<br />
LPMP telah diambil oleh Pengawas, sehingga penjaminan mutu pendidikan tidak berjalan<br />
sebagaimana mestinya. Sebagaimana sudah diuraikan di atas, penjaminan mutu hanya bisa<br />
berjalan bila guru mampu mengembangkan Silabus dan RPP sendiri sesuai Standar Proses.<br />
Di lain pihak tugas pemberdayaan guru yang diemban oleh PPPG/PPPPTK sudah diambil<br />
34<br />
24
alih para instruktur nasional, para guru diharuskan menerapkan lurus-lurus instruksi para<br />
instruktur. Tugas dan wewenang Kepala Sekolah yang sudah dibina melalui LPPKS<br />
dimentahkan oleh keberadaan Pengawas Sekolah (Lihat Lampiran Permendikbud No.65<br />
Tahun 2013 Bab VI No.2 : Sistim dan entitas pengawasan). Aplikasi Kurikulum 2013 tidak<br />
boleh melenceng sedikitpun dari bahan tatar. (Lihat Catatan kaki No. 4 dan Catatan kaki<br />
No.5). Inilah saatnya, Kemdikbud melakukan reformasi birokrasi, bila Kemdikbud mau<br />
melaksanakan Nawa Cita No.5 dan Nawa Cita No.8<br />
Akhirnya, isi Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014 dilupakan, Kemdikbud tidak<br />
mempersiapkan sekolah menuju ke SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) dan para Pengawas<br />
tidak mempersiapkan sekolah meraih sertifikasi manajemen ISO 9001:2008, padahal era<br />
globalisasi dan liberalisasi pendidikan sudah diberlakukan di tahun 2015 ini (strong human<br />
capital dan culture of excellence tidak tersentuh dalam Kurikulum 2013).<br />
Kenapa silabus tidak boleh diurus oleh pemerintah?<br />
Alur filosofinya jelas, yaitu silabus yang berlaku sejak KBK (2004), KTSP Bimtek (2008) dan kini<br />
pada silabus kurikulum 2013 adalah Silabus campuran (mixed syllabus), yaitu perpaduan antara:<br />
Silabus Pemelajaran (Learner-generated syllabus), Silabus yang berorientasi pada tugas (taks-based<br />
syllabus), Silabus yang berorientasi pada ketrampilan (skill-based syllabus) dan Silabus kontekstual<br />
(situational syllabus). Jadi Silabus tidak dapat copy paste dari buku atau dari penataran Kemdikbud<br />
yang seragam itu karena mengingkari hakekat Silabus kontekstual (situational syllabus). Kalau<br />
silabus dirumuskan oleh pemerintah, maka kelompok penyusun silabus bentukan pemerintah ini,<br />
yang terdiri dari orang-orang dengan bermacam-macam latar belakang, yang tidak mendalami sejarah<br />
pendidikan Indonesia, akan cenderung kompromistis untuk mengejar tenggat waktu, sehingga<br />
banyak bahan ajar/materi yang hilang dari silabus (Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun<br />
2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal, yang di copy paste di Lampiran Permendikbud<br />
No.57 Tahun 2014 Bagian I A No. 2 b) (lihat Catatan * di Kata Pengantar)<br />
Pasal 77 F ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 (“Silabus dikembangkan oleh pemerintah,<br />
pemerintah daerah, dan satuan pendidikan sesuai kewenangan masing-masing”), ayat ini<br />
tidak mengacu pada Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas yang menjunjung otonomi sekolah<br />
(“Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip<br />
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik”).<br />
Jadi jelaslah, bahwa Pasal 77 F ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 ini sejak semula digunakan untuk<br />
melegitimasi pembuatan silabus oleh pemerintah (memangkas otonomi sekolah) sehingga<br />
35<br />
25
pemerintah merasa punya hak untuk membuat juga buku ajar dan buku pegangan guru (mengebiri<br />
Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005), namun maksud hegemoni pemerintah ini justru melanggar UU di<br />
atasnya. Kalau guru tidak lagi bisa membuat Silabus, maka guru tidak mungkin bisa membuat diktat<br />
dan modul, penerapan SKS menjadi angan-angan saja (Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014<br />
itu menjadi utopia). Yang ada adalah penerapan paket SKS yang sudah lama dilakukan pada sekolahsekolah<br />
RSBI dulu dan kelas akselerasi, yang tidak mungkin diakreditasi secara internasional.<br />
Pasal 77 F ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 ini secara jelas menunjukkan bahwa<br />
Kemdikbud sebagai inisiator Kurikulum 2013 juga bertindak sebagai implementor dan<br />
regulator, serta evaluator pendidikan. Suatu rangkap jabatan yang sangat ditentang dalam<br />
era reformasi karena menyalahi sepuluh prinsip good governance, yang tertuang dalam Pasal<br />
4 UU No.25 Tahun 2009.<br />
Kenapa kekeliruan ini bisa terjadi?<br />
Karena sejak awal rupanya Kemdikbud bermaksud meniadakan otonomi pendidikan (otonomi<br />
sekolah, otonomi guru dan kebebasan mimbar akademik) demi “proyek penyerapan anggaran 20%<br />
dari APBN untuk sektor pendidikan” Kalau besaran APBN kita lebih dari Rp.2.000 trilyun, maka<br />
anggaran untuk sektor pendidikan kurang lebih adalah Rp.400 trilyun. Untuk pendidikan dasar dan<br />
menengah di lingkup Kemdikbud saja Rp. 45 trilyun. Bingung, kan bagaimana penyerapan dana<br />
sebesar itu? Kenapa tidak dirupakan kelengkapan sarana dan prasarana sekolah? Karena spec<br />
alatnya mudah dimonitor sehingga tidak mungkin di mark up. Disamping itu, pembelian peralatan<br />
hanya sesaat (tidak berkelanjutan), sekolah yang sudah mempunyai peralatan CCTV tidak mungkin<br />
membeli CCTV yang baru. Maka digagaslah program berkesinambungan yaitu program tebar uang<br />
melalui sertifikasi guru yang tidak terkait uji kompetensi guru dan kinerja guru, sistim evaluasi<br />
tunggal (UN) dan peluncuran kurikulum baru, dengan mengubah peraturan (Lihat Catatan kaki No.25<br />
: mengubah peraturan sebagai modus pencairan dana)<br />
Lihatlah rumusan Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 : “Perencanaan pembelajaran merupakan<br />
penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran untuk setiap muatan pembelajaran”.<br />
Bandingkan dengan rumusan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 yang menjadi dasar hukum<br />
Kurikulum 2006 : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus, rencana<br />
pelaksanaan pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi<br />
ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”.<br />
26<br />
36
Jadi jelas bahwa Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 ini menghapus kewenangan guru dalam membuat<br />
silabus, menentukan materi ajar dan sumber belajar. Dengan kata lain, kewenangan untuk membuat<br />
silabus sendiri, memilih sendiri buku ajar dan buku pegangan guru dirampas.<br />
Guru dikerdilkan hanya menjadi penyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), itupun RPP<br />
yang seragam lewat pelatihan guru yang seragam dan sama secara nasional, terjadi pendangkalan<br />
makna profesi guru dan wewenang keguruan (cult of philistinism)<br />
Jadi pendidikan selama 4 tahun di FKIP itu dikerdilkan hanya menjadi kemampuan menyusun<br />
RPP, dan juga banyak guru dari mantan sekolah RSBI itu berpendidikan S-2, wajarkah bila<br />
mereka juga harus mengikuti pelatihan penyusunan RPP dalam Kurikulum 2013?<br />
Jelas sekali bahwa proyek pelatihan guru ini adalah proyek penghamburan uang rakyat (porsi<br />
terbesar postur APBN kita diperoleh dari pajak yang dibayar oleh rakyat)<br />
Harap diingat, sebenarnya PP No. 19 tahun 2005 ini masih berlaku dengan diberlakukannya<br />
Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 yang ditanda tangani oleh<br />
Mendikbud Anies Baswedan tanggal 11 Desember 2014, namun “proyek besar penyerapan<br />
anggaran” melalui Kurikulum 2013 ini tetap meneruskan dan melestarikan hegemoni pemerintah<br />
melalui pelatihan guru secara seragam dan sama secara nasional, yang dilengkapi dengan keberadaan<br />
Pengawas, yang menghapus kebebasan mimbar akademik para guru<br />
Isi ketentuan Pasal 39 ayat 3 UU No.14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen), yang dijabarkan<br />
dalam Pasal 7 butir (h) dan Pasal 14 butir (c ) UU Guru dan Dosen : guru berhak mendapat<br />
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan sehingga bebas dari<br />
ancaman, intimidasi dan perlakuan tidak adil dari birokrasi (hanya karena guru tersebut mau<br />
melaksanakan Kurikulum 2006 sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3<br />
Permendikbud No.160 Tahun 2014). Ternyata kebebasan mimbar akademik ini digerus<br />
dengan dikeluarkannya peraturan yang lebih rendah, yaitu Lampiran Permendikbud No.65<br />
Tahun 2013 Bab VI No.2 : Sistim dan entitas pengawasan, yang memberi wewenang penuh<br />
kepada :<br />
- Pengawas Sekolah untuk mengontrol manajemen sekolah (mengabaikan MBS yang sudah<br />
diatur dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas)<br />
- Pengawas Mata Pelajaran untuk mengontrol guru mata pelajaran (mengabaikan<br />
profesionalitas guru yang sudah diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20<br />
butir (a) UU Guru dan Dosen<br />
37<br />
27
Fungsi kepengawasan ini dengan sengaja dirancang untuk penyeragaman kurikulum dan<br />
pemberlakuan kurikulum tunggal (Kurikulum 2013) dengan pendekatan kekuasaan, yang menabrak<br />
azas diversifikasi kurikulum, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, dengan<br />
pasal turunannya yaitu Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005.<br />
Secara sadar dan terencana, Kemdikbud telah menurunkan harkat dan martabat guru sebagai<br />
pendidik, menjadi sekedar tukang mengajar dan petugas administrative, demi mengejar<br />
misinya sendiri (abai terhadap Nawa Cita No.8). Kemdikbud lupa akan “proyek yang lebih<br />
besar” yaitu menyiapkan sekolah dan para guru dalam menyongsong era globalisasi dan liberalisasi<br />
pendidikan yang sudah dimulai tahun 2015 ini agar memenuhi aspirasi yang diusung oleh Nawa Cita<br />
No.5 (Kemdikbud harus menyiapkan strong human capital dan menciptakan culture of excellence).<br />
<br />
Pengucuran anggaran yang begitu besar untuk sosialisasi Kurikulum 2013 dan<br />
pencetakan buku ajar, serta buku pegangan guru telah membuat sarana dan prasarana<br />
pendidikan kita terbengkalai. Masih banyak bangunan sekolah yang rusak, sarana<br />
laboratorium yang kurang memadai untuk kegiatan intra kurikuler : praktikum IPA dan<br />
praktikum akuntansi, laboratorium Bahasa yang menjadi barang langka di banyak sekolah,<br />
peralatan olah raga dan musik terbengkalai, dll Bagaimana mungkin dengan kondisi<br />
persekolahan yang kurang memadai ini, sekolah dapat diharapkan menerapkan moving class<br />
dan micro teaching agar mampu melaksanakan pembelajaran mandiri dalam SKS<br />
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014 ?<br />
Sejak disosialisasikannya KTSP Bimtek (2008) yang berbeda dengan Kurikulum 2006 (KTSP awal),<br />
dan kemudian dilanjutkan dalam Kurikulum 2013, di lapangan muncul adanya Pengawas Sekolah<br />
dan Pengawas Mata Pelajaran sebagai cerminan hegemoni pemerintah dalam pengajaran dan<br />
pembelajaran di kelas (bukan sekedar hegemoni pendidikan), padahal jabatan pengawas itu tidak<br />
dikenal dalam UU Guru dan Dosen (guru dan dosen tidak perlu diawasi) 22 tapi muncul dalam<br />
peraturan yang lebih rendah yaitu Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No 2 : Sistim dan Entitas<br />
Pengawasan (Permendikbud tentang Pengawas ini menyalahi tata urutan perundangan yang<br />
ada, kalau Permendikbud menyalahi aturan yang lebih tinggi, harusnya gugur demi hukum)<br />
(Lihat catatan kaki No.4)<br />
Dalam Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 malah disebut fungsi pengawasan internal itu<br />
melekat pada setiap satuan pendidikan (sekolah) dan tidak diubah dalam Pasal 19 ayat 3 PP No.<br />
22<br />
Isi Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 itu sama dengan isi Pasal 19 ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : pengawasan itu<br />
inheren dalam tugas professional guru (lihat juga Catatan kaki No. 4)<br />
38<br />
28
32 Tahun 2013 : “Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran,<br />
pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses<br />
pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien”.<br />
Sudah layak kita mengikuti analogi pergantian jabatan rektor perguruan tinggi, setelah seseorang<br />
tidak lagi menjabat rektor, maka dia kembali mengajar sebagai dosen biasa. Bahkan mantan<br />
Mendikbud Prof Dr. Fuad Hasan telah memberi contoh, setelah tidak lagi menjabat menteri, beliau<br />
kembali mengabdi sebagai dosen UI. Kenapa untuk mantan Kepala Sekolah harus disediakan jabatan<br />
khusus : Pengawas Sekolah ? Lebih aneh lagi adalah Pengawas Mata Pelajaran : apakah mereka itu<br />
para doktor yang lulus cum laude sehingga merasa berhak mengawasi pelaksanaan mata pelajaran di<br />
kelas dan mengatur guru S-1 atau S-2 mata pelajaran yang sudah dididik di PGSD/FKIP serta sudah<br />
disertifikasi ?<br />
Sebab kalau kita rujuk pada Pasal 23 PP No. 19 Tahun 2005 (yang tidak diubah dalam PP No. 32<br />
Tahun 2013) dinyatakan bahwa supervisi juga dilakukan oleh sekolah (bukan oleh pengawas) :<br />
“Pengawasan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 3 meliputi<br />
pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan dan pengambilan langkah tindak lanjut yang<br />
diperlukan”.<br />
Hal ini sudah lama dipraktekkan, supervisi guru dilakukan oleh Kepala Sekolah masing-masing, tapi<br />
tiba-tiba muncul Pengawas Mata Pelajaran, sehingga guru mempunyai dua atasan, yaitu Kepala<br />
Sekolahnya dan Pengawas Mata Pelajaran. Dualisme ini harus segera diakhiri kalau kita ingin<br />
menegakkan otonomi guru dan kebebasan mimbar akademik, yang pada masa lalu telah memantik<br />
kreativitas guru dan menjadikan pendidikan di negara kita sebagai rujukan bagi negara lain.<br />
Demikian juga halnya dengan keberadaan Pengawas Sekolah, padahal kriteria untuk menjadi<br />
Kepala Sekolah sudah dirumuskan dengan jelas dalam Pasal 38 PP No. 19 Tahun 2005 (yang tidak<br />
diubah dalam PP No. 32 tahun 2013) dan peraturan turunannya yaitu Permendiknas No.28 Tahun<br />
2010, lalu kenapa ada Pengawas Sekolah ? Bukankah hal ini melanggar azas otonomi sekolah (Pasal<br />
77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013)? (lihat juga Catatan kaki No.4)<br />
Kemdikbud berkilah bahwa keberadaan Pengawas ini sejalan dengan ketentuan Pasal 10 UU<br />
Sisdiknas, padahal bunyi lengkap pasal ini adalah “Pemerintah dan Pemerintah daerah berhak<br />
mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan”, padahal arti<br />
sebenarnya adalah :<br />
1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi<br />
penyelenggaraan pendidikan, yang artinya mengarahkan, membimbing, membantu dan<br />
39<br />
29
mengawasi standarisasi proses pendidikan, bukan mengarahkan, membimbing, membantu<br />
dan mengawasi penyelenggara pendidikan atau mengawasi sekolah.<br />
Artinya, sesuai dengan UU, Pengawas seharusnya tidak mempunyai fungsi komando ke<br />
sekolah<br />
Jadi keberadaan Pengawas seharusnya terkait dengan Standar Proses (Pengembangan RPP,<br />
Pengembangan Silabus, Penerapan PAKEM/PAIKEM/PAIKEM GEMBROT, serta aplikasi<br />
pembelajaran kontekstual (contextual teaching learning)<br />
2. Pengawas bukan saja menjalankan fungsi pengawasan an sich, tetapi juga mengarahkan,<br />
membimbing dan membantu tercapainya Standar Nasional Pendidikan (SNP) secara lebih<br />
cepat.<br />
Kehadiran para Pengawas ini juga mengacaukan arti SKM (Sekolah Kategori Mandiri) :<br />
mandiri dalam hal apa? Kenyataannya, sekolah secara finansial masih didukung oleh dana BOS dan<br />
macam-macam dana pemerintah yang lain; secara paedagogik : kurikulumnya ditentukan oleh<br />
Kemdikbud; secara didaktik : metode dan sistim konversi nilai juga sudah digariskan oleh<br />
Kemdikbud. Jadi SKM ini tidak lebih dari slogan kosong, sama kosongnya seperti rumusan Visi dan<br />
Misi sekolah, karena semua sekolah sudah dibuat seragam, seragam bajunya dan seragam<br />
kurikulumnya, apapun Visi dan Misi sekolahnya.<br />
Munculnya Pengawas ini dulu seiring dengan dikucurkannya dana BOS mengabaikan fungsi<br />
pengawasan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang mempunyai aparat<br />
sampai ke daerah dan Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) atau Inspektorat Wilayah Propinsi<br />
(Itwilprop) dan Inspektorat Wilayah Kabupaten (Itwilkab)<br />
Mungkin ada pejabat yang menyalah-artikan kata penilik sekolah dan menyamakan dengan<br />
pengawas, padahal dalam Pasal 40 ayat 1 PP No. 19 tahun 2005 (dan tidak diubah dalam PP No. 32<br />
Tahun 2013) : penilik sekolah itu adalah pengawas pendidikan non formal, bukan pendidikan formal<br />
“Pengawasan pada pendidikan non formal dilakukan oleh penilik satuan pendidikan”.<br />
Mungkin pula ada pejabat yang menyatakan : bukankah pengawas itu sudah ada sejak dulu?<br />
Tidak benar, yang ada adalah Dinas Pendidikan menjalankan fungsi supervisi pengembangan<br />
kurikulum sebagai amanat dari Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas, dengan mandat Pasal 1 ayat 2<br />
Permendiknas No. 24 Tahun 2006 : Satuan pendidikan dapat mengembangkan kurikulum dengan<br />
standar yang lebih tinggi (bukan kurikulum seragam, apapun visi dan misi sekolahnya) (Dinas<br />
Pendidikan mensupervisi apakah Isi Standar Proses Kurikulum 2006 : Pengembangan Silabus,<br />
Pengembangan RPP, PAKEM dan Pendidikan yang konstektual, sudah dijalankan atau belum), maka<br />
kurikulum sekolah Taman Siswa bisa berbeda dengan kurikulum sekolah Muhammadiyah, bahkan<br />
kurikulum antar sekolah negeripun bisa berbeda, sehingga orang tua mempunyai pilihan terbuka.<br />
30<br />
40
Sama halnya kalau orang tua memilih menyekolahkan anaknya ke ITS atau ke ITB, pilihan terbuka<br />
karena kurikulumnya berbeda, meskipun kedua perguruan tinggi itu sama-sama menawarkan studi<br />
sains dan iptek.<br />
Jadi fungsi supervisi Dinas Pendidikan di masa lalu justru memacu tumbuhnya keunggulan<br />
lokal dari setiap sekolah, bukan menyeragamkan kurikulum seperti yang dilakukan para Pengawas<br />
sekarang. (lihat Catatan kaki No.4)<br />
Ketua Umum Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia, Cucu Saputra, mengatakan bahwa peran<br />
pengawas selama ini, di sekolah lebih banyak berorientasi pada hal-hal yang berkaitan dengan<br />
administrasi guru, tidak pada substansi pengembangan dan inovasi pembelajaran. Bahkan,<br />
cenderung menjadi perpanjangan tangan kebijakan nasional di bidang kurikulum yang ujungnya<br />
bersifat administratif. Menurut Cucu, pengawas seharusnya membimbing sekolah guna<br />
mempercepat pencapaian standar nasional pendidikan. Pengawas juga perlu mendorong sekolah<br />
mengedepankan manajemen sekolah yang transparan dan akuntabel. (KOMPAS, Selasa 11 Agustus<br />
2015 halaman 11 : "Beban Pengawas Berat – Orientasi Masih Administrasi")<br />
Keberadaan Pengawas yang justru memasung kebebasan mimbar akademik itu juga<br />
melanggar ketentuan Pasal 7 butir (h) UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru<br />
dan Dosen) karena mengingkari prinsip prosefionalitas guru : “Pendidik memiliki jaminan<br />
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan” – jadi guru tidak boleh diancam<br />
akan dicabut tunjangan sertifikasinya hanya karena guru tersebut tidak mau melaksanakan<br />
Kurikulum 2013 dan lebih memilih menerapkan Kurikulum 2006 yang dasar hukumnya secara jelas<br />
sudah terumuskan dalam Catatan kaki No.2<br />
Guru yang kreatif (yang mampu berpikir out of the box dalam era digital ini), guru yang bisa<br />
melihat alternatif lain dari arus pemikiran mainstream (arus maninstream nekad melaksanakan<br />
Kurikulum 2013 tanpa perbaikan), atau guru yang mampu melihat alternatif lain dari SAS dan SIP<br />
di Prov DKI Jakarta) atau guru yang mampu melihat kemungkinan peluang lain ini seharusnya<br />
dianggap sebagai aset bangsa, karena memberi nuansa baru dalam era liberalisasi dan globalisasi<br />
pendidikan dewasa ini : Lihat Pasal 14 ayat 1 butir (c) UU Guru dan Dosen : “Pendidik memperoleh<br />
perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual” Mereka ini adalah<br />
perintis jalan untuk digitalisasi kurikulum dan e-learning, dari tangan merekalah terlahir kurikulum<br />
berbasis kearifan lokal. Mereka seharusnya didukung, bukan malah diancam akan dikeluarkan dari<br />
sistim, hanya karena sikap kritis mereka terhadap Kurikulum 2013 atau Ujian Nasional (Kurikulum<br />
2013 atau SAS dan SIP. Kurikulum 2013 beserta semua perangkatnya bukan kitab suci yang wajib<br />
diikuti dan ditaati dan instruksi Pengawas bukan kebenaran yang harus dilaksanakan, dunia<br />
pendidikan sejak lama dikerdilkan dengan tafsir tunggal dan sistematik.<br />
41<br />
31
Para guru yang menjunjung semangat elaborasi substansi pendidikan ini seharusnya dilindungi,<br />
sesuai ketentuan Pasal 14 ayat 1 butir (g) UU Guru dan Dosen : “Pendidik memperoleh rasa aman<br />
dan jaminan keselamatan dalam menjalankan tugas” - mereka seharusnya bebas dari intimidasi para<br />
Pengawas dan Dinas Pendidikan, sesuai ketentuan Pasal 39 ayat 3 UU Guru dan Dosen :<br />
“Perlindungan hukum mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman,<br />
perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak birokrasi” Namun melalui<br />
legitimasi peraturan yang lebih rendah (Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No. 2<br />
b) semua pasal UU ini menjadi tidak berarti karena kedudukan guru justru dikukuhkan sebagai<br />
subordinasi Pengawas (Kemdikbud secara sengaja telah mendefungsionalkan jabatan guru hanya<br />
demi penerapan Kurikulum 2013) dengan sanksi pencabutan tunjangan sertifikasi atau mengelirukan<br />
data pendidik dalam Dapodik sehingga pendidik sulit mengurus hak-haknya. Pengawas dan Dapodik<br />
menjadi “penguasa baru” dalam mengontrol sekolah dan para guru.<br />
Apa bahayanya bila jabatan Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata pelajaran ini dilestarikan?<br />
Anggaran Kemdikbud akan habis hanya untuk memberi tunjangan dan fasilitas bagi PNS non guru,<br />
birokrat non struktural, serta belanja pegawai, sehingga infrastruktur pendidikan terbengkalai (tidak<br />
cukup anggaran untuk up dating dan upgrade laboratorium IPA, laboratorium bahasa, laboratorium<br />
komputasi, laboratorium akuntansi, sarana prasarana olah raga dan musik, serta logistik kepramukaan<br />
dan kelengkapan UKS/UKGS). Akibatnya pendidikan holistik hanya menjadi slogan. Praktikum di<br />
laboratorium yang sebenarnya ditujukan untuk melatih psikomotorik siswa diturunkan menjadi<br />
kegiatan visual melalui demonstrasi di depan kelas, karena keterbatasan waktu dan keterbatasan<br />
peralatan lab. Laboratorium komputasi yang sebenarnya ditujukan untuk melatih siswa menjadi<br />
programmer telah dihapus dan diturunkan derajatnya : siswa hanya menjadi sekedar user. Prestasi<br />
olah raga kita makin memburuk dan siswa kita cenderung makin gemuk karena kurang gerak, akibat<br />
minimnya fasilitas olah raga di sekolah, sedangkan di rumah mereka hanya sibuk dengan gawai<br />
(gadget), atau menonton sinetron di TV, dll Dengan kata lain, kurikulum adalah pertaruhan masa<br />
depan generasi muda kita, bukan proyek yang abai terhadap arus globalisasi dan liberalisasi<br />
pendidikan (yang dicoba ditahan dengan Permendikbud No.31 Tahun 2014 tanpa merujuk pada<br />
ketentuan WTO dan mekanisme ACMW)<br />
Seandainya para penyusun Kurikulum 2013 itu berorientasi pada Finlandia, dan bukan<br />
kepada negara-negara OECD, maka mereka pasti menyadari pentingnya tut wuri handayani dan tidak<br />
mengubahnya menjadi tut wuri hanggondeli 23 melalui keberadaan pengawas, dan tidak akan<br />
23<br />
Tut wuri handayani : “memberi support dari belakang”. Tut wuri hanggondeli : “menelikung dari belakang”.<br />
32<br />
42
mengubah Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 24 Ketidak<br />
acuhan jajaran Kemdikbud terhadap kunjungan Presiden Finlandia awal November 2015 ini ke<br />
Indonesia, jelas menunjukkan bahwa Kemdikbud hanya sibuk dengan visi dan misinya sendiri,<br />
melupakan visi dan misi Presiden RI yang tertuang dalam Nawa Cita No.1, No.5 dan No.8.<br />
Pengubahan isi ketentuan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 ini jelas-jelas untuk memuluskan rencana<br />
pemerintah dalam “proyek penyerapan anggaran” melalui penyusunan silabus, pembuatan buku ajar<br />
(materi ajar/sumber belajar), buku pegangan guru (buku panduan pelaksanaan proses pembelajaran<br />
di kelas) dan pencetakan format rapor yang baru. Kita memasuki era pendangkalan (cult of<br />
philistinism).<br />
Pengubahan peraturan setingkat PP ini di kementerian lain bisa memancing persoalan hukum yang<br />
serius 25 dan masuk dalam ranah penyelidikan KPK, karena pengubahan peraturan itu sudah menjadi<br />
modus yang dikenal luas untuk pengucuran dana. (Inisiator tidak boleh sekaligus menjadi<br />
implementor atau eksekutor dan regulator, apalagi menjadi evaluator keberhasilan proyek. Hal ini<br />
jelas-jelas melanggar sepuluh prinsip good governance (tata kelola yang baik) sebagaimana sudah<br />
diatur dalam Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009 dan tuntutan Nawa Cita No.1.<br />
Oleh sebab itu, secara cerdik, Presiden SBY menyisipkan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32<br />
Tahun 2013 26 untuk memotong hegemoni pemerintah ini, sekaligus mempertahankan isi Pasal 20 PP<br />
No. 19 Tahun 2005 ini. Sebenarnya Presiden SBY ingin mempertahankan fungsi guru sebagai<br />
pendidik (bukan sekedar tukang mengajar, atau petugas administratif RPP, yang hanya tahu arahan<br />
pembuatan RPP dengan metode tunggal (5 M), tetapi guru sebagai konseptor, inisiator, disainer<br />
kurikulum dan planner kegiatan pembelajaran, sayang sekali “proyek besar” telah membuat<br />
orang gelap mata.<br />
Mengapa disebut “gelap mata” ? Karena meskipun sudah ada ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3<br />
Permendikbud No. 160 Tahun 2014, dan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013, orang<br />
tetap melanjutkan pelaksanaan Kurikulum 2013 yang bertolak belakang dengan Kurikulum<br />
2006 (lihat dasar hukum Kurikulum 2006 di catatan kaki No. 2 pada Bab Pendahuluan), semata-mata<br />
24<br />
Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus, rencana pelaksanaan<br />
pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber<br />
belajar, dan penilaian hasil belajar”.<br />
Bandingkan dengan Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 : “Perencanaan pembelajaran merupakan penyusunan rencana<br />
pelaksanaan pembelajaran untuk setiap muatan pembelajaran”.<br />
25<br />
Ingat kasus Bank Century, yang diawali dengan pengubahan PBI (Peraturan Bank Indonesia) untuk memuluskan bail<br />
out (dana talangan) Bank Century<br />
26<br />
Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013 : “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan kurikulum operasional<br />
yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan”.<br />
Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ditetapkan oleh kepala satuan<br />
Pendidikan”.<br />
43<br />
33
demi kelangsungan dan keberlanjutan “proyek besar”, lalu melupakan ketentuan Pasal 5<br />
Permendikbud No.158 Tahun 2014, karena Kurikulum 2013 tidak compatible dengan sistim baku<br />
SKS yang memerlukan prasyarat khusus, mulai dari moving class sampai pembuatan diktat, LKS,<br />
dan modul. Kurikulum 2013 ini hanya cocok untuk paket SKS, yang tidak lain adalah baju baru dari<br />
kelas akselerasi di sekolah unggulan atau mantan sekolah RSBI dulu.<br />
Kalau guru tidak bisa membuat silabus, tidak bisa lagi menyusun diktat (karena buku<br />
ajar/materi/sumber belajar sudah ditentukan oleh pemerintah) dan bingung dengan proses penilaian,<br />
bagaimana mungkin para guru bisa membuat LKS, dan modul serta mampu melaksanakan<br />
monitoring proses belajar dan evaluasi hasil belajar sebagaimana dituntut dalam sistim baku SKS ?<br />
Kebingungan akibat ketidak jelasan pijakan dasar hukum, tercermin pula pada Mendikbud Anies<br />
Baswedan :<br />
Pasal 6 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 : “Ketentuan lebih lanjut mengenai Kurikulum<br />
2006 akan diatur dalam peraturan menteri tersendiri”.<br />
Bagaimana mungkin Kurikulum yang diluncurkan tahun 2006, aturannya baru akan<br />
disusun tahun 2015 ? Kalau Mendikbud Anies Baswedan merujuk pada tata perundangan,<br />
maka seharusnya tidak boleh ada Pasal 6 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 ini karena sudah<br />
ada peraturan yang satu tingkat lebih tinggi, yaitu PP No. 32 Tahun 2013. Dalam Pasal 77 M<br />
ayat 1 dinyatakan bahwa kurikulum itu adalah wewenang guru.<br />
Kurikulum disusun oleh guru sendiri dan dilaksanakan di sekolahnya sendiri. Bukan disusun<br />
oleh pemerintah dan dilaksanakan di semua sekolah. Ketentuan ini selaras dengan isi<br />
Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 yang menjadi dasar hukum Kurikulum 2006. Pasal 6<br />
Permendikbud No. 160 Tahun 2014 ini seharusnya juga tidak boleh ada bila Mendikbud<br />
Anies Baswedan mengacu pada Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : Kurikulum itu<br />
ditetapkan oleh kepala sekolah, bukan ditetapkan oleh pemerintah atau Puskurbuk.<br />
Kalau jajaran Kemdikbud ngotot ingin mengatur Kurikulum 2006, bukankah peraturan<br />
menteri terkait Kurikulum 2006 itu sudah sangat lengkap (lihat Catatan kaki No. 2<br />
tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan). Kenapa mesti membuat<br />
peraturan baru yang memaksakan pemberlakuan Kurikulum 2013 dan abai pada<br />
Nawa Cita No.8 ?<br />
Pasal 4 Permendikbud No.160 Tahun 2014 : “Sekolah dapat melaksanakan Kurikulum 2006<br />
paling lama sampai dengan tahun pelajaran 2019/2020”.<br />
Banyak yang mengartikan bahwa di tahun ajaran 2019/2020 itu kita harus melaksanakan<br />
Kurikulum 2013, tanpa melihat bahwa tahun itu adalah tahun pemberlakuan APEC 2020.<br />
Menghadapi AFTA 2015 saja kita tidak siap : tidak melihat bahwa migrasi guru adalah hak<br />
34<br />
44
azasi yang harus dilindungi sesuai dengan mekanisme ACMW, bagaimana kita akan bersaing<br />
dengan sekolah asing dan guru asing yang akan membanjiri Indonesia, bila kita berkukuh<br />
pada Kurikulum 2013 yang banyak mengandung kesalahan ini, dan tidak menyiapkan guruguru<br />
kita dalam penyusunan modul untuk menyongsong pemberlakuan sistim baku SKS<br />
(bukan paket SKS) menuju ke SBI, yang dilengkapi dengan sertifikasi manajemen ISO<br />
9001:2008? Bukankah pemberlakuan KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013 telah<br />
membuat pendidikan kita terpuruk? (lihat survey di bagian akhir dari Bab Pendahuluan ini)<br />
Melanjutkan kembali Kurikulum 2013 pada saat ini atau nanti pada tahun pelajaran<br />
2019/2020 jelas-jelas mengabaikan amanat Nawa Cita No.8 : “Akan menata kembali<br />
kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan<br />
kewarganegaraan” dan melupakan pidato Presiden Jokowi saat pelantikan Menteri Kabinet<br />
Kerja tanggal 27 Oktober 2014 : “Presiden mengingatkan para menteri bahwa visi dan misi<br />
Presiden adalah yang utama dan tak ada lagi visi kementerian”<br />
Maka lupakan Kurikulum 2013 yang mau dilestarikan lewat Permendikbud No. 31 Tahun 2013, yang<br />
hendak membatasi masuknya modal asing dan lalu lintas SDM asing, yang bisa memancing reaksi<br />
negatif WTO dan ACMW. Yang bisa kita lakukan adalah meningkatkan kualitas pendidikan kita<br />
melalui e-learning berbasis kurikulum digital sehingga kita sungguh-sungguh menyiapkan generasi<br />
muda kita dalam menghadapi MEA 2015.<br />
Simpulan, kalau kita kaji lagi secara mendalam :<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
28 peraturan menteri terkait Kurikulum 2013 yang dibuat oleh Mendikbud M.Nuh selama<br />
kurun waktu 2013-2014, terlihat bahwa yang selalu disebut berulang-ulang adalah KTSP.<br />
Oleh sebab itu kita perlu mengenali arti harafiah KTSP (kurikulum tingkat sekolah) dan arti<br />
filosofisnya yaitu dijunjungnya azas otonomi pendidikan dan desentralisasi pendidikan.<br />
Dasar hukum dari Kurikulum 2013 yaitu PP No. 32 Tahun 2013 : Pasal 77 M ayat 1 (otonomi<br />
guru), dan ayat 3 (otonomi sekolah) mendukung premis di atas.<br />
Wewenang guru dalam Pasal 20 PP No. 19 tahun 2005 yang dipangkas menjadi kerdil dalam<br />
Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 : guru diturunkan harkatnya menjadi sekedar penyusun RPP,<br />
padahal dalam Standar Proses Kurikulum 2006 : sudah termaktub kewajiban untuk<br />
mengembangkan Silabus dan RPP. Jadi dalam Kurikulum 2013, RPP-nya bukan makin<br />
dikembangkan, malah dimulai lagi dari nol, seolah-olah semuanya baru diketahui hingga para<br />
guru perlu dilatih/ditatar lagi.<br />
Dualisme kepemimpinan sekolah dengan munculnya Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun<br />
2013 Bab VI No. 2 B : supervisi manajerial oleh Pengawas Sekolah dan supervisi akademik<br />
45<br />
35
oleh Pengawas Mata Pelajaran, mengabaikan pengawasan yang melekat pada tugas<br />
profesional guru sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19 ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013<br />
Kalau mau menerapkan KTSP 2013 : Prasyarat menjadi Kepala Sekolah dalam kaitan dengan<br />
KTSP sudah dirumuskan dengan baik dalam Permendiknas No.28 Tahun 2010 dan<br />
pemberdayaan serta pengembangan potensi Kepala Sekolah adalah tupoksi dari LPPKS<br />
(Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah) yang didirikan atas dasar<br />
Permendiknas No.6 Tahun 2009 (Lihat Catatan kaki No.4). Kenapa ada lagi Pengawas<br />
eksternal (Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran)? Lalu apa arti SKM (sekolah<br />
kategori mandiri) dan kapan pemerintah mempersiapkan dunia pendidikan menghadapi era<br />
globalisasi dan liberalisasi pendidikan (kapan pemerintah memfasilitasi pembentukan SBI<br />
yang terakreditasi internasional dan penerapan sertifikasi manajemen ISO 9001:2008)<br />
Guru yang otonom, yang menjunjung azas kebebasan mimbar akademik adalah keniscayaan,<br />
sesuai dengan amanat Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan<br />
Dosen. Jadi kemampuan guru dalam menyusun silabus dan RPP serta diktat sendiri itu, yang<br />
menunjukkan profesionalitas seorang guru itu, diakui sebagai hak kekayaan intelektual yang<br />
dilindungi hukum (Pasal 7 butir (h) UU Guru dan Dosen), bukan malah dicabut dengan<br />
ketentuan Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013. Pemberlakuan Kurikulum 2013 telah<br />
memberangus kreativitas guru.<br />
Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal :<br />
banyaknya materi uji yang ditanyakan dalam TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam<br />
kurikulum kita, sehingga siswa sukar mengerjakan soal-soal TIMSS dan PISA. Banyaknya<br />
materi yang hilang dari kurikulum kita ini tidak kunjung dicari solusinya karena abai pada<br />
sejarah pendidikan kita. Alih-alih mencari solusi, Kemdikbud bahkan menganulir<br />
Permendikbud No. 67 Tahun 2013 ini dengan menerbitkan Permendikbud No. 57 Tahun 2014<br />
yang justru merupakan copy paste lampiran permendikbud terdahulu, hanya menyisipkan<br />
semangat pembuatan silabus dan penyusunan buku siswa dan buku pegangan guru oleh<br />
Kemdikbud, hingga mengaburkan inti permasalahan yang ada pada Kurikulum 2013.<br />
Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis : Kurikulum 2013<br />
dikembangkan atas teori KBK – padahal KBK (2004) itu sudah lama dikubur seiring<br />
pemberlakuan Kurikulum 2006 dan KTSP Bimtek (2008), yang diulang dalam Lampiran<br />
Permendikbud No.57 Bagian II D Landasan Teoritis (Lihat Catatan * di Kata Pengantar).<br />
Kenapa KBK dulu ditinggalkan? Karena bermasalah pada cara pengukuran kompetensi<br />
(kemampuan) siswa. Namun orang sudah lupa, sehingga KBK dimunculkan lagi dalam baju<br />
baru, yaitu Kurikulum 2013. Oleh sebab itu, masalah klasiknya muncul lagi, yaitu masalah<br />
36<br />
46
pengukuran/penilaian. Penilaian yang tercantum dalam Permendikbud No. 66 Tahun 2013,<br />
kemudian diubah menjadi Lampiran IV Permendibud No. 81 A Tahun 2013, dan diubah lagi<br />
menjadi Lampiran II Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen<br />
No.5496/C/KR/2014 dan No.7915/KP/2014 yang ternyata masih salah secara matematis.<br />
Apakah Kemdikbud tidak melihat konsekuensi standar penilaian yang berbeda dan bentuk<br />
rapor yang berlainan rumus itu bagi masa depan para siswa? Perubahan-perubahan yang terus<br />
terjadi ini (tanpa melibatkan Puspendik : Pusat Penilaian Pendidikan) jelas menurunkan<br />
wibawa akademik Kemdikbud dalam sosialisasi Kurikulum 2013. Pemerintah berdalih<br />
bahwa Permendikbud No. 67 Tahun 2013 ini telah diganti dengan Permendikbud No. 57<br />
Tahun 2014, namun kalau kita buka permendikbud itu, isinya persis sama, hanya menyisipkan<br />
masalah hegemoni pemerintah melalui pembuatan silabus , pembuatan buku siswa dan buku<br />
pegangan guru, sehingga penentuan tingkat kompetensi dan pembakuan rumus evaluasi hasil<br />
belajar, tetap tak terpecahkan. Hal ini nampak pada ketidak beranian pemerintah mencetak<br />
buku rapor (Laporan Hasil Belajar) yang berujung pada keterlambatan pencetakan ijazah,<br />
sesuatu yang belum pernah terjadi selama 70 tahun Indonesia merdeka.<br />
Maka masihkah kita memerlukan pemaksaaan pemberlakuan Kurikulum 2013? (Padahal 28<br />
permendikbud yang melandasinya hanya menyebut KTSP (bukan kurikulum baru). Bukankah<br />
alasan-alasan diatas mendukung premis telah terjadinya euphoria pendangkalan (cult of philistinism)<br />
Kenapa tidak merujuk saja pada Permendikbud No. 160 Tahun 2014 Pasal 1 dan pasal 2 ayat 3 yang<br />
memberlakukan kembali Kurikulum 2006 (yang sudah lengkap pedoman dan dasar hukumnya (lihat<br />
Catatan kaki No. 2) sehingga kita bisa maju ke SKS (bukan paket SKS)?<br />
Kalau kita tetap berkukuh ingin mengikuti terus Kurikulum 2013, harap diingat bahwa<br />
permendikbud-nya akan berubah terus (masih banyak bolong-bolong pada Kurikulum 2013 (Lihat<br />
Catatan kaki No.5) sehingga ada kemungkinan kita harus mengkaji ulang semuanya lagi seturut<br />
Nawa Cita No.8, padahal pembelajaran di kelas terus berlangsung tanpa bisa ditunda atau dikoreksi<br />
lagi. Ada jurang yang dalam antara Kurikulum 2013 dan penerapan sistim baku SKS (bukan paket<br />
SKS) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014. Kalau hal ini tidak<br />
diperhatikan, maka lupakan saja SBI (sekolah bertaraf internasional) dan sertifikasi manajemen ISO<br />
9001:2008<br />
Lupakan pula Nawa Cita No.5, yang penting proyek penyerapan anggaran jalan terus. Pertaruhan<br />
yang sangat besar bagi masa depan putera-puteri kita yang sedang menyongsong era liberalisasi dan<br />
globalisasi pendidikan, tanpa persiapan yang memadai, bahkan tanpa kesadaran bahwa kualitas<br />
pendidikan kita makin merosot.<br />
47<br />
37
Kemdikbud berkilah bahwa semuanya sudah diantisipasi dan upaya peningkatan kualitas pendidikan<br />
telah digariskan dalam RPJM, namun marilah kita simak kenyataan yang ada :<br />
Survei yang dilakukan oleh PERC (Political and Economic Risk Consultant) menyimpulkan,<br />
pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara Asia. Studi yang dilakukan<br />
ASPBAE dan Global Campaign for Education pada tahun 2005 (saat diberlakukannya KBK) di 14<br />
negara menunjukkan, Indonesia mendapat nilai 42 dari nilai 100 dengan nilai rata-rata E. Dalam<br />
aspek penyediaan pendidikan dasar lengkap, Indonesia memperoleh nilai rata-rata C dan menduduki<br />
peringkat ke-7. Dalam aspek aksi negara, Indonesia memperoleh nilai F dan menduduki peringkat<br />
ke-11. Untuk aspek kualitas pengajar, Indonesia mendapat nilai F dan menduduki peringkat<br />
terbawah.<br />
Laporan pemantauan global tentang kualitas pendidikan dasar yang dikeluarkan UNESCO<br />
pada tahun 2005 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-10 dari 14 negara<br />
berkembang di kawasan Asia Pasifik. Survei yang dilakukan firma pendidikan Pearson di 40 negara<br />
menunjukkan hasil serupa. Pada tahun 2013, sistim pendidikan di Indonesia terendah di dunia<br />
bersama Brasil dan Meksiko. Pada tahun 2014, kualitas pendidikan Indonesia merosot dan Indonesia<br />
berada di urutan ke-40 dari 40 negara. (Kompas, Selasa 18 Agustus 2015, halaman 6 : “Pungguk<br />
Merindukan Bulan”).<br />
Jadi perubahan ke Kurikulum 2013 justru membuat pendidikan di Indonesia makin terpuruk<br />
karena kita memuja pendangkalan (cult of philistinism) dan abai pada penyiapan sekolah yang<br />
terakreditasi secara internasional (SBI) yang menerapkan sistim manajemen ISO 9001:2008<br />
Dengan kata lain, penerapan Kurikulum 2013 ini, menunjukkan bahwa Kemdikbud sibuk<br />
dengan misinya sendiri, mengabaikan visi dan misi Presiden yang sudah dijabarkan dalam Nawa Cita<br />
No.8, dan melalaikan tugas Kemdikbud untuk menjadikan pendidikan di Indonesia sebagai center of<br />
excellence seturut Nawa Cita No.5<br />
38<br />
48
BAB I<br />
FILOSOFI PENDIDIKAN<br />
Pendidikan yang abai terhadap filosofi pendidikan seperti tercermin dari dihapuskannya mata<br />
kuliah Filsafat Pendidikan pada LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan yaitu<br />
PGSD/FKIP) telah menyebabkan pendidikan kehilangan rohnya yaitu “mencerdaskan kehidupan<br />
bangsa” (bukan meningkatkan kompetensi orang per orang 27 ), yang berarti pendidikan seharusnya<br />
bertujuan menyempurnakan akal budi 28 (akal budi ini menunjukkan daya-daya intelektual dan<br />
emosional yang terpadu). Akibat kehilangan “roh pendidikan” ini, maka kita terjebak dalam<br />
kekeliruan utama yaitu menganggap semua masalah yang terkait pendidikan dapat dipecahkan<br />
melalui pendidikan, misalnya : Income gap hendak dipecahkan melalui link and match pendidikan<br />
dan dunia kerja, lupa pada penanaman sikap inovatif, kreatif dan entrepreneurship; Rendahnya score<br />
siswa dalam TIMSS, PISA dan PIRL hendak dipecahkan melalui peningkatan kompetensi siswa<br />
(kemudian hendak ditunjukkan capaiannya melalui Olimpiade Sains), lupa bahwa banyak materi uji<br />
pada TIMSS, PISA, dan PIRL itu yang tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia 29 dan belum<br />
pernah dipikirkan solusinya; Masalah iman dan taqwa hendak dipecahkan melalui pendidikan<br />
karakter, lupa pada fungsi ulama, peran suri teladan dari para tokoh masyarakat dan pendidikan budi<br />
pekerti yang harus dimulai dari rumah. Akibat cara pandang bahwa semua masalah yang terkait<br />
dengan pendidikan dapat dipecahkan melalui pendidikan ini, pernah muncul ide pembentukan<br />
Direktorat Keayah-Bundaan, yang kemudian diwujudkan menjadi Direktorat Pembinaan Pendidikan<br />
Keluarga, nampaknya Kemdikbud ingin merambah sampai ke ruang privat, lupa pada tugas<br />
pokoknya yang sudah dirumuskan di Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas 30 Kemdikbud sering berkilah<br />
bahwa SPM sudah dirumuskan dalam Permendikbud No. 23 Tahun 2013, tapi kalau kita kaji isinya,<br />
SPM itu adalah prasyarat minimal kelengkapan sarana dan prasarana suatu sekolah, bukan SPM<br />
akademik. Bentuk SPM akademik itu misalnya apa yang harus dikuasai oleh anak kelas V SD, apa<br />
yang harus dikuasai oleh anak kelas IX SMP sebagai bekal penentuan jurusan di kelas X SMA, apa<br />
yang harus dikuasai oleh siswa kelas XII SMA agar siap memasuki lingkungan akademik di<br />
perguruan tinggi? Kemdikbud berdalih bahwa “apa yang harus dikuasai siswa pada jenjang<br />
tertentu” sudah terumuskan dalam SOLO Taxonomy melalui penentuan Tingkat Kompetensi 0 – 6<br />
27<br />
Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis : Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori<br />
KBK (competency-based curriculum) (Lihat Catatan * untuk permendikbud ini di Kata Pengantar), yang juga tersurat<br />
(di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014<br />
28<br />
Kamus Besar Bahasa Indonesia Vol IV : mencerdaskan = menyempurnakan akal budi<br />
29<br />
Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal (Lihat Catatan * untuk<br />
permendikbud ini di Kata Pengantar) yang juga termaktub dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014<br />
30<br />
Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas : Pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan SPM berbasis MBS<br />
49<br />
39
(Lampiran Permendikbud No.64 Tahun 2013 Bab II). Padahal “Tingkat Kompetensi” itu sejak awal<br />
sudah bermasalah, yaitu pada rumusan :<br />
Perbedaan kualifikasi antar tingkat, karena tingkat kompetensi itu merujuk pada dua jenjang<br />
pendidikan, misalnya Tingkat Kompetensi 1 meliputi Kelas 1 dan Kelas 2 SD (Lalu apa beda<br />
kelas 1 dan kelas 2 SD? Dengan kata lain, masih perlukan kriteria kenaikan kelas dari kelas<br />
1 ke kelas 2 SD itu kalau tingkat kemampuannya disama-ratakan ?<br />
Kompetensinya : Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang di setiap Tingkat Kompetensi<br />
itu tidak koheren serta pengukurannya harus menggunakan penilaian rubrik, yang justru tidak<br />
dipraktekkan dalam Kurikulum 2013<br />
Kerancuan antara pengertian tingkat kompetensi dan kompetensi, serta kompetensi generik<br />
dengan KI dan kompetensi spesifik dengan KD<br />
Sedangkan banyaknya materi uji penalaran kritis dalam matematika dan sains pada TIMSS,<br />
penalaran halus (fine tuning) pada PISA dan kemampuan membaca yang tersirat pada PIRL yang<br />
tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia, tidak terdeteksi, hanya akan berujung pada complaint ke<br />
penyelenggara test (banyaknya bahan uji yang tidak terdapat dalam kurikulum : Lampiran<br />
Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bab I A No. 2 c, yang diulang pada Permendikbud No.68, No.69,<br />
dan No.70, tergantung unit sekolahnya, yang juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud<br />
No.57 Tahun 2014, yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59, dan No.60, tergantung unit<br />
sekolahnya), hingga tak ada waktu untuk memikirkan perumusan SPM akademik ini. Untuk<br />
perumusan SPM akademik ini, mau tidak mau kita harus mengkaji sejarah pendidikan kita, dimana<br />
kurikulum kita pernah mempunyai kualitas yang lebih tinggi dari prasyarat yang dituntut dalam<br />
GMAT, SAT dan TOEFL, sehingga siswa mudah menyelesaikan soal-soal TIMSS, PISA dan PIRL.<br />
Para guru kita diakui kemampuannya (kompetensinya) sehingga banyak yang diminta mengajar di<br />
luar negeri. Sekolah Indonesia di luar negeri diminati juga oleh warga asing. Tidak seperti sekarang,<br />
para diplomat Indonesia dan TKI-pun tidak mau menyekolahkan anaknya di sekolah Indonesia<br />
karena kualitasnya terus merosot. Tapi semua prestasi pendidikan kita di masa lalu tersaput oleh<br />
awan “proyek pemanfaatan anggaran 20% dari APBN”.<br />
Puskurbuk berkilah, SPM itu sudah ditentukan lewat Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun<br />
2013 Bab II Tingkat Kompetensi. Namun kalau kita kaji isinya, ternyata hanya menyangkut hirarki<br />
penentuan KD yang semestinya cukup mudah dilakukan melalui Analisia Vertikal pada Analisis<br />
Kurikulum. Inilah isi selengkapnya Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 Bab II :<br />
“Tingkat Kompetensi disusun berdasarkan taksonomi struktur capaian belajar terobservasi<br />
(Structure of The Observed Learning Outcomes (SOLO) Taxonomy). Berdasarkan taksonomi ini,<br />
40<br />
50
capaian belajar dikelompokan dalam 5 kategori yakni: Pre-Structural (0), Uni-Structural (1), Multi-<br />
Structural (2), Relational (3), dan Extended-Abstract (4 dan 5). (Collis and Biggs: 1976)<br />
Di atas kategori Extended-Abstract secara teoritis ada tiga tingkat yang lebih kompleks yakni<br />
Psychodelia, Illumination, dan Creativity (Gowan and Erikson: 1981) yang kesemua itu merupakan<br />
capaian belajar yang lebih abstrak.<br />
Berdasarkan hal tersebut, dikembangkan secara adaptif Tingkat Kompetensi menjadi 0, 1, 2,<br />
3, 4, 5, dan 6. Masing-masing Tingkat Kompetensi mencakup 2 (dua) tingkat kelas, kecuali<br />
Tingkat Kompetensi 4A dan 6 hanya mencakup 1 (satu) tingkat kelas. Tingkat Kompetensi<br />
4A merupakan kemampuan peralihan jenjang pendidikan dasar ke pendidikan menengah<br />
dan Tingkat Kompetensi 6 merupakan kemampuan peralihan pendidikan menengah ke<br />
jenjang pendidikan tinggi. Berdasarkan Tingkat Kompetensi ditetapkan Kompetensi yang<br />
bersifat generik yang selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan<br />
Kompetensi yang bersifat spesifik dan ruang lingkup materi untuk setiap muatan kurikulum.<br />
Secara hirarkis, kompetensi lulusan digunakan sebagai acuan untuk menetapkan<br />
Kompetensi yang bersifat generik pada tiap Tingkat Kompetensi. Kompetensi yang bersifat<br />
generik ini kemudian digunakan untuk menentukan kompetensi yang bersifat spesifik untuk<br />
tiap muatan kurikulum.<br />
Selanjutnya, Kompetensi dan ruang lingkup materi digunakan untuk menentukan Kompetensi<br />
Dasar pada pengembangan kurikulum satuan dan jenjang pendidikan”<br />
Kalau melihat rumusan tingkat kompetensi diatas, nampak jelas bahwa tingkat kompetensi ini<br />
menyangkut klasifikasi jenjang kognisi : batas penguasaan bahan/materi yang harus dikuasai siswa<br />
secara individual (siswa hendak difasilitasi sampai ke taraf tertentu), sedangkan SPM (standar<br />
pelayanan pendidikan minimal) menyangkut target kurikulum yang harus diraih semua siswa, yaitu<br />
pemenuhan Indikator keberhasilan.<br />
Sedangkan kompetensi (kemampuan) itu menyangkut tujuan pembelajaran : untuk apa seorang guru<br />
berdiri di depan kelas, maka kompetensi selalu harus dirumuskan ulang tergantung pada rumusan<br />
KD-nya, sedangkan tingkat kompetensi itu sifatnya tetap karena menyangkut batas peralihan jenjang<br />
pendidikan.<br />
Untuk lebih jelasnya dapat dikaji contoh berikut :<br />
Kompetensi (kemampuan) Tingkat 1 atau kompetensi (kemampuan) siswa kelas 1 SD adalah<br />
: Siswa mengenal konsep bilangan bulat (bilangan genap, bilangan ganjil dan bilangan prima)<br />
Ini yang disebut kompetensi yang bersifat generik. Lalu kompetensi yang bersifat spesifiknya<br />
adalah : Siswa mampu menghitung sampai bilangan 100. Capaian pengukurannya adalah<br />
siswa secara individual mampu menguasai 75 % materi itu (karena ukuran keberhasilan sudah<br />
51<br />
41
dipatok sejak lama melalui KKM = 75). Meskipun siswa hanya mampu menghitung sampai<br />
bilangan 75, siswa itu tetap dinyatakan sudah memenuhi kompetensi spesifiknya. Seorang<br />
siswa yang hanya mampu menghitung sampai bilangan 50, harus diremedial. Seorang siswa<br />
yang tidak mampu mencapai target perhitungan sampai bilangan 75, dicap “kurang<br />
menguasai materi”, dan harus menempuh remedial berulang sampai target spesifiknya<br />
terpenuhi, yaitu mampu menghitung sampai bilangan 75. Jadi kompetensi spesifiknya : Siswa<br />
mampu menghitung sampai bilangan 100, menjadi batas atas (kompetensi maksimal) yang<br />
harus dikuasai siswa, batas bawah (kompetensi minimalnya) adalah setara KKM : siswa<br />
cukup menguasai perhitungan sampai bilangan 75. Dengan demikian, kompetensi berjenjang<br />
di atas (kompetensi 0-6) menargetkan agar setiap siswa kompeten dalam bidang yang<br />
dipelajarinya (competency-based curriculum) 31 dengan tujuan : pengembangan kognisi<br />
siswa 32<br />
Sedangkan SPM (standar pelayanan minimal) adalah batas minimal yang harus dikuasai oleh<br />
semua siswa (batas bawah yang harus dikuasai oleh semua siswa adalah penguasaan 100%<br />
bahan/materi) : semua siswa harus mampu menghitung sampai 100. Meskipun siswa sudah<br />
menguasai perhitungan sampai 75, dia harus tetap diremedial (lihat penjelasan rinci di bawah)<br />
Dengan demikian, KD (Kompetensi Dasar) harus disusun berjenjang (makin ke atas,<br />
makin sulit, tidak boleh ada KD yang berulang). Masalahnya : ada begitu banyak KD yang<br />
berulang, misalnya Matematika, di jenjang kompetensi 1 (SD kelas 1 dan kelas 2) sudah diajar<br />
tentang bilangan bulat, hal sama diulang lagi di SMP : jenjang kompetensi 4 (tapi deret<br />
harmonis malah dihilangkan dari kurikulum matematika), lalu di SMA : jenjang kompetensi<br />
5 : diulang lagi tentang bilangan bulat (tapi hiperbola, parabola dan elips malah dihilangkan<br />
dari kurikulum matematika SMA, sehingga Mata Pelajaran Ilmu Bumi Falak (Astronomi)<br />
terpaksa dihapus dari kurikulum SMA).<br />
Contoh lain : Jenjang kompetensi 5 Kelas X SMA Kimia : diajar tentang Susunan Berkala<br />
(Sistim Periodik), masalah ini diulang lagi di Kelas XI, dan diulang lagi di jenjang kompetensi<br />
6 Kelas XII SMA, sehingga pemahaman tentang Susunan Berkala (sistim Periodik) di Kelas<br />
X SMA menjadi tidak utuh, akibatnya siswa sukar memahami Materi Ikatan Kimia, sehingga<br />
Materi Penggaraman dan Kimia Analitik terpaksa dihapus dari Kimia SMA.<br />
31<br />
Lihat Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II B Lndasan Teoritis : Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK<br />
(competency-based curriculum) (Lihat Catatan * untuk permendikbud ini di Kata Pengantar), yang juga tersurat (di<br />
copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014<br />
32<br />
Lihat Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II A Landasan Filosofis : Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan<br />
kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendekatan disiplin ilmu (Lihat Catatan * untuk<br />
permendikbud ini di Kata Pengantar), yang diulang (di copy paste) pada Permendikbud No.57 Tahun 2014<br />
52<br />
42
Kompetensi bertingkat (Kompetensi 0-6) di atas memerlukan kelengkapan sarana dan<br />
prasarana agar siswa mampu memenuhi kompetensi spesifiknya. Untuk itulah dikucurkan<br />
dana BOS (bantuan operasional sekolah) untuk mencukupi kebutuhan sarana dan prasarana<br />
pembelajaran di kelas. Bila dana BOS dipakai untuk hal-hal diluar penunjang kegiatan<br />
pembelajaran di kelas, maka sukar diharapkan kompetensi spesifik itu akan tercapai (Siswa<br />
di remedial berulang, hasilnya bukan makin membaik, justru makin buruk). Misalnya,<br />
kebanyakan sekolah membelanjakan dana BOS untuk pembelian CCTV, bukannya<br />
melengkapi peralatan laboratorium IPA (Lab Fisika, Kimia dan Biologi) atau melengkapi<br />
laboratorium Bahasa dan laboratorium akuntansi. Sehingga program KBM di kelas tidak<br />
ditunjang dengan kegiatan intra kurikuler yang memadai. Alhasil, kualitas pendidikan kita<br />
tidak kunjung membaik. Akibat lanjutannya adalah monev (monitoring dan evaluasi)<br />
pendidikan terlepas dari konteksnya. Evaluasi pada Tingkat Kompetensi ini seharusnya<br />
menggunakan penilaian rubrik yaitu penilaian berbasis kinerja dilengkapi dengan kriteria<br />
terukur tentang cara penilaiannya. Hal ini justru tidak dilakukan dalam Kurikulum 2013<br />
<br />
Sedangkan SPM akademik menyangkut rumusan kompetensi spesifik sebagai batas bawah<br />
(batas minimal), jadi Indikator Keberhasilannya adalah : Siswa kelas 1 SD harus menguasai<br />
100% perhitungan sampai bilangan 100. Kalau siswa hanya mampu menghitung sampai<br />
bilangan 75, maka SPM dari kelas 1 itu tidak terpenuhi. Siswa harus tetap diremedial,<br />
meskipun sudah mencapai batas KKM-nya, bukan dengan mengikuti program remedial<br />
berulang, tapi guru harus mengganti strateginya, karena mungkin saja bakat siswa itu bukan<br />
di bidang matematika, tetapi di bidang musik. Jadi siswa dapat tetap mengembangkan bakat<br />
musikalnya, tetapi harus menguasai prasyarat dasar pengetahuan Matematika di kelas 1.<br />
Dengan demikian, SPM memerlukan pemetaan potensi siswa melalui Multiple Intelligence,<br />
siswa yang tidak bisa matematika, barangkali bakatnya di bidang Bahasa. Pengukuran<br />
kognisi siswa bukan satu-satunya ukuran keberhasilan belajar, SPM lebih menekankan pada<br />
pendidikan holistik melalui pengukuran daya serap di PBK (penilaian berbasis kelas)<br />
SPM juga menyangkut kreativitas guru dalam memenuhi standar sarana dan prasarana,<br />
misalnya siswa dalam pelajaran Kimia hendak mengukur kadar vitamin C dalam jeruk<br />
(kompetensi spesifiknya sebagai batas bawah), maka apapun situasi dan kondisinya, siswa<br />
harus mampu menghitung kadar vitamin C dalam jeruk. Kalau tidak ada buret untuk titrasi,<br />
siswa dapat menggunakan botol susu berskala yang biasa digunakan bayi, kalau botol susu<br />
ini dibalik, maka fungsinya sudah sama dengan buret. Kalau tidak ada botol susu bayi, siswa<br />
dapat menggunakan pipet tetes sebagai pengganti buret (1 ml = 20 tetes).<br />
53<br />
43
Kalau tidak ada jeruk, siswa dapat mencari buah dari pohon asam. Kalau tidak ada buah dari<br />
pohon asam, siswa dapat menggunakan buah jambu monyet, dll<br />
Kalau melihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 (lihat Catatan * tentang permendikbud<br />
ini pada Kata Pengantar), yang juga termaktub dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014, maka<br />
penulis kawatir bahwa yang dimaksud dengan kompetensi generik itu adalah Kompetensi Inti (KI),<br />
dan yang dimaksud dengan kompetensi spesifik itu adalah Kompetensi Dasar (KD), yang makin jauh<br />
melenceng dari makna SOLO Taxonomy. Padahal yang dimaksud adalah bahan ajar/materi yang<br />
dipersyaratkan harus dikuasai oleh siswa di jenjang kompetensi tertentu (KD lebih luas dari bahan<br />
ajar/materi, satu KD bisa terdiri dari beberapa bahan ajar/materi). Bahan ajar berjenjang yang<br />
mensyaratkan siswa harus menguasai sepenuhnya suatu materi sebelum berpindah tingkat<br />
kompetensinya adalah bahan ajar/materi pada Kurikulum 1975, dimana batas ketuntasannya adalah<br />
100% (Kurikulum 1975 menerapkan Analisa Horizontal dan Analisa Vertikal secara ketat : KKM =<br />
KKI = 100). Maka sebenarnya SOLO Taxonomy kurang sesuai untuk diterapkan pada Kurikulum<br />
2013 karena tidak bisa membedakan pengertian KI dan KD (KI untuk semua jenjang hampir sama<br />
rumusannya, akibatnya KI dan KD tidak koheren)<br />
Penjelasan lebih rinci dapat dilihat di Bab II Pendidikan vs Persekolahan pada bagian MBS dan SPM<br />
Disinilah peran filosofi pendidikan yang dipilih yang dapat sangat mempengaruhi penentuan<br />
arah dan tujuan pendidikan kita. Bekerja dengan batas atas (batas kemampuan maksimal), filosofi<br />
yang digunakan adalah filsafat esentialisme 33 , atau bekerja dengan batas bawah (batas kemampuan<br />
minimal), filosofi yang digunakan adalah filsafat perenialisme 34 . Bila bekerja dengan batas atas<br />
(batas kemampuan maksimal) ada bahaya bahwa batas atas ini akan diturunkan dengan asumsi<br />
supaya tidak terlalu memberatkan siswa, sehingga bahan ajar/materi/sumber belajar makin lama<br />
makin berkurang (banyak materi uji dalam TIMSS dan PISA yang tidak terdapat dalam kurikulum<br />
Indonesia) (Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No 2 b, yang juga tersurat<br />
(di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014).<br />
Bila pemerintah memilih Filsafat Perenialisme 35 , maka sebagai batas bawah, bahan<br />
ajar/materi tidak boleh diganggu (tidak boleh dikurangi, bahkan seharusnya bahan ajar/materi itu<br />
dikembangkan terus menerus sesuai dengan tuntutan jaman). Kewajiban pemerintah hanya<br />
merumuskan kerangka dasar dan struktur kurikulum, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 38 ayat<br />
1 UU Sisdiknas. Namun pemerintah cq Kemdikbud lebih memilih Filsafat Eklektisme, yang<br />
kemudian diubah menjadi Filsafat Esentialisme, sehingga terpaksa menurunkan batas kemampuan<br />
33<br />
Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II A No. 3 (Lihat Catatan * untuk permendikbud ini di Kata<br />
Pengantar), yang juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014<br />
34<br />
Lihat catatan kaki No.40 tentang Filsafat Perenialisme<br />
35<br />
Lihat catatan kaki No. 40 tentang Filsafat Perenialisme<br />
54<br />
44
maksimal (dengan alasan agar tidak terlalu membebani siswa) dengan konsekuensi : banyak materi<br />
yang hilang dari kurikulum (kurikulum makin miskin), oleh sebab itu, tidak ada sesuatu yang baru<br />
yang ditambahkan pada Kurikulum 2013 (pada jaman teknologi komputasi awan dan android ini,<br />
justru TIK dihilangkan; pada jaman bioteknologi dan rekayasa genetik ini, justru IPA dihapus dari<br />
masa peka perkembangan intelegensi anak (kelas 1 – kelas 3 SD). Terjadi legalisasi pendangkalan<br />
(cult of philistinism). Karena tidak ada sesuatu yang baru, maka 28 permendikbud terkait Kurikulum<br />
2013 juga tidak menyebutkan adanya kurikulum baru, hanya menyebut berulang kali KTSP, lupa<br />
akan makna harafiah dan makna filosofis KTSP.<br />
