11.07.2015 Views

prevalensi infeksi saluran reproduksi pada - Komunitas AIDS ...

prevalensi infeksi saluran reproduksi pada - Komunitas AIDS ...

prevalensi infeksi saluran reproduksi pada - Komunitas AIDS ...

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADAWANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, INDONESIA, 2003Peneliti Utama:Dr. Saiful Jazan, MSc.Sub Direktorat <strong>AIDS</strong> & PMSDirektorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan PenyehatanLingkunganDepartemen Kesehatan IndonesiaPeneliti:Dr. Flora Kioen Tanudyaya, MScDr. Atiek Sulistyarni Anartati, MPH&TMDr. Mamoto Gultom, MPHDr. Kemmy Ampera PurnamawatiAang SutrisnaFamily Health International, IndonesiaASA ProgramNurjannah, SKMSub Direktorat <strong>AIDS</strong> & PMSDirektorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan PenyehatanLingkunganDepartemen Kesehatan IndonesiaDrs. Eko RahardjoBadan Penelitian dan Pengembangan KesehatanDepartemen Kesehatan IndonesiaPemantau Teknis:Dr. Endang R. Sedyaningsih, Dr.PHBadan Penelitian dan Pengembangan KesehatanDepartemen Kesehatan Indonesia


KATA PENGANTARInfeksi Menular Seksual (IMS) merupakan penyebab utama dari sekumpulan penyakitakut, infertilitas, cacat menetap dan kematian dengan akibat medis dan psikologis <strong>pada</strong>jutaan pria, wanita dan bayi. Selain mempermudah penularan HIV, adanya IMSmenunjukkan adanya perilaku seksual yang berisiko.Data epidemiologis menunjukkan adanya hubungan erat antara Infeksi Menular Seksual(IMS) dengan penularan infesksi HIV. Mengingat hal itu maka penatalaksanaan IMSyang meliputi anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, penyuluhan, konselingdan penatalaksanaan mitra seksual terhadap pasien IMS mempunyai peranan yangpenting dalam menanggulangi epidemic HIV tersebut.Beberapa penelitian PMS dan perilaku di lokalisasi telah dilakukan di beberapa propinsi.Penelitian yang dilakukan <strong>pada</strong> kelompok risiko tinggi di Surabaya tahun 1995 10%-50%menderita Gonorea dan Sifilis, sekitar 10%-15% ter<strong>infeksi</strong> Chlamydia dan Trichomonas.Di Bandung tahun 1997 sekitar 5%-10% kelompok risiko tinggi yang dilakukanpemeriksaan menderita Chancroid. Prevalensi Gonorea dari hasil serosurvei tahun 2000<strong>pada</strong> kelompok Risti berkisar 20%-50% (di Tanjung Elmo Jayapura sebesar 24,8%, diMalanu Sorong sebesar 29,5%)Pada tahun 2003 Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & PenyehatanLingkungan DepKes, Puslitbangkes, ASA Program-FHI dengan dukungan USAIDmelakukan penelitian <strong>prevalensi</strong> <strong>infeksi</strong> <strong>saluran</strong> <strong>reproduksi</strong> yang dilaksnakan di tujuhkota/kabupaten yaitu : Jayapura, Banyuwangi, Semarang, Medan, Palembang, TanjungPinang dan Bitung.Hasil penelitian ini memberikan informasi mengenai beberapa hal yang perlu untukmakin menyempurnakan upaya pencegahan yang telah dilaksanakan ditiapkapubaten/kota dari propinsi yang diteliti. Selain itu, penelitian ini juga memberikan datadasar <strong>prevalensi</strong> IMS yang dapat dimanfaatkan untuk perencanaan, advokasi maupunmonitoring program. Selain itu, data <strong>prevalensi</strong> dari hasil penelitian ini juga dapatdigabungkan dengan data lain yang telah ada, sebagian data dasar surveilans generasikedua yang dilanjutkan ditahun-tahun mendatang.Sepatutnyalah kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya ke<strong>pada</strong> segenappihak baik perorangan maupun lembaga yang telah berperan serta dalam penelitian<strong>prevalensi</strong> <strong>infeksi</strong> <strong>saluran</strong> <strong>reproduksi</strong> di tujuh kota tersebut.Semoga laporan hasil penelitian <strong>prevalensi</strong> <strong>infeksi</strong> <strong>saluran</strong> <strong>reproduksi</strong> akan bermanfaatbagi pembaca dan dapat menjadi acuan dalam perencanaan penatalaksanaan IMS diIndonesiaJakarta, Oktober 2004Direktur Jenderal PPM & PLDR. Umar Fahmi Achmadi, MPHNIP.130 520 334i


DAFTAR ISIKata PengantarDaftar IsiDaftar TabelDaftar GambarRingkasan EksekutifiiiivvviI. PENDAHULUAN 1I.1. Latar Belakang 1I.2. Tujuan 3II. METODE 4II.1. Rancangan Penelitian dan Populasi yang Diteliti 4II.2. Strategi Pengambilan Sampel 4II.3. Tim Pengumpul Data 5II.4. Alur Proses Pengambilan Data 5II.5. Diagnosis dan Pengobatan 6III. HASIL DAN DISKUSI 7III.1. Rekrutmen 7III.2. Karakteristik Populasi yang Diteliti 7III.2.1. Distribusi Umur 7III.2.2. Pasangan Seks Tetap 8III.2.3. Umur Pertama Kali Berhubungan Seks 9III.2.4. Lama Bekerja Sebagai WPS 10III.2.5. Mobilitas 11III.2.6. Pelanggan 11III.3. Faktor Risiko 13III.3.1. Cuci Vagina 13III.3.2. Pemakaian Kondom Dalam Lalu 14III.4. Hasil Pemeriksaan ISR 15III.5. Prevalensi ISR 15III.5.1. Gonore 15III.5.2. Klamidia 16ii


III.5.3. Infeksi Ganda Gonore dan Klamidia 16III.5.4. Sifilis 16III.5.5. Trikomoniasis Vaginalis 16III.5.6. Bakterial Vaginosis dan Kandidiasis Vaginalis 16III.6. IMS Tanpa Tanda 17III.7. Program <strong>pada</strong> WPS Jalanan dan <strong>pada</strong> WPS Lokalisasi 18Pengaruhnya Terhadap Perilaku dan Prevalensi IMSIII.8. Selalu Memakai Kondom, Terlindung dari IMS 19III.9. Keterbatasan Penelitian 19IV. KESIMPULAN DAN SARAN 20IV.1. Kesimpulan 20IV.2. Saran 20REFERENSI 22iii


DAFTAR TABELTabel 1. Daftar Diagnosis dan Pengobatan yang Diterapkan Pada Penelitian 6Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi <strong>pada</strong> Wanita Penjaja Seks diMedan, 2003Tabel 2. Realisasi Sampel Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi 7Pada Wanita Penjaja Seks di Medan, 2003iv


