EMOSI DAN IMPLIKASINYA oleh IMAM ... - Kemenag Sumsel
EMOSI DAN IMPLIKASINYA oleh IMAM ... - Kemenag Sumsel
EMOSI DAN IMPLIKASINYA oleh IMAM ... - Kemenag Sumsel
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Emosi dan Aspeknya<br />
Oleh : Imam Nasruddin 1<br />
Pendahuluan<br />
Dari mana emosi itu muncul, apakah dari pikiran atau dari tubuh?<br />
Agaknya tak seorang pun bisa menjawabnya dengan pasti. Ada yang<br />
mengatakan tindakan dulu (tubuh), baru muncul emosi. Ada pula yang<br />
mengatakan emosi (pikiran) baru tindakan. Mana yag muncul lebih dahulu<br />
tidaklah begitu penting bagi kita sebab tindakan dan emosi pada dasanya sangat<br />
erat berkaitan. Kita tidak mungkin memisahkan tindakan dan emosi. Karena<br />
keduanya merupakan bagian dari keseluruhan.<br />
Meskipun begitu, ada prinsip yang bisa kita pegang, yaitu emosi akan<br />
menjadi semakin kuat apabila diberi ekspresi fisik (Wegne, 1995). Misalnya saja,<br />
bila seseorang marah, lantas mengepalkan tangan, memaki-maki dan<br />
membentak-bentak, dia tidak mengurangi marahnya, tetapi justru kian menjadi<br />
marah.<br />
Pada hakikatnya setiap orang mempunyai emosi. Dari bangun tidur pagi<br />
hari sampai waktu tidur malam hari, kita mengalami berbagai macam<br />
pengalaman yang menimbulkan berbagai macam emosi pula. Pada saat makan<br />
dengan keluarga, misalnya kita merasa gembira; atau dalam perjalanan menuju<br />
kampus, kita merasa jengkel karena jalan yang macet, sehingga setelah sampai<br />
pada tempat tujuan kita pun terlambat. Semua itu adalah merupakan emosi kita.<br />
Pengertian Emosi<br />
Untuk memberi pemahaman yang mendekati sempurna tentang definisi<br />
emosi, disini diberikan beberapa definisi apakah emosi itu.<br />
1. Menurut William Kames (dalam Wegde, 1995), emosi adalah kecenderungan<br />
untuk memiliki perasaan yang khas bila kita berhadapan dengan objek<br />
tertentu dalam lingkungannya.<br />
1 Pendidik di MAN Sakatiga Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan.<br />
1
2. Crow & Crow (1962) mengartikan emosi sebagai suatu keadaan yang<br />
bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai inner adjustment<br />
(penyesuaian dari dalam) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan<br />
dan keselamatan hidup.<br />
3. Menurut English and English, emosi adalah “A complex feeling state<br />
accompanied by characteristic motor and glandular activities” (suatu keadaan<br />
perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan<br />
motoris).<br />
4. Sarlito Wirawan Sarwono mengatakan emosi merupakan “setiap keadaan<br />
pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah<br />
(dangkal) maupun pada tingkat yang luas (mendalam).<br />
Dari definisi tersebut diatas jelas bahwa emosi tidak selalu jelek. Emosi<br />
meminjam ungkapan Jalaluddin Rakhmat (1994), merupakan bumbu kepada<br />
kehidupan; tanpa emosi, hidup ini kering dan gersang.<br />
Fungsi Emosi<br />
Berhubungan dengan fungsi emosi, Coleman dan Mammen (1974, dalam<br />
Rakhmat, 1994) menyebutkan, setidaknya ada empat fungsi emosi;<br />
1. Emosi adalah sebagai pembangkit energi (energizer). Tanpa emosi, kita tidak<br />
sadar atau mati. Hidup berarti merasai, mengalami, bereaksi, dan bertindak.<br />
Emosi membangkitkan dan memobilisai energi kita; marah menggerakkan<br />
kita untuk menyerang, takut menggerakkan kita untuk lari, dan cinta<br />
mendorong kita untuk mendekat dan bermesraan.<br />
2. Emosi adalah pembawa informasi (messenger). Bagaimana keadaan diri kita<br />
dapat diketahui dari emosi kita. Jika marah, kita mengetahui bahwa kita<br />
dihambat atau diserang orang lain, sedih berarti kita kehilangan sesuatu yang<br />
kita senangi, bahagia berarti memper<strong>oleh</strong> sesuatu yang kita senangi, atau<br />
menghindar dari hal yang dibenci.<br />
3. Emosi bukan saja pembawa informasi dalam komunikasi intrapersonal, tetapi<br />