Kekeliruan kedua adalah menganggap apapun kurikulumnya, manajemen kelasnya sama,<br />
yaitu menumbuhkan cara belajar siswa aktif, padahal dasar filosofisnya berbeda. Kurikulum 2006<br />
(KTSP awal) dan SKS bertumpu pada filsafat perenialisme dengan model belajar konstruktivisme 36<br />
berbasis multiple intelligence, sedangkan KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 berdasar pada filsafat<br />
eklektik 37 (kemudian diubah menjadi filsafat esensialisme) berbasis otoritarian. 38 Kurikulum 2006<br />
(KTSP awal) dan SKS memang didisain untuk mengembangkan potensi siswa seoptimal mungkin,<br />
melalui pendekatan pendidikan berbasis keunggulan lokal yang mengutamakan fleksibilitas<br />
penggunaan metode, model dan strategi pembelajaran untuk mencapai taraf manusia pembelajar<br />
(anak yang berkembang kemampuannya dalam learning to learn, learning to live together, dan<br />
learning to be). 39 Bahan ajar yang sesuai dengan prinsip ini adalah bahan ajar berjenjang sesuai<br />
dengan perbedaan tingkat kompetensinya yaitu bahan ajar pada Kurikulum 1975 40 dimana sains dan<br />
matematika dipahami sebagai art, bukan sekedar pengetahuan. Dimana siswa dilatih menemukan<br />
metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam<br />
administrasi politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk-pikuk<br />
kehidupan sehari-hari.<br />
36<br />
J.Piaget : Pengetahuan didapat dari pengalaman, dan perkembangan mental siswa tergantung pada keaktifannya<br />
berinter-aksi dengan alam<br />
37<br />
Cicero dan Philo : Menggabungkan ide-ide yang ada, tapi kurang memperhatikan konteks dan kesahihan ide itu<br />
38<br />
Karena banyaknya kritik terhadap Filsafat eklektik yang dipilih ini, filosofinya kemudian diubah menjadi Filsafat<br />
esentialisme (Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A No. 3 : Landasan Filosofis) : diulang secara eksplisit pada<br />
Permendikbud No.57 Tahun 2014<br />
39<br />
UNESCO : Education for All (EFA), 1968<br />
40<br />
Kurikulum 1975 menganut Filsafat pendidikan perenialisme atau tradisionalisme : intinya ingin mengatakan bahwa<br />
prinsip-prinsip pendidikan yang fundamental, yang ada sekarang ini, sesungguhnya telah ada dari dulu. Prinsip ini<br />
berlaku sepanjang masa—di mana pun dan kapan pun—sebab telah teruji keampuhannya bagi peradaban umat<br />
manusia. Maka, tugas pendidikan mewariskan prinsip-prinsip dasar pendidikan dan nilai-nilai kebajikan yang berlaku<br />
universal kepada generasi kini dan yang akan datang agar mereka dapat hidup secara bermartabat. Fakta-fakta akan<br />
berubah, tetapi prinsip pendidikan tetap. Inilah yang harus diajarkan di sekolah.<br />
55<br />
45
Maka dalam Kurikulum 1975 masih diajarkan pendekatan deduktif melalui matematika geometrik<br />
(Ilmu Ukur Analitika, Stereometri dan Ilmu Ukur Melukis (BM). Aljabar diperdalam sampai<br />
Kalkulus II, dll. Sehingga siswa mudah menyelesaikan soal-soal GMAT. Masih diajarkan juga<br />
Astronomi (Ilmu Bumi Falak) sebagai makro kosmos dan Fisika Teoritis serta Kimia Teoritis (bukan<br />
sekedar Fisika dan Kimia empiris) sebagai mikro kosmos, lalu menggambar ornamen, prespektif dan<br />
proyeksi, sebagai jembatan pemahaman aspek geometri dari matematika. Masih diajar pula<br />
mendongeng dan mencongak di SD untuk melatih daya abstraksi siswa, permainan tradisional yang<br />
sarat filosofi pedagogik (bukan hanya ditujukan untuk melatih psikomotorik siswa, tetapi juga untuk<br />
menanamkan nilai-nilai universal: kerja sama, fairness, fun (pembelajaran yang menyenangkan) :<br />
misalnya aritmatika dapat disimulasi melalui permainan dakon (congklak), entik, engklek, ular<br />
tangga dll. Pelajaran seni suara dan musik masih berbasis not balok. Praktikum masih inheren dalam<br />
mata pelajaran dan pengajaran bahasa asing masih bertumpu pada acuan standar internasional (masih<br />
diajar 16 tenses dalam Bahasa Inggris secara intens dan menyenangkan menggunakan Living English<br />
Structure) sehingga siswa SMA mudah mencapai score 550 dalam TOEFL paper based. Masih<br />
disediakan jam khusus untuk belajar logika melalui Persamaan Tersamar sehingga siswa mudah<br />
mengerjakan soal-soal Verbal Test GMAT. Kimia masih diajar penggaraman dan Kimia Analitik,<br />
sehingga Kimia baru diajarkan di SMA (bukan di SMP), karena memerlukan prerequisite<br />
matematika dan fisika yang cukup mendalam. Siswa juga masih dikenalkan dengan Sejarah Dunia<br />
sehingga pengetahuan umumnya mencukupi untuk dapat meraih score yang tinggi dalam PISA<br />
Bahan-bahan di atas tidak lagi diajarkan pada KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 (batas<br />
kemampuan maksimal diturunkan) sehingga siswa kesulitan dalam mengerjakan soal-soal TIMSS<br />
dan PISA (Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal), yang<br />
juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014, akibatnya score siswa kita<br />
dalam TIMSS, PISA dan PIRL dari tahun ke tahun terus merosot. Pokok permasalahannya karena<br />
bahan testnya (materi uji) sudah tidak ada di kurikulum kita, bagaimana mereka bisa memecahkan<br />
soalnya (memahami bahannya) bila mengenalinya saja tidak bisa ?<br />
Kurikulum 1975 tidak hanya kaya akan bahan elementer, tetapi juga sangat memperhatikan :<br />
* Analisa vertikal : Bahan berjenjang, makin tinggi kelasnya, bahannya makin sulit. Tidak seperti<br />
KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 : bahan KWn (PKn), Sejarah, Bahasa, aritmatika berulang<br />
terus dari SD, SMP dan SMA. Atau bahan Biologi terus yang berulang di SD, SMP dan SMA :<br />
tumbuhan, hewan, manusia sehingga menyulitkan siswa dalam pemahaman kultur jaringan (tissue<br />
culture), yang berakibat siswa sukar mengerjakan proses pemuliaan tumbuhan atau breeding<br />
hewan. Padahal materi kultur jaringan itu diajarkan dalam Kurikulum 2013.<br />
46<br />
56
Analisa vertikal bukan hanya menyangkut derajat kesulitan materi, tetapi juga meliputi jenjang<br />
kesulitan soal. Soal-soal yang jatuh di nomer-nomer kecil selalu lebih mudah diselesaikan,<br />
sedangkan soal-soal yang jatuh di nomer-nomer besar, memang hanya diperuntukkan bagi siswa<br />
yang pandai, sehingga setiap siswa dapat mengukur sendiri kapasitasnya. Variasi soal dapat dilihat<br />
di Catatan kaki No.48. Siswa tidak akan menyontek, baik dalam mengerjakan ulangan maupun<br />
dalam mengerjakan PR. Pendidikan karakter inheren dalam analisa vertikal. Soal tidak<br />
campur aduk seperti sekarang dan pendidikan karakter tidak dipaksakan masuk ke pelajaran,<br />
seperti pemaksaan penerapan KI 1 dan KI 2 saat ini, atau diformalkan melalui Permendikbud<br />
No.23 Tahun 2015 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang hanya memancing kontroversi<br />
(Kompas, Kamis 23 Juli 2015 halaman 12 : Budi Pekerti, NILAI “DITEMPELKAN TANPA<br />
RASIONALITAS”).<br />
* Analisa horizontal : bahan ajar/materi saling berkait, prerequisite suatu bahan dirumuskan<br />
dengan terukur, misalnya guru Kimia yang akan mengajarkan derajat keasaman (pH) harus<br />
memastikan bahwa siswa sudah mendapat pelajaran logaritma dalam matematika (sekarang<br />
penggunaan buku logaritma malahan dihapus dari kurikulum, sehingga siswa selalu kesulitan<br />
mengerti tentang Kesetimbangan Kimia dan pengukuran derajat keasaman (pH). Guru SD yang<br />
akan mengajar notasi musik dengan not balok, harus memastikan bahwa siswa sudah belajar<br />
tentang bilangan pecahan dan deret harmonis dalam Matematika sebelumnya.<br />
Kalau analisa horizontal diabaikan seperti sekarang, maka pengetahuan tidak lagi dipahami sebagai<br />
art, tetapi sebagai konsep yang membebani siswa (siswa tidak belajar untuk hidup dan kehidupan,<br />
tetapi belajar untuk kompetensi, belajar untuk lulus Ujian Nasional).<br />
Sedangkan Kurikulum 2013 menganut filsafat eklektik 41 : cenderung meramu semua hal<br />
baik dari pendidikan holistik, pendidikan karakter dan pendidikan kontekstual melalui pendekatan<br />
saintifik (5 M) untuk mencapai taraf behaviorisme (perubahan perilaku siswa). Ketercapaiannya<br />
membutuhkan ketrampilan para guru, bukan hanya dalam pembimbingan siswa, tetapi juga dalam<br />
pendampingan siswa (Bahasa Jawa : mbombong). Untuk itu diperlukan pendidikan yang<br />
membebaskan. Sebab pendidikan hanya akan berhasil kalau ada suasana kebebasan, terutama<br />
dibukanya ruang bagi tumbuhnya kebebasan mimbar akademik. Oleh karenanya, kurikulum 2013<br />
harus membuka kesempatan bagi guru dan murid untuk mengaktualisasikan kebebasannya dan<br />
kreativitasnya. Tanpa ruang kebebasan akademik itu, maka filsafat eklektik 42 akan cenderung<br />
41<br />
Kamus Filsafat, Lorens Bagus, Gramedia Pustaka Utama, 2000, halaman 181-182<br />
42<br />
Eclecticism is a conceptual approach that does not hold rigidly to a single paradigm or set of assumptions, but<br />
instead draws upon multiple theories, styles, or ideas to gain complementary insights into a subject, or applies<br />
different theories in particular cases. It can sometimes seem inelegant or lacking in simplicity, and eclectics are<br />
sometimes criticized for lack of consistency in their thinking (Wikipedia)<br />
57<br />
47
menggabungkan hal-hal yang berbeda, yang sebenarnya tidak cocok satu sama lain, menjadi satu<br />
mosaik tersendiri.<br />
Pendekatannya tidak melihat bahwa hal-hal yang dipilih itu secara natural, fundamental, cocok dan<br />
dapat diintegrasikan, tetapi sekadar menggabung-gabungkan apa yang baik menjadi satu kesatuan.<br />
Karena itu, pendekatan eklektik 43 sering kali dianggap sebagai pendekatan yang tidak elegan,<br />
gabungan kompleks yang tidak jelas, jauh dari kesederhanaan berpikir secara nalar, serta sering kali<br />
dianggap tidak memiliki konsistensi dalam pemikiran. Apalagi sifat eklektik ini dikacaukan dengan<br />
menguatnya semangat monolitik otoritarian melalui penyusunan silabus, pembuatan buku ajar dan<br />
buku pegangan guru yang kejar tayang sehingga merusak system of knowledge dari matematika dan<br />
sains & iptek. Ada begitu banyak kesalahan konsep dan gagasan pada buku ajar (sumber belajar)<br />
dan buku pegangan guru itu. Suara kontra dari pakar pendidikan terhadap pelaksanaan Kurikulum<br />
2013 bertitik tolak dari sini.<br />
Oleh sebab itu, tidak heran ketika bunyi salah satu butir KD dalam matematika adalah seperti ini:<br />
”Menunjukkan perilaku patuh, tertib, dan mengikuti aturan dalam melakukan penjumlahan dan<br />
pengurangan sesuai secara efektif dengan memerhatikan nilai tempat ratusan, puluhan, dan satuan.”<br />
Bukankah aritmatika mempunyai kaidah tersendiri untuk menentukan hasilnya benar atau salah, yang<br />
tidak ada kaitannya dengan kepatuhan atau ketertiban? Siswa yang bandel dan nakal tetap dapat<br />
menjawab benar dalam aritmatika. Dengan kata lain, siswa yang pandai dalam matematika tidak<br />
berarti siswa tersebut secara otomatis berperi laku luhur. Lalu bagaimana mengukur keberhasilan<br />
pendidikan karakternya tanpa menggunakan SQ (Spiritual Quotient)? Bukankah keberhasilan<br />
pemahaman aritmatika tergantung pada pengertian bahan ajar (materi) Basis Bilangan dan Sifat<br />
Bilangan? (bukan pada kepatuhan dan ketertiban mengikuti azas atau aksioma yang bisa kehilangan<br />
konteksnya? Bisa jadi siswa yang taat azas atau hafal aksioma sebenarnya hanya menghafal rumus,<br />
belum tentu bisa menyelesaikan soal-soal matematika yang mensyaratkan analisis dan logika)<br />
Misalnya : Bilangan 11 itu berarti sebelas kalau basis bilangannya 10, tetapi 11 dapat berarti setara<br />
enam (dalam basis bilangan 10) bila basis bilangannya 5. Belum lagi kesalahan konsep, seperti 2 x<br />
2 = 4 itu adalah fakta, tidak ada kaitannya dengan kejujuran. Hasil perhitungan 6 x 4 atau 4 x 6 akan<br />
sama saja, tidak ada kaitannya dengan proses menghitung : 6 x 4 itu berarti 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 atau<br />
4 x 6 itu adalah 6 + 6 + 6 + 6, sama saja karena matematika bicara tentang fakta.<br />
43<br />
Eclecticism, (from Greek “eklektikos”, “selective”), in philosophy and theology, the practice of selecting doctrines<br />
from different systems of thought without adopting the whole parent system for each doctrine. It is distinct from<br />
syncretism—the attempt to reconcile or combine systems—inasmuch as it leaves the contradictions between them<br />
unresolved (Encyclopedia Britanica)<br />
58<br />
48
Jadi menghitung luas : mulai dari panjang dikalikan lebar, akan sama saja dengan lebar dikalikan<br />
panjang (tidak ada hubungannya dengan kedisiplinan atau proses menghitungnya)<br />
Pilihan filsafat eklektik tak lain adalah wujud kemalasan berpikir, simplifikasi persoalan, dan<br />
pilihan jalan pintas paling gampang. Filsafat eklektik dapat jadi jalan pintas rasionalisasi dan<br />
menghindar dari tanggung jawab ketika terjadi berbagai macam persoalan; mulai dari pilihan materi<br />
pengajaran, metode, sistem evaluasi, bahkan gagal dalam eksekusinya. Sebab, semua hal bisa<br />
dijustifikasi dan dirasionalisasi melalui pendekatan eklektik ! 44<br />
Laman Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemdikbud di Facebook hanya menunjukkan<br />
justifikasi dan rasionalisasi Kurikulum 2013 meskipun ada berbagai argumen yang menyanggahnya.<br />
Penanggung jawab Kurikulum 2013 ngotot melanjutkan penerapan Kurikulum 2013, lupa pada isi<br />
Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 yang memberlakukan kembali<br />
Kurikulum 2006, dan lupa pada isi Pasal 77 M PP No. 32 Tahun 2013 yang menjunjung azas otonomi<br />
guru (ayat 1) dan otonomi sekolah (ayat 3) dan secara sistematis melupakan Nawa Cita No.8 : akan<br />
menata kembali kurikulum pendidikan nasional, dan menganggap visi dan misi Presiden sebagai<br />
yang utama, terutama isi Nawa Cita No.5 : meningkatkan kualitas pendidikan (bukan malah membuat<br />
pendidikan di Indonesia terpuruk, seperti yang telah diulas di bagian akhir dari Bab Pendahuluan)<br />
Karena banyaknya kritik terhadap penerapan Filsafat ekliktik ini, maka dalam Lampiran<br />
Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bab II A. Landasan Filosofis No. 3 (yang diulang dalam<br />
Permendikbud No.68 dan No.69, serta No. 70 Tahun 2013, yang secara eksplisit juga disebut dalam<br />
Permendikbud No.57 Tahun 2014, yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59 dan No.60 Tahun<br />
2014), dinyatakan adanya perubahan filosofi dari eklektisme, menjadi esentialisme :<br />
“Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik<br />
melalui pendidikan disiplin ilmu. Filosofi ini menentukan bahwa isi kurikulum adalah disiplin ilmu<br />
dan pembelajaran adalah pembelajaran disiplin ilmu (essentialism). Filosofi ini mewajibkan<br />
kurikulum memiliki nama mata pelajaran yang sama dengan nama disiplin ilmu, selalu bertujuan<br />
untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kecemerlangan akademik”.<br />
Namun perubahan filosofis ini tidak diikuti perubahan “mind set” dan kerangka dasar<br />
kurikulum (KI dan KD), penyesuaian silabus, penggantian buku ajar dan buku pegangan guru<br />
serta pergantian metode saintifik (5 M).<br />
Tidak adanya perubahan “mind set” tercermin dari :<br />
masih diberlakukannya tematik dan tematik integratif di SD, serta IPA Terpadu atau IPS<br />
Terpadu di SMP, padahal filsafat esentialisme mensyaratkan nama mata pelajaran yang sama<br />
dengan disiplin ilmunya.<br />
44<br />
KOMPAS, 5 April 2013 halaman 7 : “Eklektisme Kurikulum 2013” : Doni Kusuma<br />
59<br />
49
dikeluarkannya Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang<br />
hanya sekedar tempelan pada kurikulum (Budi Pekerti – Nilai “Ditempelkan Tanpa<br />
Rasionalitas”, Kompas, Kamis 23 Juli 2015 halaman 12) sehingga Kurikulum 2013<br />
sebenarnya tetap menganut filsafat eklektik.<br />
Tidak adanya perubahan kerangka dasar kurikulum (KI dan KD), tidak adanya penyesuaian silabus<br />
dan tidak adanya penggantian buku ajar dan buku pegangan guru serta tetap digunakannya metode<br />
saintifik (5M) menunjukkan bahwa tujuan Kurikulum 2013 ini : “mengembangkan kemampuan<br />
intelektual dan kecemerlangan akademik” tersebut tidak mempunyai arti apa-apa (ilusif). Hal ini<br />
nampak pada lanjutan isi Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 (yang diulang dalam<br />
Permendikbud No. 68 dan No. 69, serta No. 70 Tahun 2013), yaitu Bab II B Landasan Teoritis :<br />
“Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi (competencybased<br />
curriculum)” (yang juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014,<br />
yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59 dan No.60 Tahun 2014)<br />
Bukankah KBK (2004) ini sudah diganti menjadi Kurikulum 2006 karena bermasalah dalam<br />
pengukuran capaian kompetensinya? Kalau Kurikulum 2013 ini dikembangkan dari KBK, maka<br />
tidak heran kalau masalah pengukuran/penilaian ini berulang kembali saat ini. Berkali-kali program<br />
penilaian ini diubah (Permendikbud No.66 Tahun 2013, lalu diubah dalam Lampiran IV<br />
Permendikbud No. 81 A, terus diubah lagi melalui Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen<br />
Dikmen No. 5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014), tanpa penjelasan matematis yang memadai,<br />
kenapa program penilaian itu diubah.<br />
Jadi Kurikulum 2013 tidak bisa dikatakan sebagai kurikulum yang berlandaskan pada filsafat<br />
esentialisme karena syarat perlu dan syarat cukupnya tidak terpenuhi 45<br />
Sedangkan Kurikulum 2006 ini juga sudah diberlakukan kembali melalui Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3<br />
Permendikbud No. 160 Tahun 2014 dan kurikulum 2006 ini tidak menggunakan filsafat esentialisme,<br />
tetapi filsafat perenialisme, sehingga kita mengalami penerapan dua kurikulum dengan dua<br />
logika pemikiran yang berbeda.<br />
Tingkat kompetensi dalam Kurikulum 2013 mengacu pada SOLO Taxonomy (Structure of<br />
the Observed Learning Outcomes) Taxonomy (lihat Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013<br />
Bab II) yang bermasalah pada pengukuran keberhasilannya (penilaian/evaluasi yang harus<br />
dilaporkan kepada orang tua murid), serta bermasalah pada penetapan Tingkat Kompetensi 0 sampai<br />
Tingkat Kompetensi 6.<br />
45<br />
Syarat perlunya adalah validitas penentuan kompetensi (kompetensi 0-6) (lihat di bagian SOLO Taxonomy di atas)<br />
dan syarat cukupnya adalah pengukuran capaian kompetensi (penilaian) itu yang terus bermasalah sampai kini<br />
50<br />
60
Tingkat kompetensi itu memerlukan perumusan SPM (Standar Pelayanan Minimal) sebagai batas<br />
bawah capaian kognisi siswa 46 , yang sebenarnya termaktub dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas,<br />
namun sampai sekarang belum terealisasi. Anak kelas 9 SMP itu harus menguasai apa saja sebagai<br />
bekal pemilihan jurusan di kelas X SMA ? Bahasa Indonesia sampai tingkat mana yang harus<br />
dikuasai oleh siswa kelas 6 SD? Anak kelas XII itu harus menguasai apa saja sebagai bekal<br />
melanjutkan ke universitas? Kimia sampai tingkat apa yang perlu dipahami agar siswa dapat lolos<br />
tes masuk Fakultas Kedokteran? (Yang ada adalah SPM untuk prasyarat minimal sarana dan<br />
prasarana pada Permendikbud No. 23 Tahun 2013, bukan SPM akademik)<br />
Dengan kata lain, penentuan Tingkat Kompetensi 0 sampai Tingkat Kompetensi 6 itu akhirnya<br />
dijadikan batas atas kemampuan yang harus dikuasai siswa. Karena tidak semua siswa sanggup<br />
menguasai 100% suatu bahan/materi, maka batas atas ini sering diturunkan, sehingga pergantian<br />
kurikulum itu sejatinya makin memiskinkan isi kurikulum. Dengan demikian, kompetensi tidak<br />
koheren dengan Kerangka Dasar Kurikulum (KI dan KD), isi Silabus, isi buku ajar dan isi buku<br />
pegangan guru. Mau bukti? Dengan dihapuskannya TIK dan Logika pada Matematika, siswa sudah<br />
diarahkan untuk menjadi user, bukan programmer. Meskipun siswa sudah duduk di kelas XII IPA<br />
SMA, siswa tidak mengerti beda analog dan digital, apa yang dimaksud dengan komputasi awan dan<br />
yang membuat teknologi android makin lama makin murah. Dengan diajarkannya Kimia di SMP,<br />
maka dipandang Kimia tidak lagi memerlukan prerequisite Matematika dan Fisika, sehingga<br />
praktikum-praktikum kimia dasar harus dihapus, seperti Menghitung bilangan Avogadro dengan<br />
menggunakan lingkaran benang, menyepuh, mengisi aki, dll. Mata Pelajaran Kimia yang sifatnya<br />
empirik telah diturunkan menjadi Kimia sastra. Dengan kata lain, Silabus dan buku ajar itu tidak<br />
menjawab kemerosotan score anak-anak kita dalam TIMSS, PISA dan PIRL. Masih banyak bagian<br />
kurikulum yang hilang seperti matematika geometrik (stereometri, Ilmu Ukur Analitika, Ilmu Ukur<br />
Melukis (BM), penggaraman dan Kimia Analitik, dll yang terangkum dalam Kurikulum 1975 47 ,<br />
dimana STEM (Science, Technology, Engineering dan Mathematics) dipahami secara 3 F (fun,<br />
fearless dan fantastic). Fun karena pelajaran saling terintegrasi, misalnya dalam pelajaran Prakarya,<br />
siswa diajak membuat alat peraga dan penerapan praktikum lab (misalnya untuk memahami segi 36,<br />
siswa diajak membuat lampion; untuk memahami tentang kalor dan Hukum Hess, siswa diajak<br />
membuat es krim). Fearless karena yang diajarkan adalah logika (matematika tanpa rumus dan fisika<br />
tanpa rumus). Bahan-bahan ini dicoba dihidupkan kembali oleh Prof Yohanes Surya melalui Fisika<br />
Gasing (Fisika gampang, asyik dan menyenangkan). Fantastic karena siswa mulai dibimbing untuk<br />
46<br />
Lihat tulisan selengkapnya tentang SPM, yang ditunjukkan pada Catatan kaki No. 31 dan No.32<br />
47<br />
dimana siswa dilatih menemukan metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi<br />
dalam administrasi politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk pikuk sehari-hari<br />
61<br />
51
melakukan penelitian dan membuat karya tulis di akhir kelas XII sebagai prasyarat kelulusannya.<br />
Hasilnya adalah eksplorasi ilmu yang tiada habisnya (yang muncul sebagai karya inovatif dalam<br />
Lomba Penelitian Ilmiah Remaja Kemdikbud atau Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI-TVRI), yang<br />
kelak mereka perdalam di perguruan tinggi dan menjadikan mereka sebagai sarjana diaspora yang<br />
mumpuni di manca negara. Misalnya : Kenapa undur-undur (Myrmeleon formicarius) berjalan<br />
mundur? Kenapa laor (Lysidice oele) hanya muncul pada bulan Maret-April di perairan Maluku<br />
Tengah? dll. karya ilmiah siswa yang mencerahkan. Maka dapat dimengerti bahwa dengan silabus<br />
dan buku ajar seperti KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 itu, siswa kelas XII SMA tetap akan<br />
kesulitan mengerjakan soal-soal Verbal GMAT, TOEFL, dan SAT yang diperlukan untuk<br />
menunjukkan bahwa siswa kita mampu bersaing di era global (Lihat Permendikbud No. 67 Tahun<br />
2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal : banyaknya materi uji yang ditanyakan dalam TIMSS<br />
dan PISA yang tidak ada dalam kurikulum Indonesia (tidak ada di KTSP Bimtek dan Kurikulum<br />
2013, adanya di Kurikulum 1975). Permendikbud ini di copy paste pada Permendikbud No.57 Tahun<br />
2014 (lihat Catatan * di Kata Pengantar). Perbedaan SPM menurut ketentuan Pasal 51 ayat 1 UU<br />
Sisdiknas dengan SPM menurut Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 Bab II (Kompetensi 0<br />
-6) juga sudah diuraikan di atas. Dari uraian di atas nampak bahwa SPM merupakan syarat perlu<br />
untuk menuju ke SKS. Siswa harus menguasai 100% suatu bahan ajar/materi yang dipersyaratkan<br />
untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya (bukan hanya menguasai 75%). Dengan demikian, SPM<br />
adalah jembatan untuk menuju ke pendidikan yang transformatif. Pelajaran apa yang bisa ditarik<br />
dari karut marut ini? Memperbaiki pola rekrutmen para calon guru. Selama di SD masih<br />
diberlakukan konsep tematik dan tematik integratif, maka para calon guru SD yang akan diterima di<br />
PGSD seharusnya adalah para lulusan SMA IPA, karena mereka kelak akan mengampu IPA dan<br />
matematika sepanjang hari di kelas (basic science dan matematikanya harus kuat). Lalu<br />
pembelajaran Filsafat Pendidikan, Cara Mendisain Kurikulum, dan Praktek Mengajar harus<br />
dihidupkan lagi di PGSD/FKIP, dengan demikian para guru akan terbiasa berpikir kritis menurut azas<br />
5 W + 1 H dan berpikir analitis melalui pendekatan deduktif serta berorientasi pada proses belajarmengajar<br />
PAIKEM GEMBROT (Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan,<br />
Gembira serta Berbobot) melalui model pembelajaran konstruktivisme. Orientasi pendidikan<br />
seharusnya mengacu pada Finlandia sebagai negara dengan sistim pendidikan terbaik di dunia.<br />
Karena negara itu mempercayai kualitas penyiapan para calon guru di PGSD/FKIP mereka dan<br />
program sertifikasi guru mereka selalu terkait dengan kinerja guru. Kalau mengacu pada kearifan<br />
lokal, model pemetaan siswa seturut multiple intelligence itu sudah diterapkan pada Kurikulum<br />
52<br />
62
1975 48 , yang mengusung prinsip edukasi : “tidak ada murid yang bodoh, yang ada adalah guru yang<br />
kurang baik” sehingga kita unggul di masa lalu, dimana sains dan matematika dipahami sebagai<br />
art, bukan sekedar pengetahuan. Dimana kurikulumnya masih mengembangkan 6 wilayah makna<br />
yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika dan sinoptis. Acuannya adalah sekolah<br />
sebagai center of excellence. Guru adalah suri teladan (di gugu dan di tiru).<br />
Lewat penerapan Kurikulum 1975 saat itu, para guru mengasah inisiasi kurikulumnya dengan tolok<br />
ukur keberhasilan siswanya dalam mengikuti tes beasiswa kuliah di luar negeri (karena saat itu hanya<br />
diberlakukan Ujian Sekolah, tidak ada Ujian Nasional sehingga masing-masing sekolah berupaya<br />
menciptakan brand image-nya sendiri). Guru menghayati betul panggilannya sebagai guru yaitu<br />
menghidupi profesinya (profesi = janji publik, profesi guru adalah membuat anak yang tidak bisa<br />
menjadi bisa). Maka saat itu tidak ada Bimbel, meskipun GMAT , SAT dan TOEFL menjadi acuan<br />
para guru dalam proses pembelajaran di kelas. Hal ini hanya mungkin kalau pemerintah setia pada<br />
tugasnya yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa” sehingga tugas pemerintah di dalam penyusunan<br />
kurikulum hanya sebatas menentukan kerangka dasar dan struktur kurikulum. Oleh sebab itu<br />
membuat kurikulum menjadi kontekstual dan membumi. Untuk itu diperlukan birokrasi yang fokus<br />
pada tupoksinya, tidak tumpang tindih seperti sekarang (BNSP dan Dewan Pendidikan, Puskurbuk<br />
dan Puspendik, Pengawas dengan LPMP, Instruktur Nasional dengan PPPG/PPPPTK dan Kepala<br />
Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan setempat). Anggaran bisa dihemat dan disalurkan untuk menatar<br />
bahan-bahan yang tidak ada dalam kurikulum nasional tapi justru menjadi materi uji di TIMSS, PISA,<br />
GMAT, termasuk melengkapi sarana-prasarana untuk memperdalam materi tersebut.<br />
Dengan demikian siswa dapat berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya dalam jurusan<br />
Ilmu Pasti (Jurusan PAS), IPA (Jurusan PAL), Ilmu-ilmu Sosial (Jurusan SOS) dan jurusan Budaya<br />
(Jurusan BUD, bukan sekedar Jurusan Bahasa). Rangkuman dari kesemuanya ini sebenarnya sudah<br />
disosialisasikan enam tahun yang lalu lewat Disain Kurikulum Digital, dimana guru bukan saja<br />
berlatih menyusun kurikulumnya sendiri yang kontekstual, tetapi juga mengacu peningkatan taraf<br />
48<br />
Kurikulum 1975 juga unggul dalam pengukuran holistik. Soal-soal kognitif berupa Pilihan Ganda biasa; soal<br />
psikomotor adalah soal-soal yang berupa : Pilihlah A, bila jawab No. 1, 2 , 3 benar; Pilihlah B, bila jawab No. 1 dan 3<br />
benar; Pilihlah C, bila jawab No. 2 dan 4 benar; Pilihlah D bila hanya jawab No. 4 saja yang benar; Pilihlah E, bila semua<br />
jawaban benar. Lalu soal-soal afektif, yaitu soal-soal yang berupa : Pilihlah A, bila sebab benar, alasan benar, ada<br />
hubungan sebab-akibat; Pilihlah B, bila sebab benar, alasan benar, tidak ada hubungan sebab-akibat; Pilihlah C, bila<br />
sebab benar, alasan salah; Pilihlah D bila sebab salah, alasan benar; dan pilihlah E, bila sebab salah dan alasan salah.<br />
Bandingkan dengan Kurikulum 1994, KBK, KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 yang hanya mengenal soal-soal kognitif<br />
dalam Pilihan Ganda dan soal-soal kognitif dalam esai (uraian), tidak ada soal-soal Pilihan Ganda psikomotor dan Pilihan<br />
Ganda afektif seperti pada Kurikulum 1975. Soal-soal afektif dalam esai di Kurikulum 1975 memerlukan penilaian<br />
rubrik.<br />
63<br />
53
erpikir kritis sampai ke tingkat HOT (Higher Order of Thinking), sebab hanya dengan pendidikan<br />
kritislah, pendidikan dapat berubah menjadi pendidikan transformatif 49 dimana potensi siswa<br />
dikembangkan seoptimal mungkin untuk mencapai taraf manusia pembelajar. Transformasi<br />
pendidikan ini juga disebut sekilas dalam Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b 50<br />
(hanya mengembangkan kognisi siswa, tidak menyentuh masalah etika dan multikulturalisme<br />
(keberagaman budaya dan pandangan hidup), yang diulang pada Permendikbud No. 57 Tahun 2014<br />
Ada 9 ciri pendidikan kritis yang transformatif :<br />
1. Pendidikan harus diformulasikan kembali<br />
Pendidikan tidak hanya bersangkut paut dengan disiplin ilmu, tetapi dengan pembentukan<br />
identitas, dan dengan tanggung jawab sebagai warga Negara (yang dijabarkan Presiden<br />
Jokowi dalam Nawa Cita No.8)<br />
Maka dari itu, penggabungan religiositas dengan disiplin ilmu tidak bisa dilakukan<br />
melalui pendekatan filsafat eklektik, tetapi dengan askese pengetahuan (mesu budi)<br />
2. Etika harus menjadi kepedulian dalam pendidikan kritis<br />
Etika dimengerti sebagai tugas dan tanggung jawab terhadap liyan (yang menolak bahwa<br />
kesengsaraan dan eksploitasi harus diterima). Etika melawan ketidak samaan (inequality)<br />
: diskursus untuk memperluas HAM, bukan malah mempersempitnya<br />
Maka pengejawantahannya melalui pendidikan budi pekerti tidak bisa disatukan dengan<br />
mata pelajaran Pendidikan Agama karena bisa terjebak dalam “kesalehan penampilan”<br />
(bukan Civics atau pembentukan keadaban publik). Hak dan wewenang guru (HAM<br />
guru) tidak boleh dipersempit melalui keharusan mengikuti Pasal 20 PP No.32 Tahun<br />
2013 atau meninggalkan Kurikulum 2006.<br />
3. Pendidikan kritis perlu membahas masalah keberagaman<br />
Pendidikan multikultural tidak bisa dilaksanakan hanya dengan membuat daftar<br />
keberagaman, tetapi bagaimana keberagaman itu ditegaskan dan ditransformasikan dalam<br />
demokrasi, kewarganegaraan dan ruang public. Intimidasi kepada para guru hanya karena<br />
perbedaan penafsiran kurikulum adalah bibit dari anti pati pada keberagaman<br />
Analisa konteks yang meliputi analisa sosial dan kekayaan daerah yang sudah mulai<br />
diterapkan dalam Kurikulum 2006, hendaknya terus dikembangkan, bukan malah<br />
dihapus. Analisa konteks ini membuat keberagaman menjadi kontekstual, bukan sekedar<br />
diketahui atau dipahami saja.<br />
49<br />
Pendidikan Transformatif, Makalah Prof.Dr. M Sastrapratedja SJ dalam Seminar Lingkar Muda Indonesia, tanggal 28<br />
Mei 2015 di Ruby Room, Gedung Kompas Gramedia Jakarta<br />
50<br />
Tidak untuk membentuk manusia pembelajar, tetapi hanya mengembangkan kognisi siswa : mengembangkan<br />
kecerdasan intelektual dan kecermelangan akademik melalui pendekatan disiplin ilmu<br />
64<br />
54
4. Pendidikan kritis tidak membekukan pengetahuan<br />
Pendidikan tidak menjadi dogmatis. Pendidikan tidak membuat pengetahuan, kurikulum,<br />
ajaran, narasi menjadi beku, tetapi terbuka untuk diintrepretasikan kembali. Kurikulum<br />
bukan “teks sakral”, tetapi sarana mencapai tujuan 51<br />
Keberadaan Pengawas Mata Pelajaran telah mengacaukan makna literer kurikulum<br />
(menurut KBBI Vol.IV dan kamus Webster, yang diuraikan pada awal Bab IV).<br />
5. Pendidikan kritis membuka penciptaan pengetahuan baru<br />
Batas-batas disiplin ilmu perlu dibuka (bukan malah ditutup dan dipersempit, seperti<br />
diintegrasikannya TIK di semua jenjang pendidikan dan IPA (di kelas 1-3 SD) dalam<br />
tematik integratif di Kurikulum 2013), sehingga memungkinkan terciptanya ruang baru<br />
untuk pengetahuan baru, yang dapat menyumbang terbentuknya budaya kritis.<br />
Pendidikan kritis memberi tempat untuk ingatan kolektif terhadap mereka yang<br />
dilupakan, melepaskan mereka dari diskursus yang monolitik dan mentotalkan.<br />
Seolah-olah Kurikulum 2013 adalah pilihan terbaik bagi siswa saat ini, dengan<br />
melecehkan sejarah panjang pendidikan kita (menganggap kurikulum lama sudah kuno<br />
dan irrelevan), lupa pada hakekat filsafat perenialisme (Lihat Catatan kaki No.40).<br />
Padahal nuansa monolitik dan totaliter ini sangat nampak antara lain dari perubahan istilah<br />
penatar dari “guru inti” (tutor sebaya) menjadi “instruktur” (orang yang memberi<br />
instruksi) : relasi subordinasi dalam Kurikulum 2013. Perubahan istilah ini erat<br />
kaitannya dengan diubahnya ketentuan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20<br />
PP No.32 Tahun 2013 (wewenang guru dipangkas menjadi hanya sekedar penyusun<br />
RPP). Perubahan ini makin dieskalasi dengan munculnya Pengawas sebagai watch dog<br />
6. Pendidikan kritis meninjau kembali pengertian rasionalitas<br />
Pengertian rasio yang berasal dari masa pencerahan, yang menganggap rasio dapat<br />
menemukan kebenaran (rasionalitas instrumental), menyangkal sifat historis dan<br />
ideologis dari kebenaran. Semua pengetahuan secara historis dan sosial dikonstruksikan<br />
secara rasional dengan memperhitungkan efek bola saljunya (snow balls effects) (ingat<br />
putusan Hakim Sarpin Rizaldi dan hakim Harwandi yang mengkonstruksikan kembali<br />
pengertian ilmu hukum tanpa meninjau rasionalitas terbukanya kotak Pandora “status<br />
tersangka” pada kasus pra-peradilan BG (Budi Gunawan) dan HP (Hadi Purnomo).<br />
Batas-batas rasionalitas harus diperlihatkan, untuk itu diperlukan selalu dialog<br />
pengetahuan dalam Kurikulum 2013 (bukan monolog yang ditentukan oleh Pusat, melalui<br />
51<br />
Tujuan pendidikan nasional sudah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 : Mencerdaskan kehidupan bangsa<br />
65<br />
55
pelatihan yang searah dan dropping buku ajar dan buku pegangan guru, cerminan azas<br />
top down) dengan guru sebagai “pelaksana instruksi” dari para instruktur nasional.<br />
7. Pendidikan kritis mementingkan kritik sekaligus kemungkinan baru<br />
Pendidikan kritis tidak hanya melontarkan kritik, tetapi harus memunculkan harapan,<br />
horizon “kebeluman” (criticism and contributing)<br />
Misalnya bagaimana menerapkan e-learning dalam era globalisasi dan liberalisasi<br />
pendidikan dewasa ini, sejalan dengan Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014 52<br />
Bagaimana siswa di pelosok nun jauh di sana, dimana gurunya tidak ada atau jarang hadir<br />
di kelas, siswa tersebut tetap dapat belajar secara teratur seperti rekan-rekannya di kotakota<br />
besar – horizon “kebeluman” ini harus selalu diperjuangkan menjadi “asa”.<br />
8. Dalam pendidikan kritis, guru adalah intelektual transformatif 53<br />
Dalam pendidikan kritis, peran guru hendaknya tidak dilihat dengan bahasa sempit<br />
“profesional”<br />
Guru dapat memproduksi ideologi, mengkaitkan teori dengan praksis, sehingga<br />
memungkinkan transformasi sosial 54 dan sebagai intelektual publik yang mampu<br />
melontarkan kritik sosial dengan keberanian moral.<br />
Guru bukan robot-robot yang setia menunggu instruksi Dinas/Pengawas/instruktur<br />
dengan ganjaran tunjangan sertifikasi (tunjangan ini sebenarnya merupakan hak guru,<br />
bukan sebagai bentuk kewajiban untuk melaksanakan instruksi Pengawas/Dinas). Guru<br />
bukan sekedar nomor dalam Dapodik/Padamu Negeri, tetapi guru adalah konseptor dan<br />
inisiator pendidikan (dulu sering disebut bahwa guru adalah soko guru masyarakat)<br />
9. Pendidikan kritis mengembangkan kemampuan “bersuara”<br />
Praktek pendidikan kritis mendorong siswa menemukan identitas dirinya dan tempat dia<br />
dalam masyarakat, nasional dan global.<br />
Pendidikan kritis menumbuhkan idealisme untuk membangun masyarakatnya menjadi<br />
adil, sejahtera, manusiawi dengan bahasa transformatif dan penuh harapan. Bukan<br />
sekedar generasi visual, tetapi generasi yang mampu berpikir out of the box.<br />
Bukan generasi yang hanya menjadi user dari gawai (gadget) tanpa tahu teknologinya,<br />
tetapi gen flux, generasi pendobrak kebuntuan dan kebekuan sistim.<br />
52<br />
Sekolah yang terakreditasi A, menerapkan SKS (Sistim Kredit Semester), bukan paket SKS<br />
53<br />
Pendidikan transformatif bertolak dari amanat Pembukaan UUD 1945 yang menempatkan pendidikan yang<br />
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan nasional<br />
54<br />
Pendidikan transformatif menjadikan Pancasila orientasi bagi pendidikan sehingga menjadi humanistik, dialogik,<br />
reflektif menuju tercapainya masyarakat adil, berkepribadian dan bermartabat<br />
56<br />
66
Jalan Keluar<br />
Bila Dinas Pendidikan setempat melalui para Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran<br />
berkukuh ingin menerapkan “proyek besar” Kurikulum 2013 (mengabaikan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat<br />
3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 serta Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013),<br />
maka langkah “win win solution” yang tidak mengorbankan tujuan pendidikan nasional dan tidak<br />
menjadikan siswa sebagai sekedar “peserta didik” (namun sebagai “subyek didik”) adalah melalui<br />
jalan sinkretisme, yaitu suatu proses perpaduan dari berbagai paham-paham untuk mencari<br />
keserasian dan keseimbangan, dengan demikian menegaskan suatu kesatuan pendekatan yang<br />
memungkinkan untuk berlaku inklusif. Sinkretisme antara apa yang sudah diyakini baik adanya<br />
(sudah teruji), dengan apa yang diharapkan akan menjadi baik di kemudian hari (belum teruji)<br />
A. Contoh : Kompetensi Inti 1 (KI 1) : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang<br />
dianutnya<br />
KI 1 ini terdapat di semua Mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan, sehingga ada kemungkinan<br />
tidak nyambung (tidak koheren) dengan Kompetensi Dasar 1 (KD 1) atau KD manapun di jenjang<br />
tertentu, maka langkah pertama adalah mencari “kata kunci” dari KI itu : “Menghayati dan<br />
mengamalkan ajaran agama yang dianutnya” itu kata kuncinya apa? Kata kunci yang disodorkan<br />
oleh Kemdikbud adalah “sikap spiritual”. Namun kalau kita dalami, maka kita akan sampai pada<br />
kata kunci yang lebih mendasar : “mengapa kita beragama”, karena ada “kebenaran” di situ, hingga<br />
kata yang lebih dalam dari “sikap spiritual” adalah “kebenaran”, maka kata “kebenaran” ini dapat<br />
digabung dengan SK (Standar Kompetensi) dari Kurikulum 2006, misalnya SK 1 : Memecahkan<br />
masalah yang berkaitan dengan bentuk pangkat, akar, dan logaritma.<br />
Kenapa perlu digabung dengan SK 1 dari Kurikulum 2006 ? Untuk mencari bahan ajar yang<br />
hilang (yang tidak tercantum lagi dalam Silabus baru, padahal bahan ajar itu penting), maka hasil<br />
penggabungan itu akan menjadi : “MEMECAHKAN MASALAH YANG BERKAITAN DENGAN<br />
BENTUK PANGKAT, AKAR DAN LOGARITMA SECARA BENAR”<br />
Akibat penambahan satu kata “SECARA BENAR” itu, maka para guru akan terpaksa mencari mata<br />
rantai yang hilang dari bentuk akar, pangkat dan logaritma itu. Ternyata sejak SD tidak diajarkan :<br />
1. Konsep Basis Bilangan, siswa langsung diperkenalkan dengan basis sepuluh, padahal banyak<br />
operasi hitung tidak menggunakan basis 10, seperti algoritma computer programming<br />
menggunakan basis bilangan 1 (hanya mengenal 0, dan 1), kartu domino : basis bilangannya<br />
6 (ada kartu 0,0 dan 6,6); kartu remi : basis bilangannya 13 (ada kartu 2 sampai 10, ditambah<br />
dengan kartu As, King, Queen dan Jack); dadu basis bilangannya 6; jarimatika basis<br />
67<br />
57
ilangannya 10; dakon (congklak) basis bilangannya 10. Permainan kubus rubrik<br />
menggunakan basis bilangan 6.<br />
2. Sifat bilangan, bahwa perkalian itu sebenarnya adalah penjumlahan biasa, misalnya 1 + 3<br />
terdiri dari dua bilangan, maka hasilnya adalah 2 x 2, jadi 1 + 3 + 5 + 7 + 9 + 11 + 13 + 15 +<br />
17 + 19 + 21 + 23 + 25 itu terdiri dari 13 bilangan, maka hasilnya adalah 13 x 13, akibatnya<br />
6 x 4 bisa dibaca sebagai 4 enam kali (4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4) atau 6 empat kali (6 + 6 + 6 + 6)<br />
Luas bisa dihitung dari panjang x lebar atau lebar x panjang<br />
Dengan memasukkan “konsep bilangan” dan “sifat bilangan”, siswa dapat dilatih berpikir abstrak<br />
melalui “mencongak”, sesuatu yang hilang dari kurikulum kita sehingga anak-anak sekarang<br />
dibentuk menjadi anak visual (dulu tergantung pada kalkulator, sekarang tergantung pada gawai<br />
(gadget), daya abstraksinya tidak berkembang. Mau bukti? Ajaklah mereka berdebat. Debat dengan<br />
mudah bisa berubah jadi debat kusir yang menganggap orang yang berbeda pendapat sebagai lawan<br />
Maka, dengan menggabungkan KI dan SK, bagian kurikulum yang hilang dari khasanah kurikulum<br />
kita akan dapat digali lagi, misalnya dalam matematika akan didapat lagi Ilmu Ukur Ruang<br />
(Stereometri) yang juga menjadi jembatan pemahaman garis bujur dan garis lintang pada bola dunia<br />
dalam Geografi atau letak dan jarak bintang dalam Astronomi. Dengan demikian siswa secara<br />
bertahap akan diajar untuk berpikir satu dimensi melalui garis lurus, dua dimensi melalui lingkaran<br />
dan tiga dimensi melalui bola. Siswa tidak bingung dengan dimensi dua dari segitiga, karena segitiga<br />
apapun juga pasti mempunyai titik pusat dan jari-jari lingkarannya. Siswa juga tidak akan bingung<br />
dengan bentuk kerucut, prisma dll, karena benda itu pasti mempunyai titik pusat dan jari-jari bolanya.<br />
Dengan demikian, kita bisa mengajarkan kembali menggambar perspektif dan proyeksi pada siswa<br />
SMA atau menggambar ornament pada siswa SD atau origami advance pada siswa SMP, sehingga<br />
daya abstraksi siswa makin lama makin berkembang. Jadi, dimensi matematika yang begitu besar<br />
dapat dipelajari dalam (1) Ilmu Ukur Analitika (lingkaran dan lingkaran tak hingga (hiperbola), elips<br />
dan elips tak hingga (parabola) : siswa tidak langsung belajar statistika tanpa tahu parabola secara<br />
mendalam) (2) Ilmu Ukur Ruang (stereometri) : tiga dimensi dan (3) Ilmu Ukur Melukis : empat<br />
dimensi, serta (4) Trigonometri, yang juga sangat diperlukan dalam Ilmu Pesawat (gerak peluru,<br />
gerak lenting pegas, gerak timba (kerekan) : sekarang adalah gerak angkat dari forklift ) dan (5)<br />
Aritmatika (Ilmu Hitung), sehingga orang tidak bingung lagi hitung cepat (quick count) setelah<br />
Pemilu/Pilkada karena cara menghitungnya sama dengan menghitung buah mangga dalam keranjang<br />
tanpa mengeluarkan mangga itu dari keranjang dan menghitungnya satu per satu). Mata Pelajaran<br />
Matematika akan menjadi art karena melatih imajinasi siswa sehingga pelajaran menggambar<br />
ornament, perspektif dan proyeksi akan merupakan pelengkap dari kemampuan prediksi dan analisis<br />
siswa. Peningkatan kemampuan berpikir kritis dan analitis menjadi tujuan utama dari pembelajaran<br />
58<br />
68
Matematika. Dengan asumsi itu, Pramuka yang telah diwajibkan dalam ekstra kurikuler 55 sekolah<br />
mempunyai pijakannya yang kuat dalam “mencari tanda jejak” dan “jurit malam” melalui membaca<br />
arah seturut kemunculan rasi bintang biduk/beruang besar sebagai penunjuk arah utara. Garis-garis<br />
imajiner yang membentuk citra beruang besar itu hanya bisa dimengerti kalau siswa belajar tentang<br />
rasi bintang, dan bisa membedakannya dengan rasi bintang lain (sayang sekali, pelajaran Ilmu Bumi<br />
Falak (Astronomi) yang ada di Kurikulum 1975 ini dihapus dari kurikulum kita<br />
Oleh sebab itu, siswa dapat mengenali rasi bintang pemburu/orion/ waluku sebagai penunjuk arah<br />
Barat, sehingga mereka tidak akan tersesat dalam “jurit malam” dan mereka akan tahu, dimana<br />
matahari akan terbit (kemana harus menyongsong fajar).<br />
Semua garis-garis imajiner itu hanya bisa dipelajari melalui mata pelajaran astronomi (dalam<br />
Kurikulum 1975, dikenal sebagai Ilmu Bumi Falak, yang justru sudah dihapus seiring dengan<br />
55<br />
UU No. 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka (UU Kepramukaan) Pasal 38 butir (a) : “Setiap peserta didik<br />
berhak mengikuti pendidikan kepramukaan”, tetapi harus diingat pula bahwa hak itu bisa tidak digunakan oleh<br />
peserta didik, mengingat sifat sukarela dari gerakan kepanduan sedunia, yang tercermin dalam Pasal 20 ayat 1 UU<br />
No. 12 Tahun 2010 : “Gerakan pramuka bersifat mandiri, suka rela dan non politis”. Analog dengan hal ini adalah hak<br />
memilih dan hak dipilih dalam Pemilu. Warga bisa tidak menggunakan hak pilihnya dan tidak boleh dipaksa memilih<br />
69<br />
59
dihapusnya Stereometri (Ilmu Ukur Ruang) dari kurikulum kita sejak 1994, sehingga para siswa kita<br />
akan kesulitan dalam mengikuti Olimpiade Astronomi, atau memahami penentuan hilal dan rukyat<br />
sebagai tanda dimulainya awal puasa ( 1 Ramadhan) atau saat penentuan akhir puasa yang kita kenal<br />
sebagai Hari Raya Idul Fitri (1 Syawal).<br />
Tanpa pemahaman akan adanya garis-garis imajiner di langit selatan (karena sebagian besar dari kita<br />
berada di bawah garis katulistiwa), maka semua bintang akan terlihat sama saja<br />
Maka tanpa pemahaman astronomi, kegiatan “mencari tanda jejak” dan “jurit malam” di Pramuka<br />
hanya menjadi kegiatan hura-hura saja. Kegiatan Pramuka bahkan bisa berlangsung tanpa SKK<br />
(syarat kecakapan khusus). Tanpa mempunyai SKK, siswa sudah bisa menggunakan seragam dan<br />
atribut Pramuka, yang sebenarnya menyalahi UU No.12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, Pasal<br />
7 ayat 5 dan Pasal 7 ayat 6 tentang SKK (Syarat Kecakapan Khusus) dan SKU (Syarat Kecakapan<br />
Umum) serta tanda/sertifikat SKK/SKU<br />
Hal ini juga berlaku untuk Mata Pelajaran lain, dengan menambahkan satu kata kunci :<br />
“SECARA BENAR”, maka di dalam Mata Pelajaran Agama yang dogmatis itu dapat ditambahkan<br />
Etika dan Etiquette (Etiket) : bagian penting dari Budi Pekerti.<br />
Dalam Biologi, saat pembahasan mengenai Tumbuhan atau Konservasi, dapat ditambahkan tentang<br />
pembuatan Apotek Hidup, Dapur Hidup dan Arboretum (Kebun Raya Mini) atau dalam skala mikro,<br />
siswa dapat diajar membuat terrarium. Dalam Ilmu Kimia, dapat ditambahkan dua bagian penting<br />
dari Kimia yang hilang dari kurikulum kita, yaitu penggaraman dan Kimia Analitik (penggaraman<br />
adalah jembatan untuk memahami asidi-alkali metri dan sifat amfoter suatu zat)<br />
Contoh lain adalah mencari kata kunci dari KI 2, KI 3 dan KI 4. Pemerintah sudah<br />
membuatkan kata kunci untuk KI 2 yaitu SIKAP SOSIAL, kata kunci untuk KI 3 yaitu<br />
PENGETAHUAN dan kata kunci untuk KI 4 yaitu KETRAMPILAN 56 . Maka tugas guru adalah<br />
56<br />
Lihat Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi<br />
60<br />
70
mendalami kata kunci itu sehingga dapat KI tersebut dapat digabung dengan SK dari Kurikulum<br />
2006, sekali lagi, tujuannya adalah mencari bahan ajar/materi ajar yang hilang dari kurikulum. Oleh<br />
karenanya, kata kunci dari KI 2 akan menjadi AFEKTIF, kata kunci dari KI 3 akan menjadi<br />
KOGNITIF dan kata kunci dari KI 4 adalah PSIKOMOTOR<br />
Penggabungan KI dan SK ini bukan saja memunculkan lagi bagian kurikulum yang hilang, tetapi<br />
juga menghasilkan soal-soal pilihan ganda kognitif, soal-soal pilihan ganda psikomotor dan soal-soal<br />
pilihan ganda afektif (lihat catatan kaki no. 48 tentang keunggulan pengukuran holistik Kurikulum<br />
1975) Kalau ada masalah dalam penyusunan soal-soal pilihan ganda ini, maka yang perlu dibenahi<br />
adalah peningkatan kompetensi guru dalam penyusunan soal-soal spesifik itu, bukan malah<br />
menghapusnya, karena tujuan pembuatan soal-soal pilihan ganda holistik itu adalah melatih<br />
penalaran halus (fine tuning) siswa dan melatih guru dalam Penilaian rubrik untuk soal-soal esai.<br />
Peningkatan kompetensi guru ini adalah tupoksi dari LPMP dan PPPG/PPPPTK di daerah<br />
(pemerintah pusat tidak perlu ikut sibuk mencampuri evaluasi hasil belajar siswa ini, agar pemerintah<br />
fokus pada pelaksanaan Pasal 3, dan Pasal 11, serta Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas)<br />
B. Contoh : Kompetensi Inti 2 (KI 2) Bahasa Indonesia Kelas X SMA : Menghayati dan<br />
mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran,<br />
damai), santun, responsif dan proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas<br />
berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta<br />
dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.<br />
Kata kuncinya adalah AFEKTIF<br />
Sedangkan SK 1 Bahasa Indonesia Kelas X SMA : Memahami siaran atau cerita yang disampaikan<br />
secara langsung /tidak langsung<br />
Maka gabungan dari KI 2 dan SK 1 ini adalah : MEMAHAMI YANG TERSIRAT DARI SIARAN<br />
ATAU CERITA YANG DISAMPAIKAN SECARA LANGSUNG/TIDAK LANGSUNG<br />
Dengan memasukkan kata afektsi (memahami yang tersirat, bukan yang tersurat) maka akan muncul<br />
tiga bahan yang hilang dari kurikulum Bahasa Indonesia untuk memahami siaran atau cerita yaitu :<br />
(1) penyusunan kronik, hingga dapat : (2) merangkai kronologi kejadian yang melatar-belakangi<br />
munculnya siaran atau cerita itu sehingga siswa bisa : (3) menyusun kaleidoskop untuk memahami<br />
trend apa yang menarik perhatian masyarakat atau menjadi sorotan publik. Dengan demikian, siswa<br />
bisa memisahkan antara isu dan siaran atau cerita yang terverifikasi (menghindari gossip atau<br />
subyektivitas) Oleh sebab itu, siswa belajar untuk tidak terlalu cepat menarik kesimpulan, yang bisa<br />
saja terjebak dalam kesalahan penafsiran.<br />
71<br />
61
C. Contoh Kompetensi Inti 3 (KI 3) IPS Terpadu kelas VII SMP : Memahami pengetahuan (faktual,<br />
konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi,<br />
seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata<br />
Cukup banyak yang keliru mencari kata kunci KI 3 ini, mengira kata kuncinya adalah “ketrampilan”,<br />
karena terpengaruh kata “terkait fenomena dan kejadian tampak mata” yang hakekatnya adalah<br />
“pengamatan atau observasi”, tetapi yang dimaksud di sini adalah observasi sebagai langkah<br />
pengumpulan fakta untuk memahami alur pikir sains, sehingga kata kunci yang betul adalah<br />
“kognitif”<br />
Sedangkan SK 3 IPS Kelas VII SMP : Memahami usaha manusia memenuhi kebutuhan<br />
Maka gabungan dari KI 3 dan SK 3 ni adalah : MEMAHAMI USAHA DAN KINERJA MANUSIA<br />
DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN<br />
Dengan memasukkan kata “kognitif”, maka “usaha” bukan dipahami sebagai “sekedar berusaha”,<br />
tapi harus dilihat juga tingkat keberhasilan usahanya (kinerjanya). Dengan demikian, akan diperoleh<br />
dua bahan yang hilang dari kurikulum, yaitu manusia bukan saja sebagai mahluk sosial dan mahluk<br />
ekonomi, tetapi juga mahluk budaya dan mahluk politik<br />
Maka dari itu, bahan IPS Terpadu akan diperkaya dengan mahluk budaya yang mengupas masalah<br />
sistim/tata nilai, sikap mental, pola tingkah laku dan dehumanisasi yang akan memperkaya dimensi<br />
sejarah dalam IPS. Kinerja mahluk berbudaya adalah ketertiban dan kebersamaan (public order dan<br />
esprit de corps). Sebagai mahluk politik, IPS akan diperkaya dengan strategi untuk penentuan atas<br />
pilihan-pilihan dalam menjalani hidupnya hingga bisa merencanakan tindakan-tindakan politis, yang<br />
akan memperkaya dimensi ekonomi (political economy) dalam IPS. Kinerja mahluk politik adalah<br />
terwujudnya kesejahteraan umum (public welfare).<br />
Bahan-bahan IPS Terpadu di SMP akan diperkaya, bukan saja dengan menerjemahkan kebutuhan<br />
ekonomi manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial, tetapi juga menjadikan siswa tidak<br />
“buta politik” dan menjadi manusia muda yang beradab (tidak terlibat “gang motor”, tawuran, atau<br />
menganggap liyan yang berbeda pendapat sebagai musuh)<br />
D. Kompetensi Inti 4 (KI 4) IPA kelas V SD : Menyajikan pengetahuan faktual dan konseptual<br />
dalam bahasa yang jelas dan logis dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan yang<br />
mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan<br />
berakhlak mulia<br />
Cukup banyak kata yang merujuk pada aktivitas, yaitu kata-kata “menyajikan ….”, “dalam karya<br />
…..”, “dalam gerakan …..”, “dan dalam tindakan …..” Sehingga cukup mudah untuk<br />
mengasumsikan bahwa kata kuncinya adalah “action” (ketrampilan), maka simpulan harus selalu<br />
melihat kalimat lengkapnya yaitu “menyajikan pengetahuan faktual dan konseptual dalam Bahasa<br />
62<br />
72
yang jelas dan logis dan sistematis” yang arti harafiahnya adalah “bekerja berdasarkan pengetahuan<br />
yang dikuasai” sehingga kata kunci yang benar adalah “psikomotor”<br />
Standar Kompetensi 1(SK 1) IPA kelas V SD : Mengidentifikasi organ tubuh manusia dan hewan<br />
Maka gabungan antara KI 4 dan SK 1 IPA kelas V SD adalah : MENGIDENTIFIKASI PREPARAT<br />
ORGAN TUBUH MANUSIA DAN HEWAN<br />
Dengan menambahkan kata kunci “preparat” , maka para guru akan tertolong untuk memperkaya<br />
ketrampilan psikomotorik siswa melalui tindakan bedah pada hewan yang memerlukan contoh<br />
(teladan) ketrampilan bedah guru. Bila guru kurang trampil dalam bedah, para guru bisa<br />
menggunakan YouTube untuk melihat film kinerja preparat suatu organ terutama preparat manusia.<br />
Melalui penambahan kata “preparat”, bahan IPA SD akan diperkaya dengan kaburnya/memudarnya<br />
pembagian antara hewan dan tumbuhan dengan diketemukannya mahluk bersilia (tergolong hewan),<br />
tetapi juga bersimbiosis dengan alga (tergolong tumbuhan) yaitu Mesodimium chamaeleon, atau<br />
Elysia chlorotica, sebangsa siput yang mempunyai chlorofil seperti tumbuhan, tapi juga bisa bergerak<br />
seperti hewan<br />
Siswa SD sejak dini sudah diajak mengeksplorasi alam semesta yang masih banyak belum terungkap<br />
sehingga daya abstraksi dan imajinasinya akan terus berkembang. Fungsi IPA sebagai jembatan<br />
untuk memahami keteraturan dalam alam semesta akan tercapai (bukan sekedar memahami “rantai<br />
73<br />
63
makanan”/”rantai energi” melalui biologi molekuler, atau kompleksitas hereditas melalui “Teori<br />
evolusi Darwin”/”Teori Mendel”)<br />
Bahan IPA SD akan diperkaya dengan kinerja sel-sel organ (hewan atau manusia) yang<br />
bekerja berdasarkan prinsip fisika (kapilaritas (tegangan permukaan), difusi dan osmose (larutan<br />
isotonis dan hipotonis), dan energi atau prinsip kimia (kerja enzim, perubahan kimiawi dalam<br />
mitochondria, dll) sehingga sejak dini, siswa SD sudah dipersiapkan untuk mempelajari IPA Terpadu<br />
Apakah tidak terlalu sulit untuk anak SD ? Tidak, karena saat mempelajari tumbuhan (botani), siswa<br />
sudah mengenal cara tumbuhan menyerap unsur hara dari dalam tanah melalui prinsip pipa kapiler<br />
(tegangan permukaan), mengukur pertumbuhan kecambah kacang hijau menggunakan<br />
auksanometer, dll<br />
Dengan menambahkan kata kunci “kebenaran”, “afektif”, “kognitif” dan “psikomotor” pada<br />
SK dari Kurikulum 2006, maka materi uji TIMSS dan PISA yang tidak ada di kurikulum<br />
Indonesia, akan dapat digali lagi (Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No.2 b :<br />
Tantangan Eksternal) (lihat Catatan * tentang permendikbud ini di Kata Pengantar), yang juga<br />
tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian I A No. 2 b<br />
Apa perlunya mempelajari Filsafat Pendidikan ?<br />
Pertama, Agar dapat melakukan refleksi secara benar. Sebab tanpa bekal pemahaman<br />
Filsafat Pendidikan, refleksi dengan mudah akan terjerumus ke dalam pencarian umpan balik (feed<br />
back), yaitu melakukan refleksi seperti saat hening doa malam : “menggali kembali apa yang sudah<br />
kita alami sepanjang hari tadi” 57 Bukan itu yang dimaksud, sebab umpan balik memerlukan tindak<br />
lanjut (follow up), sedangkan refleksi pedagogis memerlukan strategi baru agar proses pembelajaran<br />
lebih membumi.<br />
Contoh : bila guru mengarahkan “refleksi” itu sebagai “mengingat kembali apa yang sudah dialami<br />
atau dipelajari murid sepanjang hari tadi”, maka yang muncul adalah complaint murid terhadap sikap<br />
guru dan cara guru mengajar atau complaint murid terhadap kelengkapan sarana dan prasarana<br />
sekolah : kalau hal ini tidak ditindak-lanjuti, maka refleksi paradigma pendidikan reflektif (PPR) itu<br />
bisa bubar di tengah jalan.<br />
Sebaliknya, bila “refleksi” dipahami sebagai upaya mencari strategi baru, maka yang pertama dan<br />
utama harus melakukan refleksi adalah gurunya, bukan muridnya<br />
57<br />
Umpan balik (feed back) ini muncul dalam Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab II A No. 3 c (seharusnya bukan<br />
umpan balik, tetapi refleksi, sehingga terukur)<br />
64<br />
74
Refleksi guru itu harus dilakukan bila :<br />
Rerata daya serap siswa < KKM, maka rumusan Indikator Keberhasilan di Silabus harus<br />
diubah<br />
Jumlah siswa yang tuntas < 50 %, maka ranah Kata Kerja Operasional (KKO) harus<br />
diperbaiki<br />
Jumlah siswa yang tidak tuntas > 50 %, maka jumlah “soal yang diterima” dalam Analisis<br />
Soal harus diperbanyak (“Soal yang harus direvisi” dan”soal yang ditolak” dikeluarkan dari<br />
Bank Soal). Untuk Analisis Soal ini, para guru dapat menggunakan ANATest (ITB)<br />
(berbayar), atau SPS Sutrisno Hadi (UGM) (berbayar) atau Analisis Soal yang disediakan<br />
dalam Disain Kurikulum Digital (gratis)<br />
Kemudian, guru baru melanjutkan ke “refleksi” siswa, misalnya : “Apakah saya bisa bekerja sama<br />
dengan teman?” Kalau murid menjawab : “ya”, maka seharusnya prestasi murid itu membaik karena<br />
murid yang bersangkutan dapat mengambil banyak manfaat dari belajar berkelompok (tutor sebaya).<br />
Bila murid menjawab “ya” tapi prestasinya justru memburuk, maka ada inkonsistensi dalam<br />
menjawab pertanyaan-pertanyaan pedagogis itu, Guru Mata Pelajaran dapat menggali faktor-faktor<br />
lain penghambat belajar murid itu. Salah satu penyebab memburuknya prestasi itu kemungkinan<br />
besar disebabkan oleh ketidak-cocokan siswa dalam belajar berkelompok (tutor sebaya), maka guru<br />
dapat mencari strategi lain (tidak lagi menggunakan strategi UILG (Using Interdependent Learning<br />
Group) atau tutor sebaya itu lagi, tapi guru dapat memilih strategi pembelajaran individual, seperti<br />
SSRL (Supported Self-Regulated Learning) sehingga guru cukup hanya menyediakan dukungan<br />
yang perlu agar siswa bergerak dari pembelajar yang dependen menjadi pembelajar yang independen,<br />
misalnya begitu mendengar kata : “Puting beliung”, siswa tanpa disuruh – mencari sendiri makna<br />
kata “puting beliung” itu dari ensiklopedia, surfing internet (googling) atau mencari di kamus,<br />
wikipedia dll Memang untuk masuk dalam PPR (Paradigma Pendidikan Reflektif), guru harus<br />
menguasai bahan yang diajarkannya, sekaligus menguasai metode didaktik pedagogik (guru-guru<br />
lulusan Program Akta IV akan mudah menerapkan PPR bila dilatih), oleh sebab itu, kita dapat<br />
memahami upaya pemerintah untuk mengubah pola pemberian sertifikasi guru yang baru, yaitu<br />
melalui “pendalaman materi” dengan pembelajaran selama 2 semester (bukan lagi lewat pelatihan 1<br />
minggu), karena para guru lulusan PGSD/FKIP akan kesulitan dalam penerapan PPR ini.<br />
Masalah berikutnya adalah di SD, para calon guru yang belajar di PGSD atau FKIP harus<br />
berlatar SMA IPA, karena mereka akan mengampu Mata Pelajaran IPA dan Matematika sepanjang<br />
hari di kelas dalam Tematik Integratif di SD. Tanpa pengalaman praktikum yang memadai, para<br />
guru SD itu akan kesulitan membimbing pendekatan saintifik (5 M) . Oleh sebab itu, tidak lagi boleh<br />
ditolerir, adanya Pengawas yang mengijinkan pendekatan 5 M itu dipotong saja menjadi 3 M. Hal<br />
75<br />
65
ini bukan saja menyalahi arti pendekatan saintifik, tapi juga merusak system of knowledge dari ilmu<br />
pengetahuan itu sendiri. Ilmu Pengetahuan tidak lagi merupakan art, tapi menjadi sekumpulan<br />
hafalan dan rumus-rumus/aksioma 58 yang mendorong sikap tidak kreatif dan tidak imajinatif.<br />
Masalah serius terjadi di SMP, dengan program sertifikasi, maka guru pengampu IPA<br />
