Vol. III No. 1 April 2007 - USUpress - Universitas Sumatera Utara
Vol. III No. 1 April 2007 - USUpress - Universitas Sumatera Utara
Vol. III No. 1 April 2007 - USUpress - Universitas Sumatera Utara
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
PRAKATA<br />
Jurnal Logat pada <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 tahun <strong>2007</strong> tampil dengan edisi bidang sastra yang<br />
terdiri atas tujuh artikel. Kajian sastra yang dibahas dalam tujuh artikel ini terdiri atas<br />
tiga artikel tentang sastra etnik, satu mengenai waknal lokal, dan tiga lagi mengenai<br />
sastra Indonesia, terutama mengenai puisi. Artikel mengenai sastra etnik terdiri dari<br />
Didong Gayo Lues, yang dibahas oleh Isma Tantawi. Didong Gayo Lues yang berasal dari<br />
etnik Gayo yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dianalisis dengan<br />
pemikiran agama. Nurhayati Harahap membahas mantra dari Angkola mandailing, yakni<br />
makna Hata-Hata Jampi. Ada sembilan fungsí dan makna dari Hata-Hata Jampi yang<br />
diungkapkan. Sementara Haris Sutan Lubis membahas modernisasi pada bentuk dan<br />
tema prosa-prosa Willem Iskander. Prosa-prosa Willem Iskander yang terdapat pada Si<br />
Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk diungkapkan sebagai suatu bentuk prosa modernisasi<br />
yang berupa cerita pendek.<br />
Artikel berikutnya tentang novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang dibahas<br />
oleh Yundi Fitrah mengenai warna lokal Batak Angkola. Ada tiga tradisi Angkola yang<br />
dilihat Yundi Fitrah dalam novel tersebut, yakni tradisi martandang, kepercayaan<br />
terhadap dukun dan arwah manusia, dan sistem pembagian harta warisan.<br />
Ada dua artikel yang membahas tentang Amir Hamzah, pertama, Ikhwanuddin Nasution<br />
membahas estetisasi Amir Hamzah terhadap gerakan kebangsaan. Ikhwanuddin melihat<br />
puisi-puisi Amir Hamzah dan mengulas bagaimana peranan Amir Hamzah dalam<br />
pergerakan kebangsaan. Kedua, artikel Haron Daud melihat Amir Hamzah sebagai<br />
seorang penyair mistik. Meskipun puisi-puisi Amir Hamzah juga banyak menggambarkan<br />
religius, sifat religius itu juga dekat dengan mistik.<br />
Artikel terakhir membahas tentang puisi Saeful Badar dan Gendhotwukir yang dianalisis<br />
oleh Pertampilan S. Brahmana. Puisi-puisi itu dikaitkan dengan dekonstruksi atas<br />
pandangan keagamaan dalam sastra Indonesia.<br />
Medan, <strong>April</strong> <strong>2007</strong><br />
Penyunting
DAFTAR ISI<br />
logat<br />
Jurnal Ilmu-Ilmu Bahasa dan Sastra<br />
<strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong>, <strong>No</strong>. 1, <strong>April</strong> <strong>2007</strong><br />
ISSN: 1858 – 0831<br />
Didong Gayo Lues: Analisis Pemikiran tentang Agama Islam ----------------------------------------- 1-9<br />
Isma Tantawi<br />
Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />
Makna Hata-Hata Jampi dalam Bahasa Angkola Mandailing ----------------------------------------- 10-17<br />
Nurhayati Harahap<br />
Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />
Modernisasi pada Bentuk dan Tema dalam Prosa-Prosa Willem Iskander (1840-1876) ------------ 18-25<br />
Haris Sutan Lubis<br />
Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />
Warna Lokal Batak Angkola dalam <strong>No</strong>vel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar -------------- 26-31<br />
Yundi Fitrah<br />
PBS FKIP <strong>Universitas</strong> Jambi<br />
Estetisasi Amir Hamzah terhadap Gerakan Kebangsaan ------------------------------------------------ 32-38<br />
Ikhwanuddin Nasution<br />
Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />
Amir Hamzah Seorang Penyair Mistik -------------------------------------------------------------------- 39-45<br />
Haron Daud<br />
Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia<br />
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:<br />
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan dalam Sastra Indonesia ------------------------------------ 46-53<br />
Pertampilan S. Brahmana<br />
Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>
❏ Isma Tantawi<br />
Halaman 1<br />
Didong Gayo Lues:<br />
Analisis Pemikiran tentang Agama Islam<br />
DIDONG GAYO LUES:<br />
ANALISIS PEMIKIRAN TENTANG AGAMA ISLAM<br />
Isma Tantawi<br />
Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />
Abstract<br />
The objective of this study is to determine and analyze the thinking of Gayo Lues community<br />
on Islamic religion in the Didong Jalu. The data in this research is analyzed based on both<br />
observation and documentation methods. The theoretical base used in this research is relied<br />
on literature sociological theory suggested by Thomas Warton (1974) that literature work is<br />
considered to be expression of art and social document. The result of this study shows that<br />
Didong Jalu contains the thought of the Gayo Lues community regarding Allah, the<br />
messenger, angels, spirits, Islamic tenets, Islamic practices, sins, repentance and life-after<br />
death.<br />
Key words: Thinking of Gayo Lues community, Islamic religion, Didong Jalu<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Didong sebagai tradisi lisan atau oral tradition<br />
(folklore) sudah berkembang sejak masuknya<br />
agama Islam di dataran tinggi Gayo, Provinsi<br />
Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia (Ara 1995 :<br />
639). Agama Islam masuk ke Aceh pada abad ke-7<br />
M. kira-kira 40 tahun setelah Nabi Muhammad<br />
Saw. wafat (Sujitno 1995 : 71). Dalam Didong,<br />
sejak awal sampai saat ini nafas dan nuansa<br />
keislaman tetap bertahan. Bahkan Didong<br />
merupakan media dakwah untuk menyampaikan<br />
dan menyebarkan amanat keagamaan kepada<br />
masyarakat di samping menyampaikan pesan<br />
budaya suku Gayo itu sendiri.<br />
Didong merupakan tradisi lisan suku<br />
Gayo sudah berakar dalam kehidupan<br />
masyarakatnya. Persembahan Didong diadakan<br />
pada pesta suka (pesta ayunan, pesta penyerahan<br />
anak kepada guru (ustad atau ustajah yang<br />
mengajari agama Islam), pesta sunat rasul, dan<br />
pesta perkawinan) saja. Dalam Didong, diceritakan<br />
tentang kebudayaan suku Gayo, agama Islam<br />
(orang suku Gayo secara keseluruhan menganut<br />
agama Islam) dan masalah-masalah yang aktual,<br />
seperti peristiwa daerah, peristiwa nasional, dan<br />
peristiwa internasional.<br />
Kata Didong, berasal dari bahasa Gayo,<br />
yaitu: dari akar kata dik dan dong. Dik, artinya<br />
menghentakkan kaki ke papan yang berbunyi dikdik-dik.<br />
Kemudian dong, artinya berhenti di<br />
tempat, tidak berpindah. Jadi, kata Didong dapat<br />
diartikan bergerak (menghentakkan kaki) di tempat<br />
untuk mengharapkan bunyi dik-dik-dik. Bunyi dikdik-dik<br />
selalu digunakan untuk menyelingi<br />
persembahan Didong. Menurut kamus Bahasa<br />
Gayo – Indonesia, Didong ialah sejenis kesenian<br />
tradisional yang dipertandingkan antara dua Guru<br />
Didong yang berasal dari dua kampung yang<br />
berbeda. Persembahan dimulai setelah shalat Isa<br />
sampai sebelum salat Subuh (Melalatoa 1985 : 71).<br />
Kata Didong menjadi nama kesenian<br />
tradisional di Gayo Lues berdasarkan cerita rakyat<br />
(foklore), yaitu: Asal-usul Gajah Putih yang<br />
dikumpulkan oleh Hanafiah (1984 : 140 – 149).<br />
Gajah Putih merupakan penjelmaan dari seorang<br />
sahabat yang sudah meninggal dunia. Ketika Gajah<br />
Putih ini akan dibawa ke Istana Raja Aceh oleh<br />
orang-orang yang diperintahkan oleh raja. Gajah<br />
Putih tidak mau berjalan dan melawan. Gajah putih<br />
menghentak-hentakkan kakinya ke tanah, sehingga<br />
menimbulkan bunyi dik-dik-dik. Namun demikian,<br />
ketika sahabatnya yang membawa, Gajah Putih<br />
pun berjalan dan sampailah ke Istana Raja Aceh.<br />
Gerakan Gajah Putih yang menghentakhentakkan<br />
kakinya ke tanah dan menimbulkan<br />
bunyi dik-dik-dik, selalu ditirukan oleh orangorang<br />
yang melihat kejadian itu. Akhirnya<br />
kebiasaan tersebut dijadikan dan digunakan pada<br />
masa merasa gembira atau pada masa<br />
menyampaikan amanat dan nasihat kepada anak,<br />
teman, masyarakat atau kepada siapa saja yang<br />
dianggap perlu untuk disampaikan. Oleh sebab itu,<br />
kebiasaan tersebut berlangsung sampai saat ini dan<br />
disebut dengan tradisi lisan Didong Gayo.<br />
Didong Gayo dapat dibagi menjadi dua<br />
macam. Pertama, Didong Gayo Lues. Didong<br />
Gayo Lues berkembang di Kabupaten Gayo Lues<br />
dan Kabupaten Aceh Tenggara. Didong Gayo Lues<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 2<br />
❏ Isma Tantawi<br />
pada umumnya berbentuk prosa (bebas) dan hanya<br />
pada bagian tertentu saja yang disampaikan<br />
berbentuk puisi (terikat) seperti pantun. Isi cerita di<br />
dalam Didong Gayo Lues berhubungan antara satu<br />
bagian dengan bagian lainnya.<br />
Kedua, Didong Lut (Laut). Didong Lut<br />
berkembang di Kabupaten Aceh Tengah. Didong<br />
Lut berbentuk puisi (terikat). Isi Didong Lut tidak<br />
berhubungan secara langsung antara satu bagian<br />
dengan bagian lainnya. Oleh sebab itu, dapat<br />
disimpulkan bahwa Didong Lut seperti puisi yang<br />
dinyanyikan dan setiap puisi memiliki makna<br />
masing-masing.<br />
Didong Gayo Lues dapat dibagi tiga<br />
macam; yaitu, Didong Alo (Didong penyambutan<br />
tamu), yaitu: Didong dipersembahkan untuk<br />
menyambut tamu. Pemain Didong Alo berjumlah<br />
lebih kurang 10 orang dari pihak tuan rumah dan<br />
10 orang dari pihak tamu. Didong Alo<br />
dipersembahkan sambil berlari arah ke kiri atau ke<br />
kanan. Didong Alo berisi tentang ucapan selamat<br />
datang dan ucapan terima kasih atas kehadiran<br />
tamu. Begitu juga dari pihak tamu mengucapkan<br />
terima kasih atas undangan dan sudah selamat di<br />
perjalanan sehingga dapat selamat sampai ke<br />
tempat tuan rumah.<br />
Didong Jalu (Didong Laga), yaitu Didong<br />
dipersembahkan pada malam hari oleh dua orang<br />
Guru Didong yang diundang dari dua kampung<br />
yang berbeda. Setiap Guru Didong didampingi<br />
oleh pengiring yang berjumlah 10 sampai 20<br />
orang. Pengiring berfungsi untuk mendukung<br />
persembahan. Pada bagian tertentu (adini Didong)<br />
cerita Didong disambut oleh pengiring sambil<br />
bertepuk tangan serta menggerakkan badan ke<br />
muka dan ke belakang atau ke kiri dan ke kanan.<br />
Didong Niet (Didong Niat) selalu<br />
dipersembahkan berdasarkan niat seseorang.<br />
Misalnya niat seseorang yang ingin mempunyai<br />
keturunan atau berkeinginan punya anak lelaki<br />
atau perempuan. Jika keinginan ini dikabulkan<br />
oleh Yang Maha Kuasa, maka Didong Niet ini pun<br />
dipersembahkan. Didong Niet ini mengkisahkan<br />
tentang anak yang diniatkan. Cerita dimulai dari<br />
awal pertemuan kedua orang tuanya. Kemudian<br />
pertemuan itu direstui serta dilanjutkan kepada<br />
jenjang peminangan dan pernikahan. Seterusnya<br />
cerita mengenai perkembangan bayi di dalam<br />
kandungan dan sampai bayi lahir ke dunia. Setelah<br />
itu cerita diteruskan ke pesta ayunan (turun mani)<br />
pemberian nama dihubungkan dengan hari<br />
kelahiran, agama (agama Islam), dan nama-nama<br />
keluarga seperti nama orang tua, kakek, nenek, dan<br />
lain-lain.<br />
Cerita Didong yang menjadi objek<br />
penelitian ini adalah cerita Didong Jalu yang<br />
dipersembahkan oleh Guru Didong Ramli<br />
Didong Gayo Lues:<br />
Analisis Pemikiran tentang Agama Islam<br />
Penggalangan dan Idris Cike di Medan pada<br />
tanggal 11 dan 12 Desember 2004. Persembahan<br />
dimulai pukul 21.45 dan berakhir pada pukul 04.30<br />
WIB.<br />
2. PEMIKIRAN TENTANG AGAMA<br />
ISLAM DALAM DIDONG JALU<br />
Masyarakat Gayo yang melahirkan Didong Jalu<br />
adalah masyarakat yang menganut agama Islam.<br />
Oleh sebab itu, di dalam Didong Jalu pun<br />
tergambar pemikiran-pemikiran tentang agama<br />
Islam. Tradisi Didong Jalu menampilkan<br />
gambaran kehidupan masyarakat Gayo Lues.<br />
Sejalan dengan pendapat Damono (1978: 1) bahwa<br />
kehidupan itu sendiri adalah satu kenyataan sosial<br />
dan kenyataan sosial tersebut dapat tercermin di<br />
dalam karya sastra.<br />
Menurut Taslim (Tanpa Tahun: 1) bahwa<br />
sebuah karya sastra, walau betapa tinggi<br />
dipancangkan di alam fantasi, namun tetap<br />
memiliki hubungan dengan fakta-fakta sosial di<br />
dalam kehidupan alam nyata. Jadi, sebuah karya<br />
sastra tidak pernah terlepas dari masyarakat yang<br />
mendukungnya. Sastra adalah produk suatu<br />
masyarakat dan sastra mencerminkan pemikiran<br />
masyarakatnya. Pemikiran masyarakat menjadi<br />
pemikiran pengarang dan pengarang itu sendiri<br />
adalah bagian dari masyarakat (Sumarjo 1979 :<br />
30).<br />
Pemikiran tentang agama Islam di dalam<br />
Didong Jalu yang berhubungan dengan Allah<br />
Swt., Rasul (Nabi Muhammad) malaikat, roh,<br />
hukum dalam Islam, amalan dalam Islam, Idil<br />
Fitri, dosa, taubat, dan alam akhirat.<br />
2. 1 Allah, Rasul, dan Makhluk yang Ghaib<br />
Allah Swt. adalah Maha Pencipta alam dan Rasul<br />
(Nabi Muhammad Saw.) adalah sebagai utusan<br />
Allah Swt. untuk menyampaikan wahyu kepada<br />
umatnya. Makhluk yang ghaib (malaikat dan roh)<br />
adalah makhluk Allah Swt. yang memiliki tugas<br />
masing-masing.<br />
2.1.1 Allah Swt.<br />
Menurut faham masyarakat Gayo Lues<br />
tentang Allah Swt. sebagai Yang Maha Kuasa<br />
mengikuti faham sesuai agama Islam. Allah<br />
memiliki banyak sifat, namun sifat wajib diketahui<br />
orang Islam yang beriman hanya dua puluh sifat<br />
wajib dan dua puluh sifat mustahil. Allah Swt.<br />
adalah bersifat Maha atas segala sesuatu di atas<br />
alam ini. Menurut Ensiklopedi Islam I (2003 :<br />
123), Allah Swt. adalah sebutan atau nama Tuhan;<br />
yaitu, Wujud yang tertinggi, Zat Yang Maha Suci,<br />
Yang Maha Mulia. Semua kehidupan berasal dan<br />
kembali kepada-Nya. Apa yang terjadi di atas<br />
dunia ini semua atas kuasa dan kehendak-Nya.<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Isma Tantawi<br />
Allah adalah Tuhan semesta alam Yang Maha<br />
Bijaksana menjadikan alam beserta isinya (Al<br />
Ghazali 1997 : 17).<br />
Adanya Allah Swt. tidak berawal dan<br />
tidak berakhir. Adanya Allah Swt. tidak ada yang<br />
menciptakan. Adanya Allah Swt. bersifat abadi<br />
atau kekal. Allah Swt. sebagai Maha Pencipta,<br />
menciptakan alam dan semua isinya. Adanya<br />
benda-benda lain karena ada yang menciptakan;<br />
yaitu Allah Swt. (Hamka 1999 : 629).<br />
Menurut M. Abdul Mujieb AS (1986 : 5)<br />
Allah Swt. yang telah menjadikan segala sesuatu<br />
yang ada di atas alam ini, di dalamnya terdapat<br />
hikmah untuk keperluan makhluk di atas alam ini.<br />
Tidak ada satu persoalan pun yang terlepas dari<br />
kuasa dan kehendak Allah Swt.<br />
Dalam al-Quran (surat Al A’Araaf ayat<br />
54) dijelaskan, sesungguhnya Allah, Tuhan kamu<br />
telah menciptakan langit dan bumi dalam enam<br />
hari. Kemudian Dia berkuasa di atas singasana,<br />
ditutup-Nya malam dengan siang, yang<br />
mengikutinya dengan cepat. Begitu juga Allah<br />
menciptakan matahari, bulan, dan bintang-bintang<br />
yang masing-masing menjalankan kewajibannya<br />
sesuai dengan perintah-Nya. Ingatlah, mencipta<br />
dan memerintah itu adalah hak Allah Swt. dan<br />
Allah Swt. adalah pemimpin alam semesta.<br />
Allah Swt. menurunkan wahyu (agama<br />
Islam) kepada rasul-Nya; yaitu, Nabi Muhammad<br />
Saw. junjungan umat Islam. Kemudian Nabi<br />
Muhammad Saw. wajib menyampaikan kepada<br />
umatnya. Wahyu yang diturunkan Allah Swt.<br />
kepada Nabi Muhammad Saw. adalah Al-Quran<br />
yang terdiri dari 30 juz dan 6666 ayat yang berisi<br />
tentang petunjuk, perintah, dan larangan bagi umat<br />
Islam yang beriman.<br />
Bagi masyarakat Gayo Lues, pelaksanaan<br />
agama Islam bukan sekadar menjalankan rukun<br />
Islam, tetapi semua amalan harus dapat<br />
digambarkan di dalam kehidupan sehari-hari.<br />
Misalnya, untuk menjalankan segala sesuatu<br />
perbuatan harus dimulai dengan nama Allah Swt.<br />
Seperti diceritakan Guru Didong Ramli<br />
Penggalangan (paragraf : 37) dengan nama Allah<br />
Swt. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.<br />
Mari kita berlangkah, kita mulai dengan kaki<br />
kanan supaya ringan kita ikuti dengan kaki kiri.<br />
Masyarakat Gayo Lues mempercayai<br />
bahwa semua yang terjadi di atas alam ini adalah<br />
atas izin dan kuasa Allah Swt. Apa yang terjadi di<br />
langit dan di bumi semuanya atas kuasa dan<br />
kehendak Allah Swt. Kepada-Nya semuanya<br />
berakhir. Apabila Allah Swt. yang menghendaki<br />
tidak ada yang kuasa untuk merobahnya. Allah<br />
Swt. adalah segala-galanya (Ramli Penggalangan,<br />
paragraf : 150).<br />
Halaman 3<br />
Didong Gayo Lues:<br />
Analisis Pemikiran tentang Agama Islam<br />
Kemudian pada bagian yang lain Guru<br />
Didong menguraikan Allah Swt. merupakan<br />
tumpuan kehidupan bagi setiap makhluk. Bagi<br />
makhluk, khusus makhluk manusia yang beriman,<br />
takut kepada Allah Swt., karena segala perbuatan<br />
manusia akan diberi ganjaran oleh Allah Swt.<br />
Perbuatan yang baik akan diberi pahala dan<br />
perbuatan jahat akan diberi dosa, sehingga harus<br />
saling pengertian antara sesama manusia dan<br />
semua perbuatan merupakan amalan kita kepada<br />
Allah Swt. (Idris Cike, paragraf : 152).<br />
Bagi masyarakat Gayo Lues, manusia<br />
hidup di dunia ini merupakan hamba Allah Swt.<br />
dan rahsia Allah Swt. yang tidak dapat kita<br />
ketahui. Manusia hanya menjalankan apa saja yang<br />
dikehendaki oleh Allah Swt. Ada empat rahasia<br />
Allah Swt. seperti dikemukakan oleh Guru Didong<br />
berikut ini:<br />
... Rahasia Allah tidak dapat kita ketahui,<br />
itu pun ada empat perkara; yaitu,<br />
pertama langkah, kedua rezeki, ketiga<br />
pertemuan atau jodoh, dan keempat<br />
maut… (Ramli Penggalangan, paragraf:<br />
43).<br />
Allah Swt. memilki sifat yang Maha<br />
Pencipta, pencipta semua alam semesta, termasuk<br />
menciptakan manusia yang pertama. Masyarakat<br />
Gayo Lues percaya bahwa manusia yang pertama<br />
yang diciptakan oleh Allah Swt. ialah Nabi Adam.<br />
Nabi Adam a.s. tidak berayah dan tidak beribu.<br />
Nabi Adam a.s. diciptakan oleh Allah Swt. (Ramli<br />
Penggalangan, paragraf : 134).<br />
Allah Swt. memilki sifat yang tak<br />
terhingga banyaknya. Oleh karena itu, Allah<br />
bersifat dengan segala kesempurnaan (muttashifun<br />
bi kulli kamal). Namun sifat yang wajib bagi Allah<br />
ada dua puluh macam saja. Sifat dua puluh yang<br />
wajib diketahui; yaitu, 1. Wujud (ada), 2. Qidam<br />
(tanpa ada awal), 3. Baqa’ (kekal), 4. Mukhalafatu<br />
lil-hawadits (tidak sama dengan yang baru), 5.<br />
Qiyamuhu Binafsih (berdiri dengan dirinya<br />
sendiri), 6. Wahdaniyah (esa), 7. Qudrat<br />
(berkuasa), 8. Iradat (berkehendak), 9. Ilmu<br />
(mengetahui), 10. Hayat (hidup), 11. Sama’<br />
(mendengar), 12. Bashar (melihat), 13. Kalam<br />
(berkata-kata), 14. Qadirun (yang berkuasa), 15.<br />
Muridun (yang berkehendak), 16. Alimun (yang<br />
mengetahui), 17. Hayyun ( yang hidup), 18.<br />
Sami’un (yang mendengar), 19. Bashirun (yang<br />
melihat) dan 20. Mutakallimun (yang berkata-kata)<br />
(Moch. Ridha1988 : 12-19).<br />
Dari dua puluh sifat yang wajib bagi<br />
Allah Swt., secara langsung diucapkan Guru<br />
Didong hanya dua sifat yang ada ditemui di dalam<br />
Didong Jalu; yaitu, Qudrat dan Iradat. Masyarakat<br />
Gayo Lues meyakini bahwa penciptaan Nabi<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 4<br />
❏ Isma Tantawi<br />
Adam a.s. merupakan Qudrat (berkuasa) dan<br />
Iradat (kehendak) Allah Swt. Sifat Qudrat dan<br />
Iradat dari Allah Swt. untuk menciptakan nabi dan<br />
manusia yang pertama; yaitu, Nabi Adam a.s.<br />
(Idris Cike, paragraf : 134).<br />
Allah Swt. memiliki sifat Qudrat dan<br />
Iradat untuk menciptakan alam beserta isinya<br />
termasuk menciptakan manusia yang tidak dapat<br />
atau belum dapat diselami oleh otak dan akal<br />
manusia. Manusia hanya membaca dari ayat-ayat<br />
Al-Quran dan diterima karena keyakinan dan<br />
keimanan. Namun manusia masih tetap sulit untuk<br />
membuktikannya secara logika (Baihaqi, 1995 : 6).<br />
2.1.2 Rasul<br />
Ada dua istilah yang sering dikacaukan<br />
pemakainnya. Istilah itu adalah nabi dan rasul.<br />
Nabi adalah orang yang menerima wahyu dari<br />
Allah. Wahyu yang diterimanya untuk dirinya<br />
sendiri dan tidak wajib disampaikan kepada umat.<br />
Rasul adalah orang yang menerima wahyu untuk<br />
dirinya sendiri dan wajib disampaikan kepada<br />
umatnya. Jadi, rasul sudah pasti nabi dan nabi<br />
belum tentu rasul. Nabi jumlahnya tidak dapat<br />
diketahui secara pasti sedangkan rasul yang wajib<br />
diketahui ada dua puluh lima; yaitu: Nabi Adam<br />
a.s., Nabi Idris a.s., Nabi Nuh a.s., Nabi Hud a.s.,<br />
Nabi Shaleh a.s., Nabi Ibrahin a.s., Nabi Luth a.s.,<br />
Nabi Isma’il a.s., Nabi Ishaq a.s., Nabi Yaqup a.s.,<br />
Nabi Yusup a.s., Nabi Ayyub a.s., Nabi Syu’aib<br />
a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Harun a.s., Nabi Ilyassa’<br />
a.s., Nabi Zulkifli a.s., Nabi Daud a.s., Nabi<br />
Sulaiman a.s., Nabi Ilyas a.s., Nabi Yunus a.s.,<br />
Nabi Zakaria.s., Nabi Yahya a.s., Nabi Isa a.s. dan<br />
Nabi Muhammad Saw. (Ma’shum, Tanpa Tahun:<br />
2).<br />
Pandangan orang Gayo Lues tentang rasul<br />
adalah sesuai dengan ajaran agama Islam. Bahwa<br />
rasul yang menerima wahyu dari Allah Swt. dan<br />
wajib menyampaikan kepada umatnya masingmasing.<br />
Misalnya, Nabi Musa a.s. menerima<br />
wahyu kitab Taurad, Nabi Daud a.s. menerima<br />
wahyu kitab Zabur, Nabi Isa a.s. menerima wahyu<br />
kitab Injil, dan Nabi Muhammad Saw. menerima<br />
wahyu kitab Al-Quran dan perintah shalat. Wahyu<br />
al-Quran diterima oleh Rasulullah Muhammad<br />
Saw. di gua Hira’ pada 17 Ramadhan bertepatan<br />
dengan tanggal 6 Agustus 610 Masehi. Perintah<br />
shalat diterima Nabi Muhammad Saw. pada<br />
peristiwa Israk Mikraj pada tanggal 27 Rajab atau<br />
sebelas tahun setelah Nabi Muhammad diangkat<br />
oleh Allah menjadi rasul. Al-Quran berisi tentang<br />
petunjuk bagi umat Islam dan shalat merupakan<br />
ibadah wajib bagi umat Islam.<br />
Rasul (Nabi Muhammad Saw.) adalah<br />
utusan Allah Swt. Wahyu shalat dan Al-Quran<br />
wajib disampaikan kepada umat Islam. Wahyu<br />
Didong Gayo Lues:<br />
Analisis Pemikiran tentang Agama Islam<br />
shalat yang diturunkan tidaklah lengkap seperti<br />
yang kita kenal sekarang ini, terutama cara<br />
pelaksanaan shalat dan sejarah-sejarah turunnya<br />
ayat-ayat Al-Quran. Oleh karena itu, Nabi<br />
Muhammad Saw. selalu memberikan petunjuk<br />
kepada umat Islam. Semua petunjuk yang<br />
diberikan Nabi Muhammad Saw. disebut dengan<br />
hadis.<br />
Hadis dapat dibagi menjadi dua bagian.<br />
Pertama hadis sahih, hadis yang benar dan jelas<br />
sejarah terjadinya dan orang-orang yang<br />
merawikannya. Kedua hadis daif, hadis lemah<br />
karena tidak jelas sejarah terjadi dan perawinya.<br />
Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-<br />
Quran.<br />
Bagi masyarakat Gayo Lues Nabi<br />
Muhammad Swt. adalah junjungan umat Islam.<br />
Umat Islam yang selalu mengharapkan petunjuk<br />
dan syafaatnya. Manusia hanya merencanakan,<br />
keputusaan berada di tangan Allah Swt. dan<br />
lindungan Nabi Muhammad Saw. (Ramli<br />
Penggalangan, paragraf : 01).<br />
Dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues<br />
salah satu pesta suka adalah sunat rasul (khitan),<br />
untuk melaksanakan sunnah. Pesta sukacita yang<br />
diceritakan Guru Didong adalah tentang bersunat<br />
rasul berarti menjalankan sunnah Rasul. Bagi<br />
masyarakat Gayo Lues bersunat rasul merupakan<br />
satu keharusan karena sunah rasul merupakan<br />
dasar yang kedua dalam memahami ajaran agama<br />
Islam (Idris Cike, paragraf : 31).<br />
Masyarakat Gayo Lues sebagai umat<br />
Nabi Muhammad Saw. harus mengasihi dan<br />
menyayangi anak-anak. Anak sebagai buah kasih<br />
sayang antara suami dan isteri dan menjadi<br />
kewajiban bagi orangtuanya untuk membina,<br />
membimbing, dan memenuhi segala keperluan<br />
hidupnya. Orang tua harus dapat menjalankan<br />
kewajiban kepada anak-anaknya, termasuk<br />
tahapan-tahapan acara atau kewajiban kepada<br />
anaknya (Ramli Penggalangan paragraf : 42 dan<br />
43).<br />
Masyarakat Gayo Lues sebagai umat<br />
Nabi Muhammad harus berpikir tentang apa saja<br />
yang ada di sekelilingnya, karena apapun yang<br />
terdapat di sekitar kita, semua bermanfaat dan<br />
dapat digunakan untuk keperluan kehidupan<br />
manusia. Hanya saja manusia dapat berpikir atau<br />
tidak dapat untuk menggunakan semua benda dan<br />
fenomena yang ada (Idris Cike, paragraf : 69).<br />
2.1.3 Malaikat<br />
Masyarakat Gayo Lues memahami<br />
malaikat mengikuti faham agama Islam, bahwa<br />
malaikat sebagai makhluk rohani yang besifat<br />
ghaib, diciptakan dari nur (cahaya), yang selalu<br />
taat, tunduk, dan patuh kepada Allah Swt. dan<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Isma Tantawi<br />
tidak pernah ingkar kepada Allah Swt., tidak<br />
memerlukan makan, minum, dan tidur. Malaikat<br />
adalah makhluk Allah yang paling banyak<br />
jumlahnya dan malaikat yang wajib diketahui ada<br />
10 dan mempunyai tugas masing-masing (Syukur<br />
2001 : 86). Tugas-tugas malaikat itu adalah<br />
sebagai berikut: Malaikat Jibril bertugas untuk<br />
menurunkan wahyu dari Allah Swt. dan<br />
menyampaikan kepada para nabi. Malaikat Mikail<br />
bertugas untuk memberi rezeki kepada seluruh<br />
makhluk Allah Swt. Malaikat Izrail bertugas untuk<br />
mencabut nyawa semua makhluk hidup. Malaikat<br />
Israfil bertugas untuk meniup angin sangkakala.<br />
Malaikat Raqib bertugas untuk mencatat setiap<br />
amal baik. Malaikat Atid bertugas untuk mencatat<br />
semua keburukan dan kejahatan. Malaikat Munkar<br />
dan Nakir bertugas untuk memberikan pertanyaan<br />
di alam kubur. Malaikat Malik bertugas untuk<br />
menjaga neraka. Malaikat Ridwan bertugas untuk<br />
menjaga surga.<br />
Masyarakat Gayo Lues mempercayai<br />
bahwa pada masa Allah Swt. meniupkan roh ke<br />
ubun-ubun Nabi Adam a.s. Para malaikat<br />
menyaksikan dan mendengar ucapan Nabi Adam<br />
a.s. dan malaikat juga menjawab ucapan Nabi<br />
Adam (Idris Cike, paragraf : 124). Menurut Labib<br />
MZ (Tanpa Tahun: 12–14) Nabi Adam a.s.<br />
mengucapkan assalamualaikum (selamat atas<br />
kamu) dan dijawab oleh para malaikat<br />
waalaikumussalam (atas kamu juga selamat).<br />
Hal ini juga digambarkan oleh Hamka<br />
(1999: 7017), bahwa Allah memiliki kekuasaan<br />
yang Maha luas, seperti memasukkan roh ke tubuh<br />
Nabi Adam. Pada masa Allah Swt. meniupkan roh<br />
ke ubun-ubun Nabi Adam a.s. dan Nabi Adam a.s.<br />
dikelilingi dan disaksikan oleh para malaikat.<br />
Seperti diceritakan Guru Didong Idris Cike berikut<br />
ini:<br />
Yang mendengarkan ucapan Nabi Adam,<br />
hal itu sudah pasti Allah dan malaikatmalaikat.<br />
Allah yang memberikan roh<br />
kepada Nabi Adam yang dikelilingi oleh<br />
para malaikat. Jadi, kalau saksinya yang<br />
sahabatku inginkan, itu sudah pasti para<br />
malaikat. Di depan para malaikat<br />
diberikan Allah roh ke ubun-ubun Nabi<br />
Adam (Idris Cike, paragraf : 151).<br />
2.1.4 Roh<br />
Masyarakat Gayo Lues memahami roh<br />
sesuai dengan faham agama Islam, bahwa roh<br />
adalah makhluk ghaib yang diberikan oleh Allah<br />
kepada manusia. Roh akan keluar dari tubuh pada<br />
saat manusia meninggal dunia. Dalam Ensiklopedi<br />
Islam IV (2003 : 174) roh diartikan sebagai zat<br />
murni yang tinggi dan hakikatnya berbeda dengan<br />
tubuh. Tubuh dapat diketahui dengan pancaindera<br />
Halaman 5<br />
Didong Gayo Lues:<br />
Analisis Pemikiran tentang Agama Islam<br />
sedangkan roh menyusup ke dalam tubuh<br />
sebagaimana menyusupnya air di dalam bunga,<br />
tidak larut dan tidak terpecah-pecah. Roh memberi<br />
kehidupan kepada tubuh manusia selama roh<br />
berada dalam tubuh tersebut. Roh adalah sesuatu<br />
yang hidup yang tidak berbadan jasmani, berakal,<br />
budi, dan perasaan serta yang memberi kehidupan<br />
kepada benda wadak (organisma fizik). Jadi, roh<br />
adalah yang berjiwa atau hidup dan memberikan<br />
kehidupan. Tubuh manusia akan meninggal dunia<br />
apabila ditinggalkan roh. Jadi, roh itu memberikan<br />
kehidupan sehingga roh itu sering disebut dengan<br />
nyawa (Daud, 2004: 25). Setelah manusia<br />
meninggal dunia, roh ditempatkan oleh Allah di<br />
alam barzah. Roh yang baik akan menerima<br />
kebaikan dan roh yang jahat akan menerima<br />
siksaan di alam barzah sampai tiba hari kiamat<br />
(Arifin 1977 : 122).<br />
Masyarakat Gayo Lues percaya bahwa<br />
roh itu dimasukkan oleh Allah Swt. ke dalam<br />
tubuh manusia, sehingga manusia dapat<br />
beraktivitas dan berkreativitas seperti mendengar,<br />
melihat, dan berbicara. Seperti dikemukakan Guru<br />
Didong berikut ini:<br />
…Allah membawa roh. Langsung<br />
dimasukkan ke ubun-ubun Nabi Adam.<br />
Sampai ke mata langsung melihat.<br />
Sampai ke hidung langsung mencium.<br />
Sampai ke telinga langsung mendengar.<br />
Sampai ke mulut langsung berbicara...<br />
(Idris Cike, paragraf : 124)<br />
Menurut Labib (1977: 70), roh diberikan<br />
oleh Allah Swt. kepada Nabi Adam a.s. (manusia<br />
asal) setelah jasadnya selesai dibuat dari tanah.<br />
Roh diberikan kepada anak cucu Adam pada masa<br />
manusia berada dalam alam kandungan. Ada<br />
pendapat bahwa roh itu diberikan oleh Allah Swt.<br />
pada masa usia empat bulan dan ada pula<br />
berpendapat pada masa usia empat bulan sepuluh<br />
hari (Baihaqi, 1995 : 26). Kemudian roh dicabut<br />
oleh Allah Swt. jika manusia tidak mampu lagi<br />
untuk menerimanya.<br />
2. 2 Hukum dalam Islam<br />
Islam mempunyai dasar yang kuat berkenaan<br />
dengan hukum. Dasar hukum Islam difahami oleh<br />
masyarakat Gayo Lues adalah sebagai sumber<br />
hukum Islam. Hukum Islam adalah ketentuanketentuan<br />
yang boleh dan yang dilarang di dalam<br />
agama Islam. Hukum Islam disebut juga dengan<br />
hukum syara’ (Labib MZ 1993 : 12).<br />
Menurut Rifa’i, (1978 : 17) dalam agama<br />
Islam, ada empat dasar hukum Islam. Pertama Al-<br />
Quran, kedua hadis, ketiga ijmak dan keempat<br />
qias. Al-Quran merupakan firman Allah. Hadis<br />
merupakan sunnah rasul. Ijmak adalah kesepakatan<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 6<br />
❏ Isma Tantawi<br />
para ulama setelah nabi wafat. Qias adalah<br />
menghubungkan suatu kejadian yang ada<br />
hukumnya dengan peristiwa yang tidak ada<br />
hukumnya, karena antara kejadian yang ada<br />
hukumnya dengan yang tidak ada hukumnya itu<br />
terdapat kesamaan sebab (illat). Sumber hukum<br />
Islam yang ditemui di dalam Didong Jalu adalah<br />
seperti di bawah ini.<br />
Bagi masyarakat Gayo Lues untuk<br />
memahami agama Islam, ada empat dasar yang<br />
selalu digunakan sebagai pedoman. Pertama, dasar<br />
hukum Al-Quran. Al-Quran merupakan firman<br />
Allah Swt. yang mengandung petunjuk bagi<br />
hamba-Nya untuk menjalankan syariat Islam<br />
secara benar. Al-Quran sebagai sumber hukum<br />
Islam pertama dan yang utama (Salleh 1995 : 151).<br />
Dalam Al-Quran dijelaskan mana yang boleh dan<br />
yang tak boleh dikerjakan (Ramli Penggalangan,<br />
paragraf : 93).<br />
Kedua, dasar hukum hadis. Hadis<br />
merupakan semua petunjuk yang diberikan Nabi<br />
Muhammd Saw. dan dirawikan oleh para sahabat<br />
nabi. Bagi masyarakat Gayo Lues hadis digunakan<br />
sebagai pedoman memahami agama Islam. Ilmu<br />
agama yang disampaikan harus memiliki pedoman,<br />
supaya apa saja yang kita sampaikan kepada<br />
masyarakat dapat menjadi pedoman dan difahami<br />
oleh masyarakat secara jelas. Hadis adalah dasar<br />
hukum yang kedua yang tidak boleh diabaikan,<br />
karena hadis mengandung petunjuk dan penjelasan<br />
tentang agama Islam (Ramli Penggalangan,<br />
paragraf : 85).<br />
Ketiga, dasar hukum ijmak. Dasar ijmak<br />
adalah keputusan para ulama setelah nabi wafat.<br />
Setelah Nabi Muhammad Saw. wafat hingga<br />
sampai hari ini, masih banyak timbul masalah<br />
tentang agama. Ulama sebagai khalifah dapat<br />
memberikan keputusan untuk sesuatu perkara yang<br />
timbul pada pemeluk agama. Jika ada keputusan<br />
para ulama, ia harus menjadi pedoman dalam<br />
memahami agama Islam (Ramli Penggalangan,<br />
paragraf : 99).<br />
Keempat, dasar hukum qias ini digunakan<br />
