14.08.2013 Views

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan, kemampuan coping dan ...

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan, kemampuan coping dan ...

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan, kemampuan coping dan ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI<br />

© 2013 Magister Psikologi UMM, ISSN: 2303-2936<br />

Volume I (2), 101 - 113<br />

<strong>Keterlibatan</strong> <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong>, <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong><br />

<strong>dan</strong> resiliensi remaja<br />

Moh. Dedy Susanto Maluku Tengah 1<br />

Abstraksi <strong>Keterlibatan</strong> <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> berhubungan dengan resiliensi, se<strong>dan</strong>gkan <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong><br />

berhubungan dengan resiliensi. Penelitian bertujuan mengetahui korelasi keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong><br />

<strong>pengasuhan</strong> <strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> dengan resiliensi. Subyek sebanyak 80 orang. Variabel keterlibatan<br />

<strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> (KADP) diukur dengan skala KADP, Kemampuan <strong>coping</strong> (KC) diukur<br />

dengan skala KC, <strong>dan</strong> Resiliensi diukur dengan Resilience Scale (RS). Analisis data dilakukan dengan<br />

korelasi regresi ganda. Hasil uji menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong><br />

<strong>pengasuhan</strong> <strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> dengan resiliensi F = 10,281 p = 0,000. Se<strong>dan</strong>gkan koefisien<br />

determinasi atau prosentase sumbangan pengaruh variabel keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong><br />

<strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> secara bersama-sama terhadap resiliensi sebesar 21,1%. Adapun sisanya<br />

sebesar 79% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan <strong>dalam</strong> model penelitian ini. Secara<br />

parsial variabel KADP terhadap RS menunjukkan hubungan yang signifikan (r = 0.39, p = 0.000)<br />

<strong>dan</strong> diperoleh koefisien determinasi 12,8%. Se<strong>dan</strong>gkan variabel KC terhadap RS juga menunjukkan<br />

hubungan yang signifikan (r = 0.33, p = 0.003) <strong>dan</strong> koefisien determinasi 8,32%.<br />

Kata kunci <strong>Keterlibatan</strong> <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong>, <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong>, resiliensi<br />

Pendahuluan<br />

Jumlah tenaga kerja wanita (TKW Indonesia) di<br />

luar negeri seperti ke Hongkong, Arab Saudi,<br />

Malaysia <strong>dan</strong> Singapura mengalami pening<br />

katan dari tahun ke tahun. Keputusan eputusan men men<br />

jadi pekerja rumah tangga, merupakan pilihan<br />

yang termudah persyaratannya, karena tidak<br />

memerlukan pendidikan formal yang tinggi.<br />

Berdasarkan laporan Country Gender Assessment<br />

yang dilakukan oleh The World Bank <strong>dan</strong><br />

beberapa lembaga kerjasama di Indonesia bah<br />

wa wanita yang bekerja di luar negeri, 95 per<br />

sennya bekerja sebagai pembantu rumah tang<br />

ga <strong>dan</strong> pengasuh anak (The World Bank, 2006).<br />

Kurangnya lapangan pekerjaan <strong>dan</strong> tidak<br />

berkembangnya ekonomi menjadi alasan TKW<br />

ke luar negeri (Santoso, 2008). Data dari Di<br />

nas Sosial, Tenaga Kerja <strong>dan</strong> Transmigrasi ta<br />

hun 2006 2011, menunjukkan bahwa minat<br />

untuk menjadi tenaga kerja wanita (TKW) me<br />

ngalami peningkatan seperti TKW yang berasal<br />

dari Jawa Timur, yaitu Ponorogo. Berdasar<br />

kan sumber data TKI/TKW dari Dinas Sosial,<br />

Tenaga Kerja <strong>dan</strong> Transmigrasi Kabupaten<br />

Ponorogo: pada tahun 2006 tenaga kerja laki<br />

laki berjumlah (856) <strong>dan</strong> tenaga kerja wanita<br />

sebanyak (2.207). Selanjutnya pada tahun<br />

2011, jumlah tenaga kerja lakilaki (475) <strong>dan</strong><br />

tenaga kerja wanita sebanyak (2.054), menga<br />

lami penurunan dari tahun 2006, namun ber<br />

dasarkan jumlah keseluruhan menunjukkan<br />

bahwa pengiriman tenaga kerja wanita (TKW)<br />

lebih banyak dari jumlah pengiriman tenaga<br />

kerja lakilaki.<br />

Di satu sisi, kondisi tersebut menimbulkan<br />

dampak positif bagi roda perekonomian di Ka<br />

bupaten Ponorogo, tetapi di sisi lain mempu<br />

nyai dampak negatif bagi para TKW <strong>dan</strong> keluar<br />

ganya tersebut. Pengiriman tenaga kerja wanita<br />

(TKW) secara besarbesaran di beberapa negara<br />

tujuan, ternyata berdampak pada kehidupan<br />

keluarga yang ditinggalkan, khususnya anak<br />

mereka yang berada <strong>dalam</strong> usia remaja patut<br />

1 Korespondensi ditujukan kepada Moh. Dedy Susanto, Muhamad_dedy_susanto@yahoo.co.id, telepon: 085646677748<br />

101


102<br />

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 101 - 113<br />

mendapatkan perhatian tersendiri. Pada obser obser<br />

vasi awal yang peneliti lakukan diketahui bah<br />

wa berbagai macam masalah yang muncul di<br />

kalangan keluarga TKW yang di hadapi remaja,<br />

mulai dari masalah pergaulan bebas, tawuran,<br />

berjudi, minumminuman keras, kebutkebu<br />

tan dijalanan, <strong>dan</strong> kurangnya sopan santun<br />

terhadap orang yang lebih tua.<br />

Beberapa kasus tersebut menunjukkan<br />

bahwa <strong>coping</strong> remaja atas masalah yang diha<br />

dapi dilakukan dengan perilaku negatif ketika<br />

menghadapi masalah. Ketidak hadiran ibu se se<br />

cara simbolis dapat ditangkap oleh remaja se se se<br />

bagai bentuk penolakan. Kondisi tersebut dapat<br />

mempengaruhi kondisi emosional <strong>dan</strong> kognitif<br />

remaja, termasuk <strong>kemampuan</strong> <strong>dalam</strong> <strong>coping</strong><br />

(Heymann, Richard, Malik, & Amy 2000).<br />

Kebutuhan akan kehadiran figur ibu yang<br />

tidak terpenuhi akan berimplikasi pada tim<br />

bulnya stress atau tekanan psikologis. Rema<br />

ja yang tinggal bersama orang tua tunggal<br />

menjadi lebih agresif, menjadi pemarah, suka<br />

melamun, mudah tersinggung, atau suka me<br />

nyendiri, karena hal tersebut keterlibatan <strong>ayah</strong><br />

<strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> remaja mempunyai dam<br />

pak yang sangat penting bagi pengembangan<br />

perilaku remaja.<br />

Peranan keluarga juga mempunyai penga<br />

ruh yang besar pada kompetensi remaja <strong>dalam</strong><br />

mengembangkan perilaku <strong>coping</strong> <strong>dan</strong> strategi<br />

pengambilan keputusan, sehingga keterlibatan<br />

<strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> sangat penting, teru<br />

tama selama ibu sebagai TKW. Allen & Dally<br />

(2007) menjelaskan bahwa remaja yang hidup<br />

tanpa <strong>ayah</strong> mereka, lebih cenderung memi<br />

liki masalah <strong>dalam</strong> kinerja sekolah, misalnya,<br />

mereka lebih cenderung memiliki skor rendah<br />

pada tes prestasi, tes <strong>kemampuan</strong> intelektual<br />

<strong>dan</strong> tes kecerdasan, juga mengalami masalah<br />

perilaku di sekolah seperti ketidak patuhan,<br />

atau memiliki tingkat kehadiran sekolah yang<br />

buruk <strong>dan</strong> cenderung putus sekolah. Keterli<br />

batan <strong>ayah</strong> merupakan faktor penting <strong>dalam</strong><br />

mempengaruhi perilaku remaja. Remaja yang<br />

hidup tanpa <strong>ayah</strong>, lebih cenderung memilih<br />

teman yang menyimpang, mengalami kesu<br />

litan bergaul dengan remaja lain, mengalami<br />

masalah dengan teman sebaya, menjadi lebih<br />

agresif, terlibat <strong>dalam</strong> perilaku kriminal atau<br />

melakukan kejahatan, memiliki, mengguna<br />

kan, atau mendistribusikan alkohol atau obat<br />

obatan, <strong>dan</strong> terlibat <strong>dalam</strong> seks bebas (Crouter,<br />

Davis, Updegraff, Delgado, & Fortner, 2006).<br />

<strong>Keterlibatan</strong> <strong>ayah</strong> dapat memberikan ha<br />

sil positif pada perkembangan kognitif, <strong>dan</strong><br />

<strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> yang lebih baik. Penting<br />

nya peran <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> keluarga pada perkem<br />

bangan remaja. Hubungan positif <strong>ayah</strong> dengan<br />

remaja dapat meningkatkan rasa percaya diri,<br />

<strong>dan</strong> ketahanan terhadap stress (Fonagy, Steele,<br />

Steele, Higgit & Target, 1994). <strong>Keterlibatan</strong><br />

<strong>ayah</strong> dapat menghasilkan perilaku prososial<br />

remaja, <strong>dan</strong> hiperaktivitas yang lebih rendah.<br />

Remaja dengan keterlibatan <strong>ayah</strong> dengan in<br />

tensitas yang tinggi menunjukkan secara sig<br />

nifikan sikap <strong>dan</strong> perilaku yang lebih positif<br />

(Flouri, 2008). Simak baca secara fonetik lihat<br />

kamus yang lebih detail Gottman & Declaire<br />

(1997) mengemukakan bahwa peran <strong>ayah</strong> sa<br />

ngat penting <strong>dalam</strong> membentuk suatu kepri<br />

badian yang sehat bagi anakanaknya. Ayah<br />

yang terlibat <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong>, akan mem<br />

bentuk anak yang lebih mandiri <strong>dan</strong> berkom<br />

peten, karena <strong>ayah</strong> lebih suka membiarkan<br />

anak untuk melakukan berbagai eksplorasi<br />

<strong>dan</strong> mengajari anak melakukan <strong>coping</strong> dari<br />

pada membantu anak <strong>coping</strong>nya.<br />

Miller & Moore (1990) mengemukakan<br />

keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> menerapkan disiplin<br />

