10 Langkah Mengembangkan Kebijakan Publik - Komunitas AIDS ...
10 Langkah Mengembangkan Kebijakan Publik - Komunitas AIDS ...
10 Langkah Mengembangkan Kebijakan Publik - Komunitas AIDS ...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
<strong>10</strong><br />
<strong>Langkah</strong><br />
<strong>Mengembangkan</strong><br />
<strong>Kebijakan</strong> <strong>Publik</strong><br />
Mencegah Penularan<br />
HIV/<strong>AIDS</strong><br />
Di Lingkungan<br />
Seks Komersial
<strong>10</strong> <strong>Langkah</strong><br />
<strong>Mengembangkan</strong> <strong>Kebijakan</strong> <strong>Publik</strong><br />
I
II<br />
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK
<strong>10</strong> <strong>Langkah</strong><br />
<strong>Mengembangkan</strong> <strong>Kebijakan</strong> <strong>Publik</strong><br />
Mencegah Penularan HIV/<strong>AIDS</strong><br />
di Lingkungan Seks Komersial<br />
ASA – INSIST<br />
2003<br />
III
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)<br />
Tim Penulis INSIST<br />
<strong>10</strong> <strong>Langkah</strong> <strong>Mengembangkan</strong> <strong>Kebijakan</strong> <strong>Publik</strong>:<br />
Mencegah Penularan HIV/<strong>AIDS</strong> di Lingkungan Seks Komersial,<br />
Yogyakarta: ReaD Book, November 2003<br />
83 + xxvii halaman 14.5 x 21 cm, ilustrasi, bibliografi<br />
1. Panduan Advokasi 2. Manual<br />
I Judul<br />
ISBN: 979-97233-6-1<br />
Cetakan pertama, November 2003<br />
Rancang Sampul: Martopo<br />
Ilustrasi: nTok<br />
Cetakan kedua, Maret 2007<br />
Redisain: Arifin Fitrianto<br />
Editor: Mansour Fakih dan Toto Rahardjo<br />
Penyelaras Akhir: Nanang Ananto<br />
Diterbitkan atas kerja sama Aksi Stop <strong>AIDS</strong> (ASA) dan INSIST<br />
ASA<br />
Kompleks P2M & PL Depkes RI<br />
Jl. Percetakan Negara No. 29<br />
Jakarta <strong>10</strong>560<br />
Telp : (021) 4223463<br />
Fax : (021) 4223455<br />
Email: program-asa@fhi.or.id<br />
INSIST<br />
Blimbingsari CT IV/38<br />
Yogyakarta 55281<br />
Telp/Fax: (0274) 446340<br />
Email: insist@insist.or.id<br />
Dicetak oleh<br />
INSIST Press Printing<br />
IV
Buku ini dipersembahkan<br />
dan didedikasikan bagi mereka yang tanpa lelah bekerja untuk<br />
manusia yang ditindas, didiskriminasi dan mengalami<br />
ketidakadilan<br />
V
VI<br />
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK
Kata Salam<br />
Pasal Pertama dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia<br />
menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan merdeka, memiliki<br />
martabat dan hak-hak yang sama. Pasal pembuka tersebut sekaligus<br />
menjadi inti dari Hak Asasi Manusia yakni tidak boleh ada<br />
pembedaan perlakuan pada siapapun, tidak boleh ada diskriminasi<br />
pada segenap manusia, siapapun dia.<br />
Namun kenyataanya semangat anti diskriminasi tidak sekuat<br />
semangat kebalikannya. Kepentingan ekonomi dan kepentingan<br />
politik seringkali telah mengaburkan kepentingan kemanusiaan,<br />
bahkan dimana-mana dengan mengatasnamakan “moral” dipakai<br />
untuk meruntuhkan moral kemanusiaan itu sendiri.<br />
Diskriminasi terhadap orang-orang dengan HIV/<strong>AIDS</strong><br />
merupakan contoh yang dapat dengan mudah kita saksikan.<br />
Permasalahan moralitas menjadi alasan utama mengapa mereka<br />
didiskriminasi.<br />
Sifat virus ini memang menular, namun cara pandang terhadap<br />
penyakit tersebut sungguh-sungguh merontokkan semangat anti<br />
diskriminasi. <strong>AIDS</strong> dilabeli sebagai sebuah penyakit yang terjadi<br />
vii VII
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Menangkal Ancaman Bencana Nasional <strong>AIDS</strong><br />
Melalui Gerakan Nasional Penanggulangan HIV/<br />
<strong>AIDS</strong><br />
Menyetujui hasil sidang khusus Majelis Umum PBB tentang HIV/<br />
<strong>AIDS</strong> dan 7th ASEAN Summit on HIV/<strong>AIDS</strong> dengan memberi fokus<br />
prioritas pada :<br />
a. Menciptakan kepemimpinan yang kuat di semua tingkat<br />
pemerintah, non pemerintah, masyarakat.<br />
b. Pencegahan HIV/<strong>AIDS</strong> harus menjadi prioritas utama dan<br />
dilaksanakan melalui berbagai pendekatan, terutama pendekatan<br />
agama.<br />
c. Perawatan, dukungan dan pengobatan yang terintegrasi dengan<br />
upaya pencegahan.<br />
d. Pemberdayaan perempuan untuk mengurangi kerentanan<br />
penularan HIV/<strong>AIDS</strong> termasuk hak-hak reproduksi sehat.<br />
e. Merealisasikan pendidikan/penyuluhan kesehatan reproduksi<br />
pada remaja/ generasi muda dan memberikan keterampilan hidup<br />
sehat (life skill education)<br />
f. Merealisasikan hak asasi manusia untuk semua orang untuk<br />
mengurangi kerentanan, penghormatan atas hak-hak asasi<br />
penderita HIV/<strong>AIDS</strong>.<br />
g. Mengurangi dampak sosial melalui evaluasi dampak, memberi<br />
perlindungan hak dan martabat orang dengan HIV/<strong>AIDS</strong> di<br />
lingkungan tempat kerja.<br />
h. Melakukan, mengembangkan berbagai penelitian dan upaya<br />
selanjutnya untuk mengembangkan penggunaan obat terutama<br />
Anti-Retroviral (ARV) dan obat infeksi oportunistik yang dijamin<br />
kesediannya, murah dan terjangkau.<br />
i. Melakukan aksi untuk pencegahan HIV/<strong>AIDS</strong> pada penduduk di<br />
tempat berisiko tinggi penularan HIV/<strong>AIDS</strong>, wilayah konflik,<br />
bencana alam, termasuk pengungsian.<br />
viii VIII
Kata Salam<br />
karena rendahnya moralitas seseorang. <strong>AIDS</strong> dianggap semata-mata<br />
disebabkan karena seseorang yang tak bermoral, karena seks bebas,<br />
orientasi seksual yang berbeda dan adanya para penjaja seksual.<br />
Dinafikan bahwa tenyata penularannya juga bisa melalui jarum suntik,<br />
dari transfusi darah, bahkan bisa melalui ibu yang menyusui.<br />
Diskriminasi berjalan terus, sehingga diam-diam menutup akses<br />
bagi mereka yang terkena untuk menikmati berbagai haknya seperti<br />
halnya manusia yang lain. Hak untuk mengembangkan diri, hak untuk<br />
bekerja, hak kesehatan dll.<br />
Mengapa buku ini diterbitkan, yakni terutama dalam rangka<br />
mendorong para penentu kebijakan agar sensitive sekaligus<br />
mengambil langkah agar ada kebijakan yang memihak pada para<br />
penderita terutama juga bagi perlindungan hak masyarakat pada<br />
umumnya. Karena kalau para pelaksana negara membiarkan<br />
diskriminasi dan tidak menganggap penting pada persoalan ini,<br />
sesungguhnya sama saja dengan membiarkan pelanggaran HAM<br />
itu beranak pinak.<br />
Dari berbagai pengalaman penanganan HIV/<strong>AIDS</strong> dan secara<br />
khusus tentang sosialisasi berbagai produk alat kontrasepsi dalam<br />
rangka perlindungan terhadap perempuan, selalu mengalami<br />
pertikaian-paling tidak pada cara pandang. Ada pandangan yang<br />
sama sekali menolak karena didasari oleh nilai-nilai tertentu yang<br />
dianut, ada pihak yang sangat gencar menawarkan alat-alat<br />
kontrasepsi, bahkan terkesan menjadi “sales”nya industri alat<br />
kontrasepsi, dan ada pihak yang menggunakan isu alat kontrasepsi<br />
dalam rangka mengejar target untuk menekan angka kelahiran (ini<br />
terjadi pada masa penggalakan program KB yang sebenarnya<br />
bentuk dominasi negara sampai ke tempat tidur rakyatnya). Di sisi<br />
lain ada juga pihak yang didasari oleh kepentingan terhadap<br />
perlindungan terhadap perempuan terutama menyangkut alat<br />
ix IX
xvi<br />
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
reproduksinya. Jadi kewajiban penggunaan kondom diterapkan pada<br />
orang yang sudah beresiko, dan bukannya menggoda orang untuk<br />
masuk.<br />
Buku ini didasari oleh cara pandang dimana secara teknis tiada<br />
pilihan lain terhadap upaya melindungi masyarakat dari bahaya HIV/<br />
<strong>AIDS</strong> yang sampai sekarang belum ada pemecahan dan kalaupun<br />
ada, tak terjangkau oleh semua pihak.<br />
Buku ini didesain bukan untuk kepentingan training, namun lebih<br />
merupakan sebuah panduan bagi siapapun yang akan bertindak<br />
memprakarsai perubahan melalui kebijakan. Semoga melaui buku<br />
ini dapat mendorong semua pihak (bahkan masyarakat luas) untuk<br />
mengupayakan kehidupan yang lebih baik dan lebih adil.<br />
Editor<br />
Mansour Fakih dan Toto Rahardjo<br />
i i x Xi<br />
v
ARGUMENTASI<br />
Mengapa Memilih Isu Penggunaan Kondom?<br />
Sampai saat ini industri seks terus menyebar di seluruh wilayah<br />
Indonesia, dengan perkiraan ada 190-270 ribu penjaja seks, dan<br />
ada 7-<strong>10</strong> juta lelaki yang menjadi pelanggannya. Lebih dari 50%<br />
lelaki pelanggan tersebut ternyata mempunyai pasangan tetap atau<br />
berstatus kawin. Ironisnya penggunaan kondom secara tetap oleh<br />
pelanggan para penjaja seks tidak mencapai <strong>10</strong>%. Angka<br />
penggunaan kondom yang rendah ini tidak berhubungan dengan<br />
tingkat pengetahuan seseorang menganai HIV/<strong>AIDS</strong>, bagaimana<br />
virus ini ditularkan dan bagaimana pencegahannya. (Sumber: Estimasi<br />
Nasional Depkes 2002; Survei Surveilans Perilaku, Depkes, P2M,<br />
BPS, ASA, IHPCP 2003).<br />
Upaya-upaya pencegahan diharapkan dapat mengurangi<br />
terjadinya penularan baru. Bila tidak ada upaya perluasan<br />
pencegahan yang intensif dan mampu menjangkau kelompokkelompok<br />
yang rawan tertular HIV/<strong>AIDS</strong>, maka penularan baru<br />
sulit dihindari. Berdasar hitungan matematis, dengan menggunakan<br />
informasi hasil perkiraan jumlah orang yang rawan tertular HIV/<strong>AIDS</strong>,<br />
diperkirakan ada 90 ribu orang yang akan tertular HIV/<strong>AIDS</strong> di<br />
tahun 2003 saja. Bila kita tidak bisa meningkatkan penggunaan<br />
kondom pada kegiatan seks komersial, maka penularan akan terus<br />
terjadi, tidak hanya dari penjaja seks ke pelanggan atau sebaliknya,<br />
tetapi juda meluas ke pasangan tetap (istri) dari suami yang<br />
merupakan pelanggan penjaja seks.<br />
xi XI
xvi<br />
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Tidak ada alternatif lain, penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong> harus<br />
dengan upaya peningkatan penggunaan kondom pada setiap<br />
kegiatan seks berisiko. Pengalaman di banyak negara menunjukkan,<br />
dengan semakin tinggi penggunaan kondom pada kegiatan seks<br />
beresiko mampu mencegah penularan HIV/<strong>AIDS</strong>. Penggunaan<br />
kondom tidak hanya mencegah penularan antar kelompok beresiko<br />
tinggi, tetapi juga mencegah penularan selanjutnya pada kelompok<br />
beresiko rendah, yaitu pasangan atau istri serta anak-anak yang akan<br />
dilahirkan.<br />
Untuk mengurangi lajunya penularan HIV/<strong>AIDS</strong>, dengan<br />
mengupayakan penggunaan kondom di lingkungan seks komersial,<br />
yang diperlukan tidak hanya kampanye penyadaran kepada<br />
masyarakat luas, tetapi juga dibutuhkan perangkat peraturan untuk<br />
mendukung usaha-usaha pencegahan. Di era desentralisasi saat ini,<br />
kebijakan di daerah tidak lagi tergantung dari pemerintah pusat.<br />
Diharapkan desentralisasi ini akn memberikan peluang bagi<br />
pemerintah daerah dan masyarakat untuk memantau dan mengelola<br />
kebijakan pembangunan di daerahnya dengan lebih demokratis,<br />
termasuk didalamnya pembangunan di bidang kesehatan. Perubahan<br />
situasi politik saat ini nampaknya memungkinkan masyarakat turut<br />
mendesakkan berbagai perubahan kebijakan demi kepentingan<br />
masyarakat luas.<br />
Di lain pihak, LSM dan kelompok-kelompok masyarakat lain<br />
yang telah lama bergerak di bidang kesehatan pada umumnya dan<br />
pencegahan penyebaran penyakit HIV/<strong>AIDS</strong> pada khususnya,<br />
seringkali tidak siap dan tidak cepat menanggapi perubahanperubahan<br />
politik dari tingkat lokal, nasional dan global. Dalam<br />
mengadvokasi sebuah kebijakan, seringkali mereka bertindak tidak<br />
strategis, tidak menguasai lapangan dan tidak tajam menganalisa<br />
siapa yang menjadi target advokasi mereka. Selain itu, terdapat<br />
indikasi lahirnya kebijakan-kebijakan baik di tingkat lokal maupun<br />
nasional yang justru menghalangi kerja-kerja pencegahan HIV/<strong>AIDS</strong>.<br />
XII<br />
i i xii iv
Argumentasi<br />
Data Tahun 2002<br />
Jumlah orang rawan tertular HIV/<strong>AIDS</strong> di Indonesia<br />
diperkirakan antara 13 juta-20 juta orang.<br />
Jumlah orang dengan HIV/<strong>AIDS</strong> di Indonesia sampai 2002<br />
antara 90.000-130.000 orang.<br />
Hasil survei surveilans perilaku di beberapa kota di Indonesia<br />
menunjukkan bahwa lebih dari separuh kelompok lelaki dengan<br />
mobilitas tinggi membeli jasa seks setahun terakhir ini. Sebagian<br />
lelaki itu memiliki pasangan tetap yaitu istrinya.<br />
Diperkirakan ada 7-<strong>10</strong> juta lelaki pelanggan jasa seks di Indone<br />
sia. Yang memprihatinkan, ternyata tidak sampai <strong>10</strong>% yang mau<br />
melindungi diri dari resiko penularan, dengan menggunakan<br />
kondom secara teratur pada setiap kegiatan seks komersial<br />
tersebut.<br />
Tingkat prevalensi HIV pada kelompok waria penjaja seks telah<br />
mencapai sekitar 22%, meningkat tajam hampir 4 kali lipat<br />
dibandingkan tahun 1997.<br />
Penularan HIV/<strong>AIDS</strong> telah meluas ke istri. Telah dilaporkan<br />
pada beberapa wilayah Jakarta, ada sekitar 3% dari 500 ibu<br />
hamil yang dites secara sukarela telah terkena HIV/<strong>AIDS</strong>.<br />
Sumber: Komisi Penanggulangan <strong>AIDS</strong> Nasional 2002, Laporan Eksekutif<br />
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang Ancaman HIV/<strong>AIDS</strong> di<br />
Indonesia 2002.<br />
xiii XIII
xvi<br />
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Pengalaman-pengalaman dari Thailand<br />
Faktor penting yang mendukung kesuksesan Thailand adalah<br />
Komitmen Politik yang tinggi dari Perdana Menteri, Menteri<br />
Kesehatan, Kepolisian dan tokoh tokoh kampanye.<br />
Keterbukaan tentang keberadaan prostitusi, meskipun tetap<br />
ilegal, dan programnya ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat,<br />
yaitu memotong rantai penularan HIV, bukan legalitas prostitusi.<br />
Kerjasama antara Gubernur, Dinas Kesehatan, Polisi, para<br />
pemilik dan manajemen tempat hiburan, dan LSM.<br />
Program Pemerintah di tingkat nasional maupun propinsi yang<br />
didukung oleh kebijakan, strategi terpadu, petunjuk teknis,<br />
anggaran dan sumber daya lain yang memadai.<br />
Komponen program Thailand adalah:<br />
Kerja sama antara Dinas kesehatan, Kepolisian dan manajemen<br />
tempat hiburan sesuai dengan peran dan tanggung jawab<br />
masing-masing yang jelas.<br />
Strategi, termasuk anggaran dan manajemen dari Dinas<br />
Kesehatan untuk pelaksanaan dan evaluasi program.<br />
Kondom yang bermutu yang disediakan, disimpan dan<br />
didistribusikan secara gratis oleh Dinas Kesehatan untuk<br />
pelaksanaan dan evaluasi program.<br />
Pemeriksaan IMS dengan tujuan pengobatan, pencegahan<br />
monitoring dan evaluasi.<br />
i XIV i xiv iv
Argumentasi<br />
- Untuk penjaja seks, wajuib diperiksa setiap 2-4 bulan<br />
- Untuk pelanggan, dapat memeriksa diri ke klinik IMS yang<br />
memadai.<br />
Kampanye besar dengan sasaran laki-laki. Upaya ini berupa<br />
kampanye melalui media massa, program-program di<br />
tempatkerja, dan kegiatan LSM dengan tujuan meningkatkan<br />
permintaan akan kondom dari laki-laki pembeli jasa seks<br />
Manfaat Program<br />
Program tersebut menguntungkan semua pihak, lagipula tidak ada<br />
strategi alternatif lain yang efektif. Keuntungan tersebut yaitu;<br />
Bagi pemerintah: mengurangi beban dari HIV; pemimpin<br />
dipandang sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap<br />
kesejahteraan rakyat.<br />
Bagi PS: bisa “memaksa” penggunaan kondom dengan dukungan<br />
penuh dari pemilik dan manajemen tempat kerja.<br />
Bagi Pelanggan: program melindungi mereka dan pasangannya<br />
dan mengubah norma sosial sehingga penggunaan kondom adalah<br />
lazim pada transaksi seks komersial<br />
Bagi Industri Seks: mengurangi pendekatan “membumi<br />
hanguskan mereka; sehingga mereka tidak kehilangan penghasilan<br />
karena semua tempat mendukung dan diikutsertakan dalam<br />
program; PS akan lebih sehat sehingga “kinerja” mereka lebih baik;<br />
kerja sama kepolisian dan dinkes mengubah posisinya dari “akar<br />
masalah” ke “solusinya”<br />
xiv XV
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Misalnya saja dengan menutup atau membungihanguskan komplekskompleks<br />
pelacuran, kebijakan yang melahirkan stigmatisasi dan<br />
diskriminasi terhadap orang dengan HIV/<strong>AIDS</strong> (ODHA),<br />
pelanggaran menyediakan kondom bagi mereka yang beresiko tinggi,<br />
penangkapan terhadap pengguna narkotika yang bukan pedagang<br />
obat bius, dan lainnya.<br />
Karena itulah kami merasa penting untuk menerbitkan sebuah<br />
buku panduan dalam melakukan advokasi untuk mengembangkan<br />
kebijakan Program Penggunaan Kondom <strong>10</strong>0% (PPK <strong>10</strong>0 %) di<br />
lingkungan seks komersial sehingga ada penggunaan kondom <strong>10</strong>0%<br />
pada <strong>10</strong>0% transaksi seks di <strong>10</strong>0% tempat transaksi seks di suatu<br />
daerah. Buku pegangan ini bukanlah buku teoritis mengenai apa itu<br />
advokasi tetapi lebih kepada langkah-langkah praktis melakukan<br />
advokasi mengembangkan kebijakan publik, khususnya penggunaan<br />
kondom <strong>10</strong>0% di lingkungan seks komersial.<br />
Bagaimana Menggunakan Buku Panduan<br />
<strong>10</strong> <strong>Langkah</strong> <strong>Mengembangkan</strong> <strong>Kebijakan</strong> <strong>Publik</strong>:<br />
Mencegah Penularan HIV/<strong>AIDS</strong> di Lingkungan Seks<br />
Komersial<br />
Buku ini adalah buku panduan dalam rangka melakukan kerjakerja<br />
mengembangkan kebijakan publik khususnya untuk<br />
memperjuangkan penggunaan kondom <strong>10</strong>0%. Maka buku ini sengaja<br />
diterbitkan bagi mereka yang mempunyai perhatian dan peduli<br />
terhadap HIV/<strong>AIDS</strong>.<br />
Membaca buku ini sebaiknya disejajarkan seperti halnya<br />
seorang aktor yang tengah mempelajari skenario yang akan dimainkan<br />
serupa dengan membaca suatu naskah drama. Bagi seorang<br />
advokator, bagaimana memperlakukan buku panduan ini diharapakan<br />
dapat membimbingnya pada suatu imajinasi tentang advokasi beserta<br />
seluruh aktivitasnya. Tanpa suatu imajinasi yang kuat, sulit untuk<br />
xvi XVI
Argumentasi<br />
memahami bagaimana tiap kegiatan dirancang untuk mencapai tujuan<br />
yang mengandung dimensi perubahan.<br />
Tentu tidak mudah utnuk mengembangkan kebijakan<br />
pencegahan HIV/<strong>AIDS</strong> di lingkungan seks komersial dengan<br />
menekankan penggunaan kodom <strong>10</strong>0%, maka diperlukan suatu<br />
kelompok pendukung yang bergerak layaknya suatu pertunjukan<br />
opera, dimana para pelaku utama dan pendukung bahu membahu<br />
mempengaruhi untuk kemudian membentuk kebijakan. Singkat kata<br />
diperlukan kerja advokasi yang sungguh-sungguh. Buku ini adalh<br />
salah satu upaya untuk ikut memberi andil bagi terwujudnya advokasi<br />
termaksud. Para pengguna buku ini diharapkan tidak menelan<br />
mentah-mentah dan menerapkan begitu saja semuanya. Bisa jadi,<br />
ada sejumlah hal yang lebih baik diubah dan disesuaikan dengan<br />
keadaan, kecakapan maupun ketersediaan sumber daya.<br />
Jika kegiatan mengubah kebijakan publik dipelajari dengan<br />
cermat, maka akan tampak satu hal yang sama, yakni pada dasarnya<br />
ditujukan terhadap suatu kebijakan tertentu dari pemerintah yang<br />
menyangkut kepentingan umum. Mungkin saja hasil yang hendak<br />