karena tidak semua masalah agama diterangkan<br />
secara jelas dalam Al-Quran dan hadis. Jadi,<br />
pekara-pekara yang tidak jelas ini selalu<br />
dihubungkan dengan pakara yang sudah jelas<br />
ketentuan dan hukumnya. Qias juga sebenarnya<br />
adalah hasil musyawarah para ulama. Hasil<br />
musyawarah ulama ini harus menjadi pedoman<br />
untuk memahami agama Islam (Ramli<br />
Penggalangan, paragraf: 05).<br />
Menurut Yahya (1988: 9–10), hukum<br />
Islam ada lima perkara; yaitu, wajib, sunnat,<br />
haram, makruh, dan harus. Wajib, jika dikerjakan<br />
mendapat pahala dan ditinggalkan berdosa. Sunat,<br />
jika dikerjakan berpahala dan ditinggalkan tidak<br />
Didong Gayo Lues:<br />
Analisis Pemikiran tentang Agama Islam<br />
berdosa. Haram, jika ditinggalkan berpahala dan<br />
dikerjakan berdosa. Makruh, jika dikerjakan tidak<br />
berdosa dan ditinggalkan berpahala. Harus, jika<br />
dikerjakan tidak berpahala dan ditinggalkan tidak<br />
berdosa.<br />
Menurut Gazalba (1974 : 203), ada lima<br />
ukuran dalam agama Islam, yang akan menentukan<br />
apakah diterima atau ditolak; yaitu, Pertama, baik<br />
(nilai hukumnya wajib), kedua, setengah baik<br />
(nilai hukumnya sunat), ketiga, tidak baik dan<br />
tidak buruk (nilai hukumnya harus), keempat<br />
setengah buruk (nilai hukumnya makruh), dan<br />
kelima, buruk (nilai hukumnya haram).<br />
Bagi masyarakat Gayo Lues, kelima-lima<br />
hukum dalam Islam ini selalu menjadi pedoman<br />
dalam menjalankan perintah dan larangan Allah<br />
Swt. dalam agama Islam. Kelima-lima hukum<br />
Islam dapat diperoleh di dalam Didong Jalu seperti<br />
berikut ini.<br />
Hukum Islam pertama adalah haram.<br />
Pada masyarakat Gayo Lues ada sekelompok<br />
masyarakat yang disebut sebagai cerdik pandai.<br />
Seperti dikemukan Ramli Penggalangan, (paragraf:<br />
22) bahwa cerdik pandai ini kelompok masyarakat<br />
yang harus memahami haram, karena kelompok<br />
tersebut berperanan untuk menentukan ukuran.<br />
Ukuran isi seperti satu are (takaran beras atau padi<br />
dibuat dari bambu, isi dua liter) berisi empat kal<br />
(takaran beras dibuat dari batok kelapa isi setengah<br />
liter). Ukuran panjang adalah hasta, satu hasta<br />
panjangnya dua jengkal. Hasta berguna untuk<br />
mengukur panjang. Genggaman berguna untuk<br />
memenuhkan. Pelingkut (alat untuk meratakan<br />
takaran, dibuat dari kayu atau rotan) berguna untuk<br />
meratakan. Neraca berguna untuk menimbang.<br />
Semua alat ukur yang digunakan supaya tidak<br />
lebih dan tidak kurang. Jika lebih atau kurang<br />
dalam takaran dan timbangan akan menimbulkan<br />
haram bagi yang melakukannya.<br />
Hukum Islam kedua adalah makruh.<br />
Hukum makruh harus dipahami supaya tidak<br />
terjadi perbedaan pendapat tentang makruh.<br />
Supaya dapat membedakan antara satu hukum<br />
Islam dengan hukum Islam lainnya (Ramli<br />
Penggalangan, paragraf : 118).<br />
Hukum Islam ketiga adalah harus.<br />
Kelompok masyarakat ulama cerdik pandai harus<br />
dapat menetapkan ketentuan hukum. Dalam<br />
hukum tidak boleh menimbulkan keragu-raguan.<br />
Hukum Islam harus pasti. Jika hukumnya harus,<br />
harus tetap harus. Tidak boleh diubah-ubah (Idris<br />
Cike, paragraf : 15).<br />
Hukum Islam keempat adalah wajib. Bagi<br />
masyarakat Gayo Lues memegang teguh hukum<br />
Islam wajib. Masyarakat Gayo Lues meyakini jika<br />
ibadah wajib ditinggalkan akan mendapat dosa dan<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Isma Tantawi<br />
dikerjakan akan mendapat pahala (Ramli<br />
Penggalangan, paragraf : 95).<br />
Hukum Islam kelima adalah sunat. Ibadah<br />
sunat rasul dikerjakan karena masyarakat Gayo<br />
Lues meyakini jika dikerjakan berpahala dan<br />
ditinggalkan tidak berdosa, sehingga masyarakat<br />
Gayo Lues melaksanakan ibadah sunat di dalam<br />
kehidupan sehari-hari, karena akan dapat<br />
menambah pahala (Idris Cike, paragraf : 31).<br />
2. 3 Amalan dalam Islam<br />
Bagi masyarakat Gayo Lues amalan adalah semua<br />
perbuatan yang baik di dalam kehidupan seharihari.<br />
Menurut Arbak Othman (1999 : 12) amalan<br />
adalah perbuatan baik yang sesuai dengan tuntunan<br />
agama. Dalam agama Islam, amalan merupakan<br />
sesuatu yang utama. Memahami agama Islam<br />
tanpa diamalkan tidak akan berarti apa-apa.<br />
Amalan yang diterima oleh Allah Swt. adalah<br />
amalan yang dikerjakan secara ikhlas. Bagi<br />
masyarakat Gayo Lues apa saja yang dilakukan<br />
dalam kebaikan merupakan amalan kepada Allah<br />
Swt. dan diyakini semua perbuatan baik sebagai<br />
amalan akan mendapat pahala bagi yang<br />
melaksanakannya. Oleh karena itu, semua<br />
pengabdian akan bermanfaat dan menjadi amalan<br />
(Idris Cike, paragraf : 152).<br />
Manusia sebagai makhluk Allah yang<br />
memiliki segala kelemahan, keterbatasan, dan<br />
kesilapan, maka manusia selalu melakukan<br />
kesalahan-kesalahan antara sesama manusia di<br />
dalam kehidupan. Misalnya, salah ucap atau salah<br />
dengar. Oleh karena itu, manusia harus saling<br />
memaafkan, supaya tidak merusak amalan yang<br />
baik dan dapat menimbulkan perasaan senang hati<br />
sesama manusia serta tidak berdosa kepada Allah.<br />
Seperti yang diceritakan Guru Didong berikut ini:<br />
Sahabatku sudah mohon maaf kepada<br />
diriku. Diriku pun akan mohon maaf<br />
kepada dirimu. Didong kita sudah selesai.<br />
Mungkin ada saya yang salah berbicara,<br />
dirimu salah dengar atau diriku salah<br />
dengar dan sahabatku salah berbicara. Oleh<br />
karena itu, saya mohon maaf kepada<br />
dirimu, supaya tidak menjadi penghalang<br />
amalan baik yang sudah saya kerjakan.<br />
Diriku memiliki sifat yang sering silap dan<br />
lupa. Supaya jangan salah kepada ayah, ibu<br />
dan masyarakat serta tidak berdosa kepada<br />
Allah (Idris Cike, paragraf : 162).<br />
Berdasarkan faham orang Gayo Lues, Idil<br />
Fitri hari raya umat Islam yang disambut pada<br />
setiap tanggal 1 Syawal, setelah melaksanakan<br />
ibadah puasa pada setiap tahun. Idil Fitri disambut,<br />
karena bagi umat Islam telah selamat menjalankan<br />
ibadah puasa pada bulan Ramadhan; yaitu, ibadah<br />
Halaman 7<br />
Didong Gayo Lues:<br />
Analisis Pemikiran tentang Agama Islam<br />
yang dapat menghapuskan dosa-dosa, kecuali dosa<br />
syirik. Oleh karena itu, Idil Fitri disambut umat<br />
Islam untuk saling bermaafan.<br />
Bagi masyarakat Gayo Lues juga Idil Fitri<br />
selalu dimanfaatkan untuk saling memaafkan.<br />
Bertujuan untuk menghapuskan segala dosa antara<br />
sesama manusia yang pernah terjadi pada masa<br />
yang lalu. Kemudian juga masyarakat Gayo Lues<br />
meyakini dalam menjalankan ibadah puasa telah<br />
dapat menghapuskan dosa kepada Allah Swt.<br />
Untuk menghapuskan dosa antara sesama manusia<br />
harus saling memaafkan, terutama pada Idil Fitri<br />
(Idris Cike, paragraf : 139).<br />
Pada masyarakat Gayo Lues, doa<br />
diartikan sebagai permintaan atau permohonn<br />
kepada Allah Swt. bertujuan untuk menghapuskan<br />
dosa-dosa yang ada, akibat perbuatan yang<br />
dikerjakan tidak sesuai dengan perintah agama<br />
Islam dan memohon kepada Allah Swt. agar<br />
memberikan sesuatu, seperti kesehatan, rezeki,<br />
kemudahan, dan lain-lain. Di dalam Didong Jalu<br />
ini doa yang disampaikan oleh Guru Didong<br />
supaya selesai acara perkawinan seperti berikut ini:<br />
Dengan nama Allah Yang Maha<br />
Pengasih dan Penyanyang. Satu, dua,<br />
tiga, empat, lima, enam, tujuh. Pertama<br />
selesai, kedua selesai, ketiga selesai,<br />
keempat selesai, kelima selesai, keenam<br />
selesai, ketujuh selesailah pesta. Jika ada<br />
pun hajatan, pihak tuan rumah, sudah<br />
dipenuhi. Ke langit tidak berpucuk, ke<br />
bumi tidak berakar (Ramli Penggalangan<br />
paragraf : 46).<br />
Kemudian pada bagian yang lain Guru<br />
Didong Idris Cike (paragraf : 13) menjelaskan<br />
bahwa orang tua mendoakan kita, supaya kita<br />
selamat dalam kehidupan di dunia dan selamat<br />
dalam kehidupan di akhirat. Bagi masyarakat Gayo<br />
Lues doa orang tua sangat dipercayai akan<br />
membawa pengaruh yang baik kepada kehidupan<br />
anak-anaknya.<br />
2. 4 Dosa dan Taubat<br />
Dosa adalah ganjaran atau balasan perbuatan yang<br />
salah atau melanggar hukum-hukum Islam dan<br />
ketentuan-ketentuan di dalam agama Islam. Taubat<br />
adalah kembali ke jalan Allah atau kembali kepada<br />
hukum-hukum Islam dan ketentuan-ketentuan<br />
agama. Dalam Didong Jalu ditemui tentang dosa<br />
dan taubat.<br />
Masyarakat Gayo Lues menyakini bahwa<br />
semua perbuatan yang salah akan mendapat dosa<br />
dari Allah Swt. Guru Didong Idris Cike<br />
menceritakan agar semua yang dikerjakan harus<br />
berpedoman kepada Al-Quran, hadis, ijmak, dan<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 8<br />
❏ Isma Tantawi<br />
qias supaya tidak berdosa kepada Allah Swt.<br />
seperti berikut ini:<br />
…Jika pertanyaan agama harus<br />
berpedoman kepada Al-Quran, hadis,<br />
ijmak dan qias. Jika masalah adat harus<br />
berpedoman kepada dasar pemikiran,<br />
peraturan, kebiasaan, dan petunjuk raja.<br />
Supaya tidak berdosa kepada Allah,<br />
supaya tidak menjadi hujatan masyarakat<br />
yang hadir di tempat persembahan ini…<br />
(Idris Cike, paragraf: 08).<br />
Masyarakat Gayo Lues juga menyakini<br />
bahwa manusia memiliki sifat keterbatasan dan<br />
kelemahan, sehingga sering melakukan kesalahan<br />
dan kekeliruan yang dapat menimbulkan dosa.<br />
Dosa dapat dihapuskan dengan jalan bertaubat<br />
kepada Allah dan akan diampuni oleh Allah Swt.<br />
(kecuali dosa besar, syirik) dengan ketentuan, tidak<br />
akan mengulangi lagi. Guru Didong Ramli<br />
Penggalangan (paragraf : 05) menceritakan, jika<br />
kita bersalah harus bertaubat, supaya selamat<br />
hidup di dunia dan di akhirat.<br />
2. 5 Alam Akhirat<br />
Masyarakat Gayo Lues menyakini bahwa alam<br />
terbagi kepada empat bagian; yaitu, alam<br />
kandungan, alam dunia, alam kubur (barzah), dan<br />
alam akhirat. Alam akhirat atau alam baka terjadi<br />
setelah alam barzah. Pada alam akhirat ditemui dua<br />
tempat; yaitu, surga dan neraka. Surga adalah<br />
tempat bagi orang-orang yang beramal baik dan<br />
meninggalkan larangan Allah Swt. pada masa<br />
hidup di dunia. Neraka adalah tempat bagi orangorang<br />
yang ingkar kepada Allah Swt. pada masa<br />
hidup di dunia. Alam akhirat adalah alam yang<br />
terakhir dan kekal untuk selama-lamanya (Umar<br />
1980 : 22).<br />
Di dalam Didong Jalu ini tidak dijelaskan<br />
alam akhirat secara terperinci, tetapi dalam Didong<br />
Jalu ini dijelaskan pada masa hidup di dunia<br />
supaya menjalankan agama Islam harus<br />
berpedoman kepada al-Quran, hadis, ijmak, dan<br />
qias, supaya selamat di dalam alam akhirat (Ramli<br />
Penggalangan, paragraf : 156).<br />
Masyarakat Gayo Lues menyakini bahwa<br />
semua perbuatan yang salah akan menjadi beban di<br />
alam akhirat. Seperti diceritakan Guru Didong<br />
berikut ini:<br />
Antara saya dengan dirimu, mungkin ada<br />
yang kurang menyenangkan perasaan,<br />
saya mohon kepada dirimu untuk saling<br />
memaafkan. Supaya jangan menjadi<br />
beban kita nanti di alam akhirat. Saat ini<br />
saya memohon maafmu, pada malam<br />
yang berbahagia ini (Idris Cike, paragraf:<br />
160).<br />
Didong Gayo Lues:<br />
Analisis Pemikiran tentang Agama Islam<br />
Pada cerita Didong Jalu ini hanya ditemui<br />
alam syurga saja. Masyarakat Gayo Lues meyakini<br />
adanya syurga, seperti diceritakan Guru Didong<br />
bahwa tanah asal untuk muka Nabi Adam a.s.<br />
berasal dari tanah surga (Idris Cike, paragraf :<br />
148).<br />
3. SIMPULAN<br />
Setelah dilakukan kajian pemikiran tentang agama<br />
Islam di dalam Didong Jalu, maka dapat diambil<br />
kesimpulan sebagai berikut: Pertama, masyarakat<br />
Gayo Lues meyakini bahwa Allah Swt. sebagai<br />
pencipta alam dan seluruh isinya. Allah adalah<br />
sumber segala kehidupan. Kedua, Rasul (Nabi<br />
Muhammad) merupakan tuntunan bagi masyarakat<br />
Gayo Lues dalam melaksanakan ibadah Islam.<br />
Ketiga, masyarakat Gayo Lues meyakini ada<br />
malaikat-malaikat yang bertugas sesuai dengan<br />
perintah Allah Swt. Keempat, roh diyakini<br />
masyarakat Gayo Lues diberikan oleh Allah Swt.<br />
kepada Nabi Adam a.s. Kelima, masyarakat Gayo<br />
Lues menyakini ada empat dasar untuk<br />
menentukan hukum Islam. Dasar-dasar hukum<br />
Islam; yaitu, Al-Quran, hadis, ijmak, dan qias.<br />
Dalam Islam ada lima hukum Islam yang menjadi<br />
pedoman untuk melaksanakan ibadah sesuai<br />
dengan agama Islam. Hukum Islam adalah wajib,<br />
sunat, harus, makruh, dan haram. Keenam,<br />
masyarakat Gayo Lues meyakini bahwa agama<br />
Islam tidak berarti apa-apa, jika tidak diamalkan<br />
secara ikhlas. Amalan yang tergambar dalam<br />
Didong Jalu adalah pada saat Idil Fitri harus saling<br />
memaafkan dan doa adalah untuk memohon<br />
keampunan kepada Allah Swt. serta memohonkan<br />
kemudahan dari-Nya. Ketujuh, alam akhirat<br />
diyakini masyarakat Gayo Lues akan ada setelah<br />
alam dunia ini. Dalam alam akhirat ada surga,<br />
tempat bagi hamba Allah yang menjalankan<br />
perintah dan meninggalkan larangan-Nya.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Al Ghazali, Muhammad.1997. Akhlak Seorang<br />
Muslim. Slangor: Thinker’s Library.<br />
Ara, L.K.1995. Seulaewah, “Antologi Sastra Aceh<br />
Sekilas Pintas”. Jakarta: Yayasan Nusantara<br />
Arifin, Bey. 1977. Hidup Sesudah Meninggal<br />
Dunia. Singapura: Pustaka Nasional.<br />
AS, M. Abdul Mujieb. 1986. Lubabun Nuzul fi<br />
Asbabun Nuzul. Rembang: Darul Ihya.<br />
Azyumardi, Azra dkk. 2003. Ensiklopedi Islam I.<br />
Jakart: Ichtiar Baru Van Hoeve.<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Isma Tantawi<br />
Azyumardi, Azra dkk. 2003. Ensiklopedi Islam IV.<br />
Jakart: Ichtiar Baru Van Hoeve.<br />
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra<br />
Sebuah Pengantar Ringkas Jakarta:<br />
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.<br />
Daud, Haron. 2001. Mantera Malayu Analisis<br />
Pemikiran. Pulau Pinang:Universiti Sains<br />
Malaysia.<br />
Daud, Haron. 2004. “Kesusastraan Sebagai<br />
Sumber Ilmu”.Dalam Jelani Harun. Ilmu<br />
Kesusasteraan Abad Ke-21. Pulau Pinang:<br />
Universiti Sains Malaysia.<br />
Gazalba, Sidi. 1974. Sistematika Falsafah. Kuala<br />
Lumpur. Utusan Melayu Berhad.<br />
Hanafiah, Sulaiman.1984. Sastra Lisan Gayo.<br />
Jakarta: Departemen Pendidikan dan<br />
Kebudayaan.<br />
Hamka. 1999. Tafsir Al Azhar IX. Singapura:<br />
Pustaka Nasional.<br />
Hauser, Arnold. 1982. The Sosiology of Art.<br />
London: The Universiti of Chicago Press.<br />
Jakob Sumarjo. 1979. Masyarakat dan Sastra<br />
Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya.<br />
Nusantara.<br />
Labib, Muhammad. 1977. Hari Akhirat.<br />
Singapura: Pustaka Nasional.<br />
Ma’shum Tanpa Tahun. Kisah Teladan 25 Nabi<br />
dan Rasul. Jakarta: Bintang Fajar.<br />
Halaman 9<br />
Didong Gayo Lues:<br />
Analisis Pemikiran tentang Agama Islam<br />
Melalatoa, M.J.1985. Kamus Bahasa Gayo-<br />
Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan<br />
dan Kebudayaan.<br />
MZ, Labib. 1993. Risalah Solat Lengkap, Disertai<br />
Doa, Zikir dan Wirid. Surabaya: Tiga Dua.<br />
MZ, Labib. Tanpa Tahun. Penciptaan Nur<br />
Muhammad Sebelum Kejadian Makhluk.<br />
Surabaya: Bintang Usaha Jaya.<br />
Othman, Arbak.1999. Kamus Bahasa Melayu.<br />
Shah Alam: Fajar Bakti.<br />
Rifa’I, Moh.1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap.<br />
Semarang: Karya Toha Putra.<br />
Salleh, Ahmad B. Muhammad.1995. Pendidikan<br />
Islam. Kuala Lumpur: Fajar Bakti<br />
Sujitno, Sutejo.1995. Aceh Masa Lalu, Kini dan<br />
Masa Depan. Banda Aceh: Sekretariat<br />
Gubernur Daerah Istimewa Aceh.<br />
Syukur, Abdul. 2001. Rahasia Hidup Setelah<br />
Meninggal dunia. Kuala Lumpur: Jasmin<br />
Enterprise.<br />
Taslim, <strong>No</strong>riah. Tanpa Tahun. “Bengkel Kajian<br />
Naskah Kesustraan Melayu <strong>III</strong>”. Alor Setar:<br />
Anjuraan Dewan Bahasa dan Pustaka.<br />
Umar, M. Ali Chasan.1980. Alam Kubur (Barzah).<br />
Singapore: Alharamain.<br />
Yahya, Habib Usman.1988. Awaluddin Sifat<br />
Duapuluh. Jakarta: S.A. Alaydrus.<br />
Warton, Thomas. 1974. History of English Poetry.<br />
London: The Universiti of Chicago Press.<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 10<br />
❏ Nurhayati Harahap<br />
Makna Hata-Hata Jampi<br />
dalam Bahasa Angkola Mandailing<br />
MAKNA HATA-HATA JAMPI DALAM BAHASA<br />
ANGKOLA MANDAILING<br />
Nurhayati Harahap<br />
Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />
Abstract<br />
Jampi word is a set of words that has an interrelation and those are meaningfulness. Jampi<br />
word consists of verses and each verse has unfinite lines, in this case, it can be two to six<br />
lines. The set of words are so chosen alertly and when it was altered, there will be magical<br />
empowerment within these utterances.<br />
Key words: jampi word, magical empowerment, utterances<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Warisan budaya kita sangat beragam yang<br />
seharusnyalah dihindarkan dari kepunahan. Hatahata<br />
jampi adalah salah satu warisan budaya yang<br />
terdapat di wilayah pemakian bahasa Angkola<br />
Mandailing, yaitu suatu wilayah pemakaian bahasa<br />
di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Mandailing<br />
Natal. Hata-hata jampi digunakan oleh<br />
pemakainya untuk tujuan tertentu (special<br />
purpose), yaitu untuk mengobati penyakit tertentu<br />
dengan diiringi oleh benda-benda tertentu. Hatahata<br />
jampi adalah rangkaian kata-kata yang saling<br />
berhubungan dan semuanya bermakna sehingga<br />
tidak ada yang disebut sampiran seperti halnya<br />
pantun. Hata-hata jampi terdiri atas bait-bait yang<br />
jumlah barisnya setiap bait tidak tetap atau tidak<br />
sama, yang hasil temuan penelitian ini berkisar<br />
antara dua sampai enam baris. Rangkaian katakatanya<br />
dipilih sedemikian rupa sehingga ketika<br />
mengucapkannya diharapkan ada daya magis di<br />
dalamnya.<br />
Sekarang ini hata-hata jampi sudah mulai<br />
dilupakan. Bisa jadi karena sudah<br />
memasyarakatnya pengobatan medis. Hal ini<br />
menyebabkan sedikitnya atau langkanya pemakai<br />
bahasa Angkola Mandailing sekarang ini yang<br />
menguasai hata-hata jampi. Bahkan adanya ragam<br />
kata ini dalam bahasa Mandailing sudah jarang<br />
pemakainya yang tahu. Ketika peneliti<br />
mengumpulkan data penelitian ini banyak yang<br />
bertanya, “Seperti apa hata-hata jampi itu?”.<br />
Kalaupun ada yang menguasainya, tidak<br />
menurunkannya dengan baik, dalam arti, yang<br />
mewarisinya mempunyai perhatian yang besar<br />
terhadap hata-hata jampi sehingga akan diingatnya<br />
dengan baik. Dengan keadaan ini bisa diperkirakan<br />
bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi,<br />
hata-hata jampi akan hilang, yang akan berakibat<br />
punahnya salah satu warisan pendahulu kita.<br />
Demikian juga di berbagai perpustakaan yang<br />
dikunjungi, sepanjang pencarian peneliti, tidak ada<br />
buku-buku di perpustakaan yang menuliskan<br />
tentang hata-hata jampi ini, termasuk pada bagian<br />
deposit. Oleh karena itu, selayaknyalah hata-hata<br />
jampi ini mendapat perhatian untuk diwacanakan<br />
dalam berbagai kesempatan yang mendukung<br />
dalam konteks pembicaraan bahasa dan sastra,<br />
khususnya bahasa Angkola Mandailing.<br />
Penelitian ini bertujuan menyajikan hatahata<br />
jampi yang dapat diinventarisir. Selain<br />
menginventarisir, dilakukan juga kajian makna,<br />
baik makna harfiahnya maupun makna konteks.<br />
Perlunya kajian makna konteks ini karena untuk<br />
dapat memahami kata-kata yang digunakan dalam<br />
hata-hata jampi, harus diketahui hubungan di<br />
antara kata-katanya. Untuk itu terutama diperlukan<br />
pengetahuan lingkungan Angkola Mandailing<br />
karena pemilihan kata-kata hata-hata jampi sangat<br />
dekat dengan lingkungannya.<br />
Populasi penelitian adalah pemakai<br />
bahasa Angkola Mandailing yang sudah berusia<br />
lanjut dan dianggap memiliki kemampuan untuk<br />
memberikan informasi tentang data penelitian<br />
yang ditentukan secara purposif. Hasil penelitian<br />
berupa hata-hata jampi yang dapat diinventarisir<br />
disajikan dengan terlebih dahulu menuliskan hatahata<br />
jampinya dalam bahasa Angkola Mandailing,<br />
kemudian penjelasan tentang benda yang<br />
menyertai pembacaannya. Selanjutnya adalah<br />
terjemahannya. Setelah terjemahannya, dilanjutkan<br />
dengan penjelasan tentang makna harfiah sekaligus<br />
makna konteksnya.<br />
2. HASIL PENELITIAN<br />
Dari hasil pengumpulan data, ada sepuluh hatahata<br />
jampi yang dapat diinventarisir, yaitu:<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Nurhayati Harahap<br />
1) Menghilangkan sakit karena tertelan duri<br />
2) Menunda atau mengalihkan hujan<br />
3) Menguatkan semangat pengantin<br />
4) Mengobati rasa sakit karena absus atau<br />
infeksi (bernanah)<br />
5) Membuat tegang (diam tak bergerak)<br />
6) Pelet untuk disenangi orang lain<br />
7) Pemanis<br />
8) Mengobati yang terkejut<br />
9) Menguatkan pukulan (untuk bertinju)<br />
10) Mengobati sakit yang digigit penyengat<br />
Dari sepuluh hata-hata jampi yang dapat<br />
diinvetarisir, semuanya mempunyai tujuan yang<br />
berbeda. Sebelum popular pengobatan secara<br />
medis, hata-hata jampi sangat berperan dalam<br />
masyrakat AM dalam hal mengobati penyakit.<br />
Salah seorang responden mengisahkan bagaimana<br />
besarnya pengorbanan, baik dalam bentuk materi<br />
maupun fisik, yang dibayar atau dilakukannya<br />
untuk mendapatkan sebuah hata-hata jampi.<br />
Pengorbanan dalam bentuk materi misalnya, harga<br />
sebuah hata-hata jampi, kalau disetarakan dengan<br />
nilai uang sekarang bernilai ratusan ribu rupiah.<br />
Dalam bentuk fisik, seorang yang akan diwariskan<br />
hata-hata jampi harus melakukan beberapa ritual<br />
tertentu. Jadi, seseorang ingin mendapatkan hatahata<br />
jampi harus bersusah payah.<br />
Seseorang yang menguasai hata-hata<br />
jampi tidak akan mempopulerkan atau<br />
memberitahukannya atau mewariskannya kepada<br />
sembarang orang. Biasanya orang yang paling<br />
dekat kepadanyalah, misalnya anaknya, yang<br />
dipilihnya untuk mewarisi hata-hata jampi yang<br />
dimilikinya. Masih menurut responden yang sama,<br />
si responden mendapatkan warisan hata-hata<br />
jampi yang dimilikinya dari orang tuanya ketika<br />
orang tuanya merasa umurnya tidak lama lagi.<br />
Karena tidak sembarangnya orang yang dapat<br />
mengusainya, hata-hata jampi ini relatif sulit<br />
diinventarisir.<br />
Disamping kesulitan menjumpai orang<br />
yang menguasainya, kendala yang dirasakan<br />
adalah kerahasiannya. Seperti yang telah dikatakan<br />
sebelumnya bahwa orang yang menguasainya<br />
tidak mudah mendapatkannya sehingga dia juga<br />
tidak akan dengan mudah memberitahukannya<br />
kepada orang lain, apalagi yang bukan orang<br />
dekatnya. Karena dianggap dapat mencapai tujuan<br />
tertentu sehingga dianggap barang berharga, tidak<br />
semua orang yang menguasainya mau membagi<br />
atau memberitahukan ilmunya kepada sembarang<br />
orang.<br />
Pengucapan setiap hata-hata jampi selalu<br />
disertai dengan benda-benda tertentu, namun yang<br />
paling banyak digunakan adalah air liur. Hal ini<br />
disebabkan air liur mudah dan cepat<br />
Halaman 11<br />
Makna Hata-Hata Jampi<br />
dalam Bahasa Angkola Mandailing<br />
memperolehnya karena dimiliki setiap orang.<br />
Selain air liur, tumbuh-tumbuhan yang ada di<br />
sekitar tempat tinggal masyarakat seperti daundaunan<br />
juga sering digunakan. Namun yang agak<br />
berbeda adalah celana dalam wanita. Benda–benda<br />
digunakan karena adanya persamaan fungsi<br />
dengan yang dimaksudkan.<br />
Sesudahnya masuknya agama Islam,<br />
hata-hata jampi dalam bahasa AM tidak langsung<br />
ditinggalka, hanya saja pemakaiannya berkurang.<br />
Selain itu, terjadi asimilasi, yaitu menambahkan<br />
unsur-unsur agama Islam dalam pembacaan hatahata<br />
jampi sehingga sesudah agama Islam masuk<br />
banyak pembacaan hata-hata jampi yang dimulai<br />
dengan bacaan Bismillahirohmanirrohim, bahkan<br />
ada sebagian besar kata-katanya dari bacaan Al<br />
Qur’an. Adanya asimilasi ini menunjukkan begitu<br />
eratnya hubungan keduanya dalam masyarakat<br />
Memahami makna komteks yang terdapat<br />
dalam hata-hata jampi bukan hal yang mudah.<br />
Untuk memahaminya sangat diperlukan<br />
pengetahan lingkungan sekaligus pengetahuan<br />
budaya, sejarah, serta pengetahuan antara kata-kata<br />
yang digunakan dengan tujuan atau maksud hatahata<br />
jampi.<br />
Di bawah ini diuraikan fungsi dan makna<br />
hata-hata jampi dalam AM yang dapat<br />
diinventarisir:<br />
2.1 Menghilangkan Sakit karena Tertelan Duri<br />
Manuk sirasiapas<br />
Daon ni na tarholi<br />
Songoni na hona tabas<br />
‘Ayam si rasiapas\<br />
Obat yang kena tulang<br />
Seperti itu pula yang kena guna-guna’<br />
Sesudah dibacakan hata-hata jampi ini,<br />
diminumkan air segelas. Sesudah agama Islam<br />
masuk ke wilayah AM, ditambahkan ucapan<br />
Bismillahirrohmanirrohim sebelum membacakan<br />
hata-hata jampinya.<br />
Dalam hata-hata jampi untuk<br />
menghilangkan duri (biasanya ikan) dan rasa sakit<br />
yang ditimbulkannya ini, pada baris pertama<br />
pemisalannya digunakan ayam yang berasal dari<br />
suatu tempat yang berada di dekat suatu sungai<br />
yang bernama sungai Rasiapas, yaitu sungai yang<br />
membelah Desa Panompuan, di Kecamatan Pasar<br />
Matanggor, di sekitar Desa Aek Godang, yang<br />
disebut manuk sirasiapas ‘ayam sirasiapas.<br />
Adapun sungai Sirasiapas ini adalah pecahan dari<br />
sungai Aek Godang. Pemisalan terhadap ayam dari<br />
sungai Rasiapas ini karen ayam yang hidup di<br />
sekitar sungai ini dan umumnya Desa Panompuan<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 12<br />
❏ Nurhayati Harahap<br />
ini relatif sehat-sehat dan tahan terhadap penyakit.<br />
Hal ini disebabkan banyaknya angin di tempat ini<br />
sehingga kuman-kuman penyakit yang berasal dari<br />
ayam akan cepat diterbangkan angin sehingga<br />
ayam-ayam dimaksud jarang kena penyakit.<br />
Demikian juga karena kesehatannya yang baik,<br />
ayam-ayam dari tempat ini telurnya relatif banyak.<br />
Jadi, nama ayam rasiapas ini sama baiknya dengan<br />
durian sidikalang yang terkenal keenakannya dan<br />
kepadatan isinya. Jadi, pemisalan terhadap ayam<br />
ini dimaksudkan agar sikorban yang terkena duri<br />
ikan tahan terhadap penyakit seperti halnya ayam<br />
si rasiapas.<br />
Pada baris kedua, langsung pada<br />
sasarannya yaitu, daon ni na tarholi ‘obat yang<br />
kena duri, yang biasanya duri ikan’. Kalau<br />
kesehatan baik, badan akan tahan terhadap<br />
penyakit sekaligus rasa sakit karena daya tahan<br />
tubuh yang tinggi.<br />
Pada baris ketiga dikuatkan lagi manfaat<br />
yang disebabkan oleh kesehatan tubuh yang baik<br />
ini, yaitu tahan juga terhadap penyakit yang<br />
disebabkan guna-guna, songoni muse na hona<br />
tabas ‘seperti itu juga yang kena guna-guna’.<br />
Dengan mengucapkan hata-hata jampi ini<br />
si penderita diharapkan tidak akan mengalami<br />
kesakitan lagi. Demikian juga duri dari<br />
kerongkongannya dengan sendirinya akan lenyap<br />
sesudah diminumkan air putih yang telah<br />
dibacakan hata-hata jampi tersebut.<br />
2.2 Menunda Hujan<br />
Pangpang si kapungpung<br />
Langkitang boru-boru<br />
Nai sarang ni daboru<br />
‘Pangpang si kapungpung (suara petir)<br />
Langkitang (sejenis kerang sungai) betina<br />
Yang di celana dalam wanita<br />
Disertai lemparan celana dalam wanita<br />
(pengantin) untuk pesta perkawinan dan anak gadis<br />
atau istri yang punya hajat untuk pesta lainnya.<br />
Hata-hata jampi yang digunakan untuk<br />
menangkal hujan ini baris pertamanya dimulai<br />
dengan tiruan bunyi dari adanya tanda tanda akan<br />
turun hujan, yaitu petir dan halilintar yang bersuara<br />
pangpang-pungpung sehingga disebut pangpang<br />
sikapungpung. Hal ini, menunujukkan eratnya<br />
kehidupan masyarakat dengan lingkungan<br />
sehingga ungkapan yang digunakan juga tidak<br />
lepas dari kondisi lingkungan.<br />
Demikian juga pada baris kedua, dimana<br />
digambarkan banyaknya sejenis kepah sungai yaitu<br />
langkitang yang akan muncul apabila turun hujan.<br />
Sesudah turun hujan, biasanya akan terjadi air bah.<br />
Makna Hata-Hata Jampi<br />
dalam Bahasa Angkola Mandailing<br />
Pada saat air bah ini akan banyak udang sehingga<br />
akan banyak yang akan mendurung udang di<br />
sungai karena saat inilah waktu yang paling baik<br />
untuk mendurung udang. Akan tetapi, pada saat<br />
mendurung udang, tidak hanya udang yang akan<br />
didapat, tetapi juga langkitang. Jadi, ketika<br />
mendurung udang, ada hasil sampingan yang<br />
didapat, yaitu langkitang. Adapun langkitang ini<br />
akan muncul ke pingggir pinggir sungai apabila air<br />
bah. Kalau sedang tidak air bah biasanya berdiam<br />
sekitar pertengahan sungai. Jadi, munculnya<br />
langkitang-langkitang ke pinggir pinggir sungai<br />
berhubungan dengan turunnya hujan. Adapun<br />
penyebutan jenis kelamin betina yaitu langkitang<br />
boru-boru ‘kepah betina’ berhubungan dengan<br />
baris ketiga yaitu pakaian dalam jenis kelamin<br />
wanita sebagai benda yang digunakan sebagai<br />
pengiring hata-hata jampi.<br />
Pada baris ketiga, dimisalkan dengan<br />
sesuatu yang terdapat di dalam celana dalam<br />
wanita, nadi sarang ni da boru ‘yang di celana<br />
dalam wanita’. Pemisalan ini diambil berdasarkan<br />
bentuk dan sifat yang sama antara hujan yang<br />
turun dari langit dengan keluarnya air kecil<br />
manusia (wanita), yang kemudian bisa dihalangi<br />
dengan pemakaian celana dalam sebagai<br />
penghalang. Benda yang mengiringinya pun,<br />
digunakan celana dalam wanita, yaitu pengantin<br />
wanita yang akan dipestakan (kalau pesta<br />
perkawinan) atau istri yang punya hajatan (kalau<br />
pesta lainnya) dengan cara melemparkannya ke<br />
atas atap rumah yang punya hajatan. Kalau dalam<br />
budaya etnis jawa, yang dilemparkan adalah<br />
pakaian dalam laki laki yang punya hajatan.<br />
2. 3 Menguatkan Semangat Pengantin<br />
Dalam acara perkawinan adat Angkola Mandailing<br />
dilakukan acara mangupa, yaitu acara memberi<br />
makan pengantin, yaitu dimaksudkan untuk<br />
menguatkan tondi ‘semangat’ pengantin.<br />
Sepasang pengantin perlu dikuatkan<br />
semangatnya karena akan mengalami kehidupan<br />
yang berbeda. Kalau sebelum menikah, tidak<br />
dibebani tanggung jawab, sebaliknya sesudah<br />
menikah akan mengemban tanggung jawab, tidak<br />
hanya atas dirinya sendiri, tetapi juga atas<br />
pasangannya serta anak-anaknya kelak. Untuk<br />
mengemban tanggung jawab ini perlu semangat<br />
yang lebih kuat dari sebelumnya karena akan lebih<br />
banyak onak duri yang akan dihadapinya nanti.<br />
Oleh karena itu perlu dibekali dengan semangat<br />
yang lebih besar lagi sehingga perlulah dilakukan<br />
penguatan semangat. Acara penguatan semangat<br />
ini dilakukan dengan pemberian makan dengan<br />
lauk tertentu yang disebut pangupa disertai<br />
pembacaan hata-hata jampi. Acara pembacaan<br />
hata-hata jampi dipimpin oleh seorang datu<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Nurhayati Harahap<br />
‘dukun’. Sebelum dan sesudah pembacaan hatahata<br />
jampi, terlebih dahulu pangupa diangkat serta<br />
dilayang-layangkan oleh peserta acara ke atas<br />
kepala yang mau diupa, dalam hal ini kedua<br />
pengantin. Seraya demikian, datu pangupa<br />
mengucapkan Taruuuuuuupa uupa!!!...3x.<br />
Kemudian disambut oleh hadirin peserta acara<br />
dengan mengucapkan Taruuuuu matondi!!! …3x.<br />
Kemudian mulailah datu pangupa mengucapkan<br />
hata-hata jampi seperti diuraikan dibawah ini.<br />
Mijurma tondi tu ruma,<br />
Namarama tondi si jangjang tondi si jongjong<br />
Manik ni tondi raja ni tondi<br />
Tondi siandarasi siandarahot<br />
Anso mohot tondi di ruma aut<br />
Di tiang togu di ruma<br />
Ulang I tondi mandao dao<br />
Ulang I tondi manduru duru<br />
Ulang I tondi tarlkalimanman<br />
Ulang I tondi tarkalimunmun<br />
Mamulus matondi di alaman si lanse utang on<br />
Si borang ma tondi di bondar so halibean<br />
Manaekma tondinta di tangga si bingkang bayo<br />
on,<br />
Mangalangkai gadu so halintasan on,<br />
Mungkap ma pintu gaja marngaur on<br />
Marsisandarma tondinta di tunggang raja<br />
