02.11.2014 Views

inkonsistensi pendidikan agama islam - Kemenag Sumsel

inkonsistensi pendidikan agama islam - Kemenag Sumsel

inkonsistensi pendidikan agama islam - Kemenag Sumsel

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

INKONSISTENSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM<br />

(Masalah, Solusi dan Re-orientasi)<br />

Oleh : Muhammad Isnaini <br />

email: isnain_m@yahoo.co.id<br />

http//www.muhammadisnain.blogsopt.com<br />

A. Pengantar<br />

Problematika <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> secara umum di Indonesia adalah<br />

lambannya upaya-upaya re-orientasi <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> secara mendasar<br />

sehingga diharapkan mampu menghasilkan out put yang disamping<br />

memiliki kompetensi juga berkarakter (berkepribadian) yang baik. Reorientasi<br />

yang dimaksud adalah bertujuan untuk menjawab berbagai kritik<br />

mengenai gagalnya <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> di Indonesia selama ini. Dalam<br />

kaitan ini, <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> harus diarahkan menjadi bentuk <strong>pendidikan</strong><br />

yang berkeadaban. Yakni, <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> yang mampu menumbuhkan<br />

kesadaran keber<strong>agama</strong>an siswa didik yang berisi berbagai hal mendasar<br />

seperti kesadaran akan Tuhan, komitmen moral, rasa kemanusiaan dan<br />

kepedulian sosial.<br />

Oleh karena itu, <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> seyogyanya tidak hanya<br />

mengedepankan pengkayaan aspek kognitif semata, tetapi juga<br />

pembentukan karakter dengan pembenahan segi afektif serta pemberian<br />

ruang kebebasan untuk mengembangkan kreativitas dengan rangsangan<br />

pada aspek psiko-motorik merupakan hal yang penting untuk<br />

dilaksanakan secara seimbang.<br />

B. Masalah Mendasar : Sekularisme Sebagai Paradigma Pendidikan<br />

Jarang ada orang mau mengakui dengan jujur, sistem <strong>pendidikan</strong><br />

kita adalah sistem yang sekular-materialistik. Biasanya yang dijadikan<br />

argumentasi, adalah UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang<br />

berbunyi, ―Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang<br />

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan<br />

Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah Palembang.


erbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang<br />

demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat<br />

dan tanah air.‖<br />

Tapi perlu diingat, sekularisme itu tidak otomatis selalu anti <strong>agama</strong>.<br />

Tidak selalu anti ―iman‖ dan anti ―taqwa‖. Sekularisme itu hanya menolak<br />

peran <strong>agama</strong> untuk mengatur kehidupan publik, termasuk aspek<br />

<strong>pendidikan</strong>. Jadi, selama <strong>agama</strong> hanya menjadi masalah privat dan tidak<br />

dijadikan asas untuk menata kehidupan publik seperti sebuah sistem<br />

<strong>pendidikan</strong>, maka sistem <strong>pendidikan</strong> itu tetap sistem <strong>pendidikan</strong> sekular,<br />

walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa<br />

(sebagai perilaku individu).<br />

Sesungguhnya diakui atau tidak, sistem <strong>pendidikan</strong> kita adalah<br />

sistem <strong>pendidikan</strong> yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan<br />

antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur,<br />

jenjang dan jenis <strong>pendidikan</strong> bagian kesatu (umum) pasal 15 yang<br />

berbunyi: Jenis <strong>pendidikan</strong> mencakup <strong>pendidikan</strong> umum, kejuruan,<br />

akademik, profesi, advokasi, ke<strong>agama</strong>n, dan khusus. Dari pasal ini<br />

tampak jelas adanya dikotomi <strong>pendidikan</strong>, yaitu <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> dan<br />

<strong>pendidikan</strong> umum. Sistem <strong>pendidikan</strong> dikotomis semacam ini terbukti telah<br />

gagal melahirkan manusia salih yang berkepribadian Islam sekaligus<br />

mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains<br />

dan teknologi.<br />

Secara kelembagaan, sekularisasi <strong>pendidikan</strong> tampak pada<br />

<strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> melalui madrasah, institut <strong>agama</strong>, dan pesantren yang<br />

dikelola oleh Departemen Agama; sementara <strong>pendidikan</strong> umum melalui<br />

sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum<br />

dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang<br />

sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan<br />

oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan<br />

<strong>agama</strong>. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting<br />

dari proses <strong>pendidikan</strong> justru kurang tergarap secara serius. Agama<br />

1


ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat<br />

minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan.<br />

Hal ini juga tampak pada BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang<br />

ketentuan kurikulum <strong>pendidikan</strong> dasar dan menengah yang mewajibkan<br />

memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> yang<br />

tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang<br />

lainnya.<br />

Ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai<br />

dengan tujuan dari <strong>pendidikan</strong> nasional sendiri, yaitu mewujudkan<br />

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif<br />

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual<br />

ke<strong>agama</strong>an, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,<br />

serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan<br />

negara. Kacaunya kurikulum ini tentu saja berawal dari asasnya yang<br />

sekular, yang kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum<br />

yang tidak memberikan ruang semestinya bagi proses penguasaan<br />

tsaqâfah Islam dan pembentukan kepribadian Islam.<br />

Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan<br />

orang pandai yang menguasai sains-teknologi melalui <strong>pendidikan</strong> umum<br />

yang diikutinya. Akan tetapi, <strong>pendidikan</strong> semacam itu terbukti gagal<br />

membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan tsaqâfah Islam.<br />

Berapa banyak lulusan <strong>pendidikan</strong> umum yang tetap saja ‗buta <strong>agama</strong>‘<br />

dan rapuh kepribadiannya? Sebaliknya, mereka yang belajar di<br />

lingkungan <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> memang menguasai tsaqâfah Islam dan<br />

secara relatif sisi kepribadiannya tergarap baik. Akan tetapi, di sisi lain, ia<br />

buta terhadap perkembangan sains dan teknologi.<br />

Akhirnya, sektor-sektor modern (industri manufaktur, perdagangan,<br />

dan jasa) diisi oleh orang-orang yang relatif awam terhadap <strong>agama</strong> karena<br />

orang-orang yang mengerti <strong>agama</strong> terkumpul di dunianya sendiri<br />