dicapai atau diinginkan dari kegiatan itu memang berbeda; ada yang<br />
hanya sekedar agar peraturan tertentu dicabut atau dihentikan, ada<br />
juga yang menuntut peraturan tersebut diubah atau diganti sama<br />
sekali, bahkan ada yang melangkah lebih jauh lagi dengan mengajukan<br />
usul-usul perubahan yang mereka inginkan, malah sampai<br />
mengajukan konsep-konsep tandingan terhadap seluruh peraturan<br />
atau inti kebijakan yang mendasari satu atau beberapa peraturan<br />
tertentu. Namun tujuan atau sasaran akhir sebenarnya sama saja:<br />
terjadi perubahan peraturan atau kebijakan.<br />
Dengan kata lain, advokasi sebenarnya merupakan upaya untuk<br />
memperbaiki atau mengubah suatu kebijakan publik sesuai dengan<br />
kehendak atau kepentingan mereka yang mendesakkan terjadinya<br />
perbaikan atau perubahan tersebut.<br />
XVII xvii
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Maka menjadi penting untuk memahami apa sebenarnya<br />
kebijakan publik itu sendiri? Salah satu kerangka analisis yang<br />
berguna untuk memahami suatu kebijakan publik adalah dengan<br />
melihat kebijakan tersebut sebagai suatu “Sistem Hukum” (System<br />
of Law) yang terdiri dari :<br />
Isi Hukum (Content of Law); yakni uraian atau penjabaran<br />
tertulis dari suatu kebijakan yang tertuang dalam bentuk<br />
perundang undangan, peraturan-peraturan dan keputusankeputusan<br />
pemerintah. Ada juga kebijakan-kebijakan yang lebih<br />
merupakan “kesepakatan umum” (konvensi) tidak tertulis, tetapi<br />
dalam hal ini kita lebih menitik beratkan perhatian pada naskah<br />
(text) hukum tertulis, atau “aspek tekstual” dari sistem hukum<br />
yang berlaku.<br />
Tatanan Hukum (Structure of law); yakni semua perangkat<br />
kelembagaan dan pelaksana dari isi hokum yang berlaku. Dalam<br />
pengertian ini tercakup lembaga-lembaga hukum (pengadilan,<br />
penjara, birokrasi, pemerintahan, partai politik dll) dan para<br />
pelaksananya (hakim, jaksa, pengacara, polisi, tentara pejabat<br />
pemerintah, anggota parlemen dll)<br />
Budaya Hukum (Culture of Law); yakni persepsi,<br />
pemahaman, sikap penerimaan, praktek-praktek pelaksanaan<br />
penafsiran terhadap dua aspek system hukum diatas: sisi dan<br />
tatanan hukum. Dalam pengertian ini juga tercakup bentukbentuk<br />
tanggapan masyarakat luas terhadap pelaksanaan isi dan<br />
tatanan hukum tersebut. Karena itu, hal ini merupakan “aspek<br />
kontekstual” dari sistem hukum yang berlaku.<br />
Sebagai suatu kesatuan sistem tiga aspek hukum tersebut saling<br />
terkait satu sama lain. Karena itu idealnya, suatu kegiatan atau program<br />
advokasi, harus juga mencakup sasaran perubahan ketiganya.<br />
Karena dalam kenyataanya, perubahan yang terjadi pada salah satu<br />
XVIII xviii
Argumentasi<br />
aspek saja tidak dengan serta merta membawa perubahan pada<br />
aspek lainnya. Perubahan suatu naskah perundang-undangan atau<br />
peraturan pemerintah, tidak dengan sendirinya mengubah mekanisme<br />
kerja lembaga atau aparat pelaksananya. Banyak contoh selama ini<br />
jelas-jelas memperlihatkan bahwa naskah undang-undang atau<br />
peraturan pemerintah yang, betapapun baiknya secara normatif, tidak<br />
didukung oleh kesiapan perangkat kelembagaan atau aparat<br />
pelaksana yang memadai dan akhirnya tersisa sebagai retorika murni<br />
belaka.<br />
Demikian juga dengan budaya hukum. Naskah hukum mungkin<br />
sudah ada dan memenuhi semua tuntutan normatif yang diperlukan,<br />
juga tersedia perangkat kelembagaan dan aparat pelaksana yang<br />
cukup handal dan terpercaya, tetapi sikap dan perilaku masyarakat<br />
umumnya justru tidak mendukung isi maupun tatanan hukum tersebut.<br />
Sebaliknya juga demikian, tatanan hukum yang berubah tidak<br />
serta merta mengubah isi hukum yang berlaku. Budaya hukum yang<br />
juga berubah, tidak dengan sendiriya mengubah tatanan maupun isi<br />
hukum yang sudah ada.<br />
Semua uraian tersebut memperlihatkan bahwa sasaran<br />
perubahan terhadap suatu kebijakan publik mestulah mencakup<br />
ketiga aspek hukum atau kebijakan tersebut sekaligus. Dengan kata<br />
lain, suatu kegiatan atau advokasi yang baik adalah yang secara<br />
sengaja dan sistematis memang dirancang untuk mendesak<br />
akan terjadinya perubahan baik dalam isi, tatanan maupun<br />
budaya hukum yang berlaku. Kaidah ini tidak menafikan<br />
kenyataan bahwa perubahan bisa saja terjadi secara bertahap atau<br />
berjenjang, mulai dari salah satu aspek hukum tersebut yang memang<br />
dianggap se3bagai titik tolak menentukan kemudian berlanjut (atau<br />
diharapkan membawa pengaruh atau dampak perubahan) ke aspekaspek<br />
lainnya. Tetapi ini hanyalah masalah penentuan strategi dan<br />
XIX xix
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
prioritas dari kegiatan advokasi, tanpa harus mengorbankan prinsip<br />
dasarnya sebagai suatu upaya ke arah perubahan kebijakan<br />
secara menyeluruh.<br />
Kerangka Kerja Dasar<br />
Walaupun merupakan suatu kesatuan sistem yang saling berkait,<br />
namun tiga aspek hukum (kebijakan publik) yang menjadi sasaran<br />
advokasi tersebut harus didekati secara berbeda, terutama karena<br />
memang ketiganya terbentuk melalui proses proses legalisasi dan<br />
litigasi, sementara tatanan hukum dibentuk melalui proses-proses<br />
sosialisasi dan mobilisasi. Masing-masing proses ini memiliki tatacaranya<br />
sendiri. Karenan itu kegiatan advokasi juga harus<br />
mempertimbangkan dan memnempuh proses-proses yang sesuai.<br />
Secara garis besar, ketiga jenis proses tersebut dapat diuraikan<br />
sebagai berikut:<br />
Proses-proses legalisasi dan litigasi; proses ini meliputi<br />
seluruh proses penyusunan rancangan undang undang atau<br />
peraturan sesuai dengan konstitusi dan sistem ketatanegaraan<br />
yang berlaku, mulai dari pengajuan gagasan atau usul dan<br />
tuntunan perlunya penyusunan undang-undang atau, peraturan<br />
baru, perdebatan parlemen untuk membahas gagasan atau<br />
tuntunan tersebut, pembentukan kelompok kerja dalam kabinet<br />
dan parlemen, seminar akademik untuk penyusunan naskah<br />
awal, penyajian naskah awal kepada pemerintah , pengajuan<br />
kembali ke parlemen, sampai akhirnya disepakati atau disetujui<br />
dalam pemungutan suara dalam parlemen. Tetapi pengertian<br />
proses legislasi dapat juga berarti prakarsa pengajuan rancangan<br />
tandingan atau bahkan peninjauan ulang undang-undang.<br />
XX xx
Argumentasi<br />
Proses-proses politik dan birokrasi; proses ini meliputi semua<br />
tahap formasi dan konsolidasi organisasi pemerintahan sebagai<br />
perangkat kelembagaan dan pelaksana kebijakan publik. Bagian<br />
terpenting dan paling menentukan dalam keseluruhan proses ini<br />
adalah seleksi, rekrutmen dan induksi para aparat pelaksana<br />
pada semua tingkatan birokresasi yang terbentuk. Karena itu,<br />
seluruh tahapan tersebut sangat diwarnai oleh proses-proses<br />
politik dan manajemen hubungan (relasi-relasi) kepentingan<br />
kepentingan diantara berbagai kelompok yang terlibat di<br />
dalamnya, mulai dari lobi, mediasi, tawar menawar dan<br />
kolaborasi.<br />
Proses-proses sosialisasi dan mobilisasi ; proses ini meliputi<br />
semua bentuk pembentukan kesadaran dan pendapat umum<br />
serta tekanan massa terorganiser yang akan membentuk suatu<br />
pola perilaku tertentu dalam menyikapi suatu masalah bersama.<br />
Karena itu, proses-proses ini terwujud dalam berbgai bentuk<br />
tekanan politik mulai dari penggalangan pendapat dan dukungan<br />
(kampanye, debat umum, rangkaian diskusi dan seminar,<br />
pelatihan), pengorganisasian (pembentukan basis-basis massa<br />
dan konstituen, pendidikan politik kader), sampai ke tingkat<br />
pengerahan kekuatan.<br />
Secara skematis, proses-proses pembentukan kebijakan publik<br />
dan advokasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:<br />
XXI xx
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
PROSES-PROSES<br />
LEGISLASI & LITIGASI<br />
ISI/NASKAH HUKUM<br />
(pengajuan usul, konsep tanding &<br />
pembelaan)<br />
ISI<br />
HUKUM<br />
PROSES-PROSES<br />
PEMBENTUKAN/<br />
POLITIK & BIROKRASI<br />
KEBIJAKAN PUBLIK<br />
(mempengaruhi pembuat<br />
pelaksana peraturan)<br />
TATA<br />
LAKSANA<br />
HUKUM<br />
P<br />
E<br />
R<br />
U<br />
B<br />
A<br />
H<br />
A<br />
N<br />
K<br />
E<br />
B<br />
I<br />
J<br />
A<br />
K<br />
A<br />
N<br />
PROSES-PROSES<br />
SOSIALISASI & MOBILISASI<br />
(membentuk pendapat umum<br />
pengorganisasian basis<br />
Dan tekanan politik)<br />
BUDAYA<br />
HUKUM<br />
Kegiatan advokasi, walaupun sasarannya adalah perubahan<br />
kebijakan publik sebagai bagian dari sistem hukum, namum tidak<br />
berarti hanya dapat dilakukan melalui jalur-jalur “legal” (proses<br />
legislasi dan litigasi) saja, tetapi juga melalui jalur-jalur “para legal”<br />
(proses-proses politik dan birokrasi serta proses-proses sosialisasi<br />
dan mobilisasi)<br />
Barangkali memang perlu diperingatkan kembali disini bahwa<br />
salah satu tujuan kegiatan advokasi, khususnya dalam rangka<br />
pembentukan kegiatan umum dan penggalangan dukungan massa,<br />
bukanlah semata mata membuat orang “sekedar tahu”, tapi juga<br />
“mau terlibat dan bertindak”.<br />
xvii XXII
Argumentasi<br />
Maka, menjadi jelas pula, bahwa kegiatan advokasi memerlukan<br />
keterlibatan banyak pihak dengan spesifikasi keahlian yang berbeda<br />
dalam suatu koordinasi yang terpadu dan sistematis. Selain alasan<br />
kapasitas teknis, juga ada pertimbangan strategis lainnya untuk<br />
melibatkan semakin banyak pihak dalam suatu kegiatan advokasi,<br />
yakni besaran masalah dan dampak pengaruhnya yang diharapkan<br />
semakin membesar pula dengan semakin banyaknya pihak yang<br />
terlibat menyuarakan hal yang sama. Keterlibatan berbagai pihak<br />
atau organisasi yang saling berbeda tersebut dapat digambarkan<br />
dalam suatu segitiga koordinatif seperti tampak dibawah ini.<br />
KERJA PENDUKUNG<br />
Menyediakan dukungan dana, logistik,<br />
informasi, data dan akses<br />
KERJA BASIS<br />
”Dapur” gerakan advokasi:<br />
Membangun basis massa,<br />
Pendidikan Politik kader,<br />
membentuk lingkar inti,<br />
Mobilisasi aksi<br />
KERJA GARIS DEPAN<br />
Melaksanakan fungsi<br />
juru bicara, perunding,<br />
pelobbi, terlibat dalam<br />
proses legislasi dan<br />
litigasi, menggalang<br />
sekutu<br />
XXIII xxiii
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Meskipun dalam kenyataanya pembagian kerja antar ketiga<br />
unsur ini seringkali terkait satu sama lain, tetapi pemisahan fungsi<br />
utamanya masing-masing secara tegas harus disepakati antara semua<br />
pihak atau organisasi yang terlibat dalam kegiatan advokasi. Ini<br />
penting untuk menegaskan terjadinya kinerja optimum dari setiap<br />
fungsi yang berbeda. Karena sifatnya satu sama lain adalah saling<br />
mendukung dan saling melengkapi, maka mekanisme kinerja terbaik<br />
antara ketiganya adalah rangkaian pertemuan koordinasi berkala<br />
untuk menyepakati bersama pembagian tugas, alokasi sumber daya,<br />
penjadwalan kegiatan, penentuan langkah-langkah dalam proses<br />
pelaksanaan, tata cara pelaporan dan dokumentasi, dan sebagainya.<br />
Semua ini mengandaikan pentingnya kepemimpinan kolektif dalam<br />
suatu jaringan kerja advokasi, dimana tidak ada satu pihakpun yang<br />
merasa dirinya “pemimpin tertinggi”, tetapi lebih sebagai mitra kerja<br />
yang setara dan sinergik<br />
XXIV
Argumentasi<br />
XXV xxv
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Bagan <strong>10</strong> <strong>Langkah</strong> Advokasi Penggunaan Kondom<br />
Tentukan isu strategis Sosialisasi & Mobilisasi<br />
Bentuk Pokja Inti Riset & Olah Data Galang pendukung Kerja Media<br />
Pengaruhi<br />
pembuat kebijakan keb<br />
Rancang sasaran<br />
& strategi<br />
Adakan seminar<br />
XXVI xxvi
Daftar Isi<br />
Kata Salam dari Editor ⎯ vii<br />
Argumentasi ⎯ xi<br />
Daftar Isi ⎯ xxv<br />
<strong>Langkah</strong> Pertama: Membentuk Kelompoki Kerja<br />
(POKJA) Inti<br />
1. Bentuk Kelompok Kerja (POKJA)<br />
Inti Advokasi <strong>Kebijakan</strong> Penggunaan Kondom 2<br />
Syarat Pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) Inti<br />
Advokasi <strong>Kebijakan</strong> Penggunaan Kondom 3<br />
Proses Pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) Inti<br />
Advokasi <strong>Kebijakan</strong> Penggunaan Kondom 4<br />
Contoh Lembar Daftar Anggota POKJA 5<br />
<strong>Langkah</strong> Dua: Kajian dan Olah Data<br />
2. Kajian, Olah Data dan Kemas Isu 8<br />
Kaidah dan Ciri Pokok Kajian Advokasi 9<br />
<strong>Langkah</strong>-langkah Kajian Advokasi 9<br />
Apa yang Perlu Diperhatikan Ketika Mendesain Pesan <strong>10</strong><br />
Tunjuk Juru Bicara 11<br />
Ikhtisar Pengemasan Informasi Untuk Advokasi 12<br />
XXVII xxvi
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
<strong>Langkah</strong> Tiga: Menentukan Isu Strategis<br />
3. Tentukan Isu Strategis 14<br />
Tiga Ciri Pokok Isu Strategis 15<br />
Tolok Ukur Isu Strategis Advokasi Penggunaan Kondom 16<br />
<strong>Langkah</strong>-langkah Menentukan Isu Strategis 18<br />
<strong>Langkah</strong> Empat: Menggalang Dukungan<br />
4. Galang Sebanyak Mungkin Pendukung Untuk<br />
Memperjuangkan <strong>Kebijakan</strong> Penggunaan<br />
Kondom <strong>10</strong>0% di Lingkungan Seks Komersial 22<br />
<strong>Langkah</strong>-langkah Menggalang Dukungan 23<br />
Kelompok Pendukung yang Efektif 25<br />
Individu atau Organisasi yang Dapat Mendukung<br />
Advokasi 26<br />
Cara Lain untuk Memperluas Dukungan 27<br />
Bangun Jaringan Pendukung 28<br />
Apa yang Dilakukan Kalau Menghadapi Perbedaanperbedaan<br />
28<br />
<strong>Langkah</strong> Lima: Merancang Sasaran dan Strategi<br />
5. Tentukan Sasaran dan Strategi Advokasi kebijakan<br />
Penggunaan Kondom <strong>10</strong>0% 32<br />
<strong>Langkah</strong>-langkah 32<br />
Susunlah Kerangka Dasar Strategi Advokasi 34<br />
<strong>Langkah</strong> Enam: Sosialisasi dan Mobilisasi<br />
6. Lakukan Sosialisasi dan Mobilisasi 38<br />
<strong>Langkah</strong>-langkah 38<br />
xxvii XXVIII
Daftar Isi<br />
Media Sosialisasi 39<br />
<strong>Langkah</strong> Tujuh: Kerja Media<br />
7. Lakukan Sosialisasi dan <strong>Publik</strong>asi Melalui Media Massa 44<br />
Beberapa Kaidah 45<br />
Mengemas Pesan Pada Media 46<br />
Menyelenggarakan Talkshow 46<br />
Menyelenggarakan Konferensi Pers 47<br />
Feature 48<br />
Surat Pembaca 48<br />
Radio dan Televisi 48<br />
<strong>Langkah</strong> Delapan: Seminar<br />
8. Adakan Seminar 52<br />
<strong>Langkah</strong>-langkah 53<br />
Persiapan Pelaksanaan 54<br />
Pelaksanaan 55<br />
Yang Perlu Diperhatikan 56<br />
Evaluasi 56<br />
<strong>Langkah</strong> Sembilan: Mempengaruhi Pembuat<br />
<strong>Kebijakan</strong><br />
9. Pengaruhi Pembuat <strong>Kebijakan</strong> 58<br />
Dasar Pelaksanaan Lobbi 58<br />
Siapa yang Akan Dilobbi? 59<br />
Cara-cara Melakukan Lobbi 60<br />
Kapan Melobbi? 63<br />
Beberapa Kiat Lobbi 64<br />
XXIX xxix
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
<strong>Langkah</strong> Sepuluh: Mendesakkan Perubahan<br />
<strong>Kebijakan</strong><br />
<strong>10</strong>. Lakukan Desan untuk Perubahan <strong>Kebijakan</strong> 70<br />
<strong>Langkah</strong>-langkah Perumusan Legal Drafting 70<br />
Proses Konsultasi dan Pembentukan Opini <strong>Publik</strong> 72<br />
Pertemuan Evaluasi dan Sharing Proses di Tingkat<br />
Kabupaten, Propinsi dan Nasional 73<br />
Pustaka 75<br />
Appendix 77<br />
xxx XXX
<strong>Langkah</strong> Pertama<br />
<strong>Langkah</strong> Pertama<br />
Membentuk Kelompok Kerja<br />
(POKJA) Inti<br />
1
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
1<br />
Bentuk Kelompok Kerja (POKJA)<br />
Advokasi <strong>Kebijakan</strong> Penggunaan<br />
Kondom di Lingkungan Seks Komersial<br />
Untuk mengurangi lajunya penyebaran HIV/<strong>AIDS</strong>, Komisi<br />
Penanggulangan <strong>AIDS</strong> (KPA), LSM, akademisi, media massa dan<br />
organisasi sosial serta orang-orang yang peduli <strong>AIDS</strong> perlu untuk<br />
mengadvokasi kebijakan penggunaan kondom <strong>10</strong>0% dalam seks<br />
komersial dengan cara mempengaruhi pemerintah dan parlemen agar<br />
mengembangkan, mengesahkan dan mengeluarkan kebijakan dan<br />
peraturan mendukung usaha-usaha pencegahan penularan HIV/<br />
<strong>AIDS</strong>.<br />
<strong>Langkah</strong> pertama dari proses advokasi adalah membentuk<br />
Kelompok Kerja Inti (POKJA). Dalam istilah advokasi sering disebut<br />
Tim Inti, yakni kumpulan orang-orang yang menjadi penggagas,<br />
pemrakarsa, penggerak dan pengendali utama seluruh kegiatan<br />
advokasi. Sebagai upaya sistematik dan terorganisir untuk<br />
mengembangkan kebijakan publik dalam rangka penggunaan<br />
kondom <strong>10</strong>0%, POKJA inilah yang akan melakukan terwujudnya<br />
segala persyaratan advokasi. Mulai melakukan riset, menentukan<br />
isu strategis, merumuskan sasaran yang akan dicapai, merancang<br />
strategi dan taktik yang akan digunakan, menyiapkan penggalangan<br />
dukungan sumber daya yang dibutuhkan, sampai pada pemantauan<br />
seluruh proses, hasil dan termasuk apa dampaknya. POKJA inti<br />
gerakan advokasi merupakan ’tim kerja’ yang siap bekerja purnawaktu,<br />
saling mendukung dan kompak, ibarat menghadapi suatu<br />
pertarungan antara ’menang’-’kalah’, POKJA berperan memegang<br />
2
<strong>Langkah</strong> Pertama<br />
kendali utama dalam menjalankan strategi yang selalu siap setiap<br />
saat selama proses advokasi berlangsung.<br />
Karena itu, pembentukan POJA inti dalam suatu gerakan<br />
advokasi memrlikan beberapa prasyarat tertentu yang cukup ketat,<br />
terutama dalam hal kesatuan atau kesamaan visi dan analisis (bahkan<br />
juga ideologis), dan kepentingan yang jelas terhadap persoalan yang<br />
diadvokasikan.<br />
Syarat Pembentukan Kelompok Kerja (POKJA)<br />
Inti Advokasi <strong>Kebijakan</strong> Penggunaan Kondom<br />
Jumlah anggota POKJA sebaiknya tidak terlalu banyak untuk<br />
memudahkan koordinasi.<br />
POKJA terdiri dari orang-orang yang memiliki kemampuan menjadi<br />
penggagas dan penggerak kegiatan advokasi.<br />
Anggota POKJA sebaiknya juga terdiri dari berbagai unsur seperti<br />
KPA, LSM yang berpengalaman di bidang HIV/<strong>AIDS</strong>, pengacara,<br />
akademisi serta mempunyai akses yang luas terutama kepada<br />
tokoh agama, pemerintah, legislatif dan tokoh masyarakat lain.<br />
Anggota POKJA harus memiliki visi,cara pandang dan<br />
kepentingan yang sama.<br />
Bersedia memberi waktu yang cukup sehingga dapat<br />
mencurahkan segala tenaga dan pikirannya.<br />
Rendah hati untuk bekerja dan menerima pembagian peran secara<br />
proporsional. Sebaliknya anggota POKJA tidak boleh merasa<br />
menjadi bintang apabila berada di garis depan.<br />
Mampu membedakan secara tegas kapan saatnya harus bersikap<br />
apa dan dengan cara bagaimana terhadap siapa.<br />
3
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Proses Pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) Advokasi<br />
<strong>Kebijakan</strong> Penggunaan Kondom<br />
Pembentukan POKJA dapat dimulai dengan memilih orang orang<br />
yang mempunyai kemampuan untuk menjadi penggagas dan<br />
penggerak kegiatan advokasi.<br />
Selanjutnya dilakukan pembagian peran dengan melihat rencana<br />
advokasi secara keseluruhan, sehingga dapat menentukan posisi<br />
dan peran masing-masing berdasar kemampuan yang dimiliki.<br />
Penentuan peran sampai perincian siapa yang akan menjalani<br />
