25.11.2014 Views

Vol. III No. 1 April 2007 - USUpress - Universitas Sumatera Utara

Vol. III No. 1 April 2007 - USUpress - Universitas Sumatera Utara

Vol. III No. 1 April 2007 - USUpress - Universitas Sumatera Utara

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

PRAKATA<br />

Jurnal Logat pada <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 tahun <strong>2007</strong> tampil dengan edisi bidang sastra yang<br />

terdiri atas tujuh artikel. Kajian sastra yang dibahas dalam tujuh artikel ini terdiri atas<br />

tiga artikel tentang sastra etnik, satu mengenai waknal lokal, dan tiga lagi mengenai<br />

sastra Indonesia, terutama mengenai puisi. Artikel mengenai sastra etnik terdiri dari<br />

Didong Gayo Lues, yang dibahas oleh Isma Tantawi. Didong Gayo Lues yang berasal dari<br />

etnik Gayo yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dianalisis dengan<br />

pemikiran agama. Nurhayati Harahap membahas mantra dari Angkola mandailing, yakni<br />

makna Hata-Hata Jampi. Ada sembilan fungsí dan makna dari Hata-Hata Jampi yang<br />

diungkapkan. Sementara Haris Sutan Lubis membahas modernisasi pada bentuk dan<br />

tema prosa-prosa Willem Iskander. Prosa-prosa Willem Iskander yang terdapat pada Si<br />

Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk diungkapkan sebagai suatu bentuk prosa modernisasi<br />

yang berupa cerita pendek.<br />

Artikel berikutnya tentang novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang dibahas<br />

oleh Yundi Fitrah mengenai warna lokal Batak Angkola. Ada tiga tradisi Angkola yang<br />

dilihat Yundi Fitrah dalam novel tersebut, yakni tradisi martandang, kepercayaan<br />

terhadap dukun dan arwah manusia, dan sistem pembagian harta warisan.<br />

Ada dua artikel yang membahas tentang Amir Hamzah, pertama, Ikhwanuddin Nasution<br />

membahas estetisasi Amir Hamzah terhadap gerakan kebangsaan. Ikhwanuddin melihat<br />

puisi-puisi Amir Hamzah dan mengulas bagaimana peranan Amir Hamzah dalam<br />

pergerakan kebangsaan. Kedua, artikel Haron Daud melihat Amir Hamzah sebagai<br />

seorang penyair mistik. Meskipun puisi-puisi Amir Hamzah juga banyak menggambarkan<br />

religius, sifat religius itu juga dekat dengan mistik.<br />

Artikel terakhir membahas tentang puisi Saeful Badar dan Gendhotwukir yang dianalisis<br />

oleh Pertampilan S. Brahmana. Puisi-puisi itu dikaitkan dengan dekonstruksi atas<br />

pandangan keagamaan dalam sastra Indonesia.<br />

Medan, <strong>April</strong> <strong>2007</strong><br />

Penyunting


DAFTAR ISI<br />

logat<br />

Jurnal Ilmu-Ilmu Bahasa dan Sastra<br />

<strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong>, <strong>No</strong>. 1, <strong>April</strong> <strong>2007</strong><br />

ISSN: 1858 – 0831<br />

Didong Gayo Lues: Analisis Pemikiran tentang Agama Islam ----------------------------------------- 1-9<br />

Isma Tantawi<br />

Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />

Makna Hata-Hata Jampi dalam Bahasa Angkola Mandailing ----------------------------------------- 10-17<br />

Nurhayati Harahap<br />

Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />

Modernisasi pada Bentuk dan Tema dalam Prosa-Prosa Willem Iskander (1840-1876) ------------ 18-25<br />

Haris Sutan Lubis<br />

Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />

Warna Lokal Batak Angkola dalam <strong>No</strong>vel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar -------------- 26-31<br />

Yundi Fitrah<br />

PBS FKIP <strong>Universitas</strong> Jambi<br />

Estetisasi Amir Hamzah terhadap Gerakan Kebangsaan ------------------------------------------------ 32-38<br />

Ikhwanuddin Nasution<br />

Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />

Amir Hamzah Seorang Penyair Mistik -------------------------------------------------------------------- 39-45<br />

Haron Daud<br />

Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia<br />

Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:<br />

Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan dalam Sastra Indonesia ------------------------------------ 46-53<br />

Pertampilan S. Brahmana<br />

Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>


❏ Isma Tantawi<br />

Halaman 1<br />

Didong Gayo Lues:<br />

Analisis Pemikiran tentang Agama Islam<br />

DIDONG GAYO LUES:<br />

ANALISIS PEMIKIRAN TENTANG AGAMA ISLAM<br />

Isma Tantawi<br />

Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />

Abstract<br />

The objective of this study is to determine and analyze the thinking of Gayo Lues community<br />

on Islamic religion in the Didong Jalu. The data in this research is analyzed based on both<br />

observation and documentation methods. The theoretical base used in this research is relied<br />

on literature sociological theory suggested by Thomas Warton (1974) that literature work is<br />

considered to be expression of art and social document. The result of this study shows that<br />

Didong Jalu contains the thought of the Gayo Lues community regarding Allah, the<br />

messenger, angels, spirits, Islamic tenets, Islamic practices, sins, repentance and life-after<br />

death.<br />

Key words: Thinking of Gayo Lues community, Islamic religion, Didong Jalu<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Didong sebagai tradisi lisan atau oral tradition<br />

(folklore) sudah berkembang sejak masuknya<br />

agama Islam di dataran tinggi Gayo, Provinsi<br />

Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia (Ara 1995 :<br />

639). Agama Islam masuk ke Aceh pada abad ke-7<br />

M. kira-kira 40 tahun setelah Nabi Muhammad<br />

Saw. wafat (Sujitno 1995 : 71). Dalam Didong,<br />

sejak awal sampai saat ini nafas dan nuansa<br />

keislaman tetap bertahan. Bahkan Didong<br />

merupakan media dakwah untuk menyampaikan<br />

dan menyebarkan amanat keagamaan kepada<br />

masyarakat di samping menyampaikan pesan<br />

budaya suku Gayo itu sendiri.<br />

Didong merupakan tradisi lisan suku<br />

Gayo sudah berakar dalam kehidupan<br />

masyarakatnya. Persembahan Didong diadakan<br />

pada pesta suka (pesta ayunan, pesta penyerahan<br />

anak kepada guru (ustad atau ustajah yang<br />

mengajari agama Islam), pesta sunat rasul, dan<br />

pesta perkawinan) saja. Dalam Didong, diceritakan<br />

tentang kebudayaan suku Gayo, agama Islam<br />

(orang suku Gayo secara keseluruhan menganut<br />

agama Islam) dan masalah-masalah yang aktual,<br />

seperti peristiwa daerah, peristiwa nasional, dan<br />

peristiwa internasional.<br />

Kata Didong, berasal dari bahasa Gayo,<br />

yaitu: dari akar kata dik dan dong. Dik, artinya<br />

menghentakkan kaki ke papan yang berbunyi dikdik-dik.<br />

Kemudian dong, artinya berhenti di<br />

tempat, tidak berpindah. Jadi, kata Didong dapat<br />

diartikan bergerak (menghentakkan kaki) di tempat<br />

untuk mengharapkan bunyi dik-dik-dik. Bunyi dikdik-dik<br />

selalu digunakan untuk menyelingi<br />

persembahan Didong. Menurut kamus Bahasa<br />

Gayo – Indonesia, Didong ialah sejenis kesenian<br />

tradisional yang dipertandingkan antara dua Guru<br />

Didong yang berasal dari dua kampung yang<br />

berbeda. Persembahan dimulai setelah shalat Isa<br />

sampai sebelum salat Subuh (Melalatoa 1985 : 71).<br />

Kata Didong menjadi nama kesenian<br />

tradisional di Gayo Lues berdasarkan cerita rakyat<br />

(foklore), yaitu: Asal-usul Gajah Putih yang<br />

dikumpulkan oleh Hanafiah (1984 : 140 – 149).<br />

Gajah Putih merupakan penjelmaan dari seorang<br />

sahabat yang sudah meninggal dunia. Ketika Gajah<br />

Putih ini akan dibawa ke Istana Raja Aceh oleh<br />

orang-orang yang diperintahkan oleh raja. Gajah<br />

Putih tidak mau berjalan dan melawan. Gajah putih<br />

menghentak-hentakkan kakinya ke tanah, sehingga<br />

menimbulkan bunyi dik-dik-dik. Namun demikian,<br />

ketika sahabatnya yang membawa, Gajah Putih<br />

pun berjalan dan sampailah ke Istana Raja Aceh.<br />

Gerakan Gajah Putih yang menghentakhentakkan<br />

kakinya ke tanah dan menimbulkan<br />

bunyi dik-dik-dik, selalu ditirukan oleh orangorang<br />

yang melihat kejadian itu. Akhirnya<br />

kebiasaan tersebut dijadikan dan digunakan pada<br />

masa merasa gembira atau pada masa<br />

menyampaikan amanat dan nasihat kepada anak,<br />

teman, masyarakat atau kepada siapa saja yang<br />

dianggap perlu untuk disampaikan. Oleh sebab itu,<br />

kebiasaan tersebut berlangsung sampai saat ini dan<br />

disebut dengan tradisi lisan Didong Gayo.<br />

Didong Gayo dapat dibagi menjadi dua<br />

macam. Pertama, Didong Gayo Lues. Didong<br />

Gayo Lues berkembang di Kabupaten Gayo Lues<br />

dan Kabupaten Aceh Tenggara. Didong Gayo Lues<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 2<br />

❏ Isma Tantawi<br />

pada umumnya berbentuk prosa (bebas) dan hanya<br />

pada bagian tertentu saja yang disampaikan<br />

berbentuk puisi (terikat) seperti pantun. Isi cerita di<br />

dalam Didong Gayo Lues berhubungan antara satu<br />

bagian dengan bagian lainnya.<br />

Kedua, Didong Lut (Laut). Didong Lut<br />

berkembang di Kabupaten Aceh Tengah. Didong<br />

Lut berbentuk puisi (terikat). Isi Didong Lut tidak<br />

berhubungan secara langsung antara satu bagian<br />

dengan bagian lainnya. Oleh sebab itu, dapat<br />

disimpulkan bahwa Didong Lut seperti puisi yang<br />

dinyanyikan dan setiap puisi memiliki makna<br />

masing-masing.<br />

Didong Gayo Lues dapat dibagi tiga<br />

macam; yaitu, Didong Alo (Didong penyambutan<br />

tamu), yaitu: Didong dipersembahkan untuk<br />

menyambut tamu. Pemain Didong Alo berjumlah<br />

lebih kurang 10 orang dari pihak tuan rumah dan<br />

10 orang dari pihak tamu. Didong Alo<br />

dipersembahkan sambil berlari arah ke kiri atau ke<br />

kanan. Didong Alo berisi tentang ucapan selamat<br />

datang dan ucapan terima kasih atas kehadiran<br />

tamu. Begitu juga dari pihak tamu mengucapkan<br />

terima kasih atas undangan dan sudah selamat di<br />

perjalanan sehingga dapat selamat sampai ke<br />

tempat tuan rumah.<br />

Didong Jalu (Didong Laga), yaitu Didong<br />

dipersembahkan pada malam hari oleh dua orang<br />

Guru Didong yang diundang dari dua kampung<br />

yang berbeda. Setiap Guru Didong didampingi<br />

oleh pengiring yang berjumlah 10 sampai 20<br />

orang. Pengiring berfungsi untuk mendukung<br />

persembahan. Pada bagian tertentu (adini Didong)<br />

cerita Didong disambut oleh pengiring sambil<br />

bertepuk tangan serta menggerakkan badan ke<br />

muka dan ke belakang atau ke kiri dan ke kanan.<br />

Didong Niet (Didong Niat) selalu<br />

dipersembahkan berdasarkan niat seseorang.<br />

Misalnya niat seseorang yang ingin mempunyai<br />

keturunan atau berkeinginan punya anak lelaki<br />

atau perempuan. Jika keinginan ini dikabulkan<br />

oleh Yang Maha Kuasa, maka Didong Niet ini pun<br />

dipersembahkan. Didong Niet ini mengkisahkan<br />

tentang anak yang diniatkan. Cerita dimulai dari<br />

awal pertemuan kedua orang tuanya. Kemudian<br />

pertemuan itu direstui serta dilanjutkan kepada<br />

jenjang peminangan dan pernikahan. Seterusnya<br />

cerita mengenai perkembangan bayi di dalam<br />

kandungan dan sampai bayi lahir ke dunia. Setelah<br />

itu cerita diteruskan ke pesta ayunan (turun mani)<br />

pemberian nama dihubungkan dengan hari<br />

kelahiran, agama (agama Islam), dan nama-nama<br />

keluarga seperti nama orang tua, kakek, nenek, dan<br />

lain-lain.<br />

Cerita Didong yang menjadi objek<br />

penelitian ini adalah cerita Didong Jalu yang<br />

dipersembahkan oleh Guru Didong Ramli<br />

Didong Gayo Lues:<br />

Analisis Pemikiran tentang Agama Islam<br />

Penggalangan dan Idris Cike di Medan pada<br />

tanggal 11 dan 12 Desember 2004. Persembahan<br />

dimulai pukul 21.45 dan berakhir pada pukul 04.30<br />

WIB.<br />

2. PEMIKIRAN TENTANG AGAMA<br />

ISLAM DALAM DIDONG JALU<br />

Masyarakat Gayo yang melahirkan Didong Jalu<br />

adalah masyarakat yang menganut agama Islam.<br />

Oleh sebab itu, di dalam Didong Jalu pun<br />

tergambar pemikiran-pemikiran tentang agama<br />

Islam. Tradisi Didong Jalu menampilkan<br />

gambaran kehidupan masyarakat Gayo Lues.<br />

Sejalan dengan pendapat Damono (1978: 1) bahwa<br />

kehidupan itu sendiri adalah satu kenyataan sosial<br />

dan kenyataan sosial tersebut dapat tercermin di<br />

dalam karya sastra.<br />

Menurut Taslim (Tanpa Tahun: 1) bahwa<br />

sebuah karya sastra, walau betapa tinggi<br />

dipancangkan di alam fantasi, namun tetap<br />

memiliki hubungan dengan fakta-fakta sosial di<br />

dalam kehidupan alam nyata. Jadi, sebuah karya<br />

sastra tidak pernah terlepas dari masyarakat yang<br />

mendukungnya. Sastra adalah produk suatu<br />

masyarakat dan sastra mencerminkan pemikiran<br />

masyarakatnya. Pemikiran masyarakat menjadi<br />

pemikiran pengarang dan pengarang itu sendiri<br />

adalah bagian dari masyarakat (Sumarjo 1979 :<br />

30).<br />

Pemikiran tentang agama Islam di dalam<br />

Didong Jalu yang berhubungan dengan Allah<br />

Swt., Rasul (Nabi Muhammad) malaikat, roh,<br />

hukum dalam Islam, amalan dalam Islam, Idil<br />

Fitri, dosa, taubat, dan alam akhirat.<br />

2. 1 Allah, Rasul, dan Makhluk yang Ghaib<br />

Allah Swt. adalah Maha Pencipta alam dan Rasul<br />

(Nabi Muhammad Saw.) adalah sebagai utusan<br />

Allah Swt. untuk menyampaikan wahyu kepada<br />

umatnya. Makhluk yang ghaib (malaikat dan roh)<br />

adalah makhluk Allah Swt. yang memiliki tugas<br />

masing-masing.<br />

2.1.1 Allah Swt.<br />

Menurut faham masyarakat Gayo Lues<br />

tentang Allah Swt. sebagai Yang Maha Kuasa<br />

mengikuti faham sesuai agama Islam. Allah<br />

memiliki banyak sifat, namun sifat wajib diketahui<br />

orang Islam yang beriman hanya dua puluh sifat<br />

wajib dan dua puluh sifat mustahil. Allah Swt.<br />

adalah bersifat Maha atas segala sesuatu di atas<br />

alam ini. Menurut Ensiklopedi Islam I (2003 :<br />

123), Allah Swt. adalah sebutan atau nama Tuhan;<br />

yaitu, Wujud yang tertinggi, Zat Yang Maha Suci,<br />

Yang Maha Mulia. Semua kehidupan berasal dan<br />

kembali kepada-Nya. Apa yang terjadi di atas<br />

dunia ini semua atas kuasa dan kehendak-Nya.<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Isma Tantawi<br />

Allah adalah Tuhan semesta alam Yang Maha<br />

Bijaksana menjadikan alam beserta isinya (Al<br />

Ghazali 1997 : 17).<br />

Adanya Allah Swt. tidak berawal dan<br />

tidak berakhir. Adanya Allah Swt. tidak ada yang<br />

menciptakan. Adanya Allah Swt. bersifat abadi<br />

atau kekal. Allah Swt. sebagai Maha Pencipta,<br />

menciptakan alam dan semua isinya. Adanya<br />

benda-benda lain karena ada yang menciptakan;<br />

yaitu Allah Swt. (Hamka 1999 : 629).<br />

Menurut M. Abdul Mujieb AS (1986 : 5)<br />

Allah Swt. yang telah menjadikan segala sesuatu<br />

yang ada di atas alam ini, di dalamnya terdapat<br />

hikmah untuk keperluan makhluk di atas alam ini.<br />

Tidak ada satu persoalan pun yang terlepas dari<br />

kuasa dan kehendak Allah Swt.<br />

Dalam al-Quran (surat Al A’Araaf ayat<br />

54) dijelaskan, sesungguhnya Allah, Tuhan kamu<br />

telah menciptakan langit dan bumi dalam enam<br />

hari. Kemudian Dia berkuasa di atas singasana,<br />

ditutup-Nya malam dengan siang, yang<br />

mengikutinya dengan cepat. Begitu juga Allah<br />

menciptakan matahari, bulan, dan bintang-bintang<br />

yang masing-masing menjalankan kewajibannya<br />

sesuai dengan perintah-Nya. Ingatlah, mencipta<br />

dan memerintah itu adalah hak Allah Swt. dan<br />

Allah Swt. adalah pemimpin alam semesta.<br />

Allah Swt. menurunkan wahyu (agama<br />

Islam) kepada rasul-Nya; yaitu, Nabi Muhammad<br />

Saw. junjungan umat Islam. Kemudian Nabi<br />

Muhammad Saw. wajib menyampaikan kepada<br />

umatnya. Wahyu yang diturunkan Allah Swt.<br />

kepada Nabi Muhammad Saw. adalah Al-Quran<br />

yang terdiri dari 30 juz dan 6666 ayat yang berisi<br />

tentang petunjuk, perintah, dan larangan bagi umat<br />

Islam yang beriman.<br />

Bagi masyarakat Gayo Lues, pelaksanaan<br />

agama Islam bukan sekadar menjalankan rukun<br />

Islam, tetapi semua amalan harus dapat<br />

digambarkan di dalam kehidupan sehari-hari.<br />

Misalnya, untuk menjalankan segala sesuatu<br />

perbuatan harus dimulai dengan nama Allah Swt.<br />

Seperti diceritakan Guru Didong Ramli<br />

Penggalangan (paragraf : 37) dengan nama Allah<br />

Swt. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.<br />

Mari kita berlangkah, kita mulai dengan kaki<br />

kanan supaya ringan kita ikuti dengan kaki kiri.<br />

Masyarakat Gayo Lues mempercayai<br />

bahwa semua yang terjadi di atas alam ini adalah<br />

atas izin dan kuasa Allah Swt. Apa yang terjadi di<br />

langit dan di bumi semuanya atas kuasa dan<br />

kehendak Allah Swt. Kepada-Nya semuanya<br />

berakhir. Apabila Allah Swt. yang menghendaki<br />

tidak ada yang kuasa untuk merobahnya. Allah<br />

Swt. adalah segala-galanya (Ramli Penggalangan,<br />

paragraf : 150).<br />

Halaman 3<br />

Didong Gayo Lues:<br />

Analisis Pemikiran tentang Agama Islam<br />

Kemudian pada bagian yang lain Guru<br />

Didong menguraikan Allah Swt. merupakan<br />

tumpuan kehidupan bagi setiap makhluk. Bagi<br />

makhluk, khusus makhluk manusia yang beriman,<br />

takut kepada Allah Swt., karena segala perbuatan<br />

manusia akan diberi ganjaran oleh Allah Swt.<br />

Perbuatan yang baik akan diberi pahala dan<br />

perbuatan jahat akan diberi dosa, sehingga harus<br />

saling pengertian antara sesama manusia dan<br />

semua perbuatan merupakan amalan kita kepada<br />

Allah Swt. (Idris Cike, paragraf : 152).<br />

Bagi masyarakat Gayo Lues, manusia<br />

hidup di dunia ini merupakan hamba Allah Swt.<br />

dan rahsia Allah Swt. yang tidak dapat kita<br />

ketahui. Manusia hanya menjalankan apa saja yang<br />

dikehendaki oleh Allah Swt. Ada empat rahasia<br />

Allah Swt. seperti dikemukakan oleh Guru Didong<br />

berikut ini:<br />

... Rahasia Allah tidak dapat kita ketahui,<br />

itu pun ada empat perkara; yaitu,<br />

pertama langkah, kedua rezeki, ketiga<br />

pertemuan atau jodoh, dan keempat<br />

maut… (Ramli Penggalangan, paragraf:<br />

43).<br />

Allah Swt. memilki sifat yang Maha<br />

Pencipta, pencipta semua alam semesta, termasuk<br />

menciptakan manusia yang pertama. Masyarakat<br />

Gayo Lues percaya bahwa manusia yang pertama<br />

yang diciptakan oleh Allah Swt. ialah Nabi Adam.<br />

Nabi Adam a.s. tidak berayah dan tidak beribu.<br />

Nabi Adam a.s. diciptakan oleh Allah Swt. (Ramli<br />

Penggalangan, paragraf : 134).<br />

Allah Swt. memilki sifat yang tak<br />

terhingga banyaknya. Oleh karena itu, Allah<br />

bersifat dengan segala kesempurnaan (muttashifun<br />

bi kulli kamal). Namun sifat yang wajib bagi Allah<br />

ada dua puluh macam saja. Sifat dua puluh yang<br />

wajib diketahui; yaitu, 1. Wujud (ada), 2. Qidam<br />

(tanpa ada awal), 3. Baqa’ (kekal), 4. Mukhalafatu<br />

lil-hawadits (tidak sama dengan yang baru), 5.<br />

Qiyamuhu Binafsih (berdiri dengan dirinya<br />

sendiri), 6. Wahdaniyah (esa), 7. Qudrat<br />

(berkuasa), 8. Iradat (berkehendak), 9. Ilmu<br />

(mengetahui), 10. Hayat (hidup), 11. Sama’<br />

(mendengar), 12. Bashar (melihat), 13. Kalam<br />

(berkata-kata), 14. Qadirun (yang berkuasa), 15.<br />

Muridun (yang berkehendak), 16. Alimun (yang<br />

mengetahui), 17. Hayyun ( yang hidup), 18.<br />

Sami’un (yang mendengar), 19. Bashirun (yang<br />

melihat) dan 20. Mutakallimun (yang berkata-kata)<br />

(Moch. Ridha1988 : 12-19).<br />

Dari dua puluh sifat yang wajib bagi<br />

Allah Swt., secara langsung diucapkan Guru<br />

Didong hanya dua sifat yang ada ditemui di dalam<br />

Didong Jalu; yaitu, Qudrat dan Iradat. Masyarakat<br />

Gayo Lues meyakini bahwa penciptaan Nabi<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 4<br />

❏ Isma Tantawi<br />

Adam a.s. merupakan Qudrat (berkuasa) dan<br />

Iradat (kehendak) Allah Swt. Sifat Qudrat dan<br />

Iradat dari Allah Swt. untuk menciptakan nabi dan<br />

manusia yang pertama; yaitu, Nabi Adam a.s.<br />

(Idris Cike, paragraf : 134).<br />

Allah Swt. memiliki sifat Qudrat dan<br />

Iradat untuk menciptakan alam beserta isinya<br />

termasuk menciptakan manusia yang tidak dapat<br />

atau belum dapat diselami oleh otak dan akal<br />

manusia. Manusia hanya membaca dari ayat-ayat<br />

Al-Quran dan diterima karena keyakinan dan<br />

keimanan. Namun manusia masih tetap sulit untuk<br />

membuktikannya secara logika (Baihaqi, 1995 : 6).<br />

2.1.2 Rasul<br />

Ada dua istilah yang sering dikacaukan<br />

pemakainnya. Istilah itu adalah nabi dan rasul.<br />

Nabi adalah orang yang menerima wahyu dari<br />

Allah. Wahyu yang diterimanya untuk dirinya<br />

sendiri dan tidak wajib disampaikan kepada umat.<br />

Rasul adalah orang yang menerima wahyu untuk<br />

dirinya sendiri dan wajib disampaikan kepada<br />

umatnya. Jadi, rasul sudah pasti nabi dan nabi<br />

belum tentu rasul. Nabi jumlahnya tidak dapat<br />

diketahui secara pasti sedangkan rasul yang wajib<br />

diketahui ada dua puluh lima; yaitu: Nabi Adam<br />

a.s., Nabi Idris a.s., Nabi Nuh a.s., Nabi Hud a.s.,<br />

Nabi Shaleh a.s., Nabi Ibrahin a.s., Nabi Luth a.s.,<br />

Nabi Isma’il a.s., Nabi Ishaq a.s., Nabi Yaqup a.s.,<br />

Nabi Yusup a.s., Nabi Ayyub a.s., Nabi Syu’aib<br />

a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Harun a.s., Nabi Ilyassa’<br />

a.s., Nabi Zulkifli a.s., Nabi Daud a.s., Nabi<br />

Sulaiman a.s., Nabi Ilyas a.s., Nabi Yunus a.s.,<br />

Nabi Zakaria.s., Nabi Yahya a.s., Nabi Isa a.s. dan<br />

Nabi Muhammad Saw. (Ma’shum, Tanpa Tahun:<br />

2).<br />

Pandangan orang Gayo Lues tentang rasul<br />

adalah sesuai dengan ajaran agama Islam. Bahwa<br />

rasul yang menerima wahyu dari Allah Swt. dan<br />

wajib menyampaikan kepada umatnya masingmasing.<br />

Misalnya, Nabi Musa a.s. menerima<br />

wahyu kitab Taurad, Nabi Daud a.s. menerima<br />

wahyu kitab Zabur, Nabi Isa a.s. menerima wahyu<br />

kitab Injil, dan Nabi Muhammad Saw. menerima<br />

wahyu kitab Al-Quran dan perintah shalat. Wahyu<br />

al-Quran diterima oleh Rasulullah Muhammad<br />

Saw. di gua Hira’ pada 17 Ramadhan bertepatan<br />

dengan tanggal 6 Agustus 610 Masehi. Perintah<br />

shalat diterima Nabi Muhammad Saw. pada<br />

peristiwa Israk Mikraj pada tanggal 27 Rajab atau<br />

sebelas tahun setelah Nabi Muhammad diangkat<br />

oleh Allah menjadi rasul. Al-Quran berisi tentang<br />

petunjuk bagi umat Islam dan shalat merupakan<br />

ibadah wajib bagi umat Islam.<br />

Rasul (Nabi Muhammad Saw.) adalah<br />

utusan Allah Swt. Wahyu shalat dan Al-Quran<br />

wajib disampaikan kepada umat Islam. Wahyu<br />

Didong Gayo Lues:<br />

Analisis Pemikiran tentang Agama Islam<br />

shalat yang diturunkan tidaklah lengkap seperti<br />

yang kita kenal sekarang ini, terutama cara<br />

pelaksanaan shalat dan sejarah-sejarah turunnya<br />

ayat-ayat Al-Quran. Oleh karena itu, Nabi<br />

Muhammad Saw. selalu memberikan petunjuk<br />

kepada umat Islam. Semua petunjuk yang<br />

diberikan Nabi Muhammad Saw. disebut dengan<br />

hadis.<br />

Hadis dapat dibagi menjadi dua bagian.<br />

Pertama hadis sahih, hadis yang benar dan jelas<br />

sejarah terjadinya dan orang-orang yang<br />

merawikannya. Kedua hadis daif, hadis lemah<br />

karena tidak jelas sejarah terjadi dan perawinya.<br />

Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-<br />

Quran.<br />

Bagi masyarakat Gayo Lues Nabi<br />

Muhammad Swt. adalah junjungan umat Islam.<br />

Umat Islam yang selalu mengharapkan petunjuk<br />

dan syafaatnya. Manusia hanya merencanakan,<br />

keputusaan berada di tangan Allah Swt. dan<br />

lindungan Nabi Muhammad Saw. (Ramli<br />

Penggalangan, paragraf : 01).<br />

Dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues<br />

salah satu pesta suka adalah sunat rasul (khitan),<br />

untuk melaksanakan sunnah. Pesta sukacita yang<br />

diceritakan Guru Didong adalah tentang bersunat<br />

rasul berarti menjalankan sunnah Rasul. Bagi<br />

masyarakat Gayo Lues bersunat rasul merupakan<br />

satu keharusan karena sunah rasul merupakan<br />

dasar yang kedua dalam memahami ajaran agama<br />

Islam (Idris Cike, paragraf : 31).<br />

Masyarakat Gayo Lues sebagai umat<br />

Nabi Muhammad Saw. harus mengasihi dan<br />

menyayangi anak-anak. Anak sebagai buah kasih<br />

sayang antara suami dan isteri dan menjadi<br />

kewajiban bagi orangtuanya untuk membina,<br />

membimbing, dan memenuhi segala keperluan<br />

hidupnya. Orang tua harus dapat menjalankan<br />

kewajiban kepada anak-anaknya, termasuk<br />

tahapan-tahapan acara atau kewajiban kepada<br />

anaknya (Ramli Penggalangan paragraf : 42 dan<br />

43).<br />

Masyarakat Gayo Lues sebagai umat<br />

Nabi Muhammad harus berpikir tentang apa saja<br />

yang ada di sekelilingnya, karena apapun yang<br />

terdapat di sekitar kita, semua bermanfaat dan<br />

dapat digunakan untuk keperluan kehidupan<br />

manusia. Hanya saja manusia dapat berpikir atau<br />

tidak dapat untuk menggunakan semua benda dan<br />

fenomena yang ada (Idris Cike, paragraf : 69).<br />

2.1.3 Malaikat<br />

Masyarakat Gayo Lues memahami<br />

malaikat mengikuti faham agama Islam, bahwa<br />

malaikat sebagai makhluk rohani yang besifat<br />

ghaib, diciptakan dari nur (cahaya), yang selalu<br />

taat, tunduk, dan patuh kepada Allah Swt. dan<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Isma Tantawi<br />

tidak pernah ingkar kepada Allah Swt., tidak<br />

memerlukan makan, minum, dan tidur. Malaikat<br />

adalah makhluk Allah yang paling banyak<br />

jumlahnya dan malaikat yang wajib diketahui ada<br />

10 dan mempunyai tugas masing-masing (Syukur<br />

2001 : 86). Tugas-tugas malaikat itu adalah<br />

sebagai berikut: Malaikat Jibril bertugas untuk<br />

menurunkan wahyu dari Allah Swt. dan<br />

menyampaikan kepada para nabi. Malaikat Mikail<br />

bertugas untuk memberi rezeki kepada seluruh<br />

makhluk Allah Swt. Malaikat Izrail bertugas untuk<br />

mencabut nyawa semua makhluk hidup. Malaikat<br />

Israfil bertugas untuk meniup angin sangkakala.<br />

Malaikat Raqib bertugas untuk mencatat setiap<br />

amal baik. Malaikat Atid bertugas untuk mencatat<br />

semua keburukan dan kejahatan. Malaikat Munkar<br />

dan Nakir bertugas untuk memberikan pertanyaan<br />

di alam kubur. Malaikat Malik bertugas untuk<br />

menjaga neraka. Malaikat Ridwan bertugas untuk<br />

menjaga surga.<br />

Masyarakat Gayo Lues mempercayai<br />

bahwa pada masa Allah Swt. meniupkan roh ke<br />

ubun-ubun Nabi Adam a.s. Para malaikat<br />

menyaksikan dan mendengar ucapan Nabi Adam<br />

a.s. dan malaikat juga menjawab ucapan Nabi<br />

Adam (Idris Cike, paragraf : 124). Menurut Labib<br />

MZ (Tanpa Tahun: 12–14) Nabi Adam a.s.<br />

mengucapkan assalamualaikum (selamat atas<br />

kamu) dan dijawab oleh para malaikat<br />

waalaikumussalam (atas kamu juga selamat).<br />

Hal ini juga digambarkan oleh Hamka<br />

(1999: 7017), bahwa Allah memiliki kekuasaan<br />

yang Maha luas, seperti memasukkan roh ke tubuh<br />

Nabi Adam. Pada masa Allah Swt. meniupkan roh<br />

ke ubun-ubun Nabi Adam a.s. dan Nabi Adam a.s.<br />

dikelilingi dan disaksikan oleh para malaikat.<br />

Seperti diceritakan Guru Didong Idris Cike berikut<br />

ini:<br />

Yang mendengarkan ucapan Nabi Adam,<br />

hal itu sudah pasti Allah dan malaikatmalaikat.<br />

Allah yang memberikan roh<br />

kepada Nabi Adam yang dikelilingi oleh<br />

para malaikat. Jadi, kalau saksinya yang<br />

sahabatku inginkan, itu sudah pasti para<br />

malaikat. Di depan para malaikat<br />

diberikan Allah roh ke ubun-ubun Nabi<br />

Adam (Idris Cike, paragraf : 151).<br />

2.1.4 Roh<br />

Masyarakat Gayo Lues memahami roh<br />

sesuai dengan faham agama Islam, bahwa roh<br />

adalah makhluk ghaib yang diberikan oleh Allah<br />

kepada manusia. Roh akan keluar dari tubuh pada<br />

saat manusia meninggal dunia. Dalam Ensiklopedi<br />

Islam IV (2003 : 174) roh diartikan sebagai zat<br />

murni yang tinggi dan hakikatnya berbeda dengan<br />

tubuh. Tubuh dapat diketahui dengan pancaindera<br />

Halaman 5<br />

Didong Gayo Lues:<br />

Analisis Pemikiran tentang Agama Islam<br />

sedangkan roh menyusup ke dalam tubuh<br />

sebagaimana menyusupnya air di dalam bunga,<br />

tidak larut dan tidak terpecah-pecah. Roh memberi<br />

kehidupan kepada tubuh manusia selama roh<br />

berada dalam tubuh tersebut. Roh adalah sesuatu<br />

yang hidup yang tidak berbadan jasmani, berakal,<br />

budi, dan perasaan serta yang memberi kehidupan<br />

kepada benda wadak (organisma fizik). Jadi, roh<br />

adalah yang berjiwa atau hidup dan memberikan<br />

kehidupan. Tubuh manusia akan meninggal dunia<br />

apabila ditinggalkan roh. Jadi, roh itu memberikan<br />

kehidupan sehingga roh itu sering disebut dengan<br />

nyawa (Daud, 2004: 25). Setelah manusia<br />

meninggal dunia, roh ditempatkan oleh Allah di<br />

alam barzah. Roh yang baik akan menerima<br />

kebaikan dan roh yang jahat akan menerima<br />

siksaan di alam barzah sampai tiba hari kiamat<br />

(Arifin 1977 : 122).<br />

Masyarakat Gayo Lues percaya bahwa<br />

roh itu dimasukkan oleh Allah Swt. ke dalam<br />

tubuh manusia, sehingga manusia dapat<br />

beraktivitas dan berkreativitas seperti mendengar,<br />

melihat, dan berbicara. Seperti dikemukakan Guru<br />

Didong berikut ini:<br />

…Allah membawa roh. Langsung<br />

dimasukkan ke ubun-ubun Nabi Adam.<br />

Sampai ke mata langsung melihat.<br />

Sampai ke hidung langsung mencium.<br />

Sampai ke telinga langsung mendengar.<br />

Sampai ke mulut langsung berbicara...<br />

(Idris Cike, paragraf : 124)<br />

Menurut Labib (1977: 70), roh diberikan<br />

oleh Allah Swt. kepada Nabi Adam a.s. (manusia<br />

asal) setelah jasadnya selesai dibuat dari tanah.<br />

Roh diberikan kepada anak cucu Adam pada masa<br />

manusia berada dalam alam kandungan. Ada<br />

pendapat bahwa roh itu diberikan oleh Allah Swt.<br />

pada masa usia empat bulan dan ada pula<br />

berpendapat pada masa usia empat bulan sepuluh<br />

hari (Baihaqi, 1995 : 26). Kemudian roh dicabut<br />

oleh Allah Swt. jika manusia tidak mampu lagi<br />

untuk menerimanya.<br />

2. 2 Hukum dalam Islam<br />

Islam mempunyai dasar yang kuat berkenaan<br />

dengan hukum. Dasar hukum Islam difahami oleh<br />

masyarakat Gayo Lues adalah sebagai sumber<br />

hukum Islam. Hukum Islam adalah ketentuanketentuan<br />

yang boleh dan yang dilarang di dalam<br />

agama Islam. Hukum Islam disebut juga dengan<br />

hukum syara’ (Labib MZ 1993 : 12).<br />

Menurut Rifa’i, (1978 : 17) dalam agama<br />

Islam, ada empat dasar hukum Islam. Pertama Al-<br />

Quran, kedua hadis, ketiga ijmak dan keempat<br />

qias. Al-Quran merupakan firman Allah. Hadis<br />

merupakan sunnah rasul. Ijmak adalah kesepakatan<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 6<br />