(madrasah, dosen/guru <strong>agama</strong>, Depag), tidak mampu terjun di sektor<br />

modern. Jadi, <strong>pendidikan</strong> sekular memang bisa membikin orang pandai,<br />

2


tapi masalah integritas kepribadian atau perilaku, tidak ada jaminan sama<br />

sekali. Sistem <strong>pendidikan</strong> sekular itu akan melahirkan insan pandai tapi<br />

buta atau lemah pemahaman <strong>agama</strong>nya. Lebih buruk lagi, yang dihasilkan<br />

adalah orang pandai tapi korup. Profesional tapi bejat moral. Ini adalah out<br />

put umum dari sistem <strong>pendidikan</strong> sekular.<br />

Mari kita lihat contoh negara Amerika atau negara Barat lainnya.<br />

Ekonomi mereka memang maju, kehidupan publiknya nyaman, sistim<br />

sosialnya nampak rapi. Kesadaran masyarakat terhadap peraturan publik<br />

tinggi. Tapi, perlu ingat bahwa <strong>agama</strong> ditinggalkan, gereja-gereja kosong.<br />

Agama dilindungi secara hukum tapi <strong>agama</strong> tidak boleh bersifat publik.<br />

Hari raya Idul Adha tidak boleh dirayakan di lapangan, azan tidak boleh<br />

pakai mikrofon. Pelajaran <strong>agama</strong> tidak saja absen di sekolah, tapi muridmurid<br />

khususnya Muslim tidak mudah melaksanakan sholat 5 waktu di<br />

sekolah. Kegiatan seks di kalangan anak sekolah bebas, asal tidak<br />

melanggar moral publik. Narkoba juga bebas asal untuk diri sendiri. Jadi<br />

dalam kehidupan publik kita tidak boleh melihat wajah <strong>agama</strong>.<br />

Sistem <strong>pendidikan</strong> yang material-sekularistik tersebut sebenarnya<br />

hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat<br />

dan bernegara yang juga sekular. Dalam sistem sekular, aturan-aturan,<br />

pandangan, dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja<br />

digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang <strong>pendidikan</strong>.<br />

Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik ini lahirlah berbagai<br />

bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai <strong>agama</strong>.<br />

C. Masalah Cabang : Rendahnya Kualitas dan Kuantitas<br />

Masalah-masalah cabang yang dimaksud di sini, adalah segala<br />

masalah selain masalah paradigma <strong>pendidikan</strong>, yang berkaitan dengan<br />

penyelenggaraan <strong>pendidikan</strong>. Masalah-masalah cabang ini tentu banyak<br />

sekali macamnya, di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut :<br />

1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik<br />

Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan<br />

tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media<br />

3


elajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium<br />

tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan<br />

sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung<br />

sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan<br />

sebagainya.<br />

Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD<br />

terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta<br />

memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak<br />

364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami<br />

kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami<br />

kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya<br />

lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya.<br />

Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun<br />

dengan persentase yang tidak sama.<br />

2. Rendahnya Kualitas Guru<br />

Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan.<br />

Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk<br />

menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No<br />

20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,<br />

menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan<br />

pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.<br />

Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak<br />

layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam<br />

tahun 2002-2003 di berbagai satuan <strong>pendidikan</strong> sbb: untuk SD yang layak<br />

mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP<br />

54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan<br />

64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri)<br />

dan 58,26% (swasta).<br />

Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat<br />

<strong>pendidikan</strong> guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998)<br />

menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang<br />

4


er<strong>pendidikan</strong> diploma D2-Ke<strong>pendidikan</strong> ke atas. Selain itu, dari sekitar<br />

680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang ber<strong>pendidikan</strong> diploma D3-<br />

Ke<strong>pendidikan</strong> ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru,<br />

baru 57,8% yang memiliki <strong>pendidikan</strong> S1 ke atas. Di tingkat <strong>pendidikan</strong><br />

tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang ber<strong>pendidikan</strong> S2 ke atas<br />

(3,48% ber<strong>pendidikan</strong> S3).<br />

Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu<br />

keberhasilan <strong>pendidikan</strong> tetapi, pembelajaran merupakan titik sentral<br />

<strong>pendidikan</strong> dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar<br />

memberikan andil sangat besar pada kualitas <strong>pendidikan</strong> yang menjadi<br />

tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga<br />

dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.<br />

3. Rendahnya Kesejahteraan Guru<br />

Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat<br />

rendahnya kualitas <strong>pendidikan</strong> Indonesia. Berdasarkan survei FGII<br />

(Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005,<br />

idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah.<br />

Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta.<br />

guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp<br />

10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru<br />

terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di<br />

sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang<br />

mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya<br />

(Republika, 13 Juli, 2005).<br />

Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan<br />

guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan<br />

jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen<br />

akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain<br />

meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi,<br />

dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan<br />

5


tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga<br />

berhak atas rumah dinas.<br />

Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi<br />

masalah lain yang muncul. Di lingkungan <strong>pendidikan</strong> swasta, masalah<br />

kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat<br />

9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan<br />

Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai<br />

dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).<br />

4. Rendahnya Prestasi Siswa<br />

Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik,<br />

kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun<br />

menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan<br />

matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.<br />

Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004),<br />

siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal<br />

prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal<br />

prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa<br />

Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.<br />

Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for<br />

Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi<br />

tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui<br />

laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam<br />

laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177<br />

negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi<br />

Indonesia berada jauh di bawahnya.<br />

Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia<br />

(Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of<br />

Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan<br />

membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata<br />

skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura),<br />

65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).<br />

6


Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari<br />

materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal<br />

berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena<br />

mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.<br />

Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science<br />

Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa,<br />

diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia<br />

berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam<br />

dunia <strong>pendidikan</strong> tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas<br />

yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia<br />

hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.<br />

5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan.<br />

Kesempatan memperoleh <strong>pendidikan</strong> masih terbatas pada tingkat<br />

Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan<br />

Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan<br />

Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999<br />

mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori<br />

tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54,<br />

8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan <strong>pendidikan</strong> usia dini masih<br />

sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu<br />

akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara<br />

keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi<br />

pemerataan <strong>pendidikan</strong> yang tepat untuk mengatasi masalah<br />

ketidakmerataan tersebut<br />

6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan<br />

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang<br />

menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun<br />

1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh<br />

lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT<br />

sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan<br />

7


kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat <strong>pendidikan</strong><br />

yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%.<br />

Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3<br />

juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga<br />

menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya<br />

ketidakserasian antara hasil <strong>pendidikan</strong> dan kebutuhan dunia kerja ini<br />

disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap<br />

keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.<br />

7. Mahalnya Biaya Pendidikan<br />

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk<br />

menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk<br />

mengenyam bangku <strong>pendidikan</strong>. Mahalnya biaya <strong>pendidikan</strong> dari Taman<br />

Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat<br />

miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin<br />

tidak boleh sekolah.<br />

Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, —<br />

sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta.<br />

Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.<br />

Makin mahalnya biaya <strong>pendidikan</strong> sekarang ini tidak lepas dari<br />

kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis<br />

Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya<br />

untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan<br />

Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur<br />

pengusaha.<br />

Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas.<br />

Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu<br />

berkedok, ―sesuai keputusan Komite Sekolah‖. Namun, pada tingkat<br />

implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi<br />

pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan<br />

Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator<br />

kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari<br />

8


pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan <strong>pendidikan</strong><br />

rakyatnya.<br />

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan<br />

Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status <strong>pendidikan</strong> dari milik<br />

publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan<br />

politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara<br />

mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas <strong>pendidikan</strong> warganya<br />

kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi<br />

Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN).<br />

Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan<br />

<strong>pendidikan</strong> yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada<br />

melambungnya biaya <strong>pendidikan</strong> di beberapa Perguruan Tinggi favorit.<br />

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor<br />

pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk<br />

memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-<br />

40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong<br />

privatisasi <strong>pendidikan</strong>. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar<br />

seperti <strong>pendidikan</strong> menjadi korban. Dana <strong>pendidikan</strong> terpotong hingga<br />

tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).<br />

Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk <strong>pendidikan</strong>.<br />

Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25%<br />

belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah<br />

memprivatisasi <strong>pendidikan</strong> dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti<br />

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum<br />

Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan<br />

Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada<br />

privatisasi <strong>pendidikan</strong> itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No<br />

20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu<br />

disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan <strong>pendidikan</strong> formal yang<br />

didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum<br />

<strong>pendidikan</strong>.<br />

9


Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal<br />

untuk diinvestasikan dalam operasional <strong>pendidikan</strong>. Koordinator LSM<br />

Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika,<br />

10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi <strong>pendidikan</strong> berarti<br />

Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi <strong>pendidikan</strong> dengan<br />

menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan <strong>pendidikan</strong> ke pasar.<br />

Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan<br />

sendiri biaya penyelenggaraan <strong>pendidikan</strong>. Sekolah tentu saja akan<br />

mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan<br />

mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu<br />

untuk menikmati <strong>pendidikan</strong> berkualitas akan terbatasi dan masyarakat<br />

semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan<br />

miskin.<br />

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir.<br />

Menurut dia, privatisasi <strong>pendidikan</strong> merupakan agenda Kapitalisme global<br />

yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank<br />

Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan<br />

(RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi <strong>pendidikan</strong>. Semua<br />

satuan <strong>pendidikan</strong> kelak akan menjadi badan hukum <strong>pendidikan</strong> (BHP)<br />

yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh<br />

sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.<br />

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah<br />

status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok.<br />

Jika alasannya bahwa <strong>pendidikan</strong> bermutu itu harus mahal, maka<br />

argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan<br />

di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang<br />

bermutu namun biaya <strong>pendidikan</strong>nya rendah. Bahkan beberapa negara<br />

ada yang menggratiskan biaya <strong>pendidikan</strong>.<br />

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau<br />

tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang<br />

seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang<br />

10


erkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh <strong>pendidikan</strong><br />

dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan <strong>pendidikan</strong><br />

bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari<br />

tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan<br />

bagi Pemerintah untuk ‗cuci tangan‘.<br />

D. Solusi Masalah Mendasar dan Masalah Cabang<br />

Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara<br />

fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan<br />

secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma <strong>pendidikan</strong><br />

sekular menjadi paradigma Islam. Ini sangat penting dan utama.<br />

Ibarat mobil yang salah jalan, maka yang harus dilakukan adalah :<br />

(1) langkah awal adalah mengubah haluan atau arah mobil itu terlebih<br />

dulu, menuju jalan yang benar agar bisa sampai ke tempat tujuan yang<br />

diharapkan. Tak ada artinya mobil itu diperbaiki kerusakannya yang<br />

macam-macam selama mobil itu tetap berada di jalan yang salah. (2)<br />

Setelah membetulkan arah mobil ke jalan yang benar, barulah mobil itu<br />

diperbaiki kerusakannya yang bermacam-macam.<br />

Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai<br />

macam masalah cabang <strong>pendidikan</strong> diselesaikan, baik itu masalah<br />

rendahnya sarana fisik, kualitas guru, kesejahteraan gutu, prestasi siswa,<br />

kesempatan pemerataan <strong>pendidikan</strong>, relevansi <strong>pendidikan</strong> dengan<br />

kebutuhan, dan mahalnya biaya <strong>pendidikan</strong>.<br />

Solusi masalah mendasar itu adalah merombak total asas sistem<br />

<strong>pendidikan</strong> yang ada, dari asas sekularisme diubah menjadi asas Islam,<br />

bukan asas yang lain. Bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah<br />

mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dengan cara<br />

menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan Islam. Hal paling mendasar<br />

yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem <strong>pendidikan</strong>. Sebab asas<br />

sistem <strong>pendidikan</strong> itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam<br />

sistem <strong>pendidikan</strong>, seperti tujuan <strong>pendidikan</strong> dan struktur kurikulum.<br />

11


Berikut beberapa solusi lain tetapi mendasr untuk perubahan <strong>pendidikan</strong><br />