fungsi kerja basis dan siapa yang bekerja di garis depan.<br />
Untuk menyatukan visi, cara pandang terhadap persoalan dan<br />
isu penggunaan kondom <strong>10</strong>0% yang akan diadvokasi perlu<br />
diadakan diskusi intensif dalam POKJA.<br />
Pertimbangkan, apakah jumlah orang dan kemampuan anggota<br />
POKJA telah mencukupi atau masih perlu menambah lagi. Jika<br />
masih dianggap perlu diskusikan bagian mana yang masih perlu<br />
dukungan dan pilihlah orang yang tepat untuk melakukannya.<br />
4
<strong>Langkah</strong> Pertama<br />
Contoh Lembar Daftar Anggota POKJA (DAP)<br />
Daftar Anggota POKJA<br />
No Nama Alamat Kemampuan Peran Keterangan<br />
5
<strong>Langkah</strong> Kedua<br />
Kajian dan Olah Data<br />
7
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
2<br />
Kajian, Olah Data dan Kemas Isu<br />
Berbeda dengan kajian akademis yang mementingkan formalitas<br />
baku dalam proses dan hasilnya, kajian untuk advokasi kebijakan<br />
lebih menitik beratkan pada manfaat praktis dari semua data, fakta<br />
dan informasi yang dihasilkannya. Karena itu, kajian advokasi<br />
sebenarnya lebih merupakan kajian praktis dan terapan terutama<br />
dalam bentuk kajian kebijakan.<br />
Tujuan utama kajian yakni untuk mengumpulkan sebanyak<br />
mungkin data/fakta, kemudian diolah dan dikemas menjadi informasi<br />
yang diperlukan untuk mendukung semua kegiatan lain dalam proses<br />
advokasi. Data/fakta sangat berguna untuk merumuskan isu strategis,<br />
juga sebagai bahan untuk melakukan langkah-langkah advokasi<br />
berikutnya, mosalnya dalam rangka untuk kebutuhan proses legislasi,<br />
lobbi, kampanye dan lain sebagainya.<br />
Dengan demikian, semua data dan informasi hasil riset itu pada<br />
akhirnya perlu dikemas sedemikian rupa untuk berbagai keperluan<br />
praktis. Data dan informasi yang sama, jika digunakan untuk<br />
keperluan melobbi pejabat pemerintah, misalnya, tentu saja<br />
memerlukan kemasan dan cara penyajian, dan sangat beda jika<br />
digunakan untuk menggalang dukungan langsung dan aktif dari<br />
berbagai pihak lain sebagai calon pendukung potensial atau jika<br />
digunakan untuk keperluan kampanye pembentukan pendapat<br />
umum.<br />
8
<strong>Langkah</strong> Kedua<br />
Kaidah dan Ciri Pokok Kajian Advokasi<br />
Tujuan kajian advokasi adalah pembuktian kasus dan berpegang<br />
pada kebenaran isu yang diadvokasikan.<br />
Manfaat kajian advokasi adalah adanya pengakuan hak atau<br />
pelayanan publik yang lebih baik.<br />
Kajian advokasi harus memihak dan dapat meyakinkan.<br />
Hindari kaidah-kaidah baku yang cenderung bersifat akademis.<br />
Penyajian hasil singkat, padat, jelas dan tegas.<br />
<strong>Langkah</strong>-langkah Kajian Advokasi<br />
POKJA Inti terlebih dahulu perlu memilih kebijakan publik apa<br />
yang menjadi obyek kajian.<br />
Selanjutnya adalah menentukan tujuan melakukan kajian<br />
advokasi, dengan memperhatikan data dan informasi akan<br />
disampaikan kepada siapa atau digunakan untuk apa.<br />
Di samping orang yang berpengalaman melakukan kajian,<br />
pelaksanaan kajian harus melibatkan aktivis dan rakyat (mereka<br />
yang terkena dampak kebijakan).<br />
Agar kegiatan kajian dapat berjalan dengan lancar, sebaiknya<br />
juga dipikirkan hal-hal teknis, seperti pembuatan jadwal<br />
pelaksanaan kegiatan, pemilihan proses dan metoda<br />
pelaksanaannya.<br />
9
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Apa yang perlu diperhatikan ketika mendesain<br />
informasi<br />
Informasi hasil kajian kebijakan untuk keperluan kegiatan<br />
advokasi harus disajikan agar menarik dan mudah dipahami.<br />
Pikirkan mengenai siapa yang akan dijangkau, kemudian<br />
kemaslah pesan dan sesuaikan dengan bahasa kelompok sasaran.<br />
Jika kita ingin menjangkau remaja, gunakanlah bahasa mereka.<br />
Jika ingin menjangkau orang tua, gunakan pesan untuk<br />
menyampaikan bahaya <strong>AIDS</strong> terhadap anak-anak mereka.<br />
Sedangkan jika akan menjangkau pejabat, pilihlah pesan yang<br />
tepat bagi mereka.<br />
Kumpulkan fakta dan informasi pendukung untuk memperkuat<br />
pesan.<br />
Gunakan cerita pribadi jika memungkinkan. Orang akan lebih<br />
mengenali cerita dibanding fakta kering. Gunakan cerita tersebut<br />
untuk menggambarkan mengapa isu itu penting. Gunakan contoh<br />
atau cerita pribadi yang berhubungan dengan pesan atau isu yang<br />
disampaikan. Lebih bagus lagi kalau ada orang saksi, misalnya<br />
ODHA, orang tua ODHA, dsb.<br />
Kumpulkan kutipan dan pernyataan dari orang terkenal dan<br />
minta ijin untuk menggunakannya. Itu akan memberikan<br />
kredibilitas pada upaya yang dilakukan dan membuat orang lain<br />
memberi perhatian.<br />
Maksimalkan nilai positif dan minimalkan nilai negatif. Beberapa<br />
nilai positif dari pemakaian kondom adalah pilihan, kesehatan<br />
dan merupakan tanggung jawab. Sedangkan nilai negatif yang<br />
harus dihindari adalah pernikahan dini, melegalkan zina/seks<br />
<strong>10</strong>
<strong>Langkah</strong> Kedua<br />
bebas, tidak natural. Ingat bahwa penggunaan kata/ kalimat yang<br />
berbeda dapat menimbulkan arti berbeda pula, dan akan<br />
mempengaruhi pemahaman serta penerimaan seseorang.<br />
Gunakan nilai-nilai yang dapat diterima kelompok sasaran serta<br />
diterima juga oleh masyarakat luas. Perhatikan bahwa tiap daerah<br />
mempunyai budaya yang berbeda pula.<br />
Untuk setiap hal yang akan disampaikan, pastikan mengingatkan<br />
orang adanya lawan yang menentang. Sebagai contoh jika kita<br />
menekankan penggunaan kondom dalam mencegah <strong>AIDS</strong>, pasti<br />
akan berhadapan dengan orang yang menentang penggunaan<br />
kondom.<br />
Buat jelas dan singkat pesan yang akan disampaikan.<br />
Gunakan setiap kata terfokus pada isu yang akan dibicarakan.<br />
Ulangi pesan dalam setiap media yang digunakan. Dengan lebih<br />
banyak diulang, akan lebih , memungkinkan didengar atau dibaca.<br />
Buat poin yang lebih penting duluan. Latar belakang informasi<br />
seperti jumlah penduduk dapat disampaikan kemudian.<br />
Tunjuk Juru Bicara<br />
Setelah kita menentukan isu dan pesan yang akan disampaikan,<br />
langkah berikunya adalah menunjuk juru bicara. Tidak setiap orang<br />
yang terlibat dalam kegiatan advokasi dapat menyampaikan pesan<br />
secara baik. Maka pilihlah orang yang :<br />
Fasih berbicara di depan umum.<br />
Mengetahui (memahami) isu sepenuhnya.<br />
Dapat mengkomunikasikan pesan dengan jelas dan ringkas.<br />
11
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Orang yang dikenal, orang dengan kredibilitas (seperti dokter,<br />
DPR dan public figure lain) atau orang yang energik dan antusias<br />
terhadap persoalan HIV/<strong>AIDS</strong> biasanya adalah juru bicara yang<br />
baik.<br />
Ikhtisar Pengemasan Informasi Untuk Advokasi<br />
12
<strong>Langkah</strong> Ketiga<br />
Menentukan isu Strategis<br />
13
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
3<br />
Tentukan Apa Isu Strategis POKJA<br />
Advokasi <strong>Kebijakan</strong> Penggunaan<br />
Kondom <strong>10</strong>0% di Lingkungan Seks<br />
Komersial<br />
Setelah POKJA terbentuk dan melakukan kajian, tugas mereka<br />
berikutnya adalah memilih dan menetapkan isu yang akan<br />
diadvokasikan. Bagaimana dapat menetukan Isu Strategis tentang<br />
kebijakan penggunaan kondom <strong>10</strong>0%?. Pertama yang harus<br />
dilakukan POKJA adalah melakukan riset, mengumpulkan data dan<br />
informasi sebanyak mungkin-termasuk mengumpulkan berbagai<br />
kebijakan yang menyangkut prostitusi dan Infeksi Menular Seksual<br />
(IMS). Data tersebut lalu diolah dan dipelajari yakni dengan<br />
menganalasis mana diantara sekian banyak isu aktual dalam<br />
masyarakat yang benar benar strategis untuk diadvokasikan. Isu<br />
strategis merupakan perumusan jawaban terhadap sejumlah<br />
pertanyaan atau msalah kebijakan paling mendasar yang akan<br />
mempengaruhi kerja-kerja advokasi selanjutnya.<br />
<strong>Kebijakan</strong> yang berlaku di masyarakat ada yang tertulis dan ada<br />
yang tidak tertulis. Pada beberapa tempat prostitusi telah memberikan<br />
sumbangan yang besar bagi pendapatan daerah, tetapi banyak<br />
kebijakan yang kontra produktif dengan melarang prostitusi. Adanya<br />
pelarangan itu tetap menempatkan istri pada posisi yang rentan<br />
tertular HIV. Pada sisi lain, PPK <strong>10</strong>0% bisa saja dilakukan tanpa<br />
‘melegalkan’ prostitusi.<br />
14
<strong>Langkah</strong> Ketiga<br />
Tiga Ciri Pokok Isu Strategis :<br />
a. Terumuskan secara singkat-padat-jelas, jika perlu dalam satu<br />
kalimat/ paragraf saja. Meskipun singkat rumusan ini harus<br />
mampu menjawab pertanyaan tentang apa yang dapat dilakukan<br />
POKJA terhadap isu tersebut. Kalau ternyata jawabannya<br />
adalah bahwa POKJA tidak dapat berbuat sesuatu apa pun,<br />
berarti isu tersebut bukanlah suatu isu yang strategis.<br />
b. Meskipun rumusannya singkat, namun rumusan itu merupakan<br />
hasil diskusi panjang dan mendalam tentang sejumlah faktor yang<br />
menjadi alasan mengapa penggunaan kondom <strong>10</strong>0% dapat<br />
dianggap sebagai suatu masalah kebijakan yang paling<br />
mendasar. Inilah yang menjadi dasar bagi perumusan isu.<br />
c. Meski ringkas, namun tersedia satu rumusan terpisah yang<br />
cukup rinci tentang konsekuensi-konsekuensi yang akan dialami<br />
POKJA jika nantinya gaagal menangani isu tersebut. Jika<br />
ternyata tidak ada konsekuensi atas kegagalan tersebut, maka<br />
isu tersebut tidak bisa dikatakan sebagai isu strategis. Sebaliknya<br />
jika konsekuensinya cukup berat jika terjadi kegagalan, maka<br />
berarti isu tersebut memeang sangat strategis dan harus ditangani.<br />
15
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Isu Strategis Advokasi <strong>Kebijakan</strong> Penggunaan<br />
Kondom <strong>10</strong>0%<br />
1. Kewajiban negara melindungi masyarakat, masyarakat melindungi<br />
individu, individu melindungi diri sendiri dari HIV/<strong>AIDS</strong>.<br />
2. Selama ini istri tidak berdaya terhadap perilaku suami yang beresiko.<br />
3. Laki-laki yang beresiko tingi diharuskan menggunakan kondom,<br />
karena mereka yang menentukan kondom digunakan atau tidak<br />
dalam transaksi seks komersial.<br />
4. Penjaja seks perlu dilindungi dari kekerasan, tekanan, ancaman,<br />
pungutan dalam penerapan PPK <strong>10</strong>0%<br />
Tolok Ukur Isu Strategis Advokasi Penggunaan<br />
Kondom<br />
Selain faktor aktualitas (sedang hangat atau sedang menjadi<br />
perhatian masyarakat), pada dasarnya suatu isu dapat dikatakan<br />
sebagai ’isu yang strategis’ jika:<br />
a. Isu Strategis sangat penting dan mendesak, dalam artian tuntutan<br />
tentang kepastian akan penggunaan kondom semakin meluas<br />
di masyarakat, jika tidak akan membawa dampak negatif lebih<br />
besar pada kehidupan masyarakat umum yakni tersebarnya<br />
HIV/<strong>AIDS</strong> dan penyakit lainnya.<br />
b. Berdampak positif pada perubahan kebijakan publik lainnya<br />
dalam rangka mengarah pada perubahan sosial yang lebih baik<br />
16
<strong>Langkah</strong> Ketiga<br />
c. Sesuai dengan visi dan agenda perubahan sosial yang lebih besar<br />
seperti yang dituntut oleh masyarakat dan juga dicanangkan oleh<br />
POKJA Advokasi Penggunaan Kondom <strong>10</strong>0%<br />
d. Harus sesuai, cocok dengan kebutuhan dan aspirasi sebagian<br />
besar anggota masyarakat, khususnya bagi lapisan masyarakat<br />
bawah. Jika ada pendapat yang menentangnya, maka menjadi<br />
kewajiban POKJA Inti untuk meyakinkan pada masyarakat.<br />
PERHATIAN<br />
Dalam proses perumusan isu strategis sering ditemukan perbedaanperbedaan<br />
atau bahkan bisa jadi mengarah ke pertentangan.<br />
Perbedaan atau pertentangan itu biasa terjadi. Maka harus ditelusuri<br />
apa, bagaimana, mengapa, termasuk soal pilihan tempat (dimana),<br />
waktu (kapan) dan dengan siapa orang-orang atau kelompok yang<br />
nantinya akan memperoleh manfaat atau sebaliknya dirugikan. Karena<br />
itu POKJA dan semua pihak yang terlibat harus siap menghadapi<br />
perbedaan dan pertentangan.<br />
17
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
<strong>Langkah</strong>-langkah Menentukan Isu Strategis<br />
1. Lakukan tukar pendapat semua anggota POKJA yakni dengan<br />
cara mendaftar sebanyak mungkin isu yang mereka anggap<br />
penting.<br />
2. Setelah daftar isu terkumpul, lakukan penilaian terhadap setiap<br />
isu satu-persatu dengan menggunakan tolok ukur isu strategis<br />
yang telah dirumuskan dan disepakati<br />
3. Pilih salah satu isu, yakni yang paling memenuhi tolak ukur<br />
yang ada (jika ada beberapa isu yang memenuhi semua tolak<br />
ukur, POKJA harus tetap mendiskusikannya dan memilih salah<br />
satu saja!)<br />
4. Salah satu tulisan singkat (1-2 halaman saja) sebagai ’kertas<br />
posisi’ POKJA yang menjelaskan latar belakang data/ informasi<br />
dan alasan-alasan (argumentasi) mengapa isu tersebut dianggap<br />
penting dan perlu diadvokasikan.<br />
Dalam kenyataanya, ada kalanya isu strategis sudah dipilih dan<br />
ditetapkan lebih dahulu, dan baru belakangan POKJA dibentuk.<br />
Kalau terjadi praktek seperti itu maka POKJA yang telah terbentuk<br />
sebaiknya duduk bersama dan membahas bersama kembali, yakni<br />
dengan melakukan penilaian lagi apakah isu yang telah dipilih dan<br />
ditetapkan itu memang benar-benar strategis atau tidak menurut<br />
POKJA.<br />
18
<strong>Langkah</strong> Ketiga<br />
Dalam Strategi Nasional Penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong> 2003-2007<br />
disebutkan upaya pencegahan HIV/<strong>AIDS</strong> pada populasi beresiko<br />
tinggi seperti penjaja seks dan pelanggannya, ODHA dan<br />
pasangannya, penyalah guna napza suntik, dan petugas karena<br />
pekerjaanya beresiko terhadap penularan HIV/<strong>AIDS</strong> harus dilakukan<br />
dengan efektif seperti penggunaan kondom penerapan pengurangan<br />
dampak buruk dan penetapan kewaspadaan umum.<br />
UNGASS 2001 telah mendeklarasikan bahwa tahun 2003<br />
mengesahkan, mendukung atau menegakkan peraturan dan<br />
ketentuan lainnya sebagai perundang-undangan yang tepat untuk<br />
menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan memastikan pemilikan<br />
hak-hak asasi dan kemerdekaan secara sepenuhnya oleh ODHA<br />
dan kelompok rentan.<br />
19
20<br />
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK
<strong>Langkah</strong> Keempat<br />
Menggalang Pendukung<br />
21
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
4<br />
Galang Sebanyak Mungkin Pendukung<br />
untuk Memperjuangkan <strong>Kebijakan</strong><br />
Penggunaan Kondom <strong>10</strong>0% di Linfkungan<br />
Seks Komersial<br />
Kerja-kerja mengembangkan kebijakan publik (advokasi)<br />
penggunaan kondom <strong>10</strong>0% adalah serangkaian kegiatan yang sangat<br />
rumit. Banyak jenis kegiatan yang harus dilakukan bahkan pada<br />
saat bersamaan, mulai dari pengumpulan data dan informasi,<br />
merumuskan isu, menggalang sekutu, beracara di peradilan, melobbi<br />
pejabat pemerintah, menyelenggarakan kampanye, berurusan<br />
dengan media, sampai membangun basis basis masyarakat<br />
pendukung. Padahal, tiap jen is kegiatan itu saja sudah cukup menyita<br />
banyak waktu , tenaga, pikiran dan dana. Sehingga tidak ada<br />
seseorang atau suatu kelompok (seberapapun besar dan kuatnya)<br />
yang akan mampu sendiri melakukan semua kegiatan advokasi<br />
tersebut. Dalam hal inilah, penggalangan pendukung menjadi<br />
sangat vital dalam setiap kegiatan advokasi.<br />
Kesuksesan membangun opini jarang dihasilkan oleh sedikit<br />
orang. Kegiatan advokasi biasanya merupakan kerja sama dari<br />
berbagai orang dan organisasi dengan masing-masing<br />
menyumbangkan sumber daya, waktu dan tenaga. Orang dan<br />
organisasi saling bekerja sama karena adanya persamaan dan tujuan.<br />
Dengan menunjukkan kegiatan advokasi memiliki pendukung yang<br />
luas, merupakan kesempatan bagi tumbuhnya basis konstituen<br />
masyarakat dan semakin mengurangi bahkan menghilangkan pihakpihak<br />
yang menentang.<br />
22
<strong>Langkah</strong> Keempat<br />
Kelompok kerja (POKJA) dalam kegiatan mengembangkan<br />
kebijakan publik bisa perorangan, atau berasal dari kelompok atau<br />
organisasi yang memiliki sumber daya (keahlian, akses, pengaruh,<br />
informasi, prasarana dan sarana, juga dana) yang bersedia dan<br />
kemudian terlibat aktif langsung, mendukung dengan mengambil peran<br />
atau menjalankan suatu fungsi, tugas tertentu dalam seluruh rangkaian<br />
kegiatan advokasi secara terpadu. Adapun mereka yang tidak terlibat<br />
secara langsung, misalnya sekedar menyediakan sarana dan logistik<br />
yang dibutuhkan, atau tenaga ahli yang menyumbangkan<br />
pemikirannya, dapat kita katakan sebagai satuan pendukung. Terlibat<br />
langsung atau tidak langsung, tetap dibutuhkan proses-proses<br />
pendekatan kepada mereka agar bersedia terlibat. Jelas diperlukan<br />
berbagai keterampilan teknis dan kiat khusus untuk itu.<br />
Kejelasan pada tujuan yang dirumuskan akan menguatkan upaya<br />
advokasi dan mendorong orang lain melihat kelompok advokasi ini<br />
kompak, serius dan dapat dipercaya. Persepsi demikian akan<br />
menarik dukungan masyarakat lebih luas.<br />
<strong>Langkah</strong> <strong>Langkah</strong> Menggalang Dukungan<br />
Dalam menggalang dukungan terhadap kegiatan advokasi,<br />
telebih dahulu tentukan pihak-pihak yang akan diajak kerja sama<br />
dan bagilah tugas atau peran yang harus mereka lakukan.<br />
Tentukan tolak ukur utama untuk menilai seseorang atau suatu<br />
organisasi dapat dijadikan pendukung kegiatan advokasi.<br />
Untuk menjaga kelancaran kerja, rumuskan mekanisme<br />
penugasan mereka keseluruh koordinasi/ jaringan advokasi<br />
tersebut. Dengan demikian pendukung dapat dilibatkan dalam<br />
setiap kegiatan advokasi.<br />
Selanjutnya dapat dilakukan pengkajian apakah mereka<br />
23
24<br />
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
melakukan perannya dengan baik, membantu kelancaran<br />
advokasi atau malah sebaliknya.<br />
Bila mengalami kesulitan atau hambatan dalam proses kerja<br />
sama, segera atasi atau cari pemecahannya.<br />
Susun rencana kerja bersama satuan pendukung dalam rangka<br />
rencana strategi advokasi keseluruhan.<br />
Tanda keberhasilan advokasi adalah kemampuan untuk<br />
mengajak orang berfikir seperti apa yang kita fikirkan dan akhirnya<br />
mendukung upaya advokasi.<br />
Ketika telah mendapat dukungan, perhatikan hal-hal berikut:<br />
Hindari membentuk suatu struktur organisasi formal kecuali<br />
kalau memang sudah sangat dibutuhkan. Kalaupun terpaksa<br />
harus ada struktur formal, tetap pelihara situasi informal.<br />
Delegasikan tanggung jawab dan peran seluas mungkin kecuali<br />
pada hal-hal yang memang sangat strategis dan hanya boleh<br />
diketahui oleh POKJA inti.<br />
Usahakan selalu membuat keputusan secara bersama sama.<br />
Jadikan mekanisme keputusan bersama sebagai nilai penting.<br />
Pahami berbagai kendala, kekurangan dan keterbatasan yang<br />
dimiliki semua pihak yang terlibat. Beri peran dan fungsi yang<br />
sesuai dengan kendala dan keterbatasan mereka jangan<br />
membebani dengan hal-hal menyulitkan.<br />
Mutlak jaga kelancaran saluran komunikasi dengan mereka,<br />
POKJA harus mengambil prakarsa menghubungi mereka jika<br />
tidak terjadi komunikasi cukup lama, jangan tunggu mereka yang<br />
menghubungi. Jangan tunda menyampaikan informasi baru yang<br />
kita peroleh.
