27.11.2014 Views

Jurnal Perempuan 45 - CEDAW Southeast Asia

Jurnal Perempuan 45 - CEDAW Southeast Asia

Jurnal Perempuan 45 - CEDAW Southeast Asia

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

No. <strong>45</strong>, 2006<br />

Pendiri<br />

Gadis Arivia<br />

Pemimpin Redaksi<br />

Adriana Venny<br />

Redaktur Pelaksana<br />

Mariana Amiruddin<br />

Redaksi<br />

Eko Bambang Subiyantoro<br />

Sekretaris Redaksi<br />

Suprihadi<br />

Desain & Layout<br />

Agus Wiyono<br />

Penjualan & Sirkulasi<br />

A. Nazaruddin<br />

Budi Hermawan<br />

Endang Setiyawati<br />

Percetakan<br />

SMKG Desa Putera, Jakarta<br />

Alamat Redaksi<br />

Jl. Tebet Barat VIII No. 27<br />

Jakarta Selatan 12810<br />

Telp.: (021) 83702005 (hunting)<br />

Faks: (021) 8302434<br />

E-mail: yjp@jurnalperempuan.com<br />

Website: www.jurnalperempuan.com<br />

Penerbit<br />

YAYASAN JURNAL PEREMPUAN<br />

Cetakan Pertama, Jakarta, Januari 2006<br />

ISSN : 1410-153X<br />

Didukung oleh<br />

Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak, mengkopi<br />

sebagian atau keseluruhan tanpa seijin Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong>.<br />

Isi tulisan tidak harus mencerminkan pandangan redaksi.


Prolog<br />

4 <strong>CEDAW</strong> tak Bertaring, Salah<br />

Siapa?<br />

• Daftar Isi •<br />

Daf tar Isi Edisi <strong>45</strong><br />

Topik Empu<br />

7 Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />

Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />

(<strong>CEDAW</strong> dan Pertanyaan<br />

tentang Kebijakan-<br />

Kebijakan Negara)<br />

Ratna Batara Munti<br />

31 Apakah Hukum Boleh<br />

“Berpihak”? Sebuah<br />

Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />

Sulistyowati Irianto<br />

47 Sejauh Mana Indonesia<br />

Merespon ICPD-KAIRO?<br />

Atashendartini Habsjah<br />

65 Counter Legal Draft Kompilasi<br />

Hukum Islam: Upaya<br />

Implementasi <strong>CEDAW</strong><br />

dalam Perkawinan<br />

Siti Musdah Mulia<br />

101 Pemenuhan Hak-Hak Politik<br />

<strong>Perempuan</strong> Sejauh Manakah?<br />

Ani Soetjipto<br />

19 Diskriminasi Itu Bernama<br />

Kekerasan Terhadap<br />

<strong>Perempuan</strong><br />

Rita Serena Kolibonso<br />

111 Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong><br />

dan Anak Melalui Konvensi<br />

Magdalena Sitorus<br />

<strong>CEDAW</strong>-Restoring Rights To Women, americantruths.com, maisonneuve.org, Nico Haryono,<br />

petersenlawoffice.com, saltspring.com, unfpa.org, rapereliefshelter.bc.ca, gelos.ru,<br />

intranet.usc.edu.au, pepper-graphics.com, childtrafficking.com, amnesty.org<br />

2 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


KLIPING<br />

78 Hak Asasi <strong>Perempuan</strong> Belum<br />

Menjadi Bagian Institusional<br />

Hukum<br />

• Daftar Isi •<br />

WAWANCARA<br />

122 Sri Danti, Dra. M.A<br />

“Negara dan Pemahaman<br />

<strong>CEDAW</strong> yang Lemah...”<br />

PROFIL<br />

139 Sjamsiah Achmad:<br />

Pengawal Keadilan Melalui<br />

Konvensi<br />

Eko Bambang Subiyantoro<br />

Kolom Budaya<br />

156 Puisi<br />

160 Cerpen<br />

Serba-serbi<br />

131 Kata dan Makna<br />

148 Rak Buku<br />

172 Surat Pembaca<br />

173 Tentang Penulis<br />

JURNAL PEREMPUAN mengundang anda menuliskan ide-ide kritis dan<br />

pemikiran-pemikiran alternatif yang berkaitan dengan persoalan<br />

perempuan dan isu-isu gender. Jumlah halaman tulisan 10-15 halaman<br />

kuarto, spasi 2, dilengkapi dengan catatan belakang/daftar pustaka dan<br />

biodata singkat penulis. Redaksi dapat menyingkat, mengubah dan<br />

mengedit tulisan tanpa mengubah maksud dan isinya. Dianjurkan tulisan<br />

dikirim dalam bentuk file dalam disket atau melalui e-mail dalam bentuk<br />

attachment. Untuk tulisan yang dimuat akan disediakan honorarium yang<br />

pantas. Tulisan yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan kecuali atas<br />

permintaan penulis dengan menyertakan perangko secukupnya.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

3


• Prolog •<br />

<strong>CEDAW</strong> tak Bertaring,<br />

Salah Siapa?<br />

Tepatnya 25 tahun yang lalu di markas besar PBB, Indonesia<br />

meratifikasi <strong>CEDAW</strong> (Konvensi tentang Penghapusan Segala<br />

Bentuk Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong>) dan mengimplementasikannya<br />

lewat UU No. 7 tahun 1984. Apa hasil dari perjalanan<br />

<strong>CEDAW</strong> selama lebih dari 20 tahun di republik ini? Hanya segelintir<br />

orang yang tahu dan menjalankannya. Selebihnya, mendengar kata<br />

<strong>CEDAW</strong>pun hanya terbengong-bengong. Nasib perempuan pun hampir<br />

tak mengalami perubahan.<br />

Hebatnya lagi, selain <strong>CEDAW</strong>, sebenarnya telah banyak instrumen<br />

internasional lainnya yang bicara soal hak dan nasib perempuan, antara<br />

lain Konvensi Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi<br />

Prostitusi (1949), Konvensi 100 ILO tentang Persamaan Pendapatan<br />

(1951), Konvensi tentang Hak Politik <strong>Perempuan</strong> (1952), Konvensi<br />

mengenai Kewarganegaraan <strong>Perempuan</strong> yang Menikah (1957), Konvensi<br />

mengenai Ijin Perkawinan, Usia Minimum Perkawinan dan Pencatatan<br />

Perkawinan (1962), Deklarasi Perlindungan <strong>Perempuan</strong> dan Anak-anak<br />

dalam situasi Darurat dan Konflik Bersenjata (1974), ICPD di Kairo<br />

dengan fokus kesehatan reproduksi perempuan (1994), Beijing Platform<br />

untuk melihat perkembangan isu perempuan di berbagai bidang<br />

misalnya: kesehatan, kemiskinan, media, di wilayah konflik, dan lainnya<br />

(1995), Deklarasi tentang Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang<br />

antara lain menyepakati nilai kesetaraan gender guna mencapainya<br />

(2000), serta Resolusi 1325 dari Dewan Keamanan PBB tentang dampak<br />

konflik bagi perempuan, tentang perlindungan<br />

perempuan dan anak di wilayah<br />

konflik dan apa yang dapat dilakukan<br />

perempuan untuk mewujudkan perdamaian<br />

(2000).<br />

Delegasi Indonesia juga tak kalah<br />

sibuk mondar-mandir ikut kongres<br />

guna mengucap sepakat dengan<br />

4<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

<strong>CEDAW</strong>-Restoring Rights To Women


• Prolog •<br />

segala komitmen internasional ini. Namun malang bagi PBB dan terlebih<br />

untuk perempuan, banyak negara (tidak hanya Indonesia), masih gemar<br />

menjadi macan kertas konvensi. Dalam pelaksanaan justru banyak hal<br />

yang bertolak belakang.<br />

Simak isi konvensi <strong>CEDAW</strong> yang disisipkan di <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />

kali ini, dalam pasal yang sangat penting yakni 2 poin 5 <strong>CEDAW</strong>:<br />

mewajibkan negara untuk membuat peraturan-peraturan yang tepat,<br />

termasuk pembuatan undang-undang, untuk mengubah dan menghapuskan<br />

undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan dan praktekpraktek<br />

yang diskriminatif terhadap perempuan.<br />

Dari contoh ini, amatlah jelas, alih-alih menegakkan hak perempuan,<br />

Indonesia dengan segala perangkat hukumnya justru menganggap<br />

perempuan angin lalu. Tak heran bila angka kematian ibu melahirkan<br />

serta angka kekerasan terhadap perempuan di ruang domestik dan<br />

publik justru kian membumbung tinggi.<br />

Ketidakseriusan negara dalam menerapkan <strong>CEDAW</strong> masih ditambah<br />

lagi dengan tercetaknya berbagai peraturan daerah (Perda) dan aneka<br />

rancangan undang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan<br />

termasuk RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang sebentar lagi bakal<br />

disahkan. Padahal dalam <strong>CEDAW</strong> jelas dikemukakan bahwa setiap<br />

produk perundang-undangan dan tata aturan haruslah dikaji secara<br />

mendalam guna menghindari praktik diskriminasi dan kekerasan<br />

terhadap perempuan.<br />

Maka tak berlebihan kiranya jika Sekjen PBB Kofi Annan, pada<br />

konferensi PBB di awal tahun 2005 yang lalu mengawali peringatan 10<br />

tahun Beijing Platform dengan nada pesimis; “Millenium Development<br />

Goal tidak akan pernah berarti apa-apa jika masing-masing negara tidak<br />

abai pada 12 bidang kritis yang sudah dicanangkan oleh Beijing<br />

Platform”. Yang ini berarti pula bahwa selama ini <strong>CEDAW</strong> sebagai batu<br />

penjurunya telah dibiarkan merana tanpa ada yang serius menjalankannya.<br />

Meski hasil evaluasi tiap lima tahun <strong>CEDAW</strong> selalu menggambarkan<br />

tiadanya kemajuan, bagaimanapun kita masih butuh sikap optimis di<br />

balik semua kepedihan itu. Dan karenanya tak berlebihan pula kiranya<br />

jika dalam rangka memperingati hari perempuan internasional 8 Maret<br />

kali ini <strong>CEDAW</strong> kembali didengung-dengungkan serta dikupas dengan<br />

lebih tegas, agar bangsa ini tak lagi mundur ke belakang. (Adriana Venny)<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong> 5


americantruths.com


• Topik Empu •<br />

Sejauh Mana Negara<br />

Memperhatikan<br />

Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />

(<strong>CEDAW</strong> dan Pertanyaan tentang<br />

Kebijakan-Kebijakan Negara)<br />

Ratna Batara Munti<br />

“Sejauh mana negara telah sungguh-sungguh memberi<br />

perhatian terhadap masalah perempuan? Khususnya<br />

yang berkaitan dengan komitmen negara terhadap<br />

penghapusan berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan<br />

terhadap perempuan di negeri ini?”<br />

Pernyataan di atas dibuat untuk ditujukan pada negara,<br />

sejauh mana kepedulian negara terhadap persoalan perempuan<br />

dalam kebijakan-kebijakan yang dirancang dan disahkan,<br />

ataupun terhadap konvensi-konvensi internasional dimana negara ini<br />

ikut menandatanganinya.<br />

Ketahuilah, bahwa pemerintah Indonesia telah membuat komitmen<br />

dengan meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi<br />

Terhadap <strong>Perempuan</strong> atau <strong>CEDAW</strong> (The Convention on the Elimination of<br />

All Forms of Discrimination against Women) melalui UU No. 7 Tahun 1984.<br />

Namun setelah berjalan sekian waktu, ratifikasi ini kemudian<br />

memunculkan pertanyaan: sejauh manakah implementasi Konvensi<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

7


Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />

Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />

Ratna Batara Munti<br />

tersebut, terutama terkait dengan prinsip adanya kewajiban negara untuk<br />

menghapus berbagai bentuk diskriminasi baik secara de jure (berdasarkan<br />

hukum) maupun de facto (berdasarkan kenyataan sesungguhnya).<br />

Istilah diskriminasi dalam Konvensi <strong>CEDAW</strong> dirumuskan dengan;<br />

Setiap pembedaan, pengucilan, pembatasan, yang dibuat atas<br />

dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan<br />

untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan<br />

atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasankebebasan<br />

pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,<br />

sipil atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status<br />

perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan<br />

perempuan’’.<br />

Kata persamaan di atas tidak hanya pada akses terhadap penerapan<br />

HAM yang sama bagi perempuan tetapi juga persamaan terhadap<br />

manfaat atau pada hasilnya (equality of acces, equality of opportunity and<br />

equality of result).<br />

Hal terpenting dalam konvensi ini adalah bahwa ada penegasan<br />

prinsip tentang kewajiban negara untuk membuat atau mengubah<br />

hukum, menghapus stereotip dan kebiasaan yang diskriminatif, serta<br />

melakukan upaya atau langkah khusus yang diperlukan guna<br />

memastikan adanya persamaan secara de facto. Dalam konteks ini,<br />

konvensi mengakui bahwa sifat diskriminasi terhadap perempuan<br />

adalah historis dan sistemik (dilatari atau dibentuk oleh sejarah maupun<br />

sistem), sehingga tujuannya diarahkan pada persamaan de facto melalui<br />

jaminan secara konstitusional, hukum dan regulasi-regulasi, juga<br />

menempuh langkah-langkah lainnya termasuk langkah-langkah khusus<br />

seperti ‘affirmative action’. 1<br />

Implementasi <strong>CEDAW</strong> dan Kekerasan Negara dalam Membuat<br />

Kebijakan<br />

Dalam kenyataannya, implementasi konvensi ini oleh pemerintah<br />

Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Meski telah 21 tahun<br />

diratifikasi (artinya telah menjadi produk nasional), banyak pihak<br />

terutama pemerintah yang diantaranya aparat penegak hukum dan<br />

pembuat kebijakan yang paling berkewajiban melaksanakan konvensi<br />

tersebut ternyata tidak memahami substansi serta prinsip-prinsip<br />

persamaan yang tercantum dalam konvensi, bahkan tidak mengetahui<br />

8 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Ratna Batara Munti<br />

Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />

Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />

keberadaan konvensi tersebut. Mereka masih sangat terpaku pada<br />

aturan-aturan konvensional seperti KUHP/KUHAP, UU Perkawinan<br />

serta peraturan perundangan lainnya yang bias gender. Padahal<br />

kehadiran Konvensi<br />

tersebut justru<br />

untuk mengkritisi<br />

keberadaan berbagai<br />

aturan yang melanggengkan<br />

diskriminasi<br />

terhadap perempuan.<br />

2 Sejauh<br />

ini belum banyak<br />

langkah-langkah<br />

nyata yang dilakukan<br />

khususnya dalam<br />

membuat kebijakan<br />

baru atau kebijakan<br />

yang mengoreksi<br />

hukum<br />

yang masih diskriminatif. Kebijakan dalam hal ini dilihat sebagai suatu<br />

sistem, yang tidak saja menyangkut substansi atau isi dari kebijakan/<br />

keputusan hukum yang berlaku, tetapi juga menyangkut struktur baik<br />

kelembagaan atau pun pribadi aparat pemerintahan, dan juga terakhir<br />

mencakup budaya di masyarakat, seperti norma, nilai-nilai dan<br />

keyakinan atau penafsiran ajaran tertentu yang hidup di masyarakat.<br />

Meski lahirnya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam<br />

Rumah Tangga (UU PKDRT) No. 23/2004 serta Undang-undang Pemilu<br />

yang memuat affirmative action tidak dapat dipungkiri telah memberi<br />

peluang bagi kaum perempuan untuk memperbaiki nasibnya, namun<br />

yang terjadi akhir-akhir ini khususnya pasca pemerintahan Megawati<br />

(Presiden <strong>Perempuan</strong> Pertama RI), justru memukul balik apa yang sudah<br />

diperjuangkan selama ini oleh kelompok perempuan. Seperti arus politik<br />

yang berkembang saat ini di pusat-pusat kekuasaan (pemerintah dan<br />

legislatif), tidak saja di tingkat nasional (pusat) tetapi juga di tingkat<br />

lokal diantaranya munculnya peraturan-peraturan daerah yang<br />

diskriminatif terhadap perempuan malah membuka peluang baru<br />

munculnya kekerasan terhadap perempuan yang terlegitimasi oleh<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

9


Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />

Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />

Ratna Batara Munti<br />

negara, atau dengan kata lain kekerasan yang dilakukan negara. Apa<br />

yang disebut “politik seksualitas negara” yang menempatkan tubuh dan<br />

seksualitas perempuan sebagai yang potensial bersalah dan ancaman<br />

bagi norma-norma masyarakat sehingga ia ditempatkan menjadi<br />

sasaran/target berbagai aturan yang ada.<br />

Hal ini misalnya tercermin melalui pengaturan pornografi dan<br />

pornoaksi baik dalam RUU KUHP maupun dalam RUU khusus yang<br />

mengatur Pornografi dan Pornoaksi (RUU Pornografi dan Pornoaksi).<br />

Selain itu di tingkat lokal, Peraturan Daerah atau Perda-Perda tentang<br />

maksiat, kewajiban berbusana tertentu, pengaturan jam malam bagi<br />

perempuan dan lain sebagainya merebak di banyak daerah, seperti<br />

Medan, Aceh, Padang, Gorontalo, dan daerah-daerah lainnya, seiring<br />

dengan berlakunya otonomi daerah. 3 Fenomena ini dapat dibaca di suratsurat<br />

kabar lokal dimana banyak peraturan-peraturan daerah yang<br />

hanya sibuk mengurus perempuan di malam hari, cara berpakaian,<br />

berjalan dengan saudaranya atau tidak, dan lain sebagainya.<br />

Semua aturan-aturan tersebut kembali mengukuhkan stereotip<br />

terhadap perempuan, mendomestikasi perempuan, mendikotomi<br />

seksualitas perempuan (perempuan baik versus perempuan pelacur),<br />

yang intinya menempatkan tubuh/seksualitas perempuan sebagai target<br />

pengaturan (kontrol) negara.<br />

Saat ini memang ada beberapa dari aturan lama yang sedang<br />

diupayakan perbaikan atau revisinya untuk menjadi lebih baik, seperti<br />

Revisi UU Kewarganegaraan (RUU Kewarganegaraan), Revisi UU<br />

Kesehatan (RUU Kesehatan) dan Revisi KUHP (RUU KUHP), yang<br />

bahkan saat ini menjadi prioritas dalam agenda Prolegnas (Program<br />

Legislasi Nasional) di DPR masa sidang 2005 - 2009. Namun, yang<br />

menjadi persoalan di sini, justru usulan perubahan baik dari pihak DPR<br />

(inisiatif DPR) maupun pihak pemerintah masih jauh dari yang<br />

diharapkan kelompok perempuan, khususnya bila dikaitkan dengan<br />

implementasi <strong>CEDAW</strong>. Tampaknya kedua kelompok perumus kebijakan<br />

ini tidak sungguh-sungguh memiliki kemauan (political will) untuk<br />

menerapkan prinsip-prinsip <strong>CEDAW</strong> maupun ketentuan-ketentuannya<br />

yang jelas-jelas merupakan kewajiban (akuntabilitas) mereka sebagaimana<br />

yang ditegaskan dalam prinsip kewajiban negara di dalam pasal<br />

<strong>CEDAW</strong> di atas.<br />

10 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Ratna Batara Munti<br />

Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />

Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />

Berikut adalah penjelasan bagaimana prinsip-prinsip <strong>CEDAW</strong> masih<br />

jauh dari implementasi kebijakan-kebijakan yang ada di negara ini.<br />

Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong> dalam RUU KUHP, dan UU<br />

Kesehatan<br />

Rumusan RUU KUHP yang menjadi inisitaif pemerintah dan kini<br />

sedang dibahas di DPR, kenyataannya telah memperluas kriminalisasi<br />

yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP. RUU ini didasarkan pada<br />

asumsi-asumsi moralitas sempit dan cenderung mengebiri hak-hak asasi<br />

manusia, seperti rumusan kriminalisasi ‘hidup bersama’. Implikasinya<br />

terkait dengan definisi perkawinan (UU Perkawinan) yang sangat<br />

terbatas pada perkawinan heteroseksual yang tercatat dan yang sematamata<br />

oleh agama yang diakui negara. Di luar itu, terkait dengan rumusan<br />

RUU KUHP di atas, maka segala bentuk kehidupan perkawinan –di<br />

luar rumusan tersebut– akan terancam sebagai tindak pidana.<br />

RUU KUHP juga meng-kriminalisasi para pekerja seks (prostituted-women)<br />

yang berada di jalanan sebagai pelaku tindak pidana. Rumusan ini jelas<br />

sangat ‘bias kelas’ (hanya perempuan di jalan yang mayoritas perempuan<br />

kelas bawah) serta ‘bias gender/ jenis kelamin’ (hanya perempuan yang<br />

menjadi target kriminal). Selain itu hal ini juga bertentangan dengan<br />

Konvensi Internasional mengenai Perdagangan Manusia dan Eksploitasi<br />

Prostitusi, yang menempatkan prostituted-women sebagai korban dari<br />

sistem kejahatan khususnya kejahatan perdagangan manusia. Selain<br />

itu, RUU ini juga kembali menafikan hak-hak perempuan untuk hidup<br />

sehat dengan meng-kriminalisasi bentuk aborsi apapun tanpa mempertimbangkan<br />

kondisi perempuan seperti korban perkosaan atau akibat<br />

kondisi-kondisi kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) lainnya yang<br />

menyebabkan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia. Saat<br />

ini AKI di Indonesia adalah yang tertinggi di ASEAN, yaitu 307 kasus<br />

per 100.000 angka kelahiran hidup. Ini artinya dalam 1 jam ada 2 orang<br />

perempuan meninggal karena proses kehamilan, persalinan, dan pasca<br />

melahirkan. 4<br />

Sementara itu, UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 sangat minim dalam<br />

mengatur persoalan aborsi dan hak-hak reproduksi perempuan/<br />

kesehatan reproduksi lainnya. <strong>Perempuan</strong> jadi terbatas untuk mengakses<br />

pelayanan kesehatan terkait dengan hak/kesehatan reproduksinya. Saat<br />

ini UU Kesehatan tengah direvisi, dan kepentingan perempuan adalah<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong> 11


Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />

Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />

Ratna Batara Munti<br />

memastikan agar UU tersebut tidak diskriminatif terhadap perempuan<br />

yakni memastikan agar kaum perempuan dapat menikmati hak-haknya<br />

untuk bisa hidup sehat dan bebas dari ketakutan untuk berbuat atau<br />

tidak berbuat sesuatu, sebagai hak asasinya, sebagaimana telah dijamin<br />

dalam Amandemen Konstitusi (pasal 28 g ayat 1) .<br />

Diskriminasi dalam RUU Pornografi dan Pornoaksi<br />

RUU Pornografi dan Pornoaksi adalah salah satu RUU yang tidak<br />

mengakomodasi kepentingan perempuan terutama seperti yang menjadi<br />

prinsip-prinsip dalam <strong>CEDAW</strong>, karena semata-mata menjadikan isu<br />

moralitas sebagai acuan dan tidak menempatkan masalah perlindungan<br />

terhadap perempuan dan anak yang justru rentan menjadi objek<br />

pornografi. Alih-alih mengatur pornografi dan melindungi korbannya,<br />

RUU ini memberi peluang kemungkinan munculnya kekerasan serta<br />

premanisme oleh kelompok masyarakat tertentu yang mengaku sebagai<br />

‘polisi-polisi moral’ yang dengan sewenang-wenang mengintervensi<br />

kehidupan pribadi orang lain atau juga melakukan pemerasan. Hal ini<br />

maisonneuve.org<br />

12 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Ratna Batara Munti<br />

Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />

Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />

dimungkinkan terjadi karena rumusan delik pornografi dan khususnya<br />

pornoaksi sudah terlalu jauh mencampuri pilihan bebas seseorang<br />

untuk mengekspresikan diri/identitas diri. Selain membatasi ekspresi<br />

seseorang, unsur-unsur perbuatan pidana tidak dirumuskan dengan<br />

jelas sehingga dapat terjadi multi-tafsir yang menyebabkan rentannya<br />

seseorang menjadi tertuduh sebagai pelaku kriminal, terutama dalam<br />

ketentuan pornoaksi. Contohnya pada pasal 29 dan 30 5 RUU yang<br />

melarang seseorang melakukan gerakan tubuh yang menyerupai<br />

kegiatan masturbasi atau onani, serta gerakan tubuh yang menyerupai<br />

kegiatan hubungan seks. Unsur-unsur serta batasan dalam perbuatan<br />

ini tidak jelas dan tentunya akan menimbulkan penafsiran beragam.<br />

Begitupula dalam pasal 25 ayat 1 yang melarang keras untuk<br />

mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual. Ketentuan ini<br />

mengarah pada pengaturan cara berbusana yang pada akhirnya<br />

membatasi pilihan ekspresi diri seseorang. Dalam pengecualian pasal<br />

di atas, cara berbusana atau tingkah laku yang menjadi kebiasaan<br />

menurut adat istiadat dan/atau budaya kesukuan hanya diperbolehkan<br />

sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan ritus keagamaan atau<br />

kepercayaan. 6 Padahal dalam kenyataannya, mereka tidak hanya<br />

menggunakan busana adat hanya untuk ritus, tetapi juga dalam<br />

keseharian mereka, seperti komunitas suku-suku di Papua dan daerah<br />

lainnya.<br />

Selain itu, Pasal 27 RUU ini juga melarang orang berciuman bibir di<br />

muka umum dengan ancaman pidana penjara minimal 1 tahun/<br />

maksimal 5 tahun serta denda minimal 100 juta/maksimal 500 juta<br />

rupiah, dan pasal 28 RUU yang melarang menari/bergoyang erotis<br />

dengan ancaman pidana penjara minimal 18 bulan/maksimal 7 tahun<br />

dan atau denda minimal 150 juta/maksimal 750 juta.<br />

Perlu dipertanyakan, apakah sudah tepat tindakan-tindakan tersebut<br />

di atas dikategorikan sebagai tindak kriminal dan pelakunya<br />

diposisikan sebagai pelaku kriminal? Apakah tidak lebih baik penjara<br />

kita dipenuhi dengan pelaku perkosaan dan pencabulan yang justru<br />

sering dibebaskan atau dihukum ringan dalam hitungan bulan sementara<br />

ini jelas-jelas merupakan bentuk kejahatan terhadap orang, ketimbang<br />

pelaku kriminal karena berciuman bibir atau menari/bergoyang erotis?<br />

Rumusan-rumusan pasal di atas (dalam RUU ini) jelas membatasi hak<br />

asasi seseorang untuk mengekspresikan diri (menari), rasa kasih sayang<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

13


Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />

Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />

Ratna Batara Munti<br />

(berciuman) maupun kreativitasnya (berbagai karya seni yang tercipta).<br />

Selain itu berapa banyak jenis tari-tarian tradisional yang katanya harus<br />

dilestarikan, akan ikut pula terpasung dengan pasal ini. Bayangkan<br />

penjara kita akan disesaki oleh para artis dangdut, penari, peragawati<br />

atau designer, atau para remaja ibukota yang kebetulan menggunakan<br />

busana kelihatan pusar; semua komunitas di wilayah/suku tertentu<br />

yang sehari-hari menggunakan busana adat yang ‘terbuka’, tidak hanya<br />

pada saat ritus keagamaan; ibu-ibu yang menyusukan bayi di tempat<br />

umum; mereka yang mandi di pinggir kali atau remaja yang berciuman<br />

bibir. Sekali lagi, apakah sudah tepat menjadikan mereka semua pelaku<br />

kriminal melalui RUU ini?<br />

Memang terkecuali dalam pasal 36 ayat 2, larangan pornoaksi tidak<br />

berlaku terhadap kegiatan seni. Tetapi lagi-lagi dibatasi pada kegiatan<br />

seni yang dilaksanakan hanya ditempat khusus pertunjukan seni.<br />

Padahal karya seni ditujukan untuk mendapat perhatian dari<br />

masyarakat umum. Dengan adanya ketentuan ini, karya seni hanya<br />

dapat dipertunjukan di tempat pertunjukan seni secara eksklusif. Seni<br />

menjadi barang mahal yang hanya bisa dinikmati oleh sekelompok<br />

masyarakat tertentu saja. Ini merupakan pembatasan hak berekspresi<br />

dan hak masyarakat untuk menikmati seni.<br />

RUU Pornografi dan Pornoaksi pada dasarnya adalah bentuk<br />

ekspresi dari ‘moral panic’ kelompok masyarakat tertentu yang kemudian<br />

dipolitisasi oleh kelompok penguasa untuk tujuan-tujuan kekuasaan<br />

seperti antara lain mendapatkan dukungan politik dari kelompokkelompok<br />

dominan di masyarakat. RUU ini telah mengaburkan batasan<br />

apa yang menjadi wilayah himbauan moral, dengan apa yang<br />

selayaknya diakomodasi ke dalam wilayah hukum/pidana (menjadikan<br />

seseorang sebagai pelaku kriminal melalui UU). RUU Pornografi dan<br />

Pornoaksi pada akhirnya berpotensi melanggar HAM dan kehidupan<br />

privasi seseorang warga negara, karena RUU ini tidak menempatkan<br />

prinsip-prinsip utama seperti mempertimbangkan segala aspek<br />

pluralisme (adat, budaya, keyakinan, gender), HAM, dan perspektif<br />

korban dalam merumuskan deliknya. RUU ini akan mengurangi<br />

penghormatan terhadap hak untuk berekspresi, memiliki identitas diri,<br />

hak atas keamanan pribadi, serta hak atas informasi sebagai HAM.<br />

Khususnya juga bagi orang dewasa terutama perempuan yang berhak<br />

mengakses informasi dan fasilitas dukungan berkaitan dengan<br />

14 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Ratna Batara Munti<br />

Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />

Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />

pelaksanaan hak-hak reproduksi dan seksual/kesehatan reproduksi dan<br />

seksual sebagaimana termuat dalam Hasil Konferensi Kependudukan<br />

di Kairo (ICPD, 1999) yang juga ikut ditandatangani oleh pemerintah<br />

Indonesia .<br />

Diskriminasi dalam RUU Kewarganegaraan<br />

Dalam revisi UU Kewarganegaraan (RUU Kewarganegaraan) yang<br />

tengah dibahas Pansus Kewarganegaraan di DPR saat ini dan yang<br />

merupakan inisiatif DPR, ternyata masih saja membuat perbedaan<br />

terhadap prempuan, dimana menjadikan kelompok laki-laki sebagai<br />

sentral, sementara perempuan disubordinasikan dan dijadikan warga<br />

negara kelas dua. Hal ini tercermin dalam beberapa ketentuannya yang<br />

mengabaikan hak yang sama bagi perempuan dalam perkawinan campur<br />

untuk diperlakukan sama dengan laki-laki terkait dengan haknya untuk<br />

menentukan kewarganegaraan dirinya maupun anaknya. RUU<br />

Kewarganegaraan masih menganut asas kesatuan kewarganegaraan<br />

dengan pusat sentralnya pada laki-laki/bapak sebagai pihak yang<br />

menentukan ataupun memutuskan. <strong>Perempuan</strong> Indonesia dapat<br />

kehilangan kewarganegaraannya akibat perkawinannya dengan suami<br />

berkewarganegaraan asing (WNA). 7 Diperlukan syarat bagi istri bila<br />

ingin mempertahankan WNI-nya, yakni permohonan kepada Presiden<br />

melalui Menteri/Pejabat/Perwakilan RI yang diajukan dalam tenggang<br />

waktu 2 tahun sejak tanggal pernikahan. 8 Namun, pada ketentuan lain<br />

juga disebutkan bahwa permohonan tidak menyebabkan berkewarganegaraan<br />

ganda. 9 Hal ini tentunya membuat dilema bagi istri<br />

dimana secara hukum suami menentukan istri untuk mengikuti<br />

warganegaranya.<br />

Selain itu perempuan juga tidak dapat secara otomatis menentukan<br />

kewarganegaraan anaknya seperti halnya laki-laki, tetapi ia (perempuan)<br />

harus melakukannya melalui perjanjian nikah dan lagi-lagi<br />

dengan tidak menyebabkan anak berkewarganegaraan ganda (yang<br />

menyebabkan dilema), melalui permohonan serta dalam konteks apabila<br />

pengadilan telah menetapkan hak asuh pada ibu (pasca perceraian). 10<br />

Intinya, RUU Kewarganegaraan masih diskriminatif terhadap<br />

perempuan/istri, dan dengan begitu jauh dari harapan untuk<br />

mengoreksi atau memperbaiki situasi perempuan, khususnya yang<br />

berada dalam perkawinan campur (berlainan kewarganegaraan).<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

15


Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />

Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />

Ratna Batara Munti<br />

Tantangan <strong>Perempuan</strong> dan Agenda ke Depan<br />

Merupakan tantangan bagi kelompok perempuan untuk terus<br />

menerus menuntut tanggungjawab negara agar sungguh-sungguh<br />

mengimplementasikan komitmen yang telah dibuat (<strong>CEDAW</strong>) terutama<br />

juga didesak oleh situasi saat ini yang dalam kenyataannya kebijakankebijakan<br />

banyak yang berakibat semakin memburuk bagi perempuan.<br />

Terutama munculnya gerakan konservatisme seiring dengan kebijakan<br />

otonomi daerah tentu saja merupakan tantangan serius dalam upaya<br />

mewujudkan demokratisasi dan penegakan HAM dalam kehidupan<br />

perempuan. Dalam kerangka ini, maka advokasi kebijakan menjadi satu<br />

strategi yang penting dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut. Melalui<br />

advokasi kebijakan, kelompok perempuan dapat mendesakkan agendaagenda<br />

legislasi yang meletakkan sasaran pada kondisi, kebutuhan serta<br />

kepentingan perempuan.<br />

Saat ini melalui jaringan pro-legnas pro-perempuan (program<br />

legislasi nasional pro perempuan), kelompok perempuan tengah<br />

berupaya mendesakkan agenda legislasi perempuan dalam pembahasan<br />

Program Legislasi Nasional 2005-2009 di DPR RI, yakni dengan<br />

merespon berbagai draf RUU seperti RUU KUHP, RUU Pornografi dan<br />

Pornoaksi, Revisi UU Kewarganegaraan, serta mendesakkan Revisi UU<br />

Kesehatan, RUU Perlindungan Saksi, RUU Anti Trafiking, RUU<br />

Perlindungan bagi PRT, serta Amandemen UU Perkawinan. Begitupun<br />

di tingkat lokal, kelompok perempuan berupaya mengadvokasi Perda-<br />

Perda seperti Perda Trafiking, KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga)<br />

atau tentang penanggulangan HIV/AIDS, seperti yang dilakukan oleh<br />

kelompok perempuan di Bengkulu, Makasar, Yogjakarta dan Surabaya,<br />

selain juga mengkritisi Perda-Perda yang diskriminatif.<br />

Belajar dari pengalaman mengadvokasi UU Penghapusan Kekerasan<br />

dalam Rumah Tangga (PKDRT) No. 23 tahun 2004, diperlukan dukungan<br />

dan jaringan yang luas dari berbagai kelompok masyarakat yang peduli<br />

dengan penegakan HAM khususnya bagi perempuan. Sebab mengubah<br />

suatu kebijakan di masyarakat bukanlah pekerjaan yang mudah dan<br />

tidak dapat ditempuh hanya oleh segelintir orang atau sekelompok orang<br />

saja. Hal ini melibatkan kerja-kerja advokasi yakni suatu upaya<br />

sistematis dan terorganisir dari kelompok-kelompok masyarakat untuk<br />

melakukan serangkaian kegiatan mulai dari perumusan masalah,<br />

16 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Ratna Batara Munti<br />

Sejauh Mana Negara Memperhatikan<br />

Masalah <strong>Perempuan</strong>?<br />

membuat rumusan-rumusan perubahan kebijakan yang diharapkan,<br />

pembentukan jaringan dan opini publik, kampanye dan sosialisasi,<br />

mobilisasi massa, hingga lobi-lobi dan terlibat dalam setiap proses<br />

pembahasan dan pengambilan keputusan.<br />

Oleh karena itu untuk ke depan, penting untuk melakukan konsolidasi<br />

di antara kelompok masyarakat yang peduli HAM dan demokrasi baik<br />

di tingkat nasional maupun di tingkat lokal untuk mengkritisi<br />

konservatisme dan wacana moralitas yang dominan, khususnya dalam<br />

melihat serta mengambil solusi terhadap persoalan-persoalan sosial<br />

yang saat ini terjadi. Perlu menggalang kekuatan bersama untuk<br />

merespon fenomena pelanggaran HAM, khususnya terhadap perempuan<br />

dengan upaya-upaya yang lebih sistematis dan sinergis antar anggota/<br />

kelompok masyarakat.<br />

Catatan Belakang<br />

1<br />

Affirmative action adalah tindakan sementara untuk mengangkat kaum minoritas atau<br />

marginal (masyarakat yang terpinggirkan). Misalnya kebijakan tentang kuota<br />

perempuan 30% untuk melibatkan perempuan di parlemen sehingga kebijakankebijakan<br />

untuk penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dapat terakomodasi.<br />

2<br />

Sebagaimana tercantum dalam pasal 2 butir f dalam Konvensi tersebut yang<br />

menegaskan kewajiban negara untuk mengambil semua langkah yang tepat, termasuk<br />

legislasi, untuk mengubah atau menghapuskan hukum, peraturan, kebiasaan dan<br />

praktek yang mendiskriminasikan perempuan.<br />

4<br />

Binkesmas Depkes RI malah memperkirakan kontribusi aborsi tidak aman antara 30<br />

– 50 persen dari kematian ibu di Indonesia.<br />

5<br />

Lihat draft RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang sudah beredar di seminarseminar<br />

atau diskusi publik dan menjadi prioritas untuk segera di sahkan. Akhir-akhir<br />

ini RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi bahkan di tolak oleh seniman dan budayawan<br />

dalam sebuah pertemuan di Taman Ismail Marzuki yang diselenggarakan oleh Dewan<br />

Kesenian Jakarta.<br />

6<br />

Lihat RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi pasal 36 ayat 1<br />

7<br />

Lihat pasal 26 ayat 1 RUU Kewarganegaraan.<br />

8<br />

Lihat pasal 26 ayat 2 dan 3 RUU Kewarganegaraan.<br />

9<br />

Lihat pasal 8 RUU Kewarganegaraan.<br />

10<br />

Lihat pasal 2 RUU Kewarganegaraan.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

17


Foto: Nico Haryono


• Topik Empu •<br />

Diskriminasi Itu Bernama<br />

Kekerasan Terhadap<br />

<strong>Perempuan</strong><br />

Rita Serena Kolibonso<br />

Pada tahun 1992, penegasan bahwa kekerasan terhadap<br />

perempuan sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap<br />

perempuan merupakan momentum penting bagi advokasi<br />

gerakan penegak hak-hak asasi manusia khususnya hak asasi<br />

perempuan. Penegasan ini dilatari oleh pertama, penajaman konsep hak<br />

asasi manusia tersebut telah ditegaskan oleh Komite PBB yaitu tentang<br />

Penghapusan Diskriminasi Terhadap <strong>Perempuan</strong>. Kedua, seiring dengan<br />

dikeluarkannya duapuluh butir rekomendasi khusus dari Komite PBB<br />

tersebut yang isinya mengenai landasan aksi yang harus dilakukan oleh<br />

negara-negara peserta Konvensi Penghapusan Segala Bentuk<br />

Diskriminasi Terhadap <strong>Perempuan</strong> atau Convention on the Elimination of<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

19


Diskriminasi Itu Bernama<br />

Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />

Rita Serena Kolibonso<br />

All Forms of Discrimination Against Women (<strong>CEDAW</strong>). Dari latar belakang<br />

inilah mulai terjadi kemajuan (progress) dalam upaya pencegahan dan<br />

penanggulangan masalah kekerasan terhadap perempuan baik yang<br />

dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat di berbagai negara<br />

termasuk Indonesia.<br />

Di badan PBB, langkah ini telah diawali dengan disetujuinya<br />

penunjukkan Pelapor Khusus PBB mengenai masalah Kekerasan<br />

Terhadap <strong>Perempuan</strong> (Special Rapporteur on Violence Against Women, 1993)<br />

dan disepakati Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap <strong>Perempuan</strong><br />

(20 Desember 1993).<br />

Pada sidang ke 11 tahun 1992, Komite PBB tentang Penghapusan<br />

Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong> mengeluarkan Rekomendasi Umum<br />

Nomor 19 tentang Kekerasan terhadap <strong>Perempuan</strong>. 1 Rekomendasi ini<br />

pada dasarnya memberikan penjelasan tambahan kepada pasal 1<br />

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong><br />

2 yang mengatur definisi “diskriminasi terhadap perempuan”.<br />

Konvensi tersebut pertama kali ditandatangani Indonesia di PBB tanggal<br />

29 Juli 1980 dan kemudian diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan<br />

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi<br />

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong> pada<br />

tanggal 24 Juli 1984. 3<br />

Menurut pasal 1 konvensi, diskriminasi terhadap perempuan berarti<br />

setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar<br />

jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi<br />

atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hakhak<br />

asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi,<br />

sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas<br />

dari status perkawinannya, atas dasar persamaan antara perempuan<br />

dan laki-laki.<br />

Penjelasan tambahan definisi “diskriminasi terhadap perempuan”<br />

ini menurut Rekomendasi No. 19, termasuk juga kekerasan berbasis<br />

gender, yaitu kekerasan yang langsung ditujukan terhadap sosok<br />

perempuan, karena dia adalah perempuan atau hal-hal yang memberi<br />

akibat pada perempuan secara proporsional. Hal tersebut termasuk<br />

tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerugian fisik, mental dan<br />

seksual atau penderitaan atau ancaman, atas tindakan tersebut atau<br />

kekerasan/paksaan dan perampasan kebebasan (Komentar Umum pasal<br />

20<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Rita Serena Kolibonso<br />

Diskriminasi Itu Bernama<br />

Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />

1). Komite juga menambahkan komentarnya dalam Rekomendasi ini<br />

bahwa kekerasan berbasis gender bisa melanggar ketentuan Konvensi<br />

tersebut tanpa membedakan apakah ketentuan tersebut mengekspresikan<br />

kekerasan yang dimaksud. Ditambahkan pula, bahwa kekerasan<br />

berbasis gender yang merusak, menghalangi atau menghapuskan<br />

kenikmatan atas hak asasinya dan kebebasan fundamental di bawah<br />

hukum umum dan di bawah konvensi hak asasi manusia adalah suatu<br />

diskriminasi dalam pengertian pasal 1 konvensi ini. 4<br />

Mengapa Perlu Ditegaskan?<br />

Salah satu latar belakangnya, pemahaman bahwa kekerasan berbasis<br />

gender adalah sebuah bentuk diskriminasi yang secara serius<br />

menghalangi kesempatan perempuan untuk menikmati hak-hak dan<br />

kebebasannya atas suatu dasar kesamaan hak perempuan dan laki-laki.<br />

Hak-hak dan kebebasan tersebut termasuk hak untuk hidup, hak untuk<br />

tidak mengalami penganiayaan, kekejaman, hak untuk mendapat<br />

perlindungan yang sama sehubungan dengan norma-norma kemanusiaan<br />

pada saat konflik bersenjata nasional atau internasional, hak atas<br />

kebebasan dan keamanan seseorang, hak untuk mendapatkan kesamaan<br />

atas perlindungan hukum di bawah Undang-undang, dan hak untuk<br />

mendapatkan standar tinggi dalam hal kesehatan mental dan fisik.<br />

Selanjutnya untuk melengkapi penegasan bahwa kekerasan terhadap<br />

perempuan termasuk bentuk diskriminasi terhadap perempuan, Komite<br />

PBB ini juga memberikan tambahan ulasan dan komentar atas pasalpasal<br />

tertentu dari konvensi yakni pasal 2, pasal 6, pasal 11, pasal 12,<br />

pasal 14, pasal 16 dan pasal 5.<br />

Salah satunya adalah ulasan pasal 2 (f) 5 dan 10 (c) konvensi,<br />

menyebutkan bahwa sikap-sikap tradisional dimana perempuan<br />

dianggap sebagai subordinasi laki-laki atau seperti juga pembakuan<br />

peran-peran gender (stereotype) yang dalam prakteknya terus-menerus<br />

meluas, dalam hubungannya dengan kekerasan atau paksaan, misalnya<br />

kekerasan dan penganiayaan dalam keluarga, kawin paksa, mas kawin,<br />

kematian, penyerangan dan penyunatan perempuan. Prasangkaprasangka<br />

dan perlakuan seperti itu, membenarkan adanya kekerasan<br />

berbasis gender sebagai sebuah bentuk perlindungan dan kontrol atas<br />

perempuan. Efek atau akibat dari kekerasan semacam itu terhadap<br />

integritas perempuan adalah penghilangan atau pencabutan atas<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

21


Diskriminasi Itu Bernama<br />

Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />

Rita Serena Kolibonso<br />

kesamaan penikmatan, pelaksanaan dan pengetahuan akan hak asasi<br />

manusia dan kebebasan fundamental.<br />

Sementara itu, sebagian besar fakta atau ancaman kekerasan atas<br />

dasar suatu konsekuensi yang mendasari bentuk-bentuk dari kekerasan<br />

berbasis gender tadi, membantu ikut serta membuka mata untuk<br />

menegakkan hak-hak perempuan dalam subordinasi perannya, atas<br />

rendahnya posisi perempuan dalam partisipasi politik, rendahnya<br />

tingkat pendidikan, serta sedikitnya kesempatan kerja untuk mereka.<br />

Sikap-sikap ini juga memberikan sumbangan besar pada perkembangan<br />

persoalan pornografi dan gambar porno yang bertujuan mengeksploitasi<br />

perempuan sebagai objek seksual daripada sebagai individu.<br />

Pada ulasan mengenai pasal 16 dan pasal 5 Konvensi, Komite PBB<br />

tersebut menjelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah<br />

salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling<br />

berbahaya. Sebab kekerasan dalam rumah tangga telah lama dianggap<br />

lazim bagi masyarakat di banyak negara. Dalam hubungan kekeluargaan<br />

di segala umur, perempuan menderita segala macam penderitaan<br />

termasuk pemukulan, perkosaan dan bentuk-bentuk lain dari penyerangan<br />

seksual serta mental yang dilakukan oleh sikap-sikap tradisional.<br />

Ketergantungan ekonomi dalam hal ini memaksa perempuan untuk<br />

bertahan pada hubungan yang dijalankan berdasarkan tindakan<br />

kekerasan. Pencabutan atau pengambil-alihan tanggung jawab oleh lakilaki<br />

dapat juga disebut sebagai sebuah bentuk kekerasan dan paksaan.<br />

Selain itu bentuk-bentuk dari kekerasan ini juga menempatkan<br />

perempuan pada risiko kesehatan dan menghalangi kesempatan untuk<br />

berpartisipasi dalam kehidupan keluarga dan kehidupan umum atas<br />

dasar suatu kesamaan. 5<br />

Duapuluh Butir Rekomendasi Khusus PBB<br />

Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong><br />

telah menetapkan 20 butir rekomendasi khusus kepada negara-negara<br />

yang telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala bentuk<br />

Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong>, melalui Rekomendasi Umum Nomor<br />

19 tentang Kekerasan terhadap <strong>Perempuan</strong>. Rekomendasi-rekomendasi<br />

tersebut mengharuskan negara-negara peserta konvensi untuk<br />

melakukan hal-hal sebagai berikut:<br />

22<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Rita Serena Kolibonso<br />

Diskriminasi Itu Bernama<br />

Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />

Tabel 1.<br />

Butir-butir Rekomendasi untuk Negara-Negara yang telah Meratifikasi<br />

<strong>CEDAW</strong><br />

No. Butir-Butir Rekomendasi<br />

1 Menentukan suatu ukuran yang tepat dan efektif untuk mengatasi segala bentuk<br />

kekerasan yang berbasis gender, dalam hal apakah hal tersebut merupakan<br />

suatu tindakan yang bersifat umum atau privat.<br />

2. Membuat Undang-undang mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (domestic<br />

violence) dan penganiayaan, perkosaan, penyerangan seksual dan bentuk-bentuk<br />

lain dari kekerasan yang berbasis gender, bertujuan memberikan perlindungan<br />

yang cukup terhadap perempuan serta untuk menghargai integritas dan<br />

martabatnya. Perlindungan dan pelayanan yang tepat harus disediakan bagi<br />

korban-korban. Pelatihan bersensitif gender kepada Hakim Pengadilan dan<br />

Penegak Hukum serta pekerja sosial di masyarakat harus diberikan dan sangat<br />

penting bagi efektifnya pelaksanaan Konvensi ini.<br />

3. Mendorong diadakannya kompilasi data statistik dan penelitian tentang penyebab<br />

dan akibat dari kekerasan dan keefektifan ukuran/standar untuk mencegah dan<br />

mengatasi kekerasan.<br />

4. Ukuran/standar efektif harus diambil untuk memastikan bahwa media<br />

menghormati adanya dukungan penghargaan terhadap perempuan.<br />

5. Dalam hal laporan kekerasan ini harus dengan mengidentifikasi sifat dan tingkat<br />

sikap, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang menghidupkan terus<br />

kekerasan terhadap perempuan, serta macam-macam kekerasan yang<br />

mengakibatkan mereka harus melaporkan ukuran-ukuran yang harus mereka<br />

lakukan untuk menanggulangi kekerasan dan efek dari ukuran/ standar tersebut.<br />

6. Memperkenalkan pendidikan dan program informasi untuk umum guna membantu<br />

menghapus berbagai prasangka yang menghalangi kesamaan hak perempuan.<br />

7. Pencegahan yang efektif dan standar hukuman yang sangat penting untuk<br />

mengatasi perdagangan perempuan serta eksploitasi seksual.<br />

8. Dalam laporannya harus menggambarkan tingkat dari semua masalah ini dan<br />

standar-standarnya termasuk ketentuan-ketentuan pidana, perlindungan dan<br />

standar rehabilitasi yang sudah dilakukan untuk melindungi perempuan<br />

sehubungan dengan pelacuran paksa atau perdagangan perempuan dan bentuk<br />

lain dari eksploitasi. Efektivitas dari pelaksanaan standar ini, juga harus<br />

digambarkan dengan jelas.<br />

9. Prosedur pengaduan dan bantuan yang efektif termasuk ganti rugi, harus<br />

diberikan.<br />

10. Memasukkan dalam laporan yakni informasi tentang pelecehan seksual dan<br />

standar-standar untuk melindungi perempuan dari pelecehan dan bentuk lain<br />

dari paksaan atas kekerasan di tempat kerja.<br />

11. Membentuk dan mendukung berbagai pelayanan untuk korban-korban kekerasan<br />

dalam rumah tangga, perkosaan, penyerangan seksual dan bentuk lain dari<br />

kekerasan berbasis gender termasuk pengungsi, khususnya pelatihan kesehatan<br />

bagi pekerja rehabilitasi dan konseling.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

23


Diskriminasi Itu Bernama<br />

Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />

Rita Serena Kolibonso<br />

12. Mengambil ukuran untuk mengatasi praktik-praktik tersebut dan harus<br />

mempertimbangkan adanya rekomendasi Komite atas penyunatan perempuan<br />

(Rekomendasi No. 14) dalam laporan masalah kesehatan.<br />

13. Memastikan bahwa standar yang harus diambil untuk mencegah paksaan dalam<br />

hubungannya dengan kesuburan dan reproduksi perempuan serta memastikan<br />

bahwa perempuan tidak dipaksa untuk menggunakan prosedur medis yang tidak<br />

aman misalnya aborsi yang tidak aman karena tidak tersedia pelayanan yang<br />

tepat/ layak sehubungan dengan kontrol kesuburan.<br />

14. Dalam laporannya harus memastikan tingkat ketidakberhasilan dari masalahmasalah<br />

itu dan harus menunjukkan standar yang sudah diambil dan akibatnya.<br />

15. Memastikan bahwa pelayanan untuk korban kekerasan dapat dicapai oleh<br />

perempuan di pedesaan dan dipadukan pelayanan khusus di masyarakat.<br />

16. Standar-standar untuk melindungi korban kekerasan adalah termasuk pelatihan<br />

dan kesempatan-kesempatan dalam pekerjaan serta pengawasan atas kondisi<br />

pekerjaan serta pekerja rumah tangga (PRT).<br />

17. Melaporkan risiko-risiko yang dialami perempuan pedesaan, tingkat dan sifat<br />

dari kekerasan dan penganiayaan dimana mereka adalah subjeknya, kebutuhannya<br />

dan akses untuk mendukung dan pelayanan lain serta efektivitas dari standar<br />

tersebut untuk mengatasi kekerasan.<br />

18. Ukuran-ukuran penting untuk mengatasi hal tersebut harus termasuk: hukuman<br />

pidana jika dibutuhkan dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT);<br />

Undang-undang untuk mengubah/menggantikan “the defence of honour”<br />

sehubungan dengan penyerangan atau pembunuhan dari seorang anggota<br />

keluarga; pelayanan untuk menjamin keselamatan dan keamanan korban KDRT<br />

termasuk tempat pengungsian (shelter), konseling dan program rehabilitasi;<br />

program rehabilitasi untuk pelaku KDRT; serta mendukung pelayanan bagi<br />

keluarga-keluarga dimana penganiayaan seksual telah terjadi.<br />

19. Melaporkan tentang tingkat kekerasan dalam rumah tangga dan penganiayaan<br />

seksual dalam pencegahannya, hukuman dan standar bantuan yang sudah diambil.<br />

