Kelas_07_SMP_PPKn_Siswa
Kelas_07_SMP_PPKn_Siswa
Kelas_07_SMP_PPKn_Siswa
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Mengenai kisah pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu, M. Hatta<br />
menuturkan dalam Memoirnya yang dikutip dalam Buku Empat Pilar Kehidupan<br />
Berbangsa dan Bernegara, sebagai berikut:<br />
“Pada sore harinya aku menerima telepon dari tuan Nishijama, pembantu<br />
Admiral Maeda, menanyakan dapatkah aku menerima seorang opsir<br />
Kaigun (Angkatan Laut) karena ia mau mengemukakan suatu hal yang<br />
sangat penting bagi Indonesia. Nishijama sendiri akan menjadi juru<br />
bahasanya. Aku mempersilahkan mereka datang.<br />
Opsir itu yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk<br />
memberitahukan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik, yang dikuasai<br />
oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat<br />
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi, “Ketuhanan<br />
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.<br />
Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka,<br />
hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya<br />
ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-<br />
Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan<br />
minoritas. Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka<br />
berdiri di luar republik Indonesia. Aku mengatakan bahwa itu bukan<br />
suatu diskriminasi, sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang<br />
beragama Islam.<br />
Waktu merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar itu, Mr. Maramis<br />
yang ikut serta dalam Panitia Sembilan, tidak mempunyai keberatan<br />
apa-apa dan tanggal 22 Juni 1945 ia ikut menandatanganinya. Opsir<br />
tadi mengatakan bahwa itu adalah pendirian dan perasaan pemimpinpemimpin<br />
Protestan dan Katolik dalam daerah pendudukan Kaigun.<br />
Mungkin waktu itu Mr. Maramis cuma memikirkan bahwa bagian kalimat<br />
itu hanya untuk rakyat Islam yang 90% jumlahnya dan tidak mengikat<br />
rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak merasa bahwa penetapan<br />
itu adalah suatu diskriminasi.<br />
Pembukaan Undang-Undang Dasar adalah pokok dari pokok, sebab itu<br />
harus teruntuk bagi seluruh bangsa Indonesia dengan tiada kecualinya.<br />
Kalau sebagian daripada dasar itu hanya mengikat sebagian rakyat<br />
Indonesia, sekalipun terbesar, itu dirasakan oleh golongan-golongan<br />
12<br />
<strong>Kelas</strong> VII <strong>SMP</strong>/MTs Edisi Revisi