Terpadu harus berijazah S-1 IPA Terpadu (bukan berijazah S-1 Biologi, atau S-1 Fisika, atau S-1<br />
Kimia), padahal FKIP yang mempunyai jurusan IPA Terpadu hanya ada di UNY di Yogya.<br />
Problemnya adalah calon guru yang akan mengikuti perkuliahan IPA Terpadu harus sungguhsungguh<br />
pandai karena harus sanggup mempelajari sains lintas disiplin tanpa kehilangan hakekat<br />
Biologi, Fisika dan Kimia an sich. Disinilah problem utamanya, orang yang sungguh-sungguh<br />
pandai itu akan memilih masuk ke Fakultas Kedokteran atau Fakultas Teknik. FKIP/PGSD bukan<br />
ideal mereka. Dengan demikian, peraturan linieritas dalam program sertifikasi itu bisa menghasilkan<br />
calon guru IPA Terpadu yang kualitasnya kurang memadai. Alhasil, kualitas pendidikan kita bisa<br />
makin merosot.<br />
Kedua, Agar para guru mudah merumuskan Tujuan Pembelajaran sehingga dapat fokus<br />
dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas (tidak tersesat dengan mengajarkan materi lembar demi<br />
lembar dari buku ajar/sumber belajar, lalu kehilangan intinya/target kurikulumnya). Tujuan<br />
pembelajaran ini sering dikacaukan dengan Indikator Pembelajaran, hanya karena kedua tema ini<br />
menggunakan kata awal : “siswa dapat”<br />
Misalnya : KD (Kompetensi Dasar) 2.1 Matematika Kelas X SMA : Melatih diri memiliki pola hidup<br />
yang disiplin, konsisten dan jujur sebagai dampak mempelajari konsep dan aturan eksponen dan<br />
logaritma serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari<br />
Maka Tujuan pembelajarannya adalah Siswa dapat membedakan konsep algoritma, logaritma (log)<br />
dan log naturalis (ln), yang akan sangat berbeda dengan rumusan Indikator pembelajaran yang rinci,<br />
mulai dari : Siswa dapat mengkonversi akar menjadi pangkat, sampai siswa dapat menyelesaikan<br />
masalah mempergunakan ln (ada 6 Indikator dalam KD 2.1 ini dengan alat bantu Buku Logaritma,<br />
tidak bisa menggunakan kalkulator). Contoh perhitungan yang tidak bisa menggunakan kalkulator<br />
adalah 2015 pangkat -2015. Penyelesaian secara cepat hanya bisa kalau menggunakan buku<br />
logaritma. Namun ada juga pejabat Kemdikbud yang menyatakan, anak tidak perlu menghitung<br />
58<br />
Pidato Kebudayaan Dr. Karlina Supeli : “Kebudayaan dan Kegagapan Kita” (Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki,<br />
Jakarta, tanggal 11 November 2013) : Model pendidikan yang dipandu oleh logika utilitarianism in extremis, yang sibuk<br />
mengejar ranking nilai atau KKM, tentu tidak mampu mengungkap kekayaan dimensi kognitif kebudayaan yang antara<br />
lain mengemuka melalui ilmu pengetahuan. Sulit membayangkan bagaimana pemahaman instrumental tentang ilmu<br />
sanggup menghasilkan pengalaman eksistensial yang dapat menjadi kekuatan transformatif untuk mengubah cara<br />
pandang kita terhadap realitas<br />
66<br />
76
angka-angka besar itu, mereka lupa bahwa dalam Ilmu Kimia akan banyak menggunakan<br />
perhitungan dengan angka-angka besar itu (Bilangan Avogadro untuk menghitung jumlah atom atau<br />
molekul dalam suatu zat, perhitungan dengan mengunakan konstanta asam atau konstansta basa<br />
dalam kesetimbangan kimia, perhitungan derajat keasaman, dll). Juga perhitungan energi dalam<br />
Fisika (Joule, erg, KwH, HP (PK). Angka-angka besar itu juga sangat diperlukan dalam perhitungan<br />
jarak bintang pada Astronomi (tahun cahaya), perhitungan dalam komputasi (Mb, Gb, Tb, dll).<br />
Contoh lain : Kompetensi Dasar (KD) 1.1 IPS kelas VII SMP : Menghargai karunia Tuhan YME<br />
yang telah menciptakan waktu dengan segala perubahannya<br />
Maka Tujuan Pembelajarannya adalah Siswa dapat membedakan waktu berdasarkan koordinat suatu<br />
tempat, dengan 5 Indikator yaitu dimulai dari : Siswa dapat membedakan gerak rotasi dan gerak<br />
revolusi bumi, sampai pada : Siswa dapat menentukan waktu berdasarkan garis bujur suatu tempat<br />
di bumi<br />
Contoh lain : Kompetensi Dasar (KD) 3.2 IPA kelas V SD : Mengenal organ tubuh manusia dan<br />
hewan serta mendeskripsikan fungsinya<br />
Maka tujuan pembelajarannya adalah : Siswa dapat membedakan organ hewan berdarah panas<br />
dengan organ hewan berdarah dingin, (Siswa akan sampai pada kesimpulan : organ manusia dengan<br />
simpanse itu sama, hanya beda ukuran otaknya). KD ini bisa dilengkapi dengan 6 Indikator, mulai<br />
dari : Siswa dapat mengenal ciri-ciri organ hewan, lalu : Siswa dapat melihat cara kerja suatu organ<br />
manusia dalam film animasi di YouTube, sampai ke : Siswa dapat mencari di internet mahluk yang<br />
dapat digolongkan kedalam hewan maupun tumbuhan<br />
Mudah-mudahan dengan contoh-contoh di atas, dapat dilihat dengan jelas perbedaan antara Tujuan<br />
Pembelajaran dan Indikator<br />
Tujuan Pembelajaran berkaitan dengan kompetensi (kemampuan) 59 siswa yang ingin<br />
dikembangkan, sedangkan Indikator berkaitan dengan target kurikulum 60 yang ingin dicapai<br />
Dengan demikian kita tidak akan terpengaruh perubahan yang terjadi (Jawa Pos 27 Juni 2015 hal 12.<br />
Dikatakan oleh Ramon Mohandas Kepala Puskurbuk bahwa Revisi Utama Kurikulum 2013 adalah<br />
KD untuk KI 1 dan KD untuk KI 2). Harapan kita, KD yang akan direvisi harus dapat menambahkan<br />
lagi bagian kurikulum yang hilang. Namun kalau penggabungan kata kunci seperti yang dicontohkan<br />
di atas tidak dilakukan, maka harapan itu hanya akan tinggal menjadi harapan. Yang ada adalah<br />
perbaikan tambal sulam Kurikulum 2013, yang mengabaikan isi Nawa Cita No.8<br />
59<br />
Kemampuan yang ingin dikembangkan itu mengarah ke kognitivisme, behaviorisme atau ke konstruktivisme<br />
60<br />
Target kurikulum : konseptual, faktual, procedural, atau meta kognitif<br />
77<br />
67
tanpa mengkaji kenapa 28 permendikbud yang melandasi Kurikulum 2013 itu selalu<br />
menyebut berulang kali kata “KTSP”,<br />
kenapa Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 yang menjadi dasar hukum dari<br />
Kurikulum 2013 itu tidak kunjung diimplementasikan?<br />
Kenapa hanya muncul excuse tanpa solusi, seperti nampak pada Lampiran Permendikbud No.<br />
67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b Tantangan Ekstrnal : banyaknya materi uji TIMSS dan<br />
PISA yang tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia, yang juga tersurat (di copy paste)<br />
dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian I A No.2 b<br />
Dengan contoh di atas, apa urgensinya belajar memperdalam lagi Filsafat Pendidikan?<br />
Dimensi filsafat dalam pendidikan mempersoalkan pernyataan dasar mengenai apakah<br />
pendidikan itu? Dengan demikian, dimensi filsafat mencoba menjawab persoalan pendidikan pada<br />
dirinya sendiri atau pendidikan qua pendidikan. Dewasa ini persoalan mendasar tentang pendidikan<br />
qua pendidikan tampaknya kurang diminati, karena dianggap tidak menyumbangkan pemikiran yang<br />
bisa dipakai untuk pemecahan langsung terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat<br />
menyangkut praktik pendidikan.<br />
Atau, barangkali masyarakat sudah sedemikian terobsesi oleh begitu banyaknya persoalan pragmatis<br />
dan terjerat dalam labirin persoalan praktis, sehingga tidak mampu lagi keluar untuk mencari ujung<br />
benang kusut dari seluruh persoalan pendidikan.<br />
Kalau demikian, dimensi filsafat sebetulnya justru memperlihatkan urgensinya yang nyata saat ini.<br />
Tentu saja pembicaraan tentang pendidikan pada tataran filsafat tidak berorientasi pada<br />
manfaat, hasil atau kegunaan, melainkan pada visi yang memberi wawasan. Karena itu pembicaraan<br />
ini mempunyai scope yang berbeda dari pembicaraan pragmatis. Namun, paham filsafat pendidikan<br />
sangat penting untuk memberi dasar yang benar bagi penyelesaian-penyelesaian persoalan praktis.<br />
Memang, filsafat pendidikan tidak serta merta bisa diterapkan untuk memecahkan persoalanpersoalan<br />
dalam pendidikan yang begitu luas, karena seperti sudah disinggung di atas, filsafat tidak<br />
menjawab persoalan secara pragmatis melainkan menjawab persoalan secara visioner dan memberi<br />
wawasan. 61 Langkah visioner sebenarnya sudah ditunjukkan oleh Mendikbud Anies Baswedan<br />
melalui Permendikbud No. 160 Tahun 2014 : tidak ada kurikulum 2013 itu (lihat Pasal 1 dan Pasal 2<br />
ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014) 62 , namun di tengah perjalanan, ada pihak-pihak yang<br />
selalu memaksakan “proyek penyerapan anggaran” untuk tetap menerapkan Pasal 2 ayat 1 dan juga<br />
61<br />
A. Sudiarja, Pendidikan dalam Tantangan Jaman, Yogya, Kanisius, 2014<br />
62<br />
Pasal 1 : Sekolah yang baru melaksanakan Kurikulum 2013 dapat kembali menerapkan Kurikulum 2006<br />
Pasal 2 ayat 3 : Sekolah yang sudah melaksanakan Kurikulum 2013 sejak awal, dapat berganti menerapkan<br />
Kurikulum 2006, cukup dengan melapor pada Dinas Pendidikan setempat<br />
68<br />
78
Pasal 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 itu 63 , melupakan isi Pasal 5 Permendikbud No. 158<br />
Tahun 2014 64<br />
Kebingungan akibat ketidak jelasan pijakan filosofi, tercermin pula pada Mendikbud Anies<br />
Baswedan dan jajaran birokrat Kemdikbud :<br />
Pasal 6 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 : Ketentuan lebih lanjut mengenai Kurikulum<br />
2006 akan diatur dalam peraturan menteri tersendiri<br />
Kalau jajaran Kemdikbud ngotot ingin mengatur Kurikulum 2006, bukankah peraturan<br />
menteri terkait Kurikulum 2006 itu sudah sangat lengkap (lihat catatan kaki No. 2 dasar<br />
hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan)<br />
Pasal 4 Permendikbud No.160 Tahun 2014 : Sekolah dapat melaksanakan Kurikulum 2006<br />
paling lama sampai dengan tahun pelajaran 2019/2020<br />
Banyak yang mengartikan bahwa di tahun ajaran 2019/2020 itu kita harus melaksanakan<br />
Kurikulum 2013, tanpa melihat bahwa tahun itu adalah tahun pemberlakuan APEC 2020.<br />
Bagaimana kita akan bersaing dengan sekolah asing dan guru asing yang akan membanjiri<br />
Indonesia, bila kita berkukuh pada Kurikulum 2013 yang banyak mengandung kesalahan ini,<br />
dan tidak menyiapkan guru-guru kita dalam penyusunan modul untuk menyongsong<br />
pemberlakuan sistim baku SKS (bukan paket SKS), yaitu melangkah ke SBI (sekolah bertaraf<br />
internasional) yang dilengkapi dengan sertifikasi manajemen ISO 9001:2008?<br />
Pemaksaan pemberlakuan Kurikulum 2013 di tahun pelajaran 2019/2020 itu juga mendistorsi<br />
isi Nawa Cita No.8 tentang perlunya penataan kembali kurikulum pendidikan nasional<br />
Maka lupakan Kurikulum 2013 yang mau dilestarikan lewat Permendikbud No. 31 Tahun 2013, yang<br />
mau membatasi modal asing dan lalu lintas SDM asing, yang bisa memancing reaksi negatif WTO<br />
dan ACMW. Sebelum kita kena sanksi WTO dan ACMW, apa yang harus kita lakukan untuk<br />
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia sesuai amanat Pasal 3 UU Sisdiknas 65 dan Pasal 5<br />
ayat 1 UU Sisdiknas 66 ? Kembali menggali filosofi yang tepat dan sesuai dengan tujuan pendidikan<br />
63<br />
Pasal 2 ayat 1 : Sekolah yang sudah melaksanakan Kurikulum 2013 sejak awal, tetap melaksanakan Kurikulum 2013<br />
(boleh berganti ke Kurikulum 2005 atau tidak? )<br />
Pasal 3 : Sekolah yang belum menerapkan Kurikulum 2013 akan mendapat pelatihan dan pendampingan untuk<br />
pelaksanaan Kurikulum 2013 (apakah artinya tidak boleh menerapkan Kurikulum 2006 dan tidak boleh ke SKS?<br />
64<br />
Sekolah yang terakreditasi A, menerapkan SKS (Sistim Kredit Semester), tapi jembatan untuk pindah dari Kurikulum<br />
2013 ke SKS tidak disediakan (guru tidak dilatih cara menyusun diktat, LKS dan modul) serta manajemen moving<br />
class dan micro teaching). Jembatan ini justru ada di Kurikulum 2006, kalau guru mampu menyusun kurikulumnya<br />
sendiri (sesuai Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013), maka guru pasti mampu menyusun modul sendiri<br />
65<br />
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang<br />
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta<br />
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,<br />
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab<br />
66<br />
Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu<br />
79<br />
69
nasional kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa (bukan meningkatkan kompetensi orang per<br />
orang, seperti yang dirujuk oleh KBK). Filsafat pendidikan yang tepat dengan strategi pelestarian<br />
budaya adiluhung kita, sekaligus dapat mengakomodasi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa<br />
melalui penggalian local wisdom kita (tut wuri handayani) 67 adalah filsafat perenialisme 68 Tanpa<br />
pemahaman ini, kita akan dengan terjebak dalam anomali pola pikir, mengira bahwa pembelajaran<br />
kognitif (calistung) itu lebih sulit dari pembelajaran afektif (pendidikan karakter), lalu menunda<br />
pendidikan kognitif pada usia emas anak untuk belajar dan menggantinya dengan pendidikan karakter<br />
: “Anak hingga usia 7- 8 tahun atau kelas I dan II SD belum bisa langsung diisi dengan berbagai<br />
pelajaran, seperti berhitung dan baca tulis, yang diajarkan serius ……..Usia 7 – 8 tahun juga masih<br />
usia bermain bagi anak-anak”, kata Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo (Langkan, “Pelajaran Baca<br />
Tulis Diganti Pendidikan Karakter”, Kompas, Selasa 11 Agustus 2015 halaman 11) Maka langkah<br />
pragmatis untuk memenuhi azas tut wuri handayani yang diperkuat dengan filosofi perenialisme dan<br />
sekaligus memenuhi tuntutan Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014 adalah menerapkan e-<br />
learning melalui Disain Kurikulum Digital. Dalam kaitan dengan Disain Kurikulum Digital, praksis<br />
yang penting adalah terbangunnya kesadaran akan wawasan hakiki dalam mengimplementasikan<br />
refleksi dan merumuskan tujuan pembelajaran demi kualitas pendidikan yang lebih baik. Kenapa<br />
bisa dipastikan bahwa kualitas pendidikan kita akan membaik ? Karena melalui Disain Kurikulum<br />
Digital ini, bagian kurikulum yang hilang akan dapat tergali lagi. Kurikulum kita akan makin kaya.<br />
Salah satu keunggulan dari Disain Kurikulum Digital adalah digunakannya Taksonomi<br />
Bloom, dimana guru harus memberi Teladan, jadi guru yang mengampu Biologi, harus mahir dalam<br />
bedah (sectio) sehingga siswa dapat melakukan bedah hewan secara baik, guru yang mengampu Seni<br />
suara/Musik paling tidak harus mampu memainkan satu alat musik sehingga dapat memberi<br />
pemahaman tentang not secara tepat. Bayangkan kalau guru Bahasa Indonesia mengajar tentang<br />
cerpen, tapi sang guru sendiri belum pernah menulis cerpen yang diterbitkan di media lokal, pelajaran<br />
akan menjadi sangat teoritis dan menjemukan bagi siswa. Dengan kewajiban untuk selalu memberi<br />
teladan, maka mau tidak mau, guru akan terus terasah belajar sepanjang hayat (harus membuat<br />
persiapan mengajar secara benar), tidak bisa lagi guru masuk kelas hanya berbekal buku ajar/sumber<br />
belajar (Teladan/contohnya nanti bagaimana?) atau menuntut siswa melakukan presentasi, tanpa<br />
teladan/contoh dari guru tentang presentasi yang persuasif. Kualitas pendidikan akan membaik<br />
karena guru telah menjadi manusia pembelajar (profesionalitas guru bukan ditentukan dari kelulusan<br />
mengikuti diklat selama 3 hari). Dengan teladan/contoh dari guru, budaya organisasi yaitu budaya<br />
67<br />
Tut wuri handayani : memberi dorongan/dukungan dari belakang (memberdayakan guru) : jelas menolak<br />
hegemoni pemerintah dalam dunia pendidikan dan persekolahan<br />
68<br />
Lihat catatan kaki no. 40 tentang filsafat perenialisme<br />
70<br />
80
ilmiah atau budaya pembelajar akan terpola dengan baik. Sekolah dapat beriktiar menjadi center of<br />
excellence<br />
Keunggulan lain dari Disain Kurikulum Digital dapat disimak pada bab-bab berikutnya, sementara<br />
kita bicara tentang prakarsa dan inisiatif dalam Disain Kurikulum Digital, sistim pendidikan nasional<br />
yang berlangsung selama ini justru menciptakan jiwa tunduk pada kuasa. Meski pendidikan<br />
Indonesia bermutu rendah, pemerintah tetap tutup mata dan mempertahankan orientasi proyek dalam<br />
pengelolaan pendidikan. Berbagai hasil survei terkait kualitas pendidikan, guru dan siswa tidak<br />
mendapat perhatian. Padahal hasil survei yang kaya informasi itu sebenarnya bisa dimanfaatkan<br />
sebagai basis evaluasi kebijakan. Kita dipaksa menerima kenyataan bahwa sistim pendidikan<br />
nasional tak ditujukan untuk melahirkan jiwa-jiwa merdeka. Mendamba lahirnya jiwa merdeka<br />
dari praktik pendidikan yang dikelola dalam kerangka proyek ibarat pungguk merindukan bulan.<br />
(“Pungguk Merindukan Bulan”, Kompas, Selasa 18 Agustus 2015 halaman 6).<br />
81<br />
71
BAB II<br />
Pendidikan vs Persekolahan (Kebijakan vs Teknis Implementasi)<br />
Kekeliruan pemaknaan fungsi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang<br />
mengabaikan Nawa Cita No.5 dan Nawa Cita No.8, bisa mengubah hakekat Kementerian Pendidikan<br />
menjadi Kementerian Persekolahan dan Dinas Pendidikan menjadi Dinas Persekolahan.<br />
Sebenarnya pemerintah cq Kemdikbud berfungsi merumuskan :<br />
- arah dan tujuan pendidikan nasional ( Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistim<br />
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan<br />
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka<br />
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik<br />
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak<br />
mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis<br />
serta bertanggung jawab)”.<br />
Hal ini paralel dengan Nawa Cita No.5 yaitu menciptakan strong human capital dan<br />
menjadikan pendidikan di Indonesia sebagai center of excellence.<br />
- dan kebijakan pengelolaan pendidikan (Pasal 51 ayat 1 UU No.20 Tahun 2003 tentang<br />
Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia<br />
dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar<br />
pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah)”.<br />
Hal ini sejalan dengan isi alinea keempat Pembukaan UUD 1945 : pembentukan pemerintahan itu<br />
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan meningkatkan kompetensi orang per orang (bukan<br />
sekedar hanya mengembangkan kognisi siswa atau mengembangkan kemampuan intelektual dan<br />
kecemerlangan akademik, sebagaimana tertera dalam Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013<br />
Bab II B Landasan Teoritis, yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bab II A<br />
No. 2 dan No.3), karena pengembangan kemampuan intelektual dan kecermerlangan akademik itu<br />
akan “meninggalkan yang bodoh” dan “yang tidak trampil” sehingga menyalahi prinsip penciptaan<br />
strong social capital yang dirujuk pada Nawa Cita No.5. Dari kekeliruan pemaknaan arah dan tujuan<br />
pendidikan nasional ini, dapat dimengerti kalau rumusan kerangka dasar kurikulum dan struktur<br />
kurikulumnya menjadi tidak kontekstual dan situasional. Oleh sebab itu, potensi peserta didik<br />
(potensi siswa) tidak terpetakan melalui Multiple Intelligence. Kalau potensi (bakat dan minat) siswa<br />
tidak kita ketahui secara pasti karena sifat pembelajaran yang klasikal, bagaimana mungkin kita bisa<br />
mengembangkan potensi peserta didik seturut amanat Pasal 3 UU Sisdiknas di atas?<br />
72<br />
82
Akan menjadi lebih rancu lagi kalau Kemdikbud tidak merumuskan policy pengelolaan<br />
pendidikan nasional sesuai amanat Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas sehingga seharusnya pemerintah cq<br />
Kemdikbud wajib merumuskan SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan MBS (Manajemen Berbasis<br />
Sekolah), bukan SPM sarana prasarana sekolah berbasis manajemen ala Dinas Pendidikan, jadi :<br />
- bukan SPM berdasar Permendikbud No.23 Tahun 2013 yang kemudian diperbarui melalui<br />
Lampiran Permendikbud No.64 Tahun 2013 Bab II, tetapi SPM Akademik yang mengasah<br />
penalaran halus (fine tuning) siswa<br />
- bukan MBS seperti manajemen yang diatur oleh Dinas Pendidikan atau Pengawas Sekolah,<br />
tetapi manajemen yang disertifikasi ISO 9001:2008.<br />
Perumusan SPM dan MBS ini seharusnya bertujuan mengembangkan potensi siswa sehingga sekolah<br />
seharusnya menerapkan pengembangan minat dan bakat siswa selaras dengan 9 kecerdasan (multiple<br />
intelligence) sejak dini. Sebab tidak ada anak yang bodoh atau pintar, yang ada adalah anak<br />
yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan. “Kita semua berbeda karena<br />
kita semua memiliki kombinasi kepandaian yang berbeda. Bila kita mampu mengenalinya, saya kira<br />
kita akan mempunyai setidaknya sebuah kesempatan yang bagus untuk mengatasi berbagai masalah<br />
yang kita hadapi di dunia”. - Howard Gardner<br />
Kebijakan Kemdikbud untuk mendorong semua siswa SD agar terus naik kelas itu sudah<br />
benar dan sejalan dengan prinsip multiple intelligence.<br />
Melalui pengenalan akan Multiple Intelligences, kita dapat mempelajari kekuatan atau kelemahan<br />
siswa dan memberikan mereka peluang untuk belajar melalui kelebihan-kelebihannya.<br />
Tujuan pemetaan siswa dalam multiple intelligence : siswa memiliki kesempatan untuk<br />
mengeksplorasi dunia, bekerja dengan ketrampilan sendiri dan mengembangkan kemampuannya<br />
sendiri. Oleh sebab itu, kurikulumnya harus sesuai dengan azas multiple intelligence, yaitu<br />
kurikulum kontekstual dan mengakomodasi perbedaan minat dan bakat siswa (sesuai Pasal 36 ayat<br />
2 UU Sisdiknas) yang terakomodasi dalam Kurikulum 2006<br />
Dalam KTSP Bimtek (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan Bimbingan Teknis<br />
(2008) dan Kurikulum 2013, Kemdikbud jelas-jelas melanggar MBS dan tak hirau dengan penerapan<br />
multiple intelligence. Apa buktinya? Siswa yang tidak bisa Matematika atau IPA langsung dicap<br />
bodoh (tidak tuntas), padahal mungkin saja bakat dan minat siswa itu di bidang musik. Karena nilai<br />
kognitif matematika dan IPA jelek (nilainya di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal),<br />
siswa itu dipaksa mengikuti remedial (perbaikan nilai kognitif) Matematika dan IPA, yang berakibat<br />
tidak tersedianya waktu yang cukup untuk mengembangkan bakat dan minat siswa itu sendiri (bakat<br />
dan minatnya “dimatikan” demi mengejar ketuntasan nilai kognitif Matematika dan IPA).<br />
Matematika dan IPA tetap tidak dikuasai, sedangkan bakat dan minatnya terlanjur mati.<br />
83<br />
73
Kita sadar bahwa banyak anak dan orang dewasa tidak bisa menyanyi dan betapapun mereka di<br />
remedial ratusan kali, mereka tidak akan pernah bisa menjadi artis. Banyak orang tidak bisa<br />
menggambar, meskipun sudah diremedial ribuan kali, tetap saja tidak bisa menjadi pelukis. Anehnya<br />
hal ini kita terapkan dalam Matematika dan IPA, kita remedial anak-anak sampai berkali-kali, dengan<br />
harapan mereka akan bisa menguasai Matematika dan IPA.<br />
Hal ini nampak jelas pada penulisan rapor dan perumusan kriteria kenaikan kelas yang sudah<br />
digariskan oleh Dinas Pendidikan. Penilaian hanya bertumpu pada ketuntasan belajar (pencapaian<br />
KKM (Kirteria Ketuntasan Belajar Minimal), sedangkan penilaian aspek psikomotor dan afektif<br />
tidak tergali dalam PBK (Penilaian Berbasis Kelas). Yang lebih fatal adalah terpisahnya monitoring<br />
proses belajar dan evaluasi keberhasilan belajar dari MBS. MBS menjadi tidak terukur. Proses<br />
pembelajaran di kelas bisa tidak berkait dengan capaian visi dan misi sekolah, para guru jalan sendirisendiri<br />
menurut tafsirnya sendiri tentang pendidikan, sehingga berpotensi melanggar ketentuan Pasal<br />
51 ayat 1 UU Sisdiknas. Pendidikan holistik hanya sebatas slogan saja.<br />
Hal ini diperparah dengan kebijakan pemberlakuan satu model pendekatan tunggal dan<br />
seragam di Kurikulum 2013 yaitu model pendekatan saintifik (metode 5 M) yang diimplementasikan<br />
untuk semua mata pelajaran, yang jelas-jelas melanggar azas desentralisasi manajemen kelas, seolaholah<br />
metode 5 M ini dapat memecahkan semua masalah yang terjadi di kelas.<br />
Lalu bagaimana bila muncul problem di kelas ?<br />
Yang pertama-tama harus dilakukan adalah memetakan problem apa saja yang mungkin timbul dan<br />
bagaimana cara mengatasinya.<br />
1. Problem rendahnya prestasi belajar siswa, seyogyanya diatasi dengan mengganti metode<br />
pembelajaran, sehingga nilai siswa bisa membaik. Dalam hal penerapan metode ini,<br />
Kurikulum 2013 sudah benar. Dengan menetapkan metode saintifik (5 M), maka kemampuan<br />
intelektual dan kecemerlangan akademik siswa dapat dikembangkan (tapi para penyusun<br />
Kurikulum 2013 lupa bahwa masih ada strategi dan model pembelajaran (metode bukan satusatunya<br />
penyelesai masalah di kelas dan tidak semua guru berlatar belakang IPA yang<br />
memang sejak awal terbiasa dengan metode saintifik). Untuk bisa mengampu Tematik<br />
Integratif di SD, maka para calon guru SD di PGSD harus berlatar belakang SMA Jurusan<br />
IPA, sebab para lulusan PGSD itu akan mengampu Mata Pelajaran IPA dan Matematika<br />
sepanjang hari di sepanjang minggu selama satu tahun penuh. Artinya, guru SD itu harus<br />
“mumpuni” : menguasai 4 keahlian sekaligus : Matematika, Fisika, Biologi dan Kimia. Sebab<br />
pemelajaran di SD itu merupakan dasar/fondasi untuk jenjang selanjutnya. Bila ada kesalahan<br />
di SD, akan sulit diperbaiki di tingkat selanjutnya. Pada masa Mendikbud Prof Dr Fuad<br />
Hasan, hal ini sudah dicoba diatasi melalui crash program pengadaan guru MIPA melalui<br />
74<br />
84
program D-3 FMIPA, dan program D-IV (sarjana dari berbagai disiplin ilmu akan menempuh<br />
satu tahun pendidikan didaktis dan metodik sebelum ditempatkan sebagai guru), sayang<br />
sekali program ini tidak diteruskan. Alasan utama yang sering dikemukakan adalah : guru<br />
tidak harus ahli dalam bidang yang diampunya, tetapi guru wajib memberi teladan (digugu<br />
dan ditiru), namun Taksonomi Bloom yang mengharuskan guru memberi teladan, juga sudah<br />
dihapus, diganti dengan SOLO taxonomy. Akibatnya kualitas pendidikan kita makin merosot<br />
(lihat hasil survey berbagai lembaga internasional tentang kualitas pendidikan kita di bagian<br />
akhir dari Bab Pendahuluan).<br />
Data prestasi belajar itu termasuk dalam “evaluasi hasil belajar” yang didokumentasikan di<br />
CK (Catatan Kompetensi).<br />
2. Problem kemalasan belajar, seyogyanya diatasi dengan mengganti strategi pembelajaran,<br />
sehingga motivasi belajar siswa bisa terpacu. Siswa yang termotivasi akan rajin bertanya<br />
pada guru atau mampu menjawab dengan antusias pertanyaan yang diajukan oleh guru. Data<br />
frekuensi Tanya – Jawab ini termasuk dalam “monitoring proses belajar” yang<br />
didokumentasikan di PBK (Penilaian Berbasis Kelas). Sampai sekarang, masih banyak guru<br />
yang lebih senang kelasnya diam atau pasif, seolah-olah siswa memperhatikan pengajaran<br />
guru, padahal sebenarnya kelas yang pasif itu menunjukkan bahwa siswa tidak belajar.<br />
3. Problem kenakalan siswa, karena siswa bosan atau jenuh belajar, seyogyanya diatasi dengan<br />
mengganti model pembelajaran, sehingga siswa tertantang untuk maju. Siswa yang bosan di<br />
kelas akan cenderung melakukan aktivitas negatif (membolos, bolak-balik ijin ke toilet,<br />
mengganggu teman atau mengantuk di kelas, mencoret-coret meja atau dinding WC, dll).<br />
Data tentang frekuensi aktivitas negatif ini termasuk dalam “monitoring proses belajar” yang<br />
didokumentasikan di PBK<br />
4. Problem tidak mengerjakan sendiri tugas praktek atau Tugas Tidak Terstruktur, seyogyanya<br />
diatasi dengan mengganti tugasnya, disesuaikan dengan minat dan bakatnya. Misalnya siswa<br />
yang tidak bisa membuat puisi, tidak diminta berulang-ulang menulis puisi, karena memang<br />
siswa itu tidak mungkin menjadi penyair, tapi siswa diminta untuk mengamati suatu puisi :<br />
masalah apa yang ingin diungkap oleh sang penyair dan apa latar belakang penyair itu<br />
menorehkan puisinya ? (Menangkap yang tersirat). Dengan pola lama (remedial berulang)<br />
pada tugas praktek itu, besar kemungkinan, siswa tidak membuat tugasnya sendiri, tetapi<br />
siswa menyuruh orang lain membuatkan tugas praktek atau Tugas Tidak Terstruktur, oleh<br />
sebab itu tugasnya perlu diganti dengan tugas yang meningkatkan partisipasi siswa melalui<br />
tugas yang dapat mengembangkan daya abstraksinya.<br />
85<br />
75
Frekuensi penyerahan tugas yang dilakukan sendiri oleh siswa ini termasuk dalam<br />
“monitoring proses belajar”, yang didokumentasikan di di PBK<br />
5. Problem tidak menyerahkan tugas proyek atau Tugas Terstruktur, seyogyanya diatasi dengan<br />
mengganti tugasnya disesuaikan dengan kemampuan (kompetensi dari siswanya). Misalnya<br />
siswa yang tidak bisa membuat bola sebagai alat peraga matematika, maka tugasnya diganti<br />
dengan tugas yang dapat mengasah penalaran halus (fine tuning) siswa, misalnya melalui<br />
soal-soal yang berbentuk cerita (persamaan tersamar) atau mencari gambar pintar yang dapat<br />
mengasah daya imajinasi kreatif siswa. Frekuensi penyerahan tugas yang dapat<br />
meningkatkan daya analisis siswa ini termasuk dalam “evaluasi hasil belajar” yang<br />
didokumentasikan di CK.<br />
Contoh gambar pintar : ada berapa orang dalam gambar ini?<br />
Harap diingat bahwa generasi muda sekarang cenderung hanya berkembang dalam ranah visual<br />
karena dulu mereka terbiasa menonton TV dan sekarang mereka tergila-gila dengan gawai (gadget)<br />
sehingga daya abstraksinya kurang berkembang karena bukan termasuk dalam generasi yang gemar<br />
membaca. Itulah alasan utama dari Kemdikbud untuk menghapus mata pelajaran berbasis tiga<br />
dimensi : Ilmu Ukur Ruang (Stereometri), Menggambar Perspektif dan Proyeksi, Ilmu Ukur Melukis<br />
(BM), Ilmu Ukur Analitika, Ilmu Bumi Falak (Astronomi), dll. Lihatlah kicauan dangkal para siswa<br />
pada era ini di Twitter atau posting remeh temeh mereka di Facebook atau foto-foto selfie mereka<br />
yang tidak bermakna apa-apa bagi orang lain di Instagram, yang banyak dikeluhkan sebagai sampah<br />
elektronik. Terjadi pemujaan terhadap pendangkalan (cult of philistinism), menyia-nyiakan masa<br />
emas untuk pertumbuhan daya nalar dan pembelajaran kritis.<br />
76<br />
86
Maka pemetaan bakat dan minat melalui Multiple Intelligence dan manajemen berbasis kelas<br />
mutlak diperlukan untuk menghindari generasi muda yang hanya fasih menjadi user atau konsumen<br />
saja, bukan gen flux yang mampu membuka alternatif baru dan mencerahkan dunia.<br />
Setelah pemetaan kelas dan menentukan langkah intervensinya, maka mencari solusi terbaik dapat<br />
dilakukan lewat PTK (Penelitian Tindakan Kelas) sehingga langkah solusinya terukur.<br />
1. Guru yang ingin mengatasi masalah rendahnya prestasi belajar siswa akan menjadikan CK<br />
sebagai Sumber Data Primer dan PBK sebagai Sumber Data Sekunder, dengan intervensi<br />
pada penggantian metode pembelajaran<br />
2. Guru yang ingin mengatasi problem kelas yang pasif (karena siswanya tidak belajar atau<br />
malas belajar, sehingga tidak tahu apa yang mesti dilakukan di kelas), maka guru akan<br />
menjadikan PBK sebagai Sumber Data Primer dan CK sebagai Sumber Data Sekunder,<br />
dengan intervensi pada penggantian strategi pembelajaran<br />
3. Guru yang ingin mengatasi kebosanan atau kejenuhan belajar siswa (yang tercermin dari<br />
gangguan belajar atau aktivitas negatif yang ditimbulkannya), maka guru yang bersangkutan<br />
akan menjadikan PBK sebagai Sumber Data Primer dan CK sebagai Sumber Data Sekunder,<br />
dengan intervensi pada penggantian model pembelajaran.<br />
4. Guru yang ingin agar setiap siswa membuat Tugas Tidak Terstrukturnya sendiri, maka guru<br />
tersebut harus menggunakan PBK sebagai Sumber Data Primer dan CK sebagai Sumber Data<br />
Sekunder, dengan intervensi pada penggantian tugas yang disesuaikan dengan bakat dan<br />
minat siswa yang sudah terpetakan dalam multiple intelligence.<br />
5. Guru yang ingin agar setiap siswa mampu mengerjakan Tugas Terstruktur secara benar, maka<br />
guru itu harus menggunakan CK sebagai Sumber Data Primer dan PBK sebagai Sumber Data<br />
Sekunder, dengan intervensi pada penggantian tugas yang disesuaikan dengan kemampuan<br />
(kompetensi) siswa<br />
Melalui penelitian yang terukur, maka masalah siswa dapat dipecahkan sebelum siswa menerima<br />
rapor semester (tidak ditunggu sampai berlarut-larut sehingga siswa mengalami masalah pada<br />
kenaikan kelas atau kelulusan)<br />
Jadi monitorimg dan evaluasi keberhasilan belajar berkait langsung dengan MBS dan pendekatan<br />
holistik mempunyai dasar pijakan implementasi yang terukur<br />
Solusi yang ditawarkan dalam PTK itu akan menjadi bahan refleksi guru dalam penyusunan<br />
ulang indikator keberhasilan di Silabus dan bobot soal di RPP (lihat bagian Refleksi pada Bab I<br />
Filosofi Pendidikan)<br />
Dengan demikian, tidak mungkin ada penyeragaman Silabus atau RPP karena sifat dan kondisi<br />
kelas selalu dinamis (MBS itu sifatnya situasional)<br />
87<br />
77
Jadi kalau Dinas Pendidikan di Provinsi DKI Jakarta memberlakukan SAS (Sistim<br />
Administrasi Sekolah) atau SIP (Sistim Informasi Pendidikan), maka sesungguhnya Dinas<br />
Pendidikan telah menyeragamkan perumusan KD (Kompetensi Dasar), Bahan Ajar (Materi<br />
Pelajaran), penentuan Indikator, dan Alokasi Waktu, bahkan sampai batas bawah KKM, yang<br />
mengakibatkan Silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) semua sekolah menjadi<br />
seragam, maka hal itu telah mengubah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) menjadi MBAD<br />
(Manajemen Berbasis Arahan Dinas Pendidikan). MBAD ini belum tentu cocok dan selaras untuk<br />
diterapkan di suatu sekolah yang kondisinya sangat heterogen. Hasilnya, proses pembelajaran tidak<br />
membantu mencerahkan siswa atau mengasah penalaran halus (fine tuning) siswa dan sama sekali<br />
tidak membantu sekolah mensinkronkan MBS dengan sertifikasi manajemen ISO 9001:2008.<br />
Akibatnya, demi mengejar pemberkasan rapor yang seragam agar compatible dengan SAS atau SIP,<br />
maka Dinas Pendidikan lupa pada kewajiban penjaminan mutu sekolah, yang sudah digariskan dalam<br />
isi Pasal 59 ayat 1 butir (d) dan Pasal 60 ayat (k) PP No. 19 Tahun 2005 juncto Pasal 5 ayat 1 butir<br />
(b) PP No. 32 Tahun 2013 : perumusan kualifikasi Kompetensi Indonesia<br />
Prinsip MBS juga dilanggar melalui penerapan EEK (Eksplorasi, Elaborasi dan Konfirmasi)<br />
dalam KTSP Bimtek dan penerapan pendekatan saintifik (metode 5 M) dalam Kurikulum 2013<br />
karena penerapan kedua hal tersebut sesungguhnya memerlukan pendalaman dalam Analisis Esensi<br />
Materi (AEM), tidak bisa sembarang diterapkan untuk semua KD (Kompetensi Dasar). Penerapan<br />
EEK itu meninggalkan dua aspek penting lain dari rangkaian satu siklus Paradigma Pendidikan<br />
Reflektif (PPR) yaitu Refleksi dan Aksi, sedangkan penerapan pendekatan saintifik (metode 5 M)<br />
untuk topik atau tema yang abstrak, bisa mengganggu system of knowledge dan daya serap dari mata<br />
pelajaran itu. Misalnya guru PKn akan menerangkan tentang Proklamasi Kemerdekaan RI. Melalui<br />
langkah 1 dari pendekatan saintifik yaitu MENGAMATI, akan timbul kendala : siswa tidak<br />
mengalamai secara langsung detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI, sehingga guru harus<br />
membimbing siswa agar siswa dapat mengembangkan daya abstraksinya (Mengapa proklamasi<br />
dilakukan jam 10 pagi, bukan jam 8 pagi? Kenapa proklamasi dilakukan di halaman rumah Bung<br />
Karno, tidak di lapangan Ikada, yang letaknya tidak jauh dari rumah Bung Karno? Kenapa para<br />
pemuda menculik Bung Karno dan membawanya ke Rengasdengklok, tidak ke rumah Raden Saleh<br />
yang lebih dekat dan lebih secure di Cikini? dll). Bila guru tidak mampu membimbing siswa untuk<br />
menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas, maka penggunaan metode 5 M (yang dimulai<br />
dengan MENGAMATI) bisa merusak system of knowledge dari ilmu ketatanegaraan seputar masalah<br />
proklamasi kemerdekaan negara kita.<br />
Dari contoh di atas, nampak jelas bahwa dengan pelanggaran azas desentralisasi manajemen<br />
kelas yang berwujud dalam campur tangan pemerintah sampai ke dapur sekolah melalui penetapan<br />
78<br />
88
metode tunggal itu, Kementerian Pendidikan sejatinya telah bermetamorfosa menjadi Kementerian<br />
Persekolahan dan Dinas Pendidikan telah berganti peran menjadi Dinas Persekolahan (pemerintah<br />
memasuki masalah-masalah teknis operasional sehari-hari di kelas, lupa pada kewajiban untuk<br />
merumuskan SPM dan MBS dalam dunia pendidikan). 69<br />
Kenapa SPM dan MBS ini penting?<br />
Proses pembelajaran formal membiasakan siswa mencari bimbingan teoritis dalam usaha<br />
memecahkan masalah. Namun ada sesuatu yang essentially antagonistic antara kebiasaan pikiran<br />
mencari bimbingan teoritis dan kebiasaan atau kebutuhan pikiran menemukan the successful conduct<br />
of doing something atau solving real problems. Dalam kenyataan sehari-hari, bimbingan teoritis<br />
untuk pemecahan masalah itu adalah soal pendidikan dan pemaparan (deliberation) dan sama sekali<br />
bukan soal pelaksanaan atau eksekusi pemecahan masalah, apalagi hal itu bukanlah soal eksekusi<br />
kurikulum baru<br />
Misalnya : dalam soal-soal Matematika, masalahnya bukan pada penerapan rumus-rumus matematis<br />
(bukan menggali eksekusi pemecahan masalah), tetapi masalahnya ada pada aplikasi logika (mencari<br />
bimbingan teoritis untuk memecahkan masalah itu) dan logika itu membebaskan (deliberation)<br />
matematika dari seperangkat rumus-rumus. Maka pendidikan matematika adalah pemaparan yang<br />
mengasah logika (penalaran). Matematika menjadi seni untuk berpikir logis. Tanpa pemahaman<br />
tentang hal ini, siswa akan sukar mengerjakan soal-soal verbal dalam GMAT.<br />
Contoh lain, dalam Biologi, masalahnya bukan pada menghafal (eksekusi pemecahan masalahnya<br />
bukan dengan menghafal), misalnya bukan menghafal apa beda hewan berdarah panas dan hewan<br />
berdarah dingin, tetapi dengan mencari bimbingan teoritisnya : ada satu zat yang sangat menentukan<br />
perbedaan itu : ada zat yang sangat sensitif pada suhu yaitu enzim. Kalau siswa sampai pada<br />
kesimpulan “enzim” pada pembeda hewan berdarah panas dan hewan berdarah dingin, maka<br />
pendidikan biologi mendapatkan jalan terangnya yaitu mendapatkan “benang merah” keteraturan<br />
alam. Tanpa pemahaman ini, garis Wallacea yang membujur di Selat Makasar menjadi tidak punya<br />
arti apa-apa bagi siswa, atau heboh tentang penemuan manusia kerdil dari Liang Bua (homo<br />
floresiensis) hanya dianggap sebagai salah satu cerita fiksi saja.<br />
Pendidikan yang membebaskan (deliberation) dari segala bunga rampai fakta yang tidak<br />
perlu ini sejalan dengan pemikiran Prof Dr Driyarkara SJ, pendidikan itu bertujuan memanusiakan<br />
manusia muda. Sehingga masalah pembangunan nasional adalah pembangunan manusia,<br />
pembangunan daya analisis manusia. Sedangkan apa-apa yang human adalah sekaligus psikis,<br />
sosiologis, ekonomis, historis, demografis. Maka penting sekali bahwa aspek-aspek tersebut tidak<br />
69<br />
Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas : Pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan SPM berbasis MBS<br />
89<br />
79
terpisah tetapi saling menunjang ke arah visi poliokuler. Hidup manusia bukan biologis tetapi<br />
biografis. Untuk ini para guru terpanggil, lebih menjadi pendidik ketimbang pengajar, menemukan<br />
metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam administrasi<br />
politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari.<br />
Agar bisa ikut mengalir tetapi tidak hanyut (ngeli mung ora keli) dalam arus internasionalisasi dan<br />
globalisasi, kita perlu mengembangkan a vision of survival yang seyogyanya dirumuskan dalam<br />
MBS dan SPM<br />
A. Lalu bagaimana bentuk konkrit dari MBS ?<br />
Karena MBS itu adalah :<br />
(1) pengelolaan unit kerja satuan pendidikan secara profesional, dan<br />
(2) untuk melaksanakan demokratisasi pendidikan.<br />
Maka konsep dasarnya adalah desentralisasi dan otonomi daerah, yang berarti kewenangan dan<br />
kemandirian untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, menurut prakarsa sendiri, yang sebenarnya<br />
sudah dirintis oleh pemerintah dengan pendirian Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan di daerah.<br />
Hanya Kemdikbud selalu ragu dalam hal ini, di satu sisi, Kemdikbud mendorong sekolah agar<br />
mandiri (melalui KTM : sekolah kategori mandiri), tetapi di lain pihak, Kemdikbud menghapus<br />
Direktorat Sekolah Swasta, padahal sejak dulu, sekolah swasta ini mandiri (swadana dan swakelola),<br />
akibatnya : sekolah swasta sekarang cenderung menjadi beban negara (pemerintah harus ikut<br />
mengucurkan dana BOS untuk sekolah swasta dan memenuhi tunjangan sertifikasi guru-guru<br />
swasta). Sarana dan prasarana sekolah-sekolah negeri menjadi kurang terurus lagi. Keberadaan para<br />
Pengawas (Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran) ikut merunyamkan ketersendatan<br />
kemandirian suatu sekolah, campur tangan mereka terlalu dalam. Memang harus diakui bahwa tiap<br />
pemerintahan memerlukan birokrasi. Namun birokrasi sering menimbulkan efek negatif, lamban,<br />
berbelit-belit karena harus “mengikuti aturan” yang banyak lika-likunya. Lalu muncul keluhan<br />
“jangan terlalu birokratis”. Untuk itulah diperlukan reformasi birokrasi, bahkan ada Kementerian<br />
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yang khusus mengurus penataan ulang<br />
birokrat agar sesuai dengan Nawa Cita sehingga dapat mendukung ketercapaian Trisakti :<br />
- Berdaulat di bidang politik<br />
- Berdikari dalam bidang ekonomi<br />
- Berkepribadian dalam kebudayaan<br />
Apa kaitannya dengan kurikulum?<br />
Kita sudah tidak berdaulat di bidang politik akibat keterjajahan kita dalam bidang teknologi.<br />
Ketergantungan kita pada teknologi asing sangat besar, terutama dalam bidang teknologi komunikasi<br />
Kita bukannya mengejar ketertinggalan teknologi ini, malahan menghapus Mata Pelajaran TIK dari<br />
80<br />
90
kurikulum. Mata pelajaran TIK yang sangat sulit dan cakupannya sangat luas ini hendak<br />
diintegrasikan ke mata pelajaran lain. Mana mungkin? Jadilah bangsa ini sejak dini sudah diprogram<br />
untuk hanya menjadi sekedar user yang konsumtif.<br />
Akibat lanjutannya, bangsa ini sudah diprogram hanya menjadi sekedar konsumen, bukan produsen,<br />
sehingga kita juga terjajah secara ekonomi.<br />
Sebagai bangsa yang konsumtif, kita juga mudah terpengaruh oleh kebudayaan asing, gejala kebaratbaratan,<br />
kearab-araban, dan ke korea-koreaan telah menjadikan kita tidak lagi berkepribadian dalam<br />
bidang kebudayaan.<br />
Untuk itulah diperlukan MBS (manajemen berbasis sekolah) agar pendidikan dikembalikan ke roh<br />
asalinya, yaitu pendidikan kontekstual berbasis kearifan lokal (bukan penyeragaman kurikulum<br />
secara nasional yang dikawal oleh para Pengawas, yang justru menggerus kearifan lokal dan<br />
keunggulan lokal). Untuk mengatasi manajemen ala birokrat ini diperlukan reformasi birokrasi.<br />
Untuk memahami pola baru reformasi birokrasi itu, dibuatlah dikotomi berikut :<br />
POLA LAMA<br />
Subordinasi<br />
Pengambilan keputusan terpusat<br />
Ruang gerak kaku<br />
Pendekatan birokratis<br />
Sentralistik<br />
Serba diatur<br />
Regulasi berlebihan<br />
Mengontrol<br />
Mengarahkan<br />
Menghindari resiko<br />
Gunakan semua dana<br />
Individu-individu<br />
Informasi terpusat<br />
Pendelegasian<br />
Organisasi berjenjang<br />
POLA BARU<br />
Otonomi<br />
Pengambilan keputusan partisipatif<br />
Ruang gerak luwes<br />
Pendekatan profesional<br />
Desentralistik<br />
Motivasi diri<br />
Deregulasi<br />
Mempengaruhi<br />
Memfasilitasi<br />
Mengelola resiko<br />
Efisiensi pemakaian dana<br />
Tim<br />
Informasi terbagi<br />
Pemberdayaan<br />
Organisasi mendatar<br />
Otonomi pendidikan ini sebenarnya sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas,<br />
Pasal 20 PP No.19 tahun 2005 dan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 tahun 2013<br />
91<br />
81
Tanpa otonomi, tidak ada MBS 70 yang ada adalah manajemen ala Kemdikbud atau Pengawas.<br />
Kemdikbud sibuk dengan urusan persekolahan, sehingga Kemdikbud lupa pada dilema terbesar<br />
bangsa ini, yaitu tingginya angka drop out dan besarnya pekerja anak<br />
(Jumlah SD : 148.361, jumlah SMP : 36.425, jumlah SMA : 10.765, jumlah SMK : 7.592 Terlihat<br />
bahwa jumlah anak yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi masih sangat besar,<br />
meskipun sudah diluncurkan program sekolah gratis dan telah dikucurkan macam-macam program<br />
bea siswa) Pasti ada sesuatu yang salah hingga angka drop out ini masih sangat tinggi. Inilah tugas<br />
pokok dari pemerintah sehingga Kemdikbud bisa memenuhi tuntutan Pasal 3 UU Sisdiknas<br />
(pemerataan pendidikan tanpa diskriminasi), bukan malah sibuk dengan program tebar uang melalui<br />
sertifikasi guru yang tak terkait dengan kinerja guru dan kompetensi guru, pemberlakuan UN dan<br />
kurikulum baru yang menghabiskan anggaran besar, padahal di berbagai ketentuan dalam<br />
permendikbud masih digunakan kata “KTSP” (berarti masih berputar-putar di pemaknaan kata<br />
“KTSP” atau Kurikulum keluaran tahun berapa ?) Kalau melihat arti harafiah dari KTSP :<br />
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, maka sebenarnya pemerintah tidak perlu meluncurkan<br />
Kurikulum 2013 (lihat Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 pada PP No. 32 Tahun 2013). Pemerintah<br />
cukup menambahkan bahan-bahan/materi yang hilang dari kurikulum, hingga para siswa dapat<br />
mengerjakan soal-soal TIMSS dan PISA dengan baik 71 Untuk itu diperlukan kajian sejarah<br />
pendidikan Indonesia, pernahkah kurikulum kita menjadi rujukan negara tetangga? Kapan<br />
kurikulum kita sangat lengkap dalam menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan?<br />
Dari kajian sejarah pendidikan Indonesia ini akan terlihat jelas, bahwa setiap kali ada<br />
pergantian kurikulum, bahan ajar/materi justru makin berkurang, karena pemerintah berkukuh<br />
berupaya meningkatkan kemampuan (kompetensi) generasi muda Indonesia sehingga dapat<br />
menjawab kebutuhan tenaga kerja usia produktif. Kompetensi selalu terkait dengan batas atas (batas<br />
maksimal) materi/bahan ajar yang harus dikuasai siswa secara individual. Supaya tidak terlalu<br />
membebani siswa, maka batas atas ini selalu diturunkan, materi makin berkurang agar tidak<br />
memberatkan siswa. Mula-mula di tahun 1984, pemerintah menghapus “benang merah”<br />
aktualisasi penajaman fungsi otak kiri, yaitu menghapus Ilmu Bumi Falak (astronomi),<br />
Matematika tiga dimensi (Stereometri, Analit dan Kalkulus I + Kalkulus II), serta Menggambar<br />
Teknik (ornament, perspektif dan proyeksi) dan menghapus “benang merah” penajaman fungsi<br />
otak kanan : Pengetahuan Umum dengan menghapus Peta Buta dan Sejarah Dunia, Kreativitas<br />
70<br />
Implementasi MBS diukur melalui ISO 9001:2008<br />
71<br />
Banyaknya materi uji yang ditanyakan dalam TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam Kurikulum Indonesia disebut<br />
dalam Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal, yang diulang pada<br />
Permendikbud No.68, No.69 dan No.70 Tahun 2013 tergantung unit sekolahnya)<br />
82<br />
92
dengan menghapus Prakarya, kepekaan indrawi dengan menghapus not balok dalam musik diganti<br />
dengan menyanyi (seni suara) menggunakan not angka. Lalu di tahun 1994 merembet ke<br />
pengurangan bahan ajar/materi di dalam Mata Pelajaran, dengan dihapuskannya Logika (Persamaan<br />
Tersamar) dari Matematika, Pemberdayaan Masyarakat Madani (Civics) dari PKn, Enam Belas<br />
Tenses dari Bahasa Inggris, Penggaraman dan Kimia Analitik dari Kimia, Mendongeng dan Membuat<br />
Karya Tulis Ilmiah dari Bahasa Indonesia, dll Nampak bahwa bahan ajar/materi itu makin lama<br />
makin miskin. Hakekat pendidikan di sekolah, yaitu “membentuk manusia pembelajar” dan<br />
“menjadikan sekolah sebagai rumah kedua” makin jauh dari angan-angan, karena “benang<br />
merah” lintas ilmu terputus (ada begitu banyak bahan ajar/materi yang hilang) sehingga siswa<br />
bukan lagi belajar untuk kehidupan tetapi belajar untuk lulus Ujian Nasional. Budaya<br />
organisasi menjadi samar, misalnya budaya ilmiah dan budaya pembelajar tergantikan budaya visual<br />
(dulu dengan seringnya menonton TV, sekarang dengan main gawai (gadget), yang ditopang dengan<br />
budaya instant : mau cepat memperoleh hasil, tanpa perlu kerja keras.<br />
Apa yang salah dari Kurikulum 2013 terkait dengan kajian sejarah pendidikan Indonesia ini ? Dari<br />
paparan penanggung jawab Kurikulum 2013, yang dirujuk oleh para guru inti dan sekarang dijadikan<br />
pedoman oleh para instruktur nasional, nampak bahwa perubahan kurikulum dimaknai sebagai<br />
“kaleidoskop” tahun pergantian kurikulum (Kaleidoskop itupun dimulai dari tahun 1984, tidak<br />
merujuk sampai ke tahun 1968 dan tahun 1975 : saat kurikulum kita masih sangat lengkap dalam<br />
menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri). Akibatnya kajian tentang “apa sebabnya kurikulum itu<br />
diganti” dan “apa dampaknya bagi dunia pendidikan Indonesia” terlewatkan, menjadi hanya sekedar<br />
urutan peristiwa (kaleidoskop), Sebagai sekedar urutan peristiwa (kaleidoskop), maka manajemen<br />
kelasnya tidak ikut terteropong, dikira hanya terdiri dari kelas pasif (metode ceramah) dan kelas aktif<br />
(metode cara belajar siswa aktif), padahal hakekat menajemen kelas yang sesungguhnya adalah<br />
upaya penyeimbangan otak kiri dan otak kanan (menumbuhkan budaya kritis dalam bingkai<br />
keadaban publik). Hakekat MBS yang sesungguhnya bertumpu pada hal ini.<br />
Road map penyusunan MBS yang menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan sebenarnya sudah<br />
dirumuskan dalam Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian I A No.2 c :<br />
No. 7 Pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users) dengan<br />
memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik<br />
Ketentuan ini mengharuskan guru untuk membuat pemetaan kelas berdasar minat dan bakat siswa<br />
dengan menggunakan multiple intelligence. Siswa yang kurang menguasai Matematika, barangkali<br />
bakatnya di bidang musik, sehingga strategi pembelajaran matematika harus diubah agar siswa yang<br />
berbakat di bidang musik, tetap dapat memperoleh pengetahuan matematika minimal yang<br />
93<br />
83
dipersyarakatkan untuk dapat naik kelas (pindah jenjang kompetensi), bukan dengan menyuruhnya<br />
mengikuti remedial berulang, yang hasilnya bisa kontraproduktif<br />
No. 8 Pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline) menjadi<br />
pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplines);<br />
Ketentuan ini mengharuskan guru menyusun Analisa Horizontal secara benar. Misalnya guru Bahasa<br />
Inggris yang mengajar tentang greetings harus yakin bahwa etiket sudah diajarkan di Pelajaran<br />
Agama dan Budi Pekerti, serta guru Bahasa Indonesia sudah mengajar “kalimat” (Kalimat Tanya,<br />
Kalimat Intransitif, Kalimat Seruan, dll) sehingga sinambung dengan greetings; Guru seni suara yang<br />
mengajar lagu-lagu kebangsaan harus yakin bahwa guru sejarah sudah mengupas tentang sejarah<br />
Sumpah Pemuda sampai Sejarah Kemerdekaan Indonesia. Dengan Analisa Horizontal yang benar,<br />
maka siswa akan terbiasa belajar lintas ilmu, suatu modal penting untuk belajar multi disiplin, seperti<br />
tematik integratif atau IPA Terpadu/IPS Terpadu.<br />
No. 1 Pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada<br />
peserta didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang<br />
dipelajari untuk memiliki kompetensi yang sama;<br />
Ketentuan ini mengharuskan guru melakukan Analisa Vertikal. Bahan ajar/materi disusun<br />
berjenjang, mulai dari yang paling mudah sampai yang paling sukar. Siswa dapat memilih bahan<br />
ajar/materi dari bawah ke atas secara langsung (dari mudah ke sukar), atau zigzag (mengambil semua<br />
yang mudah dulu, baru kemudian mengambil semua yang agak sukar, lalu terakhir : mengambil<br />
semua bahan/materi yang sukar) sesuai dengan kebutuhannya. Pola ini adalah pola pemberlakuan<br />
SKS (bukan paket SKS). Guru perlu menyiapkan modul yang berkelanjutan, program pengayaan<br />
yang mencerahkan, dan monitoring proses belajar yang tepat sehingga setiap siswa dapat belajar<br />
menurut irama dan kecepatannya sendiri.<br />
Dengan demikian, MBS yang diacu oleh Kurikulum 2013 seharusnya sejak awal bertumpu<br />
pada multiple intelligence. Hanya saja, selalu ada gap antara gagasan dan implementasi, gagasangagasan<br />
bagus itu hanya ditempelkan pada Kurikulum 2013, sehingga Kurikulum 2013 disebut<br />
menganut filsafat eklektisme, bukan esentialisme.<br />
Pemerintah sebagai pendidik masyarakat ?<br />
Kementerian Pendidikan telah bertransformasi menjadi Kementerian Persekolahan dan Dinas<br />
Pendidikan telah memformulasikan dirinya menjadi Dinas Persekolahan. Apakah pemerintah mau<br />
mengambil alih peran sekolah dan pemerintah hendak terjun langsung sebagai pendidik masyarakat?<br />
Kenapa pertanyaan ini penting diajukan? Karena sekolah sudah dibebani dengan berbagai<br />
macam isian dan tabel dalam Dapodik, Padamu Negeri, dll formula pengisian segala macam laporan,<br />
evaluasi diri, portofolio, semuanya dengan lampiran, selalu tentang hal yang sama, tetapi dengan<br />
84<br />
94
kode, urutan, dan logika yang berbeda. Sering terjadi, Kemdikbud mengubah sistim, dan sekolah<br />
harus mengirim data sekali lagi, lagi, dan lagi. Sebetulnya keluhan semacam ini bukan sesuatu yang<br />
baru, karena dalam pengelolaan pendidikan kita, sudah lama ada kesan bahwa pemerintah<br />
cenderung bersikap birokratis dari pada visioner dan inovatif, cenderung melakukan instruksi<br />
dan pengontrolan rutin dengan penggandaan formulir-formulir resmi untuk diisi dari pada<br />
menawarkan visi pendidikan yang baru dalam tataran akademis, sehingga tugas pokok<br />
pemerintah cq Kemdikbud seperti yang dirumuskan dalam Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas menjadi<br />
terbengkalai.<br />
Contoh : Kemdikbud yang lalai pada Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas dan sibuk berkemas memasuki<br />
ruang privat yang sebenarnya mengingkari motto Kemdikbud sendiri (tut wuri handayani) dan<br />
mengubahnya menjadi tut wuri hanggondeli : Direktur Pembinaan PAUD Ella Yuleawati<br />
menambahkan, sekolah yang terpilih sebagai penyelenggara program pendidikan keluarga akan<br />
mendapat pelatihan tentang pendidikan keluarga, misalnya cara mendidik anak. “Pelatihan untuk<br />
para pendidik dan tenaga kependidikan serta kepada para orang tua dan wali murid di sekolah”,<br />
ujarnya. (Pendidikan Keluarga Sasar 5000 lembaga, Kompas, Kamis 13 Agustus 2015 halaman 11)<br />
Jikalau pendidikan dibawahkan pada kepentingan pemerintah, pendidikan akan cenderung<br />
menjadi ideologi dan tidak mengacu pada kepentingan “kemanusiaan” yang menjadi tolok ukur<br />
pendidikan par excellence. Hal ini bukannya menafikan peran negara modern untuk mengatur<br />
pendidikan, melainkan menegaskan bahwa perannya seharusnya hanya sebatas memfasilitasi saja<br />
penyelenggaraan pendidikan oleh dan untuk masyarakat. (lihat Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas)<br />
Memang negara yang taraf demokrasinya masih rendah biasanya cenderung mengkooptasi<br />
semua kegiatan masyarakat di bawah sayapnya. 72 Kecenderungan seperti itu tampak sekali dalam<br />
awal-awal munculnya negara-bangsa (nation-state) di Eropa yang secara alami bersifat absolut dan<br />
rupanya masih mengena pada negara-negara yang masih muda dewasa ini. Negara lalu bersifat<br />
totaliter karena mau mengatur segala sesuatu, baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun<br />
sosial, termasuk orientasi pendidikan tentu saja, 73 dengan pengandaian bahwa rakyat atau masyarakat<br />
belum mampu berpikir sendiri atau belum dewasa untuk mengatur hidup bersama 74<br />
Prinsip itulah yang selalu dikemukakan oleh para pejabat Kemdikbud. “Para guru selalu disalahkan<br />
sebagai pihak yang tidak becus membuat kurikulum, padahal selama ini para guru selalu patuh pada<br />
72<br />
Lihat perubahan dramatis isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013<br />
73<br />
Pemerintah tidak lagi fokus pada arah dan tujuan pendidikan nasional (Pasal 3 UU Sisdiknas) dan kebijakan<br />
pengelolaan pendidikan nasional dan layanan pendidikan yang bermutu (Pasal 11 UU Sisdiknas) serta perumusan<br />
SPM dan MBS (Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas)<br />
74<br />
Ingat wacana pembentukan Direktorat Keayah-bundaan, yang dikukuhkan menjadi Direktorat Pembinaan<br />
Pendidikan Keluarga<br />
95<br />
85
arahan Dinas Pendidikan setempat dan selalu melaksanakan semua instruksi dari Dinas Pendidikan<br />
dan para Pengawas” (Kompas, 29 November 2012, “Ini Alasan Dirombaknya Kurikulum”). Kalau<br />
kita tengok ke belakang, sampai dengan tahun awal 1984, kurikulum dan persekolahan kita selalu<br />
menjadi rujukan dari negara tetangga. Para guru kita banyak yang diminta untuk mengajar di<br />
Malaysia dan Sekolah Indonesia di berbagai kota di luar negeri diminati juga oleh warga asing.<br />
Semuanya berubah merosot drastis sejak pemerintah berupaya mengkooptasi semua kegiatan<br />
dibawah ketiak sayapnya, didukung oleh membanjirnya dana (20% dari APBN itu harus mampu<br />
diserap oleh Kemdikbud). Kemdikbud lalu tergoda untuk membuat program bagi-bagi duit melalui<br />
sertifikasi guru yang tak terkait kinerja guru, penyelenggaraan UN dan kurikulum tunggal serta<br />
seragam secara nasional, lupa pada Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas, lalu ikut menyusun buku ajar dan<br />
buku pegangan guru serta ikut merumuskan sistim penilaian, lupa pada isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun<br />
2005. 75 Pemerintah lupa pada adagium universal : segala sesuatu yang sifatnya top down dan<br />
massal, pasti kualitasnya sulit terkontrol. Itulah sebabnya muncul cabang baru dalam ilmu<br />
manajemen yaitu TQM (Total Quality Management). Sayangnya, Kemdikbud abai menerapkan<br />
TQM di unit-unit kerjanya. Lihat saja kasus keterlambatan pembagian ijazah saat ini, yang hanya<br />
dianggap sebagai urusan administrasi saja, bukan perkara hak azasi lulusan untuk memperoleh ijazah<br />
asli seperti yang dituntut berbagai lembaga untuk studi lanjut atau untuk bekerja.<br />
Kemdikbud memang merencanakan untuk mengubah tunjangan sertifikasi guru menjadi<br />
tunjangan kinerja guru, namun masalahnya sudah terlanjur rumit dengan adanya :<br />
- Perubahan dari Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, yang<br />
memangkas wewenang dan hak guru : guru hanya dijadikan tukang mengajar dan petugas<br />
administrasi pengajaran saja.<br />
- Munculnya Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b tentang Pengawas<br />
Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran, yang menjadikan Kemdikbud sebagai konseptor,<br />
inisiator, implementor, dan eksekutor serta evaluator keseluruhan proyek Kurikulum 2013,<br />
sesuatu yang menyalahi sepuluh prinsip good governance dan debirokratisasi dan deregulasi<br />
yang sudah lama digaungkan oleh pemerintah sendiri. Sekolah sungguh-sungguh terkooptasi<br />
dibawah ketiak Kemdikbud dan Dinas Pendidikan. Kreativitas guru menjadi beku.<br />
Kehadiran para Pengawas ini sejatinya melanggar ketentuan Pasal 10 UU Sisdiknas :<br />
“Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu dan<br />
mengawasi penyelenggaraan pendidikan”, bukan mengawasi penyelenggara pendidikan<br />
(sekolah), tetapi hanya mengawasi penyelenggaraan pendidikan (proses pendidikan)<br />
75<br />
Bandingkan isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 dengan isi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013<br />
86<br />
96
Dengan sikap kooptasi ini, banyak orang kemudian mengritik persekolahan kita, yang satu<br />
menganggap kurikulumnya kurang relevan, yang lain merasa sekolah mengasingkan anak didik dari<br />
kenyataan, yang lain lagi mengatakan bahwa sekolah mengajarkan hal-hal yang ketinggalan jaman,<br />
kurang memperkembangkan intelegensi, terlalu didasarkan rasa takut melanggar arahan Pengawas,<br />
menghambat kreativitas anak, dan sebagainya. Akan tetapi dalam segalanya itu, persoalannya<br />
