04.01.2015 Views

jurnal sistem teknik industri - USUpress - Universitas Sumatera Utara

jurnal sistem teknik industri - USUpress - Universitas Sumatera Utara

jurnal sistem teknik industri - USUpress - Universitas Sumatera Utara

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI<br />

Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri<br />

ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002<br />

Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155<br />

Homepage: http://www.geocities.com/<strong>jurnal</strong>sti_usu E-mail: jsti@plasa.com<br />

Volume 6 No. 3 Juli 2005<br />

Penanggung Jawab : Ir. Tanib S. Tjolia, M.Eng<br />

Ketua Jurusan Teknik Industrik Fakultas Teknik USU<br />

Pimpinan Umum : Ir. A. Jabbar M. Rambe, M. Eng<br />

Pimpinan Redaksi : Ir. Sugih Arto Pujangkoro, MM<br />

Anggota Redaksi : Prof. Dr. Ir. Sukaria Sinulingga, M.Eng<br />

Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE<br />

Dr. Ir. Humala L. Napitupulu, DEA<br />

Ir. Harmein Nasution, MSIE<br />

Ir. M. Ichwan Nasution, M.Sc<br />

Ir. Mangara M. Tambunan, M.Sc<br />

Ir. Nazaruddin, MT<br />

Ir. Poerwanto, M.Sc<br />

Pemasaran/Sirkulasi/Promosi : Ir. Rosnani Ginting, MT<br />

Aulia Ishak, ST. MT<br />

Buchari, ST<br />

Editing : Ir. Ukurta Tarigan, MT<br />

Nisma Panjaitan, ST<br />

Dina M. Nasution<br />

Alamat Penerbit/Redaksi : Jurusan Teknik Indusri Fakultas Teknik USU, Gedung Unit II<br />

Lantai 2, Jl. Almamater Kampus USU Medan, 20155. Telp.<br />

(061) 8213649 Fax.(061) 8213250<br />

Homepage : http://www.geocities.com/<strong>jurnal</strong>sti_usu<br />

E-mail : jsti@plasa.com<br />

Diterbitkan : Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik USU Medan<br />

Harga Berlangganan : Rp. 125.000 per tahun (termasuk ongkos kirim). Biaya dikirim<br />

melalui Pos Wesel ke alamat redaksi atau via Bank BNI 1946<br />

Cabang Jl. Pemuda Medan No. Rekening : 005084001 a.n. Ir.<br />

T. Sembiring dan mengisi form berlangganan yang disediakan.<br />

Jurnal Sistem Teknik Industri diterbitkan 4 (empat) kali setahun pada bulan Januari, April, Juli, dan<br />

Oktober. Redaksi menerima karangan ilmiah tentang hasil penelitian, survei, dan telaah pustaka yang erat<br />

hubunganya dengan bidang <strong>teknik</strong> <strong>industri</strong>. Penulis yang naskahnya dimuat akan dihubungi sebelum<br />

dicetak dan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 350.000,- per artikel yang dapat dikirim melalui Pos<br />

Wesel ke alamat redaksi atau via bank BNI 1946 Cabang Jl. Pemuda Medan No. Rekening 005084001 a.n.Ir.<br />

T. Sembiring.<br />

i


JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI<br />

Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri<br />

ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002<br />

Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155<br />

Homepage: http://www.geocities.com/<strong>jurnal</strong>sti_usu E-mail: jsti@plasa.com<br />

Volume 6 No. 3 Juli 2005<br />

EDITORIAL<br />

Edisi ini diawali dengan Stasiun perakitan Unit Stang ditemukannya tingkat kesalahan perakitan yang tertinggi pada perakitan sepeda motor.<br />

Motivasi rendah disebabkan lingkungan kerja yang kurang mendukung dan belum adanya jaminan sosial. Manufaktur sellular adalah sebuah<br />

strategi yang popular untuk memperbaiki kemampuan produksi, metode yang digunakan untuk menganalisa adalah soft system. Pembuatan<br />

arang dari tempurrung kemiri dimana struktur tempurung kemiri mempunyai struktur kimia yang hampir sama edngan selulosa dan lignin.<br />

Apliksi simulasi dalam penyelesaian masalah <strong>sistem</strong> manufaktur sellular lebih fokus pada sub masalah tata letak sel. Perkembangan modelmodel<br />

dan <strong>teknik</strong>-<strong>teknik</strong> dalam <strong>sistem</strong> manufaktur sellular lebih mengarah pada masalah pengelompokan dan tata letak sel yang dipandang<br />

sebagai hal yang terpisah. Hak dan kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan suatu bentuk kekayaan immaterial bagi pemiliknya dimana hak<br />

milik tersebut mempunyai sifat ekonomi berupa keuntungan yaitu Royalty dan Technical Fee. Untuk mendorong perkembangan di bidang<br />

<strong>industri</strong>, perdagangan dan investasi lebih pesat, dan dalam rangka mewujudkan iklim yang lebih baik dan merangsang tumbuh dan<br />

berkembangnya penciptaan dan investasi dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan teknologi maka dibutuhkan perlindungan hukum bagi hak<br />

dan kekayaan intelektual. Analisa waktu tempuh angkutan perkotaan pada rule terminal amplas – terminal Sambu Medan dilakukan dengan<br />

tujuan untuk mendapatkan gambaran kecepatan perjalanan, kecepatan gerakan dan tundaan sepanjang rule yang dilalui. Beberapa<br />

penyampaian rendahnya kecepatan perjalanan angkatan perkotaan mikrobis pada rule ini adalah naik dan turunnya penumpang disembarang<br />

tempat, banyaknya jumlah kendaraan yang melintasi ruas jalan sehingga volume lalu lintas melebihi kapasitas jalan.<br />

Pengusahaan perikanaan laut sudah semestinya memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan, sehingga diperoleh hasil maksimum lestari<br />

baik secara biologi aupun secara ekonomi. Pemasaran adalah inti seluruh aktivitas bisnis. Ini berkaitan dengan fungsi pemasaran sebagai<br />

penghubungan perusahaan dan konsumen. Era pasar bebas dunia akan terjadi liberalisasi ekonomi yang berpengaruh terhadap struktur<br />

pasar yang tidak mengenal batas-batas antara negara. Penelitian di bidang ekonomi dan keuangan seringkali model ARIMA yang standar<br />

tidak dapat memberikan solusi dari permasalahan yang ada, hal ini berkaitan dengan tidak terpenuhinya asumsi dasar berdistribusi. Masalah<br />

transport dan solusi penyelesainya dapat ditinjau dengan mengurangi kompleks dari masalah tersebut dikemudian hari Halte adalah tempat<br />

untuk menaikkan/menurunkan penumpang yang dilengkapi dengan bangunan yang keberadaannya di sepanjang rute angkutan umum sangat<br />

diperlukan. Namun pada kenyataannya di Kota Medn keberadaan halte belum dimanfaatkan.<br />

Kebanyakan peraturan-peraturan yang digunakan didalam menentukan panjang efektif kolom pada bangunan baja atau beton menggunakan<br />

prosedur nomogram. Prosedur nomogram ini telah diadopsi oleh tulisan ini yang dikembangkan untuk memprediksikan panjang efektif<br />

kolom pada portal.<br />

Anarkisme sering terjadi di dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Orang awam tatkala mendengar anarkisme akan<br />

membawa pengaruh yang tidak baik terhadap kegiatan kehidupan mereka.<br />

Industri pulp dan kertas merupkan <strong>industri</strong> yang sangat brpotensi menimbulkan pencemaran karena menghasilkan limbah cair. Limbah cair<br />

<strong>industri</strong> pulp dan kertas umumnya diolah pada instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).<br />

Modernisasi merupakan topik yang menarik dan telah menjadi gejala umum di dunia dewasa ini, untuk maju melangkah dengan pasca<br />

modemnya.<br />

ASIC merupakan rangkaian terintegrasi aplikasi yang dirancang unuk memenuhi tujuan dn fungsi tertentu dalam bidang perencanaan <strong>sistem</strong><br />

mikroelektronika.<br />

Muu beton yang dicantumkan pada syarat-syarat teknis pelaksanaan konstruksi beton tersebut adalah salah satu dasar yang dipakai. Kendala<br />

pada suatu pondasi dengan modulasi elastis efektif pada ruang yang acak dapat menjadi mudolus elastis lapangan pada penurunan<br />

konsilidasi.<br />

Kekerasan baja sangat dipengaruhi oleh kerusakan atau kegagalan yang disebabkan oleh reaksi material tersebut. Baja adalah bahan<br />

kontruksi yang paling rawan dalam lingkungaa atmosfer.<br />

Dalam <strong>sistem</strong> tenaga ada beberapa studi analisis yang harus dilakukan yaitu analisis aliran beban, analisis stabilitas dan analisis hubungan<br />

singkat. Keripik wortel mutu terbaik dihasilkan dari perlakuan Pra penggorengan (Direbus) kemudian dibekukan / P 3 dan konsentrasi CCl<br />

sebesar 0,5%/K 1 . hidrolisa dengan larutan asam dengan variasi warna kulit buah pepaya, temperatur serta waktu perebusan kulit buah<br />

pepaya. Koperasi sangat penting dalam menumbuhkan dan mengembangkan potensi ekonomi dengan memiliki asas demokratis,<br />

kekeluargaan, kebersamaan dan keterbukaan. Desai dalam arsitektur melalui pendekatan humanis yaitu pendekatan prilaku dan pendekatan<br />

sosial. Dilakukan pendekatan ini untk memotivasi solusi desain lingkunan. Merancang bangunan dengan mempertimbangkan orientasi<br />

terhadap matahari dan arah angin, pemanfaatan elemen arsitektur dan material bangunan, serta pemanfaatan elemn-elemen lengkap. Metode<br />

standar error penduga paling tepat dipakai untuk memprediksikan kapasitas dan biaya produksi dibandingkan dengan metode lain. Akibat<br />

gempa di didaerah pantai Banda Aceh ada penurunan sebesar 2 meter, sedangkan di Nias Barat ada kenaikan permukaan tanah sebesar 3<br />

meter. Penjualan, keuntungan, pangsa pasar dan perutmbuhan untuk mendapatkan hasil yang optimal dengan memertimbangkan empat<br />

kriteria tersebut. Dalam penentuan pemilihan terhadap usaha yang akan diinvestasikan dan memiliki prspek digunakan metode mutaly<br />

exclusive alternative project unutk mendapatkan perbandingan dari ketiga usaha.<br />

Tim Redaksi<br />

ii


JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI<br />

Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri<br />

ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002<br />

Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155<br />

Homepage: http://www.geocities.com/<strong>jurnal</strong>sti_usu E-mail: jsti@plasa.com<br />

Volume 6 No. 3 Juli 2005<br />

DAFTAR ISI<br />

Halaman<br />

USULAN PERBAIKAN FASILITAS KERJA BERDASARKAN TINJAUAN ERGONOMI DI PT. SELTECH MOTOR<br />

INDUSTRI -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 1-12<br />

Nazlina, Danci Sukatendel<br />

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PERFORMANSI KARYAWAN (STUDI<br />

KASUS : PKS PTPN-II SAWIT SEBERANG) ----------------------------------------------------------------------------------------------- 13-14<br />

Hj. Muthia Bintang<br />

MODEL KONSEPTUAL TRANSFORMASI MANUFAKTUR KONVENSIONAL MENJADI SELLULAR<br />

TEROTOMASI --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 15-20<br />

Bakhtiar S<br />

PENGEMBANGAN PORI ARANG HASIL PIROLISA TEMPURUNG KEMIRI --------------------------------------------------- 21-25<br />

Muhammad Turmuzi<br />

OPTIMALISASI-OBJEKTIF BERBANTUAN SIMULASI DALAM SISTEM MANUFAKTUR SELLULAR ---------------- 26-33<br />

Rika Ampuh Hadiguna<br />

PERANAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HaKI) DALAM MENDORONG PERKEMBANGAN INFUSTRI<br />

DAN PERDAGANGAN --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 34-42<br />

Syahril Effendy Pasaribu<br />

ANALISIS WAKTU TEMPUH ANGKUTAN PERKOTAAN TERMINAL AMPLAS-TERMINAL SAMBU DI KOTA<br />

MEDAN ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 43-47<br />

Faizal Ezeddin<br />

MODEL ANALISIS DAN OPTIMALISASI PENGUSAHAAN SUMBERDAYA PERIKANAN --------------------------------- 48-53<br />

Dede Ruslan<br />

PENGARUH PELAKSANAAN BAURAN PEMASARAN TERHADAP PROSES KEPUTUSAN PEMBELIAN<br />

KONSUMEN PADA JAMU DI BANDA ACEH ---------------------------------------------------------------------------------------------- 54-62<br />

Rusydi Abubakar<br />

PENDETEKSIAN OUTLIER PADA DATA INFLASI ACEH ---------------------------------------------------------------------------- 63-68<br />

Ratna<br />

PROBLEM EVALUATION OF TRANSPORT SYSTEMS IN MEDAN --------------------------------------------------------------- 69-72<br />

Filiyanti T. A. Bangun<br />

STUDI EFEKTIFITAS PENGGUNAAN HALTE DI KOTA MEDAN (Studi Kasus : Koridor-koridor Utama Kota<br />

