jurnal sistem teknik industri - USUpress - Universitas Sumatera Utara
jurnal sistem teknik industri - USUpress - Universitas Sumatera Utara
jurnal sistem teknik industri - USUpress - Universitas Sumatera Utara
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI<br />
Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri<br />
ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002<br />
Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155<br />
Homepage: http://www.geocities.com/<strong>jurnal</strong>sti_usu E-mail: jsti@plasa.com<br />
Volume 6 No. 3 Juli 2005<br />
Penanggung Jawab : Ir. Tanib S. Tjolia, M.Eng<br />
Ketua Jurusan Teknik Industrik Fakultas Teknik USU<br />
Pimpinan Umum : Ir. A. Jabbar M. Rambe, M. Eng<br />
Pimpinan Redaksi : Ir. Sugih Arto Pujangkoro, MM<br />
Anggota Redaksi : Prof. Dr. Ir. Sukaria Sinulingga, M.Eng<br />
Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE<br />
Dr. Ir. Humala L. Napitupulu, DEA<br />
Ir. Harmein Nasution, MSIE<br />
Ir. M. Ichwan Nasution, M.Sc<br />
Ir. Mangara M. Tambunan, M.Sc<br />
Ir. Nazaruddin, MT<br />
Ir. Poerwanto, M.Sc<br />
Pemasaran/Sirkulasi/Promosi : Ir. Rosnani Ginting, MT<br />
Aulia Ishak, ST. MT<br />
Buchari, ST<br />
Editing : Ir. Ukurta Tarigan, MT<br />
Nisma Panjaitan, ST<br />
Dina M. Nasution<br />
Alamat Penerbit/Redaksi : Jurusan Teknik Indusri Fakultas Teknik USU, Gedung Unit II<br />
Lantai 2, Jl. Almamater Kampus USU Medan, 20155. Telp.<br />
(061) 8213649 Fax.(061) 8213250<br />
Homepage : http://www.geocities.com/<strong>jurnal</strong>sti_usu<br />
E-mail : jsti@plasa.com<br />
Diterbitkan : Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik USU Medan<br />
Harga Berlangganan : Rp. 125.000 per tahun (termasuk ongkos kirim). Biaya dikirim<br />
melalui Pos Wesel ke alamat redaksi atau via Bank BNI 1946<br />
Cabang Jl. Pemuda Medan No. Rekening : 005084001 a.n. Ir.<br />
T. Sembiring dan mengisi form berlangganan yang disediakan.<br />
Jurnal Sistem Teknik Industri diterbitkan 4 (empat) kali setahun pada bulan Januari, April, Juli, dan<br />
Oktober. Redaksi menerima karangan ilmiah tentang hasil penelitian, survei, dan telaah pustaka yang erat<br />
hubunganya dengan bidang <strong>teknik</strong> <strong>industri</strong>. Penulis yang naskahnya dimuat akan dihubungi sebelum<br />
dicetak dan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 350.000,- per artikel yang dapat dikirim melalui Pos<br />
Wesel ke alamat redaksi atau via bank BNI 1946 Cabang Jl. Pemuda Medan No. Rekening 005084001 a.n.Ir.<br />
T. Sembiring.<br />
i
JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI<br />
Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri<br />
ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002<br />
Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155<br />
Homepage: http://www.geocities.com/<strong>jurnal</strong>sti_usu E-mail: jsti@plasa.com<br />
Volume 6 No. 3 Juli 2005<br />
EDITORIAL<br />
Edisi ini diawali dengan Stasiun perakitan Unit Stang ditemukannya tingkat kesalahan perakitan yang tertinggi pada perakitan sepeda motor.<br />
Motivasi rendah disebabkan lingkungan kerja yang kurang mendukung dan belum adanya jaminan sosial. Manufaktur sellular adalah sebuah<br />
strategi yang popular untuk memperbaiki kemampuan produksi, metode yang digunakan untuk menganalisa adalah soft system. Pembuatan<br />
arang dari tempurrung kemiri dimana struktur tempurung kemiri mempunyai struktur kimia yang hampir sama edngan selulosa dan lignin.<br />
Apliksi simulasi dalam penyelesaian masalah <strong>sistem</strong> manufaktur sellular lebih fokus pada sub masalah tata letak sel. Perkembangan modelmodel<br />
dan <strong>teknik</strong>-<strong>teknik</strong> dalam <strong>sistem</strong> manufaktur sellular lebih mengarah pada masalah pengelompokan dan tata letak sel yang dipandang<br />
sebagai hal yang terpisah. Hak dan kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan suatu bentuk kekayaan immaterial bagi pemiliknya dimana hak<br />
milik tersebut mempunyai sifat ekonomi berupa keuntungan yaitu Royalty dan Technical Fee. Untuk mendorong perkembangan di bidang<br />
<strong>industri</strong>, perdagangan dan investasi lebih pesat, dan dalam rangka mewujudkan iklim yang lebih baik dan merangsang tumbuh dan<br />
berkembangnya penciptaan dan investasi dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan teknologi maka dibutuhkan perlindungan hukum bagi hak<br />
dan kekayaan intelektual. Analisa waktu tempuh angkutan perkotaan pada rule terminal amplas – terminal Sambu Medan dilakukan dengan<br />
tujuan untuk mendapatkan gambaran kecepatan perjalanan, kecepatan gerakan dan tundaan sepanjang rule yang dilalui. Beberapa<br />
penyampaian rendahnya kecepatan perjalanan angkatan perkotaan mikrobis pada rule ini adalah naik dan turunnya penumpang disembarang<br />
tempat, banyaknya jumlah kendaraan yang melintasi ruas jalan sehingga volume lalu lintas melebihi kapasitas jalan.<br />
Pengusahaan perikanaan laut sudah semestinya memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan, sehingga diperoleh hasil maksimum lestari<br />
baik secara biologi aupun secara ekonomi. Pemasaran adalah inti seluruh aktivitas bisnis. Ini berkaitan dengan fungsi pemasaran sebagai<br />
penghubungan perusahaan dan konsumen. Era pasar bebas dunia akan terjadi liberalisasi ekonomi yang berpengaruh terhadap struktur<br />
pasar yang tidak mengenal batas-batas antara negara. Penelitian di bidang ekonomi dan keuangan seringkali model ARIMA yang standar<br />
tidak dapat memberikan solusi dari permasalahan yang ada, hal ini berkaitan dengan tidak terpenuhinya asumsi dasar berdistribusi. Masalah<br />
transport dan solusi penyelesainya dapat ditinjau dengan mengurangi kompleks dari masalah tersebut dikemudian hari Halte adalah tempat<br />
untuk menaikkan/menurunkan penumpang yang dilengkapi dengan bangunan yang keberadaannya di sepanjang rute angkutan umum sangat<br />
diperlukan. Namun pada kenyataannya di Kota Medn keberadaan halte belum dimanfaatkan.<br />
Kebanyakan peraturan-peraturan yang digunakan didalam menentukan panjang efektif kolom pada bangunan baja atau beton menggunakan<br />
prosedur nomogram. Prosedur nomogram ini telah diadopsi oleh tulisan ini yang dikembangkan untuk memprediksikan panjang efektif<br />
kolom pada portal.<br />
Anarkisme sering terjadi di dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Orang awam tatkala mendengar anarkisme akan<br />
membawa pengaruh yang tidak baik terhadap kegiatan kehidupan mereka.<br />
Industri pulp dan kertas merupkan <strong>industri</strong> yang sangat brpotensi menimbulkan pencemaran karena menghasilkan limbah cair. Limbah cair<br />
<strong>industri</strong> pulp dan kertas umumnya diolah pada instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).<br />
Modernisasi merupakan topik yang menarik dan telah menjadi gejala umum di dunia dewasa ini, untuk maju melangkah dengan pasca<br />
modemnya.<br />
ASIC merupakan rangkaian terintegrasi aplikasi yang dirancang unuk memenuhi tujuan dn fungsi tertentu dalam bidang perencanaan <strong>sistem</strong><br />
mikroelektronika.<br />
Muu beton yang dicantumkan pada syarat-syarat teknis pelaksanaan konstruksi beton tersebut adalah salah satu dasar yang dipakai. Kendala<br />
pada suatu pondasi dengan modulasi elastis efektif pada ruang yang acak dapat menjadi mudolus elastis lapangan pada penurunan<br />
konsilidasi.<br />
Kekerasan baja sangat dipengaruhi oleh kerusakan atau kegagalan yang disebabkan oleh reaksi material tersebut. Baja adalah bahan<br />
kontruksi yang paling rawan dalam lingkungaa atmosfer.<br />
Dalam <strong>sistem</strong> tenaga ada beberapa studi analisis yang harus dilakukan yaitu analisis aliran beban, analisis stabilitas dan analisis hubungan<br />
singkat. Keripik wortel mutu terbaik dihasilkan dari perlakuan Pra penggorengan (Direbus) kemudian dibekukan / P 3 dan konsentrasi CCl<br />
sebesar 0,5%/K 1 . hidrolisa dengan larutan asam dengan variasi warna kulit buah pepaya, temperatur serta waktu perebusan kulit buah<br />
pepaya. Koperasi sangat penting dalam menumbuhkan dan mengembangkan potensi ekonomi dengan memiliki asas demokratis,<br />
kekeluargaan, kebersamaan dan keterbukaan. Desai dalam arsitektur melalui pendekatan humanis yaitu pendekatan prilaku dan pendekatan<br />
sosial. Dilakukan pendekatan ini untk memotivasi solusi desain lingkunan. Merancang bangunan dengan mempertimbangkan orientasi<br />
terhadap matahari dan arah angin, pemanfaatan elemen arsitektur dan material bangunan, serta pemanfaatan elemn-elemen lengkap. Metode<br />
standar error penduga paling tepat dipakai untuk memprediksikan kapasitas dan biaya produksi dibandingkan dengan metode lain. Akibat<br />
gempa di didaerah pantai Banda Aceh ada penurunan sebesar 2 meter, sedangkan di Nias Barat ada kenaikan permukaan tanah sebesar 3<br />
meter. Penjualan, keuntungan, pangsa pasar dan perutmbuhan untuk mendapatkan hasil yang optimal dengan memertimbangkan empat<br />
kriteria tersebut. Dalam penentuan pemilihan terhadap usaha yang akan diinvestasikan dan memiliki prspek digunakan metode mutaly<br />
exclusive alternative project unutk mendapatkan perbandingan dari ketiga usaha.<br />
Tim Redaksi<br />
ii
JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI<br />
Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri<br />
ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002<br />
Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155<br />
Homepage: http://www.geocities.com/<strong>jurnal</strong>sti_usu E-mail: jsti@plasa.com<br />
Volume 6 No. 3 Juli 2005<br />
DAFTAR ISI<br />
Halaman<br />
USULAN PERBAIKAN FASILITAS KERJA BERDASARKAN TINJAUAN ERGONOMI DI PT. SELTECH MOTOR<br />
INDUSTRI -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 1-12<br />
Nazlina, Danci Sukatendel<br />
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PERFORMANSI KARYAWAN (STUDI<br />
KASUS : PKS PTPN-II SAWIT SEBERANG) ----------------------------------------------------------------------------------------------- 13-14<br />
Hj. Muthia Bintang<br />
MODEL KONSEPTUAL TRANSFORMASI MANUFAKTUR KONVENSIONAL MENJADI SELLULAR<br />
TEROTOMASI --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 15-20<br />
Bakhtiar S<br />
PENGEMBANGAN PORI ARANG HASIL PIROLISA TEMPURUNG KEMIRI --------------------------------------------------- 21-25<br />
Muhammad Turmuzi<br />
OPTIMALISASI-OBJEKTIF BERBANTUAN SIMULASI DALAM SISTEM MANUFAKTUR SELLULAR ---------------- 26-33<br />
Rika Ampuh Hadiguna<br />
PERANAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HaKI) DALAM MENDORONG PERKEMBANGAN INFUSTRI<br />
DAN PERDAGANGAN --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 34-42<br />
Syahril Effendy Pasaribu<br />
ANALISIS WAKTU TEMPUH ANGKUTAN PERKOTAAN TERMINAL AMPLAS-TERMINAL SAMBU DI KOTA<br />
MEDAN ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 43-47<br />
Faizal Ezeddin<br />
MODEL ANALISIS DAN OPTIMALISASI PENGUSAHAAN SUMBERDAYA PERIKANAN --------------------------------- 48-53<br />
Dede Ruslan<br />
PENGARUH PELAKSANAAN BAURAN PEMASARAN TERHADAP PROSES KEPUTUSAN PEMBELIAN<br />
KONSUMEN PADA JAMU DI BANDA ACEH ---------------------------------------------------------------------------------------------- 54-62<br />
Rusydi Abubakar<br />
PENDETEKSIAN OUTLIER PADA DATA INFLASI ACEH ---------------------------------------------------------------------------- 63-68<br />
Ratna<br />
PROBLEM EVALUATION OF TRANSPORT SYSTEMS IN MEDAN --------------------------------------------------------------- 69-72<br />
Filiyanti T. A. Bangun<br />
STUDI EFEKTIFITAS PENGGUNAAN HALTE DI KOTA MEDAN (Studi Kasus : Koridor-koridor Utama Kota<br />
Medan) ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ 73-80<br />
Jeluddin Daud<br />
KAJIAN PERSAMAAN STABILITAS KOLOM PADA PORTAL BERGOYANG ------------------------------------------------- 81-87<br />
Faizal Ezeddin<br />
ANARKISME ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 88-93<br />
Rasyidin<br />
PROSES REDUKSI EKSES LUMPUR AKTIF DARI IPAL INDUSTRI PEMBUATAN KERTAS ---------------------------- 94-96<br />
Maya Sarah<br />
RUMAH SUSUN SEBAGAI BENTUK BUDAYA BERMUKIM MASYARAKAT MODERN ------------------------------------ 97-102<br />
Samsul Bahri<br />
METODE PERANCANGAN ASIC YANG SUKSES -------------------------------------------------------------------------------------- 103-107<br />
Hasdari Helmi<br />
iii
PEMERIKSAAN MUTU BETON DAN MUTU PELAKSANANA PEKERJAAN BETON --------------------------------------- 108-112<br />
A. Rajamin Tanjung<br />
ANALISA KEANDALAN TERHADAP PENURUNAN PADA PONDASI JALUR ------------------------------------------------ 113-117<br />
Anwar Harahap<br />
PENGARUH HARDNES PADA BAJA YANG TERENDAM DALAM AIR LAUT YANG MENGANDUNG BAKTERI<br />
PEREDUKSI SULFAT (SRB) ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 118-122<br />
Jalaluddin<br />
ANALISIS GANGGUAN HUBUNG SINGKAT TIGA PHASA PADA SISTEM TENAGA LISTRIK DENGAN<br />
METODE THEVENIN ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ 123-127<br />
Masykur SJ<br />
KONDISI OPTIMUM PADA HIDROLISA PEKTIN DARI KULIT BUAH PEPAYA ----------------------------------------------- 128-129<br />
Farida Hanum<br />
STUDI PEMBUATAN KERIPIK WORTEL -------------------------------------------------------------------------------------------------- 130-136<br />
Terip Karo-karo<br />
PEMBERDAYAAN EKONOMI KELUARGA BESAR UISU MELALUI WADAH LEMBAGA KOPERASI ----------------- 137-140<br />
Sjahril Effendy Pasaribu<br />
ARSITEKTUR DAN LINGKUNGAN, PASCA ARSITEKTUR MODERN ----------------------------------------------------------- 141-147<br />
N. Vinky Rahman<br />
MENCIPTAKAN KENYAMANAN THERMAL DALAM BANGUNAN ---------------------------------------------------------------- 148-158<br />
Basaria Talarosha<br />
PREDIKSI KAPASITAS DAN BIAYA PRODUKSI BATAKO SERTA OPTIMALISASI KEUNTUNGAN<br />
BERDASARKAN PROBALITAS DI P.T. WIJAYA KESUMA ------------------------------------------------------------------------- 159-179<br />
Zuriah Sitorus<br />
KERUSAKAN AKIBAT TSUNAMI DAN GEMPA NORTHEN SUMATRA 26 DESEMBER 2004 TERHADAP<br />
BANDA ACEH DAN SIROMBU NIAS BARAT --------------------------------------------------------------------------------------------- 180-189<br />
Johannes Tarigan<br />
MODEL ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS UNTUK MENENTUKAN TINGKAT PRIORITAS ALOKASI<br />
PRODUK ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 190-195<br />
Fatimah<br />
MUTUALLY EXCLUSIVE ALTERNATIVE PROJECT UNTUK ANALISIS KELAYAKAN USAHA INDUSTRI KECIL- 196-202<br />
A Hadi Arifin<br />
ANALISIS SUBSTITUSI PENGGUNAAN INPUT PADA INDUSTRI PENGOLAHNA MAKANAN DNA MINUMAN<br />
INDONESIA 203-207<br />
Mawardati<br />
KOMPRESI DATA MENGGUNAKAN ALGORITMA HUFFMAN 208-211<br />
F. Rizal Batubara<br />
JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA<br />
iv
Usulan Perbaikan Fasilitas Kerja Berdasarkan Tinjauan Ergonomi di PT. Seltech Motor Industri<br />
Nazlina dan Danci Sukatendel<br />
USULAN PERBAIKAN FASILITAS KERJA<br />
BERDASARKAN TINJAUAN ERGONOMI DI PT. SELTECH<br />
MOTOR INDUSTRI<br />
Nazlina 1) dan Danci Sukatendel 2)<br />
1)<br />
Staf Pengajar Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik USU<br />
2)<br />
Staf Pengajar Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik USU<br />
Abstrak: Manusia merupakan komponen utama sehingga haruslah menjadi sentral dalam system kerja yang<br />
bersangkutan. Pada stasiun kerja perakitan Unit Stang ditemukannya tingkat kesalahan perakitan yang tertinggi<br />
pada perakitan sepeda motor yaitu sebanyak 10 unit kesalahan dari total kesalahan 40 unit. Untuk menurunkan<br />
ataupun menghilangkan tingkat kesalahan pada stasiun kerja ini maka diusulkan perbaikan fasilitasn kerja<br />
dengan mempertimbangkan posisi koponen, peralatan kerja dan postur kerja dari operator apda statisun kerja<br />
perakitan Unit Stang ini. Penyederhanaan elemen-elemen gerakan kerja dengan cara menghilangkan elemen<br />
gerakan yag tidak produktif dan tidak ergononomis, mengkombinasikan beberapa elemn kegiatan ekrja dan<br />
merancang tempat kerja sesuai edngan postur kerja yang ergonmis. Perancangan tempat kerja sesuai dengan<br />
postur kerja yang erhgonomis yaitu dengan mengusulkan penggunaan tempat duduk yang dapat digerakkan,<br />
perancangan penyangga kaki dan penggunaan rak bertingkat dimana rak bertingkat yang diusulkan tersebut<br />
emmpunyai kemiringan yang bertujuan untuk memeudahkan pengambilan koponen dengan bantuan gravitasi.<br />
Kata kunci: Ergonomi, Perakitan Sepeda Motor, Poka Yoke<br />
Abstract: Human beings are main component, so it becomes a central in the work system. At the work station of<br />
handel of Bar Unit assembling, finding of highest level of error ot motorbike assembling of Suria X that is<br />
counted 10 error units from the total of error 40 unit.s to degrade and or eliminate level of error at the work<br />
station hence proposed repair of work facility by considering component position, work equipments and work<br />
posture of operator at this work station of Handle Bar Uni assembling. Simplification of work movement<br />
elements by eliminating unproductive and unergonomic elements, combining some working activity element and<br />
design workplace according to ergonomic posture of work. Scheme of workplace according to ergonomic<br />
posture of work that is by proposing usage of seat able to be moved, cheme of prop of feet and usage of a<br />
leveling rack which proposed have inclination with aim to facilitate intake of component constructively<br />
gravitation.<br />
Keyword: Ergonomic, Assembling of Motorbike, Poka Yoke.<br />
I. PENDAHULUAN<br />
Fasilitas dan peralatan yang digunakan<br />
dalam bekerja seharusnya dapat membuat operator<br />
merasa aman dan nyaman sehingga tidak mudah<br />
membuat kesalahan dalam melakukan pekerjaannya.<br />
Hal ini akan memberi kepuasan kerja kepada<br />
operator dan pekerjaan yang dilakukannya akan<br />
menjadi lebih efektif. Dengan alas an ini maka perlu<br />
dirancang fasilitas yang ergonomic untuk dapat<br />
mengurangi resiko terjadinya kesalahan operator saat<br />
bekerja.<br />
Berkurangnya resiko terjadinya kesalahan<br />
yang dilakukan oleh operator pada saat bekerja dapat<br />
memberikan dampak dengan bertambah optimalnya<br />
hasil kerja operator. Hasil kerja yang optimal ini<br />
berupa peningkatan hasil produksi dengan<br />
pengurangan waktupengerjaan setiap unitnya dan<br />
kualitas yang diinginkan dapat tercapai tanpa ada<br />
pengerjaan ulang (rework) dikarenakan<br />
ditemukannya produk yang ccat pada bagian<br />
pemeriksaan. Kedua hal ini dapat meningkatkan<br />
jumlah produksi perharinya.<br />
II. PERMASALAHAN<br />
Rumusan masalah studi ini adalah<br />
bagaimana menciptakan suatu konsep perbaikan<br />
metode kerja dengan pemberian beberapa fasilitas<br />
kerja yang diperlukan serta menyusun tata letak<br />
koponen yang optimal berdasarkan tinjauan<br />
ergonomic sehngga dapat memperbaiki system kerja<br />
dan mengurangi tejradinya kesalahan yang dilakukan<br />
oleh operator pada saat melakukan pekerjaannya.<br />
Untuk menyusun konsep tersebut maka<br />
diperlukan informasi yang lengkap mengenai<br />
kemampuan manusia dengan segala<br />
keterbatasannya. Salah satu usaha untuk<br />
mendapaktan informasi-informasi yang berhubungan<br />
dengan kemampuan manusia dengan segala<br />
keterbatasannya ialah dengan melakukan<br />
penyelidikan-penyelidikan yang terbagi atas 4<br />
kelompok besar, yaitu :<br />
1. Penyelidikan tentang display.<br />
Yang dimaksud dengan display adalah bagain<br />
dari lingkungan yang mengkomunikasikan<br />
keadaannya langsung kepada mansuia dalam<br />
1
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
bentuk lambing-lambang atau tanda-tanda.<br />
Display terbagi atas 2 bagian, yaitu display statis<br />
dan display dinamis.<br />
2. Penyelidikan mengenai hasil kerja manusia dan<br />
proses pengendaliannya.<br />
3. Penyelidikan mengenai tempat kerja.<br />
4. Penyelidikan mengenai lingkungan fisik.<br />
III. PEMBAHASAN<br />
Sasaran dari studi ini adalah menghasilkan<br />
konsep metode kerja yang baru yangs esuai dengan<br />
prinsip ergonomic yaitu : efektif, nyaman, aman,<br />
sehat dan efisien bagi operator. Sasaran lainnya<br />
adalah menambahkan fasilitas kerja yang dianggapo<br />
perlu untuk mengurangi resiko terjadinya keslaahan<br />
perakitan dimana secara tidak langsung dapat<br />
meningkatkan produktifitas dengan berkurangnya<br />
waktu untuk melakukan perbaikan produk yang salah<br />
rakit dari stasiun kerja yang diamati.<br />
Perakitan Unit Stang dibagi menjadi beberapa<br />
elemen kegiatan. Elemen-elemen kegiatan perakitan<br />
Uni Stang dapat dilihat sebagai berikut :<br />
a. Elemen Kegiatan A :<br />
Pemasangan Rangka Stang ke Penyangga Kaki<br />
Segitiga.<br />
b. Elemen Kegiatan B<br />
Pemasangan rem Cakram ke Stang<br />
c. Elemen Kegiatan C<br />
Pemasangan Switch Lampu dan Klakson<br />
d. Elemen Kegiatan D<br />
Pemasangan Tombolr Starter dan Tali Gas.<br />
e. Elemen Kegiatan E<br />
Pemasangan Karet Stang Kiri<br />
f. Elemen Kegiatan F<br />
Pemasangan Kabel speedometer ke Batok<br />
Speedometer<br />
g. Elemen Kegiatan G<br />
Pemsangan Kabel.<br />
h. Elemen Kegiatan H<br />
Pemasangan Kabel.<br />
i. Elemen Kegiatan I<br />
Pemasangan Unit Lampu Depan<br />
j. Elemen Kegiatan J<br />
Peamsangan Bandulan Stang.<br />
Pemasangan Unit Stang dilakukan di atas<br />
lantai dengan menggunakan beberapa fasilitas, yaitu :<br />
a. Kardus sebagai tempat duduk operator yang<br />
berdimensi 460 x 345 x 328 mm.<br />
b. Penyangga kaki segitiga yang terbuat dari besi.<br />
Alat ini mempunyai fungsise abgait empat<br />
meletakkan rangka stang dan kemudian<br />
komponen lainnya dirakit ke rangka stang.<br />
c. Kotak-kotak kecil yang terbuat dari kardus<br />
tempat meletakkan mur dan baut. Kotak-kotak<br />
ini berukuran 8 x 8 x 5 cm.<br />
d. Air Gun yang berfungsi untuk membuka dan<br />
memasang baut dan mur dengan bantuan udara<br />
dari kompresor.<br />
e. Martil yang digunakan untuk memasukkan<br />
bandulan stang.<br />
f. Kunci T yang berfungsi untuk memasang<br />
mengikat Switch Lampu dan Rem Cakram.<br />
Data kesalahan yang diperoleh pada<br />
perakitan unit stang selanjutnya dianalisa peneybab<br />
terjadinya kesalahan tersebut dengan menggunakan<br />
Cause and Effect Diagram, seperti terlihat pada<br />
gambar 1.<br />
Gambar 1. Diagram Sebab Akibat Kesalahan Rakit pada Unit Stang<br />
2
Usulan Perbaikan Fasilitas Kerja Berdasarkan Tinjauan Ergonomi di PT. Seltech Motor Industri<br />
Nazlina dan Danci Sukatendel<br />
IV. USULAN PERBAIKAN<br />
IV.1. Kotak Tempat Baut<br />
Setelah dilakukan analisa dapat dilihat<br />
bahwa operator bekerja dalam keadaan tidak optimal<br />
dikarenakan peralatan yang tidak mendukung dimana<br />
komponen-komponen penyambung unit stang<br />
dipasangkan pada tempat yang sulit dijangkau.<br />
Komponen penyambung itu sendiri memiliki ukuran<br />
kecil sehingga operator harus mencengkam dengan<br />
jari. Posisi seperti ini dapat memudahkan terjadinya<br />
kelelahan. Kelelahan ini dapt menganggu konsentrasi<br />
kerja operator. Jenis baut yang digunakan ini tidak<br />
dapat diganti dikarenakan sudah sesuai dengan<br />
standar yang ada. Jenis baut yang digunakan<br />
memiliki kesamaan dalam ukuran kepalanya namun<br />
berbeda pada ukuran panjangnya (M6x20, M6x25,<br />
M6x30). Perbedaan ukuran panjang ini tidak terlalu<br />
kelihatan apabila dilihat secara sepintas dan kotak<br />
baut yang berukuran 8 x 8 x 5 cm ini sering bergeser<br />
letaknya secara tidak sengaja. Untuk mengantisipasi<br />
kesalahan baut yang digunakan sebaiknya tempat<br />
baut diberikan label. Label ini dapat berupa angka<br />
yang menunjukkan ukuran panjangnya masingmasing.<br />
Selain pemberian label perbaikan juga dapat<br />
dilakukan dengan meletakkan kotak-kotak baut scara<br />
berdampingan disesuaikan dengan ukurannya.<br />
Peletakan ini dapat dilakukan dengan meletakkan<br />
ketiga kotak baut ini ke dalam satu kotak yang lebih<br />
besar sehingga kotak-kotak baut dapat dipindahpindahkan.<br />
IV.2. Tempat Duduk Operator<br />
Tempat duduk yang digunakan operator<br />
tidak ergonomic. Ha ini terlihat dari bahan yang<br />
diguankan sebagai tempat duduk yaitu terbuat dari<br />
kardus bekas yang berukuran panjang 60 mm, lebar :<br />
328 mm dan tingi : 345 mm. kardus ini<br />
kemduiandiisi dengan plastic bekas pembungkus<br />
komponen. Hal ini menyebabkan tidak stabilnya<br />
tempat duduk sehingga sering melengkung dan<br />
dimesninya berubah-ubah. Dimensi yang berubahubah<br />
ini sering mengakibatkan operator<br />
menyesuaikan psosii duduknya. Seringnya<br />
penyesuaian posisi duduknya. Seringnya penyesuaian<br />
posisi duduk akan menyebabkan terganggungnya<br />
konsentrasi operator dan terjadinya ketegangan untuk<br />
mempertahankan posisi. Untuk mengantisipasi<br />
terjadinya ketegangan dan kehilangan konsentrasi<br />
karena penyesuaian psosii duduk sebaiknya operator<br />
duduk di tempat duduk yang mempunyai alas duduk<br />
yang stabil. Alas duduk ini dpat terbuat dari kayu<br />
ataupun besi yang mempunyai ukuran tinggi sesuai<br />
dengan tinggi duduk operator. Untukmenentukan<br />
ukuran-ukuran tempat duduk yang nyaman bagi<br />
operator maka diperlukan ukuran-ukuran dimensi<br />
tubuh operator. Bagian tubuh operator yangdiukur<br />
dapt dilihat apda gambar 2. sedangkan hasil<br />
pengukuran dapat dilihat pada table 1. Tempat<br />
duduk yang diusulkan beserta ukuran-ukurannya.<br />
Table 1. Ukuran Dimensi Tubuh Saat Duduk<br />
Bagian Keterangan Operator 2 Operator 3 Rata-rata<br />
A Tinggi Popliteal 42,8 42,3 42,55<br />
B Panjang Pantaike Popliteal 48,9 48,6 48,75<br />
C Tinggi Mata saat duduk 76,2 75,5 75,85<br />
D Tinggi Bahu 60,2 59,5 59,85<br />
E Panjang Pantat ke Lutut 58,4 58,1 58,25<br />
F Panjang Lengan (meraih) 63,2 63,0 63,10<br />
G Tinggi Siku 23,6 23,5 23,55<br />
H Lebar Pinggul 36,8 37,7 37,00<br />
3
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
IV.3. Penyangga Kaki Segitiga<br />
Tempat lubang pemasangan pengikat (baut)<br />
pada benda kerja (perakitan unit lampu depan)<br />
terletak pada bagian-bagian yang berada di luar<br />
jangkauan penglihatan, hal ini sering menyebabkan<br />
operator harus meraba letak lubang baut yang berada<br />
di bagian bawah. Posisi kerja yang hanya meraba ini<br />
sering menyebabkan tidak sesuai masuknya<br />
baut/sekrup pada lubang sehingga sering terjadi<br />
pemaksaan, baut/sekrup keluar dari alur lubangnya<br />
atau operator harus meraba letak lubang baut yang<br />
berada dibagian bawah. Posisi kerja yang hanya<br />
meraba ini sering menyebabkan tidak sesuai<br />
masuknya baut/sekrup pada lubang sehingga sering<br />
terjadi pemaksaan, batu/sekrup keluar dari alur<br />
pemaksaan, batu/sekrup keluar dari alur lubangnya<br />
atau operator harus membungkukkan badan untuk<br />
melihat lubang dan menyesuaikan masuknya<br />
batu/sekrup tersebut. Usulan untuk mencegah<br />
terjadiya kesalahan ini adalah dengan merubah<br />
penyangga kaki segitiga usulan ini dapat bergerak<br />
sebesar 45 0 . sedangkan kaki penyangga tidak<br />
dirubah, begitu juga dengan penampang alasa yang<br />
terbuat dari besi profil L yang mempunyai.<br />
Penyangga ini juga diberikan pengganjal sehinga<br />
ketinggian pengganjal ini ssuai sesuai dengan<br />
ketinggian operator.<br />
4
Usulan Perbaikan Fasilitas Kerja Berdasarkan Tinjauan Ergonomi di PT. Seltech Motor Industri<br />
Nazlina dan Danci Sukatendel<br />
IV. 4. Rak Bertingkat<br />
Komponen-komponen dalam perakitan Unit<br />
Stang berjumlah sebanyak 11 unit dan diletakkan di<br />
atas permukaan lantai. Hal ini menyebabkan<br />
komponen-komponen tersebut diletakkan berauhan<br />
sehingga operator sering menggerakkan tubuh<br />
melampaui jangkauannya untuk mengambil<br />
komponen-komponen. Penyusunan komponen yang<br />
rapi dapat dilakukan di ats meja ataujuga dalma rak<br />
yang bertingkat sehingga dapat mengrangi gerakan<br />
operator untukmengambil komponen. Rak bertingkat<br />
ini juga dirancang berdasarkan dimensi tubuh<br />
operator. Ukuran dimensi tubuh yang diperlukan<br />
dalam merancang rak ini sama dengan yang<br />
diperlukan dengan merancang tempat duduk. Jumlah<br />
rak bertingkat yang diusulkan berjumlah 2 unit.<br />
Masing-masing unit menyimpan komponenkomponen<br />
yang berbeda. Salah satu unit rak yang<br />
diusulkan menyimpan beberapa komponen yang<br />
mempunyai dimensi kecil ke dalam satu tempat<br />
dimana dalam satu tempat tersebut teridri dari<br />
komponen-komponen yang diperlukan untuk<br />
merakit satu unit stang. Sedangkan untuk komponen<br />
yang mempunyai dimensi besar dan lebih mudah<br />
untuk rusak (tergores dan pecah) seperti Unit<br />
Speedmeter dan Unit Lampu Depan diletakkan pada<br />
tempat yang sama begitu juga dengan baut pengikat<br />
ditempatkan pada kotak baut.<br />
Berdasarkan ukuran komponen maka<br />
komponen-komponen dipisah menjadi empat<br />
kelompok. Masing-masing kelompok diletakkan<br />
pada sebuah kotak yang dapat terbuat dari karton<br />
ataupun bahan keras lainnya seperti kayu ataupun<br />
plastic, kecuali Rangka Stang. Kotak pertama<br />
berukuran 44 x 30 x 10 cm dimana kardus tersebut<br />
berisikan 7 komponen dan diberi penyekat pemisah<br />
antara komponen. Komponen pada kotak pertama ini<br />
adalah:<br />
a. Switch Rem Tangan, ukuran dalam kotak 8 x<br />
6,5 cm.<br />
b. Rem Cakram dan Tali Rem, ukuran dalam kotak<br />
28 x 30 cm.<br />
c. Switch Lampu, ukuran dalam kotak 7 x 8 cm.<br />
d. Tombol Starter, ukuran dalam kotak 8 x 8,5 cm.<br />
e. Karet Stang Kanan (Gas), ukuran dalam kotak<br />
11 x 7 cm.<br />
f. Karet Stang Kiri, ukuran dalam kotak 11 x 7<br />
cm.<br />
g. Bandulan stang (kiri dan kanan), ukuran dalam<br />
kotak 14 x 6 cm.<br />
Sedangkan kotak kedua berukuran 45 x 40 x<br />
21 cm dimana kotak tersebut berisikan berisikan 2<br />
komponen yang diberikan penyekat untuk<br />
memisahkannya. Untuk komponen yang diberikan<br />
penyekat untuk memisahkannya. Untuk komponen<br />
Kabel Speedometer dan Tali gas diletakkan pada<br />
kotak berukuran 100 x 12 x 10 cm.<br />
Kotak-kotak tersebut disusun secara rapi<br />
didalam rak bertingkat. Rak bertingkat sehingga<br />
komponen tidak terletak menyebar di stasiun kerja.<br />
Rak bertingkat yang diusulkan ini dirancang sesuai<br />
dengan dimensi kotak penyimpanan komponen<br />
sehinga memudahkan operator untuk mengambil<br />
kotak-kotak komponen tersebut.<br />
Adapun ukuran rak bertingkat ini diusulkan<br />
mempunyai ukuran panjang sebesar 220 cm, lebar<br />
sebesar 100 cm dan ketinggian 160 cm pada rangka<br />
rak serta. Ukuran ini disesuaikan dengan batas<br />
kemampuan operator meraih komponen dari tempat<br />
duduknya sehingga operator tidak banyak bergerak.<br />
Rak yang diusulkan terdiri dari dua jenis<br />
dimana rak pertama mempunyai kapasitas<br />
menampung 28 kotak kedua dan 20 kotak pertama.<br />
Sedangkan jenis rak yang lainnya mempunyai<br />
kapasitas menampung 14 kotak kedua dan 20 kotak<br />
pertama. Perbedaan rak pertama dan kedua ini<br />
terletak pada bagian atasnya, dimana rak kedua pada<br />
tingkat paling atas digunakan untuk menyimpan<br />
rangka stang. Usulan jenis rak bertingkat pertama<br />
dapat dilihat pada gambar 5 dan usulan jenis rak<br />
kedua dapat dilihat dilihat pada gambar 6.<br />
Rak ini terdiri dari bahan berbentuk silinder<br />
yang dapat berputar seperti roller conveyor pada tiap<br />
tingkatnya sehingga kotak dapat bergerak turun<br />
dengan sudut kemiringan sebesar 5%.<br />
Kotak tempat Kabel Speedometer dan Tali<br />
Gas diusulkan untuk diletakkan di atas sebuah meja<br />
yang ketinggiannya sebesar 45 cm dan panjang 100<br />
cm sedangkan lebarnya sebesar 50 cm. Meja ini<br />
juga digunakan untuk tempat meletakkan kotak<br />
komponen yang berada pada Rak Bertingkat yang<br />
akan dirakit.<br />
5
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
6
Usulan Perbaikan Fasilitas Kerja Berdasarkan Tinjauan Ergonomi di PT. Seltech Motor Industri<br />
Nazlina dan Danci Sukatendel<br />
IV.5. Tata Letak Stasiun Kerja Perakitan Unit<br />
Stang<br />
Setelah fasilitas diusulkan maka tata letak<br />
fasilitas yang baru perlu dirancang untuk<br />
menyesuaikan dengan posisi operator sehingga<br />
operator dapat bekerja lebih ergonomic. Tata letak<br />
yang diusulkan ini berbeda dari tata letak yang<br />
dipakai pada saat pengambilan data dimana<br />
tumpukan rangka stang di atas lantai dipindahkan ke<br />
bagian teratas rak bertingkat usulan dan tumpukan<br />
komponen lainnya ditempatkan ke dalam kotak<br />
untuk satu unit sepeda motor. Tata letak yang<br />
diusulkan ini dapat dilihat pada gambar 7.<br />
Uraian kegiatan yang dilakukan dan postur operator<br />
pada kondisi saat ini dapat dilihat pada table 2.<br />
Sedangkan uraian kegiatan dan postur operator<br />
dengan Fasilitas Kerja usulan dapat dilihat pada tabel<br />
3. Gambar Tata Letak Usulan Perakitan Unit Stang<br />
dapat dilihat pada gambar 8.<br />
IV.6. Motede Kerja<br />
Kesalahan-kesalahan yang terjadi selama ini<br />
diharapkan dapat berkurang dengan penggunaan<br />
fasilitas dan tata letak yang baru. Pengguaan<br />
penyangga kaki segitiga usulan akan memudahkan<br />
operator untuk memasang baut yang berada di bawah<br />
dengan memutar ke depan berada di bawah dengan<br />
memutar ke depan penyangga kaki segitiga sehingga<br />
operator lebih ergonomic dalam memasang baut<br />
dengan air guna.<br />
Kursi yang digunakan mempunyai roda<br />
pada kakinya sehingga operator lebih mudah untuk<br />
mengambil komponen pada rak bertingkat dan<br />
meletakkan tubuhnya (berdiri,membungkuk) untuk<br />
mengambil komponen yang akan dirakit. Kotak<br />
penyimpanan rangka terdiri dari komponen rangka<br />
untuk 1 unit sepeda motor. Sedangkan kotak<br />
penyimpanan bodi terdiri dari komponen bodi 1<br />
untuk 1 unit sepeda motor. Dengan penggunaan 1<br />
kotak komponen dalam perakitan unit stang akan<br />
memudahkan operator untuk mengambil komponen<br />
dari masing-masing kotak penyimpanan rangka dan<br />
kotak penyimpanan bodi.<br />
IV. 7. Analisis Penggunaan Fasilitas Kerja<br />
Usulan<br />
Fasilitas kerja usulan pada Perakitan Unit<br />
Stang memberikan rasa aman, efektif, nyaman,<br />
efisien dan sehat buat operator selama bekerja<br />
sehingga operator dapat bekerja secara optimal.<br />
7
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Gambar 8. Tata Letak Perakitan Unit Stang Saat Ini (Skala 1 : 50)<br />
8
Usulan Perbaikan Fasilitas Kerja Berdasarkan Tinjauan Ergonomi di PT. Seltech Motor Industri<br />
Nazlina dan Danci Sukatendel<br />
Tabel 3. Uraian Kegiatan dan Postur Kerja Operator pada Kondisi<br />
dengan Fasilitas Kerja Usulan<br />
Postur Kerja<br />
Jarak<br />
No.<br />
Uraian Kegiatan Kerja<br />
Membungkuk ke<br />
(cm) Berdiri Duduk<br />
Depan Samping<br />
1 Mengambil Rangka Stang 170 x - x -<br />
2 Memasang Rangka Stang ke Peyangga - - x - -<br />
3 Mengambil Rem Cakram 75 -<br />
x -<br />
x<br />
4 Memasang Rem Cakram ke Rangka Stang - -<br />
- -<br />
x<br />
5 Mengambil Switch Lampu & Klakson 40 -<br />
- x<br />
x<br />
6 Memasang Switch Lampu ke Rangka - -<br />
- -<br />
x<br />
7 Mengambil Tombol Starter 40 -<br />
- x<br />
x<br />
8 Memasang Tombol Starter ke Rangka Stang - -<br />
- -<br />
x<br />
9 Mengambil Tali Gas 100 x - x -<br />
10 Memasang tali gas - -<br />
- -<br />
x<br />
11 Mengambil Karet Stang 90 -<br />
- x<br />
x<br />
12 Memasang Karet Stang - -<br />
- -<br />
x<br />
13 Mengambil Kabel Speedometer 100 x - x -<br />
14 Mengambil Batok Kilometer 75 -<br />
- x<br />
x<br />
15 Memasang Kabel ke Speedometer - -<br />
- -<br />
x<br />
16 Memasang Batok Speedometer ke Rangka - -<br />
x -<br />
x<br />
17 Memasang Kabel-Kabel - -<br />
- -<br />
x<br />
18 Mengambil unit Lampu Depan 50 -<br />
- x<br />
x<br />
19 Memasang Kabel Lampu Depan - -<br />
- -<br />
x<br />
20 Memasang Unit Lampu Depan ke Rangka - -<br />
x -<br />
x<br />
21 Mengambil Bandulan Stang 90 -<br />
- x<br />
x<br />
22 Memasang Bandulan Stang ke Rangka - -<br />
- -<br />
x<br />
23 Menyimpan Unit Stang 220 x - x -<br />
Jumlah 4 19 6 6<br />
9
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Postur Kerja<br />
Jarak<br />
No.<br />
Uraian Kegiatan Kerja<br />
Membungkuk ke<br />
(cm) Berdiri Duduk<br />
Depan Samping<br />
1 Mengambil Rangka Stang 100 - x - -<br />
2 Memasang Rangka Stang ke Peyangga - -<br />
x<br />
3 Mengambil Rem Cakram 60 -<br />
x<br />
4 Memasang Rem Cakram ke Rangka Stang - -<br />
x<br />
5 Mengambil Switch Lampu & Klakson 50 -<br />
x<br />
6 Memasang Switch Lampu ke Rangka - -<br />
x<br />
7 Mengambil Tombol Starter 50 -<br />
x<br />
8 Memasang Tombol Starter ke Rangka Stang - -<br />
x<br />
9 Mengambil Tali Gas 50 -<br />
x<br />
10 Memasang tali gas - -<br />
x<br />
11 Mengambil Karet Stang 60 -<br />
x<br />
12 Memasang Karet Stang - -<br />
x<br />
13 Mengambil Kabel Speedometer 50 -<br />
x<br />
14 Mengambil Batok Kilometer - -<br />
x<br />
15 Memasang Kabel ke Speedometer 60 -<br />
x<br />
16 Memasang Batok Speedometer ke Rangka 63 -<br />
x<br />
17 Memasang Kabel-Kabel - -<br />
x<br />
18 Mengambil unit Lampu Depan -<br />
19 Memasang Kabel Lampu Depan - -<br />
x<br />
20 Memasang kabel-kabel - -<br />
x<br />
21 Mengambil Unit Lampu Depan 63 -<br />
x<br />
22 Memasang kabel Lampu Depan - -<br />
x<br />
23 Memasang Unit Lampu Depan ke Rangka - -<br />
x<br />
24 Mengambil Bandulan Stang 50 -<br />
x<br />
25 Memasang Bandulan Stang ke Rangka - -<br />
x<br />
26 Menyimpan Unit Stang 125 x<br />
-<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
- -<br />
Jumlah 1 22 1 0<br />
10
Usulan Perbaikan Fasilitas Kerja Berdasarkan Tinjauan Ergonomi di PT. Seltech Motor Industri<br />
Nazlina dan Danci Sukatendel<br />
V. KESIMPULAN<br />
Berdasarkan pengolahan data dan analisa pemecahan<br />
masalah yang dilakukan pada penelitian ini makan<br />
diambil kesimpulan sebagai berikut :<br />
1. Sepada motor Suria X merupakan jenis sepeda<br />
motor hasil rakitan PT. Seltech Motor Industri<br />
yang paling banyak dirakit. Perakitan ini terdiri<br />
dari dua kelompok proses perakitan yaitu<br />
perakitan di luar lintas perakitan dan perakitan di<br />
atas lintas perakitan.<br />
2. Stasiun kerja yang mempunyai tingkat kesalahan<br />
tertingi terdapat pada stasiun kerja Uit Stang<br />
dengan jumlah kesalahan 10 unit dari 100 unit<br />
sepeda motor yang dirakit. Statisun kerja<br />
perakitan Unit Stang merupakan proses<br />
perakitan di luar lintas perakitan.<br />
3. Pengambilan data untuk penelitian ini dilakukan<br />
sebanyak 32 unit sepeda motor dengan waktu<br />
rata-rata sebesar 446,5 detik dan standar deviasi<br />
sebesar 76,44 detik. Dari pengujian keseragaman<br />
dan kecukupan data maka dengan 23 data ini<br />
sudah seragam dan sudah cukup sehingga tidak<br />
diperlukan pengambilan data tambahan.<br />
4. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa waktu<br />
pengerjaan yang terlama terdapat pada elemen<br />
kegiatan pemasangan unit lampu depan yang<br />
dikarenakan pengambilan operator yang<br />
pemasangan baut pengikat yang berada di bagian<br />
baah serta pengikat yang berada di bagian bawah<br />
serta kesalahan pengambilan baut pengikat.<br />
5. Setelah dilakukan analisa dan evaluasi, maka<br />
peneliti mengusulkan beberapa fasilitas yang<br />
disesuaikan dengan keadaan operator. Oleh<br />
karena itu dilakukan pengambilan data<br />
antropometri untuk merancang fasilitas tersebut.<br />
Data antropometri diambil dari 2 orang operator<br />
perakitan Unit Stang. Fasilitas usulan dimaksud<br />
adalah :<br />
a. Kotak penyimpanan baut yang disusun<br />
berurutan sesuai dengan jenis baut yaitu :<br />
M6 x 20, M6 x 25 dan M6 x 30. penyusunan<br />
ini dilakukan unutk mencegah kesalahan<br />
ambil oleh operator dan mencegah kotak –<br />
kotak tersebut berserakan.<br />
b. Penyangga Kaki Segitiga yang dapat<br />
digerakkan ke depan sehingga operator<br />
dapat melihat dan memasang baut pada<br />
bagian bawah Unit Stang. Penyangga Kaki<br />
Segitiga ini dberi ganjalan pada bagian<br />
bawahnya sesua dengan tinggi rata-rata<br />
mata operator saat duduk dari permukaan<br />
laintai yaitu sebesar 118,4 cm dan panjang<br />
rata-rata lengan operator (meraih) yaitu<br />
sebesar 63,10 cm dan sudut maksimum<br />
penglihatn ke bawah sebesar 30 0 . Dari hasil<br />
perhitungan maka didapat tinggi Penyangga<br />
Kaki Segitiga yang diusulkan dengan<br />
pengganjal dari permukaan lantai sebesar 82<br />
cm dengan tinggi pengganjal sebesar 22 cm.<br />
Kursi ini juga mempunyai roda untuk<br />
memudahkan operator mengambil<br />
komponen dari rak.<br />
c. Kursi usulan mempunyai tinggi sesuai<br />
dengan tinggi rata-rata popliteal operator<br />
yaitu 42,55 cm dan ukuran alas tempat<br />
duduk yang diusulkan 49,0 x 49,0 cm sesuai<br />
panjang pantat ke popliteal sebesar 48,75<br />
cm.<br />
d. Rak bertingkat yang mempunyai dimensi<br />
sebear 164 x 254 x 150 cm yang berjumlah<br />
2 unit. Salah satu rak ini digunakan untuk<br />
meletakkan komponen unit lampu depan,<br />
unit speedometer, rangka stang. Komponen<br />
lampu depan dan unit speedometer<br />
diletakkan dalam sebuah kotak kardus<br />
berukuran 45 x 40 x 21 cm. Pada rak yang<br />
lainnya digunakan kardus yang berukuran<br />
44 x 30 x 10 cm, terdiri dari karet stang<br />
kiri, karet stang kanan (gas), bandulan kiri<br />
dan kanan, rem tangan, switch lampu,<br />
tombol starter. Dimana masing-masing<br />
kardus terdiri dari komponen-komponen<br />
untuk merakit satu unit sepeda motor. Rak<br />
bertingkat ini terdiri dari empat tingkat yang<br />
mempunyai sudut sebesar 5 0 sehingga<br />
dengan menggunakan gravitasi kardus dan<br />
rangka stang dapat turun bergantian. Pada<br />
dua tingkat bagian bawah dari besi silinder<br />
yang dapat berputar yang berfungsi seperti<br />
Roller Conveyor. Pada bagian atas rak<br />
bertingkat usulan digunakan unutk<br />
meletakkan rangka stang. Komponen kabel<br />
speedometer dan tali Gas diletakkan pada<br />
tempat yang sama dimana empat tersebut<br />
berukuran 100 x 12 x 10 cm.<br />
e. Tata letak fasilitas diusulkan berdasarkan<br />
dengan penggunaan fasilitas usulan dimana<br />
rak bertingkat diletakkan di samping kiri<br />
dan kanan operator dan kotak penyimpanan<br />
unit stang yang telah dirakit diletakkan di<br />
depan operator. Dua unit meja kecil juga<br />
digunakan untuk meletakkan kardus<br />
komponen dan satu lagi untuk meletakkan<br />
kotak tempat baut pengikat yang berukuran<br />
24 x 8 x 5 cm, dan peralatan kerja seperti<br />
tang, air gun, martil dan kunci T.<br />
6. Penggunaan fasilitas-fasilitas yang diusulkan<br />
maka operator bekerja dengan pengamblan kotak<br />
kardus komponen masing-masing satu kotak<br />
kardus yang berisi untuk satu unit sepeda motor.<br />
Pengambilan ini menggunakan tempat duduk<br />
usulan yang bisa bergeser. Operator tidak perlu<br />
melakukan pelatihan dalam penggunaan fasilitas<br />
usulan.<br />
Penggunaan Fasilitas Kerja Usulan dapat mengurangi<br />
terjadinya penyakit akibat kerja pada saat operator<br />
bekerja seperti sakit pada kaki, pinggang, leher dan<br />
punggung.<br />
11
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
VI. DAFTAR PUSTAKA<br />
Apple, James M.; Tat Letak Pabrik dan Pemindahan<br />
Bahan; ITB ; 1990 ; Bandung.<br />
Kmenta, Steven & Ishii, Assembl Emeo ; A<br />
Simplified Method For Identifying Assembly<br />
Errors; Departemen of Mechanical Engineering<br />
Stanford University, California ; 2003.<br />
Niebel, and Frevalds ‘ Methods, Standards and Work<br />
Design ; Edisi 11; McGraw-Hill; 2003 ; New<br />
York.<br />
Pulat, B. Mustafa; Fundamentals of Industrial<br />
Ergonomics, Prentice Hall, 1992; New Jersey.<br />
Reliability Analysis Center, Mistake Proofing<br />
(AKA; Poka-Yoke) an Effective Quality Tool ;<br />
http:///rac.alionscience.com/iPC/servlet/iPCser<br />
vletQKIT;2003.<br />
Roebuck, Jr. J.A.; Engineering Anthropometry<br />
Methods, John Wiley & Sons ; 1975 ; New<br />
York.<br />
Sastrowinoto, Suyatno, Meningkatkan Produktivitas<br />
dengan Ergonomi, PT. Pustaka Binaman<br />
Pressindo, 1985 ; Jakarta.<br />
Sutalaksana, Z Iftikar, Teknik Tata Cara Kerja,<br />
Departemen Teknik Industri ITB ; 1979,<br />
Bandung.<br />
Workers’ Compensation Board (WCB) of British<br />
Colombia, Understanding the risks of<br />
Musculoskeletal Injury (MSI), An educational<br />
guide for worker on sprains, strain, and other<br />
MSIs, http://www.worksafebc.com:2001.<br />
12
Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Performansi Karyawan (Studi Kasus: PKS. PTPN-II Sawit Seberang)<br />
Muthia Bintang<br />
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP<br />
PERFORMANSI KARYAWAN<br />
(STUDI KASUS: PKS. PTPN-II SAWIT SEBERANG)<br />
Muthia Bintang<br />
Staf Pengajar Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik UISU<br />
Abstrak: Ability karyawan bagianproduksi pada PKS.PTPN-II Sawit Seberang sudah baik karena didukung<br />
oleh pengalaman kerja yang cukup lama. Tetapi, motivation masih rendah karena lingkungan kerja kurang<br />
mendukung dan belum adanya jaminan sosial. Demikian juga opportunity masih rendah, karena belum adanya<br />
jaminan karir untuk masa yang akan datang.<br />
Kata Kunci: Manajemen Sumber Daya Manusia.<br />
Abstract: The ability of employ in a part of production in palm oil factory PTPN-II Sawit Seberang have been<br />
good because supported by work experience which is long enough but, the motivation still low because work<br />
environment not so support and there isn’t social security guarantee. And also the opportunity still low because<br />
there isn’t career security for the future.<br />
Key Word: Human Resource Management.<br />
I. PENDAHULUAN<br />
1.1. Latar Belakang<br />
Prestasi kerja karyawan mempunyai<br />
hubungan yang erat dengan performansi. Performansi<br />
kerja ini berkaitan dengan tingkat keterampilan/<br />
kemampuan (ability), motivasi (motivation) dan<br />
kesempatan berkarir (opportunity). Dalam konteks<br />
pengembangan sumber daya manusia, ketiga unsur<br />
tersebut perlu mendapat perhatian yang khusus.<br />
1.2. Perumusan Masalah<br />
Rendahnya motivasi dan kesempatan<br />
berkarir para karyawan pada PKS. PTPN-II Sawit<br />
Seberang.<br />
1.3. Tujuan dan Manfaat<br />
a. Mendapatkan faktor-faktor yang menyebabkan<br />
rendahnya motivasi dan kesempatan berkarir<br />
para karyawan serta upaya-upaya perbaikannya.<br />
b. Dapat sebagai rekomendasi bagi PKS, PTPN-II<br />
Sawit Seberang.<br />
II. LANDASAN TEORI<br />
2.1. Performansi dan Prestasi Kerja<br />
Performansi yang dimiliki para karyawan<br />
dapat dilihat dari tingkat prestasinya. Semakin tinggi<br />
prestasi kerja maka perfomansinya akan semakin<br />
tinggi, demikian pula sebaliknya. Jadi, performansi<br />
karyawan pada dasarnya adalah hasil kerja karyawan<br />
tersebut pada periode tertentu yang dibandingkan<br />
dengan berbagai faktor, seperti : standar, target, atau<br />
kriteria. Tingkat perfomansi karyawan juga<br />
dipengaruhi oleh keterampilan, motivasi dan<br />
kesempatan berkarir.<br />
2.2. Populasi dan Sampel<br />
Metode pemilihan sample terdiri dari<br />
probability sampling dan non-probablity sampling.<br />
Ada tiga cara pengambilan sample dengan metode<br />
probability sampling yaitu simple random sampling,<br />
stratified random sampling dan cluster sampling.<br />
Untuk metode non-probability samping, terdapat<br />
empat cara pengambilan sample yaitu quota<br />
sampling, convenience sampling, area sampling dan<br />
purposive sampling.<br />
Jumlah sample yang diambil ditentukan dengan<br />
menggunakan rumus Slovin, yaitu :<br />
N<br />
n =<br />
2<br />
1+<br />
Ne<br />
Keterangan :<br />
n = jumlah sampel<br />
N = jumlah populasi<br />
e = tingkat toleransi jumlah sample (10%)<br />
2.3. Diagram Sebab-Akibat<br />
Diagram Sebab – Akibat adalah suatu<br />
diagram yang menunjukkan hubungan antara sebab<br />
dan akibat. Berkaitan dengan performansi karyawan,<br />
diagram ini dipergunakan untuk menunjukkan faktoffaktor<br />
penyebab (sebab) penurunan (akibat) yang<br />
disebabkan oleh factor-faktor penyebab tersebut.<br />
Diagram ini sering juga disebut diagram tulang ikan<br />
(fish bone diagram) dan diagram Ishikawa<br />
(Ishikawa’s diagram).<br />
III. METODOLOGI<br />
Seluruh data diperoleh melalui observasi,<br />
wawancara, penyebaran kuesioner dan studi<br />
dokumentasi. Untuk sampai kepada tujuan penelitian<br />
13
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
digunakan pendekatan matematis dengan teori-teori<br />
statistic seperti Multiple Regression Linear Model<br />
dan uji-uji statistic yang berkaitan dengan objek<br />
penelitian.<br />
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Hasil pengukuran terhadap korelasi factorfaktor<br />
yang berpengaruh terhadap performansi<br />
karyawan untuk variable keterampilan, motivasi dan<br />
kesempatan berkarir masing-masing sebesar 56%,<br />
74% dan 13%. Keadaan ini memperlihatkan bahwa<br />
variaebl motivasi mempunyai pengaruh terbesar<br />
tehradap performansi karyawan, namun masih perlu<br />
ditingkatkan.<br />
Secara rinci, factor-faktor yang berpengaruh<br />
terhadap performansi karyawan dari variable<br />
keterampilan, motivasi dan kesempatan berkarir<br />
dapat dilihat pada gambar-gambar dibawah ini.<br />
V. KESIMPULAN<br />
Diantara factor-faktor yang menyebabkan<br />
rendahnya motivasi karyawan adalah lingkungan<br />
kerja yang kurang mendukung dan jaminan social<br />
yang kurang diperhatikan oleh pihak perusahaan.<br />
Sedangkan factor-faktor yang menyebabkan<br />
rendahnya kesempatan berkarir bagi karyawan adalah<br />
kurangnya kesemaptan pengembangan karir dan<br />
tidak adanya jaminan hari tua dari perusahaan.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Algifari, Analisis Statistik Untuk Bisnis, BPFE-<br />
Yogyakarta, Yogyakarta, 1996.<br />
Flippo, Edwin, B, Personnel Management, Edisi ke-<br />
6, Mc Graw Hill, New York, 1984.<br />
Gasperz, Vincent, Manajemen Produktivitas Total,<br />
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,<br />
1998.<br />
Hasibuan, Malayu, Sp.H. Drs. Organisasi dan<br />
Motivasi Dasar Peningkatan Produktivitas,<br />
Bumi Aksara, Jakarta, 1996.<br />
Nitisemito, Alex, Manajemen Sumber Daya<br />
Manusia,. Ghalia, Jakarta, 1988.<br />
Sagir, H. Soeharsono, Membangun Manusia Karya,<br />
Pustaka Sinar Harahap, Jakarta, 1996.<br />
Siagian, P. Sondang, Manajemen Sumber Daya<br />
Manusia, Bumi Aksara Edisi I, Jakarta,<br />
1992.<br />
Sikula, Andrew, E, Personnel Administration and<br />
Human Resources Management, John<br />
Wixley And Sons, Santa Barbara New<br />
York, 1981.<br />
Simanjuntak, J. Payaman, Pengantar Ekonomi<br />
Sumber Daya Manusia, FE-UI, Jakarta,<br />
1985.<br />
Sudjana, Prof. Dr. MA, M.Sc. Tehnik Analisa<br />
Regresi dan Korelasi, Tarsito, Bandung,<br />
1996.<br />
Sugiono, Dr. Metode Penelitian Bisnis, CV. Alfa<br />
Beta, Bandung, 1999.<br />
Ucapan terima kasih kepada Sdr. M. Nuh yang telah<br />
memberikan penjelasan dalam tulisan ini. Semoga<br />
jasa-jasa Almarhum diteirma Allah SWT.<br />
14
Model Konseptual Transformasi Manufaktur Konvensional Menjadi Sellular Terotomasi<br />
Bakhtiar S.<br />
MODEL KONSEPTUAL TRANSFORMASI MANUFAKTUR<br />
KONVENSIONAL MENJADI SELLULAR TEROTOMASI<br />
Bakhtiar S.<br />
Jurusan Teknik Industri<br />
Fakultas Teknik – <strong>Universitas</strong> Malikussaleh<br />
Lhokseumawe, NAD<br />
Email : bakhtiar_Syamsuddin@yahoo.com<br />
Abstrak: Manufaktur sellular adalah sebuah strategi yang popular untuk memperbaiki kemampuan produksi<br />
dan meningkatkan kemampuan perusahaan untuk bersaing. Implementasi manufaktur sellular akan memberikan<br />
dampak yang luas apabila diikuti dengan transformasi perusahaan. Transformasi peusahaan dilakukan karena<br />
lantai produksi telah berubah secara mendasar menjadi kelompok-kelompok kecil yang dikenal dengan sel-sel<br />
manufaktur. Tujuans tudi adalah pengembangan model konseptual trnasformasi perusahaan apabila job shop<br />
dikonversi menjadi manufaktur sellular terotomasi. Metode yang digunakan untuk menganalisa adalah soft<br />
system. Hasil pemodelan menghasilkan keterlibatan yang diperlukan, sumberdaya yang terbatas dan<br />
pengembangan para pekerja. Pendekatna soft system dapat memprediksi perubahan sebagai akibat<br />
transformasi.<br />
Kata kunci : Model, soft system, konvensional, manufaktur sellular.<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Konsep otomasi system produksi dapat<br />
diaplikasikan pada bermacam tingkat operasi-operasi<br />
pabrik. Teknologi otomasi merupakan proses atau<br />
prosedur penyelesaian suatu pekerjaan tanpa<br />
asitstensi kendali yangmelaksanakan instruksiinstruksi<br />
tersebut. Meskipun otomasi dapat<br />
diterapkan pada bermacam tingkat operasi-operasi<br />
pabrik. Umumnya otomasi diterapkan secara<br />
individual pada mesin-mesin produksi. Oleh karena<br />
itu, mesin-mesin produksi tersebut dioperasikan<br />
seabgai sub system yang diotomasi. Bentukan sub<br />
system yang diotomasi akan membentuk system yang<br />
terotomasi. Pembentukan otomasi ini<br />
menggambarkan adanya tingkatan-tingkatan otomasi<br />
pada sebuah pabrik. Menurut Groover (2001)<br />
tingkatan-tingkatan otomasi, yaitu : tingkat alat<br />
perlengkapan (device), tingkat mesin, tingkat sel atau<br />
system, tingkat pabrik dan tingkat perusahaan<br />
(enterprise).<br />
Tingkat sel atau system yang dimaksudkan<br />
adalah sel manufaktur yang beroperasi dengan<br />
instruksi-isntruksi dari tingkat pabrik. Sebuah sel<br />
manufaktur adalah sekumpulan mesin-mesin atau<br />
stasiun-stasiun kerja yang dihubungkan dan didukung<br />
oleh system pemindahan bahan, komputer dan<br />
peralatan lainnya untuk melaksanakn operasi-operasi<br />
manufaktur. Fungsi - - fungsi yang terlibat antara<br />
part dispatching dan loading mesin, koordinasi<br />
sejumlah mesin dan <strong>sistem</strong> pemindahan bahan serta<br />
pengumpulan dan evaluasi data inspeksi. Sel-sel<br />
manufaktur merupakan persyaratan dalam penerapan<br />
system manufaktur sellular. Wujud konkretnya<br />
adalah tipe tata letak yang dibentuk dalam formasi<br />
sel-sel manufaktur.<br />
Persaingan bisnis dan peningkatan<br />
permintaan oleh apra pelaggan menyebabkan pelaku<br />
manufaktur merespon dengan cept dan menjaga agar<br />
biaya tetap rendah. Manufaktur sellular adalah suatu<br />
strategi yang popular untuk memenuhi kondisi-kndisi<br />
persaingan dan memperbaiki kemampuan produksi.<br />
Manfaat nyata dari implementasi manufaktur sellular<br />
telah dibahas oleh banyak literature (Ham dkk<br />
sellular mempromosikan semangat kepemilikan,<br />
kerja tim, perbaikan moral yang bersifat intangible<br />
yang merupakan hal vital dalam proses memperbaiki<br />
efektifitas perusahaan.<br />
Banyak studi tentang manufatku sellular<br />
yang menitikberatkan poembahasan pada masalahmasalah<br />
pengelompokan mesin dan komponen atau<br />
desain sel (Mansouri dkk 2000). Padahal yang tidak<br />
kalah penting adalah dampak yang diteirma apabila<br />
manufaktur sellular diterapkan. Perubahan jobshop<br />
yang konvensional menjadi manufaktur sellular<br />
hakekatnya adalah suatu proses transformasi<br />
perusahaan secara menyeluruh. Perubahan menjadi<br />
manufaktur sellular merupakan perubahan dari<br />
kondisi sekarang (current state) menjadi kondisi<br />
masa depan yang diinginkan. Menurut Underdown<br />
(2001) transformasi perusahaan meliputi perubahan<br />
budaya, proses dan eknologi. Proses transformasi<br />
perlu direncanakan dengan baik sehingga sejak awal<br />
telah diyakini manfaat yang akan diperoleh secara<br />
strategis.<br />
Persoalan yang muncul pada <strong>industri</strong><br />
manufaktur yang telah mengkonversi tipe tata proses<br />
menjadi tata letak sellular apabila ingin menerangkan<br />
teknologi otomasi adalah metode atau prosedur yang<br />
harus digunakan sehingga memberikan informasi<br />
yang komprehensif sebagai dasar pengambil<br />
keputusan membuat keputusan. Berkaitan denganhal<br />
ini, perlu dikembangkan sebuah prosedur yang<br />
15
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
terintegrasi untuk pendukung pengambilan<br />
keputusanyang rasional dalam proses<br />
mentransformasi job shop konvensional menjadi<br />
system manufaktur sellular terotomasi. Studi ini<br />
dilakukan pada perusahaan yang memproduksi<br />
peralatan pertanian sebagaikelanjutan penelitian<br />
sebelumnya dari Singgih dan Hadiguna (2003) dan<br />
Siswanto dan Hadiguna (2003) yang focus pada<br />
pernacangan sel-sel manufaktur dan tata letak sel.<br />
2. TINJAUAN PUSTAKA<br />
Perkembangan model-model dan <strong>teknik</strong><strong>teknik</strong><br />
dalam system manufaktur sellular lebih<br />
mengarah pada masalah pengelompokkan dan tata<br />
letak sel yang dipandang sebagai hal yang terpisah<br />
(Hadigna, 2003d). hal ini dapat dilihat dari beberapa<br />
studi yang dilakukan oleh diantaranya Baker dan<br />
Maropoulus (1999), Baykasoglu dan Gindy (2000),<br />
daita dkk (1999), Efstathiou dan Golby (2001),<br />
Mansouri dkk (2000) dan Nair dkk (1999).<br />
Bagaimanapun masalah edsain system manufaktur<br />
sellular adalah pengelompokan komponen dan mesin<br />
serta pengaturan mesin-mesin pada intra dan inter<br />
cell yang tersedia dengan tujuan mengoptimalkan<br />
objektif yang telah dinyatakan. Proses desain yang<br />
menyeluruh dalam hal pengelompokkan hingga tata<br />
letak sel telah banyak dikembangkan seperti oleh<br />
Da-Silviera (1999), Efstathiou dan Golby (2001),<br />
Hadiguna dan Setiawan (2003a), Hadiguna dan<br />
Thahir (2004) dan Salum (2000).<br />
Perkembangan dunia bisnis yang kompetitif<br />
mengharuskan proses desain system manufaktur<br />
sellular mempertimbangkan strategi bisnis<br />
(Hadiguna dan Mulki, 2003c). Pertimbangan ini<br />
biasanya dilibatkan pada tahap desain tata letak sel.<br />
Model simulasi yang mengadopsi hal ini diantaranya<br />
Altinklinic (2004) dan Rios dkk (2000). Pendekatan<br />
desain fasilitas manufaktur yang menggunakan<br />
secara eksplisit objektif tunggal (single objective)<br />
akan menghasilkan penyelesaian yang bisa terhadap<br />
kebutuhan perusahaan. Pelibatan beberapa objektif<br />
menjadi isu penting karena proses desain akan<br />
melibatkan faktor-faktor yang bekaitan dengan<br />
tujuan-tujuan strategis, ukuran-ukuran kinerja system<br />
dan keunggulan kompetitif dalam marketplace.<br />
Berdasarkan prosedur perencanana tata letak pabri,<br />
diharapkan dapat dibangkitkan beberpaa laternatif<br />
tata letak (Askin dan Stanridge, 1994). Tata letak yan<br />
merupakan permasalahan tata letak diselesaikan<br />
denganmembangkitkan beebrapa alternative tata<br />
letak dalam hal ini tata letak. Hal ini ditujukan untuk<br />
menghasilkan system yang memenuhi kebutuhan<br />
perusahaan yang telah dirumuskan pada fase<br />
persiapan. Pembangkitan alternative tata letak<br />
dilakukan pada fase definisi. Keputusan untuk<br />
menginstal tata letak terpilih dilakukan pada fase<br />
instalasi dimana hasil desain tata letak yang terdiri<br />
dari ebberapa lternatif dipilih dengan mengakomodir<br />
kebutuhan perusaahan. Paper ini bertujuan untuk<br />
membahas bagaimana cara mengambil keputusan<br />
pemilihan tata letak yang dpat mengakomodasi<br />
kebutuhan perusahaan. Asumsi yang digunakan<br />
adalah alternative tata letak mempunyai kelayakan<br />
untuk diimplementasikan.<br />
Model lainnya yang umum digunakan dalam<br />
proses desain adalah siulasi. Simulai manufaktur<br />
telah emnjadi sebuah area aplikasi primer dari<br />
teknologi simulasi. Simulasi telah<br />
menjadipendekatan yang cukup luas yang digunakan<br />
untuk memperbaiki dan menvalidasi desain sisem<br />
manufaktur secara luas. Aplikasi simulasi pada<br />
system manufaktur termasuk desain fasilitas maupun<br />
pemodelan rantai pasok perusahaan secara luas. Tipe<br />
simulasi manufaktur biasanya diguankan untuk<br />
memperdiksi performansi system atau<br />
membandingan dua atau lebih desain system atau<br />
skenario. Hal ini berarti bahwa kemampuan untuk<br />
mengembangkan dan mengurai model-model<br />
simulasi dengan cepat dan efektif sangat penting.<br />
Menurut Perera dan Liyanage (2000) sejumlah faktor<br />
yang menghalangi proses pemodelan simulasi antara<br />
lain pengumpulan data yang kurang efisien,<br />
dokumentasi model yang panjang dan buruknya<br />
perencanaan eksperimen. Dalam pemodelan simulasi<br />
manufaktur hal yang tidak kalah pentingnya adlaah<br />
proses analisis sitem. Dalam mengembangkan model<br />
simulasi system manufaktur khususnya untuk tujuan<br />
studi mengevaluasi performansi system, maka<br />
prosedur pengembangan model menjadi hal yang<br />
krusial. IDEF0 merupakan model fungsional yang<br />
diwujudkan dalam bentuk terstruktur dan semantic.<br />
Model IDEF0 mengandalkan pada konsistensi<br />
pendeskription system. Pemodelan IDEF0 banyak<br />
digunakan dalam menganalisis dan mengevaluasi<br />
system manufaktur khususnya untuk evaluasi<br />
performansi (Pawlikowski dan Kreutzer, 2000 :<br />
Hadiguan, 2003f). Secara umum, proses desain<br />
sebagai bagain proses transformasi belum<br />
memperhatikan aspek proses manajemen. Proses<br />
menajamen merupakan interaksi antar amanusia<br />
dengan sumber daya yang selalu dipengaruhi oleh<br />
dinamika situasi. Dinamika situasi ini biasnaya<br />
problematic.<br />
3. METODOLOGI<br />
Studi ini dilakukan menggunakan sof system<br />
methodology yang dimulai dengan pendefisian<br />
bukan suatu masalah tetapi situasi masalah.<br />
Metodologi dalam studi ini adalah problematika<br />
transformasi perusahaan atau organisasi dengan<br />
mengimplementasikan manufaktur sellular. Langkah<br />
kedua adalah mengekpresikan situasi. Pada tahap ini<br />
yang dilakukan adlaah mempelajari situasi yang ada<br />
pada perusahaan secra komprehensif. Hasil studi<br />
terhadap situsi direpresntasikan dalam bentuk<br />
gambar yaitu rich picture. Hasil studi terhadap<br />
situasi direpresntasikan dalam bentuk gambar<br />
konsisten sehingga dapat diinterpretasikan lebih<br />
mudah. Hal yang ingin dicapai pada rencana<br />
implementasi manufaktur selluler. Ketiga adalah<br />
16
Model Konseptual Transformasi Manufaktur Konvensional Menjadi Sellular Terotomasi<br />
Bakhtiar S.<br />
mendefinisikan masalah dan menggambarkan<br />
keterkaitan aktivitas yang akan mengarah<br />
pada penyelesaian masalah. Keempat menyusun<br />
rumusan rekomendasi berdasarkan kajian kritis yang<br />
dihasilkan dari model fungsional yang diperoleh.<br />
4. PEMODELAN SISTEM RELEVAN<br />
Pemilihan system yang relevan didasarkan<br />
pada situasi dimana rancangan sel-sel manufaktur<br />
telah dilakukan dan siap untuk diimplementasikan.<br />
System relevan yang dipilih adalah system yang<br />
dapat memprediksi manfaat yang akan diperoleh<br />
perusahaan dengan mengimplementasikan<br />
manufaktur sellular. Hal ini termasuk upaya<br />
transformasi yang akan terjadi dengan<br />
mengimplementasikan manufaktur sellular. Model<br />
konseptual yang akan dikembangkan mengacu pada<br />
Root Definition (RD). Tipe RD yang dipilih dalam<br />
kasus ini adalah primary tasks based. Adapun<br />
formulasi RD-nya adalah Sistem yang dimiliki dan<br />
diopersikan oleh pemilik perusahaan untuk<br />
memanufaktur produk alat pertanian untuk<br />
pelanggan pasar Asia melalui implementasi konsep<br />
manufaktur sellular terotomasi guna peningkatan<br />
keuntungan dan manfaat yang dibatasi oleh daya<br />
manfaat yang dibatasi oleh daya saing competitor.<br />
Formulasi RD diats perlu diuji atau<br />
verifikasi menggunakan pendekatan CATWOE.<br />
Terlihat bahwa system yang dipilih memandang<br />
pelanggan pasar Asia sebagai Customer. Actor yang<br />
melaksanakan transformasi adalah Pemilik<br />
Perusahaan. Transformation dari system adalah memanufacture<br />
produk alat pertanian dengan Worldview<br />
yang dianut implementasi konsep manufaktur sellular<br />
terotomasi guna peningkatan keuntungan dan<br />
manfaat. Owner dari system adalah Pemilik<br />
Perusahaan dengan Environment daya saing<br />
competitor. Model konseptual transformasi<br />
manufaktur konvensional menjadi sellular terotomasi<br />
dapat dilihat pada Gambar 2.<br />
5. REKOMENDASI DAN PEMBAHASAN<br />
5.1. Rekomendasi<br />
Manufaktur sellular menghasilkan budaya baru<br />
melalui perubahan lingkungan kerja fisik.<br />
Manufaktur sellular membutuhkan pengelompokan<br />
peralatan dan pekerja dalam bentuk konfigurasi<br />
lingkaran atau bentuk U. Setiap sel akan terbentuk<br />
budaya mikro dimana terjadinya interaksi antara<br />
pekerja dalam sel. Terbentuknya sub-sub budaya<br />
baru akan menjadibudaya baru secara keseluruah<br />
dilantaiproduksi yang pada akhirnya akan<br />
memberikan pengaruh pada budaya perusahaan<br />
secara total. Pembentukan budaya baru dalam sel<br />
didorong oleh sense of accomplishment. Hal ini<br />
terjadi karena setiap sel mempunyai tanggung jawab<br />
pada part families yang dibebakan (Askin dan<br />
Standridge 1993). Berdasarkan sel dengan mudah<br />
dapat diukur peformansi pekerja karena dapat<br />
diketahui kontribusi setiap sel dalam menghasilkan<br />
keluaran. Dalam tata letak fungsional, pekerja<br />
bekerja pada area tertentu dengan jenis mesin yang<br />
sama sehingga keluaran yang dihasilkan bukanlah<br />
komponen yang completed. Kesalahan yang<br />
menyebabkan komponen atau produk cacat sulit<br />
dideteksi pekerja yang harus bertanggung jawab.<br />
Bentuk budaya yang akan lebih menonjol<br />
adalah budaya kerjasama (teamwork). Konfigurasi<br />
sellular membutuhkan pekerja untuk bekerja<br />
bersama untuk mencapai tujuan bersama. Anggota<br />
sel harus bekerja berdekatan dengan pelanggan dan<br />
supplier internal untuk memproduksi produk secara<br />
efisien dan efektif. Bentuk kerjasama dapat<br />
diwujudkan dalam tanggung jawab seperti<br />
penjadualan, keselamatan dan kualitas (Aurrecoechea<br />
dkk, 1994) serta pembelian (Singh, 1996). Budaya<br />
belajar juga akan menjadi hal yang tidak kalah<br />
pentingnya. Budaya ini muncul karena pekerja yang<br />
menjadi anggota sel tertentu akan berusaha<br />
menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam selnya.<br />
Proses kemandirian tim dalam menyelesaikan<br />
masalah dalam sel akan mendorong terciptanya<br />
budaya belajar.<br />
Manufaktur sellular menghasilkan prosesproses<br />
baru melalui pengelompokan mesin-mesin<br />
dengan konfigurasi berbentuk lingkatan dan “U”<br />
untuk memproduksi part families. Konversi tata letak<br />
fungsional menjadi manufaktur sellular akan<br />
memberikan manfaat yang sangat besar (Groover<br />
2001). Perubahan yang dramatic sebagai manfaat<br />
yang diperoleh dari perubahan berdasarkan proses ini<br />
akan memperbaiki kinerja dari perusahaan secara<br />
keseluruhan. Dalam penelitian Underdown (2001)<br />
menyimpulkan bahwa pengurangan work in process<br />
mencapai 65%-85%, pengurangan cycle time 86,5%,<br />
pengurangan harga pokok penjualan 42%,<br />
penghematan material 24% dan peningkatan profit<br />
mencapai 80%. Hal ini tentu saja sangat<br />
mendongkrak kinerja perusahaan dan pada akhirnya<br />
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan<br />
kesejahteraan para pekerja.<br />
Manufaktur sellular mentransfer teknologi<br />
17
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
berdasarkan keperluan manajemen. Salah satu yang<br />
memberikan biaya yang nyata dalam perpindahan<br />
menjadi konfigurasi sellular adalah pembentukanselsel.<br />
Di banyak kasus, peralatan tambahan diperlukan<br />
untuk mendapatkan sel-sel yang berkinerja tinggi.<br />
Adakalanya perusahaan harus berinvestasi dengan<br />
membeli mesin/peralatan baru agar mesin-mesin dan<br />
peralatan yang ada pada setiap sel mempunyai<br />
kapabilitas yang tinggi. Kapabilitas ini akan<br />
mempengaruhi keseimbangan lintasan didalam sel<br />
ataupun antar sel.<br />
5.2. Pembahasan<br />
Manufaktur sellular dalam perusahaan<br />
sekala kecil dan menengah bukan hanya suatu<br />
perubahan tata letak, tetapi suatu perubahan besar<br />
dalam proses bisnis. Implementasi ini adalah suatu<br />
mekanisme untuk transformasi dalam perusahaan<br />
skala kecil dan menengah. Ketika perubahan dilantai<br />
produksi dilakukan menjadi sel-sel, maka aktivits<br />
perkantoran dan manufaktur juga mengalami<br />
perubahan sehingga yang terjadi lebih jauh lagi akan<br />
mempersatukan perubahan dari segi proses dan<br />
budaya terutama sekali apabila dikombinasikan<br />
dengan kerjasama ini. Dampak sel-sel terhadap<br />
budaya adalah lebih besar ditemui pada perusahaan<br />
sekala kecil dibandingkan dengan yang berskala<br />
besar. Jika perusahaan kecil sepenuhnya berubah<br />
menjadi sel-sel, dampak terhadap budaya adalah<br />
lebih besar. Jika perusahaan kecil sepenuhnya<br />
berubah menjadi sel-sel, dampak terhadap budaya<br />
akan lebih besar karena setiap orang didalam<br />
perusahaan akan ikut terlibat. Dalam perusahaan<br />
besar, kemungkinan tidak sepenuhnya beranjak<br />
menjadis el-sel sehingga tidak semua orang didalam<br />
perusahaan terlibat dan dampak budaya tidak akan<br />
terllau besar. Sel-sel akan membawa banyak interaksi<br />
antara pekerja administrasi dan manufaktur dan<br />
antara sesame pekerja manufaktur karena pekerja<br />
akan berpindah dari satu sel ke sel lainnya sebagai<br />
fungsi permintaan produk. Keterkaitan yang saling<br />
bergantung ditemukan pada sel-sel dan antar sel-sel<br />
yang mana tenaga kerja sel-sel mengkomunikasikan<br />
aktivitasnya lebih dari yang ditemukan pada<br />
lingkungan konvensional. Sel-sel seringkali menjadi<br />
pabrik mini yang mengkomunikasikan aktivitasnya<br />
pada pelanggan dan supplier internal yang<br />
berdasarkan tanggung jawab secara mandiri untuk<br />
mencapaiprofitabilitas untuk setiap selnya.<br />
Implementasi manufaktur sellular untuk<br />
peusahaan kecil dan menengah secara normal<br />
membutuhkan keterlibatan persentase tenaga kerja<br />
yang besar, sedangkan perusahaan besar sebaliknya.<br />
Tata letak dan pergerakan peralatan di area produksi<br />
untuk manufaktur sellular pada perusahaan kecil dan<br />
menengah membutuhkan usaha yang besar dari pada<br />
pekerja produksi. Implementasi manufaktur sellular<br />
termasuk membutuhkan jumlah besar pekerja yang<br />
mempunyai fungsi berbeda-beda. Keterlibatan<br />
peekrja dalam persentase yang besar dengan sasaran<br />
yang sama (common goal) adalah suatu mekanisme<br />
bernilai untuk transformasi. Sebagai efek,<br />
implementasi sel-sel menghasilkan sejumlah kritis<br />
pendukung unutk mengubah perusahaan kecil dan<br />
menengah. Pada perusahaan besar, suatu transisi<br />
menjadi manufaktur sellular mungkin tidak<br />
membutuhkan tingkat usaha yang mendukung<br />
transformasi. Perusahaan sebaiknya<br />
melibatkanseluruh pekerja dalam proses perancangan<br />
dan implementasi manufaktur sellular sehingga<br />
merasa berkontribusi dalam perusahaan system yang<br />
akan mereka hadapi nantinya. Apabila yang terlibat<br />
hanya pada tingkat supervisor dan manajemen maka<br />
resiko kegagalan dalam implementasi sangat besar.<br />
Manufaktur sellular merupakan fondasi bagi<br />
system produksi Just In Time (JIT). Pada perusahaan<br />
besar yang mengimplementasikan manufaktur<br />
sellular dapat menyebabkan proses sebelum dan<br />
sesudah sel-sel terbentuk untuk menerapkan <strong>sistem</strong><br />
JIT belum tentu berhasil. Pada perusahaan kecil dan<br />
menengah upaya menerapkan system JIT setelah selsel<br />
terbentuk berpotensi besar untuk berhasil.<br />
6. KESIMPULAN<br />
Model menghasilkan keterlibatan yang<br />
diperlukan, sumberdaya yang tebratas dan<br />
pengembangan para pekerja serta mampu<br />
memprediksi perubahan sebagai akibat transformasi.<br />
Manufaktur sellular menghasilkan budaya baru<br />
melaluiperubahan lingkungan kerja fisik. Manufaktur<br />
sellular membutuhkan pengelompokkan perlaatan<br />
dan pekerja dalam bentuk konfiugrasi lingkaran atau<br />
bentuk U. setiap sel akan terbentuk budaya mikro<br />
dimana terjadinya interaksi antara pekerja dalam sel.<br />
Hal ini terjadi karena setiap sel mempunyai<br />
tanggung jawba pada part families yang dibebankan.<br />
Manufaktur sellular metransfer teknlogi<br />
berdasarkan keperluan manajemen. Salah satu yang<br />
memebrikan biaya yang nyata dlaam perpindahan<br />
menjadi konfigurasi sellular adalah pembentukan selsel.<br />
Di banyak kasus, peralatan tambahan diperlukan<br />
untuk mendapatkan sel-sel yang berkinerja tinggi.<br />
Adakalanya perusahaan harus berinvestasi dengan<br />
menerapkan strategi otomaso sel agar mempunyai<br />
kapabilitas yang tinggi. Kapabilitas ini akan<br />
mempengaruhi keseimbangan lintasan didalam sel<br />
ataupun antar sel. Pada perusahaan besar yang<br />
mengimplementasikan manufaktur sellular upaya<br />
menerapkan otomasi setelah sel-sel terbentuk<br />
berpotensi besar untuk berhasil.<br />
REFERENSI<br />
Altinklininc, M. (2004), Simulation based Layout<br />
Planning of A Production Plant, Proceeding<br />
of the 2004 Winter Simulation Conference,<br />
1079-1084.<br />
Askin, R.G. dan Standridge, C.R (1993), Modelling<br />
and Analysis of Manufacturing Systems,<br />
Johnm Wiley and Sons, Inc. New York.<br />
18
Model Konseptual Transformasi Manufaktur Konvensional Menjadi Sellular Terotomasi<br />
Bakhtiar S.<br />
Aurrecoechea, A., Busby, J.S., Nimmons, T., dan<br />
Williams, G.M. (1994), The Evaluation of<br />
Manufacturing Cell Design, International<br />
Journal of Operations and Production<br />
Management, 14 (1), 60-74.<br />
Baker, R.P dan Maropoulos, P.G. (2000), Cell<br />
Design and Continuous Improvement,<br />
International Journal Computer Integratef<br />
Manufacturing, 13 (6), 522-532.<br />
Benjafaar, S., Heragu, S.S. dan Irani, S.A. (2001),<br />
Next Generation Fctory Layouts : Research<br />
Challenges and Recent Progress, Interfaces.<br />
Banks, J. (2000), Introduction to Simulation,<br />
Proceedings of the 2000 Winter Simulation<br />
Conference, Pp. 9-16.<br />
Baykasoglu, A. dan Gindy, N.N.Z. (2000),<br />
MOCACEF 1.0: Multiple Objective<br />
Capability Based Approach to From Part-<br />
Machine Groups for Cellular Manufacturing<br />
Applications, International Journal of<br />
Production Research, 38(5), 1133-1166.<br />
Carrie, A. S. dan Banerjee, S.K. (1994), Desgn of<br />
CIM Based Manufacturing Systems.<br />
Department of Design, Manufacture and<br />
Engineering Management, University of<br />
Strathclyde.<br />
Chan, F.R.S. dan Abhary, K. (1996), Design and<br />
Evaluation of Automated Cellular<br />
Manufacturing Systems with Simulation<br />
Modelling and AHP Approach : A Case<br />
Study, Journal of Integrated Manufacturing<br />
Systems, 7(6), 39-52.<br />
Da Silviera, G. (1999), A Methodology of<br />
Implementation of Cellular Manufacturing,<br />
International Journal of Production<br />
Research, 37 (2), 467-479.<br />
Eilson, B. (2001), Soft Systems Methodology:<br />
Conceptual Model Building and Its<br />
Contribution, John Wiley & Sons, Ltd.,<br />
Chicester, UK.<br />
Efstathiou, J. dan Golby, P. (2001), Application of A<br />
Simple Method of Cell Design Accounting<br />
for Product Demand and Operation<br />
Sequence, Integrated Manufacturing<br />
Systems, 12 (4), 246-257.<br />
Groover, M.P (2001), Automation, Production<br />
Systems and Computer Integrated<br />
Manufacturing, Prenctice –Hall Inc, New<br />
Jersey.<br />
Ham I., Hitomi, K dan Yoshida, T. (1985), Group<br />
Technology, Applications to Production<br />
Management, Kluwer-Nijhoff Publishing,<br />
Boston.<br />
Hadiguna, R.A. dan Setiawan, H. (200a), Desain dan<br />
Evaluasi Sel Manufaktur Multi Kriteria,<br />
Jurnal Teknik Industri STT Musi, 3 (1), 21-<br />
32.<br />
Hadiguna, R.A. (2003b), Prosedur Multi Objektif<br />
untuk Keputusan Pemilihan Formasi Sel<br />
Manufaktur, Proceeding 2 nd National<br />
Industial engineering Conference,<br />
<strong>Universitas</strong> Surabaya, 8-16.<br />
Hadiguna, R.A. dan Mulki B.S. (2003c), Desain<br />
Manufaktur Sellular dengan<br />
Mempertimbangkan Strategi Bisnis,<br />
Proceeding Simposium Nasional RAPI II<br />
<strong>Universitas</strong> Muhammadiyah Surakarta,<br />
100-107.<br />
Hadiguna, R.A. (2003d), Sistem Manufaktur Sellular<br />
: Sebuah Tinjauan dan Survei Pustaka,<br />
Jurnal Teknik Industri UNAND, 2(4), 129-<br />
135.<br />
Hadiguna, R.A. dan Wirdianto, E. (2003c), Model<br />
Penyelesaian Masalah Pemilihan Alternatif<br />
Tata Letak, Jurnal Sains dan Teknologi<br />
STTIND, 2(2), 88-97.<br />
Hadiguna, R.A. (2003f), Pemodelan Simulasi Sistem<br />
Manufaktur Berbantuan IDEF0, Jurnal<br />
Spekturm Industri, 1 (1), 31-37.<br />
Hadiguna, R.A. dan Thahir, M. (2004), Desain<br />
Formasi Sel Manufaktur dengan<br />
Mempertimbangkan Preferensi Manajemen,<br />
Prosiding seminar Nasional Teknologi<br />
Industri XII ITS, `061-1068.<br />
Huang, H. dan Irani, S.A. (2002), Ideas for Design of<br />
Future Factories: Hybrid Cellular Layouts<br />
for Machining and Fabrication Jobshops,<br />
Paper, Departement of Industrial, Welding<br />
and System Engineering, The Ohio State<br />
University, Columbus, OH.<br />
Mansouri, S. A., Husseini, S.M.M. dan Newman, S.T<br />
(2000), A Review of The Modern<br />
Approaches to Multi-Criteria Cell Design,<br />
International Journal of Production<br />
Research, 38 (5), 1201-1218.<br />
Meyers, F.E dan Stephens, M.P (2000),<br />
Manufacturing Facilities Design and<br />
Material Handling, 2 nd Edition, Prentice-<br />
Hall, Inc., New Jersey.<br />
Nair, G.J dan Narendran, T.T. (199), ACCORD : A<br />
Bicriterion Algorithm for Cell Formation<br />
Using Ordinal and Ratio-Level Data,<br />
International Jorunal of Production<br />
Research, 37(3), 539-556.<br />
Onwubolu, G.C. (1998), Redesigning Jobshops to<br />
Cellular Manufacturing Systems, Integrated<br />
Manuracturing Systems, 9 (6), 377-382.<br />
19
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Pawlikowski, K dan Kreutzer, W. (2000), Integrating<br />
Modelling and Data Analysis inTeaching<br />
Descrete Event Simulation, Proceedings of<br />
the 2000 Winter Simulation Conference,<br />
158-166.<br />
Perera, T. dan Liyanage, K., (2000, Methodology for<br />
Rapid Identification and Collecton of Input<br />
Data in the Simulation of Manufacturing<br />
System, Simulation Practice and Theory, 7,<br />
645-656.<br />
Singh, N. (1996), System Approach to Computer-<br />
Integratef Design and Manufacturing. John<br />
Wiley and Sons, Inc., NJ.<br />
Siswanto, N dan Hadiguna, R.A. (2003) Kerangka<br />
Kerja Evaluasi Multi Kriteria dalam<br />
Masalah Tata Letak Fasilitas Dengan<br />
Pendekatan AHP. Procedding Seminar<br />
Nasional TIMP-3, 33-37.<br />
Singgi,M. L dan Hadiguna, R.A (2003) Pendekatan<br />
Pengklasteran Multi Objektif Untuk<br />
Masalah Formasi Group Mesin/Komponen<br />
Dalam Manufaktur Sellular. Procedding<br />
Seminar Nasional TIMP-3, 53-57.<br />
Suresh, N.C dan Slomp, J. (2001), A Multi Objective<br />
Procedure for Assignments and Grouping in<br />
Capacitated Cell Formation Problems,<br />
International Jorunal of Production<br />
Research, 39 (18), 4103-4131.<br />
Underdown, D.R dan Leach, R.A (2001), A Cross –<br />
Case Analysis of Small Companies<br />
Implementing Cellular Manufacturing,<br />
Research Report, Automation & Robotics<br />
Research Institure, The University of Texas,<br />
Arlington.<br />
Yang, J dan Deane, R.H. (1994), Strategic<br />
Implicatons of Manufacturing Cell<br />
Formation Design, Journal of Integratef<br />
Systems, 5(4/5), 8.<br />
20
Pengembangan Pori Arang Hasil Pirolisa Tempurung Kemiri<br />
Muhammad Turmuzi<br />
PENGEMBANGAN PORI ARANG HASIL PIROLISA<br />
TEMPURUNG KEMIRI<br />
Muhammad Turmuzi<br />
Staf Pengajar Fakultas Teknik USU Medan<br />
Abstrak: Penelitian ini ditujukan untuk mengungkap kemungkinan pembuatan arang dari tempurung kemiri.<br />
Penelitian dibagi atas dua tahap, yaitu analisa gugus berangkap pada berbagai suhu menggunakan FTIR dan<br />
pengamatan pengembangan pori selama proses pirolisa. Berdasarkan analisa gugus berfungsi menunjukkan<br />
bahwa tempurung kemiri mempunyai struktur kimia yang hampir sama dengan selulosa dan lignin. Untuk<br />
mencirikan pengembangan pori liang arang yang terbentuk selama pirolisa, digunakan penyerapan gas nitrogen<br />
pada suhu 77K. Kondisi optimum pirolisa untuk menghasilkan pori yang terbaik adalah pada suhu 800 o C dan<br />
waktu 2 jam.<br />
Kata kunci: FTIR, pori, pirolisa<br />
Abstract: The purpose of the experiment is to investigated possibility of production of coke from candlenut shell.<br />
The experiment consisted two part e.g. analysis of fungtional group by FTIR andto depelopment of pore during<br />
pyrolysis. The fungtional groups analysis shown that the chemical structure of candlenut shell is identic as<br />
celluolose and lignin. The charactristics of pore during pirolysis used by nitrogen adsorption at 77K. Optimum<br />
conditions to result higher of pore at temperature 800 o C and time 2 hours.<br />
Keywords: FTIR, pore, pyrolysis<br />
I. PENDAHULUAN<br />
Banyak jenis bahan berkarbon yang<br />
diperoleh dari buangan padat pertanian seperti sekam<br />
padi, tempurung kelapa dan tempurung kelapa sawit<br />
maupun buangan padat perkotaan seperti plastik,<br />
kertas dan karton dalam jumlah yang sangat banyak.<br />
Pada umumnya buangan padat ini banyak diperoleh<br />
di negara membangun dan biasanya hanya<br />
dimanfaatkan dengan nilai tambah yang rendah yaitu<br />
sebagai sumber bahan bakar. Apabila sisa pertanian<br />
itu tidak diurus dan dimanfaatkan, maka berpotensi<br />
menjadi sumber bahan pencemar dalam lingkungan.<br />
Bahkan di California, Amerika Serikat ada undangundang<br />
yang melarang buangan pertanian dibuang<br />
(Amstrong et al. 1999). Oleh sebab itu sangat penting<br />
pembuangan alternatif dikembangkan bagi<br />
memanfaatkan potensinya sebagai sumber tenaga dan<br />
produk kimia yang mempunyai nilai tambah yang<br />
lebih besar (Bassilakis et al. 2001). Menurut<br />
beberapa skenario, untuk sumber tenaga pada dekade<br />
ke-21 ini, peranan tenaga yang bersumber bio massa<br />
sangat besar untuk mengganti sumber fosil (Minkova<br />
et al. 1991).<br />
Antara manfaat bahan berkarbon ialah<br />
sebagai sumber energi dan produk yang bernilai<br />
tambah yang terhasil melalui proses pirolisa. Pirolisa<br />
adalah pemanasan bahan berkarbon tanpa oksigen<br />
untuk menghasilkan arang, minyak, dan gas dalam<br />
komposisi yang tergantung kepada keadaan operasi<br />
dan komposisi bahan baku. Minyak dan gas dapat<br />
digunakan sebagai bahan bakar dan arang juga dapat<br />
digunakan sebagai bahan bakar, atau sebagai bahan<br />
suapan untuk pembuatan karbon aktif (Suáres-García<br />
et al. 2002). Sebagai contoh, arang dihasilkan dari<br />
pirolisa tempurung kelapa sawit. Kemudian arang ini<br />
dapat dijadikan sebagai bahan bakar atau diproses<br />
lebih lanjut untuk menghasilkan produk seperti<br />
karbon aktif<br />
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji<br />
proses penguraian secara termal tempurung kemiri<br />
dan mencirikan arang sebagai bahan dasar untuk<br />
pembuatan karbon aktif. Secara terperinci, tujuan<br />
kajian ini adalah: untuk memperoleh pengetahuan<br />
yang lebih terperinci pengaruh yang dapat wujud<br />
pada berbagai keadaan pirolisa pada struktur arang<br />
yang dihasilkan.<br />
II. KAEDAH PENELITIAN<br />
II.1. Analisa Unsur Bahan Baku<br />
Analisa kandungan unsur kemiri menggunakan alat<br />
jenama LECO buatan USA model CHNS932.<br />
II.2. Analisa Termal Gravimetri<br />
Penguraian secara termal kemiri dalam<br />
persekitaran nitrogen dikaji dengan menggunakan<br />
alat analisa terma graviti (TGA) buatan Perkin Elmer<br />
model TGA7. Gas N 2 kemurnian yang tinggi<br />
digunakan untuk kajian ini pada laju alir 20 ml min -1 .<br />
Gas nitrogen dialirkan selama 20 minit. Sebelum<br />
memulai analisa, sampel dipanaskan untuk<br />
memastikan <strong>sistem</strong> bebas oksigen. Analisa dilakukan<br />
dalam tiga laju kenaikan suhu iaitu 5, 10 dan 20 o C<br />
min -1 sampai suhu maksimum 800 o C.<br />
II.3. Analisa Gugus Berangkap<br />
Struktur kimia permukaan bahan baku dan<br />
perubahan yang terjadi pada arang ditentukan melalui<br />
21
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
analisa FTIR. Piringan sampel dibuat dengan<br />
mencampur 1 mg karbon dengan 500 mg KBr<br />
(Merck untuk spectroskopi) dalam lesung akik,<br />
kemudian campuran disuntik pada 5 x 10 7 kg m -2<br />
selama 5 minit dan 1 x 10 8 kg m -2 selama 5 minit<br />
dalam keadaan hampa udara. Piringan yang<br />
dihasilkan dikeringkan di dalam oven selama 2 jam.<br />
Spektrum FTIR diukur dengan menggunakan<br />
spektrometer Bio-Rad. Spektrum sampel diukur di<br />
antara 4000 hingga 400 cm -1 , 18 kali imbasan dan<br />
resolusi 8 cm -1 . Spektrum yang sesungguhnya<br />
diperoleh dari spektrum sampel masing-masing yang<br />
dikurangi spektrum piringan KBr.<br />
II.4. Pembuatan Arang<br />
Bahan baku tempurung kemiri dihancurkan<br />
dalam mesin penghancur dan diayak sehingga<br />
diperoleh ukuran 1.7 hingga 2.35 mm. Tempurung<br />
kemiri yang telah hancur dipirolisa dalam furnace<br />
(diameter dalam 77 mm) yang dilengkapi dengan<br />
<strong>sistem</strong> pengendali suhu yang automatik. Sebanyak 25<br />
g tempurung kemiri dimasukkan ke dalam mangkuk<br />
pijar yang berlobang pada bahagian bawah. Mangkuk<br />
pijar dimasukkan ke dalam furnace dan kemudian<br />
dipanaskan pada laju 8 o C min -1 hingga mencapai<br />
suhu akhir yang tertentu pada waktu tertentu dalam<br />
aliran gas nitrogen 105 ml min -1 untuk memastikan<br />
penyingkiran bahan mudah menguap dan ter. Suhu<br />
pirolisa adalah 400, 500, 600, 700, 800 dan 900 o C<br />
dan waktu adalah 1, 2, 3, dan 4 jam. Hasil arang<br />
dihitung berdasarkan pada perkedaan berat bahan<br />
baku dan berat arang.<br />
III. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
III.1. Unsur Bahan Baku<br />
Analisa unsur kandungan tempurung kemiri<br />
ditunjukkan di dalam Tabel 4.1. Analisa unsur<br />
menunjukkan bahwa kandungan unsur karbon dalam<br />
julat yang berdekatan dengan kandungan bahan<br />
lignoselulosa lainnya seperti kayu dan biji ceri.<br />
Tabel 1 Analisa Unsur Tempurung Kemiri<br />
Unsur Kemiri % Kayu *<br />
(%)<br />
C<br />
H<br />
N<br />
S<br />
O<br />
47.52<br />
5.81<br />
0.16<br />
-<br />
46.51<br />
46.16<br />
5.77<br />
0.80<br />
-<br />
37.87<br />
Biji Ceri *<br />
(%)<br />
51.08<br />
6.49<br />
0.38<br />
0.02<br />
42.3<br />
Sumber: * Gonzalez et al. 2003<br />
III.2. Spektrum FTIR<br />
Spektrum inframerah dianggap sebagai satu<br />
sifat pencirian bagi sesuatu senyawa. Kawasan<br />
sinaran inframerah di antara kawasan nampak dan<br />
gelombang mikro yang terpenting untuk mencirikan<br />
senyawa kimia organik adalah diantara 4000 hingga<br />
400 cm -1 . Suatu gugusan atom tertentu akan<br />
menghasilkan jalur pada atau hampir pada frekuensi<br />
yang sama tanpa memperhatikan struktur atom yang<br />
sebenarnya. Maklumat ini penting dalam<br />
pemeriksaan awal struktur sesuatu senyawa.<br />
Dalam kajian ini, penafsiran spektrum FTIR<br />
adalah berasaskan kepada struktur kimia kayu dan<br />
tahapan-tahapan proses pirolisa untuk bahan<br />
lignoselulosa. Ada dua komponen utama kayu iaitu<br />
lignin dan selulosa. Spektrum FTIR untuk<br />
mencirikan bahan baku tempurung kemiri<br />
ditunjukkan pada Gambar 1. Getaran regangan v-(O-<br />
H) dalam gugus hidroksil (seperti alkohol, fenol atau<br />
asid karboksilik) didapati pada nomor gelombang<br />
3100-3600 cm -1 . Gambar 1 menunjukkan tempurung<br />
kemiri mempunyai daerah nomor gelombang jalur<br />
lebar yang bermakna kandungan v-OH yang tinggi.<br />
Getaran regangan C-H n (alkil dan aromatik) pada<br />
2860-2960 cm -1 . Getaran regangan C-O didapati pada<br />
nomor gelombang 1733 cm -1 , regangan gelang<br />
benzena C-C pada 1636 cm -1 , getaran regangan C=C<br />
gelang aromatik dalam lignin pada 1516 cm -1 ,<br />
regangan tak simetri C-O aromatik eter, ester dan<br />
fenol pada 1284-1240 cm -1 ; regangan C-O pada 1035<br />
cm -1 , regangan C-H aromatik pada 700-900 cm -1 dan<br />
regangan C-C pada 700-400 cm -1 . Semua gugus<br />
berfungsi tersebut boleh didapat pada selulosa dan<br />
