10.09.2013 Views

Warta Konservasi Lahan Basah - Burung-Nusantara / Birds-Indonesia

Warta Konservasi Lahan Basah - Burung-Nusantara / Birds-Indonesia

Warta Konservasi Lahan Basah - Burung-Nusantara / Birds-Indonesia

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Edisi Edisi Edisi Juli, Juli, 2010 2010 1<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○


○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

Foto sampul muka:<br />

Pertumbuhan Eceng gondok yang<br />

pesat di Danau Tondano<br />

(Foto: Ita Sualia)<br />

2 Wart art arta art a Konserv <strong>Konservasi</strong> Konserv <strong>Konservasi</strong><br />

asi L L<strong>Lahan</strong><br />

L <strong>Lahan</strong><br />

ahan <strong>Basah</strong><br />

<strong>Basah</strong><br />

<strong>Warta</strong> <strong>Konservasi</strong> <strong>Lahan</strong> <strong>Basah</strong><br />

<strong>Warta</strong> <strong>Konservasi</strong> <strong>Lahan</strong> <strong>Basah</strong> (WKLB) diterbitkan atas<br />

kerjasama antara Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan<br />

<strong>Konservasi</strong> Alam (Ditjen. PHKA), Dephut dengan Wetlands<br />

International - <strong>Indonesia</strong> Programme (WI-IP), dalam rangka<br />

pengelolaan dan pelestarian sumberdaya lahan basah di<br />

<strong>Indonesia</strong>.<br />

Penerbitan <strong>Warta</strong> <strong>Konservasi</strong> <strong>Lahan</strong> <strong>Basah</strong> ini dimaksudkan<br />

untuk meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat akan<br />

manfaat dan fungsi lahan basah, guna mendukung terwujudnya<br />

lahan basah lestari melalui pola-pola pengelolaan dan<br />

pemanfaatan yang bijaksana serta berkelanjutan, bagi<br />

kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.<br />

Pendapat dan isi yang terdapat dalam WKLB adalah sematamata<br />

pendapat para penulis yang bersangkutan.<br />

Ucapan Terima Kasih dan Undangan<br />

Secara khusus redaksi mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggitingginya<br />

kepada seluruh penulis yang telah berperan aktif dalam<br />

terselenggaranya majalah ini. Sumbangsih tulisan berharga tersebut, sangat<br />

mendukung bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pelestarian lingkungan<br />

khususnya lahan basah di republik tercinta ini.<br />

Kami juga mengundang pihak-pihak lain atau siapapun yang berminat untuk<br />

menyumbangkan bahan-bahan berupa artikel, hasil pengamatan, kliping,<br />

gambar dan foto, untuk dimuat pada majalah ini. Tulisan diharapkan sudah<br />

dalam bentuk soft copy, diketik dengan huruf Arial 10 spasi 1,5 dan hendaknya<br />

tidak lebih dari 2 halaman A4 (sudah berikut foto-foto).<br />

Semua bahan-bahan tersebut termasuk kritik/saran dapat dikirimkan kepada:<br />

Triana - Divisi Publikasi dan Informasi<br />

Wetlands International - <strong>Indonesia</strong> Programme<br />

Jl. A. Yani No. 53 Bogor 16161, PO Box 254/BOO Bogor 16002<br />

tel: (0251) 831-2189; fax./tel.: (0251) 832-5755<br />

e-mail: publication@wetlands.or.id<br />

DEWAN REDAKSI:<br />

Penasehat: Direktur Jenderal PHKA;<br />

Penanggung Jawab: Sekretaris Ditjen. PHKA dan Direktur Program WI-IP;<br />

Pemimpin Redaksi: I Nyoman N. Suryadiputra;<br />

Anggota Redaksi: Triana, Hutabarat, Juss Rustandi, Sofian Iskandar, dan Suwarno


Dari Redaksi<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

Selamat bersua kembali bagi seluruh pembaca setia kami. Dengan segala kekurangan yang kami miliki, kami<br />

terus berupaya menyuguhkan informasi-informasi seputar perlahanbasahan kita.<br />

Fokus edisi kali ini menyajikan kondisi ekosistem Danau Tondano yang terletak di Kabupaten Minahasa,<br />

Sulawesi Utara. Danau vulkanik air tawar yang memiliki banyak nilai dan fungsi tinggi bagi masyarakat<br />

sekitarnya tersebut, kini sudah sangat terancam dan mengalami gangguan yang serius. Melihat kondisi ini,<br />

pemerintah RI melalui Kementerian Lingkungan Hidup telah menetapkan Danau Tondano menjadi salah satu<br />

dari lima belas danau prioritas di <strong>Indonesia</strong> yang harus segera dipulihkan.<br />

Bila mau jujur, tentu saja kerusakan-kerusakan yang dialami ekosistem Danau Tondano saat ini, adalah<br />

akumulasi dari perbuatan-perbuatan manusianya itu sendiri yang tidak berpihak pada pelestarian alam dan<br />

pemanfaatan yang seharusnya juga dirasakan oleh anak cucu di masa depan. Adanya suatu kebijakan<br />

komprehensif dan terpadu, menjadi kunci penting bagi pemulihan dan pengembalian fungsi serta nilai-nilai<br />

yang terkandung pada ekositem Danau Tondano. Beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan oleh instansiinstansi<br />

pemerintah (pusat dan daerah) maupun non-pemerintah dimana Wetlands International - <strong>Indonesia</strong><br />

Programme juga terlibat di dalamnya, menjadi harapan besar bagi terselenggaranya panduan/pedoman<br />

pengelolaan ekosistem Danau Tondano secara bijak dan berkesinambungan.<br />

Para pembaca yang terhormat, suguhan informasi lainnya bisa Anda buka pada lmbar-lembar lainnya.<br />

Semoga perlahanbasahan kita semakin berseri - jangan lagi semakin terdegradasi!<br />

Selamat membaca<br />

Daftar Isi<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

Fokus <strong>Lahan</strong> <strong>Basah</strong><br />

DANAU TONDANO: salah satu dari lima belas danau prioritas di <strong>Indonesia</strong> yang harus<br />

segera dipulihkan fungsinya 4<br />

<strong>Konservasi</strong> <strong>Lahan</strong> <strong>Basah</strong><br />

Langkah-Langkah Budidaya Tambak Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove 6<br />

Berita Kegiatan<br />

LOKAKARYA dan PELATIHAN<br />

Pengelolaan Ekosistem dan Pengendalian Spesies Invasif Danau Tondano 8<br />

Lomba Menggambar Tingkat SD/Sederajat Daerah Bufferzone CA. Pulau Dua,<br />

Serang, Banten: Dalam Rangka Memperingati Hari Air Sedunia 10<br />

Berita dari Lapang<br />

“BEA” Mengamati <strong>Burung</strong> Langka bersama Siswa di SM. Rawa Singkil, Aceh 12<br />

Estimasi Populasi dan Habitat Persinggahan Trinil kaki-merah Tringa tetanus Linnaeus,<br />

di Kawasan Pantai Cemara, Jambi, Sumatera 16<br />

Flora dan Fauna <strong>Lahan</strong> <strong>Basah</strong><br />

Akhirnya KUNTUL Bersarang Lagi ... 18<br />

POHON BUAH HITAM (Haplolobus spp.)<br />

Apa Keistimewaannya bagi Masyarakat Pesisir Teluk Wondama? 20<br />

Dokumentasi Perpustakaan 24<br />

Tahukah Kita<br />

Eceng Gondok, gulma yang bisa menjadi sumber devisa? Sekaligus berperan penting<br />

dalam meredam perubahan iklim? 24<br />

Edisi Edisi Edisi Juli, Juli, 2010 2010 3<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○


Fokus <strong>Lahan</strong> <strong>Basah</strong><br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

