Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides ... - Digilib ITS
Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides ... - Digilib ITS
Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides ... - Digilib ITS
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
<strong>Sitotoksisitas</strong> <strong>Ekstrak</strong> <strong>Spons</strong> <strong>Laut</strong> <strong>Aaptos</strong> <strong>suberitoides</strong><br />
Terhadap Siklus Sel Kanker HeLa<br />
NAMA : Ika Puspita Ningrum<br />
NRP : 1507 100 059<br />
JURUSAN : Biologi<br />
Dosen Pembimbing : Dra. Nurlita Abdulgani, M.Si<br />
Nengah Dwianita Kuswytasari, S.Si., M.Si<br />
Abstrak<br />
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah senyawa antikanker dari spons laut <strong>Aaptos</strong><br />
<strong>suberitoides</strong> memiliki pengaruh terhadap siklus sel HeLa. Penghambatan siklus sel dilihat dengan<br />
menggunakan metode flowcytometry. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak A. <strong>suberitoides</strong> 38,25<br />
µg/mL menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar 10% dan akumulasi sel terbesar pada fase G1 yaitu<br />
sebesar50,22%, sedangkan ekstrak A. <strong>suberitoides</strong> 15,3 µg/mL menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar<br />
7,45% dan akumulasi sel terbesar juga pada fase G1 sebesar 48,50%. Setelah dikombinasi dengan<br />
cisplatin, akumulasi sel terbesar terjadi pada fase S, yaitu sebesar 25,13%.<br />
Kata Kunci : <strong>Ekstrak</strong> <strong>Spons</strong> <strong>Aaptos</strong> <strong>suberitoides</strong>, sel HeLa, Siklus Sel<br />
1. Pendahuluan<br />
Kanker atau disebut juga dengan<br />
karsinoma, merupakan penyakit yang<br />
disebabkan rusaknya mekanisme pengaturan<br />
dasar perilaku sel, khususnya mekanisme<br />
pertumbuhan dan diferensiasi sel yang diatur<br />
oleh gen; sehingga faktor genetik diduga kuat<br />
sebagai pencetus utama terjadinya kanker. Salah<br />
satu jenis kanker adalah kanker leher rahim<br />
(serviks). Kanker serviks merupakan salah satu<br />
ancaman malignansi terbesar bagi wanita. Di<br />
negara sedang berkembang, kanker serviks<br />
menduduki urutan teratas bagi kanker<br />
ginekologi wanita dan mencakup 20-30% dari<br />
keseluruhan kanker yang menginfeksi wanita<br />
(Edianto, 2006; Rosai, 2004). Sel kanker serviks<br />
atau disebut juga sel HeLa terjadi akibat infeksi<br />
Human Papillomavirus (HPV 18) sehingga<br />
mempunyai sifat yang berbeda dengan sel<br />
serviks normal. Sel kanker serviks yang<br />
diinfeksi HPV diketahui mengekspresikan 2<br />
onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7<br />
terbukti dapat menyebabkan sifat imortal pada<br />
kultur primer keratinosit manusia, namun sel<br />
yang imortal ini tidak bersifat tumorigenik<br />
hingga suatu proses genetik terjadi. Jadi, viral<br />
onkogen tersebut tidak secara langsung<br />
menginduksi pembentukan tumor, tetapi<br />
menginduksi serangkaian proses yang pada<br />
akhirnya dapat menyebabkan sifat kanker<br />
(Goodwin dan DiMaio, 2000). Sifat immortal<br />
tersebut disebabkan karena kedua viral onkogen<br />
i<br />
tersebut dapat menghambat ekspresi gen p53<br />
(Prayitno et al., 2005). Gen p53 adalah gen yang<br />
mengendalikan apoptosis (Kumar et al., 2003)<br />
Berbagai macam senyawa telah<br />
dikembangkan melawan kanker yang meliputi<br />
senyawa-senyawa pengalkilasi, antimetabolit,<br />
obat-obat radiomimetik, hormon dan senyawa<br />
antagonis. Akan tetapi tak satupun jenis<br />
senyawa-senyawa ini menghasilkan efek yang<br />
memuaskan dan tanpa efek samping yang<br />
merugikan (Astuti et al., 2005). Oleh karena itu<br />
mulai banyak dilakukan penelitian tentang<br />
bahan obat antikanker yang berasal dari alam.<br />
Keunggulan obat bahan alam adalah memiliki<br />
efek samping yang relatif kecil bila digunakan<br />
dengan benar dan tepat (Ixora, 2007).<br />
Keanekaragaman hayati perairan laut<br />
Indonesia memberi peluang untuk<br />
memanfaatkan biota laut untuk pencarian<br />
senyawa bioaktif yang baru, salah satunya<br />
adalah spons. Penelitian yang telah ada terhadap<br />
spons menghasilkan senyawa-senyawa baru<br />
dengan struktur yang unik dan memiliki<br />
aktivitas farmakologis (Astuti et al., 2005).<br />
Salah satu senyawa yang dihasilkan oleh spons<br />
genus <strong>Aaptos</strong> adalah aaptamin yang berpotensi<br />
sebagai senyawa antikanker (Aoki et al., 2006),<br />
yang bekerja dengan mekanisme apoptosis<br />
(Mayer, 2008).<br />
Sebelum diaplikasikan kepada manusia,<br />
senyawa bioaktif yang akan digunakan sebagai<br />
produk farmasi harus diujikan terlebih dahulu
kepada hewan percobaan (Doyle dan Griffiths,<br />
2000). Uji sitotoksisitas untuk skrining senyawa<br />
antikanker adalah metode BST (Brine Shrimp<br />
Test) (Astuti et al., 2005). Hasil dari uji BST<br />
dari spons yang ditemukan di perairan<br />
Situbondo menunjukkan bahwa A. <strong>suberitoides</strong><br />
memiliki tingkat toksisitas yang paling tinggi<br />
dengan nilai LC50 134.14 ± 36.61 ppm<br />
(Nurhayati et al, 2008). Selain uji BST juga<br />
perlu dilakukan uji sitotoksisitas secara in vitro,<br />
yaitu mendeteksi aktivitas suatu senyawa<br />
dengan menggunakan kultur sel (Meyer, 1982).<br />
Uji sitotoksisitas ini merupakan uji kualitatif dan<br />
kuantitatif dengan cara menetapkan kematian sel<br />
(Freshney, 2000).<br />
Uji sitotoksik digunakan untuk<br />
menentukan parameter nilai IC50 (inhibitor<br />
concentration 50). Nilai IC50 menunjukkan nilai<br />
konsentrasi yang menghasilkan hambatan<br />
proliferasi sel 50 % dan menunjukkan potensi<br />
ketoksikan suatu senyawa terhadap sel<br />
(Meiyanto, 2006). Penelitian yang telah<br />
dilakukan oleh Fadjri (2010) mengenai uji<br />
sitotoksisitas ekstrak spons A. <strong>suberitoides</strong><br />
terhadap sel kanker HeLa didapatkan nilai IC50<br />
sebesar 153.007 µg/mL. Selanjutnya perlu<br />
dilakukan analisis pertumbuhan sel untuk<br />
mengetahui fase siklus sel dimana suatu<br />
senyawa menghambat pertumbuhan sel (Givan,<br />
2001). Metode yang digunakan untuk<br />
menganalisis pertumbuhan sel adalah<br />
flowcytometry. Flow cytometry adalah teknik<br />
yang digunakan untuk menghitung dan<br />
menganalisa partikel mikroskopis yang<br />
tersuspensi dalam aliran fluida (Cytopathol,<br />
2009). Flow cytometry dapat digunakan untuk<br />
menganalisa DNA content sel melalui<br />
pewarnaan sel dengan pewarna propidium<br />
iodide (PI) atau 4’,6’-diamino-2-phenylindole<br />
(DAPI) (Darzynkiewicz, 1996). Menurut<br />
Ohizumi et al., dalam Xu (2000) spons A.<br />
<strong>suberitoides</strong> mengandung senyawa aaptamin<br />
yang mampu menghambat pertumbuhan sel<br />
HeLa pada fase G2.<br />
2. Tinjauan Pustaka<br />
2.1 Deskripsi <strong>Spons</strong> <strong>Aaptos</strong> <strong>suberitoides</strong><br />
<strong>Spons</strong> <strong>Aaptos</strong> <strong>suberitoides</strong> merupakan<br />
jenis spons yang membentuk massa lobus<br />
globular (Voogd, 2004), lebih lanjut Brondsted<br />
(1934) dalam Van Soest (1989) menjelaskan<br />
struktur dari A. <strong>suberitoides</strong> adalah kumpulan<br />
dari lobus globular osculiferus, berwana orange<br />
kecoklatan, memiliki permukaan kasar (gambar<br />
2.1) dan berwarna hitam apabila dimasukkan ke<br />
ii<br />
dalam alkohol. Spikula dari kelas Demospongia<br />
berbentuk monaxon atau tetraxon yang<br />
mengandung silikat (Amir dan Agus, 1996).<br />
Berikut merupakan klasifikasi dari <strong>Aaptos</strong><br />
<strong>suberitoides</strong> menurut Schmidt (1964) :<br />
Domain : Eukariota<br />
Kingdom : Animalia<br />
Phylum : Porifera<br />
Class : Demospongiae<br />