❏ Isma Tantawi<br />

para ulama setelah nabi wafat. Qias adalah<br />

menghubungkan suatu kejadian yang ada<br />

hukumnya dengan peristiwa yang tidak ada<br />

hukumnya, karena antara kejadian yang ada<br />

hukumnya dengan yang tidak ada hukumnya itu<br />

terdapat kesamaan sebab (illat). Sumber hukum<br />

Islam yang ditemui di dalam Didong Jalu adalah<br />

seperti di bawah ini.<br />

Bagi masyarakat Gayo Lues untuk<br />

memahami agama Islam, ada empat dasar yang<br />

selalu digunakan sebagai pedoman. Pertama, dasar<br />

hukum Al-Quran. Al-Quran merupakan firman<br />

Allah Swt. yang mengandung petunjuk bagi<br />

hamba-Nya untuk menjalankan syariat Islam<br />

secara benar. Al-Quran sebagai sumber hukum<br />

Islam pertama dan yang utama (Salleh 1995 : 151).<br />

Dalam Al-Quran dijelaskan mana yang boleh dan<br />

yang tak boleh dikerjakan (Ramli Penggalangan,<br />

paragraf : 93).<br />

Kedua, dasar hukum hadis. Hadis<br />

merupakan semua petunjuk yang diberikan Nabi<br />

Muhammd Saw. dan dirawikan oleh para sahabat<br />

nabi. Bagi masyarakat Gayo Lues hadis digunakan<br />

sebagai pedoman memahami agama Islam. Ilmu<br />

agama yang disampaikan harus memiliki pedoman,<br />

supaya apa saja yang kita sampaikan kepada<br />

masyarakat dapat menjadi pedoman dan difahami<br />

oleh masyarakat secara jelas. Hadis adalah dasar<br />

hukum yang kedua yang tidak boleh diabaikan,<br />

karena hadis mengandung petunjuk dan penjelasan<br />

tentang agama Islam (Ramli Penggalangan,<br />

paragraf : 85).<br />

Ketiga, dasar hukum ijmak. Dasar ijmak<br />

adalah keputusan para ulama setelah nabi wafat.<br />

Setelah Nabi Muhammad Saw. wafat hingga<br />

sampai hari ini, masih banyak timbul masalah<br />

tentang agama. Ulama sebagai khalifah dapat<br />

memberikan keputusan untuk sesuatu perkara yang<br />

timbul pada pemeluk agama. Jika ada keputusan<br />

para ulama, ia harus menjadi pedoman dalam<br />

memahami agama Islam (Ramli Penggalangan,<br />

paragraf : 99).<br />

Keempat, dasar hukum qias ini digunakan<br />

karena tidak semua masalah agama diterangkan<br />

secara jelas dalam Al-Quran dan hadis. Jadi,<br />

pekara-pekara yang tidak jelas ini selalu<br />

dihubungkan dengan pakara yang sudah jelas<br />

ketentuan dan hukumnya. Qias juga sebenarnya<br />

adalah hasil musyawarah para ulama. Hasil<br />

musyawarah ulama ini harus menjadi pedoman<br />

untuk memahami agama Islam (Ramli<br />

Penggalangan, paragraf: 05).<br />

Menurut Yahya (1988: 9–10), hukum<br />

Islam ada lima perkara; yaitu, wajib, sunnat,<br />

haram, makruh, dan harus. Wajib, jika dikerjakan<br />

mendapat pahala dan ditinggalkan berdosa. Sunat,<br />

jika dikerjakan berpahala dan ditinggalkan tidak<br />

Didong Gayo Lues:<br />

Analisis Pemikiran tentang Agama Islam<br />

berdosa. Haram, jika ditinggalkan berpahala dan<br />

dikerjakan berdosa. Makruh, jika dikerjakan tidak<br />

berdosa dan ditinggalkan berpahala. Harus, jika<br />

dikerjakan tidak berpahala dan ditinggalkan tidak<br />

berdosa.<br />

Menurut Gazalba (1974 : 203), ada lima<br />

ukuran dalam agama Islam, yang akan menentukan<br />

apakah diterima atau ditolak; yaitu, Pertama, baik<br />

(nilai hukumnya wajib), kedua, setengah baik<br />

(nilai hukumnya sunat), ketiga, tidak baik dan<br />

tidak buruk (nilai hukumnya harus), keempat<br />

setengah buruk (nilai hukumnya makruh), dan<br />

kelima, buruk (nilai hukumnya haram).<br />

Bagi masyarakat Gayo Lues, kelima-lima<br />

hukum dalam Islam ini selalu menjadi pedoman<br />

dalam menjalankan perintah dan larangan Allah<br />

Swt. dalam agama Islam. Kelima-lima hukum<br />

Islam dapat diperoleh di dalam Didong Jalu seperti<br />

berikut ini.<br />

Hukum Islam pertama adalah haram.<br />

Pada masyarakat Gayo Lues ada sekelompok<br />

masyarakat yang disebut sebagai cerdik pandai.<br />

Seperti dikemukan Ramli Penggalangan, (paragraf:<br />

22) bahwa cerdik pandai ini kelompok masyarakat<br />

yang harus memahami haram, karena kelompok<br />

tersebut berperanan untuk menentukan ukuran.<br />

Ukuran isi seperti satu are (takaran beras atau padi<br />

dibuat dari bambu, isi dua liter) berisi empat kal<br />

(takaran beras dibuat dari batok kelapa isi setengah<br />

liter). Ukuran panjang adalah hasta, satu hasta<br />

panjangnya dua jengkal. Hasta berguna untuk<br />

mengukur panjang. Genggaman berguna untuk<br />

memenuhkan. Pelingkut (alat untuk meratakan<br />

takaran, dibuat dari kayu atau rotan) berguna untuk<br />

meratakan. Neraca berguna untuk menimbang.<br />

Semua alat ukur yang digunakan supaya tidak<br />

lebih dan tidak kurang. Jika lebih atau kurang<br />

dalam takaran dan timbangan akan menimbulkan<br />

haram bagi yang melakukannya.<br />

Hukum Islam kedua adalah makruh.<br />

Hukum makruh harus dipahami supaya tidak<br />

terjadi perbedaan pendapat tentang makruh.<br />

Supaya dapat membedakan antara satu hukum<br />

Islam dengan hukum Islam lainnya (Ramli<br />

Penggalangan, paragraf : 118).<br />

Hukum Islam ketiga adalah harus.<br />

Kelompok masyarakat ulama cerdik pandai harus<br />

dapat menetapkan ketentuan hukum. Dalam<br />

hukum tidak boleh menimbulkan keragu-raguan.<br />

Hukum Islam harus pasti. Jika hukumnya harus,<br />

harus tetap harus. Tidak boleh diubah-ubah (Idris<br />

Cike, paragraf : 15).<br />

Hukum Islam keempat adalah wajib. Bagi<br />

masyarakat Gayo Lues memegang teguh hukum<br />

Islam wajib. Masyarakat Gayo Lues meyakini jika<br />

ibadah wajib ditinggalkan akan mendapat dosa dan<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Isma Tantawi<br />

dikerjakan akan mendapat pahala (Ramli<br />

Penggalangan, paragraf : 95).<br />

Hukum Islam kelima adalah sunat. Ibadah<br />

sunat rasul dikerjakan karena masyarakat Gayo<br />

Lues meyakini jika dikerjakan berpahala dan<br />

ditinggalkan tidak berdosa, sehingga masyarakat<br />

Gayo Lues melaksanakan ibadah sunat di dalam<br />

kehidupan sehari-hari, karena akan dapat<br />

menambah pahala (Idris Cike, paragraf : 31).<br />

2. 3 Amalan dalam Islam<br />

Bagi masyarakat Gayo Lues amalan adalah semua<br />

perbuatan yang baik di dalam kehidupan seharihari.<br />

Menurut Arbak Othman (1999 : 12) amalan<br />

adalah perbuatan baik yang sesuai dengan tuntunan<br />

agama. Dalam agama Islam, amalan merupakan<br />

sesuatu yang utama. Memahami agama Islam<br />

tanpa diamalkan tidak akan berarti apa-apa.<br />

Amalan yang diterima oleh Allah Swt. adalah<br />

amalan yang dikerjakan secara ikhlas. Bagi<br />

masyarakat Gayo Lues apa saja yang dilakukan<br />

dalam kebaikan merupakan amalan kepada Allah<br />

Swt. dan diyakini semua perbuatan baik sebagai<br />

amalan akan mendapat pahala bagi yang<br />

melaksanakannya. Oleh karena itu, semua<br />

pengabdian akan bermanfaat dan menjadi amalan<br />

(Idris Cike, paragraf : 152).<br />

Manusia sebagai makhluk Allah yang<br />

memiliki segala kelemahan, keterbatasan, dan<br />

kesilapan, maka manusia selalu melakukan<br />

kesalahan-kesalahan antara sesama manusia di<br />

dalam kehidupan. Misalnya, salah ucap atau salah<br />

dengar. Oleh karena itu, manusia harus saling<br />

memaafkan, supaya tidak merusak amalan yang<br />

baik dan dapat menimbulkan perasaan senang hati<br />

sesama manusia serta tidak berdosa kepada Allah.<br />

Seperti yang diceritakan Guru Didong berikut ini:<br />

Sahabatku sudah mohon maaf kepada<br />

diriku. Diriku pun akan mohon maaf<br />

kepada dirimu. Didong kita sudah selesai.<br />

Mungkin ada saya yang salah berbicara,<br />

dirimu salah dengar atau diriku salah<br />

dengar dan sahabatku salah berbicara. Oleh<br />

karena itu, saya mohon maaf kepada<br />

dirimu, supaya tidak menjadi penghalang<br />

amalan baik yang sudah saya kerjakan.<br />

Diriku memiliki sifat yang sering silap dan<br />

lupa. Supaya jangan salah kepada ayah, ibu<br />

dan masyarakat serta tidak berdosa kepada<br />

Allah (Idris Cike, paragraf : 162).<br />

Berdasarkan faham orang Gayo Lues, Idil<br />

Fitri hari raya umat Islam yang disambut pada<br />

setiap tanggal 1 Syawal, setelah melaksanakan<br />

ibadah puasa pada setiap tahun. Idil Fitri disambut,<br />

karena bagi umat Islam telah selamat menjalankan<br />

ibadah puasa pada bulan Ramadhan; yaitu, ibadah<br />

Halaman 7<br />

Didong Gayo Lues:<br />

Analisis Pemikiran tentang Agama Islam<br />

yang dapat menghapuskan dosa-dosa, kecuali dosa<br />

syirik. Oleh karena itu, Idil Fitri disambut umat<br />

Islam untuk saling bermaafan.<br />

Bagi masyarakat Gayo Lues juga Idil Fitri<br />

selalu dimanfaatkan untuk saling memaafkan.<br />

Bertujuan untuk menghapuskan segala dosa antara<br />

sesama manusia yang pernah terjadi pada masa<br />

yang lalu. Kemudian juga masyarakat Gayo Lues<br />

meyakini dalam menjalankan ibadah puasa telah<br />

dapat menghapuskan dosa kepada Allah Swt.<br />

Untuk menghapuskan dosa antara sesama manusia<br />

harus saling memaafkan, terutama pada Idil Fitri<br />

(Idris Cike, paragraf : 139).<br />

Pada masyarakat Gayo Lues, doa<br />

diartikan sebagai permintaan atau permohonn<br />

kepada Allah Swt. bertujuan untuk menghapuskan<br />

dosa-dosa yang ada, akibat perbuatan yang<br />

dikerjakan tidak sesuai dengan perintah agama<br />

Islam dan memohon kepada Allah Swt. agar<br />

memberikan sesuatu, seperti kesehatan, rezeki,<br />

kemudahan, dan lain-lain. Di dalam Didong Jalu<br />

ini doa yang disampaikan oleh Guru Didong<br />

supaya selesai acara perkawinan seperti berikut ini:<br />

Dengan nama Allah Yang Maha<br />

Pengasih dan Penyanyang. Satu, dua,<br />

tiga, empat, lima, enam, tujuh. Pertama<br />

selesai, kedua selesai, ketiga selesai,<br />

keempat selesai, kelima selesai, keenam<br />

selesai, ketujuh selesailah pesta. Jika ada<br />

pun hajatan, pihak tuan rumah, sudah<br />

dipenuhi. Ke langit tidak berpucuk, ke<br />

bumi tidak berakar (Ramli Penggalangan<br />

paragraf : 46).<br />

Kemudian pada bagian yang lain Guru<br />

Didong Idris Cike (paragraf : 13) menjelaskan<br />

bahwa orang tua mendoakan kita, supaya kita<br />

selamat dalam kehidupan di dunia dan selamat<br />

dalam kehidupan di akhirat. Bagi masyarakat Gayo<br />

Lues doa orang tua sangat dipercayai akan<br />

membawa pengaruh yang baik kepada kehidupan<br />

anak-anaknya.<br />

2. 4 Dosa dan Taubat<br />

Dosa adalah ganjaran atau balasan perbuatan yang<br />

salah atau melanggar hukum-hukum Islam dan<br />

ketentuan-ketentuan di dalam agama Islam. Taubat<br />

adalah kembali ke jalan Allah atau kembali kepada<br />

hukum-hukum Islam dan ketentuan-ketentuan<br />

agama. Dalam Didong Jalu ditemui tentang dosa<br />

dan taubat.<br />

Masyarakat Gayo Lues menyakini bahwa<br />

semua perbuatan yang salah akan mendapat dosa<br />

dari Allah Swt. Guru Didong Idris Cike<br />

menceritakan agar semua yang dikerjakan harus<br />

berpedoman kepada Al-Quran, hadis, ijmak, dan<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 8<br />

❏ Isma Tantawi<br />

qias supaya tidak berdosa kepada Allah Swt.<br />

seperti berikut ini:<br />

…Jika pertanyaan agama harus<br />

berpedoman kepada Al-Quran, hadis,<br />

ijmak dan qias. Jika masalah adat harus<br />

berpedoman kepada dasar pemikiran,<br />

peraturan, kebiasaan, dan petunjuk raja.<br />

Supaya tidak berdosa kepada Allah,<br />

supaya tidak menjadi hujatan masyarakat<br />

yang hadir di tempat persembahan ini…<br />

(Idris Cike, paragraf: 08).<br />

Masyarakat Gayo Lues juga menyakini<br />

bahwa manusia memiliki sifat keterbatasan dan<br />

kelemahan, sehingga sering melakukan kesalahan<br />

dan kekeliruan yang dapat menimbulkan dosa.<br />

Dosa dapat dihapuskan dengan jalan bertaubat<br />

kepada Allah dan akan diampuni oleh Allah Swt.<br />

(kecuali dosa besar, syirik) dengan ketentuan, tidak<br />

akan mengulangi lagi. Guru Didong Ramli<br />

Penggalangan (paragraf : 05) menceritakan, jika<br />

kita bersalah harus bertaubat, supaya selamat<br />

hidup di dunia dan di akhirat.<br />

2. 5 Alam Akhirat<br />

Masyarakat Gayo Lues menyakini bahwa alam<br />

terbagi kepada empat bagian; yaitu, alam<br />

kandungan, alam dunia, alam kubur (barzah), dan<br />

alam akhirat. Alam akhirat atau alam baka terjadi<br />

setelah alam barzah. Pada alam akhirat ditemui dua<br />

tempat; yaitu, surga dan neraka. Surga adalah<br />

tempat bagi orang-orang yang beramal baik dan<br />

meninggalkan larangan Allah Swt. pada masa<br />

hidup di dunia. Neraka adalah tempat bagi orangorang<br />

yang ingkar kepada Allah Swt. pada masa<br />

hidup di dunia. Alam akhirat adalah alam yang<br />

terakhir dan kekal untuk selama-lamanya (Umar<br />

1980 : 22).<br />

Di dalam Didong Jalu ini tidak dijelaskan<br />

alam akhirat secara terperinci, tetapi dalam Didong<br />

Jalu ini dijelaskan pada masa hidup di dunia<br />

supaya menjalankan agama Islam harus<br />

berpedoman kepada al-Quran, hadis, ijmak, dan<br />

qias, supaya selamat di dalam alam akhirat (Ramli<br />

Penggalangan, paragraf : 156).<br />

Masyarakat Gayo Lues menyakini bahwa<br />

semua perbuatan yang salah akan menjadi beban di<br />

alam akhirat. Seperti diceritakan Guru Didong<br />

berikut ini:<br />

Antara saya dengan dirimu, mungkin ada<br />

yang kurang menyenangkan perasaan,<br />

saya mohon kepada dirimu untuk saling<br />

memaafkan. Supaya jangan menjadi<br />

beban kita nanti di alam akhirat. Saat ini<br />

saya memohon maafmu, pada malam<br />

yang berbahagia ini (Idris Cike, paragraf:<br />

160).<br />

Didong Gayo Lues:<br />

Analisis Pemikiran tentang Agama Islam<br />

Pada cerita Didong Jalu ini hanya ditemui<br />

alam syurga saja. Masyarakat Gayo Lues meyakini<br />

adanya syurga, seperti diceritakan Guru Didong<br />

bahwa tanah asal untuk muka Nabi Adam a.s.<br />

berasal dari tanah surga (Idris Cike, paragraf :<br />

148).<br />

3. SIMPULAN<br />

Setelah dilakukan kajian pemikiran tentang agama<br />

Islam di dalam Didong Jalu, maka dapat diambil<br />

kesimpulan sebagai berikut: Pertama, masyarakat<br />

Gayo Lues meyakini bahwa Allah Swt. sebagai<br />

pencipta alam dan seluruh isinya. Allah adalah<br />

sumber segala kehidupan. Kedua, Rasul (Nabi<br />

Muhammad) merupakan tuntunan bagi masyarakat<br />

Gayo Lues dalam melaksanakan ibadah Islam.<br />

Ketiga, masyarakat Gayo Lues meyakini ada<br />

malaikat-malaikat yang bertugas sesuai dengan<br />

perintah Allah Swt. Keempat, roh diyakini<br />

masyarakat Gayo Lues diberikan oleh Allah Swt.<br />

kepada Nabi Adam a.s. Kelima, masyarakat Gayo<br />

Lues menyakini ada empat dasar untuk<br />

menentukan hukum Islam. Dasar-dasar hukum<br />

Islam; yaitu, Al-Quran, hadis, ijmak, dan qias.<br />

Dalam Islam ada lima hukum Islam yang menjadi<br />

pedoman untuk melaksanakan ibadah sesuai<br />

dengan agama Islam. Hukum Islam adalah wajib,<br />

sunat, harus, makruh, dan haram. Keenam,<br />

masyarakat Gayo Lues meyakini bahwa agama<br />

Islam tidak berarti apa-apa, jika tidak diamalkan<br />

secara ikhlas. Amalan yang tergambar dalam<br />

Didong Jalu adalah pada saat Idil Fitri harus saling<br />

memaafkan dan doa adalah untuk memohon<br />

keampunan kepada Allah Swt. serta memohonkan<br />

kemudahan dari-Nya. Ketujuh, alam akhirat<br />

diyakini masyarakat Gayo Lues akan ada setelah<br />

alam dunia ini. Dalam alam akhirat ada surga,<br />

tempat bagi hamba Allah yang menjalankan<br />

perintah dan meninggalkan larangan-Nya.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Al Ghazali, Muhammad.1997. Akhlak Seorang<br />

Muslim. Slangor: Thinker’s Library.<br />

Ara, L.K.1995. Seulaewah, “Antologi Sastra Aceh<br />

Sekilas Pintas”. Jakarta: Yayasan Nusantara<br />

Arifin, Bey. 1977. Hidup Sesudah Meninggal<br />

Dunia. Singapura: Pustaka Nasional.<br />

AS, M. Abdul Mujieb. 1986. Lubabun Nuzul fi<br />

Asbabun Nuzul. Rembang: Darul Ihya.<br />

Azyumardi, Azra dkk. 2003. Ensiklopedi Islam I.<br />

Jakart: Ichtiar Baru Van Hoeve.<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Isma Tantawi<br />

Azyumardi, Azra dkk. 2003. Ensiklopedi Islam IV.<br />

Jakart: Ichtiar Baru Van Hoeve.<br />

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra<br />

Sebuah Pengantar Ringkas Jakarta:<br />

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.<br />

Daud, Haron. 2001. Mantera Malayu Analisis<br />

Pemikiran. Pulau Pinang:Universiti Sains<br />

Malaysia.<br />

Daud, Haron. 2004. “Kesusastraan Sebagai<br />

Sumber Ilmu”.Dalam Jelani Harun. Ilmu<br />

Kesusasteraan Abad Ke-21. Pulau Pinang:<br />

Universiti Sains Malaysia.<br />

Gazalba, Sidi. 1974. Sistematika Falsafah. Kuala<br />

Lumpur. Utusan Melayu Berhad.<br />

Hanafiah, Sulaiman.1984. Sastra Lisan Gayo.<br />

Jakarta: Departemen Pendidikan dan<br />

Kebudayaan.<br />

Hamka. 1999. Tafsir Al Azhar IX. Singapura:<br />

Pustaka Nasional.<br />

Hauser, Arnold. 1982. The Sosiology of Art.<br />

London: The Universiti of Chicago Press.<br />

Jakob Sumarjo. 1979. Masyarakat dan Sastra<br />

Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya.<br />

Nusantara.<br />

Labib, Muhammad. 1977. Hari Akhirat.<br />

Singapura: Pustaka Nasional.<br />

Ma’shum Tanpa Tahun. Kisah Teladan 25 Nabi<br />

dan Rasul. Jakarta: Bintang Fajar.<br />

Halaman 9<br />

Didong Gayo Lues:<br />

Analisis Pemikiran tentang Agama Islam<br />

Melalatoa, M.J.1985. Kamus Bahasa Gayo-<br />

Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan<br />

dan Kebudayaan.<br />

MZ, Labib. 1993. Risalah Solat Lengkap, Disertai<br />

Doa, Zikir dan Wirid. Surabaya: Tiga Dua.<br />

MZ, Labib. Tanpa Tahun. Penciptaan Nur<br />

Muhammad Sebelum Kejadian Makhluk.<br />

Surabaya: Bintang Usaha Jaya.<br />

Othman, Arbak.1999. Kamus Bahasa Melayu.<br />

Shah Alam: Fajar Bakti.<br />

Rifa’I, Moh.1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap.<br />

Semarang: Karya Toha Putra.<br />

Salleh, Ahmad B. Muhammad.1995. Pendidikan<br />

Islam. Kuala Lumpur: Fajar Bakti<br />

Sujitno, Sutejo.1995. Aceh Masa Lalu, Kini dan<br />

Masa Depan. Banda Aceh: Sekretariat<br />

Gubernur Daerah Istimewa Aceh.<br />

Syukur, Abdul. 2001. Rahasia Hidup Setelah<br />

Meninggal dunia. Kuala Lumpur: Jasmin<br />

Enterprise.<br />

Taslim, <strong>No</strong>riah. Tanpa Tahun. “Bengkel Kajian<br />

Naskah Kesustraan Melayu <strong>III</strong>”. Alor Setar:<br />

Anjuraan Dewan Bahasa dan Pustaka.<br />

Umar, M. Ali Chasan.1980. Alam Kubur (Barzah).<br />

Singapore: Alharamain.<br />

Yahya, Habib Usman.1988. Awaluddin Sifat<br />

Duapuluh. Jakarta: S.A. Alaydrus.<br />

Warton, Thomas. 1974. History of English Poetry.<br />

London: The Universiti of Chicago Press.<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 10<br />

❏ Nurhayati Harahap<br />

Makna Hata-Hata Jampi<br />

dalam Bahasa Angkola Mandailing<br />

MAKNA HATA-HATA JAMPI DALAM BAHASA<br />

ANGKOLA MANDAILING<br />

Nurhayati Harahap<br />

Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />

Abstract<br />

Jampi word is a set of words that has an interrelation and those are meaningfulness. Jampi<br />

word consists of verses and each verse has unfinite lines, in this case, it can be two to six<br />

lines. The set of words are so chosen alertly and when it was altered, there will be magical<br />

empowerment within these utterances.<br />

Key words: jampi word, magical empowerment, utterances<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Warisan budaya kita sangat beragam yang<br />

seharusnyalah dihindarkan dari kepunahan. Hatahata<br />

jampi adalah salah satu warisan budaya yang<br />

terdapat di wilayah pemakian bahasa Angkola<br />

Mandailing, yaitu suatu wilayah pemakaian bahasa<br />

di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Mandailing<br />

Natal. Hata-hata jampi digunakan oleh<br />

pemakainya untuk tujuan tertentu (special<br />

purpose), yaitu untuk mengobati penyakit tertentu<br />

dengan diiringi oleh benda-benda tertentu. Hatahata<br />

jampi adalah rangkaian kata-kata yang saling<br />

berhubungan dan semuanya bermakna sehingga<br />

tidak ada yang disebut sampiran seperti halnya<br />

pantun. Hata-hata jampi terdiri atas bait-bait yang<br />

jumlah barisnya setiap bait tidak tetap atau tidak<br />

sama, yang hasil temuan penelitian ini berkisar<br />

antara dua sampai enam baris. Rangkaian katakatanya<br />

dipilih sedemikian rupa sehingga ketika<br />

mengucapkannya diharapkan ada daya magis di<br />

dalamnya.<br />

Sekarang ini hata-hata jampi sudah mulai<br />

dilupakan. Bisa jadi karena sudah<br />

memasyarakatnya pengobatan medis. Hal ini<br />

menyebabkan sedikitnya atau langkanya pemakai<br />

bahasa Angkola Mandailing sekarang ini yang<br />

menguasai hata-hata jampi. Bahkan adanya ragam<br />

kata ini dalam bahasa Mandailing sudah jarang<br />

pemakainya yang tahu. Ketika peneliti<br />

mengumpulkan data penelitian ini banyak yang<br />

bertanya, “Seperti apa hata-hata jampi itu?”.<br />

Kalaupun ada yang menguasainya, tidak<br />

menurunkannya dengan baik, dalam arti, yang<br />

mewarisinya mempunyai perhatian yang besar<br />

terhadap hata-hata jampi sehingga akan diingatnya<br />

dengan baik. Dengan keadaan ini bisa diperkirakan<br />

bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi,<br />

hata-hata jampi akan hilang, yang akan berakibat<br />

punahnya salah satu warisan pendahulu kita.<br />

Demikian juga di berbagai perpustakaan yang<br />

dikunjungi, sepanjang pencarian peneliti, tidak ada<br />

buku-buku di perpustakaan yang menuliskan<br />

tentang hata-hata jampi ini, termasuk pada bagian<br />

deposit. Oleh karena itu, selayaknyalah hata-hata<br />

jampi ini mendapat perhatian untuk diwacanakan<br />

dalam berbagai kesempatan yang mendukung<br />

dalam konteks pembicaraan bahasa dan sastra,<br />

khususnya bahasa Angkola Mandailing.<br />

Penelitian ini bertujuan menyajikan hatahata<br />

jampi yang dapat diinventarisir. Selain<br />

menginventarisir, dilakukan juga kajian makna,<br />

baik makna harfiahnya maupun makna konteks.<br />

Perlunya kajian makna konteks ini karena untuk<br />

dapat memahami kata-kata yang digunakan dalam<br />

hata-hata jampi, harus diketahui hubungan di<br />

antara kata-katanya. Untuk itu terutama diperlukan<br />

pengetahuan lingkungan Angkola Mandailing<br />

karena pemilihan kata-kata hata-hata jampi sangat<br />

dekat dengan lingkungannya.<br />

Populasi penelitian adalah pemakai<br />

bahasa Angkola Mandailing yang sudah berusia<br />

lanjut dan dianggap memiliki kemampuan untuk<br />

memberikan informasi tentang data penelitian<br />

yang ditentukan secara purposif. Hasil penelitian<br />

berupa hata-hata jampi yang dapat diinventarisir<br />

disajikan dengan terlebih dahulu menuliskan hatahata<br />

jampinya dalam bahasa Angkola Mandailing,<br />

kemudian penjelasan tentang benda yang<br />

menyertai pembacaannya. Selanjutnya adalah<br />

terjemahannya. Setelah terjemahannya, dilanjutkan<br />

dengan penjelasan tentang makna harfiah sekaligus<br />

makna konteksnya.<br />

2. HASIL PENELITIAN<br />

Dari hasil pengumpulan data, ada sepuluh hatahata<br />

jampi yang dapat diinventarisir, yaitu:<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Nurhayati Harahap<br />

1) Menghilangkan sakit karena tertelan duri<br />

2) Menunda atau mengalihkan hujan<br />

3) Menguatkan semangat pengantin<br />

4) Mengobati rasa sakit karena absus atau<br />

infeksi (bernanah)<br />

5) Membuat tegang (diam tak bergerak)<br />

6) Pelet untuk disenangi orang lain<br />

7) Pemanis<br />

8) Mengobati yang terkejut<br />

9) Menguatkan pukulan (untuk bertinju)<br />

10) Mengobati sakit yang digigit penyengat<br />

Dari sepuluh hata-hata jampi yang dapat<br />

diinvetarisir, semuanya mempunyai tujuan yang<br />

berbeda. Sebelum popular pengobatan secara<br />

medis, hata-hata jampi sangat berperan dalam<br />

masyrakat AM dalam hal mengobati penyakit.<br />

Salah seorang responden mengisahkan bagaimana<br />

besarnya pengorbanan, baik dalam bentuk materi<br />

maupun fisik, yang dibayar atau dilakukannya<br />

untuk mendapatkan sebuah hata-hata jampi.<br />

Pengorbanan dalam bentuk materi misalnya, harga<br />

sebuah hata-hata jampi, kalau disetarakan dengan<br />

nilai uang sekarang bernilai ratusan ribu rupiah.<br />

Dalam bentuk fisik, seorang yang akan diwariskan<br />

hata-hata jampi harus melakukan beberapa ritual<br />

tertentu. Jadi, seseorang ingin mendapatkan hatahata<br />

jampi harus bersusah payah.<br />

Seseorang yang menguasai hata-hata<br />

jampi tidak akan mempopulerkan atau<br />

memberitahukannya atau mewariskannya kepada<br />

sembarang orang. Biasanya orang yang paling<br />

dekat kepadanyalah, misalnya anaknya, yang<br />

dipilihnya untuk mewarisi hata-hata jampi yang<br />

dimilikinya. Masih menurut responden yang sama,<br />

si responden mendapatkan warisan hata-hata<br />

jampi yang dimilikinya dari orang tuanya ketika<br />

orang tuanya merasa umurnya tidak lama lagi.<br />

Karena tidak sembarangnya orang yang dapat<br />

mengusainya, hata-hata jampi ini relatif sulit<br />

diinventarisir.<br />

Disamping kesulitan menjumpai orang<br />

yang menguasainya, kendala yang dirasakan<br />

adalah kerahasiannya. Seperti yang telah dikatakan<br />

sebelumnya bahwa orang yang menguasainya<br />

tidak mudah mendapatkannya sehingga dia juga<br />

tidak akan dengan mudah memberitahukannya<br />

kepada orang lain, apalagi yang bukan orang<br />

dekatnya. Karena dianggap dapat mencapai tujuan<br />

tertentu sehingga dianggap barang berharga, tidak<br />

semua orang yang menguasainya mau membagi<br />

atau memberitahukan ilmunya kepada sembarang<br />

orang.<br />

Pengucapan setiap hata-hata jampi selalu<br />

disertai dengan benda-benda tertentu, namun yang<br />

paling banyak digunakan adalah air liur. Hal ini<br />

disebabkan air liur mudah dan cepat<br />

Halaman 11<br />

Makna Hata-Hata Jampi<br />

dalam Bahasa Angkola Mandailing<br />

memperolehnya karena dimiliki setiap orang.<br />

Selain air liur, tumbuh-tumbuhan yang ada di<br />

sekitar tempat tinggal masyarakat seperti daundaunan<br />

juga sering digunakan. Namun yang agak<br />

berbeda adalah celana dalam wanita. Benda–benda<br />

digunakan karena adanya persamaan fungsi<br />

dengan yang dimaksudkan.<br />

Sesudahnya masuknya agama Islam,<br />

hata-hata jampi dalam bahasa AM tidak langsung<br />

ditinggalka, hanya saja pemakaiannya berkurang.<br />

Selain itu, terjadi asimilasi, yaitu menambahkan<br />

unsur-unsur agama Islam dalam pembacaan hatahata<br />

jampi sehingga sesudah agama Islam masuk<br />

banyak pembacaan hata-hata jampi yang dimulai<br />

dengan bacaan Bismillahirohmanirrohim, bahkan<br />

ada sebagian besar kata-katanya dari bacaan Al<br />

Qur’an. Adanya asimilasi ini menunjukkan begitu<br />

eratnya hubungan keduanya dalam masyarakat<br />

Memahami makna komteks yang terdapat<br />

dalam hata-hata jampi bukan hal yang mudah.<br />

Untuk memahaminya sangat diperlukan<br />

pengetahan lingkungan sekaligus pengetahuan<br />

budaya, sejarah, serta pengetahuan antara kata-kata<br />

yang digunakan dengan tujuan atau maksud hatahata<br />

jampi.<br />

Di bawah ini diuraikan fungsi dan makna<br />

hata-hata jampi dalam AM yang dapat<br />

diinventarisir:<br />

2.1 Menghilangkan Sakit karena Tertelan Duri<br />

Manuk sirasiapas<br />

Daon ni na tarholi<br />

Songoni na hona tabas<br />

‘Ayam si rasiapas\<br />

Obat yang kena tulang<br />

Seperti itu pula yang kena guna-guna’<br />

Sesudah dibacakan hata-hata jampi ini,<br />

diminumkan air segelas. Sesudah agama Islam<br />

masuk ke wilayah AM, ditambahkan ucapan<br />

Bismillahirrohmanirrohim sebelum membacakan<br />

hata-hata jampinya.<br />

Dalam hata-hata jampi untuk<br />

menghilangkan duri (biasanya ikan) dan rasa sakit<br />

yang ditimbulkannya ini, pada baris pertama<br />

pemisalannya digunakan ayam yang berasal dari<br />

suatu tempat yang berada di dekat suatu sungai<br />

yang bernama sungai Rasiapas, yaitu sungai yang<br />

membelah Desa Panompuan, di Kecamatan Pasar<br />

Matanggor, di sekitar Desa Aek Godang, yang<br />

disebut manuk sirasiapas ‘ayam sirasiapas.<br />

Adapun sungai Sirasiapas ini adalah pecahan dari<br />

sungai Aek Godang. Pemisalan terhadap ayam dari<br />

sungai Rasiapas ini karen ayam yang hidup di<br />

sekitar sungai ini dan umumnya Desa Panompuan<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 12<br />

❏ Nurhayati Harahap<br />

ini relatif sehat-sehat dan tahan terhadap penyakit.<br />

Hal ini disebabkan banyaknya angin di tempat ini<br />

sehingga kuman-kuman penyakit yang berasal dari<br />

ayam akan cepat diterbangkan angin sehingga<br />

ayam-ayam dimaksud jarang kena penyakit.<br />

Demikian juga karena kesehatannya yang baik,<br />

ayam-ayam dari tempat ini telurnya relatif banyak.<br />

Jadi, nama ayam rasiapas ini sama baiknya dengan<br />

durian sidikalang yang terkenal keenakannya dan<br />

kepadatan isinya. Jadi, pemisalan terhadap ayam<br />

ini dimaksudkan agar sikorban yang terkena duri<br />

ikan tahan terhadap penyakit seperti halnya ayam<br />

si rasiapas.<br />

Pada baris kedua, langsung pada<br />

sasarannya yaitu, daon ni na tarholi ‘obat yang<br />

kena duri, yang biasanya duri ikan’. Kalau<br />

kesehatan baik, badan akan tahan terhadap<br />

penyakit sekaligus rasa sakit karena daya tahan<br />

tubuh yang tinggi.<br />

Pada baris ketiga dikuatkan lagi manfaat<br />

yang disebabkan oleh kesehatan tubuh yang baik<br />

ini, yaitu tahan juga terhadap penyakit yang<br />

disebabkan guna-guna, songoni muse na hona<br />

tabas ‘seperti itu juga yang kena guna-guna’.<br />

Dengan mengucapkan hata-hata jampi ini<br />

si penderita diharapkan tidak akan mengalami<br />

kesakitan lagi. Demikian juga duri dari<br />

kerongkongannya dengan sendirinya akan lenyap<br />

sesudah diminumkan air putih yang telah<br />

dibacakan hata-hata jampi tersebut.<br />

2.2 Menunda Hujan<br />

Pangpang si kapungpung<br />

Langkitang boru-boru<br />

Nai sarang ni daboru<br />

‘Pangpang si kapungpung (suara petir)<br />

Langkitang (sejenis kerang sungai) betina<br />

Yang di celana dalam wanita<br />

Disertai lemparan celana dalam wanita<br />

(pengantin) untuk pesta perkawinan dan anak gadis<br />

atau istri yang punya hajat untuk pesta lainnya.<br />

Hata-hata jampi yang digunakan untuk<br />

menangkal hujan ini baris pertamanya dimulai<br />

dengan tiruan bunyi dari adanya tanda tanda akan<br />

turun hujan, yaitu petir dan halilintar yang bersuara<br />

pangpang-pungpung sehingga disebut pangpang<br />

sikapungpung. Hal ini, menunujukkan eratnya<br />

kehidupan masyarakat dengan lingkungan<br />

sehingga ungkapan yang digunakan juga tidak<br />

lepas dari kondisi lingkungan.<br />

Demikian juga pada baris kedua, dimana<br />

digambarkan banyaknya sejenis kepah sungai yaitu<br />

langkitang yang akan muncul apabila turun hujan.<br />

Sesudah turun hujan, biasanya akan terjadi air bah.<br />

Makna Hata-Hata Jampi<br />

dalam Bahasa Angkola Mandailing<br />

Pada saat air bah ini akan banyak udang sehingga<br />

akan banyak yang akan mendurung udang di<br />

sungai karena saat inilah waktu yang paling baik<br />

untuk mendurung udang. Akan tetapi, pada saat<br />

mendurung udang, tidak hanya udang yang akan<br />

didapat, tetapi juga langkitang. Jadi, ketika<br />

mendurung udang, ada hasil sampingan yang<br />

didapat, yaitu langkitang. Adapun langkitang ini<br />

akan muncul ke pingggir pinggir sungai apabila air<br />

bah. Kalau sedang tidak air bah biasanya berdiam<br />

sekitar pertengahan sungai. Jadi, munculnya<br />

langkitang-langkitang ke pinggir pinggir sungai<br />

berhubungan dengan turunnya hujan. Adapun<br />

penyebutan jenis kelamin betina yaitu langkitang<br />

boru-boru ‘kepah betina’ berhubungan dengan<br />

baris ketiga yaitu pakaian dalam jenis kelamin<br />

wanita sebagai benda yang digunakan sebagai<br />

pengiring hata-hata jampi.<br />

Pada baris ketiga, dimisalkan dengan<br />

sesuatu yang terdapat di dalam celana dalam<br />

wanita, nadi sarang ni da boru ‘yang di celana<br />

dalam wanita’. Pemisalan ini diambil berdasarkan<br />

bentuk dan sifat yang sama antara hujan yang<br />

turun dari langit dengan keluarnya air kecil<br />

manusia (wanita), yang kemudian bisa dihalangi<br />

dengan pemakaian celana dalam sebagai<br />

penghalang. Benda yang mengiringinya pun,<br />

digunakan celana dalam wanita, yaitu pengantin<br />

wanita yang akan dipestakan (kalau pesta<br />

perkawinan) atau istri yang punya hajatan (kalau<br />

pesta lainnya) dengan cara melemparkannya ke<br />

atas atap rumah yang punya hajatan. Kalau dalam<br />

budaya etnis jawa, yang dilemparkan adalah<br />

pakaian dalam laki laki yang punya hajatan.<br />

2. 3 Menguatkan Semangat Pengantin<br />

Dalam acara perkawinan adat Angkola Mandailing<br />

dilakukan acara mangupa, yaitu acara memberi<br />

makan pengantin, yaitu dimaksudkan untuk<br />

menguatkan tondi ‘semangat’ pengantin.<br />

Sepasang pengantin perlu dikuatkan<br />

semangatnya karena akan mengalami kehidupan<br />

yang berbeda. Kalau sebelum menikah, tidak<br />

dibebani tanggung jawab, sebaliknya sesudah<br />

menikah akan mengemban tanggung jawab, tidak<br />

hanya atas dirinya sendiri, tetapi juga atas<br />

pasangannya serta anak-anaknya kelak. Untuk<br />

mengemban tanggung jawab ini perlu semangat<br />

yang lebih kuat dari sebelumnya karena akan lebih<br />

banyak onak duri yang akan dihadapinya nanti.<br />

Oleh karena itu perlu dibekali dengan semangat<br />

yang lebih besar lagi sehingga perlulah dilakukan<br />

penguatan semangat. Acara penguatan semangat<br />

ini dilakukan dengan pemberian makan dengan<br />

lauk tertentu yang disebut pangupa disertai<br />

pembacaan hata-hata jampi. Acara pembacaan<br />

hata-hata jampi dipimpin oleh seorang datu<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Nurhayati Harahap<br />