sebetulnya sederhana saja. Sekolah menjadi seperti itu karena kita menghendakinya demikian.<br />
Jikalau hal itu tidak berjalan dengan baik, tak ada jalan lain kecuali mengubahnya. Sekolah harus<br />
diubah. Beranikah kita mengubahnya?<br />
Sekolah harus kembali pada Visi dan Misi sekolah masing-masing, tidak bisa seperti<br />
sekarang, apapun Visi dan Misi sekolahnya, kurikulumnya sama. Ingat, kita pernah mengalami<br />
kejayaan pendidikan pada saat pemerintah menjamin kebebasan mimbar akademik sejak pendidikan<br />
dini. Kebebasan mimbar akademik ini pula yang memacu perguruan tinggi untuk terus berinovasi<br />
dan meningkatkan rankingnya dalam Webometrics Ranking of World Universities – namun<br />
semuanya sirna di level pendidikan dasar dan pendidikan menengah.<br />
Untuk itulah, di PGSD/FKIP perlu diajarkan Sejarah Pendidikan dimana kita dapat merunut<br />
kenapa pendidikan kita makin lama makin merosot, materi ajar makin miskin dan bentuk soal makin<br />
konseptual (bukan metakognitif). Padahal kurikulum kita pernah menjadi rujukan negara tetangga<br />
dan Sekolah Indonesia di luar negeri pernah sangat diminati warga asing (sekarang, diplomat<br />
Indonesiapun tidak sudi menyekolahkan anaknya di Sekolah Indonesia karena kualitasnya merosot)<br />
Apa perlunya kebebasan mimbar akademik itu tetap dilestarikan di pendidikan dasar dan<br />
menengah ?<br />
Kebebasan akademik merupakan asas yang mendorong berlangsungnya proses-proses penelitian<br />
tindakan kelas (PTK) dan penelitian tindakan sekolah (PTS), debat, pembelajaran dan publikasi<br />
ilmiah melalui blog atau laman yang diakui secara luas (seperti guraru dan quipper school) 76 yang<br />
tak terbelenggu di sekolah. Dengan demikian, guru terasah untuk belajar seumur hidup (long life<br />
education)<br />
Oleh sebab itu, bila kebebasan mimbar akademik ini dikembangkan, maka akan tumbuh kesadaran<br />
para guru untuk mengembangkan profesionalitasnya sendiri, seperti yang sudah terjadi pada<br />
kurikulum-kurikulum sebelumnya. Dengan kata lain, kebebasan mimbar akademik sudah<br />
ditunjukkan pada Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : kebebasan mimbar akademik dieksplisitkan<br />
dalam kebebasan dalam pembuatan silabus, penentuan materi ajar dan sumber belajar, serta<br />
76<br />
Guraru (Guru era baru) : www.guraru.org dan Quipper school : www.quipperschool.com<br />
97<br />
87
penentuan buku pegangan guru sehingga guru dapat melaksanakan penilaian secara benar. Dalam<br />
proses penyusunan secara mandiri itu, guru harus memperhatikan kondisi sekolah, potensi siswa dan<br />
daya dukung lingkungannya. Kebebasan mimbar akademik ini dirampas melalui Pasal 20 PP No. 32<br />
Tahun 2013. Kemdikbud tidak boleh bertransformasi menjadi Kementerian Persekolahan supaya<br />
fokus pada Visi dan Misi Kemdikbud, yang tersurat dan tersirat dalam pelaksanaan Pasal 3 UU<br />
Sisdiknas 77 , dan Pasal 11 UU Sisdiknas 78 , serta Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas 79 . Dalam kaitan inilah,<br />
keberadaan para Pengawas menjadi tidak relevan (fungsi pengawasan adalah bagian inheren dari<br />
profesionalitas guru), sedangkan keberadaan Pengawas adalah simbol hegemoni pemerintah yang<br />
selalu mengontrol, cermin dari sentralisasi pendidikan (Lihat Catatan kaki No.4). Padahal Presiden<br />
Gus Dur sudah memulai desentralisasi pendidikan (pendidikan yang kontekstual dan kondisional,<br />
sesuai dengan Visi dan Misi sekolah masing-masing)<br />
Dari sebab itu, untuk mengeliminir peran Pengawas, tanggung jawab untuk sertifikasi guru<br />
merupakan tanggung jawab pribadi, bukan lagi urusan negara, sehingga anggaran besar untuk<br />
penyelenggaraan program Diklat sertifikasi itu dapat dialihkan untuk pengembangan sarana dan<br />
prasarana pendidikan di tanah air.<br />
Maka langkah Kemdikbud untuk menjadikan program pelatihan sertifikasi guru menjadi satu tahun<br />
(bukan Diklat 3 hari) dan menjadikannya tanggung jawab pembiayaan pribadi guru patut diapresiasi.<br />
Bukankah profesi yang lain melakukan hal yang sama? Misalnya ujian advokat adalah urusan<br />
pribadi masing-masing lulusan Fakultas Hukum, bukan diurus dan dibiayai oleh negara. Pendidikan<br />
profesi dokter spesialis adalah urusan pribadi para dokter umum, bukan diurus dan dibiayai oleh<br />
negara . Kalau guru mau disebut sebagai profesi, maka peningkatan profesionalisme seorang guru<br />
adalah urusan pribadi, bukan urusan negara.<br />
Dengan demikian, anggaran program sertifikasi guru yang begitu besar, dapat dialihkan untuk<br />
pembinaan dan supervisi Manajemen Berbasis Sekolah dan Manajemen Berbasis Kelas, sehingga<br />
sekolah kategori mandiri itu bukan hanya slogan atau spanduk kosong, tapi betul-betul menciptakan<br />
kemandirian sekolah dalam artian swadana dan swakelola. Bukankah sekolah-sekolah ternama di<br />
77<br />
Pasal 3 UU Sisdiknas : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta<br />
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk<br />
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha<br />
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta<br />
bertanggung jawab.<br />
78<br />
Pasal 11 ayat 1 UU Sisdiknas : Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta<br />
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.<br />
79<br />
Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas : Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan<br />
menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal (SPM) dengan prinsip manajemen berbasis<br />
sekolah/madrasah (MBS).<br />
98<br />
88
luar negeri selalu memegang teguh tradisi swadana dan swakelola ini? Misalnya Sekolah De La Salle<br />
Manila, Bangkok, HongKong semuanya tidak membebani pemerintah (swadana dan swakelola).<br />
Independen dan menghindar dikooptasi. Hanya dengan modal itu, kebebasan manajemen berbasis<br />
sekolah bisa ditegakkan di sekolah, menuju pada sertifikasi manajemen ISO 9001:2008 Tugas<br />
pemerintah adalah memenuhi terlaksananya Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas, yaitu terumuskannya SPM<br />
berbasis MBS.<br />
B. Apa tolok ukur keberhasilan perumusan SPM itu ?<br />
- Para guru tahu target kurikulumnya. Apa yang mesti diupayakan agar standar pelayanan<br />
minimal itu tercapai, syukur kalau bisa terlampaui<br />
- Para guru merujuk lagi ke bahan-bahan dari Kurikulum 1975 dimana penyeimbangan otak<br />
kiri dan otak kanan dijaga secara tangible (tidak ada lagi bahan yang tidak ada dalam<br />
kurikulum kita sebagaimana disinyalir dalam Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A<br />
No. 2 b : Tantangan Eksternal, yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014<br />
Bagian I A No.2 b), maka para siswa kita mampu bersaing di era global, yang ditunjukkan<br />
dengan kemampuan mengerjakan soal-soal TIMSS dan PISA secara benar, sebab tolok ukur<br />
kualitas pendidikan itu sampai sekarang masih menggunakan score capaian test pada TIMSS,<br />
PISA dan PIRL<br />
- Para guru dapat menyusun Analisa Konteks sehingga pendidikan menjadi kontekstual dan<br />
situasional. Guru kembali kepada harkatnya yaitu menjadi pendidik dan pendamping<br />
generasi muda, bukan melayani penguasa (Pengawas dan Kemdikbud/Dinas Pendidikan)<br />
- Melalui implementasi MBS, manajemen sekolah dapat terstandarisasi hingga memperoleh<br />
sertifikat ISO 9001:2008<br />
Dengan terjaganya kebebasan mimbar akademik, SPM dapat diolah oleh masing-masing sekolah<br />
(bottom up) secara spesifik sesuai Analisa Konteksnya, seperti misalnya apa prasyarat yang harus<br />
dipenuhi agar seorang anak dapat naik ke kelas 5 SD? Apa prasyarat yang harus dipenuhi agar<br />
seorang anak dapat lulus SMP sehingga cukup bekalnya dalam penentuan jurusan di SMA? Dengan<br />
kata lain, SPM yang dimaksud adalah SPM yang melalui Analisis vertikal pada Analisis Kurikulum.<br />
Bahan apa yang diperlukan di jenjang bawah untuk melancarkan program pembelajaran di kelas di<br />
atasnya. Misalnya untuk dapat bermain ular tangga di kelas 5 SD, maka dikelas 4 SD, anak sudah<br />
diajar Basis Bilangan, dan sudah paham bahwa basis bilangan dadu itu adalah 6, sehingga anak sudah<br />
belajar teori peluang (probabilitas) di kelas 4 SD. Kalau ada 6 bilangan (1, 2, 3, 4, 5, 6) maka peluang<br />
(probabilitas) untuk mendapat angka 1 adalah 1/6 (satu dari enam kemungkinan yang ada). Begitu<br />
juga peluang untuk mendapat angka yang lain. Lalu dibuktikan dengan melempar dadu di kelas.<br />
99<br />
89
Di Kelas 5 SD, anak belajar permutasi dan kombinasi, sehingga permainan ular tangga mempunyai<br />
dasar pencerahan bagi anak, bukan sekedar main-main.<br />
Kalau SPM disusun secara top down 80 , maka ada bahaya bahwa yang dipersyaratkan adalah<br />
sarana dan prasarana minimal yang harus ada di sekolah, yang justru menafikan pepatah “tak ada<br />
rotan, akarpun jadi” (tanpa tersedianya kelengkapan minimal itu, seharusnya proses pembelajaran<br />
tetap bisa berjalan dengan baik). Kreativitas guru dalam menyiasati keterbatasan sarana dan<br />
prasarana tidak terasah. Misalnya kalau tidak ada dadu, apakah pelajaran teori peluang (probabilitas)<br />
akan terhenti ? Tentu saja tidak, para guru dapat mencari kartu domino, basis bilangannya juga 6.<br />
Kalau tidak ada kartu domino, bagaimana? Para guru bisa menggunakan permainan bola bekel, basis<br />
bilangannya juga 6. Kalau tidak ada bola bekel, bagaimana? Para guru dapat menyuruh muridnya<br />
menebak, ada berapa isi biji di dalam buah manggis, tanpa membuka buahnya (basis bilangannya<br />
juga 6). Dengan menggunakan SPM yang bottom up (disusun sendiri) oleh sekolah, maka semua<br />
permainan tradisional yang mencerahkan akan tergali lagi (tidak tergantung pada sarana dan<br />
prasarana “modern”). Analisa konteks membuat pelajaran membumi. Dana BOS tidak terhambur<br />
untuk membeli berbagai peralatan canggih, yang tidak kita ketahui teknologinya, sehingga kalau<br />
rusak, tidak bisa kita diperbaiki.<br />
SPM (standar pelayanan pendidikan minimal) merupakan batas bawah (batas minimal) bahan<br />
ajar/materi yang harus dikuasai siswa. Misalnya : Bahasa Indonesia : Indikator : Siswa dapat<br />
membuat puisi. Indikator keberhasilannya : Siswa dapat membuat kalimat yang mempunyai rima<br />
dan irama. SPM : Siswa dapat menyusun kalimat dengan ragam bunyi euphony. Artinya : semua<br />
siswa tanpa kecuali harus mampu menyusun puisi yang menggambarkan perasaan cinta, riang dan<br />
semangat. Ketuntasannya harus 100%, baru bisa pindah ke materi lain, yaitu membuat pantun.<br />
Mengapa? Karena membuat puisi lebih mudah dari membuat pantun. Kalau siswa tidak sungguhsungguh<br />
menguasai pembuatan kalimat yang mempunyai rima dan irama, akan sukar baginya untuk<br />
membuat sampiran dan isi yang homofon, yang dituntut dalam pantun<br />
Contoh lain : Kimia : Indikator : Siswa dapat mempraktekkan reaksi penggaraman. Indikator<br />
keberhasilannya : Siswa dapat menyusun tata nama garam kompleks. SPM : Siswa dapat menyusun<br />
tata nama garam basa sekunder dan garam asam sekunder. Artinya : semua siswa tanpa kecuali harus<br />
mampu mereaksikan asam monovalen + basa polivalen atau basa monovalen + asam polivalen.<br />
Ketuntasannya harus 100%, baru bisa pindah ke topik lain, misalnya asidi alkalimetri. Kalau KKMnya<br />
: 75, maka tuntutan ketuntasan pada SPM tetap 100%, artinya siswa yang hanya mampu mengerti<br />
75% bahan ajar/materi itu tetap tidak tuntas. Mengapa?<br />
80<br />
SPM yang top down : Permendikbud No. 23 Tahun 2013 untuk SD dan SMP<br />
90<br />
100
Karena bahan ajar itu merupakan prerequisite untuk bahan ajar/materi berikutnya. Kalau siswa tidak<br />
sungguh-sungguh mengerti bahan ajar.materi ini, akan sukar bagi siswa untuk memahami materi<br />
berikutnya. Rantai pemahamannya putus. Kalau siswa tidak menguasai keseluruhan konsep<br />
bahan/materi itu (tidak menguasai 100% bahan/materi itu), maka siswa harus mengikuti program<br />
peningkatan pemahaman melalui penerapan strategi baru.<br />
Dari contoh di atas, nampak bahwa SPM itu berbeda dengan tingkat kompetensi. SPM<br />
merupakan batas bawah (batas minimal) yang harus dikuasai semua siswa : siswa harus tuntas 100%<br />
(harus sungguh-sungguh mengerti) sebelum pindah ke topik lain. SPM adalah pintu masuk ke sistim<br />
baku SKS (bukan paket SKS). Sedangkan tingkat kompetensi adalah batas atas (batas maksimal)<br />
yang bisa dicapai oleh siswa secara individual. Kalau KKM-nya : 75. Siswa yang pandai bisa tuntas<br />
100%, siswa yang lain, sekurang-kurangnya harus menguasai 75% bahan/materi. Kalau siswa baru<br />
menguasai 50% bahan/materi, siswa tersebut harus mengikuti mengulang lagi (remedial) sampai dia<br />
mengerti 75% dari bahan itu (tidak perlu menguasai sampai 100% dari bahan itu). Tingkat<br />
Kompetensi digunakan dalam paket SKS (bukan sistim baku SKS). Paket SKS sudah jamak<br />
dilakukan pada sekolah-sekolah unggulan atau sekolah-sekolah mantan RSBI dulu atau pada<br />
sekolah-sekolah yang mempunyai kelas akselerasi.<br />
Masalah serius timbul di TK. Karena (1) TK disamakan dengan play group dan disebut<br />
PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). (2) Karena penyamaan itu, Dinas Pendidikan dan Pengawas,<br />
melarang keras pengajaran “calistung” di PAUD, padahal di kelas 1 SD, siswa langsung dihadapkan<br />
dengan KI 1 dan KD 1.1. Tanpa kemampuan membaca, menulis dan berhitung di kelas 1 SD, usia<br />
emas pembelajaran anak (balita) akan terlewati dengan sia-sia.<br />
Tanpa perumusan SPM akademik, para siswa tidak tahu lagi apa tujuan dan target dia belajar,<br />
sehingga belajar menjadi nir makna. Waktu luangnya bukan dipakai untuk menambah wawasannya,<br />
tapi dipakai untuk sosial media yang uncontrolled sehingga segala paham bisa masuk tanpa filter.<br />
Simpulan : Selama arah dan tujuan pendidikan nasional tidak dijabarkan secara operasional<br />
dalam rumusan SPM dan MBS yang kontekstual dan situasional, maka yang terjadi bukan penajaman<br />
fungsi otak kanan dan otak kiri, tapi justru pengabaian prinsip transparansi dan akuntabilitas publik<br />
dalam perumusan kebijakan pendidikan 81 , sehingga kebijakan pengelolaan pendidikan menjadi<br />
uncontrolled (pemerintah mengharap peningkatan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan<br />
81<br />
Eksistensi Pengawas muncul di Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b, mengabaikan ketentuan<br />
Pasal 66 ayat 2 UU Sisdiknas : “Pengawasan dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik”<br />
(bukan pengawasan menurut selera dan kriteria Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran) (Lihat Catatan<br />
kaki No. 4)<br />
101<br />
91
akademik 82 , yang terjadi justru pengetahuan tidak lagi dipandang sebagai art, akibatnya<br />
pembelajaran di luar kelas marak melalui bimbel dan sosial media , segala paham dan ide bisa masuk<br />
tanpa filter. Misalnya paham bahwa Biologi adalah hafalan (padahal Biologi termasuk dalam sains<br />
yang memerlukan logika), Fisika adalah kumpulan rumus-rumus sehingga perlu dicontek atau ditulis<br />
di meja siswa (padahal dengan menggunakan SPM, dapat diajarkan Fisika tanpa rumus). Pelajaran<br />
Agama dihayati sebagai pembeda terhadap liyan, dll<br />
Produk pendidikan yang kurang memperhatikan segi mutu ilmiah intelektual 83 akan<br />
membahayakan konstelasi sosial yang ada, sebab masyarakat menjadi semu dengan orang-orang<br />
yang berijazah, tetapi tidak “berilmu” (Kompas, Senin 14 Juli 2008 halaman 7 : Kaum Cerdik Pandai,<br />
Antara Ilmu dan “Ngelmu”)<br />
Kemdikbud sungguh-sungguh abai pada Nawa Cita No.5 : menciptakan strong human capital dan<br />
menjadikan pendidikan sebagai center of excellence.<br />
82<br />
Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A No. 3 yang di copy paste dalam Permendikbud No.57<br />
Tahun 2014 (lihat Catatan * di Kata Pengantar)<br />
83<br />
Penajaman fungsi otak kanan dan otak kiri, melalui pencarian materi yang hilang dari kurikulum kita<br />
102<br />
92
BAB III<br />
DUALISME PRANATA<br />
A. Desentralisasi vs Sentralisasi Pendidikan<br />
Kekeliruan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan<br />
langsung berimbas pada layanan pendidikan ke siswa. Kekeliruan yang tidak diperbaiki ini bisa<br />
dirunut dari pemaknaan tugas Tim Transisi dimana Dr.Anies Baswedan juga duduk didalamnya.<br />
Seharusnya sejak awal Tim Transisi mendalami sampai seberapa jauh kewenangan pemerintah pusat<br />
cq Kemdikbud dalam membina dan mengembangkan pendidikan di Indonesia dalam era otonomi<br />
daerah ini dengan mengkaji ketentuan pasal 50 ayat 5 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim<br />
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : “Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar<br />
dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”. Melalui pasal<br />
ini sebenarnya keberadaan UN itu dipertanyakan. Dengan UN, keunggulan lokal menjadi tidak<br />
bermakna apa-apa. Pasal ini masih mempunyai “gigi” karena adanya kata “mengelola”.<br />
Kata”mengelola” dalam pasal ini diberi kekuatan hukum yang bersifat memaksa yaitu ketentuan<br />
Pasal 62 ayat 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) :<br />
“Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberi atau mencabut ijin pendirian satuan pendidikan”.<br />
Dengan kewenangan Pemda untuk memberi atau mencabut ijin pendirian sekolah ini, maka azas<br />
desentralisasi pendidikan mempunyai pijakan yang kuat. Oleh sebab itu, semua program terpusat<br />
seperti diklat/pelatihan guru yang seragam (yang mengabaikan situasi dan kondisi daerah yang<br />
beragam), serta program penyusunan kurikulum secara tunggal dan seragam di tingkat nasional<br />
seperti yang sudah dilakukan dalam Kurikulum 2013 (dan KTSP Bimtek) itu, jelas menabrak azas<br />
desentralisasi ini.<br />
Padahal kewenangan pemerintah dalam penyusunan kurikulum hanya sebatas penetapan<br />
kerangka dasar dan struktur kurikulum (Pasal 38 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim<br />
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sebagaimana sudah ditunjukkan dalam Kurikulum 1968,<br />
Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan dicoba diusung kembali pada Kurikulum<br />
2006 (KTSP awal)<br />
Sedangkan kewenangan Pemerintah Daerah dalam kurikulum adalah sebatas koordinator dan<br />
supervisor pengembangan kurikulum oleh sekolah (bukan ikut sibuk menyusun kurikulum sendiri<br />
atau sibuk “memaksa” sekolah-sekolah untuk mengikuti Kurikulum 2013, tapi kewajiban Pemda<br />
adalah mengembangkan apa yang sudah ada di sekolah : Lihat Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas :<br />
“Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap<br />
kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi<br />
103<br />
93
dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan<br />
Propinsi untuk pendidikan menengah”.<br />
Koordinator dan supervisor untuk hal apa?<br />
Koordinator dan supervisor untuk pengembangan kurikulum seturut rumusan Standar Proses pada<br />
Kurikulum 2006 (KTSP awal) (Pengembangan Silabus, Pengembangan RPP, pelaksanaan<br />
PAKEM/PAIKEM/PAIKEM GEMBROT 84 , dan Penerapan Pembelajaran Kontekstual) karena<br />
pemerintah pusat (Kemdikbud) hanya menyusun Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum saja,<br />
sesuai ketentuan Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas.<br />
Maka dari itu, Tim Transisi seharusnya sejak awal membatalkan pemberlakuan Kurikulum<br />
2013 karena kurikulum ini menisbikan hakekat desentralisasi pendidikan sebagaimana ditunjukkan<br />
dalam Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, yang menabrak Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun<br />
2013 (ayat 1 : otonomi guru, dan ayat 3 : otonomi sekolah), sehingga 28 Permendikbud yang<br />
dikeluarkan oleh Mendikbud M.Nuh dalam rangka mendukung pelaksanaan Kurikulum 2013 harus<br />
batal demi hukum karena melanggar peraturan tata perundangan di atasnya yang menjadi dasar<br />
hukumnya (PP No.32 Tahun 2013) 85 . Maka penting sekali untuk mengingat lagi Pidato Presiden<br />
saat pelantikan para menteri Kabinet Kerja tanggal 27 Oktober 2014 : “Tidak ada lagi visi<br />
kementerian, yang ada adalah visi dan misi Presiden”. Jadi :<br />
- Kemdikbud seyogyanya tidak melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 yang dirancang oleh<br />
rezim lalu dan mengandung begitu banyak kesalahan, yang telah menyebabkan kualitas<br />
pendidikan kita makin terpuruk (lihat hasil survey berbagai lembaga internasional tentang<br />
kualitas pendidikan kita di bagian akhir dari Bab Pendahuluan)<br />
- Kemdibud fokus pada Nawa Cita No. 8 : akan menata kembali kurikulum pendidikan nasional<br />
Oleh sebab itu dapat dimengerti bila Mendikbud Anies Baswedan kemudian mengeluarkan<br />
“penghentian” pelaksanaan Kurikulum 2013 melalui ketentuan Pasal 1 Permendikbud No. 160 Tahun<br />
2014 : “Satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang melaksanakan Kurikulum 2013<br />
sejak semester pertama tahun pelajaran 2014/2015 kembali melaksanakan Kurikulum Tahun 2006<br />
84<br />
PAKEM : Pendidikan Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan : Fleksibilitas penggunaan Model Pembelajaran<br />
PAIKEM : Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan : Fleksibiltas penggunaan Teknologi dan<br />
Model Pembelajaran<br />
PAIKEM GEMBROT : Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan, serta Gembira dan Berbobot :<br />
Fleksibilitas penggunaan Teknologi, Model Pembelajaran, Strategi Pembelajaran dan Metode Pembelajaran<br />
85<br />
PP No. 32 Tahun 2013 ditanda tangani oleh Presiden SBY tanggal 7 Mei 2013, saat gencar-gencarnya<br />
penyelenggaraan pelatihan guru dalam Kurikulum2013; 28 permendikbud yang ditanda tangani oleh Mendikbud<br />
M.Nuh hanya melegitimasi penyusunan kurikulum tunggal dan seragam secara nasional, abai pada Pasal 77 M ayat<br />
1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013, padahal menteri itu adalah pembantu presiden (tidak boleh menyimpang dari<br />
kebijakan presiden)<br />
104<br />
94
mulai semester kedua tahun pelajaran 2014/2015 sampai ada ketetapan dari Kementerian untuk<br />
melaksanakan Kurikulum 2013”.<br />
Pasal 1 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 secara hukum mengandung dua pengertian pokok yaitu<br />
- Pemerintah membatalkan pelaksanaan Kurikulum 2013 bagi sekolah yang baru menerapkan<br />
Kurikulum 2013<br />
- Pemerintah akan mengkaji ulang Kurikulum 2013 sesuai amanat Nawa Cita No.8 (bukan<br />
melakukan perbaikan tambal sulam pada Kurikulum 2013, misalnya tidak boleh<br />
menggunakan istilah “KTSP 2013” lagi dan perbaikan program penilaian)<br />
Hal ini dipertegas dengan ketentuan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 yang<br />
menyatakan bahwa “Satuan pendidikan rintisan (sekolah yang ditunjuk oleh pemerintah untuk<br />
melaksanakan Kurikulum 2013 hingga sudah melaksanakan Kurikulum 2013 selama tiga semester)<br />
dapat berganti melaksanakan Kurikulum Tahun 2006 dengan melapor kepada dinas pendidikan<br />
provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya”.<br />
Dengan demikian, pelaksanaan Kurikulum 2006 (kurikulum yang disusun sendiri oleh<br />
para guru : KTSP awal) mempunyai legalitas dan pijakan formal yang jelas, bila dikaitkan<br />
dengan azas desentralisasi (simak kata “cukup melapor” pada Dinas Pendidikan setempat). Namun<br />
semua ketentuan ini menjadi “masuk angin” ketika Dinas Pendidikan memaksa semua sekolah<br />
kembali melaksanakan Kurikulum 2013, seolah-olah tidak tahu dan tidak mau tahu akan Nawa Cita<br />
No.8 : akan menata kembali kurikulum pendidikan nasional<br />
Masalah timbul pada sekolah-sekolah yang sudah melaksanakan Kurikulum 2013 sejak awal<br />
yaitu sekolah rintisan dan sekolah-sekolah yang dengan inisiatif sendiri sudah melaksanakan<br />
Kurikulum 2013 sejak awal :<br />
- Sekolah tetap melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 yang kontroversial ini<br />
- Atau menunggu hasil kajian ulang Kurikulum 2013 yang sampai saat ini belum juga ada<br />
Akibat ketidak-tegasan pemerintah ini, maka muncul ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan 2 Permendikbud<br />
No. 160 Tahun 2014 yang tetap memberlakukan Kurikulum 2013 bagi sekolah-sekolah yang sudah<br />
ditunjuk sejak awal (yang menunjukkan bahwa Kemdikbud masih mengusung visi dan misinya<br />
sendiri (abai pada visi dan misi Presiden baru, meskipun rezim sudah berganti) dan masih kukuhnya<br />
semangat sentralisasi pendidikan melalui bentuk tunggal kurikulum di tingkat nasional, yang abai<br />
pada Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 di PP No.32 Tahun 2013). Implikasinya, satuan pendidikan<br />
(sekolah) akan menghadapi adanya dualisme sistim pendidikan di Indonesia (bukan sekedar<br />
dualisme kurikulum). Sesuatu hal yang belum pernah terjadi dimanapun 86 .<br />
86<br />
Dualisme sistim pendidikan ini makin nyata kalau melihat isi Pasal 4 dan Pasal 6 Permendikbud No. 160 Tahun 2014<br />
(lihat uraiannya di Bab I : Filosofi Pendidikan)<br />
105<br />
95
Kurikulum 2006 (KTSP awal) mengusung semangat otonomi pendidikan (didukung oleh<br />
azas desentralisasi pendidikan) sehingga keberadaan Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata<br />
Pelajaran menjadi tidak relevan lagi 87 , sedangkan Kurikulum 2013 (dan KTSP Bimtek) adalah upaya<br />
untuk memberlakukan kurikulum tunggal dan seragam di seluruh Indonesia (sentralisasi pendidikan)<br />
melalui pemberlakuan Silabus yang tunggal dan buku-buku ajar yang seragam untuk semua sekolah,<br />
serta penerapan metode tunggal (metode saintifik (5 M), abai pada ketentuan Pasal 77 M ayat 1 dan<br />
ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013, yang sebenarnya merupakan dasar hukum dari Kurikulum 2013 itu<br />
sendiri. Dengan mengabaikan ketentuan Pasal 77 M PP No. 32 Tahun 2013 ini, sebenarnya<br />
pemerintah menerapkan hegemoni pemerintah dalam dunia pengajaran dan proses pembelajaran<br />
di kelas (didukung oleh azas sentralisasi pendidikan melalui penetapan kurikulum oleh pemerintah<br />
pusat, penetapan kurikulum bukan oleh kepala sekolah). Jelaslah bahwa keberadaan Pengawas<br />
Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran itu yang ditunjukkan dalam Lampiran Permendikbud No.65<br />
Tahun 2013 Bab VI No.2, merupakan perpanjangan tangan dari sentralisasi dan hegemoni<br />
pemerintah.<br />
Solusi Kemdikbud agar tidak ada dualisme sistim pendidikan di Indonesia adalah<br />
memaksa semua sekolah yang melaksanakan Kurikulum 2006 itu untuk kembali menerapkan<br />
Kurikulum 2013, pintu masuknya adalah Pasal 3 Permendikbud No.160 Tahun 2014 : “Satuan<br />
pendidikan yang belum melaksanakan Kurikulum 2013 akan mendapat pelatihan dan pendampingan<br />
untuk meningkatkan kompetensi dan penyiapan pelaksanaan Kurikulum 2013”.<br />
Jadi sekolah-sekolah yang belum melaksanakan Kurikulum 2013 itu, tidak harus kembali<br />
melaksanakan Kurikulum 2006 atau menunggu pelatihan dan pendampingan dalam Kurikulum 2013<br />
sehingga dana pelatihan guru dapat kembali dikucurkan?<br />
Ketentuan Pasal 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 di atas menjadi rancu dan bertolak belakang<br />
dengan ketentuan Pasal 1 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 : sekolah-sekolah yang belum<br />
melaksanakan Kurikulum 2013 itu kembali menerapkan Kurikulum 2006 atau menunggu<br />
pelatihan dan pendampingan untuk melaksanakan Kurikulum 2013 ? Sementara menunggu<br />
pelatihan dan pendampingan itu, apa yang mesti dilakukan oleh pihak sekolah ?<br />
- Kembali melaksanakan Kurikulum 2006 (KTSP awal), seperti ketentuan Pasal 1<br />
Permendikbud No. 160 Tahun 2014 itu<br />
87<br />
Di Perguruan Tinggi, mereka yang habis masa tugasnya sebagai Rektor, biasa kembali menjadi dosen. Kenapa hal<br />
yang sama tidak berlaku bagi para Kepala Sekolah? Setelah selesai masa tugasnya sebagai Kepsek, sebaiknya jadi<br />
guru biasa, bukan dibentuk jabatan yang mengada-ada seperti “pengawas” itu, yang akhirnya mengacaukan<br />
hakekat otonomi pendidikan yang diusung Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 (yang tidak diubah dalam Pasal 19<br />
ayat 3 PP No.32 Tahun 2013), yang diperkuat dengan Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 dan Pasal 77 M ayat 3 PP No.<br />
32 Tahun 2013 (Lihat juga Catatan kaki No. 4)<br />
106<br />
96
- Atau ikut menerapkan Kurikulum 2013 yang sekarang berlaku, tanpa menunggu adanya<br />
pelatihan dan pendampingan yang akan diselenggarakan, padahal sekolah menghadapi awal<br />
masa studi baru, karena sampai menjelang tahun ajaran baru 2015/2016 ini belum juga ada<br />
pengumuman resmi apa yang mesti dilakukan dengan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3<br />
Permendikbud No. 160 Tahun 2004 itu. Malah yang muncul adalah adanya pelatihan<br />
Kurikulum 2013 melalui instruktur nasional (baju baru dari “guru inti”) : pemerintah<br />
melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 dan memperluas cakupannya dengan menunjuk<br />
sekolah-sekolah yang tadinya melaksanakan Kurikulum 2006, menjadi sekolah-sekolah<br />
piloting Kurikulum 2013<br />
Babak baru pelatihan Kurikulum 2013 makin jelas menunjukkan hegemoni pemerintah dan<br />
sentralisasi pendidikan yang abai pada Nawa Cita No.8, karena istilah “instruktur (nasional)” 88<br />
menunjukkan subordinasi guru dibawah ketiak instruktur dan pengawas.<br />
Profesionalitas guru sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a)<br />
UU Guru dan Dosen, sirna dengan adanya pelatihan guru yang sama dan seragam secara nasional<br />
ini. Apalagi dasar hukum dari amputasi profesionalitas guru ini adalah perubahan signifikan<br />
ketentuan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, yang mengerdilkan isi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 89<br />
(Profesionalitas guru dalam Kurikulum 2013 bukannya dikembangkan, malah dikerdilkan<br />
menjadi hanya penyusun RPP, itupun RPP yang ditatar secara sama dan seragam di tingkat<br />
nasional)<br />
Silabus, Buku ajar/materi/sumber belajar, dan Buku pegangan guru, serta Metode pembelajaran (5<br />
M), sudah diatur oleh Pusat (Puskurbuk) secara sentralistis. Pemerintah secara sadar telah<br />
menurunkan harkat dan martabat guru : dari pendidik menjadi sekedar tukang mengajar,<br />
yang diawasi secara ketat oleh Pengawas Mata Pelajaran yang bertindak sebagai supervisor<br />
akademik (Lihat Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No 2 b) Kemdikbud nampak<br />
sangat memuja pendangkalan (cult of philistinism)<br />
Nampaknya masalah dualisme sistim pendidikan ini tidak dipandang sebagai pelanggaran UU<br />
secara serius, tetapi hanya dipandang sebagai proyek yang tertunda (menunggu pencairan APBN-P)<br />
lalu Kemdikbud saat ini telah membuatnya menjadi sistim pendidikan monolitik kembali melalui<br />
pemaksaan penerapan Kurikulum 2013 (penerapan Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan<br />
kekuasaan rezim lama, alpa pada Nawa Cita No.8), mengabaikan sisi positif dari Kurikulum 2006 :<br />
88<br />
KBBI Vol IV : instruktur : orang yang memberi instruksi, relasi penerima instruksi (guru) adalah subordinasi dari si<br />
pemberi instruksi (instruktur)<br />
89<br />
Rincian aneka pasal ini dapat dilihat di Catatan kaki no. 2 : dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan<br />
107<br />
97
1. Karena Kurikulum 2006 (KTSP awal) ini dibuat oleh para guru sendiri, maka<br />
Kurikulum 2006 ini berkesesuaian dengan ketentuan baru pemerintah yang menyatakan<br />
bahwa kelulusan itu ditentukan oleh pihak sekolah. Ujian Nasional (UN) bukan lagi<br />
penentu kelulusan siswa. Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU No. 20<br />
Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : tentang kewajiban guru<br />
sebagai pendidik profesional untuk menilai sendiri hasil pembelajaran, yang diperkuat<br />
dengan ketentuan Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen).<br />
Ketentuan yang menyatakan bahwa penilaian adalah hak guru, sebenarnya mencerminkan<br />
penghormatan pada azas desentralisasi pendidikan.<br />
2. Hal ini sekali lagi menegasikan adanya Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran.<br />
Para Pengawas ini selalu menjalankan lurus-lurus instruksi dari Pusat, lupa bahwa<br />
permendikbud itu bisa diubah lagi sewaktu-waktu untuk disesuaikan dengan Nawa Cita<br />
No.5 dan Nawa Cita No.8<br />
Karena itu para guru dianjurkan untuk tidak menelan bulat-bulat arahan dari Pusat<br />
(termasuk pelatihan guru yang seragam dan sama, tidak peduli kondisi daerahnya<br />
berbeda), tetapi sekolah harus mengembangkannya sendiri dibawah koordinasi dan<br />
supervisi dari Pemda/Dinas Pendidikan (Lihat Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas) agar tidak<br />
keluar dari Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum (Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas).<br />
Pengembangan kurikulum ini merujuk pada Standar Proses (Pengembangan Silabus,<br />
Pengembangan RPP, PAKEM, dan Pendidikan kontekstual). Dengan kemampuan<br />
menyusun dan mengembangkan kurikulumnya sendiri, guru akan mampu<br />
mengaplikasikan kebebasan mimbar akademik yang menopang kinerja dan otoritas guru.<br />
3. Otonomi guru ini juga diamanatkan dalam Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005<br />
tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) : yang menujukkan bahwa kewajiban guru<br />
itu melekat pada seluruh proses pendidikan, termasuk dalam masalah monitoring proses<br />
belajar dan evaluasi hasil belajar.<br />
Maka yang perlu ditekankan adalah implementasi azas desentralisasi pendidikan<br />
itu memerlukan penguatan otonomi guru. Untuk mencapai tahapan otonomi guru<br />
yang ideal, kualitas LPTK (PGSD dan FKIP) harus diperbaiki, bukan dengan<br />
menelurkan kurikulum baru.<br />
4. Maka ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 yang<br />
memberlakukan kembali Kurikulum 2006 (KTSP awal) menunjukkan bahwa Pemerintah<br />
Jokowi-JK sebenarnya ingin menerapkan Nawa Cita No.8 dan mengembalikan roh<br />
pendidikan, yaitu menerapkan otonomi guru dan otonomi sekolah dalam pendidikan<br />
98<br />
108
(mengusung otonomi pendidikan, kebebasan mimbar akademik, dan desentralisasi<br />
pendidikan). Oleh sebab itu, mengartikan kembalinya Kurikulum 2006 sebagai<br />
pemberlakuan kembali KTSP Bimtek (2008) sungguh menyesatkan karena seperti telah<br />
disinggung di atas, KTSP Bimtek (2008) itu mengusung semangat sentralistik dan<br />
hegemoni pemerintah dalam dunia pendidikan dan persekolahan.<br />
KTSP Bimtek (2008) ini muncul seiring dengan kewajiban para guru peserta program<br />
sertifikasi guru untuk mengikuti Diklat, dimana para guru dilatih menyusun kurikulum<br />
tunggal dan seragam secara nasional, lupa pada dasar hukum Kurikulum 2006 (KTSP<br />
awal) seperti tertera di Catatan kaki No 2 pada Bab Pendahuluan<br />
5. Kurikulum 2006 (KTSP awal) juga didukung oleh Pasal 17 ayat 1 PP No. 19 Tahun 2005<br />
: “Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB,<br />
SMA/MA/SMALB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai<br />
dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya<br />
masyarakat setempat, dan peserta didik”.<br />
Jadi Kurikulum 2006 itu sangat spesifik, harus disesuaikan dengan keadaan sekolah,<br />
karakteristik daerah dan situasi kondisi masyarakat dan siswanya (bukan sentralistik<br />
berupa penyeragaman kurikulum secara nasional seperti KTSP Bimtek (2008) dan<br />
Kurikulum 2013 itu)<br />
6. Kurikulum 2006 juga dilengkapi dengan Pasal 1 ayat 1 Permendiknas No. 22 Tahun 2006<br />
: “Standar Isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang selanjutnya disebut<br />
Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk<br />
mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu”.<br />
Nampak bahwa kata “minimal” ini diulang tiga kali, yang menunjukkan bahwa<br />
sekolah harus mengembangkannya sendiri sampai ke tingkat maksimal (HOT :<br />
Higher Order of Thinking). Pemerintah hanya menetapkan prasyarat paling mendasar<br />
saja yang dikenal sebagai SPM (Standar Pelayanan Pendidikan Minimal) yang dulu<br />
mencakup 7 prinsip pengembangan kurikulum dan 7 prinsip pelaksanaan kurikulum.<br />
Sayang sekali, Standar Isi pada Kurikulum 2006 ini dihapus pada Kurikulum 2013,<br />
tanpa penganti yang jelas.<br />
Namun, dalam perjalanan waktu : standar minimal ini diartikan sebagai penyeragaman dan<br />
diubah menjadi standar maksimal, sekolah tidak boleh keluar dari ketentuan yang sudah<br />
digariskan oleh para penatar KTSP Bimtek, Dinas Pendidikan dan Pengawas. Alhasil, orang<br />
lupa pada prinsip diversifikasi kurikulum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 36 ayat 2 UU<br />
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).<br />
109<br />
99
Perubahan dari standar minimal menjadi standar maksimal ini memunculkan masalah baru,<br />
yaitu standar maksimal ini dianggap memberatkan siswa, sehingga standar maksimal ini<br />
diturunkan. Dengan kata lain, materi/bahan ajarnya dikurangi. Akibatnya, materi/bahan ajar<br />
pada Kurikulum 2013 lebih miskin dari materi/bahan ajar pada Kurikulum 2006.<br />
Pendangkalan (cult of philistinism) bukan lagi menjadi isu, tetapi sudah menjadi road map<br />
Kekeliruan ini berlanjut pada pembentukan kembali Ditjen Pendidik dan Tenaga Kependidikan,<br />
melupakan penghapusan Ditjen ini lima belas tahun yang lalu seiring dengan penerapan otonomi<br />
daerah, dimana pendidik (guru) dan tenaga kependidikan termasuk tenaga yang di desentralisasi.<br />
Sosialisasi pembentukan kembali Ditjen ini tanpa merevisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang<br />
Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah), menunjukkan bahwa Kemdikbud hanya sibuk dengan<br />
visi dan misinya sendiri, lalai pada visi dan misi Presiden (Nawa Cita), dan dapat memantik konflik<br />
terbuka dengan para Bupati dan Walikota yang mendapat amanah untuk menjalankan ketentuan Pasal<br />
50 ayat 5 UU Sisdiknas : “Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan<br />
menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”. Sebagai “pengelola”<br />
pendidikan, Pemkab dan Pemkot berhak mengurus dan membina SDM pendidikan dasar dan<br />
menengah (mengurus dan membina guru). Maka berlandaskan ketentuan Pasal 50 ayat 5 UU<br />
Sisdiknas ini, tenaga pendidik (guru) sudah lama di desentralisasikan. Upaya Kemdikbud untuk<br />
menyentralisasi tenaga pendidik (guru) ini akan menyebabkan porsi anggaran terbesar terserap ke<br />
sektor rutin (biaya operasional dan gaji pegawai). Akibatnya sektor sarana dan prasarana pendidikan<br />
menjadi termarginalkan. Kemdikbud tidak bisa berkilah : mata pelajaran TIK sudah dihapus,<br />
sehingga Kemdikbud merasa tidak perlu lagi menyediakan Lab komputasi; atau mata pelajaran<br />
Fisika, Kimia dan Biologi telah diintegrasikan dalam suatu tema tertentu (tematik integratif) sehingga<br />
Kemdikbud merasa tidak perlu menyediakan peralatan Lab IPA hanya karena Kemdikbud secara<br />
sengaja telah mengubah kegiatan praktikum yang sifatnya intra kurikuler menjadi kegiatan<br />
kokurikuler : kegiatan praktikum IPA tidak lagi dipandang sebagai kegiatan psikomotor, tetapi hanya<br />
dianggap sebagai kegiatan penunjang pemahaman kognitif. Hal serupa juga terjadi SMP dengan<br />
diterapkannya IPA Terpadu dan IPS Terpadu, yang tidak diampu oleh linieritas ijazah para guru,<br />
sehingga menyulitkan penyusunan kegiatan praktikum lintas ilmunya (bukan berarti Kemdikbud lalu<br />
merasa tidak perlu lagi menyediakan peralatan Lab IPA Terpadu). Dengan demikian, hanya daya<br />
kognisi rendah saja yang berkembang, kegiatan motorik halus siswa tidak berkembang (banyak<br />
siswa mengetik di laptop dengan satu jari, atau siswa salah dalam memperlakukan thermometer<br />
badan (thermometer di ketrek-ketrek sebelum digunakan padahal tahu bahwa suhu 0° C hanya akan<br />
tercapai kalau thermometer dimasukkan dalam es yang sedang mencair). Tanpa alat peraga yang<br />
memadai dan praktikum yang intens, suatu tema/topik yang abstrak akan tetap sulit dimengerti oleh<br />
100<br />
110
siswa yang terpola secara visual (dulu mereka keseringan menonton TV, sekarang mereka tergilagila<br />
dengan gawai (gadget) yang makin menjadikan mereka sebagai generasi visual, bukan generasi<br />
literer (bukan generasi yang gemar membaca) : Kemdikbud perlu melihat Harian Media<br />
Indonesia, setiap hari Rabu : Fokus Nusantara dengan hastag Fokus Nusantara (#Fokus<br />
Nusantara) : Matinya Tradisi Literasi di Kota Pelajar ( lihat rendahnya score anak-anak kita dalam<br />
kemampuan membaca yang tersirat pada tes PIRL (Progress in International Reading Literature).<br />
B. Tingkat Kompetensi vs SPM<br />
Perubahan serius terjadi pada Kurikulum 2013, SPM akademik di Kurikulum 2006 ini (7 prinsip<br />
pengembangan kurikulum dan 7 prinsip pelaksanaan kurikulum) diubah di Kurikulum 2013 menjadi<br />
SPM sarana dan prasarana sekolah lewat Permendikbud No. 23 Tahun 2013, bukan lagi SPM<br />
akademik (Tolok ukur keberhasilan penerapan SPM akademik ini sudah diuraikan di Bab II :<br />
Pendidikan vs Persekolahan ( Kebijakan vs Teknik Implementasi). Isi Permendikbud No.23 Tahun<br />
2013 ini kemudian diubah menjadi Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 Bab II Tingkat<br />
Kompetensi.<br />
Dari uraiannya, tingkat kompetensi dibedakan atas :<br />
- Kompetensi yang bersifat generik (kompetensi inti (KI), lengkap dengan penjabarannya yang<br />
isinya hampir sama untuk semua jenjang pendidikan (meliputi sikap spiritual, sosial,<br />
pengetahuan dan ketrampilan). Kompetensi generik ini menjadi rancu ketika sikap spiritual<br />
dan sikap sosial ini disatukan sesuai ketentuan Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013<br />
Bab III A No. 1 c dan d : padahal sikap spiritual memerlukan pengukuran berdasar SQ<br />
(Spiritual Quotient) dan sikap sosial membutuhkan pengukuran berdasar CQ (Civic Quotient)<br />
- Kompetensi yang bersifat spesifik (kompetensi dasar (KD), yang masih memunculkan<br />
masalah yang sama (dari sejak awal peluncuran Kurikulum 2013), yaitu KD tidak koheren<br />
dengan KI sehingga menyulitkan pengukuran capaian kompetensinya.<br />
- Tingkat kompetensi ini kemudian dirinci menjadi Tingkat Kompetensi 0 sampai Tingkat<br />
Kompetensi 6, namun tingkat kompetensi ini tidak mencerminkan tingkat capaian siswa agar<br />
dapat berpindah dari satu jenjang ke jenjang pendidikan berikutnya.<br />
Masalah kemudian muncul di sini :<br />
- kalau dimaknai bahwa kompetensi yang bersifat generik itu sebagai KI, maka kompetensi<br />
generik itu diartikan tidak lagi terkait dengan core skills, sebab core skills itu ada enam<br />
kemampuan, sedangkan KI hanya ada empat kemampuan (lihat di Bab IV : Kurikulum vs<br />
Kompetensi)<br />
111<br />
101
- dan kompetensi yang bersifat spesifik itu dimaknai sebagai KD, maka kompetensi spesifik<br />
itu diartikan tidak lagi terkait dengan bahan ajar yang harus dikuasai siswa secara individual,<br />
karena KD lebih luas dari bahan ajar (satu KD bisa terdiri dari beberapa bahan ajar)<br />
- kalau dimaknai bahwa Tingkat Kompetensi 1 itu adalah kemampuan apa yang harus dikuasai<br />
oleh siswa kelas 1 dan kelas 2 SD, dan Tingkat Kompetensi 6 itu adalah kemampuan apa<br />
yang mesti dikuasai oleh siswa kelas 12 SMA, maka pemaknaan ini harus didistingsi dari<br />
makna SPM, sebab Kompetensi (kemampuan) terkait dengan Tujuan Pembelajaran,<br />
sedangkan SPM terkait dengan Target Kurikulum : lihat uraian di Bab II<br />
Tingkat Kompetensi dalam Kurikulum 2013 adalah batas atas (batas maksimal) dari kemampuan<br />
yang harus dikuasai oleh siswa secara individual : siswa tetap bisa lolos meskipun tidak mencapai<br />
batas atas (cukup menguasai sampai batas KKM).<br />
Sedangkan SPM (standar pelayanan minimal) adalah batas bawah (batas minimal) dari kemampuan<br />
total (keseluruhan) yang harus dikuasai oleh semua siswa. Siswa hanya bisa lolos kalau sudah<br />
menguasai keseluruhan bahan. Meskipun nilainya sudah memenuhi standar KKM, siswa tetap harus<br />
mengikuti remedial sampai keseluruhan (100%) bahan dikuasai, bukan sekedar menguasai 75%<br />
bahan.<br />
Grafik di bawah ini adalah kurva normal yang menunjukkan bahwa siswa yang “amat pandai” itu<br />
ada di daerah kanan (jumlahnya ± 5% : nilai antara 95 - 100) dan siswa yang “amat bodoh” itu ada<br />
di sebelah kiri (jumlahnya ± 5% : nilai antara 0 – 5), siswa yang mempunyai kepandaian rata-rata<br />
ada di daerah tengah kurva, SD antara -1 sampai +1, jumlahnya ± 60%.<br />
Maka kalau kita menggunakan kriteria SPM, semua siswa harus sunguh-sungguh memahami suatu<br />
topik, baru bisa melanjutkan ke topik berikutnya. Kalau siswa belum berhasil 100% memahami suatu<br />
topik, maka dia harus mengulang topik itu (topik itu merupakan syarat perlu untuk dapat melanjutkan<br />
ke topik berikutnya)<br />
Grafiknya akan terlihat condong ke kanan : semua siswa (termasuk siswa yang “bodoh”) harus<br />
melewati titik 0 : semua siswa harus menguasai 100% bahan/materi.<br />
102<br />
112
Semua siswa harus mencapai KKI, bukan sekedar bisa mencapai KKM<br />
0<br />
SPM menggunakan KKI (Kriteria Ketuntasan Ideal) : siswa harus menguasai 100% suatu bahan,<br />
sebagai prerequisite untuk dapat melanjutkan ke bahan berikutnya. Untuk mengatasi siswa yang<br />
kurang pandai (tidak menguasai 100% bahan yang dipersyaratkan), maka guru harus merumuskan<br />
strategi pembelajaran yang baru (bukan meremedial siswa tersebut).<br />
Sedangkan Tingkat Kompetensi adalah batas maksimal yang harus diketahui siswa (batas maksimal<br />
itu hanya untuk siswa pandai), siswa yang mempunyai kecerdasan rata-rata (kurang dari capaian<br />
maksimal itu : letaknya di titik KKM = 75), masih bisa melanjutkan ke topik berikutnya, tapi siswa<br />
yang “kurang pandai” harus mengulang (mengikuti program remedial : letaknya antara 0 - KKM),<br />
grafik di bawah ini akan terlihat condong ke kiri (ada sebagian siswa tidak dapat melewati titik KKM)<br />
(titik KKM itu sama dengan KKM-nya (75) : siswa cukup menguasai 75% bahan/materi) Meskipun<br />
hanya sedikit siswa yang mampu menguasai 100% bahan/materi, siswa-siswa itu tetap dapat<br />
melanjutkan ke topik berikutnya. Titik 0 adalah batas antara siswa yang “amat bodoh” dan siswa<br />
yang “kurang pandai” (kepandaiannya dibawah rata-rata, tapi masih di atas siswa yang “amat bodoh”<br />
Titik KKM : 75 merupakan syarat cukup untuk dapat melanjutkan ke bahan/materi berikutnya.<br />
0 KKM :75<br />
Contoh : bahan ajar (materi) yang harus dikuasai siswa Kelas 11 SMA dalam Biologi adalah<br />
Perbiakan Vegetatif, maka SPM-nya siswa harus menguasai 100% apa yang dimaksud dengan<br />
Perbiakan vegetatif pada hewan, Perbiakan vegetatif pada tumbuhan dan Perbiakan vegetatif buatan.<br />
113<br />
103
Kalau siswa kurang memahami apa yang dimaksud dengan Perbiakan vegetatif buatan (hanya<br />
menguasai 75% bahan/materi) maka siswa tidak berhak melanjutkan ke topik berikutnya yaitu<br />
Perbiakan generatif. Siswa harus mengulang Perbiakan vegetatif buatan dengan strategi baru<br />
(barangkali minat dan bakatnya bukan di Biologi, tapi di bidang Bahasa), maka bahan/materi<br />
Perbiakan vegetatif buatan disajikan dalam bentuk film cerita (YouTube), sehingga siswa dapat<br />
belajar mandiri secara aktif.<br />
Sedangkan Kompetensi generiknya adalah siswa dapat membedakan antara perbiakan generatif dan<br />
perbiakan vegetatif, agar siswa memperoleh gambaran umum apa yang dimaksud dengan reproduksi.<br />
Kompetensi spesifiknya adalah siswa dapat membedakan antara perbiakan vegetatif pada hewan dan<br />
perbiakan vegetatif pada tumbuhan, karena umumnya perbiakan vegetatif buatan itu dilakukan pada<br />
tumbuhan. Kalau siswa tidak memahami apa yang dimaksud dengan parthenogenesis dan<br />
fragmentasi (siswa hanya menguasai 75% bahan/materi) siswa tetap dinyatakan berhasil. Siswa yang<br />
tidak memahami parthenogenesis, fragmentasi dan okulasi (hanya menguasai 60% bahan) harus<br />
mengulang (harus mengikuti program remedial) sampai mencapai taraf penguasaan 75% materi.<br />
Dari contoh ini, nampak jelas bahwa SPM adalah batas minimal dari materi yang harus dikuasai<br />
semua siswa sebelum diperbolehkan melanjutkan ke topik berikutnya, sedangkan Tingkat<br />
Kompetensi adalah batas maksimal dari materi yang harus dikuasai siswa secara individual. Karena<br />
Tingkat Kompetensi itu adalah batas maksimal dari materi, maka Kemdikbud cenderung<br />
menurunkan batas maksimal itu, dengan alasan supaya tidak terlalu memberatkan siswa, akibatnya<br />
materi/bahan ajar makin lama makin berkurang. Dapat dimengerti kalau ada banyak materi dalam<br />
kurikulum 2013 tidak tercantum sebagai materi uji dalam TIMSS, PISA dan PIRL. Siswa tidak akan<br />
siap menyonsong era globalisasi pendidikan karena siswa akan tetap kesulitan mengerjakan soal-soal<br />
GMAT, SAT dan TOEFL.<br />
Dari uraian diatas, karena tingkat kompetensi yang bersifat spesifik itu terkait dengan KD,<br />
maka kompetensi terkait dengan Tujuan Pembelajaran (tujuan pembelajaran tercapai kalau sebagian<br />
besar siswa sudah menguasai bahan ajar/materi : tidak perlu semua siswa tuntas), sedangkan SPM<br />
terkait dengan Indikator, sehingga SPM itu terkait dengan target kurikulum (target kurikulum harus<br />
dapat dicapai oleh semua siswa).<br />
Dengan kata lain, Kompetensi itu diukur melalui tingkat ketuntasan siswa (penilaian hasil belajarnya<br />
ada di CK: Catatan Kompetensi), sedangkan SPM itu diukur melalui daya serap (monitoring proses<br />
belajarnya ada di PBK : Penilaian Berbasis Kelas)<br />
7. Kurikulum 2006 juga dilengkapi dengan Permendiknas No. 24 Tahun 2006 : “Satuan<br />
pendidikan dasar dan menengah dapat mengembangkan kurikulum dengan standar<br />
yang lebih tinggi dari Standar Isi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri<br />
104<br />
114
Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan<br />
Dasar dan Menengah dan Standar Kompentesi Lulusan sebagaimana diatur dalam<br />
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar<br />
Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah”.<br />
Jelaslah bahwa sekolah harus mengembangkan kurikulum sampai ke tingkat HOT<br />
(Higher Oder of Thinking), bukan menelan mentah-mentah instruksi Dinas<br />
Pendidikan, dan para Pengawas yang berupaya menyeragamkan kurikulum<br />
Timbulnya dualisme pengelolaan pendidikan (sentralisasi atau desentralisasi, dan tujuan<br />
pembelajaran atau target kurikulum), yang mengakibatkan munculnya dualisme kurikulum<br />
(Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013), telah menyebabkan sifat transformatif dari pendidikan<br />
tidak terwujudkan. Karena itu salah satu fungsi pendidikan transformatif yang membahas<br />
keberagaman (multikulturalisme) tidak terealisasikan : “Bagaimana keberagaman itu<br />
ditegaskan dan ditransformasikan dalam demokrasi, kewarganegaraan dan ruang publik”, tidak<br />
terlihat secara nyata gaungnya. Apalagi pada Kurikulum 2013, Analisa Konteks malah dihapus<br />
karena Silabus sudah dibuatkan oleh pemerintah.<br />
Akibat pengabaian Analisa Konteks pada kurikulum ini, berimbas pada lunturnya keragaman<br />
di sekolah-sekolah 90 Sekolah-sekolah mengarah pada penyeragaman, terutama penyeragaman<br />
kebijakan pengasuhan dan pendampingan siswa. Sekolah yang seharusnya berfungsi menyemai<br />
keragaman dan menguatkan nilai-nilai kebangsaan, ternyata lambat laun mulai menjauh dari fungsi<br />
tersebut. Dampaknya secara bertahap paham radikal mulai masuk ke sekolah dan diterima dan diikuti<br />
oleh sebagian guru dan siswa (tawuran pelajar, gang motor dan perundungan (bullying) makin marak.<br />
Dalam LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) pada tahun 2012 juga<br />
menemukan fakta sebagai berikut :<br />
- Pemahaman radikal dan anti toleransi sudah masuk ke ruang pendidikan formal melalui<br />
kegiatan ROHIS/ROKRIS<br />
- Dari 100 SMP serta SMA umum di Jakarta dan sekitarnya (993 siswa) atau sekitar 48,9 %<br />
setuju terhadap aksi kekerasan atas nama agama dan moral.<br />
- Dari 590 guru agama, 28,2 % menyatakan setuju aksi kekerasan agama<br />
Dari kegiatan Pelatihan guru dan kepala sekolah yang diselenggarakan BNPT (Badan Nasional<br />
Penanggulangan Terorisme) ada hal-hal yang perlu dicermati : Apakah mulai muncul istilah-istilah<br />
“kafir”, “thogut” dan “penolakan menghormati yang lain selain Allah” dalam percakapan para siswa?<br />
90<br />
Makalah Retno Listyarti, Sekjen FSGI, dalam Diskusi Lingkar Muda Indonesia, tanggal 28 Mei 2015 di Ruby<br />
Room, Gedung Kompas Gramedia Jakarta<br />
115<br />
105
Apakah kegiatan Rohis/Rokris di sekolah mulai eksklusif (bagi pergaulan, nara sumber, maupun<br />
pembiayaan)? Apakah beberapa siswa mulai tidak mau hormat ketika upacara bendera berlangsung?<br />
Menurut Saud Usman Nasution, Kepala BNPT (Badan Nasional Penganggulangan<br />
Terorisme), pencegahan penyebaran terorisme atau radikalisme ini harus terus intens dilakukan<br />
sebagai cara pencegahan terorisme, karena paham radikalisme melahirkan tindakan terorisme.<br />
Termasuk penyebaran paham melalui media sosial yang dianggapnya mempunyai potensi bahaya<br />
bagi penyebaran paham terorisme.<br />
“Penyebaran paham itu banyak melalui sosial media. Banyak anak anak kita, putra putri kita pelajar<br />
SMA/SMK yang pemahaman agamanya masih dangkal ini mencari jati diri, belajar mencari agama<br />
dari sosial media, dari tempat tidur dia bisa baca sosial media, bagaimana cara membuat bom. Adik<br />
adik inilah yang berpotensi terpengaruh ajaran paham yang sesat. Karena dari kelompok<br />
radikalisme ini memberikan pemahaman-pemahaman tentang jihadis ini dikembangkan melalui<br />
media. Ini yang harus kita cegah,” terang Saud pada acara peluncuran buku yang berjudul “Revision<br />
of the Jihandists dan Islamic Movements in Egypt” di Hotel Century Park, Jakarta , tanggal 8 Juli<br />
2015<br />
Dengan kata lain, kalau pemerintah abai menata desentralisasi dan sentralisasi pendidikan<br />
atau abai mengkritisi perbedaan antara tujuan pembelajaran dan target kurikulum, lalu hanya<br />
berkonsentrasi menata kurikulum baru, maka unintended intensions 91 akan mulai memasuki dunia<br />
pendidikan kita.<br />
Daerah-daerah yang menerapkan Perda khusus dengan mudah akan terperosok menyalah-gunakan<br />
Pasal 50 ayat 5 : “Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan<br />
menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”, dan Pasal 62 ayat 3 UU No.<br />
20 tahun 2013 (UU Sisdiknas) 92 : “Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberi atau mencabut<br />
izin pendirian satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.<br />
91<br />
Hal-hal baik yang justru memunculkan sesuatu yang kurang baik, misalnya kegiatan keagamaan yang<br />
diharapkan menjadi pendorong sikap saleh dan kesalehan justru memunculkan sikap eksklusif dan intoleran,<br />
bahkan kepada sesama penganut agama yang berbeda pandangan dan berlainan paham<br />
92<br />
Pidato Kebudayaan Dr. Karlina Supeli : “Kebudayaan dan Kegagapan Kita” (Teater Jakarta, Taman ismail<br />
Marzuki Jakarta, 11 November 2013) Pelajar atau konsumen tidak dididik untuk mampu mengembangkan<br />
daya-daya abstrak-imajinatif-kreatif serta berpikir kritis dan rasional (hanya sampai tataran konseptual : lihat<br />
hasil TIMMS, PISA dan PIRL dari para siswa kita yang makin merosot). Ada baiknya kita menyimak informasi<br />
mengenai kegemaran dan kepercayaan diri masyarakat Indonesia untuk berbelanja<br />
Pelajar atau konsumen dididik hasrat (naluri, emosi) dan kebiasaan-kebiasaan kulturalnya agar menghendaki<br />
segala hal gemerlap yang ditawarkan pasar. Sebuah bangsa yang warganya telah kehilangan daya berpikir<br />
abstrak-imajinatif dan kreatif tidak mungkin memiliki imajinasi kolektif tentang negara-bangsa.<br />
106<br />
116
Kalau hal ini tidak disikapi secara benar, maka kita bisa hidup dalam nir budaya. Sebab hidup<br />
dalam kebudayaan tentulah berarti bahwa kita berlaku dan bertindak menurut bingkai pengetahuan<br />
dan perangkat nilai dalam kebudayaan itu. Namun, kecenderungan yang cukup luas untuk menaruh<br />
perhatian terlalu berat kepada kebudayaan sebagai sistem nilai membuat kita cenderung tergesa-gesa<br />
mengambil sikap normatif. Bahaya dari pendekatan ini adalah kita mendepolitisasikan masalahmasalah<br />
sosial-ekonomi dan politik dengan mengajukan solusi moral. Seolah-olah “kemiskinan,<br />
kebodohan dan keterbelakangan peradaban” dapat selesai apabila kita melekatkan aneka kecakapan<br />
yang sedang kita pelajari ke kesalehan. Seolah-olah kekerasan remaja hanya perkara moral yang<br />
lemah. Korupsi yang ganas di negeri ini adalah salah satu bukti nyata bahwa tidak selalu ada kaitan<br />
langsung antara moralitas dan kesalehan. Lagak moralis dan saleh tidak akan menjadikan kita<br />
bangsa bermoral.<br />
Dengan ngeri kita menyaksikan bagaimana orang menyerang, menindas dan membunuh atas nama<br />
kesalehan yang terkunci dalam bingkai penafsiran sempit. Mereka yang berbeda pendapat langsung<br />
dianggap “musuh” . Pendidikan itu sejatinya harus menyadarkan manusia agar menghormati<br />
kehidupan. Setiap manusia akan menuju kematian. Karena itu, pendidikan harus didorong agar<br />
setiap warga menyadari bahwa kehidupan adalah anugerah. Berlomba dalam kebajikan dalam hidup<br />
merupakan tugas mulia yang harus dilakukan setiap manusia. Di sini pendidikan harus<br />
menegaskan bahwa tugas manusia adalah mengisi kehidupan dengan kebajikan, bukan justru<br />
menebar kejahatan.<br />
Maka pemerintah wajib mengembangkan pemahaman multikultural di dalam pendidikan<br />
untuk memperluas pemahaman siswa atau warga dalam tata dunia baru yang terus berubah sekarang<br />
ini. Sebab Indonesia, bukan sebuah negeri antah-berantah, pasif, tak berjiwa. Negeri ini adalah<br />
suatu negara-bangsa, yang terdiri atas sekelompok manusia yang berkumpul tidak secara<br />
sembarangan. Pengelompokan ini berupa suatu asosiasi sejumlah besar manusia berdasar<br />
suatu kesepakatan mengenai keadilan dan kemitraan guna kebaikan dan kebahagiaan<br />
bersama. Sebab pertama dan utama dari asosiasi seperti ini bukanlah kelemahan individual tetapi<br />
suatu spirit sosial tertentu yang ditanamkan alam dalam diri manusia, diri kita, spirit multikultural,<br />
spirit penghargaan atas liyan. Sebuah bangsa yang warganya telah kehilangan daya berpikir<br />
abstrak-imajinatif dan kreatif tidak mungkin memiliki imajinasi kolektif tentang negarabangsa.<br />
Oleh sebab itu, proses belajar-mengajar harus bermutu 93 yang memenuhi syarat :<br />
93<br />
Pasal 5 UU Sisdiknas : Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang<br />
bermutu<br />
117<br />
107
- Berlangsung secara manusiawi (tidak ada kekerasan (bullying), sindiran, penghinaan, dll),<br />
tidak ada diskriminasi atas nama mayoritas, tidak ada subordinasi oleh kelompok elite<br />
- Guru dan siswa dalam posisi yang sejajar dalam melakukan “transaksi” pedagogis (yang<br />
membedakan adalah fungsi masing-masing : guru “mengajar” dan siswa “belajar” 94<br />
- Guru lebih bertindak sebagai seniman (yang kreatif) dan intelektual (yang profesional) 95 ,<br />
sebagai seorang dirigen dalam pentas simfoni pembelajaran dimana semua siswa aktif-kreatif<br />
memainkan peran masing-masing, ketimbang sebagai penceramah, pengkhotbah, dan<br />
pemberi perintah 96<br />
- Guru adalah transformer keberagaman (multikulturalisme) melalui kelas partisipatif dengan<br />
kurikulum yang kontekstual (menggunakan perangkat Analisa Konteks) sehingga siswa dapat<br />
dengan mudah menghubungkan pengetahuan yang diperoleh dengan historisiositas<br />
budayanya. Pendidikan menjadi berpusat pada siswa (siswa bukan sekedar “peserta didik”,<br />
tapi “subyek didik”).<br />
Dalam hal ini, sekolah harus mampu melakukan pengkoordinasian, penyerasian dan pemaduan<br />
secara harmonis terhadap semua unsur yang ada di sekolah. Sesudah 70 tahun merdeka, negara<br />
Indonesia seharusnya sudah tumbuh ke arah demokrasi dengan memberi peluang kepada masyarakat<br />
untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Sejauh mana negara memberi peluang kepada<br />
masyarakat untuk semakin mandiri dan berpartisipasi dalam pembangunan manusia<br />
Indonesia melalui pendidikan dapat diukur dari produk-produk hukum dan perundangundangan,<br />