Medan) ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ 73-80<br />

Jeluddin Daud<br />

KAJIAN PERSAMAAN STABILITAS KOLOM PADA PORTAL BERGOYANG ------------------------------------------------- 81-87<br />

Faizal Ezeddin<br />

ANARKISME ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 88-93<br />

Rasyidin<br />

PROSES REDUKSI EKSES LUMPUR AKTIF DARI IPAL INDUSTRI PEMBUATAN KERTAS ---------------------------- 94-96<br />

Maya Sarah<br />

RUMAH SUSUN SEBAGAI BENTUK BUDAYA BERMUKIM MASYARAKAT MODERN ------------------------------------ 97-102<br />

Samsul Bahri<br />

METODE PERANCANGAN ASIC YANG SUKSES -------------------------------------------------------------------------------------- 103-107<br />

Hasdari Helmi<br />

iii


PEMERIKSAAN MUTU BETON DAN MUTU PELAKSANANA PEKERJAAN BETON --------------------------------------- 108-112<br />

A. Rajamin Tanjung<br />

ANALISA KEANDALAN TERHADAP PENURUNAN PADA PONDASI JALUR ------------------------------------------------ 113-117<br />

Anwar Harahap<br />

PENGARUH HARDNES PADA BAJA YANG TERENDAM DALAM AIR LAUT YANG MENGANDUNG BAKTERI<br />

PEREDUKSI SULFAT (SRB) ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 118-122<br />

Jalaluddin<br />

ANALISIS GANGGUAN HUBUNG SINGKAT TIGA PHASA PADA SISTEM TENAGA LISTRIK DENGAN<br />

METODE THEVENIN ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ 123-127<br />

Masykur SJ<br />

KONDISI OPTIMUM PADA HIDROLISA PEKTIN DARI KULIT BUAH PEPAYA ----------------------------------------------- 128-129<br />

Farida Hanum<br />

STUDI PEMBUATAN KERIPIK WORTEL -------------------------------------------------------------------------------------------------- 130-136<br />

Terip Karo-karo<br />

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELUARGA BESAR UISU MELALUI WADAH LEMBAGA KOPERASI ----------------- 137-140<br />

Sjahril Effendy Pasaribu<br />

ARSITEKTUR DAN LINGKUNGAN, PASCA ARSITEKTUR MODERN ----------------------------------------------------------- 141-147<br />

N. Vinky Rahman<br />

MENCIPTAKAN KENYAMANAN THERMAL DALAM BANGUNAN ---------------------------------------------------------------- 148-158<br />

Basaria Talarosha<br />

PREDIKSI KAPASITAS DAN BIAYA PRODUKSI BATAKO SERTA OPTIMALISASI KEUNTUNGAN<br />

BERDASARKAN PROBALITAS DI P.T. WIJAYA KESUMA ------------------------------------------------------------------------- 159-179<br />

Zuriah Sitorus<br />

KERUSAKAN AKIBAT TSUNAMI DAN GEMPA NORTHEN SUMATRA 26 DESEMBER 2004 TERHADAP<br />

BANDA ACEH DAN SIROMBU NIAS BARAT --------------------------------------------------------------------------------------------- 180-189<br />

Johannes Tarigan<br />

MODEL ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS UNTUK MENENTUKAN TINGKAT PRIORITAS ALOKASI<br />

PRODUK ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 190-195<br />

Fatimah<br />

MUTUALLY EXCLUSIVE ALTERNATIVE PROJECT UNTUK ANALISIS KELAYAKAN USAHA INDUSTRI KECIL- 196-202<br />

A Hadi Arifin<br />

ANALISIS SUBSTITUSI PENGGUNAAN INPUT PADA INDUSTRI PENGOLAHNA MAKANAN DNA MINUMAN<br />

INDONESIA 203-207<br />

Mawardati<br />

KOMPRESI DATA MENGGUNAKAN ALGORITMA HUFFMAN 208-211<br />

F. Rizal Batubara<br />

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA<br />

iv


Usulan Perbaikan Fasilitas Kerja Berdasarkan Tinjauan Ergonomi di PT. Seltech Motor Industri<br />

Nazlina dan Danci Sukatendel<br />

USULAN PERBAIKAN FASILITAS KERJA<br />

BERDASARKAN TINJAUAN ERGONOMI DI PT. SELTECH<br />

MOTOR INDUSTRI<br />

Nazlina 1) dan Danci Sukatendel 2)<br />

1)<br />

Staf Pengajar Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik USU<br />

2)<br />

Staf Pengajar Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik USU<br />

Abstrak: Manusia merupakan komponen utama sehingga haruslah menjadi sentral dalam system kerja yang<br />

bersangkutan. Pada stasiun kerja perakitan Unit Stang ditemukannya tingkat kesalahan perakitan yang tertinggi<br />

pada perakitan sepeda motor yaitu sebanyak 10 unit kesalahan dari total kesalahan 40 unit. Untuk menurunkan<br />

ataupun menghilangkan tingkat kesalahan pada stasiun kerja ini maka diusulkan perbaikan fasilitasn kerja<br />

dengan mempertimbangkan posisi koponen, peralatan kerja dan postur kerja dari operator apda statisun kerja<br />

perakitan Unit Stang ini. Penyederhanaan elemen-elemen gerakan kerja dengan cara menghilangkan elemen<br />

gerakan yag tidak produktif dan tidak ergononomis, mengkombinasikan beberapa elemn kegiatan ekrja dan<br />

merancang tempat kerja sesuai edngan postur kerja yang ergonmis. Perancangan tempat kerja sesuai dengan<br />

postur kerja yang erhgonomis yaitu dengan mengusulkan penggunaan tempat duduk yang dapat digerakkan,<br />

perancangan penyangga kaki dan penggunaan rak bertingkat dimana rak bertingkat yang diusulkan tersebut<br />

emmpunyai kemiringan yang bertujuan untuk memeudahkan pengambilan koponen dengan bantuan gravitasi.<br />

Kata kunci: Ergonomi, Perakitan Sepeda Motor, Poka Yoke<br />

Abstract: Human beings are main component, so it becomes a central in the work system. At the work station of<br />

handel of Bar Unit assembling, finding of highest level of error ot motorbike assembling of Suria X that is<br />

counted 10 error units from the total of error 40 unit.s to degrade and or eliminate level of error at the work<br />

station hence proposed repair of work facility by considering component position, work equipments and work<br />

posture of operator at this work station of Handle Bar Uni assembling. Simplification of work movement<br />

elements by eliminating unproductive and unergonomic elements, combining some working activity element and<br />

design workplace according to ergonomic posture of work. Scheme of workplace according to ergonomic<br />

posture of work that is by proposing usage of seat able to be moved, cheme of prop of feet and usage of a<br />

leveling rack which proposed have inclination with aim to facilitate intake of component constructively<br />

gravitation.<br />

Keyword: Ergonomic, Assembling of Motorbike, Poka Yoke.<br />

I. PENDAHULUAN<br />

Fasilitas dan peralatan yang digunakan<br />

dalam bekerja seharusnya dapat membuat operator<br />

merasa aman dan nyaman sehingga tidak mudah<br />

membuat kesalahan dalam melakukan pekerjaannya.<br />

Hal ini akan memberi kepuasan kerja kepada<br />

operator dan pekerjaan yang dilakukannya akan<br />

menjadi lebih efektif. Dengan alas an ini maka perlu<br />

dirancang fasilitas yang ergonomic untuk dapat<br />

mengurangi resiko terjadinya kesalahan operator saat<br />

bekerja.<br />

Berkurangnya resiko terjadinya kesalahan<br />

yang dilakukan oleh operator pada saat bekerja dapat<br />

memberikan dampak dengan bertambah optimalnya<br />

hasil kerja operator. Hasil kerja yang optimal ini<br />

berupa peningkatan hasil produksi dengan<br />

pengurangan waktupengerjaan setiap unitnya dan<br />

kualitas yang diinginkan dapat tercapai tanpa ada<br />

pengerjaan ulang (rework) dikarenakan<br />

ditemukannya produk yang ccat pada bagian<br />

pemeriksaan. Kedua hal ini dapat meningkatkan<br />

jumlah produksi perharinya.<br />

II. PERMASALAHAN<br />

Rumusan masalah studi ini adalah<br />

bagaimana menciptakan suatu konsep perbaikan<br />

metode kerja dengan pemberian beberapa fasilitas<br />

kerja yang diperlukan serta menyusun tata letak<br />

koponen yang optimal berdasarkan tinjauan<br />

ergonomic sehngga dapat memperbaiki system kerja<br />

dan mengurangi tejradinya kesalahan yang dilakukan<br />

oleh operator pada saat melakukan pekerjaannya.<br />

Untuk menyusun konsep tersebut maka<br />

diperlukan informasi yang lengkap mengenai<br />

kemampuan manusia dengan segala<br />

keterbatasannya. Salah satu usaha untuk<br />

mendapaktan informasi-informasi yang berhubungan<br />

dengan kemampuan manusia dengan segala<br />

keterbatasannya ialah dengan melakukan<br />

penyelidikan-penyelidikan yang terbagi atas 4<br />

kelompok besar, yaitu :<br />

1. Penyelidikan tentang display.<br />

Yang dimaksud dengan display adalah bagain<br />

dari lingkungan yang mengkomunikasikan<br />

keadaannya langsung kepada mansuia dalam<br />

1


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

bentuk lambing-lambang atau tanda-tanda.<br />

Display terbagi atas 2 bagian, yaitu display statis<br />

dan display dinamis.<br />

2. Penyelidikan mengenai hasil kerja manusia dan<br />

proses pengendaliannya.<br />

3. Penyelidikan mengenai tempat kerja.<br />

4. Penyelidikan mengenai lingkungan fisik.<br />

III. PEMBAHASAN<br />

Sasaran dari studi ini adalah menghasilkan<br />

konsep metode kerja yang baru yangs esuai dengan<br />

prinsip ergonomic yaitu : efektif, nyaman, aman,<br />

sehat dan efisien bagi operator. Sasaran lainnya<br />

adalah menambahkan fasilitas kerja yang dianggapo<br />

perlu untuk mengurangi resiko terjadinya keslaahan<br />

perakitan dimana secara tidak langsung dapat<br />

meningkatkan produktifitas dengan berkurangnya<br />

waktu untuk melakukan perbaikan produk yang salah<br />

rakit dari stasiun kerja yang diamati.<br />

Perakitan Unit Stang dibagi menjadi beberapa<br />

elemen kegiatan. Elemen-elemen kegiatan perakitan<br />

Uni Stang dapat dilihat sebagai berikut :<br />

a. Elemen Kegiatan A :<br />

Pemasangan Rangka Stang ke Penyangga Kaki<br />

Segitiga.<br />

b. Elemen Kegiatan B<br />

Pemasangan rem Cakram ke Stang<br />

c. Elemen Kegiatan C<br />

Pemasangan Switch Lampu dan Klakson<br />

d. Elemen Kegiatan D<br />

Pemasangan Tombolr Starter dan Tali Gas.<br />

e. Elemen Kegiatan E<br />

Pemasangan Karet Stang Kiri<br />

f. Elemen Kegiatan F<br />

Pemasangan Kabel speedometer ke Batok<br />

Speedometer<br />

g. Elemen Kegiatan G<br />

Pemsangan Kabel.<br />

h. Elemen Kegiatan H<br />

Pemasangan Kabel.<br />

i. Elemen Kegiatan I<br />

Pemasangan Unit Lampu Depan<br />

j. Elemen Kegiatan J<br />

Peamsangan Bandulan Stang.<br />

Pemasangan Unit Stang dilakukan di atas<br />

lantai dengan menggunakan beberapa fasilitas, yaitu :<br />

a. Kardus sebagai tempat duduk operator yang<br />

berdimensi 460 x 345 x 328 mm.<br />

b. Penyangga kaki segitiga yang terbuat dari besi.<br />

Alat ini mempunyai fungsise abgait empat<br />

meletakkan rangka stang dan kemudian<br />

komponen lainnya dirakit ke rangka stang.<br />

c. Kotak-kotak kecil yang terbuat dari kardus<br />

tempat meletakkan mur dan baut. Kotak-kotak<br />

ini berukuran 8 x 8 x 5 cm.<br />

d. Air Gun yang berfungsi untuk membuka dan<br />

memasang baut dan mur dengan bantuan udara<br />

dari kompresor.<br />

e. Martil yang digunakan untuk memasukkan<br />

bandulan stang.<br />

f. Kunci T yang berfungsi untuk memasang<br />

mengikat Switch Lampu dan Rem Cakram.<br />

Data kesalahan yang diperoleh pada<br />

perakitan unit stang selanjutnya dianalisa peneybab<br />

terjadinya kesalahan tersebut dengan menggunakan<br />

Cause and Effect Diagram, seperti terlihat pada<br />

gambar 1.<br />

Gambar 1. Diagram Sebab Akibat Kesalahan Rakit pada Unit Stang<br />

2


Usulan Perbaikan Fasilitas Kerja Berdasarkan Tinjauan Ergonomi di PT. Seltech Motor Industri<br />