DAFTAR GAMBARGambar 1. Distribusi Umur WPS Lokalisasi dan WPS Jalanan di Medan, 82003Gambar 2. WPS yang Mempunyai Pasangan Seks Tetap, Medan, 2003 9Gambar 3. Umur Saat WPS Pertama Kali Berhubungan Seks, Medan, 2003 9Gambar 4. Lama Kerja Sebagai WPS, Medan, 2003 10Gambar 5. Lama Kerja WPS di Lokasi Sekarang, Medan, 2003 10Gambar 6. Jumlah Pelanggan Dalam Satu Minggu Terakhir, WPS Medan, 122003Gambar 7. Pelanggan Tersering WPS di Medan, 2003 13Gambar 8. Konsistensi Pemakaian Kondom Selama Bulan Lalu, 14WPS Medan, 2003Gambar 9. Tanda ISR yang Tampak Pada Pemeriksaan Fisik <strong>pada</strong> WPS, 15Medan 2003Gambar 10. Prevalensi Berbagai ISR <strong>pada</strong> WPS di Medan, 2003 17v


RINGKASAN EKSEKUTIFSurveilans sentinel <strong>pada</strong> tahun 2000 memperlihatkan peningkatan <strong>prevalensi</strong> HIV yangmelampaui 5% <strong>pada</strong> wanita penjaja seks (WPS) di Indonesia. Di lain pihak, <strong>prevalensi</strong>Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) —yang diketahuimempermudah penularan HIV—<strong>pada</strong> WPS belum diamati secara sistematis. Daripengukuran sporadik diketahui bahwa <strong>prevalensi</strong> <strong>infeksi</strong> gonore, klamidia dan sifilis diberbagai lokasi WPS di Indonesia sangat tinggi. Prevalensi sífilis <strong>pada</strong> WPS di SumateraUtara tahun 1994 – 2001 dilaporkan berkisar antara 0 – 22,2%.Prevalensi IMS merupakan salah satu indikator biologis yang penting dalam sistemsurveilans generasi kedua yang dianjurkan oleh WHO (2000), karena <strong>prevalensi</strong> IMSyang tinggi merupakan pertanda awal risiko penyebaran HIV. Selain itu, peningkatanpenggunaan kondom akan lebih cepat tergambar melalui penurunan <strong>prevalensi</strong> IMSdari<strong>pada</strong> HIV, sehingga dapat menggambarkan perluasan cakupan dan peningkatankualitas program penanggulangan IMS. Surveilans <strong>prevalensi</strong> IMS berperanan pentinguntuk melihat tren perilaku seksual, potensi penyebaran HIV, dan untuk memonitor,mengevaluasi serta merencanakan upaya penanggulangan IMS/HIV/<strong>AIDS</strong>.Penelitian di Kota Medan ini merupakan bagian dari penelitian yang dilaksanakan di 7kabupaten/kota di Indonesia, yaitu di Jayapura, Banyuwangi, Semarang, Medan,Palembang, Tanjung Pinang, dan Bitung. Tujuan utamanya adalah untuk mengukur<strong>prevalensi</strong> <strong>infeksi</strong> gonore, klamidia, sifilis, trikomonas vaginalis, bakterial vaginosis, dankandidiasis vaginal <strong>pada</strong> WPS di Kota Medan, Sumatera Utara, serta mendeskripsikankarakterisktik demografis dan perilaku seksual berisiko tinggi para WPS yang diteliti.Timpeneliti terdiri dari tim inti dari Ditjen PPM & PL, Badan Litbangkes, dan ProgramASA/FHI, dan tim lokal dari staf Dinas Kesehatan dan BLK Provinsi Sumatera Utara,Staf Dinas Kesehatan Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang, dan LSM (JKM /Jaringan Kesehatan Masyarakat).Populasi penelitian cross-sectional ini adalah WPS berusia 15 hingga 50 tahun, sedangtidak menstruasi dan tidak hamil. WPS yang diteliti termasuk WPS jalanan, yangmenjajakan seks di jalanan, dan WPS non jalanan, yang berada di lokalisasi maupun ditempat-tempat hiburan. Besar sampel sesuai pedoman surveilans sentinel HIV <strong>pada</strong>populasi berisiko tinggi, yaitu 250 ditambah kemungkinan angka penolakan 25%.vi


Pengambilan data dimulai dengan wawancara tentang perilaku seksual, dilanjutkandengan pengambilan spesimen darah, pemeriksaan fisik, serta pengambilan spesimenusap endoservikal dan servikovaginal. Setelah pemeriksaan laboratorium selesai, pesertadikonseling untuk perubahan perilaku dan diberi terapi sesuai diagnosis.HASILDi Medan tidak ada lokalisasi, karena itu sampel diambil dari jalanan dan tempat hiburan.Sampel WPS jalanan dari lokasi jalan Iskandar Muda dan rel kereta api. Tempat hiburanterdiri dari panti pijat dan karaoke di kota Medan yang terdaftar di Dinas Pariwisata.Sebanyak 225 WPS tempat hiburan dan 25 WPS jalanan berpartisipasi. Kisaran umurWPS tempat hiburan 18 – 50 tahun dengan median 31 tahun, sedang WPS jalanan 17 – 43tahun dengan median 24 tahun.WPS tempat hiburan yang menikah 22% dan yang punyapacar tetap 31%, sedangkan WPS jalanan yang menikah 8%, yang punya pacar tetap76%.Umur termuda saat pertama kali berhubungan seks baik WPS tempat hiburan maupunWPS jalanan adalah 12 tahun. Median umur pertama kali berhubungan seks WPS tempathiburan adalah 18 tahun dan WPS jalanan 17 tahun. Median lama kerja WPS tempathiburan dan jalanan berturut-turut 2 tahun dan 1 tahun. Sebanyak 31% (70 orang) WPStempat hiburan dan 60% WPS jalanan (15 orang) menyatakan pernah bekerja sebagai PSdi lokasi lain/sering berpindah-pindah dalam 2 tahun terakhir. Median jumlah pelangganWPS tempat hiburan dalam satu minggu terakhir 4 orang dan WPS jalanan 3 orang. BaikWPS tempat hiburan maupun jalanan menyatakan sebagian terbesar pelanggannya adalahkaryawan perusahaan swasta dan BUMN. Cukup banyak WPS yang menyatakan bahwapelanggan tersering mereka adalah PNS, TNI Polri, dan pelajar, selain kelompok yangbiasa dianggap berisiko tinggi seperti ABK, nelayan, pengemudi dan kernet.Selama bulan lalu, sangat memprihatinkan bahwa hanya 24% WPS tempat hiburan dantidak ada (0%) WPS jalanan yang selalu memakai kondom. Lebih memprihatinkan adalah4% WPS tempat hiburan dan 36% WPS jalanan tidak pernah memakai kondom samasekali bulan lalu.Secara umum, terdapat 30% WPS tempat hiburan dan 60% WPS jalanan yang sedangter<strong>infeksi</strong> satu atau lebih ISR yang diteliti. Prevalensi IMS <strong>pada</strong> WPS tempat hiburan danvii