yang cukup tinggi akan mengurangi kecende<br />

rungan anak untuk berperilaku marah, ban<br />

del, berperilaku menyimpang terutama pada<br />

masa sekolahnya. Selain itu keterlibatan <strong>ayah</strong><br />

juga akan mengembangkan <strong>kemampuan</strong> anak<br />

untuk berempati, bersikap penuh perhatian,<br />

serta berhubungan sosial dengan lebih baik.<br />

Pengasuhan <strong>ayah</strong> lebih bersikap mengontrol,<br />

atau memonitor perilaku remaja <strong>dan</strong> faktor gen<br />

<strong>dan</strong> lingkungan mempengaruhi <strong>dalam</strong> penga<br />

suhan. Peranan keluarga sangat besar pada<br />

anak untuk mendorong <strong>kemampuan</strong> anak yang<br />

kurang optimal menjadi optimal, <strong>dan</strong> yang su<br />

dah optimal lebih ditingkatkan (Neiderhiser,<br />

Reiss, Lichtenstein, Spotts & Ganiban, 2007).<br />

Winsler, Madigan & Aquilino (2005) menge<br />

mukakan bahwa anak yang mempunyai <strong>ayah</strong><br />

yang peduli, lebih mempunyai <strong>kemampuan</strong><br />

interpersonal yang baik. Anak yang berjenis<br />

kelamin lakilaki maupun perempuan membu<br />

tuhkan figur <strong>ayah</strong> <strong>dan</strong> ibu untuk melakukan<br />

identifikasi. Anak tetap membutuhkan tela<strong>dan</strong><br />

<strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> hal keberanian, ketegasan, ke<br />

mandirian, pemecahan masalah, pengayom,<br />

serta membentuk resiliensi pada berbagai<br />

kondisi maupun permasalahan hidup.<br />

Dukungan atau keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong><br />

<strong>pengasuhan</strong> memiliki pengaruh pada kemam<br />

puan <strong>coping</strong> pada remaja, terutama pengasu<br />

han yang penuh dengan kehangatan, keper<br />

dulian, <strong>dan</strong> perhatian (Miller, Brody & Murry,<br />

2009). <strong>Keterlibatan</strong> <strong>ayah</strong> berkontribusi positif<br />

<strong>dalam</strong> mengembangkan kompetensi sosial,


JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 101 - 113<br />

kapasitas kognitif <strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong>.<br />

Remaja yang lebih banyak terlibat dengan<br />

<strong>ayah</strong>nya, memiliki empati yang lebih besar,<br />

lebih peka atas kebutuhan <strong>dan</strong> hak orang lain,<br />

murah hati, penghargaan diri yang tinggi,<br />

kontrol diri yang lebih besar <strong>dan</strong> resiliensi atau<br />

mampu menghadapi, serta mampu mengatasi<br />

kesulitankesulitan hidup yang dialaminya<br />

(Falceto & Galambos, 1991).<br />

Kemampuan <strong>coping</strong> penting untuk dimi<br />

liki remaja, terutama untuk mencegah atau<br />

pun mengurangi kenakalan atau penyimpa<br />

ngan perilaku pada remaja. Bagi remaja untuk<br />

melangkah kedepan <strong>dan</strong> mencoba memecah<br />

kan suatu masalah hanya berdasarkan halhal<br />

yang sebagaimana dialaminya, sehingga kecen<br />

derunganya untuk bertindak tanpa berpikir,<br />

sering memberi petunjuk untuk pemecahan<br />

masalah yang kurang baik (Kellermann, Whit<br />

ley & Parramore, 2004).<br />

Resiliensi penting untuk dimiliki seorang<br />

remaja untuk mengatasi masalah yang diha<br />

dapinya. Resiliensi merupakan faktor yang ber<br />

peran penting untuk dapat bertahan mengata<br />

si masalah, mempertahankan kesehatan <strong>dan</strong><br />

mampu menunjukkan sifatsifat positif <strong>dalam</strong><br />

menghadapi lingkungan yang berisiko. Strate<br />

gi bagi individu yang memiliki resiliensi akan<br />

membuat hidupnya menjadi lebih kuat, akan<br />

membuat seseorang berhasil menyesuaikan<br />

diri <strong>dalam</strong> berhadapan dengan kondisikondisi<br />

yang tidak menyenangkan, perkembangan so<br />

sial, <strong>dan</strong> akademis (Krovets, 1999).<br />

Terbentuknya resiliensi <strong>dalam</strong> perkem<br />

bangan individu, khususnya perkembangan<br />

remaja yaitu pertama, berasal dari kondisi per<br />

sonal, antara lain nampak <strong>dalam</strong> <strong>kemampuan</strong><br />

individu untuk berkomunikasi, mudah ber<br />

gaul dengan teman, <strong>dan</strong> memiliki <strong>kemampuan</strong><br />

memecahkan masalah. Kedua, berasal dari<br />

lingkungan keluarga yang peduli, <strong>dalam</strong> hal<br />

ini keluarga yang saling memberikan dorongan<br />

antara anak dengan orang tua atau dengan<br />

keluarga besarnya. Ketiga, lingkungan komu<br />

nitas sebagai faktor protektif yang akan mem<br />

perkuat resiliensi remaja (Sudaryono, 2007).<br />

Luthar, Cicchetti & Becker, (2000) menyatakan<br />

resiliensi sebagai suatu ciri sifat yang bersifat<br />

stabil <strong>dan</strong> menetap yang dimiliki oleh indivi<br />

du <strong>dan</strong> berfungsi sebagai pelindung dari efek<br />

negatif stress <strong>dan</strong> kesengsaraan, atau resiliensi<br />

merupakan <strong>kemampuan</strong> anak <strong>dan</strong> remaja yang<br />

berhasil tumbuh <strong>dan</strong> berkembang secara sehat<br />

di lingkungan yang tidak kondusif.<br />

Evarall, Altrows & Paulson, (2006) me<br />

nyatakan resiliensi sebagai hasil positif (posi-<br />

tive outcome) dari proses adaptasi individu<br />

terhadap tekanan <strong>dan</strong> lingkungan yang tidak<br />

kondusif. Hasil positif ini mencakup kondisi ke<br />

jiwaan yang sehat yang ditandai dengan tidak<br />

munculnya gangguan atau masalah kejiwaan,<br />

a<strong>dan</strong>ya kompetensi sosial, a<strong>dan</strong>ya dukungan<br />

sosial, konsep diri <strong>dan</strong> harga diri yang positif,<br />

pencapaian akademik, <strong>dan</strong> kesuksesan <strong>dalam</strong><br />

mencapai tugas perkembangan sesuai dengan<br />

usia perkembangannya. Semakin tinggi du<br />

kungan sosial maka semakin tinggi resiliensi<br />

pada remaja begitupun sebaliknya.<br />

<strong>Keterlibatan</strong> <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong><br />

<strong>Keterlibatan</strong> <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> mengasuh anak itu<br />

penting. Ayah akan mempengaruhi anak de<br />

ngan cara yang berbeda dengan para ibu, teru<br />

tama dibi<strong>dan</strong>gbi<strong>dan</strong>g seperti hubungan anak<br />

dengan teman sebaya <strong>dan</strong> prestasi akademis.<br />

Anak yang miskin akan peran <strong>ayah</strong>nya, <strong>dalam</strong><br />

perkembangannya akan mendapatkan gang<br />

guangangguan atau ketidak seimbangan, ter<br />

utama berkaitan dengan peran jenis kelamin<br />

terhadap dirinya (Gottman & Declaire, 1997).<br />

Kalmijn, (1999) <strong>dan</strong> Chao (2001) mengemuka<br />

kan bahwa praktik <strong>pengasuhan</strong> merupakan<br />

salah satu faktor <strong>dalam</strong> keluarga yang mem<br />

punyai peranan penting <strong>dalam</strong> pembentukan<br />

kepribadian. Keluarga merupakan komponen<br />

sosial yang pertama untuk anak berinterak<br />

si, dimana <strong>pengasuhan</strong> merupakan aktivitas<br />

kompleks yang mencakup beberapa perilaku<br />

spesifik yang dikerjakan baik secara individual<br />

atau bersamasama untuk mempenga<br />

ruhi hasil atau akibat pada anak.<br />

Ayah yang terlibat <strong>dalam</strong> kehidupan rema<br />

ja terutama <strong>dalam</strong> pendidikan <strong>dan</strong> pergaulan<br />

nya akan meningkatkan <strong>kemampuan</strong> remaja<br />

<strong>dalam</strong> pendidikan <strong>dan</strong> ketrampilan sosial. Ke<br />

terlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> kehidupan remaja akan<br />

mempengaruhi mereka <strong>dalam</strong> hubungannya<br />

dengan teman sebaya <strong>dan</strong> prestasi disekolah,<br />

serta membantu remaja <strong>dalam</strong> mengembang<br />

kan pengendalian <strong>dan</strong> penyesuaian diri <strong>dalam</strong><br />

lingkungannya (Videon, 2005). <strong>Keterlibatan</strong><br />

<strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> sangat mempenga<br />

ruhi proses perkembangan remaja dimana<br />

<strong>ayah</strong> yang memberikan perhatian <strong>dan</strong> duku<br />

ngan pada remaja akan memberikan perasaan<br />

diterima, diperhatikan <strong>dan</strong> memiliki rasa per<br />

caya diri, sehingga proses perkembangan re<br />

maja tersebut berjalan dengan baik.<br />

Nugent (1991) mengemukakan remaja<br />

yang mendapatkan dukungan <strong>dan</strong> a<strong>dan</strong>ya<br />

komunikasi yang intensif dengan <strong>ayah</strong>nya<br />

103


104<br />

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 101 - 113<br />

memiliki kebebasan yang lebih besar untuk<br />

berusaha bereksplorasi untuk menjadi dirinya<br />

sendiri, menemukan jati dirinya, mencoba ke<br />

mampuan dirinya, memperkuat penilaiannya<br />

sendiri terhadap pilihanpilihan yang dibuat<br />

<strong>dan</strong> mempertimbangkan kemungkinannya<br />

menghadapi orang lain <strong>dalam</strong> merencanakan<br />

masa depannya.<br />

Gaya <strong>pengasuhan</strong> <strong>ayah</strong> ditentukan oleh<br />

tingkat kesejahteraan psikologis <strong>ayah</strong>. Ke<br />

nyamanan psikologis yang dirasakan <strong>ayah</strong><br />

akan membuat <strong>ayah</strong> semakin terlibat <strong>dan</strong> ak<br />

tif <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> anak. Ayah yang me<br />

ngalami stress berhubungan negatif dengan<br />

hubungan <strong>ayah</strong> <strong>dan</strong> anak yang aman (Bonney,<br />

