Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
www.rajaebookgratis.com<br />
NYANYIAN KABUT<br />
“Ayo, katakan kepada Shinta Deni, aku senang sama dia. Senang sekali!” Ben<br />
mengepalkan tangan. Lantas diacungkannya kepada Mia, gadis manis keturunan Bugis.<br />
“Sungguh mati, aku mencintai Shinta,” kata Ben lagi. bola matanya tajam-tajam<br />
menatap kearah Mia, membuat gadis itu menjadi jengah.<br />
“Ayo, katakana saja. Sama sekali aku tidak takut!”<br />
Bibir Mia merekah separuh basah. Pipi kiri dan kanannya memerah bak buah<br />
delima. Segar, dan harum baunya. Sementara bola mata Mia yang redup itu bertengger di<br />
antara batang hidungnya yang mancung.<br />
“Sungguh, ini sama sekali bukan omong palsu,” sergah Ben lagi terus nyerocos.<br />
Mia, sebaliknya masih tetap diam.<br />
“Nah, sekarang bagaimana komentarmu Mia?” tanya Ben agak penasaran<br />
menyaksikan sikap Mia yang kaku.<br />
“Pendapat saya?” ujar Mia perlahan.<br />
“Ya, pendapatmu tentu saja,” sahut Ben seraya mengangguk-angguk begitu rupa.<br />
“Ya, aku ingin sekali mendengar pendapat yang keluar dari mulutmu yang mungil itu.”<br />
Ujung rambut Ben terjatuh diatas keningnya. Mia tak berkata apa-apa kecuali<br />
membungkam seperti tadi.<br />
“Ayo Mia, bagaimana komentarmu?” desak Ben lagi.<br />
“Apa yang mesti saya katakana?” giliran Mia balik bertanya. Dahinya berkerinyit.<br />
Tapi dia tambah kemayu dalam keadaan begitu. Dari cuping hidungnya yang bangir itu<br />
kentara sekali Mia sedang gugup dan risi.<br />
Ben tertawa setengah terbahak bahak. Katanya, “Lucu sekali sikapmu Mia.” Dada<br />
Ben berguncang.<br />
“Bagaimana Mia?” tanya Ben lagi mulai membuka suara. Tapi Mia sekarang<br />
gantian menatap Ben. Yang ditatap pelan-pelan tersenyum, membuat Mia jadi kikuk,<br />
lantas mencoba melemparkan pandangannya ke tempat lain. Dan Ben tahu, kalau begitu<br />
artinya Mia merasa risi. Mia malu dan tersipu-sipu.<br />
“Kamu tidak bisa ngomong ya, Mia?” tanya Ben lagi memancing.<br />
Mia tak bereaksi. Tapi habis itu keluar juga suara dari bibirnya yang mungil.<br />
“Saya kira, saya kira itu urusan kamu sendiri,Ben. Saya tidak bisa memberikan pendapat<br />
apa-apa, sungguh Ben …” Mia menunduk, tak berani beradu pandang dengan Ben.<br />
“Tapi kamu toh teman baiknya Shinta?” tanya Ben lagi seraya tertawa-tawa…”<br />
“Jadi …”<br />
Mia terdiam. Ia mengangkat wajahnya sedikit. Fuih, kenapa pula begitu susah<br />
berbicara dengan Ben? Mia mendongkol. Ia membayangkan dirinya bagai seorang gadis<br />
kecil yang tersesat di sebuah padang rimba, tak tahu kemana arah dan tujuan.<br />
Ben menatap Mia. “Tapi kau maukan membantuku Mia?” tanya Ben lagi. Mia<br />
mengangguk perlahan. ”Nah, katakan saja kepada Shinta bahwa aku, Ben, sangat<br />
menyenangi dia. Ya, aku amat mencintai Shinta dengan sunguh-sunguh.”<br />
Ben menghela nafas dalam-dalam. Mulutnya menyeringai. “Mau kan Mia?”<br />
ulang Ben menekan. Mia mengangguk perlahan.<br />
“Oke, oke, terima kasih sebelumnya.”