Nazlina dan Danci Sukatendel<br />

IV. USULAN PERBAIKAN<br />

IV.1. Kotak Tempat Baut<br />

Setelah dilakukan analisa dapat dilihat<br />

bahwa operator bekerja dalam keadaan tidak optimal<br />

dikarenakan peralatan yang tidak mendukung dimana<br />

komponen-komponen penyambung unit stang<br />

dipasangkan pada tempat yang sulit dijangkau.<br />

Komponen penyambung itu sendiri memiliki ukuran<br />

kecil sehingga operator harus mencengkam dengan<br />

jari. Posisi seperti ini dapat memudahkan terjadinya<br />

kelelahan. Kelelahan ini dapt menganggu konsentrasi<br />

kerja operator. Jenis baut yang digunakan ini tidak<br />

dapat diganti dikarenakan sudah sesuai dengan<br />

standar yang ada. Jenis baut yang digunakan<br />

memiliki kesamaan dalam ukuran kepalanya namun<br />

berbeda pada ukuran panjangnya (M6x20, M6x25,<br />

M6x30). Perbedaan ukuran panjang ini tidak terlalu<br />

kelihatan apabila dilihat secara sepintas dan kotak<br />

baut yang berukuran 8 x 8 x 5 cm ini sering bergeser<br />

letaknya secara tidak sengaja. Untuk mengantisipasi<br />

kesalahan baut yang digunakan sebaiknya tempat<br />

baut diberikan label. Label ini dapat berupa angka<br />

yang menunjukkan ukuran panjangnya masingmasing.<br />

Selain pemberian label perbaikan juga dapat<br />

dilakukan dengan meletakkan kotak-kotak baut scara<br />

berdampingan disesuaikan dengan ukurannya.<br />

Peletakan ini dapat dilakukan dengan meletakkan<br />

ketiga kotak baut ini ke dalam satu kotak yang lebih<br />

besar sehingga kotak-kotak baut dapat dipindahpindahkan.<br />

IV.2. Tempat Duduk Operator<br />

Tempat duduk yang digunakan operator<br />

tidak ergonomic. Ha ini terlihat dari bahan yang<br />

diguankan sebagai tempat duduk yaitu terbuat dari<br />

kardus bekas yang berukuran panjang 60 mm, lebar :<br />

328 mm dan tingi : 345 mm. kardus ini<br />

kemduiandiisi dengan plastic bekas pembungkus<br />

komponen. Hal ini menyebabkan tidak stabilnya<br />

tempat duduk sehingga sering melengkung dan<br />

dimesninya berubah-ubah. Dimensi yang berubahubah<br />

ini sering mengakibatkan operator<br />

menyesuaikan psosii duduknya. Seringnya<br />

penyesuaian posisi duduknya. Seringnya penyesuaian<br />

posisi duduk akan menyebabkan terganggungnya<br />

konsentrasi operator dan terjadinya ketegangan untuk<br />

mempertahankan posisi. Untuk mengantisipasi<br />

terjadinya ketegangan dan kehilangan konsentrasi<br />

karena penyesuaian psosii duduk sebaiknya operator<br />

duduk di tempat duduk yang mempunyai alas duduk<br />

yang stabil. Alas duduk ini dpat terbuat dari kayu<br />

ataupun besi yang mempunyai ukuran tinggi sesuai<br />

dengan tinggi duduk operator. Untukmenentukan<br />

ukuran-ukuran tempat duduk yang nyaman bagi<br />

operator maka diperlukan ukuran-ukuran dimensi<br />

tubuh operator. Bagian tubuh operator yangdiukur<br />

dapt dilihat apda gambar 2. sedangkan hasil<br />

pengukuran dapat dilihat pada table 1. Tempat<br />

duduk yang diusulkan beserta ukuran-ukurannya.<br />

Table 1. Ukuran Dimensi Tubuh Saat Duduk<br />

Bagian Keterangan Operator 2 Operator 3 Rata-rata<br />

A Tinggi Popliteal 42,8 42,3 42,55<br />

B Panjang Pantaike Popliteal 48,9 48,6 48,75<br />

C Tinggi Mata saat duduk 76,2 75,5 75,85<br />

D Tinggi Bahu 60,2 59,5 59,85<br />

E Panjang Pantat ke Lutut 58,4 58,1 58,25<br />

F Panjang Lengan (meraih) 63,2 63,0 63,10<br />

G Tinggi Siku 23,6 23,5 23,55<br />

H Lebar Pinggul 36,8 37,7 37,00<br />

3


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

IV.3. Penyangga Kaki Segitiga<br />

Tempat lubang pemasangan pengikat (baut)<br />

pada benda kerja (perakitan unit lampu depan)<br />

terletak pada bagian-bagian yang berada di luar<br />

jangkauan penglihatan, hal ini sering menyebabkan<br />

operator harus meraba letak lubang baut yang berada<br />

di bagian bawah. Posisi kerja yang hanya meraba ini<br />

sering menyebabkan tidak sesuai masuknya<br />

baut/sekrup pada lubang sehingga sering terjadi<br />

pemaksaan, baut/sekrup keluar dari alur lubangnya<br />

atau operator harus meraba letak lubang baut yang<br />

berada dibagian bawah. Posisi kerja yang hanya<br />

meraba ini sering menyebabkan tidak sesuai<br />

masuknya baut/sekrup pada lubang sehingga sering<br />

terjadi pemaksaan, batu/sekrup keluar dari alur<br />

pemaksaan, batu/sekrup keluar dari alur lubangnya<br />

atau operator harus membungkukkan badan untuk<br />

melihat lubang dan menyesuaikan masuknya<br />

batu/sekrup tersebut. Usulan untuk mencegah<br />

terjadiya kesalahan ini adalah dengan merubah<br />

penyangga kaki segitiga usulan ini dapat bergerak<br />

sebesar 45 0 . sedangkan kaki penyangga tidak<br />

dirubah, begitu juga dengan penampang alasa yang<br />

terbuat dari besi profil L yang mempunyai.<br />

Penyangga ini juga diberikan pengganjal sehinga<br />

ketinggian pengganjal ini ssuai sesuai dengan<br />

ketinggian operator.<br />

4


Usulan Perbaikan Fasilitas Kerja Berdasarkan Tinjauan Ergonomi di PT. Seltech Motor Industri<br />

Nazlina dan Danci Sukatendel<br />

IV. 4. Rak Bertingkat<br />

Komponen-komponen dalam perakitan Unit<br />

Stang berjumlah sebanyak 11 unit dan diletakkan di<br />

atas permukaan lantai. Hal ini menyebabkan<br />

komponen-komponen tersebut diletakkan berauhan<br />

sehingga operator sering menggerakkan tubuh<br />

melampaui jangkauannya untuk mengambil<br />

komponen-komponen. Penyusunan komponen yang<br />

rapi dapat dilakukan di ats meja ataujuga dalma rak<br />

yang bertingkat sehingga dapat mengrangi gerakan<br />

operator untukmengambil komponen. Rak bertingkat<br />

ini juga dirancang berdasarkan dimensi tubuh<br />

operator. Ukuran dimensi tubuh yang diperlukan<br />

dalam merancang rak ini sama dengan yang<br />

diperlukan dengan merancang tempat duduk. Jumlah<br />

rak bertingkat yang diusulkan berjumlah 2 unit.<br />

Masing-masing unit menyimpan komponenkomponen<br />

yang berbeda. Salah satu unit rak yang<br />

diusulkan menyimpan beberapa komponen yang<br />

mempunyai dimensi kecil ke dalam satu tempat<br />

dimana dalam satu tempat tersebut teridri dari<br />

komponen-komponen yang diperlukan untuk<br />

merakit satu unit stang. Sedangkan untuk komponen<br />

yang mempunyai dimensi besar dan lebih mudah<br />

untuk rusak (tergores dan pecah) seperti Unit<br />

Speedmeter dan Unit Lampu Depan diletakkan pada<br />

tempat yang sama begitu juga dengan baut pengikat<br />

ditempatkan pada kotak baut.<br />

Berdasarkan ukuran komponen maka<br />

komponen-komponen dipisah menjadi empat<br />

kelompok. Masing-masing kelompok diletakkan<br />

pada sebuah kotak yang dapat terbuat dari karton<br />

ataupun bahan keras lainnya seperti kayu ataupun<br />

plastic, kecuali Rangka Stang. Kotak pertama<br />

berukuran 44 x 30 x 10 cm dimana kardus tersebut<br />

berisikan 7 komponen dan diberi penyekat pemisah<br />

antara komponen. Komponen pada kotak pertama ini<br />

adalah:<br />

a. Switch Rem Tangan, ukuran dalam kotak 8 x<br />

6,5 cm.<br />

b. Rem Cakram dan Tali Rem, ukuran dalam kotak<br />

28 x 30 cm.<br />

c. Switch Lampu, ukuran dalam kotak 7 x 8 cm.<br />

d. Tombol Starter, ukuran dalam kotak 8 x 8,5 cm.<br />

e. Karet Stang Kanan (Gas), ukuran dalam kotak<br />

11 x 7 cm.<br />

f. Karet Stang Kiri, ukuran dalam kotak 11 x 7<br />

cm.<br />

g. Bandulan stang (kiri dan kanan), ukuran dalam<br />

kotak 14 x 6 cm.<br />

Sedangkan kotak kedua berukuran 45 x 40 x<br />

21 cm dimana kotak tersebut berisikan berisikan 2<br />

komponen yang diberikan penyekat untuk<br />

memisahkannya. Untuk komponen yang diberikan<br />

penyekat untuk memisahkannya. Untuk komponen<br />

Kabel Speedometer dan Tali gas diletakkan pada<br />

kotak berukuran 100 x 12 x 10 cm.<br />

Kotak-kotak tersebut disusun secara rapi<br />

didalam rak bertingkat. Rak bertingkat sehingga<br />

komponen tidak terletak menyebar di stasiun kerja.<br />

Rak bertingkat yang diusulkan ini dirancang sesuai<br />

dengan dimensi kotak penyimpanan komponen<br />

sehinga memudahkan operator untuk mengambil<br />

kotak-kotak komponen tersebut.<br />

Adapun ukuran rak bertingkat ini diusulkan<br />

mempunyai ukuran panjang sebesar 220 cm, lebar<br />

sebesar 100 cm dan ketinggian 160 cm pada rangka<br />

rak serta. Ukuran ini disesuaikan dengan batas<br />

kemampuan operator meraih komponen dari tempat<br />

duduknya sehingga operator tidak banyak bergerak.<br />

Rak yang diusulkan terdiri dari dua jenis<br />

dimana rak pertama mempunyai kapasitas<br />

menampung 28 kotak kedua dan 20 kotak pertama.<br />

Sedangkan jenis rak yang lainnya mempunyai<br />

kapasitas menampung 14 kotak kedua dan 20 kotak<br />

pertama. Perbedaan rak pertama dan kedua ini<br />

terletak pada bagian atasnya, dimana rak kedua pada<br />

tingkat paling atas digunakan untuk menyimpan<br />

rangka stang. Usulan jenis rak bertingkat pertama<br />

dapat dilihat pada gambar 5 dan usulan jenis rak<br />

kedua dapat dilihat dilihat pada gambar 6.<br />

Rak ini terdiri dari bahan berbentuk silinder<br />

yang dapat berputar seperti roller conveyor pada tiap<br />

tingkatnya sehingga kotak dapat bergerak turun<br />

dengan sudut kemiringan sebesar 5%.<br />

Kotak tempat Kabel Speedometer dan Tali<br />

Gas diusulkan untuk diletakkan di atas sebuah meja<br />

yang ketinggiannya sebesar 45 cm dan panjang 100<br />

cm sedangkan lebarnya sebesar 50 cm. Meja ini<br />

juga digunakan untuk tempat meletakkan kotak<br />

komponen yang berada pada Rak Bertingkat yang<br />

akan dirakit.<br />

5


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

6


Usulan Perbaikan Fasilitas Kerja Berdasarkan Tinjauan Ergonomi di PT. Seltech Motor Industri<br />

Nazlina dan Danci Sukatendel<br />

IV.5. Tata Letak Stasiun Kerja Perakitan Unit<br />

Stang<br />

Setelah fasilitas diusulkan maka tata letak<br />

fasilitas yang baru perlu dirancang untuk<br />

menyesuaikan dengan posisi operator sehingga<br />

operator dapat bekerja lebih ergonomic. Tata letak<br />

yang diusulkan ini berbeda dari tata letak yang<br />

dipakai pada saat pengambilan data dimana<br />

tumpukan rangka stang di atas lantai dipindahkan ke<br />

bagian teratas rak bertingkat usulan dan tumpukan<br />

komponen lainnya ditempatkan ke dalam kotak<br />

untuk satu unit sepeda motor. Tata letak yang<br />

diusulkan ini dapat dilihat pada gambar 7.<br />

Uraian kegiatan yang dilakukan dan postur operator<br />

pada kondisi saat ini dapat dilihat pada table 2.<br />

Sedangkan uraian kegiatan dan postur operator<br />

dengan Fasilitas Kerja usulan dapat dilihat pada tabel<br />

3. Gambar Tata Letak Usulan Perakitan Unit Stang<br />

dapat dilihat pada gambar 8.<br />

IV.6. Motede Kerja<br />

Kesalahan-kesalahan yang terjadi selama ini<br />

diharapkan dapat berkurang dengan penggunaan<br />

fasilitas dan tata letak yang baru. Pengguaan<br />

penyangga kaki segitiga usulan akan memudahkan<br />

operator untuk memasang baut yang berada di bawah<br />

dengan memutar ke depan berada di bawah dengan<br />

memutar ke depan penyangga kaki segitiga sehingga<br />

operator lebih ergonomic dalam memasang baut<br />

dengan air guna.<br />

Kursi yang digunakan mempunyai roda<br />

pada kakinya sehingga operator lebih mudah untuk<br />

mengambil komponen pada rak bertingkat dan<br />

meletakkan tubuhnya (berdiri,membungkuk) untuk<br />

mengambil komponen yang akan dirakit. Kotak<br />

penyimpanan rangka terdiri dari komponen rangka<br />

untuk 1 unit sepeda motor. Sedangkan kotak<br />

penyimpanan bodi terdiri dari komponen bodi 1<br />

untuk 1 unit sepeda motor. Dengan penggunaan 1<br />

kotak komponen dalam perakitan unit stang akan<br />

memudahkan operator untuk mengambil komponen<br />

dari masing-masing kotak penyimpanan rangka dan<br />

kotak penyimpanan bodi.<br />

IV. 7. Analisis Penggunaan Fasilitas Kerja<br />

Usulan<br />

Fasilitas kerja usulan pada Perakitan Unit<br />

Stang memberikan rasa aman, efektif, nyaman,<br />

efisien dan sehat buat operator selama bekerja<br />

sehingga operator dapat bekerja secara optimal.<br />

7


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Gambar 8. Tata Letak Perakitan Unit Stang Saat Ini (Skala 1 : 50)<br />