juga membawa pesan dalam komunikasi interpersonal. Ungkapan emosi<br />
dapat diketahui secara universal. Dalam retorika diketahui bahwa<br />
2
pembicaraan yang menyertakan seluruh emosi dalam pidato dipandang lebih<br />
hidup, dinamis, dan lebih menyenangkan.<br />
4. Emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita. Kita<br />
mendambakan kesehatan dan mengetahuinya ketika kita merasa sehat<br />
walafiat. Kita mencari keindahan dan mengetahui bahwa kita<br />
memper<strong>oleh</strong>nya ketika kita merasakan kenikmatan estetis dalam diri kita.<br />
Pengaruh Emosi terhadap Perilaku dan Perubahan Fisik Individu<br />
Pengaruh emosi terhadap perilaku individu (menurut Syamsu Yusuf:<br />
2008, 115) merupakan warna efektif yang menyertai sikap keadaan atau<br />
perilaku individu. Yang dimaksud dengan warna efektif adalah perasaanperasaan<br />
tertentu yang dialami pada saat menghadapi (menghayati) suatu situasi<br />
tertentu. Contohnya, gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci (tidak senang),<br />
dan sebagainya. Dibawah ini ada beberapa contoh tentang pengaruh emosi<br />
terhadap perilaku individu di antaranya sebagai berikut :<br />
1. Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil<br />
yang telah dicapai,<br />
2. Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan<br />
sebagai puncak dari keadaan ini timbulnya rasa putus asa (frustasi),<br />
3. Menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar, apabila sedang<br />
mengalami ketegangan emosi dan bisa juga menimbulkan sikap gugup<br />
(nervous) dan gugup dalam berbicara,<br />
4. Terganggu penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati,<br />
5. Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan<br />
mempengaruhi sikapnya di kemudian hari, baik terhadap dirinya maupun<br />
terhadap orang lain.<br />
Sedangkan perubahan emosi terhadap perubahan fisik (jasamani)<br />
individu dapat dijelaskan dengan gambaran sebagai berikut :<br />
a. Canon telah mengadakan penelitian dengan sorotan sinar “rontgen”<br />
terhadap seekor kucing yang baru selesai makan. Ia melihat bahwa perut<br />
besarnya aktif melakukan gerakan yang teratur untuk mencerna makanan.<br />
Kemudian dibawa ke depannya seekor anjing yang besar dan buas/galak.<br />
3
Pada saat itu, Canon melihat bahwa proses mencerna terhenti seketika, dan<br />
pembuluh darah di bagian lambung mengkerut, di samping itu tekanan<br />
darahnya bertambah dengan sangat tinggi, ditambah lagi dengan perubahan<br />
yang bermacam-macam pada kelenjar-kelenjar seperti bertambahnya<br />
keringat dan kekurangan air liur.<br />
b. Gambaran lainnnya dapat dilihat pada table ini:<br />
Jenis Emosi<br />
1. Terpesona<br />
2. Marah<br />
3. Terkejut<br />
4. Kecewa<br />
5. Sakit/marah<br />
6. Takut/tegang<br />
7. Takut<br />
8. Tegang<br />
Perubahan Fisik<br />
1. Reaksi elektris pada kulit<br />
2. Peredaran darah bertambah cepat<br />
3. Denyut jantung bertambah cepat<br />
4. Bernafas panjang<br />
5. Pupil mata membesar<br />
6. Air liur mengering<br />
7. Berdiri bulu roma<br />
8. Terganggu pencernaan, otot-otot menegang<br />
atau bergetar (tremor).<br />
Teori-Teori Emosi<br />
Untuk menjelaskan kondisi timbulnya gejala emosi, para ahli<br />
mengemukakan beberapa teori tentang emosi sebagai berikut:<br />
1. Teori Emosi Dua-Faktor Schachter-Singer.<br />
Teori ini dikenal sebagai teori yang paling klasik yang berorientasi pada<br />
rangsangan. Reaksi fisiologik dapat saja sama (hati berdebar, tekanan darah<br />
naik, nafas bertambah cepat, adrenalin dialirkan dalam darah, dan<br />
sebagainya) namun jika rangsangannya menyenangkan seperti diterima di<br />
perguruan tinggi favorit- emosi yang ditimbulkan dinamakan senang.<br />
Sebaliknya, jika rangsangannya membahayakan (misalnya, melihat ular<br />
berbisa), emosi yang timbul dinamakan takut. Para ahli psikologi melihat teori<br />
ini lebih sesuai dengan teori kognisi.<br />