lignin kecuali C-C (gelang yang meregang benzena)<br />
pada 1636 cm -1 yang hanya didapati di dalam<br />
selulosa (Bilbao et al. 1996) dan getaran regangan<br />
C=C gelang aromatik dalam lignin pada 1516 cm -1<br />
(Suarez-Garcia et al. 2002).<br />
22
Pengembangan Pori Arang Hasil Pirolisa Tempurung Kemiri<br />
Muhammad Turmuzi<br />
Kemiri<br />
200 o C<br />
300 o C<br />
400 o C<br />
Transmitan<br />
500 o C<br />
600 o C<br />
700 o C<br />
800 o C<br />
900 o C<br />
3600<br />
2800<br />
2000<br />
1200<br />
400<br />
Nomor Gelombang<br />
Gambar 1 juga menunjukkan bahwa pada<br />
suhu 200 o C struktur bahan berubah pada jalur 1773<br />
cm -1 . Ini bermakna pada suhu 200 o C terjadi<br />
pengurangan gugus C-O. Pada waktu yang sama,<br />
penjerapan jalur C-H n pada 2860-2960 cm -1<br />
berkurang. Pada suhu 300 o C, spektrum semakin<br />
menurun pada jalur-jalur hidroksil (regangan O-H,<br />
3100-3600 cm -1 ; regangan C-O, 1652, 1262, 1046),<br />
dalam jalur deformasi C-H, 814 cm -1 dan 706 cm -1 .<br />
Namun pada suhu pirolisa ini, diperoleh kenaikan<br />
keamatan pada deformasi C-H 1420 cm -1 dan 876<br />
cm -1 . Pengurangan jalur hidroksil merupakan<br />
petunjuk bahwa penguraian selulosa telah terjadi<br />
(Suárez-Garcia et al. 2002).<br />
Pada suhu 300 hingga 500 o C, masih didapati jalur<br />
hidroksil regangan O-H, 3100-3600 cm -1 dan<br />
keamatan menurun dengan kenaikan suhu. Gugus<br />
berangkap yang lain seperti deformasi C-H 1420 dan<br />
876 cm -1 dan getaran regangan C=C gelang aromatik<br />
dalam lignin 1516 cm -1 masih diperoleh dan<br />
keamatan menurun dengan kenaikan suhu. Pada suhu<br />
600 hingga 800 o C, hanya jalur getaran regangan C=C<br />
dan aromatik C-H yang diperoleh. Ini bermakna<br />
terjadi pengurangan gugus oksigen dengan kenaikan<br />
suhu. Pada suhu 900 o C, tidak ada gugus berangkap.<br />
Ini bermakna bahan telah mencapai grafit. Spektrum<br />
grafit tidak mempunyai jalur infra-merah (Gomez-<br />
Serrano et al. 1996).<br />
III.3. Pengembangan Pori Arang<br />
Garis sesuhu penyerapan nitrogen pada suhu<br />
23
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
77K untuk arang tempurung kemiri hasil pirolisa<br />
pada suhu 800 o C dan waktu tinggal 1, 2, 3 dan 4 jam<br />
ditunjukkan pada Gambar 2. Bentuk garis sesuhu<br />
boleh dikategorikan dalam jenis 1 mengikut<br />
pengkelasan garis sesuhu jerapan fizik oleh IUPAC.<br />
Ini bermakna struktur pori didominasi oleh pori<br />
mikro. Kenaikan suhu pirolisa dari 400 hingga 900 o C<br />
pada waktu tinggal yang tetap 3 jam mengakibatkan<br />
kenaikan penyerapan nitogen. Ini bermakna kapasitas<br />
jerapan arang bertambah. Akan tetapi, pada suhu<br />
pirolisa yang tinggi (900 o C), kemampuan penyerapan<br />
arang semakin rendah. Ini disebabkan oleh pengaruh<br />
pensinteran, yang menyebabkan pengecilan pori dan<br />
pengurangan kebolehcapaian molekul nitrogen<br />
sewaktu proses penjerapan (Guo & Lua 1999).<br />
Pencirian pori untuk menunjukkan<br />
kemampuan penjerapan boleh juga dinyatakan dalam<br />
luas permukaan. Secara umum hubungan luas<br />
permukaan dan kapasitas penjerapan adalah linear.<br />
Pada suhu 400 o C untuk waktu tinggal 1 hingga 4 jam<br />
(Gambar 3), luas permukaan arang masih rendah<br />
karena masih sedikit bahan mudah menguap yang<br />
dilepaskan dari bahan baku. Ini bermakna waktu<br />
diperlukan untuk melepaskan bahan mudah menguap<br />
dan membersihkan struktur mulut pori daripada sisa<br />
bahan mudah menguap. Selepas itu, dengan kenaikan<br />
suhu luas permukaan juga akan semakin tinggi. Pada<br />
suhu 800 o C, waktu tinggal pirolisa 3 dan 4 jam<br />
menunjukkan permulaan pengurangan luas<br />
permukaan berbanding waktu tinggal 1 dan 2 jam<br />
pada suhu yang sama. Apabila proses diteruskan<br />
hingga mencapai suhu 900 o C dalam waktu tinggal<br />
pirolisa 1 dan 2 jam, hasil yang diperoleh<br />
menunjukkan luas permukaan arang mengalami<br />
penurunan dibanding dengan luas permukaan pada<br />
suhu 800 o C, ataupun suhu 900 o C untuk waktu tinggal<br />
1 dan 2 jam. Penurunan luas permukaan ini<br />
berhubung erat dengan proses pensiteran yang diikuti<br />
dengan pengecutan pori sehingga mengurangkan<br />
kapasitas pori (Guo & Lua 1999).<br />
Volume Nitrogen Terserap (cm 3 g -1 )<br />
160<br />
140<br />
120<br />
100<br />
80<br />
60<br />
40<br />
20<br />
0<br />
400 o C 500 o C 600 o C<br />
700 o C 8<br />
900 o C<br />
Waktu tinggal 300jam<br />
o C<br />
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1<br />
Tekanan Nisbi, P/P o<br />
Gambar 2. Garis Sesuhu Arang Penyerapan Nitrogen pada 77K<br />
24
Pengembangan Pori Arang Hasil Pirolisa Tempurung Kemiri<br />
Muhammad Turmuzi<br />
IV. KESIMPULAN<br />
Berdasarkan penelitian di atas dapat disimpulkan:<br />
1. Pada suhu 200 o C sudah mulai penguraian gugus<br />
hidroksil yang bermakna mulai ada penguraian<br />
selulosa. Pada suhu 300 hingga 500 o C getaran<br />
regangan C=C gelang aromatik dalam lignin 1516<br />
cm -1 masih diperoleh dan keamatan menurun<br />
dengan kenaikan suhu. Pada suhu 600 hingga<br />
800 o C, hanya jalur getaran regangan C=C dan<br />
aromatik C-H yang diperoleh. Ini bermakna terjadi<br />
pengurangan gugus oksigen dengan kenaikan suhu.<br />
Pada suhu 900 o C, tidak ada gugus berangkap. Ini<br />
bermakna bahan telah mencapai grafit.<br />
2. Distribusi ukuran pori arang yang dihasilkan dari<br />
tempurung kemiri didominasi oleh pori mikro.<br />
Untuk memperoleh pori yang optimum diperlukan<br />
kondisi pirolisa dengan suhu 800 o C dan waktu 2<br />
jam. Pori yang dihasilkan masih rendah, oleh sebab<br />
itu masih perlu diaktifkan agar diperoleh porI yang<br />
lebih tinggi.<br />
V. DAFTAR PUSTAKA<br />
Armstrong, D.W., Flanigan, V.J., James, W.J., Li, L-<br />
J. & Rundlett, K.L. (1999), Activated<br />
carbon produced from agricultural residues.<br />
US Patent 5,883,040<br />
Bassilakis, R., Carangelo, R.M. & Wojtowicz, M.A.<br />
(2001), TG-FTIR analysis of biomass<br />
pyrolysis. Fuel. 80: 1765-1786.<br />
Gomez_Serrano, V., Pator-Villegas, J., Perez-<br />
Florindo, A., Duran-Valle, C. &<br />
Valenzuela-Calahorro, C. (1996), FT-IR<br />
study of rockrose and of char and activated<br />
carbon. Journal of Analytical and Applied<br />
Pyrolysis. 36: 71-80.<br />
Gonzalez, J.F., Encinar, J.M., Canito, J.L., Sabio, E.<br />
& Chahon, M. (2003), Pyrolysis of cherry<br />
stones: energy uses of different fractions<br />
and kinetics study. J. of Anl. & Apll.<br />
Pyrolysis. 67: 165-190.<br />
Guo, J. & Lua, A.C. (1999), Textural and chemical<br />
characterisations of activated carbon<br />
prepared from oil-palm stone with H 2 SO 4<br />
and KOH impregnation. Microporous and<br />
Messoporous Materials. 32: 111-117<br />
Minkova, V., Razvigorova, M., Goranova, M.,<br />
Ljutzkanov, L. & Angelova, G. (1991),<br />
Effect of water vapour on the pyrolusis of<br />
solid fuels. Fuel 70: 714-719.<br />
Suarez-Garcia, F., Martinez-Alonso, A. & Tascon,<br />
J.M.D. (2002), Pyrolysis of apple pulp:<br />
effect of operation conditions and chemical<br />
additives . J.of. Anl. And Appl. Pyrolysis.<br />
62: 93-109<br />
25
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
OPTIMISASI MULTI–OBJEKTIF BERBANTUAN SIMULASI<br />
DALAM SISTEM MANUFAKTUR SELLULAR<br />
Rika Ampuh Hadiguna<br />
Jurusan Teknik Industri <strong>Universitas</strong> Andalas<br />
E-mail: hadiguna@ft.uand.ac.id<br />
Abstract: In this paper has study developing integrated multi objective model to solving cellular manufacturing<br />
problems. Simulation model is one of some approaches which used to analyze and predict the system<br />
performance. In simulation model that was introduce the IDEF0 as functional model to support the model more<br />
completing. Limitations simulation output that more focus for probabilistic condition until necessary completed<br />
by mathematical programming. Integrating simulation dan mathematical programming would give solution that<br />
comprehensive. The mathematical model that used is goal programming. Study result is show that proposed<br />
model more appropriate to analyze various factors in cellular manufacturing problems. Consequently, the<br />
models provide valuable information needed by practitioners to make decisions in many important design<br />
aspects.<br />
Kata kunci: Multi–Objective, simulasi, goal programming, cellular manufacturing,<br />
PENDAHULUAN<br />
Manufaktur sellular (Cellular Manufacturing,<br />
CM) merupakan aplikasi khusus dari Group<br />
Technology (GT). Prinsip aplikasi ini adalah kluster<br />
mesin-mesin dan komponen-komponen dengan<br />
tujuan meningkatkan effisiensi produksi. Kluster<br />
mesin-mesin dan komponen-komponen lebih dikenal<br />
sebagai sel manufaktur dan part family. Desain sel<br />
manufaktur yang diinginkan adalah sel total<br />
independen agar dapat merealisasikan keunggulan<br />
dari GT. Idealnya tata letak CM dilihat dari<br />
keseluruhan operasi komponen dalam sebuah part<br />
family diselesaikan dalam sebuah sel mesin (Askin<br />
dan Standridge, 1994). Pada kenyataanya, sel<br />
manufaktur yang independen tidak mungkin selalu<br />
ada. Tidak munculnya sel manufaktur yang total<br />
independen memunculkan tipe komponen yang<br />
diistilahkan elemen eksepsional yaitu komponen<br />
tersebut membutuhkan lebih dari satu sel mesin. Sel<br />
mesin yang harus memproses part family lain disebut<br />
dengan mesin bottleneck. Komponen elemen<br />
eksepsional akan menimbulkan biaya-biaya dalam<br />
operasional CM yang berarti ketidak-effektifan (Nair<br />
dan Narendran, 1999). Meskipun beberapa<br />
pendekatan telah dikembangkan dalam banyak<br />
literatur, namun masih terbatas lingkupnya karena<br />
kurang memperhatikan optimisasi biaya secara<br />
menyeluruh. Dalam makalah ini akan dibahas efek<br />
dari alternatif-alternatif kluster mesin-mesin dan<br />
komponen-komponen menggunakan pemrograman<br />
matematikal multi–objektif dan simulasi. Arah<br />
pengembangan model mengacu pada formulasi dasar<br />
dari Hadiguna, 2003b; Hadiguna, 2003f). Formulasi<br />
matematis yang diusulkan berdasar bentuk umum<br />
goal programming.<br />
Sistem manufaktur sellular merupakan<br />
penghubung antara <strong>sistem</strong> konvensional menuju<br />
<strong>sistem</strong> yang lebih modern. Sistem manufaktur<br />
sellular merupakan dekomposisi <strong>sistem</strong> menjadi<br />
kelompok-kelompok mesin dan/atau komponen.<br />
Sebagai contoh, CIMS dan JIT merupakan <strong>sistem</strong><br />
yang membutuhkan <strong>sistem</strong> manufaktur sellular dalam<br />
bentuk fisiknya. Sistem manufaktur sellular<br />
merupakan salah satu konsep dasar pabrik masa<br />
depan. Masalah desain <strong>sistem</strong> manufaktur sellular<br />
cukup kompleks dan luas dikaji dengan melibatkan<br />
banyak tipe model optimisasi. Ada dua tipe masalah<br />
yang harus dibahas, yaitu: pengelompokkan mesin–<br />
komponen dan tata letak sel. Pemecahan dua tipe<br />
masalah tersebut membutuhkan pendekatan yang<br />
terintegrasi mengingat sangat sulit menyelesaikan<br />
kedua permasalahan tersebut sekaligus. Apabila<br />
kedua masalah tersebut telah diselesaikan, maka<br />
masalah lanjutan yang munculnya adalah kinerja dari<br />
rancangan <strong>sistem</strong>. Dalam hal ini membutuhkan<br />
model simulasi yang mampu memberikan prediksi<br />
terhadap kinerja rancangan sekaligus memberikan<br />
pertimbangan-pertimbangan terhadap kemungkinan<br />
pengembangan atau perbaikan <strong>sistem</strong> (Miller dan<br />
Pegden, 2000).<br />
Aplikasi simulasi dalam penyelesaian<br />
masalah <strong>sistem</strong> manufaktur sellular lebih fokus pada<br />
sub masalah tata letak sel. Umumnya model simulasi<br />
digunakan untuk melihat variabel-variabel kinerja<br />
dari setiap skenario yang dibangkitkan. Permasalahan<br />
lanjutan yang muncul adalah memilih alternatif yang<br />
telah disimulasikan tersebut. Peranan model multi<br />
objektif seperti goal programming sangat penting<br />
dalam fase lanjutan ini. Goal programming<br />
merupakan salah satu model multi objektif yang<br />
26
Optimisasi-Objektif Berbantuan Simulasi dalam Sistem Manufaktur Sellular<br />
Rika Ampuh Hadiguna<br />
sangat disarankan penggunaannya (Mansouri dkk,<br />
2000). Dalam makalah ini akan ditunjukkan integrasi<br />
model simulasi dan multi-objektif dalam<br />
penyelesaian masalah <strong>sistem</strong> manufaktur sellular.<br />
Dalam studi ini akan di usulkan metodologi<br />
pengembangan model simulasi <strong>sistem</strong> manufaktur<br />
dengan mengintegrasikan IDEF0 sebagai bagian<br />
yang integral. Metodologi yang diusulkan ditujukan<br />
untuk mengevaluasi performansi <strong>sistem</strong> manufaktur<br />
sellular. Dalam makalah ini yang akan dijadikan<br />
contoh pendemonstrasian metodologi adalah untuk<br />
masalah pada <strong>sistem</strong> perakitan sebagai GT Flow Line<br />
System.<br />
TINJAUAN PUSTAKA<br />
Group Technology (GT) adalah sebuah<br />
pendekatan yang efektif untuk multi produk,<br />
produksi dengan lot kecil atau medium dan produksi<br />
bertipe diskrit. GT adalah sebuah konsep yang<br />
membuat produksi lebih effisien dengan cara<br />
mengelompokkan komponen dan/atau mesin yang<br />
mempunyai kemiripan. Pembahasan terhadap<br />
penerapan GT selama ini banyak fokus pada upaya<br />
merancang sel-sel mesin Suresh dan Slomp, 2001;<br />
Hadiguna dan Widianto, 2003). Perkembangan<br />
model-model dan <strong>teknik</strong>-<strong>teknik</strong> dalam <strong>sistem</strong><br />
manufaktur sellular lebih mengarah pada masalah<br />
pengelompokkan dan tata letak sel yang dipandang<br />
sebagai hal yang terpisah (Hadiguna, 2003d).Hal ini<br />
dapat dilihat dari beberapa studi yang dilakukan oleh<br />
diantaranya Baker dan Maropoulus (1999),<br />
Baykasoglu dan Gindy (2000), Daita dkk (1999),<br />
Efstathiou dan Golby (2001), Mansouri dkk (2000)<br />
dan Nair dkk (1999). Bagaimanapun masalah desain<br />
<strong>sistem</strong> manufaktur sellular adalah pengelompokkan<br />
komponen dan mesin serta pengaturan mesin-mesin<br />
pada intra dan inter cell yang tersedia dengan tujuan<br />
mengoptimalkan objektif yang telah dinyatakan.<br />
Proses desain yang menyeluruh dalam hal<br />
pengelompokkan hingga tata letak sel telah banyak<br />
dikembangkan seperti oleh Da-Silviera (1999),<br />
Efstathiou dan Golby (2001), Hadiguna dan<br />
Setiawan (2003), Hadiguna dan Thahir (2004) dan<br />
Salum (2000).<br />
Perkembangan dunia bisnis yang kompetitif<br />
mengharuskan proses desain <strong>sistem</strong> manufaktur<br />
sellular mempertimbangkan strategi bisnis (Hadiguna<br />
dan Mulki, 2003). Pertimbangan ini biasanya<br />
dilibatkan pada tahap desain tata letak sel. Model<br />
simulasi yang mengadopsi hal ini diantaranya<br />
Altinklininc (2004) dan Rios dkk (2000). Pendekatan<br />
desain fasilitas manufaktur yang menggunakan<br />
secara eksplisit objektif tunggal (single objective)<br />
akan menghasilkan penyelesaian yang bias terhadap<br />
kebutuhan perusahaan. Pelibatan beberapa objektif<br />
menjadi isu penting karena proses desain akan<br />
melibatkan faktor-faktor yang berkaitan dengan<br />
tujuan-tujuan strategis, ukuran-ukuran kinerja <strong>sistem</strong><br />
dan keunggulan kompetitif dalam marketplace.<br />
Berdasarkan prosedur perencanaan tata letak sel<br />
pabrik, diharapkan dapat dibangkitkan beberapa<br />
alternatif tata letak sel (Askin dan Stanridge, 1994).<br />
Tata letak sel yang merupakan permasalahan tata<br />
letak sel diselesaikan dengan membangkitkan<br />
beberapa alternatif tata letak sel dalam hal ini tata<br />
letak sel. Hal ini ditujukan untuk menghasilkan<br />
<strong>sistem</strong> yang memenuhi kebutuhan perusahaan yang<br />
telah dirumuskan pada fase persiapan. Pembangkitan<br />
alternatif tata letak sel dilakukan pada fase definisi.<br />
Keputusan untuk menginstal tata letak sel terpilih<br />
dilakukan pada fase instalasi dimana hasil desain tata<br />
letak sel yang terdiri dari beberapa alternatif dipilih<br />
dengan mengakomodir kebutuhan perusahaan. Paper<br />
ini bertujuan untuk membahas bagaimana cara<br />
mengambil keputusan pemilihan tata letak sel yang<br />
dapat mengakomodasi kebutuhan perusahaan.<br />
Asumsi yang digunakan adalah alternatif tata letak<br />
sel mempunyai kelayakan untuk diimplementasikan.<br />
Simulasi manufaktur telah menjadi sebuah area<br />
aplikasi primer dari teknologi simulasi. Simulasi<br />
telah menjadi pendekatan yang cukup luas yang<br />
digunakan untuk memperbaiki dan menvalidasi<br />
desain <strong>sistem</strong> manufaktur secara luas (Banks, 2000;<br />
Fu dkk, 2000). Aplikasi simulasi pada <strong>sistem</strong><br />
manufaktur termasuk desain fasilitas maupun<br />
pemodelan rantai pasok perusahaan secara luas<br />
(Miller dan Pegden, 2000). Tipe simulasi manufaktur<br />
biasanya digunakan untuk memprediksi performansi<br />
<strong>sistem</strong> atau membandingkan dua atau lebih desain<br />
<strong>sistem</strong> atau skenario (Hadiguna, 2003). Hal ini berarti<br />
bahwa kemampuan untuk mengembangkan dan<br />
mengurai model-model simulasi dengan cepat dan<br />
efektif sangat penting. Menurut Perera dan Liyanage<br />
(2000) sejumlah faktor yang menghalangi proses<br />
pemodelan simulasi antara lain pengumpulan data<br />
yang kurang efisien, dokumentasi model yang<br />
panjang dan buruknya perencanaan eksperimen.<br />
Dalam pemodelan simulasi manufaktur hal yang<br />
tidak kalah pentingnya adalah proses analisis <strong>sistem</strong>.<br />
Dalam mengembangkan model simulasi <strong>sistem</strong><br />
manufaktur khususnya untuk tujuan studi<br />
mengevaluasi performansi <strong>sistem</strong>, maka prosedur<br />
pengembangan model menjadi hal yang krusial.<br />
IDEF0 merupakan model fungsional yang<br />
diwujudkan dalam bentuk terstruktur dan semantik.<br />
Model IDEF0 mengandalkan pada konsistensi<br />
pendeskription <strong>sistem</strong>. Pemodelan IDEF0 banyak<br />
digunakan dalam menganalisis dan mengevaluasi<br />
<strong>sistem</strong> manufaktur khususnya untuk evaluasi<br />
performansi (Pawlikowski dan Kreutzer, 2000;<br />
Hadiguna, 2003).<br />
PENGEMBANGAN MODEL<br />
Model yang dikembangkan merupakan<br />
prosedur hirarki dua tahap. Model ini juga ditujukan<br />
pada tahap tata letak sel. Tahap pertama merupakan<br />
pemodelan simulasi, sedangkan tahap kedua adalah<br />
model Zero–One Goal Programming (ZOGP). Pada<br />
tahap pertama, prosedur yang dikembangkan<br />
ditujukan pada pemodelan simulasi <strong>sistem</strong><br />
27
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
manufaktur yang berkarakter diskrit. Prosedur<br />
dibangun terdiri dari dua bagian besar yaitu<br />
pemodelan IDEF0 dan pemodelan simulasi. Dalam<br />
memahami <strong>sistem</strong> nyata dengan baik dan benar,<br />
maka langkah awal adalah membangun rich picture.<br />
Demikian halnya dalam mengembangkan prosedur<br />
usulani ini perlu digambarkan keterkaitan antara<br />
model simulasi dengan IDEF itu sendiri. Model<br />
IDEF0 secara prinsip menjelaskan bagaimana sebuah<br />
<strong>sistem</strong> bekerja. Pada model IDEF0 bertujuan untuk<br />
memodelkan aktivitas fungsional dalam bentuk<br />
kontak-kontak yang merepresentasikan <strong>sistem</strong> hingga<br />
sub-<strong>sistem</strong> secara hirarki. IDEF0 dilengkapi oleh<br />
struktur ICOM yaitu: Input (I), Control (C), Output<br />
(O) dan Mechanism (M). Proses pemodelan<br />
dilakukan melalui pengamatan secara langsung dan<br />
mempelajari dokumentasi yang tersedia. Agar model<br />
yang dihasilkan rinci, maka diperlukan kerjasama<br />
yang baik antara pemodel dengan “pemilik” <strong>sistem</strong>.<br />
Validasi model dilakukan melalui diskusi dengan<br />
“pemilik” <strong>sistem</strong> dengan terlebih dahulu<br />
menverifikasi keterhubungan semua ICOM terhadap<br />
kotak aktivitas. Secara umum model simulasi<br />
dibangun dari beberapa tahap yaitu pemodelan data<br />
masukan (input modelling), analisis keluaran dan<br />
verifikasi dan validasi model. Secara diagramatik,<br />
integrasi IDEF0 dan simulasi dapat dilihat pada<br />
gambar dibawah ini:<br />
Analisis Aktivitas<br />
Pemodelan IDEF0<br />
Valid<br />
Tidak<br />
Ya<br />
Pemodelan Data Masukan<br />
Pemodelan Simulasi<br />
Tidak<br />
Verified<br />
Ya<br />
Valid<br />
Tidak<br />
Ya<br />
Pengembangan Alternatif<br />
Gambar 2. Diagram Integrasi IDEF0 dan Simulasi<br />
28
Optimisasi-Objektif Berbantuan Simulasi dalam Sistem Manufaktur Sellular<br />
Rika Ampuh Hadiguna<br />
Dalam formulasi ini yang diinginkan adalah<br />
mengevaluasi usulan tata letak sel yang telah<br />
didesain berdasarkan pendekatan kuantitatif dan<br />
kualitatif. Model ini menawarkan dua metodologi<br />
untuk keputusan pemilihan tata letak sel. Metoda<br />
Analytic Hierarchy Process (AHP) disajikan terlebih<br />
dahulu sebagai metodologi stand-alone dan<br />
selanjutnya kombinasi model AHP dengan Zero–One<br />
Goal Programming (ZOGP) sebagai ekstensi untuk<br />
mempertimbangkan kriteria tambahan dalam proses<br />
pengambilan keputusan. AHP merupakan metoda<br />
yang sangat banyak digunakan dalam pengambilan<br />
keputusan yang kompleks serta luas bidang<br />
aplikasinya (Saaty, 2002). AHP juga telah menjadi<br />
salah satu model penyelesaian dalam masalah tata<br />
letak sel. AHP bekerja untuk situasi keputusan yang<br />
melibatkan pemilihan sebuah keputusan dari<br />
beberapa alternatif keputusan berdasarkan multi<br />
kriteria yang terjadi konflik. Kriteria keputusan ini<br />
akan mempunyai tingkat preferensi yang berbeda<br />
dimata pengambil keputusan. Kelebihan dari AHP ini<br />
adalah pengambilan keputusan berdasarkan<br />
pengalaman yang dikendalikan oleh rasio konsistensi<br />
(Peniwati, 2002 dan Saaty, 2002). Pendapat<br />
pengambil keputusan akan mengkuantifikasi kriteriakriteria<br />
dan alternatif dalam bentuk nilai bobot.<br />
Vektor preferensi atai bobot dapat dirumuskan W j<br />
ABC<br />
= (W 1 , . . ., W n ) dimana W j adalah preferensi yang<br />
ditempatkan dalam pemilihan dari sejumlah<br />
alternatif. Bobot terbesar merupakan preferensi<br />
terbesar untuk tata letak sel ke-j. Perluasan<br />
penggunaan metodologi AHP untuk<br />
mempertimbangkan keterbatasan sumberdaya<br />
dilakukan melalui model ZOGP dengan melibatkan<br />
bobot AHP dengan formulasi sebagai berikut:<br />
k -1 m -1<br />
Minimasi ∑ ∑ P (d<br />
-<br />
+ d<br />
+<br />
) + P<br />
-<br />
k<br />
(d<br />
m<br />
) …(1)<br />
k i i<br />
k = 1i<br />
= 1<br />
Kendala:<br />
n<br />
∑ r<br />
ij<br />
x<br />
j<br />
+<br />
j = 1<br />
−<br />
−<br />
+<br />
i<br />
d<br />
i<br />
= R<br />
i<br />
d ; i = 1, . . . , m – 1 …(2)<br />
n<br />
∑ w +<br />
− +<br />
j j<br />
d<br />
m<br />
- d<br />
m<br />
= 1<br />
x …(3)<br />
x j = 0 atau 1 untuk j = 1, . . . , n<br />
d i - , d i + > 0 untuk i = 1, . . . , m<br />
Dimana x j adalah representasi variabel 1–0<br />
dimana nilai 1 berarti dipilih, sedangkan nilai 0<br />
berarti tidak dipilih dari j = 1, 2,…, n tata letak sel.<br />
- +<br />
Variabel deviasi d i , d i adalah vektor-vektor<br />
pencapaian dibawah target dan pencapaian diatas<br />
target i = 1, . . . , m – 1 dari sumber daya objektif,<br />
perangkingan ordinal melalui prioritas P k dimana k =<br />
1,2, . . . , K ranking ordinal dan P 1 > P 2 >> P k . r ij<br />
adalah matriks ukuran n x n koefisien sumberdaya<br />
berkaitan dengan utilisasi sumberdaya dari total<br />
sumberdaya R untuk setiap alternatif tata letak sel. w j<br />
-<br />
pada persamaan (3) adalah bobot AHP dimana d m<br />
digunakan untuk melihat pemilihan yang<br />
dimaksimumkan untuk tata letak sel dengan bobot<br />
tertinggi.<br />
Kriteria adalah ukuran pencapaian dari<br />
keputusan. Cukup banyak kriteria yang dapat<br />
digunakan dalam permasalahan tata letak sel fasilitas<br />
dan cara mengidentifikasi kriteria yang relevan<br />
dengan kebutuhan perusahaan (Siswanto dan<br />
Hadiguna, 2003). Dalam paper ini kriteria yang<br />
digunakan adalah keselamatan kerja, kerjasama tim,<br />
proses pengawasan dan tanggung jawab operator.<br />
Keempat kriteria ini sulit untuk dikuantifikasi, tetapi<br />
sangat dibutuhkan perusahaan dalam operasional sel<br />
manufaktur dan penataan mesin dan peralatan yang<br />
digunakan. Objektif desain sel manufaktur telah<br />
banyak dibahas dalam literatur (Mansouri dkk,<br />
2000).<br />
Pada makalah ini akan ditampilkan sebuah<br />
ilustrasi bagaimana model yang diusulkan bekerja.<br />
Berdasarkan tipe masalah desain <strong>sistem</strong> manufaktur<br />
sellular yang telah disajikan diatas, sebuah contoh<br />
komposit digunakan untuk illustrasi bagaimana<br />
model simulasi dan multi objektif secara terpisah<br />
bekerja menangkap dan menggunakan informasi<br />
yang diperoleh dari pengambil keputusan dalam<br />
konteks proses pemilihan alternatif-alternatif tata<br />
29
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
letak sel yang ada. Masalah yang ditampilkan pada<br />
bagian ini dirancang untuk menampilkan bagaimana<br />
model integrasi yang mengkombinasikan AHP,<br />
ZOGP dan simulasi akan memberikan hasil berbeda.<br />
Tahap pertama adalah pengembangan model<br />
Simulasi. Objektif dari <strong>sistem</strong> manufaktur sellular<br />
dari aspek operasional adalah minimusasi rata-rata<br />
work–in–process (WIP). Berdasarkan model simulasi<br />
ciptaan sebagai contoh numerik untuk<br />
memperkenalkan kinerja model. Model simulasi<br />
diperoleh setelah melalui proses pengelompokkan<br />
mesin dan komponen sebagai sel mesin dan part<br />
families. Model simulasi dikembangkan dengan<br />
memperhatikan ketersediaan anggaran. Berkaitan<br />
dengan hal ini, maka dilakukan modifikasi untuk<br />
setiap alternatif. Alternatif pertama mengandalkan<br />
teknologi permesinan sehingga biaya investasi besar,<br />
sedangkan alternatif tandingan yaitu alternatif kedua<br />
dan ketiga mengandalkan tingkat ketrampilan<br />
operator dengan mereduksi biaya investasi pembelian<br />
mesin. Selanjutnya, setiap alternatif dirancang <strong>sistem</strong><br />
pemindahan bahannya yang akan menghasilkan total<br />
jarak perpindahan. Dalam hal ini, setiap alternatif<br />
dibedakan oleh kapasitas alat pemindahan bahan<br />
sehingga dapat mengurangi frekwensi perpindahan<br />
material. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut maka<br />
model simulasi dikembangkan dan diperoleh WIP<br />
alternatif satu sebesar 5 unit, alternatif kedua sebesar<br />
3 unit dan alternatif ketiga sebesar 2,5 unit. Terlihat<br />
bahwa alternatif ketiga menghasilkan rata-rata WIP<br />
yang lebih kecil sehingga dapat dipertimbangkan<br />
sebagai alternatif terbaik. Namun demikian, aspek<br />
manajemen maupun ketersediaan sumber daya masih<br />
perlu dikaji lebih dalam. Berdasarkan hal inilah maka<br />
model multi objektif dikembangkan untuk<br />
memastikan apakah benar WIP terkecil merupakan<br />
global optimal.<br />
Tahap kedua adalah membangun model<br />
AHP. Pada tahap awal, model AHP diperkenalkan<br />
terlebih dahulu yang ditujukan sebagai pendekatan<br />
multi atribut. AHP ditujukan untuk mengkaji dari<br />
aspek manajemen yang secara kuantitatif sulit diukur.<br />
Berdasarkan metoda kualitatif dengan AHP ini maka<br />
akan diketahui alternatif terbaik berdasarkan<br />
preferensi manajemen terhadap setiap alternatif<br />
berdasarkan aspek-aspek manajemen. Aspek yang<br />
dipertimbangkan antara lain (Hadiguna dan<br />
Setiawan, 2003a) tanggung jawab operator (K1),<br />
kerjasama tim (K2), pengawasan (K3) dan<br />
keselamatan kerja (K4). Penerapan AHP diawali<br />
dengan mendekomposisi masalah menjadi hirarki<br />
multi level sebagai berikut:<br />
Memilih Tata Letak<br />
Tanggung Jawab Kerjasama Pengawasan Keselamatan<br />
Alternatif #1 Alternatif #2<br />
Alternatif #3<br />
Gambar 2. Hirarki Masalah<br />
Kriteria yang digunakan dalam keputusan<br />
berdasarkan studi literatur dimana kriteria<br />
merepresentasikan kebutuhan manajemen sebagai<br />
tata letak sel yang terbaik. Krieria-kriteria ini dapat<br />
dikembangkan lebih jauh dengan cara curah gagasan<br />
dengan pihak manajemen atau para pakar kemudian<br />
di analisis untuk mendapatkan kriteria yang relevan.<br />
Berdasarkan hirarki multi level diatas dilakukan<br />
penilaian perbandingan berpasangan secara bertahap.<br />
Tahap awal pada level kriteria dan selanjutnya pada<br />
level alternatif berdasarkan setiap kriteria. Penilaian<br />
perbandingan berpasangan ini harus memperhatikan<br />
consistency ratio yang mencerminkan tingkat<br />
konsistensi penilaian. Nilai consistency ratio ini<br />
ditetapkan oleh Saaty (2002) yang diharapkan tidak<br />
lebih besar dari 0,10. Software yang membantu untuk<br />
penilaian perbandingan berpasangan ini adalah<br />
Expert Chioce (1995) yang dapat membantu<br />
pengambil keputusan melakukan analisis sensitivitas.<br />
Melalui aplikasi software berdasarkan penilaian<br />
diperoleh prioritas relatif untuk setiap kandidat tata<br />
letak sel. Hasil pembobotan dan grafik analisis<br />
sensitivitas masing-masing dapat dilihat pada Tabel<br />
1. Berdasarkan penerapan metoda AHP terpilih<br />
alternatif–1 tata letak sel karena memiliki bobot<br />
terbesar diikuti alternatif–3 dan alternatif–2 masingmasing<br />
sebagai ranking ke–2 dan ranking ke–3.<br />
Tabel 1. Nilai Prioritas untuk Alternatif, Kriteria, Sintesa<br />
Kriteria<br />
Alternatif K1 K2 K3 K4 Sintesa<br />
(0,066) (0,290) (0,541) (0,103)<br />
Alternatif – 1 0,074 0,236 0,094 0,272 0.443<br />
Alternatif – 2 0,643 0,062 0,678 0,608 0,273<br />
Alternatif – 3 0,283 0,702 0,219 0,120 0,284<br />
30
Optimisasi-Objektif Berbantuan Simulasi dalam Sistem Manufaktur Sellular<br />
Rika Ampuh Hadiguna<br />
Penerapan AHP sebagaimana contoh diatas<br />
merupakan upaya mengakomodir persepsi<br />
manajemen yang kualitatif. Berdasarkan pengalaman,<br />
penguasaan informasi dan pengetahuan yang dimiliki<br />
oleh manajemen akan diperoleh preferensi keputusan<br />
manajemen dalam memilih alternatif tata letak sel<br />
yang dianggap baik. Dalam permasalahan tata letak<br />
sel tentunya harus mempertimbangkan faktor-faktor<br />
kuantitatif lainnya sehingga keputusan yang diambil<br />
optimal. Berdasarkan hal ini langkah selanjutnya<br />
adalah menerapkan ZOPG dengan memasukkan hasil<br />
pembobotan AHP sebagai salah satu objektif.<br />
Tahap ketiga adalah formulasi pemrograman<br />
matematis. Untuk menjelaskan bagaimana proses<br />
integrasi kedua metoda dapat dilakukan dengan<br />
melihat contoh berikut ini. Misalkan saja perusahaan<br />
dalam mengimplementasikan sel manufaktur sebagai<br />
<strong>sistem</strong> manufakturnya mengalokasikan anggaran<br />
sebesar $400. Artinya, besar dana tersebut<br />
merupakan total sumber daya yang tersedia guna<br />
penerapan sel manufaktur oleh perusahaan.<br />
Disamping itu, telah diketahui jarak merupakan<br />
objektif yang harus diperhitungkan untuk<br />
mendapatkan total jarak terpendek. Masing-masing<br />
alternatif tata letak sel telah dianalisis sehingga<br />
diketahui jarak setiap alternatif tata letak sel.<br />
Diasumsi pada contoh ini bahwa tipe tata letak sel<br />
existing dapat dianalisis jarak perpindahannya yang<br />
akan dijadikan batas yang diizinkan. Dalam kasus ini<br />
jarak yang diizinkan adalah 23 m. Hal terakhir yang<br />
tidak kalah pentingnya adalah penggunaan luas lantai<br />
yang dijadikan salah satu objektif. Luas lantai yang<br />
tersedia adalah area yang tersedia saat ini dimana<br />
mesin dan peralatan dapat disusun. Ketersediaan luas<br />
lantai diasumsi sebesar 10 m 2 . Semua data hipotetis<br />
tersebut dalam ratusan. Semua keterbatasan diatas<br />
meruapakn representasi dari R i dalam model ZOGP<br />
dan penggunaan setiap rate r ij dapat dilihat pada<br />
Tabel 2.<br />
Tabel 2. Objektif dan Ketersediaan Sumber Daya<br />
Objektif<br />
r ij<br />
P i<br />
x 1 x 2 x 3<br />
R i<br />
Urutan<br />
Anggaran Implementasi 250 150 100 400 P 1<br />
Jarak yang diizinkan 15 7,5 10 23 P 2<br />
WIP rata-rata 5 3 2,5 10 P 3<br />
Preferensi Manajemen 0,443 0,273 0,284 1 P 4<br />
Formulasi matematis dapat dilakukan dengan<br />
mengikuti bentuk umum formulasi yang telah<br />
dirumuskan pada bagian metodologi. Formulasi dari<br />
contoh permasalahan diatas sebagai berikut:<br />
Min Z = P 1 d + 1 + P 2 d + 2 + P 3 d + -<br />
3 + P 4 d 4<br />
Kendala:<br />
250 X 1 + 150 X 2 + 200 X 3 + d - +<br />
1 - d 1<br />
15 X 1 + 7,5 X 2 + 10 X 3 + d - +<br />
2 - d 2<br />
= 400<br />
= 23<br />
5 X 1 + 3 X 2 + 2,5 X 3 + d - +<br />
3 - d 3 = 10<br />
0,443X 1 + 0,273X 2 + 0,284X 3 + d - +<br />
4 - d 4 = 1<br />
X j = 0 atau 1; d - i , d + i > 0<br />
Setelah diselesaikan formulasi diatas akan<br />
memberikan keputusan yang berbeda dengan<br />
keputusan yang hanya menggunakan metoda simulasi<br />
maupun AHP secara tunggal. Perbandingan antara<br />
setiap model dapat dilihat sebagai berikut:<br />
Tabel 3. Perbandingan Penyelesaian<br />
Alternatif Simulasi AHP Integrasi<br />
1 WIP = 5 (Terbaik– 3) W1 = 0,443 (Terbaik–1) X1 = 1 (Dipilih)<br />
2 WIP = 3 (Terbaik– 2) W2 = 0,273 (Terbaik–3) X2 = 1 (Dipilih)<br />
3 WIP = 2,5 (Terbaik– 1) W3 = 0,284 (Terbaik–2) X3 = 0 (Tidak Dipilih)<br />
31
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
PEMBAHASAN<br />
Berdasarkan hasil perbandingan diatas terlihat<br />
bahwa performansi <strong>sistem</strong> berdasarkan rata-rata WIP<br />
belum tentu lebih baik dibandingkan dengan<br />
preferensi manajemen. Metoda AHP sebagai alat<br />
pengambilan keputusan dengan multi atribut<br />
menunjukkan alternatif pertama lebih baik meskipun<br />
memiliki performansi rata-rata WIP yang terbesar.<br />
Setelah dianalisis dengan model integrasi justru<br />
terlihat bahwa alternatif pertama dan kedua<br />
direkomendasikan. Hal ini berarti alternative<br />
solution.<br />
Simulasi <strong>sistem</strong> manufaktur sangat<br />
memperhatikan fokus perbaikan dari <strong>sistem</strong> sehingga<br />
membutuhkan prosedur pemodelanyang<br />
komprehensif. Prosedur yang diusulkan beranjak dari<br />
pola pikir pembangunan model yang didasarkan pada<br />
pemahaman <strong>sistem</strong> yang menyeluruh, tersruktur dan<br />
hirarki. Hal ini dapat dilakukand engan menerapkan<br />
pemodelan fungsional dengan pendekatan IDEF.<br />
Manfaat yang diperoleh dengan menggunakan<br />
prosedur ini adalah mempercepat pengidentifikasian<br />
data masukan dan proses pembangunan model<br />
simulasi. Hal utama lainnya adalah effisiensi proses<br />
pemodelan. Nilai guna dari keluaran simulasi juga<br />
dapat ditingkatkan karena fokus perbaikan akan<br />
menyentuh banyak aktivitas dalam <strong>sistem</strong><br />
manaufaktur yang kompleks tetapi interdependen.<br />
Masalah keputusan pemilihan tata letak sel<br />
merupakan kombinasi dari faktor-faktor operasional<br />
dan struktur <strong>sistem</strong> sehingga perlu melibatkan<br />
metoda yang berdasarkan pengalaman manajerial dan<br />
pemrograman matematis. Dalam makalah ini telah<br />
ditunjukkan bagaimana integrasi simulasi dan multi<br />
objektif bekerja dalam keputusan pemilihan tata letak<br />
sel dengan menyertakan keterbatasan sumberdaya<br />
yang ada. Dalam makalah ini diperlihatkan<br />
perbandingan antara simulasi sebagai pendekatan<br />
kuantitatif dan pendekatan AHP sebagai pendekatan<br />
kualitatif. Pemanfaatan AHP dalam formulasi goal<br />
programming juga menunjukkan kinerja yang lebih<br />
baik. Hasil AHP dapat diuji dengan goal<br />
programming melalui pelibatan faktor finansial.<br />
Keberhasilan implementasi metodologi yang<br />
diusulkan dalam makalah ini pada masalah praktis<br />
akan dibatasi oleh keterbatasan dalam pemodelan<br />
tetapi formulasi unik yang diusulkan dalam makalah<br />
ini akan meminimisasi keterbatasan tersebut.<br />
KESIMPULAN<br />
Model pemrograman matematis yang<br />
dikembangkan dalam studi ini didasarkan beberapa<br />
model yang telah dikembangkan sebelumnya. Prinsip<br />
yang digunakan dalam formulasi model ini adalah<br />
akomodasi efek-efek ekonomis dalam mengeliminasi<br />
keberadaan komponen eksepsional. Setiap alternatif<br />
dianalisis terlebih dahulu berdasarkan ketiga objektif<br />
diatas. Selanjutnya, alternatif-alternatif desain sel<br />
manufaktur dioptimasi menggunakan formulasi yang<br />
diusulkan tersebut. Model yang diusulkan ternyata<br />
mampu memberikan banyak informasi yang<br />
diperlukan oleh para pengambil keputusan. Hal ini<br />
berarti model mampu memberikan dukungan<br />
pengambilan keputusan berkaitan dengan implikasi<br />
strategik perusahaan.<br />
Model yang diusulkan dalam studi ini adalah<br />
pengintegrasian model simulasi dan multi objektif<br />
yang mampu mengakomodir <strong>sistem</strong> operasi dan<br />
<strong>sistem</strong> struktur. Pemodelan simulasi dikembangkan<br />
melalui model fungsional IDEF, sedangkan model<br />
multi objektif yang dikembangkan mengaplikasikan<br />
AHP dan goal programming. Dalam makalah ini<br />
telah ditunjukkan bagaimana model integrasi bekerja<br />
dalam keputusan pemilihan tata letak sel dengan<br />
menyertakan keterbatasan sumberdaya yang ada.<br />
Keberhasilan implementasi metodologi yang<br />
diusulkan dalam makalah ini pada masalah praktis<br />
akan dibatasi oleh keterbatasan dalam pemodelan<br />
tetapi formulasi unik yang diusulkan dalam makalah<br />
ini akan meminimisasi keterbatasan tersebut.<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
Terima kasih kepada Masrul Indrayana dari<br />
Univeristas Widya Mataram–Jogjakarta atas kritik,<br />
saran serta waktu yang diberikan dalam penyelesaian<br />
studi ini.<br />
REFERENSI<br />
Altinklininc, M., 2004, Simulation based Layout<br />
Planning of A Production Plant, Proceeding of<br />
the 2004 Winter Simulation Conference, 1079 –<br />
1084<br />
Askin, R.G. dan Standridge, C.R., 1994, Modelling<br />
and Analysis of Manufacturing Systems, John<br />
Wiley and Sons, Inc. New York.<br />
Baker, R.P dan Maropoulos, P.G., 2000, Cell Design<br />
and Continuous Improvement, International<br />
Journal Computer Integrated Manufacturing,<br />
13(6), 522–532<br />
Banks, J., 2000, Introduction to Simulation,<br />
Proceedings of the 2000 Winter Simulation<br />
Conference, 9–16<br />
Baykasoglu, A. dan Gindy, N.N.Z., 2000,<br />
MOCACEF 1.0: Multiple Objective Capability<br />
Based Approach to Form Part-Machine Groups<br />
for Cellular Manufacturing Applications,<br />
International Journal of Production Research,<br />
38(5), 1133-1166<br />
Da Silviera, G., 1999, A Methodology of<br />
Implementation of Cellular Manufacturing,<br />
International Journal of Production Research,<br />
37(2), 467 – 479<br />
32
Optimisasi-Objektif Berbantuan Simulasi dalam Sistem Manufaktur Sellular<br />
Rika Ampuh Hadiguna<br />
Daita, S.T.S., Irani, S.A. dan Kotamraju, S., 1999,<br />
Algorithm for Production Flow Analysis,<br />
International Journal of Production Research,<br />
37(11), 2609-2638<br />
Efstathiou, J. dan Golby, P., 2001, Application of A<br />
Simple Method of Cell Design Accounting for<br />
Product Demand and Operation Sequence,<br />
Integrated Manufacturing Systems, 12(4), 246–<br />
257<br />
Fu, C.M. dkk., 2000, Integrating Optimization and<br />
Simulation: Research and Practice, Proceedings<br />
of the 2000 Winter Simulation Conference,<br />
1505–1509<br />
Goldmans, D. dan Tokol, G., 2000, Output Analyzer<br />
Procedures for Computer Simulation,<br />
Proceedings of the 2000 Winter Simulation<br />
Conference, 39–45<br />
Hadiguna, R.A. dan Setiawan, H., 2003, Desain dan<br />
Evaluasi Sel Manufaktur Multi Kriteria, Jurnal<br />
Teknik Industri STT Musi, 3(1), 21–32<br />
Hadiguna, R.A., 2003, Prosedur Multi Objektif untuk<br />
Keputusan Pemilihan Formasi Sel Manufaktur,<br />
Proceeding 2 nd National Industrial Engineering<br />
Conference, <strong>Universitas</strong> Surabaya, 8–16<br />
Hadiguna, R.A. dan Mulki B.S., 2003, Desain<br />
Manufaktur Sellular dengan Mempertimbangkan<br />
Strategi Bisnis, Proceeding Simposium Nasional<br />
RAPI II, <strong>Universitas</strong> Muhammadiyah Surakarta,<br />
100–107<br />
Hadiguna, R.A., 2003d, Sistem Manufaktur Sellular:<br />
Sebuah Tinjauan dan Survei Pustaka, Jurnal<br />
Teknik Industri UNAND, 2(4), 129 – 135<br />
Hadiguna, R.A. dan Wirdianto, E., 2003, Model<br />
Penyelesaian Masalah Pemilihan Alternatif Tata<br />
Letak Sel, Jurnal Sains dan Teknologi STTIND,<br />
2(2), 88 – 97<br />
Hadiguna, R.A., 2003, Pemodelan Simulasi Sistem<br />
Manufaktur Berbantuan IDEF0, Jurnal Spektrum<br />
Industri, 1(1), 31–37<br />
Hadiguna, R.A. dan Thahir, M., 2004, Desain<br />
Formasi Sel Manufaktur dengan<br />
Mempertimbangkan Peralatan Pemindahan<br />
Bahan dan Mesin Posisi Tetap, Jurnal Sains dan<br />
Teknologi STTIND, 3(2), 64 – 77<br />
Hadiguna, R.A. dan Mulki B.S., 2005, Desain<br />
Manufaktur Sellular dengan Mempertimbangkan<br />
Preferensi Manajemen, Prosiding Seminar<br />
Nasional Teknologi Industri XII, ITS, 1061 –<br />
1068<br />
Miller, S. dan Pegden, D., 2000, Introduction to<br />
Manufacturing Simulation, Proceedings of the<br />
2000 Winter Simulation Conference, 63–66<br />
Mansouri, S.A., Husseini, S.M.M. dan Newman,<br />
S.T., 2000, A Review of The Modern<br />
Approaches to Multi-Criteria Cell Design,<br />
International Journal of Production Research,<br />
38(5), 1201–1218<br />
Nair, G.J. dan Narendran, T.T., 1999, ACCORD: A<br />
Bicriterion Algorithm for Cell Formation Using<br />
Ordinal and Ratio-Level Data, International<br />
Journal of Production Research, 37(3), 539–556<br />
Pawlikowski, K. dan Kreutzer, W., 2000, Integrating<br />
Modelling and Data Analysis in Teaching<br />
Descrete Event Simulation, Proceedings of the<br />
2000 Winter Simulation Conference, 158–166<br />
Perera, T. dan Liyanage, K., 2000, Methodology for<br />
Rapid Identification and Collection of Input Data<br />
in the Simulation of Manufacturing System,<br />
Simulation Practice and Theory, 7, 645–656<br />
Peniwati, K., 2002, We Need to Measure, (Not)<br />
Count, Not Number Crunch, Proceeding<br />
INSAHP II, U.K. Petra, Surabaya., Paper 2<br />
Rios, M.C., Campbel, C.A.M. dan Irani, S.A., 2000,<br />
An Approach to the Design of A Manufacturing<br />
Cell under Economic Considerations,<br />
Proceeding of the 11 th International Working<br />
Seminar on Production Economics, 1 – 28<br />
Saaty, T.L., 2002, Hard Mathematics Applied to Soft<br />
Decisions, Proceeding INSAHP II, U.K. Petra,<br />
Surabaya, Paper 1<br />
Salum, L., 2000, The Cellular Manufacturing Layout<br />
Problem, International Journal of Production<br />
Research, 34(16), 1134-1146<br />
Suresh, N.C. dan Slomp, J., 2001, A Multi Objective<br />
Procedure for Assignments and Grouping in<br />
Capacitated Cell Formation Problems,<br />
International Journal of Production Research,<br />
39 (18), 4103–4131<br />
33
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
PERANAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HaKI) DALAM<br />
MENDORONG PERKEMBANGAN INDUSTRI DAN PERDAGANGAN<br />
Syahril Effendy Pasaribu<br />
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi UMSU Medan<br />
Abstrak: Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan suatu bentuk kekayaan immaterial bagi pemiliknya<br />
dimana hak milik tersebut mempunyai sifat ekonomis berupa keuntungan yaitu Royalty dan Technical Fee).<br />
Untuk mendorong perkembangan di bidang <strong>industri</strong>, perdagangan dan investasi lebih pesat, dan dalam rangka<br />
mewujudkan iklim yang lebih baik dan merangsang tumbuh dan berkembangnya penciptaan dan invensi dalam<br />
bidang ilmu pengetahuan, seni dan teknologi, maka dibutuhkan perlindungan hukum bagi hak atas kekayaan<br />
intelektual. Sebagai Negara yang ikut menanadatangani Perjanjian TRIP’s 1994 , maka Indonesia berkewajiban<br />
menyesuaikan peraturan perundang-undangan hak milik intelektual yang berlaku di Indonesia dengan berbagai<br />
Konvensi Internasional di bidang HaKI. Sebagai realisasinya dilakukan penataan Instrumen HaKI Nasional<br />
dengan memperbaharui Undang-Undang Haki yang telah ada yaitu Undang-Undang Paten, Undang-Undang<br />
Merek, Undang-Undang Hak Cipta, dan membuat Undang-undang baru tentang Desain Industri, Rahasia<br />
Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Dengan penataan HaKI Nasional tersebut maka Indonesia<br />
sebagai anggota WTO telah memenuhi ketentuan minimal yang disepakati dalam perjanjian TRIP’s Manfaat<br />
yang akan dapat diraih dengan penataan Sistem HaKI ini antara lain akan terbukanya peluang pasar<br />
internasional yang lebih luas dan tersedianya mekanisme perlindungan multilateral yang lebih baik.<br />
Kata kunci : Sistem HaKI, Industri dan Perdagangan<br />
I. PENDAHULUAN<br />
HaKI merupakan salah satu sarana perlindungan<br />
hukum dalam perdagangan bebas dan setiap negara<br />
wajib menata ketentuan perundang-undangannya<br />
yang berkaitan dengan Paten, Merek dan Hak Cipta<br />
sesuai dengan yang tertuang dalam perjanjian TRIPs<br />
(Trade Related Aspecs of Intelektual Property<br />
Rights) bulan September 1994 yang merupakan<br />
rangkaian dari perjanjian WTO (Organisasi<br />
Perdagangan Dunia). Pada mulanya WTO hanya<br />
bertujuan mengatur tentang perdagangan antar negara<br />
termasuk aturan tentang tarif bea masuk negara<br />
anggotanya, tetapi akhi-akhir ini masalah<br />
perlindungan HaKI mendapat perhatian serius dan<br />
dimasukkan dalam perjanjian WTO. Hal tersebut<br />
adalah karena Negara-negara Industri maju seperti<br />
Amerika Serikat, Jepang dan Negara-negara Eropa<br />
semakin menyadari bahwa perlindungan atas hak<br />
milik intelektual dari Negara-negara tersebut akan<br />
mendorong meningkatnya perkembangan <strong>industri</strong><br />
dan perdagangan. Sistem HaKI akan memberikan<br />
konstribusi yang besar bagi Negara dan merangsang<br />
pertumbuhan dan kegairahan dalam bidang Riset dan<br />
Teknologi. Bidang Pokok Sistem HaKI yang telah<br />
ada di Indonesia adalah Paten, Merek, Hak Cipta,<br />
Desain Industri, Rahasia Dagang, Desain Tata Letak<br />
Sirkuit Terpadu yang masing-masing telah memiliki<br />
UU sendiri. Pengaturan Hak atas kekayaan<br />
Intelektual ini sangat penting bukan hanya dari segi<br />
perlindungan hukum tetapi juga karena peranannya<br />
yang penting dalam pengembangan ilmu<br />
pengetahuan dan teknologi serta perdagangan.<br />
Kelancaran perdagangan erat kaitannya dengan<br />
produk <strong>industri</strong> dan produk <strong>industri</strong> itu sendiri<br />
berkaitan dengan teknologi.<br />
II. PERKEMBANGAN HAK ATAS<br />
KEKAYAAN INTELEKTUAL<br />
Hak atas Kekayaan Intelektual atau<br />
Intelektual Property Right dahulunya disebut dengan<br />
Hak Milik Intelektual yaitu suatu hak khusus yang<br />
diberikan oleh Negara untuk penciptaan dan<br />
penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan,<br />
teknologi, sastra dan seni yang termasuk dalam<br />
hukum kebendaan immaterial<br />
Menurut Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya<br />
(2003) Hukum kebendaan Immaterial dibagi ke<br />
dalam :<br />
a. Rahasia Dagang (Undang-undang No.30<br />
Tahun 2000)<br />
b. Desain Industri (Undang-undang No.31<br />
Tahun 2000)<br />
c. Desain Tata Letak Pabrik (Undang-undang<br />
No.32 Tahun 2000)<br />
d. Paten (Undang-undang No.14 Tahun 2001)<br />
e. Merek Dagang dan Merek Jasa, Nama<br />
Dagang, Industri dan Asal Geografis<br />
(Undang-undang No.15 Tahun 2001<br />
f. Hal Cipta dan yang berkaitan dengan Hak<br />
Cipta (Undang-undang No.19 Tahun 2002)<br />
34
Peranan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dalam Mendorong Perkembangan Industri dan Perdagangan<br />
Syahril Effendy Pasaribu<br />
Pemilikan dalam hal ini bukan ditujukan terhadap<br />
benda yang dihasilkan dari kegiatan penemuan dan<br />
penciptaan tersebut tetapi terhadap kemampuan<br />
intelektual manusia yang menemukan atau<br />
menciptakan barang tersebut.<br />
Sebelum disatukan dalam Hak Milik<br />
Intelektual, hak yang tergabung dalam Hak Milik<br />
Intelektual ini terdiri dari Hak Milik Per<strong>industri</strong>an<br />
yang meliputi Paten dan Merek serta Desain <strong>industri</strong><br />
yang berkaitan dengan Teknologi dan Hak cipta yang<br />
berkaitan dengan ilmu pengetahuan, Sastra dan Seni.<br />
Pada tahun 1883 di Paris, Prancis di<br />
sepakati Konvensi Paris (Uni Paris) tentang Hak<br />
Milik Per<strong>industri</strong>an yang kemudian diikuti dengan<br />
pelaksanaan konvensi Brussel, Washington,<br />
Denhaag, London, Lisabon dan Stochholm. Semua<br />
konvensi tersebut menyangkut tentang pengaturan<br />
Hak Milik Per<strong>industri</strong>an.<br />
Konvensi tentang hak cipta diadakan pada<br />
tahun 1880 di Berne Swiss yang disebut dengan<br />
Konvensi Berne, yang selanjutnya diadakan lagi<br />
konvensi di Berlin, Roma,.dan Stockholm.<br />
Pada tahun enam puluhan muncullah<br />
keinginan negara-negara di dunia untuk membentuk<br />
suatu organisasi yang menangani masalah hak milik<br />
intelektual yaitu gabungan dari Hak milik<br />
Per<strong>industri</strong>an dan Hak Cipta yang dimulai dengan<br />
berdirinya BIRPI yang menangani masalah Hak<br />
Milik Per<strong>industri</strong>an dan Hak Cipta. Melalui konvensi<br />
Stochholm tahun 1967 disepakati suatu konvensi<br />
khusus tentang terbentuknya organisasi Dunia untuk<br />
Hak Milik Intelektual yang dikenal dengan WIPO<br />
(World Intelectual Property Organisation).<br />
WIPO sebagai organisasi dunia menjadi<br />
bagian dari PBB sebagi pengelola tunggal Konvensi<br />
tentang Hak Milik Intelektual yaitu Konvensi tentang<br />
Hak Milik Per<strong>industri</strong>an dan Konvensi tentang Hak<br />
Cipta.<br />
Tujuan didirikannya WIPO adalah :<br />
1. Mengembangkan perlindungan hukum bagi<br />
Hak Milik Intelektual diseluruh dunia melalui<br />
kerja sama antara negara-negara peserta.<br />
2. Menjalin kerjasama dalam bidang Tata Usaha<br />
Konvensi–Konvensi internasional dan<br />
perjanjian-perjanjian internasional mengenai<br />
perlindungan hukum bagi Hak Milik<br />
Intelektual.<br />
Kelahiran Konvensi-Konvensi tentang Hak<br />
Milik Intelektual ini adalah sebagai realisasi terhadap<br />
perlunya suatu peraturan yang bersifat global<br />
dibidang hak milik intelektual seiring dengan<br />
perkembangan pesat <strong>industri</strong> dan perdagangan.<br />
Pada akhir-akhir ini permasalahan hak milik<br />
intelektual semakin komplek karena<br />
permasalahannya sudah menyangkut kepentingan<br />
ekonomi dan politik. Hak ini terlihat jelas dari upaya<br />
negara ekonomi maju seperti Amerika Serikat dan<br />
negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropah yang<br />
meminta agar negara-negara berkembang<br />
mengaktifkan perlindungan Hak Milik Intelektual di<br />
negara masing-masing sebagai konsesi timbal balik<br />
dalam perbuatan perjanjian ekonomi.<br />
Menghadapi masalah ini negara-negara<br />
berkembang membalas bahwa untuk memenuhi hal<br />
tersebut diminta kepada AS dan MEE supaya<br />
membuka pasarnya untuk tekstil dan hasil pertanian<br />
negara berkembang.<br />
Karena kondisi yang kurang baik dan semakin<br />
meruncing maka pada bulan September 1994 di<br />
Swiss dibuat perjanjian TRIPS yang isinya antara<br />
lain :<br />
1. Meningkatkan perlindungan terhadap hak atas<br />
Kekayaan Intelektual dan produk-produk yang<br />
diperdagangkan<br />
2. Menjamin prosedur pelaksanaan Hak atas<br />
Kekayaan Intelektual yang tidak menghambat<br />
kegiatan perdagangan.<br />
3. Merumuskan aturan serta disiplin mengenai<br />
pelaksanaan perlindungan terhadap Hak<br />
Kekayaan Intelektual.<br />
4. Mengembangkan prinsip, aturan dan<br />
mekanisme kerja sama Internasional untuk<br />
menangani perdagangan hasil pemalsuan atau<br />
bajakan atas Hak atas Kekayaan Intelektual<br />
dengan tetap memperhatikan berbagai upaya<br />
yang telah dilakukan oleh WIPO.<br />
Muhammad Djumhana dan R.Dubaedillah,<br />
(1997)<br />
Dengan demikian maka pada era globalisasi<br />
ini perlindungan atas Hak atas Kekayaan Intelektual<br />
akan selalu menjadi salah satu topik penting dalam<br />
perjanjian-perjanjian ekonomi dunia.<br />
III. SISTEM HaKI DI INDONESIA<br />
Sistem Hak Kekayaan Intelektual dimulai di<br />
Indonesia dari sejak penjajahan Belanda yaitu<br />
dengan dikeluarkannya keputusan Raja Belanda yaitu<br />
Reglemen Milik Per<strong>industri</strong>an Tahun 1912 Stb 1912<br />
No.545 Juntco Stb 1913 No.214 yang juga<br />
diberlakukan di Hindia Belanda yang mengatur<br />
Merek Dagang.<br />
Demikian juga Hak Paten mulai<br />
dilaksanakan di Hindia Belanda pada tanggal 1 Juli<br />
1912 dengan dikeluarkannya Oktroiwet 1910 tentang<br />
Hak Oktroi (Paten).<br />
Demikian pula ketentuan mengenai hak cipta dimulai<br />
dengan dikeluarkannya Auteursweet 1912 yaitu Hak<br />
Pengarang.<br />
35
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Dengan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus<br />
1945 maka Undang-Undang Merek Dagang dan<br />
Undang-Undang Hak Cipta, berdasarkan pasal II<br />
aturan peralihan UUD 1945 tetap berlaku sedang<br />
Oktroiwet 1910 tidak berlaku lagi karena<br />
kewenangan pemberian Hak Paten menurut<br />
Oktroiwet tersebut berada ditangan Kantor Oktroiwet<br />
Belanda di Nederland sehingga bertentangan dengan<br />
UUD 1945 dan jiwa Proklamasi.<br />
Untuk mengisi kekosongan hukum di<br />
bidang Hak Paten pada tahun 1953 Pemerintah RI<br />
melalui pengumuman Menteri Kehakiman RI<br />
No.j.S.5/41/4/ tanggal 12 Agustus 1953 dan<br />
No.J.6.I/2/17 tanggal 29 Oktober 1953 menerbitkan<br />
ketentuan tentang penyelenggaraan permintaan Paten<br />
di Indonesia menunggu terbitnya Undang-Undang<br />
Paten Nasional.<br />
Sejak tahun 1961 Indonesia telah memiliki<br />
Undang-Undang Merek Nasional dengan<br />
diundangkannya Undang-Undang No.21 Tahun 1961<br />
tentang Merek Perusahaan dan Perniagaan yang<br />
dikenal sebagai Undang-Undang Nasional pertama<br />
dibidang HaKI.<br />
Kelahiran Undang-Undang ini sehubungan<br />
dengan semakin banyaknya beredar barang-barang<br />
yang mempunyai merek tiruan dipasar sehingga<br />
membingungkan masyarakat umum.<br />
Undang-undang ini menganut <strong>sistem</strong><br />
Deklaratif yaitu pemilikan merek adalah pemakai<br />
pertama merek sedang pendaftaran fungsinya hanya<br />
apabila ada klaim dari pihak ketiga atas merek<br />
tersebut.<br />
Sehubungan dengan semakin<br />
berkembangnya norma tata niaga dan semakin<br />
majunya komunikasi dan pola perdagangan antar<br />
bangsa serta semakin maraknya permintaan merek<br />
maka pemerintah merevisi Undang-Undang No.21<br />
Tahun 1961 dengan Undang-Undang No.19 Tahun<br />
1992.<br />
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang No.21<br />
Tahun 1961 disempurnakan dan dirobah termasuk<br />
<strong>sistem</strong> deklaratif dirobah menjadi Sistem Konstitutif<br />
yang lebih menjamin kepemilikan Merek yaitu sejak<br />
pendaftaran merek.<br />
Perkembagan teknologi informasi dan<br />
transportasi ternyata telah menjadikan kegiatan di<br />
sektor perdagangan semakin meningkat dan bahkan<br />
telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal<br />
bersama. Dengan demikian maka era globalisasi<br />
hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim<br />
persaingan usaha yang sehat maka disini Merek<br />
memegang peranan yang sangat penting sehingga<br />
diperlukan <strong>sistem</strong> pengaturan yang lebih memadai.<br />
tentang Hak cipta menggantikan Auteursweet 1912<br />
tentang Hak Pengarang.<br />
Setelah berjalan 5 tahun Undang-Undang No.6<br />
Tahun 1982 direvisi dengan Undang-Undang Nomor<br />
7 Tahun 1987 tentang perobahan atas Undang-<br />
Undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Untuk<br />
melengkapi peraturan perundang-undangan di bidang<br />
Hak Milik Intelektual, pada tahun 1989 pemerintah<br />
RI mengundangkan pula Undang-Undang No.6<br />
Tahun 1989 tentang Paten yang dimaksudkan untuk<br />
mewujudkan iklim dan perangkat perlindungan<br />
hukum di bidang penemuan teknologi . Sebenarnya<br />
dengan ketiga undang-undang tersebut kita telah<br />
memiliki instrument pokok HaKI dalam bidang<br />
Paten, Mererk dan Hak Cipta.<br />
Untuk memenuhi kesepakatan dalam<br />
perjanjian WTO dan Perjanjian TRIPS Tahun 1994<br />
Indonesia harus menata kembali semua perundangundangan<br />
HaKI yang ada di Indonesia untuk<br />
penyesuaian dengan keputusan-keputusan Konvensi<br />
HaKI. Untuk merealisasi hal ini pada tahun 1997<br />
Pemerintah RI dengan DPR merevisi semua Undang-<br />
Undang HaKI di Indonesia masing-masing Undang-<br />
Undang No. 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta,<br />
Undang-Undang No.13 Tahun 1997 tentang Paten<br />
dan Undang-Undang No.14 Tahun 1997 tentang<br />
Merek.<br />
Untuk melengkapi Perundang-undangan bidang<br />
HaKI Pemerintah telah mengundangkan 3 (tiga) buah<br />
undang-undang HaKI sebagai penambahan<br />
perundang-undangan yang telah ada yaitu :<br />
1. Undang-undang No. 30 tahun 2000 tentang<br />
Rahasia Dagang<br />
2. Undang-undang No. 31 tahun 2000 tentang<br />
Desain Industri<br />
3. Undang-undang No. 32 tahun 2000 tentang<br />
Tata Letak Sirkuit Terpadu<br />
Kemudian sejalan dengan ratifikasi Indonesia<br />
terhadap Konvensi-Konvensi Internasional dan<br />
kondisi perkembangan teknologi, <strong>industri</strong> dan<br />
perdagangan yang semakin pesat maka pemerintah<br />
RI menata kembali Undang-undang HaKI yang ada<br />
yaitu masing-masing dengan undang-undang:<br />
1. Paten dengan Undang-undang No. 14 tahun<br />
2001<br />
2. Merek dengan Undang-undang No. 15 tahun<br />
2001<br />
3. Undang-undang No. 19 tahun 2002 tentang<br />
Hak Cipta<br />
Undang-Undang diatas merupakan perubahan<br />
dari Undang-Undang yang lama, namun untuk<br />
memudahkan penggunaannya oleh masyarakat<br />
Undang-Undang tersebut disusun secara menyeluruh<br />
dalam satu naskah (single teks)<br />
Dalam bidang Hak Cipta , pada tahun 1982<br />
diundangkan Undang-Undang No.6 tahun 1982<br />
36
Peranan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dalam Mendorong Perkembangan Industri dan Perdagangan<br />
Syahril Effendy Pasaribu<br />
IV. PERANAN HaKI DALAM MENDORONG<br />
PERKEMBANGAN INDUSTRI DAN<br />
PERDAGANGAN.<br />
Teknologi adalah ilmu pengetahuan yang<br />
diterapkan dalam proses Industri dan lahir dari<br />
kegiatan penelitian dan pengembangan Kegiatan<br />
penelitian tersebut bisa berlangsung dalam bentuk<br />
sederhana dan waktu yang tidak lama dan bisa dalam<br />
bentuk dan cara yang lebih rumit dan memakan<br />
waktu yang lama.<br />
Teknologi yang dihasilkan dari kegiatan<br />
tersebut beraneka ragam sesuai jenis dan<br />
kemanfaatanya.<br />
Kegiatan penelitian yang berhasil menemukan<br />
sesuatu yang berguna bagi masyarakat tentunya<br />
memakai biaya dan melibatkan tenaga, pikiran dan<br />
waktu.<br />
Walaupun penemuan itu diperoleh dengan<br />
memakan waktu, tenaga dan biaya yang besar namun<br />
teknologi tersebut hanya akan memiliki nilai apabila<br />
bisa diproses dalam Industri Berkat <strong>sistem</strong> HaKI,<br />
maka kita sekarang ini bisa menulis dengan pena<br />
tidak dengan bulu ayam. Sistem HaKI (Paten<br />
Sederhana) memungkinkan kita memilki pena<br />
dengan tinta yang melekat pada batang pulpen dan<br />
memiliki berbagai jenis pulpen berdesain manis dan<br />
bisa ditaroh di kantong dan kita bisa membedakan<br />
mana pulpen yang berkualitas. HaKI ada pada<br />
barang-barang keseharian yang lain seperti Sterika,<br />
Mesin jahit, Kulkas, Kipas Angin dan lain-lain.<br />
Bayangkan kenikmatan yang hilang dari para<br />
konsumen kalau tidak ada <strong>sistem</strong> HaKI . Secara<br />
makro matarantai HaKI seperti ini menggerakkan<br />
perekonomian: pabrik, buruh, pajak, devisa,<br />
penerimaan negara dan kegiatan ekonomi lainnya<br />
sekilas A.Zain Purba (2000).<br />
Teknologi pada dasarnya lahir dari karsa<br />
intelektual sebagai karya intelektual manusia karena<br />
kelahirannya telah melibatkan tenaga, waktu dan<br />
biaya (berapapun besarnya), maka teknologi<br />
memiliki nilai atau sesuatu yang bernilai ekonomi<br />
yang dapat menjadi objek harta kekayaan (property).<br />
Dalam ilmu hukum yang secara luas diakui oleh<br />
bangsa-bangsa lain, HaKI atas daya pikir intelektual<br />
tersebut diakui sebagai hak milik yang sifatnya tidak<br />
berwujud. Hak seperti itulah yang dikenal dengan<br />
Paten . Saidin (1997).<br />
Pembangunan di bidang <strong>industri</strong> yang<br />
merupakan media untuk pembangunan ekonomi,<br />
secara terus menerus dicari sumber<br />
pengembangannya, oleh karena itu perlindungan<br />
hukum bagi penemuan (invention) paten adalah<br />
mutlak demi merangsang kereativitas penemuan<br />
sekaligus menciptakan kepastian hukum. Saidin<br />
(1997) .<br />
Hukum Merek itu terbatas pada pengunaan atau<br />
pemakaian merek pada produk-produk yang<br />
dipasarkan dan mengandung nilai ekonomi. Ada<br />
sesuatu benda tak berwujud yang terdapat pada hak<br />
Merek itu, jadi bukan seperti apa yang terjelma<br />
dalam setiap produk yang terlihat atau terjelma itu<br />
adalah perwujudan dari hak merek itu sendiri Saidin.<br />
(1997).<br />
Perlindungan Undang-Undang terhadap hak<br />
cipta adalah untuk menstimulir aktifitas para pada<br />
pencipta agar terus mencipta dan lebih kreatif.<br />
Demikian pula Undang-Undang Paten memberikan<br />
sesuatu hak khusus kepada inventor bagi temuannya,<br />
baik temuan baru maupun perbaikan atas temuan<br />
yang sudah ada, cara kerja baru atau perbaikan cara<br />
kerja baru dibidang teknologi yang dapat diterapkan<br />
dalam bidang <strong>industri</strong>.<br />
Pada temuan ini unsur <strong>industri</strong> penting<br />
karena temuan harus dapat diterapkan dalam bidang<br />
<strong>industri</strong> apakah itu <strong>industri</strong> otomotof, <strong>industri</strong> tekstil,<br />
<strong>industri</strong> parawisata, <strong>industri</strong> pertanian, <strong>industri</strong><br />
makanan dan minum dll.<br />
Untuk memperdagangkan produk-produk<br />
<strong>industri</strong> dibutuhkan merek sebagai tanda untuk<br />
mengenalkan barang dipasaran dan untuk<br />
membedakan barang produk tersebut dengan barang<br />
jenis yang sama yang diproduksi pihak lain berupa<br />
tanda, gambar, nama, kata, huruf, angka, susunan<br />
warna atau kombinasinya yang diatur dalam Undang-<br />
Undang Merek.<br />
Maju pesatnya kemajuan teknologi<br />
khususnya dibidang teknologi <strong>industri</strong>, <strong>industri</strong><br />
telekomunikasi dan transportasi telah mendorong<br />
globalisasi usaha dan perdagangan bagi produkproduk<br />
HaKI keluar batas-batas negara, sehingga<br />
perlindungan dibidang HaKI sendiri dibutuhkan<br />
terutama bagi negara yang teknologinya sudah sangat<br />
maju.<br />
Dengan memiliki sistim HaKI Indonesia<br />
akan dapat memperkuat kemampuannya menghadapi<br />
persaingan dagang global dan dapat meningkatkan<br />
perkembangan teknologinya.<br />
Sementara itu pemerintah Indonesia terus<br />
berupaya mendorong ekspor komoditi non migas ke<br />
luar negeri untuk memperoleh devisa mengingat<br />
dimasa mendatang sumber energi yang selama ini<br />
menjadi andalan akan semakin terbatas, sehingga<br />
perlu mendorong <strong>industri</strong> kecil dan menengah untuk<br />
meningkatkan kreativitas dan inovasinya untuk<br />
menghasilkan produk-produk HaKI yang bisa<br />
diandalkan.<br />
Segi teknis dan ekonomis sutau produk<br />
<strong>industri</strong> akan dipengaruhi dan ditentukan nilainya di<br />
pasaran dan pemanfaatan teknologi akan memperkuat<br />
daya saing produk <strong>industri</strong>.<br />
37
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Oleh sebab itu diperlukan langkah untuk<br />
menciptakan iklim dan suasana yang baik dan<br />
mampu mendorong gairah dan semangat penemuan<br />
dalam bidang Teknologi, ilmu pengetahuan sastra<br />
dan seni.<br />
Dengan terciptanya iklim dan suasana yang<br />
baik itu akan memungkinkan bangsa Indonesia untuk<br />
mengetahui, dan meningkatkan kemampuan dalam<br />
menguasai teknologi.<br />
Salah satu langkah penting dalam<br />
mewujudkan iklim atau suasana tersebut adalah<br />
pembentukan <strong>sistem</strong> perlindungan hukum yang<br />
memadai bagi hak atas kekayaan.<br />
Dengan <strong>sistem</strong> hukum yang memberikan<br />
perlindungan tersebut maka para inventor dan<br />
pencipta dalam bidang HaKI akan memperoleh<br />
kepastian hukum berupa perlindungan atas penemuan<br />
dan ciptaannya tersebut sehingga mereka akan<br />
semangat dan bergairah dalam melakukan penelitian<br />
yang pada gilirannya akan memperkuat iklim yang<br />
baik dalam rangka penyelenggaraan kegiatan yang<br />
melahirkan teknologi.<br />
Dalam rangka perlindungan hukum inilah<br />
pemerintah terus membenahi Hak atas Kekayaan<br />
intelektual yang ada di Indonesia.<br />
Perlindungan hukum yang diberikan oleh<br />
Negara kepada pencipta dan inventor melalui<br />
kemampuan intelektualnya dimaksudkan untuk<br />
kemajuan Industri dan perdagangan dan juga<br />
dimaksudkan untuk mendorong kegiatan penemuan<br />
dan pengembangan teknologi dikalangan bangsa kita.<br />
Perkembangan teknologi informasi dan<br />
transportasi telah menjadikan kegiatan di sektor<br />
perdagangan meningkat secara pesat dan telah<br />
menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama.<br />
Era perdagangan global ini hanya dapat<br />
dipertahankan jika terdapat iklim persaingan usaha<br />
yang sehat. Disinilah HaKI memegang peranan yang<br />
sangat penting sebagai <strong>sistem</strong> hukum yang<br />
memberikan perlindungan yang memadai bagi<br />
pemilik hak tersebut.<br />
Pengaruh perkembangan teknologi yang<br />
semakin besar terhadap kehidupan sehari-hari yang<br />
terlihat dari semakin pesatnya bidang teknologi<br />
informasi, kimia , mekanik dll yang kemudian<br />
membawa pengaruh semakin tingginya kesadaran<br />
masyarakat untuk meningkatkan penggunaan<br />
teknologi sederhana<br />
Perlindungan Paten akan merangsang<br />
pengembangan teknologi dalam masyarakat sehingga<br />
membawa arti dalam perkembangan ekonomi<br />
nasional.<br />
Indonesia memiliki kekayaan lain berupa<br />
keanekaragaman seni dan budaya, keanekaan etnik,<br />
suku, bangsa dan agama yang merupakan potensi<br />
yang cukup penting dan menjadi salah satu sumber<br />
karya intelektual yang perlu dilindungi agar<br />
kekayaan yang bersumber dari kekayaaan intlektual<br />
tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendorong<br />
peningkatan perdagangan dan <strong>industri</strong> dengan<br />
melibatkan penciptanya sehingga akan menigkatkan<br />
kesejahteraan tidak hanya penciptanya tetapi juga<br />
bagi bangsa dan Negara.<br />
Untuk membangun iklim persaingan usaha<br />
yang sehat dalam rangka pelaksanaan pembangunann<br />
maka diperlukan perlindungan hukum terhadap hak<br />
kekayaan intelektual.<br />
Hal ini mengingat bahwa <strong>sistem</strong> HaKI yang<br />
kuat akan memperkuat kepercayaan investor asing<br />
sehingga arus investasi ke Indonesia akan mengalir<br />
dan dengan kuatnya investasi akan mendorong<br />
perkembangan bidang <strong>industri</strong> dan perdagangan<br />
karena HaKI dan investasi merupakan dua sejoli<br />
yang tidak mungkin dipisahkan<br />
Perkembangan pendaftaran HaKI (Paten, Merek dan<br />
Hak Cipta di Indonesia) tergambar pada Tabel-Tabel<br />
lampiran<br />
V. KESIMPULAN<br />
1. Sistem HaKI memiliki peranan vital dalam<br />
perkembangan teknologi setiap Negara,<br />
maka untuk itu dibutuhkan perlindungan<br />
hukum bagi penemuan-penemuan dan hasil<br />
karya cipta, sehingga para investor dan<br />
pencipta semakin bergairah dalam<br />
berkreativitas.<br />
2. Sistem HaKI dibutuhkan oleh setiap Negara,<br />
terutama Negara-negara berkembang sangat<br />
membutuhkan teknologi untuk<br />
pembangunan ekonominya sedang negaranegara<br />
maju berkepentingan untuk<br />
memperluas pasar dari teknologi atau hasilhasil<br />
<strong>industri</strong>nya.<br />
3. Melalui <strong>sistem</strong> HaKI perlindungan hukum<br />
bagi penemu dan karya cipta akan<br />
memperoleh kepastian hukum sehingga<br />
para inventor dan pencipta akan<br />
bersemangat melakukan penelitian dan<br />
menghasilkan kreasi baru yang bermanfaat<br />
bagi pembangunan bangsa dan negara.<br />
4. Meningkatnya sektor perdagangan sangat<br />
erat kaitannya dengan produk <strong>industri</strong> dan<br />
produk <strong>industri</strong> berkaitan erat dengan<br />
teknologi sedang teknologi berkaitan erat<br />
pula dengan kemampuan intelektual<br />
manusia yang harus dilindungi untuk itu<br />
perlindungan hukum HaKI sangat<br />
dibutuhkan peranannya.<br />
38
Peranan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dalam Mendorong Perkembangan Industri dan Perdagangan<br />
Syahril Effendy Pasaribu<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. A.Zain Purba, 2000 Penegakan Hukum di<br />
Bidang HaKI, Ditjen HaKI Departemen Hukum<br />
dan HAM, Jakarta<br />
2. Kartini Mulyadi, Gunawan Wijaya, 2003,<br />
PT.Raja Grafindo, Jakarta<br />
3. Muhamad Djumhana, R.Djubaedillah, 1997, Hak<br />
Milik Intelektual, Sejarah Teori dan Prakteknya<br />
di Indonesia , PT.Citra Aditya Bakti Bandung<br />
4. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan<br />
Intelektual, 1996 PT. Raja Grafindo Jakarta .<br />
5. Kartini Mulyadi, dkk, 2003 Kebendaan pada<br />
Umumnya, Predana Media, Jakarta<br />
6. Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang<br />
Paten, Penerbit Citra Umbara Bandung 2001.<br />
7. Undang-undang No. 15 tentang 2001 tentang<br />
Merek, Penerbit Citra Umbara Bandung 2000<br />
8. Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak<br />
Cipta Penerbit, Citra Umbara Bandung 2002<br />
9. Undang-undang No. 30 tentang 2000 tentang<br />
Rahasia Dagang<br />
10. Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang<br />
Desain Industri<br />
11. Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Tata<br />
Letak Sirkuit Terpadu<br />
39
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
LAMPIRAN<br />
Tabel : 1 Data Paten<br />
Jumlah permohonan Paten lokal, asing, PCT berdasarkan jenis paten Tahun 1991 - 2000<br />
Tahun<br />
Paten Paten Sederhana Jumlah<br />
Lokal Asing PCT Jumlah Lokal Asing Jumlah Total<br />
1991 34 1280 1314 19 3 22 1336<br />
1992 67 3905 3972 12 43 55 4027<br />
1993 38 2031 2069 28 43 71 2140<br />
1994 29 2305 2334 33 60 93 2427<br />
1995 61 2813 2874 61 71 132 3006<br />
1996 40 3957 3997 59 76 135 4132<br />
1997 79 3939 4018 80 80 160 4178<br />
1998 93 1608 145 1846 109 32 141 1987<br />
1999 152 1051 1733 2936 168 19 187 3123<br />
2000 157 983 2750 3890 213 38 251 4141<br />
Total 740 23872 4628 29250 782 465 1247 30497<br />
Sumber<br />
Data<br />
Ditjen HaKI Departemen Hukum dan Ham RI<br />
Tabel 2 : Data Merek<br />
Jumlah permohonan Merek yang diterima, didaftar, ditolak dan ditarik kembali pada<br />
Tahun 1990 - Tahun 2001<br />
Tahun Diterima Didaftar Ditolak Ditarik kembali<br />
1990 19276 8096 2111<br />
1991 1149 278 109<br />
1992 15284 15312 7778<br />
1993 42026 7848 1167<br />
1994 23803 16469 1878<br />
1995 24643 23943 2747 211<br />
1996 28189 22249 2675 517<br />
1997 28339 34533 1507 20<br />
1998 23160 8897 3947 1060<br />
1999 23335 15002 2520 149<br />
2000 31675 22098 923 180<br />
Sumber Data<br />
Ditjen HaKI Departemen Hukum dan Ham RI<br />
40
Peranan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dalam Mendorong Perkembangan Industri dan Perdagangan<br />
Syahril Effendy Pasaribu<br />
Tabel 3 : Data Hak Cipta<br />
Jumlah Permohonan Hak Cipta yang diterima, di daftar dan ditolak Tahun 1991 - 2000<br />
Tahun Diterima Didaftar Ditolak<br />
1991 2835 1584 1198<br />
1992 2980 1988 959<br />
1993 3719 2447 1062<br />
1994 3947 2509 1154<br />
1995 4557 3248 1315<br />
1996 4940 3064 1185<br />
1997 2185 637 228<br />
1998 606 317 242<br />
1999 698 692 138<br />
2000 1049 618 5<br />
Sumber Data<br />
Ditjen HaKI Departemen Hukum dan Ham RI<br />
Diterima Didaftar Ditolak<br />
Tahun Lokal Asing Lokal Asing Lokal Asing<br />
1991 2785 50 1551 33 1182 16<br />
1992 2887 93 1919 69 939 20<br />
1993 3591 128 2356 121 1055 7<br />
1994 3738 209 2366 143 1093 61<br />
1995 4373 184 3134 114 1245 70<br />
1996 4646 294 2869 195 1147 38<br />
1997 2065 120 595 42 223 5<br />
1998 580 26 311 6 222 20<br />
1999 684 14 678 14 138<br />
2000 1026 23 608 10 5<br />
Sumber Data<br />
Ditjen HaKI Departemen Hukum dan Ham RI<br />
41
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Tabel IV: Data PNBP dari Sektor HaKI<br />
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)<br />
melalui Pendaftaran HaKI<br />
Tahun Anggaran Rencana Realisasi<br />
1994/1995 6.512.200.000,00 10.595.334.970,00<br />
1995/1996 7.012.500.000,00 11.417.629.932,00<br />
1996/1997 8.712.300.000,00 12.550.905.325,00<br />
1997/1998 10.012.300.000,00 13.017.814.669,00<br />
1998/1999 11.013.500.000,00 11.889.654.675,00<br />
1999/2000 12.841.000.000,00 22.419.249.115,00<br />
2000 15.081.600.000,00 25.375.108.401,00<br />
Sumber Data<br />
Ditjen HaKI Departemen Hukum dan Ham RI<br />
42
Analisis Waktu Tempuh Angkutan Perkotaan Terminal Amplas-Terminal Sambu di Kota Medan<br />
Faizal Ezeddin<br />
ANALISIS WAKTU TEMPUH ANGKUTAN PERKOTAAN<br />
TERMINAL AMPLAS – TERMINAL SAMBU DI KOTA MEDAN<br />
Faizal Ezeddin<br />
Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik USU<br />
Abstrak: Analisis waktu tempuh angkutan perkotaan pada rule Terminal Amplas-Terminal Sambu Medan<br />
dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran kecepatan perjalanan, kecepatan gerak dan tundaan<br />
sepanjang rule yang dilalui. Dari analisis ditemukan data bahwa waktu tempuh pada rute tersebut yang terdiri<br />
dari kecepatan perjalanan rata-rata dari terminal Amplas ke terminal Sambu adalah 18,06 km/jam sedangkan<br />
dari terminal Sambu ke Amplas adalah 17,76 km/jam. Angka ini masih berada dibawah angka yang ditetapkan<br />
dalam kecepatan perjalanan minimum didaerah perkotaan yaitu 29 km/jam. Beberapa penyebab rendahnya<br />
kecepatan perjalanan angkutan perkotaan mikrobis pada rule ini adalah naik dan turunnya penumpang<br />
disembarang tempat, banyaknya jumlah kendaraan yang melintasi ruas jalan sehingga volume lalu lintas<br />
melebihi kapasitas jalan.<br />
Kata –kata kunci: Kecepatan Perjalanan, Volume Lalu Lintas, Tundaan, Kecepatan, Tingkat Pelayanan<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Persoalan yang paling sulit sekarang dihadapi<br />
perencana, pengatur Jalan Raya dan Transportasi<br />
adalah bagaimana menetapkan peranan mobil,<br />
angkutan perkotaan pada jalan raya. Sebagai salah<br />
satu kota besar di Indonesia, Medan memiliki rute<br />
arus kendaraan angkutan perkotaan yang sangat<br />
banyak dalam rangka memenuhi kebutuhan<br />
masyarakat.<br />
Perkembangan rute yang ada sekaligus didukung<br />
oleh sarana dan prasarana angkutan, membuat<br />
banyak rule yang ditempuh dengan berbagai<br />
alternatif lintasan sekaligus dalam memenuhi<br />
permintaan jasa angkutan umum di dalam kota<br />
Medan.<br />
Akibat banyaknya rute angkutan tersebut dibutuhkan<br />
pula jumlah kendaraan tertentu yang secara langsung<br />
meningkatkan arus lalu lintas di jalan raya<br />
Untuk kelancaran arus lalu lintas (Traffic Light)<br />
pemerintah telah memasang (Traff Light) diberbagai<br />
persimpangan jalan di kota Medan. Demikian juga<br />
pada rute yang dilalui oleh angkutan perkotaan dari<br />
Terminal Amplas ke Terminal Sambu dan sebaliknya<br />
antara lain :<br />
1. Teminal Amplas – Terminal Sambu<br />
a. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Perbatasan<br />
b. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Baru<br />
c. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Sakti Lubis/<br />
Jl. Seksama<br />
PersimpanganJl. SM. Raja – JL. HM Joni<br />
d. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Puri<br />
e. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Turi<br />
f. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Halat<br />
g. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Mesjid Raya<br />
h. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Japaris<br />
i. Persimpangan Jl. Sutomo – Jl. Jl. Asia<br />
j. Persimpangan Jl. Sutomo – Jl. Merbabu<br />
k. Persimpangan Jl. Sutomo – MT. Haryiono<br />
2. Terminal Sambu – Terminal Ampals<br />
a. Persimpangan Jl. MT. Haryono – Jl. Irian Barat<br />
b. Persimpangan Jl. Pandu – Jl. SM Raja/Jl. Cerebon<br />
c. Persimpangan Jl. SM Raja – Japaris<br />
d. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Mesjid Raya<br />
e. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Halat<br />
f. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. HM. Joni<br />
g. Persimpangan SM Raja – Jl. Turi / Pelangi<br />
h. Persimpangan SM Raja – Jl Sakti Lubis/ Jl.<br />
Seksama<br />
i. Persimpangan SM Raja – Jl. Baru<br />
j. Persimpangan SM Raja – Jl. Perbatasan<br />
Keberadaan Traffic Light pada jalan-jalan<br />
sepanjang rute tersebut yang arus lalu lintasnya pada<br />
umumnya padat sebenarnya sangat membantu<br />
kecepatan angkutan perkotaan pada rute tersebut.<br />
Untuk mengkaji permasalahan lalu lintas<br />
perkotaan tersebut, maka kami menyusun penelitian<br />
ini dengan judul Analisis waktu tempuh Angkutan<br />
Perkotaan Terminal Amplas – Terminal Sambu di<br />
Kota Medan.<br />
2. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN<br />
Maksud dalam penelitian ini adalah untuk:<br />
1. Mendapatkan gambaran kecepatan perjalanan<br />
(travel speed)<br />
2. Mendapatkan gambaran kece-patan gerak (tunning<br />
speed).<br />
3. Mendapatkan gambaran tundaan (delay).<br />
4. Mendapatkan gambaran waktu perjalanan (time<br />
43
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
travel).<br />
Tujuan penelitian ini adalah agar tercapainya<br />
tuntutan dan kebutuhan masyarakat dalam melakukan<br />
perjalanannya yaitu: tertib, teratur, lancar, aman,<br />
nyaman, cepat dan efisien (Morlock, 1985).<br />
3. PERMASALAHAN<br />
Suatu angkutan umum agar mampu memberikan<br />
pelayanan yang aman, lancar, nyaman atau<br />
memberikan kesan positif maka harus dioperasikan<br />
dengan sebaik-baiknya. Bahwa selama ini dapat<br />
dilihat bahwa dalam pelayanannya terutama dalam<br />
kecepatan perjalanannya angkutan umum yang<br />
melayani rute perjalanan dari terminal Amplas ke<br />
terminal Sambu menghadapi beberapa<br />
permasalahan, seperti :<br />
1. Volume<br />
2. Terlalu seringnya menaikkan dan menurunkan<br />
penumpang, dan itu dilakukan disembarang<br />
tempat.<br />
3. Menunggu penumpang terlalu lama di pinggir<br />
jalan<br />
4. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN<br />
Analisis kecepatan perjalanan angkutan kota di<br />
Kotamadya Medan mencakup lingkup pembahasan<br />
yang luas. Oleh karena itu penelitian ini dibatasi<br />
pembahasannya, yaitu:<br />
a Meneliti kecepatan perjalanan angkutan umum<br />
yang melintas rute terminal Amplas - terminal<br />
Sambu (pusat kota).<br />
b. Waktu penelitian dipilih pada jam-jam sibuk<br />
waktu pagi hari, jam 7.00 wib -8.00 wib, siang<br />
hari,jam13.00wib-14.00 wib dan sore hari, jam<br />
17.00 wib -18.00 wib.<br />
Dipilihnya rute terminal Amplas -terminal Sambu<br />
sebagai rute penelitian karena kedua terminal sangat<br />
potensial sebagai tujuan perjalanan (penarik<br />
perjalanan) dan melintasi pusat-pusat kegiatan dalam<br />
kota, yang akibatnya merupakan rute yang ramai<br />
kendaraan angkutan umum serta tata guna lahan<br />
sepanjang rute sangat beragam yang akan<br />
berpengaruh kepada arus lalu lintas.<br />
5. UKURAN ARUS LALU LINTAS<br />
Setiap bagian operasional dari lalu lintas nyatakan<br />
dengan tiga ukuran(Box, Paul C dan Oppenlader,<br />
Josseph C 1976), yaitu:<br />
- Kecepatan<br />
- Volume dan besar arus<br />
- Kerapatan<br />
- Tundaan<br />
- Tingkat pelayanan<br />
5.1 Kecepatan<br />
Kecepatan didefmisikan sebagai pergerakan<br />
rata-rata yang dinyatakan sebagai jarak persatuan<br />
waktu. Umumnya dalam kilometer per jam (km/jam).<br />
Distribusi kecepatan individu yang bermacammacam<br />
dalam arus lalu lintas hams diselidiki serta<br />
beberapa mulai diantaranya digunakan untuk<br />
mewakili keadaan(Hobbs, F.D 1979). Ada dua cara<br />
pendekatan untuk mengukur kecepatan, yaitu :<br />
1. Time mean speed, adalah rata-rata dari kecepatan<br />
kendaraan selama suatu jangka waktu pada suatu<br />
titik tertentu. Jadi time mean speed didasarkan<br />
pada kecepatan masing-masing kendaraan yang<br />
didistribusi dalam waktu.<br />
2. Space mean speed, adalah rata-rata dari kecepatan<br />
di berbagai tempat pada saat tertentu. Space mean<br />
speed pada kecepatan masing-masing kendaraan<br />
yang merupakan distribusi dari posisi.<br />
Berdasarkan waktu perjalanan kecepatan<br />
dibedakan atas dua kecepatan dengan cara<br />
pendekatan space mean speed, yaitu :<br />
1. Average running speed, didefmisikan sebagai<br />
kecepatan kendaraan dengan membagi panjang<br />
segmen (jalur) jalan dibagi dengan running time.<br />
Running time adalah waktu yang diperlukan<br />
kendaraan untuk menempuh potongan jalan selama<br />
bergerak dan tidak termasuk waktu berhenti.<br />
2. Average travel speed, didefmisikan sebagai<br />
kecepatan efektif kendaraan yang sedang dalam<br />
perjalanan antara dua tempat, dan merupakan jarak<br />
antara dua tempat (panjang suatu potongan jalan)<br />
dibagi dengan average travel time (waktu<br />
perjalanan rata-rata) kendaraan untuk menempuh<br />
potongan jalan tersebut. Travel time adalah waktu<br />
yang dibutuhkan oleh sebuah kendaraan dari arus<br />
lalu lintas untuk bergerak dari satu titik ke titik lain<br />
dan didalamnya termasuk waktu berhenti.<br />
Pada perjalanan dimana penun-daan karena berhenti<br />
dimasukkan, maka kecepatan perjalanan rata-rata<br />
pasti lebih lembat daripada kecepatan bergerak ratarata<br />
Berdasarkan Highway Capacity Manual 1985<br />
ukuran kecepatan yang digunakan adalah Kecepatan<br />
perjalanan rata-rata (average travel speed). Hal ini<br />
digunakan karena mudah dihitung dari observasi<br />
kendaraan individu dalam arus lalu lintas, dan rumus<br />
lalu lintas , dan rumus kecepatan yang digunakan :<br />
L L<br />
S = =<br />
n<br />
n<br />
t / n t<br />
∑<br />
i=<br />
1<br />
i<br />
∑<br />
i=<br />
1<br />
i<br />
(1)<br />
Dimana :<br />
S = Kecepatan perjalanan rata-rata (Average<br />
travel speed) (km/jam)<br />
L = Panjang potongan jalan (km)<br />
ti = Waktu (travel time) yang diperlukan<br />
suatu kendaraan (jam)<br />
n = Jumlah travel time yang diteliti<br />
44
Analisis Waktu Tempuh Angkutan Perkotaan Terminal Amplas-Terminal Sambu di Kota Medan<br />
Faizal Ezeddin<br />
5.2 Volume dan Besar Arus<br />
Volume dan besar arus adalah dua ukuran<br />
kuantitas dari jumlah lalu lintas yang melintasi suatu<br />
jalur atau jalan selama jangka waktu tertentu. Kedua<br />
ukuran tersebut dinyatakan dengan satuan kendaraan/<br />
jam.<br />
Perbedaan antara volume dan besar arus<br />
yaitu: volume adalah jumlah sebenarnya dari<br />
kecepatan yang diamati atau diramalkan melewati<br />
suatu titik selama jangka waktu tertentu, sedang<br />
besar arus mewakili jumlah kendaraan yang melewati<br />
suatu titik selama interval waktu kurang dari satu<br />
jam, tetapi dinyatakan dalam jam. Besar arus<br />
diperoleh dengan mengambil jumlah kendaraan yang<br />
diamati selama periode kurang dari satu jam dan<br />
dibagi dengan lama pengamatan (dalam jam), maka<br />
jika dalam suatu pengamatan diperoleh volume 100<br />
kendaraan dalam waktu 15 menit, besar arus menjadi<br />
100 kendaraan/ 0,25 jam atau 400 kendaraan perjam<br />
(vph) (Warpani,1990).<br />
5.3 Kerapatan<br />
Kerapatan adalah parameter penting yang<br />
menggambarkan pelaksanaan lalu lintas. Karena<br />
kerapatan menggambarkan jarak antara satu<br />
kendaraan dengan kendaraan lainnya, sehingga<br />
mempengaruhi kebebasan bergerak dalam arus lalu<br />
lintas. Persamaan v = s x D, merupakan hubungan<br />
dasar antara parameter-parameter dari arus tidak<br />
terganggu. Hubungan tersebut dijabarkan dalam<br />
bentuk hubungan antara besar arus dengan kecepatan,<br />
besar arus dengan kerapatan, dan kecepatan dengan<br />
kerapatan. (Lubis, M. Alfian 1998)<br />
5.4 Tundaan<br />
Penundaan (delay) karena berhenti adalah<br />
sederhana untuk didefmisikan dan diukur. Penundaan<br />
karena berhenti menimbulkan selisih waktu antara<br />
kecepatan perjalanan (travel speed) dan kecepatan<br />
berherak (running speed). Sebaliknya, penundaan<br />
karena padatnya lalu lintas sulit untuk diukur dengan<br />
tepat. Penundaan ini ditimbulkan oleh kelambatan<br />
atau macetnya kendaraan pada simpang jalan yang<br />
terlalu ramai oleh kendaraan, lebar jalan yang<br />
kurang, parkir mobil-mobil di jalan sempit, dan<br />
sebagainya. Akibatnya adalah pengurangan<br />
kecepatan bergerak di bawah kecepatan yang<br />
dianggap dapat diterima. Kedua jenis penundaan<br />
mencerminkan waktu yang tidak produktif dan bila<br />
dinilai dengan uang maka hal ini menunjukkan<br />
jumlah biaya yang harus dibayar masyarakat karena<br />
tidak memiliki jalan yang memedai. Waktu tunda<br />
juga menunjukkan keuntungan ekonomis yang dapat<br />
diharapkan bila rute tersebut diperbaiki untuk<br />
mengurangi penundaan dan ini memberikan prioritas<br />
untuk pekerjaan perbaikan jalan.<br />
5.5 Konsep Tingkat Pelayanan<br />
Konsep tingkat pelayanan didefmisikan sebagai<br />
ukuran mutu atau kualitas yang menggambarkan<br />
kondisi operasonal dalam arus lalu lintas yang<br />
dipersepsikan oleh sipengemudi dan<br />
penumpang(Wells, G.R., 1975).<br />
Tingkat pelayanan ditentukan dalam suatu skala<br />
interval yang terdiri dari enam tingkat. Tingkattingkat<br />
ini diklasifikasikan dengan tingkat A, B, C,<br />
D, E dan F dimana A merupakan tingkat pelayanan<br />
yang tertinggi dan F adalah tingkat pelayanan yang<br />
terendah (Clarkson et al. 1988).<br />
6. HASIL ANALISA/PERHITUNGAN<br />
Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan<br />
didapat hasil seperti yang ditujukkan oleh Tabel 1<br />
sampai dengan Tabel 4.<br />
Tabel 1: Kecepatan perjalanan rata-rata (average travel speed )<br />
No. Trayek Rute Kecepatan perjalanan rata-rata (km/jam)<br />
Pagi hari Siang Hari Sore Hari<br />
MedanBus0 P. Pasar - T. 18.39 18.20 17.52<br />
Medan Bus T. Amplas - P. 18.27 18.39 17.88<br />
Medan Bus 46 T. Amplas - P. 17.60 17.35 17.58<br />
Medan Bus T. Amplas - P. 16.84 17.11 16.06<br />
KPUM 03 P. Pasar - T. 18.61 18.84 18.45<br />
KPUM03 T. Amplas - P. 17.89 18.43 17.44<br />
45
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Tabel 2: Kecepatan gerak rata-rata (average running speed)<br />
No. Trayek Rute Kecepatan gerak rata-rata (km/jam)<br />
Pagi hari Siang Hari Sore Hari<br />
Medan Bus 04 P. Pasar - T. Amplas 23.18 22.74 23.05<br />
Medan Bus 04 T. Amplas- P. Pasar 22.46 22.16 21.42<br />
Medan Bus 46 T. Amplas - P. Pasar 21.26 21.40 21.18<br />
Medan Bus 46 T. Amplas - P. Pasar 20.64 20.48 19.26<br />
KPUM 03 P. Pasar - T. Amplas 23.64 23.63 22.86<br />
KPUM 03 T. Amplas - P. Pasar 22.54 22.58 21.98<br />
Tabel 3:Tundaan (delay)<br />
No. Trayek Rute Tundaan (menit)<br />
Pagi hari Siang Hari Sore Hari<br />
Medan Bus 04 P. Pasar - T. Amplas 7.10 6.93 8.63<br />
Medan Bus 04 T. Amplas - P. Pasar 6.30 5.72 5.72<br />
Medan Bus 46 T. Amplas- P. Pasar 5.15 5.73 5.08<br />
Medan Bus 46 T. Amplas -P. Pasar 5.68 5.00 5.38<br />
KPUM 03 P. Pasar - T. Amplas 5.70 5.37 5.22<br />
KPUM 03 T. Amplas - P. Pasar 5.97 5.15 6.13<br />
Tabel 4: Waktu tempuh perjalanan (travel time)<br />
No. Trayek Rute Waktu perjalanan rata-rata (menit)<br />
Pagi hari Siang Hari Sore Hari<br />
Medan Bus 04 P. Pasar - T. Amplas 34.33 34.68 36.02<br />
Medan Bus 04 T. Amplas - P. Pasar 33.82 33.60 34.57<br />
Medan Bus 46 T. Amplas- P. Pasar 29.87 30.28 29.90<br />
Medan Bus 46 T. Amplas -P. Pasar 30.87 30.37 32.37<br />
KPUM 03 P. Pasar - T. Amplas 26.82 26.48 27.05<br />
KPUM 03 T. Amplas - P. Pasar 28.92 29.67 29.67<br />
46
Analisis Waktu Tempuh Angkutan Perkotaan Terminal Amplas-Terminal Sambu di Kota Medan<br />
Faizal Ezeddin<br />
7. KESIMPULAN<br />
• Kecepatan perjalanan rata-rata untuk rute dari<br />
Pusat Pasar ke terminal Amplas adalah 17.76<br />
km/jam, sedangkan untuk rute dari terminal<br />