Kelley & Levant, 1999). Hal ini sama dengan<br />

Nicholls & Pike (2002), menyatakan memori<br />

pengalaman <strong>ayah</strong> selama masa kanakkanak<br />

dulu berpengaruh pada keterlibatannya pada<br />

anak <strong>dan</strong> hubungan <strong>ayah</strong> dengan anak, atau<br />

seberapa besar harapan <strong>ayah</strong> atas kehadiran<br />

anak apakah sangat diharapkan atau tidak.<br />

Termasuk bagaimana persepsi <strong>ayah</strong> tentang<br />

kehadiran anak, apakah anak memiliki nilai<br />

positif atau negatif.<br />

Peran keluarga sangat penting sebagai<br />

wahana untuk mentransfer nilainilai <strong>dan</strong> se<br />

bagai agen transformasi kebudayaan. Proses<br />

pembentukan kepribadian remaja dapat ter<br />

jadi dengan menciptakan situasi <strong>dan</strong> kondisi<br />

yang memberikan kesempatan untuk bersikap<br />

komunikatif yang baik, kurangnya komuni<br />

kasi, keintiman, keakraban, keterbukaan <strong>dan</strong><br />

perhatian <strong>dalam</strong> keluarga akan menganggu<br />

<strong>dalam</strong> proses pembentukan perilaku anak,<br />

terutama setelah anak mencapai usia remaja.<br />

Efendy (1993) mengemukakan hadirnya<br />

orang tua akan tetap dirasakan utuh oleh<br />

anak sehingga memungkinkan a<strong>dan</strong>ya keber<br />

samaan serta dapat membantu membentuk<br />

kepribadian anak. Ketika perhatian orang tua<br />

<strong>dan</strong> pola komunikasi terhadap remaja kurang<br />

baik, akibatnya sikap perilaku remaja lebih<br />

cenderung anarkis <strong>dan</strong> mengarah pada tinda<br />

kan kenakalan remaja <strong>dalam</strong> segala hal, teru<br />

tama <strong>dalam</strong> pergaulan, bersosialisasi dengan<br />

masyarakat <strong>dan</strong> bahkan menjalin hubungan<br />

dengan keluarga. <strong>Keterlibatan</strong> <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong><br />

<strong>pengasuhan</strong> pada remaja yang ibunya menjadi<br />

TKW memiliki pengaruh yang sangat penting.<br />

Peran <strong>ayah</strong> yang positif <strong>dalam</strong> perkembangan<br />

remaja yaitu peran <strong>ayah</strong> yang terlibat langsung<br />

<strong>dalam</strong> perkembangan remaja, memperlakukan<br />

remaja dengan baik <strong>dan</strong> kasih sayang, mem<br />

berikan pujian <strong>dan</strong> penghargaan terhadap<br />

usaha kreatif <strong>dan</strong> intelektual remaja akan<br />

menimbulkan suatu kepercayaan yang lebih<br />

baik bagi remaja, terutama pada <strong>kemampuan</strong><br />

dirinya <strong>dalam</strong> <strong>coping</strong> <strong>dan</strong> mengambil keputu<br />

san (Andayani, 2004).<br />

Hasil penelitian Stone (2008) mengung<br />

kapkan bahwa peran <strong>ayah</strong> memiliki kontri<br />

busi yang penting <strong>dalam</strong> perkembangan anak.<br />

Hubungan Ayah dengan ibu <strong>dan</strong> anak me<br />

mainkan peran penting, baik <strong>dalam</strong> emosional<br />

maupun kognitif anak.<br />

Kemampuan <strong>coping</strong> <strong>dan</strong> resiliensi<br />

Coping dapat digambarkan sebagai sebuah<br />

strategi, taktik kognisi, atau prilaku. Coping<br />

merupakan sebuah fenomena yang dapat dike<br />

nali melalui introspeksi atau pengamatan, <strong>dan</strong><br />

di <strong>dalam</strong>nya menyangkut kejadian internal se<br />

bagaimana tampak <strong>dalam</strong> aktivitas luar. Menu<br />

rut Lazarus & Folkman (1984) <strong>coping</strong> adalah<br />

proses dinamis dari kognitif <strong>dan</strong> perilaku yang<br />

mengarah pada interaksi dengan tuntutan in<br />

ternal atau eksternal yang dipahami sebagai<br />

memperkuat sumberdaya individu. Folkman<br />

(1984), mendefinisikan <strong>coping</strong> sebagai usahan<br />

kognitif <strong>dan</strong> perilaku untuk mengelola tuntu<br />

tan spesifik dari eksternal atau internal yang<br />

dapat membangkitkan sumberdayasumber<br />

daya manusia (Omar Fauzee et al., 2009).<br />

Selain dari itu istilah <strong>coping</strong> dapat pula<br />

mengacu pada kekuatan kognitif <strong>dan</strong> perilaku<br />

yang dipergunakan untuk mengatur (mere<br />

duksi, meminimalisir, mendominasi atau men<br />

toleransi) kebutuhan personal <strong>dan</strong> tuntutan<br />

lingkungan <strong>dalam</strong> sebuah lingkungan, yang<br />

pada akhirnya disadari oleh individu lebih se<br />

bagai sumberdaya mereka. Coping memiliki<br />

dua fungsi utama; untuk bertahan dengan<br />

stress yang dapat memunculkan masalah <strong>dan</strong><br />

untuk meregulasi emosi yang terpacu olehnya<br />

(Lever, 2008).<br />

Sistem kategori dari beberapa bentuk ke<br />

mampuan <strong>coping</strong> belum didapati sebuah kon<br />

sensus tentang sistem kategori yang terbaik<br />

<strong>dalam</strong> penelitian tentang stress <strong>dan</strong> <strong>coping</strong>.<br />

Skinner, et al. (2003) melakukan penelitian<br />

yang mencoba mensintesakan beragam ke<br />

mampuan <strong>coping</strong>, <strong>dan</strong> kemudian mengidenti<br />

fikasi terdapat 400 tipe stretagi <strong>coping</strong>, hal ini<br />

menunjukkan bahwa sedikit a<strong>dan</strong>ya persetu<br />

juan diantara para ahli <strong>dalam</strong> hal mengkon<br />

septualisasikan kategori dari <strong>kemampuan</strong> co<br />

ping (Allen & Leary, 2010).<br />

Richardson (2002) menjelaskan resiliensi<br />

adalah istilah psikologi yang digunakan untuk<br />

mengacu pada <strong>kemampuan</strong> seseorang untuk


JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 101 - 113<br />

mengatasi <strong>dan</strong> mencari makna <strong>dalam</strong> peris<br />

tiwa seperti tekanan yang berat yang diala<br />

minya, di mana individu meresponnya dengan<br />

fungsi intelektual yang sehat <strong>dan</strong> dukungan<br />

sosial.<br />

Resiliensi merupakan faktor bawaan yang<br />

dimiliki individu yang mengalami perubahan,<br />

individu dikatakan memiliki resilien apabila ia<br />

mampu untuk menghadapi, mengatasi, diper<br />

kuat oleh, <strong>dan</strong> bahkan dibentuk oleh kesulitan<br />

kesulitan hidup yang dialaminya (Soderstrom,<br />

Dolbier, Leiferman & Steinhardtm, 2000).<br />

Resiliensi adalah <strong>kemampuan</strong> individu un<br />

tuk melawan ancaman <strong>dan</strong> kemalangan ling<br />

kungan secara efektif atau <strong>kemampuan</strong> untuk<br />

berkembang secara fisik <strong>dan</strong> psikologis meski<br />

pun keadaan tidak menguntungkan (Marsh,<br />

1996).<br />

Grotberg (1999), menjelaskan resiliensi me<br />

rupakan perpaduan ketiga faktor dari I Am, I<br />

Have, I Can, apabila individu hanya memiliki<br />

satu faktor individu tersebut tidak dapat di<br />

katakan sebagai individu yang resilien, mi<br />

salnya individu yang mampu berkomunikasi<br />

dengan baik (I Can) tetapi tidak mempunyai<br />

hubungan yang dekat dengan orang lain (I<br />

Have) <strong>dan</strong> tidak dapat mencintai orang lain (I<br />

Am), maka tidak termasuk individu yang re<br />

silien.<br />

Karakteristik individu yang memiliki re<br />

siliensi, yaitu: individu memiliki kepribadian<br />

tangguh, memiliki <strong>kemampuan</strong> self enhancement<br />

(meningkatkan diri), mampu menyesuai<br />

kan diri, memiliki emosi positif (Bonanno,<br />

2004). Pendapat yang hampir sama dengan<br />

Brooks & Goldstein (2003), ada sepuluh karak<br />

teristik individu yang resilien, diantaranya me<br />

miliki kontrol, mengetahui caracara memben<br />

tengi diri dari stress, memiliki empati, mampu<br />

melakukan komunikasi secara efektif <strong>dan</strong><br />

memiliki <strong>kemampuan</strong> interpersonal, mampu<br />

mengambil keputusan <strong>dan</strong> menyelesaikan ma<br />

salah, memiliki tujuan <strong>dan</strong> harapan yang rea<br />

listik, mampu belajar dari kegagalan maupun<br />

kesuksesan, berperan <strong>dalam</strong> kegiatan sosial,<br />

bertanggung jawab pada nilai yang dianut,<br />

merasa dirinya berharga.<br />

Resiliensi yang dimiliki subyek berperan<br />

penting <strong>dalam</strong> membuat keduanya mampu ber<br />

tahan menghadapi kesulitankesulitan yang<br />

muncul selama menjalani tugas sebagai<br />

pengganti ibu rumah tangga. Kapasitas un<br />

tuk bangkit dari kesulitan ini dibangun oleh<br />

faktorfaktor resiliensi yang tercakup <strong>dalam</strong><br />

tiga kategori yaitu kekuatan internal (I Am),<br />

dukungan eksternal yang dimiliki (I Have),<br />

serta <strong>kemampuan</strong> sosial <strong>dan</strong> interpersonal (I<br />

Can). Faktorfaktor inilah yang pada akhirnya<br />

membuat subjek mampu menerima kondisi<br />

nya, mampu bertahan <strong>dan</strong> berusaha menyele<br />

saikan berbagai permasalahan yang ditemui<br />

selama menjalani tugas sebagai pengganti ibu<br />

rumah tangga.<br />

Pengasuhan, <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong>, <strong>dan</strong> resiliensi<br />

