12.05.2013 Views

lailasuhairiipbbab4

lailasuhairiipbbab4

lailasuhairiipbbab4

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Gambaran Umum Tradisi Pembuatan Sie Reuboh<br />

Penelitian pendahuluan dilakukan dengan wawancara dan survei<br />

terhadap 20 orang responden yang yang dipilih secara purposif dan berdomisili di<br />

Aceh Besar dengan tujuan untuk melihat gambaran umum pembuatan sie<br />

reuboh. Kriteria pemilihan panelis ini adalah (1) warga asli Aceh Besar dan<br />

berdomisili di Aceh Besar, (2) berusia ≥ 45 tahun, (3) mampu dan biasa<br />

memasak dan mengolah sie reuboh, dan (4) biasa mengkonsumsi sie reuboh.<br />

Hasil wawancara terhadap panelis secara ringkas disajikan pada Tabel 6.<br />

Tabel 6 Hasil wawancara panelis<br />

Karakteristik n %<br />

Memasak sie reuboh dikaitkan dengan kesempatan khusus<br />

Ya (idul Fitri, Meugang, Idul Adha) 11 55<br />

Tidak 9 45<br />

Jumlah daging yang digunakan<br />

1-2 kg 10 50<br />

3-4 kg 7 35<br />

> 4 kg 3 15<br />

Perlakuan terhadap sie rebouh yang tidak habis<br />

Diolah kembali 10 50<br />

Disimpan 10 50<br />

Tempat menyimpan sie reuboh<br />

Kuali tanah, tidak tertutup rapat 9 45<br />

Lemari (masih menggunakan kuali tanah, tidak tertutup) 10 50<br />

Lemari es 1 5<br />

Pemanasan ulang sie reuboh<br />

1 hari sekali 8 40<br />

2 hari sekali 10 50<br />

3 hari sekali 2 10<br />

Waktu untuk mengkonsumsi sie reuboh hingga habis<br />

1 minggu 5 25<br />

2 minggu 9 45<br />

3 minggu 5 25<br />

4 minggu 1 5<br />

Bumbu yang digunakan untuk membuat sie reuboh<br />

Lengkap 10 50<br />

Tidak lengkap 10 50<br />

Bagian daging yang digunakan<br />

Paha 17 85<br />

Semua bagian 3 15<br />

Waktu memasak sie reuboh hingga matang<br />

0,5-1 jam 13 65<br />

1-2 jam 7 35


Berdasarkan hasil survei dan wawancara (Tabel 6) terhadap 20 orang<br />

responden, diperoleh kesimpulan bahwa secara umum sie reuboh biasanya<br />

dimasak di hari-hari khusus yaitu Idul Fitri, Idul Adha, dan pada hari Meugang<br />

(salah satu tradisi masyarakat Aceh dalam menyambut bulan puasa, Idul fitri, dan<br />

Idul Adha yaitu dengan melaksanakan pemotongan hewan pada satu atau dua<br />

hari sebelum hari besar tersebut). Sebagian besar panelis menggunakan daging<br />

sapi bagian paha dengan jumlah 1-2 kg. Jumlah ini ternyata lebih sedikit jika<br />

dibandingkan dengan kebiasaan terdahulu dimana setiap satu kali pemasakan<br />

sie reuboh menggunakan 5-7 kg daging sapi, hal ini diduga terkait dengan faktor<br />

ekonomi dimana harga daging sapi yang semakin mahal.<br />

Setengah dari responden melakukan pemanasan ulang sie reuboh dua<br />

hari sekali, waktu untuk menghabiskan sie reuboh hingga habis sekitar 2 minggu.<br />

Waktu untuk memasak sie seuboh hingga matang adalah 0,5-1 jam dan resep<br />

sie reuboh terdiri atas 2 jenis, yaitu yang menggunakan bumbu lengkap dan<br />

kurang lengkap. Resep lengkap menggunakan bumbu bawang putih, cabe rawit,<br />

cabe merah, cabe merah kering, bubuk kunyit, lengkuas, jahe, dan cuka aren.<br />

Resep kurang lengkap tidak menggunakan bawang putih, lengkuas, dan jahe.<br />

Hasil Uji Resep Sie Reuboh<br />

Resep standar yang sesuai dengan definisi operasional adalah resep<br />

yang menggunakan komposisi dan berat bahan-bahan dengan ukuran tertentu<br />

dari waktu ke waktu dan mampu menghasilkan produk dengan cita rasa yang<br />

konsisten. Hasil wawancara terhadap panelis didapatkan macam dan jumlah<br />

bahan yang sering digunakan untuk pembuatan sie reuboh. Hasil tersebut<br />

kemudian dicatat dan dikelompokkan menjadi beberapa kelompok besar. Hasil<br />

wawancara bumbu-bumbu dan berat daging yang sering digunakan dalam<br />

pembuatan sie reuboh dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4.<br />

Hasil wawancara didapatkan bahwa bumbu sie seuboh yang sering<br />

digunakan adalah bumbu lengkap dan kurang lengkap. Bumbu sie reuboh yang<br />

lengkap terdiri atas garam, cuka aren, cabe merah keriting segar, cabe rawit,<br />

bawang putih, bubuk kunyit, lengkuas, jahe, dan cabe merah kering. Sie reuboh<br />

yang menggunakan bumbu kurang lengkap adalah sie reuboh yang tidak<br />

menggunakan bawang putih, lengkuas dan jahe. Basis yang digunakan sebagai<br />

dasar perhitungan resep standar sie reuboh untuk mendapatkan rerata<br />

26


persentase bumbu atau rempah yang digunakan adalah berat daging sapi<br />

sebesar 2000 gram.<br />

Resep standar sie reuboh didapatkan dari hasil wawancara dan survei<br />

masyarakat yang telah terbiasa memasak dan mengkonsumsi sie reuboh, uji<br />

beda perpasangan, dan terakhir adalah dengan uji kesukaan panelis. Berat<br />

lemak sapi standar yang dipakai untuk membuat sie reuboh didapatkan dengan<br />

membagi berat lemak dari hasil wawancara dibagi dengan berat daging sapi (600<br />

g : 2000 g). Dengan demikian dihasilkan persentase sebesar 0,3% untuk berat<br />

lemak sapi. Hasil berat standar untuk bahan lainnya diperoleh dengan cara yang<br />

sama.<br />

Persentase lemak sapi yang harus digunakan untuk membuat sie reuboh<br />

adalah 0,3%, air 0,125%, cabe merah 0,05%, cabe rawit dan cabe merah kering<br />

0,01% serta cuka aren sebanyak 0,075%. Bagian berat semua bahan pelengkap<br />

sie reuboh dapat dilihat pada Tabel 7.<br />

Bahan<br />

Tabel 7 Persentase bumbu berdasarkan berat daging<br />

Berat<br />

(g)<br />

Persen bahan per<br />

jumlah<br />

Daging sapi 2000 59.88<br />

Persen bahan per<br />

berat daging<br />

Lemak sapi 600 17.96 0.3<br />

Lengkuas 40 1.20 0.02<br />

Jahe 40 1.20 0.02<br />

Bawang putih 20 0.60 0.01<br />

Cabe merah 100 2.99 0.05<br />

Cabe Rawit 20 0.60 0.01<br />

Cabe merah kering 20 0.60 0.01<br />

Bubuk kunyit 50 1.50 0.025<br />

Cuka aren 150 4.49 0.075<br />

Garam 50 1.50 0.025<br />

Air 250 7.49 0.125<br />

Jumlah 3340 100.00<br />

Hasil Uji Organoleptik Resep Sie Reuboh<br />

Uji Beda Resep. Uji organoleptik yang dilakukan untuk menemukan<br />

resep standar yang akan digunakan dalam penelitian lanjutan meliputi dua<br />

metode, yaitu dengan uji beda berpasangan (different paired test) dan uji<br />

27


kesukaan. Hasil wawancara dan survei terhadap 20 orang panelis diperoleh<br />

kesimpulan bahwa dalam resep pembuatan sie reuboh terdiri atas 2 jenis yaitu<br />