<strong>agama</strong> Islam di antaranya adalah :<br />

1. Belajar Agama Secara Tuntas, Bukan Sekedar Hafalan<br />

Membicarakan <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> adalah membicarakan tentang<br />

keyakinan, pandangan dan cita-cita hidup dan kehidupan umat manusia<br />

dari generasi ke generasi. Pendidikan <strong>agama</strong> tidak dapat dipahami<br />

sebatas 'pembelajaran <strong>agama</strong>'. Karena itu, parameter keberhasilan<br />

<strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak<br />

menguasai hal-hal yang bersifat kognitif atau pengetahuan tentang ajaran<br />

<strong>agama</strong> atau ritus-ritus ke<strong>agama</strong>an semata. Lebih-lebih penilaian yang<br />

diberikan melalui 'angka-angka' yang didasarkan pada seberapa siswa<br />

didik menguasai materi sesuai dengan buku ajar. Justru penekanan yang<br />

lebih penting adalah seberapa dalam tertanamnya nilai-nilai ke<strong>agama</strong>an<br />

tersebut dalam jiwa dan seberapa dalam pula nilai-nilai tersebut terwujud<br />

dalam tingkah laku dan budi pekerti siswa didik sehari-hari. Wujud nyata<br />

nilai-nilai tersebut dalam tingkah laku dan budi pekerti sehari-hari akan<br />

melahirkan budi luhur (akhlakul karimah). Karena itu <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong><br />

adalah <strong>pendidikan</strong> untuk pertumbuhan total seorang manusia.<br />

Seorang tokoh filsafat perennial, Seyyed Hossein Nasr,<br />

menegaskan bahwa <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> (Islam) musti berkepedulian<br />

dengan seluruh manusia untuk dididik. Tujuannya bukan hanya melatih<br />

pikiran, melainkan juga melatih seluruh wujud pribadi. Itulah yang<br />

menyebabkan mengapa <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> (Islam) bukan hanya<br />

menyampaikan pengetahuan (al-Ta'lim), tetapi juga melatih seluruh diri<br />

siswa (al-Tarbiyah). Fungsi guru bukan sekedar seorang muallim,<br />

penyampai pengetahuan, tetapi juga seorang murabbi, pelatih jiwa dan<br />

kepribadian.<br />

Sementara itu, model <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> hendaknya tidak<br />

menekankan pada metode hafalan. Alasannya, metode hafalan hanya<br />

memperkaya wilayah kognitif semata, sehingga mengesankan <strong>pendidikan</strong><br />

<strong>agama</strong> hanya bersifat 'formalitas' semata. Siswa didik kurang diajak untuk<br />

12


memasuki wilayah pemahaman, penghayatan serta pengamalan ajaran<br />

<strong>agama</strong>. Namun pada kenyataannya saat ini, parameter keberhasilan<br />

<strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> selama ini masih diukur dari penguasaan aspek kognitif<br />

tentang <strong>agama</strong> yang ada di buku, bukan pada aspek afektif yang menuju<br />

pada pembentukan perilaku siswa didik. Dengan demikian perlu adanya<br />

upaya re-oirentasi, yaitu perubahan proses yang diawali dengan merubah<br />

metodologi, dari hafalan menjadi penciptaan kompetensi berbasiskan<br />

<strong>agama</strong>. Dengan berbasis kompetensi semacam ini, <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong><br />

diorientasikan untuk menciptakan perilaku siswa didik yang sesuai dengan<br />

ajaran <strong>agama</strong>. Penekanan kompetensi berbasis <strong>agama</strong> ini juga<br />

mengandaikan <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> dilaksanakan dengan menyeimbangkan<br />

tiga aspek sekaligus, yakni; aspek Iman, aspek Ilmu, dan aspek Amal.<br />

Sungguhpun demikian, di antara tiga hal tersebut yang dapat<br />

dijadikan tolok ukur adalah sejauhmana pengamalan ajaran <strong>agama</strong> yang<br />

telah diajarkan di sekolah, sebab meskipun siswa didik mampu menguasai<br />

materi pelajaran <strong>agama</strong> yang didapat disekolah, dus juga dianggap<br />

memiliki iman yang kuat, tetapi prilakunya buruk, maka <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong><br />

dapat dianggap belum berhasil.<br />

2. Menggagas Pendidikan Agama "Rahmatan Lil Alamin"<br />

Salah satu fungsi <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> adalah mejadikannya<br />

'rahmatan lil alamin'. Cita-cita semacam ini senafas dengan kandungan<br />

nilai-nilainya yang universal serta berpihak kepada kemanusiaan. Kedua,<br />

semangat ini memuat pemahaman bahwa <strong>agama</strong> tidaklah diperuntukkan<br />

bagi segolongan manusia semata, tetapi <strong>agama</strong> diwahyukan untuk<br />

seluruh makhluk. Agama merupakan solusi bagi terciptanya perdamaian,<br />

kebahagiaan bagi seluruh makhluk terutama umat manusia sebagai<br />

khalifatullah fi al-ardl. Semangat yang demikian itulah yang semestinya<br />

menjadi spirit <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> di semua institusi <strong>pendidikan</strong>, dan bukan<br />

sebaliknya, <strong>agama</strong> hanya diajarkan sebatas ritual semata. Nilai-nilai<br />

ajaran <strong>agama</strong> yang menjunjung tinggi pluralisme, toleransi, menerima<br />

perbedaan, setiakawanan sosial, saling menghormati, menjunjung tinggi<br />

13


kebenaran, keadilan, dan menghargai hak asasi orang lain seharusnya<br />

menjadi topik-topik pokok dalam pembelajaran <strong>agama</strong>.<br />

Lebih dalam dari itu, pembelajaran nilai-nilai luhur itu tidak hanya<br />

sebatas mendorong agar siswa didik menghafal dan mengetahui, tetapi<br />

juga perlu ditekankan agar siswa didik mampu memahami dan<br />

menghayati secara mendalam (menginternalisasikan) serta mampu<br />

memperaktekkannya (mengaktualisasikan) dalam kehidupan sehari-hari.<br />

Sehingga apa yang telah diketahui, difahami, dan dihayati tersebut dapat<br />

berbanding lurus dengan perilaku keseharian dalam hidup bermasyarakat.<br />

Pendidikan <strong>agama</strong> yang ber fungsi sebagai media penyadaran<br />

umat, pada kenyataannya saat ini dihadapakan pada problem bagaimana<br />

ia dapat dijadikan sebagai institusi yang dapat mengembangkan sebuah<br />

teologi inklusif dan pluralis. Dengan begitu, dalam masyarakat akan<br />

tumbuh pemahaman yang inklusif. Sehingga harmonisasi <strong>agama</strong>-<strong>agama</strong><br />

