28.12.2015 Views

KELIRUMOLOGI KURIKULUM

Kelirumologi-Kurikulum-isi-buku

Kelirumologi-Kurikulum-isi-buku

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>KELIRUMOLOGI</strong> <strong>KURIKULUM</strong><br />

Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM<br />

<strong>KURIKULUM</strong> 2006 atau <strong>KURIKULUM</strong> 2013?


<strong>KELIRUMOLOGI</strong> <strong>KURIKULUM</strong><br />

Penulis<br />

Editor<br />

Perwajahan Isi<br />

Desain Sampul<br />

: Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM<br />

: Yoen<br />

: Simages<br />

: Simages<br />

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang<br />

Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh<br />

isi buku ini ke dalam bentuk apa pun, secara elektronis<br />

maupun mekanis, tanpa izin tertulis dari penerbit dan penulis.<br />

All Rights Reserved<br />

Diterbitkan oleh:<br />

Sibuku Media<br />

Alamat : Ngringinan, Palbapang, Kec. Bantul, Kab. Bantul, Yogyakarta.<br />

Hp. : 085643895795<br />

E-mail : penerbitsibuku@gmail.com<br />

Web : www.sibuku.com<br />

Katalog Dalam Terbitan (KDT)<br />

Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM, Kelirumologi Kurikulum; Editor: Yoen—<br />

Cetakan 1—Yogyakarta: Sibuku Media, 2015<br />

xii+ 194; 21 x 29 cm<br />

ISBN: 978-602-6814-02-9<br />

Cetakan 1, 2015


Pendidikan kita masih mengajarkan ketaatan pada kekuasaan,<br />

bukan pada nilai,<br />

serta tidak mengembangkan kreativitas.<br />

(Ignas Kleden)<br />

1


DAFTAR ISI<br />

KATA PENGANTAR (Telaah Kesalahan “Mind Set”) i 2<br />

PENDAHULUAN (Telaah Legalistik) 110<br />

BAB I FILOSOFI PENDIDIKAN (Telaah Filosofis) 39<br />

BAB II PENDIDIKAN vs PERSEKOLAHAN (Kebijakan vs Tehnik<br />

Implementasi) (Telaah Paedagogis) 72 67<br />

BAB III DUALISME PRANATA (Telaah Sosiologis) 93 81<br />

BAB IV <strong>KURIKULUM</strong> vs KOMPETENSI (Telaah Etimologis) 102 118<br />

BAB V KOMPETENSI vs PENILAIAN (Telaah Metodik) 113 137<br />

BAB VI <strong>KURIKULUM</strong> vs PENGAJARAN (Telaah Didaktis) 123 149<br />

PENUTUP (Telaah Demokratisasi Pendidikan) 143 180<br />

KILAS BALIK (Telaah Sejarah Pendidikan) 144 181<br />

KESIMPULAN 148 186<br />

DAFTAR PUSTAKA 150 189<br />

10


KATA PENGANTAR<br />

Ada beberapa kekeliruan yang mendasar : Pertama, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan<br />

(KTSP) secara harafiah berarti kurikulum tingkat sekolah sehingga sejalan dengan arti harafiahnya,<br />

kurikulum setiap sekolah akan berbeda sesuai dengan Visi dan Misi sekolah masing-masing. Hal ini<br />

sudah lama dipraktekkan di Perguruan Tinggi dan di sekolah-sekolah internasional di Indonesia.<br />

Sama-sama belajar iptek dan terakreditasi A, tapi kurikulum ITB akan berbeda dengan kurikulum<br />

ITS sehingga masyarakat mempunyai alternatif pilihan untuk masa depan putra putrinya. Sama-sama<br />

sekolah internasional yang terakreditasi secara internasional, tetapi segera nampak bedanya antara<br />

Binus International School di Simpruk, Jakarta (yang menggunakan Kurikulum IB), dan Gandhi<br />

Memorial School di Kemayoran, Jakarta, (yang menggunakan Kurikulum Cambridge), bukan saja<br />

karena kurikulum masing-masing sekolah itu berbeda, tetapi yang lebih dapat ditonjolkan adalah<br />

sekolah-sekolah tersebut dapat menentukan ciri khasnya sendiri berdasar model kurikulum yang<br />

dipilihnya, sehingga Visi dan Misi dapat dirumuskan sesuai kondisi sekolahnya.<br />

Dalam perbedaan itu, selalu ada sesuatu hal yang sama sehingga dengan cepat kita dapat<br />

menyatakan bahwa suatu institusi termasuk dalam institut teknologi atau bukan, atau suatu lembaga<br />

dapat disebut SMA atau bukan. Sudah tentu tidak dilihat dari papan namanya, tapi dari benang<br />

merah persamaan dasariahnya. Kemampuan dasar tentang apa yang minimal harus dikuasai seorang<br />

siswa atau mahasiswa itu sama (dengan kata lain, Standar Pelayanan Minimalnya sama (SPM-nya<br />

sama), tetapi masing-masing sekolah atau perguruan tinggi mencari keunggulan lokalnya sendiri,<br />

yang akan menjadi ciri khasnya (brand image). SPM dalam bidang engineering di ITB dan ITS itu<br />

sama, tetapi masing-masing perguruan tinggi akan menonjolkan keunggulan lokalnya masingmasing.<br />

SPM Binus International School dan Gandhi Memorial School sama, yaitu penguasaan<br />

dasar-dasar pengetahuan (foundation) atau pemahaman ilmu-ilmu dasar, sebagai bekal agar siswa<br />

dapat mengikuti kuliah dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan akademik di perguruan<br />

tinggi, namun masing-masing sekolah akan unjuk keunggulan lokalnya yang menjadi ciri khas dan<br />

jati diri sekolahnya. Dengan kata lain, yang “dijual” oleh perguruan tinggi dan sekolah adalah<br />

kurikulum yang diusung dengan keunggulan lokal pada model evaluasinya (yang menentukan<br />

kualitas lulusannya), serta SDM yang mengampu kurikulum itu. Hal inilah yang membentuk budaya<br />

ilmiah di perguruan tinggi atau budaya pembelajar di sekolah. Budaya pembelajar sekolah Taman<br />

Siswa : ing ngarso sung tulodo (emong), ing madya mbangun karsa (among), tut wuri handayani<br />

(pamong), (di depan memberi teladan (tuntun), di tengah menyemangati (bimbing), dan memberi<br />

dorongan dari belakang (dukung), akan sangat berbeda dengan budaya pembelajar SMA Seminari St<br />

2<br />

i


Petrus Canisius Mertoyudan, Magelang : sanctitas (kesucian), sanitas (sehat), dan scientia<br />

(pengetahuan).<br />

Dengan analogi itu, sesungguhnya KTSP mengusung semboyan Bhineka Tunggal Ika (unity<br />

in diversity). Jadi seharusnya tidak ada kurikulum tunggal dan seragam secara nasional, karena<br />

hal itu berarti Kemdikbud menjadi inisiator, implementor dan eksekutor serta regulator pendidikan,<br />

bahkan sampai menjadi evaluator keberhasilan proyek launching kurikulum baru, suatu hal yang<br />

melanggar sepuluh prinsip good governance dan menyalahi semangat debirokratisasi dan deregulasi<br />

yang digaungkan oleh pemerintah sendiri melalui Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009.<br />

Yang selalu dikuatirkan oleh para birokrat Kemdikbud adalah : “Apa tidak menjadi terlalu<br />

liberal?” Tidak, sebab :<br />

(1) Pertanyaan itu sebenarnya tidak relevan lagi diajukan sejak pemerintah mengeluarkan PP<br />

No.77 Tahun 2007 yang mengijinkan pemodal asing (PMA) berinvestasi di sektor pendidikan<br />

(pemerintah sudah lama membuka pintu bagi liberalisasi pendidikan).<br />

(2) Kurikulum selalu menganut azas kebhinekaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 ayat 2<br />

UU Sisdiknas tentang diversifikasi kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi sekolahnya,<br />

potensi daerahnya dan keadaan siswanya.<br />

Sedangkan kewajiban pemerintah (yang mencerminkan azas keikaan) sudah dirumuskan dalam Pasal<br />

38 ayat 1 UU Sisdiknas : pemerintah hanya merumuskan kerangka dasar dan struktur kurikulum.<br />

Kita semua pernah mengalami penerapan Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas ini, yaitu pada Kurikulum<br />

1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, dan Kurikulum 1994 : kurikulum setiap sekolah berbeda<br />

sesuai dengan Visi dan Misi sekolah masing-masing, sehingga ciri khas sekolahnya akan nampak<br />

jelas, Kurikulum Sekolah Taman Siswa akan berbeda dengan Kurikulum Sekolah Muhammadiyah,<br />

bahkan kurikulum antar sekolah negeripun bisa berbeda. Akibatnya, para guru terasah untuk<br />

berlomba-lomba menggali keunggulan lokal sekolah masing-masing sehingga mau tidak mau,<br />

kompetensi (kemampuan) gurunya akan terbaca oleh masyarakat. Keunggulan sekolahnya adalah<br />

pembeda yang menjadi ciri khas sekolah tersebut. Apa akibatnya? Para guru akan terpacu untuk<br />

menyusun kurikulum sampai ke tingkat HOT (Higher Order of Thinking). Kualitas pendidikan<br />

meningkat dan Ujian Nasional (EBTANAS) hanya dipandang sebagai salah satu bentuk tes biasa<br />

saja. Tidak ada istiqosah atau “pengarahan” menjelang pelaksanaan Ujian Nasional (EBTANAS)<br />

saat itu. Ijazah sekolah kita diakui di luar negeri (siswa tidak perlu menempuh kelas persiapan<br />

(foundation) di pre-university. Malaysiapun pernah meminta guru-guru dari Indonesia untuk<br />

mengajar di berbagai sekolah di sana.<br />

Situasi mulai berubah ketika ada upaya untuk menyeragamkan kurikulum di tingkat nasional<br />

seiring dengan wacana digulirkannya dana 20% dari APBN untuk pendidikan pada sidang-sidang<br />

ii<br />

3


MPR tahun 2000. Pertanyaannya adalah : “untuk apa anggaran yang begitu besar itu?”, “bagaimana<br />

kalau anggaran itu tidak terserap habis, bukankah kinerja kementerian dinilai dari banyaknya<br />

program yang mencerap anggaran itu?”. Sehingga solusinya adalah pelaksanaan “program yang<br />

konsumtif” (sekedar menghabiskan anggaran), seperti acara bagi-bagi uang melalui program<br />

sertifikasi guru yang tidak terkait dengan profesionalitas guru, pemberlakuan UN dan<br />

peluncuran kurikulum baru, karena ketiga program ini pasti meliputi banyak proyek yang akan<br />

mencerap anggaran sangat besar, sekali tepuk dapat beberapa lalat, mulai dari diklat sertifikasi untuk<br />

jutaan guru, biaya UN : pencetakan jutaan lembar soal dan pendistribusiannya ke seluruh Indonesia,<br />

sampai biaya peluncuran kurikulum baru : proyek pelatihan guru secara massal, proyek pencetakan<br />

buku baru dan anggaran untuk proyek monitoring bagi para Pengawas di daerah serta pencetakan<br />

ijazah/rapor baru. Mulai saat itu dicanangkanlah program sertifikasi guru yang tidak terkait dengan<br />

uji kompetensi guru (UKG) dan kinerja guru, pemberlakuan Ujian Nasional sebagai satu-satunya<br />

penentu kelulusan, dan peluncuran kurikulum baru, seperti Kurikulum 2004 (KBK), yang dikoreksi<br />

melalui Kurikulum 2006, KTSP Bimtek (2008), lalu makin nampak instruksional pada tahun 2013<br />

(Kurikulum 2013). Akibatnya segera terasa, pendidikan yang diproyekkan menyebabkan kualitas<br />

pendidikan kita makin merosot, yang tercermin dari makin rendahnya score para siswa kita dalam<br />

pemahaman IPA dan Matematika pada TIMSS (Trends in International Mathematics and Science<br />

Study), rendahnya score pengetahuan umum dan kemampuan bernalar siswa kita dalam PISA<br />

(Programme in International Students Assessment), serta rendahnya score siswa kita dalam<br />

kemahiran membaca apa yang tersirat melalui test PIRL (Progress in International Reading<br />

Literature) (Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bab I A No. 2 b, yang dicabut dalam<br />

Permendikbud No. 57 Tahun 2014, tapi anehnya isinya persis sama (copy paste) dengan Lampiran<br />

Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bab I A No. 2 b. Jadi pencabutan permendikbud ini hanya untuk<br />

melegalkan pembuatan silabus oleh pemerintah dan memangkas kewenangan guru sebagaimana<br />

tercantum dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen)<br />

Kekeliruan kedua, Kurikulum 2006 (KTSP awal) sering disamakan dengan KTSP Bimtek<br />

(2008), padahal konsepnya berbeda. Kurikulum 2006 (KTSP awal) mengacu pada Pasal 36 ayat 2<br />

UU Sisdiknas, dan Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 yang menjunjung azas diversifikasi kurikulum,<br />

disesuaikan dengan potensi daerah, kondisi sekolah dan keadaan siswanya. Oleh sebab itu, para<br />

guru harus menyusun kurikulumnya sendiri, sesuai dengan amanat Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan<br />

Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, yang diperkuat dengan ketentuan turunannya pada Pasal 20<br />

PP No. 19 Tahun 2005 (Rincian isi pasal-pasal itu dapat dilihat pada Catatan kaki No. 2 tentang dasar<br />

hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan). Dengan kata lain, Kurikulum 2006 (KTSP awal)<br />

mengusung semangat otonomi guru dan otonomi sekolah. Sedangkan KTSP Bimtek (KTSP<br />

4<br />

iii


Bimbingan Teknis (2008) yang muncul setelah portofolio guru tidak lagi digunakan dalam proses<br />

sertifikasi guru, adalah kurikulum hasil pelatihan guru yang seragam dalam Diklat sertifikasi guru.<br />

Diklat sertifikasi guru ini juga tidak menyertakan LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan) dan<br />

PPPG (Pusat Pengembangan dan Penataran Guru) atau PPPPTK (Pusat Pengembangan dan<br />

Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) atau Kepala Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan<br />

yang ada di daerah (semua sudah ditentukan dari pusat, bahkan penatarpun ditunjuk dari pusat),<br />

sehingga sifat penyeragaman kurikulum ini makin menonjol. Jadi KTSP Bimtek (2008) adalah<br />

kurikulum tunggal dan seragam secara nasional yang menunjukkan hegemoni pemerintah, yang<br />

dikemudian hari juga dipakai sebagai acuan dalam akreditasi sekolah. Di DKI Jakarta,<br />

penyeragaman kurikulum ini terlihat melalui program SAS (Sistim Administrasi Sekolah) dan SIP<br />

(Sistim Informasi Pendidikan) yang menjadi wahana untuk mengontrol dan “mengendalikan”<br />

sekolah secara ketat sehingga semua sekolah di DKI Jakarta (termasuk mantan sekolah RSBI)<br />

kehilangan daya saingnya menghadapi sekolah-sekolah internasional yang makin menjamur.<br />

Para Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran 1 membuat semuanya berjalan makin paralel<br />

dan seragam, tidak boleh melenceng sedikitpun dari ketentuan yang sudah digariskan oleh<br />

Kemdikbud, dengan demikian ciri khas sekolah menjadi hilang. Visi dan Misi sekolah hanya menjadi<br />

slogan dan hiasan dinding saja. Dengan kata lain, KTSP Bimtek (2008) telah menafsirkan kata<br />

“bimbingan teknis” itu menjadi kata “wajib dibimbing”. Inilah saat hegemoni pemerintah mulai<br />

merasuki dunia pendidikan kita, lengkap dengan UN sebagai penentu kelulusan dan para pengawal<br />

hegemoni itu, yaitu para Pengawas (Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran) (Lihat<br />

Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b).<br />

Kekeliruan ketiga adalah menganggap Kurikulum 2013 sebagai perbaikan dari Kurikulum<br />

2006 (KTSP awal), padahal Kurikulum 2013 secara sengaja menghapus frasa penting dari Pasal 20<br />

PP No.19 tahun 2005 : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus, rencana pelaksanaan<br />

pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode<br />

pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”; Pasal yang menunjuk pada<br />

profesionalitas guru ini diubah menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 :<br />

“Perencanaan pembelajaran merupakan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)<br />

untuk setiap muatan pembelajaran”.<br />

1<br />

Jabatan Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran ini tidak tercantum dalam UU No. 14 Tahun 2015 tentang<br />

Guru dan Dosen (artinya guru dan dosen tidak perlu diawasi/otonom). Guru dan dosen itu otonom sesuai amanat<br />

Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen. Bahkan kalau mengacu pada Pasal 19 ayat 3<br />

PP No. 19 Tahun 2005 yang tidak diubah dalam Pasal 19 ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 : fungsi pengawasan itu melekat<br />

pada tugas profesional guru (Menurut PP ini, Kurikulum 2013 seharusnya tidak mengenal adanya jabatan Pengawas)<br />

Pada Pasal 10 UU Sisdiknas : pengawasan itu bukan diartikan sebagai watch dog, tetapi sebagai capacity building<br />

(membimbing dan membantu) komunitas guru. Pengawas sebagai watch dog baru muncul pada Lampiran<br />

Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b. (Pengawas menjadi eksekutor, regulator dan evaluator pendidikan)<br />

5<br />

iv


Jadi nampak jelas bahwa Kurikulum 2013 memangkas kewenangan guru dalam menyusun<br />

silabus, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar dan penilaian hasil belajar, dan<br />

mengerdilkannya menjadi hanya menyusun RPP saja. Guru diturunkan martabatnya menjadi<br />

hanya sekedar tukang mengajar dan petugas administrasi pengajaran. Fungsi pendidik<br />

profesional sebagaimana dituntut dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU<br />

Guru dan Dosen menjadi sumir. Proses panjang monitoring proses belajar dan penilaian hasil belajar<br />

menjadi tidak berarti, karena test sesaat (UN) adalah penentu kelulusan, lalu sekarang ditambah<br />

dengan menghilangkan kemampuan guru untuk menyusun Silabus, diktat (bahan ajar/materi/sumber<br />

belajar) dan menilai hasil belajar tidak menurut situasi dan kondisi sekolahnya. Sejak awal, “proyek<br />

besar penyerapan anggaran” dalam bentuk Kurikulum 2013 didisain untuk penyerapan anggaran<br />

sebesar-besarnya (untuk menghabiskan dana 20% dari APBN yang dialokasikan untuk pendidikan)<br />

melalui (1) pelaksanaan sertifikasi guru secara massal yang abai pada kinerja guru, (2) pemberlakuan<br />

UN dan (3) launching kurikulum baru (pelatihan guru secara massal untuk aplikasi kurikulum baru,<br />

dropping silabus, membuat buku ajar bagi siswa (karena materi ajar/sumber belajar sekarang<br />

ditentukan oleh Kemdikbud), menyosialisasikan metode baru (metode 5 M) dan membuat buku<br />

pegangan guru (menentukan buku panduan proses pembelajaran di kelas), serta merumuskan sistim<br />

penilaian yang berkali-kali diubah itu (tanpa penjelasan yang memadai kenapa program penilaian itu<br />

diubah lagi). Dengan demikian, Kemdikbud mempunyai legitimasi untuk meluncurkan program<br />

sinterklas sertifikasi guru, evaluasi tunggal bersama (UN) dan menyosialisasikan kurikulum baru<br />

yang seragam dan sama secara nasional, mengabaikan fungsi LPMP dan PPPG/PPPPTK atau Kepala<br />

Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan setempat, serta mengabaikan ketentuan Pasal 36 ayat 2 UU<br />

Sisdiknas serta Pasal 17 PP No. 19 tahun 2005, oleh sebab itu secara jelas memotong kewenangan<br />

guru, yang disebut dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas, Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, dan<br />

Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 (Rincian isi pasal-pasal ini dapat dilihat pada Catatan kaki No. 2<br />

tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan)<br />

Kewenangan LPMP juga dipangkas menjadi sekedar pengawas EDS (Evaluasi Diri Sekolah)<br />

: pemerhati administratif yang tidak mempunyai otoritas seperti Pengawas, dan fungsi supervisi<br />

akademik LPMP digantikan oleh Pengawas Mata Pelajaran, sedangkan fungsi supervisi manajerial<br />

LPMP digantikan oleh Pengawas Sekolah (lihat Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab<br />

VI No. 2 : Sistim dan Entitas Pengawasan).<br />

Pelatihan guru yang seragam secara nasional yang dilengkapi dengan dropping buku ajar<br />

siswa, buku pegangan guru, metode yang seragam dan program penilaian yang salah, lalu diubah<br />

berkali-kali itu, sebenarnya melanggar dasar hukum dari Kurikulum 2013 itu sendiri, yaitu PP<br />

No. 32 Tahun 2013. Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013 : Kurikulum Tingkat Satuan<br />

6<br />

v


Pendidikan merupakan Kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masingmasing<br />

satuan pendidikan. Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : : Kurikulum Tingkat Satuan<br />

Pendidikan ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan<br />

Pengerdilan Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 serta<br />

pengabaian Pasal 77 M PP No.32 Tahun 2013 ini secara kasat mata merupakan proyek<br />

penghamburan uang rakyat demi penyerapan anggaran, yang mencoba mengaburkan apa yang sudah<br />

ditanam pada Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Bukan saja<br />

mempertaruhkan kualitas pendidikan Indonesia di masa lalu yang sudah diakui di luar negeri, tetapi<br />

juga menjauhkan kita dari tujuan pendidikan nasional yang telah dirumuskan dalam Pembukaan<br />

UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, yang dijabarkan dalam Pasal 3 UU Sisdiknas<br />

(Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta<br />

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa). Jadi, jelas<br />

bukan untuk meningkatkan kompetensi orang per orang, seperti yang diusung oleh KBK (2004) dan<br />

Kurikulum 2013 (Lihat Lampiran Permendikbud No 67 Tahun 2013 II B Landasan Teoritis :<br />

Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (competency-based curriculum) yang dicabut<br />

dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 tapi ajaibnya, isinya persis sama (copy paste) dengan<br />

Lampiran Permendikbud No. 57 Tahun 2014 Bab II D Landasan Teoritis (Catatan * : Permendikbud<br />

No. 67 Tahun 2013 ini diulang pada Permendikbud No.68, No.69 Tahun 2013 tergantung pada unit<br />

sekolahnya (SD, SMP, atau SMA/SMK) dan dicabut (sebenarnya diperbarui (di copy paste) dalam<br />

Permendikbud No.57 Tahun 2014, yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59 dan No.60<br />

tergantung pada unit sekolahnya (isi Permendikbud itu sama, kecuali bagian yang melegalkan<br />

pembuatan Silabus oleh Kemdikbud dan pemangkasan hak mendidik guru menjadi hanya sekedar<br />

hak mengajar dan petugas administrasi sekolah, pemangkasan hak yang sebelumnya merupakan<br />

wewenang dan hak kewajiban guru (lihat Catatan kaki No.2 di Bab Pendahuluan).<br />

Jadi Kurikulum 2013 itu tidak lain adalah pengembangan KBK. Padahal Kurikulum<br />

2004 (KBK) itu sudah diganti menjadi Kurikulum 2006 (KTSP awal) karena adanya problematik<br />

pengukuran kompetensi (kemampuan) siswa. Jadi problematik pengukuran kompetensi<br />

(kemampuan) siswa atau problem sistim penilaian, pasti akan berulang pada Kurikulum 2013.<br />

Maka tidak heran kalau sampai saat ini, Kemdikbud tidak berani mencetak buku rapor (LHB) untuk<br />

Kurikulum 2013 dan terlambat mencetak ijazah, sesuatu yang belum pernah terjadi selama 70 tahun<br />

Indonesia merdeka.<br />

Kurikulum 2006 (KTSP awal) mewajibkan para guru untuk bisa membuat kurikulumnya sendiri,<br />

termasuk mampu melaksanakan evaluasi hasil belajar sendiri, seperti pada kurikulum-kurikulum<br />

sebelumnya. Namun kalau guru mahir dalam penyusunan kurikulum dan evaluasi hasil belajar,<br />

vi<br />

7


pemerintah akan kehilangan “proyek penyerapan anggaran 20% dari APBN” melalui (1) program<br />

bagi-bagi uang lewat sertifikasi guru yang tak terkait uji kompetensi guru dan tanpa check & recheck<br />

kinerja guru, (2) pemberlakuan UN, (3) launching kurikulum baru melalui pelatihan guru, pembuatan<br />

buku ajar (materi ajar/sumber belajar) dan penentuan buku pegangan guru (buku panduan proses<br />

pembelajaran di kelas). Maka Kemdikbud kemudian memilih tetap melanjutkan acara tebar uang<br />

untuk guru, melestarikan UN dan meluncurkan KTSP Bimtek di tahun 2008, yang berlanjut pada<br />

Kurikulum 2013, demi pencitraan kinerja kementerian melalui kecepatan penyerapan anggaran.<br />

Seperti biasa, Kemdikbud mengabaikan begitu banyak kritik dari para pakar pendidikan yang banyak<br />

dimuat di media massa dan melupakan sejarah panjang dunia pendidikan kita, seolah-olah semuanya<br />

dimulai lagi dari nol.<br />

Kekeliruan keempat adalah memaksakan melanjutkan penerapan Kurikulum 2013<br />

meskipun rezim telah berganti, pemaksaan dengan ancaman sanksi ini melupakan :<br />

- Isi Surat Edaran Mendikbud No.179342/MPK/KR/2014 tertanggal 5 Desember 2014 dan isi<br />

Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No.160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014<br />

yang mengijinkan permberlakuan kembali Kurikulum 2006, dan mengabaikan dasar hukum<br />

Kurikulum 2013 sendiri yaitu Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013<br />

- Isi dari Nawa Cita No.8 : pemerintah akan menata kembali kurikulum pendidikan nasional<br />

(bukan melanjutkan kurikulum 2013 yang mengandung banyak kesalahan) yang terbukti<br />

menyebabkan pendidikan kita makin merosot (lihat hasil survey berbagai lembaga<br />

internasional tentang rendahnya kualitas pendidikan RI di bagian akhir dari Bab Pendahuluan<br />

- Pemaksaan pemberlakuan Kurikulum 2013 ini melanggar prinsip kebebasan mimbar<br />

akademik yang dijunjung dalam Pasal 39 ayat 3 UU No.14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen)<br />

: guru harus bebas dari ancaman, intimidasi dan perlakuan tidak adil dari birokrasi, yang<br />

dirinci pada Pasal 14 ayat 1 butir (c ) dan butir (g), serta Pasal 7 butir (h) UU Guru dan Dosen<br />

Kekeliruan kelima adalah menganggap apapun kurikulumnya pasti compatible dengan SKS<br />

(sistim kredit semester), padahal penerapan SKS memerlukan kemampuan (kompetensi) guru dalam<br />

penyusunan diktat, LKS, dan modul, serta monitoring proses belajar + evaluasi hasil belajar, yang<br />

dilengkapi dengan keahlian guru dalam menyusun program pengayaan, sehingga program<br />

prerequisite pengambilan angka kredit pada IP tertentu, dapat berjalan secara simultan. Misalnya<br />

untuk belajar statistika, prerequisitenya : para siswa harus sudah diajar tentang parabola, sehingga<br />

para guru tidak perlu menerangkan dari awal tentang pengertian kurva normal dan statistika tidak<br />

hanya dipandang sebagai sekumpulan rumus-rumus belaka. Guru Biologi yang ingin menerangkan<br />

tentang membran sel, harus yakin bahwa difusi dan osmose sudah diajarkan di Fisika. Dengan kata<br />

lain, penerapan analisis vertikal dan analisis horizontal pada Analisis Kurikulum harus sahih (valid).<br />

8<br />

vii


Jelas sekali hal ini tidak mungkin dicapai bila profesionalitas guru dipangkas pada Kurikulum 2013<br />

melalui Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 (guru hanya menyusun RPP saja). Bisa-bisa yang muncul<br />

adalah penerapan paket SKS (bukan penerapan sistim baku SKS) yang tidak lain adalah penerapan<br />

kelas akselerasi yang sudah banyak diterapkan di berbagai sekolah unggulan atau sekolah-sekolah<br />

mantan RSBI dulu.<br />

Kekeliruan keenam adalah upaya Kemdikbud untuk membendung arus globalisasi dan<br />

liberalisasi pendidikan. Karena Kemdikbud abai pada amanat Perpres No. 77 Tahun 2007 dimana<br />

sektor pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi modal asing (PMA) dan ketentuan Pasal 5<br />

Permendikbud No. 158 Tahun 2014 : sekolah yang terakreditasi A, dapat menerapkan SKS (sistim<br />

kredit semester). (Bukan penerapan paket SKS, tetapi penerapan sistim baru yaitu SKS).<br />

Tanpa melihat konteksnya dengan WTO (World Trade Organization) dan ACMW (ASEAN<br />

Committee on Migrant Workers), Kemdikbud mencoba melakukan pembatasan arus masuk modal<br />

asing dan lalu lintas SDM asing itu melalui Permendikbud No. 31 Tahun 2014, sesuatu yang absurd<br />

ditengah arus globalisasi dan liberalisasi pendidikan yang sudah kita ratifikasi dalam AFTA 2015<br />

dan APEC 2020. Apalagi ide pembatasan arus lalu lintas SDM asing itu hendak dijabarkan melalui<br />

“pengakuan sertifikasi keahlian tenaga kerja” yang bisa menjadi bumerang bagi tenaga kerja kita<br />

sendiri yang kebanyakan unwell-educated dan unskilled labour (lihat score siswa kita dalam TIMSS,<br />

PISA dan PIRL yang tak kunjung membaik). Kenapa? Karena sesuai dengan perjanjian WTO,<br />

AFTA dan APEC, suatu keputusan itu selalu bersifat resiprokal (negara lain berhak melakukan dan<br />

menerapkan peraturan yang sama). Negara lain bisa menuntut sertifikasi keahlian dari TKI/TKW<br />

kita yang akan bekerja di luar negeri, seperti yang kita tuntut.<br />

Maka tak ada jalan lain, dunia pendidikan kita harus mengadopsi e-learning melalui Disain<br />

Kurikulum Digital dan TQM (Total Quality Management) agar dapat memenuhi standar ISO<br />

9001:2008 sehingga kita dapat menjalankan amanat Pasal 3 UU Sisdiknas dan Pasal 5 Permendikbud<br />

No. 158 Tahun 2014. Dengan demikian, kita mewujudkan komitmen kita dalam bersaing secara<br />

kreatif pada era global saat ini.<br />

Harapannya agar pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat menjamin<br />

terselenggarakannya pendidikan yang bermutu, sesuai amanat Pasal 3 dan Pasal 11 UU Sisdiknas,<br />

sehingga dapat menjadi rujukan bagi negara-negara lain seperti yang sudah pernah terjadi dimasa<br />

lalu, dan para diplomat kita dan tenaga kerja migran kita sudi mengirim kembali anak-anaknya<br />

bersekolah di Sekolah Indonesia di luar negeri.<br />

Pemenang Indonesia MDGs Award 2011<br />

Penggagas e-learning dengan Disain Kurikulum Digital<br />

Finalis untuk Asian CSR Award Category Education Improvement 2015, Bangkok, Sept 2015<br />

viii<br />

9


PENDAHULUAN<br />

Tahun ajaran baru sudah dimulai pada bulan Juli 2015, namun Kemdikbud malah<br />

memaksakan kelanjutan penerapan Kurikulum 2013, lupa akan adanya Surat Edaran Mendikbud<br />

No. 179342/MPK/KR/2014 tertanggal 5-12-2014 dan Permendikbud No.160 Tahun 2014 tertanggal<br />

11-12-2014, yang memberlakukan Kurikulum 2006 dan hendak mengkaji ulang Kurikulum 2013<br />

sesuai Nawa Cita No.8 (bukan melakukan perubahan tambal sulam terhadap Kurikulum 2013)<br />

Dua kurikulum yang sangat berbeda, yaitu Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan Kurikulum 2013 :<br />

1. Kurikulum 2006 2 mengusung ide “bhineka tunggal ika” (unity in diversity) dan otonomi<br />

pendidikan (otonomi sekolah, otonomi guru dan kebebasan mimbar akademik) serta<br />

desentralisasi pendidikan.<br />

2<br />

Kurikulum 2006 (KTSP awal) adalah kurikulum kontekstual berbasis local wisdom yang mengusung azas<br />

kebhinekaan : Pasal 36 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) : “Kurikulum pada semua jenjang dan<br />

jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi<br />

daerah, dan peserta didik”. Diperkuat dengan turunannya yaitu Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 : “KTSP<br />

dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan<br />

peserta didik”. Azas keikaan nampak dalam kewajiban pemerintah yang sudah dirumuskan dalam Pasal 38<br />

ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) : “Kerangka dasar dan struktur kurikulum ditetapkan oleh<br />

pemerintah”. (bukan merambah sampai ke Silabus, Buku Ajar, buku Pegangan Guru dan metode<br />

pembelajaran (5 M); Karena guru harus membuat semuanya sendiri, maka guru tersebut disebut guru<br />

profesional sesuai ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU No.20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) : “Pendidik merupakan<br />

tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil<br />

pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan”. (guru adalah konseptor dan inisiator kurikulum)<br />

Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen) : “Dalam<br />

melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru berkewajban merencanakan pembelajaran, melaksanakan<br />

proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran”. ; Dielaborasi<br />

dengan turunannya yaitu Pasal 19 ayat 3 PP No.19 Tahun 2005 : “Setiap satuan pendidikan melakukan<br />

perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan<br />

pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien”. Yang<br />

dirinci secara detail dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi<br />

silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran,<br />

materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”. (Jadi pembuatan silabus dan<br />

penentuan materi ajar serta pemilihan sumber belajar mencerminkan otonomi guru (hak guru). Hal ini<br />

diperkuat oleh Pasal 52 ayat 1 (a) PP No. 19 Tahun 2005 : “Setiap satuan pendidikan harus memiliki pedoman<br />

yang mengatur tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Silabus”. Pasal 52 ayat 2 PP No. 19 Tahun<br />

2005 : “Pedoman sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (a) diputuskan oleh rapat Dewan Pendidikan dan<br />

ditetapkan oleh Kepala Satuan Pendidikan”. Penetapan kurikulum oleh kepala sekolah mencerminkan<br />

otonomi sekolah. Lokalitas kurikulum terlihat dalam Pasal 14 PP No. 19 Tahun 2005 : “Kurikulum dapat<br />

memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal”. (kurikulum menjadi kontekstual, tidak lagi kurikulum<br />

tunggal dan seragam di tingkat nasional) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas;<br />

Pasal 1 ayat 1 Permendiknas No.22 Tahun 2006 : “Standar Isi mencakup lingkup materi minimal, dan tingkat<br />

kompetensi minimal, untuk mencapai tingkat kelulusan minimal”. (pemerintah menyusun SPM (standar<br />

pelayanan minimal ) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas)<br />

: “Pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan SPM berbasis MBS”. (manajemen berbasis sekolah), bukan<br />

manajemen ala Kemdikbud atau Dinas Pendidikan); dan Pasal 1 ayat 2 Permendiknas No. 24 Tahun 2006 :<br />

“Satuan pendidikan dapat mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi”. (bukan<br />

kurikulum seragam apapun visi dan misi sekolahnya)<br />

11<br />

1


Dasar pemberlakuan kembali Kurikulum 2006 (KTSP awal) adalah Pasal 1 dan Pasal 2 ayat<br />

3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014. Yang sebenarnya juga<br />

termaktub dalam Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 yang ditanda tangani<br />

oleh Presiden SBY tanggal 7 Mei 2013 (dalam tata perundangan : PP setingkat di atas<br />

Permendikbud sehingga Permendikbud seharusnya mengacu pada PP)<br />

Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013 : “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan<br />

merupakan Kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing<br />

satuan pendidikan”.<br />

(Secara harafiah, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) itu bukan kurikulum tunggal dan<br />

seragam secara nasional, tetapi kurikulum tingkat sekolah, maka dari itu kurikulum setiap sekolah<br />

seharusnya berbeda, seperti yang sudah kita alami pada Kurikulum 1968, Kurikulum 1975,<br />

Kurikulum 1984 dan Kurikulum 1994 dimana ijazah kita diakui di luar negeri, oleh karenanya para<br />

guru kita diakui kualifikasinya sehingga banyak yang diminta mengajar di luar negeri). Kenapa?<br />

Karena kebebasan mimbar akademik di sekolah dijaga (pemerintah hanya menyusun kerangka<br />

dasar dan struktur kurikulum saja). Fungsi Dinas Pendidikan adalah men-supervisi apakah kurikulum<br />

sungguh-sungguh dikembangkan sesuai ketentuan Standar Proses, sehingga bisa bersaing dengan<br />

standar negara tetangga (siswa familiar dengan soal-soal GMAT, TOEFL, SAT, dll) (Lihat Pasal 38<br />

ayat 2 UU Sisdiknas). Maka dari tahun ke tahun, para guru harus bisa menunjukkan adanya<br />

perubahan pada Silabus dan RPP sebagai wujud pengembangan kurikulum (lihat Standar Proses<br />

Kurikulum 2006). Akibat kontinuitas pengembangan Silabus dan RPP ini, kualitas pendidikan<br />

meningkat, Sekolah Indonesia di luar negeri juga diminati warga asing, tidak seperti sekarang,<br />

diplomat Indonesia dan para buruh migranpun tak mau menyekolahkan anaknya di Sekolah Indonesia<br />

di luar negeri karena kualitasnya terus merosot.<br />

Para asesor akreditasi sekolah dan Kepala Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan setempat saat<br />

itu, bekerja bahu membahu untuk suksesnya penerapan Pasal 11 UU Sisdiknas : “Pemerintah dan<br />

Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya<br />

pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Para guru selalu diarahkan<br />

untuk dapat mengembangkan Silabus dan RPP sehingga guru terdorong menjadi manusia<br />

pembelajar (kualitas pendidikan makin meningkat). Masyarakat tahu dan bisa menilai, mana sekolah<br />

yang sungguh-sungguh ‘bermutu” : artinya menjalankan semua ketentuan dalam Standar Proses dan<br />

mana sekolah yang bersikap minimalis. Tanpa memasang iklan seperti sekarang, peminat ke<br />

sekolah-sekolah yang mengembangkan kurikulum sampai ke tingkat HOT (Higher Order of<br />

Thinking), selalu diserbu (dalam arti harafiah) oleh masyarakat.<br />

2<br />

12


Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa KTSP itu harus disusun sendiri oleh para guru (bukan<br />

menunggu dropping silabus, buku ajar, dan buku pegangan guru, serta penetapan metode<br />

pembelajaran tunggal dan seragam, seperti metode saintifik (5 M), maka seharusnya KTSP<br />

dilaksanakan sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing). Guru bukan sekedar petugas<br />

administrasi pengajaran (hanya sekedar membuat RPP), yang tunduk pada arahan instruktur<br />

Kurikulum 2013 dan petunjuk para Pengawas. Harap diingat bahwa RPP bukan barang baru bagi<br />

para guru. RPP sudah dikenal dalam Kurikulum 2006 dan KTSP Bimtek (2008). Jadi jelas, pelatihan<br />

Kurikulum 2013 yang hanya bertumpu pada pembuatan RPP dengan segala kelengkapannya,<br />

melecehkan program pendidikan S-1 para guru (menganggap program pendidikan calon guru di<br />

LPTK : FKIP/PGSD itu jelek), dan menisbikan program diklat sertifikasi guru yang telah<br />

menghasilkan jutaan guru bersertifikat. Kemampuan guru dalam menyusun kurikulumnya sendiri<br />

menunjukkan profesionalitas guru sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas<br />

dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, yang dijabarkan dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005<br />

dan Pasal 52 ayat 1 PP No. 19 Tahun 2005 3 (Lihat dasar hukum Kurikulum 2006 di Catatan kaki<br />

No.2 pada Bab Pendahuluan). Harap diingat, istilah KTSP tetap dipakai dalam Kurikulum 2013,<br />

sehingga maknanya tidak boleh digeser menjadi berlawanan dengan ketentuan Pasal 77 M ayat 1 PP<br />

No. 32 Tahun 2013 (kurikulum yang disusun oleh masing-masing satuan pendidikan (sekolah) dan<br />

dilaksanakan di masing masing satuan pendidikan (sekolah). Sebab ada upaya keras untuk<br />

mengubahnya menjadi “kurikulum yang disusun dan ditetapkan oleh pemerintah dan harus<br />

dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (sekolah)” yang berarti Kemdikbud menjadi<br />

inisiator, implementor dan eksekutor, serta regulator dan evaluator pendidikan, suatu hal yang<br />

melanggar sepuluh prinsip good governance dan menyalahi semangat debirokratisasi dan deregulasi<br />

yang dicetuskan pemerintah sendiri melalui Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009.<br />

Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan<br />

ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan”.<br />

(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ini ditetapkan oleh kepala sekolah, artinya<br />

Kurikulum 2006 (KTSP awal) itu sebenarnya mengakomodasi otonomi sekolah, yang dieksplisitkan<br />

dalam Pasal 52 ayat 2 PP No. 19 Tahun 2005 (lihat dasar hukum Kurikulum 2006 di Catatan kaki<br />

No.2 di Bab Pendahuluan). Fungsi Dinas Pendidikan adalah menjamin terlaksananya Standar Proses<br />

(pengembangan Silabus, pengembangan RPP, implementasi PAKEM/PAIKEM/PAIKEM<br />

GEMBROT, dan penerapan pendidikan yang kontekstual (contextual teaching learning) seperti yang<br />

3<br />

Jadi profesionalitas guru ditentukan dari kemampuannya membuat kurikulum sendiri, bukan melalui kelulusan pada<br />

program Diklat sertifikasi guru (lihat ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen<br />

13<br />

3


sudah diuraikan di atas. Dengan efektivitas penerapan Standar Proses, pengadopsian Pasal 11 UU<br />

Sisdiknas menjadi lebih mudah dilaksanakan.<br />

Karena menjunjung azas otonomi sekolah ini, maka dalam Kurikulum 2006 (KTSP awal) tidak<br />

pernah disebut adanya para pengawas 4 dalam artian Pengawas sekarang (baik Pengawas Sekolah<br />

maupun Pengawas Mata Pelajaran), karena fungsi pengawasan dalam Kurikulum 2006 (KTSP awal)<br />

itu inheren dengan tugas profesional guru dan mencerminkan otonomi guru (Lihat Catatan kaki<br />

No.2 tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab ini, dan UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan<br />

Dosen). Keberadaan Pengawas Sekolah saat ini menafikan kepemimpinan (leadership) kepala<br />

sekolah yang sudah dibina oleh LPPKS (Lihat Catatan kaki no.4). Keberadaan Pengawas saat ini<br />

betul-betul menjadi watch dog kebijakan sekolah, melupakan fungsi pembinaan sekolah untuk<br />

mempercepat pencapaian Standar Nasional Pendidikan (SNP), sebagaimana diamanatkan dalam<br />

Pasal 10 UU Sisdiknas (pengawasan sebagai capacity building bagi kepala sekolah dan guru :<br />

“membantu dan membimbing”). Pengawasan gaya watch dog ini mempersulit sekolah dalam<br />

menerapkan azas diversifikasi kurikulum sesuai amanat Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas karena<br />

Pengawas hanya berpegang pada peraturan yang lebih rendah yaitu Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013<br />

(Defungsionalisasi guru : guru hanya menyusun RPP saja, guru bukan lagi pendidik, tetapi hanya<br />

sekedar tukang mengajar dan petugas administrasi pengajaran) Bandingkan Catatan kaki No.2 dan<br />

peraturan yang lebih rendah lagi yaitu Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b (supervisi<br />

akademik oleh Pengawas Mata Pelajaran dan supervisi Manajerial oleh Pengawas Sekolah,<br />

sedangkan LPMP dikerdilkan menjadi sekedar pengawas administrasi : pengawas EDS saja).<br />

4<br />

Kurikulum 2006 tidak mengenal adanya jabatan Pengawas (baik Pengawas Sekolah maupun Pengawas Mata<br />

Pelajaran sebagaimana adanya sekarang) karena pengawasan itu melekat pada tugas profesional guru : Pasal 19 ayat<br />

3 PP No. 19 Tahun 2005 : “Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan<br />

proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya<br />

proses pembelajaran yang efektif dan efisien”, yang isinya sama dengan Pasal 19 ayat 3 PP No.32 Tahun 2013<br />

(pengawasan itu inheren dalam KBM sehingga Kurikulum 2013 itu seharusnya juga tidak mengenal adanya pengawas<br />

eksternal atau Pengawas Manajerial/Pengawas Akademik. Guru itu otonom sesuai dengan UU Guru dan Dosen. Jadi<br />

Pengawas yang dimaksud dalam Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No.2 bertentangan dengan<br />

dasar hukum Kurikulum 2013 sendiri, yaitu Pasal 19 ayat 3 PP 32 Tahun 2013<br />

Kriteria Kepala Sekolah sebagai pengawas internal pendidikan dan manajer sekolah juga sudah dibakukan dalam Pasal<br />

38 PP No. 19 Tahun 2005 (yang tidak diubah dalam PP No. 32 tahun 2013) – Peraturan turunan dari PP ini sudah<br />

dirumuskan dengan baik dalam Permendiknas No.28 Tahun 2010 tentang prasyarat menjadi kepala sekolah.<br />

Permendiknas ini menguatkan eksistensi LPPKS (Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah) yang<br />

didirikan atas dasar Permendiknas No.6 Tahun 2009 – jadi Kurikulum 2006 (KTSP awal) tidak mengenal jabatan<br />

pengawas eksternal. Dengan kata lain, Kurikulum 2006 menjunjung azas otonomi pendidikan.<br />

Pengawas sebagai watch dog kebijakan sekolah muncul dalam peraturan yang lebih rendah : Permendikbud No.65<br />

Tahun 2013 Bab VI No. 2 b. (Lihat juga Catatan kaki No. 1) : Pengawas dalam Lampiran Permendikbud No.65 Tahun<br />

2013 Bab VI No.2 b adalah wujud dari inisiator, konseptor, implementor, eksekutor, regulator dan evaluator proyek<br />

pendidikan yang menyalahi sepuluh prinsip good governance yang diusung dalam Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009.<br />

4<br />

14


Sayang sekali, semua ayat penting yang mendukung pelaksanaan otonomi pendidikan ini tidak<br />

tersosialisasikan dengan baik kepada para kepala sekolah dan para guru. Nampaknya hal ini sudah<br />

dipatronkan oleh Mendikbud M.Nuh saat meluncurkan Kurikulum 2013 tanggal 28 November 2012<br />

di Hotel Mega Anggrek Jakarta : “Tidak ada pertanyaan”, lalu beliau pergi dari tempat pertemuan<br />

begitu saja, meninggalkan para undangan dengan 5 M (melongo, menganga, mengernyitkan dahi,<br />

yang berujung pada mengekor dan membebek apapun yang diputuskan). Saat itu, mulailah<br />

dikumandangkan pemujaan pada pendangkalan (cult of philistinism). Banyak pihak selalu lupa<br />

makna harafiah dari KTSP 5 , apalagi makna filosofisnya.<br />

Makna filosofisnya tercermin dari diusungnya azas otonomi pendidikan dan desentralisasi<br />

pendidikan, serta azas bhineka tunggal ika (unity in diversity) pada Kurikulum 2006, sehingga<br />

Kurikulum 2006 sering juga disebut KTSP dalam arti harafiah (KTSP awal).<br />

Azas bhineka tunggal ika (unity in diversity) dalam Kurikulum 2006 (KTSP awal) dijabarkan<br />

menjadi azas kebhinekaan yang mengacu pada ketentuan Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas : diversifikasi<br />

kurikulum sesuai dengan potensi daerah, kondisi sekolah dan keadaan siswanya, yang diperkuat<br />

dengan peraturan turunannya yaitu Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 : KTSP dikembangkan sesuai<br />

dengan satuan pendidikan, potensi daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik<br />

Penjabarannya terlihat di Pasal 52 ayat 1 butir (a) PP No. 19 Tahun 2005, dan Pasal 52 ayat 2 PP No.<br />

19 Tahun 2005 (lihat Catatan kaki No.5 tentang kurikulum sekolah (KTSP)<br />

Sedangkan azas keikaan digariskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas : pemerintah hanya<br />

berkewajiban menyusun kerangka dasar dan struktur kurikulum (tidak merambah kemana-mana,<br />

sampai ikut menyusun Silabus, buku ajar (materi ajar/sumber belajar), buku pegangan guru (buku<br />

pedoman pelaksanaan proses pembelajaran), tidak merambah penilaian (yang terbukti salah) serta<br />

penentuan metode pembelajaran (5 M), karena hal itu berarti menjadikan Kemdikbud sebagai<br />

inisiator dan konseptor, implementor dan eksekutor, serta regulator dan evaluator program sekaligus,<br />

menyalahi azas good governance dan debirokratisasi dan deregulasi yang digaungkan pemerintah<br />

sendiri. Maka langkah Mendikbud Anies Baswedan untuk menghentikan fungsi UN sebagai satusatunya<br />

penentu kelulusan itu sudah benar : mengembalikan otonomi sekolah dalam proses kelulusan<br />

5<br />

KTSP : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Kurikulum sekolah), kurikulum tiap sekolah akan berbeda sesuai dengan<br />

Visi dan Misi sekolah masing-masing, mengacu pada Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas tentang diversifikasi kurikulum dan<br />

Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas tentang tugas profesional guru, yang diperkuat dengan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan<br />

Dosen, yang dijabarkan dalam Pasal 17 PP No.19 Tahun 2005 dan Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005, serta Pasal 52 ayat<br />

1 butir (a) PP No. 19 Tahun 2005 : “Setiap satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur KTSP dan<br />

Silabus”, yang dirinci dalam Pasal 52 ayat 2 PP No. 19 Tahun 2005 : “Pedoman dimaksud diputuskan oleh rapat dewan<br />

pendidikan dan ditetapkan oleh kepala sekolah”, serta Pasal 1 ayat 2 Permendiknas No.24 Tahun 2006 : “Satuan<br />

pendidikan dapat mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi”. (bukan kurikulum seragam). Hal<br />

ini sejalan dengan tugas profesional seorang guru sesuai ketentuan Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 yang dirinci<br />

dalam Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005 (lihat Catatan kaki No.9), yang diperkuat dengan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3<br />

PP No.32 Tahun 2013 (lihat Catatan kaki No.26)<br />

15<br />

5


Kemdikbud harusnya bergerak di tataran policy, bukan mencampuri urusan implementasi<br />

(pemerintah mengakui otonomi sekolah dalam proses penentuan kelulusan). Sedangkan dalam<br />

Kurikulum 2013 : Pemerintah sekaligus bertindak sebagai konseptor, pelaksana sekaligus pelaku<br />

monev (monitoring dan evaluasi), sesuatu yang sebenarnya sangat ditentang oleh fungsi pengawasan<br />

DPR/DPRD. Kalau mengacu pada Pasal 77 M ayat 3 PP No.32 Tahun 2013, seharusnya penetapan<br />

kurikulum oleh kepala sekolah itu juga harus dihormati oleh Kemdikbud.<br />

Azas bhineka tunggal ika dalam kurikulum ini sudah lama diterapkan dalam Kurikulum 1968,<br />

Kurikulum 1975, Kurikulum 1984 dan pada penerapan Kurikulum 1994, dimana kurikulum lama ini<br />

masih mengembangkan 6 wilayah makna yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika<br />

dan sinoptis. Oleh sebab itu, pendalaman tentang sejarah pendidikan di Indonesia itu penting<br />

sekali dikaji agar kurikulum kita tidak menjadi makin miskin (lihat Catatan * di Kata Pengantar,<br />

yang tercermin dari perubahan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, yang dikerdilkan menjadi Pasal 20<br />

PP No. 32 Tahun 2013 (defungsionalisasi guru : wewenang guru dipangkas hingga hanya tinggal<br />

penyusunan RPP) (Isi lengkap dari pasal-pasal ini dapat dilihat pada Catatan kaki No.2 : dasar hukum<br />

Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan)(Lihat juga Catatan kaki No.21)<br />

2. Sedangkan Kurikulum 2013 6 dalam prakteknya, justru menegasikan dan menafikan otonomi<br />

pendidikan serta menegakkan hegemoni pemerintah atas dunia pendidikan dan pengajaran,<br />

oleh karenanya mencoba menyentralisasi kembali pendidikan dan pengajaran kita sehingga<br />

menabrak ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen yang<br />

sudah mengatur tugas profesional seorang guru, serta melanggar azas desentralisasi pendidikan<br />

sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas (lihat Catatan kaki No.2)<br />

Kurikulum 2013 juga abai pada dasar hukumnya sendiri, yaitu PP No.32 Tahun 2013 yang ditanda<br />

tangani oleh Presiden SBY tanggal 7 Mei 2013. (Otonomi pendidikan tertuang dalam Pasal 77 M<br />

ayat 1 : menjunjung otonomi guru, karena kurikulum disusun oleh guru di masing-masing sekolah,<br />

dan Pasal 77 M ayat 3 : menjunjung otonomi sekolah, karena kurikulum ditetapkan oleh kepala<br />

sekolah), namun pasal ini kurang disosialisasikan, bahkan kurang dikenal isinya di kalangan para<br />

birokrat Kemdikbud cq Puskurbuk Balitbang Kemdikbud. Dasar hukum Kurikulum 2013 hanya<br />

setingkat Peraturan Menteri (ada 28 permendikbud terkait dengan Kurikulum 2013, tapi anehnya<br />

6<br />

Dasar hukum dari Kurikulum 2013 ternyata hanya setingkat 28 Peraturan Menteri (terakhir menurut laman Kemdikbud<br />

adalah Permendikbud No.108 Tahun 2014) yang justru menabrak perundangan di atasnya (Pasal 38 ayat 1 UU<br />

Sisdiknas, dan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013). Juga Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas tentang<br />

diversifikasi kurikulum, dan merampas hak dan kewenangan guru yang diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan<br />

Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen (lihat Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 yang justru mendefungsionalkan guru yang<br />

sudah diatur dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005)<br />

Permendikbud terakhir yang ditanda tangani oleh Mendikbud M.Nuh terkait dengan Kurikulum adalah Permendikbud<br />

No. 158 Tahun 2014 tertanggal 17 Oktober 2014, Pasal 5 justru menyebut pemberlakuan SKS, bukan Kurikulum 2013<br />

16<br />

6


semua permendikbud itu menyebut KTSP, padahal KTSP punya arti dan konotasi khusus, seperti<br />

yang sudah diuraikan di Catatan kaki No.5). Karena dasar hukumnya peraturan menteri, maka<br />

menyalahi tata urutan perundangan yang berlaku (Permen (peraturan menteri) seharusnya mengacu<br />

pada PP (peraturan pemerintah) yang ditanda tangani oleh Presiden, sebab Menteri adalah pembantu<br />

Presiden) : 28 Permendikbud terkait Kurikulum 2013 itu seharusnya mengacu pada PP No.32 Tahun<br />

2013 yang menjadi dasar hukum Kurikulum 2013.<br />

Penegasian dan penafian otonomi pendidikan ini tercermin dari :<br />

<br />

<br />

<br />

pelatihan guru dalam menyusun kurikulum tunggal dan seragam secara nasional, padahal<br />

menurut ketentuan Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013 : kurikulum harus disusun sendiri<br />

oleh para guru di masing-masing sekolah, sesuai dengan makna harafiah KTSP dan makna<br />

filosofis KTSP (lihat Catatan kaki No. 5 tentang kurikulum sekolah (KTSP). Pelatihan ini<br />

mengabaikan kualitas pendidikan S-1 para guru di FKIP/PGSD dan menisbikan pengakuan<br />

profesionalitas guru lewat program sertifikasi guru, yang juga sudah melewati diklat khusus.<br />

munculnya Pengawas Sekolah sebagai supervisor manajerial dan Pengawas Mata Pelajaran<br />

sebagai supervisor akademik (Lihat Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No.2<br />

: Sistim dan Entitas Pengawasan), padahal pada Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan<br />

kurikulum-kurikulum sebelumnya, fungsi pengawasan itu melekat pada tugas profesional<br />

guru (Lihat Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005, yang tidak diubah dalam Pasal 19 ayat 3<br />

PP No. 32 Tahun 2013) (rincian isi Pasal-pasal ini dapat dilihat catatan kaki No. 9).<br />

Keberadaan Pengawas saat ini sebagai watch dog kebijakan sekolah juga mengacaukan arti<br />

Pasal 10 UU Sisdiknas (fungsi pengawasan sebagai capacity building kepala sekolah dan<br />

guru : “membantu dan membimbing”) serta merendahkan hakekat kepemimpinan<br />

(leadership) kepala sekolah yang sudah dibina oleh LPPKS (lihat Catatan kaki No.4),<br />

akibatnya budaya organisasi sekolah juga tidak teraktualisasikan dengan baik, karena<br />

Kemdikbud sekaligus berfungsi sebagai konseptor, inisiator, implementor, eksekutor dan<br />

regulator serta evaluator, sesuatu yang sebenarnya sangat ditentang dalam era reformasi ini,<br />

karena melanggar sepuluh prinsip good governance dan debirokratisasi serta deregulasi yang<br />

digaungkan pemerintah sendiri, melalui Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009<br />

guru itu seharusnya otonom (mempunyai kebebasan mimbar akademik, sesuai ketentuan<br />

Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen). Kebebasan mimbar<br />

akademik juga dijamin melalui Pasal 39 ayat 3 UU Guru dan Dosen (yang dijabarkan dalam<br />

Pasal 14 ayat 1 butir (c ) dan Pasal 7 butir (h) UU Guru dan Dosen), sehingga tugas<br />

pengawasan itu melekat pada tugas profesional seorang guru. Maka jabatan pengawas itu<br />

17<br />

7


tidak pernah disebut dalam UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan<br />

Dosen). Sayangnya, hal ini hanya dipraktekkan di dunia perguruan tinggi (dosen itu tidak<br />

mempunyai pengawas), padahal UU yang mengatur guru dan dosen itu sama.<br />

pemangkasan isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP No.32<br />

Tahun 2013 melalui pemberlakuan silabus tunggal dan seragam, buku ajar (buku teks/materi<br />

pelajaran/sumber belajar) dan buku pegangan guru (buku panduan proses pembelajaran di<br />

kelas) yang sama meskipun kondisi sekolah dan keadaan siswanya berbeda, padahal<br />

seharusnya penetapan semuanya itu bukan dilakukan oleh pemerintah, tapi oleh kepala<br />

sekolah sendiri sesuai dengan amanat Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 (Pasal 77 M<br />

ayat 3 ini mencerminkan diakuinya otonomi sekolah). Akibat pemangkasan itu, sekolah tidak<br />

mempunyai pilihan, kecuali menghamba pada kekuasaan. Wewenang kepala sekolah selaku<br />

manajer sekolah juga dipangkas melalui Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI<br />

No.2 : Sistim dan entitas pengawasan<br />

pemberlakuan model pendekatan yang seragam yaitu pendekatan saintifik (metode 5 M),<br />

padahal masih ada begitu banyak metode, strategi dan model pembelajaran yang lain yang<br />

lebih kontekstual dan situasional. Ukuran kinerja guru menjadi sangat terbatas, karena<br />

metode hanya bisa diaplikasikan untuk peningkatan prestasi/kemampuan akademik siswa,<br />

sesuai dengan Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II A No.3, yang di copy<br />

paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II A No.3 (Lihat Catatan * di Kata<br />

Pengantar). Padahal metode tidak bisa mengatasi kemalasan siswa atau kebosanan/kejenuhan<br />

belajar siswa. Kemalasan belajar siswa harus diatasi dengan penerapan strategi pembelajaran,<br />

sedangkan kebosanan/kejenuhan belajar siswa harus diatasi dengan model pembelajaran.<br />

Akibat penerapan metode tunggal (5 M) ini, kinerja guru dalam manajemen kelas menjadi<br />

sangat terkungkung dalam satu tafsir. Manajemen berbasis sekolah (MBS) seturut Pasal 51<br />

ayat 1 UU Sisdiknas, hanya tinggal kenangan saja.<br />

karena Kurikulum 2013 itu dasarnya adalah KBK (2004) 7 , maka masalah KBK berulang<br />

pada Kurikulum 2013 yaitu pada masalah pengukuran capaian kompetensi siswa (program<br />

penilaian). Program penilaian yang berkali-kali diubah 8 dan tetap salah secara matematis itu<br />

menurunkan wibawa akademik Kemdikbud. Tidak heran bila kemudian Perguruan Tinggi<br />

diminta keluar dari naungan Kemdikbud dan bergabung dengan Kemristek, dengan harapan<br />

agar Kemdikbud fokus pada pencapaian Pasal 3 dan Pasal 11 UU Sisdiknas.<br />

7<br />

Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis )(lihat Catatan * di Kata Pengantar)<br />

8<br />

Penilaian Kurikulum 2013 ada di Permendikbud No. 66 Tahun 2013, diubah melalui Lampiran IV Permendikbud No.<br />

81 A Tahun 2013, lalu diubah lagi menjadi Lampiran II Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No.<br />

5496/C/KR/2014 dan No. 7915/D/KP/2014, tanpa penjelasan matematis yang memadai kenapa penilaian diubah<br />

18<br />

8


Kecerdikan Presiden SBY untuk menyelipkan pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013<br />

yang mengusung semangat otonomi pendidikan ini ternyata tidak diikuti oleh Mendikbud M.Nuh<br />

dan jajarannya, yang masih berkutat dengan semangat hegemoni pemerintah melalui “proyek<br />

penyerapan anggaran 20% dari APBN” sehingga melanggar Pasal 38 ayat 1 UU No.20 Tahun<br />

2003 (UU Sisdiknas) dimana kewajiban pemerintah hanyalah sebatas menyusun kerangka dasar<br />

dan struktur kurikulum saja, dan menabrak azas diversifikasi kurikulum, kurikulum yang<br />

disesuaikan dengan potensi daerah, kondisi sekolah dan keadaan siswanya sebagaimana<br />

dinyatakan dalam Pasal 36 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas). Sesuai dengan makna<br />

harafiah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), maka guru adalah penyusun kurikulum<br />

(tugas profesional guru sudah dirumuskan dalam Pasal 39 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 (UU<br />

Sisdiknas) dan Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen), maka dari itu,<br />

tugas pemerintah sudah dirumuskan dengan baik dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas, yaitu<br />

menentukan kerangka dasar dan struktur kurikulum. Dengan kata lain, porsi terbesar pembuatan<br />

kurikulum seharusnya mengacu pada ketentuan Pasal 77 M ayat 1 PP No.32 Tahun 2013,<br />

kurikulum disusun oleh guru sendiri di masing-masing sekolah. 9<br />

Jadi sebenarnya pemberlakuan Kurikulum 2013 itu melanggar undang-undang, menabrak<br />

10 prinsip good governance, abai pada debirokratisasi dan deregulasi, dan tidak mempunyai<br />

pijakan hukum. 10 (pijakan hukumnya sangat lemah, hanya setingkat Peraturan Menteri yang<br />

justru mengabaikan PP No. 32 Tahun 2013 yang disebut-sebut sebagai dasar hukumnya (lihat Pasal<br />

77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013). Azas bhineka tunggal ika (unity in diversity) dan<br />

otonomi pendidikan direnggut dengan memangkas profesionalitas guru melalui pemangkasan isi<br />

Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, yang dikerdilkan menjadi Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 (lihat<br />

catatan kaki No.2 tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan)<br />

Permendikbud No. 81 A tahun 2013 yang disebut-sebut sebagai dasar hukumnya (pada saat<br />

gencar-gencanrya pelatihan guru dalam Kurikulum 2013), ternyata hanyalah menyebut tentang SKS<br />

(Lampiran I C Permendikbud No. 81A Tahun 2013) dan pedoman penilaian dalam Kurikulum 2013<br />

9<br />

Lihat Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 : “Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses<br />

pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses<br />

pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien” , yang dirinci dalam Pasal 20 PP No.<br />

19 Tahun 2005 : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, yang<br />

memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian<br />

hasil belajar”. (Lihat juga Catatan kaki No.4 dan Catatan kaki No.5)<br />

10<br />

Bandingkan dengan dasar hukum dari Kurikulum 2006 pada catatan kaki No.2 di Bab Pendahuluan.<br />

Dasar hukum Kurikulum 2013 adalah 28 Peraturan Menteri (yang terakhir adalah Permendikbud No.108 Tahun<br />

2014) Permendikbud No. 158 Tahun 2014 justru tidak menyebut Kurikulum 2013, tapi SKS (lihat Pasal 5).<br />

Seharusnya 28 Permendikbud itu gugur menghadapi peraturan yang lebih tinggi yaitu Pasal 77M PP No. 32 Tahun 2013<br />

(28 Peraturan Menteri itupun juga hanya menyebut KTSP, bukan kurikulum baru atau KTSP 2013)<br />

19<br />

9


(Lampiran IV Permendikbud No. 81 A Tahun 2013) yang kemudian diubah beberapa kali. Padahal<br />

penerapan SKS memerlukan prasyarat tumbuhnya kebebasan (mimbar) akademik, yang dijunjung<br />

tinggi dalam otonomi pendidikan dan bertolak belakang dengan hegemoni pemerintah. Memang<br />

pemerintah meng-claim sudah menjalankan SKS di beberapa sekolah, tetapi hal itu bukan penerapan<br />

SKS dalam arti sesungguhnya seperti di sekolah-sekolah internasional atau di perguruan tinggi, yang<br />

membutuhkan prerequisite mata pelajaran lanjutan yang akan diambil siswa dan mengenal<br />

penambahan angka kredit untuk siswa yang mendapat IP tinggi (yang diwujudkan dengan<br />

disiapkannya modul berkelanjutan, adanya moving class dan micro teaching), tetapi SKS yang<br />

diterapkan di beberapa sekolah itu adalah SKS paket (1 semester 24 SKS, tak ada moving class dan<br />

prerequisite penambahan angka kredit untuk IP yang berbeda-beda). SKS paket ini tak ubahnya<br />

seperti penerapan kelas akselerasi yang sudah umum dilakukan pada sekolah unggulan dan RSBI.<br />

Dengan demikian, nampak kebingungan birokrat Kemdikbud dengan Kurikulum 2013 :<br />

a. Dicabutnya Permendikbud No. 67 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur<br />

Kurikulum (yang sebenarnya mengacu pada Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas), diganti dengan<br />

Permendikbud No. 57 Tahun 2014 (Implementasi Kurikulum 2013 di SD), dimana terlihat<br />

jelas hegemoni pemerintah dan pemasungan otonomi sekolah dan pemangkasan otonomi<br />

guru, yang dapat disimak pada bunyi ketentuan Pasal 1 ayat 2 (b) : (Kurikulum 2013 SD<br />

terdiri atas Silabus) dan Pasal 1 ayat 2 (c) : (Kurikulum 2013 SD terdiri atas Pedoman Mata<br />

Pelajaran dan Pembelajaran Tematik Terpadu) , juncto Pasal 9 ayat 2 (Silabus mata<br />

pelajaran Agama dan Budi Pekerti dikembangkan oleh pemerintah) dan Pasal 9 ayat 3<br />

(Silabus tematik terpadu dikembangkan oleh pemerintah dan dapat diperkaya dengan<br />

muatan lokal oleh pemerintah daerah), serta Pasal 10 ayat 2 (Pedoman Mata Pelajaran dan<br />

pembelajaran Tematik Terpadu dikembangkan oleh Pemerintah dan atau Pemerintah<br />

Daerah).<br />

Padahal kewajiban pemerintah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas 11 dan<br />

kewajiban Pemerintah Daerah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas 12 agar<br />

pemerintah fokus pada layanan pendidikan yang bermutu sebagaimana diamanatkan pada<br />

Pasal 11 UU Sisdiknas dan Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas tentang penetapan SPM dan MBS<br />

11<br />

Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas : “Pemerintah hanya menyusun kerangka dasar kurikulum dan struktur kurikulum saja”.<br />

12<br />

Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas : Pemerintah Daerah hanya berfungsi sebagai koordinator dan supervisor dalam<br />

pengembangan kurikulum (sesuai Standar Proses Kurikulum 2006), bukan malah sibuk mengikuti instruksi Pusat atau<br />

sibuk menyusun dan mengembangkan kurikulum menurut penafsiran sendiri, sehingga ketika terjadi keterlambatan<br />

pembagian ijazah lulusan sekolah saat ini, pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan tidak tahu mesti berbuat apa.<br />

20<br />

10


. Dicabutnya Permendikbud No. 68 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur<br />

Kurikulum (yang sebenarnya mengacu pada Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas), diganti dengan<br />

Permendikbud No. 58 Tahun 2014 tentang Implementasi Kurikulum 2013 di SMP, dimana<br />

terlihat jelas hegemoni pemerintah dan pemasungan otonomi sekolah dan pemangkasan<br />

otonomi guru, yang dapat disimak pada bunyi ketentuan Pasal 1 ayat 2 (b) : (Kurikulum 2013<br />

SMP terdiri atas Silabus) dan Pasal 1 ayat 2 (c) : (Kurikulum 2013 SMP terdiri atas Pedoman<br />

Mata Pelajaran), juncto Pasal 9 ayat 2 (Silabus mata pelajaran umum kelompok A<br />

dikembangkan oleh pemerintah) dan Pasal 9 ayat 3 (Silabus mata pelajaran umum kelompok<br />

B dikembangkan oleh pemerintah dan dapat diperkaya dengan muatan lokal oleh pemerintah<br />

daerah), serta Pasal 10 ayat 2 (Pedoman Mata Pelajaran dikembangkan oleh Pemerintah dan<br />

atau Pemerintah Daerah).<br />

Padahal kewajiban pemerintah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas dan<br />

kewajiban Pemerintah Daerah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas agar<br />

pemerintah fokus pada layanan pendidikan yang bermutu sebagaimana diamanatkan pada<br />

Pasal 11 UU Sisdiknas dan Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas tentang penetapan SPM dan MBS<br />

c. Dicabutnya Permendikbud No. 69 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum (yang<br />

sebenarnya mengacu pada Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas), diganti dengan Permendikbud No.<br />

59 Tahun 2014 tentang Implementasi Kurikulum 2013 di SMA, dimana terlihat jelas<br />

hegemoni pemerintah dan pemasungan otonomi sekolah dan pemangkasan otonomi guru,<br />

yang dapat disimak pada bunyi ketentuan Pasal 1 ayat 2 (b) : (Kurikulum 2013 SMA terdiri<br />

atas Silabus) dan Pasal 1 ayat 2 (c) : (Kurikulum 2013 SMA terdiri atas Pedoman Mata<br />

Pelajaran), juncto Pasal 9 ayat 2 (Silabus mata pelajaran umum kelompok A dikembangkan<br />

oleh pemerintah), Pasal 9 ayat 3 (Silabus mata pelajaran umum kelompok B dikembangkan<br />

oleh pemerintah dan dapat diperkaya dengan muatan lokal oleh pemerintah daerah), Pasal<br />

9 ayat 4 (Silabus mata pelajaran peminatan Kelompok C dikembangkan oleh pemerintah),<br />

serta Pasal 10 ayat 2 (Pedoman Mata Pelajaran dikembangkan oleh Pemerintah dan atau<br />

Pemerintah Daerah).<br />

Padahal kewajiban pemerintah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas dan<br />

kewajiban Pemerintah Daerah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas agar<br />

pemerintah fokus pada layanan pendidikan yang bermutu sebagaimana diamanatkan pada<br />

Pasal 11 UU Sisdiknas dan perumusan Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas tentang penetapan SPM<br />

dan MBS<br />

21<br />

11


Dengan demikian, nampak jelas bahwa pencabutan Permendikbud No.67, No.68, No.69 dan No.70<br />

Tahun 2013 hanya untuk memuluskan jalan bagi Kemdikbud dalam pembuatan Silabus tunggal<br />

dan seragam serta dropping buku siswa dan buku pegangan guru, karena isi Bagian I A sampai<br />

Bagian II D Permendikbud No.57, No.58, No.59 dan No.60 Tahun 2014 itu persis sama (copy paste)<br />

dengan permendikbud yang dicabut tersebut. (Lihat Catatan * di Kata Pengantar). Di sinilah<br />

pemujaan terhadap pendangkalan (cult of philistinism) mulai diterapkan dalam pendidikan.<br />

Pemaksaan pemberlakuan kembali Kurikulum 2013 menunjukkan bahwa jajaran<br />

Kemdikbud bersikukuh pada visi dan misinya sendiri, meskipun rezim telah berganti, yang<br />

mengabaikan Surat Edaran Mendikbud No. 179342/MPK/KR/2014 tertanggal 5 Desember<br />

2014 dan Pasal 1 + Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember<br />

2014. Pemaksaan itu sebenarnya adalah bentuk pembangkangan terhadap visi dan misi<br />

Presiden RI yaitu Nawa Cita No. 5 (peningkatan kualitas pendidikan), dan Nawa Cita No. 8 (akan<br />

menata ulang kurikulum pendidikan nasional) : lihat hasil survey berbagai lembaga internasional<br />

terhadap rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia di bagian akhir dari Bab Pendahuluan.<br />

Jadi kontradiksinya adalah ketidak-sinkronannya peraturan menteri dengan peraturan<br />

perundangan di atasnya, berbagai ketentuan dalam pasal-pasal permendikbud di atas ini jelasjelas<br />

melanggar Undang-undang yaitu :<br />

Pasal 38 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) tentang batas yang boleh dilakukan<br />

oleh pemerintah agar tidak terjebak menjadi Kementerian Persekolahan atau Dinas<br />

Persekolahan (hanya sebatas menyusun Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum saja).<br />

Kemdikbud terjebak menjadi konseptor, eksekutor, implementor dan regulator. Kemdikbud<br />

merambah sampai ke jantung persekolahan, sehingga keterlambatan pembagian ijazah<br />

lulusan hanya dianggap sebagai masalah administrasi, bukan masalah pelanggaran hak azasi<br />

siswa yang akan bekerja atau melanjutkan ke pendidikan berikutnya (para lulusan tidak<br />

dibekali ijazah asli yang justru dituntut oleh semua lembaga penyeleksi para lulusan itu).<br />

Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas dengan pasal turunannya yaitu Pasal 17 PP No.19 Tahun 2005<br />

: tentang diversifikasi kurikulum yang kontekstual (azas bhineka tunggal ika (unity in<br />

diversity)<br />

Jadi penyusunan kurikulum tunggal dan seragam untuk seluruh Indonesia itu<br />

yang disosialisasikan melalui pelatihan guru yang seragam dan dikontrol oleh<br />

para Pengawas itu, mengabaikan prinsip diversifikasi kurikulum (tidak<br />

kontekstual dan abai pada aspek lokalitas (local wisdom) (Lihat catatan kaki No.4)<br />

Sesuai dengan prinsip good governance, sesuatu yang sifatnya top down selalu<br />

bermasalah (hal itulah yang hendak dicegah melalui PP No.19 Tahun 2005 pada Pasal<br />

12<br />

22


19 ayat 3, Pasal 20, Pasal 52 ayat 1 dan Pasal 52 ayat 2). Pasal-pasal penting dalam<br />

PP No.19 Tahun 2005 ini justru dihapus dalam Kurikulum 2013 (tidak ada lagi dalam<br />

PP No.32 Tahun 2013). Namun Pasal 19 ayat 3 tetap dipertahankan, artinya<br />

pengawasan itu melekat pada tugas profesional guru, tapi anehnya : ada jabatan<br />

Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran, padahal di daerah sudah ada LPMP<br />

(Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan) dengan tugas dan wewenang yang persis sama<br />

dengan Pengawas itu (lihat Pasal 1 ayat 31 PP No. 32 Tahun 2013).<br />

Kontradiksi mulai dimunculkan lagi di Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013<br />

Bab VI No.2 : Sistim dan Entitas Pengawasan :<br />

i. Pengawas Sekolah melakukan supervisi manajerial<br />

ii. Pengawas Mata Pelajaran melakukan fungsi supervisi akademik<br />

iii. LPMP melakukan pengawasan administratif melalui EDS (Evaluasi Diri<br />

Sekolah)<br />

Maka Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 : Sistim dan<br />

Entitas Pengawasan, ini bertentangan dengan dasar hukum Kurikulum 2013<br />

yaitu isi Pasal 19 ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 (Lihat juga catatan kaki No.4)<br />

Banyak pihak yang salah mengartikan : dikira Pengawas ini sudah ada sejak dulu karena<br />

mengacu pada Pasal 10 UU Sisdiknas. Padahal pengawasan oleh Dinas Pendidikan di masa<br />

lalu, sesuai dengan bunyi lengkap Pasal 10 UU Sisdiknas, bukan hanya berfungsi sebagai<br />

capacity building (koordinator dan supervisor pengembangan kurikulum) tetapi juga<br />

membimbing dan membantu sekolah, bukan watch dog kebijakan sekolah, yang memastikan<br />

bahwa Standar Proses dilaksanakan di tiap sekolah (Pengembangan Silabus, Pengembangan<br />

RPP, implementasi PAKEM, dan pelaksanaan Pendidikan yang Kontekstual), tolok ukurnya<br />

adalah sekolah berhasil menyusun Silabus dan RPP yang makin lama makin menunjukkan<br />

kualitas pengembangan intelektual (sampai ke tingkat HOT (Higher Order of Thinking),<br />

sehingga memastikan bahwa sekolah siap go international menjadi SBI (bukan sekedar<br />

RSBI) yang ditunjukkan dengan siswa yang terbiasa dengan kurikulum internasional,<br />

termasuk soal-soalnya (GMAT, SAT, TOEFL). Bukankah hal ini yang ditekankan pada<br />

sekolah-sekolah unggulan dulu? Dengan demikian fungsi pengawasan oleh Dinas<br />

Pendidikan adalah memastikan agar pertemuan rutin Majelis Guru Mata Pelajaran (MGMP)<br />

menghasilkan pendidikan kolaboratif dan partisipatif sesuai prinsip PAKEM (bukan<br />

supervisi manajerial atau supervisi akademik). Kalau di lapangan terbukti bahwa pertemuan<br />

MGMP itu tidak lebih dari pertemuan arisan, maka yang perlu diperbaiki adalah pola<br />

recruitment calon guru di PGSD/FKIP. Para calon guru SD harus lulusan SMA IPA karena<br />

23<br />

13


mereka akan mengampu Mata Pelajaran IPA dan Matematika sepanjang hari di kelas, terbiasa<br />

dengan kegiatan praktikum IPA yang diperlukan dalam pembimbingan metode 5 M, dan<br />

terpola untuk berpikir deduktif yang diperlukan dalam abstraksi tematik integratif di SD.<br />

Dalam hal ini, kita harus belajar dari sekolah Pelita Harapan, Dian Harapan, dan Lentera<br />

Harapan (Lippo Grup) yang kurang mempercayai kualitas calon guru di PGSD/FKIP yang<br />

ada dan mendidik calon gurunya sendiri melalui Teacher College di Universitas Pelita<br />

Harapan, Lippo Karawaci, Tangerang. Atau Prof. Yohanes Surya yang kecewa dengan<br />

menurunnya kualitas guru sains hingga mendidik calon guru sains sendiri melalui STKIP<br />

Surya Institute di Sumarecon, Tangerang Selatan. Atau Sampoerna Academy Boarding<br />

School, yang kecewa dengan kualitas cara mengajar guru sains dan matematika hingga<br />

menyiapkan tenaga guru sendiri berbekal STEM (Science, Technology, Engineering dan<br />

Mathematics) melalui Mathematics Education di Sampoerna University. Namun masalah<br />

belum selesai karena mereka menghadapi persoalan baru yaitu turunnya minat generasi muda<br />

berkualitas untuk menjadi guru (satu-satunya profesi yang mempunyai banyak pengawas<br />

resmi).<br />

Lalu Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 diamputasi menjadi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 :<br />

guru hanya menyusun RPP (hak untuk menyusun silabus, menentukan materi ajar dan<br />

sumber belajar (buku teks pelajaran), serta pelaksanaan proses pembelajaran (buku<br />

pegangan guru) dirampas demi “proyek penyerapan anggaran”. Hak untuk menyusun<br />

RPP itu juga dikebiri melalui pelatihan guru secara seragam di tingkat nasional yang<br />

dikontrol ketat oleh para Pengawas, mengabaikan fungsi PPPG (Pusat Pengembangan<br />

dan Penataran Guru) atau PPPPTK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan<br />

Pendidik dan Tenaga Kependidikan) dan LPMP, serta Kepala Seksi Kurikulum Dinas<br />

Pendidikan di daerah, seolah-olah RPP adalah “barang baru” yang belum dikenal guru<br />

Padahal Kurikulum 2006 sudah mengenal pembuatan Silabus dan RPP oleh guru<br />

sendiri. Hal ini nampak dari Pasal 52 PP No. 19 Tahun 2005 tentang pedoman<br />

penyusunan dan penetapan silabus, yang dihapus karena isi PP No. 32 Tahun 2013<br />

langsung melompat dari Pasal 43 terus ke Pasal 64 (Pasal 52 dihapus). Dengan<br />

demikian, guru bisa tidak tahu lagi cara membuat Silabus. Kalau guru tidak menguasai<br />

pembuatan Silabus, bahayanya guru tidak lagi tahu cara membuat diktat dan modul<br />

(sekolah tidak dapat menerapkan sistim baku SKS (bukan paket SKS). Kualitas guru<br />

bukannya ditingkatkan untuk menghadapi era globalisasi dan liberalisasi<br />

pendidikan saat ini, tetapi profesionalitas guru malah dipangkas dan guru<br />

menjadi subordinasi Pengawas (supervisor akademik guru), bahkan dikesankan<br />

14<br />

24


menjadi subordinasi para instruktur : harus mengikuti semua omongan<br />

instruktur : otonomi guru hilang. Nampak jelas bahwa Kemdikbud menganut<br />

pemujaan terhadap pendangkalan (cult of philistinism), sebab profesionalitas guru<br />

sudah dirumuskan dengan baik pada Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir<br />

(a) UU Guru dan Dosen. (Isi pasal-pasal ini dapat dilihat di Catatan kaki No.2).<br />

Profesionalitas guru ini diamputasi melalui ketentuan Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013<br />

(isinya memangkas kewenangan guru sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 PP No.<br />

19 Tahun 2005) (Isi lengkap dari pasal-pasal ini dapat dilihat Catatan kaki No.2 di<br />

Bab Pendahuluan). Dalam Kurikulum 2013 ini, Kemdikbud bukan saja<br />

bertindak sebagai inisiator dan konseptor, tetapi sekaligus bertindak sebagai<br />

implementor dan eksekutor, serta regulator, bahkan kebablasan sampai<br />

menjadi evaluator keberhasilan pelaksanaan Kurikulum 2013 (survey kepuasan<br />

publik atas Kurikulum 2013 juga dilakukan dan dibiayai oleh Kemdibud sendiri) :<br />

betul-betul top down yang abai pada partisipasi publik (demokrasi “dibunuh” di<br />

jantungnya sendiri : di sektor pendidikan, di sektor penyiapan generasi muda) suatu<br />

hal yang menyalahi ketentuan Pasal 4 UU No. 25 Tahun 2009<br />

Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas : tentang tugas profesional seorang guru<br />

Jadi guru tidak boleh menunggu dropping silabus, buku ajar, buku pegangan<br />

guru dan menunggu arahan bagaimana menerapkan metode pendekatan<br />

saintifik (5 M), semuanya harus disusun sendiri, agar mampu membuat diktat,<br />

LKS dan modul sendiri, sehingga siap maju ke SKS sebagaimana tertulis dalam<br />

Lampiran I Permendikbud No. 81 A Tahun 2013 dan Pasal 5 Permendikbud No.<br />

158 Tahun 2014<br />

Setelah keberadaan RSBI dihapus oleh MK (Mahkamah Konstitusi) melalui Keputusan MK<br />