serta kurikulum yang ditawarkannya. Untuk pengembangan demokrasi dan<br />
partisipasi masyarakat, serta memperkuat terbentuknya masyarakat warga (civil society) , negara<br />
perlu mempromosikan topik-topik demokratisasi, multikulturalisme, dan dialog agama, dalam<br />
rancangan kurikula pendidikan. Pengembangan topik-topik ini juga akan mencegah merebaknya<br />
kekerasan karena konflik-konflik yang diakibatkan kurangnya saling pemahaman dan intoleransi<br />
dalam perbedaan-perbedaan. Inilah legitimasi dari diversifikasi kurikulum yang kontekstual (Pasal<br />
36 ayat 2 UU Sisdiknas) dan desentralisasi yang membuat Visi dan Misi sekolah menjadi membumi.<br />
C. Dilema peserta didik atau subyek didik<br />
Pemerintah tampaknya berdiri antara keinginan melaksanakan demokratisasi, juga di bidang<br />
pendidikan disatu pihak (yang tercermin dari disisipkannya Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32<br />
Tahun 2013), tetapi di pihak lain masih kuat pula, terutama di jajaran birokratnya untuk menentukan<br />
94<br />
Tjokorde Raka Joni : Cara Belajar Siswa Aktif, Jakarta, Ditjen Dikti, 1984<br />
95<br />
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta, Kanisius, 2003<br />
96<br />
Debbie de Proter, Quantum Teaching, Bandung, Kaifa, 2008<br />
108<br />
118
segala-galanya bagi masyarakat sipil. Indikasinya, sejauh mana misalnya, rencana undang-undang,<br />
perjanjian dengan negara lain atau keputusan yang mengikat generasi muda, termasuk kebijakan<br />
tentang pendidikan, disosialisasikan? Murid dan orang tua tidak punya pilihan dalam keputusan<br />
apapun yang diambil oleh Kemdikbud. Murid hanya dianggap sebagai “peserta didik”, bukan<br />
“subyek didik”. Bahkan sempat ada wacana pembentukan Direktorat Keayah-bundaan, yang<br />
diwujudkan dalam pembentukan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, yang menunjukkan<br />
bahwa aparat Kemdikbud ingin masuk sampai ke ruang privat. Di lain pihak, kaum mudanya sering<br />
kali diam saja ketika peluang mereka untuk menentukan hidupnya ke depan semakin ditutup,<br />
Misalnya di era smart phone dengan teknologi android atau di era televisi digital ini, pemerintah<br />
justru menghapus mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komputasi)<br />
Mari kita simak bagian akhir dari novel Susanna Tamaro, “Pergilah ke Mana Hati Membawamu”<br />
(Jakarta, Gramedia, 2005), penulis melalui tokoh utamanya Olga, memberi pesan kepada cucunya,<br />
……” di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu dan kau tak tahu jalan mana yang harus<br />
kau ambil, janganlah memilihnya asal saja, tetapi duduklah dan tunggulah sesaat. Tariklah napas<br />
dalam dengan penuh kepercayaan, seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan<br />
biarkan apapun mengalihkan perhatianmu, tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi. Berdiam<br />
dirilah, tetap hening, dan dengarlah hatimu. Lalu ketika hati bicara, beranjaklah dan pergilah<br />
kemana hati membawamu ………”. Pesan ini begitu tandas, yakni supaya cucunya mencari jalannya<br />
sendiri, tidak perlu ikut-ikutan neneknya atau ibunya yang telah melahirkannya. Dia mempunyai<br />
kebebasan. Dengan demikian, novel itupun menyampaikan pesan agar generasi tua di Kemdikbud,<br />
ikhlas memberi ruang pilihan untuk generasi muda dalam menentukan masa depan mereka sendiri.<br />
Di sisi lain, novel ini juga menggambarkan kegamangan para pelajar di kala masih sangat belia,<br />
dalam memilih jurusan pada saat akan masuk ke kelas X SMA, tanpa bekal yang memadai. Inilah<br />
pokok pikiran dari desentralisasi pendidikan. Memberi kebebasan pada siswa untuk menentukan<br />
masa depannya sendiri. Meskipun sudah dikucurkan trilyunan dana untuk BOS, tapi hanya sedikit<br />
sekolah negeri yang menjalankan program akselerasi, apalagi yang menerapkan sistim baku SKS,<br />
belum ada satupun sekolah negeri yang mampu menyelenggarakannya (yang ada adalah sistim paket<br />
SKS). Kenapa SKS ini penting? Karena SKS ini mengakomodasi kepentingan siswa sesuai dengan<br />
prinsip Multiple intelligence. Cara kita memandang dan memperlakukan siswa yang hanya dilihat<br />
sebagai “peserta didik” (bukan “subyek didik”) harus dikoreksi (Lihat Bab I Pasal 1 ayat 4 dan Bab<br />
V Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional). Kesalahan sistemik ini<br />
juga disorot dalam Seminar Hari Kependudukan Dunia “Investing in Young People in Indonesia”<br />
yang diselenggarakan oleh Dana Kependudukan PBB (UNFPA), BKKBN, Kemenpora dan Ikatan<br />
Praktisi dan Ahli Demografi Indonsia (IPADI) pada hari Senin 17 Juli 2014 di Jakarta.<br />
119<br />
109
Menurut Kepala Perwakilan UNFPA untuk Indonesia, Jose Ferraris, potensi generasi muda ini tidak<br />
tergarap maksimal karena mereka selalu hanya menjadi obyek dan bukan pemegang peran<br />
penting sebagai subyek pendidikan. Padahal anak muda merupakan sumber daya utama untuk<br />
pembangunan. Mereka dapat berperan sebagai agen kunci perubahan sosial, pertumbuhan ekonomi<br />
dan inovasi teknologi sebagaimana dicontohkan oleh para creative junkies (kelompok anak muda<br />
yang mampu menciptakan lapangan kerja sendiri, seperti Raditya Dika (penulis best seller remaja),<br />
Nancy Margried (penggiat batik fractal), kelompok pekerja seni muda (para musisi dan sineas muda),<br />
para disainer muda, dll.<br />
Pendidikan partisipatif dan kolaboratif bagi generasi muda ini masih jauh dari angan. Modelmodel<br />
metode baru seperti quantum teaching and learning, engagement learning, dll. tenggelam<br />
dalam pemberlakuan metode pembelajaran saintifik (5M) yang di endorse dalam Kurikulum 2013.<br />
Padahal melalui pendidikan partisipatif dan kolaboratif yang memandang siswa sebagai subyek<br />
didik, kreativitas siswa akan meningkat dan dunia ekonomi kreatif terbuka lebar bagi kaum muda,<br />
dan justru dalam bidang ekonomi kreatif inilah, generasi tua kurang menguasai secara intens.<br />
Itulah pentingnya diversifikasi kurikulum (Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas) dan otonomi<br />
sekolah (Pasal 77 M ayat 3 PP No.32 Tahun 2013), serta otonomi guru (Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas<br />
dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, serta Pasal 77 M ayat 1 PP No.32 Tahun 2013) :<br />
menjadikan kurikulum yang relevan dengan peserta didik dan kondisi sekolah (desentralisasi<br />
pendidikan), cermin dari diakomodasikannya kebebasan mimbar akademik.<br />
Namun sebuah paradoks baru muncul : ketika anak menjadi mahluk spesial, mereka juga<br />
jadi proyek. Mereka diharapkan jadi penerus orang tua, baik dalam iman maupun harta. Mereka<br />
tidak dibayangkan mandiri sebagai pembaharu, apalagi pembangkang. Kontrol diberlakukan, dan<br />
kadang-kadang tak jelas, mana bimbingan, mana penganiayaan.<br />
“Semua orang dewasa dulu juga anak-anak ……… tapi hanya sedikit yang ingat itu”<br />
(Antoine de Saint-Exupery, Pangeran Kecil) 97<br />
Mau bukti? “Kasus-kasus perundungan anak di sekolah yang berakibat kematian karena<br />
anak tersebut dikeroyok sesama siswa. Terlihat bahwa orang tua dan guru abai menangkap tandatanda<br />
kekerasan, padahal perundungan memiliki indikasi berbeda dari keisengan biasa” (Erlinda<br />
dalam ”Jutaan Anak Alami Kekerasan, Pola Asuh Perlu Memperhatikan Hak-hak Anak”, KOMPAS,<br />
Kamis 23 Juli 2015 halaman 12).<br />
97<br />
Catatan Pinggir : BOCAH, Gunawan Muhammad, Majalah Tempo, 15-21 Juni 2015<br />
110<br />
120
Jajaran Kemdikbud yang terus berupaya melanjutkan proyek penerapan Kurikulum 2013<br />
sehingga abai akan pembagian ijazah tepat waktu telah menempatkan hak-hak siswa sebagai sekedar<br />
urusan administrasi saja, tak hirau akan tuntutan berbagai lembaga studi lanjut dan lembaga penyelia<br />
tenaga kerja agar siswa dapat menunjukkan ijazah aslinya. Siswa telah benar-benar dikorbankan<br />
untuk proyek : kurikulum 2013 yang kontroversial karena tidak sinkronnya 28 permendikbud yang<br />
melandasinya dengan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013, pelaksanaan UN yang<br />
amburadul tahun 2013, dan pembagian ijazah yang sangat terlambat yang abai pada hak azasi siswa.<br />
Atau, mari kita simak Draft Permendikbud No.21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti<br />
yang dikeluarkan tanggal 10 Juli 2015, yang kemudian dibakukan menjadi Permendikbud No.23<br />
Tahun 2015<br />
- Bagian Penanaman Nilai Kebangsaan dan Kebhinekaan<br />
Sesudah berdoa setiap memulai hari pembelajaran, guru dan peserta didik menyanyikan lagu<br />
kebangsaan Indonesia Raya.<br />
Sebelum berdoa saat mengakhiri hari pembelajaran, guru dan peserta didik menyanyikan<br />
lagu daerah, lagu wajib nasional maupun lagu terkini yang bernuansa patriotik atau cinta<br />
tanah air.<br />
- Bagian Penumbuhan Potensi Unik dan Utuh Setiap Anak<br />
Menggunakan 15 menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku selain buku mata<br />
pelajaran<br />
Dalam prakteknya, sekolah akan mengambil kemudahan pelaksanaan menyanyikan lagu<br />
nasional, yaitu melalui apel pagi untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan melalui apel<br />
siang untuk menyanyikan lagu wajib. Supaya tidak mengurangi jam belajar sesuai ketentuan<br />
di atas, maka siswa akan masuk lebih pagi untuk mengikuti apel pagi + kewajiban membaca<br />
buku, dan akan pulang lebih siang untuk mengikuti apel siang. Kalau siswa datang terlambat,<br />
akan kena sanksi, namun bagaimana dengan guru-guru yang akhir-akhir ini makin sering<br />
datang terlambat? Para guru bukan hanya sering terlambat tiba di sekolah tetapi juga sering<br />
terlambat masuk kelas karena terlalu lama mengobrol di ruang guru<br />
Pada pagi hari, saat guru dan siswa masih segar, bukan langsung memulai pelajaran, tetapi<br />
harus berpanas-panas dulu mengikuti apel pagi, lalu dilanjutkan dengan waktu membaca<br />
buku 15 menit yang sebenarnya hanya membuang waktu, tidak mungkin siswa membaca<br />
yang tersirat dalam buku/koran hanya dalam 15 menit.<br />
Kemdikbud perlu melihat Harian Media Indonesia, setiap hari Rabu : Fokus Nusantara<br />
dengan hastag Fokus Nusantara (#Fokus Nusantara) : Matinya Tradisi Literasi di Kota Pelajar<br />
121<br />
111
Maka benar apa yang dikatakan Gunawan Muhammad di atas : “kadang-kadang tak jelas,<br />
mana bimbingan, mana penganiayaan”<br />
- Bagian Interaksi Positif dengan Guru dan Orang tua :<br />
Sekolah mengadakan pertemuan dengan orangtua siswa pada setiap tahun ajaran baru untuk<br />
mensosialisasikan: a) visi; b) aturan; (c) materi; dan (d) rencana capaian belajar siswa agar<br />
orangtua turut mendukung keempat poin tersebut<br />
Bukankah melalui ketentuan Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, Silabus, buku<br />
ajar/materi/sumber belajar, sistim penilaian dan metode sudah ditentukan oleh pemerintah<br />
dan sudah disosialisasikan melalui pelatihan guru yang seragam secara nasional, apapun visi<br />
dan misi sekolahnya (mengabaikan azas diversifikasi kurikulum sebagaimana diamanatkan<br />
oleh Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas). Jadi apakah masih ada gunanya Visi dan Misi sekolah?<br />
Bukankah selama ini para guru mengajar menurut arahan Dinas Pendidikan dan Pengawas<br />
yang abai pada Visi dan Misi suatu sekolah?<br />
- Pemeliharaan Lingkungan Sekolah<br />
Melaksanakan kegiatan bank sampah bekerja sama dengan dinas kebersihan setempat.<br />
Ide ini bagus, kalau siswa dan guru secara ketat memisahkan sampah organik dan sampah<br />
anorganik, yang dilengkapi dengan pembuatan kompos. Sampah anorganik ini juga harus<br />
didaur ulang. Kalau mengandalkan Dinas Kebersihan, maka sampah yang telah terpilah itu<br />
akan dicampur lagi. Hal ini tidak bagus bagi internalisasi lingkungan sehat untuk siswa.<br />
Permendikbud ini langsung memancing kontroversi karena nilai-nilai baik itu ditempelkan tanpa<br />
rasionalitas (KOMPAS, Kamis 23 Juli 2015 halaman 12 : “ Budi Pekerti – Nilai “Ditempelkan Tanpa<br />
Rasionalitas” : Guru Besar Antropologi UGM, Heddy Ahimsa Putra, “Kegagalan internalisasi nilainilai<br />
Pancasila, kebangsaan dan kebhinekaan terjadi karena pengajarannya cenderung abstrak dan<br />
kurang dielaborasi menjadi nilai-nilai yang lebih konkrit”). Permendikbud ini makin meyakinkan<br />
orang bahwa Kurikulum 2013 itu sebenarnya menganut filsafat eklektisme, bukan esentialisme,<br />
semuanya hanya tempelan.<br />
Sebenarnya Mendikbud Anies Baswedan dan jajarannya cukup melihat “18 nilai dalam<br />
Pendidikan Karakter” yang sudah diterapkan dalam Kurikulum 2006 karena proses monitoring sudah<br />
cukup terukur di dalam PBK (Penilaian Berbasis Kelas) dan tidak perlu mengeluarkan Sambutan<br />
Mendikbud pada hari pertama sekolah No.59388/A/KR/2015 dan Surat Edaran tentang MOS (Masa<br />
Orientasi Sekolah) No.59389/MPK/PD/2015 – yang diabaikan oleh banyak sekolah. Jadi malah<br />
menunjukkan kegagalan proses internalisasi pendidikan karakter dan nilai-nilai agama pada siswa<br />
dan pada para Pembina OSIS, sehingga MOS selalu saja diartikan sebagai perpeloncoan (pembakuan<br />
112<br />
122
mental “budak” dan “pembodohan” dalam pendidikan nasional). Hal ini melestarikan azas senioritas<br />
dalam pendidikan, bukan azas meritokrasi.<br />
Dari contoh-contoh di atas, nampak bahwa pengakuan atas perbedaan invidual dan latar<br />
belakang budaya siswa 98 tidak tercermin dalam KI dan KD pada Kurikulum 2013, juga tidak muncul<br />
dalam penentuan buku ajar (materi/sumber belajar) dan buku pegangan guru, serta penentuan metode<br />
saintifik (5M) – semuanya sifatnya massal, menafikan adanya perbedaan individual dan budaya<br />
siswa.<br />
Berdasar berbagai penjelasan tentang otonomi pendidikan dan desentralisasi di atas, dimana<br />
otonomi dinyatakan sebagai sejauh mana negara memberi peluang kemandirian masyarakat, maka<br />
sebenarnya istilah “peserta didik” sudah harus diganti dengan “subyek didik”, dan istilah “Opsdik”<br />
(Organisasi Peserta Didik) harus dikembalikan lagi menjadi OSIS. Istilah MOPD (Masa Orientasi<br />
Peserta Didik Baru) harus dikembalikan menjadi MOS (Istilah MOPD muncul dalam Permendikbud<br />
NO. 55 Tahun 2014 yang berisi “larangan melaksanakan masa orientasi peserta didik yang<br />
mengarah kepada tindakan kekerasan, pelecehan dan/atau tindakan destruktif lainnya yang<br />
merugikan peserta didik baru baik secara fisik maupun psikologis baik di dalam maupun di luar<br />
sekolah”. Namun pembodohan siswa dengan mengenakan atribut yang melecehkan nalar tetap saja<br />
berlangsung. Sidak yang dilakukan Mendikbud Anies Baswedan pada hari pertama sekolah, Senin<br />
27 Juli 2015 menunjukkan bahwa jajaran birokrat selama ini membiarkan perpeloncoan terus terjadi<br />
dalam kegiatan MOS di lapangan. Hal ini merupakan contoh kasat mata bahwa jajaran Kemdikbud<br />
sebenarnya hanya sibuk dengan visi dan misinya sendiri, tidak memikirkan masa depan anak didik<br />
(karena perpeloncoan ini sudah merupakan gejala sistemik yang sengaja dibiarkan terjadi oleh Dinas<br />
Pendidikan dan Pengawas, meskipun mereka sudah mengetahui penyimpangan ini selama bertahuntahun,<br />
tapi karena tidak menyangkut “kepentingan” mereka, praktek perpeloncoan ini dibiarkan<br />
terjadi. Bahkan setelah adanya Surat Edaran Mendikbud tentang MOS, yaitu Surat Edaran<br />
No.59389/MPK/PD/2015, praktek perpeloncoan tetap saja terjadi).<br />
98<br />
Lihat lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab I No. 14<br />
123<br />
113
Lihat hasil liputan media massa pasca keluarnya Surat Edaran Mendikbud itu<br />
Pergantian istilah OPSDIK dan MOPD ini bukan sekedar mengganti kata per kata atau mengubah<br />
definisi, tapi mempunyai rujukan yang panjang seperti yang sudah diuraikan di Bab III ini.<br />
Prinsip desentralisasi ini sebenarnya sudah diakomodasi dalam Permendikbud No.67 Tahun 2013<br />
Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum, Bab I A. 2. Penyempurnaan pola pikir, yang<br />
diulang pada Permendikbud No.68 Tahun 2013, Permendikbud No.69 Tahun 2013 dan<br />
Permendikbud No.70 Tahun 2013 , yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 (lihat<br />
Catatan * di Kata Pengantar)<br />
Point 1. Pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada peserta<br />
didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang dipelajari<br />
untuk memiliki kompetensi yang sama <br />
Point 7. Pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users) dengan<br />
memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik<br />
Bukankah hal ini yang menjadi impian dari Olga dalam novel Susanna Tamaro di atas? Pembelajaran<br />
menggunakan Multiple Intelligence. Masalahnya hal ini tidak bisa dicapai melalui pelatihan guru<br />
secara massal dan seragam di tingkat nasional, dengan silabus, buku ajar dan buku pegangan guru<br />
serta metode pembelajaran yang seragam. Pemetaan kelas melalui pengenalan akan bakat dan minat<br />
siswa yang berbeda dengan Multiple Intelligence, hanya dapat dicapai dalam kurikulum yang<br />
kontekstual dan situasional yang melayani keberagaman.<br />
114<br />
124
Dalam kurikulum yang seragam secara nasional, nuansa desentralisasi dan kebebasan mimbar<br />
akademik tidak muncul, yang muncul justru adalah hegemoni pemerintah sampai ke ruang kelas,<br />
yang dilengkapi dengan kendali para Pengawas di daerah.<br />
Kenapa sampai muncul dua kurikulum (Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013) yang<br />
menyebabkan tarik ulur fungsi pemerintah daerah dalam mengontrol pendidikan melalui<br />
pembelajaran di kelas lewat Pengawas Mata Pelajaran sehingga pengembangan potensi siswa sebagai<br />
subyek didik terabaikan?<br />
Ternyata Kurikulum 2013 itu dikembangkan atas teori KBK (kurikulum berbasis kompetensi<br />
: competency-based curriculum) yang sebenarnya sudah tidak diberlakukan lagi dengan berbagai<br />
alasan, seiring pemberlakuan Kurikulum 2006 (Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 II B<br />
Landasan Teoritis, yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 II D Landasan<br />
Teoritis (lihat Catatan * di Kata Pengantar) : maka kita harus merujuk kembali kenapa KBK itu<br />
dahulu dihentikan. Masalahnya ada pada kesulitan pengukuran kompetensi yang dicapai siswa<br />
secara kuantitatif.<br />
Maka untuk menyiasati seandainya Dinas Pendidikan di daerah berkukuh melanjutkan<br />
penerapan Kurikulum 2013, adalah “meniti buih” :<br />
- Tanpa meninggalkan aspek student centered learning sebagaimana diamanatkan dalam<br />
Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab I No. 14 : Pengakuan atas perbedaan<br />
invidual dan latar belakang budaya siswa,<br />
- Tanpa meninggalkan prinsip desentralisasi yang sebenarnya sudah diakomodasi dalam<br />
Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum, Bab I<br />
A. 2. Penyempurnaan pola pikir (yang diulang pada Permendikbud No. 68 Tahun 2013,<br />
Permendikbud No. 69 Tahun 2013 dan Permendikbud No. 70 Tahun 2013) Poin 1 dan Poin<br />
7 di atas,<br />
yang perlu dilakukan adalah menerapkan Analisis horizontal pada Analisis Kurikulum untuk<br />
melihat keterkaitan antar berbagai mata pelajaran pada jenjang kelas yang sama sehingga siswa dapat<br />
belajar integrasi lintas ilmu untuk mengerti konsep multi disiplin (yang sebenarnya sudah dimulai<br />
dengan diberlakukannya Tematik Integratif di SD dan Mata Pelajaran IPA Terpadu dan IPS Terpadu<br />
di SMP).<br />
Misalnya : seorang guru Biologi di SMA hendak mengajarkan Teori Mendel, maka guru tersebut<br />
harus yakin bahwa Teori Peluang (Probabilitas) yang mencakup Permutasi dan Kombinasi sudah<br />
diajarkan sebelumnya di Matematika. Seorang guru kelas 6 SD yang akan mengajar materi Fisika<br />
Optik dalam IPA-Fisika pada minggu kedua Agustus, harus yakin bahwa pada minggu pertama<br />
125<br />
115
Agustus, guru Matematika kelas 6 SD sudah mengajarkan materi perhitungan luas lingkaran dan<br />
volume bola.<br />
Dengan demikian, sains dan iptek akan dipahami sebagai art, bukan sekumpulan dalil, rumus<br />
atau aksioma yang harus dihafal. Pembelajaran menjadi menyenangkan karena siswa dapat merunut<br />
ketersinambungan antar topik atau tema. Proses pembelajaran menjadi pembuka wawasan dan<br />
horizon cakrawala pengetahuan siswa yang tidak bisa didapat dalam bimbel atau les privat.<br />
Rapat kerja para guru pada awal tahun ajaran baru harus memastikan bahwa langkah<br />
sinkronisasi antar mata pelajaran melalui Analisis horizontal ini dijalankan dengan efektif,<br />
tanpa itu, belajar hanya akan menjadi beban bagi siswa sehingga pengembangan potensi siswa<br />
itu masih tetap jauh panggang dari api. Analisa horizontal ini juga perlu dilengkapi dengan Analisa<br />
Konteks, yang juga sudah diberlakukan dalam Kurikulum 2006 dan KTSP Bimtek (2008).<br />
Rincian dari Analisa Konteks ini selalu dituntut bukti fisiknya dalam akreditasi sekolah, yaitu<br />
akreditasi penyelenggara dan penyelenggaraan pendidikan.<br />
Disinilah peran vital Pengawas (sesuai Pasal 10 UU Sisdiknas) : pengawas membantu dan<br />
membimbing pihak penyelenggara pendidikan (sekolah) agar mampu memenuhi 8 standar nasional<br />
pendidikan (8 standar SNP), bukan malah sibuk memaksa sekolah untuk menerapkan Kurikulum<br />
2013 (demi proyek), lupa pada isi Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 di PP No.32 Tahun 2013<br />
Misalnya guru Biologi yang akan mengajar Teori Mendel, dapat melakukan Analisa konteks sebagai<br />
berikut :<br />
KONDISI ALAM SOSIAL BUDAYA KEKAYAAN DAERAH<br />
Lihat berapa % kemungkinan<br />
munculnya itik albino<br />
Lihat keberadaan manusia<br />
albino, kenapa langka, tetapi<br />
pasti ada<br />
Lihat persilangan tanaman<br />
yang khas daerah itu, misalnya<br />
singkong Mukibat<br />
Dari contoh di atas, nampak jelas bahwa :<br />
- Bila Analisa konteks dilakukan secara benar, maka guru tersebut telah menerapkan CTL<br />
(contextual teaching learning)<br />
- Bila Analisa konteks dilakukan secara benar, maka azas multikulturalisme dalam<br />
pembelajaran, juga akan terpenuhi<br />
116<br />
126
Atau Guru Fisika yang akan mengajar Fisika Optik, dapat melakukan Analisa Konteks sebagai<br />
berikut :<br />
KONDISI ALAM SOSIAL BUDAYA KEKAYAAN DAERAH<br />
Daerah-daerah berkapur,<br />
umumnya orang kekurangan<br />
vitamin A, karena sukar<br />
mendapat sayur mayur, seperti<br />
wortel, seledri, dll, hingga<br />
umumnya mereka menderita<br />
rabun jauh (myopi). Maka<br />
titik berat guru Fisika ini<br />
adalah pada materi lensa<br />
(supaya paralel dengan kaca<br />
mata) dan teropong (supaya<br />
paralel dengan rabun jauh),<br />
dengan program pengayaan :<br />
“teropong bidik malam”<br />
Karena myopik, mereka tidak<br />
terbiasa menggunakan lampu<br />
senter, tetapi menggunakan<br />
penerang jarak dekat (obor,<br />
lampu petromaks, dll)<br />
Masyarakat daerah kapur<br />
bukan masyarakat visual,<br />
tetapi masyarakat audio,<br />
mereka peka pada bunyi/suara.<br />
Radio cukup akrab dengan<br />
mereka, dan kesenian diatonis<br />
menjadi pembeda dengan<br />
masyarakat agraris yang<br />
pentatonis.<br />
Pengukuran jarak pandang<br />
dihitung dari kemampuan<br />
lensa mata myopik, yaitu :<br />
“sudah dekat” atau “tidak<br />
jauh”, padahal jaraknya masih<br />
jauh, karena ukurannya adalah<br />
sudut elevasi jarak pandang.<br />
Masyarakat daerah kapur<br />
(masyarakat audio)<br />
mengembangkan melodi yang<br />
bertumpu pada nada<br />
suara/bunyi (seruling,<br />
terompet , dll)<br />
Melalui Analisa Konteks, keberagaman (multikulturalisme) dapat diakomodir. Maka<br />
kerancuan kurikulum dapat dihindari : mau menerapkan Kurikulum 2006 (KTSP awal) atau mau<br />
merevitalisasi kembali Kurikulum 1975, hasilnya akan sama yaitu pengembangan bakat dan minat<br />
siswa. Itulah inti dari desentralisasi dan SPM : pendidikan yang berpusat pada siswa (student<br />
centered learning) (siswa bukan sekedar “peserta didik”, tapi “subyek didik”), yang mengakomodasi<br />
keberagaman (multikulturalisme).<br />
Itulah pentingnya menata ulang kurikulum pendidikan nasional kita sebagaimana<br />
diamanatkan dalam Nawa Cita No.8<br />
127<br />
117
BAB IV<br />
Kurikulum vs Kompetensi<br />
Kekeliruan pertama dalam kaitan dengan kompetensi adalah pada masalah<br />
pengukurannya. Kurikulum 2013 yang dikembangkan dari KBK (2004) 99 menyisakan masalah<br />
pengukuran kompetensi yang ingin dicapai. Perumusan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) di<br />
tahun 2004 ternyata tidak disertai pengukuran kompetensi sehingga setiap penatar menafsirkan<br />
sendiri kompetensi yang hendak dicapai, terpisah dari rumusan :<br />
- Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 : “Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya<br />
potensi peserta didik”, dan<br />
- Pasal 51 UU No. 20 Tahun 2003 : “Pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan<br />
berdasarkan SPM dengan prinsip MBS”. Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang<br />
menyangkut kompetensi minimal yang harus dikuasai siswa (pengukurannya menggunakan<br />
KKI), dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang antara lain berisi pengukuran<br />
kompetensi dan kinerja guru ini, sekarang tidak lagi dipraktekkan akibat dikeluarkannya<br />
Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No.2 : Sistim dan entitas pengawasan.<br />
Seandainya kompetensi dalam KBK itu dikaitkan dengan kemampuan/kompetensi minimal<br />
“calistung” (baca-tulis-hitung), yaitu kemampuan berpikir kritis dalam Matematika dan Sains pada<br />
TIMMS (Trends in International Mathematics and Science Study), kemampuan membaca yang<br />
tersirat pada PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study), dan kemampuan bernalar<br />
dalam PISA (Progamme in International Students Assessment), maka KBK tidak perlu diganti pada<br />
tahun 2006. Akibat tidak terukurnya kompetensi secara valid ini menyebabkan timbulnya kesalahan<br />
pemaknaan kurikulum dan kesalahan pedoman penilaian pada Kurikulum 2013 (kesalahan pedoman<br />
penilaian diuraikan secara khusus dalam Bab V)<br />
Kekeliruan kedua dimulai dari kesalahan pemaknaannya. Menurut KBBI Vol IV,<br />
kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan tertentu.<br />
Karena artinya “hanya sekedar” perangkat pembelajaran maka sifatnya sangat teknis dan spesifik<br />
untuk diterapkan di kelas, seperti pembuatan silabi dan persiapan mengajar, penyediaan alat peraga<br />
dan pengukuran hasil belajar, sehingga kurikulum itu lekat dengan lokalitas dan situasional pada<br />
lembaga penidikan tertentu. Dengan kata lain, kurikulum di setiap sekolah itu seharusnya berbeda<br />
dan kontekstual.<br />
99<br />
Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis : Kurikulum 2013 dikembangkan atas<br />
teori KBK (competency-based curriculum), yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II D<br />
(lihat Catatan * di Kata Pengantar)<br />
128<br />
118
Menurut kamus Webster : kurikulum itu adalah the courses offered by an educational institution,<br />
atau a set of courses constituting an area of specialization. Dengan kata lain, kurikulum menurut<br />
kamus Webster adalah the courses that are taught by a school, college, etc.<br />
Karena perangkat pembelajaran ini harus dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi satuan<br />
pendidikan (sekolah) masing-masing, maka sifatnya khas dan situasional. Oleh karenanya,<br />
seharusnya tidak ada uniformitas kurikulum di tingkat nasional, yang diproses melalui pelatihan guru<br />
dengan bahan yang sama di semua daerah. Sekali lagi, tugas pemerintah sebenarnya sudah diatur<br />
dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas yaitu hanya sebatas menetapkan kerangka dasar dan struktur<br />
kurikulum. Dalam Kurikulum 2013, pemerintah bahkan sampai kebablasan menyusun kurikulum<br />
dari hulu sampai ke hilir, mulai dari penentuan materi /bahan ajar (silabus, buku siswa, lalu<br />
menghapus mata pelajaran TIK di semua jenjang pendidikan dan IPA di kelas 1, 2, 3 SD) sampai<br />
menetapkan pola penyampaian materi/bahan ajar itu di kelas (metode pengajaran (metode saintifik<br />
(5 M), dan membuat buku pegangan guru), dilengkapi dengan pedoman pengukuran hasil belajar<br />
(menyusun pedoman konversi nilai (yang ternyata secara matematis salah), yang anehnya tidak<br />
dilengkapi dengan pedoman monitoring proses belajar. Dengan kata lain, Kurikulum 2013 ini<br />
mengusung semangat pembakuan tunggal dan hegemoni sehingga menabrak azas diversifikasi<br />
kurikulum sebagaimana termaktub dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas.<br />
Kalau mengacu pada ketentuan Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas ini, seharusnya kurikulum yang berlaku<br />
di Papua akan berbeda dengan kurikulum yang berlaku di Jawa, karena harus disesuaikan dengan<br />
kondisi sarana prasarana sekolah, potensi lokal dan keadaan siswanya.<br />
Semuanya menjadi rancu hanya karena pemerintah mengejar “penyerapan anggaran 20% dari<br />
APBN”. Yang disalahkan selalu gurunya (defungsionalisasi guru), bukan LPMP atau<br />
PPPG/PPPPTK, padahal para guru hanya menjalankan instruksi Pengawas dan arahan dari Dinas<br />
Pendidikan setempat<br />
(http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/29/11113348/Ini.Alasan.Dirombaknya.Kurikulum).<br />
Di DKI Jakarta, upaya uniformitas (penyeragaman) yang mengabaikan azas diversifikasi ini muncul<br />
dalam Sistim Administrasi Sekolah (SAS) dan Sistim Informasi Pendidikan (SIP). Di daerah lain,<br />
upaya penyeragaman ini dieksekusi dengan kehadiran para Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata<br />
Pelajaran yang nilai uji kompetensinya justru dibawah nilai uji kompetensi para guru (Tentang<br />
Pengawas ini, lihat Catatan kaki No.4). Hal ini semakin menegaskan bahwa proyek sertifikasi guru<br />
itu adalah proyek tebar uang yang tak ada hubungannya dengan kompetensi dan kinerja guru, sematamata<br />
demi memenuhi penyerapan anggaran. Hal ni sudah nampak beberapa tahun yang lalu, saat<br />
diterapkannya UKG (uji kompetensi guru) yang tidak jelas tujuannya itu dan akan diulang pada bulan<br />
November 2015 ini : UKG yang tidak jelas untuk apa dilaksanakan dan bagaimana Kemdikbud akan<br />
129<br />
119
menyikapi hasilnya nanti : membentuk lembaga pelatihan guru yang baru atau membuat program<br />
pelatihan guru terpusat lagi. Kalau guru yang tidak lolos UKG itu kemudian dicabut tunjangan<br />
sertifikasinya, bagaimana argumen Kemdikbud menghadapi gugatan para guru itu kelak di PTUN :<br />
“bukankah selama ini mereka selalu mengikuti arahan Dinas Pendidikan dan Pengawas dan telah<br />
dinyatakan lulus diklat sertifikasi guru”, dan “apakah tes sesaat bisa mengukur seluruh kompetensi<br />
guru?”<br />
Ternyata terbukti kemudian bahwa UKG itu memang tidak terkait dengan kata “uji” dan “uji<br />
kompetensi” tetapi hanya merupakan proyek baru untuk mengadakan diklat baru bagi para guru,<br />
seolah-olah para guru belum pernah menempuh pendidikan didaktik metodik dan pedagogik di<br />
PGSD/FKIP.<br />
Seandainya Mendikbud M. Nuh mengacu pada Finlandia (sebagai kiblat pendidikan dunia)<br />
dan bukan pada negara-negara OECD, maka Kurikulum 2013 tidak akan pernah ada.<br />
Kalau menaati UU dan pemaknaan harafiahnya, maka kurikulum harus dikembangkan sesuai<br />
dengan situasi dan kondisi satuan pendidikan (sekolah), sehingga kurikulum ini dikenal sebagai<br />
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), artinya kurikulum yang disusun sendiri oleh para<br />
guru dan disahkan oleh kepala sekolah (Pasal 77 ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013). Dengan<br />
kata lain, otonomi guru dan otonomi sekolah dalam penyusunan kurikulum, memonitor proses<br />
belajar, serta mengevaluasi hasil belajar ini mempunyai payung hukum yang kuat yang<br />
tereksplisitkan dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas, dan Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005<br />
(UU Guru dan Dosen) seperti yang sudah diuraikan dalam Bab Pendahuluan. Dengan demikian,<br />
menyama-ratakan kurikulum dan memberlakukan kurikulum nasional secara tunggal jelas keliru,<br />
karena melanggar pemaknaan (arti) kata “kurikulum” dan menabrak UU (lihat penjelasan lebih<br />
rinci dalam Bab Pendahuluan)<br />
Dengan kata lain, Kurikulum 2013 yang membakukan pembuatan silabus tunggal, pembuatan buku<br />
siswa dan buku pegangan guru yang seragam serta keluarnya Pedoman penilaian Permendikbud No.<br />
66 Tahun 2013, lalu diubah dalam Lampiran IV Permendikbud No. 81 A Tahun 2013, yang<br />
diperbarui dalam Peraturan Bersama Dirjen Dikdas No. 5496/C/KR/2014 dan Dirjen Dikmen No.<br />
7915/D/KP/2014 tentang penilaian (penilaian pada Kurikulum 2013 seharusnya menggunakan<br />
penilaian rubrik agar sesuai dengan SOLO Taxonomy), semuanya itu justru mengaburkan<br />
terbentuknya budaya organisasi di lingkungan sekolah. Sebab pedoman penilaian dari Kemdikbud<br />
yang berubah-ubah ini justru menabrak azas otonomi pendidikan yang diusung oleh Pasal 39 ayat 2<br />
UU Sisdiknas dan Pasal 20 (a) UU Guru dan Dosen dan mengabaikan arti kata “kurikulum” secara<br />
harafiah (letterlijk). Untuk internalisasi arti kata “kompetensi” dan makna “kurikulum”, para guru<br />
harus menyadari arti panggilan hidupnya. Bukan menjadi guru untuk kurikulum, bukan menjadi<br />
120<br />
130
guru untuk Dinas Pendidikan, bukan menjadi guru untuk aturan-aturan, tetapi menjadi guru<br />
untuk muridnya. Tanpa murid, guru hanyalah seorang “pengangguran”. Karena ketidak pedulian<br />
akan murid ini dan hanya terpaku pada proyek penyerapan anggaran (sertifikasi guru, UN dan<br />
peluncuran kurikulum baru), maka keterlambatan pembagian ijazah hanya dianggap sebagai proyek<br />
administrasi yang tertunda, bukan pada pelanggaran atas hak-hak anak. Dengan kata lain,<br />
Kemdikbud abai pada kebutuhan murid. Kebutuhan murid ditengah jaman yang lari tunggang<br />
langgang ini adalah mengerti dan dimengerti oleh dunianya, tidak teralineasi ditengah dunia yang<br />
tergopoh-gopoh ini. Murid dapat mengerti apa itu komputasi awan (cloud computing), rekayasa<br />
genetik (genetic engineering), perubahan dari 3 G ke 4 G, atau perubahan dari analog ke digital, dll.<br />
Untuk itu, Kemdikbud jangan terjebak dalam kontradiksi “mengerti banyak hal tetapi tidak<br />
mendalam (generalis)” atau “mengerti sedikit hal tetapi mendalam (spesialis)”, tetapi menyajikan<br />
dasar-dasar pengetahuan (basic knowledge) secara menyenangkan, hingga siswa dapat membangun<br />
sendiri system of knowledge-nya untuk memperkuat pilihan hidupnya. Bukankah hal ini merupakan<br />
dasar dari SKS yang tertuang dalam Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014? Bukan dengan<br />
menghapus bagian integral penting dari suatu mata pelajaran, misalnya menghapus Kalkulus I dan II<br />
dari bahasan Matematika, atau menghapus Kimia Analitik dari kajian Kimia, atau mengintegrasikan<br />
mata pelajaran IPA di kelas 1, 2, dan 3 SD itu ke mata pelajaran lain. Semuanya itu hanya akan<br />
mengacaukan system of knowledge dari sains itu sendiri. Siswa tidak akan mampu lagi menjawab<br />
pertanyaan mendasar seperti “kenapa begini?”, “kenapa begitu?”, meskipun guru menggunakan<br />
metode saintifik (5 M). Misalnya : Kenapa undur-undur (Myrmeleon formicarius) berjalan mundur?<br />
Sebab dengan berjalan mundur, larva undur-undur itu sedang membuat sarang berbentuk kerucut<br />
terbalik. Bentuk kerucut terbalik dari sarang larva undur-undur itu sebenarnya untuk memudahkan<br />
mangsanya tergelincir masuk kesarang dan sukar untuk keluar atau melarikan diri lagi. Bukankah<br />
undur-undur ini sudah menggabungkan prinsip Matematika dari kerucut dengan prinsip gaya dalam<br />
Fisika. Kenapa ular berdarah dingin, sedangkan berang-berang (Lutra sumatrana) yang juga<br />
membuat sarang di dalam tanah, justru berdarah panas? Kenapa langit berwarna biru?, dll<br />
Kekeliruan pemahaman tentang makna kurikulum ini harus cepat dikoreksi oleh Mendikbud Anies<br />
Baswedan, misalnya penerapan tematik integratif di SD dilakukan dengan mengintegrasikan IPA<br />
pada mata pelajaran lain itu adalah keliru. Disamping menyulitkan siswa membangun system of<br />
knowledge-nya sendiri (seperti sudah diuraikan di atas), pengintegrasian ini juga menyebabkan<br />
terpelesetnya penerapan pendekatan saintifik (5 M) ini menjadi pendekatan logika. Misalnya siswa<br />
yang bertanya kenapa bentuk atap rumah selalu miring? Akan dijawab gurunya dengan logika (bukan<br />
dengan metode 5 M). Jawab yang umum muncul adalah supaya atap dapat mengalirkan air hujan<br />
dengan cepat ke tanah. Salah besar. Padahal kalau guru mengamati kemiringan atap rumah dan<br />
131<br />
121
menganalisa warna genting yang coklat itu, guru akan mengerti fungsi genting itu, yaitu menyerap<br />
panas, sehingga jawab yang benar, kenapa atap rumah selalu miring adalah agar rumah tidak lembab,<br />
oleh sebab itu kasur, pakaian, dan kamar mandi tidak berjamur.<br />
Kesalahan pemaknaan arti kata “kurikulum” dan “kompentensi” bila tidak cepat dikoreksi,<br />
dapat menjerumuskan Kemdikbud pada pencampur-adukan paedagogis dan didaktis, dan oleh<br />
karenanya Kemdikbud bisa terjerumus mengamputasi undang-undang otonomi pendidikan<br />
(meniadakan otonomi sekolah dan otonomi guru, seperti yang tertera dalam Pasal 77 M ayat 1 dan<br />
ayat 3 PP No.32 Tahun 2013) (Kemdikbud bisa menghapus semua ketentuan di Catatan kaki No.2)<br />
Tanpa koreksi dari Mendikbud, pengelolaan sekolah menjadi tidak mudah karena<br />
banyak tuntutan dan campur tangan negara. Dengan adanya campur tangan itu, otonomi<br />
sekolah dan otonomi guru dalam mengembangkan visi dan misi sekolah cukup terganggu.<br />
Wajah dunia persekolahan di seluruh Indonesia menjadi sama dan seragam apapun visi dan<br />
misinya.<br />
Apa yang mesti dikoreksi ?<br />
1. Mendudukkan arti kata “kurikulum” yang sebenarnya, yaitu seperangkat pembelajaran yang<br />
dipilih untuk diterapkan di suatu sekolah tertentu (sangat memperhatikan aspek lokalitas dan<br />
kondisional suatu sekolah), karena ada upaya keras untuk “menyamarkan” arti kata<br />
“kurikulum” menjadi “sistim pembelajaran yang dibuat oleh Kemdikbud dan wajib<br />
dilaksanakan oleh semua sekolah”.<br />
2. Merestrukturisasi system of knowledge dari berbagai mata pelajaran itu, karena pembaruan<br />
kurikulum selama ini selalu diartikan sebagai imbuhan langkah inovatif dalam pembelajaran,<br />
seperti penggunaan multi media dalam proses pembelajaran di kelas, sehingga pembaruan<br />
kurikulum selalu dikaitkan dengan ketersediaan LCD, TV dan komputer di kelas, dimana<br />
guru tetap berceramah, paling-paling dilengkapi dengan metode diskusi atau presentasi siswa.<br />
3. Merumuskan ulang perbedaan kompetensi dan tingkat kompetensi, perbedaan antara<br />
kompetensi generik dengan KI dan perbedaan antara kompetensi spesifik dengan KD<br />
sehingga pola penilaian atau evaluasi hasil belajar menjadi jelas, tidak berkali-kali diubah<br />
(Lihat Permendikbud No.66 Tahun 2013, Lampiran IV Permendikbud No.81 A tahun 2013,<br />
Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan<br />
No.7915/D/KP/2014)<br />
Bagaimana mengukur apakah system of knowledge itu terwadahi atau tidak, dalam perancangan<br />
kurikulum baru ? Cukup melihat apakah masih ada materi/bahan ajar yang tidak ada di kurikulum<br />
kita, padahal materi/bahan ajar itu merupakan mata uji di TIMSS, PISA dan PIRL. Dengan kata lain,<br />
pembaruan kurikulum tidak boleh membuat kurikulum itu makin miskin. Pengetahuan<br />
132<br />
122
mengenai sejarah pendidikan di negara kita merupakan prasyarat penting dalam penyusunan<br />
kurikulum baru. Pemerintah perlu disadarkan bahwa apa yang sudah bagus di masa lalu, jangan<br />
dihapus, karena penggantinya belum pasti lebih bagus dan belum teruji.<br />
Bahan ajar/materi tidak boleh dikurangi, justru harus selalu ditambah, sesuai dengan tuntutan<br />
jaman, sehingga mutu makin meningkat.<br />
Kemdikbud rupanya terjebak dalam dikotomi ini : “menguasai banyak hal, tetapi tidak mendalam”,<br />
atau : “menguasai sedikit, tetapi mendalam”. Masalahnya bukan di situ, tetapi : “menguasai hal yang<br />
mendasar secara mendalam”, misalnya teknologi informasi memang berkembang dengan sangat<br />
cepat, dari sistim analog ke digital, namun ada teknologi mendasar yang harus dikuasai yaitu<br />
tegangan ke frekuensi dan tegangan ke lebar pulsa sebagai system of knowledge yang tetap dan paten.<br />
Ilmu Kimia berkembang sangat pesat, tetapi Kimia Dasar itu sifatnya tetap dan paten. Bahasa<br />
Indonesia itu selalu berkembang, tetapi hukum k, p, t, s akan luluh bila mendapat imbuhan itu<br />
sifatnya tetap. (Sisir kalau mendapat awalan me-, akan berubah menjadi menyisir (s luluh). Tari<br />
kalau mendapat awalan me-, akan berubah menjadi menari (t luluh). Namun karena materi/bahan ajar<br />
dalam Kurikulum 2013 makin miskin, maka hukum ini bisa tidak digubris lagi. Lihatlah : perkosa<br />
kalau mendapat awalan me-, akan berubah menjadi memperkosa (p tidak luluh), padahal seharusnya<br />
adalah “memerkosa” (p luluh). Secara panjang lebar, hal ini sudah diuraikan dalam filsafat<br />
perenialisme (lihat catatan kaki no. 40) di Bab I : Filosofi Pendidikan.<br />
System of knowledge merupakan kegiatan pembelajaran holistik yang memerlukan perangkat<br />
pendukung mengingat keterbatasan waktu penyampaian materi pokok yang sifatnya abstrak di kelas<br />
Perangkat pendukung yang pertama adalah kegiatan yang membuat materi yang abstrak<br />
di kelas itu menjadi riil (membumi), yang dikenal sebagai kegiatan ko-kurikuler. Misalnya guru<br />
Fisika yang mengajar tentang listrik statis dan listrik dinamis, bisa langsung membuat demo tentang<br />
listrik statis (adanya muatan listrik di setiap benda) dan menjelaskan listrik dinamis melalui gambaran<br />
fungsi bendungan dalam PLTA (makin tinggi dinding bendungannya, makin besar energi potensial<br />
air (Energi potensial = mgh), maka kalau pintu bendungan dibuka, air akan terjun mengalir deras<br />
menggerakkan turbin yang ada di bagian bawah dan putaran turbin yang cepat itu akan menghasilkan<br />
listrik (Energi kinetik = ½ mv² ). Namun kegiatan ko-kurikuler ini dalam KTSP Bimtek dan<br />
Kurikulum 2013 dilakukan di rumah sehingga tidak bisa dikontrol siapa pembuatnya. Oleh sebab<br />
itu, perubahan dalam shifting dari pemahaman konseptual ke pemahaman faktual kurang terasa<br />
efektivitasnya (pemahaman siswa hanya sebatas konsep saja, semua rumus dihafal oleh siswa).<br />
Perangkat pendukung yang kedua adalah kegiatan yang membuat materi yang abstrak di<br />
kelas itu menjadi mudah diasosiasikan dalam hidup sehari-hari, yang dikenal sebagai kegiatan intra<br />
kurikuler. Misalnya guru Biologi yang mengajar tentang sistim peredaran darah akan membimbing<br />
133<br />
123
praktikum bedah hewan berdarah panas dan hewan berdarah dingin sehingga siswa dapat melihat<br />
langsung beda sistim peredaran darahnya. Guru Bahasa Indonesia yang akan memperkenalkan<br />
musikalisasi puisi sebaiknya membimbing siswa untuk mencari lagu-lagu Franky and Jane di<br />
YouTube (semua lagunya adalah puisi yang dinyanyikan (tembang puitik), seperti Musim Bunga,<br />
Kepada Angin dan Burung-burung, dll), setelah siswa menemukan “pesan” dari tembang puitik ini,<br />
baru kemudian mencari musikalisasi puisi yang lebih “berat” seperti musikalisasi puisi “Aku”<br />
(Chairil Anwar) di YouTube. Tetapi sayangnya, kegiatan intra kurikuler ini dalam KTSP Bimtek dan<br />
Kurikulum 2013 diubah menjadi kegiatan ko-kurikuler, sehingga efeknya dalam mengasah cara<br />
berpikir induktif dan deduktif kurang terasa manfaatnya karena kekurangan waktu (shifting dari<br />
pemahaman konseptual ke pemahaman prosedural kurang terlihat efektivitasnya) Siswa sukar<br />
menarik kesimpulan dari analisis hubungan antar berbagai fakta yang ada.<br />
Perangkat pendukung yang ketiga adalah kegiatan yang membuat materi yang abstrak di<br />
kelas itu menjadi mudah diaplikasikan dalam hidup sehari-hari, yang dikenal sebagai kegiatan ekstra<br />
kurikuler mata pelajaran/ekskursi (pengamatan di luar kelas). Misalnya guru Ekonomi yang<br />
mengajar tentang beda antara monopoli dan oligopoli, tidak bisa dengan berceramah di kelas, mau<br />
tidak mau, siswa harus ke pasar tradisional dan ke super market. Di pasar tradisional, siswa<br />
mengamati siapa sebenarnya pemasok utama barang-barang yang dijual di sana, dan di super market,<br />
siswa mengamati produk merk apa saja yang dipajang di rak. Tidak sembarang merk bisa masuk ke<br />
super market. Tetapi kegiatan ekskursi ini dalam KTSP Bimtek dihapus dan dalam Kurikulum 2013<br />
diubah menjadi kegiatan ko-kurikuler melalui metode 5 M, sehingga efeknya dalam shifting dari<br />
pemahaman konseptual ke pemahaman meta-kognitif kurang terasa manfaatnya. Siswa sukar<br />
menerapkan pengetahuan yang diperoleh di kelas dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, siswa<br />
belajar tentang konservasi alam dalam Biologi tetapi lingkungan hidup tetap rusak, alam terus<br />
menerus terdegradasi. Atau siswa membuat lubang biopori di daerah yang tidak ada air, lalu yang<br />
mau diresapkan ke dalam tanah itu apa? Oh, nanti menunggu hujan. Kalau begitu jangan<br />
menggunakan biopori, tapi back to nature, alam menyediakan hewan dan tanaman yang bukan sja<br />
membantu peresapan air, bahkan mampu mengikat air, seperti cacing tanah (Ascaris lumbricoides),<br />
jangkrik (Gryllus assimilis), capung (Neurothemis sp.), pohon kelor (Moringa oliefera), pohon<br />
belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L), lamtoro gung/petai cina (Leucaena leucocephala), pinus<br />
(Pinus merkusii), bambu (Bambusa arundinacea) tetapi tidak boleh menanam bunga bougenville<br />
(Bauhinia purpurea L), kelapa sawit (Elaeis gunineensis), cemara (Casuarina equisetifolia) :<br />
tanaman-tanaman yang banyak menghabiskan air tanah dan membuat lingkungan menjadi panas.<br />
Perangkat pendukung yang keempat adalah kegiatan yang membuat materi yang abstrak<br />
di kelas menjadi terinternalisasi dalam diri siswa, yang dikenal sebagai kegiatan anjangsana (kegiatan<br />
124<br />
134
luar sekolah yang memerlukan waktu cukup lama untuk penyelesaiannya). Misalnya guru Agama<br />
mengajar tentang agama sebagai pembawa rahmat kehidupan (rahmatan lil ‘alamin), maka guru itu<br />
tidak bisa berceramah, dia harus meminta muridnya mengamati tetangganya yang petani : panen 30<br />
kuintal beras (3 ton beras), kalau harga gabah itu Rp.6.000 per kg, maka petani itu akan mendapat<br />
Rp 18 juta per panen atau Rp 18 juta per 4 bulan. Berarti pendapatannya sebulan hanya Rp. 4,5 juta,<br />
kalau dikurangi ongkos produksi (beli benih, beli pupuk, beli insektisida, dll), barangkali<br />
pendapatannya hanya sekitar Rp. 1,5 juta per bulan atau Rp 50.000 per hari. Kalau petani itu<br />
mempunyai dua anak yang masih sekolah, bagaimana mencukupkan uang itu untuk uang transport<br />
dua anaknya ke sekolah, uang belanja bagi istrinya dan uang untuk kebutuhan pribadi sang petani<br />
sendiri (beli solar untuk mesin bajaknya dll), lalu siswa diajak merenung : kalau begitu, siapa yang<br />
masih mau jadi petani? Untuk memahami kenapa terjadi urbanisasi, tidak bisa dengan sekali atau<br />
dua kali pengamatan, tapi perlu waktu yang cukup lama : “sementara sang suami mengadu nasib ke<br />
kota, bagaimana si istri bisa bertahan hidup ?”. Maka kesadaran siswa untuk selalu bersandar pada<br />
kerahiman Ilahi, tidak bisa hanya diperoleh melalui kegiatan kognitif pembelajaran Agama di kelas.<br />
(bukan dengan memaksakan masuknya KI 1 dan KI 2 di semua mata pelajaran). Justru<br />
kegiatan anjangsana yang penting untuk mengasah aspek afektif dan aspek kecakapan hidup siswa<br />
ini yang malahan dihapus dalam KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013, sehingga kepekaan sosial siswa<br />
tidak berkembang. Sudah jamak kita lihat, semua anggota keluarga duduk di ruang TV, tapi masingmasing<br />
sibuk dengan gawainya (gadget-nya), tidak mengobrol dan tidak juga menonton TV, padahal<br />
mereka duduk bersama. Bagaimana kepekaan sosial mau dikembangkan bila kemampuan untuk<br />
berkomunikasi menurun drastis. Disinilah terlihat pentingnya kurikulum yang kontekstual<br />
sebagaimana dituntut dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 14 PP No. 19 Tahun 2005.<br />
Penghapusan mata pelajaran IPA di jenjang awal dan TIK pada semua jenjang di Kurikulum 2013<br />
menunjukkan bahwa pemerintah tidak peka pada perkembangan sains dan iptek yang begitu pesat,<br />
yang bisa menyebabkan negeri ini terjajah secara ekonomi dan tergantung secara teknologi dari<br />
negara lain.<br />
Maka dari itu, kompetensi etis menjadi jauh lebih penting dari kompetensi inti 1 (KI-1) 100 .<br />
100<br />
Kecenderungan yang cukup luas untuk menaruh perhatian terlalu berat kepada kebudayaan sebagai sistem nilai<br />
membuat kita cenderung tergesa-gesa mengambil sikap normatif. Bahaya dari pendekatan ini adalah kita<br />
mendepolitisasikan masalah-masalah sosial-ekonomi dan politik dengan mengajukan solusi moral. Seolah-olah<br />
“kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan peradaban” dapat selesai apabila kita melekatkan aneka kecakapan yang<br />
sedang kita pelajari ke kesalehan. Seolah-olah kekerasan remaja hanya perkara moral yang lemah. Korupsi yang ganas<br />
di negeri ini adalah salah satu bukti nyata bahwa tidak selalu ada kaitan langsung antara moralitas dan kesalehan. Lagak<br />
moralis dan saleh tidak akan menjadikan kita bangsa bermoral. Dengan ngeri kita menyaksikan bagaimana orang<br />
menyerang, menindas dan membunuh atas nama kesalehan yang terkunci dalam bingkai penafsiran sempit. (Pidato<br />
Kebudayaan Dr Karlina Supeli : “Kebudayaan dan Kegagapan Kita”, TIM, 11 November 2013)<br />
135<br />
125
Kompetensi etis itu mencakup :<br />
- Compassion (kemampuan berbela rasa) Berempati dan membela mereka yang<br />
termarginalkan, tersingkir dan tertindas. Bila kemampuan bela rasa ini dikembangkan, tidak<br />
akan ada lagi perundungan (bullying) atau memusuhi mereka yang berbeda pendapat<br />
- Kemampuan bekerja sama : masalah dalam dunia modern ini sangat kompleks dan tidak<br />
mungkin dapat dipecahkan sendiri. Jika tidak cekatan, kesempatan akan hilang di tengah<br />
dunia yang lari tunggang langgang. 101<br />
Dalam konteks inilah, pendidikan dapat berfungsi membebaskan, mencerahkan dan<br />
menginternalisasikan nilai-nilai. Pengukuran kompetensi etis ini dalam PBK (penilaian berbasis<br />
kelas) juga jauh lebih mudah dari KI-1 karena kompetensi etis ini sudah dirumuskan pada “18 Nilai<br />
dalam Pendidikan Karakter”<br />
Jadi tugas pokok pendidikan dalam kaitan dengan kompetensi adalah menciptakan<br />
siswa yang mampu berpikir kritis. Untuk itu, sekolah membentuk dalam diri siswa disiplin<br />
dan keteraturan pikiran. Dengan demikian, kurikulum adalah sarana untuk memperkembangkan<br />
dan memperdalam ilmu-ilmu sehingga dunia siswa menjadi semakin diperluas. Dalam arti ini, pada<br />
tempatnya kalau kurikulum sekolah bicara tentang pentingnya “studium generale”, yaitu pengajaran<br />
ilmu-ilmu dasar. Tanpa pemahaman ini, ada bahaya bahwa siswa yang menguasai bidangnya dan<br />
mampu mengerti bidangnya (seturut “nomenklatur” kecerdasan dalam multiple intelligence), tetapi<br />
tidak tahu menempatkan dirinya dalam konstelasi dunia yang utuh. Misalnya, Mayjen (Purn)<br />
Bardosono, selaku Ketua PSSI di era Ore Baru, pernah mewacanakan adanya “sepak bola Pancasila”.<br />
Atau mantan Mendikbud, Prof. Dr.Yahya Muhaimin, dengan disertasi yang berjudul “Bisnis dan<br />
Politik di Indonesia” yang dipertahankan di MIT, ternyata ketahuan menyontek disertasi Dr Richard<br />
Robinson : “Capitalism and Bureaucratic State in Indonesia”, kasus plagiarism ini sudah<br />
dipublikasikan dalam buku “Plagiat-plagiat di MIT, Tragedi Akademis di Indonesia”, yang ditulis<br />
oleh Dr. Ismet Fanany, diterbitkan oleh CV Haji Mas Agung, Jakarta, 1992, dengan ISBN : 979-<br />
412-205-X. Di bagian inilah, kompetensi etis mempunyai peran vitalnya.<br />
Produk pendidikan yang kurang memperhatikan segi mutu ilmiah intelektual akan membahayakan<br />
konstelasi sosial yang ada, sebab masyarakat menjadi semu dengan orang-orang yang berijazah,<br />
tetapi tidak “berilmu”. Sebuah bangsa yang warganya telah kehilangan daya berpikir abstrakimajinatif<br />
dan kreatif tidak mungkin memiliki imajinasi kolektif tentang negara-bangsa.<br />
101<br />
Kaum Cerdik Pandai, Antara Ilmu dan “Ngelmu”, Kompas, Senin 14 Juli 2008 halaman 1<br />
126<br />
136
Jadi kurikulum seyogyanya mengembangkan analisis esensi materi, yaitu bagian tentang<br />
bagaimana kemampuan akademik itu diperoleh, apa syarat-syarat dan bukti-bukti kelulusannya,<br />
sehingga penerapan ilmu itu dapat dibenarkan dan dipertanggung jawabkan. Maka Kemdikbud tidak<br />
bisa menghapus Ilmu Ukur Ruang (Stereometri) dari Matematika, karena konsekuensi lanjutannya<br />
adalah menghapus Ilmu Bumi Falak (astronomi). Ilmu Bumi Falak (astronomi) tidak bisa dipelajari<br />
tanpa mengerti dimensi ruang suatu benda. Begitu juga dengan penghapusan Kimia Analitik, yang<br />
menyebabkan fungsi kimia dalam menganalisa komposisi suatu benda/zat menjadi hilang, akibatnya<br />
kemasan makanan/obat yang mencantumkan komponen kimiawinya menjadi sekedar pemanis etiket<br />
atau brosur. Dihilangkannya Ilmu Pesawat dari Fisika, yang menyebabkan siswa sukar mengerti apa<br />
beda “gaya” dan “daya”, apa kaitan “gerak balistik” dan “gerak rotasi bumi”, dll. Fisika menjadi<br />
sekumpulan rumus-rumus yang perlu dihafal sampai muncul buku “Kumpulan Rumus-rumus<br />
Fisika”. Adanya lompatan logika dalam Biologi pada Kurikulum 2013, yang menyebabkan rantai<br />
makanan sukar dipahami keterkaitannya dengan perubahan iklim (climate change) dll. yang hanya<br />
menjadikan sains nir makna. Misalnya, penghapusan Kimia Analitik dari silabus Kimia akan<br />
menjadikan Kimia eksperimental itu menjadi Kimia sastra, karena siswa tidak lagi bisa menentukan<br />
kadar suatu zat (kadar perak dalam cincin emas yang dikenal sebagai karat akan dihafal). Tanpa<br />
belajar Ilmu Pesawat, siswa akan bingung kenapa kalau dia berdiri di rel kereta, suara kereta yang<br />
akan lewat tidak terdengar, sehingga dia bisa tertabrak kereta, Fisika hanya menjadi kumpulan dalil<br />
dan aksioma.<br />
Dalam kaitan dengan kompetensi ini, Indonesia mempunyai sejarah gemilang pada aplikasi<br />
Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, dan Kurikulum 1984, serta awal Kurikulum 1994, ketika<br />
kurikulum kita menjadi rujukan bagi negara lain karena menjunjung tinggi kebebasan mimbar<br />
akademik (seperti yang sekarang berlaku bagi dunia perguruan tinggi), dan ijazah kita diakui di luar<br />
negeri karena kompetensi para guru kita juga memenuhi kualifikasi akademik yang “mumpuni”<br />
sehingga diminta melalui perjanjian G to G untuk mengajar di negara lain.<br />
Semuanya merosot sejak pemerintah mengupayakan :<br />
- Penyederhaan waktu tempuh studi di FKIP/IKIP, dari 5 tahun menjadi 4 tahun, yang<br />
kemudian dilanjutkan dengan pembubaran IKIP di seluruh Indonesia<br />
Beberapa mata kuliah penting ikut dihapus : Filsafat Pendidikan, Manajemen Berbasis Kelas,<br />
Praktek Mengajar dan penyederhaan praktikum (dari praktikum perorangan menjadi<br />
praktikum beregu, dari praktikum seminggu sekali menjadi praktikum dua minggu sekali)<br />
Sementara profesi lain menambah rentang studinya, calon guru justru studinya<br />
diperpendek. S.Ked (Sarjana Kedokteran) tidak bisa serta merta menangani pasien, dia<br />
137<br />
127
harus menempuh pendidikan lagi untuk dapat dilantik sebagai dokter. SH (sarjana hukum)<br />
tidak bisa langsung berdiri membela terdakwa di pengadilan, dia harus menempuh pendidikan<br />
lanjutan untuk dapat menjadi advokat (pengacara). Tapi anehnya pendidikan untuk calon<br />
guru yang akan mempengaruhi masa depan bangsa justru diperpendek dan IKIP justru<br />
dibubarkan. Para instruktur yang hanya mendengar pelatihan selama 2 atau 3 hari,<br />
sekonyong-konyong merasa mampu untuk mencampuri tupoksi dari LPMP dan mengubah<br />
kebebasan prinsip otonomi pendidikan menjadi hegemonik.<br />
Terjadi pendangkalan (cult of philistinism) dalam bidang didaktik dan pedagogik.<br />
- Perubahan dari SMP menjadi SLTP, dan SMA menjadi SMU yang membawa konsekuensi<br />
ciri khas sekolah menjadi hilang, karena sifatnya yang umum, semuanya serba sama, baik<br />
dalam seragam sekolah maupun dalam proses pembelajaran di kelas<br />
- Pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam di tingkat nasional mengabaikan tumbuhnya<br />
kebebasan mimbar akademik 102 Bukan hanya implementasi kurikulumnya sama (Silabusnya<br />
seragam, dan juga buku ajar/materi/sumber belajar, serta proses pembelajaran dibuat uniform<br />
(buku pegangan guru, bahkan sampai ke metode pengajaran semuanya sama), lengkap dengan<br />
pengawasan tahapan implementasi itu oleh Pengawas (lihat Catatan kaki No.4)<br />
- Penghapusan Direktorat Pendidikan Swasta sehingga anggaran pemerintah membengkak<br />
(mengurus guru PNS yang diperbantukan ke sekolah swasta, dan dana BOS untuk sekolah<br />
swasta, padahal sebelumnya sekolah swasta itu swadana dan swakelola, tidak membebani<br />
pemerintah, bahkan menjadi pembayar pajak yang kontinu). Akibatnya pemerintah terbebani<br />
pula dengan urusan administratif karena jumlah guru di sekolah swasta itu jauh lebih besar<br />
dari guru PNS. Oleh karenanya pemerintah sibuk dengan urusan administratif (Dapodik,<br />
Padamu Negeri) sehingga tidak sempat memikirkan dan menyusun SPM dan MBS<br />
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas (SPM yang sudah disusun<br />
hanya menyangkut persyaratan minimal kelengkapan sarana dan prasarana sekolah) 103<br />
Apalagi mengembangkan kurikulum, kurikulum kita justru makin miskin, baik dari segi<br />
materi pelajaran, maupun dari didaktik-metodik (banyak guru tidak lagi tahu beda antara<br />
metode, strategi dan model pembelajaran dan kapan masing-masing hal itu boleh diterapkan)<br />
Hal ini makin dipersempit melalui penerapan metode tunggal : metode pendekatan saintifik<br />
(5 M) pada Kurikulum 2013, padahal masih ada begitu banyak metode, strategi dan model<br />
pembelajaran dengan kegunaan yang bervariasi.<br />
102<br />
Kewajiban pemerintah sudah digariskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas : hanya sebatas menentukan Kerangka<br />
Dasar dan Struktur Kurikulum, seperti pada kurikulum-kurikulum sebelumnya<br />
103<br />
SPM yang top down hanya berisi persyaratan minimal kelengkapan proses belajar-mengajar : Permendikbud No.<br />
128<br />
23 Tahun 2013<br />
138
- KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013 terlalu bertumpu pada pengembangan otak<br />
kiri. KTSP Bimtek (2008) bertumpu pada ketuntasan kognisi yang diukur dari ketercapaian<br />
KKM, sedangkan Kurikulum 2013 bertolak dari pengembangan kecerdasan intelektual dan<br />
kecemerlangan akademik (Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A<br />
No. 3). Padahal Kurikulum 1975 sudah memasukkan penyeimbangan otak kanan dan otak<br />
kiri (lihat kajian sejarah pendidikan Indonesia di Bab II Pendidikan vs Persekolahan).<br />
Akibatnya pemahaman guru dan siswa dalam estetika menjadi minim. Susunan dan suasana<br />
kelas nyaris sama di seluruh Indonesia, dinding kosong dan lingkungan yang kering.<br />
Dari diagram di atas, nampak jelas bahwa Kemdikbud terlalu fokus berpijak pada otak kanan<br />
(penyatuan kurikulum, intuisi untuk bersandar pada KBK dan bukan inspirasi yang mengacu<br />
pada Nawa Cita No.5, imajinasi untuk peningkatan kompetensi siswa dan bukan pada analisa<br />
hasil UKG dan analisa hasil uji kompetensi Pengawas, dll), padahal Kurikulum 2013 berpijak<br />
pada otak kiri (Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II A No.3 : pendidikan<br />
ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik)<br />
Hasilnya adalah kebingungan :<br />
* Membedakan makna harafiah “kurikulum” dengan makna didaktis pedagogis “kurikulum”<br />
*Rumusan kompetensi dan tingkat kompetensi, kompetensi generik dengan KI dan<br />
kompetensi spesifik dengan KD itu rancu<br />
*SOLO Taxonomy tidak disertai dengan penilaian rubrik, tetapi tetap memakai Soal Pilihan<br />
Ganda<br />
*Sistim evaluasi berkali-kali diubah, tanpa menyertakan monitoring proses belajar<br />