‘dukun’. Sebelum dan sesudah pembacaan hatahata<br />

jampi, terlebih dahulu pangupa diangkat serta<br />

dilayang-layangkan oleh peserta acara ke atas<br />

kepala yang mau diupa, dalam hal ini kedua<br />

pengantin. Seraya demikian, datu pangupa<br />

mengucapkan Taruuuuuuupa uupa!!!...3x.<br />

Kemudian disambut oleh hadirin peserta acara<br />

dengan mengucapkan Taruuuuu matondi!!! …3x.<br />

Kemudian mulailah datu pangupa mengucapkan<br />

hata-hata jampi seperti diuraikan dibawah ini.<br />

Mijurma tondi tu ruma,<br />

Namarama tondi si jangjang tondi si jongjong<br />

Manik ni tondi raja ni tondi<br />

Tondi siandarasi siandarahot<br />

Anso mohot tondi di ruma aut<br />

Di tiang togu di ruma<br />

Ulang I tondi mandao dao<br />

Ulang I tondi manduru duru<br />

Ulang I tondi tarlkalimanman<br />

Ulang I tondi tarkalimunmun<br />

Mamulus matondi di alaman si lanse utang on<br />

Si borang ma tondi di bondar so halibean<br />

Manaekma tondinta di tangga si bingkang bayo<br />

on,<br />

Mangalangkai gadu so halintasan on,<br />

Mungkap ma pintu gaja marngaur on<br />

Marsisandarma tondinta di tunggang raja<br />

halang ulu bosar on<br />

Ni tumpak nitogu togu tond<br />

Ni suhut bayo pangkapit pangkancing<br />

pangakabiri<br />

Ni tano rura banua on<br />

Hot jana matua matoguma tondi dohot badan<br />

muyo<br />

‘Turunlah semangat ke rumah<br />

Yang berayah semangat si jangjang, semangat si<br />

jungjung,<br />

Mutiaranya semangat, rajanya semangat,<br />

Semangat siandarasi, semangat siandarohot,<br />

Agar lekat semangat di tempatnya, terikat<br />

semangat di tiang kuat<br />

Kuat, kuat semangat di tempatnya.<br />

Jangan semangat menjauh-jauh,<br />

Jangan semangat meminggir-minggir<br />

Jangan semangat malayang-layang<br />

Jangan semangat malayang-layang<br />

Lewatlah semangat di halaman luas yang lunas<br />

utang ini<br />

Menyeberanglah semangat di selokan yang tak<br />

nampak ini<br />

Halaman 13<br />

Makna Hata-Hata Jampi<br />

dalam Bahasa Angkola Mandailing<br />

Naiklah semangat di tangga yang bisa goyanggoyang<br />

ini<br />

Melompati benteng tak terlewati ini<br />

Terbuka pintu gajah mengaum ini<br />

Bersandarlah semangat pada penghalang pintu<br />

ini<br />

Dibimbing oleh karisma turunan raja<br />

Penjaga alam semesta<br />

Bersatu padulah semangat dengan badan kamu’<br />

Hata-hata jampi di atas terdiri atas empat<br />

bait yang jumlah baris pada setiap baitnya tidak<br />

sama, yaitu antara empat sampai enam baris. Bait<br />

pertama terdiri atas empat baris. Baris pertama bait<br />

pertama dimulai dengan perkataan mijurma tondi<br />

turuma ‘turunlah semangat ke tempatnya di rumah<br />

(rumah yang berkolong)’. Maksud hata-hata jampi<br />

ini adalah untuk menjemput atau menempatkan<br />

semangat yang diupah ke tempat yang seharusnya,<br />

yaitu ke rumah tempat dimana yang diupah berada.<br />

Pada bait kedua baris pertama<br />

dikemukakan agar semangat yang dijemput<br />

lengket di aut ‘tiang yang menghubungkan tiang<br />

penyangga dengan tiang penyangga rumah yang<br />

berkolong’ dan berada di antara tiang penyangga<br />

dengan lantai (papan). Kalau sudah berada di aut<br />

rumah, kedudukannya sudah sangat kuat dan sulit<br />

tanggal.<br />

Bait ketiga mengutarakan bagaimana<br />

caranya agar semangat yang dijemput bisa masuk<br />

ke rumah dan menempati posisi yang telah<br />

disediakan. Pada baris pertama dikemukakan agar<br />

semangat dimaksud melewati halaman (wilayah)<br />

yang tidak ada utangnya. Utang yang dimaksudkan<br />

adalah syarat yang harus dipenuhi untuk dapat<br />

melewati suatu tempat. Dengan tidak adanya utang<br />

berarti tidak ada syarat yang harus dipenuhi untuk<br />

melewatinya. Jadi, tidak ada penghalang lagi. Ini<br />

membuat suatu perjalanan menjadi lancar tanpa<br />

hambatan.<br />

Bait keempat berisi sambutan yang<br />

dilakukan pembaca hata-hata jampi terhadap<br />

kedatangan semangat dimaksud. Pada baris<br />

pertama dikemukakan posisi yang disiapkan untuk<br />

semangat yang dimaksud yaitu dengan cara<br />

bersandar di tiang bondul ‘tiang pembatas pintu’.<br />

Pada baris kedua dikemukakan sesampainya di<br />

tiang bondul akan dituntun yang punya hajat. Pada<br />

baris ketiga, dikemukakan siapa yang punya hajat<br />

dimaksud, yaitu orang yang dianggap penting yang<br />

merupakan pengambil keputusan di wilayah<br />

tempat semangat akan ditempatkan. Selanjutnya<br />

pada baris keempat dikemukan harapan, semoga<br />

semangat yang dikuatkan menjadi lekat, lengket<br />

serta bersatu padu dengan badan atau raga si<br />

empunya badan. Dari uraian di atas terlihat bahwa<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 14<br />

❏ Nurhayati Harahap<br />

dalam rangka penguatan semangat dimaksud,<br />

dilakukan upacara penyambutan sebagaimana<br />

layaknya penyambutan yang dilakukan terhadap<br />

seorang raja. Untuk penyambutan seorang raja,<br />

upacara yang dilakukan dilengkapi dengan<br />

berbagai peralatan dan tata cara. Adapun peralatan<br />

dan tata caranya sudah diuraikan sebelumnya.<br />

Pembacaan hata-hata jampi juga sering<br />

dilakukan untuk mengembalikan semangat yangs<br />

sempat hilang, misalnya karena nyaris mendapat<br />

bahaya. Demikian juga usai melahirkan, yang<br />

merupakan pertarungan hidup dan mati bagi<br />

seorang ibu.<br />

2.4 Mengobati Rasa Sakit karena Absus atau<br />

Infeksi (Bernanah)<br />

Simakmak simukmuk<br />

Simakmak ni mandalasena<br />

Malum-malum bukkus<br />

Ulang ho be mangaena, puah…<br />

‘Sejenis tumbuh-tumbuhan<br />

Sejenis tumbuhan dari Mandalasena<br />

Sembuh-sembuh terbungkus<br />

Jangan kamu lagi yang merasakannya’<br />

Pembacaan hata-hata jampi ini disertai<br />

oleh penempelan sejenis tumbuh-tumbuhan ke<br />

tempat yang absus.<br />

Baris pertama dimulai dengan kata<br />

simakmak simukmuk. Simakmak adalah sejenis<br />

tumbuhan. Apabila dilihat hubungannya dengan<br />

keadaan penyakit dengan kata pembuka yang<br />

digunakan, terdapat kedekatan arti dengan yang<br />

akan diobati. Simakmak, yang diulang dengan<br />

variasi fonem menjadi simukmuk, mempunyai<br />

kemiripan bunyi dengan mokmok ‘gemuk’. Absus<br />

akan mengakibatkan adanya pembengkakan, yang<br />

berarti penggembungan atau penggemukan. Baris<br />

kedua adalah pengemukaan adanya jenis tanaman<br />

yang dikemukakan pada baris pertama yang<br />

terdapat di suatu tempat di wilayah Kabupaten<br />

Tapanuli Selatan, yaitu Mandalasena yaitu satu<br />

desa terpencil. Pemilihan simakmak ni<br />

mandalasena ‘simakmaknya mandalasena’<br />

kemungkinan baiknya mutu tanaman yang<br />

bernama simakmak yang terdapat di mandalasena<br />

ini. Jadi sangat manjur untuk mengobati penyakit<br />

yang diderita. Baris ketiga berupa harapan<br />

pembaca hata-hata jampi yaitu agar yang absus itu<br />

sembuh dengan sendirinya walaupun bengkaknya<br />

tidak pecah malum-malum bukkus ‘sembuh dalam<br />

keadaan terbungkus’ sehingga yang terjadi<br />

bengkak menjadi kisut. Pada baris keempat<br />

dilanjutkan kesembuhan yang dirasakan si<br />

penderita yaitu supaya bukan sipenderita lagi yang<br />

Makna Hata-Hata Jampi<br />

dalam Bahasa Angkola Mandailing<br />

merasakannya sehingga hilanglah rasa sakit yang<br />

dialami si korban akibat absus tadi tetapi beralih<br />

sakitnya pada tempat lain (di luar bagian tubuh si<br />

penderita). Bagian terakhir adalah penempelan<br />

atau pembubuhan dedaunan yang dimaksud,<br />

sebagai pengiring hata-hata jampi ini pada tempat<br />

yang absus dimaksud.<br />

2.5 Membuat Tegang (Diam Tidak Bergerak)<br />

Bogang gajah bogang talikur<br />

‘tegang gajah tegang ekornya’<br />

Hata-hata jampi ini sangat pendek, yaitu<br />

hanya satu baris ditambah syahadat 3x. Gajah<br />

adalah salah satu binatang besar. Pemisalan<br />

terhadap binatang yang mempunyai suatu<br />

kelebihan sering digunakan untuk lebih<br />

menguatkan apa yang diutarakan. Ekor gajah yang<br />

pendek biasanya tidak pernah diam, kalau<br />

gajahnya sendiri sudah tegang, maka dengan<br />

sendirinya ekornya pun akan diam. Jadi, kalau<br />

gajah pun bisa tegang, diam, tidak bergerak,<br />

dengan membaca hata-hata jampi ini, manusia<br />

atau orang yang dimaksudkan untuk menjadi<br />

sasaran pembacaan hata-hata jampi akan tegang,<br />

diam tidak bergerak sesudah dbacakan hata-hata<br />

jampi ini.<br />

2.6 Pelet untuk Disenangi Orang Lain atau<br />

Pemanis<br />

(1) He burangir na marontang bulan<br />

Dipanggang bolang malele<br />

‘He daun sirih yang memanggil bulan<br />

Diasapkan belangya meleleh’<br />

Hata-hata jampi ini menggunakan sirih<br />

sebagai sarana pembicaraan serta benda yang<br />

mengiringinya. Dalam perdukunan di wilayah<br />

Kabupaten Tapanuli Selatan sirih memang banyak<br />

sekali digunakan untuk berbagai sarana<br />

pengobatan. Pada baris pertama, sirih ditugaskan<br />

memanggil bulan. Dipanggilnya bulan<br />

dimaksudkan agar pembaca hata- hata jampi<br />

terlihat elok atau cantik untuk perempuan dan<br />

ganteng untuk laki-laki seperti bulan. Pada baris<br />

kedua dikemukakan melelehnya belang dari daun<br />

sirih apabila diasapi. Melelehya belang sirih<br />

karena diasapkan merupakan pemisalan hilangnya<br />

kejelekan-kejelekan si pembaca hata-hata jampi<br />

sesudah sirih tersebut diasapi. Kalau sudah hilang<br />

“belang”nya ‘kejelekannya’, orang yang<br />

memandang pun hanya akan melihat yang bagusbagusnya<br />

saja pada diri pembaca hata-hata jampi.<br />

Dengan demikian, siapa pun yang memandangnya<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Nurhayati Harahap<br />

akan melihatnya sebagai orang yang sangat baik<br />

sehingga orang yang dihadapi si pembaca hatahata<br />

jampi akan tunduk kepadanya. Jadi, pelet<br />

yang dimaksudkan adalah semacam pemanis bagi<br />

si pembaca hata-hata jampi.<br />

(2) Embun maroyop-oyop,<br />

Bintang mataniari<br />

‘Embun merayap hilang<br />

Bintang matahari’<br />

Hata-hata jampi ini dimulai dengan<br />

perkataan embun merayap hilang. Adanya embun<br />

adalah satu penyebab tidak cerahnya hari. Dengan<br />

demikian, agar udara cerah, diharapkan agar<br />

embun merayap hilang sehingga udara menjadi<br />

cerah dan terang benderang, baik siang maupun<br />

malam. Pada baris kedua dilanjutkan dengan<br />

adanya dua benda planet di muka bumi ini yang<br />

membuat dunia ini terang benderang. Pada malam<br />

hari adalah bulan, sedangkan pada siang hari<br />

adalah matahari. Adanya penerangan yang<br />

maksimal dari kedua benda planet tersebut di atas<br />

dimungkinkan merayapnya embun. Pemisalan ini<br />

digunakan pada penglihatan manusia yang akan<br />

melihat seseorang pada cantiknya saja karena yang<br />

“gelap-gelap” atau yang jelek-jeleknya sudah<br />

hilang. Hilangnya yang “gelap-gelap” pada diri<br />

seseorang akan membuat orang dimaksud terlihat<br />

cantik, ayu, serta ganteng, dan sebagainya,<br />

layaknya bulan dan matahari yang tidak ditutup<br />

oleh embun.<br />

2.7 Mengobati yang Terkejut<br />

Sipurara sipurere<br />

Mardaganak marbabere<br />

‘beranak bermenantu ‘<br />

Disertai air ludah<br />

Penggunaan hata-hata jampi yang terdiri<br />

atas dua baris ini sebenarnya tidak serius atau main<br />

main. Namun demikian, sering juga digunakan<br />

untuk mendiamkan atau memulihkan tangisan<br />

anak-anak yang terjatuh karena berlari-lari ketika<br />

bermain-main. Pembacaan hata-hata jampi ini<br />

dilakukan secara spontan oleh orang yang lebih<br />

dewasa dari si anak, misalnya ayahnya, ibunya,<br />

pamannya, kakaknya, dll yang dekat dengan<br />

lingkungan kelurga si anak. Jadi, penggunaan<br />

hata-hata jampi ini dimaksudkan untuk<br />

memulihkan keterkejutan si anak yang terjatuh<br />

tersebut karena dalam jatuhnya, selain kesakitan, si<br />

anak juga merasakan suatu kejutan yang<br />

menakutkan. Dengan pembacaan hata-hata jampi<br />

Halaman 15<br />

Makna Hata-Hata Jampi<br />

dalam Bahasa Angkola Mandailing<br />

ini si anak akan merasa lucu dan sekaligus terhibur<br />

sehungga dia akan lupa akan keterkejutannya yang<br />

menakutkannya sekaligus rasa sakit yang<br />

dideritanya.<br />

Pada baris pertama, kata yang digunakan<br />

tidak bermakna, yaitu sipurara yang kemudian<br />

diulang lagi dengan perubahan fonem menjadi<br />

sipurere. Kata ini tidak ada artinya hanya<br />

pemakaian fonem r dua pada suku kata re-re<br />

membuat kata ini kedengarannya menjadi ramai.<br />

Kemudian diulang lagi dengan perubahan fonem<br />

vokal, sehingga fonem r ada dalam<br />

pengulangannya tersebut sehingga baris pertama<br />

tetap terdengar ramai. Dengan ramainya baris<br />

pertama ini paling tidak dapat mengalihkan<br />

perhatian si penderita dari rasa sakit yang<br />

dialaminya. Baris kedua mardaganak marbabere<br />

‘beranak bermenantu (pria)’ disamping nada<br />

katanya yang ramai maknanya juga mengandug<br />

keramaian. Beranak ‘mempunyai anak’ akan<br />

menambah jumlah anggota rumah tangga. Dengan<br />

adanya anak persaudaraan pun akan menjadi<br />

banyak. Ketika anak lahir sanak famili dan kerabat<br />

akan datang menjeguk anak lahir dimaksud<br />

demikian juga ketika anak dimaksud bergaul<br />

dengan orang lain, akan tambah pulalah kerabat<br />

apabila lebih lanjut anak tersebut menikah, akan<br />

bertambah pula sanak famili. Dengan demikian,<br />

dengan adanya anak, akan bertambah ramailah<br />

suasana. Demikian juga dengan bermenantu (pria)<br />

secara tersirat kata ini mengandung arti anak<br />

perempuan selain anak laki laki. Dengan lahirnya<br />

anak perempuan tentu tiba waktunya si anak<br />

perempuan tersebut akan menikah, yang suaminya<br />

akan menjadi babere ‘menantu pria’. Semua ini<br />

akan membuat suasana akan menjadi ramai.<br />

Adanya penempatan maranak ‘beranak’<br />

lebih dahulu baru kemudian marbabere<br />

menyiapkan adanya pengutamaan anak laki-laki<br />

dibandingkan anak perempuan. Hal ini memang<br />

terjadi dalam adat AM. Dalam segala hal, anak laki<br />

laki selalu diutamakan daripada anak perempuan.<br />

Untuk sekolah, yang diprioritaskan adalah anak<br />

laki-laki. Demikian juga dalam hal yang lain, anak<br />

laki-laki selalu diutamakan. Bahkan dalam<br />

menurunkan marga ‘klen’, laki-lakilah yang<br />

berhak menurunkannnya, bukan perempuan.<br />

Adalah merupakan suatu penyakit (kekurangan)<br />

dalam sebuah keluarga apabila keluarga tersebut<br />

tidak dikaruniai anak laki-laki. Bahkan kalau hal<br />

ini terjadi, suami dari keluarga tersebut diijinkan<br />

untuk kawin lagi dengan harapan akan lahir anak<br />

laki-laki sebagai generasi penerusnya. Tidak<br />

seperti itu halnya kalau yang tidak ada adalah anak<br />

perempuan. Memang terasa ada yang kurang akan<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 16<br />

❏ Nurhayati Harahap<br />

tetapi tidak separah kalau tidak ada anak laki-laki.<br />

Anak perempuan tidak dianggap sebagai penerus<br />

keturunan, tetapi laki- laki.<br />

Dari uraian tersebut di atas, dapat<br />

dikatakan bahwa pembacaan hata-hata jampi ini<br />

secara tersirat bermakna memberi semangat<br />

kepada yang terkejut dengan mengisyaratkan<br />

bahwa penderita tidak sendiri, akan tetapi banyak<br />

(ramai) orang lain di dekatnya. Dengan ramainya<br />

orang di sekitar si penderita membuat si penderita<br />

tidak merasa sendiri. Suasana ini membuat rasa<br />

takut dan rasa sakitnya akan hilang.<br />

2.8 Menguatkan Pukulan (Tinju)<br />

Kun fayakun<br />

Kun kata Tuhan<br />

Fayakun kata Muhammad<br />

Kobul borkat Lailahaillah<br />

Disertai air liur dengan cara<br />

mengoleskannya ke tinju sipembaca hata-hata<br />

jampi yang telah dikepal.<br />

‘Kun fayakun<br />

Kun kata Tuhan<br />

Fayakun kata Muhammad<br />

Kabul berkat Laillahaillah’<br />

Hata-hata jampi ini digunakan untuk<br />

tujuan membuat si pembaca hata-hata jampi ini<br />

percaya diri dalam menghadapi lawan berkelahi.<br />

Dengan mengucapkan hata-hata jampi ini si<br />

pembaca merasa pecaya bahwa diberi kekuatan<br />

tambahan oleh Tuhan yang mahaesa. Dengan<br />

makrifat dan konsentrasi yang baik akan lebih kuat<br />

dan akan memenangkan suatu perkelahian. Dengan<br />

perkataan lain, hata-hata jampi ini membuatnya<br />

lebih yakin karena telah mendapat tambahan<br />

tenaga sehingga lawannya tidak dapat menyanggah<br />

pukulan tinjunya dan biasanya si lawan akan<br />

terhuyung-huyung dan terjatuh akibat derasnya<br />

atau kuatnya pukulan tinju si pembaca hata-hata<br />

jampi.<br />

Bila dilihat dari asal usulnya hata-hata<br />

jampi ini berasal dari Al-Quran. Berarti orang AM<br />

yang menggunakan hata-hata jampi telah<br />

memeluk agama Islam. Dalam hata-hata jampi ini<br />

terlihat pencampuran tiga bahasa yaitu bahasa arab<br />

(Al-quran) bahasa Indonesia dan bahasa angkola<br />

Mandailing. Pencampuran tiga bahasa ini<br />

dimaksudkan untuk memudahkan pemakainya<br />

lebih muda menghapalnya sehingga akan tercapai<br />

kekhusukan.<br />

Makna Hata-Hata Jampi<br />

dalam Bahasa Angkola Mandailing<br />

2. 9 Mengobati Sakit yang Digigit Penyengat<br />

Hung si nyonyot- nyonot<br />

Hu enda ma sorot mu<br />

Pitung kolak marsaru –saru<br />

Halis bulung suhat tampat bulung bomban<br />

Malum borgo ia suaaahhh…<br />

Disertai pengolesan air liur si pembaca<br />

hata-hata jampi sekitar tiga tetes ke bekas gigitan<br />

penyengat.<br />

‘_ _ _<br />

Kusentakkanlah alat penyengatmu<br />

Tujuh hasta berselemak<br />

Kalis daun talas datar daun bomban (sejenis<br />

daun perdu)<br />

Sembuh dingin ia ---‘<br />

Kalau dieterjemahkan hata-hata jampi di<br />

atas, terlihat bahwa tidak semua kata-kata yang<br />

digunakan ada terjemahannya dalam bahasa<br />

Indonesia. Namun, kata-kata yang tidak dapat<br />

diterjemahkan dimaksud ada hubungannya dengan<br />

sifat, bisa berupa suara, bentuk, dan lain-lain dari<br />

binatang stau benda yang terdapat pada satu hatahata<br />

jampi di atas, karena dimaksudkan untuk<br />

mengobati gigitan binatang penyengat, maka kata<br />

pertama yang digunakan adalah suara binatang<br />

tersebut, yaitu hung, kemudian diikuti nama jenis<br />

binatang penyengat yaitu dari caranya menyengat,<br />

yaitu dengan cara nyot-nyot. Sehingga diberi nama<br />

si nyot-nyot sehingga diberi nama si nyonyotnyonyot.<br />

Kedua kata-kata ini, yaitu hung si<br />

nyonyot-nyonyot diletakkan pada baris pertama.<br />

Baris kedua adalah tindakan si pengucap hata-hata<br />

jampi untuk menarik, menghabisi, atau membunuh<br />

si penyengat, yaitu dengan cara menyentakkannya<br />

alat penyengat. Baris ketiga adalah keadaan alat<br />

binatang penyengat tersebut akibat sentakan si<br />

pengucap hata-hata jampi, yaitu berselemak<br />

sepanjang tujuh hasta. Baris keempat adalah bekas<br />

gigitan penyengat tersebut tanpa bekas seperti<br />

layaknya daun keladi yang tidak meninggalkan<br />

bekas kalau ditetesi air dan sejenis pohon sebangsa<br />

rotan yang bentuknya datar sehingga air tidak bisa<br />

bertahan di atasnya. Baris kelima adalah keinginan<br />

si pengucap hata-hata jampi yaitu kesembuhan,<br />

sehingga si korban gigitan penyengat merasa sejuk<br />

dan nyaman ditambah dengan kata suaaahhh…,<br />

yaitu semacam pelapiasan atau pelepasan hawahawa<br />

atau udara yang tidak baik.<br />

3. SIMPULAN<br />

Hata-hata jampi dalam masyarakat Angkola<br />

Mandailing merupakan kata-kata yang<br />

mengandung magis yang dipakai sebagai sarana<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Nurhayati Harahap<br />

untuk tujuan tententu (special purpose). Dari hasil<br />

penelitian ini sembilan tujuan, yaitu: (1)<br />

menghilangkan sakit karena tertelan duri, (2)<br />

menunda hujan, (3) menguatkan semangat<br />

pengantin, (4) mengobati rasa sakit karena absus<br />

atau infeksi (bernanah), (5) membuat tegang (diam<br />

tak bergerak), (6) pelet untuk disenangi orang lain<br />

atau pemanis, (7) mengobati yang terkejut, (8)<br />

menguatkan pukulan (tinju), dan (9) mengobati<br />

sakit yang digigit penyengat.<br />

Sekarang sudah tidak banyak anggota<br />

masyarakat Angkola Mandailing yang menguasai<br />

hata-hata jampi. Namun demikian, masih ada<br />

yang menggunakannya untuk mengobati beberapa<br />

jenis penyakit. Hata-hata jampi dalam masyarakat<br />

Angkola Mandailing terbagi dalam beberapa<br />

tujuan, yaitu untuk mengobati orang yang terkejut,<br />

baik karena terjatuh atau hal lain, misalnya<br />

disengat oleh binatang penyengat, yang berbisa,<br />

dan lain-lain. Hata-hata jampi tersebut<br />

dimaksudkan sebagai penawar rasa sakit atau<br />

terkejut. Pengobatannya dilakukan dengan<br />

membacakan hata-hata jampi disertai dengan<br />

benda-benda tertentu sebagai pengiringnya.<br />

Kata-kata yang digunakan dalam setiap<br />

baris dan pada keseluruhan bait semuanya<br />

berhubungan. Artinya, rangkaian hata-hata jampi<br />

berbeda dengan hata-hata umpama sebagai salah<br />

satu ragam bahasa Angkola Mandailing yang dua<br />

baris pertama merupakan sampiran sehingga tidak<br />

berhubungan dengan baris berikutnya (Harahap,<br />

2002). Rangkaian hata-hata jampi semuanya<br />

berhubungan sehingga tidak ada yang disebut<br />

sampiran seperti halnya pantun. Adanya<br />

keterkaitan makna seluruh kata yang digunakan<br />

dalam hata-hata jampi dapat dirasakan sesudah<br />

menganalisis makna konteksnya. Jadi, dari kajian<br />

Halaman 17<br />

Makna Hata-Hata Jampi<br />

dalam Bahasa Angkola Mandailing<br />

makna harfiah dan makna konteks tergambar<br />

bahwa seluruh kata yang digunakan memiliki<br />

keterkaitan di antaranya.<br />

Dewasa ini pemakaian hata-hata jampi<br />

sudah jarang. Demikian juga orang yang<br />

menguasainya sudah langka dijumpai. Kalaupun<br />

ada, terbatas pada orang-orang tua yang berumur<br />

di atas tujuh puluh tahunan yang ingatan dan<br />

perhatiannya terhadap kelangsungan budaya baik.<br />

Selain orang tersebut di atas, dukun yang<br />

profesinya memang mengobati orang yang sakit<br />

jiwa juga banyak menguasai hata-hata jampi.<br />

Seorang dukun tidak akan mudah memberikan<br />

ilmunya kepada orang lain karena menyangkut<br />

mata pencariannya. Sedangkan untuk menemukan<br />

orang yang disebut langka di atas itu relatif sulit.<br />

Jadi, sekarang ini hata-hata jampi hampir tidak<br />

dkenal lagi.<br />

DAFTAR BACAAN<br />

Chaika, Elaina. 1982. Language the Sosial Mirror.<br />

Roley, London, Tokyo: Newbury House<br />

Publishers.<br />

Harahap, Basyral Hamidi, dan Hotman M.<br />

Siahaan. 1987. Orientasi Nilai-nilai Budaya<br />

Batak: suatu Pendekatan terhadap Prilaku<br />

Batak Toba dan Angkola Mandailing.<br />

Jakarta: Sanggar Willem Iskandar.<br />

Harahap, Nurhayati dan Ikhwanuddin Nasution.<br />

1998. Ende Ungut-ungut Angkola<br />

Mandailing: Inventarisasi dan Kajian<br />

Sosiologi Sastra. Medan: Fakultas Sastra<br />

USU.<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 18<br />

❏ Haris Sutan Lubis<br />

Modernisasi pada Bentuk dan Tema dalam<br />

Prosa-Prosa Willem Iskandar (1840 –1876)<br />

MODERNISASI PADA BENTUK DAN TEMA<br />

DALAM PROSA-PROSA WILLEM ISKANDER (1840-1876)<br />

Haris Sutan Lubis<br />

Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />

Abstract<br />

Willem Iskander is known as an educator and man of letters from South Tapanuli. He<br />

produced poem and prose in Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk in nineteenth century. His<br />

prose is differed from the prose form at that moment. The form of his prose is short story,<br />

which in Indonesian literature is known as the modern prose and starts to be blazed by M.<br />

Kasim and Suman Hs by the end of 1930. Despitefully, Willem Iskander has also done the<br />

modernization at the election of the humanism theme, such as having phobia, surrenderness,<br />

responsibility, affection, and crime.<br />

Key words: modernization, short story, form, and theme<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Kesusastraan merupakan salah satu hasil<br />

kebudayaan manusia yang sangat berharga dan<br />

memiliki nilai yang beragam. Pada satu sisi karya<br />

sastra dapat pula menampilkan wajah kultur<br />

zamannya dan oleh karena itulah sifat-sifat suatu<br />

zaman dan persoalan-persoalan yang ada di dalam<br />

masyarakat tersebut dapat dibaca melalui karya<br />

sastra. Hal ini dapat terjadi karena pengarang<br />

sebagai salah seorang anggota masyarakat hidup<br />

dan berelasi dengan orang-orang di sekitarnya.<br />

Oleh karena itu, kegelisahan masyarakat menjadi<br />

kegelisahan para pengarang, harapan-harapan,<br />

penderitaan-penderitaan, dan aspirasi suatu<br />

masyarakat di mana pengarang berada, menjadi<br />

bagian dari pribadi pengarang tersebut. Namun<br />

demikian, untuk memberi suatu defenisi yang<br />

lengkap tentang sastra merupakan sesuatu yang<br />

sangat berat. Karya sastra dalam suatu masyarakat<br />

belum tentu diakui sebagai sastra oleh masyarakat<br />

lainnya, sebagai contoh serat weda tama bagi<br />

masyarakat Jawa pastilah dianggap sebagai sebuah<br />

hasil sastra, namun belum tentu bagi masyarakat<br />

lainnya. Begitu juga mantra dalam masyarakat<br />

tradisional mempunyai fungsi keagamaan yang<br />

dominan tetapi bagi masyarakat modern justru<br />

menjadi ciri kesasteraannya yang paling<br />

mengesankan. Yang jelas dari karya sastra dapat<br />

diketahui bermacam-macam persoalan, pesan atau<br />

pun gambaran tentang sesuatu dalam suatu zaman,<br />

karena sastra memang difungsikan sebagai alat<br />

pelaksanaan acara-acara keagamaan. Oleh karena<br />

itu, setiap hasil sastra dari suatu zaman dan<br />

pengarang merupakan suatu objek kajian yang<br />

selalu menarik dan bermanfaat bagi kehidupan<br />

suatu masyarakat ataupun bangsa, setidaknya bagi<br />

kepentingan pengkajian sejarah kesusasteraan<br />

bangsa tersebut.<br />

Di daerah Tapanuli Selatan tepatnya di<br />

daerah Mandailing telah lahir seorang sastrawan<br />

yang memiliki wawasan serta konsep kehidupan<br />

yang luas. Sastrawan tersebut adalah Ali Sati<br />

Nasution Gelar Ja Sikondar yang lebih populer di<br />

sebut Willem Iskander.Willem Iskander yang<br />

hidup pada tahun 1840–1876 mendapat<br />

kesempatan mengikuti pendidikan pada sekolah<br />

dasar di Panyabungan pada usia 13 tahun. Tiga<br />

tahun setelah mengikuti pendidikan tersebut beliau<br />

dibawa Asisten Residen Mandailing Angkola<br />

untuk mengikuti pendidikan di negeri Belanda. Hal<br />

ini terjadi karena kepintaran beliau, di samping<br />

sebagai seorang keturunan raja yang berkuasa di<br />

masa itu. Tiga tahun setelah mengikuti pendidikan<br />

di negeri Belanda, beliau mendapat ijazah guru<br />

bantu dan kembali ke Mandailing dan mendirikan<br />

sekolah guru (Kweekschool) di Tanobato, serta<br />

memimpin sekolah tersebut selama hampir 12<br />

tahun.<br />

Di samping sebagai seorang tokoh<br />

pendidikan pada masa itu Willem Iskander<br />

sebenarnya dikenal pula sebagai sastrawan daerah<br />

Mandailing yang paling terkemuka sampai saat ini.<br />

Kesimpulan itu diperoleh setelah menelusuri dan<br />

memahami nilai-nilai yang terdapat dalam<br />

karyanya Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk yang<br />

dikarangnya antara tahun 1860–1870.<br />

Berbicara mengenai sastra daerah dalam<br />

cakupan se Indonesia sebenarnya harus dilakukan<br />

suatu telaah yang sangat luas, disebabkan<br />

banyaknya ragam dan corak yang akan ditemui.<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Haris Sutan Lubis<br />

Hal ini dimungkinkan karena setiap masyarakat<br />

bahasa mempunyai sastranya sendiri. Demikian<br />

juga kalau membicarakan sastra daerah Tapanuli<br />

Selatan sebagai bagian dari sastra daerah se<br />

Indonesia, maka kita pun semestinya harus melalui<br />

suatu penelaahan yang luas dan mendalam, harus<br />

kembali meneliti sastra lisan. Keragaman dan<br />

kekayaan Tapanuli Selatan dalam bidang<br />

kesusastraan ini karena letak wilayah Tapanuli<br />

Selatan yang banyak menerima pengaruh budaya<br />

yang datang dari luar daerahnya.<br />

Di dalam kesusastraan klasik Indonesia<br />

kita akan menemukan pantun sebagai jenis puisi<br />

klasik tertua, maka di daerah Tapanuli Selatan<br />

ditemukan jenis tesebut yang dinamakan sebagai<br />

ende-ende. Sebagaimana dikatakan Hartoyo<br />

Andangjaya (Damono 1981: 25) bahwa jenis<br />

pantun itu pulalah yang paling luas tersiar di<br />

kalangan masyarakat dan hidup terus selama<br />

berabad-abad, yang menjadi alat pengucapan bagi<br />

kesedihan, nafsu-nafsu erotik dan juga normanorma<br />

etikanya. Menurut Van Ophuysen (Usman<br />

1963: 145) malah kejadian pantun sama seperti<br />

ende-ende di Tapanuli Selatan yang berasal dari<br />

bahasa daun-daunan, bahasa kiasan, dan bahasa<br />

sindiran.<br />

Sementara untuk jenis prosa sebagaimana<br />

juga dikenal di setiap daerah di Indonesia, maka<br />

jenis yang lazim dijumpai ialah jenis cerita rakyat<br />

seperti dongeng, tentang binatang, makhluk halus,<br />

kalangan istana atau juga cerita-cerita humor yang<br />

selalu diceritakan dari satu mulut ke mulut yang<br />

lain sebagai cara untuk menginformasikannya.<br />

Dengan demikian dari uraian singkat tentang sastra<br />

daerah Tapanuli Selatan ini dapat ditarik<br />

kesimpulan bahwa bentuk dan jenis kesusastran<br />

yang terdapat di Tapanuli Selatan pada<br />

kesusastraan Indonesia klasik ialah bentuk prosa<br />

dan puisi yang masing-masing bersifat lisan. Isinya<br />

ditandai dengan gambaran dinamika kehidupan<br />

masyarakat tradisional yang statis dan tradisi itu<br />

berlangsung dalam rentang waktu yang cukup<br />

panjang, yakni sejak manusia mengenal bahasa<br />

lisan sebagai alat komunikasi dan alat ekspresi<br />

sampai dengan permulaan abad ke XX<br />

sebagaimana perkiraan awal munculnya sastra<br />

modern di Indonesia seperti dikatakan oleh Teeuw<br />

(1982:11) bahwa sejak awal abad ke XX ini –atau<br />

sedikit sebelumnya –di Indonesia mulai diciptakan<br />

sastra yang biasanya disebut modern, yaitu lain<br />

dari tradisional.<br />

2. PERMASALAHAN<br />

Willem Iskander lebih dikenal oleh masyarakat<br />

Mandailng sebagai seorang tokoh pendidikan dan<br />

penyair. Sebagaimana disinggung sebelumnya,<br />

sebagai tokoh pendidikan beliau sempat<br />

Halaman 19<br />

Modernisasi pada Bentuk dan Tema dalam<br />

Prosa-Prosa Willem Iskandar (1840 –1876)<br />

mendirikan sebuah sekolah guru di Tanobato dan<br />

memimpinnya selama hampir dua belas tahun.<br />

Lembaga pendidikan ini berhasil melahirkan guruguru<br />

bermutu yang menyebar mengajar ke hampir<br />

seluruh wilayah <strong>Sumatera</strong>. Sementara sebagai<br />

seorang penyair beliau dikenal karena kekuatan<br />

puisi-puisinya, baik dari segi tema maupun dari<br />

sudut kemahiran Willem Iskander dalam<br />

mengungkapkan pesan-pesannya, sehingga puisipuisi<br />

tersebut mampu membangkitkan semangat<br />

kaum pergerakan di Tapanuli Selatan sekitar tahun<br />

tiga puluhan. Sehingga dari kedudukannya sebagai<br />

seorang penyair, beliau ditempatkan sebagai<br />

seorang penyair modern daerah Mandailing abad<br />

kesembilan belas (Lubis 1985).<br />

Sebagai seorang cerpenis, kiranya belum<br />

banyak yang mengenal beliau, apalagi<br />

mengungkapkan keberadaannya sebagai seorang<br />

pengarang prosa dari zaman kesusastraan<br />

tradisional, meskipun sebenarnya prosa-prosa yang<br />

diciptakannya itu juga dikumpulkannya di dalam<br />

Si Bulus-Bulus Si Rambuk-Rambuk.<br />

Prosa-prosa yang diciptakannya pun<br />

sebenarnya tidaklah begitu banyak, melainkan<br />

hanya sepuluh buah. Oleh karena itulah apabila<br />

ditinjau kedudukannya sebagai seorang penulis<br />

prosa maka tidaklah dapat dikatakan kalau Willem<br />

Iskander merupakan seorang penulis prosa yang<br />

berhasil, mengingat jumlahnya yang tergolong<br />

sedikit. Namun keberhasilan seorang penulis prosa<br />

tidaklah mutlak ditentukan oleh banyak atau<br />

sedikitnya prosa yang dihasilkannya, tetapi dapat<br />

pula ditinjau dari kemampuannya berkreativitas<br />

dalam memanfaatkan dan mengembangkan bentuk<br />

prosa tersebut dari keadaan yang biasanya kepada<br />

keadaan di luar tradisi sastra tersebut. Oleh karena<br />

itu, bukanlah merupakan suatu kelemahan kalau<br />

tinjauan kali ini akan beranjak dari kecermelangan<br />

beliau dalam melakukan pembaharuan bentuk<br />

prosa di luar jenis prosa yang biasa atau lazim<br />

terdapat pada zaman hidupnya. Untuk itu<br />

kesepuluh prosa yang ditulisnya disekitar tahun<br />

1860 – 1870 tersebut merupakan objek penelaahan<br />

yang akan berusaha membuktikan pembaharuan<br />

yang dilakukannya terhadap bentuk prosa sebagai<br />

manifestasi kemajuan wawasan dan pola<br />

pikirannya dalam kedudukannya sebagai seorang<br />

sastrawan daerah yang hidup di abad kesembilan<br />

belas yang lalu.<br />

3. PEMBAHASAN<br />

Memberikan pengertian serta batasan-batasan apa<br />

dan bagaimana sebenarnya yang dikatakan sebuah<br />

cerita pendek adalah suatu pekerjaan yang rumit<br />

dan bahkan menjurus kepada kesia-siaan belaka.<br />

Ukuran panjang atau pendeknya sebuah cerita pun<br />

ternyata belum bisa memastikan apakah cerita<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 20<br />

