17.06.2013 Views

De Facto

beberapa tulisan dan gambar merupakan hasil pencarian dari mesin pencari. ini adalah project final exam project, yang menjadi fokus adalah desain dari majalah :D

beberapa tulisan dan gambar merupakan hasil pencarian dari mesin pencari. ini adalah project final exam project, yang menjadi fokus adalah desain dari majalah :D

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P, Trimedya<br />

Pandjaitan kepada hukumonlinemenuturkan bahwa proses uji<br />

kelayakan ( t and proper test) di DPR amat kental nuansa politisnya.<br />

“Karena DPR memang lembaga politik.”<br />

Ujungnya, lanjut Trimedya, proses pemberian suara kepada<br />

calon hakim sangat tergantung pada hasil lobi. Lazimnya, seorang<br />

calon akan mendatangi <strong>De</strong>wan Pimpinan Pusat (DPP) partai, pimpinan<br />

fraksi partai di DPR atau anggota komisi di DPR untuk mendapat dukungan.<br />

“Dan bagi anggota komisi, maka dia menjalankan perintah partai dan<br />

fraksi.” Ia menambahkan, “ketika calon hakim agung mendapat suara yang<br />

seragam, itu berarti komitmen dari DPP sampai anggota komisi cukup kuat.”<br />

Saking kuatnya fungsi lobi, masih menurut Trimedya, hasil<br />

t and proper test se-<br />

orang calon bahkan bisa<br />

tak diprioritaskan. “Ya,<br />

bisa saja (mengacu pada<br />

hasil t&proper test).<br />

Tapi, kadang-kadang pendekatan<br />

ke partai dan<br />

fraksi itu dilakukan jauhjauh<br />

harimas. Jadi ketika<br />

mereka sudah lulus di Komisi Yudisial, mereka sudah melakukan lobi.”<br />

Namun begitu, Trimedya menyatakan komposisi enam calon<br />

terpilih sudah ideal. Empat karir, dua non karir. “Semua yang terpilih<br />

menurut saya bagus hasil berdasarkan t and proper test-nya. Kecuali<br />

Achmad Yamanie, karena saya tidak ikut waktu dia diuji.” Secara khusus ia<br />

menilai para calon terpilih punya visi soal pembangunan sistem kamar di<br />

Mahkamah Agung, punya strategi untuk mengurangi tunggakan perkara.<br />

Lain Trimedya, lain pula Aziz Syamsuddin. Wakil Komisi III<br />

dari Partai Golkar itu membantah adanya perintah dari partai maupun<br />

fraksi agar anggota Komisi III memilih calon hakim agung tertentu.<br />

“Seperti Mas lihat sendiri. Prosesnya one man one vote,” katanya.<br />

Kalaupun ada pertemuan internal fraksi sebelum pemilihan,<br />

lanjut Aziz, itu dijadikan sebagai sarana bertukar informasi tentang<br />

calon hakim agung. “Masing-masing dari kita kan punya informasi<br />

tentang calon. Jadi kita berdiskusi saja.”<br />

Sekedar mengingatkan, hakim agung yang dibutuhkan adalah<br />

delapan orang. Namun, karena alasan kualitas calon yang minim, Komisi<br />

Yudisial (KY) hanya<br />

bisa mengirimkan 21<br />

calon hakim agung<br />

ke DPR. Bila mengacu<br />

pada ketentuan<br />

UU KY, maka maksimal<br />

hakim agung yang bisa<br />

dipilih oleh DPR, tujuh<br />

orang. Karena tiga calon<br />

untuk mengisi satu<br />

kursi yang lowong.<br />

Namun, di<br />

tengah tengah perjalanan, perjalanan, calon<br />

berkurang menjadi 20 20<br />

orang. orang. Pasalnya, satu satu<br />

calon dikabarkan meninggal<br />

dunia. dunia. Karenanya, Karenanya,<br />

enam calon yang terpilih<br />

ini sudah sudah dirasa cukup<br />

oleh DPR.<br />

Lalu, bagaimana tangtanggapan MA terhadap hasil<br />

seleksi ini?<br />

Meski masih masih didirasa kurang, Ketua<br />

MA Hari Hari n Tumpa<br />

menyambut baik hasil<br />

tersebut. “Yang penting sudah sudah ada ada hasilnya,” tutur tutur Hari Hari n n di Jakarta, Jakarta,<br />