No.5/PUU-X/2012, Kemdikbud bukannya mendorong sekolah-sekolah agar maju ke SBI,<br />

agar supaya bisa menerapkan SKS (sehingga kurikulumnya terakreditasi secara internasional<br />

dan manajemen sekolah tersertifikasi ISO 9001:2008), tetapi Kemdikbud seperti<br />

kehilangan arah, malah memangkas kewenangan guru melalui penetapan Pasal 20 PP No.<br />

32 Tahun 2013 (guru hanya tinggal menyusun RPP saja : guru menjadi sekedar tukang<br />

mengajar dan petugas administrasi pengajaran). Kemdikbud malah terjebak dalam “pemujaan<br />

terhadap kedangkalan” (cult of philistinism), luput menjadikan sekolah sebagai center of<br />

excellence, dan lalai menjadikan pendidikan untuk “memanusiakan manusia muda”<br />

Kemdikbud alpa untuk memberdayakan bonus demografi dalam penciptaan strong human<br />

capital dan culture of excellence.<br />

25<br />

15


Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen : tentang kewajiban profesi guru;<br />

Menjadi guru profesional berarti guru yang mampu merencanakan semua<br />

kegiatan belajar-mengajar (KBM) sendiri, termasuk mampu menilai secara<br />

benar 13 Guru profesional jangan dikerdilkan menjadi guru yang lulus Diklat<br />

sertifikasi guru selama 3 hari itu, tapi guru yang mampu memenuhi ketentuan isi Pasal<br />

1 ayat 2 Permendiknas No. 24 Tahun 2006 : guru yang mampu mengembangkan<br />

kurikulum dengan standar yang lebih tinggi<br />

Dengan diberlakukannya AFTA 2015 dan APEC 2020 maka profesionalitas guru<br />

ditentukan dari kelulusan dalam sertifikasi internasional, kalau tidak memenuhi<br />

ketentuan intenasional itu, kita akan terlindas dalam era globalisasi ini<br />

Pasal 77 M PP No. 32 Tahun 2013 ayat 1 dan ayat 3 tentang otonomi guru dan otonomi<br />

sekolah (kurikulum disusun sendiri oleh guru dan ditetapkan oleh Kepala Sekolah) sehingga<br />

eksistensi Kurikulum 2013 dapat dipertanyakan, terutama dalam persiapan kita menyongsong<br />

MEA 2015 dan APEC 2020, yang memerlukan kurikulum yang go international yang<br />

diterapkan di SBI (sekolah Indonesia yang terakreditasi secara internasional)<br />

Masalah SBI (sekolah bertaraf internasional) hendaknya tidak diartikan sebagai<br />

sekedar memasang papan nama, tetapi sungguh-sungguh menyiapkan e-learning dan<br />

digital library, termasuk keberadaan Bank Soal yang valid, kesemuanya itu<br />

memerlukan kebebasan mimbar akademik dan otonomi pendidikan (otonomi sekolah<br />

dan otonomi guru) seperti yang sudah dikembangkan pada era sekolah RSBI dulu dan<br />

era sebelum Kurikulum 1994, yang seharusnya diacu pada penerapan SKS (Pasal 5<br />

Permendikbud No.158 Tahun 2014).<br />

Rujukan dasar hukum yang secara eksplisit tidak menyebut adanya Kurikulum 2013 tercermin dalam<br />

Lampiran I C butir 1 b dan Lampiran I C butir 2 b Permendikbud No. 81 A Tahun 2013, yang justru<br />

menyebutkan adanya SKS, bukan adanya kurikulum baru.<br />

Padahal Permendikbud No. 81 A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum ini ditanda tangani<br />

oleh Mendikbud M.Nuh tanggal 27 Juni 2013, pada saat sibuk-sibuknya pelaksanaan pelatihan<br />

Kurikulum 2013 (rupanya M. Nuh mengacu pada dasar hukum dari Kurikulum 2013, yaitu Pasal 77<br />

M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 : kalau guru mampu menyusun kurikulumnya sendiri,<br />

maka guru juga dapat membuat diktat, LKS dan modul, hingga mampu melakukan monitoring proses<br />

belajar (penilaian berbasis kelas), serta ahli dalam menyusun program pengayaan sendiri, oleh<br />

karenanya bisa melangkah maju ke SKS), yang dikuatkan dengan ketentuan Pasal 5 Permendikbud<br />

13<br />

Lihat Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, serta Pasal 20 PP No.19 tahun 2005<br />

26<br />

16


No.158 tahun 2014 yang ditanda tangani oleh Mendikbud M.Nuh tanggal 17 Oktober 2014 : “sekolah<br />

yang terkareditasi A, dapat menerapkan SKS”.<br />

28 Permendikbud tentang Kurikulum 2013 kalau diteliti dengan cermat, sama sekali tidak<br />

memuat adanya kurikulum baru, yang ada adalah KTSP, lalu kenapa pemerintah cq Kemdikbud<br />

sibuk dengan kurikulum baru? Bukankah KTSP itu sudah dirumuskan dengan baik dasar<br />

hukumnya dan panduannya? (Lihat catatan kaki No.2 tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di<br />

Bab Pendahuluan)<br />

Kurikulum 2013 baru disebut dengan jelas dalam Pasal 2 ayat 1 Permendikbud No. 160 Tahun<br />

2014 (istilah Kurikulum 2013 justru muncul setelah pergantian Mendikbud dan setelah penghentian<br />

pelaksanaan Kurikulum 2013 lewat implementasi Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160<br />

Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014 itu), sebelumnya Kurikulum 2013 ini dikenal sebagai<br />

KTSP 2013 (sebagaimana sudah diuraikan di atas, secara harafiah KTSP itu adalah kurikulum<br />

sekolah, bukan kurikulum tunggal di level nasional. KTSP itu sifatnya lokal dan kontekstual. Jadi<br />

istilah KTSP 2013 itu rancu, karena pengertian KTSP yang benar adalah KTSP awal (Kurikulum<br />

2006) (Lihat dasar hukum Kurikulum 2006 pada catatan kaki No.2 di Bab Pendahuluan) (Lihat 28<br />

permendikbud terkait Kurikulum 2013 yang semuanya menyebut KTSP)(Lihat Catatan kaki No.5).<br />

Akibat pemberlakuan kurikulum ganda yang saling bertolak belakang ini, muncullah :<br />

- (Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan sistim baku SKS (bukan paket SKS) yang mengusung<br />

otonomi pendidikan, serta<br />

- KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013 yang mengusung hegemoni pemerintah,<br />

maka kerancuan dan kekeliruan terus membayangi dunia pendidikan dan pengajaran kita, lupa pada<br />

Perpres No. 77 Tahun 2007 yang ditanda tangani oleh Presiden SBY tanggal 3 Juli 2007, yang<br />

menyatakan bahwa pendidikan terbuka bagi PMA (Penanaman Modal Asing) dan abai pada<br />

pemberlakuan pasar bebas ASEAN (AFTA : ASEAN Free Trade Agreement) dimana sektor jasa<br />

pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi arus modal asing dan lalu lintas SDM (sumber daya<br />

manusia) dari negara lain. Apalagi menghadapi APEC 2020, dianggap masih jauh dan tak terbayang.<br />

Pembatasan akses modal asing dalam sektor pendidikan dilakukan melalui Permendikbud No.31<br />

Tahun 2014 14 yang justru bisa memancing reaksi negatif dari WTO dan menegasikan mekanisme<br />

Badan Sektoral Khusus Buruh Migran (ACMW : ASEAN Committee on Migrant Workers) : hak<br />

guru untuk bermigrasi ke negara lain adalah hak azasi manusia yang harus dilindungi. Pembatasan<br />

melalui Permendikbud No.31 Tahun 2013 itu justru menunjukkan ketidak mampuan kita dalam<br />

menyiapkan strong human capital dan culture of excellence dalam menghadapi era globalisasi ini.<br />

14<br />

Permendikbud No.31 Tahun 2014 tentang Kerja sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh Lembaga<br />

Pendidikan Asing<br />

27<br />

17


Jadi kita harus siap menerima para guru asing yang terlatih dalam pembuatan silabus,<br />

penyusunan diktat (materi ajar/sumber belajar) dan modul, e-learning, dll, sementara guru kita<br />

justru :<br />

- makin konsumtif (akibat penghamburan dana sertifikasi untuk kegiatan non pendidikan),<br />

karena program sertifikasi guru tidak terkait dengan uji kompetensi guru dan kinerja guru<br />

- tidak lagi menguasai teknik pembuatan silabus, buta cara menyusun diktat, dan modul<br />

- kurang memanfaatkan digital library (dikira digital library itu sama dengan e-book), serta<br />

- kurang menguasai program penilaian menggunakan excell<br />

Memang pemerintah pernah melaksanakan UKG (Uji Kompetensi Guru) beberapa tahun yang lalu<br />

dan akan melaksanakan lagi di bulan November 2015, namun mengingat profesionalitas guru sudah<br />

dipangkas melalui Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, maka hasilnya bisa ditebak, semua guru akan<br />

dibuat lulus UKG (seperti semua siswa akan dibuat lulus UN). Sebab hasil UKG itu bisa<br />

mendelegitimasi program sertifikasi guru (atas dasar apa tunjangan sertifikasi selama ini dikucurkan)<br />

Sinyalemen yang penulis tuturkan pada peluncuran Cetakan 1 di bulan September 2015 ini sekarang<br />

terbukti. Direktur Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan<br />

IPA, Kemdikbud, Sudiono, meminta guru tak mengkhawatirkan perolehan nilai. Hasil UKG tidak<br />

akan mempengaruhi apa pun kecuali menjadi dasar pemberian program pengembangan<br />

kompetensi. “Ini hanya akan menjadi dasar pemberian materi atau modul dan bentuk diklat untuk<br />

masing-masing guru,”, katanya. Jadi program tebar uang melalui sertifikasi guru yang tak terkait<br />

dengan kompetensi atau kinerja guru memang terbukti. Bahkan melalui sertifikasi guru bisa<br />

dirancang proyek baru yang berkelanjutan : diklat baru (jangan tanya diklat yang dulu itu untuk apa)<br />

Pemerintah mencoba menyiasati MEA 2015 ini melalui pemberlakuan sertifikasi tenaga ahli<br />

yang boleh bekerja di Indonesia, lupa pada ketentuan azas resiprokal dalam WTO. Kalau program<br />

sertifikasi ini diterapkan oleh negara lain bagi TKI/TKW kita yang bekerja di luar negeri, akan<br />

menjadi “senjata makan tuan” dan berakibat fatal bagi diri kita sendiri. Jutaan TKI/TKW kita akan<br />

dipulangkan karena termasuk dalam uncertified workers, padahal lapangan kerja yang tersedia di<br />

tanah air sudah semakin sempit. Dampak sosialnya akan sangat besar bagi negara kita.<br />

Kerancuan berpikir ini hanya menunjukkan bahwa Kemdikbud selalu sibuk dengan misinya<br />

sendiri, yaitu “penyerapan anggaran sebesar-besarnya” melalui 3 program besar : (1) program tebar<br />

uang lewat sertifikasi guru yang tak terkait dengan kompetensi dan kinerja guru, (2) pemberlakuan<br />

UN manual, meskipun sudah digagas pemberlakuan UN Online yang logikanya bertolak belakang<br />

dengan penghapusan Mata Pelajaran TIK di sekolah, dan (3) pemaksaan keberlanjutan Kurikulum<br />

2013, abai pada Nawa Cita (Nawa Cita No.1, No.5 dan No.8), serta abai pada Nawa Kerja.<br />

18<br />

28


Pemberlakuan kurikulum ganda yang saling bertolak belakang ini akhirnya :<br />

Membiaskan tujuan pendidikan nasional, dari mencerdaskan kehidupan bangsa 15 menjadi<br />

meningkatkan kompetensi konseptual orang per orang 16 , yang nampak dari rumusan kerangka<br />

dasar kurikulum (Kurikulum 2013), yaitu Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD),<br />

yang tidak koheren dan ambigu 17 Rumusan KI dan KD dalam Kurikulum 2013 yang sudah<br />

disosialisasikan (dengan menambahkan kata SPIRITUAL pada KI dan KD) ternyata<br />

dikembalikan lagi menjadi rumusan SK dan KD pada Kurikulum 2006 melalui Lampiran<br />

Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab III A No. 1 c : “Kompetensi Inti merupakan gambaran<br />

secara kategorial mengenai kompetensi dalam aspek sikap, pengetahuan dan ketrampilan<br />

yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas atau mata pelajaran”.<br />

(Kata “spiritual” yang tercantum eksplisit dalam Pasal 77 C PP No. 32 Tahun 2013, dihapus<br />

(sikap sosial dan spiritual disatukan), dan Bab III A No. 1 d : “Kompetensi Dasar merupakan<br />

kemampuan spesifik yang mencakup sikap, pengetahuan dan ketrampilan yang terkait<br />

dengan muatan atau mata pelajaran”. (Kata “spiritual” yang tercantum eksplisit dalam<br />

Pasal 77 D PP No. 32 Tahun 2013, dihapus (sikap sosial dan spiritual disatukan)<br />

Puskurbuk Kemdikbud berdalih : sikap adalah penyatuan sikap spiritual dan sikap sosial. Jadi<br />

bukan sikap yang dipahami sebagai afektif dalam KTSP awal (Kurikulum 2006) dan KTSP<br />

Bimtek (2008)<br />

Pendekatan ini menimbulkan masalah baru :<br />

Sikap sebagai penyatuan sikap spiritual dan sikap sosial, mengandung arti pendidikan<br />

nilai, pengukuran sikap spiritual seharusnya menggunakan Spiritual Quotient (SQ),<br />

sedangkan pengukuran sikap sosial seharusnya menggunakan Civic Quotient (CQ).<br />

Sedangkan sikap, pengetahuan dan ketrampilan dalam KTSP itu yang dimaksud adalah nama<br />

lain dari afektif, kognitif dan psikomotor, mengandung arti pendidikan holistik. Sikap<br />

(afektif) sendiri adalah pengembangan daya cipta, pengukurannya menakar afeksi yang<br />

15<br />

Tujuan pendidikan nasional sudah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 : mencerdaskan kehidupan bangsa,<br />

yang dijabarkan dalam Pasal 3 UU Sisdiknas<br />

16<br />

Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis : Kurikulum 2013 dikembangkan<br />

atas teori KBK (competency-based curriculum) yang juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun<br />

2014 Bagian II D Landasan Teoritis (lihat juga pada Catatan * tentang Permendikbud ini di Kata Pengantar)<br />

17<br />

Rumusan Kompetensi Inti mirip dengan rumusan Standar Kompetensi (Kurikulum 2006), hanya ditambah kata :<br />

SIKAP SPIRITUAL (Pasal 77 C PP No.32 Tahun 2013), sedangkan rumusan KD Kurikulum 2013 mirip dengan<br />

rumusan KD Kurikulum 2006, hanya ditambah kata : SIKAP SPIRITUAL (Pasal 77 D PP No.32 Tahun 2013, sehingga<br />

pengukurannya seharusnya menggunakan pengukuran Kecerdasan Spiritual (SQ) dalam Multiple Intelligence.<br />

Namun rumusan ini diubah lagi melalui Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab III A No 1 c (untuk KI) dan Bab<br />

III A No. 1 d (untuk KD) : sikap spiritual dan sikap sosial disatukan sehingga rumusan KI dimirip-miripkan dengan SK,<br />

dan rumusan KD pada Kurikulum 2013 dimirip-miripkan dengan KD pada Kurikulum 2006<br />

29<br />

19


tercermin pada pemilihan Kata Kerja Operasional dengan skor pada Analisis Esensi Materi.<br />

Dua pengertian yang berbeda jauh, yang membawa konsekuensi pada perbedaan pengukuran<br />

keberhasilannya.<br />

Rumusan KI dan KD yang baru ini membawa Kurikulum 2013 di simpang jalan : sebenarnya<br />

Kurikulum 2013 itu ada atau tidak? Kalau KI pada Kurikulum 2013 dimirip-miripkan<br />

dengan SK pada Kurikulum 2006, dan KD pada Kurikulum 2013 dimirip-miripkan dengan<br />

KD pada Kurikulum 2006, maka nampaknya Kemdikbud berhasrat atau ingin<br />

mengimplementasikan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 itu, tapi mata<br />

anggaran di dalam APBN untuk pelatihan guru, pembuatan silabus, penyusunan buku ajar<br />

dan buku pegangan guru nampaknya sudah terlanjur cair, the show must go on (at all cost).<br />

Akibat sikap ambigu itu adalah kacaunya pedoman penilaian (beberapa kali harus diubah<br />

tanpa penjelasan yang memadai dan tanpa memperhatikan bahwa rapor terdahulu sudah<br />

terlanjur dibagikan ke orang tua) sehingga menyulitkan penulisan rapor siswa (rapor masih<br />

manual dengan tingkat subyektivitas tinggi (tidak computerized), hingga rapor bukan lagi<br />

penilaian otentik, karena narasi tidak berkorelasi secara langsung dengan capaian nilai<br />

(dalam Rapor Lembar I : Evaluasi Hasil Belajar), dan narasi juga tidak berkaitan langsung<br />

dengan hasil pengamatan (observasi) guru (dalam Rapor Lembar II : Monitoring Proses<br />

Belajar), hingga mengacaukan arti KKM (Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal) sebagai batas<br />

bawah kompetensi siswa 18 dan KKI (Kriteria Ketuntasan Belajar Ideal) sebagai batas atas<br />

kompetensi siswa. Dalam beberapa kali perubahan penilaian (Permendikbud No.66 Tahun<br />

2013, Lampiran IV Permendikbud No.81 A Tahun 2013, dan Peraturan Bersama Dirjen<br />

Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014) terlihat bahwa<br />

KKM tidak lagi digunakan pada program penilaian Kurikulum 2013 (KKM : 75 ≠ C, dan<br />

KKM : 75 ≠ IP : 2). Kemdikbud membuat acuan baru, yaitu batas lolos adalah B ~ 2,67 atau<br />

2,67~75%, yang justru membuat penilaian makin rancu, lihat Bab V Kompetensi vs Penilaian<br />

Itulah sebabnya Kemdikbud sampai hari ini tidak berani mencetak buku rapor (Laporan Hasil<br />

Belajar) Lembar I (evaluasi hasil belajar) dan Lembar II (monitoring proses belajar).<br />

Kalau melihat pergantian istilah “Tugas Terstruktur” menjadi “Proyek” dan mengkaji<br />

implementasi metode saintifik (metode 5 M), maka sebenarnya Kurikulum 2013 ini mengacu<br />

pada PBL (project-based learning) sehingga penilaiannya seharusnya mengacu pada<br />

18<br />

Beberapa kali Pedoman Penilaian ini diubah (Permendikbud No.66 Tahun 2013, tapi masih salah, lalu diubah lagi<br />

dengan Lampiran IV Permendikbud No. 81 A Tahun 2013 : kesalahannya dapat dilihat di Bab V, sehingga diubah lagi<br />

lewat Lampiran II Peraturan Bersama Dirjen Dikdas Hamid Muhammad dan Dirjen Dikmen Achmad Jazidie No.<br />

5496/C/KR/2014 dan No. 7915/D/KP/2014 yang juga salah secara matematis, oleh karenanya program penilaian tidak<br />

bisa dilakukan secara computerized (interval nilai, konversi nilai dan predikat, serta KKM tidak terumuskan secara<br />

benar), padahal kita sudah memasuki era digital<br />

30<br />

20


Penilaian Rubrik, dimana kinerja siswa dihargai sebagai capaian paedagogisnya – padahal<br />

Kurikulum 2013 masih menggunakan soal-soal Pilihan Ganda yang tidak cocok sama sekali<br />

untuk penilaian rubrik yang sebenarnya mengukur tahap-tahap perkembangan kinerja siswa.<br />

Portofolio (yang merujuk pada grafik kemajuan belajar siswa), dan monitoring proses belajar<br />

siswa (yang menunjukkan daya serap siswa) tidak terukur, sehingga pendidikan holistik tetap<br />

hanya menjadi slogan (rumusan kata-kata “sikap”, “pengetahuan” dan “ketrampilan” pada KI<br />

dan KD itu tidak dapat serta merta ditafsirkan sebagai “afektif”, “kognitif” dan<br />

“psikomotor”) 19 Narasi pada rapor menjadi subyektif dan kualitatif, bahkan masih banyak<br />

yang ditulis secara manual (bukan authentic assessment lagi).<br />

Akibatnya, SPM, MBS dan manajemen kelas berdasarkan pemetaan potensi siswa (multiple<br />

intelligence) menjadi terabaikan. Apa saja yang mesti dikuasai oleh anak kelas 6 SD ? Apa<br />

saja yang mesti dikuasai oleh anak kelas 9 SMP sebagai bekal untuk penentuan jurusannya di<br />

kelas 10 SMA? Apa saja yang mesti dikuasai anak kelas 12 SMA sebagai bekal untuk masuk<br />

ke perguruan tinggi ? 20<br />

Kalau SPM tidak kunjung ditetapkan, jangan heran kalau Bimbel (bimbingan belajar) dan les<br />

privat menjamur dimana-mana. Orang tidak percaya lagi pada kualitas sekolah kita. Dengan<br />

kata lain, mengirim anak ke sekolah hanya dipahami agar anak tidak menganggur di rumah,<br />

sedangkan perkara intelektualitasnya diurus diluar jam sekolah melalui Bimbel/les privat. Hal<br />

ini nampak jelas pada anak-anak yang akan melanjutkan studi ke luar negeri, mereka harus<br />

menempuh kelas persiapan khusus (foundation) di berbagai lembaga pre-universities yang<br />

makin menjamur, baru kemudian anak itu bisa menempuh test GMAT, SAT, TOEFL, dll<br />

Padahal sampai satu dasa warsa yang lalu, ijazah kita masih diakui di luar negeri karena bobot<br />

kurikulum kita yang sangat tinggi.<br />

Puskurbuk berkilah bahwa SPM itu sudah ditetapkan dalam Permendikbud No.23 Tahun<br />

2013, padahal kalau kita kaji, isinya adalah standar sarana dan prasarana yang minimal harus<br />

ada di suatu sekolah, bukan SPM akademik yang dapat menjawab kenyataan : “kenapa<br />

banyak materi uji dalam TIMSS dan PISA yang tidak terdapat dalam kurikulum kita?” 21<br />

19<br />

Rumusan “kognitif”, “psikomotor”, dan “afektif” pada KTSP selalu dikaitkan dengan pemilihan ranah Kata Kerja<br />

Operasional, bukan dipatok sejak awal melalui rumusan KI dan KD dimana sikap adalah gabungan dari sikap spiritual<br />

dan sikap sosial yang sukar terukur (sikap spiritual harus diukur melalui SQ dan sikap sosial melalui CQ)<br />

20<br />

Bandingkan dengan kurikulum internasional yang secara jelas mencantumkan SPM, seperti IB (International<br />

Baccalaureate), CIE (Cambridge International Examination), ACT (Australian Capital Territory Certification), SAT<br />

(Scholastic Aptitude Test atau Scholastic Assessment Test dari USA)<br />

21<br />

Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian IA No 2 b Tantangan Eksternal, yang di copy paste dalam<br />

Lampiran Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian I A No.2 b Tantangan Eksternal (lihat Catatan * pada Kata<br />

Pengantar)<br />

31<br />

21


(Uraian lebih rinci tentang SPM Akademik dapat dibaca pada Bab I Filosofi Pendidikan dan<br />

Bab II Pendidikan vs Persekolahan pada bagian MBS dan SPM)<br />

PTK dan PTS menjadi kegiatan yang berdiri sendiri, lepas dari konteksnya dalam strategi<br />

pemecahan masalah pada pencapaian target kurikulum dan model belajar (siswa mau<br />

diarahkan ke kognitivisme, behaviorisme, atau ke konstruktivisme, atau tidak kemana-mana)<br />

Akibat dari pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam secara nasional pada KTSP<br />

Bimtek dan Kurikulum 2013 ini, ciri khas sekolah menjadi hilang, semua menjadi serba sama,<br />

(Silabus sama, buku ajar sama, buku pegangan guru sama, bahkan metode pembelajarannya<br />

(Metode 5 M) sama. Dengan demikian Visi dan Misi sekolah kehilangan konteksnya dalam<br />

pembelajaran di kelas. Masing-masing guru mengajar tanpa menghiraukan Visi dan Misi<br />

sekolah yang telah menjadi hiasan dinding itu. Beberapa sekolah mencoba merumuskan<br />

ciri khas dan keunggulan komparatifnya melalui pendidikan humaniora dan<br />

religiositas, namun terkendala cara pengukuran keberhasilannya dan bagaimana<br />

mengintegrasikannya dalam rapor yang mengukur kompetensi siswa.<br />

Melihat problematika SPM dan MBS yang tak kunjung diselesaikan ini, (SPM Akademik<br />

belum terumuskan dan para Pengawas tidak mendorong agar sekolah dapat memperoleh<br />

sertifikasi manajemen ISO 9001:2008), ditambah dengan rancunya menakar urgensi otonomi<br />

pendidikan dan kebebasan mimbar akademik di sekolah, maka beberapa lembaga kemudian<br />

berinisiatif mendidik tenaga gurunya sendiri. (Teacher College Universitas Pelita Harapan<br />

untuk melayani kebutuhan guru sekolah-sekolah Lippo Grup (Sekolah Pelita Harapan, Dian<br />

Harapan dan Lentera Harapan di berbagai kota), STKIP Surya Institute untuk melayani<br />

kebutuhan guru sains dan matematika yang mampu membimbing siswa dalam Olimpiade<br />

Sains dan Matematika, Mathematics Education Sampoerna University untuk melayani guru<br />

yang memenuhi kualifikasi STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) bagi<br />

Sampoerna Academy Boarding School. Masalahnya, generasi muda yang berkualitas<br />

terlanjur tidak tertarik untuk menjadi guru, sehingga harus “dipancing” dengan beasiswa.<br />

(Uraian lebih rinci tentang SPM dan MBS dapat dilihat di Bab II Pendidikan vs Persekolahan<br />

pada bagian MBS dan SPM)<br />

Mengapa peluncuran Kurikulum 2013 ini memunculkan resistensi tinggi hingga perlu<br />

pemaksaan dari Dinas Pendidikan setempat ? Karena rumusan KI (KI 1 – KI 4) sangat berbeda<br />

dengan rumusan KI universal (KI 1 – KI 6) (lihat penjelasan tentang KI yang harus dikuasai siswa<br />

pada Bab IV : Kurikulum vs Kompetensi), akibatnya KI dan KD tidak koheren, serta pijakan<br />

hukumnya rancu :<br />

22<br />

32


PP No. 32 Tahun 2013 : Pasal 77 M ayat 1 (“Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan<br />

merupakan Kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing<br />

satuan pendidikan”) dan ayat 3 (“Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ditetapkan oleh<br />

kepala satuan pendidikan”) tidak pernah disosialisasikan. Kemdikbud tetap<br />

melaksanakan pelatihan guru secara seragam dengan pengawasan ketat dari para Pengawas<br />

(Pengawas menjadi eksekutor, regulator dan evaluator kurikulum), melupakan sejarah<br />

pendidikan dimana kualitas pendidikan kita pernah diakui di luar negeri dan para guru kita<br />

pernah diminta mengajar di luar negeri. Pengambil-alihan wewenang sekolah dalam<br />

menyusun kurikulumnya sendiri di sekolahnya sendiri memancing reaksi : apakah para guru<br />

inti (instruktur) itu mempunyai kompetensi (apakah mereka spesialis disain kurikulum) dan<br />

apakah rekam jejaknya (track record) memadai untuk menjalankan fungsi implementor dan<br />

eksekutor “proyek”, karena yang dipertaruhkan adalah masa depan generasi muda kita.<br />

Istilah “instruktur” juga memunculkan konotasi “subordinasi” (para instruktur merasa<br />

mempunyai wewenang untuk mengharuskan macam-macam hal kepada para guru, padahal<br />

banyak guru S-2 mempunyai jam terbang yang cukup tinggi dalam mengajar di sekolah<br />

unggulan atau mantan RSBI atau kelas akselerasi, tapi sekarang mereka yang mumpuni ini<br />

menjadi subordinasi instruktur yang hanya mendapat pelatihan beberapa hari itu), Apakah<br />

para instruktur itu peduli dengan kemerosotan score para siswa kita dalam TIMSS (Trends in<br />

International Mathematics and Science Study), PIRL (Progress in International Reading<br />

Literacy) dan PISA (Programme in International Students Assessments)? (Banyak materi<br />

yang diujikan dalam TIMSS dan PISA tidak ada dalam kurikulum kita (Lihat Bagian I A No.<br />

2b Tantangan Eksternal pada Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013, yang di copy<br />

paste dalam Lampiran Permendikbud No. 57 Tahun 2014 (Lihat Catatan * di Kata Pengantar).<br />

Dengan kata lain, Kurikulum 2013 yang ditatar lewat para instruktur itu makin miskin<br />

materi. Apakah mereka peduli dengan makin menurunnya jumlah siswa yang mendapat<br />

beasiswa dalam sains dan iptek ke luar negeri yang mencerminkan kualitas luaran kurikulum<br />

kita yang tidak mampu bersaing di era global? Mengapa pertanyaan ini diajukan? Karena<br />

para instruktur itu selalu menjalankan lurus-lurus apa yang didapat hanya dalam beberapa<br />

hari pelatihan di tingkat nasional tanpa peduli bahwa dikemudian hari, permendikbud-nya<br />

bisa berubah lagi. Karena permendikbud yang baru harus mengacu pada tata perundangan<br />

yang lebih tinggi, yaitu PP No. 32 Tahun 2013, terutama harus mengacu pada Pasal 77 M<br />

ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 serta Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir<br />

(a) UU Guru dan Dosen yang sudah mengatur profesionalitas guru. Harap diingat bahwa<br />

permendikbud yang baru juga harus mengacu pada Nawa Cita No. 8 : “Akan menata kembali<br />

33<br />

23


kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan<br />

kewarganegaraan” dan Presiden Jokowi sudah menyatakan : “Tidak ada lagi visi dan misi<br />

kementerian, yang ada adalah visi dan misi Presiden” (Pidato Presiden Jokowi pada<br />

pelantikan para menteri Kabinet Kerja tanggal 27 Oktober 2014). Ada upaya Kemdikbud<br />

untuk “melupakan” dan mengabaikan Nawa Cita No. 8 dan Pidato Presiden Jokowi<br />

pada pelantikan menteri ini, lalu sibuk dengan misi Kemdikbud sendiri (meskipun<br />

rezim sudah berganti), yaitu menggolkan Kurikulum 2013 bikinan rezim lama at all<br />

cost.<br />

Pasal 77 F PP No. 32 Tahun 2013 tidak sinkron dengan Pasal 38 UU Sisdiknas<br />

Didalam Pasal 77 F PP No. 32 Tahun 2013 ayat 1 : “Silabus merupakan rencana<br />

pembelajaran pada mata pelajaran atau tema tertentu dalam pelaksanaan kurikulum”, dalam<br />

ayat 3 : “Silabus sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikembangkan oleh Pemerintah,<br />

pemerintah daerah dan satuan pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing”.<br />

Sedangkan kewenangan pemerintah sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU No. 20<br />

Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : “Kerangka dasar dan<br />

struktur kurikulum ditetapkan oleh pemerintah”. (tidak merambah sampai ke silabus, buku<br />

ajar, buku pegangan guru, dll)<br />

Kewenangan Pemerintah Daerah sebagai koordinator dan supervisor pengembangan<br />

kurikulum, juga sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 tentang<br />

Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah<br />

dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan<br />

dan komite sekolah/madrasah dibawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan atau<br />

kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk<br />

pendidikan menengah”.<br />

Jadi dropping Silabus tunggal dan seragam melalui pelatihan guru yang seragam secara<br />

nasional itu melanggar kewenangan satuan pendidikan (sekolah) serta hak koordinasi dan<br />

supervisi dari Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten atau Dinas Pendidikan Propinsi, untuk<br />

mengembangkan kurikulum yang relevan bagi daerahnya (azas diversifikasi kurikulum<br />

seharusnya dipertahankan). Kenapa potensi daerah tidak tergarap? Karena wewenang Kepala<br />

Seksi Kurikulum di Dinas Pendidikan tumpang tindih dengan tugas para Pengawas, dan tugas<br />

LPMP telah diambil oleh Pengawas, sehingga penjaminan mutu pendidikan tidak berjalan<br />

sebagaimana mestinya. Sebagaimana sudah diuraikan di atas, penjaminan mutu hanya bisa<br />

berjalan bila guru mampu mengembangkan Silabus dan RPP sendiri sesuai Standar Proses.<br />

Di lain pihak tugas pemberdayaan guru yang diemban oleh PPPG/PPPPTK sudah diambil<br />

34<br />

24


alih para instruktur nasional, para guru diharuskan menerapkan lurus-lurus instruksi para<br />

instruktur. Tugas dan wewenang Kepala Sekolah yang sudah dibina melalui LPPKS<br />

dimentahkan oleh keberadaan Pengawas Sekolah (Lihat Lampiran Permendikbud No.65<br />

Tahun 2013 Bab VI No.2 : Sistim dan entitas pengawasan). Aplikasi Kurikulum 2013 tidak<br />

boleh melenceng sedikitpun dari bahan tatar. (Lihat Catatan kaki No. 4 dan Catatan kaki<br />

No.5). Inilah saatnya, Kemdikbud melakukan reformasi birokrasi, bila Kemdikbud mau<br />

melaksanakan Nawa Cita No.5 dan Nawa Cita No.8<br />

Akhirnya, isi Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014 dilupakan, Kemdikbud tidak<br />

mempersiapkan sekolah menuju ke SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) dan para Pengawas<br />

tidak mempersiapkan sekolah meraih sertifikasi manajemen ISO 9001:2008, padahal era<br />

globalisasi dan liberalisasi pendidikan sudah diberlakukan di tahun 2015 ini (strong human<br />

capital dan culture of excellence tidak tersentuh dalam Kurikulum 2013).<br />

Kenapa silabus tidak boleh diurus oleh pemerintah?<br />

Alur filosofinya jelas, yaitu silabus yang berlaku sejak KBK (2004), KTSP Bimtek (2008) dan kini<br />

pada silabus kurikulum 2013 adalah Silabus campuran (mixed syllabus), yaitu perpaduan antara:<br />

Silabus Pemelajaran (Learner-generated syllabus), Silabus yang berorientasi pada tugas (taks-based<br />

syllabus), Silabus yang berorientasi pada ketrampilan (skill-based syllabus) dan Silabus kontekstual<br />

(situational syllabus). Jadi Silabus tidak dapat copy paste dari buku atau dari penataran Kemdikbud<br />

yang seragam itu karena mengingkari hakekat Silabus kontekstual (situational syllabus). Kalau<br />

silabus dirumuskan oleh pemerintah, maka kelompok penyusun silabus bentukan pemerintah ini,<br />

yang terdiri dari orang-orang dengan bermacam-macam latar belakang, yang tidak mendalami sejarah<br />

pendidikan Indonesia, akan cenderung kompromistis untuk mengejar tenggat waktu, sehingga<br />

banyak bahan ajar/materi yang hilang dari silabus (Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun<br />

2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal, yang di copy paste di Lampiran Permendikbud<br />

No.57 Tahun 2014 Bagian I A No. 2 b) (lihat Catatan * di Kata Pengantar)<br />

Pasal 77 F ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 (“Silabus dikembangkan oleh pemerintah,<br />

pemerintah daerah, dan satuan pendidikan sesuai kewenangan masing-masing”), ayat ini<br />

tidak mengacu pada Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas yang menjunjung otonomi sekolah<br />

(“Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip<br />

diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik”).<br />

Jadi jelaslah, bahwa Pasal 77 F ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 ini sejak semula digunakan untuk<br />

melegitimasi pembuatan silabus oleh pemerintah (memangkas otonomi sekolah) sehingga<br />

35<br />

25


pemerintah merasa punya hak untuk membuat juga buku ajar dan buku pegangan guru (mengebiri<br />

Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005), namun maksud hegemoni pemerintah ini justru melanggar UU di<br />

atasnya. Kalau guru tidak lagi bisa membuat Silabus, maka guru tidak mungkin bisa membuat diktat<br />

dan modul, penerapan SKS menjadi angan-angan saja (Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014<br />

itu menjadi utopia). Yang ada adalah penerapan paket SKS yang sudah lama dilakukan pada sekolahsekolah<br />

RSBI dulu dan kelas akselerasi, yang tidak mungkin diakreditasi secara internasional.<br />

Pasal 77 F ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 ini secara jelas menunjukkan bahwa<br />

Kemdikbud sebagai inisiator Kurikulum 2013 juga bertindak sebagai implementor dan<br />

regulator, serta evaluator pendidikan. Suatu rangkap jabatan yang sangat ditentang dalam<br />

era reformasi karena menyalahi sepuluh prinsip good governance, yang tertuang dalam Pasal<br />

4 UU No.25 Tahun 2009.<br />

Kenapa kekeliruan ini bisa terjadi?<br />

Karena sejak awal rupanya Kemdikbud bermaksud meniadakan otonomi pendidikan (otonomi<br />

sekolah, otonomi guru dan kebebasan mimbar akademik) demi “proyek penyerapan anggaran 20%<br />

dari APBN untuk sektor pendidikan” Kalau besaran APBN kita lebih dari Rp.2.000 trilyun, maka<br />

anggaran untuk sektor pendidikan kurang lebih adalah Rp.400 trilyun. Untuk pendidikan dasar dan<br />

menengah di lingkup Kemdikbud saja Rp. 45 trilyun. Bingung, kan bagaimana penyerapan dana<br />

sebesar itu? Kenapa tidak dirupakan kelengkapan sarana dan prasarana sekolah? Karena spec<br />

alatnya mudah dimonitor sehingga tidak mungkin di mark up. Disamping itu, pembelian peralatan<br />

hanya sesaat (tidak berkelanjutan), sekolah yang sudah mempunyai peralatan CCTV tidak mungkin<br />

membeli CCTV yang baru. Maka digagaslah program berkesinambungan yaitu program tebar uang<br />

melalui sertifikasi guru yang tidak terkait uji kompetensi guru dan kinerja guru, sistim evaluasi<br />

tunggal (UN) dan peluncuran kurikulum baru, dengan mengubah peraturan (Lihat Catatan kaki No.25<br />

: mengubah peraturan sebagai modus pencairan dana)<br />

Lihatlah rumusan Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 : “Perencanaan pembelajaran merupakan<br />

penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran untuk setiap muatan pembelajaran”.<br />

Bandingkan dengan rumusan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 yang menjadi dasar hukum<br />

Kurikulum 2006 : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus, rencana<br />

pelaksanaan pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi<br />

ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”.<br />

26<br />

36


Jadi jelas bahwa Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 ini menghapus kewenangan guru dalam membuat<br />

silabus, menentukan materi ajar dan sumber belajar. Dengan kata lain, kewenangan untuk membuat<br />

silabus sendiri, memilih sendiri buku ajar dan buku pegangan guru dirampas.<br />

Guru dikerdilkan hanya menjadi penyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), itupun RPP<br />

yang seragam lewat pelatihan guru yang seragam dan sama secara nasional, terjadi pendangkalan<br />

makna profesi guru dan wewenang keguruan (cult of philistinism)<br />

Jadi pendidikan selama 4 tahun di FKIP itu dikerdilkan hanya menjadi kemampuan menyusun<br />

RPP, dan juga banyak guru dari mantan sekolah RSBI itu berpendidikan S-2, wajarkah bila<br />

mereka juga harus mengikuti pelatihan penyusunan RPP dalam Kurikulum 2013?<br />

Jelas sekali bahwa proyek pelatihan guru ini adalah proyek penghamburan uang rakyat (porsi<br />

terbesar postur APBN kita diperoleh dari pajak yang dibayar oleh rakyat)<br />

Harap diingat, sebenarnya PP No. 19 tahun 2005 ini masih berlaku dengan diberlakukannya<br />

Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 yang ditanda tangani oleh<br />

Mendikbud Anies Baswedan tanggal 11 Desember 2014, namun “proyek besar penyerapan<br />

anggaran” melalui Kurikulum 2013 ini tetap meneruskan dan melestarikan hegemoni pemerintah<br />

melalui pelatihan guru secara seragam dan sama secara nasional, yang dilengkapi dengan keberadaan<br />

Pengawas, yang menghapus kebebasan mimbar akademik para guru<br />

Isi ketentuan Pasal 39 ayat 3 UU No.14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen), yang dijabarkan<br />

dalam Pasal 7 butir (h) dan Pasal 14 butir (c ) UU Guru dan Dosen : guru berhak mendapat<br />

perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan sehingga bebas dari<br />

ancaman, intimidasi dan perlakuan tidak adil dari birokrasi (hanya karena guru tersebut mau<br />

melaksanakan Kurikulum 2006 sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3<br />

Permendikbud No.160 Tahun 2014). Ternyata kebebasan mimbar akademik ini digerus<br />

dengan dikeluarkannya peraturan yang lebih rendah, yaitu Lampiran Permendikbud No.65<br />

Tahun 2013 Bab VI No.2 : Sistim dan entitas pengawasan, yang memberi wewenang penuh<br />

kepada :<br />

- Pengawas Sekolah untuk mengontrol manajemen sekolah (mengabaikan MBS yang sudah<br />

diatur dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas)<br />

- Pengawas Mata Pelajaran untuk mengontrol guru mata pelajaran (mengabaikan<br />

profesionalitas guru yang sudah diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20<br />

butir (a) UU Guru dan Dosen<br />

37<br />

27


Fungsi kepengawasan ini dengan sengaja dirancang untuk penyeragaman kurikulum dan<br />

pemberlakuan kurikulum tunggal (Kurikulum 2013) dengan pendekatan kekuasaan, yang menabrak<br />

azas diversifikasi kurikulum, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, dengan<br />

pasal turunannya yaitu Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005.<br />

Secara sadar dan terencana, Kemdikbud telah menurunkan harkat dan martabat guru sebagai<br />

pendidik, menjadi sekedar tukang mengajar dan petugas administrative, demi mengejar<br />

misinya sendiri (abai terhadap Nawa Cita No.8). Kemdikbud lupa akan “proyek yang lebih<br />

besar” yaitu menyiapkan sekolah dan para guru dalam menyongsong era globalisasi dan liberalisasi<br />

pendidikan yang sudah dimulai tahun 2015 ini agar memenuhi aspirasi yang diusung oleh Nawa Cita<br />

No.5 (Kemdikbud harus menyiapkan strong human capital dan menciptakan culture of excellence).<br />

<br />

Pengucuran anggaran yang begitu besar untuk sosialisasi Kurikulum 2013 dan<br />

pencetakan buku ajar, serta buku pegangan guru telah membuat sarana dan prasarana<br />

pendidikan kita terbengkalai. Masih banyak bangunan sekolah yang rusak, sarana<br />

laboratorium yang kurang memadai untuk kegiatan intra kurikuler : praktikum IPA dan<br />

praktikum akuntansi, laboratorium Bahasa yang menjadi barang langka di banyak sekolah,<br />

peralatan olah raga dan musik terbengkalai, dll Bagaimana mungkin dengan kondisi<br />

persekolahan yang kurang memadai ini, sekolah dapat diharapkan menerapkan moving class<br />

dan micro teaching agar mampu melaksanakan pembelajaran mandiri dalam SKS<br />

sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014 ?<br />

Sejak disosialisasikannya KTSP Bimtek (2008) yang berbeda dengan Kurikulum 2006 (KTSP awal),<br />

dan kemudian dilanjutkan dalam Kurikulum 2013, di lapangan muncul adanya Pengawas Sekolah<br />

dan Pengawas Mata Pelajaran sebagai cerminan hegemoni pemerintah dalam pengajaran dan<br />

pembelajaran di kelas (bukan sekedar hegemoni pendidikan), padahal jabatan pengawas itu tidak<br />

dikenal dalam UU Guru dan Dosen (guru dan dosen tidak perlu diawasi) 22 tapi muncul dalam<br />

peraturan yang lebih rendah yaitu Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No 2 : Sistim dan Entitas<br />

Pengawasan (Permendikbud tentang Pengawas ini menyalahi tata urutan perundangan yang<br />

ada, kalau Permendikbud menyalahi aturan yang lebih tinggi, harusnya gugur demi hukum)<br />

(Lihat catatan kaki No.4)<br />

Dalam Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 malah disebut fungsi pengawasan internal itu<br />

melekat pada setiap satuan pendidikan (sekolah) dan tidak diubah dalam Pasal 19 ayat 3 PP No.<br />

22<br />

Isi Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 itu sama dengan isi Pasal 19 ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : pengawasan itu<br />

inheren dalam tugas professional guru (lihat juga Catatan kaki No. 4)<br />

38<br />

28


32 Tahun 2013 : “Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran,<br />

pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses<br />

pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien”.<br />

Sudah layak kita mengikuti analogi pergantian jabatan rektor perguruan tinggi, setelah seseorang<br />

tidak lagi menjabat rektor, maka dia kembali mengajar sebagai dosen biasa. Bahkan mantan<br />

Mendikbud Prof Dr. Fuad Hasan telah memberi contoh, setelah tidak lagi menjabat menteri, beliau<br />

kembali mengabdi sebagai dosen UI. Kenapa untuk mantan Kepala Sekolah harus disediakan jabatan<br />

khusus : Pengawas Sekolah ? Lebih aneh lagi adalah Pengawas Mata Pelajaran : apakah mereka itu<br />

para doktor yang lulus cum laude sehingga merasa berhak mengawasi pelaksanaan mata pelajaran di<br />

kelas dan mengatur guru S-1 atau S-2 mata pelajaran yang sudah dididik di PGSD/FKIP serta sudah<br />

disertifikasi ?<br />

Sebab kalau kita rujuk pada Pasal 23 PP No. 19 Tahun 2005 (yang tidak diubah dalam PP No. 32<br />

Tahun 2013) dinyatakan bahwa supervisi juga dilakukan oleh sekolah (bukan oleh pengawas) :<br />

“Pengawasan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 3 meliputi<br />

pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan dan pengambilan langkah tindak lanjut yang<br />

diperlukan”.<br />

Hal ini sudah lama dipraktekkan, supervisi guru dilakukan oleh Kepala Sekolah masing-masing, tapi<br />

tiba-tiba muncul Pengawas Mata Pelajaran, sehingga guru mempunyai dua atasan, yaitu Kepala<br />

Sekolahnya dan Pengawas Mata Pelajaran. Dualisme ini harus segera diakhiri kalau kita ingin<br />

menegakkan otonomi guru dan kebebasan mimbar akademik, yang pada masa lalu telah memantik<br />

kreativitas guru dan menjadikan pendidikan di negara kita sebagai rujukan bagi negara lain.<br />

Demikian juga halnya dengan keberadaan Pengawas Sekolah, padahal kriteria untuk menjadi<br />

Kepala Sekolah sudah dirumuskan dengan jelas dalam Pasal 38 PP No. 19 Tahun 2005 (yang tidak<br />

diubah dalam PP No. 32 tahun 2013) dan peraturan turunannya yaitu Permendiknas No.28 Tahun<br />

2010, lalu kenapa ada Pengawas Sekolah ? Bukankah hal ini melanggar azas otonomi sekolah (Pasal<br />

77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013)? (lihat juga Catatan kaki No.4)<br />

Kemdikbud berkilah bahwa keberadaan Pengawas ini sejalan dengan ketentuan Pasal 10 UU<br />

Sisdiknas, padahal bunyi lengkap pasal ini adalah “Pemerintah dan Pemerintah daerah berhak<br />

mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan”, padahal arti<br />

sebenarnya adalah :<br />

1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi<br />

penyelenggaraan pendidikan, yang artinya mengarahkan, membimbing, membantu dan<br />

39<br />

29


mengawasi standarisasi proses pendidikan, bukan mengarahkan, membimbing, membantu<br />

dan mengawasi penyelenggara pendidikan atau mengawasi sekolah.<br />

Artinya, sesuai dengan UU, Pengawas seharusnya tidak mempunyai fungsi komando ke<br />

sekolah<br />

Jadi keberadaan Pengawas seharusnya terkait dengan Standar Proses (Pengembangan RPP,<br />

Pengembangan Silabus, Penerapan PAKEM/PAIKEM/PAIKEM GEMBROT, serta aplikasi<br />

pembelajaran kontekstual (contextual teaching learning)<br />

2. Pengawas bukan saja menjalankan fungsi pengawasan an sich, tetapi juga mengarahkan,<br />

membimbing dan membantu tercapainya Standar Nasional Pendidikan (SNP) secara lebih<br />

cepat.<br />

Kehadiran para Pengawas ini juga mengacaukan arti SKM (Sekolah Kategori Mandiri) :<br />

mandiri dalam hal apa? Kenyataannya, sekolah secara finansial masih didukung oleh dana BOS dan<br />

macam-macam dana pemerintah yang lain; secara paedagogik : kurikulumnya ditentukan oleh<br />

Kemdikbud; secara didaktik : metode dan sistim konversi nilai juga sudah digariskan oleh<br />

Kemdikbud. Jadi SKM ini tidak lebih dari slogan kosong, sama kosongnya seperti rumusan Visi dan<br />

Misi sekolah, karena semua sekolah sudah dibuat seragam, seragam bajunya dan seragam<br />

kurikulumnya, apapun Visi dan Misi sekolahnya.<br />

Munculnya Pengawas ini dulu seiring dengan dikucurkannya dana BOS mengabaikan fungsi<br />

pengawasan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang mempunyai aparat<br />

sampai ke daerah dan Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) atau Inspektorat Wilayah Propinsi<br />

(Itwilprop) dan Inspektorat Wilayah Kabupaten (Itwilkab)<br />

Mungkin ada pejabat yang menyalah-artikan kata penilik sekolah dan menyamakan dengan<br />

pengawas, padahal dalam Pasal 40 ayat 1 PP No. 19 tahun 2005 (dan tidak diubah dalam PP No. 32<br />

Tahun 2013) : penilik sekolah itu adalah pengawas pendidikan non formal, bukan pendidikan formal<br />

“Pengawasan pada pendidikan non formal dilakukan oleh penilik satuan pendidikan”.<br />

Mungkin pula ada pejabat yang menyatakan : bukankah pengawas itu sudah ada sejak dulu?<br />

Tidak benar, yang ada adalah Dinas Pendidikan menjalankan fungsi supervisi pengembangan<br />

kurikulum sebagai amanat dari Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas, dengan mandat Pasal 1 ayat 2<br />

Permendiknas No. 24 Tahun 2006 : Satuan pendidikan dapat mengembangkan kurikulum dengan<br />

standar yang lebih tinggi (bukan kurikulum seragam, apapun visi dan misi sekolahnya) (Dinas<br />

Pendidikan mensupervisi apakah Isi Standar Proses Kurikulum 2006 : Pengembangan Silabus,<br />

Pengembangan RPP, PAKEM dan Pendidikan yang konstektual, sudah dijalankan atau belum), maka<br />

kurikulum sekolah Taman Siswa bisa berbeda dengan kurikulum sekolah Muhammadiyah, bahkan<br />

kurikulum antar sekolah negeripun bisa berbeda, sehingga orang tua mempunyai pilihan terbuka.<br />

30<br />

40


Sama halnya kalau orang tua memilih menyekolahkan anaknya ke ITS atau ke ITB, pilihan terbuka<br />

karena kurikulumnya berbeda, meskipun kedua perguruan tinggi itu sama-sama menawarkan studi<br />

sains dan iptek.<br />

Jadi fungsi supervisi Dinas Pendidikan di masa lalu justru memacu tumbuhnya keunggulan<br />

lokal dari setiap sekolah, bukan menyeragamkan kurikulum seperti yang dilakukan para Pengawas<br />

sekarang. (lihat Catatan kaki No.4)<br />

Ketua Umum Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia, Cucu Saputra, mengatakan bahwa peran<br />

pengawas selama ini, di sekolah lebih banyak berorientasi pada hal-hal yang berkaitan dengan<br />

administrasi guru, tidak pada substansi pengembangan dan inovasi pembelajaran. Bahkan,<br />

cenderung menjadi perpanjangan tangan kebijakan nasional di bidang kurikulum yang ujungnya<br />

bersifat administratif. Menurut Cucu, pengawas seharusnya membimbing sekolah guna<br />

mempercepat pencapaian standar nasional pendidikan. Pengawas juga perlu mendorong sekolah<br />

mengedepankan manajemen sekolah yang transparan dan akuntabel. (KOMPAS, Selasa 11 Agustus<br />

2015 halaman 11 : "Beban Pengawas Berat – Orientasi Masih Administrasi")<br />

Keberadaan Pengawas yang justru memasung kebebasan mimbar akademik itu juga<br />

melanggar ketentuan Pasal 7 butir (h) UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru<br />

dan Dosen) karena mengingkari prinsip prosefionalitas guru : “Pendidik memiliki jaminan<br />

perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan” – jadi guru tidak boleh diancam<br />

akan dicabut tunjangan sertifikasinya hanya karena guru tersebut tidak mau melaksanakan<br />

Kurikulum 2013 dan lebih memilih menerapkan Kurikulum 2006 yang dasar hukumnya secara jelas<br />

sudah terumuskan dalam Catatan kaki No.2<br />

Guru yang kreatif (yang mampu berpikir out of the box dalam era digital ini), guru yang bisa<br />

melihat alternatif lain dari arus pemikiran mainstream (arus maninstream nekad melaksanakan<br />

Kurikulum 2013 tanpa perbaikan), atau guru yang mampu melihat alternatif lain dari SAS dan SIP<br />

di Prov DKI Jakarta) atau guru yang mampu melihat kemungkinan peluang lain ini seharusnya<br />

dianggap sebagai aset bangsa, karena memberi nuansa baru dalam era liberalisasi dan globalisasi<br />

pendidikan dewasa ini : Lihat Pasal 14 ayat 1 butir (c) UU Guru dan Dosen : “Pendidik memperoleh<br />

perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual” Mereka ini adalah<br />

perintis jalan untuk digitalisasi kurikulum dan e-learning, dari tangan merekalah terlahir kurikulum<br />

berbasis kearifan lokal. Mereka seharusnya didukung, bukan malah diancam akan dikeluarkan dari<br />

sistim, hanya karena sikap kritis mereka terhadap Kurikulum 2013 atau Ujian Nasional (Kurikulum<br />

2013 atau SAS dan SIP. Kurikulum 2013 beserta semua perangkatnya bukan kitab suci yang wajib<br />

diikuti dan ditaati dan instruksi Pengawas bukan kebenaran yang harus dilaksanakan, dunia<br />

pendidikan sejak lama dikerdilkan dengan tafsir tunggal dan sistematik.<br />

41<br />

31


Para guru yang menjunjung semangat elaborasi substansi pendidikan ini seharusnya dilindungi,<br />

sesuai ketentuan Pasal 14 ayat 1 butir (g) UU Guru dan Dosen : “Pendidik memperoleh rasa aman<br />

dan jaminan keselamatan dalam menjalankan tugas” - mereka seharusnya bebas dari intimidasi para<br />

Pengawas dan Dinas Pendidikan, sesuai ketentuan Pasal 39 ayat 3 UU Guru dan Dosen :<br />

“Perlindungan hukum mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman,<br />

perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak birokrasi” Namun melalui<br />

legitimasi peraturan yang lebih rendah (Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No. 2<br />

b) semua pasal UU ini menjadi tidak berarti karena kedudukan guru justru dikukuhkan sebagai<br />

subordinasi Pengawas (Kemdikbud secara sengaja telah mendefungsionalkan jabatan guru hanya<br />

demi penerapan Kurikulum 2013) dengan sanksi pencabutan tunjangan sertifikasi atau mengelirukan<br />

data pendidik dalam Dapodik sehingga pendidik sulit mengurus hak-haknya. Pengawas dan Dapodik<br />

menjadi “penguasa baru” dalam mengontrol sekolah dan para guru.<br />

Apa bahayanya bila jabatan Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata pelajaran ini dilestarikan?<br />

Anggaran Kemdikbud akan habis hanya untuk memberi tunjangan dan fasilitas bagi PNS non guru,<br />

birokrat non struktural, serta belanja pegawai, sehingga infrastruktur pendidikan terbengkalai (tidak<br />

cukup anggaran untuk up dating dan upgrade laboratorium IPA, laboratorium bahasa, laboratorium<br />

komputasi, laboratorium akuntansi, sarana prasarana olah raga dan musik, serta logistik kepramukaan<br />

dan kelengkapan UKS/UKGS). Akibatnya pendidikan holistik hanya menjadi slogan. Praktikum di<br />

laboratorium yang sebenarnya ditujukan untuk melatih psikomotorik siswa diturunkan menjadi<br />

kegiatan visual melalui demonstrasi di depan kelas, karena keterbatasan waktu dan keterbatasan<br />

peralatan lab. Laboratorium komputasi yang sebenarnya ditujukan untuk melatih siswa menjadi<br />

programmer telah dihapus dan diturunkan derajatnya : siswa hanya menjadi sekedar user. Prestasi<br />

olah raga kita makin memburuk dan siswa kita cenderung makin gemuk karena kurang gerak, akibat<br />

minimnya fasilitas olah raga di sekolah, sedangkan di rumah mereka hanya sibuk dengan gawai<br />

(gadget), atau menonton sinetron di TV, dll Dengan kata lain, kurikulum adalah pertaruhan masa<br />

depan generasi muda kita, bukan proyek yang abai terhadap arus globalisasi dan liberalisasi<br />

pendidikan (yang dicoba ditahan dengan Permendikbud No.31 Tahun 2014 tanpa merujuk pada<br />

ketentuan WTO dan mekanisme ACMW)<br />

Seandainya para penyusun Kurikulum 2013 itu berorientasi pada Finlandia, dan bukan<br />

kepada negara-negara OECD, maka mereka pasti menyadari pentingnya tut wuri handayani dan tidak<br />

mengubahnya menjadi tut wuri hanggondeli 23 melalui keberadaan pengawas, dan tidak akan<br />

23<br />

Tut wuri handayani : “memberi support dari belakang”. Tut wuri hanggondeli : “menelikung dari belakang”.<br />

32<br />

42


mengubah Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 24 Ketidak<br />

acuhan jajaran Kemdikbud terhadap kunjungan Presiden Finlandia awal November 2015 ini ke<br />

Indonesia, jelas menunjukkan bahwa Kemdikbud hanya sibuk dengan visi dan misinya sendiri,<br />

melupakan visi dan misi Presiden RI yang tertuang dalam Nawa Cita No.1, No.5 dan No.8.<br />

Pengubahan isi ketentuan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 ini jelas-jelas untuk memuluskan rencana<br />

pemerintah dalam “proyek penyerapan anggaran” melalui penyusunan silabus, pembuatan buku ajar<br />

(materi ajar/sumber belajar), buku pegangan guru (buku panduan pelaksanaan proses pembelajaran<br />

di kelas) dan pencetakan format rapor yang baru. Kita memasuki era pendangkalan (cult of<br />

philistinism).<br />

Pengubahan peraturan setingkat PP ini di kementerian lain bisa memancing persoalan hukum yang<br />

serius 25 dan masuk dalam ranah penyelidikan KPK, karena pengubahan peraturan itu sudah menjadi<br />

modus yang dikenal luas untuk pengucuran dana. (Inisiator tidak boleh sekaligus menjadi<br />

implementor atau eksekutor dan regulator, apalagi menjadi evaluator keberhasilan proyek. Hal ini<br />

jelas-jelas melanggar sepuluh prinsip good governance (tata kelola yang baik) sebagaimana sudah<br />

diatur dalam Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009 dan tuntutan Nawa Cita No.1.<br />

Oleh sebab itu, secara cerdik, Presiden SBY menyisipkan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32<br />

Tahun 2013 26 untuk memotong hegemoni pemerintah ini, sekaligus mempertahankan isi Pasal 20 PP<br />

No. 19 Tahun 2005 ini. Sebenarnya Presiden SBY ingin mempertahankan fungsi guru sebagai<br />

pendidik (bukan sekedar tukang mengajar, atau petugas administratif RPP, yang hanya tahu arahan<br />

pembuatan RPP dengan metode tunggal (5 M), tetapi guru sebagai konseptor, inisiator, disainer<br />

kurikulum dan planner kegiatan pembelajaran, sayang sekali “proyek besar” telah membuat<br />

orang gelap mata.<br />

Mengapa disebut “gelap mata” ? Karena meskipun sudah ada ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3<br />

Permendikbud No. 160 Tahun 2014, dan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013, orang<br />

tetap melanjutkan pelaksanaan Kurikulum 2013 yang bertolak belakang dengan Kurikulum<br />

2006 (lihat dasar hukum Kurikulum 2006 di catatan kaki No. 2 pada Bab Pendahuluan), semata-mata<br />

24<br />

Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus, rencana pelaksanaan<br />

pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber<br />

belajar, dan penilaian hasil belajar”.<br />

Bandingkan dengan Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 : “Perencanaan pembelajaran merupakan penyusunan rencana<br />

pelaksanaan pembelajaran untuk setiap muatan pembelajaran”.<br />

25<br />

Ingat kasus Bank Century, yang diawali dengan pengubahan PBI (Peraturan Bank Indonesia) untuk memuluskan bail<br />

out (dana talangan) Bank Century<br />

26<br />

Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013 : “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan kurikulum operasional<br />

yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan”.<br />

Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ditetapkan oleh kepala satuan<br />

Pendidikan”.<br />

43<br />

33


demi kelangsungan dan keberlanjutan “proyek besar”, lalu melupakan ketentuan Pasal 5<br />

Permendikbud No.158 Tahun 2014, karena Kurikulum 2013 tidak compatible dengan sistim baku<br />

SKS yang memerlukan prasyarat khusus, mulai dari moving class sampai pembuatan diktat, LKS,<br />

dan modul. Kurikulum 2013 ini hanya cocok untuk paket SKS, yang tidak lain adalah baju baru dari<br />

kelas akselerasi di sekolah unggulan atau mantan sekolah RSBI dulu.<br />

Kalau guru tidak bisa membuat silabus, tidak bisa lagi menyusun diktat (karena buku<br />

ajar/materi/sumber belajar sudah ditentukan oleh pemerintah) dan bingung dengan proses penilaian,<br />

bagaimana mungkin para guru bisa membuat LKS, dan modul serta mampu melaksanakan<br />

monitoring proses belajar dan evaluasi hasil belajar sebagaimana dituntut dalam sistim baku SKS ?<br />

Kebingungan akibat ketidak jelasan pijakan dasar hukum, tercermin pula pada Mendikbud Anies<br />

Baswedan :<br />

Pasal 6 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 : “Ketentuan lebih lanjut mengenai Kurikulum<br />

2006 akan diatur dalam peraturan menteri tersendiri”.<br />

Bagaimana mungkin Kurikulum yang diluncurkan tahun 2006, aturannya baru akan<br />

disusun tahun 2015 ? Kalau Mendikbud Anies Baswedan merujuk pada tata perundangan,<br />

maka seharusnya tidak boleh ada Pasal 6 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 ini karena sudah<br />

ada peraturan yang satu tingkat lebih tinggi, yaitu PP No. 32 Tahun 2013. Dalam Pasal 77 M<br />

ayat 1 dinyatakan bahwa kurikulum itu adalah wewenang guru.<br />

Kurikulum disusun oleh guru sendiri dan dilaksanakan di sekolahnya sendiri. Bukan disusun<br />

oleh pemerintah dan dilaksanakan di semua sekolah. Ketentuan ini selaras dengan isi<br />

Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 yang menjadi dasar hukum Kurikulum 2006. Pasal 6<br />

Permendikbud No. 160 Tahun 2014 ini seharusnya juga tidak boleh ada bila Mendikbud<br />

Anies Baswedan mengacu pada Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 : Kurikulum itu<br />

ditetapkan oleh kepala sekolah, bukan ditetapkan oleh pemerintah atau Puskurbuk.<br />

Kalau jajaran Kemdikbud ngotot ingin mengatur Kurikulum 2006, bukankah peraturan<br />

menteri terkait Kurikulum 2006 itu sudah sangat lengkap (lihat Catatan kaki No. 2<br />

tentang dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan). Kenapa mesti membuat<br />

peraturan baru yang memaksakan pemberlakuan Kurikulum 2013 dan abai pada<br />

Nawa Cita No.8 ?<br />

Pasal 4 Permendikbud No.160 Tahun 2014 : “Sekolah dapat melaksanakan Kurikulum 2006<br />

paling lama sampai dengan tahun pelajaran 2019/2020”.<br />

Banyak yang mengartikan bahwa di tahun ajaran 2019/2020 itu kita harus melaksanakan<br />

Kurikulum 2013, tanpa melihat bahwa tahun itu adalah tahun pemberlakuan APEC 2020.<br />

Menghadapi AFTA 2015 saja kita tidak siap : tidak melihat bahwa migrasi guru adalah hak<br />

34<br />

44


azasi yang harus dilindungi sesuai dengan mekanisme ACMW, bagaimana kita akan bersaing<br />

dengan sekolah asing dan guru asing yang akan membanjiri Indonesia, bila kita berkukuh<br />

pada Kurikulum 2013 yang banyak mengandung kesalahan ini, dan tidak menyiapkan guruguru<br />

kita dalam penyusunan modul untuk menyongsong pemberlakuan sistim baku SKS<br />

(bukan paket SKS) menuju ke SBI, yang dilengkapi dengan sertifikasi manajemen ISO<br />

9001:2008? Bukankah pemberlakuan KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013 telah<br />

membuat pendidikan kita terpuruk? (lihat survey di bagian akhir dari Bab Pendahuluan ini)<br />

Melanjutkan kembali Kurikulum 2013 pada saat ini atau nanti pada tahun pelajaran<br />

2019/2020 jelas-jelas mengabaikan amanat Nawa Cita No.8 : “Akan menata kembali<br />

kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan<br />

kewarganegaraan” dan melupakan pidato Presiden Jokowi saat pelantikan Menteri Kabinet<br />

Kerja tanggal 27 Oktober 2014 : “Presiden mengingatkan para menteri bahwa visi dan misi<br />

Presiden adalah yang utama dan tak ada lagi visi kementerian”<br />

Maka lupakan Kurikulum 2013 yang mau dilestarikan lewat Permendikbud No. 31 Tahun 2013, yang<br />

hendak membatasi masuknya modal asing dan lalu lintas SDM asing, yang bisa memancing reaksi<br />

negatif WTO dan ACMW. Yang bisa kita lakukan adalah meningkatkan kualitas pendidikan kita<br />

melalui e-learning berbasis kurikulum digital sehingga kita sungguh-sungguh menyiapkan generasi<br />

muda kita dalam menghadapi MEA 2015.<br />

Simpulan, kalau kita kaji lagi secara mendalam :<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

28 peraturan menteri terkait Kurikulum 2013 yang dibuat oleh Mendikbud M.Nuh selama<br />

kurun waktu 2013-2014, terlihat bahwa yang selalu disebut berulang-ulang adalah KTSP.<br />

Oleh sebab itu kita perlu mengenali arti harafiah KTSP (kurikulum tingkat sekolah) dan arti<br />

filosofisnya yaitu dijunjungnya azas otonomi pendidikan dan desentralisasi pendidikan.<br />

Dasar hukum dari Kurikulum 2013 yaitu PP No. 32 Tahun 2013 : Pasal 77 M ayat 1 (otonomi<br />

guru), dan ayat 3 (otonomi sekolah) mendukung premis di atas.<br />

Wewenang guru dalam Pasal 20 PP No. 19 tahun 2005 yang dipangkas menjadi kerdil dalam<br />

Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 : guru diturunkan harkatnya menjadi sekedar penyusun RPP,<br />

padahal dalam Standar Proses Kurikulum 2006 : sudah termaktub kewajiban untuk<br />

mengembangkan Silabus dan RPP. Jadi dalam Kurikulum 2013, RPP-nya bukan makin<br />

dikembangkan, malah dimulai lagi dari nol, seolah-olah semuanya baru diketahui hingga para<br />

guru perlu dilatih/ditatar lagi.<br />

Dualisme kepemimpinan sekolah dengan munculnya Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun<br />

2013 Bab VI No. 2 B : supervisi manajerial oleh Pengawas Sekolah dan supervisi akademik<br />

45<br />

35


oleh Pengawas Mata Pelajaran, mengabaikan pengawasan yang melekat pada tugas<br />

profesional guru sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19 ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013<br />

Kalau mau menerapkan KTSP 2013 : Prasyarat menjadi Kepala Sekolah dalam kaitan dengan<br />

KTSP sudah dirumuskan dengan baik dalam Permendiknas No.28 Tahun 2010 dan<br />

pemberdayaan serta pengembangan potensi Kepala Sekolah adalah tupoksi dari LPPKS<br />

(Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah) yang didirikan atas dasar<br />

Permendiknas No.6 Tahun 2009 (Lihat Catatan kaki No.4). Kenapa ada lagi Pengawas<br />

eksternal (Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran)? Lalu apa arti SKM (sekolah<br />

kategori mandiri) dan kapan pemerintah mempersiapkan dunia pendidikan menghadapi era<br />

globalisasi dan liberalisasi pendidikan (kapan pemerintah memfasilitasi pembentukan SBI<br />

yang terakreditasi internasional dan penerapan sertifikasi manajemen ISO 9001:2008)<br />

Guru yang otonom, yang menjunjung azas kebebasan mimbar akademik adalah keniscayaan,<br />

sesuai dengan amanat Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan<br />

Dosen. Jadi kemampuan guru dalam menyusun silabus dan RPP serta diktat sendiri itu, yang<br />

menunjukkan profesionalitas seorang guru itu, diakui sebagai hak kekayaan intelektual yang<br />

dilindungi hukum (Pasal 7 butir (h) UU Guru dan Dosen), bukan malah dicabut dengan<br />

ketentuan Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013. Pemberlakuan Kurikulum 2013 telah<br />

memberangus kreativitas guru.<br />

Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal :<br />

banyaknya materi uji yang ditanyakan dalam TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam<br />

kurikulum kita, sehingga siswa sukar mengerjakan soal-soal TIMSS dan PISA. Banyaknya<br />

materi yang hilang dari kurikulum kita ini tidak kunjung dicari solusinya karena abai pada<br />

sejarah pendidikan kita. Alih-alih mencari solusi, Kemdikbud bahkan menganulir<br />

Permendikbud No. 67 Tahun 2013 ini dengan menerbitkan Permendikbud No. 57 Tahun 2014<br />

yang justru merupakan copy paste lampiran permendikbud terdahulu, hanya menyisipkan<br />

semangat pembuatan silabus dan penyusunan buku siswa dan buku pegangan guru oleh<br />

Kemdikbud, hingga mengaburkan inti permasalahan yang ada pada Kurikulum 2013.<br />

Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis : Kurikulum 2013<br />

dikembangkan atas teori KBK – padahal KBK (2004) itu sudah lama dikubur seiring<br />

pemberlakuan Kurikulum 2006 dan KTSP Bimtek (2008), yang diulang dalam Lampiran<br />

Permendikbud No.57 Bagian II D Landasan Teoritis (Lihat Catatan * di Kata Pengantar).<br />

Kenapa KBK dulu ditinggalkan? Karena bermasalah pada cara pengukuran kompetensi<br />

(kemampuan) siswa. Namun orang sudah lupa, sehingga KBK dimunculkan lagi dalam baju<br />

baru, yaitu Kurikulum 2013. Oleh sebab itu, masalah klasiknya muncul lagi, yaitu masalah<br />

36<br />

46


pengukuran/penilaian. Penilaian yang tercantum dalam Permendikbud No. 66 Tahun 2013,<br />

kemudian diubah menjadi Lampiran IV Permendibud No. 81 A Tahun 2013, dan diubah lagi<br />

menjadi Lampiran II Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen<br />

No.5496/C/KR/2014 dan No.7915/KP/2014 yang ternyata masih salah secara matematis.<br />

Apakah Kemdikbud tidak melihat konsekuensi standar penilaian yang berbeda dan bentuk<br />

rapor yang berlainan rumus itu bagi masa depan para siswa? Perubahan-perubahan yang terus<br />

terjadi ini (tanpa melibatkan Puspendik : Pusat Penilaian Pendidikan) jelas menurunkan<br />

wibawa akademik Kemdikbud dalam sosialisasi Kurikulum 2013. Pemerintah berdalih<br />

bahwa Permendikbud No. 67 Tahun 2013 ini telah diganti dengan Permendikbud No. 57<br />

Tahun 2014, namun kalau kita buka permendikbud itu, isinya persis sama, hanya menyisipkan<br />

masalah hegemoni pemerintah melalui pembuatan silabus , pembuatan buku siswa dan buku<br />

pegangan guru, sehingga penentuan tingkat kompetensi dan pembakuan rumus evaluasi hasil<br />

belajar, tetap tak terpecahkan. Hal ini nampak pada ketidak beranian pemerintah mencetak<br />

buku rapor (Laporan Hasil Belajar) yang berujung pada keterlambatan pencetakan ijazah,<br />

sesuatu yang belum pernah terjadi selama 70 tahun Indonesia merdeka.<br />

Maka masihkah kita memerlukan pemaksaaan pemberlakuan Kurikulum 2013? (Padahal 28<br />

permendikbud yang melandasinya hanya menyebut KTSP (bukan kurikulum baru). Bukankah<br />

alasan-alasan diatas mendukung premis telah terjadinya euphoria pendangkalan (cult of philistinism)<br />

Kenapa tidak merujuk saja pada Permendikbud No. 160 Tahun 2014 Pasal 1 dan pasal 2 ayat 3 yang<br />

memberlakukan kembali Kurikulum 2006 (yang sudah lengkap pedoman dan dasar hukumnya (lihat<br />

Catatan kaki No. 2) sehingga kita bisa maju ke SKS (bukan paket SKS)?<br />

Kalau kita tetap berkukuh ingin mengikuti terus Kurikulum 2013, harap diingat bahwa<br />

permendikbud-nya akan berubah terus (masih banyak bolong-bolong pada Kurikulum 2013 (Lihat<br />

Catatan kaki No.5) sehingga ada kemungkinan kita harus mengkaji ulang semuanya lagi seturut<br />

Nawa Cita No.8, padahal pembelajaran di kelas terus berlangsung tanpa bisa ditunda atau dikoreksi<br />

lagi. Ada jurang yang dalam antara Kurikulum 2013 dan penerapan sistim baku SKS (bukan paket<br />

SKS) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014. Kalau hal ini tidak<br />

diperhatikan, maka lupakan saja SBI (sekolah bertaraf internasional) dan sertifikasi manajemen ISO<br />

9001:2008<br />

Lupakan pula Nawa Cita No.5, yang penting proyek penyerapan anggaran jalan terus. Pertaruhan<br />

yang sangat besar bagi masa depan putera-puteri kita yang sedang menyongsong era liberalisasi dan<br />

globalisasi pendidikan, tanpa persiapan yang memadai, bahkan tanpa kesadaran bahwa kualitas<br />

pendidikan kita makin merosot.<br />

47<br />

37


Kemdikbud berkilah bahwa semuanya sudah diantisipasi dan upaya peningkatan kualitas pendidikan<br />

telah digariskan dalam RPJM, namun marilah kita simak kenyataan yang ada :<br />

Survei yang dilakukan oleh PERC (Political and Economic Risk Consultant) menyimpulkan,<br />

pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara Asia. Studi yang dilakukan<br />

ASPBAE dan Global Campaign for Education pada tahun 2005 (saat diberlakukannya KBK) di 14<br />

negara menunjukkan, Indonesia mendapat nilai 42 dari nilai 100 dengan nilai rata-rata E. Dalam<br />

aspek penyediaan pendidikan dasar lengkap, Indonesia memperoleh nilai rata-rata C dan menduduki<br />

peringkat ke-7. Dalam aspek aksi negara, Indonesia memperoleh nilai F dan menduduki peringkat<br />

ke-11. Untuk aspek kualitas pengajar, Indonesia mendapat nilai F dan menduduki peringkat<br />

terbawah.<br />

Laporan pemantauan global tentang kualitas pendidikan dasar yang dikeluarkan UNESCO<br />

pada tahun 2005 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-10 dari 14 negara<br />

berkembang di kawasan Asia Pasifik. Survei yang dilakukan firma pendidikan Pearson di 40 negara<br />

menunjukkan hasil serupa. Pada tahun 2013, sistim pendidikan di Indonesia terendah di dunia<br />

bersama Brasil dan Meksiko. Pada tahun 2014, kualitas pendidikan Indonesia merosot dan Indonesia<br />

berada di urutan ke-40 dari 40 negara. (Kompas, Selasa 18 Agustus 2015, halaman 6 : “Pungguk<br />

Merindukan Bulan”).<br />

Jadi perubahan ke Kurikulum 2013 justru membuat pendidikan di Indonesia makin terpuruk<br />

karena kita memuja pendangkalan (cult of philistinism) dan abai pada penyiapan sekolah yang<br />

terakreditasi secara internasional (SBI) yang menerapkan sistim manajemen ISO 9001:2008<br />

Dengan kata lain, penerapan Kurikulum 2013 ini, menunjukkan bahwa Kemdikbud sibuk<br />

dengan misinya sendiri, mengabaikan visi dan misi Presiden yang sudah dijabarkan dalam Nawa Cita<br />

No.8, dan melalaikan tugas Kemdikbud untuk menjadikan pendidikan di Indonesia sebagai center of<br />

excellence seturut Nawa Cita No.5<br />

38<br />

48


BAB I<br />

FILOSOFI PENDIDIKAN<br />

Pendidikan yang abai terhadap filosofi pendidikan seperti tercermin dari dihapuskannya mata<br />

kuliah Filsafat Pendidikan pada LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan yaitu<br />

PGSD/FKIP) telah menyebabkan pendidikan kehilangan rohnya yaitu “mencerdaskan kehidupan<br />

bangsa” (bukan meningkatkan kompetensi orang per orang 27 ), yang berarti pendidikan seharusnya<br />

bertujuan menyempurnakan akal budi 28 (akal budi ini menunjukkan daya-daya intelektual dan<br />

emosional yang terpadu). Akibat kehilangan “roh pendidikan” ini, maka kita terjebak dalam<br />

kekeliruan utama yaitu menganggap semua masalah yang terkait pendidikan dapat dipecahkan<br />

melalui pendidikan, misalnya : Income gap hendak dipecahkan melalui link and match pendidikan<br />

dan dunia kerja, lupa pada penanaman sikap inovatif, kreatif dan entrepreneurship; Rendahnya score<br />

siswa dalam TIMSS, PISA dan PIRL hendak dipecahkan melalui peningkatan kompetensi siswa<br />

(kemudian hendak ditunjukkan capaiannya melalui Olimpiade Sains), lupa bahwa banyak materi uji<br />

pada TIMSS, PISA, dan PIRL itu yang tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia 29 dan belum<br />

pernah dipikirkan solusinya; Masalah iman dan taqwa hendak dipecahkan melalui pendidikan<br />

karakter, lupa pada fungsi ulama, peran suri teladan dari para tokoh masyarakat dan pendidikan budi<br />

pekerti yang harus dimulai dari rumah. Akibat cara pandang bahwa semua masalah yang terkait<br />

dengan pendidikan dapat dipecahkan melalui pendidikan ini, pernah muncul ide pembentukan<br />

Direktorat Keayah-Bundaan, yang kemudian diwujudkan menjadi Direktorat Pembinaan Pendidikan<br />

Keluarga, nampaknya Kemdikbud ingin merambah sampai ke ruang privat, lupa pada tugas<br />

pokoknya yang sudah dirumuskan di Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas 30 Kemdikbud sering berkilah<br />

bahwa SPM sudah dirumuskan dalam Permendikbud No. 23 Tahun 2013, tapi kalau kita kaji isinya,<br />

SPM itu adalah prasyarat minimal kelengkapan sarana dan prasarana suatu sekolah, bukan SPM<br />

akademik. Bentuk SPM akademik itu misalnya apa yang harus dikuasai oleh anak kelas V SD, apa<br />

yang harus dikuasai oleh anak kelas IX SMP sebagai bekal penentuan jurusan di kelas X SMA, apa<br />

yang harus dikuasai oleh siswa kelas XII SMA agar siap memasuki lingkungan akademik di<br />

perguruan tinggi? Kemdikbud berdalih bahwa “apa yang harus dikuasai siswa pada jenjang<br />

tertentu” sudah terumuskan dalam SOLO Taxonomy melalui penentuan Tingkat Kompetensi 0 – 6<br />

27<br />

Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis : Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori<br />

KBK (competency-based curriculum) (Lihat Catatan * untuk permendikbud ini di Kata Pengantar), yang juga tersurat<br />

(di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014<br />

28<br />

Kamus Besar Bahasa Indonesia Vol IV : mencerdaskan = menyempurnakan akal budi<br />

29<br />

Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal (Lihat Catatan * untuk<br />

permendikbud ini di Kata Pengantar) yang juga termaktub dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014<br />

30<br />

Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas : Pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan SPM berbasis MBS<br />

49<br />

39


(Lampiran Permendikbud No.64 Tahun 2013 Bab II). Padahal “Tingkat Kompetensi” itu sejak awal<br />

sudah bermasalah, yaitu pada rumusan :<br />

Perbedaan kualifikasi antar tingkat, karena tingkat kompetensi itu merujuk pada dua jenjang<br />

pendidikan, misalnya Tingkat Kompetensi 1 meliputi Kelas 1 dan Kelas 2 SD (Lalu apa beda<br />

kelas 1 dan kelas 2 SD? Dengan kata lain, masih perlukan kriteria kenaikan kelas dari kelas<br />

1 ke kelas 2 SD itu kalau tingkat kemampuannya disama-ratakan ?<br />

Kompetensinya : Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang di setiap Tingkat Kompetensi<br />

itu tidak koheren serta pengukurannya harus menggunakan penilaian rubrik, yang justru tidak<br />

dipraktekkan dalam Kurikulum 2013<br />

Kerancuan antara pengertian tingkat kompetensi dan kompetensi, serta kompetensi generik<br />

dengan KI dan kompetensi spesifik dengan KD<br />

Sedangkan banyaknya materi uji penalaran kritis dalam matematika dan sains pada TIMSS,<br />

penalaran halus (fine tuning) pada PISA dan kemampuan membaca yang tersirat pada PIRL yang<br />

tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia, tidak terdeteksi, hanya akan berujung pada complaint ke<br />

penyelenggara test (banyaknya bahan uji yang tidak terdapat dalam kurikulum : Lampiran<br />

Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bab I A No. 2 c, yang diulang pada Permendikbud No.68, No.69,<br />

dan No.70, tergantung unit sekolahnya, yang juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud<br />

No.57 Tahun 2014, yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59, dan No.60, tergantung unit<br />

sekolahnya), hingga tak ada waktu untuk memikirkan perumusan SPM akademik ini. Untuk<br />

perumusan SPM akademik ini, mau tidak mau kita harus mengkaji sejarah pendidikan kita, dimana<br />

kurikulum kita pernah mempunyai kualitas yang lebih tinggi dari prasyarat yang dituntut dalam<br />

GMAT, SAT dan TOEFL, sehingga siswa mudah menyelesaikan soal-soal TIMSS, PISA dan PIRL.<br />

Para guru kita diakui kemampuannya (kompetensinya) sehingga banyak yang diminta mengajar di<br />

luar negeri. Sekolah Indonesia di luar negeri diminati juga oleh warga asing. Tidak seperti sekarang,<br />

para diplomat Indonesia dan TKI-pun tidak mau menyekolahkan anaknya di sekolah Indonesia<br />

karena kualitasnya terus merosot. Tapi semua prestasi pendidikan kita di masa lalu tersaput oleh<br />

awan “proyek pemanfaatan anggaran 20% dari APBN”.<br />

Puskurbuk berkilah, SPM itu sudah ditentukan lewat Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun<br />

2013 Bab II Tingkat Kompetensi. Namun kalau kita kaji isinya, ternyata hanya menyangkut hirarki<br />

penentuan KD yang semestinya cukup mudah dilakukan melalui Analisia Vertikal pada Analisis<br />