WPS jalanan berturut-turut adalah sebagai berikut : gonore 9% dan 32%, klamidia 23%dan 44%, <strong>infeksi</strong> ganda gonore dan klamidia 3% dan 20%, sifilis dini 1% dan 4%, sifilislaten lanjut 13% dan 32%, serta trikomonas vaginalis 2% dan 0%. Prevalensi ISR lainnya<strong>pada</strong> WPS tempat hiburan dan WPS jalanan adalah sebagai berikut : bakterial vaginosis43% dan 40%, serta vaginal kandidiasis 4% dan 0%.Secara umum 28% kasus IMS tidak menunjukkan adanya tanda, sedangkan 27% kasusdengan cairan dari vagina maupun endoserviks ternyata tidak sedang menderita salah satudari ke tiga IMS yang diteliti (gonore, klamidia, dan trikomoniasis vaginalis). Untukkepentingan penegakan diagnosis dan pemberian pengobatan <strong>pada</strong> hari yang samadigunakan diagnosis klinis servisitis berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratoriumsederhana. Ternyata 68% kasus servisitis <strong>pada</strong> pemeriksaan GenProbe tidak menunjukkanadanya <strong>infeksi</strong> gonore atau klamidia. Di sisi lain, 4% kasus gonore dan 3% kasusklamidia luput didiagnosis sebagai servisitis.Hasil survei memperlihatkan bahwa pola perilaku maupun <strong>prevalensi</strong> IMS di kalanganWPS jalanan relatif tidak berbeda dengan di kalangan WPS tempat hiburan. Data jugamenunjukkan bahwa 74% WPS yang selalu memakai kondom bulan lalu, tidak menderitaIMS apa pun, menunjukkan bahwa kondom cukup efektif melindungi dari IMS.KESIMPULANPrevalensi ISR/IMS ternyata tinggi dan sebagian besar kasus tidak menunjukkan tanda,beberapa faktor sosio-demografis WPS menunjukkan potensi tingginya kerawananterhadap penularan IMS-HIV, kebanyakan pelanggan WPS berasal dari kelompok lakilakiyang diasumsikan berisiko kecil, dan konsistensi pemakaian kondom masih sangatrendah. Saran yang diajukan adalah agar program penanggulangan IMS/HIV/<strong>AIDS</strong>diperkuat dengan pencegahan primer dan sekunder, serta diperluas sehingga menjangkauberbagai sub-kelompok WPS, dan sebanyak mungkin jenis kelompok laki-laki. Selain itupendidikan kesehatan <strong>reproduksi</strong> harus diberikan sedini mungkin dan surveilans ISR diMedan perlu terus dilakukan agar didapat data guna memonitor, mengevaluasi danmerencanakan upaya penanggulangan IMS/HIV/<strong>AIDS</strong>.viii


I. PENDAHULUANI.1.Latar BelakangSurveilans sentinel memperlihatkan <strong>prevalensi</strong> HIV <strong>pada</strong> penjaja seks wanita (WPS)di Indonesia meningkat menjadi 8 % di Batam (Riau) dan 26,5 % di Merauke (Papua)<strong>pada</strong> tahun 2000. 1 Selain itu, masih ada beberapa tempat surveilans sentinel HIV diIndonesia, sampai saat ini telah melaporkan <strong>prevalensi</strong> HIV <strong>pada</strong> WPS yang lebih dari5%. 2Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) diketahuimempermudah penularan HIV. Tetapi <strong>prevalensi</strong> IMS/ISR <strong>pada</strong> WPS di Indonesiabelum diamati secara sistematis dan hanya diukur secara sporadis. Beberapa laporanyang ada dari beberapa lokasi antara tahun 1999 sampai 2001 menunjukkan<strong>prevalensi</strong> <strong>infeksi</strong> gonore dan klamidia yang tinggi antara 20-35% dan <strong>prevalensi</strong>serologi sifilis positif <strong>pada</strong> WPS di Kupang, NTT tahun 2001 sebesar 12,9%. 3,4,5,6,7Prevalensi sífilis <strong>pada</strong> WPS di Sumatera Utara tahun 1994 – 2001 dilaporkan berkisarantara 0 – 22,2%. 8WHO <strong>pada</strong> tahun 2000 merekomendasikan surveilans generasi kedua untuk HIV.Prevalensi IMS merupakan salah satu indikator biologis yang penting dalam sistemsurveilans generasi kedua tersebut. Selain mempermudah penularan HIV, IMS jugamenunjukkan adanya perilaku seksual yang berisiko. Prevalensi IMS yang tinggi <strong>pada</strong>suatu populasi di suatu tempat merupakan pertanda awal akan risiko penyebaran HIVwalaupun <strong>prevalensi</strong> HIV masih sangat rendah. Di lain pihak, peningkatanpenggunaan kondom akan lebih cepat tergambar melalui penurunan <strong>prevalensi</strong> IMSdari<strong>pada</strong> penurunan <strong>prevalensi</strong> HIV. Selain menggambarkan perubahan perilaku,penurunan <strong>prevalensi</strong> IMS dapat memberikan gambaran perluasan cakupan danpeningkatan kualitas program penanggulangan IMS. Oleh karena itu, data <strong>prevalensi</strong>IMS yang diamati secara periodik melalui surveilans, berperanan penting untukmelihat kecenderungan perilaku seksual, potensi penyebaran HIV, dan untukmemonitor, mengevaluasi serta merencanakan upaya penanggulanganIMS/HIV/<strong>AIDS</strong>.1


Penelitian di kota Medan ini merupakan sebagian dari penelitian yang dilaksanakan di7 kota/kabupaten di Indonesia, yaitu di Jayapura, Banyuwangi, Semarang, Medan,Palembang, Tanjung Pinang, dan Bitung. Di ketujuh kota/kabupaten tersebut,program penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong>, termasuk survai surveilans perilaku, telahdilaksanakan antara lain dengan dukungan dari program ASA. Penelitian inimemberikan data dasar <strong>prevalensi</strong> IMS yang dapat dimanfaatkan untuk perencanaan,advokasi, maupun monitoring program oleh Dinas Kesehatan dan KPAD ProvinsiSumatera Utara dan Kota Medan, LSM, maupun ASA. Selain itu, data <strong>prevalensi</strong> daripenelitian ini juga dapat digabungkan dengan data lain yang telah ada, sebagai datadasar surveilans generasi kedua yang dapat dilanjutkan di tahun-tahun mendatang.Program pencegahan dan pengobatan IMS sesuai Rencana Strategi PenanggulanganHIV/<strong>AIDS</strong> 2003-2007, Departemen Kesehatan Republik Indonesia 9 terdiri dari:1. Melakukan advokasi ke<strong>pada</strong> para pengambil keputusan untuk mendukungupaya penanggulangan IMS.2. Meningkatkan KIE pencegahan IMS, pemeriksaan IMS dan pengobatan IMSsecara dini.3. Pendidikan dan pelatihan bagi petugas kesehatan dalam penatalaksanaanpenderita IMS berdasarkan pendekatan sindrom dan etiologi.4. Mengembangkan klinik IMS di lokasi/lokalisasi penjaja seks5. Pemeriksaan IMS berkala <strong>pada</strong> PS di lokasi/lokalisasi, bar/karaoke dan pantipijat.Upaya pencegahan dan penanggulangan IMS-HIV/<strong>AIDS</strong> di Indonesia <strong>pada</strong>umumnya, dan Sumatera Utara serta Kota Medan <strong>pada</strong> khusunya, selama ini telahmengacu <strong>pada</strong> rencana strategis tersebut walaupun pelaksanaannya belum sempurna.Penelitian ini dapat memberikan sebagian informasi mengenai beberapa hal yangperlu untuk makin menyempurnakan upaya pencegahan yang telah dilaksanakan.2