2. Teori Emosi James-Lange<br />
William James (1884) dari Amerika Serikat dan Carl Lange (1885) dari<br />
Denmark, telah mengemukakan pada saat yang hampir bersamaan, suatu teori<br />
4
tentang emosi yang mirip satu sama lainnya, sehingga teori ini terkenal<br />
dengan nama teori James-Lange (Effendi & Praja, 1993; Mahmud, 1990;<br />
Dirgagunarsa, 1996).<br />
Dalam teori ini disebutkan bahwa emosi timbul setelah terjadinya reaksi<br />
psikologik. Jadi, kita senang karena kita meloncat-loncat setelah melihat<br />
pengumuman dan kita takut karena kita lari setelah melihat ular.<br />
Selanjutnya menurut teori ini, emosi adalah hasil persepsi seseorang<br />
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai respons<br />
terhadap berbagai rangsangan yang datang dari luar. Jadi, jika seserang<br />
misalnya melihat harimau, reaksinya peredaran darah makin cepat karena<br />
denyut jantung makin cepat, paru-paru lebih cepat memompa udara, dan<br />
sebagainya. Respons-respons tubuh ini kemudin dipersepsikan dan timbulah<br />
rasa takut. Mengapa rasa takut yang timbul?. Ini disebabkan <strong>oleh</strong> hasil<br />
pengalaman dan proses belajar.<br />
Emosi, menurut kedua ahli ini, terjadi karena adanya perubahan<br />
pada sistem vasomotor (otot-otot). Suatu peristiwa dipersepsikan<br />
menimbulkan perubahan fisiologis dan perubahan psikologis yang disebut<br />
emosi. Dengan kata lain, James-Lange, seseorang bukan tertawa karena<br />
senang, melainkan ia senang karena tertawa.<br />
3. Teori “Emergency” Cannon<br />
Teori ini dikemukakan <strong>oleh</strong> Walter B. Cannon (1929), seorang fisiologi dari<br />
Harvard University. Cannon dalam teorinya menyatakan bahwa karena<br />
gejolak emosi itu menyiapkan seseorang untuk mengatasi keadaan yang<br />
genting, orang-orang primitif yang membuat respons semacam itu bisa survive<br />
dalam hidupnya. Cannon mengatakan, antara lain, bahwa organ tubuh<br />
umumnya terlalu insensitif dan terlalu dalam responsnya untuk bisa menjadi<br />
dasar berkembangnya dan berubahnya suasana emosional yang sering kali<br />
berlangsung demikian cepat. Meskipun begitu, ia sebenarnya tidak<br />
beranggapan bahwa organ dalam merupakan satu-satunya faktor yang<br />
menentukan suasana emosional.<br />
5
Teori ini menyebutkan, emosi (sebagai pengalaman sebjektif<br />
psikologik) timbuk bersama-sama dengan fisiologik (hati berdebar, tekanan<br />
darah naik, nafas bertambah cepat, adrenalin dialirkan dalam darah, dan<br />
sebagainya).<br />
Teori Cannon ini selanjutnya diperkuat <strong>oleh</strong> Philip Bard, sehingga<br />
kemudian lebih dikenal teori Cannon-Bard atau teori “emergency”. Teori ini<br />
mengatakan pula bahwa emosi adalah reaksi yang diberikan <strong>oleh</strong> organisme<br />
dalam situasi emergency (darurat). Teori ini didasarkan pada pendapat<br />
bahwa ada antagonisme (fungsi yang bertentangan) antara saraf-saraf<br />
simpatis dengan cabang-cabang oranial dan sakral daripada susunan saraf<br />
otonom. Jadi, kalau saraf-saraf simpatis aktif, saraf otonom nonaktif, dan<br />
begitu sebaliknya.<br />
Pengelompokan Emosi<br />
Emosi menurut (Syamsu Yusuf: 2008, 117) dapat dikelompokkan dalam<br />
dua bagian, yaitu emosi sensoris da emosi kejiwaan (psikis)<br />
1. Emosi sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan <strong>oleh</strong> rangsangan dari luar<br />
terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar.<br />
2. Emosi psikis, yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan,<br />
diantarnya:<br />
a. Perasaan Intelektual, yaitu emosi yang mempunyai sangkut paut dengan<br />
ruang lingkup kebenaran. Perasaan ini diwujudkan dalam bentuk; 1) rasa<br />
yakin dan tidak yakin terhadap suatu hal karya ilmiah, 2) rasa gembira<br />
karena mendapat suatu kebenaran, 3) rasa puas karena dapat<br />
menyelesaikan persoalan-persoalan ilmiah yang harus dipecahkan.<br />