8


Usulan Perbaikan Fasilitas Kerja Berdasarkan Tinjauan Ergonomi di PT. Seltech Motor Industri<br />

Nazlina dan Danci Sukatendel<br />

Tabel 3. Uraian Kegiatan dan Postur Kerja Operator pada Kondisi<br />

dengan Fasilitas Kerja Usulan<br />

Postur Kerja<br />

Jarak<br />

No.<br />

Uraian Kegiatan Kerja<br />

Membungkuk ke<br />

(cm) Berdiri Duduk<br />

Depan Samping<br />

1 Mengambil Rangka Stang 170 x - x -<br />

2 Memasang Rangka Stang ke Peyangga - - x - -<br />

3 Mengambil Rem Cakram 75 -<br />

x -<br />

x<br />

4 Memasang Rem Cakram ke Rangka Stang - -<br />

- -<br />

x<br />

5 Mengambil Switch Lampu & Klakson 40 -<br />

- x<br />

x<br />

6 Memasang Switch Lampu ke Rangka - -<br />

- -<br />

x<br />

7 Mengambil Tombol Starter 40 -<br />

- x<br />

x<br />

8 Memasang Tombol Starter ke Rangka Stang - -<br />

- -<br />

x<br />

9 Mengambil Tali Gas 100 x - x -<br />

10 Memasang tali gas - -<br />

- -<br />

x<br />

11 Mengambil Karet Stang 90 -<br />

- x<br />

x<br />

12 Memasang Karet Stang - -<br />

- -<br />

x<br />

13 Mengambil Kabel Speedometer 100 x - x -<br />

14 Mengambil Batok Kilometer 75 -<br />

- x<br />

x<br />

15 Memasang Kabel ke Speedometer - -<br />

- -<br />

x<br />

16 Memasang Batok Speedometer ke Rangka - -<br />

x -<br />

x<br />

17 Memasang Kabel-Kabel - -<br />

- -<br />

x<br />

18 Mengambil unit Lampu Depan 50 -<br />

- x<br />

x<br />

19 Memasang Kabel Lampu Depan - -<br />

- -<br />

x<br />

20 Memasang Unit Lampu Depan ke Rangka - -<br />

x -<br />

x<br />

21 Mengambil Bandulan Stang 90 -<br />

- x<br />

x<br />

22 Memasang Bandulan Stang ke Rangka - -<br />

- -<br />

x<br />

23 Menyimpan Unit Stang 220 x - x -<br />

Jumlah 4 19 6 6<br />

9


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Postur Kerja<br />

Jarak<br />

No.<br />

Uraian Kegiatan Kerja<br />

Membungkuk ke<br />

(cm) Berdiri Duduk<br />

Depan Samping<br />

1 Mengambil Rangka Stang 100 - x - -<br />

2 Memasang Rangka Stang ke Peyangga - -<br />

x<br />

3 Mengambil Rem Cakram 60 -<br />

x<br />

4 Memasang Rem Cakram ke Rangka Stang - -<br />

x<br />

5 Mengambil Switch Lampu & Klakson 50 -<br />

x<br />

6 Memasang Switch Lampu ke Rangka - -<br />

x<br />

7 Mengambil Tombol Starter 50 -<br />

x<br />

8 Memasang Tombol Starter ke Rangka Stang - -<br />

x<br />

9 Mengambil Tali Gas 50 -<br />

x<br />

10 Memasang tali gas - -<br />

x<br />

11 Mengambil Karet Stang 60 -<br />

x<br />

12 Memasang Karet Stang - -<br />

x<br />

13 Mengambil Kabel Speedometer 50 -<br />

x<br />

14 Mengambil Batok Kilometer - -<br />

x<br />

15 Memasang Kabel ke Speedometer 60 -<br />

x<br />

16 Memasang Batok Speedometer ke Rangka 63 -<br />

x<br />

17 Memasang Kabel-Kabel - -<br />

x<br />

18 Mengambil unit Lampu Depan -<br />

19 Memasang Kabel Lampu Depan - -<br />

x<br />

20 Memasang kabel-kabel - -<br />

x<br />

21 Mengambil Unit Lampu Depan 63 -<br />

x<br />

22 Memasang kabel Lampu Depan - -<br />

x<br />

23 Memasang Unit Lampu Depan ke Rangka - -<br />

x<br />

24 Mengambil Bandulan Stang 50 -<br />

x<br />

25 Memasang Bandulan Stang ke Rangka - -<br />

x<br />

26 Menyimpan Unit Stang 125 x<br />

-<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

- -<br />

Jumlah 1 22 1 0<br />

10


Usulan Perbaikan Fasilitas Kerja Berdasarkan Tinjauan Ergonomi di PT. Seltech Motor Industri<br />

Nazlina dan Danci Sukatendel<br />

V. KESIMPULAN<br />

Berdasarkan pengolahan data dan analisa pemecahan<br />

masalah yang dilakukan pada penelitian ini makan<br />

diambil kesimpulan sebagai berikut :<br />

1. Sepada motor Suria X merupakan jenis sepeda<br />

motor hasil rakitan PT. Seltech Motor Industri<br />

yang paling banyak dirakit. Perakitan ini terdiri<br />

dari dua kelompok proses perakitan yaitu<br />

perakitan di luar lintas perakitan dan perakitan di<br />

atas lintas perakitan.<br />

2. Stasiun kerja yang mempunyai tingkat kesalahan<br />

tertingi terdapat pada stasiun kerja Uit Stang<br />

dengan jumlah kesalahan 10 unit dari 100 unit<br />

sepeda motor yang dirakit. Statisun kerja<br />

perakitan Unit Stang merupakan proses<br />

perakitan di luar lintas perakitan.<br />

3. Pengambilan data untuk penelitian ini dilakukan<br />

sebanyak 32 unit sepeda motor dengan waktu<br />

rata-rata sebesar 446,5 detik dan standar deviasi<br />

sebesar 76,44 detik. Dari pengujian keseragaman<br />

dan kecukupan data maka dengan 23 data ini<br />

sudah seragam dan sudah cukup sehingga tidak<br />

diperlukan pengambilan data tambahan.<br />

4. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa waktu<br />

pengerjaan yang terlama terdapat pada elemen<br />

kegiatan pemasangan unit lampu depan yang<br />

dikarenakan pengambilan operator yang<br />

pemasangan baut pengikat yang berada di bagian<br />

baah serta pengikat yang berada di bagian bawah<br />

serta kesalahan pengambilan baut pengikat.<br />

5. Setelah dilakukan analisa dan evaluasi, maka<br />

peneliti mengusulkan beberapa fasilitas yang<br />

disesuaikan dengan keadaan operator. Oleh<br />

karena itu dilakukan pengambilan data<br />

antropometri untuk merancang fasilitas tersebut.<br />

Data antropometri diambil dari 2 orang operator<br />

perakitan Unit Stang. Fasilitas usulan dimaksud<br />

adalah :<br />

a. Kotak penyimpanan baut yang disusun<br />

berurutan sesuai dengan jenis baut yaitu :<br />

M6 x 20, M6 x 25 dan M6 x 30. penyusunan<br />

ini dilakukan unutk mencegah kesalahan<br />

ambil oleh operator dan mencegah kotak –<br />

kotak tersebut berserakan.<br />

b. Penyangga Kaki Segitiga yang dapat<br />

digerakkan ke depan sehingga operator<br />

dapat melihat dan memasang baut pada<br />

bagian bawah Unit Stang. Penyangga Kaki<br />

Segitiga ini dberi ganjalan pada bagian<br />

bawahnya sesua dengan tinggi rata-rata<br />

mata operator saat duduk dari permukaan<br />

laintai yaitu sebesar 118,4 cm dan panjang<br />

rata-rata lengan operator (meraih) yaitu<br />

sebesar 63,10 cm dan sudut maksimum<br />

penglihatn ke bawah sebesar 30 0 . Dari hasil<br />

perhitungan maka didapat tinggi Penyangga<br />

Kaki Segitiga yang diusulkan dengan<br />

pengganjal dari permukaan lantai sebesar 82<br />

cm dengan tinggi pengganjal sebesar 22 cm.<br />

Kursi ini juga mempunyai roda untuk<br />

memudahkan operator mengambil<br />

komponen dari rak.<br />

c. Kursi usulan mempunyai tinggi sesuai<br />

dengan tinggi rata-rata popliteal operator<br />

yaitu 42,55 cm dan ukuran alas tempat<br />

duduk yang diusulkan 49,0 x 49,0 cm sesuai<br />

panjang pantat ke popliteal sebesar 48,75<br />

cm.<br />

d. Rak bertingkat yang mempunyai dimensi<br />

sebear 164 x 254 x 150 cm yang berjumlah<br />

2 unit. Salah satu rak ini digunakan untuk<br />

meletakkan komponen unit lampu depan,<br />

unit speedometer, rangka stang. Komponen<br />

lampu depan dan unit speedometer<br />

diletakkan dalam sebuah kotak kardus<br />

berukuran 45 x 40 x 21 cm. Pada rak yang<br />

lainnya digunakan kardus yang berukuran<br />

44 x 30 x 10 cm, terdiri dari karet stang<br />

kiri, karet stang kanan (gas), bandulan kiri<br />

dan kanan, rem tangan, switch lampu,<br />

tombol starter. Dimana masing-masing<br />

kardus terdiri dari komponen-komponen<br />

untuk merakit satu unit sepeda motor. Rak<br />

bertingkat ini terdiri dari empat tingkat yang<br />

mempunyai sudut sebesar 5 0 sehingga<br />

dengan menggunakan gravitasi kardus dan<br />

rangka stang dapat turun bergantian. Pada<br />

dua tingkat bagian bawah dari besi silinder<br />

yang dapat berputar yang berfungsi seperti<br />

Roller Conveyor. Pada bagian atas rak<br />

bertingkat usulan digunakan unutk<br />

meletakkan rangka stang. Komponen kabel<br />

speedometer dan tali Gas diletakkan pada<br />

tempat yang sama dimana empat tersebut<br />

berukuran 100 x 12 x 10 cm.<br />

e. Tata letak fasilitas diusulkan berdasarkan<br />

dengan penggunaan fasilitas usulan dimana<br />

rak bertingkat diletakkan di samping kiri<br />

dan kanan operator dan kotak penyimpanan<br />

unit stang yang telah dirakit diletakkan di<br />

depan operator. Dua unit meja kecil juga<br />

digunakan untuk meletakkan kardus<br />

komponen dan satu lagi untuk meletakkan<br />

kotak tempat baut pengikat yang berukuran<br />

24 x 8 x 5 cm, dan peralatan kerja seperti<br />

tang, air gun, martil dan kunci T.<br />

6. Penggunaan fasilitas-fasilitas yang diusulkan<br />

maka operator bekerja dengan pengamblan kotak<br />

kardus komponen masing-masing satu kotak<br />

kardus yang berisi untuk satu unit sepeda motor.<br />

Pengambilan ini menggunakan tempat duduk<br />

usulan yang bisa bergeser. Operator tidak perlu<br />

melakukan pelatihan dalam penggunaan fasilitas<br />

usulan.<br />

Penggunaan Fasilitas Kerja Usulan dapat mengurangi<br />

terjadinya penyakit akibat kerja pada saat operator<br />

bekerja seperti sakit pada kaki, pinggang, leher dan<br />

punggung.<br />

11


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

VI. DAFTAR PUSTAKA<br />

Apple, James M.; Tat Letak Pabrik dan Pemindahan<br />

Bahan; ITB ; 1990 ; Bandung.<br />

Kmenta, Steven & Ishii, Assembl Emeo ; A<br />

Simplified Method For Identifying Assembly<br />

Errors; Departemen of Mechanical Engineering<br />

Stanford University, California ; 2003.<br />

Niebel, and Frevalds ‘ Methods, Standards and Work<br />

Design ; Edisi 11; McGraw-Hill; 2003 ; New<br />

York.<br />

Pulat, B. Mustafa; Fundamentals of Industrial<br />

Ergonomics, Prentice Hall, 1992; New Jersey.<br />

Reliability Analysis Center, Mistake Proofing<br />

(AKA; Poka-Yoke) an Effective Quality Tool ;<br />

http:///rac.alionscience.com/iPC/servlet/iPCser<br />

vletQKIT;2003.<br />

Roebuck, Jr. J.A.; Engineering Anthropometry<br />

Methods, John Wiley & Sons ; 1975 ; New<br />

York.<br />

Sastrowinoto, Suyatno, Meningkatkan Produktivitas<br />

dengan Ergonomi, PT. Pustaka Binaman<br />

Pressindo, 1985 ; Jakarta.<br />

Sutalaksana, Z Iftikar, Teknik Tata Cara Kerja,<br />

Departemen Teknik Industri ITB ; 1979,<br />

Bandung.<br />

Workers’ Compensation Board (WCB) of British<br />

Colombia, Understanding the risks of<br />

Musculoskeletal Injury (MSI), An educational<br />

guide for worker on sprains, strain, and other<br />

MSIs, http://www.worksafebc.com:2001.<br />

12


Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Performansi Karyawan (Studi Kasus: PKS. PTPN-II Sawit Seberang)<br />