Amplas ke Pusat Pasar adalah 18.06 km/jam.<br />
Angka tersebut jauh lebih rendah dari satu angka<br />
yang diharapkan dalam kecepatan perjalanan<br />
minimum di daerah perkotaan yaitu 29 km/jam<br />
• Berdasarkan hasil tersebut maka kondisi jalan<br />
untuk rute Pusat pasar - Terminal Amplas dan<br />
sebaliknya berada pada tingkat pelayanan (LOS) E<br />
dengan kecepatan rata-rata > 16 km/jam.<br />
• Dengan kecepatan perjalanan yang sangat rendah<br />
menunjukkan bahwa tujuan penelitian dalam tugas<br />
akhir ini masih belum terpenuhi.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Box, Paul, C, Oppenlader, Josseph, C. 1976. Manual<br />
of Traffic Engineering Studies, Institute of<br />
Transportation Engineers, London<br />
Clarkson, H, Oglesby, R, Hicks, G. 1988. Teknik<br />
Jalan Raya Edisi ke-4, Erlangga, Jakarta<br />
Hobbs, F.D. 1979. Traffic Planning and Engineering,<br />
Pergamon Press, Oxford<br />
Lubis, M. A. 1998. Penelitian Kecepatan dan<br />
Tundaan<br />
Angkutan Umum moda Mikrobis di Kotamadya<br />
Medan, Tugas Akhir, Tidak dipubliksikan,<br />
Fakultas Teknik Jurusan Sipil USU<br />
Morlock, K. E. 1985. Pengantar Teknik dan<br />
Perencanaan Transportasi, Penerbit Erlangga,<br />
Jakarta.<br />
Transportasi Research Board, 1985. Highway<br />
capacity Manual National Research Council,<br />
Washington D.C<br />
Warpani, Suwardjoko, 1990. Merencanakan Sistem<br />
Perangkutan, Penerbit ITB, Bandung<br />
Wells, G. R. 1975. Comprehensive Transport<br />
Planning, Charles Griffin and Company Ltd,<br />
London<br />
47
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
MODEL ANALISIS EKONOMI DAN OPTIMASI PENGUSAHAAN<br />
SUMBERDAYA PERIKANAN<br />
Dede Ruslan<br />
Dosen Fakultas Pengetajuan Ilmu Sosial<br />
<strong>Universitas</strong> Medan<br />
Abstrak: Peranan perikanan laut dalam kerangka pembangunan ekonomi makin hari makin penting. Di<br />
samping untuk pemenuhan konsumsi masyarakat juga peningkatan ekspor. Pembangunan dewasa ini perlu<br />
mengindahkan pertimbangan lingkungan atau "Sustainable Eco-development". Oleh karena itu pengusahaan<br />
perikanan laut sudah seyogyanya memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan, sehingga diperoleh hasil<br />
maksimum lestari baik secara biologi maupun secara ekonomi.<br />
Kata kunci: Hasil maksimum lestari (MSY), hasil maksimum secara ekonomi (MEY)<br />
Pendahuluan<br />
Pembangunan yang pada dasarnya bertumpu<br />
kepada pembangunan ekonomi sangat ditentukan<br />
oleh perkembangan paradigma ekonomi. Dalam<br />
sejarah perkembangan paradigma ekonomi terlihat<br />
bahwa pakar ekonomoi mengabaikan dimensi fisik<br />
dan memusatkan perhatiannya pada dimensi nilai<br />
(value). Pada kenyataannya kesejahteraan diukur<br />
oleh satuan nilai yang tidak dapat lepas dari dimensi<br />
fisik. Dari kacamate ekonomi, penyalahgunaan<br />
sumber daya milik bersama (air, udara, tanah, dan<br />
lain-lain) yang dikenal dengan common property<br />
resources (sumber daya milik bersama) timbul<br />
karena tidak adanya mekanisme keseimbangan yang<br />
dapat membatasi eksploitasinya. Sumberdayasumberdaya<br />
milik bersama dianggap bebas dan<br />
kelangkaannya tidak tercermin dalam setiap<br />
pemanfaatannya.<br />
Ikan merupakan salah satu sumber daya<br />
yang dihasilkan dari laut pengelolaannya harus<br />
diarahkan untuk melestarikan sekaligus<br />
mendatangkan manfaat ekonomi optimum hingga<br />
masa mendatang. Sifat pemilikan bersama atas<br />
sumberdya perikanan serta adanya kebebasan bagi<br />
nelayan untuk ikut serta melakukan pengusahaan<br />
sumberdaya perikanan dan mengembangkan armada<br />
penangkapannya hingga keseimbangan bio-ekonomi<br />
telah menyebabkan terbuangnya rent ekonomi secara<br />
sia-sia. Dalam upaya meningkatkan pendapatannya,<br />
pengusaha, dan nelayan selalu ingin meningkatkan<br />
hasil tangkapan ikan tanpa menghiraukan batas<br />
maksimum jumlah penangkapan baik dilihat dari segi<br />
ekonomi maupun kelestarian sumber-daya alamnya.<br />
Untuk memperbaiki kondisi perekonomian<br />
perikanan melalui efisiensi alokasi sumberdaya,<br />
diperlukan campur tangan pememrintah dalam<br />
pengendalian intensitas pengusahaan sumberdaya<br />
perikanan. Oleh<br />
Berdasarkan hal tersebut di atas, akan<br />
dibahas secara teoritis hubungan antara intensitas<br />
pengusahaan sumberdaya perikanan dan besarnya<br />
keuntungan ekonomi yang dapat dinikmati oleh<br />
masyarakat. Disisi lain perlu diketahui bagaimana<br />
menentukan tingkat optimal(optimasi) pengusahaan<br />
penangkapan ikan dilakukan, sehingga ada batas<br />
maksimum jumlah penangkapan ikan baik dilihat<br />
dari segi ekonomi maupun kelestarian sumber daya<br />
alam.<br />
MODEL ANALISIS<br />
Model analisis yang akan dikembangkan<br />
dalam tulisan ini, yaitu menggunakan pendekatan<br />
bioekonomi. Pendekatan ini memadukan kekuatan<br />
ekonomi yang mempengaruhi <strong>industri</strong> penangkapan<br />
ikan serta faktor biologi yang menentukan produksi<br />
dan suplai ikan (Clark, 1985). Model dasar yang<br />
digunakan dalam analisis adalah model biologi dari<br />
Schaefer (1957) dan model ekonomi dari Gordon<br />
(1954). Pendekatan dalam pembahasan model<br />
tersebut diawali dengan masalah sumberdaya<br />
perikanan, per-tumbuhan alami, dan penang-kapan<br />
ikan yang optimal.<br />
Sumberdaya Ikan<br />
Dalam pengusahaan penangkapan ikan<br />
sudah saatnya menerapkan konsep tentang hubungan<br />
timbal balik ekologis. Suatu <strong>sistem</strong> etika lingkungan<br />
yang dapat mengoperasikan pengertian-pengertian<br />
dan konsep eko<strong>sistem</strong> perlu ditumbuhkan yang dapat<br />
menjadi dasar bagi pembangunan berkelanjutan,<br />
yaitu pembangunan yang dapat mencukupi<br />
kebutuhan hidup rakyat Indonesia sekarang dan<br />
tidak merugikan kehidupan generasi yang akan<br />
datang. Hal ini berkenaan dengan penentuan pilihan<br />
yang berkaitan dengan pengalokasian sumberdaya<br />
alam yang langka di antaranya berbagai alternatif<br />
tujuan penggunaan secara optimal.<br />
Menurut Randal (1987) sumberdaya adalah<br />
sesuatu yang berguna dan bernilai pada kondisi kita<br />
menemu-kannya. Secara umum menurut<br />
sumberdaya alam dikelompokkan menjadi tiga<br />
bagian yaitu (1) sumberdaya alam yang tidak dapat<br />
diperbaharui dengan contohnya adalah barang-barang<br />
tambang (minyak bumi dan batu bara), (2)<br />
48
Model Analisis dan Optimalisasi Pengusahaan Sumberdaya Perikanan<br />
Dede Ruslan<br />
sumberdaya alam mengalir dengan contohnya adalah<br />
energi matahari dan gelombang laut, dan (3)<br />
sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dengan<br />
contohnya adalah hutan dan ikan<br />
Ikan termasuk kelompok ketiga sebagai<br />
sumber-daya alam yang dapat diper-baharui. Sifat<br />
kelompok ini apabila telah dipanen masih akan<br />
tumbuh kembali dalam waktu dan dengan kecepatan<br />
tertentu. Apabila tidak dieksploitasi, jumlahnya tidak<br />
akan bertambah di atas batas maksimum. Sifatnya<br />
dapat diperbaharui. Tetapi juga punya batas, apabila<br />
eksploitasi melebihi batas maksimum, maka<br />
perkembangan dan pertumbuhan akan terganggu dan<br />
akan mengakibatkan kepunahan. Jadi dalam usaha<br />
eksploitasi diperlukan manajemen yang bijaksana.<br />
Pertumbuhan Alami<br />
Secara biologis, stock ikan yang tidak<br />
dieksploitasi akan berkembang hingga batas<br />
maksimum (K), dengan laju pertumbuhan tergantung<br />
pada ukuran kelimpahan stock (S). Pertumbuhan ikan<br />
(individual growth) ditentukan oleh banyak hal<br />
seperti salinitas, temperatur, ketersediaan makanan,<br />
mineral, tingkat fotosintesis, dan lain-lain. Dengan<br />
anggapan hal-hal tersebut relatif konstan sehingga<br />
perkembangan stok ikan secara alami ditentukan<br />
oleh 3 hal yaitu: 1) perkembangbiakan, 2)<br />
pertumbuhan individu, dan 3) kematian secara alami.<br />
Pada saat stok sedikit, pertumbuhan stok<br />
cukup tinggi hingga pada suatu tingkat stok tertentu<br />
pertumbuhan menjadi nol dan stok menjadi konstan<br />
(pertumbuhan alami = kematian alami) (Anderson,<br />
1977).<br />
Schaefer (1957) menggambarkan pertumbuhan<br />
alami stock ikan yang tidak dieksploitasi<br />
sebagai berikut:<br />
Gambar 1: Kurva Pertumbuhan Stok Ikan<br />
Stok (S)<br />
S MAX<br />
C<br />
S = S(t)<br />
S MIN<br />
0 Waktu (t)<br />
(a)<br />
49
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Pertumbuhan<br />
δs/δt<br />
MSY<br />
S*<br />
O S 0<br />
S MAX Stok(S)<br />
(b)<br />
Gambar 1 (a) menunjukkan stok ikan (S) merupakan fungsi waktu (t) ditulis :<br />
S = s (t) ........... (1)<br />
dimana S menujukkan jumlah stok ikan dan t<br />
menunjukkan waktu. Kurva ini menunjukkan fungsi<br />
logistik, dimana secara alami stok ikan tersebut<br />
meningkat mengikuti kurva S = s(t) hingga suatu<br />
tingkat maksimum (Capasity = C), katakan titik C.<br />
Pada titik maksimum (C), stok ikan tidak bertambah<br />
lagi, tingkat pertumbuhan sama dengan tingkat<br />
kematian, yang merupakan keseimbangan.<br />
Gambar 1 (b) menggambarkan tingkat<br />
pertumbuhan stok ikan, dimana pertumbuhan<br />
tersebut merupakan fungsi stok ikan. Schaefer<br />
(1957) menggambarkan pertumbuhan alami stock<br />
ikan yang tidak dieksploitasi tersebut dengan<br />
persamaan<br />
δs/δt = f(S) = r.s.(1 - s/K) ..... (2)<br />
Dimana δs/δt menunjukkan pertumbuhan stok dan r<br />
adalah laju pertumbuhan intrinsik.<br />
Pada saat stok masih sedikit pertumbuhan<br />
meningkat terus hingga mencapai titik maksimum<br />
(C). Setelah titik maksimum, pertumbuhan menurun.<br />
Dan setelah stok mencapai jumlah maksimum,<br />
pertumbuhan menjadi nol atau pada titik<br />
keseimbangan.<br />
Penangkapan Ikan<br />
Dalam eksploitasi sumberdaya alam yang<br />
dapat diperbaharui, tingkat pemanenan jangka<br />
panjang adalah sebesar tingkat pertumbuhan<br />
alaminya. Apabila penangkapan ikan lebih besar dari<br />
pertumbuhan maka pertumbuhan tersebut tidak<br />
dapat menutupi penangkapan, akibatnya stok<br />
berkurang, ikan makin sulit ditangkap dan hasil<br />
penangkapan selanjutnya menurun dan begitu<br />
sebaliknya. Sehingga dengan tingkat usaha<br />
penangkapan tertentu akan diperoleh sejumlah hasil<br />
tangkapan tertentu yang relatif konstan dalam<br />
jangka panjang yaitu sama dengan besarnya tingkat<br />
pertumbuhan alami yang sesuai dan ini disebut<br />
tangkapan lestari (Christy, 1986).<br />
Bila dilaksanakan penangkapan ikan, maka<br />
perubahan netto ukuran stock ikan adalah :<br />
δs/δt = f(s) - H(t) ........................... 3)<br />
dimana H(t) adalah volume panenan atau hasil<br />
penangkapan.<br />
Dalam analisis Schaefer (1954) bahwa hasil<br />
tangkapan merupakan fungsi usaha. Jika hal tersebut<br />
dipadukan dengan tangkapan lestasri tersebut di atas,<br />
maka dapat digambarkan kurva hasil usaha lestari<br />
(Sustainable Yield-Effort Curve) seperti pada<br />
gambar 2.<br />
Dari Gambar 2 terlihat bahwa pada tingkat<br />
stok yang masih melimpah, sedikit saja usaha<br />
penangkapan (effort) yang dapat memberikan hasil<br />
tangkapan sesuai dengan tingkat pertumbuhan alami.<br />
Pada tingkat usaha penangkan (effort=E) yang besar<br />
(berlebihan) kepunahan tidak tertutupi oleh<br />
pertumbuhan akibatnya ikan akan mengarah kepada<br />
kepunahan dan hasil selanjutnya akan menjadi<br />
sangat kurang.<br />
50
Model Analisis dan Optimalisasi Pengusahaan Sumberdaya Perikanan<br />
Dede Ruslan<br />
Gambar 2 :<br />
Kurva Hasil Usaha Lestari (Sustainable -Effort Curve) Penangkapan Ikan<br />
Hasil (H)<br />
E’S<br />
E.S<br />
H* h 1 h 2 h 3<br />
h 0 h 4<br />
E*<br />
O E 0 E 1 E 2 E 3 E 4 Usaha(E)<br />
(b)<br />
Dengan demikian secara fungsional jumlah<br />
hasil atau besar volume panenan akan bergantung<br />
pada jumlah usaha penangkapan (effort), koefisien<br />
daya tangkap(q), dan stok(s) (Gordon, 1986). Secara<br />
matematis ditulis :<br />
H = f ( q, E, S ) ............. (4)<br />
dimana :<br />
H = hasil<br />
E = jumlah usaha penangkapan (effort)<br />
S = stok<br />
q = koefisien daya tangkap (teknologi)<br />
Fungsi tersebut dapat diinterprestasikan<br />
dalam per-samaan sebagai berikut :<br />
H(t) = q.E.S ............................ (5)<br />
sehingga besarnya jumlah usaha penangkapan<br />
(Effort) adalah sebagai berikut :<br />
E(t) = H / q.S ................................ (6)<br />
Secara biologi hasil maksimum secara<br />
lestari dicapai pada saat kurva parabola mencapai<br />
titik paling tinggi yaitu pada saat usaha sebesar E*<br />
atau hasil tangkapan sebesar H*. Keadaan ini disebut<br />
hasil maksimum lestari (Maximum Sus-tainable<br />
Yields) yang dalam kajian ini selanjutnya disingkat<br />
"MSY". Dengan demikian hasil maksimum lestari<br />
(MSY) ini tercapai pada kondisi keseimbangan f(s)<br />
= H(t) dan ds/dt = 0, sehingga :<br />
s = K - q.E.S/r ....................... (7)<br />
Penggabungan antara persamaan (5) dan (7)<br />
diperoleh persamaan fungsi produksi, yaitu :<br />
h(t) = q.E [ K - q.E.K/r ]<br />
= q.K.E - q 2 .K/r.E 2 ................... 8)<br />
Bila dilihat dari segi ekonomi, usaha<br />
penangkapan yang optimal adalah pada saat<br />
keuntungan maksimum (maximum profit). Hal ini<br />
disebut sebagai hasil maksimum secara ekonomi<br />
(Maximum Economic Yields) yang dalam kajian ini<br />
selanjutnya disingkat "MEY".<br />
Untuk menemukan MEY, lebih dulu<br />
dikonversi hasil tang-kapan menjadi penerimaan<br />
dalam bentuk uang. Dimana pene-rimaan (Total<br />
Revenue = TR ) adalah hasil tangkapan [h(t)] dikali<br />
dengan harga ikan (P) disingkat TR = h(t) x P. Dan<br />
tingkat usaha penangkapan (effort) dirobah menjadi<br />
biaya, dimana biaya total (TC) adalah effort (E)<br />
dikali dengan tingkat harga per unit effort (W) atau<br />
disingkat menjadi TC = E x W. Dengan demikian<br />
penerimaan bersih dari pengusahaan sumberdaya<br />
perikanan adalah total pendapatan (Total<br />
Revenue=TR) dikurangi dengan total biaya<br />
penangkapan (Total Cost=TC) atau secara matematis<br />
ditulis sebagai berikut:<br />
MEY = p.h(t) - w.E ............................ (9)<br />
Apabila persamaan (6) dan h = F(s) -<br />
ds/st disubstistusikan kedalam persamaan (9), maka<br />
diperoleh maxsimum economic yield atau hasim<br />
maksimum secara ekonomi (MEY) sebagai berikut :<br />
MEY = p.h - w.h/q.s<br />
= [p - w/q.s].h<br />
= [p - w/q.s] [F(s) - ds/dt] ...................... (10)<br />
Bila w/q.s = w (c), maka MEY bernilai sebagai<br />
berikut :<br />
MEY = [p - w(c)].[F(s) - ds/dt] ...................... (11)<br />
Nilai tersebut merupakan komponen dari<br />
tingkat optimal pengusahaan sumberdaya perikanan,<br />
yang akan dicapai pada saat nilai sekarang (present<br />
value/PV) mencapai maksimum (Scott, 1955;<br />
Anderson, 1986).<br />
51
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Gambar 3 :<br />
Kurva Penerimaan dan Biaya Produksi Perikanan<br />
TC, TR<br />
TR π<br />
TC<br />
TC π<br />
TR<br />
O E π E* E 0 Usaha(E)<br />
Dari grafik di atas, kurva total pendapatan (Total<br />
Revenue = TR) adalah kurva tangkapan lestari yang<br />
diuangkan dan mencapai maksimum pada usaha<br />
(effort=E) sebesar E*. Se-dangkan total biaya (Total<br />
Cost = TC) merupakan fungsi li-near. Keseimbangan<br />
tercapai pada effort sebesar E 0 dan mak-simum<br />
economic yield = MEY terjadi pada E π . Hal ini diperjelas<br />
lagi oleh kurva turunannya, yaitu sebagai<br />
berikut :<br />
Dari grafik berikut ini dapat disimpulkan<br />
bahwa untuk memaksimumkan keuntungan,<br />
"Marginal Revenue = MR" yaitu perubahan setiap<br />
satuan pendapatan harus sama dengan "Marginal<br />
Cost = MC" yaitu peruhaban setiap satuan biaya<br />
ataupun kemiringan dari kurva Total Revenue (TR)<br />
sama dengan kemiringan kurva Total Cost (TC).<br />
Hal ini dicapai pada saat effort sebesar E π , total<br />
penerimaan sebesar TR dan biaya sebesar TC.<br />
Kondisi ini dicapai pada saat jum-lah penangkapan<br />
lebih kecil dari jumlah penangkapan un-tuk<br />
mencapai maksimum sustainable yeild (MSY), yaitu<br />
OE π lebih kecil dari OE* (Anderson , 1977). Jadi<br />
Maksimum economic yield (MEY) cenderung<br />
mendukung kelestarian sumberdaya ikan.<br />
Gambar 4 :<br />
Kurva Marginal Revenue dan Marginal Cost<br />
MR, MC<br />
MC<br />
MR<br />
0 E π E* Usaha (E)<br />
52
Model Analisis dan Optimalisasi Pengusahaan Sumberdaya Perikanan<br />
Dede Ruslan<br />
PENUTUP<br />
Pengelolaan sumberdaya ikan yang<br />
diarahkan untuk melestarikan sekaligus<br />
mendatangkan manfaat ekonomi optimum hingga<br />
masa mendatang perlu dilakukan, sehingga sifat<br />
pemilikan bersama atas sumberdaya perikanan dan<br />
kebebasan bagi nelayan untuk ikut serta melakukan<br />
pengusahaan perikanan tidak mendorong untuk<br />
menangkap ikan sabanyak mungkin. Dengan<br />
demikian, penangkapan ikan yang dilakukan oleh<br />
pengusahaan perikanan harus memperhitungkan hasil<br />
maksimum yang lestari, yaitu terjadinya<br />
keseimbangan antara maksimum suistanable yeild<br />
dengan maksimum economin yeild.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Anderson, L.G. (1986). The economics of fisheries<br />
manage-ment. Baltimore : John Hopkins<br />
University Press.<br />
Clark,C.W. (1985). Bioeconomics modelling and<br />
fisheries management. New York : John Wiley<br />
and Sond.<br />
Gordon,H.S.(1954). The economic theory of a<br />
common-property resource: The fishery. J.<br />
Polit.Econ., 62: 124-42.<br />
Schaefer, M.B. (1957). Some considerations of<br />
population dynamics and economics in<br />
relation to the management of marine<br />
fisheries. J.Fish. Res. Board Can.,14:669-681<br />
Scott,A.D.(1955). The fishery : The objectives of<br />
sole ownership. J.Polit. Econ., 63: 115-124<br />
53
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
PENGARUH PELAKSANAAN BAURAN PEMASARAN TERHADAP PROSES<br />
KEPUTUSAN PEMBELIAN KONSUMEN PADA JAMU DI BANDA ACEH<br />
Rusydi Abubakar<br />
Staff Pengajar Jurusan Manajeman<br />
Fakultas Ekonomi <strong>Universitas</strong> Malikussaleh Lhokseumawe<br />
Email : Rusydi_Abubakar @ yahoo.com<br />
Abstract: An effective marketing program collects all of elemen of the marketing mix into one cohesive program<br />
designed o obtain a company’s terget in order to determine the company’s position towards competition, in<br />
order to win consumers as a target market facing such reality, compnies are required to be able to devlop an<br />
active marketing policy and always follow technological and economical developments. The aim of this study is<br />
to (1) analyze the affect of marketing mix on the purchasing decision of consumers in the jamu industry in Banda<br />
Aceh (2) Knowing what type of the marketing mix element most effect consumers buying the decisions in the<br />
jamu industry in Banda Aceh.The object of the study on independent variable :product, price,promotion and<br />
place. There are 2 methods pf study used,namely th descriptive and verivication methods. The sample in this<br />
study consist of 225 jamu industry consumers scattrd through 3(three) distric in Banda Aceh. The methods of<br />
data collection is documentation, interview and quistionnaries while the data analysis methods is the descriptive<br />
and paet analysis. The results of this study indicate that the elements of the marketing mix simultaneously affect<br />
the consumers buying decision positively and partyaly indicate that the product,price,price and promotion<br />
element have a positive affect,while the place (location) element has a negative effect. At the same time th<br />
marketing mix involving product,price and promotion significantly affect th buyin decision of jamu industry<br />
products in Banda Aceh. The most dominant variable the decision of consumers is th promotion variable,which<br />
an be as high as 28,60 %.<br />
Keywords : Marketing mix, consumer buying decision.<br />
PENDAHULUAN<br />
Era pasar bebas dunia tahun 2020,akan<br />
terjadi liberaliasi ekonomi yan berpangruh trhadap<br />
stuktur pasar yang tidak mengenal lagi batas-batas<br />
antar negara. Persaingan tidak hanya pada skala kota<br />
dn wilayah akan tetapi persaingan kualitas daripad<br />
kuantitas poduk dan pelayanan. Namun selain<br />
tantangan dan persaingan trdapat peluang bagi pelaku<br />
ekonomi untuk ikut memberikan kegiatan pemasaran<br />
yang makin luas.<br />
Dalm erbagai usaha bisnis yang berkmbng<br />
saat ini, baik yang meghsilkan barang maupun jaa,<br />
pern pemasaran sangatlah penting karena merupakan<br />
salah satu fakto kunci penentu kebrhasilan bisnis.<br />
Dengan katalin : pemasaran merupakan inti seluruh<br />
aktivitas bisnis.Ini berkitan dengan fungsi<br />
pemasaran,sebagai penghubung antara prusahaan dan<br />
konsumen (C.M.Lingga Purnama,2001 :1).<br />
Liberalisasi perdagangan merupakan<br />
tuntututan adanya globalisasi, yaitu suatu<br />
pelaksanaan regim kesepakatn system perdagngan<br />
dunia, hilangnya batas-batas negara yang bias<br />
menghambta kelancarn arus barang, jasa, modal dan<br />
finansial secara internaioanl.Ada dua sisi dari<br />
libralisasi perdgnagn, sisi pertama bahwa liberalisasi<br />
membrikan peluang (opportunities), melalui<br />
penurunan hambtan-hambatan tariff dannon tariff dn<br />
meningkatk akses produk-produk domstik ke pasar<br />
internaional. Sisi kedua, liberlisi perdagnagn juga<br />
menjadi ancaman (threat), karena perdagangan beba<br />
menuntut pnghapusan subsidi danproteksi sehingga<br />
dapat membanjirkannay produk-produk asing di<br />
pasar dalam negeri.<br />
Program pemasaran yang efektif meramu<br />
semua unsur-uns0,38ur marketing mix menjadi suatu<br />
program terpadu yang dirancang untuk mencapai<br />
sasaran perusahaan. Pengambilan keputusan tentang<br />
produk,harga, promosi,dan tempat penjualan<br />
hendaknya dapat menciptakan program pemasaran<br />
yang kohesif di pasar sasaran. Dengan demikian<br />
program pemasaran menggabungkan semua<br />
kemampuan pemasaran perusahaan tersebut akan<br />
menjadi sekumpulan kegiatan yang menentukan<br />
posisi perusahaan terhadap pesaing, dalam rangka<br />
bersaing merebut pasar sasaran.<br />
Permintaan obat tradisional (jamu) makin<br />
meningkat. Omset penjualan jamu meningkat 40<br />
prsen setiap tahun. Pada tahun 2000 nilai penjualan<br />
jamu diperkirakan Rp. 800 milliar. Dengan<br />
peningkatan sekitar 38 % berarti nilai pnjualan<br />
menmbus Rp. 1,2 triliun. Adapun hingga akhir tahun<br />
2002, diperkirakan terjadi kenaikan setara,<br />
setidaknya menembus angka penjualan Rp. 1,8<br />
triliun. Yang menggembirakan konsumsi terbesar<br />
jamu tersebut adalah pasar dalam negeri. Artinya<br />
masih banyak konsumen jamu loyal di negeri ini. Hal<br />
ini juga dikuatkan temuan survei MARS (Marketing<br />
Research Specialist) baru-baru ini., bahwa lebih dari<br />
85,40 % konsumen jamu adalah konsumen loyal.<br />
Disebutkan hanya 12,36 % bisa dibujuk untuk pindah<br />
54
Pengaruh Pelaksanaan Bauran Pemasaran terhadap Proses Keputusan Pembelian Konsumen pada Jamu di Banda Aceh<br />
Rusydi Abubakar<br />
ke merek lain, dan hanya 2,24 % yang berencana atau<br />
siap-siap pindah ke merek lain.<br />
Persaingan bisnis <strong>industri</strong> jamu yang<br />
semakin ketat, memaksa setiap perusahaan selalu<br />
berebut perhatian konsumen melalui pemenuhan<br />
kebutuhan dan keinginan pelanggan, dengan<br />
memperhatikan kecenderungan perubahan sosial,<br />
menganalisis kiat-kiat pesaing dan mengamati<br />
perubahan teknologi,ekonomi,politik dan sosial.<br />
Jika ada pelanggan yang menghentikan<br />
pembeliannya atau pindah ke produk lain, perlu<br />
disikapi sebagai suatu perubahan perilaku konsumen.<br />
Perubahan perilaku konsumen semacam ini harus<br />
dilihat sebagai kenyataan yang buruk.<br />
Identifikasi Masalah<br />
Sejauhmana pengaruh pelaksanaan bauran pemasaran<br />
oleh <strong>industri</strong> jamu terhadap proses pengambilan<br />
keputusan pembelian konsumen produk jamu di<br />
Banda Aceh. Dan bauran pemasaran yang mana<br />
pengaruhnya paling besar terhadap pengambilan<br />
keputusan pembelian konsumen pada <strong>industri</strong> jamu.<br />
Hipotesis<br />
Sedangkan sub hipotesis dalam penelitian<br />
ini adalah :<br />
1. Produk berpengaruh terhadap proses<br />
keputusan pembelian konsumen pada<br />
<strong>industri</strong> jamu di Banda Aceh.<br />
2. Harga berpangaruh terhadap proses<br />
keputusan pembelian konsumen pada jamu<br />
<strong>industri</strong> di Banda Aceh<br />
3. Promosi berpengaruh terhadap proses<br />
keputusan pembelian konsumen pada<br />
<strong>industri</strong> jamu di Banda Aceh.<br />
4. tempat berpengaruh terhadap proses<br />
keputusan pembelian pada <strong>industri</strong> jamu di<br />
Banda Aceh<br />
Tinjauan Pustaka<br />
Kotler (2000:4), pemasaran pada umumnya<br />
di pandang sebagai tugas untuk<br />
menciptakan,memperkenalkan, dan menyerahkan<br />
barang dan jasa,pengayaan pengalaman, peristiwa,<br />
orang, tempat,kepemilikan, organisasi, informasi dan<br />
gagasan.<br />
Etzel,et.al (1997:60) bauran pemasaran<br />
adalah kombinasi dari empat variabel atau kegiatan<br />
inti dari system pemasaran perusahaan, yaitu :<br />
produk,harga,tempat,dan promosi. Sedangkan<br />
menurut Mc Charthy dalam buku Kotler (2000:15)<br />
mengklasifikasikan alat-alat pemasaran ke dalam<br />
empat kelompok yang dikenal dengan P dari<br />
pemasaran, yaitu : product,price,place, and<br />
promotion.<br />
(Indriyo,1999 :111), hal ini digambarkan dalam<br />
Gambar 1.<br />
Sumber : Gito Sudarmo, Indriyo. 1999. Manajemen Pemasaran BPFE. Yogyakarta. (Hal.111).<br />
Etzel et al. (1997:193)<br />
55
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
‘’ Product I a set of tangiable and attributes, which<br />
may include packing,colour, price,quality,and brand,<br />
plus the seller service and reputation. A product may<br />
be a good, service,place, person,or idea’’.<br />
Baruan produk menurut Kotler (2000 : 398),<br />
pruduct mix is the set of all products and items that a<br />
particular seller offers for sale. Jadi baruan produk<br />
adalah sekumpulan dari semua produk dan item<br />
produk seperti macam produk, kulaitas produk,<br />
rancangan produk, ciri-ciri produk, merek produk,<br />
kemasan produk, ukuran produk, pelayanan, jaminan<br />
dan pengembalian serta atribut lainnya yang secara<br />
khusus para penjual menawarkan untuk dijual kepada<br />
para pembeli penilaian pelanggan terhadap produk<br />
<strong>industri</strong> jamu. Dapat dilihat dari sisi kemasan,dalam<br />
hal ini menurut Arnold (1996:224) kenyataan bahwa<br />
nilai-nilai inti dari merek cukup konsisten untuk<br />
memungkinkan desain kemasan adalah sesuatu yang<br />
penting Menurut Stanton (1996:269) menyatakan<br />
bahwa merek membedakan produk atau jasa sebuah<br />
perusahaan dari produk saingannya. Dalam kaitannya<br />
dengan produk <strong>industri</strong> jamu, perusahaan<br />
memproduksi selera dan kondisi ekonomi (daya beli)<br />
masyarakat, walupun produk <strong>industri</strong> jamu<br />
bentuknya kecil, tetapi mutunya baik dan manjur.<br />
Harga sering menjadi factor penentu dalam<br />
pembelian,disamping tidak menutupi kemungkinan<br />
factor-faktor lain.<br />
Dengan demikian harga menjadi lebih<br />
penting bagi konsumen sebagai tanda dari apa yang<br />
diharapkan. Menurut Macrae (1996: 131), pembeli<br />
baik yang baru maupun yang lama menggunakan<br />
harga sebagai suatu seleksi terhadap citra kualitas<br />
suatu merek. Berdasarkan kualitas dan harga menurut<br />
Kotler (2000:520) menunjukkan sembilan<br />
kemungkinan strategi harga – kualitas seperti<br />
disajikan seperti pada Gambar 2.<br />
Harga<br />
Tinggi Sedang Rendah<br />
1.Strategi premium 2. Strategi nilai-tinggi 3. Strategi nilai super<br />
4. Strategi penetapan harga 5. Strategi nilai menengah 6. Strategi nilai baik<br />
terlalu tinggi<br />
7. Strategi peneuri 8. Strategi yang sesungguhnya<br />
tidak menghemat<br />
9. Strategi penghematan<br />
Sumber : Kotler,2000, Manajemen Pemasaran. Edisi Millenium. Prenhallindo. Jakarta (hal. 520).<br />
Dalam pengertian umum bauran pemasaran<br />
menurut Kotler (2000:490) tempat adalah sebagai<br />
berikut :<br />
Faktor tempat atau place berarti marketing<br />
channel (distribution channel) are sets of<br />
interdependent organization involved in the process<br />
of making a products or service available for use or<br />
consumption.<br />
Sedangkan menurut Etzel,et al (1997:43)<br />
adalah sebagai berikut :<br />
‘’ Distribution channel consists of the set<br />
of people firms involved in the transfer of title to a<br />
product as the product moves from producer to<br />
ultimate consumer or business user’’.<br />
Untuk mengantisipasi kesenjangan<br />
diantara produsen dan konsumen, maka Keegan<br />
(1996:128) menawarkan alternatif struktur aliran<br />
saluran distribusi produk sebagai berikut : pemilik<br />
pabrik produk konsumen dapat menjual langsung<br />
kepada pelanggan (menggunakan katalog atau<br />
materi cetakan yang lain), lewat toko sendiri<br />
ataupun dengan alternatif strukur yang lain untuk<br />
produk konsumen<br />
Menurut Sutisna (2000:39). Iklan untuk<br />
produk yang dibeli berdasarkan kebiasaan<br />
seharusnya ditampilkan sesering mungkin untuk<br />
mengingatkan konsumen. Sedangkan Supranto<br />
(2000:44) menyatakan bahwa seorang pelanggan<br />
yang loyal akan membicarakan hal-hal yang bagus<br />
tentang produk atau perusahaan yang Selanjutnya<br />
Arnol (1996:177) menyatakan :<br />
‘’Promosi yang pada akhirnya akan menghasilkan<br />
bahwa konsumen naiknya tingkat penjualan. Hal ini<br />
didasarkan pada anggapan bahwa konsumen yang<br />
membeli berdasarkan kebiasan, biasanya tidak<br />
begitu mengingat apa-apa yang akan dibelinya.<br />
Keinginan untuk membeli produk sering muncul<br />
ketika konsumen diingatkan melalui iklan dengan<br />
cara melihat produk itu di toko’’.<br />
Berdasarkan beberapa pendapat pada<br />
pakar di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa<br />
promosi adalah suatu usaha yang dilakukan oleh<br />
perusahaan guna memberikan informasi dan<br />
promosi adalah suatu usaha yang dilakukan oleh<br />
perusahaan guna memberikan informasi dan untuk<br />
memperkenalkan produk kepada konsumen melalui<br />
beberapa media sesering mungkin untuk<br />
membangun kedekatan produk <strong>industri</strong> jamu<br />
dengan para pedagang dan konsumen dengan<br />
harapan agar tertarik untuk membeli produk yang<br />
ditawarkan.<br />
Perilaku konsumen menurut Louden dan<br />
Delta dalam Marius P. Angipora (1999:94), adalah<br />
proses pengambilan keputusan dan kegiatan fisik<br />
individu dalan upaya memperoleh dan<br />
menggunakan barang dan jasa (evaluasi,<br />
memperoleh, menggunakan barang atau jasa).<br />
Dilihat dari derajat keterlibatan konsumen<br />
menurut Kotler (2000 : 177),maka terdapat tipe<br />
atau sudut pandang pengambilan keputusen<br />
keterlibatan tinggi (high involvement) dan<br />
keterlibatan rendah(Low Involvement).<br />
56
Pengaruh Pelaksanaan Bauran Pemasaran terhadap Proses Keputusan Pembelian Konsumen pada Jamu di Banda Aceh<br />
Rusydi Abubakar<br />
Gambar 3. Empat Tipe Perilaku Konsumen.<br />
High Involvement<br />
Low Involvement<br />
Significant Differences between Complex Buying Behavior Variety-seeking Buying Behavior<br />
Bands<br />
Faw Differences between Bands Dissonace-reducing Buying Habitual Buying Behavior.<br />
Behavior<br />
Sumber : Kotler,2000.Manajemen Pemasaran. Edisi Millenium. Prenhallindo. Jakarta. (hal.177).<br />
Metedologi<br />
Penelitian ini menganalisa pengaruh bauran<br />
pemasaran <strong>industri</strong> jamu terhadap proses keputusan<br />
pembeli konsumen. Objek penelitian untuk variable<br />
bebas/independent variable adalah bauran pemasaran<br />
dengan sub variable yaitu : produk,harga.promosi<br />
dan tempat.<br />
Objek penelitian lainnya sebagai variabel<br />
terikat/Dependent Variabel adalah keputusan<br />
pembelian konsumen. Yang dijadikan respon adalah<br />
pengguna produk jamu. Untuk menganalisa objek<br />
penelitian ini dipergunakan pendekatan deskriptif dan<br />
variatif, melalui analisis jalur (Path Analysis).<br />
Manajemen penelitian ini merupakan<br />
pendekatan Ilmu Ekonomi Terutama dari ilmu uang<br />
memfokuskan pada bidang Manajemen Pemasaran<br />
secara khusus pada aspek bauran pemasaran dan<br />
pengaruhnya terhadap proses keputusan pembelian<br />
konsumen pada <strong>industri</strong> jamu di Banda Aceh.<br />
Variabel-varibel dalam penelitian pengaruh<br />
pelaksanaan bauran pemasaran terhadap proses<br />
keputusan-keputusan pembelian konsumen pada<br />
indutri jamu Di Banda Aceh terdiri dari :<br />
1. Variabel bebas/independent variabel (Variabel<br />
X) adalah bauran pemasaran. Sub variable :<br />
produk (X1),harga (X2), promosi(X3) dan<br />
tempat (X4).<br />
2. Produk terikat/Dependent variabel (variabel Y)<br />
adalah proses keputusan pembelian konsumen.<br />
Unit observasi pada penelitian ini adalah <strong>industri</strong><br />
jamu Kota Banda Aceh untuk mendapatkan data<br />
sekunder,konsumen produk jamu yang ada di<br />
Banda Aceh untuk mendapatkan data primer<br />
sebagai unit analisis dalam penelitian ini.<br />
1. Dalam penelitian ini ukuran sample untuk<br />
konsumen (responden) ditentukan<br />
berdasarkan bentuk pengujian statistik yang<br />
akan digunakan untuk menguji hipotesis.<br />
Hipotesis akan diuji dengan menggunakan<br />
Analisis Jalur (Path Analysis). Dengan<br />
demikian ukuran sample minimal untuk<br />
analisis jalur ini, dapat ditentukan melalui<br />
rumus ukuran sample minimal untuk ukuran<br />
korelasi koefisien yang dilakukan secara<br />
iteratif (perhitungan berulang-ulang)<br />
Menentukan ukuran sample secara iteratif<br />
dengan langkah sebagai berikut :<br />
a. Pada iterasi pertama dipergunakan rumus<br />
sebagai berikut :<br />
2. Apabila ukuran sample minimal pada iterasi<br />
pertama dan iterasi kedua harganya sampai<br />
dengan bilangan yang satuannya sama,<br />
maka iterasi berhenti. Apabila belum sama,<br />
lakukan iterasi ketiga dengan menggunakan<br />
rumus 4b, demikian seterusnya sampai<br />
ukuran sample yang akan ditentukan sudah<br />
sama baru berhenti.<br />
3. Berdasarkan keterangan di atas dalam<br />
penelitian ini diambil :<br />
57
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Pada iterasi pertama ini diperoleh sample<br />
sebanyak 75 orang responden yang ditetapkan secara<br />
random.<br />
Iterasi kedua :<br />
Jumlah sample pada iterasi kedua dapat<br />
dihitung dengan rumus diatas sebagai berikut :<br />
frekuensi dan proporsi. Sedangkan mengetahui<br />
tingkat masing-masing item dari variabel maupun<br />
antar variabel penelitian digunakan <strong>teknik</strong><br />
perbandingan skor total responden terhadap skor<br />
maksimumnya.<br />
Untuk dapat mencapai tujuan yaitu<br />
mengetahui pengaruh langsung maupun tidak<br />
langsung dari masing-masing variabel bauran<br />
pemasaran terhadap keputusan pembelian konsumen<br />
dan menguji hipotesis penelitian, maka <strong>teknik</strong> analisi<br />
data digunakan adalah analisis jalur (Path Analysis).<br />
Menurut Harun Al-Rasyid (2001:7), langkah kerja<br />
pengujian hipotesis adalah sebagai berikut: Gambar 4<br />
Berdasarkan perhitungan iterasi kedua<br />
diperoleh sample sebanyak 75 orang responden yang<br />
hampir sama dengan hasil iterasi I. Selanjutnya untuk<br />
menentukan banyaknya sample pada masing-masing<br />
kecamatan di hitung dengan metode alokasi<br />
proporsional menurut (Moh. Nazir,1999:361)<br />
sebagai berikut :<br />
Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan<br />
bauran pemasaran yang diterapkan oleh <strong>industri</strong><br />
jamu, dari hasil angket setiap item pertanyaan dicari<br />
besarnya persentase dengan menggunakan rumus :<br />
Analisis dan Pembahasan<br />
Pada penelitian ini dilakukan penyebaran kuisioner<br />
terhadap 225 orang responden yang berada di Kota<br />
Banda Aceh, khususnya yang berada di Kecamatan<br />
Baiturrahman, Kuta Alam, dan Kecamatan Syiah<br />
Kuala. Karekteristik responden disajikan pada<br />
Tabel.1<br />
Tabel 1. Karekteristik responden Pengguna Produk<br />
Jamu Saat ini<br />
No Uraian Frekuensi Persentase<br />
(%)<br />
1 Ya 212 94,22<br />
2 Tidak 13 5,78<br />
Jumlah 225 100,0<br />
Sebagian besar konsumen <strong>industri</strong> jamu<br />
mengkonsumsi jenis jamu kesehatan, yaitu sebanyak<br />
51,11 persen atau 115 orang. Hal ini menunjukkan<br />
bahwa sebagian besar konsumen mengkonsumsi<br />
jamu hanya untuk menjaga atau memulihkan<br />
kesehatannya saja, bukan digunakan sebagai obat<br />
untuk menyembuhkan penyakit. Perincian mengenai<br />
jenis produk jamu yang dikonsumsi <strong>industri</strong> jamu<br />
disajikan pada table 2.<br />
Rumus di atas digunakan untuk<br />
menganalisis deskriptif dimana respon jawaban<br />
responden pada setiap item digunakan perhitungan<br />
58
Pengaruh Pelaksanaan Bauran Pemasaran terhadap Proses Keputusan Pembelian Konsumen pada Jamu di Banda Aceh<br />
Rusydi Abubakar<br />
Tabel 2 Jenis Produk jamu yang Dikonsumsi<br />
No Jenis jamu Frekuensi Persentase<br />
(%)<br />
1 Jamu Kuat 48 21,33<br />
2 Jamu 115 51,11<br />
kesehatan<br />
3 Jamu 62 27,56<br />
Kecantikan<br />
Jumlah 225 100,00<br />
Alasan konsumen dominan mengkonsumsi<br />
produk jamu adalah karena mutunya. Hal ini<br />
menunjukkan konsumen memulai pembelian terlebih<br />
dahulu sehingga menentukan manfaat produk jamu.<br />
Kemudian alasan kemudahan mendapatkan penjualan<br />
untuk membeli karena hal ini berhubungan dengan<br />
tersedia dan mudah tidaknya produk jamu ada dekat<br />
dengan tempat tinggal konsumen. Karena alasan<br />
harga berhubungan dengan daya beli konsumen<br />
terhadap jenis produk <strong>industri</strong> jamu.<br />
Alasan konsumn di atas, menunjukkan konsumen<br />
produk jamu melakukan proses keputusan pembelian<br />
karena mutu atau kualitas dn kemudahan<br />
mendapatkan tempat penjualannya.<br />
Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini<br />
adalah sebagai berikut :<br />
Pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan<br />
analisa jalur (path analysis). Pengaruh pelaksanaan<br />
bauran pemasaran (X) terdiri dari produk (X1),harga<br />
(X2), promosi (X3), dan tempat (X4) di mana semua<br />
variabel tersebut adalah variabel bebas<br />
(independent). Sedangkan variabel terikat<br />
(dependent) dalam penelitian ini pengambilan<br />
keputusan pembelian konsumen (Y), disamping itu<br />
terdapat variabel residual yang diberi lambang (ε).<br />
Nilai koefisien jalur dari persamaan<br />
struktural tersebut, perlu dilakukan pengujian<br />
signifikannya, untuk mengetahui kebermaknaan<br />
variabel bebas Xi mempengaruhi variabel tidak bebas<br />
(Y), melalui dua langkah pengujian koefisien jalur,<br />
yaitu langkah pertama pengujian hipotesis secara<br />
simultan, sedangkan langkah kedua dilakukan<br />
pengujian hipotesi secara parsial.<br />
Pengujian secara simultan berfungsi menilai<br />
kebermaknaan seluruh koefisien jalur variabel bebas<br />
terhadap koefisien jalur variabel tidak bebas, dan<br />
pengujian secara parsial, menilai kebermaknaan<br />
masing-masing koefisien jalur dari variable bebas<br />
terhadap koefisien jalur dari variabel tidak bebas.<br />
Secara statistik, dalam pengujian hipotesis secara<br />
simultan digunakan uji F (Bahren-Fisher), sedangkan<br />
secara parsial dilakukan uji t-student.<br />
Hasil analisis pengujian secara simultan<br />
menunjukkan bahwa variable bebas mempengaruhi<br />
variable tidak bebas, artinya bahwa variable produk<br />
jamu (X1), harga jamu (X2), promosi jamu (X3),dan<br />
tempat penjualan jamu (X4) berpengaruh terhadap<br />
proses keputusan pembelian konsumen. Secara<br />
matematis, hasil pengujian tersebut dirumuskan<br />
dalam persamaan :<br />
Y=0,452748 X1 + 0,332349 X2 + 0,529537<br />
X3 + 0,50156 X4<br />
Hubungan matematis ini menunjukkan nilai Fhit<br />
sebesar 158,8573796, sedangkan nilai F0,05 adalah<br />
sebesar 2,407, sehingga Fhit > F0,05, berarti Ho<br />
ditolak (signifikan).<br />
Besarnya pengaruh variable bebas terhadap<br />
variable tidak bebas dapat dilihat melalui nilai<br />
koefisien determinasi (R2). Nilai koefisien<br />
determinasi (R2) yang diperoleh adalah sebesar<br />
0,7428, yang berarti bahwa variasi keputusan<br />
pembelian konsumen pada <strong>industri</strong> jamu dipengaruhi<br />
oleh produk jamu (X1), harga(X2), promosi jamu<br />
(X3) dan tempat penjualan jamu (X4) sebesar 74,28<br />
persen. Sedangkan sisanya sebesar 25,72 persen<br />
ditentukan oleh variable lainnya. Dengan kata lain,<br />
sebenarnya keputusan pembelian konsumen pada<br />
<strong>industri</strong> jamu tidak hanya ditentukan oleh variabelvariabel<br />
tersebut,tetapi ditentukan juga oleh faktorfaktor<br />
lainnya.<br />
Secara statistik,hasil analisis dan pengujian<br />
hipotesis secara simultan menunjukkan hasil yang<br />
signifikan, untuk itu perlu dilakukan pengujian<br />
hipotesis secara parsial melalui uji t-student. Untuk<br />
mengetahui pengaruh masing-masing variable bebas<br />
(Xi) terhadap variable tidak bebas (Y) disajikan pada<br />
Table 3.<br />
Tabel 3. Hasil Analisis pada Koefisien Jalur X1,X2,X3, dan X4 terhadap Y Secara Parsial.<br />
Pengaruh<br />
Nilai Koefisien Jalur t-hitung t0,25 Keputusan Kesimpulan<br />
X1,X2,X3,X4<br />
terhadap Y<br />
Pengaruh<br />
0,452748188 13,103 1,960 Ho ditolak Signifikan<br />
X1 Terhadap Y<br />
Pengaruh X2 0,332348555 9,7251 1,960 Ho ditolak Signifikan<br />
Terhadap Y<br />
Pengaruh X3 0,529537138 15,313 1,960 Ho ditolak Signifikan<br />
Terhadap Y<br />
Pengaruh X4 0,050155609 1,459 1,960 Ho diterima Non Signifikan<br />
Terhadap Y<br />
Pengaruh εI<br />
Terhadap Y<br />
0,507130<br />
Sumber : Hasil Analisis<br />
59
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Tabel 4. Persentase Pengaruh Variabel X1,X2,X3 dan X4 terhadap Y<br />
Variabel Independen Pengaruh Pengaruh Tidak Langsung<br />
Total<br />
Langsung (%) X1 X2 X3 X4 Sub<br />
Total<br />
X1 16,93 - -1,51 4,39 0,17 3,05 19.98<br />
X2 9,12 -1,51 - 0,67 0,24 -0,59 8,53<br />
X3 23,16 4,39 0,67 - 0,38 5,44 28,60<br />
X4 0,21 0,17 0,24 0,38 - 0,79 1,00<br />
Pengaruh X1,X2,X3 dan X4 secara simultan terhadap Y 58,11<br />
Pengaruh Variabel lain (ε) terhadap Y 41,89<br />
Total 100,00<br />
Untuk menguji kebermaknaan setiap koefisien jalur<br />
agar digunakan atau tidaknya trimming theory dapat<br />
dilihat dari nilai thitung pada Tabel 4 di atas. Dari<br />
Tabel 4 diketahui bahwa produk jamu<br />
(X1),harga(X2),promosi jamu (X3) secara statistik<br />
berpengaruh nyata terhadap keputusan pembelian<br />
konsumen, sedangkan tempat penjualan jamu (X4)<br />
secara statistik berpengaruh tidak nyata terhadap<br />
keputusan pembelian konsumen. Tidak berpengaruh<br />
disini bukan berarti tidak ada pengaruhnya sama<br />
sekali terhadap keputusan pembelian konsumen, akan<br />
tetapi pengaruhnya sangat kecil sekali didalam<br />
sample sehingga secara statistik di dalam populasi<br />
tidak teruji.<br />
X4 secara statistik berpengaruh tidak nyata terhadap<br />
proses keputusan pembelian konsumen disebabkan<br />
antara lain :<br />
1. Secara umum, perusahaan jamu sudah<br />
berada ditempat konsumen,sehingga<br />
menyebabkan tempat kurang berpengaruh<br />
terhadap proses pengambilan keputusan<br />
pembelian konsumen.<br />
2. Selain pabrik yang sudah berada lingkungan<br />
konsumen, selain itu pedagang perantara<br />
juga banyak menjual produk jamu disekitar<br />
lingkungan konsumen.<br />
Berdasarkan paradigma diatas, maka dapat<br />
diketahui besarnya pengaruh variable (X1)<br />
secara parsial terhadap proses keputusan<br />
pembelian konsumen (Y) dengan trimming<br />
theory. Untuk lebih jelasnya tentang pengaruh<br />
masing-masing variable Xi terhadap Y baik<br />
pengaruh langsung, tidak langsung maupun<br />
pengaruh total dapat dilihat pada table.4<br />
Pengaruh langsung setiap variable X terhadap Y<br />
ditentukan oleh koefisien jalurnya masing-masing<br />
yaitu Pyx1,Pyx2,Pyx3,Pyx4 sedangkan pengaruh Xi<br />
melalui rxixj oleh Pyxi,Pyxj.<br />
Kesimpulan<br />
Berdasarkan hasil penelitian dan<br />
pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka dapat<br />
ditarik beberapa kesimpualan sebagai berikut :<br />
1. Dari pengujian statistik ternyata pengaruh<br />
pelaksanaan bauran pemasaran produk <strong>industri</strong><br />
jamu di Banda Aceh secara simultan<br />
berpengaruh positif (58,11%) hal ini<br />
dicerminkan dari tanggapan/pertimbangan<br />
konsumen atas masing-masing indikator bauran<br />
pemasaran yang meliputi produk, harga, promosi<br />
dan distribusi atau tempat <strong>industri</strong> jamu di Banda<br />
Aceh. Dan jika dianalisis secara parsial produk<br />
berpengaruh positif,harga berpengaruh<br />
positif,promosi berpengaruh positif dan<br />
distribusi atau tempat berpengaruh negatif<br />
terhadap keputusan pembelian konsumen. Dan<br />
juga yang tidak bisa diabaikan oleh <strong>industri</strong> jamu<br />
di Banda Aceh yaitu faktor lain yang<br />
mempengaruhi keputusan pembelian konsumen<br />
yaitu sebesar (41,89%)<br />
2. Pengaruh bauran pemasaran terhadap proses<br />
keputusan pembelian konsumen yang paling<br />
dominan dari unsur bauran yang terdiri dari :<br />
A. Bauran produk yang dilaksanakan oleh<br />
<strong>industri</strong> jamu mempunyai pengaruh secara<br />
signifikan terhadap keputusan pembelian<br />
konsumen pada <strong>industri</strong> jamu di Banda Aceh<br />
(19,98%)<br />
B. Bauran harga yang dilaksanakan oleh <strong>industri</strong><br />
jamu mempunyai pengaruh secara signifikan<br />
terhadap keputusan pembelian konsumen pada<br />
<strong>industri</strong> jamu di Banda Aceh (8,53%).<br />
C. Bauran promosi yang dilaksanakan oleh<br />
<strong>industri</strong> jamu mempunyai pengaruh secara<br />
signifikan terhadap proses keputusan pembelian<br />
konsumen pada <strong>industri</strong> jamu di Banda Aceh<br />
(28,60%)<br />
D. Ditribusi atau tempat yang dilaksanakan oleh<br />
<strong>industri</strong> jamu tidak mempunyai pengaruh non<br />
signifikan terhadap proses keputusan pembelian<br />
konsumen pada <strong>industri</strong> jamu di Banda Aceh<br />
(1,00%)<br />
60
Pengaruh Pelaksanaan Bauran Pemasaran terhadap Proses Keputusan Pembelian Konsumen pada Jamu di Banda Aceh<br />
Rusydi Abubakar<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Arnold, David. 1996. Pedoman Manajemen Merek<br />
(Terjemahan). PT. Ketindo Soho. Surabaya.<br />
Basu Swastha. 1997. Manajemen Pemasaran<br />
Modern. Edisi ke-2, Liberty. Yogyakarta.<br />
. 1999. Manajemen Penjualan. BPFE,<br />
Yogyakarta<br />
Balai Besar POM Banda Aceh, 2002. Daftar Nama-<br />
Nama Industri Jamu di Propinsi Nangroe<br />
Aceh Darussalam. Banda Aceh<br />
Boyd, Walker dan Larreche. 2000. Manajemen<br />
Pemasaran Suatu Pendekatatan Strategis<br />
dengan Orientasi Global. Penerbit<br />
Erlangga. Jakarta.<br />
Brannan, Tom. 1998. Pedoman Praktis untuk<br />
Komunikasi Pemasaran Terpadu<br />
(Terjemahan). Gramedia Pustaka Utama.<br />
Jakarta.<br />
Buchari Alma. 1998. Manajemen Pemasaran dan<br />
Pemasaran Jasa. Edisi ke-2. Penerbit<br />
Alpabeta. Bandung.<br />
C.M. Lingga Purnama. 2001. Strategic Marketing<br />
Plan, Panduan Lengkap dan Praktis<br />
Menyusun Rencana Pemasaran yang<br />
Strategis dan Efektif. Penerbit PT. Gramedia<br />
Pustaka Utama. Jakarta<br />
Cravens, David W. 1999. Pemasaran Strategis. Edisi<br />
ke-4. Alih Bahasa :Lina Salim. Penerbit<br />
Erlangga. Jakarta.<br />
Dyah Hasto Palupi. 2002. Membedah Jurus<br />
Pemasaran Jamu Tradisional. Tabloid<br />
Marketing No. 11/II/4 Edisi 17 Juli 2002.<br />
Engel, James F, Roger D. Blackwell, Paul W.<br />
Miniard. 1994. Consumer Behavior. 6 th<br />
edition. The Dryden Press. Chicago<br />
Etzel, Michael J, Walker, J. Bruce William J.<br />
Stanton. 1997. Marketing, Eleven Edition<br />
McGraw-Hill Companies, Inc, North<br />
America.<br />
Fandy Tjiptono. 2000. Strategi Pemasaran. Penerbit<br />
Andi Offset. Yogyakarta.<br />
Gerson, F, Richard. 1994. Marketing Strategis For<br />
Small Businesse. Crisp Publications<br />
Gonsalves, Karen P. 1998. Service Marketing, A<br />
Strategic Approach. Prentice-Hall. Upper<br />
Sanddle River. New Jersey.<br />
Hanibal Prajogo. 1998. Analisis Kepuasan Anggota<br />
Perorangan Tahun 1997 Atas Pelaksanaan<br />
Atribut-atribut Bauran Pemasaran Eldorado<br />
Executive Club Bandung, <strong>Universitas</strong><br />
Parahyangan. Bandung.<br />
Harun Al-Rasjid. 1994. Analisis Jalur (Path<br />
Analysis) Sebagai Sarana Statistika Dalam<br />
Analisa Kausal. Laboratorium Pengabdian<br />
Pada Masyarakat dan Pengkajian Ekonomi<br />
(LP3ES), Fakultas Ekonomi <strong>Universitas</strong><br />
Padjajaran. Bandung.<br />
Heny Hendrayati. 2002. Pengaruh Bauran Pemasaran<br />
Jasa Terhadap Pengambilan Keputusan<br />
Konsumen untuk Berlangganan Harian<br />
Umum Pikiran Rakyat di Wilayah Kota<br />
Bandung. (Tesis). <strong>Universitas</strong> Padjajaran.<br />
Bandung.<br />
Hitt. Michael A, R. Duane Ireland, Robert E.<br />
Hoskinson. 1997. Manajeman Strategis<br />
Menyongsong Era Persaingan dan<br />
Globalisasi. Alih Bahasa : Armand<br />
Hediyanto. Penerbit Erlangga. Jakarta<br />
Indriyo Gitosudarmo. 1999. Manajemen Pemasaran.<br />
BPFE. Jakarta<br />
Keegan, J. Waren. 1996. Manajemen Pemasaran<br />
Global (Terjemahan). PT. Prenhallindo.<br />
Jakarta.<br />
Kotler, Philip. 2000. Marketing Management. The<br />
Millenium Edition. Prentice Hall<br />
International Inc. USA.<br />
. 2000. Manajemen Pemasaran<br />
Edisi Milenium (Terjemahan). PT.<br />
Prenhallindo. Jakarta.<br />
Gary Amstrong 2001, Prinsip-<br />
Prinsip Pemasaran. Jilid 1 Edisi ke-8. Alih<br />
Bahasa. Damos Sihombing. Penerbit<br />
Erlangga. Jakarta.<br />
1998. Dasar-Dasar Pemasaran.<br />
Edisi ke-2. Alih Bahasa : Alexander<br />
Sindoro.Prenhallindo. Jakarta.<br />
Marius P. Angipora. 1999. Dasar-Dasar Pemasaran.<br />
PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.<br />
Macrae, Chris. 1996. The Brand Chatering<br />
Handbook. Addision Mesly Longman<br />
Limited and The Economist Intelligence<br />
Unit.<br />
Mueller, Daniel J. 1986. Measuring Social Attitudes :<br />
A Handbook for Research & Practioners.<br />
Teacher College Press.<br />
Moh. Nazir. 1999. Metode Penelitian. Ghalia<br />
Indonesia. Jakarta.<br />
Peter. Paul J. dan Jerry C. Olson. 2000. Perilaku<br />
Konsumen dan Strategi Pemasaran.<br />
Erlangga. Jakarta<br />
Porter. Michael E. 1997. Strategi Bersaing Teknik<br />
Menganalisis Industri dan Pesaing. Alih<br />
Bahasa : Agus Maulana. Penerbit Erlangga.<br />
Jakarta<br />
Ruslan Rosady. 1995. Aspek-Aspek Hukum dan<br />
Etika dalam Aktivitas Kehumasan. Ghalia<br />
Indonesia. Jakarta<br />
Schiffman, Leon G ; Leslie Lazar Kanuk. 2000.<br />
Consumen Behavior. Seven Edition,<br />
Prentice Hall International, Inc. Upper<br />
Saddle River. New Jersey<br />
Stanton, William J. 1996. Prinsip Pemasaran. Edisi<br />
ke -7. Diterjemahkan Oleh : Yohanes<br />
Lamarto. Penerbit Erlangga. Jakarta.<br />
Sucherly. 1996. Strategi Pemasaran dalam Industri<br />
Kayu Gergajian dan Pengaruhnya Terhadap<br />
Penjualan (Disertasi). <strong>Universitas</strong><br />
Padjajaran. Bandung.<br />
Sudjana. 1992. Metode Statistik. Edisi ke-4. Tarsito.<br />
Bandung<br />
61
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Sugiyono. 2000. Metode Penelitian Administrasi.<br />
Alpabeta. Bandung.<br />
Sukirno, Sadono. 2000. Pengantar Teori<br />
Mikroekonomi. PT. Raja Grafindo Persada.<br />
Jakarta.<br />
Surachman Sumawihardja, Suwandi Suparlan,<br />
Sucherly. 1991. Intisari Manajeman<br />
Pemasaran. Remaja Rosdakarya. Bandung.<br />
Supranto. J. 2002. Upaya Memuaskan Pelanggan<br />
Agar Menjadi Loyal. Jurnal Ekonomi dan<br />
Bisnis Fakultas Ekonomi <strong>Universitas</strong><br />
Katolik Indonesia Atma Jaya. Jakarta.<br />
Suryana. 2001. Kewirausahaan. Penerbit Salemba<br />
Empat. Jakarta.<br />
Sutisna. 2001. Perilaku Konsumen dan Komunikasi<br />
Pemasaran. PT. Remaja Rosda Karya.<br />
Bandung.<br />
Umar Husein. 2000. Riset Pemasaran dan Perilaku<br />
Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama.<br />
Jakarta.<br />
,1999 Metodologi Penelitian<br />
Aplikasi dalam Pemasaran. Edisi ke-2.<br />
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.<br />
Zeitham Valerie A. Bitner, Mary Jo. 1996, Service<br />
Marketing<br />
Rusydi Abubakar, adalah dosen pada Fakultas<br />
Ekonomi <strong>Universitas</strong> Malikussaleh di<br />
Lhokseumawe, Memperoleh gelar S1 di<br />
Fakultas Ekonomi <strong>Universitas</strong> Malikussaleh<br />
dan memperoleh Magister S2 (M.Si) di bidang<br />
Pemasaran pada <strong>Universitas</strong> Padjajaran<br />
Bandung.<br />
62
Pendeteksian Outlier pada Data Inflasi Aceh<br />
Ratna<br />
PENDETEKSIAN OUTLIER PADA DATA INFLASI ACEH<br />
Ratna<br />
Jurusan Bisnis Fakultas Eonomi <strong>Universitas</strong> Malikussaleh<br />
Abstrak: Pada Penelitian di bidang ekonomi dan keuangan seringkali model ARIMA yang standar tidak dapat<br />
memberikan solusi dari permasalahan yang ada Gouriroux (1997), hal ini terutama berkaitan dengan tidak<br />
terpenuhinya asumsi dasar berdistribusi, seperti berdistribusi normal dan model white noise, data inflasi Aceh<br />
residual dari model intervensi belum berdistribusi normal, mungkin disebabkan pada data tersebut ada outlier.<br />
Untuk mendeteksi outlier dilakukan dengan prosedur literative yaitu dengaN menghitung λ1.t dan λ2.t dan<br />
dipilih λT yang maksimum. Bila λ1.t > λ2.t dinamakan Additive Outlier (AO) dan bila λ1.t < λ2.t Innovational<br />
Oulier (IO). Dalam permodelan data infalsi Aceh untuk melakukan pendeteksian outlier dilakukan dengan<br />
menguji residual dari model intervensi. Setelah dilakukan pengujian ternyata asumsi dasar berdistribusi normal<br />
tidak terpenuhi, karena pada observasi keke 118 (Oktober 1998) terdapat outlier. Setelah dilakukan perhitungan<br />
dengan prosedur literative diperoleh λ1.t > λ2.t dan λT = -4,57683 > C maka ada indikasi Additive Outlier<br />
(AO).<br />
Key words: Pendeteksian Oulier<br />
1. Pendahuluan<br />
Pada penelitian di bidang ekonomi dan<br />
keuangan seringkali model ARMA yang standar<br />
tidak dapat memberikan solusi dari permasalahan<br />
yang ada Gourieroux (1997). Hal ini terutama<br />
berkaitan dengan tidak terpenuhinya asumsi dasar,<br />
seperti stasioner, residual berdistribusi normal dan<br />
model white noise. Pemodelan yang pernah<br />
dilakukan salah satunya adalah indeks harga<br />
konsumen nasional dengan analisis intervensi<br />
Bustaman (2000), indeks harga konsumen umum<br />
dan subkelompok padi-padian dengan analisis<br />
intervensi dan GARCH Rupingi (2001), dan<br />
Analisis Intervensi pada Kasus Data Inflasi Akibat<br />
Krisis Moneter Ratna (2004).<br />
Model-model tersebut asumsi dasar<br />
berdistribusi normal belum dapat dipenuhi, olwh<br />
karenanya mungkin terjadi outlier dalam data<br />
tersebut.Outlier akhir-akhir ini lebih banyak<br />
dipelajari dalam literatur statistik time series, dan<br />
ketertarikan ini juga berkembang dalam bidang<br />
ekonometrik. Pembahasan secara umum tentang<br />
outlier time series, melibatkan definisi dan<br />
kemungkinan efek yang merugikan tentang outlier<br />
time series, diikuti dengan pendeteksian outlier dan<br />
pemodelan outlier.<br />
Barnett dan Lewis (1994) melakukan<br />
penelitian tentang outlier dan mengembangkan<br />
outlier dengan metoda statistik, Bruce dan Martin<br />
(1989) menemukan cara pendeteksian outlier dan<br />
pemodelannya, Harvey dan Durbin (1986)<br />
membahas analisis intervensi yang menyangkut<br />
outlier. Oleh karena itu adanya outlier seringkali<br />
disebabkan adanya intervensi pada data.<br />
2. Metodologi Penelitian<br />
Ada beberapa tipe dan metode pendeteksian<br />
outlier yang berbeda. Jumlah outlier yang dideteksi<br />
bervariasi (baik satu ataupun lebih dari satu), dan ada<br />
perbedaan antara uji-uji untuk mengidentifikasi<br />
outlier dengan jumlah yang diketahui dan tidak<br />
diketahui. Ljung (1993) yang menyatakan bahwa<br />
analisis regresi merupakan pengembangan pertama<br />
dari pendeteksian outlier. Dalam literatur standar<br />
outlier (Tsay, 1986 dan 1988, Chen dan Liu 1993),<br />
suatu time series dimodelkan sebagai ARMA<br />
ditambah intervensi dan outlier.<br />
Ketika terdapat beberapa outlier, estimasi<br />
ω yang telah digambarkan sebelumnya pada periode<br />
ke-t, bisa jadi merupakan suatu estimasi yang unbias<br />
untuk pengaruh outlier pada waktu t, disebabkan oleh<br />
pengaruh dari outlier disebelahnya. Anggap suatu<br />
kasus khusus berikut dari dua buah additive outlier<br />
(AO) dalam model ARMA :<br />
* ( T ) ( T ) θ(<br />
B)<br />
1<br />
2<br />
Z<br />
t<br />
= ω1I<br />
t<br />
+ ω2I<br />
t<br />
+ at<br />
φ(<br />
B)<br />
dengan asumsi bahwa series yang ditetapkan oleh<br />
model ARMA yang sesuai dan ê t merupakan<br />
residual yang diestimasi, sehingga dapat<br />
didefinisikan :<br />
* ( T1 )<br />
( T2<br />
)<br />
e ˆ<br />
t<br />
=π(<br />
BZ )<br />
t<br />
=ωπ<br />
1<br />
( BI )<br />
t<br />
+ωπ<br />
2<br />
( BI )<br />
t<br />
+ at<br />
Jika T tidak diketahui, tetapi parameter time<br />
series diketahui, kita dapat menghitung<br />
λ dan<br />
1. t<br />
λ 2 . t , dimana t = 1, 2, …, n. Akan tetapi dalam<br />
praktek parameter time series sering kali tidak<br />
diketahui dan harus diestimasi. Hal ini berarti bahwa<br />
keberadaan outlier menyebabkan estimasi parameter<br />
2<br />
sangat bias, sehingga σ a akan menjadi<br />
overestimated. Chang dan Tiao (1983) mengusulkan<br />
prosedur pendeteksian iterative untuk mengatasi<br />
situasi jika jumlah AO atau IO tidak diketahui.<br />
Pendeteksian outlier dengan menggunakan prosedur<br />
iterative ada beberapa tahap antara lain:<br />
63
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Tahap I :<br />
Model series Z t diasumsikan bahwa tidak ada outlier. Menghitung residual dari model yang diestimasi<br />
sebagai berikut :<br />
n<br />
φˆ(<br />
B)<br />
2 1 2<br />
eˆ<br />
t<br />
= πˆ(<br />
B)<br />
Z<br />
t<br />
= Yt<br />
dan σˆ<br />
a<br />
= ∑eˆ<br />
t<br />
θˆ(<br />
B)<br />
n t=<br />
1<br />
Tahap II :<br />
Menghitung ˆλ<br />
1. t<br />
dan ˆλ<br />
2 . t<br />
untuk t = 1, 2, …,n dengan menggunakan model yang telah diestimasi<br />
λ ˆ = max max { λˆ<br />
i t<br />
}<br />
T t i<br />
.<br />
dimana T waktu maksimum diketahui. Jika λ ˆ<br />
t<br />
= λˆ<br />
1.<br />
T<br />
> C , C adalah yang sering terjadi pada nilai antara<br />
3 dan 4, kemudian AO pada waktu T dan pengaruh estimasi dengan ωˆ<br />
AT , adalah :<br />
~ ( T )<br />
Z ˆ<br />
t<br />
= Z<br />
t<br />
− ω<br />
AT<br />
I<br />
t<br />
Residual baru dapat dicari dengan cara :<br />
( )<br />
e ~ ˆ ˆ ˆ( )<br />
T<br />
t = et<br />
− ω AT π B It<br />
Jika λ ˆ t = λˆ<br />
2.<br />
T > C , maka ada IO pada waktu T dengan pengaruh ωˆ<br />
IT . Pengaruh IO ini dapat dihilangkan<br />
dengan memodifikasi persamaan<br />
~ θˆ(<br />
B)<br />
( T )<br />
Z<br />
ˆ<br />
t<br />
= Z<br />
t<br />
− ωIT<br />
I<br />
t<br />
φˆ(<br />
B)<br />
( )<br />
dan residual baru dapat dihitung dengan cara : e ~ ˆ ˆ<br />
T<br />
t = et<br />
− ωIT<br />
It<br />
Tahap III :<br />
Menghitung kembali ˆλ 1. t dan ˆλ 2 . t berdasarkan modifikasi residual dan ~ 2<br />
σ<br />
a<br />
, dan mengulang langkah 2 sampai<br />
seluruh outlier dapat diidentifikasi. Estimasi awal untuk π (B)<br />
tetap tidak berubah.<br />
Tahap IV :<br />
Setelah tahap 3 berakhir, dan k outlier untuk sementara telah dapat diidentifikasi pada waktu T 1 , T 2 , …, T k ,<br />
estimasi parameter outlier ω 1 , ω2<br />
,..., ωk<br />
. Parameter time series secara simultan dapat didefinisikan dengan<br />
menggunakan model :<br />
k<br />
*<br />
( T B<br />
Z v B I<br />
j ) θ(<br />
)<br />
t<br />
=∑ω<br />
j j(<br />
)<br />
t<br />
+ at<br />
j=<br />
1 φ(<br />
B)<br />
Tahap 2 sampai dengan tahap 4 diulang sampai semua outlier diidentifikasi dan efeknya secara simultan dapat<br />
diestimasi.<br />
3. Analisis dan Pembahasan<br />
Salah satu indikator ekonomi yang dipantau<br />
terus perkembangannya oleh pemerintah adalah<br />
angka inflasi. Angka ini dihitung berdasarkan rasio<br />
perubahan yang terjadi pada Indeks Harga Konsumen<br />
(IHK) setiap bulan. Dalam skala nasional<br />
penghitungan IHK dilakukan berdasarkan survei<br />
harga konsumen di beberapa kota besar di Indonesia<br />
(BPS, 1998).<br />
Perkembangan inflasi Aceh secara umum<br />
mempunyai pola gradual yaitu pada pertengahan<br />
tahun 1997 terjadi lonjakan inflasi yang sangat<br />
tinggi Kondisi yang seperti ini memberikan<br />
indikasi awal terjadinya sesuatu yang tidak wajar<br />
dalam periode tersebut.<br />
Fenomena lonjakan harga besar tersebut yang terjadi<br />
di Aceh mengakibatkan terjadi inflasi yang tinggi<br />
yang berawal pada bulan Juli 1997 oleh pakar<br />
ekonomi disebut sebagai krisis moneter. Dampak dari<br />
krisis tersebut adalah menurunnya nilai tukar rupiah<br />
terhadap dolar Amerika secara signifikan (Rusman,<br />
1998). Krisis ekonomi yang melanda Aceh pada<br />
bulan Juli 1997 menyebabkan perubahan besar pada<br />
sebagian komoditas yang dibutuhkan masyarakat.<br />
Jika diperhatikan dari bulan ke bulan, maka berbagai<br />
komoditas barang tersebut cenderung meningkat<br />
dengan kelipatan yang lebih besar dibandingkan<br />
dengan masa sebalum krisis (Soemarjan, 1998).<br />
Gejala naiknya berbagai komoditas akibat krisis<br />
moneter tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 yang<br />
cenderung meningkat tajam pada bulan Juli 1997 dan<br />
puncak krisis terjadi pada tahun 1998.<br />
64
Pendeteksian Outlier pada Data Inflasi Aceh<br />
Ratna<br />
20<br />
INFLASI ACEH<br />
10<br />
0<br />
-10<br />
JAN 1989<br />
Date<br />
APR 1991<br />
JUL 1990<br />
OCT 1989<br />
Gambar. 1 Plot data Inflasi Aceh periode Januari 1989 sampai dengan Februari 2003<br />
JUL 2002<br />
OCT 2001<br />
JAN 2001<br />
APR 2000<br />
JUL 1999<br />
OCT 1998<br />
JAN 1998<br />
APR 1997<br />
JUL 1996<br />
OCT 1995<br />
JAN 1995<br />
APR 1994<br />
JUL 1993<br />
OCT 1992<br />
JAN 1992<br />
Tabel 1 Hasil Estimasi dan diagnostic checking untuk data Inflasi Aceh periode keseluruhan (model intervensi)<br />
Parameter Estimasi Standar Error T-Ratio Karakteristik model<br />
φˆ<br />
1<br />
-0,56580 0,07938 -7,13 (*) MSE = 1,88449868<br />
ωˆ<br />
1<br />
6,32687 1,35958 4,65 (*)<br />
φˆ<br />
2<br />
-0,31108 0,08733 -3,56 (*)<br />
σˆ = 1,37277044<br />
φˆ<br />
3<br />
φˆ<br />
4<br />
ωˆ<br />
0<br />
-0,34773<br />
-0,20569<br />
9,21884<br />
0,08838<br />
0,08123<br />
1,36864<br />
-3,93 (*)<br />
-2,53 (*)<br />
6,74 (*)<br />
AIC = 564,803104<br />
SBC = 583,29153<br />
Ljung-Box<br />
Residual white noise<br />
Sumber : Hasil Output Pengolahan dengan menggunakan SAS<br />
Dengan informasi tersebut di atas dapat diduga order b = 7, s = 1 dan r = 0. Secara matematis dugaan model<br />
intervensi (mean model) untuk seluruh pengamatan adalah :<br />
( at<br />
Zt<br />
= ω0<br />
−ω<br />
1BS<br />
)<br />
t−<br />
7+<br />
2 3<br />
1( −φ<br />
B−φ<br />
B −φ<br />
B −φ<br />
B<br />
4 )<br />
1<br />
2<br />
3<br />
Bedasarkan hasil pada Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa model sudah sesuai untuk menggambarkan<br />
fluktuasi Inflasi Aceh periode Januari 1989 sampai dengan Februari 2003. Hal ini ditunjukkan dengan taksiran<br />
parameter yang sama-sama signifikan pada alpha 5 % dan syarat residual white noise juga terpenuhi pada model<br />
tersebut. Secara matematis model dapat ditulis dengan mensubtitusikan parameter model adalah :<br />
Z<br />
t<br />
Z<br />
( at<br />
9,21884−<br />
6,32687B)<br />
St<br />
7<br />
+<br />
2<br />
3<br />
(1 + 0,55065B<br />
+ 0,31108B<br />
+ 0,34773B<br />
+ 0,20569B<br />
4 )<br />
=<br />
−<br />
atau<br />
t<br />
= −0,56580Z<br />
−1,11085S<br />
t−1<br />
t−8<br />
− 0,31108Z<br />
− 0,71195S<br />
t−2<br />
t−9<br />
− 0,34773Z<br />
+ 1,23750S<br />
4<br />
t−3<br />
t−10<br />
− 0,20569Z<br />
− 0,30382S<br />
t−4<br />
t−11<br />
+ 9,21884S<br />
+ 1,30137S<br />
Model intervensi (mean model) di atas dapat diinterpretasikan bahwa krisis yang terjadi mulai bulan<br />
Juli 1997 secara rata-rata berdampak setelah krisis berjalan selama 7 bulan kedepan (sekitar Februari 1998).<br />
Hasil estimasi dan diagnostic checking pada mean model menunjukkan bahwa model telah memenuhi<br />
signifikansi parameter dan residual yang white noise, tetapi asumsi residual model berdistribusi normal belum<br />
terpenuhi seperti terlihat pada Gambar 2 berikut ini.<br />
t−7<br />
t−12<br />
+<br />
+ a<br />
t<br />
65
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Normal Probability Plot<br />
Probability<br />
.999<br />
.99<br />
.95<br />
.80<br />
.50<br />
.20<br />
.05<br />
.01<br />
.001<br />
-6<br />
-5<br />
-4<br />
-3<br />
-2<br />
-1<br />
0<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
Average: -0.0850776<br />
StDev: 1.35537<br />
N: 161<br />
Residual Inflasi Aceh<br />
Kolmogorov-Smirnov Normality Test<br />
D+: 0.084 D-: 0.079 D : 0.084<br />
Approximate P-Value < 0.01<br />
Gambar 2 Pengujian distribusi normal pada residual model ARIMA (0,1,1)(0,1,1) 12<br />
intervensi)<br />
Inflasi Aceh (periode<br />
Setelah model intervensi diperoleh pada data Inflasi Aceh, maka langkah selanjutnya adalah mendeteksi adanya<br />
outlier. Berdasarkan uji distribusi normal Gambar 3<br />
Gambar 3 Plot residual Inflasi Aceh dengan model intervensi akibat krisis pada bulan Juli 1997<br />
Untuk mengetahui apakah residual itu berpengaruh, maka akan dideteksi outlier dengan prosedur iterative<br />
dengan menghitung nilai σˆ = 1,353826776<br />
n<br />
2<br />
τ = ∑ − T<br />
j=<br />
0<br />
π<br />
2<br />
j<br />
= ( π<br />
2<br />
0<br />
a<br />
+ π<br />
2<br />
1<br />
Untuk AO : ˆ = −4, 92926<br />
ω AT<br />
+ π<br />
2<br />
2<br />
+ ... + π<br />
2<br />
32<br />
) = 1,580125<br />
λˆ 1 T<br />
τωˆ<br />
=<br />
σˆ<br />
AT<br />
a<br />
=<br />
1,580125( −4,92926)<br />
= −4,57683<br />
1,353826776<br />
Untuk IO : ωˆ = = −6, 1242<br />
IT<br />
e<br />
T<br />
λˆ 2 T<br />
ωˆ<br />
=<br />
σˆ<br />
IT<br />
a<br />
− 6,1242<br />
=<br />
= −4,523621565<br />
1,353826776<br />
66
Pendeteksian Outlier pada Data Inflasi Aceh<br />
Ratna<br />
n−T<br />
∑<br />
eT<br />
−<br />
π<br />
jeT<br />
+ j<br />
Untuk AO :<br />
j=<br />
0<br />
ωˆ<br />
AT<br />
=<br />
n−T<br />
= −4,<br />
92926<br />
2<br />
π<br />
λˆ 1 T<br />
τωˆ<br />
=<br />
σˆ<br />
∑<br />
j=<br />
0<br />
AT<br />
a<br />
=<br />
j<br />
1,580125( −4,92926)<br />
1,353826776<br />
= −4,57683<br />
Untuk IO : ωˆ = = −6, 1242<br />
IT<br />
e<br />
T<br />
ˆ ωˆ<br />
IT − 6,1242<br />
λ 2 T<br />
= =<br />
= −4,523621565<br />
σˆ<br />
a<br />
1,353826776<br />
Oleh karena λˆ<br />
ˆ<br />
1T<br />
> λ<br />
2T<br />
berarti yang terjadi adalah Additive Outlier (AO)<br />
Setelah dilakukan penghitungan untuk outlier dan dilakukan fitting ulang dengan menggunakan SAS<br />
hasil estimasinya seperti terlihat pada Tabel 3 berikut:<br />
Tabel 3 Hasil Estimasi dan diagnostic checking untuk data Inflasi Aceh setelah dilakukan fitting untuk model<br />
outlier<br />
Parameter Estimasi Standar Error T-Ratio Karakteristik model<br />
ˆ φ<br />
1<br />
ˆ φ<br />
2<br />
ˆ φ<br />
3<br />
ˆ φ<br />
4<br />
ˆω<br />
0<br />
ω<br />
1<br />
ˆω<br />
-0,58281<br />
-0,32953<br />
-0,32412<br />
-0,19850<br />
9,03605<br />
6,20673<br />
-3,30331<br />
0,07994<br />
0,08934<br />
0,09037<br />
0,08185<br />
1,35102<br />
1,34110<br />
1,19074<br />
-7,29 (*)<br />
-3,69 (*)<br />
-3,59 (*)<br />
-2,43 (*)<br />
6,69 (*)<br />
4,63 (*)<br />
-2,77 (*) MSE = 1,80791553<br />
σˆ = 1,34458749<br />
AIC = 559,081575<br />
SBC = 580,651405<br />
2<br />
Ljung-Box Residual white noise<br />
Sumber : Hasil Output Pengolahan dengan menggunakan SAS<br />
Hasil fitting ulang model outlier dalam bentuk matematis dapat ditulis sebagai berikut :<br />
(118)<br />
Z<br />
− B S − I +<br />
(9,21884<br />
6,32687<br />
t<br />
=<br />
t−7<br />
(1 + 0,58281B<br />
+ 0,32953B<br />
)<br />
a<br />
t<br />
2<br />
3,30331<br />
+ 0,32412B<br />
t<br />
2<br />
+ 0,19850B<br />
4<br />
)<br />
67
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Selanjutnya menguji residual model outlier ternyata asumsi model berdistribusi normal sudah terpenuhi, hasilnya<br />
seperti pada Gambar 4 berikut:<br />
4<br />
Normal Q-Q Inflasi Aceh Outlier<br />
20<br />
3<br />
2<br />
1<br />
10<br />
Expected Normal Value<br />
0<br />
-1<br />
-2<br />
-3<br />
-4<br />
-4<br />
-2<br />
0<br />
2<br />
4<br />
0<br />
-3.00<br />
-3.50<br />
-2.00<br />
-2.50<br />
3.50<br />
3.00<br />
2.50<br />
2.00<br />
1.50<br />
1.00<br />
.50<br />
0.00<br />
-.50<br />
-1.00<br />
-1.50<br />
Std. Dev = 1.25<br />
Mean = -.01<br />
N = 161.00<br />
Observed Value<br />
Residual intervensi dan outlier<br />
Gambar 4.4 Pengujian distribusi normal pada Inflasi Aceh dari residual model outlier<br />
Setelah outlier terdeteksi pada data Inflasi Aceh, maka akan dilanjutkan dengan pemeriksaan kuadrat<br />
dari residual model tersebut untuk mengetahui ada tidaknya proses ARCH dan GARCH pada residual tersebut.<br />
Proses pengujian ARCH dan GARCH tersebut akan dilanjutkan untuk yang akan datang.<br />
4. KESIMPULAN<br />
Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya,<br />
maka dapat diambil kesimpulan bahawa model<br />
inflasi Aceh yang mengandung outlier adalah<br />
sebagai berikut:<br />
Zt<br />
= (9,21884 − 6,32687B)<br />
St−7<br />
− 3,30331I<br />
a<br />
(1 + 0,58281B<br />
+ 0,32953B<br />
t<br />
2<br />
(118)<br />
t<br />
+ 0,32412B<br />
2<br />
+<br />
+ 0,19850B<br />
5. DAFTAR PUSTAKA<br />
Barnett, V. dan T. Lewis. (1994), Outlier in<br />
Statistical Data, 3 rd ed. John Wiley, Chichester.<br />
Bartlett, M. S. (1946), On the Theoritical<br />
Specification of Sampling Properties of<br />
Autocorrelated Time Series, Journal of the<br />
Royal Statistical Society , B8, 27-41<br />
BPS. (1998), Indeks Harga Konsumen Ibukota<br />
propinsi di Indonesia 1998. Jakarta<br />
Bruce, A.G. dan R.D. Martin. (1989), Leave-k-out<br />
Diagnostic for Time Series (with discussion).<br />
Journal of the Royal Statistical Society, Series<br />
B, 51, 363-424.<br />
Bustaman, U. (2000), Analisis Intervensi Krisis<br />
Moneter pada Indeks Harga Konsumen<br />
Nasional, TA Statistika.<br />
Chang, I dan Tiao,G.C. (1983), Estimation of Time<br />
Series Parameters in the Presence of Outlier.<br />
Technical Report 8, University of Chicago,<br />
Statistics Research Center.<br />
Chen, C. dan L.M. Liu. (1993), Joint Estimation of<br />
Model Parameter and Outlier effects in Time<br />
Series. Journal of the American Statistical<br />
Association, 88, 284-297.<br />
Enders, W. (1995), Applied Econometric Time<br />
4<br />
)<br />
Series, Canada : Jonh Wiley Sons, Inc.<br />
Engle, R. F. (1982), Autoregressive Conditional<br />
Heteroscedasticity with Estimates of the<br />
Variance of United Kingdom Inflation,<br />
Econometrica 50, 987 – 1007.<br />
Gourieroux, C. (1997), ARCH Models and Financial<br />
Applications, Springer – Verlag New York, Inc.<br />
Greenblatt, S.A. (1994), Wavelets in Econometrics:<br />
An Application to Outlier Testing. Working<br />
Paper, University of Reading, Departemen of<br />
Econometrics.<br />
Ljung, G.M. (1993), On Outlier Detection in Time<br />
Series, Journal of the Royal Statistical Society,<br />
Series b, 55, 559-567.<br />
Ratna, (2004). Analisis Intervensi Pada Kasus Data<br />
Inflasi Aceh, Penelitian Dosen Muda, Fakultas<br />
Ekonomi.<br />
Rupingi, A. S. (2001). Analisis Intervensi dan<br />
Generalized Autoregressive Conditional<br />
Heteroscedasticity (GARCH) Pada Kasus Indek<br />
Harga Konsumen Nasional, TA Statistika.<br />
Rusman, R, et al. (1998), Prihatin Lahir Batin :<br />
Dampak Krisis Moneter dan Bencana Elnino<br />
Terhadap Masyarakat, Keluarga, Ibu dan Anak<br />
di Indonesia dan Pilihan Intervensi, Edisi II,<br />
Jakarta : Pusblitbang Kependudukan dan<br />
Ketenagakerjaan, LIPI.<br />
Tsay, R.S. (1986), Time Series Model Specification<br />
in the Presence of Outlier, Journal of the<br />
American Statistical Association, 81, 132-141.<br />
Tsay, R.S. (1988), Outlier, Level Shifts, and<br />
Variance Changes in Time Series, Journal of<br />
Forecasting, 7, 1-20.<br />
Wei, W.W.S. (1990), Time Series Analysis.Canada:<br />
Addison Wisley Pubblishing Company.<br />
68
Problems Evaluation of Transport Systems in Medan<br />
Filiyanti T.A. Bangun<br />
PROBLEMS EVALUATION OF TRANSPORT SYSTEMS IN MEDAN<br />
Filiyanti T.A. Bangun<br />
A Lecture of Faculty of Civil Engineering USU Medan<br />
Email: bfiliyanti@yahoo.com<br />
This paper reports and discusses two major transport/traffic problems in Medan, those are the public transport<br />
systems and the traffic congestions problems. This paper also discusses what factors may cause those problems<br />
and what further traffic problems may be risen by those major cases. In addition, this paper provides certain<br />
suggested solutions which have been discussed with certain important bureaucrats of Medan such as from the<br />
Regional Planning Agency of Medan (Bappeda Kota), from Department of Communications (Dishub Kota) of<br />
Medan and from Department of City and Building Arrangements (Dinas TKTB) of Medan, certain professors<br />
from Tokyo University of Technology, NGO (Non Government Organizations/LSM) of Medan and several<br />
journalists in order to formulate and undertake appropriate actions or further studies to cope with or at least to<br />
minimize the future more severe and complex impacts on the community and the city life systems of Medan.<br />
1. PUBLIC TRANSPORT SYSTEMS IN<br />
MEDAN<br />
Problems of Public Transport Systems in<br />
Medan<br />
1. Overlapping and disorganized public<br />
transport routes & trajectories. Data<br />
from the Department of<br />
Communications (Dishub) of Medan :<br />
the number of Urban Public Transport<br />
(angkot) is 7,583 units (the plafond is<br />
15,272 units) with 248 trajectories; taxi<br />
fleets are 1,187 units (plafond is 2,545<br />
units); cycle & motor trishaws (18,800<br />
units). On 2004, the numbers are<br />
increase, especially the urban taxi,<br />
motor-trishaw in Honda-Win type and<br />
Kancil type. This problems cause<br />
further complex problems such as:<br />
a. Conflicts between angkots’<br />
drivers in order to obtain the<br />
optimum number of<br />
passengers.<br />
b. Unhealthy competitions<br />
among angkots’ operators to<br />
obtain optimum profits.<br />
c. Indisciplines angkots’ drivers<br />
to reach the “daily money<br />
target” (setoran) for the<br />
operators, e.g. stop anywhere<br />
to serve the passengers,<br />
disobey the traffic light/rules<br />
and driving in excessive speed.<br />
Factors raise this problems are as<br />
follows :<br />
• No specific and clear reasons and<br />
background basis/criteria of<br />
determining the trajectories and<br />
routes by the City Government<br />
(Pemko) and Dishub of Medan.<br />
• No specific and clear reasons and<br />
background basis/criteria of<br />
determining and adding the fleet<br />
numbers, the plafond numbers by<br />
the City Government (Pemko) and<br />
Dishub of Medan.<br />
• Less-function of bus-stop/shelter<br />
(halte) and no sanctions for the<br />
angkots’ drivers for not<br />
taking/dropping the passenger at<br />
the halte.<br />
• Too much illegal/informal charges<br />
to the drivers and operators by the<br />
civilians, e.g. safety charge and<br />
passenger scalper money cause<br />
difficulties for the drivers to reach<br />
the “daily money target”.<br />
2. The types and sizes of the fleets are<br />
not in accordance with the road<br />
hierarchy and functions and the<br />
demand of the passengers. E.g.: larger<br />
capacity for buses/angkot (30-40<br />
passengers) that pass the primary artery<br />
roads, which has larger demand of<br />
passengers than collector or local roads.<br />
3. No prohibition for the inter-city<br />
public transport (e.g.: Sutra, Sinabung<br />
Jaya, Sempati, Tapian Nauli, and<br />
illegal taxi) to enter the internal city<br />
area to serve (take/drop) the<br />
passengers. This problem may cause<br />
bankruptcy for urban public transport’<br />
operators.<br />
4. The present of inter-city bus pools<br />
that utilize the side of main roads<br />
(primary artery/collector roads) to<br />
park their busses waiting for the<br />
69
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
sufficient passengers. The Pemko and<br />
Dishub of Medan City have been aware<br />
of this illegal action, however until<br />
now, no actions have been undertaken<br />
to correct this problem.<br />
5. Too many shadow terminals on the<br />
main roads, e.g. : prior to the<br />
entrance/exit accesses of Amplas and<br />
Pinang Baris Terminals, at Simpang<br />
(Sp) Limun, Sp. Sumber Padang Bulan,<br />
Sp. USU, Sp. Halat and Sp. Aksara).<br />
This illegal actions are exactly in front<br />
of the assigned officers either from the<br />
police unit or Dishub. This problem<br />
raises further problems :<br />
a. Narrowing the traffic lanes,<br />
e.g. : from 3 effective lanes per<br />
direction become 1 lane.<br />
b. Increasing the traffic<br />
congestion levels since this<br />
problem usually occur on the<br />
congested sensitive spots.<br />
c. Higher congestion levels cause<br />
longer travel time, less trip<br />
numbers, inconvenience trips<br />
and higher risks for<br />
passengers’ safety.<br />
6. Poor accessibilities of prior to and<br />
subsequent (pra & purna) public<br />
transport. This problem may cause<br />
unattractive public transport and<br />
increase the number of private vehicle<br />
users.<br />
7. Lack of pedestrian facilities including<br />
the crossing facilities. This problem<br />
cause narrowing the effective traffic<br />
lanes and interrupting the traffic flow<br />
for crossing the road.<br />
8. Lack of competent academics experts<br />
and no Transport experts especially<br />
in Public Transport Systems<br />
expertise, involved by the Medan<br />
City Government (Pemko, Pemprovsu,<br />
Dishub, Bappeda) in giving academics<br />
based inputs/analysis to find the best<br />
solutions for the city’s problems. The<br />
involvement of competent academics<br />
experts will minimize the impacts of<br />
“wrong men on the wrong place” of the<br />
high officials/functionaries of Medan<br />
City.<br />
Suggested Solutions on Public Transport<br />
Problems<br />
1. In accordance with all identified<br />
problems above, then several solutions<br />
are suggested in order to cope with the<br />
problems or to minimize the impacts of<br />
the problems. The several solutions are<br />
as follows:<br />
a. Re-routing the fleets of<br />
public transport.<br />
b. Exchanging the size of<br />
several small buses (angkot)<br />
to a medium or a larger bus<br />
in accordance with the road<br />
functions and hierarchy and<br />
the demand of passengers.<br />
c. Training the operators<br />
(drivers and owners) on the<br />
management systems of<br />
running the public transport<br />
enterprise.<br />
d. Eliminating the shadow<br />
terminals, public transport<br />
pools and re-organizing the<br />
public transport facilities,<br />
such as halte/bus-shelter,<br />
bus-bay, ticketing and<br />
waiting-room.<br />
e. Law enforcement on public<br />
transport systems<br />
regulations such as fines the<br />
drivers when not serving the<br />
passenger on the shelter or<br />
terminal, disobey the traffic<br />
light/rules and driving with<br />
excessive speed.<br />
f. Eliminating the illegal<br />
charges from civilians to the<br />
drivers and ensuring the<br />
security from local civilians.<br />
2. It is highly recommended to undertake<br />
an appropriate study involving the right<br />
and competent persons from various<br />
sources such as the decision makers<br />
from the City Government (Pemko),<br />
Dishub, Bappeda of Medan City and<br />
especially involving the Transport and<br />
Regional/Urban Planning Experts from<br />
academicism parties. The study<br />
issues/topics could be as follows :<br />
• Re-routing and re-sizing the fleets<br />
of public transport system in<br />
Medan City based on the road<br />
hierarchies, road functions and the<br />
passengers’ demands.<br />
• Re-organizing the terminal systems<br />
and public transport facilities and<br />
70
Problems Evaluation of Transport Systems in Medan<br />
Filiyanti T.A. Bangun<br />
eliminating the pools of public<br />
transport in Medan City.<br />
• Training of managing and running<br />
the economic enterprise (koperasi)<br />
of public transport systems in<br />
Medan City for the benefits of the<br />
owners and the drivers.<br />
• The planning and development of<br />
Mass Transit Systems (SAUM =<br />
Sistem Angkutan Umum Massa) at<br />
Medan City.<br />
2. TRAFFIC CONGESTIONS IN MEDAN<br />
Factors Cause The Problem<br />
1. The effects of changing the land use<br />
functions in CBD area without<br />
evaluating thoroughly the traffic<br />
management systems considering<br />
overall road networks in Medan. For<br />
instance, the land use function in<br />
Medan CBD area should be office<br />
complex in accordance with RTRWK<br />
Medan (The City Space Arrangement<br />
Plan) 1995-2005. Therefore, the<br />
establishment of several commercial<br />
buildings such as Mall Grand<br />
Palladium, the City Hall, the Crystal<br />
Square and several condominiums in<br />
Medan CBD area without undertaking<br />
an appropriate and thoroughly study on<br />
the regional transport systems in Medan<br />
will cause the traffic problems become<br />
more severe and complex and also<br />
severe financial losses on community<br />
due to the traffic congestion; total<br />
financial losses for the travelers in<br />
Medan is Rp.1.3 millions per day or<br />
Rp.36 billions per month (please see the<br />
attached analysis in ANALISA<br />
newspaper in OPINI column page 18<br />
on Nov 19 th 2004) .<br />
2. Determining the traffic flow<br />
directions by spots and not taking<br />
into account the whole road networks<br />
will definitely add more congestion<br />
spots and levels in the road networks of<br />
Medan City. E.g. changing the two-way<br />
traffic direction into one-way direction<br />
along Jalan Gatot Subroto due to the<br />
existence of Medan Fair Plaza<br />
(Carrefour) without undertaking<br />
appropriate transport systems study<br />
adds more congestion spots and levels<br />
along the street and surroundings<br />
collector and local roads.<br />
3. Lack of competent academics experts<br />
and no Transport experts involved by<br />
the Medan City Government (Pemko,<br />
Pemprovsu, Bappeda, Dishub) in<br />
giving academics based<br />
inputs/analysis to find the best<br />
solutions for the city’s problems. The<br />
involvement of competent academics<br />
experts will minimize the impacts of<br />
“wrong men on the wrong place” of the<br />
high officials/functionaries of Medan<br />
City.<br />
4. The effects of high side-frictions cause<br />
narrowing the width of road lane<br />
(bottleneck). The side-frictions for<br />
instance are :<br />
a. On-road parking.<br />
b. Selling/market on the<br />
trotoir/sidewalk or on-road<br />
market.<br />
c. On-road trishaws and angkots’<br />
pools.<br />
d. On-road social activities (parties or<br />
funeral ceremony).<br />
e. Poor pedestrian’ facilities : on-road<br />
walking and road crossing.<br />
5. Ineffective management of the<br />
signalized and/or unsignalized<br />
intersections, such as follows :<br />
a. Inappropriate design of intersection<br />
geometric (the width, the slope,<br />
minimum sight distance, turning<br />
radius, etc).<br />
b. Incorrect setting of traffic light on<br />
the intersections and poor<br />
coordination of integrated<br />
signalized intersections.<br />
c. Inappropriate canalization.<br />
6. Indiscipline behaviors of the<br />
motorists, e.g. stopping the vehicle<br />
anywhere or overtaking suddenly to<br />
take/drop the passengers, driving the<br />
vehicle with excessive speed and<br />
disobey the traffic light/rules.<br />
7. Imbalance ratio between road<br />
infrastructure development and the<br />
growth rate of vehicles.<br />
Suggested Solutions on Traffic Congestion<br />
Problems in Medan<br />
1. Need urgent study on regional<br />
transportation systems in Medan to<br />
evaluate the road networks thoroughly<br />
including examining and restructuring<br />
the traffic management systems in<br />
Medan. The suggested topic of the<br />
study is “A study of planning and<br />
development of regional<br />
transportation systems of Medan<br />
71
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
City based on RTRWK (The City<br />
Space Arrangement Plan) of Medan<br />
2005-2015 (Studi perencanaan dan<br />
pengembangan transportasi wilayah<br />
Kota Medan berdasarkan RTRWK<br />
Medan 2005-2015). This study will be<br />
including the public transport systems<br />
in Medan as well.<br />
2. Precise and appropriate arrangement of<br />
traffic management systems, such as :<br />
a. Parking location arrangement.<br />
b. Provision of road-crossing facilities<br />
and traffic signals<br />
(rambu and marka jalan).<br />
c. Re-setting the traffic lights.<br />
d. Re-arrangement the traffic flow<br />
directions.<br />
3. Law enforcement on the traffic rules<br />
and training the motorists and public<br />
transport operators about the traffic<br />
rules and the management systems of<br />
public transport enterprises.<br />
3. CONCLUSION<br />
1. Two major transport problems in Medan<br />
City are the public transport systems and the<br />
traffic congestion problems.<br />
2. The main factors cause public transport<br />
problems in Medan City are the overlapping<br />
and disorganized public transport routes &<br />
trajectories.<br />
3. Several factors cause traffic congestion<br />
problems are :<br />
a. Establishment of various commercial<br />
buildings concentrated in city center<br />
(CBD area) without undertaking<br />
appropriate study on regional transport<br />
systems of Medan City.<br />
b. Incorrect method in changing the traffic<br />
flow directions<br />
c. High side-frictions.<br />
d. Ineffective management of signalized<br />
and unsignalized intersections.<br />
e. Indiscipline behavior of motorists.<br />
f. Imbalance ratio between road<br />
infrastructure development and the<br />
growth rate of vehicles.<br />
with the topic of : “A study of planning<br />
and development of regional<br />
transportation systems of Medan City<br />
based on RTRWK (The City Space<br />
Arrangement Plan) of Medan 2005-2015<br />
(Studi perencanaan dan pengembangan<br />
transportasi wilayah Kota Medan<br />
berdasarkan RTRWK Medan 2005-2015).<br />
This study will be including the public<br />
transport systems in Medan as well.<br />
6. Law enforcement in traffic regulations is an<br />
urgent compulsory action to be applied soon<br />
in Medan City.<br />
4. REFERENCE<br />
Bangun, F., and Napitupulu, R., 21 Maret 2005,<br />
Jalan Tol Medan - Tebing Tinggi Lebih<br />
Prioritas dari Medan - Binjai, Sinar<br />
Indonesia Baru: Medan, p. 13.<br />
Napitupulu, R., and Bangun, F., 31 Januari 2005,<br />
Medan, Kota Metropolitan Atau Kota<br />
Metromarpilitan , Waspada: Medan, p. 4.<br />
-, 15 January 2005, Prospek Sistem Angkutan Umum<br />
di Kota Medan, Sinar Indonesia Baru:<br />
Medan, p. 13.<br />
-, 19 November 2004, Apakah Kemacetan Lalulintas<br />
Perkotaan di Medan Hanya Layak Sebagai<br />
Bahan Obrolan Saja , Analisa: Medan, p.<br />
18.<br />
-, 13 November 2004, Kemacetan Lalulintas di Kota<br />
Medan Serius, Waspada: Medan, p. 4.<br />
Pakpahan, E., 26 September 2002, Pembangunan<br />
Terminal Terpadu Kota Medan, Waspada:<br />
Medan, p. 4.<br />
-, 29 Juni 2002, Analisis Dampak Lalulintas Kota<br />
Medan, Waspada: Medan, p. 4.<br />
-, 27 Agustus 2001, Manajemen Lalulintas Kota<br />
Medan, Waspada: Medan, p. 6.<br />
-, 4 Desember 2000, Pembudayaan Disiplin<br />
Berlalulintas Kota Medan, Waspada: Medan,<br />
p. 6.<br />
-, 17 Juli 2000, Analisis Kebijakan Sistem<br />
Transportasi Kota Medan, Waspada: Medan,<br />
p. 4.<br />