- Desentralisasi pendidikan yang menyebabkan pemerintah pusat cq Kemdikbud tidak punya<br />
tangan lagi ke Dinas Pendidikan Propinsi (yang merupakan aparat Gubernur) dan Dinas<br />
Pendidikan Kabupaten/Kota yang merupakan aparat Bupati/Walikota). Akibat kebijakan<br />
yang berbeda-beda yang diambil masing-masing daerah, pendidikan menjadi subordinasi<br />
139<br />
129
kepentingan politik penguasa di daerah, yang perlu dimobilisir saat Pilkada, maka<br />
kemerosotan pendidikan makin menurun tajam (lihat hasil survey berbagai lembaga<br />
internasional tentang kualitas pendidikan kita pada bagian akhir dari Bab Pendahuluan)<br />
Nampaknya pemerintah ingin menyentralisasi kembali dunia pendidikan ini melalui :<br />
o pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam di tingkat nasional, mengabaikan azas<br />
diversifikasi kurikulum<br />
o pembentukan Ditjen Pendidik dan Tenaga Kependidikan, tanpa merevisi UU otonomi<br />
Daerah, padahal para guru ada dibawah “kendali” BKD (Badan Kepegawaian Daerah)<br />
cq Bupati/Walikota<br />
Maka untuk meningkatkan kompetensi pengawas, guru dan siswa, yang pertama-tama harus<br />
dilakukan adalah mengkaji ulang sejarah pendidikan kita. Dengan demikian, kita bukan saja akan<br />
mendapat gambaran degradasi kurikulum kita dari waktu ke waktu, namun juga akan melihat tidak<br />
adanya road map apa yang hendak kita kejar dengan anggaran 20% dari APBN itu, dan efek jangka<br />
panjang dari suatu keputusan sesaat (pembubaran IKIP dan penghapusan program Akta IV (diganti<br />
dengan Diklat sertifikasi (3 hari) yang hanya menyuburkan semangat konsumerisme dan konsumtif<br />
para guru). Kemdikbud yang digembar-gemborkan telah membuat road map pendidikan Indonesia<br />
untuk mengantisipasi bonus demografi melalui RPJM, ternyata tidak menjawab tantangan yang<br />
paling mendasar yaitu banyaknya materi uji yang ditanyakan dalam TIMSS dan PISA yang tidak<br />
terdapat dalam kurikulum Indonesia 104 (lihat hasil survey berbagai lembaga internasional tentang<br />
makin merosotnya kualitas pendidikan kita sampai ke titik nadir, di bagian akhir Bab Pendahuluan)<br />
Kita semua sadar bahwa pendidikan adalah kunci penting untuk peningkatan harkat dan<br />
martabat bangsa, namun mengapa kita terus terpuruk, juga dalam masalah moral dan etika. Kuncinya<br />
adalah : kita tidak membangun masyarakat pembelajar.<br />
Ketika Peter Senge (1990) mengeluarkan bukunya Fifth Dicipline banyak orang terhenyak dan<br />
menyadari betapa mereka hanya berkonsentrasi pada upaya mengajar tetapi tidak berfokus pada<br />
pembelajaran. Kitapun terhenyak bila melihat bahwa pembelajaran yang kita hasilkan sesudah<br />
merdeka ini kalah oleh negara tetangga yang pernah mengimpor guru dan dosen dari Indonesia. Kita<br />
sangat menyadari bahwa sebenarnya pembelajaran, yang tidak selamanya merupakan hasil dari<br />
sekolah dan universitas, banyak gagal ketika kita tahu bahwa mayoritas penduduk masih mau<br />
menelan nilai-nilai yang tidak produktif dan positif, serta ”awareness” yang kurang terhadap<br />
kemanusiaan, lingkungan, moral dan etika yang pada akhirnya membawa perlambatan<br />
104<br />
Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal, yang diulang pada<br />
Lampiran Permendikbud No. 68 Tahun 2013 dan Lampiran Permendikbud No. 69 Tahun 2013<br />
130<br />
140
pembelajaran, kalau tidak sampai pada pembodohan . Misalnya semua orang sibuk berbelanja<br />
gadget (gawai) meskipun tidak menguasai teknologinya. Bagaimana ekonomi Indonesia akan<br />
membaik kalau penduduk suka berbelanja (kurang menabung) sehingga korupsi meraja lela karena<br />
orang sibuk menutupi ”besar pasak dari tiang”. Bagaimana moral dan etika dapat dibangun bila para<br />
anggota keluarga sibuk bermain gadget meskipun duduk bersama (tidak ada komunikasi meskipun<br />
duduk berhadapan)? Pembaruan harus dimulai dari jenjang pendidikan dasar, celakanya justru di<br />
pendidikan dasar, pemerintah merusak system of knowledge dari IPA dan Komputasi (TIK).<br />
Menurut Francis Fukuyama, kalau mau bersaing secara global, sekolah harus mempunyai<br />
keunikan tersendiri (harus bisa menunjukkan keunggulannya dibandingkan dengan sekolahsekolah<br />
internasional yang makin menjamur) Banyak sekolah yang berkilah bahwa keunggulannya<br />
adalah dalam terapan aspek humaniora (disiplin, kejujuran, empati pada kelompok yang kurang<br />
beruntung, dll) namun masalahnya semua hal itu tidak terukur sehingga hanya berhenti sebagai<br />
slogan. Misalnya suatu sekolah menunjung tinggi nilai kejujuran tapi nyatanya kantinnya tetap dijaga<br />
(tidak ada kantin kejujuran) atau ulangan tetap dijaga. Dengan kata lain, pendidikan karakter di<br />
sekolah-sekolah tidak terintegrasi dalam program penilaian hasil belajar sehingga tidak sejalan<br />
dengan ketentuan dalam Lampiran 1 (untuk SD), Lampiran 2 (untuk SMP) dan Lampiran 3 (untuk<br />
SMA/SMK) dari Permendiknas No.23 Tahun 2006, serta Pasal 3 ayat 2 Permendiknas No. 39<br />
Tahun 2008 yang meminta sekolah memformulasikan pendidikan karakter itu secara<br />
kuantitatif (terukur). Yang muncul kemudian adalah tempelan Pendidikan karakter dalam<br />
kurikulum melalui Permendikbud No. 23 Tahun 2015 (Kompas, Kamis 23 Juli 2013 halaman 12 :<br />
Budi Pekerti – Nilai “Ditempelkan Tanpa Rasionalitas”). Akibat permendikbud ini yang<br />
mewajibkan para orang tua untuk mengantar anaknya sampai ke ruang kelas, maka pada hari pertama<br />
masuk sekolah tanggal 27 Juli 2015 yang lalu, di sejumlah tempat, orang tua berebutan bangku untuk<br />
anak-anaknya. Mereka menduduki bangku di kelas terlebih dahulu, seperti para calo di gerbong<br />
kereta jaman dulu. Itulah pelajaran budi pekerti pertama untuk anak-anak : saling serobot (Kompas,<br />
Minggu 2 Agustus 2015 halaman 13 : Udar Rasa – Akal Sehat)<br />
Pendidikan karakter ini bukan penilaian sesaat sehingga tidak tergolong dalam evaluasi hasil<br />
belajar. Tapi pendidikan karakter ini harus selalu dimonitor terus menerus sehingga termasuk dalam<br />
proses monitoring proses belajar yang berwujud pada PBK (Penilaian Berbasis Kelas). Karena<br />
pendidikan karakter itu tergolong dalam penilaian proses, maka penilaiannya tidak bisa diterabas,<br />
penilaian itu bukan ilusi (bahwa anak yang pandai itu sekaligus diharapkan akan menjadi anak yang<br />
saleh. Belum tentu. Ada proses yang harus dilalui). “Dunia entertainment memberi andil,<br />
bagaimana ilusi menjadi imajinasi. Di televisi, orang tua mendorong anak-anaknya untuk jadi<br />
penyanyi, penari, pelawak, dan lain-lain pelaku dunia hiburan. Realitas gadungan dunia<br />
141<br />
131
entertainment telah membuat ilusi melampaui kenyataan sehari-hari, melampaui kesadaran bahwa<br />
sejatinya ada yang tak bisa ditinggalkan dalam penjadian seseorang, yakni proses”. (Kompas,<br />
Minggu 2 Agustus 2015 halaman 13 : Udar Rasa – Akal Sehat).<br />
Masalahnya banyak guru tidak familiar dengan PBK (rapor lembar kedua pada rapor<br />
Kurikulum 2013) sehingga penilaian pendidikan karakter ini dilakukan secara manual dan subyektif<br />
(tidak computerized), oleh karenanya kompetensi siswa hanya diukur melalui capaian pemahaman<br />
kognitif melalui nilai ulangan (UH, UTS dan UAS), serta capaian nilai ketrampilan/psikomotor (nilai<br />
tugas : nilai proyek dan nilai praktek) saja, nilai afektif (pendidikan karakter) itu dikarang.<br />
Pendidikan holistik dan penilaian pendidikan holistik masih belum terumuskan dengan baik dan<br />
terukur. Kenapa ? Karena Indikator Keberhasilan belum terumuskan dengan baik. Indikator<br />
Keberhasilan itu seharusnya ada di Silabus, sedangkan Silabus dalam Kurikulum 2013 sudah dibuat<br />
oleh pemerintah cq Kemdikbud. Celakanya dalam Silabus yang dibuat oleh pemerintah itu tidak<br />
mencantumkan adanya Indikator Keberhasilan sehingga Silabusnya tidak berbeda dengan Silabus<br />
KBK (2004). Lalu selama bertahun-tahun setelah KBK (2004), dalam Kurikulum 2006 dan KTSP<br />
Bimtek(2008), para guru diwajibkan untuk mengembangkan Silabus sesuai tuntutan Standar Proses<br />
dalam Kurikulum 2006, dan KTSP Bimtek (2008). Semuanya hilang dalam Kurikulum 2013, seolaholah<br />
sesuatu yang baru. Apa akibatnya? Karena Indikator keberhasilan terkait dengan perumusan<br />
materi uji (soal test), maka soal test dalam Kurikulum 2013 menjadi tak terkait dengan target<br />
kurikulum, sehingga program penilaiannya membingungkan (Program penilaian dalam Kurikulum<br />
2013 ini berkali-kali diubah : lihat Permendikbud No.66 Tahun 2013, lalu Lampiran IV<br />
Permendikbud No.81 A Tahun 2013, dan terakhir Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen<br />
Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014 yang secara matematis kesemuanya salah)<br />
Dengan kata lain, Kurikulum 2013 mencampur adukkan proses belajar dan evaluasi hasil belajar.<br />
Misalnya : Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas X SMA<br />
SK 1 : Memahami yang tersirat dari siaran/cerita yg disampaikan langsung/tidak langsung 105<br />
KD 1.1 : Siswa dapat menyusun kronik 106<br />
Indikator 1.1.1.: Siswa dapat menyusun buku harian (diary) secara runtut<br />
Indikator Keberhasilan 1.1.1. : Siswa dapat membuat jadwal kegiatan yang rinci sepanjang<br />
hari selama 1 minggu dan menceritakan secara ringkas apa yang sudah dilakukan<br />
Tugas praktek : Membuat resume (misalnya membuat ringkasan setelah membaca buku<br />
harian Raditya Dika : Kambing Jantan, yang sudah diterbitkan Gramedia dan sudah<br />
105<br />
Perumusan SK mengacu pada Kurikulum 2006 dan bagaimana merumuskan SK yang terdiri atas penggabungan<br />
kata kunci KI pada Kurikulum 2013 dan SK pada Kurikulum 2006, dapat dilihat di Bab I : Filosofi Pendidikan<br />
106<br />
KD yang hilang dari kurikulum (lihat caranya mencari KD yang hilang tersebut dalam Bab I : Filosofi Pendidikan)<br />
132<br />
142
dibuat filmnya)<br />
Tugas Proyek : Membaca buku harian yang paling terkenal di dunia : The Diary of Young<br />
Girl oleh Anne Frank, yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan<br />
judul “Buku Harian Anne Frank”, filmnya juga bisa dilihat di YouTube, lalu<br />
menceritakannya kembali secara singkat sehingga teman-temannya yang belum sempat<br />
membacanya mendapat gambaran bahwa disamping menyimpan heroisme, perang juga<br />
selalu menyisakan kepedihan.<br />
Dengan demikian, setelah 1 minggu, siswa dapat membedakan apa itu kronik (chronicle), kronologi<br />
dan grafis informasi (infografis) – siswa dapat melanjutkan ke KD berikutnya karena telah menguasai<br />
KD 1.1. : siswa telah kompeten (kompetensi siswa terukur) karena telah melewati proses untuk<br />
memahami apa yang tersirat (bukan hanya yang tersurat).<br />
Kompetensi siswa dapat diukur kalau silabus dikembalikan ke wewenang guru sebagaimana<br />
disebut dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005. Selama silabus dibuat oleh pemerintah seperti pada<br />
Kurikulum 2013, selama itu pula pengukuran kompetensi siswa akan selalu kacau, karena rangkaian<br />
logikanya terputus, bahkan besar kemungkinan, para guru tidak bisa membedakan makna harafiah<br />
“kurikulum” dengan makna didaktis-paedagogis “kurikulum”, serta tidak bisa lagi membedakan<br />
kompetensi dan tingkat kompetensi, yang sudah diuraikan secara panjang lebar di Bab I Filosofi<br />
Pendidikan.<br />
Jadi kompetensi (kemampuan) inti yang harus dikuasai siswa :<br />
- bukan berupa KI 1 (sikap spiritual), KI 2 (sikap sosial), KI 3 (pengetahuan) dan KI 4<br />
(ketrampilan) yang tidak koheren dengan rumusan KD-nya<br />
- tetapi berupa 6 kompetensi) inti yaitu : berpikir kritis dan solutif<br />
kolaborasi dan komunikasi<br />
kreatif dan imajinatif<br />
menjadi warga negara yang baik<br />
literasi digital<br />
kemampuan memimpin<br />
namun keenam kompetensi (kemampuan) ini kerap luput dalam pembahasan Kurikulum 2013<br />
Ada kecemasan, bila guru kreatif mengembangkan metode pembelajaran, akan dinilai tidak sesuai<br />
standar oleh pihak yang lebih tinggi (Pengawas dan Dinas Pendidikan). Dampaknya, murid tidak<br />
mampu berinovasi. (Gumawang Jati, ITB, dalam lokakarya Core Skill yang diselenggarakan oleh<br />
GESS Indonesia (Global Education Service and Solution ) pada hari Jumat 2 Oktober 2015 yang lalu.<br />
Bahaya serius yang lain adalah sikap menutup diri dari sekolah swasta yang berciri khas<br />
keagamaan, setelah kompetensi siswanya menurun. Mereka berkilah, perguruan swasta yang berciri<br />
143<br />
133
khas keagamaan itu lebih menitik beratkan pada pendidikan humaniora. Lagak sok moralis ini hanya<br />
menunjukkan kegagapan sekolah swasta dalam menghadapi perubahan (Catatan kaki No.92+ No.100<br />
Hal ini mengingkari :<br />
1. Hakekat sekolah swasta yang berciri khas keagamaan, yang berazaskan pendidikan berbasis<br />
masyarakat, dengan dasar hukum Pasal 1 ayat 16 UU No.20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) :<br />
“Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan<br />
kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan<br />
pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat”, dan Pasal 55 ayat 1 UU Sisdiknas :<br />
“Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan<br />
formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk<br />
kepentingan masyarakat”.<br />
2. Dari rincian dasar hukum di atas, nampak jelas bahwa eksistensi sekolah swasta berciri khas<br />
keagamaan itu adalah “untuk masyarakat” , bukan untuk kelangsungan eksistensi dirinya<br />
sendiri. Lalu apa kepentingan masyarakat? “Memperoleh pendidikan yang bermutu, yang<br />
kualitasnya dijamin oleh negara”, sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 11 : “Pemerintah dan<br />
Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin<br />
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”<br />
3. Dengan demikian, bila sekolah swasta yang berciri khas keagamaan mengingkari tanggung<br />
jawabnya untuk memberikan layanan pendidikan yang bermutu, dan kemudian lebih<br />
menekankan pada pendidikan humaniora, maka sekolah swasta yang berciri khas keagamaan<br />
itu sebenarnya sudah bergeser jati dirinya dari “lembaga pendidikan berbasis masyarakat”<br />
menjadi “lembaga pendidikan keagamaan” sesuai dengan ketentuan Pasal 30 ayat 2 UU<br />
Sisdiknas : “Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota<br />
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya”. Sebagai<br />
konsekuensi dari perubahan orientasi pendidikan ini, dari “sekolah swasta yang bermutu”<br />
menjadi “sekolah swasta berbasis humaniora” (nilai-nilai luhur agama dan kemanusiaan),<br />
maka sekolah swasta yang berciri khas keagamaan itu bisa ditinggalkan oleh konsumennya,<br />
yang menuntut pendidikan yang bermutu sesuai dengan sejumlah uang yang dibayarkannya.<br />
Sekolah swasta tidak boleh bermain-main dengan visi dan misinya (untuk turut serta<br />
mencerdaskan kehidupan bangsa), sehingga dapat mempertanggung jawabkan dana BOS dan<br />
tunjangan sertifikasi guru yang telah diterimanya, yang nota bene merupakan uang rakyat.<br />
Pengembangan inovasi adalah salah satu prasyarat untuk dapat memanfaatkan bonus demografi yang<br />
akan terjadi antara tahun 2010 dan 2030, ketika penduduk usia produktif merupakan proporsi<br />
134<br />
144
terbanyak dari populasi Indonesia. Prasyarat lainnya adalah memperbaiki kualitas pendidikan<br />
melalui peningkatan kompetensi generasi muda sesuai dengan Nawa Cita No.5<br />
Untuk memperbaiki fondasi ekonomi, Jokowi mencanangkan 16 komitmen ekonomi dalam<br />
Nawacita. Salah satunya adalah peningkatan kualitas SDM dengan pendidikan 12 tahun.<br />
Pertanyaannya, apakah kita mampu menjalankan 15 komitmen ekonomi dengan pendidikan hanya<br />
12 tahun? Bagaimana mungkin kita menargetkan pendidikan hanya sampai 12 tahun, sementara<br />
fakta menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara penduduk yang pendidikannya kurang maju<br />
dengan kemampuan berinovasi. Tak mungkin kita bisa meraih bonus demografi dengan hanya<br />
mengandalkan pendidikan 12 tahun. Perlu ada program ekstra mengingat kondisi faktual SDM kita.<br />
Sampai Sensus tahun 2010, hampir 70 persen penduduk berpendidikan SMP kebawah, yang<br />
berpendidikan SLTA tidak sampai 30 persen. Selain kualitas SDM yang rendah, komitmen<br />
pemerintah dalam mendorong kemampuan penduduk untuk berinovasi juga rendah. Terlihat dari<br />
nilai investasi Indonesia di bidang penelitian yang hanya 0,08 persen dari PDB, sementara Korea<br />
Selatan, investasinya hampir 4 persen.<br />
Pada akhirnya, yang bisa dilakukan Indonesia dalam kondisi sekarang adalah memperkuat<br />
kelemahan modal manusia dengan bertumpu pada peningkatan ketrampilan dan kompetensi<br />
penduduk pada umumnya. Salah satu upayanya adalah memperluas pendidikan yang menghasilkan<br />
tenaga kerja trampil melalui program diploma (D-3) dan S-1, serta secara selektif mengembangkan<br />
pendidikan tinggi. Ada banyak potensi dan nilai strategis Indonesia, ia tidak menjadi apa-apa<br />
bila tidak dikelola oleh mereka yang kompeten. (Kompas, Selasa 6 Oktober 2015, halaman 7 :<br />
Menimbang Masa Depan).<br />
Justru dalam rumusan kompetensi inilah titik lemah dari Kurikulum 2013. Rumusan<br />
Kompetensi Inti tidak memenuhi kriteria pengembangan daya saing siswa sebagaimana sudah<br />
dirumuskan guru besar Harvard, Tony Wagner : From The Global Achievement Gap: Why Even Our<br />
Best Schools Don’t Teach The New Survival Skills Our Children Need—And What We Can Do About<br />
It (Basic Books, 2008) dan tidak memenuhi kriteria GESS (Global Education Service and Solution)<br />
sebagaimana sudah diuraikan di atas.<br />
Dengan kata lain, pemaksaan penerapan Kurikulum 2013 saat ini sungguh-sungguh tidak sejalan<br />
dengan Nawa Cita No.8 : “akan menata kembali kurikulum pendidikan nasional dengan<br />
mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan” Ada bahaya, kegagalan “revolusi mental”<br />
bisa ditimpakan ke jajaran Kemdikbud, karena Kemdikbud hanya sibuk dengan visi dan misinya<br />
sendiri (terus memaksakan penerapan barang basi (Kurikulum 2013 yang sebenarnya berbasis KBK)<br />
bikinan rezim yang lama, dan abai pada visi Presiden (Nawa Cita), lupa pada Pidato Presiden saat<br />
pelantikan para menteri Kabinet Kerja tanggal 27 Oktober 2014 : “Para menteri mesti mengutamakan<br />
145<br />
135
visi dan misi Presiden, bukan menjalankan visi dan misi kementeriannya sendiri” Jadi, penataan<br />
kembali kurikulum pendidikan nasional mutlak harus dilakukan (lihat Nawa Cita No.8)<br />
Kenapa kompetensi dan tingkat kompetensi ini kurang diperhatikan oleh Puskurbuk<br />
Kemdikbud? Karena suburnya kelompok pseudo nalar (iklim akademik semu yang memuja<br />
formalisme gelar) dalam jajaran Kemdikbud yang pelan-pelan mengubah lembaga pendidikan<br />
(sekolah) menjadi tempat pemujaan gelar akademik. Semua guru memang sudah bergelar sarjana,<br />
tapi dibina untuk menjadi sekedar robot (guru hanya tinggal menyusun RPP saja, lupa pada Pasal 77<br />
M PP No.32 Tahun 2013) Sekolah hanya disibukkan dengan pengisian Dapodik dan mengejar<br />
tunjangan sertifikasi yang tak terkait dengan kompetensi atau kinerja guru, tapi sangat terkait dengan<br />
ijazah atau gelar akademik yang didapat. Guru yang berpengalaman menyusun kurikulum dan<br />
mengajar selama puluhan tahun dikalahkan oleh sekelompok orang muda yang merasa berkompeten<br />
menjadi instruktur, meskipun mereka tidak pernah berinter aksi di ruang-ruang kelas pendidikan<br />
dasar dan menengah (hanya sekedar mengajar di perguruan tinggi dan tidak menulis di jurnal-jurnal<br />
ilmiah internasional). Para empu kesenian dan sosiologi yang tak bergelar dianggap tidak layak<br />
berbagi ilmu (mengajar). Dilain pihak, para “ahli” di jajaran birokrasi Kemdikbud, bukannya sibuk<br />
dengan riset dan terbuka pada pengetahuan baru, pada ciptaan akal budi yang mencerahkan agar<br />
generasi muda kita dapat menghadapi MEA 2015 dan APEC 2020, tapi malah sibuk dengan masalah<br />
administrasi dengan pendekatan kekuasaan. Lihatlah narasi Direktur Pusat Pengembangan dan<br />
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan IPA, Kemdikbud, Sudiono, yang meminta guru<br />
tak mengkhawatirkan perolehan nilai dalam Uji Kompetensi Guru. Hasil UKG tidak akan<br />
mempengaruhi apapun kecuali menjadi dasar pemberian program pengembangan kompetensi<br />
(Kompas, Rabu 11 November 2015 halaman 11)<br />
- Terminologi “uji” dan “uji kompetensi” sudah kehilangan maknanya. Terjadi pemujaan pada<br />
pendangkalan (cult of philistinism) secara masif dan terstruktur<br />
- Hasil UKG hanya akan menelurkan proyek baru yaitu diklat baru, lalu diklat yang sudah<br />
diselenggarakan saat sertifikasi guru dulu itu untuk apa?<br />
- Kita hanya menghargai gelar, bukan isi kepala. Memang semua guru sudah bergelar S-1 tapi<br />
tidak ada tuntutan apapun dari Kemdikbud agar para guru itu lolos UKG<br />
Kita menutup mata pada hasil implementasi Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 (guru hanya tinggal<br />
menyusun RPP) yang tercermin pada hasil UKG 2015 yang kesulitan dijawab guru. Kalau gurunya<br />
tidak kompeten, bagaimana dengan murid-muridnya yang harus menghadapi MEA 2015 dan APEC<br />
2020? Produk pendidikan yang kurang memperhatikan segi mutu ilmiah intelektual akan<br />
membahayakan konstelasi sosial yang ada, sebab masyarakat menjadi semu dengan orang-orang<br />
yang berijazah, tetapi tidak “berilmu”<br />
136<br />
146
BAB V<br />
Kompetensi vs Penilaian<br />
Banyak yang terkaget-kaget dengan perubahan baru dalam dunia pendidikan kita :<br />
(1) Setiap anak SD harus naik kelas, bukan saja akibat penerapan Wajib Belajar, tapi yang lebih<br />
penting adalah penerapan Multiple Intelligence sejak dini (Tidak ada anak yang bodoh atau<br />
pintar, yang ada adalah anak yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan).<br />
Jadi anak hanya perlu mengulang (remedial) untuk mata pelajaran yang belum dikuasainya.<br />
Bila ditambah dengan perubahan konversi nilai rapor menjadi IP, bukankah hal ini merupakan<br />
cikal bakal dari penerapan SKS di SD ? (EDUCARE No.6/IV/2007 halaman 36-38 :<br />
“SEHABIS KTSP LALU APA? SKS!”).<br />
(2) Perubahan rumus KKM dengan dihapuskannya tes masuk ke SMP dan dibukanya penjurusan<br />
sejak awal di SMA (Intake sekarang diambil dari rerata nilai ulangan pertama di kelas VII di<br />
SMP atau kelas X di SMA). Lalu untuk mudahnya KKM ditetapkan melalui kesepakatan<br />
Dewan Guru (tidak lagi dihitung berdasar ranah Indikator) sehingga KKM kehilangan<br />
konteksnya dengan esensi materi.<br />
Oleh sebab itu, sungguh menarik untuk membaca berita : “Wapres, Perbaiki Kurikulum 2013 –<br />
Kemdikbud dinilai Lamban Melatih Guru” (Kompas, 24 Januari 2014 hal.12), dimana Wapres<br />
mengakui, masih ada sejumlah persoalan dan kekurangan dalam Kurikulum 2013 ini, terutama terkait<br />
penilaian guru terhadap peserta didik. Mencermati berita ini, nampak bahwa permasalahan<br />
kurikulum dipersempit menjadi kekurang pahaman pada prosedur penilaian (evaluasi hasil belajar).<br />
Kalau masalahnya hanya dilihat pada penguasaan metode evaluasi hasil belajar, maka ada tiga<br />
kemungkinan yang terjadi : pedoman penilaian yang digariskan Kemdikbud itu salah secara<br />
substansi, para penatar tidak tahu apa yang harus dinilai, atau para guru menerapkan paradigma<br />
model penilaian lama dalam KTSP Bimtek (2008) untuk diterapkan pada sesuatu yang baru pada<br />
Kurikulum 2013.<br />
A. Pedoman Penilaian Salah Secara Substansi<br />
Kalau kita menyimak halaman 38 Buku Pedoman Penilaian yang digariskan Balitbang<br />
Kemdikbud atau Pedoman Penilaian yang dikeluarkan MKKS , atau rumus dari Puskurbuk<br />
Balitbang Kemdikbud, ada 4 kesalahan mendasar :<br />
1. Kesalahan pertama adalah pada konversi nilai : Konversi nilai dari 0-100 menjadi IP : 0-4<br />
memunculkan masalah rumus konversi.<br />
147<br />
137
Pada Buku Pedoman Penilaian Balitbang Kemdikbud tertulis : Rumus konversi = Nilai/100<br />
x 4 atau Nilai/25, dengan contoh Nilai : 80, IP-nya = 80/100 x 4 = 3,20 atau 80/25 = 3,20<br />
dengan predikat B+<br />
Sedangkan dalam pedoman MKKS tertulis : Nilai 80, IP-nya = 3, tanpa menyertakan rumus konversi<br />
(dengan asumsi IP : 2,66 setara capaian daya serap 71% atau KKM : 71 itu setara predikat C. Maka<br />
asumsi kalau IP : 2,66 setara dengan daya serap 75% atau KKM-nya tetap 75 itu salah, karena berarti<br />
nilai 80 ≠ IP : 3). Ada pula rumus yang diajukan oleh Puskurbuk Balitbang Kemdikbud yang<br />
menyatakan bahwa guru tidak usah mengkonversi nilai, cukup membuat soal dengan jumlah<br />
kelipatan 4, jadi kalau soal = 40, maka kalau siswa salah menjawab di 10 soal, nilainya: 3. Hal terbaru<br />
adalah rumus yang diajukan oleh Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen melalui Peraturan Bersama<br />
Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No. 5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014 dengan rumus : N<br />
= n/4 x 10 (untuk angka satuan) dan N = n/4 x 100 (untuk angka puluhan)<br />
Sudah tentu keempat pedoman di atas salah karena :<br />
(a) kalau mengikuti rumus Balitbang Kemdikbud (hal.38 Buku Pedoman Penilaian) : bila Nilai<br />
= 50, maka konversinya adalah 50/100 x 4 = 2 atau 50/25 = 2 dengan predikat C, artinya<br />
siswa bisa langsung lolos tanpa perlu ikut program perbaikan (remedial), meskipun nilai 50<br />
itu, jauh dibawah KKM (KKM menurut Kemdikbud/Dinas Pendidikan = 75).<br />
Bila Kemdikbud berkilah bahwa batas lolos adalah B (bukan C), maka siswa akan merugi,<br />
karena untuk lolos, siswa harus meraih IP : 2,67 (padahal secara internasional dan juga lazim<br />
dipakai di perguruan tinggi, batas lolos adalah IP : 2, yang setara dengan KKM : 75)<br />
(b) kalau mengikuti rumus dari MKKS : bila Nilai = 60, maka konversinya adalah 2,25 dengan<br />
predikat C− , artinya siswa bisa langsung lolos tanpa perlu ikut program perbaikan (remedial),<br />
meskipun nilainya dibawah KKM (nilainya cuma 60) (KKM menurut MKKS adalah 75 atau<br />
KKM asumsi yaitu 71). Logika yang sama dengan butir (a) di atas, MKKS berkilah bahwa<br />
batas lolos adalah B (bukan C), maka siswa akan merugi, karena untuk lolos, siswa harus<br />
meraih IP : 2,66 (padahal secara internasional dan juga dipakai di perguruan tinggi, batas<br />
lolos adalah IP : 2, yang setara dengan KKM : 75)<br />
Mari kita kaji lebih rinci : 2,66 atau lazimnya ditulis 2,67 ~ 75 %<br />
3,00 ~ 80 %<br />
3,33 ~ 85 %<br />
3,67 ~ 90 %<br />
4,00 ~ 95 %<br />
?? ~ 100 %<br />
138<br />
148
(c) Sedangkan kalau mengikuti rumus Puskurbuk Balitbang Kemdikbud, maka siswa yang<br />
menjawab salah di 20 nomer dari 40 nomer soal akan mendapat nilai 2 (lolos tanpa perlu<br />
remedial). Padahal dimana-mana, kalau siswa salah 50% (nilainya hanya 50, adalah siswa<br />
yang tidak mengerti, seharusnya tidak lolos (Nilai 50 : dibawah KKM yang digariskan sendiri<br />
oleh Puskurbuk Balitbang Kemdikbud, yaitu : 75) Untuk lolos, sebenarnya kriterianya sudah<br />
diturunkan, siswa hanya perlu menguasai 75% dari materi ajar. Dalam kurikulum lama<br />
(Kurikulum 1968 dan Kurikulum 1975) dan juga dalam SKS, siswa seharusnya menguasai<br />
100% bahan ajar/materi, baru bisa melanjutkan ke topik atau KD berikutnya. Jadi penguasaan<br />
75% dari materi/bahan ajar itu sudah diturunkan dari standar Kurikulum 1968, Kurikulum<br />
1975 dan SKS yang mensyaratkan penguasaan materi/bahan ajar 100% sebelum bisa<br />
melanjutkan ke topik berikutnya.<br />
(d) Kesalahan dari Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No. 5496/C/KR/2014<br />
dan No.7915/D/KP/2014 dengan rumus : N = n/4 x 10 (untuk angka satuan) dan N = n/4 x<br />
100 (untuk angka puluhan)<br />
N = n/4 x 10 N x 4 = n x 10 N/10 x 4 = n ,rumus ini sama dengan IP = N/10 x 4<br />
N = n/4 x 100 N x 4 = n x 100 N/100 x 4 = n,rumus ini sama dengan IP = N/100 x 4<br />
Kesalahannya persis sama dengan butir (a) di atas<br />
Kesalahan lebih mendasar terletak pada interpretasi tabel (siswa merugi)<br />
Tabel 1 (untuk SD) : C : 51 – 64 dengan IP : 2,18 – 2,50<br />
Interval C : 51 – 64 itu masih dibawah KKM : 75<br />
Kalau digunakan KKM : 75 (interval nilai 65 – 86), maka IP : 2,85 – 3,17 (B)<br />
Tabel 2 (untuk SMP) : C : 4,63 – 5,44 dengan IP : 1,85 – 2,17<br />
Interval C : 4,63 – 5,44 itu masih dibawah KKM : 7,50<br />
Kalau digunakan KKM : 7,50 (interval nilai 7,13 – 7,94), maka IP : 2,85 – 3,17 (B)<br />
Tabel 3 (untuk SMA/SMK) : C : 47 – 55 dengan IP : 1,85 – 2,17<br />
Interval C : 47 – 55 itu masih dibawah KKM : 75<br />
Kalau digunakan KKM : 75 (interval nilai 70 – 77), maka IP : 2,85 – 3,17 (B)<br />
Siswa merugi, untuk lolos, sesuai batas KKM, siswa harus mencapai IP yang tinggi (IP > 2)<br />
padahal secara internasional dan juga lazim dipakai di perguruan tinggi, batas lolos adalah IP<br />
= 2 dengan KKM =75 atau C (bukan IP = 2,85 atau B). Kalau tidak digunakan batas KKM,<br />
interval nilai C-nya tidak memenuhi kaedah didaktik (nilainya < 60)<br />
149<br />
139
2. Kesalahan kedua adalah pada Tabel Konversi Nilai : setiap jenjang perubahan nilai berskala<br />
5, maka KKM menjadi : ± 5 (KKM : 71-75), sehingga Nilai : 80 itu ~ B (2,66), bukan 3,20<br />
(seperti kesalahan perhitungan Balitbang Kemdikbud) atau 3 (seperti kesalahan perhitungan<br />
MKKS) atau 3,2 (menurut kesalahan perhitungan Puskurbuk Balitbang Kemdikbud).<br />
Dengan demikian, kalau menggunakan rumus Disain Kurikulum Digital, semua siswa yang<br />
mendapat nilai > KKM (nilai > 75), otomatis akan mendapat B (masuk di rentang nilai 76 -<br />
80 dengan IP : 2,34 – 2,66). Maka IP : 2,67 ~ nilai : 81 (B+) Bandingkan dengan rumus<br />
MKKS di atas : 2,66 ~ 75% (siswa rugi, karena dalam rumus Disain Kurikulum Digital : 2,66<br />
~ 80%)<br />
3. Kesalahan ketiga adalah pada bobot nilai Proyek yang disamakan dengan bobot nilai<br />
Praktek, padahal guru tidak pernah tahu (uncontrolled) : siapa yang sebenarnya membuat<br />
tugas praktek itu, bisa saja siswa menyalin dari temannya atau tugas praktek itu dibuatkan<br />
orang lain sebagai konsekuensi dari tugas praktek yang dibawa pulang (dikerjakan di rumah).<br />
Oleh sebab itu, bobot nilai Proyek harus berbeda dengan bobot nilai Praktek. Biasanya bobot<br />
Tugas Tidak Terstruktur itu maksimal 15% dari bobot Tugas Terstruktur, sesuai dengan<br />
pedoman yang digariskan dalam Diklat Sertifikasi guru.<br />
Penyebutan kata “proyek” menandakan bahwa Kurikulum 2013 itu kurikulum yang berbasis<br />
proyek (project-based learning) sehingga seharusnya penilaiannya menggunakan penilaian<br />
rubrik (penilaian kinerja siswa), dan tidak bisa menggunakan soal Pilihan Ganda lagi.<br />
Dalam revisi terbaru, Nilai Ketrampilan diganti menjadi Nilai Praktek, karena rupanya<br />
Puskurbuk rancu dengan penilaian pada SMK (Nilai Pengetahuan dianggap sama dengan<br />
Nilai Teori dan Nilai ketrampilan dianggap sama dengan Nilai Praktek).<br />
Padahal ada istilah khusus pada sekolah umum : Nilai Tugas Terstruktur (KTSP Bimtek<br />
(2008) diganti menjadi Nilai Proyek (Kurikulum 2013) dan Nilai Tugas Tidak Terstruktur<br />
(KTSP Bimtek (2008) diganti menjadi Nilai Praktek (Kurikulum 2013)<br />
Guru-guru dari sekolah umum (SD, SMP dan SMA) pasti bingung dengan kerancuan istilah<br />
ini (Nilai Ketrampilan disamakan dengan Nilai Praktek dalam revisi terbaru)<br />
4. Kesalahan keempat adalah dikaitkannya Sikap Sosial dan Spiritual dengan Nilai, sehingga<br />
siswa dengan nilai Matematika tinggi : bisa dianggap saleh, atau siswa dengan nilai IPA<br />
rendah : bisa dianggap kurang beriman. Padahal di halaman 40 Buku Pedoman Penilaian<br />
Kemdikbud secara tegas dinyatakan bahwa penilaian sikap diperoleh dari hasil observasi guru<br />
(Penilaian Berbasis Kelas yang datanya diambil secara langsung oleh guru sendiri), penilaian<br />
siswa sendiri (portofolio siswa), penilaian teman (Tutor sebaya menggunakan Penilaian<br />
Berbasis Kelas) dan penilaian rekan sejawat (yang datanya diperoleh dari Penilaian Berbasis<br />
140<br />
150
Kelas yang diambil oleh guru lain pada kelas yang terkait), serta jurnal guru. Penilaian sikap<br />
spiritual seharusnya menggunakan SQ (spiritual quotient) dan penilaian sikap sosial<br />
semestinya memakai kecerdasan kewargaan : CQ (civic quotient) yaitu pengembangan rasa<br />
“empati” dan ”bela rasa” yang dimonitor dalam live in.<br />
Dengan demikian, penilaian Sikap tidak boleh dikaitkan dengan nilai (evaluasi hasil belajar), tapi<br />
diperoleh dari monitoring proses belajar pada PBK (Penilaian Berbasis Kelas).<br />
Lalu bagaimana benarnya? Sesuai dengan namanya : evaluasi hasil belajar terfokus pada capaian<br />
kompetensi hingga harus mengacu pada Catatan Kompetensi (konversinya menggunakan CK Nilai<br />
Rapor, CK Pengetahuan dan CK Ketrampilan) dan monitoring proses belajar harus mengacu pada<br />
Penilaian Berbasis Kelas (PBK) berbasis SKL dan Pendidikan Karakter. Semuanya harus<br />
menggunakan program excell sehingga narasinya terprogram (computerized), narasi tidak boleh<br />
dikarang-karang, karena akan menjadi sangat subyektif, bukan penilaian otentik lagi.<br />
B. Para penatar tidak tahu apa yang harus dinilai<br />
Perubahan paradigma dari penilaian per KD pada KTSP menjadi penilaian berbasis KI pada<br />
Kurikulum 2013 menyebabkan para penatar gamang akan apa yang menjadi basis datanya, yang<br />
tercermin dari kesalah-pahaman tentang makna penilaian portofolio.<br />
Kalau para penatar tidak tahu apa yang harus dinilai dalam penilaian guru, penilaian siswa<br />
dan penilaian rekan sejawat, serta penilaian portofolio : apakah penilaian itu menggunakan penilaian<br />
kompetensi (mengingat kurikulum mencantumkan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar<br />
(KD) (harus menggunakan statistik nonparametrik dan program excell dengan konversi pada<br />
nilai rapor, nilai pengetahuan dan nilai ketrampilan (nilai praktek), atau penilaian kinerja<br />
(mengingat kurikulum mencantumkan penilaian potensi siswa)(harus menggunakan penilaian<br />
rubrik), atau penilaian performance siswa (mengingat kurikulum mencantumkan penilaian aspek<br />
sikap sosial dan spiritual)(harus menggunakan excell untuk monitoring proses belajar), maka<br />
akar masalahnya harus ditelusur pada perumusan Indikator Keberhasilan di dalam Silabus. Jika<br />
Kegiatan Pembelajaran di Silabus Kurikulum 2013 tidak diiringi dengan rumusan Indikator<br />
Keberhasilan, maka bagaimana mungkin guru dapat menyusun soal-soal (evaluasi hasil belajar) yang<br />
memenuhi skala dalam program ITEMAN (program untuk menganalisis butir soal)? Bisa-bisa<br />
proporsi jawaban pada setiap option dan tingkat kesukaran butir soal tidak jauh berbeda (soal-soal<br />
UH, UTS atau UAS tidak bisa membedakan siswa yang kemampuannya dibawah rata-rata, siswa<br />
yang mempunyai kemampuan rata-rata, dan siswa yang kemampuannya diatas rata-rata). Akan ada<br />
banyak soal yang harus direvisi atau ditolak oleh komputer melalui program ITEMAN (ANATES<br />
151<br />
141
dari ITB, SPS Sutrisno Hadi dari UGM atau Analisa Soal dari Disain Kurikulum Digital). Kerumitan<br />
ini akan berlanjut bila guru tidak mampu membedakan antara Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal<br />
(KKM) dan Kriteria Ketuntasan Belajar Ideal (KKI) sehingga siswa siswi dari kelompok “sedang”<br />
disatukan dalam program remedi bersama siswa siswi dari kelompok “kurang”, dan siswa yang sejak<br />
awal sudah mencapai KMM, atau lebih dari KKM, ternyata tidak mendapat program pengayaan.<br />
Padahal kebanyakan masalah pembelajaran timbul karena tidak adanya tindakan yang<br />
diambil untuk mengatasi kelemahan atau kelebihan siswa sejak awal. Oleh karena itu,<br />
pembelajaran yang dirancang oleh guru sebaiknya mempunyai mekanisme untuk membetulkan<br />
kelemahan dan memacu kelebihan yang ada, sehingga siswa dapat menguasai pembelajaran dengan<br />
baik. Pemetaan kelas dengan menggunakan Multiple Intelligence mutlak harus dilakukan. Pola<br />
manajemen kelas inilah yang hilang dalam pelatihan penerapan Kurikulum 2013 sehingga guru tidak<br />
tahu apa yang harus dinilai. Penilaian aspek kognitif disamakan dengan penilaian pengetahuan<br />
(knowledge), penilaian aspek psikomotor disamakan dengan penilaian ketrampilan (skill) dan<br />
penilaian aspek afektif disamakan dengan penilaian sikap (attitude). Anak yang tidak menguasai<br />
Matematika dianggap “bodoh”, padahal mungkin bakatnya di bidang musik. Kerancuan lain muncul<br />
pada penilaian Kompetensi Inti 1 (KI 1) yang berbunyi : “Menghargai dan mengamalkan ajaran<br />
agama yang dianutnya”. Tafsir yang berkembang bisa menjadi modus baru penggabungan aspek<br />
kognitif dan akhlak mulia, sehingga anak yang mendapat nilai matematika bagus bisa “dianggap”<br />
sebagai anak yang saleh atau anak yang sangat jujur. Belum tentu kenyataan di lapangan<br />
menunjukkan hal itu! Bisa saja siswa yang mendapat nilai tinggi dalam matematika itu karena<br />
menyontek perkerjaan temannya, atau soalnya kebetulan mudah, bukan karena siswa itu mendapat<br />
ridho Allah.<br />
Hal ini diperparah dengan konversi nilai rapor dari dua digit menjadi satu digit (dari skala<br />
nilai : 0-100 menjadi skala IP (Indeks Prestasi) : 1-4) (lihat di atas) Oleh sebab itu, penguasaan<br />
statistik nonparametrik dan program excell mutlak diperlukan agar para guru dapat menampilkan<br />
kurva normal dari data nilai per kelas sehingga penilaian portofolio dapat dikaji dan ditegakkan.<br />
Itulah sebabnya dalam perkembangan terbaru, jabatan guru inti (yang merupakan penatar<br />
Kurikulum 2013) itu dihapuskan, tetapi dimunculkan kembali dengan istilah instruktur 107 , yang<br />
justru MENUNJUKKAN ADANYA SUBORDINASI, yang mengacaukan arti Pasal 39 ayat 2 UU<br />
Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen.<br />
107<br />
Instruktur = orang yang memberi instruksi (KBBI Vol IV) – jabatan instruktur dan pengawas itu sebenarnya tidak<br />
ada dalam UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen (mengacaukan hakekat otonomi guru dan otonomi sekolah<br />
(otonomi pendidikan)<br />
152<br />
142
Maka soalnya bukan pada masalah kurangnya pemahaman pada proses penilaian yang baru,<br />
tapi pada pemahaman akan arti profesi guru, yaitu janji publik para guru untuk membuat siswa yang<br />
“tidak bisa” menjadi “bisa”. Jadi guru bukan sekedar tukang mengajar yang mentransfer<br />
pengetahuan dengan Silabus, RPP dan buku yang didrop dari pemerintah, atau pendidik yang<br />
mentransfer nilai-nilai akhlak mulia, tetapi guru adalah pemegang janji publik : memanusiakan<br />
manusia muda. Hal inilah yang tidak termaknai dalam Kurikulum 2013.<br />
C. Paradigma lama<br />
Hal berikutnya yang luput dari perhatian pemerintah adalah masih diterapkannya paradigma<br />
model penilaian lama dalam KTSP Bimtek (2008) untuk diterapkan pada sesuatu yang baru pada<br />
Kurikulum 2013, yaitu ketuntasan dalam tes kognitif dianggap sebagai indikator penguasaan<br />
materi/bahan ajar. Padahal pendidikan holistik yang tercermin dalam KI 1 sampai KI 4<br />
membutuhkan tes psikomotor, tes afektif dan tes kecakapan hidup sebagai penyeimbang<br />
pengembangan otak kiri dan otak kanan, yang memerlukan penilaian rubrik (penilaian kinerja siswa).<br />
Dengan demikian, guru tidak bisa lagi menggunakan soalsoal berbentuk pilihan ganda elementer<br />
(lihat Catatan kaki No. 48 tentang soal-soal Pilihan Ganda holistik).<br />
Belum lagi kerancuan penerapan tugas terstruktur yang mestinya bersifat intra kurikuler (penunjang<br />
pemahaman yang dilaksanakan diluar jam tatap muka), telah diubah menjadi kegiatan kokurikuler di<br />
pagi hari sehingga kurang efektif karena kekurangan waktu, akibatnya fungsinya sebagai sarana<br />
pelatihan penalaran halus (fine tuning) hilang; sedangkan tugas tidak terstruktur yang seharusnya<br />
bersifat kokurikuler (melekat pada pelaksanaan tatap muka) telah diubah menjadi kegiatan ekstra<br />
kurikuler yang dibawa pulang sehingga tidak terkontrol lagi siapa pembuatnya (proses belajar<br />
menjadi tidak termonitor). Maka kriteria naratif : SB (Sangat Baik), B (Baik), C (Cukup) dan K<br />
(Kurang) seyogyanya tidak diturunkan dari rerata nilai kognitif, tapi dihasilkan dari penilaian<br />
proses (monitoring) belajar yang dipantau melalui Penilaian Berbasis Kelas, dimana semua aspek<br />
kegiatan harian siswa dimonitor, mulai dari aktivitas umum, kegiatan kognitif, kegiatan psikomotor,<br />
sampai kegiatan afektif sebagai perwujudan pendidikan karakter yang terukur. Dilema muncul ketika<br />
para guru tidak terbiasa mengkonversi daya serap (yang sebenarnya merupakan hasil monitoring)<br />
menjadi penilaian hasil uji kompetensi KI dan KD (yang hakekatnya adalah evaluasi hasil belajar)<br />
sehingga penilaian proses belajar tidak termaktub dalam rapor. Dengan demikian, pendidikan<br />
holistik yang dirumuskan dalam KI 1 sampai KI 4 tidak lagi mempunyai pijakan sebagai pentransmisi<br />
budaya cerdas. Dampaknya, luaran penerapan kurikulum yang diharapkan, seperti meningkatnya<br />
kemampuan olah pikir dan membaiknya kemampuan mengekspresikan diri : tidak beranjak<br />
(stagnan), sehingga PTK (Penelitian Tindakan Kelas) sebagai upaya awal untuk perbaikan<br />
153<br />
143
kehilangan narasi substantif (Lihat ranking TIMMS (Trends in International Mathematics and<br />
Science Study) dan PISA (Program of International Student Assessment), serta PIRL (Progress in<br />
International Reading Literacy) dari para siswa kita yang tidak kunjung membaik dan tidak kunjung<br />
diantisipasi cara perbaikannya).<br />
Masalah KI dan KD yang tidak koheren, disamping menyulitkan analisis vertikal dan analisis<br />
horizontal dari materi/bahan ajar, juga menyulitkan perumusan kaitan tataran konseptual dan<br />
metakognitif karena model pemetaan taksonomi Bloom tidak dilakukan. Kemdikbud justru<br />
menyandarkan pada SOLO taxonomy, yang bertumpu pada capaian kognitif 108 , (tanpa keharusan<br />
guru memberikan Teladan, Pemberian Tugas terkait dan Penilaian performance siswa), akibatnya,<br />
abai pada pemetaan Multiple Intelligence. Hal ini menyebabkan penilaian portofolio dan penilaian<br />
sejawat kemudian diabaikan. Padahal KI 1 sampai KI 4 membutuhkan penelusuran tingkat kemajuan<br />
belajar siswa. Tanpa grafik portofolio ini, KI 1 sampai KI 4 akan dibaca sebagai Standar Kompetensi<br />
(SK) dengan baju baru.<br />
Maka magnitude soalnya bukan pada penjabaran penilaian capaian kompetensi siswa tapi lebih<br />
kepada pemahaman pendidikan holistik yang sampai saat ini tetap diartikan sebagai penilaian<br />
ketuntasan belajar. Oleh sebab itu, agar para guru tidak kembali ke pola lama, para guru perlu melihat<br />
kembali Peraturan Mendiknas (Permendiknas) No. 19 tahun 2007 bulan Mei 2007 tentang MBS<br />
(manajemen berbasis sekolah) yang terdiri dari 3 (tiga) dokumen yaitu :<br />
- Dokumen I tentang 5 bidang yang harus dibenahi dalam upaya meningkatkan mutu<br />
manajemen persekolahan yang dilengkapi dengan rincian tugas yang harus diemban oleh guru<br />
penanggung jawab tiap bidang.<br />
- Dokumen II tentang penilaian proses dan evaluasi capaian tugas yang diemban sehingga<br />
kinerja sekolah dapat dirumuskan dengan baik.<br />
- Dokumen III tentang audit kinerja sekolah dan audit kinerja tenaga kependidikan<br />
Pemerintah perlu menegaskan bahwa penerapan kurikulum baru tidak serta merta membuang semua<br />
hal baik yang sudah ada sebelumnya.<br />
Pelajaran apa yang bisa ditarik dari perubahan pedoman penilaian yang dilakukan berulang<br />
kali itu?<br />
Kemdikbud perlu disadarkan bahwa penilaian itu bukan hanya penilaian (evaluasi) untuk siswa,<br />
tetapi juga penilaian (evaluasi) untuk guru, sehingga guru dapat terbantu dalam merefleksikan proses<br />
pembelajaran (KBM) (lihat Bab I Filosofi Pendidikan bagian Refleksi)<br />
108<br />
Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian IIA No. 3 : Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan<br />
kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendekatan disiplin ilmu<br />
154<br />
144
Evaluasi untuk guru sebenarnya sudah jamak dilakukan sejak Kurikulum 1975 melalui ITEMAN<br />
yaitu ANATes (ITB) (program berbayar), SPS Sutrisno Hadi (UGM)(program berbayar) atau Analisa<br />
Soal pada Disain Kurikulum Digital (gratis). Dengan menggunakan perangkat di atas, soal-soal dapat<br />
diuji validitasnya. Soal-soal yang valid akan “diterima” oleh uji komputasi itu (soal yang valid adalah<br />
soal yang bisa memisahkan “anak yang tidak mengerti” dengan “anak yang pandai”), sedang soalsoal<br />
yang kurang valid, harus “direvisi” (soal-soal yang kurang valid adalah soal-soal yang tidak<br />
bisa memisahkan “anak yang tidak mengerti” dengan “anak yang sedang-sedang saja”), dan soalsoal<br />
yang tidak valid akan”ditolak” oleh uji komputasi itu (soal-soal yang tidak valid adalah soalsoal<br />
yang tidak bisa memisahkan “anak yang sedang-sedang saja” dengan “anak pandai”).<br />
Bila kebanyakan soal harus direvisi atau ditolak, maka soal ulangan harian (UH) atau soal mid<br />
semester (UTS) atau soal ulangan umum (UAS) harus dibatalkan. Dengan demikian, guru akan<br />
terbiasa untuk belajar seumur hidup (long life education). Bukan hanya belajar perkembangan<br />
terbaru tentang materi yang diampunya dan belajar menerapkan metode, strategi atau model<br />
pembelajaran yang cocok bagi pengajaran materi tersebut, tetapi belajar juga tentang cara<br />
mengevaluasi hasil belajar secara benar, belajar memverifikasi soal yang akan diujikan.<br />
Melalui Analisa Soal ini, para guru “dipaksa” untuk cermat dalam pembuatan soal, tidak bisa copy<br />
paste dari buku cetak (buku Erlangga, buku Yudhistira, dll yang mempunyai banyak kumpulan soal<br />
di dalamnya), karena soal-soal itu belum tentu valid karena belum teruji di kelas lewat ITEMAN.<br />
Semua soal “yang diterima” dikumpulkan menjadi satu, itulah yang disebut Bank Soal (kumpulan<br />
soal-soal yang valid)<br />
Guru akan “dipaksa” membuat soal yang kontekstual dan teruji validitasnya, sehingga<br />
profesionalitasnya terasah (sesuai dengan amanat Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005). Sebenarnya<br />
pemerintah cq Kemdikbud tidak perlu sibuk dengan Diklat sertifikasi guru yang<br />
menghabiskan anggaran besar itu, bila sejak awal pemerintah cq Kemdikbud mewajibkan<br />
setiap guru mempunyai Bank Soal<br />
Dilain pihak, pemerintah cq Kemdikbud tidak perlu sibuk membuat pedoman penilaian, yang diubah<br />
berkali-kali itu 109 , sebab konversi nilai secara benar itu sudah ada dalam Catatan Kompetensi,<br />
sehingga kewibawaan pemerintah cq Kemdikbud terjaga, karena hanya fokus pada perumusan<br />
kebijakan pendidikan nasional (Pasal 38 ayat 1 dan Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas).<br />
109<br />
Pedoman penilaian ada di Permendikbud No.66 Tahun 2013, lalu diubah dalam Lampiran IV Permendikbud No.81<br />
A Tahun 2013, dan diubah lagi dalam Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014<br />
dan No.7915/D/KP/2014<br />
155<br />
145
Puskurbuk (Pusat Kurikulum dan Perbukuan) tidak boleh mengambil alih wewenang<br />
Puspendik (Pusat Penilaian Pendidikan) sehingga mengacaukan apa yang disebut evaluasi<br />
(penilaian) hasil belajar (nilai/IP) dan apa yang dimaksud dengan monitoring proses belajar<br />
(daya serap) 110<br />
Sebenarnya kalau mengkaji pada tingkat kompetensi yang mengacu pada SOLO Taxonomy 111<br />
di Kurikulum 2013, maka penilaian yang cocok untuk tingkat kompetensi ini bukan authentic<br />
assessment, tetapi seharusnya penilaian rubrik. Penilaian rubrik adalah deskripsi terperinci tentang<br />
tipe kinerja tertentu dan kriteria yang akan digunakan untuk menilainya. Hanya saja untuk penilaian<br />
rubrik ini, guru harus menguasai pemahaman materi sedalam-dalamnya, karena rubrik perlu memuat<br />
daftar karakteristik yang diinginkan yang perlu ditunjukkan pada siswa disertai panduan untuk<br />
mengevaluasi masing-masing karakteristik tersebut. Jadi kedua pihak (guru dan siswa) akan<br />
mempunyai pedoman bersama yang jelas tentang tuntutan kinerja yang diharapkan.<br />
Misalnya guru Biologi memberi tugas siswa untuk membuat poster tentang kepedulian akan<br />
degradasi lingkungan, maka guru tersebut harus sungguh-sungguh tahu bahwa :<br />
(1) pembuatan poster itu memerlukan 10 langkah yang bisa langsung di observasi sehingga<br />
penentuan nilainya menjadi terpola dengan jelas.<br />
(2) guru juga harus paham betul tentang degradasi lingkungan sehingga tahu pesan apa yang<br />
harus disampaikan ke masyarakat untuk mengatasi degradasi lingkungan.<br />
Sepuluh langkah pembuatan poster itu adalah :<br />
1. Pemilihan kertas (ukuran, type kertas). 2. Alat-alat gambar. 3. Sketsa. 4. Pilihan kata.<br />
5. Harmonisasi kata dan gambar. 6. Waktu pembuatan poster. 7 Hasil (eye catching, pesan).<br />
8. Penempatan (pameran). 9. Umpan balik. 10. Perbaikan<br />
Kriteria penilaiannya adalah : 1. Belum disiapkan. 2. Sudah disiapkan tetapi tidak sesuai dengan<br />
ketentuan. 3. Sudah disiapkan sesuai ketentuan tetapi belum lengkap. 4. Sudah disiapkan dengan<br />
baik. 5. Draft tidak disiapkan. 6. Draft disiapkan tetapi tidak sesuai ketentuan. 7. Draft disiapkan<br />
dngan baik. 8. Hasil : Gambar bermakna, tetapi kata tidak menunjukkan pesan yang jelas. 9. Hasil<br />
: Kata mengandung pesan, tetapi gambar latar belakang tidak mendukung. 10. Hasil : kata dan<br />
gambar harmonis<br />
110<br />
Lihat formula konversi nilai dari Puskurbuk : Jumlah soal harus kelipatan 4, misalnya jumlah soalnya 40, kalau<br />
siswa salah 10, maka nilainya 3. Rumus yang salah secara matematis dan secara paedagogis (lihat uraian di atas)<br />
111<br />
Lihat Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 Bab II : Tingkat Kompetensi<br />
156<br />
146
Maka nilai dari Andy tinggal melihat pada tabel berikut :<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />
Kertas<br />
Alat-alat<br />
Sketsa<br />
Pilihan Kata<br />
Harmonisasi<br />
Lama waktu buat<br />
Hasil<br />
Pameran<br />
Umpan balik<br />
Perbaikan<br />
x<br />
x<br />
x<br />
x<br />
x<br />
x<br />
x<br />
x<br />
x<br />
x<br />
Sehingga Nilai Andy adalah rerata nilai di atas : 78/10 = 7,8. Melalui penilaian rubrik ini, terlihat<br />
dengan jelas, bahwa siswa akan sungguh-sungguh menguasai teknik pembuatan poster (bukan<br />
pelajaran seni rupa karena ada pesan lingkungan dan harmonisasi pesan dengan gambar : tugas<br />
pembuatan poster ini akan membuat pelajaran Biologi membumi). Penilaian rubrik ini juga<br />
digunakan dalam penilaian ulangan esai (UH, UTS dan UAS) dengan pola seperti diatas, mulai dari<br />
(1) siswa menulis nama, nomor dan kelas pada lebar jawaban, (2) siswa menulis apa yang diketahui<br />
dari soal itu pada lembar jawaban, (3) siswa menulis apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan<br />
dari soal itu dalam lembar jawaban, sampai (10) siswa menjawab dengan lengkap dan betul. Tapi<br />
penilaian rubrik tidak bisa diterapkan untuk soal-soal Pilihan Ganda biasa, seperti yang biasa<br />
dipraktekkan dalam KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013. Penilaian rubrik masih mungkin<br />
diterapkan pada soal-soal Pilihan Ganda holistik, seperti yang sudah dipaparkan dalam Catatan kaki<br />
No.48<br />
Oleh sebab itu, penilaian rubrik yang seharusnya digunakan dalam Kurikulum 2013 ini bukan<br />
saja merupakan evaluasi hasil belajar tetapi juga pendampingan proses belajar dan sangat sesuai<br />
dengan pendekatan saintifik (metode 5 M) Pembelajaran berbasis proyek (PBL : project-based<br />
learning). Jadi penilaiannya tidak bisa mengikuti Permendikbud No.66 Tahun 2013 karena pasti<br />
salah, sehingga perlu diubah lagi melalui rumus Lampiran IV Permendikbud No. 81 A Tahun 2013,<br />
yang juga masih salah secara matematis, sehingga diubah lagi melalui Peraturan Bersama Dirjen<br />
Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan No. 7915/D/KP/2014 yang masih salah juga<br />
secara paedagogis. Dari berbagai perubahan penilaian ini, nampak bahwa KKM tidak lagi dipakai,<br />
28 permendikbud tentang Kurikulum 2013 selalu menyebut KTSP, tapi KTSP tanpa KKM, ada apa?<br />
157<br />
147
Yang lebih urgen diperhatikan adalah perubahan berulang kali tentang rumus penilaian ini<br />
tanpa penjelasan yang memadai kenapa rumus mesti diubah (lagi), akan menurunkan wibawa<br />
akademik Kemdikbud.<br />
Maka kalau pemerintah berkukuh tetap melaksanakan Kurikulum 2013, yang perlu menjadi<br />
bahan tatar bukan pembuatan RPP (untuk memenuhi amanat Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, karena<br />
guru sudah terbiasa membuat RPP dan sudah disertifikasi), tetapi yang harus disosialisasikan adalah<br />
penilaian rubrik ini (untuk memenuhi Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II B :<br />
Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (competency-based curriculum) yang di copy paste<br />
dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II D (Lihat Catatan * di Kata Pengantar), yaitu<br />
kembali menerapkan Pilihan Ganda holistik seperti ada di Catatan kaki no. 48 dan memberlakukan<br />
kembali soal-soal esai seperti telah diaplikasikan sejak lama dalam EBTANAS. Untuk ini Puspendik<br />
perlu dilibatkan (tidak cukup mengandalkan Puskurbuk) supaya penilaian rubrik ini bisa<br />
computerized (tidak dilakukan manual oleh guru, sehingga tidak merupakan penilaian subyektif)<br />
hingga penilaian otentik itu mempunyai pijakan eksakta secara jelas.<br />
Mengingat rumitnya proses penilaian rubrik ini (apalagi soal-soal Pilihan Ganda holistik dan<br />
esai sudah dihapus dari UN) (lihat Catatan kaki No.48), maka sebaiknya pemerintah kembali<br />
menerapkan pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 tahun 2014 (kembali ke Kurikulum<br />
2006) Hanya yang perlu diperhatikan adalah penilaian kognitif dan psikomotor harus dilakukan<br />
melalui Catatan Kompetensi, hasilnya adalah nilai/IP yang muncul dalam Rapor Lembar I, sedangkan<br />
penilaian sikap dilakukan melalui Penilaian Berbasis Kelas, hasilnya adalah daya serap yang muncul<br />
dalam Rapor Lembar II. Sebab siswa yang memperoleh nilai tinggi, belum tentu karena dia<br />
mengerti/memahami materi/bahan ajar, tetapi mungkin saja karena siswa itu nyontek dan tidak<br />
ketahuan guru, atau siswa itu belajar dari soal yang keluar tahun sebelumnya, yang biasanya<br />
dikeluarkan lagi pada tahun-tahun berikutnya dengan sedikit perubahan di sana sini atau siswa<br />
beruntung karena soal-soal yang disajikan tergolong mudah..<br />
Hal berikutnya yang perlu diingat adalah : evaluasi bukan saja ditujukan untuk siswa, tapi juga untuk<br />
gurunya melalui ITEMAN/Analisa Soal (ANATest dari ITB, SPS Sutrisno Hadi dari UGM, atau<br />
Analisa Soal dari Disain Kurikulum Digital), seperti yang sudah diuraikan di atas. Ujungnya adalah<br />
: sekolah mempunyai Bank Soal yang valid (soal-soal yang dapat memisahkan siswa yang “kurang<br />
pandai”, siswa yang sedang-sedang saja”, dan “siswa yang pintar”, yang hasil analisa datanya<br />
membentuk kurva normal) (Lihat bagian Refleksi pada Bab I Filosofi Pendidikan, di bagian : “Apa<br />
Perlunya Mempelajari Filsafat Pendidikan”)<br />
Dalam konteks Penilaian inilah nampak jelas terjadinya pendangkalan (cult of philistinism), bukan<br />
saja pada pendangkalan soal-soal Pilihan Ganda (lihat Catatan kaki No.48), tetapi juga pada soal esai<br />
148<br />
158
BAB VI<br />
Kurikulum vs Pengajaran<br />
Kekeliruan berikutnya adalah membiarkan munculnya 6 varian kurikulum yang diterapkan<br />
saat ini sehingga mengacaukan hakekat kebebasan mimbar akademik dan capaian Nawa Cita No.3<br />
Keenam varian itu adalah :<br />
(1) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan sistim paket, yang diluncurkan tahun 2006<br />
(Kurikulum 2006 atau KTSP Awal)<br />
(2) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan sistim paket melalui Bimbingan Teknis dari<br />
Kemdikbud (KTSP Bimtek (2008)<br />
(3) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan sistim paket, yang diluncurkan pada akhir<br />
November 2012 (Kurikulum 2013) : Kurikulum yang dikembangkan dari KBK 112 yang<br />
mengulang permasalahan pengukuran kompetensi (kemampuan) siswa pada KBK 2004<br />
(4) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pasca keluarnya Permendikbud No. 160 Tahun 2014<br />
(Kurikulum 2013 dengan perbaikan tambal sulam, yang tidak sesuai dengan Nawa Cita No.8<br />
(5) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan paket SKS (Sistim Kredit Semester) yang<br />
tidak lain merupakan baju baru dari kelas akselerasi yang sudah lama dipraktekkan di sekolah<br />
unggulan atau sekolah mantan RSBI dulu.<br />
(6) Kurikulum dengan sistim baku SKS dengan kurikulum internasional yang diakreditasi secara<br />
internasional dengan manajemen berbasis sekolah (MBS) yang bersertifikat ISO 9001:2008<br />
(sesuai dengan Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014)<br />
Karena pembiaran ini, maka kekeliruan berlanjut pada anggapan bahwa semua kurikulum itu sama,<br />
padahal ideologi yang diusung berbeda. Sebagaimana telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya,<br />
Kurikulum 2006 (KTSP Awal) menjunjung otonomi pendidikan, melalui penerapan otonomi guru<br />
dan otonomi sekolah (penyusunan kurikulum, pelaksanaannya (termasuk monitoringnya) dan<br />
evaluasinya dilakukan sendiri oleh para guru, serta disahkan oleh kepala sekolah), sesuai dengan<br />
bunyi ketentuan Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 sehingga kurikulum tiap sekolah akan berbeda,<br />
tergantung kondisi sekolah, potensi daerah dan keadaan siswa. 113 Bukan hanya sekedar berbeda, tapi<br />
guru harus mengembangkan standar isi yang lebih tinggi (mengembangkan kurikulum sampai ke<br />
112<br />
Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2007 Bagian II B : Landasan Teoritis : Kurkulum 2013 dikembangkan<br />
atas teori Kurikulum Berbasis Kompetensi (competency-based curriculum)<br />
113<br />
Sebenarnya ketentuan guru harus menyusun kurikulumnya sendiri di sekolah masing-masing juga termaktub<br />
dalam PP No. 32 Tahun 2013 Pasal 77 M ayat 1, dan ketentuan bahwa kurikulum itu adalah urusan sekolah karena<br />
ditetapkan oleh kepala sekolah (bukan oleh pemerintah) tertuang dalam Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013,<br />
yang juga menjadi dasar hukum dari Kurikulum 2013 (lihat juga catatan kaki No.5)<br />
159<br />
149
tingkat Higher Order of Thinking 114 . Oleh sebab itu, varian ke-5 dan ke-6 yaitu SKS adalah<br />
konsekuensi logis dari kemampuan guru menyusun kurikulumnya sendiri sehingga guru juga mampu<br />
menyusun diktat, LKS dan modul pembelajaran sendiri. Oleh karenanya, Kurikulum 2006 (KTSP<br />
awal) dan SKS menjamin terlaksananya penerapan azas kebebasan mimbar akademik 115 ;<br />
sedangkan KTSP Bimtek (2008) dan dua varian Kurikulum 2013 itu mengusung hegemoni<br />
pemerintah terhadap dunia persekolahan melalui pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam<br />
untuk seluruh Indonesia dengan menggunakan tangan Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata<br />
Pelajaran (karena Silabus, buku ajar/materi/sumber belajar, dan buku pegangan guru, serta metode<br />
pembelajarannya sama, meskipun kondisi siswa dan potensi daerahnya berbeda) 116 . Akibatnya<br />
KTSP Bimtek (2008) dan dua varian Kurikulum 2013 (KTSP 2013) itu berpotensi membungkam<br />
kreativitas guru dalam menerapkan PAIKEM GEMBROT (Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif,<br />
Efektif dan Menyenangkan, Gembira serta Berbobot). Bagaimana para guru dapat berinovasi kalau<br />
semuanya sudah digariskan oleh Puskurbuk dan dikawal secara ketat oleh para Pengawas?<br />
Kehadiran para Pengawas ini menghilangkan juga makna dari Visi dan Misi sekolah. Apapun visi<br />
dan misi sekolahnya, kurikulumnya tetap sama, sehingga ciri khas sekolah menjadi hilang :<br />
pakaian seragam antar sekolah itu sama, dan isi kepalanyapun sama.<br />
Alur filosofi Silabus yang selama ini dibuat itu sangat jelas, yaitu silabus yang berlaku sejak<br />
KBK/KTSP dan kini pada silabus kurikulum 2013 adalah Silabus campuran (mixed syllabus), yaitu<br />
perpaduan antara: Silabus Pembelajaran (Learner-generated syllabus), Silabus yang berorientasi<br />
pada tugas (taks-based syllabus), Silabus yang berorientasi pada ketrampilan (skill-based syllabus)<br />
dan Silabus kontekstual (situational syllabus). Jadi Silabus tidak dapat copy paste dari buku atau<br />
dari penataran Kemdikbud/Dinas Pendidikan yang seragam itu karena mengingkari hakekat<br />