halang ulu bosar on<br />
Ni tumpak nitogu togu tond<br />
Ni suhut bayo pangkapit pangkancing<br />
pangakabiri<br />
Ni tano rura banua on<br />
Hot jana matua matoguma tondi dohot badan<br />
muyo<br />
‘Turunlah semangat ke rumah<br />
Yang berayah semangat si jangjang, semangat si<br />
jungjung,<br />
Mutiaranya semangat, rajanya semangat,<br />
Semangat siandarasi, semangat siandarohot,<br />
Agar lekat semangat di tempatnya, terikat<br />
semangat di tiang kuat<br />
Kuat, kuat semangat di tempatnya.<br />
Jangan semangat menjauh-jauh,<br />
Jangan semangat meminggir-minggir<br />
Jangan semangat malayang-layang<br />
Jangan semangat malayang-layang<br />
Lewatlah semangat di halaman luas yang lunas<br />
utang ini<br />
Menyeberanglah semangat di selokan yang tak<br />
nampak ini<br />
Halaman 13<br />
Makna Hata-Hata Jampi<br />
dalam Bahasa Angkola Mandailing<br />
Naiklah semangat di tangga yang bisa goyanggoyang<br />
ini<br />
Melompati benteng tak terlewati ini<br />
Terbuka pintu gajah mengaum ini<br />
Bersandarlah semangat pada penghalang pintu<br />
ini<br />
Dibimbing oleh karisma turunan raja<br />
Penjaga alam semesta<br />
Bersatu padulah semangat dengan badan kamu’<br />
Hata-hata jampi di atas terdiri atas empat<br />
bait yang jumlah baris pada setiap baitnya tidak<br />
sama, yaitu antara empat sampai enam baris. Bait<br />
pertama terdiri atas empat baris. Baris pertama bait<br />
pertama dimulai dengan perkataan mijurma tondi<br />
turuma ‘turunlah semangat ke tempatnya di rumah<br />
(rumah yang berkolong)’. Maksud hata-hata jampi<br />
ini adalah untuk menjemput atau menempatkan<br />
semangat yang diupah ke tempat yang seharusnya,<br />
yaitu ke rumah tempat dimana yang diupah berada.<br />
Pada bait kedua baris pertama<br />
dikemukakan agar semangat yang dijemput<br />
lengket di aut ‘tiang yang menghubungkan tiang<br />
penyangga dengan tiang penyangga rumah yang<br />
berkolong’ dan berada di antara tiang penyangga<br />
dengan lantai (papan). Kalau sudah berada di aut<br />
rumah, kedudukannya sudah sangat kuat dan sulit<br />
tanggal.<br />
Bait ketiga mengutarakan bagaimana<br />
caranya agar semangat yang dijemput bisa masuk<br />
ke rumah dan menempati posisi yang telah<br />
disediakan. Pada baris pertama dikemukakan agar<br />
semangat dimaksud melewati halaman (wilayah)<br />
yang tidak ada utangnya. Utang yang dimaksudkan<br />
adalah syarat yang harus dipenuhi untuk dapat<br />
melewati suatu tempat. Dengan tidak adanya utang<br />
berarti tidak ada syarat yang harus dipenuhi untuk<br />
melewatinya. Jadi, tidak ada penghalang lagi. Ini<br />
membuat suatu perjalanan menjadi lancar tanpa<br />
hambatan.<br />
Bait keempat berisi sambutan yang<br />
dilakukan pembaca hata-hata jampi terhadap<br />
kedatangan semangat dimaksud. Pada baris<br />
pertama dikemukakan posisi yang disiapkan untuk<br />
semangat yang dimaksud yaitu dengan cara<br />
bersandar di tiang bondul ‘tiang pembatas pintu’.<br />
Pada baris kedua dikemukakan sesampainya di<br />
tiang bondul akan dituntun yang punya hajat. Pada<br />
baris ketiga, dikemukakan siapa yang punya hajat<br />
dimaksud, yaitu orang yang dianggap penting yang<br />
merupakan pengambil keputusan di wilayah<br />
tempat semangat akan ditempatkan. Selanjutnya<br />
pada baris keempat dikemukan harapan, semoga<br />
semangat yang dikuatkan menjadi lekat, lengket<br />
serta bersatu padu dengan badan atau raga si<br />
empunya badan. Dari uraian di atas terlihat bahwa<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 14<br />
❏ Nurhayati Harahap<br />
dalam rangka penguatan semangat dimaksud,<br />
dilakukan upacara penyambutan sebagaimana<br />
layaknya penyambutan yang dilakukan terhadap<br />
seorang raja. Untuk penyambutan seorang raja,<br />
upacara yang dilakukan dilengkapi dengan<br />
berbagai peralatan dan tata cara. Adapun peralatan<br />
dan tata caranya sudah diuraikan sebelumnya.<br />
Pembacaan hata-hata jampi juga sering<br />
dilakukan untuk mengembalikan semangat yangs<br />
sempat hilang, misalnya karena nyaris mendapat<br />
bahaya. Demikian juga usai melahirkan, yang<br />
merupakan pertarungan hidup dan mati bagi<br />
seorang ibu.<br />
2.4 Mengobati Rasa Sakit karena Absus atau<br />
Infeksi (Bernanah)<br />
Simakmak simukmuk<br />
Simakmak ni mandalasena<br />
Malum-malum bukkus<br />
Ulang ho be mangaena, puah…<br />
‘Sejenis tumbuh-tumbuhan<br />
Sejenis tumbuhan dari Mandalasena<br />
Sembuh-sembuh terbungkus<br />
Jangan kamu lagi yang merasakannya’<br />
Pembacaan hata-hata jampi ini disertai<br />
oleh penempelan sejenis tumbuh-tumbuhan ke<br />
tempat yang absus.<br />
Baris pertama dimulai dengan kata<br />
simakmak simukmuk. Simakmak adalah sejenis<br />
tumbuhan. Apabila dilihat hubungannya dengan<br />
keadaan penyakit dengan kata pembuka yang<br />
digunakan, terdapat kedekatan arti dengan yang<br />
akan diobati. Simakmak, yang diulang dengan<br />
variasi fonem menjadi simukmuk, mempunyai<br />
kemiripan bunyi dengan mokmok ‘gemuk’. Absus<br />
akan mengakibatkan adanya pembengkakan, yang<br />
berarti penggembungan atau penggemukan. Baris<br />
kedua adalah pengemukaan adanya jenis tanaman<br />
yang dikemukakan pada baris pertama yang<br />
terdapat di suatu tempat di wilayah Kabupaten<br />
Tapanuli Selatan, yaitu Mandalasena yaitu satu<br />
desa terpencil. Pemilihan simakmak ni<br />
mandalasena ‘simakmaknya mandalasena’<br />
kemungkinan baiknya mutu tanaman yang<br />
bernama simakmak yang terdapat di mandalasena<br />
ini. Jadi sangat manjur untuk mengobati penyakit<br />
yang diderita. Baris ketiga berupa harapan<br />
pembaca hata-hata jampi yaitu agar yang absus itu<br />
sembuh dengan sendirinya walaupun bengkaknya<br />
tidak pecah malum-malum bukkus ‘sembuh dalam<br />
keadaan terbungkus’ sehingga yang terjadi<br />
bengkak menjadi kisut. Pada baris keempat<br />
dilanjutkan kesembuhan yang dirasakan si<br />
penderita yaitu supaya bukan sipenderita lagi yang<br />
Makna Hata-Hata Jampi<br />
dalam Bahasa Angkola Mandailing<br />
merasakannya sehingga hilanglah rasa sakit yang<br />
dialami si korban akibat absus tadi tetapi beralih<br />
sakitnya pada tempat lain (di luar bagian tubuh si<br />
penderita). Bagian terakhir adalah penempelan<br />
atau pembubuhan dedaunan yang dimaksud,<br />
sebagai pengiring hata-hata jampi ini pada tempat<br />
yang absus dimaksud.<br />
2.5 Membuat Tegang (Diam Tidak Bergerak)<br />
Bogang gajah bogang talikur<br />
‘tegang gajah tegang ekornya’<br />
Hata-hata jampi ini sangat pendek, yaitu<br />
hanya satu baris ditambah syahadat 3x. Gajah<br />
adalah salah satu binatang besar. Pemisalan<br />
terhadap binatang yang mempunyai suatu<br />
kelebihan sering digunakan untuk lebih<br />
menguatkan apa yang diutarakan. Ekor gajah yang<br />
pendek biasanya tidak pernah diam, kalau<br />
gajahnya sendiri sudah tegang, maka dengan<br />
sendirinya ekornya pun akan diam. Jadi, kalau<br />
gajah pun bisa tegang, diam, tidak bergerak,<br />
dengan membaca hata-hata jampi ini, manusia<br />
atau orang yang dimaksudkan untuk menjadi<br />
sasaran pembacaan hata-hata jampi akan tegang,<br />
diam tidak bergerak sesudah dbacakan hata-hata<br />
jampi ini.<br />
2.6 Pelet untuk Disenangi Orang Lain atau<br />
Pemanis<br />
(1) He burangir na marontang bulan<br />
Dipanggang bolang malele<br />
‘He daun sirih yang memanggil bulan<br />
Diasapkan belangya meleleh’<br />
Hata-hata jampi ini menggunakan sirih<br />
sebagai sarana pembicaraan serta benda yang<br />
mengiringinya. Dalam perdukunan di wilayah<br />
Kabupaten Tapanuli Selatan sirih memang banyak<br />
sekali digunakan untuk berbagai sarana<br />
pengobatan. Pada baris pertama, sirih ditugaskan<br />
memanggil bulan. Dipanggilnya bulan<br />
dimaksudkan agar pembaca hata- hata jampi<br />
terlihat elok atau cantik untuk perempuan dan<br />
ganteng untuk laki-laki seperti bulan. Pada baris<br />
kedua dikemukakan melelehnya belang dari daun<br />
sirih apabila diasapi. Melelehya belang sirih<br />
karena diasapkan merupakan pemisalan hilangnya<br />
kejelekan-kejelekan si pembaca hata-hata jampi<br />
sesudah sirih tersebut diasapi. Kalau sudah hilang<br />
“belang”nya ‘kejelekannya’, orang yang<br />
memandang pun hanya akan melihat yang bagusbagusnya<br />
saja pada diri pembaca hata-hata jampi.<br />
Dengan demikian, siapa pun yang memandangnya<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Nurhayati Harahap<br />
akan melihatnya sebagai orang yang sangat baik<br />
sehingga orang yang dihadapi si pembaca hatahata<br />
jampi akan tunduk kepadanya. Jadi, pelet<br />
yang dimaksudkan adalah semacam pemanis bagi<br />
si pembaca hata-hata jampi.<br />
(2) Embun maroyop-oyop,<br />
Bintang mataniari<br />
‘Embun merayap hilang<br />
Bintang matahari’<br />
Hata-hata jampi ini dimulai dengan<br />
perkataan embun merayap hilang. Adanya embun<br />
adalah satu penyebab tidak cerahnya hari. Dengan<br />
demikian, agar udara cerah, diharapkan agar<br />
embun merayap hilang sehingga udara menjadi<br />
cerah dan terang benderang, baik siang maupun<br />
malam. Pada baris kedua dilanjutkan dengan<br />
adanya dua benda planet di muka bumi ini yang<br />
membuat dunia ini terang benderang. Pada malam<br />
hari adalah bulan, sedangkan pada siang hari<br />
adalah matahari. Adanya penerangan yang<br />
maksimal dari kedua benda planet tersebut di atas<br />
dimungkinkan merayapnya embun. Pemisalan ini<br />
digunakan pada penglihatan manusia yang akan<br />
melihat seseorang pada cantiknya saja karena yang<br />
“gelap-gelap” atau yang jelek-jeleknya sudah<br />
hilang. Hilangnya yang “gelap-gelap” pada diri<br />
seseorang akan membuat orang dimaksud terlihat<br />
cantik, ayu, serta ganteng, dan sebagainya,<br />
layaknya bulan dan matahari yang tidak ditutup<br />
oleh embun.<br />
2.7 Mengobati yang Terkejut<br />
Sipurara sipurere<br />
Mardaganak marbabere<br />
‘beranak bermenantu ‘<br />
Disertai air ludah<br />
Penggunaan hata-hata jampi yang terdiri<br />
atas dua baris ini sebenarnya tidak serius atau main<br />
main. Namun demikian, sering juga digunakan<br />
untuk mendiamkan atau memulihkan tangisan<br />
anak-anak yang terjatuh karena berlari-lari ketika<br />
bermain-main. Pembacaan hata-hata jampi ini<br />
dilakukan secara spontan oleh orang yang lebih<br />
dewasa dari si anak, misalnya ayahnya, ibunya,<br />
pamannya, kakaknya, dll yang dekat dengan<br />
lingkungan kelurga si anak. Jadi, penggunaan<br />
hata-hata jampi ini dimaksudkan untuk<br />
memulihkan keterkejutan si anak yang terjatuh<br />
tersebut karena dalam jatuhnya, selain kesakitan, si<br />
anak juga merasakan suatu kejutan yang<br />
menakutkan. Dengan pembacaan hata-hata jampi<br />
Halaman 15<br />
Makna Hata-Hata Jampi<br />
dalam Bahasa Angkola Mandailing<br />
ini si anak akan merasa lucu dan sekaligus terhibur<br />
sehungga dia akan lupa akan keterkejutannya yang<br />
menakutkannya sekaligus rasa sakit yang<br />
dideritanya.<br />
Pada baris pertama, kata yang digunakan<br />
tidak bermakna, yaitu sipurara yang kemudian<br />
diulang lagi dengan perubahan fonem menjadi<br />
sipurere. Kata ini tidak ada artinya hanya<br />
pemakaian fonem r dua pada suku kata re-re<br />
membuat kata ini kedengarannya menjadi ramai.<br />
Kemudian diulang lagi dengan perubahan fonem<br />
vokal, sehingga fonem r ada dalam<br />
pengulangannya tersebut sehingga baris pertama<br />
tetap terdengar ramai. Dengan ramainya baris<br />
pertama ini paling tidak dapat mengalihkan<br />
perhatian si penderita dari rasa sakit yang<br />
dialaminya. Baris kedua mardaganak marbabere<br />
‘beranak bermenantu (pria)’ disamping nada<br />
katanya yang ramai maknanya juga mengandug<br />
keramaian. Beranak ‘mempunyai anak’ akan<br />
menambah jumlah anggota rumah tangga. Dengan<br />
adanya anak persaudaraan pun akan menjadi<br />
banyak. Ketika anak lahir sanak famili dan kerabat<br />
akan datang menjeguk anak lahir dimaksud<br />
demikian juga ketika anak dimaksud bergaul<br />
dengan orang lain, akan tambah pulalah kerabat<br />
apabila lebih lanjut anak tersebut menikah, akan<br />
bertambah pula sanak famili. Dengan demikian,<br />
dengan adanya anak, akan bertambah ramailah<br />
suasana. Demikian juga dengan bermenantu (pria)<br />
secara tersirat kata ini mengandung arti anak<br />
perempuan selain anak laki laki. Dengan lahirnya<br />
anak perempuan tentu tiba waktunya si anak<br />
perempuan tersebut akan menikah, yang suaminya<br />
akan menjadi babere ‘menantu pria’. Semua ini<br />
akan membuat suasana akan menjadi ramai.<br />
Adanya penempatan maranak ‘beranak’<br />
lebih dahulu baru kemudian marbabere<br />
menyiapkan adanya pengutamaan anak laki-laki<br />
dibandingkan anak perempuan. Hal ini memang<br />
terjadi dalam adat AM. Dalam segala hal, anak laki<br />
laki selalu diutamakan daripada anak perempuan.<br />
Untuk sekolah, yang diprioritaskan adalah anak<br />
laki-laki. Demikian juga dalam hal yang lain, anak<br />
laki-laki selalu diutamakan. Bahkan dalam<br />
menurunkan marga ‘klen’, laki-lakilah yang<br />
berhak menurunkannnya, bukan perempuan.<br />
Adalah merupakan suatu penyakit (kekurangan)<br />
dalam sebuah keluarga apabila keluarga tersebut<br />
tidak dikaruniai anak laki-laki. Bahkan kalau hal<br />
ini terjadi, suami dari keluarga tersebut diijinkan<br />
untuk kawin lagi dengan harapan akan lahir anak<br />
laki-laki sebagai generasi penerusnya. Tidak<br />
seperti itu halnya kalau yang tidak ada adalah anak<br />
perempuan. Memang terasa ada yang kurang akan<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 16<br />
❏ Nurhayati Harahap<br />
tetapi tidak separah kalau tidak ada anak laki-laki.<br />
Anak perempuan tidak dianggap sebagai penerus<br />
keturunan, tetapi laki- laki.<br />
Dari uraian tersebut di atas, dapat<br />
dikatakan bahwa pembacaan hata-hata jampi ini<br />
secara tersirat bermakna memberi semangat<br />
kepada yang terkejut dengan mengisyaratkan<br />
bahwa penderita tidak sendiri, akan tetapi banyak<br />
(ramai) orang lain di dekatnya. Dengan ramainya<br />
orang di sekitar si penderita membuat si penderita<br />
tidak merasa sendiri. Suasana ini membuat rasa<br />
takut dan rasa sakitnya akan hilang.<br />
2.8 Menguatkan Pukulan (Tinju)<br />
Kun fayakun<br />
Kun kata Tuhan<br />
Fayakun kata Muhammad<br />
Kobul borkat Lailahaillah<br />
Disertai air liur dengan cara<br />
mengoleskannya ke tinju sipembaca hata-hata<br />
jampi yang telah dikepal.<br />
‘Kun fayakun<br />
Kun kata Tuhan<br />
Fayakun kata Muhammad<br />
Kabul berkat Laillahaillah’<br />
Hata-hata jampi ini digunakan untuk<br />
tujuan membuat si pembaca hata-hata jampi ini<br />
percaya diri dalam menghadapi lawan berkelahi.<br />
Dengan mengucapkan hata-hata jampi ini si<br />
pembaca merasa pecaya bahwa diberi kekuatan<br />
tambahan oleh Tuhan yang mahaesa. Dengan<br />
makrifat dan konsentrasi yang baik akan lebih kuat<br />
dan akan memenangkan suatu perkelahian. Dengan<br />
perkataan lain, hata-hata jampi ini membuatnya<br />
lebih yakin karena telah mendapat tambahan<br />
tenaga sehingga lawannya tidak dapat menyanggah<br />
pukulan tinjunya dan biasanya si lawan akan<br />
terhuyung-huyung dan terjatuh akibat derasnya<br />
atau kuatnya pukulan tinju si pembaca hata-hata<br />
jampi.<br />
Bila dilihat dari asal usulnya hata-hata<br />
jampi ini berasal dari Al-Quran. Berarti orang AM<br />
yang menggunakan hata-hata jampi telah<br />
memeluk agama Islam. Dalam hata-hata jampi ini<br />
terlihat pencampuran tiga bahasa yaitu bahasa arab<br />
(Al-quran) bahasa Indonesia dan bahasa angkola<br />
Mandailing. Pencampuran tiga bahasa ini<br />
dimaksudkan untuk memudahkan pemakainya<br />
lebih muda menghapalnya sehingga akan tercapai<br />
kekhusukan.<br />
Makna Hata-Hata Jampi<br />
dalam Bahasa Angkola Mandailing<br />
2. 9 Mengobati Sakit yang Digigit Penyengat<br />
Hung si nyonyot- nyonot<br />
Hu enda ma sorot mu<br />
Pitung kolak marsaru –saru<br />
Halis bulung suhat tampat bulung bomban<br />
Malum borgo ia suaaahhh…<br />
Disertai pengolesan air liur si pembaca<br />
hata-hata jampi sekitar tiga tetes ke bekas gigitan<br />
penyengat.<br />
‘_ _ _<br />
Kusentakkanlah alat penyengatmu<br />
Tujuh hasta berselemak<br />
Kalis daun talas datar daun bomban (sejenis<br />
daun perdu)<br />
Sembuh dingin ia ---‘<br />
Kalau dieterjemahkan hata-hata jampi di<br />
atas, terlihat bahwa tidak semua kata-kata yang<br />
digunakan ada terjemahannya dalam bahasa<br />
Indonesia. Namun, kata-kata yang tidak dapat<br />
diterjemahkan dimaksud ada hubungannya dengan<br />
sifat, bisa berupa suara, bentuk, dan lain-lain dari<br />
binatang stau benda yang terdapat pada satu hatahata<br />
jampi di atas, karena dimaksudkan untuk<br />
mengobati gigitan binatang penyengat, maka kata<br />
pertama yang digunakan adalah suara binatang<br />
tersebut, yaitu hung, kemudian diikuti nama jenis<br />
binatang penyengat yaitu dari caranya menyengat,<br />
yaitu dengan cara nyot-nyot. Sehingga diberi nama<br />
si nyot-nyot sehingga diberi nama si nyonyotnyonyot.<br />
Kedua kata-kata ini, yaitu hung si<br />
nyonyot-nyonyot diletakkan pada baris pertama.<br />
Baris kedua adalah tindakan si pengucap hata-hata<br />
jampi untuk menarik, menghabisi, atau membunuh<br />
si penyengat, yaitu dengan cara menyentakkannya<br />
alat penyengat. Baris ketiga adalah keadaan alat<br />
binatang penyengat tersebut akibat sentakan si<br />
pengucap hata-hata jampi, yaitu berselemak<br />
sepanjang tujuh hasta. Baris keempat adalah bekas<br />
gigitan penyengat tersebut tanpa bekas seperti<br />
layaknya daun keladi yang tidak meninggalkan<br />
bekas kalau ditetesi air dan sejenis pohon sebangsa<br />
rotan yang bentuknya datar sehingga air tidak bisa<br />
bertahan di atasnya. Baris kelima adalah keinginan<br />
si pengucap hata-hata jampi yaitu kesembuhan,<br />
sehingga si korban gigitan penyengat merasa sejuk<br />
dan nyaman ditambah dengan kata suaaahhh…,<br />
yaitu semacam pelapiasan atau pelepasan hawahawa<br />
atau udara yang tidak baik.<br />
3. SIMPULAN<br />
Hata-hata jampi dalam masyarakat Angkola<br />
Mandailing merupakan kata-kata yang<br />
mengandung magis yang dipakai sebagai sarana<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Nurhayati Harahap<br />
untuk tujuan tententu (special purpose). Dari hasil<br />
penelitian ini sembilan tujuan, yaitu: (1)<br />
menghilangkan sakit karena tertelan duri, (2)<br />
menunda hujan, (3) menguatkan semangat<br />
pengantin, (4) mengobati rasa sakit karena absus<br />
atau infeksi (bernanah), (5) membuat tegang (diam<br />
tak bergerak), (6) pelet untuk disenangi orang lain<br />
atau pemanis, (7) mengobati yang terkejut, (8)<br />
menguatkan pukulan (tinju), dan (9) mengobati<br />
sakit yang digigit penyengat.<br />
Sekarang sudah tidak banyak anggota<br />
masyarakat Angkola Mandailing yang menguasai<br />
hata-hata jampi. Namun demikian, masih ada<br />
yang menggunakannya untuk mengobati beberapa<br />
jenis penyakit. Hata-hata jampi dalam masyarakat<br />
Angkola Mandailing terbagi dalam beberapa<br />
tujuan, yaitu untuk mengobati orang yang terkejut,<br />
baik karena terjatuh atau hal lain, misalnya<br />
disengat oleh binatang penyengat, yang berbisa,<br />
dan lain-lain. Hata-hata jampi tersebut<br />
dimaksudkan sebagai penawar rasa sakit atau<br />
terkejut. Pengobatannya dilakukan dengan<br />
membacakan hata-hata jampi disertai dengan<br />
benda-benda tertentu sebagai pengiringnya.<br />
Kata-kata yang digunakan dalam setiap<br />
baris dan pada keseluruhan bait semuanya<br />
berhubungan. Artinya, rangkaian hata-hata jampi<br />
berbeda dengan hata-hata umpama sebagai salah<br />
satu ragam bahasa Angkola Mandailing yang dua<br />
baris pertama merupakan sampiran sehingga tidak<br />
berhubungan dengan baris berikutnya (Harahap,<br />
2002). Rangkaian hata-hata jampi semuanya<br />
berhubungan sehingga tidak ada yang disebut<br />
sampiran seperti halnya pantun. Adanya<br />
keterkaitan makna seluruh kata yang digunakan<br />
dalam hata-hata jampi dapat dirasakan sesudah<br />
menganalisis makna konteksnya. Jadi, dari kajian<br />
Halaman 17<br />
Makna Hata-Hata Jampi<br />
dalam Bahasa Angkola Mandailing<br />
makna harfiah dan makna konteks tergambar<br />
bahwa seluruh kata yang digunakan memiliki<br />
keterkaitan di antaranya.<br />
Dewasa ini pemakaian hata-hata jampi<br />
sudah jarang. Demikian juga orang yang<br />
menguasainya sudah langka dijumpai. Kalaupun<br />
ada, terbatas pada orang-orang tua yang berumur<br />
di atas tujuh puluh tahunan yang ingatan dan<br />
perhatiannya terhadap kelangsungan budaya baik.<br />
Selain orang tersebut di atas, dukun yang<br />
profesinya memang mengobati orang yang sakit<br />
jiwa juga banyak menguasai hata-hata jampi.<br />
Seorang dukun tidak akan mudah memberikan<br />
ilmunya kepada orang lain karena menyangkut<br />
mata pencariannya. Sedangkan untuk menemukan<br />
orang yang disebut langka di atas itu relatif sulit.<br />
Jadi, sekarang ini hata-hata jampi hampir tidak<br />
dkenal lagi.<br />
DAFTAR BACAAN<br />
Chaika, Elaina. 1982. Language the Sosial Mirror.<br />
Roley, London, Tokyo: Newbury House<br />
Publishers.<br />
Harahap, Basyral Hamidi, dan Hotman M.<br />
Siahaan. 1987. Orientasi Nilai-nilai Budaya<br />
Batak: suatu Pendekatan terhadap Prilaku<br />
Batak Toba dan Angkola Mandailing.<br />
Jakarta: Sanggar Willem Iskandar.<br />
Harahap, Nurhayati dan Ikhwanuddin Nasution.<br />
1998. Ende Ungut-ungut Angkola<br />
Mandailing: Inventarisasi dan Kajian<br />
Sosiologi Sastra. Medan: Fakultas Sastra<br />
USU.<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 18<br />
❏ Haris Sutan Lubis<br />
Modernisasi pada Bentuk dan Tema dalam<br />
Prosa-Prosa Willem Iskandar (1840 –1876)<br />
MODERNISASI PADA BENTUK DAN TEMA<br />
DALAM PROSA-PROSA WILLEM ISKANDER (1840-1876)<br />
Haris Sutan Lubis<br />
Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />
Abstract<br />
Willem Iskander is known as an educator and man of letters from South Tapanuli. He<br />
produced poem and prose in Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk in nineteenth century. His<br />
prose is differed from the prose form at that moment. The form of his prose is short story,<br />
which in Indonesian literature is known as the modern prose and starts to be blazed by M.<br />
Kasim and Suman Hs by the end of 1930. Despitefully, Willem Iskander has also done the<br />
modernization at the election of the humanism theme, such as having phobia, surrenderness,<br />
responsibility, affection, and crime.<br />
Key words: modernization, short story, form, and theme<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Kesusastraan merupakan salah satu hasil<br />
kebudayaan manusia yang sangat berharga dan<br />
memiliki nilai yang beragam. Pada satu sisi karya<br />
sastra dapat pula menampilkan wajah kultur<br />
zamannya dan oleh karena itulah sifat-sifat suatu<br />
zaman dan persoalan-persoalan yang ada di dalam<br />
masyarakat tersebut dapat dibaca melalui karya<br />
sastra. Hal ini dapat terjadi karena pengarang<br />
sebagai salah seorang anggota masyarakat hidup<br />
dan berelasi dengan orang-orang di sekitarnya.<br />
Oleh karena itu, kegelisahan masyarakat menjadi<br />
kegelisahan para pengarang, harapan-harapan,<br />
penderitaan-penderitaan, dan aspirasi suatu<br />
masyarakat di mana pengarang berada, menjadi<br />
bagian dari pribadi pengarang tersebut. Namun<br />
demikian, untuk memberi suatu defenisi yang<br />
lengkap tentang sastra merupakan sesuatu yang<br />
sangat berat. Karya sastra dalam suatu masyarakat<br />
belum tentu diakui sebagai sastra oleh masyarakat<br />
lainnya, sebagai contoh serat weda tama bagi<br />
masyarakat Jawa pastilah dianggap sebagai sebuah<br />
hasil sastra, namun belum tentu bagi masyarakat<br />
lainnya. Begitu juga mantra dalam masyarakat<br />
tradisional mempunyai fungsi keagamaan yang<br />
dominan tetapi bagi masyarakat modern justru<br />
menjadi ciri kesasteraannya yang paling<br />
mengesankan. Yang jelas dari karya sastra dapat<br />
diketahui bermacam-macam persoalan, pesan atau<br />
pun gambaran tentang sesuatu dalam suatu zaman,<br />
karena sastra memang difungsikan sebagai alat<br />
pelaksanaan acara-acara keagamaan. Oleh karena<br />
itu, setiap hasil sastra dari suatu zaman dan<br />
pengarang merupakan suatu objek kajian yang<br />
selalu menarik dan bermanfaat bagi kehidupan<br />
suatu masyarakat ataupun bangsa, setidaknya bagi<br />
kepentingan pengkajian sejarah kesusasteraan<br />
bangsa tersebut.<br />
Di daerah Tapanuli Selatan tepatnya di<br />
daerah Mandailing telah lahir seorang sastrawan<br />
yang memiliki wawasan serta konsep kehidupan<br />
yang luas. Sastrawan tersebut adalah Ali Sati<br />
Nasution Gelar Ja Sikondar yang lebih populer di<br />
sebut Willem Iskander.Willem Iskander yang<br />
hidup pada tahun 1840–1876 mendapat<br />
kesempatan mengikuti pendidikan pada sekolah<br />
dasar di Panyabungan pada usia 13 tahun. Tiga<br />
tahun setelah mengikuti pendidikan tersebut beliau<br />
dibawa Asisten Residen Mandailing Angkola<br />
untuk mengikuti pendidikan di negeri Belanda. Hal<br />
ini terjadi karena kepintaran beliau, di samping<br />
sebagai seorang keturunan raja yang berkuasa di<br />
masa itu. Tiga tahun setelah mengikuti pendidikan<br />
di negeri Belanda, beliau mendapat ijazah guru<br />
bantu dan kembali ke Mandailing dan mendirikan<br />
sekolah guru (Kweekschool) di Tanobato, serta<br />
memimpin sekolah tersebut selama hampir 12<br />
tahun.<br />
Di samping sebagai seorang tokoh<br />
pendidikan pada masa itu Willem Iskander<br />
sebenarnya dikenal pula sebagai sastrawan daerah<br />
Mandailing yang paling terkemuka sampai saat ini.<br />
Kesimpulan itu diperoleh setelah menelusuri dan<br />
memahami nilai-nilai yang terdapat dalam<br />
karyanya Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk yang<br />
dikarangnya antara tahun 1860–1870.<br />
Berbicara mengenai sastra daerah dalam<br />
cakupan se Indonesia sebenarnya harus dilakukan<br />
suatu telaah yang sangat luas, disebabkan<br />
banyaknya ragam dan corak yang akan ditemui.<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Haris Sutan Lubis<br />
Hal ini dimungkinkan karena setiap masyarakat<br />
bahasa mempunyai sastranya sendiri. Demikian<br />
juga kalau membicarakan sastra daerah Tapanuli<br />
Selatan sebagai bagian dari sastra daerah se<br />
Indonesia, maka kita pun semestinya harus melalui<br />
suatu penelaahan yang luas dan mendalam, harus<br />
kembali meneliti sastra lisan. Keragaman dan<br />
kekayaan Tapanuli Selatan dalam bidang<br />
kesusastraan ini karena letak wilayah Tapanuli<br />
Selatan yang banyak menerima pengaruh budaya<br />
yang datang dari luar daerahnya.<br />
Di dalam kesusastraan klasik Indonesia<br />
kita akan menemukan pantun sebagai jenis puisi<br />
klasik tertua, maka di daerah Tapanuli Selatan<br />
ditemukan jenis tesebut yang dinamakan sebagai<br />
ende-ende. Sebagaimana dikatakan Hartoyo<br />
Andangjaya (Damono 1981: 25) bahwa jenis<br />
pantun itu pulalah yang paling luas tersiar di<br />
kalangan masyarakat dan hidup terus selama<br />
berabad-abad, yang menjadi alat pengucapan bagi<br />
kesedihan, nafsu-nafsu erotik dan juga normanorma<br />
etikanya. Menurut Van Ophuysen (Usman<br />
1963: 145) malah kejadian pantun sama seperti<br />
ende-ende di Tapanuli Selatan yang berasal dari<br />
bahasa daun-daunan, bahasa kiasan, dan bahasa<br />
sindiran.<br />
Sementara untuk jenis prosa sebagaimana<br />
juga dikenal di setiap daerah di Indonesia, maka<br />
jenis yang lazim dijumpai ialah jenis cerita rakyat<br />
seperti dongeng, tentang binatang, makhluk halus,<br />
kalangan istana atau juga cerita-cerita humor yang<br />
selalu diceritakan dari satu mulut ke mulut yang<br />
lain sebagai cara untuk menginformasikannya.<br />
Dengan demikian dari uraian singkat tentang sastra<br />
daerah Tapanuli Selatan ini dapat ditarik<br />
kesimpulan bahwa bentuk dan jenis kesusastran<br />
yang terdapat di Tapanuli Selatan pada<br />
kesusastraan Indonesia klasik ialah bentuk prosa<br />
dan puisi yang masing-masing bersifat lisan. Isinya<br />
ditandai dengan gambaran dinamika kehidupan<br />
masyarakat tradisional yang statis dan tradisi itu<br />
berlangsung dalam rentang waktu yang cukup<br />
panjang, yakni sejak manusia mengenal bahasa<br />
lisan sebagai alat komunikasi dan alat ekspresi<br />
sampai dengan permulaan abad ke XX<br />
sebagaimana perkiraan awal munculnya sastra<br />
modern di Indonesia seperti dikatakan oleh Teeuw<br />
(1982:11) bahwa sejak awal abad ke XX ini –atau<br />
sedikit sebelumnya –di Indonesia mulai diciptakan<br />
sastra yang biasanya disebut modern, yaitu lain<br />
dari tradisional.<br />
2. PERMASALAHAN<br />
Willem Iskander lebih dikenal oleh masyarakat<br />
Mandailng sebagai seorang tokoh pendidikan dan<br />
penyair. Sebagaimana disinggung sebelumnya,<br />
sebagai tokoh pendidikan beliau sempat<br />
Halaman 19<br />
Modernisasi pada Bentuk dan Tema dalam<br />
Prosa-Prosa Willem Iskandar (1840 –1876)<br />
mendirikan sebuah sekolah guru di Tanobato dan<br />
memimpinnya selama hampir dua belas tahun.<br />
Lembaga pendidikan ini berhasil melahirkan guruguru<br />
bermutu yang menyebar mengajar ke hampir<br />
seluruh wilayah <strong>Sumatera</strong>. Sementara sebagai<br />
seorang penyair beliau dikenal karena kekuatan<br />
puisi-puisinya, baik dari segi tema maupun dari<br />
sudut kemahiran Willem Iskander dalam<br />
mengungkapkan pesan-pesannya, sehingga puisipuisi<br />
tersebut mampu membangkitkan semangat<br />
kaum pergerakan di Tapanuli Selatan sekitar tahun<br />
tiga puluhan. Sehingga dari kedudukannya sebagai<br />
seorang penyair, beliau ditempatkan sebagai<br />
seorang penyair modern daerah Mandailing abad<br />
kesembilan belas (Lubis 1985).<br />
Sebagai seorang cerpenis, kiranya belum<br />
banyak yang mengenal beliau, apalagi<br />
mengungkapkan keberadaannya sebagai seorang<br />
pengarang prosa dari zaman kesusastraan<br />
tradisional, meskipun sebenarnya prosa-prosa yang<br />
diciptakannya itu juga dikumpulkannya di dalam<br />
Si Bulus-Bulus Si Rambuk-Rambuk.<br />
Prosa-prosa yang diciptakannya pun<br />
sebenarnya tidaklah begitu banyak, melainkan<br />
hanya sepuluh buah. Oleh karena itulah apabila<br />
ditinjau kedudukannya sebagai seorang penulis<br />
prosa maka tidaklah dapat dikatakan kalau Willem<br />
Iskander merupakan seorang penulis prosa yang<br />
berhasil, mengingat jumlahnya yang tergolong<br />
sedikit. Namun keberhasilan seorang penulis prosa<br />
tidaklah mutlak ditentukan oleh banyak atau<br />
sedikitnya prosa yang dihasilkannya, tetapi dapat<br />
pula ditinjau dari kemampuannya berkreativitas<br />
dalam memanfaatkan dan mengembangkan bentuk<br />
prosa tersebut dari keadaan yang biasanya kepada<br />
keadaan di luar tradisi sastra tersebut. Oleh karena<br />
itu, bukanlah merupakan suatu kelemahan kalau<br />
tinjauan kali ini akan beranjak dari kecermelangan<br />
beliau dalam melakukan pembaharuan bentuk<br />
prosa di luar jenis prosa yang biasa atau lazim<br />
terdapat pada zaman hidupnya. Untuk itu<br />
kesepuluh prosa yang ditulisnya disekitar tahun<br />
1860 – 1870 tersebut merupakan objek penelaahan<br />
yang akan berusaha membuktikan pembaharuan<br />
yang dilakukannya terhadap bentuk prosa sebagai<br />
manifestasi kemajuan wawasan dan pola<br />
pikirannya dalam kedudukannya sebagai seorang<br />
sastrawan daerah yang hidup di abad kesembilan<br />
belas yang lalu.<br />
3. PEMBAHASAN<br />
Memberikan pengertian serta batasan-batasan apa<br />
dan bagaimana sebenarnya yang dikatakan sebuah<br />
cerita pendek adalah suatu pekerjaan yang rumit<br />
dan bahkan menjurus kepada kesia-siaan belaka.<br />
Ukuran panjang atau pendeknya sebuah cerita pun<br />
ternyata belum bisa memastikan apakah cerita<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 20<br />
❏ Haris Sutan Lubis<br />
tersebut tergolong cerita pendek atau bukan,<br />
sebagaimana dikatakan Mochtar Lubis (1981: 10)<br />
bahwa ada cerita pendek yang terdiri dari lima<br />
ratus perkataan, tapi ada pula yang sampai 40.000<br />
perkataan. Namun seperti kata Richard Summer,<br />
bahwa sebuah Vijnetta bisa dan sering termasuk<br />
dalam golongan cerita pendek. Oleh karena itu<br />
sangat sulit untuk memberikan defenisi yang tepat<br />
dan tegas tentang cerita pendek. Di samping itu,<br />
Mochtar Lubis masih memberikan gambaran<br />