Lingkungan mempunyai pengaruh yang sa<br />

ngat besar <strong>dalam</strong> kehidupan remaja, karena<br />

remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan<br />

keluarga di rumah atau dengan temanteman<br />

di sekolah tetapi juga mulai menjalin hubu<br />

ngan dengan orangorang dewasa di luar ling<br />

kungan rumah <strong>dan</strong> sekolah yaitu lingkungan<br />

masyarakat. Menurut Gender (1998), remaja<br />

<strong>dalam</strong> menghadapi berbagai masalah perkem<br />

bangan memerlukan kehadiran orang dewasa<br />

yang mampu memahami <strong>dan</strong> memperlaku<br />

kannya secara bijaksana <strong>dan</strong> sesuai dengan<br />

kebutuhannya. Remaja membutuhkan ban<br />

tuan <strong>dan</strong> bimbingan serta pengarahan dari<br />

orang tua atau orang dewasa lainnya untuk<br />

menghadapi segala permasalahan yang diha<br />

dapi berkaitan dengan proses perkembangan,<br />

sehingga remaja dapat melalui <strong>dan</strong> menghada<br />

pi perubahanperubahan yang terjadi dengan<br />

wajar. Dengan kata lain, remaja membutuh<br />

kan dukungan dari orang tua <strong>dan</strong> orang de<br />

wasa yang ada di sekitarnya untuk membantu<br />

mengatasi permasalahanpermasalahan yang<br />

dihadapi <strong>dan</strong> menghadapi tuntutantuntutan<br />

lingkungan sosial yang lebih luas. Remaja<br />

yang memiliki persepsi positif terhadap keter<br />

libatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> akan mem<br />

bantu pertumbuhan <strong>kemampuan</strong> kognitifnya<br />

yang dapat berpengaruh pula terhadap ke<br />

mampuannya <strong>dalam</strong> <strong>coping</strong> (Dagun, 1990).<br />

Kemampuan <strong>coping</strong> berkaitan dengan<br />

kualitas kehidupan individu yang bersangku<br />

tan, dimana individu yang memiliki kemam<br />

puan <strong>coping</strong> yang baik maka memiliki kuali<br />

tas kehidupan yang baik pula. Kemampuan<br />

untuk <strong>coping</strong> merupakan suatu ketrampilan<br />

hidup dasar <strong>dan</strong> merupakan hal yang penting<br />

untuk pemahaman halhal yang teknis, suatu<br />

pemikiran kritis <strong>dan</strong> membutuhkan strategi<br />

yang sama atau proses memberi alasan pada<br />

solusi yang menggunakan lebih dari aplikasi<br />

yang sederhana tentang prosedur yang telah<br />

dipelajari sebelumnya (Johnson, & Johnson<br />

1995). Kemampuan <strong>coping</strong> yang baik diperlu<br />

kan remaja sehingga mereka dapat memecah<br />

kan masalah yang dihadapinya dengan tepat.<br />

Remaja akan mencoba menganalisis masalah<br />

yang sudah ada, kemudian mencari jalan ke<br />

105


106<br />

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 101 - 113<br />

luar yang baik <strong>dan</strong> meminta bantuan orang<br />

dewasa yang lebih berpengalaman (Keller<br />

mann, Whitly & Parramore, 2004).<br />

Menurut Naftel & Driscoll (1993); Dumont<br />

& Provost (1999), <strong>dalam</strong> penelitiannya diketa<br />

hui bahwa penyebab remaja sering gagal me<br />

nyelesaikan masalah, yaitu remaja tidak resi<br />

lien atau memiliki ketakutan mengalami kega<br />

galan yang dapat menghambat usaha mencari<br />

alternatif solusi <strong>dan</strong> menentukan solusi yang<br />

tepat untuk menyelesaikan masalah.<br />

Kemampuan <strong>coping</strong> sebagai upaya yang<br />

dilakukan oleh individu untuk mengelola tun<br />

tutan eksternal <strong>dan</strong> internal yang dihasil<br />

kan dari sumber stress. Allen & Leary (2010)<br />

mengemukakan <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> sebagai<br />

upayaupaya khusus, baik behavioral maupun<br />

psikologis, yang digunakan individu untuk<br />

menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau<br />

meminimalkan dampak kejadian yang me<br />

nimbulkan stres. Kematangan individu terha<br />

dap <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> menunjukkan bahwa<br />

individu memiliki kematangan <strong>dalam</strong> <strong>coping</strong><br />

yang tinggi maka akan cenderung pada problem<br />

focused <strong>coping</strong> (PFC) saat ia bermasalah,<br />

sebaliknya seseorang yang memiliki kemata<br />

ngan <strong>dalam</strong> <strong>coping</strong> yang relatif rendah maka<br />

akan lebih cenderung menggunakan emotional<br />

focused <strong>coping</strong> (EFC) <strong>dalam</strong> penyelesaian ma<br />

salahnya.<br />

Individu yang resilien meskipun diha<br />

dapkan pada tekanan akibat suatu kejadian,<br />

kondisinya sebagai individu secara keseluru<br />

han tetap dapat berfungsi dengan baik. Indi<br />

vidu yang resilien relatif tidak menderita gang<br />

guan psikologis. Dukungan dari orangorang<br />

terdekat <strong>dalam</strong> keluarga ini dapat meningkat<br />

kan resiliensi remaja. Resiliensi secara umum<br />

didefinisikan sebagai <strong>kemampuan</strong> untuk mengatasi<br />

atau beradaptasi terhadap stres yang<br />

ekstrim <strong>dan</strong> kesengsaraan (Holaday, 1997).<br />

Reivich & Shatte (2002) menyampaikan bahwa<br />

resiliensi merupakan <strong>kemampuan</strong> seseorang<br />

untuk bertahan, bangkit, <strong>dan</strong> menyesuaikan<br />

dengan kondisi sulit.<br />

Resiliensi sangat penting pada diri remaja.<br />

Pada situasisituasi tertentu saat menghadapi<br />

masalah, remaja yang memiliki resiliensi dapat<br />

mengatasi berbagai permasalahan kehidupan<br />

dengan cara mereka. Remaja akan mampu<br />

mengambil keputusan <strong>dalam</strong> kondisi yang su<br />

lit secara cepat. Keberadaan resiliensi akan<br />

mengubah permasalahan menjadi sebuah tan<br />

tangan, kegagalan menjadi kesuksesan, <strong>dan</strong><br />

ketidakberdayaan menjadi kekuatan. Remaja<br />

yang resilien cenderung memiliki tujuan, hara<br />

pan, <strong>dan</strong> perencanaan terhadap masa depan,<br />

gabungan antara ketekunan <strong>dan</strong> ambisi <strong>dalam</strong><br />

mencapai hasil yang akan diperoleh (Evarall,<br />

Altrows & Paulson, 2006).<br />

Resiliensi merupakan faktor internal rema<br />

ja yang dapat mempengaruhi <strong>kemampuan</strong><br />

nya <strong>dalam</strong> <strong>coping</strong>. Menurut Wasonga (2002)<br />

resiliensi memegang peranan penting untuk<br />

membuat seseorang mencapai kehidupan yang<br />

positif <strong>dan</strong> dinamis meskipun mengalami<br />

masalah, sehingga mampu mengembangkan<br />

<strong>kemampuan</strong>nya melaksanakan tugastugas<br />

perkembangan <strong>dan</strong> mampu <strong>coping</strong> yang diha<br />

dapinya.<br />

Hubungan keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> pe<br />

ngasuhan <strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> dengan re<br />

siliensi remaja mempunyai pengaruh positif.<br />

Risely (2010) menyatakan bahwa keterlibatan<br />

<strong>ayah</strong> dengan anakanaknya mereka dapat<br />

membuat perubahan yang lebih besar <strong>dalam</strong><br />

keluarga, termasuk peningkatan <strong>kemampuan</strong><br />

penyesuaian diri <strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong>.<br />

Gutman, Brown, Akerman & Obolenskaya,<br />

(2010) mengemukakan individu yang resilien<br />

mempunyai pan<strong>dan</strong>gan positif <strong>dan</strong> memahami<br />

<strong>kemampuan</strong> diri sendiri, mampu menyesuai<br />

kan diri dengan tekanan <strong>dan</strong> menemukan<br />

makna dari sebuah peristiwa. Peran resiliensi<br />

membentuk perkembangan positif dari du<br />

kungan sosial yang diberikan oleh lingkungan<br />

rumah, sekolah, teman <strong>dan</strong> masyarakat, se<br />

hingga dapat menghindarkan remaja terjeru<br />

mus pada perilaku negatif. Faktor eksternal<br />

yang dapat membantu remaja yang ditinggal<br />

ibunya sebagai TKW <strong>dalam</strong> <strong>coping</strong>nya yaitu<br />

a<strong>dan</strong>ya dukungan keluarga atau <strong>dalam</strong> hal ini<br />

keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong>.<br />

<strong>Keterlibatan</strong> <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> kehidupan rema<br />

ja akan mempengaruhi mereka <strong>dalam</strong> hubu<br />

ngannya dengan teman sebaya <strong>dan</strong> prestasi<br />

di sekolah, serta membantu remaja <strong>dalam</strong><br />

mengembangkan pengendalian, meningkat<br />

kan <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> <strong>dan</strong> penyesuaian diri<br />

<strong>dalam</strong> lingkungannya. <strong>Keterlibatan</strong> <strong>ayah</strong> <strong>dan</strong><br />

karakteristik atau kepribadian individu me<br />

miliki pengaruh yang besar terhadap perilaku<br />

remaja, rendahnya keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong><br />

<strong>pengasuhan</strong> dapat meningkatkan kenakalan<br />

remaja <strong>dan</strong> rendahnya <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong><br />

(White, 2007). Berdasarkan uraian diatas da<br />

pat disimpulkan bahwa ada hubungan keter<br />

libatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> <strong>dan</strong> kemam<br />

puan <strong>coping</strong> dengan resiliensi remaja yang ibu<br />

nya sebagai TKW.<br />

Dari beberapa penelitian yang telah di<br />

lakukan oleh Dewi & Hartati (2005) bahwa<br />

ada pengaruh positif yang signifikan antara<br />

persepsi terhadap afeksi <strong>ayah</strong> dengan kemam


JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 101 - 113<br />

puan penyesuaian sosial remaja, semakin baik<br />

persepsi remaja terhadap afeksi <strong>ayah</strong> maka se<br />

makin tinggi <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> pada remaja.<br />