Ordo : Hadromerida<br />
Family : Suberitidae<br />
Genus : <strong>Aaptos</strong><br />
Species : <strong>Aaptos</strong> <strong>suberitoides</strong><br />
2.3 Kanker<br />
Menurut Franks L. M. dan Teich N. M.<br />
(1998), sel kanker itu timbul dari sel normal<br />
tubuh kita sendiri yang mengalami transformasi<br />
menjadi ganas, karena adanya mutasi spontan<br />
atau induksi karsinogen (bahan/agen pencetus<br />
terjadinya kanker). Transformasi sel itu terjadi<br />
karena mutasi gen yang mengatur pertumbuhan<br />
dan diferensiasi sel, yaitu proto-onkogen dan<br />
atau suppressor gen (anti onkogen). Sedangkan<br />
paparan karsinogen antara lain berbagai jenis<br />
virus, bahan kimia dan radiasi, ultraviolet.<br />
Sebagian besar karsinogen tersebut memiliki<br />
sifat biologis yang sama yaitu dapat<br />
mengakibatkan kerusakan pada DNA.<br />
Kesamaan sifat ini menimbulkan dugaan bahwa<br />
DNA sel merupakan sasaran utama semua bahan<br />
karsinogenik dan bahwa kanker disebabkan<br />
perubahan DNA sel (Kresno, 2003).<br />
Apabila perbaikan DNA karena adanya<br />
perubahan DNA tersebut gagal, maka terjadi<br />
mutasi genom. Adanya mutasi mengakibatkan<br />
pengaktifan onkogen pendorong pertumbuhan,<br />
perubahan gen yang mengendalikan<br />
pertumbuhan, serta penonaktifan gen supresor<br />
kanker. Ketiga hal tersebut mengakibatkan<br />
timbulnya neoplasma ganas atau lebih dikenal<br />
dengan kanker (Kumar et al., 2003).<br />
2.3.1 Sel Kanker HeLa<br />
Sel Hela adalah sel yang berasal dari<br />
sel-sel kanker serviks yang diambil dari seorang<br />
penderita kanker serviks bernama Henrietta<br />
Lacks. Sel ini bersifat imortal dan produktif<br />
sehingga banyak digunakan dalam penelitian<br />
ilmiah (Rahbari et al., 2009; Capes et al., 2010;<br />
Watts and Denise, 2010). Sel HeLa melakukan<br />
proliferasi dengan sangat cepat dibandingkan<br />
dengan sel kanker lainnya. Rebecca Skloot’s<br />
dalam The Immortal Life of Henrietta Lacks<br />
menjelaskan bahwa sel HeLa mempunyai
telomerase aktif selama pembelahan sel,<br />
sehingga mencegah pemendekan telomere yang<br />
menyangkut penuaan dan kematian sel (Sharrer,<br />
2006). Transfer gen horizontal dari human<br />
papillomavirus 18 (HPV18) ke sel serviks<br />
manusia menghasilkan genom HeLa yang<br />
berbeda dari genom induk dengan berbagai cara<br />
termasuk jumlah kromosomnya (Macville et al.,<br />
1999).<br />
Sel kanker serviks yang diinfeksi HPV<br />
diketahui mengekspresikan 2 onkogen, yaitu E6<br />
dan E7. Protein E6 dan E7 dari HPV<br />
memodulasi protein seluler yang mengatur daur<br />
sel. Protein E6 berikatan dengan tumor<br />
suppressor protein p53 dan mempercepat<br />
degradasi p53 yang diperantarai ubiquitin.<br />
Protein E6 juga menstimulasi aktivitas enzim<br />
telomerase. Sedangkan protein E7 dapat<br />
mengikat bentuk aktif terhipofosforilasi dari<br />
p105Rb dan anggota lain dari famili Rb. Ikatan<br />
ini menyebabkan destabilisasi Rb dan pecahnya<br />
kompleks Rb/E2F yang berperan menekan<br />
transkripsi gen yang diperlukan untuk cell cycle<br />
progression (DeFilippis, et al., 2003). Sebagian<br />
besar sel kanker serviks, termasuk sel HeLa,<br />
mempunyai gen p53 dan p105Rb dalam bentuk<br />
wild type. Jadi, gen pengatur pertumbuhan yang<br />
aktif dalam sel normal ini juga terdapat dalam<br />
sel kanker serviks. Namun, aktivitasnya<br />
dihambat oleh ekspresi protein E6 dan E7 dari<br />
HPV (Goodwin dan DiMaio, 2000).<br />
2.4 Siklus Sel<br />
Siklus sel terdiri dari beberapa fase yaitu<br />
fase Gap 1 (G1), S (Sintesa), Gap 2 (G2), dan M<br />
(Mitosis) (gambar 2.4) (Rang et al., 2003).<br />
Lamanya siklus tersebut berbeda-beda pada<br />
berbagai macam organisme. Pada sel normal<br />
manusia sekitar 20-24 jam. Fase G1<br />
membutuhkan waktu 8-10 jam, fase S 6-8 jam,<br />
fase G2 5 jam dan fase M 1 jam. Waktu generasi<br />
untuk kultur sel pada umumnya sama dengan sel<br />
normal (Freshney, 2000).<br />
Masuk dan berkembangnya sel melalui<br />
siklus sel dikendalikan melalui perubahan pada<br />
kadar dan aktivitas suatu kelompok protein yang<br />
disebut siklin. Pada tahapan tertentu siklus<br />
sel,kadar berbagai siklin meningkat setelah<br />
didegradasi dengan cepat saat sel bergerak<br />
melalui siklus tersebut. Siklin menjalankan<br />
fungsi regulasinya melalui pembentukan<br />
kompleks dengan (sehingga akan mengaktivasi)<br />
protein yang disintesis secara konstitutif yang<br />
disebut kinase bergantung siklin (CDK, cyclindependent<br />
kinase). Kombinasi yang berbeda dari<br />
iii<br />
siklin dan CDK berkaitan dengan setiap transisi<br />
penting dalam siklus sel, dan kombinasi ini<br />
menggunakan efeknya dengan memfosforilasi<br />
sekelompok substrat protein tertentu (Kumar et<br />
al., 2003).<br />
2.4.1 Fase G1<br />
Pada fase G1 terutama disintesis asam<br />
ribonukleat, sel akan tumbuh, struktur<br />
sitoplasma tertentu akan berdiferensiasi<br />
(Mutschler, 1999). Selama fase ini nukleus<br />
membesar dan volume sitoplasma meningkat<br />
dengan cepat sehingga disebut fase sintesis,<br />
protein yang dapat memacu pembelahan sel,<br />
tubulin dan protein yang akan membentuk<br />
spindel (Suryo, 2007).<br />
2.4.2 Fase-S<br />
Pada fase-S ini dibentuk untai DNA<br />
baru melalui proses replikasi. Replikasi DNA<br />
terjadi dengan bantuan enzim DNA-polimerase.<br />
Dengan dibentuknya DNA baru maka rantai<br />
tunggal DNA menjadi rantai ganda (Sukardja,<br />
2000). Pada fase S dengan pembentukan asam<br />
deoksiribonukleat baru, jumlah kromosom akan<br />
berlipat dua dan dengan ini pembelahan sel akan<br />
dipersiapkan (Mutschler, 1999). Suryo (2007)<br />
menyebutkan bahwa pada akhir fase ini<br />
terbentuk 2 kromatid.<br />
2.4.3 Fase-G2<br />
Pada fase ini dibentuk RNA, protein,<br />
enzim, dan sebagainya untuk persiapan fase<br />
berikutnya yaitu fase-M (Sukardja, 2000). Fase<br />
ini disebut juga fase pramitosis dengan ciri sel<br />
berbentuk tetraploid, mengandung DNA dua kali<br />
lebih banyak daripada sel fase lain dan masih<br />
berlangsungnya sintesis DNA dan protein<br />
(Nafrialdi dan Gan, 1995). Selain itu, pada fase<br />
G2 kromosom sudah ada dalam bentuk<br />
kromatida (Mutschler, 1999).<br />
Apabila terjadi kerusakan DNA dan<br />
DNA tidak bereplikasi dengan sempurna, maka<br />
proliferasi sel manuju fase M diblok dan<br />
dihentikan pada fase G2. Kontrol siklus sel ini<br />
dilakukan oleh protein kinase ChkI yang<br />
memicu fosforilasi protein fosfate Cdc25<br />
sehingga menjadi tidak aktif. Hal ini<br />
menyebabkan fase M diblok karena tidak<br />
terbentuknya cdk1/siklin B sebagai regulator<br />
menuju fase M (Cooper, 2000). Penghentian<br />
pada fase G2 dilakukan untuk perbaikan DNA,<br />
tetapi jika perbaikan DNA tidak dapat dilakukan<br />
maka terjadi apoptosis (Freshney, 2000).<br />
2.4.4 Fase-M<br />
Pada fase ini sintesis protein dan RNA<br />
berkurang secara tiba-tiba dan terjadi
pembelahan menjadi dua sel (Nafrialdi dan Gan,<br />
1995). Pembelahan menjadi dua sel ini terdiri<br />
dari empat tahap, yaitu profase, metaphase,<br />
anaphase, dan telofase. Pada awal fase mitosis<br />
ditandai dengan terbentuknya benang spindel<br />
dan pada akhirnya terjadi pemisahan kromosom<br />
(pusztai et al., 1996).<br />
2.5 Apoptosis<br />
Apoptosis adalah program kematian sel<br />
sebagai respon fisiologis sel untuk<br />
mengeliminasi sel-sel yang tidak dibutuhkan<br />
tubuh. Apoptosis berperan secara esensial dalam<br />
embryogenesis dengan mengeliminasi sel-sel<br />
yang jumlahnya berlebihan. Apoptosis juga<br />
berperan dalam memantau perubahan pada selsel<br />
kanker. Apoptosis menjadi garis pertahanan<br />
pertama untuk melawan mutasi dengan<br />
