Penyakit Bulai di Pulau Madura Jawa Timur - Balitsereal
Penyakit Bulai di Pulau Madura Jawa Timur - Balitsereal
Penyakit Bulai di Pulau Madura Jawa Timur - Balitsereal
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Prosi<strong>di</strong>ng Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : 978-979-8940-29-3<br />
<strong>Penyakit</strong> <strong>Bulai</strong> <strong>di</strong> <strong>Pulau</strong> <strong>Madura</strong> <strong>Jawa</strong> <strong>Timur</strong><br />
Burhanud<strong>di</strong>n dan J. Tan<strong>di</strong>abang<br />
Balai Penelitian Tanaman Serealia,<br />
Jl. Dr. Ratulangi 247 Maros, Sulawesi Selatan<br />
Abstrak<br />
<strong>Pulau</strong> <strong>Madura</strong>, termasuk salah satu daerah penghasil jagung <strong>di</strong> propinsi <strong>Jawa</strong> <strong>Timur</strong>. Jagung<br />
merupakan makanan pokok masyarakat <strong>di</strong> daerah ini, selain itu juga <strong>di</strong>gunakan sebagai bahan pakan<br />
ternak serta bahan industri. Produksi jagung <strong>di</strong> <strong>Pulau</strong> <strong>Madura</strong> rata-rata 150.244 ton pipilan kering<br />
per tahun dengan rata-rata luas panen 72,414 ha/tahun. Namun, produktivitasnya masih sangat rendah<br />
1,78 t/ha, lebih rendah dari rata-rata produsi jagung <strong>Jawa</strong> <strong>Timur</strong> (3,70 t/ha) dan rata-rata produksi<br />
jagung nasional (3,37 t/ha). Kendala utama <strong>di</strong> daerah ini adalah gangguan hama dan penyakit.<br />
Salah satu penyakit utama pada tanaman jagung adalah penyakit bulai yang <strong>di</strong>sebabkan oleh cendawan<br />
Pheronosclerospora spp. Sampai saat ini informasi tentang penyakit bulai <strong>di</strong> <strong>Pulau</strong> <strong>Madura</strong><br />
masih sangat terbatas, meskipun <strong>di</strong>laporkan bahwa secara umum <strong>Jawa</strong> <strong>Timur</strong> termasuk daerah endemis<br />
penyakit bulai. Penelitian ini <strong>di</strong>laksanakan dengan tujuan untuk mengetahui sebaran penyakit<br />
bulai <strong>di</strong> <strong>Pulau</strong> <strong>Madura</strong>, <strong>Jawa</strong> <strong>Timur</strong>. Survei <strong>di</strong>laksanakan <strong>di</strong> Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan,<br />
dan Sumenep. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit bulai telah tersebar luas <strong>di</strong> semua<br />
kabupaten dan umumnya petani masih menggunakan varietas local, sehingga pengendalian sejak<br />
<strong>di</strong>ni perlu <strong>di</strong>lakukan untuk menghindari terja<strong>di</strong>nya outbreak penyakit bulai <strong>di</strong> daerah tersebut.<br />
Kata kunci : jagung, Pheronoscelpspora may<strong>di</strong>s, sebaran<br />
Pendahuluan<br />
<strong>Pulau</strong> <strong>Madura</strong>, termasuk salah satu<br />
daerah penghasil utama jagung <strong>di</strong> <strong>Jawa</strong> <strong>Timur</strong>.<br />
Jagung tidak hanya sebagai makanan pokok<br />
masyarakat <strong>di</strong> daerah ini, tetapi juga <strong>di</strong>manfaatkan<br />
sebagai bahan pakan ternak serta bahan<br />
baku industri. Di Indonesia, jagung termasuk<br />
bahan pangan pokok kedua setelah beras,<br />
selain sebagai sumber karbohidrat juga merupakan<br />
sumber protein Menurut Widodo et al.<br />
(2006), jagung kaya akan komponen pangan<br />
fungsional termasuk serat, asam lemak esensial,<br />
isoflavon, mineral (Fe, Ca, Mg, Na, K), antosianin,<br />