Muthia Bintang<br />

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP<br />

PERFORMANSI KARYAWAN<br />

(STUDI KASUS: PKS. PTPN-II SAWIT SEBERANG)<br />

Muthia Bintang<br />

Staf Pengajar Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik UISU<br />

Abstrak: Ability karyawan bagianproduksi pada PKS.PTPN-II Sawit Seberang sudah baik karena didukung<br />

oleh pengalaman kerja yang cukup lama. Tetapi, motivation masih rendah karena lingkungan kerja kurang<br />

mendukung dan belum adanya jaminan sosial. Demikian juga opportunity masih rendah, karena belum adanya<br />

jaminan karir untuk masa yang akan datang.<br />

Kata Kunci: Manajemen Sumber Daya Manusia.<br />

Abstract: The ability of employ in a part of production in palm oil factory PTPN-II Sawit Seberang have been<br />

good because supported by work experience which is long enough but, the motivation still low because work<br />

environment not so support and there isn’t social security guarantee. And also the opportunity still low because<br />

there isn’t career security for the future.<br />

Key Word: Human Resource Management.<br />

I. PENDAHULUAN<br />

1.1. Latar Belakang<br />

Prestasi kerja karyawan mempunyai<br />

hubungan yang erat dengan performansi. Performansi<br />

kerja ini berkaitan dengan tingkat keterampilan/<br />

kemampuan (ability), motivasi (motivation) dan<br />

kesempatan berkarir (opportunity). Dalam konteks<br />

pengembangan sumber daya manusia, ketiga unsur<br />

tersebut perlu mendapat perhatian yang khusus.<br />

1.2. Perumusan Masalah<br />

Rendahnya motivasi dan kesempatan<br />

berkarir para karyawan pada PKS. PTPN-II Sawit<br />

Seberang.<br />

1.3. Tujuan dan Manfaat<br />

a. Mendapatkan faktor-faktor yang menyebabkan<br />

rendahnya motivasi dan kesempatan berkarir<br />

para karyawan serta upaya-upaya perbaikannya.<br />

b. Dapat sebagai rekomendasi bagi PKS, PTPN-II<br />

Sawit Seberang.<br />

II. LANDASAN TEORI<br />

2.1. Performansi dan Prestasi Kerja<br />

Performansi yang dimiliki para karyawan<br />

dapat dilihat dari tingkat prestasinya. Semakin tinggi<br />

prestasi kerja maka perfomansinya akan semakin<br />

tinggi, demikian pula sebaliknya. Jadi, performansi<br />

karyawan pada dasarnya adalah hasil kerja karyawan<br />

tersebut pada periode tertentu yang dibandingkan<br />

dengan berbagai faktor, seperti : standar, target, atau<br />

kriteria. Tingkat perfomansi karyawan juga<br />

dipengaruhi oleh keterampilan, motivasi dan<br />

kesempatan berkarir.<br />

2.2. Populasi dan Sampel<br />

Metode pemilihan sample terdiri dari<br />

probability sampling dan non-probablity sampling.<br />

Ada tiga cara pengambilan sample dengan metode<br />

probability sampling yaitu simple random sampling,<br />

stratified random sampling dan cluster sampling.<br />

Untuk metode non-probability samping, terdapat<br />

empat cara pengambilan sample yaitu quota<br />

sampling, convenience sampling, area sampling dan<br />

purposive sampling.<br />

Jumlah sample yang diambil ditentukan dengan<br />

menggunakan rumus Slovin, yaitu :<br />

N<br />

n =<br />

2<br />

1+<br />

Ne<br />

Keterangan :<br />

n = jumlah sampel<br />

N = jumlah populasi<br />

e = tingkat toleransi jumlah sample (10%)<br />

2.3. Diagram Sebab-Akibat<br />

Diagram Sebab – Akibat adalah suatu<br />

diagram yang menunjukkan hubungan antara sebab<br />

dan akibat. Berkaitan dengan performansi karyawan,<br />

diagram ini dipergunakan untuk menunjukkan faktoffaktor<br />

penyebab (sebab) penurunan (akibat) yang<br />

disebabkan oleh factor-faktor penyebab tersebut.<br />

Diagram ini sering juga disebut diagram tulang ikan<br />

(fish bone diagram) dan diagram Ishikawa<br />

(Ishikawa’s diagram).<br />

III. METODOLOGI<br />

Seluruh data diperoleh melalui observasi,<br />

wawancara, penyebaran kuesioner dan studi<br />

dokumentasi. Untuk sampai kepada tujuan penelitian<br />

13


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

digunakan pendekatan matematis dengan teori-teori<br />

statistic seperti Multiple Regression Linear Model<br />

dan uji-uji statistic yang berkaitan dengan objek<br />

penelitian.<br />

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Hasil pengukuran terhadap korelasi factorfaktor<br />

yang berpengaruh terhadap performansi<br />

karyawan untuk variable keterampilan, motivasi dan<br />

kesempatan berkarir masing-masing sebesar 56%,<br />

74% dan 13%. Keadaan ini memperlihatkan bahwa<br />

variaebl motivasi mempunyai pengaruh terbesar<br />

tehradap performansi karyawan, namun masih perlu<br />

ditingkatkan.<br />

Secara rinci, factor-faktor yang berpengaruh<br />

terhadap performansi karyawan dari variable<br />

keterampilan, motivasi dan kesempatan berkarir<br />

dapat dilihat pada gambar-gambar dibawah ini.<br />

V. KESIMPULAN<br />

Diantara factor-faktor yang menyebabkan<br />

rendahnya motivasi karyawan adalah lingkungan<br />

kerja yang kurang mendukung dan jaminan social<br />

yang kurang diperhatikan oleh pihak perusahaan.<br />

Sedangkan factor-faktor yang menyebabkan<br />

rendahnya kesempatan berkarir bagi karyawan adalah<br />

kurangnya kesemaptan pengembangan karir dan<br />

tidak adanya jaminan hari tua dari perusahaan.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Algifari, Analisis Statistik Untuk Bisnis, BPFE-<br />

Yogyakarta, Yogyakarta, 1996.<br />

Flippo, Edwin, B, Personnel Management, Edisi ke-<br />

6, Mc Graw Hill, New York, 1984.<br />

Gasperz, Vincent, Manajemen Produktivitas Total,<br />

PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,<br />

1998.<br />

Hasibuan, Malayu, Sp.H. Drs. Organisasi dan<br />

Motivasi Dasar Peningkatan Produktivitas,<br />

Bumi Aksara, Jakarta, 1996.<br />

Nitisemito, Alex, Manajemen Sumber Daya<br />

Manusia,. Ghalia, Jakarta, 1988.<br />

Sagir, H. Soeharsono, Membangun Manusia Karya,<br />

Pustaka Sinar Harahap, Jakarta, 1996.<br />

Siagian, P. Sondang, Manajemen Sumber Daya<br />

Manusia, Bumi Aksara Edisi I, Jakarta,<br />

1992.<br />

Sikula, Andrew, E, Personnel Administration and<br />

Human Resources Management, John<br />

Wixley And Sons, Santa Barbara New<br />

York, 1981.<br />

Simanjuntak, J. Payaman, Pengantar Ekonomi<br />

Sumber Daya Manusia, FE-UI, Jakarta,<br />

1985.<br />

Sudjana, Prof. Dr. MA, M.Sc. Tehnik Analisa<br />

Regresi dan Korelasi, Tarsito, Bandung,<br />

1996.<br />

Sugiono, Dr. Metode Penelitian Bisnis, CV. Alfa<br />

Beta, Bandung, 1999.<br />

Ucapan terima kasih kepada Sdr. M. Nuh yang telah<br />

memberikan penjelasan dalam tulisan ini. Semoga<br />

jasa-jasa Almarhum diteirma Allah SWT.<br />

14


Model Konseptual Transformasi Manufaktur Konvensional Menjadi Sellular Terotomasi<br />

Bakhtiar S.<br />

MODEL KONSEPTUAL TRANSFORMASI MANUFAKTUR<br />

KONVENSIONAL MENJADI SELLULAR TEROTOMASI<br />

Bakhtiar S.<br />

Jurusan Teknik Industri<br />

Fakultas Teknik – <strong>Universitas</strong> Malikussaleh<br />

Lhokseumawe, NAD<br />

Email : bakhtiar_Syamsuddin@yahoo.com<br />

Abstrak: Manufaktur sellular adalah sebuah strategi yang popular untuk memperbaiki kemampuan produksi<br />

dan meningkatkan kemampuan perusahaan untuk bersaing. Implementasi manufaktur sellular akan memberikan<br />

dampak yang luas apabila diikuti dengan transformasi perusahaan. Transformasi peusahaan dilakukan karena<br />

lantai produksi telah berubah secara mendasar menjadi kelompok-kelompok kecil yang dikenal dengan sel-sel<br />

manufaktur. Tujuans tudi adalah pengembangan model konseptual trnasformasi perusahaan apabila job shop<br />

dikonversi menjadi manufaktur sellular terotomasi. Metode yang digunakan untuk menganalisa adalah soft<br />

system. Hasil pemodelan menghasilkan keterlibatan yang diperlukan, sumberdaya yang terbatas dan<br />

pengembangan para pekerja. Pendekatna soft system dapat memprediksi perubahan sebagai akibat<br />

transformasi.<br />

Kata kunci : Model, soft system, konvensional, manufaktur sellular.<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Konsep otomasi system produksi dapat<br />

diaplikasikan pada bermacam tingkat operasi-operasi<br />

pabrik. Teknologi otomasi merupakan proses atau<br />

prosedur penyelesaian suatu pekerjaan tanpa<br />

asitstensi kendali yangmelaksanakan instruksiinstruksi<br />

tersebut. Meskipun otomasi dapat<br />

diterapkan pada bermacam tingkat operasi-operasi<br />

pabrik. Umumnya otomasi diterapkan secara<br />

individual pada mesin-mesin produksi. Oleh karena<br />

itu, mesin-mesin produksi tersebut dioperasikan<br />

seabgai sub system yang diotomasi. Bentukan sub<br />

system yang diotomasi akan membentuk system yang<br />

terotomasi. Pembentukan otomasi ini<br />

menggambarkan adanya tingkatan-tingkatan otomasi<br />

pada sebuah pabrik. Menurut Groover (2001)<br />

tingkatan-tingkatan otomasi, yaitu : tingkat alat<br />

perlengkapan (device), tingkat mesin, tingkat sel atau<br />

system, tingkat pabrik dan tingkat perusahaan<br />

(enterprise).<br />

Tingkat sel atau system yang dimaksudkan<br />

adalah sel manufaktur yang beroperasi dengan<br />

instruksi-isntruksi dari tingkat pabrik. Sebuah sel<br />

manufaktur adalah sekumpulan mesin-mesin atau<br />

stasiun-stasiun kerja yang dihubungkan dan didukung<br />

oleh system pemindahan bahan, komputer dan<br />

peralatan lainnya untuk melaksanakn operasi-operasi<br />

manufaktur. Fungsi - - fungsi yang terlibat antara<br />

part dispatching dan loading mesin, koordinasi<br />

sejumlah mesin dan <strong>sistem</strong> pemindahan bahan serta<br />

pengumpulan dan evaluasi data inspeksi. Sel-sel<br />

manufaktur merupakan persyaratan dalam penerapan<br />

system manufaktur sellular. Wujud konkretnya<br />

adalah tipe tata letak yang dibentuk dalam formasi<br />

sel-sel manufaktur.<br />

Persaingan bisnis dan peningkatan<br />

permintaan oleh apra pelaggan menyebabkan pelaku<br />

manufaktur merespon dengan cept dan menjaga agar<br />

biaya tetap rendah. Manufaktur sellular adalah suatu<br />

strategi yang popular untuk memenuhi kondisi-kndisi<br />

persaingan dan memperbaiki kemampuan produksi.<br />

Manfaat nyata dari implementasi manufaktur sellular<br />

telah dibahas oleh banyak literature (Ham dkk<br />

sellular mempromosikan semangat kepemilikan,<br />

kerja tim, perbaikan moral yang bersifat intangible<br />

yang merupakan hal vital dalam proses memperbaiki<br />

efektifitas perusahaan.<br />

Banyak studi tentang manufatku sellular<br />

yang menitikberatkan poembahasan pada masalahmasalah<br />

pengelompokan mesin dan komponen atau<br />

desain sel (Mansouri dkk 2000). Padahal yang tidak<br />

kalah penting adalah dampak yang diteirma apabila<br />

manufaktur sellular diterapkan. Perubahan jobshop<br />

yang konvensional menjadi manufaktur sellular<br />

hakekatnya adalah suatu proses transformasi<br />

perusahaan secara menyeluruh. Perubahan menjadi<br />

manufaktur sellular merupakan perubahan dari<br />

kondisi sekarang (current state) menjadi kondisi<br />

masa depan yang diinginkan. Menurut Underdown<br />

(2001) transformasi perusahaan meliputi perubahan<br />

budaya, proses dan eknologi. Proses transformasi<br />

perlu direncanakan dengan baik sehingga sejak awal<br />

telah diyakini manfaat yang akan diperoleh secara<br />

strategis.<br />

Persoalan yang muncul pada <strong>industri</strong><br />

manufaktur yang telah mengkonversi tipe tata proses<br />

menjadi tata letak sellular apabila ingin menerangkan<br />

teknologi otomasi adalah metode atau prosedur yang<br />

harus digunakan sehingga memberikan informasi<br />

yang komprehensif sebagai dasar pengambil<br />

keputusan membuat keputusan. Berkaitan denganhal<br />

ini, perlu dikembangkan sebuah prosedur yang<br />

15


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

terintegrasi untuk pendukung pengambilan<br />

keputusanyang rasional dalam proses<br />

mentransformasi job shop konvensional menjadi<br />

system manufaktur sellular terotomasi. Studi ini<br />

dilakukan pada perusahaan yang memproduksi<br />

peralatan pertanian sebagaikelanjutan penelitian<br />

sebelumnya dari Singgih dan Hadiguna (2003) dan<br />

Siswanto dan Hadiguna (2003) yang focus pada<br />

pernacangan sel-sel manufaktur dan tata letak sel.<br />

2. TINJAUAN PUSTAKA<br />

Perkembangan model-model dan <strong>teknik</strong><strong>teknik</strong><br />