membersihkan sel-sel DNA abnormal yang<br />
dapat menjadi ganas. Dengan demikian<br />
apoptosis merupakan bagian dari system imun<br />
dan juga untuk mengontrol populasi sel normal<br />
dalam tubuh (Rang et al., 2003 dalam Meye,<br />
2009).<br />
Proses apoptosis diawali dengan<br />
terkondensasinya kromatin di dalam nukleus<br />
menjadi suatu massa yang padat dan DNA<br />
terfragmentasi kemudian sitoplasmanya<br />
menyusut (gambar 2.5). Selanjutnya terjadi<br />
pelekukan (blebbing) pada membran sel.<br />
Organel sel dan DNA yang telah terfragmentasi<br />
menyebar menuju ke lekukan-lekukan membran<br />
sel membentuk badan apoptosis yang akan<br />
difagosit oleh makrofag (Doyle & Ggriffiths,<br />
2000; King, 2000).<br />
Proses apoptosis dikendalikan oleh<br />
berbagai tingkat sinyal sel, yang dapat berasal<br />
dari pencetus ekstrinsik maupun intrinsik. Yang<br />
termasuk pada sinyal ekstrinsik antara lain<br />
hormon, faktor pertumbuhan, dan cytokine.<br />
Semua sinyal tersebut harus dapat menembus<br />
membran plasma ataupun transduksi untuk dapat<br />
menimbulkan respon (Lumongga, 2008).<br />
Sinyal intrinsik apoptosis merupakan<br />
suatu respon yang diinisiasi oleh sel sebagai<br />
respon terhadap stress dan akhirnya dapat<br />
mengakibatkan kematian sel. Pengikatan<br />
reseptor nuclear oleh glukokortikoid, panas,<br />
radiasi, kekurangan nutrisi, infeksi virus dan<br />
hipoksia merupakan kedaan yang dapat<br />
menimbulkan pelepasan sinyal apoptosis<br />
intrinsic melalui kerusakan sel (Lumongga,<br />
2008).<br />
Sebelum terjadi proses kematian sel<br />
melalui enzym, sinyal apoptosis harus<br />
iv<br />
dihubungkan dengan pathway kematian sel<br />
melalui regulasi protein. Pada regulasi ini<br />
terdapat dua metode yang telah dikenali untuk<br />
mekanisme apoptosis, yaitu : melalui<br />
mitokondria dan penghantaran sinyal secara<br />
langsung melalui adapter protein (Lumongga,<br />
2008).<br />
1. Extrinsic Pathway (di inisiasi oleh<br />
kematian receptor)<br />
Pathway ini diinisiasi oleh<br />
pengikatan receptor kematian pada<br />
permukaan sel pada berbagai sel.<br />
Reseptor kematian merupakan bagian<br />
dari reseptor tumor nekrosis faktor yang<br />
terdiri dari cytoplasmic domain,<br />
berfungsi untuk mengirim sinyal<br />
apoptotis. Reseptor kematian yang<br />
diketahui antara lain TNF reseptor tipe 1<br />
yang dihubungkan dengan protein Fas<br />
(CD95). Pada saat Fas berikatan dengan<br />
ligandnya, membran menuju ligand<br />
(FasL). Tiga atau lebih molekul Fas<br />
bergabung dan cytoplasmic death<br />
domain membentuk binding site untuk<br />
adapter protein FADD (Fas-associated<br />
death domain). FADD ini melekat pada<br />
reseptor kematian dan mulai berikatan<br />
dengan bentuk inaktif dari caspase 8.<br />
Molekul procaspase ini kemudian<br />
dibawa ke atas dan kemudian pecah<br />
menjadi caspase 8 aktif. Enzym ini<br />
kemudian mencetuskan cascade aktifasi<br />
caspase dan kemudian mengaktifkan<br />
procaspase lainnya dan mengaktifkan<br />
enzym untuk mediator pada fase<br />
eksekusi. Pathway ini dapat dihambat<br />
oleh protein FLIP, tidak menyebabkan<br />
pecahnya enzym procaspase 8 dan tidak<br />
menjadi aktif (Lumongga, 2008).<br />
2. Intrinsic pathway (Mitokondrial)<br />
Pathway ini terjadi oleh karena<br />
adanya permeabilitas mitokondria dan<br />
pelepasan mollekul pro-apoptosis ke<br />
dalam sitoplasma,tanpa memerlukan<br />
reseptor kematian. Faktor pertumbuhan<br />
dan sinyal lainnya dapat merangsang<br />
pembentukan protein antiapoptosis<br />
Bcl2,yang berfungsi sebagai regulasi<br />
apoptosis. Protein apoptosis yang utama<br />
adalah : Bcl-2 dan Bcl-x, yang pada<br />
keadaan normal terdapat pada membran<br />
mitokondria dan sitoplasma. Pada saat<br />
sel mengalami stress, Bcl-2 dan Bcl-x<br />
menghilang dari membran mitokondria<br />
dan digantikan oleh pro-apoptosis
protein, seperti Bak, Bax. Bim. Sewaktu<br />
kadar Bcl-2, Bcl-x menurun,<br />
permeabilitas membran mitokondria<br />
meningkat, beberapa protein dapat<br />
mengaktifkan cascade caspase. Salah<br />
satu protein tersebut adalah cytochrom-c<br />
yang diperlukan untuk proses respirasi<br />
pada motokondria. Di dalam sitosol,<br />
cytochrom c berikatan dengan protein<br />
Apaf-1 (apoptosis activating factor-1)<br />
dan mengaktifasi caspase-9. Protein<br />
mitokondria lainnya, seperti Apoptosis<br />
Including Factor (AIF) memasuki<br />
sitoplasma dengan berbagai inhibitor<br />
apoptosis yang pada keadaan normal<br />
untuk menghambat aktivasi caspase<br />
(Lumongga, 2008).<br />
2.6 Flow cytometry<br />
Flow cytometry adalah teknik yang<br />
digunakan untuk menghitung dan menganalisa<br />
partikel mikroskopis yang tersuspensi dalam<br />
aliran fluida (Cytopathol, 2009). Prinsip dasar<br />
dari metode ini adalah berdasarkan flourosensi.<br />
Suspensi sel atau partikel yang hendak dianalisa<br />
disedot atau dialirkan. Aliran dikelilingi oleh<br />
fluida yang sempit, sel akan melewati satu demi<br />
satu melalui sinar laser terfokus (gambar 2.6).<br />
Sinar laser akan menyerang sel tersebut. Sel<br />
yang sesuai dengan cahaya laser dan panjang<br />
gelombang yang tepat dapat dipancarkan<br />
kembali sebagai fluoresensi jika sel<br />
mengandung zat alami fluorescent satu atau<br />
lebih fluorochrome-label antibodi melekat pada<br />
permukaan atau struktur internal sel. Penyerapan<br />
cahaya tergantung pada struktur internal sel dan<br />
ukuran dan bentuknya. Cahaya fluoresensi<br />
terdeteksi oleh serangkaian dioda. Filter optik<br />
berfungsi untuk memblokir cahaya yang tidak<br />
diinginkan. Hasil data disimpan melalui<br />
komputer (Ulfah, 2010).<br />
Flow cytometry merupakan analisis<br />
mikroskopis yang memiliki kemampuan untuk<br />
menganalisis sel-sel secara individu. Kelebihan<br />
flow cytometry setidaknya ada tiga faktor utama,<br />
yaitu multiparameter akuisisi data dan analisis<br />
data multivariate, kecepatan analisis sel, dan<br />
kemampuan dalam penyortiran sel (Davey dan<br />
Douglas, 1996) :<br />
Multiparameter akuisisi data dan<br />
analisis data multivariate<br />
Analisis sel secara konvensional<br />
cenderung mengukur hanya satu<br />
determinan suatu sampel pada satu<br />
waktu. Namun, pada flow cytometry,<br />
v<br />
kombinasi dari pewarna dan eksitasi<br />
panjang gelombang memungkinkan<br />
estimasi multiple determinan pada<br />
setiap sel, misalnya dapat dibedakan<br />
antara berbagai jenis sel dalam populasi<br />
sel campuran atau menunjukkan<br />
hubungan antara variable seluler yang<br />
berbeda.<br />
Kecepatan analisis sel<br />
Mengingat kebutuhan untuk<br />
menghindari kesalahan perhitungan dan<br />
kerusakan mekanisme dari sel yang<br />
hendak dianalisa, kombinasi<br />
konsentrasi sel dan laju aliran linear<br />
yang umumnya digunakan pada analisa<br />
flow cytometry yaitu 100-1000 sel per<br />
detik. Sehingga apabila ingin<br />
mendapatkan tingkat presisi yang<br />
memadai dalam penilaian distribusi<br />
populasi sel yang berbeda, misalnya<br />
jika peristiwa yang diakuisisi sebanyak<br />
10000, maka waktu yang dibutuhkan<br />
hanya 10-100 detik.<br />
Kemampuan penyortiran sel<br />
Data yang diperoleh dari pengukuran<br />
flow cytometry dianalisa dengan cukup<br />
cepat sehingga perlu digunakan<br />
penyortiran sel untuk memisahkan atau<br />
membedakan sel dengan sifat yang<br />
diinginkan. Prosedur ini biasanya<br />
dikenal dengan fluorescence-activated<br />
cell sorting.<br />
Kelemahan flow cytometry menurut<br />
Davey dan Douglas (1996) ada dua, yaitu biaya<br />
yang besar dan diperlukan operator yang<br />
terampil untuk mendapatkan kinerja yang<br />