DANAU TONDANO<br />

salah satu dari lima belas danau prioritas di <strong>Indonesia</strong><br />

yang harus segera dipulihkan fungsinya<br />

Danau Tondano adalah<br />

danau air tawar vulkanik,<br />

berada pada ketinggian<br />

680m di atas permukaan laut<br />

dengan luas saat ini sekitar 4438<br />

Ha, kedalaman maksimum 35,3m<br />

dan kedalaman rata-rata 13,4m.<br />

Inlet danau terdiri dari 35 sungai<br />

(termasuk sungai intermiten yang<br />

berair terutama disaat musim<br />

penghujan) dan hanya memiliki<br />

satu outlet yaitu Sungai Tondano<br />

yang bermuara di Teluk Manado.<br />

Berdasarkan peruntukannya,<br />

Danau Tondano tergolong danau<br />

multi fungsi (multy purposes) yaitu<br />

sebagai (1) sumber energi listrik<br />

bagi 50.000 rumah di Sulawesi<br />

Utara (PLTA Tonsea Lama,<br />

Tanggari I, Tanggari II dan rencana<br />

PLTA Sawangan); (2) sumber air<br />

(diolah oleh perusahaan air<br />

minum) bagi Kabupaten Minahasa,<br />

Kota Manado dan ke depan<br />

direncanakan untuk mensuplai air<br />

minum ke kota Bitung; (3) retensi<br />

banjir kota Manado; (4) lokasi<br />

budidaya perikanan keramba jaring<br />

apung/KJA (floating net cages) dan<br />

keramba tancap (pen culture)<br />

dengan produksi sekitar 5000 ton<br />

ikan per tahun; (5) irigasi bagi<br />

3000 ha sawah di Kabupaten<br />

Minahasa dan (6) fasilitas wisata<br />

alam dan (7) pendidikan.<br />

Daerah Aliran Sungai (DAS) dan<br />

sub-DAS Danau Tondano melintasi<br />

lima Kabupaten/ Kota yaitu<br />

Kabupaten Minahasa, Kabupaten<br />

4 Wart art arta art a Konserv <strong>Konservasi</strong> Konserv <strong>Konservasi</strong><br />

asi L L<strong>Lahan</strong><br />

L <strong>Lahan</strong><br />

ahan <strong>Basah</strong><br />

<strong>Basah</strong><br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

Oleh:<br />

I N.N. Suryadiputra, Ferry H. dan M. Ilman<br />

Minahasa Utara, Kota Tomohon,<br />

Kota Bitung dan Kota Manado.<br />

Secara administratif, Danau<br />

Tondano sendiri berada di<br />

Kabupaten Minahasa Provinsi<br />

Sulawesi Utara, berjarak sekitar<br />

30km ke arah selatan dari Kota<br />

Manado. Hasil studi interpretasi<br />

citra Landsat 2009 oleh<br />

Departemen PU ditemukan bahwa<br />

Luas DAS Tondano (watershed)<br />

adalah 56.371 Ha, dengan luas<br />

Daerah Tangkapan Air (DTA/ water<br />

catchments area) 25.925 Ha dan<br />

Badan Air Danau (water body)<br />

seluas 4396 Ha (kajian WIIP<br />

terbaru, Mei 2010 mendapatkan<br />

luas danau 4438Ha).<br />

Dari total luasan DTA yaitu 25.925<br />

ha (berdasarkan intepretasi citra<br />

Landsat 2009), diketahui bahwa<br />

tutupan lahan terdiri dari 5%<br />

perumahan (1197 ha), 28% hutan<br />

(7.345 ha), 12% sawah (3.188 ha),<br />

28% perkebunan campuran (7.326<br />

ha), tegalan 23% / hortikultura<br />

tanah (5.983 ha), gulma 2%<br />

terutama eceng gondok yang<br />

berada di tepi danau (553ha) dan<br />

1% lahan yang tidak dapat<br />

dikalsifikasikan karena citra<br />

tertutup awan (333 ha).<br />

Danau Tondano menjadi habitat<br />

penting bagi berbagai jenis hewan<br />

dan tumbuhan, diantaranya jenisjenis<br />

ikan khas Sulawesi, seperti<br />

ikan Payangka dan Nike. Terdapat<br />

juga satu jenis ikan yang hanya<br />

dapat ditemukan di danau ini, yaitu<br />

Tondanichthys kottelati (sejenis<br />

julung-julung air tawar). Jenis ikan<br />

ini pertama kali ditemukan pada<br />

tahun 1995, dan statusnya saat itu<br />

masuk kategori rentan (vulnerable)<br />

menurut daftar yang dikeluarkan<br />

oleh IUCN. Namun demikian, IUCN<br />

menyebutkan juga bahwa<br />

diperlukan informasi terkini dari<br />

jenis ini untuk mengetahui status<br />

dan kondisi populasinya saat ini.<br />

Ditemukan juga sedikitnya 31<br />

spesies burung di sekitar danau, 6<br />

diantaranya dilindungi oleh<br />

Uundang-Undang RI, yaitu: Kuntul<br />

kecil (Egretta garzetta), Kuntul<br />

kerbau (Bubulcus ibis), Elang Paria<br />

(Milvus migrans), Elang Bondol<br />

(Haliastur indus), Cekakak Sungai<br />

(Halcyon chloris) dan <strong>Burung</strong>-madu<br />

sriganti (Nectarinia jugularis).<br />

Beberapa jenis fauna air yang<br />

bukan asli dari danau ini juga<br />

ditemukan, antara lain: Kijing<br />

Taiwan (Anodonta woodiana),<br />

Kolobi/keong mas (Pomacea<br />

canaliculata), Mujair (Oreochromis<br />

mossambicus) dan Nila<br />

(Oreochromis niloticus).<br />

Sedangkan vegetasi yang hidup di<br />

sekitar Danau Tondano bagian tepi<br />

berupa persawahan, perladangan<br />

serta rawa-rawa berair tawar.<br />

Rawa air tawar tersebut didominasi<br />

oleh Serawet/teki (Cyperaceae),<br />

kano-kano (Phragmites karka), dan<br />

Rumbia/sagu (Metroxylon sago).<br />

Pada bagian perbukitan, umumnya


○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

didominasi oleh pohon Cengkeh<br />

(Syzygium aromaticum), selain itu<br />

Mahoni (Swietenia mahagoni), Jati<br />

(Tectona grandis) dan Sengon<br />

(Albazia falcataria) merupakan<br />

jenis-jenis yang sengaja ditanam<br />

untuk dipanen kayunya.<br />

Pada badan air, jenis-jenis yang<br />

umum teramati adalah: Eceng<br />

gondok (Eicchornia crasssipes) dan<br />

Ki Apu (Pistia stratiotes) yang<br />

mendominasi pada beberapa bagian<br />

permukaan air danau, sementara<br />

arakan (Ceratophyllum demersum)<br />

tumbuh tepat dibawah permukaan<br />

air. Jenis-jenis lain yang ditemukan,<br />

antara lain: Hydrilla (Hydrilla<br />

verticillata), Teratai (Nymphaea sp.).<br />

Sangat disayangkan, karena Danau<br />

Tondano yang memiliki begitu<br />

banyak nilai dan manfaat tersebut,<br />

saat ini kondisinya sangat<br />

memprihatinkan dan terancam.<br />

Beberapa faktor utama penyebab<br />

rusak dan terancamnya keberadaan<br />

eksositem Danau Tondano, sebagai<br />

berikut:<br />

1) Kegiatan pengggalian pasir di<br />

beberapa sungai yang<br />

merupakan inlet (pemasok air)<br />

Danau Tondano, serta<br />

penebangan pohon di daerah<br />

tangkapan air Danau Tondano<br />

yang sering menimbulkan erosi<br />

tepi sungai dan lahan di<br />

sekitarnya. Kegiatan ini<br />

menyebabkan meningkatnya<br />

kekeruhan air (akibat padatan<br />

tersuspensi) dan pendangkalan<br />

pada sungai dan di dalam<br />

danau.<br />

2) Maraknya penjarahan<br />

(encroachment) lahan di<br />

sempadan danau untuk kegiatan<br />

pertanian mengakibatkan semakin<br />

berkurangnya luasan permukaan<br />

dan volume air danau.<br />

3) Maraknya pembangunan<br />

Keramba Jaring Apung (KJA)<br />

dan Karamba tancap (pada<br />

tahun 2001, total sekitar 2500<br />

unit; tersebar di Desa Eris (2078<br />

unit), di Desa Kakas (350 unit)<br />

dan di Desa Remboken (40 unit).<br />

4) Pesatnya pertumbuhan eceng<br />

gondok di dalam danau.<br />

5) Tingginya pencemaran dari luar<br />

danau (seperti dari kegiatan<br />

pertanian, pemukiman,<br />

peternakan, galian pasir) dan<br />

Fokus <strong>Lahan</strong> <strong>Basah</strong><br />

Danau Tondano (Foto: Ita S.)<br />

dari dalam danau itu sendiri<br />

(seperti sisa—sisa pakan dari<br />

kegiatan KJA, restauran, eceng<br />

gondok yang mati).<br />

6) Adanya introduksi jenis-jenis ikan<br />

dari luar Minahasa yang<br />

mengancam kehidupan ikan-ikan<br />

asli Danau Tondano.<br />

Dampak lanjutan yang ditimbulkan<br />

dari berbagai permasalahan<br />

tersebut di atas, pada akhirnya<br />

mengurangi nilai dan daya guna<br />

perairan danau tondano untuk<br />

berbagai kepentingan masyarakat di<br />

sekitarnya. Hal demikian telah<br />

terlihat dari: (1) semakin<br />

berkurangnya pasokan daya listrik<br />

untuk operasional tiga buah PLTA<br />

yang merupakan system<br />

interkoneksi jaringan listrik di<br />

Sulawesi Utara dan akhirnya<br />

mengharuskan diadakannya<br />

pemadaman listrik secara bergiliran;<br />

(2) terjadinya banjir pada musim<br />

hujan (terutama) di daerah outlet<br />

danau (dan menggenangi lahan<br />

pertanian dan pemukiman), dan (3)<br />

mengurangi pasokan air baku untuk<br />

diolah oleh Perusahaan Air Minum.<br />

.....bersambung ke hal 23<br />

Edisi Edisi Edisi Juli, Juli, 2010 2010 5<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○


<strong>Konservasi</strong> <strong>Lahan</strong> <strong>Basah</strong><br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

PENGERTIAN TAMBAK RAMAH<br />

LINGKUNGAN<br />

Parahnya kerusakan lingkungan<br />

pesisir (mangrove) akibat pembukaan<br />

lahan yang salah satunya<br />

diperuntukkan untuk tambak,<br />

memacu lahirnya konsep budidaya<br />

tambak ramah lingkungan. Konsep<br />

ini mencakup 2 (dua) kegiatan utama<br />

yaitu penerapan jalur hijau (green<br />

belt) atau penanaman mangrove di<br />

tambak (silvofishery), serta<br />

penerapan tata cara budidaya yang<br />

baik dalam arti tidak menggunakan<br />

bahan baku produksi yang merusak<br />

lingkungan dan atau membahayakan<br />

keselamatan dan kesehatan<br />

konsumen produk yang dihasilkan.<br />

Beberapa manfaat tambak ramah<br />

lingkungan diantaranya :<br />

1. Biaya dan resiko produksi jauh<br />

lebih rendah dan dapat dikelola<br />

dalam skala kecil (rumah tangga).<br />

2. Menghasilkan produksi sampingan<br />

dari hasil tangkapan alam seperti<br />

udang alam, kepiting, dan ikan liar.<br />

3.Lingkungan terpulihkan dan<br />

meningkatnya daya dukung<br />

(carrying capacity) tambak,<br />

sehingga mampu menjaga kualitas<br />

air dan menopang kehidupan<br />

komoditas yang dibudidayakan.<br />

4. Produk udang berkualitas premium<br />

dan bernilai jual tinggi di pasaran<br />

internasional.<br />

5. Kawasan tambak ramah lingkungan<br />

lebih tahan terhadap serangan<br />

penyakit, akibat kemampuan<br />

mangrove dalam menyerap limbah<br />

dan menghasilkan zat antibakteri.<br />

6 Wart art arta art a Konserv <strong>Konservasi</strong> Konserv <strong>Konservasi</strong><br />

asi L L<strong>Lahan</strong><br />

L <strong>Lahan</strong><br />

ahan <strong>Basah</strong><br />

<strong>Basah</strong><br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

Langkah-Langkah<br />

Budidaya Tambak Ramah Lingkungan<br />

di Daerah Mangrove<br />

Oleh :<br />

Ita Sualia, Eko Budi Priyanto dan I Nyoman N. Suryadiputra<br />

Beberapa penerapan sederhana<br />

akan konsep budidaya tambak<br />

ramah lingkungan di <strong>Indonesia</strong> yaitu:<br />

• Sistem Silvofishery<br />

Suatu rangkaian kegiatan terpadu<br />

antara kegiatan budidaya ikan/<br />

udang dengan kegiatan<br />

penanaman, pemeliharaan,<br />

pengelolaan dan upaya pelestarian<br />

hutan mangrove.<br />

Dalam pengembangannya,<br />

tambak silvofishery telah banyak<br />

dimodifikasi, namun secara umum<br />

terdapat (tiga) model tambak<br />

silvofishery, yaitu: model empang<br />

parit, komplangan, dan jalur.<br />

• • Sistem Polikultur<br />

Suatu sistem budidaya yang<br />

membudidayakan lebih dari satu<br />

jenis komoditas dalam satu masa<br />

pemeliharaan dalam petak yang<br />

sama. Konsep polikultur<br />

berkembang karena banyaknya<br />

kegagalan produksi yang dialami<br />

sistem monokultur di tambak<br />

terutama udang, sehingga<br />

diharapkan dengan memelihara<br />

dua atau lebih jenis komoditas,<br />

masih dapat menghasilkan<br />

produksi yang dapat menutupi<br />

kegagalan lainnya.<br />

Polikultur yang dikembangkan saat<br />

ini adalah kombinasi budidaya<br />

rumput laut Gracillaria, udang<br />

windu dan bandeng dalam satu<br />

petak tambak. Kombinasi ketiga<br />

jenis ini didasarkan pada peran<br />

Gracillaria sebagai penyerap<br />

limbah (filter pollutan) dan<br />

pergerakan bandeng yang<br />

membantu aerasi air tambak<br />

secara alami.<br />

TAHAPAN BUDIDAYA TAMBAK<br />

RAMAH LINGKUNGAN<br />

Beberapa tahapan sederhana<br />

pengelolaan tambak ramah lingkungan<br />

baik untuk komoditas udang windu,<br />

bandeng dan rumput laut sbb:<br />

1. Pemilihan Lokasi<br />

a) Jangan menebang/menghilangkan<br />

tumbuhan di areal sekitar 130m<br />

dalam membuka tambak (sesuai<br />

hukum Nasional mengenai lebar jalur<br />

hijau, yaitu 130 kali selisih rata-rata<br />

pasang tertinggi dan surut terendah)<br />

b) Jangan memilih lokasi tambak baru<br />

pada lokasi dengan produksi tambak<br />

rendah atau sedang mewabah<br />

penyakit pada udang/ikan<br />

c) Patuhi semua peraturan yang berlaku<br />

dan perencanaan pengembangan<br />

wilayah pesisir<br />

d) Penanaman kembali hutan bakau<br />

membantu merehabilitasi tambaktambak<br />

yang telah mati dan<br />

meningkatkan hasil tangkapan alam.<br />

2. Persiapan lahan dan air<br />

(perbaikan pematang dan saluran,<br />

pengeringan, pengapuran,<br />

pembasmian hama dan<br />

pemupukan)<br />

a) Persiapan lahan meliputi :<br />

pengeringan lahan, perbaikan<br />

prasarana produksi seperti<br />

pematang, pintu air, jembatan anco,<br />

saringan, dll), pembajakan atau<br />

pembalikan tanah (jika ada),<br />

pengapuran (jika ada), dan<br />

pemberantasan hama.<br />

b) Persiapan air meliputi pengisian air,<br />

pemupukan, dan, jika ada,<br />

pengapuran susulan.


○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

3. Pemilihan dan penebaran benur<br />

Untuk mendapatkan benih berkualitas<br />

dan tahan penyakit, sebaiknya<br />

sebelum dilakukan pemilihan benih,<br />

proses-proses sebelumnya harus<br />

berjalan sempurna.<br />

Ciri benur udang yang baik:<br />

a) Panjang dan warna seragam<br />

b) Ukuran panjang sesuai umur<br />

(kurang lebih 13 mm untuk PL 15)<br />

c) Anggota tubuh lengkap dan normal,<br />

ekor (uropod) sudah membuka<br />

sempurna, tidak ada kerusakan<br />

kaki atau rostrum, tidak ada<br />

penempelan penyakit pada tubuh<br />

d) Benur yang sehat berwarna<br />

keabuan, coklat atau coklat tua.<br />

e) Berenang melawan arus jika air<br />

dalam wadah diputar.<br />

f) Sangat responsif terhadap cahaya<br />

dan kejutan<br />

g) Usus penuh berisi makanan, warna<br />

usus bergantung pada jenis<br />

makanan umumnya berwarna<br />

kecoklatan<br />

h) Lulus test uji formalin 200 ppm<br />

selama 1 jam (SR>95%)<br />

Transportasi Benur/Nener<br />

Pemanenan benur di hatchery atau<br />

nener di panti pendederan umumnya<br />

dilakukan pada malam hingga pagi<br />

hari saat suhu air rendah. Jika lama<br />

pengiriman lebih dari 6 jam maka<br />

perlu penambahan es untuk<br />

menurunkan suhu selama<br />

perjalanan. Adapun prosedur<br />

pengiriman benur adalah sbb:<br />

a) Sebelum pengiriman, salinitas air<br />

di hatchery/panti pendederan<br />

tempat benih berasal semaksimal<br />

mungkin disesuaikan dengan<br />

salinitas air tambak di tempat<br />

tujuan. Perubahan salinitas di<br />

hatchery harus dirancang<br />

sedemikian mungkin agar<br />

maksimal hanya 3 ppt per hari.<br />

b) Pemanenan dan pengemasan<br />

benur/nener harus dilakukan<br />

dengan hati-hati untuk mencegah<br />

kerusakan benur/nener.<br />

c) Jumlah benur dalam satu kantong<br />

plastik sebaiknya berkisar antara<br />

1.000-2000 PL per liter air (ukuran<br />

PL 15) atau 500-1.000 PL per liter<br />

air (ukuran PL 20). Untuk nener<br />

ukuran 5 cm, jumlah per kantong<br />

tidak boleh lebih dari 100 ekor<br />

d) Kantong harus diisi oleh air dan<br />

oksigen murni dengan<br />

perbandingan 1/3 dan 2/3 volume<br />

kantong dan diikat kuat oleh karet<br />

e) Alat transportasi harus bersih dari<br />

sumber pencemaran dan layak<br />

pakai, tidak digunakan untuk<br />

mengangkut bahan-bahan kimia,<br />

bensin, pupuk dsb.<br />

<strong>Konservasi</strong> <strong>Lahan</strong> <strong>Basah</strong><br />

f) Pengiriman benur sebaiknya<br />

dilakukan pada malam hari saat<br />

suhu udara cenderung rendah,<br />

terutama jika jarak tempuhnya<br />

jauh. Bak pengangkut sebaiknya<br />

ditutup dengan terpal untuk<br />

mencegah jatuhnya kantong atau<br />

box styrofoam.<br />

4. Pengelolaan kualitas air dan<br />

pakan<br />

Pengelolaan Kualitas Air<br />

Prosedur standar dan sederhana:<br />

a)Sebelum memasukkan air,<br />

saringan dobel harus sudah<br />

terpasang di pintu air untuk<br />

mencegah masuknya hewan liar.<br />

b)Air sumber harus baik, dalam arti<br />

tidak keruh, kotor atau berbau.<br />

Usahakan memasukkan air saat<br />

pasang tertinggi dalam siklus<br />

harian atau saat air mulai surut.<br />

Parameter air normal untuk<br />

pemeliharaan udang: salinitas 15-<br />

25 ppt, pH 7,5-8,5, DO>4 ppm,<br />

dan kecerahan 30-35 cm.<br />

c)Ukurlah salinitas dan pH air<br />

sumber sebelum melakukan<br />

pengisian air. Perubahan salinitas<br />

tidak boleh melebihi 3 ppt dalam<br />

satu hari di dalam tambak.<br />

.....bersambung ke hal 14<br />

Edisi Edisi Edisi Juli, Juli, 2010 2010 7<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○