dalam system manufaktur sellular lebih<br />

mengarah pada masalah pengelompokkan dan tata<br />

letak sel yang dipandang sebagai hal yang terpisah<br />

(Hadigna, 2003d). hal ini dapat dilihat dari beberapa<br />

studi yang dilakukan oleh diantaranya Baker dan<br />

Maropoulus (1999), Baykasoglu dan Gindy (2000),<br />

daita dkk (1999), Efstathiou dan Golby (2001),<br />

Mansouri dkk (2000) dan Nair dkk (1999).<br />

Bagaimanapun masalah edsain system manufaktur<br />

sellular adalah pengelompokan komponen dan mesin<br />

serta pengaturan mesin-mesin pada intra dan inter<br />

cell yang tersedia dengan tujuan mengoptimalkan<br />

objektif yang telah dinyatakan. Proses desain yang<br />

menyeluruh dalam hal pengelompokkan hingga tata<br />

letak sel telah banyak dikembangkan seperti oleh<br />

Da-Silviera (1999), Efstathiou dan Golby (2001),<br />

Hadiguna dan Setiawan (2003a), Hadiguna dan<br />

Thahir (2004) dan Salum (2000).<br />

Perkembangan dunia bisnis yang kompetitif<br />

mengharuskan proses desain system manufaktur<br />

sellular mempertimbangkan strategi bisnis<br />

(Hadiguna dan Mulki, 2003c). Pertimbangan ini<br />

biasanya dilibatkan pada tahap desain tata letak sel.<br />

Model simulasi yang mengadopsi hal ini diantaranya<br />

Altinklinic (2004) dan Rios dkk (2000). Pendekatan<br />

desain fasilitas manufaktur yang menggunakan<br />

secara eksplisit objektif tunggal (single objective)<br />

akan menghasilkan penyelesaian yang bisa terhadap<br />

kebutuhan perusahaan. Pelibatan beberapa objektif<br />

menjadi isu penting karena proses desain akan<br />

melibatkan faktor-faktor yang bekaitan dengan<br />

tujuan-tujuan strategis, ukuran-ukuran kinerja system<br />

dan keunggulan kompetitif dalam marketplace.<br />

Berdasarkan prosedur perencanana tata letak pabri,<br />

diharapkan dapat dibangkitkan beberpaa laternatif<br />

tata letak (Askin dan Stanridge, 1994). Tata letak yan<br />

merupakan permasalahan tata letak diselesaikan<br />

denganmembangkitkan beebrapa alternative tata<br />

letak dalam hal ini tata letak. Hal ini ditujukan untuk<br />

menghasilkan system yang memenuhi kebutuhan<br />

perusahaan yang telah dirumuskan pada fase<br />

persiapan. Pembangkitan alternative tata letak<br />

dilakukan pada fase definisi. Keputusan untuk<br />

menginstal tata letak terpilih dilakukan pada fase<br />

instalasi dimana hasil desain tata letak yang terdiri<br />

dari ebberapa lternatif dipilih dengan mengakomodir<br />

kebutuhan perusaahan. Paper ini bertujuan untuk<br />

membahas bagaimana cara mengambil keputusan<br />

pemilihan tata letak yang dpat mengakomodasi<br />

kebutuhan perusahaan. Asumsi yang digunakan<br />

adalah alternative tata letak mempunyai kelayakan<br />

untuk diimplementasikan.<br />

Model lainnya yang umum digunakan dalam<br />

proses desain adalah siulasi. Simulai manufaktur<br />

telah emnjadi sebuah area aplikasi primer dari<br />

teknologi simulasi. Simulasi telah<br />

menjadipendekatan yang cukup luas yang digunakan<br />

untuk memperbaiki dan menvalidasi desain sisem<br />

manufaktur secara luas. Aplikasi simulasi pada<br />

system manufaktur termasuk desain fasilitas maupun<br />

pemodelan rantai pasok perusahaan secara luas. Tipe<br />

simulasi manufaktur biasanya diguankan untuk<br />

memperdiksi performansi system atau<br />

membandingan dua atau lebih desain system atau<br />

skenario. Hal ini berarti bahwa kemampuan untuk<br />

mengembangkan dan mengurai model-model<br />

simulasi dengan cepat dan efektif sangat penting.<br />

Menurut Perera dan Liyanage (2000) sejumlah faktor<br />

yang menghalangi proses pemodelan simulasi antara<br />

lain pengumpulan data yang kurang efisien,<br />

dokumentasi model yang panjang dan buruknya<br />

perencanaan eksperimen. Dalam pemodelan simulasi<br />

manufaktur hal yang tidak kalah pentingnya adlaah<br />

proses analisis sitem. Dalam mengembangkan model<br />

simulasi system manufaktur khususnya untuk tujuan<br />

studi mengevaluasi performansi system, maka<br />

prosedur pengembangan model menjadi hal yang<br />

krusial. IDEF0 merupakan model fungsional yang<br />

diwujudkan dalam bentuk terstruktur dan semantic.<br />

Model IDEF0 mengandalkan pada konsistensi<br />

pendeskription system. Pemodelan IDEF0 banyak<br />

digunakan dalam menganalisis dan mengevaluasi<br />

system manufaktur khususnya untuk evaluasi<br />

performansi (Pawlikowski dan Kreutzer, 2000 :<br />

Hadiguan, 2003f). Secara umum, proses desain<br />

sebagai bagain proses transformasi belum<br />

memperhatikan aspek proses manajemen. Proses<br />

menajamen merupakan interaksi antar amanusia<br />

dengan sumber daya yang selalu dipengaruhi oleh<br />

dinamika situasi. Dinamika situasi ini biasnaya<br />

problematic.<br />

3. METODOLOGI<br />

Studi ini dilakukan menggunakan sof system<br />

methodology yang dimulai dengan pendefisian<br />

bukan suatu masalah tetapi situasi masalah.<br />

Metodologi dalam studi ini adalah problematika<br />

transformasi perusahaan atau organisasi dengan<br />

mengimplementasikan manufaktur sellular. Langkah<br />

kedua adalah mengekpresikan situasi. Pada tahap ini<br />

yang dilakukan adlaah mempelajari situasi yang ada<br />

pada perusahaan secra komprehensif. Hasil studi<br />

terhadap situsi direpresntasikan dalam bentuk<br />

gambar yaitu rich picture. Hasil studi terhadap<br />

situasi direpresntasikan dalam bentuk gambar<br />

konsisten sehingga dapat diinterpretasikan lebih<br />

mudah. Hal yang ingin dicapai pada rencana<br />

implementasi manufaktur selluler. Ketiga adalah<br />

16


Model Konseptual Transformasi Manufaktur Konvensional Menjadi Sellular Terotomasi<br />