I.2. TujuanTujuan utama penelitian ini adalah untuk menilai <strong>prevalensi</strong> <strong>infeksi</strong> gonore, klamidia,sifilis, trikomoniasis vaginalis, bakterial vaginosis, vaginal kandidiasis <strong>pada</strong> WPS dikota Medan, Sumatera Utara.Di samping itu, penelitian ini juga mendeskripsikan karakteristik demografis danperilaku seksual berisiko tinggi para WPS yang diteliti.3


II. METODEII.1. Rancangan Penelitian dan Populasi yang DitelitiPenelitian ini merupakan penelitian cross-sectional untuk mengukur <strong>prevalensi</strong> ISR.Populasi yang menjadi sasaran penelitian ini adalah WPS yang berusia 15 hingga 50tahun, sedang tidak menstruasi dan tidak hamil. Para WPS tersebut termasuk:i. WPS jalanan, yang menjajakan seks di jalananii. WPS non jalanan, yang berada di lokalisasi maupun di tempat-tempathiburan lainnyaII.2. Strategi Pengambilan SampelBesar sampel telah ditetapkan sesuai ketetapan nasional untuk surveilans sentinel HIV<strong>pada</strong> populasi berisiko tinggi, yaitu 250 WPS. 10 Dengan kemungkinan angkapenolakan25%, maka sekitar 333 WPS akan diundang untuk berpartisipasi, setengah (166) dariWPS jalanan dan setengah lagi (167) dari WPS non-jalanan (lokalisasi atau tempathiburan).Langkah pertama, dilakukan pemetaan populasi yang akan diteliti sebagai dasarpenyusunan kerangka sampel. Apabila besar populasi kurang dari target jumlahsampel (166/167 per sub populasi, 333 total), maka semua diundang untukberpartisipasi. Apabila besar populasi lebih dari target jumlah sampel, dilakukanproses pengambilan sampel dua tahap. Pada tahap pertama dilakukan pengambilansampel kluster secara probability proportional to size (pps). Pada tahap keduadilakukan pengambilan sampel WPS secara acak di dalam kluster terpilih. Keduatahap pengambilan sampel tersebut dilakukan berdasarkan kerangka sampel yangtelah disusun.4


II.3.Tim Pengumpul DataData dikumpulkan oleh tim inti yang bekerja sama dengan tim lokal. Tim inti terdiridari peneliti utama dibantu oleh 8 peneliti penyerta yang berasal dari Ditjen PPM &PL, Badan Litbangkes, dan Program ASA/FHI. Tim lokal terdiri dari staf DinasKesehatan dan Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, Staf DinasKesehatan Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang, dan LSM (JKM / JaringanKesehatan Masyarakat). Kualitas teknis proses pengumpulan data dipantau olehpemantau teknis penelitian dari Badan Litbangkes.II.4.Alur Proses Pengambilan DataWPS yang datang memenuhi undangan untuk menjadi peserta penelitian dimintamenukarkan undangan dengan kartu nomor identifikasi. Selanjutnya tujuan danprosedur penelitian, serta keuntungan yang akan didapat dan kemungkinan efeksamping dijelaskan. Setelah mendengarkan penjelasan, apabila WPS tersebut bersediaterlibat dalam penelitian, ia diminta memberikan pernyataan persetujuan secara lisan,seorang saksi akan menandatangani surat persetujuan (informed consent). WPS tidakdiminta persetujuan secara tertulis dengan tanda tangan. Hal ini merupakan bagiandari upaya membuat penelitian ini anonymous serta untuk melindungi WPS dari risikomendapatkan perlakuan diskriminatif maupun kekerasan lain yang tidak diinginkandari pihak manapun.Pengambilan data dimulai dengan wawancara tentang perilaku seksual, dilanjutkandengan pengambilan spesimen darah, pemeriksaan fisik, serta pengambilan spesimenendoservikal dan servikovaginal. Setelah pemeriksaan laboratorium selesai, pesertadikonseling untuk perubahan perilaku dan diberi terapi sesuai diagnosis. Agarpengobatan dapat diberikan <strong>pada</strong> hari yang sama, diagnosis dibuat berdasarkanpemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium sederhana. Diagnosis servisitisdianggap mencakup gonore dan klamidia, serta pengobatan yang diberikan adalahpengobatan untuk kedua <strong>infeksi</strong> sekaligus.5


II.5. Diagnosis dan Pengobatan 11,12Tabel 1. Daftar Diagnosis dan Pengobatan yang diterapkan <strong>pada</strong> penelitianPrevalensi Infeksi Saluran Reproduksi <strong>pada</strong> Penjaja Seks Wanita di Medan,2003Diagnosis Dasar Diagnosis PengobatanServisitisDitemukannya duh tubuh/cairankeputihan vagina atau mulutrahim, atau ditemukannyadiplococci intraseluler atauditemukannya lebih dari 5 seldarah putih <strong>pada</strong> pemeriksaanmikroskopik sediaan apusendoserviks dengan pengecatanmethylene blue.Trikomoniasis Ditemukannya morfologi danmotilitas Trichomonas vaginalis<strong>pada</strong> pemeriksaan mikroskopikdengan saline normal sediaanapus cairan vagina.BakterialvaginosisApabila 2 dari 3 indikator berikutpositif. Indikator: clue cells, whifftest, pH lebih dari 4,5Kandidiasis Ditemukannya ragi bertunas(budding yeasts) danpseudohyphae <strong>pada</strong> pemeriksaanmikroskopik cairan vaginadengan KOHSifilis diniSifilis lanjutApabila uji RPR positif, ujiTPHA positif, dan titer RPR>1:32Apabila uji RPR positif, ujiTPHA positif, dan titer RPR


