29.07.2013 Views

Hospital Majapahit vol 3 no 1

Hospital Majapahit vol 3 no 1

Hospital Majapahit vol 3 no 1

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

ISSN : 2085 - 0204<br />

JURNAL ILMIAH KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN MAJAPAHIT<br />

HOSPITAL<br />

MAJAPAHIT<br />

DIAN IRAWATI<br />

Faktor Karakteristik Ibu Yang Berhubungan Dengan Ketepatan Imunisasi DPT<br />

Combo Dan Campak Di Pasuruan<br />

SULISDIANA<br />

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pengetahuan Ibu Tentang<br />

Regurgitasi Pada Bayi Usia 0-6 Bulan Di BPS Muji Winarnik Mojokerto<br />

ELYANA MAFTICHA<br />

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Konsumsi Tablet Kalsium Pada<br />

Wanita Preme<strong>no</strong>pouse Di Desa Tanjek Wagir Kecamatan Krembung<br />

Kabupaten Sidoarjo<br />

FARIDA YULIANI<br />

Perilaku Pantang Makan Pada Ibu Nifas Di BPS “A” Balongtani<br />

Jabon Sidoarjo<br />

DYAH SIWI HETY<br />

Hubungan Usia Dan Paritas Dengan Kejadian Ca Cervix Di RSUD Sidoarjo<br />

Tahun 2009<br />

SARMINI MOEDJIARTO<br />

Karakteristik Ibu Yang Berhubungan Dengan Perdarahan Post Partum<br />

Di RB Medika Utama Wo<strong>no</strong>kupang Balongbendo Sidoarjo<br />

Tahun 2009<br />

VOL 3 NO. 1<br />

Hlm.<br />

1 - 103<br />

Mojokerto<br />

Februari 2011<br />

ISSN<br />

2085 - 0204


HOSPITAL MAJAPAHIT<br />

Vol. 3. No. 1, Februari 2011 ISSN : 2085 - 0204<br />

Pengantar Redaksi,<br />

Jurnal <strong>Hospital</strong> <strong>Majapahit</strong> Vol. 3 No 1 Tahun 2011 banyak didominasi oleh publikasi dosen<br />

kebidanan tentang pengembangan penelitian di bidang kesehatan ibu dan anak. Hasil<br />

penelitian ini selain menunjang perbaikan materi pengajaran ke mahasiswa juga diharapkan<br />

membawa manfaat pada peningkatan status derajat kesehatan ibu dan anak di Indonesia.<br />

Artikel yang pertama ditulis oleh Dian Irawati yang membahas tentang faktor karakteristik ibu<br />

yang berhubungan dengan ketepatan imunisasi DPT Combo dan campak di Pasuruan. Dalam artikel<br />

ini dijelaskan bahwa ada hubungan pengetahuan ibu dengan ketepatan imunisasi DPT Combo dan<br />

Campak. Pengetahuan ibu tentang imunisasi DPT Combo dan Campak mempengaruhi ketepatan<br />

imunisasi DPT Combo dan Campak pada bayi yang disebabkan beberapa faktor antara lain<br />

pengetahuan ibu, sumber informasi yang didapat,pendidikan ibu. Semakin kurang pengetahuan ibu<br />

semakin tidak tepat pula dalam mengimunisasikan bayinya. Oleh karena itu, peran tenaga kesehatan<br />

dan kader harus lebih di tingkatkan untuk memberikan informasi melalui penyuluhan dengan<br />

menyebarkan leaflet tentang jadwal pemberian Imunisasi secara tepat dan pentingnya imunisasi pada<br />

bayi.<br />

Artikel yang kedua ditulis oleh Sulisdiana yaitu tentang faktor-faktor yang berhubungan<br />

dengan pengetahuan ibu tentang regurgitasi pada bayi usia 0-6 bulan di BPS Muji Winarnik<br />

Mojokerto. Hasil penelitian ini membahas bahwa sebagian besar ibu sebenarnya telah mempunyai<br />

pengetahuan yang cukup tentang regurgitasi. Pengetahuan ini muncul karena responden telah<br />

memperoleh informasi yang cukup baik dari pengalaman sendiri atau lingkungan serta dapat pula dari<br />

tenaga kesehatan. Pengetahuan responden terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya<br />

umur, pendidikan, dan pekerjaan.<br />

Artikel yang ketiga ditulis oleh Ellyana Mafticha dengan tema Faktor-faktor yang<br />

berhubungan dengan konsumsi tablet kalsium pada wanita pre me<strong>no</strong>pouse di desa Tanjek Wagir<br />

Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo. Artikel ini menjelaskan bahwa terdapat hubungan<br />

pengetahuan tentang osteoporosis dengan konsumsi tablet kalsium pada wanita preme<strong>no</strong>pouse di Desa<br />

Tanjek Wagir Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo.Tingkat keeratan hubungan dalam penelitian<br />

ini adalah sangat kuat. Sebagian besar responden berpengetahuan cukup tentang osteoporosis akan<br />

tatapi mereka tidak mengkonsumsi tablet kalsium dengan teratur di karenakan masalah biaya dan<br />

malas minum tablet kalsium setiap hari. Konsumsi tablet kalsium ini bermanfaat untuk mencegah<br />

terjadinya gangguan pertumbuhan, kerapuhan tulang, dan kejang otot.<br />

Artikel yang keempat ditulis oleh Farida Yuliani yang membahas tentang Perilaku Pantang<br />

Makan Pada Ibu Nifas di BPS A Balongtani Jabon Sidoarjo. Artikel ini menjelaskan bahwa pantang<br />

makan pada ibu nifas dapat mempengaruh kelancaran produksi ASI. Sehingga perlunya peningkatan<br />

informasi tentang pantang makan pada ibu nifas, supaya ibu nifas mengetahui pentingnya makanan<br />

bergizi untuk kesehatan ibu dan bayi.<br />

Artikel yang kelima ditulis oleh Dyah Siwi Hety tentang hasil penelitiannya yang<br />

dipublikasikan pada tahun 2010 yakni tentang Hubungan Usia dan Paritas Dengan Kejadian Ca Cervix<br />

di RSUD Sidoarjo Tahun 2009. Hasil penelitian ini membahas tentang hubungan antara paritas<br />

dengan kejadian Ca Cerviks. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Ca Cerviks : Human<br />

Papilloma Virus, merokok, hubungan seksual pertama dilakukan pada usia dini, berganti-ganti<br />

pasangan seksual, gangguan system kekebalan tubuh, pemakaian pil KB, infeksi herpes genetalis atau<br />

infeksi klamidia menahun, lanjut usia, kegemukan, menstruasi pertama di usia dini, me<strong>no</strong>pause yang<br />

terlambat dan belum pernah hamil. Simpulan penelitian ini adalah pasien rawat inap dengan paritas<br />

tinggi cenderung terkena kanker serviks lebih besar dibandingkan pasien dengan paritas rendah.<br />

Penyakit kanker serviks adalah jenis penyakit yang dapat dicegah dan disembuhkan. Salah satu upaya<br />

mencegah kanker serviks adalah dengan membatasi jumlah anak dan melakukan pemeriksaan pap<br />

smear sebagai upaya pencegahan kanker serviks.


HOSPITAL MAJAPAHIT<br />

Artikel yang keenam ditulis oleh Sarmini Moedjiarto yang membahas tentang karakteristik ibu<br />

yang berhubungan dengan perdarahan post partum di RB Medika Utama Wo<strong>no</strong>kupang Balongbendo<br />

Sidoarjo tahun 2009. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa ada hubungan yang bermakna antara<br />

variabel independen (jarak persalinan) dan variabel dependen ( perdarahan post partum ). Kesimpulan<br />

dari penelitian ini adalah bahwa jarak persalinan merupakan salah satu penyebab predisposisi<br />

terjadinya perdarahan post partum. Perlu adanya penanganan obstetrik yang efisian dalam pemantauan<br />

kehamilan agar komplikasi persalinan terhadap perdarahan post partum bisa di cegah.<br />

Redaksi,


HOSPITAL MAJAPAHIT<br />

Vol. 3. No. 1, Februari 2011 ISSN : 2085 - 0204<br />

Kebijakan Editorial<br />

Kebijakan Editorial dan Pedoman Penulisan Artikel<br />

Jurnal <strong>Hospital</strong> <strong>Majapahit</strong> diterbitkan oleh Politeknik Kesehatan <strong>Majapahit</strong> Mojokerto secara berkala<br />

(setiap 6 bulan) dengan tujuan untuk menyebarluaskan informasi hasil penelitian, artikel ilmiah<br />

kepada akademisi, mahasiswa, praktisi dan lainnya yang menaruh perhatian terhadap penelitianpenelitian<br />

dalam bidang kesehatan. Lingkup hasil penelitian dan artikel yang dimuat di Jurnal <strong>Hospital</strong><br />

<strong>Majapahit</strong> ini berkaitan dengan pendidikan yang dilakukan oleh Politeknik Kesehatan <strong>Majapahit</strong><br />

Mojokerto.<br />

Jurnal <strong>Hospital</strong> <strong>Majapahit</strong> menerima kiriman artikel yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa<br />

Inggris. Penentuan artikel yang dimuat dalam Jurnal <strong>Hospital</strong> <strong>Majapahit</strong> dilakukan melalui proses<br />

blind review oleh editor <strong>Hospital</strong> <strong>Majapahit</strong>. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam penentuan pemuat<br />

artikel, antara lain : terpenuhinya syarat penulisan dalam jurnal ilmiah, metode penelitian yang<br />

digunakan, kontribusi hasil penelitian dan artikel terhadap perkembangan pendidikan kesehatan.<br />

Penulis harus menyatakan bahwa artikel yang dikirim ke <strong>Hospital</strong> <strong>Majapahit</strong>, tidak dikirim atau<br />

dipublikasikan dalam majalah atau jurnal ilmiah lainnya.<br />

Editor bertanggung jawab untuk memberikan telaah konstruktif terhadap artikel yang akan dimuat,<br />

dan apabila dipandang perlu editor menyampaikan hasil evaluasi artikel kepada penulis. Artikel yang<br />

diusulkan untuk dimuat dalam jurnal <strong>Hospital</strong> <strong>Majapahit</strong> hendaknya mengikuti pedoman penulisan<br />

artikel yang dibuat oleh editor. Artikel dapat dikirim ke editor Jurnal <strong>Hospital</strong> <strong>Majapahit</strong> dengan<br />

alamat :<br />

Politeknik Kesehatan <strong>Majapahit</strong> Mojokerto<br />

Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363<br />

Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736,<br />

Email : <strong>Hospital</strong>majapahit@yahoo.com


HOSPITAL MAJAPAHIT<br />

Vol. 3. No. 1, Februari 2011 ISSN : 2085 - 0204<br />

Pedoman Penulisan Artikel.<br />

Penulisan artikel dalam jurnal kesehatan hospital majapahit yang diharapkan menjadi pertimbangan<br />

penulis.<br />

Format.<br />

1. Artikel diketik dengan spasi ganda pada kertas A4 (210 x 297 mm).<br />

2. Panjang artikel maksimum 7.000 kata dengan Courier atau Times New Roman font 11 – 12 atau<br />

sebanyak 15 sampai dengan 20 halaman.<br />

3. Margin atas, bawah, samping kanan dan samping kiri sekurang kurangnya 1 inchi.<br />

4. Semua halaman sebaiknya diberi <strong>no</strong>mor urut.<br />

5. Setiap table dan gambar diberi <strong>no</strong>mor urut, judul yang sesuai dengan isi tabel atau gambar serta<br />

sumber kutipan.<br />

6. Kutipan dalam teks menyebutkan nama belakang (akhir) penulis, tahun, dan <strong>no</strong>mor halaman jika<br />

dipandang perlu. Contoh :<br />

a. Satu sumber kutipan dengan satu penulis (Rahman, 2003), jika disertai dengan halaman<br />

(Rahman, 2003:36).<br />

b. Satu sumber kutipan dengan dua penulis (David dan Anderson, 1989).<br />

c. Satu sumber kutipan dengan lebih dari satu penulis (David dkk, 1989).<br />

d. Dua sumber kutipan dengan penulis yang sama (David, 1989, 1992), jika tahun publikasi<br />

sama (David, 1989a, 1989b).<br />

e. Sumber kutipan dari satu institusi sebaiknya menyebutkan singkatan atau akronim yang<br />

bersangkutan (BPS, 2007: DIKNAS, 2006).<br />

Isi Tulisan.<br />

Tulisan yang berupa hasil penelitian disusun sebagai berikut :<br />

Abstrak, bagian ini memuat ringkasan artikel atau ringkasan penelitian yang meliputi masalah<br />

penelitian, tujuan, metode, hasil, dan kontribusi hasil penelitian. Abstrak disajikan diawal teks dan<br />

terdiri antara 200 sampai dengan 400 kata (sebaiknya disajikan dalam bahasa inggris). Abstrak diberi<br />

kata kunci (key word) untuk memudahkan penyusunan indeks artikel.<br />

Pendahuluan, menguraikan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi landasan<br />

untuk menjadi hipotesis dan model penelitian.<br />

Kerangka Teoritis, memaparkan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi landasan<br />

untuk mengembangkan hipotesis dan model penelitian.<br />

Metode Penelitian, memuat pendekatan yang digunakan, pengumpulan data, definisi<br />

Dan pengukuran variable serta metode dan teknik analisis data yang digunakan.<br />

Hasil Penelitian, berisi pemaparan data hasil tentang hasil akhir dari proses kerja teknik analisis data,<br />

bentuk akhir bagian ini adalah berupa angka, gambar dan tabel.<br />

Pembahasan, memuat abstraksi peneliti setelah mengkaji hasil penelitian serta teori – teori yang<br />

sudah ada dan dijadikan dasar penelitian.<br />

Daftar Pustaka, memuat sumber-sumber yang dikutip dalam artikel, hanya sumber yang diacu saja<br />

yang perlu dicantumkan dalam daftar pustaka.


HOSPITAL MAJAPAHIT<br />

Jurnal :<br />

Berry, L. 1995. “Ralationship Marketing of Service Growing Interest, Emerging Perspective”. Journal<br />

of the Academy Marketing Science. 23. (4) : 236 – 245.<br />

Buku :<br />

Asnawi SK dan Wijaya C. 2006. Metodologi Penelitian Keuangan, Prosedur, Ide dan Kontrol.<br />

Yogyakarta : Graha Ilmu.<br />

Artikel dari Publikasi Elekronik :<br />

Orr. 2002. “Leader Should do more than reduce tur<strong>no</strong>ver”. Canadian HR Reporter. 15, 18,<br />

ABI/INFORM Research. 6 & 14 http://www.proquest.com/pqdauto[06/01/04].<br />

Majalah :<br />

Widiana ME, 2004. “Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas<br />

Nasabah pada Bisnis Asuransi”. Majalah Eko<strong>no</strong>mi. Tahun XIV. (3) : 193-209.<br />

Pedoman :<br />

Joreskog and Sorbom. 1996. Prelis 2 : User’s Reference Guide, Chicago, SSI International.<br />

Simposium :<br />

Pandey. LM. 2002. Capital Structur and Market Power Interaction : evidence from Malaysia, in Zamri<br />

Ahmad, Ruhani Ali, Subramaniam Pillay. 2002. Procedings for the fourt annual Malaysian Finance<br />

Assiciation Symposium. 31 May-1. Penang. Malaysia.<br />

Paper :<br />

Martinez and De Chernatony L. 2002. “The Effect of Brand Extension Strategies Upon Brand Image”.<br />

Working Paper. UK : The University of Birmingham.<br />

Undang-Undang & Peraturan Pemerintah :<br />

Widiana ME, 2004. “Dampak Faktor-Faktor Pemasaran Relasional dalam Membentuk Loyalitas<br />

Nasabah pada Bisnis Asuransi”. Majalah Eko<strong>no</strong>mi. Tahun XIV. (3) : 193-209.<br />

Skripsi, Thesis, Disertasi :<br />

Christianto I. 2008. Penentuan Strategi PT Hero Supermarket Tbk, Khususnya pada Kategori<br />

Supermarket di Kotamadya Jakarta Barat berdasarkan Pendekatan Analisis Konsep Three Stage Fred<br />

R. David (Skripsi). Jakarta : Program Studi Manajemen, Institut Bisnis dan Informatika Indonesia.<br />

Surat Kabar :<br />

Gito. 26 Mei 2006. Penderes. Perajin Nira Sebagian Kurang Profesional. Kompas: 36 (Kolom 4-5).<br />

Penyerahan Artikel :<br />

Artikel diserahkan dalam bentuk compact disk (CD) dan dua eksemplar cetakan kepada :<br />

Politeknik Kesehatan <strong>Majapahit</strong> Mojokerto<br />

Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363<br />

Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736,<br />

Email : <strong>Hospital</strong>majapahit@yahoo.com


HOSPITAL MAJAPAHIT<br />

Vol. 3. No. 1, Februari 2011 ISSN : 2085 - 0204<br />

DAFTAR ISI<br />

FAKTOR KARAKTERISTIK IBU YANG BERHUBUNGAN DENGAN KETEPATAN<br />

IMUNISASI DPT COMBO DAN CAMPAK DI PASURUAN ......................................... 1<br />

Dian Irawati<br />

Dosen Politeknik Kesehatan <strong>Majapahit</strong> Mojokerto<br />

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGETAHUAN IBU<br />

TENTANG REGURGITASI PADA BAYI USIA 0-6 BULAN DI BPS MUJI<br />

WINARNIK MOJOKERTO ................................................................................................. 15<br />

Sulisdiana<br />

Dosen Politeknik Kesehatan <strong>Majapahit</strong> Mojokerto<br />

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONSUMSI TABLET<br />

KALSIUM PADA WANITA PREMENOPOUSE DI DESA TANJEK WAGIR<br />

KECAMATAN KREMBUNG KABUPATEN SIDOARJO ............................................... 34<br />

Elyana Mafticha.<br />

Dosen Politeknik Kesehatan <strong>Majapahit</strong> Mojokerto<br />

PERILAKU PANTANG MAKAN PADA IBU NIFAS DI BPS “A” BALONGTANI<br />

JABON SIDOARJO .............................................................................................................. 54<br />

Farida Yuliani<br />

Dosen Politeknik Kesehatan <strong>Majapahit</strong> Mojokerto<br />

HUBUNGAN USIA DAN PARITAS DENGAN KEJADIAN CA CERVIX DI RSUD<br />

SIDOARJO TAHUN 2009 ............................................................................................................ 74<br />

Dyah Siwi Hety<br />

Dosen Politeknik Kesehatan <strong>Majapahit</strong> Mojokerto<br />

KARAKTERISTIK IBU YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERDARAHAN POST<br />

PARTUM DI RB MEDIKA UTAMA WONOKUPANG BALONGBENDO SIDOARJO<br />

TAHUN 2009 ........................................................................................................................ 87<br />

Sarmini Moedjiarto<br />

Dosen Politeknik Kesehatan <strong>Majapahit</strong> Mojokerto<br />

Politeknik Kesehatan <strong>Majapahit</strong> Mojokerto<br />

Jl. Jabon – Gayaman KM. 2 Mojokerto 61363<br />

Telepon (0321) 329915 Fax (0321) 331736,<br />

Email : <strong>Hospital</strong>majapahit@yahoo.com


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

FAKTOR KARAKTERISTIK IBU YANG BERHUBUNGAN DENGAN<br />

KETEPATAN IMUNISASI DPT COMBO DAN CAMPAK<br />

DI PASURUAN<br />

Dian Irawati<br />

Dosen Politeknik Kesehatan <strong>Majapahit</strong> Mojokerto<br />

ABSTRAK<br />

Setiap tahun ada 10% bayi sekitar (450.000 bayi) yang belum mendapat imunisasi sehingga<br />

dalam 5 tahun menjadi 2 juta anak yang belum mendapat imunisasi yang lengkap. Angka cakupan<br />

DPT Combo dan Campak sangat rendah dan setiap tahun selalu terjadi penurunan angka cakupan.<br />

Banyak faktor yang menyebabkan belum optimalnya pemberian imunisasi DPT Combo dan Campak.<br />

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa faktor karakteristik ibu yang berhubungan dengan<br />

ketepatan imunisasi DPT Combo dan Campak di Pasuruan.<br />

Desain yang digunakan adalah analitik jenis ―Cross Sectional‖, dengan jumlah populasi dan<br />

sampel 48 ibu yang memiliki bayi usia 12 bulan. Sedangkan teknik sampling yang digunakan adalah<br />

total sampling. Variabel independen adalah umur, pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan sedangkan<br />

variabel dependen adalah ketepatan imunisasi DPT Combo dan Campak. Instrumen yang digunakan<br />

adalah kuesioner. Data yang didapat kemudian dimasukkan dalam tabulasi silang dihitung dengan uji<br />

Mann Whitney. Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 17-19 juni 2010 di Desa Balung Anyar<br />

Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan.<br />

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan paling banyak responden berpengetahuan kurang 22<br />

responden (45,83%) dan lebih dari 50% responden tidak mengimunisasikan bayinya dengan tepat<br />

sebanyak 30 responden (62,5%). Analisis data ini menggunakan uji Mann Whitney dengan = 0,05<br />

dan hasil perhitungan 0,008 < 0,05 yang artinya Ho ditolak dan Ha diterima yaitu ada hubungan<br />

pengetahuan ibu dengan ketepatan imunisasi DPT Combo dan Campak.<br />

Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan ibu tentang imunisasi DPT Combo dan Campak<br />

mempengaruhi ketepatan imunisasi DPT Combo dan Campak pada bayi yang disebabkan beberapa<br />

faktor antara lain pengetahuan ibu, sumber informasi yang didapat,pendidikan ibu.<br />

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa semakin kurang pengetahuan ibu semakin tidak<br />

tepat pula dalam mengimunisasikan bayinya. Oleh karena itu, peran tenaga kesehatan dan kader<br />

harus lebih di tingkatkan untuk memberikan informasi melalui penyuluhan dengan menyebarkan<br />

leaflet tentang jadwal pemberian Imunisasi secara tepat dan pentingnya imunisasi pada bayi.<br />

Kata kunci : Pengetahuan, Imunisasi DPT Combo dan Campak, Ketepatan<br />

A. PENDAHULUAN<br />

Cakupan imunisasi dasar anak meningkat dari 5% hingga mendekati 80% di seluruh<br />

dunia sejak penetapan Expanded Program On Immunisation (EPI) oleh WHO. Bayi-bayi di<br />

Indonesia yang diimunisasi setiap tahun sekitar 90% dari sekitar 4,5 juta bayi yang lahir artinya<br />

setiap tahun ada 10% bayi (sekitar 450.000 bayi) yang belum mendapat imunisasi sehingga<br />

dalam 5 tahun menjadi 2 juta anak yang belum mendapat imunisasi dasar lengkap (Aprianti,<br />

2008). Hal itu karena masih ada hambatan geografis, jarak, jangkauan layanan, transportasi,<br />

eko<strong>no</strong>mi dan lain-lain (Depkes, 2003). Walaupun pemerintah telah menargetkan imunisasi<br />

seperti yang telah disebutkan di atas, namun pada kenyataannya kegiatan imunisasi sendiri<br />

masih kurang mendapat perhatian dari masyarakat yang memiliki bayi. Tidak sedikit ibu-ibu<br />

yang tidak bersedia untuk mengimunisasikan anaknya dengan alasan takut akan efek samping<br />

imunisasi yang di sertai pengetahuan masyarakat yang rendah tentang imunisasi (Muhamad,<br />

2005).<br />

DPT (Diphteri, Pertusis dan Tetanus) Combo adalah gabungan imunisasi DPT dengan<br />

Hepatitis B, di berikan kepada balita secara bertahap dalam 3 kali. Imunisasi DPT untuk<br />

mencegah difteri, pertusis, tetanus. Imunisasi ini di berikan pada usia 2, 3, dan 4 bulan. Efek<br />

1


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

sampingnya merah, dan bengkak pada tempat injeksi dan panas badan. Imunisasi Campak<br />

gunanya untuk mencegah penyakit campak, diberikan pada usia 9 bulan,di injeksikan di<br />

paha/lengan atas. Efek sampingnya panas, merah-merah di kulit. Imunusasi Polio diberikan<br />

pada bayi usia 2, 3, 4, 9 bulan.<br />

Pemberian imunisasi akan dilaksanakan apabila ada peran serta dan kesadaran dari<br />

masyarakat khususnya ibu, perilaku ibu dalam ketepatan pemberian imunisasi masih banyak<br />

dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003) perilaku<br />

dipengaruhi oleh tiga faktor, diantaranya faktor presdiposisi yang mencakup pengetahuan dan<br />

sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi, dan kepercayaan.<br />

Pengetahuan pada masyarakat sangat penting, perubahan sikap yang di dasari oleh<br />

pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak di dasari oleh pengetahuan<br />

(Notoatmodjo, 2000). Banyak faktor yang menyebabkan belum optimalnya pemberian imunisasi<br />

DPT Combo dan Campak yaitu tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah terhadap<br />

imunisasi. Oleh karena itu pengetahuan masyarakat perlu di tingkatkan sehingga mengerti<br />

betapa besarnya pemberian imunisasi pada balita. Dalam masalah ini seharusnya petugas<br />

kesehatan dan kader mendatangi rumah ibu yang mempunyai balita dan memberikan sedikit<br />

informasi tentang imunisasi.<br />

Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam imunisasi adalah ketepatan jadwal<br />

imunisasi. Apabila ibu tidak tepat dalam mengimunisasikan bayinya akan berpengaruh terhadap<br />

kekebalan dan kerentanan bayi terhadap suatu penyakit. Sehingga bayi harus mendapatkan<br />

imunisasi tepat waktu agar terlindung dari berbagai penyakit berbahaya. Salah satu faktor yang<br />

mempengaruhi ketepatan jadwal imunisasi adalah tingkat pengetahuan ibu.<br />

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilaksanakan pada tanggal 22-29 April 2010 di<br />

Desa Balung Anyar Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan dengan melihat buku KMS, dari 10<br />

ibu yang mempunyai balita, 3 orang (30%) sudah mengimunisasikan balitanya sesuai jadwal.<br />

Sedangkan 7 orang (70%) belum mengimunisasikan bayinya dengan tepat sesuai dengan jadwal<br />

yang telah ditentukan.<br />

Tabel 1. Hasil Cakupan Pencapaian Imunisasi DPT Combo di Desa Balung Anyar<br />

Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan Tahun 2008-2009<br />

No. Jenis Imunisasi<br />

Target<br />

2008<br />

Pencapaian Target<br />

2009<br />

Pencapaian<br />

1. DPT Combo I 100 57(57%) 100 53(53%)<br />

2. DPT Combo II 95 46(52%) 90 49(54%)<br />

3. DPT Combo III 90 42(47%) 90 48(53%)<br />

Sumber : Laporan Imunisasi Polindes Desa Balung Anyar Kecamatan Lekok Kabupaten<br />

Pasuruan<br />

Berdasarkan tabel di atas, khususnya imunisasi DPT Combo dan Campak, angka<br />

cakupan imunisasi DPT Combo dan Campak Tahun 2008-2009 lebih rendah dari target yang<br />

telah di tetapkan. Dari fe<strong>no</strong>mena diatas maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang<br />

faktor karakteristik ibu yang berhubungan dengan ketepatan imunisasi DPT Combo dan<br />

Campak di Desa Balung Anyar Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan.<br />

B. TINJAUAN PUSTAKA<br />

1. Konsep Dasar Imunisasi<br />

a. Pengertian Imunisasi<br />

Imunisasi berasal dari kata Imun, kebal, resisten. Anak diimunisasi, berarti<br />

diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau resisten terhadap<br />

suatu penyakit tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain (Notoatmodjo, 2003).<br />

2


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Bayi yang lahir mempunyai kekebalan alami yang diterima dari ibunya saat masih<br />

dalam kandungan. Kekebalan ini didapat melalui placenta dan akan habis kira-kira setelah<br />

bayi berusia 6 bulan. Pada usia ini seorang anak menjadi sasaran yang mudah dijangkiti<br />

penyakit. Untuk mencegahnya, suntikan imunisasi harus diberikan sedini mungkin.<br />

Pada dasarnya imunisasi ada 2 jenis :<br />

1) Imunisasi Pasif (Passive Immunization)<br />

Imunisasi adalah kekebalan tubuh yang bisa diperoleh seseorang yang zat kekebalan<br />

tubuhnya didapatkan dari luar. Imunisasi pasif dibagi menjadi 2 :<br />

a) Imunisasi pasif alamiah<br />

Adalah antibodi yang didapat seseorang karena diturunkan oleh ibu yang<br />

merupakan orang tua kandung langsung ketika berada dalam kandungan.<br />

b) Imunisasi pasif buatan<br />

Adalah kekebalan tubuh yang diperoleh karena suntikan serum untuk mencegah<br />

penyakit tertentu.<br />

2) Imunisasi Aktif (Passive Immunization)<br />

Imunisasi aktif adalah kekebalan tubuh yang didapat seseorang karena tubuh yang<br />

secara aktif membentuk zat antibodi.<br />

a) Imunisasi aktif alamiah<br />

Adalah kekebalan tubuh yang secara otomatis diperoleh setelah sembuh dari<br />

suatu penyakit.<br />

b) Imunisasi aktif buatan<br />

Adalah kekebalan tubuh yang didapat dari vaksinasi yang diberikan untuk<br />

mendapatkan perlindungan dari suatu penyakit.<br />

Imunisasi Aktif (Active Immunization)<br />

Imunisasi yang diberikan pada anak adalah :<br />

a) BCG, untuk mencegah penyakit TBC.<br />

b) DPT, untuk mencegah penyakit-penyakit difteri, pertusis dan tetanus.<br />

c) Polio, untuk mencegah penyakit poliomyelitis.<br />

d) Campak untuk mencegah penyakit campak (measles) (Notoatmodjo, 2003).<br />

b. Tujuan Program Imunisasi<br />

Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari<br />

penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini penyakit-penyakit tersebut<br />

adalah disentri, tetanus, pertusis, campak, polio dan tuberculose (Notoatmodjo, 2003).<br />

Pemberian imunisasi bertujuan untuk mencegah penyakit dan kematian bayi dan<br />

anak-anak yang disebabkan oleh wabah yang sering muncul. Pemerintah Indonesia sangat<br />

mendorong pelaksanaan program imunisasi sebagai cara untuk menurunkan angka<br />

kesakitan, kematian pada bayi, balita/anak-anak pra sekolah (Depkes RI, 2001).<br />

c. DPT Combo<br />

1) Pengertian DPT Combo<br />

Vaksin mengandung DPT berupa toxoid difteri dan toxoid tetanus yang dimurnikan<br />

dan pertusis yang in aktivasi serta vaksin hepatiis B yang merupakan sub unit vaksin<br />

virus yang mengandung HbsAg.<br />

2) Indikasi<br />

Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit Difetri, Tetanus, Pertusis dan<br />

Hepatitis B.<br />

3) Efek Samping DPT<br />

a) Panas<br />

b) Rasa sakit di daerah suntikan<br />

c) Peradangan<br />

d) Kejang-kejang<br />

4) Kemasan<br />

Warna vaksin putih keruh seperti vaksin DPT.<br />

3


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

5) Cara pemberian dan dosis<br />

a) Pemberian dengan cara Intra Muskular, 0,5 ml sebanyak 3 dosis.<br />

b) Dosis pertama pada usia 2 bulan, dosis selanjutnya dengan interval minimal 4<br />

minggu (1 bulan).<br />

c) Di unit pelayanan, Vaksin DPT combo yang telah dibuka hanya boleh digunakan<br />

selama 4 minggu, dengan ketentuan:<br />

(1) Vaksin belum kadaluwarsa<br />

(2) Vaksin disimpan dalam suhu +2°C- +8°C.<br />

(3) Tidak pernah terendam air<br />

(4) Sterilitasnya terjaga (Depkes RI, 2005)<br />

d. Vaksin Campak<br />

1) Definisi Vaksin Campak<br />

Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan.<br />

2) Indikasi<br />

Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit campak.<br />

3) Kontraindikasi<br />

Individu yang mengidap penyakit immu<strong>no</strong>deficiency atau individu yang diduga<br />

menderita gangguan respons imun Karen aleukimia, lymphoma.<br />

4) Efek samping<br />

Hingga 15% pasien dapat megalami demam ringan dan kemerahan selama 3 hari yang<br />

dapat terjadi 8-12 hari setelah vaksinasi.<br />

5) Cara pemberian dan dosis<br />

a) Sebelum disuntikkan vaksin campak terlebih dahulu harus dilarutkan dengan<br />

pelarut steril yang telah tersedia yang berisi 5 ml cairan pelarut.<br />

b) Dosis pemberian 0,5 ml disuntikkan secara subkutan pada lengan kiri atas, pada<br />

usia 9 bulan (Depkes RI, 2005).<br />

Tabel 2. Jadwal Imunisasi<br />

No. Umur Jenis Imunisasi<br />

1. 0-7 Hari HB Uniject<br />

2. 1 Bulan BCG<br />

3. 2 Bulan DPT Combo 1 dan Polio 1<br />

4. 3 Bulan DPT Combo 2 dan Polio 2<br />

5. 4 Bulan DPT Combo 3 dan Polio 3<br />

6. 9 Bulan Campak dan Polio 4<br />

2. Konsep Dasar Pengetahuan<br />

a. Definisi Pengetahuan<br />

Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan<br />

pengindraan terhadap suatu obyek tertentu, pengindraan terjadi melalui indra manusia<br />

diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat<br />

penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003).<br />

Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui<br />

pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indera atau<br />

akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau<br />

dirasakan sebelumnya (Budi, 2005).<br />

Pengetahuan adalah sesuatu yang hadir dan terwujud dalam jiwa dan pikiran<br />

seseorang dikarenakan adanya reaksi, persentuhan, dan hubungan dengan lingkungan dan<br />

alam sekitarnya. Pengetahuan ini meliputi emosi, tradisi, keterampilan, informasi, akidah,<br />

dan pikiran-pikiran.<br />

4


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

b. Tingkat Pengetahuan Dalam Domain Kognitif<br />

Pengetahuan memiliki enam tingkat yang bergerak berurutan dari tingkatan rendah<br />

atau sederhana sampai ketingkat yang paling kompleks yaitu :<br />

1) Tahu (k<strong>no</strong>w)<br />

Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah di pelajari sebelumnya,<br />

termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap<br />

suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang di pelajari atau rangsangan yang telah<br />

diterima. Oleh sebab itu tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.<br />

Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain<br />

menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasikan, mengetahui dan sebagainya.<br />

2) Memahami (Comprehension)<br />

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar<br />

tentang apa yang di ketahui dan dapat mengintreprestasikan materi tersebut dengan<br />

benar. Orang yang telah faham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan,<br />

menyebutkan contoh menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap obyek<br />

yang dipelajari.<br />

3) Aplikasi (Aplication)<br />

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah<br />

dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya), Aplikasi disini dapat diartikan<br />

sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus-rumus, metode, prinsip dan<br />

sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.<br />

4) Analisis (Analysis)<br />

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek kedalam<br />

komponen-komponen, tetapi masih didalam struktur organisasi itu dan masih ada<br />

kaitanya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata<br />

kerja dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan<br />

mengelompokkan dan sebagainya.<br />

5) Sintesis<br />

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau<br />

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru dengan<br />

kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun, dapat merencanakan,<br />

dapat meringkas, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau<br />

rumusan yang telah ada.<br />

6) Evaluasi<br />

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian<br />

terhadap suatu materi atau obyek penelitian itu berdasarkan suatu kriteria yang di<br />

tentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada.<br />

c. Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan<br />

1) Pendidikan<br />

Pendidikan adalah bimbingan yang telah di berikan seseorang kepada orang lain<br />

terhadap suatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin<br />

tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi, dan pada akhirnya<br />

makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya jika seseorang<br />

pendidikannya, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap<br />

penerimaan, informasi dan nilai yang baru diperkenalkan.<br />

2) Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan<br />

pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.<br />

3) Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan<br />

psikologi (mental). Pertumbuhan pada fisik secara garis besar ada empat kategori<br />

perubahan pertama, perubahan ukuran, kedua perubahan proporsi, ketiga hilangnya<br />

ciri- cirri lama, ke empat timbulnya ciri-ciri baru. Ini akibat pematangan fungsi organ.<br />

Pada aspek psikologi atau mental taraf berfikir seseorang makin matang.<br />

5


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

a) Minat<br />

Sebagai suatu kecenderungan atau keinginannya tinggi terhadap sesuatu. Minat<br />

menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya<br />

diperoleh pengetahuan yang menjadi mendalam.<br />

b) Pengalaman<br />

Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam<br />

berinteraksi dengan lingkungannya. Ada kecenderungan pengalaman seseorang<br />

kurang baik akan berusaha untuk melupakan, namun jika pengalaman terhadap<br />

obyek tersebut menyenangkan maka secara psikologi akan timbul kesan yang<br />

sangat mendalam dan membekas dalam emosi jiwanya, dan akhirnya dapat<br />

membentuk sikap positif dalam kehidupannya.<br />

c) Kebudayaan lingkungan sekitarnya<br />

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar<br />

terhadap pembentukan sikap kita.<br />

d) Informasi<br />

Kemudahan memperoleh suatu informasi dapat membantu mempercepat<br />

seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru (Notoatmodjo, 2003).<br />

e) Cara Mengukur Pengetahuan<br />

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang<br />

menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau<br />

responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat<br />

kita sesuaikan dengan tingkatan seperti :<br />

(1) Pengetahuan baik jika skor >75%<br />

(2) Pengetahuan cukup jika skor 60% - 75%<br />

(3) Pengetahuan kurang jika < 60% (Arikunto, 2006).<br />

C. METODE PENELITIAN<br />

1. Desain Penelitian<br />

Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah observasi analitik dengan desain<br />

penelitian Cross Sectional, karena antara variabel independen (pengetahuan) dan variabel<br />

dependen (ketepatan) diukur pada saat yang sama (Notoatmodjo, 2005).<br />

2. Hipotesis<br />

Hipotesis merupakan jawaban sementara dari suatu pemilihan (Notoatmodjo, 2005).<br />

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:<br />

Ha : Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan ketepatan imunisasi DPT Combo dan<br />

Campak.<br />

3. Variabel Dan Definisi Operasional<br />

Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok<br />

yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain (Notoatmodjo, 2005).<br />

Variabel bebas (independen) penelitian ini adalah pengetahuan ibu tentang imunisasi<br />

DPT Combo dan Campak. Variabel (dependen) tergantung pada penelitian ini adalah ketepatan<br />

pemberian imunisasi DPT Combo dan Campak.<br />

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan<br />

karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau<br />

pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fe<strong>no</strong>mena (Hidayat, 2008).<br />

6


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Tabel 3. Definisi Operasional Faktor Karakteristik Ibu Yang Berhubungan Dengan<br />

Ketepatan Imunisasi DPT Combo Dan Campak Di Pasuruan<br />

Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala<br />

Independen :<br />

Pengetahuan ibu<br />

dengan ketepatan<br />

imunisasi DPT<br />

Combo dan Campak<br />

Dependen :<br />

Ketepatan imunisasi<br />

DPT Combo dan<br />

Campak<br />

Kemampuan ibu untuk<br />

menyebutkan jawaban yang<br />

benar pada pertanyaan tentang<br />

imunisasi DPT Combo dan<br />

Campak yang meliputi:<br />

- Pengertian imunisasi DPT<br />

Combo dan Campak<br />

- Efek samping imunisasi DPT<br />

Combo dan Campak<br />

- Jadwal pemberian imunisasi<br />

Combo dan Campak<br />

Kegiatan imunisasi DPT<br />

Combo dan Campak yang<br />

dilaksanakan sesuai dengan<br />

jadwal pemberian<br />

7<br />

Tingkat pengetahuan :<br />

- Kurang : < 60%<br />

- Cukup : 60 – 75%<br />

- Baik : > 75 %<br />

Jawaban :<br />

- Benar :1<br />

- Salah : 0<br />

(Arikunto, 2006)<br />

- Tepat (DPT Combo<br />

dan Campak)<br />

diberikan kode 1<br />

- Tidak tepat (DPT<br />

Combo dan Campak)<br />

diberikan kode 2<br />

Ordinal<br />

Nominal<br />

4. Populasi, Sampel Dan Instrumen Penelitian<br />

Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang mempunyai bayi usia 12<br />

bulan sebanyak 48 orang yang ada di Desa Balung Anyar Kecamatan Lekok Kabupaten<br />

Pasuruan pada tanggal 17-19 Juni 2010. Penelitian ini menggunakan teknik <strong>no</strong>n probability<br />

sampling dengan teknik pengambilan sampel jenuh (total sampling) yaitu cara pengambilan<br />

sampel dengan mengambil semua anggota populasi untuk menjadi sampel. Cara ini dilakukan<br />

bila populasinya kecil, maka anggota populasi tersebut diambil seluruhnya untuk dijadikan<br />

sampel penelitian (Hidayat, 2008). Instrumen yang digunakan adalah buku KMS dan<br />

kuesioner. Kuesioner berisi 13 pernyataan tentang pengetahuan yang disusun disusun<br />

sendiri oleh peneliti.<br />

5. Teknik Analisis Data<br />

a. Univariat<br />

Untuk kode subvariabel tingkat pengetahuan sebagai berikut:<br />

Pemyataan : Salah : 0<br />

Benar : 1<br />

Kemudian jawaban tersebut diubah menjadi persentase dengan rumus:<br />

Keterangan:<br />

P : Prosentase<br />

f : Jumlah jawaban yang benar<br />

N : Jumlah skor maksimal jika semua pertanyaan dijawab dengan benar<br />

Kemudian hasil prosentase diinterpretasikan menjadi:<br />

Pengetahuan baik : > 75 %<br />

Pengetahuan cukup : 60 % - 75 %<br />

Pengetahuan kurang : < 60 % (Arikunto, 2006)


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

b. Bivariat<br />

Analisa bivariat dilakukan terhadap 2 variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi.<br />

Dalam analisis ini dapat dilakukan uji Mann Whitney, dengan menggunakan teknik<br />

komputerisasi SPSS 12, dengan kemaknaan = 0,05. Jika nilai probabilitas hasil<br />

perhitungan < 0.05, maka Ha diterima.<br />

Ha : Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan ketepatan imunisasi DPT Combo dan<br />

Campak.<br />

H0 : Tidak Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan ketepatan imunisasi DPT<br />

Combo dan Campak.<br />

D. HASIL PENELITIAN<br />

1. Data Umum<br />

a. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia<br />

Tabel 4. Karakteristik Usia Responden di Desa Balung Anyar Kecamatan Lekok<br />

Kabupaten Pasuruan<br />

No. Karakteristik Usia Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. < 20 tahun 10 20,8<br />

2. 20-30 tahun 35 72,9<br />

3. >30 tahun 3 6,3<br />

Total 48 100<br />

Dari tabel 4 diketahui bahwa sebagian besar responden berusia 20-30 tahun<br />

sedangkan responden yang berusia > 30 tahun mempunyai proporsi yang paling kecil.<br />

b. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan<br />

Tabel 5. Karakteristik Pendidikan Responden di Desa Balung Anyar Kecamatan<br />

Lekok Kabupaten Pasuruan<br />

No. Karakteristik Pendidikan Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. SD 20 41,6<br />

2. SMP 14 29,2<br />

3. SMA 14 29,2<br />

4. Perguruan Tinggi 0 0<br />

Total 48 100<br />

Dari tabel 5 diketahui bahwa paling banyak responden berpendidikan SD dan tidak<br />

ada responden yang lulusan Perguruan Tinggi.<br />

c. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan<br />

Tabel 6. Karakteristik Pekerjaan Responden di Desa Balung Anyar Kecamatan<br />

Lekok Kabupaten Pasuruan<br />

No. Karakteristik Pekerjaan Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. Bekerja 7 14,6<br />

2. Tidak bekerja 41 85,4<br />

Total 48 100<br />

Dari tabel 6 diketahui bahwa sebagian responden tidak bekerja sedangkan sisanya<br />

bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan karyawan swasta.<br />

8


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

d. Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi DPT Combo dan Campak<br />

Tabel 7. Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi DPT Combo dan Campak di Desa<br />

Balung Anyar Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan<br />

No. Pengetahuan Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. Baik 6 12,5<br />

2. Cukup 20 41,7<br />

3. Kurang 22 45,8<br />

Total 48 100<br />

Dari tabel 7 menunjukkan hampir setengahnya responden mempunyai pengetahuan<br />

yang kurang tentang imunisasi DPT Combo dan Campak, sedangkan yang mempunyai<br />

pengetahuan pada tingkat baik mempunyai proporsi yang paling kecil.<br />

e. Ketepatan Imunisasi DPT Combo dan Campak<br />

Tabel 8. Ketepatan Imunisasi DPT Combo dan Campak di Desa Balung Anyar<br />

Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan<br />

No. Ketepatan Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. Tepat 18 37,5<br />

2. Tidak Tepat 30 62,5<br />

Total 48 100<br />

2.<br />

Dari tabel 8 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden tidak tepat dalam<br />

melakukan imunisasi DPT Combo dan Campak sedangkan sisanya sudah tepat dalam<br />

melakukan imunisasi DPT Combo dan Campak.<br />

Data Khusus<br />

Pada data ini akan disajikan tabulasi silang antara usia, pendidikan, pekerjaan dan<br />

pengetahuan ibu dengan ketepatan imunisasi DPT Combo dan Campak .<br />

a. Analisis Hubungan Usia Ibu Dengan Ketepatan Imunisasi DPT Combo dan Campak<br />

Tabel 9. Tabulasi Silang Antara Usia Ibu Dengan Ketepatan Imunisasi DPT Combo<br />

dan Campak di Desa Balung Anyar Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan<br />

No. Usia<br />

Ketepatan<br />

Tepat Tidak Tepat<br />

Total<br />

f (%) f (%) f (%)<br />

1. < 20 tahun 0 0 10 20,8 10 20,8<br />

2. 20-30 tahun 16 33,3 19 39,6 35 72,9<br />

3. >30 tahun 2 4,2 1 2,1 3 6,3<br />

Jumlah 18 37,5 30 62,5 48 100<br />

Berdasarkan hasil tabulasi silang diatas dapat diketahui bahwa semua responden<br />

yang berusia < 20 tahun tidak tepat dalam menjalankan imunisasi DPT Combo dan<br />

Campak sedangkan responden yang berusia > 30 tahun lebih dari 50% tepat dalam<br />

menjalankan imunisasi DPT Combo dan Campak.<br />

Chi-Square Tests<br />

Value df Asymp. Sig. (2-sided)<br />

Pearson Chi-Square 8,097(a) 2 ,017<br />

Likelihood Ratio 11,428 2 ,003<br />

Linear-by-Linear Association 7,460 1 ,006<br />

N of Valid Cases 48<br />

a 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,13.<br />

9


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Hasil uji statistic menggunakan uji Chi Square menunjukkan bahwa nilai p value sama<br />

dengan 0,017. Nilai ini lebih kecil dari 0,05 jadi dapat disimpulkan bahwa ada hubungan<br />

antara usia ibu dengan ketepatan dalam melaksanakan imunisasi DPT Combo dan Campak.<br />

b. Analisis Hubungan Pendidikan Ibu Dengan Ketepatan Imunisasi DPT Combo dan Campak<br />

Tabel 10. Tabulasi Silang Antara Pendidikan Ibu Dengan Ketepatan Imunisasi DPT<br />

Combo dan Campak di Desa Balung Anyar Kecamatan Lekok Kabupaten<br />

Pasuruan<br />

Ketepatan<br />

Total<br />

No. Pendidikan Tepat Tidak Tepat<br />

f (%) f (%) f (%)<br />

1. SD 2 4,2 18 37,4 20 41,6<br />

2. SMP 5 10,4 9 18,8 14 29,2<br />

3. SMA 11 22,9 3 6,3 14 29,2<br />

Jumlah 18 37,5 30 62,5 48 100<br />

Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang<br />

berpendidikan SD tidak tepat dalam menjalankan imunisasi DPT Combo dan Campak,<br />

sedangkan responden yang berpendidikan SMA sebagian besar tepat dalam menjalankan<br />

imunisasi DPT Combo dan Campak.<br />

Chi-Square Tests<br />

Value df Asymp. Sig. (2-sided)<br />

Pearson Chi-Square 16,549(a) 2 ,000<br />

Likelihood Ratio 17,709 2 ,000<br />

Linear-by-Linear Association 15,902 1 ,000<br />

N of Valid Cases 48<br />

a 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,25.<br />

Hasil analisis data menggunakan uji chi square tersebut diatas dapat diketahui<br />

bahwa nilai chi square hitung sama dengan 16,549 dengan nilai tabel pada df sama dengan<br />

2 adalah sebesar 5,991. karena nilai hitung > nilai tabel maka Ho ditolak jadi ada hubungan<br />

antara tingkat pendidikan dengan ketepatan imunisasi DPT Combo dan Campak pada<br />

tingkat signifikansi 5%.<br />

c. Analisis Hubungan Pekerjaan Ibu Dengan Ketepatan Imunisasi DPT Combo dan Campak<br />

Tabel 11. Tabulasi Silang Antara Pekerjaan Ibu Dengan Ketepatan Imunisasi DPT<br />

Combo dan Campak di Desa Balung Anyar Kecamatan Lekok Kabupaten<br />

Pasuruan<br />

Ketepatan<br />

Total<br />

No. Pekerjaan<br />

Tepat Tidak Tepat<br />

f (%) f (%) f (%)<br />

1. Tidak Bekerja 13 27,1 28 58,2 41 85,4<br />

2. Bekerja 5 10,4 2 4,2 7 14,6<br />

Jumlah 18 37,5 30 62,5 48 100<br />

Dari hasil tabulasi silang dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yang<br />

tidak bekerja tidak tepat dalam melaksanakan imunisasi DPT Combo dan Campak.<br />