Pleck & Hofferth (2008); Andrews, Ainley, &<br />

Frydenberg (2004) hasil penelitian tingkat ke<br />

terlibatan <strong>ayah</strong> memiliki pengaruh pada rema<br />

ja <strong>dalam</strong> memecahkan masalah dipengaruhi<br />

oleh <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> atau <strong>kemampuan</strong> diri<br />

untuk mengatasi stress, emosi <strong>dan</strong> memiliki<br />

resiliensi, termasuk <strong>dalam</strong> kegiatan positif, ke<br />

dekatan <strong>dan</strong> responsif, serta pemantauan <strong>dan</strong><br />

pengambilan keputusan.<br />

Menurut Wibisono (2010) mengenai Subjective<br />

Well Being pada remaja yang ditinggalkan<br />

ibunya menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW),<br />

menyatakan bahwa penerimaan diri, keber<br />

fungsian keluarga <strong>dan</strong> pola <strong>coping</strong> positif me<br />

miliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective<br />

well being pada remaja yang ditinggal<br />

kan ibunya menjadi TKW. Subjective well being<br />

pada remaja berkaitan dengan faktor keluarga<br />

yang menjadi lingkungan terdekatnya <strong>dan</strong> dis<br />

organisasi keluarga yang dialami subjek pene<br />

litian dapat diminimalisir oleh faktor lingku<br />

ngan mikro yang lainnya. Hal ini dapat berupa<br />

lingkungan sekolah, lingkungan tetangga, <strong>dan</strong><br />

keberfungsian keluarga yang ditinggalkan.<br />

Berdasarkan uraian tersebut tujuan pene<br />

litian ini adalah mengetahui “Hubungan keter<br />

libatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> <strong>dan</strong> kemam<br />

puan <strong>coping</strong> dengan resiliensi remaja yang<br />

ibunya sebagai TKW”. Hipotesa yang diajukan<br />

adalah (1) Ada hubungan keterlibatan <strong>ayah</strong><br />

<strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> <strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong><br />

dengan resiliensi remaja yang ibunya sebagai<br />

TKW, (2) Ada hubungan positif antara keter<br />

libatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> dengan re<br />

siliensi remaja yang ibunya sebagai TKW. Se<br />

makin tinggi (positif) keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong><br />

<strong>pengasuhan</strong>, maka semakin tinggi resiliensi<br />

<strong>dan</strong> (3) Ada hubungan positif antara kemam<br />

puan <strong>coping</strong> dengan resiliensi remaja yang<br />

ibunya sebagai TKW. Semakin tinggi (positif)<br />

<strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong>, maka semakin tinggi re<br />

siliensi.<br />

Metode Penelitian<br />

Subyek<br />

Pemilihan subyek <strong>dalam</strong> penelitian sebanyak<br />

80. Mereka mengisi instrument <strong>dalam</strong> waktu<br />

60 menit. Rentang usia 12 sampai 18 tahun,<br />

berasal <strong>dan</strong> bertempat tinggal di Ponorogo.<br />

Subjek yang diambil berdasarkan karakteris<br />

tik yang telah di tentukan yaitu remaja yang<br />

ibunya sebagai TKW, tinggal bersama <strong>ayah</strong>,<br />

memiliki ibu yang telah bekerja sebagai TKW<br />

minimal 4 tahun.<br />

Instrumen<br />

Skala <strong>Keterlibatan</strong> Ayah <strong>dalam</strong> Pengasuhan<br />

(KADP) dibuat sendiri oleh peneliti dengan ska<br />

la likert dimana terdapat variasi respon mulai<br />

dari Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju<br />

(TS), Sangat Tidak Setuju (STS), yang masing<br />

masing bobot nilai 4,3,2,1, se<strong>dan</strong>gkan Skala RS<br />

diadaptasi dari (international trademark Gail M,<br />

Wagnild & Heather M, Young, 1987). Semakin<br />

tinggi skor yang diperoleh subyek menunjuk<br />

kan KADP, KC <strong>dan</strong> RS tinggi, begitu pun se<br />

baliknya. Skala KADP digunakan untuk me<br />

ngukur keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong>.<br />

KADP terdiri dari 33 item, dengan koefisien<br />

reliabilitas sebesar 0,782. Contoh item skala<br />

KADP : “Selama ibu bekerja sebagai TKW, Ayah<br />

mendampingi saya saat belajar”.<br />

Skala Kemampuan Coping (SKC) diguna<br />

kan untuk mengukur <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong>.<br />

SKC terdiri dari 41 item, dengan koefisien<br />

reliabilitas sebesar 0,851. Contoh item SKC<br />

adalah: “saya berusaha lebih dari biasanya<br />

supaya saya bisa berhasil menyelesaikan ma<br />

salah saya”.Resilience Scale (RS) digunakan<br />

untuk mengukur resiliensi. RS terdiri dari<br />

24 item, dengan koefisien reliabilitas sebesar<br />

0,908. Skala diukur pada 7 kreteria: sangat<br />

tidak setuju, tidak setuju, agak tidak setuju,<br />

baik setuju atau tidak setuju, agak setuju,<br />

setuju, sangat setuju. Contoh item RS adalah:<br />

“ketika saya membuat rencanarencana, saya<br />

menindak lanjutinya”.<br />

Analisis data<br />

Penelitian ini menggunakan analisis regresi<br />

ganda, data dianalisis dengan bantuan SPSS<br />

v.17. Analisis regresi ganda dilakukan untuk<br />

mengetahui hubungan variabel dependent de<br />

ngan variabel independent.<br />

Hasil <strong>dan</strong> Pembahasan<br />

Hasil uji regresi ganda keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong><br />

<strong>pengasuhan</strong> <strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> secara<br />

bersamasama dengan resiliensi.<br />

Hasil uji coba Anova pada keterlibatan<br />

<strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> <strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong> co<br />

ping dengan resiliensi, dapat dilihat pada Tabel<br />

2.<br />

Dari hasil uji Anova diperoleh hasil signifi<br />

kan sebesar F = 10,281 p = 0,000 berarti ada<br />

hubungan yang signifikan antara keterlibatan<br />

107


Tabel 1<br />

Model Summary<br />

Model R R Square<br />

108<br />

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 101 - 113<br />

<strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> <strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong> co<br />

ping dengan resiliensi.<br />

Dari hasil analisis korelasi Product Moment<br />

menginformasikan tentang hasil uji variabel<br />

bebas secara satu persatu yaitu, antara keter<br />

libatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> dengan resi<br />

liensi <strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> dengan resiliensi<br />

hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.<br />

Dari tabel di atas dapat disimpulkan<br />

bahwa keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong><br />

berhubungan dengan resiliensi (r = 0,39 p =<br />

0,000). Begitu juga dengan <strong>kemampuan</strong> co<br />

ping berhubungan dengan resiliensi (r = 0,33,<br />

p = 0,003).<br />

Pembahasan<br />

Adjusted R<br />

Square<br />

Std. Error of<br />

the Estimate<br />

1 0,459 0,211 0,190 10,040<br />

Pengujian hipotesis pertama variabel keterli<br />

batan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> <strong>dan</strong> kemam<br />

puan <strong>coping</strong> membuktikan bahwa secara ber<br />

sama-sama memiliki hubungan signifikan dengan<br />

resiliensi F = 10,281 p = 0,000. Se<strong>dan</strong>g<br />

kan koefisien determinasi atau prosentase<br />

sumbangan pengaruh variabel keterlibatan<br />

<strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> <strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong> co<br />

ping secara bersamasama terhadap resiliensi<br />

sebesar 21,1%. Adapun sisanya sebesar 79%<br />

dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak di<br />

masukkan <strong>dalam</strong> model penelitian ini. Secara<br />

Tabel 3<br />

Kontribusi keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> <strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong><br />

<strong>coping</strong> dengan resiliensi<br />

KADP<br />

KC<br />

Beta Zero Persen<br />

0,332<br />

0,256<br />

0,385<br />

0,325<br />

12,8<br />

8,32<br />

Jumlah 21,12<br />

* Kontribusi KADP & KC terhadap RS 21,1%<br />

Tabel 2<br />

Anova<br />

Model<br />

Regression<br />

Residual<br />

Total<br />

* p < 0,00<br />

Sum of<br />

Squares df<br />

2072,621<br />

7761,766<br />

9334,387<br />

2<br />

77<br />

79<br />

Mean<br />

Square F<br />

1036,311<br />

100,802<br />

10,281<br />

parsial variabel KADP terhadap RS diperoleh<br />

koefisien determinasi 12,8%. Se<strong>dan</strong>gkan varia<br />

bel KC terhadap RS diperoleh koefisien deter<br />

minasi 8,32%. Hal ini menunjukkan bahwa<br />

hubungan keterlibatan <strong>ayah</strong> sangat berpe<br />

ngaruh pada resiliensi remaja. <strong>Keterlibatan</strong><br />

<strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> seperti memberikan<br />

bimbingan <strong>dan</strong> nasehat, menjadikan hubu<br />

ngan lebih baik antara <strong>ayah</strong> <strong>dan</strong> remaja, ada<br />

nya keterbukaan, dukungan emosi <strong>dan</strong> intelek<br />

tual sehingga remaja bisa tumbuh dengan ke<br />

mampuan diri yang lebih baik.<br />

Hasil penelitian ini didukung oleh bebera<br />

pa penelitian terdahulu diantaranya, penelitian<br />

yang dilakukan oleh Finley & Schwarz (2004);<br />

Fagan & Barnett (2003) bahwa keterlibatan<br />

<strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> <strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong> co<br />

ping akan membentuk pengalaman pada rema<br />

ja <strong>dan</strong> pada akhirnya mempengaruhi perkem<br />

bangan remaja. Melalui <strong>pengasuhan</strong> terse<br />

but remaja belajar mengenai benar <strong>dan</strong> salah<br />

dengan keterlibatan secara langsung member<br />

bimbingan, nasehat, menyampaikan informasi<br />

atau pengetahuan, dukungan emosi <strong>dan</strong> inte<br />

lektual, membangun harga diri <strong>dan</strong> rasa aman<br />

pada remaja.<br />

<strong>Keterlibatan</strong> <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> akan<br />

menjadikan remaja lebih baik lagi <strong>dan</strong> akan<br />

menjadi sukses dengan citacita yang diingin<br />

Tabel 4<br />

Korelasi antara <strong>Keterlibatan</strong> Ayah <strong>dalam</strong> Pengasuhan <strong>dan</strong><br />

Kemampuan Coping dengan Resiliensi (N = 80)<br />

<strong>Keterlibatan</strong> Ayah <strong>dalam</strong><br />

Pengasuhan<br />

Kemampuan Coping<br />

* p < 0.01<br />

Resiliensi<br />

Resiliensi<br />

r<br />

0,39**<br />

0,33**


JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 101 - 113<br />

kannya, karena mempunyai <strong>kemampuan</strong> co<br />

ping <strong>dan</strong> resiliensi yang positif, begitupun se<br />

baliknya. Pernyataan Ducharme, Doyle & Mar<br />

kiewicz (2002) menyatakan bahwa ketiadaan<br />

tokoh <strong>ayah</strong> memiliki dampak buruk dengan<br />

munculnya masalah psikis perkembangan<br />

remaja, remaja akan menjadi lebih mudah ter<br />

jerumus <strong>dalam</strong> banyak konflik disertai gang<br />

guan emosional.<br />

Remaja yang mempunyai <strong>kemampuan</strong> co<br />

ping <strong>dan</strong> resiliensi yang baik sangat dipenga<br />

ruhi dengan a<strong>dan</strong>ya keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong><br />