optimal. Hite dan Ann (2001) menambahkan<br />
kelemahan metode flow cytometry adalah<br />
pengujian secara subyektif, yaitu operator dapat<br />
menginterpretasi data dengan beberapa cara<br />
yang berbeda.<br />
3. Metodologi<br />
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian<br />
Penelitian ini dilaksanakan di<br />
Laboratorium Penelitian dan pengujian Terpadu<br />
(LPPT) dan laboratorium patologi klinik<br />
fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada<br />
Yogyakarta pada bulan Januari - Juni 2011.<br />
3.2 Alat dan Bahan<br />
3.2.1 Alat<br />
Alat yang akan digunakan dalam<br />
penelitian ini adalah ekstraktor soxhlet, rotary
evaporator, autoclave, cawan porselin, inkubator<br />
CO2, tangki nitrogen cair, tabung conical steril,<br />
sentrifuge, timbangan analitik, lemari pendingin,<br />
vorteks, laminar air flow cabinet, tissue culture<br />
flask, mikropipet, blue tip, yellow tip, cell<br />
counter, haemacytometer, 6-well plate, tabung<br />
eppendorf, coverslip, gelas benda Poly-L-<br />
Lysine, gelas penutup, mikroskop inverted,<br />
aluminium foil, tabung flowcyto, flowcytometer<br />
FACS Calibur dan kamera.<br />
3.2.2 Bahan<br />
Bahan yang digunakan dalam<br />
penelitian ini adalah ekstrak spons <strong>Aaptos</strong><br />
<strong>suberitoides</strong> koleksi Laboratorium Zoologi<br />
Jurusan Biologi FMIPA <strong>ITS</strong> yang diperoleh dari<br />
Perairan Pesisir Situbondo Jawa Timur. Sel<br />
kanker HeLa diperoleh dari Laboratorium<br />
Parasitologi Kedokteran UGM Yogyakarta.<br />
Bahan lain yang diperlukan adalah medium<br />
RPMI (Rosewell Park Memorial Institute) 1640<br />
(Sigma), medium kultur (penumbuh) RPMI<br />
1640 yang mengandung Fetal Bovin Serum<br />
(FBS) 10%, Fungizon 0.5% (v/v) dan antibiotik<br />
Penisilin-Streptomisin 1% (v/v), phosphate<br />
buffered saline (PBS) 20%, dan Cisplatin<br />
sebagai kontrol positif. Pada uji apoptosis bahan<br />
yang digunakan adalah PBS, tripsin-EDTA<br />
0,25%, dan reagen flow cytometry.<br />
3.3 Cara Kerja<br />
3.3.1. <strong>Ekstrak</strong>si <strong>Spons</strong> <strong>Laut</strong><br />
<strong>Ekstrak</strong>si spons dilakukan dengan<br />
metode yang dilakukan oleh Harada dan Kamei<br />
(1997) dan Horikawa et al (1999). <strong>Spons</strong><br />
diambil dan dipotong-potong menggunakan<br />
pisau, selanjutnya ditambahkan alkohol.<br />
Potongan spons dikeringanginkan selama 1<br />
minggu hingga kering. Selanjutnya potongan<br />
spons yang telah kering dihaluskan dengan<br />
menggunakan blender sehingga terbentuk<br />
ekstrak kasar. <strong>Ekstrak</strong> kasar yang telah didapat<br />
kemudian dimaserasi. <strong>Ekstrak</strong> kasar spons<br />
dimasukkan ke dalam maserator dengan<br />
kapasitas 2,5 kg. <strong>Ekstrak</strong> kasar spons direndam<br />
dalam etanol sampai seluruh ekstrak spon<br />
terendam, campuran disaring dan dihasilkan<br />
ekstrak spons. Filtrat spons yang telah didapat<br />
dievaporasi. Proses selanjutnya yaitu<br />
pengadukan filtrat dengan stiring magnetic<br />
mulai dari pelarut polar hingga pelarut non<br />
polar. Filtrat diaduk dengan pelarut kloroform<br />
dengan perbandingan 1:5. Pengadukan<br />
dilakukan dengan replikasi 3 kali selama 2 jam<br />
untuk tiap kali replikasi. Dari proses tersebut<br />
vi<br />
akan didapatkan filtrat dan supernatan. Filtrat<br />
yang diperoleh dievaporasi untuk<br />
menghilangkan etanol.<br />
3.3.2 Pembuatan Medium Kultur<br />
(Penumbuh) RPMI 1640<br />
Medium kultur dibuat dari 20 mL Fetal<br />
Bovine Serum (FBS) 10% yang dimasukkan ke<br />
dalam botol steril, ditambah 2 mL penisilinstreptomisin<br />
1%, 1mL fungizon 0,5% dan 200<br />
mL medium RPMI 1640 murni. Medium kultur<br />
dibuat di dalam LAF dan disimpan di dalam<br />
lemari pendingin pada suhu ± 4°C (Nurulita &<br />
Mahdalena, 2006; Mae et al., 2000 dalam Meye,<br />
2009)<br />
3.3.3 Propagasi Sel HeLa<br />
Kultur sel HeLa diambil dari stok yang<br />
disimpan dalam tangki cair yang diletakkan<br />
dalam lokator pada suhu -196°C. Ampul yang<br />
berisi sel dicairkan dalam air ± 37.7 °C,<br />
kemudian ampul disemprot dengan alkohol<br />
70%. Ampul dibuka dan sel dipindahkan ke<br />
dalam tabung conical steril yang berisi 10 ml<br />
medium RPMI 1640. Suspensi sel disentrifuge<br />
dengan kecepatan 1500 rpm selama ± 5 menit.<br />
Supernatan dibuang, pellet ditambah 1 ml<br />
medium penumbuh RPMI 1640 yang<br />
mengandung FBS 10%. Lalu diresuspensikan<br />
perlahan sampai homogen. Selanjutnya sel<br />
ditumbuhkan dalam beberapa (2-3) buah tissue<br />
culture flask kecil dan diinkubasi dalam<br />
inkubator pada suhu 37°C dengan aliran 5%<br />
CO2 dan 95% O2. Setelah 24 jam, media diganti<br />
dan sel ditumbuhkan sampai konfluen dan<br />
jumlahnya cukup untuk penelitian (Ola et al.,<br />
2008; Mae et al., 2000 dalam Meye, 2009).<br />
3.3.4 Pemanenan Sel HeLa<br />
Setelah jumlah sel HeLa cukup atau<br />
konfluen (± 70%), medium dibuang. Selanjutnya<br />
dicuci dengan PBS sebanyak dua kali.<br />
Kemudian ditambahkan tripsin 0,25% sebanyak<br />
300 µL, dan diinkubasi selama tiga menit di<br />
dalam inkubator. Selanjutnya ditambahkan ± 5<br />
mL medium kultur, lalu diresuspensi secara<br />
perlahan menggunakan pipet. Sel telah siap<br />
digunakan untuk penelitian (CCRC, 2009).<br />
3.3.5 Analisis Siklus Sel<br />
3.3.5.1 Treatmen Flow cytometri<br />
Sel ditransfer ke dalam sumuran 6 well<br />
plate, masing-masing 1000 μL (untuk perlakuan<br />
dan untuk kontrol sel) dengan kepadatan 5 x 10 5<br />
sel/ 1000 µl media. Dibuat seri konsentrasi
sampel dan agen kemoterapi (Cisplatin) untuk<br />
perlakuan. Seri konsentrasi terdiri dari 2<br />
konsentrasi: ¼ IC50 dan 1/10 IC50. IC50 ekstrak<br />
spons A. <strong>suberitoides</strong> adalah 153.007 µg/mL,<br />
dan IC50 Cisplatin adalah 33.424 µg/mL (Fadjri,<br />
2010). Untuk masing-masing konsentrasi sampel<br />
dan agen kemoterapi dibuat volume 500 μL<br />
(bisa dilebihkan sedikit). Plate yang telah berisi<br />
sel diambil dari inkubator. Media sel dibuang<br />
dengan menggunakan pipet Pasteur secara<br />
perlahan-lahan. Selanjutnya dicuci dengan 500<br />
μL PBS ke dalam semua sumuran yang terisi sel.<br />
PBS dibuang dengan pipet Pasteur secara<br />
perlahan-lahan. Untuk kelompok perlakuan<br />
kombinasi : dimasukkan 500 μL seri konsentrasi<br />
sampel ke dalam sumuran. Kemudian<br />
tambahkan 500 μL seri konsentrasi Cisplatin<br />
untuk kombinasi. Untuk perlakuan tunggal :<br />
dimasukkan 500 μL seri konsentrasi sampel atau<br />
Cisplatin ke dalam sumuran. Kemudian<br />
ditambahkan 500 μL MK (media kultur). Untuk<br />
kontrol sel : ditambahkan 1000 μL MK ke dalam<br />
sumuran. Selanjutnya semua well plate<br />
diinkubasi di dalam inkubator CO2 selama 24<br />
jam (CCRC, 2009).<br />
3.3.5.2 Preparasi sampel untuk flow<br />
cytometry<br />
Pertama-tama disiapkan 2 eppendorf<br />
untuk 1 jenis perlakuan yaitu eppendorf I dan<br />
eppendorf II. Selanjutnya media diambil dari<br />
sumuran dengan mikropipet 1 ml, lalu ditransfer<br />
ke eppendorf I, jika kurang dimasukkan ke<br />
eppendorf II. Kemudian disentrifus dengan<br />
kecepatan 2000 rpm selama 3 menit. Media<br />
dibuang dengan cara dituang. Selanjutnya<br />
diisikan 500 μL PBS ke dalam setiap sumuran.<br />
PBS diambil dengan mikropipet dan ditransfer<br />
ke dalam eppendorf I. Disentrifus kembali<br />
dengan kecepatan 2000 rpm selama 3 menit.<br />
PBS dibuang dengan cara dituang. Diulangi<br />
pencucian dengan PBS sekali lagi. Kemudian<br />
ditambahkan 150 μL tripsin-EDTA 0,25%, lalu<br />
diinkubasi di inkubator selama 3 menit. Langkah<br />
selanjutnya ditambahkan 1 ml MK pada tiap<br />
sumuran, diresuspensi sampai sel lepas satu per<br />