www.rajaebookgratis.com<br />
Ben menepuk pundak Mia sekali. Mia tersenyum kecil setengah terpaksa. Habis<br />
itu Mia tidak berani lagi berbicara banyak tentang Shinta. Rasanya menyesal betul dia<br />
telah mengenal Shinta. Buktinya sekarang, Mia jadi dapat beban yang cukup berat. Ia<br />
harus mengatakan kepada Shinta, bahwa Ben sangat menyenanginya. Mencintai Shinta<br />
setengah mati.<br />
Ben masih menahan kantuknya ketika Mia datang mengetuk pintu kamarnya. Ben<br />
menyeringai. Kenapa pula harus bertamu sepagi ini, gerutu Ben dalam hati. Tapi toh Ben<br />
beranjak juga dari atas ranjang. Sesaat kemudian pintu terbuka, Mia berdiri di<br />
hadapannya.<br />
“Ada kabar penting rupanya?” tanya Ben tanpa basa-basi, langsung ke pokok<br />
persoalan. Mia masih berdiri di balik pintu. Ben tersadar. “Oh ya, masuklah. Duduklah!”<br />
“Maafkan saya, Ben. Maafkan saya telah mengganggu kamu.” Seperti waktu<br />
yang sudah-sudah, sulit sekali Mia beradu pandang dengan Ben.<br />
“Oke, oke, lantas bagaimana?” tanya Ben.<br />
“Saya sudah bertemu dengan Shinta.”<br />
“Oh ya?”<br />
“Dan saya sudah mengatakannya kepada Shinta.”<br />
“Mengatakan bagaimana Mia?” tanya Ben merasa penasaran. Ditatapnya wajah<br />
Mia tajam-tajam, sementara yang ditatap jadi tak enak hati<br />
“Ya, saya sudah mengatakan apa yang kamu bilang, Ben. Saya katakan pada<br />
Shinta bahwa kamu menyenangi dia. Tapi Shinta diam saja. Malahan, ia cuma tertawa<br />
dan balik bertanya, sejak kapan kamu menyenanginya.”<br />
Mia sesaat terdiam. Ia menunggu reaksi Ben lebih lanjut. “Ya, teruskan Mia!”<br />
ujar Ben.<br />
“Shinta heran. Kenapa kamu tidak mengatakan langsung? Kenapa harus melewati<br />
saya?”<br />
“Lalu, dia bilang apa lagi Mia?”<br />
“Ya, dia bilang kalau kamu cowok yang sportif pasti kamu akan mengatakannya<br />
sendiri. Tak perlu lewat saya segala.”<br />
Mia menghentikan pembicaraannya dan terdiam sesaat. Ben mengangguk-angguk<br />
dua tiga kali. Ben menggaruk kepalanya. Katanya, “Menurutmu Mia, bagaimana reaksi<br />
Shinta begitu mendengar ceritamu? Apakah ia senang atau tidak mendengarnya?”<br />
“Maksud kamu Ben?” gantian Mia yang bertanya. Dahinya berkerenyit mencoba<br />
memahami ucapan Ben.<br />
“Kira-kira, apakah Shinta bisa menerimaku?” tanya ben lebih menekan. Mia<br />
menggeleng.” Saya … saya tidak tahu Ben … “<br />
“Tapi kan kamu bisa melihat sepintas bagaimana kesan Shinta sewaktu<br />
mendengarkan ceritamu. Bukankah wanita memiliki perasaan yang lebih halus?”<br />
“Ya, Ben. Tapi saya tidak menyelidiki sejauh itu. Shinta Cuma mengatakan<br />
singkat: coba saja Ben yang mengatakannya sendiri kepadaku. Kalau Ben memang<br />
sungguh-sungguh senang sama aku, ia pasti berani mengucapkannya di hadapanku,” kata<br />
Mia menirukan ucapan Shinta.<br />
“Begitu dia bilang?”<br />
***
www.rajaebookgratis.com<br />
Mia mengangguk. Ben terdiam. ”Ya, ya, memang betul sih apa yang dia bilang.<br />
Cuma masalahnya sekarang, aku kan tidak mau bertepuk sebelah tangan. Jika Shinta oke,<br />
baru aku pun oke. Artinya, jika Shinta juga punya minat padaku, baru aku akan<br />
mengatakannya langsung.”<br />
“Kok begitu?” tanya Mia terheran-heran. Ben tertawa kecil. Katanya lagi, “Aku<br />