❏ Haris Sutan Lubis<br />

tersebut tergolong cerita pendek atau bukan,<br />

sebagaimana dikatakan Mochtar Lubis (1981: 10)<br />

bahwa ada cerita pendek yang terdiri dari lima<br />

ratus perkataan, tapi ada pula yang sampai 40.000<br />

perkataan. Namun seperti kata Richard Summer,<br />

bahwa sebuah Vijnetta bisa dan sering termasuk<br />

dalam golongan cerita pendek. Oleh karena itu<br />

sangat sulit untuk memberikan defenisi yang tepat<br />

dan tegas tentang cerita pendek. Di samping itu,<br />

Mochtar Lubis masih memberikan gambaran<br />

bahwa sebuah karangan tentang pasar misalnya,<br />

akan menjadi cerita pendek jika di dalamnya<br />

dijalinkan suatu insiden suatu kejadian pada salah<br />

seorang atau beberapa orang yang berada dalam<br />

pasar itu. Sementara sebuah cerita yang pendek<br />

tentang seseorang, bukan cerita pendek, jika dalam<br />

karangan itu tidak dimasukkan jasmani atau rohani<br />

manusia yang berlaku di dalamnya.<br />

Namun, cerita pendek mempunyai<br />

keterbatasan-keterbatasan. Misalnya tidak<br />

mungkin menceritakan keseluruhan aspek<br />

kehidupan seorang tokoh. Akan tetapi di dalam<br />

sebuah cerita pendek dimungkinkan untuk<br />

mengemukakan tanggapan-tanggapan saat-saat<br />

hidup yang oleh karena sesuatu sebab dapat<br />

diangkat ke permukaan dan ditonjolkan. Sebagai<br />

gambaran sederhana, bahwa sebuah cerita pendek<br />

hendaknya memenuhi beberapa persyaratan seperti<br />

adanya tema (dasar cerita), plot (cara menulis atau<br />

menyusun karangan tersebut yakni pengawalan<br />

dan pengakhiran penceritaan), karakter (gambaran<br />

fisik dan pribadi atau watak pelaku), suspense dan<br />

foreshadoing (bentakan-bentakan dalam gaya<br />

penceritaan yang memancing pembaca untuk terus<br />

menimbulkan keingintahuannya tentang cerita<br />

selanjutnya), immediacy dan atmosphere<br />

(kemampuan membawa pembaca ke dalam situasi<br />

penceritaan), point of view (sudut pandang<br />

pengarang dalam cerita tersebut), limited focus dan<br />

unity (pengarahan cerita pada satu fokus) dan<br />

menjalinnya menjadi satu kesatuan cerita yang<br />

utuh antara satu unsur dengan unsur lain tanpa<br />

membedakan besar kecilnya perasaan yang<br />

dimiliki oleh unsur-unsur tersebut. Namun ketujuh<br />

unsur yang dikemukakan tersebut pun tidaklah<br />

mutlak harus dimiliki oleh sebuah cerita pendek,<br />

karena sebagaimana dikemukakan oleh Richard<br />

Summers (Mochtar Lubis 1981: 46–47) bahwa<br />

sebuah cerita pendek haruslah mengandung<br />

interpretasi pengarang tentang konsepsinya<br />

mengenai penghidupan, baik secara langsung atau<br />

tidak langsung, dan cerita itu harus pula mampu<br />

mengajak pembaca ‘masuk’ ke dalam situasi<br />

cerita, sebelum pertama menarik perasaan dan<br />

pada akhirnya nanti mampu menarik pikiran setiap<br />

pembacanya. Di samping itu sebuah cerita pendek<br />

juga harus mengandung uraian-uraian dan insiden<br />

Modernisasi pada Bentuk dan Tema dalam<br />

Prosa-Prosa Willem Iskandar (1840 –1876)<br />

atau konflik yang dipilih dengan sengaja yang<br />

mampu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan<br />

dalam pikiran pembacanya, sebuah insiden yang<br />

menguasai dan menjalankan plot cerita, juga harus<br />

memiliki seorang pelaku yang terutama, jalan<br />

cerita yang padat yang akhirnya akan melahirkan<br />

satu kesan (impressia).<br />

Sudah merupakan bagian dari sejarah<br />

hidup manusia bahwa kegemaran bercerita<br />

merupakan pusaka nenek moyang segala bangsa.<br />

Lingkungan di sekitar manusia tersebut dan juga<br />

dunia di dalam diri tiap manusia merupakan<br />

sumber yang kaya dan dapat digali sebagai potensi<br />

bagi manusia yang menjalani kehidupannya. Setiap<br />

manusia mempunyai pengalaman masing-masing<br />

tentang alam dan kejadian apapun yang ada di<br />

dalamnya sebagaimana juga terjadi pada manusia<br />

Indonesia. Di dalam cerita-ceritalah kita dapat<br />

melihat kehidupan, angan-angan, dan pikiran,<br />

kekayaan alam rohani yang penuh fantasi yang<br />

dibentuk oleh pengalaman manusia tersebut.<br />

Menurut Ajip Rosidi (Eneste 1983: 10)<br />

bahwa cerpen sebagai bentuk kesusasteraan –<br />

seperti juga di bagian lain di dunia ini—di<br />

Indonesia adalah baru. Cerpen dikenal orang lebih<br />

kemudian daripada roman. Sementara itu Jacob<br />

Sumardjo (Eneste 1983: 27) memberi keterangan<br />

bahwa usia penulisan cerita pendek di Indonesia<br />

baru berjalan sekitar 40 tahun. Ini berarti bahwa<br />

Indonesia baru mulai menulis cerpen setelah jenis<br />

karya sastra ini dikenal oleh negara-negara lain<br />

satu abad sebelumnya. Dengan melatakkan dasar<br />

dan pandangan kedua pengamat tersebut maka<br />

dapat diperkirakan bahwa cerita pendek di<br />

Indonesia bermula disekitar tahun 1940-an, yang<br />

berarti lebih lambat sekitar dua puluh tahun<br />

dibanding dengan masa awal pertumbuhan roman<br />

yang menggantikan kedudukan bentuk hikayat<br />

akibat pengaruh perkembangan kesusasteran<br />

modern dari Barat. Kalau demikian halnya maka<br />

permulaan tumbuhnya cerita pendek di Indonesia<br />

ialah ketika pengarang M. Kasim dan Suman Hs.<br />

Menerbitkan kumpulan cerita pendeknya yang<br />

pertama di Indonesia yakni Teman Duduk dan<br />

Kawan Bergelut yang masing-masing terbit tahun<br />

1936 dan 1938. Namun rintisan yang dilakukan<br />

oleh kedua pengarang tersebut tidak mampu<br />

meletakkan dasar penulisan cerita pendek yang<br />

mentradisi sesuai dengan perkembangan dan<br />

tradisi penulisan cerita pendek Indonesia sampai<br />

saat ini. Hal ini menurut para pengamat karena<br />

kedua pengarang tersebut sebenarnya beranjak dari<br />

tradisi lisan cerita-cerita penglipur lara yang hanya<br />

mengajak para pendengarnya tertawa ngakak tanpa<br />

tujuan-tujuan lain. Oleh karena itulah rintisan<br />

kedua pengarang tersebut disimpulkan sebagai<br />

menyambung tradisi cerita rakyat lisan yang<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Haris Sutan Lubis<br />

memang berbeda dengan sifat penulisan cerita<br />

pendek yang tumbuh dan berkembang di belahan<br />

Barat, dan yang kemudian mengalir ke Indonesia.<br />

Di samping itu menurut Ajip Rosidi<br />

bahwa baik M. Kasim maupun Suman Hs, tatkala<br />

menulis cerita-ceritanya itu tidak sadar bahwa<br />

dirinya memang untuk penciptaan kesusasteraan<br />

terutama bentuk cerpen. Yang mendorong mereka<br />

berdua menulis lebih banyak kehendak serta<br />

keinginan berlelucon yang begitu saja mengajak<br />

para pembaca tertawa, daripada mengajak para<br />

pembaca secara sadar menukik ke dasar hidup dan<br />

penghidupan manusia dan masyarakat.<br />

Dalam konteks penulisan dan<br />

perkembangan cerita pendek di Indonesia, maka<br />

sejarah peletakan dasar tradisi penulisan cerita<br />

pendek tersebut sebenarnya dimulai oleh Hamka,<br />

Idrus, dan Armijn Pane, yang melepaskan tali<br />

penghubung dengan cerita rakyat tradisional, dan<br />

memulai penulisan cerita rakyat menurut konsep<br />

Barat. Kalau Hamka dan Idrus dikenal banyak<br />

menulis cerita yang memiliki orientasi sosial,<br />

maka Armijn melakukan kecenderungan dalam<br />

persoalan-persoalan psikologis tokoh-tokohnya.<br />

Maka dengan melihat kenyataan yang ada<br />

sekarang dapat disimpulkan bahwa tradisi<br />

penulisan cerita pendek yang terus berlangsung<br />

dan berkembang adalah pengembangan dari apa<br />

yang dilakukan oleh Hamka, Idrus, dan Armijn,<br />

yakni mengetengahkan masalah-masalah sosial<br />

kemasyarakatan zamannya. Sedangkan tradisi<br />

penulisan sebagaimana dilakukan oleh M. Kasim<br />

dan Suman Hs, yang beranjak dari tradisi cerita<br />

rakyat tradisional telah lama berhenti tanpa<br />

kelihatan lagi kesinambungannya. Maka semakin<br />

kuatlah anggapan dan dasar pijakan bahwa tradisi<br />

penulisan cerita pendek Indonesia sebenarnya<br />

dimulai sekitar awal tahun 1940-an.<br />

Prosa yang ditulis oleh Willem Iskander<br />

dalam Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk<br />

berjumlah sepuluh, satu di antaranya berbentuk<br />

dialog, dapat dikategorikan sebagai bentuk drama<br />

(mini). Keseluruhan prosa yang diciptakannya itu<br />

pun diperkirakan ditulisnya disekitar tahun 1860-<br />

an. Karena menurut keterangan yang diperoleh<br />

bahwa buku kumpulan puisi dan prosa itu dicetak<br />

untuk pertamakalinya tahun 1872 di Batavia. Oleh<br />

karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa prosaprosa<br />

itu diciptakannya 75 tahun sebelum<br />

kesusasteraan Indonesia mengenal bentuk cerpen<br />

sebagai pengaruh keberadaan kesusasteraan Barat.<br />

Oleh karena itulah, uraian ini nantinya akan<br />

melihat pembaharuan yang dilakukan Willem<br />

Iskander dalam hal ini penciptaan prosa, meskipun<br />

tidak kreatifitasnya itu dilakukannya jauh sebelum<br />

kesusasteraan Indonesia memasuki era modernisasi<br />

cerita pendek, dan untuk melihat pembaharuannya<br />

Halaman 21<br />

Modernisasi pada Bentuk dan Tema dalam<br />

Prosa-Prosa Willem Iskandar (1840 –1876)<br />

tersebut, telaah akan dilakukan dari segi tema dan<br />

isi cerita, unsur dan struktur, serta bahasanya.<br />

Sudah lazim dalam dunia karang<br />

mengarang bahwa hal pokok dan sangat mendasar<br />

untuk memulai sebuah tulisan ialah<br />

mempersiapkan dan menetapkan sebuah tema,<br />

meskipun sering kali masalah dasar itu hanya<br />

dibangun dalam hati dan pikiran setiap pengarang.<br />

Sebuah tema bagi seorang pengarang akan sangat<br />

banyak membantu dalam mengembangkan<br />

imajinasi dan ide-ide untuk disampaikan kepada<br />

khalayak. Sebagaimana dikatakan oleh Budi<br />

Dharma (Eneste 1983: 264) bahwa yang<br />

diperjuangkan setiap pengarang pada hakikatnya<br />

adalah tema. Dari tema itu pulalah nantinya akan<br />

dilihat isi cerita tersebut sesuai dengan<br />

perkembangan imajinasi dan pikiran yang<br />

diruntunkan oleh Willem Iskander.<br />

Cerita pertama yang berjudul, “Sada Alak<br />

Pulon Ta On Na Mabiar Di Ahaila” (Seseorang<br />

dari Pulau Kita Ini yang Takut Malu). Dari<br />

judulnya saja dapat dipahami bahwa seseorang<br />

pada dasarnya selalu takut untuk berbuat sesuatu<br />

yang memalukan. Untuk menghindari perbuatan<br />

malu tersebut sangat dibutuhkan suatu tindakan<br />

yang berani, tegas, dan penuh tanggung jawab.<br />

Tema dari cerita pertama ini ialah<br />

pertanggungjawaban terhadap tugas yang diemban<br />

setiap orang. Cerita tersebut mengisahkan sikap<br />

yang diambil oleh seorang putra raja ketika<br />

menerima tugas harus menemani seorang kontelir<br />

yang berburu ke hutan. Pada waktu perburuan<br />

sedang berlangsung, tiba-tiba seekor babi hutan<br />

yang ganas menyongsong sang kontelir Belanda.<br />

Melihat keadaan yang membahayakan itu, sang<br />

kontelir pun menembakkan senapangnya ke arah<br />

babi hutan hingga seluruh pelurunya habis sia-sia<br />

tanpa dapat mematikan babi yang terus<br />

menyongsong kontelir dengan ganasnya. Melihat<br />

keadaan benar-benar genitng, putra raja yang<br />

hanya bersenjatakan sebilah keris, secepat kilat<br />

meleset menebas babi hutan dan babi itu pun mati.<br />

Dengan rasa kagum melihat keberanian dan<br />

kecekatan putra raja, kontelir akhirnya<br />

memberikan senjata itu sebagai hadiah.<br />

Dari cerita dapat dilihat betapa tanggung<br />

jawab merupakan sesuatu yang harus dijunjung<br />

tinggi apabila seseorang ditugaskan melakukan<br />

suatu pekerjaan. Di samping itu, cerita tersebut<br />

pun memberikan gambaran bahwa Willem<br />

Iskander ingin memperlihatkan kepada bangsa<br />

Belanda bahwa putra Indonesia memiliki harga diri<br />

yang boleh dipertaruhkan dengan nyawa sekalipun,<br />

daripada harus menanggung malu dan membuat<br />

kekeliruan dengan tidak bisa mengemban tugas<br />

yang telah dipercayakan kepadanya.<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 22<br />

❏ Haris Sutan Lubis<br />

Cerita yang kedua berjudul, “Amamate ni<br />

Alak na Lidang” (Meninggalnya Orang yang<br />

Jujur) memiliki tema keagamaan. Cerita ini<br />

mengisahkan kepasrahan seseorang yang selama<br />

ini dikenal sebagai sangat jujur, dalam menerima<br />

kematian yang memang pasti datang pada setiap<br />

makhluk Allah. Kepasrahan yang didasari oleh<br />

kekuatan iman sang tokoh sebagai manusia<br />

beragama, memperlihatkan betapa pentingnya<br />

setiap orang untuk bersyukur terhadap apa-apa<br />

yang sudah diperolehnya selama ini di dunia,<br />

termasuk usia dan anak yang bakal<br />

ditinggalkannya. Kepasrahan itu ditandai lagi oleh<br />

kesadaran dan keyakinan yang kuat yang dilandasi<br />

oleh iman bahwa kehidupan di akhirat itu akan<br />

lebih menyenangkan dibandingkan di dunia,<br />

apabila selama hidupnya manusia itu selalu ingat<br />

dan bertaqwa kepada Allah SWT. Melalui cerita<br />

ini juga Willem Iskander secara jelas dan tegas<br />

mengingatkan manusia untuk tetap takut kepada<br />

Allah SWT, takut dalam arti untuk menjalankan<br />

perintah-Nya agar kelak dapat dapat hidup<br />

bahagia. Maka jelaslah bahwa pesan agar setiap<br />

manusia itu mempertebal keimanannya merupakan<br />

sesuatu yang harus dilaksanakan untuk<br />

memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.<br />

Cerita yang ketiga berjudul, “Na Dangol<br />

Muda Na So Binoto” (Sedih Kalau Tak Tahu)<br />

bertemakan pendidikan. Cerita ini mengisahkan<br />

seorang raja dari pulau P yang pergi mengunjungi<br />

rumah seorang Asisten Residen Belanda. Sewaktu<br />

ia bertemu, di rumah itu pun sedang ada beberapa<br />

orang kulit putih yang sedang berbncang-bincang<br />

dengan Asisten Residen. Sebagaimana kebiasaan<br />

terhidanglah segelas teh panas menyambut sang<br />

raja yang baru duduk dan raja pulau P belum<br />

pernah mendapatkan suguhan seperti itu. Oleh<br />

karena itu, iapun mulai bingung memikirkan<br />

bagaimana caranya meminum teh panas tersebut.<br />

Dalam keadaan bingung dan malu untuk bertanya,<br />

maka diteguknya teh itu cepat-cepat. Melihat teh<br />

panas secepat itu direguk, sang pelayan pun<br />

kembali mengisikan minuman panas selanjutnya,<br />

karena mengira raja pulau P sangat haus. Raja<br />

pulau P yang melihat betapa cepatnya sang<br />

pelayanan mengisi kembali gelasnya, segera pula<br />

mereguk suguhan kedua tersebut, karena mengira<br />

memang begitulah aturan meminumnya. Kejadian<br />

itu berlangsung terus sampai tujuh gelas teh panas<br />

habis diteguk sang raja. Asisten Residen beserta<br />

kedua tamu menjadi bingung dan mereka berpikir<br />

betapa hausnya raja dari pulau P itu. Melihat itu<br />

sang raja minta ampun, sambil berkata, kalau<br />

memang raja pulau P telah berbuat kesalahan<br />

tolonglah diampuni dan kalau hendak dihukum<br />

tolonglah hukuman yang lain saja, karena perutnya<br />

sudah tak sanggup lagi menampung bergelas-gelas<br />

Modernisasi pada Bentuk dan Tema dalam<br />

Prosa-Prosa Willem Iskandar (1840 –1876)<br />

air panas. Mendengar komentar itu, tak<br />

tertahankan lagi bagi sang Asisten Residen, kedua<br />

tamu dan pelayannya untuk tertawa terbahakbahak.<br />

Setelah mengetahui kesalahpahaman yang<br />

terjadi, sang Asisten Residen pun menjelaskan itu<br />

bukanlah hukuman, namun untuk melarang raja<br />

meminum dengan cara begitu, sang Asisten takut<br />

kalau-kalau raja akan malu.<br />

Dari paparan itu dapat dilihat betapa<br />

sesatnya orang yang tidak tahu cara-cara bertamu<br />

dan berjamu. Oleh karena itu setiap sesuatu yang<br />

belum diketahui sebaiknya dipertanyakan dulu<br />

tanpa harus merasa malu untuk mengakui bahwa<br />

kita memang belum mengetahuinya. Di samping<br />

itu, melalui cerita ini Willem Iskander<br />

kelihatannya ingin menyindir pola hidup kaum<br />

bangsawan dulu yang kurang memperlihakan<br />

betapa pentingnya pendidikan itu, seperti<br />

mengetahui etika/tata pergaulan.<br />

Cerita yang keempat berjudul, “Pidong<br />

Garudo Bosar” (Burung Garuda Besar) memiliki<br />

tema rasa tanggung jawab sesama makhluk. Cerita<br />

yang mengambil lokasi di daerah Eropa ini<br />

mengisahkan tiga orang abang beradik yang ingin<br />

mengambil burung garuda yang bersarang di<br />

lembah yang sangat curam. Usaha mengambil<br />

anak burung garuda ini ternyata mendapat<br />

perlawanan yang berarti dari induknya dan burung<br />

garuda lainnya, karena memang burung juga<br />

memiliki naluri untuk menjaga keselamatan anakanaknya<br />

serta sesamanya. Hal itulah yang<br />

digambarkan Willem Iskander melalui cerita<br />

keempat ini yang hampir mengakibatkan kematian<br />

ketiga anak tersebut dari serangan burung garuda<br />

dan kawan-kawannya.<br />

Cerita kelima dan keenam merupakan<br />

cerita yang bersambung yang berjudul, “Tiruan ni<br />

Olong Ni Roa Marangka Maranggi” (Contoh<br />

Kasih Sayang yang Bersaudara). Jelaslah temanya<br />

merupakan rasa kasih sayang sesama saudara.<br />

Cerita ini juga mengambil lokasi di Eropa dan<br />

menuju India. Ketegaran kasih sayang ini<br />

digambarkan ketika kandasnya sebuah kapal layar<br />

yang membawa beratus orang penumpang. Untuk<br />

menyelamatkan diri setelah kapal itu pecah, maka<br />

kapten kapal memerintahkan agar setiap sekoci<br />

yang tersedia dimuat dengan sembilan belas orang.<br />

Namun keselamatan sekoci ini pun pada akhirnya<br />

tidak dapat dijamin, karena sudah mulai<br />

kekurangan bahan makanan, dan biasanya hanya<br />

dipersiapkan untuk empat orang penumpang. Maka<br />

diadakanlah perembukan dan akibatnya beberapa<br />

orang harus dijatuhkan ke laut. Ternyata di antara<br />

yang harus dibuang itu terdapat seorang lelaki<br />

yang memiliki seorang adik yang juga berada<br />

dalam sekoci dan tidak ikut untuk dibuang ke laut.<br />

Mengetahui sang abang akan dijadikan korban,<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Haris Sutan Lubis<br />

sang adik dengan perasaan kasih sayang meminta<br />

agar ia saja yang menggantikan abangnya dengan<br />

alasan bahwa abangnya itu sudah berkeluarga, oleh<br />

karena itu harus memelihara kehidupan anak dan<br />

isterinya lagi. Melihat pengorbanan adiknyayang<br />

tulus itu, sang abang akhirnya merasa harus<br />

menghargai dan membuktikan kasih sayangnya.<br />

Maka dengan alasan sang adik nantinya akan<br />

menggantikan kedudukannya sebagai kepala<br />

keluarga bagi anaknya, sang abang pun tetap<br />

berkeras hati untuk mencebur ke laut. Ketika<br />

hendak ia melompat, tiba-tiba saja sang adik<br />

mencegah dan seceapatnya mencebur ke laut.<br />

Rupanya sang adik seorang yang sangat mahir<br />

berenang, maka dengan usaha yang gigih, sang<br />

adik terus saja berenang mengikuti sekoci,<br />

meskipun beberapa kali ditolong oleh sebuah kapal<br />

yang berlayar menuju India.<br />

Cerita ketujuh dan kedelapanan berjudul,<br />

“Na Binuat Tingon Barita ni Tuan Colombus”<br />

(Yang Diambil dari Cerita Tuan Colombus)<br />

merupakan juga dua cerita yang bersambungan<br />

yang menceritakan kisah perjalanan Colombus, si<br />

penemu benua Amerika. Cerita yang bertemakan<br />

manfaat ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan umat<br />

manusia ini mengisahkan keunggulan Colombus<br />

memanfaatkan perhitungan berdasarkan ilmu<br />

astronomi.<br />

Cerita yang kesembilan yang berjudul, “Si<br />

Baroar”, merupakan sebuah legenda Mandailing<br />

yang bertemakan, siapa yang melakukan/<br />

meniatkan kejahatan terhadap orang lain, biasanya<br />

orang itulah yang akan menemui celakanya. Cerita<br />

ini mengisahkan usaha pembunuhan yang<br />

direncanakan Raja Hutabargot Sutan Pulungan<br />

terhadap Si Baroar, dengan cara menjerumuskannya<br />

ke dalam sebuah lobang yang dipersiapkan.<br />

Namun sialnya ternyata anak Sutan Pulungan<br />

sendirilah yang menjadi korbannya, karena adanya<br />

kesalahpahaman.<br />

Demikianlah telah diuraikan tema dan<br />

gambaran isi mengenai kesembilan prosa Willem<br />

Iskander tersebut. Kesembilan cerita itu pada<br />

dasarnya menitikberatkan pesan pada masalah<br />

pendidikan moral, keagamaan, kemanusiaan,<br />

kepahlawanan, dan ilmu pengetahuan.<br />

Dengan menyimpulkan tema-tema yang<br />

diangkat oleh Willem Iskander melalui cerita<br />

tersebut dapat dilihat bahwa wawasan serta<br />

orientasi ide yang ditampilkannya benar-benar<br />

telah meninggalkan pandangan dan pola pikir<br />

masyarakat tradisional dalam konteks cipta sastra,<br />

sebagai salah satu tindak komunikasi dan<br />

kreatifitasnya dalam tradisi kesusasteraan daerah<br />

se Indonesia. Kalau dibandingkan dengan masalahmasalah<br />

yang diangkat oleh pengarang sezaman<br />

kesusasteraan Indonesia modern, maka apa yang<br />

Halaman 23<br />

Modernisasi pada Bentuk dan Tema dalam<br />

Prosa-Prosa Willem Iskandar (1840 –1876)<br />

dilakukan oleh Willem Iskander sebenarnya dapat<br />

mengikuti kesejajaran dari segi tema dan isinya.<br />

Apabila ditinjau unsur-unsur yang<br />

terdapat di dalam kesembilan cerita Willem<br />

Iskander tersebut, maka hampir seluruh unsur<br />

cerita pendek ada di dalamnya, sehingga sangat<br />

berhasil membentuk bagan suatu cerita pendek<br />

sebagaimana dikenal kemudian di dalam<br />

kesusastraan Indonesia modern.<br />

Pada unsur plot, dapat dilihat bagaimana<br />

Willem Iskander menyusun cara penceritaannya<br />

yang dimulai dari pelukisan keadaan (situation),<br />

keterkaitan peristiwa (generating circumtances)<br />

menuju kepada keadaan-keadaan terutama tertentu<br />

yang cukup memuncak (rising action), baru<br />

kemudian ke arah klimaks, dan diakhiri dengan<br />

penyelesaian ceritanya. Kalau diperhatikan secara<br />

seksama kesembilan cerita tersebut, maka secara<br />

konvensional Willem Iskander memakai hampir<br />

semua babakan yang dimaksud.<br />

Unsur karakter dan tokoh sebagaimana<br />

dapat diikuti melalui cerita yang dibangunnya<br />

dapat pula dilihat melalui penggambaran sikap<br />

secara psikologis, yang ditemui pada setiap tokoh<br />

utama yang ditampilkan. Memang penggambaran<br />

karakter tersebut tidaklah setajam dan selengkap<br />

sebagaimana dapat ditemui dalam cerpen-cerpen<br />

modern Indonesia dewasa ini. Namun pengertian<br />

besar dapat memperlihatkan sikap dan tindakan<br />

para tokoh yang ditampilkannya dapatlah dipahami<br />

dan dimaklumi sebagai upaya pengenal tokoh<br />

kepada khalayak pembaca, yang salah satu<br />

tujuannya ialah untuk mengidentifikasikan ataupun<br />

penyejajaran tokoh dengan pembaca, agar<br />

pembaca merasa terlibat ke dalam cerita tersebut.<br />

Jelaslah bahwa semua cerita yang disampaikannya<br />

tetap memiliki tokoh sebagai pembaca cerita dan<br />

situasi.<br />

Sementara itu aspek hentakan-hentakan<br />

yang dilakukannya dalam setiap persoalan yang<br />

dikemukakannya melalui jalan cerita yang<br />

dibangunnya, juga mampu menjadikan daya pikat<br />

bagi pembaca, yang dalam cerita pendek sekarang<br />

dikenal dengan istilah suspens, yang bertujuan<br />

menarik perhatian pembaca untuk mengetahui<br />

lebih lanjut bagaimana cerita akan diperankan. Di<br />

samping itu Willem Iskander juga telah mampu<br />

mengajak pembaca untuk dapat membayangkan<br />

kajian yang dikemukakannya sehingga imajinasi<br />

pembaca akan selalu bermain-main ke arah yang<br />

dilukiskannya.<br />

Demikian pula dalam aspek keterlibatan<br />

pengarang dalam cerita tersebut, dalam arti dari<br />

mana pengarang berpijak untuk memulai cerita<br />

yang dipaparkannya (point of view). Sebagian<br />

besar cerita yang dikarangnya itu memakai cara<br />

‘orang ketiga’ (author-ominiscient) dengan<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 24<br />

❏ Haris Sutan Lubis<br />

mempergunakan tokoh (nama/sebutan orang<br />

ketiga), meskipun dalam salah satu ceritanya<br />

Willem Iskander hadir sebagai peninjau (authorobserver).<br />

Melalui unsur limited focus dan unity,<br />

Willem Iskander pun ternyata mampu membawa<br />

setiap pembaca yang baik kepada persoalan yang<br />

dikemukakannya tanpa harus membatasi<br />

perkembangan imajinasi pembaca. Pengarahan<br />

kepada titik penceritaan ini dilakukannya melalui<br />

keterkaitan sesama unsur yang ditampilkannya<br />

dalam membangun cerita-cerita yang ingin<br />

disampaikannya.<br />

Dengan tergambarnya semua unsur cerita<br />

pendek dalam setiap cerita yang dijalinnya, maka<br />

pengaruh yang kemudian nyata di hadapan<br />

pembaca ialah terbentuknya suatu struktur cerita<br />

yang pada dewasa ini dikenal sebagai cerita<br />

pendek. Padahal jelas bahwa bentuk cerpen pada<br />

masa tradisi kesusasteraan dengan berlangsung<br />

belumlah dikenal sama sekali khususnya di daerah<br />

Mandailing, Tapanuli Selatan dan daerah lainnya<br />

di seluruh (kini) Indonesia. Apalagi kalau ditinjau<br />

keseluruhan dari bangunan setiap cerita yang<br />

ditampilkannya itu, maka dapat dilihat konflikkonflik<br />

yang dihadapi tokoh mampu merangsang<br />

daya nalar kita untuk mengetahui konsepsi Willem<br />

Iskander mengenai kehidupan yang sebenarnya,<br />

baik mengenai hakikat kehidupan itu sendiri<br />

maupun hakikat ilmu pengetahuan, dan<br />

pandangannya mengenai kedudukan manusia<br />

dalam memandang kekuasaan Tuhan sebagai Yang<br />

Maha Besar.<br />

Unsur setting ternyata memiliki perhatian<br />

yang agak khusus pula bagi Willem Iskander. Tiga<br />

dari sembilan cerita itu mengambil tempat di dunia<br />

Barat, sekaligus tokoh-tokohnya. Kenyataan ini<br />

tentu saja sangat menarik perhatian, karena Willem<br />

Iskander pun dikenal hanya sebagai seorang<br />

sastrawan daerah Tapanuli Selatan. Namun<br />

meskipun sebagai seorang sastrawan daerah,<br />

ternyata wawasan pengetahuannya telah melewati<br />

dunia di luar daerahnya sendiri, dan merupakan<br />

indikasi keinginan Willem Iskander untuk turut<br />

membangun masyarakat bangsanya dengan<br />

kemampuan dan keunggulan ilmu pengetahuan<br />

yang memang telah lebih dahulu berkembang di<br />

wilayah Barat sana. Pemilihan setting dan tokoh<br />

yang bersumber dari dunia Barat itu mungkin<br />

dapat dipandang sebagai usaha atau pancingan<br />

Willem Iskander untuk merangsang masyarakat<br />

bangsanya agar berpikir lebih jauh dan luas lagi<br />

sampai ke benua asing, sebagai usaha mengejar<br />

ketertinggalan yang dialami selama ini. Oleh<br />

karena itu terasa wajar kalau setiap membaca<br />

cerita karangannya tersebut selalu ada kesan yang<br />

tertinggal, baik tentang kehidupan, ilmu<br />

Modernisasi pada Bentuk dan Tema dalam<br />

Prosa-Prosa Willem Iskandar (1840 –1876)<br />

pengetahuan, rasa kemanusiaan, maupun tentang<br />

keberadaan Tuhan sebagai Yang Maha.<br />

Aspek bahasa dalam cerita Willem<br />

Iskander ini hanya dibicarakan secara selintas dan<br />

sederhana saja, karena melalui aspek ini yang akan<br />

dilihat hanyalah strategi penggunaan jenis bahasa<br />

saja, sebagaimana empat jenis bahasa yang<br />

dimiliki masyarakat Mandailing, Tapanuli Selatan.<br />

Melalui bahasa, kebudayaan suatu bangsa<br />

dapat dibentuk, dibina, dan dikembangkan untuk<br />

dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya.<br />

Segala sesuatu yang berada di sekitar manusia,<br />

hanya mendapat tanggapan apabila dilakukan<br />

komunikasi secara tepat dan efektif melalui salah<br />

satu alatnya yakni bahasa. Susunan dan<br />

pengungkapan yang baik akan memudahkan<br />

komunikasi bejalan sesuai dengan tujuan<br />

penuturnya. Menurut Keraf (1980: 1) bahwa,<br />

komunikasi melalui bahasa akan memungkinkan<br />

tiap orang banyak menyesuaikan dirinya dengan<br />

lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya. Ia<br />

memungkinkan setiap orang untuk mempelajari<br />

kebiasaan adat-istiadat, kebudayaan serta latar<br />

belakangnya masing-masing. Dari penuturannya<br />

itu dapat dipahami betapa pentingnya bahasa<br />

tersebut sebagai alat komunikasi, karena memang<br />

sebagaimana dikatakan Keraf bahwa fungsi bahasa<br />

adalah untuk menyatakan ekspresi diri, alat<br />

komunikasi, alat untuk mengadakan kontrol sosial,<br />

alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi<br />

sosial.<br />

Apabila ditinjau bahasa yang<br />

dipergunakan Willem Iskander dalam<br />

menyampaikan cerita-ceritanya, maka dapat dilihat<br />

keempat fungsi bahasa sebagaimana dikemukakan<br />

Keraf tersebut tercakup di dalamnya. Kenyataan<br />

ini tak lain karena dalam menyampaikan idenya<br />

Willem Iskander mempergunakan ‘hata somal’<br />

yakni ragam sehari-hari yang digunakan oleh<br />

masyarakat Mandailing. Padahal sebenarnya dalam<br />

kesusasteraan daerah Mandailing dikenal satu<br />

ragam khas untuk kesusasteraan yakni ‘hata<br />

andung’ sebagaimana lazim digunakan dalam turiturian.<br />

Namun bagi Willem Iskander, penggunaan<br />

‘hata andung’ itu tidaklah tepat untuk cerita<br />

ataupun gagasan yang disampaikannya<br />

sebagaimana terkumpul dalam Si Bulus-Bulus Si<br />

Rumbuk-Rumbuk. Karena jika ragam ‘hata<br />

andung’ digunakannya maka fungsi bahasa<br />

sebagaimana diterapkan tadi tidak akan<br />

tercapai.Dengan demikian sasaran penulisan<br />

gagasannya pun akan mengalami hambatan, karena<br />

‘hata andung’ yang khas sastra ini hanya diketahui<br />

dan dimengerti oleh sebagian kecil masyarakat.<br />

Hal ini disebabkan ungkapan kata-katanya sangat<br />

jauh berbeda dengan ungkapan kata-kata seharihari.<br />

Jadi, dalam rangka mengkomunikasikan<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Haris Sutan Lubis<br />

pesan melalui cerita yang ditulisnya itu, Willem<br />

Iskander pun memanfaatkan ragam ‘hata somal’<br />

sebagai ragam yang paling mudah untuk<br />

dimengerti.<br />

Strategi ini jelas bertujuan untuk dapat<br />

memasyarakatkan pesan yang dikomunikasikannya<br />

itu secara lebih luas dan efektif. Selain berisi pesan<br />

ajaran-ajaran moral, cerita yang ditulisnya itu pun<br />

berisi kritik terhadap keberadaan kaum bangsawan<br />

pada masa itu, di samping untuk merangsang<br />

masyarakat bangsanya memberi perhatian kepada<br />

masalah keunggulan ilmu pengetahuan. Ternyata<br />

strategi yang dipakai Willem Iskander itu sangat<br />

berhasil. Salah satunya ialah, mampunya ceritacerita<br />

tersebut memasyarakatkan di kalangan<br />

orang-orang dewasa, padahal tujuan sebenarnya<br />

penulisan buku itu ialah untuk bahan bacaan anakanak<br />

sekolah dasar. Dalam hal ini bisa dilihat<br />

betapa cemerlangnya wawasan pemikiran Willem<br />

Iskander yang menyiapkan bahan bacaan/pelajaran<br />

bagi pendidikan dasar bangsanya (di Tapanuli<br />

Selatan), yang pada akhirnya ternyata mampu<br />

memberikan inspirasi bagi kaum pergerakan<br />

kebangsaan Tapanuli Selatan. Sebagai buku<br />

bacaan di sekolah, ternyata pula buku tersebut<br />

mampu bertahan selama 61 tahun, sebelum<br />

akhirnya dilarang beredar oleh pemerintah kolonial<br />

masa itu.<br />

Dengan demikian peranan pemakaian<br />

bahasa yang digunakan oleh Willem Iskander pun<br />

dapat memberi petunjuk betapa pandangan dan<br />

pemikiran beliau sangat jauh mendahului tradisi<br />

yang berlangsung di masa hidupnya di abad<br />

kesembilan belas yang lalu, terutama dihubungkan<br />

dengan konteks penulisan karya sastra.<br />

4. SIMPULAN<br />

Berdasarkan kajian terhadap prosa-prosa Willem<br />

Iskander ternyata memiliki kesamaan atau<br />

kesejajaran dengan bentuk cerpen yang eksis pada<br />

masa kesusasteraan Indonesia modern. Kesamaan<br />

dapat dilihat terutama dari segi bentuk dan tema<br />

Halaman 25<br />

Modernisasi pada Bentuk dan Tema dalam<br />

Prosa-Prosa Willem Iskandar (1840 –1876)<br />

cerita yang diciptakannya (gagasan), struktur<br />

ceritanya dan pemakaian bahasanya. Tentu saja<br />

penelaahan ini masih jauh dari sempurna, karena<br />

beberapa aspek tertentu yang akan mengukuhkan<br />

prosa Willem Iskander tersebut sebagai bentuk<br />

cerpen secara lokal masih belum disinggung.<br />

Namun dari penguraian yang sederhana ini, tentu<br />

saja dapat diambil kesimpulan bahwa memang<br />

jiwa dan raga bentuk cerpen –sebagai produk<br />

sastra modern—sudah kelihatan dalam prosa-prosa<br />

ciptaan Willem Iskander.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Damono, Sapardi Djoko. 1981. Tifa Budaya.<br />

Jakarta: Leppenas.<br />

Eneste, Pamusuk (Ed). 1983. Cerpen Indonesia<br />

Mutakhir. Antologi Esei dan Kritik. Jakarta:<br />

Gramedia.<br />

Harapan, Basyral Hamidy. (Penerjemah). 2002. Si<br />

Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk. Jakarta:<br />

Sanggar Willem Iskander.<br />

Keraf, Gorys. 1980. Komposisi. Flores: Nusa<br />

Indah.<br />

Lubis, H. S. 1985. Willem Iskander Penyair<br />

Modern Mandailing Abad XIX. (Skripsi).<br />

Fakultas Sastra USU Medan.<br />

Lubis, Mochtar. 1981. Teknik Mengarang. Jakarta:<br />

Kurnia Esa.<br />

Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia<br />

Beberapa Masalah Penelitian dan<br />

Pengembangannya. Jakarta: Balai Pustaka.<br />

Usman, Zuber. 1963. Kesusasteraan Lama<br />

Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 26<br />

❏ Yundi Fitrah<br />

Warna Lokal Batak Angkola dalam<br />

<strong>No</strong>vel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar<br />

WARNA LOKAL BATAK ANGKOLA<br />

DALAM NOVEL AZAB DAN SENGSARA KARYA MERARI SIREGAR<br />

Yundi Fitrah<br />

PBS FKIP <strong>Universitas</strong> Jambi<br />

Abstract<br />

This writing tells about the variation of Bataknese cultural of Angkola on torture and misery<br />

novel. Since Indonesia literature was born. The variation of culture always enriches it. The<br />

variation of culture especially visible novel Azab dan Sengsara work in Merari Siregar of<br />