20. Mengambil semua standar hukum dan standar lain yang penting untuk memberikan<br />

perlindungan yang efektif kepada perempuan dari kekerasan berbasis gender.<br />

Termasuk didalamnya: Ukuran/standar hukum yang efektif, termasuk sanksi<br />

pidana, bantuan perdata dan ketentuan yang mengatur kewajiban untuk<br />

melindungi perempuan terhadap segala bentuk kekerasan termasuk kekarasan<br />

dan penganiayaan dalam keluarga, penyerangan dan pelecehan seksual di tempat<br />

kerja.<br />

- Ukuran/standar pencegahan termasuk informasi publik dan program<br />

pendidikan untuk merubah sikap, dalam hubungannya dengan peranan dan<br />

status laki-laki dan perempuan.<br />

- Melampirkan semua bentuk kekerasan berbasis gender dalam laporannya<br />

dan memasukkan semua data yang ada atas kejadian dari setiap kekerasan<br />

dan akibatnya bagi perempuan yang menjadi korban.<br />

- Laporan-laporan harus termasuk informasi hukum, pencegahan dan standar<br />

perlindungan yang sudah diambil untuk mengatasi kekerasan terhadap<br />

perempuan dan sejauhmana efektivitas dari standar itu.<br />

24<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Rita Serena Kolibonso<br />

Diskriminasi Itu Bernama<br />

Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />

Mencermati isi rekomendasi-rekomendasi tersebut di atas, sekaligus<br />

dapat menjadi refleksi dan evaluasi atas perjalanan advokasi<br />

penghapusan diskriminasi terhadap perempuan pada umumnya, dan<br />

penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia pada<br />

khususnya. Perjalanan panjang pengesahan Undang-undang Nomor<br />

23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,<br />

pengadaan layanan sejumlah women’s crisis centre serta layanan-layanan<br />

terpadu bagi perempuan sebagai korban kekerasan yang mulai<br />

disediakan oleh kepolisian dan tenaga kesehatan; merupakan sebagian<br />

saja dari kebutuhan upaya dan aksi yang harus dan telah dilakukan.<br />

Sampai saat ini Indonesia masih belum mempunyai standar data statistik<br />

nasional tentang statistik kasus kekerasan terhadap perempuan atau<br />

Kasus KDRT dan untuk kasus perkosaan. Namun contoh data statistik<br />

kasus kekerasan terhadap perempuan yang dipublikasikan secara teratur<br />

setiap tahun oleh Mitra <strong>Perempuan</strong> Women’s Crisis Centre sejak tahun<br />

1998 dan lembaga-lembaga layanan dan pendampingan korban<br />

kekerasan terhadap perempuan lainnya sangat bermanfaat untuk<br />

dikompilasi sebagai laporan Statistik yang tersedia di Indonesia<br />

sebagaimana disebutkan dalam Rekomendasi Umum No.19 tersebut di<br />

atas. Berikut ini statistik tahun 2002-2005 untuk kasus kekerasan<br />

terhadap perempuan di Mitra <strong>Perempuan</strong> WCC.<br />

Tabel 2.<br />

Kasus Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong> (Data Mitra <strong>Perempuan</strong>)<br />

Tahun<br />

Kasus<br />

2005 <strong>45</strong>5<br />

2004 329<br />

2003 272<br />

2002 226<br />

2001 258<br />

Sumber: Mitra <strong>Perempuan</strong> 2002-2005<br />

Bahkan data statistik dari Mitra <strong>Perempuan</strong> menunjukkan bahwa di<br />

tahun 2005, 4,74% anak-anak di bawah umur 18 tahun mengalami<br />

kekerasan. Selain itu, dari kasus yang datang, 9 dari 10 perempuan<br />

mengalami lebih dari 1 jenis atau bentuk kekerasan (fisik, psikis, seksual<br />

dan penelantaran atau ekonomi), 9 dari 10 anak mengalami dampak<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

25


Diskriminasi Itu Bernama<br />

Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />

Rita Serena Kolibonso<br />

yang mengganggu kesehatan jiwa. Bahkan sebanyak 26 orang mencoba<br />

bunuh diri, 16,26% terganggu kesehatan reproduksinya, serta 55,32%<br />

mengalami konflik domestik. Berikut adalah data statistik Mitra<br />

<strong>Perempuan</strong> bagaimana hubungan (relasi) pelaku dengan korban<br />

kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap perempuan.<br />

Tabel 3.<br />

Relasi Pelaku dengan Korban KDRT dan Kekerasan terhadap <strong>Perempuan</strong><br />

No. Pelaku Korban KDRT <strong>Perempuan</strong> korban kekerasan<br />

1. Suami 77,36%<br />

2. Mantan suami 3,08%<br />

3. Orangtua/ saudara/ anak 6,15%<br />

4. Majikan 0,22%<br />

5. Pacar/ teman dekat 9,01%<br />

6. Tetangga 1,54%<br />

7. Lainnya 2,64%<br />

86,81% 13,19%<br />

Sumber: Data statistik Mitra <strong>Perempuan</strong> 2005<br />

Demikian pula beban kekerasan terhadap perempuan lebih banyak<br />

menunjukkan kekerasan yang berlapis atau dalam berbagai bentuk<br />

(psikis, fisik, penelantaran, dll.). 6<br />

Grafik 1.<br />

Beban Kekerasan <strong>Perempuan</strong><br />

Sumber: Mitra <strong>Perempuan</strong>, 2005<br />

26<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Rita Serena Kolibonso<br />

Diskriminasi Itu Bernama<br />

Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />

Namun dari berbagai bentuk kekerasan yang ada, grafik menunjukkan<br />

bahwa perempuan lebih banyak mengalami kekerasan psikis. 7<br />

Grafik 2.<br />

Bentuk Kekerasan yang Dialami <strong>Perempuan</strong><br />

Sumber: Mitra <strong>Perempuan</strong>, 2005<br />

Bahkan dari kasus yang datang ke Mitra <strong>Perempuan</strong>, perempuan<br />

korban kekerasan menempuh upaya sendiri untuk memulihkan dirinya<br />

sendiri. Berikut adalah bagan yang menunjukkan perempuan korban<br />

kekerasan memilih bantuan dari keluarga atau orang terdekat di luar<br />

keluarga: 8 Bagan 1.<br />

Upaya yang Ditempuh <strong>Perempuan</strong> sebelum ke Mitra <strong>Perempuan</strong><br />

Sumber: Mitra <strong>Perempuan</strong>, 2005<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

27


Diskriminasi Itu Bernama<br />

Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />

Rita Serena Kolibonso<br />

Sedangkan bantuan yang banyak dilakukan Mitra <strong>Perempuan</strong><br />

terhadap perempuan korban kekerasan adalah lebih banyak dalam<br />

bentuk konseling. 9 Bagan 2.<br />

Bantuan Mitra <strong>Perempuan</strong><br />

Sumber: Mitra <strong>Perempuan</strong>, 2005<br />

Dari data-data yang terlampir dan disajikan melalui Mitra <strong>Perempuan</strong><br />

adalah sedikit dari jutaan perempuan yang mengalami kekerasan di<br />

Indonesia. Nampaknya masih panjang perjalanan rencana aksi yang<br />

harus dilakukan Indonesia di masa mendatang untuk menghapuskan<br />

kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu kebutuhan di masa<br />

mendatang dalam merespon masalah KDRT diantaranya meliputi,<br />

pertama, sosialisasi Undang-undang No. 23 Tahun 2004 untuk mencegah<br />

KDRT, kedua, sosialisasi dan kerjasama di kalangan penegak hukum,<br />

layanan kesehatan, pekerja sosial dan relawan pendamping di<br />

masyarakat, ketiga, peningkatan perlindungan bagi korban kekerasan<br />

dan saksi, keempat, menambah jumlah bantuan dan layanan pendampingan,<br />

serta membebaskan korban dari biaya visum et repertum.<br />

Oleh karena itu kesinambungan komitmen dan agenda jangka<br />

panjang menjadi tuntutan yang harus dilakukan baik oleh pemerintah<br />

maupun masyarakat secara bermitra.<br />

Catatan Belakang<br />

1<br />

PBB, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap <strong>Perempuan</strong> (the<br />

Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), 1979.<br />

28<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Rita Serena Kolibonso<br />

Diskriminasi Itu Bernama<br />

Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong><br />

2<br />

Ibid.<br />

3<br />

Lembaran Negara RI Tahun 1984 Nomor 29, Undang-undang RI Nomor 7 Tahun<br />

1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap<br />

Wanita.<br />

4<br />

LBH Apik, Rekomendasi Umum No. 19 tentang Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong>,<br />

Jakarta.<br />

5<br />

Rita Serena Kolibonso, Optional Protokol terhadap Konvensi Penghapusan<br />

Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap <strong>Perempuan</strong> (Jakarta: Mitra <strong>Perempuan</strong>,<br />

2001).<br />

6<br />

Mitra <strong>Perempuan</strong>, Informasi Tahun 2005 Statistik Kekerasan dalam Rumah Tangga.<br />

7<br />

Ibid.<br />

8<br />

Mitra <strong>Perempuan</strong>, Catatan Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong> dan Layanan Women’s<br />

Crisis Centre, Laporan tahun 2005.<br />

9<br />

Ibid.<br />

DAPATKAN JURNAL PEREMPUAN EDISI 44<br />

Pendidikan Alternatif<br />

untuk <strong>Perempuan</strong><br />

Ada tiga alasan mengapa pendidikan alternatif<br />

bagi perempuan menjadi amat penting: akses<br />

perempuan ke dalam dunia pendidikan masih<br />

rendah; kurikulum yang masih bias gender dan;<br />

pendidikan formal yang belum mampu menjawab<br />

kebutuhan spesifik perempuan. Akibatnya tingkat<br />

perempuan yang buta huruf di berbagai wilayah di<br />

Indonesia selalu lebih tinggi dari laki-lakinya dan<br />

pendidikan formal tidak membebaskan perempuan<br />

dari berbagai persoalan-persoalan seperti trafiking,<br />

kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi<br />

terhadap perempuan di tempat kerja, dan<br />

sebagainya.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

29


<strong>CEDAW</strong>-Restoring Rights To Women


• Topik Empu •<br />

Apakah Hukum Boleh<br />

“Berpihak”?<br />

Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />

Sulistyowati Irianto<br />

Pendahuluan<br />

Penggunaan kata “hukum berpihak”, sebagaimana tertuang dalam<br />

tulisan ini, dapat menimbulkan debat dan polemik yang tidak<br />

berkesudahan, terutama bila dilakukan di lingkungan studi hukum.<br />

“Netralitas”, “objektivitas”, “kepastian hukum”, merupakan nilai dan<br />

prinsip yang sangat dijunjung tinggi oleh para sarjana hukum. Prinsip<br />

tersebut hampir merupakan “harga mati”, sehingga hukum tidak boleh<br />

berpihak. Hukum dipercaya berdiri di atas semua golongan, memberi<br />

keadilan kepada semua orang, tidak pandang bulu. Dalam paradigma<br />

positivisme, hukum dipandang mengandung kebenaran dan keadilan<br />

yang sudah pasti. Lebih jauh terdapat klaim bahwa satu-satunya hukum<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

31


Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />

Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />

Sulistyowati Irianto<br />

yang paling tinggi adalah hukum negara, dan negara adalah satusatunya<br />

institusi yang mendistribusi keadilan kepada segenap warga<br />

negara.<br />

Klaim ini sama sekali tidak ada salahnya, terutama pada masyarakat<br />

yang memiliki kondisi sine qua non yaitu strukturnya tidak berlapis secara<br />

jelas, dimana setiap orang memiliki akses kepada sumber kesejahteraan<br />

yang relatif sama, dan birokrasi peradilannya relatif bersih dari korupsi.<br />

Prinsip “equality before the law” dapat ditegakkan dan memberi keadilan<br />

secara pasti kepada hampir setiap warga negara dalam kondisi di atas.<br />

Namun dalam masyarakat yang sangat berlapis, ada kesenjangan<br />

ekonomi yang luar biasa tinggi, yaitu ada kelompok masyarakat yang<br />

begitu kaya dan berkuasa secara politik, ada golongan menengah, dan<br />

kemudian golongan miskin yang juga sangat beragam lapisannya, maka<br />

implementasi dari prinisip “kesamaan di muka hukum”, menjadi<br />

diragukan dapat memberi keadilan yang sama. Apalagi pada masyarakat<br />

yang di dalamnya “menyimpan” berbagai persoalan ketidakadilan,<br />

di mana orang-orang yang berasal dari ras, golongan, kelas, agama<br />

minoritas, dan jenis kelamin yang berbeda tidak mendapat akses<br />

perlakuan yang sama, ditambah lagi dengan kondisi birokrasi peradilan<br />

yang relatif korup, maka implikasi dari prinsip “equality before the law”,<br />

justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Perlakuan yang berbeda<br />

terhadap pihak yang dipandang sebagai “the other” (yang lain/liyan)<br />

dapat dijumpai dalam rumusan yang eksplisit berbagai peraturan<br />

perundang-undangan dan kebijakan, maupun dalam kehidupan praktek<br />

sehari-hari. 1<br />

Dalam telaah hukum kritis dapat dilihat bahwa pada hakekatnya<br />

hukum adalah “pedang bermata dua”. Di satu sisi hukum memang bisa<br />

digunakan sebagai sebuah acuan yang paling adil dan paling<br />

mengayomi. Namun, di pihak lain, janganlah diabaikan bahwa hukum<br />

juga bisa digunakan sebagai “alat” untuk mendefinisikan kekuasaan<br />

dan kepentingan, dan tentunya akan ada pihak yang menjadi korban<br />

dari hukum yang tidak adil. Hukum dapat mengklaim kebenarankebenaran<br />

sampai ranah yang tidak terbatas. 2 Pada sisi yang kedua ini,<br />

terbuka berbagai diskusi dan perdebatan, terutama ketika hukum<br />

“dipersandingkan” dengan berbagai pengalaman perempuan, kelompok<br />

miskin, minoritas, pendeknya kelompok yang tidak memiliki kekuasaan<br />

untuk menyuarakan keberadaannya. Dengan demikian, apakah hukum<br />

32 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Sulistyowati Irianto<br />

Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />

Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />

akan digunakan untuk tujuan baik atau “tidak baik” (melanggengkan<br />

kekuasaan), adalah tergantung “man behind the gun” atau siapa aktor di<br />

balik hukum itu.<br />

Pertanyaan tentang Hukum <strong>Perempuan</strong><br />

Sering orang lupa bertanya kepada perempuan: adakah hukum telah<br />

menjamin dia dalam memperoleh hak-hak dasarnya sebagai manusia<br />

yang bermartabat? Apakah hukum sudah menjamin perempuan untuk<br />

didengar suaranya dalam ruang-ruang publik pengambilan keputusan<br />

penting dalam bernegara dan bermasyarakat? Apakah hukum sudah<br />

melindungi diri perempuan dari kekerasan, kelaparan, kebodohan?<br />

Apakah hukum sudah menjamin perempuan untuk dapat mengekspresikan<br />

dirinya apa adanya dan mengontrol tubuhnya sendiri?<br />

Nyatanya tidak, hukum bahkan telah membatasi ruang gerak<br />

perempuan, menentukan jam berapa perempuan baru boleh keluar<br />

rumah, harus menggunakan pakaian seperti apa 3 , harus berperilaku<br />

seperti apa, dan sudah sejak lama hukum menempatkan perempuan<br />

dalam hal perkawinan secara tidak layak karena disebut sebagai<br />

“nakhoda” keluarga bersama dengan suaminya. Hukum bahkan telah<br />

menyebabkan perempuan, keluar dari hutan-hutan tanah leluhurnya,<br />

ketika masyarakat adat kehilangan aksesnya kepada tanah dan<br />

sumberdaya alam, menjadi “budak” di negara orang, hanya demi sesuap<br />

nasi bagi keluarga dan dirinya sendiri, dan kehilangan haknya sebagai<br />

orang merdeka. 4 Di tengah-tengah bangsa yang menyebut diri sebagai<br />

“religius” , hukum telah memberi legitimiasi kepada sekelompok orang<br />

untuk menjadi “polisi moral” mengejar perempuan yang tidak beruntung<br />

dan menjajakan tubuhnya untuk dapat bertahan hidup, kemudian<br />

menghukumnya sebagai pelaku kejahatan. 5 Sebentar lagi melalui<br />

Undang-Undang yang gagah perkasa 6 , “kegenitan” perempuan akan<br />

dihabisi, bahkan perempuan dan laki-laki, tidak boleh lagi mengekspresikan<br />

kasih sayang, sebuah perasaan kodrati kemanusiaan.<br />

Pertanyaan kritis dalam mengkaji persoalan hukum dari perspektif<br />

perempuan adalah: “Benarkah bahwa hukum sungguh netral dan<br />

objektif?” Benarkah prinsip “equality before the law” memang menjamin<br />

setiap orang berada dalam posisi yang setara dan adil? Dalam hal ada<br />

kelompok tertinggal yang tidak mendapatkan akses kepada keadilan<br />

dalam masyarakat, dan untuk dapat “mengejar” ketertinggalan itu maka<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

33


Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />

Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />

Sulistyowati Irianto<br />

dibuatkan affirmative action, apakah dalam arti ini maka akan dibolehkan<br />

“hukum yang berpihak”?<br />

Pejabat dan pembuat undang-undang bermegah dalam “singgasana”,<br />

terus menciptakan hukum-hukumnya sendiri, mengklaim kebenarannya<br />

sendiri dalam rangka mendefinsikan kekuasaannya. Bagi mereka, target<br />

legislasi adalah menciptakan sekian ratus undang-undang, jauh lebih<br />

penting daripada memperhitungkan kepentingan rakyat miskin dan<br />

perempuan, yang bahkan akan menjadi target dari peraturan perundangundangan.<br />

Akibatnya, hukum tidak responsif terhadap persoalanpersoalan<br />

perempuan. Hukum tidak dapat mengikuti perkembangan<br />

masyarakat yang begitu cepat, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan<br />

perempuan, “yang berdimensi baru”, misalnya perdagangan<br />

perempuan.<br />

Selanjutnya para pelaksana hukum dalam menjalankan tugasnya<br />

“hanya” berpatokan pada apa yang tertulis dalam Undang-Undang,<br />

dan tidak mengadakan “ujian” terhadap kasus-kasus dan pengalaman<br />

masyarakat. Para pelaksana hukum seolah “tidak menyadari” bahwa<br />

kerja hukum dalam masyarakat potensial “berbenturan” dengan<br />

kekuasaan, kepentingan ekonomi, dan budaya. Dalam kondisi seperti<br />

ini sebenarnya yang diharapkan adalah terobosan-terobosan baru yang<br />

lahir dari para pelaksana hukum dalam rangka memberi akses keadilan<br />

kepada warga masyarakat. Namun pembaharuan hukum, khususnya<br />

berupa “pemikiran paradigmatik hukum baru”, dan keberanian untuk<br />

melakukan terobosan-terobosan terutama dalam memberikan keadilan<br />

kepada perempuan, sangat lambat datangnya.<br />

<strong>Perempuan</strong> dalam Pandangan Hukum<br />

Sebenarnya pembaharuan hukum telah terjadi, ditandai oleh adanya<br />

berbagai instrumen hukum yang menjamin kesetaraan dan keadilan,<br />

bersumber dari berbagai konvensi internasional, hukum positif nasional,<br />

termasuk berbagai jurisprudensi atas kasus-kasus dimana perempuan<br />

mendapat keadilan. 7 Perlu disebutkan disini bahwa jaminan keadilan<br />

dapat dicari mulai dari Undang-Undang Dasar 19<strong>45</strong> pada pasal 27,<br />

hingga berbagai peraturan perundang-undangan seperti yang terbaru<br />

yakni UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU no.7/<br />

1984 sebagai ratifikasi terhadap Konvensi Wanita 8 yang sangat<br />

komprehensif mengatur larangan diskriminasi terhadap perempuan<br />

34 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Sulistyowati Irianto<br />

Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />

Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />

hampir di segala bidang kehidupan. Di samping itu terdapat berbagai<br />

prinsip dan nilai keadilan bagi perempuan dan laki-laki yang terserak<br />

di berbagai peraturan perundang-undangan lain.<br />

Namun terdapat jurang yang dalam di antara apa yang seharusnya<br />

(das sollen) dikehendaki terjadi oleh hukum, dan implementasinya dalam<br />

kehidupan sehari-hari (das sein), sehingga hukum hanya dapat<br />

dipandang sebagai “payung fantasi” 9 . Kemudian keberadaan instrumen<br />

hukum yang menjamin kesetaraan dan keadilan dilemahkan oleh<br />

berbagai peraturan perundang-undangan lain, yang berimplikasi tidak<br />

adil bagi perempuan. Standar ganda dan penempatan perempuan yang<br />

tidak setara dalam perumusan hukum juga dapat dijumpai dan terserak<br />

dalam pasal-pasal tertentu dalam berbagai peraturan perundangundangan<br />

lain, seperti UU Perkawinan no.1/1974, Kitab Undang-<br />

Undang Hukum Pidana, Undang-undang keimigrasian, UU Kesehatan,<br />

UU yang berkenaan dengan kedudukan perempuan dalam politik,<br />

peraturan daerah, dan tidak kalah pentingnya adalah berbagai kebijakan<br />

di tingkat pusat maupun daerah.<br />

Jangan lupa, hukum adat dalam banyak hal juga menyimpan potensi<br />

diskriminasi terhadap perempuan. Dalam banyak etnis dapat ditemukan<br />

bahwa perempuan tidak mendapat akses yang sama dengan laki-laki<br />

kepada sumberdaya alam termasuk tanah. Pada masyarakat dengan<br />

kekerabatan patrilineal, perempuan tidak ditempatkan sebagai ahli waris<br />

oleh ayah maupun suaminya, dan bila sudah tua ditempatkan dalam<br />

tanggungjawab anak laki-laki tertuanya. 10 Pada masyarakat dengan<br />

sistem kekerabatan matrilineal, 11 sungguh pun garis keturunan dan waris<br />

dihitung menurut garis ibu, tetapi kontrol terhadap harta lebih berada<br />

pada saudara laki-laki ibu (mother’s brother). Sementara itu pada<br />

masyarakat dengan sistem kekerabatan bilateral/ parental 12 dimana<br />

garis keturunan boleh dihitung melalui garis ayah maupun ibu,<br />

perempuan mendapat separuh saja dari bagian yang diperoleh saudara<br />

laki-lakinya. 13<br />

Jurang Antara Acuan Normatif dan Kenyataan Sosial<br />

Mengapa ada kesenjangan antara hukum sebagai acuan normatif<br />

dan kenyataan sosial? Beberapa faktor dapat menjawab pertanyaan ini.<br />

Pertama, adanya hukum, termasuk kebijakan yang tidak berselaras<br />

dengan peraturan perundang-undangan yang menjamin kesetaraan dan<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

35


Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />

Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />

Sulistyowati Irianto<br />

keadilan bagi perempuan. Kedua, adanya persoalan yang “tersimpan”<br />

dalam hukum sendiri. Ketiga, menjadikan hukum sebagai alat rekayasa<br />

sosial tidaklah mudah.<br />

Terdapatnya Peraturan Perundang-undangan “Tandingan”<br />

Sebagaimana telah diungkapkan dalam pengantar tulisan ini,<br />

sungguhpun terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang<br />

menjamin kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki, tetapi<br />

tidak sedikit peraturan perundang-undangan, termasuk kebijakan, dan<br />

rancangan undang-undang sekalipun, yang tidak responsif terhadap<br />

kepentingan perempuan, malahan berimplikasi terhadap terjadinya<br />

diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan.<br />

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat berbagai peraturan perundangundangan<br />

yang saling bertentangan satu sama lain, baik secara vertikal<br />

maupun horisontal. 14 Dalam ajaran mengenai hierarkhi peraturan<br />

perundang-undangan (teori Stuffenbaum dari Hans Kelsen) yang sangat<br />

dikenal di kalangan sarjana hukum sebenarnya keadaan ini tidak boleh<br />

terjadi. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh<br />

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,<br />

apalagi Undang-undang Dasar. Namun keadaan inilah yang terjadi di<br />

Indonesia.<br />

Meski UUD <strong>45</strong> Pasal 27 (b) telah menjamin kesamaan di muka hukum<br />

bagi setiap warga negara, tetapi terdapat banyak undang-undang sampai<br />

peraturan daerah, yang mengandung rumusan yang berstandar ganda.<br />

Sekadar mengambil beberapa contoh, Pasal 34 UU No. 1/1974 mengenai<br />

Perkawinan memberikan status kepada suami sebagai kepala keluarga<br />

dan istri sebagai ibu rumah tangga, dengan berbagai implikasinya,<br />

terutama bagi perempuan bekerja karena tidak dianggap sebagai pencari<br />

nafkah utama. Ketentuan mengenai keimigrasian dan kewarganegaraan,<br />

15 tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk<br />

menentukan hak memilih kewarganegaraan bagi anaknya, dengan<br />

dampaknya yang merugikan terutama bagi perempuan yang bercerai<br />

dari suaminya yang orang asing dan memiliki anak. Spirit dari berbagai<br />

peraturan daerah telah menempatkan sebagai kriminal, perempuan yang<br />

karena kemiskinannya, bekerja sebagai pekerja seks. Mereka dikejar-kejar<br />

oleh “polisi moral” yang adalah aparat penegak hukum, untuk digiring<br />

ke panti rehabilitasi, untuk “disucikan” selama 3 bulan. Sementara itu<br />

36 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Sulistyowati Irianto<br />

Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />

Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />

pelanggan mereka, laki-laki, tidak dikenakan sanksi apapun. Lebih parah<br />

lagi, untuk mencegah maksiat, kepada seluruh perempuan dikenakan<br />

jam malam, yang sangat membatasi ruang gerak perempuan untuk<br />

beraktivitas di ruang publik.<br />

Kepada perempuan juga diatur untuk mengenakan pakaian yang<br />

seragam, suatu hal yang tidak dapat dimengerti bagaimana negara bisa<br />

mengintervensi begitu jauh urusan pribadi perempuan.<br />

Kondisi di atas juga menunjukkan bahwa hukum sesungguhnya tidak<br />

netral dan objektif, karena telah menetapkan dan menerapkan standar<br />

ganda bagi mereka yang memiliki kekuasaan (laki-laki) dan mereka<br />

yang tidak memiliki kekuasaan (perempuan). Kenyataan ini telah<br />

menjugkirbalikkan sebuah prinsip yang diagung-agungkan tentang<br />

“netralitas”, “obyektivitas” dan “kepastian hukum”.<br />

Ketidakadilan terhadap perempuan juga tercermin dalam kebijakan<br />

anggaran, sebagaimana yang dapat ditemukan di beberapa daerah.<br />

Lihatlah beberapa contoh perbandingan alokasi anggaran bagi<br />

kepentingan perempuan, dan kepentingan pejabat eksekutif dan legislatif<br />

di beberapa daerah berikut ini.<br />

Tabel 1.<br />

Perbandingan Alokasi Anggaran untuk <strong>Perempuan</strong><br />

No Daerah Peruntukan dana bagi Peruntukan dana bagi<br />

perempuan dan anak pejabat<br />

1 Ciamis, 2004 Penanganan gizi buruk anak Jamuan makan pemerintah<br />

Rp 10 juta<br />

Rp 4 milyar lebih<br />

2 DI Yogyakarta, 2004 Pemberdayaan perempuan Dana purna tugas DPRD<br />

(DI Yogyakarta, 2001) Rp 40,616 (Rp 0,-) Rp 98 juta/orang<br />

(Rp 9,7 miliar)<br />

3 Subang, 2004 Bantuan ibu hamil risiko Perjalanan dinas DPRD<br />

tinggi keluarga miskin Rp 2,3 milyar<br />

Rp 10 juta<br />

4 Kulon Progo, 2004 Posyandu Balita Rp 4 juta Pembangunan dermaga<br />

Karangwuni-Glagah<br />

Rp 135 milyar<br />

Sumber: Diolah dari Warta Korupsi, Seri <strong>Perempuan</strong> dan Anggaran, edisi 4/ September - Oktober<br />

2004, Yogyakarta: IDEA (Institute for Development and Economic Analysis)<br />

Begitupula khususnya dalam bidang kesehatan dapat dilihat alokasi<br />

APBD DI Yogyakarta, sebagai berikut.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

37


Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />

Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />

Sulistyowati Irianto<br />

Tabel 2.<br />

Alokasi APBD Yogyakarta tahun 2004<br />

NoAPBD kota Yogyakarta Penerima Manfaat Jumlah<br />

tahun 2004<br />

1 Tunjangan kesehatan <strong>45</strong> orang anggota DPRD Rp 198.<strong>45</strong>0.000,-<br />

DPRD Yogyakarta<br />

2 Peningkatan gizi masyarakat Pasien kurang mampu Rp 64.409.700<br />

3 Biaya perawatan dan Masyarakat khususnya Rp 62.394.000,-<br />

pengobatan lokal<br />

anak-anak<br />

4 Bantuan keuangan untuk Balita gizi buruk Rp 17.500.000,-<br />

balita gizi buruk<br />

Sumber: Diolah dari Warta Korupsi, Seri <strong>Perempuan</strong> dan Anggaran, edisi 4/Sept-Okt 2004,<br />

Yogyakarta: IDEA (Institute for Development and Economic Analysis)<br />

Bayangkanlah anggaran kesehatan untuk <strong>45</strong> orang anggota DPRD<br />

jauh lebih banyak daripada anggaran kesehatan bagi seluruh orang<br />

miskin (perempuan dan anak) di wilayah yang sama. Padahal siapakah<br />

penyumbang anggaran pendapatan daerah terbesar? Ternyata<br />

pendapatan beberapa derah berasal dari retribusi orang sakit (orang<br />

miskin, ibu dan anak). Di beberapa daerah pada tahun 2004, bahkan,<br />

pendapatan paling besar berasal dari sektor kesehatan, yaitu di Bantul<br />

(sebesar Rp. 10,3 miliar), Yogyakarta (Rp. 5,14 miliar), Gunung Kidul<br />

(Rp. 5,43 miliar), Subang (14,055), dan Kebumen tahun 2003 (Rp. 3,5<br />

miliar).<br />

Lagi-lagi kondisi di atas telah menunjukkan bahwa hukum dan<br />

kebijakan telah berpihak kepada pemilik kekuasaan (pejabat eksekutif<br />

dan legislatif), dan mengabaikan pengalaman mereka yang tidak<br />

memiliki kekuasaan yaitu perempuan dan anak-anak dari kelompok<br />

paling miskin dalam masyarakat. Kenyataan itu juga menunjukkan<br />

bahwa hukum yang mengklaim dirinya sebagai netral dan objektif,<br />

ternyata telah berpihak kepada mereka yang berkuasa.<br />

Hukum Menyimpan Persoalannya Sendiri<br />

Hukum dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan,<br />

hukum mencerminkan budaya yang ada dalam masyarakat, atau budaya<br />

adalah faktor determinan dari hukum. Budaya patriarkhi yang kental<br />

dalam suatu masyarakat dapat ditemui dan dibaca dari teks-teks hukum<br />

yang ada dalam masyarakat tersebut. Penetapan dan penerapan standar<br />

38 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Sulistyowati Irianto<br />

Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />

Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />

ganda dan penempatan perempuan pada posisi yang subordinate dalam<br />

hukum, sebagaimana dijelaskan di atas, memang merefleksikan juga<br />

budaya hukum masyarakat yang patriarkhis.<br />

Di samping itu secara paradigmatik ada beberapa persoalan yang<br />

dapat menjawab mengapa terdapat jurang antara hukum dalam acuan<br />

normatif dan kenyataan sosial. Dianutnya azas legalitas dalam “doing<br />

law” bagi seorang sarjana hukum, menyebabkan dia sukar sekali bergerak<br />

dari ruang-ruang yang telah ditetapkan itu. Asas legalitas yang<br />

mengatakan bahwa “suatu perbuatan tidak dapat dihukum bila tidak<br />

ada undang-undangnya”, begitu kuat tertanam di kalangan para sarjana<br />

hukum, khususnya ahli hukum pidana. Dalam konteks sejarah<br />

terbentuknya penal code (Perancis), memang tepat untuk membuat hukum<br />

yang demikian, untuk mencegah kesewenangan<br />

penguasa terhadap peghukuman rakyat yang<br />

tidak bersalah. Namun sesudah 150 tahun<br />

yang lalu sejak penal code Perancis dibawa<br />

oleh Belanda ke Indonesia, masyarakat<br />

Indonesia sudah berubah begitu cepat, dan<br />

dalam banyak konteks, ada masalahmasalah<br />

(perempuan), yang tidak tertampung<br />

lagi dalam hukum pidana<br />

tersebut.<br />

Tambahan lagi, cara penafsiran teks<br />

dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan<br />

dilakukan dengan<br />

pandangan yang legistis, yaitu undangundang<br />

dibaca sebagaimana huruf-hurufnya<br />

berbunyi. Hal ini menyebabkan mereka<br />

kesulitan, atau tidak terlalu berani untuk<br />

melakukan terobosan-teorobasan baru, bahkan<br />

ketika mereka berhadapan dengan masalah<br />

kemanusiaan sekalipun. Sebagai contoh, petersenlawoffice.com<br />

para pelaksana hukum sering tidak mengerti<br />

bagaimana harus menangani pelaku kejahatan perdagangan terhadap<br />

perempuan, dengan alasan belum ada undang-undangnya. Padahal<br />

sebenarnya para pelaksana hukum yang “peka” dan peduli terhadap<br />

persoalan kemanusiaan perempuan, dapat menemukan pasal-pasal<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

39


Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />

Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />

Sulistyowati Irianto<br />

yang sudah tersedia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana<br />

(KUHP) yang mengandung unsur-unsur perdagangan perempuan<br />

seperti penyekapan orang, pemalsuan dokumen, melarikan orang, dan<br />

sebagainya. Persoalannya adalah jarang sekali dapat ditemukan<br />

pelaksana hukum yang progresif dan responsif terhadap pengalaman<br />

perempuan.<br />

Padahal sebenarnya bila para pelaksana hukum mau bersikap<br />

progresif, di dalam menjalankan tugasnya, dalam ajaran ilmu hukum<br />

mereka malahan diharuskan untuk tidak hanya menomorsatukan legal<br />

justice saja, tetapi juga moral justice. Hakim tidak hanya menjadi corong<br />

undang-undang, tetapi dia harus membuat “undang-undang” (judge<br />

made law) dalam kondisi di mana suatu perkara belum ada undangundangnya.<br />

Teori Menemukan Hukum (rechtsvinding theorie) yang<br />

dikembangkan dalam ilmu hukum mengajarkan bahwa<br />

hakim bukan hanya menerapkan peraturan perundangundangan<br />

atau ketentuan hukum, tetapi dalam menafsirkan<br />

serta menemukan ketentuan hukum dan memberikan<br />

putusan, hakim juga menciptakan hukum,<br />

bedasarkan ketuhanan yang maha esa. 16<br />

Dalam hal seberapa jauh konvensi internasional digunakan dalam<br />

penanganan perkara/ pembelaan terhadap perempuan di persidangan,<br />

ada saja hakim yang menyatakan bahwa sukar untuk mengimplementasikannya,<br />

karena tidak ada pasal-pasal dan sanksi hukum yang jelas<br />

dalam konvensi tersebut. Namun sesungguhnya, hakim yang progresif<br />

akan mengatakan bahwa meskipun tidak bisa digunakan dalam proses<br />

penuntutan, tetapi setidaknya konvensi <strong>CEDAW</strong>, dapat dimasukkan<br />

dalam pertimbangan hakim.<br />

Lebih lanjut dalam praktik, terutama dalam kasus-kasus pidana kita<br />

melihat bahwa hakim lebih banyak “hanya” melakukan konfirmasi<br />

antara dakwaan jaksa dan pasal-pasal dalam peraturan perundangundangan.<br />

Bahkan banyak hakim yang menyatakan bahwa dalam<br />

menangani perkara dan memilih UU mana yang akan digunakan dalam<br />

penyelesaian perkara itu, akan sangat tergantung pada “pilihan hukum”<br />

yang digunakan jaksa.<br />

Sebagai contoh dalam kasus-kasus dimana perempuan tertangkap<br />

40 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Sulistyowati Irianto<br />

Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />

Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />

sebagai pengedar narkotika, dan sekarang menantikan hukuman mati,<br />

ternyata ditemukan bahwa mereka sebenarnya adalah korban dari<br />

perdagangan perempuan 17 , yang menjadikan mereka pengedar narkotika.<br />

Pelaku dari pengedar narkotika itu sebenarnya adalah suami, “suami<br />

gelap” atau pacar, yang berhasil merekrut mereka dengan jebakanjebakan<br />

asmara dan uang. 18 Hakim “hanyalah” melakukan konfirmasi<br />

dari tuduhan jaksa terhadap UU Psikotropika dan Narkotika yang<br />

berbunyi “barang siapa tertangkap tangan membawa heroin... maka...”<br />

Memang benar para perempuan itu tertangkap tangan, tetapi hakim tidak<br />

meng-explore lebih jauh, alasan atau pengalaman perempuan terdakwa,<br />

mengapa mereka berada dalam situasi tersebut, dan bagaimana<br />

perempuan sampai berada dalam kondisi itu.<br />

Namun kita juga harus memahami lebih jauh dari sisi hakim,<br />

mengapa hakim enggan melakukan eksplorasi lebih jauh demi<br />

terungkapnya kebenaran materiil dan tercapainya “moral justice”?<br />

Banyak hakim menyatakan bahwa mereka tidak memiliki fasilitas dan<br />

dana yang cukup memadai untuk bisa melakukan upaya dalam rangka<br />

mendapatkan kebenaran materil tersebut. Dalam hal ini negara<br />

seharusnya memang bertanggungjawab menyediakan sarana dan<br />

fasilitas memadai agar hakim bisa secara leluasa menjalankan tugas<br />

sebaik-baiknya demi tercapainya keadilan kepada semua pihak. Di<br />

samping itu kita juga melihat bahwa hakim di Indonesia sangat dibebani<br />

oleh perkara yang bertumpuk dan tertunda. Mereka tidak punya cukup<br />

waktu untuk memberi perhatian “lebih” kepada perkara-perkara tertentu,<br />

sungguhpun perkara tersebut menyangkut masalah kemanusiaan. Hal<br />

itu akan berarti penelantaran terhadap perkara-perkara lain yang<br />

tertunggak.<br />

Menjadikan Hukum sebagai Alat Rekayasa Sosial<br />

Mengintroduksi instrumen hukum, termasuk konvensi internasional,<br />

yang responsif gender, dengan tujuan memperbaiki keadaan masyarakat<br />

ke arah yang lebih baik dan adil, dapat dilihat dalam kerangka<br />

menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social<br />

engineering). Paham ini digagas oleh aliran instrumentalis yang<br />

dipeolopori oleh Roscoe Pound. 19 Dalam implementasinya, ternyata<br />

upaya mengubah masyarakat melalui hukum belum tentu dapat dijamin<br />

keberhasilannya. Mengapa?<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

41


Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />

Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />

Sulistyowati Irianto<br />

Hukum bukanlah teks yang berada di ruang kosong, hukum baru<br />

bisa bermakna bila dia “dibunyikan” dalam peristiwa-peristiwa konkret<br />

yang ada dalam masyarakat, karena hukum memang berada di dalam<br />

masyarakat. “Hukum baru” dihantarkan ke dalam masyarakat, yang<br />

dalam kacamata antropologi<br />

hukum dapat diumpamakan<br />

sebagai suatu arena sosial yang<br />

semi otonom (semi-autonomous<br />

social field). 20 Arena tersebut<br />

memiliki kapasitas untuk menciptakan<br />

aturan-aturannya sendiri<br />

(self-regulations), beserta<br />

sanksi-sanksinya, yang biasanya<br />

merupakan sanksi sosial<br />

yang akan berimplikasi serius<br />

bagi mereka yang dianggap<br />

melakukan pelanggaran terhadap<br />

aturan-aturan yang ditetapkan<br />

bersama itu. Karena<br />

masyarakat sudah memiliki<br />

hukumnya sendiri, maka tidak<br />

mengherankan bila “hukum<br />

baru” belum tentu dapat diterima.<br />

“Hukum baru” akan<br />

diterima oleh masyarakat bila<br />

mengandung prinsip-prinsip<br />

yang selaras dengan aturan-aturan mereka sendiri. Atau masyarakat<br />

membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menerima “hukum baru”.<br />

Dalam proses itu sering terjadi penolakan-penolakan, terutama karena<br />

“semangat” hukum baru tidak dianggap cocok dengan budaya<br />

masyarakat setempat.<br />

Penolakan terhadap “hukum baru” juga terjadi di kalangan para<br />

pelaksana hukum. Namun bila ditelusuri lebih jauh, ternyata penolakan<br />

tersebut, sebagiannya disebabkan oleh ketidaktahuan para pelaksana<br />

hukum tentang kasus-kasus pengalaman perempuan yang nyata, dan<br />

juga apa yang diinginkan perempuan (korban diskriminasi), yang<br />

diabstraksikan spiritnya dalam “hukum baru”. Khususnya penolakan<br />

42 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

saltspring.com


Sulistyowati Irianto<br />

Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />

Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />

terhadap konvensi internasional sering disebabkan oleh anggapan<br />

dalam masyarakat, juga pelaksana hukum, bahwa konvensi tersebut<br />

berasal dari Barat, membawa budaya Barat, yang tidak cocok dengan<br />

masyarakat Timur. Kurang dipahami bahwa Konvensi internasional,<br />

Konvensi “<strong>CEDAW</strong>” misalnya dilahirkan oleh masyarakat internasional,<br />

dirumuskan sendiri oleh delegasi dari berbagai bangsa dan<br />

negara. Konvensi <strong>CEDAW</strong> bahkan lebih banyak dirumuskan dan<br />

disuarakan oleh delegasi perwakilan dari negara-negara <strong>Asia</strong> Afrika<br />

dan negara berkembang lain pada umumnya, di mana para perempuannya<br />

sungguh-sungguh mengalami diskriminasi dan kekerasan dari<br />

praktek budaya lokal. Kenyataan-kenyataan yang dialami oleh<br />

perempuan, dan keinginan perempuan untuk melepaskan diri dari<br />

diskriminasi dan kekerasan itulah yang tidak lain direfleksikan dalam<br />

pasal-pasal yang termuat dalam Konvensi Internasional.<br />

Dalam kondisi itu, pertanyaannya menjadi: bagaimana “janji” dari<br />

negara-negara penandatangan Konvensi <strong>CEDAW</strong>, yang jumlahnya saat<br />

ini sudah sekitar 180 negara? Mereka sudah tanda tangan, sudah berjanji<br />

untuk menerapkan prinsip-prinsip <strong>CEDAW</strong> dalam hukum nasonal<br />

mereka sendiri, merubah peraturan perundang-undangan yang<br />

bertentangan dengan prinsip <strong>CEDAW</strong>, atau membuat peraturan<br />

perundang-undang yang baru. Di pihak lain, mereka “tetap”<br />

membiarkan eksploitasi, perbudakan, kekerasan, dan berbagai bentuk<br />

diskriminasi lain terhadap perempuan.<br />

Pembaharuan Hukum di Indonesia Ke Depan, Seperti Apa?<br />

Sebenarnya telah terdapat peluang yang cukup luas bagi terciptanya<br />

reformasi hukum di Indonesia, di samping sudah adanya berbagai<br />

instrumen hukum yang menjamin kesetaraan dan keadilan seperti<br />

dijelaskan di atas. Peluang tersebut adalah telah dibukanya pers yang<br />

bebas, kebebasan mimbar, dan mulai diakuinya hak-hak politik. 21<br />

Namun pembaharuan hukum tidak mudah untuk dilakukan, karena<br />

problem yang diwarisi bangsa ini terlalu kompleks untuk diselesaikan<br />

dalam waktu sekejap, terutama adalah aparat birokrasi hukum yang<br />

korup, dan mental permisif masyarakat terhadap praktek pelanggaran<br />

hukum, dan masih adanya hukum dan kebijakan (bahkan rancangan)<br />

yang berimplikasi diskriminatif terhadap kelompok rentan dalam<br />

masyarakat.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

43


Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />

Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />

Sulistyowati Irianto<br />

Sungguhpun pembaharuan hukum sangat diperlukan, tetapi juga<br />

harus dilakukan secara berhati-hati, tidak hanya sekadar mengagendakan<br />

rancangan-rancangan hukum baru demi tercapainya target “asal<br />

memuaskan”. Harus diwaspadai bila ternyata hukum yang dirancang<br />

adalah yang sarat dengan kepentingan. Hukum dijadikan sebagai alat<br />

untuk mendefinisikan kekuasaan kelompok-kelompok tertentu dalam<br />

masyarakat. Bila melihatnya dari perspektif perempuan, dapat dijumpai<br />

adanya muatan kepentingan dalam berbagai (rancangan) peraturan<br />

perundang-undangan. Isu-isu perempuan sangat rentan untuk dimasuki<br />

dan dijadikan isu politik, karena simbolisasi politik dilekatkan pada<br />

seksualitas tubuh serta keberadaan perempuan itu sendiri.<br />

Catatan Belakang<br />

1<br />

Olsen, Frances E, Feminist Legal Theory vol I : Foundations and Outlooks (New<br />

York: New York University Press, 1995).<br />

2<br />

Carol Smart, Feminism and the Power of Law (USA: Routledge, a Division of<br />

Routledge, Chapman and Hall, Inc, 1990).<br />

3<br />

Penelitian terhadap 9 daerah yang dilakukan oleh Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong>,<br />

Menggalang Perubahan. Perlunya Perspektif Gender Dalam Otonomi Daerah<br />

(Jakarta: YJP, 2004) dan Women Research Institute, Representasi <strong>Perempuan</strong><br />

dalam Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah (Jakarta: WRI, 2005) telah<br />

menunjukkan adanya impelementasi dari berbagai peraturan daerah (Perda) tersebut,<br />

yang merugikan perempuan.<br />

4<br />

Ada banyak kasus perempuan dari komunitas adat, yang karena hutan wilayah adatnya<br />

dikonversi menjadi hutan lindung, hutan negara atau hutan komersial, dan kemudian<br />

masyarakat setempat mengalami proses pemiskinan, akhirnya perempuan tersebut<br />

menempatkan diri sebagai survivor, keluar dari wilayahnya untuk menjadi TKW di<br />

negeri orang.<br />

5<br />

Mengacu pada berbagai Perda, terutama setelah era otonomi daerah, dimana banyak<br />

Pemerintah Daerah yang membuat Perda anti maksiat.<br />

6<br />

Mengacu pada RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Semua ekspresi kasih sayang<br />

dipandang sebagai erotika dalam RUU tersebut.<br />

7<br />

Sejak tahun 1961 sampai 1980-an, setidaknya 9 dari 10 kasus waris di kalangan<br />

masyarakat Batak Toba, oleh Mahkamah Agung diputuskan untuk memberi hak<br />

waris kepada perempuan, sama seperti saudara laki-lakinya, dan istri dinyatakan<br />

berhak atas harta perkawinan. Hal-hak tersebut tidak dikenal dalam hukum adat<br />

Batak, lihat Sulistyowati Irianto, <strong>Perempuan</strong> Di antara Berbagai Pilihan Hukum<br />

(Jakarta: Yayasan Obor indonesia, 2003).<br />

8<br />

Terjemahan dari Women’s Convention, yang sering juga disebut sebagai <strong>CEDAW</strong><br />

44 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Sulistyowati Irianto<br />

Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?<br />

Sebuah Pertanyaan <strong>Perempuan</strong><br />

Convention. Konvensi Wanita adalah istilah yang resmi digunakan oleh pemerintah/<br />

negara ketika meratifikasi konvensi tersebut melalui UU no.7/1984.<br />

9<br />

LM Lapian Gandhi, Hukum Payung Fantasi, Payung Pajangan: Sebuah Hasil<br />

Penelitian mengenai Seberapa Jauh Konvensi Wanita Pasal 11 Diadopsi Dalam<br />

Peraturan Perundang-undangan Perburuhan Indonesia (Jakarta: Convention<br />

Watch, 1995).<br />

10<br />

Sebagai contoh adalah masyarakat Batak. Pada masa sekarang dapat ditemui adanya<br />

perubahan-perubahan dalam hukum adat Batak, dalam berbagai bentuk. Di kota<br />

besar, sudah banyak laki-laki yang membuat testamen dan menyertakan istri dan<br />

anak-anak perempuan sebagai ahli warisnya. Sudah semakin banyak putusan hakim<br />

(jurusprudensi) yang memberi hak waris kepada perempuan baik sebagai anak maupun<br />

istri. Sungguhpun demikian dalam kehidupan sehari-hari masih banyak orang Batak<br />

yang mengacu pada hukum adat, yang membatasi akses perempuan kepada harta<br />

waris, bila berhadapan dengan masalah waris. Lihat Sulistyowati Irianto, <strong>Perempuan</strong><br />

Di antara Berbagai Pilihan Hukum (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003).<br />

11<br />

Garis keturunan dan warisan dihitung dari garis ibu, seperti masyarakat Minangkabau.<br />

12<br />

Garis keturunan dihitung dari garis ayah maupun garis ibu, seperti dalam masyarakat<br />

Jawa.<br />

13<br />

Sulistyowati Irianto, Adakah Keadilan Sosial Juga ditujukan Bagi <strong>Perempuan</strong>? dalam<br />

Al Andang Binawan dan A. Prasetyantoko (eds.), Keadilan Sosial, Upaya Mencari<br />

Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,<br />

2004)<br />

14<br />

Vertikal, maksudnya peraturan perundang-undangan yang di bawah bertentangan<br />

dengan yang di atasnya, horisontal dimaksudkan sebagai adanya pertentangan<br />

substansi di antara berbagai peraturan perundang-undangan yang berkedudukan sama<br />

tingkatannya.<br />

15<br />

Termasuk yang masih berbentuk Rancangan Undang- Undang.<br />

16<br />

LM Lapian Gandhi, Makna dan Konsekuensi Hukum Ratifikasi Konvensi<br />

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita dan Prinsip-Prinsip yang<br />

Mendasarinya, makalah untuk Lokakarya ”Peran hakim Dalam Menegakkan Hukum<br />

Berkeadilan Gender: Masalah-Masalah yang Dihadapi”,Jakarta, 19 -20 , 2005.<br />

17<br />

Louise Brown, Sex Slaves: The Trafficking of Women in <strong>Asia</strong> (London: Virago<br />

Press, 2001).<br />

18<br />

Sulistyowati Irianto, Lim Sing Meij, Firliana Purwanti, Perdagangan <strong>Perempuan</strong><br />

dan Pengedaran Narkoba: Studi Kasus di LP Wanita, Tangerang (Jakarta:<br />

Yayasan Obor Indonesia, 2005).<br />

19<br />

Sally Falk Moore, Law as Process, An Anthropological Approach (London:<br />

Routledge & Kegan Paul, 1983).<br />

20<br />

Ibid.<br />

21<br />

Dadang Trisasongko, Pembaharuan Hukum di Jaman yang Sedang Berubah<br />

(Jakarta: PSHK, Jentera, edisi 3/ Tahun II/November 2004) hal. 51-58.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

<strong>45</strong>


<strong>CEDAW</strong>-Restoring Rights To Women


• Topik Empu •<br />

Sejauh Mana Indonesia<br />

Merespon ICPD-KAIRO?<br />

Atashendartini Habsjah<br />

Pendahuluan<br />

Pasal 12 <strong>CEDAW</strong> (The Convention on the Elimination of All Forms of<br />

Discrimination against Women) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk<br />

Diskriminasi Terhadap <strong>Perempuan</strong> telah menyatakan bahwa negara<br />

wajib menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang<br />

pemeliharaan dan pelayanan kesehatan reproduksi. Kenyataannya,<br />

walaupun Indonesia telah meratifikasi <strong>CEDAW</strong> dengan mengeluarkan<br />

UU. No. 7/1984 tetap saja perempuan mendapatkan perlakuan<br />

diskriminatif dalam mendapatkan hak-hak dan pelayanan kesehatan<br />

reproduksinya, terutama dalam kebijakan keluarga berencana yang<br />

hanya menjadikan perempuan sebagai sasaran.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

47


Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />

ICPD-KAIRO?<br />

Atashendartini Habsjah<br />

Implementasi <strong>CEDAW</strong> sebenarnya sudah harus segera kelihatan<br />

progresifitasnya terhadap kepentingan reproduksi perempuan<br />

Indonesia, sebab telah dikuatkan pula oleh hasil Konferensi Internasional<br />

Kependudukan dan Pembangunan di Kairo (1994) atau International<br />

Conference on Population and Development (ICPD) dimana Indonesia pun<br />

ikut menandatangani hasil konferensi ini. Melalui ICPD, kita dapat<br />

melihat seberapa jauh <strong>CEDAW</strong> diimplementasikan secara khusus dalam<br />

hal hak kesehatan reproduksi perempuan.<br />

Sebelas tahun setelah konferensi tersebut ternyata kehidupan<br />

perempuan di Indonesia hanya sedikit mengalami peningkatan.<br />

Berbagai penelitian, baik yang dilakukan oleh NGO, lembaga riset<br />

perguruan tinggi maupun pemerintah, menunjukkan bahwa tujuan dan<br />

sasaran strategis yang dengan sangat rinci telah diuraikan ke dalam<br />

bab-bab maupun pasal-pasal dokumen ICPD Plan of Action (PoA),<br />

kenyataannya tidak dapat dipenuhi oleh berbagai negara, termasuk<br />

Indonesia. 1 Kematian ibu dan perempuan yang sebenarnya dengan<br />

mudah dapat dicegah masih saja berlangsung terus.<br />

Dalam hal kematian ibu, Indonesia masih saja tertinggi kedua setelah<br />

Laos di antara negara-negara ASEAN, yaitu 380 per 100.000 kelahiran<br />

hidup. 2 Setiap tahunnya, ada 20.000 perempuan Indonesia meninggal<br />

di saat hamil atau melahirkan. 3 Belum lagi tingkat anemia di antara<br />

remaja putri maupun perempuan hamil, yang menjadikan mereka sangat<br />

berisiko di saat hamil dan melahirkan. Dan yang paling mencemaskan,<br />

ternyata penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi mereka, jumlahnya dari<br />

hari ke hari makin meningkat. HIV/AIDS yang ditularkan dari suami ke<br />

istri yang tidak tahu menahu ini sangat memprihatinkan karena banyak<br />

dari mereka pada akhirnya menjadi janda, sekaligus harus menjadi<br />

pencari nafkah untuk anak-anaknya, padahal dia sendiri kondisi<br />

kesehatannya semakin hari semakin buruk.<br />

Banyak laporan penelitian, yang khusus memonitor pencapaian<br />

kesepakatan ICPD, menunjukkan bahwa implementasi dari programprogram<br />

yang telah disepakati bersama di tahun 1994 ternyata berjalan<br />

sangat lambat. Ironisnya hal ini tetap terjadi, meski lima tahun yang<br />

lalu semua negara yang terkait telah menyepakati kembali meningkatkan<br />

komitmen bersama (the spirit of Cairo) dan berjanji akan memenuhi<br />

kebutuhan spesifik perempuan beserta semua hak reproduksinya.<br />

Salah satu penyebab utamanya adalah kebijakan yang diluncurkan<br />

tidak menggunakan HAM dan Hak <strong>Perempuan</strong> dalam kerangka<br />

48<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Atashendartini Habsjah<br />

Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />

ICPD-KAIRO?<br />

konseptual. Selain itu, program-program yang menggunakan “label”<br />

kesehatan reproduksi, di tingkat implementasi kenyataannya tidak lain<br />

adalah program yang sama yaitu program ibu dan anak di tingkat<br />

Puskesmas atau program ‘Operasi Manunggal KB-Kesehatan’ di tingkat<br />

masyarakat yang tetap saja bertujuan untuk mendapatkan sebanyak<br />

mungkin akseptor (orang yang mengikuti program KB) yang sasaran<br />

utamanya adalah perempuan keluarga pra-sejahtera. Keluarga prasejahtera<br />

ini justru yang tidak dapat memilih jenis kontrasepsi yang<br />

mereka inginkan, karena yang diberikan gratis hanya kontrasepsi jangka<br />

3 – 5 tahun yaitu implant (susuk). Padahal jenis alat kontrasepsi ini efek<br />

sampingnya sangat banyak dilaporkan oleh para perempuan yang<br />

menggunakannya. Hartman 4 yang banyak melakukan penelitian<br />

terhadap pengguna implant juga sangat resah dengan efek samping yang<br />

sempat banyak dialami oleh mereka.<br />

Apa Saja Komitmen terhadap ICPD-Kairo yang Harus Dipenuhi?<br />

Prinsip dasar ICPD Plan of Action (PoA) adalah “universal human<br />

rights” yang memang telah diakui dan diadopsi dalam berbagai UU<br />

negara berkembang maupun negara maju. Prinsip ini mengakui bahwa<br />

semua terlahir sebagai seorang yang memiliki otoritas terhadap dirinya,<br />

adanya kesetaraan hak dan martabat (equal dignity and rights) serta<br />

memiliki hak untuk hidup, kebebasan, keamanan, perkembangan diri<br />

dan pendidikan. Dalam Dokumen ICPD Chapter II khusus diuraikan<br />

tentang hak asasi perempuan yang merupakan bagian yang tidak dapat<br />

dipisahkan dan merupakan bagian yang integral dari hak asasi manusia.<br />

Kunci utama dari hak ini adalah; (1) penghapusan segala bentuk<br />

diskriminasi yang didasari atas jenis kelamin, (2) adanya peran serta<br />

maupun keterlibatan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan di<br />

semua tingkatan.<br />

Dalam ICPD Plan of Action, hak kesehatan reproduksi diuraikan<br />

panjang lebar dalam Chapter IV, khususnya dalam mengimplementasikan<br />

pelayanan kesehatan yang harus menggunakan prinsip informed choice<br />

(pilihan berdasarkan informasi) dan kebebasan memilih. Chapter VII<br />

dokumen ICPD sekali lagi mendefinisikan kesehatan reproduksi dan<br />

hak reproduksi dalam paragraf 7.2 dan 7.3 dan mempertegas, bahwa<br />

keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena keduanya<br />

memiliki perspektif hak maupun perspektif kesehatan. Dalam pasal 7.3<br />

khusus ditegaskan bahwa hak bagi setiap pasangan ataupun individu<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

49


Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />

ICPD-KAIRO?<br />

Atashendartini Habsjah<br />

(perorangan) untuk menentukan sendiri semua yang terkait dengan<br />

reproduksinya dan harus terbebas dari diskriminasi, pemaksaan<br />

maupun kekerasan. Diisyaratkan agar semua warga, baik laki-laki<br />

maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk menikmati standar<br />

kesehatan yang tertinggi, baik kesehatan fisik, mental, maupun sosial<br />

dan akses terhadap pelayanan kesehatan harus universal, tidak boleh<br />

dibatasi oleh status pernikahan, umur, jenis kelamin maupun status<br />

ekonomi-sosial seseorang. Hak untuk hidup dan hidup secara sehat<br />

adalah hak setiap warga negara. Oleh karena itu, negara wajib<br />

menyediakan semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan<br />

warganya tanpa terkecuali. 5<br />

Apa kata ICPD-PoA tentang Keluarga Berencana?<br />

Chapter VIII khusus diuraikan tentang keluarga berencana. Di<br />

dalamnya dicantumkan bahwa keluarga berencana harus dikaitkan<br />

dengan program pencegahan dan pengobatan penyakit menular seksual,<br />

termasuk HIV/AIDS dan isu seksualitas harus menjadi bagian integral<br />

dari program-program ini.<br />

Secara tegas dalam ICPD PoA dicantumkan, bahwa pencapaian<br />

(goals) dari program Keluarga Berencana harus didasarkan atas “unmet<br />

needs”. Dimana setiap jenis<br />

alat kontrasepsi ataupun<br />

pelayanan yang dibutuhkan<br />

baik laki-laki maupun perempuan<br />

harus disediakan,<br />

selain itu harus pula memenuhi<br />

kebutuhan akan<br />

informasi yang benar dan<br />

akurat. Hitungan demografis<br />

juga tidak boleh dalam<br />

bentuk target atau kuota,<br />

dan insentif tidak boleh dipakai<br />

lagi dalam merekrut<br />

calon pengguna alat kontrasepsi.<br />

Program Keluarga Berencana dalam hal ini diharuskan mengutamakan<br />

“client centered approach” (pendekatan yang terkonsentrasi<br />

pada klien) dengan standar pelayanan yang berkualitas. Disamping itu,<br />

informasi yang terbaik dan akurat, termasuk konseling yang dapat<br />

unfpa.org<br />

50<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Atashendartini Habsjah<br />

Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />

ICPD-KAIRO?<br />

memberdayakan klien. Informasi yang memberdayakan klien bisa<br />

membantu dalam memutuskan yang terbaik bagi tubuhnya, sehingga<br />

drop-out sebagai akseptor bisa dicegah dan juga kehamilan yang tidak<br />

diinginkan (KTD). Oleh karena itu, suatu program harus didesain sesuai<br />

dengan kebutuhan yang diinginkan kaum perempuan dengan<br />

menjadikannya sebagai subjek dalam perencanaan, implementasi<br />

maupun evaluasi. Di beberapa negara berkembang sudah diberlakukan<br />

“Informed Contraceptive Choice” dan hak untuk mendapatkan secara gratis<br />

pelayanan kesehatan dasar, termasuk alat kontrasepsi. Bagaimana di<br />

Indonesia?<br />

Dalam mengimplementasikan program kontrasepsi, kenyataannya<br />

BKKBN tetap menitikberatkan pada upaya pengendalian penduduk dan<br />

mengabaikan “informed contraceptive choice”, karena sistem kafetaria<br />

(yang menjanjikan klien dapat memilih sendiri jenis alat kontrasepsi<br />

yang diinginkan) tidak tersedia. <strong>Perempuan</strong> miskin kenyataannya masih<br />

dijadikan target untuk menggunakan implant yang merupakan alat<br />

kontrasepsi jangka panjang (3 – 5 tahun) yang tingkat kegagalannya<br />

kecil, namun banyak efek sampingnya bagi perempuan yang menggunakannya.<br />

Program implant untuk masyarakat sama sekali tidak “client<br />

centred” (tidak terkonsentrasi pada sistem hubungan klien) karena<br />

pelayanan masih saja diberikan secara massal dan diselenggarakan di<br />

suatu ruangan sempit di kantor kecamatan. Para calon akseptor datang<br />

sekaligus pada jam yang sama, sehingga konseling (dalam arti<br />

sesungguhnya) tidak dapat diberikan.<br />

IUD (spiral), salah satu alat kontrasepsi yang beberapa tahun lalu<br />

banyak digunakan perempuan di Indonesia, kenyataannya tidak<br />

disubsidi lagi oleh pemerintah. IUD buatan lokal yang dahulu<br />

kualitasnya sangat bagus ternyata pabriknya ditutup, sedangkan IUD<br />

yang diproduksi belum lama ini, sangat jelek kualitasnya. Pemasangan<br />

IUD di praktek bidan swasta di wilayah perkotaan sudah sangat mahal,<br />

yaitu sekitar Rp.350.000 – Rp.400.000, padahal kebanyakan perempuan<br />

memiliki seorang bidan sebagai orang kepercayaannya dalam persoalan<br />

kesehatan reproduksi, tetapi tetap saja kebanyakan perempuan tidak<br />

bisa membayar IUD yang sangat mahal ini.<br />

Suatu kebijakan kependudukan memang berhubungan dengan<br />

fertilitas (kesuburan/ kelahiran, yang berarti berkaitan dengan sistem<br />

reproduksi perempuan), namun demikian tidak boleh hanya menitikberatkan<br />

pada urusan jumlah penduduk yang dikaitkan dengan<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

51


Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />

ICPD-KAIRO?<br />

Atashendartini Habsjah<br />

pembangunan ekonomi, karena sebenarnya yang diutamakan adalah<br />

kebijakan kependudukan yang berorientasi pada hak reproduksi. Oleh<br />

karena itu ada 4 pilar atau prinsip yang harus dipatuhi negara dalam<br />

mendesain kebijakan kependudukannya, yaitu; (1) berbasis HAM, (2)<br />

pendekatan kesehatan reproduksi yang holistik, (3) berisikan<br />

pemberdayaan dan pemajuan perempuan, serta (4) memperhatikan<br />

kebutuhan remaja.<br />

Kesehatan Reproduksi yang Holistik<br />

Definisi Kesehatan Reproduksi tercantum dalam paragraph 7.2 ICPD<br />

Plan of Action (PoA), yang berbunyi sebagai berikut:<br />

“...Kondisi sehat fisik, mental dan sosial saat menjalankan<br />

fungsi dan proses reproduksi.”<br />

Dua konferensi PBB (ICPD 1994 di Kairo dan Konferensi <strong>Perempuan</strong><br />

Sedunia tahun 1995 di Beijing) menekankan kesejahteraan perempuan<br />

secara fisik, emosional, dan sosial sebagai bagian dari hak asasi dan<br />

sebagai elemen penting bagi pembangunan yang berkelanjutan.<br />

Konferensi Beijing juga menekankan pada hak perempuan untuk<br />

dilindungi dari aktivitas seks yang tidak diinginkan, penyiksaan, dan<br />

sunat perempuan.<br />

Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, seringkali<br />

menyebutkan bahwa kebijakan-kebijakan baru yang diluncurkan setelah<br />

1994 mengacu kepada Plan of Action (PoA) dari ICPD (1994) dengan<br />

menyebutkan semua komponen kesehatan reproduksi yang harus<br />

terpenuhi. Kenyataannya, paradigma yang digunakan tetap tidak<br />

berubah dan masih saja mengabaikan hak asasi manusia, khususnya<br />

hak asasi perempuan yang sebenarnya melekat dalam hak kesehatan<br />

reproduksi.<br />

Pendekatan kesehatan reproduksi yang holistik berarti semua aspek<br />

yang terkait harus mendapatkan porsi yang sama dan tidak dapat<br />

dipilah-pilah karena kebutuhannya saling terkait. Remaja harus<br />

mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi dan bukan hanya KIE<br />

(komunikasi, informasi dan edukasi) saja.<br />

Oleh karena itu, dalam mewujudkan PoA dalam paragraf 7.3<br />

diisyaratkan untuk tidak memilah-milah ataupun mengkotak-kotakkan<br />

program-program yang tercakup dalam kebijakan kesehatan reproduksi<br />

52<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Atashendartini Habsjah<br />

Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />

ICPD-KAIRO?<br />

suatu negara. Sebab, dalam dokumen ICPD ditegaskan bahwa<br />

pendekatan yang harus digunakan dalam setiap kebijakan yang terkait<br />

dengan kependudukan dan kesehatan reproduksi, adalah pendekatan<br />

hak kesehatan reproduksi yang berbasiskan hak asasi manusia,<br />

khususnya hak asasi perempuan. Pendekatan ini mengakui adanya hak<br />

yang paling esensial dari setiap pasangan ataupun individu (perorangan)<br />

untuk menentukan secara bebas tanpa paksaan: berapa anak, kapan<br />

dan jarak anak yang diinginkannya. Serta adanya ketersediaan sarana<br />

dan prasarana bagi pemenuhan kebutuhan yang terkait dengan<br />

kesehatan reproduksi dari setiap pasangan ataupun individu. Semua<br />

program kesehatan reproduksi yang tersedia harus saling terkait, karena<br />

memang untuk mencapai standar kesehatan reproduksi yang tertinggi,<br />

yang salah satu indikatornya adalah penurunan AKI yang sangat<br />

signifikan, disyaratkan untuk meluncurkan bukan program kesehatan<br />

saja, namun juga menghapus semua produk hukum yang membatasi<br />

pemberi layanan untuk memberikan setiap jenis layanan yang<br />

dibutuhkan oleh warganya. 6<br />

Baru Tahap Wacana: Hanya Terbatas pada Pergantian Struktur<br />

Organisasi di Departemen Kesehatan dan BKKBN<br />

Dalam satu kalimat dapat disimpulkan bahwa Indonesia sangat<br />

lamban dalam merealisasikan pengembangan kesehatan reproduksi<br />

seperti yang tercantum dalam dokumen ICPD-Cairo, apalagi dalam<br />

pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi maupun kesehatan seksual.<br />

Di atas kertas memang cukup banyak tercantum kata kesehatan<br />

reproduksi, bahkan pada tanggal 12 Desember 2005 Departemen<br />

Kesehatan beserta tim lintas sektor yang berasal dari Kementerian<br />

Pemberdayaan <strong>Perempuan</strong>, Departemen Pendidikan Nasional,<br />

Departemen Sosial dan BKKBN meluncurkan suatu buku “Pedoman<br />

Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi” 7 , yang<br />

dianggap dapat memayungi pelaksanaan upaya seluruh komponen<br />

kesehatan reproduksi di Indonesia.<br />

Buku pedoman ini merupakan hasil dari berbagai pertemuan Komisi<br />

Kesehatan Reproduksi yang mengadakan pertemuan berkala sejak tahun<br />

1999. Sebenarnya di tahun 1996, Lokakarya Nasional Kesehatan<br />

Reproduksi sudah menyepakati bersama ruang lingkup kesehatan<br />

reproduksi yang meliputi; kesehatan ibu dan bayi baru lahir, Keluarga<br />

Berencana, pencegahan dan penanggulangan Infeksi Saluran Repro-<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

53


Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />

ICPD-KAIRO?<br />

Atashendartini Habsjah<br />

duksi (ISR), termasuk IMS-HIV/AIDS, pencegahan dan penanggulangan<br />

komplikasi aborsi, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan<br />

penanganan infertilitas, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi<br />

pada usia lanjut (kanker, osteoporosis, dementia, dll).<br />

Dalam perencanaannya, pelayanan kesehatan reproduksi akan<br />

dilaksanakan dalam paket pelayanan reproduksi esensial (PKRE) dan<br />

komprehensif (PKRK). Namun dalam pelaksanaannya, diketahui paket<br />

PKRK sangat jarang ditemui.<br />

Bagaimana dengan Landasan Hukumnya?<br />

Pada dasarnya kita patut berbangga memiliki Kementerian<br />

Pemberdayaan <strong>Perempuan</strong> yang satu-satunya (di antara Departemen<br />

Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Sosial dan<br />

BKKBN) menulis dalam pembukaan buku pedoman kebijakan dan<br />

strategi nasional yang diluncurkan Desember 2005 yang lalu sebagai<br />

berikut 8 :<br />

“Disadari bahwa kendala utama dalam penanganan<br />

masalah pelayanan kesehatan reproduksi dan penegakkan<br />

hak-hak reproduksi adalah belum terintegrasinya<br />

dalam sistim hukum dan perundangan nasional,<br />

sehingga pelaksanaan juga kurang terpadu dan kurang<br />

efektif”.<br />

Kementerian ini juga khusus menyebutkan tentang:<br />

“Masalah utama yang perlu mendapat perhatian khusus<br />

dan sangat menentukan kelangsungan hidup suatu<br />

bangsa adalah masih tingginya angka kematian ibu dan<br />

makin meningkatnya penyebaran HIV/AIDS.”<br />

Sedangkan dalam sambutan Menteri Kesehatan di buku pedoman<br />

yang sama tidak sekalipun menyebut kata hak reproduksi apalagi perlu<br />

adanya landasan hukum. Memang pemangku kepentingan di<br />

Departemen Kesehatan kelihatannya tidak peduli dengan perlu<br />

diadakannya perubahan dalam UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan.<br />

Sampai saat ini draf perubahan UU tentang kesehatan ini keluar sebagai<br />

inisiatif DPR-RI, sedangkan pihak Departemen Kesehatan tetap saja tidak<br />

bergeming.<br />

Dalam makalahnya yang berjudul “Perbaikan Undang-Undang<br />

54<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Atashendartini Habsjah<br />

Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />

ICPD-KAIRO?<br />

Kesehatan” 9 , Dirjen Binkesmas yang menyampaikannya dalam acara<br />

Hari Kartini di Departemen Kesehatan pada tanggal 20 April 2005<br />

mengatakan, bahwa memang sudah saatnya untuk mengubah UU No.<br />

23 tahun 1992 tentang Kesehatan, dengan alasan utamanya yaitu<br />

paradigma sakit harus diubah menjadi paradigma sehat. Namun tidak<br />

ada disebutkan pentingnya landasan hukum untuk penegakan hak<br />

reproduksi.<br />

Secara implisit dapat disimpulkan bahwa banyak pemangku<br />

kebijakan masih sangat takut mendengar kata hukum. Padahal, Nur<br />

Rasyid, SH, MH, dalam presentasinya mewakili Departemen Hukum<br />

dan HAM pada acara round table discussion yang bertema Kajian tentang<br />

Masalah Aborsi Dilihat dari Aspek Perlindungan Hak Reproduksi<br />

<strong>Perempuan</strong> tanggal 23 Desember 2005 mengatakan bahwa hukum justru<br />

harus diidentikkan dengan perlindungan. Jadi, ketika mendengar kata<br />

hukum seharusnya disambut dengan baik, karena petugas kesehatan<br />

dalam memberikan suatu pelayanan kesehatan untuk klien yang sangat<br />

membutuhkannya akan merasa terlindungi secara hukum dan diketahui<br />

juga batasan-batasannya serta sanksinya bila melanggar. Di pihak lain<br />

hukum juga menetapkan sejauhmana perempuan dapat menuntut hakhak<br />

kesehatan reproduksinya.<br />

Dokumen ICPD banyak menuntut tanggung jawab negara (dalam<br />

hal ini pemerintah) untuk melindungi warganya dari tindakan-tindakan<br />

medis yang secara prosedur medis tidak dapat dipertanggungjawabkan<br />

sehingga mengakibatkan komplikasi, kecacatan maupun kematian.<br />

Untuk mencegah ini semua, regulasi yang harus tertuang dalam undangundang<br />

sudah seharusnya diterbitkan dan dengan cara ini juga hak<br />

dan kewajiban dari setiap klien, petugas medis dan semua pihak yang<br />

terkait dapat ditegakkan dan dihormati. Berbagai praktek diskriminasi<br />

terhadap klien yang berasal dari sosial-ekonomi rendah juga dapat<br />

dieliminasi. Masih saja pelayanan medis, termasuk pemasangan implant<br />

dan IUD, yang diberikan di luar klinik kualitasnya sangat rendah.<br />

Padahal konsep dasar ICPD – Kairo (1994) adalah hak, pilihan,<br />

pemberdayaan perempuan dan qualitity of care (pelayanan yang<br />

berkualitas).<br />

Memang upaya BKKBN untuk mengubah UU Kependudukan sudah<br />

ada namun bila disimak isi draf UU Kependudukan tersebut ternyata<br />

jauh dari yang diharapkan oleh Dokumen ICPD (1994). 10 Ada baiknya<br />

Departemen Hukum dan HAM menjadi leading sector atau pihak yang<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

55


Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />

ICPD-KAIRO?<br />

Atashendartini Habsjah<br />

terdepan untuk mempromosikan sekaligus mengajarkan kepada pemangku<br />

kepentingan yang mendesain draf Amandemen UU Kependudukan<br />

dan draft Amandemen UU Kesehatan agar mengetahui apa yang disebut<br />

UU Kependudukan dan UU Kesehatan yang berbasis HAM.<br />

UU No.39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 7 tahun 1984<br />

tentang <strong>CEDAW</strong><br />

Sebenarnya Indonesia sejak tahun 1999 telah memiliki instrumen<br />

HAM yaitu UU No.39 tahun 1999, namun kenyataannya masih banyak<br />

pihak tidak mengenal UU ini. Kelihatannya, para birokrat di Departemen<br />

Kesehatan, BKKBN, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan<br />

mungkin juga departemen yang lain, tidak mengerti bagaimana harus<br />

mengimplementasikan UU No.39/1999 ini ke dalam kebijakan-kebijakan<br />

di lingkup kerjanya. Sebenarnya, untuk kepentingan perlindungan hak<br />

perempuan, bisa menggunakan payung hukum UU No.39/1999 ini. Oleh<br />

karena itu, perempuan dapat menuntut haknya melalui UU ini, termasuk<br />

pemenuhan hak kesehatan reproduksi. Sampai saat ini, baik UU<br />

Kesehatan maupun UU Kependudukan di Indonesia belum diubah, yang<br />

berarti dokumen ICPD (1994) belum diakomodir oleh pemerintah<br />

Indonesia (termasuk dalam mengukur sampai dimana implementasi<br />

<strong>CEDAW</strong> diberlakukan).<br />

Konsep Hak dan Kesehatan Reproduksi serta Kesehatan Seksual:<br />

Bukan Sebatas Program!<br />

Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum dapat menerjemahkan<br />

komitmen yang telah dibuatnya pada tahun 1994 di Kairo, dilanjutkan<br />

dengan komitmen di tahun 1999 di Den Haag dan New York serta di<br />

London tahun 2005. Apakah pemerintah Indonesia tahu bahwa suatu<br />

komitmen harus direalisasikan dalam suatu bentuk “political will” yang<br />

kuat, dan dalam kaitannya dengan mandat ICPD (1994) ada 4 hal yang<br />

harus segera diimplementasikan yaitu; (1) melaksanakan hak dan<br />

kesehatan reproduksi serta kesehatan seksual dalam kerangka hak asasi<br />

manusia, khususnya hak asasi perempuan, (2) terwujudnya kesehatan<br />

dan keadilan gender, (3) adanya alokasi anggaran untuk merealisasikan<br />

kebijakan dan perencanaan pengembangan hak dan kesehatan<br />

reproduksi serta kesehatan seksual, (4) menciptakan kerjasama yang<br />

baik antara pemerintah dengan LSM serta semua organisasi masyarakat<br />

yang berada di akar rumput.<br />

Dalam mengkritisi berbagai kebijakan ataupun strategi yang<br />

56<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Atashendartini Habsjah<br />

Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />

ICPD-KAIRO?<br />

berlabelkan “Kesehatan Reproduksi” dari Departemen Kesehatan dan<br />

BKKBN, bahkan juga dari Kementerian Koordinator Kesra, terlihat<br />

bahwa yang diajukan adalah sebatas program saja 11 , padahal prinsip<br />

dasar dari Dokumen ICPD adalah kesetaraan dan keadilan gender yang<br />

berlandaskan hak asasi manusia atau pemenuhan hak klien (clients<br />

rights) dengan memperhatikan kualitas pelayanan yang diberikan<br />

kepada klien, yang harus menitikberatkan pada penyediaan jenis<br />

layanan yang diinginkan dan juga sangat dibutuhkan klien, khususnya<br />

klien perempuan yang memiliki kekhususan kebutuhan akan pelayanan<br />

yang terkait dengan fungsi reproduksinya, seperti pelayanan aborsi yang<br />

aman.<br />

Di samping itu, program yang diajukan juga masih terkotak-kotak<br />

dan tidak menitikberatkan kepada pendekatan kesehatan reproduksi<br />

dan seksual yang holistik. Ini berarti setiap perempuan dan juga remaja<br />

harus dilihat sebagai individu yang memiliki hak dan otoritas terhadap<br />

tubuhnya sendiri, tanpa harus dikaitkan umur, status dan gendernya.<br />

Kesehatan <strong>Perempuan</strong> Didefinisikan Secara Keliru<br />

Koblinsky dan kawan-kawan (1997) 12 sudah di tahun 1990-an<br />

menyebutkan bahwa konsep “Kesehatan <strong>Perempuan</strong>” telah keliru<br />

didefinisikan, karena definisi kesehatan perempuan lebih didominasi<br />

oleh fungsi-fungsi dan sistem reproduksi perempuan yang berkaitan<br />

dengan pengendalian fertilitas. Van der Kwak yang dikutip oleh<br />

Koblinsky mendefinisikan kesehatan perempuan secara lebih luas dari<br />

fungsi dan sistem reproduksi, yaitu:<br />

“Kesehatan seorang perempuan merupakan kesejahteraan<br />

total yang bukan hanya ditentukan oleh faktor<br />

biologis dan reproduktif, melainkan juga dipengaruhi<br />

oleh beban kerja, gizi, stress, perang, migrasi, dan<br />

sebagainya”.<br />

Konsep lain tentang kesehatan perempuan, yang juga dikutip<br />

Koblinsky dikemukakan oleh World Federation of Public Health Associations,<br />

yang mengatakan bahwa:<br />

“Kesehatan perempuan ... tanpa meninggalkan pengakuan<br />

terhadap fungsi reproduksi dan merawat anak,<br />

sesungguhnya mencakup pandangan yang lebih luas<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

57


Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />

ICPD-KAIRO?<br />

Atashendartini Habsjah<br />

tentang kehidupan perempuan yang menyebabkan<br />

adanya kebutuhan pelayanan yang dapat memenuhi<br />

seluruh kebutuhan kesehatan “perempuan yang sesungguhnya”,<br />

tanpa memandang usia atau status sosial.”<br />

Kenyataannya kebutuhan perempuan akan kesehatan tidak hanya<br />

sekadar yang berhubungan dengan kehamilan dan motherhood. Masalah<br />

kesehatan perempuan berbeda bentuk pada setiap tingkatan umur dan<br />

bergantung pada lingkungan di mana mereka hidup. Dalam suatu<br />

wilayah, perempuan meninggal karena tidak memperoleh akses<br />

pelayanan kesehatan, atau tenaga pelayanan dasar tidak merata, tetapi<br />

di wilayah lain perempuan meninggal mungkin disebabkan oleh<br />

penggunaan teknik kesehatan yang berlebihan.<br />

Kebanyakan perempuan masih saja hidup terkungkung. Diketahui,<br />

bahwa sepanjang siklus hidup perempuan, keberadaan dan aspirasi<br />

mereka sehari-hari masih dibatasi oleh perilaku yang diskriminatif, serta<br />

struktur ekonomi dan sosial yang tidak adil. Faktor-faktor berbasis<br />

gender, sebagian besar dipengaruhi oleh budaya dan pemahaman agama<br />

yang sempit, berdampak terhadap kesehatan perempuan.<br />

Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)<br />

Indonesia memiliki generasi muda yang terbanyak di antara negaranegara<br />

ASEAN: 30,2% dari jumlah penduduk berada pada usia antara<br />

10-24 tahun. Namun demikian, sangat banyak remaja (usia antara 10<br />

dan 19) dan dewasa muda (sampai dengan 24 tahun) belum mendapatkan<br />

informasi mengenai kesehatan reproduksi maupun infeksi menular<br />

seksual apalagi menikmati pelayanan kesehatan reproduksi yang<br />

sebenarnya juga sangat dibutuhkan. 13<br />

Dalam dokumen ICPD PoA dinyatakan bahwa salah satu pilar yang<br />

harus menjadi landasan bagi setiap kebijakan kependudukan suatu<br />

negara adalah: memperhatikan kebutuhan remaja. Oleh karena itu,<br />

komponen kesehatan reproduksi remaja harus juga menjadi prioritas.<br />

“... remaja haruslah turut berperan aktif dalam perencanaan,<br />

implementasi dan evaluasi dari aktivitas<br />

pengembangan yang memiliki dampak langsung dalam<br />

kehidupan sehari-hari mereka. Dan ini sama pentingnya<br />

dengan aktivitas informasi, edukasi dan komunikasi,<br />

serta pelayanan kesehatan reproduksi dan seksualitas.”<br />

58<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Atashendartini Habsjah<br />

Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />

ICPD-KAIRO?<br />

Sampai saat ini ada pihak-pihak yang tidak menyetujui adanya<br />

pelayanan kesehatan reproduksi bagi para remaja, sehingga hanya<br />

terbatas pada pemberian informasi dan konseling saja. Dengan<br />

diluncurkannya buku “Pedoman<br />

Kebijakan dan Strategi Kesehatan<br />

Reproduksi” di bulan Desember<br />

2005 lalu yang secara implisit<br />

mencantumkan diperbolehkannya<br />

remaja menerima pelayanan kesehatan<br />

reproduksi yang berkualitas,<br />

termasuk pelayanan informasi<br />

dengan memperhatikan keadilan<br />

dan kesetaraan gender, diharapkan<br />

remaja bisa memperoleh pelayanan<br />

kesehatan reproduksi. Bahkan<br />

dicantumkan bahwa upaya<br />

pendidikan kesehatan reproduksi<br />

remaja (KRR) dilaksanakan melalui<br />

jalur pendidikan formal maupun<br />

nonformal, dengan memberdayakan<br />

para tenaga pendidik dan<br />

pengelola pendidikan.<br />

Diharapkan apa yang tercantum<br />

dalam dokumen 5 lembaga ini<br />

benar-benar diimplementasikan, karena pendidikan seksualitas di<br />

sekolah-sekolah masih saja hanya berbentuk ceramah dan diberikan<br />

hanya dalam dua hari setahun. Padahal pendidikan seksualitas tidak<br />

saja hanya tentang anatomi tubuh, namun harus mencakup life skill<br />

education, sehingga remaja sanggup dan terampil dalam menghadapi<br />

ajakan negatif ataupun berbagai ancaman yang dihadapinya. 14 Selain<br />

itu, youth friendly clinic yang setiap saat dapat dikunjungi oleh remaja<br />

tanpa dilihat umur, gender dan status sosial maupun ekonomi, harus<br />

disediakan di sebanyak mungkin tempat. Untuk penyediaan pelayanan<br />

ini tidak perlu biaya khusus, karena hanya “nebeng” tempat dan fasilitas<br />

yang sudah ada. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)<br />

menjadi pionir dalam melibatkan remaja dalam seluruh kegiatan di<br />

Centra Mitra Remajanya (CMR).<br />

rapereliefshelter.bc.ca<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

59


Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />

ICPD-KAIRO?<br />

Atashendartini Habsjah<br />

Penutup<br />

ICPD – Kairo telah mengubah kependudukan dan program keluarga<br />

berencana yang semula difokuskan pada pencapaian target demografis<br />

menjadikan hak dan kebutuhan (keinginan) dari setiap individu,<br />

khususnya perempuan, sebagai prinsip dasar hak dan kesehatan<br />

reproduksi serta kesehatan seksual. Perubahan ini otomatis menunjang<br />

implementasi <strong>CEDAW</strong> yang menyangkut masalah kesehatan reproduksi<br />

perempuan. Oleh karena itu, hak asasi perempuan harus tetap<br />

dipertahankan sebagai simpul (at the centre) dari visi global dan bentuk<br />

pembangunan global. ICPD – PoA mensyaratkan terciptanya kemitraan<br />

yang strategis di antara semua kelompok-kelompok gerakan perempuan<br />

dan juga dengan semua pihak yang bergerak di lingkup hak asasi<br />

manusia, kesehatan (termasuk family planning) maupun pembangunan<br />

(termasuk pengentasan kemiskinan). Pengarusutamaan hak dan<br />

seksualitas ke dalam program-program kesehatan/KB harus terus<br />

dipromosikan untuk kemudian diimplementasikan. Pengejawantahan<br />

hak-hak ini dalam berbagai bentuk implementasi yang bermakna harus<br />

dapat memperlihatkan adanya perubahan kondisi perempuan ke arah<br />

yang lebih baik.<br />

Selain itu, ICPD – PoA juga menegaskan pentingnya peran laki-laki<br />

dalam semua aspek yang terkait dengan kesehatan seksual dan<br />

reproduksi. Memang, budaya patriarkhi yang tetap masih terus<br />

dipertahankan merupakan tantangan yang paling serius dan harus<br />

ditangani. Peran laki-laki dalam program Keluarga Berencana yang<br />

diluncurkan tanggal 12 Desember 2005 lalu bahkan masih saja belum<br />

dicantumkan sebagai suatu program, apalagi mendapatkan prioritas.<br />

Dari angka penggunaan alat kontrasepsi pria yang dalam dua dekade<br />

tetap saja tidak berubah (2,3%) dapat terlihat bagaimana pemangku<br />

kebijakan sangat bias gender dalam menetapkan program-programnya.<br />

“The Holy Trinity” yang mengkaitkan perempuan, kependudukan,<br />

dan pertumbuhan ekonomi, jelas membebankan perempuan sebagai<br />

pihak yang harus bertanggungjawab terhadap pengendalian jumlah<br />

penduduk karena dianggap hanya perempuan yang bisa menurunkannya.<br />

Padahal seharusnya laki-laki juga menjadi akseptor yang aktif<br />

sebagai bentuk pertanggungjawabannya atas persoalan kependudukan.<br />

Sampai saat ini hanya 2,3% pria yang aktif menjadi akseptor (1,6%<br />

kondom dan 0,7% vasektomi). 15<br />

Isu aborsi juga tetap menjadi ganjalan dalam implementasi ICPD ini,<br />

60<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Atashendartini Habsjah<br />

Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />

ICPD-KAIRO?<br />

padahal sudah sangat banyak penelitian tentang aborsi dilakukan<br />

selama 10 tahun terakhir ini. Di tahun 2002 16 telah terestimasi adanya<br />

2.000.000 insiden aborsi setiap tahunnya di Indonesia, yang lebih kurang<br />

900.000 melakukan aborsi yang tidak aman yaitu dengan pertolongan<br />

orang-orang yang tidak berwenang dan secara medis tidak dapat<br />

dipertanggungjawabkan. Besaran masalah aborsi ini memang diakui<br />

oleh Departemen Kesehatan, karena Dirjen Binkesmas mengatakan<br />

bahwa 30% dari kematian ibu disebabkan oleh komplikasi aborsi yang<br />

tidak aman yang mengakibatkan pendarahan hebat maupun infeksi.<br />

Dilihat dari besaran masalah aborsi di Indonesia, sebenarnya sudah<br />

dapat dikategorikan sebagai masalah kesehatan masyarakat (public health<br />

concern) dan untuk itu pemerintah wajib melindungi kaum perempuan<br />

dari praktik aborsi yang tidak aman.<br />

Sampai saat ini dengan adanya kerancuan pasal 15 dari UU No.23/<br />

1992 tentang kesehatan tetap saja pihak provider (penyedia/ petugas<br />

medis) tidak berani memberikan layanan aborsi karena tidak ada payung<br />

hukumnya. Masalah aborsi harus dilihat sebagai masalah kesehatan<br />

dan bukan masalah moral. Kebutuhan akan layanan aborsi tetap akan<br />

berlangsung terus karena berbagai alasan; (1) Tidak ingin hamil tetapi<br />

tidak menggunakan kontrasepsi karena tidak tahu, tidak ada, tidak<br />

disetujui suami, (2) Menggunakan kontrasepsi tetapi gagal, (3) Mengikat<br />

kontrak kerja yang mensyaratkan tidak/ belum boleh hamil, (4) Ada<br />

cacat bawaan yang berat pada janin, (5) Ada gangguan mental berat<br />

yang tidak memungkinkan ia mengasuh anak, (6) Hamil akibat perkosaan<br />

atau inses (incest), (7) Alasan sosial ekonomi (masih mondok, suami belum<br />

mempunyai pekerjaan tetap, isteri harus bekerja berat misalnya jadi<br />

buruh kasar, korban KDRT), (8) Ibu menderita HIV/AIDS dan khawatir<br />

anaknya akan terkena juga, (9) Suami belum setuju kalau ia hamil; atau<br />

(10) Hamil sebelum menikah atau ingkar janji.<br />

Rendahnya status kesehatan perempuan dan tingginya Angka<br />

Kematian Ibu (AKI) sangat terkait dengan rendahnya kemampuan<br />

perempuan untuk menggunakan hak-hak mereka. Tidak hanya laki-laki,<br />

tetapi juga setiap perempuan berhak secara mandiri mendapatkan hak<br />

reproduksi mereka. Jurang antara keberadaan hak yang seharusnya<br />

dengan apa yang sesungguhnya didapat seorang perempuan, muncul<br />

dari kurangnya komitmen pemerintah dalam memperjuangkan dan<br />

melindungi hak-hak yang seharusnya diterima kaum perempuan. Hal<br />

ini merupakan salah satu alasan mengapa pemahaman terhadap faktor-<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

61


Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />

ICPD-KAIRO?<br />

Atashendartini Habsjah<br />

faktor tersebut harus dimiliki para petugas medis (provider) dalam upaya<br />

meningkatkan pelayanan kesehatan perempuan dengan memberikan<br />

para perempuan tidak hanya pil atau obat, melainkan juga informasi,<br />

pendidikan, keterampilan komunikasi dan pengendalian diri di wilayah<br />

seksualitas dan fertilitas yang dapat diterimanya melalui konseling.<br />

Pemanfaatan hak merupakan kunci bagi tindak lanjut di masa depan,<br />

perempuan sendirilah yang harus mengambil keputusan yang<br />

menyangkut tubuh dan kesejahteraan dirinya sendiri.<br />

Oleh karena itu, syarat utama keberhasilan kesepakatan ICPD – Kairo<br />

adalah komitmen semua pihak yang berasal dari eksekutif, legislatif<br />

maupun yudikatif. Komitmen yang sangat tinggi ini harus dikomandokan<br />

oleh Presiden dan Departemen Kesehatan sebagai leading<br />

sector yang terus menerus harus berkoordinasi dengan departemen terkait.<br />

Departemen Kesehatan tidak boleh menarik diri dan mengatakan kondisi<br />

kesehatan reproduksi yang buruk bukan menjadi tanggung jawab<br />

departemennya semata karena banyak faktor non-medis yang berpengaruh.<br />

Di semua negara yang berhasil menurunkan angka kematian<br />

ibu dengan sangat cepat merupakan hasil kerja keras dari semua sektor<br />

di bawah komando Presiden dan Sektor Kesehatan.<br />

Pesan khusus kepada perumus dan penentu kebijakan di instansi<br />

terkait adalah suatu kewajiban menerapkan pengetahuan tentang hak<br />

asasi manusia, terutama hak asasi perempuan”. Amandemen UUD 19<strong>45</strong><br />

khusus pasal 28 (h) telah menegaskan bahwa setiap warga negara berhak<br />

untuk hidup sehat dan mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan. Di<br />

samping itu UU No.7/ 1984 tentang Ratifikasi <strong>CEDAW</strong> dan UU No.39/<br />

1999 tentang HAM juga sudah memayungi perlindungan hukum atas<br />

pelayanan kesehatan reproduksi yang harus diterima oleh setiap warga<br />

negara, khususnya perempuan yang terkait dengan peran dan fungsi<br />

reproduksinya yang spesifik. Keterbatasan anggaran bukan alasan yang<br />

bisa diterima, karena pelayanan kesehatan reproduksi sebenarnya dapat<br />

diselenggarakan secara efisien dan efektif dengan hanya menyisipkannya<br />

ke dalam program-program yang sudah ada. Namun sayangnya<br />

anggaran dialokasikan terpisah-pisah secara vertikal. Selain itu, petugas<br />

medis harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang HAM. Hak<br />

reproduksi, dan hak klien agar mereka memiliki kepedulian yang tinggi<br />

terhadap kondisi kesehatan/kesejahteraan dari perempuan yang<br />

menjadi klien mereka.<br />

62<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Atashendartini Habsjah<br />

Sejauh Mana Indonesia Merespon<br />

ICPD-KAIRO?<br />

Catatan Belakang<br />

1<br />

IRRMA team, Indonesia’s NGO Country Report for ICPD +10 (Indonesia: IRRMA<br />

dan Ford Fondation ARROW Project, 2004).<br />

2<br />

UNDP Human Development Report 2004, Cultural Liberty in Today’s Diverse<br />

World (New York: United Nation Development Programme , 2004).<br />

3<br />

Depkes RI, Rencana Strategi Nasional “Making Pregnancy Safer” di Indonesia<br />

(Jakarta, 2001).<br />

4<br />

Lihat Dadang Juliantoro, Tiga Puluh Tahun Cukup: Keluarga Berencana dan<br />

Hak-Hak Konsumen (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000).<br />

5<br />

IRRMA team, Indonesia’s NGO Country Report for ICPD+10 (Indonesia: IRRMA<br />

dan Ford Foundation-ARROW Project, 2004)<br />

6<br />

Mariana Amiruddin, Kesehatan Hak Reproduksi <strong>Perempuan</strong> (Jakarta: Yayasan<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> dan Japan Foundation, 2003).<br />

7<br />

Buku Pedoman Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di<br />

Indonesia (Jakarta: Departemen Kesehatan RI, Kementrian Negara Pemberdayaan<br />

<strong>Perempuan</strong> Republik Indonesia, Departemen Pendidikan dan Nasional Republik<br />

Indonesia, Departemen Sosial RI, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional,<br />

UNFPA, 2005).<br />

8<br />

Ibid.<br />

9<br />

Dirjen Binkesmas Depkes RI, periode 2001-2005, makalah Perbaikan UU Kesehatan<br />

Disampaikan pada Seminar dan Info Fair, “Arti Perjuangan Kartini dan Kesehatan<br />

<strong>Perempuan</strong> di Indonesia: Upaya Mempercepat Perbaikan UU Kesehatan.” (Jakarta,<br />

2005)<br />

10<br />

Meiwita Budhiharsana dan Herna Lestari, Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)<br />

(Jakarta: The Ford Foundation dan BKKBN, 2002).<br />

11<br />

“Kumpulan makalah dan tanggapan Fraksi-Fraksi DPR-RI mengenai Perubahan<br />

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan: Tahun 2002-2004<br />

(Yayasan Kesehatan <strong>Perempuan</strong>, IFPPD, dan The Ford Foundation, 2004).<br />

12<br />

Gadis Arivia. Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong>,<br />

2003).<br />

13<br />

Laurike Moeliono, Indra Nurpatria; Pongai Pierre, Adi Albyn Respati, Informasi<br />

Penunjang Advokasi KRR (Jakarta: BKKBN dan Bank Dunia, 2004), Ahmad<br />

Saifudin dan Irwan Hidayana, Seksualitas Remaja (Jakarta: Antropologi Fisip UI<br />

dan Ford Foundation, 1999).<br />

14<br />

Mariana Amiruddin, Pendidikan Seks Salah Satu Cara Menyelamatkan Seksualitas<br />

<strong>Perempuan</strong> (<strong>Jurnal</strong> perempuan edisi 41, 2005) hal. 106-107.<br />

15<br />

Dadang Juliantoro, op.cit.<br />

16<br />

B. Utomo dan A. Habsjah dkk “Incidence and Socio-Psychological aspects of Abortion<br />

in Indonesia”: a community-bsed survey in ten mayor cities and six districts, year<br />

2000" (Jakarta: Centre for Health- University of Indonesia, 2001).<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

63


• Topik Empu •<br />

Counter Legal Draft<br />

Kompilasi Hukum Islam:<br />

Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong><br />

dalam Perkawinan<br />

Siti Musdah Mulia<br />

Pendahuluan<br />

Sudah umum diketahui bahwa Indonesia melalui UU No. 7 tahun<br />

1984 meratifikasi konvensi internasional tentang penghapusan segala<br />

bentuk perlakuan diskriminatif terhadap perempuan, dikenal dengan<br />

sebutan <strong>CEDAW</strong> (The Convension on the Elimination of All Forms of<br />

Discrimination Against Women). Salah satu isi penting dalam konvensi<br />

tersebut adalah larangan diskriminasi apa pun dalam kehidupan<br />

perkawinan.<br />

Isu perkawinan menjadi penting karena bersinggungan dengan nilainilai<br />

sosial-budaya yang hidup dan dianut secara luas dalam masyarakat<br />

Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Ajaran Islam sangat kuat<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

65


Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />

Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />

Siti Musdah Mulia<br />

mempengaruhi nilai-nilai budaya, ekonomi, sosial dan politik bangsa<br />

Indonesia, termasuk di dalamnya nilai-nilai yang berkaitan dengan relasi<br />

gender, khususnya relasi suami-isteri dalam kehidupan perkawinan.<br />

Konsekuensi logis dari ratifikasi konvensi ini, antara lain Indonesia<br />

berkewajiban melaksanakan semua ketentuan yang ada dalam konvensi.<br />

Tujuan utama dari implementasi ini adalah untuk meningkatkan kualitas<br />

hidup perempuan melalui penghapusan segala bentuk diskriminasi<br />

terhadap perempuan, baik di ranah publik maupun di ranah domestik.<br />

Implementasi tersebut, antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk<br />

menyelaraskan aturan-aturan hukum nasional dengan isi konvensi.<br />

Kenyataannya, setelah 22 tahun berlalu, belum banyak kemajuan<br />

yang dicapai. Indikasinya terlihat dari masih kuatnya diskriminasi<br />

terhadap perempuan, meningkatnya kasus-kasus kekerasan yang<br />

berbasis gender, parahnya angka kematian ibu melahirkan, maraknya<br />

kasus trafficking, tingginya angka poligami dan perkawinan anak-anak,<br />

bertambahnya jumlah perkawinan yang tidak dicatatkan atau<br />

perkawinan sirri, dan masih pula ditemukan sejumlah peraturan<br />

perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan.<br />

Sulitnya mengimplementasikan konvensi <strong>CEDAW</strong> dalam kehidupan<br />

masyarakat yang mayoritas beragama Islam, disebabkan antara lain<br />

rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai nilainilai<br />

agama Islam yang menjelaskan peranan dan fungsi perempuan<br />

dan masih banyak penafsiran ajaran Islam yang merugikan kedudukan<br />

dan peranan perempuan. Kuatnya pemahaman Islam yang bias gender<br />

dan bias nilai-nilai patriarkhi tersebut menimbulkan tuduhan terhadap<br />

Islam sebagai sumber masalah atas terjadinya pelanggengan ketidakadilan<br />

di masyarakat, termasuk ketidakadilan dalam pola relasi lakilaki<br />

dan perempuan atau ketidakadilan gender (gender inequality).<br />

Oleh karena agama berurusan dengan nilai-nilai yang paling hakiki<br />

dari hidup manusia, maka legitimasi religius yang keliru akan sangat<br />

berbahaya. Persoalannya bahwa pelanggengan ketidakadilan gender<br />

itu bukan bersumber dari watak agama itu sendiri, melainkan berasal<br />

dari pemahaman, penafsiran, dan implementasi ajaran agama yang<br />

sangat dipengaruhi oleh tradisi dan kultur patriarkhi, ideologi<br />

kapitalisme, atau pengaruh kultur abad pertengahan yang sangat<br />

feodalistik.<br />

66 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Siti Musdah Mulia<br />

Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />

Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />

Salah satu bentuk peraturan yang mengikat umat Islam Indonesia<br />

adalah KHI (Kompilasi Hukum Islam). Di dalamnya diatur berbagai<br />

ketentuan berkaitan urusan keluarga, seperti perkawinan, kewarisan<br />

dan perwakafan. KHI yang menjadi pedoman para hakim agama di<br />

Indonesia itu mengandung unsur-unsur diskriminatif terhadap<br />

perempuan, 1 dibangun berdasarkan asumsi yang bias gender dan bias<br />

nilai-nilai patriarkhis, serta berpotensi menimbulkan kekerasan terhadap<br />

perempuan. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi upaya implemenasi<br />

<strong>CEDAW</strong>, terutama dalam kehidupan perkawinan atau keluarga, harus<br />

dimulai dengan merevisi KHI.<br />

Timbul pertanyaan mengapa harus dimulai dari KHI? Paling tidak,<br />

ada tiga alasan. Pertama, KHI dipandang sebagai jantung syariat atau<br />

inti ajaran Islam sehingga menjadi rujukan nilai di masyarakat. Kedua,<br />

KHI merupakan panduan hukum hakim agama di Pengadilan Agama<br />

dalam memutuskan perkara-perkara keluarga, khususnya di bidang<br />

perkawinan. Ketiga, upaya mengeliminasi semua bentuk diskriminasi<br />

terhadap perempuan harus dimulai dari keluarga. Sebab, keluarga yang<br />

katanya merupakan wilayah paling aman itu justru paling banyak<br />

merekam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence).<br />

intranet.usc.edu.au<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

67


Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />

Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />

Siti Musdah Mulia<br />

Keempat, sejumlah pasal dalam KHI berseberangan dengan undangundang<br />

baru, seperti Amandemen UUD 19<strong>45</strong>, UU No.7 tentang Rativikasi<br />

<strong>CEDAW</strong>; dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semua<br />

undang-undang tersebut sangat menekankan upaya perlindungan dan<br />

penguatan hak-hak perempuan menuju terwujudnya kondisi kesetaraan<br />

dan keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Selain<br />

itu, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah amat tegas<br />

menekankan prinsip demokrasi dengan ciri partisipasi seluruh<br />

masyarakat, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Pemerintah<br />

pun meratifikasi sejumlah Konvensi Internasional yang berisi<br />

perlindungan dan penegakan hak-hak perempuan. Bahkan, lahir UU<br />

No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 23 Tahun<br />

2004 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap <strong>Perempuan</strong> Dalam<br />

Rumah Tangga (KDRT), keduanya sangat mengedepankan perlunya<br />

perlindungan terhadap anak dan perempuan dari berbagai bentuk<br />

diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan.<br />

Substansi <strong>CEDAW</strong> Mengenai Perkawinan<br />

Konvensi <strong>CEDAW</strong> menegaskan pentingnya perlindungan hak-hak<br />

asasi perempuan dalam kehidupan keluarga dan perkawinan. Pasal 5<br />

(b) menyebutkan: “negara menjamin bahwa pendidikan keluarga mencakup<br />

pengertian yang tepat mengenai keibuan sebagai suatu fungsi sosial, dan<br />

pengakuan terhadap tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan dalam<br />

mengasuh dan mengembangkan anak-anaknya. Bahwa kepentingan anak<br />

merupakan pertimbangan pertama dalam semua kasus.” Ketentuan ini<br />

menegaskan pentingnya pengakuan tehadap tugas keibuan sebagai<br />

fungsi sosial. Setiap orang harus menghormati hak-hak perempuan,<br />

terutama ketika mereka menjalani tugas-tugas reproduksinya. Hanya<br />

perempuan yang bisa menjadi ibu dan itu merupakan tugas kemanusiaan<br />

yang sangat luhur dan harus dihormati. Setiap perempuan yang<br />

sedang menjalankan tugas sosial tersebut harus mendapatkan jaminan<br />

hak untuk terbebas dari semua perlakuan diskriminasi, eksploitasi dan<br />

kekerasan dari siapa pun dan dengan alasan apa pun.<br />

Pernyataan konvensi ini sekaligus meluruskan pemahaman keliru<br />

di masyarakat yang memandang tugas mengasuh dan merawat anak<br />

sebagai kewajiban ibu semata, padahal sesungguhnya menjadi kewajiban<br />

orang tua: ayah dan ibu. Sayangnya, pemahaman keagamaan mainstream<br />

68 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Siti Musdah Mulia<br />

Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />

Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />

di masyarakat mengakui secara tegas adanya segregasi ruang antara<br />

ruang privat dan ruang publik. Tugas-tugas domestik dalam rumah<br />

tangga dipandang sebagai kewajiban isteri, sebaliknya tugas-tugas di<br />

ruang publik monopoli suami. Konsekuensinya, isteri bekerja di ruang<br />

publik terpaksa memikul beban ganda karena disamping harus<br />

menyelesaikan tugasnya di tempat kerja, dia juga tetap harus bisa<br />

mengerjakan tugasnya yang dipandang utama di dalam rumah tangga.<br />

Sebaliknya, kondisi demikian tidak berlaku bagi suami. Tugas-tugas<br />

domestik di rumah tangga tidak pernah dipikulkan pada pundak lakilaki<br />

sehingga tidak dikenal istilah beban ganda bagi laki-laki.<br />

Pandangan bias gender ini mempengaruhi sistem kerja di ruang<br />

publik. Para isteri yang bekerja selalu dianggap sebagai kerja membantu<br />

suami, padahal banyak di antara mereka justru menjadi penyangga<br />

utama kebutuhan finansial keluarga, bukan sekadar membantu. Ironis<br />

bukan? Fatalnya lagi, karena dianggap bukan sebagai pencari nafkah<br />

utama keluarga, status mereka dikategorikan sebagai layang atau tidak<br />

menikah sehingga tidak mendapatkan tunjangan keluarga seperti<br />

diperoleh para laki-laki, rekan kerja mereka. Pada umumnya, pendapatan<br />

pekerja perempuan lebih kecil daripada pendapatan pekerja laki-laki,<br />

meskipun volume dan kualitas pekerjaannya sama.<br />

Penegasan Konvensi tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan<br />

segregasi ruang privat dan ruang publik yang mengakibatkan beban<br />

kerja lebih berat bagi perempuan dan desakan untuk mengakui hak<br />

perempuan bekerja di ruang publik tanpa diskriminasi sedikit pun.<br />

Kondisi ideal yang diinginkan melalui konvensi tersebut adalah<br />

hilangnya istilah beban ganda bagi perempuan. Laki-laki dan<br />

perempuan keduanya sama-sama bertanggung jawab dalam tugas-tugas<br />

domestik di rumah tangga. Keduanya harus bisa berbagi tugas dengan<br />

nyaman dan penuh tanggungjawab berdasarkan kesadaran kemanusiaan.<br />

Masyarakat pada umumnya masih menganggap pekerjaan merawat<br />

anak dan mengurus rumah tangga sebagai tugas kodrati perempuan.<br />

Apa yang disebut kodrat? Kodrat adalah segala sesuatu yang sifatnya<br />

“pemberian Tuhan” yang tidak berubah dan tidak dapat diubah oleh<br />

siapa pun. Kalau begitu, hal-hal yang sifatnya kodrati dalam diri<br />

perempuan tidak banyak, yaitu hanya berkaitan dengan organ-organ<br />

reproduksi mereka yang spesifik, seperti haid, hamil, menyusui, dan<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