Kurikulum. Inilah isi selengkapnya Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 Bab II :<br />

“Tingkat Kompetensi disusun berdasarkan taksonomi struktur capaian belajar terobservasi<br />

(Structure of The Observed Learning Outcomes (SOLO) Taxonomy). Berdasarkan taksonomi ini,<br />

40<br />

50


capaian belajar dikelompokan dalam 5 kategori yakni: Pre-Structural (0), Uni-Structural (1), Multi-<br />

Structural (2), Relational (3), dan Extended-Abstract (4 dan 5). (Collis and Biggs: 1976)<br />

Di atas kategori Extended-Abstract secara teoritis ada tiga tingkat yang lebih kompleks yakni<br />

Psychodelia, Illumination, dan Creativity (Gowan and Erikson: 1981) yang kesemua itu merupakan<br />

capaian belajar yang lebih abstrak.<br />

Berdasarkan hal tersebut, dikembangkan secara adaptif Tingkat Kompetensi menjadi 0, 1, 2,<br />

3, 4, 5, dan 6. Masing-masing Tingkat Kompetensi mencakup 2 (dua) tingkat kelas, kecuali<br />

Tingkat Kompetensi 4A dan 6 hanya mencakup 1 (satu) tingkat kelas. Tingkat Kompetensi<br />

4A merupakan kemampuan peralihan jenjang pendidikan dasar ke pendidikan menengah<br />

dan Tingkat Kompetensi 6 merupakan kemampuan peralihan pendidikan menengah ke<br />

jenjang pendidikan tinggi. Berdasarkan Tingkat Kompetensi ditetapkan Kompetensi yang<br />

bersifat generik yang selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan<br />

Kompetensi yang bersifat spesifik dan ruang lingkup materi untuk setiap muatan kurikulum.<br />

Secara hirarkis, kompetensi lulusan digunakan sebagai acuan untuk menetapkan<br />

Kompetensi yang bersifat generik pada tiap Tingkat Kompetensi. Kompetensi yang bersifat<br />

generik ini kemudian digunakan untuk menentukan kompetensi yang bersifat spesifik untuk<br />

tiap muatan kurikulum.<br />

Selanjutnya, Kompetensi dan ruang lingkup materi digunakan untuk menentukan Kompetensi<br />

Dasar pada pengembangan kurikulum satuan dan jenjang pendidikan”<br />

Kalau melihat rumusan tingkat kompetensi diatas, nampak jelas bahwa tingkat kompetensi ini<br />

menyangkut klasifikasi jenjang kognisi : batas penguasaan bahan/materi yang harus dikuasai siswa<br />

secara individual (siswa hendak difasilitasi sampai ke taraf tertentu), sedangkan SPM (standar<br />

pelayanan pendidikan minimal) menyangkut target kurikulum yang harus diraih semua siswa, yaitu<br />

pemenuhan Indikator keberhasilan.<br />

Sedangkan kompetensi (kemampuan) itu menyangkut tujuan pembelajaran : untuk apa seorang guru<br />

berdiri di depan kelas, maka kompetensi selalu harus dirumuskan ulang tergantung pada rumusan<br />

KD-nya, sedangkan tingkat kompetensi itu sifatnya tetap karena menyangkut batas peralihan jenjang<br />

pendidikan.<br />

Untuk lebih jelasnya dapat dikaji contoh berikut :<br />

Kompetensi (kemampuan) Tingkat 1 atau kompetensi (kemampuan) siswa kelas 1 SD adalah<br />

: Siswa mengenal konsep bilangan bulat (bilangan genap, bilangan ganjil dan bilangan prima)<br />

Ini yang disebut kompetensi yang bersifat generik. Lalu kompetensi yang bersifat spesifiknya<br />

adalah : Siswa mampu menghitung sampai bilangan 100. Capaian pengukurannya adalah<br />

siswa secara individual mampu menguasai 75 % materi itu (karena ukuran keberhasilan sudah<br />

51<br />

41


dipatok sejak lama melalui KKM = 75). Meskipun siswa hanya mampu menghitung sampai<br />

bilangan 75, siswa itu tetap dinyatakan sudah memenuhi kompetensi spesifiknya. Seorang<br />

siswa yang hanya mampu menghitung sampai bilangan 50, harus diremedial. Seorang siswa<br />

yang tidak mampu mencapai target perhitungan sampai bilangan 75, dicap “kurang<br />

menguasai materi”, dan harus menempuh remedial berulang sampai target spesifiknya<br />

terpenuhi, yaitu mampu menghitung sampai bilangan 75. Jadi kompetensi spesifiknya : Siswa<br />

mampu menghitung sampai bilangan 100, menjadi batas atas (kompetensi maksimal) yang<br />

harus dikuasai siswa, batas bawah (kompetensi minimalnya) adalah setara KKM : siswa<br />

cukup menguasai perhitungan sampai bilangan 75. Dengan demikian, kompetensi berjenjang<br />

di atas (kompetensi 0-6) menargetkan agar setiap siswa kompeten dalam bidang yang<br />

dipelajarinya (competency-based curriculum) 31 dengan tujuan : pengembangan kognisi<br />

siswa 32<br />

Sedangkan SPM (standar pelayanan minimal) adalah batas minimal yang harus dikuasai oleh<br />

semua siswa (batas bawah yang harus dikuasai oleh semua siswa adalah penguasaan 100%<br />

bahan/materi) : semua siswa harus mampu menghitung sampai 100. Meskipun siswa sudah<br />

menguasai perhitungan sampai 75, dia harus tetap diremedial (lihat penjelasan rinci di bawah)<br />

Dengan demikian, KD (Kompetensi Dasar) harus disusun berjenjang (makin ke atas,<br />

makin sulit, tidak boleh ada KD yang berulang). Masalahnya : ada begitu banyak KD yang<br />

berulang, misalnya Matematika, di jenjang kompetensi 1 (SD kelas 1 dan kelas 2) sudah diajar<br />

tentang bilangan bulat, hal sama diulang lagi di SMP : jenjang kompetensi 4 (tapi deret<br />

harmonis malah dihilangkan dari kurikulum matematika), lalu di SMA : jenjang kompetensi<br />

5 : diulang lagi tentang bilangan bulat (tapi hiperbola, parabola dan elips malah dihilangkan<br />

dari kurikulum matematika SMA, sehingga Mata Pelajaran Ilmu Bumi Falak (Astronomi)<br />

terpaksa dihapus dari kurikulum SMA).<br />

Contoh lain : Jenjang kompetensi 5 Kelas X SMA Kimia : diajar tentang Susunan Berkala<br />

(Sistim Periodik), masalah ini diulang lagi di Kelas XI, dan diulang lagi di jenjang kompetensi<br />

6 Kelas XII SMA, sehingga pemahaman tentang Susunan Berkala (sistim Periodik) di Kelas<br />

X SMA menjadi tidak utuh, akibatnya siswa sukar memahami Materi Ikatan Kimia, sehingga<br />

Materi Penggaraman dan Kimia Analitik terpaksa dihapus dari Kimia SMA.<br />

31<br />

Lihat Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II B Lndasan Teoritis : Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK<br />

(competency-based curriculum) (Lihat Catatan * untuk permendikbud ini di Kata Pengantar), yang juga tersurat (di<br />

copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014<br />

32<br />

Lihat Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II A Landasan Filosofis : Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan<br />

kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendekatan disiplin ilmu (Lihat Catatan * untuk<br />

permendikbud ini di Kata Pengantar), yang diulang (di copy paste) pada Permendikbud No.57 Tahun 2014<br />

52<br />

42


Kompetensi bertingkat (Kompetensi 0-6) di atas memerlukan kelengkapan sarana dan<br />

prasarana agar siswa mampu memenuhi kompetensi spesifiknya. Untuk itulah dikucurkan<br />

dana BOS (bantuan operasional sekolah) untuk mencukupi kebutuhan sarana dan prasarana<br />

pembelajaran di kelas. Bila dana BOS dipakai untuk hal-hal diluar penunjang kegiatan<br />

pembelajaran di kelas, maka sukar diharapkan kompetensi spesifik itu akan tercapai (Siswa<br />

di remedial berulang, hasilnya bukan makin membaik, justru makin buruk). Misalnya,<br />

kebanyakan sekolah membelanjakan dana BOS untuk pembelian CCTV, bukannya<br />

melengkapi peralatan laboratorium IPA (Lab Fisika, Kimia dan Biologi) atau melengkapi<br />

laboratorium Bahasa dan laboratorium akuntansi. Sehingga program KBM di kelas tidak<br />

ditunjang dengan kegiatan intra kurikuler yang memadai. Alhasil, kualitas pendidikan kita<br />

tidak kunjung membaik. Akibat lanjutannya adalah monev (monitoring dan evaluasi)<br />

pendidikan terlepas dari konteksnya. Evaluasi pada Tingkat Kompetensi ini seharusnya<br />

menggunakan penilaian rubrik yaitu penilaian berbasis kinerja dilengkapi dengan kriteria<br />

terukur tentang cara penilaiannya. Hal ini justru tidak dilakukan dalam Kurikulum 2013<br />

<br />

Sedangkan SPM akademik menyangkut rumusan kompetensi spesifik sebagai batas bawah<br />

(batas minimal), jadi Indikator Keberhasilannya adalah : Siswa kelas 1 SD harus menguasai<br />

100% perhitungan sampai bilangan 100. Kalau siswa hanya mampu menghitung sampai<br />

bilangan 75, maka SPM dari kelas 1 itu tidak terpenuhi. Siswa harus tetap diremedial,<br />

meskipun sudah mencapai batas KKM-nya, bukan dengan mengikuti program remedial<br />

berulang, tapi guru harus mengganti strateginya, karena mungkin saja bakat siswa itu bukan<br />

di bidang matematika, tetapi di bidang musik. Jadi siswa dapat tetap mengembangkan bakat<br />

musikalnya, tetapi harus menguasai prasyarat dasar pengetahuan Matematika di kelas 1.<br />

Dengan demikian, SPM memerlukan pemetaan potensi siswa melalui Multiple Intelligence,<br />

siswa yang tidak bisa matematika, barangkali bakatnya di bidang Bahasa. Pengukuran<br />

kognisi siswa bukan satu-satunya ukuran keberhasilan belajar, SPM lebih menekankan pada<br />

pendidikan holistik melalui pengukuran daya serap di PBK (penilaian berbasis kelas)<br />

SPM juga menyangkut kreativitas guru dalam memenuhi standar sarana dan prasarana,<br />

misalnya siswa dalam pelajaran Kimia hendak mengukur kadar vitamin C dalam jeruk<br />

(kompetensi spesifiknya sebagai batas bawah), maka apapun situasi dan kondisinya, siswa<br />

harus mampu menghitung kadar vitamin C dalam jeruk. Kalau tidak ada buret untuk titrasi,<br />

siswa dapat menggunakan botol susu berskala yang biasa digunakan bayi, kalau botol susu<br />

ini dibalik, maka fungsinya sudah sama dengan buret. Kalau tidak ada botol susu bayi, siswa<br />

dapat menggunakan pipet tetes sebagai pengganti buret (1 ml = 20 tetes).<br />

53<br />

43


Kalau tidak ada jeruk, siswa dapat mencari buah dari pohon asam. Kalau tidak ada buah dari<br />

pohon asam, siswa dapat menggunakan buah jambu monyet, dll<br />

Kalau melihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 (lihat Catatan * tentang permendikbud<br />

ini pada Kata Pengantar), yang juga termaktub dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014, maka<br />

penulis kawatir bahwa yang dimaksud dengan kompetensi generik itu adalah Kompetensi Inti (KI),<br />

dan yang dimaksud dengan kompetensi spesifik itu adalah Kompetensi Dasar (KD), yang makin jauh<br />

melenceng dari makna SOLO Taxonomy. Padahal yang dimaksud adalah bahan ajar/materi yang<br />

dipersyaratkan harus dikuasai oleh siswa di jenjang kompetensi tertentu (KD lebih luas dari bahan<br />

ajar/materi, satu KD bisa terdiri dari beberapa bahan ajar/materi). Bahan ajar berjenjang yang<br />

mensyaratkan siswa harus menguasai sepenuhnya suatu materi sebelum berpindah tingkat<br />

kompetensinya adalah bahan ajar/materi pada Kurikulum 1975, dimana batas ketuntasannya adalah<br />

100% (Kurikulum 1975 menerapkan Analisa Horizontal dan Analisa Vertikal secara ketat : KKM =<br />

KKI = 100). Maka sebenarnya SOLO Taxonomy kurang sesuai untuk diterapkan pada Kurikulum<br />

2013 karena tidak bisa membedakan pengertian KI dan KD (KI untuk semua jenjang hampir sama<br />

rumusannya, akibatnya KI dan KD tidak koheren)<br />

Penjelasan lebih rinci dapat dilihat di Bab II Pendidikan vs Persekolahan pada bagian MBS dan SPM<br />

Disinilah peran filosofi pendidikan yang dipilih yang dapat sangat mempengaruhi penentuan<br />

arah dan tujuan pendidikan kita. Bekerja dengan batas atas (batas kemampuan maksimal), filosofi<br />

yang digunakan adalah filsafat esentialisme 33 , atau bekerja dengan batas bawah (batas kemampuan<br />

minimal), filosofi yang digunakan adalah filsafat perenialisme 34 . Bila bekerja dengan batas atas<br />

(batas kemampuan maksimal) ada bahaya bahwa batas atas ini akan diturunkan dengan asumsi<br />

supaya tidak terlalu memberatkan siswa, sehingga bahan ajar/materi/sumber belajar makin lama<br />

makin berkurang (banyak materi uji dalam TIMSS dan PISA yang tidak terdapat dalam kurikulum<br />

Indonesia) (Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No 2 b, yang juga tersurat<br />

(di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014).<br />

Bila pemerintah memilih Filsafat Perenialisme 35 , maka sebagai batas bawah, bahan<br />

ajar/materi tidak boleh diganggu (tidak boleh dikurangi, bahkan seharusnya bahan ajar/materi itu<br />

dikembangkan terus menerus sesuai dengan tuntutan jaman). Kewajiban pemerintah hanya<br />

merumuskan kerangka dasar dan struktur kurikulum, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 38 ayat<br />

1 UU Sisdiknas. Namun pemerintah cq Kemdikbud lebih memilih Filsafat Eklektisme, yang<br />

kemudian diubah menjadi Filsafat Esentialisme, sehingga terpaksa menurunkan batas kemampuan<br />

33<br />

Lihat Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II A No. 3 (Lihat Catatan * untuk permendikbud ini di Kata<br />

Pengantar), yang juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014<br />

34<br />

Lihat catatan kaki No.40 tentang Filsafat Perenialisme<br />

35<br />

Lihat catatan kaki No. 40 tentang Filsafat Perenialisme<br />

54<br />

44


maksimal (dengan alasan agar tidak terlalu membebani siswa) dengan konsekuensi : banyak materi<br />

yang hilang dari kurikulum (kurikulum makin miskin), oleh sebab itu, tidak ada sesuatu yang baru<br />

yang ditambahkan pada Kurikulum 2013 (pada jaman teknologi komputasi awan dan android ini,<br />

justru TIK dihilangkan; pada jaman bioteknologi dan rekayasa genetik ini, justru IPA dihapus dari<br />

masa peka perkembangan intelegensi anak (kelas 1 – kelas 3 SD). Terjadi legalisasi pendangkalan<br />

(cult of philistinism). Karena tidak ada sesuatu yang baru, maka 28 permendikbud terkait Kurikulum<br />

2013 juga tidak menyebutkan adanya kurikulum baru, hanya menyebut berulang kali KTSP, lupa<br />

akan makna harafiah dan makna filosofis KTSP.<br />

Kekeliruan kedua adalah menganggap apapun kurikulumnya, manajemen kelasnya sama,<br />

yaitu menumbuhkan cara belajar siswa aktif, padahal dasar filosofisnya berbeda. Kurikulum 2006<br />

(KTSP awal) dan SKS bertumpu pada filsafat perenialisme dengan model belajar konstruktivisme 36<br />

berbasis multiple intelligence, sedangkan KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 berdasar pada filsafat<br />

eklektik 37 (kemudian diubah menjadi filsafat esensialisme) berbasis otoritarian. 38 Kurikulum 2006<br />

(KTSP awal) dan SKS memang didisain untuk mengembangkan potensi siswa seoptimal mungkin,<br />

melalui pendekatan pendidikan berbasis keunggulan lokal yang mengutamakan fleksibilitas<br />

penggunaan metode, model dan strategi pembelajaran untuk mencapai taraf manusia pembelajar<br />

(anak yang berkembang kemampuannya dalam learning to learn, learning to live together, dan<br />

learning to be). 39 Bahan ajar yang sesuai dengan prinsip ini adalah bahan ajar berjenjang sesuai<br />

dengan perbedaan tingkat kompetensinya yaitu bahan ajar pada Kurikulum 1975 40 dimana sains dan<br />

matematika dipahami sebagai art, bukan sekedar pengetahuan. Dimana siswa dilatih menemukan<br />

metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam<br />

administrasi politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk-pikuk<br />

kehidupan sehari-hari.<br />

36<br />

J.Piaget : Pengetahuan didapat dari pengalaman, dan perkembangan mental siswa tergantung pada keaktifannya<br />

berinter-aksi dengan alam<br />

37<br />

Cicero dan Philo : Menggabungkan ide-ide yang ada, tapi kurang memperhatikan konteks dan kesahihan ide itu<br />

38<br />

Karena banyaknya kritik terhadap Filsafat eklektik yang dipilih ini, filosofinya kemudian diubah menjadi Filsafat<br />

esentialisme (Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A No. 3 : Landasan Filosofis) : diulang secara eksplisit pada<br />

Permendikbud No.57 Tahun 2014<br />

39<br />

UNESCO : Education for All (EFA), 1968<br />

40<br />

Kurikulum 1975 menganut Filsafat pendidikan perenialisme atau tradisionalisme : intinya ingin mengatakan bahwa<br />

prinsip-prinsip pendidikan yang fundamental, yang ada sekarang ini, sesungguhnya telah ada dari dulu. Prinsip ini<br />

berlaku sepanjang masa—di mana pun dan kapan pun—sebab telah teruji keampuhannya bagi peradaban umat<br />

manusia. Maka, tugas pendidikan mewariskan prinsip-prinsip dasar pendidikan dan nilai-nilai kebajikan yang berlaku<br />

universal kepada generasi kini dan yang akan datang agar mereka dapat hidup secara bermartabat. Fakta-fakta akan<br />

berubah, tetapi prinsip pendidikan tetap. Inilah yang harus diajarkan di sekolah.<br />

55<br />

45


Maka dalam Kurikulum 1975 masih diajarkan pendekatan deduktif melalui matematika geometrik<br />

(Ilmu Ukur Analitika, Stereometri dan Ilmu Ukur Melukis (BM). Aljabar diperdalam sampai<br />

Kalkulus II, dll. Sehingga siswa mudah menyelesaikan soal-soal GMAT. Masih diajarkan juga<br />

Astronomi (Ilmu Bumi Falak) sebagai makro kosmos dan Fisika Teoritis serta Kimia Teoritis (bukan<br />

sekedar Fisika dan Kimia empiris) sebagai mikro kosmos, lalu menggambar ornamen, prespektif dan<br />

proyeksi, sebagai jembatan pemahaman aspek geometri dari matematika. Masih diajar pula<br />

mendongeng dan mencongak di SD untuk melatih daya abstraksi siswa, permainan tradisional yang<br />

sarat filosofi pedagogik (bukan hanya ditujukan untuk melatih psikomotorik siswa, tetapi juga untuk<br />

menanamkan nilai-nilai universal: kerja sama, fairness, fun (pembelajaran yang menyenangkan) :<br />

misalnya aritmatika dapat disimulasi melalui permainan dakon (congklak), entik, engklek, ular<br />

tangga dll. Pelajaran seni suara dan musik masih berbasis not balok. Praktikum masih inheren dalam<br />

mata pelajaran dan pengajaran bahasa asing masih bertumpu pada acuan standar internasional (masih<br />

diajar 16 tenses dalam Bahasa Inggris secara intens dan menyenangkan menggunakan Living English<br />

Structure) sehingga siswa SMA mudah mencapai score 550 dalam TOEFL paper based. Masih<br />

disediakan jam khusus untuk belajar logika melalui Persamaan Tersamar sehingga siswa mudah<br />

mengerjakan soal-soal Verbal Test GMAT. Kimia masih diajar penggaraman dan Kimia Analitik,<br />

sehingga Kimia baru diajarkan di SMA (bukan di SMP), karena memerlukan prerequisite<br />

matematika dan fisika yang cukup mendalam. Siswa juga masih dikenalkan dengan Sejarah Dunia<br />

sehingga pengetahuan umumnya mencukupi untuk dapat meraih score yang tinggi dalam PISA<br />

Bahan-bahan di atas tidak lagi diajarkan pada KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 (batas<br />

kemampuan maksimal diturunkan) sehingga siswa kesulitan dalam mengerjakan soal-soal TIMSS<br />

dan PISA (Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal), yang<br />

juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014, akibatnya score siswa kita<br />

dalam TIMSS, PISA dan PIRL dari tahun ke tahun terus merosot. Pokok permasalahannya karena<br />

bahan testnya (materi uji) sudah tidak ada di kurikulum kita, bagaimana mereka bisa memecahkan<br />

soalnya (memahami bahannya) bila mengenalinya saja tidak bisa ?<br />

Kurikulum 1975 tidak hanya kaya akan bahan elementer, tetapi juga sangat memperhatikan :<br />

* Analisa vertikal : Bahan berjenjang, makin tinggi kelasnya, bahannya makin sulit. Tidak seperti<br />

KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 : bahan KWn (PKn), Sejarah, Bahasa, aritmatika berulang<br />

terus dari SD, SMP dan SMA. Atau bahan Biologi terus yang berulang di SD, SMP dan SMA :<br />

tumbuhan, hewan, manusia sehingga menyulitkan siswa dalam pemahaman kultur jaringan (tissue<br />

culture), yang berakibat siswa sukar mengerjakan proses pemuliaan tumbuhan atau breeding<br />

hewan. Padahal materi kultur jaringan itu diajarkan dalam Kurikulum 2013.<br />

46<br />

56


Analisa vertikal bukan hanya menyangkut derajat kesulitan materi, tetapi juga meliputi jenjang<br />

kesulitan soal. Soal-soal yang jatuh di nomer-nomer kecil selalu lebih mudah diselesaikan,<br />

sedangkan soal-soal yang jatuh di nomer-nomer besar, memang hanya diperuntukkan bagi siswa<br />

yang pandai, sehingga setiap siswa dapat mengukur sendiri kapasitasnya. Variasi soal dapat dilihat<br />

di Catatan kaki No.48. Siswa tidak akan menyontek, baik dalam mengerjakan ulangan maupun<br />

dalam mengerjakan PR. Pendidikan karakter inheren dalam analisa vertikal. Soal tidak<br />

campur aduk seperti sekarang dan pendidikan karakter tidak dipaksakan masuk ke pelajaran,<br />

seperti pemaksaan penerapan KI 1 dan KI 2 saat ini, atau diformalkan melalui Permendikbud<br />

No.23 Tahun 2015 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang hanya memancing kontroversi<br />

(Kompas, Kamis 23 Juli 2015 halaman 12 : Budi Pekerti, NILAI “DITEMPELKAN TANPA<br />

RASIONALITAS”).<br />

* Analisa horizontal : bahan ajar/materi saling berkait, prerequisite suatu bahan dirumuskan<br />

dengan terukur, misalnya guru Kimia yang akan mengajarkan derajat keasaman (pH) harus<br />

memastikan bahwa siswa sudah mendapat pelajaran logaritma dalam matematika (sekarang<br />

penggunaan buku logaritma malahan dihapus dari kurikulum, sehingga siswa selalu kesulitan<br />

mengerti tentang Kesetimbangan Kimia dan pengukuran derajat keasaman (pH). Guru SD yang<br />

akan mengajar notasi musik dengan not balok, harus memastikan bahwa siswa sudah belajar<br />

tentang bilangan pecahan dan deret harmonis dalam Matematika sebelumnya.<br />

Kalau analisa horizontal diabaikan seperti sekarang, maka pengetahuan tidak lagi dipahami sebagai<br />

art, tetapi sebagai konsep yang membebani siswa (siswa tidak belajar untuk hidup dan kehidupan,<br />

tetapi belajar untuk kompetensi, belajar untuk lulus Ujian Nasional).<br />

Sedangkan Kurikulum 2013 menganut filsafat eklektik 41 : cenderung meramu semua hal<br />

baik dari pendidikan holistik, pendidikan karakter dan pendidikan kontekstual melalui pendekatan<br />

saintifik (5 M) untuk mencapai taraf behaviorisme (perubahan perilaku siswa). Ketercapaiannya<br />

membutuhkan ketrampilan para guru, bukan hanya dalam pembimbingan siswa, tetapi juga dalam<br />

pendampingan siswa (Bahasa Jawa : mbombong). Untuk itu diperlukan pendidikan yang<br />

membebaskan. Sebab pendidikan hanya akan berhasil kalau ada suasana kebebasan, terutama<br />

dibukanya ruang bagi tumbuhnya kebebasan mimbar akademik. Oleh karenanya, kurikulum 2013<br />

harus membuka kesempatan bagi guru dan murid untuk mengaktualisasikan kebebasannya dan<br />

kreativitasnya. Tanpa ruang kebebasan akademik itu, maka filsafat eklektik 42 akan cenderung<br />

41<br />

Kamus Filsafat, Lorens Bagus, Gramedia Pustaka Utama, 2000, halaman 181-182<br />

42<br />

Eclecticism is a conceptual approach that does not hold rigidly to a single paradigm or set of assumptions, but<br />

instead draws upon multiple theories, styles, or ideas to gain complementary insights into a subject, or applies<br />

different theories in particular cases. It can sometimes seem inelegant or lacking in simplicity, and eclectics are<br />

sometimes criticized for lack of consistency in their thinking (Wikipedia)<br />

57<br />

47


menggabungkan hal-hal yang berbeda, yang sebenarnya tidak cocok satu sama lain, menjadi satu<br />

mosaik tersendiri.<br />

Pendekatannya tidak melihat bahwa hal-hal yang dipilih itu secara natural, fundamental, cocok dan<br />

dapat diintegrasikan, tetapi sekadar menggabung-gabungkan apa yang baik menjadi satu kesatuan.<br />

Karena itu, pendekatan eklektik 43 sering kali dianggap sebagai pendekatan yang tidak elegan,<br />

gabungan kompleks yang tidak jelas, jauh dari kesederhanaan berpikir secara nalar, serta sering kali<br />

dianggap tidak memiliki konsistensi dalam pemikiran. Apalagi sifat eklektik ini dikacaukan dengan<br />

menguatnya semangat monolitik otoritarian melalui penyusunan silabus, pembuatan buku ajar dan<br />

buku pegangan guru yang kejar tayang sehingga merusak system of knowledge dari matematika dan<br />

sains & iptek. Ada begitu banyak kesalahan konsep dan gagasan pada buku ajar (sumber belajar)<br />

dan buku pegangan guru itu. Suara kontra dari pakar pendidikan terhadap pelaksanaan Kurikulum<br />

2013 bertitik tolak dari sini.<br />

Oleh sebab itu, tidak heran ketika bunyi salah satu butir KD dalam matematika adalah seperti ini:<br />

”Menunjukkan perilaku patuh, tertib, dan mengikuti aturan dalam melakukan penjumlahan dan<br />

pengurangan sesuai secara efektif dengan memerhatikan nilai tempat ratusan, puluhan, dan satuan.”<br />

Bukankah aritmatika mempunyai kaidah tersendiri untuk menentukan hasilnya benar atau salah, yang<br />

tidak ada kaitannya dengan kepatuhan atau ketertiban? Siswa yang bandel dan nakal tetap dapat<br />

menjawab benar dalam aritmatika. Dengan kata lain, siswa yang pandai dalam matematika tidak<br />

berarti siswa tersebut secara otomatis berperi laku luhur. Lalu bagaimana mengukur keberhasilan<br />

pendidikan karakternya tanpa menggunakan SQ (Spiritual Quotient)? Bukankah keberhasilan<br />

pemahaman aritmatika tergantung pada pengertian bahan ajar (materi) Basis Bilangan dan Sifat<br />

Bilangan? (bukan pada kepatuhan dan ketertiban mengikuti azas atau aksioma yang bisa kehilangan<br />

konteksnya? Bisa jadi siswa yang taat azas atau hafal aksioma sebenarnya hanya menghafal rumus,<br />

belum tentu bisa menyelesaikan soal-soal matematika yang mensyaratkan analisis dan logika)<br />

Misalnya : Bilangan 11 itu berarti sebelas kalau basis bilangannya 10, tetapi 11 dapat berarti setara<br />

enam (dalam basis bilangan 10) bila basis bilangannya 5. Belum lagi kesalahan konsep, seperti 2 x<br />

2 = 4 itu adalah fakta, tidak ada kaitannya dengan kejujuran. Hasil perhitungan 6 x 4 atau 4 x 6 akan<br />

sama saja, tidak ada kaitannya dengan proses menghitung : 6 x 4 itu berarti 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 atau<br />

4 x 6 itu adalah 6 + 6 + 6 + 6, sama saja karena matematika bicara tentang fakta.<br />

43<br />

Eclecticism, (from Greek “eklektikos”, “selective”), in philosophy and theology, the practice of selecting doctrines<br />

from different systems of thought without adopting the whole parent system for each doctrine. It is distinct from<br />

syncretism—the attempt to reconcile or combine systems—inasmuch as it leaves the contradictions between them<br />

unresolved (Encyclopedia Britanica)<br />

58<br />

48


Jadi menghitung luas : mulai dari panjang dikalikan lebar, akan sama saja dengan lebar dikalikan<br />

panjang (tidak ada hubungannya dengan kedisiplinan atau proses menghitungnya)<br />

Pilihan filsafat eklektik tak lain adalah wujud kemalasan berpikir, simplifikasi persoalan, dan<br />

pilihan jalan pintas paling gampang. Filsafat eklektik dapat jadi jalan pintas rasionalisasi dan<br />

menghindar dari tanggung jawab ketika terjadi berbagai macam persoalan; mulai dari pilihan materi<br />

pengajaran, metode, sistem evaluasi, bahkan gagal dalam eksekusinya. Sebab, semua hal bisa<br />

dijustifikasi dan dirasionalisasi melalui pendekatan eklektik ! 44<br />

Laman Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemdikbud di Facebook hanya menunjukkan<br />

justifikasi dan rasionalisasi Kurikulum 2013 meskipun ada berbagai argumen yang menyanggahnya.<br />

Penanggung jawab Kurikulum 2013 ngotot melanjutkan penerapan Kurikulum 2013, lupa pada isi<br />

Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 yang memberlakukan kembali<br />

Kurikulum 2006, dan lupa pada isi Pasal 77 M PP No. 32 Tahun 2013 yang menjunjung azas otonomi<br />

guru (ayat 1) dan otonomi sekolah (ayat 3) dan secara sistematis melupakan Nawa Cita No.8 : akan<br />

menata kembali kurikulum pendidikan nasional, dan menganggap visi dan misi Presiden sebagai<br />

yang utama, terutama isi Nawa Cita No.5 : meningkatkan kualitas pendidikan (bukan malah membuat<br />

pendidikan di Indonesia terpuruk, seperti yang telah diulas di bagian akhir dari Bab Pendahuluan)<br />

Karena banyaknya kritik terhadap penerapan Filsafat ekliktik ini, maka dalam Lampiran<br />

Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bab II A. Landasan Filosofis No. 3 (yang diulang dalam<br />

Permendikbud No.68 dan No.69, serta No. 70 Tahun 2013, yang secara eksplisit juga disebut dalam<br />

Permendikbud No.57 Tahun 2014, yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59 dan No.60 Tahun<br />

2014), dinyatakan adanya perubahan filosofi dari eklektisme, menjadi esentialisme :<br />

“Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik<br />

melalui pendidikan disiplin ilmu. Filosofi ini menentukan bahwa isi kurikulum adalah disiplin ilmu<br />

dan pembelajaran adalah pembelajaran disiplin ilmu (essentialism). Filosofi ini mewajibkan<br />

kurikulum memiliki nama mata pelajaran yang sama dengan nama disiplin ilmu, selalu bertujuan<br />

untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kecemerlangan akademik”.<br />

Namun perubahan filosofis ini tidak diikuti perubahan “mind set” dan kerangka dasar<br />

kurikulum (KI dan KD), penyesuaian silabus, penggantian buku ajar dan buku pegangan guru<br />

serta pergantian metode saintifik (5 M).<br />

Tidak adanya perubahan “mind set” tercermin dari :<br />

masih diberlakukannya tematik dan tematik integratif di SD, serta IPA Terpadu atau IPS<br />

Terpadu di SMP, padahal filsafat esentialisme mensyaratkan nama mata pelajaran yang sama<br />

dengan disiplin ilmunya.<br />

44<br />

KOMPAS, 5 April 2013 halaman 7 : “Eklektisme Kurikulum 2013” : Doni Kusuma<br />

59<br />

49


dikeluarkannya Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang<br />

hanya sekedar tempelan pada kurikulum (Budi Pekerti – Nilai “Ditempelkan Tanpa<br />

Rasionalitas”, Kompas, Kamis 23 Juli 2015 halaman 12) sehingga Kurikulum 2013<br />

sebenarnya tetap menganut filsafat eklektik.<br />

Tidak adanya perubahan kerangka dasar kurikulum (KI dan KD), tidak adanya penyesuaian silabus<br />

dan tidak adanya penggantian buku ajar dan buku pegangan guru serta tetap digunakannya metode<br />

saintifik (5M) menunjukkan bahwa tujuan Kurikulum 2013 ini : “mengembangkan kemampuan<br />

intelektual dan kecemerlangan akademik” tersebut tidak mempunyai arti apa-apa (ilusif). Hal ini<br />

nampak pada lanjutan isi Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 (yang diulang dalam<br />

Permendikbud No. 68 dan No. 69, serta No. 70 Tahun 2013), yaitu Bab II B Landasan Teoritis :<br />

“Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi (competencybased<br />

curriculum)” (yang juga tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014,<br />

yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59 dan No.60 Tahun 2014)<br />

Bukankah KBK (2004) ini sudah diganti menjadi Kurikulum 2006 karena bermasalah dalam<br />

pengukuran capaian kompetensinya? Kalau Kurikulum 2013 ini dikembangkan dari KBK, maka<br />

tidak heran kalau masalah pengukuran/penilaian ini berulang kembali saat ini. Berkali-kali program<br />

penilaian ini diubah (Permendikbud No.66 Tahun 2013, lalu diubah dalam Lampiran IV<br />

Permendikbud No. 81 A, terus diubah lagi melalui Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen<br />

Dikmen No. 5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014), tanpa penjelasan matematis yang memadai,<br />

kenapa program penilaian itu diubah.<br />

Jadi Kurikulum 2013 tidak bisa dikatakan sebagai kurikulum yang berlandaskan pada filsafat<br />

esentialisme karena syarat perlu dan syarat cukupnya tidak terpenuhi 45<br />

Sedangkan Kurikulum 2006 ini juga sudah diberlakukan kembali melalui Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3<br />

Permendikbud No. 160 Tahun 2014 dan kurikulum 2006 ini tidak menggunakan filsafat esentialisme,<br />

tetapi filsafat perenialisme, sehingga kita mengalami penerapan dua kurikulum dengan dua<br />

logika pemikiran yang berbeda.<br />

Tingkat kompetensi dalam Kurikulum 2013 mengacu pada SOLO Taxonomy (Structure of<br />

the Observed Learning Outcomes) Taxonomy (lihat Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013<br />

Bab II) yang bermasalah pada pengukuran keberhasilannya (penilaian/evaluasi yang harus<br />

dilaporkan kepada orang tua murid), serta bermasalah pada penetapan Tingkat Kompetensi 0 sampai<br />

Tingkat Kompetensi 6.<br />

45<br />

Syarat perlunya adalah validitas penentuan kompetensi (kompetensi 0-6) (lihat di bagian SOLO Taxonomy di atas)<br />

dan syarat cukupnya adalah pengukuran capaian kompetensi (penilaian) itu yang terus bermasalah sampai kini<br />

50<br />

60


Tingkat kompetensi itu memerlukan perumusan SPM (Standar Pelayanan Minimal) sebagai batas<br />

bawah capaian kognisi siswa 46 , yang sebenarnya termaktub dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas,<br />

namun sampai sekarang belum terealisasi. Anak kelas 9 SMP itu harus menguasai apa saja sebagai<br />

bekal pemilihan jurusan di kelas X SMA ? Bahasa Indonesia sampai tingkat mana yang harus<br />

dikuasai oleh siswa kelas 6 SD? Anak kelas XII itu harus menguasai apa saja sebagai bekal<br />

melanjutkan ke universitas? Kimia sampai tingkat apa yang perlu dipahami agar siswa dapat lolos<br />

tes masuk Fakultas Kedokteran? (Yang ada adalah SPM untuk prasyarat minimal sarana dan<br />

prasarana pada Permendikbud No. 23 Tahun 2013, bukan SPM akademik)<br />

Dengan kata lain, penentuan Tingkat Kompetensi 0 sampai Tingkat Kompetensi 6 itu akhirnya<br />

dijadikan batas atas kemampuan yang harus dikuasai siswa. Karena tidak semua siswa sanggup<br />

menguasai 100% suatu bahan/materi, maka batas atas ini sering diturunkan, sehingga pergantian<br />

kurikulum itu sejatinya makin memiskinkan isi kurikulum. Dengan demikian, kompetensi tidak<br />

koheren dengan Kerangka Dasar Kurikulum (KI dan KD), isi Silabus, isi buku ajar dan isi buku<br />

pegangan guru. Mau bukti? Dengan dihapuskannya TIK dan Logika pada Matematika, siswa sudah<br />

diarahkan untuk menjadi user, bukan programmer. Meskipun siswa sudah duduk di kelas XII IPA<br />

SMA, siswa tidak mengerti beda analog dan digital, apa yang dimaksud dengan komputasi awan dan<br />

yang membuat teknologi android makin lama makin murah. Dengan diajarkannya Kimia di SMP,<br />

maka dipandang Kimia tidak lagi memerlukan prerequisite Matematika dan Fisika, sehingga<br />

praktikum-praktikum kimia dasar harus dihapus, seperti Menghitung bilangan Avogadro dengan<br />

menggunakan lingkaran benang, menyepuh, mengisi aki, dll. Mata Pelajaran Kimia yang sifatnya<br />

empirik telah diturunkan menjadi Kimia sastra. Dengan kata lain, Silabus dan buku ajar itu tidak<br />

menjawab kemerosotan score anak-anak kita dalam TIMSS, PISA dan PIRL. Masih banyak bagian<br />

kurikulum yang hilang seperti matematika geometrik (stereometri, Ilmu Ukur Analitika, Ilmu Ukur<br />

Melukis (BM), penggaraman dan Kimia Analitik, dll yang terangkum dalam Kurikulum 1975 47 ,<br />

dimana STEM (Science, Technology, Engineering dan Mathematics) dipahami secara 3 F (fun,<br />

fearless dan fantastic). Fun karena pelajaran saling terintegrasi, misalnya dalam pelajaran Prakarya,<br />

siswa diajak membuat alat peraga dan penerapan praktikum lab (misalnya untuk memahami segi 36,<br />

siswa diajak membuat lampion; untuk memahami tentang kalor dan Hukum Hess, siswa diajak<br />

membuat es krim). Fearless karena yang diajarkan adalah logika (matematika tanpa rumus dan fisika<br />

tanpa rumus). Bahan-bahan ini dicoba dihidupkan kembali oleh Prof Yohanes Surya melalui Fisika<br />

Gasing (Fisika gampang, asyik dan menyenangkan). Fantastic karena siswa mulai dibimbing untuk<br />

46<br />

Lihat tulisan selengkapnya tentang SPM, yang ditunjukkan pada Catatan kaki No. 31 dan No.32<br />

47<br />

dimana siswa dilatih menemukan metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi<br />

dalam administrasi politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk pikuk sehari-hari<br />

61<br />

51


melakukan penelitian dan membuat karya tulis di akhir kelas XII sebagai prasyarat kelulusannya.<br />

Hasilnya adalah eksplorasi ilmu yang tiada habisnya (yang muncul sebagai karya inovatif dalam<br />

Lomba Penelitian Ilmiah Remaja Kemdikbud atau Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI-TVRI), yang<br />

kelak mereka perdalam di perguruan tinggi dan menjadikan mereka sebagai sarjana diaspora yang<br />

mumpuni di manca negara. Misalnya : Kenapa undur-undur (Myrmeleon formicarius) berjalan<br />

mundur? Kenapa laor (Lysidice oele) hanya muncul pada bulan Maret-April di perairan Maluku<br />

Tengah? dll. karya ilmiah siswa yang mencerahkan. Maka dapat dimengerti bahwa dengan silabus<br />

dan buku ajar seperti KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 itu, siswa kelas XII SMA tetap akan<br />

kesulitan mengerjakan soal-soal Verbal GMAT, TOEFL, dan SAT yang diperlukan untuk<br />

menunjukkan bahwa siswa kita mampu bersaing di era global (Lihat Permendikbud No. 67 Tahun<br />

2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal : banyaknya materi uji yang ditanyakan dalam TIMSS<br />

dan PISA yang tidak ada dalam kurikulum Indonesia (tidak ada di KTSP Bimtek dan Kurikulum<br />

2013, adanya di Kurikulum 1975). Permendikbud ini di copy paste pada Permendikbud No.57 Tahun<br />

2014 (lihat Catatan * di Kata Pengantar). Perbedaan SPM menurut ketentuan Pasal 51 ayat 1 UU<br />

Sisdiknas dengan SPM menurut Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 Bab II (Kompetensi 0<br />

-6) juga sudah diuraikan di atas. Dari uraian di atas nampak bahwa SPM merupakan syarat perlu<br />

untuk menuju ke SKS. Siswa harus menguasai 100% suatu bahan ajar/materi yang dipersyaratkan<br />

untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya (bukan hanya menguasai 75%). Dengan demikian, SPM<br />

adalah jembatan untuk menuju ke pendidikan yang transformatif. Pelajaran apa yang bisa ditarik<br />

dari karut marut ini? Memperbaiki pola rekrutmen para calon guru. Selama di SD masih<br />

diberlakukan konsep tematik dan tematik integratif, maka para calon guru SD yang akan diterima di<br />

PGSD seharusnya adalah para lulusan SMA IPA, karena mereka kelak akan mengampu IPA dan<br />

matematika sepanjang hari di kelas (basic science dan matematikanya harus kuat). Lalu<br />

pembelajaran Filsafat Pendidikan, Cara Mendisain Kurikulum, dan Praktek Mengajar harus<br />

dihidupkan lagi di PGSD/FKIP, dengan demikian para guru akan terbiasa berpikir kritis menurut azas<br />

5 W + 1 H dan berpikir analitis melalui pendekatan deduktif serta berorientasi pada proses belajarmengajar<br />

PAIKEM GEMBROT (Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan,<br />

Gembira serta Berbobot) melalui model pembelajaran konstruktivisme. Orientasi pendidikan<br />

seharusnya mengacu pada Finlandia sebagai negara dengan sistim pendidikan terbaik di dunia.<br />

Karena negara itu mempercayai kualitas penyiapan para calon guru di PGSD/FKIP mereka dan<br />

program sertifikasi guru mereka selalu terkait dengan kinerja guru. Kalau mengacu pada kearifan<br />

lokal, model pemetaan siswa seturut multiple intelligence itu sudah diterapkan pada Kurikulum<br />

52<br />

62


1975 48 , yang mengusung prinsip edukasi : “tidak ada murid yang bodoh, yang ada adalah guru yang<br />

kurang baik” sehingga kita unggul di masa lalu, dimana sains dan matematika dipahami sebagai<br />

art, bukan sekedar pengetahuan. Dimana kurikulumnya masih mengembangkan 6 wilayah makna<br />

yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika dan sinoptis. Acuannya adalah sekolah<br />

sebagai center of excellence. Guru adalah suri teladan (di gugu dan di tiru).<br />

Lewat penerapan Kurikulum 1975 saat itu, para guru mengasah inisiasi kurikulumnya dengan tolok<br />

ukur keberhasilan siswanya dalam mengikuti tes beasiswa kuliah di luar negeri (karena saat itu hanya<br />

diberlakukan Ujian Sekolah, tidak ada Ujian Nasional sehingga masing-masing sekolah berupaya<br />

menciptakan brand image-nya sendiri). Guru menghayati betul panggilannya sebagai guru yaitu<br />

menghidupi profesinya (profesi = janji publik, profesi guru adalah membuat anak yang tidak bisa<br />

menjadi bisa). Maka saat itu tidak ada Bimbel, meskipun GMAT , SAT dan TOEFL menjadi acuan<br />

para guru dalam proses pembelajaran di kelas. Hal ini hanya mungkin kalau pemerintah setia pada<br />

tugasnya yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa” sehingga tugas pemerintah di dalam penyusunan<br />

kurikulum hanya sebatas menentukan kerangka dasar dan struktur kurikulum. Oleh sebab itu<br />

membuat kurikulum menjadi kontekstual dan membumi. Untuk itu diperlukan birokrasi yang fokus<br />

pada tupoksinya, tidak tumpang tindih seperti sekarang (BNSP dan Dewan Pendidikan, Puskurbuk<br />

dan Puspendik, Pengawas dengan LPMP, Instruktur Nasional dengan PPPG/PPPPTK dan Kepala<br />

Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan setempat). Anggaran bisa dihemat dan disalurkan untuk menatar<br />

bahan-bahan yang tidak ada dalam kurikulum nasional tapi justru menjadi materi uji di TIMSS, PISA,<br />

GMAT, termasuk melengkapi sarana-prasarana untuk memperdalam materi tersebut.<br />

Dengan demikian siswa dapat berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya dalam jurusan<br />

Ilmu Pasti (Jurusan PAS), IPA (Jurusan PAL), Ilmu-ilmu Sosial (Jurusan SOS) dan jurusan Budaya<br />

(Jurusan BUD, bukan sekedar Jurusan Bahasa). Rangkuman dari kesemuanya ini sebenarnya sudah<br />

disosialisasikan enam tahun yang lalu lewat Disain Kurikulum Digital, dimana guru bukan saja<br />

berlatih menyusun kurikulumnya sendiri yang kontekstual, tetapi juga mengacu peningkatan taraf<br />

48<br />

Kurikulum 1975 juga unggul dalam pengukuran holistik. Soal-soal kognitif berupa Pilihan Ganda biasa; soal<br />

psikomotor adalah soal-soal yang berupa : Pilihlah A, bila jawab No. 1, 2 , 3 benar; Pilihlah B, bila jawab No. 1 dan 3<br />

benar; Pilihlah C, bila jawab No. 2 dan 4 benar; Pilihlah D bila hanya jawab No. 4 saja yang benar; Pilihlah E, bila semua<br />

jawaban benar. Lalu soal-soal afektif, yaitu soal-soal yang berupa : Pilihlah A, bila sebab benar, alasan benar, ada<br />

hubungan sebab-akibat; Pilihlah B, bila sebab benar, alasan benar, tidak ada hubungan sebab-akibat; Pilihlah C, bila<br />

sebab benar, alasan salah; Pilihlah D bila sebab salah, alasan benar; dan pilihlah E, bila sebab salah dan alasan salah.<br />

Bandingkan dengan Kurikulum 1994, KBK, KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 yang hanya mengenal soal-soal kognitif<br />

dalam Pilihan Ganda dan soal-soal kognitif dalam esai (uraian), tidak ada soal-soal Pilihan Ganda psikomotor dan Pilihan<br />

Ganda afektif seperti pada Kurikulum 1975. Soal-soal afektif dalam esai di Kurikulum 1975 memerlukan penilaian<br />

rubrik.<br />

63<br />

53


erpikir kritis sampai ke tingkat HOT (Higher Order of Thinking), sebab hanya dengan pendidikan<br />

kritislah, pendidikan dapat berubah menjadi pendidikan transformatif 49 dimana potensi siswa<br />

dikembangkan seoptimal mungkin untuk mencapai taraf manusia pembelajar. Transformasi<br />

pendidikan ini juga disebut sekilas dalam Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b 50<br />

(hanya mengembangkan kognisi siswa, tidak menyentuh masalah etika dan multikulturalisme<br />

(keberagaman budaya dan pandangan hidup), yang diulang pada Permendikbud No. 57 Tahun 2014<br />

Ada 9 ciri pendidikan kritis yang transformatif :<br />

1. Pendidikan harus diformulasikan kembali<br />

Pendidikan tidak hanya bersangkut paut dengan disiplin ilmu, tetapi dengan pembentukan<br />

identitas, dan dengan tanggung jawab sebagai warga Negara (yang dijabarkan Presiden<br />

Jokowi dalam Nawa Cita No.8)<br />

Maka dari itu, penggabungan religiositas dengan disiplin ilmu tidak bisa dilakukan<br />

melalui pendekatan filsafat eklektik, tetapi dengan askese pengetahuan (mesu budi)<br />

2. Etika harus menjadi kepedulian dalam pendidikan kritis<br />

Etika dimengerti sebagai tugas dan tanggung jawab terhadap liyan (yang menolak bahwa<br />

kesengsaraan dan eksploitasi harus diterima). Etika melawan ketidak samaan (inequality)<br />

: diskursus untuk memperluas HAM, bukan malah mempersempitnya<br />

Maka pengejawantahannya melalui pendidikan budi pekerti tidak bisa disatukan dengan<br />

mata pelajaran Pendidikan Agama karena bisa terjebak dalam “kesalehan penampilan”<br />

(bukan Civics atau pembentukan keadaban publik). Hak dan wewenang guru (HAM<br />

guru) tidak boleh dipersempit melalui keharusan mengikuti Pasal 20 PP No.32 Tahun<br />

2013 atau meninggalkan Kurikulum 2006.<br />

3. Pendidikan kritis perlu membahas masalah keberagaman<br />

Pendidikan multikultural tidak bisa dilaksanakan hanya dengan membuat daftar<br />

keberagaman, tetapi bagaimana keberagaman itu ditegaskan dan ditransformasikan dalam<br />

demokrasi, kewarganegaraan dan ruang public. Intimidasi kepada para guru hanya karena<br />

perbedaan penafsiran kurikulum adalah bibit dari anti pati pada keberagaman<br />

Analisa konteks yang meliputi analisa sosial dan kekayaan daerah yang sudah mulai<br />

diterapkan dalam Kurikulum 2006, hendaknya terus dikembangkan, bukan malah<br />

dihapus. Analisa konteks ini membuat keberagaman menjadi kontekstual, bukan sekedar<br />

diketahui atau dipahami saja.<br />

49<br />

Pendidikan Transformatif, Makalah Prof.Dr. M Sastrapratedja SJ dalam Seminar Lingkar Muda Indonesia, tanggal 28<br />

Mei 2015 di Ruby Room, Gedung Kompas Gramedia Jakarta<br />

50<br />

Tidak untuk membentuk manusia pembelajar, tetapi hanya mengembangkan kognisi siswa : mengembangkan<br />

kecerdasan intelektual dan kecermelangan akademik melalui pendekatan disiplin ilmu<br />

64<br />

54


4. Pendidikan kritis tidak membekukan pengetahuan<br />

Pendidikan tidak menjadi dogmatis. Pendidikan tidak membuat pengetahuan, kurikulum,<br />

ajaran, narasi menjadi beku, tetapi terbuka untuk diintrepretasikan kembali. Kurikulum<br />

bukan “teks sakral”, tetapi sarana mencapai tujuan 51<br />

Keberadaan Pengawas Mata Pelajaran telah mengacaukan makna literer kurikulum<br />

(menurut KBBI Vol.IV dan kamus Webster, yang diuraikan pada awal Bab IV).<br />

5. Pendidikan kritis membuka penciptaan pengetahuan baru<br />

Batas-batas disiplin ilmu perlu dibuka (bukan malah ditutup dan dipersempit, seperti<br />

diintegrasikannya TIK di semua jenjang pendidikan dan IPA (di kelas 1-3 SD) dalam<br />

tematik integratif di Kurikulum 2013), sehingga memungkinkan terciptanya ruang baru<br />

untuk pengetahuan baru, yang dapat menyumbang terbentuknya budaya kritis.<br />

Pendidikan kritis memberi tempat untuk ingatan kolektif terhadap mereka yang<br />

dilupakan, melepaskan mereka dari diskursus yang monolitik dan mentotalkan.<br />

Seolah-olah Kurikulum 2013 adalah pilihan terbaik bagi siswa saat ini, dengan<br />

melecehkan sejarah panjang pendidikan kita (menganggap kurikulum lama sudah kuno<br />

dan irrelevan), lupa pada hakekat filsafat perenialisme (Lihat Catatan kaki No.40).<br />

Padahal nuansa monolitik dan totaliter ini sangat nampak antara lain dari perubahan istilah<br />

penatar dari “guru inti” (tutor sebaya) menjadi “instruktur” (orang yang memberi<br />

instruksi) : relasi subordinasi dalam Kurikulum 2013. Perubahan istilah ini erat<br />

kaitannya dengan diubahnya ketentuan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20<br />

PP No.32 Tahun 2013 (wewenang guru dipangkas menjadi hanya sekedar penyusun<br />

RPP). Perubahan ini makin dieskalasi dengan munculnya Pengawas sebagai watch dog<br />

6. Pendidikan kritis meninjau kembali pengertian rasionalitas<br />

Pengertian rasio yang berasal dari masa pencerahan, yang menganggap rasio dapat<br />

menemukan kebenaran (rasionalitas instrumental), menyangkal sifat historis dan<br />

ideologis dari kebenaran. Semua pengetahuan secara historis dan sosial dikonstruksikan<br />

secara rasional dengan memperhitungkan efek bola saljunya (snow balls effects) (ingat<br />

putusan Hakim Sarpin Rizaldi dan hakim Harwandi yang mengkonstruksikan kembali<br />

pengertian ilmu hukum tanpa meninjau rasionalitas terbukanya kotak Pandora “status<br />

tersangka” pada kasus pra-peradilan BG (Budi Gunawan) dan HP (Hadi Purnomo).<br />

Batas-batas rasionalitas harus diperlihatkan, untuk itu diperlukan selalu dialog<br />

pengetahuan dalam Kurikulum 2013 (bukan monolog yang ditentukan oleh Pusat, melalui<br />

51<br />

Tujuan pendidikan nasional sudah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 : Mencerdaskan kehidupan bangsa<br />

65<br />

55


pelatihan yang searah dan dropping buku ajar dan buku pegangan guru, cerminan azas<br />

top down) dengan guru sebagai “pelaksana instruksi” dari para instruktur nasional.<br />

7. Pendidikan kritis mementingkan kritik sekaligus kemungkinan baru<br />

Pendidikan kritis tidak hanya melontarkan kritik, tetapi harus memunculkan harapan,<br />

horizon “kebeluman” (criticism and contributing)<br />

Misalnya bagaimana menerapkan e-learning dalam era globalisasi dan liberalisasi<br />

pendidikan dewasa ini, sejalan dengan Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014 52<br />

Bagaimana siswa di pelosok nun jauh di sana, dimana gurunya tidak ada atau jarang hadir<br />

di kelas, siswa tersebut tetap dapat belajar secara teratur seperti rekan-rekannya di kotakota<br />

besar – horizon “kebeluman” ini harus selalu diperjuangkan menjadi “asa”.<br />

8. Dalam pendidikan kritis, guru adalah intelektual transformatif 53<br />

Dalam pendidikan kritis, peran guru hendaknya tidak dilihat dengan bahasa sempit<br />

“profesional”<br />

Guru dapat memproduksi ideologi, mengkaitkan teori dengan praksis, sehingga<br />

memungkinkan transformasi sosial 54 dan sebagai intelektual publik yang mampu<br />

melontarkan kritik sosial dengan keberanian moral.<br />

Guru bukan robot-robot yang setia menunggu instruksi Dinas/Pengawas/instruktur<br />

dengan ganjaran tunjangan sertifikasi (tunjangan ini sebenarnya merupakan hak guru,<br />

bukan sebagai bentuk kewajiban untuk melaksanakan instruksi Pengawas/Dinas). Guru<br />

bukan sekedar nomor dalam Dapodik/Padamu Negeri, tetapi guru adalah konseptor dan<br />

inisiator pendidikan (dulu sering disebut bahwa guru adalah soko guru masyarakat)<br />

9. Pendidikan kritis mengembangkan kemampuan “bersuara”<br />

Praktek pendidikan kritis mendorong siswa menemukan identitas dirinya dan tempat dia<br />

dalam masyarakat, nasional dan global.<br />

Pendidikan kritis menumbuhkan idealisme untuk membangun masyarakatnya menjadi<br />

adil, sejahtera, manusiawi dengan bahasa transformatif dan penuh harapan. Bukan<br />

sekedar generasi visual, tetapi generasi yang mampu berpikir out of the box.<br />

Bukan generasi yang hanya menjadi user dari gawai (gadget) tanpa tahu teknologinya,<br />

tetapi gen flux, generasi pendobrak kebuntuan dan kebekuan sistim.<br />

52<br />

Sekolah yang terakreditasi A, menerapkan SKS (Sistim Kredit Semester), bukan paket SKS<br />

53<br />

Pendidikan transformatif bertolak dari amanat Pembukaan UUD 1945 yang menempatkan pendidikan yang<br />

mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan nasional<br />

54<br />

Pendidikan transformatif menjadikan Pancasila orientasi bagi pendidikan sehingga menjadi humanistik, dialogik,<br />

reflektif menuju tercapainya masyarakat adil, berkepribadian dan bermartabat<br />

56<br />

66


Jalan Keluar<br />

Bila Dinas Pendidikan setempat melalui para Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran<br />

berkukuh ingin menerapkan “proyek besar” Kurikulum 2013 (mengabaikan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat<br />

3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 serta Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013),<br />

maka langkah “win win solution” yang tidak mengorbankan tujuan pendidikan nasional dan tidak<br />

menjadikan siswa sebagai sekedar “peserta didik” (namun sebagai “subyek didik”) adalah melalui<br />

jalan sinkretisme, yaitu suatu proses perpaduan dari berbagai paham-paham untuk mencari<br />

keserasian dan keseimbangan, dengan demikian menegaskan suatu kesatuan pendekatan yang<br />

memungkinkan untuk berlaku inklusif. Sinkretisme antara apa yang sudah diyakini baik adanya<br />

(sudah teruji), dengan apa yang diharapkan akan menjadi baik di kemudian hari (belum teruji)<br />

A. Contoh : Kompetensi Inti 1 (KI 1) : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang<br />

dianutnya<br />

KI 1 ini terdapat di semua Mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan, sehingga ada kemungkinan<br />

tidak nyambung (tidak koheren) dengan Kompetensi Dasar 1 (KD 1) atau KD manapun di jenjang<br />

tertentu, maka langkah pertama adalah mencari “kata kunci” dari KI itu : “Menghayati dan<br />

mengamalkan ajaran agama yang dianutnya” itu kata kuncinya apa? Kata kunci yang disodorkan<br />

oleh Kemdikbud adalah “sikap spiritual”. Namun kalau kita dalami, maka kita akan sampai pada<br />

kata kunci yang lebih mendasar : “mengapa kita beragama”, karena ada “kebenaran” di situ, hingga<br />

kata yang lebih dalam dari “sikap spiritual” adalah “kebenaran”, maka kata “kebenaran” ini dapat<br />

digabung dengan SK (Standar Kompetensi) dari Kurikulum 2006, misalnya SK 1 : Memecahkan<br />

masalah yang berkaitan dengan bentuk pangkat, akar, dan logaritma.<br />

Kenapa perlu digabung dengan SK 1 dari Kurikulum 2006 ? Untuk mencari bahan ajar yang<br />

hilang (yang tidak tercantum lagi dalam Silabus baru, padahal bahan ajar itu penting), maka hasil<br />

penggabungan itu akan menjadi : “MEMECAHKAN MASALAH YANG BERKAITAN DENGAN<br />

BENTUK PANGKAT, AKAR DAN LOGARITMA SECARA BENAR”<br />

Akibat penambahan satu kata “SECARA BENAR” itu, maka para guru akan terpaksa mencari mata<br />

rantai yang hilang dari bentuk akar, pangkat dan logaritma itu. Ternyata sejak SD tidak diajarkan :<br />

1. Konsep Basis Bilangan, siswa langsung diperkenalkan dengan basis sepuluh, padahal banyak<br />

operasi hitung tidak menggunakan basis 10, seperti algoritma computer programming<br />

menggunakan basis bilangan 1 (hanya mengenal 0, dan 1), kartu domino : basis bilangannya<br />

6 (ada kartu 0,0 dan 6,6); kartu remi : basis bilangannya 13 (ada kartu 2 sampai 10, ditambah<br />

dengan kartu As, King, Queen dan Jack); dadu basis bilangannya 6; jarimatika basis<br />

67<br />

57


ilangannya 10; dakon (congklak) basis bilangannya 10. Permainan kubus rubrik<br />

menggunakan basis bilangan 6.<br />

2. Sifat bilangan, bahwa perkalian itu sebenarnya adalah penjumlahan biasa, misalnya 1 + 3<br />

terdiri dari dua bilangan, maka hasilnya adalah 2 x 2, jadi 1 + 3 + 5 + 7 + 9 + 11 + 13 + 15 +<br />

17 + 19 + 21 + 23 + 25 itu terdiri dari 13 bilangan, maka hasilnya adalah 13 x 13, akibatnya<br />

6 x 4 bisa dibaca sebagai 4 enam kali (4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4) atau 6 empat kali (6 + 6 + 6 + 6)<br />

Luas bisa dihitung dari panjang x lebar atau lebar x panjang<br />

Dengan memasukkan “konsep bilangan” dan “sifat bilangan”, siswa dapat dilatih berpikir abstrak<br />

melalui “mencongak”, sesuatu yang hilang dari kurikulum kita sehingga anak-anak sekarang<br />

dibentuk menjadi anak visual (dulu tergantung pada kalkulator, sekarang tergantung pada gawai<br />

(gadget), daya abstraksinya tidak berkembang. Mau bukti? Ajaklah mereka berdebat. Debat dengan<br />

mudah bisa berubah jadi debat kusir yang menganggap orang yang berbeda pendapat sebagai lawan<br />

Maka, dengan menggabungkan KI dan SK, bagian kurikulum yang hilang dari khasanah kurikulum<br />

kita akan dapat digali lagi, misalnya dalam matematika akan didapat lagi Ilmu Ukur Ruang<br />

(Stereometri) yang juga menjadi jembatan pemahaman garis bujur dan garis lintang pada bola dunia<br />

dalam Geografi atau letak dan jarak bintang dalam Astronomi. Dengan demikian siswa secara<br />

bertahap akan diajar untuk berpikir satu dimensi melalui garis lurus, dua dimensi melalui lingkaran<br />

dan tiga dimensi melalui bola. Siswa tidak bingung dengan dimensi dua dari segitiga, karena segitiga<br />

apapun juga pasti mempunyai titik pusat dan jari-jari lingkarannya. Siswa juga tidak akan bingung<br />

dengan bentuk kerucut, prisma dll, karena benda itu pasti mempunyai titik pusat dan jari-jari bolanya.<br />

Dengan demikian, kita bisa mengajarkan kembali menggambar perspektif dan proyeksi pada siswa<br />

SMA atau menggambar ornament pada siswa SD atau origami advance pada siswa SMP, sehingga<br />

daya abstraksi siswa makin lama makin berkembang. Jadi, dimensi matematika yang begitu besar<br />

dapat dipelajari dalam (1) Ilmu Ukur Analitika (lingkaran dan lingkaran tak hingga (hiperbola), elips<br />

dan elips tak hingga (parabola) : siswa tidak langsung belajar statistika tanpa tahu parabola secara<br />

mendalam) (2) Ilmu Ukur Ruang (stereometri) : tiga dimensi dan (3) Ilmu Ukur Melukis : empat<br />

dimensi, serta (4) Trigonometri, yang juga sangat diperlukan dalam Ilmu Pesawat (gerak peluru,<br />

gerak lenting pegas, gerak timba (kerekan) : sekarang adalah gerak angkat dari forklift ) dan (5)<br />

Aritmatika (Ilmu Hitung), sehingga orang tidak bingung lagi hitung cepat (quick count) setelah<br />

Pemilu/Pilkada karena cara menghitungnya sama dengan menghitung buah mangga dalam keranjang<br />

tanpa mengeluarkan mangga itu dari keranjang dan menghitungnya satu per satu). Mata Pelajaran<br />

Matematika akan menjadi art karena melatih imajinasi siswa sehingga pelajaran menggambar<br />

ornament, perspektif dan proyeksi akan merupakan pelengkap dari kemampuan prediksi dan analisis<br />

siswa. Peningkatan kemampuan berpikir kritis dan analitis menjadi tujuan utama dari pembelajaran<br />

58<br />

68


Matematika. Dengan asumsi itu, Pramuka yang telah diwajibkan dalam ekstra kurikuler 55 sekolah<br />

mempunyai pijakannya yang kuat dalam “mencari tanda jejak” dan “jurit malam” melalui membaca<br />

arah seturut kemunculan rasi bintang biduk/beruang besar sebagai penunjuk arah utara. Garis-garis<br />

imajiner yang membentuk citra beruang besar itu hanya bisa dimengerti kalau siswa belajar tentang<br />

rasi bintang, dan bisa membedakannya dengan rasi bintang lain (sayang sekali, pelajaran Ilmu Bumi<br />

Falak (Astronomi) yang ada di Kurikulum 1975 ini dihapus dari kurikulum kita<br />

Oleh sebab itu, siswa dapat mengenali rasi bintang pemburu/orion/ waluku sebagai penunjuk arah<br />

Barat, sehingga mereka tidak akan tersesat dalam “jurit malam” dan mereka akan tahu, dimana<br />

matahari akan terbit (kemana harus menyongsong fajar).<br />

Semua garis-garis imajiner itu hanya bisa dipelajari melalui mata pelajaran astronomi (dalam<br />

Kurikulum 1975, dikenal sebagai Ilmu Bumi Falak, yang justru sudah dihapus seiring dengan<br />

55<br />

UU No. 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka (UU Kepramukaan) Pasal 38 butir (a) : “Setiap peserta didik<br />

berhak mengikuti pendidikan kepramukaan”, tetapi harus diingat pula bahwa hak itu bisa tidak digunakan oleh<br />

peserta didik, mengingat sifat sukarela dari gerakan kepanduan sedunia, yang tercermin dalam Pasal 20 ayat 1 UU<br />

No. 12 Tahun 2010 : “Gerakan pramuka bersifat mandiri, suka rela dan non politis”. Analog dengan hal ini adalah hak<br />

memilih dan hak dipilih dalam Pemilu. Warga bisa tidak menggunakan hak pilihnya dan tidak boleh dipaksa memilih<br />

69<br />

59


dihapusnya Stereometri (Ilmu Ukur Ruang) dari kurikulum kita sejak 1994, sehingga para siswa kita<br />

akan kesulitan dalam mengikuti Olimpiade Astronomi, atau memahami penentuan hilal dan rukyat<br />

sebagai tanda dimulainya awal puasa ( 1 Ramadhan) atau saat penentuan akhir puasa yang kita kenal<br />

sebagai Hari Raya Idul Fitri (1 Syawal).<br />

Tanpa pemahaman akan adanya garis-garis imajiner di langit selatan (karena sebagian besar dari kita<br />

berada di bawah garis katulistiwa), maka semua bintang akan terlihat sama saja<br />

Maka tanpa pemahaman astronomi, kegiatan “mencari tanda jejak” dan “jurit malam” di Pramuka<br />

hanya menjadi kegiatan hura-hura saja. Kegiatan Pramuka bahkan bisa berlangsung tanpa SKK<br />

(syarat kecakapan khusus). Tanpa mempunyai SKK, siswa sudah bisa menggunakan seragam dan<br />

atribut Pramuka, yang sebenarnya menyalahi UU No.12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, Pasal<br />

7 ayat 5 dan Pasal 7 ayat 6 tentang SKK (Syarat Kecakapan Khusus) dan SKU (Syarat Kecakapan<br />

Umum) serta tanda/sertifikat SKK/SKU<br />

Hal ini juga berlaku untuk Mata Pelajaran lain, dengan menambahkan satu kata kunci :<br />

“SECARA BENAR”, maka di dalam Mata Pelajaran Agama yang dogmatis itu dapat ditambahkan<br />

Etika dan Etiquette (Etiket) : bagian penting dari Budi Pekerti.<br />

Dalam Biologi, saat pembahasan mengenai Tumbuhan atau Konservasi, dapat ditambahkan tentang<br />

pembuatan Apotek Hidup, Dapur Hidup dan Arboretum (Kebun Raya Mini) atau dalam skala mikro,<br />

siswa dapat diajar membuat terrarium. Dalam Ilmu Kimia, dapat ditambahkan dua bagian penting<br />

dari Kimia yang hilang dari kurikulum kita, yaitu penggaraman dan Kimia Analitik (penggaraman<br />

adalah jembatan untuk memahami asidi-alkali metri dan sifat amfoter suatu zat)<br />

Contoh lain adalah mencari kata kunci dari KI 2, KI 3 dan KI 4. Pemerintah sudah<br />

membuatkan kata kunci untuk KI 2 yaitu SIKAP SOSIAL, kata kunci untuk KI 3 yaitu<br />

PENGETAHUAN dan kata kunci untuk KI 4 yaitu KETRAMPILAN 56 . Maka tugas guru adalah<br />

56<br />

Lihat Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi<br />

60<br />

70


mendalami kata kunci itu sehingga dapat KI tersebut dapat digabung dengan SK dari Kurikulum<br />

2006, sekali lagi, tujuannya adalah mencari bahan ajar/materi ajar yang hilang dari kurikulum. Oleh<br />

karenanya, kata kunci dari KI 2 akan menjadi AFEKTIF, kata kunci dari KI 3 akan menjadi<br />

KOGNITIF dan kata kunci dari KI 4 adalah PSIKOMOTOR<br />

Penggabungan KI dan SK ini bukan saja memunculkan lagi bagian kurikulum yang hilang, tetapi<br />

juga menghasilkan soal-soal pilihan ganda kognitif, soal-soal pilihan ganda psikomotor dan soal-soal<br />

pilihan ganda afektif (lihat catatan kaki no. 48 tentang keunggulan pengukuran holistik Kurikulum<br />

1975) Kalau ada masalah dalam penyusunan soal-soal pilihan ganda ini, maka yang perlu dibenahi<br />

adalah peningkatan kompetensi guru dalam penyusunan soal-soal spesifik itu, bukan malah<br />

menghapusnya, karena tujuan pembuatan soal-soal pilihan ganda holistik itu adalah melatih<br />

penalaran halus (fine tuning) siswa dan melatih guru dalam Penilaian rubrik untuk soal-soal esai.<br />

Peningkatan kompetensi guru ini adalah tupoksi dari LPMP dan PPPG/PPPPTK di daerah<br />

(pemerintah pusat tidak perlu ikut sibuk mencampuri evaluasi hasil belajar siswa ini, agar pemerintah<br />

fokus pada pelaksanaan Pasal 3, dan Pasal 11, serta Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas)<br />

B. Contoh : Kompetensi Inti 2 (KI 2) Bahasa Indonesia Kelas X SMA : Menghayati dan<br />

mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran,<br />

damai), santun, responsif dan proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas<br />

berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta<br />

dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.<br />

Kata kuncinya adalah AFEKTIF<br />

Sedangkan SK 1 Bahasa Indonesia Kelas X SMA : Memahami siaran atau cerita yang disampaikan<br />

secara langsung /tidak langsung<br />

Maka gabungan dari KI 2 dan SK 1 ini adalah : MEMAHAMI YANG TERSIRAT DARI SIARAN<br />

ATAU CERITA YANG DISAMPAIKAN SECARA LANGSUNG/TIDAK LANGSUNG<br />

Dengan memasukkan kata afektsi (memahami yang tersirat, bukan yang tersurat) maka akan muncul<br />

tiga bahan yang hilang dari kurikulum Bahasa Indonesia untuk memahami siaran atau cerita yaitu :<br />

(1) penyusunan kronik, hingga dapat : (2) merangkai kronologi kejadian yang melatar-belakangi<br />

munculnya siaran atau cerita itu sehingga siswa bisa : (3) menyusun kaleidoskop untuk memahami<br />

trend apa yang menarik perhatian masyarakat atau menjadi sorotan publik. Dengan demikian, siswa<br />

bisa memisahkan antara isu dan siaran atau cerita yang terverifikasi (menghindari gossip atau<br />

subyektivitas) Oleh sebab itu, siswa belajar untuk tidak terlalu cepat menarik kesimpulan, yang bisa<br />

saja terjebak dalam kesalahan penafsiran.<br />

71<br />

61


C. Contoh Kompetensi Inti 3 (KI 3) IPS Terpadu kelas VII SMP : Memahami pengetahuan (faktual,<br />

konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi,<br />

seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata<br />

Cukup banyak yang keliru mencari kata kunci KI 3 ini, mengira kata kuncinya adalah “ketrampilan”,<br />

karena terpengaruh kata “terkait fenomena dan kejadian tampak mata” yang hakekatnya adalah<br />

“pengamatan atau observasi”, tetapi yang dimaksud di sini adalah observasi sebagai langkah<br />

pengumpulan fakta untuk memahami alur pikir sains, sehingga kata kunci yang betul adalah<br />

“kognitif”<br />

Sedangkan SK 3 IPS Kelas VII SMP : Memahami usaha manusia memenuhi kebutuhan<br />

Maka gabungan dari KI 3 dan SK 3 ni adalah : MEMAHAMI USAHA DAN KINERJA MANUSIA<br />

DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN<br />

Dengan memasukkan kata “kognitif”, maka “usaha” bukan dipahami sebagai “sekedar berusaha”,<br />

tapi harus dilihat juga tingkat keberhasilan usahanya (kinerjanya). Dengan demikian, akan diperoleh<br />

dua bahan yang hilang dari kurikulum, yaitu manusia bukan saja sebagai mahluk sosial dan mahluk<br />

ekonomi, tetapi juga mahluk budaya dan mahluk politik<br />

Maka dari itu, bahan IPS Terpadu akan diperkaya dengan mahluk budaya yang mengupas masalah<br />

sistim/tata nilai, sikap mental, pola tingkah laku dan dehumanisasi yang akan memperkaya dimensi<br />

sejarah dalam IPS. Kinerja mahluk berbudaya adalah ketertiban dan kebersamaan (public order dan<br />

esprit de corps). Sebagai mahluk politik, IPS akan diperkaya dengan strategi untuk penentuan atas<br />

pilihan-pilihan dalam menjalani hidupnya hingga bisa merencanakan tindakan-tindakan politis, yang<br />

akan memperkaya dimensi ekonomi (political economy) dalam IPS. Kinerja mahluk politik adalah<br />

terwujudnya kesejahteraan umum (public welfare).<br />

Bahan-bahan IPS Terpadu di SMP akan diperkaya, bukan saja dengan menerjemahkan kebutuhan<br />

ekonomi manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial, tetapi juga menjadikan siswa tidak<br />

“buta politik” dan menjadi manusia muda yang beradab (tidak terlibat “gang motor”, tawuran, atau<br />

menganggap liyan yang berbeda pendapat sebagai musuh)<br />

D. Kompetensi Inti 4 (KI 4) IPA kelas V SD : Menyajikan pengetahuan faktual dan konseptual<br />

dalam bahasa yang jelas dan logis dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan yang<br />

mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan<br />

berakhlak mulia<br />

Cukup banyak kata yang merujuk pada aktivitas, yaitu kata-kata “menyajikan ….”, “dalam karya<br />

…..”, “dalam gerakan …..”, “dan dalam tindakan …..” Sehingga cukup mudah untuk<br />

mengasumsikan bahwa kata kuncinya adalah “action” (ketrampilan), maka simpulan harus selalu<br />

melihat kalimat lengkapnya yaitu “menyajikan pengetahuan faktual dan konseptual dalam Bahasa<br />

62<br />

72


yang jelas dan logis dan sistematis” yang arti harafiahnya adalah “bekerja berdasarkan pengetahuan<br />

yang dikuasai” sehingga kata kunci yang benar adalah “psikomotor”<br />

Standar Kompetensi 1(SK 1) IPA kelas V SD : Mengidentifikasi organ tubuh manusia dan hewan<br />

Maka gabungan antara KI 4 dan SK 1 IPA kelas V SD adalah : MENGIDENTIFIKASI PREPARAT<br />

ORGAN TUBUH MANUSIA DAN HEWAN<br />

Dengan menambahkan kata kunci “preparat” , maka para guru akan tertolong untuk memperkaya<br />

ketrampilan psikomotorik siswa melalui tindakan bedah pada hewan yang memerlukan contoh<br />

(teladan) ketrampilan bedah guru. Bila guru kurang trampil dalam bedah, para guru bisa<br />

menggunakan YouTube untuk melihat film kinerja preparat suatu organ terutama preparat manusia.<br />

Melalui penambahan kata “preparat”, bahan IPA SD akan diperkaya dengan kaburnya/memudarnya<br />

pembagian antara hewan dan tumbuhan dengan diketemukannya mahluk bersilia (tergolong hewan),<br />

tetapi juga bersimbiosis dengan alga (tergolong tumbuhan) yaitu Mesodimium chamaeleon, atau<br />

Elysia chlorotica, sebangsa siput yang mempunyai chlorofil seperti tumbuhan, tapi juga bisa bergerak<br />

seperti hewan<br />

Siswa SD sejak dini sudah diajak mengeksplorasi alam semesta yang masih banyak belum terungkap<br />

sehingga daya abstraksi dan imajinasinya akan terus berkembang. Fungsi IPA sebagai jembatan<br />

untuk memahami keteraturan dalam alam semesta akan tercapai (bukan sekedar memahami “rantai<br />

73<br />

63


makanan”/”rantai energi” melalui biologi molekuler, atau kompleksitas hereditas melalui “Teori<br />

evolusi Darwin”/”Teori Mendel”)<br />

Bahan IPA SD akan diperkaya dengan kinerja sel-sel organ (hewan atau manusia) yang<br />

bekerja berdasarkan prinsip fisika (kapilaritas (tegangan permukaan), difusi dan osmose (larutan<br />

isotonis dan hipotonis), dan energi atau prinsip kimia (kerja enzim, perubahan kimiawi dalam<br />

mitochondria, dll) sehingga sejak dini, siswa SD sudah dipersiapkan untuk mempelajari IPA Terpadu<br />

Apakah tidak terlalu sulit untuk anak SD ? Tidak, karena saat mempelajari tumbuhan (botani), siswa<br />

sudah mengenal cara tumbuhan menyerap unsur hara dari dalam tanah melalui prinsip pipa kapiler<br />

(tegangan permukaan), mengukur pertumbuhan kecambah kacang hijau menggunakan<br />

auksanometer, dll<br />

Dengan menambahkan kata kunci “kebenaran”, “afektif”, “kognitif” dan “psikomotor” pada<br />

SK dari Kurikulum 2006, maka materi uji TIMSS dan PISA yang tidak ada di kurikulum<br />

Indonesia, akan dapat digali lagi (Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No.2 b :<br />

Tantangan Eksternal) (lihat Catatan * tentang permendikbud ini di Kata Pengantar), yang juga<br />

tersurat (di copy paste) dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian I A No. 2 b<br />

Apa perlunya mempelajari Filsafat Pendidikan ?<br />

Pertama, Agar dapat melakukan refleksi secara benar. Sebab tanpa bekal pemahaman<br />

Filsafat Pendidikan, refleksi dengan mudah akan terjerumus ke dalam pencarian umpan balik (feed<br />

back), yaitu melakukan refleksi seperti saat hening doa malam : “menggali kembali apa yang sudah<br />

kita alami sepanjang hari tadi” 57 Bukan itu yang dimaksud, sebab umpan balik memerlukan tindak<br />

lanjut (follow up), sedangkan refleksi pedagogis memerlukan strategi baru agar proses pembelajaran<br />

lebih membumi.<br />

Contoh : bila guru mengarahkan “refleksi” itu sebagai “mengingat kembali apa yang sudah dialami<br />

atau dipelajari murid sepanjang hari tadi”, maka yang muncul adalah complaint murid terhadap sikap<br />

guru dan cara guru mengajar atau complaint murid terhadap kelengkapan sarana dan prasarana<br />

sekolah : kalau hal ini tidak ditindak-lanjuti, maka refleksi paradigma pendidikan reflektif (PPR) itu<br />

bisa bubar di tengah jalan.<br />

Sebaliknya, bila “refleksi” dipahami sebagai upaya mencari strategi baru, maka yang pertama dan<br />

utama harus melakukan refleksi adalah gurunya, bukan muridnya<br />

57<br />

Umpan balik (feed back) ini muncul dalam Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab II A No. 3 c (seharusnya bukan<br />

umpan balik, tetapi refleksi, sehingga terukur)<br />

64<br />

74


Refleksi guru itu harus dilakukan bila :<br />

Rerata daya serap siswa < KKM, maka rumusan Indikator Keberhasilan di Silabus harus<br />

diubah<br />

Jumlah siswa yang tuntas < 50 %, maka ranah Kata Kerja Operasional (KKO) harus<br />

diperbaiki<br />

Jumlah siswa yang tidak tuntas > 50 %, maka jumlah “soal yang diterima” dalam Analisis<br />

Soal harus diperbanyak (“Soal yang harus direvisi” dan”soal yang ditolak” dikeluarkan dari<br />

Bank Soal). Untuk Analisis Soal ini, para guru dapat menggunakan ANATest (ITB)<br />

(berbayar), atau SPS Sutrisno Hadi (UGM) (berbayar) atau Analisis Soal yang disediakan<br />

dalam Disain Kurikulum Digital (gratis)<br />

Kemudian, guru baru melanjutkan ke “refleksi” siswa, misalnya : “Apakah saya bisa bekerja sama<br />

dengan teman?” Kalau murid menjawab : “ya”, maka seharusnya prestasi murid itu membaik karena<br />

murid yang bersangkutan dapat mengambil banyak manfaat dari belajar berkelompok (tutor sebaya).<br />

Bila murid menjawab “ya” tapi prestasinya justru memburuk, maka ada inkonsistensi dalam<br />

menjawab pertanyaan-pertanyaan pedagogis itu, Guru Mata Pelajaran dapat menggali faktor-faktor<br />

lain penghambat belajar murid itu. Salah satu penyebab memburuknya prestasi itu kemungkinan<br />

besar disebabkan oleh ketidak-cocokan siswa dalam belajar berkelompok (tutor sebaya), maka guru<br />

dapat mencari strategi lain (tidak lagi menggunakan strategi UILG (Using Interdependent Learning<br />

Group) atau tutor sebaya itu lagi, tapi guru dapat memilih strategi pembelajaran individual, seperti<br />

SSRL (Supported Self-Regulated Learning) sehingga guru cukup hanya menyediakan dukungan<br />

yang perlu agar siswa bergerak dari pembelajar yang dependen menjadi pembelajar yang independen,<br />

misalnya begitu mendengar kata : “Puting beliung”, siswa tanpa disuruh – mencari sendiri makna<br />

kata “puting beliung” itu dari ensiklopedia, surfing internet (googling) atau mencari di kamus,<br />

wikipedia dll Memang untuk masuk dalam PPR (Paradigma Pendidikan Reflektif), guru harus<br />

menguasai bahan yang diajarkannya, sekaligus menguasai metode didaktik pedagogik (guru-guru<br />

lulusan Program Akta IV akan mudah menerapkan PPR bila dilatih), oleh sebab itu, kita dapat<br />

memahami upaya pemerintah untuk mengubah pola pemberian sertifikasi guru yang baru, yaitu<br />

melalui “pendalaman materi” dengan pembelajaran selama 2 semester (bukan lagi lewat pelatihan 1<br />

minggu), karena para guru lulusan PGSD/FKIP akan kesulitan dalam penerapan PPR ini.<br />