Jumat (19/2). Ia mengatakan sudah 1,5 tahun MA MA kekurangan kekurangan hakim agung.<br />

Seleksi kala kala ini, memang memakan waktu yang yang cukup lama. Ia mengatakan<br />

terpilihnya enam hakim agung agung sudah sesuai sesuai dengan ketentuan UU.<br />

Pencapresan Gita Wirjawan perlu<br />

banyak lobi politik<br />

Nasib Menteri Perdagangan (Mendag), Gita Wirjawan dalam<br />

wacana pencapresannya di pemilihan presiden (pilpres) 2014<br />

mendatang, tidak akan berjalan mulus.<br />

Pasalnya partai yang akan dijadikan kendaraan Gita<br />

dalam langkahnya itu, Partai <strong>De</strong>mokrat, belum tentu memperoleh<br />

suara yang signi kan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014.<br />

“Bila Partai <strong>De</strong>mokrat terjun bebas, maka jadi tak bisa mengusung<br />

capresnya (Gita), pilihannya Partai <strong>De</strong>mokrat akan melakukan<br />

koalisi dengan beberapa<br />

partai lain,” kata pengamat<br />

politik dari Lembaga Ilmu<br />

Pengetahuan Indonesia<br />

(LIPI), Siti Zuhro saat<br />

dihubungi Sindonews,<br />

Minggu (20/5/2013).<br />

Lebih lanjut wanita<br />

yang kerap disapa Wiwieq<br />

ini mengungkapkan, pada posisi inilah perlu adanya kompromi<br />

politik. “Masalahnya, apakah partai yang tergabung dalam koalisi dengan<br />

<strong>De</strong>mokrat itu tidak setuju mencapreskan juga (Gita)? Bila iya, tentunya<br />

banyak kompromi yang memerlukan kesepakatan antar koalisi yang<br />

dibangun <strong>De</strong>mokrat,” bebernya.<br />

“Artinya, pencapresan Gita akan berjalan dengan tantangan<br />

yang tidak mudah. Selain karena yang bersangkutan belum dikenal di akar<br />

rumput, bekal sebagai capres tampaknya belum cukup meyakinkan dengan<br />

tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini dan ke depan,” pungkasnya.<br />

Sebelumnya, Gita Wirjawan mengaku siap bersaing dengan<br />

Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) dalam ajang pemilihan presiden<br />

(pilpres) 2014. Hal itu disampaikannya sesaat setelah menjadi pembicara<br />

dalam acara dialog yang dipandu presenter berita Rossiana Silalahi,<br />

untuk memperingati Milad Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif<br />

Hidayatullah, Jakarta, ke 58 tahun.<br />

Menurutnya, dalam ranah demokrasi sah saja bersaing memperebutkan<br />

kursi orang nomor satu di Indonesia, termasuk jika harus<br />

“Saya siap bersaing dengan Pak Jokowi, dan ini kan demokrasi. Paradigmanya<br />

ada 250 juta yang bisa dipilih, bukan 250 juta yang memilih,”<br />

ujar Gita<br />

PANDORA<br />

bersaing dengan Joko Widodo. Pasalnya, berdasarkan paradigmanya,<br />

ada sekitar 240 juta yang bisa dipilih bukan 240 juta yang memilih.<br />

“Saya siap bersaing dengan Pak Jokowi, dan ini kan demokrasi.<br />

Paradigmanya ada 250 juta yang bisa dipilih, bukan 250 juta yang memilih,”<br />

ujar Gita kepada Sindonews, di UIN Jakarta, Sabtu 18 Mei 2013.<br />

<strong>De</strong> <strong>Facto</strong> |Juni | 2013| 5

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!