Berita Kegiatan<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

8 Wart art arta art a Konserv <strong>Konservasi</strong> Konserv <strong>Konservasi</strong><br />

asi L L<strong>Lahan</strong><br />

L <strong>Lahan</strong><br />

ahan <strong>Basah</strong><br />

<strong>Basah</strong><br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

LOKAKARYA dan PELATIHAN<br />

Pengelolaan Ekosistem dan Pengendalian Spesies Invasif<br />

Danau Tondano<br />

Oleh:<br />

Ita Sualia*<br />

Mendukung ditetapkannya<br />

Danau Tondano oleh<br />

Kementerian Lingkungan<br />

Hidup RI sebagai salah satu dari<br />

lima belas danau prioritas di<br />

<strong>Indonesia</strong> yang harus segera<br />

dipulihkan fungsinya, Wetlands<br />

International - <strong>Indonesia</strong><br />

Programme (WIIP) bekerjasama<br />

dengan Pemerintah Kab. Minahasa,<br />

Kementerian PU dan Kementerian<br />

LH (atas dukungan dana dari<br />

UNEP), telah menyelenggarakan<br />

kegiatan-kegiatan workshop dan<br />

pelatihan.<br />

Workshop pertama dilaksanakan<br />

pada tanggal 15 April 2010 di<br />

Manado berupa rapat konsultasi<br />

dan pertemuan stakeholder Danau<br />

Tondano. Di kota yang sama pada<br />

tanggal 24-26 Mei 2010<br />

diselenggarakan training dan<br />

lokakarya Pengelolaan Ekosistem<br />

dan Pengendalian Spesies Invasif<br />

Danau Tondano, yang merupakan<br />

tindak lanjut dari hasil identifikasi<br />

kebutuhan dalam pengelolaan<br />

ekosistem Danau Tondano yang<br />

telah dirumuskan pada workshop<br />

sebelumnya.<br />

Pelatihan selama tiga hari ini, diikuti<br />

oleh 26 peserta perwakilan dari<br />

instansi pemerintah, organisasi sipil,<br />

pihak swasta, dan masyarakat yang<br />

tinggal di sekitar Danau Tondano.<br />

Materi pelatihan diberikan melalui<br />

tiga pendekatan yaitu :<br />

a. Pengajaran teori di dalam kelas,<br />

meliputi pengantar pelatihan,<br />

penjelasan kondisi biofisik<br />

(limnology) Danau Tondano<br />

beserta Daerah Tangkapan Air,<br />

penjelasan cara mengukur<br />

beberapa parameter kualitas air<br />

dan bathymetri, penjelasan<br />

analisis kebijakan<br />

b. Praktek dan pengukuran di<br />

lapangan, meliputi pengukuran<br />

kualitas air, pemetaan bathymetri,<br />

observasi dan identifikasi<br />

keanekaragaman hayati)<br />

c. Diskusi pembahasan hasil<br />

pengukuran lapangan<br />

Topik yang dibahas dalam training<br />

meliputi:<br />

a. Pengelolaan Kualitas Air Danau<br />

(Limnologi);<br />

b. Pemantauan Kondisi Bathimetry<br />

dan Restorasi Danau;<br />

c. Pengelolaan Keanekaragaman<br />

Hayati;<br />

d. Pengembangan Kebijakan<br />

Pengelolaan Danau dan Daerah<br />

Aliran Sungai.<br />

Pembukaan workshop oleh Sekda Kabupaten Minahasa<br />

Hari terakhir training dilakukan dalam<br />

bentuk lokakarya yang<br />

diselenggarakan pada tanggal 26 Mei<br />

2010 dengan dihadiri oleh 63 orang<br />

yang terdiri dari peserta training dan<br />

perwakilan para stakeholder. Pada<br />

lokakarya tersebut peserta training<br />

menyampaikan hasil-hasil kajiannya<br />

mengenai Danau Tondano yang<br />

dilakukan berdasarkan metodemetode<br />

yang dipelajari oleh peserta<br />

selama pelatihan.<br />

Lokakarya membahas mengenai isu<br />

utama dan akar penyebab masalah,<br />

strategi untuk mengatasi masalah<br />

yang dihadapi serta rencana aksi<br />

pada Daerah Tangkapan Air<br />

(catchments area), Sempadan (lake<br />

banks/ buffer zone) dan Danau.<br />

Dalam Rencana Aksi diidentifikasi<br />

kegiatan-kegiatan yang berlangsung<br />

dan komitmen dari berbagai sektor<br />

untuk pengelolaan ekosistem danau<br />

Tondano kedepan. Hasil utama<br />

lokakarya ini adalah sebuah Dokumen<br />

Program Pengelolaan Danau Tondano<br />

yang akan dibahas pada bab<br />

selanjutnya.


○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

Berita Kegiatan<br />

(a) Diskusi kelompok (b) Pelatihan di lapangan (c) Pelatihan membuat kerajinan tangan<br />

dari bahan dasar eceng gondok<br />

Pelatihan Pemanfaatan Eceng<br />

Gondok<br />

Pelaksanaan kegiatan pelatihan<br />

pemanfaatan eceng gondok<br />

merupakan kegiatan tambahan dari<br />

apa yang telah disepakati oleh WIIP<br />

dan UNEP dalam kontrak kerjasama.<br />

Pelatihan ini dilakukan karena<br />

penanganan masalah penutupan<br />

eceng gondok pada umumnya masih<br />

sebatas pengangkatan eceng dari<br />

danau tanpa diolah lebih lanjut.<br />

Eceng gondok yang diangkat ke<br />

darat menimbulkan masalah baru<br />

yaitu penumpukan sampah eceng<br />

gondok di darat. Selain itu upaya<br />

pengangkatan eceng gondok juga<br />

tidak efektif karena kurangnya<br />

tenaga kerja dan pendanaan yang<br />

tidak seimbang dengan laju<br />

pertumbuhannya. Berdasarkan<br />

kajian UNIMA, 2005 laju<br />

pertumbuhan eceng gondok dalam<br />

tiha hari bisa mencapai dua kali<br />

lipatnya (doubling time). Akibatnya<br />

jumlah eceng gondok dan tanaman<br />

air invasive lainnya tetap banyak dan<br />

semakin meluas.<br />

Menyikapi masalah tersebut WIIP<br />

berinisiatif untuk memotivasi<br />

masyarakat agar berpartisipasi aktif<br />

dalam upaya pengendalian eceng<br />

gondok tersebut. Hal tersebut<br />

dilakukan dengan memperkenalkan<br />

pada masyarakat mengenai manfaat<br />

ekonomi eceng gondok yaitu dengan<br />

memodifikasinya menjadi barangbarang<br />

kerajinan tangan. Sebuah<br />

pelatihan mengenai pemanfaatan<br />

eceng gondok telah dilakukan pada<br />

tanggal 24 Mei 2010 di Desa<br />

Toulimembet, Danau Tondano<br />

dengan mendatangkan pelatih dari<br />

Yogyakarta, Jawa Tengah.<br />

Pelatihan pengelolaan enceng<br />

gondok yang dilakukan oleh WIIP<br />

ini bekerjasama dengan program<br />

PNPM (Program Nasional<br />

Pemberdayaan Masyaraat)<br />

Lingkungan di Kecamatan<br />

Kakaskarena pada saat yang sama<br />

PNPM Lngkungan memiliki progam<br />

pengangkatan eceng gondok dari<br />

Danau Tondano namun pengolahan<br />

eceng gondok tersebut masih<br />

sebatas dijadikan kompos.<br />

Pelatihan diikuti oleh 18 (delapan<br />

belas) peserta dari 6 desa di<br />

sekiling Danau Tondano yang<br />

masuk dalam wilayah Kecamatan<br />

Kakas antara lain dari Desa<br />

Toulimembet, Passo, Tounelet.<br />

Sebagian besar peserta adalah ibuibu<br />

yang juga terlibat dalam<br />

kegiatan PNPM Lingkungan.<br />

Peserta training sangat antusias<br />

karena training ini memberikan<br />

pengalaman baru bagi masyarakat<br />

dan materi kerajinan tangan yang<br />

diajarkan cukup sederhana<br />

sehingga mudah diaplikasikan.<br />

Beberapa kesimpulan umum dan<br />

rekomendasi yang dapat ditarik dari<br />

pelaksanaan kegiatan peningkatan<br />

kapasitas pemangku kepentingan<br />

dalam Pengelolaan Danau Tondano<br />

adalah sebagai berikut :<br />

1) Peran aktif dan kerjasama antar<br />

masyarakat dan pemerintah<br />

dalam pengelolaan ekosistem<br />

Danau Tondano mutlak dilakukan<br />

karena secara sosial, budaya, dan<br />

ekonomi, kehidupan masyarakat<br />

di sekitar DAS Tondano sangat<br />

tergantung dari keberadaan<br />

ekosistem Danau Tondano;<br />

2) Peningkatan kepedulian dan<br />

kapasitas pemangku kepentingan<br />

merupakan salah satu faktor kunci<br />

pengelolaan Ekosistem Danau<br />

Tondano (melalui penyebaran<br />

berbagai media informasi<br />

penyadartahuan pada berbagai<br />

tingkat pemangku kepentingan).<br />

Upaya–usaha pengembangan<br />

kapasitas dapat antara lain<br />

melalui pendidikan, pelatihan.<br />

3) Pengembangan ekonomi berbasis<br />

konservasi pada Daerah<br />

Tangkapan Air Danau Tondano<br />

perlu untuk dilakukan sebagai<br />

upaya untuk mengurangi tekanan<br />

lingkungan (pendangkalan dan<br />

pencemaran) pada danau.<br />

4) Kemitraan pemerintah (pusat dan<br />

daerah) dan lembaga swadaya<br />

masyarakat sebagai fasilitator<br />

kegiatan masyarakat perlu<br />

ditingkatkan dan sinergi dalam<br />

mengimplementasikan kegiatan<br />

untuk menghindari kontradiksi dan<br />

tumpang tindih. Aktif bersamasama<br />

mencari solusi bagi masalah<br />

lingkungan hidup dan ekonomi<br />

yang dialami oleh komunitas. <br />

*Wetlands Management Officer WIIP<br />

Edisi Edisi Edisi Juli, Juli, 2010 2010 9<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○


Berita Kegiatan<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

10 10 10 Wart art arta art a Konserv <strong>Konservasi</strong> Konserv asi L L<strong>Lahan</strong><br />

L <strong>Lahan</strong><br />

ahan <strong>Basah</strong><br />

<strong>Basah</strong><br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

Lomba Menggambar Tingkat SD/Sederajat<br />

Daerah Bufferzone CA. Pulau Dua, Serang, Banten<br />

Dalam Rangka Memperingati Hari Air Sedunia<br />

Dalam rangka mendukung<br />

program konservasi dan<br />

pemberdayaan<br />

masyarakat di Teluk Banten, pada<br />

akhir bulan Maret 2010 lalu<br />

Wetlands International – <strong>Indonesia</strong><br />

Programme (WI-IP) telah<br />

menyelenggarakan suatu kegiatan<br />

Lomba Menggambar tingkat<br />

Sekolah Dasar/Sederajat. Selain<br />

sebagai salah satu bentuk<br />

penyadaran dan pendidikan<br />

lingkungan, kegiatan ini juga<br />

bertepatan dengan peringatan Hari<br />

Air Sedunia yang jatuh pada<br />

tanggal 22 Maret setiap tahunnya.<br />

Lomba menggambar diikuti oleh 6<br />

sekolah tingkat Sekolah Dasar/<br />

Sederajat, yang berada di wilayah<br />

Kec. Kasemen, Serang. Ke-enam<br />

sekolah yang terlibat adalah: SDN<br />

Inpres, SDN Kebon, SDN<br />

Cangkring, SDN Harja Mukti, MI<br />

Badamussalam, dan Ponpes Al<br />

Jauhariyah, masing-masing diwakili<br />

8 siswa-siswi serta seorang guru.<br />

Dari 48 peserta lomba, keluar 3<br />

siswa sebagai pemenang, yaitu:<br />

• Juara I, Nisa Rahma Azhari,<br />

Kelas V, SDN Cangkring<br />

• Juara II, Lukman, Kelas IV, SDN<br />

Kebon<br />

• Juara III, Deni Kustiyawan, Kelas<br />

IV, SDN Inpres<br />

Masing-masing pemenang<br />

mendapatkan hadiah berupa: uang<br />

penghargaan/beasiswa, sertifikat,<br />

tropi/piala dan bingkisan.<br />

Oleh :<br />

Triana<br />

AIR SUMBER KEHIDUPAN<br />

Tidak ada satupun mahluk hidup<br />

yang tidak tergantung pada air.<br />

Menyadari fungsi yang sangat vital<br />

tersebut, bangsa-bangsa di dunia<br />

yang tergabung dalam wadah<br />

Perserikatan Bangsa-Bangsa telah<br />

bersidang di kota Rio Jeneiro,<br />

tepatnya pada tanggal 22 Maret<br />

1992, dan memutuskan bahwa<br />

tanggal 22 Maret ditetapkan<br />

sebagai Hari Air Sedunia.<br />

Diharapkan, seluruh umat manusia<br />

bisa mengingat dan memaknai<br />

akan pentingnya air bagi<br />

keberlanjutan hidup manusia dan<br />

mahluk hidup lainnya.<br />

Sejak keseimbangan alam masih<br />

tertata dengan baik, air masih<br />

memberikan peran dan manfaat<br />

positif bagi segenap mahluk hidup.<br />

Tatkala porsi kebutuhan dan<br />

keinginan manusia telah<br />

mendominasi lingkup tatanan<br />

tersebut yang diperparah dengan<br />

pengelolaan yang tidak ramah<br />

lingkungan dan berkelanjutan, air<br />

bersih dan sehat semakin sulit<br />

didapat bahkan air kini seakan<br />

menjadi bagian yang menakutkan<br />

dan membahayakan.<br />

Pada tahun 1999 sekitar 1,2 milyar<br />

penduduk bumi mengalami<br />

kesulitan akses air bersih, dan<br />

Karena cuaca hujan, lomba gambar dilaksanakan di dalam ruangan kelas, yang sebelumnya<br />

direncanakan di CA. Pulau Dua.