Sedangkan responden yang bekerja justru paling banyak tepat dalam menjalankan<br />

imunisasi DPT Combo dan Campak.<br />

10


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

d. Analisis Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Ketepatan Imunisasi DPT Combo dan Campak<br />

Tabel 12. Tabulasi Silang Antara Pengetahuan Ibu Dengan Ketepatan Imunisasi<br />

DPT Combo dan Campak di Desa Balung Anyar Kecamatan Lekok<br />

Kabupaten Pasuruan<br />

Ketepatan<br />

Total<br />

No. Pengetahuan Tepat Tidak Tepat<br />

f (%) f (%) f (%)<br />

1 Baik 5 10,4 1 2,1 6 12,5<br />

2 Cukup 13 27,1 7 14,6 20 41,7<br />

3 Kurang 0 0 22 45,8 22 45,8<br />

Jumlah 18 37,5 30 62,5 48 100<br />

Berdasarkan tabel 12 menunjukkan sebagian besar berpengetahuan kurang dan<br />

tidak tepat mengimunisasikan bayinya sesuai jadwal 22 responden (45,8%).<br />

Data yang diperoleh dari hasil observasi oleh peneliti kemudian dilakukan analisa<br />

dengan menggunakan uji mann whitney untuk mengetahui ada tidaknya hubungan<br />

pengetahuan ibu tentang ketepatan imunisasi DPT Combo dan Campak antara responden<br />

yang mempunyai tingkat pengetahuan baik, cukup, kurang di Desa Balung Anyar<br />

Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan pada bulan17-19 juni 2010. Dari hasil uji mann<br />

whitney dengan = 0,05 dan hasil perhitungan 0,008 < 0,05 yang artinya Ha diterima yaitu<br />

ada hubungan pengetahuan ibu dengan ketepatan imunisasi DPT Combo dan Campak.<br />

E. PEMBAHASAN<br />

1. Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi DPT Combo Dan Campak<br />

Berdasarkan tabel 7 menunjukkan paling banyak responden mempunyai pengetahuan<br />

baik 6 responden (12,5%), cukup 20 responden (41,66%), kurang tentang imunisasi DPT<br />

Combo dan Campak 22 responden (45,83%). Dari hasil data banyak ibu yang memiliki<br />

pengetahuan kurang tentang imunisasi DPT Combo dan campak yang meliputi pengertian,<br />

manfaat, jadwal imunisasi. Karena kurangnya ibu yang memiliki pengetahuan tentang imunisasi<br />

DPT Combo dan Campak maka banyak balita yang tidak diberi imunisasi sesuai jadwal.<br />

Semakin tinggi pengetahuan seseorang maka mereka akan membentuk perilaku yang baik.<br />

Sebaliknya semakin rendah pengetahuan seseorang maka mereka tidak bisa memilih sesuatu<br />

yang bermanfaat bagi dirinya sehingga akan terbentuk perilaku yang tidak baik.<br />

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan<br />

terhadap obyek (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya<br />

pendidikan, lingkungan pekerjaan, umur, kebudayaan lingkungan, informasi. Dengan<br />

bertambahnya usia maka pengetahuan seseorang akan bertambah baik (Mubarak, 2007).<br />

Disamping usia ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan, yaitu<br />

pengalaman dan sumber informasi. Pengalaman merupakan suatu cara untuk memperoleh<br />

kebenaran pengetahuan, hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang<br />

diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi pada masa lalu. Sumber informasi dapat<br />

diperoleh dirumah, sekolah, media cetak,dan tempat pelayanan keehatan, ilmu pengetahuan dan<br />

tek<strong>no</strong>logi membutuhkan informasi sekaligus menghasilkan informasi (Arikunto, 2006).<br />

Ditinjau dari segi usia maka tabulasi silang yang terdapat pada lampiran 8 menunjukkan<br />

bahwa hampir setengahnya responden berusia 20-30 tahun 13 responden (27,08%). Disini bisa<br />

kita lihat bahwa pada usia 20-30 tahun, maka ibu sudah berada pada tahap perkembangan yang<br />

dewasa. Pada fase dewasa tugas perkembangannya adalah untuk saling ketergantungan dan<br />

tanggung jawab terhadap orang lain serta menjadi pribadi yang lebih matang. Namun hal<br />

tersebut bertentangan dengan kenyataan yang ada. Bahwa seharusnya seseorang yang sudah<br />

memasuki fase dewasa memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Hal ini mungkin disebabkan<br />

karena seseorang itu baru belajar untuk mulai saling ketergantungan sehingga kematangan<br />

dalam berfikir belum bisa maksimal.<br />

11


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan<br />

psikologi (mental). Pertumbuhan pada fisik secara garis besar ada empat kategori perubahan<br />

pertama, perubahan ukuran, kedua perubahan proporsi, ketiga hilangnya ciri ciri lama, ke empat<br />

timbulnya ciri ciri baru. Ini akibat pematangan fungsi organ. Pada aspek psikologi atau mental<br />

taraf berfikir seseorang makin matang (Notoatmodjo, 2003).<br />

Dilihat dari segi pendidikan maka tabulasi silang yang terdapat pada lampiran 8<br />

menunjukkan bahwa hampir setengahnya responden berpendidikan SD 14 responden (29,16%).<br />

Pada hasil penelitian ini ditemukan bahwa masih banyak ibu yang memiliki pendidikan SD<br />

yang berpengetahuan kurang, sehingga diperlukan informasi dan penyuluhan dari tenaga<br />

kesehatan secara bertahap untuk dapat meningkatkan pengetahuan tentang imunisasi DPT<br />

Combo dan Campak. Pendidikan memegang peranan penting dalam mengukur tingkat<br />

pengetahuan seseorang, semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka semakin kurang<br />

pengetahuan yang di milikinya.<br />

Pendidikan adalah bimbingan yang di berikan seseorang kepada orang lain terhadap<br />

suatu hal agar mereka memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan<br />

seseorang makin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak<br />

pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya jika seseorang tingkat pendidikanya rendah,<br />

akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan, informasi dan nilai nilai<br />

yang baru diperkenalkan (Mubarak, 2007).<br />

Dilihat dari segi pekerjaan maka tabulasi silang yang terdapat pada lampiran 8<br />

menunjukkan bahwa hampir setengahnya responden tidak bekerja 22 responden (45,83%). Dari<br />

hasil penelitian ini banyak ibu yang tidak bekerja, ini sangat menghambat ibu untuk<br />

memperoleh informasi. Oleh karena itu pekerjaan sangat mendukung karena ibu yang bekerja<br />

mempunyai pendapatan dan mudah mendapatkan informasi dalam pemberian imunisasi.<br />

Seseorang yang tidak bekerja lebih banyak memiliki waktu untuk saling bertukar pendapat dan<br />

berinteraksi dengan orang lain.<br />

Pekerjaan adalah suatu kegiatan yang harus dilakukan untuk menunjang kehidupan<br />

keluarga, bekerja pada umumnya menyita waktu, bekerja akan mempengaruhi kehidupan<br />

keluarga (Ari, 2005). Menurut penelitian Ali, Muhammad (2008) didapatkan bahwa tidak<br />

terdapat perbedaan pengetahuan tentang imunisasi DPT Combo dan Campak antara ibu yang<br />

bekerja dengan ibu yang tidak bekerja, dimana tingkat pengetahuan tentang imunisasi DPT<br />

Combo dan Campak ini masih kurang. Begitupun, walaupun tanpa dasar pengetahuan yang<br />

memadai ternyata di kalangan ibu tidak bekerja sikap dan perilaku mereka tentang imunisasi<br />

lebih baik dibanding ibu yang bekerja.<br />

2. Ketepatan Imunisasi DPT Combo Dan Campak<br />

Berdasarkan tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak tepat<br />

mengimunisasikan bayinya 30 responden (62,5%). Imunisasi yang teratur sesuai dengan waktu<br />

dan jadwal yang telah ditetapkan sangat penting karena efek dan dosis imunisasi sudah di atur<br />

sedemikian rupa sehingga bisa optimal. Faktor yang mempengaruhi terhadap kejadian tidak<br />

tepatnya imunisasi adalah pengetahuan ibu tentang imunisasi, faktor keterlibatan kader dalam<br />

memotivasi ibu dan jarak rumah ketempat pelayanan imunisasi.<br />

Menurut Mubarak (2007) Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai<br />

hasil panca inderanya. Pendapat lain menyatakan pengetahuan adalah informasi atau maklumat<br />

yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih<br />

langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan, sebab perilaku perilaku ini<br />

terjadi akibat adanya paksaan atau aturan yang mengharuskan untuk berbuat.<br />

3. Hubungan Antara Usia Ibu Dengan Ketepatan Imunisasi DPT Combo Dan Campak<br />

Dari hasil analisa data menunjukkan bahwa usia ibu berhubungan dengan ketepatan<br />

imunisasi DPT Combo dan Campak. Semakin dewasa usia seseorang maka semakin baik pula<br />

seseorang tersebut dalam bersikap dan menyikapi sesuatu. Dan sebaliknya semakin muda usia<br />

seseorang maka akan semakin kurang seseorang bersikap dan menyikapi sesuatu. Usia dapat<br />

mempengaruhi atau meningkatkan pengalaman seseorang. Tetapi pada kenyataannya ibu yang<br />

12


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

berumur 20-30 tahun belum bisa berfikir yang lebih matang dan positif dalam mengambil<br />

keputusan untuk mengimunisasikan bayinya dengan tepat. Menurut(Noor,N.N, 2008), usia<br />

merupakan salah satu sifat karakteristik tentang orang yang sangat utama. Pebedaan pengalaan<br />

terhadap masalah kesehatan atau penyakit dan pengambilan keputusan dipengaruhi oleh usia<br />

individu tersebut.<br />

4. Hubungan Antara Pendidikan Ibu Dengan Ketepatan Imunisasi DPT Combo Dan<br />

Campak<br />

Berdasarkan hasil analisa data antara pendidikan dengan ketepatan imunisasi DPT<br />

Combo dan campak yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan ibu dan<br />

ketepatan imunisasi DPT Combo dan Campak. Menurut hasil penelitian banyak ibu yang<br />

berpendidikan SD, disini bisa kita lihat karena rendahnya tingkat pendidikan ibu tidak memiliki<br />

kesadaran yang tinggi terhadap masalah-masalah kesehatan yang mungkin terjadi nanti.<br />

Semakin rendah tingkat pendidikan atau pengetahuan seseorang maka semakin tidak<br />

memperdulikan pusat-pusat pelayanan kesehatan khususnya dalam mengimunisasikan bayinya<br />

dengan tepat.<br />

Pendidikan seseorang merupakan salah satu proses perubahan tingkah laku, semakin<br />

tinggi pendidikan seseorang maka dalam memilih tempat tempat pelayanan kesehatan semakin<br />

diperhitungkan. Suatu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dan pendidikan dapat<br />

mendewasakan seseorang serta berperilaku baik, sehingga dapat memilih dan membuat<br />

keputusan dengan lebih tepat. Peran seorang ibu pada program imunisasi sangatlah penting.<br />

Karenanya suatu pemahaman tentang program ini amat diperlukan untuk kalangan tersebut.<br />

Pemahaman ibu atau pengetahuan ibu terhadap imunisasi sangat dipengaruhi oleh tingkat<br />

pendidikan (Ali, Muhammad, 2008).<br />

5. Hubungan Antara Pekerjaan Ibu Dengan Ketepatan Imunisasi DPT Combo Dan Campak<br />

Berdasarkan hasil analisa data dapat diketahui bahwa ada hubungan antara pekerjaan<br />

ibu dengan ketepatan imunisasi DPT Combo dan Campak. Seseorang yang tidak bekerja akan<br />

mempunyai waktu yang lebih banyak untuk saling bertukar fikiran mengenai pengalaman yang<br />

diperoleh. Ibu yang tidak bekerja tidak banyak yang mempunyai pengetahuan yang baik<br />

mungkin disebabkan kurangnya informasi yang yang diterima ibu rumah tangga. Penelitian Ali,<br />

Muhammad (2008) bahwa tidak terdapat perbedaan pengetahuan imunisasi antara ibu yang<br />

bekerja dengan ibu yang tidak bekerja. Dimana dalam penelitian ini tingkat pengetahuan ibu<br />

tentang imunisasi DPT Combo dan Campak masih kurang.<br />

6. Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Ketepatan Imunisasi DPT Combo Dan Campak<br />

Berdasarkan tabel 12 menunjukkan paling banyak responden berpengetahuan kurang<br />

dan mengimunisasikan bayinya tidak tepat sesuai jadwal 22 responden (45,8%). Perhitungan<br />

hubungan pengetahuan ibu dengan ketepatan imunisasi DPT Combo dan Campak dilakukan uji<br />

Mann whitney. Hasil uji Mann Whitney dengan = 0,05 dan hasil perhitungan 0,008 < 0,05<br />

yang artinya Ha diterima yaitu ada hubungan pengetahuan ibu dengan ketepatan imunisasi DPT<br />

Combo dan Campak.<br />

Pengetahuan yang baik akan mempengaruhi seseorang dalam menyikapi sesuatu. Jika<br />

seseorang menyadari pentingnya imunisasi maka orang tersebut akan berusaha untuk<br />

mendapatkan pelayanan imunisasi yang terartur dan optimal. Semakin rendah pendidikan atau<br />

pengetahuan seseorang maka semakin kurang membutuhkan pusat-pusat pelayanan kesehatan.<br />

Dengan pendidikan yang rendah, maka seseorang kurang mempunyai wawasan dan<br />

pengetahuan dan belum menyadari bahwa begitu penting kesehatan bagi kehidupan sehingga<br />

belum termotivasi untuk melakukan imunisasi.<br />

Pandangan adat daerah setempat yaitu kekhawatiran bayinya akan meninggal karena<br />

mungkin saja imunisasi yang diberikan tidak cocok untuk si bayi. Disamping itu ada<br />

kekhawatiran keluarga tentang reaksi imunisasi yaitu badan bayi jadi panas.<br />

Kepercayaan dan perilaku kesehatan ibu juga hal yang penting, karena penggunaan<br />

sarana kesehatan oleh anak berkaitan erat dengan perilaku dan kepercayaan ibu tentang<br />

kesehatan dan mempengaruhi status imunisasi. Masalah pengertian dan keikutsertaan orang tua<br />

13


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

dalam program imunisasi tidak akan menjadi halangan yang besar jika pendidikan kesehatan<br />

yang memadai telah diberikan. Peran seorang ibu program imunisasi sangatlah penting,<br />

karenanya suatu pemahaman tentang program imunisasi dasar amat diperlukan untuk kalangan<br />

tersebut (Ali, Muhammad, 2008).<br />

F. PENUTUP<br />

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan usia ibu dengan ketepatan<br />

pelaksanaan imunisasi DPT Combo dan Campak, ada hubungan pendidikan ibu dengan<br />

ketepatan pelaksanaan imunisasi DPT Combo dan Campak, ada hubungan pekerjaan ibu dengan<br />

ketepatan pelaksanaan imunisasi DPT Combo dan Campak dan ada hubungan pengetahuan ibu<br />

dengan ketepatan pelaksanaan imunisasi DPT Combo dan Campak di Desa Balung Anyar<br />

Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan.<br />

Peneliti selanjutnya hendaknya lebih memprioritaskan pada motivasi ibu dalam<br />

melaksanakan imunisasi DPT Combo dan Campak sekaligus membandingkannya<br />

dengan program imunisasi regular. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memotivasi para<br />

ibu untuk meningkatkan pengetahuannya tentang pentingnya imunisasi DPT Combo<br />

dan Campak, sehingga bayi mendapat imunisasi DPT Combo dan Campak.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Adi. (2008). Pengertian Imunisasi. (http://cresuft file wordpress.com, diakses 1 Juni 2010).<br />

Alimul, Aziz. (2009). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba<br />

Madika.<br />

A<strong>no</strong>nim. Arti Definisi Pengertian Imunisasi. (http://www. Organisasi. Org/arti-definisi-pengertianimunisasi,<br />

diakses 12 Mei 2010).<br />

A<strong>no</strong>nim. Cara Pemberian Dan Dosis Imunisasi. (http://www. Geolitis.com. Cara Pemberian dan<br />

Dosis Imunisasi, diakses 12 Mei 2010).<br />

A<strong>no</strong>nim. Imunisasi. (http://www. Medicastore.com. Imunisasi, diakses 1 Juni 2010).<br />

Arikunto, Suharsini. (2006). Proseder Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.<br />

Dahlan, Sopiyudin. (2008). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.<br />

Departemen Kesehatan RI, (2005). Pedoman Teknis Imunisasi dan Penyakit Imun. Jakarta: Widya.<br />

Julia, Madarina, dr. (2007). Sistem Imu, Imunisasi dan Penyakit Imun. Jakarta: Widya Medika.<br />

Mubarak, Iqbal dkk. (2007). Promosi Kesehatan. Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu.<br />

Naja, Dr. (2003). Hand Out dan Bahan Kuliah Imunisasi. Jakarta: UI Press.<br />

Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.<br />

Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.<br />

Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.<br />

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodeliogi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:<br />

Salemba Medika.<br />

Sugiyo<strong>no</strong>. (2007). Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.Sugio<strong>no</strong>. (2009). Metode Penelitian<br />

Pendidikan. Jakarta: Alfabeta.<br />

Tawi, Mirzal. (2008). Imunisasi dan Faktor yang Mempengaruhi. (http://syehaceh.wordpress.com,<br />

diakses 13 Mei 2010).<br />

14


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGETAHUAN IBU<br />

TENTANG REGURGITASI PADA BAYI USIA 0-6 BULAN<br />

DI BPS MUJI WINARNIK MOJOKERTO<br />

Sulisdiana<br />

Dosen Politeknik Kesehatan <strong>Majapahit</strong> Mojokerto<br />

ABSTRAK<br />

Regurgitasi merupakan keadaan <strong>no</strong>rmal yang sering terjadi pada bayi usia di bawah 6 bulan.<br />

Seiring bertambahnya usia yaitu sampai diatas 6 bulan maka regurgitasi semakin jarang dialami oleh<br />

anak. Namun hanya 25% orang tua bayi yang peduli dan menganggap gumoh sebagai sebuah<br />

masalah, hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman mereka tentang gumoh.<br />

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi gambaran pengetahuan ibu tentang regurgitasi pada<br />

bayi usia 0-6 bulan di BPS Muji Winarnik Desa Bening Kecamatan Gondang Kabupaten Mojokerto.<br />

Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan metode survey. Adapun variabel<br />

penelitian ini adalah pengetahuan ibu tentang regurgitasi pada bayi usia 0-6 bulan. Sampelnya adalah<br />

semua ibu yang mempunyai bayi usia 0-6 bulan diambil menggunakan teknik <strong>no</strong>n probabilty<br />

sampling jenis concecutive Sampling dari populasi di BPS Muji Winarnik Desa Bening Kecamatan<br />

Gondang Kabupaten Mojokerto tahun 2010 yang berjumlah 41 ibu. Penelitian ini dilaksanakan<br />

tanggal 14 –19 Juni. Analisa data pada penelitian ini menggunakan teknik tabulasi kemudian diolah<br />

menggunakan distribusi frekuensi.<br />

Hasil penelitian ini adalah sebagian besar responden mempunyai pengetahuan yang cukup<br />

tentang pengertian regurgitasi pada bayi usia 0-6 bulan yaitu 19 responden (46,3%), sedangkan<br />

pengetahuan yang kurang sebanyak 8 responden (19,5%), pengetahuan yang baik sebanyak 10<br />

responden (24,4%). Pengetahuan ini muncul karena responden telah memperoleh informasi yang<br />

cukup baik dari pengalaman sendiri atau lingkungan serta dapat pula dari tenaga kesehatan.<br />

Pengetahuan responden terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya umur,<br />

pendidikan, dan pekerjaan.<br />

Penelitian ini diidentifikasikan bahwa pengetahuan yang dimiliki ibu di BPS Muji Winarnik<br />

Desa Bening Kecamatan Gondang Kabupaten Mojokerto adalah cukup. Tenaga kesehatan harus<br />

selalu memberikan pendidikan dan pengarahan tentang cara menyusui yang baik dan benar, terutama<br />

pada ibu menyusui agar menimbulkan kesadaran ibu akan pengaruh posisi menyusui terhadap<br />

kejadian regurgitasi pada bayi.<br />

Kata kunci : Pengetahuan, Regurgitasi<br />

A. PENDAHULUAN<br />

Regurgitasi (gumoh) adalah keluarnya kembali sebagian susu yang ditelan melalui<br />

mulut dan tanpa paksaan beberapa saat setelah minum susu. Regurgitasi merupakan keadaan<br />

<strong>no</strong>rmal yang sering terjadi pada bayi usia dibawah 6 bulan. Seiring bertambahnya usia yaitu<br />

sampai diatas 6 bulan maka regurgitasi semakin jarang dialami oleh anak (Nursalam, 2005).<br />

Ada beberapa penyebab terjadinya regurgitasi yaitu pertama karena belum sempurnanya katup<br />

antara lambung dan kerongkongan, sehingga susu yang diminum mudah keluar kembali. Kedua,<br />

terlalu banyak minum susu padahal kapasitas lambung masih sedikit sehingga tidak mampu<br />

menampung susu yang masuk. Ketiga, aktivitas yang berlebihan, menangis atau menggeliat<br />

pada saat disusui sehingga susu keluar kembali (Anang, 2010).<br />

Sebagai orang tua, seharusnya dapat memahami perbedaan antara bayi muntah dan<br />

gumoh. Keduanya serupa, namun sebenarnya tidak sama. Bayi yang kenyang sering<br />

mengeluarkan ASI yang sudah ditelannya. Jika sedikit, maka disebut bayi gumoh. Volumenya<br />

kurang dari 10 cc. Berupa ASI yang sudah ditelan si kecil. Namun, jika <strong>vol</strong>umenya banyak<br />

maka disebut bayi muntah. Volumenya diatas 10 cc (Choirunnisa, 2009). Namun hanya 25%<br />

orang tua bayi yang peduli dan menganggap gumoh sebagai sebuah masalah, hal ini terjadi<br />

15


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman mereka tentang gumoh (Ariq,2009). Dewasa ini<br />

masih terdapat ibu yang belum mengerti tentang gumoh dan menganggap gumoh atau<br />

regurgitasi sama dengan muntah.<br />

Regurgitasi merupakan gejala klinis yang paling sering ditemukan pada bayi yang<br />

mengalami refluks gastroesofagus (RGE). Refluks gastroesofagus didefinisikan sebagai<br />

kembalinya isi lambung ke dalam esofagus secara in<strong>vol</strong>unter tanpa adanya usaha dari bayi,<br />

sedangkan istilah regurgitasi digunakan apabila isi lambung tersebut dikeluarkan melalui mulut<br />

(Rocky, 2009). Pengetahuan ibu yang kurang tentang posisi menyusui merupakan salah satu<br />

penyebab terjadinya regurgitasi (Nursalam, 2005). Kurangnya pengetahuan ibu ini terjadi<br />

karena beberapa faktor diantaranya pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalama, kebudayaan<br />

dan sumber informasi yang diterima (Mubarak, 2007). Jika pengetahun ibu tentang regurgitasi<br />

masih belum dapat ditingkatkan maka dapat menyebabkan asupan nutrisi pada bayi berkurang<br />

atau juga terjadi gangguan pencernaan (Yunina, 2009).<br />

Menurut Dr. Badriul Hegar Sp. A data di luar negeri melaporkan 40-60% bayi sehat<br />

berumur 4 bulan mengalami regurgitasi sedikitnya satu kali setiap hari dengan <strong>vol</strong>ume<br />

regurgitasi lebih 5 ml. Sedangkan di Indonesia kurang lebih 70% bayi berumur kurang dari<br />

empat bulan dipastikan mengalami gumoh minimal sekali sehari (Ariq, 2009).<br />

Hasil penelitian di daerah Jawa Timur saat ini menunjukkan bahwa pemberian ASI<br />

sampai umur enam bulan pada tahun 2009 mencapai 43%. Dari 43% ibu yang mempunyai bayi<br />

usia 0 – 6 bulan mereka menyatakan bahwa setiap hari anaknya mengalami gumoh minimal satu<br />

kali (Gandhi, 2009).<br />

Berdasarkan studi pendahuluan di BPS Muji Winarnik Desa Bening Kecamatan<br />

Gondang Kabupaten Mojokerto diperoleh data terdapat 47 ibu yang mempunyai bayi usia 0-6<br />

bulan pada bulan April 2010. Dari hasil wawancara dengan 12 orang ibu diperoleh data 8 Ibu<br />

menyatakan masih belum mengerti tentang cara mencegah terjadinya gumoh, dan apa yang<br />

menyebabkannya, sedangkan 4 yang lainnya mengatakan sudah biasa menghadapi bayi yang<br />

sedang gumoh, bisa dikatakan juga ibu mempunyai pengetahuan yang cukup tentang terjadinya<br />

gumoh.<br />

Upaya untuk menghindari regurgitasi pada bayi setelah minum usahakan menyusui<br />

dengan cara yang benar, sendawakan bayi setelah menyusu, dan hindari posisi telentang setelah<br />

bayi disusui (Rizal, 2009). Selain itu diharapkan ibu mengikuti penyuluhan kesehatan tentang<br />

gumoh oleh tenaga kesehatan dan juga dukungan serta perhatian dari keluarga sangat<br />

diperlukan sehingga dapat menumbuhkan semangat ibu untuk lebih meningkatkan wawasannya<br />

dalam merawat bayi terutama tentang gumoh.<br />

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji<br />

lebih dalam dan menuliskannya dalam sebuah karya tulis ilmiah dengan judul ‖pengetahuan ibu<br />

tentang regurgitasi pada bayi usia 0-6 bulan di BPS Muji Winarnik Desa Bening Kecamatan<br />

Gondang Kabupaten Mojokerto‖<br />

B. TINJAUAN PUSTAKA<br />

1. Konsep Dasar Pengetahuan<br />

a. Pengertian Pengetahuan<br />

Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan pemahaman<br />

yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan<br />

kehidupannya (Keraf, 2001).<br />

Pengetahuan (K<strong>no</strong>wledge) adalah merupakan hasil ―tahu‖ dan ini terjadi setelah<br />

orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui<br />

panca indera manusia yakni: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.<br />

Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo,<br />

2003).<br />

Pengetahuan atau Kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk<br />

terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour). Apabila suatu pembuatan yang didasari<br />

16


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perbuatan yang tidak didasari oleh<br />

pengetahuan, dan apabila manusia mengadopsi perbuatan dalam diri seseorang tersebut<br />

akan terjadi proses sebagai berikut :<br />

1) Awarness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui<br />

terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).<br />

2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tertentu disini sikap subjek<br />

sudah mulai timbul.<br />

3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya terhadap stimulus<br />

tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.<br />

4) Trial dimana subjek mulai melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki<br />

oleh stimulus.<br />

5) Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan kesadaran<br />

dan sikapnya terhadap stimulus.<br />

b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan<br />

Menurut Mubarak (2007), Faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah:<br />

1) Pendidikan<br />

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang pada orang lain terhadap<br />

sesuatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi<br />

pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada<br />

akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya jika seseorang<br />

tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang<br />

terhadap penerimaan, informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan.<br />

2) Pekerjaan<br />

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan<br />

pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.<br />

3) Umur<br />

Bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis<br />

(mental). Pertumbuhan pada fisik secara garis besar ada empat kategori perubahan<br />

pertama, perubahan ukuran, kedua, perubahan proporsi, ketiga, hilangnya ciri-ciri<br />

lama, keempat, timbulnya ciri-ciri baru. Ini terjadi akibat pematangan fungsi organ.<br />

Pada aspek psikologis atau mental taraf berpikir seseorang semakin matang dan<br />

dewasa.<br />

4) Minat<br />

Suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan<br />

seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh<br />

pengetahuan yang lebih mendalam.<br />

5) Pengalaman<br />

Suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan<br />

lingkungannya. Ada kecenderungan pengalaman yang kurang baik seseorang akan<br />

berusaha untuk melupakan, namun jika pengalaman terhadap obyek tersebut<br />

menyenangkan maka secara psikologis akan timbul kesan yang sangat mendalam dan<br />

membekas dalam emosi kejiawaannya, dan pada akhirnya dapat pula membentuk<br />

sikap positif dalam kehidupannya.<br />

6) Kebudayaan<br />

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap<br />

pembentukan sikap kita. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk<br />

menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin masyarakat sekitarnya<br />

mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan, karena lingkungan<br />

sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap pribadi atau sikap seseorang.<br />

7) Informasi<br />

Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat membantu mempercepat<br />

seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru.<br />

17


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

c. Sumber Pengetahuan<br />

Menurut Keraf (2001) sumber pengetahuan ada 4 yaitu :<br />

1) Rasionalisme<br />

Rasionalisme adalah bahwa dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal saja kita<br />

bisa sampai pada pengetahuan sebenarnya, yaitu pengetahuan yang tidak mungkin<br />

salah. Menurut Kaum rasionalis, sumber pengetahuan, bahkan sumber satu-satunya<br />

adalah akal budi manusia. Akal budilah yang memberi kita pengetahuan yang pasti<br />

benar tentang sesuatu.<br />

2) Empirisme<br />

Semua pengetahuan manusia bersifat empiris. Pengetahuan yang benar dan sejati,<br />

yaitu pengetahuan yang pasti benar adalah pengetahuan indrawi, pengetahuan empiris.<br />

Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman yang terjadi melalui dan berkat panca<br />

indra. Panca indra memainkan peranan terpenting dibandingkan merupakan hasil<br />

laporan dari pengalaman atau yang disimpulkan dari pengalaman. Kedua, kita tidak<br />

mempunyai konsep atau ide apapun tentang sesuatu kecuali yang didasarkan pada apa<br />

yang diperoleh dari pengalaman. Ketiga akal budi hanya bisa berfungsi jika<br />

mempunyai acuan ke realitas atau pengalaman. Akal budi hanya mengkombinasikan<br />

pengalaman indrawi untuk sampai pada pengetahuan. Maka tanpa pengalaman indrawi<br />

tidak ada pengetahuan apa-apa.<br />

3) Sebuah Sintesis<br />

Pengetahuan diperoleh dengan jalan abstraksi yang dilakukan atas bantuan akal budi<br />

terhadap kenyataan yang bisa diamati. Teori ini mensintesa kedua sumber<br />

pengetahuan diatas, supaya pengetahuan bisa tercapai dibutuhkan baik pengamatan<br />

maupun akal budi.<br />

4) Pengetahuan Apriori dan pengetahuan Aposteriori<br />

Istilah apriori secara harfiah berarti “dari yang lebih dulu atau sebelum”, sedangkan<br />

istilah aposteriori berarti ”dari apa yang sesudahnya”. Menurut Leibniz mengetahui<br />

realitas secara aposteriori berarti mengetahui berdasarkan apa yang ditemukan secara<br />

aktual di dunia ini, yaitu melalui panca indra, dari pengaruh yang ditimbulkan realitas<br />

itu dalam pengalaman kita. Sebaliknya mengetahui secara apriori adalah dengan<br />

memahami apa yang menjadi sebabnya, apa yang menimbulkan dan memungkinkan<br />

hal itu ada atau terjadi.<br />

d. Tingkat Pengetahuan<br />

Menurut Sunaryo (2004) pengetahuan yang dicakup dalam bidang atau ranah<br />

kognitif mempunyai enam tingkatan bergerak dari yang sederhana sampai pada yang<br />

kompleks yaitu :<br />

1) Tahu (K<strong>no</strong>w)<br />

Mengetahui berdasarkan mengingat kepada bahan yang sudah dipelajari sebelumnya.<br />

Mengetahui dapat menyangkut bahan yang luas atau sempit seperti fakta (sempit) dan<br />

teori (luas). Namun, apa yang diketahui hanya sekedar informasi yang dapat disingkat<br />

saja. Oleh karena itu pengetahuan merupakan tingkat yang paling rendah.<br />

2) Pemahaman (Comprehension)<br />

Pemahaman adalah kemampuan memahami arti sebuah ilmu seperti menafsirkan,<br />

menjelaskan atau meringkas tentang sesuatu.<br />

3) Penerapan / Aplikasi (Aplication)<br />

Penerapan adalah kemampuan menggunakan atau penafsirkan suatu ilmu yang sudah<br />

dipelajari ke dalam situasi baru seperti menerapkan suatu metode, konsep, prinsip atau<br />

teori.<br />

4) Analisa (Analisis)<br />

Analisa adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam<br />

komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur organisasi tersebut dan masih<br />

18


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

ada kaitan suatu samalainnya. Seperti menggambarkan (membuat bagan),<br />

membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya<br />

5) Sintesis (Syntesis)<br />

Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagianbagian<br />

dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, misalnya dapat menyusun,<br />

merencanakan, meringkas, menyelesaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau<br />

rumusan yang telah ada.<br />

6) Evaluasi (Evaluation)<br />

Evaluasi berkenaan dengan kemampuan menggunakan pengetahuan untuk membuat<br />

penelitian terhadap suatu berdasarkan maksud atau kriteria tertentu. Misalnya dapat<br />

membandingkan, menanggapi dan dapat menafsirkan dan sebagainya.<br />

e. Pengukuran Pengetahuan<br />

Pengetahuan menurut Erfandi (2009), tingkat pengetahuan dapat dipersentasikan<br />

berupa prosentase dan ditafsirkan dengan kalimat yang bersifat kualitatif, yaitu :<br />

1) Baik (76% - 100%)<br />

2) Cukup (56% - 75%)<br />

3) Kurang (40% - 55%)<br />

4) Tidak baik (< 40%)<br />

2. Konsep Dasar Regurgitasi<br />

a. Pengertian<br />

Regurgitasi adalah makanan yang dikeluarkan kembali ke mulut akibat gerakan<br />

antiperistaltik esophagus (Arif Mansjoer dkk, 2000).<br />

Gumoh adalah hal <strong>no</strong>rmal yang biasa terjadi pada bayi karena berkaitan dengan<br />

fungsi pencernaannya yang masih belum sempurna (Rizal, 2009).<br />

Regurgitasi atau gumoh adalah keluarnya kembali sebagian susu yang telah ditelan<br />

melalui mulut tanpa paksaan, setelah beberapa saat setelah minum susu. (Nursalam,2005).<br />

Regurgitasi adalah naiknya makanan dari kerongkongan atau lambung tanpa<br />

disertai oleh rasa mual maupun kontraksi otot perut yang sangat kuat (Solo, 2010).<br />

b. Proses Regurgitasi<br />

Gumoh terjadi karena ada udara di dalam lambung yang terdorong keluar kala<br />

makanan masuk ke dalam lambung bayi. Gumoh terjadi secara pasif atau terjadi secara<br />

spontan. Dalam kondisi <strong>no</strong>rmal, gumoh bisa dialami bayi antara 1 - 4 kali sehari. Gumoh<br />

dikategorikan <strong>no</strong>rmal, jika terjadinya beberapa saat setelah makan dan minum serta tidak<br />

diikuti gejala lain yang mencurigakan. Selama berat badan bayi meningkat sesuai standar<br />

kesehatan, tidak rewel, gumoh tidak bercampur darah dan tidak susah makan atau minum,<br />

maka gumoh tak perlu dipermasalahkan (Parenting, 2009).<br />

Perbedaan antara bayi muntah dan gumoh. Keduanya serupa, namun sebenarnya<br />

tidak sama. Bayi yang kenyang sering mengeluarkan ASI yang sudah ditelannya. Jika<br />

sedikit, maka disebut bayi gumoh, <strong>vol</strong>umenya kurang dari 10 cc. Berupa ASI yang sudah<br />

ditelan si kecil. Namun, jika <strong>vol</strong>umenya banyak maka disebut bayi muntah. Volumenya<br />

diatas 10 cc. Dilihat dari cara keluarnya, maka gumoh akan mengalir biasa dari mulut, dan<br />

tidak disertai kontraksi otot perut. Sedangkan ketika bayi muntah akan menyembur seperti<br />

disemprotkan dari dalam perut dan disertai kontraksi otot perut. Kadang kala juga keluar<br />

dari lubang hidung. Kebanyakan gumoh akan terjadi pada bayi berumur beberapa minggu,<br />

2-4 bulan atau 6 bulan dan akan hilang dengan sendirinya (Choirunnisa, 2009).<br />

Jika bayi mengalami gumoh, tidak perlu khawatir, karena ini proses alami dan<br />

wajar untuk mengeluarkan udara yang tertelan bayi saat minum ASI. Ketika bayi terlalu<br />

banyak minum ASI, maka saat minum atau makan ada udara yang ikut tertelan.<br />

Kemungkinan lain, bayi gagal menelan, karena otot-otot penghubung mulut dan<br />

kerongkongan belum matang. Ini biasanya terjadi pada bayi prematur. Bayi gumoh hanya<br />

perlu disendawakan setelah bayi menyusu. Beda halnya dengan bayi muntah, yang tidak<br />

19


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

terjadi pada bayi baru lahir, tapi bisa terjadi pada bayi berumur 2 bulan dan dapat<br />

berlangsung sepanjang usia. Ini bisa menjadi tanda adanya gangguan kesehatan atau<br />

gangguan fungsi pada organ pencernaan bayi, misalnya kelainan katup pemisah lambung<br />

dan usus 12 jari (Choirunnisa, 2009).<br />

c. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan regurgitasi atau gumoh<br />

1) Posisi menyusui<br />

Menurut Purwanti (2004) posisi menyusui yang benar yaitu :<br />

a) Bayi harus dapat memasukkan seluruh puting susu sampai dengan daerah areola<br />

mamae kedalam mulutnya sehingga dapat menggunakan rahang untuk menekan<br />

daerah dibelakang puting susu. Daerah ini merupakan kantong penyimpanan ASI.<br />

b) Ibu dapat mengambil posisi duduk. Punggung ibu bersandar, kaki dapat diangkat<br />

dan diluruskan ke depan sejajar dengan bokong, atau kebawah, tetapi harus diberi<br />

penyangga (jangan menggantung). Bayi tidur dipangkuan ibu dengan dialasi<br />

bantal sehingga posisi perut ibu bersentuhan berhadapan dengan perut bayi. Leher<br />

bayi harus dalam posisi tidak terpelintir. Sebaiknya ibu berhati-hati karena pada<br />

saat menyusui,bayi tidak dalam keadaan terlentang atau digendong.<br />

c) Posisi menyusu lain adalah ibu tidur miring dengan bantal agak tinggi dan lengan<br />

tangan me<strong>no</strong>pang kepala bayi. Posisi perut bayi dan perut ibu sama dengan posisi<br />

duduk. Siku bayi harus lurus sejajar dengan telinga bayi bila ditarik garis lurus.<br />

d) Bila mengambil posisi telungkup diatas meja, bayi ditidurkan dimeja dengan<br />

kepala bayi mengarah ke payudara ibu. Posisi ini akan menguntungkan bagi bayi<br />

kembar karena kedua bayi memperoleh kesempatan yang sama tanpa harus<br />

dibedakan.<br />

e) Segera setelah persalinan posisi menyusui yang terbaik untuk bayi adalah<br />

ditelungkupkan di perut ibu sehingga kulit ibu bersentuhan dengan kulit bayi<br />

sebagai proses penghangat untuk bayi dan sekaligus bayi dapat menghisap puting<br />

susu ibu.<br />

2) Volume lambung masih kecil, sementara susu yang ditelan bayi melebihi kapasitas<br />

lambung. Ini penyebab paling umum. Masalahnya makin menjadi karena bayi senang<br />

menggeliat. Padahal, gerakan ini membuat tekanan dalam perut tinggi, sehingga jadi<br />

gumoh. Sebenarnya, gumoh masih <strong>no</strong>rmal sepanjang jumlah cairan yang keluar dan<br />

masuk seimbang (Nova, 2009).<br />

3) Klep penutup lambung belum sempurna. Dari mulut, susu akan masuk ke saluran<br />

pencernaan atas, baru kemudian ke lambung. Nah, di antara kedua organ tersebut<br />

terdapat klep penutup lambung. Pada bayi, klep ini biasanya belum sepenuhnya<br />

berfungsi sempurna. Akibatnya, kalau ia langsung ditidurkan setelah disusui, dan juga<br />

menggeliat, susu akan keluar dari mulut. Untuk mengurangi gumoh, berikan susu<br />

sedikit demi sedikit (Nova, 2009).<br />

4) Menangis berlebihan. Tangis seperti ini membuat udara yang tertelan juga berlebihan,<br />

sebagian isi perut si kecil akan keluar. Memang, bisa jadi bayi Anda menangis karena<br />

tidak bisa menelan susu dengan sempurna. Kalau sudah begini, jangan teruskan<br />

pemberian ASI. Bisa-bisa, susu malah masuk ke dalam saluran napas dan<br />

menyumbatnya (Nova, 2009).<br />

d. Cara mencegah regurgitasi<br />

Berikut ini cara yang dapat dilakukan untuk mencegah bayi gumoh :<br />

1) Perkecil kemungkinan masuknya udara ketika si bayi sedang menyusu. Seluruh bibir<br />

si bayi hendaknya menutup puting sang ibu beserta daerah berwarna hitam di<br />

sekitarnya (aerola) dengan sempurna (Nurdiyon, 2009).<br />

2) Tengkurapkan bayi manakala ia mengalami gumoh berlebihan. Cara ini akan<br />

membantu mengeluarkan udara yang masuk dan tertahan di dalam lambung serta<br />

untuk mencegah masuknya cairan ke dalam paru-paru si bayi (Nurdiyon, 2009).<br />

20


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

3) Berikan minum pada bayi sedikit-demi sedikit untuk mencegah masuknya udara ke<br />

lambung (Nurdiyon, 2009).<br />

4) Sendawakan bayi setiap habis menyusui (Alfian, 2009).<br />

5) Buatlah bayi bersendawa sedikitnya setiap tiga atau lima menit selama menyusui<br />

(Alfian, 2009).<br />

6) Hindari pemberian susu sementara si bayi terlentang (Alfian, 2009).<br />

7) Jika bayi diberi susu botol, pastikan lubang pada dot tidak terlalu besar (yang<br />

membuat aliran susu terlalu cepat) dan juga tidak terlalu kecil (yang membuat frustasi<br />

bayi anda dan menyebabkan dia menelan udara). Jika ukuran lubangnya pas, beberapa<br />

tetes susu akan keluar ketika anda mebalikkan botol, dan kemudian berhenti (Alfian,<br />

2009).<br />

e. Penatalaksanaan Regurgitasi<br />

Untuk penatalaksanaan regurgitasi menurut Nursalam (2005), yaitu:<br />

1) Perbaiki teknik menyusui<br />

Cara menyusui yang benar adalah mulut bayi menempel pada sebagian areolla dan<br />

dagu menempel pada payudara ibunya.<br />

2) Apabila menggunakan botol, perbaiki cara minumnya.<br />

Posisi botol susu diatur sedemikian rupa sehingga mulut menutupi seluruh permukaan<br />

botol dan dot harus masuk seluruhnya kedalam mulut bayi.<br />

3) Sendawakan bayi setelah minum<br />

Bayi yang selesai minum jangan langsung ditidurkan tetapi perlu disendawakan<br />

terlebih dahulu. Cara menyendawakan bayi menurut Javaneagle (2009) yaitu :<br />

a) Gendong bayi dengan kuat di pundak anda, wajah bayi menghadap ke belakang,<br />

beri dukungan dengan satu tangan pada bokongnya. Tepuk atau usap<br />

punggungnya dengan tangan lain.<br />

b) Telungkupkan bayi di pangkuan anda, lambungnya berada di salah satu kaki,<br />

kepalanya menyandar di salah satu kaki lainnya. Satu tangan anda memegangi<br />

tubuhnya dengan kuat, satu tangan lain menepuk atau mengusap punggungnya<br />

sampai ia bersendawa.<br />

c) Dudukkan bayi di pangkuan anda, kepalanya menyandar ke depan, dadanya di<br />

tahan dengan satu tangan anda. Pastikan kepalanya tidak mendongak ke belakang.<br />

Tepuk atau gosok punggungnya.<br />

f. Langkah-langkah mengurangi frekuensi gumoh<br />

Menurut Papahtar (2009) terdapat beberapa langkah-langkah untuk mengurangi<br />

frekuensi gumoh atau regurgitasi, yaitu:<br />

1) Beri susu yang lebih kental, cara ini hanya disarankan pada bayi yang<br />

mengonsumsi susu formula. Campurkan tepung beras sebanyak 5 gram untuk setiap<br />

100 cc susu. Lalu minumkan seperti biasanya.<br />

2) Posisi menyusu bersudut 45 derajat. Posisi terlentang membentuk sudut 45 derajat<br />

antara badan, pinggang, dan tempat tidur bayi, terbukti membantu mengurangi aliran<br />

balik susu dari lambung ke kerongkongan.<br />

3) Sendawakan bayi segera setelah selesai makan dan minum. Gendong si kecil dalam<br />

posisi 45 derajat. Atau tidurkan terlentang dan ganjalan berupa bantalan atau<br />

tumpukan kain di punggungnya. Biarkan ia pada posisi tersebut selama mungkin<br />

(minimal 2 jam).<br />

4) Jangan langsung mengangkat bayi saat ia gumoh atau muntah. Seringkali karena<br />

khawatir, dan bermaksud untuk menghentikan gumoh, kita cenderung mengangkat<br />

anak dari posisi tidurnya. Padahal cara ini justru berbahaya, karena muntah atau<br />

gumoh bisa turun lagi, masuk ke paru, dan akhirnya malah mengganggu paru-paru.<br />

5) Biarkan saja jika bayi mengeluarkan gumoh dari hidungnya. Hal ini justru lebih baik<br />

daripada cairan kembali dihirup dan masuk ke dalam paru-paru karena bisa<br />

menyebabkan radang atau infeksi.<br />

21


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

6) Beri bayi minum sedikit demi sedikit, tapi sering. Selalu usahakan cairan yang masuk<br />

lebih banyak ketimbang cairan yang keluar supaya tidak terjadi dehidrasi.<br />

g. Dampak regurgitasi atau gumoh<br />

Jika terjadi gumoh secara berlebihan, frekuensi sering dan terjadi dalam waktu<br />

lama akan menyebabkan masalah tersendiri, yang bisa mengakibatkan gangguan pada bayi<br />

tersebut. Baik gangguan pertumbuhan karena asupan gizi berkurang karena asupan<br />

makanan tersebut keluar lagi dan dapat merusak dinding kerongkongan akibat asam<br />

lambung yang ikut keluar dan mengiritasi. Apalagi kalau sampai gumoh melalui hidung<br />

dan bahkan disertai muntah. Perlu diwaspadai juga adanya kelainan organ lain yang<br />

mungkin ada. Bahkan bila disertai kondisi tidak ada cairan yang bisa masuk sama sekali,<br />

dapat menyebabkan terjadinya kekurangan cairan tubuh (Yunina, 2009).<br />

C. METODE PENELITIAN<br />

1. Desain Penelitian<br />

Jenis penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode penelitian deskriptif ialah<br />

suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama membuat gambaran atau deskripsi<br />

tentang suatu keadaan secara objektif (Notoatmodjo, 2005).<br />

Rancang bangun penelitian ini menggunakan penelitian survei. Survei adalah rancangan<br />

yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berhubungan dengan prevalensi, distribusi,<br />

dan hubungan antar variabel dalam suatu populasi (Notoatmodjo, 2008).<br />

2. Variabel Dan Definisi Operasional<br />

Variabel dalam penelitian ini adalah pengetahuan ibu tentang regurgitasi pada bayi usia<br />

0-6 bulan.<br />

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan<br />

karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau<br />

pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fe<strong>no</strong>mena (Hidayat, 2007).<br />

Tabel 13. Definisi Operasional Pengetahuan Ibu Tentang Regurgitasi Pada Bayi Usia 0-6<br />

Bulan di BPS Muji Winarnik Desa Bening Kecamatan Gondang Kabupaten<br />

Mojokerto<br />

Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala<br />

Pengetahuan ibu<br />

bayi usia 0-6 bulan<br />

tentang regurgitasi<br />

Segala sesuatu yang diketahui<br />

ibu bayi usia 0-6 bulan tentang<br />

regurgitasi meliputi:<br />

- Pengertian regurgitasi<br />

- Proses Regurgitasi<br />

- Penyebab regurgitasi<br />

- Mencegah regurgitasi<br />

- Penatalaksanaan regurgitasi<br />

- Cara mengurangi frekuensi<br />

regurgitasi<br />

- Dampak regurgitasi<br />

Pengukuran menggunakan<br />

instrument kuisioner<br />

22<br />

Tingkat pengetahuan :<br />

1. Baik : 76-100 %<br />

2. Cukup : 56-75 %<br />

3. Kurang : 40% - 55%<br />

4. Tidak baik : < 40%<br />

5.<br />

(Erfandi,2009)<br />

Ordinal<br />

3. Populasi, Sampel Dan Instrumen Penelitian<br />

Dalam penelitian ini populasinya adalah semua ibu yang mempunyai bayi usia 0-6<br />

bulan dan berkunjung di BPS Muji Winarnik Desa Bening Kecamatan Gondang Kabupaten<br />

Mojokerto sebanyak 41 ibu pada bulan April 2010. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan<br />

teknik <strong>no</strong>n probability sampling type Concecutive Sampling yaitu pemilihan sampel dengan