4. It is strongly recommended to involve<br />
relevant competent academics experts<br />
especially competent Transport expert in<br />
giving academics inputs/analysis for the<br />
decision-makers of the city.<br />
5. It is highly suggested to undertake a further<br />
study concerning transport/traffic problems<br />
72
Studi Efektifitas Penggunaan Halte di Kota Medan (Studi Kasus: Koridor-koridor Utama Kota Medan)<br />
Jeluddin Daud<br />
STUDI EFEKTIFITAS PENGGUNAAN HALTE DI KOTA MEDAN<br />
(Studi Kasus : Koridor-koridor Utama Kota Medan)<br />
Jeluddin Daud<br />
Abstrak: Halte adalah tempat untuk menaikkan/menurunkan penumpang yang dilengkapi dengan bangunan,<br />
yang keberadaannya disepanjang rute angkutan umum sangat diperlukan. Namun pada kenyataannya di Kota<br />
Medan keberadaan halte belum dimanfaatkan dengan semestinya oleh masyarakat. Berdasarkan pengamatan<br />
penyalahgunaan halte dapat terlihat pada 90% halte di kota Medan, para calon penumpang maupun pengemudi<br />
angkutan umum lebih senang menunggu atau menaikkan penumpang di tempat selain halte dan pedagang kaki<br />
lima memanfaatkan halte untuk menjajakan dagangannya. Ketidakefektifan ini ternyata membawa dampak yang<br />
cukup buruk, seperti kemacetan dan keruwetan lalu lintas, terutama pada persimpangan dan sarana publik.<br />
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk dapat menemukan faktor-faktor yang menjadi penyebab<br />
tidak efektifnya halte sebagai suatu sarana untuk memperlancar kegiatan transportasi.<br />
Kota Medan merupakan wilayah penelitian, di bagi menjadi lima koridor utama. Dimana halte yang<br />
berada pada koridor tersebut menjadi populasi pada penelitian ini. Sampel di ambil dengan menggunakan<br />
metode Proporsionate stratified random sampling (Sampel acak berlapis berimbang), sehingga terpilih 15 halte<br />
yang akan diteliti dengan menggunakan tabel acak. Untuk mengetahui efektifitas penggunaan halte di Kota<br />
Medan, dilakukan wawancara langsung kepada 30 pengguna halte dan 220 pengemudi angkutan umum.<br />
Dilakukan observasi langsung ke lapangan untuk mengetahui kondisi fisik halte.<br />
Berdasarkan analisis yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa halte di Kota Medan sudah tidak efektif<br />
lagi penggunaannya. Hal ini dikarenakan 90% halte di Kota Medan telah berubah fungsi menjadi tempat<br />
berjualan. 60% responden pengguna dan pengemudi menilai kondisi halte di Kota Medan dalam keadaan tidak<br />
terawat dan diabaikan. Sehingga 83.3% pengguna, menggunakan halte hanya sesekali. Sedangkan 71.1%<br />
pengemudi tidak pernah menaikkan/menurunkan penumpang pada halte. Selain itu 46.6% pengemudi menilai<br />
kurangnya penyebaran halte di Kota Medan sehingga tidak dapat melayani kebutuhan masyarakat akan halte.<br />
Untuk mengatasinya 100% responden menyetujui apabila dilakukan peningkatan fungsi terhadap halte. Baik itu<br />
dengan cara sosialisasi terhadap masyarakat, maupun moderenisasi penampilan halte.<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Halte merupakan salah satu fasilitas<br />
transportasi yang disediakan pemerintah sebagai<br />
pendukung dalam mewujudkan <strong>sistem</strong> transportasi<br />
yang efektif dan efisien. Halte diperlukan<br />
keberadaannya disepanjang rute angkutan umum dan<br />
angkutan umum harus melalui tempat yang telah<br />
ditetapkan untuk menaikkan dan menurunkan<br />
penumpang agar perpindahan penumpang lebih<br />
mudah dan gangguan terhadap lalu lintas dapat<br />
diminimalkan. Karena disepanjang rute inilah<br />
keberadaan calon penumpang memberi andil yang<br />
cukup besar terhadap gangguan lalu lintas yang<br />
menyebabkan kemacetan. Penempatan halte<br />
disepanjang rute kendaraan harus sesuai dengan<br />
peraturan yang berlaku, yang telah ditetapkan oleh<br />
dinas lalu lintas jalan raya, dan digunakan sesuai<br />
dengan kegunaannya. Karena apabila keberadaan<br />
halte tersebut diabaikan, maka keberadaannya justru<br />
merupakan penyebab utama dari kemacetan lalu<br />
lintas pada jalur tempat halte berada.<br />
2. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN<br />
Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini<br />
adalah: Untuk dapat mengetahui faktor–faktor yang<br />
menjadi penyebab tidak efektifnya halte sebagai<br />
suatu sarana untuk memperlancar kegiatan<br />
transportasi. Dan diharapkan dapat menjadi bahan<br />
masukan untuk meningkatkan efektifitas penggunaan<br />
halte sehingga manfaat dari keberadaan halte di Kota<br />
Medan dapat tercapai dengan optimal.<br />
3. TINJAUAN PUSTAKA<br />
Pengertian prilaku efektif menurut Catur<br />
(2002), keefektifan dalam konteks perilaku<br />
merupakan hubungan yang optimal antara hasil,<br />
kualitas, efisiensi, fleksibilitas dan kepuasan.<br />
Sehingga keefektifan ditentukan oleh tingkatan dari<br />
sesuatu yang direalisasikan sesuai dengan tujuannya.<br />
Berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal<br />
Perhubungan Darat (1996), Tempat pemberhentian<br />
kendaraan penumpang umum ini merupakan salah<br />
satu bentuk fungsi pelayanan umum perkotaan yang<br />
disediakan oleh pemerintah, yang dimaksudkan<br />
untuk:<br />
<br />
Menjamin kelancaran dan ketertiban arus lalu<br />
lintas<br />
Menjamin keselamatan bagi pengguna<br />
angkutan penumpang umum<br />
Menjamin kepastian keselamatan untuk<br />
menaikkan dan/atau menurunkan penumpang<br />
<br />
Memudahkan penumpang dalam melakukan<br />
perpindahan moda angkutan umum atau bus.<br />
73
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Adapun persyaratan umum tempat perhentian<br />
kendaraan penumpang umum adalah:<br />
1. Berada di sepanjang rute angkutan umum<br />
atau bus.<br />
2. Terletak pada jalur pejalan kaki dan dekat<br />
dengan fasilitas pejalan kaki.<br />
3. Diarahkan dekat dengan pusat kegiatan atau<br />
pemukiman.<br />
4. Dilengkapi dengan rambu petunjuk.<br />
5. Tidak mengganggu kelancaran arus lalu<br />
lintas.<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
Koridor I :<br />
Koridor II :<br />
Koridor III :<br />
Koridor IV :<br />
Koridor V :<br />
Jalan Balai Kota, jalan Putri Hijau, Jalan<br />
K.L Yos Sudarso<br />
Jalan Guru Patimpus, jalan Jend.Gatot<br />
Subroto<br />
Jalan Mayjend S. Parman, jalan Let.Jend<br />
Jamin Ginting<br />
Jalan Jend A. Yani, jalan Pemuda, jalan<br />
Brigjend. Katamso, jalan Ir. Juanda, jalan<br />
Sisingamangaraja.<br />
Jalan Perintis Kemerdekaan, jalan HM<br />
Yamin SH, jalan Letda Sujono.<br />
4.1 Penentuan sampel<br />
4.1.1 Sampel halte<br />
Pengambilan populasi halte dilakukan<br />
dengan cara menghitung seluruh halte yang berada di<br />
sepanjang jalan yang merupakan koridor utama. Dari<br />
hasil observasi ketahui jumlah halte di dalam wilayah<br />
penelitian adalah 45 buah. Sampel yang akan<br />
digunakan untuk penelitian sebanyak 15 sampel.<br />
Jumlah sampel yang diambil pada setiap koridor<br />
ditentukan secara berimbang. Yaitu dengan<br />
menggunakan rumus :<br />
Proporsi =<br />
Jumlah Halte Tiap Koridor<br />
Total Jumlah Halte<br />
× 100%<br />
Jumlah sampel =<br />
Pr oporsi × Total<br />
jumlah sampel<br />
Tabel 1. Jumlah Sampel Halte di Kotamadya Medan<br />
No<br />
Bagian<br />
1 Koridor I<br />
2 Koridor II<br />
3 Koridor III<br />
4 Koridor IV<br />
5 Koridor V<br />
Total<br />
Jumlah<br />
Halte<br />
8<br />
14<br />
5<br />
8<br />
10<br />
45<br />
Proporsi<br />
(%)<br />
Jumlah<br />
Sampel<br />
17.8 3<br />
31.1 4<br />
11.1 2<br />
17.8 3<br />
22.2 3<br />
100 15<br />
Pengambilan sampel dilakukan secara acak<br />
(random sampling). Kemudian memberikan nomor<br />
pada semua populasi. Dengan menggunakan tabel<br />
angka acak, akan diperoleh nomor halte yang akan di<br />
teliti.<br />
4.1.2 Sampel responden<br />
Untuk memperoleh gambaran yang lebih<br />
teliti tentang pengaruh keberadaan Halte di<br />
Kotamadya Medan secara menyeluruh, maka<br />
presentasi data yang disajikan dibagi dalam dua<br />
kelompok jenis responden yaitu pengemudi<br />
angkutan umum dan pengguna halte pada daerah<br />
studi . Sebagai pedoman umum, menurut Gay (1987)<br />
bahwa untuk studi yang bersifat diskriptif ukuran<br />
sampel minimum yang digunakan adalah sebesar<br />
10% dari jumlah populasi. Sedangkan untuk studi<br />
korelasional dan studi kausal-komparatif disarankan<br />
menggunakan sampel minimum sebanyak 30 subjek<br />
atau responden. Sehingga jumlah sampel responden<br />
pengemudi angkutan umum diambil sebesar 10%<br />
dari jumlah populasi angkutan umum. Sedangkan<br />
untuk responden pengguna halte, masing-masing<br />
diambil 30 orang. Untuk tiap koridor terdiri dari 6<br />
orang responden.<br />
Tabel 2. Jumlah Responden Pengemudi Angkutan<br />
Umum<br />
Bagian Jumlah Trayek Populasi Sampel<br />
Koridor I 6 308 31<br />
Koridor II 16 223 22<br />
Koridor III 13 485 49<br />
Koridor IV 10 645 65<br />
Koridor V 19 535 53<br />
Total 2196 220<br />
Dari tabel 7 diatas, diperoleh jumlah<br />
responden pengemudi angkutan umum untuk koridor<br />
I sebanyak 31 orang, koridor II sebanyak 22 orang,<br />
49 orang untuk koridor III dan 65 orang untuk<br />
koridor IV serta 53 orang untuk koridor V. Sehingga<br />
total dari responden pengemudi adalah 220 orang.<br />
5 KOMPILASI DAN ANALISA DATA<br />
5.1 Kondisi Fisik Halte<br />
Halte yang digunakan menjadi sampel pada<br />
penelitian ini sebanyak 15 halte, yang dipilih secara<br />
acak pada wilayah studi.<br />
5.1.1 Jenis Halte<br />
Tempat perhentian kendaraaan yang ada di<br />
Kota Medan termasuk kedalam tempat henti dengan<br />
perlindungan (halte) dan tidak terdapat tempat henti<br />
tanpa perlindungan (shelter). Berdasarkan hasil<br />
penelitian diperoleh gambaran kondisi halte di Kota<br />
Medan :<br />
– 33.3% dalam kondisi fisik yang tidak terawat,<br />
hal ini terlihat karena warna cat yang memudar<br />
dan rusaknya tiang-tiang penyangga halte yang<br />
diakibatkan oleh korosi dan terdapatnya puingpuing<br />
yang merupakan bekas tempat duduk<br />
74
Studi Efektifitas Penggunaan Halte di Kota Medan (Studi Kasus: Koridor-koridor Utama Kota Medan)<br />
Jeluddin Daud<br />
halte. Kondisi tersebut biasanya ditemukan pada<br />
halte yang di bangun oleh pemerintah dan<br />
belum pernah mengalami perbaikan sejak<br />
didirikan.<br />
– 66.7% dalam kondisi fisik yang bersih dan<br />
terawat. Dengan bangunan halte yang masih<br />
baru dan lebih modern, biasanya di bangun pihak<br />
swasta. Pihak swasta tersebut biasanya bertujuan<br />
untuk mempromosikan suatu produk, dengan<br />
memberikan label produk tertentu pada halte.<br />
Hal ini menyebabkan bervariasinya bentuk,<br />
warna, dan dimensi halte di Kota Medan. Tentu<br />
saja melalui perijinan yang dikeluarkan oleh<br />
dinas perhubungan kota Medan.<br />
– 10% halte yang tidak dimanfaatkan oleh<br />
pedagang kaki lima karena kondisi fisik halte<br />
yang sudah sangat rusak, atau halte tidak berada<br />
pada lokasi yang strategis untuk digunakan<br />
sebagai tempat berjualan.<br />
– Sedangkan 90% halte dijadikan tempat berjualan<br />
oleh para pedagang kaki lima, Kios-kios ada<br />
yang sudah menjadi bangunan permanen pada<br />
halte sehingga halte berubah fungsi menjadi<br />
tempat berjualan yang membangkitkan orangorang<br />
untuk kegiatan jual beli pada halte.<br />
Penumpang tidak lagi menggunakan halte untuk<br />
menunggu angkutan umum. Sedangkan kondisi<br />
kios-kios yang bukan bangunan permanen,<br />
kondisi halte menjadi semrawut. Dagangan yang<br />
dijajakan dan gerobak-gerobak jualan<br />
mempersempit ruang gerak pengguna pada halte.<br />
Seperti pada halte nomor 19 pada jalan Gatot<br />
Subroto, nomor 29 dan nomor 31 jalan<br />
Sisingamangaraja, halte nomor 8 pada jalan<br />
Balai Kota dan nomor 39 pada jalan Prop. HM<br />
Yamin,SH.<br />
5.1.2 Fasilitas Halte<br />
Di Kota Medan halte tidak dilengkapi<br />
dengan fasilitas utama maupun tambahan seperti :<br />
– Identitas halte, berupa nama atau nomor.<br />
– Informasi tentang rute dan jadwal angkutan<br />
umum.<br />
– Rambu-rambu untuk menjamin keamanan<br />
pengguna.<br />
– Tidak dilengkapi dengan teluk bus untuk<br />
melancarkan lalu lintas.<br />
– Lampu penerangan, Sehingga pada malam hari<br />
pengguna halte tidak dapat menggunakan halte<br />
untuk menunggu angkutan umum karena<br />
kondisinya yang menjadi sangat gelap.<br />
– Pagar pengaman, agar pejalan kaki tidak<br />
menyeberang di sembarangan tempat.<br />
– Hanya fasilitas tempat sampah dan telepon<br />
umum yang melengkapi beberapa halte di kota<br />
Medan.<br />
– Di Kota Medan halte di bangun diatas trotoar,<br />
dan tidak menyisakan ruang untuk pejalan kaki,<br />
sehingga pejalan kaki yang melintasi halte<br />
tersebut harus menggunakan badan jalan untuk<br />
melewatinya. Tentu saja hal ini mengakibatkan<br />
pengguna jalan lainnya terganggu.<br />
– Sedangkan sebanyak 66.7% halte di Kota Medan<br />
merupakan sarana untuk iklan.<br />
5.1.3 Dimensi Halte<br />
Dimensi halte di Kota Medan sangat<br />
beragam, seperti yang tertera pada tabel 11 di bawah<br />
ini. Hal ini menggambarkan tidak adanya kordinasi<br />
dari pihak pemerintah, karena pemerintah tidak<br />
menerapkan standar untuk dimensi halte pada saat<br />
perbaikan dilakukan. Semua halte dilengkapi dengan<br />
tempat duduk yang lebarnya antara 30-50 cm dan<br />
diletakkan disepanjang badan halte. Hal ini membuat<br />
halte dapat menampung 6 sampai 10 pengguna halte<br />
yang duduk, dan sekitar 20 orang pengguna halte<br />
yang berdiri. Pada semua halte, lindungan dibuat<br />
sama dengan luas halte. Dimensi halte diperlihatkan<br />
pada tabel 3 berikut ini:<br />
Tabel 3. Dimensi Halte<br />
No Bagian Nomor Halte Dimensi<br />
1 Koridor I 2 8.10 m x 2.00 m<br />
5 8.15 m x 1.80 m<br />
8 8.30 m x 1.50 m<br />
2 Koridor II 11 7.75 m x 1.40 m<br />
13 5.10 m x 1.00 m<br />
15 7.25 m x 1.00 m<br />
19 5.10 m x 1.00 m<br />
3 Koridor III 24 5.10 m x 1.00 m<br />
27 8.30 m x 1.50 m<br />
4 Koridor IV 29 7.75 m x 1.40 m<br />
31 7.90 m x 1.60 m<br />
34 7.60 m x 1.60 m<br />
5 Koridor V 37 4.00 m x 1.00 m<br />
Sumber : Hasil Survey<br />
39 7.70 m x 1.60 m<br />
44 8.33 m x 1.90 m<br />
5.1.4 Tata Letak Halte<br />
– Di kota Medan, 53.3% halte dibangun pada<br />
sarana publik dan 46.7% lainnya di bangun pada<br />
lokasi sekolah.<br />
– Halte yang letaknya berdekatan dengan fasilitas<br />
penyeberangan pejalan kaki, seperti zebra cross<br />
atau jembatan penyeberangan , masih berada<br />
pada jarak yang di tetapkan yaitu maksimal 100<br />
meter. Kondisi seperti ini dapat dilihat pada halte<br />
nomor 8 yang berada 100 meter dari jembatan<br />
75
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
penyeberangan, sedangkan halte nomor 34<br />
berada 70 meter dari jembatan penyeberangan.<br />
– Halte yang letaknya sesudah persimpangan,<br />
seperti posisi halte nomor 37 berjarak 50 meter<br />
dari persimpangan, sedangkan yang terletak<br />
sebelum persimpangan, seperti halte nomor 34<br />
berjarak 80 meter sebelum persimpangan.<br />
– Halte yang di bangun pada lokasi sekolah,<br />
berjarak 20 meter dari zebracross.<br />
5.2 Karakteristik Responden<br />
Responden pada penelitian ini dibagi atas<br />
responden pengemudi angkutan umum sebanyak 220<br />
orang dan responden pengguna halte sebanyak 30<br />
orang.<br />
5.2.1 Pengemudi Angkutan Umum<br />
Pada responden pengemudi angkutan umum,<br />
beberapa hal yang ditinjau adalah dari segi usia,<br />
pendidikan, lama bekerja sebagai pengemudi<br />
angkutan umum dan pengetahuan mengenai halte.<br />
1. Identifikasi Responden Pengguna Halte<br />
– Usia, dari hasil survey dapat disimpulkan<br />
usia rata-rata pengemudi angkutan umum di<br />
Kota Medan adalah antara 20–35 tahun yaitu<br />
sebanyak 52.2%.<br />
– Pendidikan, Tingkat pendidikan terakhir<br />
pengemudi terbanyak adalah SLTA/sederajat<br />
yaitu sebesar 53.6%, dengan kondisi demikian<br />
seharusnya pengemui dapat lebih memahami<br />
dan mentaati peraturan lalu lintas.<br />
– Lama Bekerja pengemudi menunjukkan bahwa<br />
49.3% responden pengemudi sudah menjalani<br />
profesi sebagai pengemudi angkutan umum<br />
selama 5 tahun.<br />
2. Pengetahuan Tentang Halte<br />
Faktor utama untuk mengetahui efektif atau<br />
tidaknya suatu halte adalah dengan meneliti<br />
pengetahuan responden mengenai halte itu sendiri.<br />
Hasil survey menunjukkan 62.3% dari pengemudi<br />
angkutan umum mengetahui secara benar fungsi dari<br />
halte, yaitu tempat untuk menaikkan/menurunkan<br />
penumpang.<br />
Responden pengemudi lainnya memiliki<br />
pemikiran sendiri terhadap halte. Hal ini timbul<br />
akibat kondisi fisik halte itu sendiri. Adapun<br />
pengetahuan pengemudi tentang halte dapat<br />
diperlihatkan pada tabel 4 berikut ini:<br />
Tabel 4. Pengetahuan Pengemudi Tentang Halte<br />
Pengetahuan Jumlah %<br />
Tempat menurunkan/menaikkan<br />
penumpang 137 62.3<br />
Tempat berteduh dari kondisi<br />
cuaca 22 10.2<br />
Tempat berjualan 16 7.2<br />
Tempat istirahat/duduk 45 20.3<br />
Total 220 100<br />
3. Ketaatan pengemudi mematuhi peraturan<br />
– Ketidaktaatan para pengemudi terhadap<br />
peraturan lalu lintas, digambarkan dengan<br />
persentase pengemudi yang kadang-kadang<br />
menaikan/menurunkan penumpang pada halte<br />
sebanyak 71.1% pengemudi. Hal ini tentu saja<br />
sangat bertentangan mengingat 62.3%<br />
responden mengetahui dengan pasti fungsi<br />
dari halte.<br />
– Sebanyak 73.8% pengemudi menurunkan/<br />
menaikkan penumpang tidak pada halte<br />
disebabkan atas permintaan penumpang.<br />
4. Penumpang yang menunggu angkutan<br />
umum pada halte<br />
Adapun alasan pengemudi tidak memanfaatkan<br />
halte, karena tidak banyaknya penumpang yang mau<br />
menunggu angkutan umum pada halte. Menurut<br />
60.9% pengemudi hanya kurang dari 5 calon<br />
penumpang yang mau menunggu angkutan umum<br />
pada halte. Hal inilah yang menjadi pemicu para<br />
responden pengemudi sehingga tidak menggunakan<br />
halte untuk menaikkan dan menurunkan penumpang,<br />
dan menaikkan/ menurunkan penumpang di tempat<br />
selain pada halte. Pada tabel 6 berikut diperlihatkan<br />
banyaknya penumpang pada halte ;<br />
Tabel 6. Penumpang yang menunggu angkutan<br />
umum pada halte<br />
Banyaknya<br />
Jumlah %<br />
Kurang dari 5 orang 134 60.9<br />
Antara 5 - 10 orang 54 24.5<br />
Antara 10 - 15 orang 22 10<br />
Lebih dari 15 orang 10 4.6<br />
Total 220 100<br />
5. Kondisi halte di Kota Medan<br />
Dalam menanggapi kondisi halte di Kota<br />
Medan,<br />
– 50.7% pengemudi angkutan umum memberi<br />
tanggapan bahwa kondisi halte di Kota Medan<br />
telah berubah fungsi.<br />
– 37.7% responden menjawab halte di Kota<br />
Medan tidak mendapatkan perawatan dan<br />
cenderung diabaikan.<br />
– 1.4% responden yang berpendapat bahwa halte<br />
digunakan sesuai dengan fungsinya sebagi<br />
tempat untuk menunggu angkutan umum.<br />
– Tingkat kriminalitas yang dialami pengemudi<br />
angkutan umum pada halte, dapat dikatakan<br />
rendah.<br />
6. Fungsi dan Kebutuhan akan halte<br />
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden<br />
menilai halte di kota Medan keberadaannya sudah<br />
berubah berfungsi. Tetapi keberadaannya tetap<br />
76
Studi Efektifitas Penggunaan Halte di Kota Medan (Studi Kasus: Koridor-koridor Utama Kota Medan)<br />
Jeluddin Daud<br />
dibutuhkan oleh 79.7% pengemudi. Dimana 40%<br />
memiliki alasan karena keberadaan halte di Kota<br />
Medan dapat mengurangi kemacetan lalu lintas dan<br />
31% menyatakan halte dapat mengurangi antrian<br />
angkutan umum pada persimpangan ataupun pada<br />
pusat-pusat kegiatan dan sarana publik. Sedangkan<br />
responden yang mempunyai anggapan bahwa<br />
keberadaan halte membuat kota jadi lebih indah dan<br />
alasan lain-lain, masing-masing sebanyak 14.5%<br />
responden.<br />
7. Peningkatan fungsi halte di kota Medan<br />
Dalam usaha untuk menjadikan Kota Medan<br />
yang tertib, salah satu usaha yang harus dilakukan<br />
pemerintah kota terhadap keberadaan halte adalah<br />
dengan melakukan efisiensi dan peningkatkan fungsi<br />
halte itu sendiri.<br />
Untuk mewujudkan efisiensi serta peningkatan<br />
fungsi halte di Kota Medan, sebanyak 95.7%<br />
responden menyatakan setuju terhadap peningkatan<br />
fungsi halte di Kota Medan, dimana 56.1%<br />
responden tersebut mengharapkan kondisi halte yang<br />
bersih, aman dan nyaman. Sedangkan sebanyak<br />
34.8% responden mengharapkan kondisi halte<br />
dimana penumpang mau menunggu angkutan umum<br />
pada halte dan 7,6% responden pengemudi<br />
mengharapkan halte dilengkapi dengan fasilitas yang<br />
memadai sehingga dalam proses<br />
menaikkan/menurunkan penumpang dapat dilakukan<br />
dengan mudah.<br />
8. Saran Kepada Pemerintah<br />
Pemerintah memegang peranan yang sangat<br />
penting untuk mewujudkan efektifitas penggunaan<br />
halte di Kota Medan. Untuk itu 68,1% responden<br />
mengharapkan pemerintah agar melakukan<br />
peningkatan ketertiban dalam hal penggunaan halte.<br />
Saran responden lainnya yaitu sebanyak 20.4%<br />
adalah agar pemerintah melakukan sosialisasi<br />
penggunaan halte terhadap masyarakat Kota Medan,<br />
sehingga masyarakat dapat memanfaatkan halte<br />
sebagai mana mestinya. Saran kepada pemerintah<br />
agar melakukan moderenisasi penampilan halte<br />
dipilih oleh sebanyak 7.2% responden. Hal tersebut<br />
diperlihakan pada tabel 7 berikut:<br />
Tabel 7. Saran pengemudi untuk pemerintah<br />
mengenai keberadaan halte<br />
Saran<br />
Jumlah %<br />
Peningkatan ketertiban penggunaan halte 150 68.1<br />
Moderenisasi penampilan halte 16 7.2<br />
Sosialisasi terhadap masyarakat 45 20.4<br />
Lain-lain 9 4.3<br />
Total 220 100<br />
5.2.2 Pengguna Halte<br />
1. Identifikasi Responden Pengguna Halte<br />
Pada responden pengguna halte, beberapa hal<br />
yang ditinjau adalah dari segi usia, pekerjaan, tujuan<br />
pengguna halte ketika menunggu angkutan umum<br />
pada halte, dan pengetahuan pengguna mengenai<br />
halte.<br />
o Pekerjaan<br />
Pada halte 70% pelajar ataupun mahasiswa yang<br />
menunggu angkutan umum pada halte. Hal ini<br />
disebabkan 46.7% halte di Kota Medan didirikan<br />
pada pusat pendidikan.<br />
o Tujuan Penumpang<br />
Responden yang paling banyak menggunakan<br />
halte adalah mahasisiwa dan muri-murid sekolah<br />
dengan tujuan untuk pergi ke kampus atau<br />
sekolah, yaitu sebanyak 43.3%. Sebanyak 16.7%<br />
responden mempunyai tujuan pergi ke pusat<br />
perdagangan.<br />
2. Pengetahuan Tentang Halte<br />
Faktor utama untuk mengetahui efektif atau<br />
tidaknya suatu halte adalah dengan mengetahui<br />
pengetahuan responden mengenai halte tersebut.<br />
– Pada tabel 8 berikut ini, dapat dilihat bahwa<br />
83.3% responden pengguna halte mengetahui<br />
secara benar fungsi dari halte. Yaitu sebagai<br />
tempat menunggu angkutan umum. Tetapi<br />
sebanyak 83.3% responden pengguna halte<br />
menyatakan menggunakan halte hanya<br />
kadang-kadang saja. Hal ini mencerminkan<br />
kurangnya kesadaran responden untuk<br />
menggunakan halte sebagai tempat tunggu,<br />
dalam rutinitasnya menunggu angkutan umum<br />
sehari-hari. 10% responden menggunakan<br />
halte 2 sampai 3 kali dalam sehari ketika<br />
menunggu angkutan umum. Hanya 6.7%<br />
responden yang menggunakan halte 1 kali<br />
dalam sehari ketika beraktifitas dengan<br />
menggunakan angkutan umum.<br />
– Hal ini disebabkan 46.7% responden<br />
berpendapat bahwa lebih mudah memperoleh<br />
angkutan umum apabila menunggu pada halte,<br />
sedangkan 26.7% responden menunggu pada<br />
halte disebabkan kondisi cuaca pada hari itu.<br />
Frekuensi lamanya penumpang menunggu<br />
angkutan umum pada halte dapat menjelaskan salah<br />
satu yang menjadi alasan responden pengguna untuk<br />
tidak menunggu angkutan umum pada halte. 60%<br />
responden yang menunggu angkutan umum pada<br />
halte memakan waktu 5 sampai 10 menit, Sedangkan<br />
pada tempat selain halte, 56.7% responden<br />
menunggu dalam waktu 5 sampai 10 menit.<br />
Menuggu angkutan umum pada halte memakan<br />
waktu lebih lama bila dibandingkan jika penumpang<br />
menunggu angkutan umum di tempat selain halte.<br />
Hal ini dapat menjadi penyebab keberadaan halte<br />
tidak dimanfaatkan oleh masyarakat dengan<br />
sebagaimana mestinya.<br />
77
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Tabel 8. Pengetahuan Tentang Halte<br />
Pengetahuan Jumlah %<br />
Tempat menunggu angkutan<br />
umum<br />
25 83.3<br />
Tempat berteduh dari panas<br />
2 6.7<br />
Tempat berjualan<br />
- -<br />
Tempat istirahat/duduk<br />
3 10.0<br />
Total 30 100<br />
3. Tempat menunggu angkutan umum<br />
selain pada halte<br />
Ketika menunggu angkutan umum, studi<br />
menunjukkan bahwa 100% responden pernah<br />
menunggu angkutan umum di tempat selain halte dan<br />
tidak ada responden yang tidak pernah menunggu<br />
angkutan umum di tempat selain halte.<br />
Adapun lokasi-lokasi yang biasa digunakan<br />
oleh responden untuk menunggu angkutan umum<br />
selain pada halte, ditemukan bahwa 63.3% responden<br />
memilih untuk menunggu di trotoar yang terdapat di<br />
sepanjang jalan raya. Masing-masing responden 10%<br />
dan 23.3% yang memilih persimpangan jalan dan<br />
tempat yang dekat dengan sarana publik. sementara<br />
itu 3.4% responden menjawab dengan alasan lainlain.<br />
Di Kota Medan masyarakat lebih memilih<br />
menunggu angkutan umum tidak pada halte. Alasan<br />
responden menunggu angkutan di tempat selain halte,<br />
adalah para responden tidak perlu berjalan jauh untuk<br />
mendapatkan angkutan umum, yaitu sebanyak 43.3%<br />
responden. Sedangkan sebanyak 43.3% responden<br />
lainnya menjawab karena pengemudi bersedia<br />
berhenti dimanapun penumpang menunggu, dan<br />
tidak ada responden yang beranggapan bahwa halte<br />
merupakan tempat yang tidak aman dan nyaman<br />
untuk menunggu angkutan umum.<br />
Tabel 9. Alasan menunggu angkutan umum tidak pada<br />
halte<br />
Alasan Jumlah %<br />
Mudah memperoleh angkutan umum 4 13.4<br />
Pengemudi mau berhenti di mana saja 13 43.3<br />
Tidak perlu berjalan jauh 13 43.3<br />
Tidak aman dan nyaman - -<br />
Total 30 100<br />
4. Kondisi keberadaan halte di Kota Medan<br />
Kondisi halte pada wilayah ditanggapi<br />
dengan beragam alasan oleh pengguna halte. Dapat<br />
dilihat dari persentasenya, 60% responden menilai<br />
kondisi fisik halte di Kota Medan tidak terawat dan<br />
diabaikan, baik oleh para pengguna halte maupun<br />
oleh pemerintah kota. Sebanyak 33.3% responden<br />
menilai kondisi halte di Kota Medan telah berubah<br />
fungsi, seperti menjadi tempat berjualan maupun<br />
tempat mangkal para pengamen.<br />
Tetapi keberadaan halte di masyarakat,<br />
menurut 70% responden bahwa di Kota Medan<br />
keberadaan halte masih dibutuhkan oleh masyarakat.<br />
Jika di tinjau dari jumlah penyebaran halte<br />
di Kota Medan, 46.7% responden menilai kurangnya<br />
jumlah penyebaran halte untuk melayani kebutuhan<br />
masyarakat. Hanya 6.7% responden yang menilai<br />
sesuai dengan kebutuhan. Ada juga responden yang<br />
menilai bahwa penyebaran halte berlebih di kota<br />
Medan, yaitu sebanyak 3.3% responden.<br />
Adapun alasan 70% responden yang<br />
menanggapi dibutuhkannya keberadaan halte di Kota<br />
Medan, 19% dari responden tersebut menanggapi<br />
dengan adanya halte pada wilayah studi dapat<br />
mengurangi kemacetan lalu lintas pada<br />
persimpangan, dapat juga mengurangi antrian yang<br />
disebabkan angkutan umum berhenti di manapun<br />
untuk menaikkan atau menurunkan penumpang,<br />
dipilih sebanyak 28.6% responden, sedangkan 19%<br />
responden lainnya menanggapi halte hanya sebagai<br />
tempat berlindung dari kondisi cuaca. Menurut<br />
responden terbanyak, yaitu sebesar 33.3%<br />
beranggapan bahwa keberadaan halte di Kota Medan<br />
dapat membuat tatanan kota menjadi lebih indah.<br />
Tingkat kriminalitas pada halte yang pernah<br />
dialami pengguna halte dapat dikatakan cukup<br />
rendah. Hanya 13.3% yang pernah mengalami tindak<br />
kriminal dengan persentase terbesar pada frekuensi<br />
satu kali pengalaman tindakan kriminal, yaitu sebesar<br />
100%.<br />
5. Saran pengguna terhadap pemerintah<br />
Sebanyak 26.7% responden pengguna halte<br />
menyarankan agar pemerintah melakukan sosialisasi<br />
penggunaan dan manfaat halte terhadap masyarakat,<br />
saran terhadap peningkatan ketertiban penggunaan<br />
halte dipilih oleh 50.0% responden dan 23.3%<br />
responden lainnya lebih memilih moderenisasi<br />
penampilan halte, sehingga masyarakat dapat<br />
menggunakan halte dalam kegiatannya sehari-hari<br />
untuk menunggu angkutan umum. Adapun kondisi<br />
halte yang diharapkan oleh pengguna, dalam usaha<br />
pemerintah untuk mengefektifitaskan penggunaan<br />
halte, sebanyak 53.3% responden mengharapkan<br />
kondisi halte yang bersih, aman dan nyaman<br />
sehingga penumpang angkutan umum mau<br />
memanfaatkan keberadaan halte tersebut. 30%<br />
pengguna halte lainnya mengharapkan kondisi<br />
dimana angkutan umum selalu berhenti pada halte<br />
dan tidak mengindahkan penumpang yang menunggu<br />
di tempat selain halte. Sedangkan kondisi halte<br />
dengan fasilitas yang memadai di pilih oleh 16.7%<br />
responden.<br />
78
Studi Efektifitas Penggunaan Halte di Kota Medan (Studi Kasus: Koridor-koridor Utama Kota Medan)<br />
Jeluddin Daud<br />
6. KESIMPULAN DAN SARAN<br />
6.1 Kesimpulan<br />
Keberadaan halte di Kota Medan tidak<br />
efektifit lagi penggunaannya bila ditinjau dari kondisi<br />
fisik halte, prilaku responden pengemudi halte<br />
maupun prilaku responden pengguna halte.<br />
6.1.1 Ditinjau dari kondisi fisik halte, dapat<br />
tunjukkan bahwa penggunaan halte di Kota<br />
Medan tidak lagi efektif, hal ini disebabkan<br />
karena:<br />
o Bangunan fisik, halte yang di bangun<br />
oleh pemerintah belum pernah<br />
mengalami perbaikan.<br />
o Sebanyak 90% halte di kota Medan<br />
digunakan sebagai tempat berjualan.<br />
o Halte di Kota Medan tidak dilengkapi<br />
dengan fasilitas, baik fasilitas utama<br />
maupun fasilitas tambahan. Seperti<br />
identitas halte berupa nama atau<br />
nomor, informasi tentang rute dan<br />
jadwal keberangkatan, serta ramburambu<br />
untuk menjamin keamanan<br />
pengguna.<br />
6.1.2 Ditinjau dari perilaku pengemudi angkutan<br />
umum :<br />
o Pengemudi angkutan umum pada<br />
wilayah studi tidak menggunakan<br />
halte, sarana untuk<br />
menurunkan/menaikkan penumpang.<br />
Pada prinsipnya pengemudi angkutan<br />
umum menyadari sepenuhnya<br />
manfaat daripada halte, tetapi sebagai<br />
individu pengemudi angkutan umum<br />
merasakan harus adanya dorongan<br />
yang keras dari pemerintah untuk<br />
melaksanakannya<br />
o Untuk itu, pengemudi merasa<br />
perlunya penegasan peraturan bagi<br />
pengguna jalan, untuk memanfaatkan<br />
halte sesuai dengan fungsinya. Yaitu<br />
dengan menaikkan/menurunkan<br />
penumpang pada halte.<br />
o<br />
Di kota Medan, 90% angkutan umum<br />
berupa mobil penumpang umum dan<br />
bukan bus. Hal ini yang memicu<br />
pengemudi<br />
untuk<br />
menurunkan/menaikkan penumpang<br />
di sembarangan tempat, sehingga<br />
halte tidak lagi berfungsi sebagai<br />
mana mestinya.<br />
6.1.3 Responden pengguna halte<br />
o Pengguna halte mengharapkan<br />
kondisi yang aman, nyaman dan<br />
bersih pada halte ketika menunggu<br />
angkutan umum. Tetapi hal tersebut<br />
tidak terwujud pada halte di Kota<br />
Medan.<br />
o Pengemudi angkutan umum bersedia<br />
menurunkan atau menaikkan<br />
penumpang di mana saja. Sehingga<br />
memicu penumpang enggan untuk<br />
berjalan menuju halte.<br />
o Penumpang angkutan umum<br />
memakan waktu lebih lama, 5 sampai<br />
10 menit untuk memperoleh angkutan<br />
umum ketika menunggu di halte. Hal<br />
ini tidak terjadi bila calon penumpang<br />
menunggu angkutan di tempat selain<br />
halte.<br />
6.2 Saran<br />
Seiring dengan perkembangan waktu,<br />
keberadaan halte di Kota Medan, apabila tidak<br />
mengalami perawatan, perbaikan dan perhatian<br />
khusus akan menjadi penyebab kemacetan di Kota<br />
Medan. Dengan berkembangnya waktu, armada<br />
angkutan umum juga akan bertambah banyak<br />
sehingga kemacetan tidak dapat dihindari. Mengingat<br />
kondisi masyarakat yang terbiasa tidak<br />
mengindahkan peraturan, angkutan umum yang<br />
berhenti di sembarangan tempat, sehingga di masa<br />
yang akan datang, Kota Medan akan dihadapkan<br />
dengan masalah transportasi yang sangat kompleks.<br />
Untuk itu hendaknya dari dini, sebelum<br />
masalah transportasi menjadi lebih kompleks,<br />
dilakukan penertiban lalu lintas. Seperti menegaskan<br />
peraturan kepada pengemudi angkutan umum dan<br />
pengguna halte untuk menggunakan halte dalam<br />
kegiatannya.<br />
Dalam mendukung pelaksanaannya<br />
hendaknya kondisi halte juga dalam keadaan bersih,<br />
aman dan nyaman. Serta memudahkan penumpang<br />
untuk memperoleh angkutan umum. Sehingga<br />
masyarakat tertarik untuk menggunakan halte.<br />
Angkutan umum hendaknya juga menggunakan halte<br />
dalam kegiatannya menaikkan/menurunkan<br />
penumpang. Sementara itu hendaknya halte<br />
dilengkapi dengan fasilitas-fasiltas untuk pengguna<br />
halte. Seperti tempat untuk duduk, informasi tentang<br />
rute, jadwal keberangkatan angkutan umum,<br />
jembatan penyeberangan, zebra cross dan ramburambu<br />
untuk keamanan pengguna halte. Untuk<br />
mencapai hal tersebut hendaknya pemerintah<br />
melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar<br />
masyarakat lebih memahami fungsi dari halte<br />
tersebut. Menegakkan disiplin bagi pengemudi<br />
angkutan umum agar pengemudi menggunakan halte<br />
untuk menaikkan/menurunkan penumpang. Hal ini<br />
dpat dengan mudah dilaksanakan mengingat 100%<br />
pengguna halte mendukung apabila pemerintah<br />
melakukan peningkatan terhadap fungsi dan<br />
keberadaan halte<br />
79
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Iskandar, A., 1995. Menuju Lalulintas dan Angkutan<br />
Jalan Yang Tertib, Direktorat Jendral<br />
Perhubungan Darat, Jakarta.<br />
Jalil, A., dkk., 1997. Metode Penelitian buku 2 modul<br />
3-5, <strong>Universitas</strong> terbuka.<br />
Catur, F.R, 2002. Faktor–faktor yang<br />
mengakomodasikan<br />
Ketidakefektifan<br />
Penggunaan Halte, Makalah. Semarang.<br />
Direktorat Jendral Perhubungan Darat. 1996.<br />
Pedoman teknis Perekayasaan Tempat<br />
perhentian Kendaraan Penumpang Umum,<br />
Keputusan Direktur Jendral Perhubungan Darat (<br />
nomor : 271/HK.105/DRJD/96 ).<br />
Morlok, E. K., 1984. Pengantar Teknik dan<br />
Perencanaan Transportasi, Erlangga Jakarta.<br />
Pemerintah Kota Medan, 2004. Lomba Tertib Lalu<br />
Lintas Dan Angkutan Kota Medan. Dinas<br />
Perhubungan Kota Medan. Medan.<br />
Peraturan Pemerintah RI No.41 Tahun 1993 Tentang<br />
Angkutan Jalan.<br />
Sudianto, B.U.,2003. Perancangan Tempat Henti<br />
Bus Dalam Rangka Pembangunan Kota<br />
Semarang, Artikel. Semarang.<br />
Vuchic,V.R, Urban Public Transportation System<br />
and Technology, Prentice- all, Inc., New Jersey,<br />
1981.<br />
Warpani S., (1990). Merencanakan Sistem<br />
Perangkutan, ITB, Bandung.<br />
80
Kajian Persamaan Stabilitas Kolom pada Portal Bergoyang<br />
Faizal Ezeddin<br />
KAJIAN PERSAMAAN STABILITAS KOLOM PADA<br />
PORTAL BERGOYANG<br />
Faizal Ezeddin<br />
Staf Pengajar Teknik Sipil FT. USU<br />
Abstrak<br />
Kapasitas daya dukung kolom berdasarkan panjang efektif umumnya ditetnukan berdasarkan prosedur<br />
nomogram, dan telah diadopsi beberapa peraturan seperti AISC-LRFD (1994), ACI (1995), dan SNI (2000).<br />
Metode ini berdasarkan beberapa asumsi yang kurang realistik, antara lain dengan asumsi semua kolom<br />
mempunyai parameter kekakuan sama, dan hanya tergantung pada panjang, gaya aksial, momen inersia kolom.<br />
Sebuah prosedur untuk menentukan panjang efektif kolom disajikan dlaam tulisan ini dengan menggunakan<br />
fungsi stabilitas berdasarkan modifikasi pesamaan slope-deflection. Metode ini memperhitungkan perilaku<br />
inelastis kolom, ketidak kakuan sambungan balok ke kolom, dan perbedaan parameter kekakuan kolom. Studi<br />
numerik dilakukan untuk mendapatkan pengaruh parameter-parameter terhadap faktor K. kekakuan sambungan<br />
balok ke kolom, parameter kekakuan kolom, dan kondisi ujung-ujung dari batang-batang terkekang ternyata<br />
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap faktor K.<br />
Kata Kunci: Stabilitas, kolom portal bergoyang, kekakuan sambungan, faktor panjang efektif, perilaku<br />
inelastis, <strong>teknik</strong>.<br />
1. Pendahuluan<br />
Kebanyakan peraturan-peraturan yang digunakan<br />
didalam menentukan panjang efektif kolom pada<br />
bangunan baja atau beton menggunakan prosedur<br />
nomogram baik untuk portal bergoyang maupun<br />
tidak bergoyang. Prosedur nomogram ini telah<br />
diaposi oleh tulisan ini, sebuah prosedur<br />
dikembangkan untuk memprediksi panjang efektif<br />
kolom pada portal berdasarkan pengembangan dari<br />
persamaan slope-deflection dengan<br />
memperhitungkan pengaruh ketidak kakuan<br />
sambungan, kondisi beberapa peraturan seperti<br />
AISC-LRFD (1994). ACI (1995), dan peraturan<br />
Indonesia SNI (2000), dan telah digunakan secara<br />
luas oleh para praktisi (1998), dan Liew et al (1992).<br />
Pada Gbr Ia dapat dilihat pengaruh perbedaan beban<br />
pada kolom terhadap panjang efektif kolom seperti<br />
yang dilaporkan oleh Liew et al (1993) ujung-ujung<br />
batang,d an perbedaanparameter kekakuan kolom.<br />
Juga, diberikan hasil numerik dari beberapa contoh<br />
yang dikaji.<br />
Gbr 1.a Karakteristik faktor K pada portal<br />
81
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
2. Persamaan Slope-Deflection yang<br />
termodifikasi<br />
Tinjauan suatu balok-kolom seperti pada<br />
Gbr 1b. persamaan slope deflection dengan<br />
memperhitungkan perilaku inelastis batang dapat<br />
dinyatakan sebagai berikut (Goncalves 1992) dimana<br />
C dan S adalah fungsi stabilitas diberikan seperti<br />
sinαL<br />
−αL<br />
cosαL<br />
C = αL<br />
2 − 2cosαL<br />
−αLsinαL<br />
αL -sinαL<br />
S = αL<br />
2 − 2cosαL<br />
−αLsinαL<br />
(2a)<br />
(2b)<br />
P<br />
α =<br />
(3)<br />
EIπ<br />
E1<br />
η =<br />
E<br />
EIη<br />
⎡<br />
Δ ⎤<br />
M<br />
A<br />
=<br />
⎢<br />
Cθ<br />
A<br />
+ Sθ<br />
B<br />
− ( C + S)<br />
⎥<br />
(1a)<br />
L ⎣<br />
L ⎦<br />
EIη<br />
⎡<br />
Δ ⎤<br />
M<br />
B<br />
=<br />
⎢<br />
Cθ<br />
B<br />
+ Sθ<br />
A<br />
− ( C + S)<br />
⎥<br />
(1b)<br />
L ⎣<br />
L ⎦<br />
⎧<br />
⎪<br />
⎪1,0<br />
E1<br />
⎪<br />
= ⎨<br />
E ⎪<br />
⎪<br />
⎛<br />
02,7243⎜<br />
⎪<br />
⎩ ⎝<br />
dimana λ =<br />
c<br />
P<br />
P<br />
y<br />
⎞ ⎛<br />
⎟ln⎜<br />
⎠ ⎝<br />
2<br />
2π<br />
E<br />
F<br />
y<br />
P<br />
P<br />
y<br />
⎞<br />
⎟<br />
⎠<br />
untuk P<br />
untuk P<br />
⎫<br />
⎪<br />
< 0,39Py<br />
⎪<br />
⎪<br />
⎬<br />
⎪<br />
> 0,39P ⎪<br />
y<br />
⎪<br />
⎭<br />
(6)<br />
Adalah rasio kelangsungan sebagai batas ekuk elastis<br />
dan inelastis ; F y = tegangan leleh dan<br />
KL<br />
λ = (7)<br />
r<br />
Adalah rasio kelangsingan kolom ; K = faktor<br />
panjang efektif kolom, dan r = jari-jari inersia<br />
penampang.<br />
Dalam tulisan ini parameter η = E E1<br />
menggunakan formula dari SSRC karena<br />
berhubungan langsung dengan rasio kelangsingan<br />
kolom.<br />
dimana l = momen inersia penampang tehradap<br />
sumbu tegak lurus bidang tekuk,; L = panjang kolom<br />
; E = modulus elastistias bahan, dan E 1 = modulus<br />
tangen. Bila gaya aksial P = 0, maka C = 4 dan S = 2.<br />
Di sini digunakan metode AISC-LRFD<br />
dapat digunakan untuk mendapatkan parameter<br />
η = E E 1<br />
antar alain :<br />
- Formula tangen modulus AISC-LRFD<br />
diberikan dalam bentuk<br />
3. Fungsi Stabilitas Tergeneralisir<br />
Prosedur yang diberikan Chen dan Lui<br />
(1991( dan Goncalves (1992) digunakan disini untuk<br />
mengembangkan fungsi stabilitas elemen balok<br />
dengan memperhitungkan syrat batasnya. Dengan<br />
mengabaikan pengaruh deromasi aksial, maka nilai<br />
fungsi stabilitas C = 4 dan S = 2. Bila sambungan<br />
balok ke kolom tidak kaku sempurna tetapi fleksibel<br />
(Gbr 2) maka bentuk persamaan slope-deflection<br />
menjadi<br />
Ei ⎡ ⎛ M<br />
A ⎞ ⎛ M<br />
B ⎞⎤<br />
M<br />
A<br />
= ⎢4⎜θa<br />
− ⎟ + 2⎜θ<br />
B<br />
− ⎟⎥<br />
(8a)<br />
L ⎣ ⎝ k ⎠ ⎝ k ⎠⎦<br />
Ei ⎡ ⎛ M<br />
B ⎞ ⎛ M<br />
A ⎞⎤<br />
M<br />
B<br />
= ⎢4⎜θ<br />
B<br />
− ⎟ + 2⎜θ<br />
A<br />
− ⎟⎥<br />
(8b)<br />
L ⎣ ⎝ k ⎠ ⎝ k ⎠⎦<br />
82
Kajian Persamaan Stabilitas Kolom pada Portal Bergoyang<br />
Faizal Ezeddin<br />
Bila persamaan (8a) dan (8b) diselesaikan dalam<br />
bentuk M A dan M B diperoleh<br />
Ei<br />
M<br />
A<br />
= [ Dθ<br />
A<br />
+ TθB<br />
] (9a)<br />
L<br />
Ei<br />
M<br />
B<br />
= [ DθB<br />
+ Tθ<br />
A]<br />
(9a)<br />
L<br />
dimana<br />
⎛ 3 ⎞<br />
4⎜1<br />
+ ⎟<br />
k<br />
D =<br />
⎝ ⎠<br />
⎛ 6 2 ⎞<br />
⎜1<br />
⎟ ⎜1<br />
⎟<br />
k ⎠⎛ ⎞ + +<br />
⎝ ⎝ k ⎠<br />
2<br />
T =<br />
⎛ 6 2 ⎞<br />
⎜1<br />
⎟ ⎜1<br />
+ ⎟<br />
k ⎠⎛ ⎞ +<br />
⎝ ⎝ k ⎠<br />
(10a)<br />
(10b)<br />
4. Persamaan Faktor Panjang Efektif<br />
Model yang digunakan didalam menentukan<br />
nilai K untuk kolom pada portal bergoyang<br />
diperlihatkan pada Gbr 3. kolom yang dikaji adalah<br />
kolom C2 pada gambar. Beberapa asumsi yang<br />
digunakan pada model ini adalah :<br />
Disebut sebagai fungsi stabilitas tergeneralisir, dan<br />
K<br />
=<br />
⎛<br />
⎜<br />
⎝<br />
k<br />
Ei<br />
L<br />
⎞<br />
⎟<br />
⎠<br />
(10c)<br />
Adalah koefisien kekakuan tanpa dimensi pada<br />
sambungan, dan k = kekakuan sambungan dianggap<br />
kekakuan sambungan berperilaku linear dan sama<br />
besar untuk semua balok.<br />
Bila ujung A adalah terhubung fleksibel<br />
dengan batal lain dan ujung lain B dapat berupah<br />
kondisi batas sendi atau jepit, maka memoen ujungujung<br />
dapat dinyatakan sebagai :<br />
Ei ⎡ ⎛ M<br />
A ⎞ ⎛ M<br />
B ⎞⎤<br />
M<br />
A<br />
= ⎢4⎜θ<br />
a<br />
− ⎟ + 2⎜θ<br />
B<br />
− ⎟⎥<br />
(11a)<br />
L ⎣ ⎝ k ⎠ ⎝ k ⎠⎦<br />
Ei ⎡ ⎛ M<br />
B ⎞ ⎛ M<br />
A ⎞⎤<br />
M<br />
B<br />
= ⎢4⎜θ<br />
B<br />
− ⎟ + 2⎜θ<br />
A<br />
− ⎟⎥<br />
(11b)<br />
L ⎣ ⎝ k ⎠ ⎝ k ⎠⎦<br />
Dimana d, T, H adalah fungsi stabilitas<br />
tergeneralisir, dengan persamaan<br />
4<br />
D =<br />
(13a)<br />
4<br />
1+<br />
k<br />
2<br />
T =<br />
(13b)<br />
4<br />
1+<br />
k<br />
12<br />
4 +<br />
H = k (13c)<br />
4<br />
1+<br />
k<br />
Perlu diketahui bahwa bila ujung balok B adalah<br />
jepit, maka rotasi θ B dibuat nol, sedangkan memen<br />
ujung M B adalah nol bila ujung B sendi.<br />
Gbr.3.<br />
Model terakit untuk faktor K pada portal<br />
bergoyang.<br />
1. Semua batang adalah prismatis.<br />
2. Deformasi aksial pada balok diabaikan.<br />
3. Kolom-kolom berdekatan mencapai beban<br />
kritisnya secara bersamaan.<br />
4. Ujung balok terdekat tersambung fleksibel ke<br />
batang-batang lain.<br />
5. Kondisi ujung-ujung jauh balok mungkin<br />
fleksibel, sendi atau jepit.<br />
6. Kondisi ujung-ujung jauh kolom C1 dan C3<br />
mungkin kaku, sendi atau jepit.<br />
7. Kekakuan sambungan balok ke kolom dianggap<br />
konstan dan sama besar.<br />
8. Parameter kekauan L P / EI dapat berbeda<br />
antara satu kolom dengan lainnya.<br />
Dengan menerapkan persamaan slope-deflection<br />
ada struktur terakit Gbr. 3, dan membentuk<br />
persamaan-persamaan keseimbangan pada joint A<br />
dan B, serta keseimbangan gaya geser tingkat maka<br />
diperoleh ;<br />
M ACI +M AC2 +M Ag1 + M Ag2 = 0 (14a)<br />
M AB3 +M AB2 +M Bg3 +M Bg4 = 0 (14b)<br />
M ACI + M CC1 +P 1 Δ 1 =0 (14c)<br />
M AC2 + M BC2 +P 2 Δ 2 =0 (14d)<br />
M BC3 + M DC3 +P 3 Δ 3 =0 (14e)<br />
Pada saat tekuk terjadi maka determinan dari<br />
persamaan (14a) s/d (14e) adalah sama dengan nol<br />
83
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
a<br />
a<br />
det a<br />
a<br />
a<br />
11<br />
21<br />
31<br />
41<br />
51<br />
a<br />
a<br />
a<br />
a<br />
a<br />
12<br />
22<br />
32<br />
42<br />
52<br />
a<br />
a<br />
a<br />
a<br />
a<br />
13<br />
23<br />
33<br />
43<br />
53<br />
a<br />
a<br />
a<br />
a<br />
a<br />
14<br />
24<br />
34<br />
44<br />
54<br />
a<br />
a<br />
a<br />
15<br />
a<br />
a<br />
25<br />
35<br />
45<br />
55<br />
= 0<br />
(15)<br />
Dimana koefisien a 11 s/d a 55 (Essa 1998) adalah<br />
a 11 = K c2 C 2 +K cl (C 1 +R 1 S 1 ) + K g1 (D 1 +R 1 T 1 ) +<br />
K g2 (D 2 +R 8 T 2 ) (16)<br />
a 12 = K c2 S 2 + K cl R 2 S 1 (17)<br />
a = K C + S (1 − R ) (18)<br />
a<br />
a<br />
13<br />
15<br />
53<br />
= a<br />
= a<br />
cl<br />
23<br />
54<br />
[ ]<br />
1<br />
= a<br />
= 0<br />
34<br />
1<br />
= a<br />
35<br />
3<br />
= a<br />
43<br />
= a<br />
45<br />
=<br />
(19)<br />
Yang mana R 1 sampai R 10 adalah koefisienkoefisien<br />
ujung jauh diberikan pada tabel 1; K cl , K c2 ,<br />
dan K c3 adalah masing-masing kekauan lentur dari<br />
kolom C1, C2 dan C3; L 1 , L 2 dan L 3 adalah masingmasing<br />
panjang kolom C1, C2 dan C3 ; K g1 , K g2 , K g3<br />
dan K g4 adalah masing-masing kekakuan lentur dari<br />
balok g1, g2, g3, dan g4 ; P 1 , P 2 dan P 3 adalah<br />
masing-masing beban aksial dari kolom C1, C2 dan<br />
C3; D 1 T 1 , D 2, T 2 , D 3 , T 3 , D 4 dan T 4 adalah fungsi<br />
stabilitas tergeneralisir ditentukan dari pers (10) atau<br />
(13) untuk masing-masing balok g1, g2, g3 dan g4,<br />
C1, S 1 , C 2 , S 2 , C 3 DAN S 3 adalah sama dengan fungsi<br />
stabilitas C dan S masing-masing untuk kolom C1,<br />
C2 dan C3. untuk kolom ke I (Ci), nilai parameter<br />
kekakuan, α I dibutuhkan untuk menentukan fungsi<br />
stabilitas C 1 dan S 1 dari pers (2) diperoleh sebagai<br />
π PiI<br />
2η<br />
2<br />
α<br />
i<br />
=<br />
(31)<br />
KL2 P2<br />
I<br />
iη1<br />
Dimana I i dan I 2 masing-masing momen<br />
inersia kolom Ci dan C 2 ; P i dan P 2 adalah masingmasing<br />
beban aksial dari kolom Ci dan C2; η I dan η 2<br />
masing-masing rasio tangen modulus terhadap<br />
modulus elastis kolom Ci dan C2.<br />
Nilai-nilai yang diberikan pada tabel 1 digunakan<br />
untuk memenuhi kondisi-kondisi berikut.<br />
a. Bila ujung jauh sendi, momen adalah nol pada<br />
ujung tersebut.<br />
b. Bila ujung jauh jepit, rotasi adalah nol pada<br />
ujung tresebut.<br />
c. Bila ujung kolom C1 dan C3 adalah kaku,<br />
rotasi ujung jauh diambil sebagai θ C = θ B<br />
atau θ D = θ A<br />
d. Bila ujung jauh balok adalah kaku, rotasi pada<br />
ujung jauh dan dekat adalah searah dan sama<br />
besar.<br />
Setelah menerapkan kondisi-kondisi diats,<br />
hanya lima besaran yang tidak diketahui dari pers<br />
(15), yaitu θ A , θ B , Δ 1 / l 1 , Δ 2 l 2 Δ 3 / l 3 . karena<br />
nilai parameter kekakuan L P / EI , adalah<br />
berbeda dari satu kolom dengan kolomlainnya, maka<br />
digunakan fungsi stabilitas yang berbeda.<br />
5. Contoh perhitungan<br />
Dalam pengembangan nomogram, dianggap<br />
parameter kekakuan L P / EI , adalah identik,<br />
dimana L = panjang kolom, P = beban aksial pada<br />
kolom, dan I = momem inersia kolom. Juga,<br />
dianggap kondisi ujung jauh kolom atas dan bawah<br />
begitu juga sambungan balok ke kolom adalah kaku.<br />
Namun, pada struktur sebenarnya, parameter<br />
kekakuan mungkin berbeda dari satu kolom edngan<br />
kolom lainnya. Begitu juga sambungan balok ke<br />
kolom mungkin fleksibel. Untuk menunjukkan<br />
pengaruh parameter-parameter tehradap panjang<br />
efektif kolom, ditinjau suatu model struktur seperti<br />
pada Gbr. 4. disini akan diperksa stabilitas kolom<br />
AB. Semua batas terdiri dari porfil W8X58 dari A36<br />
dengan F Y = 250 Mpa dan E = 200000 Mpa.<br />
Semua batang mempunyai panjang sama (L 1<br />
= L 4 = 4 m). beban aksial pada kolom adalah sama<br />
(P 1 = P 2 ). Kondisi ujung jauh kolom atas dan bawah<br />
begitu juga sambungan balok ke kolom dianggap<br />
kaku.<br />
84
Kajian Persamaan Stabilitas Kolom pada Portal Bergoyang<br />
Faizal Ezeddin<br />
5.1. Pengaruh Beban-beban kolom<br />
Pada prosedur menentukan faktor K denagn<br />
nomogram, beban aksial tidak memberikan<br />
kontribusi, namun banyak peneliti (Goncalves 1992,<br />
Bridge dan Fraser 1987 dan Liew et al 1993)<br />
membuktikanbahwa beban aksial pada kolom<br />
mempengaruhi terhadap besarnya faktor K pada<br />
portal tidak bergoyang.<br />
Untuk memeriksa pengaruh beban aksial ini<br />
terhdap bearnya faktor K, beban aksial P 2 pada<br />
kolom AB dipertahankan sama edngan kolom<br />
dibawahnya, sementara beban aksial diatasnya P 1<br />
dibuat bervariasi sehngga o < P 1 P 2 < 2,0. momen<br />
inersia dan panjang semua kolomdibuat tetap. Grafik<br />
faktor K, sebagaimana diperoleh model elastis dan<br />
inelastis dan dari nomogram, terhadap rasio beban<br />
aksial P 1 /P 2 ditunjukkan pada Gbr. 5. Panjang efektif<br />
diperoleh dari analisis inelastis biasanya lebih kecil<br />
dari yang diperoleh analisis elastis.<br />
5.2. Pengaruh dari Panjang Kolom<br />
Untuk mempelajari pengaruh panjang kolom,<br />
fkator K elastis dan inelastis kolom AB akan<br />
ditentukan dari Gbr 4. panjang kolom AB L 2 begitu<br />
juga kolom dibawahnya dipertahankan tetap 4 m,<br />
sedangkan Panjang koom atas L 1 dibuat bervariasi<br />
dari 2 m sampai 8 m. momen inersia semua kolomt<br />
etap dibuat sama.<br />
Pada prosedur nomogram rasio kekakuan<br />
lentur relatif joint ujung-ujung A dan B dari kolom<br />
digunakan menentukan faktor K. karena panjang<br />
koom telah termasuk didalam mengevaluasi rasio<br />
kekakuan lentur, maka dapat dikatakan bahwa<br />
engaruh panjang kolom telah diperhitungkan penuh.<br />
Namu, hal ini tidak memberikan hsil yang<br />
representatif karena dari pada gbr 6, faktor K yang<br />
diperoleh dari model elastis dan inelastis dan<br />
nomogram, di plot sebagai fungsi dari rasio L 1 /L 2 .<br />
faktor K yang diperoleh dari model elastis dan<br />
inelastis meningkat bila rasio L 1 /L 2 semakin besar.<br />
Sebaliknya, ketika rasio L 1 /L 2 semakin besar, faktor<br />
K yang diperoleh dari nomogram cenderung<br />
menurun. Bila rasio L 1 /L 2 semakin besar, faktor K<br />
yang diperoleh dari nomogram cenderung menurun.<br />
Bila rasio L 1 /L 2 > 1,0, aprameter kekakuan dari<br />
kolom atas melebihi kolom AB dan reduksi faktor<br />
panjang efektif dari analisis elastis cukup signifikan<br />
lebih besar dari nilai yang diperoleh nomogram Gbr<br />
6 dapat dilihat hasil analisis elastis tidak sama<br />
edngan nomogram.<br />
Pengaruh Luas Penampang Kolom<br />
Untuk tujuan memeriksa pengaruh luas<br />
penampang kolom atas dan bawah terhadap faktor<br />
panjang efektif, kolom AB yang dianalsia ukurannya<br />
tepta W8X58. (l=9490 cm 4 , r=9,28 cm). kolom ats<br />
dibuat beberapa ukuran dari W8X18 (l= 2576 cm 4 , r<br />
= 8,71 cm) sampai W12X72 (l=24800 cm 4 , r = 13,51<br />
cm). Panjang dan beban aksial pada semua kolom<br />
dibuat ttap. Hasil yang diperoleh seperti ditunjukkan<br />
pada gbr. 7, yang mana faktor K, ditentukan dari<br />
analisis elastis dan inelastis dan nomogram di plot<br />
tehradap rasio l 1 /l 2 . dalam hal ini l 1 dan I 2 masingmasing<br />
momen inersia kolom atas dan W8X58.<br />
faktor K yang diperoleh dari analisis elastis cukup<br />
signifikan perbedannya bila dibandingkan dengan<br />
prosedur nomorgram. Juga, dapat diamati ada<br />
perubahan yang tajam pada faktor K inelastis.<br />
Phenomena ini merupakan petunjuk fakta bahwa dua<br />
parameter penampang, yaitu memen inersia dan jarijari<br />
inersia terlibat dalam Gbr 7.<br />
Gbr. 6 Pengaruh panjang kolom atas pada faktor K<br />
85
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Untuk mengetahui secara terpisah pengaruh<br />
momen inersia terhadap faktor K, profil kolom atas<br />
W8X58 diganti dengan beberapa penapang buatan<br />
sehinggajari-jari inersia tetap sama dengan profil<br />
W8X5 tetapi momen inersia berbeda. Hasilnya<br />
ditunjukkan pada gbr 8, dimana variasi faktor K yang<br />
diperoleh dari moedl elastis dan inelastis dan dari<br />
nomogram, di plot sebagai fungsi dari rasio l 1 /l 2 . jelas<br />
terlihat bahwa faktor K yang diperoleh dari model<br />
elastis sedikit lebihkecil dari yang diperoleh dari<br />
nomogram. Untuk nilai-nilai l 1 /I 2 yang relatif kecil,<br />
faktor K yang diperoleh dari model elastis dan<br />
ienlastis adalah identik. Bila diliht pada rasio l 1 /I 2 ><br />
1, faktor K yang diperoleh dari model elastis dan<br />
inelastis hampir konstan.<br />
5.4. Pengaruh Sambungan Fleksibel balok ke<br />
kolom<br />
Untuk melihat pengaruh sambungan fleksibel<br />
terhadap faktor K, maka kekakuan sambungan balok<br />
ke kolom untuk keempatnya dibuat bervarisi dari nol<br />
sampai 400 MN-m/rad, yang mana dianggap cukup<br />
Terakhir, dikaji secara terpisah pengaruhjari-jari<br />
inersia terhadap faktor K. untuk ini, profil kolom atas<br />
W8X58 diganti dengan beberapa penampang buatan,<br />
sehingag didapt momen inersia tetap sama dengan<br />
W8X58 tetapi jari-jari inersia dibuat berbeda. Hsil<br />
dari analissi ini ditunjukkan pada gbr. 9, diamna<br />
faktor K yang diperoleh dari model elastis dan<br />
inelastis di plot terhadap rasio r 1 / r 2 . dalam hal ini r 1<br />
dan r 2 masing-masing adalah jari-jari inersia kolom<br />
atas dan kolom AB. Sebagaimana dilihat dari gbr. 9.<br />
untuk mewakili berbagai tipe sambungan fleksibel,<br />
yang ditentukan dari percobaan yang umumnya<br />
dijumpai dalam bangunan sebenarnya (Ackroyd dan<br />
Gerstle 1983). Beban aksial, panjang, dan momen<br />
inersia semua kolom dibuat d kosnstan. Pada Gbr 10<br />
ditunjukkan variasi faktor K dari analisis elastis,<br />
inelastis dan nomogram dengan meningkatnya<br />
kekakuan sambungan. Untuk kekakuan sambungan k<br />
> 70 MN-m/rad, faktor K dari analsis elastis, inelastis<br />
relatif stabil. Pada sambungan yang relatif fleksibel<br />
(k
Kajian Persamaan Stabilitas Kolom pada Portal Bergoyang<br />
Faizal Ezeddin<br />
inersia balok dan kolom, untuk tiga kondisi ujung<br />
kolom ats dan bawah yang berbeda, sendi, jepit, dan<br />
kaku. Perlu dicata bahwa fkator K yang didapat dari<br />
nomogram mirip edngan kasus kondisi ujung jauh<br />
jepit.<br />
5. Essa, S.H. (1998), “New Stability Equation<br />
for Columns in Ubraced Frames”, J. Struc.<br />
And Mechanic., (1998), 6(4), 411-425.<br />
6. Liew, J. Y.R. D. W. White and W. F. Chen<br />
(1992), “Beam-Column”, in Construction<br />
Steel Design, an International Guide,<br />
Chap.5.1. P. Dowling et al. (eds.), Elsevier,<br />
England, pp. 105-132.<br />
6. KESIMPULAN<br />
Prosedur nomogram akurat didalam<br />
memprediksi faktor K pada portal bergoyang jika<br />
parameter kekakuan kolom-kolom tersambung<br />
adalah sama dengan kolom yang dianalisa. Bila<br />
parameter kekakuan beberapa kolom tersambung<br />
lebih besar dai kolom yang diperiksa, faktor panjang<br />
efektif meningkat cukup signifikan, karena kolom<br />
tersebut akan memberi gangguan daripada<br />
mengekang kolom yang dianalisa.<br />
Kondisi – kondisi ujung jauh kolom diatas<br />
dan dibawah dari kolomyang diperiksa mempunyai<br />
pengaruh yang signifikan terhadap faktor K kolom<br />
yang dianalisa. Faktor panjang efektif dari prosedur<br />
nomogram adalah mirip dengan kondisi ujung jau<br />
jepit.<br />
Dalam hal pemilihan ukuran dan jenis<br />
sambungan tidak diatur dalam peraturan yang ada,<br />
stabilitas kolom dapat ditingkatkan dengan<br />
menggunakan sambungan balok ke kolom yang lebih<br />
kaku.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. American Institute of Steeel Contruction<br />
(1994), “Load and Resistance Faktor Design<br />
Specification Steel Building”, AISC,<br />
Chicago.<br />
2. Akroid, M.H. and Gerstle, K.H. (1983),<br />
“Elastic Stability of Flexibly Connected<br />
Frames,,” J. Struc.Eng., ASCE, 109(1), 241-<br />
245.<br />
3. Bridge, R. Q and Fraser, D. (1987),” Improve<br />
G-faktor Method for Evaluating Effecntive<br />
Lenghths of Column”, J.Struc.Eng. ASCE,<br />
113(6), 1341-1356.<br />
4. Chen, W.F and Lui, E.M. (1991), “Stability<br />
Design of Steel Frames”, CRC Press Inc,<br />
Boca raton, Florida.<br />
87
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
ANARKISME<br />
Rasyidin<br />
Abstrak: Anarki secara umum dipahami sebagai huruhara, atau ketidak teraturan atau kacau balau. Dalam<br />
pandangan orang awam apabila disebut kata-kata anarki adalah tidakada pemerintahan atau tidak ada<br />
pemerintah atau tidak ada aturan perundangan-undangan. Akan tetapi ada pendapat lain tentang anarkisme<br />
merupakan salah satu paham yang mampu memberikan motivasi untuk mengatakan yang sebenarnya. Dengan<br />
demikian anarkisme dapat dimaklumi sebagai sebuah filsafat hidup manusia yang ingin hidup bebas, demi dan<br />
sejahtera. Oleh karena itu anarkisme tidak boleh dipandang sebagai masalah yang dapat mendatangkan<br />
bencana, namun sebaliknya anarkhi merupakan sebuah aliran filsafat yang harus diketahui secara lebih<br />
mendalam.<br />
Key Word : Anarkhisme,filsafat hidup<br />
PENDAHULUAN<br />
Anarkisme sering terjadi di dunia,<br />
terutamanya di negara-negara yang sedang<br />
berkembang. Hal ini ada karena tidak ada kepuasan<br />
bagi sebagian orang, kerajaan terlalu lemah, undangundang<br />
tidak berjalan sebagaimana mestinya,<br />
keperluan masyarakat tidak terpenuhi, suasana politik<br />
dan ekonomi tidak berimbang. Disamping itu adanya<br />
masyarakat tantangan rakyat kepada kerajaan juga<br />
menyebabkan adanya anarkisme. Orang awam<br />
tatkala mendengar anakisme berasa trauma karena<br />
anarkisme akan membawa pengaruh yang tidak baik<br />
terhadap kegiatan kehidupan mereka. Ini karena<br />
anarkisme berhubungan dengan kekerasan dan<br />
kebiadaban. Oleh sebab itu sekiranya anarkisme<br />
berlaku dalam sesuatu kerajaan ia boleh membawa<br />
kehancuran akan ada di tempat tersebut.<br />
Dari segi sejarahnya anarkisme ini telah ada<br />
pada tahun 1798 oleh golongan buruh di pelbagai<br />
negara Eropah seperti Rusia dan Spanyol.<br />
Bangkitnya ajaran ini dihubungkan dengan nama<br />
Schimdt. Proudhon dan Bakunin. Ideologi ini berlaku<br />
di Itali, Prancis dan Spanyol, namun tidak<br />
berkesinambungn. (pada akhir tahun 1960-an). Di<br />
Prancis misalnya, anarkisme muncul pada bulan juni<br />
1968, ketika mahasiswa di Paris melakukan unjuk<br />
rasa dan membawa sepanduk anarkisme, protes.<br />
Gerakan ini kembali dilahirkan oleh sebuah gerakan<br />
kiri baru dan bekerjasama dengan gerakan komunal.<br />
Namun gerakan ini tidak bertahan lama karena tidak<br />
memperoleh dukungan yang kuat dari masyarakat.<br />
Namun selanjutnya anarkisme tersebar dan<br />
berkembang di Asia dan Amerika Serikat.<br />
Pada awal abad ke-19, anarkisme muncul<br />
kembali dan berkembng menjadi lawan terhadap<br />
teori Marxisme. Hal ini disebabkan anarkisme lebih<br />
bersifat libertarian berbanding Marxism yng otoriter.<br />
Walaupun kedua-dua teori ini mempunyai persamaan<br />
dari segi revolusi untuk meruntuhkan rezim borjuis<br />
yang monopoli. Perbedaannya terletak pada keadaan<br />
negara. Marxism menginginkan negara untuk<br />
mencapai tujuannya sedangkan anarkisme<br />
mengingninkan negara dibubarkan, sebab anarkisme<br />
berkeyakinan bahwa dengan adanya negara akan<br />
semakin sukar untuk memperoleh kebebasan karena<br />
terikat dengan aturan atau hokum.<br />
PENGERTIAN ANARKISME<br />
Perkataan anarkisme berasal dari bahasa<br />
Inggris yaitu anarchy. Bahasa Yunani menyebutkan<br />
dengan Anakhos/Anarchia tetapi semua perkataan ini<br />
bermaksud tidak ada pemerintahan atau pemerintah<br />
tanpa aturan dan undang-undang. Anarkisme juga<br />
berarti kacau balau, huru hara dan kekacauan.<br />
Mengikuti pendapat D. Black (1977:123), anarkisme<br />
adalah sebuah kehidupan masyarakat tanpa undangundang<br />
dan tanpa pemerintahan yang mengawasi<br />
masyarakat. Dalam konotasi positif, anarkisme<br />
merupakan ideology social yang tidak mau menerima<br />
pemerintahan yang memerintah secara otoriter. Dari<br />
segi konotasi negatifnya pula, anarkisme merupakan<br />
keyakinan yang tidak mengakui adanya undangundang<br />
atau aturan-aturan dan secara aktif terlibat<br />
dalam meningkatkan situasi kacau – balau dengan<br />
menghancurkan tatanan masyarakat (KOMNAS<br />
HAM 2001:17), oleh karena itu, anarkisme sangat<br />
diakui oleh negara-negara maju seprti Inggeris,<br />
Jerman, Amerika Serikat dan lain-lain.<br />
Selain itu anarkisme juga merupakan suatu<br />
arus intelektual dalam pemikiran social yang<br />
memperjuangkan penghapusan monopoli ekonomi<br />
dalam semua situasi politik dan social yang bersifat<br />
paksaan di dalam masyarakat. Dengan menggantikan<br />
tatanan ekonomi kapitalis, kaum anarkis akan<br />
membangun sebuah perhimpunan bebas dari semua<br />
kekuatan produktif yang didasarkan atas kerjasama<br />
(Rocker 2003 : internet). Kaum anarkis menurut<br />
penghapusan monopli ekonomi dalam segala bentuk<br />
dan menuntut hak milik bersama ke atas tanah dan<br />
semua pengeluaran. Hak untuk memakai fasilitas<br />
tersebut harus diberikan kepada setiap orang tanpa<br />
terkecuali. Kebebasan individu social hanya boleh<br />
ada jikalau semua orang mempunyai hak yang sama<br />
dalam bidang ekonomi.<br />
Anarkisme mempunyai persamaan dengan<br />
liberalisme tentang ide kebahagian dan kemakmuran.<br />
88
Anarkisme<br />
Rasyidin<br />
Seseorang haruslah menjadi norma dalam semua<br />
urusan social. Sama seperti pendapat liberalisme,<br />
anarkisme juga setuju dengan pembatasan fungsi<br />
negara. Jefferson (1935:134) menguraikan konsep<br />
liberalisme, dengan menyatakan bahwa pemerintahan<br />
yang baik adalah pemerintahan yang sedikit mungkin<br />
memerintah. Sedangkan Thoreau (1907:123) yang<br />
mewakili anakisme, menyatakan bahwa pemerintah<br />
yang baik adalah yang tidak memerintah sama sekali.<br />
Menurut Elliot, anarkisme adalah doktrin<br />
politik yang menyokong penghapusan otoritas yang<br />
sah . Pendapat ini menganggap setiap format<br />
pemerintahan itu adalah tirani dan malapetaka.<br />
Mereka ingin individu yang bebas, tanpa adanya<br />
kegiatan militer undang-undang tertulis dan penjara.<br />
Menurut Kropotkin (1933: 24) anarkisme adalah<br />
suatu prinsip atau teori yang dijalankan dalam<br />
masyarakat tanpa pemerintah sesuai di antara<br />
masyarakat tersebut dapat dibentuk tanpa terikat<br />
dengan undang-undang dan otoritas manapun,<br />
namun mereka bebas dari seluruh perjanjian, baik di<br />
antara kelompok, wilayah manapun kepakaran.<br />
Pengertian ini bermakna anarkisme itu bukanlah<br />
sebuah ideology (pandangan hidup), sebaliknya tidak<br />
sebuah teori tentang kehidupan yang bebas dari<br />
perjanjian dan undang-undang manapun.<br />
Manakala Burn beliau mengemukakan<br />
anarkis berarti oposisi kepada pemerintah<br />
berdasarkan kekuatan. Jadi setiap yang berlawanan<br />
dengan pemerintah tidak hanya dianggap sebagai<br />
penentang tetapi juga ditafsirkan sebagai anarkisme.<br />
Oleh karena itu anarkisme digolongkan ke dalam<br />
pertentangan dengan segala macam pemerintah<br />
secara paksa. Justru itu pengamal paham anarkisme<br />
selalu menolak institusi hokum, kepolisian karena<br />
dengan demikian anarkisme menghapuskan berbagai<br />
halangan kepada kelompok ini untuk bebas<br />
melakukan apa saja. Di samping itu, anarkisme<br />
mengandung tiga aspek penting yaitu (i) setiap<br />
manusia harus bebas dari penindasan dan<br />
kapitalisme, (ii) tidak terikat dengan pihak manapun,<br />
dan (iii) bebas dari otoritas kesusilaan agama dan<br />
lainnya (Albert Meltzer 1998:43)<br />
Bekman (1870-1936), pula melihat<br />
anarkisme sebagai kehidupan dalam masyarakat di<br />
mana masyarakat tersebut tidak ada paksaan apapun,<br />
suatu kehidupan tanpa paksaan berarti kebebasan, ciri<br />
ini memberikan suatu gambaran positif tentang<br />
anarkisme serta ketakutan kepada aliran ini.<br />
Anarkisme menginginkan suatu kehidupan yang<br />
penuh dengan kedamian dan bebas tanpa terikat<br />
aturan dan undang-undang dengan penuh dengan<br />
kedamian dan bebas tanpa terikat aturan dan undangundang<br />
dengan pihak manapun. Pandangan ini<br />
bertentangan dengan negara, lembaga keagamaan<br />
atau lembaga lainnya. Oleh karena itu anarkisme<br />
dibenci dan ditakuti, karena orang awam berpendapat<br />
akan menimbulkan kekacauan bukannya<br />
kehidupannya damai (Meltezer 1998)<br />
Asumsi dasar anarkisme adalah kekuasan<br />
dilaksanakan oleh seorang atau satu kelompok orang<br />
tertentu. Ada pendapat dari seorang anarkisme, ramai<br />
orang menyebutkan bahwa kerajaan itu perlu karena<br />
sebagian besar orang tidak mampu mengurus diri<br />
sendiri, namun anarkisme berpendapat bahwa<br />
pemeritah merugikan karena tidak seorang pun dapat<br />
dipercayai untuk mengurus orang lain. Semua<br />
anarkisme menyetujui pernyataan ini. Mereka yakin<br />
manusia mampu mengurus permasalahannya sendiri<br />
tanpa menyerahkan kepada orang lain. Hal ini berarti<br />
tatanan organisasi akan lebih baik dirancang oleh<br />
keperluan manusia berbanding system apapun yng<br />
dipaksakan dari pihak eksternal, kerena system ini<br />
mempunyai sifat (i) sukarela, (ii) fungsional,(iii)<br />
sementara dan (iv)kecil.<br />
Penolakan otoritas dan keyakinan bahwa<br />
masyarakat bersifat memaksa boleh diganti dengan<br />
kerjasama yang bersifat sukarela. Namun esensi<br />
anarkisme sebagai syarat mutlak adalah penghapusan<br />
wewenang atas seseorang oleh seseorang. Jadi jelas,<br />
bahwa ketakutan kepada aliran ini adalah untuk<br />
kepentingan orang/kelompok tertentu. Pengertian<br />
anarkisme sangat berbeda dengan apa yang dipahami<br />
oleh masyarakat pada masa sekarang, karena pada<br />
umumnya masyarakat nilai-nilai positif. Setelah<br />
dikaji paham ternyata tidak seluruhnya salah bahkan<br />
bersifat konstruktif dan akomodatif.<br />
TOKOH DAN ALIRAN ANARKISME.<br />
Tokoh anarkisme yang terkenal ialah seperti<br />
William Godwin (1756-1836). Piere Joseph<br />
Proundhon (1809-1856), Mikhail Bakunin (1814-<br />
1876), Leo Tolstoi (1828-1910), Marx Stirner (1806-<br />
1856), William Morris (1834-1896) dan Peter<br />
Krapotkin (1842-1921). Anarkisme seringkali<br />
dianggap sebagai mewakili aliran pemikiran radikal<br />
yang benar-benar demokratis dan libertarian. Ia<br />
dikemukakan oleh beberapa golongan sebagai satusatunya<br />
kebebasan filsafat politik yang tulen.<br />
Realitasnya adalah agak berbeda. Sejak lahirnya<br />
anarkisme merupakan sebuah doktrin yang antidmokratik.<br />
Memangnya, dua pencetus anarkisme<br />
yang paling penting, Pierre-Joseph Proundhon dan<br />
Michael Bakunin bersifat elitis dan berkuasa mutlak<br />
setinggi-tingginya, (Lyman Tower Sargent 1981 :<br />
148). Walaupun anarkis kemudiannya menoleh<br />
beberapa pencetus sebelumnya, falsafah mereka<br />
masih lagi bermusuhan dengan idea-idea demokratis<br />
dan kekuatan pekerja. Lebih –lebih lagi, permusuhan<br />
anarkis terhadap kapitalisme terpusat pada<br />
pertahanan dan kebebasan individu.tetapui<br />
kebebnasan yangt dipertahankan oleh anakis<br />
bukanlah kebebasan kelas pekerja untuk<br />
menumbuhkn sebuah masyarakat baru secara<br />
bersama. sebaliknya anarkisme mempertahankan<br />
kebebasan pemilki harta wong cilik dan pedagang<br />
kaki lima. Anarkisme mewakili wong cilik<br />
menentang kemajuan kapitalisme yang tidak dapat<br />
dielakkan. Oleh karena itu, ia memetingkan nilainilai<br />
dari masa yang lalu : harta individu, keluarga<br />
89
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
patriarki, rasisme (Lyman Tower Sargent 1984: 149)<br />
Disamping itu ada juga penemu Anarkisme<br />
yng terkenal seperti , Enrico Malatesta (1850-1932),<br />
Elisee Reclus (1830-1905), Benjamin Trucker (1854-<br />
1939) dan Josiah Warren (1798-1874), William<br />
Godwin adalah bapak masyarakat yang tidak<br />
mempunyai kewarganegaraan, beliau adalah<br />
penganut pendapat anarkisme sebagai pemikiran<br />
bahwa yang cinta damai. Truker pula mengatakan<br />
anarkisme senbagai pemikiran bahwa semua hal<br />
ehwal yang berhubungan dengan diri sendiri diurus<br />
oleh individu yng berkenaan dan bahwa negara harus<br />
ditiadakan. Enric Malatesta mengatakan anarkisme<br />
adalah penghapusan ekploitasi dan penindasan<br />
manusia hanya boleh dilakukan melalui pengurusan<br />
kapitalisme dan pemerintah. Peter Kropotkin<br />
mengatakan adalah sebuah sitem sosialis tanpa<br />
kerajaan, Ia dimulai antara manusia dan akan<br />
mempertahankan keupayaan dan kretivitasnya yang<br />
merupakan pergerakan dari manusia Jossiah Warren<br />
mengatakn kebebasan tanpa sosialisme adalah<br />
ketidakadilan dan sosialisme tanpa kebebasan adalah<br />
penghambatan dan keganasan. Di Italia, gerakan<br />
anarkisme telah melahirkan cukup banyak penulis<br />
mengenai anarkis seperti, Luigi Galleani, dan<br />
Camillo Berneri, mereka mengatakan anarkisme<br />
tidak mengharapkan bels kasihan karena percaya<br />
akan dapat melakukan kegiatannya,<br />
mempublikasikan buku dan majalah, menerbitkan<br />
rekaman, mendistribusikan literarture dan aktif dalam<br />
kegiatan politik (Mahajan 2001:759)<br />
Anarkisme boleh di bagikan kepada dua<br />
kategori (i) collectivist anarchism (anarckhi kolektif)<br />
dan (ii) Individulist Anarchism (Anakisme Individu),<br />
Collectivist Anarchism adalah anarkisme yang<br />
dilakukan secara kelompok dan menyeluruh. Mereka<br />
mempersoalkan bahwa segala sesuatu yang dilakukan<br />
secara paksa itu tidak baik. Manakala Individualist<br />
Anarchist adalah anarkisme yang dilakukan secara<br />
bersendirian dirinya sendiri, anarkisme ini tidak<br />
mengenal orang lain karena berasaskan kepada sifat<br />
egonya. Anarkisme ini selalunya melawan kepada<br />
disiplin dan semua otoritas yang ada karena ia tidak<br />
mahu menerima apapun bentuk kesusilaan. Ketika ia<br />
memberikan sesuatu kepada yang lain, misalnya rasa<br />
kasih sayang, persahabatn dan keramah-tamahan<br />
serta perilaku yang baik, itu tidak lain hanya suatu<br />
kepuasan egoisnya dalam kehidupannya.<br />
Bilangan kaum anarkisme adalah ramai,<br />
karena mereka telah muncul dua decade yang lalu.<br />
Oleh itu fluralisme pandangan tidak boleh dihindari.<br />
Walaupun demikian, benang merah2 anarkisme<br />
konsisten dan prinsipnya asasnya keterbukan, maka<br />
anarkisme mempunyai empat benang merah, yaitu (i)<br />
anarkisme menginginkan kebebasan martabat<br />
individu, Ia menolak segala jenis penindasan, Jika<br />
penidas itu kebetulan pemeritah, maka ia akan<br />
memilih masyarkat tanpa pemeritah, (ii) konsekuensi<br />
benang merah pertama adalah anarkisme anti<br />
hierarki, kerena hierarki selalunya berupa struktur<br />
organisasi dengan otoritasnya yang mendasari<br />
penguasaan yang menindas, (iii) anarkisme adalah<br />
paham hidup yang mencita-citakan sebuah kaum<br />
tanpa hirarki baik secara politik, social maupun<br />
budaya dan boleh hidup berdampingan secara damai<br />
dengan semua kaum lain dalam suatu system social.<br />
Ia mempunyai nilai tambah karena memaksimumkan<br />
kebebasan individu dan kesetaraan antara individu<br />
berasakan kerjasama, sukarela antar individu atau<br />
kompulan dalam masyarakat, dan (iv) kesan logis<br />
yang bararti membuktikan kebebasan tanpa<br />
persamaan, hanya bermakna kebebasan tanpa<br />
persamaan, hanya bermakna kebebasan para<br />
penguasa, dan persamaan tanpa kebebasan hanya<br />
berarti perbudakan (Meltzer 1998:12)<br />
Semua jenis paham anarkisme baik paham<br />
anarkisme berkumpulan maupun individu pada<br />
intinya adalah menginginkan kebebebasan.<br />
Anarkisme berpendapat bahwa semua orang boleh<br />
bebas dan boleh bekerjasama dalam bentuk sukarela<br />
dan tanpa paksaan apapun. Mereka mempercayai<br />
bahwa setiap manusia dapat menolong sesamanya<br />
dan mereka percaya bahwa naluri masyarakat sangat<br />
baik, tetapi telah dirusakkan oleh organisasi yang<br />
dibina masa sekarang (Lyman Tower Sargent<br />
1981:148)<br />
Penganut paham anarkhi juga menyadari<br />
bahwa suatu tanggungjawab dari setiap orang tua<br />
terhadap anaknya berhubung kait dengan pendidikan<br />
anak-anak mereka terutamanya mengenai kebebasan.<br />
Karena merasakan terdapat system pendidikan pada<br />
masa kini ada juga bersifat merusak kebebasan dan<br />
kreativitas serta segala kemungkinan lainnya pada<br />
anak-anak mereka.<br />
Namun terdapat satu lagi aliran yang<br />
kadang-kala di hubungkan dengan anarkisme. Ini<br />
adalah sindikialisme. Pendirian sindikialisme<br />
memang percaya pada aksi kelas pekerja kolektif<br />
untuk merubah masyarakat. Pihak sindikialisme<br />
memandang kepada aksi kesatuan pekerja, seperti<br />
boikot umum untuk menumbangkan kapitalisme.<br />
Walaupun beberapa pandangan sindikialisme<br />
mempunyai kesamaan pada permukaan dengan<br />
anarkisme. Berkaitan dengan permusuhannya dengan<br />
politik dan aksi politik. sindikialisme bukanlah<br />
sejenis anarkisme tulen. Dengan menerima keperluan<br />
untuk aksi dan pengambilan keputusn secara luas dan<br />
bersama, sindikialisme lebih baik dari anarkisme<br />
klasik. Tetapi, dengan ,menolak ide aksi politik kelas<br />
pekerja, sindikialisme tidak pernah memberikan<br />
tujuan yang sebenarnya bagi percobaan pekerjaan<br />
untuk mengubah masyarakat.<br />
Pierre-Joseph Proundhon yang dikenali<br />
sebagai bapak anarkisme adalah salah satu kes<br />
contoh. Beliau menentang dengan kuat pembangkitan<br />
kapitalisme di Pranci. Tetapi tentangan Proundhon<br />
terhadap kapitalisme secara keseluruhannya bersifat<br />
memandang ke belakang. Dia tidak mengharapkan<br />
sebuah masyarkat baru yang didasarkn pada harta<br />
bersama, yang dapat menggerakkan penciptaan-<br />
90
Anarkisme<br />
Rasyidin<br />
penciptaan terulang dari revolusi per<strong>industri</strong>an,<br />
Sebaliknya, Proundhon menganggap harta kecil dan<br />
swasta sebagai dasar bagi utopianya. Doktorinnya<br />
adalah sesuatu yang direka bukannya untuk kelas<br />
pekerja yang membangun, tetapi bagi borjuasi kecil<br />
yang semakin lesap, yang terdiri dari tukang-tukang<br />
kraf, pedagang-pedagng kecil dan petani-petani kaya.<br />
Sebenarnya, Proundhon begitu menakuti kuasa<br />
tersusun kelas pekerja yang membangun sehingga dia<br />
menentang kesatuan-kesatuan pekerja dan memberi<br />
dukungan kepada pihak polis yang menghancurkan<br />
aksi permogokkan (McNally 1986:15)<br />
Sesuai dengn pendirian ini, Proundhon<br />
mendukung hampir setiap gerakan mundur yang<br />
dapat didukungnya. Ia merupakan seorang rasis,<br />
dengan menyimpan kebenciannya pada kaum<br />
Yahudi, di mana dia mengharapkan permusuhan<br />
mereka. Dia menentang pembebasan bagi rakyat kulit<br />
hitam Amerika Serikat dan menyokong gerakan bagi<br />
pemilik hamba di selatan semasa Perang Saudara<br />
Amerika. Ia juga mengecam kebebasan wanita,<br />
dengan menulis : Bagi wanita, kebebasan dan<br />
kehidupan baik hanya terletak dalam perkawinan<br />
dalam usaha menjadi ibu, dalam tugas-tugas rumah<br />
tangga (Lyman Tower Sargent 1981:149)<br />
Anarkhis-anarkhis awal menakuti kekuasaan<br />
teratur kelas pekerja modern.Sampai sekarang,<br />
kebanyakan anarkhis mempertahankan ‘kebebasan’<br />
bagi individu swasta menentang bentuk-bentuk<br />
susunan kehidupan social kolektif yang paling<br />
demokrastis. Penulis anarkis kanasa, George<br />
Woodcock, menjelaskan ‘’Walaupun demokrasi<br />
mungkin dibolehkan, anarkis tidak akan<br />
mendukungnya. Anarkis tidak mendukung kebebasan<br />
politik. Apa yang mereka programkan adalah<br />
kebebasan dari politik. ‘’artinya, anarkis menolak<br />
berbagai proses pengambilan keputusan secara<br />
mayoritas dan demokratis. (McNally 1986:86)<br />
Menurut Proundhon anarkhisme<br />
digambarkan sebagai tatanan masyarakat yang nyata<br />
dan tidak berhubungan dengan kekuasaan. Ia<br />
meramalkan kekuasaan pada akhir akan musnah dan<br />
yang tampil adalah tatanan social yang asli terdiri<br />
dari komune-komune otonom. Anarkise sebagai<br />
sebuah ideologi yang jauh dari kekerasan, sama<br />
sekali tidak menyarankan atau menyatakan bahwa<br />
kekerasan merupakan jalan untuk mencapai<br />
tujuannya. Anarkisme didefenisikan oleh Benjamin<br />
R.Tucker sebagai pemikiran bahwa semua yang<br />
berkaitan dengan manusia diurus sendiri oleh<br />
individu yang bersangkutan, atau berdasarkan<br />
hubungan sukarela, dan bahwa harus ditiadakan<br />
(Ahmad Rosadi Harahap, internet 16 Agustus 2003)<br />
Negara hanyalah suatu organisasi yang<br />
hanya akan mempertahankan penindasan. Oleh sebab<br />
bagi anarkisme tidak ada tempat bagi negara,<br />
termasuk negara proletariat dalam Marxisme,<br />
komunis, sosialisme. Bakunin mengatakan<br />
kediktatoran proletariat akan menjadi kekuasaan<br />
yang menindas. Untuk itu dia menawarkan<br />
kolektivisme. Masyarakat anakis tetap memiliki<br />
struktur, namun struktur minimum yang diperlukan<br />
agar keadilan dan kesejahteraan sosial tetap<br />
terpelihara dengan baik. Noam Chomsky mengatakan<br />
tidak semua kekuasaan harus ditolak, tetapi<br />
kekuasaan harus ditentang. Kekuasaan yang tidak<br />
dapat menghadapi tantangan harus dihilangkan.<br />
Sedangkan kekuasaan yang dapat menghadapi<br />
tantangannya (internet 16 Agustus 2003)<br />
Dari keseluruhan perbincangan di atas<br />
dapatlah di pahami bahwa anarkiske adalah<br />
pandangan-pandang berikut : Pertama. Adanya<br />
kebebasan individu dengan menolak semua bentuk<br />
penindasan. Jika yang melakukannya penindasan itu<br />
ialah kerajaan maka ia memilih masyarakat tanpa<br />
kerajaan yang mahukan kebebasan mutlak Kedua,<br />
anarkhis menolakkan kekuasaan otoritas untuk<br />
menindas. Penindasan itulah yang hendak dinafikan<br />
oleh kaum anarkisme, Ketiga, anarkhisme adalah<br />
pahaman kehidupan yang mencita-citakan sebuah<br />
masyarakat tanpa hirarki secara mendalam dari<br />
<strong>sistem</strong> sosial secara damai. Keempat, kebebasan<br />
tanpa persamanan akan memberikan kebebasan<br />
kepada penguasa, dan persamaan tanpa kebebasan<br />
Cuma berarti hamba yang dieksploitas oleh<br />
penguasa.<br />
KARAKTERISTIK UTAMA ANARKISME<br />
Menurut sarjana anarkisme menpunyai beberapa<br />
karakteristik seperti berikut, Mahajan (2001:730)<br />
menyebutkan, Pertama, Penganut paham anarkisme<br />
mewakili sistme sosial yang berasas sukarela, tidak<br />
melakukan otoritas dalam bentuk apapun juga,<br />
Mereka berkeinginan merusak macam-macam<br />
otoritas, terutamanya, peranan gereja dan milik<br />
pribadi seumpama kapitalis. Menurut mereka agama<br />
adalah kecanduan kepada masyarakat dan statis<br />
dalam menuntut kemajuan, manakala kapitalis<br />
menyesatkan dan membohongi kaum lemah.<br />
Kedua, penganut pandangan anarkhisme<br />
mempersoalkan, kapitalisme karena menurut mereka<br />
kapitalisme merupakan penyakit ekonomi yang<br />
berlaku dalam masyarakat, kerena dengan kapitalis<br />
akan mendorong manusia untuk memiliki hak-hak<br />
pribadi yang berlebihan. Di samping itu kapitalis<br />
mendorong ke arah kejahatan demi kesengsaraan<br />
menjadi milik orang ramai (majoritas) dan kapitalis<br />
mengadakan ketidakadilan yang lemah semakin<br />
lemah dan yang kaya semakin kaya, dan juga<br />
kapitalis mendorong terjadinya peperangan, serta<br />
melumpuhkan kehidupan sosial dan rohaniah.<br />
Ketiga, penganut pandangan anarkhisme<br />
anti sangat kepada hukuman, anti kekejaman, anti<br />
status, kerena tidak hanya berlebihan tetapi juga<br />
sangat berbahaya dan kejam kepada masyarakat.<br />
Oleh itu status ini harus bertanggungjawab kepada<br />
ketidaksamaan dan ketidakadilan yang berlaku dalam<br />
masyarakat. Hukuman yang sesuai dengan kesalahan<br />
memang diperlukan dalam paham ini, namun<br />
91
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
bukannya hukuman yang tidak berprikemanusiaan.<br />
Dalam masyarakat penganut paham<br />
anarkhisme, keperluan status selalu muncul<br />
menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Masyarakat<br />
penganut paham anarkhisme selalu di asaskan kepada<br />
keadilan, kebebasan dan sukarela bagi semua kaum.<br />
Di samping itu penganut paham anarkisme<br />
mempersoalkan pemeritah yang diangkat oleh rakyat,<br />
karena menurut pertimbangan mereka pemilihan<br />
umum (Pemilu) adalah sejenis penipuan. Pemilu<br />
sebagai sarana demokrasi dianggap hanya akan<br />
menghilangkan hak-hak individu, sebagai contoh,<br />
orang akan memilih wakilnya-wakilnya yang tidak<br />
dikenal dan belum pasti menjalankan surat<br />
pemilihnya. Hal ini akan terus berulang dalam setiap<br />
kali pemilu akan menjadi suatu kebiasaan buruk bagi<br />
setiap orang. Oleh karena itu anarkhisme menolak<br />
bentuk perwakilaan dalam mengambil keputusan<br />
Anarkhisme juga menolak pemilu karena ia<br />
mengundang ancaman berupa kediktaturan<br />
mayoritas. Bagi kaum anarkhis tidak ada jaminan<br />
bagi para pengikut demokrasi terhadap golongan<br />
minoritas. Hal ini seringkali terjadi ketidakpedulian<br />
hak-hak minoritas baik suku, agama. ras maupun<br />
kebudayaan. Selain itu pemilu mengandung bahaya<br />
nyata akan muncul kelompok-kelompok otoriter<br />
seperti partai komunis yang dapat dilihat dalam kasus<br />
pemilu di Polandia. Di mana partai komunis kembali<br />
memerintahkan dengan memperoleh suara mayoritas.<br />
Mereka berpendapat pemerintah pilihan<br />
rakyat adalah pemeritah amatur dan tidak banyak<br />
yang boleh diharapkan dari mereka. Lagi pun pada<br />
mereka menganggap Badan Legislatif (pembuat<br />
undang-undang) pun gagal dalam menampung<br />
aspirasi, pendapat, buah pikiran atau uneg-uneg dari<br />
masyarakat umum.<br />
Akhirnya pandangan anarkisme percaya<br />
kepada suatu masyarakat tanpa perbedaan golongan<br />
dan kewarganegaraan. Masyarakaat umum tersebut<br />
bekerjasama untuk tujuan tertentu, misalmya<br />
keperluan baik masyarakat umum itu sendiri. Tidak<br />
dapat paksaan dan persaingan yang dan hanya<br />
kerjasama dan tidak boleh ada konflik yang<br />
berpanjangan.<br />
Justeru pengertian anarkhisme adalah<br />
menetang ketidakadilan, ketidaksamaan dan<br />
penindasan, maka beberapa ciri-ciri khusus yang<br />
dijalankan dalam konsep anarkhisme yaitu : Anarkhis<br />
melakukan perubahan dengan cara-cara revolusioner,<br />
perubahan dilakukan dengan cara-cara menolak<br />
partai politik dan negara, menolak keadaan negara,<br />
menolak <strong>sistem</strong> demokrasi disebabkan <strong>sistem</strong> ini<br />
merupakan dasar keadaan otoriter mayoritas, mereka<br />
juga anti politk, anti kepada kepada peraturanperaturan,<br />
serta tujuan anarkisme adalah adanya<br />
masyarakat tanpa adanya negara atau undangundang.<br />
Oleh sebab itulah kaum anarkis, melawan<br />
kapitalisme yang telah adanya didiskriminasi<br />
ekonomi dan menguntungkan kelas atas, Kedua<br />
melawan rasisme. Kaum anarkis menghormati<br />
derajat yang sama dan tiada membedakan bangsa,<br />
ras, warna kulit. Dan golongan ketiga. melawan<br />
saxisme. Kaum anarkhis mengangap semua jenis<br />
seks, wanita, pria dan bahkan diluar dua jenis seks<br />
itu, memiliki hak yang sama atas apapun. keempat<br />
melawan fasisme atau supranasionalis. Kaum anarkis<br />
beranggapan bahwa tiada bangsa yang melebihi<br />
bangsa lain. Kelima, melawan xenophobia-ketakutan<br />
dan kebencian apriori pada hal baru atau asing. Kaum<br />
anarkhis melawannya sebab xenophobia dapat<br />
berkembang menjadi fasisma yang beranggapan<br />
buruk semua hal yang datang dari , keenam, melawan<br />
perusakan lingkungan, habitat dan segala bentuk<br />
perusakan dan atau tindakan kekerasan terhadap<br />
semua makhluk, ketujuh, mngharamkan peperangan<br />
dan semua bentuk kekerasan atau penghancuran<br />
kehidupan adalah nista. Perang adalah sesuatu hal<br />
yang sangat tidak berguna bagi dunia dan<br />
penghuninya. Maka segala sumbernya harus segera<br />
dihapuskan.<br />
KESIMPULAN<br />
Anakhisme bukanlah solusi yang semua<br />
masalah yang dihadapi umat manusia ,bukanlah<br />
utopia tatanan sosial yang sempurna. Pada prinsipnya<br />
anarkisme menolak konsep monopoli yang tidak jelas<br />
dan tidak mempercayai kebenaran yang mutlak atau<br />
cita-cita yang pasti dalam perkembangan umat<br />
manusia. Namun demikian, dalam upaya menuju<br />
kesempurnaan tanpa batas, anarkhisme dapat<br />
mewakili keberagaman sosial dan kondisi kehidupan<br />
manusia.<br />
Anarkhisme sendiri bukanlah sebuah konsep<br />
yang dirumuskan oleh kelompok intelektual, tetapi<br />
merupakan kecenderungan yang ada dalam<br />
kehidupan manusia yang bebas. Kalau tidak<br />
diganggu gugat oleh individu-individu ataupun<br />
organisasi yang merasa dirinya dapat memerintahkan<br />
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari niscaya<br />
kehidupan akan berjalan efisien dan tiada kezaliman<br />
(seperti mana yang banyak dipraktikkan oleh negara)<br />
Realitas mengenai implementasi sebuah<br />
masyarat anarkhis sangat sering diragukan, dan<br />
kadang-kadang kita setuju dengan filosofis,<br />
anarkhisme pun menganggap masyarakat anarkhis<br />
sebagai sesuatu yang utopia yang tidak mungkin<br />
diadakan, Banyak oarng yang memandangkan<br />
konsep anarkhisme akan membayangkan sebuah<br />
masyarakat bersadarkan prinsip-prinsip anarkis<br />
sebagai sesuatu yang realistis, ideal dan bahkan<br />
sesuatu yang lemah.<br />
Siapapun yang meneliti secara<br />
perkembangan ekonomi dan sosial yang ada dalam<br />
<strong>sistem</strong> sekarang ini akan mengakui, bahwa tujuantujuan<br />
anarkhisme tidaklah muncul dari pikiran<br />
utopis yang berasal dari sebagian inovator imajinatif.<br />
Akan tetapi merupakan kesimpulan logik dari<br />
penelitian yang menyeluruh terhadap hal-hal yang<br />
92
Anarkisme<br />
Rasyidin<br />
merupakan kesimpulan logik dari penelitian yang<br />
menyeluruh terhadap hal-hal yang merugikan<br />
masyarakat tersebut semakin nyata dan semakin tidak<br />
adil, Kapitalisme monopoli modern dan negara<br />
totaliter merupakan tahap-tahap terakhir dalam suatu<br />
perkembangan yang ada pada dirinya sendiri yang<br />
tiada pilihan lain dalam memperjuangkan nasib<br />
kehidupannya. Hanyalah kebebasan yang boleh<br />
memberikan kepada manusia inspirasi untuk<br />
menghasilkan sesuatu yang hebat dan untuk<br />
menjalankan perubahan sosial dan politik.<br />
Kejahatan negara yang paling zalim adalah<br />
upaya-upaya yang pemeksaan keberanekaragaman<br />
kehidupan sosial ke dalam pembentukan normanorma<br />
tertentu. Dalam hal ini negara merupakan<br />
kemenangan mesin politik terhadap pikiran manusia,<br />
pikiran rasional, perasaan, sikap dan prilaku, melalui<br />
peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.<br />
Kebebasan pun hanyalah merupakan konsep relatif<br />
yang bersifat mutlak.<br />
Seni memerintah manusia tidak akan pernah<br />
menjadi sebuah seni yang mendidik dan memberikan<br />
manusia inspirasi untuk memperbaharui kehidupan<br />
mereka. Penekanan dan pemaksaan hanyalah sebuah<br />
tuntunan amalan tugas-tugas statis yang menghambat<br />
inisiatif yang mustahak, serta akan menghasilkan<br />
hamba-hamba dan bukan manusia yang bebas,<br />
Kebebasan merupakan sebuah intisari kehidupan dan<br />
merupakan kekuatan penyokong perkembangan<br />
intelektual dan perkembangn masyarakat.<br />
Pembebasan manusia dari ekploitasi ekonomi,<br />
intelektual dan politik yang secara tajam di sebut<br />
anarkisme, Anarkhisme merupakan sebuah syarat<br />
untuk evolusi kebudayaan ke tingakat yang lebih<br />
tinggi yang diperuntukkan untuk manusia.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Ahmad Rosadi Harahap, http://<br />
www.geocties.com/vonisnet/ahmad3.htm<br />
internet 16 Agustus 2003<br />
Albert Meltzer. 1998. Anachism : Argument for<br />
against.(atas talian). http:/www.library/writer/<br />
meltzer/sp0015000.htm. (17 Agustus 2003)<br />
Anarhisme. (atas talian)<br />
http:/www.geocities.com/black<br />
post/podium04.htm. 15 Agustus 2003<br />
Baldelli. Giovanni. 1971, Social Anarchisme.<br />
Chicago: Aldeline-Atherton<br />
Berkman.Alexander. 1964.ABC of anarchism. 3d.ed.<br />
London : Freedom Press<br />
Black. Donald 2003. http://fajar.ci.id/lenkap_<br />
hukum1001,cfmidwahyu=12 internet 15<br />
Agustus 2003<br />
Bose.Atindranath. 1967.A history of anarchism.<br />
Calcuta : World Press Private.Ltd<br />
Bukamin, Mekhail. 1950. Marxism,Freedom and the<br />
state, Edited and translated by. K.J Kanafick.<br />
London : Freedom Press<br />
Carter, April .1971. The political theory of<br />
anarchisme. London :Routledge & Kegan Paul<br />
