21.02.2014 Views

Bab I. Percobaan (Poging) - USUpress

Bab I. Percobaan (Poging) - USUpress

Bab I. Percobaan (Poging) - USUpress

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

<br />

BAB I<br />

PERCOBAAN(POGING)<br />

A. Pengertian <strong>Percobaan</strong><br />

<strong>Percobaan</strong> melakukan kejahatan diatur dalam Buku I tentang<br />

Aturan Umum, <strong>Bab</strong> IV pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari<br />

pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina<br />

Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:<br />

Pasal 53:<br />

(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu<br />

telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan<br />

tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata<br />

disebabkan karena kehendaknya sendiri.<br />

(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam<br />

percobaan dikurangi sepertiga.<br />

(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana<br />

penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling<br />

lama lima belas tahun.<br />

(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan<br />

selesai.<br />

Pasal 54:<br />

Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.<br />

Kedua pasal tersebut tidak memberikan defenisi tentang apa<br />

yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging), yang<br />

selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan percobaan.<br />

Pengertian percobaan tidak dijelaskan oleh undang-undang,<br />

namun yang ditetapkan bahwa percobaan melakukan tindak pidana<br />

diancam dengan pidana jika telah memenuhi sejumah persyaratan<br />

tertentu.<br />

Jika mengacu kepada arti kata sehari-hari, percobaan itu<br />

diartikan sebagai menuju ke sesuatu hal, akan tetapi tidak sampai<br />

kepada hal yang dituju itu, atau dengan kata lain hendak berbuat<br />

sesuatu, sudah dimulai tetapi tidak selesai. Misalnya seseorang<br />

bermaksud membunuh orang tetapi orangnya tidak mati, seseorang<br />

1


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

hendak mencuri barang tetapi tidak sampai dapat mengambil barang<br />

itu. 1 Menurut Jan Remmelink, 2 dalam bahasa sehari-hari,<br />

percobaan dimengerti sebagai upaya untuk mencapai tujuan tertentu<br />

tanpa (keberhasilan) mewujudkannya. “Upaya tanpa keberhasilan”,<br />

demikian dirumuskan oleh Pompe, guru besar dari Utrecht. Jika<br />

kita mengikuti jalan pikiran di atas, percobaan melakukan<br />

kejahatan dapat digambarkan sebagai suatu tindakan yang<br />

diikhtiarkan untuk mewujudkan apa yang oleh undang-undang<br />

dikategorikan sebagai kejahatan, namun tindakan tersebut tidak<br />

berhasil mewujudkan tujuan yang semula hendak dicapai. Syarat<br />

bagi percobaan yang dapat dikenai pidana, seperti yang dituntut<br />

oleh undang-undang, adalah bahwa ikhtiar pelaku harus sudah<br />

terwujud melalui (rangkaian) tindakan permulaan dan bahwa tidak<br />

terwujudnya akibat dari tindakan tersebut berada di luar kehendak si<br />

pelaku.<br />

Menurut Wirjono Prodjodikoro, pada umumnya kata percobaan<br />

atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan yang pada<br />

akhirnya tidak atau belum tercapai. 3 Jonkers menyatakan bahwa<br />

mencoba berarti berusaha untuk mencapai sesuatu tapi tidak tercapai. 4<br />

Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang<br />

pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah bersumber dari MvT yang<br />

menyatakan:<br />

<strong>Poging</strong> tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide<br />

uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin van<br />

uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen.<br />

(Dengan demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan<br />

itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang<br />

telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu<br />

kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah<br />

diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan). 5<br />

1 Soesilo, Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) serta<br />

KomentarKomentarnyaLengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, 1980),<br />

hal.59.<br />

2 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas pasalpasal<br />

terpenting dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda dan<br />

padanannyadalamKitabUndangUndangHukumPidanaIndonesia,(Jakarta:<br />

GramediaPustakaUtama,2003),hal.285.<br />

3 Wirjono Prodjodikoro, AsasAsas Hukum Pidana di Indonesia,<br />

(Bandung:Eresco,1969),hal.81<br />

4 J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda,<br />

(Jakarta:BinaAksara,1987),hal.155.<br />

5 P.A.F. Lamintang, DasarDasar Hukum Pidana Indonesia,<br />

(Bandung:SinarBaru,1984),hal.511.<br />

2


<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan<br />

melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP<br />

hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang<br />

pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu<br />

percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:<br />

a. Adanya niat/kehendak dari pelaku;<br />

b. Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;<br />

c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak<br />

dari pelaku.<br />

Oleh karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan<br />

percobaan melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti<br />

ada padanya. Suatu percobaan dianggap telah terjadi jika memenuhi<br />

ketiga syarat tersebut.<br />

Pada umumnya menurut bunyi rumusan suatu delik, pelaku<br />

dipidana jika tindak pidana yang dilakukannya itu telah selesai<br />

diwujudkan, artinya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku telah<br />

memenuhi semua unsur tindak pidana (delik). Namun pembentuk<br />

undang-undang juga merasa perlu mengancam pidana karena telah<br />

melakukan suatu percobaan (poging) kepada seorang yang melakukan<br />

suatu perbuatan walaupun perbuatan tersebut belum memenuhi semua<br />

unsur delik sebagaimana yang telah dirumuskan dalam suatu undangundang,<br />

jika syarat-syarat suatu percobaan sebagaimana diatur dalam<br />

Pasal 53 KUHP tersebut telah terpenuhi, sehingga undang-undang perlu<br />

merumuskan secara tersendiri tentang syarat-syarat untuk dapat<br />

dipidananya suatu percobaan kejahatan.<br />

Menurut Jonkers ada dua alasan bagi pembuat undang-undang<br />

untuk memberi pidana pada percobaan melakukan tindak pidana pada<br />

umumnya, yaitu: 6<br />

a. Pemberantasan kehendak yang jahat yang ternyata dalam<br />

perbuatan-perbuatan;<br />

b. Perlindungan terhadap barang hukum, yang diancam dengan<br />

bahaya.<br />

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa seseorang yang<br />

melakukan suatu percobaan tindak pidana perlu diancam dengan pidana<br />

dengan alasan:<br />

a. Dilihat dari sudut subjektif, bahwa pada diri orang tersebut telah<br />

menunjukkan suatu perilaku yang tidak bermoral, yang bersifat<br />

jahat;<br />

<br />

6 J.E.Jonkers,Op.Cit.,hal.155.<br />

3


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

b. Dilihat dari sudut objektif, bahwa perbuatan percobaan<br />

melakukan tindak pidana ini dipandang telah membahayakan<br />

suatu kepentingan hukum.<br />

<strong>Percobaan</strong> seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat<br />

ini menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang<br />

melakukan percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan<br />

terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, hanya saja percobaan<br />

pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga<br />

dihukum. Sebagai contoh seseorang yang melakukan percobaan<br />

pelanggaran (mencoba melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang<br />

telah diatur dalam UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana<br />

Ekonomi, dapat dipidana. Menurut Loebby Loqman, pembedaan antara<br />

kejahatan ekonomi dengan pelanggaran ekonomi ditentukan oleh<br />

apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja atau dengan tidak<br />

sengaja. Dianggap sebagai kejahatan ekonomi jika perbuatan tersebut<br />

dilakukan dengan sengaja, tetapi jika perbuatan tersebut dilakukan<br />

karena kelalaian pelaku maka hal ini dianggap sebagai pelanggaran<br />

ekonomi. 7<br />

Pemberian pidana hanya terbatas kepada kejahatan, hal ini<br />

berdasarkan kepada bahwa pelanggaran pada umumnya tidak dianggap<br />

cukup penting untuk dapat dipidana apabila masih dalam keadaan belum<br />

selesai. 8 Menurut Jan Remmelink, 9 penjelasan tentang pembatasan<br />

ancaman pidana hanya pada percobaan melakukan kejahatan dapat<br />

ditemukan pada kenyataan bahwa dalam hal pelanggaran, kualifikasi<br />

sebagai pidana sering bersumber pada kebutuhan untuk menata/<br />

menertibkan, jadi pada utilitas, ketimbang pada tuntutan perasaan<br />

hukum. Pelanggaran dianggap lebih ringan ketimbang kejahatan,<br />

sehingga percobaan melakukan pelanggaran dianggap tidak perlu<br />

diancam pidana. Sebagaimana kebanyakan delik (yang memunculkan<br />

ancaman) bahaya abstrak, pelanggaran pun ditujukan pada upaya-upaya<br />

(tidak tertentu) yang mengancam kebendaan hukum tertentu.<br />

Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak<br />

dapat dihukum, misalnya percobaan menganiaya Pasal 351 ayat (5),<br />

percobaan menganiaya binatang Pasal 302 ayat (3), dan percobaan<br />

perang tanding yang diatur dalam Pasal 184 ayat (5). 10 Jonkers 11<br />

menyebutkan, bahwa alasan untuk kedua delik yang pertama adalah<br />

7 Loebby Loqman, <strong>Percobaan</strong>, Penyertaan, dan Gabungan Tindak<br />

Pidana,(Jakarta:UniversitasTarumanagara,1996),hal.3.<br />

8 Jonkers,Op.Cit.,hal.156.<br />

9 JanRemmelink,Op.Cit.,hal.287.<br />

10 Soesilo,Op.Cit.,hal.61.<br />

11 Jonkers,Op.Cit.,hal.156.<br />

4


<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

bahwa kedua-duanya dianggap kurang penting untuk memberi pidana<br />

pada percobaan-percobaan untuk melakukan kejahatan tersebut.<br />

<strong>Percobaan</strong> untuk melakukan penganiayaan yang bersifat istimewa,<br />

seperti penganiayaan berat, penganiayaan dengan perencanaan lebih<br />

dahulu, dapat dipidana karena alasan-alasan yang bermanfaat.<br />

Pengancaman dengan pidana terhadap percobaan untuk melakukan<br />

perang tanding telah dihapuskan, karena untuk mencegah, bahwa<br />

dengan pemberitahuan kepada polisi dengan maksud untuk mencegah<br />

perang tanding yang akan dilakukan, maka pihak-pihak yang<br />

bersangkutan (terlibat) akan diberikan pidana karena percobaan. Jika hal<br />

ini terjadi dikhawatirkan dalam banyak hal tidak akan dilakukan<br />

pelaporan.<br />

Ada perbedaan pandangan tentang sifat delik percobaan<br />

menurut para ahli, apakah percobaan itu merupakan suatu bentuk delik<br />

khusus yang berdiri sendiri ataukah hanya merupakan suatu delik yang<br />

tidak sempurna. Mengenai hal ini ada dua pandangan:<br />

1. <strong>Percobaan</strong> dipandang sebagai dasar/alasan memperluas dapat<br />

dipidananya seseorang.<br />

Menurut pandangan ini bahwa, seseorang yang melakukan<br />

percobaan untuk melakukan suatu tindak pidana meskipun tidak<br />

memenuhi semua unsur delik, ia dipidana karena telah<br />

memenuhi rumusan Pasal 53 KUHP. Jadi pendirian ini<br />

menyatakan bahwa sifat percobaan adalah memperluas<br />

lingkungan dapat dipidananya orang. 12 Menurut pandangan ini,<br />

percobaan bukan memperluas rumusan-rumusan delik dan tidak<br />

dipandang sebagai jenis atau bentuk delik yang tersendiri tetapi<br />

dipandang sebagai bentuk delik yang tidak sempurna. Para<br />

pakar yang termasuk ke dalam pandangan ini antara lain adalah<br />

Hazewinkel Suringa dan Oemar Seno Adji.<br />

2. <strong>Percobaan</strong> melakukan suatu tindak pidana dipandang<br />

merupakan satu kesatuan yang bulat dan lengkap. <strong>Percobaan</strong><br />

bukanlah bentuk delik yang tidak sempurna, tetapi merupakan<br />

delik sempurna hanya dalam bentuk khusus/istimewa. Jadi<br />

merupakan delik tersendiri. Para pakar yang termasuk ke dalam<br />

pandangan ini diantaranya adalah Pompe dan Moeljatno.<br />

12 Sudarto dan Wonosutanto, Catatan Kuliah Hukum Pidana II,<br />

(Surakarta: Program Kekhususan Hukum Kepidanaan Fakultas Hukum<br />

UniversitasMuhammadiyah,1987),hal.16.<br />

5


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

Alasan Moeljatno memasukkan percobaan sebagai delik<br />

tersendiri antara lain adalah: 13<br />

a. Tidak mungkin ada pertanggungjawaban, kalau<br />

seseorang itu tidak melakukan suatu delik;<br />

b. Perbuatan percobaan dalam KUHP beberapa kali<br />

dirumuskan sebagai delik selesai dan berdiri sendiri,<br />

contohnya adalah delik makar. Misalnya Pasal 104,<br />

106, 107 KUHP;<br />

c. Dalam hukum adat tidak dikenal percobaan sebagai<br />

bentuk delik yang tidak sempurna, yang ada hanya delik<br />

selesai. Contoh putusan Pengadilan Adat di Palembang<br />

dimana seorang laki-laki telah mengaku menangkap/<br />

mendekap badan seorang gadis dengan maksud<br />

mencoba bersetubuh. Laki-laki itu tidak dipidana karena<br />

melakukan percobaan persetubuhan dengan paksa,<br />

tetapi dipidana karena menangkap/mendekap badan si<br />

gadis.<br />

B. Niat/Kehendak (Voornemen)<br />

Menurut Moeljatno dalam Adami Chazawi, niat jika dipandang<br />

dari sudut bahasa adalah sikap batin seseorang yang memberi arah<br />

kepada apa yang akan diperbuatnya. 14<br />

Menurut Memori Penjelasan KUHP Belanda (MvT) niat sama<br />

dengan kehendak atau maksud. Hazewinkel-Suringa mengemukakan<br />

bahwa niat adalah kurang lebih suatu rencana untuk mengadakan suatu<br />

perbuatan tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dalam rencana itu<br />

selalu mengandung suatu yang dikehendaki mungkin pula mengandung<br />

bayangan-bayangan tentang cara mewujudkannya yaitu akibat-akibat<br />

tambahan yang tidak dikehendaki, tetapi dapat direka-reka akan timbul.<br />

Maka jika rencana tadi dilaksanakan dapat menjadi kesengajaan sebagai<br />

maksud, tetapi mungkin pula menjadi kesengajaan dalam corak lain<br />

(sengaja sebagai keinsyafan kepastian ataupun sengaja sebagai<br />

keinsyafan kemungkinan). 15<br />

13 Moeljatno, Hukum Pidana DelikDelik <strong>Percobaan</strong> Dan DelikDelik<br />

Penyertaan,(Jakarta:BinaAksara,1985),hal.1112.<br />

14 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 <strong>Percobaan</strong> &<br />