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai<br />

kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang diperlukan terpenuhi (Nursalam, 2008).<br />

Sampel pada penelitian ini adalah ibu yang mempunyai bayi usia 0-6 bulan dan<br />

berkunjung di BPS Muji Winarnik Desa Bening Kecamatan Gondang Kabupaten Mojokerto<br />

pada tanggal 14-19 Juni 2010 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria<br />

inklusi dan eksklusi adalah sebagai berikut :<br />

a. Kriteria Inklusi<br />

1) Responden yang bersedia diteliti<br />

2) Responden yang berada di tempat saat penelitian<br />

b. Kriteria Eksklusi<br />

1) Responden yang tidak mempunyai bayi usia 0-6 bulan<br />

2) Responden yang tidak bisa membaca dan menulis<br />

Data diperoleh sebagai data primer yaitu pengisian kuesioner oleh responden secara<br />

langsung dan data sekunder yaitu observasi catatan bidan (kohort). Instrumen penelitian yang<br />

digunakan adalah kuesioner. Kuesioner yaitu suatu cara pengumpulan data yang dilakukan<br />

dengan mengadakan daftar pertanyaan yang berupa formulir-formulir kepada sejumlah obyek<br />

untuk mendapat jawaban-jawaban, informasi dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005). Kuesioner<br />

dalam penelitian ini berisi pertanyaan seputar pengetahuan ibu tentang regurgitasi dengan<br />

pertanyaan sebanyak 30 soal dan dilakukan uji validitas dan reliabilitas.<br />

4. Teknik Pengolahan dan Analisia Data<br />

a. Pengolahan Data<br />

Setelah data terkumpul kemudian dilakukan manajemen data, menurut Hidayat<br />

(2007) meliputi :<br />

1) Editing<br />

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau<br />

dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data<br />

terkumpul. Misalnya memeriksa kembali kuesioner yang masih belum diisi oleh<br />

responden.<br />

2) Coding<br />

Coding adalah merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data<br />

yang terdiri atas beberapa kategori. Memberikan kode tertentu pada hasil penelitian<br />

sesuai dengan variabel yang ada.<br />

3) Entry Data<br />

Data entri adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master<br />

tabel atau databese komputer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau<br />

bisa juga dengan membuat tabel kontingensi.<br />

4) Tabulating<br />

Tabulating adalah pekerjaan menyusun tabel-tabel mulai dari penyusunan tabel utama<br />

yang berisi seluruh data informasi yang berhasil dikumpulkan dengan daftar<br />

pertanyaan sampai tabel khusus yang telah benar-benar ditentukan setelah berbentuk<br />

tabel, maka tabel tersebut siap dianalisa dan dinyatakan dalam bentuk tulisan<br />

b. Analisa Data<br />

Data diperoleh dari hasil pengisian kuesioner oleh responden dengan cara<br />

deskriptif dalam bentuk prosentase. Untuk menjawab yang benar diberi skor 1 dan jawaban<br />

yang salah diberi skor 0. hasil jawaban dari pembobotan, kemudian dijumlahkan dan<br />

dibandingkan dengan skor tertinggi lalu dikalikan 100% rumus yang digunakan menurut<br />

Budiarto (2002) :<br />

f<br />

P = x100%<br />

N<br />

23


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Keterangan:<br />

P = Prosentase<br />

f = Frekuensi<br />

N = Jumlah Observasi<br />

Hasil penelitian ini dijadikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi kemudian<br />

diberi interpretasi atas data tersebut berdasarkan parameter yang dipakai dengan kriteria<br />

kualitatif sebagai berikut :<br />

a. Pengetahuan baik = 76% - 100%<br />

b. Pengetahuan cukup = 56% - 75%<br />

c. Pengetahuan kurang = 40% - 55%<br />

d. Pengetahuan tidak baik = < 40%<br />

(Erfandi, 2009)<br />

D. HASIL PENELITIAN<br />

1. Data Umum<br />

a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur<br />

Tabel 14. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di BPS Muji Winarnik Desa<br />

Bening Kecamatan Gondang Kabupaten Mojokerto pada Tanggal 14-19<br />

Juni Tahun 2010<br />

No. Umur Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. < 20 tahun 5 12,2<br />

2. 20 – 35 tahun 22 53,7<br />

3. > 35 tahun 14 34,1<br />

Total 41 100<br />

Dari tabel 14 menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah responden berusia<br />

20-35 tahun sebanyak 22 responden (53,7%).<br />

b. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan<br />

Tabel 15. Karakteristik Pendidikan Responden di BPS Muji Winarnik Desa Bening<br />

Kecamatan Gondang Kabupaten Mojokerto pada Tanggal 14-19 Juni<br />

Tahun 2010<br />

No. Pendidikan Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. Tidak Tamat SD 2 4,9<br />

2. SD 7 17<br />

3. SMP 17 41,5<br />

4. SMA 12 29,3<br />

5. D3 / Perguruan Tinggi 3 7,3<br />

Total 41 100<br />

Dari tabel 15 diketahui bahwa persentase terbesar adalah responden dengan latar<br />

belakang pendidikan SLTP yaitu 17 responden (41,5%).<br />

c. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan<br />

Tabel 16. Karakteristik Pekerjaan Responden di BPS Muji Winarnik Desa Bening<br />

Kecamatan Gondang Kabupaten Mojokerto pada Tanggal 14-19 Juni<br />

Tahun 2010<br />

No. Pekerjaan Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. Bekerja 16 39<br />

2. Tidak bekerja 25 61<br />

Total 41 100<br />

Dari tabel 16 diketahui bahwa persentase terbesar adalah responden yang tidak<br />

bekerja sebanyak 25 responden (61%).<br />

24


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

2. Data Khusus<br />

a. Pengetahuan Tentang Pengertian Regurgitasi<br />

Tabel 17. Pengetahuan Tentang Pengertian Regurgitasi di BPS Muji Winarnik Desa<br />

Bening Kecamatan Gondang Kabupaten Mojokerto pada Tanggal 14-19<br />

Juni Tahun 2010<br />

No. Pengetahuan Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. Baik 8 19,6<br />

2. Cukup 19 46,3<br />

3. Kurang 13 31,7<br />

4. Tidak Baik 1 2,4<br />

Total 41 100<br />

Dari tabel 17 menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah responden dengan<br />

pengetahuan yang cukup tentang pengertian regurgitasi pada bayi usia 0-6 bulan yaitu 19<br />

responden (46,3%).<br />

b. Pengetahuan Tentang Proses Regurgitasi<br />

Tabel 18. Pengetahuan Tentang Proses Regurgitasi di BPS Muji Winarnik Desa<br />

Bening Kecamatan Gondang Kabupaten Mojokerto pada Tanggal 14-19<br />

Juni Tahun 2010<br />

No. Pengetahuan Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. Baik 5 12,2<br />

2. Cukup 12 29,3<br />

3. Kurang 14 34,1<br />

4. Tidak Baik 10 24,4<br />

Total 41 100<br />

Dari tabel 18 menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah responden dengan<br />

pengetahuan yang kurang tentang proses regurgitasi pada bayi usia 0-6 bulan yaitu 14<br />

responden (34,1%).<br />

c. Pengetahuan Tentang Penyebab Regurgitasi<br />

Tabel 19. Pengetahuan Tentang Penyebab Regurgitasi di BPS Muji Winarnik Desa<br />

Bening Kecamatan Gondang Kabupaten Mojokerto pada Tanggal 14-19<br />

Juni Tahun 2010<br />

No. Pengetahuan Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. Baik 6 14,6<br />

2. Cukup 23 56,1<br />

3. Kurang 9 22<br />

4. Tidak Baik 3 7,3<br />

Total 41 100<br />

Dari tabel 19 menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah responden<br />

dengan pengetahuan yang cukup tentang penyebab regurgitasi pada bayi usia 0-6<br />

bulan yaitu 23 responden (56,1%).<br />

25


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

d. Pengetahuan Tentang Mencegah Regurgitasi<br />

Tabel 20. Pengetahuan Tentang Mencegah Regurgitasi di BPS Muji Winarnik Desa<br />

Bening Kecamatan Gondang Kabupaten Mojokerto pada Tanggal 14-19<br />

Juni Tahun 2010<br />

No. Pengetahuan Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. Baik 8 19,5<br />

2. Cukup 15 36,5<br />

3. Kurang 11 26,9<br />

4. Tidak Baik 7 17,1<br />

Total 41 100<br />

Dari tabel 20 menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah responden<br />

dengan pengetahuan yang cukup tentang penyebab regurgitasi pada bayi usia 0-6<br />

bulan yaitu 23 responden (56,1%).<br />

e. Pengetahuan Tentang Penatalaksanaan Regurgitasi<br />

Tabel 21. Pengetahuan Tentang Penatalaksanaan Regurgitasi di BPS Muji Winarnik<br />

Desa Bening Kecamatan Gondang Kabupaten Mojokerto pada Tanggal<br />

14-19 Juni Tahun 2010<br />

No. Pengetahuan Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. Baik 0 0<br />

2. Cukup 10 24,4<br />

3. Kurang 19 46,3<br />

4. Tidak Baik 12 29,3<br />

Total 41 100<br />

Dari tabel 21 menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah responden<br />

dengan pengetahuan yang kurang tentang penatalaksanaan regurgitasi pada bayi<br />

usia 0-6 bulan yaitu 19 responden (46,3%).<br />

f. Pengetahuan Tentang Cara Mengurangi Frekuensi Regurgitasi<br />

Tabel 22. Pengetahuan Tentang Cara Mengurangi Frekuensi Regurgitasi<br />

di BPS Muji Winarnik Desa Bening Kecamatan Gondang Kabupaten<br />

Mojokerto pada Tanggal 14-19 Juni Tahun 2010<br />

No. Pengetahuan Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. Baik 19 46,3<br />

2. Cukup 7 17,1<br />

3. Kurang 9 22<br />

4. Tidak Baik 6 14,6<br />

Total 41 100<br />

Dari tabel 22 menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah responden<br />

dengan pengetahuan yang baik tentang cara mengurangi frekuensi regurgitasi pada<br />

bayi usia 0-6 bulan yaitu 19 responden (46,3%).<br />

26


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

g. Pengetahuan Tentang Dampak Regurgitasi<br />

Tabel 23. Pengetahuan Tentang Dampak Regurgitasi di BPS Muji Winarnik Desa<br />

Bening Kecamatan Gondang Kabupaten Mojokerto pada Tanggal 14-19<br />

Juni Tahun 2010<br />

No. Pengetahuan Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. Baik 10 24,4<br />

2. Cukup 13 31,7<br />

3. Kurang 8 19,5<br />

4. Tidak Baik 10 24,4<br />

Total 41 100<br />

Dari tabel 23 menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah responden<br />

dengan pengetahuan yang cukup tentang dampak regurgitasi pada bayi usia 0-6<br />

bulan yaitu 13 responden (31,7%).<br />

h. Pengetahuan Tentang Regurgitasi<br />

Tabel 24. Pengetahuan Tentang Regurgitasi di BPS Muji Winarnik Desa Bening<br />

Kecamatan Gondang Kabupaten Mojokerto pada Tanggal 14-19 Juni<br />

Tahun 2010<br />

No. Pengetahuan Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. Baik 10 24,4<br />

2. Cukup 19 46,3<br />

3. Kurang 8 19,5<br />

4. Tidak Baik 4 9,8<br />

Total 41 100<br />

Dari tabel 24 menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah responden<br />

dengan pengetahuan yang cukup tentang regurgitasi pada bayi usia 0-6 bulan yaitu<br />

19 responden (46,3%).<br />

E. PEMBAHASAN<br />

1. Pengetahuan Responden Tentang Pengertian Regurgitasi<br />

Berdasarkan tabel 17 diperoleh data bahwa persentase terbesar adalah responden dengan<br />

pengetahuan yang cukup tentang pengertian regurgitasi pada bayi usia 0-6 bulan sebanyak 19<br />

responden (46,3%). Hal ini menunjukkan bahwa responden sudah cukup mengerti tentang<br />

pengertian dari regurgitasi. Pengetahuan responden yang tergolong cukup tersebut dipengaruhi<br />

oleh beberapa faktor yaitu umur, pendidikan, dan pekerjaan.<br />

Berdasarkan umur, diketahui bahwa persentase terbesar adalah responden berumur 20-<br />

35 tahun sebanyak 22 responden (53,7%). Mubarak (2007) menyatakan bahwa bertambahnya<br />

umur seseorang akan menjadikan perubahan pada aspek fisik dan psikologis, dimana pada aspek<br />

psikologis taraf berfikir seseorang akan semakin matang dan dewasa. Usia 20-35 tahun<br />

tergolong usia dewasa dimana mereka sudah mempunyai kemampuan memperoleh informasi<br />

yang sebanyak-banyaknya. Motivasi yang tinggi ditambah dengan perkembangan mental yang<br />

lebih matang membuat responden bisa menyerap informasi dengan cukup baik sehingga juga<br />

mempengaruhi pengetahuan mereka.<br />

Berdasarkan pendidikan, menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah responden<br />

dengan latar belakang pendidikan SLTP sebanyak 17 responden (41,5%). Dalam teori Mubarak<br />

(2007) yang menyatakan tidak dipungkiri bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang semakin<br />

mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan<br />

yang dimilikinya, begitupun juga sebaliknya. Sebagian besar pendidikan responden adalah<br />

SLTP, dimana pada pendidikan tingkat ini masih belum membuat seseorang memiliki<br />

kemampuan menyerap informasi yang didapat dengan baik . Namun meskipun belum bisa<br />

27


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

mempunyai pengetahuan yang baik, bukan berarti mereka terbatas untuk mendapatkan<br />

informasi. Pengalaman dan informasi dari media massa dan elektronik dapat menambah<br />

pengetahuan responden menjadi cukup baik.<br />

Berdasarkan pekerjaan, persentase terbesar adalah responden yang tidak bekerja<br />

sebanyak 25 responden (61%). Mubarak (2007) menyatakan lingkungan pekerjaan dapat<br />

menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun<br />

tidak langsung. Dengan sebagian besar responden yang tidak bekerja menyebabkan mereka<br />

tidak bisa mendapatkan informasi dari lingkungan pekerjaan. Namun dengan adanya<br />

pengalaman, interaksi dengan lingkungan, serta informasi dari media massa dan elektronik akan<br />

membantu mereka mendapatkan informasi yang maksimal untuk mempengaruhi pengetahuan<br />

mereka menjadi cukup baik.<br />

2. Pengetahuan Responden Tentang Proses Regurgitasi<br />

Berdasarkan tabel 18 menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah responden dengan<br />

pengetahuan yang kurang tentang proses regurgitasi pada bayi usia 0-6 bulan yaitu 14 responden<br />

(34,1%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa banyak responden yang masih belum<br />

mengerti tentang proses regurgitasi.<br />

Bertambahnya umur seseorang akan menjadikan perubahan pada aspek fisik dan<br />

psikologis. Pertumbuhan pada fisik secara garis besar ada empat kategori yaitu perubahan<br />

ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama, dan timbulnya ciri-ciri baru. Ini terjadi<br />

akibat pematangan fungsi organ. Pada aspek psikologis atau mental taraf berfikir seseorang<br />

semakin matang dan dewasa (Mubarak, 2007). Usia responden termasuk usia reproduktif bagi<br />

seseorang untuk dapat memotivasikan diri untuk memperoleh pengetahuan yang sebanyakbanyaknya.<br />

Motivasi yang tinggi ditambah dengan perkembangan mental yang lebih baik,<br />

seharusnya membuat responden memiliki pengetahuan yang baik untuk berpikir dengan matang<br />

dalam menyelesaikan atau menaggapi masalah. Namun mungkin disebabkan pada usia tersebut<br />

responden telah memiliki tanggung jawab selain tanggung jawab pribadi, membuat kemampuan<br />

untuk berpikir juga tidak lagi terfokus. Hal ini mempengaruhi kemampuan menyerap informasi<br />

kurang baik, sehingga pengetahuannya juga menjadi kurang<br />

Faktor pendidikan, diperoleh data bahwa persentase terbesar yaitu 17 responden<br />

(41,5%) dengan latar belakang pendidikan SLTP. Pendidikan ini masih termasuk pendidikan<br />

dasar dimana kesempatan memperoleh informasi tentang proses regurgitasi masih terbatas dan<br />

biasanya pendidikan yang rendah akan sulit memahami informasi yang diberikan sehingga<br />

pengetahuan yang diperoleh juga kurang baik. Sesuai teori Mubarak (2007) bahwa tingkat<br />

pendidikan seseorang yang rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap<br />

penerimaan informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan.<br />

Selain faktor umur dan pendidikan, pekerjaan juga mempengaruhi pengetahuan<br />

seseorang. Dari faktor pekerjaan menunjukkan bahwa persentase terbesar yaitu 25 responden<br />

(61%) tidak bekerja. Sebagian besar responden adalah tidak bekerja dengan kata lain mereka<br />

adalah ibu rumah tangga yang meskipun lebih banyak memiliki waktu luang, namun disebabkan<br />

karena responden lebih banyak mengurus aktifitas rumah tangga menyebabkan kurangnya<br />

sosialisasi atau pergaulan dengan banyak kalangan dibandingkan dengan mereka yang bekerja.<br />

Status tidak bekerjanya responden juga menyebabkan mereka harus berhatai-hati dalam<br />

mengatur keuangan keluarga, sehingga kesediaan dan kemampuan untuk mendapatkan sumber<br />

informasi juga terbatas. Terbatasnya informasi yang didapat ini mempengaruhi pengetahuan<br />

responden menjadi kurang padahal informasi sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan<br />

responden sebagaimana teori Mubarak (2007) yang menyatakan kemudahan untuk memperoleh<br />

suatu informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang<br />

baru.<br />

3. Pengetahuan Responden Tentang Penyebab Regurgitasi<br />

Berdasarkan tabel 19 diperoleh data bahwa persentase terbesar adalah responden dengan<br />

pengetahuan yang cukup tentang penyebab regurgitasi pada bayi usia 0-6 bulan yaitu 23<br />

28


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

responden (56,1%). Responden pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari<br />

mereka sudah cukup memahami dan mengerti tentang penyebab regurgitasi.<br />

Berdasarkan umur, diketahui bahwa persentase terbesar adalah responden berumur 20-<br />

35 tahun sebanyak 22 responden (53,7%). Mubarak (2007) menyatakan bahwa bertambahnya<br />

umur seseorang akan menjadikan perubahan pada aspek fisik dan psikologis, dimana pada aspek<br />

psikologis taraf berfikir seseorang akan semakin matang dan dewasa. Usia 20-35 tahun<br />

tergolong usia dewasa dimana mereka sudah mempunyai kemampuan memperoleh informasi<br />

yang sebanyak-banyaknya. Motivasi yang tinggi ditambah dengan perkembangan mental yang<br />

lebih matang membuat responden bisa menyerap informasi dengan cukup baik sehingga juga<br />

mempengaruhi pengetahuan mereka.<br />

Berdasakan pendidikan, menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah responden<br />

dengan latar belakang pendidikan SLTP sebanyak 17 responden (41,5%). Dalam teori Mubarak<br />

(2007) yang menyatakan tidak dipungkiri bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang semakin<br />

mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan<br />

yang dimilikinya, begitupun juga sebaliknya. Sebagian besar pendidikan responden adalah<br />

SLTP, dimana pada pendidikan tingkat ini masih belum membuat seseorang memiliki<br />

kemampuan menyerap informasi yang didapat dengan baik . Namun meskipun belum bisa<br />

mempunyai pengetahuan yang baik, bukan berarti mereka terbatas untuk mendapatkan<br />

informasi. Pengalaman dan informasi dari media massa dan elektronik dapat menambah<br />

pengetahuan responden menjadi cukup baik.<br />

Berdasarkan pekerjaan, persentase terbesar adalah responden yang tidak bekerja<br />

sebanyak 25 responden (61%). Mubarak (2007) menyatakan lingkungan pekerjaan dapat<br />

menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun<br />

tidak langsung. Dengan sebagian besar responden yang tidak bekerja menyebabkan mereka<br />

tidak bisa mendapatkan informasi dari lingkungan pekerjaan. Namun dengan adanya<br />

pengalaman, interaksi dengan lingkungan, serta informasi dari media massa dan elektronik akan<br />

membantu mereka mendapatkan informasi yang maksimal untuk mempengaruhi pengetahuan<br />

mereka menjadi cukup baik.<br />

4. Pengetahuan Responden Tentang Cara Mencegah Regurgitasi<br />

Berdasarkan tabel 20 menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah responden dengan<br />

pengetahuan yang cukup tentang mencegah regurgitasi pada bayi usia 0-6 bulan yaitu 15<br />

responden (36,5%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden dapat melakukan<br />

pencegahan regurgitasi dengan baik karena mereka sudah cukup mengerti tentang cara<br />

mencegah terjadinya regurgitasi.<br />

Pengetahuan responden yang cukup tersebut dipengaruhi oleh bebera faktor, yaitu<br />

pertama faktor umur, diketahui bahwa persentase terbesar adalah responden berumur 20-35<br />

tahun sebanyak 22 responden (53,7%). Usia ini tergolong usia dewasa dimana sudah<br />

mempunyai kemampuan memperoleh informasi yang sebanyak-banyaknya karena dipengaruhi<br />

adanya pemikiran yang sudah dewasa pula sehingga dengan hal itu akan mempengaruhi<br />

pengetahuan yang mereka punya. Sesuai dengan teori Mubarak (2007) yang menyatakan<br />

bertambahnya umur seseorang akan menjadikan perubahan pada aspek fisik dan psikologis,<br />

dimana pada aspek psikologis taraf berfikir seseorang akan semakin matang dan dewasa.<br />

Kedua, faktor pendidikan yang menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah<br />

responden dengan latar belakang pendidikan SLTP sebanyak 17 responden (41,5%). Pendidikan<br />

responden yang tergolong dasar bukan berarti responden terbatas memperoleh informasi.<br />

Interaksi dengan lingkungan serta pengalaman yang responden miliki bisa membantu responden<br />

mendapat informasi yang cukup meskipun tingkat pendidikan mempunyai berpengaruh terhadap<br />

pengetahuan seseorang, sebagaimana teori Mubarak (2007) yang menyatakan tidak dipungkiri<br />

bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi,<br />

dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya, begitupun juga<br />

sebaliknya.<br />

29


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Ketiga, faktor pekerjaan yang menunjukkan persentase terbesar adalah responden tidak<br />

bekerja sebanyak 25 responden (61%). Mubarak (2007) menyatakan lingkungan pekerjaan dapat<br />

menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun<br />

tidak langsung. Dengan sebagian besar responden yang tidak bekerja, mereka hanya bisa<br />

mendapat informasi dari pengalaman sendiri atau media massa dan elektronik tanpa bisa<br />

mendapat informasi dari lingkungan pekerjaan sehingga pengetahuan yang mereka peroleh tidak<br />

maksimal.<br />

5. Pengetahuan Responden Tentang Penatalaksanaan Regurgitasi<br />

Berdasarkan data pada tabel 21 menunjukkan persentase terbesar adalah responden<br />

dengan pengetahuan yang kurang tentang penatalaksanaan regurgitasi pada bayi usia 0-6 bulan<br />

yaitu 19 responden (46,3%). Keadaan ini menunjukkan bahwa responden pada penelitian ini<br />

masih belum dapat melakukan penatalaksanaan regurgitasi dengan baik. . Hal ini disebabkan<br />

karena kurangnya informasi yang mereka terima atau juga karena responden belum dapat<br />

menggunakan pengalamannya dengan baik.<br />

Pengetahuan responden yang kurang tentang proses regurgitasi ini dipengaruhi oleh<br />

umur, pendidikan, dan pekerjaan. Berdasarkan umur, persentase terbesar yaitu 22 responden<br />

(53,7%) berumur 20-35 tahun. Dimana meskipun usia responden tersebut tergolong dewasa dan<br />

mempunyai kesempatan memperoleh informasi sebanyak-banyaknya tetapi kemungkinan<br />

mereka belum bisa bener-benar memahami informasi yang didapat. Kesulitan memperoleh<br />

informasi juga dapat menjadi alasan sehingga pengetahuan mereka masih kurang. Sesuai<br />

dengan tori Mubarak (2007) kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat membantu<br />

mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru.<br />

Berdasarkan pendidikan, diperoleh data bahwa persentase terbesar yaitu 17 responden<br />

(41,5%) mempunyai pendidikan SLTP. Pendidikan ini masih termasuk pendidikan dasar dimana<br />

pada pendidikan yang rendah akan sulit memahami informasi yang diberikan sehingga<br />

pengetahuan yang mereka juga kurang. Mubarak (2007) menyatakan bahwa tingkat pendidikan<br />

seseorang yang rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan<br />

informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan.<br />

Berdasarkan pekerjaan, diperoleh data bahwa presentase terbesar yaitu 25 responden<br />

(61%) tidak bekerja. Informasi yang bisa didapat oleh responden ini bisa didapat melalui<br />

bertukar informasi sesama teman ataupun pengalaman pribadi dimana menurut Mubarak (2007)<br />

pengalaman ini merupakan suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi<br />

dengan lingkungannya.<br />

6. Pengetahuan Responden Tentang Cara Mengurangi Frekuensi Regurgitasi<br />

Berdasarkan data pada tabel 22 diperoleh data bahwa persentase terbesar adalah<br />

responden dengan pengetahuan yang baik tentang cara mengurangi frekuensi regurgitasi pada<br />

bayi usia 0-6 bulan yaitu sebanyak 19 responden (46,3%). Pengetahuan responden tersebut<br />

tentunya tidak lepas dari faktor yang mempengaruhi pengetahuan, diantaranya adalah umur,<br />

pendidikan, dan pekerjaan.<br />

Berdasarkan umur, diperoleh data bahwa persentase terbesar yaitu 22 responden<br />

(53,7%) berumur 20-35 tahun, dimana usia ini termasuk dalam usia dewasa yang sudah<br />

mempunyai cara berfikir yang matang untuk menerima informasi sebaik dan sebanyak mungkin.<br />

Usia dewasa ini juga tentunya mempunyai pengalaman yang lebih banyak dibandingkan dengan<br />

usia-usia sebelumnya. Dari pengalaman tersebut nantinya akan berpengaruh pada tingkat<br />

pengetahuan yang akan diperoleh. Sesuai dengan teori Mubarak (2007) bahwa ada<br />

kecenderungan pengalaman yang kurang baik seseorang akan berusaha untuk melupakan,<br />

namun jika pengalaman terhadap obyek tersebut menyenangkan maka secara psikologis akan<br />

timbul kesan yang sangat mandalam dan membekas dalam emosi kejiwaannya, dan pada<br />

akhirnya dapat pula membentuk sikap positif dalam kehidupannya.<br />

Berdasarkan pendidikan, diperoleh data bahwa persentase terbesar yaitu 17 responden<br />

(41,4%) berpendidikan SLTP. Pendidikan ini tentunya sangat berpengaruh pada tingkat<br />

pengetahuan responden karena melalui pendidikan, seseorang akan lebih mudah mendapat kan<br />

30


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

informasi. Seperti halnya teori dari Mubarak (2007) yang menyatakan bahwa kemudahan<br />

memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh<br />

pengetahuan yang baru.<br />

Berdasarkan pekerjaan, diperoleh data bahwa persentase terbesar yaitu 25 responden<br />

(61%) tidak bekerja. Mubarak (2007) menyatakan lingkungan pekerjaan dapat menjadikan<br />

seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak<br />

langsung. Dengan sebagian besar responden yang tidak bekerja menyebabkan mereka tidak bisa<br />

mendapatkan informasi dari lingkungan pekerjaan. Namun dengan adanya pengalaman,<br />

interaksi dengan lingkungan, serta informasi dari media massa dan elektronik akan membantu<br />

mereka mendapatkan informasi yang maksimal untuk mempengaruhi pengetahuan mereka<br />

menjadi cukup baik.<br />

7. Pengetahuan Responden Tentang Dampak Regurgitasi<br />

Berdasarkan data pada tabel 23 diperoleh data persentase terbesar adalah responden<br />

dengan pengetahuan yang cukup tentang dampak regurgitasi pada bayi usia 0-6 bulan yaitu 13<br />

responden (31,7%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden masih ada yang belum<br />

mengerti tentang dampak terjadinya regurgitasi, kemungkinan hal ini terjadi karena informasi<br />

yang diterima responden masih kurang atau juga responden masih belum dapat memahami<br />

informasi yang diterima tersebut.<br />

Berdasarkan umur, diketahui bahwa persentase terbesar adalah responden berumur 20-<br />

35 tahun sebanyak 22 responden (53,7%). Mubarak (2007) menyatakan bahwa bertambahnya<br />

umur seseorang akan menjadikan perubahan pada aspek fisik dan psikologis, dimana pada aspek<br />

psikologis taraf berfikir seseorang akan semakin matang dan dewasa. Usia 20-35 tahun<br />

tergolong usia dewasa dimana mereka sudah mempunyai kemampuan memperoleh informasi<br />

yang sebanyak-banyaknya. Motivasi yang tinggi ditambah dengan perkembangan mental yang<br />

lebih matang membuat responden bisa menyerap informasi dengan cukup baik sehingga juga<br />

mempengaruhi pengetahuan mereka.<br />

Berdasakan pendidikan, menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah responden<br />

dengan latar belakang pendidikan SLTP sebanyak 17 responden (41,5%). Dalam teori Mubarak<br />

(2007) yang menyatakan tidak dipungkiri bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang semakin<br />

mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan<br />

yang dimilikinya, begitupun juga sebaliknya. Sebagian besar pendidikan responden adalah<br />

SLTP, dimana pada pendidikan tingkat ini masih belum membuat seseorang memiliki<br />

kemampuan menyerap informasi yang didapat dengan baik . Namun meskipun belum bisa<br />

mempunyai pengetahuan yang baik, bukan berarti mereka terbatas untuk mendapatkan<br />

informasi. Pengalaman dan informasi dari media massa dan elektronik dapat menambah<br />

pengetahuan responden menjadi cukup baik.<br />

Berdasarkan pekerjaan, persentase terbesar adalah responden yang tidak bekerja<br />

sebanyak 25 responden (61%). Mubarak (2007) menyatakan lingkungan pekerjaan dapat<br />

menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun<br />

tidak langsung. Dengan sebagian besar responden yang tidak bekerja menyebabkan mereka<br />

tidak bisa mendapatkan informasi dari lingkungan pekerjaan. Namun dengan adanya<br />

pengalaman, interaksi dengan lingkungan, serta informasi dari media massa dan elektronik akan<br />

membantu mereka mendapatkan informasi yang maksimal untuk mempengaruhi pengetahuan<br />

mereka menjadi cukup baik.<br />

8. Pembahasan Pengetahuan Responden Tentang Regurgitasi<br />

Hasil penelitian pada tabel 24 yang dilakukan di BPS Muji Winarnik Desa Bening<br />

Kecamatan Gondang Kabupaten Mojokerto mengenai pengetahuan ibu tentang regurgitasi pada<br />

bayi usia 0-6 bulan terhadap 41 responden menunjukkan data bahwa persentase terbesar adalah<br />

responden dengan pengetahuan yang cukup tentang regurgitasi pada bayi usia 0-6 bulan yaitu 19<br />

responden (46,3%).<br />

Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan pembahasan<br />

yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya<br />

31


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

(Keraf,2001). Sedangkan menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan (K<strong>no</strong>wledge) adalah<br />

merupakan hasil ―tahu‖ dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu<br />

objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni: indera penglihatan,<br />

pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui<br />

mata dan telinga.<br />

Responden pada penelitian ini menunjukkan bahwa mereka sudah cukup mengerti<br />

tentang regurgitasi yang biasa terjadi pada anak usia 0-6 bulan. Pengetahuan ini muncul karena<br />

responden telah memperoleh informasi yang cukup baik dari pengalaman sendiri atau<br />

lingkungan serta dapat pula dari tenaga kesehatan, misalnya dengan mengikuti kegiatankegiatan<br />

penyuluhan khususnya tentang regurgitasi. Pengetahuan responden terjadi karena<br />

dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya umur, pendidikan, dan pekerjaan.<br />

Berdasarkan karakteristik umur rerponden pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa<br />

persentase terbesar adalah responden berusia 20-35 tahun sebanyak 22 responden (53,7%).<br />

Responden pada penelitian ini tergolong pada usia dewasa dimana pada usia ini banyak<br />

pengalaman yang bisa diperoleh baik dari pengalaman pribadi, teman atau juga pengalaman dari<br />

keluarganya sehingga informasi yang diperoleh responden menjadi bertambah untuk dapat<br />

meningkatkan pengetahuan mereka. Selain itu pada usia dewasa ini, responden juga sudah memiliki<br />

cara berfikir yang matang dan mempunyai pengetahuan yang lebih banyak dari usia-usia<br />

sebelumnya sebagaimana teori Mubarak (2007) yang menyatakan bahwa dengan bertambahnya<br />

umur seseorang, akan menjadikan perubahan pada aspek fisik dan psikologis. Dimana dalam<br />

aspek fisik akan terjadi pertumbuhan pada fisik yang secara garis besar terdiri dari perubahan<br />

ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama, dan timbulnya ciri-ciri baru. Sedangkan<br />

pada aspek psikologis, taraf berfikir seseorang akan semakin matang dan dewasa. Banyaknya<br />

responden yang mempunyai pengetahuan yang cukup kemungkinan karena responden masih belum<br />

dapat memahami informasi yang diterima atau juga masih belum dapat menggunakan fasilitas<br />

kesehatan dengan baik.<br />

Berdasarkan karakteristik pendidikan responden pada tabel 4.2 diperoleh data bahwa<br />

persentase terbesar adalah responden dengan latar belakang pendidikan SLTP yaitu 17<br />

responden (41,5%). Hasil penelitian ini menunjukkan jika pendidikan responden tergolong<br />

dalam pendidikan dasar, dimana pendidikan seseorang dapat mempengaruhi pemahaman<br />

penerimaan informasi tentang sesuatu khususnya tenang masalah kesehatan dimana pendidikan<br />

yang rendah biasanya akan sulit untuk mengerti dan memahami informasi yang diberikan<br />

demikian pula sebaliknya. Sesuai dengan teori Mubarak (2007) yang menyatakan tidak dapat<br />

dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima<br />

informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya jika<br />

seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang<br />

terhadap penerimaan, informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan.<br />

Berdasarkan karakteristik pekerjaan responden pada tabel 4.3 menunjukkan data bahwa<br />

persentase terbesar adalah responden yang tidak bekerja sebanyak 25 orang (61%). Hal ini<br />

menunjukkan bahwa meskipun tidak bekerja, responden tetap bisa mempunyai banyak<br />

kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan mereka baik itu melalui bertukar informasi<br />

dengan teman, lingkungan atau mengikuti penyuluhan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan<br />

serta dapat memperoleh informasi dari media cetak maupun elektronik. Sehingga semakin<br />

banyak informasi yang diterima maka akan semakin baik pula pengetahuan yang dimiliki.<br />

Sesuai dengan teori dari Mubarak (2007) yang menyatakan bahwa kemudahan untuk<br />

memperoleh suatu informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh<br />

pengetahuan yang baru.<br />

F. PENUTUP<br />

Hasil penelitian tentang pengetahuan ibu tentang regurgitasi pada anak (0-6 bulan)<br />

menunjukkan data bahwa persentase terbesar adalah responden dengan pengetahuan yang cukup<br />

tentang regurgitasi pada bayi usia 0-6 bulan yaitu 19 responden (46,3%).<br />

32


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan terutama dalam hal pemberian<br />

pendidikan kesehatan diharapkan tenaga kesehatan lebih memberikan materi yang dapat dengan<br />

mudah dimengerti atau dipahami oleh masyarakat terutama tentang pengarahan tentang cara<br />

menyusui yang baik dan benar sehingga menimbulkan kesadaran ibu akan pengaruh posisi<br />

menyusui terhadap kejadian regurgitasi pada bayi.Sebaiknya responden lebih aktif lagi dalam<br />

mencari informasi, baik melalui media cetak maupun elektronik atau juga mengikuti seminar<br />

atau penyuluhan yang diadakan oleh tenaga kesehatan sehingga pengetahuan responden dapat<br />

lebih ditingkatkan.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Alfian. (2009). Regurgitasi Pada Bayi. Tersedia di (http://www.wikipedia/artikel<br />

kesehatan.com.html. Diakses tanggal 20 April 2010).<br />

Anang. (2010). Gumoh Pada Bayi. Tersedia di (http://www.wordpress/maxblog.com.html. Diakses<br />

tanggal 20 April 2010).<br />

Ariq. (2009). Gumoh Bisa Menggangu Pertumbuhan Bayi. Tersedia di (http://www.<br />

Situskugratis.googlepage.com/free. Diakses tanggal 15 April 2010).<br />

Budiarto, 2002. Biostatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC.<br />

Choirunnisa. (2009). Panduan Terpenting Merawat Bayi dan Anak Jakarta : Smoncer Publisher<br />

Erfandi. (2009). Pengetahuan dan Faktor-faktor yang mempengaruhi. Tersedia di<br />

(http://www.prohealth.com. Diakses tanggal 20 April 2010).<br />

Gandhi. (2009). Pengaruh Sikap Ibu terhadap pemberian Makanan Pendamping ASI pada bayi usia<br />

0-6 bulan. Tersedia di (http://www.tempointeraktif.com. Diakses tanggal 20 April 2010).<br />

Hidayat. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika.<br />

Javaneagle. (2009). Gumoh dan Muntah pada bayi. Tersedia di (http//:www.wordpres.com. Diakses<br />

tanggal 20 April 2010).<br />

Keraf. (2001). Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan. Yogyakarta : Kanisius.<br />

Mansjoer. (2000). Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.<br />

Mubarak. (2007). Promosi Kesehatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.<br />

Notoatmodjo. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta.<br />

Notoatmodjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.<br />

Nova. (2009). Gumoh pada bayi. Tersedia di (http//:www.tabloid<strong>no</strong>va.com. Diakses tanggal 19 April<br />

2010).<br />

Nurdiyon. (2009). Bayi Gumoh. Tersedia di (http://www.wordpress.com. Diakses tanggal 19 April<br />

2010).<br />

Nursalam. (2005). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta : EGC.<br />

Nusalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penerapan Ilmu Keperawatan. Jakarta :<br />

Salemba Medika.<br />

Papahtar. (2009). Gumoh. Tersedia di (http://www.connectique.com./tips solution/health. Diakses<br />

tanggal 19 April 2010).<br />

Parenting. (2009). Gumoh. Tersedia di (http://www.connectique.com. Diakses tanggal 20 April<br />

2010).<br />

Purwanti. (2004). Konsep Penerapan ASI Eksklusif. Jakarta : EGC.<br />

Rizal N. (2009). Bayi Sehat mau?. Yogyakarta : Kujang Press.<br />

Rocky. (2009). Pengaruh Terapi Sentuhan Terhadap Kejadian Regurgitasi Pada Bayi. Tersedia di<br />

(http://www.dr.Rocky.com.html. Diakses tanggal 20 April 2010).<br />

Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu<br />

Solo. (2010). Regurgitasi. Tersedia di (http://www.indonesiaindonesia.com.html. diakses tanggal 19<br />

April 2010).<br />

Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC<br />

Yunina. (2009). Gumoh dan akibatnya. Tersedia di (http://www.medicastore.com. Diakses tanggal<br />

19 April 2010).<br />

33


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONSUMSI TABLET<br />

KALSIUM PADA WANITA PREMENOPOUSE DI DESA TANJEK<br />

WAGIR KECAMATAN KREMBUNG<br />

KABUPATEN SIDOARJO<br />

Elyana Mafticha<br />

Dosen Politeknik Kesehatan <strong>Majapahit</strong> Mojokerto<br />

ABSTRAK<br />

Me<strong>no</strong>pause merupakan transisi fisik alamiah yang dialami oleh setiap wanita. Di mana pada<br />

fase ini wanita me<strong>no</strong>pose sering kali mengalami osteoporosis.Proses ini disebabkan karena asupan<br />

kalsium berkurang dan penyebaran kalsium tidak merata. Fe<strong>no</strong>mena di lapangan menunjukkan masih<br />

banyak wanita preme<strong>no</strong>pouse yang tidak tahu tentang osteoporosis. Tujuan penelitian ini untuk<br />

mengetahui hubungan pengetahuan tentang osteoporosis dengan tambahan asupan kalsium pada<br />

wanita preme<strong>no</strong>pouse di Desa Tanjek Wagir Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo.<br />

Penelitisn ini dilakukan mulai 13 Juni sampai 16 Juni 2010. Jenis penelitian ini adalah<br />

analitik cross sectional dengan populasi sebanyak 156 responden dan sampel sebanyak 112<br />

responden. Sampel diambil dengan cluster random sampling. Instrumen pengumpulan data<br />

menggunakan kuesioner tertutup yang diolah melalui proses editing, coding, dan tabulating. Setelah<br />

itu dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data uji wilcoxon sign rank test pada taraf<br />

signifikansi 0,05.<br />

Hasil penelitian menunjukkan tingkat signifikansi sebesar 0,000. Hasil Z 2 hitung = - 5.757<br />

dan Z 2 tabel 1.6586, maka H1 diterima, artinya terdapat hubungan pengetahuan tentang osteoporosis<br />

dengan konsumsi tablet kalsium pada wanita preme<strong>no</strong>pouse di Desa Tanjek Wagir Kecamatan<br />

Krembung Kabupaten Sidoarjo.Tingkat keeratan hubungan dalam penelitian ini adalah sangat kuat.<br />

Sebagian besar responden berpengetahuan cukup tentang osteoporosis akan tatapi mereka<br />

tidak mengkonsumsi tablet kalsium dengan teratur di karenakan masalah biaya dan malas minum<br />

tablet kalsium setiap hari. Konsumsi tablet kalsium ini bermanfaat untuk mencegah terjadinya<br />

gangguan pertumbuhan, kerapuhan tulang, dan kejang otot.<br />

Dengan adanya hubungan pengetahuan tentang osteoporosis dengan tambahan asupan<br />

kalsium pada wanita preme<strong>no</strong>pouse disarankan bagi tenaga kesehatan untuk melakukan penyuluhan<br />

tentang pentingnya konsumsi tablet kalsium, jenis-jenis tablet kalsium yang harganya mudah di<br />

jangkau dan penyuluhan tentang macam-macam bahan makanan yang mengandung kalsium.<br />

Kata kunci : Pengetahuan, Osteoporoses, Tablet Kalsium, Wanita Preme<strong>no</strong>pouse<br />

A. PENDAHULUAN<br />

Me<strong>no</strong>pouse adalah berhentinya siklus menstruasi yang berkaitan dengan tingkat lanjut<br />

usia perempuan (Kissansti, 2008). Menurut Ozzy (2010) me<strong>no</strong>pause merupakan transisi fisik<br />

alamiah yang dialami oleh setiap wanita saat dia bertambah umur. Sering diterjemahkan secara<br />

bebas sebagai berhenti menstruasi terakhir dalam hidup seorang wanita. Kejadian penting yang<br />

biasa terjadi pada usia me<strong>no</strong>pouse adalah proses demineralisasi tulang atau yang biasa disebut<br />

dengan osteopororsis. Proses ini disebabkan karena defisiensi kalsium, yaitu karena asupan<br />

kalsium berkurang dan penyebaran kalsium tidak merata (Arisman, 2007). Untuk itu konsumsi<br />

susu yang mengandung banyak kalsium dalam jumlah yang adekuat menurunkan resiko<br />

terjadinya osteoporosis karena tulang sangat responsif terhadap penumpukan mineral (Arisman,<br />

2007).<br />

Menurut penghitungan Biro Sensus Departemen Perdagangan Amerika Serikat (2010)<br />

jumlah me<strong>no</strong>pouse sekitar 340 juta orang dengan peningkatan sekitar 800.000 orang per tahun<br />

dan 24% diantaranya enderita pengeroposan tulang (osteoporosis). Di Indonesia dari setiap 1000<br />

wanita me<strong>no</strong>pouse terdapat sekitar 400 orang (40%) yang mengalami osteoporosis. Rata rata<br />

dari mereka merupakan penduduk miskin.<br />

34


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Data Dinkes Kabupaten Sidoarjo menunjukkan bahwa terdapat sekitar 41% penderita<br />

osteoporosis dari keseluruhan jumlah wanita me<strong>no</strong>pouse sebanyak 45.000 jiwa yang menyebar<br />

di seluruh wilayah Sidoarjo (Dinkes Sidoarjo, 2010).<br />

Studi pendahuluan yang dilakukan di Desa Tanjek Wagir Kecamatan Krembung<br />

Kabupaten Sidoarjo didapatkan data bahwa dari 10 wanita me<strong>no</strong>pouse, 7 wanita (70%) tidak<br />

tahu tentang osteoporosis mengaku tidak pernah memperhatikan asupan kalsium untuk<br />

mencegah terjadinya osteopororsis, sedangkan 3 wanita (30%) tahu tentang osteoporosis dan<br />

melakukan upaya pencegahan dengan cara mengkonsumsi susu penguat tulang secara teratur.<br />

Akan tetapi fe<strong>no</strong>mena di Desa Tanjek Wagir Kecamatan Krembung Kabupaten<br />

Sidoarjo menunjukkan bahwa masih banyak wanita usia preme<strong>no</strong>pouse yang tidak tahu tentang<br />

osteoporosis. Kurangnya pengetahuan ini menyebabkan mereka tidak begitu memperhatikan<br />

asupan kalsium untuk mencegah terjadinya osteoporosis.<br />

Kerentanan kedua jenis kelamin pada prinsipnya sama, meskipun osteoporosis lebih<br />

cenderung terjadi pada wanita, dengan rasio sekitar 4:1. Tulang yang paling banyak terkena<br />

adalah tulang belakang, pergelangan tangan (lelaki), dan paha (wanita). Trauma yang ringan<br />

saja berkemungkinan besar mematahkan tulang. Faktor yang melatarbelakangi osteoporosis bisa<br />

dilacak sampai pada usia pertumbuhan. Sharon dkk melalui penelitian terhadap 581 orang<br />

wanita kulit putih pascame<strong>no</strong>pause yang berusia rata-rata 70,6 tahun yang mengonsumsi susu<br />

secara teratur mulai usia 20—50 tahun, berhasil membuktikan manfaat konsumsi susu. Ada<br />

keterkaitan antara konsumsi susu dengan deposit kalsium (dilihat dengan sinar X pada tulang<br />

belakang, paha, dan pergelangan tangan). Sekali osteoporosis terjadi, tidak bisa lagi diobati<br />

sekalipun dengan kalsium dosis tinggi (Arisman, 2007).<br />

Menurut Arisman (2007) dengan konsumsi susu dalam jumlah yang adekuat pada usia<br />

me<strong>no</strong>pouse menurunkan risiko terjadinya osteoporosis karena tulang sangat responsip terhadap<br />

penumpukkan mineral pada usia dini. Diet yang kaya akan kalsium di usia dewasa ternyata<br />

berperan pada tingginya kepadatan tulang dan/atau menekan kehilangan massa tulang sampai<br />

tingkat minimal. Selama hidup, lebih kurang 40% massa tulang wanita berkurang; separuhnya<br />

berlangsung pada 5 tahun pertama pascame<strong>no</strong>pause, sisanya berlangsung perlahan.<br />

Menurut Tandra (2009) kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di<br />

dalam tubuh manusia. Kira – kira 99 persen kalsium terdapat di dalam jaringan keras yaitu pada<br />

tulang dan gigi. Ada 1 persen kalsium terdapat pada darah dan jaringan lunak.. WHO<br />

menganjurkan bagi orang dewasa rata – rata memerlukan kalsium di atas 500 mg per hari.<br />

Dengan bertambahnya usia, kalsium yang di butuhkan akan semakin banyak. Sampai usia 50<br />

tahun keatas, di perlukan elemen kalsium 1200 sampai 1500 gr dalam makanan sehari hari.<br />

Penelitian terhadap 36.262 wanita me<strong>no</strong>pouse oleh Women’s Health Institute di Amerika<br />

Serikat di temukan bahwa 1000 mg kalsium di tambah 400 iu vitamin D setiap hari terbukti<br />

efektif mengurangi kejadian fraktur tulang panggul. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk<br />

mencegah datangnya penyakit menjadi salah satu faktor timbulnya sebuah penyakit . Hal itu<br />

ditandai dengan rendahnya konsumsi kalsium rata-rata orang Indonesia, yakni hanya 254 mg per<br />

hari (Supari, 2005). Selain faktor diatas, pengetahuan seorang wanita preme<strong>no</strong>pause juga sangat<br />

berpengaruh. Pengetahuan khusus sangat diperlukan, terutama pengetahuan mengenai asupan<br />

kalsium untuk mencegahnya di masa me<strong>no</strong>pause. Wanita preme<strong>no</strong>pause akan lebih mudah<br />

melalui masa me<strong>no</strong>pause tanpa banyak keluhan apabila mereka mendapatkan pengetahuan yang<br />

fuktual dan akurat mengenai osteoporosis dan asupan kalsium.<br />

Bidan sebagai tenaga kesehatan hendaknya secara rutin memberikan penyuluhan<br />

berkenaan dengan upaya pencegahan oseoporosis. Penyuluhan ini bisa dilakukan dengan<br />

memberikan materi tentang pentingnya konsumsi kalsium untuk mencegah terjadinya<br />

osteoporosis. Materi ini bisa disampaikan melalui kunjungan rumah, pembagian leaflet yang<br />

berisikan tentang himbauan untuk selalu melegkapi kosumsi makanan dengan makanan yang<br />

mengandung kalsium.<br />

35


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

B. TINJAUAN PUSTAKA<br />

1. Konsep Dasar Pengetahuan<br />

a. Pengertian Pengetahuan<br />

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan<br />

penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra<br />

manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman rasa dan raba. Sebagian besar<br />