<strong>Langkah</strong> Keempat<br />
Kelompok Pendukung Yang Efektif<br />
Kelompok pendukung dalam kegiatan advokasi akan bekerja cukup<br />
baik dan efektif jika memenuhi beberapa hal berikut ini ;<br />
Terfokus pada tujuan atau sasaran advokasi yang telah disepakati<br />
bersama.<br />
Tegas menetapkan dan menggarap suatu isu tertentu atau<br />
menggarap beberapa isu sekaligus sepanjang disepakati bersama.<br />
Ada pembagian peran dan tugas yang jelas diantara semua yang<br />
terlibat.<br />
Terbentuk sebagai hasil atau dampak dari adanya pertentangan<br />
dalam masyarakat. Mereka yang bergabung adalah mereka yang<br />
benar-benar meraskan perlunya bekerja sama.<br />
Memanfaatkan berbagai ketegangan yang muncul dalam proses<br />
bekerja sama untuk menjaga dinamika dan perimbangan. Karena<br />
itu, kelenturan harus tetap dijaga tidak terlalu kaku dan serba<br />
mengikat.<br />
Memungkinkan lahirnya bentuk bentuk kerja sama yang baru<br />
yang lebih berkembang di masa masa mendatang. Kerja sama itu<br />
memungkinkan terjadinya proses saling membagi pengalaman,<br />
harapan, keahlian, informasi dan keterampilan.<br />
Ada mekanisme komunikasi yang lebih lancar, semua pihak<br />
mengetahui harus menghubungi siapa, tentang apa, pada saat<br />
kapan dan dimana.<br />
Dibentuk untuk jangka waktu tertentu yang jelas: jangka pendek,<br />
menengah atau panjang? Harus jelas ada batas waktu kapankerja<br />
sama itu selesai dan (jika dibutuhkan) boleh dimulai lagi.<br />
25
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
PERHATIAN<br />
Dalam menentukan apakah POKJA Inti perlu merekrut pendukung<br />
untuk mencapai tujuan, sebaiknya juga diperhatikan :<br />
Siapa yang saat ini menjadi mitra POKJA, mantapkan kembali<br />
hubungan POKJA dengan mereka sebelum mencari tanbahan<br />
teman.<br />
Apakah mencari partner yang tepat sesuai isu yang telah ditetapkan,<br />
pastikan kelompok atau individu lain yang mendukung dengan<br />
isu sejenis, sehingga tidak membawa isu lain.<br />
Dapat pula kelompok itu bekerja dalam area yang berbeda tetapi<br />
mempunyai isu yang sama.<br />
Pikirkan bagaimana cara menjangkau tiap pendukung potensial.<br />
Sebagai contoh kita perlu menggunakan pendekatan berbeda.<br />
Untuk mendekati penentu kebijakan dibanding mendekati media.<br />
Pendekatan pada individu yang telah terbiasa membicarakan<br />
kondom akan berbeda dengan individu yang tahu sedikit<br />
manfaatnya.<br />
Individu atau organisasi yang dapat diajak untuk<br />
mendukung advokasi<br />
Sebaiknya lakukan identifikasi pada berbagai pihak apakah<br />
ada kemungkinan sebagai pendukung, pikirkan orang yang akan<br />
bekerja pada isu sama atau mempunyai komitmen pada<br />
penanggulangan <strong>AIDS</strong>. Proses tersebut akan membantu kita untuk<br />
mengidentifikasi kelompok atau individu yang mungkin menjadi<br />
pendukung potensial. Kelompok atau individu yang dapat menjadi<br />
pendukung potensial adalah :<br />
26
Kelompok lokal/ nasional yang bekerja pada isu HIV/<strong>AIDS</strong>.<br />
Organisasi yang bekerja pada isu berbeda, tetapi mempunyai<br />
komitmen pada penanggulangan <strong>AIDS</strong>.<br />
Penentu kebijakan dan legislatif.<br />
Perawat, pekerja sosial dan pekerja kesehatan lain.<br />
Artis atau public figure yang dapat menambah kredibilitas upaya<br />
kita dan mempublikasikannya.<br />
ODHA.<br />
Tokoh masyarakat.<br />
Individu kaya yang dapat menyumbang dana untuk mencegah<br />
HIV/<strong>AIDS</strong>.<br />
Pemimpin agama.<br />
Petugas KB.<br />
Wartawan yang menulis tentang isu <strong>AIDS</strong>.<br />
Kelompok Perempuan.<br />
Cara lain untuk memperluas dukungan<br />
Setelah POKJA Inti memperolah dukungan dari pihak-pihak<br />
diatas, usahakan untuk selalu memperluas dukungan dan jangkauan,<br />
dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:<br />
Ajak perwakilan kelompok lain untuk berbicara atau sebagai<br />
peserta pada acara atau kegiatan yang kita lakukan.<br />
Buat daftra terbaru apa yang kelompok lain kerjakan, dimana<br />
kita dapat berpartisipasi, seperti dalam seminar, acara dan<br />
kegiatan lainnya.<br />
Beri perhatian pada kelompok atau individu yang bersimpati<br />
pada kasus <strong>AIDS</strong> tetapi hanya terlibat secara tidak langsung.<br />
27
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Ajak mereka pada acara seminar, atau bisa juga ajak mereka<br />
menjadi anggota kehormatan.<br />
Tidak kalah pentingnya untuk berbicara pada kelompok dan<br />
organisasi local, maka distribusikan informasi pada acara –acara<br />
local yang ada.<br />
Pasang informasi pada tempat umum dan sampaikan pada orang-orang<br />
bagaimana cara mereka dapat membantu.<br />
Putar film tentang kasus <strong>AIDS</strong> dan cara penanggulangannya<br />
pada masyarakat.<br />
Bangun Jaringan Pendukung<br />
Salah satu cara yang efektif agar kita dapat menjalin kerja sama<br />
adalah dengan berpartisipasi dalam sebuah jaringan. Jaringan adalah<br />
sebuah kelompok dari beberapa organisasi yang sependirian/<br />
sependapat bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Jaringan<br />
tersebut dapat bersifat tetap atau sementara, dengan isu tunggal<br />
penggunaan kondom <strong>10</strong>0%.<br />
Jaringan dapat berperan untuk :<br />
Membangun kelangsungan basis dukungan<br />
Meningkatkan pengaruh dan upaya advokasi<br />
Memperluas jaringan advokasi<br />
Meningkatkan keuangan dan sumber daya<br />
Apa yang dilakukan kalau menghadapi perbedaan<br />
pendapat<br />
Kalau dua atau lebih kelompok bergabung, senantiasa akan<br />
terdapat perbedaan pendapat. Sebelum menjadi anggota jaringan,<br />
28
<strong>Langkah</strong> Keempat<br />
sebaiknya dipikirkan apakah kita cukup fleksibel dan dapat<br />
melakukan kompromi, misalnya :<br />
Berapa banyak yang siap dikorbankan untuk mencapai tujuan<br />
bersama<br />
Apakah kita mau berbagi akses dengan organisasi lain<br />
Bagaiman mengatasi konflik diantra anggota jika terjadi.<br />
Pahami dan hargai kepentingan lembaga masing-masing. Cari<br />
tahu lebih dalam semua organisasi atau individu yang ada dalam<br />
jaringan itu; bagaimana sejarah, budaya nilai dan agenda mereka.<br />
Adalah penting untuk setiap anggota memahami hal tersebut dan<br />
menghargai perbedaan-perbedaan.<br />
Ketika konflik terjadi, gunakan itu sebagai kesempatan untuk<br />
menjaga dinamika dan menghargai perbedaan pandangan serta<br />
sikap. Pelihara agar upaya-upaya yang dilakukan dalam jaringan<br />
tetap terfokus pada tujuan bersama.<br />
29
30<br />
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK
<strong>Langkah</strong> Kesepuluh<br />
<strong>Langkah</strong> Kelima<br />
Merancang Sasaran dan Strategi<br />
31
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
5<br />
Tentukan Sasaran dan Strategi Advokasi<br />
<strong>Kebijakan</strong> Penggunaan Kondom <strong>10</strong>0%<br />
Apakah yang harus diingat dalam proses perumusan sasaran<br />
advokasi adalah hakekat dan tujuan utama advokasi itu sendiri<br />
sebagai upaya untuk mengembangkan kebijakan publik penggunaan<br />
kondom <strong>10</strong>0%, sehingga rumusan sasaran harus tetap mengacu pada<br />
tujuan tersebut. Ini penting diingatkankembali terlebih dahulu untuk<br />
mencegah kecenderungan merumuskan sasaran advokasi yang<br />
berlebihan atau sudah diluar batas lingkup advokasi. Ingat bahwa<br />
advokasi adalah gerakan yang menggunakan cara-cara bukan<br />
kekerasan melalui jalur, wadah dan proses demokrasi perwakilan<br />
yang ada.<br />
Karena itu sasaran advokasi memang hanya tertuju atau terarah<br />
pada kebijakan-kebijakan publik (atau bahkan hanya satu kebijakan<br />
publik tertentu) saja, dengan asumsi bahwa perubahan yang terjadi<br />
pada satu kebijakan tersebut akan membawa dampak positif atau,<br />
paling tidak merupakan titik awal dari perubahan-perubahan yang<br />
lebih besar.<br />
<strong>Langkah</strong>-langkah<br />
Dalam merancang sasaran dan strategi hendaknya<br />
memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut :<br />
Sebelum menentukan kebijakan sasaran advokasi, lihat kembali<br />
hasil perumusan Isu Strategis yang telah dirumuskan olah<br />
POKJA Inti.<br />
32
<strong>Langkah</strong> Kesepuluh<br />
Berdasar Isu Strategis tersebut kemudian kita dapat menentukan<br />
kebijakan publik mana yang akan menjadai sasaran advokasi.<br />
Jika berbentuk peratauran atau undang undang resmi, harus<br />
disebutkan secara jelas: nomor berapa, tentang apa, dan pada<br />
tingkatan apa (desa, daerah, nasional).<br />
Selanjutnya pilihlah aspek apa dari kebijakan publik tersebut<br />
yang akan difokuskan atau diprioritaskan sebagai sasaran<br />
advokasi. Aspek tersebut meliputi isi naskah, tatalaksana,<br />
budaya atau semuanya.<br />
Ukurlah rancangan strategi dengan tolak ukur<br />
‘SMART’<br />
Specific-Apakah rumusan sasarannya itu memaeng spesifik, konkrit<br />
dan jelas<br />
Measurable-Apakah hasilnya nanti cukup terukur (ada indicator<br />
yang jelas bisa dipantau dan diketahui)<br />
Achievable-Apakah sasaran atau hasil itu memang sesuatau yang<br />
mungkin dicapai atau diwujudkan (bukan mimpi dan angan-angan<br />
yang mustahil)?<br />
Realistic-Apakah team advokasi memang mungkin atau mampu<br />
melaksanakan dan mencapainya (punya kemampuan, sumber daya<br />
dan akses untuk itu)?<br />
Time-bound-Apakah ada batas waktu yang jelas (kapan dan berapa<br />
lama) tim advokasi mencanangkan pencapaian sasaran tersebut?<br />
33
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Rumuskan pula bentuk perubahan apa yang diinginkan sebagai<br />
hasil konkret dari rencana advokasi<br />
Perkiraan waktu yang diperlukan untuk melakukan advokasi<br />
dan mencapai sassaran tersebut<br />
Susunlah kerangka dasar strategi advokasi sebagai<br />
acuan kerja :<br />
Pilihlah proses-proses pembentukan kebijakan publik dan<br />
sasaran advokasi yang akan ditempuh dan diprioritaskan (proses<br />
legislasi-yuridiksi, proses politik birokrasi, atau prosses<br />
sosialisasi mobilisasi).<br />
Atas dasar itu, tentukan bentuk-bentuk kegiatan apa saja yang<br />
akan ditempuh.<br />
Tentukan siapa atau pihak-pihak mana saja yang akan diajak<br />
untuk bekerja sama mendukung advokasi tersebut. Mengapa<br />
dan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh masing-masing<br />
pihak tersebut?<br />
Rancanglah cara mengkoordinasikannya. (buatlah gambaran<br />
umum struktur kelompok dan mekanisme kerja yang akan<br />
diterapkan)<br />
Lihatlah sumber daya yang dimiliki dan darimana saja akan<br />
memperolehnya? Bagaimana cara mengatasi berbagai<br />
kelemahan yang mungkin dimiliki atau kemungkinan hambatan/<br />
ancaman yang dihadapi nanti.<br />
34
<strong>Langkah</strong> Kesepuluh<br />
Tabel kerangka dasar strategi advokasi<br />
Tujuan<br />
Proses yang<br />
akan ditempuh<br />
Bentuk<br />
Kegiatan<br />
Pihak yang<br />
diajak kerja<br />
sama<br />
Peran yang<br />
dilakukan<br />
Cara<br />
Koordinasi<br />
Sumber<br />
daya yang<br />
dimiliki<br />
35
36<br />
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK
<strong>Langkah</strong> Keenam<br />
Sosialisasi dan Mobilisasi<br />
37
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
6<br />
Sosialisasi dan Mobilisasi<br />
Proses sosialsisasi dan mobilisasi, bentuk-bentuk kegiatannya<br />
lebih beragam dan majemuk, mulai dari kampanyepembentukan<br />
kesadaran masyarakat dan pendapat umum, kampanye penggalangan<br />
dukungan, pelatihan dan pendidikan politik tentang suatu isu kepada<br />
anggota dan waraga korban, pembentukan basis-basis organisasi<br />
gerakan, samapai pengerahan kekeuatan massa melakukan berbagai<br />
aksi-aksi kesetiakawanan, bahkan bilamana perlu lakukan aksi unjuk<br />
rasa.<br />
Kampanye pembentukan pandapat umum penting dalam<br />
kegiatan advokasi, bahkan mungkin bentuk kegiatan yang paling<br />
lazim dilakukan oleh banyak organisasi/ jaringan advokasi selama<br />
ini. Tetapi tidak banyak, terutama dikalangan ORNOP di Indonesia<br />
selama ini, yang pernah melakukannya secara cukup sistematis,<br />
efektif, kreatif, inovatif dan menarik! (bahkan ada kesan sering dibuat<br />
’asal-asalan’<br />
<strong>Langkah</strong>-langkah<br />
Tentukan apa sasaran yang ingin dicapai sebagai hasil kampanye<br />
pembentukan pendapat umum dalam kerangka kerja advokasi<br />
Kenali siapa saja yang akan menjadi sasaran utama kampanye.<br />
Pilih tema (pesan-pesan) pokok yang akan dikampanyekan<br />
dan siapkan bahan-bahan pendukungnya.<br />
Rancanglah penyajian pesan-pesan yang akan disampaikan.<br />
38
<strong>Langkah</strong> Keenam<br />
Pilih bentuk media yang tepat untuk menyampaikannya dan<br />
kemas pesan dengan efektif dan kreatif.<br />
Buatlah jadwal pelaksanaan kampanye; berapa kali dan berapa<br />
lama kampanye akan dilakukan? Kapan, pada saat apa dan<br />
dimana saja?<br />
Tentukan orang-orang yang akan melaksakan kampanye.<br />
Pikirkan cara mangkoordinasikannya secara terpadu dengan<br />
semua kegiatan advokasi lainnya.<br />
Media Sosialisasi<br />
Lembar Fakta<br />
Lembar fakta memuat tentang fakta dari berita/ suatu topik<br />
tertentu. Lembar fakta merupakan suatu cara yang sangat efektif<br />
untuk memberikan informasi ke publik, media pembuat kebijakan,<br />
karena lembar fakta menyimpulkan berita dengan ringkas. Lembar<br />
fakta juga seringkali menggunakan data yang menarik publik.<br />
Ketika menulis lembar fakta, yakinlah bahwa kita menggunakan<br />
data terkini yang ditemukan, dengan catatan kaki/ petunjuk dimana<br />
dan dari siapa data tesebut berasal. Hal ini akan sangat meningkatkan<br />
kredibilitas kita diamta orang-otrang yang membaca lembar fakta<br />
tersebut.<br />
Pamflet<br />
Pamflet merupakan cara yang efektif untuk menyampaikan pesan<br />
yang akan disampaikan ke publik. Biasanya pamflet berisi 1 halaman<br />
dan memberikan informasi tentang siapa/ apa/ mengapa/ dimana/<br />
kapan kegiatan dilakukan. Selain disebarkan, dapat pula dipasang<br />
pada papan buletin perpustakaan, pusat kegiatan masyarakat, toko,<br />
universitas dan tempat-tempat umum lainnya. Pamflet sangat baik<br />
39
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
digunakan apabila kita ingin memberitahukan kepada publik tentang<br />
agenda aktifitas advokasi, misalnya; rencana pertemuan mendatang,<br />
konferensi pers, atau kegiatan untuk membawa informasi dengan<br />
cepat. Pamflet juga baik digunakan mengirimkan pesan-pesan untuk<br />
orang dengan jumlah banyak. Tetapi kita perlu hati-hati<br />
menggunakannya, terutama jika pesan yang disampaikan masih<br />
menimbulkan kontroversi.<br />
Brosur<br />
Brosur merupakan salah satu dari kebanyakan publikasi dengan<br />
biaya yang efisien yang bisa kita gunakan. Dalam beberapa hal brosur<br />
juga bisa lebih efektif. Brosur harus mengandung unsur; menyolok/<br />
menarik perhatian dan mudah dibaca.<br />
Brosur harus meringkas inti utama dari misi dan kegiatan advokasi<br />
sesingkat mungkin, dan brosur juga harus dapat dipahami semudah<br />
mungkin. Brosur dengan kat yang banyak akan kurang menarik untuk<br />
dibaca. Ukuran dari brosur dan desainnya tergantung pada banyaknya<br />
informasi yang ingin dimasukkan.<br />
Buku kecil/ Buku Saku<br />
Buku kecil memberikan berita/ tempat yang lebih lengkap dan<br />
membutuhkan perencanaan, penelitian dan penulidan yang seksama.<br />
Buku kecil lebih mahal dalam pembuatannya, karena buku kecil<br />
biasanya berisis lebih banyak dokumentasi dan penelitian yang<br />
substansif. Buku kecil dapat digunakan untuk menumbuhkan<br />
kredibilitas dan visibilitas pada media massa, pelajar, pendididk, dan<br />
pendukung lainnnya. Untuk membuat buku kecil menarik minat baca,<br />
berilah halaman ringkasan atau kata-kata penutup yang merupakan<br />
ringkasan dari berita utama. Buku kecil juga dapat dijual kepada<br />
publik, apabila informasi itu bagi mereka dinilai dirasa bernilai dan<br />
dibutuhkan.<br />
40
<strong>Langkah</strong> Keenam<br />
Laporan Berkala<br />
Laporan berkala berisi berita yang berkaitan dengan<br />
perkembangan organisasi. Laporan berkala secara luas bisa<br />
menimbulkan pendidikan publik dan berfungsi sebagai alat<br />
membangun dukungan. Namum demikian Laporan Berkala harus<br />
terbit dengan waktu yang teratur. Ini berarti kita harus menyediakan<br />
waktu yang cukup untuk mengumpulkan bahan dan membuatnya<br />
serta untuk memperbaharui daftar pengiriman dan penyebarannya.<br />
Pamflet dapat dikerjakan dengan cepat dan brosur dikerjakan dengan<br />
waktu yang sebentar, sedangkan laporan berkala memerlukan waktu<br />
yang lama.<br />
Laporan berkala dapat disajikan dalam bentuk yang panjang/<br />
pendek sesuai dengan yang dibutuhkan, namun dalam kampanye<br />
tertentu, laporan berkala yang berbentuk pendek biasanya lebih baik.<br />
Suatu laporan berkala berisi suatu gambaran dari organisasi dalam<br />
setiap laporan/ berita dan menjelaskan secara lengkap kemenangan/<br />
kekalahan kelompok pada saat ini.<br />
Laporan Tahunan<br />
Laporan tahunan merupakan dokumen komprehensif yang bisa<br />
dibuat oleh suatu organisasi. Laporan tahunan menjelaskan organisasi<br />
dan kegiatan kita selama setahun dan memberikan laporan keuangan<br />
yang lengkap, daftar karyawan, sumber-sember dana, dan preatasi<br />
organisasi.<br />
Naskah Posisi<br />
Naskah posisi menyatakan posisi organisasi kita pada maslahmasalah<br />
tertentu. Meskipun naskah posisi mudah dalam<br />
membuatnya, namun naskah posisi seringkali lebih sulit dalam<br />
menulisnya. Perhatikan betul betul isi tulisannya, karena akan berisi<br />
sikap organisasi kita.<br />
41
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Ketika menulis pernyataan/ naskah posisi, perhatikan hal-hal<br />
berikut:<br />
Gunakan bahasa yang tidak membingungkan dan pernyataan<br />
yang logis.<br />
Nyatakan posisi kita dengan jelas dan ringkas. Beri kesempatan<br />
pembaca unttk membenarkan suatu posisi secara perlahanlahan.<br />
Hindari penggunaan bahasa kelompok tertentu dan<br />
bahasa yang berlebih lebihan.<br />
Berilah kesempatan pembaca lainnya untuk menyatakannya dan<br />
meyakinkan bahwa naskah tersebut sudah jelas. Mintalah pada<br />
individu yang sama untuk mencermati sisi yang berlawanan dari<br />
posisi kita dan perhatikanlah kesalahan/ ketidak konsistenan<br />
dalam posisi kita sehingga perubahan dapat dibuat sebelum<br />
dokumen disebar luaskan.<br />
Petisi<br />
Petisimerupakan pengumpulan nama dan alamat orang orang<br />
yang mendukung suatu kampanye tertentu. Petisimerupakan cara<br />