69


Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />

Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />

Siti Musdah Mulia<br />

melahirkan. Seluruh aktivitas tersebut tidak dapat dilakukan oleh selain<br />

perempuan karena berhubungan erat dengan fungsi reproduksi<br />

perempuan, khususnya payudara dan rahim. Seluruh aktivitas<br />

perempuan yang terkait langsung dengan fungsi payudara dan rahim<br />

itulah yang disebut dengan kodrat perempuan, di luar itu bukan kodrat.<br />

Dengan demikian, aktivitas membersihkan rumah, memasak,<br />

mencuci, menjaga dan merawat anak bagi perempuan merupakan<br />

sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial oleh masyarakat selama<br />

bertahun-tahun bahkan berabad-abad sehingga membentuk tradisi atau<br />

kebiasaan yang sulit berubah sehingga dipandang sebagai kodrat<br />

perempuan. Berbagai contoh aktivitas tersebut bukanlah sesuatu yang<br />

bersifat kodrati karena pekerjaan itu tidak membutuhkan payudara atau<br />

rahim perempuan. Pekerjaan-pekerjaan itu bisa dilakukan dengan baik,<br />

atau mungkin lebih baik oleh laki-laki. Hal itu tergantung pembiasaan<br />

saja. Pekerjaan memasak, misalnya selalu dipandang sebagai kewajiban<br />

kodrati isteri, padahal kenyataannya dapat dilakukan secara lebih<br />

berkualitas dan profesional oleh para laki-laki, khususnya oleh mereka<br />

yang berprofesi sebagai koki di restoran atau di tempat-tempat publik<br />

lainnya. Pertanyaannya, mengapa pekerjaan domestik itu bisa dilakukan<br />

dengan baik oleh laki-laki? Jawabannya sederhana saja, ketika di ruang<br />

publik pekerjaan itu dihargai dan dinilai dengan uang, tidak demikian<br />

halnya jika dilakukan di rumah tangga.<br />

Lebih lanjut, konvensi menyebutkan hak-hak perempuan dalam<br />

perkawinan pada pasal 11 ayat 2: bahwa untuk mencegah diskriminasi<br />

terhadap perempuan atas dasar perkawinan atau karena menjadi ibu dan untuk<br />

menjamin haknya yang efektif untuk bekerja, maka negara melarang pengenaan<br />

sanksi, pemecatan dengan alasan kehamilan atau cuti karena melahirkan dan<br />

atas dasar status perkawinan (2.a). Sebaliknya, perempuan yang mengambil<br />

cuti melahirkan tetap menerima upah atau dengan tunjangan sosial yang<br />

sebanding tanpa kehilangan pekerjaan semula, senioritas, dan tunjangan sosial<br />

(2.b). Bahkan, negara harus menyediakan perlindungan khusus bagi perempuan<br />

selama hamil dalam jenis pekerjaan yang terbukti merugikan mereka (2.d).<br />

Ketentuan konvensi tersebut menegaskan perlindungan terhadap<br />

hak-hak perempuan pekerja untuk tidak mengalami diskriminasi karena<br />

alasan perkawinan dan karena fungsi-fungsi reproduksi mereka.<br />

Ketentuan ini sangat relevan mengingat di masyarakat sering dijumpai<br />

70 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Siti Musdah Mulia<br />

Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />

Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />

lembaga atau perusahaan yang hanya merekrut pekerja perempuan yang<br />

belum menikah dan memecatnya begitu ketahuan telah menikah. Atau<br />

perusahaan dan lembaga yang tidak memberikan hak cuti kepada pekerja<br />

perempuan berkaitan dengan fungsi reproduksi mereka, seperti cuti haid,<br />

hamil, melahirkan, dan menyusui.<br />

Konvensi <strong>CEDAW</strong> secara lebih detail dan rinci menjelaskan hak-hak<br />

perempuan dalam kehidupan keluarga dan perkawinan pada pasal 16<br />

sebagai berikut.<br />

Pertama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk<br />

memasuki perkawinan. Hak ini dalam masyarakat Islam tidak<br />

dibenarkan karena perempuan hanya bisa menikah dengan persetujuan<br />

orang tua atau walinya. <strong>Perempuan</strong> bukanlah individu yang mandiri<br />

dan dalam konteks hukum dia hanya diperlakukan sebagai objek, bukan<br />

subjek hukum. Dia tidak bisa mengambil keputusan untuk dirinya<br />

sendiri, sebagaimana saudara mereka yang laki-laki. 2<br />

Kedua, hak dan kebebasan yang sama bagi laki-laki dan perempuan<br />

untuk memilih pasangan hidup dengan persetujuan penuh. Ketentuan<br />

ini pun sulit diimplementasikan karena pemahaman mayoritas<br />

memandang haram hukumnya perempuan menikah beda agama. 3<br />

Pandangan ini sangat mundur karena dalam kitab-kitab fikih klasik<br />

dinyatakan laki-laki Islam bisa menikahi perempuan non-Islam. 4 Kalau<br />

laki-laki Muslim bisa menikahi non-Muslim tentu berlaku juga bagi<br />

perempuan Muslimah. Bukankah keduanya sama-sama manusia, samasama<br />

menganut Islam?<br />

Ketiga, hak dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki selama<br />

perkawinan dan perceraian. Ketentuan ini sulit dilaksanakan selama<br />

dalam hukum dinyatakan laki-laki boleh poligami 5 dan boleh<br />

menceraikan sepihak atau boleh merujuk atas keinginan sepihak.<br />

Keempat, hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua tanpa<br />

memandang status perkawinannya, dan dalam hal yang berhubungan<br />

dengan anak semuanya harus dilakukan dengan mempertimbangkan<br />

kepentingan terbaik bagi anak. Ketentuan ini penting mengingat di<br />

masyarakat kita terjadi perlakuan diskriminatif terhadap anak yang lahir<br />

di luar perkawinan. 6<br />

Kelima, hak dan tanggung jawab yang sama mengenai perwalian,<br />

perwakilan, dan adopsi anak. Dalam KHI dinyatakan hanya laki-laki<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

71


Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />

Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />

Siti Musdah Mulia<br />

yang bisa bertindak sebagai wali. Jika ayah berhalangan hak perwalian<br />

turun kepada saudara laki-laki dan seterusnya kepada kerabat laki-laki<br />

lainnya. Kalau semua kerabat tidak ada hak itu pindah kepada wali<br />

hakim yang tidak memiliki ikatan kekerabatan apa pun. Ibunya,<br />

meskipun telah mengasuh sang anak sejak bayi, bahkan sejak dalam<br />

kandungan tidak pernah<br />

mendapatkan limpahan<br />

hak tersebut. 7<br />

Hak persaksian dalam<br />

perkawinan pun monopoli<br />

milik laki-laki. 8<br />

Padahal, dalam realitas<br />

sehari-hari, perempuan<br />

pun hadir di tengahtengah<br />

perhelatan perkawinan,<br />

namun kehadiran<br />

mereka dianggap<br />

tiada.<br />

Keenam, hak pribadi<br />

yang sama bagi suamiistri,<br />

termasuk untuk<br />

memilih nama keluarga, profesi dan pekerjaan, dan ketujuh, hak yang<br />

sama bagi suami-istri mengenai kepemilikan, perolehan, manajemen,<br />

administrasi, dan pembagian harta kekayaan. Hak-hak ini masih jauh<br />

dinikmati perempuan dalam kehidupan perkawinan. Sebab, di<br />

masyarakat dan dalam hukum, status dan posisi suami-isteri sudah<br />

dikapling sedemikian rupa; suami sebagai kepala rumah tangga dan<br />

isteri sebagai ibu rumah tangga yang bertanggungjawab penuh atas<br />

semua urusan domestik. 9<br />

Apa itu KHI?<br />

Kompilasi Hukum Islam adalah kumpulan hukum Islam produk<br />

pemerintah Indonesia masa Orde Baru yang isinya diambil dari sejumlah<br />

kitab fiqh yang umumnya ditulis pada abad pertengahan. KHI disusun<br />

berdasarkan keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri<br />

Agama pada tanggal 21 Maret 1985 dan dikukuhkan sebagai pedoman<br />

resmi dalam bidang hukum material bagi para hakim agama di<br />

72 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

gelos.ru


Siti Musdah Mulia<br />

Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />

Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />

lingkungan Peradilan Agama 10 berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991.<br />

Paling tidak ada tiga tujuan pokok KHI, yaitu merumuskan hukum<br />

Islam secara sistematis dan konkrit di Indonesia; membangun landasan<br />

penerapan hukum Islam di lingkungan Peradilan Agama yang<br />

berwawasan nasional; dan yang terpenting adalah unifikasi materi<br />

hukum Islam yang menjadi sumber acuan para hakim Pengadilan<br />

Agama. KHI terdiri dari tiga hukum: Hukum Perkawinan; Kewarisan;<br />

dan Perwakafan. Secara keseluruhan KHI terdiri atas 229 pasal dan<br />

porsi terbanyak menyangkut hukum perkawinan (170 pasal).<br />

KHI merupakan respon pemerintah terhadap timbulnya “keresahan”<br />

di masyarakat akibat beragamnya keputusan Pengadilan Agama<br />

terhadap suatu kasus yang serupa. Padahal, keanekaragaman putusan<br />

itu merupakan konsekuensi logis dari beragamnya sumber pengambilan<br />

hukum, berupa kitab-kitab fiqh yang dipakai hakim agama dalam<br />

memutuskan suatu perkara. Berbicara tentang kitab fiqh berarti berbicara<br />

tentang keanekaragaman pendapat ulama, dan menarik bahwa tidak<br />

satu pun ulama besar itu mengklaim pendapatnyalah yang benar secara<br />

mutlak. Artinya, kebebasan berpendapat sangat dijamin dalam Islam.<br />

Anehnya, prinsip kebebasan berpendapat yang dijamin Islam tersebut<br />

tidak menjadi prinsip pemerintah ketika itu. Atas dasar adanya<br />

“keresahan” masyarakat, pemerintah lalu memproduksi suatu hukum<br />

positif sebagai rujukan hukum yang seragam bagi para hakim agama.<br />

Tujuannya jelas agar tidak lahir lagi beragam keputusan untuk kasuskasus<br />

serupa, seperti sebelumnya.<br />

Kebijakan pemerintah melahirkan KHI mengandung dua hal, di satu<br />

sisi memang memudahkan kerja para hakim agama dan pihak-pihak<br />

lainnya yang akan mencari rujukan hukum secara instant, tetapi di sisi<br />

lain berarti memangkas kreativitas dan upaya-upaya ijtihad dalam<br />

bidang hukum. Karena sudah tersedia materi hukumnya secara mudah,<br />

umumnya para hakim agama tidak lagi melakukan pengkajian terhadap<br />

kitab-kitab fikih. Hal ini pada gilirannya menjadikan proses ijtihad<br />

menjadi stagnan dan umat Islam terbelenggu dalam kejumudan hukum.<br />

Sementara itu, berbagai persoalan baru bermunculan mengikuti<br />

dinamika masyarakat, seperti persoalan kekerasan dalam rumah tangga<br />

(KDRT), trafficking (perdagangan perempuan), perkawinan kontrak,<br />

perkawinan sirri, dan perkawinan beda agama, sedangkan rujukan<br />

hukum tidak berubah. Tentu saja, hal ini pada gilirannya menimbulkan<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

73


Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />

Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />

Siti Musdah Mulia<br />

kesulitan baru bagi para hakim, terutama dalam merumuskan keputusan<br />

di pengadilan. Materi KHI sarat dengan muatan nilai-nilai patriarkhis<br />

yang bias gender. Terlebih lagi KHI secara eksplisit menempatkan<br />

perempuan sebagai objek seksual dan meneguhkan subordinasi<br />

perempuan. Tidak heran jika ajaran Islam seperti tercermin dari isi KHI<br />

dituduh sebagai salah satu unsur yang melanggengkan budaya<br />

patriarkhis dan mengekalkan relasi gender yang tidak setara sehingga<br />

sangat potensial memicu timbulnya berbagai bentuk perilaku<br />

diskriminatif terhadap perempuan.<br />

Mengapa Perlu CLD KHI?<br />

Counter Legal Draft atas Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) 11 adalah<br />

rumusan hukum perkawinan Islam model baru yang humanis, sensitif<br />

gender dan akomodatif terhadap nilai-nilai universal Islam, seperti<br />

keadilan, kesetaraan, kemajemukan, dan kemaslahatan. Rumusan baru<br />

ini disusun berdasarkan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam sebagaimana<br />

terbaca dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang sangat menghormati<br />

hak-hak asasi manusia dan sangat anti nilai-nilai patriarki, serta<br />

mengadvokasikan kesetaraan dan keadilan gender dalam relasi lakilaki<br />

dan perempuan. Konsep baru hukum perkawinan ini dimaksudkan<br />

sebagai respon terhadap berbagai persoalan sosial kontemporer yang<br />

dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini, antara lain berupa tingginya<br />

angka kasus kekerasan dalam rumah tangga; maraknya kasus trafficking<br />

in women and children (perdagangan perempuan dan anak perempuan)<br />

dengan menggunakan modus operandi perkawinan; merebaknya<br />

praktek perkawinan kontrak yang tidak bertanggungjawab dan amat<br />

merugikan perempuan dan anak-anak; meluasnya praktek perkawinan<br />

anak-anak (di bawah umur); tingginya angka perkawinan yang tidak<br />

dicatatkan (perkawinan sirri atau “bawah tangan”); dan menjamurnya<br />

praktek prostitusi di masyarakat.<br />

CLD KHI menawarkan paradigma baru dalam perkawinan, dan itu<br />

terlihat dari empat hal, yaitu rumusan definisi, asas, prisnsip dasar,<br />

dan tujuan perkawinan. Pertama, definisi perkawinan disebut sebagai<br />

berikut: Perkawinan adalah akad yang sangat serius (mitsaaqan<br />

ghaliidzan), dilakukan secara sadar oleh dua orang manusia untuk<br />

membentuk keluarga, dan pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan<br />

dan kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, asas perkawinan adalah<br />

74 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Siti Musdah Mulia<br />

Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />

Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />

monogami (tawahhud al-zawj). Ketiga, prinsip dasar perkawinan ada<br />

enam, yakni: prinsip kerelaan (al-taraadli), kesetaraan ( al-musaawah),<br />

keadilan (al-’adaalah), kemaslahatan (al-mashlahat), pluralisme (alta’addudiyyah),<br />

dan demokratis (al-diimuqrathiyyah). Keempat, tujuan<br />

perkawinan adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga bahagia<br />

(sa’adah) dan sejahtera (sakinah) berlandaskan kasih sayang (mawaddah<br />

wa rahmah); serta untuk memenuhi kebutuhan biologis secara legal, sehat,<br />

aman, nyaman, dan bertanggungjawab.<br />

Keempat paradigma tersebut menjadi landasan utama rumusan<br />

pasal-pasal CLD mengenai soal wali, saksi, pencatatan, usia perkawinan,<br />

mahar, perkawinan beda agama, poligami, cerai dan rujuk, iddah, ihdad,<br />

pencarian nafkah, nusyuz, posisi dan kedudukan suami-isteri, serta hak<br />

dan kewajiban suami-isteri.<br />

Al-Qur‘an (Al-Ahzab ayat 7, An-Nisa ayat 21 dan 154) selalu<br />

menggambarkan ikatan perkawinan dengan mitsaqan ghalidzan, yakni<br />

sebagai perjanjian suci dan serius di antara kedua belah pihak yang<br />

setara dan penuh diliputi cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu, kedua<br />

belah pihak berkewajiban menjaga kesucian dan kelanggengan<br />

perjanjian tersebut. Selanjutnya, Al-Qur‘an juga menegaskan hubungan<br />

egalitarian suami-istri, seperti terbaca pada ayat-ayat: az-Zariyat, 49;<br />

Fatir,11; an-Naba‘, 78; an-Nisa‘, 20; Yasin, 36; as- Syura, 11; az-Zukhruf, 12;<br />

al-Baqarah, 187; dan an-Najm, 53. Penegasan relasi yang setara tersebut<br />

ditemukan pula dalam sejumlah hadis Nabi. Kesemua ayat dan hadis<br />

tersebut secara tegas menyimpulkan bahwa perkawinan dalam Islam<br />

lebih merupakan suatu akad atau kontrak. 12 Kontrak itu terlihat dari<br />

adanya unsur ijab (tawaran) dan qabul (penerimaan). Jadi, perkawinan<br />

adalah sebuah akad atau kontrak yang mengikat dua pihak yang setara,<br />

yaitu laki-laki dan perempuan, masing-masing telah memenuhi<br />

persyaratan berdasarkan hukum yang berlaku atas dasar kerelaan dan<br />

kesukaan kedua belah pihak untuk membentuk keluarga.<br />

Menarik dicatat bahwa Al-Qur‘an membahas soal perkawinan secara<br />

rinci dalam banyak ayat. Tidak kurang dari 104 ayat, baik dengan<br />

menggunakan kosa kata nikah (berhimpun) yang terulang sebanyak 23<br />

kali, maupun kata zauwj (pasangan) yang dijumpai berulang 80 kali.<br />

Memahami hakikat perkawinan dalam Islam tidak bisa tidak, kecuali<br />

mengurai seluruh ayat yang berbicara tentang perkawinan dengan<br />

menggunakan metode tematik dan holistik sekaligus, lalu mencari<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

75


Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />

Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />

Siti Musdah Mulia<br />

benang merah yang menjadi intisari dari seluruh penjelasan ayat-ayat<br />

tersebut.<br />

Dari keseluruhan ayat perkawinan tersebut disimpulkan lima prinsip<br />

dasar perkawinan. Pertama, prinsip monogami. 13 Kedua, prinsip mawaddah<br />

wa rahmah (cinta dan kasih sayang) 14 ; ketiga, prinsip saling melengkapi<br />

dan melindungi 15 ; keempat, prinsip mu‘asyarah bil ma‘ruf (pergaulan yang<br />

sopan dan santun), baik dalam relasi seksual maupun dalam relasi<br />

kemanusiaan 16 ; dan kelima, prinsip kebebasan memilih jodoh bagi lakilaki<br />

dan perempuan sepanjang tidak memiliki ikatan kekerabatan yang<br />

dilarang.<br />

Kesimpulan<br />

Sebagai sebuah tawaran yang dirumuskan berdasarkan hasil<br />

penelitian dan pengkajian, tentu CLD KHI tidak mengklaim dirinya<br />

sebagai rumusan final yang harus diterima secara absolut oleh semua<br />

pihak, melainkan hendaknya dilihat sebagai sebuah ijtihad mempromosikan<br />

Islam yang hakiki mengenai perkawinan, ajaran yang<br />

mengedepankan cinta kasih dan penghargaan kepada manusia dan<br />

nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, perlu dilihat sebagai upaya mencari<br />

solusi atas pelbagai problem sosial kontemporer yang dihadapi<br />

masyarakat, khususnya solusi atas diskriminasi terhadap perempuan,<br />

demi membangun masyarakat yang demokratis, egaliter, dan ramah<br />

terhadap perempuan.<br />

Konsep CLD KHI, terutama hukum perkawinan, bertujuan<br />

mengeliminasi semua bentuk dominasi, kekerasan, diskriminasi, dan<br />

eksploitasi, terutama terhadap perempuan yang terjadi sebelum, selama,<br />

dan sesudah perkawinan. CLD KHI menperjuangkan agar tidak ada<br />

lagi dominasi, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dalam<br />

perkawinan oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun. Tidak ada lagi<br />

perkawinan terpaksa, tidak ada lagi perkawinan anak-anak, tidak ada<br />

lagi perkawinan tanpa pencatatan atau sirri (bawah tangan), tidak ada<br />

lagi perkawinan kontrak yang tidak bertanggungjawab, tidak ada lagi<br />

perkawinan poligami, dan terakhir semua perkawinan hanya sah jika<br />

dicatatkan (registered marriage). Terakhir, CLD KHI ingin mewujudkan<br />

perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak perempuan, terutama<br />

menyangkut perkawinan, seperti tertuang dalam konvensi <strong>CEDAW</strong>.<br />

76 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Siti Musdah Mulia<br />

Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:<br />

Upaya Implementasi <strong>CEDAW</strong> dalam Perkawinan<br />

Catatan Belakang<br />

1<br />

Lihat Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 2002) terutama<br />

pada pasal-pasal berikut: 2, 15, 19, 25, 30, 40, <strong>45</strong>, 55, 79, 80, 84, 153, dan 170.<br />

2<br />

Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal 19-23.<br />

3<br />

KHI, pasal 40.<br />

4<br />

Kajian luas mengenai ini lihat Maria Ulfah Anshor, Cs. (Editor) Tafsir Ulang<br />

Perkawinan Lintas Agama (Jakarta: KAPAL <strong>Perempuan</strong>, 2004). Lihat juga Siti<br />

Musdah Mulia, Muslimah Reformis (Bandung: Mizan, 2005).<br />

5<br />

Lihat KHI, pasal 55 dan kajian tentang poligami, silahkan lihat Siti Musdah Mulia,<br />

Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia, 2003) dan Faqihuddin Abdul Kadir,<br />

Memilih Monogami (Yogyakarta: LkiS, 2005).<br />

6<br />

KHI, pasal 100.<br />

7<br />

KHI, pasal 19.<br />

8<br />

KHI, pasal 25.<br />

9<br />

KHI, pasal 79-84.<br />

10<br />

Indonesia memiliki tiga jenis pengadilan, yakni Pengadilan Negeri yang menangani<br />

kasus-kasus umum bagi seluruh warga negara, tanpa membedakan agama; Pengadilan<br />

Agama yang khusus menangani kasus-kasus perkawinan, perceraian, rujuk, wakaf<br />

dan sebagainya bagi komunitas Islam Indonesia; dan Pengadilan Militer yang khusus<br />

menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan militer. Sejak reformasi hukum tahun<br />

1999 ketiga jenis pengadilan tersebut bersatu di bawah naungan Mahkamah Agung.<br />

11<br />

Nama ini sengaja dipilih agar cepat menarik perhatian masyarakat untuk membahas.<br />

CLD atas KHI ini seperti halnya KHI itu sendiri terdiri dari tiga rumusan hukum:<br />

hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan. Tidak seluruh pasal<br />

dalam KHI mengalami perubahan dalam CLD, melainkan hanya pasal-pasal tertentu<br />

saja yang dinilai bias gender dan bias nilai-nilai patriarkhis serta tidak<br />

mengakomodasikan pandangan Islam yang pluralis dan humanis. CLD merupakan<br />

hasil penelitian dan pengkajian selama dua tahun dari suatu Tim Pembaruan Hukum<br />

Islam yang dibentuk oleh Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (Pokja PUG)<br />

Departemen Agama dimana penulis menjadi koordinatornya. Untuk mengetahui<br />

secara lengkap tentang rumusan CLD tersebut lihat Tim Pengarusutamaan Gender,<br />

Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft KHI, Jakarta, 2004 (Naskah belum<br />

dipublikasikan).<br />

12<br />

Qur’an Surat An-Nisa‘ ayat 21 dan surat Al-Baqarah, ayat 231.<br />

13<br />

Qur’an Surat An-Nisa‘ayat 3 dan 129.<br />

14<br />

Qur’an Surat Ar-R-m, ayat 21.<br />

15<br />

Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 187.<br />

16<br />

Qur’an Surat An-Nisa‘ ayat 19, At-Taubah, ayat 24 dan Al-Haj ayat 13.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

77


• Kliping •<br />

Hak Asasi <strong>Perempuan</strong><br />

Belum Menjadi Bagian<br />

Institusional Hukum<br />

Ternyata hak asasi perempuan belum jadi bagian institusional<br />

dalam hukum, keputusan pengadilan, kebijakan, penegakan,<br />

program dan anggaran pemerintah. Tidak terakomodasinya hak<br />

asasi perempuan ini pada akhirnya menjadi salah satu hambatan utama<br />

dalam pelaksanaan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala<br />

Bentuk Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong> (<strong>CEDAW</strong>). Demikian pendapat<br />

Achie Sudiarti Luhulima, anggota kelompok kerja “Convention Watch”<br />

yang juga penasehat senior: Sekretariat Nasional Gender dan IPTEK.<br />

Selain itu, faktor lain yang juga menjadi hambatan dalam melaksanakan<br />

<strong>CEDAW</strong> adalah negara-negara peserta belum atau tidak memahami<br />

standar hak asasi dan cara untuk mencapainya. Disamping itu pula,<br />

dalam melaksanakan <strong>CEDAW</strong> ini masih banyak persoalan kurangnya<br />

keahlian, metodologi dan kemampuan untuk menerapkan standar hak<br />

asasi manusia dalam melakukan analisis masalah-masalah sosial serta<br />

cara mengatasinya. Sejumlah hambatan-hambatan struktural seperti<br />

budaya tidak memenuhi standar hak asasi manusia, kesulitan dalam<br />

meraih keadilan dan kurangnya cara untuk menghapus diskriminasi<br />

serta norma budaya dan praktek-praktek yang cenderung stereotip<br />

(membagikan peran berdasarkan jenis kelamin) dan bentuk-bentuk<br />

seksisme lainnya, juga menjadi bagian dari hambatan pelaksanaan<br />

<strong>CEDAW</strong>.<br />

Disamping itu pula, menurut Achie, banyak perempuan belum<br />

menyadari hak asasinya dan belum paham cara menuntut hak-hak itu.<br />

Indonesia sendiri telah meratifikasi <strong>CEDAW</strong> melalui Undang-undang<br />

No 7 tahun 1984 dan diperkokoh dengan Undang-undang nomor 29<br />

tahun 1999 tentang konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala<br />

Bentuk Diskriminasi Rasial. Sebagai negara yang telah melakukan<br />

ratifikasi, berarti Indonesia seharusnya mempunyai kewajiban untuk<br />

melakukan penyesuaian berbagai peraturan perundang-undangan<br />

78<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Kliping •<br />

nasional yang terkait dengan konvensi internasional tersebut. Disamping<br />

itu pula Indonesia juga harus mempunyai komitmen untuk melaksanakan<br />

kewajiban melaporkan pelaksanaan dalam rangka menghapus<br />

segala bentuk diskriminasi terutama yang terkait dengan diskriminasi<br />

terhadap perempuan.<br />

Menurut Achie, substansi dari konvensi <strong>CEDAW</strong> ini adalah<br />

menetapkan bahwa perempuan memiliki hak sipil, politik, ekonomi,<br />

sosial dan budaya yang harus dinikmati atas dasar persamaan dengan<br />

pria terlepas dari status perkawinannya. Konvensi ini pula menurut<br />

Achie menegaskan bahwa diskriminasi terhadap perempuan merupakan<br />

pelanggaran hak asasi manusia. Dalam konteks itu, maka menurut<br />

konvensi <strong>CEDAW</strong> prinsip dasar kewajiban negara tersebut meliputi halhal<br />

sebagai berikut yaitu; (1) menjamin<br />

hak-hak perempuan melalui hukum<br />

dan kebijakan serta menjamin hasilnya.<br />

(2) Menjamin pelaksanaan<br />

praktis dari hak-hak itu melalui<br />

langkah tindak atau aturan khusus,<br />

menciptakan kondisi yang kondusif<br />

untuk meningkatkan akses bagi<br />

perempuan pada peluang yang<br />

ada, (3) negara tidak hanya menjamin<br />

tetapi juga merealisasikan<br />

hak-hak perempuan, (4) negara<br />

tidak hanya menjamin secara de<br />

jure, tetapi juga secara de facto<br />

dan (5) negara tidak saja harus<br />

mengaturnya di sektor publik,<br />

tetapi juga terhadap tindakan<br />

orang-orang dan lembaga di<br />

sektor privat (keluarga) dan<br />

sektor swasta.<br />

Berkaitan dengan sejumlah<br />

hambatan tersebut di atas, maka menurut Achie harus<br />

ada langkah-langkah yang perlu dilaksanakan yaitu, pertama berkaitan<br />

dengan Substansi Hukum dan Kebijakan. Dalam aspek ini perlu<br />

mengintegrasikan prinsip-prinsip persamaan antara laki-laki dan<br />

pepper-graphics.com<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

79


• Kliping •<br />

perempuan dalam sistem hukum. Selain itu dalam aspek ini perlu juga<br />

menghapus peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan<br />

menetapkan peraturan baru yang melarang diskriminasi terhadap<br />

perempuan. Aspek yang juga penting adalah menerapkan norma dan<br />

standar yang ditetapkan oleh <strong>CEDAW</strong> dalam menyusun perencanaan,<br />

melaksanakan dan memantau kebijakan di tingkat nasional maupun<br />

lokal untuk melindungi, meningkatkan dan memenuhi hak asasi<br />

perempuan.<br />

Langkah kedua adalah berkaitan dengan struktur dan proses<br />

institusional. Dalam aspek ini perlu mengembangkan kapasitas<br />

kelembagaan yang akan melaksanakan atau menegakkan peraturan<br />

perundang-undangan dan kebijakan baru. Selain itu juga perlu<br />

menetapkan mekanisme kelembagaan untuk memantau perkembangan<br />

pemenuhan hak-hak asasi perempuan dan memberikan laporan kepada<br />

Komite <strong>CEDAW</strong>.<br />

Sementara langkah ketiga adalah berkaitan dengan faktor budaya.<br />

Dalam aspek ini perlu ditingkatkan kesadaran seluruh masyarakat akan<br />

kesamaan hak asasi perempuan dan laki-laki yang dijamin oleh Konvensi<br />

<strong>CEDAW</strong>.<br />

Pada tanggal 3 Agustus 2004 dua tahun yang lalu bahkan ketua<br />

DPR RI Akbar Tanjung dalam pidato pembukaan Capacity Building<br />

anggota DPR dan DPD perempuan periode 2004-2009 di Hotel Red Top<br />

Jakarta Pusat mengatakan bahwa beberapa konstitusi yang berlaku di<br />

Indonesia secara prinsip masih banyak yang belum sesuai dengan<br />

konvensi <strong>CEDAW</strong> atau konvensi tentang penghapusan kekerasan<br />

terhadap perempuan yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.<br />

“Kita harus terus melakukan perbaikan manakala memang diketemukan<br />

adanya Undang-undang atau peraturan yang berlaku masih mengandung<br />

diskriminasi terhadap perempuan,” ujar Akbar.<br />

Dalam pidatonya ini Akbar mengingatkan bahwa anggota DPR<br />

dalam fungsinya akan mempunyai 3 fungsi utama yaitu sebagai pembuat<br />

undang-undang, fungsi penetapan APBN dan fungsi pengawasan<br />

terhadap implementasi undang-undang. “Ketiga fungsi yang saat ini<br />

saudara-saudara emban sebagai anggota DPR begitu juga DPD haruslah<br />

bisa diaktualisasikan dalam misi peningkatan pemberdayaan<br />

perempuan,” katanya lagi.<br />

Salah satu masalah hak perempuan yang belum tertangani sampai<br />

80<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Kliping •<br />

saat ini adalah melihat makin tingginya korban pelanggaran hak<br />

reproduksi perempuan. Atas hal ini pada bulan April 2005 yang lalu<br />

Jaringan <strong>Perempuan</strong> untuk Program Legislasi Nasional (Jaringan<br />

Prolegnas) pernah melakukan desakan kepada pemerintah untuk segera<br />

menurunkan Ampres tentang revisi Undang-Undang Kesehatan No. 23<br />

tahun 1992. Menurut jaringan ini penegakan hak reproduksi <strong>Perempuan</strong><br />

adalah juga bagian dari penegakan hak asasi manusia.<br />

Jaringan Prolegnas bahkan memberi argumentasi sejarah mengenai<br />

hak reproduksi perempuan ini dapat mengambil pelajaran dari Kartini<br />

sebagai pejuang hak reproduksi. Ia keburu dijemput ajal empat hari<br />

setelah melahirkan anak pertamanya, karena proses reproduksi yang<br />

dialami, pada 13 Nopember 1904. Kenyataannya, seratus tahun telah<br />

kita lewati perjuangan Kartini, pelanggaran hak reproduksi perempuan<br />

tetap saja tinggi, diantaranya masih terlihat tingginya angka kematian<br />

ibu melahirkan di Indonesia, yakni 307 per 100.000 kelahiran hidup.<br />

Salah satu penyebab tingginya pelanggaran hak reproduksi<br />

perempuan di Indonesia menurut Jaringan ini adalah kebijakankebijakan<br />

yang tidak menghormati hak asasi manusia (HAM). Misalnya<br />

dalam bentuk-bentuk kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul dan<br />

berekspresi. Bagian dari warga bangsa yang sering mengalami berbagai<br />

bentuk pelanggaran HAM dalam segala bidang kehidupannya adalah<br />

perempuan.<br />

Bentuk-bentuk pelanggaran hak reproduksi perempuan (HAM) yang<br />

dialami oleh perempuan ini sangat beragam. Mulai dari perkosaan dalam<br />

perkawinan, perjodohan, larangan aborsi, pelecehan seksual, penyiksaan,<br />

paksaan terhadap penggunaan alat kontrasepsi, tiadanya<br />

informasi tentang masalah kesehatan reproduksi, dan berbagai bentuk<br />

diskriminasi lainnya dengan tujuan untuk “tidak mengubah”, tatanan<br />

budaya, norma dan pemahaman ajaran agama yang ada dengan<br />

memandang secara negatif dan menomorduakan kepentingan<br />

perempuan.<br />

Persoalan-persoalan perempuan, seperti yang telah dijabarkan, jelas<br />

sangat memprihatinkan dan terlihat berseberangan dengan semangat<br />

diratifikasinya Konvensi <strong>CEDAW</strong>. Belum lagi melalui UU No. 7 tahun<br />

1984 dimana negara berkewajiban dan berupaya melakukan regulasi<br />

yang melindungi dan menjamin hak-hak perempuan dan menghapuskan<br />

kebijakan yang mendiskriminasikan perempuan. (EBS)<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

81


• Lampiran •<br />

UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />

NOMOR 7 TAHUN 1984<br />

TENTANG<br />

PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN<br />

SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP WANITA<br />

[CONVENTION ON THE ELEMINATION OF ALL FORMS OF<br />

DISCRIMINATION AGAINTS WOMEN]<br />

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br />

Menimbang:<br />

a. Bahwa segala warga negara bersama kedudukannya<br />

didalam hukum dan pemerintahan, sehingga segala<br />

bentuk diskriminasi terhadap wanita harus dihapus karena<br />

tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar<br />

19<strong>45</strong>;<br />

b. Bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam<br />

sidang pada tanggal 18 Desember 1979, telah<br />

menyetujui Konvensi mengenai penghapusan segala<br />

bentuk Diskriminasi terhadap wanita [Convertion on the<br />

Elimination of All Form Discrimination Against Women]<br />

c. Bahwa ketentuan-ketentuan didalam Konvensi tersebut<br />

diatas pada dasarnya tidak bertentangan dengan<br />

Pancasila, Undang-Undang Dasar 19<strong>45</strong> dan peraturan<br />

perundang-undangan Republik Indonesia;<br />

d. Bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah<br />

menandatangani Konvensi tersebut pada tanggal 29 Juli<br />

1980 sewaktu diadakan KonperensiSedunia Dasawarsa<br />

Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi wanita di Kopenhagen;<br />

e. Bahwa berhubung dengan hal tersebut di atas maka di<br />

pandang perlu mengesahkan Konvensi sebagaimana<br />

tersebut pada huruf b di atas dengan Undang-Undang.<br />

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27<br />

ayat (1) Undang-Undang Dasar 19<strong>45</strong>;<br />

2. Ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik<br />

Indonesia Nomor IV MPR/1983 tentang Garis-Garis besar<br />

Haluan Negara;<br />

82 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Lampiran •<br />

Dengan Persetujuan<br />

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT<br />

MEMUTUSKAN<br />

Menetapkan:<br />

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI<br />

PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP<br />

WANITA [CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS<br />

OF DISCRIMINITION AGAINST WOMEN]<br />

Pasal 1<br />

Konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita<br />

(Convention on the Eliminition of All Forms of Discrimanition Against Women) yang telah<br />

disetujui oleh Majelis Permusyarawatan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18<br />

Desember 1979, dengan persyaratan [reservation terhadap pasal 29 ayat (1) tentang<br />

penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini, yang<br />

salinannya dilampirkan pada Undang-Undang ini.<br />

Pasal 2<br />

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang<br />

mengetahui, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatan<br />

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.<br />

Diundangkan di Jakarta<br />

Disahkan di Jakarta<br />

Pada tanggal 24 Juli 1984 Pada tanggal 24 Juli 1984<br />

MENTERI SEKRETARIS NEGARA<br />

REPUBLIK INDONESIA<br />

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br />

SUDHARMONO, SH<br />

SOEHARTO<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

83


• Lampiran •<br />

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1984 NOMOR 29<br />

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7<br />

TAHUN 1984<br />

TENTANG<br />

PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK<br />

DISKRIMINASI TERHADAP WANITA<br />

[CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION<br />

AGAINST WOMEN]<br />

I. Umum<br />

Pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Deklarasi<br />

mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita.<br />

Diskriminasi tersebut memuat hak dan kewajiban wanita berdasarkan persamaan<br />

hak dengan pria dan menyatakan langkah-langkah seperlunya untuk menjamin<br />

pelaksanaan deklarasi tersebut.<br />

Oleh karena deklarasi itu sifatnya tidak mengikat, maka Komisi Perserikatan<br />

Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan Wanita berdasarkan Deklarasi tersebut<br />

menyusun rencana konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi<br />

Terhadap Wanita.<br />

Pada tanggal 18 Desember tahun 1979 Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa<br />

telah menyetujui Konvensi tersebut karena ketentuan Konvensi pada dasarnya<br />

tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar <strong>45</strong>, maka<br />

Pemerintah Republik Indonesia dalam Konperensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan<br />

Bangsa-Bangsa bagi Wanita di Kopenhagen pada tanggal 29 Juli 1980 telah<br />

merupakan penegasan sikap Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 18 Desember<br />

1979 pada waktu Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan<br />

pemungutan suara atas resolusi yang kemudian menyetujui Konvensi tersebut.<br />

Dalam pemungutan suara itu Indonesia memberikan suara setuju sebagai<br />

perwujudan keinginan Indonesia untuk berpartisipasi dalam usaha-usaha<br />

internasional menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, karena isi<br />

Konvensi itu sesuai dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar<br />

tahun 19<strong>45</strong> yang menetapkan bahwa segala warga negara bersamaan<br />

kedudukannya di dalam hukum dan Pemerintahan.<br />

Ketentuan Konvensi ini tidak akan mempengaruhi asas dan ketentuan dalam<br />

peraturan perundang-undangan Nasional yang mengandung asas persamaan hak<br />

antara pria dan wanita sebagai perwujudan tata hukum Indonesia yang sudah<br />

kita anggap baik atau lebih baik dan sesuai, serasi serta selaras dengan aspirasi<br />

bangsa Indonesia. Dalam pelaksanannya, ketentuan dalam konvensi ini wajib<br />

disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya,<br />

adat istiadat serta morma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara<br />

luas masyarakat Indonesia.<br />

84 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Lampiran •<br />

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan Undang-Undang Dasar 19<strong>45</strong><br />

sebagai sumber hukum nasional memberikan keyakinan dan jaminan bahwa<br />

pelaksanaan ketentuan Konvensi ini sejalan dengan tata kehidupan yang<br />

dikehendaki bangsa Indonesia.<br />

II. PASAL DEMI PASAL<br />

Pasal 1<br />

Pasal 29 Konvensi memuatkan ketentuan tentang cara untuk menyelesaikan<br />

perselisihan antara negara peserta Konvensi mengenai penafsiran atau penerapan<br />

ketentuan konvensi. Pemerintah Indonesia tidak bersedia untuk mengikatkan diri<br />

pada ketentuan pasal tersebut, karena pada prinsipnya tidak dapat menerima<br />

suatu kewajiban untuk mengajukan perselisihan internasional, dimana Indonesia<br />

tersangkut, kepada Mahkamah Internasional.<br />

Dengan pertimbangan tersebut di atas Indonesia mengadakan persyaratan<br />

[reservation] terhadap pasal 29 ayat (1) Konvensi hingga dengan demikian<br />

Indonesia menyatakan dirinya tidak terikat oleh pasal tersebut.<br />

Cukup jelas.<br />

Pasal 2<br />

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3277.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

85


• Lampiran •<br />

LAMPIRAN :<br />

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />

NOMOR 7 TAHUN 1984<br />

TANGGAL 24 JULI 1984<br />

Tentang:<br />

PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK<br />

DISKRIMINASI TERHADAP WANITA[CONVENTION ON THE ELIMINATION OF<br />

ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINTS WOMEN]<br />

Diterjemahkan oleh :<br />

Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia [KNKWI] bekerja sama dengan<br />

Departemen Luar Negeri RI.<br />

Disempurnakan oleh :<br />

Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita<br />

Catatan :<br />

Apabila terjadi ketidaksamaan penafsiran dalam penterjemahaan, maka yang<br />

digunakan sebagai pedoman adalah naskah aslinya yang berbahasa Inggris.<br />

KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK<br />

DISKRIMINASI TERHADAP WANITA<br />

Negara-negara peserta pada Konvensi yang sekarang ini,<br />

Memperhatikan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menguatkan lagi<br />

keyakinan atas hak-hak azazi manusia, atas martabat dan nilai pribadi manusia, dan<br />

atas persamaan hak antara pria dan wanita.<br />

Memperhatikan bahwa Deklarasi Universal tentang Hak-hak Azazi Manusia<br />

menegaskan azas mengenai tidak dapat diterimanya diskriminasi dan menyatakan bahwa<br />

semua manusia dlahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak, dan bahwa tiap<br />

orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat di dalamnya, tanpa perbedaan<br />

apapun, termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin.<br />

Memperhatikan bahwa Negara-Negara peserta pada perjanjian Internasional<br />

mengenai hak-hak Azazi Manusia berkewajiban untuk menjamin hak yang sama antara<br />

pria dan wanita untuk menikmati semua hak ekonomi sosial, budaya, sipil dan politik.<br />

Mempertimbangkan konvensi-konvensi internasional yang ditandatangani di bawah<br />

naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khususnya, yang menganjurkan<br />

86 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Lampiran •<br />

persamaan hak antara pria dan wanita.<br />

Memperhatikan juga resolusi-resolusi, deklarasi-deklarasi dan rekomendasirekomendasi<br />

yang disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan<br />

khususnya yang menganjurkan persamaan hak antara pria dan wanita.<br />

Namun demikian sangat memprihatinkan bahwa meskipun adanya bermacammacam<br />

dokumen tersebut, namun diskriminasi yang luas terhadap wanita masih tetap<br />

ada.<br />

Mengingat, bahwa diskriminasi terhadap wanita adalah melanggar azas persamaan<br />

hak dan rasa hormat terhadap martabat manusia, merupakan halangan bagi partisipasi<br />

wanita, atas dasar persamaan dengan kaum pria dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi<br />

dan budaya negara-negara mereka. Hal ini menghambat perkembangan kemakmuran<br />

masyarakat dan menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi kaum<br />

wanita dalam pengabdiannya terhadap negara-negara mereka dan terhadap umat<br />

manusia.<br />

Memprihatinkan bahwa dalam situasi-situasi kemiskinan, wanita yang paling sedikit<br />

mendapat kesempatan untuk memperoleh makanan, pemeliharaan kesehatan,<br />

pendidikan, pelatihan, maupun untuk memperoleh kesempatan kerja dan lain-lain<br />

kebutuhan.<br />

Yakin bahwa dengan terbentuknya tata ekonomi internasional yang baru, berdasarkan<br />

pemerataan dan keadilan, akan memberikan sumbangan yang berarti terhadap<br />

peningkatan persamaan antara pria dan wanita.<br />

Menekankan bahwa penghapusan apartheid, penghapusan semua bentuk rasisme,<br />

diskriminasi rasial, kolonialisme, neo kolonialisme, agresi, pendudukan dan dominasi<br />

serta campur tangan asing dalam urusan dalam negeri. Negara adalah penting, untuk<br />

dapat menikmati sepenuhnya hak-hak pria dan wanita.<br />

Menegaskan bahwa memperkuat perdamaian dan keamanan internasional,<br />

pengendoran ketegangan internasional, kerjasama timbal balik diantara semua negara,<br />

terlepas dari sistem sosial dan ekonomi mereka, pelucutan senjata nuklir di bawah<br />

pengawasan internasional yang ketat dan efektif, penegasan azas-azas keadilan,<br />

persamaan dan manfaat bersama dalam hubungan antar negara,realisasi hak-hak<br />

bangsa yang berada dibawah dominasi asing, dominasi kolonial pendudukan asing<br />

untuk menetukan nasib sendiri dan kemerdekaannya, maupun menghormati kedaulatan<br />

nasional dan keutuhan wilayah, akan meningkatkan kemajuan sosial dan pembangunan,<br />

yang dampaknya akan menunjang tercapainya persamaan sepenuhnya antara pria<br />

dan wanita.<br />

Yakin bahwa pembangunan menyeluruh dan selengkapnya suatu negara,<br />

kesejahteraan dunia dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi maksimal kaum<br />

wanita atas dasar persamaan dengan kaum pria di segala lapangan.<br />

Mengingatkan kembali sumbangan besar kaum wanita terhadap kesejahteraan<br />

keluarga dan pembangunan masyarakat yang selama ini belum sepenuhnya diakui, arti<br />

sosial dari kehamilan, dan peranan kedua orang tua dalam keluarga dalam membesarkan<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

87


• Lampiran •<br />

anak-anak, dan menyadari bahwa peranan wanita dalam memperoleh keturunan<br />

hendaknya jangan menjadi dasar diskriminasi, akan tetapi bahwa membesarkan anakanak<br />

menghendaki pembagian tanggung jawab antara pria dan wanita dan masyarakat<br />

sebagai keseluruhan.<br />

Menyadari bahwa diperlukan perubahan pada peranan tradisional kaum pria maupun<br />

peranan kaum wanita dalam masyarakat dan dalam keluarga, untuk mencapai persamaan<br />

sepenuhnya antara pria dan wanita.<br />

Bertekad untuk melaksanakan azas-azas yang tercantum dalam Deklarasi mengenai<br />

Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, dan untuk itu membuat peraturan yang<br />

diperlukan untuk menghapus diskriminasi seperti itu dalam segala bentuk dan<br />

perwujudannya,<br />

Telah bersepakat mengenal hal-hal sebagai :<br />

BAGIAN I<br />

Pasal 1<br />

Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah “Diskriminasi terhadap Wanita”<br />

berarti setiap perbedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis<br />

kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan<br />

pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebabasankebebasan<br />

pokok di bidang politik, ekonomi, terlepas dari status perkawinan mereka,<br />

atas dasar persamaan antara pria dan wanita.<br />

Pasal 2<br />

Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya<br />

dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditundatunda,<br />

kebijaksanaan menghapus terhadap wanita, dan untuk tujuan ini berusaha.<br />

a. Mencantumkan azas persamaan antara pria dan wanita dalam Undang-Undang<br />

Dasar nasional mereka atau perundang-undangan yang tepat lainnya jika belum<br />

termasuk di dalamnya, dan untuk menjamin realisasi praktis dari azas ini melalui<br />

hukum dan cara-cara lain yang tepat;<br />

b. Membuat peraturan perundang-undangan lain yang tepat dan peraturanperaturan<br />

lainnya termasuk sanksi-sanksinya dimana perlu, melarang semua<br />

diskriminasi terhadap wanita;<br />

c. Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita atas dasar yang<br />

sama dengan kaum pria dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang<br />

kompeten dan bahan-bahan pemerintah lainnya, perlindungan kaum wanita<br />

yang efektif terhadap setiap tindakan diskriminasi;<br />

d. Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap wanita, dan<br />

untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga<br />

negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut;<br />

88 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Lampiran •<br />

e. Membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus perlakuan<br />

diskriminasi terhadap wanita oleh tiap orang, organisasi atau perusahaan.<br />

f. Membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undangundang<br />

untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturanperaturan,<br />

kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap<br />

wanita;<br />

g. Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif terhadap wanita.<br />

Pasal 3<br />

Negara-negara peserta membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk<br />

pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial,<br />

ekonomi, dan budaya, untuk menjamin perkembangan dan kemajuan wanita<br />

sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati hakhak<br />

azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan<br />

pria.<br />

Pasal 4<br />

1. Pembuatan peraturan-peraturan khusus sementara oleh negara-negara peserta<br />

yang ditujukan untuk mempercepat persamaan “de facto” antara pria dan<br />

wanita, tidak dianggap diskriminasi seperti ditegaskan dalam Konvensi yang<br />

sekarang ini dan sama sekali tidak harus membawa konsekuensi pemeliharaan<br />

norma-norma yang tak sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan ini<br />

dihentikan jika tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai.<br />

2. Pembuatan peraturan-peraturan khusus oleh negara-negara peserta, termasuk<br />

peraturan-peraturan yang dimuat dalam Konvensi, yang sekarang ini, ditujukan<br />

untuk melindungi kehamilan, tidak dianggap diskriminasi.<br />

Pasal 5<br />

Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat :<br />

a. Untuk mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya pria dan wanita dengan<br />

maksud untuk mencapai penghapusan prasangka-prasangka, kebiasaankebiasaan<br />

dan segala praktek lainnya yang berdasarkan atas inferioritas atau<br />

superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peranan stereotip bagi pria<br />

dan wanita.<br />

b. Untuk menjamin bahwa pendidikan keluarga melalui pengertian yang tepat<br />

mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial dan pengakuan tanggung jawab<br />

bersama pria dan wanita dalam membesarkan anak-anak mereka,<br />

seyogyanyalah bahwa kepentingan anak-anak adalah pertimbangan utama<br />

dalam segala hal.<br />

Pasal 6<br />

Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk<br />

pembuatan undang-undang, untuk memberantas segala bentuk perdagangan wanita<br />

dan eksploitasi pelacuran.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

89


• Lampiran •<br />

BAGIAN II<br />

Pasal 7<br />

Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk<br />

menghapus diskriminasi terhadap wanita dalam kehidupan politik dan kehidupan<br />

kemasyarakatan negaranya, khususnya menjamin bagi wanita atas dasar persamaan<br />

dengan pria, hak :<br />

a. Untuk memilih dan dipilih.<br />

b. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan<br />

implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintah dan melaksanakan<br />

segala fungsi pemerintahan di semua tingkat;<br />

c. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan<br />

non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik<br />

negara.<br />

Pasal 8<br />

Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menjamin<br />

bagi wanita kesempatan untuk mewakili pemerintah mereka pada tingkat internasional<br />

dan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional atas dasar<br />

persamaan dengan pria tanpa suatu diskriminasi.<br />

Pasal 9<br />

1. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada wanita hak yang sama dengan<br />

pria untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya<br />

kewarganegaraan oleh suami selama perkawinan tidak secara otomatis Negaranegara<br />

peserta khususnya wajib menjamin bahwa perkawinan dengan orang<br />

asing maupun perubahan mengubah kewarganegaraan atau memaksakan<br />

kewarganegaraan suaminya kepadanya.<br />

2. Negara-negara peserta wajib memberi kepada wanita hak yang sama dengan<br />

pria berkenaan kewarganrgaraan anak-anak mereka.<br />

BAGIAN III<br />

Pasal 10<br />

Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk<br />

menghapus diskriminasi terhadap wanita guna menjamin bagi mereka hak-hak yang<br />

sama dengan pria di lapangan pendidikan, khususnya guna menjamin persamaan antara<br />

pria dan wanita :<br />

a. Persyaratan yang sama untuk mebimbing karir dan keahlian, untuk kesempatan<br />

mengikuti pendidikan dan memperoleh ijazah dalam lembaga-lembaga pendidikan<br />