ditengah kehidupan masyarakat dapat terwujud. Tertanamnya kesadaran<br />

pluralitas yang demikian itu, niscaya akan menghasilkan corak paradigma<br />

ber<strong>agama</strong> yang hanif dan toleran. Oleh sebab itu, perlu adanya upayaupaya<br />

untuk merubah paradigma <strong>pendidikan</strong> yang eksklusif menuju<br />

paradigma <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> yang toleran dan inklusif.<br />

Model pembelajaran <strong>agama</strong> yang hanya menekankan kebenaran<br />

<strong>agama</strong>nya sendiri dan ketidak-benaran <strong>agama</strong> lain, seharusnya<br />

direorientasi. Konsepsi pemahaman yang biner seperti iman-kafir, muslimnon<br />

muslim dan baik-benar, yang sangat berpengaruh terhadap cara<br />

pandang masyarakat terhadap <strong>agama</strong> lain misalnya, mau tidak mau harus<br />

'dibongkar ulang' agar sekelompok penganut <strong>agama</strong> tidak lagi<br />

memandang <strong>agama</strong> lain sebagai <strong>agama</strong> yang 'salah' dan tidak ada jalan<br />

keselamatan kecuali dalam <strong>agama</strong> yang diyakininya. Sebab cara pandang<br />

atau pemahaman teologis yang ekslusif dan intoleran yang demikian pada<br />

gilirannya akan dapat merusak harmonisasi <strong>agama</strong>-<strong>agama</strong> dan<br />

menghilangkan sikap untuk saling menghargai kebenaran dari <strong>agama</strong> lain.<br />

14


Dari hasil penelitian yang sebagaimana diungkapkan oleh Amin<br />

Abdullah bahwa guru-guru <strong>agama</strong> di sekolah yang berperan sebagai<br />

ujung tombak <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> dari tingkat yang paling bawah hingga<br />

yang paling tinggi atau dari TK sampai perguan tinggi, nyaris kurang<br />

(untuk tidak mengatakan sama sekali) tersentuh oleh gelombang<br />

pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran ke<strong>agama</strong>an di seputar isu<br />

pluralisme dan dialog antar umat ber<strong>agama</strong>. Padahal, guru-guru inilah<br />

yang menjadi mediator pertama untuk menterjemahkan nilai-nilai toleransi<br />

dan pluralisme kepada siswa, yang pada tahap selanjutnya juga ikut<br />

berperan aktif dalam mentransfomasikan kesadaran toleransi secara lebih<br />

intensif dan massif.<br />

Karena itulah, meminjam filsafat <strong>pendidikan</strong> yang dikembangkan<br />

oleh Paulo Freire, bahwa fungsi pendidkan adalah untuk pembebasan,<br />

bukan untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses<br />

pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural<br />

domestication). Tujuan <strong>pendidikan</strong> adalah untuk menggarap realitas<br />

manusia, dan karena itu, secara metodologis bertumpu pada prinsipprinsip<br />

aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk merubah<br />

kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terusmenerus<br />

menjumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk<br />

merubah kenyataan yang menindas.<br />

Dengan cara pandang seperti ini, maka sekarang kita mesti<br />

melakukan 'pembebasan' terhadap <strong>pendidikan</strong> yang selama ini dilakukan<br />

oleh masyarakat dengan memberikan warna yang lebih inklusif. Yang<br />

perlu untuk kita lakukan adalah mendekonstruksi visi <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong><br />

yang ekslusif ke arah penguatan visi inklusif. Hal ini dianggap penting<br />

karena kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan<br />

pluralisme dalam <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> pada akhirnya akan menyuburkan<br />

gerakan radikalisme (yang mengatasnamakan) <strong>agama</strong>. Namun<br />

sebaliknya, keberhasilan dalam menumbuhkan sikap toleran dalam<br />

<strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong>, akan semakin menciptakan cita-cita perdamaian antar<br />

15


<strong>agama</strong>. Inilah yang mesti kita renungkan bersama agar <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong><br />

kita tidak menyumbangkan benih-benih konflik antar <strong>agama</strong>.<br />

Karena itulah, kebijakan <strong>pendidikan</strong> yang mengabaikan arti penting<br />

keanekar<strong>agama</strong>n dan kemajemukan tidak akan menciptakan kehidupan<br />

yang toleran dan pluralis dalam pergaulan sosial. Bahkan cenderung<br />

kepada kegagalan yang dapat menimbulkan tragedi kemanusiaan. Inilah<br />

yang mesti diantisipasi bahwa merancang sistem <strong>pendidikan</strong> nasional<br />

tidak hanya dapat dicapai dengan mengandalkan penguasaan materi<br />

(kognisi), tetapi juga bagaimana membentuk kesadaran ber<strong>agama</strong> dalam<br />

tata pergaulan bermasyarakat yang damai tanpa konflik. Merancang<br />

sistem <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> justru menampung nilai-nilai luhur yang<br />

mendasari kehidupan masyarakat yang lebih substansial, yakni<br />

pencerdasan kehidupan sosial secar lebih luas. Dengan logika <strong>pendidikan</strong><br />

<strong>agama</strong> yang seperti ini, maka diharapkan akan tercipta sebuah sistem<br />

<strong>pendidikan</strong> nasional yang sangat menghargai pluralitas, bersikap toleran,<br />

dan mengupayakan kehidupan damai di tengah-tengah masyarakat.<br />

Kemudian untuk memberikan solusi pada masalah-masalah cabang<br />

dalam <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> Islam seperti rendahnya sarana fisik, rendahnya<br />

kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa,<br />

rendahnya kesempatan pemerataan <strong>pendidikan</strong>, rendahnya relevansi<br />