Deleon, Daavid. 1973, The Amarican as anarchist :<br />
social critism in tah 1960s<br />
Denny.J.A. 1999,Visi Indonesia baru setelah gerakan<br />
reformasi, Jakarta: Jayabayaa University Press<br />
Godman William. 1946, Enguiru concerning political<br />
justice and its influence on moral and<br />
happiness. Edited by F.E.L.Prisley. 3. Vols.<br />
Toronto:University of Toronto<br />
http://www.idp.edu.au/adsjakarta/returnedstudents/art<br />
icle27.asp<br />
http://www.rnw.nl.ranesi/htm/anarki.html. 16<br />
Agustus 2003<br />
KOMNAS HAM, SUAR, No. 06/tahun II, Januari<br />
2001<br />
Lyman Tower Sergent. 1981. Contempory political<br />
ideologis. Missiouri : The dorsey Press<br />
Mahajan,M.D.2001..Political Theory:New Delhi:<br />
S.Chand & Companyltd.<br />
Mgr.Aloysius M.Sutrisnatmaka, 2002<br />
http://www,rnww,nl/renesi/html.anarki.html<br />
Peni Hanggarini Koran Tempo Jumat, 10 Mei 2002.<br />
Jakarta<br />
Proundhon, Pierre, yosepd, 1967. General idea of the<br />
revulution in nine teenth century. Translated<br />
by John Revelery Robinson<br />
Rudolf Rocker 2003 : internet,<br />
http://sumbu,neneto,com/mnaskaah<br />
anarko.htm. 1 Agustus 2003<br />
Srivanto, internet 17 Agustus 2003 http://<br />
sosilista.org/071401_05_ideologi.html<br />
93
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
PROSES REDUKSI EKSES LUMPUR AKTIF<br />
DARI IPAL INDUSTRI PEMBUATAN KERTAS<br />
Maya Sarah<br />
Staf Penganjar Teknik Kimia, Fakultas Teknik USU (mayasharid@yahoo.com)<br />
Abstrak: Industri pulp dan kertas merupakan <strong>industri</strong> yang sangat berpotensi menimbulkan pencemaran karena<br />
menghasilkan limbah cair dalam konsentrasi yang cukup tinggi (COD = 700 – 1000 mg/l) dan dalam jumlah<br />
yang relative besar mengingat <strong>industri</strong> ini banyak menggunakan air. Limbah cair <strong>industri</strong> pulp dan kertas<br />
umumnya diolah pada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan <strong>sistem</strong> lumpur aktif. Proses pengolahan<br />
limbah cair ini masih belum effektif karena biomassa yang terbentuk terlalu banyak sehingga membutuhkan<br />
penanganan khusus. Salah satu upaya penanganan ekses biomassa adalah dengan mereduksi volume biomassa<br />
pada kondisi anaerobic menggunakan pelarut NaOH dan HCl. Percobaan ini dilakukan dengan memvariasikan<br />
jenis pelarut, konsentrasi dan temperature. Berdasarkan hasil percobaan diketahui bahwa peningkatan<br />
konsentrasi pelarut dari 0,1 N menjadi 1 N tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap kemampuan<br />
reduksi ekses lumpur aktif dari bioreactor anaerobik. Ditinjau dari jenis pelarut yang digunakan, proses reduksi<br />
dengan pelarut NaOH jauh lebih efektif dibandingkan dengan reduksi menggunakan pelarut HCl dengan<br />
konsentrasi yang sama. Sementara itu dari pengamatan terhadap pengaruh temperature diketahui bahwa<br />
kemampuan reduksi dari bioreaktor anaerobik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Peningkatan temperatur<br />
mengakibatkan ketidakstabilan proses reduksi MLSS <strong>sistem</strong> untuk pengolahan dengan pelarut HCl.<br />
Kata Kunci : Sistem lumpur aktif, biomassa, inokulum, mixed culture<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Industri pulp dan kertas merupakan <strong>industri</strong><br />
yang sangat berpotensi menimbulkan pencemaran<br />
karena menghasilkan limbah cair dalam konsentrasi<br />
yang cukup tinggi (COD = 700 – 1000 mg/l) dan<br />
dalam jumlah yang relative besar mengingat <strong>industri</strong><br />
ini banyak menggunakan air. Limbah <strong>industri</strong> pulp<br />
dan kertas ini harus diolah terlebih dahulu karena<br />
dapat menimbulkan pencemaran lingkungan apabila<br />
langsung dibuang ke badan air.<br />
Limbah cair <strong>industri</strong> pulp dan kertas<br />
umumnya diolah pada Instalasi Pengolahan Air<br />
Limbah (IPAL) dengan <strong>sistem</strong> lumpur aktif yang<br />
terdiri dari bak aerasi dan bak sedimentasi untuk<br />
memisahkan biomassa dengan limbah hasil olahan<br />
sebelum limbah tersebut dibuang ke badan air. Proses<br />
pengolahan limbah cair dengan system lumpur aktif<br />
akan mengkonversi limbah organik kedalam bentuk<br />
gas CO 2 yang dilepas ke atmosfer sebesar 50% dan<br />
50% lagi akan terkonversi menjadi biomassa (Setiadi,<br />
1996). Biomassa yang terbentuk sebagian akan<br />
dikembalikan ke dalam bak aerasi, sebagian lagi<br />
sekitar 15-25% dikeluarkan dengan menggunakan<br />
pompa lumpur dan dialirkan ke unit pengeringan<br />
lumpur.<br />
Proses pengolahan limbah cair ini masih<br />
belum effektif karena biomassa yang terbentuk<br />
terlalu banyak sehingga membutuhkan penanganan<br />
khusus. Proses pengeringan lumpur sendiri<br />
menghadapi masalah penyediaan tempat<br />
pengeringan, pemanfaatan lumpur aktif yang telah<br />
dikeringkan dan sangat bergantung pada faktor sinar<br />
matahari. Masalah yang dihadapi <strong>sistem</strong> lumpur aktif<br />
ini mendorong berbagai penelitian untuk mengatasi<br />
masalah pembuangan ekses biomassa dari IPAL.<br />
Salah satu upaya penanganan ekses<br />
biomassa adalah dengan mereduksi volume biomassa<br />
pada kondisi anaerobik. Saiki Yuko dkk, telah<br />
berhasil mereduksi jumlah biomassa dari unit<br />
pengolahan limbah <strong>industri</strong> bir hingga 40%.<br />
Biomassa tersebut terkonversi secara anaerobik<br />
kedalam bentuk gas metana. Limbah <strong>industri</strong> kertas<br />
merupakan limbah yang kaya akan kandungan bahan<br />
organik sehingga pengolahan limbah <strong>industri</strong> ini<br />
dengan bioreaktor lumpur aktif diperkirakan<br />
menghasilkan biomassa yang cukup banyak sehingga<br />
perlu penanganan secara serius.<br />
2. BAHAN DAN METODE<br />
2.1. Bahan<br />
1. Limbah cair <strong>industri</strong> kertas<br />
2. Inokulum : mixed culture yang telah<br />
diaklimatisasi dengan limbah cair <strong>industri</strong> kertas<br />
dan dikondisikan aerobik dan anaerobic<br />
3. HCl (0,1 N dan 1N)<br />
4. NaOH (0,1 N dan 1N)<br />
94
Proses Reduksi Ekses Lumpur Aktif dari IPAL Industri Pembuatan Kertas<br />
Maya Sarah<br />
umpan<br />
Tangki aerasi<br />
Tangki<br />
sedimentasi<br />
Limbah cair<br />
hasil olahan<br />
recycle<br />
biomassa<br />
Ekses<br />
biomassa<br />
Bioreaktor<br />
anaerobik<br />
Biomassa<br />
sisa<br />
Gambar 1: Rangkaian peralatan<br />
2.2. Alat<br />
1. Unit lumpur aktif yang dilengkapi dengan<br />
tangki aerasi dan tangki sedimentasi<br />
2. Bioreaktor anaerobic<br />
Gambar alat disajikan pada gambar 1<br />
2.3. Metode<br />
Limbah cair <strong>industri</strong> kertas diumpankan kedalam<br />
tangki aerasi yang telah berisi mikroorganisme<br />
aerobik. Aerasi dilakukan untuk mentransfer<br />
sejumlah oksigen kedalam limbah cair, dan tangki<br />
aerasi dioperasikan secara batch selama 2 minggu<br />
hingga konsentrasi MLSS stabil.<br />
Kedalam bak aerasi kemudian diumpankan<br />
limbah cair secara sinambung. Didalam tangki aerasi<br />
terjadi proses perombakan bahan organik kompleks<br />
menjadi CO 2 dan H 2 O secara aerobik. Selama<br />
pengolahan dilakukan pengamatan terhadap COD,<br />
pH dan MLSS <strong>sistem</strong>.<br />
Limbah hasil olahan akan mengalir keluar dari<br />
tangki aerasi secara overflow kedalam tangki<br />
sedimentasi, dimana terjadi pemisahan<br />
mikroorganisme dengan air limbah yang telah diolah.<br />
Mikroorganisme tersebut akan terkumpul satu sama<br />
lain dan membentuk flok mikroorganisme yang<br />
akibat gaya beratnya sendiri akan turun secara<br />
gravitasi ke bagian bawah tangki sedimentasi sebagai<br />
sludge atau lumpur biomassa.<br />
Lumpur biomassa ini akan dikeluarkan dari<br />
tangki sedimentasi dan sebagian kecil (20%)<br />
dikembalikan ke tangki aerasi. Sisanya dialirkan ke<br />
bioreactor anaerobic. Ketika volume Lumpur aktif<br />
didalam bioreactor anaerobic telah mencapai 2,5<br />
liter, maka kedalam bioreactor anaerobic tersebut<br />
dialirkan larutan HCl atau NaOH. Kemudian<br />
dilakukan pengamatan terhadap konsentrasi MLSS.<br />
3. Hasil Dan Pembahasan<br />
Kinerja pengolahan limbah cair <strong>industri</strong> pulp dan<br />
kertas dalam penelitian ini ditinjau dari dua sisi, yaitu<br />
kemampuan penyisihan bahan organik oleh proses<br />
aerobik dan kemampuan mereduksi ekses lumpur<br />
aktif pada proses anaerobik.<br />
3.1. Kinerja Unit Lumpur Aktif<br />
Limbah cair berkonsentrasi 2300 mg/l<br />
diumpankan pada bak aerasi dan mengalami<br />
degradasi biologis secara aerobik oleh<br />
mikroorganisme berkonsentrasi rendah sebesar 29<br />
mg/l. Diawal pengolahan, terjadi lonjakan<br />
konsentrasi bahan organik dalam bak aerasi yang<br />
cukup tinggi akibat peningkatan jumlah<br />
mikroorganisme yang mati, tetapi setelah pengolahan<br />
berlangsung selama 2 hari tercapai kestabilan jumlah<br />
mikroorganisme dalam bak aerasi dan proses reduksi<br />
bahan organik berlangsung hingga mencapai<br />
konsentrasi 1.400 mg/l dengan tingkat efisiensi<br />
penyisihan bahan organik sebesar 36%. Kemampuan<br />
penyisihan bahan organik yang rendah ini<br />
diakibatkan oleh konsentrasi awal mikroorganisme<br />
yang sangat rendah.<br />
Secara umum pH <strong>sistem</strong> relative stabil pada<br />
rentang pH 6,5 – 7,8 sehingga control secara khusus<br />
bagi pH <strong>sistem</strong> tidak diperlukan. Kestabilan<br />
konsentrasi mikroorganisme dalam <strong>sistem</strong> yang<br />
tercapai pada pH yang relative rendah (< 7)<br />
95
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
merupakan suatu indikasi terdapatnya spesies bakteri<br />
pembentuk asam dalam <strong>sistem</strong> lumpur aktif.<br />
Meskipun demikian pada pengolahan limbah ini,<br />
jumlah mikroorganisme yang dapat ditumbuhkan<br />
sangatlah rendah dan jauh dari kondisi ideal. Hal ini<br />
kemungkinan disebabkan oleh proses aklimatisasi<br />
yang kurang baik dan konsentrasi umpan biomassa<br />
yang sangat rendah.<br />
3.2. Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Proses<br />
Reduksi Lumpur Aktif<br />
Jumlah mikroorganisme yang dikeluarkan<br />
dalam <strong>sistem</strong> lumpur aktif hendak direduksi<br />
jumlahnya dalam bioreaktor anaerobik dengan<br />
pelarut HCl dan NaOH berkonsentrasi 0,1 N pada<br />
suhu kamar. Pengaruh pengunaan kedua jenis pelarut<br />
terhadap kemampuan <strong>sistem</strong> anaerobik dalam<br />
mereduksi ekses lumpur aktif disajikan pada gambar<br />
2.<br />
Waktu yang efektif untuk mereduksi jumlah<br />
ekses lumpur aktif dengan proses anaerobic<br />
mengunakan pelarut NaOH dan/atau HCl adalah 100<br />
jam. Reduksi yang dilakukan dalam waktu lebih dari<br />
100 jam akan memicu pertumbuhan mikroorganisme<br />
anaerobic, yang diperkirakan terdiri dari bakteri<br />
pembentuk asam dan/atau bakteri hidrolitik.<br />
Proses reduksi dengan pelarut NaOH jauh<br />
lebih efektif dibandingkan dengan reduksi<br />
menggunakan pelarut HCl dengan konsentrasi yang<br />
sama. Larutan HCl berkonsentrasi rendah cenderung<br />
mengkondisikan medium tempat hidup bakteri<br />
anaerobic menjadi sedikit asam dan memicu<br />
percepatan pertumbuhan bakteri anaerobic setelah<br />
100 jam. Untuk medium yang sedikit basa akibat<br />
penambahan NaOH, bakteri anaerobic cenderung<br />
bersifat netral atau sedikit basa, yang meskipun baik<br />
untuk pertumbuhan bakteri anaerobic seperti bakteri<br />
metanogen, tetapi tahapan pengolahan dengan proses<br />
anaerobic harus melalui tahap pengasaman terlebih<br />
dahulu, yang tentu saja membutuhkan waktu yang<br />
jauh lebih panjang.<br />
3.3. Pengaruh Konsentrasi Pelarut terhadap<br />
Proses Reduksi Lumpur Aktif<br />
Peningkatan konsentrasi pelarut dari 0,1 N<br />
menjadi 1 N tidak memberikan perubahan yang<br />
signifikan terhadap kemampuan reduksi ekses<br />
lumpur aktif dari bioreactor anaerobik. Secara umum<br />
pengolahan dengan HCl dan NaOH masing-masing<br />
untuk konsentrasi 0,1 N dan 1 N memperlihatkan<br />
kinerja yang hampir sama seperti yang disajikan pada<br />
gambar 3 dan 4.<br />
3.4. Pengaruh Temperatur Terhadap Proses<br />
Reduksi Ekses Lumpur Aktif<br />
Kemampuan reduksi dari bioreaktor<br />
anaerobik sangat dipengaruhi oleh temperatur.<br />
Peningkatan temperatur mengakibatkan ketidakstabilan<br />
proses reduksi MLSS <strong>sistem</strong> untuk<br />
pengolahan dengan pelarut HCl karena dapat memicu<br />
percepatan pertumbuhan bakteri anaerobik<br />
pembentuk asam tipe thermophilic disatu sisi.<br />
Ketidakstabilan ini mengakibatkan proses reduksi<br />
Lumpur aktif berlangsung lebih lama, karena<br />
kestabilan baru terjadi setelah 120 jam untuk<br />
temperature 50 o C dan 100<br />
o C. Fenomena ini<br />
diperlihatkan pada gambar 5 dan 6.<br />
Penggunaan pelarut NaOH jauh lebih efektif<br />
dibandingkan dengan pelarut HCl bila dikaitkan<br />
dengan fungsi temperature karena MLSS <strong>sistem</strong> lebih<br />
stabil, dan kalaupun ada fluktuasi jumlahnya sangat<br />
kecil, kecuali diawal pengolahan untuk temperature<br />
pengolahan 90 o C yang diperkirakan terjadi akibat<br />
kesalahan pengambilan data.<br />
4. Kesimpulan<br />
Proses reduksi ekses lumpur aktif dengan<br />
proses anaerobik menggunakan pelarut HCl dan<br />
NaOH sangatlah potensial untuk dilakukan bagi<br />
upaya penanganan ekses lumpur aktif IPAL dari<br />
<strong>industri</strong>. Berdasarkan penelitian untuk mereduksi<br />
ekses lumpur aktif dari limbah <strong>industri</strong> pulp dan<br />
kertas diperoleh tingkat reduksi ekses lumpur aktif<br />
sebesar 8% saja. Tingkat efisiensi proses reduksi ini<br />
amatlah rendah, tetapi hal ini kemungkinan<br />
diakibatkan oleh rendahnya konsentrasi awal<br />
mikroorganisme anaerobic dan rendahnya<br />
konsentrasi pelarut HCl dan/atau NaOH (maksimum<br />
1 N). Akibatnya proses hanya mampu mereduksi<br />
sebagian kecil dari ekses lumpur aktif yang ada dan<br />
mengkondisikan medium dalam keadaan asam atau<br />
basa.<br />
Pengolahan dengan menggunakan pelarut NaOH jauh<br />
lebih efektif dibandingkan dengan pelarut HCl pada<br />
konsentrasi encer (0,1 N dan 1 N). Hal ini<br />
kemungkinan disebabkan oleh kondisi medium yang<br />
cenderung bersifat sedikit basa akibat penambahan<br />
NaOH, sedangkan pada pengolahan dengan medium<br />
sedikit asam akibat penambahan HCl terjadi<br />
percepatan pertumbuhan bakteri pembentuk asam<br />
yang mengakibatkan peningkatan jumlah MLSS<br />
<strong>sistem</strong> ketika proses reduksi berlangsung, dan<br />
sebagai akibatnya terjadi ketidakstabilan <strong>sistem</strong>.<br />
Daftar Pustaka<br />
Gaudy, A.F., Gaudy, E.T., 1981, Microbiology for<br />
Environmental Scientist and Engineers,<br />
McGraw Hill International Book Co, Tokyo,<br />
hal 519-551<br />
Metcalf, Eddy, 1991, Wastewater Engineering :<br />
Treatment, Disposal, Reuse, edisi 3,<br />
McGraw-Hill, hal 378<br />
Saiki, Y., Imabayashi, S., dkk, 1999,<br />
Solubilization of Excess Activated Sludge<br />
by Self Digestion, Water Resources, Vol<br />
33, No 8, hal 1864-1870<br />
Speece, R.E., 1996, Anaerobik Biotechnology for<br />
Industrial Wastewaters, Archae Press,<br />
Nashville, Tennessee, USA, hal 3-6<br />
96
Rumah Susun sebagai Bentuk Budaya Bermukim Masyarakat Modern<br />
Samsul Bahri<br />
RUMAH SUSUN SEBAGAI<br />
BENTUK BUDAYA BERMUKIM MASYARAKAT MODERN<br />
Samsul Bahri<br />
Laboratorium Teori dan Kritik Arsitektur<br />
Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />
ABSTRAK<br />
Makalah ini mencoba menelaah sebuah topic yang akhir-akhir ini mulai disoroti oleh berbagai pihak di<br />
Indonesia, yang pembahasannya mengacu pada tema Arsitektur dan Manusia, yaitu Rumah Susun sebagai salah<br />
satu bentuk budaya bermukin yang diduga adalah “benda baru” produk dari masyarakat Barat. Dala kaitan ini,<br />
kata Budaya dan Modern (Modernisasi) adalah kat akunci yang akan dibahadi lebih jauh. Sudah tentu banyak<br />
sisi dan sudut pandang yang dapat dipergunakan untuk membahas persoalan ini, namun aspek sosical dan<br />
psikologislah yang akan dipilih pada kesempatan ini.<br />
PENDAHULUAN<br />
A. Modernisasi<br />
Modernisasi merupakan topik yang menarik dan<br />
telah menjadi gejala umum di dunia dewasa ini.<br />
Walaupun sebagian orang telah mencba “maju<br />
selangkah” dengan pasca Modemnya, namun<br />
dibelahan dunia lainnya orang masih terpukau oleh<br />
kedatangan fenomena modern, yang tentunya tidak<br />
pernah dibayangkan oleh mereka sebelumnya, dari<br />
ke4hidupan yang tradisional harus diubah dengan hal<br />
yang serba “canggih” yang dihadapi sebagai<br />
kenyataan. Perkembangan yang terjadi disebagian<br />
tempat boleh jadi merupakan lompatan besar atau<br />
hanya sekedar perubahan kecil dan tidak tiba-tiba,<br />
tentunya tidak terlepas dari perkembangan peradaban<br />
manusianya. Sebagaimana para ahli sosiologi<br />
membagi beberapa tahap perkembangan peradaban<br />
manusia di bumi sepanjang sejarahnya. Misalnya<br />
Auguste Comte (1798-1857), seorang sosiolog<br />
Perancis menawarkan konsep 3 tahap perkembangan<br />
peradaban untuk menjelaskan kemajuan evolusioner<br />
umat manusia dari masa primitive sampai ke<br />
peradaban maju pada masa kini 1 , yaitu<br />
- Tahap Teologis, peradaban manusia dimana<br />
semua benda di dunia ini mempunyai jiwa dan<br />
itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada<br />
di atas manusia.<br />
- Tahap metafisis, pada tahap ini manusai masih<br />
percayapada kekeuatan alam dan belum<br />
berusaha mencari hubungan sebab akibat yang<br />
ada.<br />
- Tahap positif dimana manusia telah sanggup<br />
berpikir secara ilmiah dan mengembangkan<br />
ilmu pengetahuannya.<br />
Upaya pemahaman tehradpa proses perkembangan<br />
peradbaan manusai telah banyak membantu dalam<br />
menelaah keadaan duia secar alebih nayta, termasuk<br />
di dalamnya pemahaman akan telah terjadina<br />
modernisasi dihampiri tiap Negara sekarang ini.<br />
Kiranya modernisasi telah menjadi bagian yang tidak<br />
dapt dihindari sejalan dengan teori perkembangan<br />
peradaban itu sendiri. Secara histories dapat dilihat<br />
bahwa modernisasi merupakan suatu proses<br />
pertumbuhan yang mencakup suatu transformasi<br />
total kehidupan bersama yang suatu proses<br />
pertumbuhan yang mencakup suatu transformasi total<br />
kehidupan bersama yang tradisional atau pra-modern<br />
dalam arti teknologi serta organisasi social, kearah<br />
pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri<br />
negara-negara barat yang stabil 2 . Karakter umum<br />
modernisasi yang menyangkut aspek-aspek sosio<br />
demografis masyarakat digambarkan dengan istilah<br />
gerak social (social mobility). Artiya, suatu proses<br />
unsur-unsur social ekonomi dan psikologis mulai<br />
menunjukkan peluang-peluang kearah pola-pola<br />
barumelalui sosialisasi dan pola-pol aperilaku.<br />
Perwujudannya adalah aspek-aspek kehidupan<br />
modern seperti mekanisme, urbanisasi, hingga<br />
globalisasi dan seterusnya. Perubahan-perubahan<br />
social yang terjadi pada masyarakat dapat diartikan<br />
sebagai perubahan structural yang terarah (directed<br />
change) yang didasarkan pada perencanaan (plannedchanged)<br />
atau biasa disebut social-planning.<br />
Perubahan itu juga menyangkut Indonesia yang<br />
mengalami modernisasi melalui perubahan yang<br />
direncanakan, misalnya pada Pembangunan Lima<br />
Tahun (PELITA) yang telah dimulai sejak tahun<br />
1969. 3 Modernisasi pada hakikatnya mencakup<br />
bidang-bidang yang sangat banyak, yang mau tidak<br />
mau harus dihadapi masyarakat. Bidang mana yang<br />
akan diutamakan sangat tergantung pada kondisi dan<br />
kebutuhan suatu negara (masyarakat). Namun<br />
demikian modernisasi ini hampir dipastikan pada<br />
awalnya akan menimbulkan dis-organisasi dalam<br />
masyarakat, apalagi yang menyangkut nilai-nilai atau<br />
norma-norma yang berlaku di masyarakat. Proses<br />
yang terlalu cepat dan tanpa henti hanya akan<br />
menimbulkan disorganisasi yang terus menerus,<br />
karena masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk<br />
mengadakan reorganisasi. Salah satu bentuk<br />
modernisasi yang akan dibahas di sini adalah Rumah<br />
Susun sebagai suatu budaya bermukin yang bersifat<br />
97
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
alternatif pada masyarakat di kota-kota besar. Konsep<br />
rumah susun pada awalnya merupakan solusi yang<br />
dibuat berdasarkan tuntutan baru terhadap<br />
kekuarangan rumah bagi tenaga kerja yang terus<br />
meningkat aibat gerakan modernisasi di sekotr<br />
gerakan modernisasi di sektor lapangan kerja.<br />
Tuntutan tersebut semakin terus bertambah sejalan<br />
edngan meningkatnya produktivitas kerja yang<br />
menjadi ciri-ciri modernisasi, sedangkan keterbatasan<br />
lahan (horizontal) tak dapat diatasi dengan cara<br />
apapun. Dalam keadaan inilah lahir solusi dalam hal<br />
pengadaan perumahan bagi para pekerja melalui<br />
konsep pertumbuhan vertikal. Yang perlu<br />
dipertanyakan adalah : Apakah solusi teknis ini sudah<br />
mempertimbangkan aspek sosial budaya yang ada di<br />
masyarakatnya Secara historis kebutuhan akan<br />
rumah untuk tempat tinggal adalah kebutuhan dasar<br />
manusia yang sama tuanya dengan umur manusia itu<br />
sendiri. Sejak dari pertama manusia menyadari akan<br />
kebutuhan tempat bernaung”, hingga pada masa<br />
sekarang ini rumah tetap menjadi bagian yang tak<br />
terpisahkan dari budaya dan perilaku manusia,<br />
termasuk di zaman modern sekarang ini. Dalam<br />
kaitan ini, yang mengalami perubahan dan<br />
perkembangan adalah peradaban manusia, termasuk<br />
di dalamnya budaya bermukim.<br />
b. Budaya Bermukim<br />
Dapat dikatakan bahwa persoalan tempat tinggal dan<br />
lingkungannya telah ada sejak manusia mulai merasa<br />
mampu mengorganisasikan diri, berhenti<br />
mengembara dalam perburuan, bercocok tanam,<br />
menjinakkan dan mengembangbiakkan ternak, serta<br />
sedikit menguasai alam sekitarnya. Sejak dari fungsi<br />
rumah sebagai tempat bernaung yang sederhana<br />
hingga kini fungsi rumah lebih dari sekedar simbol<br />
status sosial, pengertian dan konsep budaya<br />
bermukim terus berkembang sejalan dengan<br />
perkembangan peradaban manusia itu sendiri.<br />
Perkembangan itu sendiri akan terus berlanjut sampai<br />
batasnya dimana perbadana itdak dapat<br />
mengembangkan dirinya melebihi kapasitas alam<br />
yang tak terhingga. Keterkaitan antara perkembangan<br />
budaya bermukim dan peradaban telah ditandai dari<br />
pengamatan historis terhadap hunian Indian yang<br />
sederhana di Tierra del Fuego sampai pada tempat<br />
bernaung orang Eskimo yang relatif lebih maju.<br />
Atau dari Rumah Pohon yang primitif di pedalaman<br />
Irian hingga Rumah Villa yang banyak dijumpai di<br />
tempat-tempat peristirahatan modern (seperti Puncak,<br />
Cianjur-Jawa Barat). Semua akan memperlihatkan<br />
pada kita bahwa tingkat pemikiran manusia, yang<br />
ditandai dengan ilmu pengetahuannya, menunjukkan<br />
pola-pola bermukim tertentu. Budaya bermukim<br />
yang dianut masyarakat di suatu tempat merupakan<br />
bagian dari budaya masyarakat keseluruhan seperti<br />
halnya adat istiadat. Kelompok masyarakat<br />
tradisional memiliki tata cara turun temurun yang<br />
diwarisi sebagai bagian yang tak terlepaskan seperti<br />
halnya sebuah nama yang melekat pada diri<br />
seseorang. Lain tempat akan lain pula situasinya,<br />
sehingga pola-pola perilaku masyarakatnya berbedabeda,<br />
seperti halnya perbedaan antara rumah Indian<br />
dan rumah Eskimo tadi. Budaya bermukim<br />
masyarakat Indonesia sekarang ini sedang<br />
dihadapkan pada kenyataan baru yang perlu<br />
diperhatikan secara tidak gegabah, karena kesalahan<br />
dalam penerapan akan semakin menambah persoalan<br />
baru. Apakah hal baru yang akan ditemukan<br />
sebelumnya dapat diterima begitu saja dalam tatanan<br />
masyarakat lama Rumah susun sebagai sebuah<br />
alternatif pilihan dalam pemenuhan kebutuhan akan<br />
tempat tinggal, yang dapat digolongkan sebagain<br />
produk dari modernisasi, adalah hal baru yang datang<br />
kehadapan masyarakat. Pada kenyataannya tidak<br />
semua masyarakat dapat mengikuti suasana baru<br />
yang datang dari luar tantanan lama yang sudah turun<br />
temurun. Perlu waktu lebih lama lagi manakala suatu<br />
hal baru itu telah menyangkut aspek-aspek kehidupan<br />
sosial dan pola-pola perilaku. Budaya bermukim<br />
pada masyarakat modern tentunya tidak dapat<br />
dilepaskan dari hakikat modernisasi itu sendiri.<br />
Sebagaimana telah banyak disimpulkan dalam setiap<br />
pembicaraan yang menyangkut modernisasi, bahwa<br />
gaya hidup masyarakat yang tergolong lebih maju<br />
dibandingkan dari tatanan tradisional maupun pramodern<br />
apalagi yang primitif merupakan gambaran<br />
gaya hidup modern.<br />
PEMBAHASAN<br />
a. Budaya Bermukim Masyarakat Indonesia<br />
Masyarakat Indonesia yang agraris itu<br />
dalam waktu yang telah berlangsung lama,<br />
(beberapa generasi) telah memiliki budaya bermukim<br />
yang memiliki ciri khas tersendiri. Dan diakui dalam<br />
waktu yang lebih lama konsep yang dikembangkan<br />
secara evaluasi dan adaptasi itu dianggap sebagai<br />
konsep yang cocok dalam tatanan kehidupan<br />
komunitasnya. Konsep permukiman beberapa<br />
masyarakat adat Minangkabau, Bai, Jewa, Dayak,<br />
Toraja dan sebagainya memiliki ciri-ciri tersendiri<br />
yang masing-masing ada kelebihan dan<br />
kekurangannya sejauh itu dikaitkan dengan budaya<br />
dan kondisi alamnya. Tatanan komunitas yang cocok<br />
dalam masyarakat selalu berusaha dipertahankan<br />
lebih lama sesuai dengan kemampuan dan<br />
perkembangan yang terjadi. Masyarakat pada<br />
dasarnya akan berusaha membentuk keseimbangan<br />
yang dapat mempertahankan konsep-konsep yang<br />
baik serta terus berusaha meningkatkannya menjadi<br />
lebih baik lagi. Jarang sekali masyarakat melakukan<br />
perubahan sporadis terhadap kondisi yang sudah ada,<br />
kecuali revolusi<br />
b. Fungsi dan Kebutuhan Rumah<br />
memang benar adanya apabila Eugene Raskin dalam<br />
bukunya Architecture and People berpendapat<br />
bahwa dalam melakukan aktivitas hidupnya manusia<br />
memerlukan suatu wadah/ruang 4 . Dan rumah adalah<br />
salah satu wujud dari ruang (space) yang sangat<br />
98
Rumah Susun sebagai Bentuk Budaya Bermukim Masyarakat Modern<br />
Samsul Bahri<br />
dibutuhkan oleh manusia, selain kebutuhan sandang<br />
dan pangan, dalam upaya mempertahankan<br />
keberadaan/eksistensi dan kelanjutan hidupnya di<br />
bumi. Selalu berbentuk hubungan yang akrab dan<br />
erat antara aktivitas manusia dengan jenis ruang<br />
penunjang yang dibutuhkan, antara penghuni dan<br />
tempat tinggalnya.<br />
Fungsi rumah tinggal semata dilihat sebagai tempat<br />
tinggal atau tempat berkumpulnya penghuni atau<br />
tempat berlindung dari ancaman fisik dan non fisik<br />
rumah juga mencakup keseluruhan pemenuhan<br />
fungsi lebih rumit dan sangat kompleks sifatnya<br />
seperti falsafah, adat istiadat,religius dan lainnya.<br />
Kesemua fungsi tersebut merupakan cerminan dari<br />
keinginan komunitas masyarakat dalam ruang<br />
rumahnya masing-masing. Pada dasarnya bukan hal<br />
mudah bagi arsitek, atau pihak lainnya dalam<br />
mendefenisikan pengertian fungsiden kebutuhan<br />
rumah bagi kehidupan manusia. Kebutuhan akan<br />
rumah tinggal tidak dapat diselesaikan dengan cara<br />
memnuhi target kuantitasnya saja (jumlah rumah),<br />
melainkan juga menuntut beberapa hal yang<br />
berhubungan dengan kualitas (mutu). Dalam hal ini<br />
hanya penghuni (calon penghuni) yang lebih<br />
mengerti secara benar dan sempurna semua<br />
kebutuhan yang harus dipenuhi oleh rumah<br />
tinggalnya.<br />
Kebutuhan itu sendiri ternyata ada yang bersifat<br />
terukur (seperti kondisi klimatik) dan yang tidak<br />
terukur (seperti estetik). Yang terukur dapat dipenuhi<br />
dengan memperhatikan standar-standar normatif atau<br />
objektif yang diterima, sedangkan yang tidak terukur<br />
lebih subjektif sifatnya. Dalam hal – hal tertentu<br />
seperti itulah peran arsitek dituntut untuk lebih<br />
kreatif dan imajinatif. Pengertian fungsi dalam<br />
arsitektur sendiri perlu dipahami secara mendalam<br />
dengan mengacu pada bidang-bidang psikologi dan<br />
sosial yang terkait. Mulai dari Freud yang<br />
menekankan aspek biologis, lalu Alder yang lebih<br />
pada aspek-aspek sosial, hingga pada Allport Maslow<br />
yang menekankan multi motivational. Fungsi dalam<br />
hal ini tidak terbatas pada fungsi yang berkaitan<br />
dengan dimensi-dimensi fisik serta hubungan<br />
kedekatan ruang dan waktu semata. Namun lebih<br />
jauh lagi sampai pada psikologi pemakai bangunan,<br />
interaksi sosial, perbedaan budaya bahkan makna dan<br />
simbol bangunan.<br />
Benjamin Hadler dalam bukunya ‘’System Approach<br />
to Atchitecture’’ menjabarkan pengertian fungsi dari<br />
bangunan (baca, rumah tinggal) sebagai berikut :<br />
• Fungsi adalah suatu proses.<br />
Fungsi cenderung dipandang sebagai urutan<br />
kejadian, sehingga fungsi dapat menangani<br />
setiap aspek bangunan dalam batasan yang<br />
dinamis<br />
• Fungsi adalah maksud, melihat sesuatu<br />
dalam batasan fungsi adalah melihatnya<br />
dalam batasan tujuan akhir ke arah mana<br />
fungsi tersebut menuju. Dengan kata lain<br />
setiap fungsi mempunyai tujuan dan maksud<br />
tersendiri.<br />
• Fungsi adalah keseluruhan, yang terpadu<br />
secara harmonis dan serasi sesuai dengan<br />
konsep dan sasaran yang hendak dicapai<br />
oleh bangunan (rumah) tersebut<br />
• Fungsi adalah tingkah laku, yang diamati<br />
dan dipikirkan bagaimana bangunan itu<br />
bekerja atau bertingkah laku<br />
• Fungsi adalah hubungan, dimana berbagai<br />
komponen bangunan dihubungkan untuk<br />
membentuk satu kesatuan yang dinamakan<br />
rumah.<br />
• Fungsi adalah keharusan, agar dapat<br />
beroperasi secara wajar maka harus<br />
memiliki sifat-sifat, nilai-nilai dan ciri-ciri<br />
tertentu dan harus dihubungkan dengan cara<br />
tertentu.<br />
Lebih jauh lagi Norbeg-Schutz dalam Intention in<br />
Architecture menerangkan bahwa fungsi dari suatu<br />
bangunan dapat dilihat dari 4 (empat) parameter,<br />
yaitu :<br />
• Kontrol fisik. Salah satu tujuan dari kontrol<br />
fisik adalah menciptakan perlindungan dan<br />
kenayamanan penghuni (pemakai) dari<br />
pengaruh lingkungan seperti iklim,<br />
kebisingan, serangga, debu ataupun dari<br />
manusia lainnya. Dengan kata lain<br />
bangunan harus dapat berperan sebagai alat<br />
kontrol fisik bagi kenyaman fisiologi<br />
manusia.<br />
• Kerangka Aktivitas. Sebuah bangunan<br />
harus dapat menampung aktivitas-aktivitas<br />
penghuninya sesuai dengan fungsi dari<br />
bangunan itu sendiri.<br />
• Social Mileu. Sebuah bangunan diharapkan<br />
dapat berpartisipasi terhadap situasi sosial<br />
yang ada, sesuai dengan fungsi sosial pada<br />
bangunan yang dapat mengutarakan<br />
tentang status <strong>sistem</strong> sosial secara total.<br />
• Simbolisasi Kultural. Arsitektur dapat<br />
dipandang sebagai objek kultural yang<br />
berkaitan erat dengan ideologi, nilai agama,<br />
nilai moral, dan nilai ekonomi<br />
penghuni/masyarakat.<br />
Rumah tinggal sebagai sebuah bangunan dengan<br />
segala fungsi yang dimilikinya dapat<br />
mempertemukan berbagai kebutuhan manusia yang<br />
berbeda-beda, bersifat unik dan memiliki jenjang<br />
ketingkatan dari tingkat rendah hingga tinggi.<br />
Menurut Abraham Maslow 5 ,seorang ahli psikologi,<br />
ada 5 (lima) tingkatan dari kebutuhan manusia yang<br />
dimulai dari kebutuhan tingkat terbawah (lower<br />
needs) hingga pada tingkat kebutuhan teratas (higher<br />
needs). Dimulai dari kebutuhan fisiologis sampai<br />
pada puncaknya adalah kebutuhan untuk perwujudan<br />
diri/self-actualization needs.<br />
Jika kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah belum<br />
terpenuhi secara pantas, maka biasanya akan sukar<br />
99
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan di atasnya<br />
dengan baik.<br />
Adapun 5 (lima) tingkatan kebutuhan manusia yang<br />
dikembangkan Maslow tersebut adalah 6 :<br />
1. Kebutuhan fisiologis<br />
Kebutuhan yang hampir sama pada setiap<br />
makhluk hidup dan merupakan kebutuhan yang<br />
merupakan kebutuhan yang memdasar<br />
(elementr) meliputi : ruang untuk aktivitas,<br />
istirahat,daan kesehatan. Untuk memenuhi<br />
kebutuhan-kebutuhan ini minimal harus tersedia<br />
tempat berteduh/shelter sebagai tempat untuk<br />
istirahat dan tidur, sedangkan kebutuhan lainnya<br />
bisa dilakukan di sekitar tenpat tersebut. Yang<br />
perlu diperhatikan adalah perbedaan kultur dan<br />
iklim yang akan menimbulkan perbedaan dalam<br />
merealisasikan pemenuhan kebutuhan tadi.<br />
2. kebutuhan rasa ama. Manusia memilki naluri<br />
untuk mengendalikan hidupnya, termasuk upaya<br />
harus terhindar atayu menghindar dari<br />
marabahaya yang mengancamnya. Untuk itu<br />
manusia merasa harus memiliki kekuatan untuk<br />
dapat menolak mara bahaya tersebut seperti :<br />
tempat menyimpan dan melindungi miliknya<br />
(fungsi rumah), kepercayaan pada kekuatan alam<br />
dan super natural (refigus), termasuk melakukan<br />
upacara-upacara ritual.<br />
3. kebutuhan sosial. Manusia tidak dapat hidup<br />
sendiri melainkan membutuhkan manusia lain<br />
untuk berkomunikasi dan bergabung dengan<br />
sesamanya dalam rangaka eksistensi manusia itu<br />
sendiri. Bangunan merupakan satu tempat untuk<br />
berinteraksi sesama penghuninya, saling<br />
memberi dan meneriam,berkawan,bercinta dan<br />
sebagainya. Rumah merupakan dunia tersendiri<br />
tempat terjadinya kehidupan kelompok manusia<br />
saling bersosialisasi.<br />
4. kebutuhn akan ke-aku-an (ego needs). Setiap<br />
manusia akan membutuhkan perasaan –perasaan<br />
yang positif,seperti terlihat pada rasa ingin<br />
memiliki dihormati, rasa aman, kepercayaan<br />
diri,keterampilan,kemampuan dan kemandirian.<br />
Pada banyak budaya rumah sering dipakai<br />
sebagai pencerminan status sosial. Sebagai<br />
contoh rumah-rumah bangsawan tempo dulu di<br />
Yogya, dibangun ditenagh-tengah halaman yang<br />
luas dab memiliki pelataran yang luas dan<br />
terawat baik,seolah menunjukkan kesan bahwa<br />
pemiliknya adalah orang yang ramah dan agung,<br />
berhati terbuka dan melindungi (mengayomi).<br />
5. Kebutuhan akan perwujudan diri (Selfactualization<br />
needs). Setiaporang dilahirkan<br />
dengan seperangkat potensi<br />
kemanusian,memiliki kemampuan dan bakat<br />
masing-masing,dan karenanya setiap orang kan<br />
mewujudkan dirinya secara berbeda-beda dan<br />
mempunyai keunikan tersendiri. Tiap generasi<br />
manusia selalu akan merubah apa telah<br />
ada,sekalipun perubahan itu tidak akan lebih<br />
baik dari sebelumnya.Tiap generasi akan selalu<br />
ingin menjadikan dirinya mempunyai<br />
kekhaannya,ingin mengekpresikan zamannya<br />
dalam peta sejarah umat manusia. Hal ini diduga<br />
mendasari dengan kuat perkembangan<br />
pengetahuan manusia dalam berbagai hal, tanpa<br />
peduli dengan keterbatasan alamnya. Kebutuhan<br />
perwujudan diri ini menuntut konsekuensi logis<br />
dalam kaiatan kewaspadaaan manusia dalam<br />
upaya memprtahankan keseimbangan alam dan<br />
lingkungan, yang kalau diabaikan justru akan<br />
menjadi bumerang bagi eksistensi manusia<br />
sendiri.<br />
C. Perkembangan Kota dan Budaya<br />
Masyarakatnya.<br />
Perkembangan kehidupan masyarakat kota-kota<br />
besar sekarang tidak terlepas dari perkembangan<br />
ilmu pengertahuan dan peradaban manusia.<br />
Khidupan masyarakat sudah didominasi oleh asas<br />
ekonomi yang mulai berkembang sejak revolusi<br />
<strong>industri</strong> melanda dunia di balahan barat (Inggris) dan<br />
terus merambah ke belahan dunia lainnya. Institusiinstitusi<br />
yang ada dalam kehidupan masyarakat<br />
mengalami perubahan yang sangat berarti dan<br />
menimbulkan pengaruh yang besar terhadap<br />
kehidupan manusia. Itu artinya berbagai institusi di<br />
masyarakat seperti :politik, pendidikan,agama,,ilmu<br />
pengetahuan,seni (termasuk didalamnya sebagian<br />
arsitektur), keluarga.dan seterusnya telah bergantung<br />
pada mekanisme ketersediaan sumber-sumber<br />
ekonomi.<br />
Kalr Marx, ahli sosiologi, melihat dasar-dasar<br />
ekonomi itu sendiri infrastruktur tempat superstruktur<br />
sosial dan budaya yang lainnya dibangun dan harus<br />
menyesuaikan diri. Artinya kegiatan-kegiatan dalam<br />
tiap institusi non-ekonomi harus bergerak dalam<br />
mekanisme batas-batas yang ditentukan oleh tuntutan<br />
ekonomi. Individu dan faktor-faktor ekonomi dalam<br />
usahanya untuk ‘’hidup sesuai dengan pendapatnya’’.<br />
Juga ditekankan oleh Marx, tuntutan –tuntutan untuk<br />
mencari nafkah agar bisa tepat hidup dapat memakan<br />
waktu dan energi sedemikian besarnya, sehingga<br />
tidak mungkin untuk mengembangkan kemampuan<br />
lainnya. Kenyataan yang terakhir ini kiranya<br />
merupakan fenomena baru di lingkungan masyarakat<br />
pekerja di kota-kota besar yang lingkungannya sudah<br />
dipengaruhi oleh dominasi kepentingan ekonomi.<br />
Kesibukan bekerja sebagai upaya pemenuhan nafkah<br />
untuk hidup telah menjadikan orang tidak<br />
berkesempatan untuk mengembangkan sisi lain dari<br />
hidupnya. Manusia pekerja menjadi roboat dari<br />
pekerjaanya sendiri, sehingga wajar saja jika polapola<br />
perilakunya menjadi ‘’kurang memanusia’.<br />
Pengaruh ekonomi yang telah mendominasi<br />
peradaban manusia, terutama di kota-kota besar,<br />
telah merubah wajah kota menjadi ajang<br />
pertumbuhan kepentingan ekonomi yang ditandai<br />
dengan meningkatnya jenis lapangan kerja dan<br />
pekerjaan itu sendiri. Jumlah pekerja yang<br />
mendatangi kota tidak terbendung lagi banyaknya hal<br />
100
Rumah Susun sebagai Bentuk Budaya Bermukim Masyarakat Modern<br />
Samsul Bahri<br />
ini sejalan dengan teori kebutuhan manusia untuk<br />
mendapatkan kesempatan lebih luas<br />
mempertahankan kelangsungan dan eksistensi<br />
hidupnya di dunia. Semua orang tertarik untuk<br />
mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan hidup<br />
layak di kota – kota dan membiarkan mekanisme<br />
ekonomi yang jelas tidak menjanjikan kehidupan lain<br />
selain aspek ekonomi itu sendiri.<br />
d. Kebutuhan Tempat Tinggal Versus<br />
Keterbatasan Lahan<br />
Salah satu kebutuhan yang tidak terlepas dari<br />
manusia ke manapun manusia adalah kebutuhan akan<br />
tempat tinggal. Semakin banyak jumlah populasi di<br />
kota maka kebutuhan pengadaan tempat tinggal<br />
muncul menjadi problema baru yang harus<br />
dipecahkan. Sementara itu kondisi alam yang relatif<br />
stabil telah menjadi semakin tidak berdaya<br />
menampung setiap perkembangan yang terjadi.<br />
Keterbatasan lahan menjadikan upaya pemenuhan<br />
kebutuhan tempat tinggal tidak dapat terjawab secara<br />
langsung, selagi budaya bermukim masih mewarisi<br />
tradisi lama. Dalam keterbatasan lahan dan<br />
meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal<br />
tersebut, manusia menerapkan solusi perpeahan<br />
masalah dengan cara membangun tempat tinggal<br />
secara vertikal. Banyak cara yang bisa ditempuh<br />
dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan fungsi<br />
rumah yang tepat bagi penghuninya. Salah satu<br />
upaya pemenuhan rumah dalam skala besar sesuai<br />
dengan tuntutan perkembangan kota adalah Rumah<br />
Susun. Untuk sementara solusi ini mampu menjawab<br />
persoalan, yaitu persoalan ekonomi.<br />
e. Rumah Susun Sebagai Fenomena Budaya<br />
Bermukim<br />
baik Maslow maupun Benjamin Handier yang<br />
mempertimbangkan sisi fungsi dan kebutuhan<br />
sebagai bagian penting dalam pengadaan rumah<br />
(bangunan), dalam kondisi kota-kota sekarang ini,<br />
tidak lagi sepenuhnya dapat dipertahankan<br />
pandangannya secara utuh. Banyak hal baru yang<br />
harus “diperbaharui” untuk menjadikan budaya<br />
bermukim rumah susun sebagai bagian dari<br />
peradaban manusia. Tinggal di rumah susun tidak<br />
sama dengan tinggal di rumah biasa (rumah<br />
individu), baik perilaku maupun suasana<br />
lingkungannya berbeda jauh sekali. Perubahanperubahan<br />
gaya hidup, kebiasaan, dan adat istiadat<br />
sangat terasa jika seseorang berpindah dari rumah<br />
tunggal ke rumah susun. Tentunya setiap orang akan<br />
memiliki kemampuan yang berbeda dalam<br />
beradaptasi, dan tidak semua orang memiliki<br />
kemampuan melakukannya. Bagi golongan orang<br />
yang sudah erat dan tidak terpisahkan dengan<br />
tradisinya akan sulit melakukan adaptasi yang<br />
diinginkan, akibatnya yang ada hanyalah pemaksaan<br />
saja. Masyarakat pekerja di kota-kota yang<br />
umumnya adalah pendatang (gejala urbanisasi)<br />
masalah budaya bermukim merupakan salah satu<br />
problema tersendiri di samping persoalan ekonomi<br />
yang menuntut penyelesaian guna mempertahankan<br />
hidup di kota. Kemampuan dan keterampilan untuk<br />
bertahan hidup menjadi seni dan sekaligus senjata<br />
bagi setiap pekerja yang hidup di kota-kota besar<br />
seperti : Jakarta, Surabaya, dan lainnya. Sekalipun<br />
sulit hidup di kota, namun tidak mengurangi minat<br />
masyarakat desa untuk mendatangi kota tersebut.<br />
Akibatnya daya dukung “ruang” kota menjadi<br />
semakin terbatas. Program pengadaan perumahan<br />
bagi pekerja menjadi penting belakangan ini. Selain<br />
dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar manusia,<br />
rumah tinggal dan kedekatan jarak rumah dengan<br />
tempat kerjanya merupakan salah satu persoalan<br />
yang mamu memberikan pengaruh kuat bagi tingkat<br />
produktivitas pekerja itu sendiri. Solusi pendanaan<br />
rumah dengan konsep Rumah Susun menjadi pilihan<br />
yang menarik untuk dikembangkan akhir-akhir ini,<br />
dan apabila mungkin maka akan terus dipertahankan<br />
sebagai konsep yang dapat diterapkan di setiap kota<br />
yang kekurangan lahan untuk perumahan. Tinggal<br />
sekarang bagaimana upaya yang dilakukan untuk<br />
mengatasi persoalan-persoalan budaya yang kelak<br />
akan semakin jelas muncul dalam konsep rumah<br />
susun itu. Tentunya sekarang belum sedemikian jelas<br />
terlihat baik buruknya fenomena baru itu karena<br />
umumnya yang relatif masih baru bagi masyarakat di<br />
beberapa tempat. Di beberapa kasus pembangunan<br />
rumah susun telah dikembangkan konsep budaya<br />
bermukim yang disesuaikan dengan kebudayaan dan<br />
kondisi yang ada. Salah satu diantaranya adalah<br />
rumah susun Dupak di Surabaya, yang dibuat oleh<br />
Johan Silas (Arsitek), yang mengembangkan metode<br />
kampung susun. Artinya gaya hidup kampung yang<br />
telah ada pasa dipertahankan sebagian besar, hanya<br />
saja kalau dulunya kampung-kampung tersebut<br />
berada pada daerah yang horisontal maka di rumah<br />
susun tersebut kampung-kampung disusun secara<br />
vertikal. Konsep ini masih relatif baru dan<br />
berlangsung belum cukup lama sehingga perlu<br />
diperhatikan terus perkembangan yang terjadi untuk<br />
kemudian dapat disimpulkan kelebihan dan<br />
kekurangannya.<br />
KESIMPULAN<br />
Perkembangan masyarakat merupakan bagian yang<br />
tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Arsitektur,<br />
namun seringkali tidak dapat terlaksana dengan baik<br />
(sempurna). Pada kenyatannya pendekatan yang<br />
dilakukan selama era arsitektur modern dengan caracara<br />
rasional, deterministik, standarisasi dianggap<br />
sering hanya menciptakan suatu huubngan yang<br />
renggang, tidak harmonis antara manusia sebagai<br />
pemakai dan ruang (wadah) tempat kegiatan. Rumah<br />
susun sebagai produk dari modernisasi yang sedang<br />
berkembang sekarang ini belum sepenuhnya dapat<br />
diterima dalam kaitan dengan budaya bermukim<br />
manusia. Seringkali yang terjadi adalah pembangnan<br />
rumah susun yang diibaratkan sebagai suatu<br />
pemerkosaan atas hak-hak pribadi pemakainya.<br />
101
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Pemakai dalam keadaan terpaksa tidak mempunyai<br />
alternatif lain selain hanya menerima kenyataan yang<br />
ada. Sama halnya dengan pembangunan perumahan<br />
massal lainnya (real estate oleh Perumnas, BTN, dan<br />
lainnya), rumah susun tidak mampu memberikan<br />
pemecahan pemunuhan kebutuhan manusia secara<br />
utuh. Hal tersebut dapat terjadi karena selama ini<br />
rumah susun dibangun atas dasar pertimbangan<br />
ekonomi dan teknis semata. Kalaupun ada<br />
pertimbangan unsur manusia didalamnya, itu hanya<br />
sebagian kecil yang kalah dominan dibanding unsur<br />
ekonomi dan teknis tadi. Rumah susun baru akan<br />
bermanfaat bila dipandang sebagai suatu usaha<br />
menjawab kebutuhan manusia dari berbagai aspek<br />
kehidupan, tidak hanya dari sisi kuantitasnya saja<br />
tapi juga sisi kualitasnya. Sebagai budaya bermukim,<br />
rumah susun tentunya perlu waktu lama dan<br />
konsisten untuk terus dikembangkan sebagai tradisi<br />
baru dalam kehidupan umat manusia. Terutama di<br />
negara-negara berkembang seperti Indonesia yang<br />
sudah memiliki tradisi lama yang berakar kuat di<br />
kalangan masyarakatnya.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Rabinwitz, Harvey, Z (1979), Evaluasi<br />
Purnahuni, dalam : Synder, James C Pengantar<br />
Arsitektur. Penerbit Airlangga, Jakarta.<br />
2. ____ (1991) Tata Cara Perencanaan Kepadatan<br />
Bangunan Lingkungan Rumah Susun Hunia.<br />
Departemen P. U. Jakarta.<br />
3. ___ (1983). Pedoman Teknik Pembangunan<br />
Perumahan Sederhana Tidak Bertingkat.<br />
Departemen P. U. Direktorat Jendral Cipta<br />
Karya, Jakarta.<br />
1. Hukum tiga tanpa merupakan usaha Comte<br />
untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat<br />
manusia dari masa primitif sampai keperadapan<br />
Perancis abad ke 19 yang sangat maju”, teori<br />
Sosiologi Klasi dan Modern, (1994), hlm. 84.<br />
2. Sokanto, Soerjono, 1990. Sosiologi Suatu<br />
Pengantar, hlm. 382-386.<br />
3. Ibid, hlm. 383.<br />
4. Eugene Raskin dalam Architecture and People<br />
mengatakan : “……… most of mankind spends<br />
the major part of its time indoors, in<br />
environments of its own creation……… We are<br />
born indoors, live, love, brings up our families,<br />
worship, work, grow old, sincken and indoors”.<br />
5. Dalam bukunya “Motivation and Personality”<br />
(1954), Abraham Maslow mempelopori suatu<br />
pendekatan kepada manusia yang didasarkan<br />
atas studi dari THE FINEST PSYCOLOGICAL<br />
SPECIMENTS yang memperlihatkan manusia<br />
sebagai mahluk yang lebih cakap/arif (capable),<br />
rational dan percaya diri, dari teori-teori<br />
sebelumnya. Studi ini membawa Maslow untuk<br />
mengembangkan diri, dari teori-teori<br />
sebelumnya. Studi ini membawa Maslow untuk<br />
mengembangkan teori motivasi (Human<br />
Motivation) yang lebih populer dengan istilah<br />
HIRARCHY OF NEEDS (tingkat kebutuhan<br />
manusia), untuk menjelaskan hbungan antara<br />
kepribadian dan motivasi manusia.<br />
6. Newmark, Norma L., & Thompson, Patricia, J.,<br />
1977. Self Space & Shelter., hal. 8.<br />
102
METODE PERANCANGAN ASIC YANG SUKSES<br />
Metode Perancangan Asic yang Sukses<br />
Hasdari Helmi<br />
Hasdari Helmi<br />
Staf Pengajar Departemen Elektro Fakultas Teknik USU, Medan<br />
Abstrak: Tulisan ini menjelaskan tahapan perancangan rangkaian elektronika digital yang sukses<br />
menggunakan rangkaian terintegrasi dengan aplikasi khusus. ASIC merupakan rangakaian terintegrasi yang<br />
sengaja dirancang untuk memenuhi tujuan dan fungsi tertentu. ASIC mempunyai keuntungan tertentu, seperti,<br />
kepadatan komponen, kehandalan, kekhususan dan kerahasian chip dan daya rendah serta biaya produksi<br />
rendah untuk jumlah besar. Perancangan ASIC yang sukses dan berhasil baik dengan sekali rancang jadi,<br />
diperlukan seorang perancang yang berpengalaman, metodologi yang tepat, tool dari vendor, hubungan<br />
perancang dan vendor yang baik untuk menghasilkan suatu <strong>sistem</strong> elektronika yang berkerja sesuai keinginan<br />
pemesan.<br />
Abstract: The paper describes important order to design digital electonic circuits successful use Application<br />
Specific Integration Circuits (ASIC). ASIC is integrated circuits what is designed to complete fixed functions of<br />
system. ASIC have advantage like complexity, visibility, security , low power and low cost fee production for big<br />
quantity. Designer who is successful and good with first time though is required experiences designing, exactly<br />
methodology, tool from vendor, and so, between designer and vendor have good communications to output a<br />
good system for working is wanted.<br />
Kata kunci: ASIC, kehandalan, chip, tool, vendor, metodologi.<br />
I. PENDAHULUAN.<br />
ASIC (Application Specific Integration<br />
Circuits) merupakan rangkaian terintegrasi aplikasi<br />
yang dirancang dan direalisasikan untuk memenuhi<br />
tujuan dan fungsi tertentu. Rangkaian terintegrasi<br />
Apilikasi khusus (ASIC) adalah salah satu alternatif<br />
realisasi perancangan <strong>sistem</strong> bidang<br />
mikroelektroniknika Hal ini berkaitan dengan<br />
membanjirnya produksi rangkaian terintegrasi pada<br />
era tahun 1970 yang mana sesama pabrik saling<br />
membajak produksi lainnya, sehingga konsumen<br />
tidak dapat membedakan produksi asli pabrik.<br />
Kemudian produksi ASIC ini berkenaan dengan<br />
keperluan peralatan militer serta kebutuhan<br />
komponen dalam ukuran mini.<br />
Umumnya rangkaian ini direalisasikan<br />
dengan meotode semicustom dan full-custom<br />
mempunyai keuntungan tertentu, seperti :<br />
♦ Kepadatan komponen dn performance yang<br />
tinggi.<br />
♦ Kekhususan dan kerahasian chip.<br />
♦ Kebutuhan daya rendah.<br />
♦ Kehandalan tinggi.<br />
♦ Biaya produksi rendah untuk jumlah besar.<br />
Karakteristik perkembangan ASIC ditujukan seperti<br />
pada gambar 1.<br />
Diperlukan waktu<br />
singkat menuju pasar<br />
2 tahun<br />
1 tahun<br />
Hasil Rancangan yang diinginkan:<br />
• lebih handal<br />
• biaya rendah<br />
• lebih cepat<br />
6 bulan<br />
3 bulan<br />
900 MIPS<br />
100 MIPS<br />
10 MIPS 1995 2001<br />
4 MIPS 1991<br />
1989<br />
1987<br />
kompleksitas<br />
rancangan meningkat<br />
Gambar I.1. Perkembangan ASIC ditinjau dari kepadatan dan kecepatan<br />
serta waktu perancangan<br />
103
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
II. Problematika Perancangan ASIC<br />
Masalah yang sering dijumpai pada<br />
perancangan ASIC dimana fungsi <strong>sistem</strong> tidak<br />
bekerja sesuai yang diinginkan. Untuk menghindari<br />
kesalahan hasil rancang diperlukan :<br />
♦ Perancang yang berpengalaman.<br />
♦ Perancang mengerti dan memahami selukbeluk<br />
tahap-tahap proses rancangan ASIC<br />
♦ Memilih tool (alat bantu peracangan) yang<br />
tepat.<br />
♦ Hubungan perancang dengan vendor ASIC<br />
III. TIPE-TIPE ASIC DAN TEKNOLOGINYA<br />
Suatu <strong>sistem</strong> elektronika yang diimplementasikan<br />
menggunakan ASIC harus memilih tipe ASIC,<br />
teknologi ASIC dan penggunaan ASIC sebelum<br />
rancagan diproses lebih lanjut. Hal ini harus<br />
dilakukan seorang perancang, jika tidak ingin<br />
menerima resiko yang fatal.<br />
Terdapat 5 tipe jenis ASIC yang tersedia,<br />
pemesan dapat memilih jenis ASIC untuk<br />
mengimplementasikan <strong>sistem</strong> elektronika yang<br />
dikehendaki, yaitu :<br />
♦ Gate Array<br />
♦ Standard Cell<br />
♦ Programmable logic<br />
♦ Full Custom<br />
Gate array, standard cell, compiled cell dan<br />
programmable logic di sebut ASIC semi-cutom<br />
karena mask yang dibutuhkanhanya beberapa buah<br />
saja, sedangkan ASIC full-custom seluruh mask layer<br />
ditentukan perancang.<br />
III.1. Teknologi ASIC.<br />
Beberapa teknologi tersedia dalam<br />
merancang ASIC sesuai keperluan suatu <strong>sistem</strong> yaitu<br />
: CMOS, TTL, ECL, Ga, As, BICMOS.<br />
Masing-masing teknologi memiliki karakteristik<br />
seperti ditujukan table 2.1.<br />
Salah satu contoh gate HAND menggunakan<br />
teknologi BICMOS ditujukan pada gambar III..1.<br />
Table III.1. Karakteristik teknologi ASIC.<br />
TEKNOLOGI KECEPATAN KEPADATAN DAYA<br />
CMOS<br />
50 MHz<br />
Sangat Tinggi<br />
Sangat Rendah<br />
TTL<br />
100 MHz<br />
Sedang<br />
Rendah<br />
BICMOS<br />
50 MHz<br />
Tinggi<br />
Rendah<br />
ECL<br />
>1 GHz<br />
Rendah<br />
Sangat Tinggi<br />
GaAS<br />
>3 GHz<br />
Sangat Rendah<br />
Sedang<br />
Gambar III.1. Gate NAND 2 – input yang menggunkana teknologi BICMOS.<br />
104
Metode Perancangan Asic yang Sukses<br />
Hasdari Helmi<br />
Wire Lengths<br />
Custumer<br />
input<br />
Design<br />
Capture<br />
Delay<br />
Estimation<br />
Local And<br />
Timing<br />
Simulasi<br />
Automatic<br />
Placement<br />
And Routing<br />
FOUNDRY<br />
Test Vectors<br />
AUTOMATIC<br />
TEST<br />
GENERATION<br />
Gambar III.2. Diagram aliran perancangan ASIC.<br />
Pada umumnya, vendor memberikan tool tahaptahap<br />
perancangan ASIC yang digunakan pabrik,<br />
antara lain : skematik, simulasi aliran proses,<br />
perancangan fisik, pengujian, serta pembuatan<br />
prototip, verifikasi, test prototip. Secara umum proses<br />
perancangan ASIC hampir sama vendor. Masingmsing<br />
tahap harus dilakukan dengan lengkap dan<br />
baik. Gambar III.2, menunjukkan aliran proses<br />
perancangan ASIC.<br />
IV. PERANCANGAN ASIC YANG SUKSES<br />
Seorang perancangan ASIC yang baik<br />
memulai bekerja pada level high behaviroral untuk<br />
mengembangkan bagian-bagian fungsi yang penting<br />
yang menunjang spesifikasi dari rancangan ASIC<br />
yang diminta. Hal ini disebabkan rangkain ASIC<br />
kepadatannya lebih tinggi , misal kepadatan 200.000<br />
gate memerlukan <strong>teknik</strong> perancangan tersendiri untuk<br />
dapat mengontrol <strong>sistem</strong> yang kompleks tersebut. Ini<br />
dapat dilakukan dengan perancangan otomatis<br />
elektronik.<br />
IV.1. Tahapan Perancangan ASIC<br />
Chart Y (Gajski dan Kuhn 1983),<br />
memberikan tahap perancangan ASIC dari level<br />
fungsi terdiri dari 3 tingkatan seperti terlihat pada<br />
gambar IV.1., yaitu :<br />
1. Behavioral<br />
2. Struktural<br />
3. Physical Geometry<br />
BEHAVIORAL<br />
LOGIC SYNTHESIS<br />
SYSTEM<br />
ALGORITMA<br />
STRUCTURAL<br />
MICROARCHITECTURE<br />
SYSTEMS LOGIC PROCCECSOR<br />
ALGORITHMAS<br />
HARDWARE MODUL<br />
REGISTER TRANSFE CIRCUIT ALUs, REGISTER<br />
LOGIC<br />
GATES, FFs<br />
TRANSFER FUNGTION<br />
TRANSISTOR<br />
RECTANGLES<br />
CELL, MODUL PLANS<br />
FLOOR PLAN<br />
CLUSTER<br />
PHYSICAL<br />
PARTITIONS<br />
PHYSICAL/GEOMETRY<br />
Physical Synthesis<br />
Gambar IV.1. Chart Y memperlihatkan tiga tingkatan perancangan<br />
105
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
IV.2. Perancangan Tingkat Behavioral.<br />
Tujuan dari perancangan level ini adalah untuk<br />
mengabaikan banyak hal-hal detail dari fungsi<br />
rancangan. Hal ini sangat menguntungkan perancang<br />
sebab perancangan dilakukan lebih cepat dan akurat<br />
serta memudahan untuk memeriksa kembali suatu<br />
rangkaian dan mengoptimumkannya. Model VHDL<br />
(Verification Hardware Description Languanges)<br />
seperti ditunjukkan gambar IV.2.<br />
Behavioral<br />
VHDL<br />
Specification<br />
Gambar IV.2. Penggunaan VHDL pada tingkat<br />
perancangan behavioral dan structural<br />
IV.3. Perancangan Tingkat Struktural.<br />
Pada tingkat struktural, perancang sudah<br />
dihadapkan pada perancangan hardware yang<br />
sebenarnya. Untuk rangkaian yang sangat kompleks<br />
(>250.00 gate), maka perancangan menjadi sangat<br />
sulit. Untuk mengatasi kesulitan tersebut vendor<br />
menawarakan perangkat yang dapat memberikan<br />
skematik gate yang terstruktur.<br />
IV.4. Perancangan Tingkat Phisical Geometry.<br />
Pada tingkat ini, mendeskripsikan fisik dari<br />
seluruh rancngan yang telah dibuat untuk<br />
menghasilkan suatu data-base bagi pemrosesan<br />
rancangan ASIC yang dikendaki.<br />
IV.5. Standard Electronic design Automation<br />
(EDA)<br />
Tool ini merupakan ‘schematic capture<br />
tools’ yang berguna bagi perancang membuat skema<br />
rangkaian tanpa pensil dan kertas. Gambar IV.3,<br />
menunjukkan contoh sel yang terdapat pada sel –<br />
library.<br />
Structural<br />
A<br />
B<br />
A<br />
B<br />
C X C<br />
X<br />
Sel - librari<br />
Simbol logika<br />
Gambar IV.3: rangkaian Sel – library dan simbol logika<br />
106
Metode Perancangan Asic yang Sukses<br />
Hasdari Helmi<br />
IV.6. Silicon compiler<br />
Silicon Compiler untuk menterjemahkan<br />
perancangan dari level behavioral ke level structural.<br />
Silicon Compiler merupakan alat optomis suatu<br />
rancangan untuk menghasilkan kepadatan layout<br />
logic yang efisien. Tipe-tipe Silicon Compiler antara<br />
lain :random logic, datapath, module compiler dan<br />
tile-based.<br />
IV.7. Sintesis Logika<br />
Sintesis logika merupakan suatu proses yang<br />
dengan otomatis dapat membentuk ekivalen<br />
structural logic dari deskripsi rangkaian behavioral.<br />
Deskripsi rangkaian behavioral digunakan pada<br />
Simulasi digital untuk memverifikasikan rancangan<br />
sejauh mana sudah memenuhi spesifikasi yang<br />
kehendaki.<br />
V. Metodologi Perancangan ASIC<br />
Untuk menghasilkan kualitas ASIC yang<br />
diinginkan, biaya produksi rendah dan waktu<br />
perancangan singkat tanpa mengalami perancangan<br />
ulang diperlukan metodologi peracangan ASIC yang<br />
valid<br />
Terdapat dua metodologi yang umum<br />
digunakan untuk pengembangan perancangan ASIC<br />
yang berhasil, yakni :<br />
1. Metodologi perancangan Botton-Up.<br />
2. Metodologi perancangan Top-Down.<br />
V.1. Metodologi Perancangan Bottom – Up<br />
+Metodologi perancangan Bottom-Up<br />
merupakan metodologi yang banyak digunakan para<br />
perancang. Dimulai dari level struktur, yakni<br />
memilih dan menghubungkan sel/gerbang logika.<br />
Kerumitan dan kepadatan divais rangkaian diatasi<br />
dengan pendekatan hieraksi seperti ditunjukkan<br />
gambar V.1.<br />
Gambar V.1, memperlihatkan beberapa bagian<br />
dari rancangan structural diganti blok kotak yang<br />
mempunyai fungsi tertentu (ditandai dengan huruf<br />
M). kemudian setelah perancangan keseluruhan<br />
selesai, M diganti dengan rangkaian yang sesuai.<br />
Metodologi ini efektif untuk jumlah gate lebih<br />
kecil 10.000 buah. Jika kepadatan divais lebih besar,<br />
metodologi ini akan menyebabkan waktu<br />
perancangan lama, kehandalan menurun dan biaya<br />
tinggi.<br />
Perancangan secara hirarki<br />
V.2. Metodologi Perancangan Top-Down<br />
Metodologi ini perancangan Top-Down<br />
merupakan metodologi perancangan ASIC degnan<br />
kepadatan gate lebih besar 10.000 buah dan lebih<br />
disukai para perancang. Langkah perancangan adalah<br />
menentukan spesifikasi rancangan hingga<br />
keseluruhan rancangan dipisah-pisah menjadi blokblok<br />
logika.<br />
♦<br />
KESIMPULAN<br />
Dari paper ini dapat diambil kesimpulan<br />
bahwa bila seseorang perancang mengerjakan<br />
rancangan ASIC untuk dikatakan sukses dan berhasil<br />
tanpa perancang harus mengikuti langkah-langkah<br />
sebagai berikut :<br />
1. Seorang perancang harus belajar untuk mengerti<br />
dan memahami seluk-beluk tentang ASIC,<br />
teknologi dan proses pembuatan ASIC secara<br />
keseluruhan.<br />
2. Seorang perancang harus mengikuti perkembangan<br />
ASIC melalui informasi yang ada.<br />
3. Perancang harus mengetahui manfaat ASIC yang<br />
dirancang, keuntungan dan kerugian<br />
menggunakan ASIC, jenis ASIC yang<br />
diinginkan, biaya tersedia, waktu perancangan<br />
serta kompleksitas rangkaian.<br />
4. Untuk merancang ASIC yang berhasil dengan<br />
sekali rancang dengan sasaran kualitas produksi<br />
IC yang diinginkan, biaya produksi rendah dan<br />
waktu perancangan singkat maka seorang<br />
perancang harus :<br />
♦ Menggunakan metode perancangan bottomup<br />
(untuk kepadatan 10.00 gate).<br />
Perancangan akan berhasil baik bila dimulai<br />
dari tahap perancangan behavioral, struktur<br />
dan physical geome try.<br />
♦ Menggunakan alat bantu (tool) seperti :<br />
EDA, logic synthesis, silicon compiler.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Perancangan dan pembuatan <strong>sistem</strong> elektronika<br />
menggunakan mikrokontroller MC68705U3<br />
untuk uji coba pada kenyamanan rumah tangga,<br />
Hasdari Helmi, tesis, ITB Bandung , 1995<br />
2. Hardware Programmable Devices, oleh<br />
Soegijadjo Soegijoko dkk, PAU Bidang<br />
Mikroeloktronika, ITB Bandung, 1992.<br />
Rangkain keseluruhan<br />
M<br />
M<br />
Perancangan flat<br />
Rangkaian yang sesuai<br />
3. Succesful ASIC Design the first time though by<br />
Jhon P.Huber and Mark W.Rosneck<br />
Chapter 1 to 4 Van Nostrand Reinhold<br />
New York, AS, 1991<br />
4. Diktat Kuliah Singkat ‘Pengantar Sistem VLSI’<br />
PAU Bandung, 1988/1980.<br />
107
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
PEMERIKSAAN MUTU BETON DAN MUTU PELAKSANAAN<br />
PEKERJAAN BETON<br />
A. Rajamin Tanjung<br />
Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />
Abstrak: Untuk mengetahui mutu beton dan mutu pelaksanaan dari suatu pekerjaan beton diperlukan<br />
pemeriksaan secara kontinu selama masa pelaksanaannya. Langkah-langkah yang diambil dalam rangka<br />
pemeriksaan tersebut meliputi pengambilan contoh-contoh benda uji, pembuatan benda uji, pemeriksaan benda<br />
uji, pengolahan data hasil uji, perhitungan mutu pelaksanaan dan mutu beton tercapai.<br />
Jumlah pengambilan contoh uji disesuaikan dengan sifat dari pekerjaan beton yang dilaksanakan dan paling<br />
sedikit satu kali dalam satu hari. Setiap kali pengambilan contoh uji dibuat dua buah benda uji. Salah satu dari<br />
kedua benda uji tersebut dirawat di laboratorium dan yang satu buah lagi dirawat di lapangan sampai dengan<br />
umur pemeriksaan yang ditetapkan.<br />
Dari pemeriksaan benda uji didapatkan sepasang data yaitu data beban tekan maksimum yang dapat dipikul<br />
oleh masing-masing benda uji, yang dirawat di laboratorium dan yang dirawat di lapangan. Data tersebut<br />
kemudian diolah sehingga menjadi data hasil uji yaitu data uji tekan benda uji silinder pada umur dua puluh<br />
delapan hari.<br />
Dari data hasil uji ditentukan mutu pelaksanaan yang diukur dengan deviasi standar, serta mutu beton sama<br />
dengan nilai rata-rata dari seluruh hasil uji dikurangi dengan perkalian faktor dari tingkat kegagalan yang<br />
diizinkan dengan deviasi standar. Setiap hasil pemeriksaan sejumlah hasil uji dipakai sebagai dasar untuk<br />
mempertimbangkan apakah perlu diadakan perubahan dalam campuran beton, cara pelaksanaan atau nilai<br />
deviasi standar rencana untuk pekerjaan selanjutnya.<br />
PENDAHULUAN<br />
Dalam gambar rencana serta syarat-syarat<br />
teknis pelaksanaan pekerjaan konstruksi beton<br />
berbertulang yang telah disetujui untuk digunakan,<br />
tercantum dengan jelas mutu beton dari setiap bagian<br />
konstruksi. Mutu beton yang dicantumkan tersebut<br />
adalah salah satu dasar yang dipakai dalam<br />
merencanakan/menentukan dimensi dan penulangan<br />
dari bagian konstruksi dimaksud. Dengan demikian<br />
bila mutu beton yang tercapai dalam pelaksanaan<br />
lebih rendah dari mutu beton perencanaan tadi maka<br />
tingkat kelayakan dari bagian konstruksi yang<br />
berkenaan akan lebih rendah dari tingkat kelayakan<br />
yang direncanakan.<br />
Agar mutu beton seperti dalam perencanaan<br />
tercapai di lapangan, bahan-bahan campuran, proses<br />
produksi, pengangkutan serta proses pencetakan di<br />
tempat akhir dari pekerjaan beton yang dilaksanakan<br />
harus memenuhi peraturan/persyaratan-persyaratan<br />
yang telah ditetapkan.<br />
Untuk mengetahui mutu beton dan mutu pelaksanaan<br />
dari suatu pekerjaan beton diperlukan pemeriksaan<br />
secara kontinu selama masa pelaksanaannya.<br />
Pemeriksaan dilakukan terhadap hasil-hasil uji yang<br />
di dapat dari pengujian benda-benda uji yang dibuat<br />
dari produksi beton yang digunakan untuk<br />
pelaksanaan pekerjaan dimaksud.<br />
Dalam tulisan berikut ini dicoba untuk memberikan<br />
gambaran tentang langkah-langkah yang diambil<br />
dalam rangka pemeriksaan tersebut mulai dari cara<br />
pengambilan contoh uji sampai dengan pengolahan<br />
data hasil uji untuk mendapatkan mutu beton dan<br />
mutu pelaksanaan dari pekerjan beton normal yang<br />
tidak menggunakan bahan campuran tambahan.<br />
PENGAMBILAN CONTOH UJI<br />
Pengambilan contoh uji untuk setiap mutu<br />
beton yang dilaksanakan pada satu hari paling sedikit<br />
1 kali, dan pada setiap kali pengambilan contoh uji<br />
dibuat sepasang benda uji yang terdiri dari 2 buah<br />
benda uji. Tetapi bila jumlah keseluruhan volume<br />
pekerjaan beton untuk setiap mutu beton adalah<br />
sedemikian, sehingga setelah selesai pekerjaan<br />
jumlah contoh uji yang terkumpul untuk masingmasing<br />
mutu beton kurang dari 5 pasang benda uji,<br />
jumlah pengambilan contoh uji dapat disesuaikan<br />
dengan mempertimbangkan sifat dari pekerjaan beton<br />
yang dilaksanakaaan. Pekerjaan untuk bagian<br />
konstruksi beton yang mengalami tegangan tinggi,<br />
pengambilan contoh uji dilakukaan untuk setiap<br />
volume pekerjaan tidak lebih dari 10 m 3 . Pekerjaan<br />
untuk bagian konstruksi beton biasa, pengambilan<br />
contoh uji dilakukaan untuk setiap volume pekerjaan<br />
tidak lebih dari 20 m 3 . Sedang pekerjaan beton<br />
massal yang tidak akan mengalami tegangan tinggi,<br />
pengambilan contoh uji dilakukaan untuk setiap<br />
volume pekerjaan tidak lebih dari 50 m 3 . Pada awal<br />
pekerjaan ada baiknya bila jumlah pengambilan<br />
108
Pemeriksaan Mutu Beton dan Mutu Pelaksanaan Pekerjaan Beton<br />
A. Rajamin Tanjung<br />
contoh uji diperbanyak sehingga disamping benda<br />
uji untuk diperiksa pada umur 28 hari juga ada<br />
benda uji yang dapat diperiksa pada umur 3 hari atau<br />
7 hari. Seshingga dengan demikian gambaran mutu<br />
beton yang tercapai dilapangan dapat diketahui<br />
dalam waktu yang lebih awal.<br />
PEMBUATAN BENDA UJI<br />
Benda uji sebaiknya dibuat berbentuk<br />
silinder berdiameter 150 mm dan tinggi 300 mm,<br />
sesuai dengan benda uji standar menurut peraturan<br />
beton bertulang Indonesia yang terbaru SK-SNI T-<br />
15 1990-03. Alternatif lain dapat dibuat berbentuk<br />
kubus sisi 150 mm. Untuk selanjutnya dalam tulisan<br />
ini silinder berdiameter 150 mm dan tinggi 300 mm<br />
disebut dengan silinder saja.<br />
Acuan benda uji terbuat dari logam kedap<br />
air. Permukaan dalamnya harus rata/tidak<br />
bergelombang. Sebelum pengisian terlebih dahulu<br />
disapu dengan vaselin agar mudah dilepas dari<br />
betonnya. Adukan beton untuk benda uji diambil<br />
langsung dari adukan dengan menggunakan alat yang<br />
kedap air. Bila dianggap perlu adukan tersebut<br />
diaduk lagi sebelum diisikan ke dalam acuan.<br />
Pengisian acuan dilakukan dalam 3 (tiga) lapis yang<br />
tebalnya kira-kira sama. Masing-masing lapisan<br />
dipadatkan dengan cara menusuk-nusuk sebanyak 20<br />
(dua puluh) kali dengan rod (tongkat baja) diameter<br />
16 mm dengan ujung yang dibulatkan. Pemadatan<br />
dapat juga dilakukan dengan vibrator (jarum<br />
penggetar) terutama untuk beton kental. Jarum<br />
penggetar dimasukkan sentris kedalam acuan tanpa<br />
menyentuh dasarnya. Penggetaran dilakukan sampai<br />
permukaan adukan tampak mengkilap oleh air<br />
semen. Kemudian jarum penggetar di tarik vertikal<br />
dari adukan dengan kecepatan lebih kurang 5 cm<br />
perdetik. Pada waktu pemadatan lapisan kedua dan<br />
lapisan ketiga baik dengan rod maupun dengan jarum<br />
penggetar, harus dipastikan bahwa lapisan<br />
sebellumnya yang telah dipadatkan tidak terganggu.<br />
Setelah selesai pemadatan, permukaan beton<br />
diratakan. Untuk mencegah terrjadinya penguapan<br />
benda uji dalam acuan tersebut ditutup dengan kaca<br />
atau logam atau goni basah. Kemudian disimpan<br />
ditempat yang bebas dari getaran. Setelah 24 jam<br />
acuan dibuka dengan hati-hati, dan benda uji diberi<br />
tanda seperlunya. Salah satu dari kedua benda uji<br />
tersebut dirawat di laboratorium dan yang satunya<br />
dirawat di lapangan sampai dengan saat pengujian<br />
pada umur 28 hari atau umur pengujian yang<br />
ditetapkan.<br />
PERAWATAN BENDA UJI<br />
Sepasang benda uji terdiri dari 2 buah benda<br />
uji yang diambil dari adukan yang sama dirawat<br />
sebagai berikut :<br />
Satu buah benda uji dirawat di laboratorium.<br />
Umumnya dilakukan dengan cara merendam dalam<br />
air pada suhu ruangan.<br />
Satu buah benda uji lainnya dirawat di lapangan<br />
seperti cara merawat beton yang telah dicorkan<br />
sebagai bagian konstruksi di lapangan. Umumnya<br />
dilakukan dengan menutupnya dengan goni basah<br />
atau disiram secara berkala .<br />
PEMERIKSAAN BENDA UJI<br />
Pemeriksaan dilakukan untuk menentukan<br />
kuat tekan benda uji. Pemeriksaan benda uji<br />
sebaiknya dilakukan pada sat benda uji berumur 28<br />
hari. Walaupun demikian pemeriksaan benda uji<br />
dapat juga dilakukan pada umur pengujian yang<br />
ditetapkan sesuai dengan keperluan. Pemeriksaan<br />
dilakukan dengan alat uji berupa mesin penekan yang<br />
kekuatannya sesuai dengan keperluan. Bidang<br />
penumpu benda uji berdiameter 254 mm. Pemberian<br />
gaya dilakukan secara kontinu dengan pertambahan<br />
yang konstan tanpa menimbulkan kejutan.<br />
Bila pembacaan tekanan uji adalah dengan<br />
menggunakan jarim penunjuk, ketelitian penunjukan<br />
minimal 1 % dari beban tekan maksimum. Sebelum<br />
pemeriksaan kuat tekan benda uju dilakukan,<br />
terlebih dahulu diperiksa ukuran-ukurannya sebagai<br />
berikut :<br />
Bidang-bidang dari bendauji haris sejajar dengan<br />
ketelitian 0,050 mm. Bila ketentuan tersebut tidak<br />
teroenuhi maka benda uji harus diberi caping.<br />
Ketelitian ukuran diameter lebih kurang 0,25 mm dan<br />
ketelitian ukuran tinggi lebih kurang 2,5 mm. Setelah<br />
ukuran-ukuran benda uji diperiksa dan memenuhi<br />
syarat, benda uji ditempatkan sentris terhadap sumbu<br />
gaya penekanan, Bidang penumpu diturunkan<br />
perlahan-lahan dan hati-hati sampai bidang<br />
permukaan benda uji bertemu dengan bidang<br />
penumpu. Kemudian dilakukan pemberian beban<br />
dengan kecepatan pertambahaan beban sekitar 1.38<br />
kN/m 2 sampai 3.45 kN/m 2 per detik.<br />
Pembebanan dilakukan sampai benda uji mencapai<br />
kegagalan dan selanjutnya dibaca beban maksimum<br />
yang dipikul benda uji selama pemeriksaan.<br />
PENGAMBILAN DATA HASIL UJI<br />
Dari pemeriksaan benda uji didapatkan sepasang<br />
data pengujian yaitu data pengujian benda uji yang<br />
dirawat di laboratorium dan data pengujian benda uji<br />
yang dirawat di lapangan. Masing-masing data<br />
pengujian berisi data sejumlah benda uji berupa :<br />
- Nomor kode benda uji yang menunjuk<br />
lokasi/bagian pekerjaan beton yang diwakili.<br />
- Bentuk benda uji.<br />
- Umur benda uji (hari)<br />
- Beban tekan maximum yang dapat dipikul benda<br />
uji selama pemeriksaan (N) atau (kN).<br />
Mengingat bahwa satu data hasil uji kuat tekan<br />
adalah hasil rata-rata dari uji tekan dua benda uji<br />
silinder yang dibuat dari contoh beton yang sama dan<br />
diuji pada umur 28 hari atau pada umur pengujian<br />
yang ditetapkan, maka langkah pertama adalah<br />
mengambil nilai rata -rata beban tekan maximum<br />
yang dapat dipikul benda uji selama pemeriksaan dari<br />
109
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
masing-masing pasangan benda uji yang dirawat di<br />
laboratorium dan benda uji yang dirawat di lapangan.<br />
Dalam hal ini adalah pasangan yang berbentuk sama<br />
dan bernomor kode sama. Selanjutnya dari data<br />
bentuk benda uji dapat diketahui luas penampang<br />
tekan dari masing-masing benda uji. Dengan<br />
membagi nilai rata-rata beban tekan maximum yang<br />
dapat dipikul oleh benda uji dengan luas penampang<br />
tekannya, diperoleh data kuat tekan rata-rata masingmasing<br />
pasangan benda uji pada umur uji dalam<br />
satuan MPa.<br />
Karena mutu beton identik dengan kuat<br />
tekan yang disyaratkan (f′c) dari beton yang<br />
bersangkutan, yang didasarkan pada hasil pengujian<br />
benda uji silinder umur 28 hari, maka data kuat tekan<br />
rata-rata masing-masing pasangan benda uji pada<br />
umur uji diatas perlu disesuaikan sehingga data kuat<br />
tekan rata-rata masing-masing pasangan benda uji<br />
pada umur uji tersebut menjadi data kuat tekan benda<br />
uji silinder umur 28 hari<br />
Penyesuaian data tersebut dapat dilakukan sebagai<br />
berikut :<br />
• Bila benda uji yang diperiksa adalah kubus sisi<br />
150 mm umur 28 hari, maka kuat tekannya<br />
disesuaikan dengan mengalikannya dengan nilai<br />
0.83.<br />
• Bila benda uji yang diperiksa adalah silinder tapi<br />
denga umur belum mencapai 28 hari maka kuat<br />
tekannya disesuaikan dengan membaginya<br />
dengan nilai konversi yang didapat berdasarkan<br />
hasil percobaan nyata di laboratorium terhadap<br />
benda uji yang dirawat di laboratorium dan atau<br />
di lapangan untuk beton yang sama pada umur<br />
yang bersangkutan. Bila hal tersebut diatas tidak<br />
mungkin dilaksanakan maka nilai konversi<br />
seperti pada tabel-1 dapat digunakan. Untuk<br />
umur benda uji antara, nilai konversi dapat<br />
ditentukan denga cara interpolasi dari nilai yang<br />
ada dalam tabel.<br />
• Bila benda uji yang diperiksa adalah kubus sisi<br />
150 mm dengan umur belum mencapai 28 hari,<br />
kuat tekannya disesuaikan dengan kedua cara<br />
tersebut diatas.<br />
Setelah semua data kuat tekan rata-rata masingmasing<br />
pasangan benda uji pada umur uji<br />
dikonversikan menjadi kuat tekan silinder umur 28<br />
hari, data yang didapat adalah data hasil uji kuat<br />
tekan atau dapat juga disebut data hasil uji.<br />
MUTU PELAKSANAAN<br />
Nilai-nilai sejumlah data hasil uji yang<br />
didapat dengan cara pengambilan data hasil uji<br />
seperti diatas menyebar sekitar suatu nilai rata-rata<br />
tertentu. Penyebaran ini kecil atau besar tergantung<br />
pada tingkat kesempurnaan pelaksanaan pekerjaan<br />
betonnya.<br />
Dengan menganggap bahwa nilai-nilai hasil<br />
uji tersebut menyebar normal maka ukuran dari besar<br />
kecilnya penyebaran dari nilai-nilai hasil uji tersebut,<br />
yang juga menjadi ukuran dari mutu pelaksanaannya<br />
adalah deviasi standar menurut rumus:<br />
n<br />
∑ (x i - X) 2<br />
i=1<br />
s = √ ---------------------<br />
n - 1<br />
dengan, s = deviasi standar<br />
x i = nilai masing-masing hasil uji<br />
X = nilai hasil uji rata-rata menurut rumus:<br />
n<br />
∑ x i<br />
i=1<br />
X = -------------<br />
n<br />
dengan, n = jumlah hasil uji yang diambil, minimum 30<br />
Bila hasil uji yang terkumpul tidak<br />
mencapai jumlah 30, tetapi hanya ada sebanyak 15<br />
sampai 29 hasil uji maka nilai deviasi standar adalah<br />
perkalian deviasi standar yang dihitung dari hasil uji<br />
yang ada dengan faktor pengali seperti tercantum<br />
dalam tabel-2.<br />
Untuk jumlah data hasil uji antara, nilai<br />
faktor pengali dapat diambil denga cara interpolasi<br />
dari nilai-nilai yang ada dalam tabel tersebut.<br />
Sebagai bandingan tentang mutu<br />
pelaksanaan yang tercapai, tabel-3 berikut<br />
menyajikan berbagai mutu pelaksanaan yang diukur<br />
dengan deviasi standar pada berbagai volume<br />
pekerjaan.<br />
MUTU BETON<br />
Dengan menganggap bahwa nilai-nilai hasil uji<br />
menyebar normal dan kemungkinan adanya nilai<br />
hasil uji yang lebih kecil dari nilai kuat tekan yang<br />
disyaratkan (f′c rencana) adalah 5 %, maka mutu<br />
beton yang dicapai adalah : f′c = X - 1,64 s<br />
Bila data hasil uji yang terkumpul tidak mencapai<br />
jumlah 15 maka mutu beton yang dicapai adalah :<br />
f’c = (x - 12) Mpa.<br />
Di samping itu juga harus menjadi perhatian<br />
bahwa tingkat kekuatan atau mutu beton dikatakan<br />
tercapai dengan memuaskan apabila :<br />
• Nilai rata-rata dari semua pasangan hasil uji<br />
yang terdiri dari empat hasil uji yang berturutan<br />
tidak kurang dari (f’c + 0,82 s).<br />
• Tidak satu pun dari hasil uji mempunyai nilai di<br />
bawah 0,85 f’c.<br />
Dengan membandingkan mutu beton<br />
pelaksanaan yang dihitung dengan cara seperti diatas<br />
dengan mutu beton rencana maka mutu beton dari<br />
pekerjaan beton yang telah dilaksanakan dapat<br />
ditentukan apakah memenuhi syarat atau tidak.<br />
Setiap hasil pemeriksaan 30 hasil uji atau<br />
sejumlah hasil uji seperti di atas dipakai sebagai<br />
dasar untuk mempertimbangkan apakah perlu<br />
diadakan perubahan dalam campuran beton, cara<br />
110
Pemeriksaan Mutu Beton dan Mutu Pelaksanaan Pekerjaan Beton<br />
A. Rajamin Tanjung<br />
pelaksanaan atau nilai deviasi standar rencana untuk<br />
pekerjaan selanjutnya.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. American Society for Testing and Materials<br />
(ASTM), “Method of Sampling Freshly Mixed<br />
Concrete” (ASTM C172 – 82).<br />
2. American Society for Testing and Materials<br />
(ASTM), “Test Method for Compressive<br />
Strength of Cylindrical Concrete Speciment”<br />
(ASTM C39 – 86).<br />
3. Departemen Pekerjaan Umum, “Pedoman<br />
Beton 1988 (Draft) Badan Penelitian dan<br />
Pengembangan PU”. 1989.<br />
4. Departemen Pekerjaan Umum, “Tatacara<br />
Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal<br />
SK SNI T – 15 – 1990 – 03”. Yayasan LPMB<br />
Bandung 1991.<br />
5. Yayasan Dana Normalisasi Indonesia,<br />
“Peraturan Beton Bertulang Indonesia 1971 NI–<br />
2 Dep. PUTL Dirjen Cipta Karya”. LPMB<br />
1976.<br />
111
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Tabel 1.<br />
Perbandingan kuat tekan beton pada berbagai-bagai umur untuk benda uji silinder yang dirawat di<br />
laboratorium (dari Tabel 4.1.3.2 Pedoman Beton 1988)<br />
Umur Beton<br />
(hari)<br />
3 7 14 21 28<br />
Semen Portland Type 1 0,46 0,70 0,88 0,96 1,00<br />
Tabel 2. Faktor pengali deviasi standar bila data hasil uji yang tersedia kurang dari 30<br />
(dari Tabel 1 SK SNI – T – 15 – 1990 – 03)<br />
Jumlah Hasil Uji<br />
Faktor Pengali Deviasi Standar<br />
15 1,16<br />
20 1,08<br />
25 1,03<br />
30 atau lebih 1,00<br />
Tabel 3. Mutu pelaksanaan diukur dengan deviasi standar (dari Tabel 4.5.1 PBI – 1971)<br />
Volume Pekerjaan Deviasi Standar (kg/cm 2 )<br />
Sebutan Jumlah Beton (m 3 ) Baik Sekali Baik Dapat Diterima<br />
Kecil < 1000 45 < s < 55 55 < s < 65 65 < s < 85<br />
Sedang 1000 – 3000 35 < s < 45 45 < s < 55 55 < s < 75<br />
Besar > 3000 25 < s < 35 35 < s < 45 45 < s < 65<br />
112
Analisa Keandalan terhadap Penurunan pada Pondasi Jalur<br />
Anwar Harahap<br />
ANALISA KEANDALAN TERHADAP PENURUNAN PADA PONDASI JALUR<br />
Anwar Harahap<br />
Jurusan Teknik Sipil USU<br />
Abstrak: Perencanaan secara tradisional dari pondasi jalur (strip footing) untuk tanah berpasir diperoleh<br />
pertama sekali dari hasil percobaan pada sejumlah lokasi yang terbatas untuk memperoleh besar modulus<br />
elastis (contoh Cone Penetration / CPT ). Kemudian dari perencanaan diperoleh lebar pondasi B . Pada tanah<br />
yang nyata, tanah mungkin dapat ataupun tidak mewakili modulus elastis pada pondasi pada ruang yang<br />
bervariasi (spatial variability). Pada tulisan ini akan dibuat suatu perhitungan dengan metode Monte Carlo<br />
pada suatu massa tanah di ruang yang bervariasi. Hasil penurunan pondasi dibandingkan untuk penurunan<br />
yang dismulasikan dengan hasil aktual dengan menggunakan metode elemen hingga.<br />
Kata kunci : Penurunan Pondasi, Pondasi Jalur, Keandalan, Ruang yang Bervarisi.<br />
PENDAHULUAN<br />
Pada tulisan ini akan disajikan, keandalan dari suatu<br />
pondasi dengan modulus elastis efektif pada ruang<br />
yang acak. Modulus efektif dapat menjadi modulus<br />
elastis lapangan pada penurunan konsolidasi.<br />
Pada modulus elastis lapangan E s<br />
(x) dimana<br />
x adalah posisi ruang. Poison rasio diasumsikan<br />
~<br />
konstan υ =0.35. Suatu analisa dua dimensi dibuat di<br />
sini pada pondasi jalur dengan asumsi panjang ke<br />
luar bidang datar tak terhingga diabaikan, walaupun<br />
penurunan dari pondasi yang sebenarnya umumnya<br />
bergantung pada masing-masing dimensi pondasi<br />
yang direncanakan. Suatu pembagian (mesh) elemen<br />
hingga menunjukkan pondasi yang terletak pada<br />
tanah dengan modulus elastis lapangan acak, dimana<br />
daerah yang terang adalah (x) dengan nilai yang<br />
E s<br />
lebih rendah, seperti ditunjukkan pada gambar 1:<br />
Gambar 1. Pembagian elemen hingga yang terdeformasi<br />
dengan contoh modulus elasis lapangan<br />
2. Metodologi Perencanaan Penurunan<br />
Metode perencanaan adalah berdasarkan pada teori<br />
Janbu, dengan formula untuk penurunan pada<br />
qB<br />
pondasi jalur δ = μ . μ (1)<br />
0 1.<br />
*<br />
E s<br />
~<br />
~<br />
Dimana<br />
q adalah tegangan vertikal (KN/m 2 )<br />
B adalah lebar pondasi.<br />
*<br />
E<br />
s<br />
adalah beberapa pengukuran yang ekivalen<br />
dari modulus elastis tanah<br />
μ<br />
0<br />
adalah faktor pengaruh untuk<br />
kedalaman D dibawah permukaan tanah<br />
adalah faktor pengaruh untuk pondasi<br />
dengan lebar B dan kedalaman lapisan<br />
tanah H<br />
μ<br />
1<br />
Kasus utama dianggap bahwa pondasi terletak pada<br />
permukaan lapisan tanah ( μ<br />
0<br />
=1) dengan<br />
kedalaman H =6m. Beban pondasi diasumsikan<br />
sebesar P = 1250 KN per meter panjang.<br />
Dengan memasukkan harga P maka persamaan 1<br />
dapat dituliskan sebagai berikut :<br />
P<br />
δ = μ . μ<br />
(2)<br />
0 1.<br />
*<br />
E s<br />
Karena tujuan dari penulisan sebagai perbandingan<br />
dengan penurunan pondasi pada teori Janbu, dengan<br />
analisa elemen hingga yang linier. Dengan<br />
menggunakan Modulus Elastis ruang yang konstan<br />
E =30 MPa untuk variasi rasio H / B . Jadi di sini<br />
*<br />
s<br />
dapat dilihat , suatu garis lurus yang mendekati yang<br />
diperkirakan sebesar :<br />
H<br />
μ<br />
1<br />
= a + b ln( )<br />
(3)<br />
B<br />
dimana untuk kasus dengan anggapan Poison rasio<br />
=0.35, Garis yang cocok dan terbaik<br />
mempunyai a = 0. 4294 danb =0.5071, seperti<br />
ditunjukkan pada gambar2. Persamaan penurunan<br />
dapat dituliskan sebagai berikut :<br />
113
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
H P<br />
δ = μ<br />
0<br />
[ a + b ln( )].<br />
(4)<br />
B<br />
*<br />
E s<br />
Gambar 2. Pengaruh rasio H/B pada faktor<br />
pengaruh penurunan μ<br />
1<br />
*<br />
Kasus dimana Es<br />
diperkirakan dengan contoh tanah<br />
pada beberapa tempat untuk pondasi. Misalkan<br />
^<br />
H1E1<br />
+ H<br />
2E2<br />
+ ... EnH<br />
n<br />
E s = (5)<br />
H<br />
dimana<br />
H adalah tebal tanah dari ke i lapisan dan<br />
i<br />
H adalah total tebal dari seluruh lapisan.<br />
Pada tulisan ini lapisan dianggap tunggal, walaupun<br />
ruang yang bervariasi mungkin nampak pada<br />
lapisan., jadi itu diasumsikan bahwa n sampel akan<br />
diambil pada ruang yang sama diatas kedalaman<br />
H sepanjang garis vertikal di pusat dari pondasi.<br />
Pada kasus ini modulus elastis dapat ditulis menjadi<br />
rata-rata aritmetika sebagai berikut :<br />
^ n<br />
1<br />
E = ∑ E i<br />
n i=<br />
1<br />
(6)<br />
Pengukuran kesalahan tidak dilakukan karena tujuan<br />
di sini adalah untuk meperkirakan penurunan pada<br />
kondisi yang bervariasi dengan pengamatan secara<br />
aktual (nyata) dari modulus elastis tanah pada<br />
beberapa titik.<br />
Menggunakan elastis modulus yang diperkirakan,<br />
prediksi penurunan pondasi menurut metode Janbu<br />
menjadi :<br />
⎛ H ⎞ P<br />
δ<br />
pred<br />
= μ0[ a + b ln⎜<br />
⎟.<br />
]<br />
(7)<br />
^<br />
⎝ B ⎠ E s<br />
Jika maksimum penurunan yang diijinkan adalah 40<br />
mm untuk perencanaan , maka<br />
δ<br />
pred<br />
= δ<br />
maks<br />
= 0. 04 m , persamaan 7 dapat<br />
diselesaikan untuk memperoleh lebar pondasi<br />
B yang diperlukan sebagai berikut :<br />
1 Esδ<br />
B = H exp{ − (<br />
b Pμ<br />
^<br />
maks<br />
0<br />
− a)}<br />
(8)<br />
Karena modulus elastis lapangan<br />
(random), dengan harga<br />
berarti nilai B acak.<br />
E^<br />
s<br />
E s<br />
(x) adalah acak<br />
~<br />
perkiraan acak maka ini<br />
Pekerjaan sekarang adalah untuk menaksir distribusi<br />
dari harga penurunan yang aktual pada tiap pondasi<br />
yang direncanakan. Jika persamaan prediksi akurat,<br />
maka diharapkan kira-kira 50% dari penurunan<br />
pondasi lapangan lebih dari δ maks<br />
sementara sisa<br />
yang 50% akan lebih kecil dari penurunan lapangan.<br />
Dengan catatan bahwa ini adalah masalah<br />
probabilitas, misalkan pada lapangan acak (x)<br />
telah dibuat sampel pada n titik untuk memperoleh<br />
disain estimasi s . Dengan memberikan harga<br />
estimasi ini, diperoleh B dengan persamaan 8. Akan<br />
tetapi karena lapangan yang sebenarnya adalah ruang<br />
E^<br />
yang bervariasi, s mungkin dapat mewakili elastis<br />
modulus tanah yang sebenarnya jadi dibuat suatu<br />
probabilitas untuk memperoleh perkiraan penurunan<br />
yang sebenarnya.<br />
E^<br />
3. Perkiraan probabilitas dari penurunan yang<br />
bervariasi.<br />
Penurunan yang bervariasi akan<br />
diperkirakan dengan simulasi Monte Carlo. Detail<br />
dari model elemen hingga dan simulasi untuk<br />
lapangan yang acak dapat dibuat dengan membagi<br />
beberapa elemen.<br />
Model elemen hingga adalah 60 elemen lebar dan 40<br />
elemen dalam, dengan ukuran nominal elemen<br />
Δ x = Δy =0.15 m, memberikan luas daerah tanah<br />
9 m lebar dan 6 m dalam. Simulasi Monte Carlo<br />
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :<br />
1. Tentukan daerah acak dari modulus elastis ratarata<br />
lokal menggunakan metode Local Average<br />
Subdivision (Sub pembagian lokal rata-rata)<br />
(Fenton.dan Vanmarcke)<br />
2. Sampel acak pada lapangan secara virtual pada 4<br />
elemen langsung di bawah pusat pondasi (pada<br />
kedalaman 0, H/3, 2H/3 dan H). Kemudian hitung<br />
modulus elastis yang diestimasi s , sebagai<br />
harga rata-rata aritmetika.<br />
3. Hitung harga lebar pondasi yang diperlukan<br />
B dengan persamaan 8.<br />
4. Atur masing-masing jumlah elemen η B<br />
terletak<br />
dibawah pondasi pada model elemen hingga dan<br />
lebar elemen, Δx<br />
seperti = B = η Δ B<br />
x . Catatan<br />
bahwa model elemen hingga mengasumsikan<br />
bahwa pondasi adalah jumlah bilangan bulat dari<br />
elemen lebar. Karena B dihitung dengan<br />
persamaan 8 adalah keadaan menerus yang<br />
bervariasi, beberapa pengaturan dari<br />
E^<br />
E s<br />
~<br />
114
Analisa Keandalan terhadap Penurunan pada Pondasi Jalur<br />
Anwar Harahap<br />
Δx<br />
diperlukan. Harga nilai dari Δx<br />
dikekang dan<br />
terletak antara (3/4)0.15 dan (4/3)0.15 untuk<br />
menghindari aspek rasio elemen yang berlebihan<br />
( Δy<br />
ditahan dengan jepit pada 0.15 m terhadap H<br />
= 6 m). Dengan catatan juga daerah acak<br />
digenerate lagi terhadap elemen-elemen yang<br />
diatur, jadi sedikit akurasi akan hilang terhadap<br />
statistik rata-rata lokal. Pada akhirnya harga<br />
sebenarnya dari B yang digunakan dikekang jadi<br />
pondasi kurang dari 4 elemen lebar atau kurang<br />
dari 48 elemen lebar keseluruhan.<br />
5. Gunakan rumusan elemen hingga untuk<br />
menghitung penurunan simulasi δ<br />
sim<br />
.yang akan<br />
memberikan penurunan aktual pada modulus<br />
elastis lapangan yang bervariasi.<br />
6. Ulangi langkah (1) η<br />
sim<br />
sebanyak 100 kali untuk<br />
memberikan 100 realisasi dari δ<br />
sim<br />
.<br />
Rangkaian realisasi dari δ sim<br />
dapat dibuat analisa<br />
secara statistik untuk menentukan keadaan fungsi<br />
densitas probabilitas (dikondisikan pada s ).<br />
Modulus elastis lapangan diasumsikan menjadi<br />
distribusi secara log-normal dengan parameter.<br />
2<br />
2<br />
σ = ln(1 V ) ,<br />
ln E<br />
+<br />
S<br />
1 2<br />
μ<br />
ln E<br />
= ln( μ<br />
E<br />
) − σ<br />
(9)<br />
S<br />
S<br />
ln E<br />
2<br />
dimana V = σ<br />
E S<br />
/ μ<br />
E S<br />
, adalah koefisien variasi.<br />
Karena ( x)<br />
adalah distribusi secara log-normal<br />
E s<br />
~<br />
logaritmanya adalah distribusi normal, dan E s<br />
( x)<br />
~<br />
dapat diperoleh daerah acak (random) Gauss melalui<br />
transformasi sebagai berikut :<br />
Es<br />
( x)<br />
= exp{ μ<br />
ln E ln<br />
G(<br />
x)}<br />
~<br />
S<br />
+ σ<br />
(10)<br />
ES<br />
~<br />
dimana ( ) adalah rata-rata nol.<br />
G<br />
x<br />
~<br />
Persamaan Gauss yang diasumsikan mempunyai<br />
suatu korelasi Markov dengan fungsi korelasi sebagai<br />
2τ<br />
berikut : ρ(<br />
τ ) = exp{ − } (11)<br />
θ ln E<br />
dimana τ adalah jarak antara 2 titik pada lapangan<br />
dan θ<br />