Masalah berikutnya adalah di SD, para calon guru yang belajar di PGSD atau FKIP harus<br />

berlatar SMA IPA, karena mereka akan mengampu Mata Pelajaran IPA dan Matematika sepanjang<br />

hari di kelas dalam Tematik Integratif di SD. Tanpa pengalaman praktikum yang memadai, para<br />

guru SD itu akan kesulitan membimbing pendekatan saintifik (5 M) . Oleh sebab itu, tidak lagi boleh<br />

ditolerir, adanya Pengawas yang mengijinkan pendekatan 5 M itu dipotong saja menjadi 3 M. Hal<br />

75<br />

65


ini bukan saja menyalahi arti pendekatan saintifik, tapi juga merusak system of knowledge dari ilmu<br />

pengetahuan itu sendiri. Ilmu Pengetahuan tidak lagi merupakan art, tapi menjadi sekumpulan<br />

hafalan dan rumus-rumus/aksioma 58 yang mendorong sikap tidak kreatif dan tidak imajinatif.<br />

Masalah serius terjadi di SMP, dengan program sertifikasi, maka guru pengampu IPA<br />

Terpadu harus berijazah S-1 IPA Terpadu (bukan berijazah S-1 Biologi, atau S-1 Fisika, atau S-1<br />

Kimia), padahal FKIP yang mempunyai jurusan IPA Terpadu hanya ada di UNY di Yogya.<br />

Problemnya adalah calon guru yang akan mengikuti perkuliahan IPA Terpadu harus sungguhsungguh<br />

pandai karena harus sanggup mempelajari sains lintas disiplin tanpa kehilangan hakekat<br />

Biologi, Fisika dan Kimia an sich. Disinilah problem utamanya, orang yang sungguh-sungguh<br />

pandai itu akan memilih masuk ke Fakultas Kedokteran atau Fakultas Teknik. FKIP/PGSD bukan<br />

ideal mereka. Dengan demikian, peraturan linieritas dalam program sertifikasi itu bisa menghasilkan<br />

calon guru IPA Terpadu yang kualitasnya kurang memadai. Alhasil, kualitas pendidikan kita bisa<br />

makin merosot.<br />

Kedua, Agar para guru mudah merumuskan Tujuan Pembelajaran sehingga dapat fokus<br />

dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas (tidak tersesat dengan mengajarkan materi lembar demi<br />

lembar dari buku ajar/sumber belajar, lalu kehilangan intinya/target kurikulumnya). Tujuan<br />

pembelajaran ini sering dikacaukan dengan Indikator Pembelajaran, hanya karena kedua tema ini<br />

menggunakan kata awal : “siswa dapat”<br />

Misalnya : KD (Kompetensi Dasar) 2.1 Matematika Kelas X SMA : Melatih diri memiliki pola hidup<br />

yang disiplin, konsisten dan jujur sebagai dampak mempelajari konsep dan aturan eksponen dan<br />

logaritma serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari<br />

Maka Tujuan pembelajarannya adalah Siswa dapat membedakan konsep algoritma, logaritma (log)<br />

dan log naturalis (ln), yang akan sangat berbeda dengan rumusan Indikator pembelajaran yang rinci,<br />

mulai dari : Siswa dapat mengkonversi akar menjadi pangkat, sampai siswa dapat menyelesaikan<br />

masalah mempergunakan ln (ada 6 Indikator dalam KD 2.1 ini dengan alat bantu Buku Logaritma,<br />

tidak bisa menggunakan kalkulator). Contoh perhitungan yang tidak bisa menggunakan kalkulator<br />

adalah 2015 pangkat -2015. Penyelesaian secara cepat hanya bisa kalau menggunakan buku<br />

logaritma. Namun ada juga pejabat Kemdikbud yang menyatakan, anak tidak perlu menghitung<br />

58<br />

Pidato Kebudayaan Dr. Karlina Supeli : “Kebudayaan dan Kegagapan Kita” (Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki,<br />

Jakarta, tanggal 11 November 2013) : Model pendidikan yang dipandu oleh logika utilitarianism in extremis, yang sibuk<br />

mengejar ranking nilai atau KKM, tentu tidak mampu mengungkap kekayaan dimensi kognitif kebudayaan yang antara<br />

lain mengemuka melalui ilmu pengetahuan. Sulit membayangkan bagaimana pemahaman instrumental tentang ilmu<br />

sanggup menghasilkan pengalaman eksistensial yang dapat menjadi kekuatan transformatif untuk mengubah cara<br />

pandang kita terhadap realitas<br />

66<br />

76


angka-angka besar itu, mereka lupa bahwa dalam Ilmu Kimia akan banyak menggunakan<br />

perhitungan dengan angka-angka besar itu (Bilangan Avogadro untuk menghitung jumlah atom atau<br />

molekul dalam suatu zat, perhitungan dengan mengunakan konstanta asam atau konstansta basa<br />

dalam kesetimbangan kimia, perhitungan derajat keasaman, dll). Juga perhitungan energi dalam<br />

Fisika (Joule, erg, KwH, HP (PK). Angka-angka besar itu juga sangat diperlukan dalam perhitungan<br />

jarak bintang pada Astronomi (tahun cahaya), perhitungan dalam komputasi (Mb, Gb, Tb, dll).<br />

Contoh lain : Kompetensi Dasar (KD) 1.1 IPS kelas VII SMP : Menghargai karunia Tuhan YME<br />

yang telah menciptakan waktu dengan segala perubahannya<br />

Maka Tujuan Pembelajarannya adalah Siswa dapat membedakan waktu berdasarkan koordinat suatu<br />

tempat, dengan 5 Indikator yaitu dimulai dari : Siswa dapat membedakan gerak rotasi dan gerak<br />

revolusi bumi, sampai pada : Siswa dapat menentukan waktu berdasarkan garis bujur suatu tempat<br />

di bumi<br />

Contoh lain : Kompetensi Dasar (KD) 3.2 IPA kelas V SD : Mengenal organ tubuh manusia dan<br />

hewan serta mendeskripsikan fungsinya<br />

Maka tujuan pembelajarannya adalah : Siswa dapat membedakan organ hewan berdarah panas<br />

dengan organ hewan berdarah dingin, (Siswa akan sampai pada kesimpulan : organ manusia dengan<br />

simpanse itu sama, hanya beda ukuran otaknya). KD ini bisa dilengkapi dengan 6 Indikator, mulai<br />

dari : Siswa dapat mengenal ciri-ciri organ hewan, lalu : Siswa dapat melihat cara kerja suatu organ<br />

manusia dalam film animasi di YouTube, sampai ke : Siswa dapat mencari di internet mahluk yang<br />

dapat digolongkan kedalam hewan maupun tumbuhan<br />

Mudah-mudahan dengan contoh-contoh di atas, dapat dilihat dengan jelas perbedaan antara Tujuan<br />

Pembelajaran dan Indikator<br />

Tujuan Pembelajaran berkaitan dengan kompetensi (kemampuan) 59 siswa yang ingin<br />

dikembangkan, sedangkan Indikator berkaitan dengan target kurikulum 60 yang ingin dicapai<br />

Dengan demikian kita tidak akan terpengaruh perubahan yang terjadi (Jawa Pos 27 Juni 2015 hal 12.<br />

Dikatakan oleh Ramon Mohandas Kepala Puskurbuk bahwa Revisi Utama Kurikulum 2013 adalah<br />

KD untuk KI 1 dan KD untuk KI 2). Harapan kita, KD yang akan direvisi harus dapat menambahkan<br />

lagi bagian kurikulum yang hilang. Namun kalau penggabungan kata kunci seperti yang dicontohkan<br />

di atas tidak dilakukan, maka harapan itu hanya akan tinggal menjadi harapan. Yang ada adalah<br />

perbaikan tambal sulam Kurikulum 2013, yang mengabaikan isi Nawa Cita No.8<br />

59<br />

Kemampuan yang ingin dikembangkan itu mengarah ke kognitivisme, behaviorisme atau ke konstruktivisme<br />

60<br />

Target kurikulum : konseptual, faktual, procedural, atau meta kognitif<br />

77<br />

67


tanpa mengkaji kenapa 28 permendikbud yang melandasi Kurikulum 2013 itu selalu<br />

menyebut berulang kali kata “KTSP”,<br />

kenapa Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013 yang menjadi dasar hukum dari<br />

Kurikulum 2013 itu tidak kunjung diimplementasikan?<br />

Kenapa hanya muncul excuse tanpa solusi, seperti nampak pada Lampiran Permendikbud No.<br />

67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b Tantangan Ekstrnal : banyaknya materi uji TIMSS dan<br />

PISA yang tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia, yang juga tersurat (di copy paste)<br />

dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian I A No.2 b<br />

Dengan contoh di atas, apa urgensinya belajar memperdalam lagi Filsafat Pendidikan?<br />

Dimensi filsafat dalam pendidikan mempersoalkan pernyataan dasar mengenai apakah<br />

pendidikan itu? Dengan demikian, dimensi filsafat mencoba menjawab persoalan pendidikan pada<br />

dirinya sendiri atau pendidikan qua pendidikan. Dewasa ini persoalan mendasar tentang pendidikan<br />

qua pendidikan tampaknya kurang diminati, karena dianggap tidak menyumbangkan pemikiran yang<br />

bisa dipakai untuk pemecahan langsung terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat<br />

menyangkut praktik pendidikan.<br />

Atau, barangkali masyarakat sudah sedemikian terobsesi oleh begitu banyaknya persoalan pragmatis<br />

dan terjerat dalam labirin persoalan praktis, sehingga tidak mampu lagi keluar untuk mencari ujung<br />

benang kusut dari seluruh persoalan pendidikan.<br />

Kalau demikian, dimensi filsafat sebetulnya justru memperlihatkan urgensinya yang nyata saat ini.<br />

Tentu saja pembicaraan tentang pendidikan pada tataran filsafat tidak berorientasi pada<br />

manfaat, hasil atau kegunaan, melainkan pada visi yang memberi wawasan. Karena itu pembicaraan<br />

ini mempunyai scope yang berbeda dari pembicaraan pragmatis. Namun, paham filsafat pendidikan<br />

sangat penting untuk memberi dasar yang benar bagi penyelesaian-penyelesaian persoalan praktis.<br />

Memang, filsafat pendidikan tidak serta merta bisa diterapkan untuk memecahkan persoalanpersoalan<br />

dalam pendidikan yang begitu luas, karena seperti sudah disinggung di atas, filsafat tidak<br />

menjawab persoalan secara pragmatis melainkan menjawab persoalan secara visioner dan memberi<br />

wawasan. 61 Langkah visioner sebenarnya sudah ditunjukkan oleh Mendikbud Anies Baswedan<br />

melalui Permendikbud No. 160 Tahun 2014 : tidak ada kurikulum 2013 itu (lihat Pasal 1 dan Pasal 2<br />

ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014) 62 , namun di tengah perjalanan, ada pihak-pihak yang<br />

selalu memaksakan “proyek penyerapan anggaran” untuk tetap menerapkan Pasal 2 ayat 1 dan juga<br />

61<br />

A. Sudiarja, Pendidikan dalam Tantangan Jaman, Yogya, Kanisius, 2014<br />

62<br />

Pasal 1 : Sekolah yang baru melaksanakan Kurikulum 2013 dapat kembali menerapkan Kurikulum 2006<br />

Pasal 2 ayat 3 : Sekolah yang sudah melaksanakan Kurikulum 2013 sejak awal, dapat berganti menerapkan<br />

Kurikulum 2006, cukup dengan melapor pada Dinas Pendidikan setempat<br />

68<br />

78


Pasal 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 itu 63 , melupakan isi Pasal 5 Permendikbud No. 158<br />

Tahun 2014 64<br />

Kebingungan akibat ketidak jelasan pijakan filosofi, tercermin pula pada Mendikbud Anies<br />

Baswedan dan jajaran birokrat Kemdikbud :<br />

Pasal 6 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 : Ketentuan lebih lanjut mengenai Kurikulum<br />

2006 akan diatur dalam peraturan menteri tersendiri<br />

Kalau jajaran Kemdikbud ngotot ingin mengatur Kurikulum 2006, bukankah peraturan<br />

menteri terkait Kurikulum 2006 itu sudah sangat lengkap (lihat catatan kaki No. 2 dasar<br />

hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan)<br />

Pasal 4 Permendikbud No.160 Tahun 2014 : Sekolah dapat melaksanakan Kurikulum 2006<br />

paling lama sampai dengan tahun pelajaran 2019/2020<br />

Banyak yang mengartikan bahwa di tahun ajaran 2019/2020 itu kita harus melaksanakan<br />

Kurikulum 2013, tanpa melihat bahwa tahun itu adalah tahun pemberlakuan APEC 2020.<br />

Bagaimana kita akan bersaing dengan sekolah asing dan guru asing yang akan membanjiri<br />

Indonesia, bila kita berkukuh pada Kurikulum 2013 yang banyak mengandung kesalahan ini,<br />

dan tidak menyiapkan guru-guru kita dalam penyusunan modul untuk menyongsong<br />

pemberlakuan sistim baku SKS (bukan paket SKS), yaitu melangkah ke SBI (sekolah bertaraf<br />

internasional) yang dilengkapi dengan sertifikasi manajemen ISO 9001:2008?<br />

Pemaksaan pemberlakuan Kurikulum 2013 di tahun pelajaran 2019/2020 itu juga mendistorsi<br />

isi Nawa Cita No.8 tentang perlunya penataan kembali kurikulum pendidikan nasional<br />

Maka lupakan Kurikulum 2013 yang mau dilestarikan lewat Permendikbud No. 31 Tahun 2013, yang<br />

mau membatasi modal asing dan lalu lintas SDM asing, yang bisa memancing reaksi negatif WTO<br />

dan ACMW. Sebelum kita kena sanksi WTO dan ACMW, apa yang harus kita lakukan untuk<br />

meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia sesuai amanat Pasal 3 UU Sisdiknas 65 dan Pasal 5<br />

ayat 1 UU Sisdiknas 66 ? Kembali menggali filosofi yang tepat dan sesuai dengan tujuan pendidikan<br />

63<br />

Pasal 2 ayat 1 : Sekolah yang sudah melaksanakan Kurikulum 2013 sejak awal, tetap melaksanakan Kurikulum 2013<br />

(boleh berganti ke Kurikulum 2005 atau tidak? )<br />

Pasal 3 : Sekolah yang belum menerapkan Kurikulum 2013 akan mendapat pelatihan dan pendampingan untuk<br />

pelaksanaan Kurikulum 2013 (apakah artinya tidak boleh menerapkan Kurikulum 2006 dan tidak boleh ke SKS?<br />

64<br />

Sekolah yang terakreditasi A, menerapkan SKS (Sistim Kredit Semester), tapi jembatan untuk pindah dari Kurikulum<br />

2013 ke SKS tidak disediakan (guru tidak dilatih cara menyusun diktat, LKS dan modul) serta manajemen moving<br />

class dan micro teaching). Jembatan ini justru ada di Kurikulum 2006, kalau guru mampu menyusun kurikulumnya<br />

sendiri (sesuai Pasal 77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013), maka guru pasti mampu menyusun modul sendiri<br />

65<br />

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang<br />

bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta<br />

didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,<br />

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab<br />

66<br />

Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu<br />

79<br />

69


nasional kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa (bukan meningkatkan kompetensi orang per<br />

orang, seperti yang dirujuk oleh KBK). Filsafat pendidikan yang tepat dengan strategi pelestarian<br />

budaya adiluhung kita, sekaligus dapat mengakomodasi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa<br />

melalui penggalian local wisdom kita (tut wuri handayani) 67 adalah filsafat perenialisme 68 Tanpa<br />

pemahaman ini, kita akan dengan terjebak dalam anomali pola pikir, mengira bahwa pembelajaran<br />

kognitif (calistung) itu lebih sulit dari pembelajaran afektif (pendidikan karakter), lalu menunda<br />

pendidikan kognitif pada usia emas anak untuk belajar dan menggantinya dengan pendidikan karakter<br />

: “Anak hingga usia 7- 8 tahun atau kelas I dan II SD belum bisa langsung diisi dengan berbagai<br />

pelajaran, seperti berhitung dan baca tulis, yang diajarkan serius ……..Usia 7 – 8 tahun juga masih<br />

usia bermain bagi anak-anak”, kata Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo (Langkan, “Pelajaran Baca<br />

Tulis Diganti Pendidikan Karakter”, Kompas, Selasa 11 Agustus 2015 halaman 11) Maka langkah<br />

pragmatis untuk memenuhi azas tut wuri handayani yang diperkuat dengan filosofi perenialisme dan<br />

sekaligus memenuhi tuntutan Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014 adalah menerapkan e-<br />

learning melalui Disain Kurikulum Digital. Dalam kaitan dengan Disain Kurikulum Digital, praksis<br />

yang penting adalah terbangunnya kesadaran akan wawasan hakiki dalam mengimplementasikan<br />

refleksi dan merumuskan tujuan pembelajaran demi kualitas pendidikan yang lebih baik. Kenapa<br />

bisa dipastikan bahwa kualitas pendidikan kita akan membaik ? Karena melalui Disain Kurikulum<br />

Digital ini, bagian kurikulum yang hilang akan dapat tergali lagi. Kurikulum kita akan makin kaya.<br />

Salah satu keunggulan dari Disain Kurikulum Digital adalah digunakannya Taksonomi<br />

Bloom, dimana guru harus memberi Teladan, jadi guru yang mengampu Biologi, harus mahir dalam<br />

bedah (sectio) sehingga siswa dapat melakukan bedah hewan secara baik, guru yang mengampu Seni<br />

suara/Musik paling tidak harus mampu memainkan satu alat musik sehingga dapat memberi<br />

pemahaman tentang not secara tepat. Bayangkan kalau guru Bahasa Indonesia mengajar tentang<br />

cerpen, tapi sang guru sendiri belum pernah menulis cerpen yang diterbitkan di media lokal, pelajaran<br />

akan menjadi sangat teoritis dan menjemukan bagi siswa. Dengan kewajiban untuk selalu memberi<br />

teladan, maka mau tidak mau, guru akan terus terasah belajar sepanjang hayat (harus membuat<br />

persiapan mengajar secara benar), tidak bisa lagi guru masuk kelas hanya berbekal buku ajar/sumber<br />

belajar (Teladan/contohnya nanti bagaimana?) atau menuntut siswa melakukan presentasi, tanpa<br />

teladan/contoh dari guru tentang presentasi yang persuasif. Kualitas pendidikan akan membaik<br />

karena guru telah menjadi manusia pembelajar (profesionalitas guru bukan ditentukan dari kelulusan<br />

mengikuti diklat selama 3 hari). Dengan teladan/contoh dari guru, budaya organisasi yaitu budaya<br />

67<br />

Tut wuri handayani : memberi dorongan/dukungan dari belakang (memberdayakan guru) : jelas menolak<br />

hegemoni pemerintah dalam dunia pendidikan dan persekolahan<br />

68<br />

Lihat catatan kaki no. 40 tentang filsafat perenialisme<br />

70<br />

80


ilmiah atau budaya pembelajar akan terpola dengan baik. Sekolah dapat beriktiar menjadi center of<br />

excellence<br />

Keunggulan lain dari Disain Kurikulum Digital dapat disimak pada bab-bab berikutnya, sementara<br />

kita bicara tentang prakarsa dan inisiatif dalam Disain Kurikulum Digital, sistim pendidikan nasional<br />

yang berlangsung selama ini justru menciptakan jiwa tunduk pada kuasa. Meski pendidikan<br />

Indonesia bermutu rendah, pemerintah tetap tutup mata dan mempertahankan orientasi proyek dalam<br />

pengelolaan pendidikan. Berbagai hasil survei terkait kualitas pendidikan, guru dan siswa tidak<br />

mendapat perhatian. Padahal hasil survei yang kaya informasi itu sebenarnya bisa dimanfaatkan<br />

sebagai basis evaluasi kebijakan. Kita dipaksa menerima kenyataan bahwa sistim pendidikan<br />

nasional tak ditujukan untuk melahirkan jiwa-jiwa merdeka. Mendamba lahirnya jiwa merdeka<br />

dari praktik pendidikan yang dikelola dalam kerangka proyek ibarat pungguk merindukan bulan.<br />

(“Pungguk Merindukan Bulan”, Kompas, Selasa 18 Agustus 2015 halaman 6).<br />

81<br />

71


BAB II<br />

Pendidikan vs Persekolahan (Kebijakan vs Teknis Implementasi)<br />

Kekeliruan pemaknaan fungsi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang<br />

mengabaikan Nawa Cita No.5 dan Nawa Cita No.8, bisa mengubah hakekat Kementerian Pendidikan<br />

menjadi Kementerian Persekolahan dan Dinas Pendidikan menjadi Dinas Persekolahan.<br />

Sebenarnya pemerintah cq Kemdikbud berfungsi merumuskan :<br />

- arah dan tujuan pendidikan nasional ( Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistim<br />

Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan<br />

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka<br />

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik<br />

agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak<br />

mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis<br />

serta bertanggung jawab)”.<br />

Hal ini paralel dengan Nawa Cita No.5 yaitu menciptakan strong human capital dan<br />

menjadikan pendidikan di Indonesia sebagai center of excellence.<br />

- dan kebijakan pengelolaan pendidikan (Pasal 51 ayat 1 UU No.20 Tahun 2003 tentang<br />

Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia<br />

dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar<br />

pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah)”.<br />

Hal ini sejalan dengan isi alinea keempat Pembukaan UUD 1945 : pembentukan pemerintahan itu<br />

untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan meningkatkan kompetensi orang per orang (bukan<br />

sekedar hanya mengembangkan kognisi siswa atau mengembangkan kemampuan intelektual dan<br />

kecemerlangan akademik, sebagaimana tertera dalam Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013<br />

Bab II B Landasan Teoritis, yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bab II A<br />

No. 2 dan No.3), karena pengembangan kemampuan intelektual dan kecermerlangan akademik itu<br />

akan “meninggalkan yang bodoh” dan “yang tidak trampil” sehingga menyalahi prinsip penciptaan<br />

strong social capital yang dirujuk pada Nawa Cita No.5. Dari kekeliruan pemaknaan arah dan tujuan<br />

pendidikan nasional ini, dapat dimengerti kalau rumusan kerangka dasar kurikulum dan struktur<br />

kurikulumnya menjadi tidak kontekstual dan situasional. Oleh sebab itu, potensi peserta didik<br />

(potensi siswa) tidak terpetakan melalui Multiple Intelligence. Kalau potensi (bakat dan minat) siswa<br />

tidak kita ketahui secara pasti karena sifat pembelajaran yang klasikal, bagaimana mungkin kita bisa<br />

mengembangkan potensi peserta didik seturut amanat Pasal 3 UU Sisdiknas di atas?<br />

72<br />

82


Akan menjadi lebih rancu lagi kalau Kemdikbud tidak merumuskan policy pengelolaan<br />

pendidikan nasional sesuai amanat Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas sehingga seharusnya pemerintah cq<br />

Kemdikbud wajib merumuskan SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan MBS (Manajemen Berbasis<br />

Sekolah), bukan SPM sarana prasarana sekolah berbasis manajemen ala Dinas Pendidikan, jadi :<br />

- bukan SPM berdasar Permendikbud No.23 Tahun 2013 yang kemudian diperbarui melalui<br />

Lampiran Permendikbud No.64 Tahun 2013 Bab II, tetapi SPM Akademik yang mengasah<br />

penalaran halus (fine tuning) siswa<br />

- bukan MBS seperti manajemen yang diatur oleh Dinas Pendidikan atau Pengawas Sekolah,<br />

tetapi manajemen yang disertifikasi ISO 9001:2008.<br />

Perumusan SPM dan MBS ini seharusnya bertujuan mengembangkan potensi siswa sehingga sekolah<br />

seharusnya menerapkan pengembangan minat dan bakat siswa selaras dengan 9 kecerdasan (multiple<br />

intelligence) sejak dini. Sebab tidak ada anak yang bodoh atau pintar, yang ada adalah anak<br />

yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan. “Kita semua berbeda karena<br />

kita semua memiliki kombinasi kepandaian yang berbeda. Bila kita mampu mengenalinya, saya kira<br />

kita akan mempunyai setidaknya sebuah kesempatan yang bagus untuk mengatasi berbagai masalah<br />

yang kita hadapi di dunia”. - Howard Gardner<br />

Kebijakan Kemdikbud untuk mendorong semua siswa SD agar terus naik kelas itu sudah<br />

benar dan sejalan dengan prinsip multiple intelligence.<br />

Melalui pengenalan akan Multiple Intelligences, kita dapat mempelajari kekuatan atau kelemahan<br />

siswa dan memberikan mereka peluang untuk belajar melalui kelebihan-kelebihannya.<br />

Tujuan pemetaan siswa dalam multiple intelligence : siswa memiliki kesempatan untuk<br />

mengeksplorasi dunia, bekerja dengan ketrampilan sendiri dan mengembangkan kemampuannya<br />

sendiri. Oleh sebab itu, kurikulumnya harus sesuai dengan azas multiple intelligence, yaitu<br />

kurikulum kontekstual dan mengakomodasi perbedaan minat dan bakat siswa (sesuai Pasal 36 ayat<br />

2 UU Sisdiknas) yang terakomodasi dalam Kurikulum 2006<br />

Dalam KTSP Bimtek (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan Bimbingan Teknis<br />

(2008) dan Kurikulum 2013, Kemdikbud jelas-jelas melanggar MBS dan tak hirau dengan penerapan<br />

multiple intelligence. Apa buktinya? Siswa yang tidak bisa Matematika atau IPA langsung dicap<br />

bodoh (tidak tuntas), padahal mungkin saja bakat dan minat siswa itu di bidang musik. Karena nilai<br />

kognitif matematika dan IPA jelek (nilainya di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal),<br />

siswa itu dipaksa mengikuti remedial (perbaikan nilai kognitif) Matematika dan IPA, yang berakibat<br />

tidak tersedianya waktu yang cukup untuk mengembangkan bakat dan minat siswa itu sendiri (bakat<br />

dan minatnya “dimatikan” demi mengejar ketuntasan nilai kognitif Matematika dan IPA).<br />

Matematika dan IPA tetap tidak dikuasai, sedangkan bakat dan minatnya terlanjur mati.<br />

83<br />

73


Kita sadar bahwa banyak anak dan orang dewasa tidak bisa menyanyi dan betapapun mereka di<br />

remedial ratusan kali, mereka tidak akan pernah bisa menjadi artis. Banyak orang tidak bisa<br />

menggambar, meskipun sudah diremedial ribuan kali, tetap saja tidak bisa menjadi pelukis. Anehnya<br />

hal ini kita terapkan dalam Matematika dan IPA, kita remedial anak-anak sampai berkali-kali, dengan<br />

harapan mereka akan bisa menguasai Matematika dan IPA.<br />

Hal ini nampak jelas pada penulisan rapor dan perumusan kriteria kenaikan kelas yang sudah<br />

digariskan oleh Dinas Pendidikan. Penilaian hanya bertumpu pada ketuntasan belajar (pencapaian<br />

KKM (Kirteria Ketuntasan Belajar Minimal), sedangkan penilaian aspek psikomotor dan afektif<br />

tidak tergali dalam PBK (Penilaian Berbasis Kelas). Yang lebih fatal adalah terpisahnya monitoring<br />

proses belajar dan evaluasi keberhasilan belajar dari MBS. MBS menjadi tidak terukur. Proses<br />

pembelajaran di kelas bisa tidak berkait dengan capaian visi dan misi sekolah, para guru jalan sendirisendiri<br />

menurut tafsirnya sendiri tentang pendidikan, sehingga berpotensi melanggar ketentuan Pasal<br />

51 ayat 1 UU Sisdiknas. Pendidikan holistik hanya sebatas slogan saja.<br />

Hal ini diperparah dengan kebijakan pemberlakuan satu model pendekatan tunggal dan<br />

seragam di Kurikulum 2013 yaitu model pendekatan saintifik (metode 5 M) yang diimplementasikan<br />

untuk semua mata pelajaran, yang jelas-jelas melanggar azas desentralisasi manajemen kelas, seolaholah<br />

metode 5 M ini dapat memecahkan semua masalah yang terjadi di kelas.<br />

Lalu bagaimana bila muncul problem di kelas ?<br />

Yang pertama-tama harus dilakukan adalah memetakan problem apa saja yang mungkin timbul dan<br />

bagaimana cara mengatasinya.<br />

1. Problem rendahnya prestasi belajar siswa, seyogyanya diatasi dengan mengganti metode<br />

pembelajaran, sehingga nilai siswa bisa membaik. Dalam hal penerapan metode ini,<br />

Kurikulum 2013 sudah benar. Dengan menetapkan metode saintifik (5 M), maka kemampuan<br />

intelektual dan kecemerlangan akademik siswa dapat dikembangkan (tapi para penyusun<br />

Kurikulum 2013 lupa bahwa masih ada strategi dan model pembelajaran (metode bukan satusatunya<br />

penyelesai masalah di kelas dan tidak semua guru berlatar belakang IPA yang<br />

memang sejak awal terbiasa dengan metode saintifik). Untuk bisa mengampu Tematik<br />

Integratif di SD, maka para calon guru SD di PGSD harus berlatar belakang SMA Jurusan<br />

IPA, sebab para lulusan PGSD itu akan mengampu Mata Pelajaran IPA dan Matematika<br />

sepanjang hari di sepanjang minggu selama satu tahun penuh. Artinya, guru SD itu harus<br />

“mumpuni” : menguasai 4 keahlian sekaligus : Matematika, Fisika, Biologi dan Kimia. Sebab<br />

pemelajaran di SD itu merupakan dasar/fondasi untuk jenjang selanjutnya. Bila ada kesalahan<br />

di SD, akan sulit diperbaiki di tingkat selanjutnya. Pada masa Mendikbud Prof Dr Fuad<br />

Hasan, hal ini sudah dicoba diatasi melalui crash program pengadaan guru MIPA melalui<br />

74<br />

84


program D-3 FMIPA, dan program D-IV (sarjana dari berbagai disiplin ilmu akan menempuh<br />

satu tahun pendidikan didaktis dan metodik sebelum ditempatkan sebagai guru), sayang<br />

sekali program ini tidak diteruskan. Alasan utama yang sering dikemukakan adalah : guru<br />

tidak harus ahli dalam bidang yang diampunya, tetapi guru wajib memberi teladan (digugu<br />

dan ditiru), namun Taksonomi Bloom yang mengharuskan guru memberi teladan, juga sudah<br />

dihapus, diganti dengan SOLO taxonomy. Akibatnya kualitas pendidikan kita makin merosot<br />

(lihat hasil survey berbagai lembaga internasional tentang kualitas pendidikan kita di bagian<br />

akhir dari Bab Pendahuluan).<br />

Data prestasi belajar itu termasuk dalam “evaluasi hasil belajar” yang didokumentasikan di<br />

CK (Catatan Kompetensi).<br />

2. Problem kemalasan belajar, seyogyanya diatasi dengan mengganti strategi pembelajaran,<br />

sehingga motivasi belajar siswa bisa terpacu. Siswa yang termotivasi akan rajin bertanya<br />

pada guru atau mampu menjawab dengan antusias pertanyaan yang diajukan oleh guru. Data<br />

frekuensi Tanya – Jawab ini termasuk dalam “monitoring proses belajar” yang<br />

didokumentasikan di PBK (Penilaian Berbasis Kelas). Sampai sekarang, masih banyak guru<br />

yang lebih senang kelasnya diam atau pasif, seolah-olah siswa memperhatikan pengajaran<br />

guru, padahal sebenarnya kelas yang pasif itu menunjukkan bahwa siswa tidak belajar.<br />

3. Problem kenakalan siswa, karena siswa bosan atau jenuh belajar, seyogyanya diatasi dengan<br />

mengganti model pembelajaran, sehingga siswa tertantang untuk maju. Siswa yang bosan di<br />

kelas akan cenderung melakukan aktivitas negatif (membolos, bolak-balik ijin ke toilet,<br />

mengganggu teman atau mengantuk di kelas, mencoret-coret meja atau dinding WC, dll).<br />

Data tentang frekuensi aktivitas negatif ini termasuk dalam “monitoring proses belajar” yang<br />

didokumentasikan di PBK<br />

4. Problem tidak mengerjakan sendiri tugas praktek atau Tugas Tidak Terstruktur, seyogyanya<br />

diatasi dengan mengganti tugasnya, disesuaikan dengan minat dan bakatnya. Misalnya siswa<br />

yang tidak bisa membuat puisi, tidak diminta berulang-ulang menulis puisi, karena memang<br />

siswa itu tidak mungkin menjadi penyair, tapi siswa diminta untuk mengamati suatu puisi :<br />

masalah apa yang ingin diungkap oleh sang penyair dan apa latar belakang penyair itu<br />

menorehkan puisinya ? (Menangkap yang tersirat). Dengan pola lama (remedial berulang)<br />

pada tugas praktek itu, besar kemungkinan, siswa tidak membuat tugasnya sendiri, tetapi<br />

siswa menyuruh orang lain membuatkan tugas praktek atau Tugas Tidak Terstruktur, oleh<br />

sebab itu tugasnya perlu diganti dengan tugas yang meningkatkan partisipasi siswa melalui<br />

tugas yang dapat mengembangkan daya abstraksinya.<br />

85<br />

75


Frekuensi penyerahan tugas yang dilakukan sendiri oleh siswa ini termasuk dalam<br />

“monitoring proses belajar”, yang didokumentasikan di di PBK<br />

5. Problem tidak menyerahkan tugas proyek atau Tugas Terstruktur, seyogyanya diatasi dengan<br />

mengganti tugasnya disesuaikan dengan kemampuan (kompetensi dari siswanya). Misalnya<br />

siswa yang tidak bisa membuat bola sebagai alat peraga matematika, maka tugasnya diganti<br />

dengan tugas yang dapat mengasah penalaran halus (fine tuning) siswa, misalnya melalui<br />

soal-soal yang berbentuk cerita (persamaan tersamar) atau mencari gambar pintar yang dapat<br />

mengasah daya imajinasi kreatif siswa. Frekuensi penyerahan tugas yang dapat<br />

meningkatkan daya analisis siswa ini termasuk dalam “evaluasi hasil belajar” yang<br />

didokumentasikan di CK.<br />

Contoh gambar pintar : ada berapa orang dalam gambar ini?<br />

Harap diingat bahwa generasi muda sekarang cenderung hanya berkembang dalam ranah visual<br />

karena dulu mereka terbiasa menonton TV dan sekarang mereka tergila-gila dengan gawai (gadget)<br />

sehingga daya abstraksinya kurang berkembang karena bukan termasuk dalam generasi yang gemar<br />

membaca. Itulah alasan utama dari Kemdikbud untuk menghapus mata pelajaran berbasis tiga<br />

dimensi : Ilmu Ukur Ruang (Stereometri), Menggambar Perspektif dan Proyeksi, Ilmu Ukur Melukis<br />

(BM), Ilmu Ukur Analitika, Ilmu Bumi Falak (Astronomi), dll. Lihatlah kicauan dangkal para siswa<br />

pada era ini di Twitter atau posting remeh temeh mereka di Facebook atau foto-foto selfie mereka<br />

yang tidak bermakna apa-apa bagi orang lain di Instagram, yang banyak dikeluhkan sebagai sampah<br />

elektronik. Terjadi pemujaan terhadap pendangkalan (cult of philistinism), menyia-nyiakan masa<br />

emas untuk pertumbuhan daya nalar dan pembelajaran kritis.<br />

76<br />

86


Maka pemetaan bakat dan minat melalui Multiple Intelligence dan manajemen berbasis kelas<br />

mutlak diperlukan untuk menghindari generasi muda yang hanya fasih menjadi user atau konsumen<br />

saja, bukan gen flux yang mampu membuka alternatif baru dan mencerahkan dunia.<br />

Setelah pemetaan kelas dan menentukan langkah intervensinya, maka mencari solusi terbaik dapat<br />

dilakukan lewat PTK (Penelitian Tindakan Kelas) sehingga langkah solusinya terukur.<br />

1. Guru yang ingin mengatasi masalah rendahnya prestasi belajar siswa akan menjadikan CK<br />

sebagai Sumber Data Primer dan PBK sebagai Sumber Data Sekunder, dengan intervensi<br />

pada penggantian metode pembelajaran<br />

2. Guru yang ingin mengatasi problem kelas yang pasif (karena siswanya tidak belajar atau<br />

malas belajar, sehingga tidak tahu apa yang mesti dilakukan di kelas), maka guru akan<br />

menjadikan PBK sebagai Sumber Data Primer dan CK sebagai Sumber Data Sekunder,<br />

dengan intervensi pada penggantian strategi pembelajaran<br />

3. Guru yang ingin mengatasi kebosanan atau kejenuhan belajar siswa (yang tercermin dari<br />

gangguan belajar atau aktivitas negatif yang ditimbulkannya), maka guru yang bersangkutan<br />

akan menjadikan PBK sebagai Sumber Data Primer dan CK sebagai Sumber Data Sekunder,<br />

dengan intervensi pada penggantian model pembelajaran.<br />

4. Guru yang ingin agar setiap siswa membuat Tugas Tidak Terstrukturnya sendiri, maka guru<br />

tersebut harus menggunakan PBK sebagai Sumber Data Primer dan CK sebagai Sumber Data<br />

Sekunder, dengan intervensi pada penggantian tugas yang disesuaikan dengan bakat dan<br />

minat siswa yang sudah terpetakan dalam multiple intelligence.<br />

5. Guru yang ingin agar setiap siswa mampu mengerjakan Tugas Terstruktur secara benar, maka<br />

guru itu harus menggunakan CK sebagai Sumber Data Primer dan PBK sebagai Sumber Data<br />

Sekunder, dengan intervensi pada penggantian tugas yang disesuaikan dengan kemampuan<br />

(kompetensi) siswa<br />

Melalui penelitian yang terukur, maka masalah siswa dapat dipecahkan sebelum siswa menerima<br />

rapor semester (tidak ditunggu sampai berlarut-larut sehingga siswa mengalami masalah pada<br />

kenaikan kelas atau kelulusan)<br />

Jadi monitorimg dan evaluasi keberhasilan belajar berkait langsung dengan MBS dan pendekatan<br />

holistik mempunyai dasar pijakan implementasi yang terukur<br />

Solusi yang ditawarkan dalam PTK itu akan menjadi bahan refleksi guru dalam penyusunan<br />

ulang indikator keberhasilan di Silabus dan bobot soal di RPP (lihat bagian Refleksi pada Bab I<br />

Filosofi Pendidikan)<br />

Dengan demikian, tidak mungkin ada penyeragaman Silabus atau RPP karena sifat dan kondisi<br />

kelas selalu dinamis (MBS itu sifatnya situasional)<br />

87<br />

77


Jadi kalau Dinas Pendidikan di Provinsi DKI Jakarta memberlakukan SAS (Sistim<br />

Administrasi Sekolah) atau SIP (Sistim Informasi Pendidikan), maka sesungguhnya Dinas<br />

Pendidikan telah menyeragamkan perumusan KD (Kompetensi Dasar), Bahan Ajar (Materi<br />

Pelajaran), penentuan Indikator, dan Alokasi Waktu, bahkan sampai batas bawah KKM, yang<br />

mengakibatkan Silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) semua sekolah menjadi<br />

seragam, maka hal itu telah mengubah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) menjadi MBAD<br />

(Manajemen Berbasis Arahan Dinas Pendidikan). MBAD ini belum tentu cocok dan selaras untuk<br />

diterapkan di suatu sekolah yang kondisinya sangat heterogen. Hasilnya, proses pembelajaran tidak<br />

membantu mencerahkan siswa atau mengasah penalaran halus (fine tuning) siswa dan sama sekali<br />

tidak membantu sekolah mensinkronkan MBS dengan sertifikasi manajemen ISO 9001:2008.<br />

Akibatnya, demi mengejar pemberkasan rapor yang seragam agar compatible dengan SAS atau SIP,<br />

maka Dinas Pendidikan lupa pada kewajiban penjaminan mutu sekolah, yang sudah digariskan dalam<br />

isi Pasal 59 ayat 1 butir (d) dan Pasal 60 ayat (k) PP No. 19 Tahun 2005 juncto Pasal 5 ayat 1 butir<br />

(b) PP No. 32 Tahun 2013 : perumusan kualifikasi Kompetensi Indonesia<br />

Prinsip MBS juga dilanggar melalui penerapan EEK (Eksplorasi, Elaborasi dan Konfirmasi)<br />

dalam KTSP Bimtek dan penerapan pendekatan saintifik (metode 5 M) dalam Kurikulum 2013<br />

karena penerapan kedua hal tersebut sesungguhnya memerlukan pendalaman dalam Analisis Esensi<br />

Materi (AEM), tidak bisa sembarang diterapkan untuk semua KD (Kompetensi Dasar). Penerapan<br />

EEK itu meninggalkan dua aspek penting lain dari rangkaian satu siklus Paradigma Pendidikan<br />

Reflektif (PPR) yaitu Refleksi dan Aksi, sedangkan penerapan pendekatan saintifik (metode 5 M)<br />

untuk topik atau tema yang abstrak, bisa mengganggu system of knowledge dan daya serap dari mata<br />

pelajaran itu. Misalnya guru PKn akan menerangkan tentang Proklamasi Kemerdekaan RI. Melalui<br />

langkah 1 dari pendekatan saintifik yaitu MENGAMATI, akan timbul kendala : siswa tidak<br />

mengalamai secara langsung detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI, sehingga guru harus<br />

membimbing siswa agar siswa dapat mengembangkan daya abstraksinya (Mengapa proklamasi<br />

dilakukan jam 10 pagi, bukan jam 8 pagi? Kenapa proklamasi dilakukan di halaman rumah Bung<br />

Karno, tidak di lapangan Ikada, yang letaknya tidak jauh dari rumah Bung Karno? Kenapa para<br />

pemuda menculik Bung Karno dan membawanya ke Rengasdengklok, tidak ke rumah Raden Saleh<br />

yang lebih dekat dan lebih secure di Cikini? dll). Bila guru tidak mampu membimbing siswa untuk<br />

menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas, maka penggunaan metode 5 M (yang dimulai<br />

dengan MENGAMATI) bisa merusak system of knowledge dari ilmu ketatanegaraan seputar masalah<br />

proklamasi kemerdekaan negara kita.<br />

Dari contoh di atas, nampak jelas bahwa dengan pelanggaran azas desentralisasi manajemen<br />

kelas yang berwujud dalam campur tangan pemerintah sampai ke dapur sekolah melalui penetapan<br />

78<br />

88


metode tunggal itu, Kementerian Pendidikan sejatinya telah bermetamorfosa menjadi Kementerian<br />

Persekolahan dan Dinas Pendidikan telah berganti peran menjadi Dinas Persekolahan (pemerintah<br />

memasuki masalah-masalah teknis operasional sehari-hari di kelas, lupa pada kewajiban untuk<br />

merumuskan SPM dan MBS dalam dunia pendidikan). 69<br />

Kenapa SPM dan MBS ini penting?<br />

Proses pembelajaran formal membiasakan siswa mencari bimbingan teoritis dalam usaha<br />

memecahkan masalah. Namun ada sesuatu yang essentially antagonistic antara kebiasaan pikiran<br />

mencari bimbingan teoritis dan kebiasaan atau kebutuhan pikiran menemukan the successful conduct<br />

of doing something atau solving real problems. Dalam kenyataan sehari-hari, bimbingan teoritis<br />

untuk pemecahan masalah itu adalah soal pendidikan dan pemaparan (deliberation) dan sama sekali<br />

bukan soal pelaksanaan atau eksekusi pemecahan masalah, apalagi hal itu bukanlah soal eksekusi<br />

kurikulum baru<br />

Misalnya : dalam soal-soal Matematika, masalahnya bukan pada penerapan rumus-rumus matematis<br />

(bukan menggali eksekusi pemecahan masalah), tetapi masalahnya ada pada aplikasi logika (mencari<br />

bimbingan teoritis untuk memecahkan masalah itu) dan logika itu membebaskan (deliberation)<br />

matematika dari seperangkat rumus-rumus. Maka pendidikan matematika adalah pemaparan yang<br />

mengasah logika (penalaran). Matematika menjadi seni untuk berpikir logis. Tanpa pemahaman<br />

tentang hal ini, siswa akan sukar mengerjakan soal-soal verbal dalam GMAT.<br />

Contoh lain, dalam Biologi, masalahnya bukan pada menghafal (eksekusi pemecahan masalahnya<br />

bukan dengan menghafal), misalnya bukan menghafal apa beda hewan berdarah panas dan hewan<br />

berdarah dingin, tetapi dengan mencari bimbingan teoritisnya : ada satu zat yang sangat menentukan<br />

perbedaan itu : ada zat yang sangat sensitif pada suhu yaitu enzim. Kalau siswa sampai pada<br />

kesimpulan “enzim” pada pembeda hewan berdarah panas dan hewan berdarah dingin, maka<br />

pendidikan biologi mendapatkan jalan terangnya yaitu mendapatkan “benang merah” keteraturan<br />

alam. Tanpa pemahaman ini, garis Wallacea yang membujur di Selat Makasar menjadi tidak punya<br />

arti apa-apa bagi siswa, atau heboh tentang penemuan manusia kerdil dari Liang Bua (homo<br />

floresiensis) hanya dianggap sebagai salah satu cerita fiksi saja.<br />

Pendidikan yang membebaskan (deliberation) dari segala bunga rampai fakta yang tidak<br />

perlu ini sejalan dengan pemikiran Prof Dr Driyarkara SJ, pendidikan itu bertujuan memanusiakan<br />

manusia muda. Sehingga masalah pembangunan nasional adalah pembangunan manusia,<br />

pembangunan daya analisis manusia. Sedangkan apa-apa yang human adalah sekaligus psikis,<br />

sosiologis, ekonomis, historis, demografis. Maka penting sekali bahwa aspek-aspek tersebut tidak<br />

69<br />

Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas : Pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan SPM berbasis MBS<br />

89<br />

79


terpisah tetapi saling menunjang ke arah visi poliokuler. Hidup manusia bukan biologis tetapi<br />

biografis. Untuk ini para guru terpanggil, lebih menjadi pendidik ketimbang pengajar, menemukan<br />

metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam administrasi<br />

politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari.<br />

Agar bisa ikut mengalir tetapi tidak hanyut (ngeli mung ora keli) dalam arus internasionalisasi dan<br />

globalisasi, kita perlu mengembangkan a vision of survival yang seyogyanya dirumuskan dalam<br />

MBS dan SPM<br />

A. Lalu bagaimana bentuk konkrit dari MBS ?<br />

Karena MBS itu adalah :<br />

(1) pengelolaan unit kerja satuan pendidikan secara profesional, dan<br />

(2) untuk melaksanakan demokratisasi pendidikan.<br />

Maka konsep dasarnya adalah desentralisasi dan otonomi daerah, yang berarti kewenangan dan<br />

kemandirian untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, menurut prakarsa sendiri, yang sebenarnya<br />

sudah dirintis oleh pemerintah dengan pendirian Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan di daerah.<br />

Hanya Kemdikbud selalu ragu dalam hal ini, di satu sisi, Kemdikbud mendorong sekolah agar<br />

mandiri (melalui KTM : sekolah kategori mandiri), tetapi di lain pihak, Kemdikbud menghapus<br />

Direktorat Sekolah Swasta, padahal sejak dulu, sekolah swasta ini mandiri (swadana dan swakelola),<br />

akibatnya : sekolah swasta sekarang cenderung menjadi beban negara (pemerintah harus ikut<br />

mengucurkan dana BOS untuk sekolah swasta dan memenuhi tunjangan sertifikasi guru-guru<br />

swasta). Sarana dan prasarana sekolah-sekolah negeri menjadi kurang terurus lagi. Keberadaan para<br />

Pengawas (Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran) ikut merunyamkan ketersendatan<br />

kemandirian suatu sekolah, campur tangan mereka terlalu dalam. Memang harus diakui bahwa tiap<br />

pemerintahan memerlukan birokrasi. Namun birokrasi sering menimbulkan efek negatif, lamban,<br />

berbelit-belit karena harus “mengikuti aturan” yang banyak lika-likunya. Lalu muncul keluhan<br />

“jangan terlalu birokratis”. Untuk itulah diperlukan reformasi birokrasi, bahkan ada Kementerian<br />

Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yang khusus mengurus penataan ulang<br />

birokrat agar sesuai dengan Nawa Cita sehingga dapat mendukung ketercapaian Trisakti :<br />

- Berdaulat di bidang politik<br />

- Berdikari dalam bidang ekonomi<br />

- Berkepribadian dalam kebudayaan<br />

Apa kaitannya dengan kurikulum?<br />

Kita sudah tidak berdaulat di bidang politik akibat keterjajahan kita dalam bidang teknologi.<br />

Ketergantungan kita pada teknologi asing sangat besar, terutama dalam bidang teknologi komunikasi<br />

Kita bukannya mengejar ketertinggalan teknologi ini, malahan menghapus Mata Pelajaran TIK dari<br />

80<br />

90


kurikulum. Mata pelajaran TIK yang sangat sulit dan cakupannya sangat luas ini hendak<br />

diintegrasikan ke mata pelajaran lain. Mana mungkin? Jadilah bangsa ini sejak dini sudah diprogram<br />

untuk hanya menjadi sekedar user yang konsumtif.<br />

Akibat lanjutannya, bangsa ini sudah diprogram hanya menjadi sekedar konsumen, bukan produsen,<br />

sehingga kita juga terjajah secara ekonomi.<br />

Sebagai bangsa yang konsumtif, kita juga mudah terpengaruh oleh kebudayaan asing, gejala kebaratbaratan,<br />

kearab-araban, dan ke korea-koreaan telah menjadikan kita tidak lagi berkepribadian dalam<br />

bidang kebudayaan.<br />

Untuk itulah diperlukan MBS (manajemen berbasis sekolah) agar pendidikan dikembalikan ke roh<br />

asalinya, yaitu pendidikan kontekstual berbasis kearifan lokal (bukan penyeragaman kurikulum<br />

secara nasional yang dikawal oleh para Pengawas, yang justru menggerus kearifan lokal dan<br />

keunggulan lokal). Untuk mengatasi manajemen ala birokrat ini diperlukan reformasi birokrasi.<br />

Untuk memahami pola baru reformasi birokrasi itu, dibuatlah dikotomi berikut :<br />

POLA LAMA<br />

Subordinasi<br />

Pengambilan keputusan terpusat<br />

Ruang gerak kaku<br />

Pendekatan birokratis<br />

Sentralistik<br />

Serba diatur<br />

Regulasi berlebihan<br />

Mengontrol<br />

Mengarahkan<br />

Menghindari resiko<br />

Gunakan semua dana<br />

Individu-individu<br />

Informasi terpusat<br />

Pendelegasian<br />

Organisasi berjenjang<br />

POLA BARU<br />

Otonomi<br />

Pengambilan keputusan partisipatif<br />

Ruang gerak luwes<br />

Pendekatan profesional<br />

Desentralistik<br />

Motivasi diri<br />

Deregulasi<br />

Mempengaruhi<br />

Memfasilitasi<br />

Mengelola resiko<br />

Efisiensi pemakaian dana<br />

Tim<br />

Informasi terbagi<br />

Pemberdayaan<br />

Organisasi mendatar<br />

Otonomi pendidikan ini sebenarnya sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas,<br />

Pasal 20 PP No.19 tahun 2005 dan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 tahun 2013<br />

91<br />

81


Tanpa otonomi, tidak ada MBS 70 yang ada adalah manajemen ala Kemdikbud atau Pengawas.<br />

Kemdikbud sibuk dengan urusan persekolahan, sehingga Kemdikbud lupa pada dilema terbesar<br />

bangsa ini, yaitu tingginya angka drop out dan besarnya pekerja anak<br />

(Jumlah SD : 148.361, jumlah SMP : 36.425, jumlah SMA : 10.765, jumlah SMK : 7.592 Terlihat<br />

bahwa jumlah anak yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi masih sangat besar,<br />

meskipun sudah diluncurkan program sekolah gratis dan telah dikucurkan macam-macam program<br />

bea siswa) Pasti ada sesuatu yang salah hingga angka drop out ini masih sangat tinggi. Inilah tugas<br />

pokok dari pemerintah sehingga Kemdikbud bisa memenuhi tuntutan Pasal 3 UU Sisdiknas<br />

(pemerataan pendidikan tanpa diskriminasi), bukan malah sibuk dengan program tebar uang melalui<br />

sertifikasi guru yang tak terkait dengan kinerja guru dan kompetensi guru, pemberlakuan UN dan<br />

kurikulum baru yang menghabiskan anggaran besar, padahal di berbagai ketentuan dalam<br />

permendikbud masih digunakan kata “KTSP” (berarti masih berputar-putar di pemaknaan kata<br />

“KTSP” atau Kurikulum keluaran tahun berapa ?) Kalau melihat arti harafiah dari KTSP :<br />

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, maka sebenarnya pemerintah tidak perlu meluncurkan<br />

Kurikulum 2013 (lihat Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 pada PP No. 32 Tahun 2013). Pemerintah<br />

cukup menambahkan bahan-bahan/materi yang hilang dari kurikulum, hingga para siswa dapat<br />

mengerjakan soal-soal TIMSS dan PISA dengan baik 71 Untuk itu diperlukan kajian sejarah<br />

pendidikan Indonesia, pernahkah kurikulum kita menjadi rujukan negara tetangga? Kapan<br />

kurikulum kita sangat lengkap dalam menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan?<br />

Dari kajian sejarah pendidikan Indonesia ini akan terlihat jelas, bahwa setiap kali ada<br />

pergantian kurikulum, bahan ajar/materi justru makin berkurang, karena pemerintah berkukuh<br />

berupaya meningkatkan kemampuan (kompetensi) generasi muda Indonesia sehingga dapat<br />

menjawab kebutuhan tenaga kerja usia produktif. Kompetensi selalu terkait dengan batas atas (batas<br />

maksimal) materi/bahan ajar yang harus dikuasai siswa secara individual. Supaya tidak terlalu<br />

membebani siswa, maka batas atas ini selalu diturunkan, materi makin berkurang agar tidak<br />

memberatkan siswa. Mula-mula di tahun 1984, pemerintah menghapus “benang merah”<br />

aktualisasi penajaman fungsi otak kiri, yaitu menghapus Ilmu Bumi Falak (astronomi),<br />

Matematika tiga dimensi (Stereometri, Analit dan Kalkulus I + Kalkulus II), serta Menggambar<br />

Teknik (ornament, perspektif dan proyeksi) dan menghapus “benang merah” penajaman fungsi<br />

otak kanan : Pengetahuan Umum dengan menghapus Peta Buta dan Sejarah Dunia, Kreativitas<br />

70<br />

Implementasi MBS diukur melalui ISO 9001:2008<br />

71<br />

Banyaknya materi uji yang ditanyakan dalam TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam Kurikulum Indonesia disebut<br />

dalam Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal, yang diulang pada<br />

Permendikbud No.68, No.69 dan No.70 Tahun 2013 tergantung unit sekolahnya)<br />

82<br />

92


dengan menghapus Prakarya, kepekaan indrawi dengan menghapus not balok dalam musik diganti<br />

dengan menyanyi (seni suara) menggunakan not angka. Lalu di tahun 1994 merembet ke<br />

pengurangan bahan ajar/materi di dalam Mata Pelajaran, dengan dihapuskannya Logika (Persamaan<br />

Tersamar) dari Matematika, Pemberdayaan Masyarakat Madani (Civics) dari PKn, Enam Belas<br />

Tenses dari Bahasa Inggris, Penggaraman dan Kimia Analitik dari Kimia, Mendongeng dan Membuat<br />

Karya Tulis Ilmiah dari Bahasa Indonesia, dll Nampak bahwa bahan ajar/materi itu makin lama<br />

makin miskin. Hakekat pendidikan di sekolah, yaitu “membentuk manusia pembelajar” dan<br />

“menjadikan sekolah sebagai rumah kedua” makin jauh dari angan-angan, karena “benang<br />

merah” lintas ilmu terputus (ada begitu banyak bahan ajar/materi yang hilang) sehingga siswa<br />

bukan lagi belajar untuk kehidupan tetapi belajar untuk lulus Ujian Nasional. Budaya<br />

organisasi menjadi samar, misalnya budaya ilmiah dan budaya pembelajar tergantikan budaya visual<br />

(dulu dengan seringnya menonton TV, sekarang dengan main gawai (gadget), yang ditopang dengan<br />

budaya instant : mau cepat memperoleh hasil, tanpa perlu kerja keras.<br />

Apa yang salah dari Kurikulum 2013 terkait dengan kajian sejarah pendidikan Indonesia ini ? Dari<br />

paparan penanggung jawab Kurikulum 2013, yang dirujuk oleh para guru inti dan sekarang dijadikan<br />

pedoman oleh para instruktur nasional, nampak bahwa perubahan kurikulum dimaknai sebagai<br />

“kaleidoskop” tahun pergantian kurikulum (Kaleidoskop itupun dimulai dari tahun 1984, tidak<br />

merujuk sampai ke tahun 1968 dan tahun 1975 : saat kurikulum kita masih sangat lengkap dalam<br />

menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri). Akibatnya kajian tentang “apa sebabnya kurikulum itu<br />

diganti” dan “apa dampaknya bagi dunia pendidikan Indonesia” terlewatkan, menjadi hanya sekedar<br />

urutan peristiwa (kaleidoskop), Sebagai sekedar urutan peristiwa (kaleidoskop), maka manajemen<br />

kelasnya tidak ikut terteropong, dikira hanya terdiri dari kelas pasif (metode ceramah) dan kelas aktif<br />

(metode cara belajar siswa aktif), padahal hakekat menajemen kelas yang sesungguhnya adalah<br />

upaya penyeimbangan otak kiri dan otak kanan (menumbuhkan budaya kritis dalam bingkai<br />

keadaban publik). Hakekat MBS yang sesungguhnya bertumpu pada hal ini.<br />

Road map penyusunan MBS yang menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan sebenarnya sudah<br />

dirumuskan dalam Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian I A No.2 c :<br />

No. 7 Pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users) dengan<br />

memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik<br />

Ketentuan ini mengharuskan guru untuk membuat pemetaan kelas berdasar minat dan bakat siswa<br />

dengan menggunakan multiple intelligence. Siswa yang kurang menguasai Matematika, barangkali<br />

bakatnya di bidang musik, sehingga strategi pembelajaran matematika harus diubah agar siswa yang<br />

berbakat di bidang musik, tetap dapat memperoleh pengetahuan matematika minimal yang<br />

93<br />

83


dipersyarakatkan untuk dapat naik kelas (pindah jenjang kompetensi), bukan dengan menyuruhnya<br />

mengikuti remedial berulang, yang hasilnya bisa kontraproduktif<br />

No. 8 Pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline) menjadi<br />

pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplines);<br />

Ketentuan ini mengharuskan guru menyusun Analisa Horizontal secara benar. Misalnya guru Bahasa<br />

Inggris yang mengajar tentang greetings harus yakin bahwa etiket sudah diajarkan di Pelajaran<br />

Agama dan Budi Pekerti, serta guru Bahasa Indonesia sudah mengajar “kalimat” (Kalimat Tanya,<br />

Kalimat Intransitif, Kalimat Seruan, dll) sehingga sinambung dengan greetings; Guru seni suara yang<br />

mengajar lagu-lagu kebangsaan harus yakin bahwa guru sejarah sudah mengupas tentang sejarah<br />

Sumpah Pemuda sampai Sejarah Kemerdekaan Indonesia. Dengan Analisa Horizontal yang benar,<br />

maka siswa akan terbiasa belajar lintas ilmu, suatu modal penting untuk belajar multi disiplin, seperti<br />

tematik integratif atau IPA Terpadu/IPS Terpadu.<br />

No. 1 Pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada<br />

peserta didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang<br />

dipelajari untuk memiliki kompetensi yang sama;<br />

Ketentuan ini mengharuskan guru melakukan Analisa Vertikal. Bahan ajar/materi disusun<br />

berjenjang, mulai dari yang paling mudah sampai yang paling sukar. Siswa dapat memilih bahan<br />

ajar/materi dari bawah ke atas secara langsung (dari mudah ke sukar), atau zigzag (mengambil semua<br />

yang mudah dulu, baru kemudian mengambil semua yang agak sukar, lalu terakhir : mengambil<br />

semua bahan/materi yang sukar) sesuai dengan kebutuhannya. Pola ini adalah pola pemberlakuan<br />

SKS (bukan paket SKS). Guru perlu menyiapkan modul yang berkelanjutan, program pengayaan<br />

yang mencerahkan, dan monitoring proses belajar yang tepat sehingga setiap siswa dapat belajar<br />

menurut irama dan kecepatannya sendiri.<br />

Dengan demikian, MBS yang diacu oleh Kurikulum 2013 seharusnya sejak awal bertumpu<br />

pada multiple intelligence. Hanya saja, selalu ada gap antara gagasan dan implementasi, gagasangagasan<br />

bagus itu hanya ditempelkan pada Kurikulum 2013, sehingga Kurikulum 2013 disebut<br />

menganut filsafat eklektisme, bukan esentialisme.<br />

Pemerintah sebagai pendidik masyarakat ?<br />

Kementerian Pendidikan telah bertransformasi menjadi Kementerian Persekolahan dan Dinas<br />

Pendidikan telah memformulasikan dirinya menjadi Dinas Persekolahan. Apakah pemerintah mau<br />

mengambil alih peran sekolah dan pemerintah hendak terjun langsung sebagai pendidik masyarakat?<br />

Kenapa pertanyaan ini penting diajukan? Karena sekolah sudah dibebani dengan berbagai<br />

macam isian dan tabel dalam Dapodik, Padamu Negeri, dll formula pengisian segala macam laporan,<br />

evaluasi diri, portofolio, semuanya dengan lampiran, selalu tentang hal yang sama, tetapi dengan<br />

84<br />

94


kode, urutan, dan logika yang berbeda. Sering terjadi, Kemdikbud mengubah sistim, dan sekolah<br />

harus mengirim data sekali lagi, lagi, dan lagi. Sebetulnya keluhan semacam ini bukan sesuatu yang<br />

baru, karena dalam pengelolaan pendidikan kita, sudah lama ada kesan bahwa pemerintah<br />

cenderung bersikap birokratis dari pada visioner dan inovatif, cenderung melakukan instruksi<br />

dan pengontrolan rutin dengan penggandaan formulir-formulir resmi untuk diisi dari pada<br />

menawarkan visi pendidikan yang baru dalam tataran akademis, sehingga tugas pokok<br />

pemerintah cq Kemdikbud seperti yang dirumuskan dalam Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas menjadi<br />

terbengkalai.<br />

Contoh : Kemdikbud yang lalai pada Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas dan sibuk berkemas memasuki<br />

ruang privat yang sebenarnya mengingkari motto Kemdikbud sendiri (tut wuri handayani) dan<br />

mengubahnya menjadi tut wuri hanggondeli : Direktur Pembinaan PAUD Ella Yuleawati<br />

menambahkan, sekolah yang terpilih sebagai penyelenggara program pendidikan keluarga akan<br />

mendapat pelatihan tentang pendidikan keluarga, misalnya cara mendidik anak. “Pelatihan untuk<br />

para pendidik dan tenaga kependidikan serta kepada para orang tua dan wali murid di sekolah”,<br />

ujarnya. (Pendidikan Keluarga Sasar 5000 lembaga, Kompas, Kamis 13 Agustus 2015 halaman 11)<br />

Jikalau pendidikan dibawahkan pada kepentingan pemerintah, pendidikan akan cenderung<br />

menjadi ideologi dan tidak mengacu pada kepentingan “kemanusiaan” yang menjadi tolok ukur<br />

pendidikan par excellence. Hal ini bukannya menafikan peran negara modern untuk mengatur<br />

pendidikan, melainkan menegaskan bahwa perannya seharusnya hanya sebatas memfasilitasi saja<br />

penyelenggaraan pendidikan oleh dan untuk masyarakat. (lihat Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas)<br />

Memang negara yang taraf demokrasinya masih rendah biasanya cenderung mengkooptasi<br />

semua kegiatan masyarakat di bawah sayapnya. 72 Kecenderungan seperti itu tampak sekali dalam<br />

awal-awal munculnya negara-bangsa (nation-state) di Eropa yang secara alami bersifat absolut dan<br />

rupanya masih mengena pada negara-negara yang masih muda dewasa ini. Negara lalu bersifat<br />

totaliter karena mau mengatur segala sesuatu, baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun<br />

sosial, termasuk orientasi pendidikan tentu saja, 73 dengan pengandaian bahwa rakyat atau masyarakat<br />

belum mampu berpikir sendiri atau belum dewasa untuk mengatur hidup bersama 74<br />

Prinsip itulah yang selalu dikemukakan oleh para pejabat Kemdikbud. “Para guru selalu disalahkan<br />

sebagai pihak yang tidak becus membuat kurikulum, padahal selama ini para guru selalu patuh pada<br />

72<br />

Lihat perubahan dramatis isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013<br />

73<br />

Pemerintah tidak lagi fokus pada arah dan tujuan pendidikan nasional (Pasal 3 UU Sisdiknas) dan kebijakan<br />

pengelolaan pendidikan nasional dan layanan pendidikan yang bermutu (Pasal 11 UU Sisdiknas) serta perumusan<br />

SPM dan MBS (Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas)<br />

74<br />

Ingat wacana pembentukan Direktorat Keayah-bundaan, yang dikukuhkan menjadi Direktorat Pembinaan<br />

Pendidikan Keluarga<br />

95<br />

85


arahan Dinas Pendidikan setempat dan selalu melaksanakan semua instruksi dari Dinas Pendidikan<br />

dan para Pengawas” (Kompas, 29 November 2012, “Ini Alasan Dirombaknya Kurikulum”). Kalau<br />

kita tengok ke belakang, sampai dengan tahun awal 1984, kurikulum dan persekolahan kita selalu<br />

menjadi rujukan dari negara tetangga. Para guru kita banyak yang diminta untuk mengajar di<br />

Malaysia dan Sekolah Indonesia di berbagai kota di luar negeri diminati juga oleh warga asing.<br />

Semuanya berubah merosot drastis sejak pemerintah berupaya mengkooptasi semua kegiatan<br />

dibawah ketiak sayapnya, didukung oleh membanjirnya dana (20% dari APBN itu harus mampu<br />

diserap oleh Kemdikbud). Kemdikbud lalu tergoda untuk membuat program bagi-bagi duit melalui<br />

sertifikasi guru yang tak terkait kinerja guru, penyelenggaraan UN dan kurikulum tunggal serta<br />

seragam secara nasional, lupa pada Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas, lalu ikut menyusun buku ajar dan<br />

buku pegangan guru serta ikut merumuskan sistim penilaian, lupa pada isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun<br />

2005. 75 Pemerintah lupa pada adagium universal : segala sesuatu yang sifatnya top down dan<br />

massal, pasti kualitasnya sulit terkontrol. Itulah sebabnya muncul cabang baru dalam ilmu<br />

manajemen yaitu TQM (Total Quality Management). Sayangnya, Kemdikbud abai menerapkan<br />

TQM di unit-unit kerjanya. Lihat saja kasus keterlambatan pembagian ijazah saat ini, yang hanya<br />

dianggap sebagai urusan administrasi saja, bukan perkara hak azasi lulusan untuk memperoleh ijazah<br />

asli seperti yang dituntut berbagai lembaga untuk studi lanjut atau untuk bekerja.<br />

Kemdikbud memang merencanakan untuk mengubah tunjangan sertifikasi guru menjadi<br />

tunjangan kinerja guru, namun masalahnya sudah terlanjur rumit dengan adanya :<br />

- Perubahan dari Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, yang<br />

memangkas wewenang dan hak guru : guru hanya dijadikan tukang mengajar dan petugas<br />

administrasi pengajaran saja.<br />

- Munculnya Lampiran Permendikbud No.65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b tentang Pengawas<br />

Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran, yang menjadikan Kemdikbud sebagai konseptor,<br />

inisiator, implementor, dan eksekutor serta evaluator keseluruhan proyek Kurikulum 2013,<br />

sesuatu yang menyalahi sepuluh prinsip good governance dan debirokratisasi dan deregulasi<br />

yang sudah lama digaungkan oleh pemerintah sendiri. Sekolah sungguh-sungguh terkooptasi<br />

dibawah ketiak Kemdikbud dan Dinas Pendidikan. Kreativitas guru menjadi beku.<br />

Kehadiran para Pengawas ini sejatinya melanggar ketentuan Pasal 10 UU Sisdiknas :<br />

“Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu dan<br />

mengawasi penyelenggaraan pendidikan”, bukan mengawasi penyelenggara pendidikan<br />

(sekolah), tetapi hanya mengawasi penyelenggaraan pendidikan (proses pendidikan)<br />

75<br />

Bandingkan isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 dengan isi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013<br />

86<br />

96


Dengan sikap kooptasi ini, banyak orang kemudian mengritik persekolahan kita, yang satu<br />

menganggap kurikulumnya kurang relevan, yang lain merasa sekolah mengasingkan anak didik dari<br />

kenyataan, yang lain lagi mengatakan bahwa sekolah mengajarkan hal-hal yang ketinggalan jaman,<br />

kurang memperkembangkan intelegensi, terlalu didasarkan rasa takut melanggar arahan Pengawas,<br />

menghambat kreativitas anak, dan sebagainya. Akan tetapi dalam segalanya itu, persoalannya<br />

sebetulnya sederhana saja. Sekolah menjadi seperti itu karena kita menghendakinya demikian.<br />

Jikalau hal itu tidak berjalan dengan baik, tak ada jalan lain kecuali mengubahnya. Sekolah harus<br />

diubah. Beranikah kita mengubahnya?<br />

Sekolah harus kembali pada Visi dan Misi sekolah masing-masing, tidak bisa seperti<br />

sekarang, apapun Visi dan Misi sekolahnya, kurikulumnya sama. Ingat, kita pernah mengalami<br />

kejayaan pendidikan pada saat pemerintah menjamin kebebasan mimbar akademik sejak pendidikan<br />

dini. Kebebasan mimbar akademik ini pula yang memacu perguruan tinggi untuk terus berinovasi<br />

dan meningkatkan rankingnya dalam Webometrics Ranking of World Universities – namun<br />

semuanya sirna di level pendidikan dasar dan pendidikan menengah.<br />

Untuk itulah, di PGSD/FKIP perlu diajarkan Sejarah Pendidikan dimana kita dapat merunut<br />

kenapa pendidikan kita makin lama makin merosot, materi ajar makin miskin dan bentuk soal makin<br />

konseptual (bukan metakognitif). Padahal kurikulum kita pernah menjadi rujukan negara tetangga<br />

dan Sekolah Indonesia di luar negeri pernah sangat diminati warga asing (sekarang, diplomat<br />

Indonesiapun tidak sudi menyekolahkan anaknya di Sekolah Indonesia karena kualitasnya merosot)<br />

Apa perlunya kebebasan mimbar akademik itu tetap dilestarikan di pendidikan dasar dan<br />

menengah ?<br />

Kebebasan akademik merupakan asas yang mendorong berlangsungnya proses-proses penelitian<br />

tindakan kelas (PTK) dan penelitian tindakan sekolah (PTS), debat, pembelajaran dan publikasi<br />

ilmiah melalui blog atau laman yang diakui secara luas (seperti guraru dan quipper school) 76 yang<br />

tak terbelenggu di sekolah. Dengan demikian, guru terasah untuk belajar seumur hidup (long life<br />

education)<br />

Oleh sebab itu, bila kebebasan mimbar akademik ini dikembangkan, maka akan tumbuh kesadaran<br />

para guru untuk mengembangkan profesionalitasnya sendiri, seperti yang sudah terjadi pada<br />

kurikulum-kurikulum sebelumnya. Dengan kata lain, kebebasan mimbar akademik sudah<br />

ditunjukkan pada Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : kebebasan mimbar akademik dieksplisitkan<br />

dalam kebebasan dalam pembuatan silabus, penentuan materi ajar dan sumber belajar, serta<br />

76<br />

Guraru (Guru era baru) : www.guraru.org dan Quipper school : www.quipperschool.com<br />

97<br />

87


penentuan buku pegangan guru sehingga guru dapat melaksanakan penilaian secara benar. Dalam<br />

proses penyusunan secara mandiri itu, guru harus memperhatikan kondisi sekolah, potensi siswa dan<br />

daya dukung lingkungannya. Kebebasan mimbar akademik ini dirampas melalui Pasal 20 PP No. 32<br />

Tahun 2013. Kemdikbud tidak boleh bertransformasi menjadi Kementerian Persekolahan supaya<br />

fokus pada Visi dan Misi Kemdikbud, yang tersurat dan tersirat dalam pelaksanaan Pasal 3 UU<br />

Sisdiknas 77 , dan Pasal 11 UU Sisdiknas 78 , serta Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas 79 . Dalam kaitan inilah,<br />

keberadaan para Pengawas menjadi tidak relevan (fungsi pengawasan adalah bagian inheren dari<br />

profesionalitas guru), sedangkan keberadaan Pengawas adalah simbol hegemoni pemerintah yang<br />

selalu mengontrol, cermin dari sentralisasi pendidikan (Lihat Catatan kaki No.4). Padahal Presiden<br />

Gus Dur sudah memulai desentralisasi pendidikan (pendidikan yang kontekstual dan kondisional,<br />

sesuai dengan Visi dan Misi sekolah masing-masing)<br />

Dari sebab itu, untuk mengeliminir peran Pengawas, tanggung jawab untuk sertifikasi guru<br />

merupakan tanggung jawab pribadi, bukan lagi urusan negara, sehingga anggaran besar untuk<br />

penyelenggaraan program Diklat sertifikasi itu dapat dialihkan untuk pengembangan sarana dan<br />

prasarana pendidikan di tanah air.<br />

Maka langkah Kemdikbud untuk menjadikan program pelatihan sertifikasi guru menjadi satu tahun<br />

(bukan Diklat 3 hari) dan menjadikannya tanggung jawab pembiayaan pribadi guru patut diapresiasi.<br />

Bukankah profesi yang lain melakukan hal yang sama? Misalnya ujian advokat adalah urusan<br />

pribadi masing-masing lulusan Fakultas Hukum, bukan diurus dan dibiayai oleh negara. Pendidikan<br />

profesi dokter spesialis adalah urusan pribadi para dokter umum, bukan diurus dan dibiayai oleh<br />

negara . Kalau guru mau disebut sebagai profesi, maka peningkatan profesionalisme seorang guru<br />

adalah urusan pribadi, bukan urusan negara.<br />

Dengan demikian, anggaran program sertifikasi guru yang begitu besar, dapat dialihkan untuk<br />

pembinaan dan supervisi Manajemen Berbasis Sekolah dan Manajemen Berbasis Kelas, sehingga<br />

sekolah kategori mandiri itu bukan hanya slogan atau spanduk kosong, tapi betul-betul menciptakan<br />

kemandirian sekolah dalam artian swadana dan swakelola. Bukankah sekolah-sekolah ternama di<br />

77<br />

Pasal 3 UU Sisdiknas : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta<br />

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk<br />

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha<br />

Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta<br />

bertanggung jawab.<br />

78<br />

Pasal 11 ayat 1 UU Sisdiknas : Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta<br />

menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.<br />

79<br />

Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas : Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan<br />

menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal (SPM) dengan prinsip manajemen berbasis<br />

sekolah/madrasah (MBS).<br />

98<br />

88


luar negeri selalu memegang teguh tradisi swadana dan swakelola ini? Misalnya Sekolah De La Salle<br />

Manila, Bangkok, HongKong semuanya tidak membebani pemerintah (swadana dan swakelola).<br />

Independen dan menghindar dikooptasi. Hanya dengan modal itu, kebebasan manajemen berbasis<br />

sekolah bisa ditegakkan di sekolah, menuju pada sertifikasi manajemen ISO 9001:2008 Tugas<br />

pemerintah adalah memenuhi terlaksananya Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas, yaitu terumuskannya SPM<br />

berbasis MBS.<br />

B. Apa tolok ukur keberhasilan perumusan SPM itu ?<br />

- Para guru tahu target kurikulumnya. Apa yang mesti diupayakan agar standar pelayanan<br />

minimal itu tercapai, syukur kalau bisa terlampaui<br />

- Para guru merujuk lagi ke bahan-bahan dari Kurikulum 1975 dimana penyeimbangan otak<br />

kiri dan otak kanan dijaga secara tangible (tidak ada lagi bahan yang tidak ada dalam<br />

kurikulum kita sebagaimana disinyalir dalam Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A<br />

No. 2 b : Tantangan Eksternal, yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014<br />

Bagian I A No.2 b), maka para siswa kita mampu bersaing di era global, yang ditunjukkan<br />

dengan kemampuan mengerjakan soal-soal TIMSS dan PISA secara benar, sebab tolok ukur<br />

kualitas pendidikan itu sampai sekarang masih menggunakan score capaian test pada TIMSS,<br />

PISA dan PIRL<br />

- Para guru dapat menyusun Analisa Konteks sehingga pendidikan menjadi kontekstual dan<br />

situasional. Guru kembali kepada harkatnya yaitu menjadi pendidik dan pendamping<br />

generasi muda, bukan melayani penguasa (Pengawas dan Kemdikbud/Dinas Pendidikan)<br />

- Melalui implementasi MBS, manajemen sekolah dapat terstandarisasi hingga memperoleh<br />

sertifikat ISO 9001:2008<br />

Dengan terjaganya kebebasan mimbar akademik, SPM dapat diolah oleh masing-masing sekolah<br />

(bottom up) secara spesifik sesuai Analisa Konteksnya, seperti misalnya apa prasyarat yang harus<br />

dipenuhi agar seorang anak dapat naik ke kelas 5 SD? Apa prasyarat yang harus dipenuhi agar<br />

seorang anak dapat lulus SMP sehingga cukup bekalnya dalam penentuan jurusan di SMA? Dengan<br />

kata lain, SPM yang dimaksud adalah SPM yang melalui Analisis vertikal pada Analisis Kurikulum.<br />

Bahan apa yang diperlukan di jenjang bawah untuk melancarkan program pembelajaran di kelas di<br />

atasnya. Misalnya untuk dapat bermain ular tangga di kelas 5 SD, maka dikelas 4 SD, anak sudah<br />

diajar Basis Bilangan, dan sudah paham bahwa basis bilangan dadu itu adalah 6, sehingga anak sudah<br />

belajar teori peluang (probabilitas) di kelas 4 SD. Kalau ada 6 bilangan (1, 2, 3, 4, 5, 6) maka peluang<br />

(probabilitas) untuk mendapat angka 1 adalah 1/6 (satu dari enam kemungkinan yang ada). Begitu<br />

juga peluang untuk mendapat angka yang lain. Lalu dibuktikan dengan melempar dadu di kelas.<br />

99<br />

89


Di Kelas 5 SD, anak belajar permutasi dan kombinasi, sehingga permainan ular tangga mempunyai<br />

dasar pencerahan bagi anak, bukan sekedar main-main.<br />

Kalau SPM disusun secara top down 80 , maka ada bahaya bahwa yang dipersyaratkan adalah<br />

sarana dan prasarana minimal yang harus ada di sekolah, yang justru menafikan pepatah “tak ada<br />

rotan, akarpun jadi” (tanpa tersedianya kelengkapan minimal itu, seharusnya proses pembelajaran<br />

tetap bisa berjalan dengan baik). Kreativitas guru dalam menyiasati keterbatasan sarana dan<br />

prasarana tidak terasah. Misalnya kalau tidak ada dadu, apakah pelajaran teori peluang (probabilitas)<br />

akan terhenti ? Tentu saja tidak, para guru dapat mencari kartu domino, basis bilangannya juga 6.<br />

Kalau tidak ada kartu domino, bagaimana? Para guru bisa menggunakan permainan bola bekel, basis<br />

bilangannya juga 6. Kalau tidak ada bola bekel, bagaimana? Para guru dapat menyuruh muridnya<br />

menebak, ada berapa isi biji di dalam buah manggis, tanpa membuka buahnya (basis bilangannya<br />

juga 6). Dengan menggunakan SPM yang bottom up (disusun sendiri) oleh sekolah, maka semua<br />

permainan tradisional yang mencerahkan akan tergali lagi (tidak tergantung pada sarana dan<br />

prasarana “modern”). Analisa konteks membuat pelajaran membumi. Dana BOS tidak terhambur<br />

untuk membeli berbagai peralatan canggih, yang tidak kita ketahui teknologinya, sehingga kalau<br />

rusak, tidak bisa kita diperbaiki.<br />

SPM (standar pelayanan pendidikan minimal) merupakan batas bawah (batas minimal) bahan<br />

ajar/materi yang harus dikuasai siswa. Misalnya : Bahasa Indonesia : Indikator : Siswa dapat<br />

membuat puisi. Indikator keberhasilannya : Siswa dapat membuat kalimat yang mempunyai rima<br />

dan irama. SPM : Siswa dapat menyusun kalimat dengan ragam bunyi euphony. Artinya : semua<br />

siswa tanpa kecuali harus mampu menyusun puisi yang menggambarkan perasaan cinta, riang dan<br />

semangat. Ketuntasannya harus 100%, baru bisa pindah ke materi lain, yaitu membuat pantun.<br />

Mengapa? Karena membuat puisi lebih mudah dari membuat pantun. Kalau siswa tidak sungguhsungguh<br />

menguasai pembuatan kalimat yang mempunyai rima dan irama, akan sukar baginya untuk<br />

membuat sampiran dan isi yang homofon, yang dituntut dalam pantun<br />

Contoh lain : Kimia : Indikator : Siswa dapat mempraktekkan reaksi penggaraman. Indikator<br />

keberhasilannya : Siswa dapat menyusun tata nama garam kompleks. SPM : Siswa dapat menyusun<br />

tata nama garam basa sekunder dan garam asam sekunder. Artinya : semua siswa tanpa kecuali harus<br />

mampu mereaksikan asam monovalen + basa polivalen atau basa monovalen + asam polivalen.<br />

Ketuntasannya harus 100%, baru bisa pindah ke topik lain, misalnya asidi alkalimetri. Kalau KKMnya<br />

: 75, maka tuntutan ketuntasan pada SPM tetap 100%, artinya siswa yang hanya mampu mengerti<br />

75% bahan ajar/materi itu tetap tidak tuntas. Mengapa?<br />

80<br />

SPM yang top down : Permendikbud No. 23 Tahun 2013 untuk SD dan SMP<br />

90<br />

100


Karena bahan ajar itu merupakan prerequisite untuk bahan ajar/materi berikutnya. Kalau siswa tidak<br />

sungguh-sungguh mengerti bahan ajar.materi ini, akan sukar bagi siswa untuk memahami materi<br />

berikutnya. Rantai pemahamannya putus. Kalau siswa tidak menguasai keseluruhan konsep<br />

bahan/materi itu (tidak menguasai 100% bahan/materi itu), maka siswa harus mengikuti program<br />

peningkatan pemahaman melalui penerapan strategi baru.<br />

Dari contoh di atas, nampak bahwa SPM itu berbeda dengan tingkat kompetensi. SPM<br />

merupakan batas bawah (batas minimal) yang harus dikuasai semua siswa : siswa harus tuntas 100%<br />

(harus sungguh-sungguh mengerti) sebelum pindah ke topik lain. SPM adalah pintu masuk ke sistim<br />

baku SKS (bukan paket SKS). Sedangkan tingkat kompetensi adalah batas atas (batas maksimal)<br />

yang bisa dicapai oleh siswa secara individual. Kalau KKM-nya : 75. Siswa yang pandai bisa tuntas<br />

