Jurnal Perempuan 45 - CEDAW Southeast Asia
Jurnal Perempuan 45 - CEDAW Southeast Asia
Jurnal Perempuan 45 - CEDAW Southeast Asia
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
No. <strong>45</strong>, 2006<br />
Pendiri<br />
Gadis Arivia<br />
Pemimpin Redaksi<br />
Adriana Venny<br />
Redaktur Pelaksana<br />
Mariana Amiruddin<br />
Redaksi<br />
Eko Bambang Subiyantoro<br />
Sekretaris Redaksi<br />
Suprihadi<br />
Desain & Layout<br />
Agus Wiyono<br />
Penjualan & Sirkulasi<br />
A. Nazaruddin<br />
Budi Hermawan<br />
Endang Setiyawati<br />
Percetakan<br />
SMKG Desa Putera, Jakarta<br />
Alamat Redaksi<br />
Jl. Tebet Barat VIII No. 27<br />
Jakarta Selatan 12810<br />
Telp.: (021) 83702005 (hunting)<br />
Faks: (021) 8302434<br />
E-mail: yjp@jurnalperempuan.com<br />
Website: www.jurnalperempuan.com<br />
Penerbit<br />
YAYASAN JURNAL PEREMPUAN<br />
Cetakan Pertama, Jakarta, Januari 2006<br />
ISSN : 1410-153X<br />
Didukung oleh<br />
Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak, mengkopi<br />
sebagian atau keseluruhan tanpa seijin Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong>.<br />
Isi tulisan tidak harus mencerminkan pandangan redaksi.
Prolog<br />
4 <strong>CEDAW</strong> tak Bertaring, Salah<br />
Siapa?<br />
• Daftar Isi •<br />
Daf tar Isi Edisi <strong>45</strong><br />
Topik Empu<br />
7 Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />
Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />
(<strong>CEDAW</strong> dan Pertanyaan<br />
tentang Kebijakan-<br />
Kebijakan Negara)<br />
Ratna Batara Munti<br />
31 Apakah Hukum Boleh<br />
“Berpihak”? Sebuah<br />
Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />
Sulistyowati Irianto<br />
47 Sejauh Mana Indonesia<br />
Merespon ICPD-KAIRO?<br />
Atashendartini Habsjah<br />
65 Counter Legal Draft Kompilasi<br />
Hukum Islam: Upaya<br />
Implementasi <strong>CEDAW</strong><br />
dalam Perkawinan<br />
Siti Musdah Mulia<br />
101 Pemenuhan Hak-Hak Politik<br />
<strong>Perempuan</strong> Sejauh Manakah?<br />
Ani Soetjipto<br />
19 Diskriminasi Itu Bernama<br />
Kekerasan Terhadap<br />
<strong>Perempuan</strong><br />
Rita Serena Kolibonso<br />
111 Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong><br />
dan Anak Melalui Konvensi<br />
Magdalena Sitorus<br />
<strong>CEDAW</strong>-Restoring Rights To Women, americantruths.com, maisonneuve.org, Nico Haryono,<br />
petersenlawoffice.com, saltspring.com, unfpa.org, rapereliefshelter.bc.ca, gelos.ru,<br />
intranet.usc.edu.au, pepper-graphics.com, childtrafficking.com, amnesty.org<br />
2 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
KLIPING<br />
78 Hak Asasi <strong>Perempuan</strong> Belum<br />
Menjadi Bagian Institusional<br />
Hukum<br />
• Daftar Isi •<br />
WAWANCARA<br />
122 Sri Danti, Dra. M.A<br />
“Negara dan Pemahaman<br />
<strong>CEDAW</strong> yang Lemah...”<br />
PROFIL<br />
139 Sjamsiah Achmad:<br />
Pengawal Keadilan Melalui<br />
Konvensi<br />
Eko Bambang Subiyantoro<br />
Kolom Budaya<br />
156 Puisi<br />
160 Cerpen<br />
Serba-serbi<br />
131 Kata dan Makna<br />
148 Rak Buku<br />
172 Surat Pembaca<br />
173 Tentang Penulis<br />
JURNAL PEREMPUAN mengundang anda menuliskan ide-ide kritis dan<br />
pemikiran-pemikiran alternatif yang berkaitan dengan persoalan<br />
perempuan dan isu-isu gender. Jumlah halaman tulisan 10-15 halaman<br />
kuarto, spasi 2, dilengkapi dengan catatan belakang/daftar pustaka dan<br />
biodata singkat penulis. Redaksi dapat menyingkat, mengubah dan<br />
mengedit tulisan tanpa mengubah maksud dan isinya. Dianjurkan tulisan<br />
dikirim dalam bentuk file dalam disket atau melalui e-mail dalam bentuk<br />
attachment. Untuk tulisan yang dimuat akan disediakan honorarium yang<br />
pantas. Tulisan yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan kecuali atas<br />
permintaan penulis dengan menyertakan perangko secukupnya.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
3
• Prolog •<br />
<strong>CEDAW</strong> tak Bertaring,<br />
Salah Siapa?<br />
Tepatnya 25 tahun yang lalu di markas besar PBB, Indonesia<br />
meratifikasi <strong>CEDAW</strong> (Konvensi tentang Penghapusan Segala<br />
Bentuk Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong>) dan mengimplementasikannya<br />
lewat UU No. 7 tahun 1984. Apa hasil dari perjalanan<br />
<strong>CEDAW</strong> selama lebih dari 20 tahun di republik ini? Hanya segelintir<br />
orang yang tahu dan menjalankannya. Selebihnya, mendengar kata<br />
<strong>CEDAW</strong>pun hanya terbengong-bengong. Nasib perempuan pun hampir<br />
tak mengalami perubahan.<br />
Hebatnya lagi, selain <strong>CEDAW</strong>, sebenarnya telah banyak instrumen<br />
internasional lainnya yang bicara soal hak dan nasib perempuan, antara<br />
lain Konvensi Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi<br />
Prostitusi (1949), Konvensi 100 ILO tentang Persamaan Pendapatan<br />
(1951), Konvensi tentang Hak Politik <strong>Perempuan</strong> (1952), Konvensi<br />
mengenai Kewarganegaraan <strong>Perempuan</strong> yang Menikah (1957), Konvensi<br />
mengenai Ijin Perkawinan, Usia Minimum Perkawinan dan Pencatatan<br />
Perkawinan (1962), Deklarasi Perlindungan <strong>Perempuan</strong> dan Anak-anak<br />
dalam situasi Darurat dan Konflik Bersenjata (1974), ICPD di Kairo<br />
dengan fokus kesehatan reproduksi perempuan (1994), Beijing Platform<br />
untuk melihat perkembangan isu perempuan di berbagai bidang<br />
misalnya: kesehatan, kemiskinan, media, di wilayah konflik, dan lainnya<br />
(1995), Deklarasi tentang Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang<br />
antara lain menyepakati nilai kesetaraan gender guna mencapainya<br />
(2000), serta Resolusi 1325 dari Dewan Keamanan PBB tentang dampak<br />
konflik bagi perempuan, tentang perlindungan<br />
perempuan dan anak di wilayah<br />
konflik dan apa yang dapat dilakukan<br />
perempuan untuk mewujudkan perdamaian<br />
(2000).<br />
Delegasi Indonesia juga tak kalah<br />
sibuk mondar-mandir ikut kongres<br />
guna mengucap sepakat dengan<br />
4<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
<strong>CEDAW</strong>-Restoring Rights To Women
• Prolog •<br />
segala komitmen internasional ini. Namun malang bagi PBB dan terlebih<br />
untuk perempuan, banyak negara (tidak hanya Indonesia), masih gemar<br />
menjadi macan kertas konvensi. Dalam pelaksanaan justru banyak hal<br />
yang bertolak belakang.<br />
Simak isi konvensi <strong>CEDAW</strong> yang disisipkan di <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />
kali ini, dalam pasal yang sangat penting yakni 2 poin 5 <strong>CEDAW</strong>:<br />
mewajibkan negara untuk membuat peraturan-peraturan yang tepat,<br />
termasuk pembuatan undang-undang, untuk mengubah dan menghapuskan<br />
undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan dan praktekpraktek<br />
yang diskriminatif terhadap perempuan.<br />
Dari contoh ini, amatlah jelas, alih-alih menegakkan hak perempuan,<br />
Indonesia dengan segala perangkat hukumnya justru menganggap<br />
perempuan angin lalu. Tak heran bila angka kematian ibu melahirkan<br />
serta angka kekerasan terhadap perempuan di ruang domestik dan<br />
publik justru kian membumbung tinggi.<br />
Ketidakseriusan negara dalam menerapkan <strong>CEDAW</strong> masih ditambah<br />
lagi dengan tercetaknya berbagai peraturan daerah (Perda) dan aneka<br />
rancangan undang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan<br />
termasuk RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang sebentar lagi bakal<br />
disahkan. Padahal dalam <strong>CEDAW</strong> jelas dikemukakan bahwa setiap<br />
produk perundang-undangan dan tata aturan haruslah dikaji secara<br />
mendalam guna menghindari praktik diskriminasi dan kekerasan<br />
terhadap perempuan.<br />
Maka tak berlebihan kiranya jika Sekjen PBB Kofi Annan, pada<br />
konferensi PBB di awal tahun 2005 yang lalu mengawali peringatan 10<br />
tahun Beijing Platform dengan nada pesimis; “Millenium Development<br />
Goal tidak akan pernah berarti apa-apa jika masing-masing negara tidak<br />
abai pada 12 bidang kritis yang sudah dicanangkan oleh Beijing<br />
Platform”. Yang ini berarti pula bahwa selama ini <strong>CEDAW</strong> sebagai batu<br />
penjurunya telah dibiarkan merana tanpa ada yang serius menjalankannya.<br />
Meski hasil evaluasi tiap lima tahun <strong>CEDAW</strong> selalu menggambarkan<br />
tiadanya kemajuan, bagaimanapun kita masih butuh sikap optimis di<br />
balik semua kepedihan itu. Dan karenanya tak berlebihan pula kiranya<br />
jika dalam rangka memperingati hari perempuan internasional 8 Maret<br />
kali ini <strong>CEDAW</strong> kembali didengung-dengungkan serta dikupas dengan<br />
lebih tegas, agar bangsa ini tak lagi mundur ke belakang. (Adriana Venny)<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong> 5
americantruths.com
• Topik Empu •<br />
Sejauh Mana Negara<br />
Memperhatikan<br />
Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />
(<strong>CEDAW</strong> dan Pertanyaan tentang<br />
Kebijakan-Kebijakan Negara)<br />
Ratna Batara Munti<br />
“Sejauh mana negara telah sungguh-sungguh memberi<br />
perhatian terhadap masalah perempuan? Khususnya<br />
yang berkaitan dengan komitmen negara terhadap<br />
penghapusan berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan<br />
terhadap perempuan di negeri ini?”<br />
Pernyataan di atas dibuat untuk ditujukan pada negara,<br />
sejauh mana kepedulian negara terhadap persoalan perempuan<br />
dalam kebijakan-kebijakan yang dirancang dan disahkan,<br />
ataupun terhadap konvensi-konvensi internasional dimana negara ini<br />
ikut menandatanganinya.<br />
Ketahuilah, bahwa pemerintah Indonesia telah membuat komitmen<br />
dengan meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi<br />
Terhadap <strong>Perempuan</strong> atau <strong>CEDAW</strong> (The Convention on the Elimination of<br />
All Forms of Discrimination against Women) melalui UU No. 7 Tahun 1984.<br />
Namun setelah berjalan sekian waktu, ratifikasi ini kemudian<br />
memunculkan pertanyaan: sejauh manakah implementasi Konvensi<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
7
Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />
Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />
Ratna Batara Munti<br />
tersebut, terutama terkait dengan prinsip adanya kewajiban negara untuk<br />
menghapus berbagai bentuk diskriminasi baik secara de jure (berdasarkan<br />
hukum) maupun de facto (berdasarkan kenyataan sesungguhnya).<br />
Istilah diskriminasi dalam Konvensi <strong>CEDAW</strong> dirumuskan dengan;<br />
Setiap pembedaan, pengucilan, pembatasan, yang dibuat atas<br />
dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan<br />
untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan<br />
atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasankebebasan<br />
pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,<br />
sipil atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status<br />
perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan<br />
perempuan’’.<br />
Kata persamaan di atas tidak hanya pada akses terhadap penerapan<br />
HAM yang sama bagi perempuan tetapi juga persamaan terhadap<br />
manfaat atau pada hasilnya (equality of acces, equality of opportunity and<br />
equality of result).<br />
Hal terpenting dalam konvensi ini adalah bahwa ada penegasan<br />
prinsip tentang kewajiban negara untuk membuat atau mengubah<br />
hukum, menghapus stereotip dan kebiasaan yang diskriminatif, serta<br />
melakukan upaya atau langkah khusus yang diperlukan guna<br />
memastikan adanya persamaan secara de facto. Dalam konteks ini,<br />
konvensi mengakui bahwa sifat diskriminasi terhadap perempuan<br />
adalah historis dan sistemik (dilatari atau dibentuk oleh sejarah maupun<br />
sistem), sehingga tujuannya diarahkan pada persamaan de facto melalui<br />
jaminan secara konstitusional, hukum dan regulasi-regulasi, juga<br />
menempuh langkah-langkah lainnya termasuk langkah-langkah khusus<br />
seperti ‘affirmative action’. 1<br />
Implementasi <strong>CEDAW</strong> dan Kekerasan Negara dalam Membuat<br />
Kebijakan<br />
Dalam kenyataannya, implementasi konvensi ini oleh pemerintah<br />
Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Meski telah 21 tahun<br />
diratifikasi (artinya telah menjadi produk nasional), banyak pihak<br />
terutama pemerintah yang diantaranya aparat penegak hukum dan<br />
pembuat kebijakan yang paling berkewajiban melaksanakan konvensi<br />
tersebut ternyata tidak memahami substansi serta prinsip-prinsip<br />
persamaan yang tercantum dalam konvensi, bahkan tidak mengetahui<br />
8 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Ratna Batara Munti<br />
Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />
Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />
keberadaan konvensi tersebut. Mereka masih sangat terpaku pada<br />
aturan-aturan konvensional seperti KUHP/KUHAP, UU Perkawinan<br />
serta peraturan perundangan lainnya yang bias gender. Padahal<br />
kehadiran Konvensi<br />
tersebut justru<br />
untuk mengkritisi<br />
keberadaan berbagai<br />
aturan yang melanggengkan<br />
diskriminasi<br />
terhadap perempuan.<br />
2 Sejauh<br />
ini belum banyak<br />
langkah-langkah<br />
nyata yang dilakukan<br />
khususnya dalam<br />
membuat kebijakan<br />
baru atau kebijakan<br />
yang mengoreksi<br />
hukum<br />
yang masih diskriminatif. Kebijakan dalam hal ini dilihat sebagai suatu<br />
sistem, yang tidak saja menyangkut substansi atau isi dari kebijakan/<br />
keputusan hukum yang berlaku, tetapi juga menyangkut struktur baik<br />
kelembagaan atau pun pribadi aparat pemerintahan, dan juga terakhir<br />
mencakup budaya di masyarakat, seperti norma, nilai-nilai dan<br />
keyakinan atau penafsiran ajaran tertentu yang hidup di masyarakat.<br />
Meski lahirnya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam<br />
Rumah Tangga (UU PKDRT) No. 23/2004 serta Undang-undang Pemilu<br />
yang memuat affirmative action tidak dapat dipungkiri telah memberi<br />
peluang bagi kaum perempuan untuk memperbaiki nasibnya, namun<br />
yang terjadi akhir-akhir ini khususnya pasca pemerintahan Megawati<br />
(Presiden <strong>Perempuan</strong> Pertama RI), justru memukul balik apa yang sudah<br />
diperjuangkan selama ini oleh kelompok perempuan. Seperti arus politik<br />
yang berkembang saat ini di pusat-pusat kekuasaan (pemerintah dan<br />
legislatif), tidak saja di tingkat nasional (pusat) tetapi juga di tingkat<br />
lokal diantaranya munculnya peraturan-peraturan daerah yang<br />
diskriminatif terhadap perempuan malah membuka peluang baru<br />
munculnya kekerasan terhadap perempuan yang terlegitimasi oleh<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
9
Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />
Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />
Ratna Batara Munti<br />
negara, atau dengan kata lain kekerasan yang dilakukan negara. Apa<br />
yang disebut “politik seksualitas negara” yang menempatkan tubuh dan<br />
seksualitas perempuan sebagai yang potensial bersalah dan ancaman<br />
bagi norma-norma masyarakat sehingga ia ditempatkan menjadi<br />
sasaran/target berbagai aturan yang ada.<br />
Hal ini misalnya tercermin melalui pengaturan pornografi dan<br />
pornoaksi baik dalam RUU KUHP maupun dalam RUU khusus yang<br />
mengatur Pornografi dan Pornoaksi (RUU Pornografi dan Pornoaksi).<br />
Selain itu di tingkat lokal, Peraturan Daerah atau Perda-Perda tentang<br />
maksiat, kewajiban berbusana tertentu, pengaturan jam malam bagi<br />
perempuan dan lain sebagainya merebak di banyak daerah, seperti<br />
Medan, Aceh, Padang, Gorontalo, dan daerah-daerah lainnya, seiring<br />
dengan berlakunya otonomi daerah. 3 Fenomena ini dapat dibaca di suratsurat<br />
kabar lokal dimana banyak peraturan-peraturan daerah yang<br />
hanya sibuk mengurus perempuan di malam hari, cara berpakaian,<br />
berjalan dengan saudaranya atau tidak, dan lain sebagainya.<br />
Semua aturan-aturan tersebut kembali mengukuhkan stereotip<br />
terhadap perempuan, mendomestikasi perempuan, mendikotomi<br />
seksualitas perempuan (perempuan baik versus perempuan pelacur),<br />
yang intinya menempatkan tubuh/seksualitas perempuan sebagai target<br />
pengaturan (kontrol) negara.<br />
Saat ini memang ada beberapa dari aturan lama yang sedang<br />
diupayakan perbaikan atau revisinya untuk menjadi lebih baik, seperti<br />
Revisi UU Kewarganegaraan (RUU Kewarganegaraan), Revisi UU<br />
Kesehatan (RUU Kesehatan) dan Revisi KUHP (RUU KUHP), yang<br />
bahkan saat ini menjadi prioritas dalam agenda Prolegnas (Program<br />
Legislasi Nasional) di DPR masa sidang 2005 - 2009. Namun, yang<br />
menjadi persoalan di sini, justru usulan perubahan baik dari pihak DPR<br />
(inisiatif DPR) maupun pihak pemerintah masih jauh dari yang<br />
diharapkan kelompok perempuan, khususnya bila dikaitkan dengan<br />
implementasi <strong>CEDAW</strong>. Tampaknya kedua kelompok perumus kebijakan<br />
ini tidak sungguh-sungguh memiliki kemauan (political will) untuk<br />
menerapkan prinsip-prinsip <strong>CEDAW</strong> maupun ketentuan-ketentuannya<br />
yang jelas-jelas merupakan kewajiban (akuntabilitas) mereka sebagaimana<br />
yang ditegaskan dalam prinsip kewajiban negara di dalam pasal<br />
<strong>CEDAW</strong> di atas.<br />
10 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Ratna Batara Munti<br />
Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />
Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />
Berikut adalah penjelasan bagaimana prinsip-prinsip <strong>CEDAW</strong> masih<br />
jauh dari implementasi kebijakan-kebijakan yang ada di negara ini.<br />
Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong> dalam RUU KUHP, dan UU<br />
Kesehatan<br />
Rumusan RUU KUHP yang menjadi inisitaif pemerintah dan kini<br />
sedang dibahas di DPR, kenyataannya telah memperluas kriminalisasi<br />
yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP. RUU ini didasarkan pada<br />
asumsi-asumsi moralitas sempit dan cenderung mengebiri hak-hak asasi<br />
manusia, seperti rumusan kriminalisasi ‘hidup bersama’. Implikasinya<br />
terkait dengan definisi perkawinan (UU Perkawinan) yang sangat<br />
terbatas pada perkawinan heteroseksual yang tercatat dan yang sematamata<br />
oleh agama yang diakui negara. Di luar itu, terkait dengan rumusan<br />
RUU KUHP di atas, maka segala bentuk kehidupan perkawinan –di<br />
luar rumusan tersebut– akan terancam sebagai tindak pidana.<br />
RUU KUHP juga meng-kriminalisasi para pekerja seks (prostituted-women)<br />
yang berada di jalanan sebagai pelaku tindak pidana. Rumusan ini jelas<br />
sangat ‘bias kelas’ (hanya perempuan di jalan yang mayoritas perempuan<br />
kelas bawah) serta ‘bias gender/ jenis kelamin’ (hanya perempuan yang<br />
menjadi target kriminal). Selain itu hal ini juga bertentangan dengan<br />
Konvensi Internasional mengenai Perdagangan Manusia dan Eksploitasi<br />
Prostitusi, yang menempatkan prostituted-women sebagai korban dari<br />
sistem kejahatan khususnya kejahatan perdagangan manusia. Selain<br />
itu, RUU ini juga kembali menafikan hak-hak perempuan untuk hidup<br />
sehat dengan meng-kriminalisasi bentuk aborsi apapun tanpa mempertimbangkan<br />
kondisi perempuan seperti korban perkosaan atau akibat<br />
kondisi-kondisi kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) lainnya yang<br />
menyebabkan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia. Saat<br />
ini AKI di Indonesia adalah yang tertinggi di ASEAN, yaitu 307 kasus<br />
per 100.000 angka kelahiran hidup. Ini artinya dalam 1 jam ada 2 orang<br />
perempuan meninggal karena proses kehamilan, persalinan, dan pasca<br />
melahirkan. 4<br />
Sementara itu, UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 sangat minim dalam<br />
mengatur persoalan aborsi dan hak-hak reproduksi perempuan/<br />
kesehatan reproduksi lainnya. <strong>Perempuan</strong> jadi terbatas untuk mengakses<br />
pelayanan kesehatan terkait dengan hak/kesehatan reproduksinya. Saat<br />
ini UU Kesehatan tengah direvisi, dan kepentingan perempuan adalah<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong> 11
Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />
Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />
Ratna Batara Munti<br />
memastikan agar UU tersebut tidak diskriminatif terhadap perempuan<br />
yakni memastikan agar kaum perempuan dapat menikmati hak-haknya<br />
untuk bisa hidup sehat dan bebas dari ketakutan untuk berbuat atau<br />
tidak berbuat sesuatu, sebagai hak asasinya, sebagaimana telah dijamin<br />
dalam Amandemen Konstitusi (pasal 28 g ayat 1) .<br />
Diskriminasi dalam RUU Pornografi dan Pornoaksi<br />
RUU Pornografi dan Pornoaksi adalah salah satu RUU yang tidak<br />
mengakomodasi kepentingan perempuan terutama seperti yang menjadi<br />
prinsip-prinsip dalam <strong>CEDAW</strong>, karena semata-mata menjadikan isu<br />
moralitas sebagai acuan dan tidak menempatkan masalah perlindungan<br />
terhadap perempuan dan anak yang justru rentan menjadi objek<br />
pornografi. Alih-alih mengatur pornografi dan melindungi korbannya,<br />
RUU ini memberi peluang kemungkinan munculnya kekerasan serta<br />
premanisme oleh kelompok masyarakat tertentu yang mengaku sebagai<br />
‘polisi-polisi moral’ yang dengan sewenang-wenang mengintervensi<br />
kehidupan pribadi orang lain atau juga melakukan pemerasan. Hal ini<br />
maisonneuve.org<br />
12 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Ratna Batara Munti<br />
Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />
Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />
dimungkinkan terjadi karena rumusan delik pornografi dan khususnya<br />
pornoaksi sudah terlalu jauh mencampuri pilihan bebas seseorang<br />
untuk mengekspresikan diri/identitas diri. Selain membatasi ekspresi<br />
seseorang, unsur-unsur perbuatan pidana tidak dirumuskan dengan<br />
jelas sehingga dapat terjadi multi-tafsir yang menyebabkan rentannya<br />
seseorang menjadi tertuduh sebagai pelaku kriminal, terutama dalam<br />
ketentuan pornoaksi. Contohnya pada pasal 29 dan 30 5 RUU yang<br />
melarang seseorang melakukan gerakan tubuh yang menyerupai<br />
kegiatan masturbasi atau onani, serta gerakan tubuh yang menyerupai<br />
kegiatan hubungan seks. Unsur-unsur serta batasan dalam perbuatan<br />
ini tidak jelas dan tentunya akan menimbulkan penafsiran beragam.<br />
Begitupula dalam pasal 25 ayat 1 yang melarang keras untuk<br />
mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual. Ketentuan ini<br />
mengarah pada pengaturan cara berbusana yang pada akhirnya<br />
membatasi pilihan ekspresi diri seseorang. Dalam pengecualian pasal<br />
di atas, cara berbusana atau tingkah laku yang menjadi kebiasaan<br />
menurut adat istiadat dan/atau budaya kesukuan hanya diperbolehkan<br />
sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan ritus keagamaan atau<br />
kepercayaan. 6 Padahal dalam kenyataannya, mereka tidak hanya<br />
menggunakan busana adat hanya untuk ritus, tetapi juga dalam<br />
keseharian mereka, seperti komunitas suku-suku di Papua dan daerah<br />
lainnya.<br />
Selain itu, Pasal 27 RUU ini juga melarang orang berciuman bibir di<br />
muka umum dengan ancaman pidana penjara minimal 1 tahun/<br />
maksimal 5 tahun serta denda minimal 100 juta/maksimal 500 juta<br />
rupiah, dan pasal 28 RUU yang melarang menari/bergoyang erotis<br />
dengan ancaman pidana penjara minimal 18 bulan/maksimal 7 tahun<br />
dan atau denda minimal 150 juta/maksimal 750 juta.<br />
Perlu dipertanyakan, apakah sudah tepat tindakan-tindakan tersebut<br />
di atas dikategorikan sebagai tindak kriminal dan pelakunya<br />
diposisikan sebagai pelaku kriminal? Apakah tidak lebih baik penjara<br />
kita dipenuhi dengan pelaku perkosaan dan pencabulan yang justru<br />
sering dibebaskan atau dihukum ringan dalam hitungan bulan sementara<br />
ini jelas-jelas merupakan bentuk kejahatan terhadap orang, ketimbang<br />
pelaku kriminal karena berciuman bibir atau menari/bergoyang erotis?<br />
Rumusan-rumusan pasal di atas (dalam RUU ini) jelas membatasi hak<br />
asasi seseorang untuk mengekspresikan diri (menari), rasa kasih sayang<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
13
Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />
Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />
Ratna Batara Munti<br />
(berciuman) maupun kreativitasnya (berbagai karya seni yang tercipta).<br />
Selain itu berapa banyak jenis tari-tarian tradisional yang katanya harus<br />
dilestarikan, akan ikut pula terpasung dengan pasal ini. Bayangkan<br />
penjara kita akan disesaki oleh para artis dangdut, penari, peragawati<br />
atau designer, atau para remaja ibukota yang kebetulan menggunakan<br />
busana kelihatan pusar; semua komunitas di wilayah/suku tertentu<br />
yang sehari-hari menggunakan busana adat yang ‘terbuka’, tidak hanya<br />
pada saat ritus keagamaan; ibu-ibu yang menyusukan bayi di tempat<br />
umum; mereka yang mandi di pinggir kali atau remaja yang berciuman<br />
bibir. Sekali lagi, apakah sudah tepat menjadikan mereka semua pelaku<br />
kriminal melalui RUU ini?<br />
Memang terkecuali dalam pasal 36 ayat 2, larangan pornoaksi tidak<br />
berlaku terhadap kegiatan seni. Tetapi lagi-lagi dibatasi pada kegiatan<br />
seni yang dilaksanakan hanya ditempat khusus pertunjukan seni.<br />
Padahal karya seni ditujukan untuk mendapat perhatian dari<br />
masyarakat umum. Dengan adanya ketentuan ini, karya seni hanya<br />
dapat dipertunjukan di tempat pertunjukan seni secara eksklusif. Seni<br />
menjadi barang mahal yang hanya bisa dinikmati oleh sekelompok<br />
masyarakat tertentu saja. Ini merupakan pembatasan hak berekspresi<br />
dan hak masyarakat untuk menikmati seni.<br />
RUU Pornografi dan Pornoaksi pada dasarnya adalah bentuk<br />
ekspresi dari ‘moral panic’ kelompok masyarakat tertentu yang kemudian<br />
dipolitisasi oleh kelompok penguasa untuk tujuan-tujuan kekuasaan<br />
seperti antara lain mendapatkan dukungan politik dari kelompokkelompok<br />
dominan di masyarakat. RUU ini telah mengaburkan batasan<br />
apa yang menjadi wilayah himbauan moral, dengan apa yang<br />
selayaknya diakomodasi ke dalam wilayah hukum/pidana (menjadikan<br />
seseorang sebagai pelaku kriminal melalui UU). RUU Pornografi dan<br />
Pornoaksi pada akhirnya berpotensi melanggar HAM dan kehidupan<br />
privasi seseorang warga negara, karena RUU ini tidak menempatkan<br />
prinsip-prinsip utama seperti mempertimbangkan segala aspek<br />
pluralisme (adat, budaya, keyakinan, gender), HAM, dan perspektif<br />
korban dalam merumuskan deliknya. RUU ini akan mengurangi<br />
penghormatan terhadap hak untuk berekspresi, memiliki identitas diri,<br />
hak atas keamanan pribadi, serta hak atas informasi sebagai HAM.<br />
Khususnya juga bagi orang dewasa terutama perempuan yang berhak<br />
mengakses informasi dan fasilitas dukungan berkaitan dengan<br />
14 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Ratna Batara Munti<br />
Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />
Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />
pelaksanaan hak-hak reproduksi dan seksual/kesehatan reproduksi dan<br />
seksual sebagaimana termuat dalam Hasil Konferensi Kependudukan<br />
di Kairo (ICPD, 1999) yang juga ikut ditandatangani oleh pemerintah<br />
Indonesia .<br />
Diskriminasi dalam RUU Kewarganegaraan<br />
Dalam revisi UU Kewarganegaraan (RUU Kewarganegaraan) yang<br />
tengah dibahas Pansus Kewarganegaraan di DPR saat ini dan yang<br />
merupakan inisiatif DPR, ternyata masih saja membuat perbedaan<br />
terhadap prempuan, dimana menjadikan kelompok laki-laki sebagai<br />
sentral, sementara perempuan disubordinasikan dan dijadikan warga<br />
negara kelas dua. Hal ini tercermin dalam beberapa ketentuannya yang<br />
mengabaikan hak yang sama bagi perempuan dalam perkawinan campur<br />
untuk diperlakukan sama dengan laki-laki terkait dengan haknya untuk<br />
menentukan kewarganegaraan dirinya maupun anaknya. RUU<br />
Kewarganegaraan masih menganut asas kesatuan kewarganegaraan<br />
dengan pusat sentralnya pada laki-laki/bapak sebagai pihak yang<br />
menentukan ataupun memutuskan. <strong>Perempuan</strong> Indonesia dapat<br />
kehilangan kewarganegaraannya akibat perkawinannya dengan suami<br />
berkewarganegaraan asing (WNA). 7 Diperlukan syarat bagi istri bila<br />
ingin mempertahankan WNI-nya, yakni permohonan kepada Presiden<br />
melalui Menteri/Pejabat/Perwakilan RI yang diajukan dalam tenggang<br />
waktu 2 tahun sejak tanggal pernikahan. 8 Namun, pada ketentuan lain<br />
juga disebutkan bahwa permohonan tidak menyebabkan berkewarganegaraan<br />
ganda. 9 Hal ini tentunya membuat dilema bagi istri<br />
dimana secara hukum suami menentukan istri untuk mengikuti<br />
warganegaranya.<br />
Selain itu perempuan juga tidak dapat secara otomatis menentukan<br />
kewarganegaraan anaknya seperti halnya laki-laki, tetapi ia (perempuan)<br />
harus melakukannya melalui perjanjian nikah dan lagi-lagi<br />
dengan tidak menyebabkan anak berkewarganegaraan ganda (yang<br />
menyebabkan dilema), melalui permohonan serta dalam konteks apabila<br />
pengadilan telah menetapkan hak asuh pada ibu (pasca perceraian). 10<br />
Intinya, RUU Kewarganegaraan masih diskriminatif terhadap<br />
perempuan/istri, dan dengan begitu jauh dari harapan untuk<br />
mengoreksi atau memperbaiki situasi perempuan, khususnya yang<br />
berada dalam perkawinan campur (berlainan kewarganegaraan).<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
15
Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />
Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />
Ratna Batara Munti<br />
Tantangan <strong>Perempuan</strong> dan Agenda ke Depan<br />
Merupakan tantangan bagi kelompok perempuan untuk terus<br />
menerus menuntut tanggungjawab negara agar sungguh-sungguh<br />
mengimplementasikan komitmen yang telah dibuat (<strong>CEDAW</strong>) terutama<br />
juga didesak oleh situasi saat ini yang dalam kenyataannya kebijakankebijakan<br />
banyak yang berakibat semakin memburuk bagi perempuan.<br />
Terutama munculnya gerakan konservatisme seiring dengan kebijakan<br />
otonomi daerah tentu saja merupakan tantangan serius dalam upaya<br />
mewujudkan demokratisasi dan penegakan HAM dalam kehidupan<br />
perempuan. Dalam kerangka ini, maka advokasi kebijakan menjadi satu<br />
strategi yang penting dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut. Melalui<br />
advokasi kebijakan, kelompok perempuan dapat mendesakkan agendaagenda<br />
legislasi yang meletakkan sasaran pada kondisi, kebutuhan serta<br />
kepentingan perempuan.<br />
Saat ini melalui jaringan pro-legnas pro-perempuan (program<br />
legislasi nasional pro perempuan), kelompok perempuan tengah<br />
berupaya mendesakkan agenda legislasi perempuan dalam pembahasan<br />
Program Legislasi Nasional 2005-2009 di DPR RI, yakni dengan<br />
merespon berbagai draf RUU seperti RUU KUHP, RUU Pornografi dan<br />
Pornoaksi, Revisi UU Kewarganegaraan, serta mendesakkan Revisi UU<br />
Kesehatan, RUU Perlindungan Saksi, RUU Anti Trafiking, RUU<br />
Perlindungan bagi PRT, serta Amandemen UU Perkawinan. Begitupun<br />
di tingkat lokal, kelompok perempuan berupaya mengadvokasi Perda-<br />
Perda seperti Perda Trafiking, KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga)<br />
atau tentang penanggulangan HIV/AIDS, seperti yang dilakukan oleh<br />
kelompok perempuan di Bengkulu, Makasar, Yogjakarta dan Surabaya,<br />
selain juga mengkritisi Perda-Perda yang diskriminatif.<br />
Belajar dari pengalaman mengadvokasi UU Penghapusan Kekerasan<br />
dalam Rumah Tangga (PKDRT) No. 23 tahun 2004, diperlukan dukungan<br />
dan jaringan yang luas dari berbagai kelompok masyarakat yang peduli<br />
dengan penegakan HAM khususnya bagi perempuan. Sebab mengubah<br />
suatu kebijakan di masyarakat bukanlah pekerjaan yang mudah dan<br />
tidak dapat ditempuh hanya oleh segelintir orang atau sekelompok orang<br />
saja. Hal ini melibatkan kerja-kerja advokasi yakni suatu upaya<br />
sistematis dan terorganisir dari kelompok-kelompok masyarakat untuk<br />
melakukan serangkaian kegiatan mulai dari perumusan masalah,<br />
16 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Ratna Batara Munti<br />
Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />
Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />
membuat rumusan-rumusan perubahan kebijakan yang diharapkan,<br />
pembentukan jaringan dan opini publik, kampanye dan sosialisasi,<br />
mobilisasi massa, hingga lobi-lobi dan terlibat dalam setiap proses<br />
pembahasan dan pengambilan keputusan.<br />
Oleh karena itu untuk ke depan, penting untuk melakukan konsolidasi<br />
di antara kelompok masyarakat yang peduli HAM dan demokrasi baik<br />
di tingkat nasional maupun di tingkat lokal untuk mengkritisi<br />
konservatisme dan wacana moralitas yang dominan, khususnya dalam<br />
melihat serta mengambil solusi terhadap persoalan-persoalan sosial<br />
yang saat ini terjadi. Perlu menggalang kekuatan bersama untuk<br />
merespon fenomena pelanggaran HAM, khususnya terhadap perempuan<br />
dengan upaya-upaya yang lebih sistematis dan sinergis antar anggota/<br />
kelompok masyarakat.<br />
Catatan Belakang<br />
1<br />
Affirmative action adalah tindakan sementara untuk mengangkat kaum minoritas atau<br />
marginal (masyarakat yang terpinggirkan). Misalnya kebijakan tentang kuota<br />
perempuan 30% untuk melibatkan perempuan di parlemen sehingga kebijakankebijakan<br />
untuk penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dapat terakomodasi.<br />
2<br />
Sebagaimana tercantum dalam pasal 2 butir f dalam Konvensi tersebut yang<br />
menegaskan kewajiban negara untuk mengambil semua langkah yang tepat, termasuk<br />
legislasi, untuk mengubah atau menghapuskan hukum, peraturan, kebiasaan dan<br />
praktek yang mendiskriminasikan perempuan.<br />
4<br />
Binkesmas Depkes RI malah memperkirakan kontribusi aborsi tidak aman antara 30<br />
– 50 persen dari kematian ibu di Indonesia.<br />
5<br />
Lihat draft RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang sudah beredar di seminarseminar<br />
atau diskusi publik dan menjadi prioritas untuk segera di sahkan. Akhir-akhir<br />
ini RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi bahkan di tolak oleh seniman dan budayawan<br />
dalam sebuah pertemuan di Taman Ismail Marzuki yang diselenggarakan oleh Dewan<br />
Kesenian Jakarta.<br />
6<br />
Lihat RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi pasal 36 ayat 1<br />
7<br />
Lihat pasal 26 ayat 1 RUU Kewarganegaraan.<br />
8<br />
Lihat pasal 26 ayat 2 dan 3 RUU Kewarganegaraan.<br />
9<br />
Lihat pasal 8 RUU Kewarganegaraan.<br />
10<br />
Lihat pasal 2 RUU Kewarganegaraan.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
17
Foto: Nico Haryono
• Topik Empu •<br />
Diskriminasi Itu Bernama<br />
Kekerasan Terhadap<br />
<strong>Perempuan</strong><br />
Rita Serena Kolibonso<br />
Pada tahun 1992, penegasan bahwa kekerasan terhadap<br />
perempuan sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap<br />
perempuan merupakan momentum penting bagi advokasi<br />
gerakan penegak hak-hak asasi manusia khususnya hak asasi<br />
perempuan. Penegasan ini dilatari oleh pertama, penajaman konsep hak<br />
asasi manusia tersebut telah ditegaskan oleh Komite PBB yaitu tentang<br />
Penghapusan Diskriminasi Terhadap <strong>Perempuan</strong>. Kedua, seiring dengan<br />
dikeluarkannya duapuluh butir rekomendasi khusus dari Komite PBB<br />
tersebut yang isinya mengenai landasan aksi yang harus dilakukan oleh<br />
negara-negara peserta Konvensi Penghapusan Segala Bentuk<br />
Diskriminasi Terhadap <strong>Perempuan</strong> atau Convention on the Elimination of<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
19
Diskriminasi Itu Bernama<br />
Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />
Rita Serena Kolibonso<br />
All Forms of Discrimination Against Women (<strong>CEDAW</strong>). Dari latar belakang<br />
inilah mulai terjadi kemajuan (progress) dalam upaya pencegahan dan<br />
penanggulangan masalah kekerasan terhadap perempuan baik yang<br />
dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat di berbagai negara<br />
termasuk Indonesia.<br />
Di badan PBB, langkah ini telah diawali dengan disetujuinya<br />
penunjukkan Pelapor Khusus PBB mengenai masalah Kekerasan<br />
Terhadap <strong>Perempuan</strong> (Special Rapporteur on Violence Against Women, 1993)<br />
dan disepakati Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap <strong>Perempuan</strong><br />
(20 Desember 1993).<br />
Pada sidang ke 11 tahun 1992, Komite PBB tentang Penghapusan<br />
Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong> mengeluarkan Rekomendasi Umum<br />
Nomor 19 tentang Kekerasan terhadap <strong>Perempuan</strong>. 1 Rekomendasi ini<br />
pada dasarnya memberikan penjelasan tambahan kepada pasal 1<br />
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong><br />
2 yang mengatur definisi “diskriminasi terhadap perempuan”.<br />
Konvensi tersebut pertama kali ditandatangani Indonesia di PBB tanggal<br />
29 Juli 1980 dan kemudian diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan<br />
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi<br />
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong> pada<br />
tanggal 24 Juli 1984. 3<br />
Menurut pasal 1 konvensi, diskriminasi terhadap perempuan berarti<br />
setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar<br />
jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi<br />
atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hakhak<br />
asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi,<br />
sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas<br />
dari status perkawinannya, atas dasar persamaan antara perempuan<br />
dan laki-laki.<br />
Penjelasan tambahan definisi “diskriminasi terhadap perempuan”<br />
ini menurut Rekomendasi No. 19, termasuk juga kekerasan berbasis<br />
gender, yaitu kekerasan yang langsung ditujukan terhadap sosok<br />
perempuan, karena dia adalah perempuan atau hal-hal yang memberi<br />
akibat pada perempuan secara proporsional. Hal tersebut termasuk<br />
tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerugian fisik, mental dan<br />
seksual atau penderitaan atau ancaman, atas tindakan tersebut atau<br />
kekerasan/paksaan dan perampasan kebebasan (Komentar Umum pasal<br />
20<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Rita Serena Kolibonso<br />
Diskriminasi Itu Bernama<br />
Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />
1). Komite juga menambahkan komentarnya dalam Rekomendasi ini<br />
bahwa kekerasan berbasis gender bisa melanggar ketentuan Konvensi<br />
tersebut tanpa membedakan apakah ketentuan tersebut mengekspresikan<br />
kekerasan yang dimaksud. Ditambahkan pula, bahwa kekerasan<br />
berbasis gender yang merusak, menghalangi atau menghapuskan<br />
kenikmatan atas hak asasinya dan kebebasan fundamental di bawah<br />
hukum umum dan di bawah konvensi hak asasi manusia adalah suatu<br />
diskriminasi dalam pengertian pasal 1 konvensi ini. 4<br />
Mengapa Perlu Ditegaskan?<br />
Salah satu latar belakangnya, pemahaman bahwa kekerasan berbasis<br />
gender adalah sebuah bentuk diskriminasi yang secara serius<br />
menghalangi kesempatan perempuan untuk menikmati hak-hak dan<br />
kebebasannya atas suatu dasar kesamaan hak perempuan dan laki-laki.<br />
Hak-hak dan kebebasan tersebut termasuk hak untuk hidup, hak untuk<br />
tidak mengalami penganiayaan, kekejaman, hak untuk mendapat<br />
perlindungan yang sama sehubungan dengan norma-norma kemanusiaan<br />
pada saat konflik bersenjata nasional atau internasional, hak atas<br />
kebebasan dan keamanan seseorang, hak untuk mendapatkan kesamaan<br />
atas perlindungan hukum di bawah Undang-undang, dan hak untuk<br />
mendapatkan standar tinggi dalam hal kesehatan mental dan fisik.<br />
Selanjutnya untuk melengkapi penegasan bahwa kekerasan terhadap<br />
perempuan termasuk bentuk diskriminasi terhadap perempuan, Komite<br />
PBB ini juga memberikan tambahan ulasan dan komentar atas pasalpasal<br />
tertentu dari konvensi yakni pasal 2, pasal 6, pasal 11, pasal 12,<br />
pasal 14, pasal 16 dan pasal 5.<br />
Salah satunya adalah ulasan pasal 2 (f) 5 dan 10 (c) konvensi,<br />
menyebutkan bahwa sikap-sikap tradisional dimana perempuan<br />
dianggap sebagai subordinasi laki-laki atau seperti juga pembakuan<br />
peran-peran gender (stereotype) yang dalam prakteknya terus-menerus<br />
meluas, dalam hubungannya dengan kekerasan atau paksaan, misalnya<br />
kekerasan dan penganiayaan dalam keluarga, kawin paksa, mas kawin,<br />
kematian, penyerangan dan penyunatan perempuan. Prasangkaprasangka<br />
dan perlakuan seperti itu, membenarkan adanya kekerasan<br />
berbasis gender sebagai sebuah bentuk perlindungan dan kontrol atas<br />
perempuan. Efek atau akibat dari kekerasan semacam itu terhadap<br />
integritas perempuan adalah penghilangan atau pencabutan atas<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
21
Diskriminasi Itu Bernama<br />
Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />
Rita Serena Kolibonso<br />
kesamaan penikmatan, pelaksanaan dan pengetahuan akan hak asasi<br />
manusia dan kebebasan fundamental.<br />
Sementara itu, sebagian besar fakta atau ancaman kekerasan atas<br />
dasar suatu konsekuensi yang mendasari bentuk-bentuk dari kekerasan<br />
berbasis gender tadi, membantu ikut serta membuka mata untuk<br />
menegakkan hak-hak perempuan dalam subordinasi perannya, atas<br />
rendahnya posisi perempuan dalam partisipasi politik, rendahnya<br />
tingkat pendidikan, serta sedikitnya kesempatan kerja untuk mereka.<br />
Sikap-sikap ini juga memberikan sumbangan besar pada perkembangan<br />
persoalan pornografi dan gambar porno yang bertujuan mengeksploitasi<br />
perempuan sebagai objek seksual daripada sebagai individu.<br />
Pada ulasan mengenai pasal 16 dan pasal 5 Konvensi, Komite PBB<br />
tersebut menjelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah<br />
salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling<br />
berbahaya. Sebab kekerasan dalam rumah tangga telah lama dianggap<br />
lazim bagi masyarakat di banyak negara. Dalam hubungan kekeluargaan<br />
di segala umur, perempuan menderita segala macam penderitaan<br />
termasuk pemukulan, perkosaan dan bentuk-bentuk lain dari penyerangan<br />
seksual serta mental yang dilakukan oleh sikap-sikap tradisional.<br />
Ketergantungan ekonomi dalam hal ini memaksa perempuan untuk<br />
bertahan pada hubungan yang dijalankan berdasarkan tindakan<br />
kekerasan. Pencabutan atau pengambil-alihan tanggung jawab oleh lakilaki<br />
dapat juga disebut sebagai sebuah bentuk kekerasan dan paksaan.<br />
Selain itu bentuk-bentuk dari kekerasan ini juga menempatkan<br />
perempuan pada risiko kesehatan dan menghalangi kesempatan untuk<br />
berpartisipasi dalam kehidupan keluarga dan kehidupan umum atas<br />
dasar suatu kesamaan. 5<br />
Duapuluh Butir Rekomendasi Khusus PBB<br />
Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong><br />
telah menetapkan 20 butir rekomendasi khusus kepada negara-negara<br />
yang telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala bentuk<br />
Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong>, melalui Rekomendasi Umum Nomor<br />
19 tentang Kekerasan terhadap <strong>Perempuan</strong>. Rekomendasi-rekomendasi<br />
tersebut mengharuskan negara-negara peserta konvensi untuk<br />
melakukan hal-hal sebagai berikut:<br />
22<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Rita Serena Kolibonso<br />
Diskriminasi Itu Bernama<br />
Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />
Tabel 1.<br />
Butir-butir Rekomendasi untuk Negara-Negara yang telah Meratifikasi<br />
<strong>CEDAW</strong><br />
No. Butir-Butir Rekomendasi<br />
1 Menentukan suatu ukuran yang tepat dan efektif untuk mengatasi segala bentuk<br />
kekerasan yang berbasis gender, dalam hal apakah hal tersebut merupakan<br />
suatu tindakan yang bersifat umum atau privat.<br />
2. Membuat Undang-undang mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (domestic<br />
violence) dan penganiayaan, perkosaan, penyerangan seksual dan bentuk-bentuk<br />
lain dari kekerasan yang berbasis gender, bertujuan memberikan perlindungan<br />
yang cukup terhadap perempuan serta untuk menghargai integritas dan<br />
martabatnya. Perlindungan dan pelayanan yang tepat harus disediakan bagi<br />
korban-korban. Pelatihan bersensitif gender kepada Hakim Pengadilan dan<br />
Penegak Hukum serta pekerja sosial di masyarakat harus diberikan dan sangat<br />
penting bagi efektifnya pelaksanaan Konvensi ini.<br />
3. Mendorong diadakannya kompilasi data statistik dan penelitian tentang penyebab<br />
dan akibat dari kekerasan dan keefektifan ukuran/standar untuk mencegah dan<br />
mengatasi kekerasan.<br />
4. Ukuran/standar efektif harus diambil untuk memastikan bahwa media<br />
menghormati adanya dukungan penghargaan terhadap perempuan.<br />
5. Dalam hal laporan kekerasan ini harus dengan mengidentifikasi sifat dan tingkat<br />
sikap, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang menghidupkan terus<br />
kekerasan terhadap perempuan, serta macam-macam kekerasan yang<br />
mengakibatkan mereka harus melaporkan ukuran-ukuran yang harus mereka<br />
lakukan untuk menanggulangi kekerasan dan efek dari ukuran/ standar tersebut.<br />
6. Memperkenalkan pendidikan dan program informasi untuk umum guna membantu<br />
menghapus berbagai prasangka yang menghalangi kesamaan hak perempuan.<br />
7. Pencegahan yang efektif dan standar hukuman yang sangat penting untuk<br />
mengatasi perdagangan perempuan serta eksploitasi seksual.<br />
8. Dalam laporannya harus menggambarkan tingkat dari semua masalah ini dan<br />
standar-standarnya termasuk ketentuan-ketentuan pidana, perlindungan dan<br />
standar rehabilitasi yang sudah dilakukan untuk melindungi perempuan<br />
sehubungan dengan pelacuran paksa atau perdagangan perempuan dan bentuk<br />
lain dari eksploitasi. Efektivitas dari pelaksanaan standar ini, juga harus<br />
digambarkan dengan jelas.<br />
9. Prosedur pengaduan dan bantuan yang efektif termasuk ganti rugi, harus<br />
diberikan.<br />
10. Memasukkan dalam laporan yakni informasi tentang pelecehan seksual dan<br />
standar-standar untuk melindungi perempuan dari pelecehan dan bentuk lain<br />
dari paksaan atas kekerasan di tempat kerja.<br />
11. Membentuk dan mendukung berbagai pelayanan untuk korban-korban kekerasan<br />
dalam rumah tangga, perkosaan, penyerangan seksual dan bentuk lain dari<br />
kekerasan berbasis gender termasuk pengungsi, khususnya pelatihan kesehatan<br />
bagi pekerja rehabilitasi dan konseling.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
23
Diskriminasi Itu Bernama<br />
Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />
Rita Serena Kolibonso<br />
12. Mengambil ukuran untuk mengatasi praktik-praktik tersebut dan harus<br />
mempertimbangkan adanya rekomendasi Komite atas penyunatan perempuan<br />
(Rekomendasi No. 14) dalam laporan masalah kesehatan.<br />
13. Memastikan bahwa standar yang harus diambil untuk mencegah paksaan dalam<br />
hubungannya dengan kesuburan dan reproduksi perempuan serta memastikan<br />
bahwa perempuan tidak dipaksa untuk menggunakan prosedur medis yang tidak<br />
aman misalnya aborsi yang tidak aman karena tidak tersedia pelayanan yang<br />
tepat/ layak sehubungan dengan kontrol kesuburan.<br />
14. Dalam laporannya harus memastikan tingkat ketidakberhasilan dari masalahmasalah<br />