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. (Notoatmodjo, 2003).<br />

b. Tingkat Pengetahuan<br />

Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan yang dicakup didalam domain kognitif<br />

mempunyai 6 tingkatan yakni :<br />

1) Tahu (k<strong>no</strong>w)<br />

Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.<br />

Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali suatu spesifik dari<br />

seluruh bahan yang telah dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab<br />

itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk<br />

mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan,<br />

menguraikan, mendefinisikan dan sebagainya.<br />

2) Memahami (comprehension)<br />

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar<br />

tentang obyek yang di ketahui. Dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara<br />

benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan,<br />

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap obyek<br />

yang telah dipelajari.<br />

3) Aplikasi (application)<br />

Aplikasi diartikan sebagai kemampua untuk menggunakan materi yang telah dipelajari<br />

pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai<br />

aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya,<br />

dalam konteks atau situasi yang lain.<br />

4) Analisis (analysis)<br />

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek<br />

kedalam komponen-komponen tetapi masih didalam stuktur organisasi tersebut, dan<br />

masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari<br />

penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan membedakan, memisahkan,<br />

mengelompokkan dan sebagainya.<br />

5) Sintesis (synthesis)<br />

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk melaksanakan atau<br />

menghubungkan bagan-bagan di dalam suatu bentuk keseluruhan baru. Dengan kata<br />

lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasiformulasi<br />

yang ada, misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas,<br />

dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.<br />

6) Evaluasi (Evaluation)<br />

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan sustifikasi atau penilaian<br />

terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian-penilain itu berdasarkan suatu kriteria<br />

yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya<br />

dapat membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan anak yang kekurangan<br />

gizi, dapat menanggapi terjadinya suatu diare di suatu tempat, dapat menafsirkan<br />

sebab-sebab mengapa ibu tidak ikut KB, dan sebagainya.<br />

36


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

c. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengetahuan<br />

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003)<br />

antara lain :<br />

1) Faktor internal<br />

a) Usia<br />

Faktor usia akan ikut menentukan pengetahuan dan sikap seseorang. Hal mi<br />

disebabkan karena dengan semakin bertambahnya usia seseorang, maka biasanya<br />

ia akan menjadi semakin dewasa dalam kemampuan intelektualitasnya. Pada<br />

umumnya, orang yang lebih muda memiliki sikap yang lebih radikal jika<br />

dibandingkan dengan sikap orang yang lebih tua, sedangkan pada orang dewasa<br />

sikapnya lebih moderat.<br />

b) Pendidikan<br />

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah ia menerirna<br />

informasi, sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki.<br />

c) Pekerjaan<br />

Seseorang yang tidak bekerja pengetahuannya akan lebih luas dari pada<br />

pengetahuan seseorang yang bekerja, karena dengan tidak bekerja seseorang akan<br />

mempunyai banyak waktu untuk menambah informasi baik melalui media<br />

elektronika, membaca buku atau informasi langsung yang didapat dari<br />

pengalaman.<br />

d) Pengalaman<br />

Pengalaman merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan<br />

dan dapat dikatakan sebagai sumber pengetahuan. Cara untuk rnemperoleh<br />

pengalaman tersebut dapat dilakukan dengan mengulang keinbali pengetahuan<br />

yang diperoleh dalam rnernecahkan permasalahan yang pernah dihadapi masa<br />

lalu.<br />

2) Faktor Eksternal<br />

a) Sosial<br />

Status eko<strong>no</strong>mi berpengaruh terhadap tingkah laku individu. Seorang individu<br />

yang berasal dari keluarga dengan status sosial eko<strong>no</strong>mi yang baik,<br />

dimungkinkan lebih memiliki sikap positif dalam memandang diri dan masa<br />

depannya jika dibandingkan dengan individu yang berasal dan keluarga dengan<br />

status sosial eko<strong>no</strong>mi rendah. Pengetahuan yang terbatas merupakan faktor<br />

penghambat untuk menerima suatu motivasi dalam bidang kesehatan.<br />

b) Budaya<br />

Dalam hal ini, adat atau sosial budaya membawa pengaruh dalarn penerimaan<br />

informasi. Sosial budaya meliputi pandangan keagamaan. Selain itu, kelompok<br />

etnis dapat mempengaruhi proses berpikir dan bersikap.<br />

c) Informasi.<br />

Informasi dapat diperoleh di rumah, sekolah, media cetak, televisi dan tempat<br />

pelayanan .pengetahuan dan tek<strong>no</strong>logi membutuhkan dan menghasilkan<br />

informasi. Jika pengetahuan berkembang sangat cepat, maka informasi<br />

berkembang sangat cepat pula. Tindakan pengetahuan menimbulkan tindakan<br />

informasi, dimana semakin banyaknya perkembangan dalam bidang ilmu dan<br />

penelitian maka semakin banyak pengetahuan baru bermunculan.<br />

d. Cara Memperoleh Pengetahuan<br />

Menurut Notoatmodjo (2005) cara untuk memperoleh pengetahuan dibagi menjadi<br />

2 yakni:<br />

1) Cara tradisional atau <strong>no</strong>n ilmiah<br />

a) Cara coba- salah (trial and error)<br />

Cara ini telah dipakai orang sebelurn adanya kebudayaan, bahkan mungkin<br />

sebelum adanya peradapan. Cara coba-coba ini dilakukan dengan rnenggunakan<br />

37


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

kernungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila cara tersebut tidak<br />

berhasil, dicoba kemungkinan dengan cara yang lain.<br />

b) Cara otoritas atau kekuasaan.<br />

Para pemegang otoritas, baik pernimpin pemerintahan, tokoh agama, maupun ahli<br />

ilmu pengetahuan pada prinsipnya mempunyai mekanisme yang sama didalam<br />

penemuan pengetahuan. Prinsip ini adalah orang lain menerirna pendapat yang<br />

dikemukakan oleh orang yang mempunyai otoritas, tanpa terlebih dahulu menguji<br />

atau membuktikan kebenarannya, baik berdasarkan fakta empiris ataupun<br />

berdasarkan penalaran sendiri.<br />

c) Berdasarkan pengalaman pribadi<br />

Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan.<br />

Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh<br />

dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu.<br />

d) Melalui jalan pikiran<br />

Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berfikir<br />

manusiapun ikut berkembang. Dan manusia telah mampu menggunakan<br />

penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya.<br />

2) Cara modern<br />

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan lebih sistematis, logis dan<br />

ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau lebih populernya disebut<br />

metodologi penelitian.<br />

e. Pengukuran Pengetahuan<br />

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang<br />

menanyakan tentang isi materi dari subjek penelitian yang ingin diukur dari subjek<br />

penelitian atau responden.<br />

1) Baik : Nilai ≥ 75%<br />

2) Cukup : Nilai = 60 - 75%<br />

3) Kurang baik : Nilai ≤ 60%<br />

(Arikunto, 2006)<br />

2. Konsep Osteoporosis<br />

a. Definisi Osteoporosis<br />

Osteoporosis adalah penurunan masa tulang yang disebabkan karena peningkatan<br />

resorbsi tulang yang melebihi pembentukan tulang.<br />

Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorpsi tulang. Bila tidak ada Vitamin D,<br />

PTH tidak akan menyebabkan absorpsi tulang. Penurunan absorpsi kalsium, , membuat<br />

wanita pasca me<strong>no</strong>pause beresiko mengalami masalah yang berhubungan dengan<br />

osteoporosis (Wilson, 2005).<br />

b. Tanda – tanda Osteoporosis<br />

Menurut Bobak (2004) adapun tanda – tanda dari Osteoporosis adalah penurunan<br />

tinggi badan akibat fraktur serta kolaps tulang belakang. Nyeri punggung dapat timbul<br />

tetapi juga tidak timbul. Tanda – tanda selanjutnya meliputi munculnya bongkol di<br />

punggung, yang membuat tulang belakang tidak dapat lagi me<strong>no</strong>pang tubuh bagian atas<br />

serta fraktur pinggul.<br />

Secara umum tanda – tanda Osteoporosis adalah sebagai berikut :<br />

1) Adanya keluhan sakit punggung yang tida jelas sampai yang berat<br />

2) Terjadi patah tulang spontan ( tidak sebanding dengan beratnya benturan (kecelakaan<br />

yang terjadi)<br />

3) Berkurangnya tinggi badan secara tiba – tiba (hal ini disebabkan terjadi patah tulang<br />

pada ruas tulang belakang hingga melesak satu sama lain<br />

4) Patah tulang pangkal paha atau ruas tulang lain, yang tidak sebanding dengan kerasnya<br />

benturan (Yatim, 2001)<br />

38


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

c. Faktor – faktor Osteoporosis<br />

Menurut Bobak (2004) Faktor – faktor Osteoporosis adalah<br />

1) Rendahnya asupan kalsium<br />

Hal ini terjadi khususnya pada masa remaja<br />

2) Tingginya asupan protein atau kafein<br />

Tingginya asupan protein atau kafein yang meningkatkan ekskresi kalsium<br />

3) Merokok dan asupan alkohol yang berlebihan<br />

Merokok dan asupan alkohol yang berlebihan serta asupan fospor yang melebihi<br />

kalsium (yang terjadi saat mengkonsumsi minuman ringan)<br />

d. Penyebab Osteoporosis<br />

Menurut Neville (2001) bahwa kulit, tulang dan sendi – sendi, semua berisi sel<br />

yang memberi respon terhadap esterogen dengan menghasilkan kolagen yang berkualitas<br />

lebih baik. Terdapat perbaikan dalam ketebalan dan elastisitas kulit, sendi – sendi menjadi<br />

tidak begitu kaku dan osteoit diletakkan dalam tulang dibawah pengaruh esterogen.<br />

Esterogen mengendalikan fungsi osteoklas dan osteoblast pada tulang sehingga<br />

mempengaruhi laju absorbsi dan pengendapan kalsium. Pengendapan tulang – tulang<br />

berlangsung disepanjang kehidupan, tetapi setelah kehilangan esterogen, aktivitas<br />

osteoklastik jauh melebihi kemampuan osteoblas untuk menaruh kalsium. Dalam keadaan<br />

ini osteophenia dan akhirnya terjadi osteoporosis.<br />

e. Penanganan Osteoporosis<br />

Menurut Bobak (2004) penggunaan teknik radiografi untuk mengidentifikasi<br />

wanita beresiko tidaklah akurat. Bahkan mahal. Osteoporosis tidak dapat dideteksi dengan<br />

pemeriksaan sinar X sampai 30% - 50% massa tulang. Rencana perawatan dapat dilakukan<br />

melalui upaya seperti ERT (esterogen, replacemant, therapy), latihan menahan beban dan<br />

pemberin suplementasi kalsium. Latihan menahan beban seperti berjalan dan menaiki<br />

tangga selama 30-60 menit setiap hari.<br />

3. Asupan Kalsium<br />

Menurut Tandra (2009) Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di<br />

dalam tubuh manusia. Kira-kira 99% kalsium terdapat di dalam jaringan keras yaitu pada tulang<br />

dan gigi. Ada 1% kalsium terdapat pada darah dan jaringan lunak. Tanpa kalsium yang 1 persen<br />

ini, otot akan mengalami gangguan kontraksi, darah akan sulit membeku, rangsangan saraf akan<br />

terganggu dalam penghantarannya, dan sebagainya.<br />

Untuk memenuhi kebutuhan yang 1% ini, tubuh mengambilnya dan makanan yang<br />

dimakan atau dan tulang, karena kebanyakan mineral dan vitamin memang tidak dapat<br />

diproduksi sendiri oleh tubuh. Bila makanan yang masuk tidak dapat memenuhi kebutuhan,<br />

tubuh akan mengambilnya dan tulang. Sehingga tulang dapat dikatakan sebagai depo atau<br />

gudang cadangan kalsium tubuh. Jika ini terjadi dalam waktu yang lama, akan menimbulkan<br />

pengeroposan tulang.<br />

a. Makanan sumber kalsium antara lain :<br />

1) Susu.<br />

2) Produk susu : keju, yogurt, es krim.<br />

3) Minuman bukan susu : susu kedele, jus jeruk yang diberi tabahan kalsium.<br />

4) Ikan : salmon, sarden, makarel, ikan kering, belut, kakap dan mujair.<br />

5) Sayur berdaun hijau : buncis, brokoli, kubis, kubis, bayam dan sawi.<br />

6) Buah : jeruk, pepaya.<br />

7) Biji – bijian : gandum, nasi, beras merah, gaplek dan jagung.<br />

8) Kacang – kacangan : almon, kacang merah, kacang kedelai, kacang tanah, tahu dan<br />

tempe.<br />

b. Pentingnya Kalsium<br />

Kalsium dibutuhkan tubuh untuk beberapa hal, antara lain :<br />

1) Untuk membentuk dan mempertahankan tulang dan gigi yang sehat<br />

39


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

2) Untuk mencegah osteoporosis<br />

3) Untuk membantu proses pembekuan darah dan penyembuhan luka<br />

4) Untuk penghantaran rangsangan saraf<br />

5) Untuk mengatur kontraksi otot<br />

6) Untuk membantu transpor ion melalui membran sel<br />

7) Sebagai komponen penting dalam produksi hormon dan enzim yang mengatur proses<br />

pencernaan, energi, dan metabolisme lemak.<br />

Pada tubuh kekurangan kalsium akan terjadi gangguan pertumbuhan, kerapuhan<br />

tulang, dan kejang otot. Sebaliknya bila tubuh kelebihan kalsium, misalnya Anda<br />

mengonsumsi kalsium Sebanyak 2500 mg/hari dapat menyebabkan terjadinya batu ginjal<br />

atau gangguan fungsi ginjal serta konstipasi (susah buang air besar).<br />

Suatu penelitian terhadap orang yang meng’onsumsi kalsium rata-rata 2150 mg<br />

kalsium setiap han, ditemukan angka kejadian batu ginjal sampai 17 persen. Oleh sebab itu,<br />

orang yang minum tablet kalsium penlu dibarengi dengan minum segelas besar air.<br />

Bila mengonsumsi kalsium dalam jumlah yang tepat atau adekuat, kemungkinan<br />

timbulnya kanker usus besar (colorectal carci<strong>no</strong>ma), hipertensi sistolik, batu ginjal, serta<br />

kejadian obesitas akan banyak berkurang.<br />

c. Kebutuhan Kalsium<br />

WHO menganjurkan bagi orang dewasa rata-rata memerlukan kalsium di atas 500<br />

mg per hari. Di Amerika Serikat, perkumpulan osteoporosis nasional memintanya lebih<br />

tinggi lagi, yaitu minimum 800 mg kalsium per hari.<br />

Dengan bertambahriya usia, kalsium yang dibutuhkan akan semakin banyak.<br />

Sampai usia 50 tahun ke atas, atau wanita yang mencapai masa me<strong>no</strong>pause, dipenlukan<br />

elemen kalsium 1200 sampai 1500 mg dalam makanan sehari-hari.<br />

Penelitian terhadap 36.262 wanita me<strong>no</strong>pause oleh Women’s Health Institute di<br />

Amerika Serikat ditemukan bahwa 1000 ng kalsium ditambah 400 iu vitamin D setiap han<br />

terbukti efektif mengurangi kejadian fraktur tulang panggul.<br />

d. Pengaturan Kalsium dalam Tubuh<br />

Kadar kalsium dalam darah dikendalikan oleh hormon paratiroid, kalsitonin dan<br />

kelenjar tiroid, dan vitamin D. Hormon paratiroid dan vitamin D meningkatkan kalsium<br />

darah dengan cara sebagai berikut :<br />

1) Vitamin D merangsang penyerapan kalsium di usus.<br />

2) Vitamin D dan hormon paratiroid merangsang pelepasan kalsium dan tulang ke dalam<br />

darah.<br />

3) Vitamin D dan hormon paratiroid menunjang penyerapan kembali atau reabsorpsi<br />

kalsium di dalam ginjal.<br />

e. Tablet Kalsium<br />

Terdapat suplemen atau tablet kalsium yang beredar di pasaran, yaitu kalsium<br />

karbonat, kalsium sitrat, dan kalsium fosfat. Kalsium dalam tablet ini adalah senyawa<br />

kalsium, sedangkan yang Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :<br />

1) Kalsium yang generik harganya murah, tapi penyerapannya mungkin kurang baik.<br />

2) Baca labelnya, apakah mengandung kalsium karbonat, kalsium sitrat, atau kalsium<br />

fosfat, kemudian lihat pula kandungan kalsiumnya, 200 mg, 500 mg, 650 mg, atau<br />

1500 mg.<br />

3) Kalsium karbonat bisa menyebabkan konstipasi (sukar buang air besar).<br />

4) Tubuh biasanya tidak bisa menyerap mineral kalsium lebih dan 500 mg dalam satu<br />

kali minum suplemen, sehingga perlu dibagi dalam beberapa kali minum per han.<br />

5) Penyerapan kalsium di usus dan susu hanya 32 persen, sedangkan dari sayuran bisa<br />

sampai 64 persen.<br />

6) Minumlah air atau jus buah yang banyak ketika minum suplemen kalsium.<br />

7) Lebih baik diminum tidak berbarengan dengan mengonsumsi obat lain.<br />

40


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

8) Jangan minum tablet kalsium bersamaan dengan makanan yang mengandung banyak<br />

serat, karena akan mengganggu penyerapan kalsium. Tetapi ini bukan berarti Anda<br />

tidak boleh makan makanan yang kaya serat. Makanan kaya serat penting untuk<br />

mencegah beberapa penyakit termasuk kanker.<br />

9) Tablet kalsium juga jangan dikonsumsi bersamaan dengan makanan yang kaya lemak,<br />

karena lemak mi dapat menghambat penyerapan kalsium.<br />

10) Jangan bersamaan dengan mengomsumsi suplemen Fe (besi). Kalsium akan berikatan<br />

dengan besi, sehingga penyerapan keduanya akan terganggu.<br />

Untuk kandungan elemen kalsium dalam suplemen kalsium, misalnya kalsium<br />

karbonat (calcium carbonate) yang mengandung .0 persen kalsium, maka tablet 650 mg<br />

kalsium karbonat mengandung kalsium 650 x 0,4 = 260 mg kalsium. Untuk kalsium sitrat<br />

(calcium citrate) yang mengandung kalsium 21 persen, maka tablet 650 mg kalsium sitrat<br />

mengandung kalsium 650 x 0,21 = 137 mg kalsium. Sedangkan kalsium fosfat (calcium<br />

phosphate) yang mengandung 39 persen kalsium, maktablet 650 mg kalsium fosfat<br />

mengandung kalsium sebanyak 650 x 0,39 = 254 mg.<br />

4. Konsep Dasar Me<strong>no</strong>pouse<br />

Me<strong>no</strong>pause merupakan suatu penghentian permanen menstruasi (haid), berarti pula<br />

akhir dari masa produktif (Purwoastuti, 2008)<br />

Menurut Ozzy (2010) me<strong>no</strong>pause merupakan transisi fisik alamiah yang dialami oleh<br />

setiap wanita saat dia bertambah umur. Sering diterjemahkan secara bebas sebagai berhenti<br />

menstruasi terakhir dalam hidup seorang wanita. Hal ini menekankan transisi yang tiba-tiba dan<br />

komplit, walaupun proses sebenarnya berjalan lumayan perlahan. Walaupun kebanyakan wanita<br />

mengalami perubahan ini antara usia 48 dan 52, beberapa yang lain berhenti haid pada akhir 30an<br />

atau awal 40-an, dan yang lain terus mengalami haid hingga pertengahan 50-an.<br />

Menurut Noor (2010), masa me<strong>no</strong>pause ditandai dengan masa transisi kira-kira lima<br />

tahun dari berhentinya fungsi reproduksi, tetapi secara biologis me<strong>no</strong>pause berarti berhentinya<br />

menstruasi. Pada umumnya wanita akan mengalami me<strong>no</strong>pause antara usia 40 –55 tahun,<br />

walaupun ada beberapa perkecualian. Periode ini disebut sebagai periode klimakterium yang<br />

menggambarkan hilangnya kemampuan untuk reproduksi (menurunkan). Dengan berhentinya<br />

menstruasi berarti proses ovulasi atau pembuahan sel telur juga berhenti. Periode ini dianggap<br />

sebagai masa transisi atau peralihan ke masa tua, yaitu masa yang ditandai dengan berkurang<br />

dan menurunnya vitalitas manusia. Me<strong>no</strong>pouse<br />

merupakan tahap akhir proses biologi yang dialami wanita berupa penurunan produksi<br />

hormon seks wanita yaitu estrogen dan progesteron pada indung telur. Proses berlangsung tiga<br />

sampai lima tahun yang disebut masa klimakterik atau perimenapouse. Disebut me<strong>no</strong>pause jika<br />

seseorang tidak lagi menstruasi selama satu tahun. Umumnya terjadi pada usia 50-an tahun.<br />

Sebagaimana awal haid, akhir haid juga bervariasi antara perempuan yang satu dengan<br />

perempuan yang lainnya.<br />

a. Tahap Terjadinya Me<strong>no</strong>pouse<br />

Me<strong>no</strong>pouse adalah berhentinya siklus perdarahan uterus yang teratur,merupakan<br />

satu peristiwa dalam klimakterium (Wilson, 2005). Tahap terjadinya me<strong>no</strong>pouse terdiri dari<br />

tiga fase, yaitu :<br />

1) Fase Preme<strong>no</strong>pouse<br />

Preme<strong>no</strong>pouse adalah masa dimana tubuh mulai bertransisi menuju me<strong>no</strong>pouse terjadi<br />

pada usia 48-55 tahun (Manuaba, 2001). Definisi lain menyebutkan bahwa<br />

preme<strong>no</strong>pouse adalah fase transisi fluktasi fungsi ovarium yang terjadi di sekitar<br />

waktu perdarahan menstruasi terakhir dari seorang wanita (Glasier, 2005). Masa ini<br />

terjadi dalam kurun waktu 4-5 tahun sedalam me<strong>no</strong>pouse pada periode ini, tingkat<br />

produksi hormon estrogen dan progesteron naik turun tak beraturan. Siklus menstruasi<br />

bisa tiba-tiba memanjang atau memendek.<br />

41


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Adalah fase pertama klimakterium saat fertilitas menurun dan menstruasi menjadi<br />

tidak teratur, Gejala-gejala yang mengganggu seperti ketidakstabilan vasomotor,<br />

keletihan nyeri kepala serta gangguan emosi dapat timbul selama fase ini.<br />

2) Fase Me<strong>no</strong>pouse<br />

Adalah periode menstruasi spontan yang terakhir pada seorang wanita dan merupakan<br />

diag<strong>no</strong>sis yang di tegakkan secara retrospektif setelah ame<strong>no</strong>rhea selama 12 bulan<br />

(Glasier, 2005).<br />

3) Fase Postme<strong>no</strong>pouse<br />

Adalah fase 3-5 tahun setelah me<strong>no</strong>pouse, pada fase ini dapat terjadi gejala-gejala<br />

yang terkait dengan penurunan hormon ovarium seperti astrofi vagina dan<br />

esteoporosis.<br />

b. Gambaran Klinis<br />

Sejalan dengan proses ketuaan yang pasti dialami setiap orang, terjadi pula<br />

kemunduran fungsi organ-organ tubuh termasuk salah satu organ reproduksi wanita, yaitu<br />

ovarium. Terganggunya fungsi ovarium menyebabkan berkurangnya produksi hormon<br />

estrogen, dan ini akan menimbulkan beberapa penurunan atau gangguan pada aspek fisikbiologis<br />

– seksual (Noor, 2010).<br />

Sebelum haid berhenti, pada seorang wanita telah terjadi berbagai perubahan pada<br />

ovarium seperti skletoris pembuluh darah, berkurangnya jumlah folikel dan menurunnya<br />

sintesis steroid seks. Penurunan fungsi ovarium menyebabkan berkurangnya kemampuan<br />

ovarium untuk menjawab rangsangan go<strong>no</strong>dotropin. Keadaan ini akan mengakibatkan<br />

terganggunya interaksi antara hipotalamus hipofisis. Pertama-tama terjadi kegagalan fungsi<br />

korpus luteum kemudian turunnya produksi steroid ovarium menyebabkan berkurangnya<br />

reaksi umpan balik negatif terhadap hipotalamus. Keadaan ini meningkatkan produksi FSH<br />

dan LH terutama FSH (Winkjosastro, 2005).<br />

Tabel 25. Perubahan Endokrindogis Klimakterium<br />

Prame<strong>no</strong>pouse Pasca me<strong>no</strong>pouse Serium<br />

Insufisiensi korpus luteum Kegagalan korpus luteum Kegagalan korpus luteum<br />

↓<br />

↓<br />

↓<br />

Dominasi estrogen Kekurangan estrogen Estrogen rendah<br />

↓<br />

↓<br />

↓<br />

Peningkatan ringan Peningkatan berat Normalisasi gonadotropin<br />

go<strong>no</strong>dotropin<br />

gonadotropin<br />

Infertilasi gangguan<br />

perdarahan<br />

Distonia vegetatif Atrofi in<strong>vol</strong>usi<br />

Me<strong>no</strong>pause<br />

Proses menuju me<strong>no</strong>pause dimulai dengan perlambatan fungsi indung telur,<br />

biasanya lima tahun sebelum periode menstruasi terakhir, dan perubahan-perubahan fisik<br />

dan emosi tambahan selama beberapa tahun setelah haid terakhir. Selama masa ini, ada<br />

perubahan dalam keseimbangan hormon, dengan pengurangan jumlah estrogen yang<br />

diproduksi indung telur. Akhirnya, ada tingkat produksi estrogen yang begitu rendah<br />

sehingga haid menjadi tidak teratur, dan akhirnya berhenti. Saat daur menstruasi berhenti,<br />

tingkat progesteron juga menurun. Bersama-sama, hormon-hormon ini mempengaruhi dan<br />

mengatur beberapa fungsi fisik dan emosi, dan dengan perubahan kadar keduanya, banyak<br />

wanita mengalami lebih dari penghentian haid (Ozzy, 2010).<br />

c. Tanda dan Gejala Premo<strong>no</strong>pouse<br />

Selama me<strong>no</strong>pause banyak wanita mengeluhkan gejala yang disebabkan perubahan<br />

hormon, khususnya penurun produksi estrogen, yang dirangsang secara psikologis karena<br />

42


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

kebutuhan untuk menyesuaikan diri. (Jones, 2005). Gejala jangka pendek walaupun sangat<br />

tidak menyenangkan, biasanya hilang sendiri dan tidak mengancam jiwa (Glasier, 2005).<br />

Me<strong>no</strong>pouse mulai pada umur yang berbeda pada orang yang berbeda – beda. Umur yang<br />

umum adalah sekitar 50 tahun (Harjana, 2000).<br />

Menurut Wilson (2003) tanda dan gejala premo<strong>no</strong>pouse adalah :<br />

1) Menstruasi tidak teratur<br />

Intervalnya dapat memanjang atau memendek, sedikit dan berlimpah ovulasi menjadi<br />

tiak teratur, rendahnya kadar progesteron dapat membuat periode menstruasi lebih<br />

panjang.<br />

2) Hot Flushes (Perasaan panas) dan gangguan tidur<br />

Sekitar 75-85% wanita mengalami hot flushes selama premo<strong>no</strong>pouse. Perubahan<br />

kadar estrogen yang menyerang tubuh bagian atas dan muka. Serangan ini ditandai<br />

dengan munculnya kulit yang memerah disekitar muka, leher, dan dada bagian atas,<br />

detak jantung yang kencang. Badan bagian atas berkeringat termasuk gangguan tidur.<br />

Rasa panas dapat dipicu oleh stres, cuaca panas, alkohol, dan makanan berbumbu<br />

tajam walaupun sebagian besar timbul tanpa faktor pemicu apapun.<br />

3) Kesuburan Berkurang<br />

Ovulasi menjadi tidak teratur sehingga bertemunya sel telur dan sperma menjadi lebih<br />

rendah walau mungkin untuk hamil.<br />

4) Perubahan Kadar Kolesterol<br />

Berkurangnya estrogen akan merubah kadar kolesterol dalam darah dan meningkatkan<br />

kadar kolesterol jahat (LDL) yang mengakibatkan resiko terkena penyakit jantung.<br />

Sedangkan HDL adalah kolesterol baik, menurun sesuai pertambahan usia.<br />

5) Osteoporosis<br />

Osteoporosis adalah penurunan massa tulang seiring peningkatan umur yang<br />

dihubungkan dengan peningkatan kerentanan fraktur. Pada wanita, kepadatan<br />

tulang mencapai puncak pada usia pertengahan 30-an dan setelah itu menurun secara<br />

perlahan sampai terjadi akselerasi pesat penurunan massa tulang setelah me<strong>no</strong>pouse.<br />

6) Kemungkinan Komplikasi<br />

Meski tidak ada yang perlu dikhawatirkan, namun perlu berhati-hati bila ada hal-hal<br />

yang mencurigakan sebagai berikut :<br />

a) Menstruasi hebat<br />

b) Menstruasi panjang yang berlangsung hingga lebih dari 8 hari<br />

c) Siklus menstruasi yang terlalu pendek, kurang dari 21 hari.<br />

d. Perubahan seksualitas pada masa me<strong>no</strong>pouse<br />

1) Sebab-sebab perubahan seksualitas pada usia me<strong>no</strong>pouse<br />

Ozzy (2010) menyebutkan bahwa me<strong>no</strong>pause menyebabkan beberapa perubahan fisik<br />

yang dapat mempengaruhi fungsi seksual seorang wanita. Berkurangnya kadar<br />

estrogen dan progesteron saat dan setelah me<strong>no</strong>pause menyebabkan lapisan dinding<br />

vagina menjadi tipis dan lebih keras. Sebagai tambahan, produksi cairan vagina turun,<br />

menambahkan rasa tidak nyaman saat bersetubuh. Terapi pengganti estrogen dapat<br />

membantu menghadapi perubahan-perubahan ini pada banyak wanita, namun<br />

resikonya dapat melebihi keuntungannya bagi wanita yang menderita penyakit<br />

peredaran darah, kanker payudara, atau kanker rahim. Estrogen buatan atau krim, yang<br />

mengandung dosis estrogen lebih rendah dan digunakan dalam periode lebih pendek,<br />

merupakan pilihan lain untuk menjaga kelangsungan hidup vagina. Bagi para wanita<br />

yang tidak dapat, atau memilih untuk tidak menggunakan pengobatan estrogen,<br />

pelembab vagina dapat mengurangi kekeringan vagina saat berhubungan intim.<br />

2) Perubahan kondisi seksualitas usia me<strong>no</strong>pouse<br />

Ozzy (2010) menjelaskan bahwa me<strong>no</strong>pause bukan berarti tanda berakhirnya rasa<br />

tertarik atau aktifitas seksual seorang wanita, seperti yang sering diduga dimasa lalu.<br />

Bukan hilangnya estrogen, tetapi kepercayaan dan sikap terhadap seks dan me<strong>no</strong>pause,<br />

43


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

atau pertambahan usia, yang sepertinya penting bagi keinginan dan aktifitas seksual.<br />

Dalam tahun-tahun belakangan ini telah menjadi jelas bahwa bukan hanya ketertarikan<br />

dan kapasitas akan seks meningkat setelah me<strong>no</strong>pause, tapi banyak wanita yang<br />

melaporkan meningkatnya kenikmatan seks karena kekhawatiran akan kehamilan yang<br />

tidak direncanakan tidak lagi menjadi masalah.<br />

3) Menurunnya hasrat seksual menjelang usia me<strong>no</strong>pouse<br />

Menurut Noor (2010) ada sebagian wanita, yang mengeluh setelah me<strong>no</strong>pause gairah<br />

seksual menurun. Salah satu fungsi dari hormon estrogen adalah bertanggung jawab<br />

atas sebagian besar karateristik wanita, sehingga menurunnya hormon estrogen<br />

mengakibatkan hilangnya jaringan di vagina yang berarti terjadi pengerutan. Keadaan<br />

ini menyebabkan hubungan kelamin menjadi sakit. Namun bukan berarti wanita yang<br />

mengalami me<strong>no</strong>pause harus menghindari hubungan seksual. Elastisitas jaringan<br />

genital dapat dikembalikan dengan memberikan hormon pengganti estrogen.<br />

4) Persepsi negatif yang muncul saat me<strong>no</strong>pouse<br />

Menurut Noor (2010) wanita yang mengalami me<strong>no</strong>pause, kehilangan daya tarik<br />

seksualnya dan menurun aktivitas seksualnya. Ada beberapa wanita yang beranggapan<br />

sesudah me<strong>no</strong>pause, tidak bisa memberi kepuasan seksual bagi suaminya. Iapun tidak<br />

dapat menikmati hubungan intim dengan suaminya, karena jaringan genitalnya<br />

berkurang elasitisitasnya. Bahkan ada anggapan wanita yang sudah me<strong>no</strong>pause<br />

seyogyanya tidak melakukan hubungan seksual karena akan mengakibatkan<br />

munculnya penyakit. Keyakinan ini menggiring wanita untuk mengurangi atau<br />

menghindari aktivitas seksual, yang akan berpengaruh pada berkurangnya<br />

keharmonisan hubungan suami istri. Kondisi ini akan memicu munculnya problem<br />

suami-istri yang lebih kompleks.<br />

e. Upaya dalam menghadapi masa me<strong>no</strong>pouse<br />

Sejumlah solusi ditawarkan untuk mengatasi keluhan yang menyertai me<strong>no</strong>pouse,<br />

baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, diantaranya :<br />

1) Terapi Non Hormon<br />

a) Obat antihipertensi Honidin (50 Mg 2x/hari) efektif dalam penatalaksanaan<br />

jangka pendek gejala-gejala Nasomotor tetapi sebagian besar wanita mendapat<br />

baha efek menguntungkan tersebut cepat hilang.<br />

b) Obat penenang da antidepresan sudah luas penggunaannya pada wanita dengan<br />

masalah klimakterik tetapi tanpa penyakit psikiatrik yang nyata, obat-obat ini<br />

sbelaiknya ditunda sampai TSH telah dicoba.<br />

c) Terapi alternatif lainnya ada pada senyawa kimia dalam tumbuhan dan kacangkacangan<br />

yang struktur kimianya mirip dengan estrogen serta menghasilkan efek<br />

seperti estrogen yang disebut fitoestrogen. Tanaman yang banyak mengandung<br />

fitoestrogen antara lain kacang kedelai. Yang istimewa ialah bahwa fitoestrogen<br />

tidak menimbulkan resiko kanker bahkan dapat mencegah beberapa penyakit<br />

kanker seperti kanker payudara dan rahim.<br />

2) Terapi Sulih Hormon (TSH)<br />

Karena gejala me<strong>no</strong>pouse disebabkan oleh defisiensi estrogen maka terapi yang logis<br />

adalah dengan sulih estrogen. Telah terbukti bahwa pemberian esterogen mengurangi<br />

kejadian PJK dan stroke sampai 50 – 70% pada wanita pascame<strong>no</strong>pouse Terapi<br />

estrogen efektif apabila diberikan melalui beragam rute seperti oral, transdermis : koyo<br />

dan jeli, implan vagina : krim, pesarium, tablet dan cincin, sublingual atau intranasal.<br />

Conjugated equine oesterogens (CEE) diberikan secara luas sebagai pengganti<br />

estrogen. TSH mengandung hormon, yang dapat dikelompokkan menjadi 4 macam<br />

yaitu TSH estrogen TSH estrogen-progesteron, TSH estrogen androgen dan TSH<br />

estrogen-progesteron-androgen.<br />

44


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

3) Mengkonsumsi Kalsium<br />

Perempuan terutama menjelang usia-usia me<strong>no</strong>pouse, sebaiknya mengkonsumsi<br />

kalsium sebanyak 1000-1500 gr seharinya. Sebagian besar dapat diperoleh dari<br />

makanan seperti susu, yoghurt, beberapa jenis sayuran (antara lain brokoli). Kalau<br />

jumlah kalsium dari makanan kurang mencukupi, dapat juga memakan tablet kalsium<br />

(Irawati, 2002). Dosis yang direkomendasikan ialah 1-1,5 gr setiap hari, biasnya<br />

dikonsumsi sebelum tidur. Namun suplemen kalsium paling baik bila dikonsumsi<br />

bersama makanan karena pada saat makan sekresi asam meningkat dan pada waktu<br />

kalisum berada di dalam lambung meningkat. Sekurang-kurangnya 240 cc air<br />

direkomendasikan untuk meningkatkan daya larut kalsium<br />

4) Vitamin Tambahan<br />

Sebagian besar vitamin yang diperlukan tubuh sudah diperoleh melalui makanan kita<br />

sehari-hari. Tetapi adakalanya terutama mereka yang aktif, memerlukan juga<br />

tambahan vitamin. Vitamin yang diperlukan antara lain B1, B6, B12, asam folat dan<br />

terutama bagi mereka yang menginjak usia me<strong>no</strong>pouse memerlukan vitamin-vitamin<br />

antioksida seperti vitamin A dan vitamin E (400-600 unit/ hari) (Bobak, 2004).<br />

f. Faktor-faktor yang mempengaruhi usia memasuki me<strong>no</strong>pouse<br />

Me<strong>no</strong>pouse biasanya terjadi antara usia 40 dan 50, dan dpat berlangsung selama<br />

8 – 10 tahun. Beberapa faktor yang mempengaruhi usia seseorang wanita memasuki usia<br />

me<strong>no</strong>pouse adalah :<br />

1) Umur saat mendapat haid pertama (menarche)<br />

Makin dini menarche terjadi maka makin lambat me<strong>no</strong>pouse timbul, sebaliknya makin<br />

lambat menarche terjadi, maka makin cepat me<strong>no</strong>pouse timbul.<br />

2) Merokok<br />

Merokok akan mempercepat munculnya me<strong>no</strong>pouse. Jadi wanita perokok<br />

kelihatannya akan lebih mudah memasuki usia me<strong>no</strong>pouse dibandingkan dengan<br />

wanita yang tidak merokok (Corwin, 2001).<br />

Tiap kurun waktu kehidupan mempunyai masalah masing-masing, tetapi tanggapan<br />

dan sorotan pada masalah me<strong>no</strong>pause akhir- makin meningkat. Hal ini disebabkan oleh<br />

beberapa faktor berikut ini :<br />

1) Dengan makin meningkatnya kesejahteraan masyarakat, meningkat pula harapan<br />

hidup (life expectancy), makin banyak pula laki-laki dan perempuan yang memasuki<br />

kehidupan lansia. Untuk perempuan berarti pula makin banyak yang melalui masa<br />

pascareproduksi atau me<strong>no</strong>pause. Jadi, secara demografi terjadinya peningkatan<br />

kelompok lansia, akan merupakan masalah kesehatan masyarakat, yang memerlukan<br />

penanganan khusus.<br />

2) Dengan meningkatnya kesetaraan gender, makin banyak perempuan yang berkarya,<br />

berprestasi, dan menjabat kedudukan penting atau berperan di ruang publik, di<br />

samping peran domestiknya. Mereka mi perlu mendapat dukungan pelayanan<br />

kesehatan khusus untuk menjaga QOL-nya, agar kinerja dan prestasinya dapat<br />

dipertahankan selama mungkin.<br />

3) Proses menuju tua itu merupakan peristiwa alamiah, tetapi dapat disertai dengan<br />

keluhan-keluhan klinis yang mengganggu. Apalagi bila disertai dengan adanya<br />

misinformasi<br />

4) Adanya globalisasi masuk pula budaya materialistik dan budaya yang mengagungkan<br />

kecantikan serta kemudaan sehingga terjadi transformasi budaya yang merugikan,<br />

termasuk dalam menanggapi masalah me<strong>no</strong>pause.<br />

5) Karena me<strong>no</strong>pause adalah satu peristiwa biopsikososial, maka betapapun hebatnya<br />

perkembangan ilmu dan biotek<strong>no</strong>logi, penyelesaian, dan cara pendekatannya tidak<br />

cukup dengan medis saja, melainkan harus disertai dengan pendekatan psikososial.<br />

Cara pendekatan semacam mi harus dilakukan bersama oleh petugas kesehatan,<br />

45


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

organisasi masyarakat, seperti LSM perempuan, dan masyarakat sendiri (Corwin,<br />

2001).<br />

C. METODE PENELITIAN<br />

1. Desain Penelitian<br />

Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian cross sectional<br />

untuk mengetahui hubungan pengetahuan tentang osteoporosis dengan asupan kalsium pada<br />

wanita preme<strong>no</strong>pouse di Desa Tanjek Wagir Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo.<br />

2. Hipotesis<br />

Hipotesis merupakan jawaban sementara dari suatu pemilihan (Notoatmodjo, 2005).<br />

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:<br />

H1 : Ada Hubungan Pengetahuan Tentang Osteoporosis dengan Tambahan Tablet Kalsium<br />

Pada Wanita Preme<strong>no</strong>pouse di Desa Tanjek Wagir Kecamatan Krembung Kabupaten<br />

Sidoarjo<br />

3. Variabel Dan Definisi Operasional<br />

Variabel bebas (independen) penelitian ini adalah Pengetahuan Tentang Osteoporosis<br />

Pada Wanita Preme<strong>no</strong>pouse. Variabel (dependen) tergantung pada penelitian ini adalah<br />

Tambahan Tablet Kalsium.<br />

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan<br />

karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau<br />

pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fe<strong>no</strong>mena (Hidayat, 2008).<br />

Tabel 26. Definisi Operasional Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Konsumsi<br />

Tablet Kalsium Pada Wanita Preme<strong>no</strong>pouse Di Desa Tanjek Wagir Kecamatan<br />

Krembung Kabupaten Sidoarjo<br />

Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala<br />

Pengetahuan<br />

wanita<br />

preme<strong>no</strong>pouse<br />

tentang<br />

osteoporosis<br />

Tambahan<br />

Tablet<br />

kalsium<br />

Semua hal yang diketahui dan<br />

dipahami oleh wanita usia 48-55<br />

tahun tentang osteoporosis yaitu<br />

tentang :<br />

- Definisi Osteoporosis<br />

- Tanda – tanda Osteoporosis<br />

- Faktor – faktor Osteoporosis<br />

- Penyebab Osteoporosis<br />

- Pencegahan Osteoporosis<br />

- Penanganan Osteoporosis<br />

Instrumen yang digunakan adalah<br />

kuesioner<br />

Suplemen yang mengandung<br />

kalsium yang beredar di pasaran<br />

Instrumen yang digunakan adalah<br />

ceklist<br />

46<br />

Baik : Nilai ≥75%<br />

Cukup : Nilai = 60-75%<br />

Kurang baik :Nilai ≤ 60%<br />

( Arikunto, 2006)<br />

Mengkonsumsi : 1<br />

Tidak mengkonsumsi : 0<br />

Ordinal<br />

Nominal<br />

4. Populasi, Sampel Dan Instrumen Penelitian<br />

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tanjek Wagir Kecamatan Krembung Kabupaten<br />

Sidoarjo pada tanggal 24 Mei – 24 Juni 2010. Populasi dalam penelitian ini adalah semua<br />

wanita preme<strong>no</strong>pouse di Desa Tanjek Wagir Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo<br />

sebanyak 156 responden. Untuk menentukan besar sampel berdasarkan populasi menurut<br />

Nursalam (2008) adalah :


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

N<br />

n <br />

1 N d<br />

2<br />

156<br />

= 1 + 156 (0,05) 2 = 112,23 = 112 responden<br />

Keterangan :<br />

n : jumlah sampel<br />

N : jumlah populasi<br />

d : tingkat kesalahan yang dipilih (d : 0,05)<br />

Dengan demikian jumlah seluruh sampel sebanyak 112 responden dengan perincian<br />

sebagai berikut :<br />

Sampel di Dusun Wagir :<br />

26<br />

x 112 = 18,66 = 19 responden<br />

156<br />

Sampel di Dusun Tanjek :<br />

37<br />

x 112 = 26,56 = 27 responden<br />

156<br />

13<br />

Sampel di Dusun Balong ampel : x 112 = 9,33 = 9 responden<br />

156<br />

Sampel di Dusun Rawan :<br />

17<br />

x 112 = 12,53 = 13 responden<br />

156<br />

Sampel di Dusun Kedung<strong>no</strong>lo : 19 x 112 = 13,64 = 14 responden<br />

156<br />

Pemilihan sampel tersebut dengan memperhatikan kriteria Kriteria inklusi dan eksklusi.<br />

a. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah<br />

1) Wanita preme<strong>no</strong>pouse yang ada saat dilakukan penelitian.<br />

2) Wanita preme<strong>no</strong>pouse yang bersedia menjadi responden.<br />

3) Wanita preme<strong>no</strong>pouse yang mampu membaca dan menulis.<br />

b. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah<br />

1) Wanita preme<strong>no</strong>pouse yang tidak kooperatif.<br />

2) Wanita preme<strong>no</strong>pouse yang pada saat penelitian sakit.<br />

Penelitian ini menggunakan teknik sampling cluster Random sampling dengan alokasi<br />

proporsional yaitu teknik pengambilan sampel dengan cara menyeleksai secara acak setelah<br />

semuanya terkumpul. Peneliti mencantumkan tiap nama populasi kemudian diambil sampelnya<br />

dengan cara lottere technique (teknik undian).<br />

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan angket yang<br />

dilakukan dengan mengisi kuesioner sedangkan instrumen pengumpulan data menggunakan<br />

kuesioner. Instrumen ini digunakan dalam pengumpulan data variabel independen dan<br />

dependen.<br />

5. Teknik Analisis Data<br />

a. Analisis Variabel Independen<br />

1) Editing<br />

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau<br />

dikumpulkan.<br />

2) Coding<br />

Data entry yaitu memasukkan data yang dikumpulkan kedalam master tabel atau data<br />

base computer. Diberikan skor 1 untuk jawaban benar dan skor 0 untuk jawaban salah.<br />

N = f x 100%<br />

n<br />

Keterangan :<br />

N : Persentase nilai yang di dapat<br />

47


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

f : jumlah jawaban benar<br />

n : jumlah pertanyaan (Budiarto, 2002)<br />

3) Tabulating<br />

Setelah data terkumpul, kemudian ditabulasi dan dikelompokkan sesuai dengan<br />

variabel yang diteliti. Selanjutnya, diklasifikasikan dengan kriteria sebagai berikut :<br />

a) Baik : Nilai = > 75%<br />

b) Cukup : Nilai = 60 - 75%<br />

c) Kurang baik : Nilai = < 60% (Arikunto, 2006)<br />

b. Analisa Variabel Dependen<br />

1) Editing<br />

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau<br />

dikumpulkan<br />

2) Coding<br />

Coding merupakan kegiatan memberikan kode numeric (angka) terhadap data yang<br />

terdiri atas beberapa kategori yaitu :<br />

a) Mengkonsumsi : 1<br />

b) Tidak mengkonsumsi : 0<br />

3) Tabulating<br />

Setelah data terkumpul, kemudian ditabulasi dan dikelompokkan sesuai dengan<br />

variabel yang diteliti.<br />

c. Uji Analisis Data<br />

Untuk mendapatkan kesimpulan hubungan pengetahuan tentang osteoporosis<br />

dengan tambahan asupan kalsium pada wanita preme<strong>no</strong>pouse di Desa Tanjek Wagir<br />

Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo, maka peneliti menggunakan uji wicoxon sign<br />

rank test.<br />

Dengan rumus: z = T - µ t<br />

σT<br />

Dimana : T = jumlah jenjang / rangking yang kecil (Sugiyo<strong>no</strong>, 2009)<br />

Tingkat signifikansi () untuk menyimpulkan adanya hubungan menggunakan<br />

d.<br />

0,05.<br />

Pedoman Interprestasi Terhadap Koefisien Korelasi :<br />

Sangat rendah : 0,00 - 0.199<br />

Rendah : 0,20 - 0,399<br />

Sedang : 0,40 - 0,599<br />

Kuat : 0,60 - 0,799<br />

Sangat kuat : 0,80 – 1,000 (Sugiyo<strong>no</strong>, 2007)<br />

D. HASIL PENELITIAN<br />

1. Gambaran Umum Daerah Penelitian<br />

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tanjek Wagir Kecamatan Krembung Kabupaten<br />

Sidoarjo. Desa Tanjek Wagir terletak di wilayah selatan Kabupaten Sidoarjo. Luas wilayah desa<br />

ini ± 154,482 Ha. Terdiri dari 5 dusun yaitu Tanjek, Wagir, Rawan, Balongampel dan<br />

Kedung<strong>no</strong>lo. Jumlah penduduk 2.975 orang, jumlah penduduk laki - laki 1.504 orang, jumlah<br />

penduduk perempuan 1.472 orang.<br />

Adapun fasilitas kesehatan yang di miliki yaitu terdapat 1 Polindes dengan 1 bidan.Jarak<br />

yang harus di tempuh masyarakat untuk ke puskesmas adalah ± 2,5 km.Dan jarak puskesmas ke<br />