b. Perasaan Sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungn dengan orang<br />
lain, baik bersifat perseorangan maupun kelompok. Wujud perasaan ini,<br />
seperti a) rasa solidaritas, b) persaudaraan, c) simpati, d) kasih sayang<br />
dan sebagianya.<br />
c. Perasaan Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik<br />
dan buruk atau etika (moral). Contohnya; a) rasa tanggung jawab, b)<br />
6
asa bersalah apabila melanggar norma, c) rasa tenteram dalam mentaati<br />
norma.<br />
d. Perasaan Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan<br />
keindahan dari sesuatu, baik bersifat kebendaan maupun kerohanian.<br />
e. Perasaan Ketuhanan, Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk<br />
Tuhan, dianugerahi fitrah (kemampuan atau perasaan) untuk mengenal<br />
Tuhannya. Dengan Kata lain, manusia dianugerahi insting religius (naluri<br />
beragama). Karena memiliki fitrah ini, kemudian manusia dijuluki sebagai<br />
Homo Divinans dan Homo Religius, yaitu sebagai makhluk yang berke-<br />
Tuhanan atau makhluk beragama.<br />
Perkembangan Emosi<br />
Para ahli psikologi sering menyebutkan bahwa dari semua aspek<br />
perkembangan kepribadian, yang paling sukar untuk diklarifikasikan adalah<br />
perkembangan emosional. Orang dewasa pun mendapat kesukaran dalam<br />
menyatakan perasaannya. Reaksi terhadap emosi pada dasarnya sangat<br />
dipengaruhi <strong>oleh</strong> lingkungan, pengalaman, kebudayaan, dan sebagainya,<br />
sehingga mengukur emosi itu agaknya hampir tidak mungkin.<br />
Di saat anak baru lahir, saraf yang menghubungkan otak baru dengan<br />
otak lama belum berkembang secara penuh. Karena itu, respons emosional anak<br />
tersebut tidak terkendalikan. Ia memberikan reaksi secara keseluruhan, tanpa<br />
menunjukkan perbedaan antara berbagai tingkat dan jenis stimulus.<br />
Pada bayi yang baru lahir, satu-satunya emosi yang nyata adalah<br />
kegelisahan yang tampak sebagai ketidaksenangan dalam bentuk menangis dan<br />
meronta. Pada keadaan tenang, bayi itu tidak menunjukkan perbuatan apa pun;<br />
jadi emosinya netral.<br />
Pada saat usia lima bulan, marah dan benci mulai dipisahkan dari rasa<br />
tertekan atau terganggu. Usia tujuh bulan mulai tampak perasaan takut. Antara<br />
usia 10-12 bulan, perasaan bersemangat dan kasih sayang mulai terpisah dari rasa<br />
senang. Semakin besar anak itu, semakin besar pula kemampuannya untuk<br />
belajar, sehingga perkembangan emosinya kian rumit. Perkembangan emosi<br />
7
lewat proses kematangan hanya terjadi saat usia satu tahun. Setelah itu,<br />
perkembangan selanjutnya lebih baik ditentukan <strong>oleh</strong> proses belajar.<br />
Gangguan Emosional<br />
Sekarang ini banyak teori yang muncul untuk mencoba menjelaskan<br />
sebab musabab gangguan emosional. Teori-teori tersebut dapat dikelompokkan<br />
dalam tiga kategori : lingkungan, afektif, dan kognitif (Hauck, 1967).<br />
1. Teori Lingkungan<br />
Teori lingkungan ini menganggap bahwa penyakit mental diakibatkan<br />
<strong>oleh</strong> berbagai kejadian yang menyebabkan timbulnya stress. Pandangan<br />
tersebut beranggapan bahwa kejadian ini sendiri adalah penyebab langsung<br />
dari ketegangan emosi. Orang awam tidak ragu-ragu untuk mengatakan,<br />
misalnya, bahwa seorang anak menangis karena ia diperolok. Ia percaya<br />
secara harfiah bahwa olok-olok itu adalah penyebab langsung tangisan<br />
tersebut. Dengan nada yang sama, orang awam tersebut percaya bahwa<br />
tetangganya menjadi depresif karena kehilangan pekerjaannya, atau<br />
keterlambatannya pulang ke rumah sebetulnya membuat istrinya naik pitam.<br />
Menurut teori ini, tekanan emosional baru bisa dihilangkan kalau<br />
masalah “penyebab” ketegangan tersebut ditiadakan. Selama masalah<br />
tersebut masih ada, biasanya tidak banyak yang bisa dilakukan untuk<br />
menghilangkan perasaan-perasaan yang menyertainya. Karena yang disebut<br />