Batak Angkola. The variation of Bataknese culture of Angkola on the novel, such as position<br />

of clan and the system of arrangement, tradition of martandang (visiting to girl’s house),<br />

belief to native doctor and soul of human being that was die, and the system of division of<br />

belongings.<br />

Key words: Bataknese culture of Angkola, Azab dan Sengsara novel<br />

1. PENDAHULUAN<br />

1.1 Latar Belakang<br />

Sejak awal kelahiran, pertumbuhan, dan<br />

perkembangan sastra Indonesia selalu ditandai<br />

dengan warna lokal. Warna lokal dalam sastra<br />

Melayu-Indonesia dimulai warna lokal Jawa,<br />

seperti Raja Paragon (1844), Bali, Purwa Carita<br />

Bali (1875), Betawi, Nyai Dasima (1896), Melayu,<br />

Hikayat Abdullah (akhir Abad ke–19 -yang ditulis<br />

dalam bahasa Melayu–Rendah-), Sunda, Angling<br />

Darma (1907), Batak Angkola 1) , Azab dan<br />

Sengsara (1921), Minangkabau, Siti Nurbaya<br />

(1922), dan seterusnya yang ditulis dalam bahasa<br />

Melayu–Tinggi.<br />

Adanya warna–warna lokal tersebut,<br />

membuktikan bahwa sastra Indonesia tidak<br />

terlepas sama sekali dengan kebudayaan<br />

tradisional. Para sastrawan umumnya masih<br />

menjaga, mempertahankan dan bahkan<br />

mengembangkan warna lokal. Penggunaan warna<br />

lokal akan dapat menghalangi gejala globalisasi.<br />

Sastrawan juga sadar dengan mengangkat nilai–<br />

nilai atau amanat-amanat lokal. akan dapat<br />

menjadikan suatu jawaban terhadap perubahanperubahan<br />

masyarakat karena dalam karya–karya<br />

yang diciptakan, terungkap dasar kebudayaan<br />

tradisional atau konflik nilai budaya dalam<br />

penghayatan manusia modern (Teeuw 1981 : 12 ).<br />

Oleh karena itu, menganalisis warna lokal adalah<br />

suatu yang menarik masa sekarang.<br />

Azab dan Sengsara (selanjutnya disingkat<br />

ADS) karya Merari Siregar adalah novel orisional<br />

pertama yang diterbitkan pada tahun 1921 oleh<br />

Balai Pustaka; lembaga penerbit Belanda. ADS<br />

berlatar sosial–budaya Batak Angkola (selanjutnya<br />

disingkat BA). ADS mengemukakan fakta-fakta<br />

tentang sistem pekawinan dengan cara paksa,<br />

peranan dan kedudukan marga, pengaturan harta<br />

warisan, adat-istiadat, dan tradisi-tradisi lainnya<br />

yang terdapat dalam masyarakat BA, khususnya<br />

daerah Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan.<br />

Untuk mengetahui apa, bagaimana, dan seberapa<br />

jauh gambaran warna lokal budaya BA dalam<br />

ADS, tulisan ini akan menguraikan secara rinci<br />

masalah-masalah tersebut.<br />

1.2 Metode, Teori, dan Pendekatan<br />

Tulisan ini adalah bersifat deskriptif-analitik.<br />

Metode yang digunakan adalah metode studi<br />

kepustakaan (library research). Artinya, data,<br />

sumber data dan alat untuk menganalis data<br />

semuanya bersumber dari buku-buku, majalah dan<br />

koran yang ada dalam koleksi perpustakaan. Data<br />

penelitian adalah novel Azab dan Sengsara karya<br />

Merari Siregar terbitan tahun 1993 oleh Balai<br />

Pustaka. Sumber data adalah hal-hal yang<br />

membuktikan warna lokal Batak Angkola berupa<br />

susunan bahasa; kata, kalimat atau paragraf yang<br />

terdapat dalam ADS, yang secara obyektifkualitatif<br />

menggambarkan warna lokal tersebut.<br />

Teori dan pendekatan yang digunakan<br />

adalah struktural-instrinsik; memandang karya<br />

sastra dalam hal ini juga novel sebagai suatu<br />

bangun struktur bahasa dan dapat didekati dari<br />

“unsur-unsur dalam” karya itu (Hudson 1963: 59;<br />

Wellek dan Austin 1997 : 45). Pendekatan inilah<br />

yang dijadikan sebagai alat menganalisis data<br />

untuk membuktikan konsep warna lokal BA yang<br />

digambarkan dalam novel ADS. Untuk<br />

menjelaskan konsep “warna lokal“, tulisan ini<br />

mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia<br />

(Moeliono 1988: 530). Dalam kamus ini diuraikan<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Yundi Fitrah<br />

bahwa kata “lokal“ berarti setempat, atau dibuat,<br />

tumbuh hidup, dan terdapat di suatu tempat.<br />

Penjelasannya, “Warna Lokal“ dapat berarti corak<br />

setempat, corak dibuat, dan corak yang tumbuh<br />

hidup, dan terdapat di suatu tempat.<br />

Selanjutnya, konsep “warna lokal” dalam<br />

Kamus Istilah Sastra (Zaidan 1991:125)<br />

dinyatakan, konsep “warna lokal” dalam “sastra<br />

lokal” tentu dalam ini juga “novel lokal” -karena<br />

novel adalah jenis sastra- di dalamnya dimuat<br />

dialek-dialek lokal, dan digambarkan masalahmasalah<br />

lokal. Artinya, penggambaran warna atau<br />

corak budaya lokal daerah (setempat). Berdasarkan<br />

rujukan tersebut, maka “warna lokal” yang<br />

dimaksudkan dalam tulisan ini adalah “warna<br />

lokal” BA; “warna lokal” BA setempat dan berada<br />

di dalam masyarakat budaya BA setempat, baik<br />

menggambarkan latar alam setempat maupun latar<br />

budaya setempat.<br />

Adapun langkah-langkah kerja yang<br />

dilakukan agar sampai pada pengungkapan<br />

masalah dalam tulisan ini adalah (1) membaca<br />

novel-novel Indonesia yang di dalamnya<br />

menggambarkan “warna lokal”, (2) menentukan<br />

konsep “warna lokal” budaya BA, (3) menerapkan<br />

konsep“warna lokal” BA, dan (4) membuktikan<br />

konsep “warna lokal” BA dalam novel Azab dan<br />

Sengsara.<br />

2. PEMBAHASAN DAN TEMUAN<br />

Masyarakat BA menduduki daerah Sipirok,<br />

Kabupaten Tapanuli 2) Selatan, <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>.<br />

Menurut Ichwan (1979 : 53), Batak dibagi atas<br />

beberapa golongan atau etnik; Karo-Batak, Pakpak-Batak,<br />

Angkola-Batak, dan lain-lain (Toba,<br />

Mandailing, dan Simalungun). Pembagian ini<br />

berdasarkan perbedaan susunan masyarakat atas<br />

beberapa kesatuan daerah yang dinamakan marga<br />

(kelompok keturunan). Marga-marga yang<br />

terdapat dalam masyarakat BA adalah: Siregar,<br />

Harahap, Pohan, Hasibuan, Hutasuhut, Daulae,<br />

Rambe, dan Pane. Masing-masing marga<br />

mempunyai peranan, kedudukan, dan berfungsi<br />

sebagai sistem pengaturan bermasyarakat dan<br />

berbudaya di daerah itu. Berikut ini uraian<br />

mengenai gambaran sistem masyarakat dan budaya<br />

daerah tersebut dalam novel ADS.<br />

2.1 Kedudukan Marga dan Sistem Pengaturannya<br />

Masyarakat BA khususnya orang Sipirok, marga<br />

adalah salah satu unsur penting dalam mengatur<br />

dan menjalankan adat-istiadat. Sebagai masyarakat<br />

yang mempunyai susunan kekeluargaan<br />

patrilineal, marga ditentukan menurut garis<br />

keturunan laki-laki (ayah). Artinya, apa marga<br />

pihak laki-laki yang sudah berkeluarga maka<br />

marga itulah yang diturunkan kepada anak, baik<br />

Halaman 27<br />

Warna Lokal Batak Angkola dalam<br />

<strong>No</strong>vel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar<br />

anak laki-laki (dalam bahasa BA disebut bayo)<br />

maupun anak perempuan (dalam bahasa BA<br />

disebut boru). Aturan ini digambarkan dalam ADS<br />

seperti berikut.<br />

Untuk menjelaskan adat-istiadat Batak, lebihlebih<br />

adat perkawinan, baiklah sekedar<br />

diterangkan, sekedar aturan-aturan yang harus<br />

diturut orang dalam perkawinan itu (hlm.<br />

125).<br />

Adapun masing-masing orang Batak<br />

mempunyai suku (marga). Seorang anak yang<br />

baru lahir beroleh marga Bapaknya. Marga<br />

itu ada bermacam-macam, misalnya di Luhan<br />

Sipirok, Siregar dan Harahap yang terbanyak,<br />

marga-marga lain ada pula umpamanya:<br />

Pane. Pohan, Sibuan (Hasibuan), dan lain-lain<br />

(hlm. 125).<br />

Oleh karena marga sangat berperan dan<br />

kedudukannya dalam masyarakat BA, maka untuk<br />

mencari calon istri atau calon suami harus<br />

ditanyakan terlebih dulu apa marga-nya, boru apa<br />

dia. Kawin se-marga dalam sistem masyarakat BA<br />

tidak dibenarkan dan dianggap melanggar adat,<br />

dan bahkan dapat dikeluarkan dari klan<br />

berdasarkan ketentuan adat. Kedudukan marga<br />

dinyatakan dalam kutipan berikut.<br />

Apakah marga-nya? Siapa orang tuanya?<br />

Tanya istrinya.<br />

Marganya Siregar, dan Bapaknya kepala<br />

kampung.<br />

Maka barang siapa yang hendak kawin,<br />

tidaklah boleh mengambil<br />

perempuan marga Siregar, meskipun mereka<br />

itu sudah jauh antaranya, artinya hanya nenek<br />

nenek moyang mereka itu, yang beratus tahun<br />

dahulu, yang bersaudara. Mereka itu tiada<br />

boleh mengambil-ambil dalam perkawinan,<br />

karena dilarang keras oleh adat. Akan tetapi<br />

anak muda marga Siregar boleh mengambil<br />

seorang anak perempuan marga Harahap,<br />

meskipun perkaumannya dengan anak gadis<br />

itu masih dekat, umpamanya senenek dengan<br />

dia. Artinya, nenek silaki pihak Ibu, nenek<br />

perempuan (hlm. 125-126).<br />

Dalam masyarakat BA, baik pemuda<br />

maupun pemudi tidak berhak mencari siapa yang<br />

menjadi pendamping hidupnya, dan tidak berhak<br />

pula menentukan siapa pasangan hidupnya. Yang<br />

berhak dalam menentukan siapa yang menjadi<br />

calon suami ataupun calon isteri adalah para orang<br />

tua. Hal ini dialami oleh Aminuddin sebagai tokoh<br />

utama dalam ADS, tidak dapat menentukan pilihan<br />

hatinya. Ia menuruti apa kehendak orang tua.<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 28<br />

❏ Yundi Fitrah<br />

Perasaannya terpaksa dijodohkan dengan orang<br />

yang tidak dicintainya. Perhatikan kutipan berikut.<br />

Oleh sebab itu haruslah anak itu menurut<br />

kehendak orang tuanya kalau ia hendak<br />

selamat di dunia. Itupun harapan Bapak dan<br />

Ibumu serta sekalian kaum-kaum kita anakku<br />

akan menurut permintaan kami itu, yakni<br />

anak Anda terimalah menantu Ayahanda<br />

yang kubawa ini?<br />

Meskipun Aminuddin mula-mula menolak<br />

perkataan itu, tetapi ada akhirnya terpaksalah<br />

ia menurut bujukan dan paksaan orang tua<br />

semua (hlm. 136).<br />

Sistem perkawinan yang ditentukan oleh<br />

orang tua, yang digambarkan dalam ADS, bukan<br />

hanya dialami oleh Aminuddin, akan tetapi juga<br />

dialami Mariamin. Mariamin dijodohkan dengan<br />

seorang pemuda yang tidak dicintainya. Dalam<br />

ADS digambarkan kedatangan seorang pemuda<br />

sebagai calon pendamping hidup yang sebenarnya<br />

tidak ia sukai. Oleh karena adat yang berlaku dan<br />

kepatuan terhadap orang tua, maka ia pun rela<br />

menerima seorang pemuda yang datang dari<br />

Padang Sidempuan yang sama sekali tidak dikenal,<br />

dan tidak dicintainya, dan harus menjadi jodoh<br />

baginya (hlm. 145).<br />

Adat-istiadat BA yang ketat dalam<br />

mengatur sistem perkawinan dengan cara paksa<br />

yang harus berdasarkan kehendak orang tua,<br />

sebenarnya dapat menjadikan perkawinan itu tidak<br />

bahagia dan berakibat buruk terhadap manusia.<br />

Selain itu, juga bertentangan dengan norma-norma<br />

kemanusiaan lebih-lebih kaidah-kaidah agama<br />

khususnya agama Islam yang kebanyakan dalam<br />

masyarakat BA, apalagi pemuda pemudi yang<br />

dikawinkan itu juga masih tergolong muda yang<br />

belum matang dari segi pemikiran. Oleh karena<br />

itu, kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat BA<br />

tersebut, harus dihilangkan dan jangan dilakukan<br />

lagi. Pemikiran terhadap upaya menghilangkan<br />

sistem perkawinan atas dasar kehendak para orang<br />

tua itu digambarkan dalam ADS pada kutipan<br />

berikut.<br />

Nyata sekarang betapa berbahayanya<br />

perkawinan yang dipaksakan itu, yang tiada<br />

disertai kasih keduanya.<br />

Maka jadi kewajibanlah bagi tiap–tiap orang<br />

yang tahu akan membuangkan adat itu dan<br />

kebiasaaan yang mendatangkan kecelakaan<br />

kepada manusia itu. Bukankah perkawinan<br />

yang lekas–lekas itu membinasakan<br />

perempuan? Ia dikawinkan oleh orang tuanya<br />

dengan orang yang disukainya (hlm.67 )<br />

Warna Lokal Batak Angkola dalam<br />

<strong>No</strong>vel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar<br />

Dari kutipan di atas, secara tersirat<br />

pengarang mengamanatkan kepada pembaca<br />

bahwa dalam ADS ada upaya menentang sistem<br />

perkawinan dengan cara paksa. Oleh karena itu<br />

bukan mustahil, perkawinan dengan cara paksa<br />

akan mengakibatkan perceraian dan bahkan akan<br />

terjadi penyesalan seumur hidup terutama terhadap<br />

orang tua. Hal ini dialami Mariamin yang<br />

perkawinanya tidak didasari cinta, ia dijodohkan<br />

dengan orang yang tidak disukainya... karena<br />

kawin paksa yang tidak merasakan berkasih–<br />

kasihan, akhirnya bercerai dan seumur hidupnya<br />

menyesal kepada orang tuanya. Alasannya<br />

bukanlah sudah nyata, bahwa perkawinan dengan<br />

paksa tidaklah baik (hlm.115).<br />

Perlakuan kawin paksa yang dialami<br />

Aminuddin dengan orang yang tidak dicintainya<br />

adalah disebabkan sikap ayahnya, Baginda Diatas<br />

yang tidak setuju terhadap Mariamin. Perlakuan<br />

kawin paksa yang dialami Mariamin dengan orang<br />

lain, disebabkan tekanan ekonomi keluarga. Ia<br />

dikawinkan dengan Kasibun seorang pegawai<br />

perkebunan yang sedang bertugas di Medan. Jadi,<br />

baik yang disebabkan oleh ketidaksetujuan pihak<br />

orang tua terhadap orang tertentu, maupun yang<br />

disebabkan oleh tekanan ekonomi, sebenarkan<br />

perkawinan dengan cara paksa adalah suatu<br />

kebiasaan budaya yang tidak baik. Tidak baik<br />

dalam pandangan kemanusian dan tidak baik pula<br />

dalam prinsip-prinsip keagamaan.<br />

Mengamati sikap Ayah Aminuddin,<br />

Baginda Diatas terhadap Mariamin, sebenarnya<br />

telah menyalahi adat-istiadat masyarakat BA.<br />

Sebab hubungan yang dibina antara Aminuddin<br />

dengan Mariamin bukanlah hubungan cinta-birahi,<br />

dan bukan pula hubungan se-marga yang memang<br />

tidak dibolehkan dalam masyarakat BA, akan<br />

tetapi hubungan yang didasari oleh kekeluargaan.<br />

Dalam adat masyarakat BA, Aminuddin<br />

memanggil Mariamin adalah Boru Tulang (anak<br />

perempuan dari saudara laki-laki pihak Ibu),<br />

sementara Mariamin memanggil Aminuddin<br />

adalah Anak Namboru (anak laki-laki dari Saudara<br />

perempuan pihak Ayah). Kalau mengacu pada<br />

ketentuan adat yang berlaku dalam masyarakat<br />

BA, tentu tidak boleh para orang tua<br />

menggagalkan hubungan mereka, bahkan<br />

mengharuskan ke jenjang perkawinan, yakni<br />

disebut dengan perkawinan manyonduti<br />

(perkawinan kembali ke pangkal keluarga). Tujuan<br />

perkawinan seperti ini adalah memperkuat tali<br />

kekerabatan. Kutipan berikut dinyatakan ketentuan<br />

adat istiadat tersebut.<br />

Hubungan kedua itu bertali, yakni Ibu<br />

Aminuddin Adik kandung Sultan Baringin.<br />

Jadi Aminuddin memanggil Sultan Baringin,<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Yundi Fitrah<br />

Tulang (artinya Mamak, Paman) dan kepada<br />

Ibu Mariamin Nantulang (artinya Inang<br />

Tulang = istri mamak ) menurut adat orang<br />

negeri itu (Tapanuli Selatan) seharusnyalah<br />

Aminuddin menyebutkan Mariamin Adik<br />

(Anggi dalam bahasa BA) dan perkawinan<br />

antara dua anak muda yang serupa itu amat<br />

disukai orang tua kedua belah pihak. Tali<br />

perkauman bertambah kuat (hlm.33)<br />

Seperti yang dinyatakan dalam kutipan di<br />

atas, adat-istiadat masyarakat BA dikenal dengan<br />

istilah exomi dan unilateral (Ichwan, 1979:53),<br />

artinya perkawinan di luar suku (bukan se-marga),<br />

akan tetapi masih dalam keluarga dekat. Jadi, apa<br />

yang dilakukan Aminuddin dan Mariamin adalah<br />

sesuatu yang sesuai dengan adat istiadat<br />

masyarakat BA dalam meneruskan tali<br />

kekerabatan dengan perkawinan di luar suku.<br />

Dinyatakan seperti itu, sebab marga Aminuddin<br />

adalah Siregar (Bayo Regar, dalam bahasa BA<br />

diistilahkan Bayo Enggan) sedangkan marga<br />

Mariamin adalah Harahap (Boru Harahap, dalam<br />

bahasa BA diistilahkan juga Boru Angin).<br />

Mengenai kawin paksa yang masingmasing<br />

dialami Aminuddin dan Mariamin adalah<br />

sudah lama menjadi kebiasaan bagi masyarakat<br />

BA. Dalam ADS digambarkan juga bahwa orang<br />

tua Mariamin, Nuria juga secara paksa dikawinkan<br />

dengan Sultan Baringin, orang yang sama sekali<br />

tidak dicintainya. (hlm.69) Jadi, tradisi yang<br />

dilakukan tersebut sudah turun-tenurun, sejak dari<br />

Nenek, Ibu, dan sampai kepada anak.<br />

2.2 Tradisi Martandang<br />

Martandang 3) adalah kunjungan pemuda ke rumah<br />

(tempat di mana saja) pemudi baik sebagai teman<br />

biasa maupun sudah menjadi kekasih baginya.<br />

Dalam pergaulan pemuda-pemudi, martandang ini<br />

sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat BA baik<br />

dulu dan juga sekarang. Kebiasaan seperti ini<br />

mengisyaratkan bagi pemuda-pemudi agar dapat<br />

berkenalan dengan baik dan dapat pula memilih<br />

calon teman hidup masing–masing. Seperti yang<br />

digambarkan dalam ADS, ketika Aminuddin<br />

sedang mendatangi Mariamin.<br />

Ah rupanya hari sudah malam.dan tadi saya<br />

menunggu angkang 4) , sahut gadis itu seraya<br />

berdiri dari batu besar itu. biasa tempat ia<br />

duduk pada waktu petang. Marilah kita naik<br />

(hlm.13).<br />

Kedua orang itu berhadap-hadapan di tempat<br />

sunyi itu. Seorang pun tiada yang bercakap<br />

masing–masing terpekur memikirkan nasib<br />

persahatan mereka itu. (hlm.15).<br />

Halaman 29<br />

Warna Lokal Batak Angkola dalam<br />

<strong>No</strong>vel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar<br />

Meskipun martandang sudah menjadi<br />

trdisi bagi masyarakat BA dan pemuda–pemudi<br />

dibenarkan mendatangi rumah calon pasangan<br />

hidupnya, akan tetapi para orang tua selalu<br />

memberikan pengawasan yang ketat kepada anakanaknya.<br />

Karena seperti apapun dekatnya<br />

hubungan antara pemuda-pemudi dalam bergaul<br />

melalui yang disebut martandang, masalah jodoh<br />

harus orang tua yang memberikan pertimbangan<br />

dan keputusan. Dalam ADS digambarkan ada dua<br />

tokoh; Nuria (Ibu Mariamin) yang pernah<br />

didatangi terus-menerus Sutan Baringin, dan Riam<br />

(Mariamin) yang juga didatangi oleh Aminuddin,<br />

akan tetapi tokoh Aminuddin memperoleh<br />

pengawasan yang ketat dari Ayahnya. (hlm. 115)<br />

Kebiasaan kawin paksa dalam masyarakat<br />

BA (seperti diuraikan dalam 2.1) adalah<br />

disebabkan peranan orang tua yang banyak<br />

memiliki pertimbangan terhadap calon<br />

menantunya. Seperti Aminuddin yang tidak<br />

disetujui Ayahnya menjadikan Mariamin sebagai<br />

calon menantu, karena status ekonomi rendah<br />

(miskin). Jika dicermati, yang menjadi penyebab<br />

timbulnya sikap seperti ini dalam masyarakat BA<br />

adalah pengaruh pola pikir yang datang dari<br />

Barat 5) ; yang memandang semuanya berdasarkan<br />

materi. Pada mulanya para orang tua dalam<br />

masyarakat BA tidak pernah memiliki sikap<br />

demikian, kalau pun ada kebiasaan kawin paksa,<br />

biasanya berdasarkan calon menantu yang<br />

diinginkan dan memiliki kepribadian baik. Tanpa<br />

alasan itu, sebenarnya tidak ada alasan lainnya.<br />

Hal inilah yang secara tegas digambarkan dalam<br />

ADS, Nuria menyetujui Aminuddin sebagai calon<br />

pendamping hidup Mariamin karena sejak kecil ia<br />

mengetahui perangai Aminuddin dan ia golongan<br />

anak yang baik–baik (hlm.115).<br />

2.3 Kepercayaan terhadap Dukun dan Arwah<br />

Manusia yang Meninggal<br />

Dalam kebiasaan sehari–hari masyarakat BA, ada<br />

suatu kepercayaan apabila seseorang mengalami<br />

masalah, sebelum melaksanakan suatu pekerjaan,<br />

mendirikan rumah atau lain–lain terlebih dahulu<br />

mendatangi datu (dukun). Hal ini bertujuan untuk<br />

meminta nasehat atau petunjuk agar pekerjaan<br />

yang akan dilakukan bisa berjalan dengan aman.<br />

Dalam ADS digambarkan sikap kepercayaan<br />

terhadap dukun, seperti yang dilakukan oleh orang<br />

tua Aminuddin ketika mereka berbeda pendapat<br />

mengenai Mariamin, jika dijadikan menantu.<br />

Perhatikan kutipan berikut.<br />

Kamu mengatakan Mariamin juga yang baik<br />

menantu kita pergi mendapatkan Datu<br />

Naserdung, akan bertanyakan untung dan<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 30<br />

❏ Yundi Fitrah<br />

rezeki Aminuddin, bila ia beristirahat<br />

Mariamin“<br />

Pada keesokan harinya pergilah kedua laki–<br />

laki itu membawa nasi bungkus ke rumah.<br />

Datu itu. Setelah habis makan mereka itupun<br />

yang laki–laki dan orang tuanya, nama anak<br />

gadis itu serta orang tuanya pula. Kemenyan<br />

pun dibakarlah, sehingga rumah itu penuh<br />

dengan asap dan bau kemenyan.<br />

Beberapa lama dukun itu mengangguk–<br />

anggukkan kepalanya perlahan–lahan serta<br />

berbisik–bisik membaca doa dan mantera.<br />

Kemudian ia membuka buku yang terletak di<br />

bawah perdupaan itu, lalu dibacanya ayat<br />

yang ditulis didalamnya.<br />

Maksudnya itu kurang baik. Awalnya laki–<br />

laki selamat dan beruntung. Lepas dua tahun,<br />

lahir seaorang anak laki–laki, tetapi baru–baru<br />

ia berusia tujuh tahun, anaknya meninggal<br />

dunia. Kata datu itu lambat– lambat tetapi<br />

terang dan nyatanya suara” (hlm. 123).<br />

Katika memulai suatu pekerjaan biasanya<br />

masyarakat BA harus terlebih dulu menemui<br />

dukun untuk mengetahui hari dan waktu yang baik<br />

atau waktu yang buruk (mambawa sial), agar<br />

pekerjaan itu tidak mengalami gangguan.<br />

Kebiasaan ini digambarkan juga dalam ADS pada<br />

Ayah Aminuddin. Sebelum menjemput calon<br />

menantu yang akan dibawa ke Deli, terlebih dulu<br />

menentukan waktu yang tepat. Oleh karena itu, ia<br />

bertanya kepada dukun. Sebelum sampai pada<br />

masanya (menurut dukun), anak gadis dijemput<br />

dan di bawa ke rumah Aminuddin, supaya esok<br />

atau lusa berangkat ke Deli (hlm.128).<br />

Selain kebiasaan percaya kepada dukun,<br />

masyarakat BA juga percaya kepada arwah<br />

manusia yang telah meninggal khususnya arwah<br />

orang tua. Kepercayaan ini dikarenakan bahwa<br />

orang tua dianggap memiliki peranan dan sangat<br />

menentukan dalam keluarga. Biasanya apa saja<br />

yang dikatakan para orang tua selalu didengar dan<br />

dipatuhi anak-anaknya. Apabila orang tua<br />

meninggal, arwahnya dianggap masih berada di<br />

sekitar rumah. Itulah sebabnya kuburan orang yang<br />

meninggal perlu diziarahi, ditembok, dihiasi<br />

bagus-bagus dan kalau perlu diantar sesajen 6) ke<br />

kuburan itu. Kebiasaan ini adalah melambangkan<br />

penghargaan terhadap orang yang sudah<br />

meninggal. Dalam ADS digambarkan pada tokoh<br />

Mariamin. Sebelum Mariamin meninggalkan<br />

Sipirok menuju Medan, terlebih dahulu ia<br />

menziarahi kuburan Sutan Baringin. Perhatikan<br />

kutipan berikut.<br />

Mariamin telah bersedia meninggalkan<br />

Sipirok, menuju ke Medan tempat yang ramai<br />

Warna Lokal Batak Angkola dalam<br />

<strong>No</strong>vel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar<br />

itu. Waktunya berangkat pun sudah dekat …<br />

malam itu yakni malam Jum`at, pergilah si<br />

ibu dengan limau purut serta bunga- bungaan,<br />

pergi mengunjungi kuburan mendiang Sutan<br />

Baringin. Mariamin meletakkan cambung itu,<br />

lalu mereka itu duduk bersama–sama di sisi<br />

kubur itu” (hlm.146).<br />

Demikian pula dalam bersaudara harus selalu<br />

ramai, karena kalau terjadi pertengkaran,<br />

arwah yang sudah meninggal akan marah.<br />

Itupun haraplah adinda ini akan kemurahan<br />

kakanda eloklah kita berdamai, supaya<br />

semangat mendiang Nenek kita jangan gusar<br />

atas perbuatan kita itu (hlm. 94).<br />

Kepercayaan terhadap dukun dan arwah<br />

manusia yang telah meninggal sampai sekarang<br />

masih dilakukan masyarakat BA, meskipun agama<br />

Islam 7) . Kristen dan pemikiran Barat telah lama<br />

masuk ke Tapanuli khususnya ke Sipirok, tetapi<br />

kebiasaan itu tetap ada. Seperti diketahui bahwa<br />

kepercayaan tersebut sangat bertentangan dengan<br />

ketauhidan agama Islam dan rasional Barat. Dalam<br />

ADS pun telah ada gambaran upaya masyarakat<br />

untuk mempertentangkan itu. Seperti musibah<br />

yang menimpa hubungan Aminuddin dengan Riam<br />

(Mariamin) ada penyesalan pada kedua suami<br />

isteri (orang tua Aminuddin) terhadap perkataan<br />

dukun, seperti berikut. “Siapa tahu, karena<br />

perbuatan itu aku memusnahkan untung dan mujur<br />

Aminuddin dan Riam? pikirnya dalam hatinya.<br />

Pikir istri, sebenarnya pendapatku itu lebih baik,<br />

tetapi apa boleh buat, perkataan datu-lah lebih kuat<br />

dihatimu”(hlm.142).<br />

2.4 Sistem Pembagian Harta Warisan<br />

Masyarakat BA mempunyai struktur kekeluargaan<br />

patrilineal, sehingga dalam hubungannya dengan<br />

perkawinan bersifat patrilokal (pasangan yang<br />

baru kawin bertempat tinggal di rumah pihak<br />

mempelai laki–laki); kekeluargaan ditentukan<br />

menurut garis ayah. Oleh karena itu masalah harta,<br />

terutama tanah yang menjadi harta penting bagi<br />

keluarga, diturunkan dari Ayah kepada anak laki–<br />

laki yang lahir dari perkawinan. Dalam ADS<br />

digambarkan sistem pembagian harta warisan pada<br />

Baginda Diatas dan Sutan Baringin. Perhatikan<br />

kutipan berikut.<br />

Baginda Diatas (Ayah Aminuddin) dapat<br />

dikatakan seorang yang kaya di Sipirok.<br />

Harta-hartanya amat banyak. Adapun<br />

kekayaan diperoleh dari peninggalan orang<br />

tua”. (hlm. 25) Sutan Baringin yang juga<br />

dikenal kaya di Sipirok, hartanya diperoleh<br />

dari warisan mendiang Neneknya”. (hlm. 94).<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Yundi Fitrah<br />

(dalam masyarakat BA harta Nenek<br />

diturunkan ke anak, dan dari anak ke cucu<br />

dan seterusnya); oleh karena itu Sutan<br />

Baringin bersaudara dua orang (sama laki–<br />

laki), maka dalam pembagian pun di bagi dua.<br />

(hlm. 94)<br />

3. PENUTUP<br />

Dalam masyarakat BA kedudukan marga adalah<br />

unsur yang amat penting dalam mengatur dan<br />

menjalankan adat-istiadat. Perkawinan se-marga<br />

tidak dibenarkan. Perkawinan secara paksa yang<br />

terjadi pada tokoh Aminuddin dan demikian juga<br />

pada tokoh Mariamin, bukan karena se-marga,<br />

namun pandangan orang tua yang<br />

mempertahankan sistem kawin paksa. Hubungan<br />

yang telah dibina antara Aminuddin dan Mariamin<br />

dibolehkan dalam adat istiadat masyarakat BA,<br />

yakni disebut manyonduti; keinginan kembali<br />

kepada perkawinan kekerabatan yaitu kawin<br />

dengan Boru Tulang.<br />

Tradisi martandang dalam masyarakat<br />

BA adalah kedatangan pemuda ke rumah pemudi<br />

dalam mencari pasangan hidup. Meski demikian<br />

yang berhak dalam memutuskan suatu pasangan<br />

hidup adalah para orang tua. Seperti yang dialami<br />

Aminuddin, sejak kecil telah mendatangi<br />

Mariamin akan tetapi Baginda Diatas (Ayah<br />

Aminuddin) yang menentukan kepastian siapa<br />

yang menjadi pasangan hidup anaknya.<br />

Masyarakat BA percaya terhadap dukun<br />

dan arwah manusia yang telah meninggal. Dalam<br />

ADS digambarkan Baginda Diatas sedang<br />

meminta nasehat kepada datu (dukun) tentang<br />

kemungkinan apa yang terjadi kalau Aminuddin<br />

mengawini Mariamin. Dalam menentukan waktu<br />

ketika menjemput calon menantu Baginda Diatas,<br />

ia terlebih dahulu bertanya kepada dukun.<br />

Kepercayaan terhadap arwah manusia yang telah<br />

meninggal, digambarkan pada tokoh Mariamin dan<br />

Ibunya (Nuria) ketika berziarah ke kuburan Sutan<br />

Baringin. Demikian juga ketika Sutan Baringin<br />

dengan Adiknya sedang terjadi suatu pertengkaran,<br />

mereka menyebut-nyebut arwah mendiang nenek<br />

mereka yang sewaktu-waktu dapat mengganggu,<br />

apabila diantaranya tidak terjadi kedamaian.<br />

Sistem pembagian harta warisan yang<br />

turun kepada anak laki-laki, digambarkan dalam<br />

ADS pada tokoh Baginda Diatas dan tokoh Sutan<br />

Halaman 31<br />

Warna Lokal Batak Angkola dalam<br />

<strong>No</strong>vel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar<br />

Baringin. Harta yang diperoleh Baginda Diatas<br />

berasal dari orang tua. Demikian juga harta yang<br />

diperoleh Sutan Baringin adalah dari warisan<br />

mendiang neneknya.<br />

-------------------------------<br />

1) Angkola berbeda dengan Mandailing dan<br />

adalah salah satu dari enam etnik suku Batak.<br />

2) Tapanuli ( berasal dari Tapian Nauli artinya<br />

“Tepian yang indah.“<br />

3) Martandang artinya pemuda mengunjungi<br />

rumah gadis dan dapat saja dilakukan pada<br />

malam hari.<br />

4) Angkang dalam bahasa Batak Angkola; dalam<br />

bahasa Indonesia “Abang “<br />

5) Barat maksudnya Belanda.<br />

6) Sesajen, berupa makanan-makanan, buahbuahan,<br />

dan juga bunga-bungaan.<br />

7) Islam, masyarakat Batak Angkola umumnya<br />

beragama Islam.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Hudson, William Henry. 1963. An Introdution to<br />

The Study of Literatur. London: George G.<br />

Harrap dan Co. Itd.<br />

Ichwan. 1979. Sari Bangsa-bangsa (Ethologi).<br />

Jakarta: Erlangga.<br />

Moeliono, Anton (Ed.) 1988. Kamus Besar Bahasa<br />

Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan<br />

Pengembangan Bahasa, Depdikbud.<br />

Siregar, Merari. 1993. Azab dan Sengsara. Jakarta:<br />

Balai Pustaka.<br />

Teeuw,A 1981. Sastra Baru Indonesia 1.Ende –<br />

Flores: Nusa Indah.<br />

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1997. Teori<br />

Kesusastraan. Terj. Melani Budianta.<br />

Jakarta: Gramedia.<br />

Zaidan, Abdul Rozak, dkk 1991.Kamus Istilah<br />

Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan<br />

Pengembangan Bahasa, Depdikbud.<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 32<br />

❏ Ikhwanuddin Nasution<br />

Estetisasi Amir Hamzah<br />

terhadap Gerakan Kebangsaan<br />

ESTETISASI AMIR HAMZAH TERHADAP<br />

GERAKAN KEBANGSAAN<br />

Ikhwanuddin Nasution<br />

Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />

Abstract<br />

Amir Hamzah’s estheticism to nationality movement began from the mind conflicts that felt<br />

from external world. He contemplated inward and then realized it in masterpiece forms,<br />

such as poem and prose. From the form, the masterpieces of Amir Hamzah were still tied<br />

with compatibility esthetics, but from the contents they showed the existence of stress<br />

esthetics.<br />

Key words: compatibility, stress, and anxiety<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Amir Hamzah yang dikenal sebagai Raja Penyair<br />

Pujangga Baru dilahirkan di Langkat, 28 Pebruari<br />

1911, seorang bangsawan yang hidup di<br />

lingkungan kesultanan. Amir Hamzah juga seorang<br />

terpelajar, mula-mula ia sekolah di HIS Tanjung<br />

Pura, kemudian pindah ke Medan masuk Mulo,<br />

ketika kelas dua pindah ke Jakarta dan setelah<br />

tamat dari Mulo, ia masuk AMS bagian sastra<br />

Timur di Surakarta sampai tamat, baru kemudian<br />

masuk Sekolah Tinggi Hukum sampai mencapai<br />

sarjana muda, ia tidak melanjutkannya. Amir<br />

Hamzah kembali ke Tanjung Pura karena<br />

panggilan keluarga untuk bekerja di kesultanan<br />

Langkat dan menikah. Pada saat terjadi pergolakan<br />

revolusi di <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> (saat itu <strong>Sumatera</strong><br />