Penyertaan,(Jakarta:RajaGrafindo,2002),hal.14.<br />

15 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy<br />

Syaamil,2000),hal.153.<br />

6


<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

Para pakar hukum pada umumnya berpendapat bahwa niat<br />

diartikan sama dengan kesengajaan (opzettelijk). Masalahnya apakah<br />

kesengajaan ini diartikan secara luas atau sempit. Dalam arti sempit<br />

opzet adalah kesengajaan sebagai maksud, sedangkan dalam arti luas<br />

opzet adalah semua bentuk kesengajaan yaitu kesengajaan sebagai<br />

maksud, kesengajaan berinsyaf kepastian, dan kesadaran berinsyaf<br />

kemungkinan.<br />

Pada umumnya para pakar menganut pendapat bahwa yang<br />

dimaksud dengan niat dalam percobaan (poging) adalah kesengajaan<br />

dalam arti luas, pendapat ini demikian dianut antara lain oleh<br />

Hazewinkel-Suringa, van Hamel, van Hattum, Jonkers, dan van<br />

Bemmelen. Berbeda dengan pendapat sarjana lainnya Vos menyatakan<br />

bahwa jika niat disamakan dengan kesengajaan, maka niat tersebut<br />

hanya merupakan kesengajaan sebagai maksud saja. 16<br />

Moeljatno memberikan pendapat hubungan niat dan<br />

kesengajaan adalah sebagai berikut:<br />

a. Niat jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapi niat secara<br />

potensial bisa berubah menjadi kesengajaan apabila sudah<br />

diwujudkan menjadi perbuatan yang dituju. Dalam hal semua<br />

perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan,<br />

tetapi akibat yang dilarang tidak timbul, di sinilah niat<br />

sepenuhnya menjadi kesengajaan. Sama halnya dalam delik<br />

yang telah selesai;<br />

b. Tetapi apabila niat itu belum semua diwujudkan menjadi<br />

kejahatan, maka niat masih ada dan merupakan sifat batin<br />

yang memberi arah kepada perbuatan, yaitu “subjektif<br />

onrechts-element”;<br />

c. Oleh karena niat tidak dapat disamakan dengan kesengajaan,<br />

maka isi niat itu jangan diambil dari isinya kejahatan apabila<br />

kejahatan timbul. Untuk itu perlu ada pembuktian tersendiri<br />

bahwa isi yang tertentu tadi juga sudah ada sejak niat belum<br />

diwujudkan menjadi perbuatan. 17<br />

Dalam praktik hukum berdasarkan kepada berbagai<br />

yurisprudensi, niat dalam hal percobaan ini menganut pandangan yang<br />

sama dengan para pakar hukum pada umumnya yaitu kesengajaan<br />

dengan semua bentuknya.<br />

Jika mengacu kepada penafsiran otentik atau penafsiran pada<br />

waktu suatu undang-undang disusun, dalam hal ini Memori Penjelasan<br />

(MvT) WvS Belanda 1886 yang merupakan sumber dari KUHP<br />

Indonesia yang berlaku saat ini, disebutkan bahwa sengaja (opzet)<br />

16 LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.16.<br />

17 Moeljatno,Op.Cit.,hal.2122.<br />

7


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

berarti: ‘de (bewuste) richting van den will op een bepaald wisdrijf<br />

(kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan<br />

tertentu). Menurut penjelasan tersebut “sengaja” (opzet) sama dengan<br />

willens en wetens (dikehendaki dan diketahui). 18<br />

Sikap batin (niat) seorang pelaku percobaan kejahatan (poging)<br />

pada dasarnya diarahkan untuk melakukan kejahatan (tindak pidana)<br />

yang sempurna, bahwa kemudian setelah sikap batin itu diwujudkan<br />

dalam suatu pelaksanaan, ternyata apa yang telah diniatkan (perbuatan<br />

yang dituju) itu tidak terjadi hal ini adalah persoalan lain, bukan lagi<br />

masuk kepada hal mengenai sikap batin tetapi adalah persoalan apa<br />

sebab sikap batin (niat) semula itu tidak tercapai. 19<br />

Sebagai contoh, dalam suatu niat (kehendak) untuk melakukan<br />

pembunuhan dengan memberikan roti yang mengandung racun kepada<br />

seseorang. Dalam hal ini termasuk juga keinsyafannya bahwa<br />

kemungkinan sekali seluruh penghuni rumah orang yang dikirim roti<br />

tersebut ikut menjadi korban. Kemungkinan orang lain ikut menjadi<br />

korban termasuk pula apa yang disebut sebagai niat (kehendak) pada<br />

syarat percobaan, ini mirip dengan arrest “Kue Tart dari Kota<br />

Hoornse. 20<br />

Hal di atas sesuai pula dengan putusan Hoge Raad tanggal 6<br />

Februari 1951, N.J. 1951 No. 475, m.o. B.V.A.R. yang dikenal dengan<br />

automobilist-arrest yang pada tingkat kasasi telah menyatakan seorang<br />

pengemudi mobil terbukti bersalah telah melakukan suatu percobaan<br />

pembunuhan terhadap seorang anggota polisi, yang kasus posisinya<br />

adalah sebagai berikut: 21<br />

Seorang anggota polisi untuk keperluan pemeriksaan telah<br />

memerintahkan pengemudi mobil tersebut untuk berhenti. Namun<br />

pengemudi itu ternyata tidak mentaati perintah yang diberikan oleh<br />

anggota polisi tersebut, bahkan dengan kecepatan yang tinggi<br />

mengarahkan mobil yang dikendarainya langsung ke arah anggota<br />

polisi tersebut, dan hanya karena anggota polisi tersebut pada saat<br />

yang tepat sempat menyelamatkan dirinya dengan melompat ke<br />

pinggir, maka terhindarlah ia dari kematian.<br />

Menurut Hazewinkel-Suringa dalam Loebby Loqman, Hoge<br />

Raad mempersalahkan pengemudi dengan percobaan pembunuhan,<br />

meskipun secara sepintas mungkin tidak ada rencana untuk membunuh<br />

anggota polisi itu. Tetapi kemungkinan yang diinsyafi (disadari) dapat<br />

18 AndiHamzah,AsasAsasHukumPidana,(Jakarta:RinekaCipta,<br />

1991),hal.84.<br />

19 AdamiChazawi,Op.Cit.,hal.15.<br />

20 LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.16.<br />

21 P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.519.<br />

8


<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

diterima juga sebagai niat. Dalam hal ini niat terwujud dalam sengaja<br />

bersyarat (dolus eventualis) atau disebut juga dengan sengaja berinsyaf<br />

kemungkinan (opzet bij mogelijkheid bewustzinjn). 22<br />

Selain itu ada arrest Hoge Raad lain yang secara jelas juga<br />

menganut paham niat dalam arti luas yaitu arrest HR tanggal 26 Maret<br />

1946, yang kasusnya sebagai berikut: 23<br />

Seorang penumpang kereta api yang membawa barang-barang<br />

selundupan, ketika kereta api sedang bergerak cepat dan barangbarangnya<br />

akan diperiksa ia menendang kondektur yang akan<br />

memeriksanya itu keluar pintu kereta api, tetapi kondektur itu tidak<br />

terjatuh melainkan bergantung dengan berpegang kuat pada pintu kereta<br />

api. Oleh Hoge Raad orang itu dipidana karena bersalah telah<br />

melakukan tindak pidana percobaan pembunuhan. Pada kasus ini<br />

kesengajaan orang tersebut menendang kondektur adalah agar dia<br />

terhindar dari pemeriksaan barang-barang selundupan yang dibawanya,<br />

bukan dengan maksud untuk membunuhnya. Tetapi orang itu seharusnya<br />

memiliki keinsyafan bahwa dengan perbuatannya menendang kondektur<br />

itu memungkinkan ia terjatuh dari kereta api dan berakibat kematiannya.<br />

C. Permulaan Pelaksanaan (Begin van Uitvoering)<br />

1. Permulaan pelaksanaan<br />

Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu<br />

perbuatan, dan ia berada di alam batiniah seseorang. Sangat sulit bagi<br />

seseorang untuk mengetahui apa niat yang ada di dalam hati orang<br />

lain. Niat seseorang akan dapat diketahui jika ia mengatakannya<br />

kepada orang lain. Namun niat itu juga dapat diketahui dari tindakan<br />

(perbuatan) yang merupakan permulaan dari pelaksanaan niat.<br />

Menurut Loebby Loqman, adalah suatu hal yang musykil<br />

apabila seseorang akan mengutarakan niatnya melakukan suatu<br />

kejahatan. Oleh karena itu dalam percobaan, niat seseorang untuk<br />

melakukan kejahatan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan. 24<br />

Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang dapat<br />

dihukum karena melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53<br />

KUHP adalah unsur niat yang ada itu harus diwujudkan dalam suatu<br />

permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering).<br />

22 LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.17.<br />

23 AdamiChazawi,Op.Cit.,hal.14.<br />

24 LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.18.<br />

9


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

Permulaan pelaksanaan sangat penting diketahui untuk<br />

menentukan apakah telah terjadi suatu percobaan melakukan kejahatan<br />

atau belum. Sejak seseorang mempunyai niat sampai kepada tujuan<br />

perbuatan yang dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian<br />

perbuatan. Sehingga dalam hal ini dapat dilihat perbedaan antara<br />

perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan (R. Soesilo<br />

mempergunakan istilah permulaan perbuatan).<br />

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana timbul permasalahan<br />

tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan<br />

(begin van uitvoering). Dalam hal ini apakah permulaan pelaksanaan<br />

harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari niat” ataukah<br />

“permulaan pelaksanaan dari kejahatan”.<br />

Menurut Moeljatno, tidak ada keraguan baik menurut MvT<br />

maupun pendapat para penulis bahwa permulaan pelaksanaan dalam hal<br />

ini adalah merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan. 25<br />

Dalam Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal<br />

53 ayat (1) KUHP, telah diberikan beberapa penjelasan yaitu antara<br />

lain: 26<br />

a. Batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan<br />

percobaan yang telah dapat dihukum itu terdapat diantara apa yang<br />

disebut voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan)<br />

dengan apa yang disebut uitvoeringshandelingen (tindakantindakan<br />

pelaksanaan);<br />

b. Yang dimaksud dengan uitvoeringshandelingen itu adalah<br />

tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan sedemikian<br />

langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan<br />

telah dimulai dengan pelaksanaannya;<br />

c. Pembentuk undang-undang tidak bermaksud menjelaskan lebih<br />

lanjut tentang batas-batas antara uitvoeringshandelingen seperti<br />

dimaksud di atas.<br />

Berdasarkan Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan<br />

Pasal 53 ayat (1) KUHP, dapat diketahui bahwa batas antara percobaan<br />

yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum<br />

itu adalah terletak diantara voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan<br />

persiapan) dengan uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan).<br />

MvT hanya memberikan pengertian uitvoeringshandelingen (tindakantindakan<br />

pelaksanaan) yaitu berupa tindakan-tindakan yang mempunyai<br />

hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk<br />

dilakukan dan telah dimulai pelaksanaannya. Sedangkan pengertian<br />

25 Moeljatno,Op.Cit.,hal.21.<br />

26 P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.528.<br />

10


<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) tidak<br />

diberikan.<br />

Menurut MvT batas yang tegas antara perbuatan persiapan<br />

dengan permulaan pelaksanaan tidak dapat ditetapkan oleh wet (undangundang).<br />