bahwa sebuah karangan tentang pasar misalnya,<br />
akan menjadi cerita pendek jika di dalamnya<br />
dijalinkan suatu insiden suatu kejadian pada salah<br />
seorang atau beberapa orang yang berada dalam<br />
pasar itu. Sementara sebuah cerita yang pendek<br />
tentang seseorang, bukan cerita pendek, jika dalam<br />
karangan itu tidak dimasukkan jasmani atau rohani<br />
manusia yang berlaku di dalamnya.<br />
Namun, cerita pendek mempunyai<br />
keterbatasan-keterbatasan. Misalnya tidak<br />
mungkin menceritakan keseluruhan aspek<br />
kehidupan seorang tokoh. Akan tetapi di dalam<br />
sebuah cerita pendek dimungkinkan untuk<br />
mengemukakan tanggapan-tanggapan saat-saat<br />
hidup yang oleh karena sesuatu sebab dapat<br />
diangkat ke permukaan dan ditonjolkan. Sebagai<br />
gambaran sederhana, bahwa sebuah cerita pendek<br />
hendaknya memenuhi beberapa persyaratan seperti<br />
adanya tema (dasar cerita), plot (cara menulis atau<br />
menyusun karangan tersebut yakni pengawalan<br />
dan pengakhiran penceritaan), karakter (gambaran<br />
fisik dan pribadi atau watak pelaku), suspense dan<br />
foreshadoing (bentakan-bentakan dalam gaya<br />
penceritaan yang memancing pembaca untuk terus<br />
menimbulkan keingintahuannya tentang cerita<br />
selanjutnya), immediacy dan atmosphere<br />
(kemampuan membawa pembaca ke dalam situasi<br />
penceritaan), point of view (sudut pandang<br />
pengarang dalam cerita tersebut), limited focus dan<br />
unity (pengarahan cerita pada satu fokus) dan<br />
menjalinnya menjadi satu kesatuan cerita yang<br />
utuh antara satu unsur dengan unsur lain tanpa<br />
membedakan besar kecilnya perasaan yang<br />
dimiliki oleh unsur-unsur tersebut. Namun ketujuh<br />
unsur yang dikemukakan tersebut pun tidaklah<br />
mutlak harus dimiliki oleh sebuah cerita pendek,<br />
karena sebagaimana dikemukakan oleh Richard<br />
Summers (Mochtar Lubis 1981: 46–47) bahwa<br />
sebuah cerita pendek haruslah mengandung<br />
interpretasi pengarang tentang konsepsinya<br />
mengenai penghidupan, baik secara langsung atau<br />
tidak langsung, dan cerita itu harus pula mampu<br />
mengajak pembaca ‘masuk’ ke dalam situasi<br />
cerita, sebelum pertama menarik perasaan dan<br />
pada akhirnya nanti mampu menarik pikiran setiap<br />
pembacanya. Di samping itu sebuah cerita pendek<br />
juga harus mengandung uraian-uraian dan insiden<br />
Modernisasi pada Bentuk dan Tema dalam<br />
Prosa-Prosa Willem Iskandar (1840 –1876)<br />
atau konflik yang dipilih dengan sengaja yang<br />
mampu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan<br />
dalam pikiran pembacanya, sebuah insiden yang<br />
menguasai dan menjalankan plot cerita, juga harus<br />
memiliki seorang pelaku yang terutama, jalan<br />
cerita yang padat yang akhirnya akan melahirkan<br />
satu kesan (impressia).<br />
Sudah merupakan bagian dari sejarah<br />
hidup manusia bahwa kegemaran bercerita<br />
merupakan pusaka nenek moyang segala bangsa.<br />
Lingkungan di sekitar manusia tersebut dan juga<br />
dunia di dalam diri tiap manusia merupakan<br />
sumber yang kaya dan dapat digali sebagai potensi<br />
bagi manusia yang menjalani kehidupannya. Setiap<br />
manusia mempunyai pengalaman masing-masing<br />
tentang alam dan kejadian apapun yang ada di<br />
dalamnya sebagaimana juga terjadi pada manusia<br />
Indonesia. Di dalam cerita-ceritalah kita dapat<br />
melihat kehidupan, angan-angan, dan pikiran,<br />
kekayaan alam rohani yang penuh fantasi yang<br />
dibentuk oleh pengalaman manusia tersebut.<br />
Menurut Ajip Rosidi (Eneste 1983: 10)<br />
bahwa cerpen sebagai bentuk kesusasteraan –<br />
seperti juga di bagian lain di dunia ini—di<br />
Indonesia adalah baru. Cerpen dikenal orang lebih<br />
kemudian daripada roman. Sementara itu Jacob<br />
Sumardjo (Eneste 1983: 27) memberi keterangan<br />
bahwa usia penulisan cerita pendek di Indonesia<br />
baru berjalan sekitar 40 tahun. Ini berarti bahwa<br />
Indonesia baru mulai menulis cerpen setelah jenis<br />
karya sastra ini dikenal oleh negara-negara lain<br />
satu abad sebelumnya. Dengan melatakkan dasar<br />
dan pandangan kedua pengamat tersebut maka<br />
dapat diperkirakan bahwa cerita pendek di<br />
Indonesia bermula disekitar tahun 1940-an, yang<br />
berarti lebih lambat sekitar dua puluh tahun<br />
dibanding dengan masa awal pertumbuhan roman<br />
yang menggantikan kedudukan bentuk hikayat<br />
akibat pengaruh perkembangan kesusasteran<br />
modern dari Barat. Kalau demikian halnya maka<br />
permulaan tumbuhnya cerita pendek di Indonesia<br />
ialah ketika pengarang M. Kasim dan Suman Hs.<br />
Menerbitkan kumpulan cerita pendeknya yang<br />
pertama di Indonesia yakni Teman Duduk dan<br />
Kawan Bergelut yang masing-masing terbit tahun<br />
1936 dan 1938. Namun rintisan yang dilakukan<br />
oleh kedua pengarang tersebut tidak mampu<br />
meletakkan dasar penulisan cerita pendek yang<br />
mentradisi sesuai dengan perkembangan dan<br />
tradisi penulisan cerita pendek Indonesia sampai<br />
saat ini. Hal ini menurut para pengamat karena<br />
kedua pengarang tersebut sebenarnya beranjak dari<br />
tradisi lisan cerita-cerita penglipur lara yang hanya<br />
mengajak para pendengarnya tertawa ngakak tanpa<br />
tujuan-tujuan lain. Oleh karena itulah rintisan<br />
kedua pengarang tersebut disimpulkan sebagai<br />
menyambung tradisi cerita rakyat lisan yang<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Haris Sutan Lubis<br />
memang berbeda dengan sifat penulisan cerita<br />
pendek yang tumbuh dan berkembang di belahan<br />
Barat, dan yang kemudian mengalir ke Indonesia.<br />
Di samping itu menurut Ajip Rosidi<br />
bahwa baik M. Kasim maupun Suman Hs, tatkala<br />
menulis cerita-ceritanya itu tidak sadar bahwa<br />
dirinya memang untuk penciptaan kesusasteraan<br />
terutama bentuk cerpen. Yang mendorong mereka<br />
berdua menulis lebih banyak kehendak serta<br />
keinginan berlelucon yang begitu saja mengajak<br />
para pembaca tertawa, daripada mengajak para<br />
pembaca secara sadar menukik ke dasar hidup dan<br />
penghidupan manusia dan masyarakat.<br />
Dalam konteks penulisan dan<br />
perkembangan cerita pendek di Indonesia, maka<br />
sejarah peletakan dasar tradisi penulisan cerita<br />
pendek tersebut sebenarnya dimulai oleh Hamka,<br />
Idrus, dan Armijn Pane, yang melepaskan tali<br />
penghubung dengan cerita rakyat tradisional, dan<br />
memulai penulisan cerita rakyat menurut konsep<br />
Barat. Kalau Hamka dan Idrus dikenal banyak<br />
menulis cerita yang memiliki orientasi sosial,<br />
maka Armijn melakukan kecenderungan dalam<br />
persoalan-persoalan psikologis tokoh-tokohnya.<br />
Maka dengan melihat kenyataan yang ada<br />
sekarang dapat disimpulkan bahwa tradisi<br />
penulisan cerita pendek yang terus berlangsung<br />
dan berkembang adalah pengembangan dari apa<br />
yang dilakukan oleh Hamka, Idrus, dan Armijn,<br />
yakni mengetengahkan masalah-masalah sosial<br />
kemasyarakatan zamannya. Sedangkan tradisi<br />
penulisan sebagaimana dilakukan oleh M. Kasim<br />
dan Suman Hs, yang beranjak dari tradisi cerita<br />
rakyat tradisional telah lama berhenti tanpa<br />
kelihatan lagi kesinambungannya. Maka semakin<br />
kuatlah anggapan dan dasar pijakan bahwa tradisi<br />
penulisan cerita pendek Indonesia sebenarnya<br />
dimulai sekitar awal tahun 1940-an.<br />
Prosa yang ditulis oleh Willem Iskander<br />
dalam Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk<br />
berjumlah sepuluh, satu di antaranya berbentuk<br />
dialog, dapat dikategorikan sebagai bentuk drama<br />
(mini). Keseluruhan prosa yang diciptakannya itu<br />
pun diperkirakan ditulisnya disekitar tahun 1860-<br />
an. Karena menurut keterangan yang diperoleh<br />
bahwa buku kumpulan puisi dan prosa itu dicetak<br />
untuk pertamakalinya tahun 1872 di Batavia. Oleh<br />
karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa prosaprosa<br />
itu diciptakannya 75 tahun sebelum<br />
kesusasteraan Indonesia mengenal bentuk cerpen<br />
sebagai pengaruh keberadaan kesusasteraan Barat.<br />
Oleh karena itulah, uraian ini nantinya akan<br />
melihat pembaharuan yang dilakukan Willem<br />
Iskander dalam hal ini penciptaan prosa, meskipun<br />
tidak kreatifitasnya itu dilakukannya jauh sebelum<br />
kesusasteraan Indonesia memasuki era modernisasi<br />
cerita pendek, dan untuk melihat pembaharuannya<br />
Halaman 21<br />
Modernisasi pada Bentuk dan Tema dalam<br />
Prosa-Prosa Willem Iskandar (1840 –1876)<br />
tersebut, telaah akan dilakukan dari segi tema dan<br />
isi cerita, unsur dan struktur, serta bahasanya.<br />
Sudah lazim dalam dunia karang<br />
mengarang bahwa hal pokok dan sangat mendasar<br />
untuk memulai sebuah tulisan ialah<br />
mempersiapkan dan menetapkan sebuah tema,<br />
meskipun sering kali masalah dasar itu hanya<br />
dibangun dalam hati dan pikiran setiap pengarang.<br />
Sebuah tema bagi seorang pengarang akan sangat<br />
banyak membantu dalam mengembangkan<br />
imajinasi dan ide-ide untuk disampaikan kepada<br />
khalayak. Sebagaimana dikatakan oleh Budi<br />
Dharma (Eneste 1983: 264) bahwa yang<br />
diperjuangkan setiap pengarang pada hakikatnya<br />
adalah tema. Dari tema itu pulalah nantinya akan<br />
dilihat isi cerita tersebut sesuai dengan<br />
perkembangan imajinasi dan pikiran yang<br />
diruntunkan oleh Willem Iskander.<br />
Cerita pertama yang berjudul, “Sada Alak<br />
Pulon Ta On Na Mabiar Di Ahaila” (Seseorang<br />
dari Pulau Kita Ini yang Takut Malu). Dari<br />
judulnya saja dapat dipahami bahwa seseorang<br />
pada dasarnya selalu takut untuk berbuat sesuatu<br />
yang memalukan. Untuk menghindari perbuatan<br />
malu tersebut sangat dibutuhkan suatu tindakan<br />
yang berani, tegas, dan penuh tanggung jawab.<br />
Tema dari cerita pertama ini ialah<br />
pertanggungjawaban terhadap tugas yang diemban<br />
setiap orang. Cerita tersebut mengisahkan sikap<br />
yang diambil oleh seorang putra raja ketika<br />
menerima tugas harus menemani seorang kontelir<br />
yang berburu ke hutan. Pada waktu perburuan<br />
sedang berlangsung, tiba-tiba seekor babi hutan<br />
yang ganas menyongsong sang kontelir Belanda.<br />
Melihat keadaan yang membahayakan itu, sang<br />
kontelir pun menembakkan senapangnya ke arah<br />
babi hutan hingga seluruh pelurunya habis sia-sia<br />
tanpa dapat mematikan babi yang terus<br />
menyongsong kontelir dengan ganasnya. Melihat<br />
keadaan benar-benar genitng, putra raja yang<br />
hanya bersenjatakan sebilah keris, secepat kilat<br />
meleset menebas babi hutan dan babi itu pun mati.<br />
Dengan rasa kagum melihat keberanian dan<br />
kecekatan putra raja, kontelir akhirnya<br />
memberikan senjata itu sebagai hadiah.<br />
Dari cerita dapat dilihat betapa tanggung<br />
jawab merupakan sesuatu yang harus dijunjung<br />
tinggi apabila seseorang ditugaskan melakukan<br />
suatu pekerjaan. Di samping itu, cerita tersebut<br />
pun memberikan gambaran bahwa Willem<br />
Iskander ingin memperlihatkan kepada bangsa<br />
Belanda bahwa putra Indonesia memiliki harga diri<br />
yang boleh dipertaruhkan dengan nyawa sekalipun,<br />
daripada harus menanggung malu dan membuat<br />
kekeliruan dengan tidak bisa mengemban tugas<br />
yang telah dipercayakan kepadanya.<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 22<br />
❏ Haris Sutan Lubis<br />
Cerita yang kedua berjudul, “Amamate ni<br />
Alak na Lidang” (Meninggalnya Orang yang<br />
Jujur) memiliki tema keagamaan. Cerita ini<br />
mengisahkan kepasrahan seseorang yang selama<br />
ini dikenal sebagai sangat jujur, dalam menerima<br />
kematian yang memang pasti datang pada setiap<br />
makhluk Allah. Kepasrahan yang didasari oleh<br />
kekuatan iman sang tokoh sebagai manusia<br />
beragama, memperlihatkan betapa pentingnya<br />
setiap orang untuk bersyukur terhadap apa-apa<br />
yang sudah diperolehnya selama ini di dunia,<br />
termasuk usia dan anak yang bakal<br />
ditinggalkannya. Kepasrahan itu ditandai lagi oleh<br />
kesadaran dan keyakinan yang kuat yang dilandasi<br />
oleh iman bahwa kehidupan di akhirat itu akan<br />
lebih menyenangkan dibandingkan di dunia,<br />
apabila selama hidupnya manusia itu selalu ingat<br />
dan bertaqwa kepada Allah SWT. Melalui cerita<br />
ini juga Willem Iskander secara jelas dan tegas<br />
mengingatkan manusia untuk tetap takut kepada<br />
Allah SWT, takut dalam arti untuk menjalankan<br />
perintah-Nya agar kelak dapat dapat hidup<br />
bahagia. Maka jelaslah bahwa pesan agar setiap<br />
manusia itu mempertebal keimanannya merupakan<br />
sesuatu yang harus dilaksanakan untuk<br />
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.<br />
Cerita yang ketiga berjudul, “Na Dangol<br />
Muda Na So Binoto” (Sedih Kalau Tak Tahu)<br />
bertemakan pendidikan. Cerita ini mengisahkan<br />
seorang raja dari pulau P yang pergi mengunjungi<br />
rumah seorang Asisten Residen Belanda. Sewaktu<br />
ia bertemu, di rumah itu pun sedang ada beberapa<br />
orang kulit putih yang sedang berbncang-bincang<br />
dengan Asisten Residen. Sebagaimana kebiasaan<br />
terhidanglah segelas teh panas menyambut sang<br />
raja yang baru duduk dan raja pulau P belum<br />
pernah mendapatkan suguhan seperti itu. Oleh<br />
karena itu, iapun mulai bingung memikirkan<br />
bagaimana caranya meminum teh panas tersebut.<br />
Dalam keadaan bingung dan malu untuk bertanya,<br />
maka diteguknya teh itu cepat-cepat. Melihat teh<br />
panas secepat itu direguk, sang pelayan pun<br />
kembali mengisikan minuman panas selanjutnya,<br />
karena mengira raja pulau P sangat haus. Raja<br />
pulau P yang melihat betapa cepatnya sang<br />
pelayanan mengisi kembali gelasnya, segera pula<br />
mereguk suguhan kedua tersebut, karena mengira<br />
memang begitulah aturan meminumnya. Kejadian<br />
itu berlangsung terus sampai tujuh gelas teh panas<br />
habis diteguk sang raja. Asisten Residen beserta<br />
kedua tamu menjadi bingung dan mereka berpikir<br />
betapa hausnya raja dari pulau P itu. Melihat itu<br />
sang raja minta ampun, sambil berkata, kalau<br />
memang raja pulau P telah berbuat kesalahan<br />
tolonglah diampuni dan kalau hendak dihukum<br />
tolonglah hukuman yang lain saja, karena perutnya<br />
sudah tak sanggup lagi menampung bergelas-gelas<br />
Modernisasi pada Bentuk dan Tema dalam<br />
Prosa-Prosa Willem Iskandar (1840 –1876)<br />
air panas. Mendengar komentar itu, tak<br />
tertahankan lagi bagi sang Asisten Residen, kedua<br />
tamu dan pelayannya untuk tertawa terbahakbahak.<br />
Setelah mengetahui kesalahpahaman yang<br />
terjadi, sang Asisten Residen pun menjelaskan itu<br />
bukanlah hukuman, namun untuk melarang raja<br />
meminum dengan cara begitu, sang Asisten takut<br />
kalau-kalau raja akan malu.<br />
Dari paparan itu dapat dilihat betapa<br />
sesatnya orang yang tidak tahu cara-cara bertamu<br />
dan berjamu. Oleh karena itu setiap sesuatu yang<br />
belum diketahui sebaiknya dipertanyakan dulu<br />
tanpa harus merasa malu untuk mengakui bahwa<br />
kita memang belum mengetahuinya. Di samping<br />
itu, melalui cerita ini Willem Iskander<br />
kelihatannya ingin menyindir pola hidup kaum<br />
bangsawan dulu yang kurang memperlihakan<br />
betapa pentingnya pendidikan itu, seperti<br />
mengetahui etika/tata pergaulan.<br />
Cerita yang keempat berjudul, “Pidong<br />
Garudo Bosar” (Burung Garuda Besar) memiliki<br />
tema rasa tanggung jawab sesama makhluk. Cerita<br />
yang mengambil lokasi di daerah Eropa ini<br />
mengisahkan tiga orang abang beradik yang ingin<br />
mengambil burung garuda yang bersarang di<br />
lembah yang sangat curam. Usaha mengambil<br />
anak burung garuda ini ternyata mendapat<br />
perlawanan yang berarti dari induknya dan burung<br />
garuda lainnya, karena memang burung juga<br />
memiliki naluri untuk menjaga keselamatan anakanaknya<br />
serta sesamanya. Hal itulah yang<br />
digambarkan Willem Iskander melalui cerita<br />
keempat ini yang hampir mengakibatkan kematian<br />
ketiga anak tersebut dari serangan burung garuda<br />
dan kawan-kawannya.<br />
Cerita kelima dan keenam merupakan<br />
cerita yang bersambung yang berjudul, “Tiruan ni<br />
Olong Ni Roa Marangka Maranggi” (Contoh<br />
Kasih Sayang yang Bersaudara). Jelaslah temanya<br />
merupakan rasa kasih sayang sesama saudara.<br />
Cerita ini juga mengambil lokasi di Eropa dan<br />
menuju India. Ketegaran kasih sayang ini<br />
digambarkan ketika kandasnya sebuah kapal layar<br />
yang membawa beratus orang penumpang. Untuk<br />
menyelamatkan diri setelah kapal itu pecah, maka<br />
kapten kapal memerintahkan agar setiap sekoci<br />
yang tersedia dimuat dengan sembilan belas orang.<br />
Namun keselamatan sekoci ini pun pada akhirnya<br />
tidak dapat dijamin, karena sudah mulai<br />
kekurangan bahan makanan, dan biasanya hanya<br />
dipersiapkan untuk empat orang penumpang. Maka<br />
diadakanlah perembukan dan akibatnya beberapa<br />
orang harus dijatuhkan ke laut. Ternyata di antara<br />
yang harus dibuang itu terdapat seorang lelaki<br />
yang memiliki seorang adik yang juga berada<br />
dalam sekoci dan tidak ikut untuk dibuang ke laut.<br />
Mengetahui sang abang akan dijadikan korban,<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Haris Sutan Lubis<br />
sang adik dengan perasaan kasih sayang meminta<br />
agar ia saja yang menggantikan abangnya dengan<br />
alasan bahwa abangnya itu sudah berkeluarga, oleh<br />
karena itu harus memelihara kehidupan anak dan<br />
isterinya lagi. Melihat pengorbanan adiknyayang<br />
tulus itu, sang abang akhirnya merasa harus<br />
menghargai dan membuktikan kasih sayangnya.<br />
Maka dengan alasan sang adik nantinya akan<br />
menggantikan kedudukannya sebagai kepala<br />
keluarga bagi anaknya, sang abang pun tetap<br />
berkeras hati untuk mencebur ke laut. Ketika<br />
hendak ia melompat, tiba-tiba saja sang adik<br />
mencegah dan seceapatnya mencebur ke laut.<br />
Rupanya sang adik seorang yang sangat mahir<br />
berenang, maka dengan usaha yang gigih, sang<br />
adik terus saja berenang mengikuti sekoci,<br />
meskipun beberapa kali ditolong oleh sebuah kapal<br />
yang berlayar menuju India.<br />
Cerita ketujuh dan kedelapanan berjudul,<br />
“Na Binuat Tingon Barita ni Tuan Colombus”<br />
(Yang Diambil dari Cerita Tuan Colombus)<br />
merupakan juga dua cerita yang bersambungan<br />
yang menceritakan kisah perjalanan Colombus, si<br />
penemu benua Amerika. Cerita yang bertemakan<br />
manfaat ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan umat<br />
manusia ini mengisahkan keunggulan Colombus<br />
memanfaatkan perhitungan berdasarkan ilmu<br />
astronomi.<br />
Cerita yang kesembilan yang berjudul, “Si<br />
Baroar”, merupakan sebuah legenda Mandailing<br />
yang bertemakan, siapa yang melakukan/<br />
meniatkan kejahatan terhadap orang lain, biasanya<br />
orang itulah yang akan menemui celakanya. Cerita<br />
ini mengisahkan usaha pembunuhan yang<br />
direncanakan Raja Hutabargot Sutan Pulungan<br />
terhadap Si Baroar, dengan cara menjerumuskannya<br />
ke dalam sebuah lobang yang dipersiapkan.<br />
Namun sialnya ternyata anak Sutan Pulungan<br />
sendirilah yang menjadi korbannya, karena adanya<br />
kesalahpahaman.<br />
Demikianlah telah diuraikan tema dan<br />
gambaran isi mengenai kesembilan prosa Willem<br />
Iskander tersebut. Kesembilan cerita itu pada<br />
dasarnya menitikberatkan pesan pada masalah<br />
pendidikan moral, keagamaan, kemanusiaan,<br />
kepahlawanan, dan ilmu pengetahuan.<br />
Dengan menyimpulkan tema-tema yang<br />
diangkat oleh Willem Iskander melalui cerita<br />
tersebut dapat dilihat bahwa wawasan serta<br />
orientasi ide yang ditampilkannya benar-benar<br />
telah meninggalkan pandangan dan pola pikir<br />
masyarakat tradisional dalam konteks cipta sastra,<br />
sebagai salah satu tindak komunikasi dan<br />
kreatifitasnya dalam tradisi kesusasteraan daerah<br />
se Indonesia. Kalau dibandingkan dengan masalahmasalah<br />
yang diangkat oleh pengarang sezaman<br />
kesusasteraan Indonesia modern, maka apa yang<br />
Halaman 23<br />
Modernisasi pada Bentuk dan Tema dalam<br />
Prosa-Prosa Willem Iskandar (1840 –1876)<br />
dilakukan oleh Willem Iskander sebenarnya dapat<br />
mengikuti kesejajaran dari segi tema dan isinya.<br />
Apabila ditinjau unsur-unsur yang<br />
terdapat di dalam kesembilan cerita Willem<br />
Iskander tersebut, maka hampir seluruh unsur<br />
cerita pendek ada di dalamnya, sehingga sangat<br />
berhasil membentuk bagan suatu cerita pendek<br />
sebagaimana dikenal kemudian di dalam<br />
kesusastraan Indonesia modern.<br />
Pada unsur plot, dapat dilihat bagaimana<br />
Willem Iskander menyusun cara penceritaannya<br />
yang dimulai dari pelukisan keadaan (situation),<br />
keterkaitan peristiwa (generating circumtances)<br />
menuju kepada keadaan-keadaan terutama tertentu<br />
yang cukup memuncak (rising action), baru<br />
kemudian ke arah klimaks, dan diakhiri dengan<br />
penyelesaian ceritanya. Kalau diperhatikan secara<br />
seksama kesembilan cerita tersebut, maka secara<br />
konvensional Willem Iskander memakai hampir<br />
semua babakan yang dimaksud.<br />
Unsur karakter dan tokoh sebagaimana<br />
dapat diikuti melalui cerita yang dibangunnya<br />
dapat pula dilihat melalui penggambaran sikap<br />
secara psikologis, yang ditemui pada setiap tokoh<br />
utama yang ditampilkan. Memang penggambaran<br />
karakter tersebut tidaklah setajam dan selengkap<br />
sebagaimana dapat ditemui dalam cerpen-cerpen<br />
modern Indonesia dewasa ini. Namun pengertian<br />
besar dapat memperlihatkan sikap dan tindakan<br />
para tokoh yang ditampilkannya dapatlah dipahami<br />
dan dimaklumi sebagai upaya pengenal tokoh<br />
kepada khalayak pembaca, yang salah satu<br />
tujuannya ialah untuk mengidentifikasikan ataupun<br />
penyejajaran tokoh dengan pembaca, agar<br />
pembaca merasa terlibat ke dalam cerita tersebut.<br />
Jelaslah bahwa semua cerita yang disampaikannya<br />
tetap memiliki tokoh sebagai pembaca cerita dan<br />
situasi.<br />
Sementara itu aspek hentakan-hentakan<br />
yang dilakukannya dalam setiap persoalan yang<br />
dikemukakannya melalui jalan cerita yang<br />
dibangunnya, juga mampu menjadikan daya pikat<br />
bagi pembaca, yang dalam cerita pendek sekarang<br />
dikenal dengan istilah suspens, yang bertujuan<br />
menarik perhatian pembaca untuk mengetahui<br />
lebih lanjut bagaimana cerita akan diperankan. Di<br />
samping itu Willem Iskander juga telah mampu<br />
mengajak pembaca untuk dapat membayangkan<br />
kajian yang dikemukakannya sehingga imajinasi<br />
pembaca akan selalu bermain-main ke arah yang<br />
dilukiskannya.<br />
Demikian pula dalam aspek keterlibatan<br />
pengarang dalam cerita tersebut, dalam arti dari<br />
mana pengarang berpijak untuk memulai cerita<br />
yang dipaparkannya (point of view). Sebagian<br />
besar cerita yang dikarangnya itu memakai cara<br />
‘orang ketiga’ (author-ominiscient) dengan<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 24<br />
❏ Haris Sutan Lubis<br />
mempergunakan tokoh (nama/sebutan orang<br />
ketiga), meskipun dalam salah satu ceritanya<br />
Willem Iskander hadir sebagai peninjau (authorobserver).<br />
Melalui unsur limited focus dan unity,<br />
Willem Iskander pun ternyata mampu membawa<br />
setiap pembaca yang baik kepada persoalan yang<br />
dikemukakannya tanpa harus membatasi<br />
perkembangan imajinasi pembaca. Pengarahan<br />
kepada titik penceritaan ini dilakukannya melalui<br />
keterkaitan sesama unsur yang ditampilkannya<br />
dalam membangun cerita-cerita yang ingin<br />
disampaikannya.<br />
Dengan tergambarnya semua unsur cerita<br />
pendek dalam setiap cerita yang dijalinnya, maka<br />
pengaruh yang kemudian nyata di hadapan<br />
pembaca ialah terbentuknya suatu struktur cerita<br />
yang pada dewasa ini dikenal sebagai cerita<br />
pendek. Padahal jelas bahwa bentuk cerpen pada<br />
masa tradisi kesusasteraan dengan berlangsung<br />
belumlah dikenal sama sekali khususnya di daerah<br />
Mandailing, Tapanuli Selatan dan daerah lainnya<br />
di seluruh (kini) Indonesia. Apalagi kalau ditinjau<br />
keseluruhan dari bangunan setiap cerita yang<br />
ditampilkannya itu, maka dapat dilihat konflikkonflik<br />
yang dihadapi tokoh mampu merangsang<br />
daya nalar kita untuk mengetahui konsepsi Willem<br />
Iskander mengenai kehidupan yang sebenarnya,<br />
baik mengenai hakikat kehidupan itu sendiri<br />
maupun hakikat ilmu pengetahuan, dan<br />
pandangannya mengenai kedudukan manusia<br />
dalam memandang kekuasaan Tuhan sebagai Yang<br />
Maha Besar.<br />
Unsur setting ternyata memiliki perhatian<br />
yang agak khusus pula bagi Willem Iskander. Tiga<br />
dari sembilan cerita itu mengambil tempat di dunia<br />
Barat, sekaligus tokoh-tokohnya. Kenyataan ini<br />
tentu saja sangat menarik perhatian, karena Willem<br />
Iskander pun dikenal hanya sebagai seorang<br />
sastrawan daerah Tapanuli Selatan. Namun<br />
meskipun sebagai seorang sastrawan daerah,<br />
ternyata wawasan pengetahuannya telah melewati<br />
dunia di luar daerahnya sendiri, dan merupakan<br />
indikasi keinginan Willem Iskander untuk turut<br />
membangun masyarakat bangsanya dengan<br />
kemampuan dan keunggulan ilmu pengetahuan<br />
yang memang telah lebih dahulu berkembang di<br />
wilayah Barat sana. Pemilihan setting dan tokoh<br />
yang bersumber dari dunia Barat itu mungkin<br />
dapat dipandang sebagai usaha atau pancingan<br />
Willem Iskander untuk merangsang masyarakat<br />
bangsanya agar berpikir lebih jauh dan luas lagi<br />
sampai ke benua asing, sebagai usaha mengejar<br />
ketertinggalan yang dialami selama ini. Oleh<br />
karena itu terasa wajar kalau setiap membaca<br />
cerita karangannya tersebut selalu ada kesan yang<br />
tertinggal, baik tentang kehidupan, ilmu<br />
Modernisasi pada Bentuk dan Tema dalam<br />
Prosa-Prosa Willem Iskandar (1840 –1876)<br />
pengetahuan, rasa kemanusiaan, maupun tentang<br />
keberadaan Tuhan sebagai Yang Maha.<br />
Aspek bahasa dalam cerita Willem<br />
Iskander ini hanya dibicarakan secara selintas dan<br />
sederhana saja, karena melalui aspek ini yang akan<br />
dilihat hanyalah strategi penggunaan jenis bahasa<br />
saja, sebagaimana empat jenis bahasa yang<br />
dimiliki masyarakat Mandailing, Tapanuli Selatan.<br />
Melalui bahasa, kebudayaan suatu bangsa<br />
dapat dibentuk, dibina, dan dikembangkan untuk<br />
dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya.<br />
Segala sesuatu yang berada di sekitar manusia,<br />
hanya mendapat tanggapan apabila dilakukan<br />
komunikasi secara tepat dan efektif melalui salah<br />
satu alatnya yakni bahasa. Susunan dan<br />
pengungkapan yang baik akan memudahkan<br />
komunikasi bejalan sesuai dengan tujuan<br />
penuturnya. Menurut Keraf (1980: 1) bahwa,<br />
komunikasi melalui bahasa akan memungkinkan<br />
tiap orang banyak menyesuaikan dirinya dengan<br />
lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya. Ia<br />
memungkinkan setiap orang untuk mempelajari<br />
kebiasaan adat-istiadat, kebudayaan serta latar<br />
belakangnya masing-masing. Dari penuturannya<br />
itu dapat dipahami betapa pentingnya bahasa<br />
tersebut sebagai alat komunikasi, karena memang<br />
sebagaimana dikatakan Keraf bahwa fungsi bahasa<br />
adalah untuk menyatakan ekspresi diri, alat<br />
komunikasi, alat untuk mengadakan kontrol sosial,<br />
alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi<br />
sosial.<br />
Apabila ditinjau bahasa yang<br />
dipergunakan Willem Iskander dalam<br />
menyampaikan cerita-ceritanya, maka dapat dilihat<br />
keempat fungsi bahasa sebagaimana dikemukakan<br />
Keraf tersebut tercakup di dalamnya. Kenyataan<br />
ini tak lain karena dalam menyampaikan idenya<br />
Willem Iskander mempergunakan ‘hata somal’<br />
yakni ragam sehari-hari yang digunakan oleh<br />
masyarakat Mandailing. Padahal sebenarnya dalam<br />
kesusasteraan daerah Mandailing dikenal satu<br />
ragam khas untuk kesusasteraan yakni ‘hata<br />
andung’ sebagaimana lazim digunakan dalam turiturian.<br />
Namun bagi Willem Iskander, penggunaan<br />
‘hata andung’ itu tidaklah tepat untuk cerita<br />
ataupun gagasan yang disampaikannya<br />
sebagaimana terkumpul dalam Si Bulus-Bulus Si<br />
Rumbuk-Rumbuk. Karena jika ragam ‘hata<br />
andung’ digunakannya maka fungsi bahasa<br />
sebagaimana diterapkan tadi tidak akan<br />
tercapai.Dengan demikian sasaran penulisan<br />
gagasannya pun akan mengalami hambatan, karena<br />
‘hata andung’ yang khas sastra ini hanya diketahui<br />
dan dimengerti oleh sebagian kecil masyarakat.<br />
Hal ini disebabkan ungkapan kata-katanya sangat<br />
jauh berbeda dengan ungkapan kata-kata seharihari.<br />
Jadi, dalam rangka mengkomunikasikan<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Haris Sutan Lubis<br />
pesan melalui cerita yang ditulisnya itu, Willem<br />
Iskander pun memanfaatkan ragam ‘hata somal’<br />
sebagai ragam yang paling mudah untuk<br />
dimengerti.<br />
Strategi ini jelas bertujuan untuk dapat<br />
memasyarakatkan pesan yang dikomunikasikannya<br />
itu secara lebih luas dan efektif. Selain berisi pesan<br />
ajaran-ajaran moral, cerita yang ditulisnya itu pun<br />
berisi kritik terhadap keberadaan kaum bangsawan<br />
pada masa itu, di samping untuk merangsang<br />
masyarakat bangsanya memberi perhatian kepada<br />
masalah keunggulan ilmu pengetahuan. Ternyata<br />
strategi yang dipakai Willem Iskander itu sangat<br />
berhasil. Salah satunya ialah, mampunya ceritacerita<br />
tersebut memasyarakatkan di kalangan<br />
orang-orang dewasa, padahal tujuan sebenarnya<br />
penulisan buku itu ialah untuk bahan bacaan anakanak<br />
sekolah dasar. Dalam hal ini bisa dilihat<br />
betapa cemerlangnya wawasan pemikiran Willem<br />
Iskander yang menyiapkan bahan bacaan/pelajaran<br />
bagi pendidikan dasar bangsanya (di Tapanuli<br />
Selatan), yang pada akhirnya ternyata mampu<br />
memberikan inspirasi bagi kaum pergerakan<br />
kebangsaan Tapanuli Selatan. Sebagai buku<br />
bacaan di sekolah, ternyata pula buku tersebut<br />
mampu bertahan selama 61 tahun, sebelum<br />
akhirnya dilarang beredar oleh pemerintah kolonial<br />
masa itu.<br />
Dengan demikian peranan pemakaian<br />
bahasa yang digunakan oleh Willem Iskander pun<br />
dapat memberi petunjuk betapa pandangan dan<br />
pemikiran beliau sangat jauh mendahului tradisi<br />
yang berlangsung di masa hidupnya di abad<br />
kesembilan belas yang lalu, terutama dihubungkan<br />
dengan konteks penulisan karya sastra.<br />
4. SIMPULAN<br />
Berdasarkan kajian terhadap prosa-prosa Willem<br />
Iskander ternyata memiliki kesamaan atau<br />
kesejajaran dengan bentuk cerpen yang eksis pada<br />
masa kesusasteraan Indonesia modern. Kesamaan<br />
dapat dilihat terutama dari segi bentuk dan tema<br />
Halaman 25<br />
Modernisasi pada Bentuk dan Tema dalam<br />
Prosa-Prosa Willem Iskandar (1840 –1876)<br />
cerita yang diciptakannya (gagasan), struktur<br />
ceritanya dan pemakaian bahasanya. Tentu saja<br />
penelaahan ini masih jauh dari sempurna, karena<br />
beberapa aspek tertentu yang akan mengukuhkan<br />
prosa Willem Iskander tersebut sebagai bentuk<br />
cerpen secara lokal masih belum disinggung.<br />
Namun dari penguraian yang sederhana ini, tentu<br />
saja dapat diambil kesimpulan bahwa memang<br />
jiwa dan raga bentuk cerpen –sebagai produk<br />
sastra modern—sudah kelihatan dalam prosa-prosa<br />
ciptaan Willem Iskander.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Damono, Sapardi Djoko. 1981. Tifa Budaya.<br />
Jakarta: Leppenas.<br />
Eneste, Pamusuk (Ed). 1983. Cerpen Indonesia<br />
Mutakhir. Antologi Esei dan Kritik. Jakarta:<br />
Gramedia.<br />
Harapan, Basyral Hamidy. (Penerjemah). 2002. Si<br />
Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk. Jakarta:<br />
Sanggar Willem Iskander.<br />
Keraf, Gorys. 1980. Komposisi. Flores: Nusa<br />
Indah.<br />
Lubis, H. S. 1985. Willem Iskander Penyair<br />
Modern Mandailing Abad XIX. (Skripsi).<br />
Fakultas Sastra USU Medan.<br />
Lubis, Mochtar. 1981. Teknik Mengarang. Jakarta:<br />
Kurnia Esa.<br />
Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia<br />
Beberapa Masalah Penelitian dan<br />
Pengembangannya. Jakarta: Balai Pustaka.<br />
Usman, Zuber. 1963. Kesusasteraan Lama<br />
Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 26<br />
❏ Yundi Fitrah<br />
Warna Lokal Batak Angkola dalam<br />
<strong>No</strong>vel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar<br />
WARNA LOKAL BATAK ANGKOLA<br />
DALAM NOVEL AZAB DAN SENGSARA KARYA MERARI SIREGAR<br />
