De Facto
beberapa tulisan dan gambar merupakan hasil pencarian dari mesin pencari. ini adalah project final exam project, yang menjadi fokus adalah desain dari majalah :D
beberapa tulisan dan gambar merupakan hasil pencarian dari mesin pencari. ini adalah project final exam project, yang menjadi fokus adalah desain dari majalah :D
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P, Trimedya<br />
Pandjaitan kepada hukumonlinemenuturkan bahwa proses uji<br />
kelayakan ( t and proper test) di DPR amat kental nuansa politisnya.<br />
“Karena DPR memang lembaga politik.”<br />
Ujungnya, lanjut Trimedya, proses pemberian suara kepada<br />
calon hakim sangat tergantung pada hasil lobi. Lazimnya, seorang<br />
calon akan mendatangi <strong>De</strong>wan Pimpinan Pusat (DPP) partai, pimpinan<br />
fraksi partai di DPR atau anggota komisi di DPR untuk mendapat dukungan.<br />
“Dan bagi anggota komisi, maka dia menjalankan perintah partai dan<br />
fraksi.” Ia menambahkan, “ketika calon hakim agung mendapat suara yang<br />
seragam, itu berarti komitmen dari DPP sampai anggota komisi cukup kuat.”<br />
Saking kuatnya fungsi lobi, masih menurut Trimedya, hasil<br />
t and proper test se-<br />
orang calon bahkan bisa<br />
tak diprioritaskan. “Ya,<br />
bisa saja (mengacu pada<br />
hasil t&proper test).<br />
Tapi, kadang-kadang pendekatan<br />
ke partai dan<br />
fraksi itu dilakukan jauhjauh<br />
harimas. Jadi ketika<br />
mereka sudah lulus di Komisi Yudisial, mereka sudah melakukan lobi.”<br />
Namun begitu, Trimedya menyatakan komposisi enam calon<br />
terpilih sudah ideal. Empat karir, dua non karir. “Semua yang terpilih<br />
menurut saya bagus hasil berdasarkan t and proper test-nya. Kecuali<br />
Achmad Yamanie, karena saya tidak ikut waktu dia diuji.” Secara khusus ia<br />
menilai para calon terpilih punya visi soal pembangunan sistem kamar di<br />
Mahkamah Agung, punya strategi untuk mengurangi tunggakan perkara.<br />
Lain Trimedya, lain pula Aziz Syamsuddin. Wakil Komisi III<br />
dari Partai Golkar itu membantah adanya perintah dari partai maupun<br />
fraksi agar anggota Komisi III memilih calon hakim agung tertentu.<br />
“Seperti Mas lihat sendiri. Prosesnya one man one vote,” katanya.<br />
Kalaupun ada pertemuan internal fraksi sebelum pemilihan,<br />
lanjut Aziz, itu dijadikan sebagai sarana bertukar informasi tentang<br />
calon hakim agung. “Masing-masing dari kita kan punya informasi<br />
tentang calon. Jadi kita berdiskusi saja.”<br />
Sekedar mengingatkan, hakim agung yang dibutuhkan adalah<br />
delapan orang. Namun, karena alasan kualitas calon yang minim, Komisi<br />
Yudisial (KY) hanya<br />
bisa mengirimkan 21<br />
calon hakim agung<br />
ke DPR. Bila mengacu<br />
pada ketentuan<br />
UU KY, maka maksimal<br />
hakim agung yang bisa<br />
dipilih oleh DPR, tujuh<br />
orang. Karena tiga calon<br />
untuk mengisi satu<br />
kursi yang lowong.<br />
Namun, di<br />
tengah tengah perjalanan, perjalanan, calon<br />
berkurang menjadi 20 20<br />
orang. orang. Pasalnya, satu satu<br />
calon dikabarkan meninggal<br />
dunia. dunia. Karenanya, Karenanya,<br />
enam calon yang terpilih<br />
ini sudah sudah dirasa cukup<br />
oleh DPR.<br />