satu, dan diamati di bawah mikroskop. MK<br />
untuk menginaktivasi tripsin. Setelah sel terlepas<br />
satu-satu, sel ditransfer ke eppendorf I dan/ II.<br />
PBS ditambahkan kembali sebanyak 500 μl ke<br />
dalam sumuran untuk mengambil sisa sel,<br />
kemudian ditransfer ke dalam eppendorf II.<br />
Semua eppendorf disentrifus dengan kecepatan<br />
2000 rpm selama 3 menit. MK/PBS dibuang<br />
dengan cara dituang, kemudian ditambahkan dan<br />
vii<br />
resuspen pellet sel dengan 500 μL PBS dingin.<br />
Suspensi sel digabungkan dalam kedua<br />
eppendorf ke dalam eppendorf I. Eppendorf<br />
kosong dibilas dengan PBS, lalu ditransfer ke<br />
eppendorf I. Eppendorf I disentrifuse dengan<br />
kecepatan 2000 rpm selama 3 menit. PBS<br />
dibuang dengan cara dituang. Selanjutnya<br />
ditambahkan reagen flow cytometry sebanyak<br />
400 μL pada tiap eppendorf, diresuspen dengan<br />
homogen. Tiap eppendorf dibungkus dengan<br />
alumunium foil dan diberi penandaan pada<br />
bagian atas eppendorf. Semua eppendorf<br />
diinkubasi di waterbath 37°C, 10 menit untuk<br />
mengaktivasi RNase. Diresuspen lagi sebelum<br />
ditransfer ke flowcyto-tube. Suspensi sel<br />
ditransfer ke dalam flowcyto-tube melalui filter<br />
(kain nylon/kain kaca) menggunakan mikropipet<br />
1 ml. Tutup flowcyto-tube dilubangi terlebih<br />
dahulu. Selanjutnya dibaca dengan flow<br />
cytometer FACS Calibur untuk mengetahui<br />
profil cell cycle. Data flow cytometry dianalisis<br />
dengan program cell quest untuk melihat<br />
distribusi sel pada fase-fase daur sel sub G1, S,<br />
G2/M dan sel yang mengalami poliploidi<br />
(CCRC, 2009). Flow cytometry dilakukan<br />
dengan pancaran cahaya 488 nm dan dengan<br />
kecepatan medium (500 sel/detik).<br />
3.4 Analisis Data<br />
Analisa data dilakukan secara deskriptif,<br />
yaitu dengan membandingkan antara perlakuan<br />
dengan kontrol. Analisis siklus sel dilakukan<br />
pada fase siklus sel dimana terjadi akumulasi sel<br />
terbesar pada masing-masing perlakuan.<br />
4. Hasil dan Pembahasan<br />
Kultur sel HeLa sering digunakan<br />
sebagai model dalam penelitian karena tumbuh<br />
lebih cepat sehingga mampu memproduksi lebih<br />
banyak sel dalam satu flask dan merupakan sel<br />
manusia yang umum digunakan untuk<br />
kepentingan kultur sel. Kultur sel HeLa<br />
memiliki sifat semi melekat. Hal ini disebabkan<br />
karena sel kultur melepas suatu protein matriks<br />
ekstraseluler sehingga menyebabkan sel–sel<br />
tersebut menempel satu sama lain dan menempel<br />
pada dasar microplate (Syaifuddin, 2007).<br />
Uji sitotoksisitas diawali dengan<br />
menumbuhkan sel HeLa hingga konfluen (70-<br />
80% memenuhi dinding flask) pada medium<br />
RPMI 1640-serum. Menurut Freshney (2000)<br />
dalam medium ini terkandung nutrisi yang<br />
cukup untuk pertumbuhan, yaitu asam amino,<br />
vitamin, garam-garam anorganik, dan glukosa.<br />
Serum yang ditambahkan mengandung hormon-
hormon yang mampu memacu pertumbuhan sel.<br />
Albumin berfungsi sebagai protein transport,<br />
lipid diperlukan untuk pertumbuhan sel, dan<br />
mineral berfungsi sebagai kofaktor enzim.<br />
Setelah sel yang akan digunakan sebagai<br />
model uji jumlahnya cukup kemudian dilakukan<br />
pemanenan sel yang dilanjutkan dengan<br />
pencucian menggunakan PBS. Hal ini bertujuan<br />
untuk membersihkan serum yang terkandung<br />
dalam medium RPMI karena serum ini dapat<br />
menghambat kerja tripsin. Selanjutnya<br />
dilakukan penambahan tripsin untuk melepas sel<br />
dari dasar tabung dan dilanjutkan dengan<br />
penambahan medium RPMI sehingga diperoleh<br />
suspensi sel yang dapat langsung dipindahkan ke<br />
dalam microplate.<br />
Setelah sel dalam microplate siap,<br />
kemudian dilakukan penambahan seri<br />
konsentrasi ekstrak spons A. <strong>suberitoides</strong>,<br />
cisplatin, kombinasi ekstrak A. <strong>suberitoides</strong> dan<br />
cisplatin serta kontrol. Setelah inkubasi 24 jam<br />
dan diamati di bawah mikroskop maka terlihat<br />
adanya perubahan dari morfologi sel. Morfologi<br />
sel kontrol dan setelah perlakuan dapat dilihat<br />
pada gambar 4.1. Pengamatan mikroskopis<br />
menunjukkan adanya perbedaan morfologi pada<br />
sel HeLa kontrol dan perlakuan. Sel kontrol<br />
tampak berbentuk seperti daun, menempel di<br />
dasar sumuran, sedangkan sel dengan perlakuan<br />
ekstrak A. <strong>suberitoides</strong>, cisplatin, dan kombinasi<br />
terdapat sel yang mati. Sel yang mati tampak<br />
berubah bentuknya, keruh dan mengapung.<br />
Akumulasi sel pada siklus sel<br />
merupakan salah satu target utama agen<br />
antikanker. Pada penelitian ini pengamatan<br />
siklus sel dilakukan dengan metode<br />
flowcytometry. Dengan metode ini, dapat dilihat<br />
distribusi sel pada masing-masing fase dalam<br />
siklus sel setelah perlakuan, sehingga dapat<br />
diperkirakan jalur penghambatan ekstrak A.<br />
<strong>suberitoides</strong> serta kombinasinya dengan<br />
cisplatin dalam menghambat siklus sel. Fasefase<br />
dalam siklus sel normal memiliki perbedaan<br />
pada jumlah set kromosom yaitu fase G1 jumlah<br />
set kromosomnya adalah 2n. Berlanjut pada fase<br />
S, jumlah set kromosomnya antara 2n dan 4n<br />
karena terjadi proses replikasi, sedangkan pada<br />
fase G2 dan M, replikasi telah sempurna<br />
membentuk set kromosom 4n. Begitu juga yang<br />
terjadi pada sel HeLa, dimana pada fase G1<br />
memiliki 2 set kromosom (2n), pada fase G2<br />
antara 2n-4n, dan pada fase G2/M adalah 4n<br />
(Collins et al., 1997). Dengan adanya<br />
fluorochrome yang memiliki kemampuan<br />
berinterkalasi dengan basa untai DNA seperti<br />
viii<br />
propium iodide maka tiap sel yang memiliki<br />
jumlah set kromosom yang berbeda akan<br />
memberikan intensitas fluoresensi yang berbeda.<br />
Semakin banyak set kromosom maka intensitas<br />
fluoresensi akan semakin besar. Alat yang<br />
digunakan untuk membaca intensitas fluoresensi<br />
tiap sel pada penelitian ini adalah FACS<br />
(Fluorescence Activated Cell Sorting) atau<br />
flowcytometer (Givan, 2001). Profil siklus sel<br />
Hela dan distribusi sel HeLa setelah perlakuan<br />
dapat dilihat pada gambar 4.2 dan table 4.1.<br />
Salah satu kelemahan dari flow<br />
cytometry dalam analisis siklus sel adalah<br />
pengukuran yang bersifat subyektif, yaitu<br />
operator dapat menginterpretasi data dengan<br />
beberapa cara yang berbeda. Pada analisa siklus<br />
sel dengan metode flow cytometry, tidak ada<br />
aturan baku untuk menetapkan range intensitas<br />
fluoresensi untuk menentukan fase-fase dalam<br />
siklus sel, sehingga terdapat kesulitan dalam<br />
menentukan dimana 2n (fase G0/G1) berakhir<br />
dan dimana dimulainya fase S. Begitu pula<br />
untuk menentukan dimana akhir dari fase S dan<br />
dimulainya fase G2/M (4n). Metode yang paling<br />
sederhana untuk menentukan range intensitas<br />
fluoresensi disebut peak reflect method, dimana<br />
puncak dari G0/G1 diasumsikan terdistribusi<br />
simetris di sekitar puncak tertinggi. Berdasarkan<br />
asumsi ini, lebar dari puncak G0/G1, dari<br />
puncak tertinggi ke arah kiri (fluoresen rendah)<br />
dicopy ke kanan (fluoresen tinggi). Hal yang<br />
sama dilakukan pada puncak G2/M. Selanjutnya<br />
area yang berada di tengah-tengah antara kedua<br />
wilayah tersebut (antara G0/G1 dan G2/M)<br />
dianggap sebagai fase S (Givan, 2001). Metode<br />
untuk menentukan range intensitas fluoresensi<br />
untuk menentukan fase siklus sel ini dilakukan<br />
pada sel kontrol atau tanpa perlakuan,<br />
sedangkan untuk sel dengan perlakuan,<br />
penentuan fase-fase siklus sel mengikuti yang<br />
telah ditetapkan pada kontrol.<br />
Terdapat satu masalah penting dalam<br />