yang efektif dalam mengumpulkan nama dan alamat dari pendukung<br />
dan sukarelawan baru yang potensial, dan untuk dokumentasi<br />
kekuatan dari konstituen yang mendukung kita. Setiap orang yang<br />
akan menandatangani petisi harus diminta untuk melakukan beberapa<br />
kegiatansukareladalamendukungupaya-<br />
upayadvokasi.<br />
42
<strong>Langkah</strong> Keenam<br />
<strong>Langkah</strong> Ketujuh<br />
Kerja Media<br />
43
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
7<br />
Lakukan Sosialisasi dan <strong>Publik</strong>asi Melalui<br />
Media Massa<br />
Berbagai macam media massa dapat digunakan untuk<br />
kepentingan advokasi, apakah dalam bentuk cetakan atau bentuk<br />
siaran, seperti surat kabar, jurnal, majalah, radio dan televisi. Semua<br />
bentuk media ini berguna untuk menyampaikan pesan atau informasi<br />
kepada masyarakat.<br />
Karakteristik masing-masing media tersebut sangat berbeda,<br />
oleh karena itu membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Media<br />
massa terutama media cetak dan elektronik memiliki dampak<br />
yang luas dan kompleks terhadap pola kehidupan sosial di kota<br />
maupun di desa. Pengaruh ini tidak hanya terbatas pada satu bidang<br />
tertentu, tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat,<br />
termasuk aspek kesehatan.<br />
Kerja media dapat dilakukan secara mandiri maupun dengan<br />
menggunakan atau bekerjasama dengan media massa yang ada, baik<br />
itu elektronik, cetak maupun cyber media. Kegiatan mandiri yang<br />
dapat dilakukan antara lain menerbitkan bulletin, newsletter atau<br />
mebentuk radio komunitas. Sedangkan kegiatan kerja yang dilakukan<br />
dengan menggunakan atau bekerjasama dengan media yang ada<br />
antara lain, menerbitkan press release (siaran pers), mengundang<br />
untuk liputan, talk show, spot iklan dan lain-lain.<br />
44
<strong>Langkah</strong> Ketujuh<br />
Garis besar tujuan dari kerja media ini adalah:<br />
Memberikan informasi dan penyadaran pada masyarakat<br />
mengenai isu yang sedang diadvokasi.<br />
Mengajak masyarakat untuk mendukung isu yang diadvokasi<br />
dalam bentuk perilaku.<br />
Membentuk pendapat umum dalam rangka menciptakan tekanan<br />
sosial-politik bagi terjadinya perubahan kebijakan publik.<br />
Beberapa Kaidah Asas<br />
Dalam melakukan kerja media perlu diperhatikan hal-hal<br />
sebagai berikut:<br />
Kenali dengan baik siapa (posisi, fungsi dan jenis) media massa<br />
tersebut.<br />
Ketahui dengan jelas siapa khalayak sasaran (segmen pemirsa,<br />
pembaca, pelanggan) utama mereka. Jangan memilih media yang<br />
segmennya bukan sasaran atau tidak sesuai dengan pesan-pesan<br />
yang akan disampaikan.<br />
Persiapkan diri sebaik mungkin sebelum berurusan dengan media<br />
massa. Kita harus yakin dan tahu persis apa pesan yang akan<br />
disampaikan, menguasai betul data dan fakta-fakta<br />
pendukungnya, dapat memperkirakan pertanyaan-pertanyaan<br />
apa saja yang mungkin akan diajukan dan mampu memutuskan<br />
secara cepat dan tepat apakah kita akan menjawabnya dan pada<br />
saat kapan.<br />
45
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Siap untuk selalu menyampaikan dan menceritakan kebenaran.<br />
Sekali berbohong, seumur hidup media tidak akan percaya lagi.<br />
Mengemas Pesan Pada Media<br />
Pesan (informasi fakta, pernyataan, dll) yang akan disampaikan lewat<br />
media sebaiknya:<br />
Mengandung unsur berita, aktual dan sesuai dengan isu yang<br />
diadvokasikan.<br />
Mengandung hal-hal yang menarik perhatian orang.<br />
Terkait dengan keadaan dan permasalahan setempat (unsur<br />
setempat).<br />
Ada orang yang memang tepat, cakap dan terpercaya bertindak<br />
sebagai ’juru bicara’ untuk menyampaikannya secara lancar dan<br />
mudah dipahami oleh masyarakat luas.<br />
Lebih bagus lagi dan sangat disarankan melengkapinya dengan<br />
bahan-bahan visual (foto, gambar, grafis, dll) terutama jika<br />
berhubungan dengan media elektronik (televisi).<br />
Peran Media dalam kasus HIV/<strong>AIDS</strong> ibarat pisau bermata dua. Di<br />
satu sisi bisa membantu dalam menyebarkan informasi yang benar,<br />
namun di sisi lain dengan menampilkan berita atau artikel yang<br />
penuh ‘bumbu’ atau bahkan yang tidak berdasarkan fakta, justru<br />
akan mankut-nakuti masyarakat.<br />
Menyelenggarakan Talk Show<br />
Seleksi dulu media yang akan diajak kerja sama<br />
menyelenggarakan talk show, siapa segmennya dan kapan akan<br />
ditayangkan/disiarkan?<br />
46
<strong>Langkah</strong> Ketujuh<br />
Pilih moderator dan pembicara yang cakap.<br />
Persiapkan Terms of Reference (ToR) kerangka acuan kegiatan<br />
untuk diberikan pada moderator dan pembicara agar talk show<br />
lebih terarah.<br />
Menyelenggarakan Konferensi Pers<br />
Seleksi dulu siapa saja wartawan dan dari media massa yang<br />
mana yang akan diundang?<br />
Pilih tempat yang mudah dijangkau oleh mereka.<br />
Tentukan waktu yang tepat (jika perlu, sepakati dengan mereka)<br />
agar tidak bentrok dengan kegiatan peliputan mereka di tempat<br />
lain.<br />
Kirimkan pemberitahuan awal tertulis (sehingga mereka tidak<br />
akan menyalahkan kita dengan alasan mereka tidak tahu rencana<br />
melakukan konferensi pers).<br />
Siapkan kemasan informasi sepadat mungkin untuk dibagikan<br />
kepada mereka yang hadir pada saat konferensi pers<br />
berlangsung.<br />
Pilih seorang moderator yang cakap dan faham apa yang<br />
umumnya diminati dan terbiasa atau tahu bagaimana caranya<br />
menghadapi wartawan yang suka suasana informal dan langsung<br />
pada pokok persoalan.<br />
Selama konferensi pers berlangsung, arahkan jawaban-jawaban<br />
dan pernyataan-pernyataan kita tetap terfokus pada inti tema<br />
atau pesan yang akan disampaikan, jangan terlalu longgar<br />
47
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
membiarkan pembicaraan berkembang kesana-kemari, jangan<br />
terpancing oleh ’keusilan’ wartawan yang suka mengaitkan<br />
sesuatu dengan banyak hal lain di luar permasalahan.<br />
Apabila ditanya tentang sesuatu yang kita tidak tahu, jawablah<br />
dengan sesuatu yang kita ketahui. Contohnya, jika ditanya<br />
berapa persentase pengidap HIV/<strong>AIDS</strong> secara nasional dan<br />
kita tidak mengetahuinya, katakanlah, “Saya tidak mempunyai<br />
jumlah yang pasti yang ada pada saya, tetapi saya benar-benar<br />
mengetahui bahwa jumlah pengidap HIV/<strong>AIDS</strong> di klinik kami<br />
meningkat 18 bulan yang lalu,” misalnya.<br />
Feature<br />
Kadang-kadang feature sering juga disebut “op-eds” yang<br />
merupakan opini editorial atau tulisan yang agak panjang yang ditulis<br />
dalam suatu berita tertentu yang muncul di halaman editorial surat<br />
kabar. Ketika menulis suatu bentuk opini, isi pernyataannya<br />
merupakan pemikiran kita tentang sesuatu dengan beberapa contoh<br />
atau anekdot yang dapat kita berikan untuk memperkuat argumen.<br />
Surat Pembaca<br />
Surat pembaca dapat ditulis dalam menanggapi tulisan terkini<br />
atau opini tokoh yang diterbitkan oleh surat kabar. Nyatakan<br />
persetujuan atau ketidaksetujuan kita dalam sebuah tulisan, juga<br />
berikan dukungan atau informasi tambahan. Surat pembaca<br />
mempunyai kesempatan yang besar untuk diterbitkan apabila surat<br />
tersebut ditulis dengan baik dan jelas serta disajikan dengan seringkas<br />
mungkin. Beberapa surat kabar dan majalah ada yang membatasi<br />
panjang maksimum yang akan mereka terbitkan, tetapi ada pula<br />
yang memberi kebebasan. Selalu harus cantumkan nama dan posisi<br />
kita dalam organisasi di samping nama sendiri.<br />
48
<strong>Langkah</strong> Ketujuh<br />
Radio dan Televisi<br />
Radio dan televisi merupakan salah satu media paling efektif<br />
untuk menyampaikan pesan yang kita berikan. Tetapi kita harus<br />
menyeleksi sumber pembicara yang akan muncul di radio atau di<br />
televisi. Berusahalan untuk menggunakan sumber pembicara yang<br />
mempunyai pengetahuan yang luas dan pandai berbicara, karena<br />
biasanya acara yang ditampilkan adalah dalam bentuk wawancara.<br />
Sebelum kita menyetujui melakukan wawancara, yakinkan bahwa<br />
kita mengetahui:<br />
Apakah programnya, apa sajakah informasi yang mereka punyai,<br />
alasan mereka ingin wawancara, apakah mereka mempunyai<br />
pengetahuan dan bahan-bahan pendukung yang sesuai.<br />
Apakah pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan dan berapa<br />
lama kita akan diberi kesempatan untuk berbicara?<br />
Apakah wawancara itu secara langsung atau direkam, apabila<br />
dalam bentuk wawancara langsung, maka menuntut kesiapan<br />
yang lebih besar.<br />
Hingga saat ini, pers masih banyak yang menuliskan berita (liputan)<br />
HIV/<strong>AIDS</strong> pada sisi sensasional semata-mata seperti yang terjadi<br />
pada kasus Surabaya November 1991. Pengambilan shot-shot di lokasi<br />
Wanita Pekerja Seks (WPS) Dolly oleh sebuah TV swasta, mengejar<br />
HIV/<strong>AIDS</strong> sampai ke kampung halaman, kendati berhasil mengangkat<br />
ketakutan massal terhadap sindrom ini, ternyata tidak mampu<br />
menimbulkan kesadaran yang justru amat dibutuhkan dan mitosmitos<br />
yang berkembang sama sekali tidak mampu diredam.<br />
Siyaranamual 1994:2 sebagai dikutip oleh Ishadi Siregar.<br />
49
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Bagaimana mengemas pesan agar media massa efektif<br />
menyampaikan pesan <strong>AIDS</strong>? Pesan yang disampaikan harus benar,<br />
karena pekerja media seringkali tidak memiliki pengetahuan yang<br />
benar tentang <strong>AIDS</strong>. Ketidakjelasan atau bahkan kekeliruan suatu<br />
informasi dapat berakibat luas, diantaranya menimbulkan kepanikan<br />
dan menanamkan pengetahuan yang keliru pada masyarakat, yang<br />
dapat menjadikan kepercayaan dan mitos yang tidak mudah untuk<br />
dikoreksi kembali.<br />
50
<strong>Langkah</strong> Kedelapan<br />
Seminar<br />
51
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
8<br />
Adakan Seminar<br />
Salah satu langkah penting lainnya untuk mempromosikan kasus<br />
dan mendidik masyarakat adalah melalui penyelenggaraan seminar.<br />
Seminar merupakan suatu kegiatan pertemuan atau persidangan<br />
untuk membahas suatu masalah dengan melibatkan dukungan orang<br />
yang dianggap pakar, biasanya kalangan akademisi.<br />
Dalam rangka advokasi mencegah penularan HIV/<strong>AIDS</strong>,<br />
penyelenggaraan seminar dapat ditujukan untuk:<br />
Menghadirkan orientasi, konsep, pandangan umum terhadap<br />
suatu permasalahan, misalnya permasalahan penyebaran HIV/<br />
<strong>AIDS</strong> dan cara pencegahannya.<br />
Memandu orang-orang untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan<br />
advokasi, seperti mendorong agar legislatif menganggap penting<br />
terhadp isu yang sedang diperjuangkan. Seminar juga dapat<br />
untuk mempererat hubungan dengan media.<br />
Membentuk pendapat umum dalam rangka menciptakan tekanan<br />
sosial politik bagi terbentuknya kebijakan dalam rangka<br />
penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong>.<br />
Menghasilkan pandangan akademik dan rekomendasi yang<br />
akan dijadikan acuan pembuatan legal draft kebijakan<br />
pencegahan HIV/<strong>AIDS</strong>.<br />
52
<strong>Langkah</strong> Kedelapan<br />
<strong>Langkah</strong>-langkah<br />
Untuk menyelenggarakan seminar terdapat tiga langkah besar<br />
yang sangat penting untuk dilakukan :<br />
Perencanaan<br />
Jauh sebelum seminar diselenggarakan perlu dilakukan hal-hal<br />
berikut:<br />
Tentukan tujuan yang hendak dicapai dalam penyelenggaraan<br />
seminar. Desain dari seminar akan sangat memperngaruhi pada<br />
hasil yang akan dicapai. Contohnya : suatu seminar yang memberi<br />
informasi baru tentang HIV/<strong>AIDS</strong> kepada peserta akan berbeda<br />
dengan seminar yang memberikan kesempatan kepada peserta<br />
untuk berkomunikasi dan saling menukar strategi menanggulangi<br />
HIV/<strong>AIDS</strong>.<br />
Tentukan siapa yang akan menghadiri seminar tersebut.<br />
Kebanyakan seminar yang sukses adalah melibatkan orangorang<br />
dengan kesamaan latar belakang, tingkat pengalaman,<br />
atau orang-orang yang mempunyai kesamaan pandangan.<br />
Tentukan biayanya bagi peserta, dengan mempertimbangkan<br />
apakah dapat menutupi biaya seminar jika tidak ada sumbersember<br />
lain.<br />
Siapkan dengan baik muatannya. Untuk menghemat waktu dan<br />
energi, dan untuk mendisain suatu seminar yang bermanfaat,<br />
sebelumnya kenali apa yang telah diketahui oleh peserta dan<br />
apa yang ingin mereka ketahui tentang permasalahan yang akan<br />
dibahas dalam seminar.<br />
53
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Kirimkan suatu daftar pertanyaan yang ditujukan pada peserta<br />
yang potensial lebih dahulu, teleponlah dan tanyakan hal-hal<br />
apakah yang justru akan sangat bermanfaat bagi mereka.<br />
Tentukan tema, subtema dan nara sumber yang relevan serta<br />
pemandu dan moderator yang cakap. Tema seminar, subtema<br />
dan nara sumber dibuat berdasarkan isu yang akan diadvokasi<br />
dan tujuan dari penyelenggaraan seminar.<br />
Bentuklah kepanitiaan yang terdiri dari panitia pengarah dan<br />
panitia pelaksana. Panitia pelaksana dapat dibagi lagi dalam<br />
beberapa divisi disesuaikan dengan kebutuhan pelaksanaan<br />
seperti sekretaris, bendahara, seksi perlengkapan, publikasi dan<br />
dokumentasi, dan lain lain.<br />
Tentukan waktu pelaksanaan seminar, jangan memakai hari libur<br />
minggu atau hari libur nasional karena kemungkinan sebagian<br />
peserta yang diundang dan diharapkan tanggapannya justru tidak<br />
akan datang.<br />
Persiapan Pelaksanaan<br />
Sebelum hari H pelaksanaan seminar perlu dilakukan hal-hal<br />
sebagai berikut ini :<br />
Menyebar undangan; meskipun undangan diumumkan kepada<br />
khalayak umum, akan lebih baik jika panitia menyiapkan beberpa<br />
undangan khusus yang diperkirakan dapat memberikan<br />
sumbangan pemikirannya dalam acara tersebut.<br />
Berikan surat balasan dengan tenggang waktu pada peserta<br />
sehingga mereka dapat mengirimkan kembali kepada panitia.<br />
54
<strong>Langkah</strong> Kedelapan<br />
Dengan cara ini panitia akan mengetahui siapakah yang akan<br />
datang atau tidak datang.<br />
Hubungi pembicara dan panelis dan undang mereka yang<br />
direncanakan menjadi nara sumber.<br />
Persiapkan tempat dan fasilitas lainnya: penentuan tempat dan<br />
fasilitas juga memiliki kedudukan penting utuk dipertimbangkan<br />
karena hal ini akan menunjang keberhasilan pencapaian tujuan.<br />
Siapkan bahan-bahan pendukung: bahan pendukung yang<br />
dimaksud adalah materi seminar. Meski pembicara atau nara<br />
sumber sudah memaparkan pemikirannya, materi yang<br />
dibicarakan lebih baik dicopy dan dibagikan kepada peserta agar<br />
lebih memahami apa yang dipaparkan nara sumber.<br />
Siapkan perekam proses: sebagai dokumen yang kemungkinan<br />
diperlukan sekaligus memudahkan pembuatan legal draft.<br />
Rekaman proses tidak hanya menulis kesimpulan hasil seminar<br />
tetapi seluruh dialog yang terjadi selama acara berlangsung.<br />
Dialog yang terjadi selama seminar merupakan bahan yang sangat<br />
relevan untuk menjadi acuan pembuatan legal draft.<br />
Siapkan perlengkapan pendukung, seperti komputer beserta<br />
printernya, tape recorder, ATK, dan lain-lain.<br />
Pelaksanaan :<br />
Selama pelaksana kegiatan panitaia pengarah maupun panitia<br />
pelaksana harus melakukan pengecekan ulang segala perlengkapan<br />
acara.<br />
Apakah pembicara sudah datang, siapa yang menjemput?<br />
55
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Apakah makalah sudah dibagikan?<br />
Apakah sound system dapat berfungsi dengan baik?<br />
Bagaimana dengan makan dan minum peserta? Apakah sudah<br />
disiapkan? Dan lain-lain.<br />
Yang perlu diperhatikan!<br />
Bekerjalah dengan deadline dalam setiap tahapan, seperti<br />
ketersediaan undangan, memesan tempat, dan pastikan bahwa<br />
semua sudah siap beberapa hari sebelum pelaksanaan. Sehingga<br />
penyelenggara harus mempunyai cukup waktu dalam perencanaan,<br />
pembuatan publikasi, dan penetapan pembicara.<br />
Evaluasi<br />
Pada akhir acara, sempatkan bertanya pada para peserta<br />
untuk memberikan umpan balik, sebagai evaluasi penyelenggaraan<br />
seminar. Bagikan formulir diakhir seminar untuk mengetahui pendapat<br />
para peserta tentang penyajian makalah, jalannya diskusi, dan<br />
makanan serta penginapan. Mintalah saran mereka dan gunakanlah<br />
umpan balik ketika merencanakan kegiatan yang akan datang.<br />
Evaluasi harus dalam bentuk spesifik dan hasilnya dapat terukur.<br />
56
<strong>Langkah</strong> Kedelapan<br />
<strong>Langkah</strong> Kesembilan<br />
Mempengaruhi Pembuat<br />
<strong>Kebijakan</strong><br />
57
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
9<br />
Pengaruhi Pembuat <strong>Kebijakan</strong><br />
Cara mempengaruhi pembuat kebijakan dapat dilakukan melalui<br />
proses lobbi. Istilah lobbi dalam kegiatan advokasi merupakan<br />
proses dimana masyarakat, secara perorangan maupun mewakili<br />
suatu kelompok, mencoba mempengaruhi wakil-wakil pilihan mereka<br />
di parlemen maupun pejabat pemerintah untuk memperhatikan,<br />
mendukung dan mengambil tindakan terhadap suatu isu tertentu yang<br />
sedang dipermasalahkan oleh masyarakat.<br />
Dalam hal ini seperti tujuan awal yang telah dikemukakan yaitu<br />
supaya penguasa (pembuat kebijakan) harus mendukung dan<br />
menetapkan kebijakan dalam bentuk peraturan daerah atau<br />
perangkat hukum lain tentang PPK <strong>10</strong>0% di lingkungan seks<br />
komersial. Jadi panduan singkat ini tidak membahas secara rinci<br />
proses-proses lobbi yang lebih rumit.<br />
Dasar Pelaksanaan Lobbi<br />
Alasan yang mendsari perlunya dilakukan lobbi adalah untuk<br />
menjawab pertanyaan mau perubahan atau tidak. Dengan kata lain,<br />
alasan utama mengapa harus mendekati para politisi dan pembuat<br />
kebijakan memperhatikan keluhan dan persoalan yang terjadi di<br />
masyarakat, mengerti perkembangan kasus <strong>AIDS</strong> dan akhirnya<br />
mengeluarkan kebijakan untuk mencegahnya. Kegiatan ini bertujuan<br />
untuk menuntut suatu hasil yang sangat rinci dan khas, yaitu<br />
diterbitkannya peraturan daerah atau perangkat hukum lainnya<br />
58
<strong>Langkah</strong> Kesembilan<br />
tentang penggunaan kondom <strong>10</strong>0% sebagai upaya mencegah dan<br />
menanggulangi HIV/<strong>AIDS</strong> di lingkungan seks komersial.<br />
Kegiatan ini diharapkan dapat bekerja secara cepat dan efektif<br />
dimana para pemimpin politik akan sensitif dan masyarakat akan<br />