itu dan harus menunjukkan standar yang sudah diambil dan akibatnya.<br />
15. Memastikan bahwa pelayanan untuk korban kekerasan dapat dicapai oleh<br />
perempuan di pedesaan dan dipadukan pelayanan khusus di masyarakat.<br />
16. Standar-standar untuk melindungi korban kekerasan adalah termasuk pelatihan<br />
dan kesempatan-kesempatan dalam pekerjaan serta pengawasan atas kondisi<br />
pekerjaan serta pekerja rumah tangga (PRT).<br />
17. Melaporkan risiko-risiko yang dialami perempuan pedesaan, tingkat dan sifat<br />
dari kekerasan dan penganiayaan dimana mereka adalah subjeknya, kebutuhannya<br />
dan akses untuk mendukung dan pelayanan lain serta efektivitas dari standar<br />
tersebut untuk mengatasi kekerasan.<br />
18. Ukuran-ukuran penting untuk mengatasi hal tersebut harus termasuk: hukuman<br />
pidana jika dibutuhkan dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT);<br />
Undang-undang untuk mengubah/menggantikan “the defence of honour”<br />
sehubungan dengan penyerangan atau pembunuhan dari seorang anggota<br />
keluarga; pelayanan untuk menjamin keselamatan dan keamanan korban KDRT<br />
termasuk tempat pengungsian (shelter), konseling dan program rehabilitasi;<br />
program rehabilitasi untuk pelaku KDRT; serta mendukung pelayanan bagi<br />
keluarga-keluarga dimana penganiayaan seksual telah terjadi.<br />
19. Melaporkan tentang tingkat kekerasan dalam rumah tangga dan penganiayaan<br />
seksual dalam pencegahannya, hukuman dan standar bantuan yang sudah diambil.<br />
20. Mengambil semua standar hukum dan standar lain yang penting untuk memberikan<br />
perlindungan yang efektif kepada perempuan dari kekerasan berbasis gender.<br />
Termasuk didalamnya: Ukuran/standar hukum yang efektif, termasuk sanksi<br />
pidana, bantuan perdata dan ketentuan yang mengatur kewajiban untuk<br />
melindungi perempuan terhadap segala bentuk kekerasan termasuk kekarasan<br />
dan penganiayaan dalam keluarga, penyerangan dan pelecehan seksual di tempat<br />
kerja.<br />
- Ukuran/standar pencegahan termasuk informasi publik dan program<br />
pendidikan untuk merubah sikap, dalam hubungannya dengan peranan dan<br />
status laki-laki dan perempuan.<br />
- Melampirkan semua bentuk kekerasan berbasis gender dalam laporannya<br />
dan memasukkan semua data yang ada atas kejadian dari setiap kekerasan<br />
dan akibatnya bagi perempuan yang menjadi korban.<br />
- Laporan-laporan harus termasuk informasi hukum, pencegahan dan standar<br />
perlindungan yang sudah diambil untuk mengatasi kekerasan terhadap<br />
perempuan dan sejauhmana efektivitas dari standar itu.<br />
24<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Rita Serena Kolibonso<br />
Diskriminasi Itu Bernama<br />
Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />
Mencermati isi rekomendasi-rekomendasi tersebut di atas, sekaligus<br />
dapat menjadi refleksi dan evaluasi atas perjalanan advokasi<br />
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan pada umumnya, dan<br />
penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia pada<br />
khususnya. Perjalanan panjang pengesahan Undang-undang Nomor<br />
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,<br />
pengadaan layanan sejumlah women’s crisis centre serta layanan-layanan<br />
terpadu bagi perempuan sebagai korban kekerasan yang mulai<br />
disediakan oleh kepolisian dan tenaga kesehatan; merupakan sebagian<br />
saja dari kebutuhan upaya dan aksi yang harus dan telah dilakukan.<br />
Sampai saat ini Indonesia masih belum mempunyai standar data statistik<br />
nasional tentang statistik kasus kekerasan terhadap perempuan atau<br />
Kasus KDRT dan untuk kasus perkosaan. Namun contoh data statistik<br />
kasus kekerasan terhadap perempuan yang dipublikasikan secara teratur<br />
setiap tahun oleh Mitra <strong>Perempuan</strong> Women’s Crisis Centre sejak tahun<br />
1998 dan lembaga-lembaga layanan dan pendampingan korban<br />
kekerasan terhadap perempuan lainnya sangat bermanfaat untuk<br />
dikompilasi sebagai laporan Statistik yang tersedia di Indonesia<br />
sebagaimana disebutkan dalam Rekomendasi Umum No.19 tersebut di<br />
atas. Berikut ini statistik tahun 2002-2005 untuk kasus kekerasan<br />
terhadap perempuan di Mitra <strong>Perempuan</strong> WCC.<br />
Tabel 2.<br />
Kasus Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong> (Data Mitra <strong>Perempuan</strong>)<br />
Tahun<br />
Kasus<br />
2005 <strong>45</strong>5<br />
2004 329<br />
2003 272<br />
2002 226<br />
2001 258<br />
Sumber: Mitra <strong>Perempuan</strong> 2002-2005<br />
Bahkan data statistik dari Mitra <strong>Perempuan</strong> menunjukkan bahwa di<br />
tahun 2005, 4,74% anak-anak di bawah umur 18 tahun mengalami<br />
kekerasan. Selain itu, dari kasus yang datang, 9 dari 10 perempuan<br />
mengalami lebih dari 1 jenis atau bentuk kekerasan (fisik, psikis, seksual<br />
dan penelantaran atau ekonomi), 9 dari 10 anak mengalami dampak<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
25
Diskriminasi Itu Bernama<br />
Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />
Rita Serena Kolibonso<br />
yang mengganggu kesehatan jiwa. Bahkan sebanyak 26 orang mencoba<br />
bunuh diri, 16,26% terganggu kesehatan reproduksinya, serta 55,32%<br />
mengalami konflik domestik. Berikut adalah data statistik Mitra<br />
<strong>Perempuan</strong> bagaimana hubungan (relasi) pelaku dengan korban<br />
kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap perempuan.<br />
Tabel 3.<br />
Relasi Pelaku dengan Korban KDRT dan Kekerasan terhadap <strong>Perempuan</strong><br />
No. Pelaku Korban KDRT <strong>Perempuan</strong> korban kekerasan<br />
1. Suami 77,36%<br />
2. Mantan suami 3,08%<br />
3. Orangtua/ saudara/ anak 6,15%<br />
4. Majikan 0,22%<br />
5. Pacar/ teman dekat 9,01%<br />
6. Tetangga 1,54%<br />
7. Lainnya 2,64%<br />
86,81% 13,19%<br />
Sumber: Data statistik Mitra <strong>Perempuan</strong> 2005<br />
Demikian pula beban kekerasan terhadap perempuan lebih banyak<br />
menunjukkan kekerasan yang berlapis atau dalam berbagai bentuk<br />
(psikis, fisik, penelantaran, dll.). 6<br />
Grafik 1.<br />
Beban Kekerasan <strong>Perempuan</strong><br />
Sumber: Mitra <strong>Perempuan</strong>, 2005<br />
26<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Rita Serena Kolibonso<br />
Diskriminasi Itu Bernama<br />
Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />
Namun dari berbagai bentuk kekerasan yang ada, grafik menunjukkan<br />
bahwa perempuan lebih banyak mengalami kekerasan psikis. 7<br />
Grafik 2.<br />
Bentuk Kekerasan yang Dialami <strong>Perempuan</strong><br />
Sumber: Mitra <strong>Perempuan</strong>, 2005<br />
Bahkan dari kasus yang datang ke Mitra <strong>Perempuan</strong>, perempuan<br />
korban kekerasan menempuh upaya sendiri untuk memulihkan dirinya<br />
sendiri. Berikut adalah bagan yang menunjukkan perempuan korban<br />
kekerasan memilih bantuan dari keluarga atau orang terdekat di luar<br />
keluarga: 8 Bagan 1.<br />
Upaya yang Ditempuh <strong>Perempuan</strong> sebelum ke Mitra <strong>Perempuan</strong><br />
Sumber: Mitra <strong>Perempuan</strong>, 2005<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
27
Diskriminasi Itu Bernama<br />
Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />
Rita Serena Kolibonso<br />
Sedangkan bantuan yang banyak dilakukan Mitra <strong>Perempuan</strong><br />
terhadap perempuan korban kekerasan adalah lebih banyak dalam<br />
bentuk konseling. 9 Bagan 2.<br />
Bantuan Mitra <strong>Perempuan</strong><br />
Sumber: Mitra <strong>Perempuan</strong>, 2005<br />
Dari data-data yang terlampir dan disajikan melalui Mitra <strong>Perempuan</strong><br />
adalah sedikit dari jutaan perempuan yang mengalami kekerasan di<br />
Indonesia. Nampaknya masih panjang perjalanan rencana aksi yang<br />
harus dilakukan Indonesia di masa mendatang untuk menghapuskan<br />
kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu kebutuhan di masa<br />
mendatang dalam merespon masalah KDRT diantaranya meliputi,<br />
pertama, sosialisasi Undang-undang No. 23 Tahun 2004 untuk mencegah<br />
KDRT, kedua, sosialisasi dan kerjasama di kalangan penegak hukum,<br />
layanan kesehatan, pekerja sosial dan relawan pendamping di<br />
masyarakat, ketiga, peningkatan perlindungan bagi korban kekerasan<br />
dan saksi, keempat, menambah jumlah bantuan dan layanan pendampingan,<br />
serta membebaskan korban dari biaya visum et repertum.<br />
Oleh karena itu kesinambungan komitmen dan agenda jangka<br />
panjang menjadi tuntutan yang harus dilakukan baik oleh pemerintah<br />
maupun masyarakat secara bermitra.<br />
Catatan Belakang<br />
1<br />
PBB, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap <strong>Perempuan</strong> (the<br />
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), 1979.<br />
28<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Rita Serena Kolibonso<br />
Diskriminasi Itu Bernama<br />
Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />
2<br />
Ibid.<br />
3<br />
Lembaran Negara RI Tahun 1984 Nomor 29, Undang-undang RI Nomor 7 Tahun<br />
1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap<br />
Wanita.<br />
4<br />
LBH Apik, Rekomendasi Umum No. 19 tentang Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong>,<br />
Jakarta.<br />
5<br />
Rita Serena Kolibonso, Optional Protokol terhadap Konvensi Penghapusan<br />
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap <strong>Perempuan</strong> (Jakarta: Mitra <strong>Perempuan</strong>,<br />
2001).<br />
6<br />
Mitra <strong>Perempuan</strong>, Informasi Tahun 2005 Statistik Kekerasan dalam Rumah Tangga.<br />
7<br />
Ibid.<br />
8<br />
Mitra <strong>Perempuan</strong>, Catatan Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong> dan Layanan Women’s<br />
Crisis Centre, Laporan tahun 2005.<br />
9<br />
Ibid.<br />
DAPATKAN JURNAL PEREMPUAN EDISI 44<br />
Pendidikan Alternatif<br />
untuk <strong>Perempuan</strong><br />
Ada tiga alasan mengapa pendidikan alternatif<br />
bagi perempuan menjadi amat penting: akses<br />
perempuan ke dalam dunia pendidikan masih<br />
rendah; kurikulum yang masih bias gender dan;<br />
pendidikan formal yang belum mampu menjawab<br />
kebutuhan spesifik perempuan. Akibatnya tingkat<br />
perempuan yang buta huruf di berbagai wilayah di<br />
Indonesia selalu lebih tinggi dari laki-lakinya dan<br />
pendidikan formal tidak membebaskan perempuan<br />
dari berbagai persoalan-persoalan seperti trafiking,<br />
kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi<br />
terhadap perempuan di tempat kerja, dan<br />
sebagainya.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
29
<strong>CEDAW</strong>-Restoring Rights To Women
• Topik Empu •<br />
Apakah Hukum Boleh<br />
“Berpihak”?<br />
Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />
Sulistyowati Irianto<br />
Pendahuluan<br />
Penggunaan kata “hukum berpihak”, sebagaimana tertuang dalam<br />
tulisan ini, dapat menimbulkan debat dan polemik yang tidak<br />
berkesudahan, terutama bila dilakukan di lingkungan studi hukum.<br />
“Netralitas”, “objektivitas”, “kepastian hukum”, merupakan nilai dan<br />
prinsip yang sangat dijunjung tinggi oleh para sarjana hukum. Prinsip<br />
tersebut hampir merupakan “harga mati”, sehingga hukum tidak boleh<br />
berpihak. Hukum dipercaya berdiri di atas semua golongan, memberi<br />
keadilan kepada semua orang, tidak pandang bulu. Dalam paradigma<br />
positivisme, hukum dipandang mengandung kebenaran dan keadilan<br />
yang sudah pasti. Lebih jauh terdapat klaim bahwa satu-satunya hukum<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
31
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />
Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />
Sulistyowati Irianto<br />
yang paling tinggi adalah hukum negara, dan negara adalah satusatunya<br />
institusi yang mendistribusi keadilan kepada segenap warga<br />
negara.<br />
Klaim ini sama sekali tidak ada salahnya, terutama pada masyarakat<br />
yang memiliki kondisi sine qua non yaitu strukturnya tidak berlapis secara<br />
jelas, dimana setiap orang memiliki akses kepada sumber kesejahteraan<br />
yang relatif sama, dan birokrasi peradilannya relatif bersih dari korupsi.<br />
Prinsip “equality before the law” dapat ditegakkan dan memberi keadilan<br />
secara pasti kepada hampir setiap warga negara dalam kondisi di atas.<br />
Namun dalam masyarakat yang sangat berlapis, ada kesenjangan<br />
ekonomi yang luar biasa tinggi, yaitu ada kelompok masyarakat yang<br />
begitu kaya dan berkuasa secara politik, ada golongan menengah, dan<br />
kemudian golongan miskin yang juga sangat beragam lapisannya, maka<br />
implementasi dari prinisip “kesamaan di muka hukum”, menjadi<br />
diragukan dapat memberi keadilan yang sama. Apalagi pada masyarakat<br />
yang di dalamnya “menyimpan” berbagai persoalan ketidakadilan,<br />
di mana orang-orang yang berasal dari ras, golongan, kelas, agama<br />
minoritas, dan jenis kelamin yang berbeda tidak mendapat akses<br />
perlakuan yang sama, ditambah lagi dengan kondisi birokrasi peradilan<br />
yang relatif korup, maka implikasi dari prinsip “equality before the law”,<br />
justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Perlakuan yang berbeda<br />
terhadap pihak yang dipandang sebagai “the other” (yang lain/liyan)<br />
dapat dijumpai dalam rumusan yang eksplisit berbagai peraturan<br />
perundang-undangan dan kebijakan, maupun dalam kehidupan praktek<br />
sehari-hari. 1<br />
Dalam telaah hukum kritis dapat dilihat bahwa pada hakekatnya<br />
hukum adalah “pedang bermata dua”. Di satu sisi hukum memang bisa<br />
digunakan sebagai sebuah acuan yang paling adil dan paling<br />
mengayomi. Namun, di pihak lain, janganlah diabaikan bahwa hukum<br />
juga bisa digunakan sebagai “alat” untuk mendefinisikan kekuasaan<br />
dan kepentingan, dan tentunya akan ada pihak yang menjadi korban<br />
dari hukum yang tidak adil. Hukum dapat mengklaim kebenarankebenaran<br />
sampai ranah yang tidak terbatas. 2 Pada sisi yang kedua ini,<br />
terbuka berbagai diskusi dan perdebatan, terutama ketika hukum<br />
“dipersandingkan” dengan berbagai pengalaman perempuan, kelompok<br />
miskin, minoritas, pendeknya kelompok yang tidak memiliki kekuasaan<br />
untuk menyuarakan keberadaannya. Dengan demikian, apakah hukum<br />
32 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Sulistyowati Irianto<br />
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />
Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />
akan digunakan untuk tujuan baik atau “tidak baik” (melanggengkan<br />
kekuasaan), adalah tergantung “man behind the gun” atau siapa aktor di<br />
balik hukum itu.<br />
Pertanyaan tentang Hukum <strong>Perempuan</strong><br />
Sering orang lupa bertanya kepada perempuan: adakah hukum telah<br />
menjamin dia dalam memperoleh hak-hak dasarnya sebagai manusia<br />
yang bermartabat? Apakah hukum sudah menjamin perempuan untuk<br />
didengar suaranya dalam ruang-ruang publik pengambilan keputusan<br />
penting dalam bernegara dan bermasyarakat? Apakah hukum sudah<br />
melindungi diri perempuan dari kekerasan, kelaparan, kebodohan?<br />
Apakah hukum sudah menjamin perempuan untuk dapat mengekspresikan<br />
dirinya apa adanya dan mengontrol tubuhnya sendiri?<br />
Nyatanya tidak, hukum bahkan telah membatasi ruang gerak<br />
perempuan, menentukan jam berapa perempuan baru boleh keluar<br />
rumah, harus menggunakan pakaian seperti apa 3 , harus berperilaku<br />
seperti apa, dan sudah sejak lama hukum menempatkan perempuan<br />
dalam hal perkawinan secara tidak layak karena disebut sebagai<br />
“nakhoda” keluarga bersama dengan suaminya. Hukum bahkan telah<br />
menyebabkan perempuan, keluar dari hutan-hutan tanah leluhurnya,<br />
ketika masyarakat adat kehilangan aksesnya kepada tanah dan<br />
sumberdaya alam, menjadi “budak” di negara orang, hanya demi sesuap<br />
nasi bagi keluarga dan dirinya sendiri, dan kehilangan haknya sebagai<br />
orang merdeka. 4 Di tengah-tengah bangsa yang menyebut diri sebagai<br />
“religius” , hukum telah memberi legitimiasi kepada sekelompok orang<br />
untuk menjadi “polisi moral” mengejar perempuan yang tidak beruntung<br />
dan menjajakan tubuhnya untuk dapat bertahan hidup, kemudian<br />
menghukumnya sebagai pelaku kejahatan. 5 Sebentar lagi melalui<br />
Undang-Undang yang gagah perkasa 6 , “kegenitan” perempuan akan<br />
dihabisi, bahkan perempuan dan laki-laki, tidak boleh lagi mengekspresikan<br />
kasih sayang, sebuah perasaan kodrati kemanusiaan.<br />
Pertanyaan kritis dalam mengkaji persoalan hukum dari perspektif<br />
perempuan adalah: “Benarkah bahwa hukum sungguh netral dan<br />
objektif?” Benarkah prinsip “equality before the law” memang menjamin<br />
setiap orang berada dalam posisi yang setara dan adil? Dalam hal ada<br />
kelompok tertinggal yang tidak mendapatkan akses kepada keadilan<br />
dalam masyarakat, dan untuk dapat “mengejar” ketertinggalan itu maka<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
33
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />
Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />
Sulistyowati Irianto<br />
dibuatkan affirmative action, apakah dalam arti ini maka akan dibolehkan<br />
“hukum yang berpihak”?<br />
Pejabat dan pembuat undang-undang bermegah dalam “singgasana”,<br />
terus menciptakan hukum-hukumnya sendiri, mengklaim kebenarannya<br />
sendiri dalam rangka mendefinsikan kekuasaannya. Bagi mereka, target<br />
legislasi adalah menciptakan sekian ratus undang-undang, jauh lebih<br />
penting daripada memperhitungkan kepentingan rakyat miskin dan<br />
perempuan, yang bahkan akan menjadi target dari peraturan perundangundangan.<br />
Akibatnya, hukum tidak responsif terhadap persoalanpersoalan<br />
perempuan. Hukum tidak dapat mengikuti perkembangan<br />
masyarakat yang begitu cepat, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan<br />
perempuan, “yang berdimensi baru”, misalnya perdagangan<br />
perempuan.<br />
Selanjutnya para pelaksana hukum dalam menjalankan tugasnya<br />
“hanya” berpatokan pada apa yang tertulis dalam Undang-Undang,<br />
dan tidak mengadakan “ujian” terhadap kasus-kasus dan pengalaman<br />
masyarakat. Para pelaksana hukum seolah “tidak menyadari” bahwa<br />
kerja hukum dalam masyarakat potensial “berbenturan” dengan<br />
kekuasaan, kepentingan ekonomi, dan budaya. Dalam kondisi seperti<br />
ini sebenarnya yang diharapkan adalah terobosan-terobosan baru yang<br />
lahir dari para pelaksana hukum dalam rangka memberi akses keadilan<br />
kepada warga masyarakat. Namun pembaharuan hukum, khususnya<br />
berupa “pemikiran paradigmatik hukum baru”, dan keberanian untuk<br />
melakukan terobosan-terobosan terutama dalam memberikan keadilan<br />
kepada perempuan, sangat lambat datangnya.<br />
<strong>Perempuan</strong> dalam Pandangan Hukum<br />
Sebenarnya pembaharuan hukum telah terjadi, ditandai oleh adanya<br />
berbagai instrumen hukum yang menjamin kesetaraan dan keadilan,<br />
bersumber dari berbagai konvensi internasional, hukum positif nasional,<br />
termasuk berbagai jurisprudensi atas kasus-kasus dimana perempuan<br />
mendapat keadilan. 7 Perlu disebutkan disini bahwa jaminan keadilan<br />
dapat dicari mulai dari Undang-Undang Dasar 19<strong>45</strong> pada pasal 27,<br />
hingga berbagai peraturan perundang-undangan seperti yang terbaru<br />
yakni UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU no.7/<br />
1984 sebagai ratifikasi terhadap Konvensi Wanita 8 yang sangat<br />
komprehensif mengatur larangan diskriminasi terhadap perempuan<br />
34 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Sulistyowati Irianto<br />
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />
Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />
hampir di segala bidang kehidupan. Di samping itu terdapat berbagai<br />
prinsip dan nilai keadilan bagi perempuan dan laki-laki yang terserak<br />
di berbagai peraturan perundang-undangan lain.<br />
Namun terdapat jurang yang dalam di antara apa yang seharusnya<br />
(das sollen) dikehendaki terjadi oleh hukum, dan implementasinya dalam<br />
kehidupan sehari-hari (das sein), sehingga hukum hanya dapat<br />
dipandang sebagai “payung fantasi” 9 . Kemudian keberadaan instrumen<br />
hukum yang menjamin kesetaraan dan keadilan dilemahkan oleh<br />
berbagai peraturan perundang-undangan lain, yang berimplikasi tidak<br />
adil bagi perempuan. Standar ganda dan penempatan perempuan yang<br />
tidak setara dalam perumusan hukum juga dapat dijumpai dan terserak<br />
dalam pasal-pasal tertentu dalam berbagai peraturan perundangundangan<br />
lain, seperti UU Perkawinan no.1/1974, Kitab Undang-<br />
Undang Hukum Pidana, Undang-undang keimigrasian, UU Kesehatan,<br />
UU yang berkenaan dengan kedudukan perempuan dalam politik,<br />
peraturan daerah, dan tidak kalah pentingnya adalah berbagai kebijakan<br />
di tingkat pusat maupun daerah.<br />
Jangan lupa, hukum adat dalam banyak hal juga menyimpan potensi<br />
diskriminasi terhadap perempuan. Dalam banyak etnis dapat ditemukan<br />
bahwa perempuan tidak mendapat akses yang sama dengan laki-laki<br />
kepada sumberdaya alam termasuk tanah. Pada masyarakat dengan<br />
kekerabatan patrilineal, perempuan tidak ditempatkan sebagai ahli waris<br />
oleh ayah maupun suaminya, dan bila sudah tua ditempatkan dalam<br />
tanggungjawab anak laki-laki tertuanya. 10 Pada masyarakat dengan<br />
sistem kekerabatan matrilineal, 11 sungguh pun garis keturunan dan waris<br />
dihitung menurut garis ibu, tetapi kontrol terhadap harta lebih berada<br />
pada saudara laki-laki ibu (mother’s brother). Sementara itu pada<br />
masyarakat dengan sistem kekerabatan bilateral/ parental 12 dimana<br />
garis keturunan boleh dihitung melalui garis ayah maupun ibu,<br />
perempuan mendapat separuh saja dari bagian yang diperoleh saudara<br />
laki-lakinya. 13<br />
Jurang Antara Acuan Normatif dan Kenyataan Sosial<br />
Mengapa ada kesenjangan antara hukum sebagai acuan normatif<br />
dan kenyataan sosial? Beberapa faktor dapat menjawab pertanyaan ini.<br />
Pertama, adanya hukum, termasuk kebijakan yang tidak berselaras<br />
dengan peraturan perundang-undangan yang menjamin kesetaraan dan<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
35
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />
Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />
Sulistyowati Irianto<br />
keadilan bagi perempuan. Kedua, adanya persoalan yang “tersimpan”<br />
dalam hukum sendiri. Ketiga, menjadikan hukum sebagai alat rekayasa<br />
sosial tidaklah mudah.<br />
Terdapatnya Peraturan Perundang-undangan “Tandingan”<br />
Sebagaimana telah diungkapkan dalam pengantar tulisan ini,<br />
sungguhpun terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang<br />
menjamin kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki, tetapi<br />
tidak sedikit peraturan perundang-undangan, termasuk kebijakan, dan<br />
rancangan undang-undang sekalipun, yang tidak responsif terhadap<br />
kepentingan perempuan, malahan berimplikasi terhadap terjadinya<br />
diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan.<br />
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat berbagai peraturan perundangundangan<br />
yang saling bertentangan satu sama lain, baik secara vertikal<br />
maupun horisontal. 14 Dalam ajaran mengenai hierarkhi peraturan<br />
perundang-undangan (teori Stuffenbaum dari Hans Kelsen) yang sangat<br />
dikenal di kalangan sarjana hukum sebenarnya keadaan ini tidak boleh<br />
terjadi. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh<br />
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,<br />
apalagi Undang-undang Dasar. Namun keadaan inilah yang terjadi di<br />
Indonesia.<br />
Meski UUD <strong>45</strong> Pasal 27 (b) telah menjamin kesamaan di muka hukum<br />
bagi setiap warga negara, tetapi terdapat banyak undang-undang sampai<br />
peraturan daerah, yang mengandung rumusan yang berstandar ganda.<br />
Sekadar mengambil beberapa contoh, Pasal 34 UU No. 1/1974 mengenai<br />
Perkawinan memberikan status kepada suami sebagai kepala keluarga<br />
dan istri sebagai ibu rumah tangga, dengan berbagai implikasinya,<br />
terutama bagi perempuan bekerja karena tidak dianggap sebagai pencari<br />
nafkah utama. Ketentuan mengenai keimigrasian dan kewarganegaraan,<br />
15 tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk<br />
menentukan hak memilih kewarganegaraan bagi anaknya, dengan<br />
dampaknya yang merugikan terutama bagi perempuan yang bercerai<br />
dari suaminya yang orang asing dan memiliki anak. Spirit dari berbagai<br />
peraturan daerah telah menempatkan sebagai kriminal, perempuan yang<br />
karena kemiskinannya, bekerja sebagai pekerja seks. Mereka dikejar-kejar<br />
oleh “polisi moral” yang adalah aparat penegak hukum, untuk digiring<br />
ke panti rehabilitasi, untuk “disucikan” selama 3 bulan. Sementara itu<br />
36 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Sulistyowati Irianto<br />
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />
Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />
pelanggan mereka, laki-laki, tidak dikenakan sanksi apapun. Lebih parah<br />
lagi, untuk mencegah maksiat, kepada seluruh perempuan dikenakan<br />
jam malam, yang sangat membatasi ruang gerak perempuan untuk<br />
beraktivitas di ruang publik.<br />
Kepada perempuan juga diatur untuk mengenakan pakaian yang<br />
seragam, suatu hal yang tidak dapat dimengerti bagaimana negara bisa<br />
mengintervensi begitu jauh urusan pribadi perempuan.<br />
Kondisi di atas juga menunjukkan bahwa hukum sesungguhnya tidak<br />
netral dan objektif, karena telah menetapkan dan menerapkan standar<br />
ganda bagi mereka yang memiliki kekuasaan (laki-laki) dan mereka<br />
yang tidak memiliki kekuasaan (perempuan). Kenyataan ini telah<br />
menjugkirbalikkan sebuah prinsip yang diagung-agungkan tentang<br />
“netralitas”, “obyektivitas” dan “kepastian hukum”.<br />
Ketidakadilan terhadap perempuan juga tercermin dalam kebijakan<br />
anggaran, sebagaimana yang dapat ditemukan di beberapa daerah.<br />
Lihatlah beberapa contoh perbandingan alokasi anggaran bagi<br />
kepentingan perempuan, dan kepentingan pejabat eksekutif dan legislatif<br />
di beberapa daerah berikut ini.<br />
Tabel 1.<br />
Perbandingan Alokasi Anggaran untuk <strong>Perempuan</strong><br />
No Daerah Peruntukan dana bagi Peruntukan dana bagi<br />
perempuan dan anak pejabat<br />
1 Ciamis, 2004 Penanganan gizi buruk anak Jamuan makan pemerintah<br />
Rp 10 juta<br />
Rp 4 milyar lebih<br />
2 DI Yogyakarta, 2004 Pemberdayaan perempuan Dana purna tugas DPRD<br />
(DI Yogyakarta, 2001) Rp 40,616 (Rp 0,-) Rp 98 juta/orang<br />
(Rp 9,7 miliar)<br />
3 Subang, 2004 Bantuan ibu hamil risiko Perjalanan dinas DPRD<br />
tinggi keluarga miskin Rp 2,3 milyar<br />
Rp 10 juta<br />
4 Kulon Progo, 2004 Posyandu Balita Rp 4 juta Pembangunan dermaga<br />
Karangwuni-Glagah<br />
Rp 135 milyar<br />
Sumber: Diolah dari Warta Korupsi, Seri <strong>Perempuan</strong> dan Anggaran, edisi 4/ September - Oktober<br />
2004, Yogyakarta: IDEA (Institute for Development and Economic Analysis)<br />
Begitupula khususnya dalam bidang kesehatan dapat dilihat alokasi<br />
APBD DI Yogyakarta, sebagai berikut.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
37
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />
Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />
Sulistyowati Irianto<br />
Tabel 2.<br />
Alokasi APBD Yogyakarta tahun 2004<br />
NoAPBD kota Yogyakarta Penerima Manfaat Jumlah<br />
tahun 2004<br />
1 Tunjangan kesehatan <strong>45</strong> orang anggota DPRD Rp 198.<strong>45</strong>0.000,-<br />
DPRD Yogyakarta<br />
2 Peningkatan gizi masyarakat Pasien kurang mampu Rp 64.409.700<br />
3 Biaya perawatan dan Masyarakat khususnya Rp 62.394.000,-<br />
pengobatan lokal<br />
anak-anak<br />
4 Bantuan keuangan untuk Balita gizi buruk Rp 17.500.000,-<br />
balita gizi buruk<br />
Sumber: Diolah dari Warta Korupsi, Seri <strong>Perempuan</strong> dan Anggaran, edisi 4/Sept-Okt 2004,<br />
Yogyakarta: IDEA (Institute for Development and Economic Analysis)<br />
Bayangkanlah anggaran kesehatan untuk <strong>45</strong> orang anggota DPRD<br />
jauh lebih banyak daripada anggaran kesehatan bagi seluruh orang<br />
miskin (perempuan dan anak) di wilayah yang sama. Padahal siapakah<br />
penyumbang anggaran pendapatan daerah terbesar? Ternyata<br />
pendapatan beberapa derah berasal dari retribusi orang sakit (orang<br />
miskin, ibu dan anak). Di beberapa daerah pada tahun 2004, bahkan,<br />
pendapatan paling besar berasal dari sektor kesehatan, yaitu di Bantul<br />
(sebesar Rp. 10,3 miliar), Yogyakarta (Rp. 5,14 miliar), Gunung Kidul<br />
(Rp. 5,43 miliar), Subang (14,055), dan Kebumen tahun 2003 (Rp. 3,5<br />
miliar).<br />
Lagi-lagi kondisi di atas telah menunjukkan bahwa hukum dan<br />
kebijakan telah berpihak kepada pemilik kekuasaan (pejabat eksekutif<br />
dan legislatif), dan mengabaikan pengalaman mereka yang tidak<br />
memiliki kekuasaan yaitu perempuan dan anak-anak dari kelompok<br />
paling miskin dalam masyarakat. Kenyataan itu juga menunjukkan<br />
bahwa hukum yang mengklaim dirinya sebagai netral dan objektif,<br />
ternyata telah berpihak kepada mereka yang berkuasa.<br />
Hukum Menyimpan Persoalannya Sendiri<br />
Hukum dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan,<br />
hukum mencerminkan budaya yang ada dalam masyarakat, atau budaya<br />
adalah faktor determinan dari hukum. Budaya patriarkhi yang kental<br />
dalam suatu masyarakat dapat ditemui dan dibaca dari teks-teks hukum<br />
yang ada dalam masyarakat tersebut. Penetapan dan penerapan standar<br />
38 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Sulistyowati Irianto<br />
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />
Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />
ganda dan penempatan perempuan pada posisi yang subordinate dalam<br />
hukum, sebagaimana dijelaskan di atas, memang merefleksikan juga<br />
budaya hukum masyarakat yang patriarkhis.<br />
Di samping itu secara paradigmatik ada beberapa persoalan yang<br />
dapat menjawab mengapa terdapat jurang antara hukum dalam acuan<br />
normatif dan kenyataan sosial. Dianutnya azas legalitas dalam “doing<br />
law” bagi seorang sarjana hukum, menyebabkan dia sukar sekali bergerak<br />
dari ruang-ruang yang telah ditetapkan itu. Asas legalitas yang<br />
mengatakan bahwa “suatu perbuatan tidak dapat dihukum bila tidak<br />
ada undang-undangnya”, begitu kuat tertanam di kalangan para sarjana<br />
hukum, khususnya ahli hukum pidana. Dalam konteks sejarah<br />
terbentuknya penal code (Perancis), memang tepat untuk membuat hukum<br />
yang demikian, untuk mencegah kesewenangan<br />
penguasa terhadap peghukuman rakyat yang<br />
tidak bersalah. Namun sesudah 150 tahun<br />
yang lalu sejak penal code Perancis dibawa<br />
oleh Belanda ke Indonesia, masyarakat<br />
Indonesia sudah berubah begitu cepat, dan<br />
dalam banyak konteks, ada masalahmasalah<br />
(perempuan), yang tidak tertampung<br />
lagi dalam hukum pidana<br />
tersebut.<br />
Tambahan lagi, cara penafsiran teks<br />
dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan<br />
dilakukan dengan<br />
pandangan yang legistis, yaitu undangundang<br />
dibaca sebagaimana huruf-hurufnya<br />
berbunyi. Hal ini menyebabkan mereka<br />
kesulitan, atau tidak terlalu berani untuk<br />
melakukan terobosan-teorobasan baru, bahkan<br />
ketika mereka berhadapan dengan masalah<br />
kemanusiaan sekalipun. Sebagai contoh, petersenlawoffice.com<br />
para pelaksana hukum sering tidak mengerti<br />
bagaimana harus menangani pelaku kejahatan perdagangan terhadap<br />
perempuan, dengan alasan belum ada undang-undangnya. Padahal<br />
sebenarnya para pelaksana hukum yang “peka” dan peduli terhadap<br />
persoalan kemanusiaan perempuan, dapat menemukan pasal-pasal<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
39
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />
Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />
Sulistyowati Irianto<br />
yang sudah tersedia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana<br />
(KUHP) yang mengandung unsur-unsur perdagangan perempuan<br />
seperti penyekapan orang, pemalsuan dokumen, melarikan orang, dan<br />
sebagainya. Persoalannya adalah jarang sekali dapat ditemukan<br />
pelaksana hukum yang progresif dan responsif terhadap pengalaman<br />
perempuan.<br />
Padahal sebenarnya bila para pelaksana hukum mau bersikap<br />
progresif, di dalam menjalankan tugasnya, dalam ajaran ilmu hukum<br />
mereka malahan diharuskan untuk tidak hanya menomorsatukan legal<br />
justice saja, tetapi juga moral justice. Hakim tidak hanya menjadi corong<br />
undang-undang, tetapi dia harus membuat “undang-undang” (judge<br />
made law) dalam kondisi di mana suatu perkara belum ada undangundangnya.<br />
Teori Menemukan Hukum (rechtsvinding theorie) yang<br />
dikembangkan dalam ilmu hukum mengajarkan bahwa<br />
hakim bukan hanya menerapkan peraturan perundangundangan<br />
atau ketentuan hukum, tetapi dalam menafsirkan<br />
serta menemukan ketentuan hukum dan memberikan<br />
putusan, hakim juga menciptakan hukum,<br />
bedasarkan ketuhanan yang maha esa. 16<br />
Dalam hal seberapa jauh konvensi internasional digunakan dalam<br />
penanganan perkara/ pembelaan terhadap perempuan di persidangan,<br />
ada saja hakim yang menyatakan bahwa sukar untuk mengimplementasikannya,<br />
karena tidak ada pasal-pasal dan sanksi hukum yang jelas<br />
dalam konvensi tersebut. Namun sesungguhnya, hakim yang progresif<br />
akan mengatakan bahwa meskipun tidak bisa digunakan dalam proses<br />
penuntutan, tetapi setidaknya konvensi <strong>CEDAW</strong>, dapat dimasukkan<br />
dalam pertimbangan hakim.<br />
Lebih lanjut dalam praktik, terutama dalam kasus-kasus pidana kita<br />
melihat bahwa hakim lebih banyak “hanya” melakukan konfirmasi<br />
antara dakwaan jaksa dan pasal-pasal dalam peraturan perundangundangan.<br />
Bahkan banyak hakim yang menyatakan bahwa dalam<br />
menangani perkara dan memilih UU mana yang akan digunakan dalam<br />
penyelesaian perkara itu, akan sangat tergantung pada “pilihan hukum”<br />
yang digunakan jaksa.<br />
Sebagai contoh dalam kasus-kasus dimana perempuan tertangkap<br />
40 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Sulistyowati Irianto<br />
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />
Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />
sebagai pengedar narkotika, dan sekarang menantikan hukuman mati,<br />
ternyata ditemukan bahwa mereka sebenarnya adalah korban dari<br />
perdagangan perempuan 17 , yang menjadikan mereka pengedar narkotika.<br />
Pelaku dari pengedar narkotika itu sebenarnya adalah suami, “suami<br />
gelap” atau pacar, yang berhasil merekrut mereka dengan jebakanjebakan<br />
asmara dan uang. 18 Hakim “hanyalah” melakukan konfirmasi<br />
dari tuduhan jaksa terhadap UU Psikotropika dan Narkotika yang<br />
berbunyi “barang siapa tertangkap tangan membawa heroin... maka...”<br />
Memang benar para perempuan itu tertangkap tangan, tetapi hakim tidak<br />
meng-explore lebih jauh, alasan atau pengalaman perempuan terdakwa,<br />
mengapa mereka berada dalam situasi tersebut, dan bagaimana<br />
perempuan sampai berada dalam kondisi itu.<br />
Namun kita juga harus memahami lebih jauh dari sisi hakim,<br />
mengapa hakim enggan melakukan eksplorasi lebih jauh demi<br />
terungkapnya kebenaran materiil dan tercapainya “moral justice”?<br />
Banyak hakim menyatakan bahwa mereka tidak memiliki fasilitas dan<br />
dana yang cukup memadai untuk bisa melakukan upaya dalam rangka<br />
mendapatkan kebenaran materil tersebut. Dalam hal ini negara<br />
seharusnya memang bertanggungjawab menyediakan sarana dan<br />
fasilitas memadai agar hakim bisa secara leluasa menjalankan tugas<br />
sebaik-baiknya demi tercapainya keadilan kepada semua pihak. Di<br />
samping itu kita juga melihat bahwa hakim di Indonesia sangat dibebani<br />
oleh perkara yang bertumpuk dan tertunda. Mereka tidak punya cukup<br />
waktu untuk memberi perhatian “lebih” kepada perkara-perkara tertentu,<br />
sungguhpun perkara tersebut menyangkut masalah kemanusiaan. Hal<br />
itu akan berarti penelantaran terhadap perkara-perkara lain yang<br />
tertunggak.<br />
Menjadikan Hukum sebagai Alat Rekayasa Sosial<br />
Mengintroduksi instrumen hukum, termasuk konvensi internasional,<br />
yang responsif gender, dengan tujuan memperbaiki keadaan masyarakat<br />
ke arah yang lebih baik dan adil, dapat dilihat dalam kerangka<br />
menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social<br />
engineering). Paham ini digagas oleh aliran instrumentalis yang<br />
dipeolopori oleh Roscoe Pound. 19 Dalam implementasinya, ternyata<br />
upaya mengubah masyarakat melalui hukum belum tentu dapat dijamin<br />
keberhasilannya. Mengapa?<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
41
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />
Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />
Sulistyowati Irianto<br />
Hukum bukanlah teks yang berada di ruang kosong, hukum baru<br />
bisa bermakna bila dia “dibunyikan” dalam peristiwa-peristiwa konkret<br />
yang ada dalam masyarakat, karena hukum memang berada di dalam<br />
masyarakat. “Hukum baru” dihantarkan ke dalam masyarakat, yang<br />
dalam kacamata antropologi<br />
hukum dapat diumpamakan<br />
sebagai suatu arena sosial yang<br />
semi otonom (semi-autonomous<br />
social field). 20 Arena tersebut<br />
memiliki kapasitas untuk menciptakan<br />
aturan-aturannya sendiri<br />
(self-regulations), beserta<br />
sanksi-sanksinya, yang biasanya<br />
merupakan sanksi sosial<br />
yang akan berimplikasi serius<br />
bagi mereka yang dianggap<br />
melakukan pelanggaran terhadap<br />
aturan-aturan yang ditetapkan<br />
bersama itu. Karena<br />
masyarakat sudah memiliki<br />
hukumnya sendiri, maka tidak<br />
mengherankan bila “hukum<br />
baru” belum tentu dapat diterima.<br />
“Hukum baru” akan<br />
diterima oleh masyarakat bila<br />
mengandung prinsip-prinsip<br />
yang selaras dengan aturan-aturan mereka sendiri. Atau masyarakat<br />
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menerima “hukum baru”.<br />
Dalam proses itu sering terjadi penolakan-penolakan, terutama karena<br />
“semangat” hukum baru tidak dianggap cocok dengan budaya<br />
masyarakat setempat.<br />
Penolakan terhadap “hukum baru” juga terjadi di kalangan para<br />
pelaksana hukum. Namun bila ditelusuri lebih jauh, ternyata penolakan<br />
tersebut, sebagiannya disebabkan oleh ketidaktahuan para pelaksana<br />
hukum tentang kasus-kasus pengalaman perempuan yang nyata, dan<br />
juga apa yang diinginkan perempuan (korban diskriminasi), yang<br />
diabstraksikan spiritnya dalam “hukum baru”. Khususnya penolakan<br />
42 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
saltspring.com
Sulistyowati Irianto<br />
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />
Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />
terhadap konvensi internasional sering disebabkan oleh anggapan<br />
dalam masyarakat, juga pelaksana hukum, bahwa konvensi tersebut<br />
berasal dari Barat, membawa budaya Barat, yang tidak cocok dengan<br />
masyarakat Timur. Kurang dipahami bahwa Konvensi internasional,<br />
Konvensi “<strong>CEDAW</strong>” misalnya dilahirkan oleh masyarakat internasional,<br />
dirumuskan sendiri oleh delegasi dari berbagai bangsa dan<br />
negara. Konvensi <strong>CEDAW</strong> bahkan lebih banyak dirumuskan dan<br />
disuarakan oleh delegasi perwakilan dari negara-negara <strong>Asia</strong> Afrika<br />
dan negara berkembang lain pada umumnya, di mana para perempuannya<br />
sungguh-sungguh mengalami diskriminasi dan kekerasan dari<br />
praktek budaya lokal. Kenyataan-kenyataan yang dialami oleh<br />
perempuan, dan keinginan perempuan untuk melepaskan diri dari<br />
diskriminasi dan kekerasan itulah yang tidak lain direfleksikan dalam<br />
pasal-pasal yang termuat dalam Konvensi Internasional.<br />
Dalam kondisi itu, pertanyaannya menjadi: bagaimana “janji” dari<br />
negara-negara penandatangan Konvensi <strong>CEDAW</strong>, yang jumlahnya saat<br />
ini sudah sekitar 180 negara? Mereka sudah tanda tangan, sudah berjanji<br />
untuk menerapkan prinsip-prinsip <strong>CEDAW</strong> dalam hukum nasonal<br />
mereka sendiri, merubah peraturan perundang-undangan yang<br />
bertentangan dengan prinsip <strong>CEDAW</strong>, atau membuat peraturan<br />
perundang-undang yang baru. Di pihak lain, mereka “tetap”<br />
membiarkan eksploitasi, perbudakan, kekerasan, dan berbagai bentuk<br />
diskriminasi lain terhadap perempuan.<br />
Pembaharuan Hukum di Indonesia Ke Depan, Seperti Apa?<br />
Sebenarnya telah terdapat peluang yang cukup luas bagi terciptanya<br />
reformasi hukum di Indonesia, di samping sudah adanya berbagai<br />
instrumen hukum yang menjamin kesetaraan dan keadilan seperti<br />
dijelaskan di atas. Peluang tersebut adalah telah dibukanya pers yang<br />
bebas, kebebasan mimbar, dan mulai diakuinya hak-hak politik. 21<br />
Namun pembaharuan hukum tidak mudah untuk dilakukan, karena<br />
problem yang diwarisi bangsa ini terlalu kompleks untuk diselesaikan<br />
dalam waktu sekejap, terutama adalah aparat birokrasi hukum yang<br />
korup, dan mental permisif masyarakat terhadap praktek pelanggaran<br />
hukum, dan masih adanya hukum dan kebijakan (bahkan rancangan)<br />
yang berimplikasi diskriminatif terhadap kelompok rentan dalam<br />
masyarakat.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
43
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />
Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />
Sulistyowati Irianto<br />
Sungguhpun pembaharuan hukum sangat diperlukan, tetapi juga<br />
harus dilakukan secara berhati-hati, tidak hanya sekadar mengagendakan<br />
rancangan-rancangan hukum baru demi tercapainya target “asal<br />
memuaskan”. Harus diwaspadai bila ternyata hukum yang dirancang<br />
adalah yang sarat dengan kepentingan. Hukum dijadikan sebagai alat<br />
untuk mendefinisikan kekuasaan kelompok-kelompok tertentu dalam<br />
masyarakat. Bila melihatnya dari perspektif perempuan, dapat dijumpai<br />
adanya muatan kepentingan dalam berbagai (rancangan) peraturan<br />
perundang-undangan. Isu-isu perempuan sangat rentan untuk dimasuki<br />
dan dijadikan isu politik, karena simbolisasi politik dilekatkan pada<br />
seksualitas tubuh serta keberadaan perempuan itu sendiri.<br />
Catatan Belakang<br />
1<br />
Olsen, Frances E, Feminist Legal Theory vol I : Foundations and Outlooks (New<br />
York: New York University Press, 1995).<br />
2<br />
Carol Smart, Feminism and the Power of Law (USA: Routledge, a Division of<br />
Routledge, Chapman and Hall, Inc, 1990).<br />
3<br />
Penelitian terhadap 9 daerah yang dilakukan oleh Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong>,<br />
Menggalang Perubahan. Perlunya Perspektif Gender Dalam Otonomi Daerah<br />
(Jakarta: YJP, 2004) dan Women Research Institute, Representasi <strong>Perempuan</strong><br />
dalam Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah (Jakarta: WRI, 2005) telah<br />
menunjukkan adanya impelementasi dari berbagai peraturan daerah (Perda) tersebut,<br />
yang merugikan perempuan.<br />
4<br />
Ada banyak kasus perempuan dari komunitas adat, yang karena hutan wilayah adatnya<br />
dikonversi menjadi hutan lindung, hutan negara atau hutan komersial, dan kemudian<br />
masyarakat setempat mengalami proses pemiskinan, akhirnya perempuan tersebut<br />
menempatkan diri sebagai survivor, keluar dari wilayahnya untuk menjadi TKW di<br />
negeri orang.<br />
5<br />
Mengacu pada berbagai Perda, terutama setelah era otonomi daerah, dimana banyak<br />
Pemerintah Daerah yang membuat Perda anti maksiat.<br />
6<br />
Mengacu pada RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Semua ekspresi kasih sayang<br />
dipandang sebagai erotika dalam RUU tersebut.<br />
7<br />
Sejak tahun 1961 sampai 1980-an, setidaknya 9 dari 10 kasus waris di kalangan<br />
masyarakat Batak Toba, oleh Mahkamah Agung diputuskan untuk memberi hak<br />
waris kepada perempuan, sama seperti saudara laki-lakinya, dan istri dinyatakan<br />
berhak atas harta perkawinan. Hal-hak tersebut tidak dikenal dalam hukum adat<br />
Batak, lihat Sulistyowati Irianto, <strong>Perempuan</strong> Di antara Berbagai Pilihan Hukum<br />
(Jakarta: Yayasan Obor indonesia, 2003).<br />
8<br />
Terjemahan dari Women’s Convention, yang sering juga disebut sebagai <strong>CEDAW</strong><br />
44 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Sulistyowati Irianto<br />
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />
Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />
Convention. Konvensi Wanita adalah istilah yang resmi digunakan oleh pemerintah/<br />
negara ketika meratifikasi konvensi tersebut melalui UU no.7/1984.<br />
9<br />
LM Lapian Gandhi, Hukum Payung Fantasi, Payung Pajangan: Sebuah Hasil<br />
Penelitian mengenai Seberapa Jauh Konvensi Wanita Pasal 11 Diadopsi Dalam<br />
Peraturan Perundang-undangan Perburuhan Indonesia (Jakarta: Convention<br />
Watch, 1995).<br />
10<br />
Sebagai contoh adalah masyarakat Batak. Pada masa sekarang dapat ditemui adanya<br />
perubahan-perubahan dalam hukum adat Batak, dalam berbagai bentuk. Di kota<br />
besar, sudah banyak laki-laki yang membuat testamen dan menyertakan istri dan<br />
anak-anak perempuan sebagai ahli warisnya. Sudah semakin banyak putusan hakim<br />
(jurusprudensi) yang memberi hak waris kepada perempuan baik sebagai anak maupun<br />
istri. Sungguhpun demikian dalam kehidupan sehari-hari masih banyak orang Batak<br />
yang mengacu pada hukum adat, yang membatasi akses perempuan kepada harta<br />
waris, bila berhadapan dengan masalah waris. Lihat Sulistyowati Irianto, <strong>Perempuan</strong><br />
Di antara Berbagai Pilihan Hukum (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003).<br />
11<br />
Garis keturunan dan warisan dihitung dari garis ibu, seperti masyarakat Minangkabau.<br />
12<br />
Garis keturunan dihitung dari garis ayah maupun garis ibu, seperti dalam masyarakat<br />
Jawa.<br />
13<br />
Sulistyowati Irianto, Adakah Keadilan Sosial Juga ditujukan Bagi <strong>Perempuan</strong>? dalam<br />
Al Andang Binawan dan A. Prasetyantoko (eds.), Keadilan Sosial, Upaya Mencari<br />
Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,<br />
2004)<br />
14<br />
Vertikal, maksudnya peraturan perundang-undangan yang di bawah bertentangan<br />
dengan yang di atasnya, horisontal dimaksudkan sebagai adanya pertentangan<br />
substansi di antara berbagai peraturan perundang-undangan yang berkedudukan sama<br />
tingkatannya.<br />
15<br />
Termasuk yang masih berbentuk Rancangan Undang- Undang.<br />
16<br />
LM Lapian Gandhi, Makna dan Konsekuensi Hukum Ratifikasi Konvensi<br />
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita dan Prinsip-Prinsip yang<br />
Mendasarinya, makalah untuk Lokakarya ”Peran hakim Dalam Menegakkan Hukum<br />
Berkeadilan Gender: Masalah-Masalah yang Dihadapi”,Jakarta, 19 -20 , 2005.<br />
17<br />
Louise Brown, Sex Slaves: The Trafficking of Women in <strong>Asia</strong> (London: Virago<br />
Press, 2001).<br />
18<br />
Sulistyowati Irianto, Lim Sing Meij, Firliana Purwanti, Perdagangan <strong>Perempuan</strong><br />
dan Pengedaran Narkoba: Studi Kasus di LP Wanita, Tangerang (Jakarta:<br />
Yayasan Obor Indonesia, 2005).<br />
19<br />
Sally Falk Moore, Law as Process, An Anthropological Approach (London:<br />
Routledge & Kegan Paul, 1983).<br />
20<br />
Ibid.<br />
21<br />
Dadang Trisasongko, Pembaharuan Hukum di Jaman yang Sedang Berubah<br />