(1) bumbu lengkap, dan (2) bumbu kurang lengkap. Dari hasil wawancara<br />

tersebut maka dilakukan uji organoleptik terhadap produk sie reuboh dengan<br />

menggunakan kedua resep yang didapatkan.<br />

Kriteria panelis yang digunakan yaitu (1) berusia ≥ 45 tahun dengan<br />

alasan sie reuboh merupakan masakan tradisional Aceh yang diwariskan secara<br />

turun-temurun, sehingga panelis yang berusia ≥ 45 tahun lebih memiliki<br />

pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak mengenai sie reuboh, (2)<br />

warga asli Aceh Besar dan berdomisili di Aceh Besar, dikarenakan sie reuboh<br />

adalah masakan khas daerah Aceh Besar (3) biasa mengkonsumsi sie reuboh,<br />

(4) bersedia menjadi panelis untuk uji organoleptik. Kriteria ini digunakan<br />

mengingat karakteristik dari uji organoleptik ini adalah panelis yang digunakan<br />

berfungsi seperti instrumen yang tugasnya adalah menganalisis apakah terdapat<br />

perbedaan antara dua sampel yang diujikan atau tidak, meskipun perbedaan itu<br />

sangatlah kecil (Jellinek 1985), sehingga uji ini memerlukan sensitivitas yang<br />

tinggi.<br />

Uji beda berpasangan dilakukan untuk melihat apakah resep sie reuboh<br />

yang berbumbu lengkap dan berbumbu kurang lengkap dapat dibedakan oleh<br />

panelis. Sedangkan uji kesukaan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui<br />

resep mana yang lebih disukai oleh panelis. Jumlah panelis yang digunakan<br />

adalah 30 orang. Sesuai dengan pendapat Jellinek (1985), bahwa jumlah orang<br />

yang terlibat pada uji beda adalah minimal 10 orang, namun jumlah panelis 20<br />

hingga 30 orang adalah lebih baik.<br />

Tabel 8 Hasil uji beda panelis (%) terhadap sie reuboh<br />

Uji beda sie reuboh n %<br />

Bisa membedakan 21 70<br />

Tidak bisa membedakan 9 30<br />

Total 30 100<br />

Hasil perhitungan uji beda pada Tabel 8 menunjukkan bahwa 21 panelis<br />

dapat membedakan sie reuboh yang diujikan. Mengacu pada tabel signifikansi uji<br />

beda berpasangan (Roessler et al. 1978 diacu dalam Jellinek 1985), bahwa pada<br />

uji beda berpasangan menggunakan 30 panelis, jumlah minimum panelis yang<br />

menjawab benar dengan selang kepercayaan 5% adalah 20 orang (Lampiran 5).<br />

28


Hasil uji beda berpasangan yang dilakukan terhadap sie reuboh ini ada<br />

21 panelis yang mampu membedakan, sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat<br />

perbedaan yang signifikan (pada selang kepercayaan 5%) antara sie reuboh<br />

berbumbu lengkap dan kurang lengkap. Rekap data hasil uji beda dapat dilihat<br />

pada Lampiran 8. Untuk menentukan resep mana yang dipakai dalam penelitian<br />

selanjutnya maka dilakukan uji kesukaan terhadap sie reuboh.<br />

Uji Kesukaan Resep. Daya terima terhadap suatu makanan ditentukan<br />

oleh rangsangan yang timbul oleh makanan melalui panca indera penglihatan,<br />

penciuman, pencicipan, dan pendengaran. Namun demikian faktor utama yang<br />

akhirnya mempengaruhi daya terima terhadap makanan adalah rangsangan<br />

citarasa yang ditimbulkan oleh makanan. Oleh karena itu, penting sekali<br />

dilakukan penilaian citarasa untuk menjajaki daya penerimaan konsumen<br />

(Soekarto 1985).<br />

Selanjutnya dikatakan pula bahwa penilaian citarasa makanan dengan<br />

menggunakan indera manusia sebagai alat penilaian dikenal dengan istilah<br />

penilaian organoleptik/ inderawi/ sensori. Cara ini sering disebut juga penilaian<br />

subjektif karena sepenuhnya tergantung pada kemampuan/ kepekaan inderawi<br />

manusia. Pengujian organoleptik dapat dilakukan dalam berbagai cara, salah<br />

satu diantaranya adalah uji hedonik (kesukaan). Hasil uji kesukaan terhadap<br />

resep secara ringkas disajikan pada Tabel 9.<br />

Tabel 9 Hasil uji kesukaan panelis (%) terhadap sie reuboh<br />

Kesukaan terhadap resep n %<br />

Bumbu lengkap<br />

22 73.33<br />

Bumbu kurang lengkap<br />

8 26.67<br />

Total 30 100<br />

Tabel 9 menunjukkan bahwa sebanyak 73,33% panelis menyukai sie<br />

reuboh dengan bumbu lebih lengkap. Penentuan kesukaan terhadap resep<br />

ditentukan dengan penjumlahan skor kesukaan, dimana resep yang memiliki skor<br />

kesukaan yang tertinggi akan menjadi resep yang disukai oleh panelis. Uji<br />

hedonik atau kesukaan pada sie reuboh dilakukan untuk mengetahui daya terima<br />

produk pada dua resep yang berbeda. Skala pengukuran tingkat kesukaan yang<br />

digunakan pada uji organoleptik pada tahap ini adalah sebanyak 5 skala, yaitu<br />

29


(1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3) biasa, (4) suka, dan (5) sangat suka<br />

(Jellinek 1985). Rata-rata hasil uji hedonik terhadap warna, rasa, aroma, dan<br />

tekstur sie reuboh disajikan pada Gambar 4.<br />

.<br />

Rata-rata kesukaan panelis<br />

5<br />

4<br />

3<br />

2<br />

1<br />

0<br />

4,1 4,07<br />

3,87<br />

3,27<br />

3,77<br />

3,33<br />

4,17<br />

Warna Rasa Tekstur Aroma<br />

Kesukaan<br />

3,57<br />

Bumbu<br />

lengkap<br />

Bumbu<br />

kurang<br />

lengkap<br />

Gambar 4 Rata-rata kesukaan panelis terhadap sie reuboh<br />

Penilaian mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada<br />

beberapa faktor, antara lain cita rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya (Winarno<br />

1997). Tabel 9 dan Gambar 4 memperlihatkan bahwa resep berbumbu lengkap<br />

memiliki rata-rata kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan resep yang kurang<br />

lengkap<br />

Hasil uji ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa antara resep pertama<br />

dan kedua hanya berpengaruh nyata (α


Sie reuboh terpilih disimpan selama 12 hari dan dilakukan pemanasan sebanyak<br />

6 kali, yaitu pada penyimpanan hari ke-0, 2, 4, 6, 8, 10, dan 12. Uji kimia dan<br />

jumlah mikroba dilakukan di setiap pemanasan dan untuk uji kesukaan dilakukan<br />

pada hari ke-0, 4, 8, dan 12.<br />

Sie reuboh dibuat dalam dua belanga tanah yang berbeda dan dilakukan<br />

di waktu yang bersamaan. Fungsi pembuatan sie reuboh dalam dua belanga ini<br />

adalah sebagai ulangan dari perlakuan pemasakan. Setiap akan melakukan<br />

pemanasan kembali, ditambahkan air sebanyak 100 ml ke dalam belanga yang<br />

bertujuan untuk mencegah produk menjadi hangus.<br />

Kandungan Gizi Sie Reuboh selama Pemanasan<br />

Teknik pengolahan dengan pemanasan mampu menghasilkan produk<br />

yang memiliki cita rasa yang luar biasa dibandingkan dengan teknik lain (Winarno<br />

1993). Namun demikian Kinsman et al. (1994) menyatakan bahwa pengolahan<br />

dengan panas dapat menyebabkan zat gizi menurun bila dibandingkan dengan<br />

bahan segarnya.<br />

Pemanasan selama pemasakan menghasilkan perubahan pada<br />

penampilan dan bahan-bahan fisik dari jaringan otot. Perubahan tersebut<br />

tergantung pada waktu pemasakan dan kondisi suhu (Kinsman et al. 1994).<br />

Pemanasan diatas 60°C dapat menyebabkan molekul protein, karbohidrat,<br />

lemak, dan asam nukleat menjadi tidak stabil (Hawab 1999).<br />

Analisis kandungan gizi yang dilakukan selama pemanasan berulang<br />

meliputi kadar air, lemak, protein, dan daya cerna protein. Hasil analisis dapat<br />

dilihat pada Tabel 10.<br />

Tabel 10 Hasil analisis kandungan gizi sie reuboh selama pemanasan berulang<br />