III. HASIL DAN DISKUSIIII.1.RekrutmenDi Medan tidak ada lokalisasi, karena itu sampel diambil dari jalanan dan tempathiburan. Sampel WPS jalanan diambil dari lokasi jalan Iskandar Muda dan rel keretaapi. Tempat hiburan terdiri dari panti pijat dan karaoke di kota Medan yang terdaftardi Dinas Pariwisata. Realisasi proses pemilihan dan pengikutsertaan sampel terteradalam tabel 2 di bawah.Tabel 2. Realisasi Sampel Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi <strong>pada</strong>Wanita Penjaja Seks di Medan, 2003TidakKluster JumlahAngkaKriteria WPSDiundang HadirMemenuhi Berpartisipasiterpilih PopulasiPenolakanKriteriaJalanan 2 98 33 30 69% 5 25Tempat Hiburan 20 545 337 286 15% 61 225Terdapat perbedaan jumlah / besar populasi dalam kluster terpilih dengan jumlahWPS lokalisasi yang diundang. Hal ini karena mereka yang diundang hanyalahmereka yang terpilih secara acak dalam proses pemilihan sampel tahap kedua.Perbedaan serupa terdapat pula <strong>pada</strong> WPS jalanan. Hal itu karena faktor keterbatasanakses, tidak ada anggota tim peneliti yang berpengalaman dengan WPS jalanan diMedan dan kecurigaan WPS jalanan terhadap peneliti cukup besar.Secara keseluruhan terdapat 66 WPS yang tidak diikutsertakan karena tidakmemenuhi kriteria, terdiri dari 52 WPS sedang menstruasi, 8 WPS berusia di atas 50tahun, dan 6 WPS tidak bersedia diperiksa dengan menggunakan spekulum.III.2.III.2.1.Karakteristik Populasi yang DitelitiDistribusi UmurDistribusi umur penting untuk diperhatikan, karena makin muda umur seorang wanita,makin rawan tertular IMS/HIV. Struktur umur WPS jalanan lebih muda dari WPS7


tempat hiburan. Umur WPS jalanan berkisar antara 17 tahun dan 43 tahun. Medianumur WPS jalanan yang diteliti 24 tahun. Umur WPS tempat hiburan berkisar antara18 tahun dan 50 tahun dengan median 31 tahun.Gambar 1. Distribusi Umur WPS Jalanan dan WPS Tempat Hiburan di Medan, 2003III.2.2.Pasangan Seks TetapSuami dan pacar tetap WPS merupakan kelompok pasangan seks tetap para WPSyang perlu diperhatikan dalam tatalaksana IMS. Apabila seorang WPS ter<strong>infeksi</strong> IMS,maka pasangan seks tetapnya perlu juga diobati.WPS jalanan yang menikah 8%, yang punya pacar tetap 76%. WPS tempat hiburanyang menikah ada 22% dan yang punya pacar tetap 31%. Yang berstatus tidak sedangmenikah cukup banyak. Dalam penelitian ini tidak diperjelas apakah status sedangtidak menikah berarti belum menikah atau cerai. Survai Surveilans Perilaku yangdilaksanakan oleh Departemen Kesehatan bekerja sama dengan Badan Pusat Statistikdan program ASA/FHI melaporkan status cerai jauh lebih besar dibandingkan statusbelum pernah menikah. 13 8


Gambar 2. WPS yang Mempunyai Pasangan Seks Tetap, Medan, 2003III.2.3.Umur Pertama Kali Berhubungan SeksUmur termuda saat pertama kali berhubungan seks baik WPS jalanan maupun WPStempat hiburan adalah 12 tahun. Median umur pertama kali berhubungan seks WPSjalanan adalah 17 tahun. Median umur pertama kali berhubungan seks WPS tempathiburan 18 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan <strong>reproduksi</strong>remaja perlu diberikan sedini mungkin sebagai bekal menghindarkan diri dari tertularIMS-HIV, terutama bagi kelompok yang rawan terlibat dalam seks komersial.Gambar 3. Umur Saat WPS Pertama Kali Berhubungan Seks, Medan, 20039


III.2.4.Lama Bekerja Sebagai WPSLama bekerja sebagai WPS merupakan faktor penting. Karena makin lama masa kerjaseorang WPS, makin besar kemungkinan ia telah melayani pelanggan yang telahter<strong>infeksi</strong> HIV. Median lama kerja WPS jalanan 1 tahun. Masa kerja terlama 31 tahun,dan terdapat 12% yang telah bekerja selama lebih dari 10 tahun. Median lama kerjaWPS tempat hiburan 2 tahun. Masa kerja terlama 19 tahun, dan terdapat 5% yangtelah bekerja selama lebih dari 10 tahun.Gambar 4. Lama Kerja Sebagai WPS, Medan, 2003Setengah jumlah WPS jalanan telah bekerja di lokasi sekarang selama lebih dari 7bulan, sedangkan setengah jumlah WPS tempat hiburan telah bekerja di lokasisekarang selama lebih dari 1 tahun 6 bulan.Gambar 5. Lama Kerja WPS di Lokasi Sekarang, Medan, 200310


III.2.5.MobilitasSebanyak 60% WPS jalanan (15 orang) dan 31% (70 orang) WPS tempat hiburanmenyatakan pernah bekerja sebagai PS di lokasi lain/sering berpindah-pindah dalam 2tahun terakhir. Sedangkan 10 WPS jalanan dan 155 WPS tempat hiburan yang lainnyaselama 2 tahun terakhir ini tidak berpindah-pindah.WPS yang sering berpindah-pindah menyatakan pernah bekerja di berbagai provinsisebelumnya, tetapi sebagian besar, 67% WPS jalanan (10 orang) dan 79% WPStempat hiburan (55 orang), hanya berpindah-pindah dalam Provinsi Sumatera Utarasaja. Provinsi lain yang pernah menjadi lokasi kerja WPS jalanan adalah Riau (20%)dan Jawa Barat (13%). Daerah yang pernah menjadi lokasi kerja WPS tempat hiburanadalah Jakarta (17%), Riau (3%), dan Jawa Barat (1%).III.2.6.PelangganSalah satu faktor risiko penularan IMS-HIV adalah jumlah pelanggan yang dilayaniseorang WPS. Makin banyak jumlah pelanggan, makin besar kemungkinan salah satudi antaranya menularkan HIV ke<strong>pada</strong> WPS. Sebaliknya jika WPS telah ter<strong>infeksi</strong>IMS-HIV, makin banyak pelanggan yang mungkin telah tertular darinya. Namunmakin sedikit jumlah pelanggan dapat memperlemah kekuatan negosiasi WPS untukpemakaian kondom, karena mereka takut kehilangan pelanggan. 14Median jumlah pelanggan WPS jalanan dalam satu minggu terakhir 3 orang. Medianjumlah pelanggan WPS tempat hiburan dalam satu minggu terakhir 4 orang.11