ln E<br />
adalah skala fluktuasi didefinisikan sebagai<br />
jarak pemisahan melewati 2 titik ( ) . Daerah<br />
E S<br />
acak telah diasumsikan adalah isotropis pada tulisan<br />
awal.<br />
Simulasi dibentuk dengan modulus elastis statistik<br />
lapangan yang bervariasi. Modulus elastis ditetapkan<br />
pada 30 MPa, sementara koefisien variasi, V<br />
bervarisi dari 0.1 ke 1.0 dan skala fluktuasi,<br />
θ bervarisi dari 0.1 sampai 15.<br />
ln E<br />
E^<br />
x<br />
~<br />
4. Prediksi dari rata-rata dan varians penurunan<br />
Secara hipotetis bahwa hubungan teori Janbu adalah<br />
cukup akurat, itu dapat digunakan untuk<br />
memprediksi penurunan yang aktual yang<br />
disimulasikan ( δ<br />
sim<br />
) dengan menggunakan<br />
persamaan 4.<br />
H P<br />
δ = μ<br />
0<br />
[ a + b ln( )].<br />
*<br />
B E s<br />
yang memprediksi δ<br />
sim<br />
untuk tiap realisasi jika harga<br />
*<br />
E<br />
S<br />
dapat ditemukan.<br />
Satu kesulitan adalah bahwa harga B pada<br />
persamaan (4) juga diturunkan dari sampel modulus<br />
elastis lapangan yang acak. Ini berarti bahwa<br />
δ adalah fungsi baik<br />
E * S<br />
dan<br />
E^<br />
s<br />
, juga bahwa<br />
*<br />
ES<br />
adalah rata-rata geometrik lokal di atas persegi<br />
ukuran acak B x H . Jika persamaan (8)<br />
disubstitusi ke dalam persamaan (4), maka δ dapat<br />
dinyatakan sebagai berikut :<br />
^<br />
ES<br />
δ = δ<br />
(12)<br />
* max<br />
ES<br />
*<br />
Karena E<br />
S<br />
adalah rata-rata geometrik , di atas<br />
daerah acak dari ukuran pondasi B x H dari<br />
lapangan acak yang terdistribusi secara log-normal<br />
dengan parameter.<br />
*<br />
E[ln<br />
E S<br />
B ] = μ<br />
(13a)<br />
ln E S<br />
*<br />
2<br />
Var[ln<br />
ES<br />
B ] = γ ( B,<br />
H)<br />
σ<br />
ln E<br />
(13b)<br />
S<br />
dimana γ ( B,<br />
H ) adalah fungsi varians (Van-<br />
Marcke, 1984) yang memberikan pengurangan pada<br />
varians terhadap rata-rata aritmetik lokal . Fungsi<br />
varians didefinisikan sebagai koefisien korelasi ratarata<br />
setiap pasang titik di lapangan.<br />
B B H H<br />
∫∫∫∫<br />
ρ(<br />
x1<br />
− x2<br />
, y1<br />
− y2<br />
) dy1dy2dx1dx2<br />
0 0 0 0<br />
γ ( B,<br />
H ) =<br />
2<br />
( H B)<br />
dimana, untuk fungsi korelasi isotropis dengan<br />
2 2<br />
anggapan ini, ρ ( x , y)<br />
= ρ(<br />
x + y ) = ρ(<br />
τ ) lihat<br />
persamaan (11).<br />
Fungsi varians ditentukan secara numerik dengan<br />
menggunakan qudrature Gauss. Parameter distribusi<br />
*<br />
yang tak terkondisi dari ln E S<br />
diperoleh dengan<br />
mengambil ekspektasi dari persamaan (13) terhadap<br />
B :<br />
μ = (14a)<br />
μl ln ES<br />
* ln E S<br />
2<br />
2<br />
' E[<br />
γ ( B,<br />
H )] σ<br />
ln ES ln E S<br />
σ = (14b)<br />
115
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
dimana pendekatan orde pertama dari<br />
E[ γ ( B,<br />
H )] adalah :<br />
E[ γ ( B,<br />
H)]<br />
≅ γ ( μ , H)<br />
(15)<br />
B<br />
Walaupun pendekatan orde kedua terhadap<br />
E[ γ ( B,<br />
H )] diperlukan tetapi secara eksak tidak<br />
berbeda jauh dengan orde pertama.<br />
Jumlah acak (random) nampak pada bagain kanan<br />
dari persamaan (12) adalah s , yang mempunyai<br />
rata-rata dari n pengamatan adalah :<br />
^ n<br />
1<br />
E s = ∑ E i<br />
n i=<br />
1<br />
dimana Ei<br />
adalah modulus elastis yang diamati. Itu<br />
diasumsikan bahwa contoh modulus elastis sampel<br />
didekati dengan ukuran elemen hingga yang sama<br />
(sebagai contoh pengukuran konus CPTdengan<br />
diameter konus 0.15). Dua bagian yang pertama dari<br />
^<br />
E adalah<br />
S<br />
μ ^ = μ<br />
(16a)<br />
ES<br />
2<br />
ES<br />
ES<br />
1<br />
n n<br />
2<br />
( )<br />
2<br />
ij<br />
σ<br />
ES<br />
n i= 1 j = 1<br />
2<br />
γ ( Δx,<br />
H ) σ<br />
ES<br />
σ = ∑∑ρ<br />
≅ (16b)<br />
dimana ρij<br />
adalah koefisien korelasi antara sampel<br />
ke i dan j.<br />
Jika kita dapat mengasumsikan bahwa ES<br />
adalah<br />
akhir pendekatan secara terdistribusi log-normal<br />
dengan parameter diberikan pada persamaan (9)<br />
kemudian δ pada persamaan (12) juga akan<br />
terdistribusi secara log-normal dengan parameter :<br />
'<br />
μ δ<br />
= μ − μ + ln( max<br />
) (17a)<br />
ln ^ ln E<br />
δ<br />
ln E S<br />
S<br />
2 '<br />
ln E S<br />
2 2 ^<br />
*<br />
σ ln δ = σ ln E S − σ − 2Cov[ln<br />
ES<br />
, ln ES<br />
)<br />
(17b)<br />
suku kovarians dapat dituliskan sebagai berikut :<br />
^<br />
*<br />
Cov[ln<br />
E S<br />
,ln E S<br />
) = σ σ<br />
ln E S<br />
. ρ<br />
ave<br />
(18)<br />
ln E ^ S<br />
dimana ρ<br />
ave<br />
adalah korelasi rata-rata antara setiap<br />
titik pada domain yang didefinisikan ES<br />
dan domain<br />
*<br />
yang didefinisikan E<br />
S<br />
. Ini dapat dinyatakan dengan<br />
bentuk integral dan diselesaikan secara numerik,<br />
tetapi pendekatan yang sederhana disarankan dengan<br />
mengamati bahwa ada beberapa jarak rata-rata antara<br />
sampel dan blok tanah di bawah pondasi<br />
τ sedemikian sehingga ρ = ρ τ ) . Untuk<br />
ave<br />
E^<br />
ave<br />
'<br />
^<br />
^<br />
( ave<br />
kasus dengan H= 6 m, harga yang terbaik didapat<br />
dengan coba-coba (trial dan error) sebesar :<br />
^<br />
τ 0. 1<br />
ave<br />
= μ B<br />
(19)<br />
Akhirnya dua hasil di atas bergantung pada lebar<br />
pondasi rata-rata μ B<br />
. Ini dapat diperoleh dengan<br />
pendekatan berikut. Pertama gunakan logaritma dari<br />
persamaan 8 diperoleh :<br />
1 δ<br />
maks<br />
E<br />
ln B = ln H{<br />
− (<br />
b Pμ<br />
0<br />
dengan 2 keadaan :<br />
^<br />
^<br />
~<br />
S<br />
− a)}<br />
(20)<br />
1 δ<br />
maks<br />
ES<br />
μ<br />
ln B<br />
= ln H{<br />
− ( − a)}<br />
(21a)<br />
b Pμ<br />
δ<br />
σ = ( σ<br />
(21b)<br />
2<br />
max 2<br />
ln B<br />
)<br />
bμ<br />
0.<br />
P<br />
0<br />
2 ^<br />
E S<br />
~<br />
dan karena B adalah non negatif, dapat diasumsikan<br />
pendekatan secara distribusi log-norrnal.menjadi<br />
1<br />
2<br />
μ<br />
B<br />
≅ exp{ μ<br />
ln B<br />
+ σ<br />
ln B}<br />
2<br />
Dengan hasil ini parameter dari penurunan yang<br />
terdistribusi secara log-normal dapat diestimasi<br />
dengan persamaan 17 yang memberikan modulus<br />
elastis lapangan<br />
μ , σ dan θ *<br />
E<br />
E<br />
ln E<br />
S<br />
5. Perbandingan penurunan yang diprediksi dan<br />
yang disimulasi.<br />
Rata-rata log-penurunan, seperti yang diprediksi pada<br />
gambar dengan persamaan 17a ditunjukkan pada<br />
gambar 3 dengan rata-rata sampel diperoleh dari hasi<br />
simulasi minimum (V= 0.1) dan maksimum (V=1.0).<br />
Untuk V kecil, hasilnya sangat baik. Untuk V yang<br />
lebih besar, maksimum kesalahan relatif kira-kira<br />
7%, terjadi pada skala fluktuasi yang lebih kecil.<br />
Gambar 3. Perbandingan rata-rata penurunan<br />
yang diprediksi dan yang disimulasi<br />
116
Analisa Keandalan terhadap Penurunan pada Pondasi Jalur<br />
Anwar Harahap<br />
Varians log-penurunan, seperti yang diprediksi pada<br />
persamaan 17b ditunjukkan pada gambar 4dengan<br />
sampel varians diperoleh dari hasil simulasi untuk<br />
tiga koefisien variasi yang berbeda, V .Secara<br />
keseluruhan varians yang diprediksi dengan yang<br />
disimulasi cukup baik.<br />
Gambar 4. Perbandingan varians penurunan<br />
yang diprediksi dan yang disimulas<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
ASCE (1994). Settlement Analysis, Technical<br />
Engineering and Design Guides, adapted from<br />
the US Army Corps of Engineers, No. 9.<br />
Fenton, G.A. and Griffiths, D.V. (2002).<br />
“Probabilistic Foundation Settlement on<br />
Spatially Random Soil,” ASCE J. Geotech.<br />
Geoenv. Eng., 128(5), 381–390.<br />
Fenton, G.A. and Vanmarcke, E.H. (1990).<br />
“Simulation of Random Fields via Local<br />
Average Subdivision,” ASCE J. Engrg. Mech.,<br />
116(8), 1733–1749.<br />
Fenton, G.A, Zhou Haiying , Jaksa B. Mark,<br />
Griffiths D. V. (2003). “Reliability analysis of a<br />
strip footing ”. Applications of Statistics and<br />
Probability in Civil Engineering, Millpress,<br />
Rotterdam.<br />
Vanmarcke, E.H. (1984). Random Fields: Analysis<br />
and Synthesis, The MIT Press Cambridge,<br />
Massachusetts.<br />
Pada gambar 5 probabilitas hasi yang diprediksi<br />
dengan yang disimulasi menunjukkan bahwa<br />
penrunan yang berlebihan dengan beberapa dari<br />
θ .<br />
δ di atas semua harga V dan *<br />
maks<br />
ln E<br />
S<br />
Gambar 5. Perbandingan probabilitas penurunan<br />
yang diprediksi dan yang disimulas<br />
KESIMPULAN<br />
Dari hasil pada gambar 5 menunjukkan<br />
bahwa prediksi penurunan berdasarkan Janbu yang<br />
diberikan pada persamaan 1 mempunyai keandalan<br />
ketika digunakan dalam perencanaan.. Pada gambar 4<br />
menunjukkan hasil yang baik kecuali pada varians<br />
maksimum yang terjadi pada kira-kira θ<br />
ln E S<br />
≅ 1 .<br />
Jadi jika skala tidak diketahui akan konservatif jika<br />
menggunakan θ 1 .<br />
ln E S<br />
≅<br />
117
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
PENGARUH HARDNES PADA BAJA YANG TERENDAM DALAM AIR LAUT<br />
YANG MENGANDUNG BAKTERI PEREDUKSI SULFAT (SRB)<br />
Jalaluddin<br />
Teknik Kimia Fakultas Teknik <strong>Universitas</strong> Malikussaleh<br />
Baja adalah bahan kontruksi yang paling banyak digunakan, tetapi rawan terhadap lingkungan,<br />
terutama bakteri pereduksi sulfat (SRB), dapat mereduksi sulfat menjadi sulfida dan menyebabkan kualitas baja<br />
menjadi menurun akibat berinteraksi dengan lingkungan. Inhibitor merupakan salah satu metoda yang efektif<br />
untuk mengendalikan kekerasan baja akibat dipengaruhi oleh SRB. Inhibitor-inhibitor yang diharapkan<br />
efektif untuk mengendalikan kekerasan baja dalam lingkungan yang mengandung SRB adalah Glutaraldehid,<br />
yang sudah dikenal sebagai inhibitor yang dapat menginhibisi baja dalam lingkungan asam dan mampu<br />
menghambat metabolisme bakteri, dipilih sebagai inhibitor yang diuji dalam penelitian ini.<br />
Hasil analisa XRD pada produk baja yang terbentuk di permukaan spesimen, menunjukkan bahwa besi<br />
sulfida telah terbentuk, ini membuktikan bahwa reaksi baja dipengaruhi oleh metabolisme SRB, sehingga<br />
mempengaruhi kekuatan baja. Glutaraldehid cukup efektif sebagai biosida untuk SRB, dan dapat mengendalikan<br />
kekerasan baja.<br />
Keywords : Hardness,Glutaraldehid, SRB<br />
LATAR BELAKANG<br />
Kekerasan baja sangat dipengaruhi oleh<br />
kerusakan atau kegagalan material yang disebabkan<br />
oleh reaksi material tersebut dengan lingkungan .<br />
Baja adalah bahan kontruksi yang paling rawan<br />
dalam lingkungan atmosfer , air, air laut, dalam tanah<br />
yang tidak atau mengandung bakteri. Kekerasan baja<br />
yang dipercepat oleh bakteri dapat terjadi pada dasar<br />
tangki timbun BBM, dasar dan dinding bak air laut<br />
sebagai media pendingin , dan pada struktur yang<br />
terlapisi biofilm. Salah satu jenis bakteri yang sudah<br />
dikenal dapat meningkatkan kerusakan logam oleh<br />
lingkungan adalah bakteri pereduksi sulfat (sulphate<br />
reducing bacteria).<br />
Proses perusakan baja akibat bakteri<br />
pereduksi sulfat merupakan proses secara tidak<br />
langsung, karena SRB dengan bantuan hidrogen<br />
2- 2-<br />
mereduksi ion sulfat (SO 4 ) menjadi ion sulfida (S<br />
), yang kemudian akan bereaksi dengan ion besi<br />
(Fe 2+ ) menghasilkan besi sulfida yang berwarna<br />
hitam. Senyawa FeS merupakan produk yang tidak<br />
bersifat pelindung atau protektif. Jika hidrogen yang<br />
digunakan pada reaksi metabolisme SRB berasal dari<br />
reaksi katodik baja, maka dapat diperkirakan bahwa<br />
laju kerusakan baja akan dipercepat oleh aktivitas<br />
metabolisme bakteri pereduksi sulfat.<br />
Karena metabolisme SRB yang dapat meningkatkan<br />
laju kerusakan baja sehingga kekerasan baja menjadi<br />
menurun, melibatkan atom-atom H, maka kerusakan<br />
baja oleh SRB dapat dihambat dengan penambahan<br />
inhibitor yang mampu menghambat reaksi katodik<br />
yang menghasilkan H adsorp . Untuk mengenalikan<br />
kekerasan baja oleh SRB, maka laju pertumbuhan<br />
dan populasi SRB juga harus dikurangi. Pada<br />
umumnya, biosida yang mampu membunuh atau<br />
menghambat pertumbuhan bakteri terdiri dari<br />
senyawa organik.<br />
Berdasarkan pertimbangan diatas, maka jenis<br />
inhibitor organik yang dipilih pada penelitian ini<br />
adalah glutaraldehid , salah satu jenis biosida yang<br />
larut dalam air dan dapat menghambat pertumbuhan<br />
SRB, serta sudah dikenal sebagai inhibitor yang<br />
ampuh baja dalam lingkungan asam. Untuk<br />
mengetahui pengaruh glutaraldehid terhadap<br />
kekerasan baja maupun sebagai biosida terhadap<br />
SRB dalam lingkungan air laut, maka perlu<br />
dilakukan penelitian tentang hal tersebut.<br />
Tujuan Penelitian Pengaruh hardness baja yang<br />
terendam dalam air laut yang mengandung SRB<br />
TINJAUAN PUSTAKA<br />
Bakteri Pereduksi Sulfat (SRB)<br />
Bakteri pereduksi sulfat adalah bakteri yang<br />
dapat memanfaatkan energi dari reduksi sulfat<br />
menjadi sulfida. Mengingat sifatnya anaerob, maka<br />
bakteri ini aktif terutama pada peralatan yang<br />
ditanam didalam tanah. Dalam lingkungan yang<br />
mengandung oksigen juga dapat terjadi kondisi<br />
anaerob, yaitu daerah yang terletak dibawah<br />
endapan-endapan yang terbentuk selama proses<br />
berlangsung. SRB adalah organisma yang obligat<br />
anaerob, namun dapat bertahan hidup dalam waktu<br />
yang cukup lama pada kondisi aerasi yang baik bila<br />
tersedia nutrisi yang berlimpah. Keberadaannya<br />
dapat diketahui dengan karakteristik baunya.<br />
SRB termasuk mikro organisnma mesofilik<br />
karena hidup optimal pada temperatur 25 –<br />
40 o C, meskipun beberapa spesies bakteri dapat<br />
hidup dalam rentang temperatur 4–75 o C. SRB dapat<br />
berkembang dalam lingkungan dengan rentang pH<br />
= 5,5 – 8,5 , namun SRB pada umumnya lebih suka<br />
berada dalam lingkungan yang agak basa.<br />
118
Pengaruh Hardnes pada Baja yang Terendam dalam Air Laut yang Mengandung Bakteri Pereduksi Sulfat (SRB)<br />
Jalaluddin<br />
2.3 Mekanisme Kerusakan logam oleh bakteri<br />
Oleh SRB<br />
Proses perusakan baja oleh bakteri pereduksi<br />
sulfat berlangsung dalam lingkungan anaerob.<br />
Spesies SRB yang paling banyak ditemukan dalam<br />
peristiwa mikrobiologi ialah Desulfovibrio<br />
Desulfuricans.<br />
Menurut Kuhr dan Vlugt (27) mekanisme kerusakan<br />
baja oleh SRB berlangsung dengan tahapan reaksi<br />
sebagai berikut:<br />
reaksi anodik 4 Fe 4 Fe 2+ + 8 e<br />
dissosiasi air 8 H 2 O 8 H + + 8 OH -<br />
reaksi katodik 8 H + + 8 e 8 H<br />
2-<br />
depolarisasi oleh SRB SO 4 + 8 H S 2- + 4 H 2 O<br />
Fe 2+ + S 2- FeS<br />
3 Fe 2+ + 6OH - 3 Fe(OH) 2<br />
Reaksi keseluruhan:<br />
2-<br />
4 Fe + SO 4 + 4H 2 O 3 Fe(OH) 2 + FeS + 2 OH -<br />
2.4 Glutaraldehid dapat menegendalikan<br />
kekerasan baja<br />
Glutaraldehid adalah suatu substansi yang<br />
bila ditambahkan kedalam suatu lingkungan dalam<br />
jumlah kecil, dapat menurunkan laju kekerasan<br />
logam dalam lingkungan. Glutaraldehide adalah<br />
salah satu bahan penghambat yang mudah larut<br />
dalam air, alkohol dan benzene, tidak peka terhadap<br />
sulfur dan compatible dengan bahan kimia lain,<br />
toleran terhadap garam-garam dan kesadahan.<br />
Glutaraldehid ini dapat bereaksi dengan ammonia,<br />
gugus amine primer, dan oxygen scavenger.<br />
Glutaraldehide mempunyai rumus kimia<br />
OHC(CH 2 ) 3 CHO atau disebut juga 1,5 – Pentanadial,<br />
dengan berat molekul 100,13 g/mol<br />
Glutaraldehid merupakan biosida yang<br />
sangat penting, mempunyai dua gugus fungsional,<br />
yang mampu bereaksi atau mengikat dua gugus<br />
amin, yang terhubung dengan jembatan karbon.<br />
Walaupun kemampuan glutaraldehid sebagai biosida<br />
meningkatnya pH, namun stabilitas kimia dari larutan<br />
glutaraldehide dalam lingkungan alkali kurang baik,<br />
sehingga membatasi kemungkinan aplikasinya (1) .<br />
METODOLOGI PENELITIAN<br />
3.1 Langkah-langkah Pelaksanaan percobaan<br />
Diagram alir penelitian Pengaruh hardness<br />
baja yang terendam dalam air laut yang mengandung<br />
SRB. ditunjukkan pada gambar 3.1:<br />
Persiapan<br />
sampel<br />
Pembiakan SRB<br />
Persiapan air laut<br />
Perhitungan Populasi<br />
SRB<br />
Perendaman<br />
Glutaraldehid<br />
Pengukuran Hardnes<br />
Penyusunan laporan<br />
Gambar 3.1. Diagram Alir Percobaan<br />
119
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
3.2 Kebutuhan Alat<br />
Percobaan dilakukan menggunakan gelas kimia bertutup yang berisi air laut , SRB dan glutaraldehid<br />
dalam konsentrasi yang divariasikan. Spesimen baja digantungkan di dalamnya. Skema alat uji perendaman<br />
ditunjukkan pada Gambar 3.2 .<br />
Keterangan:<br />
A : Sampel<br />
B : Penggantung terbuat<br />
dari gelas<br />
C : Gelas kimia<br />
Gambar 3.2 Skema Susunan Alat Perendaman<br />
HASIL PEMBAHASAN<br />
4.1 Kurva Pertumbuhan Bakteri<br />
Pertumbuhan bakteri SRB dalam medium B. Postgate dengan perbandingan volume bahan makanan<br />
terhadap volume inokulum 4:1 digambarkan sebagai fungsi waktu pada Tabel 4.1.<br />
Tabel 4.1. Pertumbuhan Bakteri Pereduksi Sulfat<br />
Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9<br />
Jumlah<br />
bakteri<br />
sel/ml<br />
0,00 2,00E+<br />
02<br />
2,55E+<br />
02<br />
7,32E+<br />
05<br />
7,32E+<br />
05<br />
7,00E+<br />
05<br />
6,21E+<br />
03<br />
4,32E+<br />
02<br />
3,36E+0<br />
2<br />
Berdasarkan Tabel 4.1. di atas terlihat bahwa fasa tumbuh terjadi pada hari ke-2 sampai hari ke – 3, sedangkan<br />
fasa exponensial terjadi pada hari ke- 3 sampai hari ke- 4. Fasa stasioner terjadi pada hari ke 4 hingga hari ke 5,<br />
dilanjutkan dengan fasa kematian setelah hari ke 5. Oleh karena itu SRB yang ditanam kedalam medium air<br />
laut yang digunakan dalam pengujian kekerasan (dengan cara perendaman) diambil dari inokulum pada hari<br />
ke 3, dengan pertimbangan bahwa pertumbuhan bakteri tersebut masih dalam fasa eksponensial.<br />
4.2 Pengaruh Konsentrasi SRB Terhadap Kekerasan Baja<br />
Hubungan kekerasan baja waktu perendaman, tanpa dan dengan menggunakan glutaraldehid dapat kita<br />
lihat pada Tabel 4.2 ;<br />
120
Pengaruh Hardnes pada Baja yang Terendam dalam Air Laut yang Mengandung Bakteri Pereduksi Sulfat (SRB)<br />
Jalaluddin<br />
Tabel 4.2. Hasil Uji kekerasan Baja<br />
No Media Uji kekerasan<br />
HRC<br />
1 Air laut + 3,5x 10 8 SRB/100ml (3M) 82<br />
2 Air laut + 3,5x 10 8 SRB/100ml (6M) 79<br />
3 Air laut + 3,5x10 8 SRB/100ml (9M) 78<br />
4 Air laut + 3,5x10<br />
Glutaraldehid (3M)<br />
5 Air laut + 3,5x10<br />
Glutaraldehid (6 M)<br />
6 Air laut + 3,5x10<br />
Glutaraldehid (9M<br />
7 Air laut + 3,5x10<br />
Glutaraldehid (3M)<br />
8 Air laut + 3,5x10<br />
Glutaraldehid (6 M)<br />
9 Air laut + 3,5x10<br />
Glutaraldehid (9 M)<br />
10 Air laut + 3,5x10<br />
Glutaraldehid (3 M)<br />
11 Air laut + 3,5x10<br />
Glutaraldehid (6 M)<br />
12 Air laut + 3,5x10<br />
Glutaraldehid (9 M)<br />
8<br />
8<br />
8<br />
8<br />
8<br />
8<br />
8<br />
8<br />
8<br />
SRB/100ml +50 ppm<br />
SRB/100ml +50 ppm<br />
SRB/100ml +50 ppm<br />
SRB/100ml +100ppm<br />
SRB/100ml +100 ppm<br />
SRB/100ml +100 ppm<br />
SRB/100ml +150 ppm<br />
SRB/100ml +150 ppm<br />
SRB/100ml +150 ppm<br />
86<br />
86,5<br />
87<br />
86.5<br />
87<br />
88<br />
88,5<br />
90<br />
98<br />
Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa,<br />
kekerasan baja dalam air laut menurun apabila<br />
waktu perendaman bertambah dengan konsentrasi<br />
SRB dalam air laut. Pengendalian kekerasan baja<br />
dapat terjadi pada <strong>sistem</strong> yang ditambah<br />
glutaraldehid untuk waktu perendaman > 3 minggu..<br />
Mekanisme kekerasan baja dapat dijelaskan. Makin<br />
besar konsentrasi glutaraldehid makin cepat<br />
membunuh bakteri sehingga populasi SRB dapat<br />
diantisipasi. mengingat bahwa bentuk serangan baja<br />
oleh SRB adalah sanagat kuat sehingga menebabakan<br />
kehilangan berat semakin cepat sehingga dapat<br />
mempengaruhi kekerasan baja tersebut. Kekerasan<br />
baja dalam air laut ditambah SRB dengan dan tanpa<br />
inhibitor, meningkat dengan waktu perendaman.<br />
Dari hasil perhitungan MPN , diketahui<br />
bahwa populasi SRB berkurang dengan waktu<br />
perendaman. Dengan penambahan glutaraldehid ,<br />
SRB hampir tereliminasi setelah waktu perendaman<br />
3 minggu. Berdasarkan data-data tersebut, dapat<br />
disimpulkan bahwa metabolisme SRB yang<br />
dibiakkan dalam medium B. Postgate lebih banyak<br />
menghasilkan H 2 S dari pada senyawa sulfida yang<br />
lain, sehingga laju korosi baja meningkat walaupun<br />
populasi SRB berkurang. Produk korosi baja oleh<br />
H 2 S berupa endapan FeS yang kurang protektif<br />
dilingkungan asam. sehingga proses korosi terus<br />
berlanjut.<br />
4.3. Pengaruh Glutaraldehid terhadap Populasi<br />
SRB<br />
Pengaruh glutaraldehid terhadap populasi<br />
bakteri dalam lingkungan air laut yang ditambah<br />
SRB dapat dilihat pada Gambar 4.1.<br />
Populasi SRB (SRB/m l)<br />
100000000<br />
10000000<br />
1000000<br />
100000<br />
10000<br />
1000<br />
100<br />
10<br />
1<br />
0 2 4 6 8 10<br />
Waktu (minggu)<br />
0 ppm glutaraldehid + 3,5 X 10^6 SRB/ml<br />
0 ppm glutaraldehid + 9,9 X 10^7 SRB/ml<br />
50 ppm glutaraldehid + 3,5 x 10^6 SRB/ml<br />
50 ppm glutaraldehid + 9,9 x 10^7 SRB/ml<br />
100 ppm glutaraldehid + 3,5 x 10^6 SRB/ml<br />
100 ppm glutaraldehid + 9,9 x 10^7 SRB/ml<br />
150 ppm glutaraldehid + 3,5 x 10^6 SRB/ml<br />
150 ppm glutaraldehid + 9,9 x 10^7 SRB/ml<br />
Gambar 4.6 Kurva hubungan konsentrasi<br />
glutaraldehid terhadap populasi SRB dalam media air<br />
laut + 3,5 x 10 6 SRB/ml dan 9,9 x 10 7 SRB/ml<br />
121
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Dari hasil perhitungan MPN SRB terlihat<br />
bahwa populasi SRB dalam air laut berkurang secara<br />
signifikan dengan waktu perendaman. Penambahan<br />
glutaraldehid dalam <strong>sistem</strong> dapat mengurangi<br />
populasi SRB dengan waktu perendaman.<br />
Glutaraldehid sebagai biosida dicapai pada<br />
konsentrasi 150 ppm, dimana SRB dapat dieliminasi<br />
seluruhnya dalam waktu perendaman 3 minggu,<br />
untuk konsentrasi awal SRB 3,5 x 10 6 /ml .<br />
Penurunan populasi SRB dalam air laut tanpa<br />
Glutaraldehid menunjukkan bahwa SRB telah<br />
mencapai fasa kematian pada waktu perendaman 3<br />
minggu. Nutrien yang ada dalam air laut alami serta<br />
sampel baja karbon yang direndam, ternyata tidak<br />
mampu memperpanjang masa kehidupan SRB.<br />
Penambahan glutaraldehid (yang ternyata efektif<br />
sebagai biosida ) telah mempercepat kematian SRB.<br />
4.4 Pengaruh Kekerasan Baja<br />
Sampel baja karbon yang telah direndam<br />
dalam air laut mengandung SRB, setelah dikeringkan<br />
tampak seluruhnya tertutup oleh produk berwarna<br />
coklat. Jika lapisan ini dihilangkan, pada lapisan<br />
bawah terdapat padatan yang berwarna hitam . Pada<br />
permukaan spesimen yang direndam dalam air laut +<br />
SRB dapat merusak baja secara merata dan sumuran.<br />
Pada permukaan spesimen yang direndam dalam air<br />
laut + SRB + glutaraldehid 150 ppm , kerusakan<br />
baja terlihat mulai menurun.Fenomena ini<br />
menunjukkan bahwa konsentrasi glutaraldehid 150<br />
ppm belum mencukupi.<br />
4. Douglas, B., Mellwaine, John Diemer (1998),<br />
The Efficacy of Glutaraldehyde Against<br />
Legionella Harboring Protozoa, Journal<br />
Corrosion<br />
5. Grainger,J.M., Lynch, J.M. (1983),<br />
Microbiological & Methods for Environmental<br />
Biotechnology, Academic Press, Inxc, Florida.<br />
6. Hamilton, W.A. (1983) The Sulphate Reducing<br />
Bacteria : Their Phisiology and Consequent<br />
Ecology, The Metals Society, London.<br />
7. P. Bos , J.G. Kuenen (1983), Microbiology of<br />
Sulfur – Oxidizing Bacteria., The Metals<br />
Society, London.<br />
8. R.C.Tapper ., J.R.Smith , I.B.Beech (1997), The<br />
Effect of Glutaraldehyde on The Development<br />
Of Marine Bioflms Formed on Surfaces AIASI<br />
304 Stainless Steel, Journal Corrosion.<br />
9. R.G. Eagar, J. Leder, J.P. Stanley, A.B. Theis<br />
(1998), The Use of Glutaraldehyde for<br />
Microbiological Control in Waterflood Systems.,<br />
Material Perfomance.<br />
10. Storer, Roberta A. (1997), Annual Book of<br />
ASTM Standards, Metal Test Methods and<br />
Analytical Procedures, Volume 03.02, Wear and<br />
Erosion; Metal Corrosion , ASTM 100 Barr<br />
Harbor Drive, West Conshohocken, PA 19428.<br />
11. Winarno FG, Fardiaz Sukandi (1980), Pengantar<br />
Teknologi Pangan, PT.Gramedia, Jakarta.<br />
5. KESIMPULAN<br />
1. Glutaraldehid mampu mengendalikan<br />
kekerasan baja dengan cara menginhibisi<br />
baja pada waktu perendaman 3 Minggu dan<br />
dosis glutaraldehid 150 ppm dan konsentrasi<br />
awal SRB 3,5 x 10^6/ml.<br />
2. Kekerasan baja dalam air laut lebih<br />
dipengaruhi oleh aktivitas bakteri, karena<br />
reaksi dapat berlangsung secara kontinyu.<br />
3. Kekerasan baja dapat diantisipasi dengan<br />
menggunakan glutaraldehid sebagai biosida<br />
terhadap SRB.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Bessems, E. (1983), Biological Aspect of the<br />
Assesment of Biocides ,The Metals Society,<br />
London.<br />
2. Herbert, B.N., F. D. J. Stott (1980), The Effects<br />
of Pressure and Temperature on Bacteria in<br />
Oilfield Water Injection Systems, The Metals<br />
Society, London<br />
3. Clubley , B.G. (1988), Chemical Inhibitors for<br />
Corrosion Control, Ciba –Geigy Industrial<br />
Chemicals, Royal Society of Chemistry,<br />
Manchester.<br />
122
Analisis Gangguan Hubung Singkat Tiga Phasa pada Sistem Tenaga Listrik dengan Metode Thevenin<br />
Masykur SJ<br />
ANALISIS GANGGUAN HUBUNG SINGKAT TIGA PHASA<br />
PADA SISTEM TENAGA LISTRIK DENGAN METODE THEVENIN<br />
Masykur SJ<br />
Jurusan Teknik Elektro FT USU<br />
Abstrak: Analisis gangguan hubung singkat tiga phasa pada <strong>sistem</strong> tenaga listrik yang mempunyai dua bus<br />
dapat diselesaikan dengan mudah dengan teori rangkaian biasa seperti teori loop, tetapi untuk system dengan<br />
banyak bus akan menjadi rumit bila diselesaikan dengan teori loop tersebut. Untuk <strong>sistem</strong> yang banyak loop atau<br />
dengan kata lain <strong>sistem</strong> yang mempunyai banyak bus akan lebih mudah dengan menggunakan metode Thevenin.<br />
Tulisan ini akan membahas bagaimana menghitung arus hubung singkat tiga phasa pada suatu lokasi gangguan<br />
dengan menggunakan metode Thevenin.<br />
Kata-kata kunci : hubung singkat, metode Thevenin<br />
Pendahuluan<br />
Dalam <strong>sistem</strong> tenaga ada beberapa studi atau<br />
analisis yang harus dilakukan yaitu analisis aliran<br />
beban, analisis stabilitas dan analisis hubung singkat.<br />
Analisis hubung singkat dapat dibagi pula atas<br />
analisis hubung singkat tiga phasa ( simetris ) dan<br />
analisis hubung singkat tak simetris yaitu hubung<br />
singkat satu phasa ke tanah, hubung singkat dua<br />
phasa ke tanah dan hubung singkat dua phasa.<br />
Dalam tulisan ini akan dibahas gangguan hubung<br />
singkat tiga phasa, karena jenis gangguan ini<br />
menghasilkan arus gangguan yang paling besar dan<br />
dapat merusak peralatan yang dilalui arus hubung<br />
singkat ini. Arus gangguan ini harus diamankan<br />
dengan cepat beberapa detik setelah gangguan<br />
terjadi. Untuk ini dibutuhkan alat pengaman yaitu<br />
pemutus daya ( circuit breaker ) yang kapasitasnya<br />
ditentukan berdasarkan arus gangguan hubung<br />
singkat tiga phasa pada lokasi gangguan.<br />
Kemampuan dari pemutus daya ini untuk<br />
memutuskan arus hubung singkat disebut dengan<br />
Short Circuit Capacity ( SCC ) dalam satuan MVA (<br />
Mega Volt Ampere ).<br />
Metode Thevenin<br />
Metode Thevenin merupakan salah satu dari<br />
sekian metode untuk menghitung arus listrik pada<br />
salah satu cabang dari rangkaian listrik yang terdiri<br />
dari banyak cabang atau banyak loop (rangkaian<br />
tertutup) atau dengan kata lain <strong>sistem</strong> tenaga listrik<br />
yang banyak bus. Penerapan metode Thevenin dari<br />
suatu rangkaian atau jaringan yang rumit yang terdiri<br />
dari banyak sumber tegangan dan impedansiimpedansi<br />
peralatan , pada prinsipnya adalah<br />
menyederhanakan rangkaian yang rumit tersebut<br />
menjadi suatu model rangkaian ekivalen Thevenin,<br />
yang hanya terdiri dari satu sumber tegangan<br />
Thevenin yang dihubungkan seri dengan sebuah<br />
impedansi Thevenin.<br />
Prosedur untuk mengubah jaringan yang rumit<br />
tersebut menjadi model rangkaian ekivalen Thevenin<br />
yang akan dijelaskan sebagai berikut.<br />
Gambar-1 menunjukkan sebuah lingkaran<br />
yang berisi jaringan satu phasa terdiri dari generator,<br />
impedansi generator, impedansi transmisi dan<br />
impedansi transfomator terhubung satu sama lain<br />
yang menunjukkan model satu phasa dari <strong>sistem</strong><br />
tenaga listrik. Kemudian dari model ini ditentukan<br />
titik F dan N dimana lokasi arus hubung singkat akan<br />
dihitung. Titik N adalah menunjukkan netral atau<br />
titik tegangan nol (zero voltage) dan besar tegangan<br />
antara titik F dan N adalah E yaitu besar tegangan<br />
pada lokasi yang ditinjau dalam hal ini lokasi<br />
gangguan. Maka model rangkaian ekivalen Thevenin<br />
dari rangkaian yang rumit tadi ditunjukkan seperti<br />
gambar-2, yaitu telah direduksi menjadi satu sumber<br />
tegangan E yang terhubung seri dengan satu<br />
impedansi Z.<br />
Selanjutnya bagaimana caranya untuk<br />
mendapatkan tegangan E dan impedansi Z dari<br />
rangkaian yang rumit gambar-1. Untuk menentukan<br />
E adalah sangat mudah, dengan memperhatikan<br />
rangkaian ekivalen Thevenin gambar-2, dimana tidak<br />
ada arus yang mengalir melalui Z bila terminal antara<br />
titik F dan N terbuka ( open circuit ), karena itu tidak<br />
ada tegangan jatuh pada Z. Dengan demikian maka<br />
tegangan E adalah merupakan tegangan antara titik F<br />
dan N. Untuk mendapatkan impedansi Z aadalah<br />
lebih sulit, dimana Z sama dengan impedansi total<br />
yang diukur antara titik F dan N apabila semua<br />
sumber tegangan dibuat sama dengan nol atau<br />
dihubung singkat. Biasanya metode untuk<br />
menghitung harga Z tersebut adalah dengan<br />
mereduksi rangkaian yang rumit gambar-1 dengan<br />
cara :<br />
123
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
• Menjumlahkan impedansi-impedansi yang<br />
terhubung seri, misalnya impedansi Za dsan<br />
Zb menjadi Za + Zb.<br />
• Kombinasikan impedansi-impedansi yang<br />
terhubung parallel menjadi satu impedansi<br />
yang dikumpulkan (lumped impedance),<br />
misalnya Zc dan Zd terhubung paralel<br />
dikumpulkan menjadi satu impendansi yaitu<br />
Zc Zd/Zc+Zd<br />
• Transformasi dari bentuk Δ − Υ dan<br />
sebaliknya.<br />
Base tegangan sisi TL 2-3<br />
=<br />
138<br />
13 ,8 = 138kV<br />
13,8<br />
Base tegangan sisi motor-3<br />
=<br />
6,9<br />
138 x = 6, 9kV<br />
138<br />
3. Hitung impedansi tiap-tiap peralatan dalam perunit<br />
berdasarkan pada base yang dipilih sebagai<br />
berikur :<br />
Generator-1 :<br />
50 ⎛13,2<br />
⎞<br />
X"<br />
= 0,15x<br />
x⎜<br />
⎟ = 0, 343pu<br />
20 ⎝13,8<br />
⎠<br />
2<br />
Prosedur Perhitungan Arus Hubung Singkat<br />
Dengan Metode Thevenin.<br />
Misalkan suatu <strong>sistem</strong> tenaga listrik<br />
mempunyai 3 bus seperti ditunjukkan one line<br />
diagram gambar-3. Data dari generator, motor dan<br />
transformator sebagai berikut.<br />
Generator-1 : 20.000 KVA, 13,2 kV, X ” = 15 %<br />
Generator-2 : 20.000 KVA, 13,2 kV, X "= 15%<br />
Motor-3 : 30.000 KVA, 6,9 kV, X "= 20%<br />
Trafo Y-Y : 20.000 KVA, 13,8/138 kV, X = 10%<br />
Trafo Υ − Δ : 15.000 KVA,<br />
6,9 Δ −138 ΥkV<br />
, X = 10%<br />
Dalam hal ini akan ditentukan besar arus hubung<br />
singkat bila gangguan hubung singkat tiga phasa<br />
terjadi pada bus-3 dengan prosedur sbb :<br />
1. Pilih base daya 50.000 KVA dan base tegangan<br />
138 kV pada sisi transmisi TL 1-2.<br />
2. Tentukan base tegangan pada sisi yang lain yang<br />
dipisahkan transformator sebagai berikut :<br />
Base tegangan sisi generator-1<br />
13,8<br />
= 138 x = 13, 8kV<br />
138<br />
Base tegangan sisi generator-2<br />
=<br />
13,8<br />
138 x = 13, 8kV<br />
138<br />
Base tegangan sisi TL 1-3<br />
= 138<br />
13 ,8x = 138kV<br />
13,8<br />
Generator-2 :<br />
2<br />
50 ⎛13,2<br />
⎞<br />
X"<br />
= 0,15x<br />
x⎜<br />
⎟ = 0, 343pu<br />
20 ⎝13,8<br />
⎠<br />
Motor-3 :<br />
2<br />
50 ⎛ 6,9 ⎞<br />
X"<br />
= 0,20x<br />
x⎜<br />
⎟ = 0, 333pu<br />
30 ⎝ 6,9 ⎠<br />
Transformator Y-Y :<br />
2<br />
50 ⎛13,8<br />
⎞<br />
X"<br />
= 0,10x<br />
x⎜<br />
⎟ = 0, 250 pu<br />
20 ⎝13,8<br />
⎠<br />
Transformator Y-Δ :<br />
50 ⎛ 6,9 ⎞<br />
X"<br />
= 0,10x<br />
x⎜<br />
⎟ = 0, 333pu<br />
15 ⎝ 6,9 ⎠<br />
TL 1-2 :<br />
50.000<br />
X = 40x<br />
= 0, 105pu<br />
2 3<br />
138 .10<br />
TL 1-3 :<br />
50.000<br />
X = 20x<br />
= 0, 053pu<br />
2 3<br />
138 .10<br />
TL 2-3 :<br />
50.000<br />
X = 20x<br />
= 0, 053pu<br />
2 3<br />
138 .10<br />
4. Gambarkan model rangkaian impedansi dari one<br />
line diagram gambar-3, yaitu seperti ditunjukkan<br />
gambar-4.<br />
5. Kemudian rangkaian ekivalen gambar-4<br />
direduksi, hasilnya seperti gambar-5.<br />
2<br />
124
Analisis Gangguan Hubung Singkat Tiga Phasa pada Sistem Tenaga Listrik dengan Metode Thevenin<br />
Masykur SJ<br />
X<br />
12<br />
= j0,250<br />
+<br />
= j0,605pu<br />
j0,105<br />
+<br />
j0,250<br />
j0,605<br />
X<br />
13<br />
= X<br />
23<br />
=<br />
= j0,636<br />
pu<br />
j0,250<br />
+<br />
j0,053<br />
+<br />
j0,333<br />
1<br />
j0,636 j0,636<br />
3 2<br />
X<br />
12<br />
= impedansi antara bus 1-2<br />
X<br />
13<br />
= impedansi antara bus 1-3<br />
X = impedansi antara bus 2-3<br />
23<br />
6. Rangkaian gambar-5 direduksi lagi dengan cara<br />
transformasi bentuk delta (Δ)<br />
ke bentuk bintang<br />
(Υ)<br />
sebagai berikut:<br />
X<br />
10<br />
= X<br />
20<br />
( j0,636)(<br />
j0,605)<br />
=<br />
j0,636<br />
+ j0,605<br />
+ j0,636<br />
= j0,205<br />
pu<br />
( j0,636)(<br />
j0,636)<br />
X<br />
30<br />
=<br />
j0,636<br />
+ j0,605<br />
+ j0,636<br />
= j0,678<br />
pu<br />
j0,343 j0,343 j0,333<br />
1 3 2<br />
Gbr-5 Rangkaian ekivalen setelah direduksi<br />
Rangkaian setelah transformasi<br />
dalm gambar-6.<br />
Δ − Υ ditunjukkan<br />
7. Dari gambar-6 dapat kita gambarkan model<br />
rangkaian ekivalen Thevenin, tergantung dimana<br />
lokasi gangguan. Jika lokasi gangguan terjadi<br />
pada bus-3 maka titik F dan N terletak antara<br />
bus-3 dan bus tegangan nol ( bus zero voltage<br />
)seperti ditunjukkan gambar-7.<br />
8. Tegangan ekivalen Thevenin Vth adalah sama<br />
dengan tegangan pada bus-3 sebelum terjadi<br />
gangguan yaitu 6,9 kV line to line. Dalam harga<br />
perunit besar tegangan tersebut dibagi dengan<br />
base tegangan pada bus-3 atau pada sisi motor.<br />
Gambar-3 One Line Diagram Suatu Sistem Tenaga<br />
Listrik<br />
6,9/ 3<br />
V th<br />
= = 1, 0 pu<br />
6,9/ 3<br />
j0,250<br />
1 3 2<br />
j0,343<br />
j0,053 j0,053<br />
j0,250<br />
j0,105<br />
j0,333 j0,333 j0,250<br />
j0,343 j0,333<br />
1 3 2<br />
Gbr-4 Rangkaian ekivalen satu phasa<br />
j0,250<br />
9. Impedansi ekivalen Thevenin dihitung sebagai<br />
berikut :<br />
X N<br />
= j0,205<br />
+ j0,343<br />
j0,<br />
548pu<br />
01<br />
=<br />
X O N<br />
= j0,205<br />
+ j0,333<br />
j0,<br />
538pu<br />
2<br />
=<br />
Kedua impedansi ini adalah terhubung paralel dan<br />
seri dengan X<br />
03<br />
, maka diperoleh impedansi antara<br />
titik O dan N.<br />
( j0,548)(<br />
j0,538)<br />
X ON<br />
=<br />
+ j0,678<br />
j0,548<br />
+ j0,538<br />
= j0,<br />
950 pu<br />
125
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Rangkaian gambar-7 akan direduksi seperti<br />
ditunjukkan dalam gambar-8.<br />
j0,205<br />
O<br />
j0,205<br />
( j0,343)(<br />
j0,950)<br />
X th<br />
=<br />
=<br />
j0,343<br />
+ j0,950<br />
= j0,<br />
252 pu<br />
2<br />
j 0,326<br />
j1,293<br />
Maka diperoleh rangkaian ekivalen Thevenin seperti<br />
gambar-9.<br />
1<br />
j0,678<br />
3 2<br />
9. Dengan rangkaian ekivalen Thevenin gambar-9<br />
ini dapat dihitung besar arus gangguan hubung<br />
singkat tiga phasa pada bus-3 yaitu :<br />
j0,343<br />
j0,343<br />
j0,333<br />
Vth<br />
1,0<br />
ISC = = = − j3,<br />
968pu<br />
X j0,252<br />
th<br />
1 3 2<br />
Gbr-6 Rangkaian setelah transformasi<br />
j0,205<br />
O<br />
j0,678<br />
Δ − Υ<br />
j0,205<br />
Besar arus gangguan dalam ampere, adalah besaran<br />
perunit dikalikan dengan base arus yaitu :<br />
50.000<br />
= ( − j3,968)<br />
x(<br />
= − j16.600A)<br />
3x6,9<br />
Jadi besar arus gangguan : I SC<br />
= 16, 6kA<br />
I SC<br />
Xth=j0,151pu<br />
F<br />
1<br />
F<br />
3<br />
2<br />
Isc<br />
j0,343 j0,343<br />
Vth<br />
j0,333<br />
Vth=1,0pu<br />
F<br />
N<br />
Gbr-7 Lokasi gangguan pada bus-3<br />
Gbr- 9 Rangkaian Ekivalen Thevenin<br />
N<br />
j0,343<br />
j0,950<br />
KESIMPULAN<br />
1. Gangguan hubung singkat terhadap <strong>sistem</strong><br />
tenaga listrik yang begitu rumit jaringannya<br />
dapat dianalisis secara mudah dengan<br />
menggunakan metode Thevenin.<br />
N<br />
Gbr-8 Rangkaian setelah gambar-7 direduksi<br />
Jadi impedansi ekivalen Thevenin yang diukur dari<br />
terminal F-N adalah :<br />
2. Besar tegangan dan impedansi ekivalen<br />
Thevenin ditentukan berdasarkan letak titik<br />
gangguan yaitu titik F-N. Jika gangguan pada<br />
bus-3 titik F-N adalah antara bus-3 dengan<br />
netral, begitu juga bila gangguannya pada bus<br />
yang lain.<br />
3. Sehubungan dengan besar tegangan dan<br />
impedansi ekivalen Thevenin, besar arus<br />
gangguan juga tergantung dari letak lokasi titik<br />
gangguan.<br />
126
Analisis Gangguan Hubung Singkat Tiga Phasa pada Sistem Tenaga Listrik dengan Metode Thevenin<br />
Masykur SJ<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Arthur H.Seidman ; Handbook Of Electric<br />
Power Calculations, McGraw-Hill Book<br />
Company, 1984<br />
2. Joseph A. Edminister ; Theory And Problems Of<br />
Electric Circuits, Shaum’s Outline Series,<br />
McGraw-Hill Bokk Company, 1st Edition 1972.<br />
3. William D. Stevenson Jr ; Elements Of Power<br />
System Analysis, 4 th Edition 1982, McGraw-Hill<br />
Inc.<br />
127
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
KONDISI OPTIMUM PADA HIDROLISA PEKTIN<br />
DARI KULIT BUAH PEPAYA<br />
Farida Hanum<br />
Jurusan Teknik Kimia FT. USU<br />
Jl. Almamater No. 1 Kampus USU<br />
Telp/Fax : (061) 8214396<br />
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh temperatur dan waktu perebusan kulit buah<br />
pepaya dalam pembuatan pektin. Proses yang digunakan dalam penelitian ini adalah hidrolisa dengan larutan<br />
asam (larutan HCl) dengan variasi warna kulit buah pepaya, temperatur serta waktu perebusan kulit buah<br />
pepaya. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa temperatur perebusan yang optimum yaitu 95 0 C serta waktu<br />
perebusan yang optimum 40 menit, dan dari kedua jenis warna kulit buah pepaya yaitu kulit buah hijaukekuningan<br />
dan kuning diketahui bahwa kadar pektin terbanyak dihasilkan dari kulit buah kuning (matang).<br />
Kondisi optimum ini ditentukan berdasarkan perlakuan mana yang menghasilkan pektin dengan kadar tertinggi.<br />
Pektin yang dihasilkan pada penelitian ini berbentuk tepung / kerak yang berwarnas putih kekuningan.<br />
Kata Kunci : Hidrolisa, Peptin, Kondisi Optimum<br />
I. PENDAHULUAN<br />
Pektin terkandung dalam seluruh bagian<br />
tanaman pepaya seperti akar, batang, daun, bunga,<br />
dan buah. Namun kandungan pektin terbesar terdapat<br />
pada bagian buahnya. Pada buah muda perekat sel<br />
disebut protopektin atau bakal pektin. Sementara<br />
pada buah matang protopektin tersebut berubah<br />
menjadi pektin. Pektin ini berupa protopektin yang<br />
memecah karena penmgaruh hormon kematangan<br />
buah. Namun kalau buah terlalu matang pektin akan<br />
berubah menjadi asam pektat yang sangat mudah<br />
larut dalam air-buah sehingga menjadilunak. Itulah<br />
sebabnya untuk pembuatan pektin sebaiknya<br />
digunakan buah matang karena kadar pektinnya<br />
tertinggi.<br />
Sifat-sifat pektin<br />
A. Sifat Fisika:<br />
• Tidak larut dalam pelarut organik, akan<br />
tetapi larut dalam air panas pada suasana<br />
asam<br />
• Pektin cenderung membentuk jel (jelly)<br />
kalau ditambahkan air dan gula dalam<br />
keadaan asam. Namun sifat tersebut<br />
tergantung pada jumlah gugus metoksi<br />
dalam molekulnya. Makin tinggi kadar<br />
metoksi maka makin cepat pektin menjadi<br />
gel<br />
• Berupa zat yang berwarna [putih kekuningkuningan<br />
• Pektin berbentuk tepung atau serbuk<br />
B. Sifat Kimia :<br />
• Merupakan senyawa hidrokarbon yang berat<br />
molekulnya besar yang didalamnya terdapat<br />
sisa-sisa asam galakturonat disambung oleh<br />
atom-atom oksigen menjadi sebuah rantai.<br />
Disamping gugus karboksil dalam rantai ini<br />
terdapat juga gugus COOCH 3<br />
• Pektin tidak dapat larut dalam bentuk<br />
kalsium dan garam magnesium<br />
• Pada hidrolisa pektin terbentuk metanol,<br />
arabinosa, D-galaktosa, dan asam D-<br />
galakturonat yaitu sebuah asam aldehid<br />
yang diturunkan dari D-galaktosa<br />
Manfaat Pektin:<br />
A. Industri makanan dan minuman<br />
• Bahan pembuat tekstur yang baik pada<br />
roti dan keju<br />
• Bahan pengental dan stabilizer pada<br />
minuman sari buah<br />
• Bahan pokok pembuatan jelly, selai,<br />
dan marmalade<br />
B. Industri Farmasi :<br />
• Emilsifer bagi preparat cair dan sirup<br />
• Obat diare pada bayi dan anak-anak<br />
seperti dextrimaltose, kaopec, nipectin,<br />
dan intestisan<br />
• Obat penawar racun logam<br />
• Bahan penurun daya racun dan<br />
meningkatkan daya larut obat-obatan<br />
sulfat<br />
• Bahan penyusut kecepatan penyerapan<br />
bermaca-macam obat<br />
• Bahan kombinasi untuk<br />
memperpanjang kerja hormon dan<br />
antibiotik<br />
• Bahan pelapis perban (pembalut luka)<br />
untuk menyerap kotoran dan jaringan<br />
yang rusak atau hancur sehingga luka<br />
tetap bersih dan cepat sembuh<br />
• Bahan hemostatik,oral, atau injeksi<br />
untuk mencegah pendarahan<br />
C. Industri lainnya :<br />
Pektin juga sering digunakan dalam <strong>industri</strong><br />
kosmetika (pasta gigi, sabun, lotion, krim, dan<br />
128
Kondisi Optimum pada Hidrolisa Pektin dari Kulit Buah Pepaya<br />
Farida Hanum<br />
pomade), <strong>industri</strong> baja dan perunggu<br />
(quenching), <strong>industri</strong> karet (creaming and<br />
thickening agent), <strong>industri</strong> plastik, <strong>industri</strong><br />
tekstil, <strong>industri</strong> bahan sintetis, setta film<br />
nitropectin.<br />
Adapun langkah penelitian yang dilakukan adalah :<br />
A. Perlakuan pendahuluan<br />
Kuulit buah pepaya dipotong kecil-kecil lalu<br />
dihidrolisa dengan menggunakan air panas,<br />
kemudian hasilnya difiltrasi<br />
B. Variabel yang diamati :<br />
• Temperatur perebusan dengan variasi<br />
temperatur 90 0 C, 95 0 C, 100 0 C.<br />
• Eaktu perebusan dengan variasi waktu<br />
35 menit, 40 menit, dan 45 menit.<br />
C. Penelitian kadar pektin ini dilakukan<br />
terhadap dua variasi warna kulit buah<br />
pepaya yaitu yang berwarna hijua-kuning<br />
dan yang berwarna kuning.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Kadar Pektin (gr)<br />
Kadar Pektin (gr)<br />
6.2<br />
6.1<br />
6<br />
5.9<br />
5.8<br />
5.7<br />
5.6<br />
5.5<br />
35 40 45<br />
Waktu Perebusan (menit)<br />
Grafik 1. Hubungan Waktu Perebusan-vs-<br />
Kadar Pektin Pada Kulit Buah Pepaya<br />
Hijau Kekuningan<br />
6.2<br />
6<br />
5.8<br />
5.6<br />
5.4<br />
35 40 45<br />
Waktu Perebusan (menit)<br />
Grafik 2. Hubungan Waktu Perebusanvs-Kadar<br />
Pektin pada Kulit Buah Pepaya<br />
Kuning<br />
90<br />
95<br />
100<br />
90<br />
95<br />
100<br />
PEMBAHASAN<br />
1. Hubungan waktu perebusan dengan kadar pektin<br />
pada kulit buah pepaya hijua kekuningan<br />
Grafik 1 menunjukkan bahwa kadar pektin dari<br />
kulit buah pepaya berwarna hijau kekuningan<br />
yang paling banyak diperoleh yaitu 7,05 gr pada<br />
kondisi operasi temperatur perebusan 95 0 C dan<br />
waktu perebusan 4o menit (kondisi optimum)<br />
Secara teori dari sifat pektin diketahui bahwa<br />
pektin dapat larut dalam air panas pada suasana<br />
asam. Sedangkan air mendidih pada temperatur<br />
100 0 C sehingga apabila temperatur perebusan<br />
lebih tinggi dari 95 0 C maka sebagian kecil air<br />
(larutan HCl dalam air) akan menguap dan<br />
menyebabkan pula hanya sedikit dari pektin<br />
yang ada pada kulit buah pepaya tersebut akan<br />
larut dalam air pada suasana asam. Sedangkan<br />
apabila temperatur perebusan lebih kecil dari 95<br />
0 C maka pektin kurang melarut dalam air<br />
perebus sehingga pektin yang dihasilkan sedikit.<br />
2. Hubungan waktu perebusan dengan kadar pektin<br />
pada kulit buah pepaya kuning<br />
Grafik 2 menunjukkan bahwa kadar pektin dari<br />
kulit buah pepaya yang berwarna kuning<br />
diperoleh kadar optimum sebanyak 7,86 gr.<br />
Kenaikan kadar pektin ini berkisar 0,81 gr.<br />
Perolehan ini sesuai dengan teori yang<br />
mengemukakan bahwa untuk pembuatan pektin<br />
yang kadar dan mutu terbaik diperoleh pada kulit<br />
buah pepaya matang (berwarna kuning). (M.<br />
Dudung, “Agro<strong>industri</strong> Papain dan Pektin “,<br />
1999, hal 11)<br />
KESIMPULAN DAN SARAN<br />
1. Kesimpulan<br />
Dari hasil penelitian ini diperoleh kondisi<br />
optimum pada pembuatan pektin dari kulit buah<br />
pepaya baik yang berwarna hijau kekuningan<br />
dan kuning adalah temperatur dan waktu<br />
perebusan. Temperatur dan waktu perebusan<br />
optimum yang dihasilkan adalah 95 0 C dan 40<br />
menit, serta perolehan kadar pektin terbanyak<br />
terdapat pada kulit buah pepaya yang berwarna<br />
kuning (buah yang sudah matang) yaitu 7,86 gr<br />
dari 100 g bahan baku.<br />
2. Saran<br />
Diharapkan penelitian terhadap oembuatan<br />
pektin ini dapat dilanjutkan dengan variasi bahan<br />
baku buah jeruk dan apel, lalu hasil yang<br />
diperoleh dapat dibandingkan proses manakah<br />
yang bernilai paling ekonomis.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Anonim, “Farmakope Indonesia”, Edisi IV, 1995<br />
Brewster Ray.Q. PhD, “organic Chemistry”, 2 ed<br />
Edition, Prentice Hall Inc, New York, 1953<br />
Fieser L.F & Fieser M, “Introduction to Organic<br />
Chemistry”, D.C. Heat and Company, Boston,<br />
1957<br />
Muhidin Dudung, “Agro<strong>industri</strong> papain dan Pektin”,<br />
PT. Penebar Swadaya, Jakarta, 1999<br />
Sudarmadji Slamet Dkk, “Analisa Bahan Makanan<br />
dan Pertanian”, Penerbit Liberty Yogyakarta<br />
dan Fakultas Pangan dan Gizi UGM, 1989<br />
Winarno F.G., “Kimia Makanan”, PT. Gramedia ,<br />
Jakarta, 1986<br />
129
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
STUDI PEMBUATAN KERIPIK WORTEL<br />
Study On Carrot Chips Manufacturing<br />
Terip Karo-Karo<br />
Abstract: This research is intended to know appropriate pre-frying treatment and precise Calcium Chloride<br />
(CaCl 2 ) concentration for producing better carrot chips. This research uses Completely Randomized Design<br />
(CRD) with two factors, namely Pre-frying (Controle, Freezing, Boiled for freezing and Frozen for boiling) and<br />
CaCl 2 concentration (0,5%; 1,0%; 1,5% and 2,0%). It is done with vacuum frying. The parameter analyzed is;<br />
Rendement, Water Content, Vitamin C Content, Colour preference, Taste and Crispness.<br />
The result of this research show that; Pre-frying treatment has highly significant influence toward; Rendement,<br />
Water Content and Crispness. CaCl 2 concentration treatment has highly significant influence toward;<br />
Rendement, Water Content, Taste and Crispness. The combination of Pre-frying and CaCl 2 concentration has<br />
significantly influence toward Rendement, highly significant influence toward; Water Conten,Taste and<br />
Crispness.<br />
The best quality of carrot chips is produce from combination treatment of Pre-frying (boiled for freezing/P 3 ) and<br />
CaCl 2 concentration treatment (0,5% /K 1 ).<br />
Key Words: Carrot chips, Pre-frying, CaCl 2,<br />
Abstrak: Penelitian bertujuan untuk mengetahui perlakuan Pra-penggorengan yang sesuai dan Konsentrasi<br />
Kalsium klorida (CaCl 2 ) yang tepat untuk mendapatkan keripik wortel (Daucus carota L) dengan mutu yang<br />
lebih baik. Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor yaitu Prapenggorengan<br />
(Tanpa perlakuan, Dibekukan, Direbus kemudian dibekukan dan Dibekukan kemudian direbus)<br />
dan Konsentrasi CaCl 2 (0,5%; 1,0%; 1,5% dan 2,0%). Penggorengan dilakukan dengan cara vakum, dan<br />
parameter yang dianalisa adalah Rendemen, Kadar air, Kadar Vitamin C, organoleptik Warna, Rasa dan<br />
Kerenyahan.<br />
Hasil penelitian menunjukkan perlakuan Pra-penggorengan berpengaruh sangat nyata terhadap Rendemen,<br />
Kadar air dan organoleptik Kerenyahan. Perlakuan Konsentrasi CaCl 2 berpengaruh sangat nyata terhadap<br />
Rendemen, Kadar air, organoleptik Rasa dan Kerenyahan. Kombinasi dari Pra-penggorengan dan Konsentrasi<br />
CaCl 2 berpengaruh nyata terhadap Rendemen, dan sangat nyata terhadap Kadar air dan organoleptik<br />
Kerenyahan.<br />
Keripik wortel mutu terbaik dihasilkan dari perlakuan Pra-penggorengan (Direbus kemudian dibekukan/ P 3 )<br />
dan Konsentrasi CaCl 2 (sebesar 0,5 % /K 1 ).<br />
Kata kunci: Keripik wortel, Pra-penggorengan, CaCl 2<br />
PENDAHULUAN<br />
Wortel (Daucus carota L.) merupakan<br />
tanaman sayuran semusim yang dapat tumbuh<br />
sepanjang tahun. Wortel memiliki batang pendek<br />
yang hampir tidak tampak. Akarnya berupa akar<br />
tunggang yang berubah bentuk dan fisiologi dimana<br />
dapat menjadi bulat dan memanjang, yang disebut<br />
umbi. Umbi inilah yang dikonsumsi sehari-hari<br />
sebagai makanan pendamping atau pelengkap.<br />
Wortel terkenal sebagai sumber vitamin A,<br />
juga mengandung mineral kalsium (Ca), phospor (P)<br />
dan kalium (K) serta merupakan sumber serat yang<br />
baik bagi tubuh. Setiap 100 g wortel mengandung 42<br />
kalori (Novary, 1997). Selain berpotensi sebagai<br />
sumber gizi terutama sumber vitamin A (pro vitamin<br />
A), juga mengandung karbohidrat, protein, vitamin<br />
B dan vitamin C.(Cahyono, 2002). Menurut<br />
Winarno (2002), Sebagian besar sumber vitamin A<br />
adalah karoten yang banyak terdapat dalam bahan<br />
nabati. Tubuh manusia mempunyai kemampuan<br />
untuk mengubah sejumlah besar karoten menjadi<br />
vitamin A. Dalam tanaman terdapat beberapa jenis<br />
karoten, namun yang lebih banyak ditemui adalah α,<br />
β dan γ-karoten, mungkin juga terdapat kriptoxantin.<br />
Sebagaimana produk hortikultura lainnya<br />
wortel juga memiliki sifat yang mudah rusak<br />
(perishable), sehingga sulit mempertahankan wortel<br />
dalam bentuk segar selama penyimpanan dan hal ini<br />
dapat merugikan petani. Diperkirakan bahwa<br />
kerusakan lepas panen sayur-sayuran dan buahbuahan<br />
mencapai 35 – 45 %. Dengan mengolahnya<br />
menjadi keripik wortel maka akan banyak<br />
keuntungan yang dapat diperoleh diantaranya<br />
menyelamatkan hasil pertanian dari sifat mudah<br />
busuk, fluktuasi harga yang sangat bervariasi,<br />
penghematan biaya transportasi, jangkauan distribusi<br />
lebih luas atau dapat meningkatkan nilai komersil<br />
yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan<br />
petani.<br />
130
Studi Pembuatan Keripik Wortel<br />
Terip Karo-karo<br />
Keripik adalah makanan ringan (Snack<br />
food) yang tergolong jenis makanan cracker yaitu<br />
makanan yang bersifat kering , renyah dan<br />
kandungan lemaknya tinggi. Sifat renyah pada<br />
cracker ini akan hilang jika produk menyerap air.<br />
Produk ini banyak disukai karena rasanya enak,<br />
renyah, tahan lama, praktis, mudah dibawa dan<br />
disimpan (Sulistyowati, 2002). Kerenyahan<br />
merupakan faktor penentu mutu keripik. Disamping<br />
struktur dan tekstut, komposisi produk terutama<br />
kadar air menentukan sifat kerenyahan produk,<br />
semakin rendah kadar air suatu produk maka produk<br />
umumnya semakin renyah, (Hariono, 1979 dalam<br />
Evawati, 1997). Disamping kerenyahan, konsumen<br />
juga memperhatikan warna, rasa dan kandungan<br />
keripik tersebut. Penampilan keripik meliputi warna<br />
dan permukaan keripik. Sebagian besar konsumen<br />
menyukai keripik berpenampilan kering, tidak<br />
mengkilat serta tidak gosong. Kekeringan permukaan<br />
keripik dipengaruhi oleh jenis minyak, sementara<br />
warna coklat di permukaan keripik dipengaruhi oleh<br />
komposisi kimia bahan serta waktu dan suhu<br />
penggorengan (Sulistyowati, 2002).<br />
Menurut Sulistyowati (2002), mutu keripik<br />
buah yang dihasilkan dipengaruhi oleh 5 faktor<br />
utama yaitu: kesegaran bahan, proses pengolahan ,<br />
minyak goreng yang digunakan, peralatan dan,<br />
pengemasan. Ada bahan baku keripik yang tidak<br />
memerlukan perlakuan pra-penggorengan tetapi<br />
untuk tujuan tertentu ada juga yang memerlukan<br />
salah satu kombinasi dari berbagai perlakuan prapenggorengan<br />
seperti blansing, perendaman dalam<br />
larutan kapur, pengeringan dan atau perlakuan lain.<br />
Perubahan fisik pada bahan pangan dapat<br />
terjadi pada saat pembekuan dan pemanasan, hal ini<br />
berkaitan dengan elastisitas dinding sel jaringan yang<br />
mengandung air. Selama pembekuan, akan terbentuk<br />
kristal es dan terjadi pemuaian yang dapat merusak<br />
jaringan, demikian juga dengan pemanasan dapat<br />
menghidrolisis karbohidrat dan dapat terjadi<br />
gelatinisasi. Selama pembekuan lambat, kristal es<br />
tumbuh pada ruang interseluler dan merubah bentuk<br />
dan terputusnya dinding sel yang berdekatan, kristal<br />
es mempunyai tekanan uap yang lebih rendah<br />
sehingga sel akan kekurangan air. Pada pembekuan<br />
cepat, kristal es yang lebih kecil terbentuk, ada<br />
kerusakan fisik yang kecil terhadap sel dan gradient<br />
tekanan uap air tidak terbentuk sehingga tidak terjadi<br />
dehidrasi terhadap sel (Fellows, 2000)<br />
Proses pembuatan keripik dari buah dan<br />
sayuran sudah banyak dilakukan pada penelitian<br />
terdahulu misalnya keripik nangka (Purba, 2004),<br />
keripik bengkuang (Lubis, 2004), keripik salak<br />
(Ludfiah, 2004). Selain itu juga keripik dapat<br />
dihasilkan dari bahan pangan hewani misalnya<br />
keripik cumi-cumi dan keripik belut. Pada proses<br />
pembuatan keripik ini digunakan alat penggorengan<br />
vakum dimana alat penggorengan ini menggunakan<br />
suhu di bawah 100 O C dan tekanan kurang dari 1<br />
atm.<br />
Untuk mendapatkan mutu keripik yang baik<br />
dapat dilakukan suatu perlakuan Pra-penggorengan<br />
maupun penambahan bahan kimia. Contoh Perlakuan<br />
pra-penggorengan adalah pada pembuatan French<br />
fries ubi jalar yaitu pemanasan bahan segar<br />
kemudian dibekukan pada suhu –20 o C selama 24<br />
jam, lalu bahan tersebut di thawing, setelah itu bahan<br />
digoreng. Proses French fries ini dapat juga<br />
dilakukan pada pembuatan keripik, seperti wortel<br />
(Sari, 2004)<br />
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik,<br />
pada proses pembuatan keripik sering juga<br />
menggunakan bahan-bahan pembantu, antara lain:<br />
Perlakuan dengan garam dapur (Na Cl); garam tidak<br />
hanya berfungsi sebagai pengawet tetapi dalam<br />
jumlah sedikit juga merupakan bumbu yang dapat<br />
memberikan rasa pada produk yang dihasilkan<br />
(Winarno dan Jennie, 1983; Desrosier, 1988). Bahan<br />
yang lain adalah Kalsium Klorida (CaCl 2 ); Menurut<br />
Winarno dan Aman (1991), bahwa perubahan<br />
kekerasan buah dapat dipengaruhi dengan<br />
pemakaian kalsium klorida. Kalsium klorida akan<br />
bereaksi dengan gugus karboksil dan pektin yang<br />
terdapat pada buah.Dalam pengolahan keripik,<br />
biasanya dilakukan perendaman bahan dalam larutan<br />
C, yang bertujuan untuk mempertahankan tekstur<br />
agar tidak rusak. Selain dapat memperkeras tekstur,<br />
CaCl 2 juga dapat mencegah terjadinya reaksi<br />
pencoklatan non-enzimatis. Hal ini disebabkan<br />
karena ion Ca bereaksi dengan asam amino sehingga<br />
asam amino tidak bereaksi dengan gula reduksi,<br />
sehingga tidak terjadi pencoklatan pada saat<br />
dilakukan pemanasan (Susanto dan Saneto, 1994).<br />
Sifat dari kalsium klorida yang dapat<br />
digunakan untuk meningkatkan kemantapan tekstur .<br />
Aksi pemanasan dan pelapisan permukaan jaringan<br />
dengan kalsium klorida ditujukan untuk dimetilisasi<br />
dari pektin, yang selanjutnya akan menghasilkan<br />
pembentukan ikatan antara kalsium dan molekul<br />
pektin tersebut (Luh and Woodroof, 1976). Kalsium<br />
klorida dapat mencegah browning disebabkan oleh<br />
efek khelasi (daya ikat) dari Ca terhadap asam amino<br />
(Eskin, et al., 1971). Terjadinya reaksi<br />
pencoklatan pada bahan makanan yang mengandung<br />
karbohidrat dapat dipercepat oleh pengaruh<br />
pemanasan maka komponen gula pereduksi akan<br />
membentuk senyawa berwarna coklat (Mailard<br />
Reaction Type). Reaksi ini terjadi bila gugus NH 2<br />
dari protein, asam amino dan peptida bereaksi<br />
dengan gugus aldosa dari gula pereduksi membentuk<br />
senyawa amadori yang dapat menghasilkan hidroksi<br />
metil furfuraldehida yang dikenal dengan melanoidin<br />
akan menimbulkan warna coklat pada produk<br />
(Winarno, dkk., 1980). Reaksi Mailard terjadi pada<br />
a w 0,3-0,5, semakin tinggi suhu penggorengan maka<br />
semakin cepat pencapaian a w tersebut sehingga reaksi<br />
browning dapat terjadi (Eskin, et al, 1971).<br />
Terserapnya air yang dibawa udara akan<br />
menyebabkan hilangnya sifat renyah keripik. Itu<br />
sebabnya keripik harus dikemas dalam wadah<br />
131
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
tertutup. Pengemasan dapat dilakukan segera saat<br />
keripik sudah dingin. Bahan kemasan yang dapat<br />
digunakan diantaranya plastik tahan panas,<br />
aluminium foil, kaleng, dan stoples (Sulistyowati,<br />
2002).<br />
Penggunaan CaCl 2 sudah banyak digunakan<br />
untuk bahan makanan, khususnya untuk<br />
memperbaiki tekstur bahan pangan. Scott and Twig<br />
(1969) menemukan bahwa 2% kalsium klorida<br />
efektif untuk menghasilkan tekstur yang baik,<br />
sedangkan menurut hasil penelitian Sari (2004)<br />
bahwa hasil French fries yang baik terdapat pada<br />
aplikasi kalsium klorida 0.5 %.<br />
Bagaimana cara dan teknis pengolahan<br />
untuk menghasilkan keripik wortel yang mempunyai<br />
kualitas baik dan disukai belum banyak diketahui.<br />
Oleh karena itu dalam penelitian ini dipelajari<br />
bagaimana cara penggorengan keripik wortel yang<br />
baik, khususnya mempelajari perlakuan prapenggorengan<br />
yang sesuai dan konsentrasi CaCl 2<br />
yang tepat untuk menghasilkan keripik wortel dengan<br />
mutu yang baik dan disukai.<br />
BAHAN DAN METODA<br />
Penelitian dilakukan di Laboratorium<br />
Teknologi Pangan dan Laboratorium Analisa Kimia<br />
Bahan Pangan Jurusan Teknologi Pertanian<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> pada bulan Januari<br />
hingga Maret 2005. Bahan wortel yang diperoleh dari<br />
Pasar Sore Padang Bulan, Medan. Bahan-bahan lain<br />
adalah minyak goreng (merk Barco), garam dan<br />
CaCl 2. Penelitian ini menggunakan Rancangan<br />
Acak Lengkap (RAL) faktorial 2 (dua) ulangan,<br />
dengan model rancangan: Ŷ ijk = μ + α i + β j + (αβ) ij<br />
+ Є ijk<br />
Faktor-I adalah Pra-penggorengan (P) terdiri dari 4<br />
jenis perlakuan dan Faktor-II adalah Konsentrasi<br />
CaCl 2 (K) terdiri dari 4 taraf konsentrasi. Dengan<br />
demikian terdapat 16 kombinasi perlakuan .<br />
Pelaksanaan Penelitian Terdiri dari Beberapa<br />
Tahapan yaitu:<br />
1. Persiapan Bahan, dimulai dari penyediaan dan<br />
pemilihan wortel yang segar, dikupas kulit<br />
arinya, diiris melintang setebal 5 mm, lalu<br />
dicuci bersih. Kemudian dilaksanakan kegiaatan<br />
Pra-penggorengan dengan perlakuan sebagai<br />
berikut:<br />
P 1 = Tanpa ada perlakuan<br />
P 2 = Dibekukan pada suhu -20 o C selama 24<br />
jam.<br />
P 3 = Direbus selama 20 menit kemudian<br />
dibekukan pada suhu -20 o C selama 24 jam<br />
P 4 = Dibekukan pada suhu -20 o C selama<br />
24 jam dan kemudian direbus selama 20<br />
menit<br />
Selanjutnya dilakukan perendaman dalam larutan<br />
CaCl 2 selama 15 menit dengan masing-masing<br />
perlakuan konsentrasi sebagai berikut:<br />
K 1 = Larutan 0,5 % CaCl 2<br />
K 2 = Larutan 1,0 % CaCl 2<br />
K 3 = Larutan 1,5 % CaCl 2<br />
K 4 = Larutan 2,0 % CaCl 2<br />
Lalu bahan ditiriskan airnya dengan menggunakan<br />
peniris, dilanjutkan dengan merendam masingmasing<br />
250 g bahan dari setiap perlakuan dalam<br />
1000 ml larutan garam 0,3 % selama 15 menit,<br />
ditiriskan dan siap untuk digoreng.<br />
2. Penggorengan dilakukan dengan vacuum friyer<br />
pada suhu 85 0 C dan tekanan –700 mmHg selama<br />
45 menit Minyak yang tinggal pada keripik<br />
dikeluarkan dengan cara disentrifus selama 2<br />
menit.kemudian langsung dikemas dengan<br />
aluminium foil dan diseal menggunakan sealer.<br />
Dilakukan penyimpanan selama 1 minggu<br />
(7 hari).<br />
3. Analisa dilakukan terhadap parameter:<br />
• Penetuan Rendemen (Syarief dan Irawati,<br />
1988)<br />
• Penentuan Kadar Air Keripik Metode Oven<br />
(AOAC, 1984)<br />
• Penentuan Kadar Vitamin C (Sudarmadji,<br />
dkk., 1997)<br />
• Uji Organoleptik warna, rasa dan<br />
kerenyahan (Soekarto, 1982)<br />
4. Pengolahan data menggunakan Analisa Sidik<br />
Ragam dan Uji Least Significant Range (LSR)<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa secara<br />
umum perlakuan pra penggorengan memberi<br />
pengaruh terhadap masing-masing parameter yang<br />
diamati (rendemen, kadar air, kadar vitamin C, nilai<br />
organoleptik warna, rasa dan kerenyahan), seperti<br />
terlihat pada Tabel-1.<br />
132
Studi Pembuatan Keripik Wortel<br />
Terip Karo-karo<br />
Tabel-1. Hasil Analisa, Pengaruh Perlakuan Pra-penggorengan dan Uji Least Significat Range (LSR)<br />
Terhadap Parameter yang Diamati.<br />
Penggo<br />
rengan<br />
P 1<br />
P 2<br />
P 3<br />
P 4<br />
Rende men**<br />
(%)<br />
13.88dD<br />
17.95aA<br />
15.62bB<br />
14.95cC<br />
Kadar<br />
Air**<br />
(%)<br />
2.45aA<br />
1.63bcBC<br />
1.75bB<br />
1.13dB<br />
Kadar<br />
Vit C tn<br />
mg/100 g<br />
5.30a<br />
4.23a<br />
4.91a<br />
3.97a<br />
Warna tn<br />
(Skor)<br />
2.86a<br />
2.84a<br />
3.59a<br />
.3.53a<br />
Rasa tn<br />
(Skor)<br />
3.06a<br />
3.15a<br />
3.19a<br />
3.01a<br />
Kere nyahan**<br />
(Skor)<br />
3.31dD<br />
4.11abAB<br />
4.18aA<br />
3.95cC<br />
Ket. : * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, tn = berbeda tidak nyata<br />
Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5%<br />
(huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)<br />
Dari Tabel-1, dapat dilihat perlakuan pra<br />
penggorengan memberi pengaruh sangat nyata<br />
(P0,05)<br />
terhadap kadar vitamin C, warna dan rasa keripik<br />
wortel. Rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan<br />
P 2 (dibekukan) sebesar 17,95 % dan terendah pada<br />
perlakuan P 1 (tanpa perlakuan) sebesar 13,88 %.<br />
Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan P 1 (tanpa<br />
perlakuan) sebesar 2,45 % dan terendah pada<br />
perlakuan P 4 (dibekukan kemudian direbus) sebesar<br />
1,13 %. Kadar vitamin C tertinggi terdapat pada<br />
perlakuan P 1 (tanpa perlakuan) sebesar 5,30 mg/100<br />
g bahan dan terendah terdapat pada perlakuan P 4<br />
(dibekukan kemudian direbus) sebesar 3,97 mg/100 g<br />
bahan. Nilai organoleptik warna tertinggi terdapat<br />
pada perlakuan P 3 (direbus kemudian dibekukan)<br />
sebesar 3,59 (suka) dan terendah terdapat pada<br />
perlakuan P 2 (dibekukan) sebesar 2,84 (agak suka).<br />
Nilai organoleptik rasa tertinggi terdapat pada<br />
perlakuan P 3 (direbus kemudian dibekukan) sebesar<br />
3,19 (agak suka) dan terendah terdapat pada<br />
perlakuan P 4 (dibekukan kemudian direbus) sebesar<br />
3,01 (agak suka). Nilai organoleptik kerenyahan<br />
tertinggi terdapat pada perlakuan P 3 (direbus<br />
kemudian dibekukan) sebesar 4,18 (suka) dan<br />
terendah terdapat pada perlakuan P 1 (tanpa<br />
perlakuan) sebesar 3,31 (agak suka).<br />
Hasil analisa, pengaruh konsentrasi CaCl 2<br />
dan uji Least Significant Range (LSR) terhadap<br />
parameter amatan disajikan pada Tabel-2.<br />
Dari Tabel-2, dapat dilihat bahwa<br />
konsentrasi CaCl 2 memberi pengaruh sangat nyata<br />
(P0,05)<br />
terhadap kadar vitamin C dan warna keripik wortel.<br />
Rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan K 1<br />
(0,5%) sebesar 16,57 % dan terendah pada perlakuan<br />
K 4 (2%) sebesar 14,60 %. Kadar air tertinggi<br />
terdapat pada perlakuan K 1 (0,5%) sebesar 2,38 %<br />
dan terendah pada perlakuan K 4 (2%) sebesar 1,38 %.<br />
Kadar vitamin C tertinggi terdapat pada perlakuan K 4<br />
(2%) sebesar 4,96 mg/100 g bahan dan terendah<br />
terdapat pada perlakuan K 1 (0,5%) sebesar 3,00<br />
mg/100 g bahan. Nilai organoleptik rasa tertinggi<br />
terdapat pada perlakuan K 1 (0,5%) sebesar 4,5 (suka)<br />
dan terendah terdapat pada perlakuan K 4 (2%)<br />
sebesar 2,09 (kurang suka) dan nilai organoleptik<br />
kerenyahan tertinggi terdapat pada perlakuan K 4<br />
(2,0%) sebesar 4,09 (suka) dan terendah terdapat<br />
pada perlakuan K 1 (0,5%) sebesar 3,63 (agak suka).<br />
Tabel-2. Hasil Analisa, Pengaruh Konsentrasi CaCl 2 dan Uji Least Significant Range (LSR)<br />
Terhadap Parameter yang Diamati<br />
Konsentrasi<br />
CaCl 2<br />
(%)<br />
K 1 ( 0.5 )<br />
K 2 ( 1.0 )<br />
K 3 ( 1.5 )<br />
K 4 ( 2.0 )<br />
Rende<br />
men**<br />
(%)<br />
16.57aA<br />
16.07bB<br />
15.16cC<br />
14.60dD<br />
Kadar<br />
Air** (%)<br />
2.38aA<br />
1,76bB<br />
1,44cC<br />
1,38cC<br />
Kadar<br />
Vit C tn<br />
mg/100 g<br />
3.00a<br />
4.65a<br />
4.78a<br />
4.96a<br />
Warna tn<br />
(Skor)<br />
3.48a<br />
3.45a<br />
3.41a<br />
3.48a<br />
Rasa**<br />
(Skor)<br />
4.35 aA<br />
3.38 bB<br />
2.60 cC<br />
2.09 dD<br />
Ket. : * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, tn = berbeda tidak nyata<br />
Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh berbeda nyata<br />
pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)<br />
Kerenyahan<br />
** (Skor)<br />
3.63dD<br />
3.89bcBC<br />
3.95bB<br />
4.09aA<br />
133
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Tabel-3. Hasil Analisa dan Pengaruh Kombinasi Perlakuan Pra-penggorengan dan konsentrasi CaCl 2<br />
Terhadap Parameter yang Diamati<br />
Kombinasi<br />
Perlakuan<br />
Rende<br />
men*<br />
(%)<br />
Kadar<br />
Air**<br />
(%)<br />
Kadar<br />
Vit C tn<br />
mg/100 g<br />
Warna tn<br />
Rasa tn<br />
(Skor)<br />
Kerenyahan**<br />
(Skor)<br />
(Skor)<br />
P 1 K 1 15,96 3,00 5,,07 2,90 4,45 2,40<br />
P 1 K 2 16,39 2,30 5,40 2,80 3,25 3,45<br />
P 1 K 3 14,49 2,25 5,10 2,78 2,35 3,55<br />
P 1 K 4 13,89 2,25 5,63 3,00 2,20 3,85<br />
P 2 K 1 19,19 2,50 3,92 4,20 4,35 3,90<br />
P 2 K 2 18,21 1,75 4,57 3,85 3,35 4,10<br />
P 2 K 3 17,66 1,25 4,92 3,65 2,70 4,15<br />
P 2 K 4 16,73 1,00 3,93 3,65 2,20 4,30<br />
P 3 K 1 16,76 2,25 5,52 3,45 4.25 4,00<br />
P 3 K 2 15,64 1,75 3.74 3,55 3,40 4,05<br />
P 3 K 3 15,34 1,50 5,22 3,70 2,75 4,30<br />
P 3 K 4 14,74 1,50 5,47 3,70 2,35 4,35<br />
P 4 K 1 15,66 1,75 4,97 3,40 4,35 4,20<br />
P 4 K 2 15,34 1,25 5,22 3,60 3,50 3,95<br />
P 4 K 3 14,44 0,75 3,87 3,55 2,60 3,80<br />
P 4 K 4 14,35 0,75 4,48 3,55 1,60 3,85<br />
Ket. : * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, tn = berbeda tidak nyata<br />
Dari Tabel-3, dapat dilihat bahwa kombinasi<br />
perlakuan Pra-penggorengan dan konsentrasi CaCl 2<br />
memberi pengaruh nyata (P
Studi Pembuatan Keripik Wortel<br />
Terip Karo-karo<br />
disebabkan karena CaCl 2 berfungsi sebagai drying<br />
agent yang bersifat higroskopis dimana dapat<br />
menyerap lebih banyak air dari bahan (Hughes,<br />
1987), sehingga semakin tinggi konsentrasi CaCl 2<br />
pada bahan maka kadar air yang dikandung akan<br />
semakin rendah dimana menyebabkan rendemen<br />
yang dihasilkan akan semakin rendah. Kalsium<br />
klorida juga dapat menyebabkan pektin yang ada di<br />
dalam makanan akan menjadi gel kalsium pektinat,<br />
karena itu CaCl 2 ini sering dipakai sebagai pengeras<br />
dan penggaring pada buah dan sayuran yang<br />
dikalengkan/diolah. Namun pada konsentrasi CaCl 2<br />
terlalu tinggi sering mengganggu rasa. Penurunan<br />
nilai organoleptik rasa tersebut disebabkan karena<br />
rasa keripik wortel yang dihasilkan agak pahit yang<br />
berasal dari CaCl 2 yang memang berasa pahit, hal ini<br />
sesuai dengan apa yang dikatakan Winarno (1992),<br />
bahwa untuk memperoleh tekstur yang lebih keras<br />
dapat ditambahkan garam Ca (0.1 – 0,25 %), ion<br />
kalsium akan bereaksi dengan pektin membentuk<br />
kalsium pektinat atau Ca-pektat yang tidak larut.<br />
Pada umumnya untuk maksud tersebut digunakan<br />
garam-garam Ca seperti CaCl 2 , Ca-sitrat, CaSO 4 , Calaktat<br />
dan kalsium monofosfat. Tetapi garam-garam<br />
kalsium ini kelarutannya rendah dan rasanya pahit,<br />
sehingga semakin tinggi konsentrasi CaCl 2 yang<br />
ditambahkan maka rasa keripik wortel tersebut akan<br />
semakin pahit.<br />
Semakin meningkatnya konsentrasi CaCl 2<br />
maka nilai organoleptik kerenyahan akan semakin<br />
meningkat disebabkan karena kalsium klorida<br />
menyerap air di sekeliling bahan sehingga<br />
menyebabkan kadar air semakin rendah dan<br />
mempercepat terjadinya pengeringan yang<br />
mengakibatkan keripik semakin renyah. Menurut<br />
Hughes (1987) kalsium klorida merupakan suatu<br />
tepung tanpa warna yang digunakan sebagai<br />
sequisterant dalam pengolahan sayuran, menyerap<br />
air dari sekelilingnya dan digunakan sebagai drying<br />
agent, karena itu sering digunakan sebagai pengeras<br />
dan penggaring.<br />
Nilai organoleptik kerenyahan tertinggi<br />
terdapat pada kombinasi P 3 K 4 yaitu bahan direbus<br />
kemudian dibekukan dengan perendaman dalam<br />
larutan 2 % CaCl 2. Nilai organoleptik kerenyahan<br />
terendah terdapat pada P 1 K 1 hal ini dikarenakan<br />
karena stuktur dan tekstur bahan tidak banyak<br />
berubah dan konsentrasi CaCl 2 terkecil sehingga<br />
pengurangan air dalam bahan tidak terlalu besar.<br />
KESIMPULAN DAN SARAN<br />
Kesimpulan<br />
Dari hasil penelitian pengaruh Pra-penggorengan dan<br />
Konsentrasi CaCl 2 terhadap parameter yang<br />
diamati dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :<br />
1. Dari hasil aplikasi 4 perlakuan prapenggorengan,<br />
ternyata perlakuan terbaik untuk<br />
menghasilkan keripik wortel berkualitas adalah<br />
perlakuan direbus kemudian dibekukan, hal ini<br />
dibuktikan dengan nilai organoleptik warna, rasa<br />
dan kerenyahan yang baik.<br />
2. Konsentrasi CaCl 2 berpengaruh sangat nyata<br />
terhadap mutu keripik wortel , dimana semakin<br />
tinggi kosentrasi CaCl 2 maka rendemen, kadar<br />
air, organoleptik rasa semakin menurun<br />
sedangkan organoleptik kerenyahan semakin<br />
meningkat. Tetapi tidak berpengaruh nyata<br />
terhadap Vitamin C dan organoleptik warna<br />
keripik wortel.<br />
3. Interaksi antara Pra-penggorengan dan<br />
Konsentrasi CaCl 2 pada pembuatan keripik<br />
wortel memberi pengaruh yang berbeda nyata<br />
terhadap Rendemen, sangat nyata terhadap<br />
Kadar Air dan Organoleptik Kerenyahan, serta<br />
memberi pengaruh tidak nyata terhadap Kadar<br />
Vitamin C, Organoleptik Warna dan Rasa.<br />
Saran<br />
1. Untuk pembuatan keripik wortel yang baik<br />
disarankan dilakukan perlakuan Prapenggorengan<br />
yaitu direbus kemudian dibekukan<br />
dan menggunakan perendaman pada larutan<br />
CaCl 2 0,5 %.<br />
2. Masih perlu dilakukan penelitian tentang<br />
lamanya pembekuan dan perebusan serta cara<br />
yang dapat lebih mengembangkan produk<br />
keripik wortel yang dihasilkan.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
AOAC, 1984. Official Method and Analysis of The<br />
Association of The Official Analytical<br />
Chemists, 14 th Edition, Washington D.C.<br />
Buckle, K.A, R.A. Edward, G.H. Fleet and M.<br />
Wootton, 1987. Ilmu Pangan. Diterjemahkan<br />
oleh Hari Purnomo dan Adiono. UI-Press,<br />
Jakarta.<br />
Cahyono, B., 2002. Wortel. Kanisius, Yogyakarta.<br />
Eskin, H.A., M. Anderson and R.T. Townsend, 1971.<br />
Biochemistry Of Food.. Academic Press, Inc.<br />
Orlando, Florida.<br />
Evawati, A.A., 1997. Mempelajari Proses Pembuatan<br />
Keripik Ubi Kayu Kajian Lama Gelatinisasi<br />
serta Analisa Finansial. Jurusan THP, Fakultas<br />
Pertanian, <strong>Universitas</strong> Brawijaya, Malang.<br />
Fellows, P.J., 2000. Food Processing Technology.<br />
Woodhead Publishing Ltd, England. 2 nd<br />
Edition.<br />
Lubis, F., 2004. Studi pembuatan keripik bengkuang.<br />
Skripsi Jurusan Teknologi Pertanian, USU,<br />
Medan.<br />
Luh, B.S., and J.G. Woodroof, 1976. Commercial<br />
Vegetable Processing. The AVI Publishing<br />
Company, USA.<br />
Novary, E.W., 1997. Penanganan dan Pengolahan<br />
Sayuran Segar. Penebar Swadaya, Jakarta.<br />
Purba, R., 2004. Studi pembuatan keripik nangka.<br />
Skripsi Jurusan Teknologi Pertanian, USU,<br />
Medan.<br />
135
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Sari, D.F., 2004. Pengaruh lama perendaman dan<br />
konsentrasi CaCl 2 terhadap mutu french fries<br />
ubi jalar. Skripsi Jurusan Teknologi Pertanian,<br />
USU, Medan.<br />
Scott, L.E., and B.A. Twigg, 1969. The Effect of<br />
Temperature of Treatment and Other Factor<br />
on Calsium Firming of Processed Sweet<br />
Potatoes. Maryland Univ. Agr. Extn. Serv.<br />
Hort, USA.<br />
Soekarto, S.T., 1982. Penilaian Organoleptik untuk<br />
Industri Pangan dan Hasil Pertanian.<br />
PUSBANG-TEPA, IPB, Bogor.<br />
Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi, 1997.<br />
Analisis Bahan Makanan an Hasil Pertanian.<br />
Liberty, Yogyakarta.<br />
Sulistyowati, A., 2002. Membuat Keripik Buah dan<br />
Sayur. Puspa Swara, Jakarta.<br />
Susanto, T., dan B. Saneto, 1994. Teknologi Hasil<br />
Pertanian. Dana Ilmu, Surabaya.<br />
Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi.<br />
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.<br />
Winarno, F.G., dan B.S.L. Jennie, 1983. Kerusakan<br />
Bahan Pangan dan Cara Pencegahannya.<br />
Ghalia Indonesia, Jakarta.<br />
136
Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Besar UISU Melalui Wadah Lembaga Koperasi<br />
Syahril Effendy Pasaribu<br />
PEMBERDAYAAN EKONOMI KELUARGA BESAR UISU<br />
MELALUI WADAH LEMBAGA KOPERASI<br />
Syahril Effendy Pasaribu<br />
Effendi Tanjung<br />
Abstrak<br />
UUD 1945 pasal 33 menempatkan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional maupun sebagai bagian<br />
integral tata perekonomian nasional. Dengan kedudukan yang demikian peranan koperasi sangat penting dalam<br />
menumbuhkan dan mengembangkan potensi ekonomi dengan memiliki asas demokratis, kekeluargaan,<br />
kebersamaan dan keterbukaan. Pengembangan koperasi di UISU perlu diarahkan untuk berperan dalam<br />
perekonomian khususnya bagi warga UISU sendiri maupun masyarakat sekitarnya dengan menerapkan prinsipprinsip<br />
koperasi dan kaidah usaha ekonomi koperasi. Potensi warga UISU bisa dimanfaatkan dalam upaya<br />
memperkuat permodalan melalui penyertaan anggota maupun pihak lain yang bukan anggota yang bersedia<br />
mendukung usaha-usaha Koperasi UISU dalam upaya memberdayakan ekonomi warga UISU.<br />
Kata kunci : Pemberdayaan ekonomi<br />
Pendahuluan<br />
Perguruan Tinggi Univeritas Islam <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />
yang berdiri pada awal tahun 1952 adalah merupakan<br />
lembaga perguruan tinggi pertama berdiri di luar<br />
pulau Jawa. Sampai saat ini UISU belum memiliki<br />
badan usaha Koperasi yang beranggotakn<br />
keseluruhan warganya yang didirikan sesuai dengan<br />
ketentuan Undang-undng No. 25 Tahun 1992 tentang<br />
perkoperasiaan.<br />
Koperasi adalah organisasi ekonomi dengan<br />
keanggotaan sukarela. Tom Gunadi, (1983)<br />
Keanggotaan sukarela maksudnya adalah masuk dan<br />
keluar adalah sesuai dengan peraturan yang ada<br />
seperti AD/ART koperasi itu sendiri. Sesuai dengan<br />
UU No. 25 tahun 1992 koperasi adalah merupakan<br />
gerakan ekonomi sebagai badan usaha yang berperan<br />
serta untuk mewujudkn masyarkat adil dan makmur<br />
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.<br />
Aspek melayani kebutuhan anggota adalah salah satu<br />
tujuan utama koperasi yang konkritnya pemenuhan<br />
kebutuhan itu menentukan keberhasilan suatu<br />
koperasi.<br />
Syarat mutlak usaha koperasi haruslah ada kaitan<br />
dengan kehidupan (kebutuhan rimah tangga)<br />
anggotanya atau dengan perkataan lain koperasi<br />
haruslah extension (sambungan atau perluasan) dari<br />
usaha dan rumah tangga anggotanya, maka usaha<br />
koperasi dapat dijalankan secara baik, lebih efektif<br />
dan efisien. Tom Gunadi (1983) oleh sebab itu tujuan<br />
koperasi haruslah benar-benar merupakan<br />
kepentingan bersama dari pada anggotanya dan<br />
tujuan itu hanya akan bisa dicapai berdasarkan karya<br />
dan jasa yang disumbangkan oleh anggota masingmasing.<br />
Pembentukan koperasi UISU<br />
Untuk membentuk koperasi pada umumnya gagasan<br />
datang dari pihak yang berkepentingan atau anjuran<br />
dari pihak pemerintah atau anjuaran dari pimpinan<br />
UISU sendiri. Pihak pendiri harus menyadari bahwa<br />
mereka memang benar-benar membutuhkan adanya<br />
lembaga kopersi. Depertemen Perdagangan dan<br />
Koperasi (1980) secara umum, para pelopor atau<br />
calon pengelola kopersi adalah orang-orang yang :<br />
Mempunyai minat besar, jiwa kemasyarakatan, serta<br />
cita-cita tinggi untuk bekerja bagi kepentingan<br />
orang banyak.<br />
Menyadari peranan koperasi dalam mewujudkan<br />
demokrasi ekonomi dan mempertinggi taraf<br />
hidup rakyat.<br />
Memiliki keberanian, sikap pantang menyerah dan<br />
keyakinan bahwa koperasi mampu dijadikan alat<br />
untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.<br />
Memiliki integritas kepribadian yang tinggi.<br />
Berdasarkan kriteris diatas dapat dismpulkan bahwa<br />
koperasi harus didirikan oleh orang-orang yng<br />
memiliki kapabilitas bila koperasi yang didirikan<br />
tujuannya adalah unuk meningkatkan kesajtweraan<br />
bersama.<br />
Panji Anoraga dan Djoko Sudantoko (2002)<br />
menyrtakan bahwa apabila orang-orang yang dinilai<br />
memenuhi persyaratan unuk dipilih menjadi<br />
pengurus koperasi, maka peku dilaksanakan proses<br />
atau penelitian beberapa hal, seperti :<br />
1. Keadaan serta tingkat kehidupan masyarakat<br />
tempat dimana koperasi itu akan melaksanakan<br />
aktivitasnya.<br />
2. Kesulitan masyarakat bidang apakah yang<br />
menjadi kendala utama guna menentukan<br />
koperasi apakah yang akan dibentuk<br />
3. Hambatan dalam wujud apakah yang sekiranya<br />
menjadi penghalang pembentukan koperasi.<br />
4. Apakah sudah ada koperasi yang telah berdiri<br />
dan bagaimana keadaanya apakah berjalan baik<br />
atau tidak dan apakah faktor yang menghambat<br />
serta mendukung perkembangannya.<br />
137
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
5. Kemungkinan jumlah anggota yang bersedia<br />
bergabung.<br />
6. Tingkat biaya yang mungkin harus dikeluarkan<br />
guna kelangsungan hidup koperasi.<br />
7. Kondisi serta taraf hidup para calon anggota<br />
apakah sudah mampu menghimpun modal awal.<br />
Apabila berdasarkan penelitian terhadap hal-hal<br />
tersebut diatas diperoleh kesimpulan bahwa koperasi<br />
UISU memang layak didirikan maka sebelum rapat<br />
pertama dalam rangka pendirian koperasi UISU<br />
maka para pemrakarsa pendirian koperasi<br />
menghubungi Dinas Koperasi Pemko Medan untuk<br />
mendapatkan informasi tentang cara pendirian<br />
koperasi sehingga ketika koperasi UISU didirikan<br />
akan terhindar dari keadaan dimana koperasi telah<br />
didirikan anggaran dasarnya tidak memenuhi syarat.<br />
Hasil pertamuan dengan Dinas Koperasi dilaporkan<br />
kepada pimpinan UISU untuk mendapatkan saran<br />
dan petunjuk bagi pendirian koperasi UISU.<br />
Kemudian dilaksanakan rapat persiapan<br />
pembentukan koperasi dan menyusun konsep UU<br />
No.25 Tahun 1992 tentang perkoperasian, petunjuk<br />
dan bimbingan pihak Dinas Koperasi dan Pimpinan<br />
UISU serat mempertimbangkan kondisi lingkungan<br />
UISU. Sesuai dengan UU No.25 tahun 1992 hal-hal<br />
pokok yang harus diatur dalam anggaran dasr<br />
koperasi adalah jati diri, tujuan, kedudukan, peran,<br />
keanggotaan, pengurus, pengawas, usaha,<br />
permodalan, sisa hasil usaha dan pembinaan.<br />
Setelah konsep anggaran dasar selesai kemudian<br />
dibahas oleh tim pemrakarsa pendirian Koperasi<br />
UISU dan ada baiknya dikonsultasikan kembali<br />
kepada pimpinan UISU. Kemudian ditetapkan rapat<br />
pembentukan koperasi UISU dengan mengundang<br />
minimal 20 orang dosen/pegawai administrasi UISU,<br />
Pimpinan UISU baik rektorat maupun pimpinan<br />
Fakultas se UISU. Turut juga diundang kepala Dinas<br />
Koperasi Pemko Medan untuk memberikan<br />
bimbingan dan pengarahan dalam rapat pembentukan<br />
koperasi UISU.<br />
Menurut Panji Anoraga dan Djoko Sudantoko,<br />
(2002) agar rapat pembentukan koperasi berjalan<br />
tertib, panitia menentukan acara yang memuat hal-hal<br />
sebagai berikut :<br />
1. Pembentukan oleh panitia<br />
2. Penjelasan oleh Panitia tentang maksud<br />
pendirian koperasi serta hal-hal yang dirintis<br />
oleh Panitia ke arah pembentukan koperasi.<br />
3. Penjelasan dan penerangan oleh pejabat dinas<br />
koperasi<br />
4. Persetujuan rapat tentang pendirian koperasi<br />
5. Pembicaraan dan penetapan anggaran dasar<br />
koperasi<br />
6. Penetapan rencana kerja dan anggaran belanja<br />
koperasi<br />
7. Pemilihan pengurus dan badan pengawas<br />
8. Penentuan nama-nama yang akan<br />
menandatangani naskah akte pendirian koperasi<br />
9. Penyampaian saran dan masukan<br />
10. Pernyataan sumpah dan janji oleh pengurus dan<br />
badan pemeriksa<br />
11. Penutup<br />
Walaupun susunan acara tersebut diatas cukup baik<br />
namun ada baiknya Pimpinan UISU diikut sertakan<br />
memberikan sambutan dan pengarahan pada awal<br />
rapat dan juga dimasukkan sebagai pembina koperasi<br />
UISU agar dalam perjalanan koperasi kebersamaan<br />
akan terjalin dengan baik. Pengurus yang terpilih<br />
dalam rapat menandatangani akte pendirian koperasi<br />
setelah ditandatangani oleh peserta rapat yang hadir<br />
sebagai pendiri koperasi UISU dan kemudian panitia<br />
pembentukan koperasi membubarkan diri karena<br />
telah menyelesaikan tugasnya mendirikan koperasi<br />
langkah berikutnya adalah pengesahan koperasi<br />
UISU sebagai koperasi badan hukum dengan<br />
pengesahan akte pendirian/anggaran dasar koperasi<br />
oleh pejabat yng berwewenang. Untuk mendapatkan<br />
pengesahan sebagai badan hukum pengurus<br />
mengajukan surat permohonan kepada Kepala Dinas<br />
Koperasi Medan dengan melampirkan akte pendirian,<br />
keterangan domisili koperasi dan kelurahan setempat<br />
dan biaya administrasi yang dibutuhkan setelah<br />
pemohon diteliti ternyata telah memenuhi syarat<br />
maka Kepala Dinas Koperasi RI akan menertibkan<br />
surat keputusan penetapan koperasi UISU sebagai<br />
koperasi berbadan hukum dan memenuhi stempel<br />
pengesahan pada akte pendiriaanya. Dengan<br />
demikian koperasi UISU yang didirikan telah syah<br />
sebagai koperasi berbadan hukum.<br />
Bidang usaha yang dapat memberdayakan<br />
ekonomi keluarga UISU :<br />
Misi utama atau maksud didirikannya koperasi<br />
adalah untuk meningkatkan taraf hidup para<br />
anggotanya. Maksud ini taraf hidup para anggotanya.<br />
Maksud ini akan dapat direalisir apabila usaha<br />
(bussines) dikelola dan dikembangkan dengan<br />
keterkaitan usaha yang kuat dengan kebutuhan/usaha<br />
ekonomi anggotanya. Panji Anoraga dan Djoko<br />
Sudantoko (2002) sebagai suatu lembaga ekonomi<br />
koperasi harus menerapkan asas-asas bisnis dan<br />
manajeman yang baik dalam pengelolaannya. Didik<br />
J. Rahbini, (1988) tanpa menerapkan asas tersebut<br />
koperasi akan sulit berkembang karena tidak<br />
memiliki keunggulan. Seperti kita ketahui bahwa<br />
tujuan koperasi, serta motivasi orang yang masuk<br />
menjadi anggota koperasi adalah hasrat untuk<br />
memajukan kehidupan ekonomi mereka. Ada<br />
beberapa hal penting yang harus diperhatikan secara<br />
sungguh-sungguh yang diperhatikan secara sungguhsungguh<br />
oleh pengurus koperasi diantaranya :<br />
Para pengurus koperasi seharusnya memahami<br />
prinsip-prinsip pengelola koperasi secara cermat<br />
Pengurus perlu menetapkan suatu mekanisme kerja<br />
yang mampu menunjang kelancaran usaha koperasi.<br />
Perlu membangun hubungan kemitraan yang saling<br />
menguntungkan antar koperasi dengan lembaga<br />
ekonomi lainnya semisal badan usaha milik negara,<br />
138
Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Besar UISU Melalui Wadah Lembaga Koperasi<br />
Syahril Effendy Pasaribu<br />
kalangan swasta dan koperasi lainnya guna<br />
memperkuat usaha yang telah ditekuni dan<br />
memperoleh berbagai pengalaman berharga. Panji<br />
Anoraga dan Djoko Sudantoko, (2002)<br />
Bidang usaha yang berkaitan dengan kegiatan UISU<br />
adalah bidang yang relevan ditangani oleh koperasi<br />
UISU seperti fotocopi, percetakan,pengadaan barang<br />
ATK untuk kantor dan mahasiswa, catering, kantin,<br />
wartel dan juga proyek simpan pinjam berdasarkan<br />
Syariah Islam. Disamping itu koperasi juga bisa<br />
menangani Cleaning Service Ruangan Kantor,<br />
ruangan kuliah dan labortorium UISU.<br />
Salah satu yang paling penting adalah memahami<br />
pangsa pasar dari usaha koperasi yaitu :<br />
1. Populasi mahasiswa UISU yang cukup besar<br />
yaitu berkisar ± 13. 359 orang<br />
2. Staf pengajar yang jumlahnya berkisar ± 844<br />
orang<br />
3. Pegawai administrasi yang jumlahnya berkisar ±<br />
360 orang<br />
Dengan dukungan dari Pimpinan <strong>Universitas</strong> dan<br />
Fakultas se UISU usaha koperasi UISU bisa<br />
berkembang dengan syarat pengurus koperasi bisa<br />
meyakinkan para pemimpin UISU dan anggota<br />
bahwa koperasi ini akan dapat meningkatkan<br />
kesejahteraan ekonomi keluarga UISU, dan mutu<br />
barang yang ditawarkan benar-benar bisa bersaing<br />
dengan harga pasar dan bisa menjamin rutinitas<br />
pengadaannya. Untuk itu pengurus harus bisa<br />
bekerjasama dengan pihak pemasok sehingga<br />
pasokan kebutuhan koperasi UISU berjalan lancar<br />
dan juga mutu barang tetap terjaga sehingga tidak<br />
mengecewakan para pelanggan koperasi<br />
Pengurus yang akan menjalankan usaha<br />
koperasi UISU haruslah orang yang cakap, jujur dan<br />
memiliki naluri bisnis yang kuat serta memiliki dan<br />
mental wirausaha<br />
Sikap mental wirausaha dalam koperasi<br />
adalah suatu sikap mental dalam berusaha secara<br />
koperatif, untuk mengambil prakarsa inovatif serta<br />
keberanian mengambil resiko an berpegang teguh<br />
pada prinsip identitas koperasi dalam mewujudkan<br />
terpenuhinya kebutuhan nyata serta peningkatan<br />
kesejateraan Panji Anoraga dan Djoko Sudantoko,<br />
(2002)<br />
Untuk dapat melangsungkan kehidupannya<br />
koperasi harus mampu menyesuaikan diri dengan<br />
lingkungan dan perubahannya dan bisa mengelola<br />
perubahan itu.<br />
Analisa SWOT :<br />
Dalam menghadapi perubahan lingkungan dan<br />
mengetahui posisi koperasi dapat dilakukan dengan<br />
mengidentifikasi dengan analisa SWOT yaitu<br />
kekuatan, kelemahan, kesempatan/peluang, dan<br />
ancaman. Berdasarkan analisa SWOT tersebut akan<br />
diperoleh pengaruh positif yaitu yang dapat<br />
mendukung secara positif perkembangan koperasi<br />
yang sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai dan<br />
pengaruh negative yaitu pengaruh yang menghambat<br />
perkembangan koperasi dalam menghadapi<br />
perubahan – perubahan yang akan terjadi sehingga<br />
koperasi memiliki landasan untuk mengantisipasi<br />
perubahan yang akan terjadi dimasa mendatang.<br />
Agar tetap beroperasi dan memiliki kelangsungan<br />
hidup setiap koperasi harus memiliki tujuan yaitu :<br />
a. Profit (keuntungan)<br />
b. Mempertahankan kelangsungan hidup koperasi<br />
c. Pertumbuhan koperasi<br />
d. Tanggungjawab sosial<br />
Semakin tinggi keuntungan yang diharapkan akan<br />
semakin besar risiko yang dihadapi untuk itu<br />
pengurus koperasi perlu memperhitungkan dengan<br />
matang dalam menjalankan usaha koperasi.<br />
Modal Usaha Koperasi :<br />