Persoalan tersebut diserahkan kepada Hakim dan ilmu<br />

pengetahuan untuk melaksanakan asas yang ditetapkan dalam undangundang.<br />

27 KUHP tidak ada menentukan kapankah suatu perbuatan itu<br />

merupakan perbuatan persiapan dari kapankah perbuatan itu telah<br />

merupakan permulaan pelaksanaan yang merupakan unsur dari delik<br />

percobaan.<br />

Hal senada juga dikemukakan oleh van Hattum dalam Lamintang,<br />

menurutnya sangat sulit untuk dapat memastikan batas-batas antara<br />

tindakan-tindakan persiapan (perbuatan persiapan) dengan tindakantindakan<br />

pelaksanaan, sebab undang-undang sendiri tidak dapat<br />

dijadikan pedoman. 28<br />

Memang sulit untuk menentukan perbuatan mana dari<br />

serangkaian perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan permulaan<br />

pelaksanaan. Berdasarkan MvT hanya dapat diketahui, permulaan<br />

pelaksanaan (begin van uitvoering) berada diantara tindakan-tindakan<br />

persiapan (voorbereidingshandelingen) dengan tindakan-tindakan pelaksanaan<br />

(uitvoeringshandelingen). Oleh karena itu untuk menentukan perbuatan<br />

mana dari serangkaian perbuatan yang merupakan permulaan<br />

pelaksanaan dapat didasarkan kepada dua teori yaitu teori subjektif<br />

(subjectieve pogingstheori) dan teori objektif (objectieve pogingstheori).<br />

Para penganut paham subjektif menggunakan subjek dari si<br />

pelaksana sebagai dasar dapat dihukumnya seseorang yang melakukan<br />

suatu percobaan, dan oleh karena itulah paham mereka itu disebut<br />

sebagai paham subjektif, sebagai contoh: seseorang yang tidak biasa<br />

berhubungan dengan senjata tajam tiba-tiba pada suatu hari terlihat<br />

sedang mengasah sebuah pisau yang akan digunakannya untuk<br />

membunuh seseorang, dari wujud perbuatannya yang berupa mengasah<br />

pisau ini telah terlihat adanya niat untuk melaksanakan kejahatan yang<br />

berhubungan dengan pisau tersebut, walaupun hubungan antara<br />

perbuatan itu dengan akibat akhirnya masih terlalu jauh atau tindakan<br />

mereka itu tidak mendatangkan bahaya yang begitu besar untuk dapat<br />

menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang.<br />

Para penganut paham objektif menggunakan tindakan dari si<br />

pelaku sebagai dasar peninjauan, dan oleh karena itu paham mereka juga<br />

disebut sebagai paham objektif, contoh: seseorang yang mempunyai<br />

dendam dengan orang lain mengokang pistolnya dan mengarahkan pistol<br />

27 SudartodanWonosutanto,Op.Cit.,hal.17.<br />

28 P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.531.<br />

11


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

itu ke kepala B. Menurut paham objektif perbuatan mengokang pistol<br />

dianggap merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan, sedangkan<br />

menarik pelatuk pistol merupakan perbuatan pelaksanaan kejahatan.<br />

Menurut para penganut paham objektif seseorang yang<br />

melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu dapat<br />

dihukum karena tindakannya bersifat membahayakan kepentingan<br />

hukum, sedangkan menurut penganut paham subjektif seseorang yang<br />

melakukan percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu pantas<br />

dihukum karena orang tersebut telah menunjukkan perilaku yang tidak<br />

bermoral, yang bersifat jahat ataupun yang bersifat berbahaya. 29<br />

Sejak seorang mempunyai niat hingga sampai kepada tujuan<br />

perbuatan yang dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian<br />

perbuatan. Dalam hal ini Loebby Loqman memberikan contoh sebagai<br />

berikut: 30 A mempunyai niat untuk membunuh B, untuk itu ada<br />

serangkaian perbuatan yang dilakukannya, yakni:<br />

1. A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol;<br />

2. A mengisi pistol dengan peluru;<br />

3. A membawa pistol tersebut menuju ke rumah B;<br />

4. A membidikkan pistol ke arah B;<br />

5. A menarik pelatuk pistol, akan tetapi tembakannya meleset<br />

sehingga B masih hidup.<br />

Dari seluruh rangkaian perbuatan tersebut, perbuatan manakah<br />

yang dianggap sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan.<br />

Apakah perbuatan A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol<br />

sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan? Apabila<br />

melihat niatnya, memang perbuatan A pergi ke rumah C untuk<br />

meminjam pistol adalah dalam kaitan pelaksanaan niatnya untuk<br />

membunuh B. Akan tetapi apakah A pergi ke rumah C sudah<br />

dianggap permulaan dari pelaksanaan pembunuhan?<br />

Contoh lain. P adalah seorang pegawai suatu kantor pos. P<br />

berkehendak untuk mencuri pos paket. Untuk itu sewaktu<br />

teman-teman sekerjanya pulang P menyelinap dan bersembunyi<br />

di kamar kecil. Akan tetapi ternyata kepala kantor P masih<br />

belum pulang dan tertangkaplah P. Dari kasus P tersebut,<br />

apakah masuknya P ke kamar kecil sudah dianggap sebagai<br />

permulaan pelaksanaan?<br />

29 P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.531532.<br />

30 LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.1819.<br />

12


<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

2. Teori subjektif<br />

Teori ini didasarkan kepada niat seseorang, sebagaimana yang<br />

disebutkan dalam Pasal 53 KUHP bahwa “...apabila niat itu telah<br />

terwujud dari adanya permulaan pelaksanaan”. Jadi dikatakan sebagai<br />

permulaan pelaksanaan adalah semua perbuatan yang merupakan<br />

perwujudan dari niat pelaku. Apabila suatu perbuatan sudah merupakan<br />

permulaan dari niatnya, maka perbuatan tersebut sudah dianggap<br />

sebagai permulaan pelaksanaan. Pada contoh pertama, A pergi ke rumah<br />

C untuk meminjam pistol, sudah merupakan permulaan dari niatnya<br />

yakni ingin membunuh B. Sehingga A pergi ke rumah C untuk<br />

meminjam pistol sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan<br />

melakukan percobaan membunuh B. Demikian juga dalam contoh<br />

kedua. P masuk ke kamar kecil sudah dianggap sebagai permulaan<br />

pelaksanaan melakukan percobaan pencurian. Karena dengan masuknya<br />

P ke kamar kecil sudah merupakan permulaan pelaksanaan niatnya. 31<br />

Menurut teori subjektif dasar patut dipidananya percobaan<br />

(strafbare poging) itu terletak pada watak yang berbahaya dari si<br />

pembuat. Jadi unsur sikap batin itulah yang merupakan pegangan bagi<br />

teori ini. 32 Ajaran yang subjektif lebih menafsirkan istilah permulaan<br />

pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP sebagai permulaan pelaksanaan dari<br />

niat dan karena itu bertolak dari sikap batin yang berbahaya dari<br />

pembuat dan menamakan perbuatan pelaksanaan: tiap perbuatan yang<br />

menunjukkan bahwa pembuat secara psikis sanggup melakukannya. 33<br />

Menurut van Hamel dalam P.A.F. Lamintang tidak tepat<br />

pemikiran mereka yang mensyaratkan adanya suatu rectstreeks verband<br />

atau suatu hubungan yang langsung antara tindakan dengan akibat,<br />

dimana orang menganggap yang dapat dihukum itu hanyalah tindakantindakan<br />

yang menurut sifatnya secara langsung dapat menimbulkan<br />

akibat. 34 Menurut van Hamel aliran subjektiflah yang benar. Bukan saja<br />

karena aliran ini sesuai dengan nieuwere strafrechtsleer (ajaran hukum<br />

pidana yang lebih baru) yang bertujuan untuk memberantas kejahatan<br />

sampai kepada akarnya, yaitu manusia yang berwatak jahat<br />

(demisdadige mens) akan tetapi juga karena dalam mengenakan pidana<br />

menurut rumus umum (algemene formule) sebagaimana halnya dalam<br />

percobaan, unsur kesengajaan (niat) itulah unsur satu-satunya yang<br />

memberi pegangan kepada kita. Oleh karena kesengajaan (niat) dalam<br />

31 LoebbyLoqman,Op.Cit.,19.<br />

32 SudartodanWonosutanto,Op.Cit.,hal.17.<br />

33 D. Schaffmeister, (et.al.), Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty,<br />

1995),hal.215.<br />

34 P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.534.<br />

13


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

perbuatan percobaan adalah lebih jauh arahnya dari pada bahaya yang<br />

ditimbulkan pada suatu ketika tetapi kemudian menjadi hilang. Dan juga<br />

justru dengan adanya kesengajaan (niat) itu perbuatan terdakwa lalu<br />

menjadi berbahaya, padahal kalau perbuatan dipandang tersendiri dan<br />

terlepas dari hal ikhwal yang mungkin akan timbul sama sekali tidak<br />

berbahaya. Apabila dengan kesengajaan untuk membunuh orang<br />

mengarahkan senapan kepada sasaran, padahal pelatuk senapan tidak<br />

terpasang, maka perbuatan tersebut hanya bersifat berbahaya karena<br />

perbuatan dilakukan oleh orang yang mempunyai kesengajaan (niat)<br />

tadi. Maka menurut van Hamel jika ditinjau dari sudut niat si pembuat,<br />

dikatakan ada perbuatan permulaan pelaksanaan jika dari apa yang telah<br />

dilakukan sudah ternyata kepastiannya niat untuk melakukan kejahatan<br />

tadi. 35 Jan Remmelink 36 menyebutkan bahwa, ajaran subjektif<br />

menyatakan bahwa syarat untuk menjatuhkan pidana adalah ukuran atau<br />

penilaian apakah dalam tindakan pelaksanaan pelaku telah<br />

memanifestasikan niatnya yang berbahaya, yakni ia siap menuntaskan<br />

tindakannya tersebut. Contoh klasik adalah konflik mendalam antara<br />

Jansen dan Pietersen, sebagai berikut: Jansen berniat membunuh<br />

Pietersen. Ia membeli pistol, mengisinya, dan pada larut malam<br />

menungu di tempat gelap sampai Pietersen lewat. Tetapi malam itu<br />

Pietersen sakit gigi dan tidak keluar untuk berjalan-jalan, sehingga<br />

pembunuhan yang sudah direncanakan tidak terjadi. Dalam ajaran<br />

subjektif, kenyataan bahwa pelaku yang mencoba benar-benar atau<br />

secara nyata dapat menuntaskan tindakannya tidaklah bersifat<br />

menentukan. Yang penting adalah anggapan pelaku bahwa ia telah<br />

melakukan tindakan permulaan untuk mewujudkan niatnya tersebut.<br />

Yang relevan adalah adagium voluntas reputabatur pro facto (the intent<br />

is equivalent to the fact).<br />

Untuk melihat dimana letak batas antara perbuatan persiapan<br />

dengan perbuatan permulaan pelaksanaan menurut teori subjektif<br />

diberikan contoh: 37<br />

A hendak membunuh B musuhnya. Untuk hal ini, A melakukan<br />

rangkaian perbuatan sebagai berikut:<br />

a. Suatu hari ia pergi naik taksi menuju pasar;<br />

b. Masuk ke sebuah toko;<br />

c. Di toko itu dia membeli sebuah pedang;<br />

d. Dia kembali ke rumah;<br />

e. Dilihatnya pedang itu tumpul lalu ia mengasah pedang tersebut;<br />

35 Moeljatno,Op.Cit.,hal.22.<br />

36 JanRemmelink,Op.Cit.,hal.290291.<br />

37 AdamiChazawi,Op.Cit.,hal.2122.<br />

14


<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

f. Kemudian disimpannya di dalam lemari;<br />

g. Pada malam harinya dengan membawa pedang itu dia berjalan<br />

menuju rumah calon korban (B);<br />

h. Selanjutnya A mengetuk pintu, dan pintu dibuka oleh isteri B, A<br />

dipersilahkan masuk dan duduk di salah satu kursi;<br />

i. Ketika B masuk ruang tamu dan duduk di kursi, A mencabut<br />

pedang dari balik bajunya;<br />

j. A mengayunkan pedang ke arah leher B namun hanya mengenai<br />

bahu B dan tidak menyebabkan kematian B, lalu isteri B<br />

berteriak meminta pertolongan sehingga A melarikan diri.<br />

Dari rangkaian peristiwa di atas menurut paham subjektif<br />

perbuatan membawa pedang yang telah diasah tajam dapat dinilai telah<br />

menunjukkan adanya niat untuk melakukan pembunuhan pada B, sebab<br />

pada tahap perbuatan itu telah tampak kehendak (niat) untuk<br />

membunuh. Maka dari fakta itu tidak diragukan lagi bahwa perbuatan<br />

A menuju ke rumah B adalah merupakan permulaan pelaksanaan<br />

dari kejahatan, sedangkan rangkaian tingkah laku sebelumnya yaitu<br />

perbuatan dari urutan A sampai dengan F adalah merupakan perbuatan<br />

persiapan.<br />

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori<br />

subjektif dapat dipidananya percobaan, karena niat seseorang untuk<br />

melakukan kejahatan itu dianggap sudah membahayakan kepentingan<br />

hukum. Sehingga niat untuk melakukan kejahatan yang telah<br />

diwujudkan menjadi suatu perbuatan dianggap telah membahayakan.<br />

3. Teori objektif<br />

Teori ini disebut dengan teori objektif karena mencari sandaran<br />

pada objek dari tindak pidana, yaitu perbuatan. Menurut teori ini<br />

seseorang yang melakukan suatu percobaan itu dapat dihukum karena<br />

tindakannya bersifat membahayakan kepentingan hukum.<br />

Ajaran yang objektif menafsirkan istilah permulaan pelaksanaan<br />

dalam Pasal 53 KUHP lebih sebagai permulaan pelaksanaan dari<br />

kejahatan dan karena itu bertolak dari berbahayanya perbuatan bagi<br />

tertib hukum, dan menamakan perbuatan pelaksanaan sebagai tiap<br />

perbuatan yang membahayakan kepentingan hukum. 38 Jika mengacu<br />

kepada contoh kasus yang diberikan oleh Loebby Loqman di atas, dari<br />

contoh pertama peristiwa yang menjadi tujuan A adalah membunuh B.<br />

A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol bukanlah permulaan<br />

pelaksanaan agar orang meninggal dunia. Perbuatan yang paling<br />

mungkin dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dalam teori objektif<br />