○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

diperkirakan terus meningkat<br />

menjadi 2,7 milyar atau sepertiga<br />

jumlah penduduk seluruh dunia<br />

pada tahun 2025 apabila tidak<br />

segera dilakukan tindakan nyata<br />

mengatasi masalah kelangkaan air<br />

bersih tersebut (Sumber: Word<br />

Commision on Water). Sebaliknya<br />

disisi lain, justru tersaji data-data<br />

mengenai bencana dan mala<br />

petaka akibat ‘ketidak-ramahan’ air.<br />

Banjir, longsor bahkan kekeringan,<br />

itu semua adalah bukti nyata<br />

dampak pengelolaan air serta<br />

sumber-sumber air yang tidak<br />

benar dan bertanggung jawab.<br />

Melalui peringatan Hari Air<br />

Sedunia yang diselenggarakan<br />

berbagai negara di bumi ini, kita<br />

semua diingatkan betapa<br />

pentingnya air bagi kehidupan.<br />

Kita tidak dapat bertahan hidup<br />

Berita Kegiatan<br />

Para pemenang lomba berfoto bersama dengan Kepala Seksi SBKSDA Serang, guru-guru serta tim dari WI-IP<br />

tanpa air, untuk itu sudah saatnya<br />

kita sadar dan memperlakukan<br />

sumberdaya air sebagai bahan<br />

yang bernilai dan menentukan.<br />

Banyak hal yang dapat kita<br />

lakukan dalam mengelola dan<br />

melestarikan sumberdaya air<br />

secara bijak dan berkelanjutan. Air<br />

bukanlah sesuatu yang berdiri<br />

sendiri, pengelolaan sumberdaya<br />

air haruslah dilakukan secara utuh<br />

mulai dari hulu hingga hilir sebagai<br />

suatu kesatuan ekosistem.<br />

Anak-anak usia sekolah adalah<br />

generasi penerus yang tidak hanya<br />

sebagai pewaris sumber-sumber<br />

daya alam termasuk air, tetapi juga<br />

sebagai generasi penerus tongkat<br />

estafet dalam pemanfaatan dan<br />

pengelolaan sumber-sumber daya<br />

tersebut. Pendidikan Lingkungan<br />

dan penyuluhan adalah bagian dari<br />

penguatan dan pembekalan<br />

generasi-generasi muda itu agar<br />

kelak menjadi pengelola yang baik<br />

dan bertanggung jawab,<br />

diantaranya melalui kegiatan lomba<br />

menggambar. Mudah-mudahan<br />

dengan pengalaman yang didapat,<br />

mereka akan lebih sadar dan mau<br />

berperilaku yang lebih baik dalam<br />

mengelola lingkungan di<br />

sekitarnya. Lebih jauh mereka<br />

akan lebih sadar bahwa baik<br />

buruknya lingkungan sekitar<br />

mereka adalah tergantung pada<br />

baik buruknya mereka dan<br />

masyarakat lainnya<br />

memperlakukan lingkungan itu<br />

sendiri. <br />

Selamat Hari Air Seduna!<br />

Edisi Edisi Juli, Juli, 2010 2010 11<br />

11<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○


Berita dari Lapang<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

“BEA” Mengamati<br />

<strong>Burung</strong> Langka<br />

bersama Siswa di<br />

SM. Rawa Singkil, Aceh<br />

Oleh :<br />

Agus Nurza*<br />

Kawasan Rawa Singkil<br />

merupakan Hutan Suaka<br />

Margasatwa dengan luas<br />

sekitar 102.000 hektar (Ha).<br />

Kawasan hutan Rawa Singkil<br />

memiliki fungsi konservasi yang<br />

sangat penting karena memiliki<br />

keanekaragaman hayati beragam<br />

dan bernilai tinggi. Satwa endemik<br />

Sumatera seperti orangutan dan<br />

harimau sumatera terdapat dalam<br />

kawasan hutan Rawa Singkil.<br />

Ekosistem Suaka Margasatwa<br />

Rawa Singkil dapat dijumpai di<br />

sepanjang sungai utama yang<br />

melintasi kawasan ini, yaitu Sungai<br />

Alas dan sungai-sungai kecil yang<br />

berhulu di sungai ini. Hutan rawa ini<br />

memiliki fungsi yang sangat penting<br />

bagi masyarakat di sekitarnya dan<br />

masyarakat Aceh Singkil pada<br />

umumnya. Masyarakat lokal<br />

memanfaatkan hutan rawa untuk<br />

berbagai keperluan kehidupan,<br />

seperti pembuatan perahu, rumah,<br />

dan kayu bakar, bahkan juga<br />

sebagai sumber tanaman obatobatan<br />

alami, hasil perikanan (ikan<br />

lele, udang) dan lain-lain. Rawa ini<br />

juga merupakan tempat pemijahan<br />

berbagai jenis ikan dan hewan<br />

bercangkang seperti udang dan<br />

kepiting. Lapisan gambut dan<br />

tumbuhan yang terdapat dalam<br />

hutan rawa Singkil berperan dalam<br />

menyaring air rawa sebelum<br />

dialirkan ke laut.<br />

12 12 12 Wart art arta art a Konserv <strong>Konservasi</strong> Konserv asi L L<strong>Lahan</strong><br />

L <strong>Lahan</strong><br />

ahan <strong>Basah</strong><br />

<strong>Basah</strong><br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

Sayangnya hingga kini praktek<br />

penebangan liar masih terus terjadi<br />

di hutan SM Rawa Singkil. Jika hal<br />

tersebut dibiarkan terus berlanjut,<br />

tidak hanya masyarakat akan<br />

kehilangan manfaat dan fungsinya,<br />

tetapi juga akan mengancam<br />

keberadaan satwa-satwa langka<br />

yang hidup dan bergantung pada<br />

ekosistem SM Rawa Singkil.<br />

Sementara itu berdasarkan hasil<br />

penelitian terakhir yang dilakukan<br />

Lembaga Cicem Nanggroe<br />

menunjukkan bahwa Rawa Singkil<br />

merupakan habitat bagi lebih dari<br />

65 spesies burung. Beberapa<br />

spesies burung tersebut memiliki<br />

nilai konservasi tinggi seperti<br />

burung Bangau Storm (Ciconia<br />

stormi) dan Bangau Tongtong<br />

(Leptoptilos javanicus) yang<br />

tergolong satwa terancam punah.<br />

Bahkan berdasarkan data base<br />

Birdlife dan Wetlands International<br />

menunjukkan bahwa selain burung<br />

tersebut diatas, di SM Rawa Singkil<br />

juga terdapat burung langka jenis<br />

Mentok Rimba (Cairina scutulata).<br />

Bangau Storm ditemukan di hutan<br />

yang tidak terganggu dan habitat air<br />

tawar di Sumatra, Kepulauan<br />

Mentawai, Kalimantan, Brunei dan<br />

Semenanjung Malaysia.<br />

Berdasarkan survey, saat ini di<br />

kawasan SM Rawa Singkil masih<br />

dapat dijumpai Bangau Storm.<br />

Salah satu kubu berada di tenggara<br />

Sumatera, dengan sisa populasi<br />

terbatas. Sedangkan di Semenanjung<br />

Malaysia hanya satu populasi yang<br />

sangat kecil dan berpencar.<br />

Populasi dunia dari Bangau Storm<br />

saat ini diperkirakan kurang dari 500<br />

individu. Karena terus-menerus<br />

kehilangan habitat, ukuran populasi<br />

yang sangat kecil, terbatas dan diburu<br />

di beberapa daerah, Storm’s Stork<br />

diklasifikasikan sebagai Endangered<br />

(terancam punah) dalam<br />

The International Union for<br />

Conservation of Nature (IUCN) Red<br />

List of Threatened Species. Selain itu<br />

kerusakan hutan dataran rendah<br />

melalui penebangan, pembangunan<br />

bendungan dan konversi ke<br />

perkebunan kelapa sawit menjadikan<br />

Bangau Storm semakin terancam<br />

keberadaannya.<br />

Melihat aksi perusakan hutan yang<br />

kian marak dan mengancam<br />

kehidupan burung, tentunya harus<br />

segera dilakukan upaya tindakan<br />

pencegahan atau penyadar tahuan<br />

lingkungan berbagai pihak. Baik itu<br />

LSM maupun lembaga pemerintah<br />

yang terkait. Oriental Bird Club<br />

(OBC) dan Lembaga Cicem Nanggroe<br />

memfasilitasi Pelatihan Pengamatan<br />

<strong>Burung</strong> Liar yang merupakan<br />

serangkaian program dari Bird<br />

(Ciconia stormi) Education dan<br />

Awareness (BEA). BEA tersebut telah


○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

dilakukan di laboratorium biologi<br />

sekolah SMA Negeri I Singkil<br />

kabupaten Aceh Singkil pada tanggal<br />

7 Januari 2010. Menariknya kegiatan<br />

BEA tahap awal ini didominasi oleh<br />

siswi sebesar 80% dari pada siswa<br />

yang hanya 20%.<br />

Kegiatan BEA ini meliputi materi<br />

kelas selama setengah hari dan<br />

selebihnya praktek lapangan.<br />

Praktek lapangan secara khusus<br />

diikuti oleh siswa yang diberikan<br />

kebebasan mengeksplorasi kawasan<br />

sungai Rawa Singkil dari atas<br />

perahu dan selebihnya di sepanjang<br />

areal Laguna pantai Singkil untuk<br />

mengamati jenis-jenis burung secara<br />

rinci yang tampak melalui gambaran<br />

topography burung dan dengan<br />

menggunakan teropong Binokular<br />

dan Monokular.<br />

Nurul salah seorang peserta<br />

mengaku sangat senang dengan<br />

kegiatan pengamatan burung ini,<br />

apalagi kegiatan tersebut bukan<br />

hanya berupa pelatihan yang<br />

diberikan secara teori melainkan<br />

juga didukung dengan praktek<br />

langsung ke lapangan layaknya<br />

seorang peneliti satwa liar. Kita<br />

dapat melihat dengan jelas keunikan<br />

dari burung dan dapat melihat<br />

secara jelas prilaku ekologis dari<br />

burung yang sangat bergantung<br />

dengan alam.<br />

Dalam praktek pengamatan burung<br />

liar tersebut juga banyak teramati<br />

burung-burung seperti jenis Cangak<br />

Merah (Ardea purpurea), Kokokan<br />

Laut (Butorides striatus), Kuntul<br />

Besar (Egretta alba), Elang Laut<br />

Perut Putih (Haliaeetus leucogaster),<br />

Cekakak Sungai (Todirhamphus<br />

chloris) dan masih banyak jenis<br />

burung lainnya. Bahkan siswa juga<br />

dapat mengamati beberapa jenis<br />

burung pantai migran seperti jenis<br />

burung Cerek Pasir Mongolia<br />

(Charadrius mongolus), Cerek Pasir<br />

Besar (Charadrius leschenaultii),<br />

Trinil Pantai (Tringa hypoleucos) dan<br />

lainnya.<br />

Disela-sela pengamatan burung<br />

pantai tersebut, siswa juga dapat<br />

mengetahui dan memahami<br />

fenomena burung-burung migrasi.<br />

Serangkain diskusi dilokasi<br />

pengamatanpun tak henti-henti<br />

dilakukan karena banyak sekali<br />

jenis burung pantai migrant yang<br />

dapat teramati. Bahkan siswa juga<br />

sangat beruntung dapat mengamati<br />

burung pantai jenis Wili-wili Besar<br />

(Esacus giganteus) yang sudah<br />

mulai terancam punah dalam data<br />

IUCN red list. Oleh karena itu<br />

siswa-siswi SMAN I Singkil merasa<br />

sangat puas dalam mengikuti<br />

kegiatan BEA ini walaupun harus<br />

bertahan dalam panas teriknya<br />

matahari.<br />

Dari Program BEA ini diharapkan<br />

dapat membangkitkan minat dan<br />

membangun kesadaran kritis siswa<br />

akan pentingnya upaya pelestarian<br />

burung liar dan habitatnya di Aceh.<br />

Selain itu siswa juga diharapkan<br />

akan timbul motivasi baru untuk<br />

melakukan kegiatan positif seperti<br />

kegiatan Birdwatcing yang dapat<br />

mengamati sekaligus memantau<br />

keberadaan burung dan<br />

membangun database burung<br />

sehingga nantinya dapat<br />

menggambarkan fluktuasi<br />

keberadaan jenis-jenis burung di<br />

dalam suatu kawasan.<br />

Kegiatan ini tentunya bukan hanya<br />

untuk bersenang-senang, tetapi<br />

diharapkan akan menggugah<br />

generasi muda, bukan hanya untuk<br />

berperan aktif dalam konteks<br />

birdwatching saja, tetapi lebih<br />

menyeluruh untuk pelestarian<br />

lingkungan. Siswa nantinya dapat<br />

mampu berperan aktif dalam<br />

kegiatan Birdwatching, dimana data<br />

yang diperoleh kemudian akan<br />

dapat digunakan sebagai masukan<br />

kepada pemerintah daerah untuk<br />

tata ruang dan pengambilan<br />

keputusan yang dapat<br />

mengakibatkan efek positif bagi<br />

lingkungan. <br />

Pustaka<br />

Berita dari Lapang<br />

Fransisca Ariantiningsih, 2008. Suaka<br />

Margasatwa Rawa Singkil Mutiara di<br />

Pantai Barat Aceh, http://yelweb.org/<br />

files/suakamargasatwasingkil.pdf<br />

Direktorat Jenderal PHKA. http://<br />

www.ditjenphka.go.id/kawasan_file/<br />

sm.%20rawa%20singkil.doc-07.pdf<br />

Harian Serambi <strong>Indonesia</strong>, 9<br />

September 2009, http://<br />

www.serambinews.com/news/view/<br />

13365/kayu-ilegal-loggingdimusnahkan-di-rawa-singkil<br />

Birdlife International. www.birdlife.org<br />

Wetlands International <strong>Indonesia</strong><br />

Program, www.wetlands.or.id<br />

Data Base <strong>Burung</strong> Aceh, Lembaga<br />

Cicem Nanggroe 2009.<br />

*Co-Bird Education dan Awareness<br />

(BEA)<br />

Lembaga Cicem Nanggroe, Banda Aceh<br />

E-mail: agus.nurza@gmail.com<br />

Edisi Edisi Juli, Juli, 2010 2010 13<br />

13<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○


<strong>Konservasi</strong> <strong>Lahan</strong> <strong>Basah</strong><br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

..... Sambungan dari halaman 7<br />

14 14 14 Wart art arta art a Konserv <strong>Konservasi</strong> Konserv asi L L<strong>Lahan</strong><br />