90 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Lampiran •<br />

segala tingkatan baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Persamaan ini<br />

wajib dijamin baik dalam pendidikan taman kanak-kanak, umum teknik, serta<br />

dalam pendidikan keahlian tehnik tinggi maupun dalam segala macam jenis<br />

pelatihan kejuruan;<br />

b. Pengikutsertaan pada kurikulum yang sama, ujian yang sama, staf pengajar<br />

dengan standar kualifikasi yang sama, serta gedung dan peralatan sekolah<br />

yang berkualitas sama;<br />

c. Penghapusan tiap konsep yang stereotip mengenai peranan pria dan wanita di<br />

segala tingkat dan dalam segala bentuk pendidikan dengan menganjurkan koedukasi<br />

dan lain-lain jenis pendidikan yang akan membantu untuk mencapai<br />

tujuan ini, khususnya dengan merevisi buku wajib dan program-program sekolah<br />

serta penyesuaian metode mengajar;<br />

d. Kesempatan yang sama untuk mengambil manfaat dari beasiswa dan lain-lain<br />

dana pendidikan;<br />

e. Kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam program pendidikan yang<br />

berkelanjutan, termasuk progam pendidikan orang dewasa dan pemberantasan<br />

buta huruf fungsional, khususnya program-program yang ditujukan pada<br />

pengurangan sedini mungkin tiap jurang pemisah dalam pendidikan yang ada<br />

antara pria dan wanita;<br />

f. Pengurangan angka putus sekolah pelajar puteri dan penyelenggaraan program<br />

untuk gadis-gadis dan wanita yang sebelum waktunya meninggalkan sekolah.<br />

g. Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi secara aktif dalam olahraga dan<br />

pendidikan jasmani;<br />

h. Dapat memperoleh penerangan edukatif khusus untuk membantu menjamin<br />

kesehatan dan kesejahteraan keluarga, termasuk penerangan dan nasehat<br />

mengenai keluarga berencana.<br />

Pasal 11<br />

a. Hak untuk bekerja sebagai hak azasi manusia;<br />

b. Hak atas kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi<br />

yang sama dalam penerimaan pegawai;<br />

c. Hak untuk memilih dengan bebas profesi dan pekerjaan, hak untuk promosi,<br />

jaminan pekerjaan dan semua tunjangan serta fasilitas kerja, hak untuk<br />

memperoleh pelatihan kejuruan dan pelatihan ulang temasuk masa kerja sebagai<br />

magang, pelatihan kejuruan lanjutan dan pelatihan ulang lanjutan;<br />

d. Hak untuk menerima upah yang sama, termasuk tunjangan-tunjangan, baik<br />

untuk perlakuan yang sama sehubungan dengan pekerjaan dengan nilai yang<br />

sama, maupun persamaan perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan;<br />

e. Hak atas jaminan sosial, khususnya dalam pensiun, pengangguran, sakit,<br />

cacat, lanjut usia, serta lain-lain, ketidakmampuan untuk bekerja, hak atas<br />

masa cuti yang di bayar;<br />

f. Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk usaha<br />

perlindungan terhadap fungsi melanjutkan keturunan.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

91


• Lampiran •<br />

2. Untuk mencegah diskriminasi terhadap wanita atas dasar perkawinan atau kehamilan<br />

dan untuk menjamin hak efektif mereka untuk bekerja, negara-negara peserta<br />

wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat :<br />

a. Untuk melarang, dengan dikenakan sanksi pemecatan atas dasar kehamilan<br />

atau cuti hamil dan diskriminasi dalam pemberhentian atas dasar status<br />

perkawinan;<br />

b. Untuk mengadakan peraturan cuti hamil dengan bayaran atau dengan tunjangan<br />

sosial yang sebanding tanpa kehilangan pekerjaan semula;<br />

c. Untuk menganjurkan pengadaan pelayanan sosial yang perlu guna<br />

memungkinkan para orang tua menggabungkan kewajiban-kewajiban keluarga<br />

dengan tanggung jawab pekerjaan dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat,<br />

khususnya dengan meningkatkan pembentukkan dan pengembangan suatu<br />

jaringan tempet-tempat penitipan anak;<br />

d. Untuk memberikan perlindungan khusus kepada kaum wanita selam kehamilan<br />

pada jenis pekerjaan yang terbukti berbahaya bagi mereka;<br />

3. Perundang-undangan yang brsifat melindungi sehubungan dengan hal-hal yang<br />

terhadap dalam pasal ini wajib ditinjau kembali secara berkala berdasar ilmu<br />

pengetahuan dan tehnologi, serta direvisi, dicabut atau diperluas menurut keperluan.<br />

Pasal 12<br />

1. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk<br />

menghapus diskriminasi terhadap wanita di bidang pemeliharaan kesehatan<br />

dan supaya menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan termasuk pelayanan<br />

yang berhubungan dengan keluarga berencana, atas dasar persamaan antara<br />

pria dan wanita.<br />

2. Sekalipun terdapat ketentuan pada ayat (1) ini, negara-negara peserta wajib<br />

menjamin kepada wanita pelayanan yang layak berkaitan dengan kehamilan,<br />

persalinan dan masa sesudah persalinan, dengan memberikan pelayanan cumacuma<br />

dimana perlu, serta pemberian makanan bergizi yang cukup selama<br />

kahamilan dan masa menyusui.<br />

Pasal 13<br />

Negara-negara wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus<br />

diskriminasi terhadap wanita di lain-lain bidang kehidupan ekonomi dan sosial supaya<br />

menjamin hak-hak yang sama, atas dasar persamaan antara pria dan wanita, khususnya:<br />

a. Hak atas tunjangan keluarga<br />

b. Hak atas pinjaman bank, hipotik dan lain-lain bentuk kredit permodalan;<br />

c. Hak untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan rekreasi, olahraga dan semua<br />

segi kehidupan kebudayaan.<br />

Pasal 14<br />

1. Negara-negara wajib memperhatikan masalah-masalah khusus yang dihadapi<br />

oleh wanita di daerah pedesaan dan peranan yang dimainkan wanita pedesaan<br />

92 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Lampiran •<br />

demi kelangsungan hidup keluarga mereka dibidang ekonomi, termasuk pekerjaan<br />

mereka pada sektor ekonomi bukan penghasil uang, dan wajib membuat<br />

peraturan-peraturan yang tepat untuk menjamin penerapan ketentuanketentuan<br />

Konvensi ini bagi wanita di daerah pedesaan.<br />

2. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk<br />

menghapus diskriminasi terhadap wanita di daerah pedsaan, dan menjamin<br />

bahwa mereka ikut serta dalam dan mengecap manfaat dari pembangunan<br />

pedesaan atas dasar persamaan antara pria dan wanita, khususnya menjamin<br />

kepada wanita pedesaan hak :<br />

a. Untuk berpartisipasi dalam perluasan dan implementasi perencanaan<br />

pembangunan di segala tingkat;<br />

b. Untuk memperoleh fasilitas pemeliharaan dan kesehatan yang memadai,<br />

termasuk penerangan, penyuluhan dan pelayanan dalam keluarga<br />

berencana;<br />

c. Untuk mendapatkan manfaat langsung dari program jaminan sosial;<br />

d. Untuk memperoleh segala jenis pelatihan dan pendidikan, baik formal<br />

maupun non formal, termasuk yang berhubungan dengan pemberantasan<br />

buta huruf fungsional serta, manfaat semua pelayanan masyarakat dan<br />

pelayanan penyuluhan guna meningkatkan keterampilan tehnik mereka;<br />

e. Untuk membentuk kelompok-kelompok swadaya dan koperasi supaya<br />

memperoleh peluang yang sama terhadap kesempatan-kesempatan ekonomi<br />

melalui pekrjaan atau kewiraswastaan;<br />

f. Untuk berpartisipasi dalam semua kegiatan masyarakat;<br />

g. Untuk dapat memperoleh kredit dan pinjaman pertanian, fasilitas<br />

pemasaran, tehnologi tepat-guna, serta perlakuan sama pada landreform<br />

dan urusan-urusan pertanahan termasuk pengaturan-pengaturan tanah<br />

pemukiman;<br />

h. Untuk menikmati kondisi hidup yang memadai, terutama yang berhubungan<br />

dengan perumahan, sanitasi penyediaan listrik dan air, pengangkutan dan<br />

komunikasi.<br />

BAGIAN IV<br />

Pasal 15<br />

1. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada wanita persamaan hak dengan<br />

pria di muka hukum.<br />

2. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada wanita dalam urusan-urusan<br />

sipil kecakapan hukum yang sama dengan kaum pria dan kesempatan yang<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

93


• Lampiran •<br />

sama untuk menjalankan kecakapan tersebut, khususnya agar memberikan<br />

kepada wanita hak-hak yang sama untuk menandatangani kontrak-kontrak dan<br />

untuk mengurus harta benda, serta wajib memberikan mereka perlakuan yang<br />

sama pada semua tingkatan prosedur di muka hakim dan pengadilan.<br />

3. Negara-negara peserta bersepakat bahwa semua kontrak dan semua dokumen<br />

yang mempunyai kekuatan hukum yang ditujukan kepada pembatasan kecakapan<br />

hukum bagi wanita, wajib dianggap batal dan tidak berlaku.<br />

4. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada pria dan wanita hak-hak<br />

yang sama berkenaan dengan hukum yang berhubungan dengan mobilitas<br />

orang-orang dan kebebasan untuk memilih tempat tinggal dan domisili mereka.<br />

Pasal 16<br />

1. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk<br />

menghapus diskriminasi terhadap wanita dalam semua urusan yang berhubungan<br />

dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara<br />

pria dan wanita, dan khussusnya akan menjamin :<br />

a. Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan;<br />

b. Hak sama untuk memilih suami secara bebas dan untuk memasuki jenjang<br />

perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya;<br />

c. Hak dan tanggung jawab yang sama selama perkawinan dan pada<br />

pemutusan perkawinan;<br />

d. Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orangtua, terlepas dari status<br />

kawin mereka, dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan anak-anak<br />

mereka. Dalam semua kasus, kepentingan anak-anaklah yang wajib<br />

diutamakan;<br />

e. Hak yang sama untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab<br />

jumlah dan penjarakan kelahiran anak-anak mereka serta memperoleh<br />

penerangan, pendidikan dan sarana-sarana untuk memungkinkan mereka<br />

menggunakan hak-hak ini;<br />

f. Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan perwalian,<br />

pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak atau lembaga-lembaga<br />

yang sejenis di mana konsep-konsep ini ada dalam perundangan-undangan<br />

nasional, dalam semua kasus kepentingan anak-anaklah yang wajib<br />

diutamakan;<br />

g. Hak pribadi yang sama sebagai suami-istri, termasuk hak untuk memilih<br />

nama keluarga, profesi dan jabatan;<br />

h. Hak sama untuk kedua suami istri bertalian dengan pemilihan, perolehan,<br />

pengelolaan, administrasi, penikmatan dan memindah tangankan harta<br />

benda, baik secara cuma-cuma maupun dengan penggantian berupa uang.<br />

2. Pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak akan mempunyai akibat hukum<br />

dan semua tindakan yang perlu, termasuk perundang-undangan, wajib diambil<br />

untuk menetapkan usia minimum untuk kawin dan untuk mewajibkan pendaftaran<br />

perkawinan di Kantor Catatan Sipil yang resmi.<br />

94 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Lampiran •<br />

BAGIAN V<br />

Pasal 17<br />

1. Untuk menilai kemajuan yang telah dibuat pada implementasi Konvensi yang<br />

sekarang ini, dibentuk suatu Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita<br />

[Commite <strong>CEDAW</strong>, selanjutnya disebut Komite]. Pada waktu Konvensi ini mulai<br />

berlaku, Komite terdiri dari delapan belas orang dan setelah Konvensi ini<br />

diratifikasi atau dilakukan aksesi oleh negara peserta ketiga puluh lima, terdiri<br />

dari dua puluh tiga orang ahli yang bermartabat tingggi dan kompoten di bidang<br />

yang dicakup oleh Konvensi ini. Ahli-ahli ini akan dipilih oleh negara-negara<br />

peserta di antara warga negaranya dan bertindak dalam kapasitas pribadi<br />

mereka, dengan mempertimbangkan distribusi geografis yang tepat dan<br />

mempertimbangkan unsur-unsur dari berbagai bentuk peradababn manusia<br />

dan hukum utama yang berlaku.<br />

2. Anggota-anggota Komite dipilih dengan jalan pemungutan suara secara rahasia<br />

dari daftar nama orang-orang yang dicalonkan oleh negara-negara peserta.<br />

Setiap negara peserta mencalonkan seorang di antara warganegaranya sendiri.<br />

3. Pemilihan pertama diadakan enam bulan setelah tanggal mulai berlakunya<br />

Konvensi. Sekurang-kurangnya tiga bulan sebelum tanggal setiap pemilihan,<br />

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirimkan surat kepada<br />

negara-negara peserta, mengundang mereka untuk mengajukan pencalonan<br />

mereka dalam waktu dua bulan. Sekretaris Jenderal mempersiapkan daftar<br />

menurut urutan dari semua orang yang dicalonkan itu, dengan mencantumkan<br />

nama peserta yang telah mencalonkan mereka, dan menyampaikan daftar itu<br />

kepada negara peserta;<br />

4. Pemilihan para anggota Komite diadakan pada suatu rapat antar negara-negara<br />

peserta yang diundang oleh Sekretaris Jenderal di Markas Besar Perserikatan<br />

Bangsa-Bangsa. Pada rapat tersebut, dua pertiga dari negara-negara yang<br />

terpilih untuk Komite itu adalah calon-calon yang memperoleh jumlah suara<br />

terbesar dan mayoritas mutlak dari suara para wakil negara-negara peserta<br />

yang hadir yang memberikan suara.<br />

5. Para anggota Komite dipilih untuk masa jabatan empat tahun. Namun, masa<br />

jabatan sembilan orang di antara anggota yang dipilih pada pemilihan pertama<br />

habis waktunya setelah dua tahun berakhir, segera setelah pemilihan pertama,<br />

nama-nama kesembilan anggota ini dipilih melalui undian oleh Ketua Komite.<br />

6. Pemilihan lima orang anggota Komite tambahan diadakan sesuai dengan<br />

ketentuan ayat (2) (3) dan (4) pasal ini, setelah ratifikasi atau aksesi yang<br />

ketiga puluh lima. Masa jabatan dua orang di antara anggota-anggota tambahan<br />

yang dipilih pada kesempatan ini habis waktunya setelah dua tahun berakhir,<br />

nama-nama kedua anggota ini dipilih melalui undian oleh ketua Komite.<br />

7. Untuk mengisi lowongan yang timbul secara insidentil, negara-negara peserta<br />

yang ahlinya berhenti berfungsi sebagai anggota, Komite menunjuk ahli lain<br />

dari antara warganegara yang harus disetujui oleh Komite.<br />

8. Anggota Komite dengan persetujuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa,<br />

akan menerima tunjangan-tunjangan dari sumber-sumber Perserikatan Bangsa-<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

95


• Lampiran •<br />

Bangsa menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh Majelis, mengingat<br />

pentingnya tanggung jawab Komite.<br />

9. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan pegawai-pegawai<br />

dan fasilitas yang diperlukan bagi pelaksanaan efektif fungsi-fungsi Komite di<br />

bawah Konvensi ini.<br />

Pasal 18<br />

1. Negara-negara peserta yang menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal<br />

Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk dipertimbangkan oleh Komite laporan<br />

mengenai peraturan-peraturan legistatif, judikatif, administratif atau langkahlangkah<br />

lain yang telah diambil untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan dari<br />

Konvensi yang sekarang ini dan laporan-laporan mengenai kemajuan yang<br />

dicapai :<br />

a. Dalam satu tahun setelah mulai berlaku untuk negara yang bersangkutan;<br />

dan<br />

b. Sesudah itu sekurang-kurangnya tiap empat tahun dan selanjutnya sewaktuwaktu<br />

sesuai permintaan Komite.<br />

2. Laporan dapat memuat faktor dan kesulitan yang mempengaruhi tingkat<br />

pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang terdapat didalam Konvensi ini.<br />

Pasal 19<br />

1. Komite wajib membuat peraturan-peraturan prosedurnya sendiri.<br />

2. Komite wajib memilih pejabat-pejabatnya unruk masa jabatan dua tahun.<br />

Pasal 20<br />

1. Komite wajib tiap tahun mengadakan pertemuan untuk jangka waktu tidak lebih<br />

dari dua minggu guna mempertimbangkan laporan-laporan yang diajukan sesuai<br />

dengan pasal 18 Konvensi ini.<br />

2. Pertemuan Komite tersebut pada ayat (1) diadakan di Markas Besar Perserikatan<br />

Bangsa-Bangsa atau tempat lain sesuai dengan keputusan Panitia.<br />

Pasal 21<br />

1. Komite, melalui Dewan Ekonomi dan Sosial, setiap tahun wajib melapor kepada<br />

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai kegiatannya serta dapat<br />

memberi saran-saran dan rekomendasi umum berdasarkan penelitian laporanlaporan<br />

dan keterangan yang diterima dari negara-negara peserta. Saransaran<br />

dan rekomendasi umum tersebut wajib dimasukkan dalam laporan Komite<br />

bersama-sama dengan tanggapan, jika ada, dari negara-negara peserta.<br />

2. Sekretaris Jenderal wajib mengirim laporan-laporan Komite kepada Komisi<br />

Kedudukan Wanita, untuk diketahui.<br />

96 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Lampiran •<br />

Pasal 22<br />

Badan-badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa berhak untuk diwakili sesuai dengan<br />

lingkup kegiatan mereka pada waktu dipertimbangkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan<br />

konvensi ini. Komite dapat memintanya badan-badan khusus tersebut untuk<br />

menyerahkan laporan mengenai pelaksanaan Konvensi yang termasuk lingkup kegiatan<br />

mereka.<br />

BAGIAN VI<br />

Pasal 23<br />

Adapun dalam Konvensi ini tidak akan mempengaruhi ketentuan manapun yang lebih<br />

baik bagi tercapainya persamaan antara pria dan wanita yang mungkin terdapat :<br />

a. Dalam perundang-undangan suatu negara peserta; atau<br />

b. Dalam Konvensi, perjanjian atau persetujuan internasional manapun yang<br />

berlaku bagi negara itu.<br />

Pasal 24<br />

Negara-negara peserta mengusahakan untuk mengambil segala langkah yang perlu<br />

pada tingkat nasional yang ditujukan pada tercapainya perwujudan sepenuhnya dari<br />

hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini.<br />

Pasal 25<br />

1. Konvensi ini terbuka untuk penandatanganan oleh semua negara.<br />

2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa ditunjuk sebagai penyimpan<br />

Konvensi ini.<br />

3. Konvensi ini perlu diratifikasi. Instrumen-instrumen ratifikasi disimpan pada<br />

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.<br />

4. Konvensi ini terbuka untuk aksesi oleh semua negara. Aksesi berlaku dengan<br />

penyimpanan instrumen aksesi pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-<br />

Bangsa.<br />

Pasal 26<br />

1. Permintaan untuk merevisi Konvensi ini dapat diajukan sewaktu-waktu oleh<br />

setiap negara peserta dengan pemberitahuan tertulis yang dialamatkan kepada<br />

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.<br />

2. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa apabila perlu menentukan langkahlangkah<br />

yang akan diambil bertalian dengan permintaan tersebut.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

97


• Lampiran •<br />

Pasal 27<br />

1. Konvensi ini mulai berlaku pada hari ketigapuluh setelah tanggal disimpankannya<br />

instrumen ratifikasi atau instrumen aksesi yang keduapuluh pada Sekretaris<br />

Perserikatan Bangsa-Bangsa.<br />

2. Bagi setiap Negara yang meratifikasi Konvensi ini atau yang melakukan aksesi<br />

setelah penyimpanan instrumen ratifikasi atau instrumen aksesi yang<br />

keduapuluh, Konvensi ini mulai berlaku pada hari ketigapuluh tanggal<br />

disimpankannya instrumen ratifikasi atau instrumen aksesinya sendiri.<br />

Pasal 28<br />

1. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima dan mengedarkan<br />

kepada semua negara naskah keberatan-keberatan yang dibuat oleh negaranegara<br />

pada waktu ratifikasi atau aksesi.<br />

2. Keberatan yang bertentangan dengan sasaran dan tujuan Konvensi ini tidak<br />

diijinkan.<br />

3. Keberatan-keberatan sewaktu-waktu dapat ditarik kembali dengan<br />

memberitahukannya kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa<br />

yang kemudian memberitahukan hal tersebut kepada semua negara.<br />

Pasal 29<br />

1. Setiap perselisihan antara dua atau lebih negara peserta mengenai penafsiran<br />

atau penerapan Konvensi ini tidak diselesikan melalui perundingan, diajukan<br />

untuk arbitrasi atas permohonan salah satu diantara negara-negara tersebut.<br />

Jika dalam enam bulan sejak tanggal permohonan untuk arbitrasi itu, salah satu<br />

dari pihak-pihak tersebut dapat menyerahkan perselisihan itu kepada Mahkamah<br />

Internasional melalui permohonan yang sesuai dengan Peraturan Mahkamah<br />

itu.<br />

2. Setiap negara peserta pada waktu penandatanganan atau ratifikasi Konvensi<br />

ini atau pada waktu aksesi dapat menyatakan bahwa negara peserta itu tidak<br />

menganggap dirinya terikat oleh ayat (1) pasal ini, negara-negara peserta lain<br />

tidak akan terikat oleh ayat itu terhadap negara peserta yang telah membuat<br />

keberatan demikian.<br />

3. Negara peserta yang telah mengajukan keberatan seperti tersebut pada ayat<br />

(2) pasal ini sewaktu-waktu dapat menarik kembali keberatannya dengan jalan<br />

pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.<br />

Pasal 30<br />

Konvensi ini, yang naskahnya dibuat dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis,<br />

Rusia, dan Spanyol, mempunyai kekuatan yang sama dan wajib disimpan pada Sekretaris<br />

Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.<br />

Demikianlah yang bertandatangan dibawah ini, diberikan kuasa sebagaimana mestinya,<br />

telah menandatangani Konvensi ini.<br />

98 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Portal berita perempuan pertama<br />

di Indonesia dengan corak<br />

jurnalisme yang sensitif gender,<br />

kami ingin menampilkan<br />

kesetaraan dalam aktualitas.<br />

Ikuti:<br />

• Berita perempuan terkini<br />

• Profil tokoh perempuan<br />

• Artikel perempuan<br />

• Feature perempuan<br />

• Agenda-agenda YJP terbaru<br />

• Konselling<br />

• Produk-produk YJP<br />

• Program-Program YJP<br />

• dsb


100 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Topik Empu •<br />

Pemenuhan<br />

Hak-Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />

Sejauh Manakah?<br />

Ani Soetjipto<br />

“ Those societies which have given equal access to women and<br />

men in economic and political opportunities have progressed<br />

much faster than those which denied such access. Gender equality<br />

is necessary condition for sound human development” -Mahbub<br />

Ul Haq- 1<br />

Indonesia selama ini telah memiliki catatan panjang dalam upaya<br />

pemberdayaan perempuan melalui berbagai ketentuan dalam<br />

undang-undang. Jika ditelusuri, ketentuan dalam UUD 19<strong>45</strong> secara<br />

formal sebenarnya telah menjamin partisipasi perempuan Indonesia<br />

dalam arena politik. Amatilah pasal-pasal yang tertuang dalam UUD <strong>45</strong>,<br />

terlihat bahwa negara menolak diskriminasi dalam bentuk apapun<br />

terhadap warga negaranya, bahwa negara mengakui hak dasar setiap<br />

warga negara. Selain itu, negara juga ‘memberi perlakuan khusus’<br />

(affirmative action) agar setiap warga negara memperoleh kesempatan dan<br />

manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Hak-hak<br />

politik warga negara antara lain tercantum dalam pasal 27 (1), 28 E (3),<br />

dan 28 H (2).<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

101


Pemenuhan Hak-Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />

Sejauh Manakah?<br />

Ani Soetjipto<br />

Pada tahun 1952, Indonesia meratifikasi Konvensi PBB mengenai<br />

hak politik perempuan (UN Convention on Political Rights of Women)<br />

melalui UU No. 68 tahun 1958, di masa pemerintahan Presiden Soekarno.<br />

Undang-undang ini memberikan perempuan hak untuk memilih dan<br />

dipilih dalam lembaga legislatif negara.<br />

Pada tahun 1984, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto,<br />

Indonesia kembali meratifikasi Konvensi PBB mengenai Penghapusan<br />

terhadap Segala Bentuk Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong> (UN<br />

Convention on the Elimination of All Form of Discrimination against Women<br />

disingkat <strong>CEDAW</strong>) melalui UU No. 7/1984.<br />

Selanjutnya, tahun 1999 pemerintahan Presiden Habibie meratifikasi<br />

Optional Protocol of the Women Convention (OP-<strong>CEDAW</strong>). OP-<strong>CEDAW</strong><br />

adalah instrumen hak asasi manusia yang melengkapi konvensi <strong>CEDAW</strong><br />

dengan menetapkan dua prosedur tambahan yang bertujuan untuk<br />

memberikan kesempatan mendapatkan keadilan bagi perempuan di<br />

tingkat internasional. OP-<strong>CEDAW</strong> menetapkan dua prosedur tambahan<br />

yaitu prosedur komunikasi dan investigasi yang bertujuan untuk<br />

menunjukkan adanya pelanggaran terhadap hak asasi perempuan. Sejak<br />

saat itu memang pemerintah Indonesia melakukan upaya serius<br />

memperbaiki kebijakan pemberdayaan perempuan melalui strategi<br />

“pengarusutamaan gender”(gender mainstreaming).<br />

Pada Februari 2003, Indonesia kembali mengadopsi kebijakan kuota<br />

yang bersifat sukarela dalam UU No. 12/2003 yang berkaitan dengan<br />

Pemilu, sebagai upaya untuk meningkatkan partisipasi politik<br />

perempuan.<br />

Terlepas dari semua ketentuan tersebut pada kenyataannya<br />

partisipasi politik perempuan dan hak-hak politik perempuan masih<br />

sangat terbatas dan jauh tertinggal atau jauh dari target sebagaimana<br />

yang dicanangkan dalam Konferensi <strong>Perempuan</strong> Dunia di Beijing tahun<br />

1995 (Beijing Platform for Action). Lalu bagaimana pelaksanaannya hingga<br />

kini?<br />

Tulisan berikut ini akan membahas situasi empirik yang berkaitan<br />

dengan pemenuhan hak-hak perempuan dalam partisipasinya di bidang<br />

politik di Indonesia.<br />

Data dan Fakta <strong>Perempuan</strong> di Lembaga Legislatif<br />

Tabel di bawah ini (tabel 1) menunjukkan bahwa perempuan yang<br />

102<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Ani Soetjipto<br />

Pemenuhan Hak-Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />

Sejauh Manakah?<br />

duduk di lembaga legislatif di tingkat nasional, tercatat hanya sekitar<br />

11,82%. Sementara di tingkat provinsi (lihat tabel 2) dan kabupaten/<br />

kota jumlahnya lebih kecil lagi hanya sekitar 10% di DPRD I dan 8% di<br />

DPRD II. Jumlah perempuan di DPD cukup tinggi (21,1%). Dalam badan<br />

legislatif dua kamar (DPR dan DPD) representasi perempuan di MPR<br />

tercatat 16,46%. Walaupun keterwakilan perempuan di DPD cukup<br />

tinggi, namun wewenang yang dimainkan DPD masih sangat terbatas<br />

dan lebih sempit dibandingkan dengan DPR, sehingga terkesan hanya<br />

berfungsi ‘setengah kamar’ saja. 2<br />

Tabel 1.<br />

<strong>Perempuan</strong> dalam Lembaga Legislatif (DPR- RI) 2005<br />

Partai <strong>Perempuan</strong> Laki-laki Jumlah<br />

Golkar ( Golongan Karya) 20 100 120<br />

PDI-P ( Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) 13 96 109<br />

PPP ( Partai Persatuan Pembangunan) 4* 54 58<br />

Partai Demokrat 6 51 57<br />

PKB ( Partai Kebangkitan Bangsa) 7 <strong>45</strong> 52<br />

PAN ( Partai Amanat Nasional) 7 46 53<br />

PKS ( Partai Keadilan Sejahtera) 3 42 <strong>45</strong><br />

PBR ( Partai Bintang Reformasi) 2 12 14<br />

PDS ( Partai Damai Sejahtera) 3 10 13<br />

Partai Pelopor 1 2 3<br />

JUMLAH 65(11,82%) 485(88,15%) 550 (100%)<br />

Sumber: CETRO, 2005<br />

· tidak termasuk data dari Papua Barat, Kalimantan Tengah, Maluku.<br />

Tabel 2.<br />

Representasi <strong>Perempuan</strong> di DPR-RI, DPRD I, DPRD II dan DPD<br />

Institusi <strong>Perempuan</strong> Laki-laki Jumlah<br />

DPR-RI** 65 (11,82%) 485 (88,15%) 550<br />

DPD 27 (21,1%) 101 (78,9%) 128<br />

DPRD I ( Pripinsi) 188 (10%) 1662 (90%) 1850<br />

DPRD II ( Kabupaten/kota) 1090 (8%) 12046 (92%) 13.125<br />

Sumber: CETRO, 2005<br />

· ** 4 anggota baru perempuan menggantikan Suryadharma Ali, Fahmi Idris, Pramono Anung dan<br />

kemenangan hasil keputusan sengketa Pemilu di Irjabar untuk partai Pelopor.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

103


Pemenuhan Hak-Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />

Sejauh Manakah?<br />

Ani Soetjipto<br />

<strong>Perempuan</strong> di Lembaga Eksekutif<br />

Data-data berikut ini menunjukkan bahwa dilihat dari sisi kuantitas,<br />

partisipasi politik perempuan di bidang politik dan pengambilan<br />

keputusan memang masih sangat rendah, walaupun jika kita amati<br />

rangkaian panjang undang-undang dan ketentuan internasional yang<br />

telah diadopsi di Indonesia, Indonesia termasuk negara yang cukup<br />

maju merespon berbagai tuntutan internasional yang berkaitan dengan<br />

pemajuan hak-hak politik perempuan.<br />

Tabel 3.<br />

<strong>Perempuan</strong> yang Terpilih sebagai Bupati/Wakil Bupati,<br />

Walikota/Wakil Walikota hasil Pilkada 2005<br />

No. Propinsi Kabupaten/kota Tanggal Terpilih Dukungan partai<br />

1. JATENG Kebumen 05-Juni Rustriningsih dan PDI-P<br />

M Nasirudin<br />

Al Mansyur<br />

2. DIY Gunung Kidul 26 Juni Soeharto dan PAN<br />

Ny Badingah<br />

3. JATIM Banyuwangi 20 Juni Ratna Ani Lestari Koalisi 18 parpol<br />

dan Yusuf Nuris kecil<br />

4. SULUT Minahasa Utara 20 Juni Vonny Panambunan PD dan PKPI<br />

dan Sonya Singai<br />

5. SULUT Tomohon 20 Juni Jeferson Rumajan PNBK, PKPB, PPD,<br />

dan Lineke W dll<br />

6. MALUKU Seram Timur 23 Juni Abdullah Vanath PKPB, PKS, PKPI<br />

dan Siti Umuria<br />

Sumber: CETRO, 2005<br />

Jumlah perempuan dalam kabinet Indonesia bersatu di bawah<br />

presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini pada akhirnya adalah hanya<br />

11,11 % dari total keseluruhan 36 anggota.<br />

Tabel 4.<br />

<strong>Perempuan</strong> dalam Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudoyono(2005–2009)<br />

No. Nama<br />

Kementrian<br />

1. Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan<br />

2. Mari Elka Pangestu Menteri Perdagangan<br />

3. Siti Fadilah Supari Menteri Kesehatan<br />

4 Meutia Farida Hatta Swasono Menteri Pemberdayaan <strong>Perempuan</strong><br />

104<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Ani Soetjipto<br />

Pemenuhan Hak-Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />

Sejauh Manakah?<br />

Namun demikian, dari data-data yang telah dijabarkan tetap terlihat<br />

adanya jurang yang begitu lebar antara ketentuan formal dengan<br />

implementasi. Mengapa? Sebuah studi yang dilakukan oleh FES<br />

(Friedrich Ebert Stiftung) dan menganalisa tentang partisipasi perempuan<br />

dalam bidang politik dan pengambilan keputusan di lima negara <strong>Asia</strong><br />

(Kamboja, Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand) 3 memperoleh<br />

temuan menarik atas persoalan ini.<br />

Pertama adalah tidak ada satu pun negara di <strong>Asia</strong> yang menjadi objek<br />

penelitian, mampu mencapai angka keterwakilan yang mendekati 30%<br />

seperti yang tertuang dalam berbagai advokasi internasional yang<br />

dilakukan setelah Deklarasi Beijing di tahun 1995. Di Indonesia, kita<br />

melihat hanya ada sedikit kenaikan di tahun 2004 tapi hasil dari Pilkada<br />

(Pemilihan Kepala Daerah) menunjukkan bahwa kita layak cemas bahwa<br />

proses desentralisasi demokratisasi di Indonesia terlihat semakin<br />

menjauhkan perempuan dari posisi-posisi kunci sebagai pengambil<br />

keputusan di tingkat lokal.<br />

Kedua, hambatan sosial budaya<br />

masih menjadi kendala terbesar bagi<br />

perempuan untuk dapat berpartisipasi<br />

di bidang politik. Budaya<br />

patriarkhi masih menjadi kendala<br />

yang ditemukan di semua negara<br />

<strong>Asia</strong>, dan pandangan-pandangan<br />

tersebut diyakini tidak saja oleh<br />

banyak laki-laki tetapi juga sebagian<br />

perempuan sebagai suatu<br />

kebenaran. Di Indonesia kendala<br />

budaya ini semakin diperkuat<br />

dengan interpretasi ajaran agama. Kita menyaksikan desentralisasi<br />

demokrasi di banyak daerah kembali memarjinalkan perempuan dan<br />

menciptakan aturan-aturan hukum yang membatasi kembali peran<br />

publik dari perempuan. Justifikasi mempertahankan adat dan budaya<br />

lokal/asli yang selalu dikemukakan sebagai alasan.<br />

Ketiga, transisi demokrasi yang berlangsung di negara-negara <strong>Asia</strong><br />

termasuk Indonesia, walaupun di satu sisi berhasil melakukan reformasi<br />

hak-hak politik perempuan lewat penataan ulang mekanisme ketatanegaraan<br />

melalui reformasi konstitusi maupun perundang-undangan<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

Foto: Dok. YJP<br />

105


Pemenuhan Hak-Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />

Sejauh Manakah?<br />

Ani Soetjipto<br />

nasional, tapi di sisi lain juga gagal melakukan perubahan substansial<br />

dalam proses demokratisasi yang berjalan. Yang banyak terjadi adalah<br />

demokrasi prosedural bukan demokrasi substansial. Di Indonesia<br />

walaupun kebijakan affirmative terhadap perempuan dapat diadopsi,<br />

namun hanya berhenti pada tingkat wacana dan tidak untuk<br />

diimplementasikan. Kendala terbesar adalah partai politik yang belum<br />

sepenuhnya berubah dan aktor-aktor politik yang masih didominasi<br />

oleh banyak ‘pemain lama’.<br />

Keempat, isu perempuan dan politik masih menjadi isu yang datang<br />

dan hilang dalam gerakan perempuan di banyak negara <strong>Asia</strong> termasuk<br />

Indonesia. Isu perempuan, politik dan pengambilan keputusan belum<br />

menjadi arus utama dari fokus gerakan perempuan. Di Indonesia, kita<br />

menyaksikan betapa gerakan perempuan sangat majemuk yang dapat<br />

dilihat dari isu dan strategi yang beragam untuk memperjuangkan hakhak<br />

politik perempuan. Tingkat perjuangan mereka juga berada di<br />

berbagai permukaan di tingkat makro atau strategis maupun di lingkup<br />

mikro atau kepentingan praktis perempuan. Memang tidak ada yang<br />

salah, mengingat masalah perempuan begitu beragam, kompleks dan<br />

parah. Tapi sisi buruknya adalah gerakan politik perempuan acapkali<br />

menjadi tidak produktif. Semua ingin ditangani, dan kenyataannya<br />

memang banyak yang tak tertangani.<br />

Kelima, di lima negara <strong>Asia</strong> yang menjadi objek penelitian,<br />

pemerintahannya masih melihat isu perempuan sebagai persoalan<br />

kesejahteraan (welfare) yang erat berkaitan dengan pengentasan<br />

kemiskinan dan perlindungan bagi kelompok-kelompok marjinal.<br />

Program anti kekerasan terhadap perempuan, perdagangan perempuan<br />

dan anak, kesehatan, pendidikan, adalah contoh konkret dari isu-isu<br />

kesejahteraan yang dianggap menjadi isu perempuan yang penting di<br />

banyak negara. Di semua negara <strong>Asia</strong> termasuk Indonesia, pemerintah<br />

masih belum sampai pada upaya pemberdayaan politik perempuan serta<br />

mewujudkan keadilan bagi perempuan sebagai arus utama program<br />

pemberdayaan perempuan. Dalam isu welfare yang dijadikan sebagai<br />

sandaran pun kita melihat bahwa alokasi dana yang tersedia untuk menjalankan<br />

program-program tersebut sangat minim dan jauh dari memadai.<br />

Keenam, jalan menuju partisipasi yang adil dalam bidang politik dan<br />

pengambilan keputusan masih menjadi tantangan berat yang harus<br />

dilalui. Jalan ini menjadi tidak mudah ketika ternyata, ikatan antara<br />

106<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Ani Soetjipto<br />

Pemenuhan Hak-Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />

Sejauh Manakah?<br />

perempuan yang berada di posisi pengambilan keputusan dengan<br />

mereka yang di luar juga ternyata tidak berkesinambungan. Cita-cita<br />

yang tadinya diusung adalah dengan adanya sejumlah perempuan di<br />

posisi pengambilan keputusan, kita berharap mereka bisa lebih baik<br />

memperjuangkan kepentingan perempuan dengan asumsi bahwa<br />

sebagai perempuan mereka juga memiliki pengalaman yang sama<br />

sehingga dapat mudah mengerti. Harapan itu tinggal harapan. Banyak<br />

sekali perempuan di posisi pengambilan keputusan yang ternyata tidak<br />

pernah memikirkan dan memperjuangkan apa yang menjadi kepentingan<br />

mayoritas masyarakat.<br />

Penutup<br />

Dari sejumlah data yang disajikan dan uraian persoalan partisipasi<br />

perempuan dalam politik di <strong>Asia</strong> dan Indonesia, terutama, dalam<br />

meninjau sejauhmana implementasi <strong>CEDAW</strong> di negeri ini, maka kita<br />

perlu mengambil langkah strategis. Yaitu dalam rangka memajukan<br />

hak-hak politik perempuan di Indonesia dimana pemerintah kita ikut<br />

menandatangani konvensi <strong>CEDAW</strong> tersebut. Langkah strategis yang<br />

penting untuk dilakukan adalah beberapa pertanyaan yang harus<br />

terjawab berikut ini.<br />

Pertama, apakah kita lebih baik mempunyai ‘sedikit perempuan’ di<br />

posisi pengambilan keputusan tetapi mereka mempunyai kapasitas dan<br />

kepekaan daripada ‘lebih banyak perempuan’ tetapi tidak menjalankan<br />

mandat yang diembannya untuk mengakomodasi kepentingan<br />

perempuan? Dengan kata lain, apakah lebih baik kualitas atau kapasitas<br />

daripada mengejar jumlah atau kuantitas?<br />

Kedua, apakah memang menjadi lebih strategis bersekutu dengan<br />

laki-laki yang mengerti persoalan perempuan daripada terus berteriak<br />

kepentingan perempuan yang hanya dapat dipahami oleh perempuan?<br />

Dengan kata lain, yang penting adalah ‘perspektifnya gender-nya’<br />

daripada ‘jenis kelaminnya’.<br />

Ketiga, di tengah kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat pada<br />

elit politik, partai politik, dan beban ekonomi mereka yang semakin hari<br />

semakin berat, masih adakah peluang agar masyarakat dapat percaya<br />

pada kandidat perempuan sehingga akan memilih perempuan pada<br />

pemilu mendatang, serta apakah masyarakat tidak apatis terhadap<br />

politik?<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

107


Pemenuhan Hak-Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />

Sejauh Manakah?<br />

Ani Soetjipto<br />

Keempat, bagaimana pendidikan politik warga harus dijalankan di<br />

berbagai kelompok sasaran yang berbeda dan sangat majemuk serta<br />

heterogen dilihat dari sisi ekonomi, status sosial, lapangan kerja,<br />

pendidikan serta mengajarkan berbagai kebajikan nilai-nilai demokrasi<br />

yang lebih baik dari pada melalui sistem yang otoritarianisme?<br />

Kelima, bagaimana instrumen demokrasi harus di bangun di<br />

Indonesia, mengingat instrumen demokrasi seperti partai politik, belum<br />

menjadi instrumen pendukung untuk pemajuan demokrasi itu sendiri.<br />

Tantangan demokrasi di Indonesia juga mengalami ancaman dengan<br />

fenomena korupsi, primordialisme, dominasi eksekutif dan hilangnya<br />

peran pengawasan dan penyeimbang dari<br />

lembaga legislatif serta keterbatasan peran<br />

yang bisa dimainkan oleh kelompok<br />

masyarakat sipil di Indonesia. Di tengah<br />

defisit-nya demokrasi tersebut, dan peluang<br />

kembalinya pemerintahan presidensial<br />

yang sangat kuat, peluang untuk<br />

melakukan pembatasan terhadap peran<br />

publik dan peran politik perempuan akan<br />

semakin mudah dijalankan.<br />

Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul<br />

sebagai strategi ke depan karena<br />

setelah melihat fenomena politik kontemporer<br />

yang terjadi di Indonesia serta<br />

kenyataan di lapangan bahwa ternyata<br />

banyak sekali wakil-wakil rakyat kita yang<br />

perempuan juga sangat mengecewakan<br />

dan tidak bisa memenuhi harapan. Tidak<br />

sedikit perempuan politisi yang ternyata juga bagian dari politisi busuk<br />

yang sibuk mementingkan diri sendiri dan lupa dengan amanat<br />

konstituen yang diwakilinya. Mereka ikut terlibat korupsi, penyalahgunaan<br />

kekuasaan dan berbagai tindakan tak terpuji lainnya. Kapasitas<br />

kebanyakan dari mereka juga sangat rendah untuk dapat menjalankan<br />

fungsi yang mereka emban. Saat ini kita dihadapkan pada pilihan -<br />

pilihan yang serba tidak mudah dan sulit mendapatkan semua yang<br />

ideal, yang kita kehendaki. Maka dalam hal implementasi <strong>CEDAW</strong><br />

tentang hak-hak politik perempuan, kita harus memikirkan kendala-<br />

108<br />

Foto: Dok. YJP<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Ani Soetjipto<br />

Pemenuhan Hak-Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />

Sejauh Manakah?<br />

kendala tersebut, terutama setelah keterwakilan perempuan 30%<br />

diterapkan dan hampir tak memetik harapan untuk kepentingan<br />

perempuan sendiri.<br />

Catatan Belakang<br />

1<br />

Mahbub ul Haq adalah ahli ekonomi dari Pakistan, salah satu pendiri tentang teori<br />

Human Development. Ia adalah teman pribadi dari Amartya Sen ketika belajar di<br />

Cambridge University. Ia juga membuat Human Development Index, yang digunakan<br />

untuk laporan tahunan Pengembangan Program Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia juga<br />

pernah menjabat Direktur Perencanaan Kebijakan Bank Dunia. Pernyataannya ini<br />

mengatakan bahwa negara yang maju secara ekonomi dan politik, indikatornya dapat<br />

dilihat dari terpenuhinya hak-hak perempuan dan relasi yang setara antara laki-laki<br />

dan perempuan.<br />

2<br />

Data yang diambil dari Centre for Electoral Reform (Cetro) atau Yayasan Pusat<br />

Reformasi Pemilu tahun 2005, lihat informasi lainnya di www.cetro.or.id.<br />

3<br />

Tema ini terangkum dalam buku <strong>Southeast</strong> <strong>Asia</strong>n Women in Politics and Decision<br />

Making: Ten Years After Beijing: Gaining Ground? (Manila: SEAWatch and<br />

Friedrich Ebert Stiftung , 2 nd edition, July 2005).<br />

Ikuti <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> edisi 46 mendatang dengan tema<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

109


• Topik Empu •<br />

Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong><br />

dan Anak Melalui Konvensi<br />

Magdalena Sitorus<br />

Bagaimana sebuah konvensi lahir sesungguhnya adalah hasil dari<br />

pengamatan dan proses panjang dalam menjawab kebutuhan<br />

nyata masyarakat secara universal, untuk mewujudkan keadilan,<br />

meskipun secara umum untuk mencapai keadilan tersebut akan selalu<br />

berbenturan dengan persoalan budaya dimana budaya yang terlanjur<br />

terbentuk cenderung menerapkan sebaliknya (sesuatu yang justru<br />

mengarah pada ketidakadilan).<br />

Dalam hal ini, kita akan membahas bagaiamana terdapat dua kelompok<br />

masyarakat yang paling rentan mengalami ketidakadilan di dunia<br />

manapun (terutama negara berkembang) yaitu anak dan perempuan<br />

(selain lansia, masyarakat etnis tertentu yang dipinggirkan, kelompok<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

111


Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />

Melalui Konvensi<br />

Magdalena Sitorus<br />

seks minoritas, orang-orang cacat, dan masyarakat yang kesulitan<br />

ekonomi). Tulisan berikut ini sengaja memusatkan perhatian pada<br />

masalah perempuan dan anak, sebab satu dengan lainnya sangatlah<br />

berkaitan dimana secara alami anak akan lahir dari kandungan ibu,<br />

dan ibu itu sendiri adalah jenis kelamin perempuan. Bahwa kedua<br />

kelompok yang menjadi bagian dari masyarakat ini sangat erat berkaitan<br />

satu sama lain.<br />

Atas persoalan kerentanan perempuan dan anak ini, perlu kita<br />

merujuk dua konvensi internasional, yaitu Konvensi Hak Anak dan<br />

<strong>CEDAW</strong> (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap<br />

<strong>Perempuan</strong>).<br />

Menengok Masalah Anak dan <strong>Perempuan</strong><br />

Siapakah yang disebut anak? Ia mencakup anak laki-laki dan<br />

perempuan yang berusia di bawah umur 18 tahun. Sementara dalam<br />

Konvensi Hak Anak dan <strong>Perempuan</strong> menjadi mencakup segala usia<br />

karena konvensi ini membicarakan anak perempuan dan perempuan<br />

dewasa, tetapi tidak ada konvensi yang mengatur khusus tentang hak<br />

laki-laki. Tidak adanya konvensi tentang hak laki-laki karena banyak<br />

kasus yang menunjukkan persentase laki-laki sebagai korban<br />

ketidakadilan secara mendasar sangat kecil, karena justru pada<br />

kenyataannya kelompok masyarakat laki-laki memegang peranan<br />

pencipta ketidakadilan dalam sosial, politik, ekonomi maupun budaya,<br />

mengingat ruang publik memang telah lama dikuasai oleh kaum lakilaki.<br />

Namun demikian, mengapa ketidakadilan itu terjadi bukan pula<br />

kesalahan semata-mata ditumpahkan kepada mereka.<br />

<strong>CEDAW</strong> yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979<br />

sebetulnya jauh sebelum muncul Konvensi Hak Anak. Munculnya<br />

konvensi <strong>CEDAW</strong> dilatarbelakangi oleh terkumpulnya data mengenai<br />

perempuan di seluruh dunia yang menunjukkan statistik mengejutkan<br />

tentang perbedaan ekonomi dan sosial antara laki-laki dan perempuan.<br />

<strong>Perempuan</strong> merupakan golongan mayoritas dari orang miskin di dunia,<br />

dan jumlah perempuan yang hidup di desa-desa miskin telah meningkat<br />

50% sejak tahun 1975. <strong>Perempuan</strong> juga merupakan mayoritas<br />

penyandang buta huruf di dunia. Jumlahnya meningkat dari 543 juta<br />

menjadi 597 juta antara tahun 1970 sampai 1985. <strong>Perempuan</strong> di <strong>Asia</strong><br />

dan Afrika setiap minggu bekerja 13 jam lebih banyak daripada kaum<br />

112<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Magdalena Sitorus<br />

Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />

Melalui Konvensi<br />

laki-laki dan sebagian besar tidak mendapat bayaran. Diseluruh dunia<br />

penghasilan perempuan berkisar antara 30 sampai 40 persen lebih rendah<br />

daripada laki-laki untuk suatu pekerjaan yang sama. Bahkan hampir di<br />

seluruh dunia hanya 10 sampai 20 persen jabatan manajerial dan<br />

administrasi di pegang oleh perempuan dan kurang dari 20 persen untuk<br />

jabatan di pabrik. Dan hal lainnya, kurang dari 5% perempuan yang<br />

menjadi Kepala Negara. Pekerjaan perempuan di rumah dan dalam<br />

lingkup keluarga tidak dibayar dan apabila pekerjaan ini diperhitungkan<br />

sebagai produktivitas nasional maka penghasilan global akan meningkat<br />

antara 25 sampai 30%. 1<br />

Oleh karena itu, dalam hal hak-hak anak, dalam <strong>CEDAW</strong> tercantum<br />

dalam berbagai pasal kata-kata kepentingan anak-anak merupakan yang<br />

tertinggi. Misalnya pada bagian I pasal 5 dinyatakan bahwa ‘Para Negara<br />

Peserta’ akan mengambil semua tindakan yang tepat untuk (a)<br />

mengurangi pola-pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan<br />

perempuan dengan tujuan menghapuskan semua prasangka dan<br />

kebiasaan dan semua praktek lain yang didasarkan pada pemikiran<br />

rendahnya atau unggulnya baik jenis kelamin ataupun pada peranperan<br />

stereotip bagi laki-laki dan perempuan, (b) menjamin bahwa<br />

pendidikan keluarga mencakup pengertian yang tepat mengenai<br />

‘keibuan’ sebagai fungsi sosial dan pengakuan terhadap tanggung jawab<br />

bersama dari laki-laki dan perempuan dalam pengasuhan dan<br />

perkembangan anak-anak mereka, karena dimengerti bahwa kepentingan<br />

anak-anak adalah merupakan pertimbangan primordial dalam semua hal.<br />

Demikian pula dalam pasal 16; (a) hak dan tanggung jawab yang<br />

sama sebagai orang tua, terlepas dari status perkawinan mereka dalam<br />

persoalan-persoalan yang berhubungan dengan anak-anak mereka,<br />

dalam semua kasus kepentingan anak-anak harus merupakan yang tertinggi,<br />

(b) hak dan tanggung jawab yang sama mengenai perlindungan,<br />

pengawasan, perwalian dan pengangkatan anak-anak atau lembagalembaga<br />

serupa dimana konsep-konsep ini ada dalam perundangundangan<br />

nasional, dalam semua kasus, kepentingan anak-anak harus<br />

merupakan yang tertinggi. 2<br />

Kemudian lahirlah Konvensi Hak Anak yang ditetapkan oleh Majelis<br />

Umum PBB 10 tahun kemudian atau pada tahun 1989, juga hasil<br />

pengamatan dan pelaporan tentang ketidakadilan yang serius yang<br />

diderita oleh anak-anak adalah; tingginya tingkat kematian anak,<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

113


Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />

Melalui Konvensi<br />

Magdalena Sitorus<br />

perawatan kesehatan yang buruk, terbatasnya kesempatan untuk<br />

memperoleh pendidikan dasar. Juga berbagai kasus tentang anak-anak<br />

yang disiksa dan dieksploitasi sebagai pekerja seksual atau dalam<br />

pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan, anak-anak dalam penjara<br />

serta anak-anak sebagai pengungsi dan korban-korban konflik<br />

bersenjata. Bahkan di dalam UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002<br />

pada Bab II tentang Asas dan Tujuan juga telah disebutkan bahwa selain<br />

UUD 19<strong>45</strong> sebagai asas, tetapi juga prinsip-prinsip dasar dalam<br />