100%, siswa yang lain, sekurang-kurangnya harus menguasai 75% bahan/materi. Kalau siswa baru<br />

menguasai 50% bahan/materi, siswa tersebut harus mengikuti mengulang lagi (remedial) sampai dia<br />

mengerti 75% dari bahan itu (tidak perlu menguasai sampai 100% dari bahan itu). Tingkat<br />

Kompetensi digunakan dalam paket SKS (bukan sistim baku SKS). Paket SKS sudah jamak<br />

dilakukan pada sekolah-sekolah unggulan atau sekolah-sekolah mantan RSBI dulu atau pada<br />

sekolah-sekolah yang mempunyai kelas akselerasi.<br />

Masalah serius timbul di TK. Karena (1) TK disamakan dengan play group dan disebut<br />

PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). (2) Karena penyamaan itu, Dinas Pendidikan dan Pengawas,<br />

melarang keras pengajaran “calistung” di PAUD, padahal di kelas 1 SD, siswa langsung dihadapkan<br />

dengan KI 1 dan KD 1.1. Tanpa kemampuan membaca, menulis dan berhitung di kelas 1 SD, usia<br />

emas pembelajaran anak (balita) akan terlewati dengan sia-sia.<br />

Tanpa perumusan SPM akademik, para siswa tidak tahu lagi apa tujuan dan target dia belajar,<br />

sehingga belajar menjadi nir makna. Waktu luangnya bukan dipakai untuk menambah wawasannya,<br />

tapi dipakai untuk sosial media yang uncontrolled sehingga segala paham bisa masuk tanpa filter.<br />

Simpulan : Selama arah dan tujuan pendidikan nasional tidak dijabarkan secara operasional<br />

dalam rumusan SPM dan MBS yang kontekstual dan situasional, maka yang terjadi bukan penajaman<br />

fungsi otak kanan dan otak kiri, tapi justru pengabaian prinsip transparansi dan akuntabilitas publik<br />

dalam perumusan kebijakan pendidikan 81 , sehingga kebijakan pengelolaan pendidikan menjadi<br />

uncontrolled (pemerintah mengharap peningkatan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan<br />

81<br />

Eksistensi Pengawas muncul di Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b, mengabaikan ketentuan<br />

Pasal 66 ayat 2 UU Sisdiknas : “Pengawasan dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik”<br />

(bukan pengawasan menurut selera dan kriteria Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran) (Lihat Catatan<br />

kaki No. 4)<br />

101<br />

91


akademik 82 , yang terjadi justru pengetahuan tidak lagi dipandang sebagai art, akibatnya<br />

pembelajaran di luar kelas marak melalui bimbel dan sosial media , segala paham dan ide bisa masuk<br />

tanpa filter. Misalnya paham bahwa Biologi adalah hafalan (padahal Biologi termasuk dalam sains<br />

yang memerlukan logika), Fisika adalah kumpulan rumus-rumus sehingga perlu dicontek atau ditulis<br />

di meja siswa (padahal dengan menggunakan SPM, dapat diajarkan Fisika tanpa rumus). Pelajaran<br />

Agama dihayati sebagai pembeda terhadap liyan, dll<br />

Produk pendidikan yang kurang memperhatikan segi mutu ilmiah intelektual 83 akan<br />

membahayakan konstelasi sosial yang ada, sebab masyarakat menjadi semu dengan orang-orang<br />

yang berijazah, tetapi tidak “berilmu” (Kompas, Senin 14 Juli 2008 halaman 7 : Kaum Cerdik Pandai,<br />

Antara Ilmu dan “Ngelmu”)<br />

Kemdikbud sungguh-sungguh abai pada Nawa Cita No.5 : menciptakan strong human capital dan<br />

menjadikan pendidikan sebagai center of excellence.<br />

82<br />

Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A No. 3 yang di copy paste dalam Permendikbud No.57<br />

Tahun 2014 (lihat Catatan * di Kata Pengantar)<br />

83<br />

Penajaman fungsi otak kanan dan otak kiri, melalui pencarian materi yang hilang dari kurikulum kita<br />

102<br />

92


BAB III<br />

DUALISME PRANATA<br />

A. Desentralisasi vs Sentralisasi Pendidikan<br />

Kekeliruan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan<br />

langsung berimbas pada layanan pendidikan ke siswa. Kekeliruan yang tidak diperbaiki ini bisa<br />

dirunut dari pemaknaan tugas Tim Transisi dimana Dr.Anies Baswedan juga duduk didalamnya.<br />

Seharusnya sejak awal Tim Transisi mendalami sampai seberapa jauh kewenangan pemerintah pusat<br />

cq Kemdikbud dalam membina dan mengembangkan pendidikan di Indonesia dalam era otonomi<br />

daerah ini dengan mengkaji ketentuan pasal 50 ayat 5 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim<br />

Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : “Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar<br />

dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”. Melalui pasal<br />

ini sebenarnya keberadaan UN itu dipertanyakan. Dengan UN, keunggulan lokal menjadi tidak<br />

bermakna apa-apa. Pasal ini masih mempunyai “gigi” karena adanya kata “mengelola”.<br />

Kata”mengelola” dalam pasal ini diberi kekuatan hukum yang bersifat memaksa yaitu ketentuan<br />

Pasal 62 ayat 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) :<br />

“Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberi atau mencabut ijin pendirian satuan pendidikan”.<br />

Dengan kewenangan Pemda untuk memberi atau mencabut ijin pendirian sekolah ini, maka azas<br />

desentralisasi pendidikan mempunyai pijakan yang kuat. Oleh sebab itu, semua program terpusat<br />

seperti diklat/pelatihan guru yang seragam (yang mengabaikan situasi dan kondisi daerah yang<br />

beragam), serta program penyusunan kurikulum secara tunggal dan seragam di tingkat nasional<br />

seperti yang sudah dilakukan dalam Kurikulum 2013 (dan KTSP Bimtek) itu, jelas menabrak azas<br />

desentralisasi ini.<br />

Padahal kewenangan pemerintah dalam penyusunan kurikulum hanya sebatas penetapan<br />

kerangka dasar dan struktur kurikulum (Pasal 38 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim<br />

Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sebagaimana sudah ditunjukkan dalam Kurikulum 1968,<br />

Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan dicoba diusung kembali pada Kurikulum<br />

2006 (KTSP awal)<br />

Sedangkan kewenangan Pemerintah Daerah dalam kurikulum adalah sebatas koordinator dan<br />

supervisor pengembangan kurikulum oleh sekolah (bukan ikut sibuk menyusun kurikulum sendiri<br />

atau sibuk “memaksa” sekolah-sekolah untuk mengikuti Kurikulum 2013, tapi kewajiban Pemda<br />

adalah mengembangkan apa yang sudah ada di sekolah : Lihat Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas :<br />

“Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap<br />

kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi<br />

103<br />

93


dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan<br />

Propinsi untuk pendidikan menengah”.<br />

Koordinator dan supervisor untuk hal apa?<br />

Koordinator dan supervisor untuk pengembangan kurikulum seturut rumusan Standar Proses pada<br />

Kurikulum 2006 (KTSP awal) (Pengembangan Silabus, Pengembangan RPP, pelaksanaan<br />

PAKEM/PAIKEM/PAIKEM GEMBROT 84 , dan Penerapan Pembelajaran Kontekstual) karena<br />

pemerintah pusat (Kemdikbud) hanya menyusun Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum saja,<br />

sesuai ketentuan Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas.<br />

Maka dari itu, Tim Transisi seharusnya sejak awal membatalkan pemberlakuan Kurikulum<br />

2013 karena kurikulum ini menisbikan hakekat desentralisasi pendidikan sebagaimana ditunjukkan<br />

dalam Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, yang menabrak Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun<br />

2013 (ayat 1 : otonomi guru, dan ayat 3 : otonomi sekolah), sehingga 28 Permendikbud yang<br />

dikeluarkan oleh Mendikbud M.Nuh dalam rangka mendukung pelaksanaan Kurikulum 2013 harus<br />

batal demi hukum karena melanggar peraturan tata perundangan di atasnya yang menjadi dasar<br />

hukumnya (PP No.32 Tahun 2013) 85 . Maka penting sekali untuk mengingat lagi Pidato Presiden<br />

saat pelantikan para menteri Kabinet Kerja tanggal 27 Oktober 2014 : “Tidak ada lagi visi<br />

kementerian, yang ada adalah visi dan misi Presiden”. Jadi :<br />

- Kemdikbud seyogyanya tidak melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 yang dirancang oleh<br />

rezim lalu dan mengandung begitu banyak kesalahan, yang telah menyebabkan kualitas<br />

pendidikan kita makin terpuruk (lihat hasil survey berbagai lembaga internasional tentang<br />

kualitas pendidikan kita di bagian akhir dari Bab Pendahuluan)<br />

- Kemdibud fokus pada Nawa Cita No. 8 : akan menata kembali kurikulum pendidikan nasional<br />

Oleh sebab itu dapat dimengerti bila Mendikbud Anies Baswedan kemudian mengeluarkan<br />

“penghentian” pelaksanaan Kurikulum 2013 melalui ketentuan Pasal 1 Permendikbud No. 160 Tahun<br />

2014 : “Satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang melaksanakan Kurikulum 2013<br />

sejak semester pertama tahun pelajaran 2014/2015 kembali melaksanakan Kurikulum Tahun 2006<br />

84<br />

PAKEM : Pendidikan Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan : Fleksibilitas penggunaan Model Pembelajaran<br />

PAIKEM : Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan : Fleksibiltas penggunaan Teknologi dan<br />

Model Pembelajaran<br />

PAIKEM GEMBROT : Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan, serta Gembira dan Berbobot :<br />

Fleksibilitas penggunaan Teknologi, Model Pembelajaran, Strategi Pembelajaran dan Metode Pembelajaran<br />

85<br />

PP No. 32 Tahun 2013 ditanda tangani oleh Presiden SBY tanggal 7 Mei 2013, saat gencar-gencarnya<br />

penyelenggaraan pelatihan guru dalam Kurikulum2013; 28 permendikbud yang ditanda tangani oleh Mendikbud<br />

M.Nuh hanya melegitimasi penyusunan kurikulum tunggal dan seragam secara nasional, abai pada Pasal 77 M ayat<br />

1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013, padahal menteri itu adalah pembantu presiden (tidak boleh menyimpang dari<br />

kebijakan presiden)<br />

104<br />

94


mulai semester kedua tahun pelajaran 2014/2015 sampai ada ketetapan dari Kementerian untuk<br />

melaksanakan Kurikulum 2013”.<br />

Pasal 1 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 secara hukum mengandung dua pengertian pokok yaitu<br />

- Pemerintah membatalkan pelaksanaan Kurikulum 2013 bagi sekolah yang baru menerapkan<br />

Kurikulum 2013<br />

- Pemerintah akan mengkaji ulang Kurikulum 2013 sesuai amanat Nawa Cita No.8 (bukan<br />

melakukan perbaikan tambal sulam pada Kurikulum 2013, misalnya tidak boleh<br />

menggunakan istilah “KTSP 2013” lagi dan perbaikan program penilaian)<br />

Hal ini dipertegas dengan ketentuan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 yang<br />

menyatakan bahwa “Satuan pendidikan rintisan (sekolah yang ditunjuk oleh pemerintah untuk<br />

melaksanakan Kurikulum 2013 hingga sudah melaksanakan Kurikulum 2013 selama tiga semester)<br />

dapat berganti melaksanakan Kurikulum Tahun 2006 dengan melapor kepada dinas pendidikan<br />

provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya”.<br />

Dengan demikian, pelaksanaan Kurikulum 2006 (kurikulum yang disusun sendiri oleh<br />

para guru : KTSP awal) mempunyai legalitas dan pijakan formal yang jelas, bila dikaitkan<br />

dengan azas desentralisasi (simak kata “cukup melapor” pada Dinas Pendidikan setempat). Namun<br />

semua ketentuan ini menjadi “masuk angin” ketika Dinas Pendidikan memaksa semua sekolah<br />

kembali melaksanakan Kurikulum 2013, seolah-olah tidak tahu dan tidak mau tahu akan Nawa Cita<br />

No.8 : akan menata kembali kurikulum pendidikan nasional<br />

Masalah timbul pada sekolah-sekolah yang sudah melaksanakan Kurikulum 2013 sejak awal<br />

yaitu sekolah rintisan dan sekolah-sekolah yang dengan inisiatif sendiri sudah melaksanakan<br />

Kurikulum 2013 sejak awal :<br />

- Sekolah tetap melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 yang kontroversial ini<br />

- Atau menunggu hasil kajian ulang Kurikulum 2013 yang sampai saat ini belum juga ada<br />

Akibat ketidak-tegasan pemerintah ini, maka muncul ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan 2 Permendikbud<br />

No. 160 Tahun 2014 yang tetap memberlakukan Kurikulum 2013 bagi sekolah-sekolah yang sudah<br />

ditunjuk sejak awal (yang menunjukkan bahwa Kemdikbud masih mengusung visi dan misinya<br />

sendiri (abai pada visi dan misi Presiden baru, meskipun rezim sudah berganti) dan masih kukuhnya<br />

semangat sentralisasi pendidikan melalui bentuk tunggal kurikulum di tingkat nasional, yang abai<br />

pada Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 di PP No.32 Tahun 2013). Implikasinya, satuan pendidikan<br />

(sekolah) akan menghadapi adanya dualisme sistim pendidikan di Indonesia (bukan sekedar<br />

dualisme kurikulum). Sesuatu hal yang belum pernah terjadi dimanapun 86 .<br />

86<br />

Dualisme sistim pendidikan ini makin nyata kalau melihat isi Pasal 4 dan Pasal 6 Permendikbud No. 160 Tahun 2014<br />

(lihat uraiannya di Bab I : Filosofi Pendidikan)<br />

105<br />

95


Kurikulum 2006 (KTSP awal) mengusung semangat otonomi pendidikan (didukung oleh<br />

azas desentralisasi pendidikan) sehingga keberadaan Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata<br />

Pelajaran menjadi tidak relevan lagi 87 , sedangkan Kurikulum 2013 (dan KTSP Bimtek) adalah upaya<br />

untuk memberlakukan kurikulum tunggal dan seragam di seluruh Indonesia (sentralisasi pendidikan)<br />

melalui pemberlakuan Silabus yang tunggal dan buku-buku ajar yang seragam untuk semua sekolah,<br />

serta penerapan metode tunggal (metode saintifik (5 M), abai pada ketentuan Pasal 77 M ayat 1 dan<br />

ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013, yang sebenarnya merupakan dasar hukum dari Kurikulum 2013 itu<br />

sendiri. Dengan mengabaikan ketentuan Pasal 77 M PP No. 32 Tahun 2013 ini, sebenarnya<br />

pemerintah menerapkan hegemoni pemerintah dalam dunia pengajaran dan proses pembelajaran<br />

di kelas (didukung oleh azas sentralisasi pendidikan melalui penetapan kurikulum oleh pemerintah<br />

pusat, penetapan kurikulum bukan oleh kepala sekolah). Jelaslah bahwa keberadaan Pengawas<br />

Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran itu yang ditunjukkan dalam Lampiran Permendikbud No.65<br />

Tahun 2013 Bab VI No.2, merupakan perpanjangan tangan dari sentralisasi dan hegemoni<br />

pemerintah.<br />

Solusi Kemdikbud agar tidak ada dualisme sistim pendidikan di Indonesia adalah<br />

memaksa semua sekolah yang melaksanakan Kurikulum 2006 itu untuk kembali menerapkan<br />

Kurikulum 2013, pintu masuknya adalah Pasal 3 Permendikbud No.160 Tahun 2014 : “Satuan<br />

pendidikan yang belum melaksanakan Kurikulum 2013 akan mendapat pelatihan dan pendampingan<br />

untuk meningkatkan kompetensi dan penyiapan pelaksanaan Kurikulum 2013”.<br />

Jadi sekolah-sekolah yang belum melaksanakan Kurikulum 2013 itu, tidak harus kembali<br />

melaksanakan Kurikulum 2006 atau menunggu pelatihan dan pendampingan dalam Kurikulum 2013<br />

sehingga dana pelatihan guru dapat kembali dikucurkan?<br />

Ketentuan Pasal 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 di atas menjadi rancu dan bertolak belakang<br />

dengan ketentuan Pasal 1 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 : sekolah-sekolah yang belum<br />

melaksanakan Kurikulum 2013 itu kembali menerapkan Kurikulum 2006 atau menunggu<br />

pelatihan dan pendampingan untuk melaksanakan Kurikulum 2013 ? Sementara menunggu<br />

pelatihan dan pendampingan itu, apa yang mesti dilakukan oleh pihak sekolah ?<br />

- Kembali melaksanakan Kurikulum 2006 (KTSP awal), seperti ketentuan Pasal 1<br />

Permendikbud No. 160 Tahun 2014 itu<br />

87<br />

Di Perguruan Tinggi, mereka yang habis masa tugasnya sebagai Rektor, biasa kembali menjadi dosen. Kenapa hal<br />

yang sama tidak berlaku bagi para Kepala Sekolah? Setelah selesai masa tugasnya sebagai Kepsek, sebaiknya jadi<br />

guru biasa, bukan dibentuk jabatan yang mengada-ada seperti “pengawas” itu, yang akhirnya mengacaukan<br />

hakekat otonomi pendidikan yang diusung Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 (yang tidak diubah dalam Pasal 19<br />

ayat 3 PP No.32 Tahun 2013), yang diperkuat dengan Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 dan Pasal 77 M ayat 3 PP No.<br />

32 Tahun 2013 (Lihat juga Catatan kaki No. 4)<br />

106<br />

96


- Atau ikut menerapkan Kurikulum 2013 yang sekarang berlaku, tanpa menunggu adanya<br />

pelatihan dan pendampingan yang akan diselenggarakan, padahal sekolah menghadapi awal<br />

masa studi baru, karena sampai menjelang tahun ajaran baru 2015/2016 ini belum juga ada<br />

pengumuman resmi apa yang mesti dilakukan dengan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3<br />

Permendikbud No. 160 Tahun 2004 itu. Malah yang muncul adalah adanya pelatihan<br />

Kurikulum 2013 melalui instruktur nasional (baju baru dari “guru inti”) : pemerintah<br />

melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 dan memperluas cakupannya dengan menunjuk<br />

sekolah-sekolah yang tadinya melaksanakan Kurikulum 2006, menjadi sekolah-sekolah<br />

piloting Kurikulum 2013<br />

Babak baru pelatihan Kurikulum 2013 makin jelas menunjukkan hegemoni pemerintah dan<br />

sentralisasi pendidikan yang abai pada Nawa Cita No.8, karena istilah “instruktur (nasional)” 88<br />

menunjukkan subordinasi guru dibawah ketiak instruktur dan pengawas.<br />

Profesionalitas guru sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a)<br />

UU Guru dan Dosen, sirna dengan adanya pelatihan guru yang sama dan seragam secara nasional<br />

ini. Apalagi dasar hukum dari amputasi profesionalitas guru ini adalah perubahan signifikan<br />

ketentuan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, yang mengerdilkan isi Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 89<br />

(Profesionalitas guru dalam Kurikulum 2013 bukannya dikembangkan, malah dikerdilkan<br />

menjadi hanya penyusun RPP, itupun RPP yang ditatar secara sama dan seragam di tingkat<br />

nasional)<br />

Silabus, Buku ajar/materi/sumber belajar, dan Buku pegangan guru, serta Metode pembelajaran (5<br />

M), sudah diatur oleh Pusat (Puskurbuk) secara sentralistis. Pemerintah secara sadar telah<br />

menurunkan harkat dan martabat guru : dari pendidik menjadi sekedar tukang mengajar,<br />

yang diawasi secara ketat oleh Pengawas Mata Pelajaran yang bertindak sebagai supervisor<br />

akademik (Lihat Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No 2 b) Kemdikbud nampak<br />

sangat memuja pendangkalan (cult of philistinism)<br />

Nampaknya masalah dualisme sistim pendidikan ini tidak dipandang sebagai pelanggaran UU<br />

secara serius, tetapi hanya dipandang sebagai proyek yang tertunda (menunggu pencairan APBN-P)<br />

lalu Kemdikbud saat ini telah membuatnya menjadi sistim pendidikan monolitik kembali melalui<br />

pemaksaan penerapan Kurikulum 2013 (penerapan Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan<br />

kekuasaan rezim lama, alpa pada Nawa Cita No.8), mengabaikan sisi positif dari Kurikulum 2006 :<br />

88<br />

KBBI Vol IV : instruktur : orang yang memberi instruksi, relasi penerima instruksi (guru) adalah subordinasi dari si<br />

pemberi instruksi (instruktur)<br />

89<br />

Rincian aneka pasal ini dapat dilihat di Catatan kaki no. 2 : dasar hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan<br />

107<br />

97


1. Karena Kurikulum 2006 (KTSP awal) ini dibuat oleh para guru sendiri, maka<br />

Kurikulum 2006 ini berkesesuaian dengan ketentuan baru pemerintah yang menyatakan<br />

bahwa kelulusan itu ditentukan oleh pihak sekolah. Ujian Nasional (UN) bukan lagi<br />

penentu kelulusan siswa. Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU No. 20<br />

Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) : tentang kewajiban guru<br />

sebagai pendidik profesional untuk menilai sendiri hasil pembelajaran, yang diperkuat<br />

dengan ketentuan Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen).<br />

Ketentuan yang menyatakan bahwa penilaian adalah hak guru, sebenarnya mencerminkan<br />

penghormatan pada azas desentralisasi pendidikan.<br />

2. Hal ini sekali lagi menegasikan adanya Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran.<br />

Para Pengawas ini selalu menjalankan lurus-lurus instruksi dari Pusat, lupa bahwa<br />

permendikbud itu bisa diubah lagi sewaktu-waktu untuk disesuaikan dengan Nawa Cita<br />

No.5 dan Nawa Cita No.8<br />

Karena itu para guru dianjurkan untuk tidak menelan bulat-bulat arahan dari Pusat<br />

(termasuk pelatihan guru yang seragam dan sama, tidak peduli kondisi daerahnya<br />

berbeda), tetapi sekolah harus mengembangkannya sendiri dibawah koordinasi dan<br />

supervisi dari Pemda/Dinas Pendidikan (Lihat Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas) agar tidak<br />

keluar dari Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum (Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas).<br />

Pengembangan kurikulum ini merujuk pada Standar Proses (Pengembangan Silabus,<br />

Pengembangan RPP, PAKEM, dan Pendidikan kontekstual). Dengan kemampuan<br />

menyusun dan mengembangkan kurikulumnya sendiri, guru akan mampu<br />

mengaplikasikan kebebasan mimbar akademik yang menopang kinerja dan otoritas guru.<br />

3. Otonomi guru ini juga diamanatkan dalam Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005<br />

tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) : yang menujukkan bahwa kewajiban guru<br />

itu melekat pada seluruh proses pendidikan, termasuk dalam masalah monitoring proses<br />

belajar dan evaluasi hasil belajar.<br />

Maka yang perlu ditekankan adalah implementasi azas desentralisasi pendidikan<br />

itu memerlukan penguatan otonomi guru. Untuk mencapai tahapan otonomi guru<br />

yang ideal, kualitas LPTK (PGSD dan FKIP) harus diperbaiki, bukan dengan<br />

menelurkan kurikulum baru.<br />

4. Maka ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 yang<br />

memberlakukan kembali Kurikulum 2006 (KTSP awal) menunjukkan bahwa Pemerintah<br />

Jokowi-JK sebenarnya ingin menerapkan Nawa Cita No.8 dan mengembalikan roh<br />

pendidikan, yaitu menerapkan otonomi guru dan otonomi sekolah dalam pendidikan<br />

98<br />

108


(mengusung otonomi pendidikan, kebebasan mimbar akademik, dan desentralisasi<br />

pendidikan). Oleh sebab itu, mengartikan kembalinya Kurikulum 2006 sebagai<br />

pemberlakuan kembali KTSP Bimtek (2008) sungguh menyesatkan karena seperti telah<br />

disinggung di atas, KTSP Bimtek (2008) itu mengusung semangat sentralistik dan<br />

hegemoni pemerintah dalam dunia pendidikan dan persekolahan.<br />

KTSP Bimtek (2008) ini muncul seiring dengan kewajiban para guru peserta program<br />

sertifikasi guru untuk mengikuti Diklat, dimana para guru dilatih menyusun kurikulum<br />

tunggal dan seragam secara nasional, lupa pada dasar hukum Kurikulum 2006 (KTSP<br />

awal) seperti tertera di Catatan kaki No 2 pada Bab Pendahuluan<br />

5. Kurikulum 2006 (KTSP awal) juga didukung oleh Pasal 17 ayat 1 PP No. 19 Tahun 2005<br />

: “Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB,<br />

SMA/MA/SMALB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai<br />

dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya<br />

masyarakat setempat, dan peserta didik”.<br />

Jadi Kurikulum 2006 itu sangat spesifik, harus disesuaikan dengan keadaan sekolah,<br />

karakteristik daerah dan situasi kondisi masyarakat dan siswanya (bukan sentralistik<br />

berupa penyeragaman kurikulum secara nasional seperti KTSP Bimtek (2008) dan<br />

Kurikulum 2013 itu)<br />

6. Kurikulum 2006 juga dilengkapi dengan Pasal 1 ayat 1 Permendiknas No. 22 Tahun 2006<br />

: “Standar Isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang selanjutnya disebut<br />

Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk<br />

mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu”.<br />

Nampak bahwa kata “minimal” ini diulang tiga kali, yang menunjukkan bahwa<br />

sekolah harus mengembangkannya sendiri sampai ke tingkat maksimal (HOT :<br />

Higher Order of Thinking). Pemerintah hanya menetapkan prasyarat paling mendasar<br />

saja yang dikenal sebagai SPM (Standar Pelayanan Pendidikan Minimal) yang dulu<br />

mencakup 7 prinsip pengembangan kurikulum dan 7 prinsip pelaksanaan kurikulum.<br />

Sayang sekali, Standar Isi pada Kurikulum 2006 ini dihapus pada Kurikulum 2013,<br />

tanpa penganti yang jelas.<br />

Namun, dalam perjalanan waktu : standar minimal ini diartikan sebagai penyeragaman dan<br />

diubah menjadi standar maksimal, sekolah tidak boleh keluar dari ketentuan yang sudah<br />

digariskan oleh para penatar KTSP Bimtek, Dinas Pendidikan dan Pengawas. Alhasil, orang<br />

lupa pada prinsip diversifikasi kurikulum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 36 ayat 2 UU<br />

No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).<br />

109<br />

99


Perubahan dari standar minimal menjadi standar maksimal ini memunculkan masalah baru,<br />

yaitu standar maksimal ini dianggap memberatkan siswa, sehingga standar maksimal ini<br />

diturunkan. Dengan kata lain, materi/bahan ajarnya dikurangi. Akibatnya, materi/bahan ajar<br />

pada Kurikulum 2013 lebih miskin dari materi/bahan ajar pada Kurikulum 2006.<br />

Pendangkalan (cult of philistinism) bukan lagi menjadi isu, tetapi sudah menjadi road map<br />

Kekeliruan ini berlanjut pada pembentukan kembali Ditjen Pendidik dan Tenaga Kependidikan,<br />

melupakan penghapusan Ditjen ini lima belas tahun yang lalu seiring dengan penerapan otonomi<br />

daerah, dimana pendidik (guru) dan tenaga kependidikan termasuk tenaga yang di desentralisasi.<br />

Sosialisasi pembentukan kembali Ditjen ini tanpa merevisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang<br />

Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah), menunjukkan bahwa Kemdikbud hanya sibuk dengan<br />

visi dan misinya sendiri, lalai pada visi dan misi Presiden (Nawa Cita), dan dapat memantik konflik<br />

terbuka dengan para Bupati dan Walikota yang mendapat amanah untuk menjalankan ketentuan Pasal<br />

50 ayat 5 UU Sisdiknas : “Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan<br />

menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”. Sebagai “pengelola”<br />

pendidikan, Pemkab dan Pemkot berhak mengurus dan membina SDM pendidikan dasar dan<br />

menengah (mengurus dan membina guru). Maka berlandaskan ketentuan Pasal 50 ayat 5 UU<br />

Sisdiknas ini, tenaga pendidik (guru) sudah lama di desentralisasikan. Upaya Kemdikbud untuk<br />

menyentralisasi tenaga pendidik (guru) ini akan menyebabkan porsi anggaran terbesar terserap ke<br />

sektor rutin (biaya operasional dan gaji pegawai). Akibatnya sektor sarana dan prasarana pendidikan<br />

menjadi termarginalkan. Kemdikbud tidak bisa berkilah : mata pelajaran TIK sudah dihapus,<br />

sehingga Kemdikbud merasa tidak perlu lagi menyediakan Lab komputasi; atau mata pelajaran<br />

Fisika, Kimia dan Biologi telah diintegrasikan dalam suatu tema tertentu (tematik integratif) sehingga<br />

Kemdikbud merasa tidak perlu menyediakan peralatan Lab IPA hanya karena Kemdikbud secara<br />

sengaja telah mengubah kegiatan praktikum yang sifatnya intra kurikuler menjadi kegiatan<br />

kokurikuler : kegiatan praktikum IPA tidak lagi dipandang sebagai kegiatan psikomotor, tetapi hanya<br />

dianggap sebagai kegiatan penunjang pemahaman kognitif. Hal serupa juga terjadi SMP dengan<br />

diterapkannya IPA Terpadu dan IPS Terpadu, yang tidak diampu oleh linieritas ijazah para guru,<br />

sehingga menyulitkan penyusunan kegiatan praktikum lintas ilmunya (bukan berarti Kemdikbud lalu<br />

merasa tidak perlu lagi menyediakan peralatan Lab IPA Terpadu). Dengan demikian, hanya daya<br />

kognisi rendah saja yang berkembang, kegiatan motorik halus siswa tidak berkembang (banyak<br />

siswa mengetik di laptop dengan satu jari, atau siswa salah dalam memperlakukan thermometer<br />

badan (thermometer di ketrek-ketrek sebelum digunakan padahal tahu bahwa suhu 0° C hanya akan<br />

tercapai kalau thermometer dimasukkan dalam es yang sedang mencair). Tanpa alat peraga yang<br />

memadai dan praktikum yang intens, suatu tema/topik yang abstrak akan tetap sulit dimengerti oleh<br />

100<br />

110


siswa yang terpola secara visual (dulu mereka keseringan menonton TV, sekarang mereka tergilagila<br />

dengan gawai (gadget) yang makin menjadikan mereka sebagai generasi visual, bukan generasi<br />

literer (bukan generasi yang gemar membaca) : Kemdikbud perlu melihat Harian Media<br />

Indonesia, setiap hari Rabu : Fokus Nusantara dengan hastag Fokus Nusantara (#Fokus<br />

Nusantara) : Matinya Tradisi Literasi di Kota Pelajar ( lihat rendahnya score anak-anak kita dalam<br />

kemampuan membaca yang tersirat pada tes PIRL (Progress in International Reading Literature).<br />

B. Tingkat Kompetensi vs SPM<br />

Perubahan serius terjadi pada Kurikulum 2013, SPM akademik di Kurikulum 2006 ini (7 prinsip<br />

pengembangan kurikulum dan 7 prinsip pelaksanaan kurikulum) diubah di Kurikulum 2013 menjadi<br />

SPM sarana dan prasarana sekolah lewat Permendikbud No. 23 Tahun 2013, bukan lagi SPM<br />

akademik (Tolok ukur keberhasilan penerapan SPM akademik ini sudah diuraikan di Bab II :<br />

Pendidikan vs Persekolahan ( Kebijakan vs Teknik Implementasi). Isi Permendikbud No.23 Tahun<br />

2013 ini kemudian diubah menjadi Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 Bab II Tingkat<br />

Kompetensi.<br />

Dari uraiannya, tingkat kompetensi dibedakan atas :<br />

- Kompetensi yang bersifat generik (kompetensi inti (KI), lengkap dengan penjabarannya yang<br />

isinya hampir sama untuk semua jenjang pendidikan (meliputi sikap spiritual, sosial,<br />

pengetahuan dan ketrampilan). Kompetensi generik ini menjadi rancu ketika sikap spiritual<br />

dan sikap sosial ini disatukan sesuai ketentuan Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013<br />

Bab III A No. 1 c dan d : padahal sikap spiritual memerlukan pengukuran berdasar SQ<br />

(Spiritual Quotient) dan sikap sosial membutuhkan pengukuran berdasar CQ (Civic Quotient)<br />

- Kompetensi yang bersifat spesifik (kompetensi dasar (KD), yang masih memunculkan<br />

masalah yang sama (dari sejak awal peluncuran Kurikulum 2013), yaitu KD tidak koheren<br />

dengan KI sehingga menyulitkan pengukuran capaian kompetensinya.<br />

- Tingkat kompetensi ini kemudian dirinci menjadi Tingkat Kompetensi 0 sampai Tingkat<br />

Kompetensi 6, namun tingkat kompetensi ini tidak mencerminkan tingkat capaian siswa agar<br />

dapat berpindah dari satu jenjang ke jenjang pendidikan berikutnya.<br />

Masalah kemudian muncul di sini :<br />

- kalau dimaknai bahwa kompetensi yang bersifat generik itu sebagai KI, maka kompetensi<br />

generik itu diartikan tidak lagi terkait dengan core skills, sebab core skills itu ada enam<br />

kemampuan, sedangkan KI hanya ada empat kemampuan (lihat di Bab IV : Kurikulum vs<br />

Kompetensi)<br />

111<br />

101


- dan kompetensi yang bersifat spesifik itu dimaknai sebagai KD, maka kompetensi spesifik<br />

itu diartikan tidak lagi terkait dengan bahan ajar yang harus dikuasai siswa secara individual,<br />

karena KD lebih luas dari bahan ajar (satu KD bisa terdiri dari beberapa bahan ajar)<br />

- kalau dimaknai bahwa Tingkat Kompetensi 1 itu adalah kemampuan apa yang harus dikuasai<br />

oleh siswa kelas 1 dan kelas 2 SD, dan Tingkat Kompetensi 6 itu adalah kemampuan apa<br />

yang mesti dikuasai oleh siswa kelas 12 SMA, maka pemaknaan ini harus didistingsi dari<br />

makna SPM, sebab Kompetensi (kemampuan) terkait dengan Tujuan Pembelajaran,<br />

sedangkan SPM terkait dengan Target Kurikulum : lihat uraian di Bab II<br />

Tingkat Kompetensi dalam Kurikulum 2013 adalah batas atas (batas maksimal) dari kemampuan<br />

yang harus dikuasai oleh siswa secara individual : siswa tetap bisa lolos meskipun tidak mencapai<br />

batas atas (cukup menguasai sampai batas KKM).<br />

Sedangkan SPM (standar pelayanan minimal) adalah batas bawah (batas minimal) dari kemampuan<br />

total (keseluruhan) yang harus dikuasai oleh semua siswa. Siswa hanya bisa lolos kalau sudah<br />

menguasai keseluruhan bahan. Meskipun nilainya sudah memenuhi standar KKM, siswa tetap harus<br />

mengikuti remedial sampai keseluruhan (100%) bahan dikuasai, bukan sekedar menguasai 75%<br />

bahan.<br />

Grafik di bawah ini adalah kurva normal yang menunjukkan bahwa siswa yang “amat pandai” itu<br />

ada di daerah kanan (jumlahnya ± 5% : nilai antara 95 - 100) dan siswa yang “amat bodoh” itu ada<br />

di sebelah kiri (jumlahnya ± 5% : nilai antara 0 – 5), siswa yang mempunyai kepandaian rata-rata<br />

ada di daerah tengah kurva, SD antara -1 sampai +1, jumlahnya ± 60%.<br />

Maka kalau kita menggunakan kriteria SPM, semua siswa harus sunguh-sungguh memahami suatu<br />

topik, baru bisa melanjutkan ke topik berikutnya. Kalau siswa belum berhasil 100% memahami suatu<br />

topik, maka dia harus mengulang topik itu (topik itu merupakan syarat perlu untuk dapat melanjutkan<br />

ke topik berikutnya)<br />

Grafiknya akan terlihat condong ke kanan : semua siswa (termasuk siswa yang “bodoh”) harus<br />

melewati titik 0 : semua siswa harus menguasai 100% bahan/materi.<br />

102<br />

112


Semua siswa harus mencapai KKI, bukan sekedar bisa mencapai KKM<br />

0<br />

SPM menggunakan KKI (Kriteria Ketuntasan Ideal) : siswa harus menguasai 100% suatu bahan,<br />

sebagai prerequisite untuk dapat melanjutkan ke bahan berikutnya. Untuk mengatasi siswa yang<br />

kurang pandai (tidak menguasai 100% bahan yang dipersyaratkan), maka guru harus merumuskan<br />

strategi pembelajaran yang baru (bukan meremedial siswa tersebut).<br />

Sedangkan Tingkat Kompetensi adalah batas maksimal yang harus diketahui siswa (batas maksimal<br />

itu hanya untuk siswa pandai), siswa yang mempunyai kecerdasan rata-rata (kurang dari capaian<br />

maksimal itu : letaknya di titik KKM = 75), masih bisa melanjutkan ke topik berikutnya, tapi siswa<br />

yang “kurang pandai” harus mengulang (mengikuti program remedial : letaknya antara 0 - KKM),<br />

grafik di bawah ini akan terlihat condong ke kiri (ada sebagian siswa tidak dapat melewati titik KKM)<br />

(titik KKM itu sama dengan KKM-nya (75) : siswa cukup menguasai 75% bahan/materi) Meskipun<br />

hanya sedikit siswa yang mampu menguasai 100% bahan/materi, siswa-siswa itu tetap dapat<br />

melanjutkan ke topik berikutnya. Titik 0 adalah batas antara siswa yang “amat bodoh” dan siswa<br />

yang “kurang pandai” (kepandaiannya dibawah rata-rata, tapi masih di atas siswa yang “amat bodoh”<br />

Titik KKM : 75 merupakan syarat cukup untuk dapat melanjutkan ke bahan/materi berikutnya.<br />

0 KKM :75<br />

Contoh : bahan ajar (materi) yang harus dikuasai siswa Kelas 11 SMA dalam Biologi adalah<br />

Perbiakan Vegetatif, maka SPM-nya siswa harus menguasai 100% apa yang dimaksud dengan<br />

Perbiakan vegetatif pada hewan, Perbiakan vegetatif pada tumbuhan dan Perbiakan vegetatif buatan.<br />

113<br />

103


Kalau siswa kurang memahami apa yang dimaksud dengan Perbiakan vegetatif buatan (hanya<br />

menguasai 75% bahan/materi) maka siswa tidak berhak melanjutkan ke topik berikutnya yaitu<br />

Perbiakan generatif. Siswa harus mengulang Perbiakan vegetatif buatan dengan strategi baru<br />

(barangkali minat dan bakatnya bukan di Biologi, tapi di bidang Bahasa), maka bahan/materi<br />

Perbiakan vegetatif buatan disajikan dalam bentuk film cerita (YouTube), sehingga siswa dapat<br />

belajar mandiri secara aktif.<br />

Sedangkan Kompetensi generiknya adalah siswa dapat membedakan antara perbiakan generatif dan<br />

perbiakan vegetatif, agar siswa memperoleh gambaran umum apa yang dimaksud dengan reproduksi.<br />

Kompetensi spesifiknya adalah siswa dapat membedakan antara perbiakan vegetatif pada hewan dan<br />

perbiakan vegetatif pada tumbuhan, karena umumnya perbiakan vegetatif buatan itu dilakukan pada<br />

tumbuhan. Kalau siswa tidak memahami apa yang dimaksud dengan parthenogenesis dan<br />

fragmentasi (siswa hanya menguasai 75% bahan/materi) siswa tetap dinyatakan berhasil. Siswa yang<br />

tidak memahami parthenogenesis, fragmentasi dan okulasi (hanya menguasai 60% bahan) harus<br />

mengulang (harus mengikuti program remedial) sampai mencapai taraf penguasaan 75% materi.<br />

Dari contoh ini, nampak jelas bahwa SPM adalah batas minimal dari materi yang harus dikuasai<br />

semua siswa sebelum diperbolehkan melanjutkan ke topik berikutnya, sedangkan Tingkat<br />

Kompetensi adalah batas maksimal dari materi yang harus dikuasai siswa secara individual. Karena<br />

Tingkat Kompetensi itu adalah batas maksimal dari materi, maka Kemdikbud cenderung<br />

menurunkan batas maksimal itu, dengan alasan supaya tidak terlalu memberatkan siswa, akibatnya<br />

materi/bahan ajar makin lama makin berkurang. Dapat dimengerti kalau ada banyak materi dalam<br />

kurikulum 2013 tidak tercantum sebagai materi uji dalam TIMSS, PISA dan PIRL. Siswa tidak akan<br />

siap menyonsong era globalisasi pendidikan karena siswa akan tetap kesulitan mengerjakan soal-soal<br />

GMAT, SAT dan TOEFL.<br />

Dari uraian diatas, karena tingkat kompetensi yang bersifat spesifik itu terkait dengan KD,<br />

maka kompetensi terkait dengan Tujuan Pembelajaran (tujuan pembelajaran tercapai kalau sebagian<br />

besar siswa sudah menguasai bahan ajar/materi : tidak perlu semua siswa tuntas), sedangkan SPM<br />

terkait dengan Indikator, sehingga SPM itu terkait dengan target kurikulum (target kurikulum harus<br />

dapat dicapai oleh semua siswa).<br />

Dengan kata lain, Kompetensi itu diukur melalui tingkat ketuntasan siswa (penilaian hasil belajarnya<br />

ada di CK: Catatan Kompetensi), sedangkan SPM itu diukur melalui daya serap (monitoring proses<br />

belajarnya ada di PBK : Penilaian Berbasis Kelas)<br />

7. Kurikulum 2006 juga dilengkapi dengan Permendiknas No. 24 Tahun 2006 : “Satuan<br />

pendidikan dasar dan menengah dapat mengembangkan kurikulum dengan standar<br />

yang lebih tinggi dari Standar Isi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri<br />

104<br />

114


Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan<br />

Dasar dan Menengah dan Standar Kompentesi Lulusan sebagaimana diatur dalam<br />

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar<br />

Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah”.<br />

Jelaslah bahwa sekolah harus mengembangkan kurikulum sampai ke tingkat HOT<br />

(Higher Oder of Thinking), bukan menelan mentah-mentah instruksi Dinas<br />

Pendidikan, dan para Pengawas yang berupaya menyeragamkan kurikulum<br />

Timbulnya dualisme pengelolaan pendidikan (sentralisasi atau desentralisasi, dan tujuan<br />

pembelajaran atau target kurikulum), yang mengakibatkan munculnya dualisme kurikulum<br />

(Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013), telah menyebabkan sifat transformatif dari pendidikan<br />

tidak terwujudkan. Karena itu salah satu fungsi pendidikan transformatif yang membahas<br />

keberagaman (multikulturalisme) tidak terealisasikan : “Bagaimana keberagaman itu<br />

ditegaskan dan ditransformasikan dalam demokrasi, kewarganegaraan dan ruang publik”, tidak<br />

terlihat secara nyata gaungnya. Apalagi pada Kurikulum 2013, Analisa Konteks malah dihapus<br />

karena Silabus sudah dibuatkan oleh pemerintah.<br />

Akibat pengabaian Analisa Konteks pada kurikulum ini, berimbas pada lunturnya keragaman<br />

di sekolah-sekolah 90 Sekolah-sekolah mengarah pada penyeragaman, terutama penyeragaman<br />

kebijakan pengasuhan dan pendampingan siswa. Sekolah yang seharusnya berfungsi menyemai<br />

keragaman dan menguatkan nilai-nilai kebangsaan, ternyata lambat laun mulai menjauh dari fungsi<br />

tersebut. Dampaknya secara bertahap paham radikal mulai masuk ke sekolah dan diterima dan diikuti<br />

oleh sebagian guru dan siswa (tawuran pelajar, gang motor dan perundungan (bullying) makin marak.<br />

Dalam LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) pada tahun 2012 juga<br />

menemukan fakta sebagai berikut :<br />

- Pemahaman radikal dan anti toleransi sudah masuk ke ruang pendidikan formal melalui<br />

kegiatan ROHIS/ROKRIS<br />

- Dari 100 SMP serta SMA umum di Jakarta dan sekitarnya (993 siswa) atau sekitar 48,9 %<br />

setuju terhadap aksi kekerasan atas nama agama dan moral.<br />

- Dari 590 guru agama, 28,2 % menyatakan setuju aksi kekerasan agama<br />

Dari kegiatan Pelatihan guru dan kepala sekolah yang diselenggarakan BNPT (Badan Nasional<br />

Penanggulangan Terorisme) ada hal-hal yang perlu dicermati : Apakah mulai muncul istilah-istilah<br />

“kafir”, “thogut” dan “penolakan menghormati yang lain selain Allah” dalam percakapan para siswa?<br />

90<br />

Makalah Retno Listyarti, Sekjen FSGI, dalam Diskusi Lingkar Muda Indonesia, tanggal 28 Mei 2015 di Ruby<br />

Room, Gedung Kompas Gramedia Jakarta<br />

115<br />

105


Apakah kegiatan Rohis/Rokris di sekolah mulai eksklusif (bagi pergaulan, nara sumber, maupun<br />

pembiayaan)? Apakah beberapa siswa mulai tidak mau hormat ketika upacara bendera berlangsung?<br />

Menurut Saud Usman Nasution, Kepala BNPT (Badan Nasional Penganggulangan<br />

Terorisme), pencegahan penyebaran terorisme atau radikalisme ini harus terus intens dilakukan<br />

sebagai cara pencegahan terorisme, karena paham radikalisme melahirkan tindakan terorisme.<br />

Termasuk penyebaran paham melalui media sosial yang dianggapnya mempunyai potensi bahaya<br />

bagi penyebaran paham terorisme.<br />

“Penyebaran paham itu banyak melalui sosial media. Banyak anak anak kita, putra putri kita pelajar<br />

SMA/SMK yang pemahaman agamanya masih dangkal ini mencari jati diri, belajar mencari agama<br />

dari sosial media, dari tempat tidur dia bisa baca sosial media, bagaimana cara membuat bom. Adik<br />

adik inilah yang berpotensi terpengaruh ajaran paham yang sesat. Karena dari kelompok<br />

radikalisme ini memberikan pemahaman-pemahaman tentang jihadis ini dikembangkan melalui<br />

media. Ini yang harus kita cegah,” terang Saud pada acara peluncuran buku yang berjudul “Revision<br />

of the Jihandists dan Islamic Movements in Egypt” di Hotel Century Park, Jakarta , tanggal 8 Juli<br />

2015<br />

Dengan kata lain, kalau pemerintah abai menata desentralisasi dan sentralisasi pendidikan<br />

atau abai mengkritisi perbedaan antara tujuan pembelajaran dan target kurikulum, lalu hanya<br />

berkonsentrasi menata kurikulum baru, maka unintended intensions 91 akan mulai memasuki dunia<br />

pendidikan kita.<br />

Daerah-daerah yang menerapkan Perda khusus dengan mudah akan terperosok menyalah-gunakan<br />

Pasal 50 ayat 5 : “Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan<br />

menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”, dan Pasal 62 ayat 3 UU No.<br />

20 tahun 2013 (UU Sisdiknas) 92 : “Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberi atau mencabut<br />

izin pendirian satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.<br />

91<br />

Hal-hal baik yang justru memunculkan sesuatu yang kurang baik, misalnya kegiatan keagamaan yang<br />

diharapkan menjadi pendorong sikap saleh dan kesalehan justru memunculkan sikap eksklusif dan intoleran,<br />

bahkan kepada sesama penganut agama yang berbeda pandangan dan berlainan paham<br />

92<br />

Pidato Kebudayaan Dr. Karlina Supeli : “Kebudayaan dan Kegagapan Kita” (Teater Jakarta, Taman ismail<br />

Marzuki Jakarta, 11 November 2013) Pelajar atau konsumen tidak dididik untuk mampu mengembangkan<br />

daya-daya abstrak-imajinatif-kreatif serta berpikir kritis dan rasional (hanya sampai tataran konseptual : lihat<br />

hasil TIMMS, PISA dan PIRL dari para siswa kita yang makin merosot). Ada baiknya kita menyimak informasi<br />

mengenai kegemaran dan kepercayaan diri masyarakat Indonesia untuk berbelanja<br />

Pelajar atau konsumen dididik hasrat (naluri, emosi) dan kebiasaan-kebiasaan kulturalnya agar menghendaki<br />

segala hal gemerlap yang ditawarkan pasar. Sebuah bangsa yang warganya telah kehilangan daya berpikir<br />

abstrak-imajinatif dan kreatif tidak mungkin memiliki imajinasi kolektif tentang negara-bangsa.<br />

106<br />

116


Kalau hal ini tidak disikapi secara benar, maka kita bisa hidup dalam nir budaya. Sebab hidup<br />

dalam kebudayaan tentulah berarti bahwa kita berlaku dan bertindak menurut bingkai pengetahuan<br />

dan perangkat nilai dalam kebudayaan itu. Namun, kecenderungan yang cukup luas untuk menaruh<br />

perhatian terlalu berat kepada kebudayaan sebagai sistem nilai membuat kita cenderung tergesa-gesa<br />

mengambil sikap normatif. Bahaya dari pendekatan ini adalah kita mendepolitisasikan masalahmasalah<br />

sosial-ekonomi dan politik dengan mengajukan solusi moral. Seolah-olah “kemiskinan,<br />

kebodohan dan keterbelakangan peradaban” dapat selesai apabila kita melekatkan aneka kecakapan<br />

yang sedang kita pelajari ke kesalehan. Seolah-olah kekerasan remaja hanya perkara moral yang<br />

lemah. Korupsi yang ganas di negeri ini adalah salah satu bukti nyata bahwa tidak selalu ada kaitan<br />

langsung antara moralitas dan kesalehan. Lagak moralis dan saleh tidak akan menjadikan kita<br />

bangsa bermoral.<br />

Dengan ngeri kita menyaksikan bagaimana orang menyerang, menindas dan membunuh atas nama<br />

kesalehan yang terkunci dalam bingkai penafsiran sempit. Mereka yang berbeda pendapat langsung<br />

dianggap “musuh” . Pendidikan itu sejatinya harus menyadarkan manusia agar menghormati<br />

kehidupan. Setiap manusia akan menuju kematian. Karena itu, pendidikan harus didorong agar<br />

setiap warga menyadari bahwa kehidupan adalah anugerah. Berlomba dalam kebajikan dalam hidup<br />

merupakan tugas mulia yang harus dilakukan setiap manusia. Di sini pendidikan harus<br />

menegaskan bahwa tugas manusia adalah mengisi kehidupan dengan kebajikan, bukan justru<br />

menebar kejahatan.<br />

Maka pemerintah wajib mengembangkan pemahaman multikultural di dalam pendidikan<br />

untuk memperluas pemahaman siswa atau warga dalam tata dunia baru yang terus berubah sekarang<br />

ini. Sebab Indonesia, bukan sebuah negeri antah-berantah, pasif, tak berjiwa. Negeri ini adalah<br />

suatu negara-bangsa, yang terdiri atas sekelompok manusia yang berkumpul tidak secara<br />

sembarangan. Pengelompokan ini berupa suatu asosiasi sejumlah besar manusia berdasar<br />

suatu kesepakatan mengenai keadilan dan kemitraan guna kebaikan dan kebahagiaan<br />

bersama. Sebab pertama dan utama dari asosiasi seperti ini bukanlah kelemahan individual tetapi<br />

suatu spirit sosial tertentu yang ditanamkan alam dalam diri manusia, diri kita, spirit multikultural,<br />

spirit penghargaan atas liyan. Sebuah bangsa yang warganya telah kehilangan daya berpikir<br />

abstrak-imajinatif dan kreatif tidak mungkin memiliki imajinasi kolektif tentang negarabangsa.<br />

Oleh sebab itu, proses belajar-mengajar harus bermutu 93 yang memenuhi syarat :<br />

93<br />

Pasal 5 UU Sisdiknas : Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang<br />

bermutu<br />

117<br />

107


- Berlangsung secara manusiawi (tidak ada kekerasan (bullying), sindiran, penghinaan, dll),<br />

tidak ada diskriminasi atas nama mayoritas, tidak ada subordinasi oleh kelompok elite<br />

- Guru dan siswa dalam posisi yang sejajar dalam melakukan “transaksi” pedagogis (yang<br />

membedakan adalah fungsi masing-masing : guru “mengajar” dan siswa “belajar” 94<br />

- Guru lebih bertindak sebagai seniman (yang kreatif) dan intelektual (yang profesional) 95 ,<br />

sebagai seorang dirigen dalam pentas simfoni pembelajaran dimana semua siswa aktif-kreatif<br />

memainkan peran masing-masing, ketimbang sebagai penceramah, pengkhotbah, dan<br />

pemberi perintah 96<br />

- Guru adalah transformer keberagaman (multikulturalisme) melalui kelas partisipatif dengan<br />

kurikulum yang kontekstual (menggunakan perangkat Analisa Konteks) sehingga siswa dapat<br />

dengan mudah menghubungkan pengetahuan yang diperoleh dengan historisiositas<br />

budayanya. Pendidikan menjadi berpusat pada siswa (siswa bukan sekedar “peserta didik”,<br />

tapi “subyek didik”).<br />

Dalam hal ini, sekolah harus mampu melakukan pengkoordinasian, penyerasian dan pemaduan<br />

secara harmonis terhadap semua unsur yang ada di sekolah. Sesudah 70 tahun merdeka, negara<br />

Indonesia seharusnya sudah tumbuh ke arah demokrasi dengan memberi peluang kepada masyarakat<br />

untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Sejauh mana negara memberi peluang kepada<br />

masyarakat untuk semakin mandiri dan berpartisipasi dalam pembangunan manusia<br />

Indonesia melalui pendidikan dapat diukur dari produk-produk hukum dan perundangundangan,<br />

serta kurikulum yang ditawarkannya. Untuk pengembangan demokrasi dan<br />

partisipasi masyarakat, serta memperkuat terbentuknya masyarakat warga (civil society) , negara<br />

perlu mempromosikan topik-topik demokratisasi, multikulturalisme, dan dialog agama, dalam<br />

rancangan kurikula pendidikan. Pengembangan topik-topik ini juga akan mencegah merebaknya<br />

kekerasan karena konflik-konflik yang diakibatkan kurangnya saling pemahaman dan intoleransi<br />

dalam perbedaan-perbedaan. Inilah legitimasi dari diversifikasi kurikulum yang kontekstual (Pasal<br />

36 ayat 2 UU Sisdiknas) dan desentralisasi yang membuat Visi dan Misi sekolah menjadi membumi.<br />

C. Dilema peserta didik atau subyek didik<br />

Pemerintah tampaknya berdiri antara keinginan melaksanakan demokratisasi, juga di bidang<br />

pendidikan disatu pihak (yang tercermin dari disisipkannya Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32<br />

Tahun 2013), tetapi di pihak lain masih kuat pula, terutama di jajaran birokratnya untuk menentukan<br />

94<br />

Tjokorde Raka Joni : Cara Belajar Siswa Aktif, Jakarta, Ditjen Dikti, 1984<br />

95<br />

Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta, Kanisius, 2003<br />

96<br />

Debbie de Proter, Quantum Teaching, Bandung, Kaifa, 2008<br />

108<br />

118


segala-galanya bagi masyarakat sipil. Indikasinya, sejauh mana misalnya, rencana undang-undang,<br />

perjanjian dengan negara lain atau keputusan yang mengikat generasi muda, termasuk kebijakan<br />

tentang pendidikan, disosialisasikan? Murid dan orang tua tidak punya pilihan dalam keputusan<br />

apapun yang diambil oleh Kemdikbud. Murid hanya dianggap sebagai “peserta didik”, bukan<br />

“subyek didik”. Bahkan sempat ada wacana pembentukan Direktorat Keayah-bundaan, yang<br />

diwujudkan dalam pembentukan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, yang menunjukkan<br />

bahwa aparat Kemdikbud ingin masuk sampai ke ruang privat. Di lain pihak, kaum mudanya sering<br />

kali diam saja ketika peluang mereka untuk menentukan hidupnya ke depan semakin ditutup,<br />

Misalnya di era smart phone dengan teknologi android atau di era televisi digital ini, pemerintah<br />

justru menghapus mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komputasi)<br />

Mari kita simak bagian akhir dari novel Susanna Tamaro, “Pergilah ke Mana Hati Membawamu”<br />

(Jakarta, Gramedia, 2005), penulis melalui tokoh utamanya Olga, memberi pesan kepada cucunya,<br />

……” di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu dan kau tak tahu jalan mana yang harus<br />

kau ambil, janganlah memilihnya asal saja, tetapi duduklah dan tunggulah sesaat. Tariklah napas<br />

dalam dengan penuh kepercayaan, seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan<br />

biarkan apapun mengalihkan perhatianmu, tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi. Berdiam<br />

dirilah, tetap hening, dan dengarlah hatimu. Lalu ketika hati bicara, beranjaklah dan pergilah<br />

kemana hati membawamu ………”. Pesan ini begitu tandas, yakni supaya cucunya mencari jalannya<br />

sendiri, tidak perlu ikut-ikutan neneknya atau ibunya yang telah melahirkannya. Dia mempunyai<br />

kebebasan. Dengan demikian, novel itupun menyampaikan pesan agar generasi tua di Kemdikbud,<br />

ikhlas memberi ruang pilihan untuk generasi muda dalam menentukan masa depan mereka sendiri.<br />

Di sisi lain, novel ini juga menggambarkan kegamangan para pelajar di kala masih sangat belia,<br />

dalam memilih jurusan pada saat akan masuk ke kelas X SMA, tanpa bekal yang memadai. Inilah<br />

pokok pikiran dari desentralisasi pendidikan. Memberi kebebasan pada siswa untuk menentukan<br />

masa depannya sendiri. Meskipun sudah dikucurkan trilyunan dana untuk BOS, tapi hanya sedikit<br />

sekolah negeri yang menjalankan program akselerasi, apalagi yang menerapkan sistim baku SKS,<br />

belum ada satupun sekolah negeri yang mampu menyelenggarakannya (yang ada adalah sistim paket<br />

SKS). Kenapa SKS ini penting? Karena SKS ini mengakomodasi kepentingan siswa sesuai dengan<br />

prinsip Multiple intelligence. Cara kita memandang dan memperlakukan siswa yang hanya dilihat<br />

sebagai “peserta didik” (bukan “subyek didik”) harus dikoreksi (Lihat Bab I Pasal 1 ayat 4 dan Bab<br />

V Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional). Kesalahan sistemik ini<br />

juga disorot dalam Seminar Hari Kependudukan Dunia “Investing in Young People in Indonesia”<br />

yang diselenggarakan oleh Dana Kependudukan PBB (UNFPA), BKKBN, Kemenpora dan Ikatan<br />

Praktisi dan Ahli Demografi Indonsia (IPADI) pada hari Senin 17 Juli 2014 di Jakarta.<br />

119<br />

109


Menurut Kepala Perwakilan UNFPA untuk Indonesia, Jose Ferraris, potensi generasi muda ini tidak<br />

tergarap maksimal karena mereka selalu hanya menjadi obyek dan bukan pemegang peran<br />

penting sebagai subyek pendidikan. Padahal anak muda merupakan sumber daya utama untuk<br />

pembangunan. Mereka dapat berperan sebagai agen kunci perubahan sosial, pertumbuhan ekonomi<br />

dan inovasi teknologi sebagaimana dicontohkan oleh para creative junkies (kelompok anak muda<br />

yang mampu menciptakan lapangan kerja sendiri, seperti Raditya Dika (penulis best seller remaja),<br />

Nancy Margried (penggiat batik fractal), kelompok pekerja seni muda (para musisi dan sineas muda),<br />

para disainer muda, dll.<br />

Pendidikan partisipatif dan kolaboratif bagi generasi muda ini masih jauh dari angan. Modelmodel<br />

metode baru seperti quantum teaching and learning, engagement learning, dll. tenggelam<br />

dalam pemberlakuan metode pembelajaran saintifik (5M) yang di endorse dalam Kurikulum 2013.<br />

Padahal melalui pendidikan partisipatif dan kolaboratif yang memandang siswa sebagai subyek<br />

didik, kreativitas siswa akan meningkat dan dunia ekonomi kreatif terbuka lebar bagi kaum muda,<br />

dan justru dalam bidang ekonomi kreatif inilah, generasi tua kurang menguasai secara intens.<br />

Itulah pentingnya diversifikasi kurikulum (Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas) dan otonomi<br />

sekolah (Pasal 77 M ayat 3 PP No.32 Tahun 2013), serta otonomi guru (Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas<br />

dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, serta Pasal 77 M ayat 1 PP No.32 Tahun 2013) :<br />

menjadikan kurikulum yang relevan dengan peserta didik dan kondisi sekolah (desentralisasi<br />

pendidikan), cermin dari diakomodasikannya kebebasan mimbar akademik.<br />

Namun sebuah paradoks baru muncul : ketika anak menjadi mahluk spesial, mereka juga<br />

jadi proyek. Mereka diharapkan jadi penerus orang tua, baik dalam iman maupun harta. Mereka<br />

tidak dibayangkan mandiri sebagai pembaharu, apalagi pembangkang. Kontrol diberlakukan, dan<br />

kadang-kadang tak jelas, mana bimbingan, mana penganiayaan.<br />

“Semua orang dewasa dulu juga anak-anak ……… tapi hanya sedikit yang ingat itu”<br />

(Antoine de Saint-Exupery, Pangeran Kecil) 97<br />

Mau bukti? “Kasus-kasus perundungan anak di sekolah yang berakibat kematian karena<br />

anak tersebut dikeroyok sesama siswa. Terlihat bahwa orang tua dan guru abai menangkap tandatanda<br />

kekerasan, padahal perundungan memiliki indikasi berbeda dari keisengan biasa” (Erlinda<br />

dalam ”Jutaan Anak Alami Kekerasan, Pola Asuh Perlu Memperhatikan Hak-hak Anak”, KOMPAS,<br />

Kamis 23 Juli 2015 halaman 12).<br />

97<br />

Catatan Pinggir : BOCAH, Gunawan Muhammad, Majalah Tempo, 15-21 Juni 2015<br />

110<br />

120


Jajaran Kemdikbud yang terus berupaya melanjutkan proyek penerapan Kurikulum 2013<br />

sehingga abai akan pembagian ijazah tepat waktu telah menempatkan hak-hak siswa sebagai sekedar<br />

urusan administrasi saja, tak hirau akan tuntutan berbagai lembaga studi lanjut dan lembaga penyelia<br />

tenaga kerja agar siswa dapat menunjukkan ijazah aslinya. Siswa telah benar-benar dikorbankan<br />

untuk proyek : kurikulum 2013 yang kontroversial karena tidak sinkronnya 28 permendikbud yang<br />

melandasinya dengan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013, pelaksanaan UN yang<br />

amburadul tahun 2013, dan pembagian ijazah yang sangat terlambat yang abai pada hak azasi siswa.<br />

Atau, mari kita simak Draft Permendikbud No.21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti<br />

yang dikeluarkan tanggal 10 Juli 2015, yang kemudian dibakukan menjadi Permendikbud No.23<br />

Tahun 2015<br />

- Bagian Penanaman Nilai Kebangsaan dan Kebhinekaan<br />

Sesudah berdoa setiap memulai hari pembelajaran, guru dan peserta didik menyanyikan lagu<br />

kebangsaan Indonesia Raya.<br />

Sebelum berdoa saat mengakhiri hari pembelajaran, guru dan peserta didik menyanyikan<br />

lagu daerah, lagu wajib nasional maupun lagu terkini yang bernuansa patriotik atau cinta<br />

tanah air.<br />

- Bagian Penumbuhan Potensi Unik dan Utuh Setiap Anak<br />

Menggunakan 15 menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku selain buku mata<br />

pelajaran<br />

Dalam prakteknya, sekolah akan mengambil kemudahan pelaksanaan menyanyikan lagu<br />

nasional, yaitu melalui apel pagi untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan melalui apel<br />

siang untuk menyanyikan lagu wajib. Supaya tidak mengurangi jam belajar sesuai ketentuan<br />

di atas, maka siswa akan masuk lebih pagi untuk mengikuti apel pagi + kewajiban membaca<br />

buku, dan akan pulang lebih siang untuk mengikuti apel siang. Kalau siswa datang terlambat,<br />

akan kena sanksi, namun bagaimana dengan guru-guru yang akhir-akhir ini makin sering<br />

datang terlambat? Para guru bukan hanya sering terlambat tiba di sekolah tetapi juga sering<br />

terlambat masuk kelas karena terlalu lama mengobrol di ruang guru<br />

Pada pagi hari, saat guru dan siswa masih segar, bukan langsung memulai pelajaran, tetapi<br />

harus berpanas-panas dulu mengikuti apel pagi, lalu dilanjutkan dengan waktu membaca<br />

buku 15 menit yang sebenarnya hanya membuang waktu, tidak mungkin siswa membaca<br />

yang tersirat dalam buku/koran hanya dalam 15 menit.<br />

Kemdikbud perlu melihat Harian Media Indonesia, setiap hari Rabu : Fokus Nusantara<br />

dengan hastag Fokus Nusantara (#Fokus Nusantara) : Matinya Tradisi Literasi di Kota Pelajar<br />

121<br />

111


Maka benar apa yang dikatakan Gunawan Muhammad di atas : “kadang-kadang tak jelas,<br />

mana bimbingan, mana penganiayaan”<br />

- Bagian Interaksi Positif dengan Guru dan Orang tua :<br />

Sekolah mengadakan pertemuan dengan orangtua siswa pada setiap tahun ajaran baru untuk<br />

mensosialisasikan: a) visi; b) aturan; (c) materi; dan (d) rencana capaian belajar siswa agar<br />

orangtua turut mendukung keempat poin tersebut<br />

Bukankah melalui ketentuan Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, Silabus, buku<br />

ajar/materi/sumber belajar, sistim penilaian dan metode sudah ditentukan oleh pemerintah<br />

dan sudah disosialisasikan melalui pelatihan guru yang seragam secara nasional, apapun visi<br />

dan misi sekolahnya (mengabaikan azas diversifikasi kurikulum sebagaimana diamanatkan<br />

oleh Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas). Jadi apakah masih ada gunanya Visi dan Misi sekolah?<br />

Bukankah selama ini para guru mengajar menurut arahan Dinas Pendidikan dan Pengawas<br />

yang abai pada Visi dan Misi suatu sekolah?<br />

- Pemeliharaan Lingkungan Sekolah<br />

Melaksanakan kegiatan bank sampah bekerja sama dengan dinas kebersihan setempat.<br />

Ide ini bagus, kalau siswa dan guru secara ketat memisahkan sampah organik dan sampah<br />

anorganik, yang dilengkapi dengan pembuatan kompos. Sampah anorganik ini juga harus<br />

didaur ulang. Kalau mengandalkan Dinas Kebersihan, maka sampah yang telah terpilah itu<br />

akan dicampur lagi. Hal ini tidak bagus bagi internalisasi lingkungan sehat untuk siswa.<br />

Permendikbud ini langsung memancing kontroversi karena nilai-nilai baik itu ditempelkan tanpa<br />

rasionalitas (KOMPAS, Kamis 23 Juli 2015 halaman 12 : “ Budi Pekerti – Nilai “Ditempelkan Tanpa<br />

Rasionalitas” : Guru Besar Antropologi UGM, Heddy Ahimsa Putra, “Kegagalan internalisasi nilainilai<br />

Pancasila, kebangsaan dan kebhinekaan terjadi karena pengajarannya cenderung abstrak dan<br />

kurang dielaborasi menjadi nilai-nilai yang lebih konkrit”). Permendikbud ini makin meyakinkan<br />

orang bahwa Kurikulum 2013 itu sebenarnya menganut filsafat eklektisme, bukan esentialisme,<br />

semuanya hanya tempelan.<br />

Sebenarnya Mendikbud Anies Baswedan dan jajarannya cukup melihat “18 nilai dalam<br />

Pendidikan Karakter” yang sudah diterapkan dalam Kurikulum 2006 karena proses monitoring sudah<br />

cukup terukur di dalam PBK (Penilaian Berbasis Kelas) dan tidak perlu mengeluarkan Sambutan<br />

Mendikbud pada hari pertama sekolah No.59388/A/KR/2015 dan Surat Edaran tentang MOS (Masa<br />

Orientasi Sekolah) No.59389/MPK/PD/2015 – yang diabaikan oleh banyak sekolah. Jadi malah<br />

menunjukkan kegagalan proses internalisasi pendidikan karakter dan nilai-nilai agama pada siswa<br />

dan pada para Pembina OSIS, sehingga MOS selalu saja diartikan sebagai perpeloncoan (pembakuan<br />

112<br />

122


mental “budak” dan “pembodohan” dalam pendidikan nasional). Hal ini melestarikan azas senioritas<br />

dalam pendidikan, bukan azas meritokrasi.<br />

Dari contoh-contoh di atas, nampak bahwa pengakuan atas perbedaan invidual dan latar<br />

belakang budaya siswa 98 tidak tercermin dalam KI dan KD pada Kurikulum 2013, juga tidak muncul<br />

dalam penentuan buku ajar (materi/sumber belajar) dan buku pegangan guru, serta penentuan metode<br />

saintifik (5M) – semuanya sifatnya massal, menafikan adanya perbedaan individual dan budaya<br />

siswa.<br />

Berdasar berbagai penjelasan tentang otonomi pendidikan dan desentralisasi di atas, dimana<br />

otonomi dinyatakan sebagai sejauh mana negara memberi peluang kemandirian masyarakat, maka<br />

sebenarnya istilah “peserta didik” sudah harus diganti dengan “subyek didik”, dan istilah “Opsdik”<br />

(Organisasi Peserta Didik) harus dikembalikan lagi menjadi OSIS. Istilah MOPD (Masa Orientasi<br />

Peserta Didik Baru) harus dikembalikan menjadi MOS (Istilah MOPD muncul dalam Permendikbud<br />

NO. 55 Tahun 2014 yang berisi “larangan melaksanakan masa orientasi peserta didik yang<br />

mengarah kepada tindakan kekerasan, pelecehan dan/atau tindakan destruktif lainnya yang<br />

merugikan peserta didik baru baik secara fisik maupun psikologis baik di dalam maupun di luar<br />

sekolah”. Namun pembodohan siswa dengan mengenakan atribut yang melecehkan nalar tetap saja<br />

berlangsung. Sidak yang dilakukan Mendikbud Anies Baswedan pada hari pertama sekolah, Senin<br />

27 Juli 2015 menunjukkan bahwa jajaran birokrat selama ini membiarkan perpeloncoan terus terjadi<br />

dalam kegiatan MOS di lapangan. Hal ini merupakan contoh kasat mata bahwa jajaran Kemdikbud<br />

sebenarnya hanya sibuk dengan visi dan misinya sendiri, tidak memikirkan masa depan anak didik<br />

(karena perpeloncoan ini sudah merupakan gejala sistemik yang sengaja dibiarkan terjadi oleh Dinas<br />

Pendidikan dan Pengawas, meskipun mereka sudah mengetahui penyimpangan ini selama bertahuntahun,<br />

tapi karena tidak menyangkut “kepentingan” mereka, praktek perpeloncoan ini dibiarkan<br />

terjadi. Bahkan setelah adanya Surat Edaran Mendikbud tentang MOS, yaitu Surat Edaran<br />

No.59389/MPK/PD/2015, praktek perpeloncoan tetap saja terjadi).<br />

98<br />

Lihat lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab I No. 14<br />

123<br />

113


Lihat hasil liputan media massa pasca keluarnya Surat Edaran Mendikbud itu<br />

Pergantian istilah OPSDIK dan MOPD ini bukan sekedar mengganti kata per kata atau mengubah<br />

definisi, tapi mempunyai rujukan yang panjang seperti yang sudah diuraikan di Bab III ini.<br />

Prinsip desentralisasi ini sebenarnya sudah diakomodasi dalam Permendikbud No.67 Tahun 2013<br />

Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum, Bab I A. 2. Penyempurnaan pola pikir, yang<br />

diulang pada Permendikbud No.68 Tahun 2013, Permendikbud No.69 Tahun 2013 dan<br />

Permendikbud No.70 Tahun 2013 , yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 (lihat<br />

Catatan * di Kata Pengantar)<br />

Point 1. Pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada peserta<br />

didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang dipelajari<br />

untuk memiliki kompetensi yang sama <br />

Point 7. Pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users) dengan<br />

memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik<br />

Bukankah hal ini yang menjadi impian dari Olga dalam novel Susanna Tamaro di atas? Pembelajaran<br />

menggunakan Multiple Intelligence. Masalahnya hal ini tidak bisa dicapai melalui pelatihan guru<br />

secara massal dan seragam di tingkat nasional, dengan silabus, buku ajar dan buku pegangan guru<br />

serta metode pembelajaran yang seragam. Pemetaan kelas melalui pengenalan akan bakat dan minat<br />

siswa yang berbeda dengan Multiple Intelligence, hanya dapat dicapai dalam kurikulum yang<br />

kontekstual dan situasional yang melayani keberagaman.<br />

114<br />

124


Dalam kurikulum yang seragam secara nasional, nuansa desentralisasi dan kebebasan mimbar<br />

akademik tidak muncul, yang muncul justru adalah hegemoni pemerintah sampai ke ruang kelas,<br />

yang dilengkapi dengan kendali para Pengawas di daerah.<br />

Kenapa sampai muncul dua kurikulum (Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013) yang<br />

menyebabkan tarik ulur fungsi pemerintah daerah dalam mengontrol pendidikan melalui<br />

pembelajaran di kelas lewat Pengawas Mata Pelajaran sehingga pengembangan potensi siswa sebagai<br />

subyek didik terabaikan?<br />

Ternyata Kurikulum 2013 itu dikembangkan atas teori KBK (kurikulum berbasis kompetensi<br />

: competency-based curriculum) yang sebenarnya sudah tidak diberlakukan lagi dengan berbagai<br />

alasan, seiring pemberlakuan Kurikulum 2006 (Lihat Permendikbud No. 67 Tahun 2013 II B<br />

Landasan Teoritis, yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 II D Landasan<br />

Teoritis (lihat Catatan * di Kata Pengantar) : maka kita harus merujuk kembali kenapa KBK itu<br />

dahulu dihentikan. Masalahnya ada pada kesulitan pengukuran kompetensi yang dicapai siswa<br />

secara kuantitatif.<br />

Maka untuk menyiasati seandainya Dinas Pendidikan di daerah berkukuh melanjutkan<br />

penerapan Kurikulum 2013, adalah “meniti buih” :<br />

- Tanpa meninggalkan aspek student centered learning sebagaimana diamanatkan dalam<br />

Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab I No. 14 : Pengakuan atas perbedaan<br />

invidual dan latar belakang budaya siswa,<br />

- Tanpa meninggalkan prinsip desentralisasi yang sebenarnya sudah diakomodasi dalam<br />

Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum, Bab I<br />

A. 2. Penyempurnaan pola pikir (yang diulang pada Permendikbud No. 68 Tahun 2013,<br />

Permendikbud No. 69 Tahun 2013 dan Permendikbud No. 70 Tahun 2013) Poin 1 dan Poin<br />

7 di atas,<br />

yang perlu dilakukan adalah menerapkan Analisis horizontal pada Analisis Kurikulum untuk<br />

melihat keterkaitan antar berbagai mata pelajaran pada jenjang kelas yang sama sehingga siswa dapat<br />

belajar integrasi lintas ilmu untuk mengerti konsep multi disiplin (yang sebenarnya sudah dimulai<br />

dengan diberlakukannya Tematik Integratif di SD dan Mata Pelajaran IPA Terpadu dan IPS Terpadu<br />

di SMP).<br />

Misalnya : seorang guru Biologi di SMA hendak mengajarkan Teori Mendel, maka guru tersebut<br />

harus yakin bahwa Teori Peluang (Probabilitas) yang mencakup Permutasi dan Kombinasi sudah<br />

diajarkan sebelumnya di Matematika. Seorang guru kelas 6 SD yang akan mengajar materi Fisika<br />

Optik dalam IPA-Fisika pada minggu kedua Agustus, harus yakin bahwa pada minggu pertama<br />

125<br />

115


Agustus, guru Matematika kelas 6 SD sudah mengajarkan materi perhitungan luas lingkaran dan<br />

volume bola.<br />

Dengan demikian, sains dan iptek akan dipahami sebagai art, bukan sekumpulan dalil, rumus<br />

atau aksioma yang harus dihafal. Pembelajaran menjadi menyenangkan karena siswa dapat merunut<br />

ketersinambungan antar topik atau tema. Proses pembelajaran menjadi pembuka wawasan dan<br />

horizon cakrawala pengetahuan siswa yang tidak bisa didapat dalam bimbel atau les privat.<br />

Rapat kerja para guru pada awal tahun ajaran baru harus memastikan bahwa langkah<br />

sinkronisasi antar mata pelajaran melalui Analisis horizontal ini dijalankan dengan efektif,<br />

tanpa itu, belajar hanya akan menjadi beban bagi siswa sehingga pengembangan potensi siswa<br />

itu masih tetap jauh panggang dari api. Analisa horizontal ini juga perlu dilengkapi dengan Analisa<br />

Konteks, yang juga sudah diberlakukan dalam Kurikulum 2006 dan KTSP Bimtek (2008).<br />

Rincian dari Analisa Konteks ini selalu dituntut bukti fisiknya dalam akreditasi sekolah, yaitu<br />

akreditasi penyelenggara dan penyelenggaraan pendidikan.<br />

Disinilah peran vital Pengawas (sesuai Pasal 10 UU Sisdiknas) : pengawas membantu dan<br />

membimbing pihak penyelenggara pendidikan (sekolah) agar mampu memenuhi 8 standar nasional<br />

pendidikan (8 standar SNP), bukan malah sibuk memaksa sekolah untuk menerapkan Kurikulum<br />

2013 (demi proyek), lupa pada isi Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 di PP No.32 Tahun 2013<br />

Misalnya guru Biologi yang akan mengajar Teori Mendel, dapat melakukan Analisa konteks sebagai<br />

berikut :<br />

KONDISI ALAM SOSIAL BUDAYA KEKAYAAN DAERAH<br />

Lihat berapa % kemungkinan<br />

munculnya itik albino<br />

Lihat keberadaan manusia<br />

albino, kenapa langka, tetapi<br />

pasti ada<br />

Lihat persilangan tanaman<br />

yang khas daerah itu, misalnya<br />

singkong Mukibat<br />

Dari contoh di atas, nampak jelas bahwa :<br />

- Bila Analisa konteks dilakukan secara benar, maka guru tersebut telah menerapkan CTL<br />

(contextual teaching learning)<br />

- Bila Analisa konteks dilakukan secara benar, maka azas multikulturalisme dalam<br />

pembelajaran, juga akan terpenuhi<br />

116<br />

126


Atau Guru Fisika yang akan mengajar Fisika Optik, dapat melakukan Analisa Konteks sebagai<br />

berikut :<br />

KONDISI ALAM SOSIAL BUDAYA KEKAYAAN DAERAH<br />

Daerah-daerah berkapur,<br />

umumnya orang kekurangan<br />

vitamin A, karena sukar<br />

mendapat sayur mayur, seperti<br />

wortel, seledri, dll, hingga<br />

umumnya mereka menderita<br />

rabun jauh (myopi). Maka<br />

titik berat guru Fisika ini<br />

adalah pada materi lensa<br />

(supaya paralel dengan kaca<br />

mata) dan teropong (supaya<br />

paralel dengan rabun jauh),<br />

dengan program pengayaan :<br />

“teropong bidik malam”<br />

Karena myopik, mereka tidak<br />

terbiasa menggunakan lampu<br />

senter, tetapi menggunakan<br />

penerang jarak dekat (obor,<br />

lampu petromaks, dll)<br />

Masyarakat daerah kapur<br />

bukan masyarakat visual,<br />

tetapi masyarakat audio,<br />

mereka peka pada bunyi/suara.<br />

Radio cukup akrab dengan<br />

mereka, dan kesenian diatonis<br />

menjadi pembeda dengan<br />

masyarakat agraris yang<br />

pentatonis.<br />

Pengukuran jarak pandang<br />

dihitung dari kemampuan<br />

lensa mata myopik, yaitu :<br />

“sudah dekat” atau “tidak<br />

jauh”, padahal jaraknya masih<br />

jauh, karena ukurannya adalah<br />

sudut elevasi jarak pandang.<br />

Masyarakat daerah kapur<br />

(masyarakat audio)<br />

mengembangkan melodi yang<br />

bertumpu pada nada<br />

suara/bunyi (seruling,<br />

terompet , dll)<br />

Melalui Analisa Konteks, keberagaman (multikulturalisme) dapat diakomodir. Maka<br />

kerancuan kurikulum dapat dihindari : mau menerapkan Kurikulum 2006 (KTSP awal) atau mau<br />

merevitalisasi kembali Kurikulum 1975, hasilnya akan sama yaitu pengembangan bakat dan minat<br />

siswa. Itulah inti dari desentralisasi dan SPM : pendidikan yang berpusat pada siswa (student<br />

centered learning) (siswa bukan sekedar “peserta didik”, tapi “subyek didik”), yang mengakomodasi<br />

keberagaman (multikulturalisme).<br />

Itulah pentingnya menata ulang kurikulum pendidikan nasional kita sebagaimana<br />

diamanatkan dalam Nawa Cita No.8<br />

127<br />

117


BAB IV<br />

Kurikulum vs Kompetensi<br />

Kekeliruan pertama dalam kaitan dengan kompetensi adalah pada masalah<br />

pengukurannya. Kurikulum 2013 yang dikembangkan dari KBK (2004) 99 menyisakan masalah<br />

pengukuran kompetensi yang ingin dicapai. Perumusan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) di<br />

tahun 2004 ternyata tidak disertai pengukuran kompetensi sehingga setiap penatar menafsirkan<br />

sendiri kompetensi yang hendak dicapai, terpisah dari rumusan :<br />

- Pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 : “Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya<br />

potensi peserta didik”, dan<br />

- Pasal 51 UU No. 20 Tahun 2003 : “Pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan<br />

berdasarkan SPM dengan prinsip MBS”. Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang<br />

menyangkut kompetensi minimal yang harus dikuasai siswa (pengukurannya menggunakan<br />

KKI), dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang antara lain berisi pengukuran<br />

kompetensi dan kinerja guru ini, sekarang tidak lagi dipraktekkan akibat dikeluarkannya<br />

Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Bab VI No.2 : Sistim dan entitas pengawasan.<br />

Seandainya kompetensi dalam KBK itu dikaitkan dengan kemampuan/kompetensi minimal<br />

“calistung” (baca-tulis-hitung), yaitu kemampuan berpikir kritis dalam Matematika dan Sains pada<br />

TIMMS (Trends in International Mathematics and Science Study), kemampuan membaca yang<br />

tersirat pada PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study), dan kemampuan bernalar<br />

dalam PISA (Progamme in International Students Assessment), maka KBK tidak perlu diganti pada<br />

tahun 2006. Akibat tidak terukurnya kompetensi secara valid ini menyebabkan timbulnya kesalahan<br />

pemaknaan kurikulum dan kesalahan pedoman penilaian pada Kurikulum 2013 (kesalahan pedoman<br />

penilaian diuraikan secara khusus dalam Bab V)<br />

Kekeliruan kedua dimulai dari kesalahan pemaknaannya. Menurut KBBI Vol IV,<br />

kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan tertentu.<br />

Karena artinya “hanya sekedar” perangkat pembelajaran maka sifatnya sangat teknis dan spesifik<br />

untuk diterapkan di kelas, seperti pembuatan silabi dan persiapan mengajar, penyediaan alat peraga<br />

dan pengukuran hasil belajar, sehingga kurikulum itu lekat dengan lokalitas dan situasional pada<br />

lembaga penidikan tertentu. Dengan kata lain, kurikulum di setiap sekolah itu seharusnya berbeda<br />

dan kontekstual.<br />

99<br />

Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis : Kurikulum 2013 dikembangkan atas<br />

teori KBK (competency-based curriculum), yang di copy paste dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II D<br />