38 D.Schaffmeister,(et.al.),Op.Cit.,hal.216.<br />

15


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

dalam kasus ini adalah pada saat A menarik pelatuk pistol untuk<br />

membunuh B. Demikian pula pada kasus P. P menyelinap ke kamar<br />

kecil bukanlah permulaan pelaksanaan terhadap perbuatan yang<br />

diniatkan. Perbuatan yang diniatkan adalah mencuri. Unsur utama dari<br />

mencuri adalah mengambil, yaitu apabila seseorang telah menjulurkan<br />

tangannya untuk mengangkat/memindahkan suatu barang. Oleh karena<br />

itu menurut teori objektif P dianggap belum melakukan perbuatan yang<br />

dianggap sebagai permulaan pelaksanaan. 39<br />

Menurut Simons, pendapat dari para penganut paham subjektif<br />

itu adalah tidak tepat, dengan alasan bahwa paham tersebut telah<br />

mengabaikan syarat tentang harus adanya suatu permulaan pelaksanaan<br />

untuk melakukan kejahatan dan telah membuat segala sesuatunya<br />

menjadi tergantung pandangan yang bersifat subjektif hakim. 40<br />

Pendapat Hoge Raad tentang hal permulaan pelaksanaan (begin<br />

van uitvoering) ini dapat dilihat di arrest tanggal 7 Mei 1906, W. 8372,<br />

yang menyatakan bahwa perkataan “begin van uitvoering” di dalam<br />

Pasal 53 ayat (1) KUHP itu terutama harus dihubungkan dengan<br />

uitvoering van hetmisdrijf (pelaksanaan dari kejahatannya itu sendiri),<br />

sehingga perkataan “permulaan pelaksanaan” itu terutama harus<br />

diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari perbuatan untuk<br />

melakukan kejahatan”. 41 Perkataan “permulaan pelaksanaan” itu bukan<br />

berarti hanya ditujukan kepada “pelaksanaan dari maksud jahat si<br />

pelaku”. Perkataan tersebut terutama harus dihubungkan dengan<br />

“pelaksanaan dari kejahatan” itu. Perbedaan antara “permulaan<br />

pelaksanaan dari maksud si pelaku” dengan “permulaan pelaksanaan<br />

dari kejahatannya itu sendiri” sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang<br />

terlalu jauh (besar), karena “permulaan pelaksanaan dari maksud untuk<br />

melakukan kejahatan” itu kadang-kadang jatuh pada waktu yang<br />

bersamaan dengan “permulaan pelaksanaan dari kejahatannya itu<br />

sendiri” 42<br />

Jan Remmelink 43 menyebutkan, bahwa Hoge Raad memilih<br />

berpihak kepada objektif. Istilah “van uitvoering” di dalam Pasal 53<br />

KUHP ditafsirkan dalam kaitan dengan kejahatan itu sendiri, dan bukan<br />

seperti kerap dikesankan pada niat pelaku. Menurut Yurisprudensi HR,<br />

pada dasarnya “van uitvoering” dapat dirangkum dalam satu rumusan:<br />

39 LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.2021.<br />

40 P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.534.<br />

41 Ibid.,hal.538.<br />

42 P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana<br />

Indonesia,(Bandung:SinarBaru,1983),hal.36.<br />

43 JanRemmelink,Op.Cit.,hal.291292.<br />

16


<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

tindakan tersebut harus terwujud sedemikian rupa sehingga penuntasan<br />

tindakan itu merupakan suatu kemungkinan konkret.<br />

Sebagian besar dari arrest Hoge Raad yang berkenaan dengan<br />

percobaan yang dapat dihukum sebagaimana yang dimaksud dalam<br />

Pasal 53 KUHP itu sangat dipengaruhi oleh pendapat Simons. Ajaranajaran<br />

Simons mengenai percobaan yang dapat dihukum yang<br />

mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap pandangan (pendapat)<br />

para anggota Hoge Raad antara lain: 44<br />

a. Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh<br />

undang-undang telah dirumuskan secara formil, suatu<br />

permulaan pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan<br />

dianggap telah terjadi yaitu segera setelah kejahatan tersebut<br />

mulai dilakukan oleh pelakunya. Ajaran ini telah dianut oleh<br />

Hoge Raad dalam arrest tanggal 8 Maret 1920, N.J. 1920<br />

halaman 458, W. 10554 yang menyatakan antara lain: perbuatan<br />

menawarkan untuk dibeli dan perbuatan menghitung uang<br />

kertas yang telah dipalsukan di depan orang lain dengan maksud<br />

untuk melakukan suatu pemalsuan, menurut arrest ini<br />

merupakan suatu permulaan dari tindakan pemalsuan yang<br />

dapat dihukum;<br />

b. Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh<br />

undang-undang telah dirumuskan secara materil, suatu percobaan<br />

yang dapat dihukum dianggap telah terjadi yaitu segera setelah<br />

tindakan yang dilakukan oleh pelakunya itu, menurut sifatnya<br />

langsung dapat menimbulkan akibat yang terlarang oleh<br />

undang-undang, tanpa pelakunya tersebut harus melakukan<br />

suatu tindakan yang lain. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge<br />

Raad yaitu antara lain dalam arrest yang terkenal tanggal 19<br />

Maret 1934, N.J. 1934 halaman 450, W. 12731, yang dikenal<br />

dengan Eindhovense Brandstichting-arrest atau arrest<br />

pembakaran rumah di kota Endhoven;<br />

c. Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh<br />

undang-undang telah ditentukan bahwa untuk melakukan delikdelik<br />

tersebut harus dipergunakan alat atau cara-cara tertentu,<br />

ataupun dimana penggunaan alat atau cara-cara semacam itu<br />

oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai unsur yang<br />

memberatkan hukuman, maka suatu percobaan yang dapat<br />

dihukum untuk melakukan delik-delik seperti itu dianggap telah<br />

terjadi, yaitu segera setelah pelakunya menggunakan alat atau<br />

cara yang bersangkutan untuk melakukan kejahatannya. Ajaran<br />

ini telah dianut oleh Hoge Raad yaitu sebagaimana yang dapat<br />

44 Ibid.,hal.539542.<br />

17


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

kita lihat antara lain di dalam arrest-arrest-nya masing-masing:<br />

tanggal 12 Januari 1891, W. 5990, tanggal 4 April 1932, N.J.<br />

1932 halaman 786, W. 12515, tanggal 9 Juni 1941, N.J. 1941<br />

No. 883 yang pada dasarnya mengatakan bahwa: pembongkaran,<br />

perusakan, atau pembukaan dengan kunci-kunci palsu dan<br />

pemanjatan itu merupakan permulaan pelaksanaan kejahatan<br />

pencurian dengan pemberatan.<br />

Dan di dalam arrest-arrest-nya masing-masing tanggal 20<br />

Januari 1919, N.J. 1919 halaman 269, W. 10389, dan tanggal 19<br />

Mei 1919, N.J. 1919 halaman 634, W. 10424 yang pada<br />

dasarnya menyatakan bahwa: pencurian dengan perusakan itu<br />

merupakan suatu kejahatan. Dengan merusak penutup sebuah<br />

rumah, dimulailah sudah pelaksanaan pencurian tersebut. Dalam<br />

hal ini telah terjadi suatu percobaan untuk melakukan suatu<br />

pencurian dengan perusakan.<br />

Loebby Loqman dalam bukunya <strong>Percobaan</strong>, Penyertaan dan<br />

Gabungan Tindak Pidana memberikan beberapa contoh kasus tentang<br />

penentuan permulaan pelaksanaan menurut perspektif teori objektif:<br />

1. Eindhovense Brandstichting arrest, kasus posisinya adalah<br />

sebagai berikut: 45<br />

A dan B bersepakat dengan C untuk membakar rumah C guna<br />

mendapatkan santunan asuransi. Sementara C bepergian ke<br />

luar kota, A dan B membuat sumbu panjang dari kain-kain<br />

bekas yang telah disiram bensin dan menaruhnya di seluruh<br />

rumah. Sumbu tersebut dihubungkan dengan pemantik kompor gas<br />

yang disambung dengan tali sedemikian rupa, sehingga nantinya<br />

hanya dengan menarik tali dari luar rumah, akan terjadi api yang<br />

akan membakar sumbu yang telah dipersiapkan. Sementara<br />

menunggu malam hari untuk melaksanakannya, A dan B<br />

meninggalkan rumah tersebut.<br />

Sementara A dan B meninggalkan rumah itu, para tetangga yang<br />

melewati rumah tersebut mencium bau bensin yang menusuk hidung,<br />

sehingga mereka curiga dan memberitahukan kepada polisi. Pada<br />

saat A dan B datang untuk melaksanakan pembakaran,<br />

dilihatnya telah banyak orang sehingga mereka melarikan<br />

diri. Namun akhirnya perkara tersebut sampai ke pengadilan<br />

dengan tuduhan mencoba melakukan pembakaran.<br />

Jika diperinci, maka perbuatan-perbuatan terdakwa dapat<br />

diperinci menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah perbuatan<br />

membuat rumah siap bakar, sedangkan tahap berikutnya<br />

<br />

45 LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.2527.<br />

18


<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

menarik tali pemantik kompor gas untuk pembakaran rumah<br />

tersebut. Persoalan dalam kasus ini adalah apakah telah ada<br />

perbuatan yang dianggap sebagai permulaan pelaksanaan,<br />

ataukah baru merupakan persiapan pelaksanaan untuk melakukan<br />

pembakaran rumah.<br />

Ternyata Hoge Raad tidak memasukkan kasus ini sebagai<br />

percobaan melakukan pembakaran. Jadi bukan merupakan<br />

percobaan. MvT menyerahkan penentuan perbuatan yang<br />

merupakan permulaan pelaksanaan kepada praktik, sehingga<br />

dalam hal ini Hoge Raad dimungkinkan untuk mencari<br />

pertimbangan dalam tiap kasus tentang apa yang dimaksud<br />

dengan permulaan pelaksanaan dalam suatu percobaan.<br />

Adapun pertimbangan Hoge Raad bahwa kasus tersebut<br />

dianggap bukan sebagai permulaan pelaksanaan adalah:<br />

(1) Perbuatan yang telah dilakukan A dan B bukan hanya<br />

merupakan kemungkinan untuk pembakaran rumah tersebut,<br />

ada kemungkinan untuk perbuatan-perbuatan lain kecuali<br />

pembakaran rumah;<br />

(2) Perbuatan A dan B lebih bersifat sebagai perbuatan<br />

persiapan pelaksanaan, dan bukan permulaan pelaksanaan<br />

seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 KUHP;<br />

(3) Perbuatan yang dimaksud sebagai permulaan pelaksanaan<br />

seharusnya merupakan suatu perbuatan yang tidak<br />

diperlukan lagi adanya suatu tindakan lanjutan dari<br />

pelakunya. Tindakan menarik tali sam-bungan dari<br />

pemantik kompor gas, dianggap merupakan tindak lanjut<br />

dari pelaku, yang semestinya tindakan menarik tali<br />

tersebut tidak perlu ada dalam perbuatan permulaan<br />

pelaksanaan (dalam hal ini permulaan pelaksanaan<br />

dianggap ada jika A atau B menarik tali tersebut);<br />

(4) Mungkin saja dalam kasus ini terjadi hal-hal yang tidak<br />

terduga sehingga pembakaran tidak akan terjadi,<br />

umpamanya:<br />

- Pemantik kompor gas menjadi macet;<br />

- Sumbu yang diberi bensin tidak mau menyala;<br />

- Api tidak merambat, meskipun sebagian sumbu telah<br />

menyala;<br />

- Ada yang menepiskan tangan sewaktu tangan itu sedang<br />

akan menarik tali.<br />

Apabila diperhatikan ternyata dalam kasus di atas Hoge Raad<br />

lebih menggunakan teori objektif, dengan menyebutkan alasan<br />

yang pertama (1) di atas. Di samping itu juga menyebutkan<br />

19


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

bahwa apa yang dilakukan A dan B merupakan persiapan<br />

pelaksanaan (2) seperti yang dianut dalam teori objektif. Alasan<br />

(3) dan (4) Hoge Raad malah memberikan contoh-contoh<br />

tentang kapan suatu perbuatan dianggap sebagai permulaan<br />

pelaksanaan.<br />

2. Hammer Arrest (Kasus Palu) yaitu putusan Hoge Raad tanggal<br />

21 Mei 1951, N.J. 1951, 480 yang kasus posisinya sebagai<br />

berikut: 46<br />

A seorang pria yang menjalin hubungan asmara dengan B<br />

seorang wanita yang telah bersuami, yakni C. A dan B<br />

bersepakat untuk membunuh C dengan jalan akan memukul C<br />

pada waktu C tidur, dan setelah C pingsan akan<br />

menempatkannya di dapur dan akan dibuka saluran gas di<br />

dapur, sehingga C akan meninggal karena keracunan gas. Pada<br />

suatu malam yang telah ditentukan, B memberikan kunci rumah<br />

kepada A sehingga A dapat masuk ke rumah B dan selanjutnya<br />

masuk ke kamar tidur, A menghempaskan palu ke arah kepala<br />

namun tidak mengenai kepala C, karena kebetulan C menggeser<br />

badannya/kepalanya pada saat yang tepat. C terbangun dan<br />

melakukan perlawanan. A memukul C beberapa kali dan<br />

melarikan diri dari rumah tersebut.<br />

Dalam tingkat kasasi terdakwa mengutarakan bahwa,<br />

pertimbangan Pengadilan Tinggi yang menyatakan perbuatan A<br />

dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dalam suatu niat untuk<br />