Timur), 1946, Amir Hamzah bersama beberapa<br />

keluarganya diculik dan dibunuh.<br />

Amir Hamzah sangat berperan dalam<br />

perkembangan sastra Indonesia, ia termasuk<br />

bagian dari Angkatan Pujangag Baru (Angkatan<br />

’33). Teeuw (1980:123) mengatakan bahwa faktor<br />

bahasa amat penting untuk menjelaskan peranan<br />

utama yang dimainkan oleh orang-orang <strong>Sumatera</strong><br />

–terutama orang Minangkabau– dalam<br />

perkembangan sastra Indonesia sebelum perang,<br />

bahasa mereka paling dekat dengan bahasa Melayu<br />

dalam bentuknya yang akan berkembang menjadi<br />

bahasa Indonesia. Namun, di antara orang<br />

<strong>Sumatera</strong> itu, Amir Hamzahlah orang Melayu<br />

sejati. Amir Hamzah dipupuk dan diasuh dalam<br />

suasana kesusastraan dan kebudayaan Melayu.<br />

Tentu saja, bahasa yang dikenalnya sejak kecil itu<br />

merupakan suatu inspirasi bagi Amir Hamzah.<br />

Akan tetapi, Amir Hamzah bukanlah<br />

orang Melayu yang murni dalam arti kata bahwa<br />

kehidupan dan kebudayaannya tidak pernah<br />

disentuh oleh pengaruh-pengaruh asing. Malahan,<br />

hampir semua puisinya ditulis jauh dari alam<br />

Melayu, yakni di Jawa, ketika ia tinggal dan<br />

belajar di sana dan sebagai seorang Indonesia<br />

muda, bukan sebagai orang Melayu. Kala itu, ia<br />

memainkan peranan aktif dalam kumpulan<br />

Pujangga Baru. Pada dasarnya, ia lebih banyak<br />

memperoleh pendidikan Barat, walaupun ia pernah<br />

mendapat didikan pada aliran Timur di AMS.<br />

Bahkan kumpulan puisinya Buah Rindu<br />

dipersembahkannya “Ke bawah Paduka Indonesia-<br />

Raya”.<br />

Bahasa yang lama dan bentuk-bentuk<br />

puisi lama medapat jiwa baru dalam tangan Amir<br />

Hamzah. Ia tidak menghindarikan bentuk syair<br />

tetapi di tanggannya bentuk itu mendapat isi yang<br />

sesungguhnya. Kata-kata dalam puisi-puisinya<br />

bukan saja berirama, tetapi juga mempunyai<br />

makna yang dalam (Hooykaas 1951:45).<br />

Simorangkir-Simanjuntak (1961:87) mengatakan<br />

bahwa penyair besar ini menempatkan kata-kata<br />

Malayu lama dalam bentuk, bunyi, dan irama yang<br />

amat bagus, sehingga untaian kata-katanya itu<br />

masuk meresap ke dalam kalbu, tetapi sebagai<br />

barang yang murni-mulia, puisi-puisinya tidak<br />

dapat diukur dengan ukuran sehari-hari. Oleh<br />

karena itulah Jassin (1955:19) mengatakan bahwa<br />

tidak banyak orang yang dapat merasakan<br />

kedalaman puisi-puisi Amir Hamzah. Sebab selain<br />

bahasanya yang sulit, yang menambah kelamnya<br />

puisi-puisinya itu, juga karena perbandinganperbandingan<br />

yang tidak biasa.<br />

2. KEBIMBANGAN ESTETIKA<br />

Estetika dalam perkembangan sastra di Indonesia<br />

telah mengalami pergeseran-pergeseran<br />

paradigma, mulai dari estetika keselarasan, estetika<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Ikhwanuddin Nasution<br />

pertentangan (ketegangan menurut istilah Teeuw),<br />

sampai pada estetika posmodernisme dan estetika<br />

feminisme pada sastra kontemporer saat ini.<br />

Menurut Saryono (2006) dan Teeuw (1988)<br />

Estetika keselarasan terdapat pada sastra lama<br />

Indonesia seperti sastra Jawa dan Melayu.<br />

Saryono (2006:37) mengatakan bahwa<br />

dalam estetika keselarasan terkandung pengertian<br />

yang estetis harus selaras dan serasi dengan<br />

“segala hal” yang terepresentasikan dalam karya<br />

sastra dan yang terepresentasikan itu harus<br />

diselaraskan dengan etik, filosofi, dan religius<br />

(selaras secara vertikal) pada satu pihak dan pada<br />

pihak lain diselaraskan dengan segala aktivitas<br />

eksistensial manusia (selaras secara horizontal)<br />

yang terepresentasikan ke dalam karya sastra.<br />

Teeuw (1988:356) mengatakan bahwa estetika saat<br />

itu tidak bersifat otonom, fungsi seni diabdikan<br />

pada fungsi agama; lewat seni (sastra) manusia<br />

diperhadapkan dengan keagungan ciptaan Tuhan<br />

dan dia akan menghilangkan dia (atau kehilangan<br />

diri) dalam keagungan pesona itu, seperti terlihat<br />

dalam sastra Melayu lama atau manusia seniman<br />

lewat seni mencoba menjangkau persatuan dengan<br />

Dewa yang akhirnya membawa kehampaan multak<br />

dan kehilangan dari rantai eksistensi manusia,<br />

seperti terlihat pada sastra Jawa Kuno.<br />

Pada sastra modern Indonesia didominasi<br />

oleh estetika pertentangan (ketegangan menurut<br />

istilah Teeuw). Estetika ini berkeyakinan bahwa<br />

ketegangan dan kebaruan merupakan sifat dasar<br />

atau ciri pokok estetika sehingga “kebagusan” atau<br />

bobot sastra diukur dari kemampuannya<br />

menampilkan dan menimbulkan ketegangan dan<br />

kebaruan. Estetika pertentangan ini ada pada masa<br />

modernisasi dan mencapai kemapanan dan<br />

kedominannya pada dasawarsa kedua abad ke-20<br />

(Saryono 2006: 3–5).<br />

Namun, menurut Sarjono (2001:127–129)<br />

sastra modern Indonesia lahir dari patahan yang<br />

keras dengan masa silam dan dengan hamparan<br />

masyarakat awam bangsa Indonesia. Pada awal<br />

kelahiran sastra modern Indonesia tidaklah<br />

melahirkan bentuk sastrawi yang kukuh. Karyakarya<br />

yang lahir dari simpati yang memadai pada<br />

tradisi yang justru melahirkan karya yang memiliki<br />

kualitas sastrawi yang kukuh. Puisi-puisi Sutan<br />

Takdir Alisyahbana tidaklah sekukuh kualitas<br />

puisi-puisi Amir Hamzah. Sementara novel Sitti<br />

Nurbaya karya Marah Rusli secara sastrawi tidak<br />

sekukuh novel Salah Asuhan karya Abdul Moeis.<br />

Di sisi lain, Layar Terkembang Sutan Takdir<br />

Alisyahbana pun tidak semantap kualitas sastrawi<br />

novel Belenggu karya Armjin Pane. Sekalipun<br />

demikian, karya yang secara isi mengusung<br />

patahan dan tantangan keras terhadap tradisi<br />

ternyata lebih populer dan memasyarakat<br />

Halaman 33<br />

Estetisasi Amir Hamzah<br />

terhadap Gerakan Kebangsaan<br />

dibanding karya yang bersimpati dan mencoba<br />

memberi harga pada kehangatan tradisi. Salah<br />

Asuhan jelas kalah populer dibanding Sitti<br />

Nurbaya atau Layar Terkembang lebih diterima<br />

publik ketimbang Belenggu.<br />

Pencitraan modernitas dan perlawanan<br />

terhadap tradisi itu dalam beberapa karya sastra<br />

hanya terlihat sebagai ide, bukan pengalaman dari<br />

sastrawannya. Hal itu menimbulkan karya-karya<br />

sastra yang lebih mementingkan pesan daripada<br />

estetika pengungkapannya. Karya sastra yang<br />

demikian biasanya disebut sastra bertendens,<br />

misalnya terlihat pada karya-karya Sutan Takdir<br />

Alisyahbana. Akan tetapi, sastra bukanlah muatan<br />

ide belaka, ada unsur-unsur lain yang harus<br />

diperhatikan, terutama adanya gugusan estetika<br />

tempat ide diolah dan diungkapkan.<br />

Gairah pemberontakan dan kualitas<br />

estetika dalam pengungkapkannya muncul dalam<br />

paduan yang kukuh pada karya-karya Chairil<br />

Anwar. Di satu sisi karya-karyanya unggul secara<br />

estetika dan di sisi lain bersesuaian pula dengan<br />

cakrawala harapan masyarakat Indonesia yang<br />

tengah mengalami pemberontakan. Puisi-puisi<br />

Chairil Anwar merupakan semangat keakuan yang<br />

“meradang menerjang.”<br />

Pada puisi-puisi Chairil inilah estetika<br />

pertentangan menjadi kekuatan yang telah<br />

meninggalkan tradisi estetika keselarasan, bahkan<br />

estetika keselarasan menjadi terpingkirkan.<br />

Kekuatan estetika puisi-puisi Chairil Anwar itu<br />

menjadi ikutan para penyair berikutnya, meskipun<br />

ada usaha para penyair untuk kembali mengusung<br />

estetika tradisi (keselarasan) dan<br />

menggabungkannya dengan diskursus modernitas,<br />

seperti terlihat pada Rendra, Goenawan Mohamad,<br />

Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M.,<br />

yang melahirkan estetika “puisi-puisi suasana”<br />

(menurut istilah Dami N. Toda 1984). Namun<br />

tidak terlihat pertentangan keras dengan estetika<br />

pertentangan yang dibawakan oleh Chairil Anwar.<br />

Pemberontakan terhadap estetika puisi-puisi<br />

Chairil Anwar dilakukan dengan keras oleh<br />

Sutardji Calzoum Bachri. Pergulatannya dengan<br />

estetika perpuisian Barat tidak menghalanginya<br />

mengambil langkah ekstrim kembali ke puitika<br />

mantra dari kampung halamannya di Riau.<br />

Berbeda dengan pandangan Lombard<br />

(2005:189–191) tentang pergulatan estetika dalam<br />

sastra modern Indonesia. Lombard mengatakan<br />

bahwa ada kebimbangan untuk menempatkan<br />

estetika Barat (modern) dalam hampir semua<br />

kegiatan seni di Indonesia, termasuk sastra. Di<br />

awal pertumbuhan sastra modern Indonesia, yakni<br />

periode 1920-an dan 1930-an, para sastrawan,<br />

yang pada umumnya berasal dari <strong>Sumatera</strong>;<br />

berusaha memutuskan hubungan dengan bentuk-<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 34<br />

❏ Ikhwanuddin Nasution<br />

bentuk lama sastra Melayu, seperti pantun, syair,<br />

dan hikayat dan menerima bentuk-bentuk sastra<br />

dari Barat, seperti soneta, roman, dan drama<br />

(umumnya lima babak). Tahun 1942, dengan<br />

kedatangan Jepang, menandai suatu keterputusan<br />

dengan Barat, karena larangan penggunaan bahasa<br />

Belanda dan tahun 1945 dialog dengan Barat<br />

tersambung kembali meskipun bentuknya lain,<br />

yakni para sastrawan mengembangkan bentuk<br />

cerita pendek (cerpen), seperti cerpen-cerpen<br />

Idrus. Sementara dari bentuk puisi sudah semakin<br />

bebas, seperti puisi-puisi Charil Anwar.<br />

Selanjutnya Lombard menjelaskan bahwa<br />

periode 1950–1965 merupakan periode yang rumit,<br />

karena pengertian Barat sudah semakin kabur,<br />

menghalus dan akhirnya terbelah menjadi dua<br />

pandangan yang berhadapan dan saling<br />

menjatuhkan. Kedua pandangan itu adalah<br />

pandangan “seni untuk seni” yang merupakan proestetika<br />

Barat dan mengusung “budaya universal”<br />

yang didukung oleh Seniman Gelanggang<br />

Merdeka dan kemudian kelompok “Manifes<br />

Kebudayaan”, sedangkan pandangan lainnya<br />

adalah “seni untuk rakyat” yang didukung oleh<br />

Lekra, yang menginginkan agar bentuk-bentuk<br />

budaya lama (termasuk estetika) dapat dikaji ulang<br />

dan segi-segi positifnya dapat dimanfaatkan.<br />

Kelompok ini mengharapkan kebangkitan suatu<br />

“realisme kreatif”. Kemudian pada periode atau<br />

Angkatan ’66, estetika Barat kembali digalakkan,<br />

namun kecenderungan ke arah realisme tidak<br />

hilang, seperti terlihat pada karya Ajib Rosidi,<br />

N.H. Dini, dan Ramadhan K.H. Akan tetapi,<br />

bentuk fantasi, imajinasi tetap terlihat seperti pada<br />

karya-karya Iwan Simatupang, Rendra, Putu<br />

Wijaya, Ki Panjikusmin, dan Danarto.<br />

Namun, Lombard menegaskan bahwa<br />

peranan dan pengaruh sastra modern Indonesia<br />

terhadap masyarakat sangat sedikit, sehingga apa<br />

yang diinginkan dan dicita-citakan oleh para<br />

sastrawan itu tidak tercapai. Hal ini disebabkan<br />

masyarakat Indonesia masih sangat sedikit<br />

minatnya untuk membaca karya-karya sastra, tidak<br />

seperti di Eropa (Barat). Setiap orang Eropa<br />

terdidik dan sedikit banyak dituntut untuk<br />

mengetahui karya-karya sastra kontemporer dari<br />

sastrawan-sastrawan mereka, sedangkan di<br />

Indonesia, orang terdidik tidak merasa malu<br />

mengatakan bahwa ia belum pernah membaca<br />

karya Sutan Takdir Alisyahbana atau karya-karya<br />

sastra kontemporer Indonesia. Sementara<br />

masyarakat Indonesia masih lebih banyak yang<br />

menikmati bentuk-bentuk sastra lokal yang<br />

membina estetika keselarasan, seperti di daerahdaerah<br />

Jawa, Bali, dan <strong>Sumatera</strong>. Hal itu justru<br />

membuat adanya kebimbangan dalam estetika.<br />

Estetisasi Amir Hamzah<br />

terhadap Gerakan Kebangsaan<br />

Apa yang diungkapkan Lombard hanya<br />

pada periode awal dan peralihan kekuasaan, tetapi<br />

pada periode-periode selanjutnya estetika<br />

pertentangan justru semakin kuat dipengaruhi oleh<br />

estetika Barat. Apalagi keadaan itu diperkuat oleh<br />

birokrat pemerintahan Orde Baru yang mendirikan<br />

TIM dan membentuk DKJ. TIM menjadi pusat<br />

kegiatan kesenian dan budaya. Estetika<br />

pertentangan semakin kuat dan menjadikan satusatunya<br />

ukuran keberhasilan sebuah karya seni<br />

(sastra).<br />

Dari beberapa pandangan di atas jelas<br />

bahwa pada Angkatan Pujangga Baru, meskipun<br />

modernisme sudah terlihat dengan estetikanya,<br />

tetapi pengaruh dari estetika keselarasan (tradisi)<br />

masih juga terasa. Walaupun estetika keselarasan<br />

itu telah dikemas sedemikian rupa agar dapat<br />

disesuaikan dengan modernisme. Hal itu terasa<br />

benar pada puisi-puisi Amir Hamzah yang secara<br />

kualitas lebih kukuh dari puisi-puisi Sutan Takdir<br />

Alisyahbana.<br />

3. PUISI KEBANGSAAN<br />

Angkatan Pujangga Baru atau Angkatan ’33<br />

dikenal sebagai suatu angkatan dalam sastra<br />

Indonesia yang secara tematis telah<br />

memperjuangkan kehidupan kebangsaan<br />

(Indonesia) dengan tema-tema yang universal<br />

(mengindonesia). Tema-tema itu dipengaruhi<br />

paham modernisme dalam tatanan kemasyarakatan<br />

dan kebudayaan. Pada masa ini berkembang<br />

keinginan kaum cendikiawan untuk membentuk<br />

kebudayaan baru Indonesia.<br />

Sutan Takdir Alisyabana (STA), salah<br />

satu pelopor Angkatan Pujangga Baru<br />

menginginkan agar kebudayaan baru itu<br />

berorientasi ke kebudayaan Barat. Pernyataan STA<br />

itu menimbulkan polemik yang berkepanjangan<br />

dan tidak berkesudahan. STA berpolemik dengan<br />

Sanusi Pane, dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantoro, dan<br />

lain-lain yang merupakan kaum cendikiawan,<br />

budayawan, dan sastrawan saat itu.<br />

Pada angkatan ini puisi-puisi kebangsaan<br />

pun muncul dengan corak yang menunjukkan rasa<br />

kebangsaan yang masih tarap cita-cita. Namun<br />

dalam kehidupan bersastra para sastrawan<br />

Angkatan Pujangga Baru ini aktif dalam<br />

pergerakan perjuangan kebangsaan dengan<br />

menunjukkan estetika kesastraannya masingmasing.<br />

Perkumpulan Pujangga Baru merupakan<br />

wadah untuk mengumpulkan para seniman,<br />

sastrawan, budayawan, dan cendikiawan yang<br />

berasal dari berbagai daerah di wilayah Indonesia.<br />

Mereka menerbitkan sebuah majalah,<br />

yakni Pujangga Baru, yang pada penerbitan<br />

perdananya memberi penjelasan-penjelasan<br />

tentang kepentingan sastra dalam perjuangan<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Ikhwanuddin Nasution<br />

kebangsaan, di antaranya berbunyi, “Dalam zaman<br />

kebangunan sekarang ini pun kesusastraan bangsa<br />

kita mempunyai tanggungan dan kewajiban yang<br />

luhur. Ia menjelmakan semangat baru yang<br />

memenuhi masyarakat kita. Ia harus menyampaikan<br />

berita kebenaran yang terbayang-bayang dalam<br />

hati segala bangsa Indonesia yang yakin akan<br />

tibanya masa kebenaran itu” (Rosidi, 1976:35).<br />

4. ESTETISASI AMIR HAMZAH<br />

Amir Hamzah yang turut dalam Angkatan<br />

Pujangga Baru itu tidak terlepas dari apa yang<br />

mereka cita-citakan meskipun karya-karya Amir<br />

Hamzah tidak secara eksplisit menggambarkan<br />

pergerakan perjuangan kebangsaan itu. Pengamat<br />

sastra cenderung mengatakan puisi-pusi Amir<br />

Hamzah sebagai puisi religius, mistik, romantik,<br />

dan cinta-kasih.<br />

Amir Hamzah melukiskan perasaan kudus<br />

dan masuk ke dalam pengalaman mistik, bukan<br />

saja bunyi bahasa yang beragam, tetapi perbedaan<br />

makna yang tipis dari kata-kata yang bersinonim<br />

dapat ditangkap olehnya untuk digunakan sebagai<br />

pilihan kata yang tepat dalam puisi-puisinya. Amir<br />

Hamzah tidak hanya memuji Tuhan tetapi secara<br />

halus menceritakan setiap jalur perasaan dan<br />

kepercayaannya dengan menunjukkan pengalaman<br />

batinnya (Salleh, 1988: 9 dan 60). Jassin (1955:19)<br />

mengatakan bahwa kebanyakan puisi Amir<br />

Hamzah menyanyikan cinta yang tiada sampai,<br />

tetapi di dalamnya terasa perasaan keagamaan<br />

yang tawakkal, karena penderitaan jiwanyalah<br />

yang mendekatkannya kepada Tuhan.<br />

Namun, terkadang Amir Hamzah juga<br />

terlihat kecewa karena kehilangan harapan, patah<br />

hati, putus cinta dengan menunjukkan<br />

keinginannya untuk menginggalkan dunia ini.<br />

Datanglah engkau wahai maut<br />

Lepaskan aku dari nestapa<br />

Engkau lagi tempatku berpaut<br />

Di waktu ini gelap gulita<br />

(Buah Rindu II)<br />

Puisi ini juga dapat diasosiasikan sebagai<br />

puisi yang secara estetis indah, namun gambaran<br />

maut yang diangan-angankan Amir Hamzah<br />

menunjukkan ketidaknyamanan suasana hatinya.<br />

Dari segi estetika hampir seluruh puisi<br />

Amir Hamzah menunjukkan kebimbangan<br />

estetika, sebagaimana gambaran Lombard tentang<br />

estetika pada Angkatan 20 dan ’33. Ada<br />

kebimbangan para seniman untuk meninggalkan<br />

estetika keselarasan untuk masuk pada estetika<br />

ketegangan (modern), sehingga beberapa seniman<br />

justru memadukan estetika keselarasan dengan<br />

estetika modern (pengaruh Barat) dalam sastra<br />

Halaman 35<br />

Estetisasi Amir Hamzah<br />

terhadap Gerakan Kebangsaan<br />

Indonesia. Hal inilah yang terlihat pada puisi-puisi<br />

Amir Hamzah yang masih kental dengan<br />

keterikatan terhadap etika, filosofi, dan keagamaan<br />

(religius), namun suasana itu digambarkan Amir<br />

Hamzah dengan mempertanyakan keberadaan<br />

ikatan-ikatan itu. Dapat dilihat pada, misalnya<br />

pada puisi “Padamu Jua”<br />

.......<br />

Satu kekasihku<br />

Aku manusia<br />

Rindu rasa<br />

Rindu rupa<br />

........<br />

Engkau cemburu<br />

Engkau ganas<br />

Mangsa aku dalam cakarmu<br />

Bertukar tangkap dengan lepas<br />

Ikatan keagamaan menentukan agar<br />

manusia tidak mempertanyakan tentang<br />

keberadaan Tuhan dan filosofi Islam tidak<br />

memperbolehkan umatnya untuk mencari di mana<br />

Tuhan. Akan tetapi, Amir Hamzah lewat puisinya<br />

itu memberontak atas ikatan-ikatan itu dengan<br />

melalui estetika ketegangan (modern) yang<br />

dipengaruhi paham-paham humanisme dan<br />

rasionalisme Barat. Dengan demikian apakah puisi<br />

itu masih bersifat religiositas? Atau apakah puisi<br />

itu sebuah perjuangan untuk mencari<br />

“ketidakbaharuan” Tuhan? Oleh karena paham<br />

humanisme menuntut agar segala sesuatu bertolak<br />

dari segi manusia dan rasionalisme bertumpu pada<br />

rasio, di mana segala sesuatunya diukur dengan<br />

akal, maka Amir Hamzah merasa dituntut untuk<br />

mengetahui keberadaan Tuhannya. Perjuangan<br />

untuk mengenal Tuhan itu diteruskannya pada<br />

puisi “Hanya Satu”.<br />

.......<br />

Aduh kekasihku<br />

Padaku semuanya tiada berguna<br />

Hanya satu kutunggu hasrat<br />

Merasa dikau dekat rapat<br />

Serupa Musa di puncak Tursina<br />

Perjuangan kebangsaan yang seharusnya<br />

dikumandangkan oleh Amir Hamzah sebagaimana<br />

teman-teman seangkatannya tidak diperlihatkannya<br />

dengan eksplisit lewat estetisasi karya-karyanya.<br />

Namun, bukan berarti Amir Hamzah tidak sama<br />

sekali memperjuangkan pergerakan kebangsaan<br />

yang dicita-citakan kelompoknya itu. Beberapa<br />

puisinya terutama yang termuat dalam Buah Rindu<br />

menunjukkan hal tersebut, bahkan kumpulan puisi<br />

itu dipersembahkannya pada Indonesia-Raya.<br />

Meskipun awalnya, Amir Hamzah memperlihatkan<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 36<br />

❏ Ikhwanuddin Nasution<br />

kecintaannya akan tanah airnya, <strong>Sumatera</strong>, seperti<br />

terlihat pada puisi “Tinggallah”, ia berkata:<br />

Tinggallah tuan, tinggallah bunda<br />

Tanah airku <strong>Sumatera</strong> raya<br />

Anakda berangkat ke pulau Jawa<br />

Memungut bunga suntingan kepala<br />

Pantai cermin rumbu melambai<br />

Selamat tinggal pada anakda<br />

Rasakan ibu serta handai<br />

Mengantarkan beta ke pangkalan kita.<br />

Judul puisi itu adalah “Tinggallah”<br />

menunjukkan bagaimana Amir Hamzah akan<br />

meninggalkan tanah airnya, <strong>Sumatera</strong> menuju<br />

perjuangan cita-cita kebangsaan Indonesia Raya.<br />

Kalimat “mengantarkan beta ke pangkalan kita”<br />

dapat ditafsirkan bahwa Amir Hamzah telah<br />

menuju suatu cita-cita besar yakni Indonesia. Kata<br />

“pangkalan kita” jika dikaitkan dengan perjuangan<br />

gerakan kebangsaan merupakan kata kunci yang<br />

menyatakan cita-cita tersebut.<br />

Pada puisi “Buah Rindu”, I,II,<strong>III</strong>, dan IV<br />

telihat adanya rangkaian (penyatukan) estetika<br />

keselarasan dengan ketegangan. Satu sisi puisipuisi<br />

itu masih dalam bentuk pantun dan syair,<br />

tetapi pada sisi isi memperlihatkan ketegukan<br />

hatinya untuk tetap pada perjuangan cita-cita<br />

kebangsaan (modernisme) meskipun harus<br />

meninggalkan bunda, ibu, handai taulan, kekasih<br />

yang selalu dirindukan, bahkan Amir Hamzah siap<br />

untuk mempertaruhkan nyawanya.<br />

Tinggallah tuan, tinggallah nyawa<br />

Tinggal juita tajuk mahkota<br />

Kanda lalu menghadap dewata<br />

Bertelut di bawah cerpu Maulana<br />

(Buah Rindu <strong>III</strong>)<br />

Anak busurnya kanda gantungi<br />

Dengan seroja suntingan hauri<br />

Badannya dewa kanda lengkapi<br />

Dengan busur sedia di jari<br />

(Buah Rindu IV)<br />

Meskipun Amir Hamzah pasrah untuk<br />

berjuang tetapi kerinduan hatinya tetaplah<br />

diperlihatkannya sebagai manusia biasa.<br />

Hatiku rindu bukan kepalang<br />

Dendam beralik berulang-ulang<br />

Air mata bercucuran selang-menyelang<br />

Mengenang adik kekasih abang<br />

(Buah Rindu <strong>III</strong>)<br />

Kerinduannya itu dititipkannya pada<br />

“awan” untuk disampaikan pada kekasihnya yang<br />

jauh.<br />

Estetisasi Amir Hamzah<br />

terhadap Gerakan Kebangsaan<br />

Tuan aduhai mega berarak<br />

Yang meliputi dewangga raya<br />

Berhentilah tuan di atas teratak<br />

Anak Langkat musyafir lata<br />

Sesaat sekejap mata beta berpesan<br />

Padamu tuan aduhai awan<br />

Arah manatah tuan berjalan<br />

Di negeri manatah tuan bertahan?<br />

Sampaikan rinduku pada adinda<br />

Bisikkan rayuanku pada juita<br />

Liputi lututnya muda kencana<br />

Serupa beta memeluk dia.<br />

(Buah Rindu II)<br />

Sampai akhirnya Amir Hamzah bertanya<br />

mengapa dirinya dilahirkan pada situasi dan<br />

kondisi bangsa yang sedang bergolak untuk<br />

memperjuangkan cita-cita kemerdekaan<br />

bangsanya.<br />

Bunda waktu melahirkan beta<br />

Pada subuh kembang cempaka<br />

Adakah ibu menaruh sangka<br />

Bahwa begini peminta anakda?<br />

(Buah Rindu)<br />

Ada kata Bunda dan ibu yang digunakan<br />

Amir Hamzah pada puisi itu, yang sebenarnya<br />

bersinonim, tetapi sebagai penyair tentu saja dapat<br />

membedakan makna dari kedua kata tersebut.<br />

Kata-kata itu dapat juga ditafsirkan sebagai ibunya<br />

sendiri atau tanah air, Indonesia-Raya. Atau bunda<br />

untuk ibunya sendiri dan ibu untuk ibu pertiwi<br />

(tanah air, Indonesia).<br />

Amir Hamzah juga menunjukkan<br />

bagaimana perjuangan gerakan kebangsaan itu<br />

dengan mencontohkan tokoh Hang Tuah yang<br />

dikagumi dalam kesusastraan Melayu lama. Hang<br />

Tuah yang merupakan tokoh Melayu yang gagah<br />

berani, yang siap berkorban demi tuannya, Sultan<br />

Melaka, yang dilukiskan dalam sebuah naskah<br />

Melayu lama. Amir Hamzah menghidupkan<br />

kembali kisah perjuangannya yang gemilang itu<br />

dalam puisi “Hang Tuah”<br />

Bayu berpuput alun digulung<br />

Bayu direbut buih dibubung<br />

Selat Melaka ombaknya memecah<br />

Pukul-memukul belah-membelah<br />

Bahtera ditepuk buritan dilanda<br />

Penjajah dihantuk haluan ditunda<br />

Camar terbang riuh suara<br />

Alkamar hilang menyelam segera<br />

Armada Perenggi lari bersusun<br />

Melaka negeri hendak diruntun<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Ikhwanuddin Nasution<br />

Di samping bentuk puisi, Amir Hamzah<br />

juga menggambarkan tokoh-tokoh Melayu dalam<br />

prosanya, seperti “Abdullah” yang<br />

menggambarkan tentang Abdullah bin Abdulkadir<br />

Munsyi, “Sultan Ala’uddin Rajat Syah”, dan “Raja<br />

Kecil”. Kisah-kisah itu diangkat kembali oleh<br />

Amir Hamzah dari naskah-naskah atau kitab-kitab<br />

Melayu lama.<br />

Kisah-kisah lain yang ada pada prosa<br />

Amir Hamzah menunjukkan keragaman<br />

pengetahuannya tentang dunia di luar <strong>Sumatera</strong><br />

(Melayu) dan Jawa. Misalnya cerita “Nyoman”<br />

menunjukan hubungannya dengan Bali yang<br />

dikagumi orang banyak, tempat wisata yang<br />

terkenal di mancanegara. Dengan sangat estetis<br />

Amir Hamzah menggambarkannya sebagai<br />

berikut.<br />

“segala mereka yang mendatangi negerimu,<br />

melihat dikau dengan mata penuh gembira,<br />

aku juga, tetapi dalam hatiku-kecil tumbuh<br />

bunga semerbak-harum, yang engkau<br />

mataharinya, arah ke mana ia menghala,<br />

condong-rebah, menyembah-serah. Senyummu,<br />

sinau selisih seri, merah bersaing putih,<br />

menghimbau daku menggiring dikau.”<br />

Mohamad (1981:59) menggambarkan<br />

bahwa Amir Hamzah tentulah bukan sekadar<br />

“bujang Melayu” dan “Anak Langkat Musyafir<br />

Lata”, walaupun Amir Hamzah sendiri menyebut<br />

dirinya seperti itu. Namun pada dirinya,<br />

sebagaimana juga pada penulis-penulis angkatan<br />

’30-an, telah tumbuh kesetiaan baru. Kesetianan<br />

baru itulah yang disebut dengan nasionalisme,<br />

yang tentu saja bukan penjelmaan alam pikiran<br />

abad yang silam di Indonesia.<br />

Namun, Amir Hamzah tentu saja tidak<br />

mudah untuk meninggalkan masa silam, terlihat<br />

dari riwayat hidupnya yang dibesarkan pada alam<br />

Melayu baik dari segi kesusastraannya maupun<br />

kebudayaannya. Ia tidak seperti STA yang dengan<br />

mudah bisa memberi kata putus terhadap apa yang<br />

disebutnya “masa yang silam” seraya menolak<br />

untuk menganggap zaman baru “zaman Indonesia’<br />

sebagai sambungan atau terusan dari masa silam<br />

itu.<br />

Pada masa (1930-an) itu terlihat adanya<br />

dua corak dalam kesusastraan (kebudayaan<br />

umumnya) yakni Timur dan Barat dan tentu saja<br />

dimungkinkan adanya sintesa dari keduanya. Di<br />

tengah-tengah konflik-konflik antara Timur dan<br />

Barat itulah Amir Hmzah berada, terjadinya<br />

Polemik Kebudayaan, meskipun Amir Hamzah<br />

tidak mengambil bagian dalam polemik itu, tetapi<br />

dalam dirinya terjadi polemik batin.<br />

Halaman 37<br />

Estetisasi Amir Hamzah<br />

terhadap Gerakan Kebangsaan<br />

Estetisasi Amir Hamzah terhadap gerakan<br />

kebangsaan bermula dari konflik-koflik batin yang<br />

dirasakannya dari dunia luar dikontemplasikannya<br />

dalam batinnya dan kemudian diwujudkannya<br />

dalam bentuk-bentuk karya, baik puisi maupun<br />

prosa. Meskipun perwujudannya kurang jelas dan<br />

terlalu mengambang, yang barangkali merupakan<br />

keraguan Amir Hamzah akan situasi dan kondisi<br />

masa itu.<br />

L.K. Bohang melihat dalam diri Amir<br />

Hamzah ada “suara kesangsian” yang bersahutsahutan.<br />

Ajib Rosidi mengatakan “hati yang ragu”.<br />

Banyak sekali “ gelombang dua berimbang” dalam<br />

hidup penyair ini. Banyak sekali suara-suara dua<br />

kutub dalam hatinya, yang merupakan tema dasar<br />

dari karya-karya liriknya yang paling murni<br />

(Mohamad, 1981:58).<br />

5. SIMPULAN<br />

Estetisasi Amir Hamzah terhadap pergerakan<br />

kebangsaan diwujudkannya dalam karya-karyanya,<br />

meskipun tidak secara eksplisit, tetapi secara<br />

dalam dapat ditelusuri bahwa beberapa puisi dan<br />

prosanya mengarah pada pergerakan kebangsaan<br />

tersebut. Apalagi dikaitkan dengan cita-cita<br />

Angkatan Pujangga Baru, di mana Amir Hamzah<br />

menjadi salah satu pendiri dan pelopor angkatan<br />

tersebut.<br />

Amir Hamzah telah melakukan sintesa<br />

antara estetika keselarasan dengan estetika<br />

ketegangan (modern) sebagai estetika dari karyakaryanya.<br />

Pada bentuk karyanya masih terlihat<br />

adanya estetika keselarasan, tetapi pada isi ia telah<br />

masuk pada estetika modern (Barat).<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Hamzah, Amir. 1982. Esai dan Prosa. Jakarta:<br />

Dian Rakyat.<br />

Hamzah, Amir. 1996. Buah Rindu. Jakarta: Dian<br />

Rakyat.<br />

Hamzah, Amir. 1996. Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian<br />

Rakyat.<br />

Hooykaas, C. 1951. Perintis Sastra. Djakarta: J.O.<br />

Wolters–Groningen.<br />

Jassin, H.B. 1955. Kesusastraan Indonesia<br />

Modern dalam Kritik dan Essay. Djakarta:<br />

Gunung Agung.<br />

Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang<br />

Budaya Kajian Sejarah Terpadu. Jakarta:<br />

Gramedia Pustaka Utama.<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 38<br />

❏ Ikhwanuddin Nasution<br />

Mohamad, Goenawan. 1981. Seks, Sastra, Kita.<br />

Jakarta: Sinar Harapan.<br />

Salleh, Muhammad Haji. 1988. Pengalaman Puisi.<br />

Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.<br />

Sarjono, Agus R. 2001. Sastra dalam Empat Orde.<br />

Yogyakarta: Bentang Budaya.<br />

Saryono, Djoko. 2006. Pergumulan Estetika<br />

Sastra di Indonesia. Malang: Pustaka<br />

Kayutangan.<br />

Estetisasi Amir Hamzah<br />

terhadap Gerakan Kebangsaan<br />

Simorangkir-Simandjuntak, B. 1961. Kesusasteraan<br />

Indonesia. Djakarta: Pembangunan.<br />

Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia. Ende-<br />

Flores: Nusa Indah.<br />

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:<br />

Pustaka Jaya.<br />

Toda, Dami N. 1984. Hamba-hamba Kebudayaan.<br />

Jakarta: Sinar Harapan.<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Haron Daud<br />

Halaman 39<br />

Amir Hamzah Seorang Penyair Mistik<br />

AMIR HAMZAH SEORANG PENYAIR MISTIK 1<br />

Haron Daud<br />

Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia<br />

Abstract<br />

Amir Hamzah knows poet of religious. However before following some activity, that Amir<br />

Hamzah emphasizes something his love to human being. Because his failure Amir Hamzah<br />

gives in himself to God with hesitate. However Amir Hamzah decided someone loyal<br />

obeying order and believed in God.<br />

Key words: Amir Hamzah, poetry, and mystic<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Dalam konteks ini, unsur-unsur mistik yang akan<br />

dibicarakan ialah hubungan dan rasa cinta seorang<br />

insan yang tidak berubah terhadap Allah dan dia<br />

sentiasa berusaha membersihkan prasangka yang<br />

tidak baik menjadi baik dan mulia (Moh.Abdai<br />

1981: 218). Sebagai ukuran, penulis juga<br />

berpandukan kepada pendapat A. Hasjmy<br />

berdasarkan faham para penyair sufi, bahwa<br />

seseorang yang sangat mencintai orang yang lain,<br />

pasti dia akan taat setia kepadanya, sama dengan<br />

mancintai Allah sepenuh hati. Orang akan rela<br />

mengorbankan apa saja dalam melaksanakan<br />

segala perintah-Nya (Hasjmy,1976 :17). Apakah<br />

rasa cinta dan kesanggupan sedalam itu terdapat<br />

pada Amir Hamzah seperti yang tergambar dalam<br />

puisi-puisinya?<br />

Nama penuh Amir Hamzah ialah Tengku<br />

Amir Hamzah bin Tengku Haji Adil. Ia merupakan<br />

cucu Tengku Hamzah dan cicit Sultan Musa, Raja<br />

Langkat pertama yang bergelar Sultan. Amir<br />

Hamzah dilahirkan pada 28 Februari 1911 dan<br />

mangkat pada 20 Maret 1946. Ia dipancung<br />

(disembelih) di Kuala Begumit oleh seorang<br />

tukang pancung (algojo) bernama Mandor Wijaya<br />

Wiryosentono, pada saat meletusnya revolusi<br />

sosial di daerah itu (Zakarian, 1974 : 40)<br />

Puisi Amir Hamzah berjumlah 63 buah.<br />

Sebanyak 25 buah puisi dimuat dalam Buah Rindu,<br />

25 buah dimuat dalam Nyanyi Sunyi, dan 13 puisi<br />

dan prosa irama dalam majalah Punjangga Baru<br />

yang belum dimuat dalam dua buku kumpulan<br />

puisinya (Jassin 1962: 44 - 52). Dari tiga<br />

kumpulan puisi Amir Hamzah ini hanya Nyanyi<br />

Sunyi yang lebih memperlihatkan adanya unsurunsur<br />

mistik. Inilah yang akan menjadi tumpuan<br />

kajian penulis. Namun demikian, kumpulan yang<br />

lain juga akan disentuh sebagai perbandingan.<br />

Meninjau unsur-unsur mistik dalam puisipuisi<br />

Amir Hamzah, Jassin pernah bertanya.<br />

Dapatkah Amir Hamzah disebut penyair mistik<br />

religius (religious)? Mistik merangkumi<br />

pengertian bersatu dengan Tuhan. Menurutnya,<br />

pada Amir ada tampak pengaruh pandangan<br />

mistik, tapi dia bukanlah seorang mistikus dalam<br />

pengertian telah mencapai penyatuan diri dengan<br />

yang abadi. Alasannya antara lain, dalam<br />

perjuangan antara yang terbatas dengan yang tak<br />

terbatas Amir Hamzah sentiasa masih tertuju pada<br />

yang terbatas dan dalam kesadarannya tetap ada<br />

batas antara keduanya, yang tak mungkin<br />

dilakukannya. Apa lagi dibuat menjadi bersatu,<br />

hingga yang terbatas itu kehilangan artinya,<br />

ditampung oleh yang tak terbatas. Bagi Jassin,<br />

Amir Hamzah hanya berdiri di hadapan Tuhan<br />

sebagai makhluk yang insaf akan kekecilannya dan<br />

sebagai makhluk yang tidak diindahkan segala<br />

permintaannya (Jassin 1962 : 26).Tanggapan<br />

Jassin ini agak benar kalau kita perhatikan<br />

sebahagian dari sajak ’Insaf’:<br />

Segala kupinta tiada kauberi<br />

Segala kutanya tiada kausahuti<br />

Butalah aku berdiri sendiri<br />

Penuntun tiada memimpin jari<br />

Buta tuli bisu kelu<br />

Tertahan aku di muka dewata<br />

Tertegun aku di jalan buntu<br />

Tertebas putus sutera sempana<br />

(Nyanyi Sunyi:26)<br />

Petikan di atas membayangkan Amir<br />

Hamzah belum diperdulikan Tuhan, segala<br />

permintaannya belum diberikan-Nya, segala<br />

rintihan Amir Hamzah tidak didengar oleh Tuhan.<br />

Inilah menyebabkan ia /buta tuli bisu kelu/ dan<br />

hidup dalam kebuntuan. Namun begitu, Amir<br />

Hamzah tetap mengingat Tuhan. Ia sadar akan<br />

dosa dan hukuman. Hal ini tergambar dalam sajak<br />

“Hari Menuai”. Penyair telah lama tidak menemui<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 40<br />