analisa siklus sel menggunakan flow cytometry<br />
yaitu kemungkinan terjadi agregat atau<br />
pengelompokan sel. Dua sel pada fase G1 yang<br />
berkumpul saat penyinaran akan memantulkan<br />
flouresen dua kali DNA content normal, dan<br />
tampak seperti satu sel yang berada pada fase<br />
G2/M. Salah satu cara mendiagnosa adanya<br />
sampel yang berkelompok adalah dengan<br />
melihat puncak pada posisi 6n (merupakan hasil<br />
tiga inti yang berkelompok). Apabila ditemukan<br />
tiga sel yang berkelompok, maka secara statistik,<br />
dua sel yang berkelompok akan lebih banyak.<br />
Pada gambar 4.2 sel yang berada pada posisi 6n
(angka 600 pada sumbu x histogram) sangat<br />
rendah, ini menunjukkan double cell atau sel<br />
yang berkelompok ketika penyinaran sangat<br />
kecil, sehingga data yang didapatkan cukup<br />
valid.<br />
Tabel 4.1 Distribusi sel HeLa setelah perlakuan<br />
dengan berbagai konsentrasi ekstrak A. <strong>suberitoides</strong>,<br />
cisplatin, dan kombinasi keduanya<br />
Jenis Kad Fase Sel (%)<br />
Perlakuan ar subG G1 S G2/<br />
1<br />
M<br />
Kontrol 0 6,41 46,44 8,04 8,53<br />
<strong>Ekstrak</strong> A. ¼ 10,00 48,50 8,25 7,98<br />
<strong>suberitoides</strong> IC50<br />
1/10 7,45 50,22 8,03 8,22<br />
Cisplatin ¼<br />
Kombinasi<br />
Cisplatin –<br />
<strong>Ekstrak</strong> A.<br />
<strong>suberitoides</strong><br />
IC50<br />
IC50<br />
1/10<br />
IC50<br />
¼<br />
IC50<br />
- ¼<br />
IC50<br />
8,34 23,76 24,2<br />
8<br />
9,35 24,50 22,1<br />
9<br />
7,55 21,13 25,1<br />
3<br />
11,1<br />
7<br />
12,5<br />
2<br />
17,6<br />
5<br />
Akumulasi sel terbesar pada perlakuan<br />
ekstrak A. <strong>suberitoides</strong> pada konsentrasi 38,25<br />
µg/ml (¼ IC50) adalah pada fase G1 sebesar<br />
48,50%. Pada perlakuan ekstrak A. <strong>suberitoides</strong><br />
dengan konsentrasi 15,30 µg/ml (1/10 IC50)<br />
akumulasi terbesar juga terjadi pada fase G1<br />
yaitu sebesar 50,22%. Apabila dibandingkan<br />
dengan kontrol, efek perlakuan ekstrak pada fase<br />
G1 tidak jauh berbeda, sehingga dapat dikatakan<br />
bahwa ekstrak A. <strong>suberitoides</strong> pada konsentrasi<br />
1/10 IC50 dan ¼ IC50 tidak menunjukkan<br />
pengaruh pada siklus sel HeLa. Menurut Xu<br />
(2000) spons A. <strong>suberitoides</strong> mengandung<br />
senyawa alkaloid utama yaitu aaptamin dan<br />
derivatnya. Aaptamin murni mampu<br />
menyebabkan G2 arrest pada sel HeLa, namun<br />
pada penelitian ini akumulasi sel terbesar adalah<br />
pada fase G1 sehingga kemungkinan terjadi<br />
penahanan fase G1 sel HeLa oleh ekstrak A.<br />
<strong>suberitoides</strong>. Pada percobaan ini ekstrak A.<br />
<strong>suberitoides</strong> yang digunakan masih merupakan<br />
ekstrak kasar (crude extract) sehingga<br />
kemungkinan ada senyawa lain yang mekanisme<br />
aksinya menghambat fase G1, dimana menurut<br />
Nurhayati (2010) spons A. <strong>suberitoides</strong> tidak<br />
hanya mengandung senyawa alkaloid, namun<br />
juga terpenoid. Ircinin merupakan salah satu<br />
senyawa terpenoid yang dilaporkan aksinya<br />
menyebabkan G1 arrest pada sel kanker kulit<br />
(Mayer dan Kirk, 2008 dan Choi et al., 2005).<br />
ix<br />
Kandungan terpenoid ini kemungkinan memiliki<br />
aktivitas serupa dengan ircinin dan beraksi lebih<br />
dominan sehingga terjadi G1 arrest. Menurut<br />
Choi et al., (2005) ircinin menyebabkan G1<br />
arrest melalui induksi p21 dan p27, dimana p21<br />
dan p27 merupakan protein yang termasuk<br />
dalam inhibitor CDK (CDKIs). Ekspresi p21<br />
dan p27 menyebabkan penurunan kadar cyclin D<br />
sehingga tidak terjadi aktivasi CDK4 dan<br />
CDK6. Aktivasi CDK4 dan CDK6 berfungsi<br />
untuk fosforilasi protein Rb (retinoblastoma),<br />
sehingga apabila terjadi pemblokiran aktivasi<br />
CDK4 dan CDK6 maka tidak terjadi fosforilasi<br />
protein Rb. Rb yang tidak terfosforilasi akan<br />
berikatan dengan faktor transkripsi E2F<br />
mengikat DNA dan menghambat transkripsi gen<br />
yang produknya diperlukan untuk fase S siklus<br />
sel sehingga sel tertahan di fase G1 atau terjadi<br />
G1 arrest (Kumar et al., 2003).<br />
Cisplatin digunakan sebagai kontrol<br />
positif pada penelitian ini karena Cisplatin<br />
merupakan agen kemoterapi dalam pengobatan<br />
kanker serviks (Mardiani, 2010). Akumulasi sel<br />
terbesar pada perlakuan cispatin konsentrasi<br />
8,35 µg/ml (¼ IC50) terjadi pada fase S yaitu<br />
sebesar 24,28%, sedangkan pada perlakuan<br />
cisplatin konsentrasi 3,34 µg/ml (1/10 IC50)<br />
terjadi pada fase G1 sebesar 24,50%.<br />
Koprinarova et al. (2010) menyebutkan bahwa<br />
perlakuan menggunakan cisplatin menyebabkan<br />
terjadi arrest pada fase G1 dan S pada siklus sel.<br />
Ho (1995) menjelaskan bahwa progresi siklus<br />
sel dikontrol oleh cyclin-dependent kinases<br />
(cdks). CDKs merupakan kontrol pusat dan<br />
pembatas pada regulasi tiap fase siklus sel. cdks<br />
yang esensial untuk transisi dari fase G1 ke fase<br />
S adalah CDK2 dan CDK3. Salah satu substrat<br />
utama CDK yang mengontrol progresi G1/S<br />
adalah penekan (suppressor) tumor, protein<br />
retinoblastoma (Rb). Rb menghentikan siklus sel<br />
dengan cara mengikat faktor transkripsi E2F,<br />
dan membatasi potensi untuk transaktivasi gen<br />
yang diperlukan untuk melewati fase G1<br />
sehingga terjadi G1 arrest (Ho, 1995).<br />
Sedangkan kerja cisplatin dalam menghambat<br />
sintesis DNA merupakan hasil dari penahanan<br />
fase S (S arrest) karena terjadi pemblokiran<br />
elongasi DNA (Koprinarova et al., 2010). Lebih<br />
lanjut Sorenson dan Alan (1988) menyebutkan<br />
bahwa cisplatin mereduksi penggabungan<br />
timidin, uridin dan leusin menjadi<br />
makromolekul sehingga terjadi penghambatan<br />
sintesis DNA.<br />
Perlakuan kombinasi ekstrak A.<br />
<strong>suberitoides</strong> dan cisplatin dilakukan untuk
mengetahui bagaimana pengaruh kombinasi<br />
tersebut terhadap siklus sel HeLa. Pada<br />
perlakuan kombinasi, akumulasi terbesar adalah<br />
pada fase S yaitu 25,13%, dimana pada fase S<br />
terjadi sintesis DNA. Telah disebutkan<br />
sebelumnya bahwa target utama antikanker<br />
cisplatin adalah DNA dimana cisplatin akan<br />
menghambat sintesis DNA, sehingga terjadi S<br />
arrest. Selain itu spons A. <strong>suberitoides</strong><br />
mengandung senyawa derivat dari aaptamin,<br />
yaitu histidin yang juga berfungsi untuk<br />
menghambat sintesis DNA (Tsukamoto et al.,<br />
2010). Oleh karena itu pada perlakuan<br />
kombinasi ini kemungkinan terjadi kerja sinergis<br />
antara cisplatin dan ekstrak spons A.<br />
<strong>suberitoides</strong> dalam menghambat fase S pada sel<br />
HeLa. Pada perlakuan kombinasi sel yang<br />
berada pada fase G2/M paling banyak<br />
dibandingkan perlakuan yang lain, hal ini<br />
kemungkinan karena efek DNA repair. Adanya<br />
mekanisme kontrol cek point pada transisi fase<br />
G1/S dan G2/M mencegah adanya perubahan<br />
genetik dengan memastikan bahwa kerusakan<br />
DNA telah diperbaiki sebelum replikasi DNA<br />
pada fase S dan pembelahan pada fase M.<br />
Apabila kerusakan DNA tidak berhasil<br />
diperbaiki oleh sistem cek point, maka daur sel<br />
akan berhenti pada fase G2/M. apabila<br />
kerusakan DNA dapat diperbaiki maka daur sel<br />
akan berlanjut. Setelah fase M, sel dapat masuk<br />
ke fase G1 atau G0 (Dipaola, 2002). Senyawa<br />
hymenialdisine dari beberapa spesies sponge<br />
seperti Phakellia mauritiana, Pseudaxinyssa<br />
cantharella dan Agelas longissima dilaporkan<br />
memiliki aksi DNA repair melalui mekanisme<br />
inhibitor CHK1 yang merupakan protein yang<br />
berperan pada cek point transisi fase G1/S dan<br />
G2/M (Meijer et al., 2000 dan Lord et al., 2006).<br />