(lihat Catatan * di Kata Pengantar)<br />

128<br />

118


Menurut kamus Webster : kurikulum itu adalah the courses offered by an educational institution,<br />

atau a set of courses constituting an area of specialization. Dengan kata lain, kurikulum menurut<br />

kamus Webster adalah the courses that are taught by a school, college, etc.<br />

Karena perangkat pembelajaran ini harus dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi satuan<br />

pendidikan (sekolah) masing-masing, maka sifatnya khas dan situasional. Oleh karenanya,<br />

seharusnya tidak ada uniformitas kurikulum di tingkat nasional, yang diproses melalui pelatihan guru<br />

dengan bahan yang sama di semua daerah. Sekali lagi, tugas pemerintah sebenarnya sudah diatur<br />

dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas yaitu hanya sebatas menetapkan kerangka dasar dan struktur<br />

kurikulum. Dalam Kurikulum 2013, pemerintah bahkan sampai kebablasan menyusun kurikulum<br />

dari hulu sampai ke hilir, mulai dari penentuan materi /bahan ajar (silabus, buku siswa, lalu<br />

menghapus mata pelajaran TIK di semua jenjang pendidikan dan IPA di kelas 1, 2, 3 SD) sampai<br />

menetapkan pola penyampaian materi/bahan ajar itu di kelas (metode pengajaran (metode saintifik<br />

(5 M), dan membuat buku pegangan guru), dilengkapi dengan pedoman pengukuran hasil belajar<br />

(menyusun pedoman konversi nilai (yang ternyata secara matematis salah), yang anehnya tidak<br />

dilengkapi dengan pedoman monitoring proses belajar. Dengan kata lain, Kurikulum 2013 ini<br />

mengusung semangat pembakuan tunggal dan hegemoni sehingga menabrak azas diversifikasi<br />

kurikulum sebagaimana termaktub dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas.<br />

Kalau mengacu pada ketentuan Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas ini, seharusnya kurikulum yang berlaku<br />

di Papua akan berbeda dengan kurikulum yang berlaku di Jawa, karena harus disesuaikan dengan<br />

kondisi sarana prasarana sekolah, potensi lokal dan keadaan siswanya.<br />

Semuanya menjadi rancu hanya karena pemerintah mengejar “penyerapan anggaran 20% dari<br />

APBN”. Yang disalahkan selalu gurunya (defungsionalisasi guru), bukan LPMP atau<br />

PPPG/PPPPTK, padahal para guru hanya menjalankan instruksi Pengawas dan arahan dari Dinas<br />

Pendidikan setempat<br />

(http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/29/11113348/Ini.Alasan.Dirombaknya.Kurikulum).<br />

Di DKI Jakarta, upaya uniformitas (penyeragaman) yang mengabaikan azas diversifikasi ini muncul<br />

dalam Sistim Administrasi Sekolah (SAS) dan Sistim Informasi Pendidikan (SIP). Di daerah lain,<br />

upaya penyeragaman ini dieksekusi dengan kehadiran para Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata<br />

Pelajaran yang nilai uji kompetensinya justru dibawah nilai uji kompetensi para guru (Tentang<br />

Pengawas ini, lihat Catatan kaki No.4). Hal ini semakin menegaskan bahwa proyek sertifikasi guru<br />

itu adalah proyek tebar uang yang tak ada hubungannya dengan kompetensi dan kinerja guru, sematamata<br />

demi memenuhi penyerapan anggaran. Hal ni sudah nampak beberapa tahun yang lalu, saat<br />

diterapkannya UKG (uji kompetensi guru) yang tidak jelas tujuannya itu dan akan diulang pada bulan<br />

November 2015 ini : UKG yang tidak jelas untuk apa dilaksanakan dan bagaimana Kemdikbud akan<br />

129<br />

119


menyikapi hasilnya nanti : membentuk lembaga pelatihan guru yang baru atau membuat program<br />

pelatihan guru terpusat lagi. Kalau guru yang tidak lolos UKG itu kemudian dicabut tunjangan<br />

sertifikasinya, bagaimana argumen Kemdikbud menghadapi gugatan para guru itu kelak di PTUN :<br />

“bukankah selama ini mereka selalu mengikuti arahan Dinas Pendidikan dan Pengawas dan telah<br />

dinyatakan lulus diklat sertifikasi guru”, dan “apakah tes sesaat bisa mengukur seluruh kompetensi<br />

guru?”<br />

Ternyata terbukti kemudian bahwa UKG itu memang tidak terkait dengan kata “uji” dan “uji<br />

kompetensi” tetapi hanya merupakan proyek baru untuk mengadakan diklat baru bagi para guru,<br />

seolah-olah para guru belum pernah menempuh pendidikan didaktik metodik dan pedagogik di<br />

PGSD/FKIP.<br />

Seandainya Mendikbud M. Nuh mengacu pada Finlandia (sebagai kiblat pendidikan dunia)<br />

dan bukan pada negara-negara OECD, maka Kurikulum 2013 tidak akan pernah ada.<br />

Kalau menaati UU dan pemaknaan harafiahnya, maka kurikulum harus dikembangkan sesuai<br />

dengan situasi dan kondisi satuan pendidikan (sekolah), sehingga kurikulum ini dikenal sebagai<br />

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), artinya kurikulum yang disusun sendiri oleh para<br />

guru dan disahkan oleh kepala sekolah (Pasal 77 ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013). Dengan<br />

kata lain, otonomi guru dan otonomi sekolah dalam penyusunan kurikulum, memonitor proses<br />

belajar, serta mengevaluasi hasil belajar ini mempunyai payung hukum yang kuat yang<br />

tereksplisitkan dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas, dan Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun 2005<br />

(UU Guru dan Dosen) seperti yang sudah diuraikan dalam Bab Pendahuluan. Dengan demikian,<br />

menyama-ratakan kurikulum dan memberlakukan kurikulum nasional secara tunggal jelas keliru,<br />

karena melanggar pemaknaan (arti) kata “kurikulum” dan menabrak UU (lihat penjelasan lebih<br />

rinci dalam Bab Pendahuluan)<br />

Dengan kata lain, Kurikulum 2013 yang membakukan pembuatan silabus tunggal, pembuatan buku<br />

siswa dan buku pegangan guru yang seragam serta keluarnya Pedoman penilaian Permendikbud No.<br />

66 Tahun 2013, lalu diubah dalam Lampiran IV Permendikbud No. 81 A Tahun 2013, yang<br />

diperbarui dalam Peraturan Bersama Dirjen Dikdas No. 5496/C/KR/2014 dan Dirjen Dikmen No.<br />

7915/D/KP/2014 tentang penilaian (penilaian pada Kurikulum 2013 seharusnya menggunakan<br />

penilaian rubrik agar sesuai dengan SOLO Taxonomy), semuanya itu justru mengaburkan<br />

terbentuknya budaya organisasi di lingkungan sekolah. Sebab pedoman penilaian dari Kemdikbud<br />

yang berubah-ubah ini justru menabrak azas otonomi pendidikan yang diusung oleh Pasal 39 ayat 2<br />

UU Sisdiknas dan Pasal 20 (a) UU Guru dan Dosen dan mengabaikan arti kata “kurikulum” secara<br />

harafiah (letterlijk). Untuk internalisasi arti kata “kompetensi” dan makna “kurikulum”, para guru<br />

harus menyadari arti panggilan hidupnya. Bukan menjadi guru untuk kurikulum, bukan menjadi<br />

120<br />

130


guru untuk Dinas Pendidikan, bukan menjadi guru untuk aturan-aturan, tetapi menjadi guru<br />

untuk muridnya. Tanpa murid, guru hanyalah seorang “pengangguran”. Karena ketidak pedulian<br />

akan murid ini dan hanya terpaku pada proyek penyerapan anggaran (sertifikasi guru, UN dan<br />

peluncuran kurikulum baru), maka keterlambatan pembagian ijazah hanya dianggap sebagai proyek<br />

administrasi yang tertunda, bukan pada pelanggaran atas hak-hak anak. Dengan kata lain,<br />

Kemdikbud abai pada kebutuhan murid. Kebutuhan murid ditengah jaman yang lari tunggang<br />

langgang ini adalah mengerti dan dimengerti oleh dunianya, tidak teralineasi ditengah dunia yang<br />

tergopoh-gopoh ini. Murid dapat mengerti apa itu komputasi awan (cloud computing), rekayasa<br />

genetik (genetic engineering), perubahan dari 3 G ke 4 G, atau perubahan dari analog ke digital, dll.<br />

Untuk itu, Kemdikbud jangan terjebak dalam kontradiksi “mengerti banyak hal tetapi tidak<br />

mendalam (generalis)” atau “mengerti sedikit hal tetapi mendalam (spesialis)”, tetapi menyajikan<br />

dasar-dasar pengetahuan (basic knowledge) secara menyenangkan, hingga siswa dapat membangun<br />

sendiri system of knowledge-nya untuk memperkuat pilihan hidupnya. Bukankah hal ini merupakan<br />

dasar dari SKS yang tertuang dalam Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014? Bukan dengan<br />

menghapus bagian integral penting dari suatu mata pelajaran, misalnya menghapus Kalkulus I dan II<br />

dari bahasan Matematika, atau menghapus Kimia Analitik dari kajian Kimia, atau mengintegrasikan<br />

mata pelajaran IPA di kelas 1, 2, dan 3 SD itu ke mata pelajaran lain. Semuanya itu hanya akan<br />

mengacaukan system of knowledge dari sains itu sendiri. Siswa tidak akan mampu lagi menjawab<br />

pertanyaan mendasar seperti “kenapa begini?”, “kenapa begitu?”, meskipun guru menggunakan<br />

metode saintifik (5 M). Misalnya : Kenapa undur-undur (Myrmeleon formicarius) berjalan mundur?<br />

Sebab dengan berjalan mundur, larva undur-undur itu sedang membuat sarang berbentuk kerucut<br />

terbalik. Bentuk kerucut terbalik dari sarang larva undur-undur itu sebenarnya untuk memudahkan<br />

mangsanya tergelincir masuk kesarang dan sukar untuk keluar atau melarikan diri lagi. Bukankah<br />

undur-undur ini sudah menggabungkan prinsip Matematika dari kerucut dengan prinsip gaya dalam<br />

Fisika. Kenapa ular berdarah dingin, sedangkan berang-berang (Lutra sumatrana) yang juga<br />

membuat sarang di dalam tanah, justru berdarah panas? Kenapa langit berwarna biru?, dll<br />

Kekeliruan pemahaman tentang makna kurikulum ini harus cepat dikoreksi oleh Mendikbud Anies<br />

Baswedan, misalnya penerapan tematik integratif di SD dilakukan dengan mengintegrasikan IPA<br />

pada mata pelajaran lain itu adalah keliru. Disamping menyulitkan siswa membangun system of<br />

knowledge-nya sendiri (seperti sudah diuraikan di atas), pengintegrasian ini juga menyebabkan<br />

terpelesetnya penerapan pendekatan saintifik (5 M) ini menjadi pendekatan logika. Misalnya siswa<br />

yang bertanya kenapa bentuk atap rumah selalu miring? Akan dijawab gurunya dengan logika (bukan<br />

dengan metode 5 M). Jawab yang umum muncul adalah supaya atap dapat mengalirkan air hujan<br />

dengan cepat ke tanah. Salah besar. Padahal kalau guru mengamati kemiringan atap rumah dan<br />

131<br />

121


menganalisa warna genting yang coklat itu, guru akan mengerti fungsi genting itu, yaitu menyerap<br />

panas, sehingga jawab yang benar, kenapa atap rumah selalu miring adalah agar rumah tidak lembab,<br />

oleh sebab itu kasur, pakaian, dan kamar mandi tidak berjamur.<br />

Kesalahan pemaknaan arti kata “kurikulum” dan “kompentensi” bila tidak cepat dikoreksi,<br />

dapat menjerumuskan Kemdikbud pada pencampur-adukan paedagogis dan didaktis, dan oleh<br />

karenanya Kemdikbud bisa terjerumus mengamputasi undang-undang otonomi pendidikan<br />

(meniadakan otonomi sekolah dan otonomi guru, seperti yang tertera dalam Pasal 77 M ayat 1 dan<br />

ayat 3 PP No.32 Tahun 2013) (Kemdikbud bisa menghapus semua ketentuan di Catatan kaki No.2)<br />

Tanpa koreksi dari Mendikbud, pengelolaan sekolah menjadi tidak mudah karena<br />

banyak tuntutan dan campur tangan negara. Dengan adanya campur tangan itu, otonomi<br />

sekolah dan otonomi guru dalam mengembangkan visi dan misi sekolah cukup terganggu.<br />

Wajah dunia persekolahan di seluruh Indonesia menjadi sama dan seragam apapun visi dan<br />

misinya.<br />

Apa yang mesti dikoreksi ?<br />

1. Mendudukkan arti kata “kurikulum” yang sebenarnya, yaitu seperangkat pembelajaran yang<br />

dipilih untuk diterapkan di suatu sekolah tertentu (sangat memperhatikan aspek lokalitas dan<br />

kondisional suatu sekolah), karena ada upaya keras untuk “menyamarkan” arti kata<br />

“kurikulum” menjadi “sistim pembelajaran yang dibuat oleh Kemdikbud dan wajib<br />

dilaksanakan oleh semua sekolah”.<br />

2. Merestrukturisasi system of knowledge dari berbagai mata pelajaran itu, karena pembaruan<br />

kurikulum selama ini selalu diartikan sebagai imbuhan langkah inovatif dalam pembelajaran,<br />

seperti penggunaan multi media dalam proses pembelajaran di kelas, sehingga pembaruan<br />

kurikulum selalu dikaitkan dengan ketersediaan LCD, TV dan komputer di kelas, dimana<br />

guru tetap berceramah, paling-paling dilengkapi dengan metode diskusi atau presentasi siswa.<br />

3. Merumuskan ulang perbedaan kompetensi dan tingkat kompetensi, perbedaan antara<br />

kompetensi generik dengan KI dan perbedaan antara kompetensi spesifik dengan KD<br />

sehingga pola penilaian atau evaluasi hasil belajar menjadi jelas, tidak berkali-kali diubah<br />

(Lihat Permendikbud No.66 Tahun 2013, Lampiran IV Permendikbud No.81 A tahun 2013,<br />

Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan<br />

No.7915/D/KP/2014)<br />

Bagaimana mengukur apakah system of knowledge itu terwadahi atau tidak, dalam perancangan<br />

kurikulum baru ? Cukup melihat apakah masih ada materi/bahan ajar yang tidak ada di kurikulum<br />

kita, padahal materi/bahan ajar itu merupakan mata uji di TIMSS, PISA dan PIRL. Dengan kata lain,<br />

pembaruan kurikulum tidak boleh membuat kurikulum itu makin miskin. Pengetahuan<br />

132<br />

122


mengenai sejarah pendidikan di negara kita merupakan prasyarat penting dalam penyusunan<br />

kurikulum baru. Pemerintah perlu disadarkan bahwa apa yang sudah bagus di masa lalu, jangan<br />

dihapus, karena penggantinya belum pasti lebih bagus dan belum teruji.<br />

Bahan ajar/materi tidak boleh dikurangi, justru harus selalu ditambah, sesuai dengan tuntutan<br />

jaman, sehingga mutu makin meningkat.<br />

Kemdikbud rupanya terjebak dalam dikotomi ini : “menguasai banyak hal, tetapi tidak mendalam”,<br />

atau : “menguasai sedikit, tetapi mendalam”. Masalahnya bukan di situ, tetapi : “menguasai hal yang<br />

mendasar secara mendalam”, misalnya teknologi informasi memang berkembang dengan sangat<br />

cepat, dari sistim analog ke digital, namun ada teknologi mendasar yang harus dikuasai yaitu<br />

tegangan ke frekuensi dan tegangan ke lebar pulsa sebagai system of knowledge yang tetap dan paten.<br />

Ilmu Kimia berkembang sangat pesat, tetapi Kimia Dasar itu sifatnya tetap dan paten. Bahasa<br />

Indonesia itu selalu berkembang, tetapi hukum k, p, t, s akan luluh bila mendapat imbuhan itu<br />

sifatnya tetap. (Sisir kalau mendapat awalan me-, akan berubah menjadi menyisir (s luluh). Tari<br />

kalau mendapat awalan me-, akan berubah menjadi menari (t luluh). Namun karena materi/bahan ajar<br />

dalam Kurikulum 2013 makin miskin, maka hukum ini bisa tidak digubris lagi. Lihatlah : perkosa<br />

kalau mendapat awalan me-, akan berubah menjadi memperkosa (p tidak luluh), padahal seharusnya<br />

adalah “memerkosa” (p luluh). Secara panjang lebar, hal ini sudah diuraikan dalam filsafat<br />

perenialisme (lihat catatan kaki no. 40) di Bab I : Filosofi Pendidikan.<br />

System of knowledge merupakan kegiatan pembelajaran holistik yang memerlukan perangkat<br />

pendukung mengingat keterbatasan waktu penyampaian materi pokok yang sifatnya abstrak di kelas<br />

Perangkat pendukung yang pertama adalah kegiatan yang membuat materi yang abstrak<br />

di kelas itu menjadi riil (membumi), yang dikenal sebagai kegiatan ko-kurikuler. Misalnya guru<br />

Fisika yang mengajar tentang listrik statis dan listrik dinamis, bisa langsung membuat demo tentang<br />

listrik statis (adanya muatan listrik di setiap benda) dan menjelaskan listrik dinamis melalui gambaran<br />

fungsi bendungan dalam PLTA (makin tinggi dinding bendungannya, makin besar energi potensial<br />

air (Energi potensial = mgh), maka kalau pintu bendungan dibuka, air akan terjun mengalir deras<br />

menggerakkan turbin yang ada di bagian bawah dan putaran turbin yang cepat itu akan menghasilkan<br />

listrik (Energi kinetik = ½ mv² ). Namun kegiatan ko-kurikuler ini dalam KTSP Bimtek dan<br />

Kurikulum 2013 dilakukan di rumah sehingga tidak bisa dikontrol siapa pembuatnya. Oleh sebab<br />

itu, perubahan dalam shifting dari pemahaman konseptual ke pemahaman faktual kurang terasa<br />

efektivitasnya (pemahaman siswa hanya sebatas konsep saja, semua rumus dihafal oleh siswa).<br />

Perangkat pendukung yang kedua adalah kegiatan yang membuat materi yang abstrak di<br />

kelas itu menjadi mudah diasosiasikan dalam hidup sehari-hari, yang dikenal sebagai kegiatan intra<br />

kurikuler. Misalnya guru Biologi yang mengajar tentang sistim peredaran darah akan membimbing<br />

133<br />

123


praktikum bedah hewan berdarah panas dan hewan berdarah dingin sehingga siswa dapat melihat<br />

langsung beda sistim peredaran darahnya. Guru Bahasa Indonesia yang akan memperkenalkan<br />

musikalisasi puisi sebaiknya membimbing siswa untuk mencari lagu-lagu Franky and Jane di<br />

YouTube (semua lagunya adalah puisi yang dinyanyikan (tembang puitik), seperti Musim Bunga,<br />

Kepada Angin dan Burung-burung, dll), setelah siswa menemukan “pesan” dari tembang puitik ini,<br />

baru kemudian mencari musikalisasi puisi yang lebih “berat” seperti musikalisasi puisi “Aku”<br />

(Chairil Anwar) di YouTube. Tetapi sayangnya, kegiatan intra kurikuler ini dalam KTSP Bimtek dan<br />

Kurikulum 2013 diubah menjadi kegiatan ko-kurikuler, sehingga efeknya dalam mengasah cara<br />

berpikir induktif dan deduktif kurang terasa manfaatnya karena kekurangan waktu (shifting dari<br />

pemahaman konseptual ke pemahaman prosedural kurang terlihat efektivitasnya) Siswa sukar<br />

menarik kesimpulan dari analisis hubungan antar berbagai fakta yang ada.<br />

Perangkat pendukung yang ketiga adalah kegiatan yang membuat materi yang abstrak di<br />

kelas itu menjadi mudah diaplikasikan dalam hidup sehari-hari, yang dikenal sebagai kegiatan ekstra<br />

kurikuler mata pelajaran/ekskursi (pengamatan di luar kelas). Misalnya guru Ekonomi yang<br />

mengajar tentang beda antara monopoli dan oligopoli, tidak bisa dengan berceramah di kelas, mau<br />

tidak mau, siswa harus ke pasar tradisional dan ke super market. Di pasar tradisional, siswa<br />

mengamati siapa sebenarnya pemasok utama barang-barang yang dijual di sana, dan di super market,<br />

siswa mengamati produk merk apa saja yang dipajang di rak. Tidak sembarang merk bisa masuk ke<br />

super market. Tetapi kegiatan ekskursi ini dalam KTSP Bimtek dihapus dan dalam Kurikulum 2013<br />

diubah menjadi kegiatan ko-kurikuler melalui metode 5 M, sehingga efeknya dalam shifting dari<br />

pemahaman konseptual ke pemahaman meta-kognitif kurang terasa manfaatnya. Siswa sukar<br />

menerapkan pengetahuan yang diperoleh di kelas dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, siswa<br />

belajar tentang konservasi alam dalam Biologi tetapi lingkungan hidup tetap rusak, alam terus<br />

menerus terdegradasi. Atau siswa membuat lubang biopori di daerah yang tidak ada air, lalu yang<br />

mau diresapkan ke dalam tanah itu apa? Oh, nanti menunggu hujan. Kalau begitu jangan<br />

menggunakan biopori, tapi back to nature, alam menyediakan hewan dan tanaman yang bukan sja<br />

membantu peresapan air, bahkan mampu mengikat air, seperti cacing tanah (Ascaris lumbricoides),<br />

jangkrik (Gryllus assimilis), capung (Neurothemis sp.), pohon kelor (Moringa oliefera), pohon<br />

belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L), lamtoro gung/petai cina (Leucaena leucocephala), pinus<br />

(Pinus merkusii), bambu (Bambusa arundinacea) tetapi tidak boleh menanam bunga bougenville<br />

(Bauhinia purpurea L), kelapa sawit (Elaeis gunineensis), cemara (Casuarina equisetifolia) :<br />

tanaman-tanaman yang banyak menghabiskan air tanah dan membuat lingkungan menjadi panas.<br />

Perangkat pendukung yang keempat adalah kegiatan yang membuat materi yang abstrak<br />

di kelas menjadi terinternalisasi dalam diri siswa, yang dikenal sebagai kegiatan anjangsana (kegiatan<br />

124<br />

134


luar sekolah yang memerlukan waktu cukup lama untuk penyelesaiannya). Misalnya guru Agama<br />

mengajar tentang agama sebagai pembawa rahmat kehidupan (rahmatan lil ‘alamin), maka guru itu<br />

tidak bisa berceramah, dia harus meminta muridnya mengamati tetangganya yang petani : panen 30<br />

kuintal beras (3 ton beras), kalau harga gabah itu Rp.6.000 per kg, maka petani itu akan mendapat<br />

Rp 18 juta per panen atau Rp 18 juta per 4 bulan. Berarti pendapatannya sebulan hanya Rp. 4,5 juta,<br />

kalau dikurangi ongkos produksi (beli benih, beli pupuk, beli insektisida, dll), barangkali<br />

pendapatannya hanya sekitar Rp. 1,5 juta per bulan atau Rp 50.000 per hari. Kalau petani itu<br />

mempunyai dua anak yang masih sekolah, bagaimana mencukupkan uang itu untuk uang transport<br />

dua anaknya ke sekolah, uang belanja bagi istrinya dan uang untuk kebutuhan pribadi sang petani<br />

sendiri (beli solar untuk mesin bajaknya dll), lalu siswa diajak merenung : kalau begitu, siapa yang<br />

masih mau jadi petani? Untuk memahami kenapa terjadi urbanisasi, tidak bisa dengan sekali atau<br />

dua kali pengamatan, tapi perlu waktu yang cukup lama : “sementara sang suami mengadu nasib ke<br />

kota, bagaimana si istri bisa bertahan hidup ?”. Maka kesadaran siswa untuk selalu bersandar pada<br />

kerahiman Ilahi, tidak bisa hanya diperoleh melalui kegiatan kognitif pembelajaran Agama di kelas.<br />

(bukan dengan memaksakan masuknya KI 1 dan KI 2 di semua mata pelajaran). Justru<br />

kegiatan anjangsana yang penting untuk mengasah aspek afektif dan aspek kecakapan hidup siswa<br />

ini yang malahan dihapus dalam KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013, sehingga kepekaan sosial siswa<br />

tidak berkembang. Sudah jamak kita lihat, semua anggota keluarga duduk di ruang TV, tapi masingmasing<br />

sibuk dengan gawainya (gadget-nya), tidak mengobrol dan tidak juga menonton TV, padahal<br />

mereka duduk bersama. Bagaimana kepekaan sosial mau dikembangkan bila kemampuan untuk<br />

berkomunikasi menurun drastis. Disinilah terlihat pentingnya kurikulum yang kontekstual<br />

sebagaimana dituntut dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 14 PP No. 19 Tahun 2005.<br />

Penghapusan mata pelajaran IPA di jenjang awal dan TIK pada semua jenjang di Kurikulum 2013<br />

menunjukkan bahwa pemerintah tidak peka pada perkembangan sains dan iptek yang begitu pesat,<br />

yang bisa menyebabkan negeri ini terjajah secara ekonomi dan tergantung secara teknologi dari<br />

negara lain.<br />

Maka dari itu, kompetensi etis menjadi jauh lebih penting dari kompetensi inti 1 (KI-1) 100 .<br />

100<br />

Kecenderungan yang cukup luas untuk menaruh perhatian terlalu berat kepada kebudayaan sebagai sistem nilai<br />

membuat kita cenderung tergesa-gesa mengambil sikap normatif. Bahaya dari pendekatan ini adalah kita<br />

mendepolitisasikan masalah-masalah sosial-ekonomi dan politik dengan mengajukan solusi moral. Seolah-olah<br />

“kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan peradaban” dapat selesai apabila kita melekatkan aneka kecakapan yang<br />

sedang kita pelajari ke kesalehan. Seolah-olah kekerasan remaja hanya perkara moral yang lemah. Korupsi yang ganas<br />

di negeri ini adalah salah satu bukti nyata bahwa tidak selalu ada kaitan langsung antara moralitas dan kesalehan. Lagak<br />

moralis dan saleh tidak akan menjadikan kita bangsa bermoral. Dengan ngeri kita menyaksikan bagaimana orang<br />

menyerang, menindas dan membunuh atas nama kesalehan yang terkunci dalam bingkai penafsiran sempit. (Pidato<br />

Kebudayaan Dr Karlina Supeli : “Kebudayaan dan Kegagapan Kita”, TIM, 11 November 2013)<br />

135<br />

125


Kompetensi etis itu mencakup :<br />

- Compassion (kemampuan berbela rasa) Berempati dan membela mereka yang<br />

termarginalkan, tersingkir dan tertindas. Bila kemampuan bela rasa ini dikembangkan, tidak<br />

akan ada lagi perundungan (bullying) atau memusuhi mereka yang berbeda pendapat<br />

- Kemampuan bekerja sama : masalah dalam dunia modern ini sangat kompleks dan tidak<br />

mungkin dapat dipecahkan sendiri. Jika tidak cekatan, kesempatan akan hilang di tengah<br />

dunia yang lari tunggang langgang. 101<br />

Dalam konteks inilah, pendidikan dapat berfungsi membebaskan, mencerahkan dan<br />

menginternalisasikan nilai-nilai. Pengukuran kompetensi etis ini dalam PBK (penilaian berbasis<br />

kelas) juga jauh lebih mudah dari KI-1 karena kompetensi etis ini sudah dirumuskan pada “18 Nilai<br />

dalam Pendidikan Karakter”<br />

Jadi tugas pokok pendidikan dalam kaitan dengan kompetensi adalah menciptakan<br />

siswa yang mampu berpikir kritis. Untuk itu, sekolah membentuk dalam diri siswa disiplin<br />

dan keteraturan pikiran. Dengan demikian, kurikulum adalah sarana untuk memperkembangkan<br />

dan memperdalam ilmu-ilmu sehingga dunia siswa menjadi semakin diperluas. Dalam arti ini, pada<br />

tempatnya kalau kurikulum sekolah bicara tentang pentingnya “studium generale”, yaitu pengajaran<br />

ilmu-ilmu dasar. Tanpa pemahaman ini, ada bahaya bahwa siswa yang menguasai bidangnya dan<br />

mampu mengerti bidangnya (seturut “nomenklatur” kecerdasan dalam multiple intelligence), tetapi<br />

tidak tahu menempatkan dirinya dalam konstelasi dunia yang utuh. Misalnya, Mayjen (Purn)<br />

Bardosono, selaku Ketua PSSI di era Ore Baru, pernah mewacanakan adanya “sepak bola Pancasila”.<br />

Atau mantan Mendikbud, Prof. Dr.Yahya Muhaimin, dengan disertasi yang berjudul “Bisnis dan<br />

Politik di Indonesia” yang dipertahankan di MIT, ternyata ketahuan menyontek disertasi Dr Richard<br />

Robinson : “Capitalism and Bureaucratic State in Indonesia”, kasus plagiarism ini sudah<br />

dipublikasikan dalam buku “Plagiat-plagiat di MIT, Tragedi Akademis di Indonesia”, yang ditulis<br />

oleh Dr. Ismet Fanany, diterbitkan oleh CV Haji Mas Agung, Jakarta, 1992, dengan ISBN : 979-<br />

412-205-X. Di bagian inilah, kompetensi etis mempunyai peran vitalnya.<br />

Produk pendidikan yang kurang memperhatikan segi mutu ilmiah intelektual akan membahayakan<br />

konstelasi sosial yang ada, sebab masyarakat menjadi semu dengan orang-orang yang berijazah,<br />

tetapi tidak “berilmu”. Sebuah bangsa yang warganya telah kehilangan daya berpikir abstrakimajinatif<br />

dan kreatif tidak mungkin memiliki imajinasi kolektif tentang negara-bangsa.<br />

101<br />

Kaum Cerdik Pandai, Antara Ilmu dan “Ngelmu”, Kompas, Senin 14 Juli 2008 halaman 1<br />

126<br />

136


Jadi kurikulum seyogyanya mengembangkan analisis esensi materi, yaitu bagian tentang<br />

bagaimana kemampuan akademik itu diperoleh, apa syarat-syarat dan bukti-bukti kelulusannya,<br />

sehingga penerapan ilmu itu dapat dibenarkan dan dipertanggung jawabkan. Maka Kemdikbud tidak<br />

bisa menghapus Ilmu Ukur Ruang (Stereometri) dari Matematika, karena konsekuensi lanjutannya<br />

adalah menghapus Ilmu Bumi Falak (astronomi). Ilmu Bumi Falak (astronomi) tidak bisa dipelajari<br />

tanpa mengerti dimensi ruang suatu benda. Begitu juga dengan penghapusan Kimia Analitik, yang<br />

menyebabkan fungsi kimia dalam menganalisa komposisi suatu benda/zat menjadi hilang, akibatnya<br />

kemasan makanan/obat yang mencantumkan komponen kimiawinya menjadi sekedar pemanis etiket<br />

atau brosur. Dihilangkannya Ilmu Pesawat dari Fisika, yang menyebabkan siswa sukar mengerti apa<br />

beda “gaya” dan “daya”, apa kaitan “gerak balistik” dan “gerak rotasi bumi”, dll. Fisika menjadi<br />

sekumpulan rumus-rumus yang perlu dihafal sampai muncul buku “Kumpulan Rumus-rumus<br />

Fisika”. Adanya lompatan logika dalam Biologi pada Kurikulum 2013, yang menyebabkan rantai<br />

makanan sukar dipahami keterkaitannya dengan perubahan iklim (climate change) dll. yang hanya<br />

menjadikan sains nir makna. Misalnya, penghapusan Kimia Analitik dari silabus Kimia akan<br />

menjadikan Kimia eksperimental itu menjadi Kimia sastra, karena siswa tidak lagi bisa menentukan<br />

kadar suatu zat (kadar perak dalam cincin emas yang dikenal sebagai karat akan dihafal). Tanpa<br />

belajar Ilmu Pesawat, siswa akan bingung kenapa kalau dia berdiri di rel kereta, suara kereta yang<br />

akan lewat tidak terdengar, sehingga dia bisa tertabrak kereta, Fisika hanya menjadi kumpulan dalil<br />

dan aksioma.<br />

Dalam kaitan dengan kompetensi ini, Indonesia mempunyai sejarah gemilang pada aplikasi<br />

Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, dan Kurikulum 1984, serta awal Kurikulum 1994, ketika<br />

kurikulum kita menjadi rujukan bagi negara lain karena menjunjung tinggi kebebasan mimbar<br />

akademik (seperti yang sekarang berlaku bagi dunia perguruan tinggi), dan ijazah kita diakui di luar<br />

negeri karena kompetensi para guru kita juga memenuhi kualifikasi akademik yang “mumpuni”<br />

sehingga diminta melalui perjanjian G to G untuk mengajar di negara lain.<br />

Semuanya merosot sejak pemerintah mengupayakan :<br />

- Penyederhaan waktu tempuh studi di FKIP/IKIP, dari 5 tahun menjadi 4 tahun, yang<br />

kemudian dilanjutkan dengan pembubaran IKIP di seluruh Indonesia<br />

Beberapa mata kuliah penting ikut dihapus : Filsafat Pendidikan, Manajemen Berbasis Kelas,<br />

Praktek Mengajar dan penyederhaan praktikum (dari praktikum perorangan menjadi<br />

praktikum beregu, dari praktikum seminggu sekali menjadi praktikum dua minggu sekali)<br />

Sementara profesi lain menambah rentang studinya, calon guru justru studinya<br />

diperpendek. S.Ked (Sarjana Kedokteran) tidak bisa serta merta menangani pasien, dia<br />

137<br />

127


harus menempuh pendidikan lagi untuk dapat dilantik sebagai dokter. SH (sarjana hukum)<br />

tidak bisa langsung berdiri membela terdakwa di pengadilan, dia harus menempuh pendidikan<br />

lanjutan untuk dapat menjadi advokat (pengacara). Tapi anehnya pendidikan untuk calon<br />

guru yang akan mempengaruhi masa depan bangsa justru diperpendek dan IKIP justru<br />

dibubarkan. Para instruktur yang hanya mendengar pelatihan selama 2 atau 3 hari,<br />

sekonyong-konyong merasa mampu untuk mencampuri tupoksi dari LPMP dan mengubah<br />

kebebasan prinsip otonomi pendidikan menjadi hegemonik.<br />

Terjadi pendangkalan (cult of philistinism) dalam bidang didaktik dan pedagogik.<br />

- Perubahan dari SMP menjadi SLTP, dan SMA menjadi SMU yang membawa konsekuensi<br />

ciri khas sekolah menjadi hilang, karena sifatnya yang umum, semuanya serba sama, baik<br />

dalam seragam sekolah maupun dalam proses pembelajaran di kelas<br />

- Pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam di tingkat nasional mengabaikan tumbuhnya<br />

kebebasan mimbar akademik 102 Bukan hanya implementasi kurikulumnya sama (Silabusnya<br />

seragam, dan juga buku ajar/materi/sumber belajar, serta proses pembelajaran dibuat uniform<br />

(buku pegangan guru, bahkan sampai ke metode pengajaran semuanya sama), lengkap dengan<br />

pengawasan tahapan implementasi itu oleh Pengawas (lihat Catatan kaki No.4)<br />

- Penghapusan Direktorat Pendidikan Swasta sehingga anggaran pemerintah membengkak<br />

(mengurus guru PNS yang diperbantukan ke sekolah swasta, dan dana BOS untuk sekolah<br />

swasta, padahal sebelumnya sekolah swasta itu swadana dan swakelola, tidak membebani<br />

pemerintah, bahkan menjadi pembayar pajak yang kontinu). Akibatnya pemerintah terbebani<br />

pula dengan urusan administratif karena jumlah guru di sekolah swasta itu jauh lebih besar<br />

dari guru PNS. Oleh karenanya pemerintah sibuk dengan urusan administratif (Dapodik,<br />

Padamu Negeri) sehingga tidak sempat memikirkan dan menyusun SPM dan MBS<br />

sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas (SPM yang sudah disusun<br />

hanya menyangkut persyaratan minimal kelengkapan sarana dan prasarana sekolah) 103<br />

Apalagi mengembangkan kurikulum, kurikulum kita justru makin miskin, baik dari segi<br />

materi pelajaran, maupun dari didaktik-metodik (banyak guru tidak lagi tahu beda antara<br />

metode, strategi dan model pembelajaran dan kapan masing-masing hal itu boleh diterapkan)<br />

Hal ini makin dipersempit melalui penerapan metode tunggal : metode pendekatan saintifik<br />

(5 M) pada Kurikulum 2013, padahal masih ada begitu banyak metode, strategi dan model<br />

pembelajaran dengan kegunaan yang bervariasi.<br />

102<br />

Kewajiban pemerintah sudah digariskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas : hanya sebatas menentukan Kerangka<br />

Dasar dan Struktur Kurikulum, seperti pada kurikulum-kurikulum sebelumnya<br />

103<br />

SPM yang top down hanya berisi persyaratan minimal kelengkapan proses belajar-mengajar : Permendikbud No.<br />

128<br />

23 Tahun 2013<br />

138


- KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013 terlalu bertumpu pada pengembangan otak<br />

kiri. KTSP Bimtek (2008) bertumpu pada ketuntasan kognisi yang diukur dari ketercapaian<br />

KKM, sedangkan Kurikulum 2013 bertolak dari pengembangan kecerdasan intelektual dan<br />

kecemerlangan akademik (Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A<br />

No. 3). Padahal Kurikulum 1975 sudah memasukkan penyeimbangan otak kanan dan otak<br />

kiri (lihat kajian sejarah pendidikan Indonesia di Bab II Pendidikan vs Persekolahan).<br />

Akibatnya pemahaman guru dan siswa dalam estetika menjadi minim. Susunan dan suasana<br />

kelas nyaris sama di seluruh Indonesia, dinding kosong dan lingkungan yang kering.<br />

Dari diagram di atas, nampak jelas bahwa Kemdikbud terlalu fokus berpijak pada otak kanan<br />

(penyatuan kurikulum, intuisi untuk bersandar pada KBK dan bukan inspirasi yang mengacu<br />

pada Nawa Cita No.5, imajinasi untuk peningkatan kompetensi siswa dan bukan pada analisa<br />

hasil UKG dan analisa hasil uji kompetensi Pengawas, dll), padahal Kurikulum 2013 berpijak<br />

pada otak kiri (Lampiran Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II A No.3 : pendidikan<br />

ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik)<br />

Hasilnya adalah kebingungan :<br />

* Membedakan makna harafiah “kurikulum” dengan makna didaktis pedagogis “kurikulum”<br />

*Rumusan kompetensi dan tingkat kompetensi, kompetensi generik dengan KI dan<br />

kompetensi spesifik dengan KD itu rancu<br />

*SOLO Taxonomy tidak disertai dengan penilaian rubrik, tetapi tetap memakai Soal Pilihan<br />

Ganda<br />

*Sistim evaluasi berkali-kali diubah, tanpa menyertakan monitoring proses belajar<br />

- Desentralisasi pendidikan yang menyebabkan pemerintah pusat cq Kemdikbud tidak punya<br />

tangan lagi ke Dinas Pendidikan Propinsi (yang merupakan aparat Gubernur) dan Dinas<br />

Pendidikan Kabupaten/Kota yang merupakan aparat Bupati/Walikota). Akibat kebijakan<br />

yang berbeda-beda yang diambil masing-masing daerah, pendidikan menjadi subordinasi<br />

139<br />

129


kepentingan politik penguasa di daerah, yang perlu dimobilisir saat Pilkada, maka<br />

kemerosotan pendidikan makin menurun tajam (lihat hasil survey berbagai lembaga<br />

internasional tentang kualitas pendidikan kita pada bagian akhir dari Bab Pendahuluan)<br />

Nampaknya pemerintah ingin menyentralisasi kembali dunia pendidikan ini melalui :<br />

o pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam di tingkat nasional, mengabaikan azas<br />

diversifikasi kurikulum<br />

o pembentukan Ditjen Pendidik dan Tenaga Kependidikan, tanpa merevisi UU otonomi<br />

Daerah, padahal para guru ada dibawah “kendali” BKD (Badan Kepegawaian Daerah)<br />

cq Bupati/Walikota<br />

Maka untuk meningkatkan kompetensi pengawas, guru dan siswa, yang pertama-tama harus<br />

dilakukan adalah mengkaji ulang sejarah pendidikan kita. Dengan demikian, kita bukan saja akan<br />

mendapat gambaran degradasi kurikulum kita dari waktu ke waktu, namun juga akan melihat tidak<br />

adanya road map apa yang hendak kita kejar dengan anggaran 20% dari APBN itu, dan efek jangka<br />

panjang dari suatu keputusan sesaat (pembubaran IKIP dan penghapusan program Akta IV (diganti<br />

dengan Diklat sertifikasi (3 hari) yang hanya menyuburkan semangat konsumerisme dan konsumtif<br />

para guru). Kemdikbud yang digembar-gemborkan telah membuat road map pendidikan Indonesia<br />

untuk mengantisipasi bonus demografi melalui RPJM, ternyata tidak menjawab tantangan yang<br />

paling mendasar yaitu banyaknya materi uji yang ditanyakan dalam TIMSS dan PISA yang tidak<br />

terdapat dalam kurikulum Indonesia 104 (lihat hasil survey berbagai lembaga internasional tentang<br />

makin merosotnya kualitas pendidikan kita sampai ke titik nadir, di bagian akhir Bab Pendahuluan)<br />

Kita semua sadar bahwa pendidikan adalah kunci penting untuk peningkatan harkat dan<br />

martabat bangsa, namun mengapa kita terus terpuruk, juga dalam masalah moral dan etika. Kuncinya<br />

adalah : kita tidak membangun masyarakat pembelajar.<br />

Ketika Peter Senge (1990) mengeluarkan bukunya Fifth Dicipline banyak orang terhenyak dan<br />

menyadari betapa mereka hanya berkonsentrasi pada upaya mengajar tetapi tidak berfokus pada<br />

pembelajaran. Kitapun terhenyak bila melihat bahwa pembelajaran yang kita hasilkan sesudah<br />

merdeka ini kalah oleh negara tetangga yang pernah mengimpor guru dan dosen dari Indonesia. Kita<br />

sangat menyadari bahwa sebenarnya pembelajaran, yang tidak selamanya merupakan hasil dari<br />

sekolah dan universitas, banyak gagal ketika kita tahu bahwa mayoritas penduduk masih mau<br />

menelan nilai-nilai yang tidak produktif dan positif, serta ”awareness” yang kurang terhadap<br />

kemanusiaan, lingkungan, moral dan etika yang pada akhirnya membawa perlambatan<br />

104<br />

Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Tantangan Eksternal, yang diulang pada<br />

Lampiran Permendikbud No. 68 Tahun 2013 dan Lampiran Permendikbud No. 69 Tahun 2013<br />

130<br />

140


pembelajaran, kalau tidak sampai pada pembodohan . Misalnya semua orang sibuk berbelanja<br />

gadget (gawai) meskipun tidak menguasai teknologinya. Bagaimana ekonomi Indonesia akan<br />

membaik kalau penduduk suka berbelanja (kurang menabung) sehingga korupsi meraja lela karena<br />

orang sibuk menutupi ”besar pasak dari tiang”. Bagaimana moral dan etika dapat dibangun bila para<br />

anggota keluarga sibuk bermain gadget meskipun duduk bersama (tidak ada komunikasi meskipun<br />

duduk berhadapan)? Pembaruan harus dimulai dari jenjang pendidikan dasar, celakanya justru di<br />

pendidikan dasar, pemerintah merusak system of knowledge dari IPA dan Komputasi (TIK).<br />

Menurut Francis Fukuyama, kalau mau bersaing secara global, sekolah harus mempunyai<br />

keunikan tersendiri (harus bisa menunjukkan keunggulannya dibandingkan dengan sekolahsekolah<br />

internasional yang makin menjamur) Banyak sekolah yang berkilah bahwa keunggulannya<br />

adalah dalam terapan aspek humaniora (disiplin, kejujuran, empati pada kelompok yang kurang<br />

beruntung, dll) namun masalahnya semua hal itu tidak terukur sehingga hanya berhenti sebagai<br />

slogan. Misalnya suatu sekolah menunjung tinggi nilai kejujuran tapi nyatanya kantinnya tetap dijaga<br />

(tidak ada kantin kejujuran) atau ulangan tetap dijaga. Dengan kata lain, pendidikan karakter di<br />

sekolah-sekolah tidak terintegrasi dalam program penilaian hasil belajar sehingga tidak sejalan<br />

dengan ketentuan dalam Lampiran 1 (untuk SD), Lampiran 2 (untuk SMP) dan Lampiran 3 (untuk<br />

SMA/SMK) dari Permendiknas No.23 Tahun 2006, serta Pasal 3 ayat 2 Permendiknas No. 39<br />

Tahun 2008 yang meminta sekolah memformulasikan pendidikan karakter itu secara<br />

kuantitatif (terukur). Yang muncul kemudian adalah tempelan Pendidikan karakter dalam<br />

kurikulum melalui Permendikbud No. 23 Tahun 2015 (Kompas, Kamis 23 Juli 2013 halaman 12 :<br />

Budi Pekerti – Nilai “Ditempelkan Tanpa Rasionalitas”). Akibat permendikbud ini yang<br />

mewajibkan para orang tua untuk mengantar anaknya sampai ke ruang kelas, maka pada hari pertama<br />

masuk sekolah tanggal 27 Juli 2015 yang lalu, di sejumlah tempat, orang tua berebutan bangku untuk<br />

anak-anaknya. Mereka menduduki bangku di kelas terlebih dahulu, seperti para calo di gerbong<br />

kereta jaman dulu. Itulah pelajaran budi pekerti pertama untuk anak-anak : saling serobot (Kompas,<br />

Minggu 2 Agustus 2015 halaman 13 : Udar Rasa – Akal Sehat)<br />

Pendidikan karakter ini bukan penilaian sesaat sehingga tidak tergolong dalam evaluasi hasil<br />

belajar. Tapi pendidikan karakter ini harus selalu dimonitor terus menerus sehingga termasuk dalam<br />

proses monitoring proses belajar yang berwujud pada PBK (Penilaian Berbasis Kelas). Karena<br />

pendidikan karakter itu tergolong dalam penilaian proses, maka penilaiannya tidak bisa diterabas,<br />

penilaian itu bukan ilusi (bahwa anak yang pandai itu sekaligus diharapkan akan menjadi anak yang<br />

saleh. Belum tentu. Ada proses yang harus dilalui). “Dunia entertainment memberi andil,<br />

bagaimana ilusi menjadi imajinasi. Di televisi, orang tua mendorong anak-anaknya untuk jadi<br />

penyanyi, penari, pelawak, dan lain-lain pelaku dunia hiburan. Realitas gadungan dunia<br />

141<br />

131


entertainment telah membuat ilusi melampaui kenyataan sehari-hari, melampaui kesadaran bahwa<br />

sejatinya ada yang tak bisa ditinggalkan dalam penjadian seseorang, yakni proses”. (Kompas,<br />

Minggu 2 Agustus 2015 halaman 13 : Udar Rasa – Akal Sehat).<br />

Masalahnya banyak guru tidak familiar dengan PBK (rapor lembar kedua pada rapor<br />

Kurikulum 2013) sehingga penilaian pendidikan karakter ini dilakukan secara manual dan subyektif<br />

(tidak computerized), oleh karenanya kompetensi siswa hanya diukur melalui capaian pemahaman<br />

kognitif melalui nilai ulangan (UH, UTS dan UAS), serta capaian nilai ketrampilan/psikomotor (nilai<br />

tugas : nilai proyek dan nilai praktek) saja, nilai afektif (pendidikan karakter) itu dikarang.<br />

Pendidikan holistik dan penilaian pendidikan holistik masih belum terumuskan dengan baik dan<br />

terukur. Kenapa ? Karena Indikator Keberhasilan belum terumuskan dengan baik. Indikator<br />

Keberhasilan itu seharusnya ada di Silabus, sedangkan Silabus dalam Kurikulum 2013 sudah dibuat<br />

oleh pemerintah cq Kemdikbud. Celakanya dalam Silabus yang dibuat oleh pemerintah itu tidak<br />

mencantumkan adanya Indikator Keberhasilan sehingga Silabusnya tidak berbeda dengan Silabus<br />

KBK (2004). Lalu selama bertahun-tahun setelah KBK (2004), dalam Kurikulum 2006 dan KTSP<br />

Bimtek(2008), para guru diwajibkan untuk mengembangkan Silabus sesuai tuntutan Standar Proses<br />

dalam Kurikulum 2006, dan KTSP Bimtek (2008). Semuanya hilang dalam Kurikulum 2013, seolaholah<br />

sesuatu yang baru. Apa akibatnya? Karena Indikator keberhasilan terkait dengan perumusan<br />

materi uji (soal test), maka soal test dalam Kurikulum 2013 menjadi tak terkait dengan target<br />

kurikulum, sehingga program penilaiannya membingungkan (Program penilaian dalam Kurikulum<br />

2013 ini berkali-kali diubah : lihat Permendikbud No.66 Tahun 2013, lalu Lampiran IV<br />

Permendikbud No.81 A Tahun 2013, dan terakhir Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen<br />

Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014 yang secara matematis kesemuanya salah)<br />

Dengan kata lain, Kurikulum 2013 mencampur adukkan proses belajar dan evaluasi hasil belajar.<br />

Misalnya : Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas X SMA<br />

SK 1 : Memahami yang tersirat dari siaran/cerita yg disampaikan langsung/tidak langsung 105<br />

KD 1.1 : Siswa dapat menyusun kronik 106<br />

Indikator 1.1.1.: Siswa dapat menyusun buku harian (diary) secara runtut<br />

Indikator Keberhasilan 1.1.1. : Siswa dapat membuat jadwal kegiatan yang rinci sepanjang<br />

hari selama 1 minggu dan menceritakan secara ringkas apa yang sudah dilakukan<br />

Tugas praktek : Membuat resume (misalnya membuat ringkasan setelah membaca buku<br />

harian Raditya Dika : Kambing Jantan, yang sudah diterbitkan Gramedia dan sudah<br />

105<br />

Perumusan SK mengacu pada Kurikulum 2006 dan bagaimana merumuskan SK yang terdiri atas penggabungan<br />

kata kunci KI pada Kurikulum 2013 dan SK pada Kurikulum 2006, dapat dilihat di Bab I : Filosofi Pendidikan<br />

106<br />

KD yang hilang dari kurikulum (lihat caranya mencari KD yang hilang tersebut dalam Bab I : Filosofi Pendidikan)<br />

132<br />

142


dibuat filmnya)<br />

Tugas Proyek : Membaca buku harian yang paling terkenal di dunia : The Diary of Young<br />

Girl oleh Anne Frank, yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan<br />

judul “Buku Harian Anne Frank”, filmnya juga bisa dilihat di YouTube, lalu<br />

menceritakannya kembali secara singkat sehingga teman-temannya yang belum sempat<br />

membacanya mendapat gambaran bahwa disamping menyimpan heroisme, perang juga<br />

selalu menyisakan kepedihan.<br />

Dengan demikian, setelah 1 minggu, siswa dapat membedakan apa itu kronik (chronicle), kronologi<br />

dan grafis informasi (infografis) – siswa dapat melanjutkan ke KD berikutnya karena telah menguasai<br />

KD 1.1. : siswa telah kompeten (kompetensi siswa terukur) karena telah melewati proses untuk<br />

memahami apa yang tersirat (bukan hanya yang tersurat).<br />

Kompetensi siswa dapat diukur kalau silabus dikembalikan ke wewenang guru sebagaimana<br />

disebut dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005. Selama silabus dibuat oleh pemerintah seperti pada<br />

Kurikulum 2013, selama itu pula pengukuran kompetensi siswa akan selalu kacau, karena rangkaian<br />

logikanya terputus, bahkan besar kemungkinan, para guru tidak bisa membedakan makna harafiah<br />

“kurikulum” dengan makna didaktis-paedagogis “kurikulum”, serta tidak bisa lagi membedakan<br />

kompetensi dan tingkat kompetensi, yang sudah diuraikan secara panjang lebar di Bab I Filosofi<br />

Pendidikan.<br />

Jadi kompetensi (kemampuan) inti yang harus dikuasai siswa :<br />

- bukan berupa KI 1 (sikap spiritual), KI 2 (sikap sosial), KI 3 (pengetahuan) dan KI 4<br />

(ketrampilan) yang tidak koheren dengan rumusan KD-nya<br />

- tetapi berupa 6 kompetensi) inti yaitu : berpikir kritis dan solutif<br />

kolaborasi dan komunikasi<br />

kreatif dan imajinatif<br />

menjadi warga negara yang baik<br />

literasi digital<br />

kemampuan memimpin<br />

namun keenam kompetensi (kemampuan) ini kerap luput dalam pembahasan Kurikulum 2013<br />

Ada kecemasan, bila guru kreatif mengembangkan metode pembelajaran, akan dinilai tidak sesuai<br />

standar oleh pihak yang lebih tinggi (Pengawas dan Dinas Pendidikan). Dampaknya, murid tidak<br />

mampu berinovasi. (Gumawang Jati, ITB, dalam lokakarya Core Skill yang diselenggarakan oleh<br />

GESS Indonesia (Global Education Service and Solution ) pada hari Jumat 2 Oktober 2015 yang lalu.<br />

Bahaya serius yang lain adalah sikap menutup diri dari sekolah swasta yang berciri khas<br />

keagamaan, setelah kompetensi siswanya menurun. Mereka berkilah, perguruan swasta yang berciri<br />

143<br />

133


khas keagamaan itu lebih menitik beratkan pada pendidikan humaniora. Lagak sok moralis ini hanya<br />

menunjukkan kegagapan sekolah swasta dalam menghadapi perubahan (Catatan kaki No.92+ No.100<br />

Hal ini mengingkari :<br />

1. Hakekat sekolah swasta yang berciri khas keagamaan, yang berazaskan pendidikan berbasis<br />

masyarakat, dengan dasar hukum Pasal 1 ayat 16 UU No.20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) :<br />

“Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan<br />

kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan<br />

pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat”, dan Pasal 55 ayat 1 UU Sisdiknas :<br />

“Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan<br />

formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk<br />

kepentingan masyarakat”.<br />

2. Dari rincian dasar hukum di atas, nampak jelas bahwa eksistensi sekolah swasta berciri khas<br />

keagamaan itu adalah “untuk masyarakat” , bukan untuk kelangsungan eksistensi dirinya<br />

sendiri. Lalu apa kepentingan masyarakat? “Memperoleh pendidikan yang bermutu, yang<br />

kualitasnya dijamin oleh negara”, sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 11 : “Pemerintah dan<br />

Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin<br />

terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”<br />

3. Dengan demikian, bila sekolah swasta yang berciri khas keagamaan mengingkari tanggung<br />

jawabnya untuk memberikan layanan pendidikan yang bermutu, dan kemudian lebih<br />

menekankan pada pendidikan humaniora, maka sekolah swasta yang berciri khas keagamaan<br />

itu sebenarnya sudah bergeser jati dirinya dari “lembaga pendidikan berbasis masyarakat”<br />

menjadi “lembaga pendidikan keagamaan” sesuai dengan ketentuan Pasal 30 ayat 2 UU<br />

Sisdiknas : “Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota<br />

masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya”. Sebagai<br />

konsekuensi dari perubahan orientasi pendidikan ini, dari “sekolah swasta yang bermutu”<br />

menjadi “sekolah swasta berbasis humaniora” (nilai-nilai luhur agama dan kemanusiaan),<br />

maka sekolah swasta yang berciri khas keagamaan itu bisa ditinggalkan oleh konsumennya,<br />

yang menuntut pendidikan yang bermutu sesuai dengan sejumlah uang yang dibayarkannya.<br />

Sekolah swasta tidak boleh bermain-main dengan visi dan misinya (untuk turut serta<br />

mencerdaskan kehidupan bangsa), sehingga dapat mempertanggung jawabkan dana BOS dan<br />

tunjangan sertifikasi guru yang telah diterimanya, yang nota bene merupakan uang rakyat.<br />

Pengembangan inovasi adalah salah satu prasyarat untuk dapat memanfaatkan bonus demografi yang<br />

akan terjadi antara tahun 2010 dan 2030, ketika penduduk usia produktif merupakan proporsi<br />

134<br />

144


terbanyak dari populasi Indonesia. Prasyarat lainnya adalah memperbaiki kualitas pendidikan<br />

melalui peningkatan kompetensi generasi muda sesuai dengan Nawa Cita No.5<br />

Untuk memperbaiki fondasi ekonomi, Jokowi mencanangkan 16 komitmen ekonomi dalam<br />

Nawacita. Salah satunya adalah peningkatan kualitas SDM dengan pendidikan 12 tahun.<br />

Pertanyaannya, apakah kita mampu menjalankan 15 komitmen ekonomi dengan pendidikan hanya<br />

12 tahun? Bagaimana mungkin kita menargetkan pendidikan hanya sampai 12 tahun, sementara<br />

fakta menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara penduduk yang pendidikannya kurang maju<br />

dengan kemampuan berinovasi. Tak mungkin kita bisa meraih bonus demografi dengan hanya<br />

mengandalkan pendidikan 12 tahun. Perlu ada program ekstra mengingat kondisi faktual SDM kita.<br />

Sampai Sensus tahun 2010, hampir 70 persen penduduk berpendidikan SMP kebawah, yang<br />

berpendidikan SLTA tidak sampai 30 persen. Selain kualitas SDM yang rendah, komitmen<br />

pemerintah dalam mendorong kemampuan penduduk untuk berinovasi juga rendah. Terlihat dari<br />

nilai investasi Indonesia di bidang penelitian yang hanya 0,08 persen dari PDB, sementara Korea<br />

Selatan, investasinya hampir 4 persen.<br />

Pada akhirnya, yang bisa dilakukan Indonesia dalam kondisi sekarang adalah memperkuat<br />

kelemahan modal manusia dengan bertumpu pada peningkatan ketrampilan dan kompetensi<br />

penduduk pada umumnya. Salah satu upayanya adalah memperluas pendidikan yang menghasilkan<br />

tenaga kerja trampil melalui program diploma (D-3) dan S-1, serta secara selektif mengembangkan<br />

pendidikan tinggi. Ada banyak potensi dan nilai strategis Indonesia, ia tidak menjadi apa-apa<br />

bila tidak dikelola oleh mereka yang kompeten. (Kompas, Selasa 6 Oktober 2015, halaman 7 :<br />

Menimbang Masa Depan).<br />

Justru dalam rumusan kompetensi inilah titik lemah dari Kurikulum 2013. Rumusan<br />

Kompetensi Inti tidak memenuhi kriteria pengembangan daya saing siswa sebagaimana sudah<br />

dirumuskan guru besar Harvard, Tony Wagner : From The Global Achievement Gap: Why Even Our<br />

Best Schools Don’t Teach The New Survival Skills Our Children Need—And What We Can Do About<br />

It (Basic Books, 2008) dan tidak memenuhi kriteria GESS (Global Education Service and Solution)<br />

sebagaimana sudah diuraikan di atas.<br />

Dengan kata lain, pemaksaan penerapan Kurikulum 2013 saat ini sungguh-sungguh tidak sejalan<br />

dengan Nawa Cita No.8 : “akan menata kembali kurikulum pendidikan nasional dengan<br />

mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan” Ada bahaya, kegagalan “revolusi mental”<br />

bisa ditimpakan ke jajaran Kemdikbud, karena Kemdikbud hanya sibuk dengan visi dan misinya<br />

sendiri (terus memaksakan penerapan barang basi (Kurikulum 2013 yang sebenarnya berbasis KBK)<br />

bikinan rezim yang lama, dan abai pada visi Presiden (Nawa Cita), lupa pada Pidato Presiden saat<br />

pelantikan para menteri Kabinet Kerja tanggal 27 Oktober 2014 : “Para menteri mesti mengutamakan<br />

145<br />

135


visi dan misi Presiden, bukan menjalankan visi dan misi kementeriannya sendiri” Jadi, penataan<br />

kembali kurikulum pendidikan nasional mutlak harus dilakukan (lihat Nawa Cita No.8)<br />

Kenapa kompetensi dan tingkat kompetensi ini kurang diperhatikan oleh Puskurbuk<br />

Kemdikbud? Karena suburnya kelompok pseudo nalar (iklim akademik semu yang memuja<br />

formalisme gelar) dalam jajaran Kemdikbud yang pelan-pelan mengubah lembaga pendidikan<br />

(sekolah) menjadi tempat pemujaan gelar akademik. Semua guru memang sudah bergelar sarjana,<br />

tapi dibina untuk menjadi sekedar robot (guru hanya tinggal menyusun RPP saja, lupa pada Pasal 77<br />

M PP No.32 Tahun 2013) Sekolah hanya disibukkan dengan pengisian Dapodik dan mengejar<br />

tunjangan sertifikasi yang tak terkait dengan kompetensi atau kinerja guru, tapi sangat terkait dengan<br />

ijazah atau gelar akademik yang didapat. Guru yang berpengalaman menyusun kurikulum dan<br />

mengajar selama puluhan tahun dikalahkan oleh sekelompok orang muda yang merasa berkompeten<br />

menjadi instruktur, meskipun mereka tidak pernah berinter aksi di ruang-ruang kelas pendidikan<br />

dasar dan menengah (hanya sekedar mengajar di perguruan tinggi dan tidak menulis di jurnal-jurnal<br />

ilmiah internasional). Para empu kesenian dan sosiologi yang tak bergelar dianggap tidak layak<br />

berbagi ilmu (mengajar). Dilain pihak, para “ahli” di jajaran birokrasi Kemdikbud, bukannya sibuk<br />

dengan riset dan terbuka pada pengetahuan baru, pada ciptaan akal budi yang mencerahkan agar<br />

generasi muda kita dapat menghadapi MEA 2015 dan APEC 2020, tapi malah sibuk dengan masalah<br />

administrasi dengan pendekatan kekuasaan. Lihatlah narasi Direktur Pusat Pengembangan dan<br />

Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan IPA, Kemdikbud, Sudiono, yang meminta guru<br />

tak mengkhawatirkan perolehan nilai dalam Uji Kompetensi Guru. Hasil UKG tidak akan<br />

mempengaruhi apapun kecuali menjadi dasar pemberian program pengembangan kompetensi<br />

(Kompas, Rabu 11 November 2015 halaman 11)<br />

- Terminologi “uji” dan “uji kompetensi” sudah kehilangan maknanya. Terjadi pemujaan pada<br />

pendangkalan (cult of philistinism) secara masif dan terstruktur<br />

- Hasil UKG hanya akan menelurkan proyek baru yaitu diklat baru, lalu diklat yang sudah<br />

diselenggarakan saat sertifikasi guru dulu itu untuk apa?<br />

- Kita hanya menghargai gelar, bukan isi kepala. Memang semua guru sudah bergelar S-1 tapi<br />

tidak ada tuntutan apapun dari Kemdikbud agar para guru itu lolos UKG<br />

Kita menutup mata pada hasil implementasi Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 (guru hanya tinggal<br />

menyusun RPP) yang tercermin pada hasil UKG 2015 yang kesulitan dijawab guru. Kalau gurunya<br />

tidak kompeten, bagaimana dengan murid-muridnya yang harus menghadapi MEA 2015 dan APEC<br />

2020? Produk pendidikan yang kurang memperhatikan segi mutu ilmiah intelektual akan<br />

membahayakan konstelasi sosial yang ada, sebab masyarakat menjadi semu dengan orang-orang<br />

yang berijazah, tetapi tidak “berilmu”<br />

136<br />

146


BAB V<br />

Kompetensi vs Penilaian<br />

Banyak yang terkaget-kaget dengan perubahan baru dalam dunia pendidikan kita :<br />

(1) Setiap anak SD harus naik kelas, bukan saja akibat penerapan Wajib Belajar, tapi yang lebih<br />

penting adalah penerapan Multiple Intelligence sejak dini (Tidak ada anak yang bodoh atau<br />

pintar, yang ada adalah anak yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan).<br />

Jadi anak hanya perlu mengulang (remedial) untuk mata pelajaran yang belum dikuasainya.<br />

Bila ditambah dengan perubahan konversi nilai rapor menjadi IP, bukankah hal ini merupakan<br />

cikal bakal dari penerapan SKS di SD ? (EDUCARE No.6/IV/2007 halaman 36-38 :<br />

“SEHABIS KTSP LALU APA? SKS!”).<br />

(2) Perubahan rumus KKM dengan dihapuskannya tes masuk ke SMP dan dibukanya penjurusan<br />

sejak awal di SMA (Intake sekarang diambil dari rerata nilai ulangan pertama di kelas VII di<br />

SMP atau kelas X di SMA). Lalu untuk mudahnya KKM ditetapkan melalui kesepakatan<br />

Dewan Guru (tidak lagi dihitung berdasar ranah Indikator) sehingga KKM kehilangan<br />

konteksnya dengan esensi materi.<br />

Oleh sebab itu, sungguh menarik untuk membaca berita : “Wapres, Perbaiki Kurikulum 2013 –<br />

Kemdikbud dinilai Lamban Melatih Guru” (Kompas, 24 Januari 2014 hal.12), dimana Wapres<br />

mengakui, masih ada sejumlah persoalan dan kekurangan dalam Kurikulum 2013 ini, terutama terkait<br />

penilaian guru terhadap peserta didik. Mencermati berita ini, nampak bahwa permasalahan<br />

kurikulum dipersempit menjadi kekurang pahaman pada prosedur penilaian (evaluasi hasil belajar).<br />

Kalau masalahnya hanya dilihat pada penguasaan metode evaluasi hasil belajar, maka ada tiga<br />

kemungkinan yang terjadi : pedoman penilaian yang digariskan Kemdikbud itu salah secara<br />

substansi, para penatar tidak tahu apa yang harus dinilai, atau para guru menerapkan paradigma<br />

model penilaian lama dalam KTSP Bimtek (2008) untuk diterapkan pada sesuatu yang baru pada<br />

Kurikulum 2013.<br />

A. Pedoman Penilaian Salah Secara Substansi<br />

Kalau kita menyimak halaman 38 Buku Pedoman Penilaian yang digariskan Balitbang<br />

Kemdikbud atau Pedoman Penilaian yang dikeluarkan MKKS , atau rumus dari Puskurbuk<br />

Balitbang Kemdikbud, ada 4 kesalahan mendasar :<br />

1. Kesalahan pertama adalah pada konversi nilai : Konversi nilai dari 0-100 menjadi IP : 0-4<br />

memunculkan masalah rumus konversi.<br />

147<br />

137


Pada Buku Pedoman Penilaian Balitbang Kemdikbud tertulis : Rumus konversi = Nilai/100<br />

x 4 atau Nilai/25, dengan contoh Nilai : 80, IP-nya = 80/100 x 4 = 3,20 atau 80/25 = 3,20<br />

dengan predikat B+<br />

Sedangkan dalam pedoman MKKS tertulis : Nilai 80, IP-nya = 3, tanpa menyertakan rumus konversi<br />

(dengan asumsi IP : 2,66 setara capaian daya serap 71% atau KKM : 71 itu setara predikat C. Maka<br />

asumsi kalau IP : 2,66 setara dengan daya serap 75% atau KKM-nya tetap 75 itu salah, karena berarti<br />

nilai 80 ≠ IP : 3). Ada pula rumus yang diajukan oleh Puskurbuk Balitbang Kemdikbud yang<br />

menyatakan bahwa guru tidak usah mengkonversi nilai, cukup membuat soal dengan jumlah<br />

kelipatan 4, jadi kalau soal = 40, maka kalau siswa salah menjawab di 10 soal, nilainya: 3. Hal terbaru<br />

adalah rumus yang diajukan oleh Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen melalui Peraturan Bersama<br />

Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No. 5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014 dengan rumus : N<br />

= n/4 x 10 (untuk angka satuan) dan N = n/4 x 100 (untuk angka puluhan)<br />

Sudah tentu keempat pedoman di atas salah karena :<br />

(a) kalau mengikuti rumus Balitbang Kemdikbud (hal.38 Buku Pedoman Penilaian) : bila Nilai<br />

= 50, maka konversinya adalah 50/100 x 4 = 2 atau 50/25 = 2 dengan predikat C, artinya<br />

siswa bisa langsung lolos tanpa perlu ikut program perbaikan (remedial), meskipun nilai 50<br />

itu, jauh dibawah KKM (KKM menurut Kemdikbud/Dinas Pendidikan = 75).<br />

Bila Kemdikbud berkilah bahwa batas lolos adalah B (bukan C), maka siswa akan merugi,<br />

karena untuk lolos, siswa harus meraih IP : 2,67 (padahal secara internasional dan juga lazim<br />

dipakai di perguruan tinggi, batas lolos adalah IP : 2, yang setara dengan KKM : 75)<br />

(b) kalau mengikuti rumus dari MKKS : bila Nilai = 60, maka konversinya adalah 2,25 dengan<br />

predikat C− , artinya siswa bisa langsung lolos tanpa perlu ikut program perbaikan (remedial),<br />

meskipun nilainya dibawah KKM (nilainya cuma 60) (KKM menurut MKKS adalah 75 atau<br />

KKM asumsi yaitu 71). Logika yang sama dengan butir (a) di atas, MKKS berkilah bahwa<br />

batas lolos adalah B (bukan C), maka siswa akan merugi, karena untuk lolos, siswa harus<br />

meraih IP : 2,66 (padahal secara internasional dan juga dipakai di perguruan tinggi, batas<br />

lolos adalah IP : 2, yang setara dengan KKM : 75)<br />

Mari kita kaji lebih rinci : 2,66 atau lazimnya ditulis 2,67 ~ 75 %<br />

3,00 ~ 80 %<br />

3,33 ~ 85 %<br />

3,67 ~ 90 %<br />

4,00 ~ 95 %<br />

?? ~ 100 %<br />

138<br />

148


(c) Sedangkan kalau mengikuti rumus Puskurbuk Balitbang Kemdikbud, maka siswa yang<br />

menjawab salah di 20 nomer dari 40 nomer soal akan mendapat nilai 2 (lolos tanpa perlu<br />

remedial). Padahal dimana-mana, kalau siswa salah 50% (nilainya hanya 50, adalah siswa<br />

yang tidak mengerti, seharusnya tidak lolos (Nilai 50 : dibawah KKM yang digariskan sendiri<br />

oleh Puskurbuk Balitbang Kemdikbud, yaitu : 75) Untuk lolos, sebenarnya kriterianya sudah<br />

diturunkan, siswa hanya perlu menguasai 75% dari materi ajar. Dalam kurikulum lama<br />

(Kurikulum 1968 dan Kurikulum 1975) dan juga dalam SKS, siswa seharusnya menguasai<br />

100% bahan ajar/materi, baru bisa melanjutkan ke topik atau KD berikutnya. Jadi penguasaan<br />

75% dari materi/bahan ajar itu sudah diturunkan dari standar Kurikulum 1968, Kurikulum<br />

1975 dan SKS yang mensyaratkan penguasaan materi/bahan ajar 100% sebelum bisa<br />

melanjutkan ke topik berikutnya.<br />

(d) Kesalahan dari Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No. 5496/C/KR/2014<br />

dan No.7915/D/KP/2014 dengan rumus : N = n/4 x 10 (untuk angka satuan) dan N = n/4 x<br />

100 (untuk angka puluhan)<br />

N = n/4 x 10 N x 4 = n x 10 N/10 x 4 = n ,rumus ini sama dengan IP = N/10 x 4<br />

N = n/4 x 100 N x 4 = n x 100 N/100 x 4 = n,rumus ini sama dengan IP = N/100 x 4<br />

Kesalahannya persis sama dengan butir (a) di atas<br />

Kesalahan lebih mendasar terletak pada interpretasi tabel (siswa merugi)<br />

Tabel 1 (untuk SD) : C : 51 – 64 dengan IP : 2,18 – 2,50<br />

Interval C : 51 – 64 itu masih dibawah KKM : 75<br />

Kalau digunakan KKM : 75 (interval nilai 65 – 86), maka IP : 2,85 – 3,17 (B)<br />

Tabel 2 (untuk SMP) : C : 4,63 – 5,44 dengan IP : 1,85 – 2,17<br />

Interval C : 4,63 – 5,44 itu masih dibawah KKM : 7,50<br />

Kalau digunakan KKM : 7,50 (interval nilai 7,13 – 7,94), maka IP : 2,85 – 3,17 (B)<br />

Tabel 3 (untuk SMA/SMK) : C : 47 – 55 dengan IP : 1,85 – 2,17<br />

Interval C : 47 – 55 itu masih dibawah KKM : 75<br />

Kalau digunakan KKM : 75 (interval nilai 70 – 77), maka IP : 2,85 – 3,17 (B)<br />

Siswa merugi, untuk lolos, sesuai batas KKM, siswa harus mencapai IP yang tinggi (IP > 2)<br />

padahal secara internasional dan juga lazim dipakai di perguruan tinggi, batas lolos adalah IP<br />

= 2 dengan KKM =75 atau C (bukan IP = 2,85 atau B). Kalau tidak digunakan batas KKM,<br />

interval nilai C-nya tidak memenuhi kaedah didaktik (nilainya < 60)<br />

149<br />

139


2. Kesalahan kedua adalah pada Tabel Konversi Nilai : setiap jenjang perubahan nilai berskala<br />

5, maka KKM menjadi : ± 5 (KKM : 71-75), sehingga Nilai : 80 itu ~ B (2,66), bukan 3,20<br />

(seperti kesalahan perhitungan Balitbang Kemdikbud) atau 3 (seperti kesalahan perhitungan<br />

MKKS) atau 3,2 (menurut kesalahan perhitungan Puskurbuk Balitbang Kemdikbud).<br />

Dengan demikian, kalau menggunakan rumus Disain Kurikulum Digital, semua siswa yang<br />

mendapat nilai > KKM (nilai > 75), otomatis akan mendapat B (masuk di rentang nilai 76 -<br />

80 dengan IP : 2,34 – 2,66). Maka IP : 2,67 ~ nilai : 81 (B+) Bandingkan dengan rumus<br />

MKKS di atas : 2,66 ~ 75% (siswa rugi, karena dalam rumus Disain Kurikulum Digital : 2,66<br />

~ 80%)<br />

3. Kesalahan ketiga adalah pada bobot nilai Proyek yang disamakan dengan bobot nilai<br />

Praktek, padahal guru tidak pernah tahu (uncontrolled) : siapa yang sebenarnya membuat<br />

tugas praktek itu, bisa saja siswa menyalin dari temannya atau tugas praktek itu dibuatkan<br />

orang lain sebagai konsekuensi dari tugas praktek yang dibawa pulang (dikerjakan di rumah).<br />

Oleh sebab itu, bobot nilai Proyek harus berbeda dengan bobot nilai Praktek. Biasanya bobot<br />

Tugas Tidak Terstruktur itu maksimal 15% dari bobot Tugas Terstruktur, sesuai dengan<br />

pedoman yang digariskan dalam Diklat Sertifikasi guru.<br />

Penyebutan kata “proyek” menandakan bahwa Kurikulum 2013 itu kurikulum yang berbasis<br />

proyek (project-based learning) sehingga seharusnya penilaiannya menggunakan penilaian<br />

rubrik (penilaian kinerja siswa), dan tidak bisa menggunakan soal Pilihan Ganda lagi.<br />

Dalam revisi terbaru, Nilai Ketrampilan diganti menjadi Nilai Praktek, karena rupanya<br />

Puskurbuk rancu dengan penilaian pada SMK (Nilai Pengetahuan dianggap sama dengan<br />

Nilai Teori dan Nilai ketrampilan dianggap sama dengan Nilai Praktek).<br />

Padahal ada istilah khusus pada sekolah umum : Nilai Tugas Terstruktur (KTSP Bimtek<br />

(2008) diganti menjadi Nilai Proyek (Kurikulum 2013) dan Nilai Tugas Tidak Terstruktur<br />

(KTSP Bimtek (2008) diganti menjadi Nilai Praktek (Kurikulum 2013)<br />

Guru-guru dari sekolah umum (SD, SMP dan SMA) pasti bingung dengan kerancuan istilah<br />

ini (Nilai Ketrampilan disamakan dengan Nilai Praktek dalam revisi terbaru)<br />

4. Kesalahan keempat adalah dikaitkannya Sikap Sosial dan Spiritual dengan Nilai, sehingga<br />

siswa dengan nilai Matematika tinggi : bisa dianggap saleh, atau siswa dengan nilai IPA<br />

rendah : bisa dianggap kurang beriman. Padahal di halaman 40 Buku Pedoman Penilaian<br />

Kemdikbud secara tegas dinyatakan bahwa penilaian sikap diperoleh dari hasil observasi guru<br />

(Penilaian Berbasis Kelas yang datanya diambil secara langsung oleh guru sendiri), penilaian<br />

siswa sendiri (portofolio siswa), penilaian teman (Tutor sebaya menggunakan Penilaian<br />

Berbasis Kelas) dan penilaian rekan sejawat (yang datanya diperoleh dari Penilaian Berbasis<br />

140<br />

150


Kelas yang diambil oleh guru lain pada kelas yang terkait), serta jurnal guru. Penilaian sikap<br />

spiritual seharusnya menggunakan SQ (spiritual quotient) dan penilaian sikap sosial<br />

semestinya memakai kecerdasan kewargaan : CQ (civic quotient) yaitu pengembangan rasa<br />

“empati” dan ”bela rasa” yang dimonitor dalam live in.<br />

Dengan demikian, penilaian Sikap tidak boleh dikaitkan dengan nilai (evaluasi hasil belajar), tapi<br />

diperoleh dari monitoring proses belajar pada PBK (Penilaian Berbasis Kelas).<br />

Lalu bagaimana benarnya? Sesuai dengan namanya : evaluasi hasil belajar terfokus pada capaian<br />

kompetensi hingga harus mengacu pada Catatan Kompetensi (konversinya menggunakan CK Nilai<br />

Rapor, CK Pengetahuan dan CK Ketrampilan) dan monitoring proses belajar harus mengacu pada<br />

Penilaian Berbasis Kelas (PBK) berbasis SKL dan Pendidikan Karakter. Semuanya harus<br />

menggunakan program excell sehingga narasinya terprogram (computerized), narasi tidak boleh<br />

dikarang-karang, karena akan menjadi sangat subyektif, bukan penilaian otentik lagi.<br />

B. Para penatar tidak tahu apa yang harus dinilai<br />

Perubahan paradigma dari penilaian per KD pada KTSP menjadi penilaian berbasis KI pada<br />

Kurikulum 2013 menyebabkan para penatar gamang akan apa yang menjadi basis datanya, yang<br />

tercermin dari kesalah-pahaman tentang makna penilaian portofolio.<br />

Kalau para penatar tidak tahu apa yang harus dinilai dalam penilaian guru, penilaian siswa<br />

dan penilaian rekan sejawat, serta penilaian portofolio : apakah penilaian itu menggunakan penilaian<br />

kompetensi (mengingat kurikulum mencantumkan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar<br />

(KD) (harus menggunakan statistik nonparametrik dan program excell dengan konversi pada<br />

nilai rapor, nilai pengetahuan dan nilai ketrampilan (nilai praktek), atau penilaian kinerja<br />

(mengingat kurikulum mencantumkan penilaian potensi siswa)(harus menggunakan penilaian<br />

rubrik), atau penilaian performance siswa (mengingat kurikulum mencantumkan penilaian aspek<br />

sikap sosial dan spiritual)(harus menggunakan excell untuk monitoring proses belajar), maka<br />

akar masalahnya harus ditelusur pada perumusan Indikator Keberhasilan di dalam Silabus. Jika<br />

Kegiatan Pembelajaran di Silabus Kurikulum 2013 tidak diiringi dengan rumusan Indikator<br />

Keberhasilan, maka bagaimana mungkin guru dapat menyusun soal-soal (evaluasi hasil belajar) yang<br />

memenuhi skala dalam program ITEMAN (program untuk menganalisis butir soal)? Bisa-bisa<br />

proporsi jawaban pada setiap option dan tingkat kesukaran butir soal tidak jauh berbeda (soal-soal<br />

UH, UTS atau UAS tidak bisa membedakan siswa yang kemampuannya dibawah rata-rata, siswa<br />

yang mempunyai kemampuan rata-rata, dan siswa yang kemampuannya diatas rata-rata). Akan ada<br />

banyak soal yang harus direvisi atau ditolak oleh komputer melalui program ITEMAN (ANATES<br />

151<br />

141


dari ITB, SPS Sutrisno Hadi dari UGM atau Analisa Soal dari Disain Kurikulum Digital). Kerumitan<br />

ini akan berlanjut bila guru tidak mampu membedakan antara Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal<br />

(KKM) dan Kriteria Ketuntasan Belajar Ideal (KKI) sehingga siswa siswi dari kelompok “sedang”<br />

disatukan dalam program remedi bersama siswa siswi dari kelompok “kurang”, dan siswa yang sejak<br />

awal sudah mencapai KMM, atau lebih dari KKM, ternyata tidak mendapat program pengayaan.<br />

Padahal kebanyakan masalah pembelajaran timbul karena tidak adanya tindakan yang<br />

diambil untuk mengatasi kelemahan atau kelebihan siswa sejak awal. Oleh karena itu,<br />

pembelajaran yang dirancang oleh guru sebaiknya mempunyai mekanisme untuk membetulkan<br />

kelemahan dan memacu kelebihan yang ada, sehingga siswa dapat menguasai pembelajaran dengan<br />

baik. Pemetaan kelas dengan menggunakan Multiple Intelligence mutlak harus dilakukan. Pola<br />

manajemen kelas inilah yang hilang dalam pelatihan penerapan Kurikulum 2013 sehingga guru tidak<br />

tahu apa yang harus dinilai. Penilaian aspek kognitif disamakan dengan penilaian pengetahuan<br />

(knowledge), penilaian aspek psikomotor disamakan dengan penilaian ketrampilan (skill) dan<br />

penilaian aspek afektif disamakan dengan penilaian sikap (attitude). Anak yang tidak menguasai<br />

Matematika dianggap “bodoh”, padahal mungkin bakatnya di bidang musik. Kerancuan lain muncul<br />

pada penilaian Kompetensi Inti 1 (KI 1) yang berbunyi : “Menghargai dan mengamalkan ajaran<br />

agama yang dianutnya”. Tafsir yang berkembang bisa menjadi modus baru penggabungan aspek<br />

kognitif dan akhlak mulia, sehingga anak yang mendapat nilai matematika bagus bisa “dianggap”<br />

sebagai anak yang saleh atau anak yang sangat jujur. Belum tentu kenyataan di lapangan<br />

menunjukkan hal itu! Bisa saja siswa yang mendapat nilai tinggi dalam matematika itu karena<br />

menyontek perkerjaan temannya, atau soalnya kebetulan mudah, bukan karena siswa itu mendapat<br />

ridho Allah.<br />

Hal ini diperparah dengan konversi nilai rapor dari dua digit menjadi satu digit (dari skala<br />

nilai : 0-100 menjadi skala IP (Indeks Prestasi) : 1-4) (lihat di atas) Oleh sebab itu, penguasaan<br />

statistik nonparametrik dan program excell mutlak diperlukan agar para guru dapat menampilkan<br />

kurva normal dari data nilai per kelas sehingga penilaian portofolio dapat dikaji dan ditegakkan.<br />

Itulah sebabnya dalam perkembangan terbaru, jabatan guru inti (yang merupakan penatar<br />