tak ingin sia-sia setiap kali melangkah. Itu prinsipku, Mia.”<br />
Tak berapa lama, Ben mengambil secarik kertas. Dibuatnya sebuah surat pendek<br />
untuk Shinta, lantas disodorkannya kepada Mia.<br />
“Nah, sekarang coba kasih surat ini kepada Shinta. Moga-moga saja ia mau<br />
mengerti, kenapa aku emoh mengatakannya sendiri,” tukas Ben.<br />
Mia menerima sepucuk surat warna putih bergaris. Ada tulisan tangan Ben,<br />
pendek sekali. Dan isinya? Fuih, kenapa pula aku ingin tahu, ujar Mia dalam hati. Surat<br />
itu dipegangnya. Habis itu dia pamitan pada Ben.<br />
“Thanks ya Mia. Aku tak melupakan jasamu,” kata Ben lagi seraya tersenyum.<br />
***<br />
Seperti hari-hari kemarin. Mia pergi lagi kepada Shinta. Meskipun pekerjaan ini<br />
tak seberapa sulit, tapi sungguh mati Mia menjadi merasa tersiksa sendiri. Ben selalu<br />
memaksakan kehendaknya. Sedang buat aku, apa sih untungnya?<br />
Dan Mia pun tertegun-tegun manakala berhadapan dengan Shinta. Dengan polos,<br />
diceritakannya perihal Ben. Disodorkannya surat Ben kepada gadis itu, membuat Shinta<br />
jadi tertawa terbahak-bahak.<br />
“Kocak sekali. Apa-apaan kamu dipecundangi Ben?” ujar Shinta membuat wajah<br />
Mia jadi merah padam.<br />
“Tapi aku terlanjur Shin …”<br />
“Apa dia bilang?”<br />
Shinta membuka surat pendek itu, lantas membacanya. Habis itu bibirnya<br />
mengembang. Katanya lagi, “surat ini aku kembalikan. Bilang pada Ben, aku tak mau<br />
menerimanya.”<br />
“Tapi Shin, tapi …”<br />
“Sudahlah, katakana saja terus terang pada Ben, aku tidak senang sama dia. Aku<br />
menolak dia, dan yang terang aku tak mau membalas cintanya.”<br />
“Takut kepada Ben, ya?” tanya Shinta.<br />
“Bukan takut, aku cuma kasihan, kasihan …”<br />
Shinta tertawa lagi lebih keras. Lucu, melihat sikap Mia yang polos itu. Tapi Mia<br />
sendiri? Fuih, ia Cuma berpikir keras bagaimana nanti jika Ben tahu apa yang sebenarnya<br />
terjadi. Bagaimana kalau Ben tahu bahwa cintanya ditolak mentah-mentah oleh Shinta?<br />
Padahal Mia yakin, Ben seratus persen mencintai Shinta.<br />
Ahai, Mia jadi merenung sendiri. Raut wajah Ben melintas di benaknya.<br />
***
www.rajaebookgratis.com<br />
Ben berdiri tegak di hadapan mia. Siang terasa panas di kantin sekolah. Tapi bagi<br />
Ben, panas itu sungguh tak terasa manakala di tangannya tergenggam sepucuk surat dari<br />
Shinta.<br />
Ben tersenyum, cerah sekali. Mia mencoba melihat raut wajah Ben yang bahagia,<br />
dan perlahan ia pun ikut merasakan kebahagian itu.<br />
“Jadi betulkan yang aku bilang? Shinta pun ternyata menyenangiku? Ini memang<br />
sudah kuduga Mia,” kata Ben. Pandangannya lurus ke depan, lantas dia berpaling lagi<br />
kearah Mia.<br />
“Terus Shinta bilang apa lagi padamu, Mia?”<br />
“Ya, Shinta bilang ia juga simpati pada kamu, Ben. Shinta senang sama kamu.”<br />
Sesaat kemudian Ben menyodorkan surat Shinta kepada Mia. “Nah, bacalah<br />
suratnya,” kata Ben lagi, membuat Mia jadi salah tingkah. Hatinya gundah ketika<br />
menyaksikan sederetan tulisan tangan surat itu. Mia membacanya dalam hati. Makin<br />
dibaca, makin berguncang dadanya.<br />
Ben sayang,<br />