(Jakarta: PSHK, Jentera, edisi 3/ Tahun II/November 2004) hal. 51-58.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
<strong>45</strong>
<strong>CEDAW</strong>-Restoring Rights To Women
• Topik Empu •<br />
Sejauh Mana Indonesia<br />
Merespon ICPD-KAIRO?<br />
Atashendartini Habsjah<br />
Pendahuluan<br />
Pasal 12 <strong>CEDAW</strong> (The Convention on the Elimination of All Forms of<br />
Discrimination against Women) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk<br />
Diskriminasi Terhadap <strong>Perempuan</strong> telah menyatakan bahwa negara<br />
wajib menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang<br />
pemeliharaan dan pelayanan kesehatan reproduksi. Kenyataannya,<br />
walaupun Indonesia telah meratifikasi <strong>CEDAW</strong> dengan mengeluarkan<br />
UU. No. 7/1984 tetap saja perempuan mendapatkan perlakuan<br />
diskriminatif dalam mendapatkan hak-hak dan pelayanan kesehatan<br />
reproduksinya, terutama dalam kebijakan keluarga berencana yang<br />
hanya menjadikan perempuan sebagai sasaran.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
47
Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />
ICPD-KAIRO?<br />
Atashendartini Habsjah<br />
Implementasi <strong>CEDAW</strong> sebenarnya sudah harus segera kelihatan<br />
progresifitasnya terhadap kepentingan reproduksi perempuan<br />
Indonesia, sebab telah dikuatkan pula oleh hasil Konferensi Internasional<br />
Kependudukan dan Pembangunan di Kairo (1994) atau International<br />
Conference on Population and Development (ICPD) dimana Indonesia pun<br />
ikut menandatangani hasil konferensi ini. Melalui ICPD, kita dapat<br />
melihat seberapa jauh <strong>CEDAW</strong> diimplementasikan secara khusus dalam<br />
hal hak kesehatan reproduksi perempuan.<br />
Sebelas tahun setelah konferensi tersebut ternyata kehidupan<br />
perempuan di Indonesia hanya sedikit mengalami peningkatan.<br />
Berbagai penelitian, baik yang dilakukan oleh NGO, lembaga riset<br />
perguruan tinggi maupun pemerintah, menunjukkan bahwa tujuan dan<br />
sasaran strategis yang dengan sangat rinci telah diuraikan ke dalam<br />
bab-bab maupun pasal-pasal dokumen ICPD Plan of Action (PoA),<br />
kenyataannya tidak dapat dipenuhi oleh berbagai negara, termasuk<br />
Indonesia. 1 Kematian ibu dan perempuan yang sebenarnya dengan<br />
mudah dapat dicegah masih saja berlangsung terus.<br />
Dalam hal kematian ibu, Indonesia masih saja tertinggi kedua setelah<br />
Laos di antara negara-negara ASEAN, yaitu 380 per 100.000 kelahiran<br />
hidup. 2 Setiap tahunnya, ada 20.000 perempuan Indonesia meninggal<br />
di saat hamil atau melahirkan. 3 Belum lagi tingkat anemia di antara<br />
remaja putri maupun perempuan hamil, yang menjadikan mereka sangat<br />
berisiko di saat hamil dan melahirkan. Dan yang paling mencemaskan,<br />
ternyata penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi mereka, jumlahnya dari<br />
hari ke hari makin meningkat. HIV/AIDS yang ditularkan dari suami ke<br />
istri yang tidak tahu menahu ini sangat memprihatinkan karena banyak<br />
dari mereka pada akhirnya menjadi janda, sekaligus harus menjadi<br />
pencari nafkah untuk anak-anaknya, padahal dia sendiri kondisi<br />
kesehatannya semakin hari semakin buruk.<br />
Banyak laporan penelitian, yang khusus memonitor pencapaian<br />
kesepakatan ICPD, menunjukkan bahwa implementasi dari programprogram<br />
yang telah disepakati bersama di tahun 1994 ternyata berjalan<br />
sangat lambat. Ironisnya hal ini tetap terjadi, meski lima tahun yang<br />
lalu semua negara yang terkait telah menyepakati kembali meningkatkan<br />
komitmen bersama (the spirit of Cairo) dan berjanji akan memenuhi<br />
kebutuhan spesifik perempuan beserta semua hak reproduksinya.<br />
Salah satu penyebab utamanya adalah kebijakan yang diluncurkan<br />
tidak menggunakan HAM dan Hak <strong>Perempuan</strong> dalam kerangka<br />
48<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Atashendartini Habsjah<br />
Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />
ICPD-KAIRO?<br />
konseptual. Selain itu, program-program yang menggunakan “label”<br />
kesehatan reproduksi, di tingkat implementasi kenyataannya tidak lain<br />
adalah program yang sama yaitu program ibu dan anak di tingkat<br />
Puskesmas atau program ‘Operasi Manunggal KB-Kesehatan’ di tingkat<br />
masyarakat yang tetap saja bertujuan untuk mendapatkan sebanyak<br />
mungkin akseptor (orang yang mengikuti program KB) yang sasaran<br />
utamanya adalah perempuan keluarga pra-sejahtera. Keluarga prasejahtera<br />
ini justru yang tidak dapat memilih jenis kontrasepsi yang<br />
mereka inginkan, karena yang diberikan gratis hanya kontrasepsi jangka<br />
3 – 5 tahun yaitu implant (susuk). Padahal jenis alat kontrasepsi ini efek<br />
sampingnya sangat banyak dilaporkan oleh para perempuan yang<br />
menggunakannya. Hartman 4 yang banyak melakukan penelitian<br />
terhadap pengguna implant juga sangat resah dengan efek samping yang<br />
sempat banyak dialami oleh mereka.<br />
Apa Saja Komitmen terhadap ICPD-Kairo yang Harus Dipenuhi?<br />
Prinsip dasar ICPD Plan of Action (PoA) adalah “universal human<br />
rights” yang memang telah diakui dan diadopsi dalam berbagai UU<br />
negara berkembang maupun negara maju. Prinsip ini mengakui bahwa<br />
semua terlahir sebagai seorang yang memiliki otoritas terhadap dirinya,<br />
adanya kesetaraan hak dan martabat (equal dignity and rights) serta<br />
memiliki hak untuk hidup, kebebasan, keamanan, perkembangan diri<br />
dan pendidikan. Dalam Dokumen ICPD Chapter II khusus diuraikan<br />
tentang hak asasi perempuan yang merupakan bagian yang tidak dapat<br />
dipisahkan dan merupakan bagian yang integral dari hak asasi manusia.<br />
Kunci utama dari hak ini adalah; (1) penghapusan segala bentuk<br />
diskriminasi yang didasari atas jenis kelamin, (2) adanya peran serta<br />
maupun keterlibatan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan di<br />
semua tingkatan.<br />
Dalam ICPD Plan of Action, hak kesehatan reproduksi diuraikan<br />
panjang lebar dalam Chapter IV, khususnya dalam mengimplementasikan<br />
pelayanan kesehatan yang harus menggunakan prinsip informed choice<br />
(pilihan berdasarkan informasi) dan kebebasan memilih. Chapter VII<br />
dokumen ICPD sekali lagi mendefinisikan kesehatan reproduksi dan<br />
hak reproduksi dalam paragraf 7.2 dan 7.3 dan mempertegas, bahwa<br />
keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena keduanya<br />
memiliki perspektif hak maupun perspektif kesehatan. Dalam pasal 7.3<br />
khusus ditegaskan bahwa hak bagi setiap pasangan ataupun individu<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
49
Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />
ICPD-KAIRO?<br />
Atashendartini Habsjah<br />
(perorangan) untuk menentukan sendiri semua yang terkait dengan<br />
reproduksinya dan harus terbebas dari diskriminasi, pemaksaan<br />
maupun kekerasan. Diisyaratkan agar semua warga, baik laki-laki<br />
maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk menikmati standar<br />
kesehatan yang tertinggi, baik kesehatan fisik, mental, maupun sosial<br />
dan akses terhadap pelayanan kesehatan harus universal, tidak boleh<br />
dibatasi oleh status pernikahan, umur, jenis kelamin maupun status<br />
ekonomi-sosial seseorang. Hak untuk hidup dan hidup secara sehat<br />
adalah hak setiap warga negara. Oleh karena itu, negara wajib<br />
menyediakan semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan<br />
warganya tanpa terkecuali. 5<br />
Apa kata ICPD-PoA tentang Keluarga Berencana?<br />
Chapter VIII khusus diuraikan tentang keluarga berencana. Di<br />
dalamnya dicantumkan bahwa keluarga berencana harus dikaitkan<br />
dengan program pencegahan dan pengobatan penyakit menular seksual,<br />
termasuk HIV/AIDS dan isu seksualitas harus menjadi bagian integral<br />
dari program-program ini.<br />
Secara tegas dalam ICPD PoA dicantumkan, bahwa pencapaian<br />
(goals) dari program Keluarga Berencana harus didasarkan atas “unmet<br />
needs”. Dimana setiap jenis<br />
alat kontrasepsi ataupun<br />
pelayanan yang dibutuhkan<br />
baik laki-laki maupun perempuan<br />
harus disediakan,<br />
selain itu harus pula memenuhi<br />
kebutuhan akan<br />
informasi yang benar dan<br />
akurat. Hitungan demografis<br />
juga tidak boleh dalam<br />
bentuk target atau kuota,<br />
dan insentif tidak boleh dipakai<br />
lagi dalam merekrut<br />
calon pengguna alat kontrasepsi.<br />
Program Keluarga Berencana dalam hal ini diharuskan mengutamakan<br />
“client centered approach” (pendekatan yang terkonsentrasi<br />
pada klien) dengan standar pelayanan yang berkualitas. Disamping itu,<br />
informasi yang terbaik dan akurat, termasuk konseling yang dapat<br />
unfpa.org<br />
50<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Atashendartini Habsjah<br />
Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />
ICPD-KAIRO?<br />
memberdayakan klien. Informasi yang memberdayakan klien bisa<br />
membantu dalam memutuskan yang terbaik bagi tubuhnya, sehingga<br />
drop-out sebagai akseptor bisa dicegah dan juga kehamilan yang tidak<br />
diinginkan (KTD). Oleh karena itu, suatu program harus didesain sesuai<br />
dengan kebutuhan yang diinginkan kaum perempuan dengan<br />
menjadikannya sebagai subjek dalam perencanaan, implementasi<br />
maupun evaluasi. Di beberapa negara berkembang sudah diberlakukan<br />
“Informed Contraceptive Choice” dan hak untuk mendapatkan secara gratis<br />
pelayanan kesehatan dasar, termasuk alat kontrasepsi. Bagaimana di<br />
Indonesia?<br />
Dalam mengimplementasikan program kontrasepsi, kenyataannya<br />
BKKBN tetap menitikberatkan pada upaya pengendalian penduduk dan<br />
mengabaikan “informed contraceptive choice”, karena sistem kafetaria<br />
(yang menjanjikan klien dapat memilih sendiri jenis alat kontrasepsi<br />
yang diinginkan) tidak tersedia. <strong>Perempuan</strong> miskin kenyataannya masih<br />
dijadikan target untuk menggunakan implant yang merupakan alat<br />
kontrasepsi jangka panjang (3 – 5 tahun) yang tingkat kegagalannya<br />
kecil, namun banyak efek sampingnya bagi perempuan yang menggunakannya.<br />
Program implant untuk masyarakat sama sekali tidak “client<br />
centred” (tidak terkonsentrasi pada sistem hubungan klien) karena<br />
pelayanan masih saja diberikan secara massal dan diselenggarakan di<br />
suatu ruangan sempit di kantor kecamatan. Para calon akseptor datang<br />
sekaligus pada jam yang sama, sehingga konseling (dalam arti<br />
sesungguhnya) tidak dapat diberikan.<br />
IUD (spiral), salah satu alat kontrasepsi yang beberapa tahun lalu<br />
banyak digunakan perempuan di Indonesia, kenyataannya tidak<br />
disubsidi lagi oleh pemerintah. IUD buatan lokal yang dahulu<br />
kualitasnya sangat bagus ternyata pabriknya ditutup, sedangkan IUD<br />
yang diproduksi belum lama ini, sangat jelek kualitasnya. Pemasangan<br />
IUD di praktek bidan swasta di wilayah perkotaan sudah sangat mahal,<br />
yaitu sekitar Rp.350.000 – Rp.400.000, padahal kebanyakan perempuan<br />
memiliki seorang bidan sebagai orang kepercayaannya dalam persoalan<br />
kesehatan reproduksi, tetapi tetap saja kebanyakan perempuan tidak<br />
bisa membayar IUD yang sangat mahal ini.<br />
Suatu kebijakan kependudukan memang berhubungan dengan<br />
fertilitas (kesuburan/ kelahiran, yang berarti berkaitan dengan sistem<br />
reproduksi perempuan), namun demikian tidak boleh hanya menitikberatkan<br />
pada urusan jumlah penduduk yang dikaitkan dengan<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
51
Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />
ICPD-KAIRO?<br />
Atashendartini Habsjah<br />
pembangunan ekonomi, karena sebenarnya yang diutamakan adalah<br />
kebijakan kependudukan yang berorientasi pada hak reproduksi. Oleh<br />
karena itu ada 4 pilar atau prinsip yang harus dipatuhi negara dalam<br />
mendesain kebijakan kependudukannya, yaitu; (1) berbasis HAM, (2)<br />
pendekatan kesehatan reproduksi yang holistik, (3) berisikan<br />
pemberdayaan dan pemajuan perempuan, serta (4) memperhatikan<br />
kebutuhan remaja.<br />
Kesehatan Reproduksi yang Holistik<br />
Definisi Kesehatan Reproduksi tercantum dalam paragraph 7.2 ICPD<br />
Plan of Action (PoA), yang berbunyi sebagai berikut:<br />
“...Kondisi sehat fisik, mental dan sosial saat menjalankan<br />
fungsi dan proses reproduksi.”<br />
Dua konferensi PBB (ICPD 1994 di Kairo dan Konferensi <strong>Perempuan</strong><br />
Sedunia tahun 1995 di Beijing) menekankan kesejahteraan perempuan<br />
secara fisik, emosional, dan sosial sebagai bagian dari hak asasi dan<br />
sebagai elemen penting bagi pembangunan yang berkelanjutan.<br />
Konferensi Beijing juga menekankan pada hak perempuan untuk<br />
dilindungi dari aktivitas seks yang tidak diinginkan, penyiksaan, dan<br />
sunat perempuan.<br />
Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, seringkali<br />
menyebutkan bahwa kebijakan-kebijakan baru yang diluncurkan setelah<br />
1994 mengacu kepada Plan of Action (PoA) dari ICPD (1994) dengan<br />
menyebutkan semua komponen kesehatan reproduksi yang harus<br />
terpenuhi. Kenyataannya, paradigma yang digunakan tetap tidak<br />
berubah dan masih saja mengabaikan hak asasi manusia, khususnya<br />
hak asasi perempuan yang sebenarnya melekat dalam hak kesehatan<br />
reproduksi.<br />
Pendekatan kesehatan reproduksi yang holistik berarti semua aspek<br />
yang terkait harus mendapatkan porsi yang sama dan tidak dapat<br />
dipilah-pilah karena kebutuhannya saling terkait. Remaja harus<br />
mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi dan bukan hanya KIE<br />
(komunikasi, informasi dan edukasi) saja.<br />
Oleh karena itu, dalam mewujudkan PoA dalam paragraf 7.3<br />
diisyaratkan untuk tidak memilah-milah ataupun mengkotak-kotakkan<br />
program-program yang tercakup dalam kebijakan kesehatan reproduksi<br />
52<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Atashendartini Habsjah<br />
Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />
ICPD-KAIRO?<br />
suatu negara. Sebab, dalam dokumen ICPD ditegaskan bahwa<br />
pendekatan yang harus digunakan dalam setiap kebijakan yang terkait<br />
dengan kependudukan dan kesehatan reproduksi, adalah pendekatan<br />
hak kesehatan reproduksi yang berbasiskan hak asasi manusia,<br />
khususnya hak asasi perempuan. Pendekatan ini mengakui adanya hak<br />
yang paling esensial dari setiap pasangan ataupun individu (perorangan)<br />
untuk menentukan secara bebas tanpa paksaan: berapa anak, kapan<br />
dan jarak anak yang diinginkannya. Serta adanya ketersediaan sarana<br />
dan prasarana bagi pemenuhan kebutuhan yang terkait dengan<br />
kesehatan reproduksi dari setiap pasangan ataupun individu. Semua<br />
program kesehatan reproduksi yang tersedia harus saling terkait, karena<br />
memang untuk mencapai standar kesehatan reproduksi yang tertinggi,<br />
yang salah satu indikatornya adalah penurunan AKI yang sangat<br />
signifikan, disyaratkan untuk meluncurkan bukan program kesehatan<br />
saja, namun juga menghapus semua produk hukum yang membatasi<br />
pemberi layanan untuk memberikan setiap jenis layanan yang<br />
dibutuhkan oleh warganya. 6<br />
Baru Tahap Wacana: Hanya Terbatas pada Pergantian Struktur<br />
Organisasi di Departemen Kesehatan dan BKKBN<br />
Dalam satu kalimat dapat disimpulkan bahwa Indonesia sangat<br />
lamban dalam merealisasikan pengembangan kesehatan reproduksi<br />
seperti yang tercantum dalam dokumen ICPD-Cairo, apalagi dalam<br />
pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi maupun kesehatan seksual.<br />
Di atas kertas memang cukup banyak tercantum kata kesehatan<br />
reproduksi, bahkan pada tanggal 12 Desember 2005 Departemen<br />
Kesehatan beserta tim lintas sektor yang berasal dari Kementerian<br />
Pemberdayaan <strong>Perempuan</strong>, Departemen Pendidikan Nasional,<br />
Departemen Sosial dan BKKBN meluncurkan suatu buku “Pedoman<br />
Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi” 7 , yang<br />
dianggap dapat memayungi pelaksanaan upaya seluruh komponen<br />
kesehatan reproduksi di Indonesia.<br />
Buku pedoman ini merupakan hasil dari berbagai pertemuan Komisi<br />
Kesehatan Reproduksi yang mengadakan pertemuan berkala sejak tahun<br />
1999. Sebenarnya di tahun 1996, Lokakarya Nasional Kesehatan<br />
Reproduksi sudah menyepakati bersama ruang lingkup kesehatan<br />
reproduksi yang meliputi; kesehatan ibu dan bayi baru lahir, Keluarga<br />
Berencana, pencegahan dan penanggulangan Infeksi Saluran Repro-<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
53
Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />
ICPD-KAIRO?<br />
Atashendartini Habsjah<br />
duksi (ISR), termasuk IMS-HIV/AIDS, pencegahan dan penanggulangan<br />
komplikasi aborsi, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan<br />
penanganan infertilitas, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi<br />
pada usia lanjut (kanker, osteoporosis, dementia, dll).<br />
Dalam perencanaannya, pelayanan kesehatan reproduksi akan<br />
dilaksanakan dalam paket pelayanan reproduksi esensial (PKRE) dan<br />
komprehensif (PKRK). Namun dalam pelaksanaannya, diketahui paket<br />
PKRK sangat jarang ditemui.<br />
Bagaimana dengan Landasan Hukumnya?<br />
Pada dasarnya kita patut berbangga memiliki Kementerian<br />
Pemberdayaan <strong>Perempuan</strong> yang satu-satunya (di antara Departemen<br />
Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Sosial dan<br />
BKKBN) menulis dalam pembukaan buku pedoman kebijakan dan<br />
strategi nasional yang diluncurkan Desember 2005 yang lalu sebagai<br />
berikut 8 :<br />
“Disadari bahwa kendala utama dalam penanganan<br />
masalah pelayanan kesehatan reproduksi dan penegakkan<br />
hak-hak reproduksi adalah belum terintegrasinya<br />
dalam sistim hukum dan perundangan nasional,<br />
sehingga pelaksanaan juga kurang terpadu dan kurang<br />
efektif”.<br />
Kementerian ini juga khusus menyebutkan tentang:<br />
“Masalah utama yang perlu mendapat perhatian khusus<br />
dan sangat menentukan kelangsungan hidup suatu<br />
bangsa adalah masih tingginya angka kematian ibu dan<br />
makin meningkatnya penyebaran HIV/AIDS.”<br />
Sedangkan dalam sambutan Menteri Kesehatan di buku pedoman<br />
yang sama tidak sekalipun menyebut kata hak reproduksi apalagi perlu<br />
adanya landasan hukum. Memang pemangku kepentingan di<br />
Departemen Kesehatan kelihatannya tidak peduli dengan perlu<br />
diadakannya perubahan dalam UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan.<br />
Sampai saat ini draf perubahan UU tentang kesehatan ini keluar sebagai<br />
inisiatif DPR-RI, sedangkan pihak Departemen Kesehatan tetap saja tidak<br />
bergeming.<br />
Dalam makalahnya yang berjudul “Perbaikan Undang-Undang<br />
54<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Atashendartini Habsjah<br />
Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />
ICPD-KAIRO?<br />
Kesehatan” 9 , Dirjen Binkesmas yang menyampaikannya dalam acara<br />
Hari Kartini di Departemen Kesehatan pada tanggal 20 April 2005<br />
mengatakan, bahwa memang sudah saatnya untuk mengubah UU No.<br />
23 tahun 1992 tentang Kesehatan, dengan alasan utamanya yaitu<br />
paradigma sakit harus diubah menjadi paradigma sehat. Namun tidak<br />
ada disebutkan pentingnya landasan hukum untuk penegakan hak<br />
reproduksi.<br />
Secara implisit dapat disimpulkan bahwa banyak pemangku<br />
kebijakan masih sangat takut mendengar kata hukum. Padahal, Nur<br />
Rasyid, SH, MH, dalam presentasinya mewakili Departemen Hukum<br />
dan HAM pada acara round table discussion yang bertema Kajian tentang<br />
Masalah Aborsi Dilihat dari Aspek Perlindungan Hak Reproduksi<br />
<strong>Perempuan</strong> tanggal 23 Desember 2005 mengatakan bahwa hukum justru<br />
harus diidentikkan dengan perlindungan. Jadi, ketika mendengar kata<br />
hukum seharusnya disambut dengan baik, karena petugas kesehatan<br />
dalam memberikan suatu pelayanan kesehatan untuk klien yang sangat<br />
membutuhkannya akan merasa terlindungi secara hukum dan diketahui<br />
juga batasan-batasannya serta sanksinya bila melanggar. Di pihak lain<br />
hukum juga menetapkan sejauhmana perempuan dapat menuntut hakhak<br />
kesehatan reproduksinya.<br />
Dokumen ICPD banyak menuntut tanggung jawab negara (dalam<br />
hal ini pemerintah) untuk melindungi warganya dari tindakan-tindakan<br />
medis yang secara prosedur medis tidak dapat dipertanggungjawabkan<br />
sehingga mengakibatkan komplikasi, kecacatan maupun kematian.<br />
Untuk mencegah ini semua, regulasi yang harus tertuang dalam undangundang<br />
sudah seharusnya diterbitkan dan dengan cara ini juga hak<br />
dan kewajiban dari setiap klien, petugas medis dan semua pihak yang<br />
terkait dapat ditegakkan dan dihormati. Berbagai praktek diskriminasi<br />
terhadap klien yang berasal dari sosial-ekonomi rendah juga dapat<br />
dieliminasi. Masih saja pelayanan medis, termasuk pemasangan implant<br />
dan IUD, yang diberikan di luar klinik kualitasnya sangat rendah.<br />
Padahal konsep dasar ICPD – Kairo (1994) adalah hak, pilihan,<br />
pemberdayaan perempuan dan qualitity of care (pelayanan yang<br />
berkualitas).<br />
Memang upaya BKKBN untuk mengubah UU Kependudukan sudah<br />
ada namun bila disimak isi draf UU Kependudukan tersebut ternyata<br />
jauh dari yang diharapkan oleh Dokumen ICPD (1994). 10 Ada baiknya<br />
Departemen Hukum dan HAM menjadi leading sector atau pihak yang<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
55
Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />
ICPD-KAIRO?<br />
Atashendartini Habsjah<br />
terdepan untuk mempromosikan sekaligus mengajarkan kepada pemangku<br />
kepentingan yang mendesain draf Amandemen UU Kependudukan<br />
dan draft Amandemen UU Kesehatan agar mengetahui apa yang disebut<br />
UU Kependudukan dan UU Kesehatan yang berbasis HAM.<br />
UU No.39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 7 tahun 1984<br />
tentang <strong>CEDAW</strong><br />
Sebenarnya Indonesia sejak tahun 1999 telah memiliki instrumen<br />
HAM yaitu UU No.39 tahun 1999, namun kenyataannya masih banyak<br />
pihak tidak mengenal UU ini. Kelihatannya, para birokrat di Departemen<br />
Kesehatan, BKKBN, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan<br />
mungkin juga departemen yang lain, tidak mengerti bagaimana harus<br />
mengimplementasikan UU No.39/1999 ini ke dalam kebijakan-kebijakan<br />
di lingkup kerjanya. Sebenarnya, untuk kepentingan perlindungan hak<br />
perempuan, bisa menggunakan payung hukum UU No.39/1999 ini. Oleh<br />
karena itu, perempuan dapat menuntut haknya melalui UU ini, termasuk<br />
pemenuhan hak kesehatan reproduksi. Sampai saat ini, baik UU<br />
Kesehatan maupun UU Kependudukan di Indonesia belum diubah, yang<br />
berarti dokumen ICPD (1994) belum diakomodir oleh pemerintah<br />
Indonesia (termasuk dalam mengukur sampai dimana implementasi<br />
<strong>CEDAW</strong> diberlakukan).<br />
Konsep Hak dan Kesehatan Reproduksi serta Kesehatan Seksual:<br />
Bukan Sebatas Program!<br />
Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum dapat menerjemahkan<br />
komitmen yang telah dibuatnya pada tahun 1994 di Kairo, dilanjutkan<br />
dengan komitmen di tahun 1999 di Den Haag dan New York serta di<br />
London tahun 2005. Apakah pemerintah Indonesia tahu bahwa suatu<br />
komitmen harus direalisasikan dalam suatu bentuk “political will” yang<br />
kuat, dan dalam kaitannya dengan mandat ICPD (1994) ada 4 hal yang<br />
harus segera diimplementasikan yaitu; (1) melaksanakan hak dan<br />
kesehatan reproduksi serta kesehatan seksual dalam kerangka hak asasi<br />
manusia, khususnya hak asasi perempuan, (2) terwujudnya kesehatan<br />
dan keadilan gender, (3) adanya alokasi anggaran untuk merealisasikan<br />
kebijakan dan perencanaan pengembangan hak dan kesehatan<br />
reproduksi serta kesehatan seksual, (4) menciptakan kerjasama yang<br />
baik antara pemerintah dengan LSM serta semua organisasi masyarakat<br />
yang berada di akar rumput.<br />
Dalam mengkritisi berbagai kebijakan ataupun strategi yang<br />
56<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Atashendartini Habsjah<br />
Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />
ICPD-KAIRO?<br />
berlabelkan “Kesehatan Reproduksi” dari Departemen Kesehatan dan<br />
BKKBN, bahkan juga dari Kementerian Koordinator Kesra, terlihat<br />
bahwa yang diajukan adalah sebatas program saja 11 , padahal prinsip<br />
dasar dari Dokumen ICPD adalah kesetaraan dan keadilan gender yang<br />
berlandaskan hak asasi manusia atau pemenuhan hak klien (clients<br />
rights) dengan memperhatikan kualitas pelayanan yang diberikan<br />
kepada klien, yang harus menitikberatkan pada penyediaan jenis<br />
layanan yang diinginkan dan juga sangat dibutuhkan klien, khususnya<br />
klien perempuan yang memiliki kekhususan kebutuhan akan pelayanan<br />
yang terkait dengan fungsi reproduksinya, seperti pelayanan aborsi yang<br />
aman.<br />
Di samping itu, program yang diajukan juga masih terkotak-kotak<br />
dan tidak menitikberatkan kepada pendekatan kesehatan reproduksi<br />
dan seksual yang holistik. Ini berarti setiap perempuan dan juga remaja<br />
harus dilihat sebagai individu yang memiliki hak dan otoritas terhadap<br />
tubuhnya sendiri, tanpa harus dikaitkan umur, status dan gendernya.<br />
Kesehatan <strong>Perempuan</strong> Didefinisikan Secara Keliru<br />
Koblinsky dan kawan-kawan (1997) 12 sudah di tahun 1990-an<br />
menyebutkan bahwa konsep “Kesehatan <strong>Perempuan</strong>” telah keliru<br />
didefinisikan, karena definisi kesehatan perempuan lebih didominasi<br />
oleh fungsi-fungsi dan sistem reproduksi perempuan yang berkaitan<br />
dengan pengendalian fertilitas. Van der Kwak yang dikutip oleh<br />
Koblinsky mendefinisikan kesehatan perempuan secara lebih luas dari<br />
fungsi dan sistem reproduksi, yaitu:<br />
“Kesehatan seorang perempuan merupakan kesejahteraan<br />
total yang bukan hanya ditentukan oleh faktor<br />
biologis dan reproduktif, melainkan juga dipengaruhi<br />
oleh beban kerja, gizi, stress, perang, migrasi, dan<br />
sebagainya”.<br />
Konsep lain tentang kesehatan perempuan, yang juga dikutip<br />
Koblinsky dikemukakan oleh World Federation of Public Health Associations,<br />
yang mengatakan bahwa:<br />
“Kesehatan perempuan ... tanpa meninggalkan pengakuan<br />
terhadap fungsi reproduksi dan merawat anak,<br />
sesungguhnya mencakup pandangan yang lebih luas<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
57
Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />
ICPD-KAIRO?<br />
Atashendartini Habsjah<br />
tentang kehidupan perempuan yang menyebabkan<br />
adanya kebutuhan pelayanan yang dapat memenuhi<br />
seluruh kebutuhan kesehatan “perempuan yang sesungguhnya”,<br />
tanpa memandang usia atau status sosial.”<br />
Kenyataannya kebutuhan perempuan akan kesehatan tidak hanya<br />
sekadar yang berhubungan dengan kehamilan dan motherhood. Masalah<br />
kesehatan perempuan berbeda bentuk pada setiap tingkatan umur dan<br />
bergantung pada lingkungan di mana mereka hidup. Dalam suatu<br />
wilayah, perempuan meninggal karena tidak memperoleh akses<br />
pelayanan kesehatan, atau tenaga pelayanan dasar tidak merata, tetapi<br />
di wilayah lain perempuan meninggal mungkin disebabkan oleh<br />
penggunaan teknik kesehatan yang berlebihan.<br />
Kebanyakan perempuan masih saja hidup terkungkung. Diketahui,<br />
bahwa sepanjang siklus hidup perempuan, keberadaan dan aspirasi<br />
mereka sehari-hari masih dibatasi oleh perilaku yang diskriminatif, serta<br />
struktur ekonomi dan sosial yang tidak adil. Faktor-faktor berbasis<br />
gender, sebagian besar dipengaruhi oleh budaya dan pemahaman agama<br />
yang sempit, berdampak terhadap kesehatan perempuan.<br />
Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)<br />
Indonesia memiliki generasi muda yang terbanyak di antara negaranegara<br />
ASEAN: 30,2% dari jumlah penduduk berada pada usia antara<br />
10-24 tahun. Namun demikian, sangat banyak remaja (usia antara 10<br />
dan 19) dan dewasa muda (sampai dengan 24 tahun) belum mendapatkan<br />
informasi mengenai kesehatan reproduksi maupun infeksi menular<br />
seksual apalagi menikmati pelayanan kesehatan reproduksi yang<br />
sebenarnya juga sangat dibutuhkan. 13<br />
Dalam dokumen ICPD PoA dinyatakan bahwa salah satu pilar yang<br />
harus menjadi landasan bagi setiap kebijakan kependudukan suatu<br />
negara adalah: memperhatikan kebutuhan remaja. Oleh karena itu,<br />
komponen kesehatan reproduksi remaja harus juga menjadi prioritas.<br />
“... remaja haruslah turut berperan aktif dalam perencanaan,<br />
implementasi dan evaluasi dari aktivitas<br />
pengembangan yang memiliki dampak langsung dalam<br />
kehidupan sehari-hari mereka. Dan ini sama pentingnya<br />
dengan aktivitas informasi, edukasi dan komunikasi,<br />
serta pelayanan kesehatan reproduksi dan seksualitas.”<br />
58<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Atashendartini Habsjah<br />
Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />
ICPD-KAIRO?<br />
Sampai saat ini ada pihak-pihak yang tidak menyetujui adanya<br />
pelayanan kesehatan reproduksi bagi para remaja, sehingga hanya<br />
terbatas pada pemberian informasi dan konseling saja. Dengan<br />
diluncurkannya buku “Pedoman<br />
Kebijakan dan Strategi Kesehatan<br />
Reproduksi” di bulan Desember<br />
2005 lalu yang secara implisit<br />
mencantumkan diperbolehkannya<br />
remaja menerima pelayanan kesehatan<br />
reproduksi yang berkualitas,<br />
termasuk pelayanan informasi<br />
dengan memperhatikan keadilan<br />
dan kesetaraan gender, diharapkan<br />
remaja bisa memperoleh pelayanan<br />
kesehatan reproduksi. Bahkan<br />
dicantumkan bahwa upaya<br />
pendidikan kesehatan reproduksi<br />
remaja (KRR) dilaksanakan melalui<br />
jalur pendidikan formal maupun<br />
nonformal, dengan memberdayakan<br />
para tenaga pendidik dan<br />
pengelola pendidikan.<br />
Diharapkan apa yang tercantum<br />
dalam dokumen 5 lembaga ini<br />
benar-benar diimplementasikan, karena pendidikan seksualitas di<br />
sekolah-sekolah masih saja hanya berbentuk ceramah dan diberikan<br />
hanya dalam dua hari setahun. Padahal pendidikan seksualitas tidak<br />
saja hanya tentang anatomi tubuh, namun harus mencakup life skill<br />
education, sehingga remaja sanggup dan terampil dalam menghadapi<br />
ajakan negatif ataupun berbagai ancaman yang dihadapinya. 14 Selain<br />
itu, youth friendly clinic yang setiap saat dapat dikunjungi oleh remaja<br />
tanpa dilihat umur, gender dan status sosial maupun ekonomi, harus<br />
disediakan di sebanyak mungkin tempat. Untuk penyediaan pelayanan<br />
ini tidak perlu biaya khusus, karena hanya “nebeng” tempat dan fasilitas<br />
yang sudah ada. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)<br />
menjadi pionir dalam melibatkan remaja dalam seluruh kegiatan di<br />
Centra Mitra Remajanya (CMR).<br />
rapereliefshelter.bc.ca<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
59
Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />
ICPD-KAIRO?<br />
Atashendartini Habsjah<br />
Penutup<br />
ICPD – Kairo telah mengubah kependudukan dan program keluarga<br />
berencana yang semula difokuskan pada pencapaian target demografis<br />
menjadikan hak dan kebutuhan (keinginan) dari setiap individu,<br />
khususnya perempuan, sebagai prinsip dasar hak dan kesehatan<br />
reproduksi serta kesehatan seksual. Perubahan ini otomatis menunjang<br />
implementasi <strong>CEDAW</strong> yang menyangkut masalah kesehatan reproduksi<br />
perempuan. Oleh karena itu, hak asasi perempuan harus tetap<br />
dipertahankan sebagai simpul (at the centre) dari visi global dan bentuk<br />
pembangunan global. ICPD – PoA mensyaratkan terciptanya kemitraan<br />
yang strategis di antara semua kelompok-kelompok gerakan perempuan<br />
dan juga dengan semua pihak yang bergerak di lingkup hak asasi<br />
manusia, kesehatan (termasuk family planning) maupun pembangunan<br />
(termasuk pengentasan kemiskinan). Pengarusutamaan hak dan<br />
seksualitas ke dalam program-program kesehatan/KB harus terus<br />
dipromosikan untuk kemudian diimplementasikan. Pengejawantahan<br />
hak-hak ini dalam berbagai bentuk implementasi yang bermakna harus<br />
dapat memperlihatkan adanya perubahan kondisi perempuan ke arah<br />
yang lebih baik.<br />
Selain itu, ICPD – PoA juga menegaskan pentingnya peran laki-laki<br />
dalam semua aspek yang terkait dengan kesehatan seksual dan<br />
reproduksi. Memang, budaya patriarkhi yang tetap masih terus<br />
dipertahankan merupakan tantangan yang paling serius dan harus<br />
ditangani. Peran laki-laki dalam program Keluarga Berencana yang<br />
diluncurkan tanggal 12 Desember 2005 lalu bahkan masih saja belum<br />
dicantumkan sebagai suatu program, apalagi mendapatkan prioritas.<br />
Dari angka penggunaan alat kontrasepsi pria yang dalam dua dekade<br />
tetap saja tidak berubah (2,3%) dapat terlihat bagaimana pemangku<br />
kebijakan sangat bias gender dalam menetapkan program-programnya.<br />
“The Holy Trinity” yang mengkaitkan perempuan, kependudukan,<br />
dan pertumbuhan ekonomi, jelas membebankan perempuan sebagai<br />
pihak yang harus bertanggungjawab terhadap pengendalian jumlah<br />
penduduk karena dianggap hanya perempuan yang bisa menurunkannya.<br />
Padahal seharusnya laki-laki juga menjadi akseptor yang aktif<br />
sebagai bentuk pertanggungjawabannya atas persoalan kependudukan.<br />
Sampai saat ini hanya 2,3% pria yang aktif menjadi akseptor (1,6%<br />
kondom dan 0,7% vasektomi). 15<br />
Isu aborsi juga tetap menjadi ganjalan dalam implementasi ICPD ini,<br />
60<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Atashendartini Habsjah<br />
Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />
ICPD-KAIRO?<br />
padahal sudah sangat banyak penelitian tentang aborsi dilakukan<br />
selama 10 tahun terakhir ini. Di tahun 2002 16 telah terestimasi adanya<br />
2.000.000 insiden aborsi setiap tahunnya di Indonesia, yang lebih kurang<br />
900.000 melakukan aborsi yang tidak aman yaitu dengan pertolongan<br />
orang-orang yang tidak berwenang dan secara medis tidak dapat<br />
dipertanggungjawabkan. Besaran masalah aborsi ini memang diakui<br />
oleh Departemen Kesehatan, karena Dirjen Binkesmas mengatakan<br />
bahwa 30% dari kematian ibu disebabkan oleh komplikasi aborsi yang<br />
tidak aman yang mengakibatkan pendarahan hebat maupun infeksi.<br />
Dilihat dari besaran masalah aborsi di Indonesia, sebenarnya sudah<br />
dapat dikategorikan sebagai masalah kesehatan masyarakat (public health<br />
concern) dan untuk itu pemerintah wajib melindungi kaum perempuan<br />
dari praktik aborsi yang tidak aman.<br />
Sampai saat ini dengan adanya kerancuan pasal 15 dari UU No.23/<br />
1992 tentang kesehatan tetap saja pihak provider (penyedia/ petugas<br />
medis) tidak berani memberikan layanan aborsi karena tidak ada payung<br />
hukumnya. Masalah aborsi harus dilihat sebagai masalah kesehatan<br />
dan bukan masalah moral. Kebutuhan akan layanan aborsi tetap akan<br />
berlangsung terus karena berbagai alasan; (1) Tidak ingin hamil tetapi<br />
tidak menggunakan kontrasepsi karena tidak tahu, tidak ada, tidak<br />
disetujui suami, (2) Menggunakan kontrasepsi tetapi gagal, (3) Mengikat<br />
kontrak kerja yang mensyaratkan tidak/ belum boleh hamil, (4) Ada<br />
cacat bawaan yang berat pada janin, (5) Ada gangguan mental berat<br />
yang tidak memungkinkan ia mengasuh anak, (6) Hamil akibat perkosaan<br />
atau inses (incest), (7) Alasan sosial ekonomi (masih mondok, suami belum<br />
mempunyai pekerjaan tetap, isteri harus bekerja berat misalnya jadi<br />
buruh kasar, korban KDRT), (8) Ibu menderita HIV/AIDS dan khawatir<br />
anaknya akan terkena juga, (9) Suami belum setuju kalau ia hamil; atau<br />
(10) Hamil sebelum menikah atau ingkar janji.<br />
Rendahnya status kesehatan perempuan dan tingginya Angka<br />
Kematian Ibu (AKI) sangat terkait dengan rendahnya kemampuan<br />
perempuan untuk menggunakan hak-hak mereka. Tidak hanya laki-laki,<br />
tetapi juga setiap perempuan berhak secara mandiri mendapatkan hak<br />
reproduksi mereka. Jurang antara keberadaan hak yang seharusnya<br />
dengan apa yang sesungguhnya didapat seorang perempuan, muncul<br />
dari kurangnya komitmen pemerintah dalam memperjuangkan dan<br />
melindungi hak-hak yang seharusnya diterima kaum perempuan. Hal<br />
ini merupakan salah satu alasan mengapa pemahaman terhadap faktor-<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
61
Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />
ICPD-KAIRO?<br />
Atashendartini Habsjah<br />
faktor tersebut harus dimiliki para petugas medis (provider) dalam upaya<br />
meningkatkan pelayanan kesehatan perempuan dengan memberikan<br />
para perempuan tidak hanya pil atau obat, melainkan juga informasi,<br />
pendidikan, keterampilan komunikasi dan pengendalian diri di wilayah<br />
seksualitas dan fertilitas yang dapat diterimanya melalui konseling.<br />
Pemanfaatan hak merupakan kunci bagi tindak lanjut di masa depan,<br />
perempuan sendirilah yang harus mengambil keputusan yang<br />
menyangkut tubuh dan kesejahteraan dirinya sendiri.<br />
Oleh karena itu, syarat utama keberhasilan kesepakatan ICPD – Kairo<br />
adalah komitmen semua pihak yang berasal dari eksekutif, legislatif<br />
maupun yudikatif. Komitmen yang sangat tinggi ini harus dikomandokan<br />
oleh Presiden dan Departemen Kesehatan sebagai leading<br />
sector yang terus menerus harus berkoordinasi dengan departemen terkait.<br />
Departemen Kesehatan tidak boleh menarik diri dan mengatakan kondisi<br />
kesehatan reproduksi yang buruk bukan menjadi tanggung jawab<br />
departemennya semata karena banyak faktor non-medis yang berpengaruh.<br />
Di semua negara yang berhasil menurunkan angka kematian<br />
ibu dengan sangat cepat merupakan hasil kerja keras dari semua sektor<br />
di bawah komando Presiden dan Sektor Kesehatan.<br />
Pesan khusus kepada perumus dan penentu kebijakan di instansi<br />
terkait adalah suatu kewajiban menerapkan pengetahuan tentang hak<br />
asasi manusia, terutama hak asasi perempuan”. Amandemen UUD 19<strong>45</strong><br />
khusus pasal 28 (h) telah menegaskan bahwa setiap warga negara berhak<br />
untuk hidup sehat dan mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan. Di<br />
samping itu UU No.7/ 1984 tentang Ratifikasi <strong>CEDAW</strong> dan UU No.39/<br />
1999 tentang HAM juga sudah memayungi perlindungan hukum atas<br />
pelayanan kesehatan reproduksi yang harus diterima oleh setiap warga<br />
negara, khususnya perempuan yang terkait dengan peran dan fungsi<br />
reproduksinya yang spesifik. Keterbatasan anggaran bukan alasan yang<br />
bisa diterima, karena pelayanan kesehatan reproduksi sebenarnya dapat<br />
diselenggarakan secara efisien dan efektif dengan hanya menyisipkannya<br />
ke dalam program-program yang sudah ada. Namun sayangnya<br />
anggaran dialokasikan terpisah-pisah secara vertikal. Selain itu, petugas<br />
medis harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang HAM. Hak<br />
reproduksi, dan hak klien agar mereka memiliki kepedulian yang tinggi<br />
terhadap kondisi kesehatan/kesejahteraan dari perempuan yang<br />
menjadi klien mereka.<br />
62<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Atashendartini Habsjah<br />
Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />
ICPD-KAIRO?<br />
Catatan Belakang<br />
1<br />
IRRMA team, Indonesia’s NGO Country Report for ICPD +10 (Indonesia: IRRMA<br />
dan Ford Fondation ARROW Project, 2004).<br />
2<br />
UNDP Human Development Report 2004, Cultural Liberty in Today’s Diverse<br />
World (New York: United Nation Development Programme , 2004).<br />
3<br />
Depkes RI, Rencana Strategi Nasional “Making Pregnancy Safer” di Indonesia<br />
(Jakarta, 2001).<br />
4<br />
Lihat Dadang Juliantoro, Tiga Puluh Tahun Cukup: Keluarga Berencana dan<br />
Hak-Hak Konsumen (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000).<br />
5<br />
IRRMA team, Indonesia’s NGO Country Report for ICPD+10 (Indonesia: IRRMA<br />
dan Ford Foundation-ARROW Project, 2004)<br />
6<br />
Mariana Amiruddin, Kesehatan Hak Reproduksi <strong>Perempuan</strong> (Jakarta: Yayasan<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> dan Japan Foundation, 2003).<br />
7<br />
Buku Pedoman Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di<br />
Indonesia (Jakarta: Departemen Kesehatan RI, Kementrian Negara Pemberdayaan<br />
<strong>Perempuan</strong> Republik Indonesia, Departemen Pendidikan dan Nasional Republik<br />
Indonesia, Departemen Sosial RI, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional,<br />
UNFPA, 2005).<br />
8<br />
Ibid.<br />
9<br />
Dirjen Binkesmas Depkes RI, periode 2001-2005, makalah Perbaikan UU Kesehatan<br />
Disampaikan pada Seminar dan Info Fair, “Arti Perjuangan Kartini dan Kesehatan<br />
<strong>Perempuan</strong> di Indonesia: Upaya Mempercepat Perbaikan UU Kesehatan.” (Jakarta,<br />
2005)<br />
10<br />
Meiwita Budhiharsana dan Herna Lestari, Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)<br />
(Jakarta: The Ford Foundation dan BKKBN, 2002).<br />
11<br />
“Kumpulan makalah dan tanggapan Fraksi-Fraksi DPR-RI mengenai Perubahan<br />
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan: Tahun 2002-2004<br />
(Yayasan Kesehatan <strong>Perempuan</strong>, IFPPD, dan The Ford Foundation, 2004).<br />
12<br />
Gadis Arivia. Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong>,<br />
2003).<br />
13<br />
Laurike Moeliono, Indra Nurpatria; Pongai Pierre, Adi Albyn Respati, Informasi<br />
Penunjang Advokasi KRR (Jakarta: BKKBN dan Bank Dunia, 2004), Ahmad<br />
Saifudin dan Irwan Hidayana, Seksualitas Remaja (Jakarta: Antropologi Fisip UI<br />
dan Ford Foundation, 1999).<br />
14<br />
Mariana Amiruddin, Pendidikan Seks Salah Satu Cara Menyelamatkan Seksualitas<br />
<strong>Perempuan</strong> (<strong>Jurnal</strong> perempuan edisi 41, 2005) hal. 106-107.<br />
15<br />
Dadang Juliantoro, op.cit.<br />
16<br />
B. Utomo dan A. Habsjah dkk “Incidence and Socio-Psychological aspects of Abortion<br />
in Indonesia”: a community-bsed survey in ten mayor cities and six districts, year<br />
2000" (Jakarta: Centre for Health- University of Indonesia, 2001).<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
63
• Topik Empu •<br />
Counter Legal Draft<br />
Kompilasi Hukum Islam:<br />
Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong><br />
dalam Perkawinan<br />
Siti Musdah Mulia<br />
Pendahuluan<br />
Sudah umum diketahui bahwa Indonesia melalui UU No. 7 tahun<br />
1984 meratifikasi konvensi internasional tentang penghapusan segala<br />
bentuk perlakuan diskriminatif terhadap perempuan, dikenal dengan<br />
sebutan <strong>CEDAW</strong> (The Convension on the Elimination of All Forms of<br />
Discrimination Against Women). Salah satu isi penting dalam konvensi<br />
tersebut adalah larangan diskriminasi apa pun dalam kehidupan<br />
perkawinan.<br />
Isu perkawinan menjadi penting karena bersinggungan dengan nilainilai<br />
sosial-budaya yang hidup dan dianut secara luas dalam masyarakat<br />
Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Ajaran Islam sangat kuat<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
65
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />
Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />
Siti Musdah Mulia<br />
mempengaruhi nilai-nilai budaya, ekonomi, sosial dan politik bangsa<br />
Indonesia, termasuk di dalamnya nilai-nilai yang berkaitan dengan relasi<br />
gender, khususnya relasi suami-isteri dalam kehidupan perkawinan.<br />
Konsekuensi logis dari ratifikasi konvensi ini, antara lain Indonesia<br />
berkewajiban melaksanakan semua ketentuan yang ada dalam konvensi.<br />
Tujuan utama dari implementasi ini adalah untuk meningkatkan kualitas<br />
hidup perempuan melalui penghapusan segala bentuk diskriminasi<br />
terhadap perempuan, baik di ranah publik maupun di ranah domestik.<br />
Implementasi tersebut, antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk<br />
menyelaraskan aturan-aturan hukum nasional dengan isi konvensi.<br />
Kenyataannya, setelah 22 tahun berlalu, belum banyak kemajuan<br />
yang dicapai. Indikasinya terlihat dari masih kuatnya diskriminasi<br />
terhadap perempuan, meningkatnya kasus-kasus kekerasan yang<br />
berbasis gender, parahnya angka kematian ibu melahirkan, maraknya<br />
kasus trafficking, tingginya angka poligami dan perkawinan anak-anak,<br />
bertambahnya jumlah perkawinan yang tidak dicatatkan atau<br />
perkawinan sirri, dan masih pula ditemukan sejumlah peraturan<br />
perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan.<br />
Sulitnya mengimplementasikan konvensi <strong>CEDAW</strong> dalam kehidupan<br />
masyarakat yang mayoritas beragama Islam, disebabkan antara lain<br />
rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai nilainilai<br />
agama Islam yang menjelaskan peranan dan fungsi perempuan<br />
dan masih banyak penafsiran ajaran Islam yang merugikan kedudukan<br />
dan peranan perempuan. Kuatnya pemahaman Islam yang bias gender<br />
dan bias nilai-nilai patriarkhi tersebut menimbulkan tuduhan terhadap<br />
Islam sebagai sumber masalah atas terjadinya pelanggengan ketidakadilan<br />
di masyarakat, termasuk ketidakadilan dalam pola relasi lakilaki<br />
dan perempuan atau ketidakadilan gender (gender inequality).<br />
Oleh karena agama berurusan dengan nilai-nilai yang paling hakiki<br />
dari hidup manusia, maka legitimasi religius yang keliru akan sangat<br />
berbahaya. Persoalannya bahwa pelanggengan ketidakadilan gender<br />
itu bukan bersumber dari watak agama itu sendiri, melainkan berasal<br />
dari pemahaman, penafsiran, dan implementasi ajaran agama yang<br />
sangat dipengaruhi oleh tradisi dan kultur patriarkhi, ideologi<br />
kapitalisme, atau pengaruh kultur abad pertengahan yang sangat<br />
feodalistik.<br />
66 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Siti Musdah Mulia<br />
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />
Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />
Salah satu bentuk peraturan yang mengikat umat Islam Indonesia<br />
adalah KHI (Kompilasi Hukum Islam). Di dalamnya diatur berbagai<br />
ketentuan berkaitan urusan keluarga, seperti perkawinan, kewarisan<br />
dan perwakafan. KHI yang menjadi pedoman para hakim agama di<br />
Indonesia itu mengandung unsur-unsur diskriminatif terhadap<br />
perempuan, 1 dibangun berdasarkan asumsi yang bias gender dan bias<br />
nilai-nilai patriarkhis, serta berpotensi menimbulkan kekerasan terhadap<br />
perempuan. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi upaya implemenasi<br />
<strong>CEDAW</strong>, terutama dalam kehidupan perkawinan atau keluarga, harus<br />
dimulai dengan merevisi KHI.<br />
Timbul pertanyaan mengapa harus dimulai dari KHI? Paling tidak,<br />
ada tiga alasan. Pertama, KHI dipandang sebagai jantung syariat atau<br />
inti ajaran Islam sehingga menjadi rujukan nilai di masyarakat. Kedua,<br />
KHI merupakan panduan hukum hakim agama di Pengadilan Agama<br />
dalam memutuskan perkara-perkara keluarga, khususnya di bidang<br />
perkawinan. Ketiga, upaya mengeliminasi semua bentuk diskriminasi<br />
terhadap perempuan harus dimulai dari keluarga. Sebab, keluarga yang<br />
katanya merupakan wilayah paling aman itu justru paling banyak<br />
merekam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence).<br />
intranet.usc.edu.au<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
67
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />
Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />
Siti Musdah Mulia<br />
Keempat, sejumlah pasal dalam KHI berseberangan dengan undangundang<br />
baru, seperti Amandemen UUD 19<strong>45</strong>, UU No.7 tentang Rativikasi<br />
<strong>CEDAW</strong>; dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semua<br />
undang-undang tersebut sangat menekankan upaya perlindungan dan<br />
penguatan hak-hak perempuan menuju terwujudnya kondisi kesetaraan<br />
dan keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Selain<br />
itu, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah amat tegas<br />
menekankan prinsip demokrasi dengan ciri partisipasi seluruh<br />
masyarakat, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Pemerintah<br />
pun meratifikasi sejumlah Konvensi Internasional yang berisi<br />
perlindungan dan penegakan hak-hak perempuan. Bahkan, lahir UU<br />
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 23 Tahun<br />
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong> Dalam<br />
Rumah Tangga (KDRT), keduanya sangat mengedepankan perlunya<br />
perlindungan terhadap anak dan perempuan dari berbagai bentuk<br />
diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan.<br />
Substansi <strong>CEDAW</strong> Mengenai Perkawinan<br />
Konvensi <strong>CEDAW</strong> menegaskan pentingnya perlindungan hak-hak<br />
asasi perempuan dalam kehidupan keluarga dan perkawinan. Pasal 5<br />
(b) menyebutkan: “negara menjamin bahwa pendidikan keluarga mencakup<br />
pengertian yang tepat mengenai keibuan sebagai suatu fungsi sosial, dan<br />
pengakuan terhadap tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan dalam<br />
mengasuh dan mengembangkan anak-anaknya. Bahwa kepentingan anak<br />
merupakan pertimbangan pertama dalam semua kasus.” Ketentuan ini<br />
menegaskan pentingnya pengakuan tehadap tugas keibuan sebagai<br />
fungsi sosial. Setiap orang harus menghormati hak-hak perempuan,<br />
terutama ketika mereka menjalani tugas-tugas reproduksinya. Hanya<br />
perempuan yang bisa menjadi ibu dan itu merupakan tugas kemanusiaan<br />
yang sangat luhur dan harus dihormati. Setiap perempuan yang<br />
sedang menjalankan tugas sosial tersebut harus mendapatkan jaminan<br />
hak untuk terbebas dari semua perlakuan diskriminasi, eksploitasi dan<br />
kekerasan dari siapa pun dan dengan alasan apa pun.<br />
Pernyataan konvensi ini sekaligus meluruskan pemahaman keliru<br />
di masyarakat yang memandang tugas mengasuh dan merawat anak<br />
sebagai kewajiban ibu semata, padahal sesungguhnya menjadi kewajiban<br />
orang tua: ayah dan ibu. Sayangnya, pemahaman keagamaan mainstream<br />
68 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Siti Musdah Mulia<br />
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />
Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />
di masyarakat mengakui secara tegas adanya segregasi ruang antara<br />
ruang privat dan ruang publik. Tugas-tugas domestik dalam rumah<br />
tangga dipandang sebagai kewajiban isteri, sebaliknya tugas-tugas di<br />
ruang publik monopoli suami. Konsekuensinya, isteri bekerja di ruang<br />
publik terpaksa memikul beban ganda karena disamping harus<br />
menyelesaikan tugasnya di tempat kerja, dia juga tetap harus bisa<br />
mengerjakan tugasnya yang dipandang utama di dalam rumah tangga.<br />
Sebaliknya, kondisi demikian tidak berlaku bagi suami. Tugas-tugas<br />
domestik di rumah tangga tidak pernah dipikulkan pada pundak lakilaki<br />
sehingga tidak dikenal istilah beban ganda bagi laki-laki.<br />
Pandangan bias gender ini mempengaruhi sistem kerja di ruang<br />
publik. Para isteri yang bekerja selalu dianggap sebagai kerja membantu<br />
suami, padahal banyak di antara mereka justru menjadi penyangga<br />
utama kebutuhan finansial keluarga, bukan sekadar membantu. Ironis<br />
bukan? Fatalnya lagi, karena dianggap bukan sebagai pencari nafkah<br />
utama keluarga, status mereka dikategorikan sebagai layang atau tidak<br />
menikah sehingga tidak mendapatkan tunjangan keluarga seperti<br />
diperoleh para laki-laki, rekan kerja mereka. Pada umumnya, pendapatan<br />
pekerja perempuan lebih kecil daripada pendapatan pekerja laki-laki,<br />
meskipun volume dan kualitas pekerjaannya sama.<br />
Penegasan Konvensi tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan<br />
segregasi ruang privat dan ruang publik yang mengakibatkan beban<br />
kerja lebih berat bagi perempuan dan desakan untuk mengakui hak<br />
perempuan bekerja di ruang publik tanpa diskriminasi sedikit pun.<br />
Kondisi ideal yang diinginkan melalui konvensi tersebut adalah<br />
hilangnya istilah beban ganda bagi perempuan. Laki-laki dan<br />
perempuan keduanya sama-sama bertanggung jawab dalam tugas-tugas<br />
domestik di rumah tangga. Keduanya harus bisa berbagi tugas dengan<br />
nyaman dan penuh tanggungjawab berdasarkan kesadaran kemanusiaan.<br />
Masyarakat pada umumnya masih menganggap pekerjaan merawat<br />
anak dan mengurus rumah tangga sebagai tugas kodrati perempuan.<br />
Apa yang disebut kodrat? Kodrat adalah segala sesuatu yang sifatnya<br />
“pemberian Tuhan” yang tidak berubah dan tidak dapat diubah oleh<br />
siapa pun. Kalau begitu, hal-hal yang sifatnya kodrati dalam diri<br />
perempuan tidak banyak, yaitu hanya berkaitan dengan organ-organ<br />
reproduksi mereka yang spesifik, seperti haid, hamil, menyusui, dan<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
69
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />
Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />
Siti Musdah Mulia<br />
melahirkan. Seluruh aktivitas tersebut tidak dapat dilakukan oleh selain<br />
perempuan karena berhubungan erat dengan fungsi reproduksi<br />
perempuan, khususnya payudara dan rahim. Seluruh aktivitas<br />
perempuan yang terkait langsung dengan fungsi payudara dan rahim<br />
itulah yang disebut dengan kodrat perempuan, di luar itu bukan kodrat.<br />
Dengan demikian, aktivitas membersihkan rumah, memasak,<br />
mencuci, menjaga dan merawat anak bagi perempuan merupakan<br />
sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial oleh masyarakat selama<br />
bertahun-tahun bahkan berabad-abad sehingga membentuk tradisi atau<br />
kebiasaan yang sulit berubah sehingga dipandang sebagai kodrat<br />
perempuan. Berbagai contoh aktivitas tersebut bukanlah sesuatu yang<br />
bersifat kodrati karena pekerjaan itu tidak membutuhkan payudara atau<br />
rahim perempuan. Pekerjaan-pekerjaan itu bisa dilakukan dengan baik,<br />
atau mungkin lebih baik oleh laki-laki. Hal itu tergantung pembiasaan<br />
saja. Pekerjaan memasak, misalnya selalu dipandang sebagai kewajiban<br />
kodrati isteri, padahal kenyataannya dapat dilakukan secara lebih<br />
berkualitas dan profesional oleh para laki-laki, khususnya oleh mereka<br />
yang berprofesi sebagai koki di restoran atau di tempat-tempat publik<br />
lainnya. Pertanyaannya, mengapa pekerjaan domestik itu bisa dilakukan<br />
dengan baik oleh laki-laki? Jawabannya sederhana saja, ketika di ruang<br />
publik pekerjaan itu dihargai dan dinilai dengan uang, tidak demikian<br />
halnya jika dilakukan di rumah tangga.<br />
Lebih lanjut, konvensi menyebutkan hak-hak perempuan dalam<br />
perkawinan pada pasal 11 ayat 2: bahwa untuk mencegah diskriminasi<br />
terhadap perempuan atas dasar perkawinan atau karena menjadi ibu dan untuk<br />
menjamin haknya yang efektif untuk bekerja, maka negara melarang pengenaan<br />
sanksi, pemecatan dengan alasan kehamilan atau cuti karena melahirkan dan<br />
atas dasar status perkawinan (2.a). Sebaliknya, perempuan yang mengambil<br />
cuti melahirkan tetap menerima upah atau dengan tunjangan sosial yang<br />
sebanding tanpa kehilangan pekerjaan semula, senioritas, dan tunjangan sosial<br />
(2.b). Bahkan, negara harus menyediakan perlindungan khusus bagi perempuan<br />
selama hamil dalam jenis pekerjaan yang terbukti merugikan mereka (2.d).<br />
Ketentuan konvensi tersebut menegaskan perlindungan terhadap<br />
hak-hak perempuan pekerja untuk tidak mengalami diskriminasi karena<br />
alasan perkawinan dan karena fungsi-fungsi reproduksi mereka.<br />
Ketentuan ini sangat relevan mengingat di masyarakat sering dijumpai<br />
70 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Siti Musdah Mulia<br />
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />
Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />
lembaga atau perusahaan yang hanya merekrut pekerja perempuan yang<br />
belum menikah dan memecatnya begitu ketahuan telah menikah. Atau<br />
perusahaan dan lembaga yang tidak memberikan hak cuti kepada pekerja<br />
perempuan berkaitan dengan fungsi reproduksi mereka, seperti cuti haid,<br />
hamil, melahirkan, dan menyusui.<br />
Konvensi <strong>CEDAW</strong> secara lebih detail dan rinci menjelaskan hak-hak<br />
perempuan dalam kehidupan keluarga dan perkawinan pada pasal 16<br />
sebagai berikut.<br />
Pertama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk<br />
memasuki perkawinan. Hak ini dalam masyarakat Islam tidak<br />
dibenarkan karena perempuan hanya bisa menikah dengan persetujuan<br />
orang tua atau walinya. <strong>Perempuan</strong> bukanlah individu yang mandiri<br />
dan dalam konteks hukum dia hanya diperlakukan sebagai objek, bukan<br />
subjek hukum. Dia tidak bisa mengambil keputusan untuk dirinya<br />
sendiri, sebagaimana saudara mereka yang laki-laki. 2<br />
Kedua, hak dan kebebasan yang sama bagi laki-laki dan perempuan<br />
untuk memilih pasangan hidup dengan persetujuan penuh. Ketentuan<br />
ini pun sulit diimplementasikan karena pemahaman mayoritas<br />
memandang haram hukumnya perempuan menikah beda agama. 3<br />
Pandangan ini sangat mundur karena dalam kitab-kitab fikih klasik<br />
dinyatakan laki-laki Islam bisa menikahi perempuan non-Islam. 4 Kalau<br />
laki-laki Muslim bisa menikahi non-Muslim tentu berlaku juga bagi<br />
perempuan Muslimah. Bukankah keduanya sama-sama manusia, samasama<br />
menganut Islam?<br />
Ketiga, hak dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki selama<br />
perkawinan dan perceraian. Ketentuan ini sulit dilaksanakan selama<br />
dalam hukum dinyatakan laki-laki boleh poligami 5 dan boleh<br />
menceraikan sepihak atau boleh merujuk atas keinginan sepihak.<br />
Keempat, hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua tanpa<br />
memandang status perkawinannya, dan dalam hal yang berhubungan<br />
dengan anak semuanya harus dilakukan dengan mempertimbangkan<br />
kepentingan terbaik bagi anak. Ketentuan ini penting mengingat di<br />
masyarakat kita terjadi perlakuan diskriminatif terhadap anak yang lahir<br />
di luar perkawinan. 6<br />
Kelima, hak dan tanggung jawab yang sama mengenai perwalian,<br />
perwakilan, dan adopsi anak. Dalam KHI dinyatakan hanya laki-laki<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
71
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />
Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />
Siti Musdah Mulia<br />
yang bisa bertindak sebagai wali. Jika ayah berhalangan hak perwalian<br />
turun kepada saudara laki-laki dan seterusnya kepada kerabat laki-laki<br />
lainnya. Kalau semua kerabat tidak ada hak itu pindah kepada wali<br />
hakim yang tidak memiliki ikatan kekerabatan apa pun. Ibunya,<br />
meskipun telah mengasuh sang anak sejak bayi, bahkan sejak dalam<br />
kandungan tidak pernah<br />
mendapatkan limpahan<br />
hak tersebut. 7<br />
Hak persaksian dalam<br />
perkawinan pun monopoli<br />
milik laki-laki. 8<br />
Padahal, dalam realitas<br />
sehari-hari, perempuan<br />
pun hadir di tengahtengah<br />
perhelatan perkawinan,<br />
namun kehadiran<br />
mereka dianggap<br />
tiada.<br />
Keenam, hak pribadi<br />
yang sama bagi suamiistri,<br />
termasuk untuk<br />
memilih nama keluarga, profesi dan pekerjaan, dan ketujuh, hak yang<br />
sama bagi suami-istri mengenai kepemilikan, perolehan, manajemen,<br />
administrasi, dan pembagian harta kekayaan. Hak-hak ini masih jauh<br />
dinikmati perempuan dalam kehidupan perkawinan. Sebab, di<br />
masyarakat dan dalam hukum, status dan posisi suami-isteri sudah<br />
dikapling sedemikian rupa; suami sebagai kepala rumah tangga dan<br />
isteri sebagai ibu rumah tangga yang bertanggungjawab penuh atas<br />
semua urusan domestik. 9<br />
Apa itu KHI?<br />
Kompilasi Hukum Islam adalah kumpulan hukum Islam produk<br />
pemerintah Indonesia masa Orde Baru yang isinya diambil dari sejumlah<br />
kitab fiqh yang umumnya ditulis pada abad pertengahan. KHI disusun<br />
berdasarkan keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri<br />
Agama pada tanggal 21 Maret 1985 dan dikukuhkan sebagai pedoman<br />
resmi dalam bidang hukum material bagi para hakim agama di<br />
72 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
gelos.ru
Siti Musdah Mulia<br />
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />
Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />
lingkungan Peradilan Agama 10 berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991.<br />
Paling tidak ada tiga tujuan pokok KHI, yaitu merumuskan hukum<br />
Islam secara sistematis dan konkrit di Indonesia; membangun landasan<br />
penerapan hukum Islam di lingkungan Peradilan Agama yang<br />
berwawasan nasional; dan yang terpenting adalah unifikasi materi<br />
hukum Islam yang menjadi sumber acuan para hakim Pengadilan<br />
Agama. KHI terdiri dari tiga hukum: Hukum Perkawinan; Kewarisan;<br />
dan Perwakafan. Secara keseluruhan KHI terdiri atas 229 pasal dan<br />
porsi terbanyak menyangkut hukum perkawinan (170 pasal).<br />
KHI merupakan respon pemerintah terhadap timbulnya “keresahan”<br />
di masyarakat akibat beragamnya keputusan Pengadilan Agama<br />
terhadap suatu kasus yang serupa. Padahal, keanekaragaman putusan<br />
itu merupakan konsekuensi logis dari beragamnya sumber pengambilan<br />
hukum, berupa kitab-kitab fiqh yang dipakai hakim agama dalam<br />
memutuskan suatu perkara. Berbicara tentang kitab fiqh berarti berbicara<br />
tentang keanekaragaman pendapat ulama, dan menarik bahwa tidak<br />
satu pun ulama besar itu mengklaim pendapatnyalah yang benar secara<br />
mutlak. Artinya, kebebasan berpendapat sangat dijamin dalam Islam.<br />
Anehnya, prinsip kebebasan berpendapat yang dijamin Islam tersebut<br />
tidak menjadi prinsip pemerintah ketika itu. Atas dasar adanya<br />
“keresahan” masyarakat, pemerintah lalu memproduksi suatu hukum<br />
positif sebagai rujukan hukum yang seragam bagi para hakim agama.<br />
Tujuannya jelas agar tidak lahir lagi beragam keputusan untuk kasuskasus<br />
serupa, seperti sebelumnya.<br />
Kebijakan pemerintah melahirkan KHI mengandung dua hal, di satu<br />
sisi memang memudahkan kerja para hakim agama dan pihak-pihak<br />
lainnya yang akan mencari rujukan hukum secara instant, tetapi di sisi<br />
lain berarti memangkas kreativitas dan upaya-upaya ijtihad dalam<br />
bidang hukum. Karena sudah tersedia materi hukumnya secara mudah,<br />
umumnya para hakim agama tidak lagi melakukan pengkajian terhadap<br />
kitab-kitab fikih. Hal ini pada gilirannya menjadikan proses ijtihad<br />
menjadi stagnan dan umat Islam terbelenggu dalam kejumudan hukum.<br />
Sementara itu, berbagai persoalan baru bermunculan mengikuti<br />
dinamika masyarakat, seperti persoalan kekerasan dalam rumah tangga<br />
(KDRT), trafficking (perdagangan perempuan), perkawinan kontrak,<br />
perkawinan sirri, dan perkawinan beda agama, sedangkan rujukan<br />
hukum tidak berubah. Tentu saja, hal ini pada gilirannya menimbulkan<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
73
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />
Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />
Siti Musdah Mulia<br />
kesulitan baru bagi para hakim, terutama dalam merumuskan keputusan<br />
di pengadilan. Materi KHI sarat dengan muatan nilai-nilai patriarkhis<br />
yang bias gender. Terlebih lagi KHI secara eksplisit menempatkan<br />
perempuan sebagai objek seksual dan meneguhkan subordinasi<br />
perempuan. Tidak heran jika ajaran Islam seperti tercermin dari isi KHI<br />
dituduh sebagai salah satu unsur yang melanggengkan budaya<br />
patriarkhis dan mengekalkan relasi gender yang tidak setara sehingga<br />
sangat potensial memicu timbulnya berbagai bentuk perilaku<br />
diskriminatif terhadap perempuan.<br />
Mengapa Perlu CLD KHI?<br />
Counter Legal Draft atas Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) 11 adalah<br />
rumusan hukum perkawinan Islam model baru yang humanis, sensitif<br />
gender dan akomodatif terhadap nilai-nilai universal Islam, seperti<br />
keadilan, kesetaraan, kemajemukan, dan kemaslahatan. Rumusan baru<br />
ini disusun berdasarkan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam sebagaimana<br />
terbaca dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang sangat menghormati<br />
hak-hak asasi manusia dan sangat anti nilai-nilai patriarki, serta<br />
mengadvokasikan kesetaraan dan keadilan gender dalam relasi lakilaki<br />
dan perempuan. Konsep baru hukum perkawinan ini dimaksudkan<br />
sebagai respon terhadap berbagai persoalan sosial kontemporer yang<br />
dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini, antara lain berupa tingginya<br />
angka kasus kekerasan dalam rumah tangga; maraknya kasus trafficking<br />
in women and children (perdagangan perempuan dan anak perempuan)<br />
dengan menggunakan modus operandi perkawinan; merebaknya<br />
praktek perkawinan kontrak yang tidak bertanggungjawab dan amat<br />
merugikan perempuan dan anak-anak; meluasnya praktek perkawinan<br />
anak-anak (di bawah umur); tingginya angka perkawinan yang tidak<br />
dicatatkan (perkawinan sirri atau “bawah tangan”); dan menjamurnya<br />
praktek prostitusi di masyarakat.<br />
CLD KHI menawarkan paradigma baru dalam perkawinan, dan itu<br />
terlihat dari empat hal, yaitu rumusan definisi, asas, prisnsip dasar,<br />
dan tujuan perkawinan. Pertama, definisi perkawinan disebut sebagai<br />
berikut: Perkawinan adalah akad yang sangat serius (mitsaaqan<br />
ghaliidzan), dilakukan secara sadar oleh dua orang manusia untuk<br />
membentuk keluarga, dan pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan<br />
dan kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, asas perkawinan adalah<br />
74 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Siti Musdah Mulia<br />
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />
Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />
monogami (tawahhud al-zawj). Ketiga, prinsip dasar perkawinan ada<br />
enam, yakni: prinsip kerelaan (al-taraadli), kesetaraan ( al-musaawah),<br />
keadilan (al-’adaalah), kemaslahatan (al-mashlahat), pluralisme (alta’addudiyyah),<br />
dan demokratis (al-diimuqrathiyyah). Keempat, tujuan<br />
perkawinan adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga bahagia<br />
(sa’adah) dan sejahtera (sakinah) berlandaskan kasih sayang (mawaddah<br />
wa rahmah); serta untuk memenuhi kebutuhan biologis secara legal, sehat,<br />
aman, nyaman, dan bertanggungjawab.<br />
Keempat paradigma tersebut menjadi landasan utama rumusan<br />
pasal-pasal CLD mengenai soal wali, saksi, pencatatan, usia perkawinan,<br />
mahar, perkawinan beda agama, poligami, cerai dan rujuk, iddah, ihdad,<br />
pencarian nafkah, nusyuz, posisi dan kedudukan suami-isteri, serta hak<br />
dan kewajiban suami-isteri.<br />
Al-Qur‘an (Al-Ahzab ayat 7, An-Nisa ayat 21 dan 154) selalu<br />
menggambarkan ikatan perkawinan dengan mitsaqan ghalidzan, yakni<br />
sebagai perjanjian suci dan serius di antara kedua belah pihak yang<br />
setara dan penuh diliputi cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu, kedua<br />
belah pihak berkewajiban menjaga kesucian dan kelanggengan<br />
perjanjian tersebut. Selanjutnya, Al-Qur‘an juga menegaskan hubungan<br />
egalitarian suami-istri, seperti terbaca pada ayat-ayat: az-Zariyat, 49;<br />
Fatir,11; an-Naba‘, 78; an-Nisa‘, 20; Yasin, 36; as- Syura, 11; az-Zukhruf, 12;<br />
al-Baqarah, 187; dan an-Najm, 53. Penegasan relasi yang setara tersebut<br />
ditemukan pula dalam sejumlah hadis Nabi. Kesemua ayat dan hadis<br />
tersebut secara tegas menyimpulkan bahwa perkawinan dalam Islam<br />
lebih merupakan suatu akad atau kontrak. 12 Kontrak itu terlihat dari<br />
adanya unsur ijab (tawaran) dan qabul (penerimaan). Jadi, perkawinan<br />
adalah sebuah akad atau kontrak yang mengikat dua pihak yang setara,<br />
yaitu laki-laki dan perempuan, masing-masing telah memenuhi<br />
persyaratan berdasarkan hukum yang berlaku atas dasar kerelaan dan<br />
kesukaan kedua belah pihak untuk membentuk keluarga.<br />
Menarik dicatat bahwa Al-Qur‘an membahas soal perkawinan secara<br />
rinci dalam banyak ayat. Tidak kurang dari 104 ayat, baik dengan<br />
menggunakan kosa kata nikah (berhimpun) yang terulang sebanyak 23<br />
kali, maupun kata zauwj (pasangan) yang dijumpai berulang 80 kali.<br />
Memahami hakikat perkawinan dalam Islam tidak bisa tidak, kecuali<br />
mengurai seluruh ayat yang berbicara tentang perkawinan dengan<br />
menggunakan metode tematik dan holistik sekaligus, lalu mencari<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
75
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />
Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />
Siti Musdah Mulia<br />
benang merah yang menjadi intisari dari seluruh penjelasan ayat-ayat<br />
tersebut.<br />
Dari keseluruhan ayat perkawinan tersebut disimpulkan lima prinsip<br />
dasar perkawinan. Pertama, prinsip monogami. 13 Kedua, prinsip mawaddah<br />
wa rahmah (cinta dan kasih sayang) 14 ; ketiga, prinsip saling melengkapi<br />
dan melindungi 15 ; keempat, prinsip mu‘asyarah bil ma‘ruf (pergaulan yang<br />
sopan dan santun), baik dalam relasi seksual maupun dalam relasi<br />
kemanusiaan 16 ; dan kelima, prinsip kebebasan memilih jodoh bagi lakilaki<br />
dan perempuan sepanjang tidak memiliki ikatan kekerabatan yang<br />
dilarang.<br />
Kesimpulan<br />
Sebagai sebuah tawaran yang dirumuskan berdasarkan hasil<br />
penelitian dan pengkajian, tentu CLD KHI tidak mengklaim dirinya<br />
sebagai rumusan final yang harus diterima secara absolut oleh semua<br />
pihak, melainkan hendaknya dilihat sebagai sebuah ijtihad mempromosikan<br />
Islam yang hakiki mengenai perkawinan, ajaran yang<br />
mengedepankan cinta kasih dan penghargaan kepada manusia dan<br />
nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, perlu dilihat sebagai upaya mencari<br />
solusi atas pelbagai problem sosial kontemporer yang dihadapi<br />
masyarakat, khususnya solusi atas diskriminasi terhadap perempuan,<br />
demi membangun masyarakat yang demokratis, egaliter, dan ramah<br />
terhadap perempuan.<br />
Konsep CLD KHI, terutama hukum perkawinan, bertujuan<br />
mengeliminasi semua bentuk dominasi, kekerasan, diskriminasi, dan<br />
eksploitasi, terutama terhadap perempuan yang terjadi sebelum, selama,<br />
dan sesudah perkawinan. CLD KHI menperjuangkan agar tidak ada<br />
lagi dominasi, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dalam<br />
perkawinan oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun. Tidak ada lagi<br />
perkawinan terpaksa, tidak ada lagi perkawinan anak-anak, tidak ada<br />
lagi perkawinan tanpa pencatatan atau sirri (bawah tangan), tidak ada<br />
lagi perkawinan kontrak yang tidak bertanggungjawab, tidak ada lagi<br />
perkawinan poligami, dan terakhir semua perkawinan hanya sah jika<br />
dicatatkan (registered marriage). Terakhir, CLD KHI ingin mewujudkan<br />
perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak perempuan, terutama<br />
menyangkut perkawinan, seperti tertuang dalam konvensi <strong>CEDAW</strong>.<br />
76 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Siti Musdah Mulia<br />
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />
Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />
Catatan Belakang<br />
1<br />
Lihat Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 2002) terutama<br />
pada pasal-pasal berikut: 2, 15, 19, 25, 30, 40, <strong>45</strong>, 55, 79, 80, 84, 153, dan 170.<br />
2<br />
Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal 19-23.<br />
3<br />
KHI, pasal 40.<br />
4<br />
Kajian luas mengenai ini lihat Maria Ulfah Anshor, Cs. (Editor) Tafsir Ulang<br />
Perkawinan Lintas Agama (Jakarta: KAPAL <strong>Perempuan</strong>, 2004). Lihat juga Siti<br />
Musdah Mulia, Muslimah Reformis (Bandung: Mizan, 2005).<br />
5<br />
Lihat KHI, pasal 55 dan kajian tentang poligami, silahkan lihat Siti Musdah Mulia,<br />
Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia, 2003) dan Faqihuddin Abdul Kadir,<br />
Memilih Monogami (Yogyakarta: LkiS, 2005).<br />
6<br />
KHI, pasal 100.<br />
7<br />
KHI, pasal 19.<br />
8<br />
KHI, pasal 25.<br />
9<br />
KHI, pasal 79-84.<br />
10<br />
Indonesia memiliki tiga jenis pengadilan, yakni Pengadilan Negeri yang menangani<br />
kasus-kasus umum bagi seluruh warga negara, tanpa membedakan agama; Pengadilan<br />
Agama yang khusus menangani kasus-kasus perkawinan, perceraian, rujuk, wakaf<br />
dan sebagainya bagi komunitas Islam Indonesia; dan Pengadilan Militer yang khusus<br />
menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan militer. Sejak reformasi hukum tahun<br />
1999 ketiga jenis pengadilan tersebut bersatu di bawah naungan Mahkamah Agung.<br />
11<br />
Nama ini sengaja dipilih agar cepat menarik perhatian masyarakat untuk membahas.<br />
CLD atas KHI ini seperti halnya KHI itu sendiri terdiri dari tiga rumusan hukum:<br />
hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan. Tidak seluruh pasal<br />
dalam KHI mengalami perubahan dalam CLD, melainkan hanya pasal-pasal tertentu<br />
saja yang dinilai bias gender dan bias nilai-nilai patriarkhis serta tidak<br />
mengakomodasikan pandangan Islam yang pluralis dan humanis. CLD merupakan<br />
hasil penelitian dan pengkajian selama dua tahun dari suatu Tim Pembaruan Hukum<br />
Islam yang dibentuk oleh Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (Pokja PUG)<br />
Departemen Agama dimana penulis menjadi koordinatornya. Untuk mengetahui<br />
secara lengkap tentang rumusan CLD tersebut lihat Tim Pengarusutamaan Gender,<br />
Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft KHI, Jakarta, 2004 (Naskah belum<br />
dipublikasikan).<br />
12<br />
Qur’an Surat An-Nisa‘ ayat 21 dan surat Al-Baqarah, ayat 231.<br />
13<br />
Qur’an Surat An-Nisa‘ayat 3 dan 129.<br />
14<br />
Qur’an Surat Ar-R-m, ayat 21.<br />
15<br />
Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 187.<br />
16<br />
Qur’an Surat An-Nisa‘ ayat 19, At-Taubah, ayat 24 dan Al-Haj ayat 13.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
77
• Kliping •<br />
Hak Asasi <strong>Perempuan</strong><br />
Belum Menjadi Bagian<br />
Institusional Hukum<br />
Ternyata hak asasi perempuan belum jadi bagian institusional<br />
dalam hukum, keputusan pengadilan, kebijakan, penegakan,<br />
program dan anggaran pemerintah. Tidak terakomodasinya hak<br />
asasi perempuan ini pada akhirnya menjadi salah satu hambatan utama<br />
dalam pelaksanaan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala<br />
Bentuk Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong> (<strong>CEDAW</strong>). Demikian pendapat<br />
Achie Sudiarti Luhulima, anggota kelompok kerja “Convention Watch”<br />
yang juga penasehat senior: Sekretariat Nasional Gender dan IPTEK.<br />
Selain itu, faktor lain yang juga menjadi hambatan dalam melaksanakan<br />
<strong>CEDAW</strong> adalah negara-negara peserta belum atau tidak memahami<br />
standar hak asasi dan cara untuk mencapainya. Disamping itu pula,<br />
dalam melaksanakan <strong>CEDAW</strong> ini masih banyak persoalan kurangnya<br />
keahlian, metodologi dan kemampuan untuk menerapkan standar hak<br />
asasi manusia dalam melakukan analisis masalah-masalah sosial serta<br />
cara mengatasinya. Sejumlah hambatan-hambatan struktural seperti<br />
budaya tidak memenuhi standar hak asasi manusia, kesulitan dalam<br />
meraih keadilan dan kurangnya cara untuk menghapus diskriminasi<br />
serta norma budaya dan praktek-praktek yang cenderung stereotip<br />
(membagikan peran berdasarkan jenis kelamin) dan bentuk-bentuk<br />
seksisme lainnya, juga menjadi bagian dari hambatan pelaksanaan<br />
<strong>CEDAW</strong>.<br />
Disamping itu pula, menurut Achie, banyak perempuan belum<br />
menyadari hak asasinya dan belum paham cara menuntut hak-hak itu.<br />
Indonesia sendiri telah meratifikasi <strong>CEDAW</strong> melalui Undang-undang<br />
No 7 tahun 1984 dan diperkokoh dengan Undang-undang nomor 29<br />
tahun 1999 tentang konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala<br />
Bentuk Diskriminasi Rasial. Sebagai negara yang telah melakukan<br />
ratifikasi, berarti Indonesia seharusnya mempunyai kewajiban untuk<br />
melakukan penyesuaian berbagai peraturan perundang-undangan<br />
78<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Kliping •<br />
nasional yang terkait dengan konvensi internasional tersebut. Disamping<br />
itu pula Indonesia juga harus mempunyai komitmen untuk melaksanakan<br />
kewajiban melaporkan pelaksanaan dalam rangka menghapus<br />
segala bentuk diskriminasi terutama yang terkait dengan diskriminasi<br />
terhadap perempuan.<br />
Menurut Achie, substansi dari konvensi <strong>CEDAW</strong> ini adalah<br />
menetapkan bahwa perempuan memiliki hak sipil, politik, ekonomi,<br />
sosial dan budaya yang harus dinikmati atas dasar persamaan dengan<br />
pria terlepas dari status perkawinannya. Konvensi ini pula menurut<br />
Achie menegaskan bahwa diskriminasi terhadap perempuan merupakan<br />
pelanggaran hak asasi manusia. Dalam konteks itu, maka menurut<br />
konvensi <strong>CEDAW</strong> prinsip dasar kewajiban negara tersebut meliputi halhal<br />
sebagai berikut yaitu; (1) menjamin<br />
hak-hak perempuan melalui hukum<br />
dan kebijakan serta menjamin hasilnya.<br />
(2) Menjamin pelaksanaan<br />
praktis dari hak-hak itu melalui<br />
langkah tindak atau aturan khusus,<br />
menciptakan kondisi yang kondusif<br />
untuk meningkatkan akses bagi<br />
perempuan pada peluang yang<br />
ada, (3) negara tidak hanya menjamin<br />
tetapi juga merealisasikan<br />
hak-hak perempuan, (4) negara<br />
tidak hanya menjamin secara de<br />
jure, tetapi juga secara de facto<br />
dan (5) negara tidak saja harus<br />
mengaturnya di sektor publik,<br />
tetapi juga terhadap tindakan<br />
orang-orang dan lembaga di<br />
sektor privat (keluarga) dan<br />
sektor swasta.<br />
Berkaitan dengan sejumlah<br />
hambatan tersebut di atas, maka menurut Achie harus<br />
ada langkah-langkah yang perlu dilaksanakan yaitu, pertama berkaitan<br />
dengan Substansi Hukum dan Kebijakan. Dalam aspek ini perlu<br />
mengintegrasikan prinsip-prinsip persamaan antara laki-laki dan<br />
pepper-graphics.com<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
79
• Kliping •<br />
perempuan dalam sistem hukum. Selain itu dalam aspek ini perlu juga<br />
menghapus peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan<br />
menetapkan peraturan baru yang melarang diskriminasi terhadap<br />
perempuan. Aspek yang juga penting adalah menerapkan norma dan<br />
standar yang ditetapkan oleh <strong>CEDAW</strong> dalam menyusun perencanaan,<br />
melaksanakan dan memantau kebijakan di tingkat nasional maupun<br />
lokal untuk melindungi, meningkatkan dan memenuhi hak asasi<br />
perempuan.<br />
Langkah kedua adalah berkaitan dengan struktur dan proses<br />
institusional. Dalam aspek ini perlu mengembangkan kapasitas<br />
kelembagaan yang akan melaksanakan atau menegakkan peraturan<br />
perundang-undangan dan kebijakan baru. Selain itu juga perlu<br />
menetapkan mekanisme kelembagaan untuk memantau perkembangan<br />
pemenuhan hak-hak asasi perempuan dan memberikan laporan kepada<br />
Komite <strong>CEDAW</strong>.<br />
Sementara langkah ketiga adalah berkaitan dengan faktor budaya.<br />
Dalam aspek ini perlu ditingkatkan kesadaran seluruh masyarakat akan<br />
kesamaan hak asasi perempuan dan laki-laki yang dijamin oleh Konvensi<br />
<strong>CEDAW</strong>.<br />
Pada tanggal 3 Agustus 2004 dua tahun yang lalu bahkan ketua<br />
DPR RI Akbar Tanjung dalam pidato pembukaan Capacity Building<br />
anggota DPR dan DPD perempuan periode 2004-2009 di Hotel Red Top<br />
Jakarta Pusat mengatakan bahwa beberapa konstitusi yang berlaku di<br />
Indonesia secara prinsip masih banyak yang belum sesuai dengan<br />
konvensi <strong>CEDAW</strong> atau konvensi tentang penghapusan kekerasan<br />
terhadap perempuan yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.<br />
“Kita harus terus melakukan perbaikan manakala memang diketemukan<br />
adanya Undang-undang atau peraturan yang berlaku masih mengandung<br />
diskriminasi terhadap perempuan,” ujar Akbar.<br />
Dalam pidatonya ini Akbar mengingatkan bahwa anggota DPR<br />
dalam fungsinya akan mempunyai 3 fungsi utama yaitu sebagai pembuat<br />
undang-undang, fungsi penetapan APBN dan fungsi pengawasan<br />
terhadap implementasi undang-undang. “Ketiga fungsi yang saat ini<br />
saudara-saudara emban sebagai anggota DPR begitu juga DPD haruslah<br />
bisa diaktualisasikan dalam misi peningkatan pemberdayaan<br />
perempuan,” katanya lagi.<br />
Salah satu masalah hak perempuan yang belum tertangani sampai<br />
80<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Kliping •<br />
saat ini adalah melihat makin tingginya korban pelanggaran hak<br />
reproduksi perempuan. Atas hal ini pada bulan April 2005 yang lalu<br />
Jaringan <strong>Perempuan</strong> untuk Program Legislasi Nasional (Jaringan<br />
Prolegnas) pernah melakukan desakan kepada pemerintah untuk segera<br />
menurunkan Ampres tentang revisi Undang-Undang Kesehatan No. 23<br />
tahun 1992. Menurut jaringan ini penegakan hak reproduksi <strong>Perempuan</strong><br />
adalah juga bagian dari penegakan hak asasi manusia.<br />
Jaringan Prolegnas bahkan memberi argumentasi sejarah mengenai<br />
hak reproduksi perempuan ini dapat mengambil pelajaran dari Kartini<br />
sebagai pejuang hak reproduksi. Ia keburu dijemput ajal empat hari<br />
setelah melahirkan anak pertamanya, karena proses reproduksi yang<br />
dialami, pada 13 Nopember 1904. Kenyataannya, seratus tahun telah<br />
kita lewati perjuangan Kartini, pelanggaran hak reproduksi perempuan<br />
tetap saja tinggi, diantaranya masih terlihat tingginya angka kematian<br />
ibu melahirkan di Indonesia, yakni 307 per 100.000 kelahiran hidup.<br />
Salah satu penyebab tingginya pelanggaran hak reproduksi<br />
perempuan di Indonesia menurut Jaringan ini adalah kebijakankebijakan<br />
yang tidak menghormati hak asasi manusia (HAM). Misalnya<br />
dalam bentuk-bentuk kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul dan<br />
berekspresi. Bagian dari warga bangsa yang sering mengalami berbagai<br />
bentuk pelanggaran HAM dalam segala bidang kehidupannya adalah<br />
perempuan.<br />
Bentuk-bentuk pelanggaran hak reproduksi perempuan (HAM) yang<br />
dialami oleh perempuan ini sangat beragam. Mulai dari perkosaan dalam<br />
perkawinan, perjodohan, larangan aborsi, pelecehan seksual, penyiksaan,<br />
paksaan terhadap penggunaan alat kontrasepsi, tiadanya<br />
informasi tentang masalah kesehatan reproduksi, dan berbagai bentuk<br />
diskriminasi lainnya dengan tujuan untuk “tidak mengubah”, tatanan<br />
budaya, norma dan pemahaman ajaran agama yang ada dengan<br />
memandang secara negatif dan menomorduakan kepentingan<br />
perempuan.<br />
Persoalan-persoalan perempuan, seperti yang telah dijabarkan, jelas<br />
sangat memprihatinkan dan terlihat berseberangan dengan semangat<br />
diratifikasinya Konvensi <strong>CEDAW</strong>. Belum lagi melalui UU No. 7 tahun<br />
1984 dimana negara berkewajiban dan berupaya melakukan regulasi<br />
yang melindungi dan menjamin hak-hak perempuan dan menghapuskan<br />
kebijakan yang mendiskriminasikan perempuan. (EBS)<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
81
• Lampiran •<br />
UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />
NOMOR 7 TAHUN 1984<br />
TENTANG<br />
PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN<br />
SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP WANITA<br />
[CONVENTION ON THE ELEMINATION OF ALL FORMS OF<br />
DISCRIMINATION AGAINTS WOMEN]<br />
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br />
Menimbang:<br />
a. Bahwa segala warga negara bersama kedudukannya<br />
didalam hukum dan pemerintahan, sehingga segala<br />
bentuk diskriminasi terhadap wanita harus dihapus karena<br />
tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar<br />
19<strong>45</strong>;<br />
b. Bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam<br />
sidang pada tanggal 18 Desember 1979, telah<br />
menyetujui Konvensi mengenai penghapusan segala<br />
bentuk Diskriminasi terhadap wanita [Convertion on the<br />
Elimination of All Form Discrimination Against Women]<br />
c. Bahwa ketentuan-ketentuan didalam Konvensi tersebut<br />
diatas pada dasarnya tidak bertentangan dengan<br />
Pancasila, Undang-Undang Dasar 19<strong>45</strong> dan peraturan<br />
perundang-undangan Republik Indonesia;<br />
d. Bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah<br />
menandatangani Konvensi tersebut pada tanggal 29 Juli<br />
1980 sewaktu diadakan KonperensiSedunia Dasawarsa<br />
Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi wanita di Kopenhagen;<br />
e. Bahwa berhubung dengan hal tersebut di atas maka di<br />
pandang perlu mengesahkan Konvensi sebagaimana<br />
tersebut pada huruf b di atas dengan Undang-Undang.<br />
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27<br />
ayat (1) Undang-Undang Dasar 19<strong>45</strong>;<br />
2. Ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik<br />
Indonesia Nomor IV MPR/1983 tentang Garis-Garis besar<br />
Haluan Negara;<br />
82 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Lampiran •<br />
Dengan Persetujuan<br />
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT<br />
MEMUTUSKAN<br />
Menetapkan:<br />
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI<br />
PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP<br />
WANITA [CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS<br />
OF DISCRIMINITION AGAINST WOMEN]<br />
Pasal 1<br />
Konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita<br />
(Convention on the Eliminition of All Forms of Discrimanition Against Women) yang telah<br />
disetujui oleh Majelis Permusyarawatan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18<br />
Desember 1979, dengan persyaratan [reservation terhadap pasal 29 ayat (1) tentang<br />
penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini, yang<br />
salinannya dilampirkan pada Undang-Undang ini.<br />
Pasal 2<br />
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang<br />
mengetahui, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatan<br />
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.<br />
Diundangkan di Jakarta<br />
Disahkan di Jakarta<br />
Pada tanggal 24 Juli 1984 Pada tanggal 24 Juli 1984<br />
MENTERI SEKRETARIS NEGARA<br />
REPUBLIK INDONESIA<br />
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br />
SUDHARMONO, SH<br />
SOEHARTO<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
83
• Lampiran •<br />
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1984 NOMOR 29<br />
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7<br />
TAHUN 1984<br />
TENTANG<br />
PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK<br />
DISKRIMINASI TERHADAP WANITA<br />
[CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION<br />
AGAINST WOMEN]<br />
I. Umum<br />
Pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Deklarasi<br />
mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita.<br />
Diskriminasi tersebut memuat hak dan kewajiban wanita berdasarkan persamaan<br />
hak dengan pria dan menyatakan langkah-langkah seperlunya untuk menjamin<br />
pelaksanaan deklarasi tersebut.<br />
Oleh karena deklarasi itu sifatnya tidak mengikat, maka Komisi Perserikatan<br />
Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan Wanita berdasarkan Deklarasi tersebut<br />
menyusun rencana konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi<br />
Terhadap Wanita.<br />
Pada tanggal 18 Desember tahun 1979 Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa<br />
telah menyetujui Konvensi tersebut karena ketentuan Konvensi pada dasarnya<br />
tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar <strong>45</strong>, maka<br />
Pemerintah Republik Indonesia dalam Konperensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan<br />
Bangsa-Bangsa bagi Wanita di Kopenhagen pada tanggal 29 Juli 1980 telah<br />
merupakan penegasan sikap Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 18 Desember<br />
1979 pada waktu Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan<br />
pemungutan suara atas resolusi yang kemudian menyetujui Konvensi tersebut.<br />
Dalam pemungutan suara itu Indonesia memberikan suara setuju sebagai<br />
perwujudan keinginan Indonesia untuk berpartisipasi dalam usaha-usaha<br />
internasional menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, karena isi<br />
Konvensi itu sesuai dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar<br />
tahun 19<strong>45</strong> yang menetapkan bahwa segala warga negara bersamaan<br />
kedudukannya di dalam hukum dan Pemerintahan.<br />
Ketentuan Konvensi ini tidak akan mempengaruhi asas dan ketentuan dalam<br />
peraturan perundang-undangan Nasional yang mengandung asas persamaan hak<br />
antara pria dan wanita sebagai perwujudan tata hukum Indonesia yang sudah<br />
kita anggap baik atau lebih baik dan sesuai, serasi serta selaras dengan aspirasi<br />
bangsa Indonesia. Dalam pelaksanannya, ketentuan dalam konvensi ini wajib<br />
disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya,<br />
adat istiadat serta morma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara<br />
luas masyarakat Indonesia.<br />
84 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Lampiran •<br />
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan Undang-Undang Dasar 19<strong>45</strong><br />
sebagai sumber hukum nasional memberikan keyakinan dan jaminan bahwa<br />
pelaksanaan ketentuan Konvensi ini sejalan dengan tata kehidupan yang<br />
dikehendaki bangsa Indonesia.<br />
II. PASAL DEMI PASAL<br />
Pasal 1<br />
Pasal 29 Konvensi memuatkan ketentuan tentang cara untuk menyelesaikan<br />
perselisihan antara negara peserta Konvensi mengenai penafsiran atau penerapan<br />
ketentuan konvensi. Pemerintah Indonesia tidak bersedia untuk mengikatkan diri<br />
pada ketentuan pasal tersebut, karena pada prinsipnya tidak dapat menerima<br />
suatu kewajiban untuk mengajukan perselisihan internasional, dimana Indonesia<br />
tersangkut, kepada Mahkamah Internasional.<br />
Dengan pertimbangan tersebut di atas Indonesia mengadakan persyaratan<br />
[reservation] terhadap pasal 29 ayat (1) Konvensi hingga dengan demikian<br />
Indonesia menyatakan dirinya tidak terikat oleh pasal tersebut.<br />
Cukup jelas.<br />
Pasal 2<br />
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3277.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
85
• Lampiran •<br />
LAMPIRAN :<br />
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />
NOMOR 7 TAHUN 1984<br />
TANGGAL 24 JULI 1984<br />
Tentang:<br />
PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK<br />
DISKRIMINASI TERHADAP WANITA[CONVENTION ON THE ELIMINATION OF<br />
ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINTS WOMEN]<br />
Diterjemahkan oleh :<br />
Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia [KNKWI] bekerja sama dengan<br />
Departemen Luar Negeri RI.<br />
Disempurnakan oleh :<br />
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita<br />
Catatan :<br />
Apabila terjadi ketidaksamaan penafsiran dalam penterjemahaan, maka yang<br />
digunakan sebagai pedoman adalah naskah aslinya yang berbahasa Inggris.<br />
KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK<br />
DISKRIMINASI TERHADAP WANITA<br />
Negara-negara peserta pada Konvensi yang sekarang ini,<br />
Memperhatikan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menguatkan lagi<br />
keyakinan atas hak-hak azazi manusia, atas martabat dan nilai pribadi manusia, dan<br />
atas persamaan hak antara pria dan wanita.<br />
Memperhatikan bahwa Deklarasi Universal tentang Hak-hak Azazi Manusia<br />
menegaskan azas mengenai tidak dapat diterimanya diskriminasi dan menyatakan bahwa<br />
semua manusia dlahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak, dan bahwa tiap<br />
orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat di dalamnya, tanpa perbedaan<br />
apapun, termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin.<br />
Memperhatikan bahwa Negara-Negara peserta pada perjanjian Internasional<br />
mengenai hak-hak Azazi Manusia berkewajiban untuk menjamin hak yang sama antara<br />
pria dan wanita untuk menikmati semua hak ekonomi sosial, budaya, sipil dan politik.<br />
Mempertimbangkan konvensi-konvensi internasional yang ditandatangani di bawah<br />
naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khususnya, yang menganjurkan<br />
86 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Lampiran •<br />
persamaan hak antara pria dan wanita.<br />
Memperhatikan juga resolusi-resolusi, deklarasi-deklarasi dan rekomendasirekomendasi<br />
yang disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan<br />
khususnya yang menganjurkan persamaan hak antara pria dan wanita.<br />
Namun demikian sangat memprihatinkan bahwa meskipun adanya bermacammacam<br />
dokumen tersebut, namun diskriminasi yang luas terhadap wanita masih tetap<br />
ada.<br />
Mengingat, bahwa diskriminasi terhadap wanita adalah melanggar azas persamaan<br />
hak dan rasa hormat terhadap martabat manusia, merupakan halangan bagi partisipasi<br />
wanita, atas dasar persamaan dengan kaum pria dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi<br />
dan budaya negara-negara mereka. Hal ini menghambat perkembangan kemakmuran<br />
masyarakat dan menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi kaum<br />
wanita dalam pengabdiannya terhadap negara-negara mereka dan terhadap umat<br />
manusia.<br />
Memprihatinkan bahwa dalam situasi-situasi kemiskinan, wanita yang paling sedikit<br />
mendapat kesempatan untuk memperoleh makanan, pemeliharaan kesehatan,<br />
pendidikan, pelatihan, maupun untuk memperoleh kesempatan kerja dan lain-lain<br />
kebutuhan.<br />
Yakin bahwa dengan terbentuknya tata ekonomi internasional yang baru, berdasarkan<br />
pemerataan dan keadilan, akan memberikan sumbangan yang berarti terhadap<br />
peningkatan persamaan antara pria dan wanita.<br />
Menekankan bahwa penghapusan apartheid, penghapusan semua bentuk rasisme,<br />
diskriminasi rasial, kolonialisme, neo kolonialisme, agresi, pendudukan dan dominasi<br />
serta campur tangan asing dalam urusan dalam negeri. Negara adalah penting, untuk<br />
dapat menikmati sepenuhnya hak-hak pria dan wanita.<br />
Menegaskan bahwa memperkuat perdamaian dan keamanan internasional,<br />
pengendoran ketegangan internasional, kerjasama timbal balik diantara semua negara,<br />
terlepas dari sistem sosial dan ekonomi mereka, pelucutan senjata nuklir di bawah<br />
pengawasan internasional yang ketat dan efektif, penegasan azas-azas keadilan,<br />
persamaan dan manfaat bersama dalam hubungan antar negara,realisasi hak-hak<br />
bangsa yang berada dibawah dominasi asing, dominasi kolonial pendudukan asing<br />
untuk menetukan nasib sendiri dan kemerdekaannya, maupun menghormati kedaulatan<br />
nasional dan keutuhan wilayah, akan meningkatkan kemajuan sosial dan pembangunan,<br />