Pemanasan Air (%) Lemak (%bk) Protein (%bk)<br />

Daya cerna protein<br />

(%)<br />

Kontrol 58.77 20.68 82.36 87.42<br />

1 56.56 19.47 81.06 85.17<br />

2 55.43 20.13 78.37 85.06<br />

3 54.54 23.79 74.20 83.49<br />

4 57.72 23.83 71.01 83.09<br />

5 55.52 21.18 68.17 80.92<br />

6 58.27 24.95 62.60 79.83<br />

31


Kadar Air<br />

Rata-rata kadar air sie<br />

reuboh (%)<br />

Kadar air sangat penting dalam menentukan daya awet dari bahan<br />

makanan karena mempengaruhi sifat fisik, kimia, perubahan mikrobiologi, dan<br />

perubahan enzimatis. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan<br />

penerimaan konsumen, kesegaran, dan daya tahan bahan. Kandungan air yang<br />

tinggi dalam bahan menyebabkan daya tahan bahan rendah. Untuk<br />

memperpanjang daya tahan suatu bahan, sebagian air dalam bahan harus<br />

dihilangkan dengan berbagai cara tergantung dari jenis bahan (Winarno 1997).<br />

Rara-rata umum kadar air sie reuboh pada penelitian ini adalah 56,69%<br />

dan berkisar antara 54,54-58,77%. Setiap akan melakukan pemanasan kembali,<br />

ditambahkan air sebanyak 100 ml ke dalam belanga yang bertujuan untuk<br />

mencegah produk menjadi hangus. Dalilah (2006) dan Anshori (2002)<br />

menyatakan dalam penelitiannya bahwa kadar air daging sapi segar memiliki<br />

rata-rata sebesar 75,13% dan 75,31%. Penurunan rata-rata kadar air daging sapi<br />

segar akibat adanya pemanasan pada sie reuboh kontrol dibandingkan dengan<br />

hasil penelitian Dalilah (2006) dan Anshori (2002) adalah 21,78-21,96%.<br />

Kadar air sie reuboh kontrol adalah 58,77% selanjutnya mengalami<br />

penurunan sampai pada pemanasan ke-3. Kadar air sie reuboh mengalami<br />

kenaikan pada pemanasan ke-4 dan ke-6. Histogram perubahan kadar air pada<br />

sie reuboh selama pemanasan disajikan pada Gambar 5.<br />

80<br />

60<br />

40<br />

20<br />

0<br />

d<br />

58.77<br />

abcd<br />

56.56<br />

ab<br />

55.43<br />

a<br />

54.54<br />

bcd<br />

57.72<br />

abc<br />

55.52<br />

cd<br />

58.27<br />

Kontrol 1 2 3 4 5 6<br />

Pemanasan ke<br />

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata<br />

Gambar 5 Rata-rata kadar air sie reuboh selama pemanasan<br />

Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 20), pemanasan sie reuboh<br />

memberikan pengaruh yang nyata (α


nyata antara kontrol dengan pemanasan ke-2, 3, dan 5 yaitu menunjukkan<br />

semakin banyak pemanasan maka semakin rendah kadar air sie reuboh.<br />

Adanya proses pemanasan menyebabkan semakin rendahnya kadar air,<br />

tetapi hal ini tidak terlihat pada pemanasan ke-4 sampai ke-6. Dengan semakin<br />

banyaknya proses pemanasan justru semakin meningkatkan kadar air sie<br />

reuboh. Hal ini diduga terkait dengan adanya penambahan air sebanyak 100 ml<br />

pada saat setiap kali pemanasan dilakukan. Dan karena adanya laju penguapan<br />

yang berbeda-beda pada saat pemanasan, laju penguapan ini tidak bisa dikontrol<br />

secara sempurna mengingat kelembaban lingkungan setiap saat dapat berubah.<br />

Air yang terikat di dalam otot daging dapat dibagi menjadi tiga<br />

kompartemen air, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar<br />

4-5% sebagai lapisan monomolekuler pertama. Air terikat agak lemah sebagai<br />

lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, kira-kira sebesar 4%, dan<br />

lapisan ketiga adalah molekul-molekul air bebas diantara molekul protein,<br />

berjumlah kira-kira 10% (Soeparno 1998). Air yang terikat secara kimia lebih<br />

sulit untuk dibebaskan dibandingkan dengan air bebas dan air terikat pada<br />

lapisan kedua.<br />

Pada pemanasan awal, air bebas dalam otot akan dibebaskan terlebih<br />

dahulu, dan hal ini diduga menjadi penyebab turunnya kadar air selama<br />

pemanasan ke-1 sampai ke-3. Terjadinya penurunan kadar air ini pun didukung<br />

dengan adanya penambahan garam pada sie reuboh. Menurut Huffman et al<br />

(1996), penambahan garam pada bahan pangan dapat menggantikan kedudukan<br />

air dalam jaringan bahan pangan tersebut sehingga dapat membatasi air yang<br />

tersedia dan mengeringkan protoplasma. Dengan demikian air yang ada dalam<br />

daging akan keluar dan kedudukan air digantikan oleh garam sampai tercapai<br />

suatu tekanan osmosis dan seimbang. Akibatnya sisa cairan dalam daging<br />

semakin mengental dan protein akan menggumpal (terdenaturasi), selanjutnya<br />

daging akan mengkerut.<br />

Semakin banyaknya pengulangan pemanasan yang dilakukan terhadap<br />

sie reuboh, jaringan otot daging pun semakin lunak. Hal ini diduga karena<br />

adanya proses denaturasi protein daging oleh panas. Proses denaturasi protein<br />

akibat pemanasan dapat membebaskan molekul air terikat di lapisan pertama<br />

dan kedua karena adanya kerusakan pada struktur primer, sekunder, dan tersier<br />

protein sehingga kemampuan untuk mengikat airnya sangat menurun sehingga<br />

meningkatkan kadar air produk itu sendiri dan jaringan menjadi lunak (Wismer-<br />

33


Pedersen (1972) diacu dalam Soeparno (1998), sehingga diduga pada<br />

pemanasan ke-4 sampai ke-6 bertambahnya air disebabkan oleh bebasnya<br />

molekul air pada bagian tersebut.<br />

Kadar Protein<br />

Protein merupakan bagian yang sangat penting karena pada sebagian<br />

besar jaringan tubuh, protein adalah komponen terbesar setelah air. Protein juga<br />

merupakan sumber asam-asam amino, yang mengandung unsur C, H, O, dan N<br />

yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat (Winarno 1997).<br />

Kadar protein sie reuboh berkisar antara 62,60-82,36% (bk). Secara<br />

keseluruhan besarnya kadar protein dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil<br />

penelitian yang dilakukan oleh Dalilah (2006) menunjukkan bahwa kadar protein<br />

kasar pada daging sapi segar sebesar 19,00% bb. Hasil penelitian terhadap sie<br />

reboh kontrol didapatkan kadar protein kasar sebesar 33,95% bb (82,36% bk).<br />

Berdasarkan berat basah didapatkan kenaikan kadar protein kasar daging sapi<br />

segar menjadi sie reuboh kontrol sebesar 44,04%. Kadar protein dari hasil<br />

produk olahan daging lainnya dapat dilihat pada Tabel 11.<br />

Tabel 11 Kadar protein hasil olahan daging (% bk) secara in vitro<br />

Produk olahan lain<br />

Sie<br />

Daging Segar<br />

Sosis Bakso Dendeng Panggang Abon<br />

reuboh<br />

kontrol<br />

Sapi* 76,40 35,36 36,70 36,30 51,04 39,87 82,36<br />

Domba** 80,78 32,25 39,87 39,00 54,09 36,23 -<br />

Ayam 91,03 43,85 54,18 39,53 79,30 38,49 -<br />

boiler***<br />

Ayam 47,21 37,19 35,26 46,09 58,08 38,42 -<br />

kampung****<br />

Sumber : * Dalilah (2006)<br />

** Ridwan (2006)<br />

*** Nurjamilah (2006)<br />

**** Riyanto (2006)<br />

Tabel 11 memperlihatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh oleh Dalilah<br />