melihat hal ini sebagai suatu langkah maju, pemimpin yang<br />
bertanggungjawab dan aktif mengambil tindakan yang efektif untuk<br />
melindungi masyarakat dari HIV/<strong>AIDS</strong>. Tanpa dilakukan lobbi,<br />
kadangkala bisa saja merupakan sesuatu yang nyaris mustahil dicapai<br />
melalui tindakan-tindakan atau proses-proses politik resmi.<br />
Siapa yang Akan Dilobbi?<br />
<strong>Langkah</strong> pertama sekali adalah menemukan bidang atau<br />
lembaga pemerintah mana yang terkait erat dengan isu pencegahan<br />
HIV/<strong>AIDS</strong>. Barangkali lebih baik mulai mendekati pejabat<br />
pemerintah yang berwenang pada departemen yang berkaitan, yaitu<br />
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial. Jika kemudian<br />
isunya banyak menyangkut kebijakan yang berkaitan dengan undangundang<br />
dan peraturan, maka kalangan legislatif pun harus didekati.<br />
Kalangan legislatif yang dapat didekati adalah Komisi E-DPRD yang<br />
menengani masalah kesehatan.<br />
Untuk mendesakkan dikeluarkannya peraturan daerah<br />
penggunaan kondom <strong>10</strong>0%, DPRD adalah sasaran yang baik dan<br />
tepat untuk memulai lobbi. Jadi usahakan memperoleh daftar namanama<br />
anggota DPRD yang bertugas pada Komisi E yang menangani<br />
masalah kesehatan. Ushakan mendapat nama-nama mereka yang<br />
terpilih atau mewakili daerah dimana kasus terjadi, kalau perlu dari<br />
semua unsur partai atau fraksi. Temui pimpinan fraksinya, demikian<br />
seterusnya, sampai ketingkat nasional (DPR-RI). Kita juga harus<br />
tahu persis bagaimana cara terbaik, termudah dan tersingkat<br />
menghubungi mereka.<br />
59
60<br />
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Cara-cara Melakukan Lobbi<br />
Berikut ini adalah beberpa cara lobbi yang umum digunakan<br />
dan disusun secara berurutan menurut tingkat keberhasilan atau<br />
efektifitasnya selama ini.<br />
Pertemuan Pribadi<br />
Kontak langsung atau tatap muka biasanya merupakan cara<br />
paling efektif untuk menyampaikan sikap, pandangan dan tuntutan<br />
kita, tetapi juga biasanya merupakan cara yang paling rumit<br />
diselenggarakan. Maka kita perlu mencari tahu anggota-anggota<br />
DPRD yang bisa “dihitung” sebagai sekutu, kemudian mereka di<br />
lobbi dulu sebagai langkah awal mengembangkan strategi.<br />
Kalau ternyata kita berhasil membujuk mereka dan mau<br />
bertemu, pastikan diri kita memang sangat menguasai<br />
permasalahannya secara keseluruhan atau bahkan serinci mungkin<br />
dan bersiaplah untuk menjawab semua kemungkinan pertanyaan<br />
atau sanggahan dengan sikap dingin dan serasional mungkin. Untuk<br />
itu sebaiknya kita menyiapkan ringkasan tertulis mengenai kasus atau<br />
isu dan tutntutan yang disampaikan, sehingga mereka bisa<br />
merujuknya kapan saja.<br />
Percakapan Telepon<br />
Percakapan lewat telepon sangat tepat untuk keperluan<br />
mendadak, seraba cepat dan langsung menghubungi para politisi<br />
yang akan dilobbi, juga tidak membutuhkan terlalu banyak waktu<br />
dan kerja persiapan. Karena persiapan inilah banyak pelobbi lebih<br />
suka memilih cara ini daripada pertemuan tatap muka langsung.<br />
Maka, sikap berendah hati dan kemampuan memberi penjelasan<br />
singkat, padat dan tidak bertele tele adalah penting sekali jika<br />
menggunakan cara ini.
<strong>Langkah</strong> Kesembilan<br />
Surat Pribadi<br />
(termasuk melalui fax, email dsb.). Ini adalah cara yang umum<br />
digunakan untuk menjelaskan lebih lengkap dan rinci tentang<br />
pandangan, sikap dan tuntutan kepada para politisi. Umumnya cukup<br />
efektif, meskipun tidak mampu menyampaikan pesan secara cepat<br />
dan bersifat langsung. Keuntungan cara ini adalah adanya<br />
kesempatan bagi para politisi untuk membacanaya kapan saja yang<br />
tidak bisa dilakukannya melalui pertemuan langsung.<br />
Surat Pribadi ke Beberapa Orang Secara Terpisah<br />
Kalau kita memiliki kekurangan atau kelemahan menulis suatu<br />
surat pribadi yang bagus dan menyentuh, maka kita bisa<br />
memanfaatkan membuat surat pribadi ke beberapa orang politisi<br />
sekaligus. Biasanya surat jenis ini lebih singkat, 1-2 halaman saja<br />
dengan catatan tambahan tentang apa, dimana dan bagaimana<br />
caranya mereka dapat memperoleh informasi lanjutan yang lebih<br />
lengkap jelas dan rinci.<br />
Surat Terbuka<br />
Ini adalah cara yang biasanya digunakan oleh kelompok pelobbi<br />
untuk program kampanye, yakni dalam bentuk meminta banyak<br />
orang menulis surat dan menandatanganinya bersama-sama ditujukan<br />
kepada satu atau beberapa orang politisi sekaligus tentang isu<br />
tertentu. Surat bisa saja ditulis oleh seseorang yang memang pakar<br />
lalu ditanda tangani beramai-ramai, tetapi bisa juag berbentuk satu<br />
surat jadi yang sudah siap atau kartu pos yang tinggal ditanda tangani<br />
saja.<br />
61
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Pernyataan (statement)<br />
Ini adalah cara yang biasanya dilakukan oleh para pelobbi atau<br />
jur kampanye pemula yang belum berpengalaman, karena memang<br />
paling gampang dilakukan dan sudah banyak contohnya, termasuk<br />
melalui email. Namun cara seperti ini sudah terlalu biasa bagi para<br />
politisi, sehingga mereka umumnya malas jarang atau malas lagi<br />
menanggapinya secara sungguh-sungguh, dan biasanya mereka pun<br />
hanya membacanya sepintas lalu.<br />
Minta Bantuan Profesional<br />
Ada banyak pelobbi professional yang bekerja demi uang atau<br />
demi kesenangan atau kepuasan pribadi mereka. Tapi biasanya<br />
mereka juga pasang harga mahal sebanding dengan pengalaman dan<br />
mutu pekerjaan mereka. Karena itu kalau kita ingin minta bantuan<br />
mereka, harus mempertimbangkan sumber dan kemampuan dana,<br />
selain itu harus juga memilih mereka yang benar-benar mampu dan<br />
dapat dipercaya.<br />
Melalui Organisasi Masyarakat<br />
Kita mungkin bisa menemukan atau membentuk satu organisasi<br />
khusus para relawan yang membantu. Carilah kelompok yang<br />
memiliki minat dan kepentingan yang sma terhadap isu pencegahan<br />
HIV/<strong>AIDS</strong>. Namun kelompok kelompok semacam ini biasanya<br />
memiliki urutan prioritas mereka sendiri, juga umumnya terbats<br />
sumber dayanaya, sehingga jangan terlalu berlebihan mengharapkan<br />
mereka melakukan sesuatu habis habisan untuk mendukung. Tetapi<br />
mereka tetap merupakan kelompok pendukung yang potensial dan<br />
mungkin saja memiliki beberapa kemampuan lobbi atau akses<br />
kepada para politisi.<br />
62
<strong>Langkah</strong> Kesembilan<br />
Unjuk-rasa Massa<br />
Cara ini biasanya dilakukan oleh kelompok pelobbi yang<br />
bekerja secara terselubung. Unjuk-rasa massa memang mampu<br />
memancing perhatian media massa, akhirnya pemberitaan mereka<br />
sama sekali tidak sebanding dengan besarnya peristiwa unjuk-rasa<br />
itu sendiri. Juga sudah menjadi rahasia umum bahwa para politisi<br />
lama kelamaan semakin terbiasa (imun) dengan berbagai unjuk rasa,<br />
lalu merasa hal itu bukan sesuatu yang penting untuk diperhatikan.<br />
Kalau tujuannya hanya untuk memancing perhatian, banyak teknik<br />
lain yang diuraikan disini jauh lebih efisien dan efektif mencapai hasil<br />
yang sama daripada melakukan pengerahan massa. Ibaratnya “jangan<br />
pakai bazoka untuk membunuh seekor nyamuk”<br />
Kapan Melobbi?<br />
Keberhasilan suatu lobbi tergantung juga pada waktu yang tepat,<br />
selain faktor-faktor lain.<br />
Manfaatkan Momentum Sebelum Pemilihan Umum<br />
Bulan-bulan menjelang pemilihan adalah waktu terbaik dan paling<br />
tepat untuk memulai mendekati para politisi yang mencalonkan<br />
diri, karena inilah saat mereka harus mendengarkan tuntutan-tuntutan<br />
rakyat jika ingin memperolah dukungan suara.<br />
Sebelum Isu Dimasyarakatkan<br />
Jika kita tahu bahwa isu penggunaan kondom akan segera mulai<br />
muncul dalam sorotan masyarakat, maka itulah saat terbaik utnuk<br />
juga segera mulai mendekati para politisi. Mereka umumnya sangat<br />
suka omong tentang suatu isu mendahului yang lain dan tidak akan<br />
terkejut lagi kalau isu itu akhirnya muncul dan meledak.<br />
63
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Pada Puncak Publisitas<br />
Untuk isu-isu yang terus bertahan dan tetap menarik perhatian<br />
masyarakat, ada saat-saat dimana isu tersebut mencapai puncaknya,<br />
biasanaya ketika ada perkembangan baru yang berkaitan dengannya,<br />
diberitakan lagi oleh media massa. Pada saat-saat puncak seperti<br />
itulah minat dan perhatian para politisi terhadap isu tersebut juga<br />
menjadi lebih besar.<br />
Sebelum Perdebatan Parlemen<br />
Jika isunya menyangkut perlunya perubahan undang-undang<br />
atau peraturan, maka inilah saatnya untuk melobbi pejabat<br />
pemerintah atau partai-partai politik dalam parlemen sebelum mereka<br />
bersepakat membuiat suatu keputusan. Jelas, jauh lebih mudah<br />
mempengaruhi suatu kebijakan yang masih dalam proses perumusan<br />
daripada kalau sudah terlanjur menjadi undang-undang atau<br />
peraturan yang sah.<br />
Selama Pembahasan Parlemen<br />
Kalau ternyata sudah terlambat untuk memmulai lobbi sebelum<br />
perdebatan parlemen, maka masih tetap ada kesempatan untuk<br />
melakukannya selama rancangan tesebut dibahas di parlemen.<br />
Beberapa Kiat Lobbi<br />
Sekali berhasil menggaet minat dan perhatian para politisi untuk<br />
bersedia bertemu atau bicara dengan kita, maka kitapun harus siap<br />
mengatakan sesuatu. Berikut ini adalah beberpa kiat penting yang<br />
perlu kita perhatikan ketika sedang melakukan lobbi.<br />
64
<strong>Langkah</strong> Kesembilan<br />
Nalar yang Memikat<br />
Dalam melakukan lobbi sebaiknya langsung menyampaikan<br />
pandangan, sikap dan tuntutan kita dengan alasan yang memikat<br />
dan masuk akal adalah kiat terbaik untuk memulai pembicaraan.<br />
Banyak politisi percaya bahwa diri mereka sedang berusaha<br />
membangun dunia yang lebih baik, dan tak ada ruginya bagi kita<br />
jika memberi mereka kesempatan untuk melakukan dan<br />
membuktikannya.<br />
Ingatkan Ideologi Mereka<br />
Akan sangat bermanfaat jika kita juga memiliki pengetahuan<br />
cukup tentang ideologi politik seseorang dan menyampaikan isu<br />
penggunaan kondom pada transaksi seks komersial dalam kerangka<br />
ideologi tersebut. Misalnya kita boleh menyitir ayat-ayat atau ajaran<br />
kitab suci untuk membingkai isu yang disampaikan kepada seorang<br />
politisi dari partai politik berbasis agama. Atau membingkai isu dengan<br />
mengutip kereangka dasar pemikiran kritis pada seorang politisi<br />
yang kritis dan sebagainya.<br />
Katakan yang Benar<br />
Jangan pernah berbohong tentang isu yang kita sampaikan.<br />
Kepercayaan terhadap kita adalah modal utama yang paling<br />
berharga. Jika ingin mempengaruhi pendapat orang lain. Sekali kita<br />
kemudian terbukti berbohong maka kita tak pernah atau sangat sulit<br />
untuk mereka percayai lagi.<br />
Kaitkan Dengan Minat Pribadi<br />
Kita harus siap dengan data dan infromasi memadai tentang<br />
pendapat masyarakat tersebut, kemudian coba kaitkan dengan<br />
pandangan-pandangan pribadi para politisi tersebut,<br />
65
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Pada Mulanya Kita Semua Alergi Politik<br />
Pada awalnya, penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong> di Indonesia<br />
dikembangkan berdasarkan paradigma kesehatan modern yang<br />
berusaha bekerja profesional berdasarkan bukti-bukti yang ada.<br />
Selain itu pendekatan yang dilakukan masih sektoral, medis ’oriented’<br />
dan belum terpadu dengan mengandalkan kerja Lembaga<br />
Swadaya Masyarakat di lapangan. Sebagai contoh: Departemen<br />
Kesehatan memfokuskan diri pada surveilans di lingkungan<br />
kelompok perilaku resiko tinggi sedangkan Lembaga Swadaya<br />
Masyarakat diarahkan untuk melakukan pencegahan di lingkungan<br />
kelompok perilaku resiko tinggi dengan terutama utnuk program<br />
kampanye, pemasaran dan distribusi kondom. Anehnya kedua<br />
institusi itu hampir tidak pernah bertemu untuk berkoordinasi.<br />
Akibatnya yang terjadi bukan kerja sinergi tapi malah menempatkan<br />
LSM sebagai lembaga pemonitoring dan pengkritik kerja pemerintah<br />
yang tidak mengindahkan kerahasiaan dan informed consent ketika<br />
melakukan survei. Lalu media massa terutama koran sibuk<br />
melaporkan hasil temuan dari surveilans di lingkungan pelacuran<br />
menimbulkan sentimen anti lokalisasi. Anti lokalisasi muncul di Jawa<br />
Timur sejak 1993. Kemudian memuncak dengan demonstrasi<br />
masyarakat menuntut penutupan lokalisasi pelacuran di Jawa Timur.<br />
Sekarang lokalisasi di Jawa Timur banyak yang ditutup secara resmi<br />
oleh pemerintah daerah setempat. Yang masih bertahan adalh<br />
lokalisasi di Surabaya. (Lihat penelitian “Implementasi<br />
Penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong> di Indonesia: Studi kasus di Surabaya”)<br />
Kerja sektoral seperti itu sekarang kita rasakan akibatnya yakni<br />
kerja surveilans di lingkungan pelacur dan kebijakan penggunaan<br />
kondom <strong>10</strong>0% di lingkungan pelacur menjadi semakin sulit sekali<br />
dilaksanakan. Para pelacur sekarang banyak yang menyebar di jalanjalan.<br />
Lalu bagaimana policy surveilans, KIE dan PPK <strong>10</strong>0% mau<br />
diterapkan? Pemerintah daerah setempat menjadi lebih berhati-hati<br />
ketika berhadapan dengan isu kondom dan lokalisasi pelacur. Mau<br />
tidak mau isu itu menjadi isu politik yang sensitif dan sama sekali<br />
tidak populer sekarang ini. Kelompok moderat di pemerintah<br />
66
<strong>Langkah</strong> Kesembilan<br />
sekarang inipun menjadi berhati hati ketika berhadapan dengan<br />
kedua isu tersebut.<br />
Memang pernah pemerintah pusat melalui Dirjen P2PL yakni<br />
almarhum Dokter Abednego membuat surat keputusan tentang<br />
Penggunaan kondom <strong>10</strong>0% di Lingkungan Pelacur. Surat keputusan<br />
itu mengundang protes dari Gubernur Jawa Timur yang merasa<br />
tidak terikat oleh surat keputusan itu kalau tidak ada persetujuan<br />
atau perintah dari Menteri Dalam Negeri. Surat keputusan itu<br />
akhirnya hanya tinggal surat keputusan tanpa ada satupun daerah<br />
lokalisasi di Indonesia yang melaksanakan surat keputusan<br />
tersebut.<br />
Apa yang bisa dipelajari dari Surat Keputusan Dirjen yang tidak<br />
implementaitif itu? Pertama, kebijakan penggunaan kondom <strong>10</strong>0%<br />
dari dirjen dibuat tergesa-gesa dengan tidak melibatkan orang-orang<br />
dan aparat yang terlibat dalam masalah tersebut. Kedua, kebijakan<br />
itu tidak dibuat melalui proses politik yakni proses legislasi yang<br />
dibuat oleh eksekutif maupun legislative. Ketiga, karena itu isunya<br />
kemudian hanya menjadi isu teknis medis semata. Orang-orang<br />
diluar kesehatan merasa tidak berurusan dan terlibat masalah<br />
tersebut. Padahal aparat setempat terutama Muspika di lingkungan<br />
pelacuran menempati posisi strategis dalam pelaksanaan PPK <strong>10</strong>0%.<br />
Pada merekalah kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan PPK <strong>10</strong>0%<br />
dapat dijalankan.<br />
Karena itu sekarang kita perlu berbesar hati untutk mau memulai<br />
proses yang belum kita lalui bersama yakni proses politik untuk<br />
kerja legislasi. Kelompok konsevatif sebaiknya tidak kita musuhi<br />
tetapi kita ajak bersama sama untuk menanggulangi HIV/<strong>AIDS</strong>.<br />
Untuk mengurangi sensitifitas para eksekutif dan legislatif maka<br />
perlu ada gerkan masyarakat yang mendukung adanya legislasi<br />
untuk melindungi warga negara yang sakit maupun yang sehat<br />
termasuk didalamnya kebijakan tentan PPK <strong>10</strong>0%<br />
-Ditulis oleh; Esti/ Hotline Surabaya<br />
67
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
atau dengan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi ketika<br />
berhadapan dengan masyarakat mengenai isu tersebut. Kiat ini<br />
terutama berhasil jika kita dapat meyakinkan mereka bahwa terdapat<br />
dukungan luas masyarakat terhadap isu penggunaan kondom dan<br />
pencegahan HIV/<strong>AIDS</strong> yang akan bermanfaat nanti dalam pemilihan<br />
umum. Tetapi perlu diingat karena banyak politisi umumnya lebih<br />
peduli pada berbagai kemungkinan akibatnya terhadap karir politik<br />
mereka daripada peduli pada penegakan keadilan dan kebenaran<br />
sesungguhnya.<br />
Dukunglah Si Orang Baik<br />
Kalau ternyata politisi yang kita lobbi memang sudah terbukti<br />
sebagai politisi yang memiliki integritas pribadi dengan reputasi yang<br />
terpuji selama ini, mungkin tak ada salahnya kita juga menawarkan<br />
kemungkinan membantu mereka dalam kampanye politik pada<br />
pemilihan mendatang.<br />
68
<strong>Langkah</strong> Kesepuluh<br />
Mendesakkan Perubahan<br />
<strong>Kebijakan</strong><br />
69
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
70<br />
<strong>10</strong><br />
Lakukan Desakan untuk Perubahan<br />
<strong>Kebijakan</strong><br />
Upaya pendesakan perubahan kebijakan agar tiap daerah<br />
memiliki Perda terkait dengan penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong> atau<br />
perangkat hukum lainnya, ditekankan pada proses-proses legislasi<br />
terutama yang sekaligus melibatkan dan banyak berkaitan dengan<br />
proses-proses politik dan proses-proses sosialisasi, yakni pengajuan<br />
rancangan tanding yang memang memungkinkan kalangan<br />
masyarakat awam sekalipun terlibat didalamnya , bukan hanya pakar<br />
maupun praktisi hukum semata-mata. Proses ini sekaligus merupakan<br />
inti semangat advokasi, yaitu adanya partisipasi masyarakat dalam<br />
proses-proses pembentukan kebijakan publik yang bermanfaat bagi<br />
kepentingan bersama.<br />
Salah satu tujuan kegiatan advokasi, khususnya dalam rangka<br />
pembentukan pendapat umum dan penggalangan dukungan massa,<br />
diharapkan tidak semata-mata membuat orang “sekedar tahu” tapi<br />
juga “mau terlibat dan bertindak”. Hal terakhir ini jelas lebih<br />
menyangkut soal afeksi (perasaan, keprihatinan, sikap dan perilaku)<br />
<strong>Langkah</strong> langkah Perumusan Legal Drafting<br />
Perumusan legal drafting dapat dimulai dengan meneliti dan<br />
menganalisa berbagai naskah kebijakan penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong><br />
sampai petunjuk pelaksanaannya di tingkat desa, kabupaten dan<br />
propinsi. Apabila didaerah belum ada, dapat mengacu pada<br />
peraturan bidang kesehatan secara umum. Selain itu juga perlu untuk<br />
melakukan kajian terhadap persoalan ekonomi, sosial budaya,<br />
maupun politik yang timbul berkaitan denan kebijakan yang ada.