Seperti langit membutuhkan bumi, seperti bumi membutuhkan matahari, begitu<br />
juga kita. Terus terang aku pun menyenangi kau Ben …<br />
Fuih, ingin rasanya Mia menangis, entah sandiwara macam apa pula yang kubuat,<br />
pikirnya. Mia tercenung. Ben tahu itu. Lantas ia bilang, “Kenapa kau Mia? Apakah tak<br />
ikut senang membaca surat itu?”<br />
Mia manggut-manggut. Gugup. “Ya,ya, saya senang kok Ben, saya senang sekali.<br />
Ben kemudian tertawa-tawa. Mia terdiam.<br />
***<br />
Adegan selanjutnya memang sulit dibayangkan. Setidak-tidaknya bagi Mia. Di<br />
benaknya terbayang ketika Ben bertemu dengan Shinta, ketika Ben tahu apa yang<br />
sebenarnya terjadi. Dan ketika Ben tahu persis betapa sebenarnya Shinta tak menyenangi<br />
dirinya, lantas apa yang bakal terjadi?<br />
Duh, Mia jadi gelisah sendiri. Dibayangkannya Ben kemudian menjadi marah dan<br />
ngamuk-ngamuk, merasa telah dibohongi Mia. Dan tahu sendiri, Ben pastilah memakimaki<br />
dengan kasar atas permainan Mia yang tak lucu ini.<br />
Dan degup jantung Mia pun semakin berdebar kencang. Ia tak bakal sanggup lagi<br />
bertemu dengan Ben. Toh, Ben sudah dipermainkannya begitu rupa. Dengan menulis<br />
surat itu atas nama Shinta …<br />
Mia tak bisa berpikir apa-apa lagi. dan ketika Ben tiba-tiba muncul dipintu<br />
rumahnya, wajah Mia menjadi merah padam. Dia merasa gugup, gelisah sekaligus<br />
dihantui perasaan bersalah.<br />
“Sudah ketemu Shinta?” tanya Mia gugup memandangi wajah Ben yang tak<br />
berubah, masih cerah dengan senyumnya yang dikulum itu.
www.rajaebookgratis.com<br />
Ben mengangguk. “Aku sudah bertemu dengan Shinta,” sahut Ben seraya<br />
memandangi wajah Mia begitu rupa.<br />
“Jadi …?” tanya Mia lagi penasaran.<br />
“Ya, tak ada apa-apa.”<br />
Ben tersenyum kecil. Dihampirinya Mia, lantas berdiri berhadap-hadapan<br />
denannya. Mia, tentu saja menjadi tambah gelisah. Dari balik bola matanya itu, kentara<br />
sekali Mia merasa bersalah.<br />
“Saya bersalah Ben, maafkan saya, maafkan …,” kata Mia terbata-bata. Tiba-tiba<br />
saja bola matanya terasa panas. Sementara Ben masih tetap bersikap biasa biasa saja.<br />
“Apa yang perlu aku maafkan Mia? Malah sebaliknya aku kagum atas permainan<br />
ini. Atas permainanmu yang begitu besar padaku,” kata Ben lagi sambil tersenyum.<br />
“Maksud kamu Ben?” Mia balik bertanya.<br />
Ben perlahan-lahan memegangi lengan Mia. Katanya, “Sejak semula aku tahu kau<br />
telah berbohong. Kau bilang Shinta tertarik padaku. Lantas ketika Shinta bilang ia<br />
menolakku, aku pun tahu kau telah berbohong untuk kesekian kalinya. Kau malah<br />
memalsukan surat Shinta untuk menyenangkan hatiku.” Ben terdiam. Ia menarik nafas<br />
lega.<br />
“Padahal aku dan Shinta telah lama saling kenal dan bersahabat,” sambungnya<br />
kemudian.<br />
“Jadi apa maksudnya ini?” tanya Mia tak mengerti. Ben manggut-manggut.<br />
“Aku sudah tahu kenapa kau mau melakukan ini, membuat kebohongan ini,” ujar<br />
Ben.<br />
“Jadi … jadi …,” Mia menjadi bertambah gugup. Tapi Ben tenang-tenang dan<br />
malah mengusap air mata Mia yang sudah mulai tergulir di kedua pipinya. Untuk itulah<br />
ia datang menyingkap tabir kebohongan Mia. Kebohongan yang punya arti lain.<br />
Bukankah begitu?