Pada ekstrak A. <strong>suberitoides</strong> kemungkinan<br />
memiliki kandungan senyawa dengan<br />
mekanisme aksi seperti hymenialdisine sehingga<br />
terjadi DNA repair pada perlakuan kombinasi.<br />
Setelah DNA diperbaiki, maka sel dapat<br />
melanjutkan ke fase selanjutnya dalam siklus<br />
sel. Oleh karena itu pada perlakuan kombinasi,<br />
sel yang berada pada fase G2/M lebih banyak<br />
dibandingkan dengan perlakuan ekstrak A.<br />
<strong>suberitoides</strong> tunggal.<br />
Akumulasi sel pada fase subG1 yang<br />
diasumsikan sebagai apoptosis paling tinggi<br />
adalah pada perlakuan ekstrak A. <strong>suberitoides</strong><br />
konsentrasi ¼ IC50 (38,25 µg/ml) yaitu sebesar<br />
10,00%. Aoki et al., (2006) menyatakan bahwa<br />
senyawa aaptamin yang terdapat pada sponge A.<br />
<strong>suberitoides</strong> mengaktivasi promoter p21 yang<br />
x<br />
merupakan target dari gen p53. Aktivasi ini<br />
menyebabkan aktivasi protein proapoptosis<br />
seperti Bax, Bak, dan Bad. Selanjutnya<br />
mitokondria melepas cytokrom c. Sitokrom<br />
selanjutnya akan mengaktivasi caspase cascade<br />
melalui aktivasi protein adaptor Apaf-1 yang<br />
akan mengaktivasi procaspase 9 (Simstein et al.,<br />
2003). Procaspase 9 selanjutnya akan<br />
mengaktivasi caspase 9 yang merupakan caspase<br />
inisiator. Caspase inisiator ini akan mengaktivasi<br />
caspase efektor yang berperan dalam apoptosis.<br />
Yang tergolong caspase efektor adalah caspase<br />
3, caspase 6, dan caspase 7 (Kiaris, 2006). Pada<br />
perlakuan kombinasi ekstrak A. <strong>suberitoides</strong><br />
dengan cisplatin, akumulasi pada fase subG1<br />
sebesar 7,55%. Telah dijelaskan sebelumnya<br />
bahwa pada perlakuan kombinasi kemungkinan<br />
terdapat efek DNA repair. Abeloff et al. (2004)<br />
menyebutkan bahwa efek DNA repair dapat<br />
menurunkan angka apoptosis. Oleh karena itu<br />
akumulasi sel pada fase subG1 pada perlakuan<br />
kombinasi nilainya lebih kecil daripada<br />
perlakuan ekstrak A. <strong>suberitoides</strong> dosis tunggal.<br />
5. Kesimpulan<br />
<strong>Ekstrak</strong> A. <strong>suberitoides</strong> 38,25 µg/mL<br />
menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar 10%<br />
dan akumulasi sel terbesar pada fase G1 yaitu<br />
sebesar 50,22%, sedangkan ekstrak A.<br />
<strong>suberitoides</strong> 15,3 µg/mL menyebabkan<br />
terjadinya apoptosis sebesar 7,45% dan<br />
akumulasi sel terbesar juga pada fase G1 sebesar<br />
48,50%.<br />
Saran<br />
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut<br />
menggunakan ekstrak <strong>Aaptos</strong> <strong>suberitoides</strong><br />
dengan konsentrasi yang lebih tinggi agar<br />
pengaruh ekstrak terhadap siklus sel HeLa dapat<br />
terlihat dengan lebih jelas. Selain itu ekstrak<br />
spons A. <strong>suberitoides</strong> yang digunakan untuk<br />
penelitian perlu dimurnikan terlebih dahulu<br />
menjadi bentuk senyawa murni sehingga<br />
memiliki aktivitas biologi yang lebih tinggi.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Abeloff, M., Arnitage J., Niederhuber J., Kastan<br />
M., dan McKenna W. 2004. Clinical<br />
Oncology 3rd ed. Elsevier Churchill<br />
Livingstone: Philadelphia.<br />
Ahmad, T., Panrerengi, A., dan Suryati, E. 2000.<br />
”Potensi Sponge Penghasil Bakterisida<br />
dan Fungisida Alami Belum Banyak<br />
Dimanfaatkan”. Warta Penelitian<br />
Perikanan Indonesia 8 (3) : 34-45.
American Type Culture Collection (ATTC).<br />
2001. MTT Proliferation Assay.<br />
Instruction. P.O.Bx 1549, Manasan<br />
USA.<br />
Amir, I. dan Agus B. 1996. “ Mengenal <strong>Spons</strong><br />
<strong>Laut</strong> (Demospongia) Secara Umum”.<br />
Oseana 21 (2) : 15-31.<br />
Aoki, S., Dexin K., Hideaki S., Yoshihiro S.,<br />
Toshiyuki S., Andi S., dan Motomasa K.<br />
2006. “Aaptamin, a Spongean Alkaloid,<br />
Activates p21 Promoter in a p53-<br />
Independent Manner”. Biochemical and<br />
Biophysical Research<br />
Communications 342 : 101-106.<br />
Astuti, P., Alam, G., Hartati, M.S., Sari, D., dan<br />
Wahyuono, S. 2005. “Uji sitotoksik<br />
senyawa alkaloid dari spons Petrosia sp:<br />
potensial pengembangan sebagai<br />
Antikanker”. Majalah Farmasi<br />
Indonesia 16 (1) : 58 – 62.<br />
Burger, F. J. 1970. “<strong>Aaptos</strong>”. South African<br />
Medical Journal 44 : 899.<br />
Capes, D., Theodosopoulos G., dan Atkin I.<br />
2010. “Check your cultures! A list of<br />
cross-contaminated or misidentified cell<br />
lines”. Int J Cancer 127 (1) : 1–8.<br />
CCRC (Cancer Chemoprevention Research<br />
Center). 2009. Preparasi Sampel<br />
untuk Flowcytometry.<br />
.<br />
Choi, H., Yung H., Su-Bog Y., Eunok I., Jee H.,<br />
dan Nam D. 2005. “Ircinin-1 Induces<br />
Cell Cycle Arrest and Apoptosis in SK-<br />
MEL-2 Human Melanoma Cells”.<br />
Molecular Carcinogenesis 44 (3) :<br />
162-173<br />
Collins, J., David E., dan Carrington S. 1997.<br />
Structure of Parental Deoxyribonucleic<br />
Acid of Synchronized HeLa Cells.<br />
Biochemistry 16 (25) : 5438-5444.<br />
Cooper, G. M. 2000. The Cell A Molecular<br />
Approach. Second Edition.<br />
<br />
Cytopathol, D. 2009. “Evaluation of flow<br />
cytometric immunophenotyping and<br />
DNA analysis for detection of malignant<br />
cells in serosal cavity fluids”. Juli 37 (7)<br />
: 498-504.<br />
Danaei, G., Eric L., dariush M., Ben T., jurgen<br />
R., Christopher J., dan Majid, E. 2005.<br />
Cancer. .<br />
xi<br />
Darzynkiewicz, Z. 1996. Detection of<br />
Apoptosis by Flow cytometry. pada<br />
"Educational Program of the 26th<br />
Congress of the International Society of<br />
Hematology". Singapura.<br />
Davey, H. dan Douglas K. 1996. Flow<br />
Cytometry and Cell Sorting of<br />
Heterogeneous Microbial opulations :<br />
the Importance of Single-Cell Analyses.<br />
Microbiological Reviews 60 (4) : 641-<br />
696.<br />
DeFillippis, R.A., Goodwin, E.C., Wu, L., dan<br />
DiMaio, D. 2003. “Endogenous Human<br />
Papillomavirus E6 and E7 Proteins<br />
Differentially Regulate Proliferation,<br />
Senescence, and Apoptosis in Hela<br />
Cervical Carcinoma Cells”. Journal of<br />
Virology 77 (2) : 1551-1563.<br />
Dipaola, R. 2002. “To Arrest or Not To G2-M<br />
cell Cycle Arrest”. Clinical Cancer<br />
Research 8 : 3311-3314.<br />
Dolezel, J., Binarova P., dan Lucretti S. 1989.<br />
“Analysis of nuclear DNA content in<br />
plant cells by flow cytometry”. Biologia<br />
Plantarum 31: 113 – 120.<br />
Doyle, A., dan Griffiths, J. B. 2000. Cell and<br />
Tissue Culture for Medical Research.<br />
John Willey and Sons Ltd. : New York.<br />
Edianto, D. 2006. Kanker Serviks. Yayasan<br />
Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo :<br />
Jakarta.<br />
Fadjri, H. T. 2010. <strong>Sitotoksisitas</strong> <strong>Ekstrak</strong><br />
<strong>Spons</strong> <strong>Laut</strong> <strong>Aaptos</strong> <strong>suberitoides</strong><br />
Terhadap Sel Kanker HeLa Secara In<br />
Vitro. Prodi Biologi <strong>ITS</strong> : Surabaya.<br />
Franks L.M dan Teich N.M. 1998. Cellular and<br />
Molecular Biology of Cancer, Third<br />
edition Oxford University Press Inc. :<br />
New York.<br />
Freshney, R. 2000. Culture of Animal Cells: A<br />
Manual of Basic Technique, Fourth<br />
Ed. A John Wiley and Sons, Inc. : USA.<br />
Givan, A.L., 2001. Flow Cytometry First<br />
Principles. Wiley-Liss, Inc. : New<br />
York.<br />
Goodwin, E., dan DiMaio, D. 2000. “Repression<br />
of human papillomavirus oncogenes in<br />
Hela cervical carcinoma cells causes the<br />
orderly reactivation of dormant tumor<br />
suppressor pathways”. Biochemistry 97<br />
(23) : 12513-12518.<br />
Hite, R. dan Ann M. 2001. Strengths and<br />
Weakness of Flow Cytometry.<br />
. 19 Juli<br />
2011.