<strong>pendidikan</strong> dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya <strong>pendidikan</strong>. Untuk<br />

mengatasi masalah-masalah cabang di atas, secara garis besar ada dua<br />

solusi yaitu:<br />

Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistemsistem<br />

sosial yang berkaitan dengan sistem <strong>pendidikan</strong>. Seperti diketahui<br />

sistem <strong>pendidikan</strong> sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang<br />

diterapkan. Sistem <strong>pendidikan</strong> di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam<br />

konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang<br />

berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara<br />

dalam urusan publik, termasuk pendanaan <strong>pendidikan</strong>.<br />

16


Maka, solusi untuk masalah-masalah cabang yang ada, khususnya<br />

yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik,<br />

kesejahteraan gutu, dan mahalnya biaya <strong>pendidikan</strong>– berarti menuntut<br />

juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita<br />

menerapkan sistem <strong>pendidikan</strong> Islam dalam atmosfer sistem ekonomi<br />

kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan<br />

dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa<br />

pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan <strong>pendidikan</strong><br />

negara.<br />

Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis<br />

yang berkait langsung dengan <strong>pendidikan</strong>. Solusi ini misalnya untuk<br />

menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa. Maka, solusi<br />

untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis<br />

untuk meningkatkan kualitas sistem <strong>pendidikan</strong>. Rendahnya kualitas guru,<br />

misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi<br />

solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang <strong>pendidikan</strong> yang<br />

lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan<br />

kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan<br />

meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alatalat<br />

peraga dan sarana-sarana <strong>pendidikan</strong>, dan sebagainya.<br />

Tetapi yang paling mendasar untuk memecahkan masalah<br />

<strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> Islam di Indonesia saat ini adalah berasawal dari<br />

sistemnya itu sendiri, berikut penulis uraikan tentang hal itu :<br />

1. Tujuan Pendidikan Islam<br />

Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram,<br />

dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang<br />

berkarakter, yakni:<br />

Pertama, berkepribadian Islam. Ini sebetulnya merupakan konsekuensi<br />

keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua<br />

aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (‘aqliyyah) dan pola jiwa<br />

(nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam.<br />

17


Untuk mengembangkan kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga<br />

langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah<br />

saw., yaitu:<br />

1. Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang<br />

sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai ‗aqîdah<br />

‗aqliyyah; akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam.<br />

2. Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah<br />

memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap<br />

berada di atas pondasi akidah yang diyakininya.<br />

3. Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada<br />

seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguhsungguh<br />

mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan<br />

mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.<br />

Kedua, menguasai tsaqâfah Islam. Islam telah mewajibkan setiap<br />

Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut<br />

al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:<br />

1. Ilmu yang termasuk fardhu ‗ain (kewajiban individual), artinya wajib<br />

dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi,<br />

ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi saw., Ulumul<br />

Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih, dll.<br />

2. Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya<br />

ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapanketerampilan,<br />

seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.<br />

Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK<br />

diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga<br />

dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan<br />

baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu<br />

jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi,<br />

fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.<br />

Keempat, memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmuilmu<br />

teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian<br />

18


merupakan salah satu tujuan <strong>pendidikan</strong> Islam, yang harus dimiliki umat<br />

Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT.<br />

Sebagaimana penguasaan IPTEK, Islam juga menjadikan penguasaan<br />

keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut<br />

sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan,<br />

pertukangan, dan lainnya.<br />

2. Pendidikan Islam Adalah Pendidikan Terpadu<br />

Agar keluaran <strong>pendidikan</strong> menghasilkan SDM yang sesuai<br />

harapan, harus dibuat sebuah sistem <strong>pendidikan</strong> yang terpadu. Artinya,<br />

<strong>pendidikan</strong> tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem<br />

<strong>pendidikan</strong> yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem<br />

<strong>pendidikan</strong> yang unggul. Dalam hal ini, minimal ada 3 macam yang harus<br />

menjadi perhatian, yaitu :<br />

Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga.<br />

Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab,<br />

ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif <strong>pendidikan</strong>.<br />

Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping<br />

masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar.<br />

Buruknya <strong>pendidikan</strong> anak di rumah memberi beban berat kepada<br />

sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah<br />

masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan<br />

sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas<br />

membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah<br />

keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi jika<br />

<strong>pendidikan</strong> yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah<br />

kehancuran dari tiga pilar <strong>pendidikan</strong> tersebut.<br />

Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat<br />

TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas<br />

dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan <strong>pendidikan</strong> setiap anak didik<br />

pada setiap jenjangnya. Selain muatan penunjang proses pembentukan<br />

kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat<br />

19


TK hingga PT, muatan tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK,<br />

keahlian, dan keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan<br />

daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang<br />

<strong>pendidikan</strong>nya masing-masing.<br />

Pada tingkat dasar atau menjelang usia baligh (TK dan SD),<br />

penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar,<br />

umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya.<br />

Khalifah Umar bin al-Khaththab, dalam wasiat yang dikirimkan kepada<br />

gubernur-gubernurnya, menuliskan, ―Sesudah itu, ajarkanlah kepada<br />

anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada<br />

mereka adab sopan-santun dan syair-syair yang baik.‖<br />

Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-<br />

Kalb, guru anaknya, ―Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku.<br />

Saya mempercayaimu untuk mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa<br />

kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Pertama, saya mewasiatkan<br />

kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya al-Quran, kemudian<br />

hapalkan kepadanya al-Quran…‖ Di tingkat Perguruan Tinggi (PT),<br />

kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi sosialismekomunisme<br />

atau kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat diperkenalkan<br />

kepada kaum Muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh.<br />

Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya<br />

disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk<br />

dijelaskan dan dipahami cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya dengan<br />

fitrah manusia.<br />

Ketiga, berorientasi pada pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian<br />

Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas<br />

merupakan target yang harus dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal<br />

di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan <strong>pendidikan</strong>.<br />