<strong>pengasuhan</strong>nya, remaja akan lebih bisa meng<br />

hadapi masalahmasalahnya, mampu beradap<br />

tasi pada situasi <strong>dan</strong> tantangan yang penuh<br />

dengan berbagai resiko yang akan dihadapi<br />

pada masa yang akan datang, se<strong>dan</strong>gkan <strong>ayah</strong><br />

yang terlibat langsung <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong>, cen<br />

derung akan selalu memperhatikan segala se<br />

suatu yang dibutuhkan remaja tersebut, baik<br />

<strong>dalam</strong> hal pendidikan, pergaulan seharihari<br />

dengan teman sebaya, <strong>dan</strong> pergaulan lingku<br />

ngan sekitar.<br />

Hasil penelitian ini didukung oleh bebera<br />

pa penelitian yang menyatakan bahwa keter<br />

libatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> sangat meya<br />

kinkan berpengaruh positif terhadap resiliensi<br />

<strong>dan</strong> semakin tinggi keterlibatan <strong>dan</strong> kepedu<br />

lian <strong>ayah</strong>, semakin meningkat pula resiliensi,<br />

keterlibatan <strong>ayah</strong> baik secara mental maupun<br />

fisik akan berpengaruh pada keberhasilan<br />

remaja <strong>dalam</strong> menghadapi masalahmasalah<br />

nya (Beets & Foley, 2008). Hal ini sesuai de<br />

ngan pendapat Burwick & Bellotti (2005) yang<br />

menyatakan bahwa keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong><br />

<strong>pengasuhan</strong> <strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> yang<br />

dimiliki remaja akan menciptakan suasana<br />

yang kondusif <strong>dalam</strong> keluarga, mengatur <strong>dan</strong><br />

membimbing kegiatan belajar seharihari yang<br />

dapat membantu keberhasilan remaja. Fakta<br />

lain yang dilakukan oleh Sales & Pau Perez<br />

(2005) menunjukkan bahwa resiliensi yang di<br />

miliki individu dapat mempengaruhi keberha<br />

silannya <strong>dalam</strong> beradaptasi pada situasi yang<br />

penuh tekanan dengan berbagai resiko <strong>dan</strong><br />

tantangannya serta membantu remaja <strong>dalam</strong><br />

memecahkan masalah <strong>dan</strong> mencegah keren<br />

tanan pada faktorfaktor yang sama pada masa<br />

yang akan datang.<br />

Dalam penelitian ini remaja yang mempu<br />

nyai resiliensi yang baik akan dapat melin<br />

dungi dirinya sendiri terhadap dampak yang<br />

negatif, seperti pergaulan bebas, remaja akan<br />

tahan terhadap stress <strong>dan</strong> mempunyai kemam<br />

puan yang baik, <strong>dan</strong> mampu memecahkan ma<br />

salahnya dengan baik pula. Hasil penelitian<br />

ini sejalan dengan beberapa teori yang me<br />

nyatakan bahwa resilien yang dimiliki remaja<br />

dapat menjadi pelindung sehingga tidak mem<br />

beri dampak yang negatif <strong>dalam</strong> kehidupan<br />

mereka, remaja yang memiliki resiliensi yang<br />

tinggi lebih tahan terhadap stress, memiliki<br />

stategi yang baik <strong>dalam</strong> memperbaiki suasana<br />

hati yang negatif <strong>dan</strong> lebih sedikit mengalami<br />

gangguan emosi <strong>dan</strong> perilaku (Hauser, 1999).<br />

Pengujian hipotesis kedua membuktikan<br />

bahwa ada hubungan positif yang signifikan<br />

antara keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong><br />

dengan resiliensi (r = 0,39, p = 0,000), semakin<br />

tinggi (positif) keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> penga<br />

suhan, maka semakin tinggi resiliensi remaja,<br />

<strong>dan</strong> sebaliknya semakin rendak keterlibatan<br />

<strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong>, maka semakin ren<br />

dah resiliensi remaja. Hasil ini sejalan dengan<br />

penelitian yang dilakukan oleh Wu (2009) me<br />

nyatakan bahwa keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> pe<br />

ngasuhan mempengaruhi resiliensi remaja atas<br />

dasar pertimbangan bahwa keterlibatan <strong>ayah</strong><br />

memungkinkan terjadinya sebuah hubungan<br />

yang penuh dengan kasih sayang antara <strong>ayah</strong><br />

<strong>dan</strong> remaja, keterlibata <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> pengasu<br />

han berarti bahwa <strong>ayah</strong> menyadari perannya<br />

<strong>dan</strong> mampu menjalankan perannya <strong>dalam</strong> ke<br />

luarga baik <strong>dalam</strong> segi kuantitas atau kualitas.<br />

Ketelibatan <strong>ayah</strong> secara positif dapat mem<br />

bentuk kekuatan <strong>dan</strong> ikatan emosional, inter<br />

aksi yang diwarnai dengan kehangatan <strong>dan</strong> ka<br />

sih sayang menjadikan remaja mampu <strong>dalam</strong><br />

mengahadapi berbagai macam masalah. Ke<br />

mampuan remaja yang dapat menyelesaikan<br />

masalahnya terbangun atas dasar cinta <strong>dan</strong><br />

kasih sayang dari orang tua, remaja menjadi<br />

merasa diterima <strong>dan</strong> akan merasa nyaman<br />

untuk berbagi dengan orang tua. Hal terse<br />

but sama dengan penelitian yang dilakukan<br />

oleh Feldman (2000); Gearing, McNeill & Lozier<br />

(2002); McLanahan & Carlson (2002) bahwa<br />

keterlibatan secara positif membentuk suatu<br />

ikatan emosional, interaksi <strong>ayah</strong> <strong>dan</strong> remaja<br />

yang diwarnai kehangatan <strong>dan</strong> kasih sayang<br />

dapat membentuk kekuatan <strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong><br />

remaja <strong>dalam</strong> menghadapi persoalan yang di<br />

hadapinya. Kemampuan remaja <strong>dalam</strong> meng<br />

hadapi masalahnya dapat dibangun atas dasar<br />

cinta, kasih sayang dari orang tua. Keha<br />

ngatan, kepedulian <strong>dan</strong> kasih sayang orang<br />

tua akan membuat anak merasa diterima, <strong>dan</strong><br />

anak merasa nyaman untuk berbagi dengan<br />

orang tua.<br />

Hasil penelitian McWayne, Campos & Ow<br />

sianik (2007) menunjukkan bahwa <strong>ayah</strong> ber<br />

peran membantu remaja membangun kete<br />

109


110<br />

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 101 - 113<br />

rampilan problem solving seperti misalnya<br />

<strong>ayah</strong> mengajarkan bagaimana berperilaku<br />

yang sesuai, menyelesaikan konflik <strong>dan</strong> ber<br />

interakasi dengan orang lain. Ayah berperan<br />

<strong>dan</strong> berkontribusi <strong>dalam</strong> perkembangan po<br />

tensi sosial dengan mengenalkan remaja pada<br />

berbagai hal positif yang dapat berguna bagi<br />

remaja. Amato & Rivera (1999) menyatakan<br />

bahwa keterlibatan <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong><br />

merupakan peran <strong>ayah</strong> yang terkategorisasi<br />

kan <strong>dalam</strong> beberapa cara <strong>pengasuhan</strong> meliputi<br />

penerapan <strong>dan</strong> tanggung jawab mendidik, du<br />

kungan terhadap sekolah, pemenuhan waktu<br />

<strong>dan</strong> berdialog bersama, pujian <strong>dan</strong> kasih sa<br />

yang, mengembangkan potensi atau bakat <strong>dan</strong><br />

memberikan perhatian.<br />

Kassotaki (2000) mengatakan bahwa pe<br />

ranan <strong>ayah</strong> memberikan dorongan pada rema<br />

ja untuk berprestasi. Hubungan yang hangat,<br />

penuh dengan kasih sayang <strong>dalam</strong> mendidik<br />

remaja, akan mendorong remaja agar mau<br />

berusaha keras untuk mencapai prestasi <strong>dan</strong><br />

akan mendorong remaja lebih berhasil, tetapi<br />

sebaliknya jika terlalu kaku atau otoriter jus<br />

tru akan mematikan semangat belajar remaja.<br />

Peran <strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> akan memben<br />

tuk jiwa remaja menjadi jiwa yang lebih man<br />

diri, <strong>dan</strong> mau berusaha keras untuk mencapai<br />

prestasi yang lebih baik, <strong>dan</strong> menjadikan rema<br />

ja yang berhasil, begitupun sebaliknya remaja<br />

yang <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong>nya terlalu kaku akan<br />

mengakibatkan dampak yang tidak baik pula<br />

bagi remaja tersebut.<br />

Pengujian hipotesis ketiga membuktikan (r<br />

= 0,33, p = 0,003) berarti ada hubungan positif<br />

yang signifikan antara <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> dengan<br />

resiliensi, sehingga semakin tinggi (posi<br />

tif) <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> maka semakin tinggi<br />

resiliensi, demikian juga sebaliknya semakin<br />

rendah tingkat <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> maka se<br />

makin rendah resiliensi. Remaja yang mem<br />

punyai <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> yang baik, mereka<br />

akan berusaha menyelesaikan masalahnya de<br />

ngan baik, tidak mudah menyerah <strong>dan</strong> mampu<br />

menghadapi keadaan yang sangat sulit sekali<br />

pun. Davey, Eaker & Walters (2003); Mandleco<br />

& Peery (2000) menunjukkan bahwa dengan<br />

<strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> yang tinggi, maka indi<br />

vidu akan melakukan berbagai usaha <strong>dalam</strong><br />

menyelesaikan sebuah permasalahan. Keyaki<br />

nan akan <strong>kemampuan</strong> <strong>dalam</strong> menyelesaikan<br />

permasalahan, individu akan mampu mencari<br />

penyelesaian masalah dari permasalahan yang<br />

ada, tidak mudah menyerah terhadap berbagai<br />

kesulitan. Dengan <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> yang<br />