-karoten (pro vitamin A), dan asam<br />
amino esensial.<br />
<strong>Pulau</strong> <strong>Madura</strong> memberikan kontribusi<br />
rata-rata produksi jagung 150.244 ton pipilan<br />
kering per tahun atau sekitar 3,58% terhadap<br />
total produksi <strong>di</strong> <strong>Jawa</strong> <strong>Timur</strong> (Tabel 1). Pada<br />
Tabel 1 juga dapat <strong>di</strong>lihat bahwa rata-rata luas<br />
panen jagung <strong>di</strong> <strong>Pulau</strong> <strong>Madura</strong> 72,414 ha/<br />
tahun dengan produktivitasnya masih sangat<br />
rendah yaitu 1,78 t/ha, lebih rendah dari ratarata<br />
produsi jagung <strong>Jawa</strong> <strong>Timur</strong> (3,70 t/ha)<br />
maupun rata-rata produksi jagung nasional<br />
(3,37 t/ha) selama 10 tahun periode tahun<br />
2000-2009. Peluang peningkatan produksi<br />
jagung <strong>di</strong> daerah ini masih terbuka dengan<br />
memanfaatkan inovasi teknologi yang <strong>di</strong>hasilkan<br />
Badan Litbang Pertanian, dengan pengelolaan<br />
tanaman terpadu (PTT) produksi dan<br />
produktivitas jagung dapat <strong>di</strong>tingkatkan.<br />
Kendala utama bu<strong>di</strong> daya jagung<br />
adalah gangguan hama dan penyakit, salah<br />
satu penyakit utama pada tanaman jagung<br />
yaitu penyakit bulai yang <strong>di</strong>sebabkan oleh<br />
cendawan Peronosclerospora spp. Tanaman<br />
jagung yang terinfeksi cendawan Peronosclerospora<br />
spp menimbulkan gejala sistemik<br />
(Semangun, 1993), gejala sistemik pada tanaman<br />
jagung yang terinfeksi apabila infeksinya<br />
mencapai titik tumbuh tanaman maka gejala<br />
358
Prosi<strong>di</strong>ng Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : 978-979-8940-29-3<br />
Tabel 1. Rata-rata luas tanam, produksi dan produktivitas jagung <strong>di</strong> pulau <strong>Madura</strong><br />
periode tahun 2000-2009<br />
Kabuapten, Luas Panen Produksi Produktivitas<br />
Propinsi dan Nasional (ha) (t) (t/ha)<br />
Sumenep 116,941 266,805 2.10<br />
Sampang 70,725 132,019 1.55<br />
Bangkalan 68,039 129,114 1.62<br />
Pemekasan 33,950 73,037 1.83<br />
Rata-rata 72,414 150,244 1.78<br />
<strong>Jawa</strong> <strong>Timur</strong> 1,165,043 4,200,685 3.70<br />
Nasional 3,468,322 11,606,577 3.37<br />
Sumber : Deptan (www. deptan.go.id), <strong>di</strong>olah<br />
dapat terja<strong>di</strong> pada seluruh daun. Gejala awal<br />
mempelihatkan gejala bercak klorotis yang<br />
kecil-kecil, kemu<strong>di</strong>an bercak tersebut berkembang<br />
membentuk garis sejajar dengan tulang<br />
daun, kemu<strong>di</strong>an cendawan berkembang kebagian<br />
pangkal daun. Daun-daun yang terbentuk<br />
setelah itu, memperlihatkan gejala klorotis<br />
atau garis-garis merata <strong>di</strong> permukaan daun.<br />
Gejala ini sangat jelas kelihatan pada pagi hari<br />
sebelum matahari bersinar terutama pada sisi<br />
bagian bawah daun yaitu adanya lapisan<br />
seperti tepung berwarna putih yang merupakan<br />
kumpulan koni<strong>di</strong>ofor dan koni<strong>di</strong>um<br />
jamur. Daun-daun menja<strong>di</strong> kaku agak menutup<br />
dan lebih tegak dari daun normal, akar<br />
tanaman kurang terbentuk sehingga tanaman<br />
mudah rebah dan biasanya tidak membentuk<br />
tongkol terutama pada tanaman yang terinfeksi<br />
pada umur masih sangat muda. Tanaman<br />
yang terinfeksi pada umur yang lebih tua biasanya<br />