Konvensi Hak-Hak Anak atau CRC (Convention on the Rights of the Child)<br />

yang meliputi 3 ; non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak<br />

untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaan<br />

terhadap pendapat anak. 4 Dua hal mendasar atas persoalan anak<br />

pada dua konvensi (<strong>CEDAW</strong> dan UU Perlindungan Anak) ini adalah<br />

non diskriminasi dan kepentingan yang terbaik bagi anak atau dalam kata lain<br />

kepentingan anak-anak harus merupakan yang tertinggi. Demikian pula halnya<br />

dalam UU No. 23 tahun 2004 Bab II pasal 3 tentang Asas dan Tujuan<br />

pada bagian c tentang non diskriminasi ikut ambil bagian di dalamnya.<br />

Dengan demikian dapat kita lihat bahwa munculnya peraturan baik<br />

dalam bentuk konvensi, undang-undang, peraturan ataupun lainnya<br />

karena memang ada persoalan yang ingin di atasi dengan banyaknya<br />

kasus-kasus yang ada, yaitu kondisi perempuan dan anak yang<br />

mengalami diskriminasi dan berdampak besar dalam kehidupannya.<br />

Salah satu hal yang perlu dikhawatirkan adalah kondisi mereka yang<br />

rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan. Jumlah yang banyak ini<br />

diantaranya karena perempuan dan anak mempunyai ketergantungan<br />

dalam berbagai aspek terutama ekonomi yang dikondisikan sedemikian<br />

rupa. Bahkan anak secara alami sangatlah bergantung pada orang-orang<br />

dewasa di sekelilingnya, salah satunya adalah untuk kepentingan<br />

kematangan emosionalnya. Kenyatannya anak di negeri ini tidak dilihat<br />

menjadi cikal bakal sumberdaya manusia di masa mendatang. Bahkan<br />

anak tidak dilihat sebagai sosok yang harus dididik, dilindungi baik<br />

secara fisik maupun emosionalnya.<br />

Misalnya di banyak negara miskin dalam dunia dimana teknologi<br />

terus berkembang, masih banyak perlakuan diskriminatif terhadap anak<br />

perempuan yang menyebabkan mereka mengalami kekurangan gizi<br />

ketimbang anak laki-laki. Artinya bahwa anak perempuan yang kelak<br />

akan menjadi ibu telah mengalami kekurangan gizi sejak usia dini,<br />

114<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Magdalena Sitorus<br />

Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />

Melalui Konvensi<br />

dengan pengetahuan yang minim karena akses untuk memperoleh<br />

pendidikan selain terbatas juga tidak didahulukan, tentu akan<br />

berdampak dalam melakukan pendidikan terhadap anak-anaknya. Halhal<br />

yang mendasar ini tak mungkin lagi dibayangkan untuk segera<br />

memikirkan sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan terbaik bagi anak,<br />

bahkan menghargai pendapat anak.<br />

Bahkan di dalam UU No. 23<br />

tahun 2004 yang baru-baru ini<br />

disahkan tentang Penghapusan<br />

Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />

(PKDRT) pada Bab I tentang Ketentuan<br />

Umum no.l secara jelas<br />

dinyatakan “kekerasan dalam<br />

rumah tangga adalah setiap perbuatan<br />

terhadap seseorang terutama<br />

perempuan yang berakibat<br />

pada timbulnya kesengsaraan<br />

atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran<br />

rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,<br />

pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum<br />

dalam lingkup rumah tangga.” Dalam UU ini terdapat kata terutama<br />

perempuan yang menunjukkan betapa kelompok ini sangat rentan<br />

mengalami tindak kekerasan pada ranah domestik. 5 Artinya, undangundang<br />

ini juga melingkupi anak perempuan, sebab bagian dari lingkup<br />

rumah tangga. Anak-anak kenyataannya juga rentan terhadap tindak<br />

kekerasan di dalam keluarga, seperti yang terpampang dalam tayangantayangan<br />

berita di televisi.<br />

Adapun di dalam UU PKDRT No. 23 tahun 2004 pada Bab III pasal 5<br />

disebutkan terdapat empat bentuk tindak kekerasan yaitu: pertama,<br />

kekerasan fisik dijelaskan sebagai perbuatan yang mengakibatkan rasa<br />

sakit, jatuh sakit atau luka berat, kedua, kekerasan psikis, dijelaskan<br />

sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa<br />

percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,<br />

dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Ketiga, kekerasan<br />

seksual, dijelaskan sebagai pemaksaan hubungan seksual yang<br />

dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga<br />

serta dijelaskan juga sebagai pemaksaan hubungan seksual terhadap<br />

childtrafficking.com<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

115


Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />

Melalui Konvensi<br />

Magdalena Sitorus<br />

salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk<br />

tujuan komersil dan/ atau tujuan tertentu. Keempat, penelantaran rumah<br />

tangga (identik dengan kekerasan dalam bentuk ekonomi) dijelaskan<br />

bahwa setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah<br />

tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena<br />

persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan<br />

atau pemeliharaan kepada orang tersebut dan selanjutnya dijelaskan<br />

bahwa juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan<br />

ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk<br />

bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada<br />

di bawah kendali orang tersebut.<br />

Berikut ini adalah kasus nyata yang pernah terjadi pada anak<br />

perempuan dalam lingkup rumah tangga. Ita (bukan nama sebenarnya),<br />

adalah anak perempuan berusia 14 tahun yang mengalami kekerasan<br />

dalam rumah tangga. Ia adalah putri tunggal dari pasangan Eva dan<br />

Adam (bukan nama sebenarnya). Eva dan Adam bekerja di perusahaan<br />

swasta. Rumah mereka berdekatan dengan rumah orang tua Adam yang<br />

juga tinggal bersama dengan saudara-saudara perempuannya. Usai<br />

sekolah, Ita biasanya akan ke rumah neneknya sambil menunggu kedua<br />

orang tuanya pulang atau kadangkala tinggal sendirian di rumah.<br />

Ita kemudian diketahui hamil (Ita sendiri tidak mengetahui<br />

kehamilannya pada saat itu) ketika gurunya di sekolah melihat<br />

perubahan pada diri Ita yaitu kelihatan seperti malas dan tidak<br />

bersemangat mengikuti pelajaran dan juga perubahan pada tubuhnya<br />

yang menimbulkan pertanyaan pada guru. Akhirnya diketahui sesudah<br />

dilakukan pemeriksaan ke dokter Ita dinyatakan hamil 5 bulan. Hal ini<br />

membuat ibu Ita terkejut dan betapa sulitnya untuk mencari tahu siapa<br />

pelaku yang mengakibatkan Ita hamil.<br />

Namun dengan penelusuran panjang, pada akhirnya diketahui<br />

bahwa pelakunya adalah ayah kandung Ita sendiri. Ayah Ita kemudian<br />

sempat mendekam di penjara karenanya. Namun demikian keluarga<br />

Adam (keluarga ayahnya) tetap melakukan intimidasi terhadap Ita<br />

putrinya dan Eva istrinya agar kasus tersebut dicabut disertai dengan<br />

ancaman-ancaman lainnya. Ditambah lagi Ita harus keluar dari sekolah<br />

karena hamil. Saudara-saudara perempuan ayah Ita di pengadilan<br />

bahkan tak henti-hentinya mengintimidasi Ita sebagai korban karena<br />

menurut mereka semua itu terjadi karena kesalahan Ita yaitu dipastikan<br />

116<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Magdalena Sitorus<br />

Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />

Melalui Konvensi<br />

berupaya memancing rangsangan seksual pada ayahnya dengan cara<br />

berpakaian yang ‘seronok’ sehingga peristiwa tersebut terjadi.<br />

Dalam proses pengadilan, Adam ternyata tidak mengakui seluruh<br />

perbuatannya. Eva masih tetap melakukan kunjungan setianya ke<br />

tahanan dimana Adam berada. Kunjungan Eva di rumah tahanan<br />

ternyata dimanfaatkan Adam untuk melakukan pendekatan dan meyakinkan<br />

perasaan Eva yang akhirnya percaya bahwa suaminya bukanlah<br />

pelaku kehamilan Ita dan bahkan Eva, sang ibu mulai ikut menyalahkan<br />

Ita, putrinya sendiri. Ita kemudian mengalami kesedihan luar biasa karena<br />

ibu yang diharapkan mendukungnya malah melakukan sebaliknya.<br />

Ita kemudian berusaha untuk memeriksakan DNA-nya agar terbukti<br />

bahwa anak yang dikandungnya adalah hasil perbuatan ayah<br />

kandungnya sendiri. Usaha itu tidak dapat terwujud karena mahalnya<br />

biaya untuk tes DNA. Pada akhirnya dengan segala upaya Adam pun<br />

dapat keluar dari penjara. Ita mengalami kekecewaan luar biasa dan<br />

posisinya semakin sulit, karena sang ibu bahkan pada akhirnya memilih<br />

kembali hidup bersama Adam suaminya.<br />

Ketika melahirkan, sang bayi yang dikandung Ita ternyata mengalami<br />

kerapuhan tulang. Hal tersebut adalah salah satu dampak akibat<br />

hubungan darah yang sangat dekat. Akhirnya sang bayi kemudian<br />

dititipkan di sebuah panti dengan perjanjian bahwa anaknya dapat<br />

diambil kembali bila pada saat yang memungkinkan.<br />

Ita sendiri enggan tinggal bersama orang tuanya dan memutuskan<br />

untuk tinggal bersama neneknya dari pihak ibu. Kemudian ia bekerja di<br />

sebuah cafe tempat ia bekerja hingga malam yang bila dilihat posisinya,<br />

Ita masih tergolong anak-anak dan sangat rentan untuk mengalami<br />

tindak kekerasan seksual. Kasus Ita tersebut ternyata berakhir begitu<br />

saja, termasuk dalam persoalan hukum.<br />

Ini hanya satu dari banyak kasus yang menimpa anak-anak<br />

perempuan seperti Ita. Kasus lain adalah saat terjadi pelecehan seksual<br />

antar siswa SMP di salah satu sekolah di Jakarta. Ami (bukan nama<br />

sebenarnya) pada suatu hari merasa tidak enak badan dan guru<br />

kemudian membawanya untuk beristirahat di ruang UKS (ruang dimana<br />

siswa yang sakit dapat beristirahat). Kebetulan saat itu juga ada siswa<br />

laki-laki (Udin, bukan nama sebenarnya) yang juga beristirahat karena<br />

kondisi yang sama di tempat tidur yang berbeda dan hanya dipisahkan<br />

oleh gorden. Namun tak diduga, selang kemudian Udin mendekati Ami<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

117


Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />

Melalui Konvensi<br />

Magdalena Sitorus<br />

dan mulai menggerayangi tubuhnya. Ami tidak dapat berbuat banyak<br />

karena kondisinya betul-betul lemah pada saat itu. Ami bisa terlepas<br />

dari perbuatan Udin yang tidak senonoh tersebut karena bel berbunyi<br />

dan mulai banyak murid dan guru yang berjalan hilir mudik disekitar<br />

ruangan tersebut. Udin kembali ke tempat tidurnya. Ami kemudian<br />

melaporkan hal tersebut kepada kepala sekolah. Kepala sekolah<br />

kemudian memanggil Udin yang ternyata tidak mengakui perbuatannya,<br />

bahkan malah membalikkan persoalan bahwa Ami sudah memfitnahnya.<br />

Pihak sekolah kemudian memanggil orang tua Udin dan karena<br />

kebetulan orang tuanya adalah keluarga mampu, mereka membalik<br />

menggugat sekolah karena dianggap sudah mencemarkan nama baik<br />

anak dan mereka sebagai orangtua. Ami dipaksa untuk meminta maaf<br />

kepada Udin dan orangtuanya yang serta merta di tolak habis-habisan<br />

oleh Ami karena ia merasa diperlakukan secara tidak adil. Karena<br />

persoalan tersebut menjadi merebak di sekolah itu, pihak sekolah<br />

kemudian membuat keputusan untuk mengeluarkan Ami dari sekolah<br />

tersebut saat itu sudah akan menghadapi ujian.<br />

Orang tua Ami berusaha meminta kepada pihak sekolah, agar paling<br />

tidak Ami dapat mengikuti ujian akhirnya. Pihak sekolah justru<br />

menganggap Ami sudah mencemarkan nama baik sekolah tersebut.<br />

Dapat kita lihat betapa lemahnya posisi Ami sebagai anak sekaligus<br />

sebagai perempuan. Ketidakberpihakan sekolah terhadap korban<br />

sebagai anak dan perempuan mengakibatkan Ami menjadi korban untuk<br />

yang kesekian kalinya. Sekolah sibuk menjaga nama baik, tanpa<br />

mempertimbangkan kepentingan terbaik anak apalagi pada saat<br />

menghadapi ujian akhir. Bagaimana diskriminatifnya pihak sekolah<br />

yang hanya karena secara strata sosial si Udin lebih kuat dibandingkan<br />

Ami yang hanya dari keluarga biasa-biasa saja. 6<br />

Bila kita kaitkan dengan dua konvensi di atas yaitu <strong>CEDAW</strong> atau<br />

Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap<br />

<strong>Perempuan</strong> dan Konvensi Hak Anak atau CRC (Convention on the Rights<br />

of the Child) dimana negara kita telah ikut meratifikasi untuk bertanggung<br />

jawab atas konvensi tersebut, maka dapat dikatakan dari kasus-kasus<br />

tersebut (dari banyak kasus lainnya) bahwa kedua konvensi tersebut<br />

belum dapat terlaksana. Pola-pola tingkah laku sosial dan budaya lakilaki<br />

dan perempuan yang merujuk pada peran-peran stereotip sangat<br />

kental di dalamnya dan kepentingan terbaik bagi anak sangat terabaikan.<br />

118<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Magdalena Sitorus<br />

Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />

Melalui Konvensi<br />

Cerita-cerita ini merupakan refleksi dari perlakuan diskriminasi terhadap<br />

perempuan maupun anak.<br />

Bagaimana kasus ini dilihat sebagai contoh perlakuan diskriminasi?<br />

Untuk kasus Ita (anak perempuan yang dihamili ayahnya sendiri) adalah<br />

representasi dari lemahnya posisi Eva (ibu-nya Ita) sebagai perempuan<br />

dan Ita sebagai anak. Hal tersebut dapat dilihat bahwa pertama, Eva<br />

punya ketergantungan emosional yang sangat terhadap Adam (istri<br />

terhadap suami) dan Adam menggunakan ketergantungan Eva tersebut<br />

untuk kepentingan dirinya sendiri dan demikian juga halnya Ita sebagai<br />

anak yang masih mempunyai ketergantungan tinggi terhadap kedua<br />

orangtuanya baik dari banyak aspek. Argumen-argumen Ita sebagai<br />

anak untuk menggunakan hak partisipasinya pun terabaikan<br />

Kedua, memojokkan posisi anak sebagai perempuan juga terjadi dari<br />

berbagai pihak bahkan dari keluarga ayah Ita sendiri, meskipun mereka<br />

adalah perempuan. Bagaimana pola-pola tingkah laku sosial baik dari<br />

kelompok laki-laki maupun perempuan yang cenderung tidak berpihak<br />

pada perempuan sebagai korban.<br />

Ketiga, negara yang dalam hal ini melalui aparat-aparat hukumnya<br />

pun belum memahami kasus secara lebih mendalam terutama yang<br />

berkaitan dengan kasus-kasus tindak kekerasan, khususnya kekerasan<br />

seksual. Bahkan anak yang mengalami perkosaan dari ayahnya sendiri<br />

sampai mengalami kehamilan sering dituduh sebagai perbuatan suka<br />

sama suka dan untuk maka persoalan tidak lagi diperpanjang. Artinya<br />

bahwa anak tidak dilihat secara arif dimana anak yang mengalami<br />

tindak kekerasan seksual tidak mesti dengan pemaksaan berbentuk fisik,<br />

tetapi dapat dilihat melalui bujukan ataupun rayuan, atau tindakan<br />

yang manipulatifpun dapat dilihat sebagai tindak kekerasan karena<br />

ketidakmatangan emosional anak.<br />

Keempat, negara belum menjalankan peran dan fungsinya secara<br />

maksimal bahkan sering berperilaku diskriminatif terhadap korban yang<br />

dalam jumlah terbesar adalah anak dan perempuan.<br />

Dapat disimpulkan bahwa kuatnya budaya patriarkhis dalam<br />

tatanan masyarakat sangat menghambat perlindungan bagi perempuan<br />

maupun anak, terlebih ketika mereka dalam posisi sebagai korban<br />

kekerasan seksual. Negara seharusnya memiliki itikad baik meratifikasi<br />

kedua konvensi di atas yaitu <strong>CEDAW</strong> dan CRC dalam upaya mengatasi<br />

ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dan anak, tetapi di pihak<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

119


Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />

Melalui Konvensi<br />

Magdalena Sitorus<br />

lain masyarakat ternyata sudah terbiasa dengan budaya yang<br />

menganggap biasa atas perlakuan diskriminatif terhadap perempuan<br />

maupun anak. Artinya diperlukan kerja keras dan pelaksanaan yang<br />

tidak main-main dalam menghadapi masalah tersebut.<br />

Bagaimana bila para pemegang kebijakan, aparat penegak hukum,<br />

para pendidik, kelompok-kelompok masyarakat lainnya termasuk keluarga<br />

yang menjadi kelompok terkecil di dalam masyarakat seperti ini yang<br />

tidak mempunyai perspektif perempuan dan anak dapat berpihak kepada<br />

mereka? Tidak kalah pentingnya pertanyaan tentang bagaimana dalam<br />

bertindak terhadap anak kepentingan terbaik bagi anak adalah menjadi<br />

pertimbangan utama? Untuk menembus kesadaran yang tidak terbatas<br />

hanya pada tataran wacana saja butuh waktu yang sangat panjang.<br />

Untuk itu perlu dipikirkan strategi berikut ini, bahwa negara melalui<br />

sektor yang memegang peranan sebagai vocal point harus secara gencar,<br />

serius dan berkesinambungan mensosialisasikan kedua konvensi yaitu<br />

<strong>CEDAW</strong> dan CRC serta undang-undang lainnya yang berkaitan dengan<br />

anak dan perempuan ke seluruh lapisan masyarakat mulai dari<br />

pemegang kebijakan, aparat penegak hukum dan seluruh lapisan<br />

masyarakat lainnya. Sosialisasi dapat juga dilakukan dalam bentuk<br />

pelatihan-pelatihan tentang hak perempuan dan hak anak terlebih<br />

tentang hak-hak mereka ketika menjadi korban, melalui media massa<br />

baik media cetak maupun elektronik.<br />

Misalnya penanganan terhadap korban dimana menurut UU PKDRT<br />

antara lain mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan baik dari<br />

keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial<br />

maupun lembaga sosial lainnya. Dalam hal ini bekerja sama dengan<br />

stakeholders yang ada dan mengefektifkan peranan yang sudah ada,<br />

terlebih yang berada di akar rumput.<br />

Selain itu, diperlukan pelatihan-pelatihan yang intens tentang<br />

pemahaman tindak kekerasan sehingga diharapkan mempunyai<br />

perspektif terhadap perempuan dan anak terlebih ketika mereka menjadi<br />

korban kekerasan terutama kekerasan seksual. Langkah berikutnya<br />

adalah pentingnya monitoring dan evaluasi hasil dari sosialisasi yang<br />

sudah dilakukan sehingga mengetahui sejauhmana keberhasilannya<br />

Tokoh-tokoh agama dan masyarakat juga menjadi kelompok yang harus<br />

di advokasi karena dalam kenyataannya mereka mempunyai peranan<br />

penting dalam upaya penanganan kasus-kasus tindak kekerasan<br />

120<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Magdalena Sitorus<br />

Menjamin Hak <strong>Perempuan</strong> dan Anak<br />

Melalui Konvensi<br />

sepanjang kelompok ini mempunyai perspektif yang adil dan berpihak<br />

terhadap perempuan dan anak. Semua itu dilakukan dalam upaya melakukan<br />

penanganan yang berpihak pada perempuan dan anak dan yang<br />

tidak kalah pentingnya adalah pendidikan seks bagi anak sejak usia dini<br />

dengan metode yang disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan<br />

anak dan meningkatkan kepekaan terhadap kelompok-kelompok<br />

masyarakat termasuk orang tua maupun pendidik melalui edukasi sebagai<br />

upaya pencegahan tindak kekerasan terutama kekerasan seksual.<br />

Pada saat seperti ini diperlukan pemulihan kepercayaan masyarakat<br />

terhadap penegakan hukum dimana diharapkan tidak terjadi<br />

diskriminasi bagi setiap orang yang berhadapan dengan hukum terlebih<br />

yang berkaitan dengan sanksinya sehingga slogan yang berbunyi hukum<br />

hanya berlaku bagi yang mampu membayar tidak lagi ada di kepala mereka.<br />

Oleh karena itu visi ke depan sesuai dengan akan kemana arah<br />

kemajuan bangsa ini adalah bagaimana menciptakan masyarakat yang<br />

adil yang dimulai dengan meningkatkan kualitas anak-anak yang sudah<br />

dididik dengan setara tanpa membedakan anak laki-laki dan perempuan,<br />

kaya ataupun miskin, karena bagaimana sumberdaya manusia ke depan<br />

menjadi yang berkualitas adalah harus dipupuk sejak usia dini.<br />

Kemudian, untuk mencipta sumberdaya manusia yang hebat tentu<br />

erat kaitannya dengan kualitas ibu, yaitu ibu yang sehat akan melahirkan<br />

anak yang sehat. Dapat dibayangkan bila anak perempuan yang sejak<br />

kecil sudah mengalami tindak kekerasan, kurang gizi, tidak punya akses<br />

pendidikan kelak ketika mereka menjadi ibu dapat diduga secara logika<br />

akan melahirkan anak-anak yang seperti apa.<br />

Catatan Belakang<br />

1<br />

Lembar Fakta Komisi Hak Asasi Manusia Edisi II: “Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong>:<br />

Konvensi dan Komite” lihat di www.sekitarkita.com<br />

2<br />

Lihat Konvensi <strong>CEDAW</strong>/ Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi<br />

terhadap <strong>Perempuan</strong>.<br />

3<br />

Lihat Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.<br />

4<br />

Lihat Konvensi Hak Anak atau Child Rights Convention.<br />

5<br />

Lihat Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam<br />

Rumah Tangga.<br />

6<br />

Kedua kasus ini ditangani oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

121


• Wawancara •<br />

Sri Danti, Dra. M.A<br />

Asisten Deputi Urusan Pendidikan <strong>Perempuan</strong> Kementerian<br />

Pemberdayaan <strong>Perempuan</strong><br />

“Negara dan Pemahaman<br />

<strong>CEDAW</strong> yang Lemah...”<br />

Meskipun hampir 21 tahun kita meratifikasi Konvensi <strong>CEDAW</strong>,<br />

namun kita masih mempunyai sejumlah kelemahan, khususnya<br />

mengenai implementasi Konvensi <strong>CEDAW</strong> ini. Pemerintah telah<br />

menunjuk Kementerian Negara Pemberdayaan <strong>Perempuan</strong> (KPP)<br />

untuk menjadi leading sector pelaksanaan konvensi ini. Sebagai<br />

kementerian non teknis, tugas ini bukanlah mudah, karena harus<br />

bersinergi dengan departemen-departemen teknis lainnya. Bukan<br />

saja menghadapi masalah struktur yang<br />

berat, namun menghadapi pola pikir<br />

jajaran instansi terkait yang masih<br />

menganggap remeh isu perempuan<br />

adalah hambatan yang sangat serius.<br />

Bagaimana sejauh ini<br />

implementasinya dan apa yang<br />

menjadi hambatan utama KPP<br />

dalam mengimplementasikan<br />

Konvensi <strong>CEDAW</strong>? Berikut<br />

pemaparan Sri Danti, Dra.<br />

MA, Asisten Deputi Urusan<br />

Pendidikan <strong>Perempuan</strong><br />

Kementerian<br />

Pemberdayaan<br />

<strong>Perempuan</strong> dalam<br />

wawancaranya dengan<br />

jurnalis <strong>Jurnal</strong><br />

<strong>Perempuan</strong>, Eko Bambang<br />

Subiyantoro.<br />

122 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

Foto: Dok. YJP


• Wawancara •<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> (JP): Apa yang bisa dilaporkan dari implmentasi konvensi<br />

<strong>CEDAW</strong> ini?<br />

Sri Danti (SD): Selama 21 tahun ada banyak yang dilakukan ya. Kita bisa<br />

melihat dari sejumlah kebijakan publik. Kalau kita bicara kesetaraan<br />

gender, sebetulnya kita sudah ada di Inpres (Instruksi Presiden) No. 9<br />

tahun 2000. Ada juga undang-undang mengenai HAM yang juga<br />

mengimplementasikan <strong>CEDAW</strong>, yaitu UU Pemilu dan sejumlah<br />

kebijakan-kebijakan mengenai kelembagaan. Fungsi KPP sendiri<br />

dalam implementasi <strong>CEDAW</strong> adalah berkoordinasi dengan instansi<br />

teknis terkait seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan<br />

sebagainya. KPP bukan sebagai pihak yang melakukan, karena KPP<br />

bukan implementing agency. KPP adalah koordinator yang fungsinya<br />

merumuskan kebijakan-kebijakan untuk penghapusan diskriminasi.<br />

Kenapa perlu lembaga yang mengkoordinasikan? Karena isu<br />

perempuan itu cross cuting ya, atau lintas sektor yang tidak hanya<br />

dilakukan oleh satu departemen, tetapi oleh semua departemen terkait.<br />

Sama halnya dengan konvensi <strong>CEDAW</strong>, kalau kita lihat di dalam<br />

konvensi itu banyak macamnya yaitu pendidikan, kesehatan, politik,<br />

trafiking, keluarga, lembaga perkawinan dan sebagainya.<br />

JP: Selama ini apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaanya?<br />

(SD): Terus-terang masih banyak hambatan dalam pelaksanaan konvensi<br />

<strong>CEDAW</strong> itu. Pertama, belum banyak orang paham isi konvensi tersebut.<br />

Ini karena konvensi yang diratifikasi 21 tahun lalu, namun<br />

sosialisasinya kita akui masih lemah. Karena yang menangani<br />

<strong>CEDAW</strong>, terus terang tadinya tidak jelas dimana, jadi akhirnya<br />

sekarang kita angkat kembali dengan strategi baru. Konvensi itu<br />

pernah kita terjemahkan, namun sosialisasinya masih terbatas, karena<br />

kekurangan dana dan belum banyak harapan untuk mensosialisasikannya,<br />

itu yang menjadi permasalahan kedua.<br />

JP: Bagaimana dengan instansi terkait lainnya berkaitan dengan implementasi<br />

konvensi ini?<br />

(SD): Departemen terkait lainnya masih perlu pembenahan. Dengan<br />

adanya mutasi sistem dan struktur yang terus berubah-ubah, akhirnya<br />

substansi konvensi <strong>CEDAW</strong> pemahamannya tidak melembaga, maka<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

123


• Wawancara •<br />

implementasinya masih terhambat. Tetapi bukan berarti mereka tidak<br />

melaksanakan. Mereka melaksanakan walaupun mereka tidak tahu<br />

bahwa apa yang dilakukan merupakan langkah <strong>CEDAW</strong>. Misalnya<br />

mereka melaksanakan pengarusutamaan gender, itu kan dalam kerangka<br />

pelaksanaan <strong>CEDAW</strong> juga. Begitu pula dengan pembentukan<br />

gender focal point di masing-masing instansi untuk mengkoordinasikan<br />

pelaksanaan, program yang responsif gender dan sekarang sudah<br />

hampir di semua sektor. Jadi yang muncul di permukaan: PUG<br />

(Pengarusutamaan Gender) bukan <strong>CEDAW</strong>, padahal payungnya itu<br />

ya <strong>CEDAW</strong> itu sendiri.<br />

JP: Bagaimana seharusnya bentuk implementasi <strong>CEDAW</strong> ini untuk instansi<br />

terkait?<br />

(SD): Mestinya terlembaga ya. Jadi kalau pejabatnya pindah, substansinya<br />

tidak berubah dan sudah dipahami. Jika dalam struktur departemen<br />

terlembaga, maka jika orang yang bertanggungjawab menjadi focal<br />

point itu pindah, tentu lembaga yang ditinggalkannya tetap. Selama<br />

ini orangnya pindah, instansinya ikut hilang juga. Persoalannya juga,<br />

rata-rata yang menjadi focal point, apalagi di daerah-daerah itu bukan<br />

eselon 2 yang tidak punya fungsi koordinasi. Padahal namanya focal<br />

point itu ya harus decision maker yang bisa mengkoordinasikan orang<br />

dan pemahaman-pemahaman itu yang tidak gampang. Orang<br />

ngomongin gender, orang selalu mikirnya perempuan, dan kalau<br />

sudah perempuan mereka seolah-olah malas untuk membahasnya.<br />

JP: Ada perbedaan signifikan antara pemahaman <strong>CEDAW</strong> dan PUG?<br />

(SD): Sangat signifikan, mereka itu tidak paham bahwa <strong>CEDAW</strong> itu<br />

landasan payungnya PUG, sehingga mereka lebih memahami Inpres<br />

No. 9 tahun 2000, tentang PUG. Kita paham, kita memang tidak terlalu<br />

mensosialisasikan konvensi itu, jadi ada jurang memang, tetapi<br />

sekarang memang sudah harus mulai diperkenalkan lagi, karena<br />

memang orang yang tidak paham substansi hukum itukan agak sulit<br />

memahami konvensi ini.<br />

JP: Apa dengan demikian signifikansinya akan mempengaruhi pelaksanaan?<br />

(SD): Tidak, tidak apa-apa. PUG itu sebenarnya strategi untuk<br />

124 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Wawancara •<br />

melaksanakan <strong>CEDAW</strong>. Konvensi <strong>CEDAW</strong> itukan penghapusan<br />

diskriminasi, maka mereka sudah ada program misalnya pendidikan<br />

untuk penghapusan buta huruf perempuan, kesehatan penurunan<br />

AKI atau trafiking perempuan, mereka sudah melakukan semua, tetapi<br />

mereka tidak menyadari bahwa payungnya adalah <strong>CEDAW</strong>, jadi yang<br />

harus diutamakan kita sekarang adalah mengintensifkan sosialisasi<br />

Konvensi <strong>CEDAW</strong> tersebut.<br />

JP: Apa aspek penting bagi bangsa Indonesia dengan meratifikasi Konvensi<br />

<strong>CEDAW</strong> ini?<br />

(SD): <strong>CEDAW</strong> itu kan landasan internasional, kenapa kita ratifikasi,<br />

karena tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 19<strong>45</strong>, itu yang<br />

pertama. Namun yang lebih penting lagi karena konvensi ini<br />

digunakan untuk menegakkan hak asasi manusia, dengan pendekatan<br />

right based, pendekatan kemanusiaan, laki-laki dan perempuan<br />

itu sama yaitu manusia dan sangat universal. Jadi pentingnya<br />

“Jadi pentingnya<br />

memahami konvensi<br />

ini adalah sebagai<br />

pendekatan<br />

payung<br />

pemberdayaan<br />

perempuan yang<br />

dijalankan.”<br />

Foto: Dok. YJP<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

125


• Wawancara •<br />

memahami konvensi ini adalah sebagai pendekatan payung<br />

pemberdayaan perempuan yang dijalankan.<br />

JP : Bagaimana dengan aparatur penegak hukum?<br />

(SD): Mereka belum paham. Kita akui sosialisasi memang kurang, tetapi<br />

sedang kita intensifkan, kita ingin mereka yang sudah tersosialisasi<br />

terpilih, kita beri mereka TOT (Training of Trainer - red). Seharusnya<br />

mereka yang sudah mendapatkan training bisa mensosialisasikan ke<br />

orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Belum lagi menghadapi<br />

kendalakendala fokus program yang berbeda dan ini menjadi<br />

hambatan di hampir sejumlah departemen.<br />

JP: Adakah persoalan lain yang menjadi hambatan utama?<br />

(SD): Ada, yaitu advokasi. Kalau kita advokasi kan harus mengubah<br />

pola pikir pejabat nih, masalahnya, ketika kita mengundang pejabat,<br />

tetapi mereka selalu mewakilkan, jadi tidak pernah mereka sendiri<br />

yang duduk disitu, karena sekali lagi mereka menganggap masalah<br />

perempuan adalah masalah perempuan sendiri bukan masalah kita<br />

bersama. Mereka tidak membayangkan bahwa kalau kita memberdayakan<br />

perempuan, maka separuh masalah di Indonesia, sebetulnya<br />

bisa terselesaikan, karena perempuan Indonesia, hampir separuh<br />

penduduk Indonesia, dan yang miskin banyak juga terjadi pada<br />

perempuan, itu yang belum dipahami oleh pejabat-pejabat di sejumlah<br />

instansi.<br />

JP : Lalu apa strategi ke depan dalam mensosialisasikan <strong>CEDAW</strong> ini?<br />

(SD): Kita akan mensosialisasikan ini ke beberapa provinsi. Kita harapkan<br />

setelah mereka dapat sosialisasikan, bisa dilanjutkan sosialisasinya<br />

ke bawah. Namun tidak hanya sosialisasi, tetapi juga bisa diimplementasikan<br />

dan itu menjadi tanggungjawab departemen teknis.<br />

JP: Lalu bagaimana mengawasinya?<br />

(SD): Kita punya program kerja untuk menyusun laporan, monitoring<br />

pelaksanaan <strong>CEDAW</strong>, dan anggotanya sendiri dari instansi terkait.<br />

JP: Sudah siapkah infrastruktur dan sistem yang mendukung pelaksanaan ini?<br />

126 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Wawancara •<br />

(SD): Terus terang capacity building-nya masih kurang. Selama ini hanya<br />

memakai suatu kelembagaan. Misalnya di departemen kami sudah<br />

ada focal point, kita pakai dan kita tambah ilmunya. Lalu mereka yang<br />

di daerah, ada biro PP (Biro Pemberdayaan <strong>Perempuan</strong>). Kalau selama<br />

ini yang disosialisasikan materinya PUG, maka kita tambahkan<br />

ilmunya pada substansi <strong>CEDAW</strong>. Tentu saja kementerian kita<br />

memfasilitasi apa yang dapat kita beri seperti bantuan teknis, maka<br />

kita memberikan pelatihan, karena kita tidak semuanya pintar untuk<br />

hal ini, maka kita bekerjasama dengan para mantan pejabat, NGO,<br />

atau pihak asing sebagai fasilitator. Kita mengharapkan mereka bisa<br />

melanjutkan ke bawah, karena tangan kita terbatas, dana kita juga<br />

terbatas.<br />

JP: Kapan Indonesia terakhir melaporkan implementasi <strong>CEDAW</strong> di Indonesia<br />

ini ke PBB?<br />

(SD): Kita sudah melaporkan yang pertama, kedua dan ketiga digabung,<br />

dan terakhir untuk laporan keempat dan kelima tahun 1995 – 2003<br />

kita sudah mengirimkannya tahun 2005 lalu, dan kita sekarang sedang<br />

menunggu komentar mereka.<br />

JP: Dalam laporan kemarin apa saja hambatannya?<br />

(SD): Hambatannya data itu kita sangat lemah untuk laporan, terutama<br />

untuk departemen terkait, karena mereka mengerti <strong>CEDAW</strong>, yang<br />

kedua kebanyakan dari mereka hanya project oriented, setelah membuat<br />

kegiatan ya begitu saja, tidak ada laporan, tidak ada data dan<br />

sebagainya. Lalu mereka tidak ada data terpilah, data terpilah itu<br />

lemah sekali di departemen, karena untuk membuat data terpilah<br />

mahal, sehingga kita cukup sulit sekali untuk mengukur keberhasilan<br />

untuk yang sudah dicapai. Sehingga laporan kita itu banyak yang<br />

kualitatif, dan mestinya kan ada statistiknya juga. Sekali lagi<br />

kelemahan kita sesungguhnya di reporting dan recording.<br />

JP: Apa strategi baru untuk mengatasi masalah tersebut?<br />

(SD): Salah satu cara, kita untuk pertama kali membentuk Pokja, orangnya<br />

juga kita harapkan tidak ganti-ganti. Kedua, kalau dulu bikinnya<br />

borongan dalam jangka waktu 8 tahun karena tidak ada yang<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

127


• Wawancara •<br />

bertanggungjawab untuk menyusun, padahal mestinya ada yang<br />

incharge laporan ini. Maka sekarang ini kita mulai bikin tahunan,<br />

mulai 2004-2008. Saya juga menunggu data dari teman-teman, dan<br />

kenyataannya sulit. Saya tidak tahun mengapa, padahal <strong>CEDAW</strong> ini<br />

bukan pemerintah melainkan negara, dan kalau negara itu elemennya<br />

banyak, termasuk NGO, aparat penegak hukum dan sebagainya. Kita<br />

hanya diserahi tugas untuk melaporkan saja. Anehnya kalau sudah<br />

persoalan laporan, biasanya pada lari semua.<br />

JP: Dibandingkan dengan negara lain, bagaimana implementasi <strong>CEDAW</strong> di<br />

Indonesia?<br />

(SD): Indonesia relatif maju, karena kita sudah ada lembaga yang<br />

menangani perempuan, di negara lain belum tentu, kita dianggap<br />

sudah maju, kita punya institusinya, menterinya, peraturan kebijakan<br />

lain yang mendukung, strategi, dan infrastruktur di daerah. Namun<br />

karena kita besar, maka tidak semua tertangani dengan cepat. (EBS)<br />

Berita menjadikan<br />

peristiwa mempunyai arti<br />

Dapatkan rekaman berita perempuan<br />

di media massa melalui<br />

Layanan Kliping<br />

Berita <strong>Perempuan</strong><br />

Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />

Hubungi:<br />

Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />

Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810<br />

Phone (021) 8370 2005 (Hunting)<br />

Fax (021) 8302434<br />

e-mail : yjp@jurnalperempuan.com<br />

128 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Wawancara •<br />

Jangan lewatkan VCD tentang “Kekerasan terhadap<br />

<strong>Perempuan</strong>” yang diproduksi YJP pada tahun 2000<br />

yang mengangkat tentang kasus-kasus kekerasan<br />

terhadap perempuan diseluruh dunia. Beserta<br />

komentar para tokoh seperti Nelson Mandela, Bianca<br />

Jagger, Radhika Coomraswamy,<br />

Hj. Khofifah Indar Parawangsa dan masih banyak lagi.<br />

Film Director: Miranti Hidajadi<br />

<strong>Perempuan</strong> di Wilayah Konflik. VCD yang diproduksi<br />

YJP tahun 2002 ini mengangkat isu-isu perempuan ditiga<br />

wilayah konflik di Indonesia: Aceh, Poso dan Papua.<br />

Persoalan perempuan di barak pengungsian, masalah<br />

trauma, jaminan rasa aman, pelecehan serta kekerasan<br />

seksual menjadi tema utama dalam dokumentasi film ini.<br />

Sebuah liputan yang perlu untuk diketahui berbagai kalangan.<br />

Film Director: Angela Nicoara<br />

Perdagangan perempuan dan anak masih saja marak, sekalipun upaya<br />

membongkar praktek perdagangan itu sudah banyak dilakukan. Ini membuktikan<br />

persoalannya memang pelik. Penanganannya hanya bisa dilakukan bila semua<br />

pihak baik pejabat, akademisi, aparat, tokoh masyarakat,<br />

profesional, LSM, media massa maupun elemen masyarakat<br />

lainnya berkomitmen untuk memberantas perdagangan<br />

perempuan dan anak.<br />

Melalui penelitian dan kegiatannya di lapangan, Yayasan <strong>Jurnal</strong><br />

<strong>Perempuan</strong> (YJP) menampilkan dan mengemas persoalan<br />

perdagangan perempuan dan anak dalam media VCD & DVD,<br />

produksi YJP tahun 2003.<br />

Film Director: Gadis Arivia<br />

Hubungi kami untuk informasi lebih lanjut.<br />

Jl. Tebet Barat VIII No. 27<br />

Jakarta Selatan 12810<br />

Telp. <strong>Jurnal</strong> : (021) <strong>Perempuan</strong> 8370 2005 <strong>45</strong><br />

Fax : (021) 830 2434<br />

E-mail : yjp@jurnalperempuan.com<br />

129


<strong>CEDAW</strong>-Restoring Rights To Women


• Kata dan Makna •<br />

Kata dan Makna<br />

<strong>CEDAW</strong> dan Sejarahnya<br />

Sejak berdirinya pada tahun 19<strong>45</strong>, PBB telah menempatkan Hak Asasi<br />

Manusia (HAM) sebagai agenda utama. Kekejaman dan kejahatan<br />

Perang Dunia II merupakan pendorong utama berkembangnya upayaupaya<br />

perlindungan internasional terhadap HAM. Piagam PBB tahun<br />

19<strong>45</strong> menetapkan tiga tujuan utama dari organisasi baru ini yakni:<br />

mendorong terwujudnya perdamaian dan keamanan internasional,<br />

memajukan pertumbuhan sosial ekonomi serta merumuskan dan<br />

melindungi hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar setiap individu,<br />

apapun ras, jenis kelamin, bahasa atau agamanya.<br />

Walaupun Komisi Kedudukan <strong>Perempuan</strong> atau Commission on the<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

131


• Kata dan Makna •<br />

Status of Women (CSW) merupakan sub-komisi saja dari Komisi HAM<br />

yang dibentuk PBB pada tahun 1946, namun umurnya sebagai subkomisi<br />

hanya 4 bulan saja, karena sejak Juni 1946 CSW sudah ditetapkan<br />

sebagai komisi penuh. Sejak awal hak-hak politik perempuan sudah<br />

merupakan isu prioritas, karena hanya sedikit negara yang mengakuinya.<br />

Maka CSW berhasil membuat Sidang Majelis Umum PBB mengadopsi<br />

resolusi pada bulan Desember 1946 yang merekomendasikan agar<br />

negara-negara anggota PBB yang belum melakukan, segera memberikan<br />

hak-hak politik perempuan yang sama dengan laki-laki, dan dalam kaitan<br />

ini mengambil langkah-langkah untuk mencapai tujuan Piagam PBB.<br />

CSW selama tahap-tahap awal dari perjuangannya untuk menegakkan<br />

hak-hak perempuan berhasil memperjuangkan kedudukannya sebagai<br />

komisi yang mempunyai hak yang sama dengan Komisi HAM. Menarik<br />

untuk dicatat bahwa kedua komisi ini – CSW dan CHR (Commission on<br />

Human Rights) berkali-kali bertentangan keras selama penyusunan<br />

Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Misalnya, CSW berhasil mengubah<br />

rancangan awal dari pasal 1 DUHAM yaitu “all men are brothers” menjadi<br />

“all human beings are born free and equal in dignity and rights”. Pada waktu<br />

DUHAM diadopsi pada tahun 1948, mayoritas perempuan di dunia belum<br />

dapat memilih atau belum dijamin hak pilihnya.<br />

Maka CSW terus berjuang, sehingga konvensi Hak Politik <strong>Perempuan</strong><br />

diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1952, 14 tahun lebih dahulu<br />

dari 2 perjanjian internasional lainnya yaitu Covenant on Civil and Political<br />

Rights (CCPR) dan Covenant on Economic, Social and Cultural Rights<br />

(CESCR) pada tahun 1966. Walaupun kedua Perjanjian ini juga jelas<br />

menyatakan bahwa dalam penerapan pemajuan dan perlindungan hakhak<br />

sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya tidak boleh ada<br />

diskriminasi atau pembedaan atas dasar jenis kelamin, tetapi CSW terus<br />

melanjutkan upayanya yang sudah dimulai sejak tahun 1965 untuk<br />

membuat Sidang Majelis Umum PBB tahun 1967 mengadopsi “Declaration<br />

on the Elimination of Discrimination Against Women”.<br />

Karena CSW dalam setiap sidangnya selalu menerima laporan dari<br />

berbagai penjuru dunia bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih<br />

terus berlangsung tanpa pencegahan yang sungguh-sungguh utamanya<br />

dari pemerintah, maka pada tahun 1972 CSW bersepakat untuk terus<br />

mendesak agar dibuat “konvensi anti diskriminasi”, yang secara hukum<br />

mengikat negara-negara yang meratifikasi atau states parties (negara<br />

132<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Kata dan Makna •<br />

peserta), jadi tidak seperti deklarasi (tahun 1967) yang hanya mempunyai<br />

kekuatan moral dan politis. Setelah mendapat masukan dari 40 negara,<br />

4 badan khusus PBB dan 10 organisasi non pemerintah, dan berhasil<br />

mengatasi permasalahan-permasalahan khususnya yang bertalian<br />

dengan isu-isu penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam<br />

hukum, hak-hak dalam perkawinan dan keluarga, dalam pendidikan,<br />

dunia kerja dan pembangunan pedesaan, dalam pelayanan kesehatan,<br />

dalam pinjaman bank dan kredit, CSW menyepakati keseluruhan konsep<br />

dan meneruskannya ke Majelis Umum PBB untuk diadopsi.<br />

Dengan 130 suara setuju dan 11 abstain, Konvensi <strong>CEDAW</strong> diadopsi<br />

Majelis Umum PBB pada Tanggal 18 Desember 1979. Untuk memantau<br />

kemajuan yang dicapai dalam melaksanakan Konvensi <strong>CEDAW</strong>, maka<br />

dibentuk Committee on the Elimination of Discrimination Against<br />

Women, yang selanjutnya disebut Komite <strong>CEDAW</strong>. Sampai awal tahun<br />

2005 ini, 180 dari 191 negara anggota PBB telah meratifikasi Konvensi<br />

ini (Negara Peserta).<br />

Proses pemantapan <strong>CEDAW</strong> sebagai upaya memajukan HAM<br />

perempuan, sekaligus merupakan proses perluasan pemahaman tentang<br />

HAM. Selanjutnya, semakin meluasnya penerapan Konvensi <strong>CEDAW</strong><br />

telah melicinkan jalan menuju perluasan dan perpanjangan cakupan<br />

HAM ke dalam berbagai konteks dan identitas sosial budaya. Dengan<br />

demikian, cakupan penegakan HAM telah meluas kedalam lingkungan<br />

privat sehingga pemahaman tentang hubungan erat antara lingkungan<br />

privat dan publik, juga telah meningkat.<br />

<strong>CEDAW</strong> sebagai Instrumen HAM Internasional<br />

Konvensi <strong>CEDAW</strong> merupakan Perjanjian Internasional tentang<br />

perempuan yang paling komprehensif, menetapkan kewajiban hukum<br />

yang mengikat untuk mengakhiri diskriminasi. Konvensi yang sering<br />

digambarkan sebagai international bill of rights for women ini menetapkan<br />

persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam menikmati hak-hak<br />

sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Diskriminasi terhadap<br />

perempuan akan dihapuskan melalui langkah-langkah hukum,<br />

kebijakan dan program maupun melalui “tindakan khusus sementara”<br />

untuk mempercepat persamaan atau kesetaraan antara perempuan dan<br />

laki-laki dalam menikmati HAM nya, yang diartikan sebagai tindakan<br />

non diskriminasi.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

133


• Kata dan Makna •<br />

Konvensi <strong>CEDAW</strong> unik karena merupakan instrumen hukum<br />

internasional pertama yang menetapkan arti diskriminasi terhadap<br />

perempuan; mensyaratkan pemerintah menghapuskan diskriminasi<br />

terhadap perempuan tidak saja dalam kehidupan publik tetapi juga<br />

dalam kehidupan privat. Konvensi ini selanjutnya mengarahkan<br />

pemerintah mengadakan upaya-upaya tambahan untuk menangani<br />

permasalahan-permasalahan yang dihadapi perempuan di daerah<br />

pedesaan untuk menjamin, atas dasar persamaan antara laki-laki dan<br />

perempuan, bahwa perempuan berpartisipasi dalam, dan memperoleh<br />

manfaat dari pembangunan di pedesaan, atau memperoleh manfaat yang<br />

sama dengan laki-laki.<br />

Konvensi ini merupakan satu-satunya perjanjian internasional yang<br />

menegaskan hak reproduksi perempuan dan mewajibkan negara-negara<br />

peserta memodifikasi pola-pola sosial budaya dan pola-pola perilaku<br />

laki-laki dan perempuan agar supaya dapat menghapuskan prasangkaprasangka<br />

dan kebiasaan-kebiasaan maupun semua praktek-praktek<br />

lainnya yang berdasarkan pandangan inferioritas atau superioritas salah<br />

satu jenis kelamin atau peran-peran baku bagi laki-laki dan perempuan.<br />

Konvensi ini merupakan instrumen HAM yang dinamis. Sejak<br />

diadopsi oleh Majelis Umum PBB tahun 1979, dan berlakunya pada<br />

tahun 1981, maka Komite <strong>CEDAW</strong>, negara-negara peserta yang awal<br />

tahun 2005 sudah berjumlah 180, maupun semua pemgemban<br />

kepentingan lainnya utamanya perempuan sendiri dari berbagai<br />

kelompok di seluruh penjuru dunia, telah memberikan sumbangansumbangan<br />

pikiran dalam memberikan penjelasan-penjelasan dan<br />

meningkatkan pemahaman tentang prinsip-prinsip substantif yang<br />

terkandung dalam berbagai pasal, utamanya yang menyangkut ciri-ciri<br />

khusus dari diskriminasi terhadap perempuan, yang diderita perempuan<br />

karena ia perempuan.<br />

Konvensi ini menekankan bahwa pendekatan hukum formal atau<br />

program saja tidak mencukupi untuk mencapai persamaan substantif<br />

antara perempuan dan laki-laki.<br />

Selanjutnya, sasaran Konvensi ini juga meliputi dimensi-dimensi<br />

diskriminatif dari konteks-konteks sosial budaya dimasa lampau yang<br />

masih dianut dewasa ini. Maka tujuan utama Konvensi ini ialah<br />

penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, termasuk<br />

sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensinya pada persamaan<br />

134<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Kata dan Makna •<br />

substantif antara perempuan dan laki-laki di seluruh penjuru dunia<br />

dan di sepanjang masa.<br />

Prinsip-prinsip Konvensi <strong>CEDAW</strong><br />

<strong>CEDAW</strong> menekankan pada kesetaraan dan keadilan antara laki-laki<br />

dan perempuan (equality and justice), yaitu persamaan hak dan<br />

kesempatan serta “perlakuan yang adil” di segala bidang dan segala<br />

kegiatan. Konvensi <strong>CEDAW</strong> juga mengakui bahwa: (a). ada perbedaan<br />

biologis atau kodrati antara laki-laki dan perempuan; (b). ada perbedaan<br />

perlakuan terhadap perempuan yang berbasis gender yang mengakibatkan<br />

kerugian pada perempuan; (c). perbedaan kondisi dan posisi antara<br />

laki-laki dan perempuan, karena perempuan ada dalam kondisi dan<br />

posisi yang lebih lemah atau rentan karena mengalami diskriminasi<br />

atau menanggung akibat dari perlakuan diskriminatif yang dialami<br />

sebelumnya atau karena lingkungan, keluarga dan masyarakat<br />

melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan “karena mereka<br />

perempuan” dan biasanya memang diperlakukan demikian.<br />

Dengan memperhatikan keadaan dan kondisi itu, <strong>CEDAW</strong> menetapkan<br />

prinsip-prinsip serta ketentuan-ketentuan untuk menghapus<br />

kesenjangan, subordinasi serta tindakan yang merugikan kedudukan<br />

<strong>CEDAW</strong>-Restoring Rights To Women<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

135


• Kata dan Makna •<br />

perempuan dalam hukum, keluarga dan masyarakat. Prinsip-prinsip<br />

tersebut merupakan pula kerangka untuk merumuskan strategi<br />

pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan. Prinsip-prinsip<br />

<strong>CEDAW</strong> dapat pula digunakan sebagai alat untuk mengkaji apakah<br />

suatu kebijakan, aturan atau ketentuan mempunyai dampak jangka<br />

pendek atau jangka panjang yang merugikan perempuan. Prinsipprinsip<br />

itu terjalin secara konseptual dalam pasal 1 hingga pasal 16<br />

<strong>CEDAW</strong>.<br />

Konvensi <strong>CEDAW</strong> memberikan pengertian yang komprehensif tentang<br />

prinsip-prinsip “diskriminasi terhadap perempuan”, “persamaan<br />

substantif” dan “kewajiban negara” untuk digunakan: i) dalam<br />

menangani diskriminasi terhadap perempuan dalam semua bidang; ii)<br />

oleh semua pihak yang bertanggung jawab menghapuskan kekerasan<br />

terhadap perempuan, maupun semua perempuan dan laki-laki.<br />

(Semua tulisan ini dikutip dari dokumen Sjamsiah Ahmad berjudul Konvensi Penghapusan<br />

segala bentuk Diskriminasi terhadap <strong>Perempuan</strong> atau <strong>CEDAW</strong>, UU No. 7 tahun 1984 dan<br />

Berbagai Kesepakatan Internasional Tentang Pengarusutamaan Gender, Jakarta: 13<br />

Januari 2006)<br />

Mengundang anda penerbit buku-buku<br />

berperspektif gender untuk bergabung<br />

menjadi<br />

supplier<br />

Toko Buku “<strong>Perempuan</strong>”<br />

Alamat:<br />

Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810<br />

Phone (021) 8370 2005 (Hunting)<br />

Fax (021) 8302434<br />

e-mail : yjp@jurnalperempuan.com<br />

Hubungi:<br />

Nazar (nazar@jurnalperempuan.com)<br />

(Bagian Distribusi)<br />

136<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Buku ini memuat persoalan-persoalan yang dihadapi<br />

perempuan dalam politik. Di dalamnya kita akan<br />

diperkenalkan pada apa makna politik, apa hambatanhambatan<br />

perempuan yang ingin terjun ke dunia<br />

politik, serta bagaimana agar perempuan dapat<br />

melakukan perubahan dari sekarang.<br />

Buku ini juga memuat panduan-panduan praktis<br />

disertai dengan data, pengalaman, dan kecenderungan<br />

terbaru yang dihadapi perempuan dalam politik, baik di<br />

negeri sendiri maupun di luar negeri.<br />

Isi dan penjelasan buku ini sangat berguna bagi perempuan<br />

yang hendak terjun di dunia politik, para politisi, aktivis<br />

pembela hak-hak perempuan, akademisi, peneliti, dan semua<br />

pihak pemerhati masalah partisipasi perempuan dalam politik di<br />

Indonesia.<br />

Hubungi kami untuk informasi lebih lanjut.<br />

Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810<br />

Telp. : (021) 8370 2005, Fax : (021) 830 2434<br />

E-mail : yjp@jurnalperempuan.com<br />

B uku ini mengeksplorasi persoalanpersoalan<br />

filsafat dan feminisme. Di dalam<br />

eksplorasi ini, penulis menunjukkan dominasi<br />

pemikiran maskulin di dalam Filsafat Barat.<br />

Sebanyak 14 filsuf terkenal diteliti mulai dari filsuffilsuf<br />

Yunani hingga filsuf-filsuf kontemporer dalam<br />

teks-teks filosofis mereka tentang perempuan. Temuantemuan<br />

yang dicapai adalah bahwa kebanyakan filsuf<br />

meminggirkan perempuan dalam mainstream filsafat dan<br />

tidak memberikan ruang bagi pemikiran feminis. Penulis<br />

menggunakan pendekatan dekonstruksi untuk<br />

memperlihatkan bagaimana cara berpikir maskulin<br />

beroperasi dan dengan pendekatan yang sama berhasil<br />

menyuarakan filsuf-filsuf perempuan dengan cara baca<br />

yang baru.<br />

Karya Gadis Arivia<br />

Untuk informasi lebih lanjut hubungi<br />

Bagian Pemasaran Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />

Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810<br />

Telp. : (021) 8370 2005<br />

Fax : (021) 830 2434<br />

E-mail : yjp@jurnalperempuan.com


• Profil •<br />

138<br />

Foto: Dok. YJP<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Profil •<br />

