Majalah Santunan edisi Mei 2010 - Kementerian Agama Prov Aceh
Majalah Santunan edisi Mei 2010 - Kementerian Agama Prov Aceh
Majalah Santunan edisi Mei 2010 - Kementerian Agama Prov Aceh
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
diturunkan kepada kedua raja ini bukan<br />
sihir, dihubungkan (‘athf) kepada sihir<br />
karena ia sejenis, dan ia juga tidak<br />
sama dengan wahyu meskipun disebut<br />
unzila karena unzila tidak selamanya<br />
dipakai untuk wahyu. Rasyid Ridha<br />
menukil pendapat gurunya yang<br />
melemahkan pendapat ( ) nafi itu (Al-<br />
Qurtubi, t.th.: II, 46).<br />
Berbeda dari perdebatan di atas<br />
Al-Zamakhsyari justru menafsirkan<br />
bagian ayat ini tanpa terpengaruh<br />
oleh wacana dari perdebatan ini. Ia<br />
dengan gamblang menafsirkan ( )<br />
sebagai maf‘ul dan malakayn sebagai<br />
dua malaikat yang namanya Harut<br />
dan Marut (Al-Zamakhsyari, t.th.: I,<br />
172). Demikian pula halnya dengan<br />
al-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn, ia<br />
menafsirkan Harut dan Marut sebagai<br />
dua orang malaikat yang memang<br />
diturunkan untuk mengajarkan sihir<br />
(al-Suyuthi, t.th.: I, 49).<br />
Adapun Babil adalah sebuah tempat<br />
atau kota di wilayah Timur yang<br />
paling populer pada masa lampau,<br />
yaitu sekitar duaribu tahun sebelum<br />
Masehi. Hingga kini bekas-bekasnya<br />
masih dapat dilihat disebelah Timur<br />
kota Baghdad, Irak (Quraish Shihab,<br />
2007: I, 279). Menurut Abu Bakr al-<br />
Jassas, penduduk Babil menyembah<br />
tujuh bintang yang dinyatakan sebagai<br />
tuhan, semua kejadian di alam ini<br />
adalah andil ketujuh tuhan ini. Kepada<br />
kaum inilah Allah mengutus Nabi<br />
Ibrahim As. (Abu Bakr al-Jassas, t.th.:<br />
I, 62).<br />
Pada bagian berikutnya, ayat ini<br />
kembali menegaskan bahwa perbuatan<br />
sihir dan usaha mempelajarinya adalah<br />
kufur. Menurut Sayyid Qutb, di sini al-<br />
Quran memperjelas hal ini melalui<br />
lisan Harut dan Marut yang berkata;<br />
“Sesungguhnya kami adalah fitnah,<br />
maka janganlah kamu menjadi kafir<br />
(Sayyid Quthb, t.th.: I, 124).<br />
Merujuk kepada Ibn Kathir yang<br />
mengatakan bahwa malakayn di sini<br />
adalah malaikat Jibril dan Mikail,<br />
sedangkan yang mengajarkan sihir<br />
adalah setan, maka kata Harut dan<br />
Marut di sini di-i‘rab sebagai badal<br />
dari kata syayatin. Ia memandang<br />
sah badal model ini, karena bentuk<br />
jamak kadangkala juga dipakai untuk<br />
dua orang (Ibn Katsir, t.th.: I, 191).<br />
Lalu dalam menjelaskan bagian ini,<br />
ia menyatakan bahwa manakala<br />
seseorang datang menemui Harut<br />
dan Marut, keduanya berkata; “Kami<br />
adalah fitnah, maka janganlah kamu<br />
kufur”. Jika orang itu bersikeras, maka<br />
mereka meminta orang itu datang ke<br />
suatu tempat, di sana ia akan bertemu<br />
dengan setan yang akan mengajarkan<br />
sihir kepadanya. Ketika ia belajar,<br />
keluarlah cahaya/nur yang ada dalam<br />
dirinya, lalu malaikat di langit melihat<br />
kepadanya dan berkata sedih; “Aduhai<br />
sayangnya, apa yang diperbuatnya”<br />
(Ibn Katsir, t.th.: I, 199).<br />
Harut dan Marut menasihati<br />
siapa saja yang hendak belajar sihir,<br />
bahwa apa yang mereka ajarkan<br />
adalah cobaan yang bertujuan<br />
untuk membedakan yang taat dan<br />
yang durhaka. Selain itu juga untuk<br />
membedakan bahwa sihir berbeda<br />
dengan mukjizat. Meskipun Harut<br />