tangkai tongkol lebih panjang daripada<br />
tongkol normal.<br />
Sampai saat ini informasi tentang penyakit<br />
bulai <strong>di</strong> <strong>Pulau</strong> <strong>Madura</strong> masih sangat terbatas,<br />
meskipun sudah <strong>di</strong>laporkan secara<br />
umum <strong>Jawa</strong> <strong>Timur</strong> termasuk daerah endemis<br />
penyakit bulai. Penelitian ini <strong>di</strong>laksanakan untuk<br />
mengetahui sebaran penyakit bulai dan<br />
berbagai alternatif cara pengendalian terhadap<br />
penyakit bulai.<br />
Bahan dan Metode<br />
Penelitian ini <strong>di</strong>laksanakan melalui<br />
survei langsung <strong>di</strong> Kabupaten Bangkalan, Sampang,<br />
Pamekasan, dan Sumenep Propinsi <strong>Jawa</strong><br />
<strong>Timur</strong> pada tanggal 29 September 2010. Data<br />
yang <strong>di</strong>kumpulkan <strong>di</strong> lapangan meliputi jenis<br />
varietas yang <strong>di</strong>tanam petani, umur tanaman<br />
dan gejala serangan penyakit bulai secara visual.<br />
359
Prosi<strong>di</strong>ng Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : 978-979-8940-29-3<br />
Hasil dan Pembahasan<br />
Hasil pengamatan serangan penyakit<br />
bulai <strong>di</strong> <strong>Pulau</strong> <strong>Madura</strong> <strong>di</strong>sajikan pada Tabel2.<br />
Gejala penyakit bulai <strong>di</strong>temukan pada pertanaman<br />
jagung <strong>di</strong> petani yang menanam<br />
varietas lokal dengan variasi umur antara 4 –<br />
6 minggu setelah tanam (MST). Gejala ini <strong>di</strong>temukan<br />
pada lima kabupaten yaitu Kabupaten<br />
Bangkalan, Sampang, Pemakasan dan Kabupaten<br />
Sumenep. Data ini menunjukkan bahwa<br />
penyakit bulai telah tersebar luas <strong>di</strong> <strong>Pulau</strong><br />
<strong>Madura</strong> sehingga perlu penanganan secara<br />
<strong>di</strong>ni untuk menghindari kemungkinan terja<strong>di</strong>nya<br />
ledakan penyakit bulai (outbreak) <strong>di</strong><br />
daerah tersebut. Walaupun gejala serangan<br />
penyakit bulai yang <strong>di</strong>temukan sifatnya masih<br />
spot-spot tetapi tanaman yang sudah terinfeksi<br />
tersebut akan menja<strong>di</strong> sumber inokulum<br />
yang dapat menyebar dengan cepat ke pertanaman<br />
jagung lainnya bila <strong>di</strong>biarkan tanpa<br />
pengendalian lebih <strong>di</strong>ni.<br />
Pada penelitian ini belum <strong>di</strong>identifikasi<br />
spesies cendawan penyebab penyakit bulai<br />
(Peronoslerospora) sehingga <strong>di</strong>sarankan untuk<br />
kegiatan selanjutnya dapat <strong>di</strong>lakukan identifikasi<br />
cendawannya. Namun Wakman (2000)<br />
dan Burhanud<strong>di</strong>n (2010) melaporkan bahwa<br />
secara umum cendawan penyebab penyakit<br />
bulai <strong>di</strong> <strong>Jawa</strong> <strong>Timur</strong> adalah Peronoslerospora<br />
may<strong>di</strong>s, Kecuali <strong>di</strong> Batu Malang adalah Peronoslerospora<br />
sorghi (Wakman (2004a).<br />
Pengelolaan penyakit bulai pada tanaman<br />
jagung idealnya <strong>di</strong>lakukan secara terpadu.<br />
Di Indonesia, pengendalian penyakit bulai<br />
pada tanaman jagung terpadu telah lama<br />
<strong>di</strong>rintis seperti mencari varietas tahan terhadap<br />
penyakit bulai, cara bercocok tanam, dan<br />
perlakuan benih dengan fungisida sistemik<br />
(Tantera, 1975). Untuk mengendalikan penyakit<br />