Yundi Fitrah<br />
PBS FKIP <strong>Universitas</strong> Jambi<br />
Abstract<br />
This writing tells about the variation of Bataknese cultural of Angkola on torture and misery<br />
novel. Since Indonesia literature was born. The variation of culture always enriches it. The<br />
variation of culture especially visible novel Azab dan Sengsara work in Merari Siregar of<br />
Batak Angkola. The variation of Bataknese culture of Angkola on the novel, such as position<br />
of clan and the system of arrangement, tradition of martandang (visiting to girl’s house),<br />
belief to native doctor and soul of human being that was die, and the system of division of<br />
belongings.<br />
Key words: Bataknese culture of Angkola, Azab dan Sengsara novel<br />
1. PENDAHULUAN<br />
1.1 Latar Belakang<br />
Sejak awal kelahiran, pertumbuhan, dan<br />
perkembangan sastra Indonesia selalu ditandai<br />
dengan warna lokal. Warna lokal dalam sastra<br />
Melayu-Indonesia dimulai warna lokal Jawa,<br />
seperti Raja Paragon (1844), Bali, Purwa Carita<br />
Bali (1875), Betawi, Nyai Dasima (1896), Melayu,<br />
Hikayat Abdullah (akhir Abad ke–19 -yang ditulis<br />
dalam bahasa Melayu–Rendah-), Sunda, Angling<br />
Darma (1907), Batak Angkola 1) , Azab dan<br />
Sengsara (1921), Minangkabau, Siti Nurbaya<br />
(1922), dan seterusnya yang ditulis dalam bahasa<br />
Melayu–Tinggi.<br />
Adanya warna–warna lokal tersebut,<br />
membuktikan bahwa sastra Indonesia tidak<br />
terlepas sama sekali dengan kebudayaan<br />
tradisional. Para sastrawan umumnya masih<br />
menjaga, mempertahankan dan bahkan<br />
mengembangkan warna lokal. Penggunaan warna<br />
lokal akan dapat menghalangi gejala globalisasi.<br />
Sastrawan juga sadar dengan mengangkat nilai–<br />
nilai atau amanat-amanat lokal. akan dapat<br />
menjadikan suatu jawaban terhadap perubahanperubahan<br />
masyarakat karena dalam karya–karya<br />
yang diciptakan, terungkap dasar kebudayaan<br />
tradisional atau konflik nilai budaya dalam<br />
penghayatan manusia modern (Teeuw 1981 : 12 ).<br />
Oleh karena itu, menganalisis warna lokal adalah<br />
suatu yang menarik masa sekarang.<br />
Azab dan Sengsara (selanjutnya disingkat<br />
ADS) karya Merari Siregar adalah novel orisional<br />
pertama yang diterbitkan pada tahun 1921 oleh<br />
Balai Pustaka; lembaga penerbit Belanda. ADS<br />
berlatar sosial–budaya Batak Angkola (selanjutnya<br />
disingkat BA). ADS mengemukakan fakta-fakta<br />
tentang sistem pekawinan dengan cara paksa,<br />
peranan dan kedudukan marga, pengaturan harta<br />
warisan, adat-istiadat, dan tradisi-tradisi lainnya<br />
yang terdapat dalam masyarakat BA, khususnya<br />
daerah Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan.<br />
Untuk mengetahui apa, bagaimana, dan seberapa<br />
jauh gambaran warna lokal budaya BA dalam<br />
ADS, tulisan ini akan menguraikan secara rinci<br />
masalah-masalah tersebut.<br />
1.2 Metode, Teori, dan Pendekatan<br />
Tulisan ini adalah bersifat deskriptif-analitik.<br />
Metode yang digunakan adalah metode studi<br />
kepustakaan (library research). Artinya, data,<br />
sumber data dan alat untuk menganalis data<br />
semuanya bersumber dari buku-buku, majalah dan<br />
koran yang ada dalam koleksi perpustakaan. Data<br />
penelitian adalah novel Azab dan Sengsara karya<br />
Merari Siregar terbitan tahun 1993 oleh Balai<br />
Pustaka. Sumber data adalah hal-hal yang<br />
membuktikan warna lokal Batak Angkola berupa<br />
susunan bahasa; kata, kalimat atau paragraf yang<br />
terdapat dalam ADS, yang secara obyektifkualitatif<br />
menggambarkan warna lokal tersebut.<br />
Teori dan pendekatan yang digunakan<br />
adalah struktural-instrinsik; memandang karya<br />
sastra dalam hal ini juga novel sebagai suatu<br />
bangun struktur bahasa dan dapat didekati dari<br />
“unsur-unsur dalam” karya itu (Hudson 1963: 59;<br />
Wellek dan Austin 1997 : 45). Pendekatan inilah<br />
yang dijadikan sebagai alat menganalisis data<br />
untuk membuktikan konsep warna lokal BA yang<br />
digambarkan dalam novel ADS. Untuk<br />
menjelaskan konsep “warna lokal“, tulisan ini<br />
mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia<br />
(Moeliono 1988: 530). Dalam kamus ini diuraikan<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Yundi Fitrah<br />
bahwa kata “lokal“ berarti setempat, atau dibuat,<br />
tumbuh hidup, dan terdapat di suatu tempat.<br />
Penjelasannya, “Warna Lokal“ dapat berarti corak<br />
setempat, corak dibuat, dan corak yang tumbuh<br />
hidup, dan terdapat di suatu tempat.<br />
Selanjutnya, konsep “warna lokal” dalam<br />
Kamus Istilah Sastra (Zaidan 1991:125)<br />
dinyatakan, konsep “warna lokal” dalam “sastra<br />
lokal” tentu dalam ini juga “novel lokal” -karena<br />
novel adalah jenis sastra- di dalamnya dimuat<br />
dialek-dialek lokal, dan digambarkan masalahmasalah<br />
lokal. Artinya, penggambaran warna atau<br />
corak budaya lokal daerah (setempat). Berdasarkan<br />
rujukan tersebut, maka “warna lokal” yang<br />
dimaksudkan dalam tulisan ini adalah “warna<br />
lokal” BA; “warna lokal” BA setempat dan berada<br />
di dalam masyarakat budaya BA setempat, baik<br />
menggambarkan latar alam setempat maupun latar<br />
budaya setempat.<br />
Adapun langkah-langkah kerja yang<br />
dilakukan agar sampai pada pengungkapan<br />
masalah dalam tulisan ini adalah (1) membaca<br />
novel-novel Indonesia yang di dalamnya<br />
menggambarkan “warna lokal”, (2) menentukan<br />
konsep “warna lokal” budaya BA, (3) menerapkan<br />
konsep“warna lokal” BA, dan (4) membuktikan<br />
konsep “warna lokal” BA dalam novel Azab dan<br />
Sengsara.<br />
2. PEMBAHASAN DAN TEMUAN<br />
Masyarakat BA menduduki daerah Sipirok,<br />
Kabupaten Tapanuli 2) Selatan, <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>.<br />
Menurut Ichwan (1979 : 53), Batak dibagi atas<br />
beberapa golongan atau etnik; Karo-Batak, Pakpak-Batak,<br />
Angkola-Batak, dan lain-lain (Toba,<br />
Mandailing, dan Simalungun). Pembagian ini<br />
berdasarkan perbedaan susunan masyarakat atas<br />
beberapa kesatuan daerah yang dinamakan marga<br />
(kelompok keturunan). Marga-marga yang<br />
terdapat dalam masyarakat BA adalah: Siregar,<br />
Harahap, Pohan, Hasibuan, Hutasuhut, Daulae,<br />
Rambe, dan Pane. Masing-masing marga<br />
mempunyai peranan, kedudukan, dan berfungsi<br />
sebagai sistem pengaturan bermasyarakat dan<br />
berbudaya di daerah itu. Berikut ini uraian<br />
mengenai gambaran sistem masyarakat dan budaya<br />
daerah tersebut dalam novel ADS.<br />
2.1 Kedudukan Marga dan Sistem Pengaturannya<br />
Masyarakat BA khususnya orang Sipirok, marga<br />
adalah salah satu unsur penting dalam mengatur<br />
dan menjalankan adat-istiadat. Sebagai masyarakat<br />
yang mempunyai susunan kekeluargaan<br />
patrilineal, marga ditentukan menurut garis<br />
keturunan laki-laki (ayah). Artinya, apa marga<br />
pihak laki-laki yang sudah berkeluarga maka<br />
marga itulah yang diturunkan kepada anak, baik<br />
Halaman 27<br />
Warna Lokal Batak Angkola dalam<br />
<strong>No</strong>vel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar<br />
anak laki-laki (dalam bahasa BA disebut bayo)<br />
maupun anak perempuan (dalam bahasa BA<br />
disebut boru). Aturan ini digambarkan dalam ADS<br />
seperti berikut.<br />
Untuk menjelaskan adat-istiadat Batak, lebihlebih<br />
adat perkawinan, baiklah sekedar<br />
diterangkan, sekedar aturan-aturan yang harus<br />
diturut orang dalam perkawinan itu (hlm.<br />
125).<br />
Adapun masing-masing orang Batak<br />
mempunyai suku (marga). Seorang anak yang<br />
baru lahir beroleh marga Bapaknya. Marga<br />
itu ada bermacam-macam, misalnya di Luhan<br />
Sipirok, Siregar dan Harahap yang terbanyak,<br />
marga-marga lain ada pula umpamanya:<br />
Pane. Pohan, Sibuan (Hasibuan), dan lain-lain<br />
(hlm. 125).<br />
Oleh karena marga sangat berperan dan<br />
kedudukannya dalam masyarakat BA, maka untuk<br />
mencari calon istri atau calon suami harus<br />
ditanyakan terlebih dulu apa marga-nya, boru apa<br />
dia. Kawin se-marga dalam sistem masyarakat BA<br />
tidak dibenarkan dan dianggap melanggar adat,<br />
dan bahkan dapat dikeluarkan dari klan<br />
berdasarkan ketentuan adat. Kedudukan marga<br />
dinyatakan dalam kutipan berikut.<br />
Apakah marga-nya? Siapa orang tuanya?<br />
Tanya istrinya.<br />
Marganya Siregar, dan Bapaknya kepala<br />
kampung.<br />
Maka barang siapa yang hendak kawin,<br />
tidaklah boleh mengambil<br />
perempuan marga Siregar, meskipun mereka<br />
itu sudah jauh antaranya, artinya hanya nenek<br />
nenek moyang mereka itu, yang beratus tahun<br />
dahulu, yang bersaudara. Mereka itu tiada<br />
boleh mengambil-ambil dalam perkawinan,<br />
karena dilarang keras oleh adat. Akan tetapi<br />
anak muda marga Siregar boleh mengambil<br />
seorang anak perempuan marga Harahap,<br />
meskipun perkaumannya dengan anak gadis<br />
itu masih dekat, umpamanya senenek dengan<br />
dia. Artinya, nenek silaki pihak Ibu, nenek<br />
perempuan (hlm. 125-126).<br />
Dalam masyarakat BA, baik pemuda<br />
maupun pemudi tidak berhak mencari siapa yang<br />
menjadi pendamping hidupnya, dan tidak berhak<br />
pula menentukan siapa pasangan hidupnya. Yang<br />
berhak dalam menentukan siapa yang menjadi<br />
calon suami ataupun calon isteri adalah para orang<br />
tua. Hal ini dialami oleh Aminuddin sebagai tokoh<br />
utama dalam ADS, tidak dapat menentukan pilihan<br />
hatinya. Ia menuruti apa kehendak orang tua.<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 28<br />
❏ Yundi Fitrah<br />
Perasaannya terpaksa dijodohkan dengan orang<br />
yang tidak dicintainya. Perhatikan kutipan berikut.<br />
Oleh sebab itu haruslah anak itu menurut<br />
kehendak orang tuanya kalau ia hendak<br />
selamat di dunia. Itupun harapan Bapak dan<br />
Ibumu serta sekalian kaum-kaum kita anakku<br />
akan menurut permintaan kami itu, yakni<br />
anak Anda terimalah menantu Ayahanda<br />
yang kubawa ini?<br />
Meskipun Aminuddin mula-mula menolak<br />
perkataan itu, tetapi ada akhirnya terpaksalah<br />
ia menurut bujukan dan paksaan orang tua<br />
semua (hlm. 136).<br />
Sistem perkawinan yang ditentukan oleh<br />
orang tua, yang digambarkan dalam ADS, bukan<br />
hanya dialami oleh Aminuddin, akan tetapi juga<br />
dialami Mariamin. Mariamin dijodohkan dengan<br />
seorang pemuda yang tidak dicintainya. Dalam<br />
ADS digambarkan kedatangan seorang pemuda<br />
sebagai calon pendamping hidup yang sebenarnya<br />
tidak ia sukai. Oleh karena adat yang berlaku dan<br />
kepatuan terhadap orang tua, maka ia pun rela<br />
menerima seorang pemuda yang datang dari<br />
Padang Sidempuan yang sama sekali tidak dikenal,<br />
dan tidak dicintainya, dan harus menjadi jodoh<br />
baginya (hlm. 145).<br />
Adat-istiadat BA yang ketat dalam<br />
mengatur sistem perkawinan dengan cara paksa<br />
yang harus berdasarkan kehendak orang tua,<br />
sebenarnya dapat menjadikan perkawinan itu tidak<br />
bahagia dan berakibat buruk terhadap manusia.<br />
Selain itu, juga bertentangan dengan norma-norma<br />
kemanusiaan lebih-lebih kaidah-kaidah agama<br />
khususnya agama Islam yang kebanyakan dalam<br />
masyarakat BA, apalagi pemuda pemudi yang<br />
dikawinkan itu juga masih tergolong muda yang<br />
belum matang dari segi pemikiran. Oleh karena<br />
itu, kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat BA<br />
tersebut, harus dihilangkan dan jangan dilakukan<br />
lagi. Pemikiran terhadap upaya menghilangkan<br />
sistem perkawinan atas dasar kehendak para orang<br />
tua itu digambarkan dalam ADS pada kutipan<br />
berikut.<br />
Nyata sekarang betapa berbahayanya<br />
perkawinan yang dipaksakan itu, yang tiada<br />
disertai kasih keduanya.<br />
Maka jadi kewajibanlah bagi tiap–tiap orang<br />
yang tahu akan membuangkan adat itu dan<br />
kebiasaaan yang mendatangkan kecelakaan<br />
kepada manusia itu. Bukankah perkawinan<br />
yang lekas–lekas itu membinasakan<br />
perempuan? Ia dikawinkan oleh orang tuanya<br />
dengan orang yang disukainya (hlm.67 )<br />
Warna Lokal Batak Angkola dalam<br />
<strong>No</strong>vel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar<br />
Dari kutipan di atas, secara tersirat<br />
pengarang mengamanatkan kepada pembaca<br />
bahwa dalam ADS ada upaya menentang sistem<br />
perkawinan dengan cara paksa. Oleh karena itu<br />
bukan mustahil, perkawinan dengan cara paksa<br />
akan mengakibatkan perceraian dan bahkan akan<br />
terjadi penyesalan seumur hidup terutama terhadap<br />
orang tua. Hal ini dialami Mariamin yang<br />
perkawinanya tidak didasari cinta, ia dijodohkan<br />
dengan orang yang tidak disukainya... karena<br />
kawin paksa yang tidak merasakan berkasih–<br />
kasihan, akhirnya bercerai dan seumur hidupnya<br />
menyesal kepada orang tuanya. Alasannya<br />
bukanlah sudah nyata, bahwa perkawinan dengan<br />
paksa tidaklah baik (hlm.115).<br />
Perlakuan kawin paksa yang dialami<br />
Aminuddin dengan orang yang tidak dicintainya<br />
adalah disebabkan sikap ayahnya, Baginda Diatas<br />
yang tidak setuju terhadap Mariamin. Perlakuan<br />
kawin paksa yang dialami Mariamin dengan orang<br />
lain, disebabkan tekanan ekonomi keluarga. Ia<br />
dikawinkan dengan Kasibun seorang pegawai<br />
perkebunan yang sedang bertugas di Medan. Jadi,<br />
baik yang disebabkan oleh ketidaksetujuan pihak<br />
orang tua terhadap orang tertentu, maupun yang<br />
disebabkan oleh tekanan ekonomi, sebenarkan<br />
perkawinan dengan cara paksa adalah suatu<br />
kebiasaan budaya yang tidak baik. Tidak baik<br />
dalam pandangan kemanusian dan tidak baik pula<br />
dalam prinsip-prinsip keagamaan.<br />
Mengamati sikap Ayah Aminuddin,<br />
Baginda Diatas terhadap Mariamin, sebenarnya<br />
telah menyalahi adat-istiadat masyarakat BA.<br />
Sebab hubungan yang dibina antara Aminuddin<br />
dengan Mariamin bukanlah hubungan cinta-birahi,<br />
dan bukan pula hubungan se-marga yang memang<br />
tidak dibolehkan dalam masyarakat BA, akan<br />
tetapi hubungan yang didasari oleh kekeluargaan.<br />
Dalam adat masyarakat BA, Aminuddin<br />
memanggil Mariamin adalah Boru Tulang (anak<br />
perempuan dari saudara laki-laki pihak Ibu),<br />
sementara Mariamin memanggil Aminuddin<br />
adalah Anak Namboru (anak laki-laki dari Saudara<br />
perempuan pihak Ayah). Kalau mengacu pada<br />
ketentuan adat yang berlaku dalam masyarakat<br />
BA, tentu tidak boleh para orang tua<br />
menggagalkan hubungan mereka, bahkan<br />
mengharuskan ke jenjang perkawinan, yakni<br />
disebut dengan perkawinan manyonduti<br />
(perkawinan kembali ke pangkal keluarga). Tujuan<br />
perkawinan seperti ini adalah memperkuat tali<br />
kekerabatan. Kutipan berikut dinyatakan ketentuan<br />
adat istiadat tersebut.<br />
Hubungan kedua itu bertali, yakni Ibu<br />
Aminuddin Adik kandung Sultan Baringin.<br />
Jadi Aminuddin memanggil Sultan Baringin,<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Yundi Fitrah<br />
Tulang (artinya Mamak, Paman) dan kepada<br />
Ibu Mariamin Nantulang (artinya Inang<br />
Tulang = istri mamak ) menurut adat orang<br />
negeri itu (Tapanuli Selatan) seharusnyalah<br />
Aminuddin menyebutkan Mariamin Adik<br />
(Anggi dalam bahasa BA) dan perkawinan<br />
antara dua anak muda yang serupa itu amat<br />
disukai orang tua kedua belah pihak. Tali<br />
perkauman bertambah kuat (hlm.33)<br />
Seperti yang dinyatakan dalam kutipan di<br />
atas, adat-istiadat masyarakat BA dikenal dengan<br />
istilah exomi dan unilateral (Ichwan, 1979:53),<br />
artinya perkawinan di luar suku (bukan se-marga),<br />
akan tetapi masih dalam keluarga dekat. Jadi, apa<br />
yang dilakukan Aminuddin dan Mariamin adalah<br />
sesuatu yang sesuai dengan adat istiadat<br />
masyarakat BA dalam meneruskan tali<br />
kekerabatan dengan perkawinan di luar suku.<br />
Dinyatakan seperti itu, sebab marga Aminuddin<br />
adalah Siregar (Bayo Regar, dalam bahasa BA<br />
diistilahkan Bayo Enggan) sedangkan marga<br />
Mariamin adalah Harahap (Boru Harahap, dalam<br />
bahasa BA diistilahkan juga Boru Angin).<br />
Mengenai kawin paksa yang masingmasing<br />
dialami Aminuddin dan Mariamin adalah<br />
sudah lama menjadi kebiasaan bagi masyarakat<br />
BA. Dalam ADS digambarkan juga bahwa orang<br />
tua Mariamin, Nuria juga secara paksa dikawinkan<br />
dengan Sultan Baringin, orang yang sama sekali<br />
tidak dicintainya. (hlm.69) Jadi, tradisi yang<br />
dilakukan tersebut sudah turun-tenurun, sejak dari<br />
Nenek, Ibu, dan sampai kepada anak.<br />
2.2 Tradisi Martandang<br />
Martandang 3) adalah kunjungan pemuda ke rumah<br />
(tempat di mana saja) pemudi baik sebagai teman<br />
biasa maupun sudah menjadi kekasih baginya.<br />
Dalam pergaulan pemuda-pemudi, martandang ini<br />
sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat BA baik<br />
dulu dan juga sekarang. Kebiasaan seperti ini<br />
mengisyaratkan bagi pemuda-pemudi agar dapat<br />
berkenalan dengan baik dan dapat pula memilih<br />
calon teman hidup masing–masing. Seperti yang<br />
digambarkan dalam ADS, ketika Aminuddin<br />
sedang mendatangi Mariamin.<br />
Ah rupanya hari sudah malam.dan tadi saya<br />
menunggu angkang 4) , sahut gadis itu seraya<br />
berdiri dari batu besar itu. biasa tempat ia<br />
duduk pada waktu petang. Marilah kita naik<br />
(hlm.13).<br />
Kedua orang itu berhadap-hadapan di tempat<br />
sunyi itu. Seorang pun tiada yang bercakap<br />
masing–masing terpekur memikirkan nasib<br />
persahatan mereka itu. (hlm.15).<br />
Halaman 29<br />
Warna Lokal Batak Angkola dalam<br />
<strong>No</strong>vel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar<br />
Meskipun martandang sudah menjadi<br />
trdisi bagi masyarakat BA dan pemuda–pemudi<br />
dibenarkan mendatangi rumah calon pasangan<br />
hidupnya, akan tetapi para orang tua selalu<br />
memberikan pengawasan yang ketat kepada anakanaknya.<br />
Karena seperti apapun dekatnya<br />
hubungan antara pemuda-pemudi dalam bergaul<br />
melalui yang disebut martandang, masalah jodoh<br />
harus orang tua yang memberikan pertimbangan<br />
dan keputusan. Dalam ADS digambarkan ada dua<br />
tokoh; Nuria (Ibu Mariamin) yang pernah<br />
didatangi terus-menerus Sutan Baringin, dan Riam<br />
(Mariamin) yang juga didatangi oleh Aminuddin,<br />
akan tetapi tokoh Aminuddin memperoleh<br />
pengawasan yang ketat dari Ayahnya. (hlm. 115)<br />
Kebiasaan kawin paksa dalam masyarakat<br />
BA (seperti diuraikan dalam 2.1) adalah<br />
disebabkan peranan orang tua yang banyak<br />
memiliki pertimbangan terhadap calon<br />
menantunya. Seperti Aminuddin yang tidak<br />
disetujui Ayahnya menjadikan Mariamin sebagai<br />
calon menantu, karena status ekonomi rendah<br />
(miskin). Jika dicermati, yang menjadi penyebab<br />
timbulnya sikap seperti ini dalam masyarakat BA<br />
adalah pengaruh pola pikir yang datang dari<br />
Barat 5) ; yang memandang semuanya berdasarkan<br />
materi. Pada mulanya para orang tua dalam<br />
masyarakat BA tidak pernah memiliki sikap<br />
demikian, kalau pun ada kebiasaan kawin paksa,<br />
biasanya berdasarkan calon menantu yang<br />
diinginkan dan memiliki kepribadian baik. Tanpa<br />
alasan itu, sebenarnya tidak ada alasan lainnya.<br />
Hal inilah yang secara tegas digambarkan dalam<br />
ADS, Nuria menyetujui Aminuddin sebagai calon<br />
pendamping hidup Mariamin karena sejak kecil ia<br />
mengetahui perangai Aminuddin dan ia golongan<br />
anak yang baik–baik (hlm.115).<br />
2.3 Kepercayaan terhadap Dukun dan Arwah<br />
Manusia yang Meninggal<br />
Dalam kebiasaan sehari–hari masyarakat BA, ada<br />
suatu kepercayaan apabila seseorang mengalami<br />
masalah, sebelum melaksanakan suatu pekerjaan,<br />
mendirikan rumah atau lain–lain terlebih dahulu<br />
mendatangi datu (dukun). Hal ini bertujuan untuk<br />
meminta nasehat atau petunjuk agar pekerjaan<br />
yang akan dilakukan bisa berjalan dengan aman.<br />
Dalam ADS digambarkan sikap kepercayaan<br />
terhadap dukun, seperti yang dilakukan oleh orang<br />
tua Aminuddin ketika mereka berbeda pendapat<br />
mengenai Mariamin, jika dijadikan menantu.<br />
Perhatikan kutipan berikut.<br />
Kamu mengatakan Mariamin juga yang baik<br />
menantu kita pergi mendapatkan Datu<br />
Naserdung, akan bertanyakan untung dan<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 30<br />
❏ Yundi Fitrah<br />
rezeki Aminuddin, bila ia beristirahat<br />
Mariamin“<br />
Pada keesokan harinya pergilah kedua laki–<br />
laki itu membawa nasi bungkus ke rumah.<br />
Datu itu. Setelah habis makan mereka itupun<br />
yang laki–laki dan orang tuanya, nama anak<br />
gadis itu serta orang tuanya pula. Kemenyan<br />
pun dibakarlah, sehingga rumah itu penuh<br />
dengan asap dan bau kemenyan.<br />
Beberapa lama dukun itu mengangguk–<br />
anggukkan kepalanya perlahan–lahan serta<br />
berbisik–bisik membaca doa dan mantera.<br />
Kemudian ia membuka buku yang terletak di<br />
bawah perdupaan itu, lalu dibacanya ayat<br />
yang ditulis didalamnya.<br />
Maksudnya itu kurang baik. Awalnya laki–<br />
laki selamat dan beruntung. Lepas dua tahun,<br />
lahir seaorang anak laki–laki, tetapi baru–baru<br />
ia berusia tujuh tahun, anaknya meninggal<br />
dunia. Kata datu itu lambat– lambat tetapi<br />
terang dan nyatanya suara” (hlm. 123).<br />
Katika memulai suatu pekerjaan biasanya<br />
masyarakat BA harus terlebih dulu menemui<br />
dukun untuk mengetahui hari dan waktu yang baik<br />
atau waktu yang buruk (mambawa sial), agar<br />
pekerjaan itu tidak mengalami gangguan.<br />
Kebiasaan ini digambarkan juga dalam ADS pada<br />
Ayah Aminuddin. Sebelum menjemput calon<br />
menantu yang akan dibawa ke Deli, terlebih dulu<br />
menentukan waktu yang tepat. Oleh karena itu, ia<br />
bertanya kepada dukun. Sebelum sampai pada<br />
masanya (menurut dukun), anak gadis dijemput<br />
dan di bawa ke rumah Aminuddin, supaya esok<br />
atau lusa berangkat ke Deli (hlm.128).<br />
Selain kebiasaan percaya kepada dukun,<br />
masyarakat BA juga percaya kepada arwah<br />
manusia yang telah meninggal khususnya arwah<br />
orang tua. Kepercayaan ini dikarenakan bahwa<br />
orang tua dianggap memiliki peranan dan sangat<br />
menentukan dalam keluarga. Biasanya apa saja<br />
yang dikatakan para orang tua selalu didengar dan<br />
dipatuhi anak-anaknya. Apabila orang tua<br />
meninggal, arwahnya dianggap masih berada di<br />
sekitar rumah. Itulah sebabnya kuburan orang yang<br />
meninggal perlu diziarahi, ditembok, dihiasi<br />
bagus-bagus dan kalau perlu diantar sesajen 6) ke<br />
kuburan itu. Kebiasaan ini adalah melambangkan<br />
penghargaan terhadap orang yang sudah<br />
meninggal. Dalam ADS digambarkan pada tokoh<br />
Mariamin. Sebelum Mariamin meninggalkan<br />
Sipirok menuju Medan, terlebih dahulu ia<br />
menziarahi kuburan Sutan Baringin. Perhatikan<br />
kutipan berikut.<br />
Mariamin telah bersedia meninggalkan<br />
Sipirok, menuju ke Medan tempat yang ramai<br />
Warna Lokal Batak Angkola dalam<br />
<strong>No</strong>vel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar<br />
itu. Waktunya berangkat pun sudah dekat …<br />
malam itu yakni malam Jum`at, pergilah si<br />
ibu dengan limau purut serta bunga- bungaan,<br />
pergi mengunjungi kuburan mendiang Sutan<br />
Baringin. Mariamin meletakkan cambung itu,<br />
lalu mereka itu duduk bersama–sama di sisi<br />
kubur itu” (hlm.146).<br />
Demikian pula dalam bersaudara harus selalu<br />
ramai, karena kalau terjadi pertengkaran,<br />
arwah yang sudah meninggal akan marah.<br />
Itupun haraplah adinda ini akan kemurahan<br />
kakanda eloklah kita berdamai, supaya<br />
semangat mendiang Nenek kita jangan gusar<br />
atas perbuatan kita itu (hlm. 94).<br />
Kepercayaan terhadap dukun dan arwah<br />
manusia yang telah meninggal sampai sekarang<br />
masih dilakukan masyarakat BA, meskipun agama<br />
Islam 7) . Kristen dan pemikiran Barat telah lama<br />
masuk ke Tapanuli khususnya ke Sipirok, tetapi<br />
kebiasaan itu tetap ada. Seperti diketahui bahwa<br />
kepercayaan tersebut sangat bertentangan dengan<br />
ketauhidan agama Islam dan rasional Barat. Dalam<br />
ADS pun telah ada gambaran upaya masyarakat<br />
untuk mempertentangkan itu. Seperti musibah<br />
yang menimpa hubungan Aminuddin dengan Riam<br />
(Mariamin) ada penyesalan pada kedua suami<br />
isteri (orang tua Aminuddin) terhadap perkataan<br />
dukun, seperti berikut. “Siapa tahu, karena<br />
perbuatan itu aku memusnahkan untung dan mujur<br />
Aminuddin dan Riam? pikirnya dalam hatinya.<br />
Pikir istri, sebenarnya pendapatku itu lebih baik,<br />
tetapi apa boleh buat, perkataan datu-lah lebih kuat<br />
dihatimu”(hlm.142).<br />
2.4 Sistem Pembagian Harta Warisan<br />
Masyarakat BA mempunyai struktur kekeluargaan<br />
patrilineal, sehingga dalam hubungannya dengan<br />
perkawinan bersifat patrilokal (pasangan yang<br />
baru kawin bertempat tinggal di rumah pihak<br />
mempelai laki–laki); kekeluargaan ditentukan<br />
menurut garis ayah. Oleh karena itu masalah harta,<br />
terutama tanah yang menjadi harta penting bagi<br />
keluarga, diturunkan dari Ayah kepada anak laki–<br />
laki yang lahir dari perkawinan. Dalam ADS<br />
digambarkan sistem pembagian harta warisan pada<br />
Baginda Diatas dan Sutan Baringin. Perhatikan<br />
kutipan berikut.<br />
Baginda Diatas (Ayah Aminuddin) dapat<br />
dikatakan seorang yang kaya di Sipirok.<br />
Harta-hartanya amat banyak. Adapun<br />
kekayaan diperoleh dari peninggalan orang<br />
tua”. (hlm. 25) Sutan Baringin yang juga<br />
dikenal kaya di Sipirok, hartanya diperoleh<br />
dari warisan mendiang Neneknya”. (hlm. 94).<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Yundi Fitrah<br />
(dalam masyarakat BA harta Nenek<br />
diturunkan ke anak, dan dari anak ke cucu<br />
dan seterusnya); oleh karena itu Sutan<br />
Baringin bersaudara dua orang (sama laki–<br />
laki), maka dalam pembagian pun di bagi dua.<br />
(hlm. 94)<br />
3. PENUTUP<br />
Dalam masyarakat BA kedudukan marga adalah<br />
unsur yang amat penting dalam mengatur dan<br />
menjalankan adat-istiadat. Perkawinan se-marga<br />
tidak dibenarkan. Perkawinan secara paksa yang<br />
terjadi pada tokoh Aminuddin dan demikian juga<br />
pada tokoh Mariamin, bukan karena se-marga,<br />
namun pandangan orang tua yang<br />
mempertahankan sistem kawin paksa. Hubungan<br />
yang telah dibina antara Aminuddin dan Mariamin<br />
dibolehkan dalam adat istiadat masyarakat BA,<br />
yakni disebut manyonduti; keinginan kembali<br />
kepada perkawinan kekerabatan yaitu kawin<br />
dengan Boru Tulang.<br />
Tradisi martandang dalam masyarakat<br />
BA adalah kedatangan pemuda ke rumah pemudi<br />
dalam mencari pasangan hidup. Meski demikian<br />
yang berhak dalam memutuskan suatu pasangan<br />
hidup adalah para orang tua. Seperti yang dialami<br />
Aminuddin, sejak kecil telah mendatangi<br />
Mariamin akan tetapi Baginda Diatas (Ayah<br />
Aminuddin) yang menentukan kepastian siapa<br />
yang menjadi pasangan hidup anaknya.<br />
Masyarakat BA percaya terhadap dukun<br />
dan arwah manusia yang telah meninggal. Dalam<br />
ADS digambarkan Baginda Diatas sedang<br />
meminta nasehat kepada datu (dukun) tentang<br />
kemungkinan apa yang terjadi kalau Aminuddin<br />
mengawini Mariamin. Dalam menentukan waktu<br />
ketika menjemput calon menantu Baginda Diatas,<br />
ia terlebih dahulu bertanya kepada dukun.<br />
Kepercayaan terhadap arwah manusia yang telah<br />
meninggal, digambarkan pada tokoh Mariamin dan<br />
Ibunya (Nuria) ketika berziarah ke kuburan Sutan<br />
Baringin. Demikian juga ketika Sutan Baringin<br />
dengan Adiknya sedang terjadi suatu pertengkaran,<br />
mereka menyebut-nyebut arwah mendiang nenek<br />
mereka yang sewaktu-waktu dapat mengganggu,<br />
apabila diantaranya tidak terjadi kedamaian.<br />
Sistem pembagian harta warisan yang<br />
turun kepada anak laki-laki, digambarkan dalam<br />
ADS pada tokoh Baginda Diatas dan tokoh Sutan<br />
Halaman 31<br />
Warna Lokal Batak Angkola dalam<br />
<strong>No</strong>vel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar<br />
Baringin. Harta yang diperoleh Baginda Diatas<br />
berasal dari orang tua. Demikian juga harta yang<br />
diperoleh Sutan Baringin adalah dari warisan<br />
mendiang neneknya.<br />
-------------------------------<br />
1) Angkola berbeda dengan Mandailing dan<br />
adalah salah satu dari enam etnik suku Batak.<br />
2) Tapanuli ( berasal dari Tapian Nauli artinya<br />
“Tepian yang indah.“<br />
3) Martandang artinya pemuda mengunjungi<br />
rumah gadis dan dapat saja dilakukan pada<br />
malam hari.<br />
4) Angkang dalam bahasa Batak Angkola; dalam<br />
bahasa Indonesia “Abang “<br />
5) Barat maksudnya Belanda.<br />
6) Sesajen, berupa makanan-makanan, buahbuahan,<br />
dan juga bunga-bungaan.<br />
7) Islam, masyarakat Batak Angkola umumnya<br />
beragama Islam.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Hudson, William Henry. 1963. An Introdution to<br />
The Study of Literatur. London: George G.<br />
Harrap dan Co. Itd.<br />
Ichwan. 1979. Sari Bangsa-bangsa (Ethologi).<br />
Jakarta: Erlangga.<br />
Moeliono, Anton (Ed.) 1988. Kamus Besar Bahasa<br />
Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan<br />
Pengembangan Bahasa, Depdikbud.<br />
Siregar, Merari. 1993. Azab dan Sengsara. Jakarta:<br />
Balai Pustaka.<br />
Teeuw,A 1981. Sastra Baru Indonesia 1.Ende –<br />
Flores: Nusa Indah.<br />
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1997. Teori<br />
Kesusastraan. Terj. Melani Budianta.<br />
Jakarta: Gramedia.<br />
Zaidan, Abdul Rozak, dkk 1991.Kamus Istilah<br />
Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan<br />
Pengembangan Bahasa, Depdikbud.<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 32<br />
❏ Ikhwanuddin Nasution<br />
Estetisasi Amir Hamzah<br />
terhadap Gerakan Kebangsaan<br />
ESTETISASI AMIR HAMZAH TERHADAP<br />
GERAKAN KEBANGSAAN<br />
Ikhwanuddin Nasution<br />
Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />
Abstract<br />
Amir Hamzah’s estheticism to nationality movement began from the mind conflicts that felt<br />
from external world. He contemplated inward and then realized it in masterpiece forms,<br />
such as poem and prose. From the form, the masterpieces of Amir Hamzah were still tied<br />
with compatibility esthetics, but from the contents they showed the existence of stress<br />
esthetics.<br />
Key words: compatibility, stress, and anxiety<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Amir Hamzah yang dikenal sebagai Raja Penyair<br />
Pujangga Baru dilahirkan di Langkat, 28 Pebruari<br />
1911, seorang bangsawan yang hidup di<br />
lingkungan kesultanan. Amir Hamzah juga seorang<br />
terpelajar, mula-mula ia sekolah di HIS Tanjung<br />
Pura, kemudian pindah ke Medan masuk Mulo,<br />
ketika kelas dua pindah ke Jakarta dan setelah<br />
tamat dari Mulo, ia masuk AMS bagian sastra<br />
Timur di Surakarta sampai tamat, baru kemudian<br />
masuk Sekolah Tinggi Hukum sampai mencapai<br />
sarjana muda, ia tidak melanjutkannya. Amir<br />
Hamzah kembali ke Tanjung Pura karena<br />
panggilan keluarga untuk bekerja di kesultanan<br />
Langkat dan menikah. Pada saat terjadi pergolakan<br />
revolusi di <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> (saat itu <strong>Sumatera</strong><br />
Timur), 1946, Amir Hamzah bersama beberapa<br />
keluarganya diculik dan dibunuh.<br />
Amir Hamzah sangat berperan dalam<br />
perkembangan sastra Indonesia, ia termasuk<br />
bagian dari Angkatan Pujangag Baru (Angkatan<br />
’33). Teeuw (1980:123) mengatakan bahwa faktor<br />
bahasa amat penting untuk menjelaskan peranan<br />
utama yang dimainkan oleh orang-orang <strong>Sumatera</strong><br />
–terutama orang Minangkabau– dalam<br />
perkembangan sastra Indonesia sebelum perang,<br />
bahasa mereka paling dekat dengan bahasa Melayu<br />
dalam bentuknya yang akan berkembang menjadi<br />
bahasa Indonesia. Namun, di antara orang<br />
<strong>Sumatera</strong> itu, Amir Hamzahlah orang Melayu<br />
sejati. Amir Hamzah dipupuk dan diasuh dalam<br />
suasana kesusastraan dan kebudayaan Melayu.<br />
Tentu saja, bahasa yang dikenalnya sejak kecil itu<br />
merupakan suatu inspirasi bagi Amir Hamzah.<br />
Akan tetapi, Amir Hamzah bukanlah<br />
orang Melayu yang murni dalam arti kata bahwa<br />
kehidupan dan kebudayaannya tidak pernah<br />
disentuh oleh pengaruh-pengaruh asing. Malahan,<br />
hampir semua puisinya ditulis jauh dari alam<br />
Melayu, yakni di Jawa, ketika ia tinggal dan<br />
belajar di sana dan sebagai seorang Indonesia<br />