Silabus kontekstual (situational syllabus). Apalagi silabus yang kontekstual ini seharusnya juga<br />
dilengkapi dengan Analisa Konteks sehingga sifat lokalitas dan situasionalnya nampak dengan jelas.<br />
Alasan yang lebih teknis mengapa silabus harus kontekstual (tidak seragam) adalah:<br />
1. Perbedaan ranah (domain) pada Indikator akan menghasilkan Silabus yang berbeda, karena<br />
tingkat kesulitan setiap ranah (domain) berbeda sehingga kegiatan pembelajaran dan evaluasinya<br />
akan berbeda<br />
2. Perbedaan pada penafsiran Substansi Masalah dan Masalah Paedagogis di Analisis Esensi Materi,<br />
akan menghasilkan Silabus yang berbeda.<br />
114<br />
Lihat Pasal 1 ayat 2 Permendiknas No. 24 Tahun 2006<br />
115<br />
Lihat Pasal 36 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Pasal 20 butir a<br />
UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) (Lihat juga Catatan kaki No. 5)<br />
116<br />
Lihat rumusan Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 yang mengamputasi isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 (rincian isi<br />
pasalnya dapat dilihat di Catatan Kaki No.2 di Bab Pendahuluan) (Lihat juga catatan kaki No. 4)<br />
160<br />
150
3. Silabus selalu disertai dengan Analisa Konteks, dan konteks tiap daerah akan berbeda, sehingga<br />
Silabusnya tidak mungkin sama.<br />
4. Pembuatan Silabus oleh guru sendiri adalah amanat dari UU Sisdiknas (UU No. 20 Tahun 2003)<br />
Pasal 39 ayat 1 dan ayat 2; serta UU Guru dan Dosen (UU No. 14 Tahun 2005) Pasal 14 ayat 1<br />
butir e, f, i juncto Pasal 14 ayat 1 butir c; serta PP No. 32 Tahun 2013 Pasal 77 M ayat 1<br />
Penjelasannya :<br />
1. Perbedaan ranah (domain) pada Indikator akan menghasilkan Silabus yang berbeda,<br />
karena tingkat kesulitan setiap ranah (domain) berbeda sehingga kegiatan pembelajaran<br />
dan evaluasinya akan berbeda<br />
Misalnya : Indikator : Siswa dapat menjelaskan tentang puisi Sitor Situmorang : “Malam Lebaran”<br />
Kalau guru menetapkan bahwa kata “menjelaskan” itu ada dalam ranah C2 (pemahaman)<br />
maka guru cukup memfasilitasi siswa bahwa puisi ini unik (hanya terdiri dari satu baris) : “Bulan<br />
di atas kuburan” dan puisi ini ditulis oleh Sitor Situmorang untuk sahabatnya : Pramudya Ananta<br />
Tur, yang baru dibebaskan dari Pulau Buru. Puisi ini mempunyai makna yang dalam sehingga<br />
mendapat penghargaan SEA Literature Award<br />
Kalau guru menetapkan bahwa kata “menjelaskan” itu ada dalam ranah C5 (sintesis) maka<br />
guru mendorong siswa mencari tahu siapa itu Pramudya Ananta Tur (sehingga Sitor sampai secara<br />
spesial mengarang puisi untuk dia), kenapa dia ditahan di Pulau Buru dan apa peran keduanya<br />
dalam dunia sastra Indonesia, sehingga siswa mulai mendapat benang merah persahabatan mereka<br />
(Sitor menulis puisi ini bukan tanpa resiko pada jaman Orde Baru) Persahabatan yang tulus (yang<br />
mengabaikan semua resiko) selalu menggetarkan, oleh karena itu, puisi ini mendapat penghargaan<br />
internasional.<br />
Kalau guru menetapkan bahwa kata “menjelaskan” itu ada dalam ranah P1 (persepsi), maka<br />
guru mulai memfasilitasi siswa cara menafsir pesan puitik : dari judulnya atau dari isinya (dari<br />
baris-baris puisinya)? Mengapa tidak boleh menafsir makna puitik dari judulnya? Kalau menafsir<br />
dari baris puisinya : “Bulan di atas kuburan”, lalu menafsirkannya dari keseluruhan kalimat, dari<br />
depan kalimat, atau dari belakang kalimat? Kalau siswa sudah dapat menangkap makna yang<br />
tersirat itu dari bagian belakang kalimat yaitu “kuburan”, maka siswa dibimbing sampai mendapat<br />
makna terdalam dari “kuburan” yaitu “kematian”. Lalu apa hubungannya dengan “bulan” ? Bulan<br />
mati (malam yang gelap gulita) itu terjadi pada tanggal tua atau tanggal muda ? Dengan demikian,<br />
siswa diajak mengamati siklus bulan, kapan bulan mati (malam gelap gulita), kapan bulan sabit<br />
muncul, kapan bulan purnama terjadi, kemudian akan muncul bulan sabit lagi, hanya arah sabitnya<br />
berlawanan dengan arah sabit pada awal bulan, lalu bulan mati lagi menjelang akhir bulan. Jadi<br />
161<br />
151
melalui kata “menjelaskan” dalam ranah P1 (persepsi) : siswa diajak sampai pada simpulan bahwa<br />
“bulan di atas kuburan” itu adalah “bulan mati”, artinya “tanggal tua” (menjelang akhir bulan).<br />
Apa yang terjadi pada “tanggal tua”? Orang hanya punya sedikit uang (tongpes : kantong<br />
kempes). Jadi makna puisi ini mulai bisa dirangkai : “Malam Lebaran” : “orang tidak punya<br />
uang”. Pada saat orang berpesta di malam takbir, ada orang yang tidak punya uang, karena baru<br />
dibebaskan dari Pulau Buru. Sekarang terlihat benang merah antara Pramudya Ananta Tur dan isi<br />
puisi ini. “Pada malam takbir, dimana semua orang bersuka ria, ada makanan lezat berlimpah,<br />
ada baju baru, ada suasana rumah yang baru, ada juga Pramudya Ananta Tur yang tidak punya<br />
uang, tapi orang tidak peduli, (orang tidak peduli bahwa Pramudya adalah sastrawan besar, yang<br />
tetraloginya : Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, tersebar<br />
secara luas dan diam-diam di foto copy dalam era Orde Baru), sama tidak pedulinya orang-orang<br />
itu pada siklus bulan, mau bulan purnama kek, mau bulan mati kek, emangnya gua pikirin ?<br />
Kalau guru menetapkan bahwa kata “menjelaskan” itu ada dalam ranah P2 (kesiapan), maka<br />
siswa didorong untuk merenung, apa bentuk kepedulian kita pada orang miskin? Apakah dengan<br />
memberi sedekah, misalnya Rp. 5.000,- yang tidak cukup untuk sekedar membeli makan dan<br />
minum? Ataukah para siswa diajak memiliki semangat berbagi, apa yang dipunyai siswa (baju,<br />
makanan, uang saku, dll) dibagi kepada mereka yang miskin, sehingga orang miskin bisa ikut<br />
menikmati kerahiman Allah? Kalau cuma sedekah, tidak cukup untuk membeli apapun, apalagi<br />
kalau sedekahnya berbentuk uang receh : Rp. 500, - atau Rp. 1000,- Bisa untuk apa? Siswa diajak<br />
untuk tidak serta merta berkilah : “Kan yang memberi sedekah banyak, sedikit-sedikit lama-lama<br />
jadi bukit”. Tapi siswa diajak mulai memikirkan tanggung jawab pribadinya di dunia ini (bukan<br />
merujuk pada orang lain), apa yang sudah saya lakukan secara pribadi? Cukup bermanfaat atau<br />
tidak bagi kehidupan ini?<br />
Kalau guru menetapkan kata “menjelaskan” itu ada dalam ranah A3 (penilaian), maka guru<br />
mendorong siswa untuk mencari arti terdalam : pada Malam Lebaran, saat semua orang berpesta,<br />
apakah kita masih memikirkan bahwa ada orang miskin di sekitar kita, dan kita sama sekali tidak<br />
ambil pusing karena kita sibuk dengan diri kita sendiri? Jadi renungan yang terdalam adalah<br />
apakah kita sebagai orang yang beragama, tidak bersikap munafik? Saat kita berdoa memohon<br />
ampunan Allah, kita bersikap bengis pada orang yang menyakiti hati kita (kita tidak memberi<br />
ampunan pada orang yang bersalah kepada kita). Saat kita berdoa memohon penyelesaian suatu<br />
soal kepada Allah, apakah kita tidak meletakkan persoalan pada bahu orang lain?<br />
JADI, DARI CONTOH-CONTOH DI ATAS, NAMPAK JELAS BAHWA : BILA RANAH<br />
(DOMAIN) BERBEDA, MAKA BAHAN AJAR/MATERI AKAN BERBEDA, KEGIATAN<br />
PEMBELAJARANNYA AKAN BERBEDA DAN BENTUK EVALUASI HASIL<br />
152<br />
162
BELAJARNYA JUGA AKAN BERBEDA, dengan kata lain, silabusnya akan berbeda,<br />
bagaimana mungkin silabus bisa diseragamkan secara nasional ?<br />
Dari contoh-contoh diatas, terlihat bahwa pendidikan karakter dapat dimasukkan dalam<br />
pelajaran secara natural, (harap diingat bahwa 18 nilai dalam pendidikan karakter itu sudah lazim<br />
dipraktekkan dalam Kurikulum 2006 (KTSP Awal), jadi tidak usah dipaksa-paksakan masuk ke<br />
kurikulum lewat KI 1 : menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Lagak saleh dan sok moralis<br />
justru mejauhkan dari hakekat sains, akan terlihat jelas bahwa KI 1 itu akan menjadi sekedar<br />
tempelan yang nir makna. Misalnya : “Malam Lebaran, Bulan di atas kuburan” itu ditafsirkan<br />
sebagai : “hendaknya selalu mengingat akherat pada malam takbir”, atau 4 x 4 = 16 itu dikaitkan<br />
dengan kejujuran. Mengatasinya : lihat di langkah win win solution di Bab I Filosofi Pendidikan.<br />
Tujuannya : mencari materi/bahan ajar yang hilang dari kurikulum kita (banyaknya materi uji<br />
yang tidak terdapat dalam kurikulum nasional kita : Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian I A<br />
No. 2 b : Tantangan Eksternal), yang diulang pada PermendikbudNo.68, No.69 dan No.70<br />
tergantung unit sekolahnya dan di copy paste pada Permendikbud No. 57 Tahun 2014 Bagian I A<br />
No.2 b : Tantangan Eksternal, yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59 dan No.60<br />
tergantung unit sekolahnya (Lihat Catatan * di Kata Pengantar)<br />
2. Perbedaan pada penafsiran Substansi Masalah dan Masalah Paedagogis di Analisis<br />
Esensi Materi, akan menghasilkan Silabus yang berbeda.<br />
Misalnya : Indikator : Siswa dapat menjelaskan tentang pemanfaatan Teori Probabilitas dalam<br />
pengambilan keputusan<br />
Substansi Masalah : Teori Probabilitas bagi siswa kelihatan sukar karena disajikan dalam bentuk<br />
rumus-rumus himpunan, tanpa memasuki konsep basis bilangan<br />
Masalah Paedagogis : Siswa sulit mengaitkan Matematika (Teori Probabilitas) yang abstrak<br />
dengan kehidupan sehari-hari (pengambilan keputusan)<br />
Penyelesaian (harus bisa mengatasi kedua masalah itu sekaligus (substansi masalah dan masalah<br />
paedagogis) : Siswa memanfaatkan Teori Probabilitas (Teori Peluang), Permutasi dan Kombinasi<br />
dalam permainan dadu (ular tangga, bola bekel) : dalam permainan dadu : basis bilangannya : 6,<br />
jadi dalam satu kali lempar dadu, peluang untuk mendapat angka 2 adalah 1/6 (peluang untuk<br />
mendapat angka 2 adalah 1 kemungkinan dari 6 kemungkinan yang ada); Permainan kartu (remi,<br />
empat satu, truf, bridge) : dalam permainan kartu : basis bilangannya 13, jadi dalam satu kali<br />
kocok kartu, peluang untuk mendapat kartu As adalah 1/13 (peluang untuk mendapat kartu As<br />
adalah 1 berbanding 13); Permainan strategi (halma, karambol dan bilyar, catur) : halma<br />
sesungguhnya menunjukkan dasar pengertian segitiga Pascal, karambol dan bilyar menunjukkan<br />
163<br />
153
penerapan segitiga Pascal dalam teori peluang, kombinasi dan permutasi, sedangkan catur<br />
menunjukkan penerapan basis bilangan 8 dengan teori peluang. Misalnya, bisakah dalam 10<br />
langkah, kita memakan satu kuda lawan?<br />
Langkah penyelesaian ini akan muncul sebagai bentuk Kegiatan Pembelajaran di Silabus.<br />
Dengan demikian, kalau perumusan Substansi Masalah dan Masalah Paedagogisnya berbeda,<br />
maka rumusan Penyelesaiannya akan berbeda. Akibatnya Kegiatan Pembelajaran di Silabus juga<br />
akan berbeda. Jadi Silabus tidak mungkin sama dan seragam.<br />
Penugasan : Alat peraga : Ular Tangga : Siswa menghitung peluang untuk naik tangga bila dadu<br />
dilempar satu kali.<br />
Alat peraga : Bola bekel : Siswa menghitung berapa kombinasi angka yang terlihat bila 3 dadu<br />
berhasil dibalik saat melempar bola.<br />
Alat peraga : Catur : Siswa menghitung langkah kombinasi yang mungkin diambil untuk<br />
mematikan lawan (skak mat) dalam 5 langkah.<br />
Penugasan ini akan menjadi Sumber Belajar yang baru (diluar penggunaan buku teks) yang dapat<br />
memperkaya wawasan siswa di Silabus. Penugasan ini merangsang kreativitas guru untuk<br />
memanfaatkan apa yang ada di lingkungannya, sehingga dana BOS tidak dihabiskan untuk<br />
membeli peralatan yang mahal, yang tidak kita ketahui teknologinya (kalau rusak, tidak tahu<br />
cara membetulkannya)<br />
Misalnya : Penggunaan Ular Tangga, Bola Bekel atau Catur untuk belajar teori peluang,<br />
permutasi dan kombinasi, guru tidak usah menggunakan LCD untuk menerangkan teori<br />
himpunan yang penuh rumus itu dalam menjelaskan teori probabilitas.<br />
RUMUSAN PENUGASAN BISA BERBEDA, ALAT PERAGA YANG DIPILIH BISA<br />
BERLAINAN, MAKA RUMUSAN PENUGASAN TIDAK BISA SAMA, AKIBATNYA<br />
RUMUSAN SUMBER BELAJAR DI SILABUS BISA BERBEDA. Bagaimana mungkin<br />
Silabus bisa sama dan seragam atau bagaimana mungkin Silabus ditentukan oleh Pusat<br />
(Puskurbuk) (sementara Pusat tidak tahu alat peraga apa yang nantinya akan dipilih oleh guru dan<br />
bagaimana rumusan penugasannya)<br />
3. Silabus selalu disertai dengan Analisa Konteks, dan konteks tiap daerah akan berbeda,<br />
sehingga Silabusnya tidak mungkin sama<br />
Analisa konteks terdiri dari KONDISI ALAM, KEKAYAAN DAERAH, SOSIAL BUDAYA<br />
Misalnya : Kelas 1 SD : Indikator : Siswa dapat menghitung bilangan 1 sampai 100<br />
Kondisi Alam (agraris) : Siswa menghitung menggunakan biji jagung dengan permainan dakon<br />
(congklak) yang mempunyai 9 lobang yang saling berhadapan (alat peraga berbasis bilangan 10)<br />
164<br />
154
Kalau Kondisi Alamnya maritim : maka yang digunakan untuk permainan dakon (congklak)<br />
adalah rumah keong laut yang kecil dan ukurannya hampir sama, yang banyak terdapat di pantai<br />
Kekayaan daerah (sesuatu yang khas di daerah tertentu, tidak dijumpai di daerah lain) : Siswa di<br />
Jawa Timur, menghitung menggunakan permainan entik (batang pendek yang dipukul, yang<br />
terdiri dari 1 ruas batang singkong, yang dipukul oleh pemukul batang panjang, yang terdiri dari<br />
3 ruas batang singkong)<br />
Sosial budaya : Siswa di Kalimantan Barat menghitung menggunakan sempoa (swiepoa)<br />
Siswa di Jawa menghitung menggunakan jari (jarimatika)<br />
DENGAN RUMUSAN ANALISA KONTEKS YANG BERBEDA, MAKA PENGUKURAN<br />
INDIKATOR KEBERHASILANNYA DI SILABUS AKAN BERBEDA, jadi tidak mungkin<br />
Silabus itu diseragamkan, harus melihat situasi daerah dan kondisi sekolah di daerah yang<br />
bersangkutan. Itulah dasar dari rumusan diversifikasi kurikulum pada Pasal 36 ayat 2 UU<br />
Sisdiknas dan Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005, serta Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32<br />
Tahun 2013, yang dilupakan dalam Kurikulum 2013<br />
Dari contoh-contoh diatas, terlihat jelas bahwa pemberlakuan kurikulum tunggal telah<br />
menurunkan derajat guru dari seorang kreator, konseptor, inisiator, dan desainer kurikulum,<br />
menjadi sekedar petugas administrasi dan tukang mengajar, yang menjalankan Silabus dari<br />
buku atau Silabus drop-dropan dari Kemdikbud atau guru yang hanya sibuk dengan Dapodik saja.<br />
Tanpa kreativitas guru, sukar diharap sekolah akan bisa menjadi pelopor inovasi yang dapat<br />
menciptakan gen flux, generasi yang berpikir out of the box dan merajut impian : apa yang bisa saya<br />
sumbangkan untuk masyarakat. Suatu generasi yang mencoba mengaplikasikan pengetahuannya bagi<br />
kemajuan lingkungannya, yang muncul dalam semangat volunterisme di mana-mana. Lihat karya<br />
gen flux dalam berbagai kreasi di sosial media yang memecah kebuntuan di masyarakat, seperti<br />
Kawal Pemilu (www.kawalpemilu.org) atau wadah dunia untuk perubahan (www.change.org)<br />
Dengan demikian, nampak jelas bahwa pengajaran erat hubungannya dengan kemampuan<br />
mengaitkan teori dan praksis sehingga dapat meningkatkan daya serap siswa terhadap cara bahan<br />
ajar/materi itu disajikan. Itulah sebabnya, siswa yang pandai sebaiknya diminta untuk mengajar<br />
temannya yang belum mengerti (tutor sebaya). Dengan berbagi, daya ingatnya akan meningkat tajam<br />
dan daya serapnya akan makin besar. Ilmu yang disimpan untuk dirinya sendiri juga akan lebih<br />
mudah dilupakan. Dengan analogi itu, Bahan Ajar (Materi) dapat dianalisa berdasarkan retensinya<br />
atau ingatan yang tersimpan di memori :<br />
165<br />
155
Artinya, dari hasil metode ceramah, hanya 5% yang diingat, atau bila porsi ceramah hanya 5%,<br />
maka kreasi akan lebih optimal. Dengan kata lain, bila porsi praktek atau langsung mengerjakan itu<br />
mencapai 75% , maka hal itu akan sangat membantu kita untuk lebih mengingat dan mengerti materi.<br />
Bila porsi mengajar orang lain (tutor sebaya : mampu mengaitkan teori dan praksis) itu sampai<br />
mencapai 90%, maka hal itu akan sangat membantu kita untuk mengingat materi-materi yang<br />
penting. Dengan kata lain, pengajaran erat kaitannya dengan pembelajaran dan pemelajaran. Hanya<br />
dengan modal pemelajaran yang ekstensif, kita dapat mengajar orang lain, dalam arti orang akan<br />
mendapat pengalaman belajar yang baru, hanya dan hanya jika kita terus menerus mengasah diri<br />
menjadi manusia pembelajar melalui askese pengetahuan (mesu budi) yang tertuang dalam analisis<br />
esensi materi/bahan ajar yang sahih (valid).<br />
Berbekal diagram diatas, kita akan lebih mudah memahami pentingnya (esensi) suatu materi,<br />
tingkat kerumitannya (kompleksitas) dan tingkat kesulitan (kesukarannya) melalui AEM (Analisis<br />
Esensi Materi). Misalnya, guru IPS SMP yang akan menyampaikan keragaman bentuk muka bumi,<br />
melalui metode ceramah (yang dilengkapi dengan penerapan macam-macam gambar/foto kontur<br />
bumi menggunakan model pembelajaran PAP (Picture And Picture), maka yang mampu diingat<br />
siswa hanya 5% dari keseluruhan materi. Namun bila siswa dapat mengumpulkan macam-macam<br />
contoh batuan, maka daya serapnya terhadap keragaman bentuk muka bumi akan meningkat cukup<br />
signifikan (75%). Selanjutnya, bila siswa mampu menjelaskan kepada temannya (tutor sebaya), apa<br />
beda topografi dan geografi serta kartografi, maka daya serap (pemahaman) tentang keragaman<br />
bentuk-bentuk muka bumi akan meningkat sampai 90% (pemahamannya melampaui KKM (kriteria<br />
ketuntasan minimal) : 75%) dan mendekati KKI (kriteria ketuntasan ideal) : 100%). Sayangnya,<br />
AEM ini tidak dilakukan dalam pengkajian Kurikulum 2013.<br />
156<br />
166
Masalah lain yang timbul akibat pembiaran adanya 6 varian kurikulum di lapangan adalah<br />
kerancuan baru dalam menerjemahkan Permendikbud No. 160 Tahun 2014. Ketentuan Pasal 1 dari<br />
Permendikbud No. 160 Tahun 2014, yaitu kembali menerapkan Kurikulum 2006 diartikan sebagai<br />
kembali menerapkan KTSP Bimtek (2008) itu. 117 Lalu ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan 2 dari<br />
Permendikbud No.160 Tahun 2014 tentang pemberlakuan Kurikulum 2013 diartikan sebagai tetap<br />
melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 yang sedang berjalan, tanpa menghiraukan banyaknya<br />
kesalahan, yaitu :<br />
(1) Pemberlakuan secara menyeluruh dan seragam itu melanggar azas diversifikasi kurikulum<br />
(Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, Pasal 17 PP No.19 Tahun 2005 dan Pasal 77 M ayat 1 dan<br />
ayat 3 PP No.32 Tahun 2013).<br />
(2) Penyeragaman melalui pelatihan singkat itu melanggar otonomi guru (Pasal 39 ayat 2 UU<br />
Sisdiknas, Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, serta Pasal<br />
77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013) (Lihat rincian Pasal-pasal ini di Catatan kaki No.2)<br />
(3) Kompetensi Inti (KI) harus dirumuskan ulang, mengingat KI untuk semua jenjang<br />
pendidikan itu sama (berarti menyamakan kompetensi anak SD setaraf dengan kompetensi<br />
anak SMA, sesuatu yang sangat absurd) . Menurut Wagner, ada enam kompetensi<br />
(kemampuan) inti yang harus dikuasai siswa (bukan empat dan rumusannya sangat berbeda<br />
itu) (lihat bagian tentang pembahasan Kompetensi Inti di Bab ini)<br />
(4) KI tidak koheren dengan KD (Kompetensi Dasar), sehingga sulit menentukan Indikator<br />
Keberhasilannya.<br />
(5) Silabus tidak sinkron dengan buku siswa dan buku pegangan guru.<br />
(6) program penilaian yang sudah beberapa kali diubah itu harus ditinjau ulang karena<br />
menjadi penilaian subyektif, bukan penilaian otentik lagi.<br />
(7) penggunaan satu-satunya model pembelajaran yaitu model saintifik (5 M) telah<br />
mengacaukan hakekat kebebasan mimbar akademik, karena masih banyak metode, strategi<br />
dan model pembelajaran lain yang lebih situasional dan kontekstual.<br />
(8) penghapusan mata pelajaran TIK di semua jenjang pendidikan telah mengacaukan system<br />
of knowledge dari iptek. Anak-anak dan guru banyak yang menggunakan gawai (gadget)<br />
namun buta teknologinya, kalau gawai rusak, harus beli yang baru (tidak tahu cara<br />
117<br />
Padahal dalam Diklat sertifikasi guru yang hanya 3 hari itu sudah mulai diperkenalkan adanya silabus dan RPP yang<br />
seragam yang dikemas dalam KTSP Bimtek, dengan alasan harus ada panduan penyusunan kurikulum secara nasional<br />
167<br />
157
eparasinya). Kemdikbud telah menurunkan derajat generasi muda dari programmer menjadi<br />
user saja (menjadi konsumen dari teknologi informatika). Memang dalam penerapan terbaru<br />
Kurikulum 2013, ada tanda-tanda bahwa mata pelajaran TIK boleh diajarkan lagi, tapi hanya<br />
berfokus pada teknologi informasi, bukan pada teknologi komunikasi (gawai/gadget) yang<br />
sekarang menjadi hajat hidup orang banyak., sehingga siswa tetap ketinggalan jaman.<br />
(9) Penghapusan IPA di kelas 1, 2, 3 SD telah merusak system of knowledge dari sains,<br />
merusak penalaran halus (fine tuning) siswa. Siswa akan mengira bahwa Biologi itu hafalan<br />
dan Fisika itu adalah kumpulan rumus/dalil yang mesti dihafal.<br />
(10) Pemaksaan dilanjutkannya Kurikulum 2013 pada saat ini telah mengabaikan Nawa Cita<br />
No.3 (lihat hasil survey berbagai lembaga internasional tentang kemerosotan kualitas<br />
pendidikan kita, di bagian akhir dari Bab Pendahuluan). Melanjutkan Kurikulum 2013 tanpa<br />
menyimak pro kontra yang timbul, jelas-jelas mengabaikan Nawa Cita No.8 : pemerintah<br />
akan menata ulang kurikulum pendidikan nasional.<br />
Dengan demikian, sampai saat ini, para kepala sekolah diarahkan untuk tetap mengusung<br />
hegemoni pemerintah atas dunia pendidikan dan pengajaran kita, melupakan ketentuan Pasal 5<br />
Permendikbud No. 158 Tahun 2014 yang ditanda tangani oleh Mendikbud M. Nuh pada tanggal 17<br />
Oktober 2014 : sekolah yang terakreditasi A, menerapkan sistim kredit semester (SKS) 118 dan Perpres<br />
No. 77 Tahun 2007 dimana sektor pendidikan terbuka bagi PMA (Penanaman Modal Asing) -<br />
Perpres No. 77 Tahun 2007 yang ditanda tangani oleh Presiden SBY tanggal 3 Juli 2007 itu<br />
menyokong arus deras globalisasi dan liberalisasi pendidikan, yang nampak pada Lampiran II 119 :<br />
Arus globalisasi dan liberalisasi pendidikan itu adalah buah dari kesepakatan kita dalam WTO dan<br />
ACMW, yang tercermin dalam pemberlakuan pasar bebas : MEA 2015 (ASEAN Economic<br />
Community 2015) dan APEC 2020 (Asia-Pacific Economic Cooperation 2020), dimana sektor jasa<br />
pendidikan akan terbuka bagi lalu lintas barang dan orang (SDM), tidak boleh ada restriksi lagi.<br />
Permendikbud No. 31 tahun 2014 justru bisa menimbulkan masalah dengan WTO dan ACMW.<br />
118<br />
Dalam rumusan ini dijumpai kata “dapat”, sehingga secara hukum, kalimatnya harus dibaca : sekolah yang<br />
terkareditasi A, bisa langsung menerapkan SKS (bukan menerapkan paket SKS, tapi menerapkan sistim baku SKS)<br />
119<br />
- a. Dicadangkan untuk UMKMK : No.18 Education Building (KBLI 45216 sektor Pekerjaan Umum)<br />
- c. Kepemilikan modal :<br />
No.66 Education building (KBLI 45216 sektor Pekerjaan Umum)<br />
No.72 Pendidikan Dasar dan Menengah (KBLI 80121, 80122, 80123, 80221, 80222 sektor Pendidikan Nasional<br />
No.73 Pendidikan Tinggi (KBLI 80321, 80322 sektor Pendidikan Nasional)<br />
No.74 Pendidikan Non Formal (KBLI 80921, 80922, 80923 80929 sektor Pendidikan Nasional)<br />
158<br />
168
Yang sekarang terjadi adalah pergeseran makna dari kurikulum menjadi pengajaran, seperti<br />
yang nampak dalam Surat Keputusan Dinas Pendidikan di berbagai daerah untuk menunjuk sekolahsekolah<br />
tertentu sebagai sekolah piloting Kurikulum 2013 (melupakan ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2<br />
ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014), atau melanjutkan<br />
penerapan Kurikulum 2013 tanpa revisi dengan mengabaikan suara pro-kontra soal Kurikulum 2013.<br />
Betapa pendeknya ingatan sejarah para birokrat kita. 120 Harapannya hanyalah semoga ada dana<br />
yang dikucurkan untuk memulai lagi pelatihan Kurikulum 2013 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal<br />
3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 (mental proyek tak pernah sirna, 121 mengorbankan ketentuan<br />
Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014 untuk melangkah ke SKS), sehingga kalau Mendikbud<br />
tahun 2016 nanti ingin mencanangkan UN Online, situasinya tak akan jauh berbeda dengan ketidaksiapan<br />
melaksanakan UN Online sekarang ini (bukan saja karena mata pelajaran TIK baru akan<br />
diterapkan tahun ini, karena memang baru dicantumkan lagi dalam “Kurikulum 2013 baru” dengan<br />
peralatan komputer seadanya, tetapi terlebih-lebih karena masih banyak pihak yang berkepentingan<br />
dengan UN tertulis sebagai proyek abadi Kemdikbud). Maka hasil UKG Online-pun sudah bisa<br />
ditebak, semua guru akan lolos uji kompetensi guru (UKG) (Lihat Kompas, Rabu 11 November 2015<br />
halaman 11 : Guru Kesulitan Jawab Soal)<br />
Kurikulumnya belum digital, bagaimana bisa membuat UN digital (UN Online) dimana nilai<br />
ujian dan Analisa Soal bisa diperoleh secara langsung begitu ujian terselesaikan (on the real<br />
time) 122<br />
Bagaimana kalau ternyata banyak soal-soal UN itu setelah diuji menggunakan Analisa Soal ternyata<br />
tidak valid ? (banyak soal harus direvisi atau ditolak) Artinya penyusunan soal tidak memperhatikan<br />
kisi-kisi konsep SPM dan bobot soal tidak memperhatikan ketercapaian strategi pembelajaran?<br />
Apakah hasilnya tetap akan diterima atau dianulir ? Soal-soal yang diterima oleh program Analisa<br />
Soal ini kemudian dikumpulkan dalam Bank Soal. Jadi Bank Soal berisi soal-soal yang telah diuji<br />
coba dan terbukti dapat memisahkan kelompok “siswa yang sudah menguasai suatu topik/tema<br />
tertentu” dengan kelompok “siswa yang belum menguasai topik/tema tertentu”. Apakah Kemdikbud<br />
sudah mempunyai Bank Soal sehingga tetap meneruskan penyelenggaraan Ujian Nasional meskipun<br />
120<br />
Kurikulum 2006 dan SKS memerlukan kebebasan mimbar akademik sebagaimana telah diuraikan dalam Bab I,<br />
sedangkan KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 justru menegasikan otonomi pendidikan dan mengusung semangat<br />
hegemoni pemerintah dalam dunia pengajaran di kelas (dua kutub yang berbeda tidak bisa berjalan bersamaan<br />
karena dasar filosofisnya berbeda jauh)<br />
121<br />
Dengan Kurikulum 2013, sekolah tidak akan pernah bisa menerapkan SKS, karena guru tidak terlatih menyusun<br />
kurikulumnya sendiri, sebagaimana terlihat pada Catatan Kaki No.2 Dasar Hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan<br />
122<br />
Buku Disain Kurikulum Digital, Wendie Razif Soetikno, Smart Writing, Yogya, 2009, Cetakan ke-7 oleh Bank Mandiri<br />
diajukan dalam Asian CSR Award 2015 di Manila untuk kategori Education Improvemnet (Lihat juga Catatan kaki No.5)<br />
169<br />
159
sudah ada putusan inckracht Mahkamah Agung (MA) No. 2596 K/PDT/2008 yang meminta<br />
pemerintah membatalkan Ujian Nasional sampai sarana dan prasarana sekolah terpenuhi dan<br />
kompetensi guru ditingkatkan. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengeluarkan aanmaning<br />
(teguran) kepada Mendikbud M. Nuh karena dianggap melalaikan putusan MA final (kasasi) terkait<br />
Ujian Nasional. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memanggil Mendikbud untuk mendengarkan<br />
aanmaning pada hari Rabu tanggal 10 April 2012, namun Mendikbud M. Nuh tetap ngotot<br />
menyelenggarakan Ujian Nasional. Mendikbud telah mengabaikan putusan MA agar memperbaiki<br />
sarana dan prasarana sekolah dan meningkatkan kompetensi guru, Mendikbud M.Nuh memilih tetap<br />
melanjutkan proyek tebar uang melalui program sertifikasi guru yang tak terkait uji kompetensi guru<br />
(UKG) dan kinerja guru, serta tetap berkukuh melaksanakaan Kurikulum 2013 dan UN, hanya demi<br />
proyek penyerapan anggaran, bukan untuk kemashalatan bersama.<br />
Harap diingat, bahwa banyak sekolah mempunyai Analisa Soal type ANATES (yang<br />
dikeluarkan oleh ITB) atau SPS Sutrisno Hadi (yang dikeluarkan UGM) , atau Analisa Soal<br />
dari Disain Kurikulum Digital, sehingga validitas soal Ujian Nasional bisa langsung di cek di<br />
masing-masing sekolah secara real time.<br />
Pertanyaan penting tentang validitas soal ini tak akan terjawab tahun ini karena pemerintah sibuk<br />
dengan penerapan Kurikulum 2013 (berkukuh pada penerapan proyek sebagaimana tercermin dalam<br />
Pasal 2 ayat 1 + Pasal 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014, dan lupa pada ketentuan Pasal 1 + Pasal<br />
2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014), abai pada keputusan penting dalam menghadapi<br />
globalisasi dan liberalisasi pendidikan yang tercermin pada Pasal 5 Permendikbud No. 158 tahun<br />
2014 123 dan Perpres No. 77 Tahun 2007 yang membuka akses pendidikan bagi modal asing (PMA)<br />
Kurikulum adalah perangkat demokratisasi<br />
Esensi pembangunan dalam term ruang sosial adalah “Pancasila in action”, bukan ucapan<br />
atau hafalan. Tanpa menyebut sila demi sila, pembangunan khas ini mewujudkan kemanusiaan yang<br />
adil dan beradab dengan jalan meminta setiap warga dewasa ikut aktif membahas kehadiran setiap<br />
proyek yang akan dibangun di komunitasnya (termasuk pemberlakuan kurikulum baru, seperti<br />
Kurikulum 2013). Dengan kata lain, dia “diwongke”, diakui martabatnya selaku manusia, bukan<br />
sekedar warga yang ber-kartu-penduduk, bukan sekedar guru yang tercantum dalam Dapodik atau<br />
Padamu Negeri.<br />
Berdasarkan pendidikan dan pengalaman, mungkin efektivitas dan intensitas partsipasi warga bisa<br />
berbeda. Bila pemerintah, pusat atau daerah, menganggap ada warga yang belum cukup enlightened<br />
123<br />
Pasal 5 Permendikbud No. 158 tahun 2014 tertanggal 17 Oktober 2014 : Sekolah yang terakreditasi A, menerapkan<br />
SKS<br />
170<br />
160
atau matang secara intelektual, obatnya bukan merenggut keotonomian individual dari orang yang<br />
bersangkutan (atau merenggut otonomi guru dan otonomi sekolah), tetapi menginformasikan<br />
kekurangannya melalui bimbingan dan penyuluhan (tutorship). Inilah fungsi yang diemban oleh<br />
LPMP dahulu. Dalam konsep pembangunan ini otonomi individu bukan hanya berupa “aims” tetapi<br />
lebih-lebih “the principal means” untuk mewujudkan keadilan dan kemitraan guna kebaikan dan<br />
kebahagiaan bersama.<br />
Pembangunan dalam term ruang sosial membuat demokrasi (kerakyatan) bisa berjalan, bahkan secara<br />
langsung bagai di zaman Yunani Purba, melalui musyawarah pembahasan proyek yang tidak<br />
mengizinkan peserta mewakili atau diwakili. Guru tidak bisa diwakili melalui guru inti atau<br />
instruktur. Begitu juga, para guru inti dan instruktur tidak boleh merasa mewakili para guru.<br />
Inilah yang disebut demokrasi kontinu di mana warganegara diminta memberi pendapat atau<br />
suaranya tidak hanya di pilpres, pilleg, pilkada. Maka keberadaan sistem demokrasi kontinu (juga di<br />
dalam dunia pendidikan melalui demokrasi kontinu pendidikan) di mana ada demokrasi langsung di<br />
dalam sistem demokrasi-tak-langsung dewasa ini, adalah suatu manifestasi dari demokrasi<br />
modern. 124 Oleh sebab itu hak guru untuk berserikat dijamin oleh Undang-undang 125 Melalui<br />
perserikatan itu, sebenarnya bargaining power para guru hendak ditingkatkan dalam menghadapi<br />
para Pengawas dan birokrat Dinas Pendidikan, sehingga para guru tidak perlu takut, tunjangan<br />
sertifikasinya akan dicabut bila dia mempertanyakan kebijakan publik, seperti pelaksanaan<br />
Kurikulum 2013 yang tergesa-gesa ini dan pelaksanaan Ujian Nasional yang soalnya belum teruji<br />
(Lihat UU No. 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen) Pasal 14 ayat 1 butir (c) : “guru memperoleh<br />
perlindungan dalam melaksanakan tugas”, dan Pasal 14 ayat 1 butir (g) : “guru memperoleh jaminan<br />
keselamatan dalam melaksanakan tugas”, serta Pasal 39 ayat 3 : “Perlindungan hukum bagi para<br />
guru mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan (termasuk kekerasan tutur),<br />
ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak birokrasi”).<br />
Sayang sekali, semua ketentuan baku ini yang menjamin otonomi guru dan kebebasan mimbar<br />
akademik ini tidak disosialisasikan oleh para Pengawas dan Dinas Pendidikan di daerah, sehingga<br />
guru selalu ada di pihak yang lemah dalam mengkritisi kebijakan birokrat. Apalagi demokrasi dalam<br />
dunai pendidikan ini telah dipasung melalui keberadaan Pengawas yang tidak mengacu pada Pasal<br />
10 UU Sisdiknas (capacity building), tetapi mengacu pada Lampiran Permendikbud No.65 Tahun<br />
2013 Bab VI No.2 (watch dog). Akibatnya, sifat Kurikulum 2013 yang top down yang dikawal oleh<br />
para Pengawas ini telah menghancurkan fungsi inspiratif dari kurikulum.<br />
124<br />
Makalah Dr. Daud Yusuf dalam Seminar Pendidikan Nasional : Pembelajaran Holistik, Inklusif dan Berkelanjutan<br />
dalam Memasuki Renaisance Baru, Kamis 4 Juni 2015, Sumba Room, Hotel Borobudur<br />
125<br />
Lihat Pasal 14 ayat 1 butir (h) UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen : guru bebas berserikat dalam<br />
organisasi profesi<br />
171<br />
161
Fungsi deliberasi dari pengajaran<br />
Selama ini kita mengenal peralatan yang disebut “mikroskop” dan “teleskop”. Mikroskop<br />
merupakan suatu terobosan ilmiah merasuk dunia dari yang serba kecil-tak-terhingga (the world of<br />
the infinitely small). Ia memungkinkan manusia mendalami hidup, menemukan sel-sel termasuk<br />
DNA, mikroba dan virus, yang mendorong kemajuan biologi dan kedokteran. Teleskop merupakan<br />
terobosan ke alam yang infinitely big. Ia membuka spirit ke kesemestaan alam, keluasan kosmos,<br />
menjajaki rute planet dan bintang dan menyiapkan mahluk manusia menguasai ruang angkasa.<br />
Sayangnya, pemahaman yang infinitely big melalui Ilmu Bumi Falak (astronomi) ini justru dihapus<br />
siswa mengalami “rabun jauh” dalam memahami hakekat alam semesta. Matahari terbit di Timur dan<br />
tenggelam di Barat dipahami sebagai sesuatu yang baku, padahal hal itu harus dipahami melalui<br />
gerak rotasi dan gerak revolusi bumi. Bintang-bintang menjadi tidak punya arti dalam kehidupan<br />
siswa modern, padahal bintang merupakan penanda arah, penanda dimensi dll. Jadi mikroskop<br />
adalah jalan untuk menghayati “jagad cilik” sedangkan teleskop adalah jembatan untuk menghayati<br />
“jagad gede”. Melalui pemahaman “jagad cilik” dan “jagad gede”, siswa akan diajak memahami<br />
bahwa dirinya adalah bagian dari alam semesta (Siswa seharusnya tidak teralienasi dari alam, saat<br />
ini siswa tidak lagi peka membaca tanda-tanda alam). Siswa akan mengerti bahwa dirinya adalah<br />
spesifik, bukan cloning dari satu sistim pendidikan atau kurikulum tertentu. Itulah fungsi deliberasi<br />
pengajaran, yaitu menciptakan gen flux, generasi yang berpikir out of the box. Misalnya kelangkaan<br />
BBM tidak diatasi dengan memproduksi bahan bakar alternatif, seperti etanol, tapi dengan<br />
memanfaatkan energi matahari : seperti menciptakan mobil yang menggunakan panel surya.<br />
Sayangnya, kedua alat ini tidak pernah diajukan dalam penganggaran BOS di SD, padahal di<br />
SD-lah diterapkan pembelajaran tematik integratif, setidak-tidaknya kedua alat ini harus dianggarkan<br />
dalam dana BOS di SMP karena di SMP-lah diajarkan IPA Terpadu, sehingga fungsi deliberasi<br />
pengajaran tidak hilang. Sebab kalau fungsi deliberasi pengajaran itu hilang, siswa akan selalu<br />
memecahkan suatu masalah dengan cara klasik, misalnya bila siswa hendak memecahkan soal-soal<br />
Archimedes, maka yang dicari adalah rumus Archimedes : F a = ρ cair V b g , bukan mencari dasar<br />
logikanya : kenapa kalau benda dimasukkan ke dalam air, bisa terapung, melayang atau tenggelam;<br />
contoh lain, bila listrik padam, maka siswa secara business as usual langsung mencari genset, bukan<br />
mencari teropong bidik malam/periskop pelihat malam, yang harganya setara genset, sehingga siswa<br />
tetap dapat melihat di dalam kegelapan malam.<br />
Maka bila fungsi deliberasi itu hilang, kata “profesi” guru dan “profesional” seorang guru<br />
menjadi nir makna. Kata profesi (professio dari Bahasa Latin) artinya adalah janji atau ikrar kepada<br />
publik atau masyarakat. Janji seorang guru kepada masyarakat adalah membuat anak yang<br />
162<br />
172
“bodoh” menjadi “pintar”. Bukan saja pintar secara psikologis, tetapi yang lebih penting adalah<br />
pintar dalam menghadapi kehidupan ini (gen flux)<br />
Sebab profesi adalah kata serapan dari sebuah kata dalam bahasa Inggris "Profess", yang dalam<br />
bahasa Yunani adalah "Επαγγελια", yang bermakna: "Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan<br />
suatu tugas khusus secara tetap/permanen". Hidup untuk menghidupi kehidupan, hidup yang<br />
memanusiakan manusia muda (bukan menjadikannya sekedar seorang “peserta didik”)<br />
Karena fungsi pengajaran adalah memanusiakan manusia muda, maka mengajar bukanlah<br />
memberi pengetahuan, karena yang diberi, yakni subyek didik, belum tentu menganggapnya berguna.<br />
Bukan mengalihkan pengetahuan kepada orang lain, yakni subyek didiknya, karena subyek itu adalah<br />
manusia yang sudah “berisi”, bukan botol kosong yang bisa diisi seenaknya oleh guru. Mengajar<br />
bukan menanamkan ilmu pada diri subyek didik karena sang subyek bukan obyek mati yang mudah<br />
ditanami. Mengajar bukan menggurui karena subyek didik bisa menjadi guru bagi dirinya sendiri<br />
(siswa dapat menjadi tutor sebaya). Mengajar pada hakekatnya adalah menciptakan lingkungan<br />
belajar : menyediakan kondisi untuk membelajarkan subyek didik. Bagi filsafat konstruktivisme<br />
yang menjadi landasan Kurikulum 2006, mengajar adalah kegiatan yang memungkinkan siswa<br />
membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan siswa dalam<br />
membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan menuntun bersikap kritis.<br />
Mengajar adalah membantu siswa berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri. Di<br />
titik inilah Kurikulum 2013 memancing kontroversi, karena Kurikulum 2013 masih menggunakan<br />
istilah “peserta didik”, bukan “subyek didik” dan buku ajar/materi/sumber belajar yang ditetapkan<br />
oleh Kemdikbud, telah jauh membatasi wawasan siswa.<br />
Jadi yang dipertanyakan oleh guru bukanlah “Bagaimana saya mengajarkan bahan ajar ini?”<br />
atau “Bagaimana saya mengajar murid saya?”, melainkan “Bagaimana agar murid saya bisa belajar<br />
dan mempelajari bahan ini?” Dengan kata lain, pengajaran berkaitan dengan strategi<br />
pembelajaran, bukan dengan metode pembelajaran, apalagi kalau dipersempit menjadi hanya<br />
menggunakan metode 5 M, seperti pada Kurikulum 2013, hasilnya pasti diskusi, ceramah, presentasi,<br />
tidak lebih dari itu. Kegiatan itu bukan inquiry atau discovery, tetapi sekedar menggali dan<br />
merekonstruksi apa yang sudah tertulis dalam buku atau apa yang sudah di upload di internet, tidak<br />
sampai ke meta kognitif, bahkan menurut Dr Karlina Supeli hanya sampai kognitif rendah 126<br />
Maka mengajar harus sesuai dengan road map pembuatan RPP yaitu Taksonomi. Kurikulum<br />
2013 menggunakan SOLO Taxonomy (Structure of the Observed Learning Outcomes Taxonomy)<br />
126<br />
Lihat Pidato Kebudayaan Dr. Karlina Supeli pada catatan kaki No. 58, No. 92 dan No. 100<br />
173<br />
163
dengan target mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui<br />
pendekatan disiplin ilmu 127 yang diukur melalui penilaian rubrik (Lihat Bab I Filosofi Pendidikan).<br />
Sedangkan Kurikulum 2006 menggunakan Taksonomi Bloom dengan target mengembangkan model<br />
belajar konstruktivisme yang diukur melalui penilaian holistik (Lihat Catatan kaki No.5)<br />
Dua pendekatan yang berbeda : Kurikulum 2013 secara gamblang menyebut capaian kognitif sebagai<br />
acuannya (yang menjadikan KI 1 dan KI 2 nir makna), sedangkan Kurikulum 2006 mengacu pada<br />
pendidikan holistik sehingga dilengkapi dengan penerapan 18 nilai dalam pendidikan karakter yang<br />
dimonitor dalam Penilaian Berbasis Kelas (PBK)<br />
Banyak yang mengkritik Taksonomi Bloom sudah terlalu kuno. Kenapa masih digunakan?<br />
Karena masih relevan dalam meningkatkan kemampuan (kompetensi) guru dan siswa. Taksonomi<br />
Bloom mengharuskan para guru memberi TELADAN, lalu langsung memberi TUGAS pada siswa,<br />
dan hasil tugasnya (penampilan kinerja siswa/PERFORMANCE ) harus langsung dinilai. Misalnya,<br />
guru Pendidikan Jasmani dan Kesehatan sedang masuk dalam topik “LOMPAT JAUH”, maka<br />
gurunya yang pertama-tama harus memberi teladan : bagaimana mengambil ancang-ancang, lari dan<br />
melompat dengan posisi jatuh yang benar, agar siswa tidak cedera saat melompat nanti. Setelah para<br />
siswa paham bahwa lompat jauh memerlukan sprint sebelum melompat, lalu memerlukan pelipatan<br />
kaki untuk mengatur jauhnya lompatan dan untuk mengatur posisi jatuh, maka guru dapat memberi<br />
tugas kepada para murid untuk melompat, penampilan anak (performance anak) langsung dinilai.<br />
Contoh lain, guru Matematika akan memberi tugas PR pada para siswanya, maka guru tersebut yang<br />
pertama-tama harus memberi teladan, begini cara menyelesaikan soal berdasar logika (tanpa rumus),<br />
lalu beberapa siswa diminta maju ke papan tulis dan diberi tugas memecahkan soal di papan tulis,<br />
sementara itu, guru berkeliling untuk melihat pekerjaan para siswa di buku masing-masing/di meja<br />
masing-masing siswa, saat itu juga keberhasilan/kegagalan siswa dalam memecahkan soal di papan<br />
tulis itu dinilai (performance siswa dalam menyelesaikan soal langsung dinilai). Setelah yakin bahwa<br />
penjelasan guru dimengerti oleh siswa, maka guru dapat memberi tugas PR. Jadi fungsi PR sebagai<br />
kegiatan kokurikuler yang memperdalam pemahaman siswa dapat terealisir. Kalau langkah ini tidak<br />
dituruti, ada bahaya bahwa PR itu akan bergeser menjadi kegiatan ekstrakurikuler (dibawa pulang<br />
tanpa siswa mempunyai pemahaman yang cukup) sehingga pembuatnya tidak dapat dikontrol (anak<br />
mengumpulkan PR secara lengkap padahal yang membuat adalah orang tuanya atau menyalin dari<br />
temannya).<br />
127<br />
Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 bagian II A No. 3 (yang diulang dalam Permendikbud No. 68<br />
Tahun 2013 (untuk SMP) dan Permendikbud No. 69 Tahun 2013 (untuk SMA)<br />
164<br />
174
SOLO Taxonomy yang diterapkan dalam Kurikulum 2013 tidak secara eksplisit menyebutkan<br />
perlunya TELADAN dari guru, hingga guru bisa kembali ke pola lama, yaitu mengartikan Metode 5<br />
M itu sebagai diskusi dan presentasi, sebab SOLO taxonomy ini berkutat pada masalah<br />
KOMPETENSI dan TINGKAT KOMPETENSI, KOMPETENSI YANG BERSIFAT GENERIK<br />
dan KOMPETENSI YANG BERSIFAT SPESIFIK. Masalahnya adalah :<br />
- Ada empat rumusan KI (KI 1 – KI 4), padahal kalau mengikuti rumusan kompetensi inti<br />
universal, seharusnya ada enam KI (lihat Bab IV : Kurikulum vs Kompetensi). Kalau<br />
Kemdikbud berkukuh pada empat rumusan KI, maka masalahnya terletak pada<br />
pengukurannya : KI 1 (sikap spiritual) seharusnya menggunakan pengukuran SQ (spiritual<br />
quotient), dan KI 2 (sikap sosial) seharusnya menggunakan pengukuran CQ (civic quotient)<br />
- Rumusan KI untuk semua jenjang itu sama, artinya menyamakan kompetensi (kemampuan)<br />
inti siswa SD dengan siswa SMA itu muskil, akibatnya KI dan KD itu tidak koheren.<br />
- Pengukuran pencapaian KD itu tidak jelas, kalau menggunakan SOLO taxonomy, seharusnya<br />
para guru tidak lagi menggunakan soal-soal Pilihan Ganda, tetapi menggunakan penilaian<br />
rubrik (penilaian kinerja siswa).<br />
- Banyak KD memerlukan TELADAN dari guru, terutama pada KBM di SD, dan hal ini tidak<br />
eksplisit muncul dalam SOLO taxonomy, persiapan mengajar guru akan berjalan seperti biasa<br />
(business as usual) dengan resiko seperti yang dipaparkan di bagian Taksonomi Bloom di<br />
bab ini.<br />
Di dalam Taksonomi Bloom inilah diterapkan PBL (project-based learning) dalam arti<br />
sesungguhnya. Dapat dibayangkan bagaimana situasi pembelajaran, bila guru Bahasa Indonesia<br />
memberi tugas membuat puisi, padahal gurunya belum pernah mencoba membuat puisi sendiri, atau<br />
175<br />
165
guru Biologi memberi tugas pengamatan organ hewan padahal gurunya sendiri geli saat memegang<br />
katak, bagaimana siswa dapat membedakan hewan berdarah dingin dan hewan berdarah panas ?<br />
Atas dasar upaya terus menerus untuk peningkatan kemampuan (kompetensi) guru dan siswa itulah,<br />
Kurikulum 2006 memilih menggunakan Taksonomi Bloom (bukan SOLO Taxonomy yang lebih<br />
baru). Sedangkan Kurikulum 2013 menggunakan SOLO taxonomy tetapi lupa merumuskan<br />
kompentensi generik dan kompetensi spesifik, sehingga menimbulkan masalah pada evaluasi hasil<br />
belajarnya (evaluasi tidak menggunakan pengukuran Indikator Keberhasilan di silabus dan penilaian<br />
rubrik) serta tidak menggunakan SQ (spiritual quotient) untuk mengukur ketercapaian KI 1 dan CQ<br />
(civic quotient) untuk mengukur capaian KI 2, karena menurut para penggagas Kurikulum 2013,<br />
Kurikulum 2013 itu tidak lebih dari baju baru KBK (2004) yang dianggap sesuai dengan tujuan<br />
pendidikan Kurikulum 2013 128<br />
Kalau guru gagal dalam memberi TELADAN, maka kesalahan akan dibawa siswa seumur<br />
hidup. Mau bukti? Pergilah ke poliklinik/RS : lihatlah bagaimana perawat memperlakukan<br />
thermometer badan. Sebelum memasang thermometer di ketiak pasien, perawat itu akan mengetrekketrek<br />
thermometer lebih dulu, baru memasangnya pada ketiak pasien. Kalau para perawat itu<br />
ditanya, kenapa thermometer itu diketrek-ketrek, jawabnya adalah supaya thermometer kembali<br />
menunjuk angka nol. Jelas hal ini salah. Secara kognitif, perawat itu tahu bahwa suhu nol itu hanya<br />
akan dicapai bila thermometer itu dimasukkan dalam es yang mencair, tapi kenapa thermometer tetap<br />
dikretek-ketrek sebelum digunakan? Karena gurunya dulu tidak pernah memberi TELADAN saat<br />
menerangkan tentang pengukuran suhu : pada topik “macam-macam thermometer“ (Thermometer<br />
Celsius, Reamur, Fahrenheit, dan Kelvin). Bayangkan kalau guru juga tidak memberi TELADAN<br />
pada permainan bola besar : sepak bola, pasti banyak siswa akan mudah cedera pada tulang kering<br />
kakinya atau permainan sepak bola bukannya menyehatkan badan, malah membuat badan terasa sakit<br />
semua.<br />
Disamping dilengkapi dengan Taksonomi Bloom, Kurikulum 2006 juga dilengkapi dengan<br />
Analisis Esensi Materi dan Strategi Penyelesaian Masalah berbasis multiple intelligence. Analisis<br />
Esensi Materi sudah dijelaskan di bagian atas, bahwa kalau Substansi Masalah dan Masalah<br />
Paedagogisnya berbeda, silabusnya akan berbeda pula.<br />
Strategi Penyelesaian Masalah penting untuk memberikan rasa keadilan pada “siswa pintar” dan<br />
“siswa yang kurang pintar” . Kalau “siswa yang kurang pintar” berhak mendapat tambahan<br />
perbaikan nilai melalui program remedial, maka “siswa yang pintar” juga berhak mendapat tambahan<br />
128<br />
Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A No. 3 : “Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan<br />
kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendekatan disiplin ilmu”, yang di copy paste dalam<br />
Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II A No.2 dan No.3 (Lihat Catatan * di Kata Pengantar)<br />
176<br />
166
nilai melalui program pengayaan (enrichment). Dengan kata lain, apabila “siswa yang kurang pintar”<br />
itu, setelah menempuh program remedial, akhirnya memperoleh nilai setara KKM : 75 (batas bawah<br />
ketuntasan belajar), maka siswa yang sedari awal sudah memperoleh nilai 75 ke atas, berhak untuk<br />
mendapat tambahan nilai setelah menempuh program pengayaan. Bagaimana dengan siswa yang<br />
sejak awal sudah mendapat nilai 100 atau A, siswa yang bersangkutan tetap harus menempuh<br />
program pengayaan, bila berhasil, maka siswa tersebut dapat naik kelas lebih cepat (kelas akselerasi)<br />
atau siswa tersebut dapat langsung masuk ke topik yang lebih sulit atau tema yang lebih sukar (sistim<br />
kredit semester). “Siswa yang pintar” mengikuti program pengayaan melalui PENDALAMAN<br />
MATERI, sedangkan “siswa yang kurang pintar” mendapat upaya peningkatan pemahamannya<br />
melalui perubahan strategi mengajar guru (PENDALAMAN STRATEGI). Kenapa “siswa yang<br />
kurang pintar” tidak boleh mengulang materi yang sama yang belum dikuasainya dengan metode<br />
yang sama? Karena belum tentu minat dan bakatnya di bidang yang diujikan itu. Misalnya, siswa<br />
yang bodoh dalam Matematika, barangkali bakatnya di bidang musik, biarpun disuruh remedial<br />
Matematika berulang kali, tidak akan mampu mengerjakan soal-soal Matematika yang rumit itu,<br />
maka strateginya yang harus diubah (bukan dengan mengikuti program remedial berulang kali).<br />
Contoh yang sering dipakai adalah siswa yang mendapat nilai jelek dalam seni suara atau musik,<br />
biarpun dia diremedial ratusan kali, tidak mungkin dia dapat menjadi artis. Tapi kenapa hal itu kita<br />
terapkan pada Matematika dan Sains ? Kita minta siswa mengikuti program remedial Matematika<br />
dan Sains dengan harapan : mereka akan memahami matematika dan Sains, apakah mungkin (karena<br />
bakat dan minatnya ada di bidang lain)? Maka guru harus mengubah strategi pembelajaran melalui<br />
Pendalaman Strategi. Sehingga siswa dapat memenuhi SPM dalam bidang yang sedang digelutinya,<br />
tanpa mematikan minat dan bakatnya sendiri.<br />
Misalnya : Indikator : Siswa dapat mempraktekkan permainan bola besar : sepak bola (bola kaki).<br />
Maka guru harus mencari kata kunci (key word) dari sepak bola. Sepak bola, sama halnya seperti<br />
ballet, memerlukan kelenturan pergelangan kaki, yang harus dilatih sejak kecil. Itu sebabnya, klubklub<br />
sepak bola di luar negeri selalu mempunyai sekolah sepak bola yang melatih sepak bola sejak<br />
usia dini. Kelenturan pergelangan kaki tidak bisa dikuasai saat anak sudah remaja. Memang mereka<br />
dapat tetap bermain bola, tapi pasti akan kalah terus dalam pertandingan.<br />
Maka siswa yang sudah mahir dalam permainan sepak bola dapat mengikuti program<br />
pengayaan yaitu free style street soccer (free style football), sedangkan siswa yang belum mahir<br />
dalam sepak bola harus mengikuti strategi baru (tidak mengulang bermain sepak bola atau futsal)<br />
tapi bisa mengikuti senam lantai dengan menggunakan bola untuk melatih kelenturan kaki dan<br />
mendapat feeling tentang (permainan) bola besar.<br />
177<br />
167
INDIKATOR MATERI STRATEGI PENDALAMAN<br />
Siswa dapat mempraktekkan<br />
permainan bola besar : sepak<br />
bola<br />
Permainan<br />
bola besar :<br />
sepak bola<br />
Inquiry<br />
(menemukan<br />
sendiri tehnik<br />
menyepak,<br />
menggocek<br />
dan<br />
mengoper<br />
bola yang<br />
sesuai<br />
dengan<br />
kelenturan<br />
kakinya)<br />
MATERI<br />
Free style<br />
street soccer<br />
(free style<br />
football)<br />
PENDALAMAN<br />
STRATEGI<br />
Using Multiple<br />
context<br />
(mempelajari ilmu<br />
dalam bermacammacam<br />
konteks)<br />
belajar kelenturan<br />
kaki dalam<br />
“mengolah” bola<br />
melalui senam<br />
lantai menggunakan<br />
bola<br />
Hal yang sama berlaku untuk matematika dan sains. Siswa yang tidak bisa memecahkan problem<br />
matematika (strategi awal : Problem based) maka siswa itu tidak diminta mengikuti program<br />
remedial berulang, tapi guru mengganti strategi Problem based dengan strategi baru yaitu :<br />
Employing Authentic Assessment (menghubungkan dengan kehidupan nyata), guru mengganti soal<br />
matematika dengan soal-soal cerita (persamaan tersamar), misalnya ada seorang petani hendak<br />
membagi harta warisnya yaitu 17 ekor sapi. Anak pertama (Budi) mendapat ½ dari hartanya itu,<br />
anak kedua (Rudi) mendapat 1/3 dari hartanya itu, dan anak ketiga (Dudi) mendapat 1/9 dari<br />
hartanya. Tapi petani itu berpesan, sapi itu harus dibagi sesuai jatah masing-masing, tidak boleh ada<br />
yang dipotong, tidak boleh ada yang dijual dan tidak boleh mencari pinjaman sapi dari tetangga,<br />
karena tetangganya belum tentu punya sapi (mungkin hanya punya kambing), bagaimana cara<br />
membaginya ?<br />
(Soal-soal persamaan tersamar ini ada di Kurikulum 1975 (dialokasikan jam yang dikhususkan untuk<br />
membahas persamaan tersamar, terpisah dari jam aritmatika). Persamaan Tersamar dihapus pada<br />
Kurikulum 1984, lalu buku Persamaan Tersamar ini ikut dibuang, padahal soal-soal persamaan<br />
tersamar ini penting dalam mengasah logika dan selalu muncul dalam bentuk Verbal Test GMAT.<br />
Kekeliruan mendasar yang lain adalah menganggap apapun kurikulumnya, pasti compatible<br />
dengan SKS. Padahal untuk dapat menyusun diktat, LKS dan modul (sebagai prasyarat dasar dalam<br />
penyusunan Analisa vertikal dan Analisa horizontal pada SKS), guru harus mampu membuat Silabus<br />
sendiri. Bagaimana mungkin guru dapat membuat Silabus sendiri bila kewenangan guru ini dikebiri<br />
(semua yang berkaitan dengan proses KBM di drop oleh Kemdikbud) melalui tafsir baru dari Pasal<br />
10 UU Sisdiknas (tentang eksistensi dan kewenangan Pengawas) dan amputasi tugas profesional dan<br />
kewenangan guru dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP No. 32<br />
168<br />
178
Tahun 2013? 129 Guru juga tidak akan mampu menyusun Analisa vertikal dan Analisa horizontal<br />
bila materi/bahan ajar sudah ditentukan oleh pemerintah melalui pencetakan buku siswa (sumber<br />
belajar) secara seragam di tingkat nasional. Apakah materi/bahan ajar itu berulang di kelas berikutnya<br />
atau antar tema tidak nyambung (analisa vertikal tidak dilakukan) atau apakah materi/bahan ajar itu<br />
saling terkait satu sama lain atau topik terpisah satu sama lain (analisa horizontal tidak dijalankan),<br />
guru tidak bisa melakukan apapun lagi, tinggal menerima buku siswa dan tinggal menjalankan saja<br />
instruksi dari instruktur atau arahan dari Pengawas yang mengharuskan guru mengikuti lurus-lurus<br />
buku siswa (sumber belajar) itu, dengan alasan buku siswa (sumber belajar) itu sudah disusun oleh<br />
tim ahli. Dengan kata lain, Kurikulum 2013 ini menghilangkan kreativitas dan inisiatif para guru.<br />
Untuk dapat menyusun modul, maka guru harus menguasai perumusan Keunggulan Lokal<br />
dan Keunggulan Global serta menguasai Tujuh Prinsip Pengembangan Kurikulum yang termaktub<br />
dalam Standar Isi pada Kurikulum 2006. Perumusan Keunggulan Lokal dan Keunggulan Global ini<br />
dimulai dengan mencari kata kunci (key word) dari KD sehingga guru bisa fokus dalam mengajar<br />
“inti masalah” dan tidak terjebak mengajarkan keseluruhan materi yang ada di buku siswa<br />
(materi/buku sumber belajar). Target kurikulumnya jelas yaitu memisahkan bagian yang dapat<br />
dibaca oleh siswa sendiri (di rumah) dan membuka dimensi kebeluman.<br />
Misalnya : kata kunci dari KD 5.1 : Melaksanakan pengamatan objek secara terencana dan<br />
sistematis untuk memperoleh informasi gejala alam biotik dan a-biotik, adalah “observasi” sehingga<br />
guru fokus mengajar : “bagaimana melakukan observasi yang dapat dibenarkan secara ilmiah”,<br />
bukan sekedar “mengamati”, tetapi mencatat fakta-fakta yang ada, lalu menganalisis “benang merah”<br />
dari semua fakta yang tersaji. Dengan kata lain, observasi melatih siswa untuk shift dari berpikir<br />
deduktif ke induktif<br />
Hanya sayangnya, ketiga hal penting ini (perumusan Keunggulan Lokal, dan Keunggulan Global<br />
serta penguasaan Tujuh Prinsip Pengembangan Kurikulum) justru dihapus dalam Kurikulum 2013.<br />
Tanpa kemampuan menyusun modul, penerapan SKS sesuai ketentuan Pasal 5 Permendikbud<br />
129<br />
Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : Perencanaan pembelajaran meliputi Silabus dan RPP yang sekurang-kurangnya<br />
memuat tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar<br />
(Lihat juga catatan kaki No.5)<br />
Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 : Perencanaan pembelajaran merupakan penyusunan RPP untuk setiap muatan<br />
Pembelajaran (penyusunan materi ajar/sumber belajar diambil alih pemerintah melalui penerbitan buku ajar (buku<br />
siswa), proses belajar diatur pemerintah melalui penerbitan buku pegangan guru, dan metode ditentukan<br />
pemerintah (harus menggunakan metode 5 M), serta penilaian dirumuskan pemerintah melalui Permendikbud No.<br />
66 Tahun 2013, lalu diubah melalui Lampiran IV Permendikbud No. 81 A, dan diubah lagi melalui Peraturan<br />
Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No. 5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014, yang masih salah secara<br />
matematis.<br />
179<br />
169
No.158 Tahun 2014 hanya akan menjadi utopia, dan kita akan terjebak pada penerapan paket SKS,<br />
seperti yang sudah lama dipraktekkan dalam kelas akselerasi dan mantan sekolah RSBI dulu.<br />
Misalnya : Mata Pelajaran IPA Terpadu - Biologi SMP Kelas VII<br />
Kompetensi Dasar<br />
Kata Kunci<br />
5.1 Melaksanakan pengamatan objek secara terencana dan sistematis untuk<br />
memperoleh informasi gejala alam biotik dan a-biotik<br />
5.3 Menggunakan mikroskop dan peralatan pendukung lainnya untuk mengamati<br />
gejala-gejala kehidupan<br />
5.4 Menerapkan keselamatan kerja dalam melakukan pengamatan gejala-gejala<br />
alam<br />
Observasi<br />
Preparat<br />
Penelitian lapang<br />
6.1 Mengidentifikasi ciri-ciri makhluk hidup Karakteristik<br />
6.2 Mengklasifikasikan makhluk hidup berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki Taksonomi<br />
6.3 Mendeskripsikan keragaman pada sistem organisasi kehidupan mulai dari<br />
tingkat sel sampai organisme<br />
Diversifikasi<br />
7.1 Menentukan ekosistem dan saling hubungan antara komponen ekosistem Ekologi<br />
7.2 Mengindentifikasikan pentingnya keanekaragaman makhluk hidup dalam<br />
pelestarian ekosistem<br />
Plasma nuftah<br />
7.3 Memprediksi pengaruh kepadatan populasi manusia terhadap lingkungan Densitas<br />
7.4 Mengaplikasikan peran manusia dalam pengelolaan lingkungan untuk<br />
mengatasi pencemaran dan kerusakan lingkungan<br />
Konservasi<br />
Kenapa mencari kata kunci ini penting? Supaya guru fokus pada target kurikulum dan tujuan<br />
pembelajaran dan tidak tersesat mengajarkan semua yang ada di buku ajar/materi/sumber belajar<br />
(halaman demi halaman). Tidak ada lagi seruan guru : “Buka halaman sekian ….”. Dengan kata<br />
lain, guru dapat memilah dan memilih mana yang primer dan mana yang sekunder. Tidak semua<br />
bahan yang ada di buku siswa itu penting (ada bagian yang dapat dibaca sendiri oleh siswa di rumah),<br />
karena itu di Silabus selalu dicantumkan “materi pokok”, materi yang dianggap penting dan berguna<br />
dalam meletakkan dasar pemahaman teoritis siswa. Celakanya, Silabus sekarang ini disusun oleh<br />
Kemdikbud, sehingga para guru kehilangan keterkaitan antara “materi pokok” dan materi sekunder,<br />
serta rumusan Indikator Keberhasilannya Akibatnya, bobot soal tidak lagi memperhatikan urgensi<br />
suatu materi/bahan ajar. Soal-soal yang diujikan bisa ditolak dalam ITEMAN (ANATES dari ITB,<br />
SPS Sutrisno Hadi dari UGM, atau Analisa Soal dari Disain Kurikulum Digital. Bahkan kesalahan<br />
fatal bisa terjadi, Kurikulum 2013 yang mengadopsi SOLO taxonomy ternyata tidak menggunakan<br />
penilaian rubrik, tetapi menggunakan soal-soal Pilihan Ganda, dengan konversi yang aneh (jumlah<br />
soal : kelipatan 40, salah 10 : IP-nya 3, salah 20 : IP-nya 2) (lihat Bab V : Kompetensi vs Penilaian).<br />
170<br />
180
Mari kita simak, pola pencarian “kata kunci” yang mengusung kemampuan berpikir kritis, kreatif<br />
dan imajinatif<br />
Tujuh Prinsip Pengembangan Kurikulum<br />
Kata Kunci<br />
1. Berpusat pada potensi,perkembangan, kebutuhan dan kepentingan siswa dan<br />
lingkungannya<br />
Siswa<br />
2. Beragam dan terpadu Terintegrasi<br />
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni Responsif<br />
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan Relevan<br />
5. Menyeluruh dan berkesinambungan Komprehensif<br />
6. Belajar sepanjang hayat Pembelajar<br />
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan daerah Balans<br />
Kalau kedua kata kunci itu kalau digabungkan akan menghasilkan pemetaan siswa menurut Multiple<br />
Intelligence, apa pengetahuan dasar yang harus dikuasai siswa dan apa yang tidak perlu dipaksakan<br />