bulai (P. may<strong>di</strong>s) pada tanaman jagung<br />
Semangun (1993) menganjurkan empat langkah<br />
yang perlu <strong>di</strong>lakukan yaitu : 1) menanam<br />
jenis-jenis jagung yang tahan terhadap penyakit<br />
bulai; 2) penanaman jagung yang <strong>di</strong>lakukan<br />
pada musim hujan <strong>di</strong> lahan tegalan <strong>di</strong>lakukan<br />
agak lebih awal secara serentak untuk<br />
suatu areal/hamparan yang luas. Penanaman<br />
jagung setelah jagung atau penanaman yang<br />
terlambat dari pertanaman jagung lainnya a-<br />
kan mendapat serangan bulai yang tinggi (Triharso,<br />
et al., 1976). 3), sehingga <strong>di</strong>perlukan<br />
tindakan pencabutan tanaman jagung yang<br />
menunjukkan gejala serangan penyakit bulai,<br />
agar tidak menja<strong>di</strong> sumber infeksi bagi tana-<br />
Tabel 2. Sebaran penyakit bulai <strong>di</strong> <strong>Pulau</strong> <strong>Madura</strong> <strong>Jawa</strong> <strong>Timur</strong><br />
Kabupaten Kecamatan Desa Varietas Umur<br />
tanaman<br />
(mst)<br />
Gejala<br />
serangan<br />
bulai<br />
1. Bangkalan Blega Tobungan Lokal 3 +<br />
2. Sampang Camplong Banyuanyar Lokal 4 +<br />
Camplong Taddan Lokal 4 +<br />
3. Pamekasan Galis Tobungan Lokal 6 +<br />
4. Sumenep Pragaan Sendang Lokal 6 +<br />
Keterangan : + = gejalah serangan penyakit bulai<br />
360
Prosi<strong>di</strong>ng Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : 978-979-8940-29-3<br />
man yang ada <strong>di</strong> sekitarnya, terutama bagi<br />
tanaman yang masih muda dan benih dengan<br />
fungisida metalaksil sesuai dosis anjuran.<br />
Paket teknologi pengendalian penyakit<br />
bulai pada tanaman jagung telah terse<strong>di</strong>a<br />
dan <strong>di</strong>rekomendasikan untuk penerapannya<br />
seperti penggunaan varietas jagung tahan<br />
penyakit bulai (Wakman et al, 1999; Wakman,<br />
2000; Wakman dan Kontong, 2000). Varietas<br />
jagung tahan bulai antara lain Pioneer-4,<br />
Pioneer-12, Bisi-4, Bisi-816, BMD, BIMA-2,<br />
BIMA-3 Bantimurung, BIMA-4, Motor GTO,<br />
Bisma, CPI-21, Semar-7, dan Lagaligo<br />
(Wakman dan Kontong, 2000; Wakman et al.,<br />
2008; Burhanud<strong>di</strong>n, 2010b). Varietas-varietas<br />
tersebut telah teruji dapat menekan serangan<br />
penyakit bulai walaupun pada kon<strong>di</strong>si kepadatan<br />
sumber inokulum yang tinggi <strong>di</strong> lapangan.<br />
Pada umumnya petani <strong>di</strong> <strong>Pulau</strong> <strong>Madura</strong> menanam<br />
varietas jagung lokal, alasannya rasa<br />
nasinya enak dan sudah terbiasa mengkonsumsi<br />
jagung lokal secara turun temurun.<br />
Era<strong>di</strong>kasi atau menghilangkan tanaman<br />
jagung yang terinfeksi bulai bertujuan untuk<br />
menghilangkan sumber inokulum penyakit sehingga<br />
penyebaran penyakit dapat <strong>di</strong>tekan.<br />
Apabila <strong>di</strong>temukan tanaman yang memperlihatkan<br />
gejala penyakit bulai <strong>di</strong> antara pertanaman<br />
jagung maka segera <strong>di</strong>cabut kemu<strong>di</strong>an<br />
<strong>di</strong>bakar atau <strong>di</strong>benamkan ke dalam tanah.<br />
Jangan hanya <strong>di</strong>buang saja <strong>di</strong>sekitar pertanaman<br />
karena akan menja<strong>di</strong> sumber inokulum<br />
penyakit ke pertanaman yang masih ada<br />
(Khaeruni, 2009). Cara pengendalian seperti<br />