Sjamsiah Achmad:<br />

Pengawal Keadilan Melalui<br />

Konvensi<br />

Eko Bambang Subiyantoro<br />

Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya pada hari Selasa malam,<br />

10 Januari 2006 menjadi waktu yang paling luang bagi Sjamsiah<br />

Achmad dari sekian waktu yang dipadati oleh kesibukannya.<br />

Melalui percakapan telepon, Sjamsiah Achmad sangat bersemangat<br />

untuk meluangkan waktunya meski hari itu bertepatan dengan<br />

peringatan Hari Raya Idul Adha. “Selasa malam anda tidak keberatan<br />

kan datang ke rumah saya?” begitu tanya Sjamsiah. “Saya menanyakan<br />

pada anda karena saya takut menganggu waktu anda di hari lebaran,”<br />

katanya lagi.<br />

Di usia 73 tahun pada bulan Maret 2006, agenda kerja Sjamsiah<br />

Achmad bukannya berkurang, justru semakin padat. Pagi hari, 11 Januari<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

139


Pengawal Keadilan Melalui Konvensi<br />

Eko Bambang Subiyantoro<br />

lalu, beliau harus ke Denpasar, Bali dan hari itu juga harus kembali ke<br />

Jakarta untuk melaksanakan kewajibannya melakukan beberapa<br />

kegiatan. Baru beberapa hari di Jakarta ia kemudian harus bertolak ke<br />

Tokyo, Jepang. Ia sedang tidak melakukan perjalanan wisata, melainkan<br />

perjalanan kemanusiaan yang terus ia suarakan, khususnya keadilan<br />

bagi perempuan.<br />

Saat saya tiba di kediamannya, di komplek LIPI Taman Widya Candra<br />

Jakarta Selatan, rumah beliau tidak nampak seperti rumah di sebuah<br />

kawasan, yang dikenal sebagai perumahan para menteri. Saya menemui<br />

beliau di ruang tamu dengan sebuah kipas angin sederhana yang<br />

lumayan menghilangkan udara panas hari itu. Saya melihat sekeliling<br />

dan di ruangan itu saya terpaku pada foto-foto yang dipajang. Tampak<br />

salah satu foto, Sjamsiah memegang sebuah tropi penghargaan sebagai<br />

perempuan berbusana terbaik. “Saya dinilai sebagai orang yang selalu<br />

memakai busana baik, menggunakan pakaian dengan bahan-bahan<br />

tradisional Indonesia. Saya tidak menyangka apa yang saya kenakan<br />

diperhatikan orang,” ujar Sjamsiah tertawa di usianya yang lebih dari<br />

setengah baya. Sementara itu foto lainnya tampak Sjamsiah berjabat<br />

tangan dengan Hilary Clinton, ketika berkunjung ke Indonesia beberapa<br />

waktu yang lalu.<br />

“Mengapa Anda memilih saya untuk diwawancara?” tanya Sjamsiah<br />

mengawali pembicaraan. “Tema <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> kali ini tentang<br />

Konvensi Internasional yang berkaitan dengan penghapusan segala<br />

bentuk kekerasan terhadap perempuan atau <strong>CEDAW</strong>. Perjuangan<br />

melaksanakan konvensi tersebut tentu tidak lepas dari proses<br />

keterlibatan perempuan sehingga konvensi ini ikut diratifikasi oleh<br />

negara kita. Maka sulit membiarkan seorang ibu yang banyak orang<br />

bilang mempunyai komitmen kuat terhadap pelaksanaan <strong>CEDAW</strong> di<br />

Indonesia, itulah alasan kami melakukan wawancara,” jawab saya.<br />

<strong>Perempuan</strong> Sulawesi yang Menapak Dunia<br />

Tanggal 10 Maret 2006, Sjamsiah Achmad tepat berusia 73 tahun,<br />

tentu bukan usia muda lagi untuk seorang aktivis dengan segudang<br />

kegiatan. Kita tentu dapat membayangkan bagaimana di usianya yang<br />

muda dulu ketika Indonesia masih dalam kondisi revolusi dan kemudian<br />

membiasakan dirinya merdeka dan tuntutan pembangunan di sanasini<br />

terjadi, ia menapaki perjuangan hak-hak perempuan di tingkat<br />

140<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Eko Bambang Subiyantoro<br />

Pengawal Keadilan Melalui Konvensi<br />

nasional bahkan sampai ke tingkat internasional. Bagi saya mungkin<br />

saja, di saat kini pun Sjamsiah Achmad masih terlihat energik dan<br />

tangkas.<br />

<strong>Perempuan</strong> kelahiran Sengkang Sulawesi Selatan tahun 1933 ini<br />

adalah anak keempat dari sembilan bersaudara dengan dua orang ibu.<br />

Ia tujuh bersaudara kandung dengan ibu pertama dan bertambah lagi<br />

dua saudara dari ibu tiri. Ayahnya adalah pensiunan kepala kejaksaan<br />

negeri Kabupaten Sengkang Sulawesi Selatan. “Saya kasihan dengan<br />

mendiang ibu saya. Nampaknya waktu itu tidak ada perhatian soal<br />

kesehatan reproduksi. Hampir setiap tahun melahirkan, bahkan sampai<br />

beberapa tahun tidak mendapat menstruasi. Ia meninggal setelah<br />

kelahiran adik saya yang ketujuh,” kenang Sjamsiah.<br />

Jika sekarang Sjamsiah menjadi seorang peneliti, mungkin bukanlah<br />

pekerjaan yang dicita-citakan, karena waktu kecil Sjamsiah ingin menjadi<br />

seorang dokter, tetapi karena yang ada asramanya adalah sekolah guru,<br />

maka mau tidak mau Sjamsiah mesti mengikuti pendidikan guru.<br />

“Zaman dulu ketat sekali, kita tidak dapat sembarangan sekolah, apalagi<br />

waktu itu zaman perang, dan saya masuk ke sekolah guru dan lulus di<br />

tahun 1952.”<br />

Selepas sekolah guru, awalnya Sjamsiah ingin melanjutkan sekolah<br />

lebih tinggi, namun ada larangan dari pemerintah untuk tidak<br />

melanjutkan pendidikan dengan alasan setelah perang negara sangat<br />

kekurangan guru. Tetapi pemerintah berjanji membolehkan sekolah lagi,<br />

dengan syarat telah mengajar selama dua tahun, tetapi dengan<br />

persyaratan lulusan ranking 1 sampai 3. Sjamsiah kebetulan memenuhi<br />

syarat itu, sehingga setelah 2 tahun mengajar pada tahun 1954, ia<br />

menagih janji kepada pemerintah untuk diperbolehkan sekolah. Untuk<br />

mengurus kebutuhan pendidikan ini ia harus bolak-balik ke Jakarta<br />

karena ada perubahan pola pemerintahan. Setelah tiga bulan lamanya<br />

mengurus surat-surat, akhirnya ia pindah ke Jakarta dan mulai<br />

melanjutkan sekolah. Pada waktu itu Sjamsiah ternyata masih memiliki<br />

kewajiban untuk mengajar lagi. “Pagi saya sekolah, dan sore mengajar,<br />

begitu terus, saya sampai tidak merasakan letih,” ungkapnya.<br />

Berkat kerja kerasnya, akhirnya ia melanjutkan kuliah di Diploma 1<br />

Pendidikan, waktu itu namanya Sekolah Khusus Pendidikan. Setelah<br />

tamat diploma, ia melanjutkan ke UKI (Universitas Kristen Indonesia)<br />

mengambil jurusan Pedagogi di Fakultas Sastra dan Filsafat sampai<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

141


Pengawal Keadilan Melalui Konvensi<br />

Eko Bambang Subiyantoro<br />

berhasil menyelesaikan sarjana muda. “Setelah lulus, oleh almarhum<br />

Prof. Simanjuntak, mantan rektor IKIP (sekarang Universitas Negeri<br />

Jakarta), saya dan dua teman diminta kerjasama dengan beliau untuk<br />

membentuk unit riset departemen pendidikan nasional. Unit riset ini<br />

berada di bawah Jawatan Pendidikan Umum. Sekarang namanya badan<br />

Litbang Diknas. Waktu itu kita dirikan pada tahun 1956,” ujar Sjamsiah.<br />

Di unit Research baru tersebut Sjamsiah mulai terus melakukan<br />

pengembangan dan penelitian tentang dunia pendidikan. Ia misalnya<br />

melakukan riset bagaimana membaca dengan metode keluar sekolah<br />

dan untuk percobaannya dilakukan di Tapak Siring Bali. Setelah hampir<br />

4 tahun menjadi peneliti, pada tahun 1960, Sjamsiah mendapat<br />

kesempatan untuk meraih Master of Elementery Schooll Supervision di<br />

New York University, New York City, USA. Studi di AS ini terbilang<br />

singkat, di sana Sjamsiah benar-benar konsentrasi penuh. Pada tahun<br />

1962, Sjamsiah sudah berhasil meraih gelar Master itu; “Master yang<br />

saya raih cepat, karena di sana saya hanya kuliah saja, kalau di<br />

Indonesia ya kuliah, ya riset, sambil mengajar.”<br />

Sebetulnya, begitu<br />

Sjamsiah berhasil menyelesaikan<br />

studinya,<br />

ia langsung ditawari<br />

untuk mengambil Ph.D<br />

oleh profesornya. Tawaran<br />

itu ditolak, meskipun<br />

profesornya memberi<br />

garansi 2 tahun<br />

untuk dapat selesai.<br />

“Saya bilang tidak, saya<br />

sudah diberi kesempatan<br />

banyak oleh bangsa<br />

lain dan sekarang rakyat<br />

Indonesia sedang<br />

membutuhkan saya, dan saya ingin mengabdi untuk rakyat Indonesia,”<br />

katanya. Sebelum balik ke Indonesia, beruntung Sjamsiah masih sempat<br />

mampir selama 3 bulan di Inggris atas undangan British Council untuk<br />

melihat sistem pendidikan yang dikembangkan di Inggris.<br />

Setelah balik ke Indonesia, Sjamsiah kembali bekerja di Unit Riset<br />

Foto: Dok. YJP<br />

142<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Eko Bambang Subiyantoro<br />

Pengawal Keadilan Melalui Konvensi<br />

yang ia bangun dan kemudian semakin berkembang. Satu tahun saja ia<br />

bekerja di sana, karena kemudian ia dipindahkan ke Departemen Urusan<br />

Riset Nasional tahun 1963. Namun demikian, baru satu tahun juga<br />

bekerja, Sjamsiah sudah harus pindah lagi ke Moskow, menjadi sekretaris<br />

pribadi Duta Besar RI di Moskow. Tujuan utama di Moskow, selain<br />

bekerja, Sjamsiah harus menjalani perawatan, karena sebelumnya ia<br />

mengalami kecelakaan. Pakaian yang ia kenakan terbakar api yang<br />

ditimbulkan dari spirtus yang ia gunakan sebagai pemanas makanan.<br />

“Sejak kejadian itu, saya cuti di luar tanggungan negara. “Ke Moskow<br />

juga dalam rangka berobat. Selama tiga tahun di sana, saya belajar bahasa<br />

Rusia dan politik. Saya baca semua buku-buku politik, dan saya selalu<br />

memberi masukan ke duta besar yang telah membantu saya,” ujar<br />

Sjamsiah. Ketika kembali ke Indonesia, ternyata Departeman Riset<br />

Nasional tidak ada lagi, digantikan menjadi Lembaga Riset Nasional,<br />

dan setahun kemudian berubah menjadi LIPI (Lembaga Ilmu<br />

Pengetahuan Indonesia). “Saya bekerja sejak LIPI berdiri, dan saya<br />

menjadi Kepala Biro Hubungan Internasional tahun 1967 sampai dengan<br />

tahun 1978.”<br />

Karir Sjamsiah terus melejit. Setelah sebelas tahun di LIPI, ia ditawari<br />

bekerja di PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) oleh pemerintah RI. Tadinya<br />

Sjamsiah hanya dikontrak selama 3 bulan, tetapi kemudian diperpanjang<br />

menjadi 1 tahun, sampai akhirnya diperpanjang lagi menjadi 11 tahun.<br />

Di Lembaga PBB ini Sjamsiah bekerja di Office for Science and Technology<br />

United National, New York. Setelah dua tahun ia pindah ke Non<br />

Governmental Organizations (NGOs) Unit, Office of The Under Secretary<br />

General (1982-1983).<br />

Berikutnya pada tahun 1983 Sjamsiah mendapat tugas di Wina,<br />

Austria sebagai Program Officer di Branch for the Advancement of Women,<br />

Center for Social Development and Humanitarian Affairs UNOV (United<br />

Nations Office Vienua) sejak 1986 sampai 1988. Selama periode 1983-1988<br />

ini ia sangat terlibat dalam persiapan dan penyusunan tiga dokumen<br />

utama Konverensi Dunia Ketiga tentang perempuan di tahun 1985, yaitu<br />

“Review and Appraisal” Dasa Warsa PBB untuk perempuan. Ia terpilih<br />

sebagai ketua Tim untuk Strategi Berwawasan Kedepan bagi Kemajuan<br />

<strong>Perempuan</strong>, dan Survei Dunia I tentang Wanita dalam Pembangunan,<br />

maupun Rencana Jangka Menengah antar Badan-Badan PBB bagi<br />

kemajuan <strong>Perempuan</strong>.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

143


Pengawal Keadilan Melalui Konvensi<br />

Eko Bambang Subiyantoro<br />

“Sebenarnya pada waktu itu saya tidak tahu tentang women. Tetapi<br />

untungnya sejak saya di PBB, sampai tahun 1980, setiap konferensi<br />

dunia, Sekjen membuat pidato dan kebetulan saya menjadi tim penulis<br />

pidatonya, saya lalu banyak mendengarkan, apa itu women,” ujar<br />

Sjamsiah. “Nah untungnya lagi, waktu itu NGO perempuan di NewYork<br />

sudah besar, jadi setiap sabtu saat NGO tersebut rapat, terutama pada<br />

saat menjelang konferensi, saya terpanggil ingin tahu, ikut aja di situ<br />

mendengarkan mereka dan setelah itu saya mengerti tentang women yang<br />

dimaksud di sini adalah perjuangan atau gerakan perempuan untuk<br />

mendapatkan hak-haknya.”<br />

Sejak itu aktivitas Sjamsiah terus berlanjut. Sejak ditugaskan di Wina,<br />

ia bertekad bulat memperjuangkan perempuan Indonesia yang ia tahu<br />

kondisinya. Ia lalu dipercaya oleh United Nation (PBB) untuk kembali<br />

menjabat sebagai Komite <strong>CEDAW</strong> yang terdiri dari 24 perwakilan negara<br />

yang telah meratifikasi Konvensi <strong>CEDAW</strong>. Sjamsiah Achmad adalah<br />

generasi ketiga yang diangkat menjadi Komite <strong>CEDAW</strong> di PBB. Pertama<br />

kali yang ditunjuk adalah Almarhumah Ibu Sukarman. Namun beliau<br />

belum sempat datang, meninggal dunia karena kecelakaan. Selanjutnya<br />

diganti dengan Prof. Pujiwati Sayogyo dari Institut Pertanian Bogor (IPB).<br />

Setelah itu, periode berikutnya adalah Sunaryati Hartono, mantan kepala<br />

BPHN, sekarang wakil ketua Ombusdman, barulah kemudian Sjamsiah<br />

Achmad pada tahun 2001-2004.<br />

Saat ini, selain menjadi Penasehat Gender dan Iptek di LIPI, Sjamsiah<br />

juga menjadi Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap<br />

<strong>Perempuan</strong> (Komnas <strong>Perempuan</strong>). Bahkan di usianya yang menjelang<br />

73 tahun ini, ia diangkat menjadi anggota Komisi Kebenaran dan<br />

Persahabatan Indonesia – Timor Leste, yang di angkat oleh Presiden<br />

SBY dan Presiden Xanana Gusmao.<br />

Pengawal <strong>CEDAW</strong>, Pengawal Keadilan <strong>Perempuan</strong><br />

“Sebagai negara yang telah meratifikasi <strong>CEDAW</strong>, tanggung jawab<br />

ini seharusnya benar-benar dilaksanakan oleh semua pihak, khususnya<br />

eksekutif, legislatif, yudikatif, media, NGO dan setiap individu,” ujar<br />

Sjamsiah. Itulah sebabnya Sjamsiah Achmad kelihatan tidak mau<br />

berhenti mengawal <strong>CEDAW</strong> untuk dapat dilaksanakan dengan baik di<br />

Indonesia. Sampai sekarang ia terus memantau perkembangan <strong>CEDAW</strong>,<br />

meskipun tidak lagi aktif di Komite <strong>CEDAW</strong>. Menurut Sjamsiah meskipun<br />

144<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Eko Bambang Subiyantoro<br />

Pengawal Keadilan Melalui Konvensi<br />

sudah ada beberapa kemajuan perempuan di Indonesia, namun <strong>CEDAW</strong><br />

secara substansi belum dapat dikatakan berjalan dengan baik.<br />

Menurutnya, masih banyak terjadi ketidakadilan bagi perempuan di<br />

Indonesia. Ketidakadilan ini disebabkan oleh beberapa hal, disamping<br />

kultur masyarakat, peran negara untuk menghapus kekerasan terhadap<br />

perempuan juga belum sepenuhnya dilakukan, bahkan dipahami.<br />

Indonesia, menurut Sjamsiah sebenarnya tidak terlalu terpanggil untuk<br />

bicara soal hak asasi manusia. “Pak Harto (baca: Soeharto, pemimpin<br />

Orde Baru) baru bicara persoalan ini sekitar tahun 1990, mendekati<br />

turunnya dari jabatan presiden. Sejak itulah, kita baru membentuk<br />

Komnas HAM dan sebagainya. Menjelang Viena tahun 1993, baru<br />

Indonesia bicara soal hak asasi manusia, karena tidak mungkin kalau<br />

tidak bicara,”ujar Sjamsiah.<br />

<strong>CEDAW</strong> diakui oleh Sjamsiah sampai kini belum banyak diketahui<br />

oleh masyarakat luas, khususnya Aparat Penegak hukum dan<br />

pemerintah yang membuat kebijakan. “Jangankan masyarakat luas,<br />

aparat penegak hukum, dan aparatur pemerintah saja sampai sekarang<br />

masih banyak yang tidak mengerti apa itu <strong>CEDAW</strong>,” katanya lagi.<br />

Menurut Sjamsiah hal ini karena sosialisasi keberadaan <strong>CEDAW</strong> masih<br />

sangat minim. Padahal <strong>CEDAW</strong> sudah berumur lebih dari 20 tahun,<br />

sejak diratifikasi pertama kali di tahun 1984. “Banyak tanggungjawab<br />

negara yang masih belum dilaksanakan. Harmonisasi hukum masih<br />

‘segudang’ yang belum kita lakukan. Peradilan yang kompeten juga belum<br />

bisa kita ciptakan. Tidak hanya peradilan dengan standar yang ada,<br />

tetapi juga peradilan yang berperspektif gender,”<br />

Sjamsiah menyesalkan tidak tersosialisasinya <strong>CEDAW</strong> dengan baik,<br />

padahal <strong>CEDAW</strong> memberi banyak pengertian tentang bentuk-bentuk<br />

diskriminasi terhadap perempuan. Menurut Sjamsiah, selama ini upaya<br />

pemberdayaan perempuan sering ditentang oleh masyarakat. “Misalkan<br />

saja soal kuota perempuan 30 persen. Masyarakat masih banyak yang<br />

tidak paham soal kuota perempuan. Kuota perempuan masih dianggap<br />

sebagai tindakan meminta belas kasihan, ini kan keliru besar,” cetusnya.<br />

“Kenapa 30 persen? itu juga sudah menjadi ketentuan internasional<br />

secara minimal untuk mempengaruhi kualitas kebijakan publik. Jadi<br />

bukannya meminta-minta, tetapi itu memang hak perempuan. Dan yang<br />

lebih penting lagi, bahwa itu sifatnya temporary, tidak permanen,”<br />

katanya lagi.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

1<strong>45</strong>


Pengawal Keadilan Melalui Konvensi<br />

Eko Bambang Subiyantoro<br />

Menurut Sjamsiah, hal yang paling penting di <strong>CEDAW</strong> adalah<br />

prinsipnya yang non diskriminasi. Jika terjadi pembedaan perempuan<br />

dan berakibat pada kerugian perempuan itu, maka sudah termasuk<br />

diskriminasi. Di dalan konvensi <strong>CEDAW</strong> sudah diatur secara detail,<br />

bahkan sudah sangat jelas mana yang temporary action dan mana yang<br />

permanent action. “Masalah pendidikan misalnya. Data menunjukkan<br />

angka partisipasi sekolah anak perempuan cukup rendah dibandingkan<br />

dengan anak laki-laki. Nah upaya untuk mengejar ketertinggalan<br />

pendidikan anak perempuan inilah yang dimaksud sebagai upaya<br />

temporary action. Misalkan memberi beasiswa untuk perempuan, itu<br />

sifatnya benar-benar temporary action yang harus dihapuskan bila<br />

persamaan sudah mulai terbangun,” katanya.<br />

Belum berjalannya <strong>CEDAW</strong> secara baik di Indonesia bukan berarti<br />

Indonesia tidak melaksanakannya sama sekali. Digunakannya <strong>CEDAW</strong><br />

sebagai dasar hukum sejumlah kebijakan adalah indikator yang dapat<br />

diacungi jempol, karena dengan demikian <strong>CEDAW</strong> diperhatikan<br />

keberadaannya. Sjamsiah memaklumkan kesulitan pelaksanaan ini<br />

berkaitan dengan persoalan kultur budaya yang berbaur dengan agama<br />

di Indonesia adalah kendala yang paling berat bagi pelaksanaan<br />

<strong>CEDAW</strong>.<br />

Masyarakat masih belum bisa melihat bahwa budaya, sebagai ciptaan<br />

manusia dapat diubah dan berkembang sesuai konteks zamannya. Tidak<br />

banyak perubahan akan kultur budaya dan perilaku masyarakat ini<br />

juga terjadi pada aspek pembedaan gender (sengaja dibedakan antara<br />

perempuan dan laki-laki atau diskriminatif terhadap perempuan) dalam<br />

masyarakat. Pembedaan gender sebagai bentuk konstruksi masyarakat,<br />

dianggap sebagai sesuatu yang memang sudah demikian adanya.<br />

Masyarakat masih belum mau melakukan perubahan-perubahan secara<br />

mendasar dengan alasan akan mengubah struktur kehidupan, ditambah<br />

lagi dengan konservatisme agama yang semakin menyudutkan<br />

perempuan dalam masyarakat. “Bukti nyata dari semua ini adalah masih<br />

berlakunya UU Perkawinan tahun 1974 yang menempatkan perempuan<br />

sebagai orang nomor dua. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa lakilaki<br />

yang mencari nafkah, perempuan mengurus rumah tangga, yang<br />

seharusnya ketentuan ini harus diubah karena merugikan dan tidak<br />

memberi keadilan bagi perempuan,” katanya lagi. “Di masa depan, saya<br />

hanya berharap, pemerintah membuat sistem kelembagaan yang akan<br />

146<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Eko Bambang Subiyantoro<br />

Pengawal Keadilan Melalui Konvensi<br />

“Di masa depan, saya hanya<br />

berharap, pemerintah membuat<br />

sistem kelembagaan yang akan<br />

menangani masalah HAM,<br />

dalam arti pelaksanaan,<br />

sehingga kita bisa menjamin<br />

dua hal, pertama memberi<br />

keadilan kepada orang yang<br />

dilanggar HAM-nya, kedua<br />

memberi keadilan pula kepada<br />

pelaku yang harus dibawa ke<br />

pengadilan.”<br />

Foto: Dok. YJP<br />

menangani masalah HAM, dalam arti pelaksanaan, sehingga kita bisa<br />

menjamin dua hal, pertama memberi keadilan kepada orang yang<br />

dilanggar HAM-nya, kedua memberi keadilan pula kepada pelaku yang<br />

harus dibawa ke pengadilan.”<br />

Dedikasi Sjamsiah yang tinggi bagi perjuangan hak asasi manusia<br />

dan khususnya keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia tidak<br />

pernah redup. Hidupnya telah ia serahkan secara total bagi umat<br />

manusia. Di kalangan aktivis dan gerakan perempuan Indonesia bahkan<br />

di dunia, nama Sjamsiah Achmad bukan nama asing. Empat tahun<br />

keberadaanya di Komite <strong>CEDAW</strong> Badan Dunia ini, menjadikan upaya<br />

keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia sebagai bagian dari<br />

hidupnya. Ia selalu mengamati bagaimana bentuk diskriminasi terjadi<br />

terus pada perempuan di negeri ini. Dan dengan peran dan<br />

kompetensinya di tataran nasional maupun internasional, ia telah<br />

banyak melakukan perubahan dan pemahaman bagi banyak pihak.<br />

Itulah sebabnya Syamsiah Achmad, yang memang memilih hidupnya<br />

menjadi pengawal keadilan bagi perempuan melalui konvensi hukum<br />

yang berpihak pada perempuan dimana ia dapat langsung terlibat di<br />

dalamnya.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

147


• Rak Buku •<br />

Simone de Beauvoir dan Etika<br />

Pembebasan <strong>Perempuan</strong><br />

Judul Buku : Pembebasan Tubuh <strong>Perempuan</strong>:<br />

Gugatan Etis Simone de<br />

Beauvoir terhadap Budaya<br />

Patriarkat<br />

Penulis : Shirley Lie<br />

Pengantar : Karlina Supelli<br />

Penerbit : Grasindo, Jakarta<br />

Cetakan : Pertama, 2005<br />

Tebal : xx + 102 halaman<br />

Di kalangan para aktivis gender,<br />

Simone de Beauvoir (1908-<br />

1986) merupakan salah satu tokoh<br />

kunci yang pemikirannya tak bisa<br />

dilewatkan untuk ditelaah.<br />

Magnum opusnya, Le Deuxième Sexe<br />

(1949), dicatat sebagai karya klasik<br />

yang memberikan uraian cukup<br />

komprehensif tentang kondisi<br />

(ketertindasan) perempuan dan<br />

telah memberikan pengaruh yang<br />

cukup signifikan dalam menginspirasi<br />

dan memotivasi gerakangerakan<br />

pembebasan perempuan.<br />

Karya klasiknya itu, yang dalam<br />

bahasa Inggris berjudul The Second<br />

Sex, telah diterjemahkan ke dalam<br />

bahasa Indonesia, diterbitkan oleh<br />

Pustaka Promethea, Yogyakarta<br />

(2003).<br />

148<br />

Buku yang semula adalah tesis<br />

di Sekolah Tinggi Filsafat<br />

Driyarkara Jakarta ini adalah salah<br />

satu dari sedikit karya dalam<br />

bahasa Indonesia yang mencoba<br />

mensis-tematisasi dan mengkontekstualkan<br />

pemikiranpemikiran<br />

Beauvoir. Gagasangagasan<br />

Beauvoir yang dapat<br />

dikatakan bersifat filosofis dan<br />

merupakan kritik pedas terhadap<br />

budaya patriarkhat yang menindas<br />

dalam buku ini diletakkan dalam<br />

kerangka praksis-etis pembebasan<br />

kaum perempuan. Untuk itu,<br />

penulis buku ini, selain mengolah<br />

dari The Second Sex, juga banyak<br />

mengolah pemikiran filosofis<br />

Beauvoir yang tertuang dalam The<br />

Ethics of Ambiguity.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Rak Buku •<br />

Budaya patriarkhat memulai<br />

riwayat penindasannya terhadap<br />

perempuan dengan stigmatisasi<br />

negatif terhadap kebertubuhan<br />

perempuan. Unsur-unsur biologis<br />

pada tubuh perempuan dilekati<br />

dengan atribut-atribut patriarkhat<br />

dengan cara menegaskan bahwa<br />

tubuh perempuan adalah hambatan<br />

untuk melakukan aktualisasi diri.<br />

<strong>Perempuan</strong> diciutkan semata dalam<br />

fungsi biologisnya saja. Dengan cara<br />

demikian, tubuh bagi kaum<br />

perempuan tak lagi dapat menjadi<br />

instrumen untuk melakukan<br />

transendensi sehingga perempuan<br />

tak dapat memperluas dimensi<br />

subjektivitasnya kepada dunia dan<br />

lingkungan di sekitarnya. Tubuh<br />

yang sudah dilekati nilai-nilai<br />

patriarkhat ini kemudian dikukuhkan<br />

dalam proses sosialisasi serta<br />

diinternalisasikan melalui mitosmitos<br />

yang ditebar ke berbagai pranata<br />

sosial: keluarga, sekolah, masyarakat,<br />

bahkan mungkin juga negara.<br />

Dalam kerangka penjelasan<br />

seperti inilah maka perempuan<br />

kemudian diposisikan sebagai jenis<br />

kelamin kedua (the second sex) dalam<br />

struktur masyarakat. Akibatnya,<br />

perempuan tak dapat mengolah<br />

kebebasan dan identitas kediriannya<br />

dalam kegiatan-kegiatan yang<br />

positif, konstruktif, dan aktual.<br />

Dalam situasi yang demikian ini,<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

pola relasi kaum laki-laki dan<br />

perempuan menjadi tak ramah lagi.<br />

Kaum laki-laki tak menghendaki<br />

adanya ketegangan relasi subjekobjek,<br />

sebagaimana dijelaskan oleh<br />

filsuf-filsuf eksistensial, dengan<br />

menyangkal subjektivitas perempuan<br />

dan menjadikannya sebagai<br />

peng-ada lain yang absolut.<br />

Pada titik inilah pemikiran<br />

Beauvoir tentang etika ambiguitas<br />

menjadi penting dikemukakan.<br />

Dengan etika ambiguitas, Beauvoir<br />

menolak sikap yang ingin mengelak<br />

ketegangan relasi tersebut. Menurut<br />

Beauvoir, ketegangan antara<br />

“kebutuhan akan orang lain” dan<br />

“kekhawatiran dikuasai orang lain”<br />

(diobjekkan) merupakan situasi<br />

yang harus diterima apa adanya<br />

dan ditransendensikan ke dalam<br />

situasi yang lebih proposional dan<br />

manusiawi.<br />

Jalan pembebasan kaum perempuan<br />

ditempuh dari dua jalur<br />

utama, yakni level pemikiran dan<br />

praktik. Pada tataran pemikiran,<br />

tubuh perempuan harus dibebaskan<br />

dari label-label yang ditempelkan<br />

oleh budaya patriarkhis yang<br />

membuatnya tak leluasa melakukan<br />

proses transendensi. Tubuh, milik<br />

perempuan maupun laki-laki,<br />

dalam pandangan filosofis<br />

Beauvoir adalah situasi; tubuh<br />

adalah tempat subjek melakukan<br />

149


• Rak Buku •<br />

dialog dan penafsiran antara<br />

sejumlah nilai yang ditawarkan<br />

konstruksi sosial di sekelilingnya<br />

dan nilai-nilai yang dipilihnya<br />

secara otonom. Selain menempatkan<br />

konsep subjek dengan tubuh<br />

yang berbeda dan ambigu, Beauvoir<br />

juga menyerukan untuk mengubah<br />

pola relasi antara kaum laki-laki<br />

dan perempuan dari ikatan biologis<br />

dan fungsional menjadi ikatan<br />

manusawi dan etis, yang terangkum<br />

dalam semangat persahabatan<br />

dan kemurahan hati.<br />

Di level praktik, Beauvoir<br />

mengusulkan pentingnya kemandirian<br />

ekonomi sebagai pintu<br />

pembuka bagi pembebasan tubuh<br />

perempuan, yang akan semakin<br />

mantap jika dipadukan dengan<br />

perlakuan setara terhadap perempuan<br />

di ranah sosial, budaya, dan<br />

politik, yang dicapai melalui<br />

revolusi sosial.<br />

Selain melakukan sistematisasi,<br />

buku ini cukup berhasil melakukan<br />

kritik dan kontekstualisasi<br />

pemikiran-pemikiran Beauvoir<br />

dalam konteks problem-problem<br />

kekinian perempuan di era<br />

globalisasi. Di beberapa bagian<br />

misalnya, menurut penulis buku ini,<br />

Beauvoir kadang terlihat terlalu<br />

menyederhanakan persoalan situasi<br />

perempuan dan tidak mengakomodasi<br />

kompleksitas situasi<br />

150<br />

penindasan perempuan yang<br />

cukup rumit. Di akhir bagian,<br />

penulis buku ini menambahkan<br />

bahwa selain ancaman nilai-nilai<br />

patriarkhat sebagaimana tampak<br />

jelas dalam pemikiran Beauvoir,<br />

perempuan kini juga ditantang oleh<br />

kekuatan pasar bebas yang untuk<br />

beberapa hal tak jauh berbeda<br />

dengan kultur patriarkhis dalam<br />

soal menyempitkan ruang perempuan<br />

ke dalam kategori objek belaka,<br />

di tengah kegamangan kaum<br />

perempuan untuk terjun ke dalam<br />

ketegangan dan sifat dasar<br />

kebebasannya.<br />

Karya ini cukup berhasil<br />

menyajikan pemikiran-pemikiran<br />

filosofis Simone de Beauvoir tentang<br />

praksis etis pembebasan perempuan<br />

dalam bahasa dan uraian<br />

yang cukup mudah dicerna tanpa<br />

harus kehilangan segi kedalaman<br />

kajiannya. Buat mereka yang terjun<br />

di level gerakan (sosial) pembebasan<br />

perempuan, buku ini dapat<br />

menyuguhkan peta umum kondisi<br />

perempuan dengan berbagai<br />

kompleksitas persoalannya, dan<br />

buat kaum perempuan sebagai<br />

individu, melalui buku ini Beauvoir<br />

memberikan semangat dan seruan<br />

untuk selalu hidup lebih autentik<br />

dan hidup dengan semangat<br />

menggali identitas dan makna<br />

kebebasan. (M Mushthafa)<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Duka untuk Betty Friedan<br />

(1921 - 2006)<br />

Sebagai lembaga yang concern dengan<br />

perjuangan feminisme di seluruh dunia,<br />

kami ikut berduka atas meninggalnya Betty<br />

Friedan, 5 Februari 2006 lalu, bertepatan dengan<br />

hari ulang tahunnya ke 85. Betty Friedan adalah<br />

seorang feminis modern gelombang pertama dengan<br />

bukunya yang terkenal The Feminine Mystique yang<br />

diluncurkan pada tahun 1963. Ia meninggal dunia karena<br />

mengalami gagal jantung di rumahnya, di Washington DC.<br />

Bukunya yang sangat laris terjual berjudul The Problem That Has No<br />

Name mengenai masa krisis perempuan Amerika pada masa setelah<br />

Perang Dunia ke II yang diperlakukan tidak adil oleh pemikiran<br />

tradisional terhadap peran perempuan di ranah domestik. Ia juga<br />

menulis buku Melding Sociology and Humnistic Psycholog, sebuah buku<br />

yang menjadi tonggak ujung sebuah pergerakan yang amat besar<br />

pada abad terakhir, dimana feminisme Amerika sangat berkembang<br />

maju semenjak tahun 1800.<br />

Selain itu, ia adalah seorang aktivis pendiri Organisasi<br />

<strong>Perempuan</strong> Nasional sebuah organisasi feminis baru yang<br />

pertama pada abad pertengahan di Amerika tahun 1966, Betty<br />

Friedan juga salah satu pendiri dari Kaukus Politik<br />

<strong>Perempuan</strong> dan juga mendirikan Kelompok Aksi Hak-<br />

Hak Aborsi.<br />

Kita kehilangan tokoh feminis modern,<br />

namun semangat dan ide perjuangannya<br />

bagi keadilan perempuan tetap terus<br />

bersama kita.


• Rak Buku •<br />

Otonomi Daerah:<br />

Perlu Reformasi pada Segala<br />

Kebijakan Publiknya<br />

Judul : Representasi <strong>Perempuan</strong><br />

dalam Kebijakan Publik di Era<br />

Otonomi Daerah<br />

Penulis : Endriana Noerdin, Lisabona<br />

Rahman, Ratna Laelasari Y.,<br />

Sita Aripurnami<br />

Penerbit : Women Research Institute<br />

Terbit : Jakarta, 2005<br />

Tebal : XVII + 76 Halaman<br />

Dalam kata pengantarnya,<br />

Hans Atlov mengatakan<br />

pentingnya keberadaan buku ini,<br />

terutama memaparkan bagaimana<br />

peraturan daerah (Perda) di<br />

Indonesia selama dua tahun<br />

belakangan in telah merugikan<br />

perempuan dengan membatasi hakhak<br />

asasi mereka. Hal ini merupakan<br />

salah satu akibat yang tidak<br />

menguntungkan dari desentralisasi<br />

sehingga membutuhkan perhatian<br />

lebih jauh untuk mengkaji implementasi<br />

Perda.<br />

Buku ini sendiri merupakan<br />

serangkaian penelitian yang<br />

dilakukan oleh Women Reseach<br />

Institute (WRI) di 10 pemerintah<br />

daerah (Pemda) dalam era otonomi<br />

daerah, meliputi Sukabumi,<br />

Tasikmalaya, Solok, Mataram,<br />

152<br />

Nanggroe Aceh Darussalam,<br />

Gianyar, Kupang, Kendari, Samarinda<br />

dan Kutai Barat. Satu langkah<br />

yang perlu didukung terutama dalam<br />

upaya mengevaluasi implementasi<br />

dari Undang-undang Otonomi<br />

Daerah tahun 1999, di mana<br />

sebetulnya pemerintah Indonesia<br />

telah membuat peraturan hukum<br />

dengan menyertakan pengarusutamaan<br />

gender dalam GBHN 1999.<br />

Riset yang dilakukan dengan<br />

menggunakan pendekatan kualitatif<br />

berperspektif feminis dalam analisis<br />

tekstual, sekaligus merupakan<br />

investigasi yang mengungkap<br />

bahwa Perda di sembilan kabupaten/<br />

kota dan satu provinsi,<br />

semuanya telah melanggar hak-hak<br />

asasi perempuan dan membatasi<br />

ruang kehidupan perempuan.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Rak Buku •<br />

Temuan-temuan yang tidak sensitif<br />

gender ini jelas meremehkan peran<br />

perempuan di wilayah publik<br />

bahkan mengucilkan eksistensi<br />

perempuan. Hal ini menunjukkan<br />

bahwa Pemda belum sepenuhnya<br />

memiliki political will untuk menganggap<br />

perempuan sebagai bagian<br />

dari publik. Diskriminasi dapat dilihat<br />

dalam banyak kejadian dengan<br />

penerapan hukum Syariah Islam,<br />

pemulihan institusi tata pemerintahan<br />

adat yang didominasi oleh<br />

laki-laki, konteks “perilaku amoral”,<br />

wajib berpakaian tertentu, pembatasan<br />

ruang bergerak seperti keluar<br />

pada malam hari, dan lainnya.<br />

Salah satu teks yang diangkat<br />

dalam buku ini adalah Qanun Kota<br />

Banda Aceh No. 7 Tahun 2002<br />

yang mengatur tata cara pemilihan<br />

Geucik (kepala kampung). Ada 14<br />

persyaratan yang tertera pada pasal<br />

8 ayat (1) oleh kandidat Geucik.<br />

Namun menyoroti salah satu syarat<br />

saja, yaitu harus mampu menjadi<br />

imam shalat, tentu membenturkan<br />

potensi perempuan untuk menjadi<br />

kepala kampung. Dalam perspektif<br />

masyarakat umum tentang Hukum<br />

Islam saja ia harus dibenturkan<br />

pada konteks aturan bahwa hanya<br />

laki-laki yang dapat menjadi imam<br />

shalat, sedangkan perempuan tidak<br />

dapat menjadi imam shalat bagi<br />

laki-laki. Jelas sudah, dalam hal ini,<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

mungkinkah perempuan diberi hak<br />

untuk menjadi Geucik?<br />

Sebagaimana Qanun yang<br />

memiliki potensi diskriminatif<br />

terhadap perempuan, maka perlu<br />

disimak kembali secara teliti apakah<br />

memang setiap Perda berpotensi<br />

menutup ruang publik perempuan?<br />

Kenapa penelitian awal ini<br />

memakai perspektif feminis<br />

disebabkan kebutuhannya yang<br />

mendesak, maka perspektif feminis<br />

dibandingkan dengan perspektif<br />

lain, sangat membantu mengungkap<br />

permasalahan perempuan<br />

pada umumnya, dan secara khusus<br />

erat kaitannya dengan representasi<br />

dan partisipasi perempuan dalam<br />

politik dan kebijakan publik.<br />

Dengan demikian hasil penelitian<br />

dapat digunakan sebagai rujukan<br />

untuk memetakan kebutuhan<br />

praktis dan strategis gender dalam<br />

rangka pemberdayaan politik<br />

perempuan di tingkat lokal dan<br />

nasional.<br />

Harusnya semua Perda mengacu<br />

kepada Undang-undang No. 22<br />

Tahun 1999 butir satu, yang<br />

menyatakan “Penyelenggaraan<br />

otonomi daerah dilaksanakan<br />

dengan memperhatikan aspek<br />

demokrasi, keadilan, pemerataan,<br />

serta potensi dan keanekaragaman<br />

daerah” (Bab I, hal 4). Namun<br />

membaca dari awal hingga bab<br />

153


• Rak Buku •<br />

terakhir dengan segala otensitas<br />

temuan-temuannya, buku ini jelas<br />

mengungkap ketimpangan gender<br />

dalam kebijakan publik bagi<br />

keadilan untuk perempuan dalam<br />

otonomi daerah. Maka buku ini<br />

dapat menjadi sebuah kitab<br />

pembelajaran, bahwa masih<br />

panjang jalan yang harus dilalui<br />

untuk mereformasi segala peraturan,<br />

segala kebijakan yang tidak<br />

mendiskriminasikan hak-hak<br />

perempuan sebagaimana termaktub<br />

dalam Deklarasi Universal Hak-hak<br />

Asasi Manusia dan Konvensi<br />

mengenai Penghapusan Segala<br />

Bentuk Diskriminasi terhadap<br />

<strong>Perempuan</strong> (<strong>CEDAW</strong>), semua<br />

prinsip-prinsip dasar yang<br />

menghormati hak-hak perempuan<br />

harus selalu ditegakkan. Satu<br />

harapan terakhirnya adalah<br />

“Masyarakat yang Berkeadilan<br />

Gender”. (Yoke Sri Astuti)<br />

Telah terbit<br />

buku terbaru<br />

tentang feminisme<br />

Feminisme:<br />

Sebuah Kata Hati<br />

Karya: Dr. Gadis Arivia<br />

”Buku ini merupakan koleksi tulisan<br />

yang lengkap tentang isu-isu<br />

feminisme. Apa yang dituangkan di<br />

dalam buku ini ditulis oleh seorang<br />

pemikir dan hati feminis. Penindasan<br />

yang ditentang dan dipersoalkan oleh<br />

seorang feminis mencerahkan dan<br />

membebaskan kelompok-kelompok<br />

tertindas lainnya”.<br />

Dapatkan di toko buku,<br />

bursa buku atau<br />

Koperasi Mahasiswa terdekat<br />

Departemen Filsafat<br />

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya<br />

Universitas Indonesia<br />

Untuk pemesanan hubungi:<br />

Ima 0812 981 1969<br />

Marketing YJP (021) 8370 2005<br />

154<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Perubahan<br />

Biaya Berlangganan<br />

Mulai Bulan April 2006, biaya<br />

berlangganan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />

sebesar Rp.100.000 untuk<br />

1 tahun/6 edisi<br />

(diluar ongkos kirim)<br />

NB:<br />

• Ongkos kirim berlangganan Pulau Jawa<br />

sebesar Rp. 5.000 x 6 edisi<br />

• Ongkos kirim berlangganan luar Pulau<br />

Jawa sebesar Rp. 10.000 x 6 edisi<br />

Untuk berlangganan dan informasi<br />

lebih lanjut hubungi:<br />

Marketing Yayasan <strong>Jurnal</strong><br />

<strong>Perempuan</strong><br />

Jl. Tebet Barat VIII No. 27<br />

Jakarta Selatan 12810<br />

Telp. : (021) 8370 2005<br />

Fax : (021) 830 2434<br />

E-mail : yjp@jurnalperempuan.com


• Puisi •<br />

Tanpa Sebab Langsung<br />

(With No Immediate Cause)<br />

Ntozake Shange<br />

Tiap 3 menit seorang perempuan dipukuli<br />

tiap lima menit seorang perempuaan diperkosa<br />

tiap sepuluh menit gadis kecil dilecehkan<br />

tetap saja aku naik kereta hari ini<br />

sebelahku seorang lelaki tua yang<br />

mungkin habis memukuli istrinya<br />

3 menit lalu atau 3 hari<br />

30 tahun lalu mungkin dia menyodomi anak<br />

perempuannya tapi aku duduk saja<br />

karena seorang pemuda di kereta<br />

mungkin memukuli seorang pemudi<br />

hari ini atau esok<br />

mungkin aku kurang cepat menutup<br />

pintu<br />

mendorong pintu tiap 3 menit terjadi<br />

seorang perempuan merebak ke pipinya<br />

tumpah dari mulutnya<br />

bagai boneka yang koyak<br />

dengan mulut merah merekah dan terbuka<br />

tiap tiga menit ada bahu<br />

terbentur plester dan pemanggang<br />

kursi terdorong hingga rusuk<br />

air panas atau sperma mendidih hiasi tubuhnya<br />

aku naik kereta hari ini<br />

156<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Puisi •<br />

dan beli koran dari seorang<br />

lelaki yang mungkin<br />

telah mencengkeram ibunya ke<br />

setrika<br />

aku tak tahu mungkin dia menahan gadis kecil di<br />

taman dan menyobek bagian belakangnya<br />

dengan batang besi<br />

aku tak tahu pasti apa yang telah dia lakukan aku cuma<br />

tahu tiap 3 menit<br />

tiap lima menit tiap sepuluh menit<br />

jadi aku beli koran itu<br />

mencari pengumuman itu penemuan itu<br />

terbelahnya tubuh perempuan<br />

korban-korban yang belum semua dikenali<br />

hari ini mereka telanjang dan mati<br />

menolak bersaksi<br />

satu dari sepuluh gadis tidak koheren<br />

aku raih kopi dan melepehnya<br />

aku temukan satu pengumuman<br />

bukan tubuh perempuan yang bengkak di sungai<br />

mengambang bukan anak yang bersimbah darah di<br />

gang 59<br />

bukan bayi yang terberai di lantai<br />

“ada laporan bahwa perempuan yang sering dipukuli<br />

bisa membunuh<br />

suami dan kekasih mereka<br />

tanpa sebab seketika”<br />

aku meludah aku muntah aku teriak<br />

kami semua punya sebab langsung<br />

tiap 3 menit<br />

tiap 5 menit<br />

tiap 10 menit<br />

tiap hari<br />

tubuh perempuan ditemukan<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

157


• Puisi •<br />

di jalan sempit dan kamar tidur<br />

di ujung tangga<br />

sebelum aku naik kereta<br />

beli koran<br />

minum kopi<br />

aku harus tahu<br />

apa kamu melukai perempuan hari ini<br />

apa kamu memukul perempuan hari ini<br />

melempar anak kecil melintasi ruangan<br />

apakah itu celana dalam gadis kecil<br />

di sakumu<br />

apa kamu melukai perempuan hari ini<br />

aku harus tanyakan pertanyaan aneh ini<br />

yang berwenang butuh aku melakukannya<br />

membangun<br />

sebab langsung<br />

tiap tiga menit<br />

tiap lima menit<br />

tiap sepuluh menit<br />

tiap hari.<br />

(Diadaptasi oleh Indah Lestari)<br />

Ntozake Shange, perempuan berkulit hitam yang lahir di New Jersey dan<br />

menempuh pendidikan di University of Southern California. Ia telah<br />

menelurkan beberapa novel dan choreopoem. Karyanya berjudul “For<br />

Coloured Girls Who Have Considered Suicide/ When The Rainbow is Enuf<br />

dipentaskan di Broadway tahun 1976.<br />

158<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


LAYANAN INFORMASI & DOKUMENTASI<br />

YAYASAN JURNAL PEREMPUAN<br />

Bagi Anda yang membutuhkan referensi, buku-buku, kliping dan<br />

informasi lainnya yang berkaitan dengan isu-isu perempuan dan<br />

kesetaraan gender, YJP memberikan layanan baru yaitu Pusat Informasi<br />

dan Dokumentasi. Daftarkan diri Anda untuk mendapatkan layananlayanan<br />

seperti:<br />

1. Mendengarkan Program Radio <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />

2. Menyaksikan film dokumenter produksi YJP, setiap hari Senin &<br />

Kamis pk. 15.00<br />

3. Keikutsertaan dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh YJP<br />

4. Akses ke semua bahan koleksi perpustakaan YJP.<br />

Informasi dan Dokumentasi YJP<br />

Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810<br />

Phone (021) 8370 2005 (Hunting)<br />

Fax (021) 8302434<br />

E-mail : yjp@jurnalperempuan.com<br />

pentingnya<br />

gerakan penyadaran<br />

kesetaraan perempuan<br />

dalam media...<br />

Panduan Untuk <strong>Jurnal</strong>is<br />

Seri<br />

[ ]<br />

Pemberdayaan<br />

<strong>Perempuan</strong><br />

Harga satuan Rp. 15.000<br />

Harga paket (3 buku) Rp. 40.000


• Cerpen •<br />

amnesty.org<br />

Dewi Nova Wahyuni<br />

160<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Cerpen •<br />

Mesin waktu membawaku pada suatu waktu beberapa tahun ke<br />

depan dan sebuah pulau yang kaya dengan pohon kelapa. Pulau<br />

yang subur, tempat para monyet dan burung hidup damai tanpa<br />

takut diburu. Pulau hijau ini dikelilingi laut yang ombaknya setengah<br />

besar, sangat menyenangkan untuk diajak bercanda sambil berenang.<br />

Dan aku terdampar pada sebuah cottage yang berjarak 20 meter dari<br />

bibir pantai.<br />

Pagi, 29 Desember 2015<br />

Aku berjalan menyusuri pantai, membiarkan kaki telanjangku<br />

bersentuhan dengan pasir putih. Air laut naik memenuhi bibir pantai,<br />

ombak mendayu-dayu dimainkan angin pagi. Aku bertemu beberapa<br />

lelaki, memandang heran pada seluruh tubuhku, tapi tidak satu pun<br />

yang menggoda. Barangkali mereka merasa asing bertemu perempuan<br />

dari waktu yang berbeda.<br />

Permukaan laut, biru kehijauan diterpa matahari yang mulai<br />

menyembul dari balik gunung, tetapi aku tidak melihat seorang<br />

perempuan pun di pantai. Mungkin mereka masih sibuk memandikan<br />

anak, membersihkan rumah, mencuci, seperti perempuan di waktuku.<br />

Setelah kembali ke cottage, aku mampir di resto untuk sarapan.<br />

Aku sarapan segelas susu segar, seiris roti dan keju, dan akhirnya aku<br />

bertemu seorang perempuan dengan baju tanpa motif berwarna<br />

kelabu. Kepalanya ditutupi oleh kain yang sama, hingga tak selembar<br />

rambutnya nampak. Potongan blusnya lurus tidak menampakkan<br />

seberapa kurus atau /gendut tubuhnya, roknya berpotongan longgar.<br />

Wajahnya alami tanpa polesan apapun. Ia salah satu pelayan di<br />

cottage ini. Sebelum aku meninggalkan resto, dengan sopan perempuan<br />

ini memberiku koran pagi. Aku mengucapkan terima kasih,<br />

sambil menyembunyikan keherananku dengan cara perempuan ini<br />

berpakaian.<br />

Berita Pagi ini…<br />

20 <strong>Perempuan</strong> Diarak Karena Mencium Tentara Kerajaan Satu<br />

NEGERI PUPU, SUARA PUPU - 20 perempuan Pupu diarak oleh Polisi<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