lebih dahulu diduga sebagai penyebab dari yang belakangan, secara logis bisa<br />
dikatakan bahwa penghilanganan masalah selalu dapat menghilangkan<br />
kesukaran. Memang, demikianlah yang sering terjadi tetapi ini belum tentu<br />
dapat menghilangkan reaksi emosional yang kuat sekali jika reaksi itu terjadi.<br />
2. Teori Afektif<br />
Pandangan professional yang paling luas dianut mengenai gangguan<br />
mental adalah pandangan yang berusaha menemukan pengalaman<br />
emosionalnya bawah sadar yang dialami seseorang anak bermasalah dan<br />
kemudian membawa ingatan yang dilupakan dan ditakuti ini ke alam sadar,<br />
8
sehingga dapat dilihat dari sudut yang lebih realistik. Sebelum rasa takut dan<br />
rasa salah tersebut disadari, anak-anak itu diperkirakan hidup dengan pikiran<br />
bawah sadar yang dipenuhi dengan bahan-bahan yang menghancurkan yang<br />
tidak bisa dilihat, tetapi masih sangat aktif dan hidup. Ia bisa cemburu dan<br />
membenci ayahnya yang ditakutkan akan melukainya karena pikiran-pikiran<br />
jahat tersebut. Anak itu akan mungkin merasa bersalah karena rasa bencinya<br />
itu sehingga amat berharap mendapat hukuman atas kejahatnnya. Karena<br />
tidak menyadari kebenciannya itu, si anak tidak menyadari bahwa banyak<br />
kejadian tidak masuk akal terjadi atas dirinya sebenarnya adalah alat untuk<br />
menghukum dirinya sendiri.<br />
Menurut pandangan ini, bukan lingkungan, seperti si ayah yang<br />
menimbulkan gangguan, tetapi perasaan bawah sadar si anak (atau secara<br />
teknis dikatakan afeksi). Kelepasan hanya bisa dicapai bila perasaan tersebut<br />
dimaklumi dan dihidupkan kembali dengan seseorang yang tidak akan<br />
menghukum anak tersebut atas keinginan-keinginannya yang berbahaya.<br />
3. Teori Kognitif<br />
Sekarang ini, hanya satu teori utama yang patut dibicarakan, yakni<br />
“Psikoterapi Rasional-Emotif” yang ditemukan <strong>oleh</strong> Albert Ellis (1962).<br />
Menurut teori ini, penderitaan mental tidak disebabkan langsung <strong>oleh</strong><br />
masalah kita atau perasaan bawah sadar kita akan masalah tersebut,<br />
melainkan dari pendapat yang salah dan irasional, yang disadari maupun<br />
tidak disadari akan masalah-masalah yang kita hadapi.<br />
Untuk mengembalikan keseimbangan emosi, kita hanya perlu<br />
mengidentifikasi ide-ide yang ada pada si anak; kemudian, melalui<br />
penggunaan yang logika yang ketat, ia perlihatkan dan diyakinkan betapa<br />
tidak rasionalnya ide-ide tersebut; dan akhirnya dia didorong untuk<br />
berperilaku berlainan melalui sudut pengetahuan yang baru. Hanya inilah<br />
yang diperlukan untuk menenangkan gangguan emosional. Tidak menjadi<br />
soal, apakah si anak disepelekan atau membenci ayahnya. Semua kesukaran<br />
mengenai hal semacam itu berasal dari pikiran keliru mengenai hal tersebut.<br />
9
Bila sudah disadari bahwa pikiran-pikiran tersebut salah, gangguan akan<br />
lenyap.<br />
Macam-macam Emosi<br />
Atas dasar aktifitasnya, tingkah laku emosional dapat dibagi menjadi<br />
empat macam, yaitu (1) marah, orang bergerak menentang sumber frustasi; (2)<br />
takut, orang bergerak meninggalkan frustasi, (3) cinta, orang bengerak menuju<br />
sumber kesenangan; (4) depresi, orang menghentikan respons-respons<br />
terbukanya dan mengalihkan emosi ke dalam dirinya sendiri (Mahmud, 1996,<br />
167).<br />
Dari hasil penelitiannya, John B. Watson (dalam Mahmud, 1990)<br />
menemukan bahwa tiga dari keempat respons emosional tersebut terdapat pada<br />
anak-anak, yaitu takut, marah, dan cinta.<br />
1. Takut<br />
Pada dasarnya, rasa takut itu bermacam-macam. Ada yang timbul karena<br />
seorang anak kecil memang ditakut-takuti atau karena berlakunya<br />
berbagai pantangan di rumah. Akan tetapi, ada rasa takut “naluriah” yang<br />
terpendam dalam hati sanubari setiap insan. Misalnya saja, rasa takut akan<br />
tempat gelap, takut berada di tempat sepi, tanpa teman, atau takut<br />