tinggi, maka individu akan melakukan ber<br />

bagai usaha <strong>dalam</strong> menyelesaikan sebuah per<br />

masalahan.<br />

Remaja yang resilien akan mampu bang<br />

kit kembali dari keadaan yang terpuruk seka<br />

lipun, setelah mampu menghadapi masalah<br />

tersebut, remaja akan lebih meningkatkan<br />

kualitas <strong>kemampuan</strong> dirinya, menjadi lebih<br />

baik lagi <strong>dan</strong> mampu mengembangkan potensi<br />

yang dimilikinya. Resnick (2000) menunjuk<br />

kan bahwa individu yang resilien dapat mampu<br />

pulih kembali (bounce back) setelah mengala<br />

mi kondisi yang sulit. Setelah mengalami <strong>dan</strong><br />

mampu untuk berhadapan kondisi yang sulit,<br />

individu akan mengalami peningkatan kuali<br />

tas <strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong> diri. Remaja yang resilien<br />

akan mampu beradaptasi secara positif dari<br />

tekanan yang dialaminya. Hal ini sama dengan<br />

pernyataan Rew & Horner (2003) menyatakan<br />

bahwa resiliensi yang dimiliki individu sangat<br />

menentukan apakah seseorang mampu ber<br />

adaptasi secara positif terhadap tekanan atau<br />

tidak. Dalam menghadapi berbagai perma<br />

salahan diperlukan <strong>kemampuan</strong> individu agar<br />

dapat beradaptasi terhadap kondisi tersebut di<br />

mana dapat meningkatkan potensi diri setelah<br />

menghadapi situasi yang penuh tekanan.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan remaja yang tidak resilien me<br />

reka akan sulit <strong>dalam</strong> menghadapi masalah<br />

yang se<strong>dan</strong>g dihadapi, mereka cenderung<br />

mencari pelarian untuk sejenak melupakan<br />

<strong>dan</strong> tidak mau menghadapi masalah tersebut,<br />

seperti menggunakan obatobatan terlarang<br />

<strong>dan</strong> minumminuman keras, <strong>dan</strong> mengalami<br />

depresi yang berkepanjangan. Rouse (2001)<br />

menyatakan bahwa remaja yang tidak mampu<br />

menghadapi keadaan sulit atau masalah se<br />

cara efektif sehingga berdampak pada mental<br />

<strong>dan</strong> perilaku yang negatif seperti mengguna<br />

kan obatobatan <strong>dan</strong> alkohol sebagai pelarian,<br />

mengalami stres <strong>dan</strong> depresi.<br />

Akan tetapi remaja yang mampu meng<br />

hadapi segala permasalahan, remaja akan<br />

mampu beradaptasi secara positif terhadap<br />

berbagai masalah yang sangat sulit sekali<br />

pun, sehingga remaja dapat berprestasi <strong>dan</strong><br />

mempunyai hubungan sosial yang baik pula.<br />

Zdrojewski (2008) menunjukkan bahwa di sisi<br />

lain terdapat remaja yang mampu menghadapi<br />

berbagai permasalahan atau stresor yang ada,<br />

mereka mampu beradaptasi secara positif ter<br />

hadap berbagai kondisikondisi yang menekan,<br />

sehingga remaja tetap dapat berprestasi secara<br />

akademik, menyelesaikan studi tepat waktu,<br />

<strong>dan</strong> mempunyai hubungan sosial yang baik.<br />

Individu yang mengalami berbagai permasala<br />

han <strong>dan</strong> kekacauan karena stress kemudian


JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 101 - 113<br />

menggunakan kekuatan personal untuk tum<br />

buh lebih kuat <strong>dan</strong> berfungsi secara lebih baik<br />

dianggap sebagai individu yang resilien.<br />

Simpulan<br />

Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan<br />

bahwa ada hubungan signifikan keterlibatan<br />

<strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> <strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong> co<br />

ping dengan resiliensi F = 10,281 p = 0,000. Se<br />

<strong>dan</strong>gkan koefisien determinasi atau prosentase<br />

sumbangan pengaruh variabel keterlibatan<br />

<strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong> <strong>dan</strong> <strong>kemampuan</strong> co<br />

ping secara bersamasama terhadap resiliensi<br />

sebesar 21,1%. Adapun sisanya sebesar 79%<br />

dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dima<br />

sukkan <strong>dalam</strong> model penelitian ini. Secara par<br />

sial variabel KADP terhadap RS menunjukkan<br />

hubungan yang signifikan (r = 0.39, p = 0.000)<br />

<strong>dan</strong> diperoleh koefisien determinasi 12,8%. Se<br />

<strong>dan</strong>gkan variabel KC terhadap RS juga menun<br />

jukkan hubungan yang signifikan (r = 0.33, p =<br />

0.003) <strong>dan</strong> koefisien determinasi 8,32%.<br />

Implikasi<br />

Penelitian ini memberikan beberapa implikasi<br />

secara praktis <strong>dan</strong> teoritis <strong>dalam</strong> keterlibatan<br />

<strong>ayah</strong> <strong>dalam</strong> <strong>pengasuhan</strong>, <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong><br />

<strong>dan</strong> resiliensi. Implikasi tersebut diharapkan<br />

peran <strong>ayah</strong> harus bisa menggantikan peran<br />

ibu selama bekerja sebagai TKW; pentingnya<br />

melakukan proses pembelajaran pada konsep<br />

terkait <strong>kemampuan</strong> <strong>coping</strong> agar remaja dapat<br />

menghadapi atau menghindari perilaku nega<br />

tif; mengajarkan anak untuk resilien <strong>dalam</strong><br />

memecahkan berbagai masalah atau tekanan<br />

dari berbagai situasi; <strong>dan</strong> bagi peneliti selan<br />

jutnya diharapkan agar dapat meneliti lebih<br />

lanjut variabelvariabel lain yang berkorelasi<br />

dengan reseliensi. Diduga ada 79% resiliensi<br />

dipengaruhi variabel lain, misalnya faktorfak<br />

tor internal <strong>dan</strong> eksternal seperti keterampilan<br />

kognitif, sumbersumber psikologis, <strong>dan</strong> du<br />

kungan sosial.<br />

Daftar Pustaka<br />

Allen, S., & Dally, K. (2007). The effect of father involve<br />

ment: Updated research summary of the evidence.<br />

Journal of Marriage and the Family, 48, 783794.<br />

Allen, A. B., & Leary, M. R., (2010). Selfcompassion,<br />

stress, and <strong>coping</strong>. Social and Personality Psychology<br />

Compass, 4 (2), 107118.<br />

Amato, P. R., & Rivera, F. (1999). Parental involvement and<br />

children’s behavior problems. Journal of Marriage<br />

and the Family, 61, 375−384.<br />

Andayani, B. (2004). Peran <strong>ayah</strong> menuju coparenting. Ja<br />

karta: CV Citra Media.<br />

Andrews, M., Ainley., & Frydenberg, E. (2004). Adolescent<br />

engagement with problem solving tasks: The role of<br />

<strong>coping</strong> style, resilience, and emotions. Journal of<br />

American Educational Research, 37, 727745.<br />

Beets, M. W., & Foley, T. J. (2008). Association of fa<br />

ther involvement and neighborhood quality with<br />

kindergartners’physical activity: A multilevel struc<br />

turalequation. Journal of Health Promoting Commu-<br />

nity, 20, 19522l.<br />

Bonanno, G. A. (2004). Loss, trauma, and human resi<br />

lience: Have we underestimated the human capacity<br />

to thrive after extremely aversive events. American<br />

Psychologist Association, 59, 20-28.<br />

Bonney, J. F., Kelley, M. L., & Levant, R. F. (1999). A model<br />

of fathers’behavioral involvement in child care in du<br />

alearner families. Journal of Family Psychology, 13,<br />

401415.<br />

Brooks, R., & Goldstein, S. (2003). The power of resilience.<br />

United Stated: Mac GrawHill.<br />

Burwick, A., & Bellotti, J. (2005). Creating paths to father<br />

involvement: Lessons fromearly head start. Journal of<br />

Mathematica Policy, 3, 102122.<br />

Chao, R. K. (2001). Extending research on the consequen<br />

ces of parenting style for Chinese Americans and<br />

European Americans. Child Development, 72, 1832<br />

1843.<br />

Crouter, A. C., Davis, K. D., Updegraff, K., Delgado, M.,<br />

& Fortner, M. (2006). Mexican American fathers’ oc<br />

cupational conditions: Links to family member’s psy<br />

chological adjustment. Journal of Marriage and Fa-<br />

mily, 68, 843858.<br />

Dagun, S. M. (1990). Psikologi keluarga. Jakarta: Rineka<br />

Cipta.<br />

Davey, M., Eaker, D., & Walters, L. (2003). Resilience<br />

processes in adolescents: Personality profiles, self-<br />

worth, and <strong>coping</strong>. Journal of Adolescent Research,<br />

18, 347362.<br />

Dewi, S.K., & Hartati, S. (2005). Studi korelasi persepsi<br />

terhadap afeksi <strong>ayah</strong> dengan <strong>kemampuan</strong> penye<br />