3. Pendidikan Adalah Tanggung Jawab Negara<br />

Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap<br />

berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang disajikan<br />

20


Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam konteks<br />

<strong>pendidikan</strong>, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban<br />

untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem <strong>pendidikan</strong><br />

yang diterapkan dan mengupayakan agar <strong>pendidikan</strong> dapat diperoleh<br />

rakyat secara mudah. Rasulullah saw. bersabda:<br />

Artinya: Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai<br />

pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan<br />

Muslim).<br />

Perhatian Rasulullah saw. terhadap dunia <strong>pendidikan</strong> tampak ketika<br />

beliau menetapkan para tawanan Perang Badar dapat bebas jika mereka<br />

mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini<br />

merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam, barang tebusan itu<br />

merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama nilainya<br />

dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah saw.<br />

telah menjadikan biaya <strong>pendidikan</strong> itu setara nilainya dengan barang<br />

tebusan yang seharusnya milik Baitul Mal. Dengan kata lain, beliau<br />

memberikan upah kepada para pengajar (yang tawanan perang itu)<br />

dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal. Kebijakan<br />

beliau ini dapat dimaknai, bahwa kepala negara bertanggung jawab penuh<br />

atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk <strong>pendidikan</strong>.<br />

Imam Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ihkâm, menjelaskan bahwa<br />

kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana<br />

<strong>pendidikan</strong>, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik<br />

masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam, kita akan<br />

melihat begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap <strong>pendidikan</strong><br />

rakyatnya. Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya.<br />

Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah<br />

bin Atha‘ yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang<br />

guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab<br />

21


memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1<br />

dinar=4,25 gram emas).<br />

Perhatian para khalifah tidak hanya tertuju pada gaji pendidik dan<br />

sekolah, tetapi juga sarana <strong>pendidikan</strong> seperti perpustakaan, auditorium,<br />

observatorium, dll. Pada masa Kekhilafahan Islam, di antara perpustakaan<br />

yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja‗far bin<br />

Muhammad (w. 940 M).<br />

Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk<br />

membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan<br />

segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll.<br />

Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu<br />

diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi<br />

memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka<br />

mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun<br />

perorang. Ini terjadi pada masa Kekhalifahan Islam abad 10 M. Bahkan<br />

para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para<br />

penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang<br />

ditulisnya.<br />

4. Strategi dan Pengembangan Pendidikan Agama Inklusif<br />

Realitas keber<strong>agama</strong>an dalam kehidupan masyarakat seringkali<br />

nampak tidak sinkron dengan fungsi serta tujuan <strong>agama</strong> itu sendiri. Hal<br />

demikian tergambar dalam beberapa fase 'sejarah buram' <strong>agama</strong>, dimana<br />

<strong>agama</strong> dianggap tidak mampu untuk menyuarakan kekuatan spiritualnya<br />

atau dengan bahasa lain, <strong>agama</strong> telah kehilangan elan vitalnya dalam<br />

menghadapi tantangan zaman. Sebaliknya, <strong>agama</strong> menjadi pengabsah<br />

berbagai bentuk kekerasan. Dalam rentang sejarah pergumulan <strong>agama</strong><strong>agama</strong><br />

tercatat banyak sekali 'adegan pertikaian' yang bersimbah darah<br />

antar umat ber<strong>agama</strong> dengan dalih atas nama penegakan kebenaran.<br />

Misalnya, perang antar umat Katolik dengan Protestan pada abad 16,<br />

pembantaian kalangan Yahudi oleh NAZI di Jerman, peristiwa perang<br />

salib antara umat Islam dengan umat Kristiani hingga berbagai macam<br />

22


entuk kekerasan dan permusuhan di bawah kibaran bendera <strong>agama</strong><br />

yang banyak terjadi akhir dekade ini di Indonesia seperti peristiwa Poso,<br />

Ambon, Maluku dan lain-lain.<br />

Mengapa hal itu terjadi? Ada salah apa dengan <strong>agama</strong>?<br />

Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang seringkali dilontarkan oleh<br />

banyak kalangan. Jika kehadiran <strong>agama</strong> di muka bumi ini adalah<br />

membawa misi perdamaian, mengapa fenomena kekerasan bernuansa<br />

<strong>agama</strong> masih juga sering terjadi. Kesimpulan sementara dikatakan bahwa<br />

yang menjadi penyebab utamanya bukanlah ajaran-ajaran yang dibawah<br />

oleh setiap <strong>agama</strong>, melainkan pemahaman umat yang kadang dangkal<br />

sehingga tidak mampu menangkap pesan asasi Tuhan seperti<br />

bertoleransi, berbuat adil dan menegakkan keadilan, serta selalu<br />

menjunjung tinggi nilai-nilai universal kemanusiaan lainnya. Bilamana<br />

pesan-pesan asasi Tuhan tersebut dapat dipahami dengan seksama serta<br />

dapat diimplementasikan dalam tindak laku, maka niscaya <strong>agama</strong> akan<br />

selalu dalam 'rel utamanya', yakni sebagai pembawa berita kebahagiaan<br />

dan kesejahteraan bagi kehidupan umat manusia secara menyeluruh.<br />

E. Penutup<br />

Untuk mencapai tujuan diatas, maka ada suatu kebutuhan yang<br />

mendasar yang harus dipenuhi oleh para pemeluk <strong>agama</strong> masing-masing<br />

yaitu sebuah kesadaran penuh dalam rangka melestarikan pesan-pesan<br />

<strong>agama</strong> dan integritas <strong>agama</strong>. Untuk mewujudkan hal itu, tentunya<br />

haruslah ada sebuah gagasan dalam menyelenggarakan <strong>pendidikan</strong><br />

<strong>agama</strong> yaitu sebuah kerja-kerja yang konkrit dari semua pemeluk <strong>agama</strong>.<br />