Rumah Sakit terdekat yaitu Rumah Sakit Bhayangkara porong ± 4 km.<br />

Desa Tanjek Wagir Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo berbatasan dengan :<br />

a. Sebelah Utara : Desa Mojoruntut dan Desa Gading<br />

b. Sebelah Timur : Desa Kedungrawan<br />

48


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

c. Sebelah Selatan : Desa Bandarasri<br />

d. Sebelah Barat : Desa Mojoruntut<br />

2. Data Umum<br />

a. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan<br />

Tabel 27. Karakteristik Pendidikan Responden di Desa Tanjek Wagir Kecamatan<br />

Krembung Kabupaten Sidoarjo Tahun 2010<br />

No. Karakteristik Pendidikan Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. SD / Sederajat 10 8,9<br />

2. SMP / Sederajat 43 38,4<br />

3. SMA / Sederajat 53 47,3<br />

4. Akademi / Perguruan Tinggi 6 5,4<br />

Total 112 100<br />

Dari tabel 27 diketahui bahwa dari 112 orang responden, hampir setengahnya<br />

berpendidikan SMA / Sederajat yaitu sebanyak 53 responden (47,3%).<br />

b. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan<br />

Tabel 28. Karakteristik Pekerjaan Responden di Desa Tanjek Wagir Kecamatan<br />

Krembung Kabupaten Sidoarjo Tahun 2010<br />

No. Karakteristik Pekerjaan Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. Bekerja 59 52,7<br />

2. Tidak Bekerja 53 47,3<br />

Total 112 100<br />

Dari tabel 28 diketahui bahwa dari 112 orang responden, setengahnya bekerja yaitu<br />

sebanyak 59 responden (52,7 %).<br />

c. Karakteristik Responden Berdasarkan Informasi<br />

Tabel 29. Karakteristik Responden Berdasarkan Informasi di Desa Tanjek Wagir<br />

Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo Tahun 2010<br />

No. Informasi Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. Mendapat Informasi 8 7,1<br />

2. Tidak Mendapat Informasi 104 92,9<br />

Total 112 100<br />

Dari tabel 29 diketahui bahwa dari 112 orang responden, hampir seluruhnya<br />

mendapat informasi yaitu sebanyak 104 responden (92,9%).<br />

d. Karakteristik Responden Berdasarkan Informasi<br />

Tabel 30. Karakteristik Responden Berdasarkan Informasi di Desa Tanjek Wagir<br />

Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo Tahun 2010<br />

No. Informasi Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. Mendapat Informasi 8 7,1<br />

2. Tidak Mendapat Informasi 104 92,9<br />

Total 112 100<br />

Dari tabel 30 diketahui bahwa dari 112 orang responden, hampir seluruhnya<br />

mendapat informasi yaitu sebanyak 104 responden (92,9%).<br />

49


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

3. Data Khusus<br />

a. Pengetahuan Tentang Osteoporosis Pada Wanita Preme<strong>no</strong>pouse<br />

Tabel 31. Pengetahuan Tentang Osteoporosis Pada Wanita Preme<strong>no</strong>pouse di Desa<br />

Tanjek Wagir Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo Tahun 2010<br />

No. Pengetahuan Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. Baik 11 9,8<br />

2. Cukup 66 58,9<br />

3. Kurang 35 31,3<br />

Total 112 100<br />

Dari tabel 31 diketahui bahwa dari 112 orang responden, sebagian besar<br />

pengetahuan cukup yaitu 66 responden (58,9%).<br />

b. Konsumsi Tablet Kalsium Pada Wanita Preme<strong>no</strong>pouse<br />

Tabel 32. Konsumsi Tablet Kalsium Pada Wanita Preme<strong>no</strong>pouse di Desa Tanjek<br />

Wagir Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo Tahun 2010<br />

No. Konsumsi Tablet Kalsium Frekuensi (f) Prosentase (%)<br />

1. Tidak Mengkonsumsi 80 71,4<br />

2. Mengkonsumsi 32 28,6<br />

Total 112 100<br />

c.<br />

Dari tabel 32 diketahui bahwa dari 112 orang responden, sebagian besar tidak<br />

mengkonsumsi tablet kalsium yaitu 80 responden (71,4%).<br />

Tabulasi Silang Hubungan Pengetahuan Tentang Osteoporosis Dengan Tablet Tablet<br />

Kalsium Pada Wanita Preme<strong>no</strong>pouse<br />

Tabel 33. Tabulasi Silang Hubungan Pengetahuan Tentang Osteoporosis Dengan<br />

Tablet Tablet Kalsium Pada Wanita Preme<strong>no</strong>pouse di Desa Tanjek Wagir<br />

Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo Tahun 2010<br />

Konsumsi Tablet Kalsium<br />

No. Pengetahuan<br />

Tidak<br />

Mengkonsumsi<br />

Total<br />

Mengkonsumsi<br />

f (%) f (%) f (%)<br />

1. Baik 9 8 2 1,8 11 9,8<br />

2. Cukup 42 37,5 24 21,4 66 58,9<br />

3. Kurang 29 25,9 6 5,4 35 31,3<br />

Jumlah 80 71,4 32 28,6 112 100<br />

Dari tabel 33 diketahui bahwa dari 112 orang responden, hampir setengahnya<br />

responden berpengetahuan cukup dan tidak mengkonsumsi tablet kalsium yaitu sebanyak<br />

42 responden (37,5%).<br />

Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji wilcoxon sign rank tets<br />

dengan SPSS versi 16 ditemukan tingkat signifikansi sebesar 0,000, dengan n = 112, hasil<br />

Z 2 hitung = - 5.757 dan Z 2 tabel 1.6586. dengan tingkat signifikansi 0,05, maka H1<br />

diterima, artinya terdapat hubungan pengetahuan tentang osteoporosis dengan konsumsi<br />

tablet kalsium pada wanita preme<strong>no</strong>pouse di Desa Tanjek Wagir Kecamatan Krembung<br />

Kabupaten Sidoarjo. Tingkat keeratan hubungan dalam penelitian ini adalah sangat kuat.<br />

E. PEMBAHASAN<br />

1. Pengetahuan Tentang Osteoporosis Pada Wanita Preme<strong>no</strong>pouse<br />

Berdasarkan tabel 31 menunjukkan bahwa pengetahuan wanita preme<strong>no</strong>pouse tentang<br />

osteoporosis dalam kriteria cukup hal tersebut dapat di lihat dari sebagian besar responden yaitu<br />

66 orang responden (58,9%) mempunyai pengetahuan cukup.<br />

50


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Pernyataan tersebut di atas juga ditunjang dari data yang telah di kelompokkan<br />

sebelumnya yang menjelaskan bahwa responden di Desa Tanjek Wagir Kecamatan Krembung<br />

Kabupaten Sidoarjo, mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai osteoporosis, terutama<br />

tentang definisi osteoporosis yaitu dari 112 responden sebagian besar berpendapat bahwa<br />

osteoporosis adalah pengeroposan tulang sehingga lebih cepat rapuh dari pada tulang baru yang<br />

di bentuk.<br />

Menurut Wilson (2005) osteoporosis adalah penurunan masa tulang yang disebabkan<br />

karena peningkatan resorbsi tulang yang melebihi pembentukan tulang. Vitamin D<br />

mempengaruhi deposisi dan absorpsi tulang. Bila tidak ada Vitamin D, PTH tidak akan<br />

menyebabkan absorpsi tulang. Penurunan absorpsi kalsium, , membuat wanita pasca me<strong>no</strong>pause<br />

beresiko mengalami masalah yang berhubungan dengan osteoporosis.<br />

Responden yang mengetahui definisi tentang osteoporosis akan lebih faham dalam hal<br />

ini,sehingga pemahaman tentang osteoporosis erat hubungannya dengan tambahan tablet<br />

kalsium pada wanita preme<strong>no</strong>pouse.<br />

Hasil pengumpulan data dari 66 responden yang berpengetahuan cukup,yaitu sebanyak<br />

62 responden berpendapat bahwa olahraga teratur merupakan upaya pencegahan osteoporosis<br />

yang penting di lakukan setiap hari.<br />

Menurut Rachman (2010) para wanita perlu lebih waspada akan ancaman penyakit<br />

osteoporosis dibandingkan pria. Karena penyakit ini baru muncul setelah usia lanjut, wanita<br />

muda harus sadar dan segera melakukan tindakan pencegahan di mana salah satunya dengan<br />

olah raga Olahraga teratur merupakan upaya pencegahan osteoporosis yang penting, yang selain<br />

baik untuk kesehatan secara keseluruhan, juga mencegah timbulnya penyakit – penyakit kronis<br />

seperti diabetes, jantung, pengendapan pembuluh darah, dan bahkan kanker.<br />

Temuan data di atas menjelaskan bahwa sebagian besar responden yang berpengetahuan<br />

cukup, sebagian besar dari mereka melakukan olahraga secara teratur. Cara ini bermanfaat<br />

untuk mencegah terjadinya tumbuhnya penyakit yang bisa di lakukan sewaktu waktu tanpa<br />

membutuhkan biaya yang banyak karena juga bisa di lakukan di rumah.<br />

Hasil pengumpulan data dipengaruhi oleh pendidikan responden. Hasil tabulasi<br />

menunjukan bahwa hampir setengahnya responden berpendidikan SMU yang berpengetahuan<br />

cukup tentang osteoporosis yaitu sebanyak 29 responden (25,9%).<br />

Nursalam (2001) menjelaskan bahwa makin tinggi pendidikan seseorang, maka makin<br />

mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki.<br />

Pengetahuan tersebut membentuk paradigma pemikiran tersendiri dan menjadikan interaksi<br />

seseorang selalu didasari oleh paradigma pemikiran yang terbentuk. Kepatuhan seseorang untuk<br />

menjalankan suatu kebiasaan disebabkan karena hal ini.<br />

Responden yang berpendidikan tinggi akan mudah dalam menyerap informasi, sehingga<br />

proses penyerapan pengetahuan tentang osteoporosis dalam hubungannya dengan tambahan<br />

tablet kalsium pada wanita preme<strong>no</strong>pouse semakin cepat. Hal ini yang menyebabkan responden<br />

dengan pendidikan tinggi akan mempunyai pengetahuan tentang osteoporosis lebih baik pula.<br />

Hasil pengumpulan data dipengaruhi oleh informasi yang didapat oleh responden. Hasil<br />

tabulasi menunjukkan bahwa setengah responden yang mendapat informasi berpengetahuan<br />

cukup tentang osteoporosis yaitu sebanyak 60 responden (53,6%). Penambahan informasi<br />

merupakan penambahan pengalaman dan pengetahuan yang didapat seseorang<br />

Menurut Notoatmodjo (2002) bahwa pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan<br />

dan pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sehingga<br />

semakin banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang informasi yang didapatkan akan semakin<br />

baik. Pengalaman merupakan guru yang terbaik. Pepatah tersebut dapat diartikan bahwa<br />

pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu suatu cara untuk memperoleh<br />

kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya<br />

untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman<br />

yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa lalu (Yanti, 2009).<br />

51


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Semakin banyak informasi yang didapat oleh responden maka pengalaman yang didapat<br />

mengenai osteoporosis akan semakin bertambah pula. Pengalaman ini yang menjadikan<br />

responden lebih semua hal yang berhubungan dengan osteoporosis karena lebih banyak<br />

berinteraksi dengan pengetahuan tentang osteopororsis.<br />

2. Tambahan Tablet Kalsium Pada Wanita Preme<strong>no</strong>pouse<br />

Berdasarkan tabel 32 dapat diketahui bahwa dari 112 orang responden sebagian besar<br />

tidak mengkonsumsi tablet kalsium yaitu 80 responden (71,4%).<br />

Menurut Tandra (2009) tablet kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat<br />

di dalam tubuh manusia. Kira-kira 99% kalsium terdapat di dalam jaringan keras yaitu pada<br />

tulang dan gigi dan 1% kalsium terdapat pada darah dan jaringan lunak.<br />

Temuan data diatas yang menjelaskan bahwa > 50% responden tidak mengkonsumsi<br />

tablet kalsium di karenakan masalah biaya dan malas untuk minum tablet kalsium setiap hari.Ini<br />

menunjukkan responden berpotensi mengalami gangguan pada otot. Gangguan tersebut adalah<br />

otot akan mengalami gangguan kontraksi, darah akan sulit membeku, rangsangan saraf akan<br />

terganggu dalam penghantarannya, dan sebagainya. Bila makanan yang masuk tidak dapat<br />

memenuhi kebutuhan, tubuh akan mengambilnya dan tulang. Sehingga tulang dapat dikatakan<br />

sebagai depo atau gudang cadangan kalsium tubuh. Jika ini terjadi dalam waktu yang lama, akan<br />

menimbulkan pengeroposan tulang.<br />

3. Pengetahuan Tentang Osteoporosis Dengan Tambahan Tablet Kalsium Pada Wanita<br />

Preme<strong>no</strong>pouse di Desa Tanjek Wagir Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo<br />

Hasil uji analisis dengan menggunakan uji wilcoxon sign rank tets dengan SPSS versi<br />

16 ditemukan tingkat signifikansi sebesar 0,000, dengan n = 112. hasil Z 2 hitung = - 5.757 dan<br />

Z 2 tabel 1.6586. dengan tingkat signifikansi 0,05, maka H1 diterima, artinya terdapat hubungan<br />

pengetahuan tentang osteoporosis dengan konsumsi tablet kalsium pada wanita preme<strong>no</strong>pouse<br />

di Desa Tanjek Wagir Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo. Tingkat keeratan hubungan<br />

dalam penelitian ini adalah sangat kuat.<br />

Menurut Arisman (2007) dengan konsumsi kalsium seperti dalam tablet kalsium dalam<br />

jumlah yang adekuat pada usia me<strong>no</strong>pouse menurunkan risiko terjadinya osteoporosis karena<br />

tulang sangat responsip terhadap penumpukkan mineral pada usia dini. Diet yang kaya akan<br />

kalsium di usia dewasa juga ternyata berperan pada tingginya kepadatan tulang dan/atau<br />

menekan kehilangan massa tulang sampai tingkat minimal.<br />

Sebagian besar responden berpengetahuan baik tentang osteoporosis menyebabkan<br />

sebagian besar dari mereka mengkonsumsi tablet kalsium dengan teratur. Konsumsi tablet<br />

kalsium ini bermanfaat untuk mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan, kerapuhan tulang,<br />

dan kejang otot. Disamping itu keteraturan mengkonsumsi tablet kalsium berguna untuk<br />

membentuk dan mempertahankan tulang dan gigi yang sehat, untuk mencegah osteoporosis,<br />

untuk membantu proses pembekuan darah dan penyembuhan luka, untuk penghantaran<br />

rangsangan saraf, untuk mengatur kontraksi otot, untuk membantu transpor ion melalui<br />

membran sel dan sebagai komponen penting dalam produksi hormon dan enzim yang mengatur<br />

proses pencernaan, energi, dan metabolisme lemak.<br />

Dengan demikian adanya hubungan pengetahuan tentang osteoporosis dengan konsumsi<br />

tablet kalsium menunjukkan bahwa pengetahuan tentang osteoporosis penting bagi wanita<br />

preme<strong>no</strong>pouse karena mampu memberikan stimulus atau rangsangan untuk mengkonsumsi<br />

tablet kalsium secara teratur. Pengetahuan tersebut membentuk kesadaran pada wanita<br />

preme<strong>no</strong>pouse akan pentingnya konsumsi tablet kalsium sehingga memotivasi untuk<br />

mengkonsumsi tablet kalsium secara teratur.<br />

F. PENUTUP<br />

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan pengetahuan tentang osteoporosis<br />

dengan konsumsi tablet kalsium pada wanita preme<strong>no</strong>pouse di Desa Tanjek Wagir Kecamatan<br />

Krembung Kabupaten Sidoarjo. Tingkat keeratan hubungan dalam penelitian ini adalah sangat<br />

kuat.<br />

52


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Puskesmas sebagai tempat masyarakat melakukan pengobatan juga harus meningkatkan<br />

pelayanan pada pasien penderita osteoporosis dan menyediakan pengobatan yang memadai dan<br />

terjangkau serta berperan aktif tentang hal-hal yang berkaitan dengan upaya pencegahan<br />

osteoporosis yaitu tambahan tablet kalsium.<br />

Institusi pendidikan sudah selayaknya selalu menambah koleksi buku-buku, literatur<br />

yang berhubungan dengan Osteoporosis sehingga dapat memudahkan mahasiswa yang sedang<br />

dalam melakukan penelitian. Bagi peneliti selanjutnya di harapkan untuk melakukan penelitian<br />

pada faktof-faktor lain yang dapat mempengaruhi wanita preme<strong>no</strong>pouse tentang osteoporosis<br />

dengan tambahan tablet kalsium.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Arikunto, Suharsini. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.<br />

Arisman. (2004). Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.<br />

Budianto, Didik & Prayoga. (2004). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian. Surabaya : Pusat<br />

Penelitian dan Pengembangan Pelayanan dan Tek<strong>no</strong>logi Kesehatan.<br />

Bobak, Lowderkmilk Jensen. (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas edisi 4. Jakarta:<br />

EGC.<br />

Corwin, Elizabeth. (2000). Patofisiologi. Jakarta: EGC.<br />

Glasier, Anna. (2005). Keluarga Berencana & Kesehatan reproduksi. Jakarta: EGC.<br />

Hecker, Neville. (2001). Esensial Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Hipokrates.<br />

Hidayat, Azis Alimul. (2009). Metode Penelitian Keperawatan & teknik Analisi Data.<br />

Jakarta: Salemba Medika.<br />

Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat.. Jakarta: Rineka Cipta.<br />

Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.<br />

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodelogi Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba<br />

Medika.<br />

Noor. (2010). Me<strong>no</strong>pouse Dan Penangggulangannya. (http://www.Info sehat.com, diakses<br />

tanggal 5 Maret 2010).<br />

Ozzy. (2010). Me<strong>no</strong>pause dan Seksualitas. (http://www.mediastore.com, diakses tanggal 4<br />

Maret 2010).<br />

Purwoastuti, Endang. (2008). Me<strong>no</strong>pouse,Siapa takut?. Yogyakarta: Kanisius.<br />

Sugianto, Mikael. (2010). 36 Jam Belajar Komputer SPSS 16. Jakarta: Gramedia.<br />

Sugiyo<strong>no</strong>. (2007). Statistik Untuk Penelitian. Bandung: IKAPI.<br />

Tandra, Hans. (2009). Osteoporosis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.<br />

Wiknjosastro. (2005). Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwo<strong>no</strong><br />

Prawirohardjo.<br />

Wilson, Lorraine. (2003). Patofisiologi Konsep klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC.<br />

Yatim, Faisal Lubis. (2001). Haid Tidak Wajar dan Me<strong>no</strong>pouse. Jakarta: Pustaka Popular<br />

Obor.<br />

53


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

PERILAKU PANTANG MAKAN PADA IBU NIFAS DI BPS “A” BALONGTANI<br />

JABON SIDOARJO<br />

Farida Yuliani<br />

Dosen Politeknik Kesehatan <strong>Majapahit</strong> Mojokerto<br />

ABSTRAK<br />

Menyusui merupakan suatu proses alamiah, namun sering ibu-ibu tidak berhasil menyusui<br />

atau menghentikan menyusui lebih dini. Banyak alasan yang dikemukakan oleh ibu yang tidak<br />

menyusui anaknya, diantaranya ibu tidak memproduksi ASI yang cukup. Masih banyak ibu<br />

menyusui yang melakukan tarak atau pantangan makanan tertentu karena masih kuatnya tradisi<br />

tersebut di masyarakat. Hal tersebut yang menyebabkan ASI tidak berkualitas dan memenuhi<br />

kebutuhan bayi terutama dalam 6 bulan pertama. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perilaku<br />

pantang makan pada ibu Nifas di BPS ―A‖ Balongtani Jabon Sidoarjo Tahun 2010.<br />

Desain penelitian adalah cross sectional. Populasi dalam penelitian ini seluruh ibu nifas di<br />

BPS ―A‖ Balongtani Jabon Sidoarjo pada bulan Januari – Juni sebanyak 73 orang. Teknik<br />

pengambilan sampel adalah dengan teknik consecutive sampling sebanyak 32 responden. Variabel<br />

penelitian terdiri dari variabel independen yaitu pantang makan pada ibu Nifas dan variabel<br />

dependen yaitu produksi ASI. Pengambilan data dengan menggunakan kuesioner, setelah ditabulasi<br />

data yang ada dianalisa dengan menggunakan Chi Square (χ 2 ).<br />

Penelitian ini diperoleh hasil seluruhnya responden sebanyak 32 orang (100%) adalah ibu<br />

nifas, sebagian besar responden sebanyak 19 orang (59%) melakukan pantang makan, sebagian besar<br />

responden sebanyak 17 orang (53%) produksi ASInya tidak lancar dan ada hubungan pantang makan<br />

pada ibu nifas terhadap produksi ASI dengan menggunakan uji statistik Chi Square (χ 2 ) didapatkan<br />

hasil : χ 2 hitung > χ 2 tabel = 4,394 > 3,84.<br />

Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa pantang makan pada ibu nifas dapat<br />

mempengaruh kelancaran produksi ASI. Sehingga perlunya peningkatan informasi tentang pantang<br />

makan pada ibu nifas, supaya ibu nifas mengetahui pentingnya makanan bergizi untuk kesehatan ibu<br />

dan bayi.<br />

Kata Kunci : pantang makan, produksi ASI<br />

A. PENDAHULUAN<br />

Menyusui merupakan suatu proses alamiah, namun sering ibu-ibu tidak berhasil<br />

menyusui atau menghentikan menyusui lebih dini. Banyak alasan yang dikemukakan oleh ibu<br />

yang tidak menyusui anaknya, diantaranya ibu tidak memproduksi ASI yang cukup (Depkes RI,<br />

2005 : 1). Gizi pada ibu menyusui sangat erat kaitannya dengan produksi air susu, yang sangat<br />

dibutuhkan untuk tumbuh kembang bayi. Ibu menyusui tidaklah terlalu ketat dalam mengatur<br />

nutrisinya, yang terpenting adalah makanan yang menjamin pembentukan air susu yang<br />

berkualitas dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bayinya (Lusa, 2010).<br />

Apabila makanan yang dikonsumsi ibu menyusui memadai, semua vitamin yang diperlukan<br />

bayi selama empat sampai enam bulan pertama kehidupannya dapat terpenuhi dari ASI<br />

(Muchtadi, 2002 : 34). Kenyataanya masih banyak ibu menyusui yang melakukan tarak atau<br />

pantangan makanan tertentu karena masih kuatnya tradisi tersebut di masyarakat. Hal tersebut<br />

yang menyebabkan ASI tidak berkualitas dan memenuhi kebutuhan bayi terutama dalam 6<br />

bulan pertama (Puspayanti, 2010).<br />

WHO menganjurkan pemberian ASI secara eksklusif sampai umur 6 bulan. Dari hasil<br />

penelitian diperoleh data 42,4 % bayi usia 0-6 bulan mendapat ASI Eksklusif, 52 % bayi usia 0 -<br />

< 4 bulan mendapat ASI Eksklusif dan 23,9 % bayi usia 4 - < 6 bulan mendapat ASI Eksklusif<br />

(Depkes RI 2005 : 29).<br />

Cakupan menyusui di Indonesia tahun 2002 bayi yang diberi ASI eksklusif sebesar<br />

39,5% lebih rendah dibandingkan data pada tahun 1997 sebesar 42,4%. Sedangkan pemberian<br />

54


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

susu formula semakin meningkat pada tahun 2002 sebesar 32,45% dibandingkan pada taun 1997<br />

sebesar 10,8% (Depkes RI, 2005 : 31)<br />

Data ibu menyusui di BPS ―A‖ Balongtani Jabon Sidoarjo pada bulan Maret-April 2010<br />

sebanyak 24 orang. Studi pendahuluan yang dilakukan di BPS ―A‖ Balongtani – Jabon -<br />

Sidoarjo pada 7 ibu menyusui sebanyak 5 orang (71%) melakukan tarak makan sehingga<br />

menyebabkan produksi ASI berkurang. Sedangkan 2 orang (29%) tidak melakukan tarak makan<br />

sehingga produksi ASI berlebih.<br />

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak dapat menyusui bayi. Salah satunya<br />

adalah karena air susu tidak keluar. Penyebab air susu tidak keluar adalah stress mental,<br />

penyakit ibu termasuk kekurangan gizi pada ibu (malnutrisi) (Arisman, 2004 : 33). Makanan<br />

yang ditabukan bagi ibu menyusui menurut tradisi orang Jawa diantaranya adalah keluwih,<br />

nangka, labu kuning, makanan panas, makanan pedas, telur, ikan dan labu. Alasan yang<br />

diberikan oleh responden tidak ada yang logis. Sebagai contoh daun keluwih ditabukan dengan<br />

banyak alasan misalnya menyebabkan cepat punya anak lagi, air susu kurang, perut kembung,<br />

bicara tidak lancar. Telur dan ikan yang dianggap menyebabkan air susu ibu menjadi amis dan<br />

bayi bisa menderita penyakit gatal-gatal (Sukandar, 2006). Padahal ibu menyusui membutuhkan<br />

2700-2900 kalori dalam bentuk asupan makanan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak,<br />

vitamin dan mineral. Gizi selama menyusui tidak saja akan berpengaruh terhadap kesehatan ibu<br />

yang baru melahirkan, tetapi juga pada bayinya. Ibu menyusui perlu mendapatkan gizi untuk<br />

memproduksi ASI. Oleh karena itu bila asupan gizi ibu kurang, maka kebutuhan gizi yang<br />

diperlukan untuk memproduksi ASI akan diambil dari tubuh ibu. Jika keadaan ini dibiarkan<br />

berlarut-larut, maka selain kondisi tubuh ibu akan terganggu, produksi ASI akan berkurang,<br />

kualitasnya menjadi menurun dan jangka waktu menyusui relatif singkat (Kasdu, 2007 : 138).<br />

Dalam kondisi <strong>no</strong>rmal ASI diproduksi sebanyak 100 cc pada hari ke 2 kemudian produksi<br />

meningkat sampai 500 cc pada minggu ke 2. Produksi ASI menjadi konstan setelah hari<br />

kesepuluh sampai keempatbelas. Keadaan kurang gizi pada ibu menyusui menyebabkan<br />

produksi ASI menjadi lebih sedikit yaitu 500-700 cc pada 6 bulan pertama, 400-600 cc pada 6<br />

bulan kedua dan 300-500 cc pada tahun kedua usia anak (Depkes RI, 2005 : 8). Kekurangan<br />

asupan nutrisi pada ibu menyusui menimbulkan gangguan kesehatan pada ibu dan bayinya.<br />

Gangguan pada bayi meliputi proses tumbuh kembang anak, bayi mudah sakit, mudah terkena<br />

infeksi. Kekurangan zat-zat esensial menimbulkan gangguan pada mata ataupun tulang (Lusa,<br />

2010). Pengetahuan ibu tentang nutrisi dapat diperoleh melalui penyuluhan-penyuluhan oleh<br />

tenaga kesehatan, media cetak maupun media elektronik. Pengetahuan nutrisi yang baik bagi ibu<br />

menyusui diperlukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ASI. Menurut Sukarni (2000 :<br />

19) pengetahuan dan pendidikan formal serta keikutsertaan dalam pendidikan <strong>no</strong>n formal dari<br />

orang tua dan anak-anak sangat penting dalam menentukan status kesehatan, fertilitas dan status<br />

gizi keluarga. Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti perilaku<br />

pantang makan pada ibu Nifas di BPS ―A‖ Balongtani Jabon Sidoarjo.<br />

B. TINJAUAN PUSTAKA<br />

1. Konsep Nutrisi Ibu Nifas<br />

a. Pengertian<br />

Nutrisi adalah makanan yang mengandung semua unsur yang diperlukan sehingga<br />

dapat memenuhi kebutuhan pokok, untuk mengganti bagian yang rusak, atau untuk<br />

kebutuhan energi dalam aktifitas sehari-hari (Paath, 2005 : 4).<br />

Nutrisi atau Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang<br />

dikonsumsinya secara <strong>no</strong>rmal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan,<br />

metabolisme, pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan,<br />

pertumbuhan dan fungsi <strong>no</strong>rmal dari organ-organ serta menghasilkan energi (Supariasa,<br />

2002 : 17-18).<br />

55


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

b. Manfaat<br />

Ibu nifas memerlukan nutrisi untuk menghasilkan air susu ibu (ASI) serta untuk<br />

memelihara kesehatan tubuh ibu (Depkes RI, 2000 : 63).<br />

Pada masa nifas ibu perlu memulihkan kondisi kesehatan untuk memproduksi air<br />

susu ibu (ASI), meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit, serta menyempurnakan<br />

pertumbuhan jaringan otak bayi (Depkes RI, 2002 : 5).<br />

c. Kebutuhan nutrisi ibu nifas<br />

1). Kalori<br />

Kebutuhan kalori setelah melahirkan proporsional dengan jumlah air susu ibu<br />

yang dihasilkan dan lebih tinggi dibanding selama hamil apalagi nutrisi yang<br />

dibutuhkan untuk mengganti memulihkan kesehatan tubuh. Rata - rata kandungan<br />

kalori ASI yang dihasilkan oleh ibu dengan nutrisi baik adalah 70 kal/100 ml. Ratarata<br />

ibu menggunakan kira – kira 640 kal/hari untuk 6 bulan pertama dan 510 kal/hari<br />

selama kedua untuk menghasilkan jumlah susu <strong>no</strong>rmal. Ibu yang bertambah berat<br />

badannya secara tepat selama hamil harus meningkatkan asupan kalorinya 500 kal/hari<br />

baik selama 6 bulan pertama dan kedua saat menyusui. Karena lebih dari 600 kal/hari<br />

selama aktual digunakan untuk menghasilkan susu dan proses pemulihan. Kesehatan<br />

tubuh. Setiap hari asupan minimum 1800 kal dianjurkan untuk mendapatkan jumlah<br />

nutrisi esensial adekuat. Rata–rata ibu harus mengkonsumsi 2300 sampai 2700 kal/hari<br />

ketika menyusui (Arisman, 2004 : 37).<br />

Fungsi karbohidrat adalah :<br />

a) Karbohidrat sebagai sumber energi utama<br />

Sel-sel tubuh membutuhkan ketersediaan energi siap pakai yang konstan (selalu<br />

ada), terutama dalam bentuk glukosa serta hasil antaranya. Lemak juga<br />

merupakan sumber energi, tetapi cadangan lemaknya tidak dapat segera<br />

dipergunakan, sebagai sumber energi siap pakai 1 gram karbohidrat menyediakan<br />

4 kalori.<br />

b) Pengatur metabolisme lemak<br />

Karbohidrat mencegah terjadinya oksidasi lemak yang tidak sempurna. Bila<br />

energi tidak cukup tersedia maka akan mengakibatkan terjadinya peningkatan<br />

katabolisme lemak, akibatnya terjadi penumpukan/akumulasi badan-badan keton,<br />

dan terjadi keasaman pada darah (asidosis). Dalam hal ini karbohidrat berfungsi<br />

sebagai ―fat sparer‖<br />

c) Penghemat fungsi protein<br />

Energi merupakan kebutuhan utama bagi tubuh, sehingga bila karbohidrat yang<br />

berasal dari makanan tidk mencukupi, maka protein akan dirombak untuk<br />

menghasilkan panas dan sejumlah energi. Padahal protein mempunyai fungsi<br />

yang lebih utama yaitu sebagai zat pembangun dan memperbaiki jaringan. Agar<br />

dapat dipergunakan sesuai fungsinya maka kebutuhan karbohidrat harus dipenuhi<br />

dalam susunan menu sehari-hari.<br />

d) Karbohidrat sebagai sumber energi utama bagi otak dan susunan syaraf<br />

Otak dan susunan syaraf hanya dapat mempergunakan glukosa sebagai energi,<br />

sehingga ketersediaan glukosa yang konstan harus tetap dijaga bagi kesehatan<br />

jaringan tubuh/organ tersebut.<br />

e) Simpanan karbohidrat sebagai glikogen<br />

Tidak seperti halnya dengan simpanan lemak dalam jaringan adipose, glikogen<br />

menyediakan energi siap pakai.<br />

f) Pengatur peristaltik usus dan pemberi muatan pada sisa makanan<br />

Sellusosa (serat) adalah polisakarida yang tidak dapat dicerna, tetapi mempunyai<br />

fungsi yang penting bagi kesehatan yaitu mengatur peristaltic usus<br />

(memungkinkan terjadinya gerakan usus yang teratir) dan mencegah terjadinya<br />

56


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

konstipasi (sulit buang air besar), karena serat memberi muatan/pemberat pada<br />

sisa-sisa makanan pada bagian usus besar (Suhardjo, 2000 : 24-27).<br />

2). Protein<br />

Ibu memerluka 20 gram protein diatas kebutuhan <strong>no</strong>rmal ketika menyusui.<br />

Peningkatan kebutuhan ini ditujukan bukan hanya transformasi menjadi protein susu<br />

tetapi juga untuk sintesis hormon yang memproduksi (prolaktin) serta yang<br />

mengeluarkan ASI (oksitosin) (Arisman, 2004 : 39). Sumber protein hewani adalah<br />

telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sumber protein nabati adalah tempe,<br />

tahu, serta kacang-kacangan (Sunita, 2005 : 100).<br />

Fungsi Protein :<br />

a) Pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh<br />

Sebagai pembangun tubuh (body building), protein berfungsi :<br />

(1) Bagian utama dari sel inti (nucleas) dan protoplasma<br />

(2) Bagian padat dari jaringan dalam tubuh misal : otot, glandula, sel-sel/butir<br />

darah<br />

(3) Penunjang dari matriks tulang, gigi, rambut<br />

(4) Bagian dari enzim<br />

(5) Bagian dari hormon<br />

(6) Bagian dari cairan yang disekresikan kelenjar kecuali empedu, keringat dan<br />

urine (tidak mengandung protein)<br />

(7) Bagian dari antibody (zat kekebalan tubuh = globulin), berarti protein<br />

penting peranannya dalam menjaga kekebalan tubuh terhadap infeksi<br />

b) Protein sebagai pengatur<br />

Protein bersama mineral dan vitamin membentuk enzim yang berperanan besar<br />

untuk kelangsungan proses pencernaan dalam tubuh. Protein membantu mengatur<br />

keluar masuknya cairan, nutrisi dan metabolit dari jaringan masuk ke saluran<br />

darah.<br />

c) Protein sebagai bahan bakar<br />

Karena komposisi protein mengandung unsur karbon, maka protein dapat<br />

berfungsi sebagai bahan bakar sumber energi. Bila tubuh tidak menerima<br />

karbohidrat dan lemak dalam jumlah yang cukup memenuhi kebutuhan tubuh,<br />

maka untuk menyediakan energi bagi kelangsungan aktifitas tubuh, protein<br />

dibakar sebagai sumber energi. Dalam keadaan ini, keperluan tubuh akan energi<br />

akan diutamakan sehingga sebagian protein tidak dapat dipergunakan untuk<br />

membentuk jaringan (Suhardjo, 2000 : 33-35).<br />

3). Lemak<br />

Lemak adalah zat makanan penting yang mengandung energi lebih efektif<br />

dibanding karbohidrat dan protein (Winar<strong>no</strong>, 2002 : 84).<br />

Fungsi fisiologis lemak yang terutama adalah :<br />

a) Menghasilkan energi yang dibutuhkan tubuh<br />

Sebagai sumber energi yang pekat, 1 gram lemak memberikan 9 kalori. Bilamana<br />

cadangan lemak terjadi berlebihan (melebihi 20% dari berat badan <strong>no</strong>rmal), maka<br />

orang tersebut mempunyai tendensi mengalami kegemukan (obesitas) yang<br />

cenderung mengalami gangguan kesehatan<br />

b) Mempunyai fungsi pembentuk/struktur tubuh<br />

Cadangan lemak yang <strong>no</strong>rmal terdapat di bawah kulit dan sekeliling organ tubuh,<br />

berfungsi sebagai bantalan pelindung dan menunjang letak organ tubuh, selain itu<br />

melindungi kehilangan panas tubuh melalui kulit berarti juga mengatur suhu<br />

tubuh.<br />

c) Protein-Sparer<br />

57


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Bila energi cukup tersedia dari lemak dan karbohidrat, maka protein dapat<br />

dihemat agar dipergunakan tubuh sesuai fungsinya sebagai pembangun dan<br />

memperbaiki jaringan yang sudah rusak (Suhardjo, 2000 : 44).<br />

Defisiensi lemak dalam tubuh akan mengurangi ketersediaan energi dan<br />

mengakibatkan katabolisme/ perombakan protein. Cadangan lemak akan semakin<br />

berkurang dan lambat laun akan terjadi penurunan berat badan.<br />

4). Cairan<br />

Ibu nifas membutuhkan lebih banyak cairan, oleh karena itu dianjurkan untuk<br />

minum 8-12 gelas sehari. Yang bisa didapat dari air putih, susu (untuk tambahan<br />

protein) dan sari buah (untuk tambahan vitamin C) (Poltekkes Malang, 2002 : 4).<br />

5). Vitamin dan mineral<br />

Kebutuhan vitamin dan mineral selama nifas lebih tinggi dari pada selama<br />

hamil. Nutrien yang paling mungkin dikonsumsi dalam jumlah tidak adekuat oleh ibu<br />

menyusui adalah kalsium, magnesium, zink, vitamin B6 dan folat. Multivitamin dan<br />

suplemen mineral tidak dianjurkan untuk penggunaan rutin. Namun suplemen khusus<br />

dapat diindikasikan ketika asupan ibu tidak adekuat, misalnya :<br />

a) Multivitamin seimbang dan suplemen mineral diperlukan ibu yang<br />

mengkonsumsi makanan kurang dari 1800 kal/hari.<br />

b) Suplemen kalsium diindikasikan untuk ibu yang intoleran laktosa atau yang tidak<br />

mengkonsumsi susu cukup dan makanan kaya kalsium lain.<br />

c) Suplemen vitamin D mungkin perlu untuk ibu yang menghindari makanan<br />

diperkaya vitamin D (misal susu dan sereal) dan sedikit terpaan matahari.<br />

d) Suplemen vitamin B12 perlu untuk vegetarian ketat bila mereka tidak<br />

mengkonsumsi produksi tanaman diperkaya vitamin B12 secara teratur.<br />

e) Suplemen zat besi mungkin diperlukan untuk mengganti defisit zat besi selama<br />

hamil dan kehilangan darah selama melahirkan (Paath, 2005 : 40).<br />

Tabel 34. Kebutuhan Makanan Sehari<br />

Jenis Makanan Kebutuhan Zat Gizi & Komponen Makanan<br />

Makanan Pokok, yaitu 2 piring nasi @200- Karbohidrat, protein, vitamin B1<br />

beras dan penggantinya 250 gr<br />

80 gr roti<br />

100 gr kentang<br />

dan serat<br />

Protein Hewani, yaitu 90 gr daging/ikan Protein, lemak, vitamin (B, B3 dan<br />

Daging/ikan/telur,ayam 60 butir telur B12), zat besi, fosfor, seng<br />

Protein nabati, yaitu 60 gr kacang- Protein, lemak, vitamin B2, B3, zat<br />

kacang-kacangan, kacangan/ 100 gr besi, fosfor, seng dan kalsium<br />

tempe dan tahu tempe/ 100 gr tahu<br />

Sayur-Sayuran 3 mangkok Karbohidrat, provitamin A, vitamin<br />

Bvitamin C, asam folat, zat besi,<br />

kalsium, serat dan air<br />

Buah-buahan 2 porsi @ 100-150 gr Karbohidrat, provitamin A, vitamin<br />

C, asam folat, serat dan air<br />

Mentega/margarine/ 2 sendok teh Lemak, vitamin A, D dan E<br />

minyak<br />

mentega/margarine<br />

2 sendok makan<br />

minyak<br />

Cairan (air putih, susu, -12 gelas<br />

Karbohidrat, lemak, protein,<br />

sari buah)<br />

vitamin A, B2, B12, D,<br />

Magnesium, kalsium, fosfor dan air<br />

Sumber : Kasdu, 2007 : 93<br />

58


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Tabel 35. Contoh Pola Menu<br />

Pukul 10.00 dan<br />

Pagi<br />

Pukul 16.00<br />

Nasi atau Makanan selingan:<br />

penukarnya 1 1 buah pisang atau<br />

piring<br />

1 mangkuk bubur<br />

kacang hijau atau<br />

biskuit susu 1 gelas<br />

Lauk<br />

hewani/nabati 1<br />

porsi<br />

Sayur 1 porsi<br />

Sumber : Path (2005 : 86)<br />

59<br />

Nasi atau<br />

penukarnya 2<br />

piring<br />

Siang Malam<br />

Lauk hewani/nabati<br />

1 porsi<br />

Sayur 1 porsi<br />

Buah 1-2 porsi<br />

Nasi atau<br />

penukarnya 2<br />

piring<br />

Lauk<br />

hewani/nabati 1<br />

porsi<br />

Sayur 1 porsi<br />

Buah 1-2 porsi<br />

2. Konsep Masa Nifas<br />

a. Pengertian<br />

Masa nifas atau puerperium dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alatalat<br />

kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung kira-kira 6<br />

minggu (Winkjosastro, 2005 : 122)<br />

b. Perubahan Fisiologis Pada Masa Nifas<br />

1). Perubahan Fisik<br />

a) Oedema<br />

Selama hamil tubuh mengalami peningkatan sejumlah lemak dan juga cairan. Itu<br />

sebabnya mengapa ketika hamil, jari-jari tangan maupun kaki membengkak<br />

(oedema) sampai melahirkan hal ini masih juga belum pulih. Pembengkakan ini<br />

akan berlangsung selama beberapa hari, dan akan menurun secara bertahap<br />

dengan pengeluaran air seni (Kasdu, 2007 : 126)<br />

b) Dinding Perut<br />

Perubahan fisik lainnya yang tampak nyata setelah bayi sudah lahir adalah perut<br />

menjadi tampak kempis kembali. Sekalipun bentuk perut belum kembali seperti<br />

sebelum hamil, terutama dekat pusat masih terlihat me<strong>no</strong>njol agak besar, hal ini<br />

karena bentuk rahim yang belum seluruhnya pulih ke bentuk semula (Kasdu,<br />

2007 : 126)<br />

c) Perubahan Kulit<br />

Pada waktu hamil terjadi pigmentasi kulit pada beberapa tempat karena proses<br />

hormonal. Setelah persalinan hormonal berkurang dan hiperpigmentasi<br />

menghilang. Pada dinding perut akan menjadi putih mengkilap yaitu ―strie<br />

albikan‖.<br />

d) Buang Air Besar dan Berkemih<br />

Pada persalinan <strong>no</strong>rmal masalah berkemih dan buang air besar tidak mengalami<br />

hambatan apapun. Buang air besar akan biasa setelah sehari, kecuali ibu takut<br />

pada luka episiotomi. Bila sampai tiga hari belum buang air besar sebaiknya<br />

dilakukan ―klisma‖ untuk merangsang buang air besar sehingga tidak mengalami<br />

sembelit dan menyebabkan jahitan terbuka. Tentang berkemih, sebagian besar<br />

mengalami pertambahan air seni, karena terjadi pengeluaran air tubuh yang<br />

berlebih, yang disebabkan oleh pengenceran (hemodilusi) darah pada waktu<br />

hamil.