Dalam mempersiapkan modal usaha koperasi ada<br />
beberapa sumber :<br />
Modal sendiri<br />
Meminjam<br />
Kerjasama<br />
Modal sendiri bisa diperoleh dari simpanan anggota<br />
baik simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan<br />
sukarela, namun jumlahnya adalah terbatas<br />
mengingat koperasi baru berdiri. Meminjam atau<br />
kredit melalui bank konvensional tentu harus<br />
memakai bunga yang bertentangan dengan syariah<br />
Islam.<br />
Kerjasamanya bisa dilakukan dengan perbankan<br />
syariah yang tidak mengenal konsep bunga<br />
Perbankan Syariah membuka peluang pembiayaan<br />
pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan<br />
dan hubungan harmonis. Perbankan Syariah memiliki<br />
empat prinsip yang senantiasa mendasari jaringan<br />
kerja Perbankan dengan <strong>sistem</strong> syariah yaitu<br />
1. Perbankan Non Riba<br />
Bank Syariah perang melawan riba untuk itu<br />
maka bank syariah menghindar muamalah riba<br />
seperti pada bank konvensional<br />
2. Perniagaan halal dan tidak haram<br />
Dalam berbisnis harus halal bukan yang yang<br />
diharamkan oleh syariat Islam.Dalam<br />
perdagangan tidak diperkenankan jual beli<br />
dengan tindakan yang haram<br />
3. Keridhaan pihak-pihak dalan berkontrak<br />
Dalam berbisnis Islam menginginkan setiap<br />
yang terikat dalam perjanjian/kontrak harus<br />
mendapat kepuasaan dalam mengadakan<br />
transaksi oleh karena itu para pihak yang<br />
berkontrak harus ada kerelaan<br />
4. Pengurusan dana yang amanah, jujur dan<br />
bertanggungjawab<br />
Dalam berusaha/berbisnis nilai kejujuran dan<br />
amanah dalam mengurus dana merupakan ciri<br />
yang harus ditunjukkan karena merupakan sifat<br />
dari Nabi dan Rasul dalam kehidupan sehari-hari<br />
Syahrial Effendi Pasaribu (2005) mengingat<br />
UISU adalah lembaga yang didirikan oleh umat<br />
Islam dan koperasi UISU diartikn untuk<br />
memberdayakan ekonomi para pekerja di UISU<br />
kami yakin perbankan syariah akan bersedia<br />
139
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
membantu modal usaha koperasi UISU dengan<br />
syarat koperasi UISU mendapat dukungan penuh<br />
dari Pimpinan UISU dan bidang usaha yang<br />
akan dilaksanakan benar – benar dapat<br />
dilaksanakan oleh pengurus koperasi UISU.<br />
Pengurus koperasi UISU harus menyusun<br />
proposal usaha yang bisa merefleksikan<br />
gambaran usaha koperasi dan mencerminkan<br />
pribadi pengurus yang menjalankan usaha<br />
koperasi yang merupakan dokumen tertulis yang<br />
rinci mengenai usaha yang direncanakan.<br />
Menurut Rambat Lupiyoadi (2004) ada 4<br />
(empat) faktor kritis yang perlu diperhatikan<br />
dalam penyusunan proposal usaha :<br />
1. Tujuan yang realistis<br />
Tujuan yang diinginkan dicapai harus<br />
spesifik,dapat diukur dan ada kesatuan waktu<br />
dan parameternya<br />
2. Komitmen<br />
Bisnis perlu mendapat dukungan dari pihak<br />
anggota, mitra usaha,pekerja dan anggota tim<br />
3. Batasan waktu<br />
Sub sub tujuan harus dibuat secara<br />
berkesinambungan dan ada evaluasi waktu atas<br />
kemajuan – kemajuan yng telah dicapai<br />
4. Fleksibilitas waktu<br />
Harus dapat diantisipasi dan memungkinkan<br />
munculnya alternative strategi yang dapat<br />
diformulasikan.<br />
Rencana usaha sebaiknya disusun sendiri oleh<br />
pengurus namun boleh juga dibuat oleh tim yang<br />
ditunjuk dengan syarat pengurus mengerti isi<br />
proposal usaha tersebut,karena proposal usaha akan<br />
menjadi gambaran awal seberapa jauh kemampuan<br />
manajerial pengurus<br />
Didalam proposal usaha perlu dicantumkan yaitu :<br />
1. Aspek personalia<br />
2. Aspek financial<br />
3. Aspek manajemen<br />
4. Aspek harga<br />
5. Aspek risiko kritis usaha<br />
6. Aspek situasi persaingan<br />
Disamping itu pengurus koperasi harus siap untuk<br />
menjawab setiap pertanyaan dari pihak yang akan<br />
meneliti kelayakan usaha dengan membahas proposal<br />
usaha tersebut. Apabila proposal usaha dinilai layak<br />
tentu bantuan permodalan usaha akan diberikan<br />
setelah memenuhi persyaratan administrasi lainnya.<br />
Dengan modal yang dimiliki sendiri ditambah<br />
dengan bantuan modal dari pihak luar (Perbankan<br />
Syariah) usaha koperasi dapat diwujudkan dan<br />
dijalankan dengan sebaik-baiknya sehingga ekonomi<br />
para anggota dapat diberdayakan.<br />
Peminjaman modal usaha dari pihak luar (perbankan)<br />
harus disetujui oleh rapat anggota yang diadakan<br />
untuk membahas rencana kerja koperasi dan akan<br />
dipertanggungjawabkan kemudian pada Rapat<br />
Anggota Tahunan.<br />
PENUTUP<br />
Kesimpulan<br />
1. Pembentukan Koperasi UISU harus<br />
beranggotakan semua Dosen dan karyawan<br />
UISU dengan dukungan penuh Pimpinan UISU<br />
2. Pengurus Koperasi UISU haruslah orang-orang<br />
yang memiliki jiwa kewirusahaan yaitu yang jeli<br />
menangkap dan memanfaatkan peluang yang<br />
dilandasi pertimbangan rasional, inovatif dan<br />
mampu mengembangkan kemandirian koperasi<br />
3. Untuk memberdayakan ekonomi keluarga besar<br />
UISU, pengurus koperasi UISU harus<br />
membentuk tim bisnis yang tangguh dalam<br />
menjalankan roda usaha<br />
4. Pengurus koperasi UISU perlu menjalin<br />
kerjasama dengan pihak perbankan terutama<br />
bank syariah untuk membantu modal usaha<br />
koperasi dan bimbingan usaha yang akan<br />
dijalankan.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Didik J. Rahbani, 1988 Koperasi Pendekatan<br />
Bisnis atau Politik<br />
2. Depdagkop RI, 1980 Pengetahuan Harian<br />
Kompas 5 Maret 1988 Perkoperasian<br />
3. Panji Anoraga dan Djoko Sudantoko, 2002<br />
Koperasi Kewirusahaan dan Usaha<br />
Kecil,Rineka Cipta<br />
4. Rambat Lupiyoadi,2004 Entrepreneurship From<br />
Minset to Strategy, Penerbit Fakultas Ekonomi<br />
<strong>Universitas</strong> Indonesia<br />
5. Syahril Effendy Pasaribu, 2005 Kontribusi<br />
Bank Muamalat Terhadap Perkembangan<br />
Perbankan Secara Syariah, Bina Teknik Press<br />
Medan<br />
6. Tom Gunadi, 1983 Sistem Perekonomian<br />
Berdasarkan Pancasila danUUD 1947, Angkasa<br />
Bandung<br />
7. Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang<br />
Perkoperasian<br />
140
Arsitektur dan Lingkungan, Pasca Arsitektur Modern<br />
N Vinky Rahman<br />
ARSITEKTUR DAN LINGKUNGAN, PASCA ARSITEKTUR MODERN<br />
N Vinky Rahman<br />
Staf Pengajar Pada Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>.<br />
Abstrak<br />
• We are indoors, live, love, bring up our families, worship,work,grow old,sicken and die indoors.<br />
Architecture mirrors every aspect of lives-social. Economical spritua (Eugene raskin)<br />
• Architecture is communication between man and environment, (Lynden Herbert).<br />
Telaah singkat dalam makalah ini akan menitikberatkan pada pembahasan mengenai desain dalam<br />
arsitektur melalui pendekatan humanis yaitu pendekatan prilaku dan pendekatan social. Pendekatan ini dipilih<br />
dengan harapan agar dapat memberikan motivasi baru dan pencerahan bagi praktisi rancang bangun dan<br />
rekayas dalam memberikan alternatif solusi desain lingkungan fisik yang lebih tanggap terhadap kebutuhan,<br />
keinginan dan nilai-nilai kemanusiaan, selain juga tanggap terhadap fenomena semakin rusaknya lingkungan<br />
fisik dan alami yang sehat dan nyaman dapat terus berlangsung.<br />
Kata-kata kunci : Arsitektur, Lingkungan ,Arsitektur Modern.<br />
Pendahuluan<br />
Dalam perjalanan sejarah arsitektur,sudah<br />
bukan rahasia lagi bahwa arsitektur modern<br />
menghadapi banyak gugatan dan kegagalan dalam<br />
implementasinya. Berdasarkan telaah literature,<br />
kegagalan tersebut antara lain oleh karena arogansi<br />
yang begitu kental dalam nafas modern yang<br />
ditampilkannya,selain juga karena kekurangpekaan<br />
gerakan ini dalam membaca keberagaman wacana<br />
social yang ada dalam masyarakat yang dilayaninya.<br />
Contoh yang sering dijumpai adalah maraknya<br />
bangunan-bangunan megah, tinggi dan mewah di<br />
kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung dan<br />
Surabaya, yang kondisinya sangat mencolok jika<br />
dibandingkan dengan perumahan-perumahan yang<br />
bahkan cederung kumuh di sekitarnya.<br />
Tidak lagi tersedianya lahan terbuka untuk<br />
bermain, bersosialisasi dan rekreasi bagi masyarakat<br />
setempat juga dibentuk oleh intensitas transportasi<br />
yang begitu tinggi. Arsitektur dan lingkungan binaan<br />
tidak lagi ramah dan tidak mencerimkan kepedulian<br />
akan eksistensi nilai-nilai kemanusian dalam wadah<br />
lingkungan fisiknya. Manusia hanya dianggap<br />
sebagai mesin berjiwa dengan kemampuannya<br />
menghasilkan nilai-nilai ekonomi secara kuantitas<br />
belaka. Fenomena yang mengkhwatirkan ini sebagian<br />
besar dilahirkan dari budaya <strong>industri</strong>alisasi yang<br />
memetingkan nilai ekonomi dan percepatan<br />
perputaran uang. Kekhwatiran ini akan semakin<br />
bertambah jika disadari kemungkinan dampak<br />
buruknya pada lingkungn baik fisik maupun alami<br />
dalam jangka panjang.<br />
Makna Arsitektur<br />
Keberadaan sebuah lingkungan binaan,<br />
termasuk jalan raya di dalam kota yang didiami<br />
manusia memiliki pengaruh yang tidak sedikit<br />
terhadap perilaku dan aktivitas mnusia, bagaimana<br />
manusian merasakan keberadaan diri mereka di<br />
dalamnya dan yang lebih terpenting adalah<br />
bagaimana manusia dapat hidup berdampingan<br />
dengan sewajarnya bersama manusia lainnya. Salah<br />
satu hal yang mendasari gejala ini adalah karena<br />
dalam hidupnya, manusia butuh berkoperasi atau<br />
bekerjasama, suatu hal yang banyak dijumpai dalam<br />
kehidupan sehari-hari, seperti misalnya saat manusia<br />
bersosialisasi dalam lingkungannya. Dalam proses<br />
sosialisais itu, apek komunikasi menjadi penting,<br />
karena dengan komunikasi manusia dapat saling<br />
berbagai pengalaman dalam kehidupan. Proses<br />
komunikasi tersebut juga terjadi antara manusian<br />
dengan lingkungannya dalam bentuk perilaku atau<br />
perangai.<br />
Arsitektur merupaakn bagian dari<br />
lingkungan tempat terjadinya pertukaran informasi<br />
budaya yang melibatkan komunikasi di dalamnya.<br />
Dengan demikian, hal penting untuk dipertimbngkan<br />
adalah bagaimana input informasi yang dimasukkan<br />
ke dalam arsitektur dan output bagaimana yang akan<br />
dihasilkan darinya, bagaimana manusia<br />
menggunakan informasi tersebut dalam kaitannya<br />
dengan aktivitas yang dilakukannya sehari-hari<br />
dalam arsitektur yang mewadahinya. Aritektur<br />
sebagai lingkungan binaan dapat dilihat sebagai<br />
proses dan catatan dari kejadian-kejadian budaya<br />
masa lalu yang dikomunikasikan hingga kini<br />
(Lynden Herbert,1972).<br />
Dalam kaitannya dengan sosialisasi, proses<br />
komunikasi yang terjadi antara manusia dengan<br />
bangunan dalam tingkat masyarakat atau manusia<br />
yang jamak merupakan proses uang beragam dan<br />
tidak mudah untuk dimengerti, namun dalam tingkat<br />
pribadi tidaklah demikian. Proses komunikasi antara<br />
manusia dan arsitektur menyangkut proses<br />
mengalami dan pengalaman yang dimiliki oleh<br />
manusia. Secara pribadi, manusia dapat mersakan<br />
pengalamannya terhadap arsitektur. Ketika proses<br />
mengalami ruang dan bntuk merupakan sebuah<br />
141
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
proses yang dapat dinikmati oleh manusia, maka<br />
ketika itulah arsitejtur trjadi (William Wayne Caudill,<br />
et al, 1978). Arsitektur memiliki peranan penting<br />
dalam membantu manusia dalam proses kegaiatan<br />
yang harus dilakukannaya. Peran arsitektur di sini<br />
adalah mengupayakan kemudahan proses tersebut.<br />
Ditinjau dari segi kebutuhan praktis,yang merupakan<br />
hal yang umum bagi setiap orang, adalah<br />
pengetahuan dan kesadaran seseorang akan selalu<br />
mencari isyarat-isyarat yang menginformasikan yang<br />
diperlukan manusia secara wajar, aman dan nyaman.<br />
Proses pencarian isyarat ini muncul dalam wujud<br />
beragam pada beragam waktu.<br />
Manusia – Lingkungan dan Arsitektur Modern<br />
Era <strong>industri</strong>alisasi yang dimulai pada tahun<br />
1759 memberikan pengaruh yang besar dalam dunia<br />
arsitektur, hingga jiwa uniformity dan anonymous<br />
yang ada pada <strong>industri</strong> muncul dalam wacana<br />
arsitektur, yaitu pada era arsitektur modern.<br />
Pergeseran dan perubahan cara pandang manusia<br />
dalam melihat diri dan eksistensinya dalam<br />
lingkungannya merupakan salah satu pemicu<br />
terjadinya gugatan yang membawa kegagalan bagi<br />
arsitektur modern. Sebagai pengguna dan atau<br />
penikmat arsitektur, dilandasi wawasan informasi<br />
yang semakin luas, manusia semakin mengingnkan<br />
standar kepuasan dan kenyamanan yang lebih baik<br />
pula, antara lain dalam hal arsitektur atau lingkungan<br />
fisik. Di sisi lain, lingkungan fisik secara tidak<br />
langsung membentuk karakter diri manusia, baik<br />
yang menghuni maupun yang menikmatinya.<br />
Pada saat awal kemuncullannya, aritektur<br />
modern antara lain menawarkan ide keserderhanaan<br />
dan keseragaman bentuk fisik dengan menggunakan<br />
pendekatan desain secara rasional. Konsep yang<br />
dihadirkan adalah penekanan pada fungsi dan<br />
efisiensi melalui pemulihan material dan <strong>teknik</strong><br />
rancang bangun yang paling mudah dan praktis, yang<br />
dianggap dapat memoderenisasikan manusia<br />
sehingga didapatkan suatu bentuk tatanan yang<br />
harmonis dengan konsep keabadian yang dapat<br />
dinikmati sepanjang waktu. Tujuan modernisasi<br />
tersebut dapat diartikan sebagai tidak pentingnya lagi<br />
semua hal yang ada kaitannya dengan masa lalu.<br />
Pada dasarnya, teknologi dalam <strong>industri</strong> diciptakan<br />
untuk dapat mempermudah hidup manusia.<br />
Termasuk dalam hal ini rsitektur.Akan tetapi dengan<br />
cara pendekatan, penyampaian dn perwujudan yang<br />
dijumpai dalam aristktur modern, ternyata tujuan<br />
tersebut malah memberikn dampak yang deskriptif<br />
atau memberikan kosekuensi yang buruk bila terus<br />
diterapkan secara membabi buta. Dalam hal ruang<br />
terbuka kota, arsitektur modern bahkan turut<br />
berperan menghadirkan ruang-ruang terbuka kota<br />
yang tidak tergunakan dengan baik (lost Out door<br />
Space).<br />
Dalam konteks social, gerakan modern lebih<br />
menitikberatkan pada rancang bangun dan rekayasa<br />
lingkungan fisik yang mengatur bagaimana manusia<br />
seharusnya menjalani hidupnya (berkeinginan<br />
mengendalikan dan membatasi) dari pada<br />
menawarkan solusi yang memberikan keluasan bagi<br />
manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari<br />
secara normal. Hal ini berarti mengesampingkan<br />
aspek sosia masyarakat sebagai bagian dari nilai-nilai<br />
penentu lingkungan fisik. Mungkin pendapat ini<br />
menunjukkan adanya kesan arogansi tersebut.<br />
Arogansi timbul dari asumsi para praktis agar<br />
rancangan yang dihasilkan dalam kerangka ideology<br />
tersebut mencerminkan citarasa seni dan keindahan<br />
dari klien atau sang pengguna. Kecenderungan ini<br />
muncul pada era-era sebelumnya, oleh karena klien<br />
atau pengguna memilih sendiri perancang yang<br />
dipercayainya memiliki kemampuan keilmuan dan<br />
<strong>teknik</strong> yang tinggi.<br />
Dalam konteks masyarakat tradisional,<br />
perancang bahkan hanya dapat berkarya dalam<br />
kerangka adat dan tradisi yang sudah memiliki<br />
batasan tertentu dalam pelaksanaaanya. Dengan<br />
demikian, bangunan yang dihasilkan benar-benar<br />
mencerminkan sang pengguna; bagaimana pengguna<br />
hidup dalam kesehariannya di dalam kerangka social<br />
setempat yang kemudian diwadahi dalam bangunan.<br />
Oleh karena itu, jika ditinjau dari sisi aspek<br />
kesejarahannya arsitektur non-modern (kalau boleh<br />
disebut demikian) adalah merupakan hasil upaya<br />
yang paling optimal dalam beradaptasi dengan aspek<br />
social masyarakatnya, sedangkan arsitektur modern<br />
pada perkembangannya menunjukkan pola<br />
keseragaman yang anomies dan mengarah pada<br />
adanya ketidakpedulian pada identitas pribadi atau<br />
komunitas local sebagai klien atau pengguna. Sekali<br />
lagi, hal ini memetingkan pada nilai ekonomi dan<br />
percepatan perputaran uang.<br />
Industrialisasi menciptakan konglomerat –<br />
konglomerat baru sebagai klien yang membayar,dan<br />
bukan sebagai klien sebagai pengguna.Hal ini turut<br />
menyebabkan terbetuknya ideology arsitektur<br />
modern. Rumah-rumah tidak lagi dihargai sebagai<br />
wujud aktualisasi diri sebagaimana di ungkapkan<br />
oleh Abraham Maslow, akan tetapi dipandang<br />
sebagai proyek yang bernilai ekonomis bagi<br />
segelintir orang yang sanggup membiayai<br />
pembangunan rumah dalam bentuk blok bertingkat<br />
dan bernilai banyak. Dengan ide ini, pemukiman<br />
dibangun seperti mesin berinti banyak, tanpa adanya<br />
ruang-ruang terbuka sebagai tempat sosialisasi,<br />
tempat bermain anak-anak dan rekreasi. Mengutip Le<br />
Corbusier yang menyatakan pada awal abad ini<br />
bahwa rumah merupakan sebuah mesin di mana<br />
manusia hidup di dalamnya ‘’a house as a machine<br />
for living’’, rumah adalah sebagai mesin di mana kita<br />
hidup di dalamnya , kantor adalah sebuah mesin<br />
untuk di mana orang bekerja didalamnya dan katedral<br />
adalah sebuah mesin di mana kita berdoa di<br />
dalamnya. Pernyataan ini menujukkan adanya<br />
prospek yang mengkhwatirkan, karena apa yang telah<br />
terjadi adalah para perancang kini merancang untuk<br />
mesin bukan untuk manusianya.<br />
142
Arsitektur dan Lingkungan, Pasca Arsitektur Modern<br />
N Vinky Rahman<br />
Secretariadi, Chandigarh India (1958) – Le Corbusir<br />
Ironisnya, pada saat yang sama, Le<br />
Corbuiser sebagai seorang arsitek (yang sering<br />
disebut-sebut sebagai Bapak Arsitektur Modern)<br />
justru terlibat dalam paradigma buruknya arsitektur<br />
modern tersebut. Ia merancang sebuah rumah<br />
bersusun yang dikombinasikan dengan fasilitas<br />
umum dan social yang lengkap seperti sekolah dan<br />
kantor pos di Chandigarh, India. Namun yang terjadi<br />
adalah bangunan perumahan tersebut tidak<br />
mendapatkan tanggapan yang baik dari<br />
penggunaannya. Salah satunya adalah karena rumah<br />
susun tersebut tidak dapat mewadahi perilaku yang<br />
cukup memadai jumlahnya dalam jarak tempuh<br />
relatif dekat. Contoh tersebut mewujudkan bahwa<br />
arsitektur modern belum dapat mewadahi kebutuhan<br />
perilaku spsifik dari klien pengguna, selain<br />
kebutuhan dan persyaratan teknis dan biologis<br />
semata, yang berarti factor manusia dengan segala<br />
keragaman dan perilakunya belum dipertimbangkan<br />
secara masak.<br />
Dengan melihat pola perkembangan yang ada, kini<br />
saatnya kalangan perancang dan kalangan terkait lain<br />
yang berkepentingan mulai meletakkan kembali<br />
nilai-nilai eksistensi manusia dalam lingkungannya.<br />
Perkembangan yang pada saat ini menunjukkan<br />
bahwa kita sudah sampai pada titik dalam sejarah, di<br />
mana nilai-nilai kemanusian, kualitas hidup dan<br />
lingkungan menjadi pertimbangan utama<br />
dibandingkan nilai-nilai ekonomi, kualitas keuangan<br />
dan teknologi. Sebagai akibat dari proses<br />
<strong>industri</strong>alisasi yang cenderung menyeragamkan<br />
tingkat kesejahteraan, banyak ditemukan tanda-tanda<br />
kekosongan jiwa, kebingungan, tujuan yang tidak<br />
jelas bahkan keterasingan yang menunjukkan adanya<br />
degradasi nilai kemanusian (Brenda & Robert Vale<br />
1991 : 124). Dengan memanfaatkan teknologi dan<br />
kemajuan ilmu pengetahuan yang ada semaksimal<br />
mungkin, diharapkan kita dapat meningkatkan<br />
kualitas hidup manusia dalam lingkungannya,<br />
melalui produk arsitektur yang dapat tanggap<br />
perilaku dan tanggap social.<br />
Desain Aristektur dengan Pendekatan Perilaku<br />
Dalam bukunya Designing Place for people,<br />
CM. Deasy mengemukakan tentang prilaku manusia<br />
yang kompleks, dimana studi di dalamnya<br />
melibatkan bidang studi psikologi, sosiologi dan<br />
antropologi. Interskasi antar manusia sebagai salah<br />
satu factor yng mendasari terbetuknya perilaku<br />
manusia, merupakan hal yang tidak kalah<br />
kompleksnya, karena berakar pada factor-faktor<br />
pendorong sebagaimana diungkapkkan oleh<br />
Abraham Maslow, yaitu :<br />
1. kebutuhan akan makanan dan minuman<br />
2. kebutuhan akan rasa aman dan keselamatan<br />
3. kebutuhan akan kasih sayang<br />
4. kebutuhan akan aktualisasi diri<br />
Seluruh factor ini menempati urutan yang sama<br />
pentingnya dalam hidup manusia, dengan perubahan<br />
dan penyesuaian sesuai dengan pertambahan usia.<br />
Berlangsung dalam dinamika waktu yang<br />
berkesinambungan.<br />
Menurut Jon Lang, lingkungan yang ditempati oleh<br />
manusia terdir dari<br />
• lingkungan fisik :<br />
alami dan binaan<br />
• lingkungan terrestrial :<br />
alami, bumi-proses dan struktur<br />
• lingkungan animate : organisme hidup yang<br />
menempati<br />
• lingkungan social : hubungan antar manusia<br />
dan makhluk lain<br />
• lingkungan cultural :<br />
norma perilku dan artefak<br />
• lingkungan biogenic : membentuk<br />
setting/kerangkan fisik bgi kehidupan manusia<br />
• lingkungan sociogenic :<br />
Sistem sosil, norma prilaku dan dipengaruhi oleh<br />
siklus hidup, status social ekonomi dan kegiatan.<br />
Sedangkan perilaku oleh Jon Lang (1994)<br />
didefenisikan sebagai seluruh bentuk kegiatan yang<br />
dapat diamati secara langsung ataupun tidak<br />
langsung.<br />
143
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Pendekatan melalui teori prilaku dalam<br />
lingkungan atau yang oleh Lynden Herbert disebut<br />
sebagi behaviorism theory merupakan salah satu cara<br />
atau alat dalam upaya menghadirkan arsitektur yang<br />
lebih manusiawi. Teori ini mengemukakan prinsip<br />
dasar sebagai berikut :<br />
• Evolusi biologis merupakan hasil dari mutasi<br />
dan seleksi alam yang terjadi secara acak<br />
• Evolusi mental merupakan hasil dari uji coba<br />
yang dilakukan secara acak, dengan latar<br />
belakang imbalan akan sesuatu (rewards) yang<br />
disebut sebagai the carrot and the stick attitude<br />
of learning (imbalan dan hukuman)<br />
• Semua organisme, termasuk manusia, pada<br />
dasarnya merupakan aotumata paslf yang<br />
dikendalikan oleh lingkungannaya, berdasrkan<br />
kemampuan adaptasi masing-masing organisme<br />
terhadap lingkungannya tersebut.<br />
• Pendekatan ilmiah yang tepat untuk diterapkan<br />
adalah melalui pengukuran dan pemetaan secara<br />
kuantitaitf yang diukur dari pola yang berulang<br />
dari setiap gejala yang terjadi.<br />
• ‘Pengkondisiaan’ merupakan kata kunci dalam<br />
menjelaskan bagaimana perilaku manusia,<br />
mengapa dan bagaimana mereka berprilaku,<br />
terlepas dari fakta bahwa pengkodisian memiliki<br />
keterbatasan tersendiri.<br />
Teori perilaku pada awalnya berangkat dari<br />
apa yang disebut sebagai myth of quantifiability,<br />
yang menyatakan bahwa perilaku yang bisa<br />
dipetakan adalah perilaku yang dapat dipilah-pilah<br />
dan diuraikan dalam bentuk kaitan stimulus-respons<br />
(Lynden Herbert, 1972). Sebagimana juga<br />
diungkapkan oleh jon Lang, hubungan antara<br />
manusia dan lingkungannya dapat diuraikan sebagai<br />
berikut :<br />
• Perilaku berlangsung dalam konteks lingkungan<br />
tertentu<br />
• Kualitas lingkungan dapat mempunyai dampak<br />
luas terhadap perilaku dan kepribadian individu<br />
• Lingkungan berperan sebagai pembentuk<br />
kekuatan motivasi pada manusia (proses afektif<br />
dan attitudinal serta adaptasi)<br />
• Hubungan manusia dan lingkungan bersifat<br />
integral dan timbal balik.<br />
Penjelasan menyeluruh tentang organisme<br />
manusia dengan perilakunya tidak hanya<br />
terbatas pada diri apa dan kandungan apa yang<br />
ada pada organisme tersebut, akan tetapi juga<br />
bagaimana manusia berhubungan dengan<br />
lingkungannya ,bagaimana manusia melakukan<br />
modifikasi lingkungan, dan bagaimana<br />
lingkungan juga turut membentuk pengaruh<br />
dalam modifikasi dalam diri manusia itu sendiri<br />
(transaksional), Berhasil atau tidaknya upaya<br />
perancang dalam mengakomodasikan pola<br />
perilaku manusia sangat tergantung pada dua<br />
factor penting, yaitu :<br />
• Informasi yang sangat spesfik<br />
• Kepekakaan perancang dalan menerjemahkan<br />
informasi yang spesifik tersebut ke dalam<br />
bentukan fisik yang paling tepat.<br />
Walaupun tidak semua pola perilaku dapat dapat atau<br />
harus diakomodasi dalam desain, sang arsitektur<br />
harus benar-benar memahami pola-pola yang terjadi,<br />
sehingga desain yang terjadi tidak memberikan<br />
pengaruh buruk terhadap pola keseharian<br />
penggunanya.<br />
Perilaku umum yang dapat dijumpai dalam<br />
sebuah komunitas adalah perilaku sosialnya. Salah<br />
satu upaya untuk menyediakan banyak tempat<br />
pertemuan potensial yng dikembangkan dan ide dasar<br />
bahwa kedekatan (proximity) akan membentuk<br />
hubungan social, misalnya tempat sosialisasi di ruang<br />
terbuka kota (public space) bagi semua aktivitas<br />
publik baik individual maupun kolektif. Semakin<br />
banyak dibuat tempat-tempat pertemuan, maka akan<br />
semakin banyak pertemuan yang terjadi setiap saat.<br />
Kehidupan publik akan berkembang kerena adanya<br />
berbagai kekuatan social dan karakter yang spesifik<br />
adri kelompok masyarakat, yaitu kekuatan-kakuatan :<br />
• Alami<br />
Bersifat ad-hoc, informal dan atraktif. Pada<br />
umumnya ruang semacam ini diperoleh dari<br />
partisipasi masyarakat, selain dapat juga terjadi<br />
secara temporer di pojok-pojok jalan, tangga<br />
atau disepanjang koridor,.<br />
• Buatan<br />
Budaya ruang di Indonesia seperti umumnya<br />
masyarakat Asia lainnya, masih menganggap hal<br />
ini sebagai hal baru. Masyarakat Indonesia<br />
merupakan yang sangat mengagungkan privacy<br />
sehingga kebutuhan untuk berinteraksi secara<br />
social tidak harus terwadahi dalam suatu ruang<br />
terbuka yang dirancang dan terpusat, tetapi dapat<br />
terjadi di mana-mana berdampingan dengan<br />
aktivitas lain. Istilah privacy di sini merujuk<br />
pada adanya kebutuhan individu akan ruang<br />
gerak pribadi dimana tidak semua orang bebas<br />
memasuki ruang pribadi tersebut. Di Indonesia,<br />
dapat diambil contoh Jawa, yang memiliki ruang<br />
terbuka dengan konsep ritual keagamaan dan<br />
kenegaraan yang jauh dari fungsi komersil.<br />
Namun di Bandung, pada masa pemerintahan<br />
Hindia Belanda ruang terbuka mengalami<br />
pergeseran makna ritual sebagai bagian dari<br />
kegiatan ibadah, menjadi makna ekonomi yang<br />
melayani kebutuhan sehari-hari masyarakat.<br />
Dalam bukunya ‘’ Seni Bangunan dan Binakota<br />
di Indonesia.’’ Bagoes P. Wiryomartono<br />
mengemukakan fakta bahwa linieritas antara<br />
alun-lun dan pola permukiman merupakan<br />
bagian dari kegiatan social ekonomi di luar<br />
bangunan, sehingga jalan tidak hanya sebagai<br />
tempat orang berjualan.<br />
144
Arsitektur dan Lingkungan, Pasca Arsitektur Modern<br />
N Vinky Rahman<br />
Dalam sejarah arsitektur barat, sejak akhir<br />
Perang Dunia ke-2, fenomena public space<br />
berkembang seiring dengan bermunculannya<br />
berbagai strata masyarakat dengan kehidupan publik<br />
yang beraneka ragam, kondisi seperti ini analogis<br />
dengan kondisi Indonesia saat ini yang sedang<br />
melakukan pembangunan dengan heterogenitas<br />
masyarakatnya yang tinggi, di mana kondisi<br />
masyarakat individualisme bergeser menjadi<br />
masyarakat demokratis.<br />
Meninjau pada kekuatan legal yang<br />
mempengaruhinya, public space muncul karena<br />
adanya minat yang besar dari masyarakat kota dari<br />
golongan menengah, Golongan ini menjadi pencetus<br />
suatu gerakan yang disebut sebagai gerakan<br />
lingkungan (environment movement), yang salah<br />
satu dari usahanya adalah menuntut pemeritah agar<br />
dapat menghidupkan kembali ruang-ruang terbuka<br />
publik seperti taman, playgroup dan ruang –ruang<br />
terbuka lainnya di kota.<br />
Kecenderungan struktur ruang atau taman –<br />
taman kota yang mulanya berukuran besar dan hanya<br />
terdapat di pusat-pusat kota dan pusat pemerintahan,<br />
kini tersebar di dalam dan sekitar hunian penduduk.<br />
Hal ini diakibatkan oleh karena munculnya berbagai<br />
tipe perumahan dalam lingkungan berkepadatan<br />
tinggi. Salah satu ruang yang menjadi pertimbangan<br />
utama mereka adalah tempat bermain bagi anakanak.<br />
Ruang terbuka untuk bermain anak pada<br />
umumnya terdapat di perkampungan imigran, baik<br />
itu dibuat khusus maupun sebagai perluasan dari<br />
taman-taman yang sudah ada. Orang tua anak-anak<br />
tersebut menginginkan mereka bermain dengan aman<br />
di sekitar rumah mereka, daripada harus secara<br />
khusus datang ke taman pusat bermain oleh adanya<br />
kemungkinan anak-anak mereka akan diganggu oleh<br />
kelompok-kelompok masyarakat yang tidak<br />
menyukai keberadaan mereka. Karakter permainan<br />
pada saat itu lebih diarahkan pada pendidikan.<br />
Kelompok anak-anak tersebut didampingi oleh<br />
pemimpin kelompok atau guru mereka. Sekolah,<br />
hunian dan playgroup merupakan sebuah system<br />
ruang yang saling berkait satu sama lainnya.<br />
Playgroup, apangan sekolah dan taman-taman<br />
setempat, juga jalan lingkungan merupakan sebuah<br />
rona di mana anak-anak dan orang dewasa<br />
berinteraksi dengan lingkungannya (place). Semakin<br />
ia terikat dengan place-nya, perilku seseorang<br />
terhadap lingkungan akan tetap sama walaupun profil<br />
ruangnya berubah. Hal ini menunjukkan adanya<br />
pengaruh besar dari lingkungan terhadap kepribadian<br />
seseorang. Denagan demikian rekan citra, nostalgia<br />
dan kenangan akan lebih berarti dari pada profil<br />
ruang dan fasilitas yang ada.Ruang-ruang yang<br />
terbentuk dari memori dan pencitraan kolektif seperti<br />
ini disebut dengan childhood space. Pola perilaku<br />
pada ruang terbuka kota yang mengambil contoh<br />
tempat bermain anak, merupakan salah satu contoh<br />
bentukan fisik informasi spesifik penggunannya yaitu<br />
anak-anak. Ruang terbuka kota yang sesuai dengan<br />
karakter anak-anak belum tentu akomodatif bagi<br />
kebutuhan bagi kebutuhan dan perilaku orang<br />
dewasa. Dengan demikian aspek social serta nilai<br />
kemanusian dalam pembentukan lingkungan<br />
fisiknya.<br />
Perilaku pengguna dapat juga diterjemahkan<br />
melalui konsep flexibility sebagai cara untuk<br />
mempersoalkan arsitektur dan mengakomodasikan<br />
perbedaan gaya hidup. Konsep ini memberikan<br />
kemungkinan berbagai perubahan dan penyesuaian<br />
yang ingin dilakukan pengguna, atau bhkan membuat<br />
kontribusi-kontribusi individual misalnya pada<br />
rumah tinggal mereka, seperti yang pernah<br />
ditawarkan oleh Adolf Loos dengan membantu<br />
pengguna dalam mengakomodasi beragam kebutuhan<br />
social yang berarti juga tanggap terhadap partisipasi<br />
pengguna (user participation) yang membutuhkan<br />
keleluasaan lebih besar.<br />
Pendekatan Ekologi Pada Arsitektur Vernakular<br />
Pertimbangan pengguna, selain dalam<br />
kaitannya dengan pola perilaku individu maupun<br />
social juga berkaitan dengan isu keseimbangan<br />
lingkungan seperti polusi, pemanasan global dan<br />
perusak lapisan ozon. Ekologi dan keseimbangan<br />
lingkungan merupakan dasar siklus kehidupan<br />
manusia di atas bumi , baik secara biologis maupun<br />
budaya. Desain lingkungan fisik berkaitan erat<br />
dengan perkembangan produk, peralatan, mesin,<br />
artefak, material dan lainnya yang secara langsung<br />
memberikan dampak terhadap ekologi. Dalam<br />
pertemuan para ahli lingkungan dalam Agenda 21 di<br />
Rio de Jeneiro pada tahun 1992, dikemukakan<br />
berbagai fakta yang mengkhwatirkan tentang<br />
pencemaran lingkungan yang berdampak buruk<br />
terhadap bumi yang kita tinggali. Berbagai<br />
kesepakatan telah dicapai dalam pertemuan tersebut,<br />
antara lain dengan mengupayakan semua bentuk<br />
desain yang lebih tanggap terhadap lingkungan<br />
secara positif dan integrative. Desain yang<br />
dikembangkan harus menjadi jembatan antara<br />
budaya, teknologi, dan kebutuhan manusia yang<br />
berarti menempatkan manusia sebagai factor penting<br />
dalam desain. Sekali lagi, nilai kemanusian prilaku<br />
manusia dan nilai-nilai social menjadi faktor penentu<br />
keberhasilan desain yang lebih manusiawi.<br />
Melalui pendekatan ini, desain dibuat dalam<br />
kerangka konsep arsitektur hijau yang di dalamnya<br />
mencakup pemanfaatan seluruh potensi alam dengan<br />
bijak dalam karya arsitektur, sebagaimana dikutip<br />
dari Brenda dan Robert Vale dalam bukunya The<br />
Green Architecture : Design for a Sustainable Future<br />
yaitu bahwa ‘’a green architecture regoinazes the<br />
importance of all people involved with itl’’. Karyakarya<br />
seperti ini banyak dijumpai pada arsitektur<br />
tradisional dan arsitektur vernakular yang banyak<br />
menggunakan kayu sebagai bahan baku utama yang<br />
sudah terbuku selama ratusan bahkan ribuan tahun<br />
bahwa contoh-contoh diri karya arsitektur tersebut<br />
ramah lingkungan, bahkan cenderung fisik tempat<br />
145
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
manusia tersebut tinggal.<br />
Arsitektur harus dapat dinikmati dan dialami<br />
melalui semua indera dan tidak hanya dapat<br />
dinikmati secara visual saja, informasi visual dapat<br />
memberikan gambaran yang utuh, akan tetapi<br />
keindahan yang sebenarnya harus digali dan<br />
dipahami lebih dalam lagi, dan keindahan tersebut<br />
akan dijumpai pada arsitektur vernakular lahir dari<br />
proses pemahaman, proses perwujudan nilai dan<br />
tradisi, serta proses ritualisasi yang menjadikan<br />
arsitektur ini memiliki nilai kekayaan yang lebih<br />
bijak daripada arsitektur yang ada akhir-akhir ini.<br />
Arsitektur vernakular memiliki beberapa ciri yang<br />
menandai perjalanan proses tersebut, yaitu:<br />
• Arsitektur vernakular dibangun bersama<br />
berdasarkan pengetahuan local (local<br />
knowledge) yang praktis dan teknis sifatnya<br />
• Pada umumnya dibangun oleh setiap pengguna<br />
dan kelompoknya, yang berarti arsitektur<br />
vernakular tanggap terhadap kebutuhan<br />
pengguna dengan segala perilaku individu dan<br />
sosialnya<br />
• Menerapkan seni pertukangan local dan kualitas<br />
yang tinggi, uang menunjukkan adanya<br />
penghargaan terhadap nilai-nilai pribadi, tidak<br />
anonymus dan tidak terdapat unsur keseragaman<br />
dalam hasilnya, kecuali dalam batasan nilai adat<br />
dan tradisi tertentu yng tidak boleh dilanggar.<br />
Ketidakseragaman ini muncul Karena dalam<br />
setiap hasil terkandung unsur identitas dan jati<br />
diri penciptanya yang ditransformasikan melalui<br />
seni ketukangan yang diterapkan pada setiap<br />
karya<br />
• Mudah dipelajari dan mudah dipahami, yang<br />
berarti memberikan keleluasaan bagi pengguna<br />
untuk berapresiasi (menikmati,<br />
menggunakan,menjelajahi bahkan mengubah<br />
ulang) secara penuh dalam karyanya.<br />
• Menggunakan material local yang memberikan<br />
identitas lokal yang kuat<br />
• Secara ekologis jenis aritektur ini cukup teruji<br />
oleh zaman (adapun terhadap iklim flora, fauna<br />
dan gaya hidup local<br />
• Skala bangunan manusiawi yang menunjukkn<br />
adanya keinginan untuk memberikan skala ruang<br />
terbuka yang nyaman bagi sosialisasi, bercermin<br />
dan rekreasi bagi warga setempat (socially fit)<br />
Berdasarkan penjelasan di atas, jenis arsitektur<br />
ini mencerminkan pemenuhan kebutuhan social yang<br />
lebih optimal yang dapat mengakomodasi secara<br />
langsung kebutuhan dan keinginn manusia<br />
penggunaannya daripada aritektur yang dibentuk<br />
semata-mata oleh arogansi arsitek modernis,<br />
kepekaan akan skala bangunan, misalnya<br />
memberikan pengaruh yang besar apada masyarakat<br />
untuk memehami konsep yng ada dalam setiap<br />
bentuk fisik, bahkan memberikan kenyamanan<br />
individual bagi setiap manusia yang ingin<br />
menikmatinya secara utuh. Fenomen yang unik ingin<br />
dari arsitektur vernacular ini juga telah diterapkan<br />
dalam desain sejumlah arsitek ternama, seperti Frank<br />
Llyod Wright dan Alvr Aalto.<br />
Berangkat dari pemahaman akan kelebihan yang<br />
ada pada arsitektur vernacular tersebut, yang ada<br />
pada arsitektur vernacular tersebut, eksistensi<br />
manusia pengguna harus menjadi dasar bagi desain<br />
yang akan diciptakan. Setiap budaya memiliki<br />
ideology tersendiri, setiap kelompok social<br />
mempunyai ciri dan karakter tersendiri, setiap<br />
manusia memiliki keinginan dan kebutuhan yang<br />
berlainan pula satu dengan lainnya. Perbedaan<br />
organisasi, kelembagaan, corak social dan perilaku<br />
individu memberikan makna ruang yang berada pula<br />
dan perbedaan akan sulit diakomodasi oleh kaidahkaidah<br />
arsitektur umum yang diuniversalisasikan.<br />
Selain itu perlu juga dipertimbangkan factor-faktor<br />
perbedaan iklim, corak geografis dan karakter alam<br />
dari setiap daerah.<br />
Penutup<br />
Pada akhirnya, lingkungan alami maupun<br />
binaan harus menjadi pertimbangan rekayasa dan<br />
rancang bangun, agar semakin bijak berkarya dalam<br />
konteks kemajuan teknologi yang semakin canggih.<br />
Perkembangan <strong>sistem</strong> informasi dengan keleluasaan<br />
jaringan yang semakin fleksibel, apabila<br />
dimanfaatkan secara bijaksana dapat menjadi<br />
pendukung. Namun apa artinya teknologi jika satu –<br />
satunya pengguna teknologi, yaitu manusia, tidak<br />
dapat menikmati lingkungnnya secara nyaman,<br />
bahkan cenderung mengalami penurunan semangat,<br />
kualitas bahkan harkat. Hal ini akan semakin<br />
memburuk bila keadaan lingkungan alami secara<br />
keseluruhan mengalami perusakan total akibat<br />
kecerobohan praktisi rekayasa dan rancang bangun<br />
dalam membaca fenomena yang sedang berlangsung.<br />
Jika ekspresi fisik pola kehidupan social dipahami<br />
dan dimengerti secara utuh oleh seorang arsitek,<br />
maka dasar pendekatan baru dalam desain melalui<br />
pendekatan perilaku, social dan pendekatan ekologi<br />
dapat menjamin masa depan bagi lingkungan alami<br />
dan binaan yang ditempati oleh manusia.<br />
Daftar Pustaka<br />
1. Altman. Irwin & Stokols, Daniel, (1987),<br />
Handbook of Environment Psychology Vol.<br />
1,New York ; John Willey & Sons.<br />
2. Brolin, Brent C, The Failure of Modem<br />
Architecture, (1976), New York : Van Nostrand<br />
Reinhold Company.<br />
3. Carr, Stephen; Francis, Mark; Rlvlin, Leanne G,<br />
& Stone, Andrew M, (1992), Public Space,<br />
Cambridge : Cambridge University Press.<br />
4. Herbert, Lynden, (1972), A New Language for<br />
Environmental Design, New York : New York<br />
University Press<br />
5. Lang, Jon, (1987), Creating Architectur Theory:<br />
The Role of the Behavior Sciences in<br />
Environmental Design, New York: Van<br />
Nostrand Reinhold Company.<br />
146
Arsitektur dan Lingkungan, Pasca Arsitektur Modern<br />
N Vinky Rahman<br />
6. McDonough, William, (1996), Design, Ecology<br />
and The Making of Things, in Neisbitt, Kate<br />
(ed), Theorizing a New Agenda for<br />
Architecture, New York : Princeto Architecture<br />
Press, pp. 398-407<br />
7. Papanek, Victor, (1995), The Green Imperative :<br />
Ecology and Ethnic In Design and Architecture,<br />
Singapore ; Thames and Hudson.<br />
8. Trancik, Roger, (1986), Finding Lost Space :<br />
Theories of Urban Design, New York : Van<br />
Nostrand Reinhold Company<br />
9. Vale, Brenda & Robert, (1991), The Green<br />
Architecture : Design for a Sustainable Future,<br />
Singapore : Thames and Hudson.<br />
10. Broadbent, Geoffney, et als (eds), (1980).<br />
Meaning and Behavior in the Built<br />
Environment, New York ; John Willey and Sons<br />
147
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
MENCIPTAKAN KENYAMANAN THERMAL<br />
DALAM BANGUNAN<br />
Basaria Talarosha<br />
Staf Pengajar Program Studi Arsitektur USU<br />
Abstract: Indonesia is located in equator line with it’s avarage temperature is 35°C. Its humidity is high, it can<br />
reach 85% (hot humid tropical climate). There are two things that cause extreme climate. Firstly the position<br />
between 2 continent and two ocean. Secondly big different between the area of continent and ocean. This<br />
condition makes disadvantage for human being in doing their activities becaused of up and down of the<br />
temperature that is not comfort for the human body. The best range of temperature for Indonesian people in<br />
doing their activities is 22,8°C - 25,8°C and the humidity 70%. Easiest step to create thermal comfort in<br />
building is using air condition system. How ever it affects to the electrical energy used. This paper proposes to<br />
solve the thermal comfort in building by architectural solution, designing building by considering orientation to<br />
wind direction and sun, using of architecture element and building material, and also elements of landscape.<br />
Keywords: building thermal comfort, energy efficient architecture<br />
Abstrak: Secara geografis Indonesia berada dalam garis khatulistiwa atau tropis, namun secara thermis (suhu)<br />
tidak semua wilayah Indonesia merupakan daerah tropis. Daerah tropis menurut pengukuran suhu adalah<br />
daerah tropis dengan suhu rata-rata 20 o C, sedangkan rata-rata suhu di wilayah Indonesia umumnya dapat<br />
mencapai 35 o C dengan tingkat kelembaban yang tinggi, dapat mencapai 85% (iklim tropis panas lembab).<br />
Keadaan ini terjadi antara lain akibat posisi Indonesia yang berada pada pertemuan dua iklim ekstrim (akibat<br />
posisi antara 2 benua dan 2 samudra), perbandingan luas daratan dan lautannya, dan lain-lain. Kondisi ini<br />
kurang menguntungkan bagi manusia dalam melakukan aktifitasnya sebab produktifitas kerja manusia<br />
cenderung menurun atau rendah pada kondisi udara yang tidak nyaman seperti halnya terlalu dingin atau<br />
terlalu panas. Suhu nyaman thermal untuk orang Indonesia berada pada rentang suhu 22,8°C - 25,8°C dengan<br />
kelembaban 70%. Langkah yang paling mudah untuk mengakomodasi kenyamanan tersebut adalah dengan<br />
melakukan pengkondisian secara mekanis (penggunaan AC) di dalam bangunan yang berdampak pada<br />
bertambahnya penggunaan energi (listrik). Cara yang paling murah memperoleh kenyamanan thermal adalah<br />
secara alamiah melalui pendekatan arsitektur, yaitu merancang bangunan dengan mempertimbangkan orientasi<br />
terhadap matahari dan arah angin, pemanfaatan elemen arsitektur dan material bangunan, serta pemanfaatan<br />
elemen-elemen lansekap.<br />
Kata kunci: kenyamanan thermal bangunan, arsitektur hemat energi<br />
PENGANTAR<br />
Idealnya, sebuah bangunan mempunyai nilai estetis,<br />
berfungsi sebagaimana tujuan bangunan tersebut<br />
dirancang, memberikan rasa ‘aman’ (dari gangguan<br />
alam dan manusia/makhluk lain), serta memberikan<br />
‘kenyamanan’. Berada di dalam bangunan kita<br />
berharap tidak merasa kepanasan, tidak merasa<br />
kegelapan akibat kurangnya cahaya, dan tidak<br />
merasakan bising yang berlebihan. Setiap bangunan<br />
diharapkan dapat memberikan kenyamanan ‘termal’,<br />
‘visual’ dan ‘audio’.<br />
Kenyamanan termal sangat dibutuhkan tubuh agar<br />
manusia dapat beraktifitas dengan baik (di rumah,<br />
sekolah ataupun di kantor/tempat bekerja). Szokolay<br />
dalam ‘Manual of Tropical Housing and Building’<br />
menyebutkan kenyamanan tergantung pada variabel<br />
iklim (matahari/radiasinya, suhu udara, kelembaban<br />
udara, dan kecepatan angin) dan beberapa faktor<br />
individual/subyektif seperti pakaian, aklimatisasi,<br />
usia dan jenis kelamin, tingkat kegemukan, tingkat<br />
kesehatan, jenis makanan dan minuman yang<br />
dikonsumsi, serta warna kulit.<br />
Indonesia mempunyai iklim tropis dengan<br />
karakteristik kelembaban udara yang tinggi (dapat<br />
mencapai angka 80%), suhu udara relatif tinggi<br />
(dapat mencapai hingga 35˙C), serta radiasi matahari<br />
yang menyengat serta mengganggu. Yang menjadi<br />
persoalan adalah bagaimana menciptakan<br />
kenyamanan termal dalam bangunan dalam kondisi<br />
iklim tropis panas lembab seperti di atas. Tulisan ini<br />
mengulas hal-hal yang berkaitan dengan kenyamanan<br />
termal dan konsep-konsep untuk dapat menciptakan<br />
kenyamanan termal di dalam bangunan pada daerah<br />
iklim tropis panas lembab.<br />
148
Menciptakan Kenyamanan Thermal dalam Bangunan<br />
Basaria Talarosha<br />
Berbagai Penelitian tentang Batas-batas<br />
Kenyamanan Termal<br />
Telah disebutkan sebelumnya, Szokolay<br />
dalam ‘Manual of Tropical Housing and Building’<br />
menyebutkan kenyamanan tergantung pada variabel<br />
iklim (matahari/radiasinya, suhu udara, kelembaban<br />
udara, dan kecepatan angin) dan beberapa faktor<br />
individual/subyektif seperti pakaian, aklimatisasi,<br />
usia dan jenis kelamin, tingkat kegemukan, tingkat<br />
kesehatan, jenis makanan dan minuman yang<br />
dikonsumsi, serta warna kulit.<br />
Teori Fanger, Standar Amerika<br />
(ANSI/ASHRAE 55-1992) dan Standar Internasional<br />
untuk kenyamanan termis (ISO 7730:1994) juga<br />
menyatakan hal yang sama bahwa kenyamanan<br />
termis yang dapat dirasakan manusia merupakan<br />
fungsi dari faktor iklim serta dua faktor individu<br />
yaitu jenis aktifitas yang berkaitan dengan tingkat<br />
metabolisme tubuh serta jenis pakaian yang<br />
digunakan. Menurut teori ini, kenyamanan suhu tidak<br />
secara nyata dipengaruhi oleh perbedaan jenis<br />
kelamin, tingkat kegemukan, faktor usia, suku<br />
bangsa, tempat tinggal geografis, adaptasi, faktor<br />
kepadatan, faktor warna dan sebagainya.<br />
Menurut Humphreys dan Nicol<br />
kenyamanan suhu juga dipengaruhi oleh adaptasi dari<br />
masing-masing individu terhadap suhu luar di<br />
sekitarnya. Manusia yang biasa hidup pada iklim<br />
panas atau tropis akan memiliki suhu nyaman yang<br />
lebih tinggi dibanding manusia yang biasa hidup<br />
pada suhu udara rendah seperti halnya bangsa Eropa.<br />
Szokolay<br />
Iklim:<br />
• matahari (besarnya radiasi),<br />
• suhu udara,<br />
• angin (kecepatan udara),<br />
• kelembaban udara luar<br />
Faktor Individu:<br />
• Pakaian<br />
• Aklimatisasi<br />
• Usia dan jenis kelamin<br />
• Tingkat kegemukan<br />
• Tingkat kesehatan<br />
• Jenis makanan dan minuman yang<br />
dikonsumsi<br />
• Warna kulit (suku bangsa)<br />
Tabel 1<br />
Pembandingan Faktor Penentu Suhu Nyaman<br />
Fanger, Standar Amerika<br />
(ANSI/ASHRAE 55-1992), Standar<br />
Internasional (ISO 7730:1994)<br />
Iklim:<br />
• matahari (besarnya radiasi),<br />
• suhu udara,<br />
• angin (kecepatan udara),<br />
• kelembaban udara luar<br />
Faktor Individu:<br />
• Aktifitas<br />
• Pakaian<br />
Humphreys dan Nicol<br />
Iklim:<br />
• matahari (besarnya radiasi),<br />
• suhu udara,<br />
• angin (kecepatan udara),<br />
• kelembaban udara luar<br />
Faktor Individu:<br />
• Aktifitas<br />
• Pakaian<br />
• adaptasi individu<br />
Lokasi geografis<br />
Houghton dan Yaglou (dalam ‘Determining Lines of Equal Comfort’, Transactions of America Society of<br />
Heating and Ventilating Engineers Vol. 29, 1923) menyatakan kenyamanan sebagai fungsi dari radiasi panas,<br />
temperatur, kelembaban udara dan gerakan udara yang disebut sebagai Temperatur Efektif (TE).<br />
Sejalan dengan teori Humphreys dan Nicol, Lipsmeier (1994) menunjukkan beberapa penelitian yang<br />
membuktikan batas kenyamanan (dalam Temperatur Efektif/TE) berbeda-beda tergantung kepada lokasi<br />
geografis dan subyek manusia (suku bangsa) yang diteliti seperti pada tabel di bawah ini:<br />
Pengarang Tempat Kelompok Manusia Batas Kenyamanan<br />
ASHRAE<br />
20,5°C - 24,5°C TE<br />
Rao<br />
20°C - 24,5°C TE<br />
Webb<br />
25°C - 27°C TE<br />
Mom<br />
Ellis<br />
USA Selatan (30° LU)<br />
Calcutta (22°LU)<br />
Singapura<br />
Khatulistiwa<br />
Jakarta (6°LS)<br />
Singapura<br />
Khatulistiwa<br />
Sumber: Bangunan Tropis, Georg. Lippsmeier<br />
Peneliti<br />
India<br />
Malaysia<br />
Cina<br />
Indonesia<br />
Eropa<br />
20°C - 26°C TE<br />
22°C - 26°C TE<br />
149
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Menurut penelitian Lippsmeier, batas-batas kenyamanan manusia untuk daerah khatulistiwa adalah 19°C TE<br />
(batas bawah) – 26°C TE (batas atas). Pada temperatur 26°C TE umumnya manusia sudah mulai berkeringat.<br />
Daya tahan dan kemampuan kerja manusia mulai menurun pada temperatur 26°C TE – 30°C TE. Kondisi<br />
lingkungan yang sukar mulai dirasakan pada suhu 33,5°C TE– 35,5 °C TE, dan pada suhu 35°C TE – 36°C TE<br />
kondisi lingkungan tidak dapat ditolerir lagi. Produktifitas manusia cenderung menurun atau rendah pada kondisi<br />
udara yang tidak nyaman seperti halnya terlalu dingin atau terlalu panas. Produktifitas kerja manusia meningkat<br />
pada kondisi suhu (termis) yang nyaman (Idealistina , 1991).<br />
Gambar: 1<br />
Diagram Kenyamanan sebagai Fungsi dari Temperatur, Kelembaban dan Kecepatan Angin<br />
Sumber: Bangunan Tropis, Georg. Lippsmeier<br />
Berbagai penelitian kenyamanan suhu yang dilakukan di daerah iklim tropis basah, seperti halnya Mom<br />
dan Wiesebron di Bandung, Ellis, de Dear di Singapore, Busch di Bangkok, Ballabtyne di Port Moresby,<br />
kemudian Karyono di Jakarta, memperlihatkan rentang suhu antara 24˙C hingga 30˙C yang dianggap nyaman<br />
bagi manusia yang berdiam pada daerah iklim tersebut.<br />
Sementara itu, Standar Tata Cara Perencanaan Teknis Konservasi Energi pada Bangunan Gedung yang<br />
diterbitkan oleh Yayasan LPMB-PU membagi suhu nyaman untuk orang Indonesia atas tiga bagian sebagai<br />
berikut:<br />
Tabel 2<br />
Suhu Nyaman menurut Standar Tata Cara Perencanaan<br />
Teknis Konservasi Energi pada Bangunan Gedung<br />
• Sejuk Nyaman<br />
Ambang atas<br />
• Nyaman Optimal<br />
Ambang atas<br />
• Hangat Nyaman<br />
Ambang atas<br />
Temperetur Efektif (TE)<br />
20,5°C - 22,8°C<br />
24°C<br />
22,8°C - 25,8°C<br />
28°C<br />
25,8C – 27,1°C<br />
31°C<br />
Kelembaban (RH)<br />
50 %<br />
80%<br />
70%<br />
60%<br />
150
Menciptakan Kenyamanan Thermal dalam Bangunan<br />
Basaria Talarosha<br />
Konsep Kenyamanan<br />
Mengaitkan penelitian Lippsmeier<br />
(menyatakan pada temperatur 26°C TE umumnya<br />
manusia sudah mulai berkeringat serta daya tahan<br />
dan kemampuan kerja manusia mulai menurun)<br />
dengan pembagian suhu nyaman orang Indonesia<br />
menurut Yayasan LPMB PU, maka suhu yang kita<br />
butuhkan agar dapat beraktifitas dengan baik adalah<br />
suhu nyaman optimal (22,8°C - 25,8°C dengan<br />
kelembaban 70%). Angka ini berada di bawah<br />
kondisi suhu udara di Indonesia yang dapat mencapai<br />
angka 35°C dengan kelembaban 80%.<br />
Bagaimana usaha mengendalikan faktorfaktor<br />
iklim di atas untuk memperoleh kenyamanan<br />
termal di dalam bangunan. Cara yang paling mudah<br />
adalah dengan pendekatan mekanis yaitu<br />
menggunakan AC tetapi membutuhkan biaya<br />
operasional yang tidak sedikit. Pendekatan kedua<br />
adalah mengkondisikan lingkungan di dalam<br />
bangunan secara alami dengan pendekatan<br />
arsitektural.<br />
Pengkondisian lingkungan di dalam bangunan<br />
secara arsitektural dapat dilakukan dengan<br />
mempertimbangkan perletakan bangunan (orientasi<br />
bangunan terhadap matahari dan angin), pemanfaatan<br />
elemen-elemen arsitektur dan lansekap serta<br />
pemakaian material/bahan bangunan yang sesuai<br />
dengan karakter iklim tropis panas lembab. Melalui<br />
ke-empat hal di atas, temperatur di dalam ruangan<br />
dapat diturunkan beberapa derajat tanpa bantuan<br />
peralatan mekanis.<br />
1. Orientasi Bangunan<br />
a. Orientasi Terhadap Matahari<br />
Orientasi bangunan terhadap matahari akan<br />
menentukan besarnya radiasi matahari yang diterima<br />
bangunan. Semakin luas bidang yang menerima<br />
radiasi matahari secara langsung, semakin besar juga<br />
panas yang diterima bangunan. Dengan demikian,<br />
bagian bidang bangunan yang terluas (mis: bangunan<br />
yang bentuknya memanjang) sebaiknya mempunyai<br />
orientasi ke arah <strong>Utara</strong>-Selatan sehingga sisi<br />
bangunan yang pendek, (menghadap Timur – Barat)<br />
yang menerima radiasi matahari langsung.<br />
Gambar: 2<br />
Orientasi Bangunan (bentuk memanjang)<br />
menghadap <strong>Utara</strong>-Selatan<br />
b. Orientasi terhadap Angin (Ventilasi<br />
silang)<br />
Kecepatan angin di daerah iklim tropis<br />
panas lembab umumnya rendah. Angin<br />
dibutuhkan untuk keperluan ventilasi (untuk<br />
kesehatan dan kenyamanan penghuni di dalam<br />
bangunan). Ventilasi adalah proses dimana udara<br />
‘bersih’ (udara luar), masuk (dengan sengaja) ke<br />
dalam ruang dan sekaligus mendorong udara<br />
kotor di dalam ruang ke luar. Ventilasi<br />
dibutuhkan untuk keperluan oksigen bagi<br />
metabolisme tubuh, menghalau polusi udara<br />
sebagai hasil proses metabolisme tubuh (CO 2<br />
dan bau) dan kegiatan-kegiatan di dalam<br />
bangunan. Untuk kenyamanan, ventilasi berguna<br />
dalam proses pendinginan udara dan pencegahan<br />
peningkatan kelembaban udara (khususnya di<br />
daerah tropika basah), terutama untuk bangunan<br />
rumah tinggal. Kebutuhan terhadap ventilasi<br />
tergantung pada jumlah manusia serta fungsi<br />
bangunan.<br />
Posisi bangunan yang melintang terhadap<br />
angin primer sangat dibutuhkan untuk<br />
pendinginan suhu udara. Jenis, ukuran, dan<br />
posisi lobang jendela pada sisi atas dan bawah<br />
bangunan dapat meningkatkan efek ventilasi<br />
silang (pergerakan udara) di dalam ruang<br />
sehingga penggantian udara panas di dalam<br />
ruang dan peningkatan kelembaban udara dapat<br />
dihindari.<br />
Jarang sekali terjadi orientasi bangunan<br />
yang baik terhadap matahari sekaligus arah<br />
angin primer. Penelitian menunjukkan, jika<br />
harus memilih (untuk daerah tropika basah<br />
seperti Indonesia), posisi bangunan yang<br />
melintang terhadap arah angin primer lebih<br />
dibutuhkan dari pada perlindungan terhadap<br />
radiasi matahari sebab panas radiasi dapat<br />
dihalau oleh angin yang berhembus. Kecepatan<br />
angin yang nikmat dalam ruangan adalah 0,1 –<br />
0,15 m/detik. Besarnya laju aliran udara<br />
tergantung pada:<br />
Kecepatan angin bebas<br />
Arah angin terhadap lubang ventilasi<br />
Luas lubang ventilasi<br />
Jarak antara lubang udara masuk dan keluar<br />
Penghalang di dalam ruangan yang<br />
menghalangi udara<br />
Pola aliran udara yang melewati ruang<br />
tergantung pada lokasi inlet (lobang masuk)<br />
udara dan shading devices yang digunakan di<br />
bagian luar. Secara umum, posisi outlet tidak<br />
akan mempengaruhi pola aliran udara. Untuk<br />
menambah kecepatan udara terutama pada saat<br />
panas, bagian inlet udara ditempatkan di bagian<br />
atas , luas outlet sama atau lebih besar dari inlet<br />
dan tidak ada perabot yang menghalangi gerakan<br />
udara di dalam ruang. Gerakan udara harus<br />
diarahkan ke ruang ruang yang membutuhkan<br />
atau ruang keluarga. Penggunaan screen<br />
151
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
serangga akan mengurangi aliran udara ke dalam<br />
bangunan. Bukaan jendela (Jalousie atau<br />
louvered akan membantu udara langsung ke<br />
tempat-tempat yang membutuhkan.<br />
Memberi ventilasi pada ruang antara atap<br />
dan langit-langit (khususnya bangunan rendah)<br />
sangat perlu agar tidak terjadi akumulasi panas<br />
pada ruang tersebut. Panas yang terkumpul pada<br />
ruang ini akan ditransmisikan ke ruang di bawah<br />
langit-langit tersebut. Ventilasi atap sangat<br />
berarti untuk mencapai suhu ruang yang rendah.<br />
2. Elemen Arsitektur<br />
a. Pelindung Matahari<br />
Apabila posisi bangunan pada arah Timur dan<br />
Barat tidak dapat dihindari, maka pandangan<br />
bebas melalui jendela pada sisi ini harus<br />
dihindari karena radiasi panas yang langsung<br />
masuk ke dalam bangunan (melalui<br />
bukaan/kaca) akan memanaskan ruang dan<br />
menaikkan suhu/temperatur udara dalam ruang.<br />
Di samping itu efek silau yang muncul pada saat<br />
sudut matahari rendah juga sangat mengganggu.<br />
Gambar di bawah adalah elemen arsitektur yang<br />
sering digunakan sebagai pelindung terhadap<br />
radiasi matahari (solar shading devices).<br />
(1)<br />
Cantilever (Overhang)<br />
(2)<br />
Louver Overhang<br />
(Horizontal)<br />
(1) dan (2) Efektif digunakan pada bidang bangunan yang<br />
menghadap <strong>Utara</strong> –Selatan<br />
(3)<br />
Panels (atau Awning)<br />
(4)<br />
Horizontal Louver<br />
Screen<br />
(3) dan (4) Efektif digunakan pada bidang bangunan<br />
yang menghadap Timur-Barat (juga mengurangi efek<br />
silau pada saat sudut matahari rendah)<br />
(5)<br />
Egg Crate (kombinasai elemen<br />
horizontal dan vertikal)<br />
(6)<br />
Vertical Louver (bisa diputar<br />
arahnya)<br />
(5) dan (6) Paling Efektif digunakan pada bidang bangunan yang menghadap Timur-Barat.<br />
Berfungsi juga sebagai ‘Windbreak’, penting untuk daerah yang mempunyai ‘banyak’ angin.<br />
Gambar 3<br />
Elemen Arsitektur sebagai Pelindung Radiasi Matahari<br />
(Sumber: Egan, Concept in Thermal Comfort, 1975)<br />
Efektifitas pelindung matahari dinilai dengan angka<br />
shading coefficient (S.C) yang menunjukkan besar<br />
energi matahari yang ditransmisikan ke dalam<br />
bangunan. Secara teori angka yang ditunjukkan<br />
berada pada angka 1,0 (seluruh energi matahari<br />
ditransmisikan, misalnya: penggunaan kaca jendela<br />
tanpa pelindung) sampai 0 (tidak ada energi<br />
matahari yang ditranmisikan). Di samping jenis<br />
pelindung yang digunakan (lihat Gambar 3 dan<br />
Tabel 3), material serta warna yang digunakan<br />
(Tabel 4), juga berperan dalam menentukan angka<br />
shading coefficient (S.C). Egan menunjukkan angka<br />
shading coefficient berdasarkan jenis pelindung<br />
sebagai berikut:<br />
152
Menciptakan Kenyamanan Thermal dalam Bangunan<br />
Basaria Talarosha<br />
Tabel 3<br />
Shading Coeficient untuk Elemen Arsitektur<br />
No. Elemen Pelindung Shading Coefficient<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
7<br />
Elemen arsitektur (eksternal):<br />
Egg-Crate<br />
Panel atau Awning (warna muda)<br />
Horizontal Louver Overhang<br />
Horizontal Louver Screen<br />
Cantilever<br />
Vertical Louver (permanen)<br />
Vertical Louver (moevable)<br />
Sumber: Concept in the Thermal Comfort, M. David Egan.<br />
0,10<br />
0,15<br />
0,20<br />
0,60 – 0,10<br />
0,25<br />
0,30<br />
0,15-0,10<br />
Angka-angka tersebut di atas menunjukkan Egg-Crate dan Vertical Louver (moevable) paling efektif digunakan<br />
sebagai pelindung matahari, hanya 10% energi matahari yang ditransmisikan ke dalam bangunan.<br />
Pelindung radiasi matahari pada beberapa rumah tinggal di kota Medan, umumnya ‘tempelan’, tidak dirancang sebagai<br />
bagian/elemen arsitektur<br />
Pelindung radiasi matahari dirancang sebagai bagian/elemen arsitektur<br />
Gambar 4<br />
ContohPemanfaatan Pelindung Radiasi Matahari pada Bangunan<br />
(Sumber Foto: Dokumentasi Tugas PLB I, Arsitektur USU, Sem A, TA 2003-2004)<br />
Tabel 4<br />
Hasil Pengurangan Panas dari Radiasi Matahari yang Masuk Melalui Jendela Kaca, Berkat Pembayang<br />
Jenis pembayangan: pembayang dicat pada sisi datangnya sinar<br />
Berkurang bila dibandingkan<br />
dengan yang tidak dicat<br />
1. Jalusi di luar menghalangi penyinaran langsung diberi warna putih, krem.<br />
15 %<br />
2. Jalusi dari tembaga putih tipis kemiringan matahari lebih dari 40° sehingga<br />
matahari tidak masuk, diberi warna gelap<br />
15 %<br />
3. Markis dari kanvas, sisi samping terbuka, warna gelap sedang<br />
4. Jalusi model ‘Venetian Blinds’ di bagian dalam jendela. Kisi-kisi menghalangi<br />
penyinaran langsung. Bahan: aluminium yang memantulkan sinar secara difus.<br />
25 %<br />
45 %<br />
5. Penutup jendela, putih atau krem<br />
6. Penutup jendela rapat berwarna gelap<br />
55 %<br />
80 %<br />
Sumber: Pengantar Fisika Bangunan, Mangunwijaya, hal. 118<br />
153
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
3. Elemen Lansekap<br />
a. Vegetasi<br />
Di samping elemen arsitektur, elemen lansekap<br />
seperti pohon dan vegetasi juga dapat<br />
digunakan sebagai pelindung terhadap radiasi<br />
matahari. Keberadaan pohon secara<br />
langsung/tidak langsung akan menurunkan<br />
suhu udara di sekitarnya, karena radiasi<br />
matahari akan diserap oleh daun untuk proses<br />
fotosintesa dan penguapan. Efek bayangan oleh<br />
vegetasi akan menghalangi pemanasan<br />
permukaan bangunan dan tanah di bawahnya.<br />
Lippsmeier memperlihatkan suatu hasil<br />
penelitian di Afrika selatan, pada ketinggian<br />
1m di atas permukaan perkerasan (beton)<br />
menunjukkan suhu yang lebih tinggi sekitar<br />
4°C dibandingkan suhu pada ketinggian yang<br />
sama di atas permukaan rumput. Perbedaan ini<br />
menjadi sekitar 5°C apabila rumput tersebut<br />
terlindung dari radiasi matahari. Efektifitas<br />
pemanfaatan pohon sebagai pelindung<br />
matahari juga dapat digambarkan dengan<br />
angka shading coefficient seperti tabel di<br />
bawah:<br />
Tabel 5<br />
Shading Coeficient untuk Elemen Lansekap<br />
No. Elemen Pelindung Shading Coefficient<br />
Elemen Lansekap<br />
1<br />
2<br />
Pohon tua (dengan efek pembayang yang besar)<br />
Pohon muda (dengan sedikit efek pembayang)<br />
0,25 – 0,20<br />
0,60 - 0,50<br />
Sumber: Concept in the Thermal Comfort, M. David Egan.<br />
Gambar 5<br />
ContohPemanfaatan Vegetasi sebagai Pelindung Radiasi Matahari pada Bangunan Rumah Tinggal di Medan<br />
Sumber Foto: Dokumentasi Tugas PLB I, Arsitektur USU, 2003<br />
154
Menciptakan Kenyamanan Thermal dalam Bangunan<br />
Basaria Talarosha<br />
Pohon dan tanaman dapat dimanfaatkan untuk mengatur aliran udara ke dalam bangunan. Penempatan pohon<br />
dan tanaman yang kurang tepat dapat menghilangkan udara sejuk yang diinginkan terutama pada periode puncak<br />
panas. Menurut White R.F (dalam Concept in Thermal Comfort, Egan, 1975) kedekatan pohon terhadap<br />
bangunan mempengaruhi ventilasi alami dalam bangunan.<br />
Pohon berjarak 1,5 m dari<br />
Bangunan<br />
Pohon berjarak 3 m dari<br />
Bangunan<br />
Pohon berjarak 9 m dari Bangunan,<br />
gerakan udara di dalam bangunan<br />
semakin besar/baik.<br />
baik<br />
semakin baik<br />
Gambar 6<br />
Jarak Pohon terhadap Bangunan dan Pengaruhnya terhadap Ventilasi Alami<br />
Sekumpulan pohon juga dapat dimanfaatkan sebagai ‘windbreak’ untuk daerah yang kecepatan anginnya cukup<br />
besar. Pohon sebagai ‘windbreak’ dapat mengurangi kecepatan angin lebih dari 35 % jika jaraknya dari<br />
bangunan sebesar 5 x tinggi pohon. Bangunan harus dirancang dimana kecepatan angin di daerah pedestrian dan<br />
bukaan kurang dari 10 mph (mil per jam). Untuk bangunan tinggi, pengujian dengan menggunakan model<br />
bangunan yang berskala untuk memprediksi kekuatan bangunan terhadap kecepatan angin seringkali harus<br />
dilakukan dengan menggunakan terowongan angin (wind tunnels). Di bawah ini menunjukkan bagaimana<br />
pengaruh kecepatan angin terhadap manusia.<br />
Kecepatan angin (dalam mph)<br />
0 – 2<br />
2 – 10<br />
10 – 20<br />
20 – 25<br />
25 – 30<br />
30 – 55<br />
55 – 100<br />
> 100<br />
Pengaruhnya terhadap manusia<br />
Tidak ada angin<br />
Angin terasa di wajah dan rambut<br />
Debu naik, kertas terbang, rambut dan pakaian berantakan<br />
Kekuatan angin terasa di tubuh<br />
Payung susah digunakan<br />
Susah berjalan, manusia terasa seperti didorong angin<br />
Angin Topan/Badai, berbahaya bagi manusia dan struktur<br />
Kekuatan angin Tornado, sangat berbahaya bagi manusia dan<br />
struktur<br />
b. Unsur Air<br />
Untuk memodifikasi udara luar yang terlalu panas masuk ke dalam bangunan dapat dilakukan dengan<br />
membuat air mancur di dalam bangunan. Keberadaan air akan menurunkan suhu udara di sekitarnya karena<br />
terjadi penyerapan panas pada proses penguapan air. Selain menurunkan suhu udara, proses penguapan akan<br />
menaikkan kelembaban. Untuk daerah iklim tropis basah seperti di Indonesia yang memiliki kelembaban<br />
yang tinggi maka peningkatan kelembaban harus dihindarkan. Oleh sebab itu penggunaan unsur air harus<br />
mempertimbangkan adanya gerakan udara (angin) sehingga tidak terjadi peningkatan kelembaban.<br />
4. Material/Bahan Bangunan<br />
Panas masuk ke dalam bangunan melalui proses konduksi (lewat dinding, atap, jendela kaca) dan radiasi<br />
matahari yang ditransmisikan melalui jendela/kaca.<br />
155
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Radiasi<br />
Matahari lewat<br />
Jendela<br />
KONDUKSI<br />
PANAS<br />
MELALUI<br />
DINDING<br />
Temperatur Udara<br />
Luar (t o )<br />
KONDUKSI<br />
PANAS<br />
MELALUI<br />
KACA<br />
JENDELA<br />
Temperatur Udara<br />
di Dalam Ruangan (t i )<br />
Radiasi matahari memancarkan sinar ultra violet (6%), cahaya tampak (48%) dan sinar infra merah yang<br />
memberikan efek panas sangat besar (46%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa radiasi matahari adalah<br />
penyumbang jumlah panas terbesar yang masuk ke dalam bangunan. Besar radiasi matahari yang ditransmisikan<br />
melalui selubung bangunan dipengaruhi oleh fasade bangunan yaitu perbandingan luas kaca dan luas dinding<br />
bangunan keseluruhan (wall to wall ratio), serta jenis dan tebal kaca yang digunakan.<br />
Tabel 6<br />
Shading Coefficient untuk Berbagai Jenis Material Kaca<br />
No.<br />
Penggunaan Kaca<br />
Shading Coefficient<br />
Jenis Kaca Warna Tebal<br />
1. Kaca Bening -<br />
-<br />
¼ inci<br />
/ 8 inci<br />
0,95<br />
0,90<br />
2. Heat Absorbing glass abu2, bronze, atau green<br />
tinted<br />
-<br />
3 / 16 inci<br />
/ 2 inci<br />
0,75<br />
0,50<br />
3. Revlective glass dark gray metallized<br />
light gray metallized<br />
-<br />
-<br />
0,35 s/d 0,20<br />
0,60 s/d 0,35<br />
Sumber: Concept in the Thermal Comfort, M. David Egan.<br />
Radiasi matahari yang jatuh pada selubung bangunan dipantulkan kembali dan sebagian diserap. Panas yang<br />
terserap akan dikumpulkan dan diteruskan ke bagian sisi yang dingin (sisi dalam bangunan). Masing-masing<br />
bahan bangunan mempunyai angka koefisien serapan kalor (%) seperti terlihat pada tabel berikut. Semakin besar<br />
serapan kalor, semakin besar panas yang diteruskan ke ruangan.<br />
Tabel 7<br />
Radiasi Matahari dan Serapan Kalor<br />
Permukaan bahan %<br />
Asbes semen baru<br />
Asbes esemen sabgat kotor (6 tahun terpakai)<br />
Kulit bitumen/aspal<br />
Kulit bitumen bila dicat aluminium<br />
Genteng keramik merah<br />
Seng (baru) 64<br />
Seng (kotor sekali)<br />
II. Selulose cat putih<br />
Selulose cat hijau tua<br />
Selulose cat merah tua<br />
Selulose cat hitam<br />
Selulose cat kelabu hitam<br />
Sumber: Pengantar Fisika Bangunan, Mangunwijaya, hal. 117<br />
42-59<br />
83<br />
86<br />
40<br />
62-66<br />
92<br />
18<br />
88<br />
57<br />
94<br />
90<br />
156
Menciptakan Kenyamanan Thermal dalam Bangunan<br />
Basaria Talarosha<br />
Warna juga berpengaruh terhadap angka serapan kalor. Warna-warna muda memiliki angka serapan kalor yang<br />
lebih sedikit dari pada warna tua. Warna putih memiliki angka serapan kalor paling sedikit (10%-15%),<br />
sebaliknya warna hitam dengan permukaan tekstur kasar dapat menyerap kalor sampai 95%.<br />
Tabel 8<br />
Koefisien Serapan Kalor Akibat Pengaruh Warna<br />
Permukaan %<br />
Dikapur putih (baru)<br />
10-15<br />
Dicat minyak (baru)<br />
20-30<br />
Marmer/pualam putih<br />
40-50<br />
Kelabu madya<br />
60-70<br />
Batu bata, beton<br />
70-75<br />
Hitam mengkilat<br />
80-85<br />
Hitam kasar<br />
90-95<br />
Sumber: Pengantar Fisika Bangunan, Mangunwijaya, hlm. 116<br />
Tabel 9<br />
Pengurangan Serapan Kalor yang Berasal dari Radiasi Matahari, bila Permukaan Dicat Putih<br />
Pukul<br />
(Siang hari)<br />
Suhu pelat-pelat seng<br />
Pelat biasa (°F)<br />
Bila dicat putih<br />
(°F)<br />
2.40<br />
127<br />
106<br />
2.45<br />
134<br />
108,5<br />
3.50<br />
128<br />
106,5<br />
4.30<br />
114<br />
99<br />
5.25<br />
102,5<br />
93,5<br />
6.10<br />
89<br />
86,5<br />
6.35<br />
85<br />
84,5<br />
Pengukuran di Lagos, Nigeria (1945)<br />
Sumber: Pengantar Fisika Bangunan, Mangunwijaya, hlm. 118<br />
Selisih suhu<br />
(°F)<br />
21<br />
25,5<br />
21,5<br />
15<br />
9<br />
2,5<br />
0,5<br />
Kesimpulan<br />
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bukanlah hal yang mustahil untuk menciptakan kenyamanan termal<br />
di dalam bangunan walaupun Indonesia memiliki iklim yang berada di atas garis kenyamanan suhu tubuh.<br />
Arsitek hanya perlu memberikan perhatian yang ‘lebih’ terhadap penyelesaian masalah iklim ini.<br />
Kondisi ideal yang harus dibuat untuk menciptakan bangunan nyaman secara termal adalah sebagai berikut:<br />
• Teritis atap/Overhang cukup lebar<br />
• Selubung bangunan (atap dan dinding) berwarna muda (memantulkan cahaya)<br />
• Terjadi Ventilasi Silang<br />
• Bidang –bidang atap dan dinding mendapat bayangan cukup baik<br />
• Penyinaran langsung dari matahari dihalangi (menggunakan solar shading devices) untuk<br />
menghalangi panas dan silau.<br />
157
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Aronin, Jeffrey Allison (1953), Climate &<br />
Architecture, New York: Reinhold<br />
Publishing Corporation.<br />
Boutet, Terry S. (1987), Controlling Air Movement,<br />
New York: McGraw-Hill Book Company.<br />
Departemen Pekerjaan Umum (1993), Standar: Tata<br />
Cara Perencanaan Teknis Konservasi<br />
Energi Pada Bangunan Gedung, Bandung:<br />
Yayasan LPMB.<br />
Egan, M. David (1975), Concept in Thermal<br />
Comfort, London: Prentice-Hall<br />
International.<br />
Lippsmeier, Georg (1994), Tropenbau Building in<br />
the Tropics, Bangunan Tropis (terj.),<br />
Jakarta: Erlangga.<br />
Mangunwijaya, Y.B., (1988), Pengantar Fisika<br />
Bangunan, Jakarta: Djambatan<br />
Roaf, Sue, Manuel Fuentes (2001), Ecohouse, A<br />
Design Guide, Oxford: Architectural Press.<br />
Szokolay S.V, et. al (1973), Manual of Tropical<br />
Housing and Building, Bombay: Orient<br />
Langman.<br />
Yannas, Simos (ed.), (1983), Passive and Low<br />
Energy Architecture, Oxford: Pergamon<br />
Press.<br />
158
Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />
Zuriah Sitorus<br />
PREDIKSI KAPASITAS DAN BIAYA BATAKO SERTA OPTIMALISASI<br />
KEUNTUNGAN BERDASARKAN PROBABILITAS DI P.T. WIJAYA KUSUMA<br />
Zuriah Sitorus<br />
Staf Pengajar Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU<br />
Abstract: Pursuant to method of standard of error penduga least square with the smallest value, hence regresi of<br />
[is non linear [of[ kuadratik most [is] precise wearead for the memprediksikan of capacities and pruduction cost<br />
compared to [by] a othrer; dissimiliar method. Production capacities which [is] [is] adapted for [by] a market<br />
request estimated [by] [among/beteween] 100.000-110.000 unit for the period of month; moon 8 (Agustus) Year<br />
2001, but with the calculation [of] pursuant to most impotant probabilitas capacities given high priority [by]<br />
[is] equal to 50.000-60.000 unit with the storey; level of possibility percentase 33,33%. Productive better<br />
producer [at] capacities 50.000-60.000 unit with the storey; level of possibility percentage 0,00%. Fund<br />
requirement to produce 08 (Agustus) 2001 estimated to range from the Rp. 50.000.000,00 [of] up to<br />
Rp.60.000.000,00<br />
Abstrak: Bersadarkan metode standar error penduga least square dengan nilai terkecil, maka regresi non linier<br />
kuadratik paling tepat dipakai untuk memprediksikan kapaasitas dan biaya produksi dibandingkan dengan<br />
metode lain. Kapasitas produksi yang disesuaikan dengan permintaan pasar diperkirakan antara 100.000-<br />
110.000 unit untuk periode bulan 8(Agustua) tahun 2001,tetapi dengan perhitungan baedasarkan probabilitas<br />
kapasitas yang paling utama diprioritaskan adalah sebesar 50.000-60.000 unit dengan tingkat persentase<br />
kemungkinan 33,33%.Produsen lebih baik berproduksi pada kapasitas 50.000-60.000 unit dengan tingakat<br />
persentase kemungkinan 0,00%. Kebutuhan dana untuk produksi 100.000-110.00 unit, dengan tingkat<br />
persantase kemungkinan 0.00%. Kebutuhan dana untuk produksi 08 (Agustus) 2001 diperkirakan berkisar<br />
antara Rp. 50.000.000,00 sampai dengan Rp. 60.000.000,00<br />
PENDAHULUAN<br />
Pada saat ini bangsa Indonesia masih<br />
mangalami krisis ekonomi berkepanjangan yang<br />
menyebabkan lesunya seluruh perekonomian. Hal ini<br />
menimbulkan suasana yang tidak kondusif dan<br />
berdampak negatif kepada hamper semua dunia<br />
usaaha, contohnya usaha jasa konstruksi (kontraktor),<br />
maupun jasa pengadaan (supplier) material para<br />
produsen. Kejadian ini mengakibatkan<br />
berfluktualisasinya permintaan pasar yang terkadang<br />
diluar dugaan. Hal ini setidaknya membuat para<br />
pengusaha haruslah lebih berhati-hati dalam<br />
menjalankan usahanya agar dapat meraih<br />
keuntungan.<br />
PERMASALAHAN<br />
Pada umunnya kegagalan dalam<br />
menjalankan suatu usaha pengadaan barang<br />
dikarenakan kurangnya perencanaan yang matang.<br />
Hal ini dapat dilihat dari sebahagian pengusaha yang<br />
hanya dari melihat perkembangan pasar dalam<br />
jangka waktu yang singkat atau hanya mengikuti<br />
kecenderungan pasar saja tanpa mengkajinya lebih<br />
jauh, sehingga tidak jarang usaha yang mereka<br />
jalankan mengalami kerugian. Untuk meraih<br />
keuntungan dalam menjalankan uasaah haruslah<br />
direncanakan dengan perhitungan yang matang<br />
berdasarkan atas studi kelayakan yang meliputi<br />
antara lain survey pasar, lokasi, penyediaan bahan,<br />
tenaga kerja dan kemampuan memprediksikan<br />
perminataan pasar.<br />
LANDASAN TEORI<br />
Untuk hal tersebut diatas sesering juga<br />
digunakan jumlah metode stastistik persentase<br />
jumlah produksi yang memenuhi target pemasaran.<br />
Produksi yang tidak sesuai dengan target pemasaran.<br />
Produksi yang tidak sesuai dengan target pemasaran<br />
atau terjual melebihi waktu yang diharapkan<br />
mengakibatkan berkurangnya laba yang diraih. Salah<br />
satu teori yang dapat digunakan untuk<br />
memprediksikan secara linier dan non linier<br />
kuadratik dengan variabel terkontrol yang terbatas ,<br />
serta metode pemulusan (smoothing)<br />
Apabila perkembangan data dari berbagai<br />
variabel bersifat proporsional perhitungan regresi<br />
lebih baik menggunakan regresi linear dan jika<br />
sebaliknya maka menggunakan regresi non-linear<br />
kuadratik.<br />
Persamaan Regresi Linear<br />
Y = a + b x ……………….. (1)<br />
2<br />
( ∑Yi)(<br />
∑ Xi ) − ( ∑ Xi)( ∑ XiYi)<br />
2<br />
n∑<br />
Xi −( ∑ Xi) 2<br />
159
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Konstanta<br />
n∑<br />
XiYi −<br />
b<br />
n Xi<br />
∑<br />
( ∑ Xi)( ∑ XiYi)<br />
2<br />
+ ( ∑Xi)<br />
=<br />
2<br />
= koefisien regresi, Y = nilai yang diperkirakan, X =<br />
Independen Variabel.<br />
Persamaan Regresi Non Linear<br />
Y = ax b ……………… 2)<br />
Y<br />
t<br />
Y =<br />
t<br />
⎛ M −1<br />
⎞<br />
−⎜<br />
⎟<br />
⎝ 2 ⎠<br />
+ Y<br />
……………….. 3)<br />
⎛ M −1<br />
⎞<br />
t + 1=<br />
⎜ ⎟+ .................. +<br />
⎝ 2 ⎠<br />
M<br />
Y<br />
⎛ M −1<br />
⎞<br />
t + ⎜ ⎟<br />
⎝ 2 ⎠<br />
Dimana : Y t adalah respon proses pada saat t<br />
Yt-1 adalah respon proses pada saat t-1<br />
Persamaan Regresi Non Linear Kuadratik<br />
Y = a + b (x) + c (x+2 ) ………… 4)<br />
Dimana :<br />
Y = nilai yang diperkirakan<br />
a = Konstanta<br />
b,c = Variabel Indenden<br />
untuk menghitung parameter a, b dan c adalah :<br />
Σ<br />
Σ<br />
Σ<br />
( Y1<br />
) = na + bΣ( X1) + cΣ( X1)<br />
2<br />
( XiYi)<br />
= aΣ(<br />
Xi)<br />
+ bΣ(<br />
Xi )<br />
+ cΣ(<br />
X<br />
2<br />
2<br />
3<br />
4<br />
( Xi Yi) = aΣ(<br />
Xi ) + bΣ(<br />
Xi ) + cΣ(<br />
X )<br />
Untuk mencari hubungan keterkaitan antara<br />
variabel maka perlu dicari koefisien korelasi sebagai<br />
berikut :<br />
s<br />
2<br />
=<br />
∑<br />
( Yi − Y ) − ∑( Yi − Y )<br />
2<br />
( Yi − Y )<br />
∑<br />
2<br />
3<br />
)<br />
.............5)<br />
a. Hitung totla data (R total )<br />
R total = R 1 + R 2 + R 3 …… R n-1 + R n<br />
b. Hitung rata-rata data (R rata-rata)<br />
Rtotal<br />
Rrata −rata<br />
= ; n = jumlah<br />
n<br />
pengama tan<br />
c. Hitung jumlah kuadrat dari tiap-tiap (S s )<br />
S s = R 1 + R 2 + R 3 …… + R 2 n-1 + R 2 n<br />
d. Hitung<br />
2<br />
Ss<br />
− ( RRATA−RATA)<br />
S =<br />
n −1<br />
e. Hitung kuadart standart deviasi (C u )<br />
2<br />
( S )<br />
0,5<br />
100x<br />
Cu =<br />
Rtotal<br />
f. Hitung optimum N data pengamatan yang<br />
dibutuhkan untuk estimasi rata-rata data dengan<br />
tingkat kesalahan (ρ)<br />
2,00<br />
⎧ Cv<br />
N = ⎨<br />
⎩ρx100⎭ ⎬⎫<br />
g. Uji kecukupan data dengan :<br />
- N > n maka data pengamatan perlu<br />
ditambahkan dengan N-n<br />
- N < maka data layak dikatakan cukup.<br />
Jika perkembangan data dari berbagai<br />
variabel bersifat proposional, perhitungan regresi<br />
lebih baik menggunakan regresi linier, sehingga<br />
untuk menentuukan modal mana yang lebih tepat<br />
dipakai haruslah mempunyai suatu emtode tertentu.<br />
Pada kasus ini metode yang digunakan adalah standar<br />
ERROR penduga least square yaitu :<br />
∑<br />
2<br />
e<br />
Se = dimana, n – 2 = derajat bebas.<br />
n − 2<br />
……………………. 6)<br />
2<br />
2<br />
∑ ∑Y<br />
−α<br />
∑Y<br />
− b∑<br />
E = XY,<br />
a<br />
B = konstanta ……………… 7)<br />
METODOLOGI PENELITIAN<br />
Data-data yang tersedia sebagai dasar<br />
referensi dalam penganalisaan regresi haruslah diuji<br />
kecukupannya. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan<br />
akan periode pengamatan data yang dilakukan dan<br />
tingkat kesalahan yang diinginkan. Untuk<br />
menentukan jumlah data pengamatan secara optimum<br />
dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut:<br />
160
Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />
Zuriah Sitorus<br />
KESIMPULAN<br />
Berdasarkan dari penelitian dengan<br />
penganalisaan data yang dilakukan penulis menarik<br />
kesimpulan antara lain :<br />
1. Memiliki dari hasil standar error penduga least<br />
square, maka metode regresi non linier kuadratik<br />
lebih tepat dari pada metode lain yang digunakan<br />
untuk memprediksikan kapasitas produksi<br />
2. Prediksi biaya produksi juga lebih epat memakai<br />
metode regresi non linier kuadratik<br />
dibandingkan metode lain dengan menggunakan<br />
metode standar error penduga least square<br />
3. Prioritaskan kapasitas pemasaran yang paling<br />
tinggi adalah ada produksi 50.000,00-60.000,00<br />
dengan nilai probabilitas 33,33% dan prediksi<br />
keuntungan berdasarkan keuntungan probabilitas<br />
sebesar Rp. 5.710.545,50 sedangkan prioritas<br />
kedua pada produksi 60.000,00-70.000,00, unit<br />
dengan nilai probabilitas keuntungan<br />
berdasarkan probabilitas sebesar Rp.<br />
3.450.477,26<br />
4. Prediksi pasar memperkirakan permintaan<br />
berkisar pada 100.000,00-110.000,00 (tepatnya<br />
109.590,27 unit) dengan nilai probalibilitas<br />
0,00%<br />
5. Atas dasar item point 1 dan 2 penulis<br />
menyimpulkan bahwasanya produsen lebih baik<br />
berproduksi pada kapasitas 50.000,00-60.000,00<br />
dengan nilai probabilitas 33,33% daripada<br />
kapasitas 100.000,00-110.000,00 unit dengan<br />
nilai probabilitas 0,00%<br />
Untuk perencanaan pada bulan 8 (Agustus<br />
2001) direncakana kapasitas produksi 50.000,00-<br />
60.000,00 unit dan untuk itu dibutuhkan dana sebesar<br />
Rp. 50.138,94 - Rp. 60.165.53 dengan perkiraaan<br />
biaya produksi / unit Rp. 1.002,77.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Abdulrahman Ritonga, Statistika Terapan Untuk<br />
Penelitian. Jakarta : Lembaga Penerbit<br />
Fakultas Ekonomi <strong>Universitas</strong>Indonesia<br />
2. Anto Dajan, Pengantae Metode Statistik Jilid III<br />
. Jakarta : LP3S, 1986<br />
3. Freddy Rangkuti. Riset Pemasaran. Jakarta : PT.<br />
Gramedia Pustaka Utama. 2001<br />
4. Sri Mulyono. Peramalan Bisnis Dan<br />
Ekonometrika. Yogyakarta : BPFE-<br />
Yogyakarta, 2000<br />
5. Sugiarto, Harijono, Peramalan Bisnis. Jakaraa :<br />
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000<br />
6. Sudjana, Metode Statistik Bandung : Tarsito,<br />
1996<br />
7. Sudjana, Statistika Untuk Ekonomi Dan Niaga<br />
I. Bandung : Tarsito, 1991<br />
Yacob Ibrahim, Studi Kelayakan Bisnis,<br />
Jakarta : PT.Rineka Cipata, 1998<br />
161
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
162
Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />
Zuriah Sitorus<br />
163
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
164
Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />
Zuriah Sitorus<br />
165
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
166
Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />
Zuriah Sitorus<br />
167
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
168
Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />
Zuriah Sitorus<br />
169
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
170
Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />
Zuriah Sitorus<br />
171
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
172
Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />
Zuriah Sitorus<br />
173
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
174
Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />
Zuriah Sitorus<br />
175
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
176
Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />
Zuriah Sitorus<br />
177
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
178
Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />
Zuriah Sitorus<br />
179
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
KERUSAKAN AKIBAT TSUNAMI DAN GEMPA NORTHEN<br />
SUMATRA 26 DESEMBER 2004 TERHADAP BANDA ACEH<br />
DAN SIROMBU NIAS BARAT<br />
Johannes Tarigan<br />
Abstrak: Gempa 26 Desember 2004 telah membuat dunia terkejut karena menimbulkan korban terbesar<br />
sepanjang sejarah akibat tsunami. Gempa ini menewaskan sekitar 180.000 orang diberbagai negara yakni<br />
Indonesia (Aceh dan Nias), Sri Langka, India, Thailand, Myanmar, Malaysia. Tsunami yang menerpa kota<br />
Banda Aceh tidak pernah dibayangkan oleh perancang kota sebelumnya, karena terbukti dipusat kota Banda<br />
Aceh tinggi gelombang tsunami berkisar 3 meter. Umumnya dipusat kota berdiri bangunan yang dibuat pada<br />
jaman penjajahan dahulu dan bangunan ini terendam air stinggi 3 meter. Sedangkan untuk daerah Nias Barat<br />
tsunami yang sama pernah terjadi sebelumnya dikota Sirombu. Tentang pemasangan early warning system<br />
masih bisa diperdebatkan karena biayanya mahal dan rentan waktu antar gempa dan tsunami hanya 20 menit.<br />
Akibat gempa didaerah pantai utara Banda Aceh ada penurunan sebesar 2 meter, sedangkan didaerah Nias<br />
Barat ada kenaikan permukaan tanah sebesar 3 meter. Perlu kajian geologi untuk kedua daerah ini. Apakah<br />
kemungkinan seperti penurunan atau kenaikan permukaan tanah ini akan terjadi diaerah ini. Akibat adanya<br />
likuifaksi tanah pada daerah Banda Aceh perlu diadakan studi mikrozonasi secara lokal didaerah ini. Karena<br />
banyak bangunan yang runtuh akibat gempa perlu kajian kembali peraturan banguanan tahan gempa yang ada<br />
yakni dengan menkaji ulang koefisien dasar gempa untuk daerah Banda Aceh.<br />
Latar belakang<br />
Gempa dahsyat 26 Desember 2004 yang<br />
menimbulkan tsunami telah mengakibatkan korban<br />
yang sangat besar. Jumlah korban sekitar 180 ribu<br />
orang di Aceh, Nias, Thailand, Sri Langka, India,<br />
Myanmar dan Malaysia. Gempa yang terjadi adalah<br />
dengan kekuatan 9 Skala Richter.<br />
Pada dasarnya ada dua cara mengukur skala<br />
gempa yakni dengan Skala Richter dan Skala<br />
Intensitas. Skala Richter adalah berdasarkan energi<br />
yang dikeluarkan di pusat gempa (focus) atau di<br />
hypocenter. Sedangkan Skala Intensitas adalah<br />
berdasarkan derajat kerusakan yang terjadi di<br />
permukaan bumi akibat gempa. Pada tulisan ini<br />
kedua-dua skala tersebut akan disinggung<br />
berdasarkan tinjauan dan kepentingan masingmasing.<br />
Dalam tulisan ini kami mencoba<br />
memberikan hasil penelitian di Banda Aceh, dan<br />
Sirombu, Nias Barat, sejauh mana terjadinya<br />
kerusakan akibat tsunamie dan gempa khusus di kota<br />
Banda Aceh dan Sirombu Nias Barat.<br />
Seismologi aspek<br />
Gempa tanggal 26 Desember 2004 terjadi<br />
pada pagi hari sekitar pukul 7.58 pagi dengan<br />
kedalaman fokus sekitar 30 km dan termasuk gempa<br />
dangkal. Sedangkan epicenter terletak sekitar 255 km<br />
dari kota Banda Aceh, 310 km dari Medan, 1260 km<br />
dari Bangkok, 1605 km dari Jakarta (lihat gambar 1).<br />
Getarannya terjadi sampai di Penang Malaysia, pada<br />
saat itu dapat dirasakan di lantai IX sebuah<br />
apartemen berlantai 21. Selama ini diketahui bahwa<br />
Malaysia adalah daerah yang bebas gempa, tetpi<br />
setelah kejadian ini maka pelu dikaji ulang peta<br />
gempa didaerah ini.<br />
Gambar 1:<br />
Peta letak epicenter Gempa 26 Desember 2004<br />
dengan besar 9 Skala Richter<br />
[USGS, 2005]<br />
180
Kerusakan Akibat Tsunami dan Gempa Northen Sumatra 26 Desember 2004 terhadap Banda Aceh dan Sirombu Nias Barat<br />
Johannes Tarigan<br />
Adapun energi yang dikeluarkan oleh<br />
Gempa tersebut diperkirakan 20 x 10 17 Joule, atau<br />
sama dengan 475 kilitons (475 Mega ton) TNT atau<br />
sama dengan 23.000 kali bom Hirosima. Lama<br />
getaran gempa diperkirakan 3 s/d 7 menit.<br />
Berdasarkan [USGS,2005], bahwa<br />
pergerakan patahan (Indian Plate) mengarah ke <strong>Utara</strong><br />
seperti diperlihatkan di gambar 2. Pergeseran<br />
pertahun diperkirakan 5 cm pertahun.<br />
Gempa 26 Desember 2004 adalah gempa ke 3 yang<br />
pernah terjadi di dunia sejak 1900. Gempa yang<br />
terdahsyat yang sebelumnya adalah di Chili pada<br />
tanggal 22 Mei 1960 dengan besar 9.5 skala richter.<br />
Setelah itu adalah gempa di Alaska, Prince William<br />
Sound pada tanggal 28 Maret 1964 dengan besar 9.2<br />
Skala Richter.<br />
Intensitas Gempa<br />
Berdasarkan Skala Intensitas, Gempa 26 Desember<br />
2004 adalah sbb:<br />
• Banda Aceh<br />
IX<br />
• Meulaboh ,<br />
VIII<br />
• Port Blair, Pulau Andaman (India),<br />
VII<br />
• Hat Yai (Thailand),<br />
V<br />
• Medan, Madras (India) , Maldives<br />
IV<br />
• Rangon (Myanmar), Phuket (Thailand)<br />
III<br />
• Singapura , Sri Langka<br />
II<br />
epicenter<br />
Banda Aceh<br />
Medan<br />
Pada Gambar 3 dapat dilihat peta<br />
berdasarkan derajat kerusakan pada permukaan bumi<br />
yang disebut juga skala intensitas. Pada Skala<br />
Intensitas V ditandai dengan mulai terjadi kerusakan<br />
ringan pada bangunan dan makin tinggi kerusakan<br />
makin parah, sedangkan Intensitas yang paling tinggi<br />
adalah Intensitas XII yakni pada umumnya daerah<br />
kota itu rata dengan tanah. Besaran Intensitas dapat<br />
dilihat di [ Dowrick, 1977 ]. Khusus kota Medan,<br />
pada Gempa 26 Desember tidak ada kerusakan pada<br />
bangunan.<br />
Gambar 2: Pergerakan lempeng Indian kearah<br />
utara. Pergeseran diperkirakan 5 cm pertahun<br />
[USGS, 2005}<br />
181
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Gambar 3: Peta intensitas gempa 26 Desember 2004<br />
Tsunami<br />
Tsunami adalah gelombang besar yang diakibatkan<br />
oleh gempa yang mana epicenternya terletak di laut<br />
dan gelombang tersebut dapat mencapai 30 m<br />
tingginya. Gelombang tersebut dapat menyapu<br />
seluruh yang ada disekitar pantai tempat terjadinya<br />
gempa tersebut. Pada Gambar 4 dapat dilihat<br />
bagaimana terjadinya tsunami dimana didasar laut<br />
terjadi patahan. Patahan tersebut membuat air laut<br />
menjadi surut dan setelah itu energi yang terkumpul<br />
akan membuat air laut mengalir kembali kedarat<br />
dengan kecepatan yang bisa mencapai 500 km/jam.<br />
Patahan tersebut bisa mencapai kedalaman 15 m<br />
sepanjang ratusan kilo meter.<br />
Gambar 4 : Proses terjadinya tsunami [BMG, 2005]<br />
182
Kerusakan Akibat Tsunami dan Gempa Northen Sumatra 26 Desember 2004 terhadap Banda Aceh dan Sirombu Nias Barat<br />
Johannes Tarigan<br />
Gempa 26 Desember 2004 adalah gempa yang<br />
menyebabkan korban tsunami terbesar yang pernah<br />
terjadi dengan korban sekitar 180.000 orang.<br />
Sedangkan sebelumnya pada 26 Agustus 1883 akibat<br />
letusan gunung karakatau menimbulkan tsunami<br />
dengan korban jiwa 36.000 orang dan tahun 1755,<br />
tsunami pernah terjadi di Lisboa Portugal dengan<br />
memakan korban jiwa 60.000 orang. Pada Gambar 5<br />
dapat dilihat jumlah korban di tiap negara akibat<br />
tsunami tersebut.<br />