Bakhtiar S.<br />

mendefinisikan masalah dan menggambarkan<br />

keterkaitan aktivitas yang akan mengarah<br />

pada penyelesaian masalah. Keempat menyusun<br />

rumusan rekomendasi berdasarkan kajian kritis yang<br />

dihasilkan dari model fungsional yang diperoleh.<br />

4. PEMODELAN SISTEM RELEVAN<br />

Pemilihan system yang relevan didasarkan<br />

pada situasi dimana rancangan sel-sel manufaktur<br />

telah dilakukan dan siap untuk diimplementasikan.<br />

System relevan yang dipilih adalah system yang<br />

dapat memprediksi manfaat yang akan diperoleh<br />

perusahaan dengan mengimplementasikan<br />

manufaktur sellular. Hal ini termasuk upaya<br />

transformasi yang akan terjadi dengan<br />

mengimplementasikan manufaktur sellular. Model<br />

konseptual yang akan dikembangkan mengacu pada<br />

Root Definition (RD). Tipe RD yang dipilih dalam<br />

kasus ini adalah primary tasks based. Adapun<br />

formulasi RD-nya adalah Sistem yang dimiliki dan<br />

diopersikan oleh pemilik perusahaan untuk<br />

memanufaktur produk alat pertanian untuk<br />

pelanggan pasar Asia melalui implementasi konsep<br />

manufaktur sellular terotomasi guna peningkatan<br />

keuntungan dan manfaat yang dibatasi oleh daya<br />

manfaat yang dibatasi oleh daya saing competitor.<br />

Formulasi RD diats perlu diuji atau<br />

verifikasi menggunakan pendekatan CATWOE.<br />

Terlihat bahwa system yang dipilih memandang<br />

pelanggan pasar Asia sebagai Customer. Actor yang<br />

melaksanakan transformasi adalah Pemilik<br />

Perusahaan. Transformation dari system adalah memanufacture<br />

produk alat pertanian dengan Worldview<br />

yang dianut implementasi konsep manufaktur sellular<br />

terotomasi guna peningkatan keuntungan dan<br />

manfaat. Owner dari system adalah Pemilik<br />

Perusahaan dengan Environment daya saing<br />

competitor. Model konseptual transformasi<br />

manufaktur konvensional menjadi sellular terotomasi<br />

dapat dilihat pada Gambar 2.<br />

5. REKOMENDASI DAN PEMBAHASAN<br />

5.1. Rekomendasi<br />

Manufaktur sellular menghasilkan budaya baru<br />

melalui perubahan lingkungan kerja fisik.<br />

Manufaktur sellular membutuhkan pengelompokan<br />

peralatan dan pekerja dalam bentuk konfigurasi<br />

lingkaran atau bentuk U. Setiap sel akan terbentuk<br />

budaya mikro dimana terjadinya interaksi antara<br />

pekerja dalam sel. Terbentuknya sub-sub budaya<br />

baru akan menjadibudaya baru secara keseluruah<br />

dilantaiproduksi yang pada akhirnya akan<br />

memberikan pengaruh pada budaya perusahaan<br />

secara total. Pembentukan budaya baru dalam sel<br />

didorong oleh sense of accomplishment. Hal ini<br />

terjadi karena setiap sel mempunyai tanggung jawab<br />

pada part families yang dibebakan (Askin dan<br />

Standridge 1993). Berdasarkan sel dengan mudah<br />

dapat diukur peformansi pekerja karena dapat<br />

diketahui kontribusi setiap sel dalam menghasilkan<br />

keluaran. Dalam tata letak fungsional, pekerja<br />

bekerja pada area tertentu dengan jenis mesin yang<br />

sama sehingga keluaran yang dihasilkan bukanlah<br />

komponen yang completed. Kesalahan yang<br />

menyebabkan komponen atau produk cacat sulit<br />

dideteksi pekerja yang harus bertanggung jawab.<br />

Bentuk budaya yang akan lebih menonjol<br />

adalah budaya kerjasama (teamwork). Konfigurasi<br />

sellular membutuhkan pekerja untuk bekerja<br />

bersama untuk mencapai tujuan bersama. Anggota<br />

sel harus bekerja berdekatan dengan pelanggan dan<br />

supplier internal untuk memproduksi produk secara<br />

efisien dan efektif. Bentuk kerjasama dapat<br />

diwujudkan dalam tanggung jawab seperti<br />

penjadualan, keselamatan dan kualitas (Aurrecoechea<br />

dkk, 1994) serta pembelian (Singh, 1996). Budaya<br />

belajar juga akan menjadi hal yang tidak kalah<br />

pentingnya. Budaya ini muncul karena pekerja yang<br />

menjadi anggota sel tertentu akan berusaha<br />

menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam selnya.<br />

Proses kemandirian tim dalam menyelesaikan<br />

masalah dalam sel akan mendorong terciptanya<br />

budaya belajar.<br />

Manufaktur sellular menghasilkan prosesproses<br />

baru melalui pengelompokan mesin-mesin<br />

dengan konfigurasi berbentuk lingkatan dan “U”<br />

untuk memproduksi part families. Konversi tata letak<br />

fungsional menjadi manufaktur sellular akan<br />

memberikan manfaat yang sangat besar (Groover<br />

2001). Perubahan yang dramatic sebagai manfaat<br />

yang diperoleh dari perubahan berdasarkan proses ini<br />

akan memperbaiki kinerja dari perusahaan secara<br />

keseluruhan. Dalam penelitian Underdown (2001)<br />

menyimpulkan bahwa pengurangan work in process<br />

mencapai 65%-85%, pengurangan cycle time 86,5%,<br />

pengurangan harga pokok penjualan 42%,<br />

penghematan material 24% dan peningkatan profit<br />

mencapai 80%. Hal ini tentu saja sangat<br />

mendongkrak kinerja perusahaan dan pada akhirnya<br />

dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan<br />

kesejahteraan para pekerja.<br />

Manufaktur sellular mentransfer teknologi<br />

17


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

berdasarkan keperluan manajemen. Salah satu yang<br />

memberikan biaya yang nyata dalam perpindahan<br />

menjadi konfigurasi sellular adalah pembentukanselsel.<br />

Di banyak kasus, peralatan tambahan diperlukan<br />

untuk mendapatkan sel-sel yang berkinerja tinggi.<br />

Adakalanya perusahaan harus berinvestasi dengan<br />

membeli mesin/peralatan baru agar mesin-mesin dan<br />

peralatan yang ada pada setiap sel mempunyai<br />

kapabilitas yang tinggi. Kapabilitas ini akan<br />

mempengaruhi keseimbangan lintasan didalam sel<br />

ataupun antar sel.<br />

5.2. Pembahasan<br />

Manufaktur sellular dalam perusahaan<br />

sekala kecil dan menengah bukan hanya suatu<br />

perubahan tata letak, tetapi suatu perubahan besar<br />

dalam proses bisnis. Implementasi ini adalah suatu<br />

mekanisme untuk transformasi dalam perusahaan<br />

skala kecil dan menengah. Ketika perubahan dilantai<br />

produksi dilakukan menjadi sel-sel, maka aktivits<br />

perkantoran dan manufaktur juga mengalami<br />

perubahan sehingga yang terjadi lebih jauh lagi akan<br />

mempersatukan perubahan dari segi proses dan<br />

budaya terutama sekali apabila dikombinasikan<br />

dengan kerjasama ini. Dampak sel-sel terhadap<br />

budaya adalah lebih besar ditemui pada perusahaan<br />

sekala kecil dibandingkan dengan yang berskala<br />

besar. Jika perusahaan kecil sepenuhnya berubah<br />

menjadi sel-sel, dampak terhadap budaya adalah<br />

lebih besar. Jika perusahaan kecil sepenuhnya<br />

berubah menjadi sel-sel, dampak terhadap budaya<br />

akan lebih besar karena setiap orang didalam<br />

perusahaan akan ikut terlibat. Dalam perusahaan<br />

besar, kemungkinan tidak sepenuhnya beranjak<br />

menjadis el-sel sehingga tidak semua orang didalam<br />

perusahaan terlibat dan dampak budaya tidak akan<br />

terllau besar. Sel-sel akan membawa banyak interaksi<br />

antara pekerja administrasi dan manufaktur dan<br />

antara sesame pekerja manufaktur karena pekerja<br />

akan berpindah dari satu sel ke sel lainnya sebagai<br />

fungsi permintaan produk. Keterkaitan yang saling<br />

bergantung ditemukan pada sel-sel dan antar sel-sel<br />

yang mana tenaga kerja sel-sel mengkomunikasikan<br />

aktivitasnya lebih dari yang ditemukan pada<br />

lingkungan konvensional. Sel-sel seringkali menjadi<br />

pabrik mini yang mengkomunikasikan aktivitasnya<br />

pada pelanggan dan supplier internal yang<br />

berdasarkan tanggung jawab secara mandiri untuk<br />

mencapaiprofitabilitas untuk setiap selnya.<br />

Implementasi manufaktur sellular untuk<br />

peusahaan kecil dan menengah secara normal<br />

membutuhkan keterlibatan persentase tenaga kerja<br />

yang besar, sedangkan perusahaan besar sebaliknya.<br />

Tata letak dan pergerakan peralatan di area produksi<br />

untuk manufaktur sellular pada perusahaan kecil dan<br />

menengah membutuhkan usaha yang besar dari pada<br />

pekerja produksi. Implementasi manufaktur sellular<br />

termasuk membutuhkan jumlah besar pekerja yang<br />

mempunyai fungsi berbeda-beda. Keterlibatan<br />

peekrja dalam persentase yang besar dengan sasaran<br />

yang sama (common goal) adalah suatu mekanisme<br />

bernilai untuk transformasi. Sebagai efek,<br />

implementasi sel-sel menghasilkan sejumlah kritis<br />

pendukung unutk mengubah perusahaan kecil dan<br />

menengah. Pada perusahaan besar, suatu transisi<br />

menjadi manufaktur sellular mungkin tidak<br />

membutuhkan tingkat usaha yang mendukung<br />

transformasi. Perusahaan sebaiknya<br />

melibatkanseluruh pekerja dalam proses perancangan<br />

dan implementasi manufaktur sellular sehingga<br />

merasa berkontribusi dalam perusahaan system yang<br />

akan mereka hadapi nantinya. Apabila yang terlibat<br />

hanya pada tingkat supervisor dan manajemen maka<br />

resiko kegagalan dalam implementasi sangat besar.<br />

Manufaktur sellular merupakan fondasi bagi<br />

system produksi Just In Time (JIT). Pada perusahaan<br />

besar yang mengimplementasikan manufaktur<br />

sellular dapat menyebabkan proses sebelum dan<br />

sesudah sel-sel terbentuk untuk menerapkan <strong>sistem</strong><br />

JIT belum tentu berhasil. Pada perusahaan kecil dan<br />

menengah upaya menerapkan system JIT setelah selsel<br />

terbentuk berpotensi besar untuk berhasil.<br />

6. KESIMPULAN<br />

Model menghasilkan keterlibatan yang<br />

diperlukan, sumberdaya yang tebratas dan<br />

pengembangan para pekerja serta mampu<br />

memprediksi perubahan sebagai akibat transformasi.<br />

Manufaktur sellular menghasilkan budaya baru<br />

melaluiperubahan lingkungan kerja fisik. Manufaktur<br />

sellular membutuhkan pengelompokkan perlaatan<br />

dan pekerja dalam bentuk konfiugrasi lingkaran atau<br />

bentuk U. setiap sel akan terbentuk budaya mikro<br />

dimana terjadinya interaksi antara pekerja dalam sel.<br />

Hal ini terjadi karena setiap sel mempunyai<br />

tanggung jawba pada part families yang dibebankan.<br />

Manufaktur sellular metransfer teknlogi<br />

berdasarkan keperluan manajemen. Salah satu yang<br />

memebrikan biaya yang nyata dlaam perpindahan<br />

menjadi konfigurasi sellular adalah pembentukan selsel.<br />

Di banyak kasus, peralatan tambahan diperlukan<br />

untuk mendapatkan sel-sel yang berkinerja tinggi.<br />

Adakalanya perusahaan harus berinvestasi dengan<br />

menerapkan strategi otomaso sel agar mempunyai<br />

kapabilitas yang tinggi. Kapabilitas ini akan<br />

mempengaruhi keseimbangan lintasan didalam sel<br />

ataupun antar sel. Pada perusahaan besar yang<br />

mengimplementasikan manufaktur sellular upaya<br />

menerapkan otomasi setelah sel-sel terbentuk<br />

berpotensi besar untuk berhasil.<br />

REFERENSI<br />

Altinklininc, M. (2004), Simulation based Layout<br />

Planning of A Production Plant, Proceeding<br />

of the 2004 Winter Simulation Conference,<br />

1079-1084.<br />

Askin, R.G. dan Standridge, C.R (1993), Modelling<br />

and Analysis of Manufacturing Systems,<br />

Johnm Wiley and Sons, Inc. New York.<br />

18


Model Konseptual Transformasi Manufaktur Konvensional Menjadi Sellular Terotomasi<br />

Bakhtiar S.<br />

Aurrecoechea, A., Busby, J.S., Nimmons, T., dan<br />

Williams, G.M. (1994), The Evaluation of<br />

Manufacturing Cell Design, International<br />

Journal of Operations and Production<br />

Management, 14 (1), 60-74.<br />

Baker, R.P dan Maropoulos, P.G. (2000), Cell<br />

Design and Continuous Improvement,<br />

International Journal Computer Integratef<br />

Manufacturing, 13 (6), 522-532.<br />

Benjafaar, S., Heragu, S.S. dan Irani, S.A. (2001),<br />

Next Generation Fctory Layouts : Research<br />

Challenges and Recent Progress, Interfaces.<br />

Banks, J. (2000), Introduction to Simulation,<br />

Proceedings of the 2000 Winter Simulation<br />

Conference, Pp. 9-16.<br />

Baykasoglu, A. dan Gindy, N.N.Z. (2000),<br />

MOCACEF 1.0: Multiple Objective<br />

Capability Based Approach to From Part-<br />

Machine Groups for Cellular Manufacturing<br />

Applications, International Journal of<br />

Production Research, 38(5), 1133-1166.<br />

Carrie, A. S. dan Banerjee, S.K. (1994), Desgn of<br />

CIM Based Manufacturing Systems.<br />

Department of Design, Manufacture and<br />

Engineering Management, University of<br />

Strathclyde.<br />

Chan, F.R.S. dan Abhary, K. (1996), Design and<br />

Evaluation of Automated Cellular<br />

Manufacturing Systems with Simulation<br />

Modelling and AHP Approach : A Case<br />

Study, Journal of Integrated Manufacturing<br />

Systems, 7(6), 39-52.<br />

Da Silviera, G. (1999), A Methodology of<br />

Implementation of Cellular Manufacturing,<br />

International Journal of Production<br />

Research, 37 (2), 467-479.<br />

Eilson, B. (2001), Soft Systems Methodology:<br />

Conceptual Model Building and Its<br />

Contribution, John Wiley & Sons, Ltd.,<br />

Chicester, UK.<br />

Efstathiou, J. dan Golby, P. (2001), Application of A<br />

Simple Method of Cell Design Accounting<br />

for Product Demand and Operation<br />

Sequence, Integrated Manufacturing<br />

Systems, 12 (4), 246-257.<br />

Groover, M.P (2001), Automation, Production<br />

Systems and Computer Integrated<br />

Manufacturing, Prenctice –Hall Inc, New<br />

Jersey.<br />

Ham I., Hitomi, K dan Yoshida, T. (1985), Group<br />

Technology, Applications to Production<br />

Management, Kluwer-Nijhoff Publishing,<br />

Boston.<br />

Hadiguna, R.A. dan Setiawan, H. (200a), Desain dan<br />

Evaluasi Sel Manufaktur Multi Kriteria,<br />

Jurnal Teknik Industri STT Musi, 3 (1), 21-<br />

32.<br />

Hadiguna, R.A. (2003b), Prosedur Multi Objektif<br />

untuk Keputusan Pemilihan Formasi Sel<br />

Manufaktur, Proceeding 2 nd National<br />

Industial engineering Conference,<br />

<strong>Universitas</strong> Surabaya, 8-16.<br />

Hadiguna, R.A. dan Mulki B.S. (2003c), Desain<br />

Manufaktur Sellular dengan<br />

Mempertimbangkan Strategi Bisnis,<br />

Proceeding Simposium Nasional RAPI II<br />

<strong>Universitas</strong> Muhammadiyah Surakarta,<br />

100-107.<br />

Hadiguna, R.A. (2003d), Sistem Manufaktur Sellular<br />

: Sebuah Tinjauan dan Survei Pustaka,<br />

Jurnal Teknik Industri UNAND, 2(4), 129-<br />

135.<br />

Hadiguna, R.A. dan Wirdianto, E. (2003c), Model<br />

Penyelesaian Masalah Pemilihan Alternatif<br />

Tata Letak, Jurnal Sains dan Teknologi<br />

STTIND, 2(2), 88-97.<br />

Hadiguna, R.A. (2003f), Pemodelan Simulasi Sistem<br />

Manufaktur Berbantuan IDEF0, Jurnal<br />

Spekturm Industri, 1 (1), 31-37.<br />

Hadiguna, R.A. dan Thahir, M. (2004), Desain<br />

Formasi Sel Manufaktur dengan<br />

Mempertimbangkan Preferensi Manajemen,<br />

Prosiding seminar Nasional Teknologi<br />

Industri XII ITS, `061-1068.<br />

Huang, H. dan Irani, S.A. (2002), Ideas for Design of<br />

Future Factories: Hybrid Cellular Layouts<br />

for Machining and Fabrication Jobshops,<br />

Paper, Departement of Industrial, Welding<br />

and System Engineering, The Ohio State<br />

University, Columbus, OH.<br />

Mansouri, S. A., Husseini, S.M.M. dan Newman, S.T<br />

(2000), A Review of The Modern<br />

Approaches to Multi-Criteria Cell Design,<br />

International Journal of Production<br />

Research, 38 (5), 1201-1218.<br />

Meyers, F.E dan Stephens, M.P (2000),<br />

Manufacturing Facilities Design and<br />

Material Handling, 2 nd Edition, Prentice-<br />

Hall, Inc., New Jersey.<br />

Nair, G.J dan Narendran, T.T. (199), ACCORD : A<br />

Bicriterion Algorithm for Cell Formation<br />

Using Ordinal and Ratio-Level Data,<br />

International Jorunal of Production<br />

Research, 37(3), 539-556.<br />

Onwubolu, G.C. (1998), Redesigning Jobshops to<br />

Cellular Manufacturing Systems, Integrated<br />

Manuracturing Systems, 9 (6), 377-382.<br />

19


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Pawlikowski, K dan Kreutzer, W. (2000), Integrating<br />