161


• Cerpen •<br />

Pengawas Pupu (3P) karena mencium para Tentara Kerajaan Satu (TKS)<br />

yang berpulang ke Kerajaan Satu. Peristiwa ini terjadi di Pelabuhan Pupu,<br />

setelah kapal yang ditumpangi ratusan TKS meninggalkan pelabuhan.<br />

Ciuman itu, merupakan ciuman terakhir kepada kekasihnya, yang kemungkinan<br />

besar tidak akan kembali ke negeri Pupu akibat penarikan TKS paska<br />

perjanjian damai. Pengarakan dilakukan karena para perempuan itu telah<br />

melanggar Undang-undang Pupu No. 1 tentang anti porno aksi.<br />

5 <strong>Perempuan</strong> Dipotong Rambutnya karena Menolak Berpakaian<br />

Kelabu<br />

NEGERI PUPU, SUARA PUPU - 5 perempuan muda dipotong rambutnya<br />

oleh eksekutor karena menolak berpakaian kelabu. Pemotongan rambut<br />

ini dilakukan di alun-alun kota pada hari Minggu Sore, 27 Desember 2015.<br />

Pemotongan rambut yang ditonton ribuan orang ini, disertai cercaan dari<br />

warga Pupu.<br />

“<strong>Perempuan</strong> jalang, mempermalukan bangsa Pupu.”<br />

“<strong>Perempuan</strong> binal, tukang pamer tubuh, santapan TKS.”<br />

“Ibu-ibu, waspadalah dengan perempuan-perempuan yang<br />

menolak berpakaian kelabu, karena mereka akan menggoda suami<br />

ibu-ibu sekalian.”<br />

Penolakan berpakaian kelabu ini merupakan sikap melawan<br />

hukum yang bertentangan dengan Undang-undang Pupu No. 2<br />

tentang Susila <strong>Perempuan</strong> Pupu.<br />

Sepasang Kekasih Dianiaya Massa<br />

NEGERI PUPU, SUARA PUPU - Sepasang kekasih dianiaya<br />

massa, karena kepergok sedang berpelukan di Kamp Pengungsian<br />

Beriman. Penganiayaan ini, terjadi karena mereka dianggap telah<br />

mencemari negeri Pupu. Si <strong>Perempuan</strong> juga dianggap kelompok yang<br />

mengakibatkan banyak persoalan. <strong>Perempuan</strong> seperti itu, adalah<br />

perempuan yang umumnya pernah berpacaran dengan TKS. Kelompok<br />

bersenjata yang menyebar kesengsaraan selama berpuluh tahun.<br />

<strong>Perempuan</strong> yang mau disentuh sebelum dinikahi juga sekaligus<br />

sumber segala bencana banjir, kekeringan, yang melanda negeri Pupu<br />

162<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Cerpen •<br />

setiap tahun, sebagai azab atas perilaku para perempuan yang tak<br />

bisa lagi menjadi tiang negara. Karena itu, warga Kamp Beriman<br />

memutuskan untuk mengusir perempuan itu dari kamp mereka.<br />

Sementara yang laki-laki cukup dinasehati dan diawasi agar tidak<br />

mengulang perbuatan yang sama.<br />

Ibu-ibu Menjual Sarden, Menteri Sosial Dituduh Korupsi!<br />

NEGERI PUPU, SUARA PUPU - Bantuan sarden, biskuit untuk<br />

pengungsi korban banjir dan korban konflik tidak benar-benar<br />

dikonsumsi oleh pengungsi. Seorang Ibu menyampaikan bahwa<br />

keluarganya tidak terbiasa makan makanan kaleng, apalagi memberikan<br />

biskuit pada balita, ia khawatir anak-anaknya akan kekurangan<br />

gizi. Untuk itu, ia menjual pangan bantuan tersebut ke pasar terdekat<br />

untuk dibelanjakan sayur dan ikan segar. Sementara itu, kelompok<br />

pengawas bantuan mengancam akan mengajukan Menteri Sosial<br />

Negeri Pupu ke meja hijau atas tuduhan korupsi. Tuduhan itu terkait<br />

dengan buruknya layanan publik di kamp-kamp pengungsian,<br />

padahal bantuan dari dunia internasional terus mengalir ke Pemerintah<br />

Pupu. Husein Mubarak, Ketua Badan Koordinasi Bantuan<br />

Pengungsi (BKBP) yang bertanggung jawab atas situasi ini, menjelaskan<br />

bahwa lembaganya tidak dapat bekerja maksimal karena macetnya<br />

aliran dana dari Menteri Sosial.<br />

Gila, bagaimana bisa, mesin waktu membawaku pada waktu dan<br />

tempat seperti ini.<br />

Malam, 31 Desember 2015<br />

Bulan bundar bersinar cemerlang di atas laut, aku menyandarkan<br />

tubuhku di dada bidang Jeremy, sambil membiarkan kaki kami<br />

terciprat ombak. Setelah beberapa hari terdampar, aku bertemu Jeremy,<br />

seorang relawan dari Organisasi Penolong Dunia (OPD). Dia satu<br />

dari sedikit orang, yang bisa aku ajak bicara tentang segala macam<br />

aturan yang membuatku pusing selama di sini. Dia bertahan bekerja<br />

di sini, untuk kemanusiaan, seperti yang biasa aku dengar dari<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

163


• Cerpen •<br />

orang-orang sejenis dia. Bagaimanapun dia teman yang paling<br />

berharga untukku, karena dia mengerti apa yang membuatku resah<br />

dan apa yang aku inginkan. Yah, aku tak punya keinginan lain, selain<br />

kembali ke tahun 2005 dan ke kampungku, sebuah perkebunan teh di<br />

Indonesia. Yah, walaupun kalian tahu kan Indonesia?<br />

Sesungguhnya aku mau bilang, bahwa Jeremy itu agak keren, dan<br />

yang lebih penting dari itu, sentuhannya membuat setiap sel tubuhku<br />

menari-nari. Jadi tidak ada alasan untuk tidak bercinta dengannya.<br />

Lagi pula aku tahu, dia sudah tidak bercinta selama 6 bulan, ehm..<br />

kalian percaya?<br />

Ada bulan, ada laut, ada Jeremy yang telanjang dan menciumi<br />

seluruh tubuhku. Lalu, kami bercinta mengikuti deburan ombak yang<br />

bergulung-gulung. Dan kami orgasme bersama sambil meneriakan I<br />

love u….<br />

5 Menit Kemudian<br />

Aku dan Jeremy dikelilingi 12 orang Polisi Pengawas Pupu (3P),<br />

dua diantara mereka perempuan. Salah satu dari perempuan itu<br />

segera menutup tubuhku yang masih telanjang dengan kain sambil<br />

mengumpat:<br />

“Terkutuklah perempuan sumber penderitaan Pupu.”<br />

Sementara anggota 3P yang lain merampas KTPku dan pass por<br />

Jeremy. Aku tidak tahu bagaimana KTP-ku bisa berbunyi:<br />

Nama : Dewi Pupu<br />

Agama : Pupu<br />

Tempat tanggal lahir: Negeri Pupu, 19 Nopember 1985.<br />

Setelah itu, kami dibawa ke Kantor Departemen Pengawas Pupu<br />

untuk melalui pemeriksaan. Kami dituduh telah melanggar Undangundang<br />

Pupu Pasal 4 tentang anti Seks Bebas jo Pasal 67 tentang anti<br />

HIV/AIDS. Karena menurut otoritas Pupu, salah satu penyebar HIV/<br />

AIDS adalah perempuan yang bersetubuh dengan TKS dan relawan<br />

164<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


• Cerpen •<br />

organisasi bantuan internasional.<br />

Aku menolak semua tuduhan itu, karena aku tidak melakukan<br />

“seks bebas”s, aku bercinta dengan orang yang aku sukai dengan<br />

segala riesiko yang aku pertimbangkan. Dan yang lebih mendasar<br />

adalah mereka tidak boleh mengontrol seksualitasku. Aku juga<br />

menolak dijuntokan ke pasal Anti HIV/AIDS karena Jeremy mengenakan<br />

kondom. Lagi pula aku bukan perempuan bodoh, yang melakukan<br />

seks tanpa pengaman. Bahkan aku sudah memikirkan kesehatan<br />

tubuhku sebelum undang-undang ajaib itu mereka buat.<br />

Tetapi tak seorangpun yang menghiraukan penolakanku. Orangorang<br />

berseragam itu memandangku dengan perasaan jijik sambil<br />

sesekali mencuri pandang pada kain yang tidak bisa menutup seluruh<br />

pahaku. Aku seperti berhadapan dengan robot-robot hidup yang siap<br />

melahapku.<br />

Tak ada yang bisa dilakukan Jeremy, selain menatapku dengan<br />

seolah-olah berkata “sudahlah, tidak usah berdebat dengan mereka.”<br />

Aku juga merasakan ketakutan yang diam-diam pada kedua matanya.<br />

3 Jam Kemudian<br />

Salah seorang pimpinan Organisasi Penolong Dunia (OPD)<br />

melakukan pembicaraan dengan pimpinan Departemen Pengawas<br />

Pupu. Setelah itu, Jeremy diperbolehkan meninggalkan Departemen. Ia<br />

dengan segala cara meminta maaf tidak dapat membantuku. Undangundang<br />

Pupu pada prakteknya memang lebih sering menjerat orangorang<br />

yang berkebangsaan Pupu. Hanya dalam kondisi tertentu, ia<br />

bisa menjerat orang asing.<br />

Pada kondisi itu, posisiku sama dengan perempuan lain yang<br />

berkencan dengan TKS. Undang-undang Pupu tidak bisa mengenai<br />

kelompok orang bersenjata, dengan alasan mereka memiliki peradilan<br />

sendiri. Peradilan itu bernama Peradilan Kaum Bersenjata, dimana<br />

kami sebagai kaum sipil tidak punya akses informasi yang cukup dan<br />

keberanian yang cukup untuk meminta keadilan melalui kaum<br />

bersenjata.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

165


• Cerpen •<br />

Rasa sukaku sama Jeremy habis sudah malam ini. Aku tidak bisa<br />

melanjutkan rasa sukaku pada seseorang yang dilindungi oleh sistem<br />

yang tidak aku sukai. Sistem yang hanya bisa mengontrol dan memenjarakan<br />

orang tak berkuasa dan tak bersenjata.<br />

Januari 2016<br />

Aku mengawali tahun dengan cara menghadapi cercaan ratusan<br />

orang di sebuah lapangan sepakbola. Seorang eksekutor sudah siap<br />

untuk mencambukku, tapi ia akan memastikan bahwa penonton<br />

sudah cukup puas menyerangku dengan kata-kata.<br />

“<strong>Perempuan</strong> Jalang!”<br />

“Penyebar HIV/AIDS”<br />

“Pemuas nafsu laki-laki bule”<br />

“Usir dia dari negeri Pupu”<br />

Aku tahu kata-kata dan tatapan mereka bisa 100 kali membuatku<br />

perih, ketimbang cambukan sang eksekutor. Tetapi semakin mereka<br />

berteriak, semakin hilang suara mereka dari pendengaranku. Aku<br />

serasa dikerumuni orang bisu. Hanya jepretan kamera dan sorotan<br />

handycam wartawan yang aku rasakan.<br />

Ketika cambukan pertama mengenaiku, mereka berteriak riang,<br />

seolah-olah berhasil menaklukan seekor kuda liar. Mereka tidak tahu<br />

bahwa sesuatu yang merdeka dalam pikiranku tidak akan pernah<br />

merasakan sakit oleh semua yang mereka lakukan.<br />

Setelah pencambukan selesai, teriakan berubah.<br />

“Usir dia dari negeri Pupu”<br />

“Usir dia dari negeri Pupu”<br />

“Usir dia dari negeri Pupu”<br />

Bahkan mereka tidak mengerti bahwa aku bukan penduduk negeri<br />

Pupu. Aku hanya pendatang dari tahun 2005, yang terdampar di<br />

pulau Pupu dan sedikit menikmati tubuh Jeremy.<br />

That’s all.<br />

(Pantai resah, 17 menit pertama menapak 2006)<br />

166<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Ikuti terus isu-isu • Cerpen perempuan • lewat<br />

edisi-edisi <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> berikut:<br />

<strong>Perempuan</strong> adalah kelompok yang terus<br />

mengalami pemiskinan. Secara ekonomi,<br />

pendapatan perempuan di seluruh dunia<br />

jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki<br />

dan jumlahnya terus menurun setiap<br />

tahun. <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> edisi ini akan<br />

membahas secara tajam hubunganhubungan<br />

antara ketidakadilan gender<br />

dan fenomena pemiskinan perempuan<br />

(feminization poverty)<br />

MENGURAI KEMISKINAN:<br />

Dimana <strong>Perempuan</strong>?<br />

Melindungi <strong>Perempuan</strong><br />

dari HIV/AIDS<br />

Seberapa berdayakah perempuan atas HIV/<br />

AIDS? Demikian pertanyaan edisi kali ini.<br />

Ternyata permasalahan perempuan positif<br />

HIV amatlah kental dengan diskriminasi<br />

gender diantaranya karena pasangan yang<br />

dominan dan lingkungan yang tidak<br />

mendukung mereka. Lebih mengagetkan<br />

lagi, perempuan yang rentan positif adalah<br />

yang aktif secara seksual atau sudah<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>dewasa dan telah menikah. 167


Nantikan Siaran Radio <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />

setiap minggu di 186 Stasiun Radio kesayangan anda<br />

di seluruh Indonesia<br />

No. Stasiun Radio Frekuensi Propinsi Kota Jadwal Siar<br />

1<br />

2<br />

3<br />

4<br />

5<br />

6<br />

7<br />

8<br />

9<br />

10<br />

11<br />

12<br />

13<br />

14<br />

15<br />

16<br />

17<br />

18<br />

19<br />

20<br />

21<br />

22<br />

23<br />

24<br />

25<br />

26<br />

27<br />

28<br />

29<br />

30<br />

31<br />

32<br />

33<br />

34<br />

35<br />

36<br />

37<br />

38<br />

39<br />

40<br />

41<br />

42<br />

43<br />

44<br />

<strong>45</strong><br />

46<br />

47<br />

48<br />

49<br />

50<br />

51<br />

52<br />

53<br />

54<br />

55<br />

56<br />

57<br />

58<br />

59<br />

60<br />

61<br />

62<br />

63<br />

64<br />

GUNTUR 104.4 FM Bali Singaraja Jumat: 11:30<br />

GLOBAL 96,5 FM Bali Tabanan Minggu: 11:20<br />

DUTA DEWATA 92,6 FM Bali Denpasar Minggu: 15:00<br />

SONORA 100,9 FM 101,1FM Bangka Pangkalpinang Minggu: 09:00<br />

HARMONI THE FAMILY RADIO STATION 98,1 FM Banten Serang Rabu: 19:30<br />

SUARARIA SANTANA 103,7 FM Bengkulu Bengkulu Setiap Hari: 15:30<br />

SONORA JOGJA 97,4 FM DI Yogyakarta Yogyakarta Rabu: 09:00<br />

PRIMA UNISI YOGYA 104,75 FM DI Yogyakarta Pasar Kembang Kamis: 13:05, Minggu: 10:00<br />

RRI YOGYAKARTA 91,1 FM DI Yogyakarta Kota Baru Sabtu: 09:00<br />

SWARA GADJAH MADA FM 98,<strong>45</strong> FM DI Yogyakarta Yogyakarta Rabu: 06:30<br />

YASIKA FM 95,3 FM DI Yogyakarta Karangkajen Jumat: 11:00<br />

JAKARTA NEWS FM 97,4 FM DKI Jakarta Jakarta Selatan Minggu: 11:00 & 17:00<br />

SUARA METRO 91,0 FM DKI Jakarta Jakarta Selatan Minggu: 09:30 & 16:30<br />

SMART FM 95, 9 FM DKI Jakarta Jakarta Pusat Minggu: 07:48<br />

SWARA SELEBES 100,2 FM Gorontalo Gorontalo Sabtu: 18:00<br />

GITASWARA PRAPITASARI/GSP 100,9 FM Jambi Jambi Sabtu: 10:30<br />

ANTASSALAM 102,65 FM Jawa Barat Bandung Rabu: 16:30<br />

MUSTIKA 107, 5 FM Jawa Barat Bandung Senin: 19:15<br />

BUK GAJAH MEGASWARATAMA (Radio BG) 87,60 FM Jawa Barat Indramayu Sabtu: 18:30<br />

RIA CINDELARAS 1134 KHz Jawa Barat Indramayu Kamis: 05:15<br />

KELUARGA CIHANJUANG SEPULUH / KC-10 106,15 FM Jawa Barat Indramayu Sabtu: 10:00<br />

KAUMAN BOGOR/ERKAEM 1134 AM Jawa Barat Bogor Sabtu: 11:00<br />

MARITIM 102,65 FM Jawa Barat Cirebon Rabu: 08:00, Minggu: 20:00<br />

SUARA GRAFIA 98,5 FM Jawa Barat Cirebon Selasa:10:00<br />

MARTHA FM 101, 3FM Jawa Barat Tasikmalaya Rabu: 17:00<br />

QUANTUM FM TASIKMALAYA 94,6 FM Jawa Barat Tasikmalaya Kamis: 18:00<br />

REKA KHARISMA SWARA 103,35 FM Jawa Barat Garut Kamis: 13:00<br />

ALFINA 720 AM 720 AM Jawa Tengah Pemalang Sabtu: 06:00<br />

ANITA 106, 6 FM Jawa Tengah Tegal Rabu: 10:10<br />

BAYUSAKTI 792 AM Jawa Tengah Kroya Minggu: 13:00<br />

BIMASAKTI 98,8 FM Jawa Tengah Kebumen Minggu: 10:00<br />

BINTORO 1314 AM 1314 AM Jawa Tengah Demak Sabtu:10:30<br />

BSP (SWARA BAHUREKSA) 103, 8 FM Jawa Tengah Pekalongan Sabtu: 10:30<br />

CHANDRA POP 99,85 FM Jawa Tengah Pekalongan Minggu: 07:30<br />

DAMASINTA FM 101,6 FM Jawa Tengah Pekalongan Minggu: 07:30<br />

CANDI SEWU 106,15 FM Jawa Tengah Klaten Minggu: 11:30<br />

CBS 91 FM Jawa Tengah Banjarnegara Sabtu: 12:<strong>45</strong><br />

DIAN SWARA 98,2 FM Jawa Tengah Purwokerto Jumat: 10:00<br />

GIS 90,4 FM Jawa Tengah Wonogiri Minggu: 09:00<br />

JPI FM 106,3 FM Jawa Tengah Solo Sabtu: 07:00<br />

RIA FM FEMALE 98,8 FM Jawa Tengah Solo Senin 21:00<br />

SAS FM 104,3 FM Jawa Tengah Solo Sabtu: 10:30<br />

MANDALIKA 12,78 AM Jawa Tengah Jepara Minggu: 08:00<br />

POP JEPARA 97, 3 FM Jawa Tengah Jepara Minggu: 08:30<br />

PRIMA FM 104 FM Jawa Tengah Jepara Sabtu: 06:00<br />

MERAPI INDAH / RMI 104,9 FM Jawa Tengah Muntilan Selasa: 06:00<br />

GSM - FM 91,5 FM Jawa Tengah Muntilan Minggu: 10:30<br />

MULIA ARIFTA SWARAGRAHA 101, 95 FM Jawa Tengah Kebumen Rabu: 09:00, Minggu: 17:00<br />

MURIA KUDUS 1440 AM Jawa Tengah Kudus Sabtu: 08:50<br />

PERMATA 900 AM Jawa Tengah Kartasura Sabtu: 12:00<br />

POLARIS 105,<strong>45</strong> FM Jawa Tengah Magelang Rabu: 09:00<br />

POP BREBES 95,3 FM Jawa Tengah Brebes Sabtu: 10:00<br />

POP KUDUS 93,7 FM Jawa Tengah Kudus Minggu: 07:00<br />

POP PATI FM 91, 5 FM Jawa Tengah Pati Rabu: 09:00<br />

POPFM PURWODADI 94,6 FM Jawa Tengah Purwodadi Minggu: 06:<strong>45</strong><br />

SUARA MRAPEN ABADI 98,2 FM Jawa Tengah Purwodadi Selasa: 08:00<br />

POPFM PURWOREJO 93,4 FM 93,4 FM Jawa Tengah Purworejo Minggu: 12:00<br />

POPFM REMBANG 95,2FM Jawa Tengah Rembang Minggu: 08:30<br />

POP SEMARANG FM 103,7 FM Jawa Tengah Semarang Minggu: 07:00<br />

CHANNEL 99 (eks RADIKS) 99,15 FM Jawa Tengah Semarang Minggu: 16:30<br />

TOP FM - SEMARANG 89,40 MHz Jawa Tengah Semarang Senin: 09:00<br />

“W” FM 100,1 FM Jawa Tengah Semarang Minggu: 09:00<br />

168 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

IMELDA 104,4 FM Jawa Tengah Semarang Selasa: 08.00 - 09.00<br />

POP SRAGEN FM 88, 8 FM Jawa Tengah Sragen Selasa:09:00


Nantikan Siaran Radio <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />

setiap minggu di 186 Stasiun Radio kesayangan anda<br />

di seluruh Indonesia<br />

No. Stasiun Radio Frekuensi Propinsi Kota Jadwal Siar<br />

65 POP YOGYA FM 99,5 FM Jawa Tengah Salam Minggu: 13.30<br />

66 PTPN RASITANIA 99,6 FM Jawa Tengah Surakarta Sabtu: 10:30<br />

67 PURNAMASIDI 101,95 FM Jawa Tengah Wonosobo Sabtu: 17:00<br />

68 RONA PUSPITA AM.900 101,6 FM Jawa Tengah Kendal Jumat: 19:30<br />

69 RPK FM 107,2 FM Jawa Tengah Temanggung Jumat: 09:00<br />

70 SATRIA FM 648 AM Jawa Tengah Aji Barang Sabtu: 12:00<br />

71 SBS - PURBALINGGA 828 AM Jawa Tengah Purbalingga Sabtu: 06:00<br />

72 SUARA GARUDA SAKTI 1243 AM Jawa Tengah Blora Minggu: 08:00<br />

73 SWARA KRANGGAN PERSADA 882 AM Jawa Tengah Temanggung Kamis: 19:30<br />

74 WIJAYA 102,6 FM Jawa Tengah Cilacap Minggu: 13:00<br />

75 ZENITH 702 AM Jawa Tengah Salatiga Sabtu: 09:00<br />

76 ANDIKA FM 106,5 FM Jawa Timur Kediri Senin: 11:<strong>45</strong><br />

77 ARUPADATU 94,00 FM Jawa Timur Mojokerto Kamis: 12:00<br />

78 BEST FM 103 FM Jawa Timur Jember Senin: 07:20<br />

79 DUTA CAKRAWALA SERASI FM (DCS) 101,6 FM Jawa Timur Madiun Rabu: 09:00<br />

80 GIGA FM 99,85 FM Jawa Timur Sidoarjo<br />

81 LIUR 90, 9 FM Jawa Timur Tulungagung Kamis: 06:00 &<br />

Jumat: 12:00<br />

82 MITRA ADI SWARA 104, 5 FM Jawa Timur Malang Senin, Kamis: 11:<strong>45</strong><br />

83 PASURUAN WARNA PESONA (Warna 91.<strong>45</strong> FM) 91.<strong>45</strong> FM Jawa Timur Pasuruan Jumat: 07:00<br />

84 PROSALINA 101,3 FM Jawa Timur Jember Rabu, Kamis: 05:<strong>45</strong><br />

85 CITRA 98,2 FM Jawa Timur Jombang Sabtu: 17:00<br />

86 SABDOTOMO 93,5FM Jawa Timur Kediri Minggu: 18:00<br />

87 BONANSA 105, 10 FM Jawa Timur Kediri Senin - Jam: 09.30<br />

88 SONORA 98,0 FM Jawa Timur Surabaya Rabu: 09.00<br />

89 SUARA MANDALA 96,4 MHz Jawa Timur Banyuwangi Rabu: 08:15<br />

90 SWARA KARIMATA 100,2 FM Jawa Timur Pamekasan - Madura Minggu: 16:15<br />

91 WIKA FM 98,8 98,8 FM Jawa Timur Mojokerto Kamis & Sabtu: 08:00<br />

92 ARYA BOMANTARA 102,3 FM Kalimantan Barat Singkawang Kamis: 10:00<br />

93 BIMAREKSA 104,4 FM Kalimantan Barat Sanggau Rabu: 09:00<br />

94 DERMAGA 936 AM Kalimantan Barat Pontianak Selasa: 11:00<br />

95 MAHKOTA NGABANG GEMASWARA 828 KHZ Kalimantan Barat Pontianak Kamis: 11:30<br />

96 PRIMADONA 99,1 FM Kalimantan Barat Pontianak Rabu & Sabtu: 09:00<br />

97 RADIO PEMERINTAH DAERAH KETAPANG 1088 AM Kalimantan Barat Pontianak Sabtu: 14:00<br />

98 SONORA 96, 7 FM Kalimantan Barat Pontianak Sabtu: 09:00<br />

99 VOLARE 103, 4 FM Kalimantan Barat Pontianak Rabu: 08:00<br />

100 RAMA 107,5 FM Kalimantan Barat Pontianak Senin: 10.00<br />

101 MELATI GRAMEDYA 738 AM Kalimantan Barat Mempawah Selasa: 10:00<br />

102 POLAREKSA 104,15 MHz Kalimantan Barat Sintang Senin: 09:30<br />

103 DBS / DIRGANTARA PERMAI 101,6 FM Kalimantan Selatan Banjarmasin Sabtu: 09:00<br />

104 NUSANTARA ANTIK 102, 7 FM Kalimantan Selatan Banjarmasin Sabtu: 10:00<br />

105 SMART (RADIO SWARA MAIDA ARTANUSA) 100,1 FM Kalimantan Selatan Banjarmasin Minggu: 11:30<br />

106 GEMAYA REKAYASA 104,7 FM Kalimantan Timur Balikpapan Kamis: 09:00<br />

107 SWARA MEDIA SENTRANADA 101,3 FM Kalimantan Timur Balikpapan Senin: 11:00<br />

108 MARS FM 104,2 104,2 FM Kalimantan Timur Penajam Paser Utara Senin: 10:00<br />

109 MESRA/DAYAPENCA PUTERA 102,3 FM Kalimantan Timur Samarinda Minggu, Senin: 09:30<br />

110 BORNEO RADIO CHANNEL 96 FM Kalimantan Timur Samarinda Selasa: 18:15<br />

111 RASUBHA 100,2 AM Lampung Bandar Lampung Rabu: 11:00<br />

112 SUARA WAJAR 96, 8 FM Lampung Bandar Lampung Jumat: 10:05<br />

113 ISTANA BAHARA SWARA (RADIO ISTANA) 101 MHZ 101,25 FM Maluku Bastiong - Ternate Kamis: 10:00<br />

114 MILENIA 104,75 FM Maluku Ternate<br />

115 GEMA HIKMAH 103 FM Maluku Ternate Kamis: 08:30<br />

116 SANGKAKALA 103 FM Maluku Ambon Kamis: 07:30<br />

117 SWARA INDONESIANA 107,2 FM Maluku Tidore Kamis: 09:30<br />

118 GEMA PERTIWI 104,6 FM Maluku Halmahera Selatan Rabu, Kamis, Jumat:<br />

09:00, Sabtu: 10:00<br />

119 ADYEMAJA 104,4 FM NAD Lhokseumawe Kamis: 09:00<br />

120 KAZUMA BAWANASWARA - NAD Lhokseumawe Senin: 19:30<br />

121 PRO 2 FM NAD Lhokseumawe Minggu : 7.<strong>45</strong><br />

122 ANDYTA RASISONIA 105,10 FM NAD Bireun Rabu, Minggu: 16:00<br />

123 BAITURRAHMAN 98,5 FM NAD Banda Aceh Minggu: 09:00<br />

124 GYPSI 106, 10 MHz NAD Langsa Jumat: 13:30<br />

125 MEGAPHONE <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong> 105,60 FM NAD Pidie Sabtu: 169 09:00, Minggu:<br />

11:00, Senin: 10:00


Nantikan Siaran Radio <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />

setiap minggu di 186 Stasiun Radio kesayangan anda<br />

di seluruh Indonesia<br />

No. Stasiun Radio Frekuensi Propinsi Kota Jadwal Siar<br />

126<br />

127<br />

128<br />

129<br />

130<br />

131<br />

132<br />

133<br />

134<br />

135<br />

136<br />

137<br />

138<br />

139<br />

140<br />

141<br />

142<br />

143<br />

144<br />

1<strong>45</strong><br />

146<br />

147<br />

148<br />

149<br />

150<br />

151<br />

152<br />

153<br />

154<br />

155<br />

156<br />

157<br />

158<br />

159<br />

160<br />

161<br />

162<br />

163<br />

164<br />

165<br />

166<br />

167<br />

168<br />

169<br />

170<br />

171<br />

172<br />

173<br />

174<br />

175<br />

176<br />

177<br />

178<br />

179<br />

180<br />

181<br />

182<br />

183<br />

184<br />

185<br />

186<br />

SUARA MAHARDIKA GEMPITA NAD Blang Pidie Minggu: 10:00<br />

CITRASUARA NUANSA LOMBOK / CNL 95,3 FM NTB Mataram Senin: 09:00<br />

MITRA IDOLA KITA 792 AM NTB Selong Jumat: 17:30<br />

SWARA MAYA PESONA INDAH 98,8 FM NTB Lombok Selasa: 17:30<br />

BAYU GITHA SWARA 93,00 FM NTB Lombok Minggu Jam : 10.00<br />

Kamis Jam : 19.00<br />

KENANGAN 96, 5 FM NTB Sumbawa Barat Selasa:17:00<br />

GYPSI FM 94,5 FM NTB Sumbawa Minggu: 08:00 & 19:30<br />

OISVIRA FM 95,1 FM NTB Sumbawa Jumat: 17:00<br />

KISSORA GRAHA PERSADA 105,1 FM NTT Kupang Rabu: 14:00<br />

NADA MUDA CAKRAWALA (RADIO CAKRAM) 97,05 FM NTT Maumere-Flores Rabu: 18:00, Sabtu: 07:30<br />

PEMERINTAH DAERAH - NGADA - NTT Flores Senin: 18:30<br />

SONIA 102,9 MHz NTT Maumere Sabtu: 08:30<br />

TIRILOLOK 100,9 FM NTT Kupang Senin: 10:30<br />

ARTHUR PERKASA 105,1 FM Papua Jayapura Selasa: 10:00<br />

MOVE FM 1003 MHZ 103 FM Papua Jayapura Jumat: 17:00<br />

SUARA KASIH AGUNG (RSKA) 106,5 FM Papua Jayapura Selasa: 09:00<br />

VOP FM 100,2 FM Papua Jayapura Rabu: 15:06<br />

CITRA DAYANG SURI 104,8 FM Riau Dumai Minggu: 08:00<br />

MELODY 88,80 FM Riau Dumai Senin: 19:00<br />

SHINE 92.5 FM 92,5 FM Riau Dumai Kamis: 21:00<br />

CYNTHIA RHAMA BROADCASTING CORP. 100,2 FM Riau Pekanbaru Selasa: 13:00<br />

GEMA BENTARA 107 FM Riau Batam Rabu: 10:00<br />

KENCANA RIA INDAH SUARA 102,3 FM Riau Batam Kamis: 12:00<br />

SORERAM 1044 AM 1044 AM Riau Pekanbaru Kamis: 15:05<br />

SWARAKHARISMA TRISAD/STAR 107,5 FM 107,5 FM Riau Bengkalis Jumat: 10:00 & 18:00<br />

BHARATA RASIHIMA 106,5 FM Sulawesi Selatan Makassar Minggu: 13:00<br />

MAKARA FM 103,6 FM Sulawesi Selatan Kota Palopo Sabtu: 10:00<br />

RINA BESTARI 738 KHz Sulawesi Selatan Tana Toraja Sabtu: 17:<strong>45</strong><br />

MERCURIUS TOP FM 104,4 FM Sulawesi Selatan Makassar Rabu: 08:00<br />

SMART (RADIO MAKASSAR ARTATIARA) 100,9 FM Sulawesi Selatan Makassar Jumat: 15:00<br />

SWARA SENTOSA PRATAMA 103,7 FM Sulawesi Selatan Makassar Minggu: 09:00 & 20:00<br />

BEST FM 101,6 FM Sulawesi Tengah Palu Sabtu: 15:30, Minggu: 09:00<br />

MALEO 103, 7 FM Sulawesi Tengah Tojo Unauna Kamis:11:00<br />

NEBULA NADA 101FM Sulawesi Tengah Palu Senin & Kamis: 09:30<br />

NUGRAHA TOP 102,6 MHz Sulawesi Tengah Palu Senin, Rabu & Jumat: 11:30<br />

BULAVA 100,2 FM Sulawesi Tengah Poso Kamis: 20:30<br />

GEMA ANGKASA SWARA ALKHAIRAT FM 1170 AM Sulawesi Tengah Palu Minggu: 13:00<br />

SWARA PRAJA MUKTI / RADIO PEMDA POSO 97,8 FM Sulawesi Tengah Poso Rabu: 10:15<br />

SUARA PUBLIKA 103,35 FM Sulawesi Tengah Palu Senin: 13:00<br />

SWARA RAMAYANA JELITA 1404 AM Sulawesi Tengah Palu Selasa: 14:30<br />

BITTARO 1341 KHz Sulawesi Tengah Toli-Toli Selasa: 11:00<br />

GEMA KENDARI FM 92, 40 MHz Sulawesi Tenggara Kendari Jum’at & Minggu: 09:40<br />

SUARA ALAM 99,2 FM Sulawesi Tenggara Kendari Sabtu: 10:00<br />

AL-KHAIRAT (RAL) 102,65 FM Sulawesi Utara Menado Rabu: 10:15<br />

GITA LESTARI 105,10 FM Sulawesi Utara Bitung Rabu: 18:00<br />

KOSMO FEMALE 96,1 FM Sulawesi Utara Manado Sabtu: 08:00<br />

ROM 2 FM 101,6 FM Sulawesi Utara Manado Rabu: 17:30<br />

SMART(SWARA MANADO RADIO TRENDI) 100,9 FM 101,2 FM Sulawesi Utara Manado Sabtu: 11:35<br />

SWARA CITRA ESA ENANG 104,4 FM Sulawesi Utara Manado Rabu: 18:30<br />

SWARA MAESAAN WAYA / MERSI 98, 5 FM Sulawesi Utara Manado Minggu: 15:00, Senin: 07:00<br />

SWARA NUR HADDAD FM 100 MHz Sulawesi Utara Bolaang Mongondow Senin & Kamis: 11:15<br />

BIMANTARA 98,8 FM Sumatera Barat Bukittinggi Junat: 10:00<br />

BUKIT TINGGI 101,5 FM Sumatera Barat Bukit Tinggi Rabu: 10:00<br />

GEMA KARANG PUTIH (CLASSY 103 FM) 103,4 FM Sumatera Barat Padang Selasa: 11:00<br />

SUSHI FM 100,2 FM Sumatera Barat Padang Minggu: 20:00<br />

SONORA PALEMBANG (PT RADIO GEMA ATMAJAYA) 102,6 FM Sumatera Selatan Palembang Minggu: 09:30<br />

SMART (SWARA MAQEBA ARTATIARA) 101,9 FM Sumatera Selatan Palembang Selasa: 19:00<br />

ADI UTAMA LAKSAMANA (RAU 104.75 FM) 104,75 FM Sumatera Utara Pdg Sidempuan Jumat: 20:00<br />

LA FEMME 88 FM Sumatera Utara Medan Rabu: 18:00<br />

MASS (MADINA SORA SERE) 101 FM Sumatera Utara Mandailing Natal Senin: 10:30<br />

170 <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

YASKA JAYA 100,2 FM Sumatera Utara Terbing Tinggi Sabtu: 09:30


Jangan lewatkan tema-tema menarik<br />

tentang isu-isu perempuan<br />

yang dikemas oleh<br />

Radio <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong>, berikut ini:<br />

RJP-327<br />

RJP-328<br />

RJP-329<br />

RJP-330<br />

RJP-331<br />

RJP-332<br />

RJP-333<br />

RJP-334<br />

Pendampingan <strong>Perempuan</strong> Positif HIV<br />

Masalah <strong>Perempuan</strong> dan Pendidikan<br />

<strong>Perempuan</strong> dan Musik<br />

Reproduksi <strong>Perempuan</strong> Positif HIV<br />

Pengamen <strong>Perempuan</strong><br />

Setahun lebih Paska Pemberlakuan Undang Undang PKDRT<br />

<strong>Perempuan</strong> Bermotor<br />

Keterwakilan <strong>Perempuan</strong> dalam Pengambilan Kebijakan Publik<br />

Anda bisa mendapatkan rekaman kaset program<br />

Radio <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> dengan tema-tema yang<br />

anda inginkan seharga Rp. 15.000,- per kaset.<br />

Hubungi kami untuk informasi lebih lanjut.<br />

Jl. Tebet Barat VIII No. 27<br />

Jakarta Selatan 12810<br />

Telp. : (021) 8370 2005<br />

Fax : (021) 830 2434<br />

E-mail : yjp@jurnalperempuan.com<br />

Dapatkan Buku Terbaru Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />

PEREMPUAN BERTUTUR<br />

Sebuah Wacana Keadilan Gender dalam Radio <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />

Dalam Program Radio <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong>, telah banyak<br />

sekali isu-isu yang berkaitan dengan perempuan diangkat.<br />

Di tengah meningkatnya angka kekerasan terhadap<br />

perempuan baik ruang publik maupun domestik, tingginya<br />

angka kematian ibu melahirkan dan praktek trafiking<br />

(perdagangan perempuan dan anak) serta masih kerap<br />

terabaikannya hak-hak reproduksi perempuan, Radio <strong>Jurnal</strong><br />

<strong>Perempuan</strong> eksis untuk menjalankan fungsi raising<br />

awareness (membangkitkan kesadaran masyarakat) akan<br />

pentingnya penghormatan hak-hak perempuan.<br />

Untuk informasi lebih lanjut hubungi<br />

Bagian Pemasaran Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />

Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810<br />

Telp. : (021) 8370 2005<br />

Fax : (021) 830 2434<br />

E-mail : yjp@jurnalperempuan.com<br />

Harga Rp. 30.000


Surat Pembaca <br />

JP Tema Lesbian<br />

Sebagai jurnal yang membahas segala problematika perempuan yang<br />

ada di Indonesia, bagaimana tanggapan anda tentang komunitas kaum<br />

lesbian di Indonesia saat ini? Saya berharap edisi <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />

berikutnya membahas komunitas kaum lesbian dengan detail.<br />

annisaa azisah (cheerupsassy@xxx.com)<br />

Annisaa yang baik, dalam JP edisi 26 tentang kekerasan dan 41 tentang<br />

seksualitas telah membahas isu lesbian. Isu ini memang penting untuk menjelaskan<br />

keberadaan perempuan yang homoseksual, yang ternyata diperlakukan<br />

diskriminatif. Kami sudah berencana untuk menerbitkan JP khusus tema lesbian<br />

bila ada kesempatan nanti.<br />

Cerpen Black Box<br />

Redaksi <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong>, sangat disayangkan, dalam JP Edisi 44<br />

“Pendidikan Alternatif Untuk <strong>Perempuan</strong>”, terdapat Cerpen Hikmat<br />

Gumelar berjudul “Black Box” yang sebelumnya telah dimuat di harian<br />

Pikiran Rakyat (Desember 2005). Tentu saja hal ini sangat mengecewakan.<br />

Ellin Rozana-INSTITUT PEREMPUAN<br />

Ellin yang baik, terima kasih atas responnya.Redaksi sudah menghubungi<br />

Hikmat Gumelar, menurutnya Cerpen Black Box di JP adalah versi yang lain<br />

dari yang dimuat di Harian Pikiran Rakyat. Menurutnya perbedaan versi itu<br />

menunjukkan ia tidak melanggar kode etik. Redaksi memilih cerpen tersebut<br />

karena mengangkat tema perempuan Gerwani, yang belum kami temukan di<br />

cerpen lainnya.<br />

RALAT<br />

!<br />

Dalam <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> edisi 44, terdapat kesalahan pencantuman<br />

biodata penulis Siti Murtiningsih. Biodata yang sebenarnya adalah:<br />

Lulusan S1 Filsafat UGM tahun 1995 dan S2 Filsafat UGM tahun<br />

1997. Penulis buku berjudul “Pendidikan Alat Perlawanan”, penerbit<br />

Resist Book, 2004. Tulisan yang berjudul “Ideologi Gender dalam<br />

Pendidikan Formal di Indonesia” merupakan salah satu penelitian<br />

yang pernah dilakukannya di tahun 2000 bekerjasama Pusat Studi<br />

Wanita UGM dengan DIKTI.<br />

Redaksi<br />

172<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong>


Tentang Penulis <br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

Ani Soetjipto. Penulis adalah Pengajar di Universitas Indonesia serta<br />

Program Officer di The <strong>Asia</strong>n Fondation.<br />

Atas Hendartini Habsjah. Seorang pengajar di Program Pasca Sarjana<br />

Program Kajian Wanita Universitas Indonesia, pendiri dan peneliti di<br />

Yayasan Kesehatan <strong>Perempuan</strong>.<br />

Dewi Novi Wahyuni. Lulusan Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Inggris<br />

untuk Seksi American Study Universitas Diponegoro Semarang. Kini<br />

bekerja sebagai Koordinator Divisi Pemantauan Komisi Nasional Anti<br />

Kekerasan terhadap <strong>Perempuan</strong> (Komnas <strong>Perempuan</strong>).<br />

Eko Bambang S. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya<br />

Malang, aktif di Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> sejak 2003. Karya tulis<br />

jurnalistiknya hampir setiap hari dapat dinikmati di Website<br />

www.jurnalperempuan.com. Saat ini menjadi Koordinator Website<br />

Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong>.<br />

Indah Lestari. Freelance Translator yang sedang menerjemahkan novel<br />

sastra Inggris oleh penulis asal Afrika Selatan penerbit Jalasutra,<br />

penyunting di Ilman Books terjemahan Indonesia novel Arab klasik,<br />

dan kini di bekerja di Tempo.<br />

M Mushthafa, mahasiswa Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta, penulis<br />

resensi buku di berbagai media.<br />

Magdalena Sitorus, ketua Pokja Monitoring dan Evaluasi Komisi<br />

Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dari tahun 2001 sampai sekarang<br />

juga menjadi Ketua Rekan <strong>Perempuan</strong> yang melakukan pendidikan dan<br />

pelatihan untuk hak anak dan perempuan. Tahun 1996-2004 menjadi<br />

Direktur Eksekutif SIKAP untuk penanganan kasus kekerasan pada anak<br />

dan perempuan, khususnya kekerasan seksual.<br />

Ratna Batara Munti. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi<br />

<strong>Perempuan</strong> Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK) Jakarta dan<br />

Koordinator Jaringan Pro Legislasi Nasional Pro <strong>Perempuan</strong>.<br />

Rita Serena Kolibonso. Master Hukum lulusan Law Department,<br />

Sheffield University, Inggris. Kini bekerja sebagai advokat dan Direktur<br />

Eksekutif Mitra <strong>Perempuan</strong> Women’s Crisis Centre, Jakarta.<br />

Siti Musdah Mulia. Ketua Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender<br />

Departemen Agama RI.<br />

Sulityowati Irianto. Mengajar di Fakultas Hukum UI, dan Program Kajian<br />

Wanita Pascasarjana UI, anggota ConventionWatch, Pusat Kajian Wanita<br />

dan Gender, UI<br />

Yoke Sri Astuti. Lulusan Filsafat Universitas Indonesia, kini bekerja<br />

sebagai Manager Office Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong>.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>45</strong><br />

173


Dapatkan<br />

di toko buku terdekat, di kota anda!<br />

BALI :<br />

TB. GRAMEDIA: DUTA PLAZA Jl. Dewi Sartika Denpasar, MALL BALI GALERIA Lt. 2 Blok D.<br />

Jl. Raya By-Pass, Ngurah Rai, Kuta 80361<br />

BALIKPAPAN :<br />

TB. GRAMEDIA Balikpapan Center Lt. 1, Jl. Jend. Sudirman<br />

BANDUNG :<br />

TB. GRAMEDIA Jl. Merdeka No. 43, Bandung Super Mall Jl. Gatot Subroto No. 286, Istana<br />

Plaza Jl. Pasar Kaliki No.121-123, TB. Kecil (d.h. PASAR BUKU) Jl. Kyai Gede Utama No. 8,<br />

TB. LITERA Jl. Ciembeluit No. 155, TB. Ultimus Jl. Karapitan 127, Radio Mustika Gd<br />

Bandung Trade Center Jl. Terusan Pasteur 143-149 Bandung, TB. Cahaya Media Jl. Raya<br />

Bandung-Sumedang Km 21 No. 161 A UNPAD Jatinangor. Institut <strong>Perempuan</strong> Jl. Dago<br />

Pojok No. 85, Cablong<br />

BANJARMASIN :<br />

TB. GRAMEDIA Jl Veteran No. 61<br />

BOGOR :<br />

TB. GRAMEDIA: Gd. HERO Jl. Raya Pajajaran Bogor<br />

DEPOK :<br />

TB. GRAMEDIA: Cinere Mal Jl. Raya Cinere, TB. KARISMA: Mall Cinere lt. Dasar Jl. Raya<br />

Cinere, Borobudur Dept. Store Lt.1 Jl. Margonda Raya No. 166. KOPERASI MAHASISWA:<br />

Fak. SASTRA UI Depok, FISIP UI Depok, Fak. HUKUM UI Depok, Fak. EKONOMI UI<br />

Depok, Departemen Filsafat -FIB UI Gd. III lt. 2 Kampus UI Depok<br />

JAKARTA :<br />

TB. GRAMEDIA: Jl. Matraman Raya No. 46-48 Jakarta Pusat, Jl. Melawai III No. 12-18 Blok<br />

M Jakarta Selatan, Gd. HERO Jl. Gatot Subroto Kav. 64 Jakarta Selatan, Mall Kelapa Gading Jl.<br />

Raya Kelapa Gading Jakarta Utara, Mal Cempaka Mas Jl. Letjend. Suprapto No. 1 Jakarta<br />

Pusat, TB. GUNUNG AGUNG: Blok M Plaza Jl. Bulungan Jakarta Selatan, TB. KARISMA:<br />

Mall Taman Anggrek lt. 3 Jl. S. Parman Slipi Jakarta Barat, Mall Puri Indah lt 1 No. 134 Kebon<br />

Jeruk Jakarta Barat, Cijantung Mal Jl. Raya Bogor, Ruko Cibubur Indah Jl. Raya Cibubur,<br />

Hero Plaza Jl. Raya Kalimalang, Citra Mall lt. 5 Klender Jl. I Gusti Ngurah Rai, Jl. Raya Cilandak<br />

KKO Cilandak Timur. QB WORLD BOOK: GEMA BUILDING Lantai Dasar Jl. Sunda No. 9,<br />

Jakarta Pusat, PLAZA SENAYAN lantai 3 Jl. <strong>Asia</strong> Afrika No. 8, Jakarta 10270, PONDOK INDAH<br />

Jl. Alteri Pondok Indah No.1, Jakarta Selatan (Sebelah Masjid Pondok Indah), KEMANG Jl.<br />

Kemang Raya No. 17, Kemang, Jakarta Selatan (Depan Kemchick), TB. NEWS STAND:<br />

Pasar Festival Jl. HR. Rasuna Said TB. BENGKEL DEKLAMASI TIM Jl. Cikini Raya Jakarta<br />

Pusat, JAKARTA BOOK CENTER Jl. Raya Kalibata Jakarta Selatan, Toko ANEKA Univ.<br />

ATMAJAYA Jl. Jend. Sudirman Jakarta Selatan, TB. KALAM Jl. Utan Kayu No. 68H Jakarta<br />

Timur. TB. Pro27 STT Jakarta Jl. Proklamasi No. 27 Jakarta Pusat, BOOK UNIVERSE Gd.<br />

Sarinah Lt. 6 Jl. MH. Thamrin No. 11 Jakarta Pusat, PUSAT STUDI WANITA UI Gd.<br />

Rektorat lt. 4 Jl. Salemba Raya Jakarta Pusat, Counter PT INDOPROM Indonesia: The<br />

News Stand WTC Gd. WTC (Basement) Jl. Jend. Sudirman Kav. 29 Jakarta Selatan, Lobby<br />

HOTEL MANDARIN Jl. MH. Thamrin Kav. 1 Jakarta Pusat, The News Stand 99 Ranch market<br />

Jl. Sultan Iskandar Muda No. 21 Pondok Indah, KEDAI WALHI Jl. Tegal Parang Utara No<br />

14, KEDAI BUKU SINAU Jl. Bekasi Timur No 32. Jakarta Timur, OKTROI PLAZA Jl. Kemang<br />

raya No 01 Jakarta Selatan, Toko Gue Perkantoran Hijau Arkadia Jl. TB. Simatupang Kav.<br />

88, Jakarta Selatan. TB. Gabe Jaya Jl. Kramat Raya No. 4-6, Jakarta Pusat. KOPERASI<br />

MAHASISWA: Univ. MUHAMMADIYAH Jl. Ciputat Raya Jakarta Selatan.<br />

JEMBER :<br />

TB. GRAMEDIA Jl. Trunojoyo No. 85<br />

KEBUMEN :<br />

INDIPT Jl. Tentara Pelajar Gg Srandil No 2


KENDARI :<br />

Ade Agency Jl. Sasarani No.301, Solidaritas <strong>Perempuan</strong> Kendari Jl. Beringin No.2<br />

KUPANG :<br />

TB. GRAMEDIA Jl. Jend. Sudirman No. 163<br />

LAMPUNG :<br />

TB. GRAMEDIA Jl. Raden Intan No. 66 Tanjung Karang.<br />

MALANG :<br />

TB. GRAMEDIA Mitra II Lt. 2 & 3, Jl. Letjen Sutoyo No. 32-34. Kedai Buku SINAU, Jl.<br />

Bogor Atas No. 1C (Samping SMA Sriwedari).<br />

PADANG :<br />

TB. GRAMEDIA Jl. Damar No. 63<br />

PALEMBANG :<br />

TB. GRAMEDIA Jl. Kol. Atmo No. <strong>45</strong><br />

PONTIANAK :<br />

EQUAL Agency Jl. Ya’ M. Sabran Gg. Sutra No. 9 Rt. 05 Rw.03, Kel. Tanjung Hulu.<br />

PURWOKERTO :<br />

TB. GANESHA Jl. Overste Isdiman No. 1A<br />

RIAU :<br />

TB. GRAMEDIA Jl. Jendaral Sudirman No 2<strong>45</strong>. Pekanbaru<br />

SAMARINDA :<br />

TB Gramedia Jl. S. Parman Mal Lembuswana Blok B. No 02<br />

SALATIGA :<br />

KOPERASI MAHASISWA: TB. WANCANA MULIA Univ. Satya Wacana Jl. Diponegoro<br />

No. 52-60.<br />

SEMARANG :<br />

TB. GRAMEDIA Jl. Pandanaran No.122, TB. KARISMA HERO Jl. Sultan Agung No. 90,<br />

TB. MERBABU Jl. Pandanaran No. 108, LBH Semarang Jl. Parang Kembang No. 14, Bumi<br />

Tlogosari, KOSUMA UNDIP Jl. Hayam Wuruk No. 1, LRC-KJHAM Jl. Lemah Gempal 2 No<br />

766 A, Warung Buku Perdikan Jl. Bedagan 481.<br />

SOLO :<br />

TB. SINAR BARU Jl. Kebangkitan Nasional Kios No. 84-86<br />

SURABAYA :<br />

TB. GRAMEDIA Jl. Jend. Basuki Rahmad No. 95; Jl. Manyar Kertoarjo No.16.; TB. Toga<br />

Mas Super Bookstore Gedung Surabaya Indah Jl. Embong Malang 33-37<br />

TANGERANG :<br />

TB. GRAMEDIA: Bintaro Jaya Plaza Jl. Bintaro Utara Sektor III A Bintaro, Mall WTC Matahari<br />

2nd Floor Jl. Raya Serpong No. 39 Km. 8, LIPPO Supermall Unit G No. 11-12 Karawaci<br />

Tangerang. GRIA BUKU (1) Jl. Ibn Batutah No.1 BBS (Depan Koperasi UIN) Ciputat.(2) Jl.<br />

Pesanggrahan No. 74 (samping Kampus UIN) Ciputat.<br />

YOGYAKARTA :<br />

TB. GRAMEDIA Jl. Jend. Sudirman No. 54-56 TB. SOSIAL AGENCY Jl Gejayen Mrican No.<br />

43, Jl. Prof. Herman Yohanes No. 1170, Jl. Laksada Adisucipto No. 22, TB. TOGA MAS Jl.<br />

Gejayan Mrican No.1, TB. INSIST Perum Sawitsari Jl. Kemuning No. B7, LSPPA Jl.<br />

Mangkunegaran Kidul No. 21, KOPERASI MAHASISWA Univ. Gajah Mada Jl. Bulaksumur<br />

H-7.


Kode Pelanggan<br />

FORMULIR BERLANGGANAN<br />

Diisi oleh Bagian Pemasaran YJP<br />

<strong>45</strong><br />

Mohon dicatat sebagai pelanggan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong><br />

Nama Lengkap<br />

Tempat/tgl. lahir<br />

Pekerjaan<br />

Alamat Rumah<br />

Kode Pos<br />

L<br />

P<br />

Telp.<br />

Hp.<br />

eMail<br />

Nama Instansi<br />

Alamat<br />

Telp.<br />

eMail<br />

Fax.<br />

Bersama ini kami kirimkan Biaya berlangganan untuk 1 tahun/6 edisi sebesar:<br />

Rp. 100.000,- mulai edisi **) ............ (diluar ongkos kirim)<br />

Ongkos kirim: P. Jawa Rp. 5.000/edisi, Luar P. Jawa Rp. 10.000/edisi<br />

Pembayaran *) dilakukan dengan:<br />

Tunai Rp.....................................diambil ditempat pengiriman (Khusus Jakarta)<br />

pada Tgl....................................Pukul....................................<br />

Wesel Pos ke alamat Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> No. Resi.................Tgl................<br />

Transfer uang ke Rekening a.n. Yayasan <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> di:<br />

BRI Kantor Cabang Pembantu Tebet No. Rek.0534-01-001088-50-7.<br />

Pada tanggal.........................., melalui Bank..............................................<br />

dan bukti Pembayaran beserta Formulir kami kirimkan ke Bagian Pemasaran YJP,<br />

Jl. Tebet Barat VIII No. 27, Jakarta Selatan 12810 melalui Fax (021) 830 2434 atau POS.<br />

Alamat pengiriman: Rumah Kantor<br />

*) Beri tanda pada pilihan yang diinginkan<br />

**) 6 edisi dimulai dari <strong>Jurnal</strong> <strong>Perempuan</strong> terbaru<br />

........................2006<br />

Hormat Kami,<br />

........................................<br />

Nama Pelanggan

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!