yang dampaknya akan menunjang tercapainya persamaan sepenuhnya antara pria<br />
dan wanita.<br />
Yakin bahwa pembangunan menyeluruh dan selengkapnya suatu negara,<br />
kesejahteraan dunia dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi maksimal kaum<br />
wanita atas dasar persamaan dengan kaum pria di segala lapangan.<br />
Mengingatkan kembali sumbangan besar kaum wanita terhadap kesejahteraan<br />
keluarga dan pembangunan masyarakat yang selama ini belum sepenuhnya diakui, arti<br />
sosial dari kehamilan, dan peranan kedua orang tua dalam keluarga dalam membesarkan<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
87
• Lampiran •<br />
anak-anak, dan menyadari bahwa peranan wanita dalam memperoleh keturunan<br />
hendaknya jangan menjadi dasar diskriminasi, akan tetapi bahwa membesarkan anakanak<br />
menghendaki pembagian tanggung jawab antara pria dan wanita dan masyarakat<br />
sebagai keseluruhan.<br />
Menyadari bahwa diperlukan perubahan pada peranan tradisional kaum pria maupun<br />
peranan kaum wanita dalam masyarakat dan dalam keluarga, untuk mencapai persamaan<br />
sepenuhnya antara pria dan wanita.<br />
Bertekad untuk melaksanakan azas-azas yang tercantum dalam Deklarasi mengenai<br />
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, dan untuk itu membuat peraturan yang<br />
diperlukan untuk menghapus diskriminasi seperti itu dalam segala bentuk dan<br />
perwujudannya,<br />
Telah bersepakat mengenal hal-hal sebagai :<br />
BAGIAN I<br />
Pasal 1<br />
Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah “Diskriminasi terhadap Wanita”<br />
berarti setiap perbedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis<br />
kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan<br />
pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebabasankebebasan<br />
pokok di bidang politik, ekonomi, terlepas dari status perkawinan mereka,<br />
atas dasar persamaan antara pria dan wanita.<br />
Pasal 2<br />
Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya<br />
dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditundatunda,<br />
kebijaksanaan menghapus terhadap wanita, dan untuk tujuan ini berusaha.<br />
a. Mencantumkan azas persamaan antara pria dan wanita dalam Undang-Undang<br />
Dasar nasional mereka atau perundang-undangan yang tepat lainnya jika belum<br />
termasuk di dalamnya, dan untuk menjamin realisasi praktis dari azas ini melalui<br />
hukum dan cara-cara lain yang tepat;<br />
b. Membuat peraturan perundang-undangan lain yang tepat dan peraturanperaturan<br />
lainnya termasuk sanksi-sanksinya dimana perlu, melarang semua<br />
diskriminasi terhadap wanita;<br />
c. Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita atas dasar yang<br />
sama dengan kaum pria dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang<br />
kompeten dan bahan-bahan pemerintah lainnya, perlindungan kaum wanita<br />
yang efektif terhadap setiap tindakan diskriminasi;<br />
d. Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap wanita, dan<br />
untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga<br />
negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut;<br />
88 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Lampiran •<br />
e. Membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus perlakuan<br />
diskriminasi terhadap wanita oleh tiap orang, organisasi atau perusahaan.<br />
f. Membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undangundang<br />
untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturanperaturan,<br />
kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap<br />
wanita;<br />
g. Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif terhadap wanita.<br />
Pasal 3<br />
Negara-negara peserta membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk<br />
pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial,<br />
ekonomi, dan budaya, untuk menjamin perkembangan dan kemajuan wanita<br />
sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati hakhak<br />
azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan<br />
pria.<br />
Pasal 4<br />
1. Pembuatan peraturan-peraturan khusus sementara oleh negara-negara peserta<br />
yang ditujukan untuk mempercepat persamaan “de facto” antara pria dan<br />
wanita, tidak dianggap diskriminasi seperti ditegaskan dalam Konvensi yang<br />
sekarang ini dan sama sekali tidak harus membawa konsekuensi pemeliharaan<br />
norma-norma yang tak sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan ini<br />
dihentikan jika tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai.<br />
2. Pembuatan peraturan-peraturan khusus oleh negara-negara peserta, termasuk<br />
peraturan-peraturan yang dimuat dalam Konvensi, yang sekarang ini, ditujukan<br />
untuk melindungi kehamilan, tidak dianggap diskriminasi.<br />
Pasal 5<br />
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat :<br />
a. Untuk mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya pria dan wanita dengan<br />
maksud untuk mencapai penghapusan prasangka-prasangka, kebiasaankebiasaan<br />
dan segala praktek lainnya yang berdasarkan atas inferioritas atau<br />
superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peranan stereotip bagi pria<br />
dan wanita.<br />
b. Untuk menjamin bahwa pendidikan keluarga melalui pengertian yang tepat<br />
mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial dan pengakuan tanggung jawab<br />
bersama pria dan wanita dalam membesarkan anak-anak mereka,<br />
seyogyanyalah bahwa kepentingan anak-anak adalah pertimbangan utama<br />
dalam segala hal.<br />
Pasal 6<br />
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk<br />
pembuatan undang-undang, untuk memberantas segala bentuk perdagangan wanita<br />
dan eksploitasi pelacuran.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
89
• Lampiran •<br />
BAGIAN II<br />
Pasal 7<br />
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk<br />
menghapus diskriminasi terhadap wanita dalam kehidupan politik dan kehidupan<br />
kemasyarakatan negaranya, khususnya menjamin bagi wanita atas dasar persamaan<br />
dengan pria, hak :<br />
a. Untuk memilih dan dipilih.<br />
b. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan<br />
implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintah dan melaksanakan<br />
segala fungsi pemerintahan di semua tingkat;<br />
c. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan<br />
non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik<br />
negara.<br />
Pasal 8<br />
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menjamin<br />
bagi wanita kesempatan untuk mewakili pemerintah mereka pada tingkat internasional<br />
dan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional atas dasar<br />
persamaan dengan pria tanpa suatu diskriminasi.<br />
Pasal 9<br />
1. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada wanita hak yang sama dengan<br />
pria untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya<br />
kewarganegaraan oleh suami selama perkawinan tidak secara otomatis Negaranegara<br />
peserta khususnya wajib menjamin bahwa perkawinan dengan orang<br />
asing maupun perubahan mengubah kewarganegaraan atau memaksakan<br />
kewarganegaraan suaminya kepadanya.<br />
2. Negara-negara peserta wajib memberi kepada wanita hak yang sama dengan<br />
pria berkenaan kewarganrgaraan anak-anak mereka.<br />
BAGIAN III<br />
Pasal 10<br />
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk<br />
menghapus diskriminasi terhadap wanita guna menjamin bagi mereka hak-hak yang<br />
sama dengan pria di lapangan pendidikan, khususnya guna menjamin persamaan antara<br />
pria dan wanita :<br />
a. Persyaratan yang sama untuk mebimbing karir dan keahlian, untuk kesempatan<br />
mengikuti pendidikan dan memperoleh ijazah dalam lembaga-lembaga pendidikan<br />
90 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Lampiran •<br />
segala tingkatan baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Persamaan ini<br />
wajib dijamin baik dalam pendidikan taman kanak-kanak, umum teknik, serta<br />
dalam pendidikan keahlian tehnik tinggi maupun dalam segala macam jenis<br />
pelatihan kejuruan;<br />
b. Pengikutsertaan pada kurikulum yang sama, ujian yang sama, staf pengajar<br />
dengan standar kualifikasi yang sama, serta gedung dan peralatan sekolah<br />
yang berkualitas sama;<br />
c. Penghapusan tiap konsep yang stereotip mengenai peranan pria dan wanita di<br />
segala tingkat dan dalam segala bentuk pendidikan dengan menganjurkan koedukasi<br />
dan lain-lain jenis pendidikan yang akan membantu untuk mencapai<br />
tujuan ini, khususnya dengan merevisi buku wajib dan program-program sekolah<br />
serta penyesuaian metode mengajar;<br />
d. Kesempatan yang sama untuk mengambil manfaat dari beasiswa dan lain-lain<br />
dana pendidikan;<br />
e. Kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam program pendidikan yang<br />
berkelanjutan, termasuk progam pendidikan orang dewasa dan pemberantasan<br />
buta huruf fungsional, khususnya program-program yang ditujukan pada<br />
pengurangan sedini mungkin tiap jurang pemisah dalam pendidikan yang ada<br />
antara pria dan wanita;<br />
f. Pengurangan angka putus sekolah pelajar puteri dan penyelenggaraan program<br />
untuk gadis-gadis dan wanita yang sebelum waktunya meninggalkan sekolah.<br />
g. Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi secara aktif dalam olahraga dan<br />
pendidikan jasmani;<br />
h. Dapat memperoleh penerangan edukatif khusus untuk membantu menjamin<br />
kesehatan dan kesejahteraan keluarga, termasuk penerangan dan nasehat<br />
mengenai keluarga berencana.<br />
Pasal 11<br />
a. Hak untuk bekerja sebagai hak azasi manusia;<br />
b. Hak atas kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi<br />
yang sama dalam penerimaan pegawai;<br />
c. Hak untuk memilih dengan bebas profesi dan pekerjaan, hak untuk promosi,<br />
jaminan pekerjaan dan semua tunjangan serta fasilitas kerja, hak untuk<br />
memperoleh pelatihan kejuruan dan pelatihan ulang temasuk masa kerja sebagai<br />
magang, pelatihan kejuruan lanjutan dan pelatihan ulang lanjutan;<br />
d. Hak untuk menerima upah yang sama, termasuk tunjangan-tunjangan, baik<br />
untuk perlakuan yang sama sehubungan dengan pekerjaan dengan nilai yang<br />
sama, maupun persamaan perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan;<br />
e. Hak atas jaminan sosial, khususnya dalam pensiun, pengangguran, sakit,<br />
cacat, lanjut usia, serta lain-lain, ketidakmampuan untuk bekerja, hak atas<br />
masa cuti yang di bayar;<br />
f. Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk usaha<br />
perlindungan terhadap fungsi melanjutkan keturunan.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
91
• Lampiran •<br />
2. Untuk mencegah diskriminasi terhadap wanita atas dasar perkawinan atau kehamilan<br />
dan untuk menjamin hak efektif mereka untuk bekerja, negara-negara peserta<br />
wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat :<br />
a. Untuk melarang, dengan dikenakan sanksi pemecatan atas dasar kehamilan<br />
atau cuti hamil dan diskriminasi dalam pemberhentian atas dasar status<br />
perkawinan;<br />
b. Untuk mengadakan peraturan cuti hamil dengan bayaran atau dengan tunjangan<br />
sosial yang sebanding tanpa kehilangan pekerjaan semula;<br />
c. Untuk menganjurkan pengadaan pelayanan sosial yang perlu guna<br />
memungkinkan para orang tua menggabungkan kewajiban-kewajiban keluarga<br />
dengan tanggung jawab pekerjaan dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat,<br />
khususnya dengan meningkatkan pembentukkan dan pengembangan suatu<br />
jaringan tempet-tempat penitipan anak;<br />
d. Untuk memberikan perlindungan khusus kepada kaum wanita selam kehamilan<br />
pada jenis pekerjaan yang terbukti berbahaya bagi mereka;<br />
3. Perundang-undangan yang brsifat melindungi sehubungan dengan hal-hal yang<br />
terhadap dalam pasal ini wajib ditinjau kembali secara berkala berdasar ilmu<br />
pengetahuan dan tehnologi, serta direvisi, dicabut atau diperluas menurut keperluan.<br />
Pasal 12<br />
1. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk<br />
menghapus diskriminasi terhadap wanita di bidang pemeliharaan kesehatan<br />
dan supaya menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan termasuk pelayanan<br />
yang berhubungan dengan keluarga berencana, atas dasar persamaan antara<br />
pria dan wanita.<br />
2. Sekalipun terdapat ketentuan pada ayat (1) ini, negara-negara peserta wajib<br />
menjamin kepada wanita pelayanan yang layak berkaitan dengan kehamilan,<br />
persalinan dan masa sesudah persalinan, dengan memberikan pelayanan cumacuma<br />
dimana perlu, serta pemberian makanan bergizi yang cukup selama<br />
kahamilan dan masa menyusui.<br />
Pasal 13<br />
Negara-negara wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus<br />
diskriminasi terhadap wanita di lain-lain bidang kehidupan ekonomi dan sosial supaya<br />
menjamin hak-hak yang sama, atas dasar persamaan antara pria dan wanita, khususnya:<br />
a. Hak atas tunjangan keluarga<br />
b. Hak atas pinjaman bank, hipotik dan lain-lain bentuk kredit permodalan;<br />
c. Hak untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan rekreasi, olahraga dan semua<br />
segi kehidupan kebudayaan.<br />
Pasal 14<br />
1. Negara-negara wajib memperhatikan masalah-masalah khusus yang dihadapi<br />
oleh wanita di daerah pedesaan dan peranan yang dimainkan wanita pedesaan<br />
92 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Lampiran •<br />
demi kelangsungan hidup keluarga mereka dibidang ekonomi, termasuk pekerjaan<br />
mereka pada sektor ekonomi bukan penghasil uang, dan wajib membuat<br />
peraturan-peraturan yang tepat untuk menjamin penerapan ketentuanketentuan<br />
Konvensi ini bagi wanita di daerah pedesaan.<br />
2. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk<br />
menghapus diskriminasi terhadap wanita di daerah pedsaan, dan menjamin<br />
bahwa mereka ikut serta dalam dan mengecap manfaat dari pembangunan<br />
pedesaan atas dasar persamaan antara pria dan wanita, khususnya menjamin<br />
kepada wanita pedesaan hak :<br />
a. Untuk berpartisipasi dalam perluasan dan implementasi perencanaan<br />
pembangunan di segala tingkat;<br />
b. Untuk memperoleh fasilitas pemeliharaan dan kesehatan yang memadai,<br />
termasuk penerangan, penyuluhan dan pelayanan dalam keluarga<br />
berencana;<br />
c. Untuk mendapatkan manfaat langsung dari program jaminan sosial;<br />
d. Untuk memperoleh segala jenis pelatihan dan pendidikan, baik formal<br />
maupun non formal, termasuk yang berhubungan dengan pemberantasan<br />
buta huruf fungsional serta, manfaat semua pelayanan masyarakat dan<br />
pelayanan penyuluhan guna meningkatkan keterampilan tehnik mereka;<br />
e. Untuk membentuk kelompok-kelompok swadaya dan koperasi supaya<br />
memperoleh peluang yang sama terhadap kesempatan-kesempatan ekonomi<br />
melalui pekrjaan atau kewiraswastaan;<br />
f. Untuk berpartisipasi dalam semua kegiatan masyarakat;<br />
g. Untuk dapat memperoleh kredit dan pinjaman pertanian, fasilitas<br />
pemasaran, tehnologi tepat-guna, serta perlakuan sama pada landreform<br />
dan urusan-urusan pertanahan termasuk pengaturan-pengaturan tanah<br />
pemukiman;<br />
h. Untuk menikmati kondisi hidup yang memadai, terutama yang berhubungan<br />
dengan perumahan, sanitasi penyediaan listrik dan air, pengangkutan dan<br />
komunikasi.<br />
BAGIAN IV<br />
Pasal 15<br />
1. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada wanita persamaan hak dengan<br />
pria di muka hukum.<br />
2. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada wanita dalam urusan-urusan<br />
sipil kecakapan hukum yang sama dengan kaum pria dan kesempatan yang<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
93
• Lampiran •<br />
sama untuk menjalankan kecakapan tersebut, khususnya agar memberikan<br />
kepada wanita hak-hak yang sama untuk menandatangani kontrak-kontrak dan<br />
untuk mengurus harta benda, serta wajib memberikan mereka perlakuan yang<br />
sama pada semua tingkatan prosedur di muka hakim dan pengadilan.<br />
3. Negara-negara peserta bersepakat bahwa semua kontrak dan semua dokumen<br />
yang mempunyai kekuatan hukum yang ditujukan kepada pembatasan kecakapan<br />
hukum bagi wanita, wajib dianggap batal dan tidak berlaku.<br />
4. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada pria dan wanita hak-hak<br />
yang sama berkenaan dengan hukum yang berhubungan dengan mobilitas<br />
orang-orang dan kebebasan untuk memilih tempat tinggal dan domisili mereka.<br />
Pasal 16<br />
1. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk<br />
menghapus diskriminasi terhadap wanita dalam semua urusan yang berhubungan<br />
dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara<br />
pria dan wanita, dan khussusnya akan menjamin :<br />
a. Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan;<br />
b. Hak sama untuk memilih suami secara bebas dan untuk memasuki jenjang<br />
perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya;<br />
c. Hak dan tanggung jawab yang sama selama perkawinan dan pada<br />
pemutusan perkawinan;<br />
d. Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orangtua, terlepas dari status<br />
kawin mereka, dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan anak-anak<br />
mereka. Dalam semua kasus, kepentingan anak-anaklah yang wajib<br />
diutamakan;<br />
e. Hak yang sama untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab<br />
jumlah dan penjarakan kelahiran anak-anak mereka serta memperoleh<br />
penerangan, pendidikan dan sarana-sarana untuk memungkinkan mereka<br />
menggunakan hak-hak ini;<br />
f. Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan perwalian,<br />
pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak atau lembaga-lembaga<br />
yang sejenis di mana konsep-konsep ini ada dalam perundangan-undangan<br />
nasional, dalam semua kasus kepentingan anak-anaklah yang wajib<br />
diutamakan;<br />
g. Hak pribadi yang sama sebagai suami-istri, termasuk hak untuk memilih<br />
nama keluarga, profesi dan jabatan;<br />
h. Hak sama untuk kedua suami istri bertalian dengan pemilihan, perolehan,<br />
pengelolaan, administrasi, penikmatan dan memindah tangankan harta<br />
benda, baik secara cuma-cuma maupun dengan penggantian berupa uang.<br />
2. Pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak akan mempunyai akibat hukum<br />
dan semua tindakan yang perlu, termasuk perundang-undangan, wajib diambil<br />
untuk menetapkan usia minimum untuk kawin dan untuk mewajibkan pendaftaran<br />
perkawinan di Kantor Catatan Sipil yang resmi.<br />
94 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Lampiran •<br />
BAGIAN V<br />
Pasal 17<br />
1. Untuk menilai kemajuan yang telah dibuat pada implementasi Konvensi yang<br />
sekarang ini, dibentuk suatu Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita<br />
[Commite <strong>CEDAW</strong>, selanjutnya disebut Komite]. Pada waktu Konvensi ini mulai<br />
berlaku, Komite terdiri dari delapan belas orang dan setelah Konvensi ini<br />
diratifikasi atau dilakukan aksesi oleh negara peserta ketiga puluh lima, terdiri<br />
dari dua puluh tiga orang ahli yang bermartabat tingggi dan kompoten di bidang<br />
yang dicakup oleh Konvensi ini. Ahli-ahli ini akan dipilih oleh negara-negara<br />
peserta di antara warga negaranya dan bertindak dalam kapasitas pribadi<br />
mereka, dengan mempertimbangkan distribusi geografis yang tepat dan<br />
mempertimbangkan unsur-unsur dari berbagai bentuk peradababn manusia<br />
dan hukum utama yang berlaku.<br />
2. Anggota-anggota Komite dipilih dengan jalan pemungutan suara secara rahasia<br />
dari daftar nama orang-orang yang dicalonkan oleh negara-negara peserta.<br />
Setiap negara peserta mencalonkan seorang di antara warganegaranya sendiri.<br />
3. Pemilihan pertama diadakan enam bulan setelah tanggal mulai berlakunya<br />
Konvensi. Sekurang-kurangnya tiga bulan sebelum tanggal setiap pemilihan,<br />
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirimkan surat kepada<br />
negara-negara peserta, mengundang mereka untuk mengajukan pencalonan<br />
mereka dalam waktu dua bulan. Sekretaris Jenderal mempersiapkan daftar<br />
menurut urutan dari semua orang yang dicalonkan itu, dengan mencantumkan<br />
nama peserta yang telah mencalonkan mereka, dan menyampaikan daftar itu<br />
kepada negara peserta;<br />
4. Pemilihan para anggota Komite diadakan pada suatu rapat antar negara-negara<br />
peserta yang diundang oleh Sekretaris Jenderal di Markas Besar Perserikatan<br />
Bangsa-Bangsa. Pada rapat tersebut, dua pertiga dari negara-negara yang<br />
terpilih untuk Komite itu adalah calon-calon yang memperoleh jumlah suara<br />
terbesar dan mayoritas mutlak dari suara para wakil negara-negara peserta<br />
yang hadir yang memberikan suara.<br />
5. Para anggota Komite dipilih untuk masa jabatan empat tahun. Namun, masa<br />
jabatan sembilan orang di antara anggota yang dipilih pada pemilihan pertama<br />
habis waktunya setelah dua tahun berakhir, segera setelah pemilihan pertama,<br />
nama-nama kesembilan anggota ini dipilih melalui undian oleh Ketua Komite.<br />
6. Pemilihan lima orang anggota Komite tambahan diadakan sesuai dengan<br />
ketentuan ayat (2) (3) dan (4) pasal ini, setelah ratifikasi atau aksesi yang<br />
ketiga puluh lima. Masa jabatan dua orang di antara anggota-anggota tambahan<br />
yang dipilih pada kesempatan ini habis waktunya setelah dua tahun berakhir,<br />
nama-nama kedua anggota ini dipilih melalui undian oleh ketua Komite.<br />
7. Untuk mengisi lowongan yang timbul secara insidentil, negara-negara peserta<br />
yang ahlinya berhenti berfungsi sebagai anggota, Komite menunjuk ahli lain<br />
dari antara warganegara yang harus disetujui oleh Komite.<br />
8. Anggota Komite dengan persetujuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa,<br />
akan menerima tunjangan-tunjangan dari sumber-sumber Perserikatan Bangsa-<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
95
• Lampiran •<br />
Bangsa menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh Majelis, mengingat<br />
pentingnya tanggung jawab Komite.<br />
9. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan pegawai-pegawai<br />
dan fasilitas yang diperlukan bagi pelaksanaan efektif fungsi-fungsi Komite di<br />
bawah Konvensi ini.<br />
Pasal 18<br />
1. Negara-negara peserta yang menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal<br />
Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk dipertimbangkan oleh Komite laporan<br />
mengenai peraturan-peraturan legistatif, judikatif, administratif atau langkahlangkah<br />
lain yang telah diambil untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan dari<br />
Konvensi yang sekarang ini dan laporan-laporan mengenai kemajuan yang<br />
dicapai :<br />
a. Dalam satu tahun setelah mulai berlaku untuk negara yang bersangkutan;<br />
dan<br />
b. Sesudah itu sekurang-kurangnya tiap empat tahun dan selanjutnya sewaktuwaktu<br />
sesuai permintaan Komite.<br />
2. Laporan dapat memuat faktor dan kesulitan yang mempengaruhi tingkat<br />
pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang terdapat didalam Konvensi ini.<br />
Pasal 19<br />
1. Komite wajib membuat peraturan-peraturan prosedurnya sendiri.<br />
2. Komite wajib memilih pejabat-pejabatnya unruk masa jabatan dua tahun.<br />
Pasal 20<br />
1. Komite wajib tiap tahun mengadakan pertemuan untuk jangka waktu tidak lebih<br />
dari dua minggu guna mempertimbangkan laporan-laporan yang diajukan sesuai<br />
dengan pasal 18 Konvensi ini.<br />
2. Pertemuan Komite tersebut pada ayat (1) diadakan di Markas Besar Perserikatan<br />
Bangsa-Bangsa atau tempat lain sesuai dengan keputusan Panitia.<br />
Pasal 21<br />
1. Komite, melalui Dewan Ekonomi dan Sosial, setiap tahun wajib melapor kepada<br />
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai kegiatannya serta dapat<br />
memberi saran-saran dan rekomendasi umum berdasarkan penelitian laporanlaporan<br />
dan keterangan yang diterima dari negara-negara peserta. Saransaran<br />
dan rekomendasi umum tersebut wajib dimasukkan dalam laporan Komite<br />
bersama-sama dengan tanggapan, jika ada, dari negara-negara peserta.<br />
2. Sekretaris Jenderal wajib mengirim laporan-laporan Komite kepada Komisi<br />
Kedudukan Wanita, untuk diketahui.<br />
96 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Lampiran •<br />
Pasal 22<br />
Badan-badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa berhak untuk diwakili sesuai dengan<br />
lingkup kegiatan mereka pada waktu dipertimbangkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan<br />
konvensi ini. Komite dapat memintanya badan-badan khusus tersebut untuk<br />
menyerahkan laporan mengenai pelaksanaan Konvensi yang termasuk lingkup kegiatan<br />
mereka.<br />
BAGIAN VI<br />
Pasal 23<br />
Adapun dalam Konvensi ini tidak akan mempengaruhi ketentuan manapun yang lebih<br />
baik bagi tercapainya persamaan antara pria dan wanita yang mungkin terdapat :<br />
a. Dalam perundang-undangan suatu negara peserta; atau<br />
b. Dalam Konvensi, perjanjian atau persetujuan internasional manapun yang<br />
berlaku bagi negara itu.<br />
Pasal 24<br />
Negara-negara peserta mengusahakan untuk mengambil segala langkah yang perlu<br />
pada tingkat nasional yang ditujukan pada tercapainya perwujudan sepenuhnya dari<br />
hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini.<br />
Pasal 25<br />
1. Konvensi ini terbuka untuk penandatanganan oleh semua negara.<br />
2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa ditunjuk sebagai penyimpan<br />
Konvensi ini.<br />
3. Konvensi ini perlu diratifikasi. Instrumen-instrumen ratifikasi disimpan pada<br />
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.<br />
4. Konvensi ini terbuka untuk aksesi oleh semua negara. Aksesi berlaku dengan<br />
penyimpanan instrumen aksesi pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-<br />
Bangsa.<br />
Pasal 26<br />
1. Permintaan untuk merevisi Konvensi ini dapat diajukan sewaktu-waktu oleh<br />
setiap negara peserta dengan pemberitahuan tertulis yang dialamatkan kepada<br />
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.<br />
2. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa apabila perlu menentukan langkahlangkah<br />
yang akan diambil bertalian dengan permintaan tersebut.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
97
• Lampiran •<br />
Pasal 27<br />
1. Konvensi ini mulai berlaku pada hari ketigapuluh setelah tanggal disimpankannya<br />
instrumen ratifikasi atau instrumen aksesi yang keduapuluh pada Sekretaris<br />
Perserikatan Bangsa-Bangsa.<br />
2. Bagi setiap Negara yang meratifikasi Konvensi ini atau yang melakukan aksesi<br />
setelah penyimpanan instrumen ratifikasi atau instrumen aksesi yang<br />
keduapuluh, Konvensi ini mulai berlaku pada hari ketigapuluh tanggal<br />
disimpankannya instrumen ratifikasi atau instrumen aksesinya sendiri.<br />
Pasal 28<br />
1. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima dan mengedarkan<br />
kepada semua negara naskah keberatan-keberatan yang dibuat oleh negaranegara<br />
pada waktu ratifikasi atau aksesi.<br />
2. Keberatan yang bertentangan dengan sasaran dan tujuan Konvensi ini tidak<br />
diijinkan.<br />
3. Keberatan-keberatan sewaktu-waktu dapat ditarik kembali dengan<br />
memberitahukannya kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa<br />
yang kemudian memberitahukan hal tersebut kepada semua negara.<br />
Pasal 29<br />
1. Setiap perselisihan antara dua atau lebih negara peserta mengenai penafsiran<br />
atau penerapan Konvensi ini tidak diselesikan melalui perundingan, diajukan<br />
untuk arbitrasi atas permohonan salah satu diantara negara-negara tersebut.<br />
Jika dalam enam bulan sejak tanggal permohonan untuk arbitrasi itu, salah satu<br />
dari pihak-pihak tersebut dapat menyerahkan perselisihan itu kepada Mahkamah<br />
Internasional melalui permohonan yang sesuai dengan Peraturan Mahkamah<br />
itu.<br />
2. Setiap negara peserta pada waktu penandatanganan atau ratifikasi Konvensi<br />
ini atau pada waktu aksesi dapat menyatakan bahwa negara peserta itu tidak<br />
menganggap dirinya terikat oleh ayat (1) pasal ini, negara-negara peserta lain<br />
tidak akan terikat oleh ayat itu terhadap negara peserta yang telah membuat<br />
keberatan demikian.<br />
3. Negara peserta yang telah mengajukan keberatan seperti tersebut pada ayat<br />
(2) pasal ini sewaktu-waktu dapat menarik kembali keberatannya dengan jalan<br />
pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.<br />
Pasal 30<br />
Konvensi ini, yang naskahnya dibuat dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis,<br />
Rusia, dan Spanyol, mempunyai kekuatan yang sama dan wajib disimpan pada Sekretaris<br />
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.<br />
Demikianlah yang bertandatangan dibawah ini, diberikan kuasa sebagaimana mestinya,<br />
telah menandatangani Konvensi ini.<br />
98 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Portal berita perempuan pertama<br />
di Indonesia dengan corak<br />
jurnalisme yang sensitif gender,<br />
kami ingin menampilkan<br />
kesetaraan dalam aktualitas.<br />
Ikuti:<br />
• Berita perempuan terkini<br />
• Profil tokoh perempuan<br />
• Artikel perempuan<br />
• Feature perempuan<br />
• Agenda-agenda YJP terbaru<br />
• Konselling<br />
• Produk-produk YJP<br />
• Program-Program YJP<br />
• dsb
100 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Topik Empu •<br />
Pemenuhan<br />
Hak-Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />
Sejauh Manakah?<br />
Ani Soetjipto<br />
“ Those societies which have given equal access to women and<br />
men in economic and political opportunities have progressed<br />
much faster than those which denied such access. Gender equality<br />
is necessary condition for sound human development” -Mahbub<br />
Ul Haq- 1<br />
Indonesia selama ini telah memiliki catatan panjang dalam upaya<br />
pemberdayaan perempuan melalui berbagai ketentuan dalam<br />
undang-undang. Jika ditelusuri, ketentuan dalam UUD 19<strong>45</strong> secara<br />
formal sebenarnya telah menjamin partisipasi perempuan Indonesia<br />
dalam arena politik. Amatilah pasal-pasal yang tertuang dalam UUD <strong>45</strong>,<br />
terlihat bahwa negara menolak diskriminasi dalam bentuk apapun<br />
terhadap warga negaranya, bahwa negara mengakui hak dasar setiap<br />
warga negara. Selain itu, negara juga ‘memberi perlakuan khusus’<br />
(affirmative action) agar setiap warga negara memperoleh kesempatan dan<br />
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Hak-hak<br />
politik warga negara antara lain tercantum dalam pasal 27 (1), 28 E (3),<br />
dan 28 H (2).<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
101
Pemenuhan Hak-Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />
Sejauh Manakah?<br />
Ani Soetjipto<br />
Pada tahun 1952, Indonesia meratifikasi Konvensi PBB mengenai<br />
hak politik perempuan (UN Convention on Political Rights of Women)<br />
melalui UU No. 68 tahun 1958, di masa pemerintahan Presiden Soekarno.<br />
Undang-undang ini memberikan perempuan hak untuk memilih dan<br />
dipilih dalam lembaga legislatif negara.<br />
Pada tahun 1984, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto,<br />
Indonesia kembali meratifikasi Konvensi PBB mengenai Penghapusan<br />
terhadap Segala Bentuk Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong> (UN<br />
Convention on the Elimination of All Form of Discrimination against Women<br />
disingkat <strong>CEDAW</strong>) melalui UU No. 7/1984.<br />
Selanjutnya, tahun 1999 pemerintahan Presiden Habibie meratifikasi<br />
Optional Protocol of the Women Convention (OP-<strong>CEDAW</strong>). OP-<strong>CEDAW</strong><br />
adalah instrumen hak asasi manusia yang melengkapi konvensi <strong>CEDAW</strong><br />
dengan menetapkan dua prosedur tambahan yang bertujuan untuk<br />
memberikan kesempatan mendapatkan keadilan bagi perempuan di<br />
tingkat internasional. OP-<strong>CEDAW</strong> menetapkan dua prosedur tambahan<br />
yaitu prosedur komunikasi dan investigasi yang bertujuan untuk<br />
menunjukkan adanya pelanggaran terhadap hak asasi perempuan. Sejak<br />
saat itu memang pemerintah Indonesia melakukan upaya serius<br />
memperbaiki kebijakan pemberdayaan perempuan melalui strategi<br />
“pengarusutamaan gender”(gender mainstreaming).<br />
Pada Februari 2003, Indonesia kembali mengadopsi kebijakan kuota<br />
yang bersifat sukarela dalam UU No. 12/2003 yang berkaitan dengan<br />
Pemilu, sebagai upaya untuk meningkatkan partisipasi politik<br />
perempuan.<br />
Terlepas dari semua ketentuan tersebut pada kenyataannya<br />
partisipasi politik perempuan dan hak-hak politik perempuan masih<br />
sangat terbatas dan jauh tertinggal atau jauh dari target sebagaimana<br />
yang dicanangkan dalam Konferensi <strong>Perempuan</strong> Dunia di Beijing tahun<br />
1995 (Beijing Platform for Action). Lalu bagaimana pelaksanaannya hingga<br />
kini?<br />
Tulisan berikut ini akan membahas situasi empirik yang berkaitan<br />
dengan pemenuhan hak-hak perempuan dalam partisipasinya di bidang<br />
politik di Indonesia.<br />
Data dan Fakta <strong>Perempuan</strong> di Lembaga Legislatif<br />
Tabel di bawah ini (tabel 1) menunjukkan bahwa perempuan yang<br />
102<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Ani Soetjipto<br />
Pemenuhan Hak-Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />
Sejauh Manakah?<br />
duduk di lembaga legislatif di tingkat nasional, tercatat hanya sekitar<br />
11,82%. Sementara di tingkat provinsi (lihat tabel 2) dan kabupaten/<br />
kota jumlahnya lebih kecil lagi hanya sekitar 10% di DPRD I dan 8% di<br />
DPRD II. Jumlah perempuan di DPD cukup tinggi (21,1%). Dalam badan<br />
legislatif dua kamar (DPR dan DPD) representasi perempuan di MPR<br />
tercatat 16,46%. Walaupun keterwakilan perempuan di DPD cukup<br />
tinggi, namun wewenang yang dimainkan DPD masih sangat terbatas<br />
dan lebih sempit dibandingkan dengan DPR, sehingga terkesan hanya<br />
berfungsi ‘setengah kamar’ saja. 2<br />
Tabel 1.<br />
<strong>Perempuan</strong> dalam Lembaga Legislatif (DPR- RI) 2005<br />
Partai <strong>Perempuan</strong> Laki-laki Jumlah<br />
Golkar ( Golongan Karya) 20 100 120<br />
PDI-P ( Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) 13 96 109<br />
PPP ( Partai Persatuan Pembangunan) 4* 54 58<br />
Partai Demokrat 6 51 57<br />
PKB ( Partai Kebangkitan Bangsa) 7 <strong>45</strong> 52<br />
PAN ( Partai Amanat Nasional) 7 46 53<br />
PKS ( Partai Keadilan Sejahtera) 3 42 <strong>45</strong><br />
PBR ( Partai Bintang Reformasi) 2 12 14<br />
PDS ( Partai Damai Sejahtera) 3 10 13<br />
Partai Pelopor 1 2 3<br />
JUMLAH 65(11,82%) 485(88,15%) 550 (100%)<br />
Sumber: CETRO, 2005<br />
· tidak termasuk data dari Papua Barat, Kalimantan Tengah, Maluku.<br />
Tabel 2.<br />
Representasi <strong>Perempuan</strong> di DPR-RI, DPRD I, DPRD II dan DPD<br />
Institusi <strong>Perempuan</strong> Laki-laki Jumlah<br />
DPR-RI** 65 (11,82%) 485 (88,15%) 550<br />
DPD 27 (21,1%) 101 (78,9%) 128<br />
DPRD I ( Pripinsi) 188 (10%) 1662 (90%) 1850<br />
DPRD II ( Kabupaten/kota) 1090 (8%) 12046 (92%) 13.125<br />
Sumber: CETRO, 2005<br />
· ** 4 anggota baru perempuan menggantikan Suryadharma Ali, Fahmi Idris, Pramono Anung dan<br />
kemenangan hasil keputusan sengketa Pemilu di Irjabar untuk partai Pelopor.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
103
Pemenuhan Hak-Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />
Sejauh Manakah?<br />
Ani Soetjipto<br />
<strong>Perempuan</strong> di Lembaga Eksekutif<br />
Data-data berikut ini menunjukkan bahwa dilihat dari sisi kuantitas,<br />
partisipasi politik perempuan di bidang politik dan pengambilan<br />
keputusan memang masih sangat rendah, walaupun jika kita amati<br />
rangkaian panjang undang-undang dan ketentuan internasional yang<br />
telah diadopsi di Indonesia, Indonesia termasuk negara yang cukup<br />
maju merespon berbagai tuntutan internasional yang berkaitan dengan<br />
pemajuan hak-hak politik perempuan.<br />
Tabel 3.<br />
<strong>Perempuan</strong> yang Terpilih sebagai Bupati/Wakil Bupati,<br />
Walikota/Wakil Walikota hasil Pilkada 2005<br />
No. Propinsi Kabupaten/kota Tanggal Terpilih Dukungan partai<br />
1. JATENG Kebumen 05-Juni Rustriningsih dan PDI-P<br />
M Nasirudin<br />
Al Mansyur<br />
2. DIY Gunung Kidul 26 Juni Soeharto dan PAN<br />
Ny Badingah<br />
3. JATIM Banyuwangi 20 Juni Ratna Ani Lestari Koalisi 18 parpol<br />
dan Yusuf Nuris kecil<br />
4. SULUT Minahasa Utara 20 Juni Vonny Panambunan PD dan PKPI<br />
dan Sonya Singai<br />
5. SULUT Tomohon 20 Juni Jeferson Rumajan PNBK, PKPB, PPD,<br />
dan Lineke W dll<br />
6. MALUKU Seram Timur 23 Juni Abdullah Vanath PKPB, PKS, PKPI<br />
dan Siti Umuria<br />
Sumber: CETRO, 2005<br />
Jumlah perempuan dalam kabinet Indonesia bersatu di bawah<br />
presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini pada akhirnya adalah hanya<br />
11,11 % dari total keseluruhan 36 anggota.<br />
Tabel 4.<br />
<strong>Perempuan</strong> dalam Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudoyono(2005–2009)<br />
No. Nama<br />
Kementrian<br />
1. Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan<br />
2. Mari Elka Pangestu Menteri Perdagangan<br />
3. Siti Fadilah Supari Menteri Kesehatan<br />
4 Meutia Farida Hatta Swasono Menteri Pemberdayaan <strong>Perempuan</strong><br />
104<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Ani Soetjipto<br />
Pemenuhan Hak-Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />
Sejauh Manakah?<br />
Namun demikian, dari data-data yang telah dijabarkan tetap terlihat<br />
adanya jurang yang begitu lebar antara ketentuan formal dengan<br />
implementasi. Mengapa? Sebuah studi yang dilakukan oleh FES<br />
(Friedrich Ebert Stiftung) dan menganalisa tentang partisipasi perempuan<br />
dalam bidang politik dan pengambilan keputusan di lima negara <strong>Asia</strong><br />
(Kamboja, Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand) 3 memperoleh<br />
temuan menarik atas persoalan ini.<br />
Pertama adalah tidak ada satu pun negara di <strong>Asia</strong> yang menjadi objek<br />
penelitian, mampu mencapai angka keterwakilan yang mendekati 30%<br />
seperti yang tertuang dalam berbagai advokasi internasional yang<br />
dilakukan setelah Deklarasi Beijing di tahun 1995. Di Indonesia, kita<br />
melihat hanya ada sedikit kenaikan di tahun 2004 tapi hasil dari Pilkada<br />
(Pemilihan Kepala Daerah) menunjukkan bahwa kita layak cemas bahwa<br />
proses desentralisasi demokratisasi di Indonesia terlihat semakin<br />
menjauhkan perempuan dari posisi-posisi kunci sebagai pengambil<br />
keputusan di tingkat lokal.<br />
Kedua, hambatan sosial budaya<br />
masih menjadi kendala terbesar bagi<br />
perempuan untuk dapat berpartisipasi<br />
di bidang politik. Budaya<br />
patriarkhi masih menjadi kendala<br />
yang ditemukan di semua negara<br />
<strong>Asia</strong>, dan pandangan-pandangan<br />
tersebut diyakini tidak saja oleh<br />
banyak laki-laki tetapi juga sebagian<br />
perempuan sebagai suatu<br />
kebenaran. Di Indonesia kendala<br />
budaya ini semakin diperkuat<br />
dengan interpretasi ajaran agama. Kita menyaksikan desentralisasi<br />
demokrasi di banyak daerah kembali memarjinalkan perempuan dan<br />
menciptakan aturan-aturan hukum yang membatasi kembali peran<br />
publik dari perempuan. Justifikasi mempertahankan adat dan budaya<br />
lokal/asli yang selalu dikemukakan sebagai alasan.<br />
Ketiga, transisi demokrasi yang berlangsung di negara-negara <strong>Asia</strong><br />
termasuk Indonesia, walaupun di satu sisi berhasil melakukan reformasi<br />
hak-hak politik perempuan lewat penataan ulang mekanisme ketatanegaraan<br />
melalui reformasi konstitusi maupun perundang-undangan<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
Foto: Dok. YJP<br />
105
Pemenuhan Hak-Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />
Sejauh Manakah?<br />
Ani Soetjipto<br />
nasional, tapi di sisi lain juga gagal melakukan perubahan substansial<br />
dalam proses demokratisasi yang berjalan. Yang banyak terjadi adalah<br />
demokrasi prosedural bukan demokrasi substansial. Di Indonesia<br />
walaupun kebijakan affirmative terhadap perempuan dapat diadopsi,<br />
namun hanya berhenti pada tingkat wacana dan tidak untuk<br />
diimplementasikan. Kendala terbesar adalah partai politik yang belum<br />
sepenuhnya berubah dan aktor-aktor politik yang masih didominasi<br />
oleh banyak ‘pemain lama’.<br />
Keempat, isu perempuan dan politik masih menjadi isu yang datang<br />
dan hilang dalam gerakan perempuan di banyak negara <strong>Asia</strong> termasuk<br />
Indonesia. Isu perempuan, politik dan pengambilan keputusan belum<br />
menjadi arus utama dari fokus gerakan perempuan. Di Indonesia, kita<br />
menyaksikan betapa gerakan perempuan sangat majemuk yang dapat<br />
dilihat dari isu dan strategi yang beragam untuk memperjuangkan hakhak<br />
politik perempuan. Tingkat perjuangan mereka juga berada di<br />
berbagai permukaan di tingkat makro atau strategis maupun di lingkup<br />
mikro atau kepentingan praktis perempuan. Memang tidak ada yang<br />
salah, mengingat masalah perempuan begitu beragam, kompleks dan<br />
parah. Tapi sisi buruknya adalah gerakan politik perempuan acapkali<br />
menjadi tidak produktif. Semua ingin ditangani, dan kenyataannya<br />
memang banyak yang tak tertangani.<br />
Kelima, di lima negara <strong>Asia</strong> yang menjadi objek penelitian,<br />
pemerintahannya masih melihat isu perempuan sebagai persoalan<br />
kesejahteraan (welfare) yang erat berkaitan dengan pengentasan<br />
kemiskinan dan perlindungan bagi kelompok-kelompok marjinal.<br />
Program anti kekerasan terhadap perempuan, perdagangan perempuan<br />
dan anak, kesehatan, pendidikan, adalah contoh konkret dari isu-isu<br />
kesejahteraan yang dianggap menjadi isu perempuan yang penting di<br />
banyak negara. Di semua negara <strong>Asia</strong> termasuk Indonesia, pemerintah<br />
masih belum sampai pada upaya pemberdayaan politik perempuan serta<br />
mewujudkan keadilan bagi perempuan sebagai arus utama program<br />
pemberdayaan perempuan. Dalam isu welfare yang dijadikan sebagai<br />
sandaran pun kita melihat bahwa alokasi dana yang tersedia untuk menjalankan<br />
program-program tersebut sangat minim dan jauh dari memadai.<br />
Keenam, jalan menuju partisipasi yang adil dalam bidang politik dan<br />
pengambilan keputusan masih menjadi tantangan berat yang harus<br />
dilalui. Jalan ini menjadi tidak mudah ketika ternyata, ikatan antara<br />
106<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Ani Soetjipto<br />
Pemenuhan Hak-Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />
Sejauh Manakah?<br />
perempuan yang berada di posisi pengambilan keputusan dengan<br />
mereka yang di luar juga ternyata tidak berkesinambungan. Cita-cita<br />
yang tadinya diusung adalah dengan adanya sejumlah perempuan di<br />
posisi pengambilan keputusan, kita berharap mereka bisa lebih baik<br />
memperjuangkan kepentingan perempuan dengan asumsi bahwa<br />
sebagai perempuan mereka juga memiliki pengalaman yang sama<br />
sehingga dapat mudah mengerti. Harapan itu tinggal harapan. Banyak<br />
sekali perempuan di posisi pengambilan keputusan yang ternyata tidak<br />
pernah memikirkan dan memperjuangkan apa yang menjadi kepentingan<br />
mayoritas masyarakat.<br />
Penutup<br />
Dari sejumlah data yang disajikan dan uraian persoalan partisipasi<br />
perempuan dalam politik di <strong>Asia</strong> dan Indonesia, terutama, dalam<br />
meninjau sejauhmana implementasi <strong>CEDAW</strong> di negeri ini, maka kita<br />
perlu mengambil langkah strategis. Yaitu dalam rangka memajukan<br />
hak-hak politik perempuan di Indonesia dimana pemerintah kita ikut<br />
menandatangani konvensi <strong>CEDAW</strong> tersebut. Langkah strategis yang<br />
penting untuk dilakukan adalah beberapa pertanyaan yang harus<br />
terjawab berikut ini.<br />
Pertama, apakah kita lebih baik mempunyai ‘sedikit perempuan’ di<br />
posisi pengambilan keputusan tetapi mereka mempunyai kapasitas dan<br />
kepekaan daripada ‘lebih banyak perempuan’ tetapi tidak menjalankan<br />
mandat yang diembannya untuk mengakomodasi kepentingan<br />
perempuan? Dengan kata lain, apakah lebih baik kualitas atau kapasitas<br />
daripada mengejar jumlah atau kuantitas?<br />
Kedua, apakah memang menjadi lebih strategis bersekutu dengan<br />
laki-laki yang mengerti persoalan perempuan daripada terus berteriak<br />
kepentingan perempuan yang hanya dapat dipahami oleh perempuan?<br />
Dengan kata lain, yang penting adalah ‘perspektifnya gender-nya’<br />
daripada ‘jenis kelaminnya’.<br />
Ketiga, di tengah kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat pada<br />
elit politik, partai politik, dan beban ekonomi mereka yang semakin hari<br />
semakin berat, masih adakah peluang agar masyarakat dapat percaya<br />
pada kandidat perempuan sehingga akan memilih perempuan pada<br />
pemilu mendatang, serta apakah masyarakat tidak apatis terhadap<br />
politik?<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
107
Pemenuhan Hak-Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />
Sejauh Manakah?<br />
Ani Soetjipto<br />
Keempat, bagaimana pendidikan politik warga harus dijalankan di<br />
berbagai kelompok sasaran yang berbeda dan sangat majemuk serta<br />
heterogen dilihat dari sisi ekonomi, status sosial, lapangan kerja,<br />
pendidikan serta mengajarkan berbagai kebajikan nilai-nilai demokrasi<br />
yang lebih baik dari pada melalui sistem yang otoritarianisme?<br />
Kelima, bagaimana instrumen demokrasi harus di bangun di<br />
Indonesia, mengingat instrumen demokrasi seperti partai politik, belum<br />
menjadi instrumen pendukung untuk pemajuan demokrasi itu sendiri.<br />
Tantangan demokrasi di Indonesia juga mengalami ancaman dengan<br />
fenomena korupsi, primordialisme, dominasi eksekutif dan hilangnya<br />
peran pengawasan dan penyeimbang dari<br />
lembaga legislatif serta keterbatasan peran<br />
yang bisa dimainkan oleh kelompok<br />
masyarakat sipil di Indonesia. Di tengah<br />
defisit-nya demokrasi tersebut, dan peluang<br />
kembalinya pemerintahan presidensial<br />
yang sangat kuat, peluang untuk<br />
melakukan pembatasan terhadap peran<br />
publik dan peran politik perempuan akan<br />
semakin mudah dijalankan.<br />
Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul<br />
sebagai strategi ke depan karena<br />
setelah melihat fenomena politik kontemporer<br />
yang terjadi di Indonesia serta<br />
kenyataan di lapangan bahwa ternyata<br />
banyak sekali wakil-wakil rakyat kita yang<br />
perempuan juga sangat mengecewakan<br />
dan tidak bisa memenuhi harapan. Tidak<br />
sedikit perempuan politisi yang ternyata juga bagian dari politisi busuk<br />
yang sibuk mementingkan diri sendiri dan lupa dengan amanat<br />
konstituen yang diwakilinya. Mereka ikut terlibat korupsi, penyalahgunaan<br />
kekuasaan dan berbagai tindakan tak terpuji lainnya. Kapasitas<br />
kebanyakan dari mereka juga sangat rendah untuk dapat menjalankan<br />
fungsi yang mereka emban. Saat ini kita dihadapkan pada pilihan -<br />
pilihan yang serba tidak mudah dan sulit mendapatkan semua yang<br />
ideal, yang kita kehendaki. Maka dalam hal implementasi <strong>CEDAW</strong><br />
tentang hak-hak politik perempuan, kita harus memikirkan kendala-<br />
108<br />
Foto: Dok. YJP<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Ani Soetjipto<br />