suaian sosial remaja di sekolah lanjutan pertama<br />

negeri kecamatan Semarang Selatan. Jurnal Psikolo-<br />

gi Undip, 2, 1832.<br />

Ducharme, J., Doyle, A. B., & Markiewicz, D. (2002). At<br />

tachment security with mother andfather: Associa<br />

tion with adolescent’s reports of interpersonal be<br />

havior with parents andpeers. Journal of Social and<br />

Personal Relationships, 19, 20032231.<br />

Dumont, M., & Provost, M.A. (1999). Resilience in adoles<br />

cents: Protective role of social support, <strong>coping</strong> strate<br />

gies, selfesteem, and social activities on experience<br />

of stress and depression. Journal of Youth and Adoles-<br />

cence, 28, 343363.<br />

Efendy, O. U. (1993). Dinamika komunikasi. Bandung: P.T<br />

Remaja Rosdakarya.<br />

111


112<br />

JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 101 - 113<br />

Everall, R. D., Altrows, K. J., & Paulson, B. L. (2006). Cre<br />

ating a future: A study ofresilience in suicidal female<br />

adolescents. Journal of Counseling & Development,<br />

84, 461470.<br />

Fagan, J., & Barnett, M. (2003). The relationship bet<br />

ween maternal gatekeeping, paternal competence,<br />

mother’s attitudes about the father role, and father<br />

involvement. Journal of Family Issues, 24, 10201043.<br />

Falceto, D. M., & Galambos, N. L. (1991). Examining father<br />

involvement and the quality of fatheradolescent rela<br />

tions. Journal of Research on Adolescence, 1, 155172.<br />

Fagan, J., & Barnett, M. (2003). The relationship bet<br />

ween maternal gatekeeping, paternal competence,<br />

mother’s attitudes about the father role, and father<br />

involvement. Journal of Family Issues, 24, 10201043.<br />

Feldman, R. (2000). Parent’s convergenceon sharing and<br />

marital satisfaction, father involvement, and parent<br />

child relationshipat the transition to parenthood.<br />

Journal of Infant Mental Health, 21, 176–191.<br />

Finley, G. E., & Schwartz, S. J. (2004). Father involvement<br />

and longterm young adult outcomes: The roles of di<br />

vorce and gender. Family Court Review, 45, 573587.<br />

Flouri, E. (2008). Fathering and adolescents’ psychologi<br />

cal adjustment: The role of fathers’ involvement, resi<br />

dence and biology status. Child: Care, Health and De-<br />

velopment, 34, 152161.<br />

Folkman, S. (1984). Personal control and stress and co<br />

ping process: A theoritical analysis. Journal of Per-<br />

sonality and Social Psychology, 4, 839852.<br />

Fonagy, P., Steele, M., Steele, H., Higgit, A., & Target, M.<br />

(1994). The emmanuel miller memorial, 1992: The<br />

theory and practice of resilience. Journal of Child Psy-<br />

chology and Psychiatry, 35, 231257.<br />

Gail, M., Wagnild., & Heather, M., Young. (1987). Used by<br />

permission: All rights reserved. The Resilience Scale.<br />

Is an International trademark.<br />

Gearing, R. E., McNeill., & Lozier, F. A. (2002). Father in<br />

volvement and fetal alcohol spectrum disorder: Deve<br />

loping best practices. Journal of Infant Mental Health,<br />

3, 98110.<br />

Gender, J. E. (1998). Memahami gejolak masa remaja (Alih<br />

Bahasa: Hadisubrata). Jakarta: Rineka Cipta.<br />

Gottman, J., & Declaire, J. (1997). The Heart of parenting:<br />

How to raise an emotionally intelligent child. London:<br />

Bloomsbury Publishing Plc.<br />

Grotberg, E. H. (1999). Tapping your inner strenght: How to<br />

find the resilience to deal with anything. Oakland, CA:<br />

New Harbinger.<br />

Gutman, L. M., Brown, J., Akerman, R., & Obolenskaya,<br />

P. (2010). Change in wellbeing from childhood to ado<br />

lescence: Risk and resilience. Journal of children,<br />

School, and Families, 8, 85101.<br />

Hauser, S. T. (1999). Understanding resilience outcomes:<br />

Adolescent lives across time and generations. Journal<br />

of Research on Adolescence, 9, 124.<br />

Heymann., Richard, E., Malik., & Amy, M. S. (2000). The<br />

differential association between change request qua<br />

lities and resistance, problem resolution, and rela<br />

tionship satisfaction. Journal of Family Psychology,<br />

23, 464473.<br />

Holaday, M. (1997). Resilience and severe burns. Journal of<br />

Counseling and Development, 75, 346357.<br />

Johnson, D. W., & Johnson, R. T. (1995). Cooperative ver<br />

sus competitive efforts and problem solving. Review<br />

of Educational Research. 65, 129143.<br />

Kalmijn, M. (1999). Father involvement in childrearing and<br />

the perceived stability of marriage. Journal of Mar-<br />

riage and the Family, 61, 409421.<br />

Kassotaki, M. K. (2000). Understanding fatherhood in<br />

greece: Father’s involvement in child care. Journal of<br />

Psicologia, 16, 213219.<br />

Kellermann, A. L., Whitley, D., & Parramore, C. (2004).<br />

Community problemsolving to reduce juvenilegun<br />

violence: Atlanta’s experience. Journal of Justice, 20,<br />

132.<br />

Krovets, M. L. (1999). Fostering resilience. Thousand Oaks,<br />

CA: Sage Publications.<br />

Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal,<br />

and <strong>coping</strong>. Diakses 20 April 2012. http://books.<br />

google.ca/books<br />

Lever, J. P. (2008). Poverty, stressful life events, and co<br />

ping strategis. The Spanish Journal of Psychology, 11<br />

(1), 228249.<br />

Luthar, S. S., Cicchetti, D., & Becker, B. (2000). The con<br />

struct of resilience: A critical evaluation and guide<br />

lines for future work. Child Development, 71, 543562.<br />

Mandleco, B. L., & Peery, J. C. (2000). An organizational<br />

framework for conceptualizing resilience in children.<br />

Journal of Child and Adolescent Psychiatric Nursing,<br />

13, 99111.<br />

Marsh, D. T. (1996). The family experience of psychiatric<br />

disorder: Evidence for resilience. Psychiatric Rehabili-<br />

tation Journal, 20, 313.<br />

Miller, B. C., & Moore, K. A. (1990). Adolescent sexual be<br />

havior, pregnancy, and parenting: Research through<br />

the 1980’s. Journal of Marriage and the Family, 52,<br />

10251044.<br />

Miller, S. C., Brody, G., & Murry, V. (2009). Mothers’ and<br />

fathers’ responsive problem solving with early ado<br />

lescents: Do gender, shyness, and social acceptance<br />

make a difference?. Journal of Child Family, 19, 298<br />

307.<br />

McLanahan, S. S., & Carlson, M. J. (2002). Welfare re<br />

form, fertility, and father involvement. Future Child,<br />

12, 146–165.<br />

McWayne, C., Campos, R., & Owsianik, M. (2007). A mul<br />

tidimensional, multilevel examination ofmother and<br />

father involvement among culturally diverse head<br />

start families. Journal of School Psychology, 46, 551–<br />

573.


JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (2), 101 - 113<br />

Naftel, M. I., & Driscoll, M. (1993). Problem solving and<br />

decision making in an eighth grade class. Adolescent<br />

Psychology. 66, 177187.<br />

Neiderhiser, M. J., Reiss, D., Lichtenstein, P., Spotts, E.<br />

L., & Ganiban, J. (2007). Father adolescent relation<br />

ships and the role of genotype environment correla<br />

tion. Journal of Family Psychology, 2, 560–571.<br />

Nicholls, W. J., & Pike, L. T. (2002). Contact fathers’ ex<br />

perience of family life. Journal of Family Studies, 8,<br />

7488.<br />

OmarFauzee, M. S., Rezawana, W., Abdullah, R., &<br />

Rashid, S. A. (2009). The effectiveness of imagery and<br />

<strong>coping</strong> strategies in sport performance. European<br />

Journal of Social Sciences, 9 (1), 97108.<br />

Nugent, J. K. (1991). Cultural and psychological influences<br />

on the father’s role in infant development. Journal of<br />

Marriage and Family, 53, 475485.<br />

Pleck, J., & Hofferth, S. (2008). Coresidential father in<br />

volvement with early adolescents. Journal of Marriage<br />

and the Family, 63, 309321.<br />

Reivich, K., & Shatté, A. (2002). The resilience factor: 7 es-<br />

sential skill for overcoming life’s inevitable obstacles.<br />

New York: Broadway Books.<br />

Resnick, M. D. (2000). Resilience and protective factors in<br />

the lives of adolescents. Journal of Adolescent Health,<br />

27, 12.<br />

Rew, L., & Horner, S. D. (2003). Youth resilience frame<br />

work for reducing healthrisk behaviorsin adoles<br />

cents. Journal of Pediatric Nursing, 18, 379388.<br />

Richardson, G. E. (2002). The meta theory of resilience<br />

and resiliency. Journal of Clinical Psychology, 58,<br />

307–321.<br />

Risely, L. (2010). Increasing fathers’ involvement in family<br />

therapy: A discoveryoriented process study. Thesis.<br />

College of Psychology Virginia.<br />

Rouse, K. A. (2001). Resilient students’ goals and motiva<br />

tion. Journal of Adolescence, 24, 461472.<br />

Santoso, A. (2008). Mobilitas social tenaga kerja Indone<br />

sia asal kabupaten Ponorogo. Jurnal Ekuilibrium, 2,<br />

1120.<br />

Sales., & Perez, P. (2005). Post traumatic factors and resili<br />

ence: The role of shelter management and survivours’<br />

attitudes after earthquakes in El Salvador. Journal of<br />

Community & Applied Psychology, 15, 368382.<br />

Soderstrom, M., Dolbier, C., Leiferman, J., & Steinhardtm,<br />

M. (2000). The relationship of hardness, <strong>coping</strong> stra<br />

tegies, and perceived stress to symtoms of ilness.<br />

Journal of Behavioral Medicine, 23, 311335.<br />

Stone, K. D. (2008). The forgotten parent: The father’s<br />

contribution to the infant’s developmentduring the<br />

preoedipal years. A dissertation. Master of Health<br />

Science in Psychotherapy: Auckland University of<br />

Technology.<br />

Sudaryono. (2007). Resiliensi <strong>dan</strong> locus of control guru<br />

<strong>dan</strong> staff sekolah pasca gempa. Jurnal Kependidikan,<br />

5, 5572.<br />

The World Bank. (2006). Migration, remittance and female<br />

migrant workers. Diakses pada tanggal 12 Agustus<br />

2012. http://siteresources.worldbank.org/INTINDO-<br />

NESIA/Resources/fact_sheet-migrant_workers_en_<br />

jan06.pdf<br />

Videon, T. M. (2005). Parentchild relations and children’s<br />

psychological wellbeing: Do dad’s matter? Journal of<br />

Family Issues, 26, 5578.<br />

Wasonga. (2002). A Conceptual model for a university k12<br />

partnership utilizing the internet and after school<br />

activities in technology and engineering: Resiliency<br />

approach. Journal of Health Promoting Community, 2,<br />

152l.<br />

White, S. (2007). Psychodynamic perspective of workplace<br />

bullying scenarios. Thesis. University of the West of<br />

England.<br />

Wibisono, S. (2010). Subjective well being pada remaja<br />

yang ditinggalkan ibunya menjadi tenaga kerja wani-<br />

ta (TKW) ditinjau dari penerimaan diri, keberfung-<br />

sian keluarga <strong>dan</strong> pola <strong>coping</strong> positif. Tesis. Fakultas<br />

Psikologi: Universitas Gadjah Mada.<br />

Wu, L. E. (2009). Father involvement in Chinese American<br />

families and children’s socio-emotional development.<br />

Thesis. University of California.<br />

Winsler, A., Madigan, A. L., & Aquilino, A. S. (2005). Cor<br />

respondence between maternal and paternal paren<br />

ting styles in early childhood. Journal of Early Child-<br />

hood, 20, 1–12.<br />

Zdrojewski, M. (2008). Resilience in central appalachian<br />

adolescents: Using a culturally sensitive methodology<br />

to investigate positive developmental outcomes. Dis<br />

sertation. Doctor of Psychology: Marshall University.<br />

113

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!