(2006), Ridwan (2006), dan Nurjamilah (2006), bahwa kadar protein produk<br />

olahan daging menjadi lebih rendah dibandingkan dengan daging segar.<br />

Penelitian yang dilakukan oleh Riyanto (2006) kadar protein produk olahan<br />

daging ayam kampung yaitu daging panggang yang hanya mengalami<br />

peningkatan kadar protein yaitu sebesar 10,87%.<br />

34


Rata-rata kadar protein (%bk)<br />

100<br />

Mengacu pada Riyanto (2006), kenaikan kadar protein hasil olahan<br />

dibandingkan dengan produk segarnya disebabkan rendahnya kadar air pada<br />

produk olahan yang disebabkan proses pengolahan oleh panas. Penurunan<br />

kadar air selama proses pemasakan dapat meningkatkan kadar protein pada<br />

produk olahan. Ranken (2000) menyebutkan bahwa pemanasan dengan suhu<br />

tinggi akan menyebabkan kehilangan air yang lebih tinggi sehingga akan<br />

meningkatkan jumlah lemak, karbohidrat, dan protein.<br />

Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 24) terhadap kadar protein<br />

menunjukkan bahwa pemanasan pada sie reuboh berpengaruh nyata (α


Muchtadi (1989) menjelaskan lebih lanjut bahwa sumber utama<br />

menurunnya nilai gizi protein bahan pangan selama pengolahan dan pemasakan<br />

adalah reaksi pencoklatan non-enzimatis (reaksi Maillard). Reaksi Maillard<br />

dengan beberapa gula (khususnya gula pereduksi) dapat menyebabkan<br />

penurunan kualitas protein, yaitu hilangnya residu asam amino dan penurunan<br />

kecernaan protein. Penurunan nilai gizi yang disebabkan oleh reaksi Maillard<br />

selama pengolahan dan pemasakan terjadi karena adanya reaksi antara gula<br />

pereduksi dengan protein (asam amino) daging yang ditambah bumbu.<br />

Reaksi Maillard dapat terjadi akibat adanya protein, gula pereduksi<br />

(glukosan dan fruktosa), dan panas. Otot daging mengandung glikogen, oleh<br />

enzim atau asam gikogen dipecah menjadi glukosa, sehingga reaksi Maillard<br />

terjadi selama pemanasan.<br />

Sie reuboh merupakan makanan khas Aceh yang memadukan daging<br />

dan lemak dalam pembuatannya. Interaksi antara protein daging dan lipid yang<br />

teroksidasi karena pengaruh panas juga dapat menyebabkan penurunan nilai gizi<br />

protein. Muchtadi (1989) menyatakan bahwa produk-produk yang terbentuk saat<br />

oksidasi lipid dapat bereaksi dengan protein terutama asam amino triptofan dan<br />

asam-asam amino yang mengandung belerang dapat rusak teroksidasi oleh<br />

radikal bebas dan hidroperoksida.<br />

Daya Cerna Protein (In Vitro)<br />

Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisa menjadi asam-asam amino<br />

oleh enzim-enzim pencernaan (protease) dikenal dengan istilah daya cerna atau<br />

nilai kecernaan. Jumlah asam-asam amino yang dapat diserap dan digunakan<br />

oleh tubuh dalam jumlah tinggi ditunjukkan oleh suatu protein yang mudah<br />

dicerna. Sebaliknya suatu protein yang sukar dicerna berarti jumlah asam-asam<br />

amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh rendah, karena sebagian<br />

besar akan dibuang oleh tubuh bersama feses (Muchtadi et al. 1993).<br />

Daya cerna protein sie reuboh berkisar antara 79,83-87,42%. Penelitian<br />

Dalilah (2006) menyatakan bahwa daya cerna daging sapi segar sebesar 79,03<br />

%. Daya cerna protein daging mengalami peningkatan setelah diolah menjadi sie<br />

reuboh. Daya cerna sie reuboh kontrol yang mencapai 87,42% menunjukkan<br />

bahwa 87,42% dari seluruh protein yang dikandungnya dapat dicerna secara in<br />

vitro. Besarnya daya cerna protein sie reuboh selama pemanasan dapat dilihat<br />

pada Gambar 7.<br />

36


Rata-rata daya cerna protein (%)<br />

100<br />

80<br />

60<br />

40<br />

20<br />

0<br />

a<br />

87.42<br />

ab<br />

85.17<br />

ab<br />

85.06<br />

b<br />

83.49<br />

bc<br />

83.09<br />

cd<br />

80.92<br />

Kontrol 1 2 3 4 5 6<br />

Pemanasan ke<br />

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata<br />

d<br />

79.83<br />

Gambar 7 Rata-rata daya cerna protein sie reuboh selama pemanasan<br />

Tabel 12 menunjukkan bahwa proses pengolahan panas memberikan<br />

pengaruh yang berbeda terhadap daya cerna protein pada setiap produk olahan<br />

daging. Peningkatan daya cerna protein terlihat pada produk bakso dan sie<br />

reuboh pada pemanasan kontrol. Peningkatan daya cerna protein pada sie<br />

reuboh diduga karena adanya proses denaturasi selama proses pemanasan.<br />

Denaturasi protein mengakibatkan terbukanya susunan tiga dimensi<br />

molekul protein menjadi struktur yang acak (Lehninger 1998). Dengan<br />

terbukanya lipatan protein menyebabkan enzim pencernaan lebih mudah untuk<br />

menghidrolisis dan mudah memecah protein menjadi monomer-monomer.<br />

Tabel 12 Daya cerna protein berbagai olahan daging (%) secara in vitro<br />

Produk olahan lain<br />

Sie<br />

Daging Segar<br />

Sosis Bakso Dendeng Panggang Abon<br />

reuboh<br />

kontrol<br />

Sapi* 79,03 89,60 83,27 61,59 59,73 58,87 87,42<br />

Domba** 78,09 79,68 90,77 64,13 75,41 70,26 -<br />

Ayam 90,71 86,51 82,33 71,35 77,88 73,84 -<br />

boiler***<br />

Ayam 85,46 80,80 93,20 53,97 71,53 60,77 -<br />

kampong****<br />

Sumber : * Dalilah (2006)<br />

** Ridwan (2006)<br />

*** Nurjamilah (2006)<br />

**** Riyanto (2006)<br />

Rendahnya daya cerna protein abon, dendeng, dan daging panggang<br />

dibandingkan dengan sosis dan bakso diduga berkaitan dengan suhu yang<br />

digunakan dalam pengolahan. Proses pembuatan bakso dan sosis yang dapat<br />

menyebabkan denaturasi antara lain penggilingan dan perebusan. Suhu yang<br />

37


dipakai untuk perebusan bakso hanya sekitar 80°C. Pemanasan yang dilakukan<br />

dalam pembuatan sosis berkisar antara 65°C. Dalam pembuatan abon dilakukan<br />

pengukusan dengan menggunakan suhu 95°C, penggorengan dengan suhu<br />

150°C, dan pengerigan dengan oven pada suhu 130°C. Pembuatan daging<br />

panggang menggunakan suhu sekitar 120°C dan dendeng mengalami<br />

pengeringan pada suhu 70°C dan penggorengan pada suhu 120°C. Penggunaan<br />

suhu yang tinggi dan pengolahan yang lebih dari satu kali pada abon, dendeng,<br />

dan daging panggang diduga dapat menyebabkan tidak hanya terjadi denaturasi<br />

tetapi juga raseminasi protein sehingga daya cerna dari ketiga produk olahan ini<br />

lebih rendah.<br />

Menurut Sediaoetama (1991) protein tergolong baik bila daya cernanya<br />

sama atau lebih besar dari 80%, sehingga nilai kecernaan protein sie reuboh<br />

selama proses pemanasan dalam penelitian ini tergolong baik karena berkisar<br />

antara 79,83-87,42%. Hanya pada pemanasan ke-6 kualitas daya cerna sie<br />

reuboh lebih rendah dari 80% dan berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran<br />