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

2). In<strong>vol</strong>usi Dan Pengeluaran Lochea<br />

Yaitu perubahan yang merupakan proses kembalinya alat kandungan/ uterus dan jalan<br />

kelahiran setelah bayi dilahirkan hingga mencapai keadaan sebelum hamil.selama<br />

masa ini in<strong>vol</strong>usi meliputi: korpus uteri, tempat inplantasi plasenta,servik, ligament.<br />

a) Uterus<br />

Segera setelah bayi lahir TFU tepat pada pusat, setelah pelepasan dan lahirnya<br />

plasenta TFU berada pada 2 jari di bawah pusat.<br />

b) Tempat inplantasi plasenta<br />

Akan mengecil karena kontraksi dan me<strong>no</strong>njol ke kavum uteri, sesudah 2 minggu<br />

menjadi 3-4 cm.Pada minggu ke 6 menjadi 2,4 cm dan akhirnya pulih.Proses<br />

penyembuhan bekas implantasi plasenta akan meninggalkan luka dan pembuluh<br />

darah pecah sehingga keluar cairan pervaginam yang disebut lochea.<br />

c) Serviks/vagina<br />

Bentuk serviks setelah persalinan agak menganga seperti corong berwarna merah<br />

kehitaman, konsistensi lunak, kadang terdapat perlukaan kecil, setelah 2 jam<br />

dapat dilalui 2-3 jari dan setelah 7 hari hanya dapat dilalui 1 jari.<br />

d) Ligamen<br />

Ligamen fasia dan diafragma pelvik setelah bayi lahir, berangsur-angsur menjadi<br />

ciut dan pulih kembali.<br />

Ligamen rotundum menjadi kendor. Jika ada luka-luka pada jalan lahir tidak<br />

disertai infeksi maka akan sembuh dalam 6-7 hari. Rasa sakit after pain atau<br />

merian (mules-mules), disebabkan kontraksi rahim, biasanya berlangsung 2-4 hari<br />

pasca persalinan, perlu diberikan pengertian pada Ibu mengenai hal ini dan bila<br />

terlalu mengganggu dapat diberikan obat-obat anti sakit dan anti mules<br />

3). Laktasi<br />

Sejak kehamilan muda, sudah terdapat persiapan-persiapan pada kelenjar mammae<br />

untuk menghadapi masa laktasi. Perubahan tersebut berupa:<br />

a) Proliferasi jaringan, terutama kelenjar-kelenjar dan alveoulus mammae dan<br />

lemak.<br />

b) Pada duktus laktiferus terdapat cairan yang kadang-kadang dapat dikeluarkan,<br />

berwarna kuning.<br />

c) Hipervaskularisasi pada permukaan dan bagian dalam, dimana vena-vena<br />

berdilatasi sehingga nampak jelas..<br />

d) Setelah persalinan, pengaruh supresi estrogen dan progesteron hilang terhadap<br />

hipofise. Timbul pengaruh laktogenik hormon atau (LHI atau prolaktin yang akan<br />

merangsang air susu) disamping itu pengaruh oksitosin menyebabkan myoepitel<br />

kelenjar susu berkontraksi sehingga air susu keluar, produksi akan banyak<br />

sesudah 2-3 hari post partum. Bila bayi diletakkan, hisapan pada puting susu<br />

merupakan rangsangan psikis yang secara reflektoris mengakibatkan oksitosin<br />

dikeluarkan oleh Hypofisis. Produksi air susu atau ASI akan lebih banyak,<br />

sehingga efek positif berupa in<strong>vol</strong>usi uteri akan lebih sempurna. Keuntungan<br />

lainnya disamping merupakan makanan utama bayi dengan menyusu bayi sendiri<br />

akan terbentuk kasih sayang antara Ibu dan anak (Wiknjosastro, 2005 : 239-240)<br />

4). Perubahan Psikologi pada nifas<br />

Dalam menjalani adaptasi setelah melahirkan, Ibu akan melalui fase-fase sebagai<br />

berikut :<br />

a) Fase taking in<br />

Fase ini merupakan periode ketergantungan yang berlangsung dari hari ke 1<br />

sampai dengan hari ke 2 setelah melahirkan. Fokus perhatian Ibu terutama pada<br />

dirinya sendiri. Pengalaman selama proses kelahiran sering berulang<br />

diceritakannya. Kelelahan membuat Ibu perlu cukup istirahat untuk mencegah<br />

gejala kurang tidur. Seperti mudah tersinggung, hal ini membuat Ibu cenderung<br />

60


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

pasif terhadap lingkungannya. Oleh karena itu perlu dipahami dengan menjaga<br />

komunikasi yang baik. Perlu diperhatikan pemberian ekstra makanan untuk<br />

proses pemulihan, disamping nafsu makan Ibu memang sedang meningkat.<br />

b) Fase Taking hold<br />

Fase ini berlangsung 3-10 hari setelah melahirkan ibu merasa kuatir akan ketidak<br />

mampuan dan rasa tanggung jawabnya dalam merawat bayi. Perasaannya sangat<br />

sensitif sehingga mudah tersinggung jika komunikasinya kurang hati-hati. Oleh<br />

karena itu perlu dukungan karena pada saat ini kesempatan yang baik untuk<br />

menerima berbagai penyuluhan dalam merawat diri dan bayinya sehingga mudah<br />

tumbuh rasa percaya diri.<br />

c) Fase Letting Go<br />

Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya yang<br />

berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu sudah mulai menyesuaikan diri<br />

dengan ketergantungan bayinya. Keinginan untuk merawat diri dan bayinya<br />

meningkat (Stright, 2005 : 194-195).<br />

c. Perawatan Yang Dilakukan Ibu Menghadapi Perubahan Fisik Pada Masa Nifas<br />

1). Kebersihan Diri<br />

Menjaga kebersihan seluruh anggota tubuh terutama daerah kelamin dengan sabun dan<br />

air. Mengganti pembalut setidaknya dua kali sehari.<br />

2). Istirahat<br />

Beristirahat cukup untuk mencegah kelelahan yang berlebihan. Kurang istirahat akan<br />

mempengaruhi ibu dalam beberapa hal :<br />

a) Mengurangi jumlah ASI yang diproduksi<br />

b) Memperlambat proses in<strong>vol</strong>usi uterus dan memperbanyak perdarahan<br />

c) Menyebabkan depresi dan ketidakmampuan untuk merawat bayi dan dirinya<br />

sendiri.<br />

3). Latihan<br />

Dengan latihan akan mengembalikan otot-otot perut dan panggul kembali <strong>no</strong>rmal,<br />

seperti :<br />

a) Tidur terlentang dengan lengan di samping, menarik otot perut selagi menarik<br />

nafas, tahan nafas kedalam dan angkat dagu ke dada; tahan satu hitungan sampai<br />

5. Rileks dan ulangi sampai 10 kali.<br />

b) Berdiri dengan tungkai dirapatkan. Kencangkan otot-otot, paha dan pinggul dan<br />

tahan sampai 5 hitungan. Kendurkan dan ulangi latihan sebanyak 5 kali.<br />

4). Gizi<br />

a) Mengkonsumsi tambahan 500 kalori tiap hari<br />

(1) Makan dengan diet berimbang untuk mendapatkan protein, mineral dan<br />

vitamin yang cukup<br />

(2) Minum sedikitnya 3 liter air setiap hari (anjurkan ibu untuk minum setiap<br />

kali menyusui)<br />

(3) Pil besi harus diminum untuk menambah zat gizi setidaknya selama 40 hari<br />

pasca bersalin<br />

(4) Minum kapsul vitamin A (200.000 unit) agar bisa memberikan vitamin A<br />

kepada bayinya melalui ASInya.<br />

5). Perawatan payudara<br />

a) Menjaga payudara tetap bersih dan kering<br />

b) Apabila bengkak akibat pembendungan ASI, lakukan :<br />

(1) Pengompresan payudara menggunakan kain basah dan hangat selama 5<br />

menit<br />

(2) Urut payudara dari arah pangkal menuju puting atau gunakan sisir untuk<br />

mengurut payudara dengan arah ―Z‖ menuju puting<br />

61


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

(3) Keluarakan ASI sebagian dari bagian depan puting sehingga puting susu<br />

menjadi lunak<br />

(4) Susukan bayi setiap 2-3 jam sekali (Wiknjosastro, 2005 : 127-130)<br />

3. Konsep ASI<br />

a. Pengertian ASI<br />

Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik dan sempurna untuk bayi, karena<br />

mengandung semua zat gizi sesuai kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi<br />

(Depkes RI, 2003 : 1).<br />

ASI Eksklusif adalah memberikan hanya ASI tanpa memberikan makanan dan<br />

minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, kecuali obat dan vitamin<br />

(Depkes RI, 2003 : 1).<br />

b. Kandungan-Kandungan ASI<br />

ASI juga banyak mengandung mineral dan vitamin seperti A,B1,B2,E dan banyak<br />

mengandung antibody yang baik untuk bayi agar terlindung dari berbagai macam penyakit<br />

(Indiarti, 2008 : 28).<br />

Bayi yang diberi ASI lebih terjaga dari penyakit infeksi karena :<br />

1). ASI lebih bersih; walaupun ASI tidak benar-benar steril karena adanya kemungkinan<br />

kontaminasi bakteri dari puting susu, tetapi bakteri ini tidak mempunyai waktu untuk<br />

berkembangbiak karena ASI langsung diminum oleh bayi<br />

2). Imu<strong>no</strong>globulin, terutama imu<strong>no</strong>globulin A (IgA) terdapat banyak dalam kolostrum<br />

dan lebih sedikit dalam ASI ―putih‖. IgA tidak akan diserap oleh usus, tetapi akan<br />

beraksi dalam usus terhadap bakteri-bakteri tertentu (misalnya eschericia coli) dan<br />

virus-virus.<br />

3). Laktoferin, suatu protein yang mengikat zat besi ditemukan terdapat dalam ASI<br />

4). Lisozim, suatu enzim yang terdapat dalam ASI dengan konsentrasi beberapa ribu kali<br />

lebih tinggi daripada dalam susu sapi. Enzim ini dapat menghancurkan bakteri-bakteri<br />

berbahaya dan juga mempunyai sifat melindungi terhadap serangan bermacam-macam<br />

virus<br />

5). Sel-sel darah putih; selama dua minggu pertama ASI mengandung sampai 4000 sel-sel<br />

darah putih per ml. Sel-sel ini ditemukan mengeluarkan IgA, lisoszim dan<br />

―interferon‖. Interferon adalah suatu senyawa yang dapat menghambat aktivitas<br />

beberapa macam virus<br />

6). Faktor bifidus, suatu karbohidrat yang mengandung nitrogen, diperlukan untuk<br />

pertumbuhan bakteri Lactobacillus bifidus. Dalam usus bayi yang diberi ASI, bakteri<br />

ini mendominasi flora bateri dan memproduksi asam laktat dari laktosa. Asam laktat<br />

ini akan menghambat pertumbuhan bakteri yang berbahaya dan parasit lainnya serta<br />

membuat feses bayi bersifat asam (Muchtadi, 2002 : 35-36).<br />

c. Manfaat ASI<br />

1). Manfaat memberikan ASI untuk ibu<br />

a) Lebih mudah pemberiannya (Eko<strong>no</strong>mi dan Praktis).<br />

b) Mempercepat hubungan kasih sayang antara ibu dan anak.<br />

c) Sebagai metode kontrasepsi alamiah jika menyusui selama 6 bulan pertama.<br />

d) Memulihkan rahim paska melahirkan lebih cepat.<br />

e) Menurunkan berat badan setelah persalinan.<br />

f) Mencegah ibu dari kemungkinan kanker payudara.<br />

g) Menyusui merupakan cara gampang menenangkan dan menidurkan bayi rewel.<br />

h) Mengurangi ketegangan pada payudara (Indiarti, 2008 : 34)<br />

2). Manfaat ASI bagi bayi<br />

a) Mengandung zat-zat gizi berkualitas tinggi berguna untuk kecerdasan<br />

pertumbuhan atau perkembangan anak.<br />

62


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

b) Kolostrum ASI pertama mengandung vitamin A, protein dan zat kekebalan yang<br />

penting bagi bayi.<br />

c) Aman dan bersih.<br />

d) Kolostrum ASI juga mengandung antibody ibu yang melindungi susu bayi dari<br />

penyakit seperti gastroenteritis.<br />

e) Kolostrum dan ASI adalah makanan alamiah untuk bayi manusia. ASI Mengubah<br />

komposisi selama setiap penyusunan dan selama berminggu-minggu untuk<br />

menguraikan dengan kebutuhan bayi yang selalu berubah.<br />

f) Suhu ASI cocok untuk bayi.<br />

g) Mudah dicerna dan tidak pernah basi.<br />

h) ASI mengandung zat antibody sehingga menghindarkan bayi dari alergi diare dan<br />

penyakit infeksi yang lainnya.<br />

i) ASI tidak membutuhkan sterilisasi alat untuk persiapan. Bayi mudah diberi<br />

makan terutama selama bepergian dan malam hari.<br />

j) Bayi yang mendapat ASI jarang kegemukan.<br />

k) Nilai gizi tinggi dan bebas biaya.<br />

l) ASI lebih mudah dicerna bayi ketimbang susu formula dan cenderung reaksi<br />

alergi dengan menyelesaikan diet anda sendiri setiap masalah yang timbul mudah<br />

di ringankan (Indiarti, 2008 : 35)<br />

4. Konsep Laktasi<br />

a. Pengertian laktasi<br />

Laktasi adalah proses produksi, sekresi, dan pengeluaran ASI (Alfarisi, 2008)<br />

b. Pengaruh Hormonal<br />

Proses laktasi tidak terlepas dari pengaruh hormonal, adapun hormon-hormon yang<br />

berperan adalah :<br />

1). Progesteron, berfungsi mempengaruhi pertumbuhan dan ukuran alveoli. Tingkat<br />

progesteron dan estrogen menurun sesaat setelah melahirkan. Hal ini menstimulasi<br />

produksi secara besar-besaran.<br />

2). Estrogen, berfungsi menstimulasi sistem saluran ASI untuk membesar. Tingkat<br />

estrogen menurun saat melahirkan dan tetap rendah untuk beberapa bulan selama tetap<br />

menyusui. Sebaiknya ibu menyusui menghindari KB hormonal berbasis hormon<br />

estrogen, karena dapat mengurangi jumlah produksi ASI.<br />

3). Follicle stimulating hormone (FSH)<br />

4). Luteinizing hormone (LH)<br />

5). Prolaktin, berperan dalam membesarnya alveoil dalam kehamilan.<br />

6). Oksitosin, berfungsi mengencangkan otot halus dalam rahim pada saat melahirkan dan<br />

setelahnya, seperti halnya juga dalam orgasme. Selain itu, pasca melahirkan, oksitosin<br />

juga mengencangkan otot halus di sekitar alveoli untuk memeras ASI menuju saluran<br />

susu. Oksitosin berperan dalam proses turunnya susu let-down/ milk ejection reflex.<br />

7). Human placental lactogen (HPL): Sejak bulan kedua kehamilan, plasenta<br />

mengeluarkan banyak HPL, yang berperan dalam pertumbuhan payudara, puting, dan<br />

areola sebelum melahirkan (Alfarisi, 2008)<br />

c. Proses Pembentukan Laktogen<br />

Proses pembentukan laktogen melalui tahapan-tahapan berikut:<br />

1). Laktogenesis I<br />

Merupakan fase penambahan dan pembesaran lobulus-alveolus. Terjadi pada fase<br />

terakhir kehamilan. Pada fase ini, payudara memproduksi kolostrum, yaitu berupa<br />

cairan kental kekuningan dan tingkat progesteron tinggi sehingga mencegah produksi<br />

ASI. Pengeluaran kolustrum pada saat hamil atau sebelum bayi lahir, tidak menjadikan<br />

masalah medis. Hal ini juga bukan merupakan indikasi sedikit atau banyaknya<br />

produksi ASI.<br />

63


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

2). Laktogenesis II<br />

Pengeluaran plasenta saat melahirkan menyebabkan menurunnya kadar hormon<br />

progesteron, esterogen dan HPL. Akan tetapi kadar hormon prolaktin tetap tinggi. Hal<br />

ini menyebabkan produksi ASI besar-besaran. Apabila payudara dirangsang, level<br />

prolaktin dalam darah meningkat, memuncak dalam periode 45 menit, dan kemudian<br />

kembali ke level sebelum rangsangan tiga jam kemudian. Keluarnya hormon prolaktin<br />

menstimulasi sel di dalam alveoli untuk memproduksi ASI, dan hormon ini juga<br />

keluar dalam ASI itu sendiri. Penelitian mengemukakan bahwa level prolaktin dalam<br />

susu lebih tinggi apabila produksi ASI lebih banyak, yaitu sekitar pukul 2 pagi hingga<br />

6 pagi, namun level prolaktin rendah saat payudara terasa penuh.<br />

Hormon lainnya, seperti insulin, tiroksin, dan kortisol, juga terdapat dalam proses ini,<br />

namun peran hormon tersebut belum diketahui. Penanda biokimiawi mengindikasikan<br />

bahwa proses laktogenesis II dimulai sekitar 30-40 jam setelah melahirkan, tetapi<br />

biasanya para ibu baru merasakan payudara penuh sekitar 50-73 jam (2-3 hari) setelah<br />

melahirkan. Artinya, memang produksi ASI sebenarnya tidak langsung keluar setelah<br />

melahirkan.<br />

Kolostrum dikonsumsi bayi sebelum ASI sebenarnya. Kolostrum mengandung sel<br />

darah putih dan antibodi yang tinggi daripada ASI sebenarnya, khususnya tinggi<br />

dalam level immu<strong>no</strong>globulin A (IgA), yang membantu melapisi usus bayi yang masih<br />

rentan dan mencegah kuman memasuki bayi. IgA ini juga mencegah alergi makanan.<br />

Dalam dua minggu pertama setelah melahirkan, kolostrum pelan pelan hilang dan<br />

tergantikan oleh ASI sebenarnya.<br />

3). Laktogenesis III<br />

Sistem kontrol hormon endokrin mengatur produksi ASI selama kehamilan dan<br />

beberapa hari pertama setelah melahirkan. Ketika produksi ASI mulai stabil, sistem<br />

kontrol autokrin dimulai. Pada tahap ini, apabila ASI banyak dikeluarkan, payudara<br />

akan memproduksi ASI banyak. Penelitian berkesimpulan bahwa apabila payudara<br />

dikosongkan secara menyeluruh juga akan meningkatkan taraf produksi ASI. Dengan<br />

demikian, produksi ASI sangat dipengaruhi seberapa sering dan seberapa baik bayi<br />

menghisap, dan juga seberapa sering payudara dikosongkan (Alfarisi, 2008).<br />

d. Hal-Hal Yang Mempengaruhi Produksi ASI<br />

1). Makanan Ibu<br />

Produksi ASI sangat dipengaruhi oleh asupan makanan ibu, apabila jumlah makanan<br />

ibu cukup mengandung unsur gizi yang diperlukan baik jumlah kalori, protein, lemak<br />

dan vitamin serta mineral maka produksi ASI juga cukup, selain itu ibu dianjurkan<br />

minum lebih banyak kira-kira 8-12 gelas sehari.<br />

2). Ketenangan jiwa dan pikiran<br />

Produksi ASI sangat dipengaruhi oleh faktor kejiwaan, bila ibu dalam keadaan<br />

tertekan, sedih, kurang percaya diri dan berbagai bentuk ketegangan emosional dapat<br />

menurunkan produksi ASI bahkan akan tidak terjadi produksi ASI. Sehingga ibu yang<br />

menyusui sebaiknya jngan terlalu banyak dibebani oleh urusan pekerjaan rumah<br />

tangga, urusan kantor dan lainnya.<br />

3). Penggunaan alat kontrasepsi<br />

Pada ibu yang menyusui bayinya, penggunaan alat kontrasepsi hendaknya<br />

diperhatikan. Pil dengan kombinasi oral (esterogen-progestin)_ dapat mengurangi<br />

produksi ASI<br />

4). Perawatan payudara<br />

Perawatan payudara sebaiknya telah dimulai pada masa kehamilan dan pada saat<br />

menyusui. Untuk ibu yang mempunyai msalah kelainan puting susu misalnya puting<br />

susu masuk kedalam atau datar, perawatannya dilakukan pda kehamilan 3 bulan,<br />

sedangkan apabila tidak ada masalah perawatan dilakukan mulai kehamilan 6 bulan<br />

sampai menyusui (Marimbi, 2010 : 47).<br />

64


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Menurut Proverawati (2009 : 105), faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ASI<br />

antara lain :<br />

1). Frekuensi penyusuan<br />

Produksi ASI akan optimal jika ASI dipompa lebih dari 5 kali per hari selama bulan<br />

pertama setelah melahirkan. Frekuensi penyusuan 10 ± 3 kali perhari selama 2 minggu<br />

pertama setelah melahirkan berhubungan dengan produksi ASI yang cukup.<br />

2). Berat lahir<br />

Berat bayi pada hari kedua dan usia 1 bulan sangat erat berhubungan dengan kekuatan<br />

menghisap yang mengakibatkan perbedaan intik yang besr dibanding bayi yang<br />

mendapat formula. Bayi berat lahir rendah (BBLR) mempunyai kemampuan<br />

menghisap ASI yang lebih rendah dibanding bayi yang berat lahir <strong>no</strong>rmal.<br />

Kemampuan menghisap ASI yang lebih rendah dibanding bayi berat lahir <strong>no</strong>rmal yang<br />

akan mempengaruhi stimulasi hormon prolaktin dan oksitosin dalam memproduksi<br />

ASI<br />

3). Umur kehamilan saat melahirkan<br />

Umur kehamilan dan berat lahir mempengaruhi intake ASI. Hal ini disebabkan bayi<br />

yang lahir prematus sangat lemah dan tidak mampu menghisap secara efektif sehingga<br />

produksi ASI lebih rendah darpada bayi yang lahir tidak prematur.<br />

4). Umur dan paritas<br />

Umur dan paritas tidak berhubungan atau kecil hubungannya dengan produksi ASI<br />

yang diukur sebagai intik bayi terhadap ASI. Hal ini karena pemenuhan gizi bayi dan<br />

ibu setiap orang berbeda-beda. Apabila seorang ibu dengan pola hidup dan kebiasaan<br />

makan yang bergizi walaupun umurnya bisa dikatakan tua maka akan menghasilkan<br />

ASI yang bagus juga dibanding wanita muda yang menyusui tanpa diimbangi dengan<br />

sistem kebiasaan makan yang baik.<br />

5). Stress dan penyakit akut<br />

Ibu yang cemas dan stress dapat mengganggu laktasi sehingga mempengaruhi<br />

produksi ASI karena menghambat pengeluaran ASI. Pengeluaran ASI akan<br />

berlangsung baik pada ibu yang merasa rileks dan nyaman. Penyakit infeksi baik yang<br />

kronik maupun akut yang mengganggu proses laktasi dapat mempengaruhi produksi<br />

ASI<br />

6). Konsumsi rokok<br />

Merokok dapat mengurangi <strong>vol</strong>ume ASI karena akan mengganggu hormon prolaktin<br />

dan oksitosin untu produksi ASI.<br />

7). Konsumsi Alkohol<br />

Meskipun minuman alkohol dosis rendah di satu sisi dapat membuat ibu rileks<br />

sehingga membantu proses pengeluaran ASI namun di sisi lain eta<strong>no</strong>l dapat<br />

menghambat produksi oksitosin.<br />

8). Pil kontrasepsi<br />

Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi estrogen dan progestin berkaitan dengan<br />

penurunan <strong>vol</strong>ume dan durasi ASI, sebalinya bila pil hanya mengandung progestin<br />

maka tidak ada dampak terhapa <strong>vol</strong>ume ASI<br />

e. Cara pengukuran produksi ASI<br />

Menurut Proverawati (2009: 107), Ada dua cara untuk mengukur produksi ASI<br />

1). Penimbangan berat bayi sebelum dan setelah menyusui<br />

2). Pengosongan payudara.<br />

Menurut Nursalam (2008), pengukuran produksi ASI adalah :<br />

1). ASI keluar memancar saat aerola dipencet<br />

2). ASI keluar memancar tanpa memencet payudara<br />

3). ASI keluar memancar dalam 72 jam pertama pasca persalinan<br />

4). Payudara terasa penuh atau tegang sebelum menyusui<br />

5). Payudara terasa kosong setelah menyusui<br />

65


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

6). ASI keluar segera setelah bayi mulai menyusu<br />

7). Tidak terjadi rasa nyeri/lecet dan bendungan dalam payudara<br />

8). 24 jam pasca persalinan ASI telah keluar<br />

9). Masih menetes setelah menyusui<br />

10). Payudara terasa lunak/lentur setelah menyusui<br />

11). Setelah menyusu bayi akan tertidur/ tenang selama 3-4 jam<br />

12). Bayi buang air kencing sekitar 8 kali sehari dan warna air kencing kuning pucat seperti<br />

jerami<br />

13). Berat badan bayi naik antara 140 gram-200 gram dalam seminggu<br />

f. Upaya Memperbanyak ASI<br />

Menurut Sulistyawati (2009 : 22), upaya memperbanyak ASI yaitu dengan cara :<br />

1). Menyusui bayi setiap 2 jam siang dan malam dengan lama menyusui 10-15 menit di<br />

setiap payudara<br />

2). Bangunkan bayi, lepaskan baju yang menyebabkan rasa gerah dan duduklah selama<br />

menyusui<br />

3). Pastikan bayi menyusui dalam posisi menempel yang baik dan dengarkan suara<br />

menelan yang aktif<br />

4). Susui bayi di tempat yang tenang dan nyaman dan minumlah setiap habis menyusui<br />

5). Tidurlah bersebelahan dengan bayi<br />

6). Ibu harus meningkatkan istirahat dan minum<br />

g. Tanda Bayi Cukup ASI<br />

Menurut Sulistyawati (2009 : 23), tanda-tanda bayi cukup ASI antara lain :<br />

1). Bayi kencing setidaknya 6 kali dalam sehari dan warnanya jernih sampai kuning muda<br />

2). Bayi sering buang air besar berwarna kekuningan<br />

3). Bayi tampak puas, sewaktu merasa lapar, bangun dan tidur cukup. Bayi setidaknya<br />

menyusu 10-12 kali dalam 24 jam<br />

4). Payudara ibu terasa lembut dan kosong setiap selesai menyusui<br />

5). Ibu dapat merasakan geli karena aliran ASI setiap kali bayi mulai menyusu<br />

6). Bayi bertambah berat badannya.<br />

5. Konsep Pantang Makan Pada Ibu Nifas<br />

a. Buah<br />

Buah yang harus dijauhi ibu setelah melahirkan adalah pepaya, durian, pisang, dan<br />

terung. Karena ragam makanan tadi bisa dikhawatirkan bisa mengganggu organ vital kaum<br />

Hawa karena dianggap organ vital menjadi basah, sehingga mengganggu hubungan suami<br />

istri . Secara medis, tak benar anggapan untuk pantang pepaya dan pisang yang justru amat<br />

dianjurkan karena tergolong sumber makanan yang banyak mengandung serat untuk<br />

memudahkan BAB. Sedangkan durian memang tak dianjurkan karena kandungan<br />

kolesterolnya tinggi, selain memicu pembentukan gas yang bisa mengganggu pencernaan<br />

(Puspayanti, 2010).<br />

b. Makanan santan dan pedas<br />

Makanan yang bersantan dan pedas pantang untuk ibu menyusui karena<br />

pencernaannya bakal terganggu yang bisa berpengaruh pada bayinya (Puspayanti, 2010).<br />

Sudah jadi kebiasaan sebagian penduduk Indonesia makan tanpa sambal tidak<br />

nikmat rasanya, pada saat sedang hamil atau menyusui tidak boleh merasakannya. Sebab<br />

perutnya berasa panas dan air susunya pedas rasanya sehingga bayinya bisa mencret.<br />

Sebenarnya makanan yang masuk kedalam perut sang ibu pasti mengalami proses dahulu,<br />

yang mengandung sari makanan yang berguna dan yang jadi sampah pasti terpisah. Ketika<br />

makanan tersebut diproses menjadiASI, zat-zat yang terkandung di dalamnya memang<br />

sudah siap pakai untuk diberikan. Jadi sebaiknya memang makanan yang di makan tidak<br />

terlalu banyak mengandung rasa tersebut karena dikhawatirkan bila rasa pedas terlalu<br />

66


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

banyak akan menyebabkan ibu diare yang berakibat jadi dehidrasi dan mengganggu proses<br />

menyusui pada sang anak (Anaqita, 2010).<br />

c. Ikan dan Telur<br />

Begitu juga ikan dan telur asin serta makanan lain yang berbau amis karena<br />

dikhawatirkan bisa menyebabkan bau anyir pada ASI yang membuat bayi muntah saat<br />

disusui. Selain juga, proses penyembuhan luka-luka di jalan lahir akan lebih lambat. Ikan<br />

dan telur juga merupakan salah satu sumber protein hewani yang baik dan amat dibutuhkan<br />

tubuh (Puspayanti, 2010).<br />

Banyak mengkonsumsi ikan bisa membuat rasa ASI jadi bau amis atau anyir.<br />

Sebenarnya kandungan zat gizi yang terkandung dalam ikan dan sari laut itu banyak<br />

mengandung asam lemak omega 3 yang bermanfaat bagi tubuh, misalkan untuk<br />

mengontrol kadar kolesterol darah, mencegah jantung koroner, penyempitan dan<br />

pengerasan pembuluh darah. Pastikan ikan atau sari laut yang akan kita konsumsi masih<br />

dalam keadaan segar, sebab bila kurang segar akan memicu reaksi alergi. Bila anda<br />

penggemar ikan mentah masakan jepang sebaiknya tidak mengkonsumsi dalam jumlah<br />

banyak dikhawatirkan daging tersebut masih mengandung bakteri parasit yang akan<br />

membahayakan (Anaqita, 2010).<br />

d. Minuman dingin/es<br />

Mitos bila minum air es atau minuman dingin lainnya, bisa membuat ASI jadi<br />

dingin dan mengakibatkan bayi jadi pilek. Sebenarnya makanan yang masuk ke dalam<br />

tubuh apalagi ASI mengalami proses yang sempurna. ASI yang tersimpan dalam payudara<br />

sang ibu tetap hangat dengan suhu 37 derajat celcius. Sebaiknya bila ingin mengkonsumsi<br />

es dalam batas yang wajar saja, dikhawatirkan bisa memicu alergi batuk dan pilek. Apalagi<br />

bila menambahkan softdrink dan sirop bisa menyebabkan ibu mengkonsumsi gula yang<br />

berlebihan (Anaqita, 2010).<br />

Ibu menyusui disarankan untuk selalu minum kunyit dan pucuk daun asam setiap<br />

pagi supaya ASI tak berbau amis. Selain tentu saja menjaga kebersihan diri, terutama<br />

daerah payudara dan sekitarnya (Puspayanti, 2010).<br />

Daftar makanan/minuman dibawah ini memang sebaiknya dihindari untuk ibu menyusui :<br />

1). Softdrink<br />

Kadar gula dalam minuman softdrink cukup tinggi, sehingga bisa meningkatkan kadar<br />

gula darah dalam tubuh.<br />

2). Minuman Isotonik<br />

Minuman ini rata-rata mengandung kalsium, natrium, kalium dan zat-zat yang<br />

dibutuhkan dalam tubuh bila sedang melakukan aktivitas berat. Tapi bila dikonsumsi<br />

tidak sedang dalam aktivitas fisik yang berat, kandungan zat-zat dalam minuman<br />

tersebut justru tidak memberikan efek positif.<br />

3). Alkohol<br />

Sudah jelas minuman ini tidak banyak memberikan efek positif pada tubuh.<br />

4). MSG<br />

Toleransi mengkonsumsi makanan yang mengandung MSG hanya 0,3 – 1 gram/hari.<br />

Masalahnya tidak mudah menghitung makanan yang mengandung MSG yang kita<br />

makan setiap harinya. Mengkonsumsi MSG yang berlebihan dapat memicu gangguan<br />

alergi seperti asma, gatal, infeksi kulit, gangguan irama jantung, kelainan saraf tepi<br />

dan gangguan pencernaan.<br />

5). Makanan yang mengandung pengawet/berwarna<br />

Zat-zat berbahaya yang sering digunakan pada makanan antara lain zat pewarna tekstil<br />

seperti rhodamin B, methanyl yellow yang bisa mengakibatkan gangguan fungsi hati<br />

sampai kanker. Pemanis buatan bila dikonsumsi berlebihan dalam jangka panjang bisa<br />

mengakibatkan kenker kandung kemih. Zat pengawet seperti formalin, boraks yang<br />

banyak digunakan untuk bahan pengawet tahu, mie, bakso, zat kloramfenikol untuk<br />

mengawetkan udang bisa menyebabkan kanker (Anaqita, 2010).<br />

67


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

6. Hubungan Pantang Makan Pada Ibu Nifas Terhadap Produksi ASI<br />

Salah satu kepercayaan yang telah menjadi tradisi secara turun temurun adalah ibu nifas<br />

tidak boleh makan yang amis-amis karena akan menyebabkan ASI menjadi amis (Sulistyawati,<br />

2009 : 128). Padahal makanan yang tinggi protein sangat baik untuk membantu ibu dalam<br />

proses penyembuhan dan produksi ASI. Sehingga dalam memberikan pendidikan kesehatan<br />

khususnya tentang gizi, ibu tidak boleh pantang terhadap daging, telur dan ikan (Sulistyawati,<br />

2009 : 136).<br />

Makanan yang ditabukan bagi ibu menyusui menurut tradisi orang Jawa diantaranya<br />

adalah keluwih, nangka, labu kuning, makanan panas, makanan pedas, telur, ikan dan labu.<br />

Alasan yang diberikan oleh responden tidak ada yang logis. Sebagai contoh daun keluwih<br />

ditabukan dengan banyak alasan misalnya menyebabkan cepat punya anak lagi, air susu kurang,<br />

perut kembung, bicara tidak lancar. Telur dan ikan yang dianggap menyebabkan air susu ibu<br />

menjadi amis dan bayi bisa menderita penyakit gatal-gatal (Sukandar, 2006).<br />

Golongan makanan yang harus dijauhi ibu setelah melahirkan adalah pepaya, durian,<br />

pisang, dan terung. Yang juga mesti dipantang adalah makanan yang bersantan dan pedas<br />

karena pencernaannya bakal terganggu yang bisa berpengaruh pada bayinya. Begitu juga ikan<br />

dan telur asin serta makanan lain yang berbau amis karena dikhawatirkan bisa menyebabkan bau<br />

anyir pada ASI yang membuat bayi muntah saat disusui. Selain juga, proses penyembuhan lukaluka<br />

di jalan lahir akan lebih lambat. Secara medis, tak benar anggapan untuk pantang pepaya<br />

dan pisang yang justru amat dianjurkan karena tergolong sumber makanan yang banyak<br />

mengandung serat untuk memudahkan BAB. Ikan dan telur juga merupakan salah satu sumber<br />

protein hewani yang baik dan amat dibutuhkan tubuh. Sedangkan durian memang tak dianjurkan<br />

karena kandungan kolesterolnya tinggi, selain memicu pembentukan gas yang bisa mengganggu<br />

pencernaan. Sebaliknya, amat disarankan untuk selalu minum kunyit dan pucuk daun asam<br />

setiap pagi supaya ASI tak berbau amis. Selain tentu saja menjaga kebersihan diri, terutama<br />

daerah payudara dan sekitarnya (Puspayanti, 2010).<br />

Sudah jadi kebiasaan sebagian penduduk Indonesia makan tanpa sambal tidak nikmat<br />

rasanya, pada saat sedang hamil atau menyusui tidak boleh merasakannya. Sebab perutnya<br />

berasa panas dan air susunya pedas rasanya sehingga bayinya bisa mencret. Sebenarnya<br />

makanan yang masuk kedalam perut sang ibu pasti mengalami proses dahulu, yang mengandung<br />

sari makanan yang berguna dan yang jadi sampah pasti terpisah. Ketika makanan tersebut<br />

diproses menjadiASI, zat-zat yang terkandung di dalamnya memang sudah siap pakai untuk<br />

diberikan. Jadi sebaiknya memang makanan yang di makan tidak terlalu banyak mengandung<br />

rasa tersebut karena dikhawatirkan bila rasa pedas terlalu banyak akan menyebabkan ibu diare<br />

yang berakibat jadi dehidrasi dan mengganggu proses menyusui pada sang anak (Anaqita,<br />

2010).<br />

Produksi ASI sangat dipengaruhi oleh asupan makanan ibu, apabila jumlah makanan ibu<br />

cukup mengandung unsur gizi yang diperlukan baik jumlah kalori, protein, lemak dan vitamin<br />

serta mineral maka produksi ASI juga cukup, selain itu ibu dianjurkan minum lebih banyak kirakira<br />

8-12 gelas sehari (Marimbi, 2010 : 47)<br />

Apabila seorang ibu dengan pola hidup dan kebiasaan makan yang bergizi walaupun<br />

umurnya bisa dikatakan tua maka akan menghasilkan ASI yang bagus juga dibanding wanita<br />

muda yang menyusui tanpa diimbangi dengan sistem kebiasaan makan yang baik (Proverawati,<br />

2009 : 105)<br />

68


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

C. METODE PENELITIAN<br />

1. Desain Penelitian<br />

Dalam penelitian ini adalah analitik retrospektif dengan menggunakan rancang bangun<br />

observasional dan desain yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan cross sectional<br />

yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor efek dengan<br />

cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat/point time<br />

approach (Notoatmojo, 2005 : 146).<br />

2. Populasi, Sampel, Variabel Dan Definisi Operasional<br />

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu nifas di BPS ―A‖ Balongtani Jabon<br />

Sidoarjo pada bulan januari – juni sebanyak 73 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu<br />

nifas di BPS ―A‖ Balongtani Jabon Sidoarjo pada tahun 2010 yang memenuhi kriteria inklusi<br />

dan eksklusi. Jumlah sampel pada penelitian ini pada tanggal 21 Juni – 31 Juni 2010 sebanyak<br />

32 responden. Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah :<br />

a. Kriteria Inklusi<br />

Kriteria inklusi adalah karakteristik sampel yang dapat dimasukkan atau yang layak diteliti,<br />

yaitu :<br />

1) . Ibu nifas<br />

2) . Ibu bisa membaca dan menulis<br />

3) . Ibu yang bersedia menjadi responden<br />

b. Kriteria Eksklusi<br />

Kriteria eksklusi adalah klien yang tidak layak diteliti menjadi sampel, yaitu:<br />

1) . Ibu memberikan susu formula atau makanan pendamping ASI pada bayinya<br />

2) . Terdapat hambatan etis (me<strong>no</strong>lak mengikuti penelitian)<br />

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan <strong>no</strong>n probability sampling<br />

tipe consecutive sampling yaitu pengambilan sampel dengan menetapkan subjek yang<br />

memenuhi kriteria penelitian di masukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu.<br />

Sehingga jumlah klien yang di perlukan terpenuhi (Nursalam, 2008 : 94). Variabel dalam<br />

penelitian ini adalah pantang makan pada ibu nifas. Definisi operasional dari penelitian ini akan<br />

diuraikan dalam tabel berikut<br />

Tabel 36. Definisi Operasional Perilaku Pantang Makan Pada Ibu Nifas Terhadap<br />

Produksi ASI<br />

Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala<br />

Perilaku Ibu setelah melahirkan sampai 40 hari 1. Pantang makan: Nominal<br />

pantang makan yang tidak mengkonsumsi makanan kode 1<br />

pada ibu nifas yang mengandung sumber protein yang 2. Tidak pantang<br />

diperoleh melalui Kuesioner<br />

makan: kode 2<br />

69<br />

Puspayanti, 2010<br />

3. Teknik Analisis Data<br />

Setelah data terkumpul dan diolah kemudian dilakukan tabulasi. Selanjutnya diolah<br />

dengan uji statistik Chi Square karena variabel dependen dan independen dengan skala data<br />

<strong>no</strong>minal dengan rumus :<br />

Rumus = χ 2 2<br />

( fo fe)<br />

= ∑<br />

fe<br />

Keterangan :<br />

f0 : frekuensi yang diperoleh berdasarkan data<br />

fe : frekuensi yang diharapkan<br />

Dengan nilai kemaknaan α = 0,05, artinya bila uji statistik menunjukkan nilai X 2 hitung<br />

> X 2 tabel maka ada hubungan pantang makan pada ibu nifas terhadap produksi ASI. Jika nilai


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

X 2 hitung < X 2 tabel maka tidak ada hubungan pantang makan pada ibu nifas terhadap produksi<br />

ASI Teknik pengolahan data menggunakan rumus X 2 .<br />

D. HASIL PENELITIAN<br />

1. Data Khusus<br />

a. Ibu Nifas<br />

Diagram 1. Ibu Nifas di BPS “A” Balongtani Jabon Sidoarjo Pada Tanggal 21 Juni –<br />

30 Juni 2010.<br />

32 orang (100%)<br />

70<br />

ibu nifas<br />

Berdasarkan Diagram 1 dapat diketahui bahwa seluruhnya responden dalam masa<br />

nifas sebanyak 32 orang (100%).<br />

b. Pantang Makan<br />

Diagram 2. Pantang Makan Pada Ibu Nifas di BPS “A” Balongtani Jabon Sidoarjo<br />

Pada Tanggal 21 Juni – 30 Juni 2010.<br />

Berdasarkan Diagram 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden<br />

melakukan pantang makan sebanyak 19 orang (59%).<br />

c. Produksi ASI<br />

Diagram 3. Produksi ASI Pada Ibu Nifas di BPS “A” Balongtani Jabon Sidoarjo<br />

Pada Tanggal 21 Juni – 30 Juni 2010.


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Berdasarkan Diagram 3 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden produksi<br />

ASInya tidak lancar sebanyak 17 orang (53%)<br />

d. Hubungan Pantang Makan Pada Ibu Nifas Terhadap Produksi ASI<br />

Tabel 37. Hubungan Pantang Makan Pada Ibu Nifas Terhadap Produksi ASI di BPS<br />

“A” Balongtani Jabon Sidoarjo Pada Tanggal 21 Juni – 30 Juni 2010.<br />

Produksi ASI<br />

Pantang Makan Lancar Tidak Lancar Jumlah %<br />

N % N %<br />

Ya 6 18,6 13 40,4 19 59<br />

Tidak 9 12,4 4 12,6 13 41<br />

Jumlah 15 47 17 53 32 100<br />

Berdasarkan tabel 37 diketahui sebagian besar responden yang produksi ASInya<br />

lancar dengan tidak melakukan pantang makan sebanyak 9 orang (69%) dan sebagian besar<br />

responden yang produksi ASInya tidak lancar dengan melakukan pantang makan sebanyak<br />

13 orang (68%). Dari hasil uji chi square diperoleh χ 2 hitung > χ 2 tabel = 4,394 > 3,84,<br />

sehingga H1 diterima, ada hubungan pantang makan pada ibu nifas terhadap produksi ASI.<br />

E. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN<br />

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden melakukan pantang<br />

makan sebanyak 19 orang (59%). Salah satu kepercayaan yang telah menjadi tradisi secara<br />

turun temurun adalah ibu nifas tidak boleh makan yang amis-amis karena akan menyebabkan<br />

ASI menjadi amis (Sulistyawati, 2009 : 128). Padahal makanan yang tinggi protein sangat baik<br />

untuk membantu ibu dalam proses penyembuhan dan produksi ASI. Sehingga dalam<br />

memberikan pendidikan kesehatan khususnya tentang gizi, ibu tidak boleh pantang terhadap<br />

daging, telur dan ikan (Sulistyawati, 2009 : 136). Sebagian besar responden melakukan pantang<br />

makan. Makanan yang menjadi pantang oleh ibu nifas sangat membantu penyembuhan luka<br />

perineum, karena mengandung protein yang tinggi. Makanan tersebut diantaranya daging, telur<br />

dan ikan. Akibatnya penyembuhan luka ibu nifas menjadi lambat dan ASI yang dihasilkan juga<br />

tidak sesuai dengan kebutuhan bayi. Tradisi pantang makan sudah menjadi tradisi di masyarakat<br />

dan sulit untuk dapat menghapus tradisi tersebut. Bila ibu menentang tradisi pantang makan,<br />

akan menyebabkan orang tua menjadi tersinggung, dan ini akan menyebabkan konflik dalam<br />

keluarga. Walaupun tenaga kesehatan sudah melakukan penyuluhan ataupun konseling kepada<br />

keluaraga dan masyarakat, tradisi pantang makan sulit untuk dirubah atau dihilangkan, tetapi<br />

secara perlahan-lahan mulai ada sebagian masyarakat yang mulai merubah kebiasaan pantang<br />

makan, dengan dibantu informasi dari media massa/media elektronik yang semakin maju.<br />

Berdasarkan Diagram 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden produksi<br />

ASInya tidak lancar sebanyak 17 orang (53%). Produksi ASI sangat dipengaruhi oleh asupan<br />

makanan ibu, apabila jumlah makanan ibu cukup mengandung unsur gizi yang diperlukan baik<br />

jumlah kalori, protein, lemak dan vitamin serta mineral maka produksi ASI juga cukup, selain<br />

itu ibu dianjurkan minum lebih banyak kira-kira 8-12 gelas sehari (Marimbi, 2010 : 47).<br />

Berdasarkan penelitian ini diperoleh data sebagian besar responden produksi ASInya<br />

tidak lancar. Hal ini dikarenakan sebagian besar responden melakukan pantang makan. Padahal<br />

untuk pembentukan ASI juga dibutuhkan makanan yang mengandung gizi lengkap yaitu kalori,<br />

protein, lemak dan vitamin serta mineral. Selain itu ibu juga harus banyak minum minimal 8-12<br />

gelas sehari. Sesuai dengan pendapat Marimbi (2010), bahwa makanan yang bergizi<br />

mempengaruhi produksi ASI ibu, bila makanan tidak bergizi maka produksi ASI ibu akan<br />

berkurang, yang mengakibatkan kebutuhan bayi akan ASI juga berkurang, sehingga akan<br />

menimbulkan kejadian bayi dengan status gizi kurang/buruk.<br />

Berdasarkan tabel 37 diketahui sebagian besar responden yang produksi ASInya lancar<br />

sebanyak 9 orang (69%) tidak melakukan pantang makan dan sebagian besar responden yang<br />

produksi ASInya tidak lancar sebanyak 13 orang (68%) melakukan pantang makan.<br />

71


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Dari hasil penghitungan data dengan menggunakan uji statistik Chi Square (χ 2 )<br />

didapatkan hasil χ 2 hitung > χ 2 tabel = 4,394 > 3,84, sehingga H1 diterima, ada hubungan<br />

pantang makan pada ibu nifas terhadap produksi ASI.<br />

Apabila seorang ibu dengan pola hidup dan kebiasaan makan yang bergizi walaupun<br />

umurnya bisa dikatakan tua maka akan menghasilkan ASI yang bagus juga dibanding wanita<br />

muda yang menyusui tanpa diimbangi dengan sistem kebiasaan makan yang baik (Proverawati,<br />

2009 : 105). Berdasarkan penelitian diperoleh hasil ibu nifas yang melakukan pantang makan<br />

maka produksi ASInya akan berkurang. Hal ini bisa disebabkan karena kuatnya tradisi pada<br />

masyarakat yang telah berakar kuat secara turun temurun. Kenyataannya ibu nifas di BPS ―A‖<br />

Balongtani Jabon Sidoarjo hanya makan nasi dengan lauk pauk hanya tahu, tempe dan kerupuk.<br />

Sedangkan sayur tidak di perbolehkan karena dianggap dapat membuat vagina ibu menjadi tidak<br />

keset dan mengganggu hubungan suami istri. Selain itu luka akibat melahirkan tidak dapat<br />

sembuh dengan cepat karena keadaan vagina yang basah akibat makan sayur. Telur dan ikan<br />

yang dianggap menyebabkan air susu ibu menjadi amis dan bayi bisa menderita penyakit gatalgatal.<br />

Padahal ibu menyusui membutuhkan 2700-2900 kalori dalam bentuk asupan makanan<br />

yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Gizi selama menyusui tidak<br />

saja akan berpengaruh terhadap kesehatan ibu yang baru melahirkan, tetapi juga pada bayinya.<br />

Ibu menyusui perlu mendapatkan gizi untuk memproduksi ASI. Oleh karena itu bila asupan gizi<br />

ibu kurang, maka kebutuhan gizi yang diperlukan untuk memproduksi ASI akan diambil dari<br />

tubuh ibu. Jika keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, maka selain kondisi tubuh ibu akan<br />

terganggu, produksi ASI akan berkurang, kualitasnya menjadi menurun dan jangka waktu<br />

menyusui relatif singkat.<br />

F. PENUTUP<br />

Hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden di BPS ―A‖<br />

Balongtani jabon Sidoarjo sebanyak 19 orang (59%) melakukan pantang makan. Pantang makan<br />

pada ibu nifas dapat mempengaruh kelancaran produksi ASI hal ini terjadi karena kekurangan<br />

nutrisi mengakibatkan berkurangnya produksi ASI sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Alfarisi. 2008. Gizi Seimbang Bagi Ibu Menyusui. http://www.lusa.com, 20 April 2010.<br />

Anaqita. 2010. Mitos-Mitos Makanan Yang Dipantang Ibu Menyusui. http://blogger.com, 11 Apil<br />

2010.<br />

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Kedua. Jakarta :<br />

Rineka Cipta.<br />

Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta : EGC.<br />

Depkes RI. 2000. Ibu Sehat Bayi Sehat. Jakarta.<br />

Depkes RI. 2002. Strategi Nasional Peningkatan Pemberian ASI Sampai Tahun 2005. Jakarta.<br />

Depkes RI. 2003. Ibu Bekerja Tetap Memberikan Air Susu Ibu (ASI). Jakarta.<br />

Depkes RI. 2005. Manajemen Laktasi, Jakarta.<br />

Hidayat, Aziz Alimul. 2007. Metode Penelitian Kebidanan Dan Teknik Analisis Data. Jakarta :<br />

Salemba Medika.<br />

Indriarti, Widian Nur. 2008. Buku Pintar Kehamilan. Yogyakarta : Mumtaz Press.<br />

Kasdu, D. 2007. Info Lengkap Kehamilan dan Persalinan. Jakarta : Puspa Swara.<br />

Marimbi, 2010. Tumbuh Kembang, Status Gizi dan Imunisasi Dasar Pada Anak. Yogyakarta : Nuha<br />

Medika.<br />

Muchtadi, Dedy. 2002. Gizi Untuk Bayi. Jakarta.<br />

Nursalam. Pariani, S. 2001. Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : Sagung Seto.<br />

Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta :<br />

Salemba Medika.<br />

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta :<br />

Salemba Medika.<br />

72


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.<br />

Paath Francin Erna. 2005. Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta : EGC.<br />

Proverawati. 2009. Gizi Untuk Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika.<br />

Poltekkes Malang. 2005. Buku Praktis Ahli Gizi. Poltekkes Malang.<br />

Puspayanti. 2010. Pantangan Buat Ibu 40 Hari Pasca Persalinan. http://www.khasanah.com.id, 11<br />

April 2010.<br />

Sulistyawati. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas. Yogyakarta : Andi Offset.<br />

Sukarni Mariyati. 2000. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Yogyakarta : Kanisius.<br />

Supariasa, Nyoman Dewa I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC.<br />

Sunita, 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.<br />

Suhardjo. 2000. Prinsip-Prinsip Imu Gizi. Jakarta : Kanisius.<br />

Winar<strong>no</strong>, F. G (2002). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.<br />

73


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

HUBUNGAN USIA DAN PARITAS DENGAN KEJADIAN CA CERVIX DI RSUD<br />

SIDOARJO TAHUN 2009<br />

Dyah Siwi Hety<br />

Dosen Politeknik Kesehatan <strong>Majapahit</strong> Mojokerto<br />

ABSTRAK<br />

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis paritas ibu dengan kejadian kanker serviks di<br />

RSUD Sidoarjo pada tahun 2009. Penelitian ini menggunakan metode analitik dengan desain<br />

penelitian case control dengan variabel independen paritas dan variabel dependen kejadian kanker<br />

serviks, dengan jumlah populasi 40 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling.<br />

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 26 Juni 2010. Pengumpulan data menggunakan metode<br />

checklist dan isntrumen pengumpulan data berupa penulusuran data sekunder. Pengolahan data<br />

menggunakan uji mann whitney dengan derajat kemaknaan = 0,05.<br />

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 40 orang pasien VK kandungan RSUD Sidoarjo<br />

pada tahun 2009 didapat hasil 60% pasien terjadi kanker serviks dengan paritas tinggi. 40% pasien<br />

terjadi kanker serviks dengan paritas rendah. 42,5% pasien terjadi kanker serviks pada stadium 0.<br />

45% pasien terjadi kanker serviks pada stadium I. 12,5% pasien terjadi kanker serviks pada stadium<br />

II. Hasil uji mann whitney menunjukkan antara paritas dengan kejadian kanker serviks diperoleh<br />

hasil perhitungan 0,236 > 0,05, sehingga Ho ditolak yang artinya ada hubungan antara paritas dengan<br />

kejadian Ca Cerviks.<br />

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Ca Cerviks : Human Papilloma Virus,<br />

merokok, hubungan seksual pertama dilakukan pada usia dini, berganti-ganti pasangan seksual,<br />

gangguan system kekebalan tubuh, pemakaian pil KB, infeksi herpes genetalis atau infeksi klamidia<br />

menahun, lanjut usia, kegemukan, menstruasi pertama di usia dini, me<strong>no</strong>pause yang terlambat dan<br />

belum pernah hamil.<br />

Simpulan penelitian ini adalah pasien rawat inap dengan paritas tinggi cenderung terkena<br />

kanker serviks lebih besar dibandingkan pasien dengan paritas rendah. Penyakit kanker serviks<br />

adalah jenis penyakit yang dapat dicegah dan disembuhkan. Salah satu upaya mencegah kanker<br />

serviks adalah dengan membatasi jumlah anak dan melakukan pemeriksaan pap smear sebagai upaya<br />

pencegahan kanker serviks.<br />

Kata kunci : Paritas, Kanker serviks<br />

A. PENDAHULUAN<br />

Kanker leher rahim (Ca Cervix) merupakan penyakit kanker kedua terbanyak yang<br />

dialami oleh wanita di seluruh dunia. Sesuai namanya, kanker leher rahim adalah kanker yang<br />

terjadi pada servik uterus, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu<br />

masuk ke arah rahim, yang terletak diantara uterus dengan vagina. (Elitha, 2008).<br />

Penyakit kanker merupakan penyakit yang sulit di deteksi mulai dari penemuannya,<br />

biasanya tidak memberikan keluhan yang mencemaskan penderita, sehingga kebanyakan<br />

penderita datang pada stadium lanjut. Penentu diag<strong>no</strong>sa yang tidak dapat dilakukan seketika<br />

memerlukan proses yang cukup memakan waktu, pengobatannya tidak sederhana karena<br />

tindakan operasi bukanlah akhir dari segalanya, dibutuhkan serangkaian pengobatan lain yang<br />

tidak semua individu memberi hasil yang serupa. (Mustokoweni, 2002).<br />

Penyebab langsung dari kanker serviks belum diketahui faktor resiko yang dapat<br />

meningkatkan terjadinya kanker serviks sebagai berikut hubungan seks pada usia muda,<br />

pasangan seksual yang berganti-ganti, jumlah kelahiran (paritas) dan jarak terlalu pendek dan<br />

terlalu banyak, infeksi virus, rokok sigaret, defisiensi gizi (Setiawan Dalimartha, 2003 : 11).<br />

Kanker leher rahim atau lebih dikenal dengan nama kenker serviks merupakan penyakit<br />

<strong>no</strong>mor 1 yang membunuh kaum hawa di Indonesia. Setiap tahun, terdapat 15.000 kasus baru dan<br />