Gambar 6. Jumlah Pelanggan Dalam Satu Minggu Terakhir, WPS Medan, 2003Pelanggan WPS jalanan maupun tempat hiburan sangat bervariasi. Namun baik WPSjalanan maupun tempat hiburan menyatakan sebagian terbesar pelanggannya adalahkaryawan perusahaan swasta dan BUMN. Karyawan dalam hal ini termasuk yangberdasi maupun pekerja kasarnya. Cukup banyak WPS yang menyatakan bahwapelanggan tersering mereka berasal dari kelompok laki-laki yang selama ini tidakdigolongkan berperilaku risiko tinggi, seperti PNS (pegawai negeri sipil), karyawanperusahaan swasta dan BUMN, TNI Polri, dan pelajar (gambar 7). ABK & nelayanserta pengemudi & kernet yang selama ini dianggap kelompok berisiko tinggitampaknya kurang menjadi pelanggan WPS yang diteliti. Hal ini kemungkinan karenaWPS yang diteliti dari lokasi-lokasi di pusat kota, bukan di sekitar pelabuhan ataujalur trans Sumatera.12


Gambar 7. Pelanggan Tersering WPS di Medan, 2003WPS jalanan yang menyatakan pelanggan tersering mereka ABK & nelayan ternyata20 kali lipat jumlah WPS tempat hiburan yang menyatakan hal yang sama. SedangkanWPS tempat hiburan yang menyatakan pelanggan tersering mereka PNS ternyata duakali lipat jumlah WPS jalanan yang menyatakan hal yang sama.Variasi latar belakang pekerjaan para pelanggan WPS ini menunjukkan bahwaberbagai kelompok laki-laki berisiko tertular IMS-HIV melalui seks komersial danperlu dijangkau dengan program pencegahan IMS/HIV.III.3.III.3.1.Faktor RisikoCuci VaginaHampir semua, yaitu 92% WPS jalanan dan 97% WPS tempat hiburan melakukancuci vagina. Cuci vagina dilakukan menggunakan bermacam bahan seperti odol /pasta gigi, sabun biasa, air sirih, dan produk kimia cairan cuci vagina yang diiklankan.Perilaku ini disalahmengertikan oleh para WPS sebagai tindakan untuk mencegahpenularan IMS-HIV. Sebenarnya, perilaku ini justru meningkatkan risiko penularankarena cuci vagina menyebabkan penipisan epitel vagina dengan demikian13


mempermudah terjadinya perlukaan sebagai pintu masuk IMS-HIV. Selain itu, cucivagina mengubah pH vagina menjadi basa. Kondisi vagina yang basa inimempermudah pertumbuhan organisme penyebab IMS. 15,16III.3.2.Pemakaian Kondom Dalam Bulan LaluKonsistensi pemakaian kondom (selalu memakai kondom dengan semua pelanggan)merupakan perilaku yang efektif untuk mencegah penularan IMS/HIV. Sangatmemprihatinkan bahwa tidak ada (0%) WPS jalanan dan hanya 24% WPS tempathiburan yang selalu memakai kondom bulan lalu. Sebagian besar WPS jalanan (64%)dan WPS tempat hiburan (72%) kadang-kadang memakai kondom, perilaku ini perluditingkatkan menjadi selalu memakai kondom agar upaya pencegahan menjadi efektif. Yang paling perlu mendapat perhatian adalah 36% WPS jalanan dan 4% WPStempat hiburan tidak pernah memakai kondom sama sekali selama bulan lalu, perilakuyang paling berisiko untuk penularan IMS-HIV. Secara umum perilaku WPS tempathiburan cenderung sedikit lebih aman (lebih banyak yang selalu dan kadang-kadangpakai kondom, lebih sedikit yang tidak pernah pakai kondom) dibandingkan denganWPS jalanan (gambar 8). Diperkirakan kondisi tempat hiburan dengan dukungan paramucikari, akses kondom yang lebih baik, dan jangkauan dari pemerintah maupunLSM, lebih membantu proses perubahan perilaku dari<strong>pada</strong> kondisi jalananGambar 8. Konsistensi Pemakaian Kondom Selama Bulan Lalu, WPS Medan,200314


III.4.Hasil Pemeriksaan ISRDari hasil pemeriksaan fisik dengan spekulum untuk melihat vagina dan endoserviks,tanda yang didapatkan terbanyak adalah cairan tidak jernih dari endoserviks <strong>pada</strong>68% WPS jalanan, dan 56% WPS tempat hiburan. Cairan tidak jernih dari vaginadidapatkan <strong>pada</strong> 28% WPS jalanan dan 12% WPS tempat hiburan.Gambar 9. Tanda ISR yang Tampak Pada Pemeriksaan Fisik <strong>pada</strong> WPS, Medan, 2003III.5. Prevalensi ISRSecara umum, terdapat 60% WPS jalanan dan 30% WPS tempat hiburan yang sedangter<strong>infeksi</strong> salah satu atau lebih ISR yang diteliti. Prevalensi ini tergolong tinggi. ISRdiketahui meningkatkan risiko penularan HIV sebesar 2-9 kali lipat. Oleh karena itudiperlukan upaya untuk menurunkan <strong>prevalensi</strong> ISR, yang mencakup pengobatan,pemutusan rantai penularan, dan pencegahan.III.5.1.GonorePrevalensi gonore <strong>pada</strong> WPS jalanan 32%, <strong>pada</strong> WPS tempat hiburan 9%.15


III.5.2.KlamidiaPrevalensi <strong>infeksi</strong> klamidia <strong>pada</strong> WPS jalanan 44%, <strong>pada</strong> WPS tempat hiburan 23%.III.5.3.Infeksi Ganda Gonore dan KlamidiaInfeksi ganda gonore dan klamidia dilaporkan sering terjadi. Pada WPS jalanan yangditeliti, <strong>prevalensi</strong> <strong>infeksi</strong> ganda ini sebesar 20%, <strong>pada</strong> WPS tempat hiburan 3%.III.5.4.SifilisPrevalensi sifilis dini <strong>pada</strong> WPS jalanan 4%, <strong>pada</strong> WPS tempat hiburan 1%.Sedangkan <strong>prevalensi</strong> sifilis laten lanjut 32% <strong>pada</strong> WPS jalanan,13% <strong>pada</strong> WPStempat hiburan.III.5.5.Trikomoniasis VaginalisPrevalensi Trikomoniasis vaginalis <strong>pada</strong> WPS jalanan 0%, sedangkan <strong>pada</strong> WPStempat hiburan 2%.III.5.6.Bakterial Vaginosis dan Vaginal KandidiasisWPS jalanan memiliki <strong>prevalensi</strong> Bakterial Vaginosis sebesar 40%, WPS tempathiburan 43%. Sedangkan <strong>prevalensi</strong> vaginal kandidiasis <strong>pada</strong> WPS jalanan 0%, <strong>pada</strong>WPS tempat hiburan 4%. Kedua <strong>infeksi</strong> ini bukan IMS melainkan Infeksi SaluranReproduksi (ISR). Walaupun bukan IMS, kedua <strong>infeksi</strong> ini mengakibatkan gangguanepitel vagina yang meningkatkan kerawanan terhadap <strong>infeksi</strong> HIV. Adanya bakterialvaginosis menunjukkan bahwa keseimbangan flora normal vagina terganggu, yaituberkurangnya jumlah lactobacilli sehingga pH vagina menjadi basa yang kondusifuntuk HIV. 17 16