Pemenuhan Hak-Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />
Sejauh Manakah?<br />
kendala tersebut, terutama setelah keterwakilan perempuan 30%<br />
diterapkan dan hampir tak memetik harapan untuk kepentingan<br />
perempuan sendiri.<br />
Catatan Belakang<br />
1<br />
Mahbub ul Haq adalah ahli ekonomi dari Pakistan, salah satu pendiri tentang teori<br />
Human Development. Ia adalah teman pribadi dari Amartya Sen ketika belajar di<br />
Cambridge University. Ia juga membuat Human Development Index, yang digunakan<br />
untuk laporan tahunan Pengembangan Program Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia juga<br />
pernah menjabat Direktur Perencanaan Kebijakan Bank Dunia. Pernyataannya ini<br />
mengatakan bahwa negara yang maju secara ekonomi dan politik, indikatornya dapat<br />
dilihat dari terpenuhinya hak-hak perempuan dan relasi yang setara antara laki-laki<br />
dan perempuan.<br />
2<br />
Data yang diambil dari Centre for Electoral Reform (Cetro) atau Yayasan Pusat<br />
Reformasi Pemilu tahun 2005, lihat informasi lainnya di www.cetro.or.id.<br />
3<br />
Tema ini terangkum dalam buku <strong>Southeast</strong> <strong>Asia</strong>n Women in Politics and Decision<br />
Making: Ten Years After Beijing: Gaining Ground? (Manila: SEAWatch and<br />
Friedrich Ebert Stiftung , 2 nd edition, July 2005).<br />
Ikuti <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> edisi 46 mendatang dengan tema<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
109
• Topik Empu •<br />
Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong><br />
dan Anak Melalui Konvensi<br />
Magdalena Sitorus<br />
Bagaimana sebuah konvensi lahir sesungguhnya adalah hasil dari<br />
pengamatan dan proses panjang dalam menjawab kebutuhan<br />
nyata masyarakat secara universal, untuk mewujudkan keadilan,<br />
meskipun secara umum untuk mencapai keadilan tersebut akan selalu<br />
berbenturan dengan persoalan budaya dimana budaya yang terlanjur<br />
terbentuk cenderung menerapkan sebaliknya (sesuatu yang justru<br />
mengarah pada ketidakadilan).<br />
Dalam hal ini, kita akan membahas bagaiamana terdapat dua kelompok<br />
masyarakat yang paling rentan mengalami ketidakadilan di dunia<br />
manapun (terutama negara berkembang) yaitu anak dan perempuan<br />
(selain lansia, masyarakat etnis tertentu yang dipinggirkan, kelompok<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
111
Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />
Melalui Konvensi<br />
Magdalena Sitorus<br />
seks minoritas, orang-orang cacat, dan masyarakat yang kesulitan<br />
ekonomi). Tulisan berikut ini sengaja memusatkan perhatian pada<br />
masalah perempuan dan anak, sebab satu dengan lainnya sangatlah<br />
berkaitan dimana secara alami anak akan lahir dari kandungan ibu,<br />
dan ibu itu sendiri adalah jenis kelamin perempuan. Bahwa kedua<br />
kelompok yang menjadi bagian dari masyarakat ini sangat erat berkaitan<br />
satu sama lain.<br />
Atas persoalan kerentanan perempuan dan anak ini, perlu kita<br />
merujuk dua konvensi internasional, yaitu Konvensi Hak Anak dan<br />
<strong>CEDAW</strong> (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap<br />
<strong>Perempuan</strong>).<br />
Menengok Masalah Anak dan <strong>Perempuan</strong><br />
Siapakah yang disebut anak? Ia mencakup anak laki-laki dan<br />
perempuan yang berusia di bawah umur 18 tahun. Sementara dalam<br />
Konvensi Hak Anak dan <strong>Perempuan</strong> menjadi mencakup segala usia<br />
karena konvensi ini membicarakan anak perempuan dan perempuan<br />
dewasa, tetapi tidak ada konvensi yang mengatur khusus tentang hak<br />
laki-laki. Tidak adanya konvensi tentang hak laki-laki karena banyak<br />
kasus yang menunjukkan persentase laki-laki sebagai korban<br />
ketidakadilan secara mendasar sangat kecil, karena justru pada<br />
kenyataannya kelompok masyarakat laki-laki memegang peranan<br />
pencipta ketidakadilan dalam sosial, politik, ekonomi maupun budaya,<br />
mengingat ruang publik memang telah lama dikuasai oleh kaum lakilaki.<br />
Namun demikian, mengapa ketidakadilan itu terjadi bukan pula<br />
kesalahan semata-mata ditumpahkan kepada mereka.<br />
<strong>CEDAW</strong> yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979<br />
sebetulnya jauh sebelum muncul Konvensi Hak Anak. Munculnya<br />
konvensi <strong>CEDAW</strong> dilatarbelakangi oleh terkumpulnya data mengenai<br />
perempuan di seluruh dunia yang menunjukkan statistik mengejutkan<br />
tentang perbedaan ekonomi dan sosial antara laki-laki dan perempuan.<br />
<strong>Perempuan</strong> merupakan golongan mayoritas dari orang miskin di dunia,<br />
dan jumlah perempuan yang hidup di desa-desa miskin telah meningkat<br />
50% sejak tahun 1975. <strong>Perempuan</strong> juga merupakan mayoritas<br />
penyandang buta huruf di dunia. Jumlahnya meningkat dari 543 juta<br />
menjadi 597 juta antara tahun 1970 sampai 1985. <strong>Perempuan</strong> di <strong>Asia</strong><br />
dan Afrika setiap minggu bekerja 13 jam lebih banyak daripada kaum<br />
112<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Magdalena Sitorus<br />
Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />
Melalui Konvensi<br />
laki-laki dan sebagian besar tidak mendapat bayaran. Diseluruh dunia<br />
penghasilan perempuan berkisar antara 30 sampai 40 persen lebih rendah<br />
daripada laki-laki untuk suatu pekerjaan yang sama. Bahkan hampir di<br />
seluruh dunia hanya 10 sampai 20 persen jabatan manajerial dan<br />
administrasi di pegang oleh perempuan dan kurang dari 20 persen untuk<br />
jabatan di pabrik. Dan hal lainnya, kurang dari 5% perempuan yang<br />
menjadi Kepala Negara. Pekerjaan perempuan di rumah dan dalam<br />
lingkup keluarga tidak dibayar dan apabila pekerjaan ini diperhitungkan<br />
sebagai produktivitas nasional maka penghasilan global akan meningkat<br />
antara 25 sampai 30%. 1<br />
Oleh karena itu, dalam hal hak-hak anak, dalam <strong>CEDAW</strong> tercantum<br />
dalam berbagai pasal kata-kata kepentingan anak-anak merupakan yang<br />
tertinggi. Misalnya pada bagian I pasal 5 dinyatakan bahwa ‘Para Negara<br />
Peserta’ akan mengambil semua tindakan yang tepat untuk (a)<br />
mengurangi pola-pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan<br />
perempuan dengan tujuan menghapuskan semua prasangka dan<br />
kebiasaan dan semua praktek lain yang didasarkan pada pemikiran<br />
rendahnya atau unggulnya baik jenis kelamin ataupun pada peranperan<br />
stereotip bagi laki-laki dan perempuan, (b) menjamin bahwa<br />
pendidikan keluarga mencakup pengertian yang tepat mengenai<br />
‘keibuan’ sebagai fungsi sosial dan pengakuan terhadap tanggung jawab<br />
bersama dari laki-laki dan perempuan dalam pengasuhan dan<br />
perkembangan anak-anak mereka, karena dimengerti bahwa kepentingan<br />
anak-anak adalah merupakan pertimbangan primordial dalam semua hal.<br />
Demikian pula dalam pasal 16; (a) hak dan tanggung jawab yang<br />
sama sebagai orang tua, terlepas dari status perkawinan mereka dalam<br />
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan anak-anak mereka,<br />
dalam semua kasus kepentingan anak-anak harus merupakan yang tertinggi,<br />
(b) hak dan tanggung jawab yang sama mengenai perlindungan,<br />
pengawasan, perwalian dan pengangkatan anak-anak atau lembagalembaga<br />
serupa dimana konsep-konsep ini ada dalam perundangundangan<br />
nasional, dalam semua kasus, kepentingan anak-anak harus<br />
merupakan yang tertinggi. 2<br />
Kemudian lahirlah Konvensi Hak Anak yang ditetapkan oleh Majelis<br />
Umum PBB 10 tahun kemudian atau pada tahun 1989, juga hasil<br />
pengamatan dan pelaporan tentang ketidakadilan yang serius yang<br />
diderita oleh anak-anak adalah; tingginya tingkat kematian anak,<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
113
Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />
Melalui Konvensi<br />
Magdalena Sitorus<br />
perawatan kesehatan yang buruk, terbatasnya kesempatan untuk<br />
memperoleh pendidikan dasar. Juga berbagai kasus tentang anak-anak<br />
yang disiksa dan dieksploitasi sebagai pekerja seksual atau dalam<br />
pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan, anak-anak dalam penjara<br />
serta anak-anak sebagai pengungsi dan korban-korban konflik<br />
bersenjata. Bahkan di dalam UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002<br />
pada Bab II tentang Asas dan Tujuan juga telah disebutkan bahwa selain<br />
UUD 19<strong>45</strong> sebagai asas, tetapi juga prinsip-prinsip dasar dalam<br />
Konvensi Hak-Hak Anak atau CRC (Convention on the Rights of the Child)<br />
yang meliputi 3 ; non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak<br />
untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaan<br />
terhadap pendapat anak. 4 Dua hal mendasar atas persoalan anak<br />
pada dua konvensi (<strong>CEDAW</strong> dan UU Perlindungan Anak) ini adalah<br />
non diskriminasi dan kepentingan yang terbaik bagi anak atau dalam kata lain<br />
kepentingan anak-anak harus merupakan yang tertinggi. Demikian pula halnya<br />
dalam UU No. 23 tahun 2004 Bab II pasal 3 tentang Asas dan Tujuan<br />
pada bagian c tentang non diskriminasi ikut ambil bagian di dalamnya.<br />
Dengan demikian dapat kita lihat bahwa munculnya peraturan baik<br />
dalam bentuk konvensi, undang-undang, peraturan ataupun lainnya<br />
karena memang ada persoalan yang ingin di atasi dengan banyaknya<br />
kasus-kasus yang ada, yaitu kondisi perempuan dan anak yang<br />
mengalami diskriminasi dan berdampak besar dalam kehidupannya.<br />
Salah satu hal yang perlu dikhawatirkan adalah kondisi mereka yang<br />
rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan. Jumlah yang banyak ini<br />
diantaranya karena perempuan dan anak mempunyai ketergantungan<br />
dalam berbagai aspek terutama ekonomi yang dikondisikan sedemikian<br />
rupa. Bahkan anak secara alami sangatlah bergantung pada orang-orang<br />
dewasa di sekelilingnya, salah satunya adalah untuk kepentingan<br />
kematangan emosionalnya. Kenyatannya anak di negeri ini tidak dilihat<br />
menjadi cikal bakal sumberdaya manusia di masa mendatang. Bahkan<br />
anak tidak dilihat sebagai sosok yang harus dididik, dilindungi baik<br />
secara fisik maupun emosionalnya.<br />
Misalnya di banyak negara miskin dalam dunia dimana teknologi<br />
terus berkembang, masih banyak perlakuan diskriminatif terhadap anak<br />
perempuan yang menyebabkan mereka mengalami kekurangan gizi<br />
ketimbang anak laki-laki. Artinya bahwa anak perempuan yang kelak<br />
akan menjadi ibu telah mengalami kekurangan gizi sejak usia dini,<br />
114<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Magdalena Sitorus<br />
Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />
Melalui Konvensi<br />
dengan pengetahuan yang minim karena akses untuk memperoleh<br />
pendidikan selain terbatas juga tidak didahulukan, tentu akan<br />
berdampak dalam melakukan pendidikan terhadap anak-anaknya. Halhal<br />
yang mendasar ini tak mungkin lagi dibayangkan untuk segera<br />
memikirkan sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan terbaik bagi anak,<br />
bahkan menghargai pendapat anak.<br />
Bahkan di dalam UU No. 23<br />
tahun 2004 yang baru-baru ini<br />
disahkan tentang Penghapusan<br />
Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />
(PKDRT) pada Bab I tentang Ketentuan<br />
Umum no.l secara jelas<br />
dinyatakan “kekerasan dalam<br />
rumah tangga adalah setiap perbuatan<br />
terhadap seseorang terutama<br />
perempuan yang berakibat<br />
pada timbulnya kesengsaraan<br />
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran<br />
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,<br />
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum<br />
dalam lingkup rumah tangga.” Dalam UU ini terdapat kata terutama<br />
perempuan yang menunjukkan betapa kelompok ini sangat rentan<br />
mengalami tindak kekerasan pada ranah domestik. 5 Artinya, undangundang<br />
ini juga melingkupi anak perempuan, sebab bagian dari lingkup<br />
rumah tangga. Anak-anak kenyataannya juga rentan terhadap tindak<br />
kekerasan di dalam keluarga, seperti yang terpampang dalam tayangantayangan<br />
berita di televisi.<br />
Adapun di dalam UU PKDRT No. 23 tahun 2004 pada Bab III pasal 5<br />
disebutkan terdapat empat bentuk tindak kekerasan yaitu: pertama,<br />
kekerasan fisik dijelaskan sebagai perbuatan yang mengakibatkan rasa<br />
sakit, jatuh sakit atau luka berat, kedua, kekerasan psikis, dijelaskan<br />
sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa<br />
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,<br />
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Ketiga, kekerasan<br />
seksual, dijelaskan sebagai pemaksaan hubungan seksual yang<br />
dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga<br />
serta dijelaskan juga sebagai pemaksaan hubungan seksual terhadap<br />
childtrafficking.com<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
115
Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />
Melalui Konvensi<br />
Magdalena Sitorus<br />
salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk<br />
tujuan komersil dan/ atau tujuan tertentu. Keempat, penelantaran rumah<br />
tangga (identik dengan kekerasan dalam bentuk ekonomi) dijelaskan<br />
bahwa setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah<br />
tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena<br />
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan<br />
atau pemeliharaan kepada orang tersebut dan selanjutnya dijelaskan<br />
bahwa juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan<br />
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk<br />
bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada<br />
di bawah kendali orang tersebut.<br />
Berikut ini adalah kasus nyata yang pernah terjadi pada anak<br />
perempuan dalam lingkup rumah tangga. Ita (bukan nama sebenarnya),<br />
adalah anak perempuan berusia 14 tahun yang mengalami kekerasan<br />
dalam rumah tangga. Ia adalah putri tunggal dari pasangan Eva dan<br />
Adam (bukan nama sebenarnya). Eva dan Adam bekerja di perusahaan<br />
swasta. Rumah mereka berdekatan dengan rumah orang tua Adam yang<br />
juga tinggal bersama dengan saudara-saudara perempuannya. Usai<br />
sekolah, Ita biasanya akan ke rumah neneknya sambil menunggu kedua<br />
orang tuanya pulang atau kadangkala tinggal sendirian di rumah.<br />
Ita kemudian diketahui hamil (Ita sendiri tidak mengetahui<br />
kehamilannya pada saat itu) ketika gurunya di sekolah melihat<br />
perubahan pada diri Ita yaitu kelihatan seperti malas dan tidak<br />
bersemangat mengikuti pelajaran dan juga perubahan pada tubuhnya<br />
yang menimbulkan pertanyaan pada guru. Akhirnya diketahui sesudah<br />
dilakukan pemeriksaan ke dokter Ita dinyatakan hamil 5 bulan. Hal ini<br />
membuat ibu Ita terkejut dan betapa sulitnya untuk mencari tahu siapa<br />
pelaku yang mengakibatkan Ita hamil.<br />
Namun dengan penelusuran panjang, pada akhirnya diketahui<br />
bahwa pelakunya adalah ayah kandung Ita sendiri. Ayah Ita kemudian<br />
sempat mendekam di penjara karenanya. Namun demikian keluarga<br />
Adam (keluarga ayahnya) tetap melakukan intimidasi terhadap Ita<br />
putrinya dan Eva istrinya agar kasus tersebut dicabut disertai dengan<br />
ancaman-ancaman lainnya. Ditambah lagi Ita harus keluar dari sekolah<br />
karena hamil. Saudara-saudara perempuan ayah Ita di pengadilan<br />
bahkan tak henti-hentinya mengintimidasi Ita sebagai korban karena<br />
menurut mereka semua itu terjadi karena kesalahan Ita yaitu dipastikan<br />
116<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Magdalena Sitorus<br />
Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />
Melalui Konvensi<br />
berupaya memancing rangsangan seksual pada ayahnya dengan cara<br />
berpakaian yang ‘seronok’ sehingga peristiwa tersebut terjadi.<br />
Dalam proses pengadilan, Adam ternyata tidak mengakui seluruh<br />
perbuatannya. Eva masih tetap melakukan kunjungan setianya ke<br />
tahanan dimana Adam berada. Kunjungan Eva di rumah tahanan<br />
ternyata dimanfaatkan Adam untuk melakukan pendekatan dan meyakinkan<br />
perasaan Eva yang akhirnya percaya bahwa suaminya bukanlah<br />
pelaku kehamilan Ita dan bahkan Eva, sang ibu mulai ikut menyalahkan<br />
Ita, putrinya sendiri. Ita kemudian mengalami kesedihan luar biasa karena<br />
ibu yang diharapkan mendukungnya malah melakukan sebaliknya.<br />
Ita kemudian berusaha untuk memeriksakan DNA-nya agar terbukti<br />
bahwa anak yang dikandungnya adalah hasil perbuatan ayah<br />
kandungnya sendiri. Usaha itu tidak dapat terwujud karena mahalnya<br />
biaya untuk tes DNA. Pada akhirnya dengan segala upaya Adam pun<br />
dapat keluar dari penjara. Ita mengalami kekecewaan luar biasa dan<br />
posisinya semakin sulit, karena sang ibu bahkan pada akhirnya memilih<br />
kembali hidup bersama Adam suaminya.<br />
Ketika melahirkan, sang bayi yang dikandung Ita ternyata mengalami<br />
kerapuhan tulang. Hal tersebut adalah salah satu dampak akibat<br />
hubungan darah yang sangat dekat. Akhirnya sang bayi kemudian<br />
dititipkan di sebuah panti dengan perjanjian bahwa anaknya dapat<br />
diambil kembali bila pada saat yang memungkinkan.<br />
Ita sendiri enggan tinggal bersama orang tuanya dan memutuskan<br />
untuk tinggal bersama neneknya dari pihak ibu. Kemudian ia bekerja di<br />
sebuah cafe tempat ia bekerja hingga malam yang bila dilihat posisinya,<br />
Ita masih tergolong anak-anak dan sangat rentan untuk mengalami<br />
tindak kekerasan seksual. Kasus Ita tersebut ternyata berakhir begitu<br />
saja, termasuk dalam persoalan hukum.<br />
Ini hanya satu dari banyak kasus yang menimpa anak-anak<br />
perempuan seperti Ita. Kasus lain adalah saat terjadi pelecehan seksual<br />
antar siswa SMP di salah satu sekolah di Jakarta. Ami (bukan nama<br />
sebenarnya) pada suatu hari merasa tidak enak badan dan guru<br />
kemudian membawanya untuk beristirahat di ruang UKS (ruang dimana<br />
siswa yang sakit dapat beristirahat). Kebetulan saat itu juga ada siswa<br />
laki-laki (Udin, bukan nama sebenarnya) yang juga beristirahat karena<br />
kondisi yang sama di tempat tidur yang berbeda dan hanya dipisahkan<br />
oleh gorden. Namun tak diduga, selang kemudian Udin mendekati Ami<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
117
Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />
Melalui Konvensi<br />
Magdalena Sitorus<br />
dan mulai menggerayangi tubuhnya. Ami tidak dapat berbuat banyak<br />
karena kondisinya betul-betul lemah pada saat itu. Ami bisa terlepas<br />
dari perbuatan Udin yang tidak senonoh tersebut karena bel berbunyi<br />
dan mulai banyak murid dan guru yang berjalan hilir mudik disekitar<br />
ruangan tersebut. Udin kembali ke tempat tidurnya. Ami kemudian<br />
melaporkan hal tersebut kepada kepala sekolah. Kepala sekolah<br />
kemudian memanggil Udin yang ternyata tidak mengakui perbuatannya,<br />
bahkan malah membalikkan persoalan bahwa Ami sudah memfitnahnya.<br />
Pihak sekolah kemudian memanggil orang tua Udin dan karena<br />
kebetulan orang tuanya adalah keluarga mampu, mereka membalik<br />
menggugat sekolah karena dianggap sudah mencemarkan nama baik<br />
anak dan mereka sebagai orangtua. Ami dipaksa untuk meminta maaf<br />
kepada Udin dan orangtuanya yang serta merta di tolak habis-habisan<br />
oleh Ami karena ia merasa diperlakukan secara tidak adil. Karena<br />
persoalan tersebut menjadi merebak di sekolah itu, pihak sekolah<br />
kemudian membuat keputusan untuk mengeluarkan Ami dari sekolah<br />
tersebut saat itu sudah akan menghadapi ujian.<br />
Orang tua Ami berusaha meminta kepada pihak sekolah, agar paling<br />
tidak Ami dapat mengikuti ujian akhirnya. Pihak sekolah justru<br />
menganggap Ami sudah mencemarkan nama baik sekolah tersebut.<br />
Dapat kita lihat betapa lemahnya posisi Ami sebagai anak sekaligus<br />
sebagai perempuan. Ketidakberpihakan sekolah terhadap korban<br />
sebagai anak dan perempuan mengakibatkan Ami menjadi korban untuk<br />
yang kesekian kalinya. Sekolah sibuk menjaga nama baik, tanpa<br />
mempertimbangkan kepentingan terbaik anak apalagi pada saat<br />
menghadapi ujian akhir. Bagaimana diskriminatifnya pihak sekolah<br />
yang hanya karena secara strata sosial si Udin lebih kuat dibandingkan<br />
Ami yang hanya dari keluarga biasa-biasa saja. 6<br />
Bila kita kaitkan dengan dua konvensi di atas yaitu <strong>CEDAW</strong> atau<br />
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap<br />
<strong>Perempuan</strong> dan Konvensi Hak Anak atau CRC (Convention on the Rights<br />
of the Child) dimana negara kita telah ikut meratifikasi untuk bertanggung<br />
jawab atas konvensi tersebut, maka dapat dikatakan dari kasus-kasus<br />
tersebut (dari banyak kasus lainnya) bahwa kedua konvensi tersebut<br />
belum dapat terlaksana. Pola-pola tingkah laku sosial dan budaya lakilaki<br />
dan perempuan yang merujuk pada peran-peran stereotip sangat<br />
kental di dalamnya dan kepentingan terbaik bagi anak sangat terabaikan.<br />
118<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Magdalena Sitorus<br />
Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />
Melalui Konvensi<br />
Cerita-cerita ini merupakan refleksi dari perlakuan diskriminasi terhadap<br />
perempuan maupun anak.<br />
Bagaimana kasus ini dilihat sebagai contoh perlakuan diskriminasi?<br />
Untuk kasus Ita (anak perempuan yang dihamili ayahnya sendiri) adalah<br />
representasi dari lemahnya posisi Eva (ibu-nya Ita) sebagai perempuan<br />
dan Ita sebagai anak. Hal tersebut dapat dilihat bahwa pertama, Eva<br />
punya ketergantungan emosional yang sangat terhadap Adam (istri<br />
terhadap suami) dan Adam menggunakan ketergantungan Eva tersebut<br />
untuk kepentingan dirinya sendiri dan demikian juga halnya Ita sebagai<br />
anak yang masih mempunyai ketergantungan tinggi terhadap kedua<br />
orangtuanya baik dari banyak aspek. Argumen-argumen Ita sebagai<br />
anak untuk menggunakan hak partisipasinya pun terabaikan<br />
Kedua, memojokkan posisi anak sebagai perempuan juga terjadi dari<br />
berbagai pihak bahkan dari keluarga ayah Ita sendiri, meskipun mereka<br />
adalah perempuan. Bagaimana pola-pola tingkah laku sosial baik dari<br />
kelompok laki-laki maupun perempuan yang cenderung tidak berpihak<br />
pada perempuan sebagai korban.<br />
Ketiga, negara yang dalam hal ini melalui aparat-aparat hukumnya<br />
pun belum memahami kasus secara lebih mendalam terutama yang<br />
berkaitan dengan kasus-kasus tindak kekerasan, khususnya kekerasan<br />
seksual. Bahkan anak yang mengalami perkosaan dari ayahnya sendiri<br />
sampai mengalami kehamilan sering dituduh sebagai perbuatan suka<br />
sama suka dan untuk maka persoalan tidak lagi diperpanjang. Artinya<br />
bahwa anak tidak dilihat secara arif dimana anak yang mengalami<br />
tindak kekerasan seksual tidak mesti dengan pemaksaan berbentuk fisik,<br />
tetapi dapat dilihat melalui bujukan ataupun rayuan, atau tindakan<br />
yang manipulatifpun dapat dilihat sebagai tindak kekerasan karena<br />
ketidakmatangan emosional anak.<br />
Keempat, negara belum menjalankan peran dan fungsinya secara<br />
maksimal bahkan sering berperilaku diskriminatif terhadap korban yang<br />
dalam jumlah terbesar adalah anak dan perempuan.<br />
Dapat disimpulkan bahwa kuatnya budaya patriarkhis dalam<br />
tatanan masyarakat sangat menghambat perlindungan bagi perempuan<br />
maupun anak, terlebih ketika mereka dalam posisi sebagai korban<br />
kekerasan seksual. Negara seharusnya memiliki itikad baik meratifikasi<br />
kedua konvensi di atas yaitu <strong>CEDAW</strong> dan CRC dalam upaya mengatasi<br />
ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dan anak, tetapi di pihak<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
119
Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />
Melalui Konvensi<br />
Magdalena Sitorus<br />
lain masyarakat ternyata sudah terbiasa dengan budaya yang<br />
menganggap biasa atas perlakuan diskriminatif terhadap perempuan<br />
maupun anak. Artinya diperlukan kerja keras dan pelaksanaan yang<br />
tidak main-main dalam menghadapi masalah tersebut.<br />
Bagaimana bila para pemegang kebijakan, aparat penegak hukum,<br />
para pendidik, kelompok-kelompok masyarakat lainnya termasuk keluarga<br />
yang menjadi kelompok terkecil di dalam masyarakat seperti ini yang<br />
tidak mempunyai perspektif perempuan dan anak dapat berpihak kepada<br />
mereka? Tidak kalah pentingnya pertanyaan tentang bagaimana dalam<br />
bertindak terhadap anak kepentingan terbaik bagi anak adalah menjadi<br />
pertimbangan utama? Untuk menembus kesadaran yang tidak terbatas<br />
hanya pada tataran wacana saja butuh waktu yang sangat panjang.<br />
Untuk itu perlu dipikirkan strategi berikut ini, bahwa negara melalui<br />
sektor yang memegang peranan sebagai vocal point harus secara gencar,<br />
serius dan berkesinambungan mensosialisasikan kedua konvensi yaitu<br />
<strong>CEDAW</strong> dan CRC serta undang-undang lainnya yang berkaitan dengan<br />
anak dan perempuan ke seluruh lapisan masyarakat mulai dari<br />
pemegang kebijakan, aparat penegak hukum dan seluruh lapisan<br />
masyarakat lainnya. Sosialisasi dapat juga dilakukan dalam bentuk<br />
pelatihan-pelatihan tentang hak perempuan dan hak anak terlebih<br />
tentang hak-hak mereka ketika menjadi korban, melalui media massa<br />
baik media cetak maupun elektronik.<br />
Misalnya penanganan terhadap korban dimana menurut UU PKDRT<br />
antara lain mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan baik dari<br />
keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial<br />
maupun lembaga sosial lainnya. Dalam hal ini bekerja sama dengan<br />
stakeholders yang ada dan mengefektifkan peranan yang sudah ada,<br />
terlebih yang berada di akar rumput.<br />
Selain itu, diperlukan pelatihan-pelatihan yang intens tentang<br />
pemahaman tindak kekerasan sehingga diharapkan mempunyai<br />
perspektif terhadap perempuan dan anak terlebih ketika mereka menjadi<br />
korban kekerasan terutama kekerasan seksual. Langkah berikutnya<br />
adalah pentingnya monitoring dan evaluasi hasil dari sosialisasi yang<br />
sudah dilakukan sehingga mengetahui sejauhmana keberhasilannya<br />
Tokoh-tokoh agama dan masyarakat juga menjadi kelompok yang harus<br />
di advokasi karena dalam kenyataannya mereka mempunyai peranan<br />
penting dalam upaya penanganan kasus-kasus tindak kekerasan<br />
120<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Magdalena Sitorus<br />
Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />
Melalui Konvensi<br />
sepanjang kelompok ini mempunyai perspektif yang adil dan berpihak<br />
terhadap perempuan dan anak. Semua itu dilakukan dalam upaya melakukan<br />
penanganan yang berpihak pada perempuan dan anak dan yang<br />
tidak kalah pentingnya adalah pendidikan seks bagi anak sejak usia dini<br />
dengan metode yang disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan<br />
anak dan meningkatkan kepekaan terhadap kelompok-kelompok<br />
masyarakat termasuk orang tua maupun pendidik melalui edukasi sebagai<br />
upaya pencegahan tindak kekerasan terutama kekerasan seksual.<br />
Pada saat seperti ini diperlukan pemulihan kepercayaan masyarakat<br />
terhadap penegakan hukum dimana diharapkan tidak terjadi<br />
diskriminasi bagi setiap orang yang berhadapan dengan hukum terlebih<br />
yang berkaitan dengan sanksinya sehingga slogan yang berbunyi hukum<br />
hanya berlaku bagi yang mampu membayar tidak lagi ada di kepala mereka.<br />
Oleh karena itu visi ke depan sesuai dengan akan kemana arah<br />
kemajuan bangsa ini adalah bagaimana menciptakan masyarakat yang<br />
adil yang dimulai dengan meningkatkan kualitas anak-anak yang sudah<br />
dididik dengan setara tanpa membedakan anak laki-laki dan perempuan,<br />
kaya ataupun miskin, karena bagaimana sumberdaya manusia ke depan<br />
menjadi yang berkualitas adalah harus dipupuk sejak usia dini.<br />
Kemudian, untuk mencipta sumberdaya manusia yang hebat tentu<br />
erat kaitannya dengan kualitas ibu, yaitu ibu yang sehat akan melahirkan<br />
anak yang sehat. Dapat dibayangkan bila anak perempuan yang sejak<br />
kecil sudah mengalami tindak kekerasan, kurang gizi, tidak punya akses<br />
pendidikan kelak ketika mereka menjadi ibu dapat diduga secara logika<br />
akan melahirkan anak-anak yang seperti apa.<br />
Catatan Belakang<br />
1<br />
Lembar Fakta Komisi Hak Asasi Manusia Edisi II: “Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong>:<br />
Konvensi dan Komite” lihat di www.sekitarkita.com<br />
2<br />
Lihat Konvensi <strong>CEDAW</strong>/ Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi<br />
terhadap <strong>Perempuan</strong>.<br />
3<br />
Lihat Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.<br />
4<br />
Lihat Konvensi Hak Anak atau Child Rights Convention.<br />
5<br />
Lihat Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam<br />
Rumah Tangga.<br />
6<br />
Kedua kasus ini ditangani oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
121
• Wawancara •<br />
Sri Danti, Dra. M.A<br />
Asisten Deputi Urusan Pendidikan <strong>Perempuan</strong> Kementerian<br />
Pemberdayaan <strong>Perempuan</strong><br />
“Negara dan Pemahaman<br />
<strong>CEDAW</strong> yang Lemah...”<br />
Meskipun hampir 21 tahun kita meratifikasi Konvensi <strong>CEDAW</strong>,<br />
namun kita masih mempunyai sejumlah kelemahan, khususnya<br />
mengenai implementasi Konvensi <strong>CEDAW</strong> ini. Pemerintah telah<br />
menunjuk Kementerian Negara Pemberdayaan <strong>Perempuan</strong> (KPP)<br />
untuk menjadi leading sector pelaksanaan konvensi ini. Sebagai<br />
kementerian non teknis, tugas ini bukanlah mudah, karena harus<br />
bersinergi dengan departemen-departemen teknis lainnya. Bukan<br />
saja menghadapi masalah struktur yang<br />
berat, namun menghadapi pola pikir<br />
jajaran instansi terkait yang masih<br />
menganggap remeh isu perempuan<br />
adalah hambatan yang sangat serius.<br />
Bagaimana sejauh ini<br />
implementasinya dan apa yang<br />
menjadi hambatan utama KPP<br />
dalam mengimplementasikan<br />
Konvensi <strong>CEDAW</strong>? Berikut<br />
pemaparan Sri Danti, Dra.<br />
MA, Asisten Deputi Urusan<br />
Pendidikan <strong>Perempuan</strong><br />
Kementerian<br />
Pemberdayaan<br />
<strong>Perempuan</strong> dalam<br />
wawancaranya dengan<br />
jurnalis <strong>Jurnal</strong><br />
<strong>Perempuan</strong>, Eko Bambang<br />
Subiyantoro.<br />
122 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
Foto: Dok. YJP
• Wawancara •<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> (JP): Apa yang bisa dilaporkan dari implmentasi konvensi<br />
<strong>CEDAW</strong> ini?<br />
Sri Danti (SD): Selama 21 tahun ada banyak yang dilakukan ya. Kita bisa<br />
melihat dari sejumlah kebijakan publik. Kalau kita bicara kesetaraan<br />
gender, sebetulnya kita sudah ada di Inpres (Instruksi Presiden) No. 9<br />
tahun 2000. Ada juga undang-undang mengenai HAM yang juga<br />
mengimplementasikan <strong>CEDAW</strong>, yaitu UU Pemilu dan sejumlah<br />
kebijakan-kebijakan mengenai kelembagaan. Fungsi KPP sendiri<br />
dalam implementasi <strong>CEDAW</strong> adalah berkoordinasi dengan instansi<br />
teknis terkait seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan<br />
sebagainya. KPP bukan sebagai pihak yang melakukan, karena KPP<br />
bukan implementing agency. KPP adalah koordinator yang fungsinya<br />
merumuskan kebijakan-kebijakan untuk penghapusan diskriminasi.<br />
Kenapa perlu lembaga yang mengkoordinasikan? Karena isu<br />
perempuan itu cross cuting ya, atau lintas sektor yang tidak hanya<br />
dilakukan oleh satu departemen, tetapi oleh semua departemen terkait.<br />
Sama halnya dengan konvensi <strong>CEDAW</strong>, kalau kita lihat di dalam<br />
konvensi itu banyak macamnya yaitu pendidikan, kesehatan, politik,<br />
trafiking, keluarga, lembaga perkawinan dan sebagainya.<br />
JP: Selama ini apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaanya?<br />
(SD): Terus-terang masih banyak hambatan dalam pelaksanaan konvensi<br />
<strong>CEDAW</strong> itu. Pertama, belum banyak orang paham isi konvensi tersebut.<br />
Ini karena konvensi yang diratifikasi 21 tahun lalu, namun<br />
sosialisasinya kita akui masih lemah. Karena yang menangani<br />
<strong>CEDAW</strong>, terus terang tadinya tidak jelas dimana, jadi akhirnya<br />
sekarang kita angkat kembali dengan strategi baru. Konvensi itu<br />
pernah kita terjemahkan, namun sosialisasinya masih terbatas, karena<br />
kekurangan dana dan belum banyak harapan untuk mensosialisasikannya,<br />
itu yang menjadi permasalahan kedua.<br />
JP: Bagaimana dengan instansi terkait lainnya berkaitan dengan implementasi<br />
konvensi ini?<br />
(SD): Departemen terkait lainnya masih perlu pembenahan. Dengan<br />
adanya mutasi sistem dan struktur yang terus berubah-ubah, akhirnya<br />
substansi konvensi <strong>CEDAW</strong> pemahamannya tidak melembaga, maka<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
123
• Wawancara •<br />
implementasinya masih terhambat. Tetapi bukan berarti mereka tidak<br />
melaksanakan. Mereka melaksanakan walaupun mereka tidak tahu<br />
bahwa apa yang dilakukan merupakan langkah <strong>CEDAW</strong>. Misalnya<br />
mereka melaksanakan pengarusutamaan gender, itu kan dalam kerangka<br />
pelaksanaan <strong>CEDAW</strong> juga. Begitu pula dengan pembentukan<br />
gender focal point di masing-masing instansi untuk mengkoordinasikan<br />
pelaksanaan, program yang responsif gender dan sekarang sudah<br />
hampir di semua sektor. Jadi yang muncul di permukaan: PUG<br />
(Pengarusutamaan Gender) bukan <strong>CEDAW</strong>, padahal payungnya itu<br />
ya <strong>CEDAW</strong> itu sendiri.<br />
JP: Bagaimana seharusnya bentuk implementasi <strong>CEDAW</strong> ini untuk instansi<br />
terkait?<br />
(SD): Mestinya terlembaga ya. Jadi kalau pejabatnya pindah, substansinya<br />
tidak berubah dan sudah dipahami. Jika dalam struktur departemen<br />
terlembaga, maka jika orang yang bertanggungjawab menjadi focal<br />
point itu pindah, tentu lembaga yang ditinggalkannya tetap. Selama<br />
ini orangnya pindah, instansinya ikut hilang juga. Persoalannya juga,<br />
rata-rata yang menjadi focal point, apalagi di daerah-daerah itu bukan<br />
eselon 2 yang tidak punya fungsi koordinasi. Padahal namanya focal<br />
point itu ya harus decision maker yang bisa mengkoordinasikan orang<br />
dan pemahaman-pemahaman itu yang tidak gampang. Orang<br />
ngomongin gender, orang selalu mikirnya perempuan, dan kalau<br />
sudah perempuan mereka seolah-olah malas untuk membahasnya.<br />
JP: Ada perbedaan signifikan antara pemahaman <strong>CEDAW</strong> dan PUG?<br />
(SD): Sangat signifikan, mereka itu tidak paham bahwa <strong>CEDAW</strong> itu<br />
landasan payungnya PUG, sehingga mereka lebih memahami Inpres<br />
No. 9 tahun 2000, tentang PUG. Kita paham, kita memang tidak terlalu<br />
mensosialisasikan konvensi itu, jadi ada jurang memang, tetapi<br />
sekarang memang sudah harus mulai diperkenalkan lagi, karena<br />
memang orang yang tidak paham substansi hukum itukan agak sulit<br />
memahami konvensi ini.<br />
JP: Apa dengan demikian signifikansinya akan mempengaruhi pelaksanaan?<br />
(SD): Tidak, tidak apa-apa. PUG itu sebenarnya strategi untuk<br />
124 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Wawancara •<br />
melaksanakan <strong>CEDAW</strong>. Konvensi <strong>CEDAW</strong> itukan penghapusan<br />
diskriminasi, maka mereka sudah ada program misalnya pendidikan<br />
untuk penghapusan buta huruf perempuan, kesehatan penurunan<br />
AKI atau trafiking perempuan, mereka sudah melakukan semua, tetapi<br />
mereka tidak menyadari bahwa payungnya adalah <strong>CEDAW</strong>, jadi yang<br />
harus diutamakan kita sekarang adalah mengintensifkan sosialisasi<br />
Konvensi <strong>CEDAW</strong> tersebut.<br />
JP: Apa aspek penting bagi bangsa Indonesia dengan meratifikasi Konvensi<br />
<strong>CEDAW</strong> ini?<br />
(SD): <strong>CEDAW</strong> itu kan landasan internasional, kenapa kita ratifikasi,<br />
karena tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 19<strong>45</strong>, itu yang<br />
pertama. Namun yang lebih penting lagi karena konvensi ini<br />
digunakan untuk menegakkan hak asasi manusia, dengan pendekatan<br />
right based, pendekatan kemanusiaan, laki-laki dan perempuan<br />
itu sama yaitu manusia dan sangat universal. Jadi pentingnya<br />
“Jadi pentingnya<br />
memahami konvensi<br />
ini adalah sebagai<br />
pendekatan<br />
payung<br />
pemberdayaan<br />
perempuan yang<br />
dijalankan.”<br />
Foto: Dok. YJP<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
125
• Wawancara •<br />
memahami konvensi ini adalah sebagai pendekatan payung<br />
pemberdayaan perempuan yang dijalankan.<br />
JP : Bagaimana dengan aparatur penegak hukum?<br />
(SD): Mereka belum paham. Kita akui sosialisasi memang kurang, tetapi<br />
sedang kita intensifkan, kita ingin mereka yang sudah tersosialisasi<br />
terpilih, kita beri mereka TOT (Training of Trainer - red). Seharusnya<br />
mereka yang sudah mendapatkan training bisa mensosialisasikan ke<br />
orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Belum lagi menghadapi<br />
kendalakendala fokus program yang berbeda dan ini menjadi<br />
hambatan di hampir sejumlah departemen.<br />
JP: Adakah persoalan lain yang menjadi hambatan utama?<br />
(SD): Ada, yaitu advokasi. Kalau kita advokasi kan harus mengubah<br />
pola pikir pejabat nih, masalahnya, ketika kita mengundang pejabat,<br />
tetapi mereka selalu mewakilkan, jadi tidak pernah mereka sendiri<br />
yang duduk disitu, karena sekali lagi mereka menganggap masalah<br />
perempuan adalah masalah perempuan sendiri bukan masalah kita<br />
bersama. Mereka tidak membayangkan bahwa kalau kita memberdayakan<br />
perempuan, maka separuh masalah di Indonesia, sebetulnya<br />
bisa terselesaikan, karena perempuan Indonesia, hampir separuh<br />
penduduk Indonesia, dan yang miskin banyak juga terjadi pada<br />
perempuan, itu yang belum dipahami oleh pejabat-pejabat di sejumlah<br />
instansi.<br />
JP : Lalu apa strategi ke depan dalam mensosialisasikan <strong>CEDAW</strong> ini?<br />
(SD): Kita akan mensosialisasikan ini ke beberapa provinsi. Kita harapkan<br />
setelah mereka dapat sosialisasikan, bisa dilanjutkan sosialisasinya<br />
ke bawah. Namun tidak hanya sosialisasi, tetapi juga bisa diimplementasikan<br />
dan itu menjadi tanggungjawab departemen teknis.<br />
JP: Lalu bagaimana mengawasinya?<br />
(SD): Kita punya program kerja untuk menyusun laporan, monitoring<br />
pelaksanaan <strong>CEDAW</strong>, dan anggotanya sendiri dari instansi terkait.<br />
JP: Sudah siapkah infrastruktur dan sistem yang mendukung pelaksanaan ini?<br />
126 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Wawancara •<br />
(SD): Terus terang capacity building-nya masih kurang. Selama ini hanya<br />
memakai suatu kelembagaan. Misalnya di departemen kami sudah<br />
ada focal point, kita pakai dan kita tambah ilmunya. Lalu mereka yang<br />
di daerah, ada biro PP (Biro Pemberdayaan <strong>Perempuan</strong>). Kalau selama<br />
ini yang disosialisasikan materinya PUG, maka kita tambahkan<br />
ilmunya pada substansi <strong>CEDAW</strong>. Tentu saja kementerian kita<br />
memfasilitasi apa yang dapat kita beri seperti bantuan teknis, maka<br />
kita memberikan pelatihan, karena kita tidak semuanya pintar untuk<br />
hal ini, maka kita bekerjasama dengan para mantan pejabat, NGO,<br />
atau pihak asing sebagai fasilitator. Kita mengharapkan mereka bisa<br />
melanjutkan ke bawah, karena tangan kita terbatas, dana kita juga<br />
terbatas.<br />
JP: Kapan Indonesia terakhir melaporkan implementasi <strong>CEDAW</strong> di Indonesia<br />
ini ke PBB?<br />
(SD): Kita sudah melaporkan yang pertama, kedua dan ketiga digabung,<br />
dan terakhir untuk laporan keempat dan kelima tahun 1995 – 2003<br />
kita sudah mengirimkannya tahun 2005 lalu, dan kita sekarang sedang<br />
menunggu komentar mereka.<br />
JP: Dalam laporan kemarin apa saja hambatannya?<br />
(SD): Hambatannya data itu kita sangat lemah untuk laporan, terutama<br />
untuk departemen terkait, karena mereka mengerti <strong>CEDAW</strong>, yang<br />
kedua kebanyakan dari mereka hanya project oriented, setelah membuat<br />
kegiatan ya begitu saja, tidak ada laporan, tidak ada data dan<br />
sebagainya. Lalu mereka tidak ada data terpilah, data terpilah itu<br />
lemah sekali di departemen, karena untuk membuat data terpilah<br />
mahal, sehingga kita cukup sulit sekali untuk mengukur keberhasilan<br />
untuk yang sudah dicapai. Sehingga laporan kita itu banyak yang<br />
kualitatif, dan mestinya kan ada statistiknya juga. Sekali lagi<br />
kelemahan kita sesungguhnya di reporting dan recording.<br />
JP: Apa strategi baru untuk mengatasi masalah tersebut?<br />
(SD): Salah satu cara, kita untuk pertama kali membentuk Pokja, orangnya<br />
juga kita harapkan tidak ganti-ganti. Kedua, kalau dulu bikinnya<br />
borongan dalam jangka waktu 8 tahun karena tidak ada yang<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
127
• Wawancara •<br />
bertanggungjawab untuk menyusun, padahal mestinya ada yang<br />
incharge laporan ini. Maka sekarang ini kita mulai bikin tahunan,<br />
mulai 2004-2008. Saya juga menunggu data dari teman-teman, dan<br />
kenyataannya sulit. Saya tidak tahun mengapa, padahal <strong>CEDAW</strong> ini<br />
bukan pemerintah melainkan negara, dan kalau negara itu elemennya<br />
banyak, termasuk NGO, aparat penegak hukum dan sebagainya. Kita<br />
hanya diserahi tugas untuk melaporkan saja. Anehnya kalau sudah<br />
persoalan laporan, biasanya pada lari semua.<br />
JP: Dibandingkan dengan negara lain, bagaimana implementasi <strong>CEDAW</strong> di<br />
Indonesia?<br />
(SD): Indonesia relatif maju, karena kita sudah ada lembaga yang<br />
menangani perempuan, di negara lain belum tentu, kita dianggap<br />
sudah maju, kita punya institusinya, menterinya, peraturan kebijakan<br />
lain yang mendukung, strategi, dan infrastruktur di daerah. Namun<br />
karena kita besar, maka tidak semua tertangani dengan cepat. (EBS)<br />
Berita menjadikan<br />
peristiwa mempunyai arti<br />
Dapatkan rekaman berita perempuan<br />
di media massa melalui<br />
Layanan Kliping<br />
Berita <strong>Perempuan</strong><br />
Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />
Hubungi:<br />
Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />
Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810<br />
Phone (021) 8370 2005 (Hunting)<br />
Fax (021) 8302434<br />
e-mail : yjp@jurnalperempuan.com<br />
128 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Wawancara •<br />
Jangan lewatkan VCD tentang “Kekerasan terhadap<br />
<strong>Perempuan</strong>” yang diproduksi YJP pada tahun 2000<br />
yang mengangkat tentang kasus-kasus kekerasan<br />
terhadap perempuan diseluruh dunia. Beserta<br />
komentar para tokoh seperti Nelson Mandela, Bianca<br />
Jagger, Radhika Coomraswamy,<br />
Hj. Khofifah Indar Parawangsa dan masih banyak lagi.<br />
Film Director: Miranti Hidajadi<br />
<strong>Perempuan</strong> di Wilayah Konflik. VCD yang diproduksi<br />
YJP tahun 2002 ini mengangkat isu-isu perempuan ditiga<br />
wilayah konflik di Indonesia: Aceh, Poso dan Papua.<br />
Persoalan perempuan di barak pengungsian, masalah<br />
trauma, jaminan rasa aman, pelecehan serta kekerasan<br />
seksual menjadi tema utama dalam dokumentasi film ini.<br />
Sebuah liputan yang perlu untuk diketahui berbagai kalangan.<br />
Film Director: Angela Nicoara<br />
Perdagangan perempuan dan anak masih saja marak, sekalipun upaya<br />
membongkar praktek perdagangan itu sudah banyak dilakukan. Ini membuktikan<br />
persoalannya memang pelik. Penanganannya hanya bisa dilakukan bila semua<br />
pihak baik pejabat, akademisi, aparat, tokoh masyarakat,<br />
profesional, LSM, media massa maupun elemen masyarakat<br />
lainnya berkomitmen untuk memberantas perdagangan<br />
perempuan dan anak.<br />
Melalui penelitian dan kegiatannya di lapangan, Yayasan <strong>Jurnal</strong><br />
<strong>Perempuan</strong> (YJP) menampilkan dan mengemas persoalan<br />
perdagangan perempuan dan anak dalam media VCD & DVD,<br />
produksi YJP tahun 2003.<br />
Film Director: Gadis Arivia<br />
Hubungi kami untuk informasi lebih lanjut.<br />
Jl. Tebet Barat VIII No. 27<br />
Jakarta Selatan 12810<br />
Telp. <strong>Jurnal</strong> : (021) <strong>Perempuan</strong> 8370 2005 <strong>45</strong><br />
Fax : (021) 830 2434<br />
E-mail : yjp@jurnalperempuan.com<br />
129
<strong>CEDAW</strong>-Restoring Rights To Women
• Kata dan Makna •<br />
Kata dan Makna<br />
<strong>CEDAW</strong> dan Sejarahnya<br />
Sejak berdirinya pada tahun 19<strong>45</strong>, PBB telah menempatkan Hak Asasi<br />
Manusia (HAM) sebagai agenda utama. Kekejaman dan kejahatan<br />
Perang Dunia II merupakan pendorong utama berkembangnya upayaupaya<br />
perlindungan internasional terhadap HAM. Piagam PBB tahun<br />
19<strong>45</strong> menetapkan tiga tujuan utama dari organisasi baru ini yakni:<br />
mendorong terwujudnya perdamaian dan keamanan internasional,<br />
memajukan pertumbuhan sosial ekonomi serta merumuskan dan<br />
melindungi hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar setiap individu,<br />
apapun ras, jenis kelamin, bahasa atau agamanya.<br />
Walaupun Komisi Kedudukan <strong>Perempuan</strong> atau Commission on the<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
131
• Kata dan Makna •<br />
Status of Women (CSW) merupakan sub-komisi saja dari Komisi HAM<br />
yang dibentuk PBB pada tahun 1946, namun umurnya sebagai subkomisi<br />
hanya 4 bulan saja, karena sejak Juni 1946 CSW sudah ditetapkan<br />
sebagai komisi penuh. Sejak awal hak-hak politik perempuan sudah<br />
merupakan isu prioritas, karena hanya sedikit negara yang mengakuinya.<br />
Maka CSW berhasil membuat Sidang Majelis Umum PBB mengadopsi<br />
resolusi pada bulan Desember 1946 yang merekomendasikan agar<br />
negara-negara anggota PBB yang belum melakukan, segera memberikan<br />
hak-hak politik perempuan yang sama dengan laki-laki, dan dalam kaitan<br />
ini mengambil langkah-langkah untuk mencapai tujuan Piagam PBB.<br />
CSW selama tahap-tahap awal dari perjuangannya untuk menegakkan<br />
hak-hak perempuan berhasil memperjuangkan kedudukannya sebagai<br />
komisi yang mempunyai hak yang sama dengan Komisi HAM. Menarik<br />
untuk dicatat bahwa kedua komisi ini – CSW dan CHR (Commission on<br />
Human Rights) berkali-kali bertentangan keras selama penyusunan<br />
Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Misalnya, CSW berhasil mengubah<br />
rancangan awal dari pasal 1 DUHAM yaitu “all men are brothers” menjadi<br />
“all human beings are born free and equal in dignity and rights”. Pada waktu<br />
DUHAM diadopsi pada tahun 1948, mayoritas perempuan di dunia belum<br />
dapat memilih atau belum dijamin hak pilihnya.<br />
Maka CSW terus berjuang, sehingga konvensi Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />
diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1952, 14 tahun lebih dahulu<br />
dari 2 perjanjian internasional lainnya yaitu Covenant on Civil and Political<br />
Rights (CCPR) dan Covenant on Economic, Social and Cultural Rights<br />
(CESCR) pada tahun 1966. Walaupun kedua Perjanjian ini juga jelas<br />
menyatakan bahwa dalam penerapan pemajuan dan perlindungan hakhak<br />
sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya tidak boleh ada<br />