26) terhadap daya cerna protein menunjukkan bahwa pemanasan berulang pada<br />

sie reuboh berpengaruh nyata (α


Perlakuan pemanasan yang terus berulang pada sie reuboh merupakan<br />

pemanasan dengan menggunakan suhu lebih tinggi dari 100°C. Winarno (1997)<br />

menyatakan bahwa penggunaan suhu pemasakan lebih dari 100°C<br />

menyebabkan menurunnya kecernaan. Suhu tinggi menyebabkan tidak hanya<br />

membuka lipatan protein akan tetapi sudah sampai memotong potein menjadi<br />

bagian-bagian kecil yang mungkin sudah menjadi protein asing bagi enzim.<br />

Winarno menambahkan denaturasi berat menyebabkan protein terpotong dan<br />

bersifat irreversible. Protein yang telah terdegradasi tidak dikenali lagi oleh<br />

enzim. Enzim memiliki daya kerja yang spesifik sehingga hanya memecah<br />

protein-protein yang dikenalinya saja.<br />

Adanya interaksi antara semua komponen-komponen yang ditambahkan<br />

dalam pembuatan sie reuboh diduga pula dapat mempengaruhi penurunan daya<br />

cerna protein sie reuboh selama pengulangan pemanasan. Muchtadi (1993)<br />

menjelaskan bahwa menurunnya daya cerna protein pada suatu makanan<br />

olahan dapat terjadi karena adanya interaksi antara komponen protein dan lipid,<br />

misalnya terjadinya raseminasi asam amino (bentuk L menjadi bentuk D) dan<br />

juga reaksi antara asam amino.<br />

Perubahan bentuk asam amino L menjadi D diduga menyebabkan enzim<br />

pencernaan tidak reaktif. Asam amino bentuk D tidak dapat dimanfaatkan oleh<br />

tubuh. Demikian juga ikatan peptide L-D, D-L, atau D-D tidak dapat diserang oleh<br />

enzim proteolitik sehingga daya cerna protein menurun (Muchtadi 1993).<br />

Peranan senyawa-senyawa anti nutrisi terhadap penyerapan protein yang<br />

terdapat secara alami dalam bahan pangan dapat mengakibatkan kerusakan<br />

protein (Muchtadi 1989). Senyawa anti nutrisi ini sebagian terdapat dalam<br />

rempah-rempah, misalnya senyawa tanin yang terdapat pada kunyit dan<br />

lengkuas.<br />

Kadar Lemak<br />

Lemak merupakan bagian integral dari semua bahan. Lemak berperan<br />

dalam menambahan kalori serta memperbaiki tekstur dan citarasa bahan pangan<br />

(Winarno 1997). Kandungan lemak pada daging sapi segar menurut Departemen<br />

Kesehatan RI (1995) adalah 14%. Rerata umum kadar lemak sie reuboh pada<br />

penelitian ini adalah 22,00% bk dan berkisar antara 19,47-24,95 % bk (Gambar<br />

9). Adanya peningkatan kadar lemak pada sie reuboh dikarenakan adanya<br />

39


penambahan lemak sapi pada proses pembuatan sie reuboh yaitu seberat 600 g<br />

untuk 2000 g daging sapi.<br />

Rata-rata kadar lemak (%bk)<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

Hasil analisis ragam (Lampiran 22) menunjukkan pemanasan<br />

memberikan pengaruh yang nyata (α


penampakan (aroma, rasa, mouthfeel, dan aftertaste) dan tekstur (kekerasan,<br />

kelembutan, konsistensi, kekenyalan, dan kerenyahan).<br />

Di satu sisi pengolahan dapat menghasilkan produk pangan dengan sifat-<br />

sifat yang diinginkan yaitu aman, bergizi dan dapat diterima dengan baik secara<br />

sensori. Di sisi lain, pengolahan juga dapat menimbulkan hal yang sebaliknya<br />

yaitu menghasilkan senyawa toksik sehingga produk menjadi kurang atau tidak<br />

aman, kehilangan zat-zat gizi dan perubahan sifat sensori ke arah yang kurang<br />

disukai dan kurang diterima seperti perubahan warna, tekstur, bau dan rasa yang<br />

kurang atau tidak disukai. Hasil analisis kerusakan lemak pada sie reuboh akibat<br />

pemanasan tersaji pada tabel 13.<br />

Tabel 13 Hasil analisis kerusakan lemak sie reuboh selama pemanasan<br />

Pemanasan<br />

Asam lemak bebas (ml<br />

NaOH 0,1 N/100 ml)<br />

Bilangan peroksida<br />

(mg O2/100g)<br />

Bilangan TBA<br />

Kontrol 9.78 3.57 0.99<br />

Asam Lemak Bebas<br />

1 11.03 5.56 1.03<br />

2 12.60 7.23 1.25<br />

3 16.03 8.40 1.36<br />

4 15.87 10.00 1.56<br />

5 15.93 11.13 1.92<br />

6 19.86 13.32 2.25<br />

Jumlah asam-asam lemak bebas yang semakin meningkat merupakan<br />

tanda dari adanya proses ketengikan dalam bahan pangan. Asam-asam lemak<br />

bebas dihasilkan dari proses hidrolisis karena terdapatnya sejumlah air dalam<br />

lemak atau minyak. Hasil hidrolisa lemak dalam bahan pangan tidak hanya<br />

mengakibatkan bau yang tidak enak, tetapi juga dapat menurunkan nilai gizi,<br />

karena kerusakan vitamin larut lemak dan asam lemak esensial dalam lemak<br />

(Ketaren 1989).<br />

Total asam tertitrasi sie reuboh selama pemanasan berkisar antara 9,78-<br />

19,86 ml NaOH 0,1 N/ 100 g. Kadar asam lemak sie reuboh sebelum perlakuan<br />

pemanasan (kontrol) adalah 9,78 ml NaOH 0,1 N/ 100 g, selanjutnya mengalami<br />

peningkatan sampai pemanasan ke-6. Histogram perubahan kadar asam lemak<br />

bebas pada sie reuboh selama pemanasan disajikan pada Gambar 10.<br />

41


Rata-rata asam lemak bebas<br />

(mlNaOH 0,1N/100g)<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

a<br />

9.78<br />

a<br />

11.03<br />

b<br />

12.6<br />

c<br />

16.03<br />

c<br />

15.87<br />

c<br />

15.93<br />

d<br />

19.86<br />

Kontrol 1 2 3 4 5 6<br />

Pemanasan ke<br />

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata<br />

Gambar 10 Rata-rata kadar asam lemak bebas sie reuboh selama pemanasan<br />

Hasil analisis ragam (Lampiran 30) terhadap kadar asam lemak<br />

menunjukkan bahwa pemanasan berpengaruh nyata (α


mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida<br />

(Ketaren 1986). Bilangan peroksida dapat digunakan sebagai petunjuk adanya<br />

kerusakan oksidatif pada minyak atau lemak. Peroksida merupakan produk<br />

pertama dari reaksi otooksidasi.<br />

Rata-rata bilangan peroksida<br />

(mg O2/100g)<br />

Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau tengik yang disebut<br />

proses ketengikan. Proses ketengikan sangat dipengaruhi oleh adanya<br />

prooksidan dan antioksidan. Prooksidan akan mempercepat terjadinya oksidasi<br />

sedangkan antioksidan akan menghambatnya (Winarno 1997).<br />

Bilangan peroksida sie reuboh selama pemanasan berkisar antara 3,57-<br />

13,32 mg O2/100 g. Bilangan peroksida pada sie reuboh kontrol adalah 3,57 mg<br />

