Antropologi Kontekstual XI
Antropologi Kontekstual XI
Antropologi Kontekstual XI
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan hanya mungkin terwujud<br />
dalam praktik nyata dengan adanya pranata sosial, terutama pranata<br />
hukum yang merupakan mekanisme kontrol secara ketat dan adil dalam<br />
mendukung dan mendorong terwujudnya prinsip demokrasi dalam<br />
kehidupan nyata. Masyarakat Indonesia harus memiliki toleransi terhadap<br />
perbedaan dalam bentuk apapun. Diskriminasi sosial, politik, budaya,<br />
pendidikan dan ekonomi secara bertahap harus dihilangkan untuk<br />
menegakkan demokrasi demi kesejajaran dalam kesederajatan<br />
kemanusiaan sebagai bangsa Indonesia.<br />
Pada banyak komunitas adat yang ketat membedakan antarwarga<br />
dengan bukan warga, kehadiran orang asing itu terpaksa dilalui dengan<br />
upacara adopsi untuk mempermudah perlakuan, kecuali kalau yang<br />
bersangkutan akan tetap diperlakukan sebagai orang luar atau hendak<br />
diperlakukan sebagai musuh. Hal ini tercermin antara lain dalam upacara<br />
penyambutan pejabat dari pusat di daerah Tapanuli di masa lampau. Para<br />
tamu itu biasanya disambut dengan upacara yang memperjelas<br />
kedudukannya dalam struktur sosial masyarakat Batak yang terikat dalam<br />
hubungan perkawinan tiga marga (dalihan na tolu). Pada komunitas<br />
perang Dani di pegunungan Jayawijaya, di luar kelompok kerabat<br />
patrilineal, hubungan periparan antarmereka berasal dari kelompok sosial<br />
yang berlainan sangat kuat, karena itu untuk mempermudah perlakuan<br />
terhadap orang "asing", upacara kelahiran kembali biasanya dilakukan<br />
terhadap tamu yang dihormati, untuk menentukan pola-pola perlakuan<br />
yang layak dan efektif. Bahkan di masa lampau, untuk membenarkan<br />
kewenangan Gubernur Jenderal Van Imhoff, sebagai wakil ratu Belanda,<br />
yang mengundang raja Jawa sebagai penguasa tertinggi di Mataram,<br />
terpaksa diperlakukan sebagai Kanjeng Eyang Paduka Tuan Gubernur<br />
Jenderal yang menunjukkan senioritas dalam kekerabatan.<br />
Untuk memelihara kesetiakawanan sosial kelompok suku bangsa itu<br />
biasanya mengembangkan simbol-simbol yang selain diyakini<br />
kebenarannya, juga mudah dikenal, seperti bahasa, adat istiadat dan<br />
agama. Walaupun tidak setiap kelompok suku bangsa mempunyai bahasa<br />
yang berbeda dengan kelompok lain, akan tetapi sesungguhnya lebih<br />
mengutamakan simbol-simbol yang membedakan dengan bahasa lainnya<br />
daripada kenyataan yang sesungguhnya dipergunakan oleh segenap<br />
anggotanya. Betapapun masing-masing suku bangsa merasa bahwa<br />
mereka memiliki simbol-simbol tertentu yang diyakini perbedaannya<br />
dengan simbol-simbol suku bangsa lainnya, dan berfungsi sebagai media<br />
sosial yang memperkuat kesetiakawanan sosial mereka.<br />
40<br />
<strong>Antropologi</strong> <strong>Kontekstual</strong> <strong>XI</strong> SMA/MA Program Bahasa