Gambar 10. Prevalensi Berbagai ISR <strong>pada</strong> WPS di Medan, 2003III.6.IMS Tanpa TandaSecara umum 28% kasus IMS tidak menunjukkan adanya tanda, sedangkan 27%kasus dengan cairan dari vagina maupun endoserviks ternyata tidak sedang menderitasalah satu dari ke tiga IMS yang diteliti (gonore, klamidia, dan trikomoniasisvaginalis).Secara rinci ditemukan 100% kasus sifilis, 21% kasus gonore, 29% kasus klamidia,dan 25% kasus trikomoniasis yang diagnosisnya dipastikan dengan pemeriksaanlaboratorium, ternyata tidak menunjukkan adanya tanda apapun.Untuk kepentingan penegakan diagnosis dan pemberian pengobatan <strong>pada</strong> hari yangsama digunakan diagnosis klinis servisitis berdasarkan pemeriksaan fisik danlaboratorium sederhana. Servisitis mencakup <strong>infeksi</strong> gonore, klamidia, dan <strong>infeksi</strong>ganda gonore dan klamidia. Ternyata 68% kasus yang didiagnosis sebagai servisitis,<strong>pada</strong> hasil pemeriksaan dengan GenProbe tidak menunjukkan adanya <strong>infeksi</strong> gonoreatau klamidia. Di sisi lain, 4% kasus gonore dan 3% kasus klamidia tidak didiagnosisservisitis.Dapat dipastikan, apabila WPS berobat dan dilayani dengan menggunakanpendekatan sindrom tanpa pemeriksaan laboratorium sederhana, akan ada kasus yang17


lolos karena tidak ada tanda. Selain itu, penelitian lain juga memperlihatkan bahwasebagian kasus IMS tidak akan mencari pengobatan karena tidak ada gejala. 3,7Sebagai akibatnya, rantai penularan akan terus berlanjut. Untuk mengatasi hal itu,skrining dengan memeriksa semua WPS secara fisik dilanjutkan dengan pemeriksaanlaboratorium sederhana, serta pemberian pengobatan secara berkala <strong>pada</strong> populasiberisiko tinggi ini merupakan upaya kesehatan masyarakat yang efektif untukmemutus rantai penularan, menurunkan <strong>prevalensi</strong>, dan mengurangi risiko penyebaranHIV.III.7. Program bagi WPS, Pengaruhnya Terhadap Perilakudan Prevalensi IMSDi Medan, program pencegahan IMS/HIV yang berupa upaya perubahan perilakumelalui penjangkauan ke<strong>pada</strong> WPS jalanan maupun tempat hiburan dengan dukungandari program ASA belum terselenggara. Namun mungkin ada atau pernah adaprogram lain. Ternyata penelitian ini menunjukkan hasil bahwa pola perilaku maupun<strong>prevalensi</strong> IMS di kalangan WPS jalanan relatif tidak berbeda dengan di kalanganWPS tempat hiburan (gambar 8 dan 10).Sebagai pembanding adalah hasil di kota Jayapura, di mana program telah lebih lamadan lebih banyak menjangkau WPS lokalisasi, sementara program untuk WPS jalananbaru saja dimulai. Hasilnya, pola perilaku kedua sub populasi sangat jauh berbeda,demikian pula <strong>prevalensi</strong> IMS nya. Di Jayapura, 39% WPS lokalisasi selalu memakaikondom, 60% kadang-kadang, dan hanya 1% yang tidak pernah pakai kondom bulanlalu. Sedangkan <strong>pada</strong> WPS jalanan, hanya 10% yang selalu pakai kondom, 12%kadang-kadang, dan 78% tidak pernah pakai kondom bulan lalu. Konsisten denganpola perilaku, <strong>prevalensi</strong> tiap jenis IMS juga jauh lebih tinggi (hampir 4 kali lipat)<strong>pada</strong> WPS jalanan, misalnya <strong>prevalensi</strong> gonore 16% <strong>pada</strong> WPS lokalisasi dan 50%<strong>pada</strong> WPS jalanan, klamidia 14% <strong>pada</strong> WPS lokalisasi dan 55% <strong>pada</strong> WPS jalanan.Apabila program bagi WPS jalanan dan tempat hiburan di Medan diperluas dandiperkuat, diharapkan akan didapat hasil perubahan perilaku seperti WPS lokalisasi diJayapura atau bahkan lebih baik lagi, dan <strong>prevalensi</strong> IMS yang lebih rendah.18


III.8.Selalu Memakai Kondom, Terlindung dari IMSData yang terkumpul menunjukkan bahwa 74% WPS yang selalu memakai kondombulan lalu, tidak menderita IMS apa pun. Hal ini menunjukkan bahwa kondom efektifmelindungi WPS dari tertular IMS. Sebenarnya hasil yang diharapkan adalah 100%.Namun ternyata masih ada 26% WPS yang mengaku selalu memakai kondom bulanlalu, yang menderita IMS. Beberapa kemungkinan penyebabnya adalah:a. Mereka mungkin mulai tidak konsisten memakai kondom dalam 1-2 mingguterakhir sehingga tertular IMS.b. Mereka mungkin hanya selalu memakai kondom <strong>pada</strong> seks komersialsedangkan seks dengan pasangan tetap tidak memakai kondom. Padahal adakemungkinan pasangan tetap mereka berperilaku seksual risiko tinggi juga.c. Mereka telah tertular IMS tetapi belum diobati dengan tuntas saat mulaiberubah perilaku menjadi selalu memakai kondom, sehingga IMS yang dahulumasih ada dalam dirinya sampai sekarang.III.9.Keterbatasan PenelitianPenelitian ini memiliki beberapa keterbatasan sebagai berikut:1. Proses pemilihan dan pengikutsertaan sampel tidak selalu dapat mengikutiprinsip probability proportional to size.2. Jumlah sampel per sub-populasi tidak dapat seimbang dan tidak dapat selalumemenuhi target karena situasi lapangan yang tidak memungkinkan (jumlahpopulasi kecil, akses terbatas, sampel terpilih tidak memenuhi undangan).3. Dalam proses pengambilan data tidak menanyakan adanya keluhan (gejala)IMS/ISR.4. Pada proses analisis didapati beberapa informasi penting ternyata tidak tergalimelalui kuesioner yang dipakai, misalnya: rincian tentang status tidak menikahtidak ada, tidak ada klasifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya maupundefinisi operasional untuk jenis pelanggan WPS, tidak ada definisi operasionaluntuk mobilitas, tidak ada definisi operasional untuk kriteria pelanggantersering, tidak ada definisi operasional untuk pilihan jawaban pemakaiankondom, dan pilihan jawaban “selalu memakai kondom” tidak memastikanpemakaian kondom dalam seks non-komersial.19