O2/100 g selanjutnya mengalami peningkatan sampai pemanasan ke-6.<br />

Histogram perubahan bilangan peroksida pada sie reuboh selama pemanasan<br />

disajikan pada Gambar 11.<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

a<br />

3.57<br />

b<br />

5.56<br />

c<br />

7.23<br />

d<br />

8.40<br />

e<br />

10.00<br />

f<br />

11.13<br />

Kontrol 1 2 3 4 5 6<br />

Pemanasan ke<br />

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata<br />

g<br />

13.32<br />

Gambar 11 Rata-rata bilangan peroksida sie reuboh selama pemanasan<br />

Hasil analisis ragam (Lampiran 28) terhadap bilangan peroksida<br />

menunjukkan bahwa pengulangan pemanasan berpengaruh nyata (α


Peningkatan bilangan peroksida secara nyata selama pemanasan<br />

menunjukkan bahwa telah terjadi reaksi oksidasi pada produk. Proses oksidasi<br />

dapat terjadi bila ada kontak antara minyak atau lemak dengan oksigen. Oksidasi<br />

ini terjadi pada ikatan tidak jenuh dalam asam lemak. Pada suhu kamar sampai<br />

suhu 100°C, setiap 1 ikatan tidak jenuh dapat mengabsorbsi 2 atom oksigen,<br />

sehingga terbentuk persenyawaan peroksida yang bersifat labil (Ketaren 1986).<br />

Menurut Ketaren (1986), bahan pangan akan bersifat sangat beracun dan<br />

tidak dapat dimakan jika bilangan peroksida dalam bahan pangan lebih dari 100<br />

mg O2/100g. Oleh karena itu, sie reuboh yang mengalami pemanasan berulang<br />

sebanyak enam kali dan penyimpanan selama 12 hari masih dapat dikonsumsi<br />

karena kadar peroksida sie reuboh masih berada di bawah 100 O2/100 g.<br />

Oksidasi dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida<br />

dengan peningkatan oksigen pada ikatan rangkap pada asam lemak tidak jenuh.<br />

Kenaikan bilangan peroksida merupakan salah satu indikator dan peringatan<br />

bahwa produk sebentar lagi akan berbau tengik dan mengalami kerusakan. Pada<br />

saat produk yang mengandung minyak atau lemak berbau tengik, bilangan<br />

peroksida turun karena akan terurai (Ketaren 1986).<br />

Pembentukkan peroksida juga mempunyai korelasi dengan tipe dan<br />

jumlah radikal bebas dalam lemak serta kecepatan proses oksidasinya<br />

tergandung dari tipe lemak dan kondisi penyimpanan (Ketaren 1986). Kandungan<br />

gula yang tinggi dapat berperan untuk menghambat porses timbulnya reaksi<br />

oksidasi dan ketengikan (Winarno 1997).<br />

Bilangan TBA (Thiobarbituric Acid)<br />

TBA adalah suatu test kimia untuk uji ketengikan yang dapat digunakan<br />

pada bermacam-macam bahan dan merupakan uji yang paling sering digunakan<br />

untuk mengukur ketengikan. Uji TBA merupakan uji yang spesifik untuk hasil<br />

oksidasi asam lemak tidak jenuh dan dapat digunakan pada produk makanan<br />

sehari-hari yang proporsi asam lemak tidak jenuhnya rendah Kelebihan lain dari<br />

uji ini adalah pereaksi TBA dapat digunakan langsung untuk menguji lemak<br />

dalam suatu bahan tanpa mengekstraksi fraksi lemaknya (Ketaren 1986).<br />

TBA mengukur warna merah muda yang dihasilkan oleh pereaksi TBA<br />

dengan malonaldehid. Warna merah muda ini diketahui merupakan bentuk<br />

kondensasi produk antara dua molekul TBA dengan satu molekul malinic<br />

dialdehid. Malonaldehid merupakan produk oksidasi lanjut yang berasal dari<br />

44


aldehid tidak jenuh yang merupakan hasil pemecahan hidroperoksida. Uji TBA<br />

memiliki kelemahan, yaitu TBA tidak stabil dan terurai dalam kondisi yang panas<br />

dan tinggi asam, terutama bila ada peroksida. Produk uraian ini dapat menyerap<br />

pada gelombang yang sama dengan TBA (Ketaren 1986).<br />

Rata rata bilangan TBA (ppm)<br />

3<br />

2<br />

1<br />

0<br />

Bilangan TBA sie reuboh selama pemanasan berkisar antara 0,99-2,25<br />

ppm. Bilangan TBA sie reuboh sebelum perlakuan pemanasan (kontrol) adalah<br />

0,99 ppm dan sampai pemanasan ke-6 bilangan TBA mengalami peningkatan<br />

sampai 2,25 ppm. Histogram perubahan kadar TBA pada sie reuboh selama<br />

pemanasan disajikan pada Gambar 12.<br />

a<br />

0.99<br />

a<br />

1.03<br />

b<br />

1.25<br />

b<br />

1.36<br />

c<br />

1.56<br />

d<br />

1.92<br />

Kontrol 1 2 3 4 5 6<br />

Pemanasan ke<br />

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata<br />

Gambar 12 Rata-rata bilangan TBA sie reuboh selama pemanasan<br />

e<br />

2.25<br />

Hasil analisis ragam (Lampiran 32) menunjukkan bahwa proses<br />

pemanasan berulang berpengaruh nyata pada kadar TBA (α


tetapi tanda-tanda awal dari kerusakan sudah ada yaitu dengan TBA meningkat<br />

(Ketaren 1986).<br />

Jumlah Mikroba<br />

Rata-rata jumlah mikroba (log<br />

koloni/ ml)<br />

Analisis kuantitatif mikroba pada bahan pangan penting dilakukan untuk<br />

mengetahui mutu bahan pangan dan menghitung proses pengawetan yang akan<br />

diterapkan pada bahan pangan tersebut. Jumlah dan jenis jasad renik pada<br />

makanan yang telah diolah selain dipengaruhi oleh sifat bahan pangan juga<br />

dipengaruhi oleh ketahanan mikroorganisme terhadap proses pengolahan yang<br />

diterapkan terhadap makanan tersebut (Fardiaz 1992).<br />

Metode yang dilakukan dalam penentuan jumlah total mikroba pada<br />

penelitian ini adalah metode hitungan cawan. Prinsip dari metode hitungan<br />

cawan adalah jumlah mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada medium<br />

agar, mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat<br />

dilihat langsung dan dihitung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop<br />

(Fardiaz 1992).<br />

Gambar 13 memperlihatkan kurva pertumbuhan mikroba selama<br />

pemanasan berulang yang terlihat persis dengan kurva pertumbuhan<br />

mikroorganisme umumnya, yaitu berbentuk hutuf u terbalik. Menurut Fardiaz<br />

(1992) pertumbuhan mikroorganisme melalui beberapa fase, yaitu fase<br />

pertumbuhan, fase logaritma, fase pertumbuhan yang mulai terhambat, dan fase<br />

kematian. Fase pertumbuhan dan fase logaritma terdapat pada sie reuboh<br />

kontrol sampai pemanasan ke-3, fase pertumbuhan tetap berjadi pada<br />

pemanasan ke-3 samapai 4, fase pertumbuhan mulai terhambat terlihat pada<br />

pemanasan ke-4 sampai pemanasan ke-6.<br />

5<br />

4<br />

3<br />

2<br />

1<br />

0<br />

a<br />

2.2<br />

ab<br />

2.69<br />

ab<br />

2.85<br />

b<br />

4.28<br />

b<br />

4.21<br />

ab<br />

3.32<br />

Kontrol 1 2 3 4 5 6<br />

Pemanasan ke<br />

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata<br />

Gambar 13 Rata-rata jumlah mikroba selama pemanasan<br />

ab<br />

3.05<br />

46


Jumlah mikroba sie reuboh selama pemanasan berkisar antara 2,20-4,28<br />

log koloni per ml dan secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 13. Hasil<br />

analisis ragam (Lampiran 34) menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan tidak<br />

berpengaruh nyata (α > 0,05) terhadap pertumbuhan jumlah mikroba sie reuboh.<br />