L <strong>Lahan</strong><br />

ahan <strong>Basah</strong><br />

<strong>Basah</strong><br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

Langkah-langkah Budidaya Tambak Ramah Lingkungan ...........<br />

d)Pengelolaan air di tambak meliputi<br />

pemantauan kedalaman,<br />

kecerahan, dan warna air.<br />

Pertahankan kedalaman air untuk<br />

mengantisipasi hilangnya air akibat<br />

bocor atau penguapan.<br />

Pemupukan susulan perlu<br />

dilakukan jika kecerahan air<br />

(makanan alami) mulai berkurang.<br />

Dosis pemupukan diberikan sedikit<br />

demi sedikit.<br />

e)Klekap sengaja ditumbuhkan untuk<br />

bahan makanan bandeng, namun<br />

klekap yang tenggelam (mati)<br />

dapat menyebabkan kebusukan<br />

dasar tambak dan membahayakan<br />

udang. Untuk itu angkat<br />

pertumbuhan klekap yang berlebih.<br />

f) Pemberian saponin susulan bisa<br />

dilakukan jika terdapat banyak<br />

hama ikan liar di dalam tambak.<br />

Namun hal ini tidak bisa dilakukan<br />

jika bandeng juga dipelihara di<br />

dalam tambak (polikultur).<br />

g)Pemberian kapur susulan bisa<br />

dilakukan jika fluktuasi pH air<br />

harian tidak stabil atau pH air<br />

cenderung rendah selama masa<br />

pemeliharaan. Kaptan dan dolomit<br />

lebih direkomendasikan untuk<br />

diberikan sesuai kemampuan<br />

keuangan petani, dosis yang<br />

disarankan adalah 5-10 kg/hektar<br />

setiap 2-3 hari sekali.<br />

h)Pada saat hujan lebat turun,<br />

salinitas dan pH air dapat turun<br />

secara drastis dan kekeruhan<br />

meningkat, maka penanganan<br />

diperlukan dengan cara<br />

membuang air permukaan serta<br />

pemberian kaptan sebanyak 2-3kg/<br />

10m2 ke atas pematang. Jika air<br />

tambak menjadi keruh maka perlu<br />

diberikan kaptan sebanyak 200-<br />

300 kg per hektar.<br />

Pengelolaan Pakan<br />

a) Pemberian pakan benur pada<br />

kolam dengan tingkat kecerahan<br />

air lebih tinggi (pakan alami<br />

sedikit) pemberian pakan harus<br />

diberikan lebih awal atau paling<br />

lambat pada umur 25 hari sejak<br />

tanggal penebaran.<br />

b) Dosis pakan yang diberikan<br />

sekitar 0,5 kg/hari per 10.000 PL<br />

benur (dibagi menjadi tiga kali<br />

pemberian). Untuk pemeliharaan<br />

nener, pemberian pakan dapat<br />

dilakukan jika nener sudah<br />

merespon pemberian pakan.<br />

c) Pakan untuk udang adalah pellet<br />

tenggelam (sinking type),<br />

sementara untuk bandeng pellet<br />

mengapung (floating type).<br />

d) Saat udang berumur minimal 50<br />

hari dan sampling telah dilakukan<br />

(bobot rataan dan estimasi<br />

populasi diketahui), maka dosis<br />

pemberian pakan secara kasar<br />

dapat dihitung sebagai berikut:<br />

e) Pilih pakan yang terbukti kredibel<br />

(bermerk). Simpan dalam kemasan<br />

tertutup, kering dan bersih, tidak<br />

basah dan terserang jamur, dan<br />

tidak kadaluarsa.<br />

f) Pakan disebarkan dari pinggir<br />

kolam (sekeliling pematang) dan<br />

merata ke seluruh area yang<br />

bersih di tambak.<br />

g) Jika mungkin, taruh beberapa<br />

anco untuk mengetahui laju<br />

konsumsi pakan (populasi, nafsu<br />

makan udang) dan periksa secara<br />

rutin setelah 2 jam.<br />

h) Jangan berlebih dalam pemberian<br />

pakan karena dapat merusak<br />

kualitas air dan menyebabkan<br />

pemborosan.<br />

i) Kurangi jumlah pakan atau<br />

hentikan sama sekali jika udang<br />

tidak nafsu makan, sedang<br />

molting, atau saat hujan lebat.<br />

Pakan dapat diberikan kembali<br />

esok atau 2 hari setelahnya.<br />

j) Sesuaikan ukuran/tipe pakan yang<br />

diberikan dengan ukuran udang/<br />

bandeng. Lakukanlah konsultasi<br />

dengan penjual pakan mengenai<br />

tata cara pemberian pakan yang<br />

lebih baik (tepat, hemat).<br />

5. Pengelolaan kesehatan udang<br />

windu<br />

Inti dari pengelolaan kesehatan adalah<br />

pemeriksaan yang rutin terhadap<br />

kualitas air, kondisi udang, mencegah<br />

masuknya carrier (kepiting, udang<br />

liar), dan jika terjadi wabah,<br />

pengetatan prosedur ganti air dan<br />

pengamanan tambak dari kontaminasi<br />

(peralatan, burung, dan anjing).<br />

Beberapa prosedur rutin:<br />

a) Periksa udang di malam hari<br />

dengan senter (udang yang sehat<br />

memiliki mata cerah/merah dan<br />

bereaksi cepat dengan berenang<br />

menjauh, sementara udang yang<br />

lemah matanya pucat dan bereaksi<br />

lambat terhadap cahaya dan<br />

berenang lemah ke pinggir.<br />

b) Lakukan pengecekan sampling<br />

secara berkala saat udang berusia<br />

di atas 45-50 hari. Udang yang<br />

sehat ditandai dengan tubuh dan<br />

insang yang bersih, warna tubuh<br />

alami, ekor tidak gripis, kaki-kaki<br />

tidak patah, dan ususnya penuh<br />

makanan. Udang yang kurang<br />

sehat tubuhnya kotor atau insang<br />

hitam, warna tubuh merah atau ada<br />

bercak putih, ekor bengkak, dan<br />

atau ususnya kosong.<br />

c) Hilangnya nafsu makan, yang<br />

bukan dikarenakan faktor molting,<br />

merupakan indikasi serangan<br />

penyakit atau memburuknya<br />

kualitas air. Oleh karena itu segera<br />

lakukan pengecekan kualitas/<br />

kurangi pakan, kualitas/ganti air,<br />

atau lakukan panen jika udang<br />

sudah cukup umur.<br />

d) Jika serangan jamur dan parasit<br />

sering terjadi (udang lumutan),<br />

gunakan formalin sebanyak 100-150<br />

liter per hektar, diberikan maksimal<br />

tiga kali selama masa pemeliharaan,<br />

setelah udang berumur 40 hari.<br />

Diberikan pada siang hari saat cuaca<br />

cerah dan jangan saat udang<br />

molting. Sehari setelah pemberian<br />

formalin, air tambak harus diganti<br />

sebanyak 30%.


○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

6. Panen dan pasca panen<br />

a) Siapkan tim panen, peralatan dan<br />

bahan yang dibutuhkan: box<br />

styrofoam atau plastik dan es<br />

dengan jumlah yang cukup.<br />

b) Pastikan semua peralatan bersih<br />

dan didesinfeksi.<br />

c) Jangan panen saat udang<br />

molting, itu akan merusak kualitas<br />

udang dan menjatuhkan harga<br />

jual udang di pasar. Persentasi<br />

udang molting di bawah 5%<br />

masih dapat ditolerir.<br />

d) Waktu panen saat surut terendah<br />

dalam siklus bulanan dan saat<br />

suhu rendah (malam atau<br />

menjelang pagi). Keluarkan air<br />

tambak sedikit demi sedikit<br />

menjelang panen untuk<br />

mempersingkat waktu panen.<br />

f) Pemasangan jaring panen pada<br />

pintu air (outlet) tambak harus<br />

menampung udang/bandeng yang<br />

dipanen dan mencegah<br />

kebocoran yang menyebabkan<br />

udang/bandeng lolos dari jaring.<br />

g) Udang yang terkumpul dalam<br />

jaring panen harus segera<br />

diangkat untuk mencegah<br />

kerusakan udang.<br />

h) Sangat disarankan udang/bandeng<br />

yang dipanen segera direndam<br />

dalam air es sebelum mati untuk<br />

mempertahankan kesegarannya.<br />

i) Cuci udang/bandeng dengan air<br />

laut bersih, tempatkan dalam<br />

wadah box yang telah dilapisi es<br />

dibawahnya. Pastikan udang/ikan<br />

terekspos es di dua sisi atas dan<br />

bawah untuk mempertahankan<br />

kesegaran selama perjalanan.<br />

j) Untuk mencegah/ memperlambat<br />

proses pembusukan, kepala<br />

udang dapat dikupas dengan hatihati<br />

sebelum dibawa ke tempat<br />

penampungan sementara.<br />

Tindakan ini hanya dilakukan jika<br />

pasar menghendaki kriteria udang<br />

tanpa kepala (headless).<br />

k) Segera kirim hasil panen ke<br />

penampungan udang atau pabrik,<br />

untuk mencegah terjadinya<br />

kerugian akibat pembusukan.<br />

l) Jika pengiriman tidak menggunakan<br />

ice cool box, maka jumlah es yang<br />

dipakai harus disesuaikan dengan<br />

jumlah udang dan jarak (lama)<br />

perjalanan.<br />

m) Lama perjalanan sebaiknya di<br />

bawah 10 jam. Jika tidak maka<br />

pergantian es perlu dilakukan untuk<br />

mempertahankan kesegaran.<br />

Semua kegiatan sehari-hari di<br />

tambak perlu dicatat dalam sebuah<br />

buku harian tambak, agar<br />

memudahkan evaluasi ke depan.<br />

PENINGKATAN DAYA DUKUNG<br />

DAN PEMELIHARAAN<br />

LINGKUNGAN TAMBAK<br />

a) Menjaga lingkungan perairan<br />

• Jangan biarkan sampah<br />

berserakan di saluran air dan<br />

perairan<br />

• Simpan dengan aman baterai<br />

bekas penerangan, dan tidak<br />

dibuang sembarangan karena<br />

mengandung logam berat<br />

berbahaya yaitu mercury (Hg)<br />

• Tidak melakukan pembasmian<br />

rumput dengan pestisida pada<br />

tanggul dan caren selama proses<br />

pemeliharaan.<br />

• Hindari penggalian tanah saat<br />

pemeliharaan berlangsung<br />

karena akan melepaskan<br />

kandungan besi tanah dan<br />

menurunkan pH perairan.<br />

<strong>Konservasi</strong> <strong>Lahan</strong> <strong>Basah</strong><br />

• Limbah (kepala udang) atau<br />

bahan kimia berbahaya (air<br />

mengandung Clorin, kaporit)<br />

dari proses kegiatan di<br />

hatchery, tambak dan cold<br />

storage ditampung dan diolah<br />

menjadi netral terlebih dahulu<br />

sebelum dibuang ke perairan.<br />

b) Menjaga keberadaan mangrove<br />

Mangrove mempunyai peranan<br />

penting dalam menyediakan<br />

makanan dan larva udang dan ikan<br />

di alam. Sehingga sangat penting<br />

peranannya dalam mendukung<br />

keberadaan kehidupan di<br />

sekitarnya. Berikut ini prosedur<br />

pemeliharaan mangrove di sekitar<br />

tambak:<br />

• Membiarkan beberapa lokasi<br />

yang terdapat mangrove seperti<br />

pinggiran sungai dan pantai.<br />

• Menjaga mangrove sepanjang<br />

sungai minimal 50 meter dari<br />

lokasi tambak<br />

• Menjaga hutan mangrove di<br />

pantai dengan lebar minimal 200<br />

meter dari lokasi tambak<br />

• Menanam pematang, pelataran<br />

dan saluran air tambak dengan<br />

mangrove jenis tertentu misal<br />

bakau (Rizhophora sp.) dengan<br />

jarak minimal 2 meter. <br />

* (Sumber: Buku Panduan Pengelolaan<br />

Budidaya Tambak Ramah Lingkungan di<br />

Daerah Mangrove, © WI-IP)<br />

Edisi Edisi Juli, Juli, 2010 2010 15<br />

15<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○


Berita dari Lapang<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

16 16 16 Wart art arta art a Konserv <strong>Konservasi</strong> Konserv asi L L<strong>Lahan</strong><br />

L <strong>Lahan</strong><br />

ahan <strong>Basah</strong><br />

<strong>Basah</strong><br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

Estimasi Populasi dan Habitat Persinggahan<br />

Trinil kaki-merah Tringa tetanus Linnaeus,<br />

di Kawasan Pantai Cemara, Jambi, Sumatera<br />

Pantai Cemara, terletak di<br />

pedalaman Jambi<br />

berbatasan dengan Taman<br />

Nasional Berbak, terbentang panjang<br />

melintasi perkampungan dan areal<br />

pertanian di Kabupaten Tanjung<br />

Jabung Timur. Sungai Cemara yang<br />

membelah Kabupaten Tanjung<br />

Jabung Timur seluas 4.445 km 2 ,<br />

memiliki panjang sekitar 20 km, lebar<br />

20 meter hingga 30 meter dan<br />

kedalaman kurang dari 5m. Pantai<br />

Cemara merupakan salah satu lokasi<br />

penting bagi burung-burung pantai<br />

migran yang bermigrasi setiap akhir<br />

tahunnya, sebagai tempat mencari<br />

makan dan berisitirahat. Pantai<br />

Cemara merupakan pantai liar tanpa<br />

penghuni manusia dan banyak<br />

ditumbuhi cemara (Casuarina<br />

equisetifolia).<br />

KARAKTERISTIK PANTAI CEMARA<br />

Pantai Cemara merupakan bagian<br />

dari daerah lahan basah (wetland)<br />

yang tergolong dalam jenis Estuaria<br />

atau Muara sungai (kuala). Estuaria<br />

merupakan perairan pesisir yang<br />

semi tertutup, serta mempunyai<br />

hubungan bebas dengan laut terbuka<br />

dan sangat dipengaruhi oleh pasang<br />

surut (Davies et al. 1995). Pasang<br />

surut sangat perpengaruh terhadap<br />

kehidupan biota laut, khususnya di<br />

wilayah pantai.<br />

Sebagian besar kawasan Pantai<br />

Cemara didominasi oleh substrat<br />

berlumpur yang merupakan<br />

endapan yang dibawa oleh air tawar<br />

Oleh:<br />

Nur’ Aini*<br />

Kawasan Pantai Cemara (A) berbatasan dengan Taman Nasional Berbak (B) (Foto: Nur’ Aini)<br />

dan air laut. Lumpur berwarna<br />

hitam dan air yang berwarna keruh<br />

dan beraroma tidak sedap. Aroma<br />

tidak sedap ini yang ditimbulkan<br />

berasal dari pembusukan<br />

tumbuhan dan hewan yang mati<br />

disekitar pantai tersebut,<br />

sedangkan air yang keruh<br />

dikarenakan pantai ini merupakan<br />

berdekatan atau bersinggungan<br />

langsung dengan muara sungai.<br />

TRINIL KAKI-MERAH<br />

Trinil kaki-merah Tringa totanus<br />

mudah dikenali karena kakinya<br />

yang berwarna merah dan pada<br />

saat terbang terlihat tungging dan<br />

bulu sekunder putih tampak jelas<br />

dengan ekor garis-garis putih dan<br />

putih (Mackinnon et al, 1995).<br />

Pada musim tidak berbiak spesies<br />

ini melakukan migrasi dari belahan<br />

bumi Utara ke Australia dan<br />

selama musim migrasi hanya<br />

menghabiskan waktunya untuk<br />

mencari makan dan beristirahat di<br />

hamparan lumpur halus, sedikit<br />

tergenang air dan di tempat-tempat<br />

dekat aliran sungai pada saat air laut<br />

surut, adapun jarak migrasi yang<br />

ditempuh antara 500 sampai 6.500<br />

km satu arah (Morten, 2000).<br />

Pada umumnya, Trinil kaki-merah<br />

saat berbiak mengunjungi rawa<br />

rumput, saltmarshes (rawa garam),<br />

dan biasanya membentuk kelompok<br />

besar dengan burung pantai lainnya<br />

untuk mempertahankan wilayah<br />

berbiaknya, dan juga untuk<br />

menghindari serangan dari predator.<br />

Trinil kaki-merah (Tringa totanus)