menghadapi hal-hal asing yang tidak dikenal. Kangerian-kengerian itu<br />
relatif lebih banyak diderita <strong>oleh</strong> anak-anak daripada orang dewasa.<br />
Karena, sebagai insan yang masih sangat muda, tentu saja daya tahan<br />
anak-anak belum kuat (Sobur, 1998: 114-115).<br />
Jika dilihat secara objektif, bisa dikatakan bahwa rasa takut selain<br />
mempunyai segi-segi negatif, yaitu bersifat menggelorakan dan<br />
meimbulkan perasaan-perasaan dan gejala tubuh yang menegangkan, juga<br />
ada segi positifnya. Rasa takut merupakan salah satu kekuatan utama yang<br />
mendorong dan menggerakkannya. Reaksi yang timbul di dalam individu,<br />
lalu menggerakkan individu untuk melindungi diri terhadap rangsangan<br />
atau bahaya dari luar, menjauhkan diri dari suatu yang dapat<br />
menyakitkan diri, melukai diri, atau menimbulkan bahaya lainnya.<br />
10
Dengan demikian jelaslah bahwa rasa takut mempunyai nilai negatif<br />
dan positif. Positif karena rasa takut melindungi individu dalam keadaan<br />
yang berbahaya.<br />
2. Marah<br />
Pada umumnya, luapan kemarahan lebih sering terlihat pada anak<br />
kecil ketimbang rasa takut. Bentuk-bentuk kemarahan yang banyak kita<br />
hadapi adalah pada anak yang berumur kira-kira 4 tahun. Kematangan<br />
yang terlihat dari tingkah laku menjatuhkan diri dari lantai, menendang,<br />
menangis, berteriak, dan kadang-kadang juga menahan nafas. Ini sering<br />
disebut ana ngambek atau ngadat untuk mendapatkan sesuatu. Dengan<br />
istilah lain, ngadat atau temper tantrums (Gunarsa, 1980: 89). Jika temper<br />
tantrums ini tidak ditanggulangi dengan baik, tingkah laku tersebut dapat<br />
dilakukan juga sesudah empat tahun. Cara-caranya bisa menjadi lebih<br />
hebat lagi, sehingga sering tidak dapat dimengerti lagi bahwa pada<br />
dasarnya cara tingkah laku tersebut merupakan luapan kemarahan saja.<br />
Kemarahan selalu kita lihat berhubungan dengan keadaan tertentu.<br />
Kemarahan bisa pula timbul sehubungan dengan keadaan yang sebetulnya<br />
tidak lazim menimbulkan kemarahan. Misalnya, seorang anak setiap kali<br />
dalam latihan buang air kecil, ia marah-marah. Setiap kali dihadapkan<br />
dengan pot, ia sudah marah. Ternyata, anak selalu “diganggu” <strong>oleh</strong><br />
ibunya untuk latihan buang air kecil, apabila ia jumpai tengah asyik<br />
bermain. Menurut perhitungan sang ibu, sudah tiba saatnya pengosongan<br />
air seni, namun anak merasa sangat terganggu karena harus menghentikan<br />
permainannya. Kekesalan karena perasaan terganggu ini akhirnya<br />
dikaitkan dengan latihan tersebut. Hal yang setiap kali menimbulkan<br />
kemarahan pada si anak, apabila dipanggil ibunya untuk “menunaikan<br />
tugasnya”.<br />
Kemarahan seperti halnya dengan ketakutan, dipengaruhi <strong>oleh</strong><br />
faktor-faktor belajar dan pendewasaan (Jersild, 1954).<br />
Novaco (1986, dalam Berkowitz, 1993) mengemukakan bahwa<br />
amarah “bisa dipahami sebagai reaksi perasaan tekanan”. Yang mereka<br />
11
maksudkan pada dasarnya adalah bahwa orang cenderung menjadi marah<br />
dan terdorong menjdi agresif jika harus menghadapi keadaan yang<br />
mengganggu.<br />
Meskipun demikian, analisis Berkowitz lebih jauh lagi. Ia<br />
berpandangan bahwa bukan tekanan eksternal itu sendiri, melainkan<br />
perasaan negatif yang ditimbulkan <strong>oleh</strong> tekanan itulah yang menghasilkan<br />
kecenderungan agresif dan amarah. Sebenarnya, formulasi Berkowitz<br />
menawarkan asumsi kerja yang cukup kuat (tetapi diakuinya masih<br />
bersifat sementara) bahwa semua perasaan agresif, semua perasaan tidak<br />
enak, adalah dorongan dasar bagi egresi emosional. Menurut Berkowitz,<br />
semakin banyak adanya perasaan negatif, semakin kuat pula dorongan<br />
agresi yang dihasilkannya.<br />
3. Cinta<br />
Apakah cinta? Sesungguhnya betapa sulitnya kita menjelaskan kata yang<br />
satu ini. Sama halnya ketika kita harus mendefinisikan ihwal<br />