ini sangat tepat <strong>di</strong>terapkan saat ini <strong>di</strong> <strong>Pulau</strong><br />
<strong>Madura</strong> karena gejala serangan penyakit bulai<br />
sifatnya masih spot-spot sehingga mudah<br />
<strong>di</strong>lakukan.<br />
Jika serangan bulai sudah meluas dengan<br />
tingkat serangan berat, maka <strong>di</strong>perlukan<br />
periode bebas jagung satu musim tanam<br />
untuk menghilangkan sumber inokulum <strong>di</strong> lapangan.<br />
Penomena dasar menghindari serangan<br />
penyakit terhadap tanaman adalah mengadakan<br />
periode bebas tanaman jagung pada<br />
waktu tertentu (Tantera, 1975). Metode pelaksanannya<br />
yaitu penanaman jagung <strong>di</strong>-mulai<br />
pada minggu I – II bulan Oktober dan <strong>di</strong>panen<br />
pada bulan Januari tahun berikutnya. Periode<br />
bebas jagung pertama pada bulan berikutnya<br />
yaitu Pebruari samapai Maret. Kemu<strong>di</strong>an penanaman<br />
jagung berikutnya dapat <strong>di</strong>lakukan<br />
pada bulan April dan <strong>di</strong>panen pada bulan Juli<br />
sehingga periode bebas tanaman jagung kedua<br />
terja<strong>di</strong> pada bulan Agustus sampai September,<br />
bertepatan dengan musim kemarau (MK).<br />
Fungisida Ridomil 35 SD yang berbahan<br />
aktif metalaksil pada tahun 80-an masih efektif<br />
mengendalikan penyakit bulai (Wakman<br />
dan Kontong, 1986). Di Indonesia hingga saat<br />
ini penggunaan fungisida metalaksil telah berjalan<br />
lebih dari 20 tahun, sejak tahun 1980-an<br />
(Jasis et al., 1981). Aplikasi pestisida secara<br />
terus menerus dalam waktu lama dapat menimbulkan<br />
terja<strong>di</strong>nya resistensi pada organisme<br />
penggagu tanaman (OPT). Kasus seperti<br />
ini telah terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> Kabupaten Bengkayang<br />
Propinsi Kalimantan Barat (Wakman, 2008)<br />
dan Kabupaten Ke<strong>di</strong>ri Propinsi <strong>Jawa</strong> <strong>Timur</strong><br />
(Burhanud<strong>di</strong>n, 2010a).<br />
Kesimpulan<br />
Berdasarkan hasil penelitian ini <strong>di</strong>ketahui<br />
bahwa penyakit bulai telah tersebar luas<br />
pada tanaman jagung <strong>di</strong> semua kabupaten<br />
yang <strong>di</strong> <strong>Pulau</strong> <strong>Madura</strong> yaitu Kabupaten Bangkalan,<br />
Sampang, Pamekasan dan Sumenep<br />
jawa <strong>Timur</strong>. Tindakan pengendalian sejak <strong>di</strong>ni<br />
perlu <strong>di</strong>lakukan untuk menghindari terja<strong>di</strong>nya<br />
361
Prosi<strong>di</strong>ng Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : 978-979-8940-29-3<br />
outbreak, ledakan penyakit bulai <strong>di</strong> daerah ini<br />
dapat <strong>di</strong>lakukan seperti<br />
menanam varietas<br />
uggul jagung tahan bulai serta mencabut dan<br />
membakar tanaman yang terinfeksi penyakit<br />
bulai. Untuk program jangka menegah perlu<br />
<strong>di</strong>lakukan uji daya hasil dari varietas/galur<br />
jagung yang tahan bulai <strong>di</strong> <strong>Pulau</strong> <strong>Madura</strong>,<br />
untuk dapat <strong>di</strong>ketahui oleh petani penanam<br />
jagung, agar dapat memilih sen<strong>di</strong>ri varietas<br />
yang akan <strong>di</strong>tanam.<br />
Daftar Pustaka<br />
Burhanud<strong>di</strong>n, 2010. Poses sporulasi Peronosclerospora<br />
philippinensis pada tanaman<br />
jagung. Prosi<strong>di</strong>ng Seminar Ilmiah<br />