Kurikulum 2013) itu dihapuskan, tetapi dimunculkan kembali dengan istilah instruktur 107 , yang<br />

justru MENUNJUKKAN ADANYA SUBORDINASI, yang mengacaukan arti Pasal 39 ayat 2 UU<br />

Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen.<br />

107<br />

Instruktur = orang yang memberi instruksi (KBBI Vol IV) – jabatan instruktur dan pengawas itu sebenarnya tidak<br />

ada dalam UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen (mengacaukan hakekat otonomi guru dan otonomi sekolah<br />

(otonomi pendidikan)<br />

152<br />

142


Maka soalnya bukan pada masalah kurangnya pemahaman pada proses penilaian yang baru,<br />

tapi pada pemahaman akan arti profesi guru, yaitu janji publik para guru untuk membuat siswa yang<br />

“tidak bisa” menjadi “bisa”. Jadi guru bukan sekedar tukang mengajar yang mentransfer<br />

pengetahuan dengan Silabus, RPP dan buku yang didrop dari pemerintah, atau pendidik yang<br />

mentransfer nilai-nilai akhlak mulia, tetapi guru adalah pemegang janji publik : memanusiakan<br />

manusia muda. Hal inilah yang tidak termaknai dalam Kurikulum 2013.<br />

C. Paradigma lama<br />

Hal berikutnya yang luput dari perhatian pemerintah adalah masih diterapkannya paradigma<br />

model penilaian lama dalam KTSP Bimtek (2008) untuk diterapkan pada sesuatu yang baru pada<br />

Kurikulum 2013, yaitu ketuntasan dalam tes kognitif dianggap sebagai indikator penguasaan<br />

materi/bahan ajar. Padahal pendidikan holistik yang tercermin dalam KI 1 sampai KI 4<br />

membutuhkan tes psikomotor, tes afektif dan tes kecakapan hidup sebagai penyeimbang<br />

pengembangan otak kiri dan otak kanan, yang memerlukan penilaian rubrik (penilaian kinerja siswa).<br />

Dengan demikian, guru tidak bisa lagi menggunakan soalsoal berbentuk pilihan ganda elementer<br />

(lihat Catatan kaki No. 48 tentang soal-soal Pilihan Ganda holistik).<br />

Belum lagi kerancuan penerapan tugas terstruktur yang mestinya bersifat intra kurikuler (penunjang<br />

pemahaman yang dilaksanakan diluar jam tatap muka), telah diubah menjadi kegiatan kokurikuler di<br />

pagi hari sehingga kurang efektif karena kekurangan waktu, akibatnya fungsinya sebagai sarana<br />

pelatihan penalaran halus (fine tuning) hilang; sedangkan tugas tidak terstruktur yang seharusnya<br />

bersifat kokurikuler (melekat pada pelaksanaan tatap muka) telah diubah menjadi kegiatan ekstra<br />

kurikuler yang dibawa pulang sehingga tidak terkontrol lagi siapa pembuatnya (proses belajar<br />

menjadi tidak termonitor). Maka kriteria naratif : SB (Sangat Baik), B (Baik), C (Cukup) dan K<br />

(Kurang) seyogyanya tidak diturunkan dari rerata nilai kognitif, tapi dihasilkan dari penilaian<br />

proses (monitoring) belajar yang dipantau melalui Penilaian Berbasis Kelas, dimana semua aspek<br />

kegiatan harian siswa dimonitor, mulai dari aktivitas umum, kegiatan kognitif, kegiatan psikomotor,<br />

sampai kegiatan afektif sebagai perwujudan pendidikan karakter yang terukur. Dilema muncul ketika<br />

para guru tidak terbiasa mengkonversi daya serap (yang sebenarnya merupakan hasil monitoring)<br />

menjadi penilaian hasil uji kompetensi KI dan KD (yang hakekatnya adalah evaluasi hasil belajar)<br />

sehingga penilaian proses belajar tidak termaktub dalam rapor. Dengan demikian, pendidikan<br />

holistik yang dirumuskan dalam KI 1 sampai KI 4 tidak lagi mempunyai pijakan sebagai pentransmisi<br />

budaya cerdas. Dampaknya, luaran penerapan kurikulum yang diharapkan, seperti meningkatnya<br />

kemampuan olah pikir dan membaiknya kemampuan mengekspresikan diri : tidak beranjak<br />

(stagnan), sehingga PTK (Penelitian Tindakan Kelas) sebagai upaya awal untuk perbaikan<br />

153<br />

143


kehilangan narasi substantif (Lihat ranking TIMMS (Trends in International Mathematics and<br />

Science Study) dan PISA (Program of International Student Assessment), serta PIRL (Progress in<br />

International Reading Literacy) dari para siswa kita yang tidak kunjung membaik dan tidak kunjung<br />

diantisipasi cara perbaikannya).<br />

Masalah KI dan KD yang tidak koheren, disamping menyulitkan analisis vertikal dan analisis<br />

horizontal dari materi/bahan ajar, juga menyulitkan perumusan kaitan tataran konseptual dan<br />

metakognitif karena model pemetaan taksonomi Bloom tidak dilakukan. Kemdikbud justru<br />

menyandarkan pada SOLO taxonomy, yang bertumpu pada capaian kognitif 108 , (tanpa keharusan<br />

guru memberikan Teladan, Pemberian Tugas terkait dan Penilaian performance siswa), akibatnya,<br />

abai pada pemetaan Multiple Intelligence. Hal ini menyebabkan penilaian portofolio dan penilaian<br />

sejawat kemudian diabaikan. Padahal KI 1 sampai KI 4 membutuhkan penelusuran tingkat kemajuan<br />

belajar siswa. Tanpa grafik portofolio ini, KI 1 sampai KI 4 akan dibaca sebagai Standar Kompetensi<br />

(SK) dengan baju baru.<br />

Maka magnitude soalnya bukan pada penjabaran penilaian capaian kompetensi siswa tapi lebih<br />

kepada pemahaman pendidikan holistik yang sampai saat ini tetap diartikan sebagai penilaian<br />

ketuntasan belajar. Oleh sebab itu, agar para guru tidak kembali ke pola lama, para guru perlu melihat<br />

kembali Peraturan Mendiknas (Permendiknas) No. 19 tahun 2007 bulan Mei 2007 tentang MBS<br />

(manajemen berbasis sekolah) yang terdiri dari 3 (tiga) dokumen yaitu :<br />

- Dokumen I tentang 5 bidang yang harus dibenahi dalam upaya meningkatkan mutu<br />

manajemen persekolahan yang dilengkapi dengan rincian tugas yang harus diemban oleh guru<br />

penanggung jawab tiap bidang.<br />

- Dokumen II tentang penilaian proses dan evaluasi capaian tugas yang diemban sehingga<br />

kinerja sekolah dapat dirumuskan dengan baik.<br />

- Dokumen III tentang audit kinerja sekolah dan audit kinerja tenaga kependidikan<br />

Pemerintah perlu menegaskan bahwa penerapan kurikulum baru tidak serta merta membuang semua<br />

hal baik yang sudah ada sebelumnya.<br />

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari perubahan pedoman penilaian yang dilakukan berulang<br />

kali itu?<br />

Kemdikbud perlu disadarkan bahwa penilaian itu bukan hanya penilaian (evaluasi) untuk siswa,<br />

tetapi juga penilaian (evaluasi) untuk guru, sehingga guru dapat terbantu dalam merefleksikan proses<br />

pembelajaran (KBM) (lihat Bab I Filosofi Pendidikan bagian Refleksi)<br />

108<br />

Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian IIA No. 3 : Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan<br />

kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendekatan disiplin ilmu<br />

154<br />

144


Evaluasi untuk guru sebenarnya sudah jamak dilakukan sejak Kurikulum 1975 melalui ITEMAN<br />

yaitu ANATes (ITB) (program berbayar), SPS Sutrisno Hadi (UGM)(program berbayar) atau Analisa<br />

Soal pada Disain Kurikulum Digital (gratis). Dengan menggunakan perangkat di atas, soal-soal dapat<br />

diuji validitasnya. Soal-soal yang valid akan “diterima” oleh uji komputasi itu (soal yang valid adalah<br />

soal yang bisa memisahkan “anak yang tidak mengerti” dengan “anak yang pandai”), sedang soalsoal<br />

yang kurang valid, harus “direvisi” (soal-soal yang kurang valid adalah soal-soal yang tidak<br />

bisa memisahkan “anak yang tidak mengerti” dengan “anak yang sedang-sedang saja”), dan soalsoal<br />

yang tidak valid akan”ditolak” oleh uji komputasi itu (soal-soal yang tidak valid adalah soalsoal<br />

yang tidak bisa memisahkan “anak yang sedang-sedang saja” dengan “anak pandai”).<br />

Bila kebanyakan soal harus direvisi atau ditolak, maka soal ulangan harian (UH) atau soal mid<br />

semester (UTS) atau soal ulangan umum (UAS) harus dibatalkan. Dengan demikian, guru akan<br />

terbiasa untuk belajar seumur hidup (long life education). Bukan hanya belajar perkembangan<br />

terbaru tentang materi yang diampunya dan belajar menerapkan metode, strategi atau model<br />

pembelajaran yang cocok bagi pengajaran materi tersebut, tetapi belajar juga tentang cara<br />

mengevaluasi hasil belajar secara benar, belajar memverifikasi soal yang akan diujikan.<br />

Melalui Analisa Soal ini, para guru “dipaksa” untuk cermat dalam pembuatan soal, tidak bisa copy<br />

paste dari buku cetak (buku Erlangga, buku Yudhistira, dll yang mempunyai banyak kumpulan soal<br />

di dalamnya), karena soal-soal itu belum tentu valid karena belum teruji di kelas lewat ITEMAN.<br />

Semua soal “yang diterima” dikumpulkan menjadi satu, itulah yang disebut Bank Soal (kumpulan<br />

soal-soal yang valid)<br />

Guru akan “dipaksa” membuat soal yang kontekstual dan teruji validitasnya, sehingga<br />

profesionalitasnya terasah (sesuai dengan amanat Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005). Sebenarnya<br />

pemerintah cq Kemdikbud tidak perlu sibuk dengan Diklat sertifikasi guru yang<br />

menghabiskan anggaran besar itu, bila sejak awal pemerintah cq Kemdikbud mewajibkan<br />

setiap guru mempunyai Bank Soal<br />

Dilain pihak, pemerintah cq Kemdikbud tidak perlu sibuk membuat pedoman penilaian, yang diubah<br />

berkali-kali itu 109 , sebab konversi nilai secara benar itu sudah ada dalam Catatan Kompetensi,<br />

sehingga kewibawaan pemerintah cq Kemdikbud terjaga, karena hanya fokus pada perumusan<br />

kebijakan pendidikan nasional (Pasal 38 ayat 1 dan Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas).<br />

109<br />

Pedoman penilaian ada di Permendikbud No.66 Tahun 2013, lalu diubah dalam Lampiran IV Permendikbud No.81<br />

A Tahun 2013, dan diubah lagi dalam Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014<br />

dan No.7915/D/KP/2014<br />

155<br />

145


Puskurbuk (Pusat Kurikulum dan Perbukuan) tidak boleh mengambil alih wewenang<br />

Puspendik (Pusat Penilaian Pendidikan) sehingga mengacaukan apa yang disebut evaluasi<br />

(penilaian) hasil belajar (nilai/IP) dan apa yang dimaksud dengan monitoring proses belajar<br />

(daya serap) 110<br />

Sebenarnya kalau mengkaji pada tingkat kompetensi yang mengacu pada SOLO Taxonomy 111<br />

di Kurikulum 2013, maka penilaian yang cocok untuk tingkat kompetensi ini bukan authentic<br />

assessment, tetapi seharusnya penilaian rubrik. Penilaian rubrik adalah deskripsi terperinci tentang<br />

tipe kinerja tertentu dan kriteria yang akan digunakan untuk menilainya. Hanya saja untuk penilaian<br />

rubrik ini, guru harus menguasai pemahaman materi sedalam-dalamnya, karena rubrik perlu memuat<br />

daftar karakteristik yang diinginkan yang perlu ditunjukkan pada siswa disertai panduan untuk<br />

mengevaluasi masing-masing karakteristik tersebut. Jadi kedua pihak (guru dan siswa) akan<br />

mempunyai pedoman bersama yang jelas tentang tuntutan kinerja yang diharapkan.<br />

Misalnya guru Biologi memberi tugas siswa untuk membuat poster tentang kepedulian akan<br />

degradasi lingkungan, maka guru tersebut harus sungguh-sungguh tahu bahwa :<br />

(1) pembuatan poster itu memerlukan 10 langkah yang bisa langsung di observasi sehingga<br />

penentuan nilainya menjadi terpola dengan jelas.<br />

(2) guru juga harus paham betul tentang degradasi lingkungan sehingga tahu pesan apa yang<br />

harus disampaikan ke masyarakat untuk mengatasi degradasi lingkungan.<br />

Sepuluh langkah pembuatan poster itu adalah :<br />

1. Pemilihan kertas (ukuran, type kertas). 2. Alat-alat gambar. 3. Sketsa. 4. Pilihan kata.<br />

5. Harmonisasi kata dan gambar. 6. Waktu pembuatan poster. 7 Hasil (eye catching, pesan).<br />

8. Penempatan (pameran). 9. Umpan balik. 10. Perbaikan<br />

Kriteria penilaiannya adalah : 1. Belum disiapkan. 2. Sudah disiapkan tetapi tidak sesuai dengan<br />

ketentuan. 3. Sudah disiapkan sesuai ketentuan tetapi belum lengkap. 4. Sudah disiapkan dengan<br />

baik. 5. Draft tidak disiapkan. 6. Draft disiapkan tetapi tidak sesuai ketentuan. 7. Draft disiapkan<br />

dngan baik. 8. Hasil : Gambar bermakna, tetapi kata tidak menunjukkan pesan yang jelas. 9. Hasil<br />

: Kata mengandung pesan, tetapi gambar latar belakang tidak mendukung. 10. Hasil : kata dan<br />

gambar harmonis<br />

110<br />

Lihat formula konversi nilai dari Puskurbuk : Jumlah soal harus kelipatan 4, misalnya jumlah soalnya 40, kalau<br />

siswa salah 10, maka nilainya 3. Rumus yang salah secara matematis dan secara paedagogis (lihat uraian di atas)<br />

111<br />

Lihat Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 Bab II : Tingkat Kompetensi<br />

156<br />

146


Maka nilai dari Andy tinggal melihat pada tabel berikut :<br />

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />

Kertas<br />

Alat-alat<br />

Sketsa<br />

Pilihan Kata<br />

Harmonisasi<br />

Lama waktu buat<br />

Hasil<br />

Pameran<br />

Umpan balik<br />

Perbaikan<br />

x<br />

x<br />

x<br />

x<br />

x<br />

x<br />

x<br />

x<br />

x<br />

x<br />

Sehingga Nilai Andy adalah rerata nilai di atas : 78/10 = 7,8. Melalui penilaian rubrik ini, terlihat<br />

dengan jelas, bahwa siswa akan sungguh-sungguh menguasai teknik pembuatan poster (bukan<br />

pelajaran seni rupa karena ada pesan lingkungan dan harmonisasi pesan dengan gambar : tugas<br />

pembuatan poster ini akan membuat pelajaran Biologi membumi). Penilaian rubrik ini juga<br />

digunakan dalam penilaian ulangan esai (UH, UTS dan UAS) dengan pola seperti diatas, mulai dari<br />

(1) siswa menulis nama, nomor dan kelas pada lebar jawaban, (2) siswa menulis apa yang diketahui<br />

dari soal itu pada lembar jawaban, (3) siswa menulis apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan<br />

dari soal itu dalam lembar jawaban, sampai (10) siswa menjawab dengan lengkap dan betul. Tapi<br />

penilaian rubrik tidak bisa diterapkan untuk soal-soal Pilihan Ganda biasa, seperti yang biasa<br />

dipraktekkan dalam KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013. Penilaian rubrik masih mungkin<br />

diterapkan pada soal-soal Pilihan Ganda holistik, seperti yang sudah dipaparkan dalam Catatan kaki<br />

No.48<br />

Oleh sebab itu, penilaian rubrik yang seharusnya digunakan dalam Kurikulum 2013 ini bukan<br />

saja merupakan evaluasi hasil belajar tetapi juga pendampingan proses belajar dan sangat sesuai<br />

dengan pendekatan saintifik (metode 5 M) Pembelajaran berbasis proyek (PBL : project-based<br />

learning). Jadi penilaiannya tidak bisa mengikuti Permendikbud No.66 Tahun 2013 karena pasti<br />

salah, sehingga perlu diubah lagi melalui rumus Lampiran IV Permendikbud No. 81 A Tahun 2013,<br />

yang juga masih salah secara matematis, sehingga diubah lagi melalui Peraturan Bersama Dirjen<br />

Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan No. 7915/D/KP/2014 yang masih salah juga<br />

secara paedagogis. Dari berbagai perubahan penilaian ini, nampak bahwa KKM tidak lagi dipakai,<br />

28 permendikbud tentang Kurikulum 2013 selalu menyebut KTSP, tapi KTSP tanpa KKM, ada apa?<br />

157<br />

147


Yang lebih urgen diperhatikan adalah perubahan berulang kali tentang rumus penilaian ini<br />

tanpa penjelasan yang memadai kenapa rumus mesti diubah (lagi), akan menurunkan wibawa<br />

akademik Kemdikbud.<br />

Maka kalau pemerintah berkukuh tetap melaksanakan Kurikulum 2013, yang perlu menjadi<br />

bahan tatar bukan pembuatan RPP (untuk memenuhi amanat Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013, karena<br />

guru sudah terbiasa membuat RPP dan sudah disertifikasi), tetapi yang harus disosialisasikan adalah<br />

penilaian rubrik ini (untuk memenuhi Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II B :<br />

Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (competency-based curriculum) yang di copy paste<br />

dalam Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II D (Lihat Catatan * di Kata Pengantar), yaitu<br />

kembali menerapkan Pilihan Ganda holistik seperti ada di Catatan kaki no. 48 dan memberlakukan<br />

kembali soal-soal esai seperti telah diaplikasikan sejak lama dalam EBTANAS. Untuk ini Puspendik<br />

perlu dilibatkan (tidak cukup mengandalkan Puskurbuk) supaya penilaian rubrik ini bisa<br />

computerized (tidak dilakukan manual oleh guru, sehingga tidak merupakan penilaian subyektif)<br />

hingga penilaian otentik itu mempunyai pijakan eksakta secara jelas.<br />

Mengingat rumitnya proses penilaian rubrik ini (apalagi soal-soal Pilihan Ganda holistik dan<br />

esai sudah dihapus dari UN) (lihat Catatan kaki No.48), maka sebaiknya pemerintah kembali<br />

menerapkan pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 tahun 2014 (kembali ke Kurikulum<br />

2006) Hanya yang perlu diperhatikan adalah penilaian kognitif dan psikomotor harus dilakukan<br />

melalui Catatan Kompetensi, hasilnya adalah nilai/IP yang muncul dalam Rapor Lembar I, sedangkan<br />

penilaian sikap dilakukan melalui Penilaian Berbasis Kelas, hasilnya adalah daya serap yang muncul<br />

dalam Rapor Lembar II. Sebab siswa yang memperoleh nilai tinggi, belum tentu karena dia<br />

mengerti/memahami materi/bahan ajar, tetapi mungkin saja karena siswa itu nyontek dan tidak<br />

ketahuan guru, atau siswa itu belajar dari soal yang keluar tahun sebelumnya, yang biasanya<br />

dikeluarkan lagi pada tahun-tahun berikutnya dengan sedikit perubahan di sana sini atau siswa<br />

beruntung karena soal-soal yang disajikan tergolong mudah..<br />

Hal berikutnya yang perlu diingat adalah : evaluasi bukan saja ditujukan untuk siswa, tapi juga untuk<br />

gurunya melalui ITEMAN/Analisa Soal (ANATest dari ITB, SPS Sutrisno Hadi dari UGM, atau<br />

Analisa Soal dari Disain Kurikulum Digital), seperti yang sudah diuraikan di atas. Ujungnya adalah<br />

: sekolah mempunyai Bank Soal yang valid (soal-soal yang dapat memisahkan siswa yang “kurang<br />

pandai”, siswa yang sedang-sedang saja”, dan “siswa yang pintar”, yang hasil analisa datanya<br />

membentuk kurva normal) (Lihat bagian Refleksi pada Bab I Filosofi Pendidikan, di bagian : “Apa<br />

Perlunya Mempelajari Filsafat Pendidikan”)<br />

Dalam konteks Penilaian inilah nampak jelas terjadinya pendangkalan (cult of philistinism), bukan<br />

saja pada pendangkalan soal-soal Pilihan Ganda (lihat Catatan kaki No.48), tetapi juga pada soal esai<br />

148<br />

158


BAB VI<br />

Kurikulum vs Pengajaran<br />

Kekeliruan berikutnya adalah membiarkan munculnya 6 varian kurikulum yang diterapkan<br />

saat ini sehingga mengacaukan hakekat kebebasan mimbar akademik dan capaian Nawa Cita No.3<br />

Keenam varian itu adalah :<br />

(1) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan sistim paket, yang diluncurkan tahun 2006<br />

(Kurikulum 2006 atau KTSP Awal)<br />

(2) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan sistim paket melalui Bimbingan Teknis dari<br />

Kemdikbud (KTSP Bimtek (2008)<br />

(3) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan sistim paket, yang diluncurkan pada akhir<br />

November 2012 (Kurikulum 2013) : Kurikulum yang dikembangkan dari KBK 112 yang<br />

mengulang permasalahan pengukuran kompetensi (kemampuan) siswa pada KBK 2004<br />

(4) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pasca keluarnya Permendikbud No. 160 Tahun 2014<br />

(Kurikulum 2013 dengan perbaikan tambal sulam, yang tidak sesuai dengan Nawa Cita No.8<br />

(5) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan paket SKS (Sistim Kredit Semester) yang<br />

tidak lain merupakan baju baru dari kelas akselerasi yang sudah lama dipraktekkan di sekolah<br />

unggulan atau sekolah mantan RSBI dulu.<br />

(6) Kurikulum dengan sistim baku SKS dengan kurikulum internasional yang diakreditasi secara<br />

internasional dengan manajemen berbasis sekolah (MBS) yang bersertifikat ISO 9001:2008<br />

(sesuai dengan Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014)<br />

Karena pembiaran ini, maka kekeliruan berlanjut pada anggapan bahwa semua kurikulum itu sama,<br />

padahal ideologi yang diusung berbeda. Sebagaimana telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya,<br />

Kurikulum 2006 (KTSP Awal) menjunjung otonomi pendidikan, melalui penerapan otonomi guru<br />

dan otonomi sekolah (penyusunan kurikulum, pelaksanaannya (termasuk monitoringnya) dan<br />

evaluasinya dilakukan sendiri oleh para guru, serta disahkan oleh kepala sekolah), sesuai dengan<br />

bunyi ketentuan Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005 sehingga kurikulum tiap sekolah akan berbeda,<br />

tergantung kondisi sekolah, potensi daerah dan keadaan siswa. 113 Bukan hanya sekedar berbeda, tapi<br />

guru harus mengembangkan standar isi yang lebih tinggi (mengembangkan kurikulum sampai ke<br />

112<br />

Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2007 Bagian II B : Landasan Teoritis : Kurkulum 2013 dikembangkan<br />

atas teori Kurikulum Berbasis Kompetensi (competency-based curriculum)<br />

113<br />

Sebenarnya ketentuan guru harus menyusun kurikulumnya sendiri di sekolah masing-masing juga termaktub<br />

dalam PP No. 32 Tahun 2013 Pasal 77 M ayat 1, dan ketentuan bahwa kurikulum itu adalah urusan sekolah karena<br />

ditetapkan oleh kepala sekolah (bukan oleh pemerintah) tertuang dalam Pasal 77 M ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013,<br />

yang juga menjadi dasar hukum dari Kurikulum 2013 (lihat juga catatan kaki No.5)<br />

159<br />

149


tingkat Higher Order of Thinking 114 . Oleh sebab itu, varian ke-5 dan ke-6 yaitu SKS adalah<br />

konsekuensi logis dari kemampuan guru menyusun kurikulumnya sendiri sehingga guru juga mampu<br />

menyusun diktat, LKS dan modul pembelajaran sendiri. Oleh karenanya, Kurikulum 2006 (KTSP<br />

awal) dan SKS menjamin terlaksananya penerapan azas kebebasan mimbar akademik 115 ;<br />

sedangkan KTSP Bimtek (2008) dan dua varian Kurikulum 2013 itu mengusung hegemoni<br />

pemerintah terhadap dunia persekolahan melalui pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam<br />

untuk seluruh Indonesia dengan menggunakan tangan Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata<br />

Pelajaran (karena Silabus, buku ajar/materi/sumber belajar, dan buku pegangan guru, serta metode<br />

pembelajarannya sama, meskipun kondisi siswa dan potensi daerahnya berbeda) 116 . Akibatnya<br />

KTSP Bimtek (2008) dan dua varian Kurikulum 2013 (KTSP 2013) itu berpotensi membungkam<br />

kreativitas guru dalam menerapkan PAIKEM GEMBROT (Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif,<br />

Efektif dan Menyenangkan, Gembira serta Berbobot). Bagaimana para guru dapat berinovasi kalau<br />

semuanya sudah digariskan oleh Puskurbuk dan dikawal secara ketat oleh para Pengawas?<br />

Kehadiran para Pengawas ini menghilangkan juga makna dari Visi dan Misi sekolah. Apapun visi<br />

dan misi sekolahnya, kurikulumnya tetap sama, sehingga ciri khas sekolah menjadi hilang :<br />

pakaian seragam antar sekolah itu sama, dan isi kepalanyapun sama.<br />

Alur filosofi Silabus yang selama ini dibuat itu sangat jelas, yaitu silabus yang berlaku sejak<br />

KBK/KTSP dan kini pada silabus kurikulum 2013 adalah Silabus campuran (mixed syllabus), yaitu<br />

perpaduan antara: Silabus Pembelajaran (Learner-generated syllabus), Silabus yang berorientasi<br />

pada tugas (taks-based syllabus), Silabus yang berorientasi pada ketrampilan (skill-based syllabus)<br />

dan Silabus kontekstual (situational syllabus). Jadi Silabus tidak dapat copy paste dari buku atau<br />

dari penataran Kemdikbud/Dinas Pendidikan yang seragam itu karena mengingkari hakekat<br />

Silabus kontekstual (situational syllabus). Apalagi silabus yang kontekstual ini seharusnya juga<br />

dilengkapi dengan Analisa Konteks sehingga sifat lokalitas dan situasionalnya nampak dengan jelas.<br />

Alasan yang lebih teknis mengapa silabus harus kontekstual (tidak seragam) adalah:<br />

1. Perbedaan ranah (domain) pada Indikator akan menghasilkan Silabus yang berbeda, karena<br />

tingkat kesulitan setiap ranah (domain) berbeda sehingga kegiatan pembelajaran dan evaluasinya<br />

akan berbeda<br />

2. Perbedaan pada penafsiran Substansi Masalah dan Masalah Paedagogis di Analisis Esensi Materi,<br />

akan menghasilkan Silabus yang berbeda.<br />

114<br />

Lihat Pasal 1 ayat 2 Permendiknas No. 24 Tahun 2006<br />

115<br />

Lihat Pasal 36 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Pasal 20 butir a<br />

UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) (Lihat juga Catatan kaki No. 5)<br />

116<br />

Lihat rumusan Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 yang mengamputasi isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 (rincian isi<br />

pasalnya dapat dilihat di Catatan Kaki No.2 di Bab Pendahuluan) (Lihat juga catatan kaki No. 4)<br />

160<br />

150


3. Silabus selalu disertai dengan Analisa Konteks, dan konteks tiap daerah akan berbeda, sehingga<br />

Silabusnya tidak mungkin sama.<br />

4. Pembuatan Silabus oleh guru sendiri adalah amanat dari UU Sisdiknas (UU No. 20 Tahun 2003)<br />

Pasal 39 ayat 1 dan ayat 2; serta UU Guru dan Dosen (UU No. 14 Tahun 2005) Pasal 14 ayat 1<br />

butir e, f, i juncto Pasal 14 ayat 1 butir c; serta PP No. 32 Tahun 2013 Pasal 77 M ayat 1<br />

Penjelasannya :<br />

1. Perbedaan ranah (domain) pada Indikator akan menghasilkan Silabus yang berbeda,<br />

karena tingkat kesulitan setiap ranah (domain) berbeda sehingga kegiatan pembelajaran<br />

dan evaluasinya akan berbeda<br />

Misalnya : Indikator : Siswa dapat menjelaskan tentang puisi Sitor Situmorang : “Malam Lebaran”<br />

Kalau guru menetapkan bahwa kata “menjelaskan” itu ada dalam ranah C2 (pemahaman)<br />

maka guru cukup memfasilitasi siswa bahwa puisi ini unik (hanya terdiri dari satu baris) : “Bulan<br />

di atas kuburan” dan puisi ini ditulis oleh Sitor Situmorang untuk sahabatnya : Pramudya Ananta<br />

Tur, yang baru dibebaskan dari Pulau Buru. Puisi ini mempunyai makna yang dalam sehingga<br />

mendapat penghargaan SEA Literature Award<br />

Kalau guru menetapkan bahwa kata “menjelaskan” itu ada dalam ranah C5 (sintesis) maka<br />

guru mendorong siswa mencari tahu siapa itu Pramudya Ananta Tur (sehingga Sitor sampai secara<br />

spesial mengarang puisi untuk dia), kenapa dia ditahan di Pulau Buru dan apa peran keduanya<br />

dalam dunia sastra Indonesia, sehingga siswa mulai mendapat benang merah persahabatan mereka<br />

(Sitor menulis puisi ini bukan tanpa resiko pada jaman Orde Baru) Persahabatan yang tulus (yang<br />

mengabaikan semua resiko) selalu menggetarkan, oleh karena itu, puisi ini mendapat penghargaan<br />

internasional.<br />

Kalau guru menetapkan bahwa kata “menjelaskan” itu ada dalam ranah P1 (persepsi), maka<br />

guru mulai memfasilitasi siswa cara menafsir pesan puitik : dari judulnya atau dari isinya (dari<br />

baris-baris puisinya)? Mengapa tidak boleh menafsir makna puitik dari judulnya? Kalau menafsir<br />

dari baris puisinya : “Bulan di atas kuburan”, lalu menafsirkannya dari keseluruhan kalimat, dari<br />

depan kalimat, atau dari belakang kalimat? Kalau siswa sudah dapat menangkap makna yang<br />

tersirat itu dari bagian belakang kalimat yaitu “kuburan”, maka siswa dibimbing sampai mendapat<br />

makna terdalam dari “kuburan” yaitu “kematian”. Lalu apa hubungannya dengan “bulan” ? Bulan<br />

mati (malam yang gelap gulita) itu terjadi pada tanggal tua atau tanggal muda ? Dengan demikian,<br />

siswa diajak mengamati siklus bulan, kapan bulan mati (malam gelap gulita), kapan bulan sabit<br />

muncul, kapan bulan purnama terjadi, kemudian akan muncul bulan sabit lagi, hanya arah sabitnya<br />

berlawanan dengan arah sabit pada awal bulan, lalu bulan mati lagi menjelang akhir bulan. Jadi<br />

161<br />

151


melalui kata “menjelaskan” dalam ranah P1 (persepsi) : siswa diajak sampai pada simpulan bahwa<br />

“bulan di atas kuburan” itu adalah “bulan mati”, artinya “tanggal tua” (menjelang akhir bulan).<br />

Apa yang terjadi pada “tanggal tua”? Orang hanya punya sedikit uang (tongpes : kantong<br />

kempes). Jadi makna puisi ini mulai bisa dirangkai : “Malam Lebaran” : “orang tidak punya<br />

uang”. Pada saat orang berpesta di malam takbir, ada orang yang tidak punya uang, karena baru<br />

dibebaskan dari Pulau Buru. Sekarang terlihat benang merah antara Pramudya Ananta Tur dan isi<br />

puisi ini. “Pada malam takbir, dimana semua orang bersuka ria, ada makanan lezat berlimpah,<br />

ada baju baru, ada suasana rumah yang baru, ada juga Pramudya Ananta Tur yang tidak punya<br />

uang, tapi orang tidak peduli, (orang tidak peduli bahwa Pramudya adalah sastrawan besar, yang<br />

tetraloginya : Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, tersebar<br />

secara luas dan diam-diam di foto copy dalam era Orde Baru), sama tidak pedulinya orang-orang<br />

itu pada siklus bulan, mau bulan purnama kek, mau bulan mati kek, emangnya gua pikirin ?<br />

Kalau guru menetapkan bahwa kata “menjelaskan” itu ada dalam ranah P2 (kesiapan), maka<br />

siswa didorong untuk merenung, apa bentuk kepedulian kita pada orang miskin? Apakah dengan<br />

memberi sedekah, misalnya Rp. 5.000,- yang tidak cukup untuk sekedar membeli makan dan<br />

minum? Ataukah para siswa diajak memiliki semangat berbagi, apa yang dipunyai siswa (baju,<br />

makanan, uang saku, dll) dibagi kepada mereka yang miskin, sehingga orang miskin bisa ikut<br />

menikmati kerahiman Allah? Kalau cuma sedekah, tidak cukup untuk membeli apapun, apalagi<br />

kalau sedekahnya berbentuk uang receh : Rp. 500, - atau Rp. 1000,- Bisa untuk apa? Siswa diajak<br />

untuk tidak serta merta berkilah : “Kan yang memberi sedekah banyak, sedikit-sedikit lama-lama<br />

jadi bukit”. Tapi siswa diajak mulai memikirkan tanggung jawab pribadinya di dunia ini (bukan<br />

merujuk pada orang lain), apa yang sudah saya lakukan secara pribadi? Cukup bermanfaat atau<br />

tidak bagi kehidupan ini?<br />

Kalau guru menetapkan kata “menjelaskan” itu ada dalam ranah A3 (penilaian), maka guru<br />

mendorong siswa untuk mencari arti terdalam : pada Malam Lebaran, saat semua orang berpesta,<br />

apakah kita masih memikirkan bahwa ada orang miskin di sekitar kita, dan kita sama sekali tidak<br />

ambil pusing karena kita sibuk dengan diri kita sendiri? Jadi renungan yang terdalam adalah<br />

apakah kita sebagai orang yang beragama, tidak bersikap munafik? Saat kita berdoa memohon<br />

ampunan Allah, kita bersikap bengis pada orang yang menyakiti hati kita (kita tidak memberi<br />

ampunan pada orang yang bersalah kepada kita). Saat kita berdoa memohon penyelesaian suatu<br />

soal kepada Allah, apakah kita tidak meletakkan persoalan pada bahu orang lain?<br />

JADI, DARI CONTOH-CONTOH DI ATAS, NAMPAK JELAS BAHWA : BILA RANAH<br />

(DOMAIN) BERBEDA, MAKA BAHAN AJAR/MATERI AKAN BERBEDA, KEGIATAN<br />

PEMBELAJARANNYA AKAN BERBEDA DAN BENTUK EVALUASI HASIL<br />

152<br />

162


BELAJARNYA JUGA AKAN BERBEDA, dengan kata lain, silabusnya akan berbeda,<br />

bagaimana mungkin silabus bisa diseragamkan secara nasional ?<br />

Dari contoh-contoh diatas, terlihat bahwa pendidikan karakter dapat dimasukkan dalam<br />

pelajaran secara natural, (harap diingat bahwa 18 nilai dalam pendidikan karakter itu sudah lazim<br />

dipraktekkan dalam Kurikulum 2006 (KTSP Awal), jadi tidak usah dipaksa-paksakan masuk ke<br />

kurikulum lewat KI 1 : menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Lagak saleh dan sok moralis<br />

justru mejauhkan dari hakekat sains, akan terlihat jelas bahwa KI 1 itu akan menjadi sekedar<br />

tempelan yang nir makna. Misalnya : “Malam Lebaran, Bulan di atas kuburan” itu ditafsirkan<br />

sebagai : “hendaknya selalu mengingat akherat pada malam takbir”, atau 4 x 4 = 16 itu dikaitkan<br />

dengan kejujuran. Mengatasinya : lihat di langkah win win solution di Bab I Filosofi Pendidikan.<br />

Tujuannya : mencari materi/bahan ajar yang hilang dari kurikulum kita (banyaknya materi uji<br />

yang tidak terdapat dalam kurikulum nasional kita : Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian I A<br />

No. 2 b : Tantangan Eksternal), yang diulang pada PermendikbudNo.68, No.69 dan No.70<br />

tergantung unit sekolahnya dan di copy paste pada Permendikbud No. 57 Tahun 2014 Bagian I A<br />

No.2 b : Tantangan Eksternal, yang diulang pada Permendikbud No.58, No.59 dan No.60<br />

tergantung unit sekolahnya (Lihat Catatan * di Kata Pengantar)<br />

2. Perbedaan pada penafsiran Substansi Masalah dan Masalah Paedagogis di Analisis<br />

Esensi Materi, akan menghasilkan Silabus yang berbeda.<br />

Misalnya : Indikator : Siswa dapat menjelaskan tentang pemanfaatan Teori Probabilitas dalam<br />

pengambilan keputusan<br />

Substansi Masalah : Teori Probabilitas bagi siswa kelihatan sukar karena disajikan dalam bentuk<br />

rumus-rumus himpunan, tanpa memasuki konsep basis bilangan<br />

Masalah Paedagogis : Siswa sulit mengaitkan Matematika (Teori Probabilitas) yang abstrak<br />

dengan kehidupan sehari-hari (pengambilan keputusan)<br />

Penyelesaian (harus bisa mengatasi kedua masalah itu sekaligus (substansi masalah dan masalah<br />

paedagogis) : Siswa memanfaatkan Teori Probabilitas (Teori Peluang), Permutasi dan Kombinasi<br />

dalam permainan dadu (ular tangga, bola bekel) : dalam permainan dadu : basis bilangannya : 6,<br />

jadi dalam satu kali lempar dadu, peluang untuk mendapat angka 2 adalah 1/6 (peluang untuk<br />

mendapat angka 2 adalah 1 kemungkinan dari 6 kemungkinan yang ada); Permainan kartu (remi,<br />

empat satu, truf, bridge) : dalam permainan kartu : basis bilangannya 13, jadi dalam satu kali<br />

kocok kartu, peluang untuk mendapat kartu As adalah 1/13 (peluang untuk mendapat kartu As<br />

adalah 1 berbanding 13); Permainan strategi (halma, karambol dan bilyar, catur) : halma<br />

sesungguhnya menunjukkan dasar pengertian segitiga Pascal, karambol dan bilyar menunjukkan<br />

163<br />

153


penerapan segitiga Pascal dalam teori peluang, kombinasi dan permutasi, sedangkan catur<br />

menunjukkan penerapan basis bilangan 8 dengan teori peluang. Misalnya, bisakah dalam 10<br />

langkah, kita memakan satu kuda lawan?<br />

Langkah penyelesaian ini akan muncul sebagai bentuk Kegiatan Pembelajaran di Silabus.<br />

Dengan demikian, kalau perumusan Substansi Masalah dan Masalah Paedagogisnya berbeda,<br />

maka rumusan Penyelesaiannya akan berbeda. Akibatnya Kegiatan Pembelajaran di Silabus juga<br />

akan berbeda. Jadi Silabus tidak mungkin sama dan seragam.<br />

Penugasan : Alat peraga : Ular Tangga : Siswa menghitung peluang untuk naik tangga bila dadu<br />

dilempar satu kali.<br />

Alat peraga : Bola bekel : Siswa menghitung berapa kombinasi angka yang terlihat bila 3 dadu<br />

berhasil dibalik saat melempar bola.<br />

Alat peraga : Catur : Siswa menghitung langkah kombinasi yang mungkin diambil untuk<br />

mematikan lawan (skak mat) dalam 5 langkah.<br />

Penugasan ini akan menjadi Sumber Belajar yang baru (diluar penggunaan buku teks) yang dapat<br />

memperkaya wawasan siswa di Silabus. Penugasan ini merangsang kreativitas guru untuk<br />

memanfaatkan apa yang ada di lingkungannya, sehingga dana BOS tidak dihabiskan untuk<br />

membeli peralatan yang mahal, yang tidak kita ketahui teknologinya (kalau rusak, tidak tahu<br />

cara membetulkannya)<br />

Misalnya : Penggunaan Ular Tangga, Bola Bekel atau Catur untuk belajar teori peluang,<br />

permutasi dan kombinasi, guru tidak usah menggunakan LCD untuk menerangkan teori<br />

himpunan yang penuh rumus itu dalam menjelaskan teori probabilitas.<br />

RUMUSAN PENUGASAN BISA BERBEDA, ALAT PERAGA YANG DIPILIH BISA<br />

BERLAINAN, MAKA RUMUSAN PENUGASAN TIDAK BISA SAMA, AKIBATNYA<br />

RUMUSAN SUMBER BELAJAR DI SILABUS BISA BERBEDA. Bagaimana mungkin<br />

Silabus bisa sama dan seragam atau bagaimana mungkin Silabus ditentukan oleh Pusat<br />

(Puskurbuk) (sementara Pusat tidak tahu alat peraga apa yang nantinya akan dipilih oleh guru dan<br />

bagaimana rumusan penugasannya)<br />

3. Silabus selalu disertai dengan Analisa Konteks, dan konteks tiap daerah akan berbeda,<br />

sehingga Silabusnya tidak mungkin sama<br />

Analisa konteks terdiri dari KONDISI ALAM, KEKAYAAN DAERAH, SOSIAL BUDAYA<br />

Misalnya : Kelas 1 SD : Indikator : Siswa dapat menghitung bilangan 1 sampai 100<br />

Kondisi Alam (agraris) : Siswa menghitung menggunakan biji jagung dengan permainan dakon<br />

(congklak) yang mempunyai 9 lobang yang saling berhadapan (alat peraga berbasis bilangan 10)<br />

164<br />

154


Kalau Kondisi Alamnya maritim : maka yang digunakan untuk permainan dakon (congklak)<br />

adalah rumah keong laut yang kecil dan ukurannya hampir sama, yang banyak terdapat di pantai<br />

Kekayaan daerah (sesuatu yang khas di daerah tertentu, tidak dijumpai di daerah lain) : Siswa di<br />

Jawa Timur, menghitung menggunakan permainan entik (batang pendek yang dipukul, yang<br />

terdiri dari 1 ruas batang singkong, yang dipukul oleh pemukul batang panjang, yang terdiri dari<br />

3 ruas batang singkong)<br />

Sosial budaya : Siswa di Kalimantan Barat menghitung menggunakan sempoa (swiepoa)<br />

Siswa di Jawa menghitung menggunakan jari (jarimatika)<br />

DENGAN RUMUSAN ANALISA KONTEKS YANG BERBEDA, MAKA PENGUKURAN<br />

INDIKATOR KEBERHASILANNYA DI SILABUS AKAN BERBEDA, jadi tidak mungkin<br />

Silabus itu diseragamkan, harus melihat situasi daerah dan kondisi sekolah di daerah yang<br />

bersangkutan. Itulah dasar dari rumusan diversifikasi kurikulum pada Pasal 36 ayat 2 UU<br />

Sisdiknas dan Pasal 17 PP No. 19 Tahun 2005, serta Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32<br />

Tahun 2013, yang dilupakan dalam Kurikulum 2013<br />

Dari contoh-contoh diatas, terlihat jelas bahwa pemberlakuan kurikulum tunggal telah<br />

menurunkan derajat guru dari seorang kreator, konseptor, inisiator, dan desainer kurikulum,<br />

menjadi sekedar petugas administrasi dan tukang mengajar, yang menjalankan Silabus dari<br />

buku atau Silabus drop-dropan dari Kemdikbud atau guru yang hanya sibuk dengan Dapodik saja.<br />

Tanpa kreativitas guru, sukar diharap sekolah akan bisa menjadi pelopor inovasi yang dapat<br />

menciptakan gen flux, generasi yang berpikir out of the box dan merajut impian : apa yang bisa saya<br />

sumbangkan untuk masyarakat. Suatu generasi yang mencoba mengaplikasikan pengetahuannya bagi<br />

kemajuan lingkungannya, yang muncul dalam semangat volunterisme di mana-mana. Lihat karya<br />

gen flux dalam berbagai kreasi di sosial media yang memecah kebuntuan di masyarakat, seperti<br />

Kawal Pemilu (www.kawalpemilu.org) atau wadah dunia untuk perubahan (www.change.org)<br />

Dengan demikian, nampak jelas bahwa pengajaran erat hubungannya dengan kemampuan<br />

mengaitkan teori dan praksis sehingga dapat meningkatkan daya serap siswa terhadap cara bahan<br />

ajar/materi itu disajikan. Itulah sebabnya, siswa yang pandai sebaiknya diminta untuk mengajar<br />

temannya yang belum mengerti (tutor sebaya). Dengan berbagi, daya ingatnya akan meningkat tajam<br />

dan daya serapnya akan makin besar. Ilmu yang disimpan untuk dirinya sendiri juga akan lebih<br />

mudah dilupakan. Dengan analogi itu, Bahan Ajar (Materi) dapat dianalisa berdasarkan retensinya<br />

atau ingatan yang tersimpan di memori :<br />

165<br />

155


Artinya, dari hasil metode ceramah, hanya 5% yang diingat, atau bila porsi ceramah hanya 5%,<br />

maka kreasi akan lebih optimal. Dengan kata lain, bila porsi praktek atau langsung mengerjakan itu<br />

mencapai 75% , maka hal itu akan sangat membantu kita untuk lebih mengingat dan mengerti materi.<br />

Bila porsi mengajar orang lain (tutor sebaya : mampu mengaitkan teori dan praksis) itu sampai<br />

mencapai 90%, maka hal itu akan sangat membantu kita untuk mengingat materi-materi yang<br />

penting. Dengan kata lain, pengajaran erat kaitannya dengan pembelajaran dan pemelajaran. Hanya<br />

dengan modal pemelajaran yang ekstensif, kita dapat mengajar orang lain, dalam arti orang akan<br />

mendapat pengalaman belajar yang baru, hanya dan hanya jika kita terus menerus mengasah diri<br />

menjadi manusia pembelajar melalui askese pengetahuan (mesu budi) yang tertuang dalam analisis<br />

esensi materi/bahan ajar yang sahih (valid).<br />

Berbekal diagram diatas, kita akan lebih mudah memahami pentingnya (esensi) suatu materi,<br />

tingkat kerumitannya (kompleksitas) dan tingkat kesulitan (kesukarannya) melalui AEM (Analisis<br />

Esensi Materi). Misalnya, guru IPS SMP yang akan menyampaikan keragaman bentuk muka bumi,<br />

melalui metode ceramah (yang dilengkapi dengan penerapan macam-macam gambar/foto kontur<br />

bumi menggunakan model pembelajaran PAP (Picture And Picture), maka yang mampu diingat<br />

siswa hanya 5% dari keseluruhan materi. Namun bila siswa dapat mengumpulkan macam-macam<br />

contoh batuan, maka daya serapnya terhadap keragaman bentuk muka bumi akan meningkat cukup<br />

signifikan (75%). Selanjutnya, bila siswa mampu menjelaskan kepada temannya (tutor sebaya), apa<br />

beda topografi dan geografi serta kartografi, maka daya serap (pemahaman) tentang keragaman<br />

bentuk-bentuk muka bumi akan meningkat sampai 90% (pemahamannya melampaui KKM (kriteria<br />

ketuntasan minimal) : 75%) dan mendekati KKI (kriteria ketuntasan ideal) : 100%). Sayangnya,<br />

AEM ini tidak dilakukan dalam pengkajian Kurikulum 2013.<br />

156<br />

166


Masalah lain yang timbul akibat pembiaran adanya 6 varian kurikulum di lapangan adalah<br />

kerancuan baru dalam menerjemahkan Permendikbud No. 160 Tahun 2014. Ketentuan Pasal 1 dari<br />

Permendikbud No. 160 Tahun 2014, yaitu kembali menerapkan Kurikulum 2006 diartikan sebagai<br />

kembali menerapkan KTSP Bimtek (2008) itu. 117 Lalu ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan 2 dari<br />

Permendikbud No.160 Tahun 2014 tentang pemberlakuan Kurikulum 2013 diartikan sebagai tetap<br />

melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 yang sedang berjalan, tanpa menghiraukan banyaknya<br />

kesalahan, yaitu :<br />

(1) Pemberlakuan secara menyeluruh dan seragam itu melanggar azas diversifikasi kurikulum<br />

(Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, Pasal 17 PP No.19 Tahun 2005 dan Pasal 77 M ayat 1 dan<br />

ayat 3 PP No.32 Tahun 2013).<br />

(2) Penyeragaman melalui pelatihan singkat itu melanggar otonomi guru (Pasal 39 ayat 2 UU<br />

Sisdiknas, Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen, Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, serta Pasal<br />

77 M ayat 1 PP No. 32 Tahun 2013) (Lihat rincian Pasal-pasal ini di Catatan kaki No.2)<br />

(3) Kompetensi Inti (KI) harus dirumuskan ulang, mengingat KI untuk semua jenjang<br />

pendidikan itu sama (berarti menyamakan kompetensi anak SD setaraf dengan kompetensi<br />

anak SMA, sesuatu yang sangat absurd) . Menurut Wagner, ada enam kompetensi<br />

(kemampuan) inti yang harus dikuasai siswa (bukan empat dan rumusannya sangat berbeda<br />

itu) (lihat bagian tentang pembahasan Kompetensi Inti di Bab ini)<br />

(4) KI tidak koheren dengan KD (Kompetensi Dasar), sehingga sulit menentukan Indikator<br />

Keberhasilannya.<br />

(5) Silabus tidak sinkron dengan buku siswa dan buku pegangan guru.<br />

(6) program penilaian yang sudah beberapa kali diubah itu harus ditinjau ulang karena<br />

menjadi penilaian subyektif, bukan penilaian otentik lagi.<br />

(7) penggunaan satu-satunya model pembelajaran yaitu model saintifik (5 M) telah<br />

mengacaukan hakekat kebebasan mimbar akademik, karena masih banyak metode, strategi<br />

dan model pembelajaran lain yang lebih situasional dan kontekstual.<br />

(8) penghapusan mata pelajaran TIK di semua jenjang pendidikan telah mengacaukan system<br />

of knowledge dari iptek. Anak-anak dan guru banyak yang menggunakan gawai (gadget)<br />

namun buta teknologinya, kalau gawai rusak, harus beli yang baru (tidak tahu cara<br />

117<br />

Padahal dalam Diklat sertifikasi guru yang hanya 3 hari itu sudah mulai diperkenalkan adanya silabus dan RPP yang<br />

seragam yang dikemas dalam KTSP Bimtek, dengan alasan harus ada panduan penyusunan kurikulum secara nasional<br />

167<br />

157


eparasinya). Kemdikbud telah menurunkan derajat generasi muda dari programmer menjadi<br />

user saja (menjadi konsumen dari teknologi informatika). Memang dalam penerapan terbaru<br />

Kurikulum 2013, ada tanda-tanda bahwa mata pelajaran TIK boleh diajarkan lagi, tapi hanya<br />

berfokus pada teknologi informasi, bukan pada teknologi komunikasi (gawai/gadget) yang<br />

sekarang menjadi hajat hidup orang banyak., sehingga siswa tetap ketinggalan jaman.<br />

(9) Penghapusan IPA di kelas 1, 2, 3 SD telah merusak system of knowledge dari sains,<br />

merusak penalaran halus (fine tuning) siswa. Siswa akan mengira bahwa Biologi itu hafalan<br />

dan Fisika itu adalah kumpulan rumus/dalil yang mesti dihafal.<br />

(10) Pemaksaan dilanjutkannya Kurikulum 2013 pada saat ini telah mengabaikan Nawa Cita<br />

No.3 (lihat hasil survey berbagai lembaga internasional tentang kemerosotan kualitas<br />

pendidikan kita, di bagian akhir dari Bab Pendahuluan). Melanjutkan Kurikulum 2013 tanpa<br />

menyimak pro kontra yang timbul, jelas-jelas mengabaikan Nawa Cita No.8 : pemerintah<br />

akan menata ulang kurikulum pendidikan nasional.<br />

Dengan demikian, sampai saat ini, para kepala sekolah diarahkan untuk tetap mengusung<br />

hegemoni pemerintah atas dunia pendidikan dan pengajaran kita, melupakan ketentuan Pasal 5<br />

Permendikbud No. 158 Tahun 2014 yang ditanda tangani oleh Mendikbud M. Nuh pada tanggal 17<br />

Oktober 2014 : sekolah yang terakreditasi A, menerapkan sistim kredit semester (SKS) 118 dan Perpres<br />

No. 77 Tahun 2007 dimana sektor pendidikan terbuka bagi PMA (Penanaman Modal Asing) -<br />

Perpres No. 77 Tahun 2007 yang ditanda tangani oleh Presiden SBY tanggal 3 Juli 2007 itu<br />

menyokong arus deras globalisasi dan liberalisasi pendidikan, yang nampak pada Lampiran II 119 :<br />

Arus globalisasi dan liberalisasi pendidikan itu adalah buah dari kesepakatan kita dalam WTO dan<br />

ACMW, yang tercermin dalam pemberlakuan pasar bebas : MEA 2015 (ASEAN Economic<br />

Community 2015) dan APEC 2020 (Asia-Pacific Economic Cooperation 2020), dimana sektor jasa<br />

pendidikan akan terbuka bagi lalu lintas barang dan orang (SDM), tidak boleh ada restriksi lagi.<br />

Permendikbud No. 31 tahun 2014 justru bisa menimbulkan masalah dengan WTO dan ACMW.<br />

118<br />

Dalam rumusan ini dijumpai kata “dapat”, sehingga secara hukum, kalimatnya harus dibaca : sekolah yang<br />

terkareditasi A, bisa langsung menerapkan SKS (bukan menerapkan paket SKS, tapi menerapkan sistim baku SKS)<br />

119<br />

- a. Dicadangkan untuk UMKMK : No.18 Education Building (KBLI 45216 sektor Pekerjaan Umum)<br />

- c. Kepemilikan modal :<br />

No.66 Education building (KBLI 45216 sektor Pekerjaan Umum)<br />

No.72 Pendidikan Dasar dan Menengah (KBLI 80121, 80122, 80123, 80221, 80222 sektor Pendidikan Nasional<br />

No.73 Pendidikan Tinggi (KBLI 80321, 80322 sektor Pendidikan Nasional)<br />

No.74 Pendidikan Non Formal (KBLI 80921, 80922, 80923 80929 sektor Pendidikan Nasional)<br />

158<br />

168


Yang sekarang terjadi adalah pergeseran makna dari kurikulum menjadi pengajaran, seperti<br />

yang nampak dalam Surat Keputusan Dinas Pendidikan di berbagai daerah untuk menunjuk sekolahsekolah<br />

tertentu sebagai sekolah piloting Kurikulum 2013 (melupakan ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2<br />

ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014), atau melanjutkan<br />

penerapan Kurikulum 2013 tanpa revisi dengan mengabaikan suara pro-kontra soal Kurikulum 2013.<br />

Betapa pendeknya ingatan sejarah para birokrat kita. 120 Harapannya hanyalah semoga ada dana<br />

yang dikucurkan untuk memulai lagi pelatihan Kurikulum 2013 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal<br />

3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 (mental proyek tak pernah sirna, 121 mengorbankan ketentuan<br />

Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014 untuk melangkah ke SKS), sehingga kalau Mendikbud<br />

tahun 2016 nanti ingin mencanangkan UN Online, situasinya tak akan jauh berbeda dengan ketidaksiapan<br />

melaksanakan UN Online sekarang ini (bukan saja karena mata pelajaran TIK baru akan<br />

diterapkan tahun ini, karena memang baru dicantumkan lagi dalam “Kurikulum 2013 baru” dengan<br />

peralatan komputer seadanya, tetapi terlebih-lebih karena masih banyak pihak yang berkepentingan<br />

dengan UN tertulis sebagai proyek abadi Kemdikbud). Maka hasil UKG Online-pun sudah bisa<br />

ditebak, semua guru akan lolos uji kompetensi guru (UKG) (Lihat Kompas, Rabu 11 November 2015<br />

halaman 11 : Guru Kesulitan Jawab Soal)<br />

Kurikulumnya belum digital, bagaimana bisa membuat UN digital (UN Online) dimana nilai<br />

ujian dan Analisa Soal bisa diperoleh secara langsung begitu ujian terselesaikan (on the real<br />

time) 122<br />

Bagaimana kalau ternyata banyak soal-soal UN itu setelah diuji menggunakan Analisa Soal ternyata<br />

tidak valid ? (banyak soal harus direvisi atau ditolak) Artinya penyusunan soal tidak memperhatikan<br />

kisi-kisi konsep SPM dan bobot soal tidak memperhatikan ketercapaian strategi pembelajaran?<br />

Apakah hasilnya tetap akan diterima atau dianulir ? Soal-soal yang diterima oleh program Analisa<br />

Soal ini kemudian dikumpulkan dalam Bank Soal. Jadi Bank Soal berisi soal-soal yang telah diuji<br />

coba dan terbukti dapat memisahkan kelompok “siswa yang sudah menguasai suatu topik/tema<br />

tertentu” dengan kelompok “siswa yang belum menguasai topik/tema tertentu”. Apakah Kemdikbud<br />

sudah mempunyai Bank Soal sehingga tetap meneruskan penyelenggaraan Ujian Nasional meskipun<br />

120<br />

Kurikulum 2006 dan SKS memerlukan kebebasan mimbar akademik sebagaimana telah diuraikan dalam Bab I,<br />

sedangkan KTSP Bimtek dan Kurikulum 2013 justru menegasikan otonomi pendidikan dan mengusung semangat<br />

hegemoni pemerintah dalam dunia pengajaran di kelas (dua kutub yang berbeda tidak bisa berjalan bersamaan<br />

karena dasar filosofisnya berbeda jauh)<br />

121<br />

Dengan Kurikulum 2013, sekolah tidak akan pernah bisa menerapkan SKS, karena guru tidak terlatih menyusun<br />

kurikulumnya sendiri, sebagaimana terlihat pada Catatan Kaki No.2 Dasar Hukum Kurikulum 2006 di Bab Pendahuluan<br />

122<br />

Buku Disain Kurikulum Digital, Wendie Razif Soetikno, Smart Writing, Yogya, 2009, Cetakan ke-7 oleh Bank Mandiri<br />

diajukan dalam Asian CSR Award 2015 di Manila untuk kategori Education Improvemnet (Lihat juga Catatan kaki No.5)<br />

169<br />

159


sudah ada putusan inckracht Mahkamah Agung (MA) No. 2596 K/PDT/2008 yang meminta<br />

pemerintah membatalkan Ujian Nasional sampai sarana dan prasarana sekolah terpenuhi dan<br />

kompetensi guru ditingkatkan. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengeluarkan aanmaning<br />

(teguran) kepada Mendikbud M. Nuh karena dianggap melalaikan putusan MA final (kasasi) terkait<br />

Ujian Nasional. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memanggil Mendikbud untuk mendengarkan<br />

aanmaning pada hari Rabu tanggal 10 April 2012, namun Mendikbud M. Nuh tetap ngotot<br />

menyelenggarakan Ujian Nasional. Mendikbud telah mengabaikan putusan MA agar memperbaiki<br />

sarana dan prasarana sekolah dan meningkatkan kompetensi guru, Mendikbud M.Nuh memilih tetap<br />

melanjutkan proyek tebar uang melalui program sertifikasi guru yang tak terkait uji kompetensi guru<br />

(UKG) dan kinerja guru, serta tetap berkukuh melaksanakaan Kurikulum 2013 dan UN, hanya demi<br />

proyek penyerapan anggaran, bukan untuk kemashalatan bersama.<br />

Harap diingat, bahwa banyak sekolah mempunyai Analisa Soal type ANATES (yang<br />

dikeluarkan oleh ITB) atau SPS Sutrisno Hadi (yang dikeluarkan UGM) , atau Analisa Soal<br />

dari Disain Kurikulum Digital, sehingga validitas soal Ujian Nasional bisa langsung di cek di<br />

masing-masing sekolah secara real time.<br />

Pertanyaan penting tentang validitas soal ini tak akan terjawab tahun ini karena pemerintah sibuk<br />

dengan penerapan Kurikulum 2013 (berkukuh pada penerapan proyek sebagaimana tercermin dalam<br />

Pasal 2 ayat 1 + Pasal 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014, dan lupa pada ketentuan Pasal 1 + Pasal<br />

2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014), abai pada keputusan penting dalam menghadapi<br />

globalisasi dan liberalisasi pendidikan yang tercermin pada Pasal 5 Permendikbud No. 158 tahun<br />

2014 123 dan Perpres No. 77 Tahun 2007 yang membuka akses pendidikan bagi modal asing (PMA)<br />

Kurikulum adalah perangkat demokratisasi<br />

Esensi pembangunan dalam term ruang sosial adalah “Pancasila in action”, bukan ucapan<br />

atau hafalan. Tanpa menyebut sila demi sila, pembangunan khas ini mewujudkan kemanusiaan yang<br />

adil dan beradab dengan jalan meminta setiap warga dewasa ikut aktif membahas kehadiran setiap<br />

proyek yang akan dibangun di komunitasnya (termasuk pemberlakuan kurikulum baru, seperti<br />

Kurikulum 2013). Dengan kata lain, dia “diwongke”, diakui martabatnya selaku manusia, bukan<br />

sekedar warga yang ber-kartu-penduduk, bukan sekedar guru yang tercantum dalam Dapodik atau<br />

Padamu Negeri.<br />

Berdasarkan pendidikan dan pengalaman, mungkin efektivitas dan intensitas partsipasi warga bisa<br />

berbeda. Bila pemerintah, pusat atau daerah, menganggap ada warga yang belum cukup enlightened<br />

123<br />

Pasal 5 Permendikbud No. 158 tahun 2014 tertanggal 17 Oktober 2014 : Sekolah yang terakreditasi A, menerapkan<br />

SKS<br />

170<br />

160


atau matang secara intelektual, obatnya bukan merenggut keotonomian individual dari orang yang<br />

bersangkutan (atau merenggut otonomi guru dan otonomi sekolah), tetapi menginformasikan<br />

kekurangannya melalui bimbingan dan penyuluhan (tutorship). Inilah fungsi yang diemban oleh<br />

LPMP dahulu. Dalam konsep pembangunan ini otonomi individu bukan hanya berupa “aims” tetapi<br />

lebih-lebih “the principal means” untuk mewujudkan keadilan dan kemitraan guna kebaikan dan<br />

kebahagiaan bersama.<br />

Pembangunan dalam term ruang sosial membuat demokrasi (kerakyatan) bisa berjalan, bahkan secara<br />

langsung bagai di zaman Yunani Purba, melalui musyawarah pembahasan proyek yang tidak<br />

mengizinkan peserta mewakili atau diwakili. Guru tidak bisa diwakili melalui guru inti atau<br />

instruktur. Begitu juga, para guru inti dan instruktur tidak boleh merasa mewakili para guru.<br />

Inilah yang disebut demokrasi kontinu di mana warganegara diminta memberi pendapat atau<br />

suaranya tidak hanya di pilpres, pilleg, pilkada. Maka keberadaan sistem demokrasi kontinu (juga di<br />

dalam dunia pendidikan melalui demokrasi kontinu pendidikan) di mana ada demokrasi langsung di<br />

dalam sistem demokrasi-tak-langsung dewasa ini, adalah suatu manifestasi dari demokrasi<br />

modern. 124 Oleh sebab itu hak guru untuk berserikat dijamin oleh Undang-undang 125 Melalui<br />

perserikatan itu, sebenarnya bargaining power para guru hendak ditingkatkan dalam menghadapi<br />

para Pengawas dan birokrat Dinas Pendidikan, sehingga para guru tidak perlu takut, tunjangan<br />

sertifikasinya akan dicabut bila dia mempertanyakan kebijakan publik, seperti pelaksanaan<br />

Kurikulum 2013 yang tergesa-gesa ini dan pelaksanaan Ujian Nasional yang soalnya belum teruji<br />

(Lihat UU No. 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen) Pasal 14 ayat 1 butir (c) : “guru memperoleh<br />

perlindungan dalam melaksanakan tugas”, dan Pasal 14 ayat 1 butir (g) : “guru memperoleh jaminan<br />

keselamatan dalam melaksanakan tugas”, serta Pasal 39 ayat 3 : “Perlindungan hukum bagi para<br />

guru mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan (termasuk kekerasan tutur),<br />

ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak birokrasi”).<br />

Sayang sekali, semua ketentuan baku ini yang menjamin otonomi guru dan kebebasan mimbar<br />

akademik ini tidak disosialisasikan oleh para Pengawas dan Dinas Pendidikan di daerah, sehingga<br />

guru selalu ada di pihak yang lemah dalam mengkritisi kebijakan birokrat. Apalagi demokrasi dalam<br />

dunai pendidikan ini telah dipasung melalui keberadaan Pengawas yang tidak mengacu pada Pasal<br />

10 UU Sisdiknas (capacity building), tetapi mengacu pada Lampiran Permendikbud No.65 Tahun<br />

2013 Bab VI No.2 (watch dog). Akibatnya, sifat Kurikulum 2013 yang top down yang dikawal oleh<br />

para Pengawas ini telah menghancurkan fungsi inspiratif dari kurikulum.<br />

124<br />

Makalah Dr. Daud Yusuf dalam Seminar Pendidikan Nasional : Pembelajaran Holistik, Inklusif dan Berkelanjutan<br />

dalam Memasuki Renaisance Baru, Kamis 4 Juni 2015, Sumba Room, Hotel Borobudur<br />

125<br />

Lihat Pasal 14 ayat 1 butir (h) UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen : guru bebas berserikat dalam<br />

organisasi profesi<br />

171<br />

161


Fungsi deliberasi dari pengajaran<br />

Selama ini kita mengenal peralatan yang disebut “mikroskop” dan “teleskop”. Mikroskop<br />

merupakan suatu terobosan ilmiah merasuk dunia dari yang serba kecil-tak-terhingga (the world of<br />

the infinitely small). Ia memungkinkan manusia mendalami hidup, menemukan sel-sel termasuk<br />

DNA, mikroba dan virus, yang mendorong kemajuan biologi dan kedokteran. Teleskop merupakan<br />

terobosan ke alam yang infinitely big. Ia membuka spirit ke kesemestaan alam, keluasan kosmos,<br />

menjajaki rute planet dan bintang dan menyiapkan mahluk manusia menguasai ruang angkasa.<br />

Sayangnya, pemahaman yang infinitely big melalui Ilmu Bumi Falak (astronomi) ini justru dihapus<br />

siswa mengalami “rabun jauh” dalam memahami hakekat alam semesta. Matahari terbit di Timur dan<br />

tenggelam di Barat dipahami sebagai sesuatu yang baku, padahal hal itu harus dipahami melalui<br />

gerak rotasi dan gerak revolusi bumi. Bintang-bintang menjadi tidak punya arti dalam kehidupan<br />

siswa modern, padahal bintang merupakan penanda arah, penanda dimensi dll. Jadi mikroskop<br />

adalah jalan untuk menghayati “jagad cilik” sedangkan teleskop adalah jembatan untuk menghayati<br />

“jagad gede”. Melalui pemahaman “jagad cilik” dan “jagad gede”, siswa akan diajak memahami<br />

bahwa dirinya adalah bagian dari alam semesta (Siswa seharusnya tidak teralienasi dari alam, saat<br />

ini siswa tidak lagi peka membaca tanda-tanda alam). Siswa akan mengerti bahwa dirinya adalah<br />

spesifik, bukan cloning dari satu sistim pendidikan atau kurikulum tertentu. Itulah fungsi deliberasi<br />

pengajaran, yaitu menciptakan gen flux, generasi yang berpikir out of the box. Misalnya kelangkaan<br />

BBM tidak diatasi dengan memproduksi bahan bakar alternatif, seperti etanol, tapi dengan<br />

memanfaatkan energi matahari : seperti menciptakan mobil yang menggunakan panel surya.<br />

Sayangnya, kedua alat ini tidak pernah diajukan dalam penganggaran BOS di SD, padahal di<br />

SD-lah diterapkan pembelajaran tematik integratif, setidak-tidaknya kedua alat ini harus dianggarkan<br />

dalam dana BOS di SMP karena di SMP-lah diajarkan IPA Terpadu, sehingga fungsi deliberasi<br />

pengajaran tidak hilang. Sebab kalau fungsi deliberasi pengajaran itu hilang, siswa akan selalu<br />

memecahkan suatu masalah dengan cara klasik, misalnya bila siswa hendak memecahkan soal-soal<br />

Archimedes, maka yang dicari adalah rumus Archimedes : F a = ρ cair V b g , bukan mencari dasar<br />

logikanya : kenapa kalau benda dimasukkan ke dalam air, bisa terapung, melayang atau tenggelam;<br />

contoh lain, bila listrik padam, maka siswa secara business as usual langsung mencari genset, bukan<br />

mencari teropong bidik malam/periskop pelihat malam, yang harganya setara genset, sehingga siswa<br />

tetap dapat melihat di dalam kegelapan malam.<br />

Maka bila fungsi deliberasi itu hilang, kata “profesi” guru dan “profesional” seorang guru<br />

menjadi nir makna. Kata profesi (professio dari Bahasa Latin) artinya adalah janji atau ikrar kepada<br />

publik atau masyarakat. Janji seorang guru kepada masyarakat adalah membuat anak yang<br />

162<br />

172


“bodoh” menjadi “pintar”. Bukan saja pintar secara psikologis, tetapi yang lebih penting adalah<br />

pintar dalam menghadapi kehidupan ini (gen flux)<br />

Sebab profesi adalah kata serapan dari sebuah kata dalam bahasa Inggris "Profess", yang dalam<br />

bahasa Yunani adalah "Επαγγελια", yang bermakna: "Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan<br />

suatu tugas khusus secara tetap/permanen". Hidup untuk menghidupi kehidupan, hidup yang<br />

memanusiakan manusia muda (bukan menjadikannya sekedar seorang “peserta didik”)<br />

Karena fungsi pengajaran adalah memanusiakan manusia muda, maka mengajar bukanlah<br />

memberi pengetahuan, karena yang diberi, yakni subyek didik, belum tentu menganggapnya berguna.<br />

Bukan mengalihkan pengetahuan kepada orang lain, yakni subyek didiknya, karena subyek itu adalah<br />

manusia yang sudah “berisi”, bukan botol kosong yang bisa diisi seenaknya oleh guru. Mengajar<br />

bukan menanamkan ilmu pada diri subyek didik karena sang subyek bukan obyek mati yang mudah<br />

ditanami. Mengajar bukan menggurui karena subyek didik bisa menjadi guru bagi dirinya sendiri<br />

(siswa dapat menjadi tutor sebaya). Mengajar pada hakekatnya adalah menciptakan lingkungan<br />

belajar : menyediakan kondisi untuk membelajarkan subyek didik. Bagi filsafat konstruktivisme<br />

yang menjadi landasan Kurikulum 2006, mengajar adalah kegiatan yang memungkinkan siswa<br />

membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan siswa dalam<br />

membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan menuntun bersikap kritis.<br />

Mengajar adalah membantu siswa berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri. Di<br />

titik inilah Kurikulum 2013 memancing kontroversi, karena Kurikulum 2013 masih menggunakan<br />

istilah “peserta didik”, bukan “subyek didik” dan buku ajar/materi/sumber belajar yang ditetapkan<br />

oleh Kemdikbud, telah jauh membatasi wawasan siswa.<br />

Jadi yang dipertanyakan oleh guru bukanlah “Bagaimana saya mengajarkan bahan ajar ini?”<br />

atau “Bagaimana saya mengajar murid saya?”, melainkan “Bagaimana agar murid saya bisa belajar<br />

dan mempelajari bahan ini?” Dengan kata lain, pengajaran berkaitan dengan strategi<br />

pembelajaran, bukan dengan metode pembelajaran, apalagi kalau dipersempit menjadi hanya<br />

menggunakan metode 5 M, seperti pada Kurikulum 2013, hasilnya pasti diskusi, ceramah, presentasi,<br />

tidak lebih dari itu. Kegiatan itu bukan inquiry atau discovery, tetapi sekedar menggali dan<br />

merekonstruksi apa yang sudah tertulis dalam buku atau apa yang sudah di upload di internet, tidak<br />

sampai ke meta kognitif, bahkan menurut Dr Karlina Supeli hanya sampai kognitif rendah 126<br />

Maka mengajar harus sesuai dengan road map pembuatan RPP yaitu Taksonomi. Kurikulum<br />

2013 menggunakan SOLO Taxonomy (Structure of the Observed Learning Outcomes Taxonomy)<br />

126<br />

Lihat Pidato Kebudayaan Dr. Karlina Supeli pada catatan kaki No. 58, No. 92 dan No. 100<br />

173<br />

163


dengan target mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui<br />

pendekatan disiplin ilmu 127 yang diukur melalui penilaian rubrik (Lihat Bab I Filosofi Pendidikan).<br />

Sedangkan Kurikulum 2006 menggunakan Taksonomi Bloom dengan target mengembangkan model<br />

belajar konstruktivisme yang diukur melalui penilaian holistik (Lihat Catatan kaki No.5)<br />

Dua pendekatan yang berbeda : Kurikulum 2013 secara gamblang menyebut capaian kognitif sebagai<br />

acuannya (yang menjadikan KI 1 dan KI 2 nir makna), sedangkan Kurikulum 2006 mengacu pada<br />

pendidikan holistik sehingga dilengkapi dengan penerapan 18 nilai dalam pendidikan karakter yang<br />

dimonitor dalam Penilaian Berbasis Kelas (PBK)<br />

Banyak yang mengkritik Taksonomi Bloom sudah terlalu kuno. Kenapa masih digunakan?<br />

Karena masih relevan dalam meningkatkan kemampuan (kompetensi) guru dan siswa. Taksonomi<br />

Bloom mengharuskan para guru memberi TELADAN, lalu langsung memberi TUGAS pada siswa,<br />

dan hasil tugasnya (penampilan kinerja siswa/PERFORMANCE ) harus langsung dinilai. Misalnya,<br />

guru Pendidikan Jasmani dan Kesehatan sedang masuk dalam topik “LOMPAT JAUH”, maka<br />

gurunya yang pertama-tama harus memberi teladan : bagaimana mengambil ancang-ancang, lari dan<br />

melompat dengan posisi jatuh yang benar, agar siswa tidak cedera saat melompat nanti. Setelah para<br />

siswa paham bahwa lompat jauh memerlukan sprint sebelum melompat, lalu memerlukan pelipatan<br />

kaki untuk mengatur jauhnya lompatan dan untuk mengatur posisi jatuh, maka guru dapat memberi<br />

tugas kepada para murid untuk melompat, penampilan anak (performance anak) langsung dinilai.<br />

Contoh lain, guru Matematika akan memberi tugas PR pada para siswanya, maka guru tersebut yang<br />

pertama-tama harus memberi teladan, begini cara menyelesaikan soal berdasar logika (tanpa rumus),<br />

lalu beberapa siswa diminta maju ke papan tulis dan diberi tugas memecahkan soal di papan tulis,<br />

sementara itu, guru berkeliling untuk melihat pekerjaan para siswa di buku masing-masing/di meja<br />

masing-masing siswa, saat itu juga keberhasilan/kegagalan siswa dalam memecahkan soal di papan<br />

tulis itu dinilai (performance siswa dalam menyelesaikan soal langsung dinilai). Setelah yakin bahwa<br />

penjelasan guru dimengerti oleh siswa, maka guru dapat memberi tugas PR. Jadi fungsi PR sebagai<br />

kegiatan kokurikuler yang memperdalam pemahaman siswa dapat terealisir. Kalau langkah ini tidak<br />

dituruti, ada bahaya bahwa PR itu akan bergeser menjadi kegiatan ekstrakurikuler (dibawa pulang<br />

tanpa siswa mempunyai pemahaman yang cukup) sehingga pembuatnya tidak dapat dikontrol (anak<br />

mengumpulkan PR secara lengkap padahal yang membuat adalah orang tuanya atau menyalin dari<br />

temannya).<br />

127<br />

Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 bagian II A No. 3 (yang diulang dalam Permendikbud No. 68<br />

Tahun 2013 (untuk SMP) dan Permendikbud No. 69 Tahun 2013 (untuk SMA)<br />

164<br />

174


SOLO Taxonomy yang diterapkan dalam Kurikulum 2013 tidak secara eksplisit menyebutkan<br />

perlunya TELADAN dari guru, hingga guru bisa kembali ke pola lama, yaitu mengartikan Metode 5<br />

M itu sebagai diskusi dan presentasi, sebab SOLO taxonomy ini berkutat pada masalah<br />

KOMPETENSI dan TINGKAT KOMPETENSI, KOMPETENSI YANG BERSIFAT GENERIK<br />

dan KOMPETENSI YANG BERSIFAT SPESIFIK. Masalahnya adalah :<br />

- Ada empat rumusan KI (KI 1 – KI 4), padahal kalau mengikuti rumusan kompetensi inti<br />

universal, seharusnya ada enam KI (lihat Bab IV : Kurikulum vs Kompetensi). Kalau<br />

Kemdikbud berkukuh pada empat rumusan KI, maka masalahnya terletak pada<br />

pengukurannya : KI 1 (sikap spiritual) seharusnya menggunakan pengukuran SQ (spiritual<br />

quotient), dan KI 2 (sikap sosial) seharusnya menggunakan pengukuran CQ (civic quotient)<br />

- Rumusan KI untuk semua jenjang itu sama, artinya menyamakan kompetensi (kemampuan)<br />

inti siswa SD dengan siswa SMA itu muskil, akibatnya KI dan KD itu tidak koheren.<br />

- Pengukuran pencapaian KD itu tidak jelas, kalau menggunakan SOLO taxonomy, seharusnya<br />

para guru tidak lagi menggunakan soal-soal Pilihan Ganda, tetapi menggunakan penilaian<br />

rubrik (penilaian kinerja siswa).<br />

- Banyak KD memerlukan TELADAN dari guru, terutama pada KBM di SD, dan hal ini tidak<br />

eksplisit muncul dalam SOLO taxonomy, persiapan mengajar guru akan berjalan seperti biasa<br />

(business as usual) dengan resiko seperti yang dipaparkan di bagian Taksonomi Bloom di<br />

bab ini.<br />

Di dalam Taksonomi Bloom inilah diterapkan PBL (project-based learning) dalam arti<br />

sesungguhnya. Dapat dibayangkan bagaimana situasi pembelajaran, bila guru Bahasa Indonesia<br />

memberi tugas membuat puisi, padahal gurunya belum pernah mencoba membuat puisi sendiri, atau<br />

175<br />

165


guru Biologi memberi tugas pengamatan organ hewan padahal gurunya sendiri geli saat memegang<br />

katak, bagaimana siswa dapat membedakan hewan berdarah dingin dan hewan berdarah panas ?<br />

Atas dasar upaya terus menerus untuk peningkatan kemampuan (kompetensi) guru dan siswa itulah,<br />

Kurikulum 2006 memilih menggunakan Taksonomi Bloom (bukan SOLO Taxonomy yang lebih<br />

baru). Sedangkan Kurikulum 2013 menggunakan SOLO taxonomy tetapi lupa merumuskan<br />

kompentensi generik dan kompetensi spesifik, sehingga menimbulkan masalah pada evaluasi hasil<br />

belajarnya (evaluasi tidak menggunakan pengukuran Indikator Keberhasilan di silabus dan penilaian<br />

rubrik) serta tidak menggunakan SQ (spiritual quotient) untuk mengukur ketercapaian KI 1 dan CQ<br />

(civic quotient) untuk mengukur capaian KI 2, karena menurut para penggagas Kurikulum 2013,<br />

Kurikulum 2013 itu tidak lebih dari baju baru KBK (2004) yang dianggap sesuai dengan tujuan<br />

pendidikan Kurikulum 2013 128<br />

Kalau guru gagal dalam memberi TELADAN, maka kesalahan akan dibawa siswa seumur<br />

hidup. Mau bukti? Pergilah ke poliklinik/RS : lihatlah bagaimana perawat memperlakukan<br />

thermometer badan. Sebelum memasang thermometer di ketiak pasien, perawat itu akan mengetrekketrek<br />

thermometer lebih dulu, baru memasangnya pada ketiak pasien. Kalau para perawat itu<br />

ditanya, kenapa thermometer itu diketrek-ketrek, jawabnya adalah supaya thermometer kembali<br />

menunjuk angka nol. Jelas hal ini salah. Secara kognitif, perawat itu tahu bahwa suhu nol itu hanya<br />

akan dicapai bila thermometer itu dimasukkan dalam es yang mencair, tapi kenapa thermometer tetap<br />

dikretek-ketrek sebelum digunakan? Karena gurunya dulu tidak pernah memberi TELADAN saat<br />

menerangkan tentang pengukuran suhu : pada topik “macam-macam thermometer“ (Thermometer<br />

Celsius, Reamur, Fahrenheit, dan Kelvin). Bayangkan kalau guru juga tidak memberi TELADAN<br />

pada permainan bola besar : sepak bola, pasti banyak siswa akan mudah cedera pada tulang kering<br />

kakinya atau permainan sepak bola bukannya menyehatkan badan, malah membuat badan terasa sakit<br />

semua.<br />

Disamping dilengkapi dengan Taksonomi Bloom, Kurikulum 2006 juga dilengkapi dengan<br />

Analisis Esensi Materi dan Strategi Penyelesaian Masalah berbasis multiple intelligence. Analisis<br />

Esensi Materi sudah dijelaskan di bagian atas, bahwa kalau Substansi Masalah dan Masalah<br />

Paedagogisnya berbeda, silabusnya akan berbeda pula.<br />

Strategi Penyelesaian Masalah penting untuk memberikan rasa keadilan pada “siswa pintar” dan<br />

“siswa yang kurang pintar” . Kalau “siswa yang kurang pintar” berhak mendapat tambahan<br />

perbaikan nilai melalui program remedial, maka “siswa yang pintar” juga berhak mendapat tambahan<br />

128<br />

Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A No. 3 : “Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan<br />

kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendekatan disiplin ilmu”, yang di copy paste dalam<br />

Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II A No.2 dan No.3 (Lihat Catatan * di Kata Pengantar)<br />

176<br />

166


nilai melalui program pengayaan (enrichment). Dengan kata lain, apabila “siswa yang kurang pintar”<br />

itu, setelah menempuh program remedial, akhirnya memperoleh nilai setara KKM : 75 (batas bawah<br />

ketuntasan belajar), maka siswa yang sedari awal sudah memperoleh nilai 75 ke atas, berhak untuk<br />

mendapat tambahan nilai setelah menempuh program pengayaan. Bagaimana dengan siswa yang<br />

sejak awal sudah mendapat nilai 100 atau A, siswa yang bersangkutan tetap harus menempuh<br />

program pengayaan, bila berhasil, maka siswa tersebut dapat naik kelas lebih cepat (kelas akselerasi)<br />

atau siswa tersebut dapat langsung masuk ke topik yang lebih sulit atau tema yang lebih sukar (sistim<br />

kredit semester). “Siswa yang pintar” mengikuti program pengayaan melalui PENDALAMAN<br />

MATERI, sedangkan “siswa yang kurang pintar” mendapat upaya peningkatan pemahamannya<br />

melalui perubahan strategi mengajar guru (PENDALAMAN STRATEGI). Kenapa “siswa yang<br />

kurang pintar” tidak boleh mengulang materi yang sama yang belum dikuasainya dengan metode<br />

yang sama? Karena belum tentu minat dan bakatnya di bidang yang diujikan itu. Misalnya, siswa<br />

yang bodoh dalam Matematika, barangkali bakatnya di bidang musik, biarpun disuruh remedial<br />