○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

Ketika terancam oleh predator Trinil<br />

kai-merah memberikan panggilan<br />

berisik dan terus-menerus<br />

menggerak-gerakkan ekornya<br />

(David, 1999).<br />

Populasi<br />

Populasi Trinil kaki-merah di Eropa<br />

tercatat antara 100.000 sampai<br />

140.000 dan jumlah terbesar di<br />

Belanda, Sweden Jerman dan<br />

Denmark (Birdlife Internasional,<br />

2004a). Pada tahun 1989 sampai<br />

2002 di Eropa populasi Trinil kakimerah<br />

meningkat, yaitu antara<br />

191.000 - 375.000 individu.<br />

Pagh (2006) dalam European<br />

Union Management Plan (2009-<br />

2011) menyatakan, bahwa sejak<br />

tahun 1970 populasi Trinil kakimerah<br />

menurun pada beberapa<br />

negara meliputi Belgia, Italia, dan<br />

Slovenia. Faktor yang<br />

menyebabkan populasi Trinil kakimerah<br />

menurun, yakni : terancam<br />

oleh berkurangnya luasan areal<br />

habitat berbiak, akibat kegiatan<br />

manusia. Kegiatan tersebut<br />

meliputi ekstensifikasi pertanian<br />

(penumpukan lahan untuk<br />

pertaniaan), drainase lahan basah<br />

(pembuangan air yang sudah<br />

tercemar ke areal lahan basah),<br />

pengendalian banjir, penghijauan,<br />

reklamasi tanah, pembangunan<br />

industri perambahan dari Spartina<br />

spp (tumbuhan air yang dapat<br />

menyebabkan tumbuhan pantai<br />

yang ada sekitar tumbuhan<br />

tersebut menjadi kering) dan<br />

gangguan dari konstruksi jalan<br />

setapak di Inggris terhadap<br />

intertidal mudflat (hamparan lumpur<br />

dengan vegetasi yang terbatas).<br />

Ancaman lain adalah adanya<br />

gangguan dari Landak Eropa<br />

(Erinaceus europaeus) yang<br />

merupakan predator bagi Trinil<br />

kaki-merah, dan Trinil kaki-merah<br />

juga rentan terhadap flu burung<br />

(H5N1).<br />

Bio-Indikator Kualitas Habitat<br />

Menurut Royal Society for the<br />

Protection of <strong>Birds</strong> (RSPB) pada<br />

tahun 1925 dan badan-badan<br />

konsevasi Trinil kaki-merah Tringa<br />

totanus menjadi simbol penting<br />

dalam hal kualitas habitat, yaitu<br />

habitat saltmarshes (rawa garam)<br />

dan rawa rumput yang merupakan<br />

habitat bagi Trinil kaki-merah dan<br />

beberapa jenis burung pantai<br />

lainnya, jika habitat ini menurun<br />

atau bahkan hilang maka akan<br />

berdampak terhadap kelangsungan<br />

kehidupan spesies lainnya untuk<br />

berkembang biak. Berkurangnya<br />

daerah intertidal, yang merupakan<br />

daerah bagaian dari mudflat<br />

membuat Trinil kaki-merah<br />

terpaksa menggunakan daerah<br />

subtidal (perairan muara) untuk<br />

mencari makan, akan tetapi hal ini<br />

memberikan dampak bagi<br />

kelangsungan hidup dan<br />

menjadikan populasi Trinil kakimerah<br />

merosot. Terancamnya<br />

habitat ini menjadikan badanbadan<br />

konservasi di seluruh dunia<br />

berupaya untuk mempertahankan<br />

habitat dan populasi Trinil kakimerah<br />

(Burton et al, 2006).<br />

Kederadaan Trinil kaki-merah di<br />

Pantai Cemara, Jambi<br />

Pantai Cemara sebagai salah satu<br />

jalur terbang (flyway) Trinil kakimerah<br />

dan burung pantai lainnya<br />

dalam melakukan siklus migrasi<br />

setiap akhir tahun. Pantai cemara<br />

dijadikan sebagai tempat<br />

persinggahan bagi Trinil kakimerah<br />

karena kawasan tersebut<br />

menyediakan sumber pakan dan<br />

tempat yang aman bagi<br />

kelangsungan hidupnya selama<br />

bersinggah di kawasan tersebut.<br />

Berdasarkan hasil monitoring dan<br />

penangkapan yang dilakukan<br />

selama lebih kurang dua bulan,<br />

Berita dari Lapang<br />

tercatat sekitar 73 individu Trinil<br />

kaki-merah yang tertangkap<br />

tertandai dan tertangkap kembali,<br />

dengan demikian keberadaan<br />

populasi Trinil kaki-merah di Pantai<br />

Cemara relatif besar dan dapat<br />

diasumsikan bahwa Pantai Cemara<br />

cukup baik untuk dijadikan tempat<br />

bersinggah bagi Trinil kaki-merah.<br />

Sebagai data pendukung mengenai<br />

keberadaan Trinil kaki-merah mulai<br />

dari Oktober 2007 sampai Januari<br />

2010, yaitu pada periode Oktober<br />

2007 tertangkap 13 individu,<br />

Desember 2007 tertangkap 134<br />

individu, Februari-maret 2008<br />

tertangkap 152 individu, April-Mei<br />

2008 tertangkap 134 dan<br />

Desember 2009-Januari 2010<br />

tertangkap 73 individu.<br />

Mengacu pada data laporan<br />

kegiatan pemantauan burung liar di<br />

Pantai Cemara dari periode<br />

penangkapan bulan Oktober 2007<br />

sampai Januari 2010 yang<br />

diselenggaran oleh Wildlife<br />

Conservation Society - WCS<br />

Global Health Program. Tujuan dari<br />

kegiatan ini adalah untuk<br />

mendeteksi dini keberadaan virus<br />

Avian Influenza pada burung liar,<br />

mengetahui jenis burung pantai<br />

yang bermigrasi ke Pantai Cemara,<br />

serta memberi bendera warna dan<br />

cincin pada jenis burung pantai.<br />

Kehadiran atau jumlah individu<br />

Trinil kaki-merah yang tertangkap<br />

tidak dapat diperkirakan seberapa<br />

besar jumlah idividu yang<br />

bersinggah di kawasan Pantai<br />

Cemara, hal tersebut karena<br />

siklus dari migrasi Trinil kaki-merah<br />

belum dapat diketahui kapan dan<br />

berapa lama serta jumlah individu<br />

yang melakukan migrasi dan<br />

bersinggah di suatu lokasi tertentu,<br />

khususnya di kawasan Pantai<br />

Cemara.<br />

.....bersambung ke hal 26<br />

Edisi Edisi Juli, Juli, 2010 2010 17<br />

17<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○


Flora & Fauna <strong>Lahan</strong> <strong>Basah</strong><br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

18 18 18 Wart art arta art a Konserv <strong>Konservasi</strong> Konserv asi L L<strong>Lahan</strong><br />

L <strong>Lahan</strong><br />

ahan <strong>Basah</strong><br />

<strong>Basah</strong><br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

Akhirnya KUNTUL Bersarang Lagi ...<br />

Pasca bencana tsunami yg<br />

menerpa wilayah Aceh di<br />

akhir 2004 lalu, telah<br />

meluluhlantakkan sendi-sendi<br />

kehidupan umat manusia, harta<br />

hilang ratusan ribu nyawa<br />

melayang. Tidak sampai disitu,<br />

bencana dahsyat tersebut juga<br />

telah menghancurkan ekosistem<br />

pesisir yang merupakan habitat<br />

bagi beberapa satwa liar. <strong>Burung</strong><br />

kuntul sebagai salah satu satwa<br />

penghuni hutan mangrove pergi<br />

entah kemana mencari tempat lain<br />

untuk hidup dan berkembang biak.<br />

Sudah lebih 5 tahun kenangan pahit<br />

itu berlalu, selama itu berbagai<br />

perbaikan sarana prasarana<br />

maupun rehabilitasi dan restorasi<br />

lingkungan telah dilakukan berbagai<br />

pihak. Roda kehidupan masyarakat<br />

Aceh mulai kembali berputar, dan<br />

Oleh:<br />

Aida Fithri*<br />

berbagai satwa liar pesisir mulai<br />

kembali menemukan tempat hidup<br />

mereka.<br />

Saat menapakkan kembali di Aceh<br />

setelah melanjutkan studi pada<br />

tahun 2005, saya sering melihat<br />

banyak burung kuntul terbang di<br />

atas kawasan Lam Pineung, Banda<br />

Aceh. Pagi hari sekitar pukul 06.30<br />

mereka terbang mencari makan dan<br />

sekitar pukul 18.00 sore mereka<br />

kembali pulang. Saya mencoba<br />

mencari dimana lokasi mereka<br />

bersarang pasca tsunami<br />

berdasarkan arah terbang mereka<br />

sewaktu pulang. Rupanya mereka<br />

terbang ke arah belakang kantor<br />

gubernur di kawasan Jeulingke kota<br />

Banda Aceh.<br />

Suatu pagi, dengan ditemani suami<br />

kami mulai berjalan kaki menuju ke<br />

lokasi mereka bermalam.<br />

Sesampainya di sana hanya terlihat<br />

hamparan lumpur yang hanya<br />

ditumbuhi beberapa batang bakau<br />

yang tersisa dari terjangan tsunami.<br />

Sekitar 2000 ekor kuntul dalam<br />

beberapa kelompok berdiri<br />

berdesakan dalam lumpur, diam<br />

tidak melakukan aktivitas apapun di<br />

pagi yang cukup sejuk.<br />

Sekitar pukul 06.30 satu persatu<br />

kuntul mulai terbang meninggalkan<br />

lokasi bermalam, tidak berapa lama<br />

sekitar pukul 08.00 pagi, lokasi<br />

telah terlihat lengang dan hanya<br />

tinggal beberapa ekor yang tersisa.<br />

Dari informasi yang didapat dari<br />

penduduk lokal, bahwa selama<br />

musim berbiak kuntul tetap bertelur<br />

namun mereka meletakkannya di<br />

hamparan lumpur yang kemudian<br />

tersapu air pasang. Saat itu saya<br />

mulai was-was sanggupkah mereka


○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

bertahan sampai pohon bakau yang ditanam kembali<br />

pasca tsunami mencapai kondisi yang disukai oleh<br />

kuntul sebagai pohon sarang.<br />

Setiap tahun selama musim berbiak saya melihat<br />

kuntul dengan bulu berbiak terbang mencari makan<br />

dan belum ada kuntul yang bersarang di lokasi-lokasi<br />

tambak yang sudah ditanami kembali dengan bakau.<br />

Pada bulan Maret 2010 saya dan suami melihat<br />

banyak sekali kuntul yang bertengger di pohon<br />

bakau di lokasi tambak desa Tibang, Pada tanggal<br />

12 April kami mencoba mendekati lokasi dengan<br />

kendaraan roda dua namun tidak sampai ke lokasi<br />

dikarenakan akses jalan. Pada tanggal 13 April kami<br />

mengamati lokasi melalui lantai dua gedung STTIT<br />

(Sekolah Tinggi Tehnik Iskandar Thani) yang terletak<br />

di tepi jalan menuju Alue Naga. Pada saat itu saya<br />

bertemu dengan salah seorang staf pengajar di<br />

jurusan Biologi Fakultas Tarbiyah IAIN Ar raniry Ibu<br />

Erlita dan beliau memberitahu bahwa kuntul sudah<br />

membuat sarang.<br />

Keesokan harinya, kami bertiga menuju lokasi<br />

bersarang kuntul melalui jalan setapak di sebelah<br />

kampus STTIT. Kami berjalan di atas pematang<br />

tambak dan setelah 10 menit kami tiba di lokasi<br />

tambak yang ditumbuhi pohon bakau (Rhizophora<br />

sp.) Kami bertemu dengan bapak Sarbini dan<br />

Ridwan yang bertugas menjaga tambak. Menurut<br />

Bapak Sarbini kuntul mulai bersarang sekitar 5 bulan<br />

yang lalu namun karena ada gangguan manusia<br />

mereka pergi dan tidak jadi bersarang. Namun<br />

mereka kembali lagi pada bulan Pebruari 2010 dan<br />

bertahan sampai sekarang. Tidak ada lagi yang<br />

berani mengganggu mereka karena Pak Sarbini<br />

melarang mereka mengganggu kawanan burung<br />

yang sedang berbiak.<br />

Sewaktu saya mengamati dengan menggunakan<br />

teropong terlihat banyak sarang yang terletak di<br />

pohon bakau dan sudah ada yang berisi anakan<br />

dengan bulu yang masih jarang. Bahagia sekali<br />

rasanya melihat kuntul-kuntul yang dulu terlihat<br />

tanpa harapan sekarang sudah mulai menata<br />

kehidupan mereka kembali. Mudah-mudahan mereka<br />

mampu mencapai titik keseimbangan populasi<br />

kembali. <br />

*Staf Pengajar Jurusan Biologi FMIPA<br />

Universitas Syiah Kuala<br />

Email: aida.fithri@yahoo.com<br />

Flora & Fauna <strong>Lahan</strong> <strong>Basah</strong><br />

Edisi Edisi Juli, Juli, 2010 2010 19<br />

19<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○


Flora & Fauna <strong>Lahan</strong> <strong>Basah</strong><br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