harus dikuasai siswa mengingat bakat dan minatnya berbeda (penyusunan SPM Akademik)<br />
KD 5.1<br />
Observasi<br />
KD 5.3<br />
Preparat<br />
KD 5.4<br />
Penelitian<br />
lapang<br />
KD 6.1<br />
Karakteristik<br />
KD 6.2<br />
Taksonomi<br />
KD 6.3<br />
Diversifikasi<br />
KD 7.1<br />
Ekologi<br />
KD 7.2<br />
Plasma<br />
nuftah<br />
KD 7.3<br />
Densitas<br />
Siswa x x x x x x<br />
KD 7.4<br />
Konservasi<br />
Terintegrasi<br />
x x x x x x x x<br />
Responsif<br />
x x x x x x x x x x<br />
Relevan<br />
x x x x x x x x<br />
Komprehensif<br />
x x x x x x x x<br />
Pembelajar<br />
x x x x x x x<br />
Balans x x<br />
Dari tabel di atas, mengapa siswa tidak perlu menguasai 4 KD : karakteristik, taksonomi,<br />
diversifikasi, dan ekologi? Karena keempat hal itu adalah bidang biologi murni, siswa yang berbakat<br />
di bidang Bahasa tidak perlu menguasai hal-hal sangat teknis dalam biologi. 130<br />
130<br />
Bakat dan minat siswa berbeda-beda sesuai dengan pemetaan Multiple Intelligence, siswa yang kurang menguasai<br />
Biologi bukan berarti bodoh, mungkin bakat dan minatnya di bidang bahasa<br />
181<br />
171
Dengan demikian, tabel ini sekaligus menunjukkan SPM akademik (bukan sekedar SPM sarana dan<br />
prasarana seperti Permendikbud No. 23 Tahun 2013).<br />
Maka untuk bahan penyusunan Diktat Bab I terdiri dari beberapa kata kunci (lihat di tabel diatas):<br />
Siswa Observasi Preparat Penelitian lapang Plasma Nuftah Densitas Konservasi<br />
penelitian<br />
hereditas<br />
ekosistem<br />
Jadi gabungannya adalah : SISWA MENELITI TENTANG HEREDITAS DAN DAMPAK<br />
POPULASI MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM<br />
Dengan menggunakan prinsip 5 W + 1 H , guru dapat menyusun isi diktat :<br />
1. What : Apa yang dimaksud dengan hereditas?<br />
2. Why : Mengapa populasi manusia bisa berdampak negatif pada ekosistem?<br />
3. Who : Siapa penyusun teori pola keteraturan hereditas mahluk hidup?<br />
4. Whom : Kepada siapa kesalahan mengenai AMDAL dapat diadukan?<br />
5. When : Bilamanakah kesimpulan suatu penelitian dapat dikatakan tidak sahih?<br />
6. How : Bagaimana pola rantai makanan dalam lingkungan di sekitarmu dapat dirumuskan?<br />
Apa yang tertulis di atas hanya contoh, pertanyaan bisa diajukan beberapa kali (untuk What bisa 5<br />
pertanyaan, untuk Why bisa 6 pertanyaan, dst)<br />
Dengan menjawab pertanyaan di atas secara lengkap akan didapat isi diktat, yang tidak terdapat<br />
dalam buku ajar/buku teks, sehingga siswa mau datang ke sekolah dengan curiosity karena dia tahu,<br />
banyak bahan yang tidak akan dia peroleh di luar kelas (kehadirannya di kelas tak tergantikan oleh<br />
bimbel/les privat). Disinilah wibawa akademik seorang guru ditegakkan, bukan dengan marahmarah,<br />
bukan dengan menunjukkan kelulusan pada Diklat sertifikasi guru, tetapi dengan<br />
menunjukkan keluasan wawasannya melalui diktat yang disusunnya. Kemampuan menyusun diktat<br />
ini sudah lama sirna, sejak Kemdikbud membentuk tim penilai buku ajar/materi yang layak<br />
digunakan dan sekolah tinggal menerima buku yang direkomendasikan Dinas Pendidikan setempat<br />
pada awal tahun 1994 (pada awal pelaksanaan Kurikulum 1994).<br />
Dari contoh diatas, pencarian kata kunci bisa berbeda, penggabungannya dapat berlain-lainan,<br />
penyusunan Kalimat Tanya dalam 5 W + 1 H bisa berbeda, sehingga isi diktat bisa jauh berlainan,<br />
tergantung keluasan wawasan guru, bagaimana mungkin materi/bahan ajar mau diseragamkan seperti<br />
pada Kurikulum 2013 ?<br />
182<br />
172
Diktat + LKS = Modul, kalau guru tidak bisa menyusun silabus sendiri, lalu diktat (buku<br />
ajar/materi/sumber belajar) dibuatkan oleh pemerintah, bagaimana guru bisa membuat modul ?<br />
Kalau guru tidak bisa membuat modul sendiri, bagaimana sekolah bisa maju ke SKS ? Ada yang<br />
berkilah bahwa kurikulum SKS dapat mengandalkan franchise kurikulum IB atau Cambridge,<br />
masalahnya adalah tanpa pembuatan modul oleh guru sendiri, keunggulan lokal tak pernah dapat<br />
dirumuskan, sehingga beda antar sekolah menjadi tidak nampak, akibatnya sekolah bersaing dengan<br />
berbagai cara untuk mendapatkan murid baru (menarik pendaftar)<br />
Intinya, kurikulum harus bisa mendorong guru menjadi manusia pembelajar sehingga<br />
tunjangan sertifikasi dapat dimanfaatkan untuk peningkatan wawasan para guru. Bila kurikulum<br />
hanya menjadikan guru seorang manusia yang pasif (hanya menunggu arahan pengawas atau<br />
menunggu pelatihan guru dalam penyusunan RPP) seperti yang dipolakan dalam Kurikulum 2013,<br />
jangan heran kalau hasil uji kompetensi guru rendah : 1,3 juta guru mendapat nilai uji kompetensi<br />
dibawah 60 dari rentang nilai 0-100 (Kompas, Kamis 9 Juli 2015 halaman 12, PENGEMBANGAN<br />
GURU MASIH SETENGAH HATI) : "Bahkan selama bertahun-tahun saya menyaksikan pelatihan<br />
guru yang kerap berbau proyek, asal diselenggarakan tanpa memikirkan hasilnya berkualitas atau<br />
tidak. Saya pernah mengikuti pelatihan tahun 1999 dan 2003 yang seharusnya berlangsung lima<br />
hari, tetapi baru dua hari peserta dibubarkan. Kami diberi transportasi tiga hari, tetapi tanda<br />
tangannya lima hari. Menurut kawan-kawan dari berbagai daerah, hal ini juga terjadi di<br />
wilayahnya," tutur Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia.<br />
Dari paparan diatas nampak jelas bahwa pengajaran tidak bisa diproyekkan.<br />
Indonesia telah diberkahi, tak hanya oleh kekayaan kemasyarakatan dan kebudayan, tetapi<br />
juga oleh sejarah panjang perkembangan gagasan yang cemerlang, melewati titian proses pengajaran<br />
yang mencerahkan. Sebagian tidak menyadari (bahwa pengajaran menunjukkan profesionalitas<br />
guru), sebagian lainnya menyesali atau mengingkarinya (mengingkari sejarah panjang pendidikan<br />
Indonesia), seperti pengebirian Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP<br />
No. 32 Tahun 2013 131 sehingga budaya ilmiah tidak pernah terbentuk di lingkungan sekolah, yang<br />
muncul adalah pendidikan yang menghamba pada kekuasaan. Segala aktivitas guru selalu dikaitkan<br />
dengan pencairan tunjangan sertifikasi. Sudah lama guru tidak lagi menikmati kebebasan mimbar<br />
akademik, guru bukan lagi merupakan panggilan hidup, tetapi merupakan pencari kerja/orang upahan<br />
yang sangat tergantung pada pengupahnya (Kemdikbud) dan Kemdikbud memanfaatkan betul<br />
keadaan ini untuk mendefungsionalkan guru.<br />
131<br />
Lihat Catatan Kaki No. 129, Catatan kaki No.5 dan Catatan kaki No. 48<br />
183<br />
173
Pengajaran dan pengukuran capaiannya<br />
Mengingat Silabus dibuat oleh Kemdikbud (bukan lagi menjadi tugas profesional seorang guru<br />
seperti ketentuan Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005), maka dampaknya adalah :<br />
- Guru tidak tahu lagi cara merumuskan Indikator Keberhasilan dari suatu Kegiatan<br />
Pembelajaran<br />
Misalnya : KD 4.1 : IPS – Sejarah Kelas VII SMP :<br />
Menyajikan hasil pengamatan tentang hasil-hasil kebudayaan dan fikiran masyarakat<br />
Indonesia pada masa praaksara, masa hindu buddha dan masa Islam dalam aspek<br />
geografis, ekonomi, budaya dan politik yang masih hidup dalam masyarakat sekarang<br />
Kegiatan Pembelajaran<br />
Kronologi masuknya pengaruh asing di<br />
Indonesia<br />
Melihat perubahan yang dibawa oleh<br />
pengaruh asing<br />
Reaksi masyarakat terhadap infiltrasi<br />
pengaruh asing<br />
Relevansi dengan masa sekarang<br />
Indikator Keberhasilan<br />
Siswa dapat membuat infografis tentang<br />
masuknya pengaruh asing di Indonesia<br />
Siswa dapat melihat penyesuaian<br />
masyarakat terhadap pengaruh asing<br />
(akulturasi)<br />
Siswa dapat melihat bagaimana masyarakat<br />
menyerap yang baik dan membuang yang<br />
kurang baik (inkulturasi)<br />
Siswa dapat menunjukkan kearifan lokal<br />
dalam menghadapi perubahan<br />
- Guru tidak bisa lagi membedakan antara Indikator dan Indikator Nilai-nilai Kemanusiaan<br />
Indikator terkait dengan target kurikulum yang hendak dicapai, pengukurannya melalui<br />
evaluasi hasil belajar di Catatan Kompetensi (CK) atau Rapor Lembar I, sedangkan Indikator<br />
Nilai-nilai Kemanusiaan terkait dengan fokus pendidikan karakter yang menjadi titik berat<br />
dalam edukasi, pengukurannya melalui monitoring proses belajar di penilaian berbasis kelas<br />
(PBK) atau Rapor Lembar II.<br />
Masalahnya adalah PBK itu terkait langsung dengan manajemen kelas yang mensyaratkan<br />
azas lokalitas dan kontekstual (otonomi guru), bukan manajemen ala pengawas atau<br />
manajemen ala Dinas Pendidikan yang tidak kontekstual dan menunjukkan hegemoni<br />
pemerintah dalam pendidikan.<br />
174<br />
184
Akibatnya, monitoring proses belajar (Rapor Lembar II) dianggap tidak penting, sehingga<br />
sampai sekarang, Kemdikbud hanya sibuk merumuskan bagaimana mengkonversi nilai dalam<br />
Rapor Lembar I<br />
- Guru kehilangan konteks antara EEK (eksplorasi, elaborasi dan konformasi) dengan metode<br />
5 M<br />
Misalnya : KD 3.1 Pendidikan Kewarganegaraan Kelas X SMA<br />
Menganalisis perkembangan kasus-kasus pelindungan dan pemajuan HAM sesuai dengan<br />
konsep dan nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara<br />
Konteks EEK-nya adalah :<br />
EKSPLORASI<br />
ELABORASI<br />
KONFIRMASI<br />
KEGIATAN GURU<br />
Kasus perlindungan dan pemajuan HAM<br />
di banyak tempat masih sebatas utopia<br />
Kedaulatan individu dan institusi (prestige)<br />
masih diunggulkan<br />
Menunjukkan banyaknya pejuang HAM<br />
yang rela mati demi perjuangannya<br />
Menunjukkan para pejuang kemanusiaan<br />
seperti para pemenang Hadiah Nobel<br />
untuk perdamaian<br />
Menunjukkan para pembela kaum papa<br />
dan miskin seperti Kick Andy Heroes, From<br />
Zero to Hero, dll<br />
Target Kurikulum : metakognitif : guru<br />
membimbing siswa agar sampai pada<br />
penerapan konsep HAM : penghargaan<br />
atas liyan<br />
Model pembelajaran : konstruktivisme :<br />
guru membimbing siswa agar sampai pada<br />
perubahan sikap : toleran pada perbedaan<br />
pendapat, tidak menganggap mereka yang<br />
berbeda pendapat sebagai musuh<br />
KEGIATAN SISWA<br />
Siswa belajar tentang semangat<br />
altruisme dalam diri para pejuang HAM<br />
Siswa mencari contoh altruis : Salim<br />
Kancil (Forum Petani Anti Tambang<br />
Desa Selok Awar-awar) – ada 24<br />
tersangka pembunuhan dan 9<br />
tersangka penambangan illegal<br />
Siswa mencari contoh ideal : Nelson<br />
Mandela, Munir<br />
Siswa mencari para pejuang kebebasan,<br />
seperti para mahasiswa korban tragedi<br />
Tiananmen (1989)<br />
Siswa mencari para filantropis baru,<br />
seperti Dato Sri Prof Dr Tahir (Bank<br />
Mayapada)<br />
Siswa berusaha sampai pada tahap<br />
“melaksanakan” penghormatan atas<br />
hak-hak azasi yang tidak dapat<br />
dikurangi (non derogable rights)<br />
Siswa mencari TELADAN atau contoh<br />
dari para pejuang hak-hak anak, seperti<br />
Dr Sofyan Tan (Medan) perintis sekolah<br />
gratis bagi anak-anak tidak mampu<br />
185<br />
175
Sedangkan konteks metode 5 M dengan EEK adalah :<br />
Mengamati (lihat Analisis Esensi Materi), Menanya (lihat di Strategi Penyelesaian Masalah),<br />
Menalar (lihat di Model Pemetaan Taksonomi Bloom), Mengasosiasi (lihat di Refleksi di RPP<br />
(diuraikan secara rinci dalam bagian Refleksi di Bab I Filosofi Pendidikan) dan Aksi (lihat di Lembar<br />
Kerja Siswa)<br />
KEGIATAN GURU<br />
KEGIATAN SISWA<br />
EKSPLORASI<br />
Guru MENGAMATI masalah yang<br />
timbul pada Bahan Ajar & masalah<br />
pada Siswa serta mengamati cara<br />
yang tepat untuk menyelesaikan<br />
masalah itu<br />
Siswa MENGAMATI sumber/bahan apa<br />
saja yang dapat memperkaya<br />
pengetahuannya<br />
ELABORASI<br />
KONFIRMASI<br />
Guru MENANYA bahan apa saja<br />
yang dapat dipergunakan dalam<br />
PROGRAM PENGAYAAN dan<br />
Strategi apa saja yang dapat<br />
dipakai untuk mengganti<br />
PROGRAM REMEDIAL<br />
Guru MENALAR Kata Kerja<br />
Operasional apa yang cocok<br />
diterapkan untuk situasi kelas dan<br />
kondisi siswanya<br />
Siswa MENANYA bahan apa saja yang<br />
dapat memperdalam pemahamannya<br />
dan MENANYA cara apa yang bisa<br />
dilakukan dalam mengejar<br />
ketertinggalannya<br />
Siswa MENALAR Kegiatan Pembiasaan<br />
apa yang dapat mengejar target<br />
kurikulum sehingga tujuan<br />
pembelajarannya tercapai<br />
Dengan contoh di atas, nampak jelas kaitan antara pola EEK pada KTSP Bimtek (2008) dan<br />
keterkaitannya dengan metode 5 M dalam Kurikulum 2013, sehingga metode 5 M tidak dipandang<br />
sebagai sesuatu yang baru dalam penyusunan RPP.<br />
Jadi guru tidak dibingungkan dengan berbagai pelatihan baru dalam Kurikulum 2013 yang tidak jelas<br />
konteksnya dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Ingat, bahwa 28 permendikbud terkait<br />
Kurikulum 2013 itu, tidak satupun yang menyebut adanya kurikulum baru, kesemuanya selalu<br />
menyebut KTSP (lihat Catatan kaki No.2 dan No.5)<br />
Problem pengajaran, pembelajaran dan pendidikan karakter<br />
Dalam gelap, kendala utama adalah penglihatan. Banyak orang menawarkan jalan keluar<br />
dengan visi yang kabur. Krisis multi dimensional yang melanda bangsa dicoba dicari akarnya pada<br />
pengajaran pendidikan karakter. Setelah ukuran kecerdasan diri berbasis IQ dianggap tak memadai<br />
176<br />
186
menjawab krisis kedirian, program pendidikan berpaling pada pengembangan jenis kecerdasan lain,<br />
terutama yang berbasis SQ (spiritual quotient) seperti terlihat dalam rumusan Kompetensi Inti 1 (KI<br />
1) di semua jenjang pendidikan dalam Kurikulum 2013. Usaha menyelesaikan persoalan pendidikan<br />
dengan ukuran-ukuran itu memang patut diapresiasi. Persoalannya, apakah faktor IQ dan SQ itu<br />
sudah tepat menyasar sisi terlemah dari pendidikan kita?<br />
Untuk memberikan kerangka penilaian, kita harus ingat bahwa manusia terdiri atas dua<br />
bagian : kedirian privat (private self) yang bersifat personal dan khas, serta kedirian publik (public<br />
self) yang melibatkan relasi sosial. Dengan kerangka itu, kita bisa melihat bahwa problem pendidikan<br />
di Indonesia tidaklah bersumber pada kecerdasan privat. Secara IQ, manusia Indonesia bukanlah<br />
kelompok manusia dengan defisit kepintaran. Tandanya bisa dilihat dari prestasi para siswa kita<br />
dalam ajang Olimpiade Sains internasional. Manusia Indonesia juga relatif memiliki kematangan<br />
emosional, seperti kemampuan pengendalian diri untuk tidak berlebihan (tidak lebay), dan ketahanan<br />
menghadapi kesulitan. Kecerdasan spiritual juga relatif kuat, manusia Indonesia pada umumnya<br />
bersifat religius, lihatlah pembangunan rumah ibadah yang sangat masif di kompleks sekolah-sekolah<br />
negeri dan aktifnya kegiatan ROHIS/ROHKRIS di sekolah-sekolah negeri.<br />
Sisi terlemah manusia Indonesia justru mencolok pada aspek kedirian yang bersifat publik.<br />
Hal ini mudah dilihat dari bagaimana orang berlatar pribadi baik dengan mudah hanyut dalam arus<br />
keburukan begitu terjun ke aksi kolektif. Kita juga bisa menyaksikan bahwa hampir semua hal yang<br />
bersifat kolektif mengalami dekadensi : partai politik sakit, birokrasi sakit, lembaga perwakilan sakit,<br />
aparat penegak hukum sakit.<br />
Krisis pada kedirian yang bersifat publik ini mencerminkan kelalaian dunia pendidikan dalam<br />
mengembangkan kecerdasan kewargaan (civic quotient). Mata pelajaran Civics yang diakomodasi<br />
dalam Kurikulum 1975 malahan dihapus. Pendidikan terlalu menekankan pada kecerdasan personal<br />
(lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A No.3, yang di copy paste dalam<br />
Lampiran Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II A No.2 dan No.3 (lihat catatan * di Kata<br />
Pengantar). Kemdikbud abai dalam menautkan kecerdasan personal ini dengan kecerdasan kolektif<br />
kewargaan. Setiap individu dibiarkan menjadi deret “huruf” dalam NISN (nomor induk siswa<br />
nasional) atau Dapodik/Padamu Negeri, tanpa disusun ke dalam “kata” dan “kalimat” bersama.<br />
Padahal bangsa Indonesia sebagai masyarakat majemuk, dengan pecahan yang banyak jumlahnya,<br />
tidak mungkin bisa dijumlahkan menjadi kebaikan bersama kalau tidak menemukan bilangan<br />
penyebut yang sama (common denominator) sebagai ekspresi identitas dan kehendak bersama.<br />
(Kompas, Selasa 6 Oktober 2015 halaman 15 : Kecerdasan Kewargaan). Oleh karena itu, alih-alih<br />
menjustifikasi pendidikan karakter melalui KI 1, yang paling diperlukan saat ini adalah merevitalisasi<br />
187<br />
177
mata pelajaran Civics itu sehingga bersesuaian dengan Nawa Cita No.8. Namun hal ini memerlukan<br />
“teladan” dari guru sehingga guru sebaiknya menerapkan Taksonomi Bloom (bukan SOLO<br />
Taxonomy) dan peretas kegelapan itu adalah daya kreatif guru dan siswa yang hanya mungkin<br />
terwadahi melalui otonomi pendidikan dan kebebasan mimbar akademik.<br />
Tantangan globalisasi, pasar bebas (MEA 2015) dan liberalisasi pendidikan tidak bisa dihadapi<br />
dengan indoktrinasi yang sifatnya pasti top down (guru harus begini, sekolah harus begitu : yang<br />
digariskan oleh para instruktur atau Dinas Pendidikan, dan diawasi ketat oleh para Pengawas). Di era<br />
inilah diperlukan inspirasi<br />
Jalan pintas<br />
Ada sementara kalangan yang berpendapat, mau menerapkan Kurikulum 2006 atau<br />
Kurikulum 2013, yang paling penting adalah menyiapkan pembelajaran yang membuat siswa aktif.<br />
Mereka lupa akan kegagalan CBSA dulu. Karena cara belajar siswa aktif atau penerapan metode<br />
saintifik (5M) itu memerlukan prasyarat diberlakukannya pendidikan yang berpusat pada siswa<br />
(student centered learning) (siswa bukan sekedar “peserta didik”, tapi “subyek didik”), yang<br />
mengakomodasi keberagaman (multikulturalisme). Hal ini hanya dapat dicapai bila guru melakukan<br />
Analisa Konteks (yang sebenarnya termaktub dalam Standar Isi pada Kurikulum 2006 (KTSP awal)<br />
dan KTSP Bimtek (2008), hanya sayangnya hal ini sudah dihapus dalam Kurikulum 2013. Hal ini<br />
sebenarnya juga diusung dalam Standar Proses yang ada di Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan KTSP<br />
Bimtek (2008) yang meliputi PAIKEM GEMBROT (Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif,<br />
Menyenangkan, serta Gembira dan Berbobot) dan CTL (contextual teaching learning)<br />
Jadi keaktifan siswa dalam belajar memerlukan prasyarat :<br />
- Diterapkannya Standar Proses dalam Kurikulum 2006 (Pengembangan RPP, Pengembangan<br />
Silabus, PAIKEM GEMBROT dan CTL). Hal ini tidak mungkin dicapai melalui<br />
pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam ala Kurikulum 2013, karena praktis guru tidak<br />
bisa mengembangkan Silabus (Silabus sudah di drop oleh Kemdikbud) : wawasan guru<br />
menjadi terbatas, bagaimana bisa mendampingi siswa secara intens? Guru juga tidak<br />
mungkin mengembangkan RPP karena guru harus mengikuti arahan dari para instruktur dan<br />
diawasi secara ketat oleh para Pengawas Mata Pelajaran<br />
Dengan kata lain, pembelajaran siswa aktif memerlukan otonomi pendidikan dan kebebasan<br />
mimbar akademik, tanpa itu, kita akan mengulangi kegagalan CBSA dulu<br />
- Untuk membuat siswa aktif, entah dengan metode saintifik (5 M) atau dengan CTL,<br />
memerlukan penguasaan materi secara mendalam yang hanya bisa dicapai bila guru<br />
melakukan Analisis Esensi Materi (AEM).<br />
178<br />
188
Misalnya KD 3.4 pada Mata Pelajaran Sosiologi SMA Kelas X :<br />
Mengkaji adanya berbagai bentuk perilaku menyimpang atau sub-kebudayaan menyimpang<br />
sebagai konsekuensi dari ketidakharmonisan hubungan sosial<br />
Masalah<br />
Indikator<br />
Substansi<br />
Pedagogis<br />
Penyelesaian<br />
Penugasan<br />
3.4.1.Siswa<br />
Masyarakat<br />
Menguatnya<br />
Mengenal<br />
Melakukan<br />
dapat<br />
produsen berubah<br />
budaya instan<br />
budaya artificial<br />
analisis terhadap :<br />
membedakan<br />
menjadi<br />
(pencitraan)<br />
pencitraan politik<br />
dengan tajam<br />
masyarakat<br />
menjelang Pilkada,<br />
macam2 atau<br />
konsumen<br />
atau pencitraan<br />
jenis2<br />
(hedonis)<br />
prestige, atau<br />
perilaku<br />
pencitraan “darah<br />
masyarakat<br />
biru” (snobbish)<br />
Dari contoh di atas, terlihat bahwa fungsi PENUGASAN memang membuat siswa belajar<br />
aktif, tanpa membuat teori yang muluk-muluk, seperti kompetensi yang bersifat spesifik atau<br />
kompetensi yang bersifat generik; Penyusunan Indikator Keberhasilan dan pembuatan<br />
soalnya menjadi lebih mudah (siswa bukan saja diharapkan mencapai KKM, tetapi juga<br />
mampu memenuhi KKI)<br />
Siswa yang kurang berminat dalam Sosiologi tetap terbantu untuk menguasai SPM Sosiologi<br />
tanpa mengorbankan bakat dan minatnya dalam bidang lain.<br />
Hanya saja AEM ini sudah dihapus pada KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013. Tanpa<br />
panduan AEM ini, guru hanya membuat siswa makin bingung, melongo, dan menganga saja<br />
dalam paradigm shifting dari faktual ke metakognitif<br />
Maka pembelajaran siswa aktif yang mutlak diperlukan dalam penerapan SKS (sesuai Pasal<br />
5 Permendikbud No.158 Tahun 2014) harus menerapkan Disain Kurikulum Digital yang<br />
mencakup 22 langkah penyusunan kurikulum kontekstual yang bersandar pada pendidikan<br />
holistik dan berlandaskan multiple intelligence<br />
Potong kompas atau jalan pintas hanya akan menjebak para guru dalam kerancuan demi<br />
kerancuan seperti yang sudah diuraikan dalam Bab I – Bab VI<br />
Oleh sebab itu, semangat otonomi pendidikan yang sudah disodorkan dalam Pasal 77 M ayat 1 dan<br />
ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 hendaknya menjadi titik tolak menuju pemanusiaan manusia muda<br />
sesuai amanat Pasal 3 UU Sisdiknas dan Nawa Cita No.8<br />
189<br />
179
PENUTUP<br />
Kita dapat mendiskripsikan hegemoni pemerintah di dunia pendidikan dan pengajaran kita,<br />
melalui analogi landskap Appadurai, 132 sehingga kita dapat memahami mengapa Kementerian<br />
Pendidikan dan Kebudayaan mentransformasikan diri menjadi Kementerian Persekolahan dan Dinas<br />
Pendidikan memformulasikan dirinya menjadi Dinas Persekolahan.<br />
Sementara para pendiri republik (para bapa bangsa) mati-matian menolak hegemoni<br />
pemerintah Belanda dan Jepang dalam dunia pendidikan kita pada masa penjajahan (melalui suatu<br />
gerakan politik, seperti Pendidikan Nasional Indonesia yang dikumandangkan oleh Mohammad<br />
Hatta) demi memperjuangkan kesetaraan dalam akses pendidikan, sistim pendidikan kita dewasa<br />
ini cenderung melakukan hal sebaliknya. Saat para bapa bangsa melegitimasi perspektif lokalitas<br />
dalam pendidikan. Sistim pendidikan kita dewasa ini mendelegitimasi semua hal itu. Sementara<br />
kearifan lokal sangat relevan diterapkan secara luas dalam sistim pendidikan kita saat itu, pada saat<br />
ini, kearifan lokal itu diremehkan sebagai sesuatu yang picik, mengganggu, tidak relevan, tidak<br />
ilmiah dan tidak logis. Lihatlah matinya perguruan INS Kayutanam di Sumbar, sekolah Sriwedari di<br />
berbagai kota di Jawa, dll. tanpa disesali oleh pemerintah, atau memudarnya perguruan Taman Siswa<br />
di tanah air kita tanpa kepedulian pemerintah, dll Pemerintah hanya sibuk membangun sekolahsekolah<br />
negeri baru yang seragam dan tidak lagi mempunyai visi dan misi sekolah, yang hanya repot<br />
dengan Dapodik atau Padamu Negeri (cerminan sentralistik pendidikan, abai pada desentralisasi<br />
pendidikan yang diusung dalam UU Otonomi Daerah) dan abai pada banyaknya anak yang putus<br />
sekolah yang tercermin dari bentuk piramida kuantitas sekolah kita : Jumlah SD : 148.361, jumlah<br />
SMP : 36.425, jumlah SMA : 10.765, jumlah SMK : 7.592 Dari data ini terlihat bahwa jumlah anak<br />
yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi masih sangat besar. Meskipun sudah<br />
diluncurkan program pendidikan gratis dan Kartu Indonesia Pintar serta telah disosialisasikan<br />
macam-macam dana beasiswa, namun angka DO (drop out) masih tetap tinggi.<br />
Hal ini seharusnya dipecahkan melalui e-learning sehingga murid-murid di pelosok tetap<br />
dapat mempunyai akses ke guru-guru yang “mumpuni” kapan saja (any time) melalui internet<br />
(pengajaran berbasis laman (web), atau lewat HP-nya (pengajaran berbasis android), bukan dengan<br />
meluncurkan kurikulum yang hegemonik, yang mencoba membendung arus globalisasi dan<br />
liberalisasi pendidikan melalui Permendikbud No. 31 Tahun 2014, yang bisa kontra produktif dengan<br />
Perpres No. 77 Tahun 2007 dan ratifikasi perjanjian WTO serta ACMW.<br />
132<br />
We can describe the hegemony in the field, borrowing the analogy of Appadurai’s scapes, as “eduscapes”, which<br />
approximate to “ideoscapes”, that is a global flow ideas about the practices in education. This ideas include the<br />
philosophical outlooks which serves as the basis of education system, curricula, approaches to and methods of<br />
teaching, teaching materials, certification, and assessment systems (Arjun Appadurai : Modernity at Large, Cultural<br />
Dimension of Globalization, Minneapolis, Univ of Minnesota Press, 1996)<br />
190<br />
180
KILAS BALIK<br />
Negara kita mempunyai jejak sejarah pendidikan yang panjang, yang di masa lalu telah<br />
menjadi rujukan bagi negara-negara tetangga, bahkan sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri di<br />
masa lalu diminati juga oleh warga asing. Dewasa ini, para diplomat kita di luar negeri dan para<br />
terdidik diaspora, tidak lagi sudi menyekolahkan anaknya di Sekolah Indonesia di luar negeri.<br />
Tahun 1975 adalah masa jaya dunia pendidikan kita dengan digagasnya Kurikulum 1975 :<br />
matematika dan sains dipahami sebagai art, bukan sekedar pengetahuan, dimana siswa dilatih<br />
menemukan metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam<br />
administrasi politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk pikuk sehari-hari.<br />
Penafian kajian sejarah pendidikan ini telah membuat kualitas pendidikan kita makin lama<br />
makin merosot 133 dan kesinambungan orientasi untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (seperti<br />
yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945) dan ketercapaian misi Kemdikbud (seperti yang<br />
tercantum Pasal 5 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional 134 ) serta<br />
strategi untuk ketercapaian program “pendidikan untuk semua” (Education for all) melalui program<br />
“wajib belajar” 12 tahun makin hari makin makin kabur. 135 Tiba-tiba bisa muncul Pasal 5<br />
Permendikbud No. 158 Tahun 2014 tertanggal 17 Oktober 2014 136 padahal seluruh sumber daya<br />
sedang dikerahkan untuk implementasi Kurikulum 2013. Kemdikbud lupa pada tugasnya dalam<br />
kurikulum (Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas) dan pada misinya (Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas), lebihlebih<br />
lupa pada Nawa Cita No.1, dan Nawa Cita No.5<br />
133<br />
Tanpa kajian sejarah pendidikan, kita lupa dampak besar penghapusan IKIP dan program Akta IV (lupa bahwa<br />
jumlah guru IPA kita masih sangat terbatas sehingga pemerintah pernah membuat crash program D-3 guru IPA di<br />
berbagai perguruan tinggi non IKIP), pergantian SMP menjadi SLTP dan SMA menjadi SMU, tidak diantisipasinya<br />
otonomi daerah (desentralisasi pendidikan) dengan akibat Kepala Dinas Pendidikan bisa dijabat orang parpol, dan<br />
yang paling penting tidak adanya analisis kurikulum, yang menunjukkan bahwa kurikulum kita dari 1968, 1975, 1984,<br />
1994, 2004, 2006 dan 2013 makin lama makin miskin (materi ajar makin banyak berkurang), misalnya pada Kurikulum<br />
1994 Mata pelajaran Ilmu Bumi Falak dihapus dan sekarang pada Kurikulum 2013 Mata Pelajaran TIK dihapus<br />
134<br />
Pasal 5 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 : Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh<br />
pendidikan yang bermutu<br />
135<br />
Jumlah sekolah yang mengerucut mencerminkan tingginya angka drop out meksipun sudah dikucurkan Bantuan<br />
Siswa Miskin (BSM) dan Kartu Indonesia Pintar (Jumlah SD : 148.361, jumlah SMP : 36.425, jumlah SMA : 10.765,<br />
jumlah SMK : 7.592 atau ada sekitar 5 juta pendaftar SD per tahun, yang berhasil lulus S-1 hanya 408.000 orang)<br />
136<br />
Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014 : Sekolah yang terakreditasi A, menerapkan Sistim Kredit Semester<br />
(SKS)<br />
191<br />
181
(abai pada ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 tertanggal 11<br />
Desember 2014). 137<br />
Profesionalitas guru bukan ditingkatkan dalam era globalisasi ini, tetapi justru dipangkas 138<br />
sehingga para guru akan sulit membuat diktat, LKS, dan modul, serta penilaian berbasis kelas (PBK)<br />
: empat prasyarat penting bagi terlaksananya ketentuan Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014<br />
Pemangkasan profesionalitas guru ini, disamping melanggar ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU<br />
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dan Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun<br />
2005 tentang Guru dan Dosen, juga menimbulkan hegemoni pemerintah 139 (menafikan otonomi<br />
pendidikan) 140 sehingga memunculkan banyak kerancuan di lapangan, mulai dari kerancuan negara<br />
rujukan (bukan mengacu ke Finlandia, tapi ke negara-negara OECD), kerancuan filosofi, dan<br />
kerancuan pengertian pengajaran (yang selalu dikaitkan dengan metode), sampai ke kerancuan<br />
program penilaian (hanya berkutat pada evaluasi terhadap siswa, lupa pada monitoring proses belajar<br />
(PBK) dan evaluasi profesionalitas guru yang berwujud pada terbentuknya Bank Soal). Terjadi<br />
pemujaan pendangkalan (cult of philistinism) : guru cukup membuat RPP saja (guru hanya menjadi<br />
tukang mengajar), program sertifikasi guru dan program penyiapan calon guru di PGSD/FKIP<br />
menjadi nir makna.<br />
137<br />
Permendikbud No. 160 Tahun 2014 Pasal 1 : Satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang<br />
melaksanakan Kurikulum 2013 sejak semester pertama tahun pelajaran 2014/2015 kembali melaksanakan<br />
Kurikulum 2006 mulai semester pertama tahun pelajaran 2014/2015 sampai ada ketetapan dari Kementerian untuk<br />
melaksanakan Kurikulum 2013<br />
Permendibud No. 160 Tahun 2014 Pasal 2 ayat 3 : Satuan Pendidikan rintisan (sekolah yang ditunjuk oleh pemerintah<br />
untuk melaksanakan Kurikulum 2013 selama tiga semester) dapat berganti melaksanakan Kurikulum 2006 dengan<br />
melapor kepada dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya<br />
138<br />
Pemangkasan profesionalitas guru dapat dilihat dari ketentuan Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 : Perencanaan<br />
pembelajaran merupakan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran untuk setiap muatan pembelajaran<br />
Bandingkan dengan ketentuan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus,<br />
rencana pelaksaan pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode<br />
pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar<br />
139<br />
Pemerintah sibuk dengan implementasi Kurikulum 2013, lupa pada kewajibannya sebagaimana dirumuskan dalam<br />
Pasal 51 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 dan Pasal 38 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2013 tentang Sistim Pendidikan Nasional<br />
140<br />
Otonomi pendidikan dihapus lewat penghapusan fungsi pengawasan internal sekolah melalui penghapusan Pasal<br />
19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 : Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran,<br />
pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan proses pembelajaran untuk<br />
terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.<br />
Fungsi pengawasan ini kemudian diambil alih oleh Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran (dua jabatan<br />
yang tidak disebut dalam UU Sisdiknas dan PP No. 19 Tahun 2005, bahkan dalam PP No. 32 Tahun 2013)<br />
Penjabaran isi Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 dapat dilihat di Pasal 20 PP No. 19 tahun 2005<br />
182<br />
192
Kerancuan yang merusak adalah tumpang tindihnya fungsi LPMP (Pasal 1 ayat 31 PP No. 32<br />
Tahun 2013) dan LPPKS, dengan fungsi Pengawas (Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013<br />
Bab VI No.2 : Sistim dan Entitas Pengawasan). Fungsi Pengawas ini justru bertentangan dengan isi<br />
Pasal 19 ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013. Melalui campur tangan yang terlalu dalam yang dilegalkan<br />
lewat Permendikbud No.65 Tahun 2013 itu, telah terjadi penyeragaman kurikulum yang bertentangan<br />
dengan azas diversifikasi kurikulum (lihat Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 77 M ayat 1 dan<br />
ayat 3 PP No.32 Tahun 2013). Hal ini menyebabkan kualitas pendidikan kita makin merosot (lihat<br />
hasil survey berbagai lembaga internasional tentang kualitas pendidikan kita di bagian akhir dari Bab<br />
Pendahuluan). Kemdikbud bisa dihujat banyak kalangan sebagai pihak yang abai pada Nawa Cita<br />
No.5 (peningkatan kualitas pendidikan).<br />
Akibat ketidak-sinambungan orientasi (disorientasi) road map dunia pendidikan kita yang<br />
hanya terpaku pada implementasi Kurikulum 2013 at all cost 141 , bisa memunculkan Permendikbud<br />
No. 31 Tahun 2014 142 yang mencoba membendung globalisasi dan liberalisasi sektor pendidikan,<br />
abai pada Perpres No. 77 Tahun 2007 143 dan MEA 2015 serta APEC 2020.<br />
Pemerintah bukannya menggali keunggulan lokal dan kearifan lokal yang sebenarnya bisa<br />
dilakukan lewat Kurikulum 2006, lalu maju ke penerapan SKS, tapi pemerintah justru<br />
bertransformasi menjadi pengurus sekolah 144 Dengan pemaksaan pemberlakuan Kurikulum<br />
2013, maka kalau terjadi kegagalan dalam pengejawantahan “revolusi mental”, Kemdikbud<br />
bisa menjadi tertuduh utama penyebab kegagalan karena abai pada Nawa Cita No.8 (menata<br />
ulang kurikulum pendidikan nasional), bukan meneruskan barang basi Kurikulum 2013<br />
bikinan rezim lama yang banyak mengandung kesalahan itu. (disebut barang basi karena<br />
Kurikulum 2013 itu hakekatnya adalah KBK (2004) yang sudah dicabut pada tahun 2006) : lihat<br />
Catatan kaki No.27<br />
Banyak orang kemudian mengritik persekolahan kita, yang satu menganggap kurikulumnya<br />
kurang relevan, yang lain merasa sekolah mengasingkan anak didik dari kenyataan, yang lain lagi<br />
mengatakan bahwa sekolah mengajarkan hal-hal yang ketinggalan jaman, kurang<br />
141<br />
Kurkulum 2013 at all cost memangkas profesionalitas guru, sehingga menafikan azas diversifikasi kurikulum<br />
sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, yang diperkuat dengan Pasal 17 PP No. 19 Tahun<br />
2005 dan melanggar dasar hukum Kurikulum 2013 sendiri yaitu Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013<br />
142<br />
Permendikbud No. 31 Tahun 2014 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh<br />
Lembaga Pendidikan Asing<br />
143<br />
Lampiran II Perpres No. 77 Tahun 2007 : yang terbuka bagi PMA : Education building dan Kepemilikan modal dalam<br />
Education building, Pendidikan dasar dan menengah, Pendidikan Tinggi dan Pendidikan Non formal<br />
144<br />
Lihat pemangkasan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013<br />
Lihat Pedoman Penilaian yang berkali-kali diubah rumusnya dan tetap salah itu. Pedoman penilaian itu juga hanya<br />
berkutat dengan evaluasi hasil belajar siswa, abai pada terbentuknya Bank Soal dengan soal-soal yang terverifikasi<br />
melalui Analisa Soal<br />
193<br />
183
memperkembangkan intelegensi, terlalu didasarkan rasa takut melanggar arahan Pengawas,<br />
menghambat kreativitas anak, dan sebagainya. Akan tetapi dalam segalanya itu, persoalannya<br />
sebetulnya sederhana saja. Sekolah menjadi seperti itu karena kita menghendakinya demikian.<br />
Jikalau hal itu tidak berjalan dengan baik, tak ada jalan lain kecuali mengubahnya.<br />
Kurikulum 2006 sebenarnya sudah mulai merumuskan tanggung jawab pemerintah dalam<br />
kebijakan pengelolaan pendidikan (pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas dan Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas)<br />
Dengan demikian diharapkan agar para guru tidak kembali ke pola lama. Para guru perlu melihat<br />
kembali Peraturan Mendiknas (Permendiknas) No. 19 tahun 2007 bulan Mei 2007 tentang MBS<br />
(manajemen berbasis sekolah) yang terdiri dari 3 (tiga) dokumen yaitu :<br />
- Dokumen I tentang 5 bidang yang harus dibenahi dalam upaya meningkatkan mutu<br />
manajemen persekolahan yang dilengkapi dengan rincian tugas yang harus diemban oleh guru<br />
penanggung jawab tiap bidang.<br />
- Dokumen II tentang penilaian proses dan evaluasi capaian tugas yang diemban sehingga<br />
kinerja sekolah dapat dirumuskan dengan baik.<br />
- Dokumen III tentang audit kinerja sekolah dan audit kinerja tenaga kependidikan<br />
Keterpenuhan dokumen-dokumen ini memungkinkan sekolah memperoleh sertifikasi sistim<br />
manajemen internasional melalui sertifikat ISO 9001 : 2008<br />
Pemerintah perlu menegaskan bahwa penerapan kurikulum baru tidak serta merta membuang semua<br />
hal baik yang sudah ada sebelumnya.<br />
Yang belum dilakukan adalah menentukan SPM (standar pelayanan minimal) akademik 145 :<br />
Di kelas berapa, kegiatan membaca selama 15 menit sebelum jam sekolah dimulai (sesuai ketentuan<br />
Permendikbud No.23 Tahun 2015) mempunyai makna literasi ? Kapan metode demonstrasi di kelas<br />
harus dialihkan menjadi metode eksperimen di laboratorium ? Kapan siswa sudah bisa diwajibkan<br />
membuat resume atau ikhtisar dari materi/bahan ajar? dll. Penyusunan SPM ini mendesak dilakukan,<br />
bukan eksekusi kurikulum baru, hanya karena kurikulum itu tercantum dalam Standar Isi, sehingga<br />
pemerintah tidak kehilangan arah dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana dirumuskan dalam<br />
Pasal 3 UU Sisdiknas. Apa buktinya bahwa pemerintah mulai kehilangan orientasi pendidikan ?<br />
- Terjadi pemaksaan penerapan Kurikulum 2013, lupa pada isi Surat Edaran Mendikbud<br />
No.179342/MPK/KR/2014 tertanggal 5 Desember 2014, dan Pasal 1 + Pasal 2 ayat 3<br />
Permendikbud No.160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014 yang memberlakukan<br />
145<br />
Yang ada adalah SPM sarana-prasarana minimal (Permendikbud No. 23 Tahun 2013)<br />
184<br />
194
kembali Kurikulum 2006, serta abai pada Nawa Cita No.8 : “penataan kembali kurikulum<br />
pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan”<br />
- Pelatihan guru untuk penerapan Kurikulum 2013 saat ini, justru memunculkan relasi sub<br />
ordinasi yang nampak dari perubahan isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi sangat<br />
kerdil dalam Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 (paralel dengan itu adalah perubahan isitilah<br />
dari penatar menjadi instruktur (orang yang memberi instruksi) dan sifat top down dalam<br />
dropping silabus,buku ajar/materi/sumber belajar, dan buku pegangan guru) yang merampas<br />
wewenang guru sebagaimana sudah diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20<br />
butir (a) UU Guru dan Dosen serta dasar hukum Kurikulum 2013 sendiri yaitu Pasal 77 M<br />
ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013. (Kemdikbud perlu disadarkan akan urutan tata<br />
perundangan : permendikbud ada di bawah PP dan PP ada dibawah UU,<br />
PERMENDIKBUD TIDAK BOLEH MELANGGAR ISI PP, apalagi menabrak isi UU)<br />
Kemdibud juga harus mengingat pidato Presiden saat pelantikan para menteri Kabinet Kerja<br />
tanggal 27 Oktober 2014 : “Tidak ada lagi visi dan misi kementerian, yang utama adalah visi<br />
dan misi presiden ” yang sudah dijabarkan dalam Nawa Cita<br />
Dengan pengerdilan isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, maka pendidikan kita makin miskin.<br />
Ada banyak topik/tema penting yang hilang dari kurikulum kita. 146 Kalau semua orang diam, maka<br />
kita memasuki era pemujaan pendangkalan (cult of philistinism) dan abai pada Nawa Cita No. 5 :<br />
peningkatan kualitas pendidikan. (lihat hasil survey internasional pada bagian akhir dari Bab<br />
Pendahuluan). Produk pendidikan yang kurang memperhatikan segi mutu ilmiah intelektual akan<br />
membahayakan konstelasi sosial yang ada, sebab masyarakat menjadi semu dengan orang-orang<br />
yang berijazah, tetapi tidak “berilmu” 147<br />
146<br />
Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Banyaknya materi uji yang ditanyakan<br />
dalam TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia (kurikulum makin miskin), yang diulang (di<br />
copy paste pada Permendikbud No. 57 Tahun 2014) (:ihat Catatan * di Kata Pengantar)<br />
147<br />
Kaum Cerdik Pandai, Antara Ilmu dan “Ngelmu”, Kompas, Senin 14 Juli 2008 halaman 7<br />
195<br />
185
KESIMPULAN<br />
Kurikulum 2013 yang abai terhadap otonomi pendidikan, desentralisasi pendidikan dan<br />
kebebasan mimbar akademik, serta Nawa Cita No.1, No.5 dan Nawa Cita No.8, telah menyebabkan<br />
lemahnya tiga pilar penting dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan sebagaimana diamanatkan<br />
dalam Pasal 3 dan Pasal 11 UU Sisdiknas 148 :<br />
- Kepemimpinan (leadership) Kepala Sekolah yang disubordinasi oleh Pengawas Sekolah<br />
dengan kewenangannya melakukan supervisi manajerial (Lihat Lampiran Permendikbud<br />
No.65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b), sehingga MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) bukannya<br />
mengacu ke sertifikasi manajemen ISO 9001:2008, tetapi mengacu pada selera Pengawas<br />
Sekolah. Kewenangan kepala sekolah untuk melakukan supervisi kepada para guru di<br />
lingkungan sekolahnya juga diamputasi melalui kehadiran Pengawas Mata Pelajaran dengan<br />
kewenangannya melakukan supervisi akademik, sehingga Kepala Sekolah sukar menjalankan<br />
visi dan misi sekolahnya serta sukar merumuskan keunggulan sekolahnya (brand image-nya)<br />
Kemdikbud abai menjadi sekolah sebagai center of excellence sesuai amanat nawa Cita No.5<br />
- Budaya organisasi dinisbikan melalui amputasi otonomi pendidikan, dan sentralisasi<br />
pendidikan, akibatnya apapun visi dan misi sekolahnya, kurikulumnya pasti seragam dan<br />
kegiatan belajar-mengajarnya akan melewati proses pembelajaran yang sama (dengan<br />
penerapan pendekatan saintifik) : CTL (contextual teaching learning) hanya menjadi utopia.<br />
Tanpa koreksi dari Mendikbud, pengelolaan sekolah menjadi tidak mudah karena<br />
banyak tuntutan dan campur tangan negara. Dengan adanya campur tangan itu,<br />
otonomi sekolah dan otonomi guru dalam mengembangkan visi dan misi sekolah cukup<br />
terganggu. Wajah dunia persekolahan di seluruh Indonesia menjadi sama dan seragam<br />
apapun visi dan misinya.<br />
- Kinerja guru dikerdilkan dari seorang kreator, konseptor, inisiator, dan desainer<br />
kurikulum, menjadi sekedar petugas administrasi pembuatan RPP, itupun RPP yang<br />
seragam secara nasional, guru telah diturunkan harkatnya menjadi sekedar tukang mengajar.<br />
Diklat program sertifikasi guru dan program pendidikan calon guru di PGSD/FKIP menjadi<br />
148<br />
Pasal 3 : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta<br />
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk<br />
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan<br />
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang<br />
demokratis serta bertanggung jawab”.<br />
Pasal 11 : “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta<br />
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.<br />
186<br />
196
nir makna. MBS yang juga merinci kinerja guru sebagaimana tercantum dalam Permendiknas<br />
No. 19 Tahun 2007 dibuang. (Lihat juga isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 yang dikerdilkan<br />
menjadi Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013) 149 Kebebasan mimbar akademik menjadi sirna. Hal<br />
ini jelas-jelas melanggar ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU<br />
Guru dan Dosen, yang dijabarkan dalam Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013.<br />
Terjadi pemujaan pendangkalan (cult of philistinism), abai pada perwujudan strong human<br />
capital dan culture of excellence, sesuai amanat Nawa Cita No.5<br />
Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (competency-based curriculum) 150 sehingga masalah<br />
penilaian pada KBK berulang lagi pada Kurikulum 2013. Jadi penilaiannya tidak bisa mengikuti<br />
Permendikbud No. 66 Tahun 2013 karena salah, sehingga perlu diubah lagi melalui Lampiran IV<br />
Permendikbud No. 81 A Tahun 2013, yang juga masih salah secara matematis, sehingga diubah lagi<br />
melalui Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan No.<br />
7915/D/KP/2014 yang masih salah juga secara matematis. Yang lebih urgen diperhatikan adalah<br />
perubahan berulang kali tentang rumus penilaian ini tanpa penjelasan yang memadai kenapa<br />
rumus mesti diubah (lagi), akan menurunkan wibawa akademik Kemdikbud.<br />
Kurikulum 2013 itu sebenarnya melanggar dasar hukumnya sendiri yaitu PP No. 32 Tahun<br />
2013 (Lihat Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3) 151 Pemaksaaan pelaksanaan Kurikulum 2013 bisa<br />
menyebabkan Kemdikbud menjadi tertuduh utama kegagalan “revolusi mental” karena seharusnya<br />
Kemdikbud tidak sibuk dengan visi dan misinya sendiri, tetapi mengutamakan visi dan misi Presiden<br />
RI yang terinci dalam Nawa Cita No. 8 : akan menata ulang kurikulum pendidikan nasional. Bukan<br />
meneruskan barang basi : Kurikulum 2013 bikinan rezim lama yang banyak mengandung kesalahan<br />
ini. Kenapa disebut barang basi? Karena Kurikulum 2013 mengacu pada KBK (2004) yang sudah<br />
diganti dengan Kurikulum 2006 (lihat Catatan kaki No.27).<br />
Keduapuluh delapan Permendikbud terkait Kurikulum 2013 sebenarnya hanya menyebut<br />
KTSP, tapi Kemdikbud lupa pada arti harafiah KTSP, apalagi arti filosofisnya. KTSP kemudian<br />
149<br />
Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005 : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana<br />
pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar,<br />
metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”.<br />
Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 : “Perencanaan Pembelajaran merupakan penyusunan Rencana<br />
Pelaksanaan Pembelajaran untuk setiap muatan Pembelajaran”.<br />
150<br />
Lihat Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis (Permendikbud ini diulang lagi pada<br />
Permendikbud No.68, No.69 Tahun 2013 tergantung pada unit sekolahnya) Lihat Catatan * pada Kata Pengantar<br />
151<br />
Pasal 77 M ayat 1 : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan Kurikulum operasional yang disusun<br />
oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan<br />
Pasal 77 Mayat 3 : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan<br />
197<br />
187
digeser maknanya dan diartikan sebagai kurikulum yang disusun dan ditetapkan oleh<br />
pemerintah serta wajib dilaksanakan di semua satuan pendidikan (sekolah), abai pada isi Pasal<br />
36 ayat 2 UU Sisdiknas<br />
Melihat karut marut dan pemutar-balikan fakta ini, maka tidak ada jalan lain, pemerintah<br />
mesti menerapkan e-learning dengan konten Disain Kurikulum Digital (dengan merevitalisasi<br />
kembali kurikulum terlengkap yang telah mengakomodir GMAT, dan TOEFL serta SPM + KKI,<br />
yaitu Kurikulum 1975 152 ) yang dilengkapi dengan TQM bersertfikasi ISO 9001:2008, sehingga<br />
Kemdikbud bisa menjalankan amanat Nawa Cita No.5 dan Nawa Cita No.8. Dengan harapan bahwa<br />
Kemdikbud tidak sibuk dengan visi dan misinya sendiri yaitu menggolkan “proyek penyerapan<br />
anggaran 20% dari APBN”, supaya sekolah siap menyongsong era liberalisasi dan globalisasi<br />
pendidikan sesuai dengan amanat WTO, MEA 2015 dan APEC 2020, yang sudah diakomodir melalui<br />
Perpres No.77 Tahun 2007 dimana sektor pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi PMA<br />
(penanaman modal asing). Counter yang dilakukan Kemdikbud melalui Permendikbud No.31 Tahun<br />
2014 153 dan pembatasan lalu lintas SDM asing melalui sertifikasi tenaga kerja, hanya akan<br />
memancing pembalasan (aksi resiprokal) dari negara-negara anggota WTO (World Trade<br />
Organization) dan ACMW (ASEAN Committee on Migrant Workers) 154 yang akan menyebabkan<br />
dipulangkannya jutaan TKI dan TKW kita di luar negeri yang unwell-educated dan unskilled labour<br />
karena termasuk dalam uncertified workers. Dampak sosialnya pasti akan sangat luas mengingat<br />
keterbatasan lapangan kerja di dalam negeri.<br />
152<br />
Kurikulum 1975 : Sains dan Matematika dipahami sebagai art, bukan sekedar pengetahuan. Dimana sswa dilatih<br />
menemukan metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam administrasi<br />
politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk pikuk sehari-hari<br />
153<br />
Permendikbud No. 31 Tahun 2014 : Kerja sama Lembaga Pendidikan Asing dengan Lembaga Pendidikan<br />
Indonesia<br />
154<br />
ACMW (ASEAN Committee on Migrant Workers) menyatakan bahwa migrasi tenaga kerja (termasuk<br />
188<br />
guru) adalah hak asasi yang harus dilindungi<br />
198
DAFTAR PUSTAKA<br />
Appadurai, Arjun, 1996<br />
Modernity at Large, Cultural Domension of Globalization, Minnesota, University of<br />
Minnesota Press.<br />
Bagus, Loren, 2000<br />
Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, halaman 181-182<br />
De Porter, Debbie, 2008<br />
Quantum Teaching, Bandung, Kaifa.<br />
Kusuma, Doni, 2013<br />
Eklektisme Kurikulum 2013, Kompas, 5 April 2013 halaman 7<br />
Mohandas, Ramon, 2015<br />
Revisi utama Kurikulum 2013 adalah KD untuk KI 1 dan KI 2, Jawa Pos, 27 Juni 2015<br />
halaman 12<br />
Muhammad, Gunawan, 2015<br />
Bocah, Catatan Pinggir, Majalah Tempo, 15-21 Juni 2015<br />
Raka Joni, Tjokorde, 1997<br />
Cara Belajar Siswa Aktif, Jakarta, Ditjen Dikti<br />
Sastrapratedja, M, 2015<br />
Pendidikan Transformatif, Makalah dalam Seminar Lingkar Muda Indonesia, Ruby Room,<br />
Gedung Kompas, 28 Mei 2015<br />
Soetikno, Wendie Razif, 2007<br />
Sehabis KTSP lalu Apa? SKS!, Majalah Educare No. 6/IV/2007 halaman 36-38<br />
Soetikno, Wendie Razif, 2010<br />
Disain Kurikulum Digital, Yogya, Smart Writing<br />
Sudiarja, A, 2014<br />
Pendidikan dalam Tantangan Jaman, Yogya, Kanisius<br />
Sumarsono, 2004<br />
Otonomi Pendidikan, Singaraja, IKIP Negeri<br />
Suparno, Paul, 1997<br />
Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogya, Kanisius<br />
199<br />
189
Supeli, Karlina, 2013<br />
Kebudayaan dan Kegagapan Kita, Pidato Kebuayaan, TIM, 11 November 2013<br />
Wagner, Tony, 2008<br />
From The Global Achievement Gap: Why Even Our Best Schools Don’t Teach The New<br />
Survival Skills Our Children Need—And What We Can Do About It , Connecticut, Basic Books<br />
Kompas, 2015<br />
Beban Kewargaan, Kompas, Selasa, 6 Oktober 2015 halaman 15<br />
Kompas, 2015<br />
Beban Pengawas Berat – Orientasi Masih Administrasi, Kompas, Selasa 11 Agustus 2015<br />
halaman 11<br />
Kompas, 2015<br />
Udar Rasa – Akal Sehat, Kompas, Minggu 2 Agustus 2015 halaman 13<br />
Kompas, 2015<br />
Budi Pekerti – Nilai “Ditempelkan Tanpa Rasionalitas”, Kompas, Kamis 23 Juli 2015<br />
halaman 12<br />
Kompas, 2014<br />
Wapres, Perbaiki Kurikulum 2013 – Kemdikbud Dinilai Lamban Melatih Guru, Kompas,<br />
Jumat 24 Januari 2014, halaman 12<br />
Kompas, 2008<br />
Kaum Cerdik Pandai, Antara Ilmu dan “Ngelmu”, Kompas, Senin 14 Juli 2008 halaman 7<br />
190<br />
200
Wendie Razif Soetikno, lahir di Surabaya, 21 Juli 1954. Menyelesaikan D-3 Kimia IKIP Malang tahun<br />
1976 (Nrp 24416), Sarjana Sains di IPB th 1994 (Nrp G26.1748) dan Master in Development Management<br />
di AIM, Manila atas bantuan Eugene Lopez Foundation tahun 1999 (MDM 99) Selama 17 tahun mengajar<br />
Kimia, Praktikum Kimia dan Pembimbing KIR di suatu sekolah di Bogor,lalu melakukan hal yang sama di<br />
Jakarta dan Bekasi<br />
Mengikuti International Youth Day 1997 di Paris bersama Paus Yohanes Paulus II (kini Santo Yohanes<br />
Paulus II) atas dukungan dari Bapak Jakob Oetama (CEO Kelompok Kompas Gramedia). Kegiatan ini<br />
dipublikasikan dalam seri tulisan Tahun Pemuda Internasional di KOMPAS tanggal 14 – 22 Agustus 1997.<br />
Mengikuti TOT (Training for the Trainers) tentang Project Based Learning (pembelajaran berbasis<br />
proyek, yang kini digunakan dalam Kurikulum 2013), atas dukungan dari PT Oracle Indonesia, Februari<br />
2008 di NUS, Singapore.<br />
Dalam rangka haul Gus Dur, menulis puisi : Tidak Menjadi Apa-apa, Tidak Berarti Bukan Apa-apa,<br />
yang dimuat dalam buku SEJUTA DOA BUAT GUS DUR, terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2010,<br />
halaman 316-317. Puisi wajib yang dibacakan dalam setiap haul Gus Dur di kantor PB NU, Jl Kramat Raya,<br />
Jakarta dan di Pondok Pesantren Tebu Ireng, di desa Cukir, Kecamamtan Diwek, Kabupaten Jombang.<br />
Pemenang Lomba Inspirasi Majalah INTISARI - Pengumuman pemenang dimuat dalam Majalah<br />
INTISARI, edisi September 2011 (No. 583) halaman 159. Petikan pengalaman itu antara lain: "Artikel<br />
"Temulawak Para Pelawak" (Intisari, September 1990) mengubah hidup saya sebagai guru Kimia. Materi<br />
yang sulit mampu disajikan majalah ini secara bersahaja, tanpa kehilangan nilai ilmiahnya. Sejak itu, seperti<br />
Intisari, saya selalu berusaha membuat sains lebih membumi".(Wendie Razif Soetikno, pembaca Intisari) dan<br />
Petikan artikel di atas dimuat di KOMPAS, Senin 22 Agustus 2011 halaman 32: "48th ANNIVERSARY<br />
Intisari SMART & INSPIRING”.<br />
Setelah menulis “Sehabis KTSP Lalu Apa? SKS!” di Majalah Educare No 6/IV/September 2007,<br />
kemudian diminta untuk mempersiapkan beberapa sekolah agar dapat menerapkan SKS, melalui pelatihan<br />
mendisain kurikulum secara digital. Buku panduannya, yaitu buku DISAIN <strong>KURIKULUM</strong> DIGITAL,<br />
(ISBN : 978-602-7858-10-7), penerbit Smart Writing, Yogya, 2009, edisi keenam Juni 2015 dicetak dengan<br />
sponsor Bank Mandiri, dikhususkan untuk perpustakaan lembaga negara, perpustakaan perguruan tinggi dan<br />
perpustakaan daerah.<br />
Pengalaman melatih guru-guru di berbagai daerah dalam penyusunan kurikulum secara digital tertuang<br />
di tulisan: “Melatih Guru, Meretas Masa Depan Ribuan Anak Indonesia” yang berhasil masuk nominasi<br />
sepuluh besar Lomba Menulis Jiwa Nusantara 2012 dan telah dibukukan dengan judul: “Jiwa Nusantara<br />
dalam Tulisan” halaman 198-205, terbitan Anyes Bestari Komunika (ab.komunika@gmail.com).<br />
Pengalaman melatih guru dalam mendisain kurikulum secara digital di berbagai daerah agar siap menerapkan<br />
e-learning diajukan dalam Asian CSR Award category Education Improvement 2015<br />
201<br />
191
Ikut berjuang menghapus RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) melalui tulisan yang<br />
diterbitkan dalam buku “TERSERET ARUS GLOBALISASI, Bunga Rampai Reportase Dampak<br />
Globalisasi” (Penerbit Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI Indonesia) bekerja sama dengan<br />
Development and Peace) yang menambah amunisi untuk menghapus keberadaan RSBI melalui Putusan<br />
Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-X/2012 .<br />
Tulisan itu muncul di halaman 114 – 124, dengan rincian : “Berlomba Pasang Label Internasional” halaman<br />
111, “Ingin Berkelas Global” halaman 114, “Bandung Setengah Hati” halaman 117, “Malang Adem Ayem”<br />
halaman 119, dan “Bersaing Mengejar Atribut” halaman 121.<br />
Pengalaman membimbing pembuatan diktat dan modul telah mendapat IMA 2011 (Indonesia<br />
Millenium Development Goals Award 2011) yang telah diabadikan dalam buku: “PENCERAH<br />
NUSANTARA, Best Practices untuk Mencapai MDGs” pada halaman 73-82 (penerbit: Kantor Utusan<br />
Khusus Presiden RI untuk Millenium Development Goals). Penyerahan hadiah dilakukan tanggal 1 Februari<br />
2012 oleh Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs : Ibu Prof Dr Nila Djuwita F. Moeloek (sekarang Menteri<br />
Kesehatan Kabinet Kerja) dalam seremoni yang dihadiri oleh Wapres Boediono di Balai Kartini.<br />
Keterikatan Wendie Razif Soetikno dengan sekolah selama bertahun-tahun dipamerkan dalam<br />
KURIKULAB, Assemblage of Democracy : Share Room : kolaborasi – diskusi – riset – presentasi, di Galeri<br />
Cipta II, Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada tanggal 16 – 30 Oktobr 2014. Dalam Focus Group Discussion<br />
2 dibahas : “Sekolah, Cara dan Tujuan”, sedang dalam Focus Group Discussion 3 dibahas : “Sistim dan<br />
Kebijakan Pusat vs Inisiatif Lokal”. Berbagai pembahasan, gagasan, pernyataan maupun pertanyaan<br />
menjadi karya yang akan dipresentasikan dalam bentuk pameran seni rupa. Pameran ini menampilkan artefak<br />
dan rekaman yang terjadi selama proses FGD berlangsung, seperti video, foto, coretan, teks dan gambar.<br />
Pameran ini secara tidak sadar merupakan proses demokratis. Melalui kolaborasi dan partisipasi tersebut,<br />
mengukuhkan kembali ruang kebebasan berbagi dan berpendapat yang dapat disinergikan satu sama lain.<br />
Salah satu hal yang menarik dalam kerja kolaborasi ini, publik telah menjadi salah satu penentu artistik. Secara<br />
tidak langsung, publik telah dapat memberikan penawaran tersendiri pada persoalan hari ini.<br />
“How can we talk about research if, in practice, we are still inscribed within a normative curriculum”<br />
Lilian L’Abbate Kellan<br />
Renungan pengalaman mengajar selama lebih dari 30 tahun tertuang dalam tulisan MENJADI<br />
TUKANG MENGAJAR ATAU MENDIDIK (terbit dalam buku KAPUR & PAPAN, Kisah Guru-guru<br />
Pembelajar 3, halaman 107 – 112), penerbit Lingkar Antar Nusa, Yogya, 2015<br />
Tuturan tentang Manajemen Kelas tertuang dalam buku KAPUR & PAPAN, Kisah Pengelolaan Kelas<br />
2, halaman 133 – 136 : MURIDKU TERTOLONG DENGAN PAIKEM GEMBROT, penerbit Lingkar Antar<br />
Nusa, Yogya, 2015<br />
Berdasar pengalaman panjang sebagai guru, pernah diundang sebagai nara sumber Rapat Dengar<br />
Pendapat Umum di DPR RI :<br />
a. Dalam surat Deputi Bidang Persidangan dan KSAP Setjen DPR RI No : LG.02/01677/DPR<br />
RI/II/2012 tertanggal 20 Februari 2012 : Wendie Razif Soetikno diminta memberi masukan dalam<br />
Rapat Dengar Pendapat Umum tentang RUU Sistem Peradilan Pidana Anak di depan Komisi III DPR<br />
RI pada hari Selasa, 21 Februari 2012 pk. 10.00 – 12.00<br />
b. Dalam surat Deputi Bidang Persidangan dan KSAP Setjen DPR RI No : LG.01/01960/DPR RI/II<br />
2012 tertanggal 27 Februari 2012 : Wendie Razif Soetikno diminta memberi masukan dalam Rapat<br />
Dengar Pendapat Umum tentang RUU Penyiaran di depan Komisi I DPR RI pada hari Rabu, 7 Maret<br />
2012 pk. 10.00 – 13.00<br />
Masuk 10 besar Lomba Penulisan Artikel “Potret Indonesia 2014” Pimpinan Cabang Istimewa<br />
Muhammadiyah (PCIM) Rusia, dengan judul tulisan “Why Did Somebody Engage in High Cost/Risk<br />
Activism?” (laporan hasil penelitian tentang konflik horizontal di Poso Jilid I, Jilid II dan Jilid III) :<br />
http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-2705-detail-muhammadiyah-rusia-umumkan-pemenangsayembara-internasional-penulisan-.html<br />
Penulis juga mengadvokasi petani sejak tahun 2008 melalui tulisan : “ASURANSI UMUM DAN<br />
PERTANIAN BERKELANJUTAN, UPAYA MENUJU KETAHANAN PANGAN DALAM<br />
MENGATASI KEMISKINAN YANG BELUM DILIRIK” (Harian Online KABAR INDONESIA<br />
(HOKI) (http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=10&dn=20080719225222). Siaran METRO TV,<br />
Rabu 13 Oktober 2010 pk. 19.00-20.30 : SUARA ANDA - 1 TAHUN KINERJA KIB II -<br />
MENYOROT KINERJA MENTERI PERTANIAN : SUSWONO.<br />
202<br />
192
Dalam acara ini Menteri Pertanian Suswono menyatakan perlunya ASURANSI PERTANIAN agar<br />
petani tidak terus merugi dalam ketidak-pastian musim sekarang ini, TAPI HAL INI MASIH<br />
WACANA, sehingga ide ini masih harus terus diperjuangkan. Hal ini seolah-olah akan diwujudkan<br />
pada tahun 2012 lalu : “BUDI DAYA PADI DIASURANSIKAN” (KOMPAS, Jumat 29 Juni 2012<br />
halaman 19) . Namun sampai bencana kekeringan melanda di tahun 2015 ini, asuransi pertanian ini<br />
BELUM JUGA TERWUJUD, dan baru mau akan diwujudkan lagi melalui paket kebijakan<br />
ekonomi ketiga Jokowi–JK tertanggal 7 Oktober 2015, dimana pemerintah akan menanggung 80%<br />
premi asuransi pertanian dan petani cukup membayar premi sebesar 20% atau setara Rp.30 ribu<br />
dengan nilai claim sebesar Rp 6 juta bila petani gagal panen hingga kebutuhan sehari-hari tercukupi.<br />
(http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/10/08/nvvljr382-cukup-bayar-rp-30-ribusawah-petani-sudah-dilindungi-asuransi).<br />
203<br />
193
194