diskriminasi atau pembedaan atas dasar jenis kelamin, tetapi CSW terus<br />
melanjutkan upayanya yang sudah dimulai sejak tahun 1965 untuk<br />
membuat Sidang Majelis Umum PBB tahun 1967 mengadopsi “Declaration<br />
on the Elimination of Discrimination Against Women”.<br />
Karena CSW dalam setiap sidangnya selalu menerima laporan dari<br />
berbagai penjuru dunia bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih<br />
terus berlangsung tanpa pencegahan yang sungguh-sungguh utamanya<br />
dari pemerintah, maka pada tahun 1972 CSW bersepakat untuk terus<br />
mendesak agar dibuat “konvensi anti diskriminasi”, yang secara hukum<br />
mengikat negara-negara yang meratifikasi atau states parties (negara<br />
132<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Kata dan Makna •<br />
peserta), jadi tidak seperti deklarasi (tahun 1967) yang hanya mempunyai<br />
kekuatan moral dan politis. Setelah mendapat masukan dari 40 negara,<br />
4 badan khusus PBB dan 10 organisasi non pemerintah, dan berhasil<br />
mengatasi permasalahan-permasalahan khususnya yang bertalian<br />
dengan isu-isu penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam<br />
hukum, hak-hak dalam perkawinan dan keluarga, dalam pendidikan,<br />
dunia kerja dan pembangunan pedesaan, dalam pelayanan kesehatan,<br />
dalam pinjaman bank dan kredit, CSW menyepakati keseluruhan konsep<br />
dan meneruskannya ke Majelis Umum PBB untuk diadopsi.<br />
Dengan 130 suara setuju dan 11 abstain, Konvensi <strong>CEDAW</strong> diadopsi<br />
Majelis Umum PBB pada Tanggal 18 Desember 1979. Untuk memantau<br />
kemajuan yang dicapai dalam melaksanakan Konvensi <strong>CEDAW</strong>, maka<br />
dibentuk Committee on the Elimination of Discrimination Against<br />
Women, yang selanjutnya disebut Komite <strong>CEDAW</strong>. Sampai awal tahun<br />
2005 ini, 180 dari 191 negara anggota PBB telah meratifikasi Konvensi<br />
ini (Negara Peserta).<br />
Proses pemantapan <strong>CEDAW</strong> sebagai upaya memajukan HAM<br />
perempuan, sekaligus merupakan proses perluasan pemahaman tentang<br />
HAM. Selanjutnya, semakin meluasnya penerapan Konvensi <strong>CEDAW</strong><br />
telah melicinkan jalan menuju perluasan dan perpanjangan cakupan<br />
HAM ke dalam berbagai konteks dan identitas sosial budaya. Dengan<br />
demikian, cakupan penegakan HAM telah meluas kedalam lingkungan<br />
privat sehingga pemahaman tentang hubungan erat antara lingkungan<br />
privat dan publik, juga telah meningkat.<br />
<strong>CEDAW</strong> sebagai Instrumen HAM Internasional<br />
Konvensi <strong>CEDAW</strong> merupakan Perjanjian Internasional tentang<br />
perempuan yang paling komprehensif, menetapkan kewajiban hukum<br />
yang mengikat untuk mengakhiri diskriminasi. Konvensi yang sering<br />
digambarkan sebagai international bill of rights for women ini menetapkan<br />
persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam menikmati hak-hak<br />
sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Diskriminasi terhadap<br />
perempuan akan dihapuskan melalui langkah-langkah hukum,<br />
kebijakan dan program maupun melalui “tindakan khusus sementara”<br />
untuk mempercepat persamaan atau kesetaraan antara perempuan dan<br />
laki-laki dalam menikmati HAM nya, yang diartikan sebagai tindakan<br />
non diskriminasi.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
133
• Kata dan Makna •<br />
Konvensi <strong>CEDAW</strong> unik karena merupakan instrumen hukum<br />
internasional pertama yang menetapkan arti diskriminasi terhadap<br />
perempuan; mensyaratkan pemerintah menghapuskan diskriminasi<br />
terhadap perempuan tidak saja dalam kehidupan publik tetapi juga<br />
dalam kehidupan privat. Konvensi ini selanjutnya mengarahkan<br />
pemerintah mengadakan upaya-upaya tambahan untuk menangani<br />
permasalahan-permasalahan yang dihadapi perempuan di daerah<br />
pedesaan untuk menjamin, atas dasar persamaan antara laki-laki dan<br />
perempuan, bahwa perempuan berpartisipasi dalam, dan memperoleh<br />
manfaat dari pembangunan di pedesaan, atau memperoleh manfaat yang<br />
sama dengan laki-laki.<br />
Konvensi ini merupakan satu-satunya perjanjian internasional yang<br />
menegaskan hak reproduksi perempuan dan mewajibkan negara-negara<br />
peserta memodifikasi pola-pola sosial budaya dan pola-pola perilaku<br />
laki-laki dan perempuan agar supaya dapat menghapuskan prasangkaprasangka<br />
dan kebiasaan-kebiasaan maupun semua praktek-praktek<br />
lainnya yang berdasarkan pandangan inferioritas atau superioritas salah<br />
satu jenis kelamin atau peran-peran baku bagi laki-laki dan perempuan.<br />
Konvensi ini merupakan instrumen HAM yang dinamis. Sejak<br />
diadopsi oleh Majelis Umum PBB tahun 1979, dan berlakunya pada<br />
tahun 1981, maka Komite <strong>CEDAW</strong>, negara-negara peserta yang awal<br />
tahun 2005 sudah berjumlah 180, maupun semua pemgemban<br />
kepentingan lainnya utamanya perempuan sendiri dari berbagai<br />
kelompok di seluruh penjuru dunia, telah memberikan sumbangansumbangan<br />
pikiran dalam memberikan penjelasan-penjelasan dan<br />
meningkatkan pemahaman tentang prinsip-prinsip substantif yang<br />
terkandung dalam berbagai pasal, utamanya yang menyangkut ciri-ciri<br />
khusus dari diskriminasi terhadap perempuan, yang diderita perempuan<br />
karena ia perempuan.<br />
Konvensi ini menekankan bahwa pendekatan hukum formal atau<br />
program saja tidak mencukupi untuk mencapai persamaan substantif<br />
antara perempuan dan laki-laki.<br />
Selanjutnya, sasaran Konvensi ini juga meliputi dimensi-dimensi<br />
diskriminatif dari konteks-konteks sosial budaya dimasa lampau yang<br />
masih dianut dewasa ini. Maka tujuan utama Konvensi ini ialah<br />
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, termasuk<br />
sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensinya pada persamaan<br />
134<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Kata dan Makna •<br />
substantif antara perempuan dan laki-laki di seluruh penjuru dunia<br />
dan di sepanjang masa.<br />
Prinsip-prinsip Konvensi <strong>CEDAW</strong><br />
<strong>CEDAW</strong> menekankan pada kesetaraan dan keadilan antara laki-laki<br />
dan perempuan (equality and justice), yaitu persamaan hak dan<br />
kesempatan serta “perlakuan yang adil” di segala bidang dan segala<br />
kegiatan. Konvensi <strong>CEDAW</strong> juga mengakui bahwa: (a). ada perbedaan<br />
biologis atau kodrati antara laki-laki dan perempuan; (b). ada perbedaan<br />
perlakuan terhadap perempuan yang berbasis gender yang mengakibatkan<br />
kerugian pada perempuan; (c). perbedaan kondisi dan posisi antara<br />
laki-laki dan perempuan, karena perempuan ada dalam kondisi dan<br />
posisi yang lebih lemah atau rentan karena mengalami diskriminasi<br />
atau menanggung akibat dari perlakuan diskriminatif yang dialami<br />
sebelumnya atau karena lingkungan, keluarga dan masyarakat<br />
melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan “karena mereka<br />
perempuan” dan biasanya memang diperlakukan demikian.<br />
Dengan memperhatikan keadaan dan kondisi itu, <strong>CEDAW</strong> menetapkan<br />
prinsip-prinsip serta ketentuan-ketentuan untuk menghapus<br />
kesenjangan, subordinasi serta tindakan yang merugikan kedudukan<br />
<strong>CEDAW</strong>-Restoring Rights To Women<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
135
• Kata dan Makna •<br />
perempuan dalam hukum, keluarga dan masyarakat. Prinsip-prinsip<br />
tersebut merupakan pula kerangka untuk merumuskan strategi<br />
pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan. Prinsip-prinsip<br />
<strong>CEDAW</strong> dapat pula digunakan sebagai alat untuk mengkaji apakah<br />
suatu kebijakan, aturan atau ketentuan mempunyai dampak jangka<br />
pendek atau jangka panjang yang merugikan perempuan. Prinsipprinsip<br />
itu terjalin secara konseptual dalam pasal 1 hingga pasal 16<br />
<strong>CEDAW</strong>.<br />
Konvensi <strong>CEDAW</strong> memberikan pengertian yang komprehensif tentang<br />
prinsip-prinsip “diskriminasi terhadap perempuan”, “persamaan<br />
substantif” dan “kewajiban negara” untuk digunakan: i) dalam<br />
menangani diskriminasi terhadap perempuan dalam semua bidang; ii)<br />
oleh semua pihak yang bertanggung jawab menghapuskan kekerasan<br />
terhadap perempuan, maupun semua perempuan dan laki-laki.<br />
(Semua tulisan ini dikutip dari dokumen Sjamsiah Ahmad berjudul Konvensi Penghapusan<br />
segala bentuk Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong> atau <strong>CEDAW</strong>, UU No. 7 tahun 1984 dan<br />
Berbagai Kesepakatan Internasional Tentang Pengarusutamaan Gender, Jakarta: 13<br />
Januari 2006)<br />
Mengundang anda penerbit buku-buku<br />
berperspektif gender untuk bergabung<br />
menjadi<br />
supplier<br />
Toko Buku “<strong>Perempuan</strong>”<br />
Alamat:<br />
Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810<br />
Phone (021) 8370 2005 (Hunting)<br />
Fax (021) 8302434<br />
e-mail : yjp@jurnalperempuan.com<br />
Hubungi:<br />
Nazar (nazar@jurnalperempuan.com)<br />
(Bagian Distribusi)<br />
136<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Buku ini memuat persoalan-persoalan yang dihadapi<br />
perempuan dalam politik. Di dalamnya kita akan<br />
diperkenalkan pada apa makna politik, apa hambatanhambatan<br />
perempuan yang ingin terjun ke dunia<br />
politik, serta bagaimana agar perempuan dapat<br />
melakukan perubahan dari sekarang.<br />
Buku ini juga memuat panduan-panduan praktis<br />
disertai dengan data, pengalaman, dan kecenderungan<br />
terbaru yang dihadapi perempuan dalam politik, baik di<br />
negeri sendiri maupun di luar negeri.<br />
Isi dan penjelasan buku ini sangat berguna bagi perempuan<br />
yang hendak terjun di dunia politik, para politisi, aktivis<br />
pembela hak-hak perempuan, akademisi, peneliti, dan semua<br />
pihak pemerhati masalah partisipasi perempuan dalam politik di<br />
Indonesia.<br />
Hubungi kami untuk informasi lebih lanjut.<br />
Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810<br />
Telp. : (021) 8370 2005, Fax : (021) 830 2434<br />
E-mail : yjp@jurnalperempuan.com<br />
B uku ini mengeksplorasi persoalanpersoalan<br />
filsafat dan feminisme. Di dalam<br />
eksplorasi ini, penulis menunjukkan dominasi<br />
pemikiran maskulin di dalam Filsafat Barat.<br />
Sebanyak 14 filsuf terkenal diteliti mulai dari filsuffilsuf<br />
Yunani hingga filsuf-filsuf kontemporer dalam<br />
teks-teks filosofis mereka tentang perempuan. Temuantemuan<br />
yang dicapai adalah bahwa kebanyakan filsuf<br />
meminggirkan perempuan dalam mainstream filsafat dan<br />
tidak memberikan ruang bagi pemikiran feminis. Penulis<br />
menggunakan pendekatan dekonstruksi untuk<br />
memperlihatkan bagaimana cara berpikir maskulin<br />
beroperasi dan dengan pendekatan yang sama berhasil<br />
menyuarakan filsuf-filsuf perempuan dengan cara baca<br />
yang baru.<br />
Karya Gadis Arivia<br />
Untuk informasi lebih lanjut hubungi<br />
Bagian Pemasaran Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />
Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810<br />
Telp. : (021) 8370 2005<br />
Fax : (021) 830 2434<br />
E-mail : yjp@jurnalperempuan.com
• Profil •<br />
138<br />
Foto: Dok. YJP<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Profil •<br />
Sjamsiah Achmad:<br />
Pengawal Keadilan Melalui<br />
Konvensi<br />
Eko Bambang Subiyantoro<br />
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya pada hari Selasa malam,<br />
10 Januari 2006 menjadi waktu yang paling luang bagi Sjamsiah<br />
Achmad dari sekian waktu yang dipadati oleh kesibukannya.<br />
Melalui percakapan telepon, Sjamsiah Achmad sangat bersemangat<br />
untuk meluangkan waktunya meski hari itu bertepatan dengan<br />
peringatan Hari Raya Idul Adha. “Selasa malam anda tidak keberatan<br />
kan datang ke rumah saya?” begitu tanya Sjamsiah. “Saya menanyakan<br />
pada anda karena saya takut menganggu waktu anda di hari lebaran,”<br />
katanya lagi.<br />
Di usia 73 tahun pada bulan Maret 2006, agenda kerja Sjamsiah<br />
Achmad bukannya berkurang, justru semakin padat. Pagi hari, 11 Januari<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
139
Pengawal Keadilan Melalui Konvensi<br />
Eko Bambang Subiyantoro<br />
lalu, beliau harus ke Denpasar, Bali dan hari itu juga harus kembali ke<br />
Jakarta untuk melaksanakan kewajibannya melakukan beberapa<br />
kegiatan. Baru beberapa hari di Jakarta ia kemudian harus bertolak ke<br />
Tokyo, Jepang. Ia sedang tidak melakukan perjalanan wisata, melainkan<br />
perjalanan kemanusiaan yang terus ia suarakan, khususnya keadilan<br />
bagi perempuan.<br />
Saat saya tiba di kediamannya, di komplek LIPI Taman Widya Candra<br />
Jakarta Selatan, rumah beliau tidak nampak seperti rumah di sebuah<br />
kawasan, yang dikenal sebagai perumahan para menteri. Saya menemui<br />
beliau di ruang tamu dengan sebuah kipas angin sederhana yang<br />
lumayan menghilangkan udara panas hari itu. Saya melihat sekeliling<br />
dan di ruangan itu saya terpaku pada foto-foto yang dipajang. Tampak<br />
salah satu foto, Sjamsiah memegang sebuah tropi penghargaan sebagai<br />
perempuan berbusana terbaik. “Saya dinilai sebagai orang yang selalu<br />
memakai busana baik, menggunakan pakaian dengan bahan-bahan<br />
tradisional Indonesia. Saya tidak menyangka apa yang saya kenakan<br />
diperhatikan orang,” ujar Sjamsiah tertawa di usianya yang lebih dari<br />
setengah baya. Sementara itu foto lainnya tampak Sjamsiah berjabat<br />
tangan dengan Hilary Clinton, ketika berkunjung ke Indonesia beberapa<br />
waktu yang lalu.<br />
“Mengapa Anda memilih saya untuk diwawancara?” tanya Sjamsiah<br />
mengawali pembicaraan. “Tema <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> kali ini tentang<br />
Konvensi Internasional yang berkaitan dengan penghapusan segala<br />
bentuk kekerasan terhadap perempuan atau <strong>CEDAW</strong>. Perjuangan<br />
melaksanakan konvensi tersebut tentu tidak lepas dari proses<br />
keterlibatan perempuan sehingga konvensi ini ikut diratifikasi oleh<br />
negara kita. Maka sulit membiarkan seorang ibu yang banyak orang<br />
bilang mempunyai komitmen kuat terhadap pelaksanaan <strong>CEDAW</strong> di<br />
Indonesia, itulah alasan kami melakukan wawancara,” jawab saya.<br />
<strong>Perempuan</strong> Sulawesi yang Menapak Dunia<br />
Tanggal 10 Maret 2006, Sjamsiah Achmad tepat berusia 73 tahun,<br />
tentu bukan usia muda lagi untuk seorang aktivis dengan segudang<br />
kegiatan. Kita tentu dapat membayangkan bagaimana di usianya yang<br />
muda dulu ketika Indonesia masih dalam kondisi revolusi dan kemudian<br />
membiasakan dirinya merdeka dan tuntutan pembangunan di sanasini<br />
terjadi, ia menapaki perjuangan hak-hak perempuan di tingkat<br />
140<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Eko Bambang Subiyantoro<br />
Pengawal Keadilan Melalui Konvensi<br />
nasional bahkan sampai ke tingkat internasional. Bagi saya mungkin<br />
saja, di saat kini pun Sjamsiah Achmad masih terlihat energik dan<br />
tangkas.<br />
<strong>Perempuan</strong> kelahiran Sengkang Sulawesi Selatan tahun 1933 ini<br />
adalah anak keempat dari sembilan bersaudara dengan dua orang ibu.<br />
Ia tujuh bersaudara kandung dengan ibu pertama dan bertambah lagi<br />
dua saudara dari ibu tiri. Ayahnya adalah pensiunan kepala kejaksaan<br />
negeri Kabupaten Sengkang Sulawesi Selatan. “Saya kasihan dengan<br />
mendiang ibu saya. Nampaknya waktu itu tidak ada perhatian soal<br />
kesehatan reproduksi. Hampir setiap tahun melahirkan, bahkan sampai<br />
beberapa tahun tidak mendapat menstruasi. Ia meninggal setelah<br />
kelahiran adik saya yang ketujuh,” kenang Sjamsiah.<br />
Jika sekarang Sjamsiah menjadi seorang peneliti, mungkin bukanlah<br />
pekerjaan yang dicita-citakan, karena waktu kecil Sjamsiah ingin menjadi<br />
seorang dokter, tetapi karena yang ada asramanya adalah sekolah guru,<br />
maka mau tidak mau Sjamsiah mesti mengikuti pendidikan guru.<br />
“Zaman dulu ketat sekali, kita tidak dapat sembarangan sekolah, apalagi<br />
waktu itu zaman perang, dan saya masuk ke sekolah guru dan lulus di<br />
tahun 1952.”<br />
Selepas sekolah guru, awalnya Sjamsiah ingin melanjutkan sekolah<br />
lebih tinggi, namun ada larangan dari pemerintah untuk tidak<br />
melanjutkan pendidikan dengan alasan setelah perang negara sangat<br />
kekurangan guru. Tetapi pemerintah berjanji membolehkan sekolah lagi,<br />
dengan syarat telah mengajar selama dua tahun, tetapi dengan<br />
persyaratan lulusan ranking 1 sampai 3. Sjamsiah kebetulan memenuhi<br />
syarat itu, sehingga setelah 2 tahun mengajar pada tahun 1954, ia<br />
menagih janji kepada pemerintah untuk diperbolehkan sekolah. Untuk<br />
mengurus kebutuhan pendidikan ini ia harus bolak-balik ke Jakarta<br />
karena ada perubahan pola pemerintahan. Setelah tiga bulan lamanya<br />
mengurus surat-surat, akhirnya ia pindah ke Jakarta dan mulai<br />
melanjutkan sekolah. Pada waktu itu Sjamsiah ternyata masih memiliki<br />
kewajiban untuk mengajar lagi. “Pagi saya sekolah, dan sore mengajar,<br />
begitu terus, saya sampai tidak merasakan letih,” ungkapnya.<br />
Berkat kerja kerasnya, akhirnya ia melanjutkan kuliah di Diploma 1<br />
Pendidikan, waktu itu namanya Sekolah Khusus Pendidikan. Setelah<br />
tamat diploma, ia melanjutkan ke UKI (Universitas Kristen Indonesia)<br />
mengambil jurusan Pedagogi di Fakultas Sastra dan Filsafat sampai<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
141
Pengawal Keadilan Melalui Konvensi<br />
Eko Bambang Subiyantoro<br />
berhasil menyelesaikan sarjana muda. “Setelah lulus, oleh almarhum<br />
Prof. Simanjuntak, mantan rektor IKIP (sekarang Universitas Negeri<br />
Jakarta), saya dan dua teman diminta kerjasama dengan beliau untuk<br />
membentuk unit riset departemen pendidikan nasional. Unit riset ini<br />
berada di bawah Jawatan Pendidikan Umum. Sekarang namanya badan<br />
Litbang Diknas. Waktu itu kita dirikan pada tahun 1956,” ujar Sjamsiah.<br />
Di unit Research baru tersebut Sjamsiah mulai terus melakukan<br />
pengembangan dan penelitian tentang dunia pendidikan. Ia misalnya<br />
melakukan riset bagaimana membaca dengan metode keluar sekolah<br />
dan untuk percobaannya dilakukan di Tapak Siring Bali. Setelah hampir<br />
4 tahun menjadi peneliti, pada tahun 1960, Sjamsiah mendapat<br />
kesempatan untuk meraih Master of Elementery Schooll Supervision di<br />
New York University, New York City, USA. Studi di AS ini terbilang<br />
singkat, di sana Sjamsiah benar-benar konsentrasi penuh. Pada tahun<br />
1962, Sjamsiah sudah berhasil meraih gelar Master itu; “Master yang<br />
saya raih cepat, karena di sana saya hanya kuliah saja, kalau di<br />
Indonesia ya kuliah, ya riset, sambil mengajar.”<br />
Sebetulnya, begitu<br />
Sjamsiah berhasil menyelesaikan<br />
studinya,<br />
ia langsung ditawari<br />
untuk mengambil Ph.D<br />
oleh profesornya. Tawaran<br />
itu ditolak, meskipun<br />
profesornya memberi<br />
garansi 2 tahun<br />
untuk dapat selesai.<br />
“Saya bilang tidak, saya<br />
sudah diberi kesempatan<br />
banyak oleh bangsa<br />
lain dan sekarang rakyat<br />
Indonesia sedang<br />
membutuhkan saya, dan saya ingin mengabdi untuk rakyat Indonesia,”<br />
katanya. Sebelum balik ke Indonesia, beruntung Sjamsiah masih sempat<br />
mampir selama 3 bulan di Inggris atas undangan British Council untuk<br />
melihat sistem pendidikan yang dikembangkan di Inggris.<br />
Setelah balik ke Indonesia, Sjamsiah kembali bekerja di Unit Riset<br />
Foto: Dok. YJP<br />
142<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Eko Bambang Subiyantoro<br />
Pengawal Keadilan Melalui Konvensi<br />
yang ia bangun dan kemudian semakin berkembang. Satu tahun saja ia<br />
bekerja di sana, karena kemudian ia dipindahkan ke Departemen Urusan<br />
Riset Nasional tahun 1963. Namun demikian, baru satu tahun juga<br />
bekerja, Sjamsiah sudah harus pindah lagi ke Moskow, menjadi sekretaris<br />
pribadi Duta Besar RI di Moskow. Tujuan utama di Moskow, selain<br />
bekerja, Sjamsiah harus menjalani perawatan, karena sebelumnya ia<br />
mengalami kecelakaan. Pakaian yang ia kenakan terbakar api yang<br />
ditimbulkan dari spirtus yang ia gunakan sebagai pemanas makanan.<br />
“Sejak kejadian itu, saya cuti di luar tanggungan negara. “Ke Moskow<br />
juga dalam rangka berobat. Selama tiga tahun di sana, saya belajar bahasa<br />
Rusia dan politik. Saya baca semua buku-buku politik, dan saya selalu<br />
memberi masukan ke duta besar yang telah membantu saya,” ujar<br />
Sjamsiah. Ketika kembali ke Indonesia, ternyata Departeman Riset<br />
Nasional tidak ada lagi, digantikan menjadi Lembaga Riset Nasional,<br />
dan setahun kemudian berubah menjadi LIPI (Lembaga Ilmu<br />
Pengetahuan Indonesia). “Saya bekerja sejak LIPI berdiri, dan saya<br />
menjadi Kepala Biro Hubungan Internasional tahun 1967 sampai dengan<br />
tahun 1978.”<br />
Karir Sjamsiah terus melejit. Setelah sebelas tahun di LIPI, ia ditawari<br />
bekerja di PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) oleh pemerintah RI. Tadinya<br />
Sjamsiah hanya dikontrak selama 3 bulan, tetapi kemudian diperpanjang<br />
menjadi 1 tahun, sampai akhirnya diperpanjang lagi menjadi 11 tahun.<br />
Di Lembaga PBB ini Sjamsiah bekerja di Office for Science and Technology<br />
United National, New York. Setelah dua tahun ia pindah ke Non<br />
Governmental Organizations (NGOs) Unit, Office of The Under Secretary<br />
General (1982-1983).<br />
Berikutnya pada tahun 1983 Sjamsiah mendapat tugas di Wina,<br />
Austria sebagai Program Officer di Branch for the Advancement of Women,<br />
Center for Social Development and Humanitarian Affairs UNOV (United<br />
Nations Office Vienua) sejak 1986 sampai 1988. Selama periode 1983-1988<br />
ini ia sangat terlibat dalam persiapan dan penyusunan tiga dokumen<br />
utama Konverensi Dunia Ketiga tentang perempuan di tahun 1985, yaitu<br />
“Review and Appraisal” Dasa Warsa PBB untuk perempuan. Ia terpilih<br />
sebagai ketua Tim untuk Strategi Berwawasan Kedepan bagi Kemajuan<br />
<strong>Perempuan</strong>, dan Survei Dunia I tentang Wanita dalam Pembangunan,<br />
maupun Rencana Jangka Menengah antar Badan-Badan PBB bagi<br />
kemajuan <strong>Perempuan</strong>.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
143
Pengawal Keadilan Melalui Konvensi<br />
Eko Bambang Subiyantoro<br />
“Sebenarnya pada waktu itu saya tidak tahu tentang women. Tetapi<br />
untungnya sejak saya di PBB, sampai tahun 1980, setiap konferensi<br />
dunia, Sekjen membuat pidato dan kebetulan saya menjadi tim penulis<br />
pidatonya, saya lalu banyak mendengarkan, apa itu women,” ujar<br />
Sjamsiah. “Nah untungnya lagi, waktu itu NGO perempuan di NewYork<br />
sudah besar, jadi setiap sabtu saat NGO tersebut rapat, terutama pada<br />
saat menjelang konferensi, saya terpanggil ingin tahu, ikut aja di situ<br />
mendengarkan mereka dan setelah itu saya mengerti tentang women yang<br />
dimaksud di sini adalah perjuangan atau gerakan perempuan untuk<br />
mendapatkan hak-haknya.”<br />
Sejak itu aktivitas Sjamsiah terus berlanjut. Sejak ditugaskan di Wina,<br />
ia bertekad bulat memperjuangkan perempuan Indonesia yang ia tahu<br />
kondisinya. Ia lalu dipercaya oleh United Nation (PBB) untuk kembali<br />
menjabat sebagai Komite <strong>CEDAW</strong> yang terdiri dari 24 perwakilan negara<br />
yang telah meratifikasi Konvensi <strong>CEDAW</strong>. Sjamsiah Achmad adalah<br />
generasi ketiga yang diangkat menjadi Komite <strong>CEDAW</strong> di PBB. Pertama<br />
kali yang ditunjuk adalah Almarhumah Ibu Sukarman. Namun beliau<br />
belum sempat datang, meninggal dunia karena kecelakaan. Selanjutnya<br />
diganti dengan Prof. Pujiwati Sayogyo dari Institut Pertanian Bogor (IPB).<br />
Setelah itu, periode berikutnya adalah Sunaryati Hartono, mantan kepala<br />
BPHN, sekarang wakil ketua Ombusdman, barulah kemudian Sjamsiah<br />
Achmad pada tahun 2001-2004.<br />
Saat ini, selain menjadi Penasehat Gender dan Iptek di LIPI, Sjamsiah<br />
juga menjadi Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap<br />
<strong>Perempuan</strong> (Komnas <strong>Perempuan</strong>). Bahkan di usianya yang menjelang<br />
73 tahun ini, ia diangkat menjadi anggota Komisi Kebenaran dan<br />
Persahabatan Indonesia – Timor Leste, yang di angkat oleh Presiden<br />
SBY dan Presiden Xanana Gusmao.<br />
Pengawal <strong>CEDAW</strong>, Pengawal Keadilan <strong>Perempuan</strong><br />
“Sebagai negara yang telah meratifikasi <strong>CEDAW</strong>, tanggung jawab<br />
ini seharusnya benar-benar dilaksanakan oleh semua pihak, khususnya<br />
eksekutif, legislatif, yudikatif, media, NGO dan setiap individu,” ujar<br />
Sjamsiah. Itulah sebabnya Sjamsiah Achmad kelihatan tidak mau<br />
berhenti mengawal <strong>CEDAW</strong> untuk dapat dilaksanakan dengan baik di<br />
Indonesia. Sampai sekarang ia terus memantau perkembangan <strong>CEDAW</strong>,<br />
meskipun tidak lagi aktif di Komite <strong>CEDAW</strong>. Menurut Sjamsiah meskipun<br />
144<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Eko Bambang Subiyantoro<br />
Pengawal Keadilan Melalui Konvensi<br />
sudah ada beberapa kemajuan perempuan di Indonesia, namun <strong>CEDAW</strong><br />
secara substansi belum dapat dikatakan berjalan dengan baik.<br />
Menurutnya, masih banyak terjadi ketidakadilan bagi perempuan di<br />
Indonesia. Ketidakadilan ini disebabkan oleh beberapa hal, disamping<br />
kultur masyarakat, peran negara untuk menghapus kekerasan terhadap<br />
perempuan juga belum sepenuhnya dilakukan, bahkan dipahami.<br />
Indonesia, menurut Sjamsiah sebenarnya tidak terlalu terpanggil untuk<br />
bicara soal hak asasi manusia. “Pak Harto (baca: Soeharto, pemimpin<br />
Orde Baru) baru bicara persoalan ini sekitar tahun 1990, mendekati<br />
turunnya dari jabatan presiden. Sejak itulah, kita baru membentuk<br />
Komnas HAM dan sebagainya. Menjelang Viena tahun 1993, baru<br />
Indonesia bicara soal hak asasi manusia, karena tidak mungkin kalau<br />
tidak bicara,”ujar Sjamsiah.<br />
<strong>CEDAW</strong> diakui oleh Sjamsiah sampai kini belum banyak diketahui<br />
oleh masyarakat luas, khususnya Aparat Penegak hukum dan<br />
pemerintah yang membuat kebijakan. “Jangankan masyarakat luas,<br />
aparat penegak hukum, dan aparatur pemerintah saja sampai sekarang<br />
masih banyak yang tidak mengerti apa itu <strong>CEDAW</strong>,” katanya lagi.<br />
Menurut Sjamsiah hal ini karena sosialisasi keberadaan <strong>CEDAW</strong> masih<br />
sangat minim. Padahal <strong>CEDAW</strong> sudah berumur lebih dari 20 tahun,<br />
sejak diratifikasi pertama kali di tahun 1984. “Banyak tanggungjawab<br />
negara yang masih belum dilaksanakan. Harmonisasi hukum masih<br />
‘segudang’ yang belum kita lakukan. Peradilan yang kompeten juga belum<br />
bisa kita ciptakan. Tidak hanya peradilan dengan standar yang ada,<br />
tetapi juga peradilan yang berperspektif gender,”<br />
Sjamsiah menyesalkan tidak tersosialisasinya <strong>CEDAW</strong> dengan baik,<br />
padahal <strong>CEDAW</strong> memberi banyak pengertian tentang bentuk-bentuk<br />
diskriminasi terhadap perempuan. Menurut Sjamsiah, selama ini upaya<br />
pemberdayaan perempuan sering ditentang oleh masyarakat. “Misalkan<br />
saja soal kuota perempuan 30 persen. Masyarakat masih banyak yang<br />
tidak paham soal kuota perempuan. Kuota perempuan masih dianggap<br />
sebagai tindakan meminta belas kasihan, ini kan keliru besar,” cetusnya.<br />
“Kenapa 30 persen? itu juga sudah menjadi ketentuan internasional<br />
secara minimal untuk mempengaruhi kualitas kebijakan publik. Jadi<br />
bukannya meminta-minta, tetapi itu memang hak perempuan. Dan yang<br />
lebih penting lagi, bahwa itu sifatnya temporary, tidak permanen,”<br />
katanya lagi.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
1<strong>45</strong>
Pengawal Keadilan Melalui Konvensi<br />
Eko Bambang Subiyantoro<br />
Menurut Sjamsiah, hal yang paling penting di <strong>CEDAW</strong> adalah<br />
prinsipnya yang non diskriminasi. Jika terjadi pembedaan perempuan<br />
dan berakibat pada kerugian perempuan itu, maka sudah termasuk<br />
diskriminasi. Di dalan konvensi <strong>CEDAW</strong> sudah diatur secara detail,<br />
bahkan sudah sangat jelas mana yang temporary action dan mana yang<br />
permanent action. “Masalah pendidikan misalnya. Data menunjukkan<br />
angka partisipasi sekolah anak perempuan cukup rendah dibandingkan<br />
dengan anak laki-laki. Nah upaya untuk mengejar ketertinggalan<br />
pendidikan anak perempuan inilah yang dimaksud sebagai upaya<br />
temporary action. Misalkan memberi beasiswa untuk perempuan, itu<br />
sifatnya benar-benar temporary action yang harus dihapuskan bila<br />
persamaan sudah mulai terbangun,” katanya.<br />
Belum berjalannya <strong>CEDAW</strong> secara baik di Indonesia bukan berarti<br />
Indonesia tidak melaksanakannya sama sekali. Digunakannya <strong>CEDAW</strong><br />
sebagai dasar hukum sejumlah kebijakan adalah indikator yang dapat<br />
diacungi jempol, karena dengan demikian <strong>CEDAW</strong> diperhatikan<br />
keberadaannya. Sjamsiah memaklumkan kesulitan pelaksanaan ini<br />
berkaitan dengan persoalan kultur budaya yang berbaur dengan agama<br />
di Indonesia adalah kendala yang paling berat bagi pelaksanaan<br />
<strong>CEDAW</strong>.<br />
Masyarakat masih belum bisa melihat bahwa budaya, sebagai ciptaan<br />
manusia dapat diubah dan berkembang sesuai konteks zamannya. Tidak<br />
banyak perubahan akan kultur budaya dan perilaku masyarakat ini<br />
juga terjadi pada aspek pembedaan gender (sengaja dibedakan antara<br />
perempuan dan laki-laki atau diskriminatif terhadap perempuan) dalam<br />
masyarakat. Pembedaan gender sebagai bentuk konstruksi masyarakat,<br />
dianggap sebagai sesuatu yang memang sudah demikian adanya.<br />
Masyarakat masih belum mau melakukan perubahan-perubahan secara<br />
mendasar dengan alasan akan mengubah struktur kehidupan, ditambah<br />
lagi dengan konservatisme agama yang semakin menyudutkan<br />
perempuan dalam masyarakat. “Bukti nyata dari semua ini adalah masih<br />
berlakunya UU Perkawinan tahun 1974 yang menempatkan perempuan<br />
sebagai orang nomor dua. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa lakilaki<br />
yang mencari nafkah, perempuan mengurus rumah tangga, yang<br />
seharusnya ketentuan ini harus diubah karena merugikan dan tidak<br />
memberi keadilan bagi perempuan,” katanya lagi. “Di masa depan, saya<br />
hanya berharap, pemerintah membuat sistem kelembagaan yang akan<br />
146<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Eko Bambang Subiyantoro<br />
Pengawal Keadilan Melalui Konvensi<br />
“Di masa depan, saya hanya<br />
berharap, pemerintah membuat<br />
sistem kelembagaan yang akan<br />
menangani masalah HAM,<br />
dalam arti pelaksanaan,<br />
sehingga kita bisa menjamin<br />
dua hal, pertama memberi<br />
keadilan kepada orang yang<br />
dilanggar HAM-nya, kedua<br />
memberi keadilan pula kepada<br />
pelaku yang harus dibawa ke<br />
pengadilan.”<br />
Foto: Dok. YJP<br />
menangani masalah HAM, dalam arti pelaksanaan, sehingga kita bisa<br />
menjamin dua hal, pertama memberi keadilan kepada orang yang<br />
dilanggar HAM-nya, kedua memberi keadilan pula kepada pelaku yang<br />
harus dibawa ke pengadilan.”<br />
Dedikasi Sjamsiah yang tinggi bagi perjuangan hak asasi manusia<br />
dan khususnya keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia tidak<br />
pernah redup. Hidupnya telah ia serahkan secara total bagi umat<br />
manusia. Di kalangan aktivis dan gerakan perempuan Indonesia bahkan<br />
di dunia, nama Sjamsiah Achmad bukan nama asing. Empat tahun<br />
keberadaanya di Komite <strong>CEDAW</strong> Badan Dunia ini, menjadikan upaya<br />
keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia sebagai bagian dari<br />
hidupnya. Ia selalu mengamati bagaimana bentuk diskriminasi terjadi<br />
terus pada perempuan di negeri ini. Dan dengan peran dan<br />
kompetensinya di tataran nasional maupun internasional, ia telah<br />
banyak melakukan perubahan dan pemahaman bagi banyak pihak.<br />
Itulah sebabnya Syamsiah Achmad, yang memang memilih hidupnya<br />
menjadi pengawal keadilan bagi perempuan melalui konvensi hukum<br />
yang berpihak pada perempuan dimana ia dapat langsung terlibat di<br />
dalamnya.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
147
• Rak Buku •<br />
Simone de Beauvoir dan Etika<br />
Pembebasan <strong>Perempuan</strong><br />
Judul Buku : Pembebasan Tubuh <strong>Perempuan</strong>:<br />
Gugatan Etis Simone de<br />
Beauvoir terhadap Budaya<br />
Patriarkat<br />
Penulis : Shirley Lie<br />
Pengantar : Karlina Supelli<br />
Penerbit : Grasindo, Jakarta<br />
Cetakan : Pertama, 2005<br />
Tebal : xx + 102 halaman<br />
Di kalangan para aktivis gender,<br />
Simone de Beauvoir (1908-<br />
1986) merupakan salah satu tokoh<br />
kunci yang pemikirannya tak bisa<br />
dilewatkan untuk ditelaah.<br />
Magnum opusnya, Le Deuxième Sexe<br />
(1949), dicatat sebagai karya klasik<br />
yang memberikan uraian cukup<br />
komprehensif tentang kondisi<br />
(ketertindasan) perempuan dan<br />
telah memberikan pengaruh yang<br />
cukup signifikan dalam menginspirasi<br />
dan memotivasi gerakangerakan<br />
pembebasan perempuan.<br />
Karya klasiknya itu, yang dalam<br />
bahasa Inggris berjudul The Second<br />
Sex, telah diterjemahkan ke dalam<br />
bahasa Indonesia, diterbitkan oleh<br />
Pustaka Promethea, Yogyakarta<br />
(2003).<br />
148<br />
Buku yang semula adalah tesis<br />
di Sekolah Tinggi Filsafat<br />
Driyarkara Jakarta ini adalah salah<br />
satu dari sedikit karya dalam<br />
bahasa Indonesia yang mencoba<br />
mensis-tematisasi dan mengkontekstualkan<br />
pemikiranpemikiran<br />
Beauvoir. Gagasangagasan<br />
Beauvoir yang dapat<br />
dikatakan bersifat filosofis dan<br />
merupakan kritik pedas terhadap<br />
budaya patriarkhat yang menindas<br />
dalam buku ini diletakkan dalam<br />
kerangka praksis-etis pembebasan<br />
kaum perempuan. Untuk itu,<br />
penulis buku ini, selain mengolah<br />
dari The Second Sex, juga banyak<br />
mengolah pemikiran filosofis<br />
Beauvoir yang tertuang dalam The<br />
Ethics of Ambiguity.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Rak Buku •<br />
Budaya patriarkhat memulai<br />
riwayat penindasannya terhadap<br />
perempuan dengan stigmatisasi<br />
negatif terhadap kebertubuhan<br />
perempuan. Unsur-unsur biologis<br />
pada tubuh perempuan dilekati<br />
dengan atribut-atribut patriarkhat<br />
dengan cara menegaskan bahwa<br />
tubuh perempuan adalah hambatan<br />
untuk melakukan aktualisasi diri.<br />
<strong>Perempuan</strong> diciutkan semata dalam<br />
fungsi biologisnya saja. Dengan cara<br />
demikian, tubuh bagi kaum<br />
perempuan tak lagi dapat menjadi<br />
instrumen untuk melakukan<br />
transendensi sehingga perempuan<br />
tak dapat memperluas dimensi<br />
subjektivitasnya kepada dunia dan<br />
lingkungan di sekitarnya. Tubuh<br />
yang sudah dilekati nilai-nilai<br />
patriarkhat ini kemudian dikukuhkan<br />
dalam proses sosialisasi serta<br />
diinternalisasikan melalui mitosmitos<br />
yang ditebar ke berbagai pranata<br />
sosial: keluarga, sekolah, masyarakat,<br />
bahkan mungkin juga negara.<br />
Dalam kerangka penjelasan<br />
seperti inilah maka perempuan<br />
kemudian diposisikan sebagai jenis<br />
kelamin kedua (the second sex) dalam<br />
struktur masyarakat. Akibatnya,<br />
perempuan tak dapat mengolah<br />
kebebasan dan identitas kediriannya<br />
dalam kegiatan-kegiatan yang<br />
positif, konstruktif, dan aktual.<br />
Dalam situasi yang demikian ini,<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
pola relasi kaum laki-laki dan<br />
perempuan menjadi tak ramah lagi.<br />
Kaum laki-laki tak menghendaki<br />
adanya ketegangan relasi subjekobjek,<br />
sebagaimana dijelaskan oleh<br />
filsuf-filsuf eksistensial, dengan<br />
menyangkal subjektivitas perempuan<br />
dan menjadikannya sebagai<br />
peng-ada lain yang absolut.<br />
Pada titik inilah pemikiran<br />
Beauvoir tentang etika ambiguitas<br />
menjadi penting dikemukakan.<br />
Dengan etika ambiguitas, Beauvoir<br />
menolak sikap yang ingin mengelak<br />
ketegangan relasi tersebut. Menurut<br />
Beauvoir, ketegangan antara<br />
“kebutuhan akan orang lain” dan<br />
“kekhawatiran dikuasai orang lain”<br />
(diobjekkan) merupakan situasi<br />
yang harus diterima apa adanya<br />
dan ditransendensikan ke dalam<br />
situasi yang lebih proposional dan<br />
manusiawi.<br />
Jalan pembebasan kaum perempuan<br />
ditempuh dari dua jalur<br />
utama, yakni level pemikiran dan<br />
praktik. Pada tataran pemikiran,<br />
tubuh perempuan harus dibebaskan<br />
dari label-label yang ditempelkan<br />
oleh budaya patriarkhis yang<br />
membuatnya tak leluasa melakukan<br />
proses transendensi. Tubuh, milik<br />
perempuan maupun laki-laki,<br />
dalam pandangan filosofis<br />
Beauvoir adalah situasi; tubuh<br />
adalah tempat subjek melakukan<br />
149
• Rak Buku •<br />
dialog dan penafsiran antara<br />
sejumlah nilai yang ditawarkan<br />
konstruksi sosial di sekelilingnya<br />
dan nilai-nilai yang dipilihnya<br />
secara otonom. Selain menempatkan<br />
konsep subjek dengan tubuh<br />
yang berbeda dan ambigu, Beauvoir<br />
juga menyerukan untuk mengubah<br />
pola relasi antara kaum laki-laki<br />
dan perempuan dari ikatan biologis<br />
dan fungsional menjadi ikatan<br />
manusawi dan etis, yang terangkum<br />
dalam semangat persahabatan<br />
dan kemurahan hati.<br />
Di level praktik, Beauvoir<br />
mengusulkan pentingnya kemandirian<br />
ekonomi sebagai pintu<br />
pembuka bagi pembebasan tubuh<br />
perempuan, yang akan semakin<br />
mantap jika dipadukan dengan<br />
perlakuan setara terhadap perempuan<br />
di ranah sosial, budaya, dan<br />
politik, yang dicapai melalui<br />
revolusi sosial.<br />
Selain melakukan sistematisasi,<br />
buku ini cukup berhasil melakukan<br />
kritik dan kontekstualisasi<br />
pemikiran-pemikiran Beauvoir<br />
dalam konteks problem-problem<br />
kekinian perempuan di era<br />
globalisasi. Di beberapa bagian<br />
misalnya, menurut penulis buku ini,<br />
Beauvoir kadang terlihat terlalu<br />
menyederhanakan persoalan situasi<br />
perempuan dan tidak mengakomodasi<br />
kompleksitas situasi<br />
150<br />
penindasan perempuan yang<br />
cukup rumit. Di akhir bagian,<br />
penulis buku ini menambahkan<br />
bahwa selain ancaman nilai-nilai<br />
patriarkhat sebagaimana tampak<br />
jelas dalam pemikiran Beauvoir,<br />
perempuan kini juga ditantang oleh<br />
kekuatan pasar bebas yang untuk<br />
beberapa hal tak jauh berbeda<br />
dengan kultur patriarkhis dalam<br />
soal menyempitkan ruang perempuan<br />
ke dalam kategori objek belaka,<br />
di tengah kegamangan kaum<br />
perempuan untuk terjun ke dalam<br />
ketegangan dan sifat dasar<br />
kebebasannya.<br />
Karya ini cukup berhasil<br />
menyajikan pemikiran-pemikiran<br />
filosofis Simone de Beauvoir tentang<br />
praksis etis pembebasan perempuan<br />
dalam bahasa dan uraian<br />
yang cukup mudah dicerna tanpa<br />
harus kehilangan segi kedalaman<br />
kajiannya. Buat mereka yang terjun<br />
di level gerakan (sosial) pembebasan<br />
perempuan, buku ini dapat<br />
menyuguhkan peta umum kondisi<br />
perempuan dengan berbagai<br />
kompleksitas persoalannya, dan<br />
buat kaum perempuan sebagai<br />
individu, melalui buku ini Beauvoir<br />
memberikan semangat dan seruan<br />
untuk selalu hidup lebih autentik<br />
dan hidup dengan semangat<br />
menggali identitas dan makna<br />
kebebasan. (M Mushthafa)<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Duka untuk Betty Friedan<br />
(1921 - 2006)<br />
Sebagai lembaga yang concern dengan<br />
perjuangan feminisme di seluruh dunia,<br />
kami ikut berduka atas meninggalnya Betty<br />
Friedan, 5 Februari 2006 lalu, bertepatan dengan<br />
hari ulang tahunnya ke 85. Betty Friedan adalah<br />
seorang feminis modern gelombang pertama dengan<br />
bukunya yang terkenal The Feminine Mystique yang<br />
diluncurkan pada tahun 1963. Ia meninggal dunia karena<br />
mengalami gagal jantung di rumahnya, di Washington DC.<br />
Bukunya yang sangat laris terjual berjudul The Problem That Has No<br />
Name mengenai masa krisis perempuan Amerika pada masa setelah<br />
Perang Dunia ke II yang diperlakukan tidak adil oleh pemikiran<br />
tradisional terhadap peran perempuan di ranah domestik. Ia juga<br />
menulis buku Melding Sociology and Humnistic Psycholog, sebuah buku<br />
yang menjadi tonggak ujung sebuah pergerakan yang amat besar<br />
pada abad terakhir, dimana feminisme Amerika sangat berkembang<br />
maju semenjak tahun 1800.<br />
Selain itu, ia adalah seorang aktivis pendiri Organisasi<br />
<strong>Perempuan</strong> Nasional sebuah organisasi feminis baru yang<br />
pertama pada abad pertengahan di Amerika tahun 1966, Betty<br />
Friedan juga salah satu pendiri dari Kaukus Politik<br />
<strong>Perempuan</strong> dan juga mendirikan Kelompok Aksi Hak-<br />
Hak Aborsi.<br />
Kita kehilangan tokoh feminis modern,<br />
namun semangat dan ide perjuangannya<br />
bagi keadilan perempuan tetap terus<br />
bersama kita.
• Rak Buku •<br />
Otonomi Daerah:<br />
Perlu Reformasi pada Segala<br />
Kebijakan Publiknya<br />
Judul : Representasi <strong>Perempuan</strong><br />
dalam Kebijakan Publik di Era<br />
Otonomi Daerah<br />
Penulis : Endriana Noerdin, Lisabona<br />
Rahman, Ratna Laelasari Y.,<br />
Sita Aripurnami<br />
Penerbit : Women Research Institute<br />
Terbit : Jakarta, 2005<br />
Tebal : XVII + 76 Halaman<br />
Dalam kata pengantarnya,<br />
Hans Atlov mengatakan<br />
pentingnya keberadaan buku ini,<br />
terutama memaparkan bagaimana<br />
peraturan daerah (Perda) di<br />
Indonesia selama dua tahun<br />
belakangan in telah merugikan<br />
perempuan dengan membatasi hakhak<br />
asasi mereka. Hal ini merupakan<br />
salah satu akibat yang tidak<br />
menguntungkan dari desentralisasi<br />
sehingga membutuhkan perhatian<br />
lebih jauh untuk mengkaji implementasi<br />
Perda.<br />
Buku ini sendiri merupakan<br />
serangkaian penelitian yang<br />
dilakukan oleh Women Reseach<br />
Institute (WRI) di 10 pemerintah<br />
daerah (Pemda) dalam era otonomi<br />
daerah, meliputi Sukabumi,<br />
Tasikmalaya, Solok, Mataram,<br />
152<br />
Nanggroe Aceh Darussalam,<br />
Gianyar, Kupang, Kendari, Samarinda<br />
dan Kutai Barat. Satu langkah<br />
yang perlu didukung terutama dalam<br />
upaya mengevaluasi implementasi<br />
dari Undang-undang Otonomi<br />
Daerah tahun 1999, di mana<br />
sebetulnya pemerintah Indonesia<br />
telah membuat peraturan hukum<br />
dengan menyertakan pengarusutamaan<br />
gender dalam GBHN 1999.<br />
Riset yang dilakukan dengan<br />
menggunakan pendekatan kualitatif<br />
berperspektif feminis dalam analisis<br />
tekstual, sekaligus merupakan<br />
investigasi yang mengungkap<br />
bahwa Perda di sembilan kabupaten/<br />
kota dan satu provinsi,<br />
semuanya telah melanggar hak-hak<br />
asasi perempuan dan membatasi<br />
ruang kehidupan perempuan.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Rak Buku •<br />
Temuan-temuan yang tidak sensitif<br />
gender ini jelas meremehkan peran<br />
perempuan di wilayah publik<br />
bahkan mengucilkan eksistensi<br />
perempuan. Hal ini menunjukkan<br />
bahwa Pemda belum sepenuhnya<br />
memiliki political will untuk menganggap<br />
perempuan sebagai bagian<br />
dari publik. Diskriminasi dapat dilihat<br />
dalam banyak kejadian dengan<br />
penerapan hukum Syariah Islam,<br />
pemulihan institusi tata pemerintahan<br />
adat yang didominasi oleh<br />
laki-laki, konteks “perilaku amoral”,<br />
wajib berpakaian tertentu, pembatasan<br />
ruang bergerak seperti keluar<br />
pada malam hari, dan lainnya.<br />
Salah satu teks yang diangkat<br />
dalam buku ini adalah Qanun Kota<br />
Banda Aceh No. 7 Tahun 2002<br />
yang mengatur tata cara pemilihan<br />
Geucik (kepala kampung). Ada 14<br />
persyaratan yang tertera pada pasal<br />
8 ayat (1) oleh kandidat Geucik.<br />
Namun menyoroti salah satu syarat<br />
saja, yaitu harus mampu menjadi<br />
imam shalat, tentu membenturkan<br />
potensi perempuan untuk menjadi<br />
kepala kampung. Dalam perspektif<br />
masyarakat umum tentang Hukum<br />
Islam saja ia harus dibenturkan<br />
pada konteks aturan bahwa hanya<br />
laki-laki yang dapat menjadi imam<br />
shalat, sedangkan perempuan tidak<br />
dapat menjadi imam shalat bagi<br />
laki-laki. Jelas sudah, dalam hal ini,<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
mungkinkah perempuan diberi hak<br />
untuk menjadi Geucik?<br />
Sebagaimana Qanun yang<br />
memiliki potensi diskriminatif<br />
terhadap perempuan, maka perlu<br />
disimak kembali secara teliti apakah<br />
memang setiap Perda berpotensi<br />
menutup ruang publik perempuan?<br />
Kenapa penelitian awal ini<br />
memakai perspektif feminis<br />
disebabkan kebutuhannya yang<br />
mendesak, maka perspektif feminis<br />
dibandingkan dengan perspektif<br />
lain, sangat membantu mengungkap<br />
permasalahan perempuan<br />
pada umumnya, dan secara khusus<br />
erat kaitannya dengan representasi<br />
dan partisipasi perempuan dalam<br />
politik dan kebijakan publik.<br />
Dengan demikian hasil penelitian<br />
dapat digunakan sebagai rujukan<br />
untuk memetakan kebutuhan<br />
praktis dan strategis gender dalam<br />
rangka pemberdayaan politik<br />
perempuan di tingkat lokal dan<br />
nasional.<br />
Harusnya semua Perda mengacu<br />
kepada Undang-undang No. 22<br />
Tahun 1999 butir satu, yang<br />
menyatakan “Penyelenggaraan<br />
otonomi daerah dilaksanakan<br />
dengan memperhatikan aspek<br />
demokrasi, keadilan, pemerataan,<br />
serta potensi dan keanekaragaman<br />
daerah” (Bab I, hal 4). Namun<br />
membaca dari awal hingga bab<br />
153
• Rak Buku •<br />
terakhir dengan segala otensitas<br />
temuan-temuannya, buku ini jelas<br />
mengungkap ketimpangan gender<br />
dalam kebijakan publik bagi<br />
keadilan untuk perempuan dalam<br />
otonomi daerah. Maka buku ini<br />
dapat menjadi sebuah kitab<br />
pembelajaran, bahwa masih<br />
panjang jalan yang harus dilalui<br />
untuk mereformasi segala peraturan,<br />
segala kebijakan yang tidak<br />
mendiskriminasikan hak-hak<br />
perempuan sebagaimana termaktub<br />
dalam Deklarasi Universal Hak-hak<br />
Asasi Manusia dan Konvensi<br />
mengenai Penghapusan Segala<br />
Bentuk Diskriminasi terhadap<br />
<strong>Perempuan</strong> (<strong>CEDAW</strong>), semua<br />
prinsip-prinsip dasar yang<br />
menghormati hak-hak perempuan<br />
harus selalu ditegakkan. Satu<br />
harapan terakhirnya adalah<br />
“Masyarakat yang Berkeadilan<br />
Gender”. (Yoke Sri Astuti)<br />
Telah terbit<br />
buku terbaru<br />
tentang feminisme<br />
Feminisme:<br />
Sebuah Kata Hati<br />
Karya: Dr. Gadis Arivia<br />
”Buku ini merupakan koleksi tulisan<br />
yang lengkap tentang isu-isu<br />
feminisme. Apa yang dituangkan di<br />
dalam buku ini ditulis oleh seorang<br />
pemikir dan hati feminis. Penindasan<br />
yang ditentang dan dipersoalkan oleh<br />
seorang feminis mencerahkan dan<br />
membebaskan kelompok-kelompok<br />
tertindas lainnya”.<br />
Dapatkan di toko buku,<br />
bursa buku atau<br />
Koperasi Mahasiswa terdekat<br />
Departemen Filsafat<br />
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya<br />
Universitas Indonesia<br />
Untuk pemesanan hubungi:<br />
Ima 0812 981 1969<br />
Marketing YJP (021) 8370 2005<br />
154<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Perubahan<br />
Biaya Berlangganan<br />
Mulai Bulan April 2006, biaya<br />