Berdasarkan besaran Gempa dengan Skala Richter,<br />
maka kemungkinan terjadi tsunami adalah sbb:<br />
Magnitude > 7.9 : potensi tsunami dekat<br />
epicenter kemungkinan besar akan terjadi<br />
7.6> Magnitude> 7.8 : bisa terjadi tsunami<br />
6.5>Magnitude7.5 : tidak ada bahaya tsunami<br />
Kejadian tsunami yang pernah terjadi sebelumnya di<br />
belahan didaerah ini [Oritz and Billham, 2003]<br />
adalah sbb:<br />
• Tahun 1797: 8.4 Skala Richter tsunami di<br />
<strong>Sumatera</strong> Barat, Padang.<br />
• Tahun 1833: 8.7 Skala Richter tsunami di<br />
<strong>Sumatera</strong> Barat.<br />
• Tahun 1843: Tsunami di selatan Pulau Nias<br />
Nias .<br />
• Tahun 1861: 8.5 Skala Richter tsunami di<br />
<strong>Sumatera</strong> Barat<br />
• Tahun 1881: 7.9 Skala Richter tsunami di<br />
Pulau Andaman.<br />
• Tahun 1883: Gunung Krakatau meletus,<br />
terjadi tsunami di Java dan <strong>Sumatera</strong>.<br />
• Tahun 1941: 7.7 Skala Richter, tsunami di<br />
pulau Adaman<br />
Gambar 5 :<br />
Peta korban jiwa pada negara akibat tsunami 26<br />
Desember 2004<br />
183
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Berdasarkan data-data dari USGS, didaerah Lammpuk bahwa ketinggian tsunami mencapai 28 meter. Dan<br />
diperkirakan kecepatan gelombang 500 km/jam. (Lihat Gambar 6)<br />
Gambar 6 : ketinggian gelombang tsunami di<br />
Banda Aceh [USGS, 2005]<br />
Oleh karena itu sangat diperlukan kajian tsunami<br />
didaerah ini untuk masa yang akan datang. Apakah<br />
diperlukan early warning <strong>sistem</strong> didaerah ini untuk<br />
mencegah kecilnya korban jiwa. Tapi apakah effektif<br />
early warning <strong>sistem</strong> masih harus dipelajari karena<br />
masa tenggang waktu gempa dan tsunami pada<br />
kejadian gempa yang lalu hanya 20 menit saja.<br />
Dalam waktu tersebut apakah manusia bisa<br />
melakukan pergerakan menyingkir ke daerah<br />
perbukitan. Karena alat early warning <strong>sistem</strong> itu<br />
terlalu mahal demikian juga perawatan juga terlalu<br />
mahal.<br />
Banda Aceh setelah Gempa 26 Desember 2004<br />
• Penurunan permukaan tanah<br />
Setelah terjadi gempa kondisi tanah di Banda Aceh<br />
berubah, yakni di utara ditepi pantai terjadi<br />
penurunan tanah sedalam 2 meter. Saat ini pantai<br />
yang dulunya kering sekarang terlihat tergenang air.<br />
Tanaman yang akarnya dulu tidak terendam air<br />
setelah gempa menjadi tergenang air sampai<br />
batangnya, seperti terlihat di Gambar 7 dan Gambar<br />
8<br />
184
Kerusakan Akibat Tsunami dan Gempa Northen Sumatra 26 Desember 2004 terhadap Banda Aceh dan Sirombu Nias Barat<br />
Johannes Tarigan<br />
a<br />
b<br />
Gambar 7 : a. sebelum gempa pohon belum tergenang air laut.<br />
b. sesudah gempa pohon sebagian batang tergenang air laut.<br />
Gambar 8: Kondisi pantai yang turun sekitar 2<br />
meter setelah Gempa 26 Desember 2004<br />
[USGS,2005]<br />
Berdasarkan data terjadinya penurunan tersebut<br />
perlu dikaji sebab musababnya. Apakah pada gempa<br />
yang akan datang kemungkinan-kemungkinan<br />
turunnya tanah dapat terjadi lagi. Ataukah ada<br />
kemungkinan permukaan tanah akan naik lagi. Untuk<br />
ini perlu penelitian mendalam oleh ahli-ahli geologi.<br />
Likuifaksi Tanah<br />
Likuifaksi tanah menurut pengamatan kami terjadi di<br />
Banda Aceh. Likuifaksi adalah adanya kandungan<br />
pasir jenuh air yang ada dibawah tanah. Jika terjadi<br />
getaran gempa membuat lapisan pasir tersebut tidak<br />
punya daya lekat satu sama lain sehingga bangunan<br />
diatasnya miring atau turun. Dalam literatur seperti<br />
pada [Dowrick, 1977] kejadian likuifaksi yang<br />
terkenal terjadi di Niigata Jepang pada tahun 1940,<br />
dimana bangunan bertingkat miring, tetapi tidak<br />
rusak.<br />
Kejadian likuifaksi di Banda Aceh terdapat pada<br />
beberapa tempat di depan Mesjid Baiturahman<br />
dimana beberapa bangunan turun 3 meter, seperti<br />
dilihat digambar 9.<br />
Kejadian likuifaksi didaerah ini menjadi hal yang<br />
menarik untuk diteliti oleh ahli geo<strong>teknik</strong>. Dan<br />
dianjurkan untuk membuat mikrozonasi daerah<br />
gempa secara lokal didaerah Banda Aceh dan kotakota<br />
yang terkena likuifaksi di propinsi Nangro<br />
Aceh Darusalam.<br />
Kerusakan bangunan akibat tsunami<br />
Kerusakan bangunan terjadi didaerah Pantai<br />
Uleeelheu Banda Aceh, dimana pada daerah pantai<br />
ini diperkirakan kecepatan gelombang tsunami<br />
sebesar 500 km/jam dengan ketinggian gelombang<br />
sekitar 30 m. Gelombang tersebut dapat menyapu<br />
seluruh pantai pada kejauhan 4 km dari garis pantai.<br />
Jika dipakai rumus<br />
t = s/v,<br />
dimana s : jarak, v : kecepatan dan<br />
t :waktu<br />
185
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
maka waktu tempuh yang diperlukan menyapu<br />
seluruh bangunan yang adalah selama 28 det. Pada<br />
waktu itu terjadi dua kali gelombang pertama kecil<br />
dan yang kedua sangat besar. Kondisi pantai<br />
Uleeelheu setelah Gempa dapat dilihat di gambar 10,<br />
dimana dulunya daerah ini padat penduduk.<br />
Gambar 9:<br />
Likuifaksi di Banda Aceh, dimana sebelum gempa<br />
bangunannya berdiri 3 lantai, setelah gempa 1 lantai<br />
turun kebawah tanah.<br />
186
Kerusakan Akibat Tsunami dan Gempa Northen Sumatra 26 Desember 2004 terhadap Banda Aceh dan Sirombu Nias Barat<br />
Johannes Tarigan<br />
Gambar 10: Bangunan porak poranda diterjang gelombang tsunami di Banda Aceh<br />
Selama ini tidak ada peraturan bangunan yang<br />
mengatur perhitungan khusus untuk tahan tsunami,<br />
tetapi gaya tsunami dapat dipergunakan rumus<br />
dibawah<br />
F = C * V<br />
dimana V = kecepatan gelombang<br />
koefisien geser bangunan<br />
Gaya tsunami<br />
C =<br />
F =<br />
Koefisien geser harus ditentukan berdasarkan berat<br />
bangunan. Jika kecepatan gelombang sekitar 500<br />
km/jam, maka kelihatan tak mungkin bangunan<br />
rumah satu lantai akan bertahan jika dilihat dari berat<br />
bangunannya. Rumah yang bertahan jika<br />
kemungkinan diposisi tersebut kecepatan<br />
gelombangnya melemah atau ada yang menghalangi<br />
gelombang seperti tumpukan kayu atau pohon.<br />
Kerusakan Bangunan akibat Gempa<br />
Sewaktu kejadian gempa ada beberapa bangunan<br />
yang terlebih dahulu rusak walaupun daerah tersebut<br />
tidak kena tsunami seperti Hotel Kuala Tripa, dan<br />
ada beberapa juga yang rusak dulu akibat gempa baru<br />
kemudian datang tsunami seperti bangunan Pante<br />
Pirak Shoping Center. Perbedaan waktu antara<br />
gempa dan tsunami diperkirakan 20 menit. Bangunan<br />
rusak karena ada gaya tambahan gaya horizontal<br />
akibat gempa. Gaya horizontal diperkirakan melebihi<br />
peraturan yang ada. Contoh bangunan dengan gaya<br />
gempa dapat dilihat di gambar 11. Jika terjadi sendi<br />
plastis di kolom maka kemungkinan besar bangunan<br />
tersebut dapat runtuh dengan type sandwich. Hal ini<br />
akan sangat berbahaya karena dapat menimbulkan<br />
korban tertimpa reruntuhan bangunan. Karena gempa<br />
terjadi pada pagi hari dan kebetulan hari minggu<br />
maka khusus pada bangunan perkantoran (seperti<br />
kantor departemen keuangan) yang runtuh tidak<br />
menimbulkan korban.<br />
Untuk itu didaerah terkena tsunami perlu dikaji ulang<br />
tata ruangnya kembali, karena kemungkinan tsunami<br />
datang lagi sangat besar.<br />
Melihat pusat kota Banda Aceh dapat dilihat bahwa<br />
bangunan-bangunan yang ada adalah bangunan tua<br />
dari warisan jaman penjajahan dahulu. Bangunan ini<br />
umumnya terkena tsunami setinggi 3 meter. Tetapi<br />
umumnya bangunan ini tahan terhadap tsunami<br />
karena diperkirakan kecepatan gelombang telah<br />
melemah. Akan tetapi perancang kota tidak pernah<br />
memprediksi bahwa tsunami akan sampai di pusat<br />
kota sampai gempa ini terjadi. Oleh karena itu perlu<br />
dibuat studi tata ruang lagi yang memperhitungkan<br />
daerah-daerah yang berisiko tsunami. Data tsunami<br />
yang terakhir sudah dapat dijadikan dasar yang kuat<br />
untuk merancang tata ruang yang baru untuk kota<br />
Banda Aceh dan kota-kota lainnya yang kena<br />
tsunami.<br />
Gaya gempa H<br />
Gambar 10:<br />
Bangunan yang terkena gempa<br />
187
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Gaya gempa bekerja sebesar<br />
m = masa bangunan<br />
Sa = percepatan gempa<br />
H = m Sa dimana<br />
Berdasarkan besar gempa<br />
Selama ini dibuku literatur percepatan gempa yang<br />
populer adalah gempa El Centro [Roesenblueth and<br />
Newmark, 1971], namun untuk gempa Aceh 26<br />
Desember 2004 dapat dihitung percepatan gempanya<br />
jika data-data gempanya dapat diketahui.<br />
Type kerusakan bangunan akibat gempa di Banda<br />
Aceh [ Tarigan, 2005] adalah sbb:<br />
1. kerusakan sandwich (lihat gambar 11)<br />
2. kolom patah, sebagian miring (lihat Gambar 12)<br />
3. bangunan retak pada dinding.<br />
4. bangunan anjlok, miring, kolom miring jembatan<br />
girdernya miring, abutment bergeser.<br />
5. jembatan girdernya jatuh.<br />
6. menara telekomunikasi tumbang<br />
7. air minum terganggu<br />
8. listrik padam<br />
9. jalan terputus<br />
10. terjadi kelongsoran tebing.<br />
Gambar 12:<br />
Kolom bangunan ini patah di tengah akibat<br />
gempa.<br />
Di gambar 12 yang menarik adalah bangunan ini<br />
mengalami kegagalan struktur dikolom, akan tetapi<br />
masih belum runtuh. Akan tetapi bangunan ini tidak<br />
dapat direprasi lagi karena kolomnya sudah mering<br />
dan patah.<br />
Gambar 11:<br />
Bangunan dengan kerusakan type sandwich<br />
Pada gambar 11 dapat dilihat bahwa kerusakan yang<br />
terjadi adalah type sandwich dimana lantai bangunan<br />
tersebut telah bertindih satu sama lain. Jika ada<br />
penghuni bangunan ini pada saat gempa maka<br />
orangnya akan tertimpa lantai bangunan sehingga<br />
tewas ditempat. Setelah runtuh bangunan ini<br />
diterjang gelombang tsunami 20 menit kemudian.<br />
Yang menarik bahwa gedung sebelahnya tetap dapat<br />
berdiri menahan gaya gempa.<br />
Secara umum bangunan yang rusak di Banda Aceh<br />
diakibatkan oleh gaya Gempa melebihi yang tertera<br />
dalam peraturan, demikian juga rusak karena kondisi<br />
tanah yakni tanahnya terlikuifaksi. Bahaya likuifaksi<br />
umumnya pada tanah berpasir dengan memakai<br />
pondasi dangkal. Ada juga bangunan yang<br />
menggunakan material beton yang rendah.<br />
Berdasarkan penelitian kami ada beberapa bangunan<br />
yang memakai material beton dibawah K 175 dengan<br />
jumlah tulangan yang kurang, baik tulangan Momen<br />
maupun tulangan gesernya. Nyatanya bangunan ini<br />
runtuh setelah kejadian gempa.<br />
Untuk itu perlu kajian kembali peraturan gaya gempa<br />
dan peraturan bangunan tahan gempa untuk<br />
diterapkan didaerah ini.<br />
Kondisi tanah di Sirombu, Nias Barat setelah<br />
Gempa 26 Desember 2004<br />
Kejadian di Sirombu terbalik dari kejadian di Banda<br />
Aceh. Disini tanah di pantai Sirombu diperkirakan<br />
naik 3 meter. Untuk jelasnya dapat dilihat di gambar<br />
13 dibawah dimana Dermaga ini sebelumnya bisa<br />
kapal bersandar dan kapal yang bersandar umumnya<br />
188
Kerusakan Akibat Tsunami dan Gempa Northen Sumatra 26 Desember 2004 terhadap Banda Aceh dan Sirombu Nias Barat<br />
Johannes Tarigan<br />
kapal ikan. Dermaga ini relatif baru dibangun dengan<br />
biaya Rp 6 Milyar. Tetapi setelah Gempa Dermaga<br />
ini praktis tidak bisa dipakai lagi karena lautnya<br />
menjadi dangkal dan ujung dermaganya patah.<br />
Digambar 13 dapat dilihat pantai yang dulunya<br />
tergenang air laut, akan tetapi setelah gempa<br />
permukaan tanah naik sehingga menambah luasan<br />
pantai. Pada saat gempa daerah ini juga terkena<br />
tsunami setinggi 10 meter. Ini ditandai dengan<br />
beberap jenis tanaman yang mati akibat terkena air<br />
laut.<br />
Kerusakan bangunan akibat gempa di Banda Aceh<br />
cukup parah, terutama bangunan 4 lantai keatas.<br />
Sedangkan akibat tsunami cukup banyak terutama<br />
bangunan satu lanatai sampai dua lantai. Bangunan<br />
tersebut rusak disaou gelombang tsunami yang<br />
berkecepatan 500 km/jam.<br />
Di Nias Barat kerusakan bangunan umumnya di<br />
sebabkan oleh tsunami, sedangkan oleh Gempa 26<br />
Desember 2004 tidak begitu menonjol.<br />
Literatur<br />
BMG, 2005, Internet, Indonesia.<br />
Dowrick D.J, 1977,<br />
Design, New Sealand<br />
Earthquake Engineering<br />
Oritz and Billham, 2003, National Geophysical<br />
Date JGR, VOL. 108, NO. B4, pp<br />
2215, Tsunami Laboratory, Institute of<br />
Computational Mathematics and<br />
Mathematical Geophysics, USA.<br />
Walaupun skala gempa cukup besar yakni 9 Skala<br />
Richter, akan tetapi tidak mengakibakan banyak<br />
bagunan rusak akibat getaran gempa. Banguanan<br />
yang rusak umumnya karena gelombang tsunami.<br />
Akibat tsunami korban meninggal lebih kurang<br />
sekitar 180 orang yang umumnya ada di pantai Barat<br />
yakni di kecamatan Sirombu dan Mandrehe dan<br />
sebagian korban juga ada di Nias Selatan. Untuk<br />
daerah Sirombu pada gempa sebelumnya juga pernah<br />
terjadi tsunami. Oleh karena itu perlu perhatian dari<br />
perancang kota untuk memperhitungkan tsunami<br />
didaerah tersebut.<br />
Rosenblueth E and Newmark N.M , 1971,<br />
Fundamental of Earthquake Engineering,<br />
Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs, N.J.<br />
Tarigan, 2005, Pembelajaran dari Gempa Mexico,<br />
Liwa, Aceh dan Nias, Seminar DPRD SU<br />
7 Juli 2005, DPRD SU, Medan.<br />
USGS, 2005, Community Internet Intensity Map,<br />
Internet, Denver<br />
Kesimpulan<br />
Gempa 26 Desember 2004, adalah gempa terbesar<br />
yang menimbulkan korban akibat tsunami yang<br />
terjadi. Sedangkan berdasarkan energi yang<br />
dikeluarkan adalah yang tersbesar ke 3 yang terbesar<br />
didunia sejak tahun 1900 dengan besar 9 Skala<br />
Richter dengan intensitas yang paling besar adalah<br />
IX di kota Banda Aceh.<br />
Tinggi gelombang tsunami di Banda Aceh sekitar 30<br />
m dengan kecepatan gelombang 500 km perjam<br />
dengan panjang jangkauan sekitar 4 km. Waktu yang<br />
ditempuh dari pantai ke darat hanya 28 detik.<br />
Sedangkan di Nias Barat tinggi gelombang sekitar 15<br />
m dengan kecepatan 500 km. Gempa ini juga<br />
menyebabkan adanya penurunan tanah di pantai utara<br />
Banda Aceh sebesar 2 meter. Sedagkan di Nias Barat<br />
terjadi permunculan tanah karang di beberapa tempat<br />
antara lain di Sirombu dan timbulnya beberapa pulau.<br />
189
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
MODEL ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS<br />
UNTUK MENENTUKAN TINGKAT PRIORITAS ALOKASI PRODUK<br />
Fatimah<br />
Jurusan Teknik Industri<br />
Fakultas Teknik <strong>Universitas</strong> Malikulsaleh<br />
Abstrak: PT. Ima Mountaz Sejahtera merupakan salah satu pabrik air minum kemasan yang berada di Aceh<br />
<strong>Utara</strong>, yang bertujuan menghasilkan air minum kemasan yaitu, kemasan Cup 250 ml, 600 ml, 1500 ml dan<br />
galon kemudian mengalokasikannya kebeberapa daerah yang ada di Nanggro Aceh Darussalam yaitu, Banda<br />
Aceh, Lhokseumawe, Langsa dan, Samalanga. Pendistribusian dilakukan dengan mempertimbangkan empat<br />
kriteria yaitu: Penjualan, Keuntungan, Pangsa pasar dan Pertumbuhan.Untuk mendapatkan hasil yang optimal<br />
dengan mempertimbangkan empat kriteria tersebut maka dalam penelitian ini diusulkan menggunakan model<br />
analytical hierarchy process sebagai alat pengambil keputusan untuk pengalokasian produk.<br />
Kata kunci: Analytical Hierarchy Process, Tingkat prioritas dan Alokasi produk<br />
1. PENDAHULUAN<br />
PT. Ima Mountaz I. Sejahtera merupakan salah<br />
satu pabrik air minum kemasan yang berada di Aceh<br />
<strong>Utara</strong> Nanggro Aceh Darussalam. PT. Ini<br />
memproduksi produk dalam empat kemasan yaitu:<br />
kemasan Cup 250ml, 600ml, 1500ml dan dalam<br />
bentuk galon. Dalam menyonsong perdagangan<br />
bebas perusahaan ini dituntut untuk mampu<br />
mengikuti perkembangan yang ada, agar mampu<br />
bersaing dengan perusahaan yang memproduksi<br />
barang sejenis. Pemasaran bagi produsen dapat<br />
menyampaikan produk yang dihasilkan secara tepat<br />
dan cepat ketangan konsumen. Dalam pengalokasian<br />
atau pendistribusian produk, PT. Ima Mountaz<br />
Sejahtera menggunakan saluran distribusi tidak<br />
langsung (Distributor) di beberapa daerah pemasaran.<br />
Untuk memenuhi kebutuhan konsumen, perlu<br />
diketahui kemasan mana yang lebih dipentingkan<br />
konsumen. Untuk mendapatkan suatu keputusan<br />
yang optimal II. diperlukan suatu model yang tepat<br />
supaya ada keseimbangan antara permintaan dengan<br />
produk yang didistribusikan kedaerah pemasaran.<br />
Pengambilan keputusan yang kurang tepat dalam<br />
pengalokasian produk dapat menyebabkan kerugian<br />
bagi perusahaan.Secara umum tujuan dari <strong>industri</strong><br />
dapat berupa bagaimana berproduksi secara sukses,<br />
ekonomis, tepat waktu dan memperoleh keuntungan<br />
(Nasution, 1999). Berdasarkan uraian di atas maka<br />
penelitian ini bertujuan menentukan bobot prioritas<br />
masing-masing daerah pemasaran dan masingmasing<br />
jenis produk untuk mengoptimalkan alokasi<br />
produk yang akan dipasarkan kedaerah pemasaran.<br />
2. ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS<br />
(AHP)<br />
AHP<br />
yang diperkenalkan oleh Thomas L. Saaty pada<br />
periode 1970-an dikenal sebagai pendekatan<br />
pengambilan keputusan dengan kriteria majemuk.<br />
Metode ini sangat baik untuk suatu model<br />
pengambilan keputusan yang cukup kompleks dan<br />
adanya konflik di dalam pengambilan keputusan.<br />
Dalam perkembangannya, AHP tidak saja di gunakan<br />
untuk menentukan prioritas pilihan-pilihan dengan<br />
banyak kriteria, tetapi penerapannya telah meluas<br />
sebagai metode alternatif untuk menyelesaikan<br />
bermacam-macam masalah, seperti memilih<br />
portofolio, alokasi budget, transportasi, perawatan<br />
kesehatan, peramalan dan lain-lain (J. Razmi, 1998;<br />
Sri Mulyono, 2002). Dasar kerja metode AHP ada 3,<br />
yaitu: struktur yang berhirarki, penentuan prioritas<br />
dan konsistensi dari suatu keputusan.<br />
3. STRUKTUR BERHIRARKI<br />
Dalam penjabaran hirarki tujuan, tidak ada<br />
pedoman yang pasti berapa level pengambil<br />
keputusan dapat menjabarkan tujuan menjadi<br />
komponen-komponen sampai tidak mungkin di<br />
lakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga di<br />
dapatkan beberapa tingkatan. Karena alasan ini,<br />
maka proses analisis ini di namakan hirarki (Sri<br />
Mulyono, 2002). Akan tetapi, adakalanya dalam<br />
proses analisis pengambilan keputusan tidak<br />
memerlukan penjabaran yang terlalu terperinci.<br />
Struktur yang berhirarki dari metode AHP dapat di<br />
lihat pada gambar 1 berikut.<br />
190
Model Analitycal Hierarchy Process untuk Menentukan Tingkat Prioritas Alokasi Produk<br />
Fatimah<br />
Level 0: Focus<br />
Level 1: Criteria<br />
Level 2:<br />
Subcriteria<br />
Level 3:<br />
Alternative<br />
Gambar 1. Analitycal Hierarchy – Multi Level Criteria<br />
4. PENENTUAN PRIORITAS<br />
Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena ia akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Penentuan<br />
prioritas dapat di lakukan dengan perbandingan berpasangan, biasanya di tampilkan dalam bentuk matriks yang<br />
di sebut dengan pairwise comparison (Sri Mulyono, 2000). Adapun bentuk matriks nya sebagai tabel 1 berikut:<br />
Tabel 1. Matriks Perbandingan Berpasangan<br />
A1 A2 ....... An<br />
A1 W1/W1 W1/W2 ....... W1/Wn<br />
A= A2 W2/W1 W2/W2 ....... W2/Wn<br />
.... ........... ........... ....... ...........<br />
An Wn/W1 Wn/W2 ....... Wn/Wn<br />
Pertanyaan yang biasa di ajukan dalam penyusunan skala kepentingan adalah: elemen mana yang lebih (penting<br />
/ disukai / mungkin / ...) dan berapa kali lebih (penting / disukai / mungkin / ...) <br />
Untuk memperoleh skala yang lebih akurat, sebaiknya pertanyaan-pertanyaan ini di berikan pada orang yang<br />
bertanggung jawab pada bidangnya. Berikut adalah skala kepentingan perbandingan berpasangan.<br />
Tabel 2. Skala Kepentingan Perbandingan Berpasangan<br />
Tingkat<br />
Definisi<br />
Kepentingan<br />
1 Sama pentingnya di banding yang lain<br />
3 Moderat pentingnya di banding yang lain<br />
5 Kuat pentingnya di banding yang lain<br />
7 Sangat kuat pentingnya di banding yang lain<br />
9 Ekstrim pentingnya di banding yang lain<br />
2, 4, 6, 8 Nilai di antara dua penilaian yang berdekatan<br />
Reciprocal<br />
Jika elemen i memiliki salah satu angka di atas ketika di<br />
bandingkan elemen j, maka j memiliki nilai kebalikannya ketika<br />
di banding elemen i<br />
Sumber: Srimulyono, 2000<br />
191
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
5. KONSISTENSI<br />
Suatu tingkat konsistensi tertentu memang<br />
di perlukan dalam penentuan prioritas. Menurut<br />
Saaty (1994) konsisten tidaknya suatu penilaian di<br />
tunjukkan oleh besarnya nilai CR. Apabila CR
Model Analitycal Hierarchy Process untuk Menentukan Tingkat Prioritas Alokasi Produk<br />
Fatimah<br />
7.2. Analisa data pada level ketiga<br />
Pada level ketiga yang akan dianalisa adalah<br />
matriks perbandingan antara daerah pemasaran yaitu:<br />
B.Aceh, Samalanga, Lhokseumawe dan Langsa.<br />
Hasil perhitungan pembobotan prioritas masingmasing<br />
daerah pemasaran terhadap kriteria pada level<br />
kedua sebagaimana ditunjukkan pada tabel 5.<br />
Setelah dilakukan sintesa akhir, diperoleh<br />
prioritas utama dalam pengalokasian produk adalah<br />
daerah pemasaran B.Aceh kemudian disusul dengan<br />
Lhokseumawe, Langsa dan Samalanga dengan bobot<br />
prioritas masing-masing 0.586, 0.170, 0.158 dan<br />
0.085. Sedangkan nilai untuk konsisten rasio hirarki<br />
diperoleh sebesar 0.082 dan ini menunjukkan bahwa<br />
sintesa antara daerah pemasaran dan keempat kriteria<br />
konsisten.<br />
7.3. Analisa data pada level keempat<br />
Pada level keempat, yang akan dianalisis<br />
adalah matriks perbandingan jenis produk yang<br />
dipasarkan pada suatu daerah pemasaran. Analisis ini<br />
dilakukan terhadap keempat jenis produk<br />
berdasarkan keempat kriteria yang ada.<br />
7.3.1. Daerah pemasaran B.Aceh<br />
Dari hasil perhitungan bobot prioritas<br />
berdasarkan kriteria yang ada untuk daerah<br />
pemasaran B.Aceh sebagaimana ditunjukkan pada<br />
tabel 6. Hasil perhitungan sintesa akhir menunjukkan<br />
air kemasan Cup 250 ml menjadi prioritas utama<br />
dalam distribusi produk dan disusul oleh air kemasan<br />
600 ml., 1500 ml dan Galon, dengan bobot prioritas<br />
masing-masing 0.426, 0.265, 0.159 dan 0.075.<br />
Sedangkan nilai untuk konsisten rasio hirarki<br />
diperoleh sebesar 0.069 dan ini menunjukkan bahwa<br />
sintesa jenis produk pada daerah pemasaran B. Aceh<br />
berdasarkan keempat kriteria adalah konsisten.<br />
7.3.2. Daerah pemasaran Lhokseumawe<br />
Dari hasil perhitungan bobot prioritas<br />
berdasarkan kriteria yang ada untuk daerah<br />
pemasaran Lhokseumawe sebagaimana ditunjukkan<br />
pada tabel 7. Hasil perhitungan sintesa akhir<br />
menunjukkan air kemasan 1500 ml menjadi prioritas<br />
utama dalam distribusi produk dan disusul oleh air<br />
kemasan 600 ml., Cup 250 ml dan Galon, dengan<br />
bobot prioritas masing-masing 0.368, 0.314, 0.225<br />
dan 0.092. Sedangkan nilai untuk konsisten rasio<br />
hirarki diperoleh sebesar 0.069 dan ini menunjukkan<br />
bahwa sintesa jenis produk pada daerah pemasaran<br />
Lhokseumawe berdasarkan keempat kriteria adalah<br />
konsisten.<br />
Tabel 5: Bobot Prioritas Masing-masing Daerah Pemasaran terhadap kriteria pada level kedua<br />
Daerah<br />
Kriteria<br />
Bobot<br />
Pemasaran Keuntungan Penjualan Pangsa Pasar Pertumbuhan prioritas<br />
B. Aceh 0.630 0.500 0.647 0.522 0.586<br />
Lhokseumawe 0.175 0.236 0.066 0.200 0.170<br />
Langsa 0.156 0.210 0.073 0.200 0.158<br />
Samalanga 0.040 0.055 0.214 0.078 0.085<br />
λ max 4.189 4.221 4.154 4.471<br />
CI 0.063 0.074 0.051 0.157<br />
CR 0.070 0.082 0.060 0.020<br />
Jenis Produk<br />
kemasan<br />
Tabel 6: Bobot Prioritas Jenis Produk pada Daerah Pemasaran B. Aceh<br />
Berdasarkan Keempat Kriteria<br />
Bobot<br />
Prioritas<br />
Kriteria<br />
Keuntungan Penjualan Pangsa Pasar Pertumbuhan<br />
Cup 250 0.563 0.532 0.302 0.058 0.426<br />
600 ml 0.230 0.254 0.495 0.056 0.265<br />
1500 ml 0.150 0.156 0.148 0.202 0.159<br />
Galon 0.056 0.058 0.055 0.184 0.075<br />
λ max 4.137 4.073 4.278 4.262<br />
CI 0.050 0.024 0.093 0.087<br />
CR 0.05 0.03 0.10 0.10<br />
193
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Tabel 7: Bobot Prioritas Jenis Produk pada Daerah Pemasaran Lhokseumawe<br />
Berdasarkan Keempat Kriteria<br />
Jenis Produk<br />
kemasan<br />
Cup 250<br />
Bobot<br />
Kriteria<br />
Prioritas<br />
Keuntungan Penjualan Pangsa Pasar Pertumbuhan<br />
0.097 0.622 0.112 0.100 0.225<br />
600 ml 0.338 0.202 0.479 0.200 0.314<br />
1500 ml 0.475 0.115 0.308 0.567 0.368<br />
Galon 0.090 0.060 0.102 0.133 0.092<br />
λ max 4.071 4.244 4.267 4.108<br />
CI 0.024 0.081 0.089 0.036<br />
CR 0.03 0.09 0.10 0.04<br />
7.3.3. Daerah pemasaran Langsa<br />
Dari hasil perhitungan bobot prioritas<br />
berdasarkan kriteria yang ada untuk daerah<br />
pemasaran Langsa sebagaimana ditunjukkan pada<br />
tabel 8. Nilai sintesa akhir menunjukkan air kemasan<br />
Cup 250 ml menjadi prioritas utama dalam distribusi<br />
produk dan disusul oleh air kemasan 600 ml., Galon<br />
dan 1500 ml dengan bobot prioritas masing-masing<br />
0.375, 0.278, 0.224dan 0.141. Sedangkan nilai untuk<br />
konsisten rasio hirarki diperoleh sebesar 0.076 dan<br />
ini menunjukkan bahwa sintesa jenis produk pada<br />
daerah pemasaran Langsa berdasarkan keempat<br />
kriteria adalah konsisten.<br />
7.3.4. Daerah pemasaran Samalanga<br />
Dari hasil perhitungan bobot prioritas<br />
berdasarkan kriteria yang ada untuk daerah<br />
pemasaran Samalanga sebagaimana ditunjukkan pada<br />
tabel 9. Hasil perhitungan sintesa akhir menunjukkan<br />
air kemasan 1500 ml menjadi prioritas utama dalam<br />
distribusi produk dan disusul oleh air kemasan Cup<br />
250 ml., Galon dan Cup 250 ml, dengan bobot<br />
prioritas masing-masing 0.316, 0.293, 0.237 dan<br />
0.132. Sedangkan nilai untuk konsisten rasio hirarki<br />
diperoleh sebesar 0.080 dan ini menunjukkan bahwa<br />
sintesa jenis produk pada daerah pemasaran<br />
Lhokseumawe berdasarkan keempat kriteria adalah<br />
konsisten.<br />
Jenis Produk<br />
kemasan<br />
Tabel 8: Bobot Prioritas Jenis Produk pada Daerah Pemasaran Langsa<br />
Berdasarkan Keempat Kriteria<br />
Kriteria<br />
Keuntungan Penjualan Pangsa Pasar Pertumbuhan<br />
Bobot<br />
Prioritas<br />
Cup 250 0.080 0.689 0.700 0.102 0.375<br />
600 ml 0.377 0.098 0.146 0.479 0.278<br />
1500 ml 0.138 0.077 0.103 0.306 0.141<br />
Galon 0.405 0.135 0.051 0.112 0.224<br />
λ max 4.225 4.151 4.153 4.265<br />
CI 0.075 0.051 0.051 0.088<br />
CR 0.06 0.08 0.06 0.10<br />
194
Model Analitycal Hierarchy Process untuk Menentukan Tingkat Prioritas Alokasi Produk<br />
Fatimah<br />
Tabel 9: Bobot Prioritas Jenis Produk pada Daerah Pemasaran Samalanga<br />
Berdasarkan Keempat Kriteria<br />
Jenis Produk<br />
Kriteria<br />
kemasan<br />
Keuntungan Penjualan Pangsa Pasar Pertumbuhan<br />
Bobot<br />
Prioritas<br />
Cup 250 0.277 0.597 0.075 0.297 0.293<br />
600 ml 0.078 0.227 0.151 0.102 0.132<br />
1500 ml 0.548 0.128 0.265 0.056 0.316<br />
Galon 0.096 0.047 0.508 0.546 0.237<br />
λ max 4.163 4.259 4.196 4.244<br />
CI 0.054 0.086 0.065 0.081<br />
CR 0.1 0.06 0.07 0.09<br />
Tabel 10: Prioritas Utama Jenis Produk Yang Dialokasikan<br />
Jenis Produk<br />
Daerah Pemasaran<br />
B. Aceh Lhokseumawe Langsa Samalanga<br />
Cup 250 ml 0.426 0.225 0.375 0.293<br />
600 ml 0.265 0.314 0.278 0.132<br />
1500 ml 0.159 0.368 0.141 0.316<br />
Galon 0.075 0.092 0.224 0.237<br />
8. KESIMPULAN<br />
Berdasarkan pembahasan dan analisis yang<br />
telah dilakukan dapat diambil kesimpulan yaitu:<br />
Prioritas utama distribusi atau pengalokasian produk<br />
pada daerah pemasaran adalah yang memiliki bobot<br />
prioritas tertinggi B. Aceh dengan bobot prioritas<br />
0.586, Lhokseumawe dengan bobot prioritas 0.170,<br />
Langsa dengan bobot prioritas 0.158 dan Samalanga<br />
dengan bobot prioritas 0.085.<br />
Sedangkan jenis produk yang menjadi prioritas<br />
utama dalam pengalokasian produksi kedaerah<br />
pemasaran adalah yang memiliki bobot prioritas<br />
tertinggi seperti yang ditunjukkan pada tabel 10.<br />
9. DAFTAR PUSTAKA<br />
Kasim Muhammad, (2001), Penerapan Analitik<br />
Hirarki Proses dan Goal Programming<br />
Untuk Mengoptimalkan Distribusi Produksi<br />
Pada PT. Coca Cola Amatil Indonesia Unit<br />
Operasi Makasar, Tesis, Statistika, ITS,<br />
Surabaya.<br />
Nasution Arman Hakim, (1999), Perencanaan &<br />
pengendalian Produksi, Guna Widya,<br />
Jakarta.<br />
Razmi J, dan Khan M. K., (1996), Use of Analytic<br />
Hierarchy Process Approach In<br />
Classification of Push, Pull and Hybrid<br />
Push-Pull Systems For Production Planning,<br />
Journal of Operation & Production<br />
Management, Vol. 18, No. 11.<br />
Saaty , Thomas L, (1994), Fundamentals of Decision<br />
Making And Priority Theory With The<br />
Analytic Hierarchy Process, Vol. VI, RWS<br />
Publications<br />
Mulyono Sri, M.SS. Drs., (2000), Peramalan Bisnis<br />
dan Ekonometrika, BPFE, Yogyakarta.<br />
Mulyono Sri, SE, MSc., (2002), Riset Operasi,<br />
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi<br />
<strong>Universitas</strong> Indonesia.<br />
195
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
MUTUALLY EXCLUSIVE ALTERNATIVE PROJECT UNTUK<br />
ANALISIS KELAYAKAN USAHA INDUSTRI KECIL<br />
A Hadi Arifin<br />
Fakultas Ekonomi <strong>Universitas</strong> Malikussaleh<br />
Abstrak: Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan<br />
manusia Indonesia secara keseluruhan. Dalam hal ini pemerintah telah mengarahkan perhatian agar<br />
pembangunan sektor <strong>industri</strong> dititikberatkan pada peningkatan dan pembangunan <strong>industri</strong> kecil. Industri kecil<br />
kerajinan rotan merupakan <strong>industri</strong> kecil yang paling banyak ditekuni oleh masyarakat di kecamatan Jeumpa<br />
kabupaten Bireuen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prospek usaha <strong>industri</strong> kecil kerajinan rotan di<br />
kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen untuk masa yang akan datang berkaitan dengan adanya gangguan<br />
keamanan yang mengakibatkan berkurangnya pendapatan para pengusaha <strong>industri</strong> kecil kerajinan rotan serta<br />
mengetahui faktor permasalahan yang sedang dihadapai oleh para pengusaha kerajinan rotan khususnya di<br />
kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen.<br />
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang didapat langsung dengan mewawancara<br />
pemilik dari tempat usaha kerajinan rotan yang berasal dari tiga usaha <strong>industri</strong> kerajinan rotan yaitu, Al- Fata,<br />
Coslat Rotan Furniture dan UD.Fadillah. Untuk menguji hipotesis digunakan model Studi Kelayakan Bisnis<br />
yaitu : Net Present Value, Internal Rate of Return, dan Net Benefit Cost of ratio dan lain sebagainya. Dalam<br />
penentuan pemilihan terhadap usaha yang akan diinvestasikan dan memiliki propek digunakan metode Mutually<br />
exclusive alternative project untuk mendapatkan perbandingan dari ketiga usaha tersebut dan diperoleh hasil<br />
bahwa NPV usaha kerajinan rotan Al-Fata adalah Rp 714.104,- Coslat Rotan Furniture Rp 1.147.172,- dan<br />
UD.Fadillah Rp 56.854,- dengan IRR berturut-turut 18,78 %, 37,16 %, dan 18,07 %, dan Net B/C masingmasing<br />
sebesar 1,02; 1,11; dan 1,00. Dari ketiga hasil tersebut, dengan menggunakan metode pemilihan usaha<br />
Mutually exclusive alternative project maka usaha kerajinan Coslat Rotan Furniture yang memiliki NPV, IRR,<br />
dan Net B/C tertinggi yang memiliki prospek yang cukup baik untuk dikembangkan walaupun usaha tersebut<br />
memiliki jumlah investasi yang sangat kecil jika dibandingkan dengan Al-Fata dan UD. Fadillah.<br />
Key words: NPV, IRR, Net B/C dan Mutually exclusive alternative project.<br />
PENDAHULUAN<br />
Pembangunan nasional pada hakikatnya<br />
adalah pembangunan manusia seutuhnya dan<br />
pembangunan manusia Indonesia secara keseluruhan.<br />
Guna mencapai tujuan tersebut, maka pembangunan<br />
dibagi dalam berbagai sektor ekonomi dan sosial<br />
yang dilaksanakan secara bertahap dan terpadu yang<br />
diharapkan dapat mengembangkan berbagai potensi<br />
alam maupun potensi manusianya.<br />
Dalam rangka mengembangkan potensipotensi<br />
tersebut agar lebih rasional dan terarah<br />
diperlukan informasi-informasi yang cukup dan dapat<br />
dipercaya sehingga setiap permasalahan yang<br />
dihadapi dapat dikaji lebih teliti, mendalam serta<br />
direncanakan cara-cara pemecahan yang lebih baik<br />
dan tepat.<br />
Tingginya tingkat pengangguran pada masa<br />
sekarang ini menandakan belum mampunya<br />
pemerintah atau badan usaha swasta dalam<br />
menggunakan atau memanfaatkan sumber daya<br />
manusia yang terus bertambah. Apabila keadaan ini<br />
terus berlanjut maka cepat atau lambat akan<br />
mempengaruhi perekonomian suatu daerah secara<br />
khusus dan perekonomian nasional secara umum dan<br />
juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap<br />
tingkat produktivitas dan produksi secara umum.<br />
Dalam upaya mengatasi hal-hal yang disebutkan di<br />
atas yaitu penerapan tenaga kerja, maka sektor<br />
<strong>industri</strong> kecil dianggap paling mampu menyerap<br />
tenaga kerja yang lebih banyak.<br />
Dalam hal ini pemerintah telah<br />
mengarahkan perhatian agar pembangunan sektor<br />
<strong>industri</strong> dititikberatkan pada peningkatan dan<br />
pembangunan <strong>industri</strong> kecil. Karena <strong>industri</strong> kecil<br />
dianggap paling mampu menyerap tenaga kerja<br />
disekitarnya di samping dapat meningkatkan<br />
pendapatan masyarakat yang berpenghasilan rendah.<br />
Menurut Tunggal (1996:58) <strong>industri</strong> merupakan<br />
himpunan semua penjual suatu produk, di mana<br />
produk yang dihasilkan tersebut merupakan<br />
pengolahan dari suatu bahan tertentu untuk<br />
menghasilkan jasa pelayanan atau produk dalam<br />
bisnis.<br />
Industri kecil mempunyai prospek yang baik<br />
bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat, karena hasil<br />
produksi <strong>industri</strong> kecil seperti kerajinan rotan,<br />
sulaman, bordir, produk-produk suvenir yang<br />
menunjukan ciri khas budaya daerah suatu bangsa<br />
memiliki daya tarik tersendiri bagi konsumen di<br />
samping dapat menunjukkan tingginya kebudayaan<br />
bangsa tersebut.<br />
Industri pengolahan rotan merupakan salah<br />
196
Mutually Exclusive Alternative Project untuk Analisis Kelayakan Usaha Industri Kecil<br />
A. Hadi Arifin<br />
satu <strong>industri</strong> kecil yang banyak dikembangkan oleh<br />
masyarakat terutama di Kecamatan Jeumpa<br />
Kabupaten Bireuen. Industri pengolahan rotan adalah<br />
salah satu <strong>industri</strong> non migas yang menjadi perhatian<br />
pemerintah untuk dikembangkan di samping hasil<br />
produknya yang cukup banyak diminati oleh<br />
masyarakat. Oleh karena itu <strong>industri</strong> pengolahan<br />
rotan di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen<br />
sangat mendukung tujuan pembangunan nasional,<br />
terutama dalam menciptakan lapangan kerja, serta<br />
meningkatkan pendapatan masyarakat. Di samping<br />
itu pengembangan <strong>industri</strong> pengolahan rotan ini<br />
diharapkan dapat mengoptimalkan sumber daya alam<br />
serta sumber daya manusia yang tersedia.<br />
Adapun jenis-jenis kerajinan yang<br />
dihasilkan seperti kursi, meja, sofa, lemari, meja rias,<br />
tudung saji, ayunan, tempat tidur, mainan anak-anak<br />
dan lain sebagainya. Bahan baku rotan biasanya<br />
didatangkan dari pengumpul rotan di kawasan<br />
pedalaman daerah seperti Krueng Simpo, Lhoksukon,<br />
Panton Labu, Jeunib, dan daerah lainnya. Namun<br />
akhir-akhir ini karena konflik yang berkepanjangan<br />
di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam khususnya di<br />
daerah pedalaman yang rawan menyebabkan para<br />
pengrajin rotan kesulitan untuk mendapatkan bahan<br />
baku rotan dengan mutu yang baik dibandingkan<br />
dengan keadaan sebelum terjadinya konflik.<br />
Mengingat terbatasnya bahan baku, dana,<br />
waktu, dan tenaga dalam mengerjakan suatu proyek,<br />
mendorong para investor untuk mengadakan<br />
pemilihan terhadap proyek yang akan memberikan<br />
keuntungan yang lebih baik di antara bermacammacam<br />
proyek/usaha yang mungkin untuk<br />
dikembangkan. Untuk melakukan pemilihan<br />
usaha/proyek yang dapat memberikan keuntungan<br />
maksimum, ditinjau dari hasil kriteria investasi salah<br />
satunya dilakukan dengan cara Mutually exclusive<br />
alternative project.<br />
Ibrahim (2003:170) mendefinisikan<br />
“Mutually exclusive alternative project adalah<br />
memilih salah satu alternatif dari beberapa alternative<br />
yang lebih baik, karena tidak mungkin melakukan<br />
beberapa proyek dalam waktu yang bersamaan, baik<br />
yang disebabkan oleh terbatasnya waktu, dana,<br />
maupun tenaga yang diperlukan”. Kadariah (1986 :<br />
64) menyebutkan bahwa mutually exclusive dapat<br />
terjadi jika harus dipilih antara proyek yang<br />
berlainan, atau antara bentuk atau ukuran yang<br />
berbeda dan proyek yang sama.<br />
Tujuan yang ingin dicapai dalam metode ini<br />
adalah mencari salah satu alternatif yang<br />
memberikan benefit yang terbesar sesuai dengan<br />
kemampuan para investor. Apabila hasil kriteria<br />
investasi tidak konsisten di antara kegiatan<br />
usaha/proyek, maka perlu dipertimbangkan beberapa<br />
faktor, antara lain jumlah investasi yang diperlukan,<br />
waktu pengembalian investasi, serta jangka waktu<br />
pembangunan proyek, maka digunakan metode<br />
Mutually Exclusive Alternative Project.<br />
METODOLOGI<br />
Usaha kerajinan rotan yang dijadikan<br />
sampel merupakan usaha yang telah mendapat izin<br />
resmi dari pemerintah dan terdaftar pada Dinas<br />
Per<strong>industri</strong>an, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten<br />
Bireuen. Data yang digunakan untuk ketiga sampel<br />
usaha kerajinan rotan data primer, kemudian diolah<br />
dengan menggunakan analisis kriteria investasi dan<br />
metode mutually exclusive alternative project guna<br />
menentukan dan memilih salah satu dari tiga usaha<br />
kerajinan rotan yang terbaik untuk dikembangkan.<br />
Menurut Ibrahim (2003:141) formulasi yang biasa<br />
digunakan untuk analisis kriteria investasi dengan<br />
metode Mutually exclusive alternative project adalah<br />
sebagai berikut:<br />
1. Melihat Net Present Value (NPV) merupakan<br />
selisih antara present value dari benefit dan<br />
present value dari biaya-biaya. Menurut Kasmir<br />
(2003:157) Net Present Value (NPV) atau nilai<br />
bersih sekarang merupakan perbandingan antara<br />
PV kas bersih dengan PV Investasi selama umur<br />
investasi. Sedangkan menurut Ibrahim<br />
(2003:142) Net Present Value (NPV) merupakan<br />
net benefit yang telah di diskon dengan<br />
menggunakan social opportunity cost of capital<br />
(SOCC) sebagai discount factor.<br />
NPV<br />
=<br />
n<br />
∑<br />
i=<br />
1<br />
( 1 + )<br />
NB i<br />
i<br />
−n<br />
2. Tingkat pengembalian internal atau dikenal<br />
dengan Internal Rate of Return (IRR) merupakan<br />
suatu <strong>teknik</strong> untuk membuat peringkat usulan<br />
investasi dengan menggunakan tingkat<br />
pengembalian atas investasi.Internal Rate of<br />
Return (IRR) menunjukkan bahwa tingkat bunga<br />
yang akan menghasilkan present value dari<br />
sebuah proyek atau usaha sama dengan nol.<br />
Halim (2003:140) memberikan definisi Internal<br />
Rate of Return (IRR) sebagai “ tingkat bunga<br />
yang dapat membuat Net Present Value dari<br />
sebuah usaha sama dengan nol, karena present<br />
value dari cash flow pada tingkat bunga tersebut<br />
sama dengan internal investasinya”.<br />
NPVi IRR − i +<br />
i i<br />
1 2<br />
−<br />
1<br />
NPV − NPV<br />
( ) ( )<br />
1<br />
3. Net Benefit Cost ratio (NetB/C Ratio) merupakan<br />
perbandingan antara net benefit yang telah di<br />
discount positif dengan net benefit yang telah di<br />
discount negatif..<br />
Net B/C<br />
n<br />
∑<br />
i=<br />
1<br />
= n<br />
∑<br />
i=<br />
1<br />
NB ( + )<br />
i<br />
NB ( −)<br />
i<br />
2<br />
197
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
4. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C)<br />
merupakan perbandingan antara benefit kotor<br />
yang telah di discount dengan biaya secara<br />
keseluruhan yang telah di discount. Adapun<br />
formulanya adalah :<br />
Gross<br />
B/C<br />
n<br />
∑<br />
B(1<br />
+ i)<br />
−n<br />
i=<br />
1<br />
= n<br />
−n<br />
∑Ci<br />
(1 + i)<br />
i=<br />
1<br />
5. Analisis Profitability Ratio akan digunakan<br />
untuk mengukur perbandingan antara selisih<br />
benefit dengan biaya operasional dan<br />
pemeliharaan dibanding dengan besarnya<br />
investasi yang akan dikeluarkan. Ibrahim<br />
(2003:152) mengatakan “Profitability Ratio<br />
merupakan suatu ratio perbandingan antara<br />
selisih benefit dengan biaya operasi dan<br />
pemeliharaan dibanding dengan jumlah<br />
investasi.”Kasmir (2003:163) menyebutkan<br />
bahwa “ Profitability Ratio (PR) merupakan<br />
rasio aktivitas dari jumlah nilai sekarang<br />
penerimaan bersih dengan nilai sekarang<br />
pengeluaran investasi selama umur investasi.”<br />
Nilai dari masing-masing variabel dalam bentuk<br />
present value atau nilai yang telah di discount<br />
dengan discount factor dari Social Opportunity<br />
Cost of Capital (SOCC) yang berlaku dalam<br />
masyarakat.<br />
PR<br />
n<br />
∑<br />
B<br />
−<br />
∑<br />
i=<br />
1<br />
n<br />
∑<br />
i<br />
i= 1 i=<br />
1<br />
=<br />
n<br />
I<br />
i<br />
OM<br />
6. Break event point (BEP) adalah titik pulang<br />
pokok dimana total revenue sama dengan total<br />
cost.<br />
BEP<br />
T<br />
n<br />
∑<br />
=<br />
i=<br />
1<br />
ρ −1<br />
+<br />
i=<br />
1<br />
ρ<br />
ii<br />
TCi −<br />
B<br />
n<br />
∑<br />
B<br />
iep−1<br />
7. Mutually exclusive alternative project, yaitu<br />
metode yang digunakan dalam memilih salah<br />
satu usaha yang memilki prospek yang cukup<br />
baik dilihat dari nilai NPV, IRR dan Benefit<br />
yang diperoleh selama umur ekonomis.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Dari hasil penelitian yang penuli dilakukan diketahui<br />
bahwa untuk mendirikan usaha <strong>industri</strong> kecil<br />
kerajinan rotan diperlukan sejumlah investasi<br />
tertentu. Perkiraan jumlah investasi ini<br />
menggambarkan jumlah investasi yang dibutuhkan<br />
dari pendirian usaha <strong>industri</strong> kecil kerajinan rotan.<br />
Perkiraan jumlah investasi dari tiga usaha <strong>industri</strong><br />
kecil kerajinan rotan seperti terlihat dalam Tabel 1 di<br />
bawah ini.<br />
Tabel 1<br />
Perkiraan Jumlah Investasi dan Modal Usaha Industri Kecil<br />
Kerajinan Rotan Al-Fata<br />
No. Jenis Investasi & Modal Kerja Jumlah<br />
A<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
Jenis Investasi<br />
Bangunan Usaha<br />
1 unit Mesin Poli<br />
1 unit Mesin Pembengkok<br />
2 unit Kompor Tembak<br />
2 unit Bor Listrik<br />
Alat Perlengkapan lainnya<br />
35.000.000<br />
7.400.000<br />
4.500.000<br />
300.000<br />
200.000<br />
250.000<br />
B<br />
Jumlah Investasi<br />
Modal Kerja<br />
47.650.000<br />
8.000.000<br />
Total 55.650.000<br />
Sumber : Data Penelitian (diolah), 2005<br />
198
Mutually Exclusive Alternative Project untuk Analisis Kelayakan Usaha Industri Kecil<br />
A. Hadi Arifin<br />
Dari Tabel 1 terlihat bahwa total investasi<br />
dan modal kerja yang diperlukan adalah sebesar Rp<br />
55.650.000,-. Jumlah investasi sebesar ini<br />
diperkirakan yang dapat dibiayai sendiri yaitu<br />
sebesar Rp 35.650.000,- Dan sumber dana selebihnya<br />
dibiayai dari pinjaman Bank yang diperkirakan<br />
sebesar Rp 20.000.000,- dengan tingkat bunga 18 %<br />
setahun dan dimajemukkan selama 5 tahun. Sumber<br />
dana yang berasal dari Bank akan dikenakan bunga<br />
pinjaman yaitu sebesar 18 %.<br />
Usaha kerajinan rotan yang dijadikan<br />
sampel perhitungan kedua yaitu usaha kerajinan<br />
rotan Coslat Rotan Furniture dengan perkiraan<br />
jumlah investasi dan modal kerja seperti dalam Tabel<br />
2 berikut :<br />
Tabel 2<br />
Perkiraan Jumlah Investasi dan Modal Usaha Industri Kecil<br />
Kerajinan Rotan Coslat Rotan Furniture<br />
No. Jenis Investasi & Modal Kerja Jumlah<br />
A<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
Jenis Investasi<br />
Bangunan Usaha<br />
Satu unit Kompor Tembak<br />
Satu unit Bor Listrik<br />
Alat perlengkapan lainnya<br />
B<br />
10.000.000,-<br />
175.000,-<br />
120.000,-<br />
100.000,-<br />
Jumlah Investasi<br />
10.395.000,-<br />
Modal Kerja<br />
5.000.000,-<br />
Total 15.395.000,-<br />
Dari Tabel 2 terlihat bahwa jumlah investasi dan modal kerja yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 15.395.000,- .<br />
Kebutuhan dana ini dipenuhi dari modal sendiri sebesar Rp 10.395.000,- ditambah dengan pinjaman pada bank<br />
sebesar Rp 5.000.000,- dengan tingkat bunga pada saat itu 18 % dan jangka waktu pengembalian selama 5 tahun.<br />
Selanjutnya, usaha kerajinan rotan yang dijadikan sampel penelitian yang ketiga yaitu UD. Fadillah<br />
dengan perkiraan jumlah investasi dan modal kerja terlihat dalam Tabel 3 sebagai berikut :<br />
Tabel 3<br />
Perkiraan Jumlah Investasi dan Modal Usaha Industri Kecil<br />
Kerajinan Rotan Fadillah<br />
No. Jenis Investasi & Modal Kerja Jumlah<br />
A<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
Jenis Investasi<br />
Bangunan Usaha<br />
Satu unit Mesin Poli sedang<br />
Satu unit Mesin Pembengkok<br />
Satu unit Kompor Tembak<br />
Satu unit Bor Listrik<br />
Alat Perlengkapan lainnya<br />
25.000.000,-<br />
5.000.000,-<br />
4.500.000,-<br />
220.000,-<br />
175.000,-<br />
150.000,-<br />
B<br />
Jumlah Investasi<br />
Modal Kerja<br />
35.045.000,-<br />
10.500.000,-<br />
Total 45.545.000,-<br />
Sumber : Data Penelitian (diolah), 2005<br />
Dari Tabel 3 terlihat bahwa jumlah investasi dan modal kerja yang dibutuhkan adalah sebesar Rp<br />
45.545.000,- . Kebutuhan dana ini dipenuhi dari modal sendiri sebesar Rp 35.545.000,- ditambah dengan<br />
pinjaman pada bank sebesar Rp 10.000.000,- dengan tingkat bunga pada saat itu 18 % dan jangka waktu<br />
pengembalian selama 5 tahun.<br />
Untuk melihat gambaran selengkapnya tentang jumlah angsuran, pengembalian pokok pinjaman dan<br />
bunga pinjaman dari ketiga usaha kerajinan rotan yaitu Al-Fata, Coslat Rotan Furniture dan UD. Fadillah<br />
rumusan seperti berikut ini<br />
R<br />
⎡<br />
An⎢<br />
⎣1−<br />
=<br />
−n<br />
i<br />
( + i)<br />
⎤<br />
⎥<br />
⎦<br />
199
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Salah satu piranti yang akan digunakan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu usaha adalah Net<br />
Present Value (NPV). Net Present Value merupakan kriteria investasi yang sangat penting dalam mengukur<br />
suatu usaha apakah layak atau tidak. Net Present Value merupakan Net Benefit yang telah di-discount dengan<br />
Social Opportunity Cost of Capital (SOCC) atau dengan kata lain Net Present Value adalah keuntungan bersih<br />
yang akan diterima setelah disesuaikan dengan tingkat suku bunga yang berlaku.<br />
Untuk mengetahui hasil perhitungan Net Present Value dari usaha <strong>industri</strong> kecil kerajinan rotan untuk<br />
ke tiga usaha yaitu kerajinan rotan Al- Fata, kerajinan Coslat Rotan Furniture dan kerajinan rotan UD. Fadillah<br />
yang berlokasi di Kecamatan Jeumpa akan diperlihatkan pada Lampiran 1, 2 dan 3.<br />
Net Present Value usaha <strong>industri</strong> kecil kerajinan rotan adalah :<br />
NPV<br />
=<br />
n<br />
∑<br />
i=<br />
1<br />
NB i<br />
1<br />
( + i )<br />
−n<br />
NPV Al-Fata = (35.650.000) + 4.923.127+4.172.023 +9.094.918 +<br />
7.708.115 +10.465.922 = 714.104<br />
NPV Coslat = (10.395.000) + 2.578.942 + 2.185.482 + 1.851.970 +<br />
2.666.299 + 2.259.479 = 1.147.172<br />
NPV UD. Fadillah = (35.545.000) + 7.839.332 + 6.643.314 + 8.231.284 +<br />
6.976.169 + 5.911.755 = 56.854<br />
Angka Net Present Value yang menjauhi<br />
angka nol menunjukkan keuntungan bersih yang<br />
diperoleh oleh seorang pengusaha tersebut ada<br />
peningkatan walaupun jumlahnya sangat kecil, hal ini<br />
juga membuktikan bahwa usaha kerajinan rotan<br />
masih layak untuk dikembangkan. Net Present Value<br />
yang sama dengan nol bukan berarti perusahaan tidak<br />
memperoleh keuntungan atau dengan kata lain<br />
perusahaan bukan berada pada pada titik impas<br />
(Break Event Point), akan tetapi Net Present Value<br />
sama dengan nol menunjukkan bahwa perusahaan<br />
tetap mampu memperoleh keuntungan secara normal<br />
yang disebut dengan profit. Langkah selanjutnya<br />
adalah mencari nilai Internal Rate of Return dari<br />
ketiga usaha kerajinan rotan tersebut.<br />
Internal Rate of Return Usaha Industri Kecil<br />
Kerajinan Rotan<br />
Internal Rate of Return adalah tingkat bunga<br />
yang akan menghasilkan nilai Net Present Value<br />
sama dengan nol. Angka Internal Rate of Return<br />
yang diperoleh akan menggambarkan tingkat suku<br />
bunga yang menyamakan nilai Net Present Value,<br />
tentunya Internal Rate of Return yang lebih besar<br />
dari tingkat Social Opportunity Cost of Capital,<br />
sehingga usaha tersebut dapat dikatakan feasible.<br />
Untuk menentukan besarnya IRR lebih jelasnya<br />
terlihat pada Lampiran 1, 2 dan 3.<br />
Berdasarkan hasil perhitungan diketahui<br />
bahwa IRR ketiga usaha kerajinan rotan tersebut<br />
adalah :<br />
IRR=<br />
i1<br />
+<br />
NPV<br />
( ) ( i ) 2 −i1<br />
NPV−NPV<br />
1<br />
IRRAl-Fata=<br />
0,8+<br />
= 0,1878<br />
2<br />
714.104<br />
( ( )) ( 0.25−0.18<br />
)<br />
714.104−<br />
−5.666.204<br />
Jadi : IRR AL-Fata = 18,78 %<br />
IRR Coslat = 37,16 %<br />
IRR UD.Fadillah = 18,07 %<br />
Berdasarkan perhitungan diatas, diperlihatkan bahwa<br />
hasil perhitungan IRR adalah 18,78 %, 37,16 % dan<br />
18,07 % ; lebih besar dari SOCC = 18 % , maka<br />
usaha kerajinan rotan di Kecamatan Jeumpa masih<br />
layak untuk dikembangkan.<br />
Net Benefit Cost of Ratio Usaha Industri Kecil<br />
Kerajinan Rotan<br />
Net Benefit Cost of Ratio merupakan<br />
perbandingan antara Net Benefit yang telah di<br />
discount positif dengan Net Benefit yang telah di<br />
discount negatif, seperti berikut ini:<br />
Net B/C =<br />
Net<br />
B/C<br />
n<br />
∑<br />
i=<br />
1<br />
n<br />
∑<br />
i=<br />
1<br />
NBi<br />
NBi<br />
Al - Fata<br />
( + )<br />
( −)<br />
=<br />
36.364.105<br />
35.650.000<br />
= 1.020<br />
Net B/C Coslat = 1,110<br />
Net B/C UD.Fadillah = 1.002<br />
200
Mutually Exclusive Alternative Project untuk Analisis Kelayakan Usaha Industri Kecil<br />
A. Hadi Arifin<br />
Berdasarkan pada hasil perhitungan di atas,<br />
Net Benefit Cost Ratio yang dihitung lebih besar dari<br />
pada satu (Net B/C > 1), ini menunjukkan bahwa<br />
usaha <strong>industri</strong> kerajinan rotan masih layak untuk<br />
dikembangkan.<br />
IV. Analisis Break Event Point Usaha Industri<br />
Kecil Kerajinan Rotan<br />
Break event point merupakan titik pulang<br />
pokok di mana total revenue sama dengan total cost.<br />
Di lihat dari jangka waktu pelaksanaan sebuah<br />
usaha, terjadinya titik pulang pokok tergantung<br />
pada lama arus penerimaan sebuah usaha dapat<br />
menutupi segala biaya operasi dan pemeliharaan<br />
beserta biaya modal lainnya hasilnya berikut :<br />
TCi − B<br />
i=<br />
1 i=<br />
1<br />
BEP = Tρ<br />
-1<br />
+<br />
B<br />
BEP Al - Fata<br />
n<br />
∑<br />
= 4 +<br />
∑<br />
iep−1<br />
426.375.415 - 466.779.975<br />
60.055.598<br />
- 40.404.560<br />
= 4 +<br />
60.055.598<br />
BEP Al-Fata = 3,3272<br />
~ 3 tahun 9 bulan<br />
ρ<br />
n<br />
BEP Coslat = 3,1227<br />
~ 3 tahun 4 bulan<br />
BEP UD. Fadillah = 2,9349<br />
~2 tahun 2 bulan<br />
Dari perhitungan di atas terlihat bahwa<br />
UD.Fadillah adalah usaha <strong>industri</strong> kecil kerajinan<br />
rotan yang paling cepat mencapai titik pulang pokok<br />
dibandingkan dengan usaha Al-Fata dan Coslat<br />
Rotan Furniture.<br />
Mutually exclusive alternative project<br />
adalah memilih salah satu alternatif dari beberapa<br />
alternatif karena tidak mungkin melakukan beberapa<br />
proyek dalam waktu yang bersamaan yang<br />
disebabkan oleh berbagai faktor. Sasaran yang ingin<br />
dicapai dengan menggunakan metode ini adalah<br />
mencari salah satu dari alternatif yang memberikan<br />
benefit yang terbesar sesuai dengan kemampuan<br />
investor.<br />
Hasil perhitungan kriteria investasi dari<br />
usaha <strong>industri</strong> kecil kerajinan rotan yang terdiri dari<br />
usaha kerajinan rotan Al-Fata, Coslat Rotan Furniture<br />
dan UD. Fadillah seperti yang terlihat dalam Tabel 4<br />
berikut, dengan Social Opportunity Cost of Ratio<br />
(SOCC) sebesar 18 %.<br />
Tabel 4<br />
Net Present Value, IRR, dan Net B/C Usaha Kerajinan Rotan<br />
Al-Fata, Coslat Rotan Furniture, dan UD. Fadillah<br />
No.<br />
1<br />
2<br />
3<br />
Nama Usaha<br />
Kerajinan Rotan<br />
Al-Fata<br />
Coslat Rotan Furniture<br />
UD. Fadillah<br />
NPV<br />
(Rp.)<br />
714.104<br />
1.147.172<br />
56.854<br />
IRR<br />
(%)<br />
18.78<br />
37.16<br />
18.07<br />
Net Benefit<br />
Cost of Ratio<br />
1.02<br />
1.11<br />
1.00<br />
Dilihat dari Net Present Value, usaha rotan Coslat<br />
Rotan Furniture lebih besar dari Al- Fata dan UD.<br />
Fadillah. Dari segi IRR, usaha rotan Coslat Rotan<br />
Furniture juga menunjukkan persentase terbesar<br />
dibandingkan dengan dua usaha lainnya. Begitu juga<br />
dengan nilai dari Net Benefit Cost of Ratio, ternyata<br />
usaha <strong>industri</strong> kecil kerajinan rotan Coslat Rotan<br />
Furniture juga yang memiliki angka terbesar yaitu<br />
1,11 dibandingkan dengan Al-Fata dan UD.Fadillah<br />
yang hanya mampu mencapai break event point.<br />
Jika dilihat dari jumlah investasi antara<br />
ketiga usaha kerajinan rotan yaitu Al – Fata sebesar<br />
Rp 35.650.000,- ; UD. Fadillah Rp 35.545.000,-;<br />
sedangkan Coslat Rotan Furniture lebih kecil sebesar<br />
Rp 10.395.000,- yang hanya merupakan <strong>industri</strong><br />
rumah tangga ( home industry ).<br />
Dari ketiga <strong>industri</strong> kerajinan rotan tersebut<br />
dilihat dari Mutually Exclusive Alternative Project,<br />
maka <strong>industri</strong> yang layak untuk dikembangkan<br />
adalah Coslat Rotan Furniture yang lebih unggul dari<br />
hasil penilaian kriteria investasi yang diperoleh<br />
dibandingkan dengan Al-Fata dan UD. Fadillah.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Astuti, Dewi (2004), Manajemen Keuangan<br />
Perusahaan, Cetakan Pertama, Ghalia<br />
Indonesia, Jakarta.<br />
Gray, Clive dan Payaman Simanjuntak (1993),<br />
Pengantar Evaluasi Proyek, Edisi Kedua,<br />
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.<br />
7<br />
Husnan, Suad (1994), Studi Kelayakan Proyek,<br />
Konsep, Teknik dan Penyusunan Laporan,<br />
UPP AMP YKPN, Yogyakarta.<br />
Ibrahim, Yacob (2003), Studi Kelayakan Bisnis, Edisi<br />
Revisi, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.<br />
Kadariah (1986), Evaluasi Proyek Analisis<br />
Ekonomis, Edisi 2001, LPFE-UI, Jakarta.<br />
_______, Lien Karlina, dan Clive Gray, (1999)<br />
Pengantar Evaluasi Proyek, Edisi Revisi,<br />
LPFE-UI, Jakarta<br />
201
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Kasmir dan Jakfar, (2003) Studi Kelayakan Bisnis,<br />
Edisi Pertama, Prenada Media, Jakarta.<br />
Nitisemito, S. Alex dan Burhan, M. Umar (1991),<br />
Wawasan Studi Kelayakan dan Evaluasi<br />
Proyek, Edisi Kedua, Bumi Aksara, Jakarta<br />
Muhammad, Swarsono dan Suad Husnan (2000),<br />
Studi Kelayakan Proyek. UPP AMP YKPN,<br />
Yogyakarta<br />
Saleh, Irsan Azhary (1986), Industri Kecil, Sebuah<br />
Tinjauan dan Perbandingan, LP3ES, Jakarta.<br />
Soeharto, Imam, (1992), Manajemen Proyek Industri<br />
(Persiapan, Pelaksanaan, Pengelolaan),<br />
Penerbit Erlangga. Jakarta<br />
Sukirno, Sadono, (1985), Ekonomi Pembangunan,<br />
LPFEUI, Jakarta<br />
Umar, Husein (1997), Studi Kelayakan Bisnis,<br />
Manajemen dan Metode. Gramedia Pustaka<br />
Utama, Jakarta.<br />
William, Gordon and Jeffry (1995), Investment,<br />
dalam “Studi Kelayakan Bisnis”, Kasmir dan<br />
Jakfar, Prentice Hall Inc. hal. 7.<br />
202
Analisis Substitusi Penggunaan Input pada Industri Pengolahan Makanan dan Minuman Indonesia<br />
Mawardati<br />
ANALISIS SUBSTITUSI PENGGUNAAN INPUT PADA INDUSTRI<br />
PENGOLAHAN MAKANAN DAN MINUMAN INDONESIA<br />
Mawardati<br />
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui substitusi antara factor produksi modal dan tenaga<br />
kerja pada <strong>industri</strong> makanan dan minuman di Indonesia, apakah relatif mudah atau relatif sukar. Hipotesis<br />
diuji dengan menggunakan model fungsi produksi Constant Elasticity of substitution (CES). Penelitian ini<br />
menggunakan <strong>teknik</strong> data panel dengan data cross section sebanyak 51 perusahaan dan data time series dari<br />
tahun 1998 sampai dengan tahun 2002. Data diperoleh dari BPS dan diestimasi dengan metode General Least<br />
Squares (GLS). Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai elastisitas substitusi pada <strong>industri</strong> makanan dan<br />
minuman di Indonesia lebih besar dari satu atau bersifat elastis. Implikasi dari temuan ini adalah sbstitusi<br />
antara factor produksi modal dengan tenaga kerja pada <strong>industri</strong> makanan dan minuman di Indonesia adalah<br />
relatif mudah.<br />
Kata Kunci: Tenaga Kerja, Modal, Substitusi dan Output<br />
Abstract: The aim of this research is to examine whether the substitution between capital and laboar in food and<br />
beverage industry in Indonesia is relatively easy or difficult. A Constant Elasticity of Substitution (CES)<br />
production function was applied to test the hypothesis. This research used panel data techniques. The data<br />
consist of cross section and time series data on 51 enterprises for the period from 1998 to 2002 obtained from<br />
the Bureau of Statistics (BPS). Estimation was conducted by the method of General Least Squares (GLS). The<br />
results show that the value of substituion elasticity in th Indonesia’s food and beverage industraie is greater than<br />
one, i.e elastic. The implication of the research findings is that the substitution between capital and labor in the<br />
food and beverage <strong>industri</strong>es is relatively easy as measured by the elasticity.<br />
Key word : Labor, Capital, Substitution and output.<br />
PENDAHULUAN<br />
Sasaran utuam pembagunan nasional di<br />
bidang ekonomi adalah terciptanya struktur ekonomi<br />
yang seimbang yaitu terdapat <strong>industri</strong> yang didukung<br />
oleh sector pertanian yang mantap. Walaupun<br />
pergeseran dari sektor pertanian ke sektor <strong>industri</strong><br />
(non pertanian) telah terjadi, namun bila dilihat dari<br />
struktur kesempatan kerja maka jumlah tenaga kerja<br />
yang bekerja pada sektor pertanian masih cukup<br />
besar. Pada tahun 1995 penyerapan tenaga kerja<br />
sektor pertanian sebesar 43,98 persen dari total<br />
tenaga kerja nasional dan sektor <strong>industri</strong> hanya<br />
menyerap sebesar 0,80 persen dari total tenaga kerja<br />
nasional. Tahun 2002 terjadi peningkatan penyerapan<br />
tenaga kerja di sektor <strong>industri</strong> yaitu sebesar 14,05<br />
persen dan pada thun yang sama penyerapan tenaga<br />
kerja masih tetap didominasi oleh sektor pertanian<br />
yaitu sebesar 46,28 persen dari total tenaga kerja<br />
nasional.<br />
Secara umum tenaga kerja di negara sedang<br />
berkembang masih memiliki tingkat pendidikan dan<br />
ketrampilan yang rendah, sehingga bagi <strong>industri</strong><strong>industri</strong><br />
besar dan sedang terutama yang beorientasi<br />
ekspor lebih banya menggunakan peralatan mesin<br />
dari pada tenaga manusia. Keadaan ini menyebabkan<br />
adalanya ketidakcocokan teknologi modern yang<br />
diterapkan di negara berkembang bila dibandingkan<br />
dengan kebutuhan negara tersebut. Teknologi<br />
modern yang cenderung padat modal telah tidak<br />
memungkinkan substitusi yang tinggi antara factor<br />
produksi modal dan tenaga kerja.<br />
Bila dilihat dari jumlah perusahaan maka<br />
jumlah <strong>industri</strong> nasional mengalami penurunan.<br />
Tahun tahun 1997 dan 1998 jumlah perusahaan<br />
<strong>industri</strong> di Indonesia mengalami penurunan sebesar<br />
4,3 persen. Sedangkan di tahun 2002 jumlah tersebut<br />
mengalami peningkatan yaitu sebesar 3,02 persen<br />
jika dibandingkan tahun sebelumnya.<br />
Dilihat dari komposisinya industari makanan<br />
dan minuman nasional termasuk <strong>industri</strong> yang paling<br />
banyak jumlah perusahaannya (BPS, 2000 : 6). Hal<br />
ini dapat dimengerti karena semakin tinggi<br />
pertambahan jumlah penduduk maka semakin besar<br />
kebutuhan terhadap bahan makanan dan minuman<br />
termasuk makanan dan minuman olahan, sehingga<br />
<strong>industri</strong> ini banyak bermunculan dalam berbagai<br />
skala usaha.<br />
Banyaknya <strong>industri</strong> pengolahan makanan<br />
dan minuman ini tidak berarti tinggi pula tingkat<br />
konsumsi penduduk Indonesia, karena harganya yang<br />
relatif tinggi dan tidak terjangkau oleh daya beli<br />
masyarakat terutama golongan menengah ke bawah.<br />
Hal ini sejalan dengan pendapat Gunawan (1994 :<br />
15) yang menyatakan bahwa permintaan makanan<br />
olehan di Indonesia sangat rendah, bukan hanya<br />
karena konsumen yang mengkonsumsi makanan<br />
segar tetapi juga disebabkan oleh tingkat pendapatan<br />
yang rendah dan harga produk olahan yang sangat<br />
mahal untuk konsumen lokal.<br />
203
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Kekurangan makanan bergizi akan<br />
menyebabkan gangguan kesehatan dan tingkat<br />
kecerdasan manusia yang akhirnya dapat<br />
menurunkan kualitas sumberdaya manusia. Keadaan<br />
ini menyebabkan terbatasnya jumlah tenaga kerja<br />
yang berkualitas sebagai input <strong>industri</strong> termasuk<br />
industari makanan dan minuman, disamping faktor<br />
produksi lain seperti bahan baku, bahan bakar dan<br />
modal lainnya.<br />
Dalam perkembangannya <strong>industri</strong> makanan<br />
dan minuman mengalami pertumbuhan modal yang<br />
sangat tidak stabil terutama pada saat terjadi krisis<br />
ekonomi. Kondisi yang tidak stabil ini terutama<br />
terjadi pada tahun 1991 dan tahun 1998.<br />
Pertumbuhan modal pada tahun 1997 sebesar 9,16<br />
persen sedangkan tahun 1998 meningkat dengan<br />
sangat mencolok dengan pertumbuhan sebesar 80<br />
persen. Keadaan ini disebabkan pada tahun-tahun<br />
tersebut rupiah terdepresiasi terhadap dollar Amerika<br />
pada tingkat yang sangat rendah, sehingga untuk<br />
memperoleh bahan baku dari luar negeri<br />
membutuhkan modal yang sangat besar.<br />
Menghadapi masalah ketenagakerjaan yang<br />
cukup besar di negara berkembang dengan semakin<br />
berkembangnya perekonomian ke arah perekonomian<br />
yang bersifat industari, maka sektor <strong>industri</strong>,<br />
terutama <strong>industri</strong> pengolahan, diharapkan mampu<br />
menjadi sektor yang menciptakan banyak lapangan<br />
kerja. Walaupun penyerapan tenaga kerja di sektor<br />
<strong>industri</strong> pengolahan semakin meningkat, namun<br />
masih dalam jumlah yang terbatas.<br />
Terbatasnya kemampuan sektor modern<br />
dalam menyerap sebagian besar tenaga kerja tidak<br />
produktif yang berasal dari sektor tradisional<br />
merupakan masalah yang dihadapi oleh negara<br />
berkembang pada umumnya. Sungguhpun<br />
pertumbuhan produksi tinggi, kesempatan kerja<br />
pertumbuhannya lamban. (Todaro 1993 : 320). Ini<br />
mengindikasikan bahwa sektor industari pengolahan<br />
lebih banyak menggunakan modal (Capital intensive)<br />
dari pada menggunakan tenaga kerja (labor<br />
intensive).<br />
Industri-<strong>industri</strong> yang menggunakan<br />
teknologi modern pada umumnya cenderung padat<br />
modal sehingga akan sulit untuk terjadinya substitusi<br />
antara modal dan tenaga kerja. Namun demikian<br />
beberapa studi pada beberapa <strong>industri</strong> tertentu<br />
menunjukkan kemungkinan potensial dilakukannya<br />
substitusi antara modal dengan tenaga kerja pada<br />
sektor <strong>industri</strong> di negara berkembang (Burton, 1972,<br />
Morawetz, 1996). Oleh karena Indonesia merupakan<br />
salah satu negara berkembang, maka penulis tertarik<br />
untuk meneliti bagaimana substitusi input dalam hal<br />
ini tenaga kerja dan modal apakah relatif mudah atau<br />
relatif sukar pada <strong>industri</strong> makanan dan minuman<br />
nasional.<br />
Tenaga Kerja dan Modal dalam Proses Produksi.<br />
Tenaga kerja dan modal dapat digunakan<br />
sebagai ukuran untuk menganalisis ciri-ciri <strong>industri</strong><br />
dan menyusun kebijaksanaan pembangunan<br />
(Kaneko, 1989 :118). Sedangkan peranan modal dan<br />
tenaga kerja dalam proses produksi dapat dilihat dari<br />
rasio masing-masing input terhadap produksi. Jika<br />
proses produksi bersifat padat modal berarti secara<br />
relatif modal memiliki peranan yang lebih penting<br />
dari faktor produksi lain dalam menghasilkan<br />
produksi. Keadaan ini berakibat balas jasa dari<br />
masing-masing faktor produksi lebih besar diterima<br />
oleh pemilik modal dari pada pemilik faktor produksi<br />
lain.<br />
Di negara-negara sedang berkembang, pada<br />
umumnya tabungan unuk pemupukan modal lebih<br />
kecil dari jumlah yang diperlukan dan sebagian besar<br />
barang modal diimpor (Kaneko, 1989 :119). Oleh<br />
karena itu pengembangan <strong>industri</strong> lebih tepat<br />
diarahkan pada <strong>industri</strong>-<strong>industri</strong> yang lebih sedikit<br />
memerlukan barang modal, apabila diukur dari<br />
jumlah tabungan dan jumlah valuta asing yang<br />
terbatas.<br />
Berkaitan dengan hal tersebut, maka<br />
kebijaksanaan pengembangn <strong>industri</strong> padat karya<br />
lebih tepat diterapkan pada negara-negara sedang<br />
berkembang karena umumnya dihadapkan pada<br />
masalah di bidang ketenagakerjaan. Hal ini sejalan<br />
dengan pendapat Djojohadikusumo (dalam Embang<br />
dan Cahyono, 1990 : 592) menyatakan bahwa pada<br />
azasnya ada suatu cara untuk meluaskan kesempatan<br />
kerja, yaitu melalui pengembangan <strong>industri</strong>, terutama<br />
jenis industari yang bersifat padat karya (labor<br />
intensive) yang dapat menyerap relatif banyak tenaga<br />
kerja dalam proses produksi (labor absorbtive).<br />
Suatu industari dikatakan padat karya ditandai<br />
dengan elastisitas kesempatan kerja lebih besar dari<br />
elastisitas modal.<br />
Skala Hasil<br />
Kombinasi input yang menghasilkan output<br />
optimal harus dapat ditemukan oleh suatu perusahaan<br />
agar perusahaan tersebut berada pada proses produksi<br />
dengan biaya terendah. Skala hasil (return to scale)<br />
memperlihatkan dampak peningkatan proporsional<br />
dari seluruh faktor produksi terhadap produksi.<br />
Return to scale juga perlu untuk mengetahui apakah<br />
suatu perusahaan berproduksi pada increasing return<br />
to scale, constant return to scale atau decreasing<br />
return to scale.<br />
Distribusi Pendapatan dan Intensitas Faktor<br />
Distribusi pendapatan adalah bagian<br />
pendapatan yang diterima masing-masing faktor<br />
produksi dalam hal ini ditentukan oleh sifat teknis<br />
yang terdapat dalam proses produksi, yaitu bagian<br />
dari produksi total secara fisik yang dpat dihasilkan<br />
masing-masing faktor produksi tersebut, dan ini tidak<br />
lain adalah elastisitas produksi terhadap faktor.<br />
Intensitas faktor produksi adalah kata lain dari<br />
input mana yang lebih dominan dari pada input<br />
lainnya, apakah input modal atau tenaga kerja jika<br />
204
Analisis Substitusi Penggunaan Input pada Industri Pengolahan Makanan dan Minuman Indonesia<br />
Mawardati<br />
dua input ini yang digunakan proses produksi.<br />
Informasi ini sangat penting untuk mengetahui proses<br />
produksi yang sedang berlangsung, terutama<br />
kaitannya dengan kebijakan perusahaan itu sendiri<br />
atau kebijakan pemerintah. Sebagaimana telah<br />
dimaklumi bahwa di negara-negara sedang<br />
berkembang diharapkan sektor <strong>industri</strong> dapat<br />
menyediakan lapangan kerja lebih luas lagi.<br />
Kebijakan ini mengisyaratkan bahwa proses produksi<br />
diharapkan lebih bersifat padat tenaga kerja daripada<br />
padat modal.<br />
Elastisitas Substitusi<br />
Fungsi produksi dengan Q = f (K,L),<br />
elastisitas substutusinya (σ) adalah mengukur<br />
perubahan proporsional dalam K/L relatif terhadap<br />
perubahan proporsional dalam tingkat substitusi<br />
teknis di sepanjang kurva isoquant (Nicholson, 1995<br />
: 363). Satu ciri penting dari fungsi produksi adalah<br />
sampai seberapa mudahnya sebuah masukan<br />
digantikan dengan masukan lainnya, apakah relatif<br />
mudah untuk menggantikan tenaga kerja dengan<br />
modal sambil tetap mempertahankan keluaran.<br />
Disepanjang isoquant diasumsikan bahwa tingkat<br />
substitusi teknis akan menurun sementara rasio (K/L)<br />
menurun.<br />
METODE ANALISIS<br />
Penelitian ini menggunakan data skunder<br />
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS)<br />
sedangkan yang digunakan untuk analisis adalah data<br />
kerat silan (Cross-section) sebanyak 51 perusahaan<br />
dan data runtun waktu (time series) sebanyak 5(lima)<br />
tahun yaitu dari tahun 1998 sampai dengan 2002.<br />
Untuk menganalisis substitusi antara faktor<br />
produksi modal dan tenaga kerja pada <strong>industri</strong><br />
makanan dan minuman Indonesia digunakan model<br />
fungsi produksi Constant Elasticity of Substitution<br />
(CES) sebagai berikut :<br />
Q = γ [δM − ρ + ( 1- δ) TK − ρ −v / ρ<br />
] .................... (1)<br />
( γ>0, 1>δ>0, v>0, ρ≥-1)<br />
dimana :<br />
Q = Jumlah produksi makanan dan minuman<br />
M = Jumlah modal<br />
TK = Jumlah tenaga kerja<br />
v = Parameter skala hasil<br />
γ = Parameter efisiensi<br />
δ = Parameter distribusi ≥<br />
ρ = parameter substitusi<br />
Estimasi model tersebut adalah sebagai berikut :<br />
Ln Q = Ln β 1 + β 2 LnM + β 3 LnTK +<br />
β 4 (lnM-lnTK) 2 + εi .................................... (3)<br />
Parameter persamaan tersebut berkaitan<br />
dengan koefisiennya, sehingga diperoleh :<br />
γ = antilog β 1 ............................................................ (4)<br />
v = β 2 + β 3 ..................................... (5)<br />
δ =<br />
ρ<br />
β<br />
2<br />
β + β<br />
2<br />
................................ . (6)<br />
2 3<br />
− 2β<br />
4<br />
( β<br />
2<br />
+ β<br />
3)<br />
= ....................................... (7)<br />
β β<br />
3<br />
Sehingga elastisitas substitusi menurut Greene dan<br />
Henderson dan Quandt dapat dihitung dengan<br />
persamaan sebagai berikut :<br />
1<br />
σ = .................................... (8)<br />
1 + ρ<br />
Model persamaan (3) diestimasi dengan<br />
menggunakan program shazame komputer yaitu<br />
dengan metode Ordinary Leas Squares (OLS).<br />
Sedangkan untuk mengetahui tingkat signifikansi<br />
variabel independen terhadap variabel dependen yang<br />
dianalisis dapat dilihat pada nilai p-valui variabel<br />
tersebut baik secara individual (t-test) maupun secara<br />
bersama-sama atau serentak (F-test).<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Analisis Ekonometrik<br />
Dalam mengestimasi suatu fungsi<br />
produksi dengan menggunakan Ordinary Least<br />
Square (OLS) maka hasil estimasinya harus<br />
memenuhi asumsi-asumsi klasik. Hasil estimasi<br />
<strong>industri</strong> makanan dan minuman nasional dengan<br />
menggunakan OLS menunjukkan terjadinya<br />
pelanggaran asumsi klasik berupa multikolinearitas<br />
dan serial korelasi positif. Untuk mengobati<br />
pelanggaran asumsi klasik ini maka data tersebut<br />
dianalisis kembali dengan menggunakan General<br />
Least Squares (GLS).<br />
Adapun hasil estimasi dengan General Least Squares<br />
(GLS) adalah sebagai berikut:<br />
Dalam bentuk logaritma (ln) dapat dinyatakan :<br />
Ln Q = ln γ – v/ ρ ln [δM<br />
− ρ + ( 1- δ) TK − ρ ] + εi ................ (2)<br />
(Kmenta 1971: 463; Greene 2000:331)<br />
205
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Hasil Estimasi Fungsi Produksi Industri Makanan<br />
Dan Minuman Nasional<br />
Variabel Koefisien Estimasi p-Value<br />
Ln M<br />
Ln TK<br />
Ln MTK<br />
Konstanta<br />
0,48022<br />
0,48517<br />
0,04818<br />
1,9696<br />
0,000<br />
0,000<br />
0,004<br />
0,000<br />
R 2 = 0,9602<br />
R 2 Adjusted = 0,9594<br />
D-W = 1,9692<br />
Tabel tersebut memperlihatkan bahwa<br />
semua variabel yang diteliti adalah signifikan pada<br />
taraf kepercayaan 99% (α=1%) yang ditunjukkan<br />
oleh nilai p-valuenya masing-masing.<br />
Analisis Ekonomi<br />
Hasil estimasi model penelitian<br />
sebagaimana diperlihatkan pada tabel estimasi<br />
menunjukkan bahwa koefisien parameter modal<br />
(LM) bertanda positif yaitu sebesar 0,48. Hal ini<br />
memberi arti bahwa peningkatan modal sebesar 1%<br />
akan dapat meningkatkan produksi makanan dan<br />
minuman sebesar 0,48%. Ini sesuai dengan teori<br />
produksi yang menyatakan bahwa semakin<br />
meningkatnya modal yang digunakan dalam suatu<br />
proses produksi maka akan dapat meningkatkan<br />
produksi.<br />
Koefisien regresi varibel tenaga kerja (LTK)<br />
juga bertanda positif yaitu 0,49, artinya penambahan<br />
tenaga kerja sebesar 1% akan dapat meningkatkan<br />
produksi makanan dan minuman nasional sebesar<br />
0,49%.<br />
Dari koefisien yang diperoleh dapat dihitung<br />
nilai parameter distribusi (δ) sebesar 0,49 yaitu lebih<br />
kecil dari 0,5 tetapi lebih besar dari 1 (0< δ
DAFTAR PUSTAKA<br />
Analisis Substitusi Penggunaan Input pada Industri Pengolahan Makanan dan Minuman Indonesia<br />
Mawardati<br />
Badan Pusat Statistik, 2000. Indikator Industri Besar<br />
dan Sedang, Jakarta.<br />
.................................., 2002. Indikator Industri Besar<br />
dan Sedang, Jakarta<br />
Burton, H.J (1972). “Elasticity Substitution in<br />
Developing Countries”. Research<br />
Memorandum No.45. Center for Development<br />
Economics, William College, USA<br />
.<br />
Embang M dan Cahyo Tri, 1990. “Analisis Efek<br />
Substitusi dan Efek Output pada Industari<br />
Penggergajian dan Pengolahan Kayu di<br />
Kalimantan Tengah”. dalam Penelitian<br />
Berkala UGM, no.4A, Yogjakarta.<br />
Greene. W.H, 2000. Econometric Analysis.<br />
Prendtice Hall International, Inc, New Jersey.<br />
Joesron, T.S dan Fathorrozi. M, 2002. Teori<br />
Ekonomi Mikro. Salemba Empat, Jakarta.<br />
Kaneko. Y. 1989. “Industri Pengolahan : Analisis<br />
dan Kebijakan”’ dalam Shinichi Ichimura<br />
(Editor), Pembangunan Ekonomi Indonesia.<br />
UI Press-Jakarta.<br />
Kmenta, Jan, (1971). Element of Econometrics. The<br />
Mac Millan Compay, New York.<br />
Nicholson W, 1994. Teori Mikroekonomi, Prinsip<br />
Dasar dan Perluasan. Bina Arupa Aksara,<br />
Jakarta, Jilid 1.<br />
Prima, Roza (1996). “Elastisitas Substitusi dan<br />
Proporsi Modal dan Tenaga Kerja pada Sektor<br />
Industri di Indonesia”. Satuan Analisa Funsi<br />
Produksi. Fakultas Ekonomi <strong>Universitas</strong><br />
Andalas Padang.<br />
207
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Kompresi Data Menggunakan Algoritma Huffman<br />
F. Rizal Batubara<br />
Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik USU<br />
Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk meninjau <strong>teknik</strong> kompresi data dengan menggunakan algoritma Huffman,<br />
beserta contoh kompresi terhadap kata “NUSANTARA”, didapatkan besar file hasil kompresi hanya 30% besar<br />
file aslinya.<br />
Kata kunci: kompresi data, algoritma Huffman<br />
PENDAHULUAN<br />
Dalam dunia komputer dan internet, kompresi file<br />
digunakan dalam berbagai keperluan, jika anda ingin<br />
mem-backup data, anda tidak perlu menyalin semua<br />
file aslinya, dengan memampatkan (mengecilkan<br />
ukuran) file tersebut terlebih dahulu maka kapasitas<br />
tempat penyimpanan yang diperlukan akan menjadi<br />
lebih kecil. Jika sewaktu-waktu data tersebut anda<br />
perlukan, baru dikembalikan lagi ke file aslinya.<br />
Down-load dan Up-load file suatu pekerjaan<br />
yang kadang mengesalkan pada dunia internet,<br />
setelah menghabiskan beberapa waktu kadangkadang<br />
hubungan terputus dan anda harus<br />
melakukannya lagi dari awal, hal ini sering terjadi<br />
pada file-file yang berukuran besar. Untunglah filefile<br />
tersebut dapat dimampatkan terlebih dahulu<br />
sehingga waktu yang diperlukan akan menjadi lebih<br />
pendek dan kemungkinan pekerjaan down-load dan<br />
up-load gagal akan menjadi lebih kecil.<br />
Dua orang mahasiswa mendapatkan tugas<br />
untuk melakukan penelitian mengenai warna baju<br />
yang digunakan oleh orang-orang yang lewat di suatu<br />
jalan tertentu. Tugasnya mudah saja, jika ada orang<br />
lewat dengan baju berwarna merah, mereka cukup<br />
menulis “merah” pada buku pencatat, begitu juga<br />
dengan warna lain.<br />
Pada suatu saat lewat pada jalan tersebut<br />
serombongan tentara yang berjumlah 40 orang,<br />
semuanya memakai seragam berwarna hijau.<br />
Mahasiswa pertama menulis pada buku pencatat<br />
“hijau, hijau, hijau …. “ sampai 40 kali, tapi<br />
mahasiswa kedua ternyata lebih cerdik, dia hanya<br />
menulis pada buku pencatat “hijau 40 x”.<br />
Setelah selesai melaksanakan tugas mereka,<br />
ternyata mahasiswa pertama menghabiskan 10<br />
lembar catatan, sedangkan mahasiswa kedua hanya<br />
menghabiskan 5 lembar catatan, sedangkan hasil<br />
mereka tidak ada bedanya.<br />
Cara yang digunakan oleh mahasiswa kedua<br />
tersebut dapat digunakan sebagai algoritma kompresi<br />
file.<br />
Algoritma Huffman<br />
Dasar pemikiran algoritma ini adalah bahwa<br />
setiap karakter ASCII biasanya diwakili oleh 8 bits.<br />
Jadi misalnya suatu file berisi deretan karakter<br />
“ABACAD” maka ukuran file tersebut adalah 6 x 8<br />
bits = 48 bit atau 6 bytes. Jika setiap karakter tersebut<br />
di beri kode lain misalnya A=1, B=00, C=010, dan<br />
D=011, berarti kita hanya perlu file dengan ukuran<br />
11 bits (10010101011), yang perlu diperhatikan ialah<br />
bahwa kode-kode tersebut harus unik atau dengan<br />
kata lain suatu kode tidak dapat dibentuk dari kodekode<br />
yang lain. Pada contoh diatas jika kode D kita<br />
ganti dengan 001, maka kode tersebut dapat dibentuk<br />
dari kode B ditambah dengan kode A yaitu 00 dan 1,<br />
tapi kode 011 tidak dapat dibentuk dari kode-kode<br />
yang lain. Selain itu karakter yang paling sering<br />
muncul, kodenya diusahakan lebih kecil jumlah<br />
bitnya dibandingkan dengan karakter yang jarang<br />
muncul. Pada contoh di atas karakter A lebih sering<br />
muncul (3 kali), jadi kodenya dibuat lebih kecil<br />
jumlah bitnya dibanding karakter lain.<br />
Untuk menetukan kode-kode dengan kriteria<br />
bahwa kode harus unik dan karakter yang sering<br />
muncul dibuat kecil jumlah bitnya, kita dapat<br />
menggunakan algoritma Huffman.<br />
Aplikasi<br />
Sebagai contoh, sebuah file yang akan<br />
dimampatkan berisi karakter-karakter<br />
“NUSANTARA”. Dalam kode ASCII masingmasing<br />
karakter dikodekan sebagai :<br />
N = 4EH = 01001110B<br />
U = 55H = 01010101B<br />
S = 53H = 01010011B<br />
A = 41H = 01000001B<br />
T = 54H = 0 1010100B<br />
R = 52H = 01010010B<br />
Maka jika diubah dalam rangkaian bit,<br />
“NUSANTARA” menjadi :<br />
01001110010101010101001101000001010011100<br />
10101000100000101010010<br />
yang berukuran 72 bit.<br />
208
Kompresi Data Menggunakan Algoritma Huffman<br />
F. Rizal Batubara<br />
Tugas kita yang pertama adalah menghitung<br />
frekuensi kemunculan masing-masing karakter, jika<br />
kita hitung ternyata N muncul sebanyak 2 kali, U<br />
sebanyak 1 kali, S sebanyak 1 kali, A sebanyak 3<br />
kali, T sebanyak 1 kali dan R sebanyak 1 kali. Jika<br />
disusun dari yang kecil :<br />
U = 1<br />
S = 1<br />
T = 1<br />
R = 1<br />
N = 2<br />
A = 3<br />
Untuk karakter yang memiliki frekuensi<br />
kemunculan sama seperti U, S, T dan R disusun<br />
menurut kode ASCII-nya, begitu pula untuk N dan<br />
A.<br />
Selanjutnya buatlah node masing-masing<br />
karakter beserta frekuensinya sebagai berikut :<br />
U S,1 T,1 R,1 N,2 A,3<br />
Ambil 2 node yang paling kiri (U dan S), lalu<br />
buat node baru yang merupakan gabungan dua node<br />
tersebut, node gabungan ini akan memiliki cabang<br />
masing-masing 2 node yang digabungkan tersebut.<br />
Frekuensi dari node gabungan ini adalah jumlah<br />
frekuensi cabang-cabangnya. Jika kita gambarkan<br />
akan menjadi seperti berikut ini :<br />
Setelah node pada level paling atas diurutkan<br />
(level berikutnya tidak perlu diurutkan), berikutnya<br />
kita gabungkan kembali 2 node paling kiri seperti<br />
yang pernah dikerjakan sebelumnya. Node T<br />
digabung dengan node R menjadi node TR dengan<br />
frekuensi 2 dan gambarnya akan menjadi seperti<br />
berikut ini:<br />
TR,2<br />
T,1 R,1<br />
Kemudian hasilnya kita urutkan kembali (dalam<br />
kasus ini hasilnya tetap). Berikutnya kita gabungkan<br />
kembali 2 node paling kiri. Node TR digabung<br />
dengan node US menjadi node TRUS dengan<br />
frekuensi 4 dan gambarnya akan menjadi seperti<br />
berikut ini :<br />
TRUS,4<br />
US,2<br />
U,1 S,1<br />
N,2 A,3<br />
N,2 A,3<br />
US,2<br />
T,1 R,1 N,2 A,3<br />
TR,2<br />
US,2<br />
U,1 S,1<br />
T,1 R,1<br />
U,1 S,1<br />
Jika kita lihat frekuensi tiap node pada level<br />
paling atas, US=2, T=1, R=1, N=2, dan A=2. Nodenode<br />
tersebut harus diurutkan lagi dari yang paling<br />
kecil, jadi node US harus digeser ke sebelah kanan<br />
node R dan ingat jika menggeser suatu node yang<br />
memiliki cabang, maka seluruh cabangnya harus<br />
diikutkan juga. Setelah diurutkan hasilnya akan<br />
menjadi sebagai berikut :<br />
Kemudian diurutkan lagi menjadi:<br />
N,2 A,3 TRUS,4<br />
T,1 R,1 US,2 N,2 A,3<br />
TR,2<br />
US,2<br />
U,1 S,1<br />
T,1 R,1<br />
U,1 S,1<br />
209
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />
Kita gabungkan kembali 2 node paling kiri. Node N<br />
digabung dengan node A menjadi node NA dengan<br />
frekuensi 5 dan gambarnya akan menjadi seperti<br />
berikut ini :<br />
0<br />
NATRUS,9<br />
1<br />
NA,5<br />
TRUS,4<br />
NA,5<br />
TRUS,4<br />
0<br />
1<br />
0<br />
1<br />
N,2 A,3<br />
TR,2<br />
US,2<br />
N,2 A,3<br />
TR,2<br />
US,2<br />
0<br />
1 0 1<br />
T,1 R,1<br />
U,1 S,1<br />
Selanjutnya dua node tersisa kita gabungkan<br />
kembali sampai diperoleh pohon Huffman seperti<br />
gambar berikut ini :<br />
NA,5<br />
N,2 A,3<br />
NATRUS,9<br />
TR,2<br />
T,1 R,1<br />
TRUS,4<br />
US,2<br />
U,1 S,1<br />
Setelah pohon Huffman terbentuk, berikan tanda bit<br />
0 untuk setiap cabang ke kiri dan bit 1 untuk setiap<br />
cabang ke kanan seperti gambar berikut :<br />
T,1 R,1<br />
U,1 S,1<br />
Untuk mendapatkan kode Huffman masingmasing<br />
karakter, telusuri karakter tersebut dari node<br />
yang paling atas (NATRUS) sampai ke node karakter<br />
tersebut dan susunlah bit-bit yang dilaluinya.<br />
Untuk mendapatkan kode Karakter N, dari node<br />
NATRUS kita harus menuju ke node NA melalui bit<br />
0 dan selanjutnya menuju ke node N melalui bit 0,<br />
jadi kode dari karakter N adalah 00.<br />
Untuk mendapatkan kode Karakter A, dari node<br />
NATRUS kita harus menuju ke node NA melalui bit<br />
0 dan selanjutnya menuju ke node A melalui bit 1,<br />
jadi kode dari karakter A adalah 01.<br />
Untuk mendapatkan kode Karakter T, dari node<br />
NATRUS kita harus menuju ke node TRUS melalui<br />
bit 1 dan selanjutnya menuju ke node TR melalui bit<br />
0, dilanjutkan ke node T melalui bit 0, jadi kode dari<br />
karakter T adalah 100.<br />
Untuk mendapatkan kode Karakter R, dari node<br />
NATRUS kita harus menuju ke node TRUS melalui<br />
bit 1 dan selanjutnya menuju ke node TR melalui bit<br />
0, dilanjutkan ke node R melalui bit 1, jadi kode dari<br />
karakter R adalah 101.<br />
Untuk mendapatkan kode Karakter U, dari node<br />
NATRUS kita harus menuju ke node TRUS melalui<br />
bit 1 dan selanjutnya menuju ke node US melalui bit<br />
1, dilanjutkan ke node U melalui bit 0, jadi kode dari<br />
karakter U adalah 110.<br />
Terakhir, Untuk mendapatkan kode Karakter S,<br />
dari node NATRUS kita harus menuju ke node<br />
TRUS melalui bit 1 dan selanjutnya menuju ke node<br />
US melalui bit 1, dilanjutkan ke node S melalui bit 1,<br />
jadi kode dari karakter S adalah 111.<br />
210
Kompresi Data Menggunakan Algoritma Huffman<br />
F. Rizal Batubara<br />
Hasil akhir kode Huffman dari file di atas adalah:<br />
KEPUSTAKAAN<br />
N = 00<br />
A = 01<br />
T = 100<br />
R = 101<br />
U = 110<br />
S = 111<br />
Dengan kode ini, file yang berisi karakterkarakter<br />
“NUSANTARA” akan menjadi lebih kecil,<br />
yaitu :<br />
00 110 111 01 10 100 01 101 01<br />
N U S A N T A R A<br />
= 22 bit<br />
Dengan Algoritma Huffman berarti file ini dapat<br />
kita hemat sebanyak 72-22 = 50 bit.<br />
Untuk proses pengembalian ke file aslinya, kita<br />
harus mengacu kembali kepada kode Huffman yang<br />
telah dihasilkan, seperti contoh di atas hasil<br />
pemampatan adalah :<br />
0011011101101000110101<br />
dengan Kode Huffman :<br />
N = 00<br />
A = 01<br />
T = 100<br />
R = 101<br />
U = 110<br />
S = 111<br />
Ambillah satu-persatu bit hasil pemampatan<br />
mulai dari kiri, jika bit tersebut termasuk dalam<br />
daftar kode, lakukan pengembalian, jika tidak ambil<br />
kembali bit selanjutnya dan jumlahkan bit tersebut.<br />
Bit pertama dari hasil pemampatan di atas adalah 0,<br />
karena 0 tidak termasuk dalam daftar kode kita ambil<br />
lagi bit kedua yaitu 0, lalu digabungkan menjadi 00,<br />
jika kita lihat daftar kode 00 adalah kode dari<br />
karakter N.<br />
Selanjutnya bit ketiga diambil yaitu 1, karena 1<br />
tidak terdapat dalam daftar kode, kita ambil lagi bit<br />
keempat yaitu 1 dan kita gabungkan menjadi 11. 11<br />
juga tidak terdapat dalam daftar, jadi kita ambil<br />
kembali bit selanjutnya yaitu 0 dan digabungkan<br />
menjadi 110. 110 terdapat dalam daftar kode yaitu<br />
karakter U. Demikian selanjutnya dikerjakan sampai<br />
bit terakhir sehingga akan didapatkan hasil<br />
pengembalian yaitu NUSANTARA.<br />
Hankerson, Darrel; Harris, Greg A. and Johnson,<br />
Peter D. Introduction to Information Theory and<br />
Data Compression, Chapman & Hall/CRC; 2 nd<br />
edition, 2003.<br />
1. Salomon, David. Data Compression: The<br />
Complete Reference. Springer; 3 th edition, 2004.<br />
2. Williams, Ross N. Adaptive Data Compression.<br />
Springer; 1990.<br />
211
JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI<br />
Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri<br />
ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002<br />
Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155<br />
Homepage: http://www.geocities.com/<strong>jurnal</strong>sti_usu E-mail: jsti@plasa.com<br />
Volume 6 No. 3 Juli 2005<br />
SURAT PENGANTAR<br />
No.<br />
/JO5.1.31/TI/STI/2004-<br />
Kepada Yth :<br />
………………………………..<br />
………………………………..<br />
di<br />
Tempat<br />
No. Isi Surat / Barang Banyaknya Keterangan<br />
1. JURNAL SISTEM TEKNIK<br />
1 (satu) Disampaikan dengan<br />
INDUSTRI<br />
eksemplar hormat sebagai tukar<br />
Jurnal Ilmiah Terakreditas Vol. 6 No. 3 Juli 2005<br />
informasi ilmiah, mohon<br />
lembar di bawah ini<br />
dikirim kembali<br />
Medan, 2005<br />
Pemimpin Umum,<br />
Ir.H.A.Jabbar M.Rambe, M.Eng<br />
NIP. 130 517 496<br />
…………………………………………………………………………………………...<br />
TANDA TERIMA<br />
Telah diterima dari<br />
: Redaksi Jurnal Sistem Teknik Industri<br />
Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />
Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155<br />
Berupa : JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI Vol. 5 No. 4, Oktober 2004<br />
Tanggal diterima<br />
Nama<br />
Jabatan<br />
Institusi<br />
Alamat<br />
Telepon<br />
Tanda tangan/cap<br />
: ………………………………………………………………………………<br />
: ………………………………………………………………………………<br />
: ………………………………………………………………………………<br />
: ………………………………………………………………………………<br />
: ………………………………………………………………………………<br />
: ………………………………………………………………………………<br />
: ………………………………………………………………………………