❏ Haron Daud<br />

Tuhan untuk “berbicara”. Justeru itu, ia menilik<br />

dirinya dan menyelami Tuhan, sehingga:<br />

Insaf aku<br />

Bukan ini perbuatan kekasihku<br />

Tiada mungkin reka tangannya<br />

Karena cinta tiada mendera<br />

……………………………<br />

Tahu aku<br />

Kini hari menuai api<br />

Mengetam ancam membelam redam<br />

Ditulis dilukis jari tanganku<br />

(Nyanyi Sunyi:28)<br />

Dengan demikian, Amir Hamzah seolaholah<br />

tidak mendapat perhatian Tuhan karena dia<br />

masih berdosa, balasannya neraka. Menuai api<br />

menggambarkan memungut dosa yang seperti<br />

yang tertulis di tangannya. Dari aspek ini, puisi<br />

tersebut dapat digolongkan sebagai puisi religius,<br />

memandangkan adanya kesadaran terhadap<br />

Ketuhanan, terutama keinsafan penyair terhadap<br />

dosa.<br />

Mungkin akibat dari itu, lahir puisinya<br />

yang memperlihatkan pengertian tasauf. Penyair<br />

menyadari kekuasaan Tuhan dan hubungannya<br />

dengan Tuhan itu.<br />

Kaukurnia aku<br />

Kelereng kaca cerah cuaca<br />

Hikmat raya tersembunyi dalamnya<br />

Jua bahaya dikandung kurnia<br />

(Nyanyi Sunyi:18)<br />

Petikan itu menggambarkan penyair<br />

menyadari dalam hidup ini Allah memberikan<br />

kebaikan-kelereng kaca cerah cuaca, tetapi di<br />

sebalik hikmat yang besar itu terdapat juga bahaya.<br />

Kekuasaan Tuhan itu benar-benar diinsafinya<br />

berdasarkan;<br />

Kutilik diriku dua sifat mesra satu:<br />

Melangit tinggi, membumi keji,<br />

(Nyanyi Sunyi;18)<br />

Allah ittu Maha Tinggi, yang berkuasa<br />

terhadap makhluk-Nya, seperti penyair yang lemah<br />

(membumi) dan ”keji” (tidak sempurna).<br />

Namun begitu, tidak semua pengkaji<br />

sependapat dengan H.B.Jassin. Ada pengkaji yang<br />

memuji puisi-puisi (sajak) Amir Hamzah karena<br />

memperlihatkan adanya unsur-unsur mistik,<br />

antaranya adalah Dada Meuraza. Menurutnya,<br />

dalam buku Nyanyi Sunyi semua bisikan jiwa Amir<br />

Hamzah itu dapat dirasakan, bernafaskan<br />

Ketuhanan yang amat dalam. Almarhum Dr. Amir,<br />

waktu beliau masih hidup menyamakan Amir<br />

Hamzah dengan punjangga Arab yang tua-tua yang<br />

Amir Hamzah Seorang Penyair Mistik<br />

jiwanya tenggelam dalam memuja Tuhan (Amir<br />

Hamzah, 1955:16).<br />

Berhubung dengan pendapat ini, penulis<br />

agak berat untuk menerima secara keseluruhan<br />

karena tidak semua sajak Amir Hamzah yang<br />

dimaksudkan itu berunsurkan ketuhanan. Misalnya<br />

sajak ”Batu Belah” (hal:21-23). Ia mengisahkan<br />

kehancuran hati seorang ibu setelah tiadanya telur<br />

kemahang untuk dimakan bersama nasi dingin.<br />

Justeru itu:<br />

Diam ibu berfikir panjang<br />

Lupa anak menangis hampir<br />

Kalau begini sudahnya hidup<br />

Biar di telan batu bertangkup<br />

(Nyanyi Sunyi:22)<br />

Demikian juga dengan sajak “Ibuku<br />

Dahulu” (hlm: 25), sajak ini tidak memperlihatkan<br />

unsur ketuhanan. Ia cuma mengisahkan<br />

kekecewaan ibu karena sikap anaknya yang nakal.<br />

Sajak ”Astana Rela” (hlm: 29) semata-mata<br />

menggambarkan ilusi penyair bersama kekasihnya<br />

yang terpaksa ditinggalkan, tetapi ia tetap setia dan<br />

ingin bertemu di alam akhirat. Lukisan itu dapat<br />

dilihat pada bait-bait berikut:<br />

Tiada bersua dalam dunia<br />

Tiada mengapa hatiku saying<br />

Tiada dunia tempat selamanya<br />

Layangkan angan meninggi awan<br />

…………………………………..<br />

Bersama kita mematah buah<br />

Sempena kerja di muka bumi<br />

Bunga cerca melayu lipu<br />

Hanya bahagia tersenyum harum<br />

Di situ baru kita berdua<br />

Sama merasa, sama membaca<br />

Tulisan cuaca rangkaian mutiara<br />

Di mahkota gapura astana rela<br />

(Nyanyi Sunyi:29)<br />

Berhubung dengan pengangkatan<br />

Dr.Amir bahwa Amir Hamzah setaraf dengan<br />

pujangga Arab yang tua-tua dari segi memuji<br />

Tuhan, ini agak sukar diterima karena<br />

perbandingan itu agak kabur. Siapakah Pujangga<br />

Arab itu, adakah ia Ibni Arabi yang bergelar<br />

”failasut sufi” umpamanya? Lagipun kalau kita<br />

terima pendapat Jassin seperti di atas, bahwa Amir<br />

Hamzah bukanlah seorang sufi, lagi pula menurut<br />

Ghajali Hassan dalam rencananya bertajuk ”Rasa<br />

ketuhanan dalam keindahan sajak Amir Hamzah”<br />

bahwa di dalam sajak-sajak yang terbesar dalam<br />

Nyanyi Sunyi Amir Hamzah yang terkenal itu<br />

bukan beliau mengikuti faham sufi yang terkenal<br />

dalam peradaban Parsi dan Urdu, juga kebanyakan<br />

dari peradaban timur yang lain(Amir<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Haron Daud<br />

Hamzah,1955:74). Apa yang ternyata, rasa<br />

ketuhanan memunjak di jiwa Amir Hamzah adalah<br />

setelah ia kecewa dalam percintaan dengan gadis<br />

Solo.<br />

Sebaliknya Baharudin Zainal berpendapat<br />

bahwa Amir Hamzah lari ke dunia mistik dan<br />

mengucapkan jiwanya melalui puisi mistik yang<br />

erotik. Kelihatan begitu hebat dan tidak putus asa<br />

ia untuk merindu dan menyatukan diri dengan<br />

Tuhan.Gadis yang menjadi kekasihnya telah<br />

menjelma dalam lambang nyang berkedok yaitu<br />

Tuhan. Hal ini mungkin tidak disadari oleh<br />

penyair. Dalam sublimasi ini gadis dan Tuhan<br />

menjelma sekaligus dalam satu simbol karena<br />

unconcionsnya turut berpartisipasi dalam kegiatan<br />

seni Amir Hamzah (Baharuddin Zainal,1973:19).<br />

Sangat sukar bagi Amir untuk melupakan gadis<br />

solo (Dewi Sandari) yang dicintainya. Ia pernah<br />

melukiskan dalam sajak ”Harum Rambutnya”<br />

berikut ini:<br />

Wangi tertebar membawaku ragu<br />

Mengambang abang ke hari lampau<br />

Harum sepadan wangi rambutmu<br />

Kalau terurai kita bergurau<br />

Melur! Duta rindu di purnama raya<br />

Kawan sendu di sunyi mawar<br />

Ratna rupa dihulu kemala<br />

Penambah manis jiwa pendiam<br />

(Buah Rindu:50)<br />

Walaupun Amir Hamzah mencari Tuhan<br />

karena ia kecewa dalam precintan, puisi-puisinya<br />

masih memperlihatkan unsur-unsur ketuhanan<br />

yang agak kuat. Umpamanya sajak ”Padamu Jua”<br />

dalam sajak ini bagi Amir Tuhan adalah tempatnya<br />

kembali setelah segala cintanya hilang. Tuhan<br />

diibaratkan sebagai cahaya atau pelita yang<br />

menerangkan kegelapan malam dan dia adalah<br />

kekasih yang setia dan sabar selalu.Unsur mistik<br />

dapat juga di lihat pada bait berikut:<br />

Satu kekasihku<br />

Aku manusia<br />

Rindu rasa<br />

Rindu rupa<br />

Di mana engkau<br />

Rupa tiada<br />

Suara sayup<br />

Hanya kata merangkai hati]<br />

(Nyanyi Sunyi:1)<br />

Rasa rindu menyebabkan Amir Hamzah<br />

mencari-cari Tuhan yang memang tidak dapat<br />

dilihat dengan mata kasar (rupa tiada). Justru itu, ia<br />

menjadi gila sasar. Susahnya untuk melihat Tuhan<br />

diibaratkannya sebagai anak dara di balik tirai.<br />

Halaman 41<br />

Amir Hamzah Seorang Penyair Mistik<br />

Sajak “Padamu Jua” merupakan salah<br />

satu sajak Amir Hamzah yang terpenting<br />

memperlihatkan unsur-unsur mistik. Sehubungan<br />

dengan itu, Abu Bakar Husny berpendapat bahwa<br />

Amir Hamzah digelar “Raja penyair Zaman<br />

Pujangga Baru” karena sajak-sajaknya yang indah<br />

dengan irama dan gaya bahasa yang halus dan<br />

merdu yang penuh dan berisi perasaan katuhanan<br />

(Abu Bakar Husny,1961:31). Menurut Baharuddin<br />

Zainal, sajak ini dan beberapa sajaknya yang lain<br />

dalam Nyanyi Sunyi jelas memperlihatkan<br />

persoalan dirinya dengan Tuhan, tetapi dari sudut<br />

yang lain beliau mengaitkan sajak ”Padamu jua”<br />

dengan penjelmaan ”the unconcious”. Ia adalah<br />

mimpi di siang hari. Hal ini dapat dihubungkan<br />

dengan pendekatan psikoanalisasi oleh Freud.<br />

Amir Hamzah dikatakan mencari jalan keluar<br />

dalam bentuk sublimasi yang diizinkan oleh<br />

masyarakat untuk melepaskan keinginan seksnya<br />

selepas ia gagal meneruskan cinta dan cita-citanya<br />

seks dengan gadis pujaannya (Baharuddin<br />

Zainal,19). Kalaulah benar tanggapan Baharuddin<br />

itu, maka sajak ”Padamu Jua” tercipta dari unsurunsur<br />

mistik.<br />

Bagi penulis, kalaupun benar anggapan<br />

Baharuddin itu, terlalu sedikit, untuk alasan ciriciri<br />

seksnya, seperti cemburu, sayang, menarik,<br />

dara, rindu, dan kasih-yang diberikan agak lemah.<br />

Dengan demikian, bagi penulis dalam sajak ini<br />

masih ada unsur-unsur ketuhanan. Cuma kita<br />

mungkin kurang senang dengan sifat Tuhan yang<br />

di gambarkan oleh penyair yaitu:<br />

Engkau cemburu<br />

Engkau ganas<br />

Mangsa aku dalam cakarmu<br />

Bertukar tangkap dengan lepas<br />

(Nyanyi Sunyi:1)<br />

Ini menunjukan bahwa Tuhan itu zalim<br />

dan memperlakukan. Tuduhan penyair itu<br />

menggambarkan penyair belum benar-benar<br />

mengenali atau mendapat kasih Tuhan. Abu Bakar<br />

Husny pula berpendapat bahwa sajak itu adalah<br />

pengaduan Amir Hamzah bila berhadapan dengan<br />

Tuhan. Menurutnya, kekecewaan duniawi yang<br />

pertama itu sangat berkesan di sanubari Amir,<br />

tetapi dalam kegelapan jiwanya itu-dalam keputus<br />

asaannya- Amir Hamzah mendapat pegangan dan<br />

pergantungan yang teguh, yang tidak akan putus<br />

yaitu tali keagamaan yang menghubungkannya<br />

dengan Tuhan seperti dalam sajak tersebut (Abu<br />

Bakar Husny,1961:31). Menurutnya lagi isi sajak<br />

itu penuh perasaan tawakal, penyerahan diri<br />

kepada Tuhan, dalam kekecewaan yang maha<br />

berat ketika jiwa terhimpit dan terdesak oleh<br />

kenangan yang tak terlupakan, tawakal itu terbalik<br />

menjadi putus asa.<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 42<br />

❏ Haron Daud<br />

Rasa kecewa Amir untuk mendapat kasih<br />

Ilahi tergambar juga dalam sajak”Tetapi<br />

Aku”antaranya:<br />

Cahaya suci riwarna pelangi<br />

Haru sekuntum bunga rahsia<br />

Menyinggung daku terhantar sunyi<br />

Seperti hauri dengan kepaknya<br />

Rupanya ia mutiara jiwaku<br />

Yang kuselam di laut masa<br />

Gewang canggainya menyentuh rindu<br />

Tetapi aku tidak merasa….<br />

(Nyanyi Sunyi:8)<br />

Namun begitu, Amir tetap mematuhi<br />

Tuhan, patuh pada perintah Allah mengerjakan<br />

sembahyang lima waktu. Dan untuk melihat<br />

”rupa” Tuhan atau mendampingi-Nya, Amir<br />

mengadakan sembahyang sunat-mungkin tahajjut<br />

sebelum terbitnya fajar (sebelum cuaca menali<br />

sutra). Walaupun berusaha bersungguh-sungguh<br />

seperti dalam sajak ”kerana kasihmu”, tetapi masih<br />

belum cukup untuknya mendampingi Tuhan:<br />

Hatiku, hatiku<br />

Hatiku sanyang tiada bahagia<br />

Hatiku kecil berduka raya<br />

Hilang ia yang dilihatnya<br />

(Nyanyi Sunyi:9)<br />

Kegagalan Amir Hamzah mendapatkan<br />

kasih Tuhan menunjukan benar-benar mencintai-<br />

Nya karena menurut Ibnu Arabi:<br />

“Orang yang tidak menghabiskan<br />

kecintaannya kepada Allah Swt.dan tidak<br />

memupuk cintanya kepada Allah tidak<br />

mendapat rahsia hidup yang sebenarnya”<br />

(lihat Hj.Zainal Arifin Abbas, 1979:234)<br />

Justeru itu kebanyakan puisi Amir<br />

Hamzah bermula dengan memuja dan mengakui<br />

kebesaran-Nya tetapi digambarkan dengan nada<br />

kekecewaan.contohnya sajak ”Taman Dunia”:<br />

Kau masukan ke dalam taman-dunia, kekasihku!<br />

Kau pimpin jariku, kau tunjukan bunga tertawa<br />

Kuntum tersenyum<br />

…………………..<br />

Berbisik engkau:<br />

“Taman swarga, taman swarga mutiara rupa”<br />

Engkaupun lenyap<br />

Termangu aku gilakan rupa<br />

(Nyanyi Sunyi:13)<br />

Bait tersebut menunjukkan Amir Hamzah<br />

merasakan seolah-olah bisikan Tuhan itu sebagai<br />

mempermainkannya. Ia hanya termanggu karna<br />

gilakan rupa surga.<br />

Amir Hamzah Seorang Penyair Mistik<br />

Unsur-unsur mistik dapat juga dilihat<br />

dalam sajak ”Tuhan Kembali”. Kata-kata dan<br />

perlambangan yang digunakan oleh penyair<br />

memperlihatkan kebesaran Tuhan-engkau raja,<br />

maha raja. Tuhan adalah penaung dunia. Dengan<br />

pertolongan Allah dapat juga Amir Hamzah<br />

menemuinya:<br />

Diterangi cahaya engkau sinarkan<br />

Aku menaiki tangga mengawan<br />

Kecapi firdausi melena telinga<br />

Menyentuh gambuh dalam hatiku<br />

(Nyanyi Sunyi:20)<br />

Dalam sajak ”Mengawan” rasa ketuhanan<br />

lebih mendalam sehingga Amir Hamzah hampir<br />

mencapai ke puncak cita-citanya untuk menemui<br />

Tuhan:<br />

Naik aku mengawan rahman,mengikut<br />

kawalku membawa warta.<br />

Kuat, sayapku kuat, bawakan aku biar sampai<br />

membidai-belai<br />

cecah tersatuh, di kursi kesturi.<br />

Dari dua petikan di atas rasa ketuhanan<br />

Amir mungkin menghampiri keperingkat<br />

Muqqarabin. Tingkat ini menurut Al-Hallaj ialah<br />

orang yang paling dekat dengan Tuhan. Di atas<br />

dari tingkat Muqqarabin itu tibahlah mereka ke<br />

puncak, sehingga bersatu dengan Tuhan. Tidak<br />

dapat lagi dibedakan atau dipisahkan di antara<br />

Asyik dengan Maksyuknya (Hamka 1980:121).<br />

Sesudah tercapai taraf menemui Tuhan itu tidak<br />

ada lagi baginya kasih akan diri sendiri hilanglah<br />

kesakitan, ia memilih kesusahan bukan kekayaan<br />

dan tidak mempunyai lagi kebebasan diri (Hamzah<br />

Fansuri 1965:60). Di sini timbul persoalan apakah<br />

Amir Hamzah sampai bersatu dengan Tuhan dan<br />

sanggup melupakan kepentingan dunia. Bagi<br />

penulis beliau belum mencapai ke tingkat itu. Ini<br />

jelas sekali dalam bait akhir sajak ”Turun<br />

Kembali”. Miskipun ia telah hampir ke tingkat<br />

tersebut tapi kepentingan dunia tidak dapat di<br />

lupakannya:<br />

Terlihat ke bawah,<br />

Kandil kemerlap<br />

Melambai cempaka ramai tertawa<br />

Hati duniawi melambung tinggi<br />

Berpaling aku turun kembali<br />

(Nynyi Sunyi:20)<br />

Bait tersebut menunjukan cinta penyair<br />

terhadap dunia terutama perempuan (cempaka)<br />

mungkin gadis idamannya yang cantik menawan<br />

yaitu Dewi Sandari - melebih cintanya kepada<br />

Tuhan, malah cintanya kepada Tuhan karena ia<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Haron Daud<br />

mengharapkan syurga.di sana dia akan bertemu<br />

dengan gadis pujaannya. Perhatikan sajak ”Di<br />

Gapura Syurga”:<br />

Nyanyi Firdausi mengasap naik<br />

Macam malam sunyi suara<br />

Perlahan-lahan menyeru waktu<br />

Mengulang kenangan kemasa dunia<br />

Merupa adinda di gapura<br />

Mutu-mutiara menyinar-sinar<br />

Satin-sundusin licin merapin<br />

Badan intan dewi sendari<br />

(H.B.Jassin,1962:45)<br />

Terdapat beberapa buah puisi Amir<br />

Hamzah yang menggambarkan keraguannya<br />

terhadap Tuhan. Sajak-sajak yang bersangkutan<br />

agak sukar dikaitkan denagan unsur-unsur<br />

mistik.umpamanya sajak ”Tuhanku Apatah<br />

Kekal”.<br />

Selangkah gagak beralih warna<br />

Semerbak cempaka sekali hilang<br />

Apatah lagi laguan kasih<br />

Hilang semata tidak ketara…<br />

Tuhanku apatah kekal?<br />

(Buah Rindu:22)<br />

Akibat dari keraguan sifat abadi Tuhan<br />

menyebabkan penyair tidak tetap pegangan.<br />

Kenyakinannya masih berubah-ubah.atau cintanya<br />

terbagi dua yaitu untuk orang di sanyangi dan<br />

Tuhan. Ini terdapat dalam bait terakhir sajak ”Doa<br />

Ponyangku”:<br />

Aduh, kasih hatiku sayang<br />

Alahai hatiku tiada bahagia<br />

Jari menari doa semata<br />

Tapi hatiku bercabang dua<br />

(Nyanyi Sunyi:19)<br />

Amir hamzah ternyata tidak ada pedoman<br />

atau tidak dapat petunjuk Tuhan dalam perjalanan<br />

hidupnya. Ia sendiri merasakan dirinya penuh dosa<br />

seperti yang dilukiskan dalam sajak ”Di dalam<br />

Kelam” antaranya:<br />

Berjalan aku di dalam kelam<br />

Terus lurus moal berhenti<br />

Jantung dilebur dalam jahanam<br />

Kerongkong hangus kering peteri<br />

Meminta aku kekasihkan sayang:<br />

Turunkan hujan embun rahmatmu<br />

Biar padamu api membalam<br />

Semoga pulih pokok percayaku<br />

(Nyanyi Sunyi:24)<br />

Halaman 43<br />

Amir Hamzah Seorang Penyair Mistik<br />

Bait-bait tersebut sekali lagi menunjukan<br />

bahwa penyair masik jauh dari Tuhan dan masih<br />

mengharapkan pertolongan-Nya.<br />

Rasa ketuhanan dari segi Islam makin<br />

tergugat dalam puisi-puisi Amir Hamzah apabila<br />

para pengkaji dapat memaitkannya dengan unsurunsur<br />

Kristen.Terdapatnya ungkapan berikut<br />

dalam sajak ”Padamu Jua”.<br />

Enkau cemburu<br />

Engkau ganas<br />

Mangsa aku dalam cakarmu<br />

Bertukar tangkap dengan lepas<br />

(Nyanyi Sunyi:1)<br />

Bagi H.B.Jassin, tanggapan Amir<br />

Hamzah dalam sesalnya kepada Tuhan itu<br />

menunjukan ada pengaruh Bibel ialah Tuhan<br />

berkata menurut Exodus 20,5: bermaksud jangan<br />

kamu menyembah sujud atau berbuat bakti<br />

kepadanya karena akulah Tuhan, Allahmu, Allah<br />

yang cemburuan adanya, atau Exodus 34,14:<br />

bermaksud karena tidak boleh kamu sujud kepada<br />

ilah lain sebab nama Tuhan ia itulah cemburuan<br />

dan Tuhanlah Allah yang cemburuan adanya<br />

(H.B.Jassin 1962:34-35). Kalau kita tinjau dari<br />

sudut Islam, sifat Tuhan adalah Maha Pengasih<br />

dan Penyayang.<br />

Selain itu, pandangan Amir Hamzah<br />

kepada Nabi Musa dalam sajak ”Permainanmu”<br />

juga dikatakan ia terlalu memberatkan ajaran Bibel<br />

karena menurut Bibel, Musa diarahkan oleh Tuhan<br />

supaya kembali ke Mesir untuk melepaskan atau<br />

membebaskan umatnya dari kazaliman Firaun.<br />

Selain dari pada Jassin. Bakti Seregar dalam<br />

artikelnya berjudul ”Ulasan Sajak-Sajak Amir<br />

Hamzah” juga berpendapat bahwa suasana Kristen<br />

dalam sekolah yang mulai diikutinya pasti<br />

pengaruhi jiwa Amir yang di bentuk oleh agama<br />

Islam, umpamanya dalam sajak ”Hanya Satu”.<br />

Kalaulah benar tanggapan mereka bahwa dalam<br />

beberapa buah sajak Amir Hamzah terdapat unsur<br />

Kristenn bagi penulis amat sedikit atau ia tercipta<br />

di luar kesadaran penyair.<br />

Jika pengunaan watak Musa dan sikap<br />

Tuhan yang cemburuan dan ganas dijadikan<br />

alasan, kita boleh pula mengatakan dalam sajak<br />

Amir terdapat unsur-unsur Hidup, seperti dalam<br />

sajak ”Ragu”:<br />

Asap pujaan berulang-ulang<br />

Naik melingkar kakimu dewa<br />

Rasanya hati melambung-lambung<br />

Restu ku pohonkan aku kurnia<br />

Permaisurimu,uma sudah ku puja<br />

Seroja putih beta sembahkan<br />

Sekarang ini wahai siwa<br />

Pada tuanku beta paparkan<br />

(Buah Rindu:31)<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 44<br />

❏ Haron Daud<br />

Unsur hindunya jelas, penyair menuju<br />

dewa dan padanya ia meminta. Lebih khusus lagi<br />

penyair menggambarkan kasihnya pada Siwa-satu<br />

dari Tuhan Hindu-dan menjadi Umapermaisurinya.<br />

Malah dalam sajak ”Buah Rindu<br />

IV” penyair juga menyembah Dewata mulia raya<br />

dan padanya dia memohon.<br />

Dalam konteks ini, walaupun terdapat<br />

unsur-unsur hindu tapi apakah ia diutarakan<br />

dengan kesadaran rasa kehinduannya atau cuma<br />

sebagai ”pemilihan kata-kata” untuk ganti nama<br />

(simbol) kepada Tuhan dalam Islam. Apakah<br />

mungkin Amir Hamzah yang dibesarkan dalam<br />

lingkungan keluarga yang taat beribadah dan dari<br />

kecil mendapat didikan agama (Islam) (Abu Bakar<br />

Husny 1961:34) masih terpengaruh dengan ajaran<br />

Hindu.Tambahan pula, Amir Hamzah menuangkan<br />

seluruh fitrahnya kepada kultus yang agung,<br />

kerinduan kepada Tuhan di mana ia merindukan<br />

damai dan sunyi (Djamalul Abidin Ass 1970:252).<br />

Jadi, bagi penulis agak sukar menerima tanggapan<br />

bahwa terdapatnya unsur-unsur Kristen dan Hindu<br />

yang cukup kuat dalam sajak-sajak Amir di atas.<br />

Kembali kita kepada pendapat Abu Bakar<br />

Husny yaitu keindahan puisi Amir Hamzah juga<br />

terletak pada bahasa dan iramanya. Ini memang<br />

diakui karena kata-kata dan nada yang digunakan<br />

sungguh menarik, kadang-kadang melahirkan rasa<br />

halus-kearah ketuhanan. Umpamanya sajak<br />

”Barangkali” (Nyanyi Sunyi : 3).Di dalam terdapat<br />

kalimat “yang besar terangkan dunia, yang kecil<br />

terlindung alis”. Ini menggambarkan kebebasan<br />

Tuhan, oleh karena itu, meliputi seluruh dunia dan<br />

tertutup alis manusia karna adanya dalam jiwa<br />

seorang. Begitu juga dengan kata-kata, ”engkau<br />

yang lena dalam hatiku” menggambarkan rasa<br />

ketuhanan telah terpahat di dalam hati penyair.<br />

Kalau kita teliti kata-kata ”akasa awarga nipis<br />

tipis” terdapat penekanan pula konsonan’s’dan<br />

vokal ‘i’.ini seakan-akan membayangkan<br />

kehalusannya dan keghaiban Tuhan.<br />

Sebagai kesimpulan, dalam puisi-puisi<br />

Amir Hamzah memang terdapat sedikit unsurunsurmistik.<br />

Kekuatan unsur itu tidaklah dapat<br />

disampaikan dengan apa yang terdapat dalam<br />

puisi-puisi Hamzah Fansuri, Umar Qayam, Iqbal,<br />

Jalaluddin Rumi, al Hallaj atau Filasut Islam yany<br />

lain. Ini disebabkan Amir Hamzah bukanlah<br />

seorang sufi. Malah sajak ”Doa” karya Chairil<br />

Anwar lebih tebal kepasrahan penyairnya<br />

dibandingan dengan karya-karya Amir Hamzah<br />

termasuk ”Padamu Jua”. Lagipun beliau<br />

mendampingi Tuhan atau mencari kasih dari<br />

Tuhan karena dia kecewa dalam percintaan. Puisipuisi<br />

ketuhannya boleh saja dikatakan sebagai<br />

bersifat pelarian. Di tempat-tempat tertentu ia<br />

menggunakan imej Tuhan (Kekasih) sebagai<br />

simbol buah hatinya (Dewi Sandari). Penggunaan<br />

Amir Hamzah Seorang Penyair Mistik<br />

itu perlu untuk menjaga hati istrinya atau untuk<br />

mengelakan kekecohan dan tidak secara terangterangan<br />

dia memuja gadis tersebut. Namun<br />

begitu, unsur-unsur ketuhanan digunakannya<br />

dengan agak meluas berdasarkan pemahaman<br />

agama yang ada padanya. Apa yang jelas Amir<br />

Hamzah dalam memuja Tuhan tidak pernah dapat<br />

menyatukan dirinya dengan Allah malah<br />

kebanyakannya ia ”kecewa” dengan sifat Allah<br />

yang seolah-olah tidak mempedulikan kasihnya.<br />

Jadi, untuk mengatakan puisi-puisi Amir Hamzah<br />

amat banyak mengandung unsur-unsur mistik<br />

adalah sukar diterima. Kita hanya boleh<br />

mengatakanpuisi-puisi itu khususnya tentang dosa<br />

dan pahala.<br />

-------------------------------<br />

1<br />

Makalah ini telah dipresentasikan pada<br />

Seminar Intenasional Sastra Malaysia-<br />

Indonesia pada tanggal 6 Juni 2006 di<br />

Fakultas Sastra USU dan disunting sesuai<br />

keperluan LOGAT tanpa mengubah isi.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Abbas, Arifin. 1979. Ilmu Tasauf. Kota Bharu:<br />

Pustaka Aman Press.<br />

Anonim. 1955. Bara Api Kesusastraan Indonesia,<br />

Catatan-Catatan tentang Amir Hamzah.<br />

Yogyakarta: Bagian Kesenian Jawatan<br />

Kebudayaan Kem. PP&K.<br />

Ass, Jamalul Abidin. 1970. “59 Tahun Penyair<br />

Amir Hamzah”. Dewan Sastra. Juni.<br />

Hamka. 1980. Perkembangan Tasauf dari Abad ke<br />

Abad. Kuala Lumpur: Pustaka.<br />

Hamzah, Amir. 1991. Nyanyi Sunyi. Jakarta: PT.<br />

Dian Rakyat.<br />

Hamzah, Amir. 1992. Buah Rindu. Jakarta: PT<br />

Dian Rakyat.<br />

Hasmy, A. 1976. Rubai Hamzah Fansuri. Kuala<br />

Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.<br />

Husny, Abu Bakar. 1961. Pujangga Amir Hamzah.<br />

Singapura: Qalam.<br />

Isakandar, T. 1965.”Hamzah Fansuri”. Dewan<br />

Bahasa. Februari.<br />

Jassin, H.B. 1962. Amir Hamzah Raja Penyair<br />

Pujangga Baru. Jakarta: Gunung Agung.<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Haron Daud<br />

Passe, Zakaria M. 1974.”Matinya Penyair Amir<br />

Hamzah. Dan Siksaan Batin Tengku<br />

Tahura”.Dewan Sastra. Desember.<br />

Rathomy, Moh. Abdai. 1981. Tiga Serangkai<br />

Sendi Agama. Singapura: Solo Interprise.<br />

Halaman 45<br />

Amir Hamzah Seorang Penyair Mistik<br />

Yaapar, Md Saleh. 1995. Mysticism & Poetry A<br />

Hermeneutical Reading. Of the Poems of<br />

Amir Hamzah. Kuala Lumpur: Dewan<br />

Bahasa dan Pustaka.<br />

Zainal, Baharuddin. 1973. “ Satu Pembicaraan<br />

Pendek. Karya Amir Hamzah ‘Padamu<br />

Jua”. Dewan Sastra, Juni.<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 46<br />

❏ Petrampilan S. Brahmana<br />

Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:<br />

Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan<br />

dalam Sastra Indonesia<br />

DARI MALAIKAT KE DOA MOHON KEHANCURAN AGAMA:<br />

DEKONSTRUKSI ATAS PANDANGAN KEAGAMAAN<br />

DALAM SASTRA INDONESIA<br />

Pertampilan S. Brahmana<br />

Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />

Abstract<br />

This article tries to analyse the themes of the poems written by Saeful Badar and<br />

Gendhotwukir. The results of the analysis show that both pets deconstruct the religion view<br />

of Indonesian society. Saeful Badar deconstructs angels whereas deconstructs the role of<br />

religion in creating peace.<br />

Key words: poems, deconstruct<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Secara tidak sengaja, saya menemukan dua puisi<br />

dari dua penyair yang berbeda di dunia siber ini.<br />

Puisi yang pertama informasinya masuk ke dalam<br />

email saya, dan puisi yang kedua hasil berselancar<br />

di dunia siber ini. Puisi pertama dengan judul<br />

Malaikat ditulis oleh Saeful Badar, seorang<br />

pengelola Sanggar Sastra Tasik (SST) dari<br />

Tasikmalaya dan dipublikasikan di rubrik<br />

Khazanah harian Pikiran Rakyat Bandung edisi 4<br />

Agustus <strong>2007</strong>. Ketika saya lacak ke situs harian<br />

Pikiran Rakyat, puisi sudah dihapus. Sehingga<br />

puisi yang ada di dalam email saya tersebut saya<br />

salinkan kembali untuk tulisan ini. Puisi yang<br />

kedua Doa Mohon Kehancuran Agama ditulis oleh<br />

orang yang menamakan dirinya Gendhotwukir,<br />

dipublikasikan via situs Rumah Kiri.<br />

Walaupun kedua puisi di atas ditulis oleh<br />

orang yang berbeda, dan entah mungkin tidak<br />

saling mengenal, keduanya berada di dalam jalur<br />

yang sama yaitu agama. Keduanya<br />

mendekonstruksi pikiran kaum umat beragama.<br />

2. KARYA SASTRA DAN AGAMA<br />

Hubungan atau persinggungan karya sastra dengan<br />

agama, bukanlah hal yang baru. Isi karya sastra<br />

ada yang seiring sejalan dengan agama dan ada<br />

yang berbeda jalan. Isi karya sastra yang seiring<br />

sejalan dengan ajaran agama misalnya para<br />

pemegang otoritas keagamaan - walaupun tanpa<br />

mendapat mandat dari Tuhan - menghendaki karya<br />

sastra haruslah mendakwahkan agama kepada<br />

manusia. Karya-karya sastra seperti ini dapat<br />

dikatakan seiring sejalan dengan agama.<br />

Sedangkan isi karya-karya yang tidak<br />

seiring sejalan dengan ajaran agama antara lain<br />

karya Hamzah Fansuri (1550-1600), akibatnya<br />

karya-karya Hamzah Fansuri dibakar. Pembakaran<br />

terhadap karya-karyanya ini, katanya bukan<br />

dikarenakan pandangan keagamaannya, akan tetapi<br />

karena pendapat Hamzah Fansuri yang<br />

bertentangan dengan pandangan penguasa pada<br />

masanya. Kalau pandangan Hamzah Fansuri ini<br />

berkembang di tengah-tengah masyarakat, dapat<br />

menggoyangkan kedudukan penguasa pada masa<br />

itu.<br />

Penggalan puisi yang berisi perdebatan<br />

perihal pandangan Hamzah Fansuri ini adalah<br />

LIIA itu kesudahaan kata<br />

Tauhid makrifat semata-mata<br />

Hapuskan hendak sekalian perkara<br />

Hamba dan Tuhan tiada berbeda<br />

(Dikutip dari Liaw Yock Fang)<br />

Tafsiran atas penggalan puisi di atas,<br />

sama dengan AKU adalah YANG MAHA<br />

TUNGGAL dan YANG MAHA TUNGGAL<br />

adalah AKU. AKU (Hamzah Fansuri) adalah<br />

YANG MAHA TUNGGAL dan YANG MAHA<br />

TUNGGAL adalah AKU (Hamzah Fansuri).<br />

Maknanya Aku adalah Tuhan dan Tuhan adalah<br />

Aku (Hamba dan Tuhan tiada berbeda).<br />

Penggalan puisinya selanjutnya:<br />

Hamzah Fansuri di dalam Makah<br />

Mencari Tuhan di baitul Ka'abah<br />

Di Barus ke Kudus terlalu payah<br />

Akhirnya dapat di dalam rumah<br />

(Dikutip dari Liaw Yock Fang)<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Petrampilan S. Brahmana<br />

Dalam pandangan Hamzah Fansuri,<br />

Tuhan itu tidak perlu dicari jauh-jauh tetapi ada di<br />

dalam hati setiap manusia, ini diungkapnnya.<br />

Potongan Teks Puisinya<br />

Mencari Tuhan di baitul<br />

Ka'abah<br />

……<br />

Akhirnya dapat di dalam<br />

rumah<br />

Penafsirannya<br />

Tuhan itu tidak perlu<br />

dicari jauh-jauh. Tuhan<br />

itu “ada” bekerja di<br />

dalam hati setiap<br />

manusia.<br />

Pandangan di atas jelas berbeda,<br />

bertentangan, bertolak belakang dengan padangan<br />

keagamaan yang berkembang pada masa itu dan<br />

pada masa kini karena antara Tuhan dan manusia<br />

tidak mungkin bersatu. Hubungan Tuhan dengan<br />

manusia, seperti pencipta dengan karya<br />

ciptaannya. Tuhan itu pencipta dan manusia itu<br />

ciptaan Tuhan. Keduanya tidak mungkin sama atau<br />

disamakan. Jelas berbeda dengan pandangan<br />

Hamzah Fansuri tersebut.<br />

Akibat pandangannya tersebut,<br />

konsekuensi yang harus ditanggung Hamzah<br />

Fansuri adalah semua karya-karyanya harus<br />

dibakar, maka menurut ceritanya karya-karya<br />

Hamzah Fansuri dibakar habis oleh pihak yang<br />

berkuasa pada zamannya, yang paling keras<br />

menentang pandangan Hamzah Fansuri tersebut<br />

adalah Nurruddin Al-Raniri dan Abdul Rauf<br />

Singkel. Demikianlah Hamzah Fansuri<br />

mendekonstruksi pandangan keagamaan pada<br />

zamannya.<br />

Kurang lebih sama dengan Hamzah<br />

Fansuri adalah kisah Gatoloco pada masyarakat<br />

Jawa. Cerita ini juga berada dalam jalur<br />

keagamaan, tetapi mendekonstruksi untuk<br />

menghalangi perkembangan agama Islam di tanah<br />

Jawa.<br />

Contoh dekonstruksiannya adalah sebagai<br />

berikut:<br />

"Nabi Mekah yang kau sembah, sudah<br />

tidak ada ujudnya, sudah meninggal<br />

seribu tahun silam, tempatnya pun di<br />

tanah Arab, perjalanan ke sana tujuh<br />

bulan (ketika itu), itu pun dihadang laut,<br />

dan di sana tinggal hanya makamnya,<br />

kalian sembah jungkir balik tiap hari, apa<br />

bisa sampai?"<br />

Contoh ketika Gatoloco mendekonstruksi<br />

pemikiran tiga orang kyiai tentang mata.<br />

Ketika tiga orang kyai mengaku masingmasing<br />

memiliki dua mata, Gatoloco<br />

terbahak-bahak sambil beteriak-teriak.<br />

“Kamu terlalu berani. Sungguh akan<br />

celaka. Mengaku mata yang bukan<br />

Halaman 47<br />

Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:<br />

Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan<br />

dalam Sastra Indonesia<br />

milikmu. Nanti saya laporkan polisi<br />

kamu. Mestinya kamu diikat karena<br />

mengaku matamu dua. Sekarang begini,<br />

jika benar matamu dua, perintahkan yang<br />

satu kamu suruh terjaga dan satunya<br />

tidur. Bergiliran. Dengan begitu, selama<br />

hidupmu tidak akan kecurian”.<br />

“Ngaco. Mana ada mata melek<br />

bergiliran”<br />

“Jika benar mata itu milikmu, kamu pasti<br />

punya kuasa. Seluruh perintahmu pasti<br />

dituruti. Kalau tak menurut, itu berarti<br />

bukan matamu. Begitu kamu berani<br />

mengaku-aku. Kamu dapat dari mana.<br />

Beli atau pinjam. Apa kamu diberi. Jika<br />

ya, siapa yang memberi. Siapa saksinya.<br />

Hari apa diberikan, dan dimana. Hayo<br />

jawab” (Sukahar 1999: 19).<br />

........<br />

Ketiga guru kiyai bersama-sama berkata,<br />

“mana ada mata bergiliran?”<br />

Gatoloco menjawab, “Bila kalian<br />

mengaku matamu tidak pisah, dari mana<br />

kalian dapatkan? Dari membeli ataukah<br />

meminjam? Atau kalian diberi orang,<br />

lalu siapa yang memberimu, siapa<br />

saksinya, dari mana dan hari apa?”<br />

Ketika guru mendengarnya dengan<br />

geleng-geleng kepala, tak dapat berkatakata,<br />

dan akhirnya mereka berkata:<br />

“Ciptaan ayah ibuku!”<br />

Gatoloco terbahak-bahak, “Kiraku kedua<br />

orang tuamu tidak mengakuinya dalam<br />

menciptakan dirimu. Mereka hanya<br />

merasakan kenikmatan cinta, itu sebagai<br />

jalan terjadinya kalian. Mereka tak<br />

berniat menciptakanmu” (Prawirataruna<br />

1990: 46-47).<br />

Dari penggalan dialog di atas, ada dua hal<br />

yang menjadi fokus perhatian, pertama masalah<br />

penguasaan kedua mata yang dimiliki manusia dan<br />

proses kelahiran seorang manusia. Menurut<br />

konstruksi ketiga kyai tersebut, kedua mata yang<br />

dimiliki seorang manusia, adalah miliknya, si<br />

pemilik berkuasa atasnya, demikian juga dengan<br />

kelahiran manusia, manusia itu lahir atas restu<br />

kedua orang tuanya.<br />

Gatoloco mendekonstruksi pemikiran<br />

ketiga kyai tersebut di atas, dengan mengatakan,<br />

kedua mata yang dimiliki seorang manusia itu<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 48<br />