Pesan-pesan dan integritas <strong>agama</strong> dalam hal ini sangatlah berperan<br />

penting dalam dunia <strong>pendidikan</strong>, karena apa yang ada pada ajaran<br />

masing-masing <strong>agama</strong> tersebut akan menjadi barometer sejauh mana<br />

mentalitas anak didik terbentuk serta mereka dapat berperilaku sesuai<br />

dengan pemahaman yang didapatnya dari sekolah.<br />

23


Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, kita perlu menyusun suatu<br />

rumusan konsepsional strategi pengembangan <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> yang<br />

inklusif. Peran tersebut dapat berjalan kalau kemudian kita dapat<br />

membuat rancangan-rancangan yang terkonsepsi dan dapat dituangkan<br />

dalam metode <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> dan kurikulum <strong>pendidikan</strong> yang<br />

kemudian harus kita terapkan menurut kebutuhan-kebutuhan yang ada.<br />

Wahai kaum Intelektual Muslim, guru <strong>agama</strong>, dan para Guru besar<br />

yang peduli dengan <strong>pendidikan</strong> <strong>agama</strong> Islam, apakah sistem <strong>pendidikan</strong><br />

sekuler yang rusak dan bobrok saat ini akan terus kita pertahankan?<br />

Apakah sistem <strong>pendidikan</strong> yang buruk lagi gagal ini akan terus kita<br />

lestarikan?. Marilah kita bergegas membangun sistem <strong>pendidikan</strong> Islam,<br />

dalam negara Indonesia tercinta ini, yang akan melahirkan generasi yang<br />

berkepribadian Islam. Generasi inilah yang akan mampu mewujudkan<br />

kemakmuran dan kemuliaan peradaban manusia di seluruh dunia.<br />

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.<br />

24


BIBLIOGRAFI<br />

Abdurrahman An-Nahlawi, 1996, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan<br />

Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Pers, Cet. II.<br />

Arifin, M, 1991, Kapita Selekta Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta.<br />

Azra, Azyumardi.,1999, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju<br />

Melenium Baru, Logo Macana Ilmu, Jakarta.<br />

Craib, Ian 1992 Modern Social Theory: From Parsons to Habermas. New<br />

York: St. Martin‘s Press.<br />

Dewantoro, Hajar., 1997, ―Urgensi Inovasi Pendidikan dalam<br />

Pemberdayaan Umat”, dalam : Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ<br />

[Penyunting], Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrialisasi,<br />

Aditiya Media, Yogyakarta.<br />

Dhofier, Zamakhsyari, 1982, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan<br />

Hidup Kiyai Jakarta: LP3ES.<br />

Fadjar, A. Malik., 1999, Reformasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia.<br />

Fadjar, A. Malik, 1996, "Sintesa antara Perguruan Tinggi dan Pesantren<br />

Upaya Menghadirkan Wacana Pendidikan Alternatif", rnakalah<br />

pada Diskusi Panel "Pola Keterkaitan Pesantren, Perguruan<br />

Tinggi dan LSM dalam Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi<br />

Masyarakat" (Bandung: Lembaga Kemahasiswaan Salman ITB,<br />

t.t., 1996).<br />

Hing, Lee Kam, 1995, Education and Politics in lndonesia 19451965<br />

(Kuala Lumpur: University of Malaya Press.<br />

Indra Djati Sidi, Ph.D., 2001, Menuju Masyarakat Belajar Menggagas<br />

Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta: Paramadina dan Logos<br />

Kuntowijoyo, 1991, "Peranan Pesantren dalam Pembangunan Desa:<br />

Potret sebuah Dinamika", dalam Paradigma Islam: Interpretasi<br />

untuk Aksi, Bandung: Mizan.<br />

Maarif, A.Syafii., 1996, ―Keutuhan dan Kebersamaan dalam Pengelolaan<br />

Pendidikan Sebagai Wahana Pendidikan Muhammadiyah”,<br />

makalah disampaikan pada Rakernas Pendidikan<br />

Muhammadiyah, di Pondok Gede, Jakarta.<br />

25


Muhaimin, Yahya [Menteri Pendidikan Nasional], 2000, ―Reformasi<br />

Pendidikan Nasional Munuju Indonesia”, Majalah Dwiwutan BPK<br />

Penabur Jakarta,<br />

Midyawarta, No. 69/Thn.XII, From: http://www.bpk. Penabur. or.id/ KPS.<br />

Jkt/ widya/69/69.pdt.<br />

Mastuhu 1994 Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.<br />

Muchtar Buchori, 2001, Transformasi Pendidikan, Jakarta: Pustaka Sinar<br />

Harapan, Cet. II.<br />

Muhammad Tholhah Hasan, 2000, Diskursus Islam dan Pendidikan<br />

(Sebuah Wacana Kritis), Jakarta: PT. Bina Wiraswasta Insan<br />

Indonesia.<br />

Munzier S. Dan Hery Noer Ali, 2000, Watak Pendidikan Islam, Jakarta:<br />

Friska Agung Insani.<br />

Nasr, Seyyed Hossein, 1987, Traditional Islam in the Modern World,<br />

London: KPI.<br />

Noer, Deliar, 1973, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-<br />

1942 Kuala Lumpur: Oxford University Press.<br />

Saqib, Ghulam Nabi, 1977, Modernization of Muslim Education, Lahore:<br />

Islamic Book Service.<br />

Steenbrink, Karel A., 1974, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan<br />

Islam dalam Kurun Moderen, Jakarta: LP3ES.<br />

Suroyo, 1991, Perbagai Persoalan Pendidikan; Pendidikan Nasional dan<br />

Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam, Kajian<br />

tentang Konsepo Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya,<br />

Volem 1 Tahun 1991, Fakultas Tarbiyah IAIN, Yogyakarta.<br />

--------,1992, ‖Pendidikan Islam di Indonesia Merancang Masa Depan”,<br />

UNISIA,No.12 Th. XIII,1992,UII,Yogyakarta.<br />

Syafii Maarif, Ahmad., 1997, ―Pendidikan Islam dan Proses<br />

Pemberdayaan Bangsa, dalam: Muslih Usa [Penyun.], Pendidikan<br />

Islam dalam peradaban Industrialisasi, Aditya Media bekerja<br />

sama dengan Fakultas Tarbiyah UII, Yogyakarta.<br />

Undang-Undang Dasar 1945<br />

26


Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003<br />

Rahman, Fazlur, 1982, Islam and Modernity: Transformation of an<br />

Intellectual Tradition, Chicago: University of Chicago Press.<br />

Zuhri, Saifuddin 1981 Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya<br />

di Indonesia. 3 rd edition. Bandung: Al-Ma‘arif.<br />

27

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!