pembunuhan adalah tidak tepat. Karena dianggap rencana<br />

pembunuhannya adalah dengan cara menempatkan korban di<br />

dapur dan saluran gas akan dibuka agar korban meninggal<br />

karena keracunan, bukan dengan memukul palu.<br />

Dalam perkara tersebut Hoge Raad ternyata memutuskan bahwa<br />

apa yang dilakukan terdakwa telah dianggap sebagai permulaan<br />

pelaksanaan. Apabila seseorang dengan pertimbangan yang<br />

masak dan dengan tenang sebelumnya untuk melakukan<br />

pembunuhan, apalagi sebelumnya telah dipersiapkan pemukul<br />

dan masuk ke rumah korban dengan kunci yang telah<br />

dipersiapkan sebelumnya, lalu masuk ke kamar tidur, hal itu<br />

sudah merupakan perwujudan dari pembunuhan yang diniati.<br />

Telah direncanakan sebelumnya ada dua tahap dalam<br />

melaksanakan pembunuhan. Yang pertama adalah memukul<br />

korban hingga pingsan, tahap kedua adalah menempatkan<br />

<br />

46 Ibid.,hal.2729.<br />

20


<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

korban di dapur, membuka selang gas, sehingga korban akan<br />

meninggal karena keracunan gas. Dengan demikian tahap<br />

pertama sudah dianggap sebagai perbuatan permulaan<br />

pelaksanaan dari perbuatan yang diniati.<br />

Apabila dibandingkan antara putusan perkara Eindhovense<br />

Brandstichting dan Kasus Palu, terhadap kedua-duanya dipakai teori<br />

objektif. Namun dalam perkara Eindhovense Brandstichting perbuatan<br />

tahap pertama yaitu perbuatan rumah siap dibakar dianggap belum<br />

merupakan perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan.<br />

Sedangkan dalam kasus Palu perbuatan tahap pertama yaitu pemukulan<br />

dengan palu agar korban jatuh pingsan, dianggap telah merupakan<br />

perwujudan dari perbuatan yang diniatinya.<br />

Dengan demikian Hoge Raad dalam kedua putusannya itu<br />

telah memakai teori objektif, meskipun dengan menggunakan<br />

rumusan yang disesuaikan dengan keadaan yang konkrit. Jika<br />

dibandingan kasus Eindhovense Brandstichting dan kasus palu ini<br />

digambarkan dalam suatu bagan pertahapan akan terlihat seperti<br />

berikut ini: 47<br />

Putusan Tahap I Tahap II<br />

Pembakaran 1934 Membuat rumah siap bakar Menarik tali<br />

(belum)<br />

Kasus Palu 1951 Memukul pingsan<br />

dengan martil<br />

Meracuni di dapur<br />

Keterangan:<br />

Hoge Raad memutuskan:<br />

- dalam tahun 1934: tahap I belum permulaan pelaksanaan<br />

- dalam tahun 1951: tahap I sudah permulaan pelaksanaan.<br />

Khusus terhadap arrest Hoge Raad dalam Eindhovense<br />

Brandstichting, mendapat tantangan dari beberapa penulis. Menurut van<br />

Bemmelen berdasarkan putusan Hoge Raad terhadap kasus Eindhovense<br />

Brandstichting itu, tidak dapat diragukan lagi bahwa objectieve<br />

pogingsleer (paham objektif dan paham subjektif) telah dilaksanakan<br />

secara menyimpang sehingga keluar dari batas-batas semestinya.<br />

Walaupun cara memandang suatu masalah oleh kedua paham (paham<br />

objektif dan paham subjektif) itu berbeda, tetapi dalam memecahkan<br />

masalah apakah seseorang dapat dihukum atau tidak seharusnya<br />

jawabannya mengarah kepada hasil yang sama. 48<br />

47 D.Schaffmeister,(et.al.),Op.Cit.,hal.221.<br />

48 P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.543.<br />

21


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

Dalam perkembangan selanjutnya Hoge Raad telah memperlunak<br />

syarat zonder enig nader ingrijpen van de dader (tanpa suatu tindakan<br />

yang lain dari si pelaku), dalam peristiwa-peristiwa pembakaran seperti<br />

yang dimaksud di atas, yaitu dengan mempertimbangkan bahwa<br />

perbuatan mencoba menarik ujung tali semacam itu dapat dianggap<br />

sebagai suatu begin van uitvoerings-handelingen (permulaan pelaksanaan)<br />

yang telah dapat dihukum. 49<br />

Loebby Loqman dalam hal ini juga menyatakan bahwa dalam<br />

perkembangan yang terjadi di Belanda, ternyata didapati teori objektif<br />

yang diperlunak (gematigd objectieveleer), yakni dalam kasus Cito,<br />

yang kasus posisinya adalah sebagai berikut: 50<br />

Dua orang bertopeng dan bersenjata dengan membawa tas<br />

menuju ke Biro Penyiaran Cito dengan maksud melakukan<br />

perampokan. Mereka membunyikan bel akan tetapi pintu tidak<br />

dibuka. Pada saat itu mereka ditangkap. Dalam putusan Hoge Raad<br />

bulan Oktober 1978, N.J., 1979-52 memberikan pertimbangan bahwa<br />

perbuatan tersebut merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan.<br />

Karena menurut bentuk perwujudannya harus dipandang sebagai<br />

diarahkan untuk menyelesaikan kejahatan pencurian dengan<br />

kekerasan. Jadi dalam hal ini telah terjadi percobaan yang dapat<br />

dipidana yaitu kejahatan dari Pasal 365 KUHP, pencurian dengan<br />

kekerasan.<br />

Van Veen dalam D. Schaffmeister, (et.al) memberikan catatan<br />

tentang putusan ini, bahwa pada delik yang dikualifikasikan lebih<br />

banyak terdapat permulaan pelaksanaan daripada delik pokoknya. Delik<br />

yang dikualifikasi didahului oleh bayangannya, dengan kata lain<br />

bersenjata, bertopeng, dan membunyikan bel adalah permulaan<br />

pelaksanaan dari suatu kejahatan pencurian dengan kekerasan, tetapi<br />

jika tidak bersenjata, tidak bertopeng dan membunyikan bel dianggap<br />

bukan sebagai permulaan pelaksanaan dari pencurian biasa. Menurut<br />

bentuk perwujudannya dari luar mengebel demikian belum tentu tertuju<br />

pada penyelesaian kejahatan. 51<br />

Jika melihat contoh dari Adami Chazawi seperti telah<br />

disebutkan di atas, dalam pandangan obyektif, dalam hal menetapkan<br />

wujud perbuatan mana yang berupa permulaan pelaksanaan, dengan<br />

melihat dari proses atau tata urutan dalam melakukan kejahatan.<br />

Berdasarkan pada tata urutan ini, maka untuk menyelesaikan kejahatan,<br />

ada dua perbuatan berurutan yang harus dilakukan, yaitu permulaan<br />

pelaksanaan (begin van uitvoering) dan yang kedua perbuatan<br />

49 Ibid.,hal.544.<br />

50 LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.2930.<br />

51 D.Schaffmeister,(et.al.),Op.Cit.,hal.226.<br />

22


<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

pelaksanaan (uitvoeringshandelingen). Menurut pandangan obyektif ada<br />

dua perbuatan yang dipandang telah membahayakan kepentingan<br />

hukum atas nyawa korban, ialah perbuatan mencabut pedang dari balik<br />

bajunya, dan kedua perbuatan mengayunkan pedang ke arah tubuh<br />

korban. Perbuatan mencabut pedang dari balik bajunya telah bisa<br />

dianggap merupakan permulaan pelaksanaan dari pembunuhan.<br />

Sedangkan perbuatan mengayunkan pedang ke arah tubuh korban,<br />

adalah perbuatan pelaksanaan. Ukuran perbuatan pelaksanaan ialah<br />

berupa perbuatan satu-satunya untuk menyelesaikan kejahatan itu, oleh<br />

sebab itu hubungannya sangat erat dan langsung dengan kejahatan.<br />

Ukuran ini sesuai dengan yang dianut dalam praktik hukum, baik di<br />

Belanda maupun di Hindia Belanda, yang untuk lebih jelasnya akan<br />

dibicarakan di belakang. 52<br />

Menurut van Bemmelen dalam P.A.F. Lamintang, kedua<br />

metode baik metode objektif maupun metode subjektif, jika<br />

diberlakukan secara terlalu kaku akan menjurus kepada ketidakbenaran.<br />

Karena paham subjektif itu telah mengartikan hubungan kausal secara<br />

terlalu luas, sehingga seseorang telah dapat dihukum sebagai seorang<br />

pelaku atau dalam masalah poging sebagai orang yang telah melakukan<br />

percobaan. Padahal hubungan antara tindakan mereka dengan akibat<br />

akhirnya itu terlalu jauh atau tindakan mereka itu tidak mendatangkan<br />

bahaya yang begitu besar untuk dapat menimbulkan suatu akibat itu.<br />

Sebaliknya paham objektif murni tidak akan menghukum mereka yang<br />

telah menunjukkan adanya sifat berbahaya dan telah diwujudkan dengan<br />

tindakan-tindakan nyata. Dalam hal ini van Bemmelen memberikan<br />

contoh seperti kasus Eindhovense Brandstichting. 53<br />

Sebagai contoh umpamanya A ingin membunuh B, ternyata A<br />

dan B ini berada di kota yang berbeda. Untuk melakukan pembunuhan<br />

A harus membeli karcis kereta api menuju ke kota dimana B bertempat<br />

tinggal. Dalam hal ini apakah perbuatan A membeli karcis kereta api<br />

sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan? Perbuatan membeli<br />