20 20 20 Wart art arta art a Konserv <strong>Konservasi</strong> Konserv asi L L<strong>Lahan</strong><br />

L <strong>Lahan</strong><br />

ahan <strong>Basah</strong><br />

<strong>Basah</strong><br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

POHON BUAH HITAM<br />

(Haplolobus spp.)<br />

Apa Keistimewaannya bagi<br />

Masyarakat Pesisir Teluk Wondama?<br />

Oleh:<br />

Elieser V. Sirami*<br />

DISTRIBUSI DAN INFORMASI<br />

TAKSONOMIS<br />

Pohon Buah hitam (Haplolobus<br />

spp.) merupakan tumbuhan<br />

liar yang tumbuh pada hutan<br />

primer dataran rendah sampai<br />

ketinggian 850 m dpl. Di wilayah<br />

Papua terdapat enam jenis yaitu<br />

Haplolobus beccarii Hussong, H.<br />

bintuluensis Kochummen, H.<br />

inaequifolius Kochummen, H.<br />

kapitensis Kochummen, H.<br />

leenhoutsii Kochummen, H.<br />

sarawakanus Kochummen (Van<br />

Balgooy, 1998). Menurut Wally<br />

(2009), empat jenis diketahui<br />

menyebar di wilayah Teluk<br />

Wondama, yaitu Niase (Haplolobus<br />

acuminatus H.J.Lam), Niase Manaer<br />

(H. coriaceus H.J.Lam), Piairawi (H.<br />

floribunda H.J.Lam), dan Inggabui (H.<br />

variegata H.J.Lam).<br />

Orang Wondama menggolongkan<br />

buah hitam ke dalam empat jenis,<br />

namun perlu dicek kembali<br />

kebenarannya sebab Haplolobus spp.<br />

berkerabat sangat dekat dengan<br />

Canarium spp., dan sukar dibedakan<br />

terutama ketika masih berada pada<br />

fase semai dan pancang, selain<br />

berada dalam famili yang sama yakni<br />

Burseraceae, juga memiliki ciri-ciri<br />

mofologi yang hampir mirip.<br />

Kedekatan secara morfologis sering<br />

menimbulkan kekeliruan penamaan<br />

bagi masing-masing jenis, sebab itu<br />

perlu tindakan taksomik lebih lanjut<br />

untuk memastikan status penamaan<br />

kedua jenis tersebut.<br />

PEMANFAATAN BUAH HITAM<br />

Bahan Makanan, Bahan<br />

Bangunan dan Kayu Bakar<br />

Dari empat jenis buah hitam di<br />

pesisir teluk Wondama, yang<br />

buahnya tidak dimakan adalah Niase<br />

Manaer (H. coriaceus H.J.Lam.),<br />

sedangkan tiga jenis lainnya buahnya<br />

dimakan. Orang Wandamen memiliki<br />

tradisi membuat sagu buah hitam<br />

(bariam tereu). Sagu buah hitam<br />

adalah jenis sagu yang adonannya<br />

dibuat dari campuran tepung sagu<br />

dan daging buah hitam, kemudian<br />

dibungkus dengan daun Kasuparauw<br />

(Pisonia sp.) dan Posandakai<br />

(Holopegia sp.), tali pengikat<br />

bungkusan sagu adalah Waiwiria<br />

(Merremia peltata). Para-para asar<br />

memakai kayu Aikakoburi (Filebrunea<br />

sp.) karena jenis kayu ini<br />

mengandung air sehingga tidak<br />

mudah terbakar selama proses<br />

pengasapan berlangsung. Sagu buah<br />

hitam rasanya sangat enak dan<br />

memberi energi lebih, dibandingkan<br />

dengan jenis sagu yang tidak<br />

dicampur dengan buah hitam, juga<br />

sangat awet hingga dapat bertahan<br />

dalam waktu yang lama.<br />

Keempat jenis pohon buah hitam<br />

memiliki kualitas kayu yang sangat<br />

baik. Masyarakat memanfaatkannya<br />

sebagai bahan bangunan dan kayu<br />

perkakas. Batang, cabang dan<br />

pohon yang tidak lagi berbuah,<br />

biasanya dimanfaatkan sebagai<br />

kayu bakar karena kualitas nyala api<br />

yang dihasilkan cukup baik.<br />

MANFAAT HISTORIS (SAGU<br />

PERANG)<br />

Pada masa lalu, ketika masih terjadi<br />

perang suku antara orang Wondama<br />

dengan orang Biak, orang Numfor, dan<br />

orang Mansinam atau ketika sedang<br />

melakukan pembajakan di tengah laut,<br />

biasanya para ksatria Wondama,<br />

meninggalkan perkampungan mereka<br />

selama berminggu-minggu bahkan<br />

berbulan-bulan (van Hasselt, 2002).<br />

Makanan yang dikonsumsi mereka<br />

selama perjalanan adalah sagu buah<br />

hitam. Sagu buah hitam sangat awet,<br />

cara makan sagu buah hitam pun<br />

sangat unik, sebungkus sagu tidak<br />

dihabiskan sekali makan, namun<br />

dimakan sepotong demi sepotong,<br />

umumnya sepotong untuk sekali<br />

makan. Sumbangan energi yang<br />

sangat besar bagi tubuh, dan jaminan<br />

ketersediaan logistik selama perang<br />

berlangsung membuat sagu buah<br />

hitam disebut sebagai “sagu perang.”<br />

Karena nilai historisnya, Pemda Teluk<br />

Wondama berencana menanam pohon<br />

buah hitam di sekitar stadion yang<br />

akan dibangun nanti sebagai simbol<br />

perjuangan dan sportifitas di arena<br />

olah raga.<br />

MANFAAT SOSIAL BUDAYA<br />

Sagu buah hitam merupakan makanan<br />

khas yang hanya disajikan pada<br />

upacara antar mas kawin, tusuk telinga<br />

dan meminang calon pengantin wanita,<br />

juga pada acara pemilihan kepala<br />

kampung. Dalam upacara antar mas<br />

kawin sagu buah hitam berfungsi juga


○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

sebagai alat tukar oleh keluarga<br />

mempelai wanita terhadap piringpiring<br />

mas kawin yang diberikan<br />

keluarga mempelai pria. Sagu yang<br />

tidak dicampurkan tidak disajikan<br />

dalam upacara adat dimaksud. Dalam<br />

ritual-ritual tersebut, selalu diiringi<br />

tarian dan nyanyian dalam waktu<br />

yang sangat lama. Aktivitas ini<br />

memerlukan energi yang cukup<br />

banyak, sehingga sagu buah hitam<br />

selalu disajikan sebagai makanan<br />

selama berlangsungnya acara karena<br />

memberikan energi tambahan.<br />

INDIKASI KANDUNGAN PROTEIN<br />

DAN LEMAK<br />

Adanya kandungan lemak dan protein<br />

dalam buah hitam memang belum<br />

dibuktikan secara ilmiah, namun<br />

beberapa penjelasan dari masyarakat<br />

dapat dipakai menduga kebenaran<br />

indikasi tersebut. Misalnya bila<br />

memakan lebih dari lima buah yang<br />

telah masak sekaligus tanpa dicampur<br />

dengan jenis makanan lain seperti<br />

sagu, maka efek yang ditimbulkan<br />

adalah tubuh lemas dan tertidur<br />

dalam waktu yang cukup lama. Juga<br />

mengenai fungsinya dalam pestapesta<br />

adat, sebagai sagu perang,<br />

dan keawetannya mungkin<br />

menjelaskan bahan kimia yang<br />

terkandung di dalamnya adalah<br />

protein dan lemak.<br />

HARAPAN PENGELOLAAN<br />

Saat ini buah hitam telah banyak<br />

dibudidayakan masyarakat di sekitar<br />

pekarangan rumah, maupun yang<br />

tumbuh liar pada areal hutan sekitar<br />

perkampungan. Kumendong, (2009),<br />

melaporkan bahwa rata-rata per ha<br />

terdapat 28 tegakan pohon dewasa<br />

yang siap berproduksi.<br />

Keberadaan buah hitam bagi<br />

masyarakat Wondama harus dapat<br />

mendorong pengembangan aspek<br />

sosial budaya, ekonomi maupun<br />

silvikultur dan konservasinya. Buah<br />

hitam perlu manjadi jenis simbolik<br />

kabupaten Wodama yang perlu<br />

ditanam pada setiap kegiatan GNR-<br />

HL agar hasil yang ingin dicapai lebih<br />

efektif. Harapan tersebut dapat<br />

dicapai melalui rencana pengelolaan<br />

yang komprehensif dan melibatkan<br />

berbagai pihak agar dapat<br />

meningkatkan produktivitas pohon<br />

buah hitam baik bagi masyarakat<br />

maupun terhadap kelestarian<br />

lingkungan hutan. Efektivitas<br />

penggunaan jenis lokal adalah<br />

meningkatkan partisipasi masyarakat<br />

dalam pengelolaan hutan. Budaya<br />

masyarakat lokal harus sepenuhnya<br />

mandapat tempat yang semestinya<br />

dalam pengelolaan hutan<br />

berkelanjutan karena hutan adalah<br />

satu kesatuan lingkungan budaya<br />

yang menjadi tumpuan hidup (stuff of<br />

life). Partisipasi dapat terjadi karena<br />

adanya nilai-nilai tradisional<br />

masyarakat yang mampu mendorong<br />

jalannya proses pembangunan,<br />

(Nugraha dan Murtidjo, 2005;<br />

Koentjraningrat,1981). <br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Agung Nugraho & Murtidjo. 2005.<br />

Antropologi Kehutanan. Wana Aksara.<br />

Tangerang.<br />

Ansek, L. L., 2009. Identifikasi Faktor<br />

Sosial Budaya dan Nilai Keberadaan Buah<br />

Hitam (Haplolobus cf. megacarpus H. J.<br />

Lam) di Kampung Wondiboi Kabupaten<br />

Teluk Wondama. Skripsi Sarjana<br />

Kehutanan Fakultas Kehutanan Unipa<br />

Manokwari. (tidak diterbitkan)<br />

Flora & Fauna <strong>Lahan</strong> <strong>Basah</strong><br />

Balgooy. M. M. J. van., 1998. Malesian<br />

Seed Plant Volume 2. Rijksherbarium/<br />

Hortus Botanicus Leiden<br />

Hasselt, F. J. F. van., 2002. Di Tanah<br />

Orang Papua. (Penerjemah Z. Rumere &<br />

Ot. Loupatty). Yayasan Timotius Papua.<br />

Jayapura.<br />

Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan,<br />

Mentalitas dan Pembangunan. PT.<br />

Gramedia. Jakarta.<br />

Kumendong R., 2009. Potensi Pohon<br />

Haplolobus di Kampung Wondiboi Distrik<br />

Wondiboi Kab. Teluk Wondama. Skripsi<br />

Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan<br />

Unipa Manokwari. (tidak diterbitkan)<br />

Sirami E. V., 2003. Aspek Ekologi dan<br />

Demografi Palem Ekor Ikan (Sommieria<br />

leucophylla Becc.) di Hutan Wisata Sorong<br />

Waropen I., 2009. Pemanfataan Sagu<br />

Buah Hitam (bariam tereu) oleh<br />

Masyarakat Wondama di Kampung Rado<br />

Distrik Wasior Kota Kab. Teluk Wondama.<br />

Tugas Akhir Karya Ilmiah Diploma Tiga<br />

Kehutanan Fakultas Kehutanan Unipa<br />

Monokwari. (tidak diterbitkan)<br />

Wally, Y. F., 2009. Inventarisasi Jenis-Jenis<br />

Buah Hitam (Haplolobus spp.) dan<br />

Pemanfaatannya oleh Masyarakat<br />

Kampung Kaibi Distrik Wondowoi<br />

Kabupaten Teluk Wondama. Skripsi<br />

Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan<br />

Unipa Manokwari. (tidak diterbitkan)<br />

*Staf Pengajar Jurusan Manajemen Hutan<br />

Fakultas Kehutanan<br />

Universitas Negeri Papua Manokwari<br />

E-mail: [siramieli@yahoo.co.id]<br />

Edisi Edisi Juli, Juli, 2010 2010 21<br />

21<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○


Berita dari Lapang<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

..... Sambungan dari halaman 17<br />

22 22 22 Wart art arta art a Konserv <strong>Konservasi</strong> Konserv asi L L<strong>Lahan</strong><br />