<strong>Langkah</strong> Kesepuluh<br />
Hasil penelitian ini akan menjadi dasar bagi langkah-langkah strategis<br />
advokasi serta bahan masukan bagi draf kebijakan daerah.<br />
Dalam menganalisa naskah kebijakan, periksalah pasal demi<br />
pasal dari kebijakan penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong> yang ada dan<br />
tentukan pasal-pasal mana saja yang kita setujui. Sebaliknya pasalpasal<br />
yang tidak kita setujui. Kemukakan alasan yang jelas mengapa<br />
kita menyetujui atau menilik suatu pasal. Alasan tersebut harus kuat<br />
sehingga dapat diterima pihak-pihak lain.<br />
Terhadap pasal-pasal yang tidak kita setujui, kemukakan apa<br />
saran untuk perbaikan atau perubahan tersebut secara lengkap.<br />
Perbaikan yang kita lakukan baik secar substansi maupun kalimat<br />
harus bisa diterima dan difahami pihak lain. Kita perlu mengajak<br />
ahli hukum dalam POKJA untuk melakukan langkah-langkah<br />
tersebut.<br />
Lakukan Workshop Untuk Mendapat Masukan<br />
Hasil riset penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong> dan persoalan yang<br />
menyertainya yang telah dianalisis dan dirumuskan kemudian<br />
disosialisasikan untuk mendapatkan masukan dari berbagai elemen<br />
masyarakat. Maksud dilakukannya workshop yang diselenggarakan<br />
di tingkat kabupaten maupun propinsi ini adalah untuk mendapatkan<br />
input maupun umpan balik dari berbagai elemen masyarakat demi<br />
penyempurnaan pembuatan draf yang akan disusun.<br />
Selenggarakan Seminar Perumusan Kertas Posisi<br />
Rumusan hasil serial workshop kemudian diseminarkan bersama<br />
dengan para individu atau organisasi peduli <strong>AIDS</strong>, dibantu oleh pihak<br />
akademisi dan pakar hukum. Output dari seminar ini adalah sebuah<br />
kertas posisi (position paper) yang menjabatrkan berbagai rumusan<br />
71
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
penting sebagai bahan penyusunan draf kebijakan dan acuan<br />
kampanye, lobby dan tahapan proses advokasi selanjutnya.<br />
Proses Konsultasi Dan Pembentukan Opini <strong>Publik</strong><br />
Diseminasi Draft<br />
Setelah draf tersusun perlu dicopy dan didistribusikan kepada<br />
pihak-pihak yang berkompeten, terutama pada legislatif dan<br />
eksekutif daerah. Upaya ini dimaksudkan untuk mempromosikan,<br />
membentuk wacana dan selanjutnya mampu menggalang dukungan<br />
publik yang lebih luas.<br />
Sosialisasi<br />
Dalam rangka lebih memassifkan dan meningkatkan rasa<br />
kepemilikan dan kepedulian terhadap draft yang telah tersusun, perlu<br />
dilaksanakan beberapa diskusi intensif di tingkat kelompokkelompok.<br />
Kampanye<br />
Untuk mendukung pembentukan wacana dan opini publik<br />
terhadap draft yang telah disebarluaskan, langkah selanjutnya adalah<br />
melakukan kampanye melalui media (media cetak, audio visual, multi<br />
media), juga melalui media massa.<br />
Pembuatan Lobby Paper<br />
Untuk mensistematisir proses dan materi lobby dilakukan melalui<br />
pertemuan perumusan lobby paper yang akan dijadikan sebagai<br />
panduan bagi tim lobby ke legislatif daerah.<br />
72
<strong>Langkah</strong> Kesepuluh<br />
Proses Lobbi<br />
Tim lobbi yang telah terbentuk selanjutnya melakukan beberapa<br />
kegiatan yang bertujuan untuk mempengaruhi pembuat kebijakan<br />
daerah. Kegiatan ini dilakukan baik dengan cara mendatangi wakil<br />
rakyat maupun mengundang mereka ke wilayah kasus. Pada saat<br />
itulah, akan didesakkan draft Perda atau usulan pembaruan<br />
kebijakan.<br />
Sampaikan hasil perubahan yang telah kita susun pada para<br />
legislator (DPRD) untuk segera ditindaklanjuti. Ajak pihak-pihak<br />
lain atau yang dapat membantu agar rancangan tanding tersebut dapat<br />
masuk ke dalam agenda pembahasan DPRD.<br />
Pelajari proses-proses legislasi di DPR/DPRD yang selama ini<br />
berlangsung, serta tata tertib dewan pada daerah masing-masing.<br />
Kenali kemungkinan peluang atau hambatannya untuk rancangan<br />
tanding yang kita usulkan.<br />
Pertemuan Evaluasi dan Sharing Proses di tingkat<br />
Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional<br />
Di tengah dan akhir proses advokasi kebijakan, lakukan<br />
pertemuan antar aktivis dan organisasi peduli <strong>AIDS</strong> di tingkat<br />
kabupaten/kota, propinsi dan nasional. Pertemuan ini dilakukan<br />
dalam rangka sharing dan evaluasi proses serta hasil-hasil yang telah<br />
dicapai. Hasil sharing dan evaluasi akan menjadi bagian penting bagi<br />
perubahan serta perencanaan kerja-kerja selanjutnya.<br />
73
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Lembaga<br />
Yudikatif<br />
Pemerintah<br />
Daerah<br />
Pemerintah<br />
& DPRD<br />
Partai politik<br />
Ormas<br />
Media massa<br />
Pakar<br />
Kelompok kepentingan<br />
Ornop<br />
Bagan umum proses Legislasi<br />
DPRD<br />
(Panja, pansus, Komisi)<br />
Bupati/<br />
Walikota<br />
74
PUSTAKA<br />
Topatimasang, Roem, et.al., 2000, Mengubah <strong>Kebijakan</strong> <strong>Publik</strong>:<br />
Panduan Pelatihan Advokasi, Yogkakarta: ReaD Book.<br />
Wiwat, Bahan Presentasi.<br />
_____ , 1995, Advocacy Guide, International Planned Parenthood<br />
Federation.<br />
_____ , 2002, Ancaman HIV/<strong>AIDS</strong> di Indonesia Semakin Nyata,<br />
Perlu Penanggulangan Lebih Nyata, Komisi<br />
Penanggulangan <strong>AIDS</strong> Nasional.<br />
_____ , 2000, Lembar Informasi Kondom Berseri, Jakarta: The<br />
Futures Group International.<br />
_____ , 2000, Program Penggunaan Kondom <strong>10</strong>0% di<br />
Lingkungan Penjaja Seks, Bakti Husada, Indonesia Sehat<br />
20<strong>10</strong>.<br />
_____ , 1997, The UN<strong>AIDS</strong> Guide to the United Nations Human<br />
Rights Machinery.<br />
75
APENDIKS<br />
Hasil Rapat di Kantor Menko Kesra – Juli 2003<br />
Pengantar<br />
Advokasi merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir<br />
untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam<br />
suatu kebijakan. Agar mempunyai arah yang jelas, bagi suatu<br />
organisasi atau lembaga yang akan melakukan advokasi, perlu<br />
mempunyai pegangan yang menjadi dasar kemana kebijakan tersebut<br />
akan dikembangkan. Suatu tujuan dan harapan bersama yang<br />
dirumuskan secara jelas akan memudahkan organisasi tersebut<br />
menentukan langkah-langkah yang harus dilakukan. Kejelasan suatu<br />
tujuan akhirnya akan dapat menjadi suatu gagasan yang dapat<br />
diterima oleh semua pihak dan akan menjadi landasan melakukan<br />
tindakan bersama. Berdasarkan hal tersebut, maka dipandang perlu<br />
untuk melampirkan hasil pertemuan pada tanggal 2 – 3 Juli 2003 di<br />
Kantor Menko Kesra, karena dalam pertemuan itu telah disepakati<br />
kerangka operasional kebijakan dan program penunjang Program<br />
Penggunaan Kondom <strong>10</strong>0% di tempat transaksi seks komersial.<br />
PENDAHULUAN<br />
Dalam Konferensi <strong>AIDS</strong> Sedunia yang ke-14 yang<br />
diselenggarakan pada bulan Juli 2001, dilaporkan lebih dari 40 juta<br />
penduduk dunia hidup dengan HIV/<strong>AIDS</strong>. Tiga puluh juta<br />
77
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
diantaranya berada di Afrika dan sisanya tersebar di belahan dunia<br />
lain seperti Asia, Amerika Selatan, Australia dan Eropa.<br />
Diperkirakan setiap 13 detik terjadi satu kasus meninggal karena<br />
<strong>AIDS</strong> dan setiap 8 detik terjadi satu kasus infeksi baru. Meskipun<br />
sampai sekarang 75% kasus <strong>AIDS</strong> di seluruh duania diperkirakan<br />
berada di Afrika, namun Asia sekarang sedang menghadapi<br />
peledakan kasus baru HIV/<strong>AIDS</strong>.<br />
HIV/<strong>AIDS</strong> dilaporkan pertama kali di Indonesia pada tahun<br />
1987. Sampai dengan pertengahan 2003 Departemen Kesehatan<br />
memeprkirakan bahwa di Indonesia terdapat 80.000 – 120.000<br />
pengidap HIV, tapi hampir semua belum tahu bahwa dirinya telah<br />
terinfeksi. Sekitar 4000 orang di Indonesia telah meninggal karena<br />
<strong>AIDS</strong>, sebuah angka yang cukup memprihatinkan.<br />
Sejak HIV/<strong>AIDS</strong> menjadi fenomena yang mendunia, Indonesia<br />
sudah melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan Akan<br />
tetapi penanganan yang serius terpadu baru mulai dilaksanakan pada<br />
tahun 1994, ditandai oleh pembentukan Komisi Penanggulangan<br />
<strong>AIDS</strong> di pusat, disusul dengan pembentukan Komisi Penanggulangan<br />
<strong>AIDS</strong> di propinsi dan kabupaten berdasarkan Keputusan Presiden<br />
(Keppres) Republik Indonesia No. 36 Tahun 1994.<br />
Sebagai upaya tindak lanjut dan landasan operasional dari<br />
Keppres tersebut, menteri Koordinator Bidang kesejahteraan<br />
Rakyat yang secara ex officio menjadi Ketua komisi Penanggulangan<br />
<strong>AIDS</strong>, mengeluarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang<br />
Kesejahteraan Rakyat Nomor 05/Kep/Menko/Kesra/II/1995<br />
tentang Program Nasional Penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong> Pelita VI yang<br />
kemudian dijadikan sebagai rujukan bagi propinsi dan kabupaten.<br />
Pada awal tahun 2003 Komisi Penanggulangan <strong>AIDS</strong><br />
mengeluarkan Strattegi Nasional Penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong> Tahun<br />
78
Apendiks<br />
2003-2007. Dokumen Strategi Penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong> yang<br />
baru ini disusun tidak saja dimaksud untuk menyesuaikan Keputusan<br />
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No. 05/Kep/<br />
Menko/Kesra/II/1995 tentang Program Nasional Penanggulangan<br />
HIV/<strong>AIDS</strong>, tetapi juga untuk mengakomodir perkembangan<br />
penanggulangan yang secara global dicanangkan dalam Dokumen<br />
UNGASS (Juni 2001) dan Sidang Khusus Kabinet Sesi Khusus<br />
tahun lalu (Maret 2002) Strategi Nasional 2003-2007 juga<br />
memperhatikan kecenderungan epidemi HIV/<strong>AIDS</strong>, perkembangan<br />
ilmu pengetahuan dan teknologi tentang pengobatan, dan perubahan<br />
sistem pemerintahan ke arah desentralisasi.<br />
Secara umum StrategiNasional yang baru telah menggambarkan<br />
secara komprehensif segala hal yang diperlukan demi suksesnya<br />
upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong> di Indonesia.<br />
Hal ini terlihat jelas dalam penetapan area prioritas yang meliputi: 1)<br />
Pencegahan HIV/<strong>AIDS</strong>, 2) Perawatan, Pengobatan dan Dukuinga<br />
terhadap ODHA, 3) Surveilans HIV/<strong>AIDS</strong> dan IMS, 4) Penelitian,<br />
5) Lingkungan Kondusif, 6) Koordiansi Multipihak dan, 7)<br />
Kesinambungan Penanggulangan. (Strategi Nasional Penanggulangan<br />
HIV/<strong>AIDS</strong> 2003-2007, Bab III No. 1)<br />
Kendati demikian, dalam mengaplikasikan pelbagai area prioritas<br />
dan program yang ada dalam Strategi Nasional dirasakan masih<br />
ada kendala selain anggaran, khususnya dlam hal belum sinkronnya<br />
kebijakan nasional dan kebijakan daerah (di tingkat propinsi maupun<br />
kabupaten) baik dalam bidang legalitas maupun legitemasi yang<br />
diberikan; juga belum terpadunya program penanggulangan yang<br />
dilakukan oleh berbagai sektor terkait. Setiap propinsi dan kabupaten<br />
disarankan untuk mengembangkan rencana strategis disesuaikan<br />
dengan masalh HIV/<strong>AIDS</strong> di daerahnya.<br />
79
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Progam Penggunaan Kondom <strong>10</strong>0%<br />
Departemen Kesehatan RI memperkirakan ada 7-<strong>10</strong> juta lakilaki<br />
di Indonesia yang membeli jasa seks dari penjaja seks setiap<br />
tahun. Hasil dari Survei Surveilens Perilaku (SSP) 2003 yang<br />
dilakukan oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa kurang<br />
dari <strong>10</strong>% laki-laki tersebut tetap menggunakan kondom dalau<br />
berhubungan dengan penjaja seks. Salah satu akibat perilaku ini,<br />
selain penularan HIV dari laki-laki ke penjaja seks dan sebaliknya,<br />
adalah penularan IMS dan HIV makin meningkat diantara para istri<br />
dan bayi dari laki-laki yang berperilaku risiko tinggi tersebut.<br />
Intervensi perubahan perilaku untuk penjaja seks supaya mereka<br />
meminta para pelanggannya menggunakan kondom telah diterapkan<br />
sejak sepuluh tahun yang lalu. Namun, pendekatan tersebut jelas<br />
kurang memadai, terutama karena yang menentukan penggunaan<br />
kondom dalam transaksi seks komersial adalah pelanggan. Yang<br />
sangat dibutuhkan adalah program-program yang akan membawa<br />
perubahan perilaku pelanggan tersebut.<br />
Seperti yang ditulis dalam Strategi Nasional HIV/<strong>AIDS</strong> salah<br />
satu pendekatan adalah program untuk mendukung penggunaan<br />
kondom pada setiap transaksi seks komersial:<br />
“Cara-cara penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong> yang terbukti efektif<br />
perlu menjadi perhatian utama, seperti...penggunaan kondom<br />
<strong>10</strong>0%...” (Bab II No. 1.2.)<br />
“Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaankondom<br />
<strong>10</strong>0% diantara penjaja seks dan pelanggannya, pasangan ODHA<br />
serta pemanfaatan fungsi ganda (dual protection) kondom dalam<br />
keluarga.” (Bab II No. 3.7)<br />
80
Apendiks<br />
Program penggunaan komdom <strong>10</strong>0% (PPK <strong>10</strong>0%) adalah<br />
program terpadu dan kebijakan terkait yang mempromosikan<br />
penggunaan kondom <strong>10</strong>0% pada <strong>10</strong>0% transaksi seks komersial<br />
di <strong>10</strong>0% tempat transaksi seks di daerah tertentu. Program<br />
Penggunaan Kondom <strong>10</strong>0% tersebut dipelopori oleh Thailand dan<br />
Kampuchea dan dapat menurunkan angka prevalensi HIV secara<br />
drastis dan bermakna di kedua negara tersebut. Program ini terbukti<br />
berhasil bila memperoleh kesepakatan dari para pelaku, disertai<br />
program penunjang yang memadai, dan didukung dengan perangkat<br />
hukum dan kebijakan lain yang efektif.<br />
Pertemuan di Kantor Menko Kesra<br />
Sudah ada beberapa program perintis yang mendukung PPK<br />
<strong>10</strong>0% di Indonesia. Namun, semula ini telah berjalan tanpa<br />
kesepakatan bersama atau persepsi yang sama tentang elemenelemen<br />
program dan kebijakan yang menunjang, baik dari pihak<br />
pemerintah, maupun dari pihak pelaksana program tersebut atau<br />
para donor yang memberikan dana atau bantuan teknis.<br />
Oleh karena itu, pada tanggal 2-3 Juli 2003 diselenggarakan<br />
suatu pertemuan di Kantor Menko Kesra yang dihadiri staf teknis<br />
para lembaga donor, dan anggota KPAD dari beberpa propinsi<br />
prioritas, untuk membicarakan dan menyepakati hal-hal penting<br />
berkenaan dengan <strong>Kebijakan</strong> dan PPK <strong>10</strong>0%.<br />
Dalam dua hari pertemuan itu, para pesert telah mendengarkan<br />
presentasi tentang pelbagai hal penting yang berkenaan dengan PPK<br />
<strong>10</strong>0%, kemudian melakukan diskusi sampai tercapai suatu<br />
kesepakatan bersama. Yang direkomendasikan dari diskusi dan<br />
kesepakatan ini adalah dua hal penting, yakni kerangka dari<br />
serangkaian Program Penunjang PPK <strong>10</strong>0% yang dibutuhkan, dan<br />
prinsip-prinsip yang perlu dipakai sebagai dasar kebijakan terkait<br />
81
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
yang dapat mensukseskan PPK <strong>10</strong>0%. Hasil diskusi, kesepakatan<br />
dan rekomendasi tertera pada pembahasan berikut :<br />
82<br />
BAB II<br />
PROGRAM PENUNJANG<br />
KEBERHASILAN PROGRAM<br />
PENGGUNAAN KONDOM <strong>10</strong>0%<br />
Berdasarkan kajian dari program-program yang sudah<br />
diterapkan di luar negeri, dan konsultasi dengan berbagai pihak yang<br />
terkait, maka ditetapkan komponen-komponen program yang perlu<br />
ada untuk menunjang keberhasilan PPK <strong>10</strong>0%.<br />
1. Advokasi kepada semua pihak untuk mendukung dan<br />
melaksanakan PPK <strong>10</strong>0%<br />
2. Komitmen pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif,<br />
organisasi kemasyarakatan, pengelola tempat hiburan dan<br />
pekerja yang menyediakan jasa seks.<br />
3. Keikutsertaan berbagai instansi dan lembaga dengan peran dan<br />
tanggung jawab yang jelas<br />
4. Peningkatan kemampuan (capacity building)<br />
5. Akses terhadap kondom.<br />
6. Pendanaan.<br />
7. Monitoring dan evaluasi.<br />
1. ADVOKASI<br />
Yang ingin dicapai dari advokasi adalah terciptanya lingkungan<br />
yang mendukung (enabling environment) agar peningkatan
Apendiks<br />
pemakaian kondom dapat dilihat sebagai suatu upaya penting dalam<br />
menanggulangi penularan HIV/<strong>AIDS</strong> di daerah tersebut. Hal ini<br />
sesuai dengan Strategi Nasional HIV/<strong>AIDS</strong> Bab III No. 1.2.3, yang<br />
menyatakan bahwa salah satu kegiatan dalam rangka pencegahan<br />
penularan HIV adalah:<br />
“Meningkatkan penggunaan kondom sebagai alat pencegahan<br />
infeksi HIV dan IMS pada setiap hubungan seks beresiko”<br />
Yang paling utama perlu diadvokasikan agar program ini dapat<br />
diterima dengan baik dan mendapatkan legitemasi adalah para<br />
pejabat dan penentu kebijakan publik, baik eksekutif maupun<br />
legislatis. Diperlukan kesepakatan baik di tingkat propinsi maupun<br />
kecamatan atau kota agar merumuskan posisi terhadap PPK <strong>10</strong>0%<br />
sampai diterbitkan Perda dan peraturan lain yang terkait.<br />
Yang perlu diciptakan adalah iklim dimana para tokoh<br />
masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan dll. Diharapkan dapat<br />
mengkampanyekan perilaku seksual yang bertanggung jawab dan<br />
tidak beresiko yang mengurangi penularan IMS dan HIV secara<br />
seksual, yaitu dengan abstinensi, setia pada satu pasangan serta tidak<br />
menghalangi pelaksanaan PPK <strong>10</strong>0% di tempat tertentu. Terutama<br />
pada para remaja dan generasi muda perlu dibudayakan perilaku<br />