dan Pertemuan Tahunan PEI, PFI dan<br />
UPTD Proteksi Tanaman Pangan dan<br />
Hortikultura Prop. Sulawesi Selatan,<br />
Maros, 30 Nopember 2010. Hal.365-<br />
369.<br />
Burhanud<strong>di</strong>n, 2010a. Fungisida metalaksil tidak<br />
efektif menekan penyakit bulai<br />
(Peronosclerospora may<strong>di</strong>s) <strong>di</strong> Kalimantan<br />
Barat. 7 hlm. (Belum <strong>di</strong>publikasikan).<br />
Burhanud<strong>di</strong>n, 2010b. Penampilan beberapa<br />
varietas/galur jagung terhadap penyakit<br />
bulai. Prosi<strong>di</strong>ng Seminar Ilmiah dan<br />
Pertemuan Tahunan PEI, PFI dan UPTD<br />
Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura<br />
Prop. Sulawesi Selatan, Maros, 30<br />
Nopember 2010. Hal.375-379.<br />
Jasis, S. Alimoeso, dan A.W. Hamid. 1981. Beberapa<br />
hasil pengujian pengendalian<br />
penyakit bulai pada tanaman jagung<br />
tahun 1979-1981.<br />
Khaeruni, A. 2009. <strong>Penyakit</strong> bulai sang penyebar<br />
teror hingga ra<strong>di</strong>us belasan kilometer.<br />
Majalah Pertanian ABDI TANI,<br />
Wahana Informasi Pertanian. Vol. 10<br />
No. 3 E<strong>di</strong>si XXXVI, Juli-September<br />
2009. Hal. 12-14.<br />
Semangun, H. 1993. <strong>Penyakit</strong>-<strong>Penyakit</strong> Tanaman<br />
Pangan. Gadjah Mada University<br />
Press. Yogyakarta. 449 p.<br />
Sudjono, M.S. 1988. <strong>Penyakit</strong> jagung dan pengendaliannya.<br />
Dalam Suban<strong>di</strong>, M.<br />
Syam, dan A. Widjono. Jagung. Puslitbangtan<br />
Bogor.<br />
Tantera, D. M. 1975. Cultural practices to decrease<br />
loses to corn downy mildew.<br />
Proc. Symposium on Downy Mildew of<br />
Maize. Trop. Agric, Jepan: 165-175.<br />
Triharso, T. Martorejo, and L. Kus<strong>di</strong>arti. 1979.<br />
Recent problems and stu<strong>di</strong>es on<br />
downy mildew of mayze in Indonesia.<br />
The Kasetsar Journal. Vol. 10, No.2:101<br />
-105. Thailand.<br />
Wakman, W. dan M. Said K. 1986. Penggunaan<br />
fungisida ridomil untuk pengendalian<br />
penyakit bulai pada tanaman jagung <strong>di</strong><br />
Sulawesi Selatan. Agrikam 1(2):41-44.<br />
Wakman, W., M. S. Kontong, dan S. Rahamma.<br />
1999. Perbedaan ketahanan terhadap<br />
penyakit bulai dan kehilangan hasil 12<br />
varietas/galur jagung. Prosi<strong>di</strong>dng.<br />
Seminar Nasional Pusat Penelitian<br />
Sosial Ekonomi Pertanian: 57-62.<br />
Wakman, W. 2000. Sebaran dua spesies cendawan<br />
Peronosclerospora berbeda morfologi<br />
koni<strong>di</strong>anya <strong>di</strong> Indonesia. 9 hal.<br />
(Belum <strong>di</strong>publikasikan).<br />
Wakman, W. 2004. Penyebab penyakit bulai<br />
pada tanaman jagung, tanaman inang<br />
lain, daerah sebaran dan pengendaliannya.<br />
Seminar Mingguan <strong>Balitsereal</strong>.<br />
Jumat, 23 Juli 2004.<br />
Wakman, W., A.H. Talanca, dan Surtikanti,.<br />
2008. <strong>Penyakit</strong> bulai jagung <strong>di</strong> Kabupaten<br />
Bengkayang Prop. Kalbar.<br />
Prosi<strong>di</strong>ng Seminar Ilmiah dan Pertemuan<br />
Tahunan PEI dan PFI XVIII<br />
Komda Sul-Sel Makassar, 24 Nopember<br />
2007. Hal. 174-178.<br />
Widowati, S., B. A. Susilo Santosa dan Suarni.<br />
2006. Mutu gizi dan sifat fungsional<br />
jagung. Prosi<strong>di</strong>ng dan Lokakarya Nasional<br />
2005. Puslibangtan. Makassar,<br />
29-30 September 2005. Hal. 343-350.<br />
362