berlangganan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />
sebesar Rp.100.000 untuk<br />
1 tahun/6 edisi<br />
(diluar ongkos kirim)<br />
NB:<br />
• Ongkos kirim berlangganan Pulau Jawa<br />
sebesar Rp. 5.000 x 6 edisi<br />
• Ongkos kirim berlangganan luar Pulau<br />
Jawa sebesar Rp. 10.000 x 6 edisi<br />
Untuk berlangganan dan informasi<br />
lebih lanjut hubungi:<br />
Marketing Yayasan <strong>Jurnal</strong><br />
<strong>Perempuan</strong><br />
Jl. Tebet Barat VIII No. 27<br />
Jakarta Selatan 12810<br />
Telp. : (021) 8370 2005<br />
Fax : (021) 830 2434<br />
E-mail : yjp@jurnalperempuan.com
• Puisi •<br />
Tanpa Sebab Langsung<br />
(With No Immediate Cause)<br />
Ntozake Shange<br />
Tiap 3 menit seorang perempuan dipukuli<br />
tiap lima menit seorang perempuaan diperkosa<br />
tiap sepuluh menit gadis kecil dilecehkan<br />
tetap saja aku naik kereta hari ini<br />
sebelahku seorang lelaki tua yang<br />
mungkin habis memukuli istrinya<br />
3 menit lalu atau 3 hari<br />
30 tahun lalu mungkin dia menyodomi anak<br />
perempuannya tapi aku duduk saja<br />
karena seorang pemuda di kereta<br />
mungkin memukuli seorang pemudi<br />
hari ini atau esok<br />
mungkin aku kurang cepat menutup<br />
pintu<br />
mendorong pintu tiap 3 menit terjadi<br />
seorang perempuan merebak ke pipinya<br />
tumpah dari mulutnya<br />
bagai boneka yang koyak<br />
dengan mulut merah merekah dan terbuka<br />
tiap tiga menit ada bahu<br />
terbentur plester dan pemanggang<br />
kursi terdorong hingga rusuk<br />
air panas atau sperma mendidih hiasi tubuhnya<br />
aku naik kereta hari ini<br />
156<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Puisi •<br />
dan beli koran dari seorang<br />
lelaki yang mungkin<br />
telah mencengkeram ibunya ke<br />
setrika<br />
aku tak tahu mungkin dia menahan gadis kecil di<br />
taman dan menyobek bagian belakangnya<br />
dengan batang besi<br />
aku tak tahu pasti apa yang telah dia lakukan aku cuma<br />
tahu tiap 3 menit<br />
tiap lima menit tiap sepuluh menit<br />
jadi aku beli koran itu<br />
mencari pengumuman itu penemuan itu<br />
terbelahnya tubuh perempuan<br />
korban-korban yang belum semua dikenali<br />
hari ini mereka telanjang dan mati<br />
menolak bersaksi<br />
satu dari sepuluh gadis tidak koheren<br />
aku raih kopi dan melepehnya<br />
aku temukan satu pengumuman<br />
bukan tubuh perempuan yang bengkak di sungai<br />
mengambang bukan anak yang bersimbah darah di<br />
gang 59<br />
bukan bayi yang terberai di lantai<br />
“ada laporan bahwa perempuan yang sering dipukuli<br />
bisa membunuh<br />
suami dan kekasih mereka<br />
tanpa sebab seketika”<br />
aku meludah aku muntah aku teriak<br />
kami semua punya sebab langsung<br />
tiap 3 menit<br />
tiap 5 menit<br />
tiap 10 menit<br />
tiap hari<br />
tubuh perempuan ditemukan<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
157
• Puisi •<br />
di jalan sempit dan kamar tidur<br />
di ujung tangga<br />
sebelum aku naik kereta<br />
beli koran<br />
minum kopi<br />
aku harus tahu<br />
apa kamu melukai perempuan hari ini<br />
apa kamu memukul perempuan hari ini<br />
melempar anak kecil melintasi ruangan<br />
apakah itu celana dalam gadis kecil<br />
di sakumu<br />
apa kamu melukai perempuan hari ini<br />
aku harus tanyakan pertanyaan aneh ini<br />
yang berwenang butuh aku melakukannya<br />
membangun<br />
sebab langsung<br />
tiap tiga menit<br />
tiap lima menit<br />
tiap sepuluh menit<br />
tiap hari.<br />
(Diadaptasi oleh Indah Lestari)<br />
Ntozake Shange, perempuan berkulit hitam yang lahir di New Jersey dan<br />
menempuh pendidikan di University of Southern California. Ia telah<br />
menelurkan beberapa novel dan choreopoem. Karyanya berjudul “For<br />
Coloured Girls Who Have Considered Suicide/ When The Rainbow is Enuf<br />
dipentaskan di Broadway tahun 1976.<br />
158<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
LAYANAN INFORMASI & DOKUMENTASI<br />
YAYASAN JURNAL PEREMPUAN<br />
Bagi Anda yang membutuhkan referensi, buku-buku, kliping dan<br />
informasi lainnya yang berkaitan dengan isu-isu perempuan dan<br />
kesetaraan gender, YJP memberikan layanan baru yaitu Pusat Informasi<br />
dan Dokumentasi. Daftarkan diri Anda untuk mendapatkan layananlayanan<br />
seperti:<br />
1. Mendengarkan Program Radio <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />
2. Menyaksikan film dokumenter produksi YJP, setiap hari Senin &<br />
Kamis pk. 15.00<br />
3. Keikutsertaan dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh YJP<br />
4. Akses ke semua bahan koleksi perpustakaan YJP.<br />
Informasi dan Dokumentasi YJP<br />
Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810<br />
Phone (021) 8370 2005 (Hunting)<br />
Fax (021) 8302434<br />
E-mail : yjp@jurnalperempuan.com<br />
pentingnya<br />
gerakan penyadaran<br />
kesetaraan perempuan<br />
dalam media...<br />
Panduan Untuk <strong>Jurnal</strong>is<br />
Seri<br />
[ ]<br />
Pemberdayaan<br />
<strong>Perempuan</strong><br />
Harga satuan Rp. 15.000<br />
Harga paket (3 buku) Rp. 40.000
• Cerpen •<br />
amnesty.org<br />
Dewi Nova Wahyuni<br />
160<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Cerpen •<br />
Mesin waktu membawaku pada suatu waktu beberapa tahun ke<br />
depan dan sebuah pulau yang kaya dengan pohon kelapa. Pulau<br />
yang subur, tempat para monyet dan burung hidup damai tanpa<br />
takut diburu. Pulau hijau ini dikelilingi laut yang ombaknya setengah<br />
besar, sangat menyenangkan untuk diajak bercanda sambil berenang.<br />
Dan aku terdampar pada sebuah cottage yang berjarak 20 meter dari<br />
bibir pantai.<br />
Pagi, 29 Desember 2015<br />
Aku berjalan menyusuri pantai, membiarkan kaki telanjangku<br />
bersentuhan dengan pasir putih. Air laut naik memenuhi bibir pantai,<br />
ombak mendayu-dayu dimainkan angin pagi. Aku bertemu beberapa<br />
lelaki, memandang heran pada seluruh tubuhku, tapi tidak satu pun<br />
yang menggoda. Barangkali mereka merasa asing bertemu perempuan<br />
dari waktu yang berbeda.<br />
Permukaan laut, biru kehijauan diterpa matahari yang mulai<br />
menyembul dari balik gunung, tetapi aku tidak melihat seorang<br />
perempuan pun di pantai. Mungkin mereka masih sibuk memandikan<br />
anak, membersihkan rumah, mencuci, seperti perempuan di waktuku.<br />
Setelah kembali ke cottage, aku mampir di resto untuk sarapan.<br />
Aku sarapan segelas susu segar, seiris roti dan keju, dan akhirnya aku<br />
bertemu seorang perempuan dengan baju tanpa motif berwarna<br />
kelabu. Kepalanya ditutupi oleh kain yang sama, hingga tak selembar<br />
rambutnya nampak. Potongan blusnya lurus tidak menampakkan<br />
seberapa kurus atau /gendut tubuhnya, roknya berpotongan longgar.<br />
Wajahnya alami tanpa polesan apapun. Ia salah satu pelayan di<br />
cottage ini. Sebelum aku meninggalkan resto, dengan sopan perempuan<br />
ini memberiku koran pagi. Aku mengucapkan terima kasih,<br />
sambil menyembunyikan keherananku dengan cara perempuan ini<br />
berpakaian.<br />
Berita Pagi ini…<br />
20 <strong>Perempuan</strong> Diarak Karena Mencium Tentara Kerajaan Satu<br />
NEGERI PUPU, SUARA PUPU - 20 perempuan Pupu diarak oleh Polisi<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
161
• Cerpen •<br />
Pengawas Pupu (3P) karena mencium para Tentara Kerajaan Satu (TKS)<br />
yang berpulang ke Kerajaan Satu. Peristiwa ini terjadi di Pelabuhan Pupu,<br />
setelah kapal yang ditumpangi ratusan TKS meninggalkan pelabuhan.<br />
Ciuman itu, merupakan ciuman terakhir kepada kekasihnya, yang kemungkinan<br />
besar tidak akan kembali ke negeri Pupu akibat penarikan TKS paska<br />
perjanjian damai. Pengarakan dilakukan karena para perempuan itu telah<br />
melanggar Undang-undang Pupu No. 1 tentang anti porno aksi.<br />
5 <strong>Perempuan</strong> Dipotong Rambutnya karena Menolak Berpakaian<br />
Kelabu<br />
NEGERI PUPU, SUARA PUPU - 5 perempuan muda dipotong rambutnya<br />
oleh eksekutor karena menolak berpakaian kelabu. Pemotongan rambut<br />
ini dilakukan di alun-alun kota pada hari Minggu Sore, 27 Desember 2015.<br />
Pemotongan rambut yang ditonton ribuan orang ini, disertai cercaan dari<br />
warga Pupu.<br />
“<strong>Perempuan</strong> jalang, mempermalukan bangsa Pupu.”<br />
“<strong>Perempuan</strong> binal, tukang pamer tubuh, santapan TKS.”<br />
“Ibu-ibu, waspadalah dengan perempuan-perempuan yang<br />
menolak berpakaian kelabu, karena mereka akan menggoda suami<br />
ibu-ibu sekalian.”<br />
Penolakan berpakaian kelabu ini merupakan sikap melawan<br />
hukum yang bertentangan dengan Undang-undang Pupu No. 2<br />
tentang Susila <strong>Perempuan</strong> Pupu.<br />
Sepasang Kekasih Dianiaya Massa<br />
NEGERI PUPU, SUARA PUPU - Sepasang kekasih dianiaya<br />
massa, karena kepergok sedang berpelukan di Kamp Pengungsian<br />
Beriman. Penganiayaan ini, terjadi karena mereka dianggap telah<br />
mencemari negeri Pupu. Si <strong>Perempuan</strong> juga dianggap kelompok yang<br />
mengakibatkan banyak persoalan. <strong>Perempuan</strong> seperti itu, adalah<br />
perempuan yang umumnya pernah berpacaran dengan TKS. Kelompok<br />
bersenjata yang menyebar kesengsaraan selama berpuluh tahun.<br />
<strong>Perempuan</strong> yang mau disentuh sebelum dinikahi juga sekaligus<br />
sumber segala bencana banjir, kekeringan, yang melanda negeri Pupu<br />
162<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Cerpen •<br />
setiap tahun, sebagai azab atas perilaku para perempuan yang tak<br />
bisa lagi menjadi tiang negara. Karena itu, warga Kamp Beriman<br />
memutuskan untuk mengusir perempuan itu dari kamp mereka.<br />
Sementara yang laki-laki cukup dinasehati dan diawasi agar tidak<br />
mengulang perbuatan yang sama.<br />
Ibu-ibu Menjual Sarden, Menteri Sosial Dituduh Korupsi!<br />
NEGERI PUPU, SUARA PUPU - Bantuan sarden, biskuit untuk<br />
pengungsi korban banjir dan korban konflik tidak benar-benar<br />
dikonsumsi oleh pengungsi. Seorang Ibu menyampaikan bahwa<br />
keluarganya tidak terbiasa makan makanan kaleng, apalagi memberikan<br />
biskuit pada balita, ia khawatir anak-anaknya akan kekurangan<br />
gizi. Untuk itu, ia menjual pangan bantuan tersebut ke pasar terdekat<br />
untuk dibelanjakan sayur dan ikan segar. Sementara itu, kelompok<br />
pengawas bantuan mengancam akan mengajukan Menteri Sosial<br />
Negeri Pupu ke meja hijau atas tuduhan korupsi. Tuduhan itu terkait<br />
dengan buruknya layanan publik di kamp-kamp pengungsian,<br />
padahal bantuan dari dunia internasional terus mengalir ke Pemerintah<br />
Pupu. Husein Mubarak, Ketua Badan Koordinasi Bantuan<br />
Pengungsi (BKBP) yang bertanggung jawab atas situasi ini, menjelaskan<br />
bahwa lembaganya tidak dapat bekerja maksimal karena macetnya<br />
aliran dana dari Menteri Sosial.<br />
Gila, bagaimana bisa, mesin waktu membawaku pada waktu dan<br />
tempat seperti ini.<br />
Malam, 31 Desember 2015<br />
Bulan bundar bersinar cemerlang di atas laut, aku menyandarkan<br />
tubuhku di dada bidang Jeremy, sambil membiarkan kaki kami<br />
terciprat ombak. Setelah beberapa hari terdampar, aku bertemu Jeremy,<br />
seorang relawan dari Organisasi Penolong Dunia (OPD). Dia satu<br />
dari sedikit orang, yang bisa aku ajak bicara tentang segala macam<br />
aturan yang membuatku pusing selama di sini. Dia bertahan bekerja<br />
di sini, untuk kemanusiaan, seperti yang biasa aku dengar dari<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
163
• Cerpen •<br />
orang-orang sejenis dia. Bagaimanapun dia teman yang paling<br />
berharga untukku, karena dia mengerti apa yang membuatku resah<br />
dan apa yang aku inginkan. Yah, aku tak punya keinginan lain, selain<br />
kembali ke tahun 2005 dan ke kampungku, sebuah perkebunan teh di<br />
Indonesia. Yah, walaupun kalian tahu kan Indonesia?<br />
Sesungguhnya aku mau bilang, bahwa Jeremy itu agak keren, dan<br />
yang lebih penting dari itu, sentuhannya membuat setiap sel tubuhku<br />
menari-nari. Jadi tidak ada alasan untuk tidak bercinta dengannya.<br />
Lagi pula aku tahu, dia sudah tidak bercinta selama 6 bulan, ehm..<br />
kalian percaya?<br />
Ada bulan, ada laut, ada Jeremy yang telanjang dan menciumi<br />
seluruh tubuhku. Lalu, kami bercinta mengikuti deburan ombak yang<br />
bergulung-gulung. Dan kami orgasme bersama sambil meneriakan I<br />
love u….<br />
5 Menit Kemudian<br />
Aku dan Jeremy dikelilingi 12 orang Polisi Pengawas Pupu (3P),<br />
dua diantara mereka perempuan. Salah satu dari perempuan itu<br />
segera menutup tubuhku yang masih telanjang dengan kain sambil<br />
mengumpat:<br />
“Terkutuklah perempuan sumber penderitaan Pupu.”<br />
Sementara anggota 3P yang lain merampas KTPku dan pass por<br />
Jeremy. Aku tidak tahu bagaimana KTP-ku bisa berbunyi:<br />
Nama : Dewi Pupu<br />
Agama : Pupu<br />
Tempat tanggal lahir: Negeri Pupu, 19 Nopember 1985.<br />
Setelah itu, kami dibawa ke Kantor Departemen Pengawas Pupu<br />
untuk melalui pemeriksaan. Kami dituduh telah melanggar Undangundang<br />
Pupu Pasal 4 tentang anti Seks Bebas jo Pasal 67 tentang anti<br />
HIV/AIDS. Karena menurut otoritas Pupu, salah satu penyebar HIV/<br />
AIDS adalah perempuan yang bersetubuh dengan TKS dan relawan<br />
164<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
• Cerpen •<br />
organisasi bantuan internasional.<br />
Aku menolak semua tuduhan itu, karena aku tidak melakukan<br />
“seks bebas”s, aku bercinta dengan orang yang aku sukai dengan<br />
segala riesiko yang aku pertimbangkan. Dan yang lebih mendasar<br />
adalah mereka tidak boleh mengontrol seksualitasku. Aku juga<br />
menolak dijuntokan ke pasal Anti HIV/AIDS karena Jeremy mengenakan<br />
kondom. Lagi pula aku bukan perempuan bodoh, yang melakukan<br />
seks tanpa pengaman. Bahkan aku sudah memikirkan kesehatan<br />
tubuhku sebelum undang-undang ajaib itu mereka buat.<br />
Tetapi tak seorangpun yang menghiraukan penolakanku. Orangorang<br />
berseragam itu memandangku dengan perasaan jijik sambil<br />
sesekali mencuri pandang pada kain yang tidak bisa menutup seluruh<br />
pahaku. Aku seperti berhadapan dengan robot-robot hidup yang siap<br />
melahapku.<br />
Tak ada yang bisa dilakukan Jeremy, selain menatapku dengan<br />
seolah-olah berkata “sudahlah, tidak usah berdebat dengan mereka.”<br />
Aku juga merasakan ketakutan yang diam-diam pada kedua matanya.<br />
3 Jam Kemudian<br />
Salah seorang pimpinan Organisasi Penolong Dunia (OPD)<br />
melakukan pembicaraan dengan pimpinan Departemen Pengawas<br />
Pupu. Setelah itu, Jeremy diperbolehkan meninggalkan Departemen. Ia<br />
dengan segala cara meminta maaf tidak dapat membantuku. Undangundang<br />
Pupu pada prakteknya memang lebih sering menjerat orangorang<br />
yang berkebangsaan Pupu. Hanya dalam kondisi tertentu, ia<br />
bisa menjerat orang asing.<br />
Pada kondisi itu, posisiku sama dengan perempuan lain yang<br />
berkencan dengan TKS. Undang-undang Pupu tidak bisa mengenai<br />
kelompok orang bersenjata, dengan alasan mereka memiliki peradilan<br />
sendiri. Peradilan itu bernama Peradilan Kaum Bersenjata, dimana<br />
kami sebagai kaum sipil tidak punya akses informasi yang cukup dan<br />
keberanian yang cukup untuk meminta keadilan melalui kaum<br />
bersenjata.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
165
• Cerpen •<br />
Rasa sukaku sama Jeremy habis sudah malam ini. Aku tidak bisa<br />
melanjutkan rasa sukaku pada seseorang yang dilindungi oleh sistem<br />
yang tidak aku sukai. Sistem yang hanya bisa mengontrol dan memenjarakan<br />
orang tak berkuasa dan tak bersenjata.<br />
Januari 2016<br />
Aku mengawali tahun dengan cara menghadapi cercaan ratusan<br />
orang di sebuah lapangan sepakbola. Seorang eksekutor sudah siap<br />
untuk mencambukku, tapi ia akan memastikan bahwa penonton<br />
sudah cukup puas menyerangku dengan kata-kata.<br />
“<strong>Perempuan</strong> Jalang!”<br />
“Penyebar HIV/AIDS”<br />
“Pemuas nafsu laki-laki bule”<br />
“Usir dia dari negeri Pupu”<br />
Aku tahu kata-kata dan tatapan mereka bisa 100 kali membuatku<br />
perih, ketimbang cambukan sang eksekutor. Tetapi semakin mereka<br />
berteriak, semakin hilang suara mereka dari pendengaranku. Aku<br />
serasa dikerumuni orang bisu. Hanya jepretan kamera dan sorotan<br />
handycam wartawan yang aku rasakan.<br />
Ketika cambukan pertama mengenaiku, mereka berteriak riang,<br />
seolah-olah berhasil menaklukan seekor kuda liar. Mereka tidak tahu<br />
bahwa sesuatu yang merdeka dalam pikiranku tidak akan pernah<br />
merasakan sakit oleh semua yang mereka lakukan.<br />
Setelah pencambukan selesai, teriakan berubah.<br />
“Usir dia dari negeri Pupu”<br />
“Usir dia dari negeri Pupu”<br />
“Usir dia dari negeri Pupu”<br />
Bahkan mereka tidak mengerti bahwa aku bukan penduduk negeri<br />
Pupu. Aku hanya pendatang dari tahun 2005, yang terdampar di<br />
pulau Pupu dan sedikit menikmati tubuh Jeremy.<br />
That’s all.<br />
(Pantai resah, 17 menit pertama menapak 2006)<br />
166<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Ikuti terus isu-isu • Cerpen perempuan • lewat<br />
edisi-edisi <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> berikut:<br />
<strong>Perempuan</strong> adalah kelompok yang terus<br />
mengalami pemiskinan. Secara ekonomi,<br />
pendapatan perempuan di seluruh dunia<br />
jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki<br />
dan jumlahnya terus menurun setiap<br />
tahun. <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> edisi ini akan<br />
membahas secara tajam hubunganhubungan<br />
antara ketidakadilan gender<br />
dan fenomena pemiskinan perempuan<br />
(feminization poverty)<br />
MENGURAI KEMISKINAN:<br />
Dimana <strong>Perempuan</strong>?<br />
Melindungi <strong>Perempuan</strong><br />
dari HIV/AIDS<br />
Seberapa berdayakah perempuan atas HIV/<br />
AIDS? Demikian pertanyaan edisi kali ini.<br />
Ternyata permasalahan perempuan positif<br />
HIV amatlah kental dengan diskriminasi<br />
gender diantaranya karena pasangan yang<br />
dominan dan lingkungan yang tidak<br />
mendukung mereka. Lebih mengagetkan<br />
lagi, perempuan yang rentan positif adalah<br />
yang aktif secara seksual atau sudah<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>dewasa dan telah menikah. 167
Nantikan Siaran Radio <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />
setiap minggu di 186 Stasiun Radio kesayangan anda<br />
di seluruh Indonesia<br />
No. Stasiun Radio Frekuensi Propinsi Kota Jadwal Siar<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
7<br />
8<br />
9<br />
10<br />
11<br />
12<br />
13<br />
14<br />
15<br />
16<br />
17<br />
18<br />
19<br />
20<br />
21<br />
22<br />
23<br />
24<br />
25<br />
26<br />
27<br />
28<br />
29<br />
30<br />
31<br />
32<br />
33<br />
34<br />
35<br />
36<br />
37<br />
38<br />
39<br />
40<br />
41<br />
42<br />
43<br />
44<br />
<strong>45</strong><br />
46<br />
47<br />
48<br />
49<br />
50<br />
51<br />
52<br />
53<br />
54<br />
55<br />
56<br />
57<br />
58<br />
59<br />
60<br />
61<br />
62<br />
63<br />
64<br />
GUNTUR 104.4 FM Bali Singaraja Jumat: 11:30<br />
GLOBAL 96,5 FM Bali Tabanan Minggu: 11:20<br />
DUTA DEWATA 92,6 FM Bali Denpasar Minggu: 15:00<br />
SONORA 100,9 FM 101,1FM Bangka Pangkalpinang Minggu: 09:00<br />
HARMONI THE FAMILY RADIO STATION 98,1 FM Banten Serang Rabu: 19:30<br />
SUARARIA SANTANA 103,7 FM Bengkulu Bengkulu Setiap Hari: 15:30<br />
SONORA JOGJA 97,4 FM DI Yogyakarta Yogyakarta Rabu: 09:00<br />
PRIMA UNISI YOGYA 104,75 FM DI Yogyakarta Pasar Kembang Kamis: 13:05, Minggu: 10:00<br />
RRI YOGYAKARTA 91,1 FM DI Yogyakarta Kota Baru Sabtu: 09:00<br />
SWARA GADJAH MADA FM 98,<strong>45</strong> FM DI Yogyakarta Yogyakarta Rabu: 06:30<br />
YASIKA FM 95,3 FM DI Yogyakarta Karangkajen Jumat: 11:00<br />
JAKARTA NEWS FM 97,4 FM DKI Jakarta Jakarta Selatan Minggu: 11:00 & 17:00<br />
SUARA METRO 91,0 FM DKI Jakarta Jakarta Selatan Minggu: 09:30 & 16:30<br />
SMART FM 95, 9 FM DKI Jakarta Jakarta Pusat Minggu: 07:48<br />
SWARA SELEBES 100,2 FM Gorontalo Gorontalo Sabtu: 18:00<br />
GITASWARA PRAPITASARI/GSP 100,9 FM Jambi Jambi Sabtu: 10:30<br />
ANTASSALAM 102,65 FM Jawa Barat Bandung Rabu: 16:30<br />
MUSTIKA 107, 5 FM Jawa Barat Bandung Senin: 19:15<br />
BUK GAJAH MEGASWARATAMA (Radio BG) 87,60 FM Jawa Barat Indramayu Sabtu: 18:30<br />
RIA CINDELARAS 1134 KHz Jawa Barat Indramayu Kamis: 05:15<br />
KELUARGA CIHANJUANG SEPULUH / KC-10 106,15 FM Jawa Barat Indramayu Sabtu: 10:00<br />
KAUMAN BOGOR/ERKAEM 1134 AM Jawa Barat Bogor Sabtu: 11:00<br />
MARITIM 102,65 FM Jawa Barat Cirebon Rabu: 08:00, Minggu: 20:00<br />
SUARA GRAFIA 98,5 FM Jawa Barat Cirebon Selasa:10:00<br />
MARTHA FM 101, 3FM Jawa Barat Tasikmalaya Rabu: 17:00<br />
QUANTUM FM TASIKMALAYA 94,6 FM Jawa Barat Tasikmalaya Kamis: 18:00<br />
REKA KHARISMA SWARA 103,35 FM Jawa Barat Garut Kamis: 13:00<br />
ALFINA 720 AM 720 AM Jawa Tengah Pemalang Sabtu: 06:00<br />
ANITA 106, 6 FM Jawa Tengah Tegal Rabu: 10:10<br />
BAYUSAKTI 792 AM Jawa Tengah Kroya Minggu: 13:00<br />
BIMASAKTI 98,8 FM Jawa Tengah Kebumen Minggu: 10:00<br />
BINTORO 1314 AM 1314 AM Jawa Tengah Demak Sabtu:10:30<br />
BSP (SWARA BAHUREKSA) 103, 8 FM Jawa Tengah Pekalongan Sabtu: 10:30<br />
CHANDRA POP 99,85 FM Jawa Tengah Pekalongan Minggu: 07:30<br />
DAMASINTA FM 101,6 FM Jawa Tengah Pekalongan Minggu: 07:30<br />
CANDI SEWU 106,15 FM Jawa Tengah Klaten Minggu: 11:30<br />
CBS 91 FM Jawa Tengah Banjarnegara Sabtu: 12:<strong>45</strong><br />
DIAN SWARA 98,2 FM Jawa Tengah Purwokerto Jumat: 10:00<br />
GIS 90,4 FM Jawa Tengah Wonogiri Minggu: 09:00<br />
JPI FM 106,3 FM Jawa Tengah Solo Sabtu: 07:00<br />
RIA FM FEMALE 98,8 FM Jawa Tengah Solo Senin 21:00<br />
SAS FM 104,3 FM Jawa Tengah Solo Sabtu: 10:30<br />
MANDALIKA 12,78 AM Jawa Tengah Jepara Minggu: 08:00<br />
POP JEPARA 97, 3 FM Jawa Tengah Jepara Minggu: 08:30<br />
PRIMA FM 104 FM Jawa Tengah Jepara Sabtu: 06:00<br />
MERAPI INDAH / RMI 104,9 FM Jawa Tengah Muntilan Selasa: 06:00<br />
GSM - FM 91,5 FM Jawa Tengah Muntilan Minggu: 10:30<br />
MULIA ARIFTA SWARAGRAHA 101, 95 FM Jawa Tengah Kebumen Rabu: 09:00, Minggu: 17:00<br />
MURIA KUDUS 1440 AM Jawa Tengah Kudus Sabtu: 08:50<br />
PERMATA 900 AM Jawa Tengah Kartasura Sabtu: 12:00<br />
POLARIS 105,<strong>45</strong> FM Jawa Tengah Magelang Rabu: 09:00<br />
POP BREBES 95,3 FM Jawa Tengah Brebes Sabtu: 10:00<br />
POP KUDUS 93,7 FM Jawa Tengah Kudus Minggu: 07:00<br />
POP PATI FM 91, 5 FM Jawa Tengah Pati Rabu: 09:00<br />
POPFM PURWODADI 94,6 FM Jawa Tengah Purwodadi Minggu: 06:<strong>45</strong><br />
SUARA MRAPEN ABADI 98,2 FM Jawa Tengah Purwodadi Selasa: 08:00<br />
POPFM PURWOREJO 93,4 FM 93,4 FM Jawa Tengah Purworejo Minggu: 12:00<br />
POPFM REMBANG 95,2FM Jawa Tengah Rembang Minggu: 08:30<br />
POP SEMARANG FM 103,7 FM Jawa Tengah Semarang Minggu: 07:00<br />
CHANNEL 99 (eks RADIKS) 99,15 FM Jawa Tengah Semarang Minggu: 16:30<br />
TOP FM - SEMARANG 89,40 MHz Jawa Tengah Semarang Senin: 09:00<br />
“W” FM 100,1 FM Jawa Tengah Semarang Minggu: 09:00<br />
168 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
IMELDA 104,4 FM Jawa Tengah Semarang Selasa: 08.00 - 09.00<br />
POP SRAGEN FM 88, 8 FM Jawa Tengah Sragen Selasa:09:00
Nantikan Siaran Radio <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />
setiap minggu di 186 Stasiun Radio kesayangan anda<br />
di seluruh Indonesia<br />
No. Stasiun Radio Frekuensi Propinsi Kota Jadwal Siar<br />
65 POP YOGYA FM 99,5 FM Jawa Tengah Salam Minggu: 13.30<br />
66 PTPN RASITANIA 99,6 FM Jawa Tengah Surakarta Sabtu: 10:30<br />
67 PURNAMASIDI 101,95 FM Jawa Tengah Wonosobo Sabtu: 17:00<br />
68 RONA PUSPITA AM.900 101,6 FM Jawa Tengah Kendal Jumat: 19:30<br />
69 RPK FM 107,2 FM Jawa Tengah Temanggung Jumat: 09:00<br />
70 SATRIA FM 648 AM Jawa Tengah Aji Barang Sabtu: 12:00<br />
71 SBS - PURBALINGGA 828 AM Jawa Tengah Purbalingga Sabtu: 06:00<br />
72 SUARA GARUDA SAKTI 1243 AM Jawa Tengah Blora Minggu: 08:00<br />
73 SWARA KRANGGAN PERSADA 882 AM Jawa Tengah Temanggung Kamis: 19:30<br />
74 WIJAYA 102,6 FM Jawa Tengah Cilacap Minggu: 13:00<br />
75 ZENITH 702 AM Jawa Tengah Salatiga Sabtu: 09:00<br />
76 ANDIKA FM 106,5 FM Jawa Timur Kediri Senin: 11:<strong>45</strong><br />
77 ARUPADATU 94,00 FM Jawa Timur Mojokerto Kamis: 12:00<br />
78 BEST FM 103 FM Jawa Timur Jember Senin: 07:20<br />
79 DUTA CAKRAWALA SERASI FM (DCS) 101,6 FM Jawa Timur Madiun Rabu: 09:00<br />
80 GIGA FM 99,85 FM Jawa Timur Sidoarjo<br />
81 LIUR 90, 9 FM Jawa Timur Tulungagung Kamis: 06:00 &<br />
Jumat: 12:00<br />
82 MITRA ADI SWARA 104, 5 FM Jawa Timur Malang Senin, Kamis: 11:<strong>45</strong><br />
83 PASURUAN WARNA PESONA (Warna 91.<strong>45</strong> FM) 91.<strong>45</strong> FM Jawa Timur Pasuruan Jumat: 07:00<br />
84 PROSALINA 101,3 FM Jawa Timur Jember Rabu, Kamis: 05:<strong>45</strong><br />
85 CITRA 98,2 FM Jawa Timur Jombang Sabtu: 17:00<br />
86 SABDOTOMO 93,5FM Jawa Timur Kediri Minggu: 18:00<br />
87 BONANSA 105, 10 FM Jawa Timur Kediri Senin - Jam: 09.30<br />
88 SONORA 98,0 FM Jawa Timur Surabaya Rabu: 09.00<br />
89 SUARA MANDALA 96,4 MHz Jawa Timur Banyuwangi Rabu: 08:15<br />
90 SWARA KARIMATA 100,2 FM Jawa Timur Pamekasan - Madura Minggu: 16:15<br />
91 WIKA FM 98,8 98,8 FM Jawa Timur Mojokerto Kamis & Sabtu: 08:00<br />
92 ARYA BOMANTARA 102,3 FM Kalimantan Barat Singkawang Kamis: 10:00<br />
93 BIMAREKSA 104,4 FM Kalimantan Barat Sanggau Rabu: 09:00<br />
94 DERMAGA 936 AM Kalimantan Barat Pontianak Selasa: 11:00<br />
95 MAHKOTA NGABANG GEMASWARA 828 KHZ Kalimantan Barat Pontianak Kamis: 11:30<br />
96 PRIMADONA 99,1 FM Kalimantan Barat Pontianak Rabu & Sabtu: 09:00<br />
97 RADIO PEMERINTAH DAERAH KETAPANG 1088 AM Kalimantan Barat Pontianak Sabtu: 14:00<br />
98 SONORA 96, 7 FM Kalimantan Barat Pontianak Sabtu: 09:00<br />
99 VOLARE 103, 4 FM Kalimantan Barat Pontianak Rabu: 08:00<br />
100 RAMA 107,5 FM Kalimantan Barat Pontianak Senin: 10.00<br />
101 MELATI GRAMEDYA 738 AM Kalimantan Barat Mempawah Selasa: 10:00<br />
102 POLAREKSA 104,15 MHz Kalimantan Barat Sintang Senin: 09:30<br />
103 DBS / DIRGANTARA PERMAI 101,6 FM Kalimantan Selatan Banjarmasin Sabtu: 09:00<br />
104 NUSANTARA ANTIK 102, 7 FM Kalimantan Selatan Banjarmasin Sabtu: 10:00<br />
105 SMART (RADIO SWARA MAIDA ARTANUSA) 100,1 FM Kalimantan Selatan Banjarmasin Minggu: 11:30<br />
106 GEMAYA REKAYASA 104,7 FM Kalimantan Timur Balikpapan Kamis: 09:00<br />
107 SWARA MEDIA SENTRANADA 101,3 FM Kalimantan Timur Balikpapan Senin: 11:00<br />
108 MARS FM 104,2 104,2 FM Kalimantan Timur Penajam Paser Utara Senin: 10:00<br />
109 MESRA/DAYAPENCA PUTERA 102,3 FM Kalimantan Timur Samarinda Minggu, Senin: 09:30<br />
110 BORNEO RADIO CHANNEL 96 FM Kalimantan Timur Samarinda Selasa: 18:15<br />
111 RASUBHA 100,2 AM Lampung Bandar Lampung Rabu: 11:00<br />
112 SUARA WAJAR 96, 8 FM Lampung Bandar Lampung Jumat: 10:05<br />
113 ISTANA BAHARA SWARA (RADIO ISTANA) 101 MHZ 101,25 FM Maluku Bastiong - Ternate Kamis: 10:00<br />
114 MILENIA 104,75 FM Maluku Ternate<br />
115 GEMA HIKMAH 103 FM Maluku Ternate Kamis: 08:30<br />
116 SANGKAKALA 103 FM Maluku Ambon Kamis: 07:30<br />
117 SWARA INDONESIANA 107,2 FM Maluku Tidore Kamis: 09:30<br />
118 GEMA PERTIWI 104,6 FM Maluku Halmahera Selatan Rabu, Kamis, Jumat:<br />
09:00, Sabtu: 10:00<br />
119 ADYEMAJA 104,4 FM NAD Lhokseumawe Kamis: 09:00<br />
120 KAZUMA BAWANASWARA - NAD Lhokseumawe Senin: 19:30<br />
121 PRO 2 FM NAD Lhokseumawe Minggu : 7.<strong>45</strong><br />
122 ANDYTA RASISONIA 105,10 FM NAD Bireun Rabu, Minggu: 16:00<br />
123 BAITURRAHMAN 98,5 FM NAD Banda Aceh Minggu: 09:00<br />
124 GYPSI 106, 10 MHz NAD Langsa Jumat: 13:30<br />
125 MEGAPHONE <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong> 105,60 FM NAD Pidie Sabtu: 169 09:00, Minggu:<br />
11:00, Senin: 10:00
Nantikan Siaran Radio <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />
setiap minggu di 186 Stasiun Radio kesayangan anda<br />
di seluruh Indonesia<br />
No. Stasiun Radio Frekuensi Propinsi Kota Jadwal Siar<br />
126<br />
127<br />
128<br />
129<br />
130<br />
131<br />
132<br />
133<br />
134<br />
135<br />
136<br />
137<br />
138<br />
139<br />
140<br />
141<br />
142<br />
143<br />
144<br />
1<strong>45</strong><br />
146<br />
147<br />
148<br />
149<br />
150<br />
151<br />
152<br />
153<br />
154<br />
155<br />
156<br />
157<br />
158<br />
159<br />
160<br />
161<br />
162<br />
163<br />
164<br />
165<br />
166<br />
167<br />
168<br />
169<br />
170<br />
171<br />
172<br />
173<br />
174<br />
175<br />
176<br />
177<br />
178<br />
179<br />
180<br />
181<br />
182<br />
183<br />
184<br />
185<br />
186<br />
SUARA MAHARDIKA GEMPITA NAD Blang Pidie Minggu: 10:00<br />
CITRASUARA NUANSA LOMBOK / CNL 95,3 FM NTB Mataram Senin: 09:00<br />
MITRA IDOLA KITA 792 AM NTB Selong Jumat: 17:30<br />
SWARA MAYA PESONA INDAH 98,8 FM NTB Lombok Selasa: 17:30<br />
BAYU GITHA SWARA 93,00 FM NTB Lombok Minggu Jam : 10.00<br />
Kamis Jam : 19.00<br />
KENANGAN 96, 5 FM NTB Sumbawa Barat Selasa:17:00<br />
GYPSI FM 94,5 FM NTB Sumbawa Minggu: 08:00 & 19:30<br />
OISVIRA FM 95,1 FM NTB Sumbawa Jumat: 17:00<br />
KISSORA GRAHA PERSADA 105,1 FM NTT Kupang Rabu: 14:00<br />
NADA MUDA CAKRAWALA (RADIO CAKRAM) 97,05 FM NTT Maumere-Flores Rabu: 18:00, Sabtu: 07:30<br />
PEMERINTAH DAERAH - NGADA - NTT Flores Senin: 18:30<br />
SONIA 102,9 MHz NTT Maumere Sabtu: 08:30<br />
TIRILOLOK 100,9 FM NTT Kupang Senin: 10:30<br />
ARTHUR PERKASA 105,1 FM Papua Jayapura Selasa: 10:00<br />
MOVE FM 1003 MHZ 103 FM Papua Jayapura Jumat: 17:00<br />
SUARA KASIH AGUNG (RSKA) 106,5 FM Papua Jayapura Selasa: 09:00<br />
VOP FM 100,2 FM Papua Jayapura Rabu: 15:06<br />
CITRA DAYANG SURI 104,8 FM Riau Dumai Minggu: 08:00<br />
MELODY 88,80 FM Riau Dumai Senin: 19:00<br />
SHINE 92.5 FM 92,5 FM Riau Dumai Kamis: 21:00<br />
CYNTHIA RHAMA BROADCASTING CORP. 100,2 FM Riau Pekanbaru Selasa: 13:00<br />
GEMA BENTARA 107 FM Riau Batam Rabu: 10:00<br />
KENCANA RIA INDAH SUARA 102,3 FM Riau Batam Kamis: 12:00<br />
SORERAM 1044 AM 1044 AM Riau Pekanbaru Kamis: 15:05<br />
SWARAKHARISMA TRISAD/STAR 107,5 FM 107,5 FM Riau Bengkalis Jumat: 10:00 & 18:00<br />
BHARATA RASIHIMA 106,5 FM Sulawesi Selatan Makassar Minggu: 13:00<br />
MAKARA FM 103,6 FM Sulawesi Selatan Kota Palopo Sabtu: 10:00<br />
RINA BESTARI 738 KHz Sulawesi Selatan Tana Toraja Sabtu: 17:<strong>45</strong><br />
MERCURIUS TOP FM 104,4 FM Sulawesi Selatan Makassar Rabu: 08:00<br />
SMART (RADIO MAKASSAR ARTATIARA) 100,9 FM Sulawesi Selatan Makassar Jumat: 15:00<br />
SWARA SENTOSA PRATAMA 103,7 FM Sulawesi Selatan Makassar Minggu: 09:00 & 20:00<br />
BEST FM 101,6 FM Sulawesi Tengah Palu Sabtu: 15:30, Minggu: 09:00<br />
MALEO 103, 7 FM Sulawesi Tengah Tojo Unauna Kamis:11:00<br />
NEBULA NADA 101FM Sulawesi Tengah Palu Senin & Kamis: 09:30<br />
NUGRAHA TOP 102,6 MHz Sulawesi Tengah Palu Senin, Rabu & Jumat: 11:30<br />
BULAVA 100,2 FM Sulawesi Tengah Poso Kamis: 20:30<br />
GEMA ANGKASA SWARA ALKHAIRAT FM 1170 AM Sulawesi Tengah Palu Minggu: 13:00<br />
SWARA PRAJA MUKTI / RADIO PEMDA POSO 97,8 FM Sulawesi Tengah Poso Rabu: 10:15<br />
SUARA PUBLIKA 103,35 FM Sulawesi Tengah Palu Senin: 13:00<br />
SWARA RAMAYANA JELITA 1404 AM Sulawesi Tengah Palu Selasa: 14:30<br />
BITTARO 1341 KHz Sulawesi Tengah Toli-Toli Selasa: 11:00<br />
GEMA KENDARI FM 92, 40 MHz Sulawesi Tenggara Kendari Jum’at & Minggu: 09:40<br />
SUARA ALAM 99,2 FM Sulawesi Tenggara Kendari Sabtu: 10:00<br />
AL-KHAIRAT (RAL) 102,65 FM Sulawesi Utara Menado Rabu: 10:15<br />
GITA LESTARI 105,10 FM Sulawesi Utara Bitung Rabu: 18:00<br />
KOSMO FEMALE 96,1 FM Sulawesi Utara Manado Sabtu: 08:00<br />
ROM 2 FM 101,6 FM Sulawesi Utara Manado Rabu: 17:30<br />
SMART(SWARA MANADO RADIO TRENDI) 100,9 FM 101,2 FM Sulawesi Utara Manado Sabtu: 11:35<br />
SWARA CITRA ESA ENANG 104,4 FM Sulawesi Utara Manado Rabu: 18:30<br />
SWARA MAESAAN WAYA / MERSI 98, 5 FM Sulawesi Utara Manado Minggu: 15:00, Senin: 07:00<br />
SWARA NUR HADDAD FM 100 MHz Sulawesi Utara Bolaang Mongondow Senin & Kamis: 11:15<br />
BIMANTARA 98,8 FM Sumatera Barat Bukittinggi Junat: 10:00<br />
BUKIT TINGGI 101,5 FM Sumatera Barat Bukit Tinggi Rabu: 10:00<br />
GEMA KARANG PUTIH (CLASSY 103 FM) 103,4 FM Sumatera Barat Padang Selasa: 11:00<br />
SUSHI FM 100,2 FM Sumatera Barat Padang Minggu: 20:00<br />
SONORA PALEMBANG (PT RADIO GEMA ATMAJAYA) 102,6 FM Sumatera Selatan Palembang Minggu: 09:30<br />
SMART (SWARA MAQEBA ARTATIARA) 101,9 FM Sumatera Selatan Palembang Selasa: 19:00<br />
ADI UTAMA LAKSAMANA (RAU 104.75 FM) 104,75 FM Sumatera Utara Pdg Sidempuan Jumat: 20:00<br />
LA FEMME 88 FM Sumatera Utara Medan Rabu: 18:00<br />
MASS (MADINA SORA SERE) 101 FM Sumatera Utara Mandailing Natal Senin: 10:30<br />
170 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
YASKA JAYA 100,2 FM Sumatera Utara Terbing Tinggi Sabtu: 09:30
Jangan lewatkan tema-tema menarik<br />
tentang isu-isu perempuan<br />
yang dikemas oleh<br />
Radio <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong>, berikut ini:<br />
RJP-327<br />
RJP-328<br />
RJP-329<br />
RJP-330<br />
RJP-331<br />
RJP-332<br />
RJP-333<br />
RJP-334<br />
Pendampingan <strong>Perempuan</strong> Positif HIV<br />
Masalah <strong>Perempuan</strong> dan Pendidikan<br />
<strong>Perempuan</strong> dan Musik<br />
Reproduksi <strong>Perempuan</strong> Positif HIV<br />
Pengamen <strong>Perempuan</strong><br />
Setahun lebih Paska Pemberlakuan Undang Undang PKDRT<br />
<strong>Perempuan</strong> Bermotor<br />
Keterwakilan <strong>Perempuan</strong> dalam Pengambilan Kebijakan Publik<br />
Anda bisa mendapatkan rekaman kaset program<br />
Radio <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> dengan tema-tema yang<br />
anda inginkan seharga Rp. 15.000,- per kaset.<br />
Hubungi kami untuk informasi lebih lanjut.<br />
Jl. Tebet Barat VIII No. 27<br />
Jakarta Selatan 12810<br />
Telp. : (021) 8370 2005<br />
Fax : (021) 830 2434<br />
E-mail : yjp@jurnalperempuan.com<br />
Dapatkan Buku Terbaru Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />
PEREMPUAN BERTUTUR<br />
Sebuah Wacana Keadilan Gender dalam Radio <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />
Dalam Program Radio <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong>, telah banyak<br />
sekali isu-isu yang berkaitan dengan perempuan diangkat.<br />
Di tengah meningkatnya angka kekerasan terhadap<br />
perempuan baik ruang publik maupun domestik, tingginya<br />
angka kematian ibu melahirkan dan praktek trafiking<br />
(perdagangan perempuan dan anak) serta masih kerap<br />
terabaikannya hak-hak reproduksi perempuan, Radio <strong>Jurnal</strong><br />
<strong>Perempuan</strong> eksis untuk menjalankan fungsi raising<br />
awareness (membangkitkan kesadaran masyarakat) akan<br />
pentingnya penghormatan hak-hak perempuan.<br />
Untuk informasi lebih lanjut hubungi<br />
Bagian Pemasaran Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />
Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810<br />
Telp. : (021) 8370 2005<br />
Fax : (021) 830 2434<br />
E-mail : yjp@jurnalperempuan.com<br />
Harga Rp. 30.000
Surat Pembaca <br />
JP Tema Lesbian<br />
Sebagai jurnal yang membahas segala problematika perempuan yang<br />
ada di Indonesia, bagaimana tanggapan anda tentang komunitas kaum<br />
lesbian di Indonesia saat ini? Saya berharap edisi <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />
berikutnya membahas komunitas kaum lesbian dengan detail.<br />
annisaa azisah (cheerupsassy@xxx.com)<br />
Annisaa yang baik, dalam JP edisi 26 tentang kekerasan dan 41 tentang<br />
seksualitas telah membahas isu lesbian. Isu ini memang penting untuk menjelaskan<br />
keberadaan perempuan yang homoseksual, yang ternyata diperlakukan<br />
diskriminatif. Kami sudah berencana untuk menerbitkan JP khusus tema lesbian<br />
bila ada kesempatan nanti.<br />
Cerpen Black Box<br />
Redaksi <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong>, sangat disayangkan, dalam JP Edisi 44<br />
“Pendidikan Alternatif Untuk <strong>Perempuan</strong>”, terdapat Cerpen Hikmat<br />
Gumelar berjudul “Black Box” yang sebelumnya telah dimuat di harian<br />
Pikiran Rakyat (Desember 2005). Tentu saja hal ini sangat mengecewakan.<br />
Ellin Rozana-INSTITUT PEREMPUAN<br />
Ellin yang baik, terima kasih atas responnya.Redaksi sudah menghubungi<br />
Hikmat Gumelar, menurutnya Cerpen Black Box di JP adalah versi yang lain<br />
dari yang dimuat di Harian Pikiran Rakyat. Menurutnya perbedaan versi itu<br />
menunjukkan ia tidak melanggar kode etik. Redaksi memilih cerpen tersebut<br />
karena mengangkat tema perempuan Gerwani, yang belum kami temukan di<br />
cerpen lainnya.<br />
RALAT<br />
!<br />
Dalam <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> edisi 44, terdapat kesalahan pencantuman<br />
biodata penulis Siti Murtiningsih. Biodata yang sebenarnya adalah:<br />
Lulusan S1 Filsafat UGM tahun 1995 dan S2 Filsafat UGM tahun<br />
1997. Penulis buku berjudul “Pendidikan Alat Perlawanan”, penerbit<br />
Resist Book, 2004. Tulisan yang berjudul “Ideologi Gender dalam<br />
Pendidikan Formal di Indonesia” merupakan salah satu penelitian<br />
yang pernah dilakukannya di tahun 2000 bekerjasama Pusat Studi<br />
Wanita UGM dengan DIKTI.<br />
Redaksi<br />
172<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>
Tentang Penulis <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Ani Soetjipto. Penulis adalah Pengajar di Universitas Indonesia serta<br />
Program Officer di The <strong>Asia</strong>n Fondation.<br />
Atas Hendartini Habsjah. Seorang pengajar di Program Pasca Sarjana<br />
Program Kajian Wanita Universitas Indonesia, pendiri dan peneliti di<br />
Yayasan Kesehatan <strong>Perempuan</strong>.<br />
Dewi Novi Wahyuni. Lulusan Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Inggris<br />
untuk Seksi American Study Universitas Diponegoro Semarang. Kini<br />
bekerja sebagai Koordinator Divisi Pemantauan Komisi Nasional Anti<br />
Kekerasan terhadap <strong>Perempuan</strong> (Komnas <strong>Perempuan</strong>).<br />
Eko Bambang S. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya<br />
Malang, aktif di Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> sejak 2003. Karya tulis<br />
jurnalistiknya hampir setiap hari dapat dinikmati di Website<br />
www.jurnalperempuan.com. Saat ini menjadi Koordinator Website<br />
Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong>.<br />
Indah Lestari. Freelance Translator yang sedang menerjemahkan novel<br />
sastra Inggris oleh penulis asal Afrika Selatan penerbit Jalasutra,<br />
penyunting di Ilman Books terjemahan Indonesia novel Arab klasik,<br />
dan kini di bekerja di Tempo.<br />
M Mushthafa, mahasiswa Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta, penulis<br />
resensi buku di berbagai media.<br />
Magdalena Sitorus, ketua Pokja Monitoring dan Evaluasi Komisi<br />
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dari tahun 2001 sampai sekarang<br />
juga menjadi Ketua Rekan <strong>Perempuan</strong> yang melakukan pendidikan dan<br />
pelatihan untuk hak anak dan perempuan. Tahun 1996-2004 menjadi<br />
Direktur Eksekutif SIKAP untuk penanganan kasus kekerasan pada anak<br />
dan perempuan, khususnya kekerasan seksual.<br />
Ratna Batara Munti. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi<br />
<strong>Perempuan</strong> Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK) Jakarta dan<br />
Koordinator Jaringan Pro Legislasi Nasional Pro <strong>Perempuan</strong>.<br />
Rita Serena Kolibonso. Master Hukum lulusan Law Department,<br />
Sheffield University, Inggris. Kini bekerja sebagai advokat dan Direktur<br />
Eksekutif Mitra <strong>Perempuan</strong> Women’s Crisis Centre, Jakarta.<br />
Siti Musdah Mulia. Ketua Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender<br />
Departemen Agama RI.<br />
Sulityowati Irianto. Mengajar di Fakultas Hukum UI, dan Program Kajian<br />
Wanita Pascasarjana UI, anggota ConventionWatch, Pusat Kajian Wanita<br />
dan Gender, UI<br />
Yoke Sri Astuti. Lulusan Filsafat Universitas Indonesia, kini bekerja<br />
sebagai Manager Office Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong>.<br />
<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />
173
Dapatkan<br />
di toko buku terdekat, di kota anda!<br />
BALI :<br />
TB. GRAMEDIA: DUTA PLAZA Jl. Dewi Sartika Denpasar, MALL BALI GALERIA Lt. 2 Blok D.<br />
Jl. Raya By-Pass, Ngurah Rai, Kuta 80361<br />
BALIKPAPAN :<br />
TB. GRAMEDIA Balikpapan Center Lt. 1, Jl. Jend. Sudirman<br />
BANDUNG :<br />
TB. GRAMEDIA Jl. Merdeka No. 43, Bandung Super Mall Jl. Gatot Subroto No. 286, Istana<br />
Plaza Jl. Pasar Kaliki No.121-123, TB. Kecil (d.h. PASAR BUKU) Jl. Kyai Gede Utama No. 8,<br />
TB. LITERA Jl. Ciembeluit No. 155, TB. Ultimus Jl. Karapitan 127, Radio Mustika Gd<br />
Bandung Trade Center Jl. Terusan Pasteur 143-149 Bandung, TB. Cahaya Media Jl. Raya<br />
Bandung-Sumedang Km 21 No. 161 A UNPAD Jatinangor. Institut <strong>Perempuan</strong> Jl. Dago<br />
Pojok No. 85, Cablong<br />
BANJARMASIN :<br />
TB. GRAMEDIA Jl Veteran No. 61<br />
BOGOR :<br />
TB. GRAMEDIA: Gd. HERO Jl. Raya Pajajaran Bogor<br />
DEPOK :<br />
TB. GRAMEDIA: Cinere Mal Jl. Raya Cinere, TB. KARISMA: Mall Cinere lt. Dasar Jl. Raya<br />
Cinere, Borobudur Dept. Store Lt.1 Jl. Margonda Raya No. 166. KOPERASI MAHASISWA:<br />
Fak. SASTRA UI Depok, FISIP UI Depok, Fak. HUKUM UI Depok, Fak. EKONOMI UI<br />
Depok, Departemen Filsafat -FIB UI Gd. III lt. 2 Kampus UI Depok<br />
JAKARTA :<br />
TB. GRAMEDIA: Jl. Matraman Raya No. 46-48 Jakarta Pusat, Jl. Melawai III No. 12-18 Blok<br />
M Jakarta Selatan, Gd. HERO Jl. Gatot Subroto Kav. 64 Jakarta Selatan, Mall Kelapa Gading Jl.<br />
Raya Kelapa Gading Jakarta Utara, Mal Cempaka Mas Jl. Letjend. Suprapto No. 1 Jakarta<br />
Pusat, TB. GUNUNG AGUNG: Blok M Plaza Jl. Bulungan Jakarta Selatan, TB. KARISMA:<br />
Mall Taman Anggrek lt. 3 Jl. S. Parman Slipi Jakarta Barat, Mall Puri Indah lt 1 No. 134 Kebon<br />
Jeruk Jakarta Barat, Cijantung Mal Jl. Raya Bogor, Ruko Cibubur Indah Jl. Raya Cibubur,<br />
Hero Plaza Jl. Raya Kalimalang, Citra Mall lt. 5 Klender Jl. I Gusti Ngurah Rai, Jl. Raya Cilandak<br />
KKO Cilandak Timur. QB WORLD BOOK: GEMA BUILDING Lantai Dasar Jl. Sunda No. 9,<br />
Jakarta Pusat, PLAZA SENAYAN lantai 3 Jl. <strong>Asia</strong> Afrika No. 8, Jakarta 10270, PONDOK INDAH<br />
Jl. Alteri Pondok Indah No.1, Jakarta Selatan (Sebelah Masjid Pondok Indah), KEMANG Jl.<br />
Kemang Raya No. 17, Kemang, Jakarta Selatan (Depan Kemchick), TB. NEWS STAND:<br />
Pasar Festival Jl. HR. Rasuna Said TB. BENGKEL DEKLAMASI TIM Jl. Cikini Raya Jakarta<br />
Pusat, JAKARTA BOOK CENTER Jl. Raya Kalibata Jakarta Selatan, Toko ANEKA Univ.<br />
ATMAJAYA Jl. Jend. Sudirman Jakarta Selatan, TB. KALAM Jl. Utan Kayu No. 68H Jakarta<br />
Timur. TB. Pro27 STT Jakarta Jl. Proklamasi No. 27 Jakarta Pusat, BOOK UNIVERSE Gd.<br />
Sarinah Lt. 6 Jl. MH. Thamrin No. 11 Jakarta Pusat, PUSAT STUDI WANITA UI Gd.<br />
Rektorat lt. 4 Jl. Salemba Raya Jakarta Pusat, Counter PT INDOPROM Indonesia: The<br />
News Stand WTC Gd. WTC (Basement) Jl. Jend. Sudirman Kav. 29 Jakarta Selatan, Lobby<br />
HOTEL MANDARIN Jl. MH. Thamrin Kav. 1 Jakarta Pusat, The News Stand 99 Ranch market<br />
Jl. Sultan Iskandar Muda No. 21 Pondok Indah, KEDAI WALHI Jl. Tegal Parang Utara No<br />
14, KEDAI BUKU SINAU Jl. Bekasi Timur No 32. Jakarta Timur, OKTROI PLAZA Jl. Kemang<br />
raya No 01 Jakarta Selatan, Toko Gue Perkantoran Hijau Arkadia Jl. TB. Simatupang Kav.<br />
88, Jakarta Selatan. TB. Gabe Jaya Jl. Kramat Raya No. 4-6, Jakarta Pusat. KOPERASI<br />
MAHASISWA: Univ. MUHAMMADIYAH Jl. Ciputat Raya Jakarta Selatan.<br />
JEMBER :<br />
TB. GRAMEDIA Jl. Trunojoyo No. 85<br />
KEBUMEN :<br />
INDIPT Jl. Tentara Pelajar Gg Srandil No 2
KENDARI :<br />
Ade Agency Jl. Sasarani No.301, Solidaritas <strong>Perempuan</strong> Kendari Jl. Beringin No.2<br />
KUPANG :<br />
TB. GRAMEDIA Jl. Jend. Sudirman No. 163<br />
LAMPUNG :<br />
TB. GRAMEDIA Jl. Raden Intan No. 66 Tanjung Karang.<br />
MALANG :<br />
TB. GRAMEDIA Mitra II Lt. 2 & 3, Jl. Letjen Sutoyo No. 32-34. Kedai Buku SINAU, Jl.<br />
Bogor Atas No. 1C (Samping SMA Sriwedari).<br />
PADANG :<br />
TB. GRAMEDIA Jl. Damar No. 63<br />
PALEMBANG :<br />
TB. GRAMEDIA Jl. Kol. Atmo No. <strong>45</strong><br />
PONTIANAK :<br />
EQUAL Agency Jl. Ya’ M. Sabran Gg. Sutra No. 9 Rt. 05 Rw.03, Kel. Tanjung Hulu.<br />
PURWOKERTO :<br />
TB. GANESHA Jl. Overste Isdiman No. 1A<br />
RIAU :<br />
TB. GRAMEDIA Jl. Jendaral Sudirman No 2<strong>45</strong>. Pekanbaru<br />
SAMARINDA :<br />
TB Gramedia Jl. S. Parman Mal Lembuswana Blok B. No 02<br />
SALATIGA :<br />
KOPERASI MAHASISWA: TB. WANCANA MULIA Univ. Satya Wacana Jl. Diponegoro<br />
No. 52-60.<br />
SEMARANG :<br />
TB. GRAMEDIA Jl. Pandanaran No.122, TB. KARISMA HERO Jl. Sultan Agung No. 90,<br />
TB. MERBABU Jl. Pandanaran No. 108, LBH Semarang Jl. Parang Kembang No. 14, Bumi<br />
Tlogosari, KOSUMA UNDIP Jl. Hayam Wuruk No. 1, LRC-KJHAM Jl. Lemah Gempal 2 No<br />
766 A, Warung Buku Perdikan Jl. Bedagan 481.<br />
SOLO :<br />
TB. SINAR BARU Jl. Kebangkitan Nasional Kios No. 84-86<br />
SURABAYA :<br />
TB. GRAMEDIA Jl. Jend. Basuki Rahmad No. 95; Jl. Manyar Kertoarjo No.16.; TB. Toga<br />
Mas Super Bookstore Gedung Surabaya Indah Jl. Embong Malang 33-37<br />
TANGERANG :<br />
TB. GRAMEDIA: Bintaro Jaya Plaza Jl. Bintaro Utara Sektor III A Bintaro, Mall WTC Matahari<br />
2nd Floor Jl. Raya Serpong No. 39 Km. 8, LIPPO Supermall Unit G No. 11-12 Karawaci<br />
Tangerang. GRIA BUKU (1) Jl. Ibn Batutah No.1 BBS (Depan Koperasi UIN) Ciputat.(2) Jl.<br />
Pesanggrahan No. 74 (samping Kampus UIN) Ciputat.<br />
YOGYAKARTA :<br />
TB. GRAMEDIA Jl. Jend. Sudirman No. 54-56 TB. SOSIAL AGENCY Jl Gejayen Mrican No.<br />
43, Jl. Prof. Herman Yohanes No. 1170, Jl. Laksada Adisucipto No. 22, TB. TOGA MAS Jl.<br />
Gejayan Mrican No.1, TB. INSIST Perum Sawitsari Jl. Kemuning No. B7, LSPPA Jl.<br />
Mangkunegaran Kidul No. 21, KOPERASI MAHASISWA Univ. Gajah Mada Jl. Bulaksumur<br />
H-7.
Kode Pelanggan<br />
FORMULIR BERLANGGANAN<br />
Diisi oleh Bagian Pemasaran YJP<br />
<strong>45</strong><br />
Mohon dicatat sebagai pelanggan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />
Nama Lengkap<br />
Tempat/tgl. lahir<br />
Pekerjaan<br />
Alamat Rumah<br />
Kode Pos<br />
L<br />
P<br />
Telp.<br />
Hp.<br />
eMail<br />
Nama Instansi<br />
Alamat<br />
Telp.<br />
eMail<br />
Fax.<br />
Bersama ini kami kirimkan Biaya berlangganan untuk 1 tahun/6 edisi sebesar:<br />
Rp. 100.000,- mulai edisi **) ............ (diluar ongkos kirim)<br />
Ongkos kirim: P. Jawa Rp. 5.000/edisi, Luar P. Jawa Rp. 10.000/edisi<br />
Pembayaran *) dilakukan dengan:<br />
Tunai Rp.....................................diambil ditempat pengiriman (Khusus Jakarta)<br />
pada Tgl....................................Pukul....................................<br />
Wesel Pos ke alamat Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> No. Resi.................Tgl................<br />
Transfer uang ke Rekening a.n. Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> di:<br />
BRI Kantor Cabang Pembantu Tebet No. Rek.0534-01-001088-50-7.<br />
Pada tanggal.........................., melalui Bank..............................................<br />
dan bukti Pembayaran beserta Formulir kami kirimkan ke Bagian Pemasaran YJP,<br />
Jl. Tebet Barat VIII No. 27, Jakarta Selatan 12810 melalui Fax (021) 830 2434 atau POS.<br />
Alamat pengiriman: Rumah Kantor<br />
*) Beri tanda pada pilihan yang diinginkan<br />
**) 6 edisi dimulai dari <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> terbaru<br />
........................2006<br />
Hormat Kami,<br />
........................................<br />
Nama Pelanggan