Penelitian yang dilakukan oleh Murhadi (1994) terhadap efektifitas bumbu<br />

rendang terhadap jumlah mikroba menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan<br />

dapat menekan perkembangan mikroba selama penyimpanan. Pemanasan<br />

selama 5 menit (70-75°C) setelah waktu penyimpanan dapat menurunkan total<br />

mikroba terutama setelah penyimpanan 12 dan 24 jam. Pemanasan tersebut<br />

sangat efektif menurunkan total mikroba masing-masing dari 3,1x10 3 koloni/g<br />

menjadi berkurang mendekati jumlah 5,0x10 2 koloni/g.<br />

Ketahanan mikroba terhadap panas mempunyai peranan penting dalam<br />

menentukan tipe mikroorganisme mana yang akhirnya banyak terdapat setelah<br />

perlakuan pemanasan (Fardiaz 1992). Kandungan air yang tinggi dalam medium<br />

pemanasan akan mempercepat proses denaturasi protein mikroba yang diduga<br />

akibat terbentuknya gugus sufhidril (-SH) yang mengakibatkan peningkatan<br />

kapasitas mengikat air oleh protein. Adanya air yang terikat pada protein inilah<br />

yang mempermudah pemecahan ikatan-ikatan peptida atau protein sehingga<br />

ketahanan panas mikroba menurun.<br />

Batas aman yang ditetapkan SNI untuk jumlah mikroba dalam bahan<br />

makanan adalah 10 6 atau 6 log koloni/ ml. Jumlah tertinggi mikroba dalam sie<br />

reboh terdapat pada pemanasan ke tiga yaitu sebesar 4,28 log koloni/ ml dan<br />

jumlah ini masih dalam batas aman yang ditetapkan oleh SNI.<br />

Penelitian Edy (1998) diacu dalam Suyasa (2002) menyatakan bahwa<br />

bumbu rendang memiliki aktivitas antimikroba terhadap flora mikroba yang<br />

terdapat pada ekstrak daging, santan serta campuran daging dan santan. Efek<br />

penghambatan bumbu rendang terhadap beberapa bakteri yang diujikan diduga<br />

karena adanya aktivitas antimikroba rempah-rempah dalam bumbu terutama<br />

cabe merah selain dari pengaruh pemanasan itu sendiri. Komponen antimikroba<br />

setelah dipanaskan akan terurai menjadi komponen-komponen yang lebih mudah<br />

berpenetrasi ke dalam sel mikroba, merusak dinding sel, sitoplasma, dan<br />

mengkoagulasi protein sel mikroba sehingga menyebabkan kematian mikroba.<br />

Senyawa alifatik selain kapsaisin seperti senyawa disulfida yang terdapat<br />

pada bawang merah, alisin pada bawang putih, kurkumin pada kunyit, dan<br />

47


senyawa antimikroba pada komponen rempah-rempah lainnya bersifat saling<br />

memperkuat efek penghambatan bumbu sie reuboh terhadap mikroba.<br />

Penambahan asam (cuka aren) juga diduga memiliki pengaruh terhadap<br />

jumlah mikroba pada sie reuboh. Pemberian asam ke dalam bahan pangan<br />

daging mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya mendapatkan citarasa<br />

yang diinginkan serta berkhasiat dalam mencegah pertumbuhan mikroba, karena<br />

dapat menurunkan pH pada bahan pangan.<br />

Uji Kesukaan Sie Reuboh setelah Pemanasan Berulang<br />

Uji kesukaan terhadap sie reuboh setelah pemanasan berulang terdiri dari<br />

respon terhadap warna, aroma, rasa, dan keempukan. Menurut Meigaard et al.<br />

(2000), dalam uji kesukaan indera yang berperan adalah indera penglihatan,<br />

pencicipan, peraba, dan pendengara. Untuk produk pangan yang paling jarang<br />

digunakan adalah indera pendengaran. Pelaksanakan penilaian kesukaan ini<br />

diperlukan panel. Panel ini terdiri dari orang atau kelompok yang bertugas<br />

menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan subjektif.<br />

Panelis yang digunakan dalam penelitian lanjutan ini terdiri dari 30 orang<br />

panelis. Uji kesukaan ini bertujuan untuk melihat tingkat kesukaan panelis<br />

terhadap karakteristik sie reuboh yang telah mengalami pemanasan berulang.<br />

Warna<br />

Warna makanan memiliki peranan utama dalam penampilan makanan,<br />

meskipun makanan tersebut lezat, tetapi bila penampilan tidak menarik waktu<br />

disajikan akan mengakibatkan selera orang yang akan memakannya menjadi<br />

hilang (Moehyi 1992). Warna biasanya merupakan tanda kemasakan atau<br />

kerusakan dari makanan, seperti perlakuan penyimpanan yang memungkinkan<br />

adanya perubahan warna. Oleh karena itu untuk mendapatkan warna yang<br />

sesuai dan menarik harus digunakan tehnik memasak tertentu atau dengan<br />

penyimpanan yang baik (Meilgaard et al. 2000).<br />

Rerata umum kesukaan warna sie reuboh pada penelitian ini adalah 5,06<br />

dan berkisar antara 4,68-5,28 (biasa-agak suka) dan secara keseluruhan dapat<br />

dilihat pada Gambar 14. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 14),<br />

pemanasan berulang sie reuboh memberikan pengaruh yang nyata (α


sie reuboh pada pemanasan ke-6 (hari ke-12) yaitu warna menjadi semakin<br />

pekat. Semakin pekat sie reuboh selama pemanasan berulang diduga<br />

disebabkan karena oleh adanya proses pencoklatan yang terjadi karena reaksi<br />

Maillard. Reaksi Maillard adalah suatu reaksi gula dengan senyawa amino<br />

dimana tahap akhir akan membentuk polimer coklat atau melanoidin<br />

(Apriyantono 2001).<br />

6<br />

5<br />

4<br />

3<br />

2<br />

1<br />

0<br />

ab<br />

5.06<br />

b<br />

5.28<br />

b<br />

5.21<br />

a<br />

4.68<br />

Rata-rata kesukaan warna Gambar 14 menunjukkan adanya penurunan kesukaan terhadap warna<br />

Kontrol 2 4 6<br />

Pemanasan ke-<br />

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata<br />

Aroma<br />

Gambar 14 Rata-rata kesukaan warna sie reuboh selama pemanasan<br />

Aroma adalah rasa dan bau yang sangat subyektif serta sulit diukur,<br />

karena setiap orang mempunyai sensitifitas dan kesukaan yang berbeda.<br />

Meskipun mereka dapat mendeteksi, tetapi setiap individu memiliki kesukaan<br />

yang berlainan (Meilgaard et al. 2000). Timbulnya aroma makanan disebabkan<br />

oleh terbentuknya senyawa yang mudah menguap. Aroma yang dikeluarkan<br />

setiap makanan berbeda-beda. Selain itu, cara memasak yang berbeda akan<br />

menimbulkan aroma yang berbeda pula (Moehyi 1992).<br />

Rata-rata umum kesukaan aroma sie reuboh pada penelitian ini adalah<br />

5,22. dan berkisar antara 4,99-5.38 (biasa-agak suka) dan secara keseluruhan<br />

dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 14),<br />

pemanasan berulang sie reuboh memberikan pengaruh yang tidak nyata<br />

(α>0,05) terhadap kesukaan aroma selama pemanasan berulang.<br />

Pemberian rempah-rempah pada makanan dapat meningkatkan citarasa,<br />

aroma, nilai organoleptik, merangsang selera, dan merangsang pencernaan<br />

(Sinaga 2006). Kandungan lemak dalam daging pun ikut menentukan kualitas<br />

49


daging, karena lemak merupakan komponen yang menentukan dan membentuk<br />

citarasa dan aroma khas pada daging (Buckle et al. 1985).<br />

Rasa<br />

Rata-rata kesukaan aroma<br />

6<br />

5<br />

4<br />

3<br />

2<br />

1<br />

0<br />

5.20<br />

5.29<br />

4.99<br />

Kontrol 2 4 6<br />

Pemanasan ke<br />

Gambar 15 Rata-rata kesukaan aroma sie reuboh selama pemanasan<br />

Rasa makanan merupakan faktor kedua yang mempengaruhi citarasa<br />

makanan setelah penampilan makanan itu sendiri (Moehyi 1992). Rasa<br />

merupakan tanggapan atas adanya rangsangan kimiawi yang sampai di indera<br />

pengecap lidah, khususnya jenis rasa dasar yaitu manis, asin, asam, dan pahit<br />