karcis merupakan perbuatan yang masih jauh dari kejahatan yang<br />

menjadi niat A, yaitu membunuh B, tetapi jelas ada hubungannya<br />

dengan niat A tersebut. 54<br />

Oleh karena itu menurut van Bemmelen dalam P.A.F.<br />

Lamintang, perlu adanya suatu tussenopvatting (paham antara) diantara<br />

paham subjektif dan paham objektif, yang memandang suatu<br />

uitvoeringshandelingen (tindakan pelaksanaan) itu sebagai tindakan<br />

yang mendatangkan bahaya bagi kemungkinan timbulnya akibat yang<br />

52 AdamiChazawi,Op.Cit.,hal.2324.<br />

53 P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.543.<br />

54 LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.22.<br />

23


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

tidak dikehendaki oleh undang-undang. Bahaya yang dimaksud itu<br />

haruslah dianggap telah ada yaitu jika pelakunya telah menciptakan<br />

sejumlah keadaan yang menurut pengalaman manusia, tanpa masih<br />

diperlukan lebih banyak hal yang lain, dapat menimbulkan keadaan<br />

yang lain lagi. Jika sejumlah keadaan telah tercipta, dimana keadaan<br />

semacam itu telah menimbulkan suatu bahaya bagi kemungkinan<br />

timbulnya keadaan yang lain, maka sebenarnya tindakan seorang pelaku<br />

itu telah mencapai suatu tingkat tertentu dimana tindakannya itu telah<br />

dapat disebut sebagai suatu uitvoeringshandelingen atau tindakan<br />

pelaksanaan. 55<br />

4. Teori gabungan<br />

Selain teori sujektif dan teori objektif, dikenal juga teori<br />

gabungan, yang mencoba menggabungkan dua pandangan yang berbeda<br />

itu. Salah seorang ahli yang mempunyai pandangan seperti ini adalah Lange<br />

Meyer. Lange Meyer dalam Sudarto dan Wonosutanto 56 menyebutkan bahwa,<br />

patut dipidananya perbuatan adalah bila memenuhi syarat yaitu sikap<br />

batin yang berbahaya dan sikap perbuatan yang berbahaya. Namun<br />

karena pelaksanaan dari pandangan Lange Meyer ini menemui<br />

kesukaran pada kenyataannya, maka tidak mengherankan apabila<br />

pandangan ini cenderung pada teori objektif semata-mata.<br />

5. Permulaan pelaksanaan menurut Moeljatno 57<br />

Moeljatno tidak setuju dengan pandangan teori subjektif yang<br />

didukung oleh van Hamel maupun teori objektif yang didukung oleh<br />

Simons tentang permulaan pelaksanaan.<br />

Menurut Moeljatno bahwa, sebelum dapat menentukan apakah<br />

yang dilakukan oleh terdakwa sudah merupakan permulaan pelaksanaan<br />

atau belum, tentunya harus ditetapkan lebih dulu, permulaan<br />

pelaksanaan dari kejahatan apa? Sebab adalah wajar, bahwa permulaan<br />

pelaksanaan dari pembunuhan misalnya, adalah lain sekali dengan<br />

permulaan pelaksanaan dari pencurian. Oleh karena itu, untuk<br />

mengetahui permulaan pelaksanaan dari kejahatan apa, perlu menarik<br />

unsur yang pertama, yaitu niat. Jadi lengkapnya adalah permulaan<br />

pelaksanaan dari kejahatan yang diniatkan atau yang dituju. Sebab isi<br />

niat ini harus ternyata dari perbuatan-perbuatan atau apa yang telah<br />

dilakukan. Sehingga isinya niat dan adanya permulaan pelaksanaan dari<br />

55 P.A.F.Lamintang,Op.Cit.543544.<br />

56 SudartodanWonoSutanto,Op.Cit.,hal.18.<br />

57 Moeljatno,Op.Cit.,hal.2829.<br />

24


<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

kejahatan yang dituju berhubungan erat sekali bahwa yang satu tak bisa<br />

ditentukan terlepas dari yang lain. Di situ ada hubungan timbal-balik.<br />

Menurut Moeljatno pada permulaan pelaksanaan dari delik yang<br />

dituju, juga perbuatannya (batas antara persiapan dan pelaksanaan)<br />

harus memenuhi tiga syarat. Syarat pertama dan kedua diambil dari<br />

rumusan percobaan, yang dapat dipidana menurut Pasal 53 KUHP,<br />

sedangkan syarat yang ketiga diambil dari sifat tiap-tiap delik, yaitu<br />

sebagai berikut:<br />

a. Secara obyektif, apa yang telah dilakukan terdakwa harus<br />

mendekatkan kepada delik yang dituju. Atau dengan kata lain,<br />

harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut;<br />

b. Secara subyektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada<br />

keraguan lagi, bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu,<br />

ditujukan atau diarahkan pada delik yang tertentu tadi;<br />

c. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa merupakan<br />

perbuatan yang bersifat melawan hukum.<br />

Oleh karena delik yang dituju tidak diketahui lebih dahulu<br />

bahkan harus ditetapkan antara lain dengan mengingat perbuatan yang<br />

telah dilakukan, maka istilah permulaan pelaksanaan dalam pasal 53<br />

KUHP tak mungkin mempunyai arti yang tetap. Karenanya juga tak<br />

mungkin dipakai pegangan untuk menentukan, apakah sudah ada<br />

percobaan yang dapat dipidana atau belum. Untuk ini (yaitu untuk<br />

menentukan delik yang dituju) diperlukan adanya bukti-bukti di luar<br />

wet.<br />

D. Pelaksanaan Tidak Selesai Bukan Disebabkan Kehendak<br />

Pelaku<br />

Syarat ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan<br />

percobaan menurut KUHP adalah pelaksanaan itu tidak selesai bukan<br />

semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku.<br />

Dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan jika seseorang<br />

yang semula telah berkeinginan untuk melakukan suatu tindak pidana<br />

dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu bentuk perbuatan<br />

permulaan pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh sesuatu hal yang timbul<br />

dari dalam diri orang tersebut yang secara sukarela mengundurkan diri<br />

dari niatnya semula. Tidak terlaksananya tindak pidana yang hendak<br />

dilakukannya itu bukan karena adanya faktor keadaan dari luar diri<br />

orang tersebut, yang memaksanya untuk mengurungkan niatnya semula.<br />

25


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi 58 menyebutkan bahwa, yang tidak<br />

selesai itu adalah kejahatan, atau kejahatan itu tidak terjadi sesuai dengan<br />

ketentuan dalam undang-undang, atau tidak sempurna memenuhi unsurunsur<br />

dari kejahatan menurut rumusannya. Dengan kata lain niat petindak<br />

(pelaku) untuk melaksanakan kejahatan tertentu yang sudah dinyatakan dengan<br />

tindakannya terhenti sebelum sempurna terjadi kejahatan itu. Dapat<br />

juga dikatakan bahwa tindakan untuk merugikan sesuatu kepentingan<br />

hukum yang dilindungi oleh undang-undang hukum pidana itu terhenti<br />

sebelum terjadi kerugian yang sesuai dengan perumusan undangundang.<br />

Keadaan di luar kehendak pelaku maksudnya adalah, setiap<br />

keadaan baik badaniah (fisik) maupun rohaniah (psikis) yang datangnya<br />

dari luar yang menghalangi atau menyebabkan tidak sempurna<br />

terselesaikan kejahatan itu. Keadaan fisik dalam hal pembunuhan yang<br />

hendak dilakukan oleh A terhadap B misalnya:<br />

- Pada saat A membidikkan pistolnya, tangan A dipukul oleh C;<br />

- Teh beracun yang disediakan A ketika hendak diminum oleh B,<br />

mendadak diserbu oleh seekor kucing, sehingga tumpah;<br />

- Tembakan yang mengenai B, hanya mengakibatkan luka ringan,<br />

atau B tidak apa-apa karena tembakannya meleset. 59<br />

Selanjutnya disebutkan bahwa, keadaan-keadaan psikis<br />

misalnya pada saat ia hendak menembakkan pistolnya, ia merasa takut<br />

karena jangan-jangan di sekitarnya itu ada petugas hukum yang akan<br />

memergoki perbuatannya. Keadaan itu bukan hanya tindakan manusia<br />

saja, tetapi juga perbuatan makhluk lainnya, maupun karena peristiwa<br />

alam. Bahkan keadaan psikis yang datangnya dari luar, sehingga tidak<br />

terselesaikan hal itu berada di luar kehendak pelaku. Rasa takut sebagai<br />

penyebab tidak diselesaikannya tindakan itu dalam hukum pidana<br />

dianggap sebagai keadaan yang berada di luar kehendak petindak.<br />

Tetapi apakah rasa takut itu selalu dapat dianggap sebagai pemenuhan<br />

syarat ketiga dari percobaan yang dengan demikian dapat dipidana,<br />

adalah tergantung kepada sampai dimana rasa takut itu telah<br />

mempengaruhi pelaku, yang menyebabkan dia tidak meneruskan<br />

tindakannya itu. Kalau misalnya rasa takut itu telah mempengaruhi,<br />

yang karenanya ia mengurungkan niatnya dengan sukarela, maka<br />

percobaan tidak terjadi. Tegasnya tenggang waktu yang masih dapat<br />

dibenarkan untuk menyatakan rasa penyesalan dihubungkan dengan<br />

58 E.Y.KanterdanS.R.Sianturi,AsasAsasHukumPidanadiIndonesia<br />

danPenerapannya,(Jakarta:AlumniAHMPTHM,1982),hal.324.<br />

59 Ibid.<br />

26


<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

syarat kedua dan ketiga, harus selalu menjadi perhatian dan menilainya<br />

secara kasuistis pada setiap kejadian. 60<br />

Penggunaan istilah semata-mata, perlu diperhatikan pula. Hal<br />

ini berarti meskipun pengurungan niat atau tidak meneruskan<br />

pelaksanaan tindakan tersebut secara sukarela dan karena penyesalan,<br />

tetapi disertai dengan perasaan takut, maka dalam hal seperti ini pelaku<br />

tetap masih dapat dipidana karena percobaan. 61<br />

Dalam hal ini ada kesulitan untuk menentukan apakah memang<br />

benar tidak selesainya perbuatan yang dikehendaki itu berasal dari<br />

kehendak pelaku dengan sukarela. Suatu hal yang dapat dilakukan<br />

dalam pembuktian adalah dengan menentukan keadaan apa yang<br />

menyebabkan tidak selesainya perbuatan itu. Apakah tidak selesainya<br />

perbuatan itu karena keadaan yang terdapat di dalam diri si pelaku yang<br />

dengan sukarela mengurungkan niatnya itu atau karena ada faktor lain di<br />

luar dari dalam diri si pelaku yang mungkin menurut dugaan atau<br />

perkiraannya dapat membahayakan dirinya sehingga memaksanya untuk<br />

mengurungkan niatnya itu. Berkaitan dengan hal ini Loebby Loqman<br />

memberikan contoh sebagai berikut: 62<br />

1. Putusan Pengadilan Arnhem tanggal 31 Juli 1951. N.J. 1952<br />

No. 670 tentang percobaan pembunuhan atau percobaan<br />

penganiayaan berat.<br />

A pada tanggal 5 Mei 1951 ingin membunuh B. Untuk itu A<br />

dengan menarik pisau yang telah dipersiapkan memasuki<br />

ruangan dimana B pada waktu itu berada. Dengan berjalan<br />

membungkuk dan dengan pisau di tangan A menuju ke arah B<br />

berada. Akan tetapi perbuatan A sempat ditahan oleh beberapa<br />

orang yang berada di dalam ruangan, sedangkan B lari<br />

meninggalkan ruangan tersebut.<br />

Terdakwa dalam kasus di atas dituduh melakukan percobaan<br />

pembunuhan, dan subsidair melakukan percobaan penganiayaan<br />

berat. Dalam surat dakwaan dikatakan bahwa tidak selesainya<br />

pembunuhan atau penganiayaan berat oleh karena “setidaktidaknya<br />

hanya karena satu atau lebih keadaan di luar<br />

kehendaknya”.<br />

Terdakwa dalam pembelaannya mengatakan sebenarnya orang<br />

yang hadir pada saat perbuatan dilakukan bukanlah sebagai<br />

penyebab tidak terlaksananya kejahatan yang semula<br />

dikehendakinya. Akan tetapi yang menyebabkan tidak selesainya<br />

60 Ibid.,hal.325.<br />

61 Ibid.<br />

62 LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.31.<br />

27


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

kejahatan itu karena A melihat adanya perubahan wajah B pada<br />

saat itu dan karena jeritan orang banyak sehingga A tidak “tega”<br />

meneruskan perbuatan yang dikehendakinya semula.<br />

Meskipun demikian Pengadilan Arnhem dalam pertimbangannya<br />

memberikan putusan bahwa kasus tersebut tetap sebagai<br />

percobaan. Pengunduran diri dalam kasus di atas meskipun ada<br />

faktor yang datang dari dalam diri pelaku, akan tetapi kadangkadang<br />

dari luar memaksanya untuk mengundurkan diri.<br />

2. Adakalanya bahwa seseorang tidak mempunyai kesempatan lagi<br />

untuk mengundurkan diri dari niatnya secara sukarela. <strong>Percobaan</strong><br />

seperti ini disebut sebagai voltooide, artinya meskipun seseorang<br />

telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan, akan tetapi timbul<br />

niatnya untuk secara sukarela mengundurkan diri dari kehendak<br />

semula, namun ternyata hal tersebut tidak dapat lagi dilakukan,<br />

sebagai contoh: Seseorang dalam suatu pemeriksaan di pengadilan<br />

sedang memberikan keterangannya. Karena dianggap memberikan<br />

kesaksian yang tidak benar, Hakim memperingatkan dapat<br />

dipidananya orang yang memberikan keterangan tidak benar<br />

karena delik “kesaksian palsu”. Dalam hal demikian dianggap<br />

orang tersebut telah melakukan delik. Yakni delik kesaksian<br />

palsu terhadap keterangan sebelumnya yang telah diberikan<br />

dalam sidang itu. Meskipun dikaitkan dengan percobaan,<br />

sebenarnya orang tersebut ingin menarik diri secara sukarela<br />

terhadap perbuatan memberikan keterangan yang tidak benar di<br />

depan sidang pengadilan.<br />

Putusan Hoge Raad tahun 1889 dalam menghadapi kasus<br />

seperti di atas, dianggap sebagai pengunduran secara sukarela.<br />

Jadi dianggap bukan merupakan percobaan, karena dengan<br />

sukarela orang tersebut menarik kembali keterangan yang tidak<br />

benar.<br />

Akan tetapi melihat putusan Hoge Raad tahun 1952<br />

memutuskan bahwa telah melakukan suatu delik selesai (delik<br />

kesaksian palsu) terhadap seseorang yang menarik kembali<br />

keterangannya setelah penundaan sidang.<br />

3. Di samping peristiwa yang diuraikan di atas terdapat pula suatu<br />

keadaan seorang yang melakukan suatu percobaan kejahatan,<br />

sementara itu telah terjadi delik lain yang telah selesai.<br />

Peristiwa ini disebut dengan guequalificeerde poging atau<br />

percobaan yang dikualifikasi, sebagai contoh: Seorang yang<br />

berniat melakukan pencurian terhadap barang-barang dalam<br />

sebuah rumah. Untuk itu orang tersebut telah memasuki<br />

28


<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

halaman rumah tersebut. Akan tetapi sebelum masuk ke dalam<br />

rumah ia sudah tertangkap. Dalam hal ini orang tersebut disamping<br />

dianggap melakukan percobaan pencurian (jika dilihat dari teori<br />

subjektif) juga telah melakukan delik yang selesai. Yakni delik<br />

memasuki halaman tanpa izin (huisvredebruik) seperti yang<br />

diatur dalam Pasal 167 KUHP.<br />

Menurut Barda Nawawi Arief tidak selesainya pelaksanaan<br />

kejahatan yang dituju bukan karena kehendak sendiri, dapat terjadi<br />

dalam hal-hal sebagai berikut: 63<br />

1. Adanya penghalang fisik.<br />

Contoh: tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya<br />

disentakkan orang sehingga tembakan menyimpang atau<br />

pistolnya terlepas. Termasuk dalam pengertian ini ialah jika ada<br />

kerusakan pada alat yang digunakan misalnya, pelurunya<br />

macet/tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak.<br />

2. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu<br />

disebabkan karena akan adanya penghalang fisik.<br />

Contoh: takut segera ditangkap karena gerak-geriknya untuk<br />

mencuri telah diketahui oleh orang lain.<br />

3. Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor/keadaankeadaan<br />

khusus pada objek yang menjadi sasaran.<br />

Contoh: Daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga<br />

tidak mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan;<br />

barang yang akan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri telah<br />