L <strong>Lahan</strong><br />

ahan <strong>Basah</strong><br />

<strong>Basah</strong><br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

Estimasi populasi dan habitat persinggahan Trinil kaki-merah ........<br />

Nipah dijadikan tempat berkumpul dan istirahat<br />

(Foto: Arifin)<br />

PEMILIHAN HABITAT<br />

Trinil kaki-merah menjadikan<br />

Pantai Cemara sebagai tempat<br />

bersinggah sebelum melanjutkan<br />

perjalanan migrasi selanjutnya, hal<br />

tersebut menuntut Trinil kaki-merah<br />

harus cerdik dalam mendapatkan<br />

tempat yang aman dan<br />

memperoleh mangsa yang cukup<br />

untuk kelangsungan hidupnya.<br />

Lokasi yang dijadikan tempat<br />

beristirahat dan berkumpul dengan<br />

burung pantai lainnya, yaitu di<br />

sekitar Nipah yang merupakan<br />

lokasi yang paling tepat atau<br />

jarang terendam air saat terjadi<br />

pasang. Sedangkan saat air laut<br />

surut Trinil kaki-merah berpindah<br />

ke sekitar muara sungai untuk<br />

mencari makan.<br />

KETERSEDIAAN MANGSA BAGI<br />

TRINIL KAKI-MERAH<br />

Pantai Cemara merupakan wilayah<br />

pasang surut yang produktif dan<br />

menjadikan pantai ini banyak<br />

terdapat jenis-jenis hewan bentos<br />

atau jenis-jenis hewan yang hidup<br />

diatas atau didalam dasar laut,<br />

baik yang menempel, merayap<br />

ataupun meliang. Hewan bentos<br />

yang terdapat di Pantai Cemara<br />

meliputi, Moluska (Bivalvia dan<br />

Gastropoda) dan Krustasea<br />

(kepiting dan udang) serta<br />

Annelida (cacing laut).<br />

Ketersediaan mangsa di kawasan<br />

Pantai Cemara, Jambi relatif besar,<br />

yakni berkisar 2806 individu/m 2 ,<br />

jadi dapat diasumsikan bahwa<br />

Pantai Cemara masih cukup baik<br />

untuk dijadikan tempat mencari<br />

makan bagi Trinil kaki-merah dan<br />

burung pantai lainnya karena<br />

menyediakan sumber mangsa<br />

yang relatif besar sehingga<br />

persaingan atau kompetisi dalam<br />

mencari mangsa tidak terlalu tinggi<br />

diantara burung pantai tersebut.<br />

Berdasarkan pengambilan sampel<br />

mangsa Trinil kaki-merah yang<br />

dilakukan di lokasi yang dijadikan<br />

Processidae (Udang)<br />

(Foto: Dieka P.)<br />

Nereididae (Cacing laut)<br />

(Foto: Dieka P.)<br />

tempat mencari makan (di sekitar<br />

muara sungai) dan tempat diluar<br />

Trinil kaki-merah mencari makan<br />

(disekitar nipah), maka didapatkan<br />

hasil jumlah mangsa yang<br />

ditemukan sekitar 18 famili, yaitu<br />

Processidae (Udang), Nereididae<br />

(Cacing laut), Naticidae,<br />

Telescopium, Cerithiinidae,<br />

Phasianellidae, Janthinidae,<br />

Struthiolariidae, Epitonidae,<br />

Turridae, Terebridae, Gobiidae,<br />

Plotosidae, Mugilidae,<br />

Polamonidae (kepiting penggali),<br />

Xanthidae (kepiting uca) dan<br />

Hymenosomatidae. <br />

Trinil kaki-merah yang tertangkap dan diberi<br />

tandai cincin dan bendera warna orenye-hitam<br />

(Foto: WCS-IP)<br />

Aini dengan Trinil kaki-merah<br />

(Foto: Iwan Londo)<br />

*(Biologi-Univ. Islam As-Syafi’iyah)<br />

E-mail: aini_bio06@yahoo.co.id


○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

..... Sambungan dari halaman 5<br />

DANAU TONDANO ........<br />

Dari semua isue-isue diatas, pada<br />

akhirnya bermuara pada aspek<br />

kebijakan (baik terkait pengelolaan<br />

DTA, sempadan maupun badan air<br />

Danau Tondano) yang hingga kini<br />

masih dalam tahap menuju<br />

pengesahan (misalnya draft<br />

Peraturan Daerah/Perda tentang<br />

Pengelolaan Danau Tondano yang<br />

disusun oleh Pemerintah Daerah<br />

Kabupaten Minahasa, Perda DAS<br />

Tondano yang disusun oleh<br />

Pemerintah Daerah Propinsi<br />

Sulawesi Utara). Disamping itu<br />

permasalahan kompleks yang terjadi<br />

pada ekosistem Danau Tondano<br />

memerlukan penanganan<br />

komprehensif dengan pendekatan<br />

multisektoral yang melibatkan<br />

lembaga pemerintah, universitas,<br />

lembaga penelitian, dan masyarakat<br />

sipil.<br />

Hasil dari beberapa pertemuan baik<br />

pada tingkat internasional, nasional<br />

maupun lokal menghasilkan<br />

kesamaan pandangan yang<br />

menekankan perlunya segera untuk<br />

memulihkan fungsi ekosistem Danau<br />

Tondano mengingat permasalahan<br />

yang saat ini dihadapi serta<br />

fungsinya yang sangat vital bagi<br />

kehidupan masyarakat Sulawesi<br />

Utara. Beberapa pertemuan<br />

tersebut diantaranya (1) Pertemuan<br />

“Enhancing Water Capacity in<br />

Developing Countries through the<br />

South Cooperation Framework”<br />

yang diselenggarakan oleh UNEP<br />

pada tanggal 26 – 29 Mei 2008, di<br />

Nairobi-Kenya. Dalam pertemuan ini<br />

pihak Pemerintah RI (melalui<br />

Kementerian Pekerjaan Umum) telah<br />

meminta dukungan/bantuan teknis<br />

dari UNEP terkait pengelolaan<br />

danau Tondano; (2) Telah<br />

ditetapkannya Danau Tondano oleh<br />

Kementerian Lingkungan Hidup RI<br />

sebagai salah satu dari lima belas<br />

danau prioritas di <strong>Indonesia</strong> yang<br />

harus segera dipulihkan<br />

fungsinya berdasarkan prinsip<br />

keseimbangan ekosistem dan<br />

daya dukung lingkungannya.<br />

Kedua hal tersebut di atas telah<br />

mendorong Program Lingkungan<br />

Hidup Perserikatan Bangsabangsa<br />

(UNEP) bekerjasama<br />

dengan Wetlands International<br />

<strong>Indonesia</strong> Programme (WI-IP),<br />

Pemerintah Kabupaten Minahasa<br />

Utara, Kementerian Pekerjaan<br />

Umum dan Kementerian<br />

Lingkungan Hidup untuk<br />

melakukan beberapa kegiatan<br />

peningkatan kapasitas dan<br />

penyadartahuan (awareness<br />

campaign) untuk pengelolaan<br />

ekosistem Danau Tondano.<br />

Rangkaian kegiatan ini telah<br />

dimulai sejak<br />

diselenggarakannya Seminar<br />

Pengelolaan Danau Tondano pada<br />

bulan Februari 2010 di Jakarta,<br />

dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan<br />

di Sulawesi Utara berupa rapat<br />

konsultasi dan pertemuan<br />

stakeholder Danau Tondano pada<br />

April 2010, peningkatan kapasitas<br />

dalam bentuk training pengelolaan<br />

danau pada Mei 2010 serta kegiatan<br />

peningkatan kepedulian para<br />

pembuat kebijakan di Sulawesi Utara<br />

pada ekosistem Danau Tondano.<br />

Pada intinya program-program yang<br />

dikembangkan ini adalah untuk<br />

memperbaiki dan mengembalikan<br />

nilai-nilai dan fungsi ekosistem<br />

Danau Tondano, melalui kegiatan<br />

terpadu antar berbagai pihak baik<br />

para pemangku kepentingan maupun<br />

masyarakat luas, khususnya yang<br />

berada di daerah-daerah mulai dari<br />

daerah tangkapan air hingga sekitar<br />

Danau Tondano itu sendiri.<br />

Diharapkan, dengan duduk bersama<br />

akan didapatkan pemetaan<br />

menyeluruh menyangkut ekosistem<br />

Fokus <strong>Lahan</strong> <strong>Basah</strong><br />

Danau Tondano, baik inventarisasi<br />

permasalahan yang ada dan yang<br />

akan mengancam, maupun solusi<br />

dalam mengatasi permasalahanpermasalahan<br />

tersebut (termasuk<br />

bagaimana mengendalikan bahkan<br />

memanfaatkan gulma eceng gondok<br />

menjadi sumber alam yang bernilai<br />

ekonomis).<br />

Untuk menghindari kerusakan yang<br />

lebih parah lagi, serta guna<br />

memulihkan ekosistem Danau<br />

Tondano secepatnya, maka<br />

pedoman/ panduan berupa Rencana<br />

Strategis pengelolaan terpadu<br />

ekosistem Danau Tondano menjadi<br />

sangat penting untuk segera<br />

diwujudkan. Dengan adanya aturan<br />

dan pedoman yang jelas yang<br />

bersifat mengikat dan wajib dipatuhi<br />

bersama ini, diharapkan pengelolaan<br />

ekosistem Danau Tondano dapat<br />

berjalan dengan cepat, tepat, tegas<br />

dan sinergis.<br />

Danau Tondanoku lestari, kita dan<br />

anak cucu berseri. <br />

Edisi Edisi Juli, Juli, 2010 2010 23<br />

23<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

(Ilustrasi: Triana)


○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

Anonim, 2009; REDD Apakah Itu?<br />

Pedoman CIFOR Tentang Hutan,<br />

Perubahan iklim dan REDD, CIFOR,<br />

16.<br />

CIFOR, 2009; Simply REDD: Cifor<br />

Guide to Forests, Climate Change<br />

and REDD, CIFOR, 12.<br />

Dhewanthy, L., A.T. Apriani,<br />

Gustami, M. alfian {dkk}. 2009;<br />

Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistim<br />

Gambut, Kementerian Lingkungan<br />

Hidup, viii + 46.<br />

Dhewanthy, L., A.T. Apriani, M.<br />

Alfian {dkk}, 2009. Panduan Valuasi<br />

Ekonomi Ekosistim Karst,<br />

Kementrian Lingkungan Hidup, iv +<br />

46.<br />

Kayoman, L., 2010; Pemodelan<br />

Spasial Resiko Kebakaran Hutan di<br />

Provinsi Kalimantan Barat, Sekolah<br />

Pasca Sarjana IPB, xix + 92.<br />

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○<br />

Tahukah Kita<br />

24 24 24 Wart art arta art a Konserv <strong>Konservasi</strong> Konserv asi L L<strong>Lahan</strong><br />

L <strong>Lahan</strong><br />

ahan <strong>Basah</strong><br />

<strong>Basah</strong><br />

Locatelli, B., M. Kanninen, {dkk},<br />

2009; Menghadapi Masa Depan<br />

yang Tak Pasti: Bagaimana Hutan<br />

dan Manusia Beradaptasi Terhadap<br />

Perubahan Iklim, CIFOR, x + 90.<br />

Nkem, J. D. Oswald, D. Kudejira<br />

dan M. Kann, 2009; Counting on<br />

Forests and Accounting for Forest<br />

Contributions in national Climate<br />

Change Actions, CIFOR, iv + 19.<br />

Sualia, I, Eko B.P., dan I N.N.<br />

Suryadiputra. 2010. Panduan<br />

Pengelolaan Budidaya Tambak<br />

Ramah Lingkungan di Daerah<br />

Mangrove. Wetlands International<br />

– <strong>Indonesia</strong> Programme.<br />

Bogor.<br />

Dokumentasi Perpustakaan<br />

Suryadiputra, I<br />

N.N. (ed). 2010.<br />

Peningkatan<br />

Kapasitas<br />

Pengelolaan<br />

Ekosistem Danau<br />

Tondano untuk<br />

Perbaikan<br />

Lingkungan dan<br />

Mata Pencaharian<br />

Masyarakat. Wetlands International<br />

– <strong>Indonesia</strong> Programme. Bogor.<br />

Suwanto, A., A. Maas, D. Sutaryo<br />

{dkk}, 2010. Profil Ekosistim Gambut<br />

di <strong>Indonesia</strong>, Kementrian Negara<br />

Lingkungan Hidup, iv + 17.<br />

Yusri, S. dan A. Mardesyawati,<br />

2009; Pembelajaran Pengelolaan<br />

Terumbu Karang di Kepulauan<br />

Seribu 2002-2009 Melalui Pedidikan<br />

& Pelatihan, Yayasan Terumbu<br />

Karang <strong>Indonesia</strong>, viii + 68.<br />

Eceng Gondok, gulma yang bisa menjadi sumber devisa?<br />

sekaligus berperan penting dalam meredam perubahan iklim?<br />

Eceng gondok (Eichhornia crassipes) sering dianggap sebagai gulma air dan sumber masalah<br />

(pendangkalan, sarang nyamuk, dsb). Namun, di sisi lain eceng gondok diperairan justru memberi<br />

banyak manfaat antara lain kemampuannya memperbaiki mutu air limbah secara biologis<br />

(Ismanto 2005 dan Sumolang 2009), menyerap karbon (mitigasi perubahan iklim) dan dapat<br />

digunakan sebagai bahan baku barang-barang kerajinan tangan (handy craft).<br />

Peran eceng gondok dalam mengolah air (limbah) secara biologi dilakukan melalui aktivitas<br />

mikroorganisme yang menempel pada akar dan di sekitar perakaran tanaman air tersebut.<br />

Mikroorganisme ini, diantaranya terdiri dari berbagai jenis ciliata, flagellata dan bakteri<br />

(Ismanto 2005 dan Sumolang 2009), akan memanfaatkan (decompose) bahan organik di<br />

perairan (secara aerobik) yang akhirnya akan menurunkan kadar pencemar organik (COD dan BOD) di air. Dalam<br />

proses ini, gas CO 2 terlarut yang dihasilkan dalam proses dekomposisi dimanfaatkan oleh jasad autotrop seperti<br />

fitoplankton (baik yang berada dalam air dan menempel pada perakaran eceng gondok). Selain itu, keberadaan<br />

eceng gondok juga dapat mempercepat laju penjernihan air terlihat dari rendahnya nilai TSS pada air olahan.<br />

Di sisi lain, peranan eceng gondok dalam meredam perubahan iklim adalah terkait dengan laju pertumbuhan<br />

(doubling time) nya yang cepat, ini berarti eceng gondok diduga akan mengikat CO 2 dari atmosfer dalam jumlah<br />

besar dalam waktu singkat dibanding tanaman teresrtial. Selanjutnya, jika hasil panen eceng gondok kemudian<br />

‘disimpan’ dalam produk handy craft atau meubel (meja, kursi, dan lainnya), ini berarti akan terjadi pemindahan<br />

CO 2 dari atmosfer menjadi biomassa eceng gondok yang akhirnya tersimpan dalam bentuk produk-produk rumah<br />

tangga. Selama produk-produk dari eceng gondok ini tetap tersimpan (tidak membusuk atau terbakar), maka<br />

selama itulah CO 2 akan terikat dan tidak mencemari atmosfer bumi.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!