(Meilgaard et al. 2000).<br />

Pada konsumsi tinggi indera pengecap akan mudah mengenal rasa-rasa<br />

dasar tersebut. Beberapa komponen yang berperan dalam penentuan rasa<br />

makanan adalah aroma makanan, bumbu masakan dan bahan makanan,<br />

keempukan atau kekenyalan makanan, kerenyahan makanan, tingkat<br />

kematangan dan temperatur makanan (Meilgaard et al. 2000).<br />

Rerata umum kesukaan warna sie reuboh pada penelitian ini adalah 5,20.<br />

dan berkisar antara 4,82-5,63 (biasa - agak suka) dan secara keseluruhan dapat<br />

dilihat pada Gambar 16. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 14),<br />

pemanasan berulang sie reuboh memberikan pengaruh yang nyata (α


Rata-rata kesukaan rasa<br />

6<br />

5<br />

4<br />

3<br />

2<br />

1<br />

0<br />

a<br />

4.82<br />

a<br />

5.08<br />

a<br />

5.09<br />

Kontrol 2 4 6<br />

Pemanasan ke<br />

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata<br />

b<br />

5.63<br />

Gambar 16 Rata-rata kesukaan rasa sie reuboh selama pemanasan<br />

Gambar 16 memperlihatkan bahwa selama proses pemanasan berulang<br />

terjadi kenaikan kesukaan terhadap rasa sampai pemanasan ke-6. Hal ini diduga<br />

karena dengan semakin banyaknya proses pemanasan yang dilakukan dapat<br />

menyebabkan semakin meresapnya bumbu, adanya lemak pada sie reuboh<br />

dapat berfungsi memberi rasa dan keharuman yang lebih baik pada makanan.<br />

Kandungan lemak dalam daging pun ikut menentukan kualitas makanan, karena<br />

lemak merupakan komponen yang menentukan dan membentuk citarasa dan<br />

aroma khas pada makanan (Winarno 1997).<br />

Tekstur (Keempukan)<br />

Penilaian tekstur makanan dapat dilakukan dengan jari, gigi, dan langit-<br />

langit (tekak). Dari nilai yang diperoleh diharapkan dapat diketahui kualitas<br />

makanan. Menurut Meilgaard et al. (2000). Faktor tekstur diantaranya adalah<br />

rabaan oleh tangan, keempukan, kemudahan dikunyah serta kerenyahan<br />

makanan. Untuk itu cara pemasakan bahan makanan dapat mempengaruhi<br />

kualitas tekstur makanan yang dihasilkan.<br />

Rerata umum kesukaan keempukan sie reuboh pada penelitian ini adalah<br />

5,12 dan berkisar antara 4,79-5,63 (agak suka - suka) dan secara keseluruhan<br />

dapat dilihat pada Gambar 17. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 14),<br />

pemanasan berulang sie reuboh memberikan pengaruh yang nyata (α


nyata, yaitu kesukaan panelis terhadap keempukan sie reuboh semakin<br />

meningkat dengan semakin berulangnya pemanasan.<br />

Rata-rata kesukaan keempukan<br />

6<br />

5<br />

4<br />

3<br />

2<br />

1<br />

0<br />

a<br />

4.79<br />

a<br />

5.01<br />

a<br />

5.03<br />

Kontrol 2 4 6<br />

Pemanasan ke<br />

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata<br />

b<br />

5.63<br />

Gambar 17 Rata-rata kesukaan keempukan sie reuboh selama pemanasan<br />

Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanaskan pada suhu<br />

moderat (60-90°C) selama satu jam atau lebih. Denaturasi adalah perubahan<br />

struktur protein dimana pada keadaan terdenaturasi penuh, hanya struktur primer<br />

protein saja yang tersisa, protein tidak lagi memiliki struktur sekunder, tersier,<br />

dan kuartener (Fennema 1996). Pada pemanasan ke-6 terhadap sie reuboh<br />

mengakibatkan struktur jaringan mengalami kerusakan dan mengalami<br />

pelunakan jaringan.<br />

Pemanasan berulang pada daging akan membuat daging menjadi lebih<br />

lunak daripada keadaan segarnya. Ketika daging dipanaskan atau dimasak<br />

dengan pemanasan terdapat tiga hal yang mempengaruhi proses pelunakan<br />

daging yaitu (1) lemak pada daging meleleh dan memberikan kontribusi terhadap<br />

pelunakan daging, (2) jaringan penghubung kolagen menjadi terlarut di dalam<br />

medium pemanasan, (3) serat-serat otot terpisah dan jaringan menjadi lebih<br />

lunak (Soeparno 1998).<br />

Keamanan Pangan Sie Reuboh<br />

Keamanan pangan tradisional erat kaitannya dengan budaya praktek<br />

higiene perorangan, keluarga dan masyarakat setempat, bahan mentah yang<br />

digunakan, polusi lingkungan, serta kemajuan teknologi dalam pertanian dan<br />

pengolahan pangan. Budaya praktek higiene perorangan sangat besar<br />

peranannya dalam menentukan tingkat pencemaran mikroba dalam makanan<br />

(Winarno 2004).<br />

52


Rata-rata kesukaan<br />

6<br />

5<br />

4<br />

3<br />

2<br />

1<br />

0<br />

Makanan tradisional Indonesia, biasanya memerlukan persiapan dan<br />

pemasakan yang relatif sangat lama. Bahkan beberapa jenis masakan terasa<br />

lebih enak dan lezat bila sudah berumur beberapa hari (wayu), diantara<br />

contohnya adalah gudeg, sayur lodeh, rendang, dan sambel goreng (Winarno<br />

2004).<br />

Teknologi modern telah maju dan pembuatan makanan yang aman<br />

dikonsumsi telah diupayakan, namun foodborne disease masih tetap menjadi<br />

masalah utama dalam kesehatan masyarakat. WHO mendefinisikan foodborne<br />

disease atau keracunan makanan sebagai penyakit yang umumnya bersifat<br />

infeksi atau racun yang disebabkan oleh agent yang masuk ke dalam tubuh<br />

melalui makanan yang dicerna. Dari semua jenis keracunan makanan ternyata<br />

lebih dari 90% disebabkan oleh kontaminasi mikroba, baik yang berasal dari air,<br />

tanah, udara, peralatan, bahan, dan badan manusia (Winarno 2004).<br />

Perlakuan sie reuboh selama pemanasan berakibat pada kerusakan<br />

protein dan lemak. Penurunan mutu protein ditandai dengan semakin<br />

menurunnya daya cerna protein selama pemanasan. Sedangkan kerusakan<br />

lemak ditandai dengan angka asam lemak bebas, bilangan peroksida, dan<br />

bilangan TBA yang semakin meningkat. Kandungan jumlah mikroba tetap berada<br />

di bawah ambang batas yang telah ditetapkan oleh Dewan Standarisasi<br />

Nasional.<br />

Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Winarno (2004), bahwa keracunan<br />

makanan lebih sering disebabkan oleh kontaminasi mikroba yang sudah di atas<br />

ambang batas aman. Dengan demikian sie reuboh dapat digolongkan masih<br />

aman untuk dikonsumsi selama penyimpanan 12 hari dengan pemanasan dua<br />

hari sekali.<br />

5,06<br />

5,28<br />

4,68<br />

5,21<br />

5,2<br />

5,29<br />

4,99<br />

5,38<br />

Warna Aroma Rasa Keempukan<br />

Kesukaan<br />

4,82<br />

5,08<br />

5,09<br />

5,63<br />

4,79<br />

5,01<br />

5,03<br />

5,63<br />

Kontrol<br />

53<br />

Pemanasan 2<br />

Pemanasan 4<br />

Pemanasan 6<br />

Gambar 18 Rata-rata kesukaan secara keseluruhan selama pemanasan


Gambar 18 terlihat bahwa dari segi kesukaan terhadap warna, aroma,<br />

rasa, dan keempukan, sie reuboh pada pemanasan ke-6 memiliki rata-rata<br />

kesukaan aroma, rasa, dan keempukan yang lebih tinggi dari pemanasan yang<br />

lain. Oleh karena itu, dari ketiga rata-rata tertinggi tersebut, dapat dinyatakan<br />

bahwa sampai pemanasan ke-6 ternyata kesukaan terhadap aroma, rasa, dan<br />

keempukan dapat dipertahankan dan masih dapat dikonsumsi dari segi<br />

organoleptik (kesukaan).<br />

54

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!