Lalu, bagaimana tangtanggapan MA terhadap hasil<br />
seleksi ini?<br />
Meski masih masih didirasa kurang, Ketua<br />
MA Hari Hari n Tumpa<br />
menyambut baik hasil<br />
tersebut. “Yang penting sudah sudah ada ada hasilnya,” tutur tutur Hari Hari n n di Jakarta, Jakarta,<br />
Jumat (19/2). Ia mengatakan sudah 1,5 tahun MA MA kekurangan kekurangan hakim agung.<br />
Seleksi kala kala ini, memang memakan waktu yang yang cukup lama. Ia mengatakan<br />
terpilihnya enam hakim agung agung sudah sesuai sesuai dengan ketentuan UU.<br />
Pencapresan Gita Wirjawan perlu<br />
banyak lobi politik<br />
Nasib Menteri Perdagangan (Mendag), Gita Wirjawan dalam<br />
wacana pencapresannya di pemilihan presiden (pilpres) 2014<br />
mendatang, tidak akan berjalan mulus.<br />
Pasalnya partai yang akan dijadikan kendaraan Gita<br />
dalam langkahnya itu, Partai <strong>De</strong>mokrat, belum tentu memperoleh<br />
suara yang signi kan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014.<br />
“Bila Partai <strong>De</strong>mokrat terjun bebas, maka jadi tak bisa mengusung<br />
capresnya (Gita), pilihannya Partai <strong>De</strong>mokrat akan melakukan<br />
koalisi dengan beberapa<br />
partai lain,” kata pengamat<br />
politik dari Lembaga Ilmu<br />
Pengetahuan Indonesia<br />
(LIPI), Siti Zuhro saat<br />
dihubungi Sindonews,<br />
Minggu (20/5/2013).<br />
Lebih lanjut wanita<br />
yang kerap disapa Wiwieq<br />
ini mengungkapkan, pada posisi inilah perlu adanya kompromi<br />
politik. “Masalahnya, apakah partai yang tergabung dalam koalisi dengan<br />
<strong>De</strong>mokrat itu tidak setuju mencapreskan juga (Gita)? Bila iya, tentunya<br />
banyak kompromi yang memerlukan kesepakatan antar koalisi yang<br />
dibangun <strong>De</strong>mokrat,” bebernya.<br />
“Artinya, pencapresan Gita akan berjalan dengan tantangan<br />
yang tidak mudah. Selain karena yang bersangkutan belum dikenal di akar<br />
rumput, bekal sebagai capres tampaknya belum cukup meyakinkan dengan<br />
tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini dan ke depan,” pungkasnya.<br />
Sebelumnya, Gita Wirjawan mengaku siap bersaing dengan<br />
Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) dalam ajang pemilihan presiden<br />
(pilpres) 2014. Hal itu disampaikannya sesaat setelah menjadi pembicara<br />
dalam acara dialog yang dipandu presenter berita Rossiana Silalahi,<br />
untuk memperingati Milad Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif<br />
Hidayatullah, Jakarta, ke 58 tahun.<br />
Menurutnya, dalam ranah demokrasi sah saja bersaing memperebutkan<br />
kursi orang nomor satu di Indonesia, termasuk jika harus<br />
“Saya siap bersaing dengan Pak Jokowi, dan ini kan demokrasi. Paradigmanya<br />
ada 250 juta yang bisa dipilih, bukan 250 juta yang memilih,”<br />
ujar Gita<br />
PANDORA<br />
bersaing dengan Joko Widodo. Pasalnya, berdasarkan paradigmanya,<br />
ada sekitar 240 juta yang bisa dipilih bukan 240 juta yang memilih.<br />
“Saya siap bersaing dengan Pak Jokowi, dan ini kan demokrasi.<br />
Paradigmanya ada 250 juta yang bisa dipilih, bukan 250 juta yang memilih,”<br />
ujar Gita kepada Sindonews, di UIN Jakarta, Sabtu 18 Mei 2013.<br />
<strong>De</strong> <strong>Facto</strong> |Juni | 2013| 5