Ho, Duncan. 1995. The Biochemical and Cell<br />
Cycle Effects of the Antitumour Drug<br />
Fostriecin. University of British<br />
Columbia : Columbia.<br />
Hooper, J.N.A. 1997. Sponge Guide: Guide to<br />
Sponge Collection and Identification.<br />
Quensland Museum : Brisbane.<br />
Ixora. 2007. Antikanker yang Alami.<br />
. 12 Oktober 2010.<br />
Kiaris, H. 2006. Understanding<br />
Carcinogenesis: an Introduction to<br />
the Molecular Basis of Cancer.<br />
Willey-vch Verlag GmbH & Co. KGaA<br />
: Weinhem.<br />
King, S. B. 1996. Cancer Biology second<br />
edition. Pearson Education : London.<br />
Koprinarova, M., Petya M., Ivan I., Boyka A.,<br />
dan George R. 2010. “Sodium Butyrate<br />
Enhances the Cytotoxic Effect of<br />
Cisplatin by Abrogating the Cisplatin<br />
Imposed Cell Cycle Arrest”. BMC<br />
molevular Biology.<br />
Kresno, S. 2003. Ilmu Dasar Onkologi. PT<br />
Quparada Makuda Perkasa: Jakarta.<br />
Kumar, V., Ramzi S., dan Stanley L. 2003.<br />
Robbins Basic Pathology 7 th ed.<br />
Elsevier Inc. : New York.<br />
Leland, H., hartwell, T., dan Hunt, P. M. 2001.<br />
Key Regulators of the Cell Cycle.<br />
.<br />
Lord, C., michelle D., dan Alan A. 2006.<br />
“Targeting the Double-Strand DNA<br />
Break Repair Pathway as a Therapeutic<br />
Strategy”. Clinical Cancer Research<br />
12 (15) : 4463-4468.<br />
Lumongga, F. 2008. Apoptosis. USU: Medan.<br />
Macville M, Schröck E, Padilla-Nash H, et al.<br />
1999. “Comprehensive and definitive<br />
molecular cytogenetic characterization<br />
of HeLa cells by spectral karyotyping”.<br />
Cancer Res. 59 (1) : 141–150.<br />
Mardiani, R. 2010. Evaluasi penggunaan<br />
Antiemetika pada Pasien kanker<br />
Serviks dengan Terapi Sitostatika di<br />
Instalasi Rawat Inap RSUD. Dr.<br />
Moewardi Surakarta pada tahun<br />
2009. Fakultas Farmasi Universitas<br />
Muhammadiyah Surakarta : Surakarta.<br />
Mayer, M. S., dan Kirk R. 2008. “Marine<br />
pharmacology in 2005–2006:<br />
Antitumour and cytotoxic compounds”.<br />
xii<br />
European Journal of Cancer 44:<br />
2357–2387.<br />
Meijer, L., Thunnissen, A. White, Garnier,<br />
Nikolic, Tsai, Walter, K. Cleverley,<br />
Salinas, Y. Wu, Biemat, Mandelkow, S.<br />
Kim dan G. Pettit. “Inhibition of Cyclin-<br />
Dependent Kinases, GSK-3β and CK1<br />
by HYmenialdisine, a Marine Sponge<br />
Constituent”. Chemistry and Biology 7<br />
: 51-63.<br />
Meiyanto, E., Supardjan, Muhammad D., dan<br />
Dewi A. 2006. “Efek antiproliferatif<br />
Pentagamavunon-0 terhadap Sel Kanker<br />
Payudara T47D”. Jurnal Kedokteran<br />
Yarsi 14 1.<br />
Meye, E. 2009. <strong>Sitotoksisitas</strong> dan Efek<br />
<strong>Ekstrak</strong> Etanol Kulit Buah Jambu<br />
Mente (Anacardium occidentale L.)<br />
Terhadap Sel Mieloma. Fakultas<br />
Biologi UGM. Yogyakarta.<br />
Meyer, F., Putnam, Jacobsen N., dan Mc.<br />
Laughlin. 1982. “Brine Shrimp: A<br />
Convenient General Bioassay for Active<br />
Lant Constituents”. Plant Medica 45.<br />
Mutschler, E. 1999. Dinamika Obat, Ed. V,<br />
cetakan ketiga. ITB Press: Bandung.<br />
Nafrialdi, Gan Sulistia. 1995. Antikanker,<br />
Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4.<br />
Farmakologi Fakultas Kedokteran<br />
Indonesia : Jakarta.<br />
Prayitno, A., Ruben D., Istar Y., dan Ambar M.<br />
2005. ”Ekspresi Protein p53, Rb, dan cmyc<br />
pada Kanker Serviks Uteri dengan<br />
Pengecatan Immunohistokimia”.<br />
Biodiversitas 6 (3) : 157-159.<br />
Pusztai, L., dan lewis E. 1996. Cell<br />
Proliferation in Cancer, Regulatory<br />
Mechanism of Neoplastic Cell<br />
Growth. Oxford University Press<br />
Oxford : New York.<br />
Rahbari R., Tom S., Modes V., Pam C., Catriona<br />
M., dan Richard M. 2009. "A novel L1<br />
Retrotransposon Marker for HeLa Cell<br />
Line Identification”. Biotechniques 46<br />
(4): 277–84.<br />
Rang, H., M. Dole, Ritter, dan Moore. 2003.<br />
Pharmachology. 5 th ed. Churchill<br />
Livingstone : New York.<br />
Rosai, I, 2004. Surgical Pathology, 9 th ed. St<br />
louis, Missouri: Mosby.<br />
Sagar, L. 2005. Intro to Myeloma.<br />
.
Schmidt, O. 1864. Supplement der Spongien<br />
des Adriatischen Meeres Enthaltend<br />
Die Histologie und Systematiche<br />
Erganzungen. Wilhelm Engelmann:<br />
Leipzig.<br />
Sharrer, T. 2006. “HeLa Herself”. The Scientist<br />
20 (7): 22.<br />
Simstein, R., Burow M., Parker A., Weldon C,<br />
dan Beckman B. 2003. “Apoptosis,<br />
Chemoresistance, and Breast Cancer.<br />
Insight from the MCF7 Cell Model<br />
System”. Experimental biology and<br />
medicine 228 : 995-1003.<br />
Sorenson, C. dan Alan E. “Influence of cis-<br />
Diaminedichloroplatinum(II) on DNA<br />
Synthesis and Cell Cycle Progression in<br />
Excision Repair Proficient and Deficient<br />
Chinese Hamster Ovary Cells”. Cancer<br />
Research 48 : 6703-6707.<br />
Sukardja, 2000. Onkologi Klinik Edisi 2.<br />
Airlangga University Press: Jakarta.<br />
Suryati, E., Parenrengi A., dan Rosmiati. 2000.<br />
“Penapisan Serta Analisis Kandungan<br />
Bioaktif Sponge Clathria sp. yang<br />
efektif sebagai Antibiofouling pada<br />
teritif (Balanus amphitrit)”. Jurnal<br />
Penelitian Perikanan Indonesia 5 (3).<br />
Suryo. 2007. Genetika Manusia. Gadjah Mada<br />
University Press: Yogyakarta.<br />
Syaifuddin, M. 2007. “Gen Penekan Tumor p53,<br />
Kanker dan Radiasi Pengion”. Buletin<br />
Alara, 8 (3) : 119 – 128.<br />
Tsukamoto, S., rumi Y., Makiko Y., Kohei S.,<br />
Tsuyoshi I., Henki R., Remy E., Nicole<br />
J., dan Rob W. “Aaptamine, an Alkaloid<br />
from the Sponge <strong>Aaptos</strong> <strong>suberitoides</strong>,<br />
Functions as a Proteasome Inhibitor”.<br />
Bioorganic and Medicinal Chemistry<br />
Letters 20 : 3341-3343.<br />
Ulfah, Maria. 2010. “Flow cytometry untuk<br />
Evaluasi Aktifitas Obat Antiplasmodial<br />
pada Gametosit Plasmodium<br />
falciparum”. Malaria Journal 9:49.<br />
Van Soest, R.M.W. 1989. “The Indonesian<br />
Sponge Fauna: Status Report”.<br />
Netherland Journal of Sea Research<br />
23 (2) : 223-230.<br />
Watts, Denise Watson. 2010. “HeLa Cancer<br />
Cells Killed Henrietta Lacks. Then They<br />
Made Her Immortal”. The Virginian-<br />
Pilot 1 : 12–14.<br />
Voogd, N., Leontine E., Bert W., Alfian N., dan<br />
Robert W. 2004. “Sponge Interactions<br />
with Spatial Competitors in the<br />
xiii<br />
Spermonde Archipelago”. Boll. Mus.<br />
Ist. Biol. Univ. Genova 68: 253-261.<br />
Xu, L. 2000. Novel G2 Cell Cycle Checkpoint<br />
Inhibitors and Antimitotic Agents<br />
Isolated Through Two New HTS<br />
Bioassays. University of British:<br />
Columbia.<br />
Zachary, I. 2003. Determination of Cell<br />
Number. In : Hughes, D and Mehmet,<br />
H (eds). Cell Proliferation and<br />
Apoptosis. BIOS Scientific Publisher<br />
Limited.