muda, bukan sebagai orang Melayu. Kala itu, ia<br />
memainkan peranan aktif dalam kumpulan<br />
Pujangga Baru. Pada dasarnya, ia lebih banyak<br />
memperoleh pendidikan Barat, walaupun ia pernah<br />
mendapat didikan pada aliran Timur di AMS.<br />
Bahkan kumpulan puisinya Buah Rindu<br />
dipersembahkannya “Ke bawah Paduka Indonesia-<br />
Raya”.<br />
Bahasa yang lama dan bentuk-bentuk<br />
puisi lama medapat jiwa baru dalam tangan Amir<br />
Hamzah. Ia tidak menghindarikan bentuk syair<br />
tetapi di tanggannya bentuk itu mendapat isi yang<br />
sesungguhnya. Kata-kata dalam puisi-puisinya<br />
bukan saja berirama, tetapi juga mempunyai<br />
makna yang dalam (Hooykaas 1951:45).<br />
Simorangkir-Simanjuntak (1961:87) mengatakan<br />
bahwa penyair besar ini menempatkan kata-kata<br />
Malayu lama dalam bentuk, bunyi, dan irama yang<br />
amat bagus, sehingga untaian kata-katanya itu<br />
masuk meresap ke dalam kalbu, tetapi sebagai<br />
barang yang murni-mulia, puisi-puisinya tidak<br />
dapat diukur dengan ukuran sehari-hari. Oleh<br />
karena itulah Jassin (1955:19) mengatakan bahwa<br />
tidak banyak orang yang dapat merasakan<br />
kedalaman puisi-puisi Amir Hamzah. Sebab selain<br />
bahasanya yang sulit, yang menambah kelamnya<br />
puisi-puisinya itu, juga karena perbandinganperbandingan<br />
yang tidak biasa.<br />
2. KEBIMBANGAN ESTETIKA<br />
Estetika dalam perkembangan sastra di Indonesia<br />
telah mengalami pergeseran-pergeseran<br />
paradigma, mulai dari estetika keselarasan, estetika<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Ikhwanuddin Nasution<br />
pertentangan (ketegangan menurut istilah Teeuw),<br />
sampai pada estetika posmodernisme dan estetika<br />
feminisme pada sastra kontemporer saat ini.<br />
Menurut Saryono (2006) dan Teeuw (1988)<br />
Estetika keselarasan terdapat pada sastra lama<br />
Indonesia seperti sastra Jawa dan Melayu.<br />
Saryono (2006:37) mengatakan bahwa<br />
dalam estetika keselarasan terkandung pengertian<br />
yang estetis harus selaras dan serasi dengan<br />
“segala hal” yang terepresentasikan dalam karya<br />
sastra dan yang terepresentasikan itu harus<br />
diselaraskan dengan etik, filosofi, dan religius<br />
(selaras secara vertikal) pada satu pihak dan pada<br />
pihak lain diselaraskan dengan segala aktivitas<br />
eksistensial manusia (selaras secara horizontal)<br />
yang terepresentasikan ke dalam karya sastra.<br />
Teeuw (1988:356) mengatakan bahwa estetika saat<br />
itu tidak bersifat otonom, fungsi seni diabdikan<br />
pada fungsi agama; lewat seni (sastra) manusia<br />
diperhadapkan dengan keagungan ciptaan Tuhan<br />
dan dia akan menghilangkan dia (atau kehilangan<br />
diri) dalam keagungan pesona itu, seperti terlihat<br />
dalam sastra Melayu lama atau manusia seniman<br />
lewat seni mencoba menjangkau persatuan dengan<br />
Dewa yang akhirnya membawa kehampaan multak<br />
dan kehilangan dari rantai eksistensi manusia,<br />
seperti terlihat pada sastra Jawa Kuno.<br />
Pada sastra modern Indonesia didominasi<br />
oleh estetika pertentangan (ketegangan menurut<br />
istilah Teeuw). Estetika ini berkeyakinan bahwa<br />
ketegangan dan kebaruan merupakan sifat dasar<br />
atau ciri pokok estetika sehingga “kebagusan” atau<br />
bobot sastra diukur dari kemampuannya<br />
menampilkan dan menimbulkan ketegangan dan<br />
kebaruan. Estetika pertentangan ini ada pada masa<br />
modernisasi dan mencapai kemapanan dan<br />
kedominannya pada dasawarsa kedua abad ke-20<br />
(Saryono 2006: 3–5).<br />
Namun, menurut Sarjono (2001:127–129)<br />
sastra modern Indonesia lahir dari patahan yang<br />
keras dengan masa silam dan dengan hamparan<br />
masyarakat awam bangsa Indonesia. Pada awal<br />
kelahiran sastra modern Indonesia tidaklah<br />
melahirkan bentuk sastrawi yang kukuh. Karyakarya<br />
yang lahir dari simpati yang memadai pada<br />
tradisi yang justru melahirkan karya yang memiliki<br />
kualitas sastrawi yang kukuh. Puisi-puisi Sutan<br />
Takdir Alisyahbana tidaklah sekukuh kualitas<br />
puisi-puisi Amir Hamzah. Sementara novel Sitti<br />
Nurbaya karya Marah Rusli secara sastrawi tidak<br />
sekukuh novel Salah Asuhan karya Abdul Moeis.<br />
Di sisi lain, Layar Terkembang Sutan Takdir<br />
Alisyahbana pun tidak semantap kualitas sastrawi<br />
novel Belenggu karya Armjin Pane. Sekalipun<br />
demikian, karya yang secara isi mengusung<br />
patahan dan tantangan keras terhadap tradisi<br />
ternyata lebih populer dan memasyarakat<br />
Halaman 33<br />
Estetisasi Amir Hamzah<br />
terhadap Gerakan Kebangsaan<br />
dibanding karya yang bersimpati dan mencoba<br />
memberi harga pada kehangatan tradisi. Salah<br />
Asuhan jelas kalah populer dibanding Sitti<br />
Nurbaya atau Layar Terkembang lebih diterima<br />
publik ketimbang Belenggu.<br />
Pencitraan modernitas dan perlawanan<br />
terhadap tradisi itu dalam beberapa karya sastra<br />
hanya terlihat sebagai ide, bukan pengalaman dari<br />
sastrawannya. Hal itu menimbulkan karya-karya<br />
sastra yang lebih mementingkan pesan daripada<br />
estetika pengungkapannya. Karya sastra yang<br />
demikian biasanya disebut sastra bertendens,<br />
misalnya terlihat pada karya-karya Sutan Takdir<br />
Alisyahbana. Akan tetapi, sastra bukanlah muatan<br />
ide belaka, ada unsur-unsur lain yang harus<br />
diperhatikan, terutama adanya gugusan estetika<br />
tempat ide diolah dan diungkapkan.<br />
Gairah pemberontakan dan kualitas<br />
estetika dalam pengungkapkannya muncul dalam<br />
paduan yang kukuh pada karya-karya Chairil<br />
Anwar. Di satu sisi karya-karyanya unggul secara<br />
estetika dan di sisi lain bersesuaian pula dengan<br />
cakrawala harapan masyarakat Indonesia yang<br />
tengah mengalami pemberontakan. Puisi-puisi<br />
Chairil Anwar merupakan semangat keakuan yang<br />
“meradang menerjang.”<br />
Pada puisi-puisi Chairil inilah estetika<br />
pertentangan menjadi kekuatan yang telah<br />
meninggalkan tradisi estetika keselarasan, bahkan<br />
estetika keselarasan menjadi terpingkirkan.<br />
Kekuatan estetika puisi-puisi Chairil Anwar itu<br />
menjadi ikutan para penyair berikutnya, meskipun<br />
ada usaha para penyair untuk kembali mengusung<br />
estetika tradisi (keselarasan) dan<br />
menggabungkannya dengan diskursus modernitas,<br />
seperti terlihat pada Rendra, Goenawan Mohamad,<br />
Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M.,<br />
yang melahirkan estetika “puisi-puisi suasana”<br />
(menurut istilah Dami N. Toda 1984). Namun<br />
tidak terlihat pertentangan keras dengan estetika<br />
pertentangan yang dibawakan oleh Chairil Anwar.<br />
Pemberontakan terhadap estetika puisi-puisi<br />
Chairil Anwar dilakukan dengan keras oleh<br />
Sutardji Calzoum Bachri. Pergulatannya dengan<br />
estetika perpuisian Barat tidak menghalanginya<br />
mengambil langkah ekstrim kembali ke puitika<br />
mantra dari kampung halamannya di Riau.<br />
Berbeda dengan pandangan Lombard<br />
(2005:189–191) tentang pergulatan estetika dalam<br />
sastra modern Indonesia. Lombard mengatakan<br />
bahwa ada kebimbangan untuk menempatkan<br />
estetika Barat (modern) dalam hampir semua<br />
kegiatan seni di Indonesia, termasuk sastra. Di<br />
awal pertumbuhan sastra modern Indonesia, yakni<br />
periode 1920-an dan 1930-an, para sastrawan,<br />
yang pada umumnya berasal dari <strong>Sumatera</strong>;<br />
berusaha memutuskan hubungan dengan bentuk-<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 34<br />
❏ Ikhwanuddin Nasution<br />
bentuk lama sastra Melayu, seperti pantun, syair,<br />
dan hikayat dan menerima bentuk-bentuk sastra<br />
dari Barat, seperti soneta, roman, dan drama<br />
(umumnya lima babak). Tahun 1942, dengan<br />
kedatangan Jepang, menandai suatu keterputusan<br />
dengan Barat, karena larangan penggunaan bahasa<br />
Belanda dan tahun 1945 dialog dengan Barat<br />
tersambung kembali meskipun bentuknya lain,<br />
yakni para sastrawan mengembangkan bentuk<br />
cerita pendek (cerpen), seperti cerpen-cerpen<br />
Idrus. Sementara dari bentuk puisi sudah semakin<br />
bebas, seperti puisi-puisi Charil Anwar.<br />
Selanjutnya Lombard menjelaskan bahwa<br />
periode 1950–1965 merupakan periode yang rumit,<br />
karena pengertian Barat sudah semakin kabur,<br />
menghalus dan akhirnya terbelah menjadi dua<br />
pandangan yang berhadapan dan saling<br />
menjatuhkan. Kedua pandangan itu adalah<br />
pandangan “seni untuk seni” yang merupakan proestetika<br />
Barat dan mengusung “budaya universal”<br />
yang didukung oleh Seniman Gelanggang<br />
Merdeka dan kemudian kelompok “Manifes<br />
Kebudayaan”, sedangkan pandangan lainnya<br />
adalah “seni untuk rakyat” yang didukung oleh<br />
Lekra, yang menginginkan agar bentuk-bentuk<br />
budaya lama (termasuk estetika) dapat dikaji ulang<br />
dan segi-segi positifnya dapat dimanfaatkan.<br />
Kelompok ini mengharapkan kebangkitan suatu<br />
“realisme kreatif”. Kemudian pada periode atau<br />
Angkatan ’66, estetika Barat kembali digalakkan,<br />
namun kecenderungan ke arah realisme tidak<br />
hilang, seperti terlihat pada karya Ajib Rosidi,<br />
N.H. Dini, dan Ramadhan K.H. Akan tetapi,<br />
bentuk fantasi, imajinasi tetap terlihat seperti pada<br />
karya-karya Iwan Simatupang, Rendra, Putu<br />
Wijaya, Ki Panjikusmin, dan Danarto.<br />
Namun, Lombard menegaskan bahwa<br />
peranan dan pengaruh sastra modern Indonesia<br />
terhadap masyarakat sangat sedikit, sehingga apa<br />
yang diinginkan dan dicita-citakan oleh para<br />
sastrawan itu tidak tercapai. Hal ini disebabkan<br />
masyarakat Indonesia masih sangat sedikit<br />
minatnya untuk membaca karya-karya sastra, tidak<br />
seperti di Eropa (Barat). Setiap orang Eropa<br />
terdidik dan sedikit banyak dituntut untuk<br />
mengetahui karya-karya sastra kontemporer dari<br />
sastrawan-sastrawan mereka, sedangkan di<br />
Indonesia, orang terdidik tidak merasa malu<br />
mengatakan bahwa ia belum pernah membaca<br />
karya Sutan Takdir Alisyahbana atau karya-karya<br />
sastra kontemporer Indonesia. Sementara<br />
masyarakat Indonesia masih lebih banyak yang<br />
menikmati bentuk-bentuk sastra lokal yang<br />
membina estetika keselarasan, seperti di daerahdaerah<br />
Jawa, Bali, dan <strong>Sumatera</strong>. Hal itu justru<br />
membuat adanya kebimbangan dalam estetika.<br />
Estetisasi Amir Hamzah<br />
terhadap Gerakan Kebangsaan<br />
Apa yang diungkapkan Lombard hanya<br />
pada periode awal dan peralihan kekuasaan, tetapi<br />
pada periode-periode selanjutnya estetika<br />
pertentangan justru semakin kuat dipengaruhi oleh<br />
estetika Barat. Apalagi keadaan itu diperkuat oleh<br />
birokrat pemerintahan Orde Baru yang mendirikan<br />
TIM dan membentuk DKJ. TIM menjadi pusat<br />
kegiatan kesenian dan budaya. Estetika<br />
pertentangan semakin kuat dan menjadikan satusatunya<br />
ukuran keberhasilan sebuah karya seni<br />
(sastra).<br />
Dari beberapa pandangan di atas jelas<br />
bahwa pada Angkatan Pujangga Baru, meskipun<br />
modernisme sudah terlihat dengan estetikanya,<br />
tetapi pengaruh dari estetika keselarasan (tradisi)<br />
masih juga terasa. Walaupun estetika keselarasan<br />
itu telah dikemas sedemikian rupa agar dapat<br />
disesuaikan dengan modernisme. Hal itu terasa<br />
benar pada puisi-puisi Amir Hamzah yang secara<br />
kualitas lebih kukuh dari puisi-puisi Sutan Takdir<br />
Alisyahbana.<br />
3. PUISI KEBANGSAAN<br />
Angkatan Pujangga Baru atau Angkatan ’33<br />
dikenal sebagai suatu angkatan dalam sastra<br />
Indonesia yang secara tematis telah<br />
memperjuangkan kehidupan kebangsaan<br />
(Indonesia) dengan tema-tema yang universal<br />
(mengindonesia). Tema-tema itu dipengaruhi<br />
paham modernisme dalam tatanan kemasyarakatan<br />
dan kebudayaan. Pada masa ini berkembang<br />
keinginan kaum cendikiawan untuk membentuk<br />
kebudayaan baru Indonesia.<br />
Sutan Takdir Alisyabana (STA), salah<br />
satu pelopor Angkatan Pujangga Baru<br />
menginginkan agar kebudayaan baru itu<br />
berorientasi ke kebudayaan Barat. Pernyataan STA<br />
itu menimbulkan polemik yang berkepanjangan<br />
dan tidak berkesudahan. STA berpolemik dengan<br />
Sanusi Pane, dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantoro, dan<br />
lain-lain yang merupakan kaum cendikiawan,<br />
budayawan, dan sastrawan saat itu.<br />
Pada angkatan ini puisi-puisi kebangsaan<br />
pun muncul dengan corak yang menunjukkan rasa<br />
kebangsaan yang masih tarap cita-cita. Namun<br />
dalam kehidupan bersastra para sastrawan<br />
Angkatan Pujangga Baru ini aktif dalam<br />
pergerakan perjuangan kebangsaan dengan<br />
menunjukkan estetika kesastraannya masingmasing.<br />
Perkumpulan Pujangga Baru merupakan<br />
wadah untuk mengumpulkan para seniman,<br />
sastrawan, budayawan, dan cendikiawan yang<br />
berasal dari berbagai daerah di wilayah Indonesia.<br />
Mereka menerbitkan sebuah majalah,<br />
yakni Pujangga Baru, yang pada penerbitan<br />
perdananya memberi penjelasan-penjelasan<br />
tentang kepentingan sastra dalam perjuangan<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Ikhwanuddin Nasution<br />
kebangsaan, di antaranya berbunyi, “Dalam zaman<br />
kebangunan sekarang ini pun kesusastraan bangsa<br />
kita mempunyai tanggungan dan kewajiban yang<br />
luhur. Ia menjelmakan semangat baru yang<br />
memenuhi masyarakat kita. Ia harus menyampaikan<br />
berita kebenaran yang terbayang-bayang dalam<br />
hati segala bangsa Indonesia yang yakin akan<br />
tibanya masa kebenaran itu” (Rosidi, 1976:35).<br />
4. ESTETISASI AMIR HAMZAH<br />
Amir Hamzah yang turut dalam Angkatan<br />
Pujangga Baru itu tidak terlepas dari apa yang<br />
mereka cita-citakan meskipun karya-karya Amir<br />
Hamzah tidak secara eksplisit menggambarkan<br />
pergerakan perjuangan kebangsaan itu. Pengamat<br />
sastra cenderung mengatakan puisi-pusi Amir<br />
Hamzah sebagai puisi religius, mistik, romantik,<br />
dan cinta-kasih.<br />
Amir Hamzah melukiskan perasaan kudus<br />
dan masuk ke dalam pengalaman mistik, bukan<br />
saja bunyi bahasa yang beragam, tetapi perbedaan<br />
makna yang tipis dari kata-kata yang bersinonim<br />
dapat ditangkap olehnya untuk digunakan sebagai<br />
pilihan kata yang tepat dalam puisi-puisinya. Amir<br />
Hamzah tidak hanya memuji Tuhan tetapi secara<br />
halus menceritakan setiap jalur perasaan dan<br />
kepercayaannya dengan menunjukkan pengalaman<br />
batinnya (Salleh, 1988: 9 dan 60). Jassin (1955:19)<br />
mengatakan bahwa kebanyakan puisi Amir<br />
Hamzah menyanyikan cinta yang tiada sampai,<br />
tetapi di dalamnya terasa perasaan keagamaan<br />
yang tawakkal, karena penderitaan jiwanyalah<br />
yang mendekatkannya kepada Tuhan.<br />
Namun, terkadang Amir Hamzah juga<br />
terlihat kecewa karena kehilangan harapan, patah<br />
hati, putus cinta dengan menunjukkan<br />
keinginannya untuk menginggalkan dunia ini.<br />
Datanglah engkau wahai maut<br />
Lepaskan aku dari nestapa<br />
Engkau lagi tempatku berpaut<br />
Di waktu ini gelap gulita<br />
(Buah Rindu II)<br />
Puisi ini juga dapat diasosiasikan sebagai<br />
puisi yang secara estetis indah, namun gambaran<br />
maut yang diangan-angankan Amir Hamzah<br />
menunjukkan ketidaknyamanan suasana hatinya.<br />
Dari segi estetika hampir seluruh puisi<br />
Amir Hamzah menunjukkan kebimbangan<br />
estetika, sebagaimana gambaran Lombard tentang<br />
estetika pada Angkatan 20 dan ’33. Ada<br />
kebimbangan para seniman untuk meninggalkan<br />
estetika keselarasan untuk masuk pada estetika<br />
ketegangan (modern), sehingga beberapa seniman<br />
justru memadukan estetika keselarasan dengan<br />
estetika modern (pengaruh Barat) dalam sastra<br />
Halaman 35<br />
Estetisasi Amir Hamzah<br />
terhadap Gerakan Kebangsaan<br />
Indonesia. Hal inilah yang terlihat pada puisi-puisi<br />
Amir Hamzah yang masih kental dengan<br />
keterikatan terhadap etika, filosofi, dan keagamaan<br />
(religius), namun suasana itu digambarkan Amir<br />
Hamzah dengan mempertanyakan keberadaan<br />
ikatan-ikatan itu. Dapat dilihat pada, misalnya<br />
pada puisi “Padamu Jua”<br />
.......<br />
Satu kekasihku<br />
Aku manusia<br />
Rindu rasa<br />
Rindu rupa<br />
........<br />
Engkau cemburu<br />
Engkau ganas<br />
Mangsa aku dalam cakarmu<br />
Bertukar tangkap dengan lepas<br />
Ikatan keagamaan menentukan agar<br />
manusia tidak mempertanyakan tentang<br />
keberadaan Tuhan dan filosofi Islam tidak<br />
memperbolehkan umatnya untuk mencari di mana<br />
Tuhan. Akan tetapi, Amir Hamzah lewat puisinya<br />
itu memberontak atas ikatan-ikatan itu dengan<br />
melalui estetika ketegangan (modern) yang<br />
dipengaruhi paham-paham humanisme dan<br />
rasionalisme Barat. Dengan demikian apakah puisi<br />
itu masih bersifat religiositas? Atau apakah puisi<br />
itu sebuah perjuangan untuk mencari<br />
“ketidakbaharuan” Tuhan? Oleh karena paham<br />
humanisme menuntut agar segala sesuatu bertolak<br />
dari segi manusia dan rasionalisme bertumpu pada<br />
rasio, di mana segala sesuatunya diukur dengan<br />
akal, maka Amir Hamzah merasa dituntut untuk<br />
mengetahui keberadaan Tuhannya. Perjuangan<br />
untuk mengenal Tuhan itu diteruskannya pada<br />
puisi “Hanya Satu”.<br />
.......<br />
Aduh kekasihku<br />
Padaku semuanya tiada berguna<br />
Hanya satu kutunggu hasrat<br />
Merasa dikau dekat rapat<br />
Serupa Musa di puncak Tursina<br />
Perjuangan kebangsaan yang seharusnya<br />
dikumandangkan oleh Amir Hamzah sebagaimana<br />
teman-teman seangkatannya tidak diperlihatkannya<br />
dengan eksplisit lewat estetisasi karya-karyanya.<br />
Namun, bukan berarti Amir Hamzah tidak sama<br />
sekali memperjuangkan pergerakan kebangsaan<br />
yang dicita-citakan kelompoknya itu. Beberapa<br />
puisinya terutama yang termuat dalam Buah Rindu<br />
menunjukkan hal tersebut, bahkan kumpulan puisi<br />
itu dipersembahkannya pada Indonesia-Raya.<br />
Meskipun awalnya, Amir Hamzah memperlihatkan<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 36<br />
❏ Ikhwanuddin Nasution<br />
kecintaannya akan tanah airnya, <strong>Sumatera</strong>, seperti<br />
terlihat pada puisi “Tinggallah”, ia berkata:<br />
Tinggallah tuan, tinggallah bunda<br />
Tanah airku <strong>Sumatera</strong> raya<br />
Anakda berangkat ke pulau Jawa<br />
Memungut bunga suntingan kepala<br />
Pantai cermin rumbu melambai<br />
Selamat tinggal pada anakda<br />
Rasakan ibu serta handai<br />
Mengantarkan beta ke pangkalan kita.<br />
Judul puisi itu adalah “Tinggallah”<br />
menunjukkan bagaimana Amir Hamzah akan<br />
meninggalkan tanah airnya, <strong>Sumatera</strong> menuju<br />
perjuangan cita-cita kebangsaan Indonesia Raya.<br />
Kalimat “mengantarkan beta ke pangkalan kita”<br />
dapat ditafsirkan bahwa Amir Hamzah telah<br />
menuju suatu cita-cita besar yakni Indonesia. Kata<br />
“pangkalan kita” jika dikaitkan dengan perjuangan<br />
gerakan kebangsaan merupakan kata kunci yang<br />
menyatakan cita-cita tersebut.<br />
Pada puisi “Buah Rindu”, I,II,<strong>III</strong>, dan IV<br />
telihat adanya rangkaian (penyatukan) estetika<br />
keselarasan dengan ketegangan. Satu sisi puisipuisi<br />
itu masih dalam bentuk pantun dan syair,<br />
tetapi pada sisi isi memperlihatkan ketegukan<br />
hatinya untuk tetap pada perjuangan cita-cita<br />
kebangsaan (modernisme) meskipun harus<br />
meninggalkan bunda, ibu, handai taulan, kekasih<br />
yang selalu dirindukan, bahkan Amir Hamzah siap<br />
untuk mempertaruhkan nyawanya.<br />
Tinggallah tuan, tinggallah nyawa<br />
Tinggal juita tajuk mahkota<br />
Kanda lalu menghadap dewata<br />
Bertelut di bawah cerpu Maulana<br />
(Buah Rindu <strong>III</strong>)<br />
Anak busurnya kanda gantungi<br />
Dengan seroja suntingan hauri<br />
Badannya dewa kanda lengkapi<br />
Dengan busur sedia di jari<br />
(Buah Rindu IV)<br />
Meskipun Amir Hamzah pasrah untuk<br />
berjuang tetapi kerinduan hatinya tetaplah<br />
diperlihatkannya sebagai manusia biasa.<br />
Hatiku rindu bukan kepalang<br />
Dendam beralik berulang-ulang<br />
Air mata bercucuran selang-menyelang<br />
Mengenang adik kekasih abang<br />
(Buah Rindu <strong>III</strong>)<br />
Kerinduannya itu dititipkannya pada<br />
“awan” untuk disampaikan pada kekasihnya yang<br />
jauh.<br />
Estetisasi Amir Hamzah<br />
terhadap Gerakan Kebangsaan<br />
Tuan aduhai mega berarak<br />
Yang meliputi dewangga raya<br />
Berhentilah tuan di atas teratak<br />
Anak Langkat musyafir lata<br />
Sesaat sekejap mata beta berpesan<br />
Padamu tuan aduhai awan<br />
Arah manatah tuan berjalan<br />
Di negeri manatah tuan bertahan?<br />
Sampaikan rinduku pada adinda<br />
Bisikkan rayuanku pada juita<br />
Liputi lututnya muda kencana<br />
Serupa beta memeluk dia.<br />
(Buah Rindu II)<br />
Sampai akhirnya Amir Hamzah bertanya<br />
mengapa dirinya dilahirkan pada situasi dan<br />
kondisi bangsa yang sedang bergolak untuk<br />
memperjuangkan cita-cita kemerdekaan<br />
bangsanya.<br />
Bunda waktu melahirkan beta<br />
Pada subuh kembang cempaka<br />
Adakah ibu menaruh sangka<br />
Bahwa begini peminta anakda?<br />
(Buah Rindu)<br />
Ada kata Bunda dan ibu yang digunakan<br />
Amir Hamzah pada puisi itu, yang sebenarnya<br />
bersinonim, tetapi sebagai penyair tentu saja dapat<br />
membedakan makna dari kedua kata tersebut.<br />
Kata-kata itu dapat juga ditafsirkan sebagai ibunya<br />
sendiri atau tanah air, Indonesia-Raya. Atau bunda<br />
untuk ibunya sendiri dan ibu untuk ibu pertiwi<br />
(tanah air, Indonesia).<br />
Amir Hamzah juga menunjukkan<br />
bagaimana perjuangan gerakan kebangsaan itu<br />
dengan mencontohkan tokoh Hang Tuah yang<br />
dikagumi dalam kesusastraan Melayu lama. Hang<br />
Tuah yang merupakan tokoh Melayu yang gagah<br />
berani, yang siap berkorban demi tuannya, Sultan<br />
Melaka, yang dilukiskan dalam sebuah naskah<br />
Melayu lama. Amir Hamzah menghidupkan<br />
kembali kisah perjuangannya yang gemilang itu<br />
dalam puisi “Hang Tuah”<br />
Bayu berpuput alun digulung<br />
Bayu direbut buih dibubung<br />
Selat Melaka ombaknya memecah<br />
Pukul-memukul belah-membelah<br />
Bahtera ditepuk buritan dilanda<br />
Penjajah dihantuk haluan ditunda<br />
Camar terbang riuh suara<br />
Alkamar hilang menyelam segera<br />
Armada Perenggi lari bersusun<br />
Melaka negeri hendak diruntun<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Ikhwanuddin Nasution<br />
Di samping bentuk puisi, Amir Hamzah<br />
juga menggambarkan tokoh-tokoh Melayu dalam<br />
prosanya, seperti “Abdullah” yang<br />
menggambarkan tentang Abdullah bin Abdulkadir<br />
Munsyi, “Sultan Ala’uddin Rajat Syah”, dan “Raja<br />
Kecil”. Kisah-kisah itu diangkat kembali oleh<br />
Amir Hamzah dari naskah-naskah atau kitab-kitab<br />
Melayu lama.<br />
Kisah-kisah lain yang ada pada prosa<br />
Amir Hamzah menunjukkan keragaman<br />
pengetahuannya tentang dunia di luar <strong>Sumatera</strong><br />
(Melayu) dan Jawa. Misalnya cerita “Nyoman”<br />
menunjukan hubungannya dengan Bali yang<br />
dikagumi orang banyak, tempat wisata yang<br />
terkenal di mancanegara. Dengan sangat estetis<br />
Amir Hamzah menggambarkannya sebagai<br />
berikut.<br />
“segala mereka yang mendatangi negerimu,<br />
melihat dikau dengan mata penuh gembira,<br />
aku juga, tetapi dalam hatiku-kecil tumbuh<br />
bunga semerbak-harum, yang engkau<br />
mataharinya, arah ke mana ia menghala,<br />
condong-rebah, menyembah-serah. Senyummu,<br />
sinau selisih seri, merah bersaing putih,<br />
menghimbau daku menggiring dikau.”<br />
Mohamad (1981:59) menggambarkan<br />
bahwa Amir Hamzah tentulah bukan sekadar<br />
“bujang Melayu” dan “Anak Langkat Musyafir<br />
Lata”, walaupun Amir Hamzah sendiri menyebut<br />
dirinya seperti itu. Namun pada dirinya,<br />
sebagaimana juga pada penulis-penulis angkatan<br />
’30-an, telah tumbuh kesetiaan baru. Kesetianan<br />
baru itulah yang disebut dengan nasionalisme,<br />
yang tentu saja bukan penjelmaan alam pikiran<br />
abad yang silam di Indonesia.<br />
Namun, Amir Hamzah tentu saja tidak<br />
mudah untuk meninggalkan masa silam, terlihat<br />
dari riwayat hidupnya yang dibesarkan pada alam<br />
Melayu baik dari segi kesusastraannya maupun<br />
kebudayaannya. Ia tidak seperti STA yang dengan<br />
mudah bisa memberi kata putus terhadap apa yang<br />
disebutnya “masa yang silam” seraya menolak<br />
untuk menganggap zaman baru “zaman Indonesia’<br />
sebagai sambungan atau terusan dari masa silam<br />
itu.<br />
Pada masa (1930-an) itu terlihat adanya<br />
dua corak dalam kesusastraan (kebudayaan<br />
umumnya) yakni Timur dan Barat dan tentu saja<br />
dimungkinkan adanya sintesa dari keduanya. Di<br />
tengah-tengah konflik-konflik antara Timur dan<br />
Barat itulah Amir Hmzah berada, terjadinya<br />
Polemik Kebudayaan, meskipun Amir Hamzah<br />
tidak mengambil bagian dalam polemik itu, tetapi<br />
dalam dirinya terjadi polemik batin.<br />
Halaman 37<br />
Estetisasi Amir Hamzah<br />
terhadap Gerakan Kebangsaan<br />
Estetisasi Amir Hamzah terhadap gerakan<br />
kebangsaan bermula dari konflik-koflik batin yang<br />
dirasakannya dari dunia luar dikontemplasikannya<br />
dalam batinnya dan kemudian diwujudkannya<br />
dalam bentuk-bentuk karya, baik puisi maupun<br />
prosa. Meskipun perwujudannya kurang jelas dan<br />
terlalu mengambang, yang barangkali merupakan<br />
keraguan Amir Hamzah akan situasi dan kondisi<br />
masa itu.<br />
L.K. Bohang melihat dalam diri Amir<br />
Hamzah ada “suara kesangsian” yang bersahutsahutan.<br />
Ajib Rosidi mengatakan “hati yang ragu”.<br />
Banyak sekali “ gelombang dua berimbang” dalam<br />
hidup penyair ini. Banyak sekali suara-suara dua<br />
kutub dalam hatinya, yang merupakan tema dasar<br />
dari karya-karya liriknya yang paling murni<br />
(Mohamad, 1981:58).<br />
5. SIMPULAN<br />
Estetisasi Amir Hamzah terhadap pergerakan<br />
kebangsaan diwujudkannya dalam karya-karyanya,<br />
meskipun tidak secara eksplisit, tetapi secara<br />
dalam dapat ditelusuri bahwa beberapa puisi dan<br />
prosanya mengarah pada pergerakan kebangsaan<br />
tersebut. Apalagi dikaitkan dengan cita-cita<br />
Angkatan Pujangga Baru, di mana Amir Hamzah<br />
menjadi salah satu pendiri dan pelopor angkatan<br />
tersebut.<br />
Amir Hamzah telah melakukan sintesa<br />
antara estetika keselarasan dengan estetika<br />
ketegangan (modern) sebagai estetika dari karyakaryanya.<br />
Pada bentuk karyanya masih terlihat<br />
adanya estetika keselarasan, tetapi pada isi ia telah<br />
masuk pada estetika modern (Barat).<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Hamzah, Amir. 1982. Esai dan Prosa. Jakarta:<br />
Dian Rakyat.<br />
Hamzah, Amir. 1996. Buah Rindu. Jakarta: Dian<br />
Rakyat.<br />
Hamzah, Amir. 1996. Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian<br />
Rakyat.<br />
Hooykaas, C. 1951. Perintis Sastra. Djakarta: J.O.<br />
Wolters–Groningen.<br />
Jassin, H.B. 1955. Kesusastraan Indonesia<br />
Modern dalam Kritik dan Essay. Djakarta:<br />
Gunung Agung.<br />
Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang<br />
Budaya Kajian Sejarah Terpadu. Jakarta:<br />
Gramedia Pustaka Utama.<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 38<br />
❏ Ikhwanuddin Nasution<br />
Mohamad, Goenawan. 1981. Seks, Sastra, Kita.<br />
Jakarta: Sinar Harapan.<br />
Salleh, Muhammad Haji. 1988. Pengalaman Puisi.<br />
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.<br />
Sarjono, Agus R. 2001. Sastra dalam Empat Orde.<br />
Yogyakarta: Bentang Budaya.<br />
Saryono, Djoko. 2006. Pergumulan Estetika<br />
Sastra di Indonesia. Malang: Pustaka<br />
Kayutangan.<br />
Estetisasi Amir Hamzah<br />
terhadap Gerakan Kebangsaan<br />
Simorangkir-Simandjuntak, B. 1961. Kesusasteraan<br />
Indonesia. Djakarta: Pembangunan.<br />
Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia. Ende-<br />
Flores: Nusa Indah.<br />
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:<br />
Pustaka Jaya.<br />
Toda, Dami N. 1984. Hamba-hamba Kebudayaan.<br />
Jakarta: Sinar Harapan.<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Haron Daud<br />
Halaman 39<br />
Amir Hamzah Seorang Penyair Mistik<br />
AMIR HAMZAH SEORANG PENYAIR MISTIK 1<br />
Haron Daud<br />
Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia<br />
Abstract<br />
Amir Hamzah knows poet of religious. However before following some activity, that Amir<br />
Hamzah emphasizes something his love to human being. Because his failure Amir Hamzah<br />
gives in himself to God with hesitate. However Amir Hamzah decided someone loyal<br />
obeying order and believed in God.<br />
Key words: Amir Hamzah, poetry, and mystic<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Dalam konteks ini, unsur-unsur mistik yang akan<br />
dibicarakan ialah hubungan dan rasa cinta seorang<br />
insan yang tidak berubah terhadap Allah dan dia<br />
sentiasa berusaha membersihkan prasangka yang<br />
tidak baik menjadi baik dan mulia (Moh.Abdai<br />
1981: 218). Sebagai ukuran, penulis juga<br />
berpandukan kepada pendapat A. Hasjmy<br />
berdasarkan faham para penyair sufi, bahwa<br />
seseorang yang sangat mencintai orang yang lain,<br />
pasti dia akan taat setia kepadanya, sama dengan<br />
mancintai Allah sepenuh hati. Orang akan rela<br />
mengorbankan apa saja dalam melaksanakan<br />
segala perintah-Nya (Hasjmy,1976 :17). Apakah<br />
rasa cinta dan kesanggupan sedalam itu terdapat<br />
pada Amir Hamzah seperti yang tergambar dalam<br />
puisi-puisinya?<br />
Nama penuh Amir Hamzah ialah Tengku<br />
Amir Hamzah bin Tengku Haji Adil. Ia merupakan<br />
cucu Tengku Hamzah dan cicit Sultan Musa, Raja<br />
Langkat pertama yang bergelar Sultan. Amir<br />
Hamzah dilahirkan pada 28 Februari 1911 dan<br />
mangkat pada 20 Maret 1946. Ia dipancung<br />
(disembelih) di Kuala Begumit oleh seorang<br />
tukang pancung (algojo) bernama Mandor Wijaya<br />
Wiryosentono, pada saat meletusnya revolusi<br />
sosial di daerah itu (Zakarian, 1974 : 40)<br />
Puisi Amir Hamzah berjumlah 63 buah.<br />
Sebanyak 25 buah puisi dimuat dalam Buah Rindu,<br />
25 buah dimuat dalam Nyanyi Sunyi, dan 13 puisi<br />
dan prosa irama dalam majalah Punjangga Baru<br />
yang belum dimuat dalam dua buku kumpulan<br />
puisinya (Jassin 1962: 44 - 52). Dari tiga<br />
kumpulan puisi Amir Hamzah ini hanya Nyanyi<br />
Sunyi yang lebih memperlihatkan adanya unsurunsur<br />
mistik. Inilah yang akan menjadi tumpuan<br />
kajian penulis. Namun demikian, kumpulan yang<br />
lain juga akan disentuh sebagai perbandingan.<br />
Meninjau unsur-unsur mistik dalam puisipuisi<br />
Amir Hamzah, Jassin pernah bertanya.<br />
Dapatkah Amir Hamzah disebut penyair mistik<br />
religius (religious)? Mistik merangkumi<br />
pengertian bersatu dengan Tuhan. Menurutnya,<br />
pada Amir ada tampak pengaruh pandangan<br />
mistik, tapi dia bukanlah seorang mistikus dalam<br />
pengertian telah mencapai penyatuan diri dengan<br />
yang abadi. Alasannya antara lain, dalam<br />
perjuangan antara yang terbatas dengan yang tak<br />
terbatas Amir Hamzah sentiasa masih tertuju pada<br />
yang terbatas dan dalam kesadarannya tetap ada<br />
batas antara keduanya, yang tak mungkin<br />
dilakukannya. Apa lagi dibuat menjadi bersatu,<br />
hingga yang terbatas itu kehilangan artinya,<br />
ditampung oleh yang tak terbatas. Bagi Jassin,<br />
Amir Hamzah hanya berdiri di hadapan Tuhan<br />
sebagai makhluk yang insaf akan kekecilannya dan<br />
sebagai makhluk yang tidak diindahkan segala<br />
permintaannya (Jassin 1962 : 26).Tanggapan<br />
Jassin ini agak benar kalau kita perhatikan<br />
sebahagian dari sajak ’Insaf’:<br />
Segala kupinta tiada kauberi<br />
Segala kutanya tiada kausahuti<br />
Butalah aku berdiri sendiri<br />
Penuntun tiada memimpin jari<br />
Buta tuli bisu kelu<br />
Tertahan aku di muka dewata<br />
Tertegun aku di jalan buntu<br />
Tertebas putus sutera sempana<br />
(Nyanyi Sunyi:26)<br />
Petikan di atas membayangkan Amir<br />
Hamzah belum diperdulikan Tuhan, segala<br />
permintaannya belum diberikan-Nya, segala<br />
rintihan Amir Hamzah tidak didengar oleh Tuhan.<br />
Inilah menyebabkan ia /buta tuli bisu kelu/ dan<br />
hidup dalam kebuntuan. Namun begitu, Amir<br />
Hamzah tetap mengingat Tuhan. Ia sadar akan<br />
dosa dan hukuman. Hal ini tergambar dalam sajak<br />
“Hari Menuai”. Penyair telah lama tidak menemui<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 40<br />
❏ Haron Daud<br />
Tuhan untuk “berbicara”. Justeru itu, ia menilik<br />
dirinya dan menyelami Tuhan, sehingga:<br />
Insaf aku<br />
Bukan ini perbuatan kekasihku<br />
Tiada mungkin reka tangannya<br />