kebahagiaannya. Penyair Syauqi Bey, melukiskan “cinta” dalah sebuah<br />
sajaknya :<br />
Apakah cinta?<br />
Mulanya berpandangan mata<br />
lantas saling senyum<br />
kata berbalas kata<br />
dan memadu janji<br />
akhirnya ketemu<br />
Namun, yang digambarkan Syauqi Bey (dalam Abar, 1995:14) diatas<br />
adalah cinta romantis, yaitu cinta waktu pacaran yang kadang-kadang<br />
berakhir putus setelah puas bertemu dalam memadu cinta, tidak sampai<br />
meningkat ke jenjang pernikahan. Adapun cinta yang tumbuh dalam<br />
pernikahan adalah lebih kuat dan lebih agung, karena Tuhan<br />
menciptakannya untuk menjalin pernikahan ini menjadi kekal, tidak<br />
gampang diputuskan. Itulah yang menumbuhkan rasa bahagia,<br />
12
membuahkan sakinah, dan menimbulkan kesetiaan yang tahan uji, yang<br />
tidak mudah ditembus <strong>oleh</strong> godaan dan rayuan siapapun.<br />
Dalam bukunya The Art of Loving (seni mencintai), Erich Fromm<br />
(1983) sedemikian jauh telah berbicara tentang cinta sebagai alat untuk<br />
mengatasi keterpisahan manusia, sebagai pemenuhan kerinduan akan<br />
kesatuan. Akan tetapi, di atas kebutuhan eksistensi dan menyeluruh itu,<br />
timbul suatu kebutuhan biologis, yang lebih spesifik yaitu keinginan untuk<br />
menyatu antara kutub-kutub jantan dan betina. Ide pengutuban ini<br />
diungkapkan dengan paling mencolok dalam mitos bahwa pada mulanya<br />
laki-laki dan wanita adalah satu, kemudian mereka dipisahkan menjadi<br />
setengah-setengah, dan sejak itu sampai seterusnya, setiap lelaki terus<br />
mencari belahan wanita yang hilang dari dirinya untuk bersatu kembali<br />
dengannya.<br />
Sejajar dengan Psychological Materialism-nya, Freud melihat naluri<br />
seksual itu adalah akibat ketegangan, hasil kimiawi dalam badan yang<br />
sakit dan membutuhkan penyembuhan. Tujuan keinginan seksual adalah<br />
menghilangkan ketegangan yang menyakitkan; kepuasan seksual terletak<br />
pada keberhasilannya menghilangkan ketegangan itu.<br />
Cinta kasih adalah ibarat fundamen pendidikan secara keseluruhan.<br />
Tanpa curahan kasih, pendidikan yang ideal tidak mungkin bisa<br />
dijalankan. Selanjutnya, pendidikan tanpa cinta akan menjadi kering dan<br />
bahkan tidak menarik. Kita bisa melihat bahwa para pelajar yang dididik<br />
<strong>oleh</strong> guru-guru yang dipenuhi rasa kasing sayang, tidak akan pernah<br />
merasa bosan. Sebaliknya, para guru akan selalu menyukai profesinya jika<br />
hati mereka dipenuhi rasa cinta kasih.<br />
Ekspresi dan Emosi<br />
Menurut Wullur (1970:16) ekspresi sebagai “pernyataan batin seseorang<br />
dengan cara berkata, bernyanyi, bergerak, dengan catatan bahwa ekspresi itu<br />
selalu tumbuh karena dorongan akan menjelmakan perasaan atau buah pikiran”.<br />
Menurut Wullur juga, ekspresi juga bersifat membersihkan, membereskan<br />
(katarsis). Karena itu eskpresi dapat mencegah timbulnya kejadian-kejadian yang<br />
13
tidak diberi kesempatan untuk menjelmakan perasaannya dan menghadapi<br />
perasaannya. Tanpa ekspresi, bahan yang terpendam itu dapat membahayakan.<br />
Dan terkadang bisa menjadi “letusan kecil”, seperti perilaku memaki-maki, atau<br />
bisa juga terjadi “letusan besar”, misalnya mengamuk bahkan membunuh.<br />
“Letusan” yang lebih besar lagi adalah terjadinya letusan revolusi suatu bangsa<br />
yang bertahun-tahun atau berabad-abad tertindas.<br />
Selanjutnya, ekspresi dapat mengembangkan sifat kreatifitas seseorang, dan<br />
jika anak sanggup berkreatifitas secara kreatif, barulah mereka dapat belajar<br />
secara sungguh-sungguh.<br />
Dalam kaitannya dengan emosi, kita dapat membagi eskpresi emosional<br />
(emotional expression) dalam tiga macam (Dirgagunarsa, 1996:138), yaitu:<br />
1. Startle Response atau reaksi terkejut. Reaksi ini merupakan sesuatu yang ada<br />
pada setiap orang dan diper<strong>oleh</strong> sejak lahir (inborn), jadi tidak dipengaruhi<br />