seksual yang bertanggung jawab, dengan menunda hubungan seks,<br />
mengurangi jmlah pasangan dan memakai kondom pada setiap<br />
hubungan seks beresiko.<br />
Dalam melakukan advokasi, sebaiknya dipaparkan data<br />
penunjang, yang meliputi:<br />
Data Survei Surveilens Perilaku (SSP, yaitu Behavioural Surveillance<br />
Survey; sumber data dari Badan Pusat Statitstik);<br />
83
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Data estimasi populasi beresiko dan ODHA di wilayah tersebut<br />
(sumber data dari Departemen Kesehatan)<br />
Hasil dari penelitian perilaku seksual lainnya;<br />
Data mengenai dampak HIV/<strong>AIDS</strong> terhadap ekonomi di<br />
wilayah tersebut (misalnya tentang kemiskinan, pengangguran,<br />
kesehatan dll. bila ada).<br />
Advokasi merupakanproses yang penjang dan<br />
berkesinambungan. Teknik advokasi akan berbeda-beda, tergantung<br />
daerah masing-masing, dan juga tergantung kepada pihak mana<br />
advokasi itu ditujukan. Pihak yang terkait disetiap daerah perlu<br />
memilih sendiri advokatornya (advocate), target kegiatan dan<br />
strategi advokasi itusendiri.<br />
Indikator Keberhasilan Advokasi Adalah :<br />
Adanya dukungan penuh dari semua puhak, terutama:<br />
- Pimpinan daerah eksekutif dan legislatif;<br />
- Pihak masyarakat, menurut daerahnya, yangmeliputi tokoh<br />
masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh kaum<br />
perempuan antara lain; dan<br />
- Pengelola tempat hiburan dan penjaja seks.<br />
Tidak ada halangan pelaksanaannya PPK <strong>10</strong>0% didaerah<br />
tertentu dari pihak agama maupun masyarakat<br />
Adanya anggaran yang memadai untuk menjalankan program<br />
program HIV/<strong>AIDS</strong>.<br />
84
Apendiks<br />
2. KOMITMEN<br />
Kesuksesan PPK <strong>10</strong>0% dalam upaya pencegahan HIV/<strong>AIDS</strong><br />
tidak akan tercapai tanpa adanya komitmen mutlak pada semua<br />
tingkat dan pihak, terutama pada para pimpinannya. Termasuk di<br />
sini adalah:<br />
Gubernur, Bupati, Walikota;<br />
DPRD;<br />
Sektor-sektor yang terkait;<br />
Kepolisian;<br />
Tokoh Masyarakat;<br />
Tokoh Agama;<br />
Pengelola Tempat Hiburan.<br />
Indikator keberhasilan adalah:<br />
Dari pihak Pemda, termasuk DPRD dan sektor terkait:<br />
Adanya dana yang memadai;<br />
- Adanya program multipihak yang memadai;<br />
- Adanya perangkat hukum yang efektif.<br />
Dari pihak pengelola tempat hiburan:<br />
- Dapat menyediakan kondom dengan mekanisme yang sesuai<br />
pada tempatnya;<br />
- Dapat mewajibkan laki-laki yang membeli jasa seks untuk<br />
memakai kondom;<br />
- Adanya upaya pemberdayaan kepada para penjaja seks<br />
agar mereka mampu menerapkan PPK <strong>10</strong>0%;<br />
3. KEIKUTSERTAAN INSTASI DAN LEMBAGA<br />
Dalam hal mengareahkan dan mengkoordinasikan program dan<br />
kegiatan penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong>, termasuk PPK <strong>10</strong>0%, KPAD<br />
hrus mapu mengambil peran utama. Untuk kepentingan ini,<br />
85
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
kelembagaan KPAD perlu ditingkatkan Perlu ada Sekretariat KPAD<br />
yang tetap beranggotakan orang-orang yang bekerja penuh waktu<br />
(full-time) untuk menjalankan kegitan sehari-hari secara profesional.<br />
Penanggung jawab KPAD tetap adalah pimpinan daerah.<br />
Agar PPK <strong>10</strong>0% bisa berhasil, maka diperlukan kepemimpinan<br />
yang kuat, serta hal-hal yang menunjang sebagai berikut:<br />
Ada Rencana Strategis dan rencana kerja di daerah tersebut<br />
yang melibatkan secara aktif dan jelas berbagai sektor dan pihak<br />
yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan.<br />
Ada pemberdayaan KPAD dalam rangka meningkatkan<br />
efektifitas dan kinerjanya.<br />
Ada kerja sama multipihak yang berkesinambungan anatra<br />
sektor pemerintah, sektor swasta dan masyarakat atau LSM.<br />
Hal ini sesuai dengan yang dicantumkan dlam Strategi Nasional<br />
Bab III No.6:<br />
“...masalah <strong>AIDS</strong> harus ditangani secara terkoordinasi oleh<br />
sektor pemerintah, sektor swasta/ dunia usaha dan LSM. Koordinasi<br />
mencakup aspek perencanaan, penyelenggaraan, monitoring dan<br />
ecvaluasi.”<br />
Dalam hal ini perlu dijelaskan mengenai:<br />
Mekanisme kerja KPAD:<br />
Uraian tugas (job description) masing-masing anggota<br />
Pembagian tugas yang jelas dan memadai.<br />
86
Apendiks<br />
Indikator keberhasilan adalah:<br />
Kinerja kelembagaan yang efektif. Dan merujuk pada Strategi<br />
Nasional Penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong> 2003-2007 (Bab IV no.<br />
8), maka keberhasilan akan tercapai jika KPAD mampu:<br />
- Mengidentifikasi lokasi/ wilayah yang berpotensi untuk<br />
penyebaran HIV/<strong>AIDS</strong> dan membuat upaya tindak lanjut<br />
yang terkait dengan PPK <strong>10</strong>0%.<br />
- Memimpin, mengelola dan mengkoordinasikan sumber daya<br />
yang berasal dari daerah masyarakat secara efektif dan<br />
efisien untuk menjalankan PPK <strong>10</strong>0%;<br />
- Melakuka bimbingan tentang penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong><br />
kepada instansi terkait dan LSM di wilayahnya.<br />
- Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan PPK <strong>10</strong>0%<br />
di daerahnya dan melakukan langkah tindak lanjut.<br />
4. PENINGKATAN KEMAMPUAN<br />
Agar PPK <strong>10</strong>0% dapat direncanakan, dilaksanakan dan<br />
dievaluasi secara efektif dan efisien, kemampuan masing-masing<br />
instansi dan pihak yang terkait perlu ditingkatkan. Upaya peningkatan<br />
kemampuan ini perlu ditujukan kepada:<br />
1. KPAD, dalam hal-hal yang diuraikan dalam no.3 diatas,<br />
peningkatan kemampuan ini dapat meliputi perencanaan,<br />
manajemen program penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong> di propinsi,<br />
manajemen anggaran, dan momitoring dan evaluasi.<br />
2. Dinas kesehatan, khusunya dalam hal penanggulangan IMS<br />
yangmemadai sebagai dasar evaluasi program PPK <strong>10</strong>0% serta<br />
memberikan pelayanan konseling dan testing sukarela yang<br />
efektif.<br />
3. Organisasi kemsyarakatan, organisasi keagamaan dan LSM,<br />
untuk menggerakan dan menjadi juru bicara untuk masyarakat<br />
masing-masing.<br />
87
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
4. LSM , untuk menyelenggarakan program komunikasi perubahan<br />
perilaku untuk laki-laki pembeli jasa seks dan penjaja seks.<br />
5. DPRD, untuk merancang legislasi yang mendukung dan juga<br />
untuk memantau perkembangan program.<br />
6. Instansi terkait lainnya: Dinas Sosial, Kepolisian, TNI,<br />
BKKBN, Dinas Pariwisata dan Depnaker, dalam hal menunjang<br />
PPK <strong>10</strong>0% baik dari segi program maupun kebijakan, termsuk<br />
penyelenggaraan program penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong> di tempat<br />
kerja.<br />
7. Sektor swasta, terutama yang memperkerjakan laki-laki yang<br />
berpotensi untuk membeli jasa seks pada penjaja seks,<br />
umpamanya laki-laki dengan mobilitas tinggi akibat sifat kerjanya<br />
(misalnya sopir truk, pelaut dll.).<br />
Indikator keberhasilan adalah:<br />
Jumlah orang yang dilatih<br />
Jumlah organisasi yang diikutsertakan<br />
Jumlah program yang bermutu yang berjalan didaerah tersebut.<br />
Keterpaduan dan keberlangsungan program<br />
Hasil evaluasi program.<br />
5. AKSES TERHADAP KONDOM<br />
Distribusi kondom perlu ditingkatkan dengan cara menjalin<br />
jejaring dengan perusahaan-perusahaan kondom yang ada di Indonesia.<br />
Perlu dipikirkan serangkaian mekanisme penjualan kondom<br />
yang memadai sesuai dengan situasi setempat, termasuk penjualan<br />
88
Apendiks<br />
kondom bergulir oleh LSM dan tempat hiburan, penyediaan yang<br />
cukup dari sektor terkait, dan sebagainya. Perlu dipikirkan juga<br />
mengenai harga kondom agar bisa terjangkau oleh semua orang<br />
yang membutuhkannya.<br />
Penerimaan msyarakat terhadap kondom perlu ditingkatan<br />
dengan menghilangkan “stigma” terhadap kondom, sebaliknya harus<br />
dipromosikan fungsi ganda kondom sebagai alat untuk mencegah<br />
kehamilan yang tak diinginkan maupun untuk mencegah penularan<br />
IMS dan HIV/<strong>AIDS</strong> di dalam maupun diluar pernikahan<br />
Masalah kualitas kondom yang dijual di Indonesia sudah<br />
dikontrol melalui standar internasional yang ditetapkan balai POM,<br />
sehingga mutu kondom tidak perlu didebatkan lagi.<br />
Penanggung jawab terhadap akses kondom adalah:<br />
Pemda, terutama Dinas Kesehatan;<br />
Pengelola tempat hiburan;<br />
Pengelola tempat penjualan kondom<br />
Indikator keberhasilan adalah:<br />
Jumlah tempat penjualan kondom<br />
Jumlah penjualan kondom di daerah tersebut<br />
Jumlah pemakaian kondom, yang diukur melalui Survei<br />
Surveilens Perilaku.<br />
Cara-cara lain sebagai teobosan baru, tergantung kreativitas<br />
masing-masing komunitas.<br />
6. PENDANAAN<br />
Sumber dana utama untuk progam penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong><br />
termasuk PPK <strong>10</strong>0% di tingakt propinsi dan kabupaten adalah dari<br />
89
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
APBD. Sumber ini seharusnya didukung oleh Dana Alokasi Khusus<br />
untuk HIV/<strong>AIDS</strong>.<br />
KPAD perlu memobilisasi sumber dana lain, seperti pihak<br />
swasta, donor dan LSM internasional.<br />
Perlu dipikirkan bahwa, bukan hanya jumlah dana yang penting,<br />
tetapi pemakaiannya secara efektif, yaitu berdasarkan rencana<br />
strategis. Pertanggung jawaban harus jelas dan terbuka.<br />
Indikator keberhasilan adalah:<br />
Jumlah dana<br />
Jumlah sumber dana<br />
Efektifitas dan efesiensi program<br />
7. MONITORING DAN EVALUASI<br />
Agar PPK <strong>10</strong>0% berhasil, perlu adanya klinik IMS (baik yang<br />
dikelola pemerintah, maupun yang tidak) yang beroperasi<br />
berdasarkan standar yang ditetapkan Departemen Kesehatan dan<br />
WHO, dengan pelayanan yang memadai dan dapat diakses oleh<br />
oran berperilaku beresiko tinggi yang membutuhkannya.<br />
Standar internasional petunjuk operasional PPK <strong>10</strong>0%<br />
termasuk Monitoring dan Evaluasi telah ditetapkan oleh WHO yang<br />
menjadi mitra kerja Departemen Kesehatan. Monitoring dan Evaluasi<br />
PPK <strong>10</strong>0% perlu dilakukan secara berkala dan mengikuti panduan<br />
(guidelines) yang telah ditetapkan oleh WHO.<br />
Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Kesehatan bekerja<br />
sama dengan KPAD.<br />
90
Apendiks<br />
Indikator keberhasilan adalah:<br />
Jumlah infeksi baru IMS/HIV pada penjaja seks dan pasangan<br />
seksualnya menurun<br />
Penjualan kondom meningkat<br />
Survei Surveilens Perilaku menunjukkan perubahan perilaku<br />
seksual yang memadai, yaitu perilaku beresiko menurun secara<br />
bermakna.<br />
BAB III<br />
KEBIJAKAN PROGAM PENGGUNAAN<br />
KONDOM <strong>10</strong>0%<br />
Menurut Strategi Nasional HIV/<strong>AIDS</strong> Bab II 3.7 upaya<br />
pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom <strong>10</strong>0%<br />
diantara penjaja seks dan pelanggannya, Menurut Bab II 3.11,<br />
seharusnya diusahakan agar peraturan perundang undangan<br />
mendukung dan selaras dengan Strategi Nasional Penanggulangan<br />
HIV/<strong>AIDS</strong> di semua tingkat. Berdasarkan dua hal ini dan mengingat<br />
program-program yang telah dilaksanakan dan berhasil di negara<br />
lain, ada beberpa prindip operasional yang harus diikuti untuk<br />
mengembangkan kebijakan yang efektif sebagai berikut:<br />
Prinsip-prinsip operasional untuk pengembangan<br />
kebijakan PPK <strong>10</strong>0%<br />
Peraturan dan kebijakan tentang PPK <strong>10</strong>0% pada tempat<br />
tertentu tidak terkait dengan legal tidaknya prostitusi, tetapi<br />
semata-mata terkait dengan upaya perlindungan kesehatan dan<br />
kesejahteraan masyarakat.<br />
91
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
PPK <strong>10</strong>0% layak untuk diterapkan pada tempat-tempat yang<br />
ada penjaja seks dengan adanya sistem pengelolaan, dan ada<br />
perizinan sebagai tempat hiburan malam, atau sejenisnya dari<br />
sektor pemerintah tertentu, sesuai denga situasi di daerah<br />
masing-masing.<br />
Upaya kesehatan masyarakat ini dilaksanakan dalam rangka<br />
memotong mata rantai penularan IMS/HIV sehingga menurunkan<br />
angka prevalensi IMS/HIV<br />
PPK <strong>10</strong>0% adalah intevensi struktural di tempat tertentu yang<br />
dapat diatur pemerintah, dikendalikan dan diawasi dengan<br />
evaluasi yang membuktikan keberhasilannya menurut panduan<br />
standar (Depkes/WHO)<br />
<strong>Kebijakan</strong> ditujukan pada pengelola tempat untuk<br />
menerapkannya, bukan pada penjaja seks dan pelanggannya,<br />
meskipun merekalah yang menerapkan “penggunaan” kondom<br />
itu sendiri.<br />
Sanksi terfokus pada ssanksi administratif, seperti proses denda<br />
diikuti pencabutan izin.<br />
Sanksi tidak dijatuhkan melalui proses peradilan pidana.<br />
KUHAP Pasal 281 tidak melarang orang membawa atau<br />
menggunakan kondom, tetapi hanya melarang<br />
mempertontonkan alat kontrasepsi kepada orang dibawah umur.<br />
Produk hukum dari sektor lain serta pengertiannya, yang<br />
bertentangan dan yang dapat mengurangi efektifitas program<br />
kesehatan masyarakat ini agar ditinjau kembali dengan<br />
koordinasi dan pengawasan dari KPAD (sesuai dengan Strategi<br />
92
Apendiks<br />
Nasional Bab III, 3.11). Sebagai contoh, Perda yang<br />
mempermasalahkan adanya tempat hiburan atau orang yang<br />
menyediakan kondom<br />
<strong>Kebijakan</strong> perlu menghindari diskriminasi, stigmatisasi dan<br />
kesempatan untuk kolusi atau korupsi.<br />
Advokasi<br />
Merujuk pada Strategi Nasional Penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong><br />
2003-2007, Bab III No. 5.2.2, maka salah satu kegiatan yang<br />
diperlukan adalah:<br />
“Advokasi kepada pemerintah dan DPRD untuk membuat<br />
peraturan perundang undangan agar tercipta lingkungan yang<br />
kondusif, serta peraturan perundangan yang mendukung<br />
pelaksanaan penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong> yang bersifat khusus,<br />
seperti Program Penggunaan Kondom <strong>10</strong>0% dan pengurangan<br />
dampak buruk akibat penyalahgunaan Napza suntik”<br />
Proses advokasi ini menyangkut tiga bidang yaitu:<br />
Substansi hukum, yang ditempuh dengan legislasi dan proses<br />
pengadilan<br />
Tatanan hukum, yang ditempuh dengan proses birokrasi dan<br />
proses politik.<br />
Budaya hukum, yang ditempuh dengan mendidik masyarakat<br />
tentang perauran dan penerapannya.<br />
93
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
Agar menghasilkan produk hukum yang baik, efektif dan dapat<br />
diterima, proses advokasi perlu dilakukan sepanjang proses<br />
pembuatan perangkat hukum, baik sebelum, pada saat dan<br />
setelahnya.<br />
KPAD memfasilitasi proses pengembangan keputusan dan<br />
kebijakan<br />
Pada waktu yang sama, melakukan advokasi pada penentu<br />
kebijakan di semua tingkat (Gubernur, Bupati, Walikota, ketua<br />
DPRD, anggota KPAD, tokoh agama dll. Dalam rangka<br />
penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong>).<br />
Advokasi juaga ditujukan kepada pemilik atau pengelola tempat<br />
hiburan, masyarakat dan pihak lain yang terkait.<br />
Proses pembuatan Perda juga perlu koordinasi multipihak. Yang<br />
harus dilibatkan adalah Biro Hukum dari Sekretariat Daerah semua<br />
tingkat, yang perlu diberdayakan untuk menangani hal-hal yang terkait<br />
dengan pengembangan dan penerapan kebijakan tersebut.<br />
Program Legislasi Daerah di tingkat pusat dan Kanwil<br />
Kehakiman dan HAM juga perlu dilibatkan.<br />
Bentuk Perangkat Hukum<br />
Ada berbagai macam perangkat hukum yang dapat<br />
dikembangkan untuk mendukung PPK <strong>10</strong>0%. Masing-masing punya<br />
keuntungan dan kerugian sendiri.<br />
Surat Edaran:<br />
Keuntungan: Mudah diproses; dapat dipakai sebagai “test<br />
94
Apendiks<br />
case” untuk mengukur reaksi masyarakat, karena tidak mengikat<br />
secara yuridis.<br />
Kerugian: Hanya berupa himbauan, sehingga tidak ada sanksi<br />
Surat Keputusan Bersama/Memorandum of<br />
Understanding:<br />
Surat keputusan bersama antara Pemerintah Kecamatan,<br />
Pemerintah Kota/ Kabupaten, dan Pemerintah Propinsi dengan pihak<br />
pengelola atau yang lain.<br />
Keuntungan: Cepat, praktis dan mengatur hal teknis<br />
koordinatif; dalam prinsip saling menguntungkan. Wewenang penuh<br />
ada pada kepala instansi<br />
Kerugian: Hanya mengikat sektor-sektor terkait dengan garis<br />
kerja yang ketat; tidak ada saksi<br />
Surat Keputusan (SK)<br />
Perangkat ini dipandang perlu untuk mengatasi hal-hal tertentu.<br />
Surat Keputusan merupakan instrumen pelaksana dari peraturan<br />
yang lebih tinggi (misalnya, Keputusan Gubernur atau Bupati). Dalam<br />
SK ini dapat disebutkan hal-hal operasional yang tidak ada dalam<br />
ketentuan yang lebih tinggi.<br />
Keuntungan: SK merupakan “embrio” dari Perda. Mudah<br />
dicabut, bila setelah evaluasi dibuktikan kurang efektif, atau isinya<br />
sudah ditampung ke dalam Perda<br />
Kerugian: Oleh karena SK hanya mengikat lingkungan<br />
eksekutif, dan tidak mengikat masyarakat, maka sanksi hanya<br />
terhadap lingkungan eksekutif<br />
Instruksi<br />
Perangkat hukum ini bersifat perintah untuk tindakan yang<br />
95
SEPULUH LANGKAH MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK<br />
insidentil dan segera, untuk jangka waktu yang terbatas dan tretentu.<br />
Peraturan Daerah (Perda)<br />
Keuntungan: Perda mengikat secara yuridis keluar dan<br />
kedalam, maka masyarakat luas terikat. Perda dapat dijadikan upaya<br />
hukum, karena telah ada sanksi dan mekanismenya.<br />
96