IV. KESIMPULAN DAN SARANIV.1.Kesimpulan1. Prevalensi setiap jenis dari 6 ISR/IMS yang diteliti ternyata tinggi dansebagian besar kasus ISR/IMS tidak menunjukkan tanda.2. Beberapa faktor sosio demografis WPS seperti umur pertama kaliberhubungan seks, lama bekerja sebagai WPS, mobilitas, dan jumlahpelanggan dan persepsi yang salah tentang cuci vagina ternyata menunjukkanpotensi tingginya kerawanan akan penularan IMS-HIV.3. Pelanggan WPS ternyata bukan hanya kelompok laki-laki yang selama inidiasumsikan berperilaku risiko tinggi (sopir, nelayan, ABK), melainkan jugakelompok yang selama ini tidak pernah dianggap berperilaku risiko tinggiseperti karyawan perusahaan swasta/BUMN, pegawai negeri sipil, TNI Polri,pelajar, dan pedagang.4. Konsistensi pemakaian kondom masih sangat rendah. Bahkan perilaku samasekali tidak menggunakan kondom masih tinggi.IV.2.Saran1. Program pencegahan dan penanggulangan IMS/HIV/<strong>AIDS</strong> di Medan perludiperkuat sesuai dengan rekomendasi WHO 18 , sebagai berikut:a. Pencegahan primer : intervensi untuk perubahan perilaku, promosikondom, menjamin akses kondom.b. Pencegahan sekunder : skrining berkala IMS <strong>pada</strong> kelompokberperilaku risiko tinggi misalnya Penjaja Seks, pengobatan yang tepatbagi penderita IMS dan pasangan seksnya.c. Memperkuat komponen pendukung: meningkatkan kemampuan tenagamedis dan paramedis, meningkatkan kualitas laboratorium sederhanauntuk diagnosis IMS, menjamin ketersediaan obat, pengamatanpenyakit/surveilans, manajemen program, dan pengamatan resistensiobat untuk gonore20


2. Program pencegahan IMS/HIV di Medan perlu diperluas dan diperkuat untukmenjangkau WPS lokalisasi maupun WPS jalanan, karena kedua kelompokmenunjukkan risiko yang cukup tinggi.3. Program pencegahan IMS/HIV di Medan perlu diperluas sehinggamenjangkau sebanyak mungkin jenis kelompok laki-laki.4. Pendidikan Kesehatan Reproduksi perlu diberikan sedini mungkin melaluiberbagai cara dan <strong>saluran</strong>.5. Pengukuran <strong>prevalensi</strong> ISR (surveilans) di Medan perlu terus dilakukan secaraperiodik agar didapat data guna memonitor, mengevaluasi dan merencanakanupaya penanggulangan IMS/HIV/<strong>AIDS</strong> selanjutnya.21


Referensi1. Komisi Penanggulangan <strong>AIDS</strong> Nasional Republik Indonesia. HIV/<strong>AIDS</strong> danInfeksi Menular Seksual Lainnya di Indonesia: Tantangan dan Peluang UntukBertindak. Jakarta: KPA Nasional RI; 2001.2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Surveilans HIV. Jakarta;2002.3. Miller P, Otto B. Prevalence of Sexually Transmitted Infections in SelectedPopulations in Indonesia. Jakarta: Indonesia HIV/<strong>AIDS</strong> and STD Preventionand Care Project – AusAID; 2001.4. Silitonga N, Donegan E, Wignall FS, Moncada J, Schachter J. Prevalence OfN gonorrhoeae And C trachomatis Infection Among Commercial Sex WorkersIn Timika, Irian Jaya, Indonesia. Denver: PT Freeport Indonesia, Timika, IrianJaya and University of California San Francisco; 1999.5. Surjadi C. Second Assessment of Sexually Transmitted Disease Prevalence ofCommercial Female Sex Workers in North Jakarta, Surabaya, Manado,Indonesia. Jakarta: HIV/<strong>AIDS</strong> Prevention Project (HAPP)- FHI Indonesia –USAID; 2000.6. Rosana Y, Sjahrurachman A, Sedyaningsih ER, Simanjuntak CH, Arjoso S,Daili SF, Judarsono J, Ningsih I. Studi resistensi N. gonorrhoeae yangdiisolasi dari pekerja seks komersial di beberapa tempat di Jakarta(Antimicrobial susceptibility pattern of N. gonorrhoeae isolated from femalecommercial sex workers in Jakarta.). Jurnal Mikrobiologi Indonesia 1999,4:2, 60-63.7. Sedyaningsih ER, Rahardjo E, Lutam B, Oktarina, Sihombing S. Harun S.Validasi pemeriksaan <strong>infeksi</strong> menular seksual secara pendekatan sindrom <strong>pada</strong>kelompok wanita berperilaku risiko tinggi. Buletin Penelitian Kesehatan(2001) 28:3-4, 460-472.8. Presentasi Surveilans Sifilis dalam Pertemuan Evaluasi Surveilans. Jakarta :Direktorat Jendral PPM&PL, Departemen Kesehatan Republik Indonesia ;2003.9. Rencana Strategis Penanggulangan HIV/<strong>AIDS</strong>. Jakarta : DepartemenKesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jendral PPM & PL ; 2003.22


10. Prosedur Tetap Surveilans Sentinel HIV. Jakarta : Departemen KesehatanRepublik Indonesia, Direktorat Jendral PPM & PL ; 1999.11. Guidelines for the Management of Sexually Transmitted Infections. WHO;2001.12. Prosedur Tetap Penatalaksanaan Penderita Penyakit Menular Seksual DenganPendekatan Sindrom dan Laboratorium. Jakarta: Departemen KesehatanRepublik Indonesia;1999.13. Laporan Hasil Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2003 di Jayapura, Sorong,Merauke, Ambon, Bitung, Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta,Palembang, Tanjung Pinang, dan Medan. Jakarta: Departemen Kesehatan danBadan Pusat Statistik Republik Indonesia; 2003. Di sponsori oleh Aksi Stop<strong>AIDS</strong> Program, FHI Indonesia – USAID.14. Sedyaningsih E. Perempuan-perempuan Kramat Tunggak. Seri KesehatanReproduksi, Kebudayaan, dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan –The Ford Foundation; 1999.15. Zhang J, Thomas A, Leybovich E. Vaginal Douching & Adverse HealthEffect: A meta-analysis. AM. J. Public Health 1997; 87: 1207-11.16. Taha T, Hoover D, Dallabetta G, et al. Bacterial Vaginosis and Disturbancesof Vaginal Flora: Association with Increase Acquisition of HIV. <strong>AIDS</strong> 1998;12: 1699-705.17. Schmid G, Markowitz L, Joesoef R, Koumans E. Bacterial Vaginosis andHIV. Sexually Transmitted Infection 2003; 76(1): 3-4.18. Sexually Transmitted Diseases: policies and principles for prevention andcare. World Health Organization/UN<strong>AIDS</strong>. WHO/UN<strong>AIDS</strong>/97.6, 1997.23

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!