<strong>oleh</strong> pengalaman dan diper<strong>oleh</strong> sejak lahir, seperti menutup mata, mulut<br />
melebar, dan kepala serta leher bergerak ke depan.<br />
2. Eskpresi wajah dan suara (facial and vocal expression). Keadaan emosi<br />
seseorang dapat dinyatakan melalui wajah dan suara. Melalui perubahan<br />
suara dan wajah, kita bisa membedakan orang-orang yang sedang marah,<br />
gembira, dan sebagainya.<br />
3. Sikap dan gerak tubuh (posture and gesture). Sikap dan gerak tubuh juga<br />
merupakan ekspresi dari keadaan emosi. Ini sangat dipengaruhi <strong>oleh</strong><br />
kebudayaan tempat orang itu hidup dan pendidikan yang didapat dan orang<br />
tuanya. Jadi ekspresi emosi dalam sikap dan gerak tubuh ini bisa berlainan<br />
sekali pada tiap-tiap orang.<br />
Menurut Atkinson, sejak publikasi buku klasik Charles Darwin ada tahun<br />
1872, The Expression of Emotion in Man and Animals, para ahli psikologi<br />
menganggap bahwa komunikasi emosi memiliki fungsi penting, yang memiliki<br />
nilai kelangsungan hidup bagi spesies. Jadi, wajah yang tampak ketakutan pada<br />
seseorang mungkin memperingatkan kepada lainnya adanya bahaya, dan wajah<br />
yang memperlihatkan bahwa seseorang sedang marah memberitahukan kepada<br />
kita orang itu mungkin akan bertindak agresif.<br />
14
Mengendalikan Emosi<br />
Mengendalikan emosi itu penting. Hal ini didasarkan atas kenyataan<br />
bahwa emosi mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan diri kepada orang<br />
lain. Orang yang kita temui di rumah atau di kantor akan lebih cepat<br />
menanggapi emosi kita daripada kata-kata kita.<br />
Supaya pergaulan kita sehari-hari dapat berjalan dengan lancar dan<br />
dapat menikmati kehidupan yang tenteram, kita tidak hanya mampu<br />
mengendalikan emosi kita, namun juga harus memiliki emosi yang tepat dengan<br />
mempertimbangkan keadaan, waktu dan tempat. Maka menurut Wedge (1995)<br />
rahasia hidup yang bahagia dapat dinyatakan dalam satu kalimat singkat:<br />
“Pilihlah emosi anda seperti anda memilih sepatu anda”.<br />
Pendapat Wedge tadi mengandung arti bahwa emosi manusia itu ibarat sepatu,<br />
jika ukurannya pas maka enak dipakai, tapi jika tidak maka sakitlah dan lecetlah<br />
kaki kita.<br />
Sehubungan dengan catatan untuk mengendalikan emosi (Mahmud,<br />
1990) sebagai berikut:<br />
1. Hadapilah emosi tersebut. Orang yang membual bahwa dia tidak takut<br />
menghadapi bahaya, sebenarnya melipatgandakan rasa takutnya sendiri.<br />
Bukan saja dia takut menghadapi bahaya yang sebenarnya, tetapi juga takut<br />
menemui bahaya.<br />
2. Jika mungkin, tafsirkanlah situasinya kembali. Emosi adalah bentuk dari suatu<br />
interprestasi. Bukan stimulusi sendiri yang menyebabkan atau menyebabkan<br />
reaksi emosional, tetapi stimulus yang ditafsirkan. Reinterprestasi itu<br />
bukanlah hal yang mudah, sebab memerlukan orang lain untuk melihat situasi<br />
sulit yang dialaminya dari sudut pandangan yang bergeda.<br />
3. Kembangkan rasa humor dan sikap realistis. Terkadang situasi itu begitu<br />
mendesaknya sehingga memerlukan reinterprestasi yang lama. Dalam hal<br />
seperti ini, humor dan sikap realistis dapat menolong. Tertawa dapat<br />
meringankan ketegangan emosi.<br />
4. Atasilah secara langsung problem-problem yang menjadi sumber emosi.<br />
Memecahkan problem pada dasarnya jauh lebih baik mengendalikan emosi<br />
yang terkait dengan problem tersebut. Dari pada takut menghadapi masalah<br />
15
tertentu, lebih baik kita belajar dengan sungguh- sungguh agar benar-benar<br />
menguasai masalah tertentu tersebut.<br />
Emosi memang mempunyai daya gerak yang besar. Namun, kita dapat<br />
mengatur dan mengarahkannya sedemikian rupa, sehingga emosi tersebut<br />
menggerakkan kita kearah hidup yang lebih menyenangkan dan efisien.<br />
Pendapat Wedge (1995) barangkali ada benarnya bahwa “kita tidak b<strong>oleh</strong><br />
menjadi budak emosi, tetapi harus menjadi tuan dari emosi kita”.<br />
16