Karena cinta tiada mendera<br />
……………………………<br />
Tahu aku<br />
Kini hari menuai api<br />
Mengetam ancam membelam redam<br />
Ditulis dilukis jari tanganku<br />
(Nyanyi Sunyi:28)<br />
Dengan demikian, Amir Hamzah seolaholah<br />
tidak mendapat perhatian Tuhan karena dia<br />
masih berdosa, balasannya neraka. Menuai api<br />
menggambarkan memungut dosa yang seperti<br />
yang tertulis di tangannya. Dari aspek ini, puisi<br />
tersebut dapat digolongkan sebagai puisi religius,<br />
memandangkan adanya kesadaran terhadap<br />
Ketuhanan, terutama keinsafan penyair terhadap<br />
dosa.<br />
Mungkin akibat dari itu, lahir puisinya<br />
yang memperlihatkan pengertian tasauf. Penyair<br />
menyadari kekuasaan Tuhan dan hubungannya<br />
dengan Tuhan itu.<br />
Kaukurnia aku<br />
Kelereng kaca cerah cuaca<br />
Hikmat raya tersembunyi dalamnya<br />
Jua bahaya dikandung kurnia<br />
(Nyanyi Sunyi:18)<br />
Petikan itu menggambarkan penyair<br />
menyadari dalam hidup ini Allah memberikan<br />
kebaikan-kelereng kaca cerah cuaca, tetapi di<br />
sebalik hikmat yang besar itu terdapat juga bahaya.<br />
Kekuasaan Tuhan itu benar-benar diinsafinya<br />
berdasarkan;<br />
Kutilik diriku dua sifat mesra satu:<br />
Melangit tinggi, membumi keji,<br />
(Nyanyi Sunyi;18)<br />
Allah ittu Maha Tinggi, yang berkuasa<br />
terhadap makhluk-Nya, seperti penyair yang lemah<br />
(membumi) dan ”keji” (tidak sempurna).<br />
Namun begitu, tidak semua pengkaji<br />
sependapat dengan H.B.Jassin. Ada pengkaji yang<br />
memuji puisi-puisi (sajak) Amir Hamzah karena<br />
memperlihatkan adanya unsur-unsur mistik,<br />
antaranya adalah Dada Meuraza. Menurutnya,<br />
dalam buku Nyanyi Sunyi semua bisikan jiwa Amir<br />
Hamzah itu dapat dirasakan, bernafaskan<br />
Ketuhanan yang amat dalam. Almarhum Dr. Amir,<br />
waktu beliau masih hidup menyamakan Amir<br />
Hamzah dengan punjangga Arab yang tua-tua yang<br />
Amir Hamzah Seorang Penyair Mistik<br />
jiwanya tenggelam dalam memuja Tuhan (Amir<br />
Hamzah, 1955:16).<br />
Berhubung dengan pendapat ini, penulis<br />
agak berat untuk menerima secara keseluruhan<br />
karena tidak semua sajak Amir Hamzah yang<br />
dimaksudkan itu berunsurkan ketuhanan. Misalnya<br />
sajak ”Batu Belah” (hal:21-23). Ia mengisahkan<br />
kehancuran hati seorang ibu setelah tiadanya telur<br />
kemahang untuk dimakan bersama nasi dingin.<br />
Justeru itu:<br />
Diam ibu berfikir panjang<br />
Lupa anak menangis hampir<br />
Kalau begini sudahnya hidup<br />
Biar di telan batu bertangkup<br />
(Nyanyi Sunyi:22)<br />
Demikian juga dengan sajak “Ibuku<br />
Dahulu” (hlm: 25), sajak ini tidak memperlihatkan<br />
unsur ketuhanan. Ia cuma mengisahkan<br />
kekecewaan ibu karena sikap anaknya yang nakal.<br />
Sajak ”Astana Rela” (hlm: 29) semata-mata<br />
menggambarkan ilusi penyair bersama kekasihnya<br />
yang terpaksa ditinggalkan, tetapi ia tetap setia dan<br />
ingin bertemu di alam akhirat. Lukisan itu dapat<br />
dilihat pada bait-bait berikut:<br />
Tiada bersua dalam dunia<br />
Tiada mengapa hatiku saying<br />
Tiada dunia tempat selamanya<br />
Layangkan angan meninggi awan<br />
…………………………………..<br />
Bersama kita mematah buah<br />
Sempena kerja di muka bumi<br />
Bunga cerca melayu lipu<br />
Hanya bahagia tersenyum harum<br />
Di situ baru kita berdua<br />
Sama merasa, sama membaca<br />
Tulisan cuaca rangkaian mutiara<br />
Di mahkota gapura astana rela<br />
(Nyanyi Sunyi:29)<br />
Berhubung dengan pengangkatan<br />
Dr.Amir bahwa Amir Hamzah setaraf dengan<br />
pujangga Arab yang tua-tua dari segi memuji<br />
Tuhan, ini agak sukar diterima karena<br />
perbandingan itu agak kabur. Siapakah Pujangga<br />
Arab itu, adakah ia Ibni Arabi yang bergelar<br />
”failasut sufi” umpamanya? Lagipun kalau kita<br />
terima pendapat Jassin seperti di atas, bahwa Amir<br />
Hamzah bukanlah seorang sufi, lagi pula menurut<br />
Ghajali Hassan dalam rencananya bertajuk ”Rasa<br />
ketuhanan dalam keindahan sajak Amir Hamzah”<br />
bahwa di dalam sajak-sajak yang terbesar dalam<br />
Nyanyi Sunyi Amir Hamzah yang terkenal itu<br />
bukan beliau mengikuti faham sufi yang terkenal<br />
dalam peradaban Parsi dan Urdu, juga kebanyakan<br />
dari peradaban timur yang lain(Amir<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Haron Daud<br />
Hamzah,1955:74). Apa yang ternyata, rasa<br />
ketuhanan memunjak di jiwa Amir Hamzah adalah<br />
setelah ia kecewa dalam percintaan dengan gadis<br />
Solo.<br />
Sebaliknya Baharudin Zainal berpendapat<br />
bahwa Amir Hamzah lari ke dunia mistik dan<br />
mengucapkan jiwanya melalui puisi mistik yang<br />
erotik. Kelihatan begitu hebat dan tidak putus asa<br />
ia untuk merindu dan menyatukan diri dengan<br />
Tuhan.Gadis yang menjadi kekasihnya telah<br />
menjelma dalam lambang nyang berkedok yaitu<br />
Tuhan. Hal ini mungkin tidak disadari oleh<br />
penyair. Dalam sublimasi ini gadis dan Tuhan<br />
menjelma sekaligus dalam satu simbol karena<br />
unconcionsnya turut berpartisipasi dalam kegiatan<br />
seni Amir Hamzah (Baharuddin Zainal,1973:19).<br />
Sangat sukar bagi Amir untuk melupakan gadis<br />
solo (Dewi Sandari) yang dicintainya. Ia pernah<br />
melukiskan dalam sajak ”Harum Rambutnya”<br />
berikut ini:<br />
Wangi tertebar membawaku ragu<br />
Mengambang abang ke hari lampau<br />
Harum sepadan wangi rambutmu<br />
Kalau terurai kita bergurau<br />
Melur! Duta rindu di purnama raya<br />
Kawan sendu di sunyi mawar<br />
Ratna rupa dihulu kemala<br />
Penambah manis jiwa pendiam<br />
(Buah Rindu:50)<br />
Walaupun Amir Hamzah mencari Tuhan<br />
karena ia kecewa dalam precintan, puisi-puisinya<br />
masih memperlihatkan unsur-unsur ketuhanan<br />
yang agak kuat. Umpamanya sajak ”Padamu Jua”<br />
dalam sajak ini bagi Amir Tuhan adalah tempatnya<br />
kembali setelah segala cintanya hilang. Tuhan<br />
diibaratkan sebagai cahaya atau pelita yang<br />
menerangkan kegelapan malam dan dia adalah<br />
kekasih yang setia dan sabar selalu.Unsur mistik<br />
dapat juga di lihat pada bait berikut:<br />
Satu kekasihku<br />
Aku manusia<br />
Rindu rasa<br />
Rindu rupa<br />
Di mana engkau<br />
Rupa tiada<br />
Suara sayup<br />
Hanya kata merangkai hati]<br />
(Nyanyi Sunyi:1)<br />
Rasa rindu menyebabkan Amir Hamzah<br />
mencari-cari Tuhan yang memang tidak dapat<br />
dilihat dengan mata kasar (rupa tiada). Justru itu, ia<br />
menjadi gila sasar. Susahnya untuk melihat Tuhan<br />
diibaratkannya sebagai anak dara di balik tirai.<br />
Halaman 41<br />
Amir Hamzah Seorang Penyair Mistik<br />
Sajak “Padamu Jua” merupakan salah<br />
satu sajak Amir Hamzah yang terpenting<br />
memperlihatkan unsur-unsur mistik. Sehubungan<br />
dengan itu, Abu Bakar Husny berpendapat bahwa<br />
Amir Hamzah digelar “Raja penyair Zaman<br />
Pujangga Baru” karena sajak-sajaknya yang indah<br />
dengan irama dan gaya bahasa yang halus dan<br />
merdu yang penuh dan berisi perasaan katuhanan<br />
(Abu Bakar Husny,1961:31). Menurut Baharuddin<br />
Zainal, sajak ini dan beberapa sajaknya yang lain<br />
dalam Nyanyi Sunyi jelas memperlihatkan<br />
persoalan dirinya dengan Tuhan, tetapi dari sudut<br />
yang lain beliau mengaitkan sajak ”Padamu jua”<br />
dengan penjelmaan ”the unconcious”. Ia adalah<br />
mimpi di siang hari. Hal ini dapat dihubungkan<br />
dengan pendekatan psikoanalisasi oleh Freud.<br />
Amir Hamzah dikatakan mencari jalan keluar<br />
dalam bentuk sublimasi yang diizinkan oleh<br />
masyarakat untuk melepaskan keinginan seksnya<br />
selepas ia gagal meneruskan cinta dan cita-citanya<br />
seks dengan gadis pujaannya (Baharuddin<br />
Zainal,19). Kalaulah benar tanggapan Baharuddin<br />
itu, maka sajak ”Padamu Jua” tercipta dari unsurunsur<br />
mistik.<br />
Bagi penulis, kalaupun benar anggapan<br />
Baharuddin itu, terlalu sedikit, untuk alasan ciriciri<br />
seksnya, seperti cemburu, sayang, menarik,<br />
dara, rindu, dan kasih-yang diberikan agak lemah.<br />
Dengan demikian, bagi penulis dalam sajak ini<br />
masih ada unsur-unsur ketuhanan. Cuma kita<br />
mungkin kurang senang dengan sifat Tuhan yang<br />
di gambarkan oleh penyair yaitu:<br />
Engkau cemburu<br />
Engkau ganas<br />
Mangsa aku dalam cakarmu<br />
Bertukar tangkap dengan lepas<br />
(Nyanyi Sunyi:1)<br />
Ini menunjukan bahwa Tuhan itu zalim<br />
dan memperlakukan. Tuduhan penyair itu<br />
menggambarkan penyair belum benar-benar<br />
mengenali atau mendapat kasih Tuhan. Abu Bakar<br />
Husny pula berpendapat bahwa sajak itu adalah<br />
pengaduan Amir Hamzah bila berhadapan dengan<br />
Tuhan. Menurutnya, kekecewaan duniawi yang<br />
pertama itu sangat berkesan di sanubari Amir,<br />
tetapi dalam kegelapan jiwanya itu-dalam keputus<br />
asaannya- Amir Hamzah mendapat pegangan dan<br />
pergantungan yang teguh, yang tidak akan putus<br />
yaitu tali keagamaan yang menghubungkannya<br />
dengan Tuhan seperti dalam sajak tersebut (Abu<br />
Bakar Husny,1961:31). Menurutnya lagi isi sajak<br />
itu penuh perasaan tawakal, penyerahan diri<br />
kepada Tuhan, dalam kekecewaan yang maha<br />
berat ketika jiwa terhimpit dan terdesak oleh<br />
kenangan yang tak terlupakan, tawakal itu terbalik<br />
menjadi putus asa.<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 42<br />
❏ Haron Daud<br />
Rasa kecewa Amir untuk mendapat kasih<br />
Ilahi tergambar juga dalam sajak”Tetapi<br />
Aku”antaranya:<br />
Cahaya suci riwarna pelangi<br />
Haru sekuntum bunga rahsia<br />
Menyinggung daku terhantar sunyi<br />
Seperti hauri dengan kepaknya<br />
Rupanya ia mutiara jiwaku<br />
Yang kuselam di laut masa<br />
Gewang canggainya menyentuh rindu<br />
Tetapi aku tidak merasa….<br />
(Nyanyi Sunyi:8)<br />
Namun begitu, Amir tetap mematuhi<br />
Tuhan, patuh pada perintah Allah mengerjakan<br />
sembahyang lima waktu. Dan untuk melihat<br />
”rupa” Tuhan atau mendampingi-Nya, Amir<br />
mengadakan sembahyang sunat-mungkin tahajjut<br />
sebelum terbitnya fajar (sebelum cuaca menali<br />
sutra). Walaupun berusaha bersungguh-sungguh<br />
seperti dalam sajak ”kerana kasihmu”, tetapi masih<br />
belum cukup untuknya mendampingi Tuhan:<br />
Hatiku, hatiku<br />
Hatiku sanyang tiada bahagia<br />
Hatiku kecil berduka raya<br />
Hilang ia yang dilihatnya<br />
(Nyanyi Sunyi:9)<br />
Kegagalan Amir Hamzah mendapatkan<br />
kasih Tuhan menunjukan benar-benar mencintai-<br />
Nya karena menurut Ibnu Arabi:<br />
“Orang yang tidak menghabiskan<br />
kecintaannya kepada Allah Swt.dan tidak<br />
memupuk cintanya kepada Allah tidak<br />
mendapat rahsia hidup yang sebenarnya”<br />
(lihat Hj.Zainal Arifin Abbas, 1979:234)<br />
Justeru itu kebanyakan puisi Amir<br />
Hamzah bermula dengan memuja dan mengakui<br />
kebesaran-Nya tetapi digambarkan dengan nada<br />
kekecewaan.contohnya sajak ”Taman Dunia”:<br />
Kau masukan ke dalam taman-dunia, kekasihku!<br />
Kau pimpin jariku, kau tunjukan bunga tertawa<br />
Kuntum tersenyum<br />
…………………..<br />
Berbisik engkau:<br />
“Taman swarga, taman swarga mutiara rupa”<br />
Engkaupun lenyap<br />
Termangu aku gilakan rupa<br />
(Nyanyi Sunyi:13)<br />
Bait tersebut menunjukkan Amir Hamzah<br />
merasakan seolah-olah bisikan Tuhan itu sebagai<br />
mempermainkannya. Ia hanya termanggu karna<br />
gilakan rupa surga.<br />
Amir Hamzah Seorang Penyair Mistik<br />
Unsur-unsur mistik dapat juga dilihat<br />
dalam sajak ”Tuhan Kembali”. Kata-kata dan<br />
perlambangan yang digunakan oleh penyair<br />
memperlihatkan kebesaran Tuhan-engkau raja,<br />
maha raja. Tuhan adalah penaung dunia. Dengan<br />
pertolongan Allah dapat juga Amir Hamzah<br />
menemuinya:<br />
Diterangi cahaya engkau sinarkan<br />
Aku menaiki tangga mengawan<br />
Kecapi firdausi melena telinga<br />
Menyentuh gambuh dalam hatiku<br />
(Nyanyi Sunyi:20)<br />
Dalam sajak ”Mengawan” rasa ketuhanan<br />
lebih mendalam sehingga Amir Hamzah hampir<br />
mencapai ke puncak cita-citanya untuk menemui<br />
Tuhan:<br />
Naik aku mengawan rahman,mengikut<br />
kawalku membawa warta.<br />
Kuat, sayapku kuat, bawakan aku biar sampai<br />
membidai-belai<br />
cecah tersatuh, di kursi kesturi.<br />
Dari dua petikan di atas rasa ketuhanan<br />
Amir mungkin menghampiri keperingkat<br />
Muqqarabin. Tingkat ini menurut Al-Hallaj ialah<br />
orang yang paling dekat dengan Tuhan. Di atas<br />
dari tingkat Muqqarabin itu tibahlah mereka ke<br />
puncak, sehingga bersatu dengan Tuhan. Tidak<br />
dapat lagi dibedakan atau dipisahkan di antara<br />
Asyik dengan Maksyuknya (Hamka 1980:121).<br />
Sesudah tercapai taraf menemui Tuhan itu tidak<br />
ada lagi baginya kasih akan diri sendiri hilanglah<br />
kesakitan, ia memilih kesusahan bukan kekayaan<br />
dan tidak mempunyai lagi kebebasan diri (Hamzah<br />
Fansuri 1965:60). Di sini timbul persoalan apakah<br />
Amir Hamzah sampai bersatu dengan Tuhan dan<br />
sanggup melupakan kepentingan dunia. Bagi<br />
penulis beliau belum mencapai ke tingkat itu. Ini<br />
jelas sekali dalam bait akhir sajak ”Turun<br />
Kembali”. Miskipun ia telah hampir ke tingkat<br />
tersebut tapi kepentingan dunia tidak dapat di<br />
lupakannya:<br />
Terlihat ke bawah,<br />
Kandil kemerlap<br />
Melambai cempaka ramai tertawa<br />
Hati duniawi melambung tinggi<br />
Berpaling aku turun kembali<br />
(Nynyi Sunyi:20)<br />
Bait tersebut menunjukan cinta penyair<br />
terhadap dunia terutama perempuan (cempaka)<br />
mungkin gadis idamannya yang cantik menawan<br />
yaitu Dewi Sandari - melebih cintanya kepada<br />
Tuhan, malah cintanya kepada Tuhan karena ia<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Haron Daud<br />
mengharapkan syurga.di sana dia akan bertemu<br />
dengan gadis pujaannya. Perhatikan sajak ”Di<br />
Gapura Syurga”:<br />
Nyanyi Firdausi mengasap naik<br />
Macam malam sunyi suara<br />
Perlahan-lahan menyeru waktu<br />
Mengulang kenangan kemasa dunia<br />
Merupa adinda di gapura<br />
Mutu-mutiara menyinar-sinar<br />
Satin-sundusin licin merapin<br />
Badan intan dewi sendari<br />
(H.B.Jassin,1962:45)<br />
Terdapat beberapa buah puisi Amir<br />
Hamzah yang menggambarkan keraguannya<br />
terhadap Tuhan. Sajak-sajak yang bersangkutan<br />
agak sukar dikaitkan denagan unsur-unsur<br />
mistik.umpamanya sajak ”Tuhanku Apatah<br />
Kekal”.<br />
Selangkah gagak beralih warna<br />
Semerbak cempaka sekali hilang<br />
Apatah lagi laguan kasih<br />
Hilang semata tidak ketara…<br />
Tuhanku apatah kekal?<br />
(Buah Rindu:22)<br />
Akibat dari keraguan sifat abadi Tuhan<br />
menyebabkan penyair tidak tetap pegangan.<br />
Kenyakinannya masih berubah-ubah.atau cintanya<br />
terbagi dua yaitu untuk orang di sanyangi dan<br />
Tuhan. Ini terdapat dalam bait terakhir sajak ”Doa<br />
Ponyangku”:<br />
Aduh, kasih hatiku sayang<br />
Alahai hatiku tiada bahagia<br />
Jari menari doa semata<br />
Tapi hatiku bercabang dua<br />
(Nyanyi Sunyi:19)<br />
Amir hamzah ternyata tidak ada pedoman<br />
atau tidak dapat petunjuk Tuhan dalam perjalanan<br />
hidupnya. Ia sendiri merasakan dirinya penuh dosa<br />
seperti yang dilukiskan dalam sajak ”Di dalam<br />
Kelam” antaranya:<br />
Berjalan aku di dalam kelam<br />
Terus lurus moal berhenti<br />
Jantung dilebur dalam jahanam<br />
Kerongkong hangus kering peteri<br />
Meminta aku kekasihkan sayang:<br />
Turunkan hujan embun rahmatmu<br />
Biar padamu api membalam<br />
Semoga pulih pokok percayaku<br />
(Nyanyi Sunyi:24)<br />
Halaman 43<br />
Amir Hamzah Seorang Penyair Mistik<br />
Bait-bait tersebut sekali lagi menunjukan<br />
bahwa penyair masik jauh dari Tuhan dan masih<br />
mengharapkan pertolongan-Nya.<br />
Rasa ketuhanan dari segi Islam makin<br />
tergugat dalam puisi-puisi Amir Hamzah apabila<br />
para pengkaji dapat memaitkannya dengan unsurunsur<br />
Kristen.Terdapatnya ungkapan berikut<br />
dalam sajak ”Padamu Jua”.<br />
Enkau cemburu<br />
Engkau ganas<br />
Mangsa aku dalam cakarmu<br />
Bertukar tangkap dengan lepas<br />
(Nyanyi Sunyi:1)<br />
Bagi H.B.Jassin, tanggapan Amir<br />
Hamzah dalam sesalnya kepada Tuhan itu<br />
menunjukan ada pengaruh Bibel ialah Tuhan<br />
berkata menurut Exodus 20,5: bermaksud jangan<br />
kamu menyembah sujud atau berbuat bakti<br />
kepadanya karena akulah Tuhan, Allahmu, Allah<br />
yang cemburuan adanya, atau Exodus 34,14:<br />
bermaksud karena tidak boleh kamu sujud kepada<br />
ilah lain sebab nama Tuhan ia itulah cemburuan<br />
dan Tuhanlah Allah yang cemburuan adanya<br />
(H.B.Jassin 1962:34-35). Kalau kita tinjau dari<br />
sudut Islam, sifat Tuhan adalah Maha Pengasih<br />
dan Penyayang.<br />
Selain itu, pandangan Amir Hamzah<br />
kepada Nabi Musa dalam sajak ”Permainanmu”<br />
juga dikatakan ia terlalu memberatkan ajaran Bibel<br />
karena menurut Bibel, Musa diarahkan oleh Tuhan<br />
supaya kembali ke Mesir untuk melepaskan atau<br />
membebaskan umatnya dari kazaliman Firaun.<br />
Selain dari pada Jassin. Bakti Seregar dalam<br />
artikelnya berjudul ”Ulasan Sajak-Sajak Amir<br />
Hamzah” juga berpendapat bahwa suasana Kristen<br />
dalam sekolah yang mulai diikutinya pasti<br />
pengaruhi jiwa Amir yang di bentuk oleh agama<br />
Islam, umpamanya dalam sajak ”Hanya Satu”.<br />
Kalaulah benar tanggapan mereka bahwa dalam<br />
beberapa buah sajak Amir Hamzah terdapat unsur<br />
Kristenn bagi penulis amat sedikit atau ia tercipta<br />
di luar kesadaran penyair.<br />
Jika pengunaan watak Musa dan sikap<br />
Tuhan yang cemburuan dan ganas dijadikan<br />
alasan, kita boleh pula mengatakan dalam sajak<br />
Amir terdapat unsur-unsur Hidup, seperti dalam<br />
sajak ”Ragu”:<br />
Asap pujaan berulang-ulang<br />
Naik melingkar kakimu dewa<br />
Rasanya hati melambung-lambung<br />
Restu ku pohonkan aku kurnia<br />
Permaisurimu,uma sudah ku puja<br />
Seroja putih beta sembahkan<br />
Sekarang ini wahai siwa<br />
Pada tuanku beta paparkan<br />
(Buah Rindu:31)<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 44<br />
❏ Haron Daud<br />
Unsur hindunya jelas, penyair menuju<br />
dewa dan padanya ia meminta. Lebih khusus lagi<br />
penyair menggambarkan kasihnya pada Siwa-satu<br />
dari Tuhan Hindu-dan menjadi Umapermaisurinya.<br />
Malah dalam sajak ”Buah Rindu<br />
IV” penyair juga menyembah Dewata mulia raya<br />
dan padanya dia memohon.<br />
Dalam konteks ini, walaupun terdapat<br />
unsur-unsur hindu tapi apakah ia diutarakan<br />
dengan kesadaran rasa kehinduannya atau cuma<br />
sebagai ”pemilihan kata-kata” untuk ganti nama<br />
(simbol) kepada Tuhan dalam Islam. Apakah<br />
mungkin Amir Hamzah yang dibesarkan dalam<br />
lingkungan keluarga yang taat beribadah dan dari<br />
kecil mendapat didikan agama (Islam) (Abu Bakar<br />
Husny 1961:34) masih terpengaruh dengan ajaran<br />
Hindu.Tambahan pula, Amir Hamzah menuangkan<br />
seluruh fitrahnya kepada kultus yang agung,<br />
kerinduan kepada Tuhan di mana ia merindukan<br />
damai dan sunyi (Djamalul Abidin Ass 1970:252).<br />
Jadi, bagi penulis agak sukar menerima tanggapan<br />
bahwa terdapatnya unsur-unsur Kristen dan Hindu<br />
yang cukup kuat dalam sajak-sajak Amir di atas.<br />
Kembali kita kepada pendapat Abu Bakar<br />
Husny yaitu keindahan puisi Amir Hamzah juga<br />
terletak pada bahasa dan iramanya. Ini memang<br />
diakui karena kata-kata dan nada yang digunakan<br />
sungguh menarik, kadang-kadang melahirkan rasa<br />
halus-kearah ketuhanan. Umpamanya sajak<br />
”Barangkali” (Nyanyi Sunyi : 3).Di dalam terdapat<br />
kalimat “yang besar terangkan dunia, yang kecil<br />
terlindung alis”. Ini menggambarkan kebebasan<br />
Tuhan, oleh karena itu, meliputi seluruh dunia dan<br />
tertutup alis manusia karna adanya dalam jiwa<br />
seorang. Begitu juga dengan kata-kata, ”engkau<br />
yang lena dalam hatiku” menggambarkan rasa<br />
ketuhanan telah terpahat di dalam hati penyair.<br />
Kalau kita teliti kata-kata ”akasa awarga nipis<br />
tipis” terdapat penekanan pula konsonan’s’dan<br />
vokal ‘i’.ini seakan-akan membayangkan<br />
kehalusannya dan keghaiban Tuhan.<br />
Sebagai kesimpulan, dalam puisi-puisi<br />
Amir Hamzah memang terdapat sedikit unsurunsurmistik.<br />
Kekuatan unsur itu tidaklah dapat<br />
disampaikan dengan apa yang terdapat dalam<br />
puisi-puisi Hamzah Fansuri, Umar Qayam, Iqbal,<br />
Jalaluddin Rumi, al Hallaj atau Filasut Islam yany<br />
lain. Ini disebabkan Amir Hamzah bukanlah<br />
seorang sufi. Malah sajak ”Doa” karya Chairil<br />
Anwar lebih tebal kepasrahan penyairnya<br />
dibandingan dengan karya-karya Amir Hamzah<br />
termasuk ”Padamu Jua”. Lagipun beliau<br />
mendampingi Tuhan atau mencari kasih dari<br />
Tuhan karena dia kecewa dalam percintaan. Puisipuisi<br />
ketuhannya boleh saja dikatakan sebagai<br />
bersifat pelarian. Di tempat-tempat tertentu ia<br />
menggunakan imej Tuhan (Kekasih) sebagai<br />
simbol buah hatinya (Dewi Sandari). Penggunaan<br />
Amir Hamzah Seorang Penyair Mistik<br />
itu perlu untuk menjaga hati istrinya atau untuk<br />
mengelakan kekecohan dan tidak secara terangterangan<br />
dia memuja gadis tersebut. Namun<br />
begitu, unsur-unsur ketuhanan digunakannya<br />
dengan agak meluas berdasarkan pemahaman<br />
agama yang ada padanya. Apa yang jelas Amir<br />
Hamzah dalam memuja Tuhan tidak pernah dapat<br />
menyatukan dirinya dengan Allah malah<br />
kebanyakannya ia ”kecewa” dengan sifat Allah<br />
yang seolah-olah tidak mempedulikan kasihnya.<br />
Jadi, untuk mengatakan puisi-puisi Amir Hamzah<br />
amat banyak mengandung unsur-unsur mistik<br />
adalah sukar diterima. Kita hanya boleh<br />
mengatakanpuisi-puisi itu khususnya tentang dosa<br />
dan pahala.<br />
-------------------------------<br />
1<br />
Makalah ini telah dipresentasikan pada<br />
Seminar Intenasional Sastra Malaysia-<br />
Indonesia pada tanggal 6 Juni 2006 di<br />
Fakultas Sastra USU dan disunting sesuai<br />
keperluan LOGAT tanpa mengubah isi.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Abbas, Arifin. 1979. Ilmu Tasauf. Kota Bharu:<br />
Pustaka Aman Press.<br />
Anonim. 1955. Bara Api Kesusastraan Indonesia,<br />
Catatan-Catatan tentang Amir Hamzah.<br />
Yogyakarta: Bagian Kesenian Jawatan<br />
Kebudayaan Kem. PP&K.<br />
Ass, Jamalul Abidin. 1970. “59 Tahun Penyair<br />
Amir Hamzah”. Dewan Sastra. Juni.<br />
Hamka. 1980. Perkembangan Tasauf dari Abad ke<br />
Abad. Kuala Lumpur: Pustaka.<br />
Hamzah, Amir. 1991. Nyanyi Sunyi. Jakarta: PT.<br />
Dian Rakyat.<br />
Hamzah, Amir. 1992. Buah Rindu. Jakarta: PT<br />
Dian Rakyat.<br />
Hasmy, A. 1976. Rubai Hamzah Fansuri. Kuala<br />
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.<br />
Husny, Abu Bakar. 1961. Pujangga Amir Hamzah.<br />
Singapura: Qalam.<br />
Isakandar, T. 1965.”Hamzah Fansuri”. Dewan<br />
Bahasa. Februari.<br />
Jassin, H.B. 1962. Amir Hamzah Raja Penyair<br />
Pujangga Baru. Jakarta: Gunung Agung.<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Haron Daud<br />
Passe, Zakaria M. 1974.”Matinya Penyair Amir<br />
Hamzah. Dan Siksaan Batin Tengku<br />
Tahura”.Dewan Sastra. Desember.<br />
Rathomy, Moh. Abdai. 1981. Tiga Serangkai<br />
Sendi Agama. Singapura: Solo Interprise.<br />
Halaman 45<br />
Amir Hamzah Seorang Penyair Mistik<br />
Yaapar, Md Saleh. 1995. Mysticism & Poetry A<br />
Hermeneutical Reading. Of the Poems of<br />
Amir Hamzah. Kuala Lumpur: Dewan<br />
Bahasa dan Pustaka.<br />
Zainal, Baharuddin. 1973. “ Satu Pembicaraan<br />
Pendek. Karya Amir Hamzah ‘Padamu<br />
Jua”. Dewan Sastra, Juni.<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 46<br />
❏ Petrampilan S. Brahmana<br />
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:<br />
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan<br />
dalam Sastra Indonesia<br />
DARI MALAIKAT KE DOA MOHON KEHANCURAN AGAMA:<br />
DEKONSTRUKSI ATAS PANDANGAN KEAGAMAAN<br />
DALAM SASTRA INDONESIA<br />
Pertampilan S. Brahmana<br />
Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />
Abstract<br />
This article tries to analyse the themes of the poems written by Saeful Badar and<br />
Gendhotwukir. The results of the analysis show that both pets deconstruct the religion view<br />
of Indonesian society. Saeful Badar deconstructs angels whereas deconstructs the role of<br />
religion in creating peace.<br />
Key words: poems, deconstruct<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Secara tidak sengaja, saya menemukan dua puisi<br />
dari dua penyair yang berbeda di dunia siber ini.<br />
Puisi yang pertama informasinya masuk ke dalam<br />
email saya, dan puisi yang kedua hasil berselancar<br />
di dunia siber ini. Puisi pertama dengan judul<br />
Malaikat ditulis oleh Saeful Badar, seorang<br />
pengelola Sanggar Sastra Tasik (SST) dari<br />
Tasikmalaya dan dipublikasikan di rubrik<br />
Khazanah harian Pikiran Rakyat Bandung edisi 4<br />
Agustus <strong>2007</strong>. Ketika saya lacak ke situs harian<br />
Pikiran Rakyat, puisi sudah dihapus. Sehingga<br />
puisi yang ada di dalam email saya tersebut saya<br />
salinkan kembali untuk tulisan ini. Puisi yang<br />
kedua Doa Mohon Kehancuran Agama ditulis oleh<br />
orang yang menamakan dirinya Gendhotwukir,<br />
dipublikasikan via situs Rumah Kiri.<br />
Walaupun kedua puisi di atas ditulis oleh<br />
orang yang berbeda, dan entah mungkin tidak<br />
saling mengenal, keduanya berada di dalam jalur<br />
yang sama yaitu agama. Keduanya<br />
mendekonstruksi pikiran kaum umat beragama.<br />
2. KARYA SASTRA DAN AGAMA<br />
Hubungan atau persinggungan karya sastra dengan<br />
agama, bukanlah hal yang baru. Isi karya sastra<br />
ada yang seiring sejalan dengan agama dan ada<br />
yang berbeda jalan. Isi karya sastra yang seiring<br />
sejalan dengan ajaran agama misalnya para<br />
pemegang otoritas keagamaan - walaupun tanpa<br />
mendapat mandat dari Tuhan - menghendaki karya<br />
sastra haruslah mendakwahkan agama kepada<br />
manusia. Karya-karya sastra seperti ini dapat<br />
dikatakan seiring sejalan dengan agama.<br />
Sedangkan isi karya-karya yang tidak<br />
seiring sejalan dengan ajaran agama antara lain<br />
karya Hamzah Fansuri (1550-1600), akibatnya<br />
karya-karya Hamzah Fansuri dibakar. Pembakaran<br />
terhadap karya-karyanya ini, katanya bukan<br />
dikarenakan pandangan keagamaannya, akan tetapi<br />
karena pendapat Hamzah Fansuri yang<br />
bertentangan dengan pandangan penguasa pada<br />
masanya. Kalau pandangan Hamzah Fansuri ini<br />
berkembang di tengah-tengah masyarakat, dapat<br />
menggoyangkan kedudukan penguasa pada masa<br />
itu.<br />
Penggalan puisi yang berisi perdebatan<br />
perihal pandangan Hamzah Fansuri ini adalah<br />
LIIA itu kesudahaan kata<br />
Tauhid makrifat semata-mata<br />
Hapuskan hendak sekalian perkara<br />
Hamba dan Tuhan tiada berbeda<br />
(Dikutip dari Liaw Yock Fang)<br />
Tafsiran atas penggalan puisi di atas,<br />
sama dengan AKU adalah YANG MAHA<br />
TUNGGAL dan YANG MAHA TUNGGAL<br />
adalah AKU. AKU (Hamzah Fansuri) adalah<br />
YANG MAHA TUNGGAL dan YANG MAHA<br />
TUNGGAL adalah AKU (Hamzah Fansuri).<br />
Maknanya Aku adalah Tuhan dan Tuhan adalah<br />
Aku (Hamba dan Tuhan tiada berbeda).<br />
Penggalan puisinya selanjutnya:<br />
Hamzah Fansuri di dalam Makah<br />
Mencari Tuhan di baitul Ka'abah<br />
Di Barus ke Kudus terlalu payah<br />
Akhirnya dapat di dalam rumah<br />
(Dikutip dari Liaw Yock Fang)<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Petrampilan S. Brahmana<br />
Dalam pandangan Hamzah Fansuri,<br />
Tuhan itu tidak perlu dicari jauh-jauh tetapi ada di<br />
dalam hati setiap manusia, ini diungkapnnya.<br />
Potongan Teks Puisinya<br />
Mencari Tuhan di baitul<br />
Ka'abah<br />
……<br />
Akhirnya dapat di dalam<br />
rumah<br />
Penafsirannya<br />
Tuhan itu tidak perlu<br />
dicari jauh-jauh. Tuhan<br />
itu “ada” bekerja di<br />
dalam hati setiap<br />
manusia.<br />
Pandangan di atas jelas berbeda,<br />
bertentangan, bertolak belakang dengan padangan<br />
keagamaan yang berkembang pada masa itu dan<br />
pada masa kini karena antara Tuhan dan manusia<br />
tidak mungkin bersatu. Hubungan Tuhan dengan<br />
manusia, seperti pencipta dengan karya<br />
ciptaannya. Tuhan itu pencipta dan manusia itu<br />
ciptaan Tuhan. Keduanya tidak mungkin sama atau<br />
disamakan. Jelas berbeda dengan pandangan<br />
Hamzah Fansuri tersebut.<br />
Akibat pandangannya tersebut,<br />
konsekuensi yang harus ditanggung Hamzah<br />
Fansuri adalah semua karya-karyanya harus<br />
dibakar, maka menurut ceritanya karya-karya<br />
Hamzah Fansuri dibakar habis oleh pihak yang<br />
berkuasa pada zamannya, yang paling keras<br />
menentang pandangan Hamzah Fansuri tersebut<br />
adalah Nurruddin Al-Raniri dan Abdul Rauf<br />
Singkel. Demikianlah Hamzah Fansuri<br />
mendekonstruksi pandangan keagamaan pada<br />
zamannya.<br />
Kurang lebih sama dengan Hamzah<br />
Fansuri adalah kisah Gatoloco pada masyarakat<br />
Jawa. Cerita ini juga berada dalam jalur<br />
keagamaan, tetapi mendekonstruksi untuk<br />
menghalangi perkembangan agama Islam di tanah<br />
Jawa.<br />
Contoh dekonstruksiannya adalah sebagai<br />
berikut:<br />
"Nabi Mekah yang kau sembah, sudah<br />
tidak ada ujudnya, sudah meninggal<br />
seribu tahun silam, tempatnya pun di<br />
tanah Arab, perjalanan ke sana tujuh<br />
bulan (ketika itu), itu pun dihadang laut,<br />
dan di sana tinggal hanya makamnya,<br />
kalian sembah jungkir balik tiap hari, apa<br />
bisa sampai?"<br />
Contoh ketika Gatoloco mendekonstruksi<br />
pemikiran tiga orang kyiai tentang mata.<br />
Ketika tiga orang kyai mengaku masingmasing<br />
memiliki dua mata, Gatoloco<br />
terbahak-bahak sambil beteriak-teriak.<br />
“Kamu terlalu berani. Sungguh akan<br />
celaka. Mengaku mata yang bukan<br />
Halaman 47<br />
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:<br />
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan<br />
dalam Sastra Indonesia<br />
milikmu. Nanti saya laporkan polisi<br />
kamu. Mestinya kamu diikat karena<br />
mengaku matamu dua. Sekarang begini,<br />
jika benar matamu dua, perintahkan yang<br />
satu kamu suruh terjaga dan satunya<br />
tidur. Bergiliran. Dengan begitu, selama<br />
hidupmu tidak akan kecurian”.<br />
“Ngaco. Mana ada mata melek<br />
bergiliran”<br />
“Jika benar mata itu milikmu, kamu pasti<br />
punya kuasa. Seluruh perintahmu pasti<br />
dituruti. Kalau tak menurut, itu berarti<br />
bukan matamu. Begitu kamu berani<br />
mengaku-aku. Kamu dapat dari mana.<br />
Beli atau pinjam. Apa kamu diberi. Jika<br />
ya, siapa yang memberi. Siapa saksinya.<br />
Hari apa diberikan, dan dimana. Hayo<br />
jawab” (Sukahar 1999: 19).<br />
........<br />
Ketiga guru kiyai bersama-sama berkata,<br />
“mana ada mata bergiliran?”<br />
Gatoloco menjawab, “Bila kalian<br />
mengaku matamu tidak pisah, dari mana<br />
kalian dapatkan? Dari membeli ataukah<br />
meminjam? Atau kalian diberi orang,<br />
lalu siapa yang memberimu, siapa<br />
saksinya, dari mana dan hari apa?”<br />
Ketika guru mendengarnya dengan<br />
geleng-geleng kepala, tak dapat berkatakata,<br />
dan akhirnya mereka berkata:<br />
“Ciptaan ayah ibuku!”<br />
Gatoloco terbahak-bahak, “Kiraku kedua<br />
orang tuamu tidak mengakuinya dalam<br />
menciptakan dirimu. Mereka hanya<br />
merasakan kenikmatan cinta, itu sebagai<br />
jalan terjadinya kalian. Mereka tak<br />
berniat menciptakanmu” (Prawirataruna<br />
1990: 46-47).<br />
Dari penggalan dialog di atas, ada dua hal<br />
yang menjadi fokus perhatian, pertama masalah<br />
penguasaan kedua mata yang dimiliki manusia dan<br />
proses kelahiran seorang manusia. Menurut<br />
konstruksi ketiga kyai tersebut, kedua mata yang<br />
dimiliki seorang manusia, adalah miliknya, si<br />
pemilik berkuasa atasnya, demikian juga dengan<br />
kelahiran manusia, manusia itu lahir atas restu<br />
kedua orang tuanya.<br />
Gatoloco mendekonstruksi pemikiran<br />
ketiga kyai tersebut di atas, dengan mengatakan,<br />
kedua mata yang dimiliki seorang manusia itu<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 48<br />
❏ Petrampilan S. Brahmana<br />
bukan miliknya, dia (manusia) itu tidak berkuasa<br />
atasnya, kalau memang benar kedua mata itu milik<br />
manusia, “suruhlah berkedip bergantian, satu<br />
memejam yang satu membelalak. Sehingga selama<br />
hidupnya manusia tidak akan dapat kecurian”.<br />
Kalau bisa berarti kedua mata itu benar-benar<br />
milik manusia dan manusia itu berkuasa atasnya.<br />
Sedangkan tentang penciptaan manusia, manusia<br />
itu dilahirkan orang tuanya bukan disengaja, tetapi<br />
hanyalah dampak dari ketika kedua orang yang<br />
disebut orang tua tersebut “merasakan kenikmatan<br />
cinta”.<br />
3. DARI PUISI MALAIKAT KE PUISI<br />
DOA MOHON KEHANCURAN<br />