berusaha mengangkat-nya sekuat tenaga.<br />

Jika tidak selesainya perbuatan itu disebabkan oleh kehendaknya<br />

sendiri, maka dapat dikatakan bahwa ada pengunduran diri secara sukarela.<br />

Sering dirumuskan bahwa ada pengunduran diri sukarela, jika menurut<br />

pandangannya, ia masih dapat meneruskan perbuatannya, tetapi ia tidak<br />

mau meneruskannya. Tidak selesainya perbuatan karena kehendak<br />

sendiri secara teori dapat dibedakan antara: 64<br />

a. Pengunduran diri secara sukarela (rucktritt) yaitu tidak<br />

menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan<br />

untuk delik yang bersangkutan; dan<br />

b. Penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun perbuatan<br />

pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela<br />

menghalau timbulnya akibat mutlak untuk delik tersebut.<br />

63 Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Semarang:<br />

Badan Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,<br />

1984),hal.15.<br />

64 Ibid.,hal.16.<br />

29


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

Misal: orang memberi racun pada minuman si korban,<br />

tetapi setelah diminumnya ia segera memberikan obat<br />

penawar racun sehingga si korban tidak jadi meninggal.<br />

Adapun maksud dicantumkannya syarat pengunduran secara<br />

sukarela menurut MvT tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) adalah<br />

untuk: 65 a. Memberikan jaminan bahwa seseorang yang membatalkan<br />

niatnya secara sukarela tidak dapat dihukum. Jika ia dapat<br />

membuktikan bahwa pada waktu yang tepat ia masih<br />

mempunyai keinginan untuk membatalkan niatnya yang<br />

jahat; dan<br />

b. Karena jaminan semacam itu merupakan suatu sarana yang<br />

paling pasti untuk menghentikan pelaksanaan suatu<br />

kejahatan yang sedang ber-langsung.<br />

E. Perbuatan-Perbuatan yang Mirip dengan <strong>Percobaan</strong><br />

1. Ondeugdelijke poging<br />

Ondeugdelijke poging adalah suatu perbuatan yang meskipun<br />

telah ada perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan tetapi oleh<br />

karena sesuatu hal, bagaimanapun perbuatan yang diniatkan itu tidak<br />

mungkin akan terlaksana. Dengan kata lain suatu perbuatan yang<br />

merupakan percobaan, akan tetapi melihat sifat dari peristiwa itu, tidak<br />

mungkin pelaksanaan perbuatan yang diniatkan akan terlaksana sesuai<br />

dengan harapannya. 66<br />

Ondeug-delijke <strong>Poging</strong> (percobaan tidak memadai) ini timbul<br />

sehubungan dengan telah dilakukannya perbuatan pelaksanaan tetapi<br />

delik yang dituju tidak selesai atau akibat yang terlarang menurut<br />

undang-undang tidak timbul. 67 Ada dua hal yang mengakibatkan tidak<br />

sempurnanya percobaan tersebut, pertama karena alat (sarana) yang<br />

dipergunakan tidak sempurna dan yang kedua objek (sasaran) tidak<br />

sempurna. Masing-masing ketidaksempurnaan itu dapat dibagi pula atas<br />

dua macam, yaitu tidak sempurna secara mutlak (absolut) dan tidak<br />

sempurna secara nisbi (relatif). Loebby Loqman memberikan contoh<br />

sebagai berikut: 68<br />

65 P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.545.<br />

66 LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.35.<br />

67 BardaNawawiArief,Op.Cit.,hal.18.<br />

68 LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.3536. <br />

30


<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

1. Ketidaksempurnaan sarana (alat)<br />

a. Ketidaksempurnaan sarana secara mutlak<br />

Contoh:<br />

A ingin membunuh B dengan menggunakan racun<br />

arsenicum. Pada saat B lengah A memasukkan arsenicum<br />

ke dalam minuman B. Namun B tetap hidup karena ternyata<br />

yang dimasukkan ke dalam minuman B bukan arsenicum<br />

tetapi gula pasir.<br />

b. Ketidaksempurnaan sarana secara nisbi<br />

Contoh:<br />

Peristiwanya seperti di atas, tetapi A memberikan racun<br />

arsenicum ke dalam minuman B dalam dosis yang tidak<br />

mencukupi sehingga A tetap hidup.<br />

2. Ketidaksempurnaan sasaran (objek)<br />

a. Ketidaksempurnaan sasaran secara mutlak<br />

Contoh:<br />

A ingin membunuh B. Pada suatu malam A masuk ke<br />

kamar tidur B dan menikam B. Ternyata bahwa B telah<br />

meninggal dunia sebelum ditikam A. Dalam hal ini A tidak<br />

mengetahui karena kamar tidur B dalam keadaan gelap. Jadi<br />

A menikam mayat.<br />

b. Ketidaksempurnaan sasaran secara nisbi<br />

Contoh:<br />

A ingin membunuh B. B mengetahui bahwa dirinya<br />

terancam oleh A, sehingga B selalu keluar rumah dengan<br />

menggunakan rompi anti peluru di dalam bajunya. Ketika<br />

terjadi penembakan oleh A, meskipun mengenai dada B,<br />

karena menggunakan rompi anti peluru B tidak mati.<br />

Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa menurut MvT tidak<br />

mungkin ada percobaan pada objek yang tidak mampu (tidak memadai);<br />

yang ada hanya percobaan yang tidak mampu pada alatnya saja,<br />

sebagaimana disebutkan dalam MvT sebagai berikut: 69<br />

“Syarat-syarat umum percobaan menurut Pasal 53 KUHP ialah<br />

syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan yang<br />

tertentu di dalam Buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya<br />

kejahatan tertentu tersebut diperlukan adanya objek, maka<br />

percobaan melakukan kejahatan itupun harus ada objeknya.<br />

Kalau tidak ada objeknya, maka juga tidak ada percobaan”.<br />

69 BardaNawawiArief,Op.Cit.,hal.1819.<br />

31


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

Selanjutnya MvT membedakan antara percobaan yang tidak<br />

mampu karena alatnya, sebagai berikut: 70<br />

1. Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat itu tidak pernah<br />

mungkin timbul delik selesai; dalam hal ini tidak mungkin ada<br />

delik percobaan. Mr. Karni memberi contoh: meracuni dengan<br />

air kelapa.<br />

2. Tidak mampu relatif, bila dengan alat itu tidak ditimbulkan<br />

delik selesai karena justru hal ikhwal yang tertentu dalam mana<br />

si pembuat melakukan perbuatan atau justru karena keadaan<br />

tertentu dalam mana orang yang dituju itu berada. Dalam hal ini<br />

mungkin ada delik percobaan.<br />

Berdasarkan apa yang dikemukakan MvT di atas terlihat bahwa<br />

ketidakmampuan relatif dapat dilihat dari dua segi, yaitu: 71<br />

1. Keadaan tertentu dari alat pada waktu si pembuat melakukan<br />

perbuatan;<br />

2. Keadaan tertentu dari orang yang dituju.<br />

Hal penting untuk diketahui adalah apakah dengan tidak<br />

sempurnanya alat ataupun objek, dapat dianggap telah terjadi suatu<br />

percobaan. Jika dilihat dari syarat-syarat terjadinya suatu percobaan<br />

maka pelaku telah memenuhi tiga syarat percobaan, yaitu ada niat untuk<br />

melakukan suatu kejahatan, dan sudah mewujudkan niat tersebut ke<br />

dalam suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan. Tetapi delik yang<br />

dituju itu tidak selesai (tidak terjadi) karena adanya faktor eksternal dari<br />

diri orang itu, yaitu karena alatnya atau objeknya itu tidak sempurna.<br />

Apakah dapat dikatakan telah terjadi suatu percobaan melakukan<br />

pembunuhan jika A menghujamkan pisau ke dada B, yang ternyata B<br />

telah mati terlebih dahulu disebabkan oleh hal lain? Atau apakah dapat<br />

dihukum C yang hendak membunuh D, dengan cara memberikan racun<br />

ke dalam minuman D yang ternyata racun tersebut adalah gula?<br />

Dalam hal seperti ini menurut Loebby Loqman, tergantung dari<br />

teori mana kita melihatnya, apakah kejadian tersebut dapat dipidana.<br />

Bagi mereka yang menggunakan teori subjektif, tidak ada perbedaan<br />

antara ketidaksempurnaan mutlak maupun ketidaksempurnaan nisbi,<br />

karena dianggap dari semula pelaku sudah mempunyai niat untuk<br />

melakukan kejahatan. Untuk itu pelaku telah mewujudkan dengan<br />

adanya perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan. Sehingga<br />