8.000 diantaranya meninggal dunia, bahkan 1 perempuan meninggal tiap jamnya karena ini.<br />

74


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Salah satu penyebab hilangnya nyawa manusia dengan mudah itu karena informasi yang<br />

berkaitan dengan kanker serviks belum dapat menjangkau seluruh masyarakat, terutama wanita.<br />

Padahal, semua wanita beresiko terkena kanker yang menyerang organ utama mereka (Elitha,<br />

2008).<br />

Menurut International Agency for Researchon Cancer (IARC), 85% dari kasus kanker<br />

di dunia, yang berjumlah sekitar 493.000 dengan 273.000 kematian, terjadi di negara-negara<br />

berkembang. Di indonesia pengidap Ca Cervix adalah terbanyak diantara pengidap kanker<br />

lainnya, bahkan di seluruh dunia adalah <strong>no</strong>mer kedua setelah Cina. Salah satu alasan semakin<br />

berkembangnya Ca Cervix tersebut disebabkan oleh rendahnya cakupan deteksi dini kanker<br />

servikx, seperti Pap Smear di Indonesia. Berdasarkan estimasi data WHO tahun 2008, terdapat<br />

hanya 5% wanita di negara berkembang, termasuk Indonesia yang mendapatkan pelayanan Pap<br />

Smear, sedangkan di negara maju hampir 70% wanita melaksanakan pemeriksaan Pap Smear.<br />

Menurut perkiraan departemen kesehatan di Indonesia ada sekitar 100.000 penduduk atau<br />

200.000 kasus setiap tahunnya, selain itu lebih dari 70% kasus yang datang ke rumah sakit<br />

ditemukan stadium lanjut. (Elitha, 2008). Data menurut YKWK (Yayasan Kanker Wisnu<br />

Wardhana Kayon) Surabaya di Propinsai Jawa Timur pada tahun 2005 diperkirakan tercatat +<br />

75.000 kasus baru setiap tahunnya.<br />

Kanker leher rahim merupakan jenis penyakit yang paling banyak ke dua di dunia yang<br />

diderita oleh wanita di atas 15 tahun. Sekitar 500.000 wanita di seluruh dunia di diag<strong>no</strong>sis<br />

menderita kanker leher rahim dan rata-rata 270.000 meninggal tiap tahunnya. Untuk Indonesia,<br />

kanker leher rahim atau yang juga disebut kanker serviks merupakan jenis kanker paling banyak<br />

yang di derita perempuan. Tanpa memandang usia dan latar belakang, setiap perempuan<br />

beresiko terkena penyakit yang disebabkan oleh virus human papilloma (HPV) ini. Bahkan<br />

kanker ini sering menjangkiti dan membunuh wanita usia produktif (30-50 tahun). (Elitha,<br />

2008).<br />

Pemeriksaan pap smear adalah pengamatan sel – sel yang di exploitasi dari genetalia<br />

wanita. Tes pap smear telah terbukti dapat menurunkan kejadian kangker serviks dengan dengan<br />

ditemukan stadium pra kanker, Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS) dan segera ditangani<br />

sebagaimana diketahui biasanya stadium pra kanker ini belum menimbulkan keluhan – keluhan<br />

dan pap smear telah terbukti dapat menurunkan kejadian kanket serviks 70%. (Soepardiman,<br />

2002).<br />

Upaya mengurangi morbiditas dan mortalitas kanker serviks diperlukan pencegahan<br />

yang terdiri dari berbagai tahap yaitu pencegahan primer dengan cara peningkatan pengetahuan<br />

ibu, merupakan usaha mengurangi / menghilangkan kontak dengan karsi<strong>no</strong>gen untuk mencegah<br />

insisi dan promosi pada proses karsiogenesis. Pencegahan sekunder yaitu skrening dan deteksi<br />

dini, salah satunya dengan menggunakan pap smear yang merupakan usaha untuk menentukan<br />

kasus ini sehingga penyembuhan dapat ditingkatkan dan pencegahan tersier merupakan<br />

pengobatan untuk mencegah komplikasi klinis dan kematian awal. (Farid Aziz 2002)<br />

Berdasarkan data yang dari studi pendahuluan tanggal 30 April 2010 di RSUD Sidoarjo<br />

di poli kandungan sepanjang tahun 2008 diperoleh secara keseluruhan jumlah ibu yang<br />

menderita ca cervix tahun 2008 adalah 68 orang. Bulan Januari – Maret 10 (14,7%), April – Juni<br />

15 (22,1%), Juli – September 20 (29,4%), dan Oktober – Desember 23 (33,8). Berdasarkan data<br />

di atas setiap triwulannya mengalami peningkatan. Berdasarkan data tersebut diatas, penulis<br />

tertarik untuk mengangkat masalah usia dan paritas yang mempengaruhi kejadian ca cervix<br />

tahun 2009.<br />

B. TINJAUAN PUSTAKA<br />

1. Konsep Dasar Paritas<br />

a. Pengertian Paritas<br />

Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang mampu hidup di<br />

luar rahim (28 mingu) (Syarifudin, 2003).<br />

Paritas adalah status melahirkan anak pada seorang wanita (Farrer, 2001)<br />

75


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

b. Klasifikasi Paritas<br />

1). Nullipara adalah wanita yang tidak pernah melahirkan seorang anak (Nuswantari,<br />

2005).<br />

2). Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak yang cukup besar untuk<br />

hidup di dunia luar (Matur/ Preamtur (Rustam, 2002).<br />

3). Multipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak lebih dari 1 kali<br />

(Sarwo<strong>no</strong>,2007 : 23).<br />

4). Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih dan bisa<br />

mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan<br />

Paritas dibagi menjadi :<br />

1). Paritas tinggi : bila jumlah anak leih dari 3 orang<br />

2). Paritas rendah : bila jumlah anak kurang dari 3 orang atau sama dengan 3 (Sarwo<strong>no</strong>,<br />

2000 : 23).<br />

2. Konsep Dasar Kanker Serviks<br />

a. Pengertian Kanker Serviks<br />

Kanker dapat didefinisikan sebagai perkembangan sel secara ab<strong>no</strong>rmal dan<br />

terkendali yang akan terus mengalami pertumbuhan kecuali jika ada yang bisa<br />

menghentikannya (Gregg Miller, 2008).<br />

Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah jenis penyakit kanker yang terjadi<br />

pada daerah leher rahim, yaitu bagian rahim yang terletak di bawah, yang membuka ke<br />

arah liang vagina. Berawal dari leher rahim, apabila telah memasuki tahap lanjut kanker ini<br />

bisa menyebar ke organ-organ lain di seluruh tubuh (Farrasbiyan, 2009).<br />

Kanker serviks (kanker mulut rahim) adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam<br />

leher rahim/ serviks (bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina).<br />

Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun (Ika Siresa, 2007).<br />

Kanker di uterus atau rahim sebenarnya adalah kanker pada badan rahim yang<br />

sebenarnya mempunyai perbedaan jaringan dengan leher rahim. Penaykit ini lebih sering<br />

mnyerang wanita usia lanjut, terutama wanita yang telah mengalami me<strong>no</strong>pause. Wanita<br />

yang menderita kanker wahim biasanya disarankan untuk mau dilakukan hysterektomy<br />

(dilakukan operasi perngangkatan rahim) (Abdul Ghofar, 2009).<br />

b. Penyebab Kanker Leher Rahim<br />

Penyebab dari terjadinya kelainan pada sel leher rahim tersebut tidak diketahui<br />

secara pasti, tetapi terdapat beberapa faktor resiko yang dapat berpengaruh terhadap<br />

terjadinya kanker serviks tersebut :<br />

1). HPV (Human Papilloma Virus)<br />

HPV (Human Papilloma Virus) adalah suatu virus yang dapat menyebabkan terjadinya<br />

kutil pada daerah genital (Kondiloma Akuminata), yang ditularkan melalui hubungan<br />

seksual. HPV sering diduga sebagai penyebab terjadinya perubahan yang ab<strong>no</strong>rmal<br />

dari sel-sel leher rahim.<br />

2). Merokok<br />

Tembakau dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh dan mempenagruhi kemampuan<br />

tubuh untuk melawan infeksi HPV pada serviks.<br />

3). Hubungan seksual pertama dilakukan pada usia dini<br />

4). Berganti-ganti pasangan seksual<br />

5). Gangguan sistem kekebalan tubuh<br />

6). Pemakaian pil KB<br />

7). Infeksi herpes genetalis atau infeksi klamidia menahun<br />

(Admin, 2008)<br />

c. Faktor resiko kanker serviks menurut dr. Khoo Kei Siong :<br />

1). Lanjut usia<br />

2). Kegemukan (termasuk contohnya pada penderita diabetes)<br />

76


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

3). Menstruasi pertama di usia dini, me<strong>no</strong>pause yang terlambat<br />

4). Belum pernah hamil<br />

Selain faktor-faktor di atas menurut Prof. Dr. Ida Bagus Gde Manuaba (2005) juga<br />

masih terdapat faktor mi<strong>no</strong>r yang dapat meningkatkan kejadian karsi<strong>no</strong>ma serviks<br />

uteri adalah sosial eko<strong>no</strong>mi yang rendah, penghisap rokok, serta faktor ras dan<br />

herediter.<br />

d. Gejala Kanker Serviks<br />

Para ilmuwan yakin bahwa beberapa perubahan ab<strong>no</strong>rmal pada sel-sel serviks<br />

merupakan langkah awal dari serangkaian perubahan yang berjalan lambat, yang beberapa<br />

tahun kemudian bisa menyebabkan kanker.<br />

Perubahan pada sel-sel ini bisa dibagi ke dalam 2 kelompok :<br />

1). Lesi tingkat rendah<br />

Merupakan perubahan dini pada ukuran, bentuk dan jumlah sel yang membentuk<br />

permukaan serviks. Beberapa lesi tingkat rendah menghilang dengan sendirinya, tetapi<br />

yang tumbuh menjadi lebih besar dan lebih ab<strong>no</strong>rmal membentuk lesi tingkat rendah.<br />

Paling sering ditemukan pada wanita yang berusia 25-35 tahun, tetapi juga bisa terjadi<br />

pada semua kelompok umur. Lesi ini biasa juga disebut displapsia ringan atau<br />

neoplasia intraepitel servikal 1 (NIS 1).<br />

2). Lesi Tingkat Tinggi<br />

Ditemukan sejumlah besar sel pre kanker yang tampak sangat berbeda dari sel yang<br />

<strong>no</strong>rmal. Perubahan prekanker ini hanya terjadi pada sel di permukaan serviks. Selama<br />

berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, sel-sel tersebut tidak akan menjadi ganas dan<br />

tidak akan menyusup ke lapisan serviks ke lapisan lebih dalam. Lesi tingkat tinggi<br />

paling sering ditemukan pada wanita yang berusia 30-40 tahun. Lesi tingkat tinggi ini<br />

juga biasa disebut displasia menengah atau displasia berat, NIS 2 atau 3, atau<br />

karsi<strong>no</strong>ma in situ.<br />

Jika sel-sel ab<strong>no</strong>rmal menyebar lebih dalam ke dalam serviks atau ke jaringan maupun<br />

organ lainnya, maka keadaannya disebut kanker serviks atau kanker serviks (rahim).<br />

Kanker serviks paling sering ditemukan pada usia di atas 40 tahun. Ketika sel serviks<br />

yang ab<strong>no</strong>rmal berubah menajdi keganasan dan menyusup ke jaringan di sekitarnya<br />

akan muncul gejala sebagai berikut :<br />

a). Perdarahan vagina yang ab<strong>no</strong>rmal, setelah melakukan hubungan seks dan<br />

me<strong>no</strong>pause<br />

b). Menstruasi ab<strong>no</strong>rmal (lebih lama dan lebih banyak)<br />

c). Keputihan yang menetap, dengan cairan yang encer, berwarna pink, coklat,<br />

mengandung darah atau hitam serta berbau busuk.<br />

d). Nafsu makan berkurang, penurunan berat badan, kelelahan<br />

e). Nyeri panggul, punggung atau tungkai<br />

f). Dari vagina keluar air kemih atau tinja<br />

g). Patah tulang (fraktur)<br />

(Vivi, 2008)<br />

Menurut Dr. Ida Bagus Gde Manuaba gejala kanker serviks dikelompokkan<br />

menjadi 3 tahap diantaranya :<br />

1). Gejala dini<br />

Keluhan leukore yang sulit disembuhkan, terdapat kontak berdarah, dan kadangkadang<br />

terjadi perdarahan mendadak (spotting).<br />

2). Gejala stadium medium<br />

Leukore terus-menerus bahkan berbau, nyeri di aerah sakral karena metastasenya.<br />

Pada akhir stadium pertengahan terdapat infiltrasi ke daerah sekitarnya, mengenai<br />

ureter, kelenjar getah limfe, serat saraf sehingga menimbulkan trias karsi<strong>no</strong>ma serviks<br />

uteri, yaitu :<br />

77


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

a). Nyeri daerah sakral<br />

b). Bendungan aliran limfe menimbulkan edemi tungkai<br />

c). Obstruksi ureter terjadi hidroneprosis pada ginjal<br />

3). Gejala stadium lanjut<br />

Lokal :<br />

a). Bendungan fungsi ginjal menimbulkan uremia<br />

b). Gangguan aliran limfe menimbulkan odema tungkai<br />

c). Timbul fistula rektovaginal atau vesiko vaginal<br />

d). Perdarahan terus menerus dan disertai bau<br />

e). Kadang-kadang terjadi perdarahan mendadak yang banyak<br />

f). Kencing berdarah<br />

g). Berak berdarah<br />

Lokal dan metastase jauh :<br />

a). Gejala klinik lokal<br />

b). Gejala klinik yang ditimbulkan oleh organ yang terkena metastase<br />

e. Diag<strong>no</strong>sis Kanker Rahim<br />

Diag<strong>no</strong>sis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan berikut :<br />

1). Pemeriksaan Panggul<br />

Pemeriksaan pada vagina/ kemaluan, rahim, indung telur, kandung kencing dan<br />

saluran buang air besar terhadap adanya pembengkakan yang tidak <strong>no</strong>rmal atau<br />

adanya perubahan bentuk yang tidak <strong>no</strong>rmal (Abdul Ghofar, 2009).<br />

2). Pap Smear<br />

Pemeriksaan Pap Smear untuk mengambil sebagian jaringan untuk memastikan<br />

adanya kanker serviks. Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker serviks<br />

secara kurat dan dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Akibatnya angka kematian<br />

akibat kanker serviks pun menurun sampai lebih dari 50%. Setiap wanita yang telah<br />

aktif secara seksual atau usianya telah mencapai 18 tahun, sebaiknya menjalani Pap<br />

Smear secara teratur yaitu 1 kali/ tahun. Jika selama 3 kali berturut-turut menunjukkan<br />

hasil yang <strong>no</strong>rmal, pap semar bisa dilakukan 1 kali/ 2-3 tahun.<br />

Hasil pemeriksaan Pap Smear menunjukkan staidum dari kanker serviks (rahim) :<br />

a). Normal<br />

b). Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas)<br />

c). Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas)<br />

d). Karsi<strong>no</strong>ma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar)<br />

e). Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih dalam atau<br />

ke organ tubuh lainnya)<br />

3). Biopsi<br />

Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau luka<br />

pada serviks, atau jika pap semar menunjukkan suatu ab<strong>no</strong>rmalitas atau kanker.<br />

4). Kolposkopi (Pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar)<br />

Pemeriksaan ini menggunakan teropong untuk melihat dengan lebih teliti pada leher<br />

rahim/ serviks. Akan tetapi, cara ini jarang digunakan (Abdul Ghofar, 2009).<br />

5). Tes Schiller<br />

Serviks diolesi dengan larutan yodium, sel yang sehat warnanya akan berubah menjadi<br />

coklat, sedangkan sel yang ab<strong>no</strong>rmal warnanya menadi putih atau kuning (Vivi, 2009).<br />

f. Stadium Kanker Serviks<br />

Stadium kanker merupakan faktor kunci yang menentukan pengobatan apa yang<br />

akan diambil. Biasanya pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa gambaran radiologi,<br />

pemeriksaan seperti X-Ray.<br />

1). Stadium 0<br />

Kanker hanya ditemukan pada lapisan atas dari sel-sel pada jaringan yang melapisi<br />

leher rahim. Tingkat ini disebut juga carci<strong>no</strong>ma in situ.<br />

78


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

2). Stadium I<br />

Kanker hanya terbatas pada serviks<br />

3). Stadium II<br />

Kanker pada stadium ini termasuk serviks dan uterus, namun belum menyebar ke<br />

dinding pelvis atau bagian bawah vagina.<br />

4). Stadium III<br />

Kanker pada stadium ini telah menyebar dari serviks dan uterus ke dinding pelvis atau<br />

bagian bawah vagina.<br />

5). Stadium IV<br />

Pada stadium ini kanker telah menyebar ke organ terdekat, seperti kandung kemih atau<br />

rektum, atau telah menyebar ke daerah lain di dalam tubuh, seperti paru-paru, hati atau<br />

tulang.<br />

(Sarwo<strong>no</strong>, 2005)<br />

g. Pengobatan Ca Cervix<br />

1). Stadium Ia<br />

Pengobatan yang utama lewat operasi sederhana dilakukan pada tingkat stadium awal,<br />

yang disebut dengan konisasi (pemotongan rahim seperti kerucut), karena dalam<br />

stadium awal (pra kanker) dari 0-1A. Kanker masih berada di sel-sel selaput lendir.<br />

Operasi dilakukan apabila pasien masih ingin hamil. Bila tak ingin hamil lagi akan<br />

dilakukan histerektomi simple (rahim diangkat semua). Tujuannya agar kanker tak<br />

kambuh lagi.<br />

2). Stadum Ib<br />

Pada stadium ini dapat diterapi dengan histerektomi radikal dan terapi radiasi.<br />

Histerektomi itu sendiri adalah suatu pembedahan untuk membuang rahim bersama<br />

dengan bagian yang bersebelahan dengan vagina, ligamen kardinale, ligamen utero<br />

sakral dan pe<strong>no</strong>pang kandung kemih. Keuntungan dari pembedahan adalah bahwa<br />

ovarium dapat terhindar pada wanita-wanita pra me<strong>no</strong>pause. Mungkin juga terdapat<br />

lebih sedikit interverensi pada fungsi coitus. Komplikasi yang melibatkan rektum,<br />

ureter, atau kandung kemih lebih jarang terjadi setelah histerektomi radikal<br />

dibandingkan setelah terapi radiasi, dan perbaikan akan berhasil kalau cedera<br />

sungguh-sungguh terjadi.<br />

Pada pasien dengan penyakit stadium Ib, radiasi dapat merupakan satu-satunya cara<br />

terapi, dan dalam hal ini terapi di dalam atau di luar rahim dibutuhkan. Radiasi dapat<br />

diberikan sebelum pembedahan sebagai upaya untuk menyusutkan lesi serviks yang<br />

sangat besar dan menjadikannya dapat diatasi dengan prosedur pembedahan yang<br />

lebih terbatas. Terapi radiasi ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pasien yang<br />

berkontra indikasi terhadap pembedahan.<br />

3). Stadium IIa<br />

Pada pasien dengan keterlibatan forniks vagina yang minimal, pembedahan radikal<br />

atau terapi radiasi dapat digunakan sama seperti pada pasien dengan lesi stadium Ib.<br />

Bila vagina bagian atas terlibat luas terapi pilihannya adalah terapi radiasi saja.<br />

4). Stadium IIb<br />

Sebagian besar pasien dengan lesi stadium Iib diterapi dengan kombinasi dari sinar<br />

luar dan terapi radiasi dalam rongga. Sebagian pasien dengan lesi yang lebih me<strong>no</strong>njol<br />

besar dapat dipilihkan suatu histerektomi ekstrafasial tambahan setelah terapi radiasi<br />

sebagai upaya untuk mengurangi resiko penyakit sentral yang terus berlanjut.<br />

5). Stadium IIIa dan IIIb<br />

Pasien ini diterapi hampir semata-mata dengan terapi radiasi, biasanya terapi luar<br />

diikuti dengan radium atau sesium dalam rongga. Terdapat protokol penelitian yang<br />

menggunakan kombinasi dari kemoterapi dan radiasi sebagai upaya untuk<br />

memperbaiki laju penyembuhan, karena banyak pasien ini mempunyai metastasis jauh<br />

yang samar.<br />

79


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Pada pasien dengan penyakit yang secara lokal parah, distorti serviks dan vagina dapat<br />

menyulitkan penerapan terapi radiasi dalam radiasi interstitial dapat diberikan untuk<br />

mendapat distribusi dosis yang lebih baik daripada yang mungkin diapai oleh terapi<br />

dalam rongga.<br />

6). Stadium IVa<br />

Terapi radiasi pelvis digunakan pada sebagian besar pasien ini. Kalau terapi radiasi<br />

mengakibatkan regresi tumor yang hanya sebagian, suatu eksentrasi pelvis<br />

‖penyelamatan‖ dapat dilakukan. Eksentrasi pelvis primer jarang dilakukan, biasanya<br />

bila pasien mengalami rektovagina atau vesikovagina.<br />

7). Stadium IVb<br />

Pasien ini dapat diebri beberapa terapi radiasi pelvis untuk meredakan perdarahan dari<br />

vagina, kandung kemih, atau rektum. Karena terdapat metastasis yang jauh aka<br />

kemoterapis ering digunakan etrapi hanya bersifat paliatif.<br />

(Hacker, 2001).<br />

Apabila kanker serviks sudah bearda dalam stadium 2B ke atas, operasi tak lagi<br />

bisa dilakukan melainkan dengan radiasi atau penyinaran. Sayangnya, penyinaran memiliki<br />

komplikasi indung telur ikut mati terkena radiasi. Akibatnya hormon pun mati. Padahal<br />

hormon diperlukan untuk gairah seksual, haid, mencegah osteoporosis, dan jantung.<br />

Komplikasi lainnya dalam penyinaran bukan enggak mungkin terkena organ lain semisal<br />

dubur, dan saluran kencing. Terkadang terjadi luka bakar pada dubur dan terjadi diare atau<br />

perdarahan terus menerus. Kalau terjadi demikian maka dubur atau salruan kencing harus<br />

diangkat, sebagai gantinya akan dibuatkan dubur atau saluran kencing baru lewat perut.<br />

Bahkan akibat penyinaran vagina pun menjadi kaku sehingga penderita tidak dapat<br />

berhubungan seks. Lain dengan operasi, kendati vagina diangkat tapi masih tetp bsia<br />

berhubungan (Greg Miller, 2003).<br />

h. Vaksin pencegah kanker serviks<br />

Vaksin pertama Gardasilr untuk mencegah infeksi 2 tipe HPV yang menyebabkan<br />

kanker, yaitu tipe 16 dan 18. Sekitar 70% kanker serviks berkaitan dengan kedua tipe HPV<br />

ini. Vaksin ini juga bekerja mencegah 2 tipe HPV lain yang tidak menyebabkan kanker,<br />

yaitu 6 dan 11, namun kedua tipe ini menyebabkan 90%genital warts (kulit). Vaksin ini<br />

diberikan melalui injeksi intramuskular (IM) 0,5 ml sebanyak 3x selama 6 bulan dan dosis<br />

kedua diberikan 2 bulan setelah vaksin pertama dan dosis ketiga diberikan 2 bulan setelah<br />

dosis pertama.<br />

Vaksin kedua adalah cervarix yang memberikan perlindungan terhadap infeksi<br />

HPV tip 16 dan 18 diberikan dalam bentuk 0,5 ml injeksi yang terbagi dalam 3 dosis. Pada<br />

vaksin ini dosis kedua diberikan sebulan setelah dosis pertama dan dosis ketiga diberikan 6<br />

bulan setelah dosis pertama. Uji klinis menunjukkan bahwa efektifitas kedua vaksin ini<br />

dalam mencegah infeksi persisten HPV tipe 16 dan 18 mencapai 95%. Vaksin ini juga<br />

memiliki efektifitas hingga 10% dalam mencegah infeksi HPV spesifik yang<br />

membahayakan lesi servikal, jika diberikan pada wanita yang seksual aktif atau pada<br />

wanita tanpa riwayat infeksi dengan HPV tipe ini sebelumnya. Pengguna vaksin secara luas<br />

berpotensi menurunkan kematian akibat kanker serviks sebanyak 50% dalam beberapa<br />

dekade, bahkan ada yang memperkirakan hingga 71 %, dimana hal ini dipengaruhi oleh<br />

durasi dan kekuatan perlindungan yang diberikan oleh vaksin.<br />

i. Pola Makan Yang Sehat<br />

Pola makan memegang peranan yang sangat penting di dalam mencegah kanker.<br />

Ada bukti ilmiah yang sangat kuat bahwa mengkonsumsi buah-buahan, sayuran, gandum,<br />

kacang-kacangan, polong-polongan dan serat dapat memberikan manfaat yang sangat<br />

besar.<br />

Dalam sebagian besar kasus melakukan penyesuain pada pola makan sudah<br />

memadai untuk menghasilkan efek yang menguntungkan bagi kesehatan. Sebenamya<br />

sangat sulit untuk menentukan senyawa apa yang persisnya dapat membuat kita terlindung<br />

80


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

dan kanker, dan tampaknya banyak senyawa-senyawa untuk menghasilkan manfaat yang<br />

positif.<br />

Beberapa zat dalam makanan sehat yang diyakini bisa mencegah kanker adalah :<br />

1) . Vitamin A (reti<strong>no</strong>l)<br />

Vitamin A atau reti<strong>no</strong>l ini memegang peranan penting di dalam mempertahankan<br />

kelenturan dan lapisan dalam kulit serta membran-membran lendir dan selain itu juga<br />

sangat penting bagi pertumbuhan, fungsi hormon dan daya penglihatan. Vitamin<br />

terkandung di dalam makanan yang berasal dari sumber hewani, terutama minyak<br />

ikan, keju, telur, mentega, dan susu berlemak.<br />

2) . Karotin atau karoti<strong>no</strong>id<br />

Karoti<strong>no</strong>id atau karotin adalah bahan dasar dari vitamin A, dimana jika zat ini masuk<br />

ke dalam tubuh maka akan dikonversi menjadi vitamin A. Zat ini terkandung di dalam<br />

jeruk dan sayuran dan buah lain yang berwarna kuning, terutama wortel, pir, alpukat,<br />

labu, blewah, dan juga terdapat pada sayuran hijau.<br />

3) . Betakarotin<br />

Betakarotin diketahui memiliki sifat antioksidan yang sangat kuat dan bisa membantu<br />

dalam melindungi sel-sel dan kerusakan serta dapat melindungi sel dari kemungkinan<br />

terjadinya kanker ketika dikonsumsi bersama dengan selenium dan vitamin E dalam<br />

jumlah yang cukup. Makan banyak sayuran dan buah yang mengandung zat<br />

pravitamin ini adalah salah satu cara mudah untuk membantu dalam melindungi diri<br />

kita dari kanker<br />

4) . Vitamin C<br />

Vitamin ini memegang peranan penting di dalam menjaga kekuatan dinding sel dan<br />

jaringan pengikat sehingga sangat penting bagi kesehatan pembuluh darah, kulit,<br />

kartilage, tendon, ligamen, gusi dan membran-membran pelapis organ. Sumber terbaik<br />

dan Vitamin C adalah blackberry, red berry, buah-buahan lain, sayuran, kentang,<br />

mangga, pepaya, paprika merah, tomat dan jus buah.<br />

5) . Asam folat<br />

Asam folat adalah salah satu dari vitamin-vitamin B dan zat ini sangat penting bagi<br />

kelancaran fungsi kerja vitamin B12 di dalam memproduksi sel darah merah dan di<br />

dalam melakukan metabolisme terhadap lemak, karbohidrat, dan protein. Sumber dan<br />

asam folat adalah sayuran hijau, ragi, kacang, bulir gandum, polong-polongan, ginjal<br />

dan hati.<br />

6) . Flavo<strong>no</strong>id<br />

Flavo<strong>no</strong>id adalah beberapa jenis pigmen alami dalam tanaman yang ada di dalam buah<br />

dan sayuran hijau. Zat ini banyak memiliki sifat anti kanker, anti alergi, anti<br />

peradangan, dan beberapa diantaranya memiliki efek seperti hormon. Flavo<strong>no</strong>id dapat<br />

ditemukan didalam bahan pangan seperti jeruk sitrun, apel, mangga, tomat, bawang<br />

merah, bawang putih dan teh hijau.<br />

7) . Selenium<br />

Selenium adalah sejenis mineral yang telah banyak dikenal belakangan ini kerena<br />

memiliki kemampuan anti oksidan yang tinggi. Selenium terdapat pada beberapa jenis<br />

bahan makanan seperti ikan, terutama ikan yang dagingnya memiliki banyak minyak<br />

(halibut dan tuna), kerang, kuning telur, ginjal, hati, daging, kacang brazol, mentega,<br />

produk-produk susu, bulir gandum, dan apokat (Greg Miller, 2008)<br />

C. METODE PENELITIAN<br />

1. Desain Penelitian<br />

Jenis penelitian ini adalah analitik kolerasional yaitu merupakan penelitian yang<br />

mengkaji hubungan antara variabel. Penelitian ini bertujuan mengungkapkan hubungan kolerasi<br />

antara variabel (Nursalam, 2008; 82). Dengan menggunakan metode pendekatan Case Control<br />

yaitu suatu penelitian (survey) analitik yang menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari<br />

81


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

dengan menggunakan pendekatan dan selanjutnya ditelusuri cara retrospektif yaitu untuk<br />

melihat atau mengukur factor resiko dengan melihat ke belakang dari suatu kejadian (Hidayat,<br />

2008 : 51).<br />

2. Hipotesis<br />

Dalam penelitian ini hipotesis yang akan dibuktikan adalah hipotesis penelitian ini<br />

menyatakan hubungan antara usia dan paritas dengan kejadian Ca Cervix.<br />

3. Populasi, sampel, variabel dan definisi operasional<br />

Populasi dalam penelitian ini sebanyak 70 orang adalah ibu yang menderita Ca Cervix<br />

di RSUD Sidoarjo Periode Januari – Desember 2009. Dalam penelitan ini sampel yang<br />

digunakan adalah semua ibu yang menderita Ca Cervix di RSUD Sidoarjo tahun 2009.<br />

Penelitian ini menggunakan teknik Non Probability sampling dengan memakai total sampling.<br />

Dalam penelitian ini variabel independennya adalah usia dan paritas. Sedangkan variabel<br />

dependennya adalah kejadian Ca Cervix.<br />

Tabel 38. Definisi Operasional Hubungan antara paritas dengan kejadian Ca Cervix.<br />

No. Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala<br />

1. Variabel Keadaan wanta berkaitan Paritas ibu meliputi : Nominal<br />

independent dengan jumlah anak 1. Paritas rendah bila<br />

Paritas yang dilahirkan<br />

jumlah anak yang<br />

dimiliki < 3 orang (1-3)<br />

2. Paritas tinggi bila<br />

jumlah anak yang<br />

dimiliki > 3 orang<br />

2. Variabel Kanker yang terjadi 1. Stadium 0<br />

Ordinal<br />

dependent dalam serviks uterus Terbatas pada<br />

Kanker cervix suatu daerah pada organ permukaan servix<br />

reproduksi wanita yang 2. Stadium 1<br />

merupakan pintu masuk Terbatas pada servix<br />

ke arah rahim yang 3. Stadium 2<br />

terletak diantara rahim Belum menyebar ke<br />

dengan liang senggama dinding pelvis<br />

4. Stadium 3<br />

Telah menyebar dari<br />

servix<br />

5. Stadium 4<br />

Sudah menyebar<br />

keseluruh tubuh<br />

(Sarwo<strong>no</strong>, 2005:378)<br />

4. Teknik Analisis Data<br />

Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis univariat dan bivariat. Analisis<br />

univariat yaitu untuk melihat proporsi paritas ibu dan kejadian kanker serviks dalam bentuk<br />

prosentase dari masing-masing kejadian kanker serviks dalam bentuk prosentase dari masingmasing<br />

variabel yang selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.<br />

Rumus yang digunakan adalah :<br />

f<br />

P x100%<br />

N<br />

Keterangan :<br />

P : prosentase<br />

f : frekuensi<br />

N : jumlah seluruh observasi<br />

82


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau<br />

berkorelasi. Dalam analisis ini dapat dilakukan uji Mann Whitney :<br />

Keterangan :<br />

n1 : Jumlah sampel 1<br />

n2 : Jumlah sampel 2<br />

U1 : Jumlah peringkat 1<br />

U2 : Jumlah peringkat 2<br />

R1 : Jumlah ranking pada sampel n1<br />

R1 : Jumlah ranking pada sampel n2<br />

D. HASIL PENELITIAN<br />

1. Data Umum<br />

a. Karakteristik Umur Responden.<br />

Tabel 38. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di RSUD Sidoarjo<br />

Tahun 2009<br />

No Umur Jumlah (N) Prosentase (%)<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

< 20 tahun<br />

20 – 35 tahun<br />

> 35 tahun<br />

8<br />

14<br />

17<br />

83<br />

22,5<br />

35<br />

42,5<br />

Jumlah 40 100<br />

Sumber : rekam medik VK kandungan RSUD Sidoarjo tahun 2009<br />

Berdasarkan tabel 38 menunjukkan bahwa prosentase terbesar umur lebih dari 35<br />

tahun 17 responden (42,5%).<br />

b. Karakteristik Pendidikan Responden.<br />

Tabel 39. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di RSUD<br />

Sidoarjo Tahun 2009<br />

No Pendidikan Jumlah (N) Prosentase (%)<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

SD<br />

SMP<br />

SMA<br />

15<br />

16<br />

9<br />

37,5<br />

40<br />

22,5<br />

Jumlah 40 100<br />

Sumber : rekam medik VK kandungan RSUD Sidoarjo tahun 2009<br />

2.<br />

Berdasarkan tabel 39 menunjukkan bahwa prosentase terbesar pendidikan SD 15<br />

responden (37,5%).<br />

Data Khusus<br />

a. Paritas.<br />

Tabel 40. Distribusi Data Berdasarkan Paritas Pasien Rawat Inap di VK Kandungan<br />

di RSUD Sidoarjo Tahun 2009<br />

Paritas Jumlah (N) Prosentase (%)<br />

Paritas Rendah (≤ 3 orang) 16<br />

40<br />

Paritas Tinggi (> 3 orang) 24<br />

60<br />

Jumlah 40 100<br />

Sumber : Data rekam medik di VK Kandungan di RSUD Sidoarjo


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Berdasarkan tabel 40 menunjukkan bahwa prosentase terbesar paritas tinggi 24<br />

responden (60%).<br />

b. Stadium Kanker.<br />

Tabel 41. Distribusi data berdasarkan Stadium Kanker Serviks di VK Kandungan di<br />

RSUD Sidoarjo Tahun 2009<br />

Stadium Kanker Serviks Jumlah (N) Prosentase (%)<br />

Stadium 0<br />

Stadium I<br />

Stadium II<br />

Stadium III<br />

Stadium IV<br />

17<br />

18<br />

5<br />

0<br />

0<br />

84<br />

42,5<br />

45<br />

12,5<br />

0<br />

0<br />

Jumlah 40 100<br />

Sumber : Data rekam medik di VK Kandungan di RSUD Sidoarjo<br />

Berdasarkan tabel 41 menunjukkan bahwa prosentase terbesar stadium I 17<br />

responden (42,5%).<br />

E. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN<br />

1. Paritas Pasien<br />

Pada penelitian ini didapatkan data paritas pasien rawat inap di VK kandungan RSUD<br />

Sidoarjo tahun 2009 dengan paritas rendah atau yang memiliki jumlah anak ≤ 3 orang (1 – 3<br />

orang) sebesar 16 orang (40%) dan dengan paritas tinggi atau yang memiliki jumlah anak > 3<br />

orang sebesar 24 orang (60%).<br />

Paritas merupakan keadaan dimana seorang wanita yang pernah melahirkan bayi yang<br />

dapat hidup (Bertiani, 2009 : 46). Paritas yang berbahaya adalah dengan memiliki jumlah anak<br />

yang lebih dari 2 orang atau jarak persalinan terlampau dekat, sebab dapat menyebabkan<br />

timbulnya perubahan sel ab<strong>no</strong>rmal dari epitel pada mulut rahim dan dapat berkembang jadi<br />

keganasan.<br />

Orang yang terkena kanker serviks dengan paritas tinggi 1-2x lebih besar resiko<br />

dibandingkan dengan orang dengan paritas rendah Paritas merupakan faktor risiko terhadap<br />

kejadian kanker servik dengan besar risiko 4,556 kali untuk terkena kanker servik pada<br />

perempuan dengan paritas > 3 dibandingkan perempuan dengan paritas ≤ 3 dengan hubungan<br />

yang ditimbulkan bermakna sehingga HO ditolak.<br />

2. Kejadian Kanker Serviks<br />

Pada penelitian ini didapatkan data pasien rawat inap yang mengalami stadium 0, 17<br />

orang (42,5%), stadium I, 18 orang (45%), stadium II, 5 orang (12,5%). Menunjukkan bahwa<br />

kejadian kanker serviks pada tahun 2009 di di RSUD Sidoarjo mengalami penurunan.<br />

Kanker serviks adalah sebuah tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim atau<br />

serviks, yaitu bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina (Bertiani, 2009 :<br />

25). Deteksi kanker serviks ini dilakukan melalui pemeriksaan PAP SMEAR, dikatakan<br />

menderita kanker serviks jika hasil papsmear positif terdapat sel-sel ganas pada pemeriksaan<br />

mikroskopi, berdasarkan hasil papsmear diketahui bahwa kanker serviks yang ditemukan<br />

kebanyakan berada pada stadium lanjut sehingga pengobatan yang dilakukan kurang optimal,<br />

pengobatan yang dilakukan adalah melakukan biopsi.<br />

Menurut penelitian di Australia dilaporkan setidaknya ada 85 penderita kanker serviks<br />

dan 40 pasiennya meninggal dunia. Salah satu sumber penularan utama (70%) adalah hubungan<br />

seksual. Sebab kanker ini ditularkan melalui HPV atau (Human Pappiloma Virus). HPV ini<br />

menyerang mulai adanya kematangan seksual. Mulai anak umur 9 tahun hingga lansia umur 70<br />

tahun. Dengan begitu maka ada kontak seksual, sangat mungkin selama hidup seorang wanita<br />

masih berada dalam ancaman HPV. Kanker leher rahim memang dapat dicegah. Meskipun<br />

begitu penderita terbanyak adalah penduduk Indonesia bila dibandingkan negara-negara


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

berkembang lainnya. Setiap tahunnya, terdapat kurang lebih 400 ribu kasus baru kanker leher<br />

rahim (cercival cancer), sebanyak 80% terjadi pada wanita yang hidup di negara berkembang<br />

(bertiani, 2009 : 25).<br />

Menurut margatan Arcole faktor hormon merupakan penyebab lain, setiap kehamilan<br />

memiliki resiko untuk mengalami perubahan hormonal dalam arti menjadi peka terhadap virus<br />

rangsangan hormon esterogen yang kontinue bisa menimbulkan perubahan sesl-sel dalam rahim<br />

yang berpengaruh pada tumbuhnya sel-sel kanker, selain itu infeksi disetiap bagian tubuh yang<br />

tidak segera diatasi akan memicu terjadinya perubahan sel <strong>no</strong>rmal. Wanita yang sering<br />

melahirkan bibir rahimnya semakin melemah dan gampang terinfeksi berbagai kuman penyakit,<br />

seringnya seorang ibu mengalami persalinan menyebabkan terjadi perobekan bagian leher rahim<br />

yang tipis sehingga ada kemungkinan peradangan yang selanjutnya berubah menjadi kanker<br />

(Margatan Arcole, 1996 : 13).<br />

Beberapa penelitian menyimpulkan pada wanita hamil sering mengalami defisiensi zat<br />

gizi termasuk defisiensi asam folat, defisiensi asam folat dapat meningkatkan resiko terjadinya<br />

displasi ringan dan sedang, serta kemungkinan meningkatkan resiko terkena kanker serviks pada<br />

wanita hamil yang makannya rendah beta karotin dan reti<strong>no</strong>n (Vitamin A) (Setiawan<br />

Dalimartha, 2003 : 12).<br />

Di RSUD Sidoarjo penyakit kanker serviks diketahui melalui pemeriksaan papsmear<br />

menyatakan negatif kanker serviks terjadi kanker serviks jika hasil papsmear menyatakan positif<br />

kanker serviks, pengambilan lesi dilakukan oleh dokter spesialis obgyn di poli kandungan,<br />

begitu juga penilaian stadium kanker serviks.<br />

Penanganan atau pengobatan kanker serviks di RSUD Sidoarjo hanya pada pasien<br />

dengan kanker serviks stadium 0, I, dan II. Pada stadium III, IV penderita kanker serviks dirujuk<br />

di RSU dr. Soetomo.<br />

Penatalaksanaan pada pasien positif kanker serviks stadium 0 dan I, II di RSUD<br />

Sidoarjo adalah dengan dilakukan biopsi kerucut, biopsi dilakukan tidak hanya sekali. Tapi<br />

beberapa kali tergantung stadium kanker serviks (biopsi ulangan dilakukan untuk melihat<br />

apakah kanker serviks sudah sembuh atau belum) biopsi dilakukan di VK kandungan. Setelah<br />

dilakukan biopsi pasien dilakukan perawatan di ruang kandungan dan kebidannan (mawar<br />

hijau).<br />

Dari tabel juga dapat dilihat bahwa pasien rawat inap yang mengalami kanker serviks<br />

juga terjadi pada paritas rendah sebesar 15 orang (38%) hal ini disebabkan karena menikah di<br />

usia muda (< 20 tahun) dan status perkawinan yang menikah lebih dari satu, seperti yang<br />

dikemukakan Manuaba bahwa faktor yang mempengaruhi kejadian kanker serviks adalah<br />

menikah di usia muda multi patner, kurangnya personal hygine , infeksi menahun sekitar serviks<br />

(Manuaba, 2004 : 632) .<br />

Kanker serviks merupakan salah satu jenis kanker yang dapat dicegah dan dapat<br />

disembuhkan dari semua jenis kanker, kanker serviks tidak hanyaterjadi pada wanita dengan<br />

paritas tinggi, wanita dengan paritas rendah juga berisiko terkena kanker serviks. Pencegahan<br />

penyakit kanker serviks dapat diselenggarakan melalui penyuluhan kepada masyarakat tentang<br />

penyebab dan faktor terjadinya kanker serviks serta pentingnya deteksi dini melalui<br />

pemeriksaan papsmear.<br />

3. Paritas dengan kejadian kanker servik<br />

Berdasarkan hasil penelitian paritas tinggi dengan stadium 0 adalah 17 responden<br />

(42,5%) setelah dilakukan uji Mann-Whitney didapatkan Dari hasil uji mann whitney dengan <br />

= 0,05 dan hasil perhitungan 0,236 > 0,05 yang artinya Ho ditolak dan Ha diterima yaitu<br />

menunjukkan adanya hubungan antara paritas dengan kejadian kanker serviks.<br />

Wanita yang berpotensi besar menderita kanker servik ini adalah para wanita yang<br />

melakukan hubungan seksual di usia muda dan wanita sering berganti-ganti pasangan. Dari hasil<br />

penelitian penderita kanker serviks ini juga banyak yang berasal dari sosial eko<strong>no</strong>mi lemah.<br />

Perokok pasif atau pasif juga memiliki potensi menderita kanker serviks ini.<br />

85


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Pada stadium awal tidak terdapat adanya gejala yang ditimbulkan dan sel-sel kanker<br />

tidak dapat diamati dengan mata telanjang, sehingga banyak penderita yang diketahui setelah<br />

stadium lanjut (stadium II ke atas) pada saat terjadinya gejala yang berupa keluarnya yang<br />

berbau busuk, pendarahan setelah berhungan seksual dan pegal di perut bagian bawah. Jika<br />

dilihat mata telanjang, kanker tumbuh seperti bunga kol. Seperti sifat bungan kol yang rapuh,<br />

bila digosok dengan tangan maka bunga kol akan jatuh berhamburan. Begitu juga dengan<br />

kanker ini sangat rapuh. Bila terkena sentuhan disaat hubungan seksual misalnya, maka kanker<br />

akan rontok dan berdarah, bahkan bisa terjadi perdarahan yang memerlukan perawatan.<br />

Penderita kanker serviks harus melakukan terapi, terapi kanker serviks termasuk terapi yang<br />

sangat maju perkembangannya, dan penerapannya tergantung dari stadium yang di derita, usia<br />

penderita, usia paritas, jumlah anak karena ada yang masih ingin punya anak, sosial eko<strong>no</strong>mi di<br />

daerah tersebut (Kharisma, 2009).<br />

Terapi yang mempertahankan rahim pada penderita yang masih ingin punya anak<br />

disebut konisasi yaitu pemotongan bentuk kerucut pada mulut rahim dan terbatas pada daerah<br />

yang terinfeksi saja sehingga fertilisasi masih dapat dipertahankan. Tujuan terapi untuk<br />

membantu penderita mengurangi rasa sakit dan menghentikan pendarahan. Sifat lain dari kanker<br />

serviks ini adalah dapat di deteksi dini dan bila diketahui pada stadium awal maka kanker ini<br />

90% bisa diobati. Oleh sebab itu pakar kesehatan pada wanita indonesia dimanapun berada<br />

untuk melakukan pencegahan dengan melakukan deteksi dini. Deteksi ini dapat dilakukan<br />

dengan cara papsmear yang dilakukan rutin setahun sekali.<br />

E. PENUTUP<br />

Hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa Paritas di RSUD Sidoarjo pada tahun 2009<br />

adalah sebesar 40%, ibu dengan paritas rendah dan 60% ibu dengan paritas tinggi. Kejadian kanker<br />

serviks di RSUD Sidoarjo pada tahun 2009 pada stadium 0 42,5%, stadium I 45%, stadium II<br />

12,5%. Oleh sebab itu para wanita perlu melakukan pencegahan dengan melakukan deteksi dini<br />

pada kanker serviks. Deteksi ini dapat dilakukan dengan cara papsmear yang dilakukan rutin setahun<br />

sekali.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Admin. 2008. Kiat mencegah kanker rahim (http.//www/indoforum.org/archive/index.php/t-<br />

53696.html), diakses 29 April 2010<br />

Elita 2008. Pengertian Ca Cervix.http://kanker. Muslim.com), diakses 29 April 2010<br />

Farid aziz. 2002. Jenis – jenis kanker rahim para wanita waspadalah (http://kanker . muslim.com),<br />

diakses 26 April 2010<br />

Gregg miller. 2008. Pengertian Kanker (http ://kanker.com), diakses 28 April 2010<br />

Hacker, Nevile f.(2001). Esensial Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : Hipokrates<br />

Hidayat, Aziz Alimul. 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta :<br />

Salemba Medika<br />

Nursalam.2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Rineka<br />

Cipta<br />

Prawirohardjo, Sarwo<strong>no</strong>. 2000. Maternal Dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwo<strong>no</strong><br />

Prawirohardjo<br />

Prawirohardjo, Sarwo<strong>no</strong>. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwo<strong>no</strong><br />

Prawirohardjo<br />

Soepardiman. 2000. Macam-Macam Kanker. (http://gym7887.com), diakses 28 April 2010<br />

Soepardiman. 2002. Penderita kanker terus meningkat (http ://www.mediaindo.co.id), diakses 28<br />

April 2010<br />

Sugio<strong>no</strong>. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta : Alfabeta<br />

Vivi. 2008. Kiat Mencegah Kanker (http://indoforum.org/arvhive/index.php/t-53696.html, diakses 22<br />

April 2010<br />

86


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

KARAKTERISTIK IBU YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERDARAHAN<br />

POST PARTUM DI RB MEDIKA UTAMA WONOKUPANG<br />

BALONGBENDO SIDOARJO TAHUN 2009<br />

Sarmini Moedjiarto<br />

Dosen Politeknik Kesehatan <strong>Majapahit</strong> Mojokerto<br />

ABSTRAK<br />

Perdarahan post partum merupakan salah satu komplikasi persalinan yang dapat di pengaruhi<br />

oleh berbagai penyebab. Salah satu penyebab terjadinya perdarahan post partum yaitu jarak<br />

persalinan. Jarak persalinan yang terlalu dekat maupun terlalu jauh dapat beresiko terjadi perdarahan<br />

post partum. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah adakah hubungan jarak persalinan<br />

dengan perdarahan post partum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan jarak<br />

persalinan dengan perdarahan post partum.<br />

Jenis penelitian yang di gunakan adalah analitik dengan rancang bangun cross sectional.<br />

Variabel independenya jarak persalinan dan varibel dependenya adalah perdarahan post partum.<br />

Populasinya adalah semua ibu bersalin di RB Medika Utama Wo<strong>no</strong>kupang kecamatan Balongbendo<br />

Kabupaten Sidoarjo pada 1 Januari–31 Desember 2009 sebanyak 386 ibu bersalin. Jumlah sampel<br />

sebanyak 386 ibu bersalin dengan pengambilan sampel <strong>no</strong>n probability sampling dengan teknik total<br />

sampling di mulai tanggal 22 Mei – 22 Juni 2010. Jenis pengumpulan data berupa data sekunder<br />

melalui observasi dengan instrumen ckeck list. Uji statistik yang di gunakan adalah exact fisher.<br />