dan Marut menasehati setiap orang<br />
yang datang hendak belajar padanya,<br />
bahwa tidak satu sisi<br />
pun dari sihir yang dapat<br />
menghasilkan manfaat<br />
tapi ada juga yang membangkan dan<br />
enggan mengikuti nasehat. Maka<br />
mereka mempelajari sihir dari kedua<br />
malaikat itu sehingga mereka dapat<br />
menceraikan antara seseorang dengan<br />
pasangannya/suami isteri (Quraish<br />
Shihab, 2007: I, 279).<br />
Untuk menghilangkan dugaan<br />
keliru serta menyucikan akidah<br />
manusia, ayat ini menegaskan bahwa:<br />
“Dan mereka tidak memberi muhdarat<br />
dengan sihirnya kepada seorang pun<br />
kecuali dengan izin Allah”. Menurut<br />
al-Zamakhsyarī, hal ini tampak dari<br />
kenyataan bahwa kadangkala sihir itu<br />
berhasil sesuai keinginan si pelakunya<br />
dan kadangkala tidak membuahkan<br />
hasil (Al-Zamakhsyari, t.th.: I, 173). Jadi<br />
pada hakikatnya sihir tidak memberi<br />
efek apa-apa baik secara tabiat atau<br />
kekuatan yang ada pada dirinya, ia<br />
hanya semata-mata sebab lahiriah.<br />
Menurut Wahbah al-Zuhayli, sihir<br />
tidak memberi kemudharatan kecuali<br />
dengan perbuatan dan kehendak<br />
Allah. Maka jika seseorang melakukan<br />
sihir dan berhasil mewujudkan<br />
keinginannya, maka ini berhasil karena<br />
Allah mengizinkan, sedangkan sihir<br />
36 <strong>Santunan</strong> MEI <strong>2010</strong><br />
hanya sebagai perantara dan sebab<br />
bagi akibat yang timbul setelahnya<br />
(Wahbah al-Zuhayli, 1991: I, 245).<br />
Pemahaman tentang maksud kata “bi<br />
idzn Allah” di sini menurut Ibn al-‘Arabi<br />
adalah; sesuai dengan ketentuan Allah<br />
(qadha’) dan bukan karena sesuai<br />
dengan perintah Allah, sebab Allah<br />
tidak memerintahkan keburukan (Ibn<br />
al-‘Arabi, t.th.: I, 49).<br />
Karena yang mempelajari atau<br />
mempraktekkan sihir itu mungkin saja<br />
menduga bahwa apa yang dipelajarinya<br />
dapat bermanfaat buat dirinya, maka<br />
lanjutan ayat menambahkan bahwa;<br />
“mereka mempelajari sesuatu yang<br />
memberi mudharat kepadanya dan<br />
tidak memberi manfaat”. Kalimat ini<br />
mengandung makna bahwa tidak<br />
satu sisi pun dari sihir yang dapat<br />
menghasilkan manfaat. Bukankah<br />
menafikan manfaat menunjukan<br />
ketiadaannya, dan menetapkan<br />
mudharat berarti kehadirannya?<br />
(Quraish Shihab, 2007: I, 280). Ibn<br />
al-‘Arabi mengatakan bahwa hakikat<br />
mudarat adalah sesuatu yang di<br />
dalamnya terkandung keburukan yang<br />
besar akibatnya. Ia juga mengatakan<br />
bahwa mudarat dalam pandangan ahl<br />
al-sunnah adalah setiap kepedihan<br />
yang tidak ada nikmat setelahnya,<br />
sedangkan manfaat adalah setiap<br />
kenikmatan yang tidak ada ancaman<br />
sanksi setelahnya (Ibn al-‘Arabi, t.th.:<br />
I, 49).<br />
Dari awal ayat telah terpahami<br />
bahwa ayat ini menerangkan tentang<br />
perilaku Yahudi. Ayat ini ditutup:<br />
yang merupakan jawaban tentang<br />
kondisi Yahudi pada masa Nabi<br />
Muhammad Saw., sebelum dan<br />
sesudahnya. Tergambarlah bahwa<br />
mereka: “demi Allah, sesungguhnya<br />
mereka telah meyakini bahwa<br />
barangsiapa yang menukar kitab Allah<br />
dengan sihir itu, tiadalah baginya<br />
keuntungan di akhirat dan amat<br />
jahatlah perbuatan mereka menjual<br />
dirinya dengan sihir, kalau mereka<br />
mengetahui” (Quraish Shihab, 2007:<br />
I, 280).<br />
(Penulis adalah Mahasiswa Doktoral<br />
PPs IAIN Ar-Raniry)