❏ Petrampilan S. Brahmana<br />

bukan miliknya, dia (manusia) itu tidak berkuasa<br />

atasnya, kalau memang benar kedua mata itu milik<br />

manusia, “suruhlah berkedip bergantian, satu<br />

memejam yang satu membelalak. Sehingga selama<br />

hidupnya manusia tidak akan dapat kecurian”.<br />

Kalau bisa berarti kedua mata itu benar-benar<br />

milik manusia dan manusia itu berkuasa atasnya.<br />

Sedangkan tentang penciptaan manusia, manusia<br />

itu dilahirkan orang tuanya bukan disengaja, tetapi<br />

hanyalah dampak dari ketika kedua orang yang<br />

disebut orang tua tersebut “merasakan kenikmatan<br />

cinta”.<br />

3. DARI PUISI MALAIKAT KE PUISI<br />

DOA MOHON KEHANCURAN<br />

AGAMA<br />

Kini puisi yang mendekonstruksi pandangan<br />

keagamaan, muncul kembali. Puisi pertama<br />

dipublikasikan melalui rubrik Khazanah harian<br />

Pikiran Rakyat Bandung edisi 4 Agustus <strong>2007</strong>,<br />

ditulis oleh Saeful Badar, seorang pengelola<br />

Sanggar Sastra Tasik (SST) dari Tasikmalaya<br />

dengan judul “Malaikat“, sedangkan puisi kedua<br />

dipublikasikan pada situs Rumah Kiri, ditulis oleh<br />

Gendhotwukir, dengan judul “Doa Mohon<br />

Kehancuran Agama“.<br />

Kedua puisi ini bagi yang tidak dapat<br />

memahami ada apa di balik teks mengatakan puisi<br />

yang lugas, puisi yang bersifat denotatif, langsung<br />

menuju kepada maksudnya, dan akan mengatakan<br />

bukan seperti itu puisi yang baik, puisi yang baik<br />

adalah puisi yang bersifat konotatif. Maka semakin<br />

misterius sebuah puisi (makin sulit seseorang<br />

memahami sebuah puisi), semakin bagus puisi<br />

tersebut, maka semakin hebat penulisnya. Contoh<br />

puisi seperti ini adalah puisi yang selalu<br />

diistilahkan puisi bunga. Penilaian seperti ini sahsah<br />

saja.<br />

3.1 Puisi Malaikat Karya Saeful Badar<br />

Seperti telah dikemukakan puisi ini pertama sekali<br />

dipublikasikan pada rubrik Khazanah harian<br />

Pikiran Rakyat Bandung edisi 4 Agustus <strong>2007</strong>,<br />

tetapi saya menemukannya di dalam email saya.<br />

Penulisnya adalah Saeful Badar, seorang pengelola<br />

Sanggar Sastra Tasik (SST) dari Tasikmalaya.<br />

MALAIKAT<br />

Mentang-mentang punya sayap<br />

Malaikat begitu nyinyir dan cerewet<br />

Ia berlagak sebagai makhluk baik<br />

Tapi juga galak dan usil<br />

Ia meniup-niupkan wahyu<br />

Dan maut<br />

Ke saban penjuru<br />

(Saeful Badar <strong>2007</strong>)<br />

Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:<br />

Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan<br />

dalam Sastra Indonesia<br />

Kehadiran puisi ini mendapat reaksi dari<br />

kalangan DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia)<br />

Jawa Barat. Puisi ini oleh kalangan DDII (Dewan<br />

Dakwah Islam Indonesia) Jawa Barat menganggap<br />

menghina agama Islam, karena dianggap<br />

mempermainkan “Malaikat”. Sebenarnya bukan<br />

hanya pihak Islam saja yang patut marah, pihak<br />

Kristen, apakah itu Kristen Orthodoks, Katolik dan<br />

Protestan juga berhak marah (kalau boleh marah),<br />

sebab dalam agama Kristen juga mempunyai<br />

Malaikat dengan istilah Malaikat.<br />

Suara protes tersebut muncul dari pihak<br />

Islam dalam hal ini DDII Jawa Barat saja.<br />

Argumen yang dikemukakan oleh DDII tersebut<br />

adalah:<br />

1 Sajak berjudul "Malaikat" karya Saeful<br />

Badar tersebut, jauh dari nilai estetika seni<br />

sastra, sekaligus tidak mengandung etika<br />

penghormatan terhadap agama, khususnya<br />

agama Islam. Oleh karena itu, sajak<br />

tersebut dapat dikategorikan menghina<br />

agama, khususnya Islam.<br />

2 Jika penulisan dan pemuatan sajak tersebut<br />

dilakukan tanpa ada maksud melecehkan<br />

Islam, hal itu mengindikasikan<br />

"kebodohan" penulis dan redaktur tentang<br />

konsep malaikat dalam agama-agama<br />

samawi, khususnya Islam.<br />

3 Jika penulisan dan pemuatan sajak tersebut<br />

dilakukan dengan sengaja untuk<br />

memancing amarah umat Islam dan<br />

menista ajaran Islam, tindakan tersebut<br />

serupa dengan apa yang dilakukan para<br />

penista Islam, seperti kasus Salman<br />

Rushdie dengan novel "Ayat-ayat Setan",<br />

koran Jylland-Posten Denmark dengan<br />

karikatur Nabi Muhammad saw., dan<br />

kasus-kasus lainnya yang dinilai<br />

melecehkan Islam dan kaum Muslimin.<br />

4 Kami menganggap permohonan maaf saja<br />

tidak cukup, karena ini menyangkut akidah<br />

Islam, sehingga harus ada tindakan lebih<br />

jauh, seperti klarifikasi tentang sosok<br />

malaikat yang sebenarnya, sekaligus<br />

meng-counter opini yang dibangun penulis<br />

sajak lewat judul sajak "Malaikat" yang<br />

telanjur dipublikasikan.<br />

5 Dalam konsep ajaran Islam, Malaikat<br />

adalah satu dari sekian banyak makhluk<br />

ciptaan Allah SWT yang mendapat<br />

keistimewaan tersendiri. Mereka<br />

merupakan makhluk rohani bersifat gaib,<br />

tercipta dari cahaya (nur), selalu tunduk<br />

patuh, taat, dan tak pernah ingkar kepada<br />

Allah SWT. Malaikat menghabiskan waktu<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Petrampilan S. Brahmana<br />

siang-malam untuk mengabdi kepada<br />

Allah SWT. Mereka tidak pernah berbuat<br />

dosa dan tidak pernah mengerjakan apa<br />

pun atas inisiatif sendiri, selain<br />

menjalankan titah kuasa perintah Allah<br />

SWT semata. Mereka diciptakan Allah<br />

SWT dengan tugas-tugas tertentu.<br />

6 Bagi umat Islam, percaya (iman) kepada<br />

Malaikat, adalah bagian dari rukun Iman<br />

yang enam, di samping iman kepada Allah,<br />

Rasul-rasul Allah, Kitab-kitab Allah,<br />

Qodlo-Qodar (takdir), dan hari akhir. Iman<br />

kepada Malaikat menjadi bagian terpenting<br />

dari tauhid (mengesakan Allah) dan<br />

membebaskan manusia dari syirik<br />

(menyekutukan Allah).<br />

7 Dengan demikian, bagi umat Islam,<br />

Malaikat bukan sosok yang bisa<br />

dipermainkan atau diolok-olok, baik oleh<br />

ucapan, kalimat, maupun tindakan, oleh<br />

seorang penyair, sekalipun atas nama<br />

kebebasan berekspresi.<br />

Sumber: Faith Freedom International - Forum Indonesia.<br />

20 Aug <strong>2007</strong><br />

Protes DDII ini mendapat perlawanan<br />

juga dalam bentuk protes antara lain dari AJI<br />

(Aliansi Jurnalis Independen) Bandung. Menurut<br />

AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Bandung,<br />

pelarangan terhadap Puisi “Malaikat: adalah<br />

bertentangan dengan konstitusi negara, Undang-<br />

Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945,<br />

pasal 28 yang menjamin hak warga negara untuk<br />

mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.<br />

Oleh karena itu, tindakan-tindakan yang berupaya<br />

memasung kemerdekaan berpikir dan berekspresi,<br />

merupakan pelanggaran atas konstitusi tertinggi<br />

negara--Undang-Undang Dasar tahun 1945.<br />

Tindakan tersebut jelas-jelas ancaman bagi<br />

keberlangsungan demokrasi di Indonesia.<br />

Aliansi Jurnalis Independen Kota<br />

Bandung, pada tanggal 13 Agustus <strong>2007</strong>,<br />

menyatakan pendapatnya bahwa:<br />

1 Mengecam segala tindakan yang<br />

memasung kemerdekaan berpikir dan<br />

berekspresi.<br />

2 Mendesak kepolisian untuk bertindak<br />

tegas terhadap pihak-pihak yang<br />

melanggar konstitusi negara (dalam hal ini<br />

pihak yang melakukan intimidasi terhadap<br />

karya sastra).<br />

3 Mendesak media massa agar<br />

bertanggungjawab terhadap segala<br />

kemungkinan yang akan dihadapi yang<br />

Halaman 49<br />

Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:<br />

Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan<br />

dalam Sastra Indonesia<br />

menyangkut penerbitannya. Segala beban<br />

tanggungjawab agar tidak diserahkan<br />

semata-mata terhadap wartawan secara<br />

individu.<br />

Sumber: www.ajiindonesia.org<br />

Pernyataan Aliansi Jurnalis Independen<br />

Kota Bandung tersebut ditandatangangi oleh<br />

Sekretaris Mulyani Hasan dan Koordinator Divisi<br />

Advokasi Ahmad Yunus.<br />

Dukungan protes juga datang dari 21<br />

komunitas seniman dan elemen masyarakat,<br />

Komunitas Azan-Tasikmalaya, Sanggar Sastra<br />

Tasikmalaya, Teater Bolon-Tasikmalaya,<br />

Komunitas Malaikat-Ciparay, Institut Nalar-<br />

Jatinangor, Aliansi Jurnalis Independen Bandung,<br />

Forum Studi Kebudayaan Institut Teknologi<br />

Bandung, Masyarakat Antikekerasan, Gerbong<br />

Bawah Tanah-Bandung, BPK 0I-Tasikmalaya,<br />

Teater 28-Tasikmalaya, Study Oriented Culture<br />

Tasikmalaya, Teater Prung Jatinangor, Lingkar<br />

Studi Sastra Cirebon, Komunitas Cupumanik-<br />

Bandung, Forum Diskusi Wartawan Bandung,<br />

Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak<br />

Kekerasan, Ikatan Keluarga Orang Hilang,<br />

Lembaga Kajian Agama dan HAM Tasikmalaya,<br />

Rumah Kiri, dan Forum Solidaritas Jurnalis Garut.<br />

Mereka juga turut prihatin dan penyesalan<br />

terhadap pemberangusan sajak “Malaikat” karya<br />

Saeful Badar. Menurut 21 komunitas seniman dan<br />

elemen masyarakat di atas.<br />

1 Hak tiap individu untuk mengungkapkan<br />

diri baik secara lisan maupun secara tertulis<br />

patut dilindungi. Dalam konteks tata<br />

kehidupan di Indonesia, perlindungan akan<br />

hak tersebut telah menjadi kesepakatan<br />

kolektif, bahkan dinyatakan secara tegas<br />

dalam konstitusi. Oleh karena itu, kami<br />

sangat prihatin dan turut menyesalkan<br />

pemberangusan atas sajak “Malaikat” karya<br />

penyair Saeful Badar. Kami juga sangat<br />

prihatin dan menyesalkan pendiskreditan<br />

nama baik penyair Saeful Badar, yang<br />

disebut-sebut seperti Salman Rusdhie,<br />

sehingga penyair Saeful Badar mengalami<br />

berbagai tekanan.<br />

2 Kami juga menentang dan menyesalkan<br />

segala bentuk pemutlakan tafsir atas karya<br />

seni dan sastra oleh individu dan golongan<br />

tertentu, serta menentang dan menyesalkan<br />

segala bentuk sikap yang tidak toleran.<br />

Pemutlakan tafsir dan sikap tidak toleran<br />

merupakan bentuk kekerasan simbolis yang<br />

bisa membuka gerbang ke arah berbagai<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 50<br />

❏ Petrampilan S. Brahmana<br />

kekerasan fisik dan psikis. Perbedaan<br />

pandangan, pikiran, dan sikap sehubungan<br />

dengan suatu hal sepatutnya tidak sampai<br />

menutup peluang bagi terwujudnya<br />

keadilan.<br />

3 Kami juga menentang dan menyesalkan<br />

sikap dan tindakan yang cenderung<br />

membawa-bawa agama, atau menekankan<br />

pertimbangan bernada keagamaan, sebagai<br />

tameng bagi pemutlakan dan pemaksaan<br />

sikap dan pandangan individu dan<br />

golongan tertentu. Janganlah mempermainmainkan<br />

agama demi tujuan-tujuan yang<br />

sempit, picik, dan pendek.<br />

4 Pada hemat kami, ruang publik sebagai<br />

wahana ekspresi kolektif perlu dipelihara<br />

dan dikembangkan. Dalam hal ini, kami<br />

menyatakan bahwa media massa, sebagai<br />

salah satu institusi sosial yang mengelola<br />

ruang ekspresi kolektif, sepatutnya dapat<br />

menjaga integritasnya sehingga tidak<br />

mudah dipermainkan oleh individu dan<br />

kelompok tertentu yang sikap dan<br />

tindakannya tidak sejalan dengan<br />

pemeliharaan ruang publik.<br />

Sumber:<br />

http://kapasmerah.wordpress.com/<strong>2007</strong>/08/14/pernyat<br />

aan-bersama-menyikapi-polemik-puisi-malaikat/<br />

Puisi Malaikat tersebut sebenarnya<br />

mendekonstruksi pandangan umum tentang<br />

Malaikat. Pandangan umum tentang Malaikat<br />

seperti yang dikemukakan oleh DDII.<br />

Dalam ajaran Islam, Malaikat adalah satu dari<br />

sekian banyak makhluk ciptaan Allah SWT<br />

yang mendapat keistimewaan tersendiri.<br />

Mereka merupakan makhluk rohani bersifat<br />

gaib, tercipta dari cahaya (nur), selalu tunduk<br />

patuh, taat, dan tak pernah ingkar kepada Allah<br />

SWT. Malaikat menghabiskan waktu siangmalam<br />

untuk mengabdi kepada Allah SWT.<br />

Mereka tidak pernah berbuat dosa dan tidak<br />

pernah mengerjakan apa pun atas inisiatif<br />

sendiri, selain menjalankan titah kuasa perintah<br />

Allah SWT semata. Mereka diciptakan Allah<br />

SWT dengan tugas-tugas tertentu.<br />

Bagi umat Islam, percaya (iman) kepada<br />

Malaikat, adalah bagian dari rukun Iman yang<br />

enam, di samping iman kepada Allah, Rasulrasul<br />

Allah, Kitab-kitab Allah, Qodlo-Qodar<br />

(takdir), dan hari akhir. Iman kepada Malaikat<br />

menjadi bagian terpenting dari tauhid<br />

(mengesakan Allah) dan membebaskan<br />

manusia dari syirik (menyekutukan Allah).<br />

Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:<br />

Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan<br />

dalam Sastra Indonesia<br />

Saeful Badar mendekonstruksi citra<br />

tersebut dengan mengungkapkan:<br />

Mentang-mentang punya sayap<br />

Malaikat begitu nyinyir dan cerewet<br />

Ia berlagak sebagai makhluk baik<br />

Tapi juga galak dan usil<br />

Ia meniup-niupkan wahyu<br />

Dan maut/Ke saban penjuru.<br />

Ungkapan tersebut menimbulkan kesan<br />

mengolok-olok, atau mempermain-mainkan<br />

Malaikat.<br />

Saeful Badar memang sah-sah saja<br />

mendekonstruksinya, apalagi baik antara Saeful<br />

Badar dan pihak-pihak yang keberatan terhadap<br />

puisinya di atas, sama-sama tidak punya mandat<br />

dari Tuhan Yang Maha Esa untuk mengatakan<br />

Saeful Badar yang salah, atau lawan Saeful Badar<br />

yang benar. Atau sebaliknya Saeful Badar yang<br />

benar, lawan Saeful Badar yang salah.<br />

3.2 Puisi Doa Mohon Kehancuran Agama oleh<br />

Gendhotwukir<br />

Puisi ini dipublikasikan pada situs Rumah Kiri.<br />

Puisi ini berbeda dengan puisi Malaikat“ karya<br />

Saeful Badar. Puisi Gendhotwukir, justru<br />

mendoakan dan memohon agar agama hancur.<br />

Gendhotwukir<br />

Doa Mohon Kehancuran Agama<br />

kepada Allah yang dipuja di label dunia atas<br />

nama agama<br />

diagung-agungkan sebagai pencipta dan<br />

pengatur semesta<br />

aku mohon kehancuran agama<br />

jika atas nama agama tidak ada penghargaan<br />

martabat sesama manusia<br />

jika atas nama agama, ada yang terluka<br />

bahkan mati binasa<br />

terinjak-injak oleh bejat dan nafsu belaka<br />

bahkan oleh teriak para pemangku agama<br />

jika salaman saja bagi yang berbeda menjadi<br />

sia-sia<br />

dan nista hukumnya<br />

jika kedatangan sesama manusia menjadi<br />

berjarak hanya karena beda agama<br />

jika karena pantang-pantang, persaudaraan<br />

menjadi baur mengudara<br />

jika manusia telah menjadi "allah" atas<br />

sesamanya<br />

jikapun dengan cara demikian orang masuk<br />

surga,<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Petrampilan S. Brahmana<br />

maka akulah orang yang pertama memilih<br />

masuk neraka<br />

sekali lagi aku mohon kehancuran agama<br />

Jerman, 18.02.06<br />

Sumber:<br />

http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&tas<br />

k=category&sectionid=5&id=12&Itemid=271 (30/08/<strong>2007</strong>)<br />

Bagaimana menyikapi puisi ini? Ada apa<br />

di balik teks puisi Gendhotwukir tersebut? Fakta<br />

atau faktual? Jawabnya keduanya, fakta dan<br />

faktual.<br />

Nurcholis Madjid pada tulisannya di<br />

Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an.<br />

<strong>No</strong>mor I, <strong>Vol</strong> IV, tahun 1993 (Madjid, 1993:7-8)<br />

menulis: “Peta dunia sekarang (1993) sedang<br />

ditandai oleh konflik-konflik dengan warna<br />

keagamaan. Meskipun agama bukanlah satusatunya<br />

faktor, namun jelas sekali bahwa<br />

pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik<br />

itu dan dalam eskalasinya sangat banyak<br />

memainkan peranan. Di ujung paling utara, di<br />

Irlandia ialah pertentangan tidak berkesudahan<br />

antara kaum Katolik dan kaum Protestan. Dan di<br />

tengah-tengah Eropah, sekitar Perancis dan<br />

Jerman, sedang terjadi konflik-konflik yang malumalu<br />

disebut bernuansa keagamaan (karena akan<br />

menodai "liberalisme" mereka) dan terbungkus<br />

rasialisme atau kepentingan ekonomi terhadap para<br />

pekerja asing yang kebanyakan beragama Islam.<br />

Sedikit ke selatan, dan masih dalam wilayah<br />

Eropah, kita mendapati bentuk paling baru konflik<br />

dengan banyak warna keagamaan yaitu di Bosnia-<br />

Herzegivina. Kemudian di Cyprus, betapapun juga<br />

pertentangan antara mereka yang keturunan Turki<br />

dan yang keturunan Yunani tetap sedikit banyak<br />

diwarnai oleh sentimen keagamaan. Konflikkonflik<br />

di Palestina khususnya Timur Dekat<br />

umumnya yang melibatkan kaum Yahudi, Muslim<br />

dan Kristen, dengan faksi masing-masing yang<br />

cukup membingungkan, hampir merupakan<br />

anomali bagi sebuah tempat buaian peradapan<br />

manusia yang paling berpengaruh, dan jelas<br />

anakronistik bahwa kaum Yahudi hendak<br />

mendirikan negara agama di zaman moderen atas<br />

bantuan negara moderen. Di Afrika Hitam pun<br />

konflik-konflik dengan warna keagamaan juga<br />

tidak mudah disembunyikan. Di Sudan ada konflik<br />

antara Islam yang "Arab" di sebelah <strong>Utara</strong> dan<br />

Kristen yang "Negro" di sebelah Selatan. Belum<br />

lagi konflik-konflik karena rasialisme dan paham<br />

apartheid, yang juga mengundang keterlibatan<br />

berbagai tokoh keagamaan (Kristen). Negerinegeri<br />

Timur Tengah yang lain, juga diramaikan<br />

oleh konflik-konflik dengan warna keagamaan,<br />

Halaman 51<br />

Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:<br />

Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan<br />

dalam Sastra Indonesia<br />

sebagian daripadanya sungguh dramatis. Tidak<br />

saja konflik antara Irak dan Iran merupakan<br />

konflik antara pemerintah yang berturut-turut<br />

didominasi oleh Islam Sunni dan Islam Syi'i,<br />

bahkan juga masing-masing pihak dengan jelas<br />

menggunakan simbol-simbol keagamaan, seperti<br />

heorisme Q'adisiyyah dari pihak Irak dan jihad<br />

melawan thaghut (tiran) yang jelas ateis dari pihak<br />

Iran. Perang teluk yang dahsyat itu secara resmi<br />

terhindar dari pewarnaan keagamaan, namun tidak<br />

luput terjadi persepsi populer yang aneh di<br />

sementara kalangan bahwa perang itu adalah<br />

perang antara Islam (Irak) melawan kekafiran<br />

(Kuwait, Saudi, Syria, Mesir, yang dibantu negerinegeri<br />

Barat khususnya Amerika)!. Dan jika kita<br />

teruskan ke Timur, kita melewati Afghanistan<br />

yang masih dalam kemelut konflik-konflik politik<br />

dengan tema perebutan keabsahan menurut jenis<br />

penganut keagamaan (Islam) mereka. Anak Benua<br />

sekitarnya juga meriah dengan percekcokan<br />

keagamaan: Islam Sunnah lawan Islam Syi'ah di<br />

Pakistan, Hindu lawan Islam di India, Hindu lawan<br />

Budhisme (dan Islam) di Srilangka, dan Budhisme<br />

lawan Islam di Burma dan Thailand. Di Filipina<br />

kita sudah lama mengetahui adanya konflik yang<br />

berlarut-larut antara Katolik dan Islam. Di tempattempat<br />

lain, konflik keagamaan itu jelas selalu<br />

merupakan potensi yang syukurlah belum, tidak<br />

atau malah tidak akan terbuka”.<br />

Pendapat Nurcholis Madjid ini pernah<br />

ditentang habis-habisan oleh beberapa orang yang<br />

tidak sejalan dengannya. Mereka tidak sependapat<br />

dengan pandangan tersebut. Pertanyaan kita<br />

kemudian, mengapa dalam agama yang diajarkan<br />

begitu mulia dapat berbuat sebaliknya,<br />

bertentangan dengan isi pengajarannya?<br />

Jawabannya dapat bermacam-macam, bergantung<br />

kepada bingkai (framing) yang digunakan. Bingkai<br />

politik misalnya, di Indonesia sejak Orde Lama,<br />

bahkan sebelum Indonesia terbentuk menjadi<br />

sebuah negara hingga Orde Baru dan Orde<br />

Reformasi, agama dijadikan kudatunggangan oleh<br />

para elit politik untuk meraih kekuasaan duniawi<br />

melalui partai politik, melalui organisasi<br />

keagamaan. Lihat saja Politisasi Agama pada masa<br />

Orde Lama berikut ini.<br />

Aliran<br />

Islam<br />

Kristen<br />

Awal Kemerdekaan<br />

(1908-1955)<br />

Masjumi, NU, PSII,<br />

Perti<br />

Partai Katolik,<br />

Parkindo.<br />

Orde Lama<br />

(1955-1965)<br />

Masjumi, NU, PSII,<br />

Perti, PPTI, AKUI,<br />

PSII Abikusno<br />

Partai Katolik,<br />

Parkindo.<br />

Hasilnya sudah kita ketahui, munculnya<br />

pemberontakan-pemberontakan yang bersenjata,<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


Halaman 52<br />

❏ Petrampilan S. Brahmana<br />

ada yang bersifat keagamaan. Kemudian wacana<br />

memformalkan syariat Islam ke dalam tatanegara<br />

Indonesia, adalah bukti bahwa agama dijadikan<br />

kudatunggangan oleh elit politik, atau kaum ulama<br />

memasuki dunia politik.<br />

Pada masa Orde Baru, politisasi agama<br />

sebagai berikut.<br />

Aliran<br />

Islam<br />

Kristen<br />

Orde<br />

(1965-1973)<br />

NU, PSII, Perti,<br />

Parmusi.<br />

Partai Katolik,<br />

Parkindo.<br />

Baru<br />

(1973-1998)<br />

PPP<br />

Pada masa Orde Reformasi, politisasi<br />

agama sebagai berikut:<br />

Aliran Masa Reformasi (1999-2003)<br />

Islam PPP, PBB, PK, PSII, Masyumi<br />

Kristen PDKB, KRISNA<br />

Ini adalah yang bersifat formal, di balik<br />

formal tersebut yang dikatakan bersifat informal,<br />

perilaku politisasi ini bertaburan di balik istilah<br />

koncoisme, kolusi dan nepotisme, banyak<br />

dilakukan atas nama seiman, sesama umat. Bahkan<br />

ada yang berpandangan, orang-orang yang tidak<br />

seagama disebut kafir.<br />

Faktanya tidak ada bukti material yang<br />

meyakinkan manusia bahwa Tuhan Yang Maha<br />

Esa, pernah ada memberikan mandat manusia<br />

(kelompok manusia) manapun di dunia ini untuk<br />

mewakili atau membela kepentingan Tuhan di<br />

muka bumi ini. Tidak ada bukti material<br />

meyakinkan bahwa yang dikategorikan sebagai<br />

kitab suci benar-benar ajaran yang bersumber dari<br />

Tuhan Yang Maha Esa. Semua karena tafsiran.<br />

Mungkin inilah yang hendak dibongkar,<br />

disadarkan oleh Gendhotwukir melalui puisinya<br />

tersebut seperti di bawah ini.<br />

jika atas nama agama tidak ada penghargaan<br />

martabat sesama manusia<br />

jika atas nama agama, ada yang terluka<br />

bahkan mati binasa<br />

terinjak-injak oleh bejat dan nafsu belaka<br />

bahkan oleh teriak para pemangku agama<br />

jika salaman saja bagi yang berbeda menjadi<br />

sia-sia<br />

dan nista hukumnya<br />

jika kedatangan sesama manusia menjadi<br />

berjarak hanya karena beda agama<br />

......<br />

maka akulah orang yang pertama memilih<br />

masuk neraka<br />

sekali lagi aku mohon kehancuran agama<br />

-<br />

Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:<br />

Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan<br />

dalam Sastra Indonesia<br />

Masalah sekarang rasionalkah isi doa<br />

tersebut yaitu ingin menghancurkan agama agar<br />

manusia menjadi bermartabat tanpa melalui<br />

agama? Soal rasional tidaknya isi doanya tersebut,<br />

memang dapat diperdebatkan, kehancuran agama<br />

yang dimaksud, kehancuran yang bagaimana?<br />

Kalau menghancurkan semua agama yang ada,<br />

jelaslah tidak mungkin, agama atas nama<br />

kelompok seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu,<br />

Budha dan lainnya tidak akan pernah dapat hancur,<br />

dalam renungan agama sudah berada, bukan<br />

mengada, artinya agama sudah benar-benar hadir<br />

di dunia ini, didukung oleh jutaan manusia, agama<br />

bukan lagi sebagai wacana-wacana. Berjuta-juta<br />

manusia telah merasakan peranan agama dalam<br />

hidup dan kehidupan mereka. Mereka yang<br />

demikian tidak akan bakalan mau menghancurkan<br />

agama mereka.<br />

Bahasa yang ada untuk eksistensi agama<br />

ini adalah pengikut atau umat beragama dapat<br />

mengalami masa surut seperti air laut yang ada<br />

pasang surutnya. Ketika masa surut umatnya<br />

berkurang, ketika masa pasang umatnya banyak.<br />

Justru di masa depan dengan hancurnya ikatan<br />

kekerabatan (hubungan darah), karena<br />

berkembangnya paham pragmatisme dalam<br />

berkerabat, atau karena jauhnya kerabat dari<br />

tempat tinggal seseorang, acara suka dan duka<br />

yang dialami yang selama ini ditangani oleh kaum<br />

kerabat, akan diambil alih oleh kerabat baru yang<br />

bernama seagama. Merekalah yang mengisi<br />

kekosongan peran kerabat sedarah tersebut,<br />

terutama di kota-kota besar khususnya di<br />

Indonesia. Hancurnya kekerabatan ini bukan<br />

seratus persen karena faktor agama, tetapi karena<br />

faktor pragmatisme dalam berkerabat, sehingga<br />

kelompok tetangga yang seagama yang akhirnya<br />

dianggap sebagai kerabat terdekat yang dapat<br />

menggantikan peran dan fungsi kerabat sedarah<br />

tersebut.<br />

Kalaupun hancur agama atas nama<br />

kelompok seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu,<br />

Budha dan lainnya, kehancurannya akan diisi oleh<br />

kelompok „agama“ baru. Kelompok „agama“ baru<br />

ini, akan mengambil sisi-sisi positif dari agama<br />

atas nama kelompok tersebut. Bibit ini saat ini<br />

berkembang, tetapi belum pesat yaitu aliran<br />

teosofi. Aliran teosofi ini, mengkaji, mempelajari<br />

Tuhan bersifat lintas agama. Saat ini kelompok<br />

teosofi ini, hanya sebatas mengkaji Tuhan lintas<br />

agama, belum mengambil alih peran kerabat dalam<br />

suka dan duka. Bila kelompok teosofi ini, akhirnya<br />

mengambil alih peran suka dan duka, maka<br />

kemungkinannya dapat berkembang mengalahkan<br />

agama kelompok tersebut.<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


❏ Petrampilan S. Brahmana<br />

Jadi, puisi Gendhotwukir dengan judul<br />

Doa Mohon Kehancuran Agama tidak akan<br />

terbukti. Hancur agama kelompok seperti Islam,<br />

Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan lainnya,<br />

akan melahirkan kelompok agama baru dengan<br />

nama yang berbeda dengan ajarannya diambil<br />

(sintesa) dari hal-hal yang dianggap positif dari<br />

agama kelompok tersebut.<br />

Namun, misi puisi Gendhotwukir tersebut<br />

di atas jelas. Kekecewan Gendhotwukir karena dia<br />

menganggap atas nama agama saat ini tidak ada<br />

penghargaan kepada martabat sesama manusia,<br />

atas nama agama, banyak yang terluka, mati,<br />

bahkan jika bersalaman saja bagi yang berbeda<br />

agama dihindari, yang ada saat ini adalah manusia<br />

telah menjadi "Allah" atas sesamanya. Kalau tesis<br />

ini benar, maka itu “ngawur“ namanya, manusia<br />

sudah ngawur demi kepentingan dirinya,<br />

kelompoknya, bukan kepentingan manusia secara<br />

universal.<br />

4. PENUTUP<br />

Dibandingkan dengan puisi Malaikat di atas, puisi<br />

Gendhotwukir ini jauh lebih kuat kesan<br />

tendensnya walaupun keduanya bermain-main di<br />

wilayah agama. Puisi Malaikat mendekonstruksi,<br />

membongkar pandangan masyarakat perihal<br />

“Malaikat“, sehingga memberi kesan puisi<br />

Malaikat seperti melecehkan “Malaikat“ salah satu<br />

simbol yang dihormati baik dalam agama Islam<br />

maupun Kristen, puisi Doa Mohon Kehancuran<br />

Agama justru ingin „menghancurkan“ agama.<br />

Menghancurkan sama dengan menaklukkan atau<br />

membinasakan ini tidak rasional. Kedua puisi<br />

tersebut mendekonstruksi pandangan keagamaan<br />

yang ada di dalam masyarakat Indonesia<br />

khususnya.<br />

Dilihat dari segi jarak waktu mulai era<br />

Hamzah Fansuri ((1550-1600) dan Gatoloco,<br />

karya-karya sastra Indonesia yang berani<br />

Halaman 53<br />

Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:<br />

Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan<br />

dalam Sastra Indonesia<br />

mendekonstruksi pandangan keagamaan<br />

masyarakat Indonesia baru pada era reformasi ini<br />

muncul kembali. Pendekonstruksian ini perlu agar<br />

masyarakat tidak mudah diakal-akali oleh mereka<br />

yang mengaku-ngaku mewakili Tuhan di dunia ini,<br />

sementara Tuhan sendiri tidak pernah memberikan<br />

mandat kepada mereka. Tuhan perlu uang katanya,<br />

akal sehat kita membisikan, Tuhan tidak perlu<br />

uang, yang perlu uang itu manusia. Gelar Ustad,<br />

Pendeta, Biksu, ulama dan lainnya, hanyalah gelar<br />

hasil buatan manusia, bukan pemberian dari Tuhan<br />

si Penguasa Alam.<br />

Puisi Malaikat karya Saeful Badar dan<br />

puisi Doa Mohon Kehancuran Agama karya<br />

Gendhotwukir, sudah memulai mencoba<br />

menghindarkan bangsa ini pecah karena politisasi<br />

agama. Maka dapat dipahami kedua puisi ini<br />

sebenarnya secara tidak langsung juga<br />

mendekonstruksi, konstruksi keagamaan yang<br />

dibuat oleh para “politisi“.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusastraan<br />

Melayu Klasik. Jakarta: Penerbit Erlangga.<br />

Madjid, Nurcholish. 1993. “Beberapa Renungan<br />

Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk<br />

Generasi Mendatang”. Dalam Jurnal Ilmu<br />

dan Kebudayaan Ummul Qur'an. <strong>Vol</strong>. IV, 1.<br />

Prawirataruna. 1990. Falsafah Gatoloco.<br />

Semarang: Dahara Prize.<br />

Sukahar, Joko Su’ud. 1999. Tafsir Gatolotjo.<br />

Surabaya: Wuwung.<br />

Sukahar, Joko Su’ud. <strong>2007</strong>. Tafsir Gatolotjo.<br />

Jakarta: Agromedia Pustaka.<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>III</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2007</strong>


TENTANG PENULIS<br />

1. Isma Tantawi<br />

Isma Tantawi lahir pada tanggal 7 Februari 1960 di Kuning Aceh Tenggara (sekarang Kabupaten<br />

Gayo Lues). Beliau adalah staf pengajar tetap di Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />

mengasuh mata kuliah Sastra Bandingan, Estetika, dan Sastra Malaysia Modern serta mengajar di<br />

beberapa perguruan tinggi swasta di <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> dan sebagai dosen tamu di Kolej Sentral Kuala<br />

Limpur, Malaysia. Beliau menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) di Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong><br />

<strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> (FS USU) tahun 1986 dan pendidikan master (S-2) di Pusat Pengajian Ilmu<br />

Kemanusiaan Universiti Sains Malaysia (PPIK USM) tahun 2006 dengan bidang kajian tradisi lisan<br />

nusantara. Di samping itu juga beliau aktif mengikuti seminar nasional dan internasional baik<br />

sebagai peserta maupun pemakalah.<br />

2. Nurhayati Harahap<br />

Nurhayati Harahap lahir di Padang Sidempuan, 19 <strong>April</strong> 1962. Beliau adalah staf pengajar tetap<br />

Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU dalam bidang kesusateraan. Menyelesaikan<br />

pendidikan Sarjana (S-1) pada program studi dan fakultas yang sama tahun 1985 dan pendidikan<br />

lanjutan (S-2) di Unpad Bandung pada tahun 1997. Beliau juga aktif meneliti khususnya sastra etnik<br />

Angkola Mandailing.<br />

3. Haris Sutan Lubis<br />

Haris Sutan Lubis lahir di Padang Sidempuan 7 September 1959. Beliau adalah staf pengajar di<br />

Fakultas Sastra USU dalam bidang sastra sejak tahun 1986. Beliau menyelesaikan S-1 bidang studi<br />

Sastra Indonesia di fakultas yang sama pada tahun 1985. Pada tahun 2006 beliau menyelesaikan<br />

pendidikan Magister Studi Pembangunan di Sekolah Pascasarjana <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />

dengan judul tesis “Perencanaan pengembangan Ekowisata berbasis Masyarakat. Saat ini beliau<br />

mengasuh mata kuliah Telaah Drama di Departemen Sastra Indonesia, Mata kuliah Ekowisata dan<br />

Kepemimpinan Kepariwisataan di Program Studi Pariwisata<br />

4. Yundi Fitrah<br />

Yundi Fitrah, lahir di Batangtoru, 25 Desember 1959. Beliau adalah staf pengajar pada Program<br />

Studi Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP <strong>Universitas</strong> Jambi. Menyelesaikan pendidikan S-1 di<br />

Fakultas Sastra <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> pada tahun 1985 dan telah menyelesaikan Program<br />

Magister Ilmu Susastra pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya <strong>Universitas</strong> Indonesia dan<br />

Program Doktor dalam Persuratan Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia. Alamat: Jln.<br />

Kemajuan <strong>No</strong>.42. Mendalo Darat 36361 Tel. 0741– 580008 Hp. 08127811770 Jambi.<br />

5. Ikhwanuddin Nasution<br />

Ikhwanuddin Nasution lahir di Padang Sidempuan, 25 September 1962. Beliau adalah staf pengajar<br />

di Fakultas Sastra USU dalam bidang sastra. Beliau menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) pada<br />

fakultas yang sama pada tahun 1986, pendidikan lanjutan (S-2) di Program Pascasarjana <strong>Universitas</strong><br />

Udayana, Bali pada tahun 2000, dan Pendidikan Doktor (S-3) pada Program Studi Kajian Budaya,<br />

Pengutamaan Estetika Sastra Program Pascasarjana <strong>Universitas</strong> Udayana pada tahun <strong>2007</strong>. Beliau<br />

aktif menulis di berbagai jurnal.<br />

6. Haron Daud<br />

Haron Daud dilahirkan pada 20 Februari 1952 di Kampung Pulau Pisang, Kota Bharu, Kelantan,<br />

Malaysia. Pada tahun 1996 beliau meraih gelar Doktor Falsafah dari Universiti Malaya dan meraih<br />

Profesor pada tahun 2006 di Universiti Sains Malaysia. Beliau menjadi dosen di Pusat Pengajian<br />

Ilmu kemanusiaan USM sampai tahun <strong>2007</strong>. Pada awal tahun 2008 beliau pindah dan menjadi dosen<br />

di Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia.<br />

7. Pertampilan S. Brahmana<br />

Pertampilan S. Brahmana adalah staf pengajar pengajar Departemen Sastra Indonesia Fakultas<br />

Sastra USU. Menyelesaikan pendidikan Magister (S-2) di Program Pascasarjana <strong>Universitas</strong><br />

Udayana dalam bidang Kajian Budaya dengan Pengkhususan Sistem Pengendalian Sosial.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!