dengan demikian peristiwa tersebut sudah merupakan suatu perbuatan<br />

percobaan melakukan kejahatan. Namun tidak demikian halnya dengan<br />

teori objektif, hanya ketidaksempurnaan mutlak saja yang tidak dapat<br />

70 Ibid.,hal.19.<br />

71 Ibid.<br />

32


<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

dipidana. Sebab dalam keadaan bagaimanapun tidak mungkin<br />

menyelesaikan kejahan yang menjadi niat pelaku. Karena itu dianggap<br />

tidak mungkin membahayakan kepentingan hukum. Bagi teori objektif,<br />

ketidaksempurnaan nisbi sebenarnya telah sampai kepada penyelesaiaan<br />

kejahatan yang diniatkan pelaku. Hanya saja ada suatu keadaan sedemikian<br />

rupa sehingga kemungkinan penyelesaiannya berkurang. Menurut teori<br />

objektif, hal demikian telah membahayakan kepentingan hukum sehingga<br />

pelaku perlu dipidana. Sedangkan untuk ketidaksempurnaan mutlak, baik<br />

sasaran maupun sarana, dianggap tidak merupa-kan hal yang<br />

membahayakan kepentingan hukum sehingga tidak perlu pelaku<br />

dipidana. Apa yang dilakukan pelaku tidak sampai kepada hal yang<br />

dimaksudkan untuk kejahatan itu. Karena nyata-nyata sarana ataupun<br />

sasarannya mutlak salah. 72<br />

Dengan melihat putusan perkara “Uang Sen Logam” Hoge<br />

Raad ternyata mempergunakan teori objektif. Putusan Hoge Raad<br />

tanggal 7 Mei 1906, No.W.8372, kasusnya berkenaan dengan seorang<br />

pemilik/pengelola toko yang mencoba meracuni suaminya yang sakit<br />

dengan campuran teh dan bir dengan tambahan residu obat dan koin<br />

tembaga. Campuran ini tidak dianggap memunculkan tindak percobaan.<br />

Harus diakui bahwa campuran tersebut merupakan sarana yang tidak<br />

mampu (mutlak). 73<br />

2. Mangel am tatbestand<br />

Van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan, bahwa<br />

Mangel am Tatbestand merupakan suatu kesalahpahaman, akan tetapi<br />

berbeda dengan putatief delict dimana orang yang melakukan suatu<br />

perbuatan itu telah mengira bahwa apa yang telah dilakukannya itu<br />

merupakan suatu delik, padahal kenyataannya tidak demikian, maka<br />

pada apa yang disebut dengan Mangel am Tatbestand itu adalah<br />

berkenaan dengan de bijzonderheden van de fetelijke situatie atau<br />

dengan kekhususan-kekhususan dari keadaan yang sebenarnya. 74<br />

Mangel am Tatbestand adalah suatu perbuatan yang diarahkan<br />

untuk mewujudkan tindak pidana tetapi ternyata kekurangan atau tidak<br />

memenuhi salah satu unsur tindak pidana yang dituju. Di sini telah<br />

terjadi kesesatan atau kesalahpahaman terhadap salah satu unsur tindak<br />

pidana. Contohnya: orang yang melaksanakan kehendak untuk mencuri<br />

dengan mengambil suatu barang yang dikiranya barang milik orang lain,<br />

ternyata miliknya sendiri. Seorang laki-laki yang kawin lagi yang dia<br />

72 LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.37.<br />

73 JanRemmelink,Op.Cit.,hal.295.<br />

74 P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.552.<br />

33


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

mengira telah melanggar larangan poligami, ternyata istrinya itu<br />

sebelumnya telah meninggal dunia. 75<br />

Pada kedua contoh di atas, walaupun pada keadaan yang<br />

sebenarnya orang itu telah selesai melakukan perbuatan, tetapi tidaklah<br />

terjadi kejahatan. Tidaklah mungkin mencuri barang yang pada<br />

kenyataannya milik sendiri. Demikian juga tidak mungkin melakukan<br />

poligami dimana kenyataannya isterinya terdahulu sebelumnya telah<br />

meninggal dunia. Di sini tidak terjadi kejahatan, dan dengan demikian<br />

juga tidak mungkin terjadi percobaannya. Di sini tidak terjadi kesesatan<br />

hukum yang dikiranya ada, melainkan kesesatan mengenai suatu<br />

keadaan yang diperlukan untuk dapatnya perbuatan itu dipidana. Orang<br />

itu tidak mengetahui bahwa (unsur) barang itu miliknya sendiri, dan<br />

laki-laki itu tidak mengetahui jika istrinya terdahulu telah meninggal<br />

dunia. 76 Keanehan dari Mangel am Tatbestand adalah bahwa hasil yang<br />

dikehendaki pembuat terwujud di luar dirinya. Hal yang sama berlaku<br />

untuk seseorang yang menembak orang mati yang dikiranya masih<br />

hidup. Pada tahun 1897 Hoge Raad menetapkan bahwa pengguguran<br />

dalam Pasal 348 KUHP hanya dapat dipidana kalau kandungan hidup<br />

waktu perbuatan pengguguran dilakukan. Jika tidak, maka tidak ada<br />

pengguguran sama sekali; juga tidak ada percobaan karena perbuatan<br />

telah selesai. Tetapi dihubungkannya itu dengan percobaan dapat<br />

dimengerti karena dalam kedua hal, di luar kehendaknya, si pembuat<br />

berada di luar pemenuhan seluruhnya dari rumusan delik. Namun dalam<br />

hal percobaan tujuan yang hendak dicapai tidak terjadi sedangkan pada<br />

Mangel am Tatbestand tujuan tersebut telah tercapai. 77<br />

Mangel am tatbestand ini hanya dikenal dalam doktrin hukum.<br />

Menurut Simmons, tindakan-tindakan yang telah selesai dilakukan dan<br />

ternyata tidak memenuhi salah satu unsur dari unsur-unsur yang telah<br />

disyaratkan oleh undang-undang itu, seharusnya tidak dibicarakan<br />

dalam pembahasan mengenai poging, oleh karena itu tindakan-tindakan<br />

semacam itu sebenarnya tidak lain daripada tindakan-tindakan yang<br />

tidak terlarang. 78<br />

3. Putatief delict<br />

Putatief delict itu sebenarnya bukan merupakan suatu delik<br />

ataupun suatu percobaan untuk melakukan apa yang disebut putatief<br />

delict tersebut, melainkan merupakan kesalahpahaman dari seseorang<br />

75 AdamiChazawi,Op.Cit.,hal.58.<br />

76 Ibid.<br />

77 D.Schaffmeister,(et.al.),Op.Cit.,hal.224225.<br />

78 P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.552553.<br />

34


<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

yang mengira bahwa perbuatan yang telah ia lakukan di dalam suatu<br />

keadaan tertentu itu merupakan suatu perbuatan yang terlarang dan<br />

diancam dengan suatu hukuman, padahal perbuatan seperti itu tidak<br />

diatur dalam suatu undang-undang pidana, dan oleh karena itu orang<br />

tersebut tidak dapat dihukum. Jelaslah bahwa tidak dapat dihukumnya<br />

orang tersebut adalah karena tidak adanya suatu ketentuan pidana yang<br />

melarang perbuatannya. 79<br />

Berbeda dengan Mangel am Tatbestand yang berupa kesalahpahaman<br />

terhadap salah satu unsur tindak pidana, tetapi pada putatief delict ini<br />

adalah terjadinya kesesatan hukum (rechtsdwaling) pada seseorang yang<br />

melakukan perbuatan dalam usahanya untuk mewujudkan tindak pidana.<br />

Putatief delict ini bukanlah suatu tindak pidana dan juga bukan<br />

percobaan, melainkan suatu kesalahpahaman bagi orang yang<br />

melakukan suatu perbuatan yang dikiranya telah melakukan tindak<br />

pidana, padahal sebenarnya perbuatan itu bukan merupakan tindak<br />

pidana. 80 Misalnya, orang asing yang melakukan perbuatan yang menurut<br />

hukum negaranya merupakan tindak pidana kesusilaan, tetapi di sini<br />

bukan merupakan tindak pidana. Oleh karena di sini bukan tindak<br />

pidana, maka disini tidak dapat dipidana menurut hukum Indonesia.<br />

Tidak dipidananya si pembuat dalam hal putatief delict ini karena<br />

perbuatannya itu bukan tindak pidana, dan demikian juga tidak ada<br />

percobaan yang dipidana pada sesuatu yang bukan tindak pidana. 81<br />

D. Schaffmeister, (et.al.),menyebutkan, bahwa delik putatif ada<br />

kalau apa yang telah dilakukan ternyata sama sekali tidak dilarang oleh<br />

undang-undang, berlawanan dengan perkiraan pembuat waktu dia<br />

berbuat. Dapat dipikirkan bahwa dua orang asing dewasa melakukan<br />

hubungan homo di Belanda dan mengira mereka telah melakukan<br />

perbuatan pidana. Kesesatan tentang norma yang bersangkutan atau<br />

tentang dapat dipidana pelanggarannya inilah yang mirip dengan<br />

percobaan, yaitu percobaan yang tidak pernah akan menimbulkan hasil<br />

yang dapat dipidana, karena tidak adanya larangan. 82<br />

4. <strong>Percobaan</strong> selesai, percobaan tertunda, dan percobaan yang<br />

dikualifisir<br />

Dalam hal percobaan, dibicarakan pula apa yang dimaksud<br />

dengan percobaan selesai (delik manque), percobaan tertunda<br />

(geschorste poging), dan percobaan yang dikualifisir (gequalificeerde<br />

poging).<br />

79 Ibid.,hal.552.<br />

80 AdamiChazawi,Op.Cit.,hal.59<br />

81 Ibid.,hal.60.<br />

82 D.Schaffmeister,(et.al.),Op.Cit.,hal.225.<br />

35


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

a. <strong>Percobaan</strong> selesai<br />

<strong>Percobaan</strong> selesai (disebut juga dengan delik manque) adalah<br />

melakukan perbuatan yang ditujukan untuk melakukan tindak pidana<br />

yang pelaksanaannya sudah begitu jauh, sama seperti tindak pidana<br />

selesai akan tetapi oleh sebab sesuatu hal tindak pidana itu tidak terjadi.<br />

Dikatakan percobaan, oleh karena tindak pidana yang dituju tidak<br />

terjadi, dan dikatakan selesai oleh sebab pelaksanaannya sesungguhnya<br />

sama dengan pelaksanaan yang dapat menimbulkan tindak pidana<br />

selesai, sebagai contohnya orang yang berkehendak membunuh musuhnya,<br />

dia telah mengarahkan moncong senapan ke tubuh musuhnya itu, pelatuk<br />

telah ditariknya, senapan telah meletup, peluru telah melesat, tetapi<br />

tidak mengenai sasaran. 83<br />

Jan Remmelink dalam hal ini memberikan sebuah ilustrasi<br />

sebagai berikut: 84<br />

Terdakwa meracuni istrinya, ia telah melakukan segala daya<br />

upaya untuk menuntaskan tujuan akhir delik yang hendak diperbuatnya,<br />

yaitu pembunuhan. Ternyata istrinya mempunyai daya tahan fisik luar<br />

biasa, dan ia ‘kebetulan’ tidak meninggal. Sekalipun di sini terdakwa<br />

telah secara tuntas menempuh jalur kriminal (iter criminis), akibatnya<br />

(yang ia harapkan) ternyata tidak terjadi. Dalam hal ini kita berbicara<br />

tentang delik manque (beendigter Versuch, ‘tindak pidana yang<br />

dilakukan tuntas, namun kebetulan tidak berhasil’).<br />

Pada percobaan selesai, jika dilihat dari perbuatannya sebenarnya<br />

bukan lagi percobaan, karena baik niat, permulaan pelaksanaan dan<br />

pelaksanaannya telah selesai. Hanya oleh sebab tindak pidana yang dituju<br />

tidak terjadi, semata-mata dilihat dari hasil akhir dari pelaksanaan yang<br />

telah selesai saja, dan tidak mencapai apa yang dikehendaki, yang<br />

menyebabkan persoalan ini masih dapat dikategorikan pada percobaan. 85<br />

b. <strong>Percobaan</strong> tertunda<br />

Sudarto dan Wonosutanto 86 menyebutkan, bahwa dikatakan ada<br />

percobaan tertunda (percobaan terhenti atau percobaan yang tidak<br />

lengkap atau Incompleted attempt), jika kelakuan yang diperlukan untuk<br />

kejahatan belum semua dilaksanakan karena ada penghalang dari luar<br />

atau karena tidak mungkinnya tindakan itu dilengkapkan, atau karena<br />

urungnya dilakukan tindakan itu secara sukarela.<br />

<strong>Percobaan</strong> tertunda, adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya<br />

terhenti pada saat mendekati selesainya kejahatan. Misalnya, seorang<br />

pencopet yang telah mengulurkan dan memasukkan tangannya dan telah<br />

83 Ibid.,hal.60.<br />

84 JanRemmelink,Op.Cit.,hal.287.<br />

85 AdamiChazawi,Op.Cit.,hal.61<br />

86 SudartodanWonosutanto,Op.Cit.,h.25.<br />

36


<strong>Percobaan</strong> dan Penyertaan<br />

memegang dompet dalam tas seorang perempuan, tiba-tiba perempuan<br />

itu memukul tangan pencopet itu, dan terlepas dompet yang telah<br />

dipegangnya. Juga terdapat pada contoh orang telah membidik dengan<br />

senapan terhadap orang yang hendak dibunuhnya, dengan tiba-tiba ada<br />

orang lain memukul tangannya dan terlepaslah senapan dari tangannya.<br />

Pada kasus ini benar-benar percobaan kejahatan yang dapat dipidana,<br />

seluruh syarat atau unsur dari Pasal 53 ayat (1) KUHP telah terpenuhi. 87<br />

c. <strong>Percobaan</strong> yang dikualifisir<br />

<strong>Percobaan</strong> yang dikualifisir terjadi jika pelaku membatalkan<br />

lanjutan tindakan yang diniatkannya secara sukarela untuk melakukan<br />

suatu kejahatan tertentu, tetapi telah memenuhi unsur-unsur tindak<br />

pidana lainnya. Dalam hal ini pelaku dapat dituntut berdasarkan tindak<br />

pidana lainnya itu, contohnya A hendak membunuh B sekeluarga.<br />

Untuk melaksanakan niatnya itu, pada tengah malam A menyiram<br />

rumah B dengan bensin dan membakarnya dengan maksud supaya B<br />

dan keluarganya mati terbakar. Tetapi setelah terjadi kebakaran, ia<br />

merasa menyesal (secara sukarela), lalu ia mendobrak salah satu pintu<br />

yang belum terbakar dan turut mengusahakan supaya B dan keluarganya<br />

selamat. Akhirnya B dan keluarganya selamat, tetapi rumah B tetap<br />

terbakar. Dalam hal ini A dipersalahkan melakukan pembakaran rumah,<br />

sedangkan untuk percobaan pembunuhan tidak. Artinya percobaan<br />

untuk membunuh yang tidak dipidana, dirubah menjadi pembakaran. 88<br />

Adami Chazawi menyebutkan, bahwa percobaan yang<br />

dikualifisir adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya<br />

merupakan tindak pidana selesai yang lain daripada yang dituju.<br />

Misalnya, seorang dengan maksud membunuh orang yang dibencinya<br />

dengan tusukan pisau, dan tidak mati tetapi hanya luka-luka berat. Pada<br />

orang ini terdapat kehendak untuk membunuh, tikaman pisau itu<br />

diarahkan pada matinya korban, akan tetapi kematian tidak timbul,<br />

artinya pembunuhan tidak terjadi, yang terjadi adalah penganiayaan<br />

yang menimbulkan luka berat (Pasal 351 ayat 3 KUHP), atau mungkin<br />

penganiayaan berat (Pasal 351 ayat 1 KUHP), atau penganiayaan<br />

berencana yang menimbulkan luka berat (Pasal 353 ayat 2 KUHP), atau<br />

penganiayaan berat berencana (Pasal 355 ayat 1 KUHP). 89<br />

Selanjutnya disebutkan bahwa, dasar penyebutan percobaan<br />

yang dikualifisir dengan contohnya tersebut di atas, hanyalah dilihat dari<br />

sudut pada kenyataan riil semata, artinya sudut obyektif. Pada<br />

pembunuhan dimana akibat kematian tidak timbul, tetapi hanya luka-<br />

87 AdamiChazawi,hal.61.<br />

88 E.Y.KanterdanS.R.Sianturi,Op.Cit.,hal.332.<br />

89 AdamiChazawi,hal.61.<br />

37


<strong>Bab</strong> I. <strong>Percobaan</strong> (<strong>Poging</strong>)<br />

luka saja, disebut atau dikualifisir sebagai tindak pidana lain hanya oleh<br />

sebab penglihatan dari luar saja. Akan tetapi jika dilihat dari sudut<br />

subyektif, syarat batin si pembuat, sesungguhnya kasus seorang yang<br />

hendak membunuh dengan pelaksanaannya menikam, dari tikaman tidak<br />

menimbulkan kematian tetapi hanya luka-luka saja, tidak dapat<br />

dikualifisir sebagai penganiayaan yang menimbulkan luka berat. Karena<br />

dari sudut batin sungguh berbeda antara pembunuhan dengan penganiayaan.<br />

Pada pembunuhan sikap batin ialah kehendak selalu ditujukan<br />

pada hilangnya nyawa (kematian) korban. Tetapi pada penganiayaan<br />

kesengajaan hanya ditujukan pada penderitaan fisik belaka, bisa sematamata<br />

rasa sakit atau bisa juga pada rasa sakit berupa luka-luka. Jika<br />

kesengajaan penganiayaan sekedar pada rasa sakit semata-mata disebut<br />

dengan penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP), sedangkan apabila<br />

kesengajaan itu ditujukan pada rasa sakit yang berupa luka berat,<br />

disebut dengan penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP). O1eh sebab itu<br />

orang yang berkehendak untuk membunuh, yang perbuatan pelaksanaannya<br />

(misalnya menusuk), ternyata hanya luka-luka saja, tidaklah dapat menjadi<br />

tindak pidana lain yang selesai, misalnya penganiayaan biasa yang<br />

menimbulkan luka berat (Pasal 351 ayat 2 KUHP). Kasus itu tetap<br />

percobaan pembunuhan (Pasal 338 jo. 53 KUHP), dan tidak dapat<br />

disebut penganiayaan yang menimbulkan luka berat. 90<br />

90 Ibid.,hal.62.<br />

38

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!