Hasil penelitian di peroleh bahwa dari semua ibu bersalin yang memiliki jarak persalinan<br />

kurang dari 2 tahun adalah sebanyak 42 responden (10,8%) dan yang memiliki jarak persalinan ≥2<br />

tahun sebanyak 344 responden ( 89,2%). Dan ibu bersalin yang mengalami perdarahan post partum<br />

sebanyak 33 responden (8,6%) dan yang tidak perdarahan post partum sebanyak 353 responden (<br />

91,4%).42 responden yang memiliki jarak persalinan kurang dari 2 tahun yang mengalami<br />

perdarahan post partum sebanyak 12 responden ( 3,1%) dan yang tidak mengalami perdarahan post<br />

partum sebanyak 30 responden ( 7,7%)<br />

Uji statistik yang di lakukan adalah uji statistik exact fisher dengan hasil p= 0,000. Hasil<br />

nilai uji Fisher exact 0,000


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

antara lain persalinan yang belum cukup bulan, bayi dengan berat badan rendah kurang dari<br />

2500 gram (Poedji Rochjati, 2003 :56).<br />

Jarak persalinan yang sehat adalah 2-5 tahun yang aman diharapkan dapat<br />

mengembalikan fungsi–fungsi alat–alat kandungan (in<strong>vol</strong>usio). Jika jarak persalinan kurang dari<br />

2 tahun atau lebih dari 5 tahun maka dapat mengakibatkan kematian maternal lebih besar yang<br />

diawali dengan berbagai penyulit diantaranya perdarahan post partum salah satunya (Poedji<br />

Rochjati, 2003 : 57).<br />

Perdarahan post partum adalah salah satu resiko terbesar yang menyebabkan terjadinya<br />

kematian maternal. Frekuensi perdarahan post partum di Amerika Serikat sekitar 5-10%. Dan<br />

dari laporan – laporan baik di negara maju dan negara berkembang angka kejadian berkisar<br />

antara 5%-15%. dan di Indonesia komplikasi perdarahan post partum 5,1% dari seluruh<br />

persalinan (Admin, 2009 : 1).<br />

Berdasarkan pembangunan kesehatan Indonesia yang telah dicapai sampai tahun 2008,<br />

terdapat AKI (Angka Kematian Ibu) sebesar 248/100.000 KH/Kelahiran Hidup. Jumlah<br />

kematian ini masih tinggi dan jauh dibawah standart yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia<br />

untuk tahun 2010 yaitu menurunkan AKI sebesar 125/100.000 Kelahiran Hidup. Selain faktor<br />

kemiskinan dan masalah aksesibilitas penanganan kelahiran 75% hingga 85% kematian<br />

maternal disebabkan karena obstetrik langsung terutama akibat perdarahan. Padahal dari 90%<br />

dari kematian itu bisa dihindari (Depkes, 2009:1).<br />

Angka Kematian Ibu (AKI) di Propinsi Jawa Timur pada tahun 2008 terdapat 690.282<br />

jumlah ibu hamil, dari jumlah kelahiran terdapat 357 kasus kematian ibu maternal, yang terjadi<br />

pada saat kehamilan 65 orang, kematian ibu saat bersalin 221 orang, dan kematian ibu nifas 68<br />

orang (Dinkes JATIM, 2008 :1).<br />

Jumlah kematian ibu di Sidoarjo saat melahirkan meningkat dari 91,3/100.000 kelahiran<br />

hidup, pada tahun 2007 menjadi 112,6/100.000 kelahiran hidup. Peningkatan Angka Kematian<br />

Ibu (AKI) terjadi lantaran keterlambatan rujukan ke rumah sakit yang dilakukan petugas<br />

pembantu persalinan ibu, rendahnya asupan gizi yang dipengarui eko<strong>no</strong>mi rendah (Dinkes<br />

Sidoarjo, 2008 : 1).<br />

Perdarahan pasca persalinan adalah sebab penting kematian ibu, 25% kematian ibu<br />

disebabkan karena perdarahan. Dari penyebab perdarahan tersebut, perdarahan post partum<br />

yang paling sering. Bahkan 4 kali lebih tinggi dibandingkan perdarahan antepartum. Perdarahan<br />

post partum (HPP) disebabkan karena hal–hal berikut antara lain : (1). Atonia Uteri (50%-60%)<br />

yang disebabkan karena proses persalinan yang lama, pembesaran uterus berlebih pada waktu<br />

hamil/overdistensi uterus (pada hamil kembar/janin besar), persalinan yang sering atau<br />

multiparitas, anastesi yang dalam. (2). Retensio plasenta (16%-17%) yang disebabkan karena<br />

implantasi plasenta yang terlalu dalam pada dinding uterus. (3). Sisa plasenta (23%-24%)<br />

karena ada selaput plasenta/lobus yang tertinggal dalam uterus. (4). Laserai jalan lahir(4%-5%)<br />

dapat terjadi jika robekan lebar dan dalam, lebih-lebih jika mengenai pembuluh darah dapat<br />

menimbulkan perdarahan yang hebat. (5). Kelainan darah (0,5%-0,8%) karena kelainan proses<br />

pembekuan darah akibat hipofibri<strong>no</strong>genemia (Solusio plasenta, Retensio janin mati dalam<br />

uterus, Emboli air ketuban) (Admin, 2009 :1).<br />

Perdarahan post partum dapat terjadi tiba – tiba dan bahkan sangat lambat, perdarahan<br />

sedang tetapi menetap dapat berlanjut dalam beberapa hari/minggu. Perdarahan dapat terjadi<br />

dini selama 24 jam setelah melahirkan atau lambat 24 jam setelah melahirkan, sampai hari ke 28<br />

post partum (Bobak dkk, 2004;664).<br />

Upaya bidan untuk menangani perdarahan yaitu dengan meningkatkan upaya preventif<br />

seperti meningkatkan penerimaan keluarga berencana (KB) sehingga memperkecil jumlah<br />

grandemultipara dan memperpanjang jarak kehamilan. Melakukan konsultasi terhadap<br />

kehamilan ganda/dugaan janin besar (makrosomia) dan mengurangi peranan pertolongan<br />

persalinan oleh dukun tidak terlatih.<br />

Berdasarkan data rekam medis yang diperoleh dari Rumah Bersalin Medika Utama<br />

Wo<strong>no</strong>kupang, Kecamatan Balong Bendo, Kabupaten Sidoarjo didapatkan data tahun 2008<br />

88


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

yaitu jumlah persalinan didapat 572 persalinan dengan 366 persalinan <strong>no</strong>rmal (63,98%) dan<br />

206 perabdominal (36,01%), 29 persalinan (5,06%) mengalami perdarahan post partum.<br />

Berdasarkan fe<strong>no</strong>mena diatas yaitu kejadian perdarahan post partum sebanyak 5.06%<br />

merupakan angka yang tergolong tinggi pada kejadian patologi persalinan. Oleh sebab itu<br />

peneliti ingin meneliti lebih lanjut tentang hubungan jarak persalinan dengan perdarahan post<br />

partum di Rumah Bersalin Medika Utama Wo<strong>no</strong>kupang, Kecamatan Balongbendo, Sidoarjo<br />

tahun 2009.<br />

B. TINJAUAN PUSTAKA<br />

1. Konsep Dasar Jarak Persalinan<br />

a. Pengertian<br />

1) Jarak persalinan adalah waktu antara persalinan terakhir dengan kehamilan sekarang<br />

(Mufdlilah, 2009 : 71).<br />

2) Jarak persalinan adalah jarak kehamilan tak kurang dari 9 bulan hingga 24 bulan sejak<br />

kelahiran pertama (Agus Supriyadi, 2005 : 1).<br />

b. Faktor Penyebab Jarak Persalinan<br />

b. Jarak Persalinan Aman<br />

Jarak ideal untuk kehamilan yaitu tidak kurang dari 2 tahun dan lebih dari 5 tahun.<br />

Namun untuk jarak 2 tahun masih terdapat prasyarat, asalkan nutrisi ibu baik. "Bila gizi ibu<br />

tidak bagus, berarti tubuhnya belum cukup prima untuk kehamilan berikutnya‖.<br />

Perhitungan tidak kurang dari 9 bulan ini atas dasar pertimbangan kembalinya<br />

organ-organ reproduksi pada keadaan semula. Makanya ada istilah masa nifas, yaitu masa<br />

organ-organ reproduksi kembali ke masa sebelum hamil. Namun masa nifas berlangsung<br />

hanya empat puluh hari, sementara organ-organ reproduksi baru kembali pada keadaan<br />

semula minimal 3 bulan.<br />

1) Faktor-faktor yang mempengarui jarak persalinan yaitu :<br />

a) Keadaan uterus<br />

Uterus sewaktu tidak hamil beratnya hanya 30 g. Setelah hamil, beratnya hampir<br />

1 kg atau 1000 g. Kenaikannya hampir 30 kali lipat. Setelah persalinan, beratnya<br />

berkurang mencapai 60 g, untuk mencapai 30 g kembali butuh waktu kira-kira 3<br />

bulan.<br />

b) Sistem aliran darah<br />

Selama hamil, ada sistem aliran darah dari ibu ke janin. Setelah lahir, tentunya<br />

aliran darah ini terputus. Untuk kembali ke kondisi aliran darah yang <strong>no</strong>rmal, ibu<br />

butuh waktu sekitar 15 hari setelah melahirkan.<br />

c) Gizi ibu selama hamil<br />

Untuk memulihkan energi, ibu harus meningkatkan gizinya. Energi baru benarbenar<br />

prima seperti keadaan sebelum melahirkan setelah 9 bulan. Kalau belum 9<br />

bulan, belum begitu prima energi ibu walaupun kelihatan tubuhnya sehat-sehat<br />

saja.<br />

2) Jarak Terlalu Dekat (< 2 tahun)<br />

Jarak kehamilan terlalu pendek atau kurang dari 9 bulan akan sangat berbahaya,<br />

karena organ-organ reproduksi seperti : uterus, serviks, vulva, perineum, dan sistem<br />

perkemihan belum kembali kekondisi semula. Ibu harus menjaga kondisi<br />

kehamilannya dengan lebih intensif, artinya, kehamilan tersebut harus terus dipantau<br />

lebih ketat. Seperti pada trimester I dan II dilakukan sebulan sekali, saat menginjak<br />

usia kehamilan 28 minggu 3 minggu sekali, di usia kehamilan 32 minggu dilakukan<br />

pemeriksaan 2 minggu sekali, dan setelah usia kehamilan 38 minggu seminggu sekali.<br />

Resiko jarak perrsalinan apabila terlalu dekat antara lain :<br />

a) Keadaan Gizi Ibu<br />

89


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Keadaan gizi ibu yang belum prima ini membuat gizi janinnya juga sedikit,<br />

hingga pertumbuhan janinnya tak memadai yang dikenal dengan istilah PJT atau<br />

pertumbuhan janin terhambat.<br />

b) Kelahiran Premature<br />

Kemungkinan kelahiran prematur juga bisa terjadi pada kehamilan jarak dekat,<br />

terutama bila kondisi ibu juga belum begitu bagus. Padahal, kelahiran prematur<br />

erat kaitannya dengan kematian, khususnya jika paru-paru bayi belum terbentuk<br />

sempurna.<br />

c) Plasenta Previa<br />

Plasenta previa sangat erat kaitannya dengan gizi yang rendah, karena plasenta<br />

punya kecenderungan mencari tempat yang banyak nutrisinya. Kalau yang<br />

banyak nutrisinya itu terletak di bagian bawah uterus atau rahim, maka di situlah<br />

ia akan menempel. Akibatnya bisa menutup jalan lahir yang memungkinkan<br />

untuk terjadi perdarahan.<br />

d) Kekurangan Gizi<br />

Pada kehamilan jarak dekat, kemungkinan kekurangan gizi ini amat besar sebab<br />

ibu masih menyusui bayinya. Dengan demikian nutrisi ibu jadi berkurang, hingga<br />

janinnya juga bisa semakin kekurangan gizi. Oeh karena itu, jika ketahuan hamil,<br />

pemberian ASI sebaiknya segera dihentikan. Karena dapat mengakibatkan<br />

keguguran. Selama menyusui, ada pengaruh oksitosin pada isapan mulut bayi.<br />

Oksitosin ini membuat perut ibu jadi tegang atau kontraksi. Pada kehamilan<br />

muda, bisa terjadi perdarahan atau ancaman keguguran.<br />

e) Partus Lama<br />

Jika ibu bisa mempertahankan kehamilannya hingga waktu persalinan tiba, tidak<br />

berarti aman-aman saja. Soalnya, bukan tak mungkin kendala justru menghadang<br />

saat persalinan. Bahayanya, ibu mengalami kelelahan saat proses persalinan.<br />

Untuk mengejan dan hisnya juga susah. Hingga bisa menimbulkan partus atau<br />

persalinan lebih lama (Agus Supriyadi, 2005 : 5).<br />

f) Perdarahan Post Partum<br />

Jarak persalinan kurang dari 2 tahum beresiko terjadinya perdarahan post partum,<br />

Hal ini disebabkan karena organ-organ reproduksi yang belum kembali ke kondisi<br />

semula, sehingga dapat menyebabkan terganggunya kontraksi uterus yang<br />

memicu terjadinya atonia uteri sehingga menyebabkan perdarahan post partum.<br />

3) Jarak Terlalu Jauh<br />

Jarak kehamilan tidak boleh lebih dari 5 tahun. Seorang ibu juga harus memikirkan<br />

usia saat kehamilan berikutnya, berarti ibu masuk dalam kategori resiko tinggi.<br />

Sementara usia reproduksi yang paling bagus adalah 20-30 tahun.<br />

Resiko yang dapat terjadi bila jarak persalinan terlalu jauh:<br />

a) Perdarahan Post Partum<br />

Ibu hamil usia di atas 35 tahun punya resiko 4 kali lipat dibanding sebelum usia<br />

35 tahun. Tidak hanya itu, saat persalinan juga berisiko terjadi perdarahan post<br />

partum. Hal ini disebabkan otot-otot rahim tak selentur dulu, sehingga saat<br />

mengkerut kembali bisa terjadi gangguan yang berisiko terjadi Hemorargi Post<br />

Partum (HPP).<br />

b) Preeklamsi dan eklamasi<br />

Risiko terjadi preeklamsi dan eklamsi juga sangat besar, karena terjadi kerusakan<br />

sel-sel endotel dan sirkulasi darah ibu ke janin dan plasenta terganggu, hingga<br />

suplai makanan dari ibu ke janin terganggu pula.<br />

c) Masalah Psikis<br />

Bahaya lain juga dapat terjadi seperti masalah psikis. Bila saja ibu sudah lupa<br />

dengan cara menghadapi kehamilan dan persalinan. Misalnya bagaimana cara<br />

mengejan sehingga dapat menimbulkan stress baru lagi (Agus Supriyadi, 2005:7).<br />

90


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

2. Konsep Dasar Perdarahan Post Partum<br />

a. Definisi :<br />

1) Perdarahan post partum adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam setelah<br />

persalinan berlangsung (Hanifa, 2005 : 188).<br />

2) Perdarahan post partum adalah kehilangan 500 ml darah atau lebih setelah kelahiran<br />

pervaginam (Bobak dkk, 2004 : 663).<br />

3) Perdarahan post partum adalah kehilangan darah sebanyak 500 ml atau lebih dari<br />

traktus genetalis setelah melahirkan (WHO, 2002 : 44).<br />

4) HPP biasanya kehilangan darah lebih dari 500 ml selama atau setelah kelahiran<br />

(Dongoes, 2001 : 54).<br />

b. Pembagian Perdarahan Post Partum<br />

Perdarahan post partum di bagi menjadi 2 yaitu :<br />

1) Perdarahan post partum dini/primer terjadi dalam 24 jam pertama setelah melahirkan<br />

(early post partum hemorrhage). Hampir selalu disebabkan karena atonia uteri,<br />

laserasi jalan lahir, retensio plasenta, dan sisa plasenta (Bobak dkk, 2004 : 664).<br />

Penyebab :<br />

a) Uterus atonik terjadi karena plasenta, selaput ketuban tertahan dan overdistensi<br />

uterus<br />

b) Trauma genital (meliputi penyebab spontan dan trauma akibat<br />

penetalaksanaan/gangguan). Misalnya kelahiran yang menggunakan peralatan<br />

termasuk SC dan episiotomi.<br />

c) Kolagulasi intravaskuler desiminata (jarang terjadi)<br />

d) Invertio Uteri (jarang terjadi)<br />

2) Perdarahan post partum lanjut/sekunder terjadi 24 jam setelah melahirkan sampai hari<br />

ke 28 post partum (late post partum hemorrhage). Paling umum merupakan akibat sub<br />

in<strong>vol</strong>usio tempat plasenta, jaringan plasenta tertahan atau infeksi (Bobak dkk, 2004 :<br />

664).<br />

Penyebab :<br />

a) Fragmen plasenta/selaput ketuban tertahan<br />

b) Pelepasan jaringan mati setelah persalinan macet (dapat terjadi di servik, vagina,<br />

kandung kamih, dan rektum)<br />

3) Terbukanya luka pada uterus (setelah SC atau rupture uteri)<br />

c. Etiologi<br />

Kehilangan darah terjadi akibat arterial spiral miometrium dan vena desi dua<br />

sebelumnya di drainase ruang intervilus palsenta karena kontraksi dalam rahim yang<br />

sebagian kosong menyebabkan perusakan plasenta, terjadilah perdarahan dan berlanjut<br />

hingga otot rahim berkontaksi disekitar pembuluh darah dan bekerja sebagai pengikat<br />

fisiologik anatomi. Kegagalan kontraksi rahim setelah pemisahan plasenta (atonia uteri)<br />

mengakibatkan perdarahan yang berlalu banyak di tempat plasenta (Hacker, 2001: 319).<br />

Perdarahan pada suatu tempat didalam tubuh baru terjadi jika keutuhan pembuluh<br />

darah terganggu atau terbuka dan mekanisme pembekuan darah tidak mampu<br />

membendungnya. Frekuensi perdarahan post partum 4/5%-15% dari seluruh persalinan<br />

berdasarkan penyebabnya :<br />

1) Atonia Uteri (50%-60%)<br />

Akibat kurangnya kuatnya otot-otot uterus untuk berkontraksi sehingga menyebabkan<br />

pembuluh darah dan bekas perlekatan plasenta terbuka sehingga perdarahan terus<br />

menerus. Faktor predisposisinya adalah :<br />

a) Umur yang terlalu tua atau muda<br />

b) Paritas, sering dijumpai pada multipara dan grandemulti<br />

c) Partus lama dan partus terlantar<br />

d) Uterus yang terlalu tegang : gemeli, hidramnion dan janin besar<br />

e) Obstetrik operatif dan narkosa<br />

91


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

f) Keluhan pada uterus seperti mioma uteri<br />

g) Faktor sosial, eko<strong>no</strong>mi dan nutrisi<br />

h) Keadaan anemia<br />

2) Retensio Plasenta (16%-17 %)<br />

Retensio plasenta adalah tertahannya sisa plasenta melebihi 30 menit setelah bayi lahir<br />

(Prawiroharjo, 2005 : 656).<br />

Akibat-akibat dari retensio plasenta adalah :<br />

a) Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena tambah melekat lebih dalam.<br />

b) Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena atonia uterus atau akan<br />

menyebabkan perdarahan banyak karena adanya lingkaran konstriksi dan pada<br />

bagian segmen bawah rahim akibat kesalahan penanganan kala III yang akan<br />

mengahalangi plasenta keluar. Retensio plasenta bsa terjadi seluruh atau sebagian<br />

plasenta masuk terdapat di dalam rahim sehingga akan mengganggu kontraksi<br />

dan retraksi menyebabkan sinus-sinus darah tetap terbuka menimbulkan<br />

terjadinya perdarahan post partum, begitu bagian plasenta terlepas dari dinding<br />

rahim, maka perdarahan terjadi di bagian tersebut bagian plasenta yang masih<br />

melekat, mengimbangi retraksi miometrium dan perdarahan berlangsung sampai<br />

sisa plasenta tersebut terlepas seluruhnya.<br />

3) Sisa plasenta dan selaput ketuban (23%-24%)<br />

Sisa plasenta atau selaput janin yang menghalangi kontraksi uterus sehingga masih ada<br />

perdarahan yang tetap terbuka dan akan menyebabkan terjadinya perdarahan<br />

(Sarwo<strong>no</strong>, 2005 : 189).<br />

Perdarahan post partum dapat terjadi sebagai akibat tertinggalnya sisa plasenta atau<br />

selaput janin. Bila hal tersebut terjadi harus segera di keluarkan secara manual atau<br />

dikiret dan disusul dengan pemberian obat-obatan oksitosin intravena (Sarwo<strong>no</strong>,<br />

2005:197).<br />

4) Robekan jalan lahir (5%-6%)<br />

Perlukaan jalan lahir karena persalinan dapat mengenai perineum, vulva, vagina dan<br />

uterus. Jenis perlukaan ringan berupa luka lecet, yang berat berupa suatu robekan yang<br />

disertai perdarahan hebat. Pada primigravida yang melahirkan bayi cukup bulan,<br />

perlukan jalan lahir tidak dapat dihindarkan (Sarwo<strong>no</strong>, 2005 : 409).<br />

Pada umumnya luka yang kecil dan supervisial tidak terjadi perdarahan yang banyak,<br />

akan tetapi jika robekan jalan lahir lebar dan dalam, lebih-lebih jika mengenai<br />

pembuluh darah menimbulkan perdarahan yang hebat (Sarwo<strong>no</strong>, 2005 : 180).<br />

Adapun perlukaan jalan lahir dapat terjadi pada :<br />

a) Dasar panggul berupa episiotomi atau robekan perineum spontan<br />

b) Vulva dan vagina<br />

c) Serviks uteri<br />

d) Uterus<br />

5) Kelainan darah (0,4%-0,6%)<br />

Kelainan pembekuan darah misalnya afibri<strong>no</strong>genemia atau hipofibri<strong>no</strong>genemia.<br />

Tanda-tanda yang sering dijumpai :<br />

a) Perdarahan yang banyak<br />

b) Solusio plasenta<br />

c) Kematian janin yang lama dalam kandungan<br />

d) Pre eklamsi dan eklamsi<br />

e) Infeksi, hepatitis dan syok septik<br />

Penyakit darah seperti anemia berat yang tidak di obati selama kehamilan tua dapat<br />

menyebabkan partus lama, perdarahan dan infeksi. Perdarahan dapat disebabkan oleh<br />

gangguan pembekuan darah karena meningkatnya aktifitas fibrinilitik dan turunnya<br />

kadar fibri<strong>no</strong>gen serum (Sarwo<strong>no</strong>, 2002 : 458).<br />

d. Faktor predisposisi yang menyebabkan perdarahan post partum adalah sebagai berikut :<br />

92


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

1) Anemia<br />

Seseorang baik pria maupun wanita, dinyatakan menderita anemia apabila kadar<br />

hemoglobin dalam darahnya kurang dari 12 gr/100 ml. Anemia lebih sering dijumpai<br />

dalam kehamilan. Keperluan akan zat-zat makanan bertambah dan terjadi pula<br />

perubahan-perubahan dalam darah dan sumsum tulang untuk wanita hamil yang<br />

memiliki Hb kurang dari 10 gr/100 ml barulah dikatakan menderita anemia dalam<br />

kehamilan (Hanifa, 2005 : 448).<br />

Anemia akan membuat maternal merasa lelah dan kurang mampu merawat dirinya<br />

sendiri, meyusui dan memberi makan bayinya serta keluarganya. Hal tersebut akan<br />

mempengaruhi kesehatan dan keamanan seluruh keluarga (WHO, 2002 : 46).<br />

Berbagai penyulit dapat timbul karena anemia seperti :<br />

a) Abortus<br />

b) Partus premature<br />

c) Partus lama karena inertia uteri<br />

d) Perdarahan post partum karena atonia<br />

e) Syok<br />

f) Infeksi<br />

(Hanifa, 2005 : 45).<br />

2) Overdistensi uterus<br />

a) Gemeli<br />

Kehamilan kembar adalah salah satu kehamilan dengan 2 janin atau lebih. Bahaya<br />

bagi ibu pada kehamilan kembar lebih besar dari pada kehamilan tunggal, kerena<br />

sering terjadi anemia, pre eklamsi dan eklamsi, operasi obstetric dan perdarahan<br />

post partum (Hanifa, 2005 : 396).<br />

b) Hidramnion<br />

Hidramnion adalah suatu keadaan dimana jumlah air ketuban lebih banyak dari<br />

<strong>no</strong>rmal, biasanya lebih dari 2 liter. Hidramnion berpotensi terjadi atonia uteri<br />

yang berakibat pada perdarahan post partum karena peregangan uterus yang<br />

berlebihan (Hanifa, 2005 : 252).<br />

c) Janin besar (janin > 4000 gr)<br />

3) Multi paritas<br />

Uterus yang melahirkan banyak anak cenderung bekerja tidak efisien dalam semua<br />

kala dalam persalinan.<br />

Karena ibu sering melahirkan, maka, kemungkinan akan di temui keadaan kesehatan<br />

terganggu anemia, kurang gizi, kekendoran dinding perut, tampak ibu dengan perut<br />

menggantung, kekendoran dinding rahim, sedangkan bahaya yang dapat terjadi antara<br />

lain adalah kelainan letak, robekan rahim pada kelainan lintang persalinan lama,<br />

perdarahan pasca persalinan (Rochjati, 2003 : 60).<br />

4) Jarak persalinan<br />

Jarak persalinan yang sehat adalah 2-5 tahun. Yang mana dapat mengembalikan<br />

fungsi–fungsi organ kandungan (in<strong>vol</strong>usio). Jika jarak persalinan kurang dari 2 tahun<br />

atau lebih dari 5 tahun, maka dapat mengakibatkan berbagai macam penyulit terutama<br />

untuk kesehatan fisik dan rahim yang masih belum cukup istirahat dan pemulihan<br />

kesehatan secara keseluruhan. Apabila berlanjut dapat mengakibatkan kematian<br />

maternal 2 1/5 kali lebih besar (Rochjati, 2003 : 56).<br />

5) Persalinan lama<br />

Persalinan lama dapat menyebabkan kelelahan. Bukan hanya rahim yang lelah<br />

cenderung berkonsentrsi lemah setelah melahirkan. Tetapi juga ibu yang keletihan<br />

kurang mampu bertahan terhadap kehilangan darah (Oxorn, 2003 : 414).<br />

6) Persalinan dengan tindakan narkosa<br />

Melahirkan dengan tindakan ini mencakup prosedur terhadap prosedur operatif seperti<br />

forcep tengah dan versi ekstraksi yang mempunyai komplikasi perdarahan.<br />

93


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

e<br />

Anastesi inhalasi yang dalam dan lama merupakan faktor yang sering menjadi<br />

penyebab terjadinya relaksasi miometrium yang menjadi penyebab terjadinya<br />

kontraksi serta retraksi atonia uteri dan perdarahan post partum (Oxorn, 2003 : 419).<br />

Manifestasi klinis<br />

Perdarahan post partum perlu diperhatikan ada perdarahan yang membuat hipotensi<br />

dan anemia. Apabila dibiarkan terus pasien akan jatuh dalan keadaan syok. Perdarahan<br />

yang terjadi dapat deras dan merembes saja, perdarahan yeng deras biasanya akan segera<br />

menarik perhatian, sehingga cepat ditangani. Sedangkan perdarahan yang merembes karena<br />

kurang nampak sering kali tidak mendapat perhatian yang seharusnya. Perdarahan yang<br />

bersifat merembes ini bila berlangsung lama akan mengakibatkan kehilangan darah yang<br />

banyak. Untuk menentukan jumlah perdarahan, maka darah yang keluar setelah uri lahir<br />

harus dicatat dan ditampung. Kadang-kadang perdarahan tidak terjadi keluar dari vagina,<br />

tetapi menumpuk di vagina dan di dalam uterus. Keadaan ini biasanya diketahui karena<br />

adanya kenaikan dari tingginya fundus uteri setelah uri lahir (Hanifa, 2005 : 189).<br />

Gejala klinis umum yang terjadi adalah kehilangan darah dalam jumlah banyak<br />

(>500 ml), nadi lemah, pucat, lokhe berwarna merah, haus, pusing, gelisah, letih, dan dapat<br />

terjadi syok hipo<strong>vol</strong>emik, tekanan darah rendah, ekstremitas dingin, dan mual.<br />

1) Gejala klinis perdarahan post partum<br />

a) Perdarahan pervaginam<br />

b) Konsistensi rahim lunak<br />

c) Fundus uteri naik (kalau pengaliran darah terhalang oleh bekuan darah atau<br />

selaput janin)<br />

f.<br />

2) Tanda-tanda syok<br />

Diag<strong>no</strong>sis<br />

Tabel 42. Diag<strong>no</strong>sis perdarahan post partum<br />

Gejala dan tanda yang selalu ada<br />

Gejala dan tanda yang Diagosis<br />

a. Uterus tidak berkontraksi dan<br />

lembek<br />

b. Perdarahan segera setelah anak<br />

lahir (perdarahan pasca<br />

perdarahan primer )<br />

a. Perdarahan segera<br />

b. Darah segar yang mengalir<br />

segera setelah anak lahir<br />

c. Uterus berkontraksi baik<br />

d. plasenta lengkap<br />

a. Plasenta belum lahir setelah 30<br />

menit<br />

b. Perdarahan segera<br />

a. Plasenta/sebagian selaput<br />

(pembuluh darah tidak lengkap)<br />

b. Perdarahan segera<br />

a. Uterus tidak teraba<br />

b. Lumen vagina teraba masa<br />

c. Tampak tali pusat (jika plasenta<br />

lahir)<br />

d. Nyeri sedikit atau berat<br />

kadang ada kemungkinan<br />

a. Syok Atonia Uteri<br />

94<br />

a. Pucat<br />

b. Lemah<br />

c. Menggigil<br />

a. tali pusat putus akibat<br />

traksi berlebih<br />

b. invertia uteri akibat<br />

tarikan<br />

c. perdarahan berlanjut<br />

a. Uterus berkontraksi<br />

tetapi tinggi fundus uteri<br />

tidak berkurang<br />

a. Syok neurogenik<br />

b. Pucat dan limbung<br />

Robekan Jalan<br />

Lahir<br />

Retensio<br />

plasenta<br />

Tertinggalnya<br />

sebagian<br />

plasenta<br />

Invertio Uteri


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

a. Sub in<strong>vol</strong>usio uterus<br />

b. Nyeri tekan perut bagian bawah<br />

c. Perdarahan > 24 jam setelah<br />

persalinan, perdarahan sekunder,<br />

perdarahan bervariasi<br />

(ringan/berat, terus/tidak teratur<br />

dan berbau/infeksi)<br />

95<br />

a. Anemia<br />

b. Demam<br />

Perdarahan<br />

terlambat<br />

endometritis/sisa<br />

plasenta<br />

(terinfeksi atau<br />

tidak)<br />

(Syaifuddin, 2005 : 175)<br />

g. Penanganan dan pencegahan perdarahan post partum<br />

1) Pencegahan perdarahan post partum<br />

Mencegah atau sekurang-kurangnya bersikap siaga pada kasus-kasus yang di sangka<br />

terjadi peradarahan adalah penting. Tindakan peradarahan tidak hanya dilakukan<br />

sewaktu bersalin, namun dimulai sejak hamil dengan melaksanakan antenatal care<br />

dengan baik. Ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan post partum<br />

sangan di anjurkan untuk bersalin di rumah sakit.<br />

2) Penanganan umum<br />

a) Meminta bantuan segera mobilisasi seluruh tenaga yang ada sampai UGD<br />

b) Melakukan pemeriksaan secara tepat keadaan ibu termasuk tanda-tanda vital<br />

c) Tanda-tanda syok terlihat, evaluasi cepat, kemudian tangai syok<br />

d) Pastikan kontraksi uterus baik<br />

e) Pasang infuse cairan intravena<br />

f) Kateter atau pantau cairan keluar dan cairan masuk<br />

g) Periksa kelengkapan plasenta<br />

h) Periksa robekan serviks, vagina dan perineum<br />

i) Uji darah<br />

Untuk daerah terpencil dimana terdapat bidan, maka bidan melakukan tindakan<br />

dengan urutan :<br />

a) Pasang infuse<br />

b) Pemberian uterotonuka intravena 3-5 unit oksitosin/ergometrin 0,5 – 1 cc<br />

c) Kosongkan kandung kemih dan masase uterus (fundus )<br />

d) Menekan uterus ( perasat crede )<br />

e) Periksa apa masih ada plasenta yang tertinggal<br />

f) Bila masih berdarah dalam keadaan darurat dapat melakukan penekanan pada<br />

fundus uteri/kompresi bimanual.<br />

C. METODE PENELITIAN<br />

1. Desain Penelitian<br />

Jenis penelitian ini adalah Analitik. Rancang bangun penelitian yang digunakan adalah<br />

Studi Cross Sectional yang merupakan rancangan penelitian pada saat bersamaan (sekali waktu)<br />

antara faktor resiko/paparan dengan penyakit (Hidayat, 2007 : 56). Dalam penelitian ini yang<br />

dimaksud dengan faktor resiko adalah jarak persalinan dan perdarahan post partum sebagai<br />

efeknya<br />

2. Hipotesis<br />

Menurut Notoatmodjo (2005) hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari<br />

pertanyaan penelitian yang dirumuskan dalam bentuk hubungan antara dua variabel dan<br />

merupakan pernyataan yang harus dibuktikan.<br />

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :<br />

H1 : Ada hubungan jarak persalinan dengan perdarahan post partum di Rumah Bersalin Medika<br />

Utama, Wo<strong>no</strong>kupang Kecamatan Balongbendo Kabupaten Sidoarjo tahun 2009.<br />

3. Variabel Dan Definisi Operasional<br />

Variabel independen adalah variabel yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya<br />

variabel dependen (terikat). Variabel ini dikenal dengan nama variabel bebas dalam


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

mempengaruhi variabel lain (Hidayat, 2007 : 37). Variabel independen/variabel bebas dalam<br />

penelitian ini adalah jarak persalinan.<br />

Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi/dapat berubah akibat pengaruh<br />

variabel independen (Hidayat, 2007 : 37). Variabel dependen/variabel terikat dalam penelitian<br />

ini adalah perdarahan post partum.<br />

Tabel 43. Definisi Operasional Hubungan Jarak Persalinan Dengan Perdarahan Post<br />

Partum Di Rumah Bersalin Medika Utama Wo<strong>no</strong>kupang, Kecamatann<br />

Balongbendo, Kabupaten Sidoarjo Tahun 2009<br />

Variabel Definisi Operasional Kriteria Skala<br />

Independen : jarak<br />

persalinan<br />

Dependen :<br />

Perdarahan post<br />

partum<br />

Jarak atau interval antara<br />

persalinan terakhir dengan<br />

kehamilan sekarang<br />

(Mufdlilah, 2009 : 71).<br />

Alat ukur yang digunakan<br />

yaitu format pengumpulan data<br />

(cheklist)<br />

Kehilangan darah lebih dari<br />

500 ml selama atau setelah<br />

kelahiran.<br />

(Dongoes, 2001 : 54)<br />

Alat ukur yang digunakan<br />

yaitu format pengumpulan data<br />

(cheklist)<br />

96<br />

Jarak 500 ml : 1<br />

2. Ibu bersalin dengan<br />

tidak HPP < 500 ml<br />

: 2<br />

(Dongoes, 2001 : 54)<br />

Nominal<br />

Nominal<br />

4. Populasi, Sampel Dan Instrumen Penelitian<br />

Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu bersalin di Rumah Bersalin Medika<br />

Utama, Wo<strong>no</strong>kupang Kecamatan Balongbendo Kabupaten Sidoarjo pada 1 Januari-31<br />

Desember 2009 sebanyak 386 ibu bersalin.<br />

Sampel yang di gunakan dalam penelitian ini adalah Non Probability Sampling dengan<br />

teknik Total sampling, yaitu mengambil seluruh anggota populasi sebagai sampel. Sampel yang<br />

di gunakan adalah sebanyak 386 ibu bersalin pada pada 1 Januari – 31 Desember 2009 .<br />

Teknik dalam pengumpulan data ini adalah menggunakan teknik observasi sehingga<br />

menghasilkan data sekunder. yang di peroleh dari buku register ibu bersalin di Rumah bersalin<br />

Medika Utama, Wo<strong>no</strong>kupang Kecamatan Balong Bendo Kabupaten Sidoarjo dari tanggal 1<br />

Januari sampai 31 Desember 2009 dengan menggunakan format pengumpul data (Cheklist) data<br />

sekunder dan di tabulasi kemudian dianalisa.<br />

5. Teknik Analisis Data<br />

a. Tahapan univariat<br />

1) Variabel independen (Jarak Persalinan )<br />

Data dalam penelitian ini adalah data <strong>no</strong>minal, setelah data di peroleh dari register ibu<br />

bersalin kemudian data ditabulasikan dan dikelompokkan sesuai dengan sub variabel<br />

yang diteliti. Kejadian yang diharapkan diberi kode 1 dan penilaian. Kejadian dengan<br />

jarak persalinan


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Keterangan :<br />

P : Presentase<br />

f : Jumlah frekuensi<br />

n : Jumlah populasi<br />

2) Variabel dependen (Perdarahan post partum)<br />

Data dalam penelitian ini adalah data <strong>no</strong>minal, kemudian data dengan jarak persalinan<br />

(0.05<br />

maka Ho diterima, H1 ditolak artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel<br />

independen dan variabel dependen.<br />

97


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

D. HASIL PENELITIAN<br />

1. Data Umum<br />

a. Distribusi frekuensi responden berdasarkan Usia<br />

Tabel 44. Distribusi Frekuensi Ibu Bersalin Berdasarkan Usia di RB Medika Utama<br />

Wo<strong>no</strong>kupang Kecamatan Balongbendo Kabupaten Sidoarjo 1 Januari – 31<br />

Desember 2009<br />

No. Usia Jumlah Presentase (%)<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

< 20 Tahun<br />

20-30 Tahun<br />

> 30 Tahun<br />

98<br />

67<br />

236<br />

83<br />

17,4<br />

61,2<br />

21,4<br />

Jumlah 386 100<br />

Sumber : Register ibu bersalin RB Medika Utama<br />

Berdasarkan tabel 44 diatas menunjukkan bahwa dari 386 responden sebagaian<br />

besar ibu bersalin berusia 20 - 30 Tahun, yaitu sebanyak 236 responden ( 61,2% ).<br />

b. Distribusi frekuensi responden berdasarkan Pendidikan<br />

Tabel 45. Distribusi Frekuensi Ibu Bersalin Berdasarkan Pendidikan di RB Medika<br />

Utama Wo<strong>no</strong>kupang Kecamatan Balongbendo Kabupaten Sidoarjo 1<br />

No.<br />

Januari – 31 Desember 2009<br />

Pendidikan Jumlah Presentase ( % )<br />

1. Tidak sekolah<br />

5<br />

1,1<br />

2. SD<br />

115<br />

29,8<br />

3. SMP<br />

158<br />

41,0<br />

4. SMA/Sederajat<br />

93<br />

24,2<br />

5. Perguruan Tinggi<br />

15<br />

3,9<br />

Jumlah 386 100<br />

c.<br />

Sumber : Register ibu bersalin RB Medika Utama<br />

Berdasarkan tabel 46 diatas menunjukkan bahwa dari 386 responden hampir<br />

setengah dari ibu bersalin yang berpendidikan SMP yaitu sebanyak 158 responden<br />

(41,0%).<br />

Distribusi frekuensi responden berdasarkan Pekerjaan<br />

Tabel 46. Distribusi Frekuensi Ibu Bersalin Berdasarkan Pekerjaan di RB Medika<br />

Utama Wo<strong>no</strong>kupang Kecamatan Balongbendo Kabupaten Sidoarjo 1<br />

Januari – 31 Desember 2009<br />

No. Pekerjaan Jumlah Presentase (%)<br />

1. Bekerja<br />

80<br />

20,8<br />

2. Tidak Bekerja<br />

306<br />

79,2<br />

Jumlah 386 100<br />

d.<br />

Sumber : Register ibu bersalin RB Medika Utama<br />

Berdasarkan tabel 46 diatas menunjukkan bahwa dari 386 responden hampir<br />

seluruhnya ibu bersalin tidak bekerja yaitu sebanyak 306 responden ( 79,2% ).<br />

Distribusi frekuensi responden berdasarkan Paritas<br />

Tabel 47. Distribusi Frekuensi Ibu Bersalin Berdasarkan Paritas di RB Medika<br />

Utama Wo<strong>no</strong>kupang Kecamatan Balongbendo Kabupaten Sidoarjo 1<br />

Januari – 31 Desember 2009<br />

No. Paritas Jumlah Presentase (%)<br />

1. 1<br />

150<br />

38,8<br />

2. 2 – 4<br />

186<br />

48,3<br />

3. > 5<br />

50<br />

12,9<br />

Jumlah 386 100<br />

Sumber : Register ibu bersalin RB Medika Utama


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

2.<br />

Berdasarkan tabel 47 diatas menunjukkan bahwa dari 386 responden hampir setengah ibu<br />

bersalin mempunyai paritas 2-4 yaitu sebanyak 186 responden (48,3%).<br />

Data Khusus<br />

Data khusus ini menggambarkan tentang jarak persalinan ibu dan ibu bersalin yang<br />

mengalami perdarahan post partum, serta tabulasi silang jarak pesalinan ibu dengan perdarahan<br />

post partum di Rumah Bersalin Medika Utama Wo<strong>no</strong>kupang Kecamatan Balongbendo<br />

Kabupaten Sidoarjo Periode 1 Januari sampai 31 Desember 2009.<br />

a. Jarak Persalinan<br />

Berikut ini di sajikan tabel mengenai kejadian jarak persalinan ibu di Rumah<br />

Bersalin Medika Utama Wo<strong>no</strong>kupang Kecamatan Balongbendo Kabupaten Sidoarjo 1<br />

Januari - 31 Desember 2009<br />

Tabel 48. Distribusi Frekuensi Relatif Kejadian Jarak Persalinan Ibu di RB Medika<br />

Utama Wo<strong>no</strong>kupang Kecamatan Balongbendo Kabupaten Sidoarjo 1<br />

Januari – 31 Desember 2009<br />

No. Jarak Persalinan Jumlah Presentase (%)<br />

1. < 2 tahun<br />

42<br />

10,8<br />

2. ≥ 2 tahun<br />

344<br />

89,2<br />

Jumlah 386 100<br />

b.<br />

Sumber : Register ibu bersalin RB Medika Utama<br />

Berdasarkan tabel 48 diatas menunjukkan bahwa hampir seluruhnya responden ibu<br />

bersalin mempunyai jarak persalinan ≥ 2 tahun yaitu sebanyak 344 responden (89,2%)<br />

Perdarahan Post Partum<br />

Berikut ini di sajikan tabel mengenai kejadian perdarahan post partum di Rumah<br />

Bersalin Medika Utama Wo<strong>no</strong>kupang Kecamatan Balongbendo Kabupaten Sidoarjo Tahun<br />

2009<br />

Tabel 49. Distribusi frekuensi Relatif Kejadian Perdarahan Post Partum di RB<br />

Medika Utama Wo<strong>no</strong>kupang Kecamatan Balongbendo Kabupaten<br />

Sidoarjo 1 Januari – 31 Desember 2009<br />

No. Perdarahan Post Partum Jumlah Presentase(%)<br />

1. Perdarahan post partum > 500 ml<br />

33<br />

8,6<br />

2. Tidak perdarahan post partum < 500 ml 353<br />

91,4<br />

Jumlah 386 100<br />

c.<br />

Sumber : Register ibu bersalin RB Medika Utama<br />

Berdasarkan tabel 49 diatas menunjukkan bahwa dari 386 responden hampir<br />

seluruhnya ibu bersalin tidak terjadi perdarahan post partum yaitu sebanyak 353 responden<br />

(91,4%).<br />

Hubungan jarak persalinan dengan perdarahan post partum<br />

Berikut ini akan di sajikan keterkaitan antara kedua variabel yaitu jarak persalinan<br />

dengan perdarahan post partum di Rumah Bersalin Medika Utama Wo<strong>no</strong>kupang<br />

Kecamatan Balongbendo Kabupaten Sidoarjo Tahun 2009<br />

Tabel 50. Tabulasi Silang jarak persalinan Dengan Perdarahan Post Partum di RB<br />

Medika Utama Wo<strong>no</strong>kupang Kecamatan Balongbendo Kabupaten<br />

Sidoarjo 1 Januari – 31 Desember 2009<br />

Perdarahan Post Partum Jumlah<br />

Ya (%) Tidak (%) Total (%)<br />

Jarak Persalinan


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Berdasarkan tabel 50 menunjukkan bahwa dari 386 responden hampir seluruhnya<br />

yang memiliki jarak pesalinan ≥ 2 thn dan tidak mengalami perdarahan post partum yaitu<br />

323 responden (83,7%).<br />

Untuk mengetahui hubungan antara jarak persalinan dengan perdarahan post<br />

partum maka dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji Chi Square, karena dengan<br />

menggunakan uji Chi Square tidak terpenuhi yaitu adanya sel dengan frekuensi harapan<br />


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

kemungkinan dapat terjadi preeklamsia, ketuban pecah dini, persalinan macet, dan perdarahan<br />

post partum (Poedjirochyati, 2003 : 62).<br />

Pada responden yang paritas 2-4 yaitu sebanyak 16 responden (4,6%) mengalami<br />

perdarahan post partum. Bila ibu sering melahirkan maka akan terjadi kekendoran pada otot<br />

dinding rahim sehingga kondisi ini dapat membahayakan kondisi ibu dan janin. Diantaranya<br />

kelainan letak, robekan rahim pada kelainan letak lintang, persalinan lama dan perdarahan post<br />

partum (Poedjirochyati, 2003 : 62).<br />

Dari data diatas menunjukkan bahwa ibu bersalin yang usianya lebih tua dan<br />

mempunyai paritas tinggi mempunyai pengaruh terhadap perdarahan post partum dikarenakan<br />

fungsi pada uterus sudah berkurang. Data ini menunjukkan bahwa usia dan paritas ibu bersalin<br />

mempengarui terjadinya perdarahan post partum.<br />

Perdarahan post partum dapat juga timbul karena salah penanganan kala III persalinan<br />

dengan memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan plasenta,<br />

sedangkan sebenarnya plasenta belum terlepas. Kadang-kadang perdarahan kelaianan proses<br />

pembekuan darah akibat dari hipofibri<strong>no</strong>genemia (solusio plasenta, retensio plasenta, retensi<br />

jani mati dalam uterus, emboli air ketuban). Apabila sebagian plasenta lepas sebagaian lagi<br />

belum, terjadi perdarahan karena uterus tidak berkontraksi dengan baik pada batas antara dua<br />

bagian itu. Selanjutnya, apabila sebagian besar plasenta sudah lahir tapi sebagaian plasenta<br />

masih melekat pada dinding uterus, dapat timbul perdarahan pada masa nifas. Perlukaan jalan<br />

lahir yang juga dapat menyebabkan perdarahan sebab terpenting perdarahan post partum adalah<br />

atonia uteri. Ini terjadi akibat dari partus lama, pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu<br />

hamil seperti hamil kemba, hidramnion, atau janin besar, multiparitas, anastesi yang dalam, dan<br />

anastesi lumbal. Oleh karena itu perdarahan post partum perlu diwaspadai karena dapat<br />

menimbulkan kematian pada ibu.<br />

3. Hubungan Jarak persalinan dengan perdarahan post partum<br />

Berdasarkan tebel diats dapat di ketahui bahwa dari 386 responden sebagian kecil ibu<br />

bersalin yang memiliki jarak persalinan kurang dari 2 tahun yaitu sebanyak 12 responden<br />

(3,1%) yang mengalami perdarahan post partum. Dan dibuktikan dengan uji statistik Fisher<br />

exact karena frekuensi harapan pada 1 sel < 5 dan di dapatkan hasil 0,000


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

perdarahan post partum maupun riwayat perdarahan post partum pada persalinan sebelumnya<br />

dianjurkan untuk bersalin di Rumah Sakit.<br />

Selain penanganan obstetrik yang baik di harapkan juga dapat digalakkan program KB<br />

(Keluarga Berencana ) dengan alasan program KB dapat mencegah proses kehamilan dan dapat<br />

memperpanjang jarak persalinan. Pertolongan yang dapat diberikan oleh ibu diantaranya yaitu<br />

diberikan komunikasi, informasi, edukasi agar melakukan perawatan kesehatan yang teratur.<br />

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa jarak persalinan mempunyai<br />

hubungan dengan perdarahan post partum.<br />

F. PENUTUP<br />

Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa dari 386 responden hampir<br />

seluruhnya ibu bersalin mempunyai jarak persalinan ≥ 2 tahun yaitu sebanyak 344 responden<br />

(89,2%), hampir seluruhnya ibu bersalin tidak terjadi perdarahan post partum yaitu sebanyak<br />

353 responden (91,4%). Dari uji statistik Fisher exact didapatkan hasil 0,000


HOSPITAL MAJAPAHIT Vol. 3 No. 1, Februari 2011<br />

Syaifudin Abdul Bari. (2005). Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Noenatal Edisi 1.<br />

Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwo<strong>no</strong> Prawiroharjo.<br />

Hacker er More. ( 2001 ) Esensial Obstetri Dan Ginekologi. Jakarta. Hipocrates.<br />

WHO. (2002) Safe Motherhood Modul hemorragie Post Partum Materi Pendidikan Bidan. Jakarta.<br />

EGC.<br />

William. (2006). Obstetri Williams. Jakarta : EGC.<br />

103

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!