AGAMA<br />
Kini puisi yang mendekonstruksi pandangan<br />
keagamaan, muncul kembali. Puisi pertama<br />
dipublikasikan melalui rubrik Khazanah harian<br />
Pikiran Rakyat Bandung edisi 4 Agustus <strong>2007</strong>,<br />
ditulis oleh Saeful Badar, seorang pengelola<br />
Sanggar Sastra Tasik (SST) dari Tasikmalaya<br />
dengan judul “Malaikat“, sedangkan puisi kedua<br />
dipublikasikan pada situs Rumah Kiri, ditulis oleh<br />
Gendhotwukir, dengan judul “Doa Mohon<br />
Kehancuran Agama“.<br />
Kedua puisi ini bagi yang tidak dapat<br />
memahami ada apa di balik teks mengatakan puisi<br />
yang lugas, puisi yang bersifat denotatif, langsung<br />
menuju kepada maksudnya, dan akan mengatakan<br />
bukan seperti itu puisi yang baik, puisi yang baik<br />
adalah puisi yang bersifat konotatif. Maka semakin<br />
misterius sebuah puisi (makin sulit seseorang<br />
memahami sebuah puisi), semakin bagus puisi<br />
tersebut, maka semakin hebat penulisnya. Contoh<br />
puisi seperti ini adalah puisi yang selalu<br />
diistilahkan puisi bunga. Penilaian seperti ini sahsah<br />
saja.<br />
3.1 Puisi Malaikat Karya Saeful Badar<br />
Seperti telah dikemukakan puisi ini pertama sekali<br />
dipublikasikan pada rubrik Khazanah harian<br />
Pikiran Rakyat Bandung edisi 4 Agustus <strong>2007</strong>,<br />
tetapi saya menemukannya di dalam email saya.<br />
Penulisnya adalah Saeful Badar, seorang pengelola<br />
Sanggar Sastra Tasik (SST) dari Tasikmalaya.<br />
MALAIKAT<br />
Mentang-mentang punya sayap<br />
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet<br />
Ia berlagak sebagai makhluk baik<br />
Tapi juga galak dan usil<br />
Ia meniup-niupkan wahyu<br />
Dan maut<br />
Ke saban penjuru<br />
(Saeful Badar <strong>2007</strong>)<br />
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:<br />
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan<br />
dalam Sastra Indonesia<br />
Kehadiran puisi ini mendapat reaksi dari<br />
kalangan DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia)<br />
Jawa Barat. Puisi ini oleh kalangan DDII (Dewan<br />
Dakwah Islam Indonesia) Jawa Barat menganggap<br />
menghina agama Islam, karena dianggap<br />
mempermainkan “Malaikat”. Sebenarnya bukan<br />
hanya pihak Islam saja yang patut marah, pihak<br />
Kristen, apakah itu Kristen Orthodoks, Katolik dan<br />
Protestan juga berhak marah (kalau boleh marah),<br />
sebab dalam agama Kristen juga mempunyai<br />
Malaikat dengan istilah Malaikat.<br />
Suara protes tersebut muncul dari pihak<br />
Islam dalam hal ini DDII Jawa Barat saja.<br />
Argumen yang dikemukakan oleh DDII tersebut<br />
adalah:<br />
1 Sajak berjudul "Malaikat" karya Saeful<br />
Badar tersebut, jauh dari nilai estetika seni<br />
sastra, sekaligus tidak mengandung etika<br />
penghormatan terhadap agama, khususnya<br />
agama Islam. Oleh karena itu, sajak<br />
tersebut dapat dikategorikan menghina<br />
agama, khususnya Islam.<br />
2 Jika penulisan dan pemuatan sajak tersebut<br />
dilakukan tanpa ada maksud melecehkan<br />
Islam, hal itu mengindikasikan<br />
"kebodohan" penulis dan redaktur tentang<br />
konsep malaikat dalam agama-agama<br />
samawi, khususnya Islam.<br />
3 Jika penulisan dan pemuatan sajak tersebut<br />
dilakukan dengan sengaja untuk<br />
memancing amarah umat Islam dan<br />
menista ajaran Islam, tindakan tersebut<br />
serupa dengan apa yang dilakukan para<br />
penista Islam, seperti kasus Salman<br />
Rushdie dengan novel "Ayat-ayat Setan",<br />
koran Jylland-Posten Denmark dengan<br />
karikatur Nabi Muhammad saw., dan<br />
kasus-kasus lainnya yang dinilai<br />
melecehkan Islam dan kaum Muslimin.<br />
4 Kami menganggap permohonan maaf saja<br />
tidak cukup, karena ini menyangkut akidah<br />
Islam, sehingga harus ada tindakan lebih<br />
jauh, seperti klarifikasi tentang sosok<br />
malaikat yang sebenarnya, sekaligus<br />
meng-counter opini yang dibangun penulis<br />
sajak lewat judul sajak "Malaikat" yang<br />
telanjur dipublikasikan.<br />
5 Dalam konsep ajaran Islam, Malaikat<br />
adalah satu dari sekian banyak makhluk<br />
ciptaan Allah SWT yang mendapat<br />
keistimewaan tersendiri. Mereka<br />
merupakan makhluk rohani bersifat gaib,<br />
tercipta dari cahaya (nur), selalu tunduk<br />
patuh, taat, dan tak pernah ingkar kepada<br />
Allah SWT. Malaikat menghabiskan waktu<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Petrampilan S. Brahmana<br />
siang-malam untuk mengabdi kepada<br />
Allah SWT. Mereka tidak pernah berbuat<br />
dosa dan tidak pernah mengerjakan apa<br />
pun atas inisiatif sendiri, selain<br />
menjalankan titah kuasa perintah Allah<br />
SWT semata. Mereka diciptakan Allah<br />
SWT dengan tugas-tugas tertentu.<br />
6 Bagi umat Islam, percaya (iman) kepada<br />
Malaikat, adalah bagian dari rukun Iman<br />
yang enam, di samping iman kepada Allah,<br />
Rasul-rasul Allah, Kitab-kitab Allah,<br />
Qodlo-Qodar (takdir), dan hari akhir. Iman<br />
kepada Malaikat menjadi bagian terpenting<br />
dari tauhid (mengesakan Allah) dan<br />
membebaskan manusia dari syirik<br />
(menyekutukan Allah).<br />
7 Dengan demikian, bagi umat Islam,<br />
Malaikat bukan sosok yang bisa<br />
dipermainkan atau diolok-olok, baik oleh<br />
ucapan, kalimat, maupun tindakan, oleh<br />
seorang penyair, sekalipun atas nama<br />
kebebasan berekspresi.<br />
Sumber: Faith Freedom International - Forum Indonesia.<br />
20 Aug <strong>2007</strong><br />
Protes DDII ini mendapat perlawanan<br />
juga dalam bentuk protes antara lain dari AJI<br />
(Aliansi Jurnalis Independen) Bandung. Menurut<br />
AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Bandung,<br />
pelarangan terhadap Puisi “Malaikat: adalah<br />
bertentangan dengan konstitusi negara, Undang-<br />
Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945,<br />
pasal 28 yang menjamin hak warga negara untuk<br />
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.<br />
Oleh karena itu, tindakan-tindakan yang berupaya<br />
memasung kemerdekaan berpikir dan berekspresi,<br />
merupakan pelanggaran atas konstitusi tertinggi<br />
negara--Undang-Undang Dasar tahun 1945.<br />
Tindakan tersebut jelas-jelas ancaman bagi<br />
keberlangsungan demokrasi di Indonesia.<br />
Aliansi Jurnalis Independen Kota<br />
Bandung, pada tanggal 13 Agustus <strong>2007</strong>,<br />
menyatakan pendapatnya bahwa:<br />
1 Mengecam segala tindakan yang<br />
memasung kemerdekaan berpikir dan<br />
berekspresi.<br />
2 Mendesak kepolisian untuk bertindak<br />
tegas terhadap pihak-pihak yang<br />
melanggar konstitusi negara (dalam hal ini<br />
pihak yang melakukan intimidasi terhadap<br />
karya sastra).<br />
3 Mendesak media massa agar<br />
bertanggungjawab terhadap segala<br />
kemungkinan yang akan dihadapi yang<br />
Halaman 49<br />
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:<br />
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan<br />
dalam Sastra Indonesia<br />
menyangkut penerbitannya. Segala beban<br />
tanggungjawab agar tidak diserahkan<br />
semata-mata terhadap wartawan secara<br />
individu.<br />
Sumber: www.ajiindonesia.org<br />
Pernyataan Aliansi Jurnalis Independen<br />
Kota Bandung tersebut ditandatangangi oleh<br />
Sekretaris Mulyani Hasan dan Koordinator Divisi<br />
Advokasi Ahmad Yunus.<br />
Dukungan protes juga datang dari 21<br />
komunitas seniman dan elemen masyarakat,<br />
Komunitas Azan-Tasikmalaya, Sanggar Sastra<br />
Tasikmalaya, Teater Bolon-Tasikmalaya,<br />
Komunitas Malaikat-Ciparay, Institut Nalar-<br />
Jatinangor, Aliansi Jurnalis Independen Bandung,<br />
Forum Studi Kebudayaan Institut Teknologi<br />
Bandung, Masyarakat Antikekerasan, Gerbong<br />
Bawah Tanah-Bandung, BPK 0I-Tasikmalaya,<br />
Teater 28-Tasikmalaya, Study Oriented Culture<br />
Tasikmalaya, Teater Prung Jatinangor, Lingkar<br />
Studi Sastra Cirebon, Komunitas Cupumanik-<br />
Bandung, Forum Diskusi Wartawan Bandung,<br />
Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak<br />
Kekerasan, Ikatan Keluarga Orang Hilang,<br />
Lembaga Kajian Agama dan HAM Tasikmalaya,<br />
Rumah Kiri, dan Forum Solidaritas Jurnalis Garut.<br />
Mereka juga turut prihatin dan penyesalan<br />
terhadap pemberangusan sajak “Malaikat” karya<br />
Saeful Badar. Menurut 21 komunitas seniman dan<br />
elemen masyarakat di atas.<br />
1 Hak tiap individu untuk mengungkapkan<br />
diri baik secara lisan maupun secara tertulis<br />
patut dilindungi. Dalam konteks tata<br />
kehidupan di Indonesia, perlindungan akan<br />
hak tersebut telah menjadi kesepakatan<br />
kolektif, bahkan dinyatakan secara tegas<br />
dalam konstitusi. Oleh karena itu, kami<br />
sangat prihatin dan turut menyesalkan<br />
pemberangusan atas sajak “Malaikat” karya<br />
penyair Saeful Badar. Kami juga sangat<br />
prihatin dan menyesalkan pendiskreditan<br />
nama baik penyair Saeful Badar, yang<br />
disebut-sebut seperti Salman Rusdhie,<br />
sehingga penyair Saeful Badar mengalami<br />
berbagai tekanan.<br />
2 Kami juga menentang dan menyesalkan<br />
segala bentuk pemutlakan tafsir atas karya<br />
seni dan sastra oleh individu dan golongan<br />
tertentu, serta menentang dan menyesalkan<br />
segala bentuk sikap yang tidak toleran.<br />
Pemutlakan tafsir dan sikap tidak toleran<br />
merupakan bentuk kekerasan simbolis yang<br />
bisa membuka gerbang ke arah berbagai<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 50<br />
❏ Petrampilan S. Brahmana<br />
kekerasan fisik dan psikis. Perbedaan<br />
pandangan, pikiran, dan sikap sehubungan<br />
dengan suatu hal sepatutnya tidak sampai<br />
menutup peluang bagi terwujudnya<br />
keadilan.<br />
3 Kami juga menentang dan menyesalkan<br />
sikap dan tindakan yang cenderung<br />
membawa-bawa agama, atau menekankan<br />
pertimbangan bernada keagamaan, sebagai<br />
tameng bagi pemutlakan dan pemaksaan<br />
sikap dan pandangan individu dan<br />
golongan tertentu. Janganlah mempermainmainkan<br />
agama demi tujuan-tujuan yang<br />
sempit, picik, dan pendek.<br />
4 Pada hemat kami, ruang publik sebagai<br />
wahana ekspresi kolektif perlu dipelihara<br />
dan dikembangkan. Dalam hal ini, kami<br />
menyatakan bahwa media massa, sebagai<br />
salah satu institusi sosial yang mengelola<br />
ruang ekspresi kolektif, sepatutnya dapat<br />
menjaga integritasnya sehingga tidak<br />
mudah dipermainkan oleh individu dan<br />
kelompok tertentu yang sikap dan<br />
tindakannya tidak sejalan dengan<br />
pemeliharaan ruang publik.<br />
Sumber:<br />
http://kapasmerah.wordpress.com/<strong>2007</strong>/08/14/pernyat<br />
aan-bersama-menyikapi-polemik-puisi-malaikat/<br />
Puisi Malaikat tersebut sebenarnya<br />
mendekonstruksi pandangan umum tentang<br />
Malaikat. Pandangan umum tentang Malaikat<br />
seperti yang dikemukakan oleh DDII.<br />
Dalam ajaran Islam, Malaikat adalah satu dari<br />
sekian banyak makhluk ciptaan Allah SWT<br />
yang mendapat keistimewaan tersendiri.<br />
Mereka merupakan makhluk rohani bersifat<br />
gaib, tercipta dari cahaya (nur), selalu tunduk<br />
patuh, taat, dan tak pernah ingkar kepada Allah<br />
SWT. Malaikat menghabiskan waktu siangmalam<br />
untuk mengabdi kepada Allah SWT.<br />
Mereka tidak pernah berbuat dosa dan tidak<br />
pernah mengerjakan apa pun atas inisiatif<br />
sendiri, selain menjalankan titah kuasa perintah<br />
Allah SWT semata. Mereka diciptakan Allah<br />
SWT dengan tugas-tugas tertentu.<br />
Bagi umat Islam, percaya (iman) kepada<br />
Malaikat, adalah bagian dari rukun Iman yang<br />
enam, di samping iman kepada Allah, Rasulrasul<br />
Allah, Kitab-kitab Allah, Qodlo-Qodar<br />
(takdir), dan hari akhir. Iman kepada Malaikat<br />
menjadi bagian terpenting dari tauhid<br />
(mengesakan Allah) dan membebaskan<br />
manusia dari syirik (menyekutukan Allah).<br />
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:<br />
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan<br />
dalam Sastra Indonesia<br />
Saeful Badar mendekonstruksi citra<br />
tersebut dengan mengungkapkan:<br />
Mentang-mentang punya sayap<br />
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet<br />
Ia berlagak sebagai makhluk baik<br />
Tapi juga galak dan usil<br />
Ia meniup-niupkan wahyu<br />
Dan maut/Ke saban penjuru.<br />
Ungkapan tersebut menimbulkan kesan<br />
mengolok-olok, atau mempermain-mainkan<br />
Malaikat.<br />
Saeful Badar memang sah-sah saja<br />
mendekonstruksinya, apalagi baik antara Saeful<br />
Badar dan pihak-pihak yang keberatan terhadap<br />
puisinya di atas, sama-sama tidak punya mandat<br />
dari Tuhan Yang Maha Esa untuk mengatakan<br />
Saeful Badar yang salah, atau lawan Saeful Badar<br />
yang benar. Atau sebaliknya Saeful Badar yang<br />
benar, lawan Saeful Badar yang salah.<br />
3.2 Puisi Doa Mohon Kehancuran Agama oleh<br />
Gendhotwukir<br />
Puisi ini dipublikasikan pada situs Rumah Kiri.<br />
Puisi ini berbeda dengan puisi Malaikat“ karya<br />
Saeful Badar. Puisi Gendhotwukir, justru<br />
mendoakan dan memohon agar agama hancur.<br />
Gendhotwukir<br />
Doa Mohon Kehancuran Agama<br />
kepada Allah yang dipuja di label dunia atas<br />
nama agama<br />
diagung-agungkan sebagai pencipta dan<br />
pengatur semesta<br />
aku mohon kehancuran agama<br />
jika atas nama agama tidak ada penghargaan<br />
martabat sesama manusia<br />
jika atas nama agama, ada yang terluka<br />
bahkan mati binasa<br />
terinjak-injak oleh bejat dan nafsu belaka<br />
bahkan oleh teriak para pemangku agama<br />
jika salaman saja bagi yang berbeda menjadi<br />
sia-sia<br />
dan nista hukumnya<br />
jika kedatangan sesama manusia menjadi<br />
berjarak hanya karena beda agama<br />
jika karena pantang-pantang, persaudaraan<br />
menjadi baur mengudara<br />
jika manusia telah menjadi "allah" atas<br />
sesamanya<br />
jikapun dengan cara demikian orang masuk<br />
surga,<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Petrampilan S. Brahmana<br />
maka akulah orang yang pertama memilih<br />
masuk neraka<br />
sekali lagi aku mohon kehancuran agama<br />
Jerman, 18.02.06<br />
Sumber:<br />
http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&tas<br />
k=category§ionid=5&id=12&Itemid=271 (30/08/<strong>2007</strong>)<br />
Bagaimana menyikapi puisi ini? Ada apa<br />
di balik teks puisi Gendhotwukir tersebut? Fakta<br />
atau faktual? Jawabnya keduanya, fakta dan<br />
faktual.<br />
Nurcholis Madjid pada tulisannya di<br />
Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an.<br />
<strong>No</strong>mor I, <strong>Vol</strong> IV, tahun 1993 (Madjid, 1993:7-8)<br />
menulis: “Peta dunia sekarang (1993) sedang<br />
ditandai oleh konflik-konflik dengan warna<br />
keagamaan. Meskipun agama bukanlah satusatunya<br />
faktor, namun jelas sekali bahwa<br />
pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik<br />
itu dan dalam eskalasinya sangat banyak<br />
memainkan peranan. Di ujung paling utara, di<br />
Irlandia ialah pertentangan tidak berkesudahan<br />
antara kaum Katolik dan kaum Protestan. Dan di<br />
tengah-tengah Eropah, sekitar Perancis dan<br />
Jerman, sedang terjadi konflik-konflik yang malumalu<br />
disebut bernuansa keagamaan (karena akan<br />
menodai "liberalisme" mereka) dan terbungkus<br />
rasialisme atau kepentingan ekonomi terhadap para<br />
pekerja asing yang kebanyakan beragama Islam.<br />
Sedikit ke selatan, dan masih dalam wilayah<br />
Eropah, kita mendapati bentuk paling baru konflik<br />
dengan banyak warna keagamaan yaitu di Bosnia-<br />
Herzegivina. Kemudian di Cyprus, betapapun juga<br />
pertentangan antara mereka yang keturunan Turki<br />
dan yang keturunan Yunani tetap sedikit banyak<br />
diwarnai oleh sentimen keagamaan. Konflikkonflik<br />
di Palestina khususnya Timur Dekat<br />
umumnya yang melibatkan kaum Yahudi, Muslim<br />
dan Kristen, dengan faksi masing-masing yang<br />
cukup membingungkan, hampir merupakan<br />
anomali bagi sebuah tempat buaian peradapan<br />
manusia yang paling berpengaruh, dan jelas<br />
anakronistik bahwa kaum Yahudi hendak<br />
mendirikan negara agama di zaman moderen atas<br />
bantuan negara moderen. Di Afrika Hitam pun<br />
konflik-konflik dengan warna keagamaan juga<br />
tidak mudah disembunyikan. Di Sudan ada konflik<br />
antara Islam yang "Arab" di sebelah <strong>Utara</strong> dan<br />
Kristen yang "Negro" di sebelah Selatan. Belum<br />
lagi konflik-konflik karena rasialisme dan paham<br />
apartheid, yang juga mengundang keterlibatan<br />
berbagai tokoh keagamaan (Kristen). Negerinegeri<br />
Timur Tengah yang lain, juga diramaikan<br />
oleh konflik-konflik dengan warna keagamaan,<br />
Halaman 51<br />
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:<br />
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan<br />
dalam Sastra Indonesia<br />
sebagian daripadanya sungguh dramatis. Tidak<br />
saja konflik antara Irak dan Iran merupakan<br />
konflik antara pemerintah yang berturut-turut<br />
didominasi oleh Islam Sunni dan Islam Syi'i,<br />
bahkan juga masing-masing pihak dengan jelas<br />
menggunakan simbol-simbol keagamaan, seperti<br />
heorisme Q'adisiyyah dari pihak Irak dan jihad<br />
melawan thaghut (tiran) yang jelas ateis dari pihak<br />
Iran. Perang teluk yang dahsyat itu secara resmi<br />
terhindar dari pewarnaan keagamaan, namun tidak<br />
luput terjadi persepsi populer yang aneh di<br />
sementara kalangan bahwa perang itu adalah<br />
perang antara Islam (Irak) melawan kekafiran<br />
(Kuwait, Saudi, Syria, Mesir, yang dibantu negerinegeri<br />
Barat khususnya Amerika)!. Dan jika kita<br />
teruskan ke Timur, kita melewati Afghanistan<br />
yang masih dalam kemelut konflik-konflik politik<br />
dengan tema perebutan keabsahan menurut jenis<br />
penganut keagamaan (Islam) mereka. Anak Benua<br />
sekitarnya juga meriah dengan percekcokan<br />
keagamaan: Islam Sunnah lawan Islam Syi'ah di<br />
Pakistan, Hindu lawan Islam di India, Hindu lawan<br />
Budhisme (dan Islam) di Srilangka, dan Budhisme<br />
lawan Islam di Burma dan Thailand. Di Filipina<br />
kita sudah lama mengetahui adanya konflik yang<br />
berlarut-larut antara Katolik dan Islam. Di tempattempat<br />
lain, konflik keagamaan itu jelas selalu<br />
merupakan potensi yang syukurlah belum, tidak<br />
atau malah tidak akan terbuka”.<br />
Pendapat Nurcholis Madjid ini pernah<br />
ditentang habis-habisan oleh beberapa orang yang<br />
tidak sejalan dengannya. Mereka tidak sependapat<br />
dengan pandangan tersebut. Pertanyaan kita<br />
kemudian, mengapa dalam agama yang diajarkan<br />
begitu mulia dapat berbuat sebaliknya,<br />
bertentangan dengan isi pengajarannya?<br />
Jawabannya dapat bermacam-macam, bergantung<br />
kepada bingkai (framing) yang digunakan. Bingkai<br />
politik misalnya, di Indonesia sejak Orde Lama,<br />
bahkan sebelum Indonesia terbentuk menjadi<br />
sebuah negara hingga Orde Baru dan Orde<br />
Reformasi, agama dijadikan kudatunggangan oleh<br />
para elit politik untuk meraih kekuasaan duniawi<br />
melalui partai politik, melalui organisasi<br />
keagamaan. Lihat saja Politisasi Agama pada masa<br />
Orde Lama berikut ini.<br />
Aliran<br />
Islam<br />
Kristen<br />
Awal Kemerdekaan<br />
(1908-1955)<br />
Masjumi, NU, PSII,<br />
Perti<br />
Partai Katolik,<br />
Parkindo.<br />
Orde Lama<br />
(1955-1965)<br />
Masjumi, NU, PSII,<br />
Perti, PPTI, AKUI,<br />
PSII Abikusno<br />
Partai Katolik,<br />
Parkindo.<br />
Hasilnya sudah kita ketahui, munculnya<br />
pemberontakan-pemberontakan yang bersenjata,<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
Halaman 52<br />
❏ Petrampilan S. Brahmana<br />
ada yang bersifat keagamaan. Kemudian wacana<br />
memformalkan syariat Islam ke dalam tatanegara<br />
Indonesia, adalah bukti bahwa agama dijadikan<br />
kudatunggangan oleh elit politik, atau kaum ulama<br />
memasuki dunia politik.<br />
Pada masa Orde Baru, politisasi agama<br />
sebagai berikut.<br />
Aliran<br />
Islam<br />
Kristen<br />
Orde<br />
(1965-1973)<br />
NU, PSII, Perti,<br />
Parmusi.<br />
Partai Katolik,<br />
Parkindo.<br />
Baru<br />
(1973-1998)<br />
PPP<br />
Pada masa Orde Reformasi, politisasi<br />
agama sebagai berikut:<br />
Aliran Masa Reformasi (1999-2003)<br />
Islam PPP, PBB, PK, PSII, Masyumi<br />
Kristen PDKB, KRISNA<br />
Ini adalah yang bersifat formal, di balik<br />
formal tersebut yang dikatakan bersifat informal,<br />
perilaku politisasi ini bertaburan di balik istilah<br />
koncoisme, kolusi dan nepotisme, banyak<br />
dilakukan atas nama seiman, sesama umat. Bahkan<br />
ada yang berpandangan, orang-orang yang tidak<br />
seagama disebut kafir.<br />
Faktanya tidak ada bukti material yang<br />
meyakinkan manusia bahwa Tuhan Yang Maha<br />
Esa, pernah ada memberikan mandat manusia<br />
(kelompok manusia) manapun di dunia ini untuk<br />
mewakili atau membela kepentingan Tuhan di<br />
muka bumi ini. Tidak ada bukti material<br />
meyakinkan bahwa yang dikategorikan sebagai<br />
kitab suci benar-benar ajaran yang bersumber dari<br />
Tuhan Yang Maha Esa. Semua karena tafsiran.<br />
Mungkin inilah yang hendak dibongkar,<br />
disadarkan oleh Gendhotwukir melalui puisinya<br />
tersebut seperti di bawah ini.<br />
jika atas nama agama tidak ada penghargaan<br />
martabat sesama manusia<br />
jika atas nama agama, ada yang terluka<br />
bahkan mati binasa<br />
terinjak-injak oleh bejat dan nafsu belaka<br />
bahkan oleh teriak para pemangku agama<br />
jika salaman saja bagi yang berbeda menjadi<br />
sia-sia<br />
dan nista hukumnya<br />
jika kedatangan sesama manusia menjadi<br />
berjarak hanya karena beda agama<br />
......<br />
maka akulah orang yang pertama memilih<br />
masuk neraka<br />
sekali lagi aku mohon kehancuran agama<br />
-<br />
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:<br />
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan<br />
dalam Sastra Indonesia<br />
Masalah sekarang rasionalkah isi doa<br />
tersebut yaitu ingin menghancurkan agama agar<br />
manusia menjadi bermartabat tanpa melalui<br />
agama? Soal rasional tidaknya isi doanya tersebut,<br />
memang dapat diperdebatkan, kehancuran agama<br />
yang dimaksud, kehancuran yang bagaimana?<br />
Kalau menghancurkan semua agama yang ada,<br />
jelaslah tidak mungkin, agama atas nama<br />
kelompok seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu,<br />
Budha dan lainnya tidak akan pernah dapat hancur,<br />
dalam renungan agama sudah berada, bukan<br />
mengada, artinya agama sudah benar-benar hadir<br />
di dunia ini, didukung oleh jutaan manusia, agama<br />
bukan lagi sebagai wacana-wacana. Berjuta-juta<br />
manusia telah merasakan peranan agama dalam<br />
hidup dan kehidupan mereka. Mereka yang<br />
demikian tidak akan bakalan mau menghancurkan<br />
agama mereka.<br />
Bahasa yang ada untuk eksistensi agama<br />
ini adalah pengikut atau umat beragama dapat<br />
mengalami masa surut seperti air laut yang ada<br />
pasang surutnya. Ketika masa surut umatnya<br />
berkurang, ketika masa pasang umatnya banyak.<br />
Justru di masa depan dengan hancurnya ikatan<br />
kekerabatan (hubungan darah), karena<br />
berkembangnya paham pragmatisme dalam<br />
berkerabat, atau karena jauhnya kerabat dari<br />
tempat tinggal seseorang, acara suka dan duka<br />
yang dialami yang selama ini ditangani oleh kaum<br />
kerabat, akan diambil alih oleh kerabat baru yang<br />
bernama seagama. Merekalah yang mengisi<br />
kekosongan peran kerabat sedarah tersebut,<br />
terutama di kota-kota besar khususnya di<br />
Indonesia. Hancurnya kekerabatan ini bukan<br />
seratus persen karena faktor agama, tetapi karena<br />
faktor pragmatisme dalam berkerabat, sehingga<br />
kelompok tetangga yang seagama yang akhirnya<br />
dianggap sebagai kerabat terdekat yang dapat<br />
menggantikan peran dan fungsi kerabat sedarah<br />
tersebut.<br />
Kalaupun hancur agama atas nama<br />
kelompok seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu,<br />
Budha dan lainnya, kehancurannya akan diisi oleh<br />
kelompok „agama“ baru. Kelompok „agama“ baru<br />
ini, akan mengambil sisi-sisi positif dari agama<br />
atas nama kelompok tersebut. Bibit ini saat ini<br />
berkembang, tetapi belum pesat yaitu aliran<br />
teosofi. Aliran teosofi ini, mengkaji, mempelajari<br />
Tuhan bersifat lintas agama. Saat ini kelompok<br />
teosofi ini, hanya sebatas mengkaji Tuhan lintas<br />
agama, belum mengambil alih peran kerabat dalam<br />
suka dan duka. Bila kelompok teosofi ini, akhirnya<br />
mengambil alih peran suka dan duka, maka<br />
kemungkinannya dapat berkembang mengalahkan<br />
agama kelompok tersebut.<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
❏ Petrampilan S. Brahmana<br />
Jadi, puisi Gendhotwukir dengan judul<br />
Doa Mohon Kehancuran Agama tidak akan<br />
terbukti. Hancur agama kelompok seperti Islam,<br />
Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan lainnya,<br />
akan melahirkan kelompok agama baru dengan<br />
nama yang berbeda dengan ajarannya diambil<br />
(sintesa) dari hal-hal yang dianggap positif dari<br />
agama kelompok tersebut.<br />
Namun, misi puisi Gendhotwukir tersebut<br />
di atas jelas. Kekecewan Gendhotwukir karena dia<br />
menganggap atas nama agama saat ini tidak ada<br />
penghargaan kepada martabat sesama manusia,<br />
atas nama agama, banyak yang terluka, mati,<br />
bahkan jika bersalaman saja bagi yang berbeda<br />
agama dihindari, yang ada saat ini adalah manusia<br />
telah menjadi "Allah" atas sesamanya. Kalau tesis<br />
ini benar, maka itu “ngawur“ namanya, manusia<br />
sudah ngawur demi kepentingan dirinya,<br />
kelompoknya, bukan kepentingan manusia secara<br />
universal.<br />
4. PENUTUP<br />
Dibandingkan dengan puisi Malaikat di atas, puisi<br />
Gendhotwukir ini jauh lebih kuat kesan<br />
tendensnya walaupun keduanya bermain-main di<br />
wilayah agama. Puisi Malaikat mendekonstruksi,<br />
membongkar pandangan masyarakat perihal<br />
“Malaikat“, sehingga memberi kesan puisi<br />
Malaikat seperti melecehkan “Malaikat“ salah satu<br />
simbol yang dihormati baik dalam agama Islam<br />
maupun Kristen, puisi Doa Mohon Kehancuran<br />
Agama justru ingin „menghancurkan“ agama.<br />
Menghancurkan sama dengan menaklukkan atau<br />
membinasakan ini tidak rasional. Kedua puisi<br />
tersebut mendekonstruksi pandangan keagamaan<br />
yang ada di dalam masyarakat Indonesia<br />
khususnya.<br />
Dilihat dari segi jarak waktu mulai era<br />
Hamzah Fansuri ((1550-1600) dan Gatoloco,<br />
karya-karya sastra Indonesia yang berani<br />
Halaman 53<br />
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:<br />
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan<br />
dalam Sastra Indonesia<br />
mendekonstruksi pandangan keagamaan<br />
masyarakat Indonesia baru pada era reformasi ini<br />
muncul kembali. Pendekonstruksian ini perlu agar<br />
masyarakat tidak mudah diakal-akali oleh mereka<br />
yang mengaku-ngaku mewakili Tuhan di dunia ini,<br />
sementara Tuhan sendiri tidak pernah memberikan<br />
mandat kepada mereka. Tuhan perlu uang katanya,<br />
akal sehat kita membisikan, Tuhan tidak perlu<br />
uang, yang perlu uang itu manusia. Gelar Ustad,<br />
Pendeta, Biksu, ulama dan lainnya, hanyalah gelar<br />
hasil buatan manusia, bukan pemberian dari Tuhan<br />
si Penguasa Alam.<br />
Puisi Malaikat karya Saeful Badar dan<br />
puisi Doa Mohon Kehancuran Agama karya<br />
Gendhotwukir, sudah memulai mencoba<br />
menghindarkan bangsa ini pecah karena politisasi<br />
agama. Maka dapat dipahami kedua puisi ini<br />
sebenarnya secara tidak langsung juga<br />
mendekonstruksi, konstruksi keagamaan yang<br />
dibuat oleh para “politisi“.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusastraan<br />
Melayu Klasik. Jakarta: Penerbit Erlangga.<br />
Madjid, Nurcholish. 1993. “Beberapa Renungan<br />
Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk<br />
Generasi Mendatang”. Dalam Jurnal Ilmu<br />
dan Kebudayaan Ummul Qur'an. <strong>Vol</strong>. IV, 1.<br />
Prawirataruna. 1990. Falsafah Gatoloco.<br />
Semarang: Dahara Prize.<br />
Sukahar, Joko Su’ud. 1999. Tafsir Gatolotjo.<br />
Surabaya: Wuwung.<br />
Sukahar, Joko Su’ud. <strong>2007</strong>. Tafsir Gatolotjo.<br />
Jakarta: Agromedia Pustaka.<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>
TENTANG PENULIS<br />
1. Isma Tantawi<br />
Isma Tantawi lahir pada tanggal 7 Februari 1960 di Kuning Aceh Tenggara (sekarang Kabupaten<br />
Gayo Lues). Beliau adalah staf pengajar tetap di Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />
mengasuh mata kuliah Sastra Bandingan, Estetika, dan Sastra Malaysia Modern serta mengajar di<br />
beberapa perguruan tinggi swasta di <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> dan sebagai dosen tamu di Kolej Sentral Kuala<br />
Limpur, Malaysia. Beliau menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) di Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong><br />
<strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> (FS USU) tahun 1986 dan pendidikan master (S-2) di Pusat Pengajian Ilmu<br />
Kemanusiaan Universiti Sains Malaysia (PPIK USM) tahun 2006 dengan bidang kajian tradisi lisan<br />
nusantara. Di samping itu juga beliau aktif mengikuti seminar nasional dan internasional baik<br />
sebagai peserta maupun pemakalah.<br />
2. Nurhayati Harahap<br />
Nurhayati Harahap lahir di Padang Sidempuan, 19 <strong>April</strong> 1962. Beliau adalah staf pengajar tetap<br />
Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU dalam bidang kesusateraan. Menyelesaikan<br />
pendidikan Sarjana (S-1) pada program studi dan fakultas yang sama tahun 1985 dan pendidikan<br />
lanjutan (S-2) di Unpad Bandung pada tahun 1997. Beliau juga aktif meneliti khususnya sastra etnik<br />
Angkola Mandailing.<br />
3. Haris Sutan Lubis<br />
Haris Sutan Lubis lahir di Padang Sidempuan 7 September 1959. Beliau adalah staf pengajar di<br />
Fakultas Sastra USU dalam bidang sastra sejak tahun 1986. Beliau menyelesaikan S-1 bidang studi<br />
Sastra Indonesia di fakultas yang sama pada tahun 1985. Pada tahun 2006 beliau menyelesaikan<br />
pendidikan Magister Studi Pembangunan di Sekolah Pascasarjana <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />
dengan judul tesis “Perencanaan pengembangan Ekowisata berbasis Masyarakat. Saat ini beliau<br />
mengasuh mata kuliah Telaah Drama di Departemen Sastra Indonesia, Mata kuliah Ekowisata dan<br />
Kepemimpinan Kepariwisataan di Program Studi Pariwisata<br />
4. Yundi Fitrah<br />
Yundi Fitrah, lahir di Batangtoru, 25 Desember 1959. Beliau adalah staf pengajar pada Program<br />
Studi Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP <strong>Universitas</strong> Jambi. Menyelesaikan pendidikan S-1 di<br />
Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> pada tahun 1985 dan telah menyelesaikan Program<br />
Magister Ilmu Susastra pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya <strong>Universitas</strong> Indonesia dan<br />
Program Doktor dalam Persuratan Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia. Alamat: Jln.<br />
Kemajuan <strong>No</strong>.42. Mendalo Darat 36361 Tel. 0741– 580008 Hp. 08127811770 Jambi.<br />
5. Ikhwanuddin Nasution<br />
Ikhwanuddin Nasution lahir di Padang Sidempuan, 25 September 1962. Beliau adalah staf pengajar<br />
di Fakultas Sastra USU dalam bidang sastra. Beliau menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) pada<br />
fakultas yang sama pada tahun 1986, pendidikan lanjutan (S-2) di Program Pascasarjana <strong>Universitas</strong><br />
Udayana, Bali pada tahun 2000, dan Pendidikan Doktor (S-3) pada Program Studi Kajian Budaya,<br />
Pengutamaan Estetika Sastra Program Pascasarjana <strong>Universitas</strong> Udayana pada tahun <strong>2007</strong>. Beliau<br />
aktif menulis di berbagai jurnal.<br />
6. Haron Daud<br />
Haron Daud dilahirkan pada 20 Februari 1952 di Kampung Pulau Pisang, Kota Bharu, Kelantan,<br />
Malaysia. Pada tahun 1996 beliau meraih gelar Doktor Falsafah dari Universiti Malaya dan meraih<br />
Profesor pada tahun 2006 di Universiti Sains Malaysia. Beliau menjadi dosen di Pusat Pengajian<br />
Ilmu kemanusiaan USM sampai tahun <strong>2007</strong>. Pada awal tahun 2008 beliau pindah dan menjadi dosen<br />
di Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia.<br />
7. Pertampilan S. Brahmana<br />
Pertampilan S. Brahmana adalah staf pengajar pengajar Departemen Sastra Indonesia Fakultas<br />
Sastra USU. Menyelesaikan pendidikan Magister (S-2) di Program Pascasarjana <strong>Universitas</strong><br />
Udayana dalam bidang Kajian Budaya dengan Pengkhususan Sistem Pengendalian Sosial.