Matematika berulang kali, tidak akan mampu mengerjakan soal-soal Matematika yang rumit itu,<br />

maka strateginya yang harus diubah (bukan dengan mengikuti program remedial berulang kali).<br />

Contoh yang sering dipakai adalah siswa yang mendapat nilai jelek dalam seni suara atau musik,<br />

biarpun dia diremedial ratusan kali, tidak mungkin dia dapat menjadi artis. Tapi kenapa hal itu kita<br />

terapkan pada Matematika dan Sains ? Kita minta siswa mengikuti program remedial Matematika<br />

dan Sains dengan harapan : mereka akan memahami matematika dan Sains, apakah mungkin (karena<br />

bakat dan minatnya ada di bidang lain)? Maka guru harus mengubah strategi pembelajaran melalui<br />

Pendalaman Strategi. Sehingga siswa dapat memenuhi SPM dalam bidang yang sedang digelutinya,<br />

tanpa mematikan minat dan bakatnya sendiri.<br />

Misalnya : Indikator : Siswa dapat mempraktekkan permainan bola besar : sepak bola (bola kaki).<br />

Maka guru harus mencari kata kunci (key word) dari sepak bola. Sepak bola, sama halnya seperti<br />

ballet, memerlukan kelenturan pergelangan kaki, yang harus dilatih sejak kecil. Itu sebabnya, klubklub<br />

sepak bola di luar negeri selalu mempunyai sekolah sepak bola yang melatih sepak bola sejak<br />

usia dini. Kelenturan pergelangan kaki tidak bisa dikuasai saat anak sudah remaja. Memang mereka<br />

dapat tetap bermain bola, tapi pasti akan kalah terus dalam pertandingan.<br />

Maka siswa yang sudah mahir dalam permainan sepak bola dapat mengikuti program<br />

pengayaan yaitu free style street soccer (free style football), sedangkan siswa yang belum mahir<br />

dalam sepak bola harus mengikuti strategi baru (tidak mengulang bermain sepak bola atau futsal)<br />

tapi bisa mengikuti senam lantai dengan menggunakan bola untuk melatih kelenturan kaki dan<br />

mendapat feeling tentang (permainan) bola besar.<br />

177<br />

167


INDIKATOR MATERI STRATEGI PENDALAMAN<br />

Siswa dapat mempraktekkan<br />

permainan bola besar : sepak<br />

bola<br />

Permainan<br />

bola besar :<br />

sepak bola<br />

Inquiry<br />

(menemukan<br />

sendiri tehnik<br />

menyepak,<br />

menggocek<br />

dan<br />

mengoper<br />

bola yang<br />

sesuai<br />

dengan<br />

kelenturan<br />

kakinya)<br />

MATERI<br />

Free style<br />

street soccer<br />

(free style<br />

football)<br />

PENDALAMAN<br />

STRATEGI<br />

Using Multiple<br />

context<br />

(mempelajari ilmu<br />

dalam bermacammacam<br />

konteks)<br />

belajar kelenturan<br />

kaki dalam<br />

“mengolah” bola<br />

melalui senam<br />

lantai menggunakan<br />

bola<br />

Hal yang sama berlaku untuk matematika dan sains. Siswa yang tidak bisa memecahkan problem<br />

matematika (strategi awal : Problem based) maka siswa itu tidak diminta mengikuti program<br />

remedial berulang, tapi guru mengganti strategi Problem based dengan strategi baru yaitu :<br />

Employing Authentic Assessment (menghubungkan dengan kehidupan nyata), guru mengganti soal<br />

matematika dengan soal-soal cerita (persamaan tersamar), misalnya ada seorang petani hendak<br />

membagi harta warisnya yaitu 17 ekor sapi. Anak pertama (Budi) mendapat ½ dari hartanya itu,<br />

anak kedua (Rudi) mendapat 1/3 dari hartanya itu, dan anak ketiga (Dudi) mendapat 1/9 dari<br />

hartanya. Tapi petani itu berpesan, sapi itu harus dibagi sesuai jatah masing-masing, tidak boleh ada<br />

yang dipotong, tidak boleh ada yang dijual dan tidak boleh mencari pinjaman sapi dari tetangga,<br />

karena tetangganya belum tentu punya sapi (mungkin hanya punya kambing), bagaimana cara<br />

membaginya ?<br />

(Soal-soal persamaan tersamar ini ada di Kurikulum 1975 (dialokasikan jam yang dikhususkan untuk<br />

membahas persamaan tersamar, terpisah dari jam aritmatika). Persamaan Tersamar dihapus pada<br />

Kurikulum 1984, lalu buku Persamaan Tersamar ini ikut dibuang, padahal soal-soal persamaan<br />

tersamar ini penting dalam mengasah logika dan selalu muncul dalam bentuk Verbal Test GMAT.<br />

Kekeliruan mendasar yang lain adalah menganggap apapun kurikulumnya, pasti compatible<br />

dengan SKS. Padahal untuk dapat menyusun diktat, LKS dan modul (sebagai prasyarat dasar dalam<br />

penyusunan Analisa vertikal dan Analisa horizontal pada SKS), guru harus mampu membuat Silabus<br />

sendiri. Bagaimana mungkin guru dapat membuat Silabus sendiri bila kewenangan guru ini dikebiri<br />

(semua yang berkaitan dengan proses KBM di drop oleh Kemdikbud) melalui tafsir baru dari Pasal<br />

10 UU Sisdiknas (tentang eksistensi dan kewenangan Pengawas) dan amputasi tugas profesional dan<br />

kewenangan guru dalam Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP No. 32<br />

168<br />

178


Tahun 2013? 129 Guru juga tidak akan mampu menyusun Analisa vertikal dan Analisa horizontal<br />

bila materi/bahan ajar sudah ditentukan oleh pemerintah melalui pencetakan buku siswa (sumber<br />

belajar) secara seragam di tingkat nasional. Apakah materi/bahan ajar itu berulang di kelas berikutnya<br />

atau antar tema tidak nyambung (analisa vertikal tidak dilakukan) atau apakah materi/bahan ajar itu<br />

saling terkait satu sama lain atau topik terpisah satu sama lain (analisa horizontal tidak dijalankan),<br />

guru tidak bisa melakukan apapun lagi, tinggal menerima buku siswa dan tinggal menjalankan saja<br />

instruksi dari instruktur atau arahan dari Pengawas yang mengharuskan guru mengikuti lurus-lurus<br />

buku siswa (sumber belajar) itu, dengan alasan buku siswa (sumber belajar) itu sudah disusun oleh<br />

tim ahli. Dengan kata lain, Kurikulum 2013 ini menghilangkan kreativitas dan inisiatif para guru.<br />

Untuk dapat menyusun modul, maka guru harus menguasai perumusan Keunggulan Lokal<br />

dan Keunggulan Global serta menguasai Tujuh Prinsip Pengembangan Kurikulum yang termaktub<br />

dalam Standar Isi pada Kurikulum 2006. Perumusan Keunggulan Lokal dan Keunggulan Global ini<br />

dimulai dengan mencari kata kunci (key word) dari KD sehingga guru bisa fokus dalam mengajar<br />

“inti masalah” dan tidak terjebak mengajarkan keseluruhan materi yang ada di buku siswa<br />

(materi/buku sumber belajar). Target kurikulumnya jelas yaitu memisahkan bagian yang dapat<br />

dibaca oleh siswa sendiri (di rumah) dan membuka dimensi kebeluman.<br />

Misalnya : kata kunci dari KD 5.1 : Melaksanakan pengamatan objek secara terencana dan<br />

sistematis untuk memperoleh informasi gejala alam biotik dan a-biotik, adalah “observasi” sehingga<br />

guru fokus mengajar : “bagaimana melakukan observasi yang dapat dibenarkan secara ilmiah”,<br />

bukan sekedar “mengamati”, tetapi mencatat fakta-fakta yang ada, lalu menganalisis “benang merah”<br />

dari semua fakta yang tersaji. Dengan kata lain, observasi melatih siswa untuk shift dari berpikir<br />

deduktif ke induktif<br />

Hanya sayangnya, ketiga hal penting ini (perumusan Keunggulan Lokal, dan Keunggulan Global<br />

serta penguasaan Tujuh Prinsip Pengembangan Kurikulum) justru dihapus dalam Kurikulum 2013.<br />

Tanpa kemampuan menyusun modul, penerapan SKS sesuai ketentuan Pasal 5 Permendikbud<br />

129<br />

Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : Perencanaan pembelajaran meliputi Silabus dan RPP yang sekurang-kurangnya<br />

memuat tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar<br />

(Lihat juga catatan kaki No.5)<br />

Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 : Perencanaan pembelajaran merupakan penyusunan RPP untuk setiap muatan<br />

Pembelajaran (penyusunan materi ajar/sumber belajar diambil alih pemerintah melalui penerbitan buku ajar (buku<br />

siswa), proses belajar diatur pemerintah melalui penerbitan buku pegangan guru, dan metode ditentukan<br />

pemerintah (harus menggunakan metode 5 M), serta penilaian dirumuskan pemerintah melalui Permendikbud No.<br />

66 Tahun 2013, lalu diubah melalui Lampiran IV Permendikbud No. 81 A, dan diubah lagi melalui Peraturan<br />

Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No. 5496/C/KR/2014 dan No.7915/D/KP/2014, yang masih salah secara<br />

matematis.<br />

179<br />

169


No.158 Tahun 2014 hanya akan menjadi utopia, dan kita akan terjebak pada penerapan paket SKS,<br />

seperti yang sudah lama dipraktekkan dalam kelas akselerasi dan mantan sekolah RSBI dulu.<br />

Misalnya : Mata Pelajaran IPA Terpadu - Biologi SMP Kelas VII<br />

Kompetensi Dasar<br />

Kata Kunci<br />

5.1 Melaksanakan pengamatan objek secara terencana dan sistematis untuk<br />

memperoleh informasi gejala alam biotik dan a-biotik<br />

5.3 Menggunakan mikroskop dan peralatan pendukung lainnya untuk mengamati<br />

gejala-gejala kehidupan<br />

5.4 Menerapkan keselamatan kerja dalam melakukan pengamatan gejala-gejala<br />

alam<br />

Observasi<br />

Preparat<br />

Penelitian lapang<br />

6.1 Mengidentifikasi ciri-ciri makhluk hidup Karakteristik<br />

6.2 Mengklasifikasikan makhluk hidup berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki Taksonomi<br />

6.3 Mendeskripsikan keragaman pada sistem organisasi kehidupan mulai dari<br />

tingkat sel sampai organisme<br />

Diversifikasi<br />

7.1 Menentukan ekosistem dan saling hubungan antara komponen ekosistem Ekologi<br />

7.2 Mengindentifikasikan pentingnya keanekaragaman makhluk hidup dalam<br />

pelestarian ekosistem<br />

Plasma nuftah<br />

7.3 Memprediksi pengaruh kepadatan populasi manusia terhadap lingkungan Densitas<br />

7.4 Mengaplikasikan peran manusia dalam pengelolaan lingkungan untuk<br />

mengatasi pencemaran dan kerusakan lingkungan<br />

Konservasi<br />

Kenapa mencari kata kunci ini penting? Supaya guru fokus pada target kurikulum dan tujuan<br />

pembelajaran dan tidak tersesat mengajarkan semua yang ada di buku ajar/materi/sumber belajar<br />

(halaman demi halaman). Tidak ada lagi seruan guru : “Buka halaman sekian ….”. Dengan kata<br />

lain, guru dapat memilah dan memilih mana yang primer dan mana yang sekunder. Tidak semua<br />

bahan yang ada di buku siswa itu penting (ada bagian yang dapat dibaca sendiri oleh siswa di rumah),<br />

karena itu di Silabus selalu dicantumkan “materi pokok”, materi yang dianggap penting dan berguna<br />

dalam meletakkan dasar pemahaman teoritis siswa. Celakanya, Silabus sekarang ini disusun oleh<br />

Kemdikbud, sehingga para guru kehilangan keterkaitan antara “materi pokok” dan materi sekunder,<br />

serta rumusan Indikator Keberhasilannya Akibatnya, bobot soal tidak lagi memperhatikan urgensi<br />

suatu materi/bahan ajar. Soal-soal yang diujikan bisa ditolak dalam ITEMAN (ANATES dari ITB,<br />

SPS Sutrisno Hadi dari UGM, atau Analisa Soal dari Disain Kurikulum Digital. Bahkan kesalahan<br />

fatal bisa terjadi, Kurikulum 2013 yang mengadopsi SOLO taxonomy ternyata tidak menggunakan<br />

penilaian rubrik, tetapi menggunakan soal-soal Pilihan Ganda, dengan konversi yang aneh (jumlah<br />

soal : kelipatan 40, salah 10 : IP-nya 3, salah 20 : IP-nya 2) (lihat Bab V : Kompetensi vs Penilaian).<br />

170<br />

180


Mari kita simak, pola pencarian “kata kunci” yang mengusung kemampuan berpikir kritis, kreatif<br />

dan imajinatif<br />

Tujuh Prinsip Pengembangan Kurikulum<br />

Kata Kunci<br />

1. Berpusat pada potensi,perkembangan, kebutuhan dan kepentingan siswa dan<br />

lingkungannya<br />

Siswa<br />

2. Beragam dan terpadu Terintegrasi<br />

3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni Responsif<br />

4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan Relevan<br />

5. Menyeluruh dan berkesinambungan Komprehensif<br />

6. Belajar sepanjang hayat Pembelajar<br />

7. Seimbang antara kepentingan nasional dan daerah Balans<br />

Kalau kedua kata kunci itu kalau digabungkan akan menghasilkan pemetaan siswa menurut Multiple<br />

Intelligence, apa pengetahuan dasar yang harus dikuasai siswa dan apa yang tidak perlu dipaksakan<br />

harus dikuasai siswa mengingat bakat dan minatnya berbeda (penyusunan SPM Akademik)<br />

KD 5.1<br />

Observasi<br />

KD 5.3<br />

Preparat<br />

KD 5.4<br />

Penelitian<br />

lapang<br />

KD 6.1<br />

Karakteristik<br />

KD 6.2<br />

Taksonomi<br />

KD 6.3<br />

Diversifikasi<br />

KD 7.1<br />

Ekologi<br />

KD 7.2<br />

Plasma<br />

nuftah<br />

KD 7.3<br />

Densitas<br />

Siswa x x x x x x<br />

KD 7.4<br />

Konservasi<br />

Terintegrasi<br />

x x x x x x x x<br />

Responsif<br />

x x x x x x x x x x<br />

Relevan<br />

x x x x x x x x<br />

Komprehensif<br />

x x x x x x x x<br />

Pembelajar<br />

x x x x x x x<br />

Balans x x<br />

Dari tabel di atas, mengapa siswa tidak perlu menguasai 4 KD : karakteristik, taksonomi,<br />

diversifikasi, dan ekologi? Karena keempat hal itu adalah bidang biologi murni, siswa yang berbakat<br />

di bidang Bahasa tidak perlu menguasai hal-hal sangat teknis dalam biologi. 130<br />

130<br />

Bakat dan minat siswa berbeda-beda sesuai dengan pemetaan Multiple Intelligence, siswa yang kurang menguasai<br />

Biologi bukan berarti bodoh, mungkin bakat dan minatnya di bidang bahasa<br />

181<br />

171


Dengan demikian, tabel ini sekaligus menunjukkan SPM akademik (bukan sekedar SPM sarana dan<br />

prasarana seperti Permendikbud No. 23 Tahun 2013).<br />

Maka untuk bahan penyusunan Diktat Bab I terdiri dari beberapa kata kunci (lihat di tabel diatas):<br />

Siswa Observasi Preparat Penelitian lapang Plasma Nuftah Densitas Konservasi<br />

penelitian<br />

hereditas<br />

ekosistem<br />

Jadi gabungannya adalah : SISWA MENELITI TENTANG HEREDITAS DAN DAMPAK<br />

POPULASI MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM<br />

Dengan menggunakan prinsip 5 W + 1 H , guru dapat menyusun isi diktat :<br />

1. What : Apa yang dimaksud dengan hereditas?<br />

2. Why : Mengapa populasi manusia bisa berdampak negatif pada ekosistem?<br />

3. Who : Siapa penyusun teori pola keteraturan hereditas mahluk hidup?<br />

4. Whom : Kepada siapa kesalahan mengenai AMDAL dapat diadukan?<br />

5. When : Bilamanakah kesimpulan suatu penelitian dapat dikatakan tidak sahih?<br />

6. How : Bagaimana pola rantai makanan dalam lingkungan di sekitarmu dapat dirumuskan?<br />

Apa yang tertulis di atas hanya contoh, pertanyaan bisa diajukan beberapa kali (untuk What bisa 5<br />

pertanyaan, untuk Why bisa 6 pertanyaan, dst)<br />

Dengan menjawab pertanyaan di atas secara lengkap akan didapat isi diktat, yang tidak terdapat<br />

dalam buku ajar/buku teks, sehingga siswa mau datang ke sekolah dengan curiosity karena dia tahu,<br />

banyak bahan yang tidak akan dia peroleh di luar kelas (kehadirannya di kelas tak tergantikan oleh<br />

bimbel/les privat). Disinilah wibawa akademik seorang guru ditegakkan, bukan dengan marahmarah,<br />

bukan dengan menunjukkan kelulusan pada Diklat sertifikasi guru, tetapi dengan<br />

menunjukkan keluasan wawasannya melalui diktat yang disusunnya. Kemampuan menyusun diktat<br />

ini sudah lama sirna, sejak Kemdikbud membentuk tim penilai buku ajar/materi yang layak<br />

digunakan dan sekolah tinggal menerima buku yang direkomendasikan Dinas Pendidikan setempat<br />

pada awal tahun 1994 (pada awal pelaksanaan Kurikulum 1994).<br />

Dari contoh diatas, pencarian kata kunci bisa berbeda, penggabungannya dapat berlain-lainan,<br />

penyusunan Kalimat Tanya dalam 5 W + 1 H bisa berbeda, sehingga isi diktat bisa jauh berlainan,<br />

tergantung keluasan wawasan guru, bagaimana mungkin materi/bahan ajar mau diseragamkan seperti<br />

pada Kurikulum 2013 ?<br />

182<br />

172


Diktat + LKS = Modul, kalau guru tidak bisa menyusun silabus sendiri, lalu diktat (buku<br />

ajar/materi/sumber belajar) dibuatkan oleh pemerintah, bagaimana guru bisa membuat modul ?<br />

Kalau guru tidak bisa membuat modul sendiri, bagaimana sekolah bisa maju ke SKS ? Ada yang<br />

berkilah bahwa kurikulum SKS dapat mengandalkan franchise kurikulum IB atau Cambridge,<br />

masalahnya adalah tanpa pembuatan modul oleh guru sendiri, keunggulan lokal tak pernah dapat<br />

dirumuskan, sehingga beda antar sekolah menjadi tidak nampak, akibatnya sekolah bersaing dengan<br />

berbagai cara untuk mendapatkan murid baru (menarik pendaftar)<br />

Intinya, kurikulum harus bisa mendorong guru menjadi manusia pembelajar sehingga<br />

tunjangan sertifikasi dapat dimanfaatkan untuk peningkatan wawasan para guru. Bila kurikulum<br />

hanya menjadikan guru seorang manusia yang pasif (hanya menunggu arahan pengawas atau<br />

menunggu pelatihan guru dalam penyusunan RPP) seperti yang dipolakan dalam Kurikulum 2013,<br />

jangan heran kalau hasil uji kompetensi guru rendah : 1,3 juta guru mendapat nilai uji kompetensi<br />

dibawah 60 dari rentang nilai 0-100 (Kompas, Kamis 9 Juli 2015 halaman 12, PENGEMBANGAN<br />

GURU MASIH SETENGAH HATI) : "Bahkan selama bertahun-tahun saya menyaksikan pelatihan<br />

guru yang kerap berbau proyek, asal diselenggarakan tanpa memikirkan hasilnya berkualitas atau<br />

tidak. Saya pernah mengikuti pelatihan tahun 1999 dan 2003 yang seharusnya berlangsung lima<br />

hari, tetapi baru dua hari peserta dibubarkan. Kami diberi transportasi tiga hari, tetapi tanda<br />

tangannya lima hari. Menurut kawan-kawan dari berbagai daerah, hal ini juga terjadi di<br />

wilayahnya," tutur Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia.<br />

Dari paparan diatas nampak jelas bahwa pengajaran tidak bisa diproyekkan.<br />

Indonesia telah diberkahi, tak hanya oleh kekayaan kemasyarakatan dan kebudayan, tetapi<br />

juga oleh sejarah panjang perkembangan gagasan yang cemerlang, melewati titian proses pengajaran<br />

yang mencerahkan. Sebagian tidak menyadari (bahwa pengajaran menunjukkan profesionalitas<br />

guru), sebagian lainnya menyesali atau mengingkarinya (mengingkari sejarah panjang pendidikan<br />

Indonesia), seperti pengebirian Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP<br />

No. 32 Tahun 2013 131 sehingga budaya ilmiah tidak pernah terbentuk di lingkungan sekolah, yang<br />

muncul adalah pendidikan yang menghamba pada kekuasaan. Segala aktivitas guru selalu dikaitkan<br />

dengan pencairan tunjangan sertifikasi. Sudah lama guru tidak lagi menikmati kebebasan mimbar<br />

akademik, guru bukan lagi merupakan panggilan hidup, tetapi merupakan pencari kerja/orang upahan<br />

yang sangat tergantung pada pengupahnya (Kemdikbud) dan Kemdikbud memanfaatkan betul<br />

keadaan ini untuk mendefungsionalkan guru.<br />

131<br />

Lihat Catatan Kaki No. 129, Catatan kaki No.5 dan Catatan kaki No. 48<br />

183<br />

173


Pengajaran dan pengukuran capaiannya<br />

Mengingat Silabus dibuat oleh Kemdikbud (bukan lagi menjadi tugas profesional seorang guru<br />

seperti ketentuan Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005), maka dampaknya adalah :<br />

- Guru tidak tahu lagi cara merumuskan Indikator Keberhasilan dari suatu Kegiatan<br />

Pembelajaran<br />

Misalnya : KD 4.1 : IPS – Sejarah Kelas VII SMP :<br />

Menyajikan hasil pengamatan tentang hasil-hasil kebudayaan dan fikiran masyarakat<br />

Indonesia pada masa praaksara, masa hindu buddha dan masa Islam dalam aspek<br />

geografis, ekonomi, budaya dan politik yang masih hidup dalam masyarakat sekarang<br />

Kegiatan Pembelajaran<br />

Kronologi masuknya pengaruh asing di<br />

Indonesia<br />

Melihat perubahan yang dibawa oleh<br />

pengaruh asing<br />

Reaksi masyarakat terhadap infiltrasi<br />

pengaruh asing<br />

Relevansi dengan masa sekarang<br />

Indikator Keberhasilan<br />

Siswa dapat membuat infografis tentang<br />

masuknya pengaruh asing di Indonesia<br />

Siswa dapat melihat penyesuaian<br />

masyarakat terhadap pengaruh asing<br />

(akulturasi)<br />

Siswa dapat melihat bagaimana masyarakat<br />

menyerap yang baik dan membuang yang<br />

kurang baik (inkulturasi)<br />

Siswa dapat menunjukkan kearifan lokal<br />

dalam menghadapi perubahan<br />

- Guru tidak bisa lagi membedakan antara Indikator dan Indikator Nilai-nilai Kemanusiaan<br />

Indikator terkait dengan target kurikulum yang hendak dicapai, pengukurannya melalui<br />

evaluasi hasil belajar di Catatan Kompetensi (CK) atau Rapor Lembar I, sedangkan Indikator<br />

Nilai-nilai Kemanusiaan terkait dengan fokus pendidikan karakter yang menjadi titik berat<br />

dalam edukasi, pengukurannya melalui monitoring proses belajar di penilaian berbasis kelas<br />

(PBK) atau Rapor Lembar II.<br />

Masalahnya adalah PBK itu terkait langsung dengan manajemen kelas yang mensyaratkan<br />

azas lokalitas dan kontekstual (otonomi guru), bukan manajemen ala pengawas atau<br />

manajemen ala Dinas Pendidikan yang tidak kontekstual dan menunjukkan hegemoni<br />

pemerintah dalam pendidikan.<br />

174<br />

184


Akibatnya, monitoring proses belajar (Rapor Lembar II) dianggap tidak penting, sehingga<br />

sampai sekarang, Kemdikbud hanya sibuk merumuskan bagaimana mengkonversi nilai dalam<br />

Rapor Lembar I<br />

- Guru kehilangan konteks antara EEK (eksplorasi, elaborasi dan konformasi) dengan metode<br />

5 M<br />

Misalnya : KD 3.1 Pendidikan Kewarganegaraan Kelas X SMA<br />

Menganalisis perkembangan kasus-kasus pelindungan dan pemajuan HAM sesuai dengan<br />

konsep dan nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara<br />

Konteks EEK-nya adalah :<br />

EKSPLORASI<br />

ELABORASI<br />

KONFIRMASI<br />

KEGIATAN GURU<br />

Kasus perlindungan dan pemajuan HAM<br />

di banyak tempat masih sebatas utopia<br />

Kedaulatan individu dan institusi (prestige)<br />

masih diunggulkan<br />

Menunjukkan banyaknya pejuang HAM<br />

yang rela mati demi perjuangannya<br />

Menunjukkan para pejuang kemanusiaan<br />

seperti para pemenang Hadiah Nobel<br />

untuk perdamaian<br />

Menunjukkan para pembela kaum papa<br />

dan miskin seperti Kick Andy Heroes, From<br />

Zero to Hero, dll<br />

Target Kurikulum : metakognitif : guru<br />

membimbing siswa agar sampai pada<br />

penerapan konsep HAM : penghargaan<br />

atas liyan<br />

Model pembelajaran : konstruktivisme :<br />

guru membimbing siswa agar sampai pada<br />

perubahan sikap : toleran pada perbedaan<br />

pendapat, tidak menganggap mereka yang<br />

berbeda pendapat sebagai musuh<br />

KEGIATAN SISWA<br />

Siswa belajar tentang semangat<br />

altruisme dalam diri para pejuang HAM<br />

Siswa mencari contoh altruis : Salim<br />

Kancil (Forum Petani Anti Tambang<br />

Desa Selok Awar-awar) – ada 24<br />

tersangka pembunuhan dan 9<br />

tersangka penambangan illegal<br />

Siswa mencari contoh ideal : Nelson<br />

Mandela, Munir<br />

Siswa mencari para pejuang kebebasan,<br />

seperti para mahasiswa korban tragedi<br />

Tiananmen (1989)<br />

Siswa mencari para filantropis baru,<br />

seperti Dato Sri Prof Dr Tahir (Bank<br />

Mayapada)<br />

Siswa berusaha sampai pada tahap<br />

“melaksanakan” penghormatan atas<br />

hak-hak azasi yang tidak dapat<br />

dikurangi (non derogable rights)<br />

Siswa mencari TELADAN atau contoh<br />

dari para pejuang hak-hak anak, seperti<br />

Dr Sofyan Tan (Medan) perintis sekolah<br />

gratis bagi anak-anak tidak mampu<br />

185<br />

175


Sedangkan konteks metode 5 M dengan EEK adalah :<br />

Mengamati (lihat Analisis Esensi Materi), Menanya (lihat di Strategi Penyelesaian Masalah),<br />

Menalar (lihat di Model Pemetaan Taksonomi Bloom), Mengasosiasi (lihat di Refleksi di RPP<br />

(diuraikan secara rinci dalam bagian Refleksi di Bab I Filosofi Pendidikan) dan Aksi (lihat di Lembar<br />

Kerja Siswa)<br />

KEGIATAN GURU<br />

KEGIATAN SISWA<br />

EKSPLORASI<br />

Guru MENGAMATI masalah yang<br />

timbul pada Bahan Ajar & masalah<br />

pada Siswa serta mengamati cara<br />

yang tepat untuk menyelesaikan<br />

masalah itu<br />

Siswa MENGAMATI sumber/bahan apa<br />

saja yang dapat memperkaya<br />

pengetahuannya<br />

ELABORASI<br />

KONFIRMASI<br />

Guru MENANYA bahan apa saja<br />

yang dapat dipergunakan dalam<br />

PROGRAM PENGAYAAN dan<br />

Strategi apa saja yang dapat<br />

dipakai untuk mengganti<br />

PROGRAM REMEDIAL<br />

Guru MENALAR Kata Kerja<br />

Operasional apa yang cocok<br />

diterapkan untuk situasi kelas dan<br />

kondisi siswanya<br />

Siswa MENANYA bahan apa saja yang<br />

dapat memperdalam pemahamannya<br />

dan MENANYA cara apa yang bisa<br />

dilakukan dalam mengejar<br />

ketertinggalannya<br />

Siswa MENALAR Kegiatan Pembiasaan<br />

apa yang dapat mengejar target<br />

kurikulum sehingga tujuan<br />

pembelajarannya tercapai<br />

Dengan contoh di atas, nampak jelas kaitan antara pola EEK pada KTSP Bimtek (2008) dan<br />

keterkaitannya dengan metode 5 M dalam Kurikulum 2013, sehingga metode 5 M tidak dipandang<br />

sebagai sesuatu yang baru dalam penyusunan RPP.<br />

Jadi guru tidak dibingungkan dengan berbagai pelatihan baru dalam Kurikulum 2013 yang tidak jelas<br />

konteksnya dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Ingat, bahwa 28 permendikbud terkait<br />

Kurikulum 2013 itu, tidak satupun yang menyebut adanya kurikulum baru, kesemuanya selalu<br />

menyebut KTSP (lihat Catatan kaki No.2 dan No.5)<br />

Problem pengajaran, pembelajaran dan pendidikan karakter<br />

Dalam gelap, kendala utama adalah penglihatan. Banyak orang menawarkan jalan keluar<br />

dengan visi yang kabur. Krisis multi dimensional yang melanda bangsa dicoba dicari akarnya pada<br />

pengajaran pendidikan karakter. Setelah ukuran kecerdasan diri berbasis IQ dianggap tak memadai<br />

176<br />

186


menjawab krisis kedirian, program pendidikan berpaling pada pengembangan jenis kecerdasan lain,<br />

terutama yang berbasis SQ (spiritual quotient) seperti terlihat dalam rumusan Kompetensi Inti 1 (KI<br />

1) di semua jenjang pendidikan dalam Kurikulum 2013. Usaha menyelesaikan persoalan pendidikan<br />

dengan ukuran-ukuran itu memang patut diapresiasi. Persoalannya, apakah faktor IQ dan SQ itu<br />

sudah tepat menyasar sisi terlemah dari pendidikan kita?<br />

Untuk memberikan kerangka penilaian, kita harus ingat bahwa manusia terdiri atas dua<br />

bagian : kedirian privat (private self) yang bersifat personal dan khas, serta kedirian publik (public<br />

self) yang melibatkan relasi sosial. Dengan kerangka itu, kita bisa melihat bahwa problem pendidikan<br />

di Indonesia tidaklah bersumber pada kecerdasan privat. Secara IQ, manusia Indonesia bukanlah<br />

kelompok manusia dengan defisit kepintaran. Tandanya bisa dilihat dari prestasi para siswa kita<br />

dalam ajang Olimpiade Sains internasional. Manusia Indonesia juga relatif memiliki kematangan<br />

emosional, seperti kemampuan pengendalian diri untuk tidak berlebihan (tidak lebay), dan ketahanan<br />

menghadapi kesulitan. Kecerdasan spiritual juga relatif kuat, manusia Indonesia pada umumnya<br />

bersifat religius, lihatlah pembangunan rumah ibadah yang sangat masif di kompleks sekolah-sekolah<br />

negeri dan aktifnya kegiatan ROHIS/ROHKRIS di sekolah-sekolah negeri.<br />

Sisi terlemah manusia Indonesia justru mencolok pada aspek kedirian yang bersifat publik.<br />

Hal ini mudah dilihat dari bagaimana orang berlatar pribadi baik dengan mudah hanyut dalam arus<br />

keburukan begitu terjun ke aksi kolektif. Kita juga bisa menyaksikan bahwa hampir semua hal yang<br />

bersifat kolektif mengalami dekadensi : partai politik sakit, birokrasi sakit, lembaga perwakilan sakit,<br />

aparat penegak hukum sakit.<br />

Krisis pada kedirian yang bersifat publik ini mencerminkan kelalaian dunia pendidikan dalam<br />

mengembangkan kecerdasan kewargaan (civic quotient). Mata pelajaran Civics yang diakomodasi<br />

dalam Kurikulum 1975 malahan dihapus. Pendidikan terlalu menekankan pada kecerdasan personal<br />

(lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian II A No.3, yang di copy paste dalam<br />

Lampiran Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bagian II A No.2 dan No.3 (lihat catatan * di Kata<br />

Pengantar). Kemdikbud abai dalam menautkan kecerdasan personal ini dengan kecerdasan kolektif<br />

kewargaan. Setiap individu dibiarkan menjadi deret “huruf” dalam NISN (nomor induk siswa<br />

nasional) atau Dapodik/Padamu Negeri, tanpa disusun ke dalam “kata” dan “kalimat” bersama.<br />

Padahal bangsa Indonesia sebagai masyarakat majemuk, dengan pecahan yang banyak jumlahnya,<br />

tidak mungkin bisa dijumlahkan menjadi kebaikan bersama kalau tidak menemukan bilangan<br />

penyebut yang sama (common denominator) sebagai ekspresi identitas dan kehendak bersama.<br />

(Kompas, Selasa 6 Oktober 2015 halaman 15 : Kecerdasan Kewargaan). Oleh karena itu, alih-alih<br />

menjustifikasi pendidikan karakter melalui KI 1, yang paling diperlukan saat ini adalah merevitalisasi<br />

187<br />

177


mata pelajaran Civics itu sehingga bersesuaian dengan Nawa Cita No.8. Namun hal ini memerlukan<br />

“teladan” dari guru sehingga guru sebaiknya menerapkan Taksonomi Bloom (bukan SOLO<br />

Taxonomy) dan peretas kegelapan itu adalah daya kreatif guru dan siswa yang hanya mungkin<br />

terwadahi melalui otonomi pendidikan dan kebebasan mimbar akademik.<br />

Tantangan globalisasi, pasar bebas (MEA 2015) dan liberalisasi pendidikan tidak bisa dihadapi<br />

dengan indoktrinasi yang sifatnya pasti top down (guru harus begini, sekolah harus begitu : yang<br />

digariskan oleh para instruktur atau Dinas Pendidikan, dan diawasi ketat oleh para Pengawas). Di era<br />

inilah diperlukan inspirasi<br />

Jalan pintas<br />

Ada sementara kalangan yang berpendapat, mau menerapkan Kurikulum 2006 atau<br />

Kurikulum 2013, yang paling penting adalah menyiapkan pembelajaran yang membuat siswa aktif.<br />

Mereka lupa akan kegagalan CBSA dulu. Karena cara belajar siswa aktif atau penerapan metode<br />

saintifik (5M) itu memerlukan prasyarat diberlakukannya pendidikan yang berpusat pada siswa<br />

(student centered learning) (siswa bukan sekedar “peserta didik”, tapi “subyek didik”), yang<br />

mengakomodasi keberagaman (multikulturalisme). Hal ini hanya dapat dicapai bila guru melakukan<br />

Analisa Konteks (yang sebenarnya termaktub dalam Standar Isi pada Kurikulum 2006 (KTSP awal)<br />

dan KTSP Bimtek (2008), hanya sayangnya hal ini sudah dihapus dalam Kurikulum 2013. Hal ini<br />

sebenarnya juga diusung dalam Standar Proses yang ada di Kurikulum 2006 (KTSP awal) dan KTSP<br />

Bimtek (2008) yang meliputi PAIKEM GEMBROT (Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif,<br />

Menyenangkan, serta Gembira dan Berbobot) dan CTL (contextual teaching learning)<br />

Jadi keaktifan siswa dalam belajar memerlukan prasyarat :<br />

- Diterapkannya Standar Proses dalam Kurikulum 2006 (Pengembangan RPP, Pengembangan<br />

Silabus, PAIKEM GEMBROT dan CTL). Hal ini tidak mungkin dicapai melalui<br />

pemberlakuan kurikulum tunggal dan seragam ala Kurikulum 2013, karena praktis guru tidak<br />

bisa mengembangkan Silabus (Silabus sudah di drop oleh Kemdikbud) : wawasan guru<br />

menjadi terbatas, bagaimana bisa mendampingi siswa secara intens? Guru juga tidak<br />

mungkin mengembangkan RPP karena guru harus mengikuti arahan dari para instruktur dan<br />

diawasi secara ketat oleh para Pengawas Mata Pelajaran<br />

Dengan kata lain, pembelajaran siswa aktif memerlukan otonomi pendidikan dan kebebasan<br />

mimbar akademik, tanpa itu, kita akan mengulangi kegagalan CBSA dulu<br />

- Untuk membuat siswa aktif, entah dengan metode saintifik (5 M) atau dengan CTL,<br />

memerlukan penguasaan materi secara mendalam yang hanya bisa dicapai bila guru<br />

melakukan Analisis Esensi Materi (AEM).<br />

178<br />

188


Misalnya KD 3.4 pada Mata Pelajaran Sosiologi SMA Kelas X :<br />

Mengkaji adanya berbagai bentuk perilaku menyimpang atau sub-kebudayaan menyimpang<br />

sebagai konsekuensi dari ketidakharmonisan hubungan sosial<br />

Masalah<br />

Indikator<br />

Substansi<br />

Pedagogis<br />

Penyelesaian<br />

Penugasan<br />

3.4.1.Siswa<br />

Masyarakat<br />

Menguatnya<br />

Mengenal<br />

Melakukan<br />

dapat<br />

produsen berubah<br />

budaya instan<br />

budaya artificial<br />

analisis terhadap :<br />

membedakan<br />

menjadi<br />

(pencitraan)<br />

pencitraan politik<br />

dengan tajam<br />

masyarakat<br />

menjelang Pilkada,<br />

macam2 atau<br />

konsumen<br />

atau pencitraan<br />

jenis2<br />

(hedonis)<br />

prestige, atau<br />

perilaku<br />

pencitraan “darah<br />

masyarakat<br />

biru” (snobbish)<br />

Dari contoh di atas, terlihat bahwa fungsi PENUGASAN memang membuat siswa belajar<br />

aktif, tanpa membuat teori yang muluk-muluk, seperti kompetensi yang bersifat spesifik atau<br />

kompetensi yang bersifat generik; Penyusunan Indikator Keberhasilan dan pembuatan<br />

soalnya menjadi lebih mudah (siswa bukan saja diharapkan mencapai KKM, tetapi juga<br />

mampu memenuhi KKI)<br />

Siswa yang kurang berminat dalam Sosiologi tetap terbantu untuk menguasai SPM Sosiologi<br />

tanpa mengorbankan bakat dan minatnya dalam bidang lain.<br />

Hanya saja AEM ini sudah dihapus pada KTSP Bimtek (2008) dan Kurikulum 2013. Tanpa<br />

panduan AEM ini, guru hanya membuat siswa makin bingung, melongo, dan menganga saja<br />

dalam paradigm shifting dari faktual ke metakognitif<br />

Maka pembelajaran siswa aktif yang mutlak diperlukan dalam penerapan SKS (sesuai Pasal<br />

5 Permendikbud No.158 Tahun 2014) harus menerapkan Disain Kurikulum Digital yang<br />

mencakup 22 langkah penyusunan kurikulum kontekstual yang bersandar pada pendidikan<br />

holistik dan berlandaskan multiple intelligence<br />

Potong kompas atau jalan pintas hanya akan menjebak para guru dalam kerancuan demi<br />

kerancuan seperti yang sudah diuraikan dalam Bab I – Bab VI<br />

Oleh sebab itu, semangat otonomi pendidikan yang sudah disodorkan dalam Pasal 77 M ayat 1 dan<br />

ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 hendaknya menjadi titik tolak menuju pemanusiaan manusia muda<br />

sesuai amanat Pasal 3 UU Sisdiknas dan Nawa Cita No.8<br />

189<br />

179


PENUTUP<br />

Kita dapat mendiskripsikan hegemoni pemerintah di dunia pendidikan dan pengajaran kita,<br />

melalui analogi landskap Appadurai, 132 sehingga kita dapat memahami mengapa Kementerian<br />

Pendidikan dan Kebudayaan mentransformasikan diri menjadi Kementerian Persekolahan dan Dinas<br />

Pendidikan memformulasikan dirinya menjadi Dinas Persekolahan.<br />

Sementara para pendiri republik (para bapa bangsa) mati-matian menolak hegemoni<br />

pemerintah Belanda dan Jepang dalam dunia pendidikan kita pada masa penjajahan (melalui suatu<br />

gerakan politik, seperti Pendidikan Nasional Indonesia yang dikumandangkan oleh Mohammad<br />

Hatta) demi memperjuangkan kesetaraan dalam akses pendidikan, sistim pendidikan kita dewasa<br />

ini cenderung melakukan hal sebaliknya. Saat para bapa bangsa melegitimasi perspektif lokalitas<br />

dalam pendidikan. Sistim pendidikan kita dewasa ini mendelegitimasi semua hal itu. Sementara<br />

kearifan lokal sangat relevan diterapkan secara luas dalam sistim pendidikan kita saat itu, pada saat<br />

ini, kearifan lokal itu diremehkan sebagai sesuatu yang picik, mengganggu, tidak relevan, tidak<br />

ilmiah dan tidak logis. Lihatlah matinya perguruan INS Kayutanam di Sumbar, sekolah Sriwedari di<br />

berbagai kota di Jawa, dll. tanpa disesali oleh pemerintah, atau memudarnya perguruan Taman Siswa<br />

di tanah air kita tanpa kepedulian pemerintah, dll Pemerintah hanya sibuk membangun sekolahsekolah<br />

negeri baru yang seragam dan tidak lagi mempunyai visi dan misi sekolah, yang hanya repot<br />

dengan Dapodik atau Padamu Negeri (cerminan sentralistik pendidikan, abai pada desentralisasi<br />

pendidikan yang diusung dalam UU Otonomi Daerah) dan abai pada banyaknya anak yang putus<br />

sekolah yang tercermin dari bentuk piramida kuantitas sekolah kita : Jumlah SD : 148.361, jumlah<br />

SMP : 36.425, jumlah SMA : 10.765, jumlah SMK : 7.592 Dari data ini terlihat bahwa jumlah anak<br />

yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi masih sangat besar. Meskipun sudah<br />

diluncurkan program pendidikan gratis dan Kartu Indonesia Pintar serta telah disosialisasikan<br />

macam-macam dana beasiswa, namun angka DO (drop out) masih tetap tinggi.<br />

Hal ini seharusnya dipecahkan melalui e-learning sehingga murid-murid di pelosok tetap<br />

dapat mempunyai akses ke guru-guru yang “mumpuni” kapan saja (any time) melalui internet<br />

(pengajaran berbasis laman (web), atau lewat HP-nya (pengajaran berbasis android), bukan dengan<br />

meluncurkan kurikulum yang hegemonik, yang mencoba membendung arus globalisasi dan<br />

liberalisasi pendidikan melalui Permendikbud No. 31 Tahun 2014, yang bisa kontra produktif dengan<br />

Perpres No. 77 Tahun 2007 dan ratifikasi perjanjian WTO serta ACMW.<br />

132<br />

We can describe the hegemony in the field, borrowing the analogy of Appadurai’s scapes, as “eduscapes”, which<br />

approximate to “ideoscapes”, that is a global flow ideas about the practices in education. This ideas include the<br />

philosophical outlooks which serves as the basis of education system, curricula, approaches to and methods of<br />

teaching, teaching materials, certification, and assessment systems (Arjun Appadurai : Modernity at Large, Cultural<br />

Dimension of Globalization, Minneapolis, Univ of Minnesota Press, 1996)<br />

190<br />

180


KILAS BALIK<br />

Negara kita mempunyai jejak sejarah pendidikan yang panjang, yang di masa lalu telah<br />

menjadi rujukan bagi negara-negara tetangga, bahkan sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri di<br />

masa lalu diminati juga oleh warga asing. Dewasa ini, para diplomat kita di luar negeri dan para<br />

terdidik diaspora, tidak lagi sudi menyekolahkan anaknya di Sekolah Indonesia di luar negeri.<br />

Tahun 1975 adalah masa jaya dunia pendidikan kita dengan digagasnya Kurikulum 1975 :<br />

matematika dan sains dipahami sebagai art, bukan sekedar pengetahuan, dimana siswa dilatih<br />

menemukan metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam<br />

administrasi politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk pikuk sehari-hari.<br />

Penafian kajian sejarah pendidikan ini telah membuat kualitas pendidikan kita makin lama<br />

makin merosot 133 dan kesinambungan orientasi untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (seperti<br />

yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945) dan ketercapaian misi Kemdikbud (seperti yang<br />

tercantum Pasal 5 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional 134 ) serta<br />

strategi untuk ketercapaian program “pendidikan untuk semua” (Education for all) melalui program<br />

“wajib belajar” 12 tahun makin hari makin makin kabur. 135 Tiba-tiba bisa muncul Pasal 5<br />

Permendikbud No. 158 Tahun 2014 tertanggal 17 Oktober 2014 136 padahal seluruh sumber daya<br />

sedang dikerahkan untuk implementasi Kurikulum 2013. Kemdikbud lupa pada tugasnya dalam<br />

kurikulum (Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas) dan pada misinya (Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas), lebihlebih<br />

lupa pada Nawa Cita No.1, dan Nawa Cita No.5<br />

133<br />

Tanpa kajian sejarah pendidikan, kita lupa dampak besar penghapusan IKIP dan program Akta IV (lupa bahwa<br />

jumlah guru IPA kita masih sangat terbatas sehingga pemerintah pernah membuat crash program D-3 guru IPA di<br />

berbagai perguruan tinggi non IKIP), pergantian SMP menjadi SLTP dan SMA menjadi SMU, tidak diantisipasinya<br />

otonomi daerah (desentralisasi pendidikan) dengan akibat Kepala Dinas Pendidikan bisa dijabat orang parpol, dan<br />

yang paling penting tidak adanya analisis kurikulum, yang menunjukkan bahwa kurikulum kita dari 1968, 1975, 1984,<br />

1994, 2004, 2006 dan 2013 makin lama makin miskin (materi ajar makin banyak berkurang), misalnya pada Kurikulum<br />

1994 Mata pelajaran Ilmu Bumi Falak dihapus dan sekarang pada Kurikulum 2013 Mata Pelajaran TIK dihapus<br />

134<br />

Pasal 5 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 : Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh<br />

pendidikan yang bermutu<br />

135<br />

Jumlah sekolah yang mengerucut mencerminkan tingginya angka drop out meksipun sudah dikucurkan Bantuan<br />

Siswa Miskin (BSM) dan Kartu Indonesia Pintar (Jumlah SD : 148.361, jumlah SMP : 36.425, jumlah SMA : 10.765,<br />

jumlah SMK : 7.592 atau ada sekitar 5 juta pendaftar SD per tahun, yang berhasil lulus S-1 hanya 408.000 orang)<br />

136<br />

Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014 : Sekolah yang terakreditasi A, menerapkan Sistim Kredit Semester<br />

(SKS)<br />

191<br />

181


(abai pada ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 tertanggal 11<br />

Desember 2014). 137<br />

Profesionalitas guru bukan ditingkatkan dalam era globalisasi ini, tetapi justru dipangkas 138<br />

sehingga para guru akan sulit membuat diktat, LKS, dan modul, serta penilaian berbasis kelas (PBK)<br />

: empat prasyarat penting bagi terlaksananya ketentuan Pasal 5 Permendikbud No. 158 Tahun 2014<br />

Pemangkasan profesionalitas guru ini, disamping melanggar ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU<br />

No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dan Pasal 20 butir (a) UU No. 14 Tahun<br />

2005 tentang Guru dan Dosen, juga menimbulkan hegemoni pemerintah 139 (menafikan otonomi<br />

pendidikan) 140 sehingga memunculkan banyak kerancuan di lapangan, mulai dari kerancuan negara<br />

rujukan (bukan mengacu ke Finlandia, tapi ke negara-negara OECD), kerancuan filosofi, dan<br />

kerancuan pengertian pengajaran (yang selalu dikaitkan dengan metode), sampai ke kerancuan<br />

program penilaian (hanya berkutat pada evaluasi terhadap siswa, lupa pada monitoring proses belajar<br />

(PBK) dan evaluasi profesionalitas guru yang berwujud pada terbentuknya Bank Soal). Terjadi<br />

pemujaan pendangkalan (cult of philistinism) : guru cukup membuat RPP saja (guru hanya menjadi<br />

tukang mengajar), program sertifikasi guru dan program penyiapan calon guru di PGSD/FKIP<br />

menjadi nir makna.<br />

137<br />

Permendikbud No. 160 Tahun 2014 Pasal 1 : Satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang<br />

melaksanakan Kurikulum 2013 sejak semester pertama tahun pelajaran 2014/2015 kembali melaksanakan<br />

Kurikulum 2006 mulai semester pertama tahun pelajaran 2014/2015 sampai ada ketetapan dari Kementerian untuk<br />

melaksanakan Kurikulum 2013<br />

Permendibud No. 160 Tahun 2014 Pasal 2 ayat 3 : Satuan Pendidikan rintisan (sekolah yang ditunjuk oleh pemerintah<br />

untuk melaksanakan Kurikulum 2013 selama tiga semester) dapat berganti melaksanakan Kurikulum 2006 dengan<br />

melapor kepada dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya<br />

138<br />

Pemangkasan profesionalitas guru dapat dilihat dari ketentuan Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 : Perencanaan<br />

pembelajaran merupakan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran untuk setiap muatan pembelajaran<br />

Bandingkan dengan ketentuan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 : Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus,<br />

rencana pelaksaan pembelajaran, yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode<br />

pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar<br />

139<br />

Pemerintah sibuk dengan implementasi Kurikulum 2013, lupa pada kewajibannya sebagaimana dirumuskan dalam<br />

Pasal 51 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 dan Pasal 38 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2013 tentang Sistim Pendidikan Nasional<br />

140<br />

Otonomi pendidikan dihapus lewat penghapusan fungsi pengawasan internal sekolah melalui penghapusan Pasal<br />

19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 : Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran,<br />

pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan proses pembelajaran untuk<br />

terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.<br />

Fungsi pengawasan ini kemudian diambil alih oleh Pengawas Sekolah dan Pengawas Mata Pelajaran (dua jabatan<br />

yang tidak disebut dalam UU Sisdiknas dan PP No. 19 Tahun 2005, bahkan dalam PP No. 32 Tahun 2013)<br />

Penjabaran isi Pasal 19 ayat 3 PP No. 19 Tahun 2005 dapat dilihat di Pasal 20 PP No. 19 tahun 2005<br />

182<br />

192


Kerancuan yang merusak adalah tumpang tindihnya fungsi LPMP (Pasal 1 ayat 31 PP No. 32<br />

Tahun 2013) dan LPPKS, dengan fungsi Pengawas (Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013<br />

Bab VI No.2 : Sistim dan Entitas Pengawasan). Fungsi Pengawas ini justru bertentangan dengan isi<br />

Pasal 19 ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013. Melalui campur tangan yang terlalu dalam yang dilegalkan<br />

lewat Permendikbud No.65 Tahun 2013 itu, telah terjadi penyeragaman kurikulum yang bertentangan<br />

dengan azas diversifikasi kurikulum (lihat Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 77 M ayat 1 dan<br />

ayat 3 PP No.32 Tahun 2013). Hal ini menyebabkan kualitas pendidikan kita makin merosot (lihat<br />

hasil survey berbagai lembaga internasional tentang kualitas pendidikan kita di bagian akhir dari Bab<br />

Pendahuluan). Kemdikbud bisa dihujat banyak kalangan sebagai pihak yang abai pada Nawa Cita<br />

No.5 (peningkatan kualitas pendidikan).<br />

Akibat ketidak-sinambungan orientasi (disorientasi) road map dunia pendidikan kita yang<br />

hanya terpaku pada implementasi Kurikulum 2013 at all cost 141 , bisa memunculkan Permendikbud<br />

No. 31 Tahun 2014 142 yang mencoba membendung globalisasi dan liberalisasi sektor pendidikan,<br />

abai pada Perpres No. 77 Tahun 2007 143 dan MEA 2015 serta APEC 2020.<br />

Pemerintah bukannya menggali keunggulan lokal dan kearifan lokal yang sebenarnya bisa<br />

dilakukan lewat Kurikulum 2006, lalu maju ke penerapan SKS, tapi pemerintah justru<br />

bertransformasi menjadi pengurus sekolah 144 Dengan pemaksaan pemberlakuan Kurikulum<br />

2013, maka kalau terjadi kegagalan dalam pengejawantahan “revolusi mental”, Kemdikbud<br />

bisa menjadi tertuduh utama penyebab kegagalan karena abai pada Nawa Cita No.8 (menata<br />

ulang kurikulum pendidikan nasional), bukan meneruskan barang basi Kurikulum 2013<br />

bikinan rezim lama yang banyak mengandung kesalahan itu. (disebut barang basi karena<br />

Kurikulum 2013 itu hakekatnya adalah KBK (2004) yang sudah dicabut pada tahun 2006) : lihat<br />

Catatan kaki No.27<br />

Banyak orang kemudian mengritik persekolahan kita, yang satu menganggap kurikulumnya<br />

kurang relevan, yang lain merasa sekolah mengasingkan anak didik dari kenyataan, yang lain lagi<br />

mengatakan bahwa sekolah mengajarkan hal-hal yang ketinggalan jaman, kurang<br />

141<br />

Kurkulum 2013 at all cost memangkas profesionalitas guru, sehingga menafikan azas diversifikasi kurikulum<br />

sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, yang diperkuat dengan Pasal 17 PP No. 19 Tahun<br />

2005 dan melanggar dasar hukum Kurikulum 2013 sendiri yaitu Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013<br />

142<br />

Permendikbud No. 31 Tahun 2014 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh<br />

Lembaga Pendidikan Asing<br />

143<br />

Lampiran II Perpres No. 77 Tahun 2007 : yang terbuka bagi PMA : Education building dan Kepemilikan modal dalam<br />

Education building, Pendidikan dasar dan menengah, Pendidikan Tinggi dan Pendidikan Non formal<br />

144<br />

Lihat pemangkasan Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, menjadi kerdil dalam Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013<br />

Lihat Pedoman Penilaian yang berkali-kali diubah rumusnya dan tetap salah itu. Pedoman penilaian itu juga hanya<br />

berkutat dengan evaluasi hasil belajar siswa, abai pada terbentuknya Bank Soal dengan soal-soal yang terverifikasi<br />

melalui Analisa Soal<br />

193<br />

183


memperkembangkan intelegensi, terlalu didasarkan rasa takut melanggar arahan Pengawas,<br />

menghambat kreativitas anak, dan sebagainya. Akan tetapi dalam segalanya itu, persoalannya<br />

sebetulnya sederhana saja. Sekolah menjadi seperti itu karena kita menghendakinya demikian.<br />

Jikalau hal itu tidak berjalan dengan baik, tak ada jalan lain kecuali mengubahnya.<br />

Kurikulum 2006 sebenarnya sudah mulai merumuskan tanggung jawab pemerintah dalam<br />

kebijakan pengelolaan pendidikan (pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas dan Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas)<br />

Dengan demikian diharapkan agar para guru tidak kembali ke pola lama. Para guru perlu melihat<br />

kembali Peraturan Mendiknas (Permendiknas) No. 19 tahun 2007 bulan Mei 2007 tentang MBS<br />

(manajemen berbasis sekolah) yang terdiri dari 3 (tiga) dokumen yaitu :<br />

- Dokumen I tentang 5 bidang yang harus dibenahi dalam upaya meningkatkan mutu<br />

manajemen persekolahan yang dilengkapi dengan rincian tugas yang harus diemban oleh guru<br />

penanggung jawab tiap bidang.<br />

- Dokumen II tentang penilaian proses dan evaluasi capaian tugas yang diemban sehingga<br />

kinerja sekolah dapat dirumuskan dengan baik.<br />

- Dokumen III tentang audit kinerja sekolah dan audit kinerja tenaga kependidikan<br />

Keterpenuhan dokumen-dokumen ini memungkinkan sekolah memperoleh sertifikasi sistim<br />

manajemen internasional melalui sertifikat ISO 9001 : 2008<br />

Pemerintah perlu menegaskan bahwa penerapan kurikulum baru tidak serta merta membuang semua<br />

hal baik yang sudah ada sebelumnya.<br />

Yang belum dilakukan adalah menentukan SPM (standar pelayanan minimal) akademik 145 :<br />

Di kelas berapa, kegiatan membaca selama 15 menit sebelum jam sekolah dimulai (sesuai ketentuan<br />

Permendikbud No.23 Tahun 2015) mempunyai makna literasi ? Kapan metode demonstrasi di kelas<br />

harus dialihkan menjadi metode eksperimen di laboratorium ? Kapan siswa sudah bisa diwajibkan<br />

membuat resume atau ikhtisar dari materi/bahan ajar? dll. Penyusunan SPM ini mendesak dilakukan,<br />

bukan eksekusi kurikulum baru, hanya karena kurikulum itu tercantum dalam Standar Isi, sehingga<br />

pemerintah tidak kehilangan arah dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana dirumuskan dalam<br />

Pasal 3 UU Sisdiknas. Apa buktinya bahwa pemerintah mulai kehilangan orientasi pendidikan ?<br />

- Terjadi pemaksaan penerapan Kurikulum 2013, lupa pada isi Surat Edaran Mendikbud<br />

No.179342/MPK/KR/2014 tertanggal 5 Desember 2014, dan Pasal 1 + Pasal 2 ayat 3<br />

Permendikbud No.160 Tahun 2014 tertanggal 11 Desember 2014 yang memberlakukan<br />

145<br />

Yang ada adalah SPM sarana-prasarana minimal (Permendikbud No. 23 Tahun 2013)<br />

184<br />

194


kembali Kurikulum 2006, serta abai pada Nawa Cita No.8 : “penataan kembali kurikulum<br />

pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan”<br />

- Pelatihan guru untuk penerapan Kurikulum 2013 saat ini, justru memunculkan relasi sub<br />

ordinasi yang nampak dari perubahan isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 menjadi sangat<br />

kerdil dalam Pasal 20 PP No. 32 Tahun 2013 (paralel dengan itu adalah perubahan isitilah<br />

dari penatar menjadi instruktur (orang yang memberi instruksi) dan sifat top down dalam<br />

dropping silabus,buku ajar/materi/sumber belajar, dan buku pegangan guru) yang merampas<br />

wewenang guru sebagaimana sudah diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20<br />

butir (a) UU Guru dan Dosen serta dasar hukum Kurikulum 2013 sendiri yaitu Pasal 77 M<br />

ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013. (Kemdikbud perlu disadarkan akan urutan tata<br />

perundangan : permendikbud ada di bawah PP dan PP ada dibawah UU,<br />

PERMENDIKBUD TIDAK BOLEH MELANGGAR ISI PP, apalagi menabrak isi UU)<br />

Kemdibud juga harus mengingat pidato Presiden saat pelantikan para menteri Kabinet Kerja<br />

tanggal 27 Oktober 2014 : “Tidak ada lagi visi dan misi kementerian, yang utama adalah visi<br />

dan misi presiden ” yang sudah dijabarkan dalam Nawa Cita<br />

Dengan pengerdilan isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005, maka pendidikan kita makin miskin.<br />

Ada banyak topik/tema penting yang hilang dari kurikulum kita. 146 Kalau semua orang diam, maka<br />

kita memasuki era pemujaan pendangkalan (cult of philistinism) dan abai pada Nawa Cita No. 5 :<br />

peningkatan kualitas pendidikan. (lihat hasil survey internasional pada bagian akhir dari Bab<br />

Pendahuluan). Produk pendidikan yang kurang memperhatikan segi mutu ilmiah intelektual akan<br />

membahayakan konstelasi sosial yang ada, sebab masyarakat menjadi semu dengan orang-orang<br />

yang berijazah, tetapi tidak “berilmu” 147<br />

146<br />

Lihat Lampiran Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Bagian I A No. 2 b : Banyaknya materi uji yang ditanyakan<br />

dalam TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia (kurikulum makin miskin), yang diulang (di<br />

copy paste pada Permendikbud No. 57 Tahun 2014) (:ihat Catatan * di Kata Pengantar)<br />

147<br />

Kaum Cerdik Pandai, Antara Ilmu dan “Ngelmu”, Kompas, Senin 14 Juli 2008 halaman 7<br />

195<br />

185


KESIMPULAN<br />

Kurikulum 2013 yang abai terhadap otonomi pendidikan, desentralisasi pendidikan dan<br />

kebebasan mimbar akademik, serta Nawa Cita No.1, No.5 dan Nawa Cita No.8, telah menyebabkan<br />

lemahnya tiga pilar penting dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan sebagaimana diamanatkan<br />

dalam Pasal 3 dan Pasal 11 UU Sisdiknas 148 :<br />

- Kepemimpinan (leadership) Kepala Sekolah yang disubordinasi oleh Pengawas Sekolah<br />

dengan kewenangannya melakukan supervisi manajerial (Lihat Lampiran Permendikbud<br />

No.65 Tahun 2013 Bab VI No. 2 b), sehingga MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) bukannya<br />

mengacu ke sertifikasi manajemen ISO 9001:2008, tetapi mengacu pada selera Pengawas<br />

Sekolah. Kewenangan kepala sekolah untuk melakukan supervisi kepada para guru di<br />

lingkungan sekolahnya juga diamputasi melalui kehadiran Pengawas Mata Pelajaran dengan<br />

kewenangannya melakukan supervisi akademik, sehingga Kepala Sekolah sukar menjalankan<br />

visi dan misi sekolahnya serta sukar merumuskan keunggulan sekolahnya (brand image-nya)<br />

Kemdikbud abai menjadi sekolah sebagai center of excellence sesuai amanat nawa Cita No.5<br />

- Budaya organisasi dinisbikan melalui amputasi otonomi pendidikan, dan sentralisasi<br />

pendidikan, akibatnya apapun visi dan misi sekolahnya, kurikulumnya pasti seragam dan<br />

kegiatan belajar-mengajarnya akan melewati proses pembelajaran yang sama (dengan<br />

penerapan pendekatan saintifik) : CTL (contextual teaching learning) hanya menjadi utopia.<br />

Tanpa koreksi dari Mendikbud, pengelolaan sekolah menjadi tidak mudah karena<br />

banyak tuntutan dan campur tangan negara. Dengan adanya campur tangan itu,<br />

otonomi sekolah dan otonomi guru dalam mengembangkan visi dan misi sekolah cukup<br />

terganggu. Wajah dunia persekolahan di seluruh Indonesia menjadi sama dan seragam<br />

apapun visi dan misinya.<br />

- Kinerja guru dikerdilkan dari seorang kreator, konseptor, inisiator, dan desainer<br />

kurikulum, menjadi sekedar petugas administrasi pembuatan RPP, itupun RPP yang<br />

seragam secara nasional, guru telah diturunkan harkatnya menjadi sekedar tukang mengajar.<br />

Diklat program sertifikasi guru dan program pendidikan calon guru di PGSD/FKIP menjadi<br />

148<br />

Pasal 3 : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta<br />

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk<br />

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan<br />

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang<br />

demokratis serta bertanggung jawab”.<br />

Pasal 11 : “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta<br />

menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.<br />

186<br />

196


nir makna. MBS yang juga merinci kinerja guru sebagaimana tercantum dalam Permendiknas<br />

No. 19 Tahun 2007 dibuang. (Lihat juga isi Pasal 20 PP No. 19 Tahun 2005 yang dikerdilkan<br />

menjadi Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013) 149 Kebebasan mimbar akademik menjadi sirna. Hal<br />

ini jelas-jelas melanggar ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU<br />

Guru dan Dosen, yang dijabarkan dalam Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No. 32 Tahun 2013.<br />

Terjadi pemujaan pendangkalan (cult of philistinism), abai pada perwujudan strong human<br />

capital dan culture of excellence, sesuai amanat Nawa Cita No.5<br />

Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori KBK (competency-based curriculum) 150 sehingga masalah<br />

penilaian pada KBK berulang lagi pada Kurikulum 2013. Jadi penilaiannya tidak bisa mengikuti<br />

Permendikbud No. 66 Tahun 2013 karena salah, sehingga perlu diubah lagi melalui Lampiran IV<br />

Permendikbud No. 81 A Tahun 2013, yang juga masih salah secara matematis, sehingga diubah lagi<br />

melalui Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen No.5496/C/KR/2014 dan No.<br />

7915/D/KP/2014 yang masih salah juga secara matematis. Yang lebih urgen diperhatikan adalah<br />

perubahan berulang kali tentang rumus penilaian ini tanpa penjelasan yang memadai kenapa<br />

rumus mesti diubah (lagi), akan menurunkan wibawa akademik Kemdikbud.<br />

Kurikulum 2013 itu sebenarnya melanggar dasar hukumnya sendiri yaitu PP No. 32 Tahun<br />

2013 (Lihat Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3) 151 Pemaksaaan pelaksanaan Kurikulum 2013 bisa<br />

menyebabkan Kemdikbud menjadi tertuduh utama kegagalan “revolusi mental” karena seharusnya<br />

Kemdikbud tidak sibuk dengan visi dan misinya sendiri, tetapi mengutamakan visi dan misi Presiden<br />

RI yang terinci dalam Nawa Cita No. 8 : akan menata ulang kurikulum pendidikan nasional. Bukan<br />

meneruskan barang basi : Kurikulum 2013 bikinan rezim lama yang banyak mengandung kesalahan<br />

ini. Kenapa disebut barang basi? Karena Kurikulum 2013 mengacu pada KBK (2004) yang sudah<br />

diganti dengan Kurikulum 2006 (lihat Catatan kaki No.27).<br />

Keduapuluh delapan Permendikbud terkait Kurikulum 2013 sebenarnya hanya menyebut<br />

KTSP, tapi Kemdikbud lupa pada arti harafiah KTSP, apalagi arti filosofisnya. KTSP kemudian<br />

149<br />

Pasal 20 PP No.19 Tahun 2005 : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana<br />

pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar,<br />

metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”.<br />

Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 : “Perencanaan Pembelajaran merupakan penyusunan Rencana<br />

Pelaksanaan Pembelajaran untuk setiap muatan Pembelajaran”.<br />

150<br />

Lihat Permendikbud No.67 Tahun 2013 Bagian II B Landasan Teoritis (Permendikbud ini diulang lagi pada<br />

Permendikbud No.68, No.69 Tahun 2013 tergantung pada unit sekolahnya) Lihat Catatan * pada Kata Pengantar<br />

151<br />

Pasal 77 M ayat 1 : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan Kurikulum operasional yang disusun<br />

oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan<br />

Pasal 77 Mayat 3 : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan<br />

197<br />

187


digeser maknanya dan diartikan sebagai kurikulum yang disusun dan ditetapkan oleh<br />

pemerintah serta wajib dilaksanakan di semua satuan pendidikan (sekolah), abai pada isi Pasal<br />

36 ayat 2 UU Sisdiknas<br />

Melihat karut marut dan pemutar-balikan fakta ini, maka tidak ada jalan lain, pemerintah<br />

mesti menerapkan e-learning dengan konten Disain Kurikulum Digital (dengan merevitalisasi<br />

kembali kurikulum terlengkap yang telah mengakomodir GMAT, dan TOEFL serta SPM + KKI,<br />

yaitu Kurikulum 1975 152 ) yang dilengkapi dengan TQM bersertfikasi ISO 9001:2008, sehingga<br />

Kemdikbud bisa menjalankan amanat Nawa Cita No.5 dan Nawa Cita No.8. Dengan harapan bahwa<br />

Kemdikbud tidak sibuk dengan visi dan misinya sendiri yaitu menggolkan “proyek penyerapan<br />

anggaran 20% dari APBN”, supaya sekolah siap menyongsong era liberalisasi dan globalisasi<br />

pendidikan sesuai dengan amanat WTO, MEA 2015 dan APEC 2020, yang sudah diakomodir melalui<br />

Perpres No.77 Tahun 2007 dimana sektor pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi PMA<br />

(penanaman modal asing). Counter yang dilakukan Kemdikbud melalui Permendikbud No.31 Tahun<br />

2014 153 dan pembatasan lalu lintas SDM asing melalui sertifikasi tenaga kerja, hanya akan<br />

memancing pembalasan (aksi resiprokal) dari negara-negara anggota WTO (World Trade<br />

Organization) dan ACMW (ASEAN Committee on Migrant Workers) 154 yang akan menyebabkan<br />

dipulangkannya jutaan TKI dan TKW kita di luar negeri yang unwell-educated dan unskilled labour<br />

karena termasuk dalam uncertified workers. Dampak sosialnya pasti akan sangat luas mengingat<br />

keterbatasan lapangan kerja di dalam negeri.<br />

152<br />

Kurikulum 1975 : Sains dan Matematika dipahami sebagai art, bukan sekedar pengetahuan. Dimana sswa dilatih<br />

menemukan metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam administrasi<br />

politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk pikuk sehari-hari<br />

153<br />

Permendikbud No. 31 Tahun 2014 : Kerja sama Lembaga Pendidikan Asing dengan Lembaga Pendidikan<br />

Indonesia<br />

154<br />

ACMW (ASEAN Committee on Migrant Workers) menyatakan bahwa migrasi tenaga kerja (termasuk<br />

188<br />

guru) adalah hak asasi yang harus dilindungi<br />

198


DAFTAR PUSTAKA<br />

Appadurai, Arjun, 1996<br />

Modernity at Large, Cultural Domension of Globalization, Minnesota, University of<br />

Minnesota Press.<br />

Bagus, Loren, 2000<br />

Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, halaman 181-182<br />

De Porter, Debbie, 2008<br />

Quantum Teaching, Bandung, Kaifa.<br />

Kusuma, Doni, 2013<br />

Eklektisme Kurikulum 2013, Kompas, 5 April 2013 halaman 7<br />

Mohandas, Ramon, 2015<br />

Revisi utama Kurikulum 2013 adalah KD untuk KI 1 dan KI 2, Jawa Pos, 27 Juni 2015<br />

halaman 12<br />

Muhammad, Gunawan, 2015<br />

Bocah, Catatan Pinggir, Majalah Tempo, 15-21 Juni 2015<br />

Raka Joni, Tjokorde, 1997<br />

Cara Belajar Siswa Aktif, Jakarta, Ditjen Dikti<br />

Sastrapratedja, M, 2015<br />

Pendidikan Transformatif, Makalah dalam Seminar Lingkar Muda Indonesia, Ruby Room,<br />

Gedung Kompas, 28 Mei 2015<br />

Soetikno, Wendie Razif, 2007<br />

Sehabis KTSP lalu Apa? SKS!, Majalah Educare No. 6/IV/2007 halaman 36-38<br />

Soetikno, Wendie Razif, 2010<br />

Disain Kurikulum Digital, Yogya, Smart Writing<br />

Sudiarja, A, 2014<br />

Pendidikan dalam Tantangan Jaman, Yogya, Kanisius<br />

Sumarsono, 2004<br />

Otonomi Pendidikan, Singaraja, IKIP Negeri<br />

Suparno, Paul, 1997<br />

Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogya, Kanisius<br />

199<br />

189


Supeli, Karlina, 2013<br />

Kebudayaan dan Kegagapan Kita, Pidato Kebuayaan, TIM, 11 November 2013<br />

Wagner, Tony, 2008<br />

From The Global Achievement Gap: Why Even Our Best Schools Don’t Teach The New<br />

Survival Skills Our Children Need—And What We Can Do About It , Connecticut, Basic Books<br />

Kompas, 2015<br />

Beban Kewargaan, Kompas, Selasa, 6 Oktober 2015 halaman 15<br />

Kompas, 2015<br />

Beban Pengawas Berat – Orientasi Masih Administrasi, Kompas, Selasa 11 Agustus 2015<br />

halaman 11<br />

Kompas, 2015<br />

Udar Rasa – Akal Sehat, Kompas, Minggu 2 Agustus 2015 halaman 13<br />

Kompas, 2015<br />

Budi Pekerti – Nilai “Ditempelkan Tanpa Rasionalitas”, Kompas, Kamis 23 Juli 2015<br />

halaman 12<br />

Kompas, 2014<br />

Wapres, Perbaiki Kurikulum 2013 – Kemdikbud Dinilai Lamban Melatih Guru, Kompas,<br />

Jumat 24 Januari 2014, halaman 12<br />

Kompas, 2008<br />

Kaum Cerdik Pandai, Antara Ilmu dan “Ngelmu”, Kompas, Senin 14 Juli 2008 halaman 7<br />

190<br />

200


Wendie Razif Soetikno, lahir di Surabaya, 21 Juli 1954. Menyelesaikan D-3 Kimia IKIP Malang tahun<br />

1976 (Nrp 24416), Sarjana Sains di IPB th 1994 (Nrp G26.1748) dan Master in Development Management<br />

di AIM, Manila atas bantuan Eugene Lopez Foundation tahun 1999 (MDM 99) Selama 17 tahun mengajar<br />

Kimia, Praktikum Kimia dan Pembimbing KIR di suatu sekolah di Bogor,lalu melakukan hal yang sama di<br />

Jakarta dan Bekasi<br />

Mengikuti International Youth Day 1997 di Paris bersama Paus Yohanes Paulus II (kini Santo Yohanes<br />

Paulus II) atas dukungan dari Bapak Jakob Oetama (CEO Kelompok Kompas Gramedia). Kegiatan ini<br />

dipublikasikan dalam seri tulisan Tahun Pemuda Internasional di KOMPAS tanggal 14 – 22 Agustus 1997.<br />

Mengikuti TOT (Training for the Trainers) tentang Project Based Learning (pembelajaran berbasis<br />

proyek, yang kini digunakan dalam Kurikulum 2013), atas dukungan dari PT Oracle Indonesia, Februari<br />

2008 di NUS, Singapore.<br />

Dalam rangka haul Gus Dur, menulis puisi : Tidak Menjadi Apa-apa, Tidak Berarti Bukan Apa-apa,<br />

yang dimuat dalam buku SEJUTA DOA BUAT GUS DUR, terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2010,<br />

halaman 316-317. Puisi wajib yang dibacakan dalam setiap haul Gus Dur di kantor PB NU, Jl Kramat Raya,<br />

Jakarta dan di Pondok Pesantren Tebu Ireng, di desa Cukir, Kecamamtan Diwek, Kabupaten Jombang.<br />

Pemenang Lomba Inspirasi Majalah INTISARI - Pengumuman pemenang dimuat dalam Majalah<br />

INTISARI, edisi September 2011 (No. 583) halaman 159. Petikan pengalaman itu antara lain: "Artikel<br />

"Temulawak Para Pelawak" (Intisari, September 1990) mengubah hidup saya sebagai guru Kimia. Materi<br />

yang sulit mampu disajikan majalah ini secara bersahaja, tanpa kehilangan nilai ilmiahnya. Sejak itu, seperti<br />

Intisari, saya selalu berusaha membuat sains lebih membumi".(Wendie Razif Soetikno, pembaca Intisari) dan<br />

Petikan artikel di atas dimuat di KOMPAS, Senin 22 Agustus 2011 halaman 32: "48th ANNIVERSARY<br />

Intisari SMART & INSPIRING”.<br />

Setelah menulis “Sehabis KTSP Lalu Apa? SKS!” di Majalah Educare No 6/IV/September 2007,<br />

kemudian diminta untuk mempersiapkan beberapa sekolah agar dapat menerapkan SKS, melalui pelatihan<br />

mendisain kurikulum secara digital. Buku panduannya, yaitu buku DISAIN <strong>KURIKULUM</strong> DIGITAL,<br />

(ISBN : 978-602-7858-10-7), penerbit Smart Writing, Yogya, 2009, edisi keenam Juni 2015 dicetak dengan<br />

sponsor Bank Mandiri, dikhususkan untuk perpustakaan lembaga negara, perpustakaan perguruan tinggi dan<br />

perpustakaan daerah.<br />

Pengalaman melatih guru-guru di berbagai daerah dalam penyusunan kurikulum secara digital tertuang<br />

di tulisan: “Melatih Guru, Meretas Masa Depan Ribuan Anak Indonesia” yang berhasil masuk nominasi<br />

sepuluh besar Lomba Menulis Jiwa Nusantara 2012 dan telah dibukukan dengan judul: “Jiwa Nusantara<br />

dalam Tulisan” halaman 198-205, terbitan Anyes Bestari Komunika (ab.komunika@gmail.com).<br />

Pengalaman melatih guru dalam mendisain kurikulum secara digital di berbagai daerah agar siap menerapkan<br />

e-learning diajukan dalam Asian CSR Award category Education Improvement 2015<br />

201<br />

191


Ikut berjuang menghapus RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) melalui tulisan yang<br />

diterbitkan dalam buku “TERSERET ARUS GLOBALISASI, Bunga Rampai Reportase Dampak<br />

Globalisasi” (Penerbit Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI Indonesia) bekerja sama dengan<br />

Development and Peace) yang menambah amunisi untuk menghapus keberadaan RSBI melalui Putusan<br />

Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-X/2012 .<br />

Tulisan itu muncul di halaman 114 – 124, dengan rincian : “Berlomba Pasang Label Internasional” halaman<br />

111, “Ingin Berkelas Global” halaman 114, “Bandung Setengah Hati” halaman 117, “Malang Adem Ayem”<br />

halaman 119, dan “Bersaing Mengejar Atribut” halaman 121.<br />

Pengalaman membimbing pembuatan diktat dan modul telah mendapat IMA 2011 (Indonesia<br />

Millenium Development Goals Award 2011) yang telah diabadikan dalam buku: “PENCERAH<br />

NUSANTARA, Best Practices untuk Mencapai MDGs” pada halaman 73-82 (penerbit: Kantor Utusan<br />

Khusus Presiden RI untuk Millenium Development Goals). Penyerahan hadiah dilakukan tanggal 1 Februari<br />

2012 oleh Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs : Ibu Prof Dr Nila Djuwita F. Moeloek (sekarang Menteri<br />

Kesehatan Kabinet Kerja) dalam seremoni yang dihadiri oleh Wapres Boediono di Balai Kartini.<br />

Keterikatan Wendie Razif Soetikno dengan sekolah selama bertahun-tahun dipamerkan dalam<br />

KURIKULAB, Assemblage of Democracy : Share Room : kolaborasi – diskusi – riset – presentasi, di Galeri<br />

Cipta II, Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada tanggal 16 – 30 Oktobr 2014. Dalam Focus Group Discussion<br />

2 dibahas : “Sekolah, Cara dan Tujuan”, sedang dalam Focus Group Discussion 3 dibahas : “Sistim dan<br />

Kebijakan Pusat vs Inisiatif Lokal”. Berbagai pembahasan, gagasan, pernyataan maupun pertanyaan<br />

menjadi karya yang akan dipresentasikan dalam bentuk pameran seni rupa. Pameran ini menampilkan artefak<br />

dan rekaman yang terjadi selama proses FGD berlangsung, seperti video, foto, coretan, teks dan gambar.<br />

Pameran ini secara tidak sadar merupakan proses demokratis. Melalui kolaborasi dan partisipasi tersebut,<br />

mengukuhkan kembali ruang kebebasan berbagi dan berpendapat yang dapat disinergikan satu sama lain.<br />

Salah satu hal yang menarik dalam kerja kolaborasi ini, publik telah menjadi salah satu penentu artistik. Secara<br />

tidak langsung, publik telah dapat memberikan penawaran tersendiri pada persoalan hari ini.<br />

“How can we talk about research if, in practice, we are still inscribed within a normative curriculum”<br />

Lilian L’Abbate Kellan<br />

Renungan pengalaman mengajar selama lebih dari 30 tahun tertuang dalam tulisan MENJADI<br />

TUKANG MENGAJAR ATAU MENDIDIK (terbit dalam buku KAPUR & PAPAN, Kisah Guru-guru<br />

Pembelajar 3, halaman 107 – 112), penerbit Lingkar Antar Nusa, Yogya, 2015<br />

Tuturan tentang Manajemen Kelas tertuang dalam buku KAPUR & PAPAN, Kisah Pengelolaan Kelas<br />

2, halaman 133 – 136 : MURIDKU TERTOLONG DENGAN PAIKEM GEMBROT, penerbit Lingkar Antar<br />

Nusa, Yogya, 2015<br />

Berdasar pengalaman panjang sebagai guru, pernah diundang sebagai nara sumber Rapat Dengar<br />

Pendapat Umum di DPR RI :<br />

a. Dalam surat Deputi Bidang Persidangan dan KSAP Setjen DPR RI No : LG.02/01677/DPR<br />

RI/II/2012 tertanggal 20 Februari 2012 : Wendie Razif Soetikno diminta memberi masukan dalam<br />

Rapat Dengar Pendapat Umum tentang RUU Sistem Peradilan Pidana Anak di depan Komisi III DPR<br />

RI pada hari Selasa, 21 Februari 2012 pk. 10.00 – 12.00<br />

b. Dalam surat Deputi Bidang Persidangan dan KSAP Setjen DPR RI No : LG.01/01960/DPR RI/II<br />

2012 tertanggal 27 Februari 2012 : Wendie Razif Soetikno diminta memberi masukan dalam Rapat<br />

Dengar Pendapat Umum tentang RUU Penyiaran di depan Komisi I DPR RI pada hari Rabu, 7 Maret<br />

2012 pk. 10.00 – 13.00<br />

Masuk 10 besar Lomba Penulisan Artikel “Potret Indonesia 2014” Pimpinan Cabang Istimewa<br />

Muhammadiyah (PCIM) Rusia, dengan judul tulisan “Why Did Somebody Engage in High Cost/Risk<br />

Activism?” (laporan hasil penelitian tentang konflik horizontal di Poso Jilid I, Jilid II dan Jilid III) :<br />

http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-2705-detail-muhammadiyah-rusia-umumkan-pemenangsayembara-internasional-penulisan-.html<br />

Penulis juga mengadvokasi petani sejak tahun 2008 melalui tulisan : “ASURANSI UMUM DAN<br />

PERTANIAN BERKELANJUTAN, UPAYA MENUJU KETAHANAN PANGAN DALAM<br />

MENGATASI KEMISKINAN YANG BELUM DILIRIK” (Harian Online KABAR INDONESIA<br />

(HOKI) (http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=10&dn=20080719225222). Siaran METRO TV,<br />

Rabu 13 Oktober 2010 pk. 19.00-20.30 : SUARA ANDA - 1 TAHUN KINERJA KIB II -<br />

MENYOROT KINERJA MENTERI PERTANIAN : SUSWONO.<br />

202<br />

192


Dalam acara ini Menteri Pertanian Suswono menyatakan perlunya ASURANSI PERTANIAN agar<br />

petani tidak terus merugi dalam ketidak-pastian musim sekarang ini, TAPI HAL INI MASIH<br />

WACANA, sehingga ide ini masih harus terus diperjuangkan. Hal ini seolah-olah akan diwujudkan<br />

pada tahun 2012 lalu : “BUDI DAYA PADI DIASURANSIKAN” (KOMPAS, Jumat 29 Juni 2012<br />

halaman 19) . Namun sampai bencana kekeringan melanda di tahun 2015 ini, asuransi pertanian ini<br />

BELUM JUGA TERWUJUD, dan baru mau akan diwujudkan lagi melalui paket kebijakan<br />

ekonomi ketiga Jokowi–JK tertanggal 7 Oktober 2015, dimana pemerintah akan menanggung 80%<br />

premi asuransi pertanian dan petani cukup membayar premi sebesar 20% atau setara Rp.30 ribu<br />

dengan nilai claim sebesar Rp 6 juta bila petani gagal panen hingga kebutuhan sehari-hari tercukupi.<br />

(http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/10/08/nvvljr382-cukup-bayar-rp-30-ribusawah-petani-sudah-dilindungi-asuransi).<br />

203<br />

193


194

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!