Modelling and Data Analysis inTeaching<br />

Descrete Event Simulation, Proceedings of<br />

the 2000 Winter Simulation Conference,<br />

158-166.<br />

Perera, T. dan Liyanage, K., (2000, Methodology for<br />

Rapid Identification and Collecton of Input<br />

Data in the Simulation of Manufacturing<br />

System, Simulation Practice and Theory, 7,<br />

645-656.<br />

Singh, N. (1996), System Approach to Computer-<br />

Integratef Design and Manufacturing. John<br />

Wiley and Sons, Inc., NJ.<br />

Siswanto, N dan Hadiguna, R.A. (2003) Kerangka<br />

Kerja Evaluasi Multi Kriteria dalam<br />

Masalah Tata Letak Fasilitas Dengan<br />

Pendekatan AHP. Procedding Seminar<br />

Nasional TIMP-3, 33-37.<br />

Singgi,M. L dan Hadiguna, R.A (2003) Pendekatan<br />

Pengklasteran Multi Objektif Untuk<br />

Masalah Formasi Group Mesin/Komponen<br />

Dalam Manufaktur Sellular. Procedding<br />

Seminar Nasional TIMP-3, 53-57.<br />

Suresh, N.C dan Slomp, J. (2001), A Multi Objective<br />

Procedure for Assignments and Grouping in<br />

Capacitated Cell Formation Problems,<br />

International Jorunal of Production<br />

Research, 39 (18), 4103-4131.<br />

Underdown, D.R dan Leach, R.A (2001), A Cross –<br />

Case Analysis of Small Companies<br />

Implementing Cellular Manufacturing,<br />

Research Report, Automation & Robotics<br />

Research Institure, The University of Texas,<br />

Arlington.<br />

Yang, J dan Deane, R.H. (1994), Strategic<br />

Implicatons of Manufacturing Cell<br />

Formation Design, Journal of Integratef<br />

Systems, 5(4/5), 8.<br />

20


Pengembangan Pori Arang Hasil Pirolisa Tempurung Kemiri<br />

Muhammad Turmuzi<br />

PENGEMBANGAN PORI ARANG HASIL PIROLISA<br />

TEMPURUNG KEMIRI<br />

Muhammad Turmuzi<br />

Staf Pengajar Fakultas Teknik USU Medan<br />

Abstrak: Penelitian ini ditujukan untuk mengungkap kemungkinan pembuatan arang dari tempurung kemiri.<br />

Penelitian dibagi atas dua tahap, yaitu analisa gugus berangkap pada berbagai suhu menggunakan FTIR dan<br />

pengamatan pengembangan pori selama proses pirolisa. Berdasarkan analisa gugus berfungsi menunjukkan<br />

bahwa tempurung kemiri mempunyai struktur kimia yang hampir sama dengan selulosa dan lignin. Untuk<br />

mencirikan pengembangan pori liang arang yang terbentuk selama pirolisa, digunakan penyerapan gas nitrogen<br />

pada suhu 77K. Kondisi optimum pirolisa untuk menghasilkan pori yang terbaik adalah pada suhu 800 o C dan<br />

waktu 2 jam.<br />

Kata kunci: FTIR, pori, pirolisa<br />

Abstract: The purpose of the experiment is to investigated possibility of production of coke from candlenut shell.<br />

The experiment consisted two part e.g. analysis of fungtional group by FTIR andto depelopment of pore during<br />

pyrolysis. The fungtional groups analysis shown that the chemical structure of candlenut shell is identic as<br />

celluolose and lignin. The charactristics of pore during pirolysis used by nitrogen adsorption at 77K. Optimum<br />

conditions to result higher of pore at temperature 800 o C and time 2 hours.<br />

Keywords: FTIR, pore, pyrolysis<br />

I. PENDAHULUAN<br />

Banyak jenis bahan berkarbon yang<br />

diperoleh dari buangan padat pertanian seperti sekam<br />

padi, tempurung kelapa dan tempurung kelapa sawit<br />

maupun buangan padat perkotaan seperti plastik,<br />

kertas dan karton dalam jumlah yang sangat banyak.<br />

Pada umumnya buangan padat ini banyak diperoleh<br />

di negara membangun dan biasanya hanya<br />

dimanfaatkan dengan nilai tambah yang rendah yaitu<br />

sebagai sumber bahan bakar. Apabila sisa pertanian<br />

itu tidak diurus dan dimanfaatkan, maka berpotensi<br />

menjadi sumber bahan pencemar dalam lingkungan.<br />

Bahkan di California, Amerika Serikat ada undangundang<br />

yang melarang buangan pertanian dibuang<br />

(Amstrong et al. 1999). Oleh sebab itu sangat penting<br />

pembuangan alternatif dikembangkan bagi<br />

memanfaatkan potensinya sebagai sumber tenaga dan<br />

produk kimia yang mempunyai nilai tambah yang<br />

lebih besar (Bassilakis et al. 2001). Menurut<br />

beberapa skenario, untuk sumber tenaga pada dekade<br />

ke-21 ini, peranan tenaga yang bersumber bio massa<br />

sangat besar untuk mengganti sumber fosil (Minkova<br />

et al. 1991).<br />

Antara manfaat bahan berkarbon ialah<br />

sebagai sumber energi dan produk yang bernilai<br />

tambah yang terhasil melalui proses pirolisa. Pirolisa<br />

adalah pemanasan bahan berkarbon tanpa oksigen<br />

untuk menghasilkan arang, minyak, dan gas dalam<br />

komposisi yang tergantung kepada keadaan operasi<br />

dan komposisi bahan baku. Minyak dan gas dapat<br />

digunakan sebagai bahan bakar dan arang juga dapat<br />

digunakan sebagai bahan bakar, atau sebagai bahan<br />

suapan untuk pembuatan karbon aktif (Suáres-García<br />

et al. 2002). Sebagai contoh, arang dihasilkan dari<br />

pirolisa tempurung kelapa sawit. Kemudian arang ini<br />

dapat dijadikan sebagai bahan bakar atau diproses<br />

lebih lanjut untuk menghasilkan produk seperti<br />

karbon aktif<br />

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji<br />

proses penguraian secara termal tempurung kemiri<br />

dan mencirikan arang sebagai bahan dasar untuk<br />

pembuatan karbon aktif. Secara terperinci, tujuan<br />

kajian ini adalah: untuk memperoleh pengetahuan<br />

yang lebih terperinci pengaruh yang dapat wujud<br />

pada berbagai keadaan pirolisa pada struktur arang<br />

yang dihasilkan.<br />

II. KAEDAH PENELITIAN<br />

II.1. Analisa Unsur Bahan Baku<br />

Analisa kandungan unsur kemiri menggunakan alat<br />

jenama LECO buatan USA model CHNS932.<br />

II.2. Analisa Termal Gravimetri<br />

Penguraian secara termal kemiri dalam<br />

persekitaran nitrogen dikaji dengan menggunakan<br />

alat analisa terma graviti (TGA) buatan Perkin Elmer<br />

model TGA7. Gas N 2 kemurnian yang tinggi<br />

digunakan untuk kajian ini pada laju alir 20 ml min -1 .<br />

Gas nitrogen dialirkan selama 20 minit. Sebelum<br />

memulai analisa, sampel dipanaskan untuk<br />

memastikan <strong>sistem</strong> bebas oksigen. Analisa dilakukan<br />

dalam tiga laju kenaikan suhu iaitu 5, 10 dan 20 o C<br />

min -1 sampai suhu maksimum 800 o C.<br />

II.3. Analisa Gugus Berangkap<br />

Struktur kimia permukaan bahan baku dan<br />

perubahan yang terjadi pada arang ditentukan melalui<br />

21


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

analisa FTIR. Piringan sampel dibuat dengan<br />

mencampur 1 mg karbon dengan 500 mg KBr<br />

(Merck untuk spectroskopi) dalam lesung akik,<br />

kemudian campuran disuntik pada 5 x 10 7 kg m -2<br />

selama 5 minit dan 1 x 10 8 kg m -2 selama 5 minit<br />

dalam keadaan hampa udara. Piringan yang<br />

dihasilkan dikeringkan di dalam oven selama 2 jam.<br />

Spektrum FTIR diukur dengan menggunakan<br />

spektrometer Bio-Rad. Spektrum sampel diukur di<br />

antara 4000 hingga 400 cm -1 , 18 kali imbasan dan<br />

resolusi 8 cm -1 . Spektrum yang sesungguhnya<br />

diperoleh dari spektrum sampel masing-masing yang<br />

dikurangi spektrum piringan KBr.<br />

II.4. Pembuatan Arang<br />

Bahan baku tempurung kemiri dihancurkan<br />

dalam mesin penghancur dan diayak sehingga<br />

diperoleh ukuran 1.7 hingga 2.35 mm. Tempurung<br />

kemiri yang telah hancur dipirolisa dalam furnace<br />

(diameter dalam 77 mm) yang dilengkapi dengan<br />

<strong>sistem</strong> pengendali suhu yang automatik. Sebanyak 25<br />

g tempurung kemiri dimasukkan ke dalam mangkuk<br />

pijar yang berlobang pada bahagian bawah. Mangkuk<br />

pijar dimasukkan ke dalam furnace dan kemudian<br />

dipanaskan pada laju 8 o C min -1 hingga mencapai<br />

suhu akhir yang tertentu pada waktu tertentu dalam<br />

aliran gas nitrogen 105 ml min -1 untuk memastikan<br />

penyingkiran bahan mudah menguap dan ter. Suhu<br />

pirolisa adalah 400, 500, 600, 700, 800 dan 900 o C<br />

dan waktu adalah 1, 2, 3, dan 4 jam. Hasil arang<br />

dihitung berdasarkan pada perkedaan berat bahan<br />

baku dan berat arang.<br />

III. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

III.1. Unsur Bahan Baku<br />

Analisa unsur kandungan tempurung kemiri<br />

ditunjukkan di dalam Tabel 4.1. Analisa unsur<br />

menunjukkan bahwa kandungan unsur karbon dalam<br />

julat yang berdekatan dengan kandungan bahan<br />

lignoselulosa lainnya seperti kayu dan biji ceri.<br />

Tabel 1 Analisa Unsur Tempurung Kemiri<br />

Unsur Kemiri % Kayu *<br />

(%)<br />

C<br />

H<br />

N<br />

S<br />

O<br />

47.52<br />

5.81<br />

0.16<br />

-<br />

46.51<br />

46.16<br />

5.77<br />

0.80<br />

-<br />

37.87<br />

Biji Ceri *<br />

(%)<br />

51.08<br />

6.49<br />

0.38<br />

0.02<br />

42.3<br />

Sumber: * Gonzalez et al. 2003<br />

III.2. Spektrum FTIR<br />

Spektrum inframerah dianggap sebagai satu<br />

sifat pencirian bagi sesuatu senyawa. Kawasan<br />

sinaran inframerah di antara kawasan nampak dan<br />

gelombang mikro yang terpenting untuk mencirikan<br />

senyawa kimia organik adalah diantara 4000 hingga<br />

400 cm -1 . Suatu gugusan atom tertentu akan<br />

menghasilkan jalur pada atau hampir pada frekuensi<br />

yang sama tanpa memperhatikan struktur atom yang<br />

sebenarnya. Maklumat ini penting dalam<br />

pemeriksaan awal struktur sesuatu senyawa.<br />

Dalam kajian ini, penafsiran spektrum FTIR<br />

adalah berasaskan kepada struktur kimia kayu dan<br />

tahapan-tahapan proses pirolisa untuk bahan<br />

lignoselulosa. Ada dua komponen utama kayu iaitu<br />

lignin dan selulosa. Spektrum FTIR untuk<br />

mencirikan bahan baku tempurung kemiri<br />

ditunjukkan pada Gambar 1. Getaran regangan v-(O-<br />

H) dalam gugus hidroksil (seperti alkohol, fenol atau<br />

asid karboksilik) didapati pada nomor gelombang<br />

3100-3600 cm -1 . Gambar 1 menunjukkan tempurung<br />

kemiri mempunyai daerah nomor gelombang jalur<br />

lebar yang bermakna kandungan v-OH yang tinggi.<br />

Getaran regangan C-H n (alkil dan aromatik) pada<br />

2860-2960 cm -1 . Getaran regangan C-O didapati pada<br />

nomor gelombang 1733 cm -1 , regangan gelang<br />

benzena C-C pada 1636 cm -1 , getaran regangan C=C<br />

gelang aromatik dalam lignin pada 1516 cm -1 ,<br />

regangan tak simetri C-O aromatik eter, ester dan<br />

fenol pada 1284-1240 cm -1 ; regangan C-O pada 1035<br />

cm -1 , regangan C-H aromatik pada 700-900 cm -1 dan<br />

regangan C-C pada 700-400 cm -1 . Semua gugus<br />

berfungsi tersebut boleh didapat pada selulosa dan<br />

lignin kecuali C-C (gelang yang meregang benzena)<br />

pada 1636 cm -1 yang hanya didapati di dalam<br />

selulosa (Bilbao et al. 1996) dan getaran regangan<br />

C=C gelang aromatik dalam lignin pada 1516 cm -1<br />

(Suarez-Garcia et al. 2002).<br />

22


Pengembangan Pori Arang Hasil Pirolisa Tempurung Kemiri<br />

Muhammad Turmuzi<br />

Kemiri<br />

200 o C<br />

300 o C<br />

400 o C<br />

Transmitan<br />

500 o C<br />

600 o C<br />

700 o C<br />

800 o C<br />

900 o C<br />

3600<br />

2800<br />

2000<br />

1200<br />

400<br />

Nomor Gelombang<br />

Gambar 1 juga menunjukkan bahwa pada<br />

suhu 200 o C struktur bahan berubah pada jalur 1773<br />

cm -1 . Ini bermakna pada suhu 200 o C terjadi<br />

pengurangan gugus C-O. Pada waktu yang sama,<br />

penjerapan jalur C-H n pada 2860-2960 cm -1<br />

berkurang. Pada suhu 300 o C, spektrum semakin<br />

menurun pada jalur-jalur hidroksil (regangan O-H,<br />

3100-3600 cm -1 ; regangan C-O, 1652, 1262, 1046),<br />

dalam jalur deformasi C-H, 814 cm -1 dan 706 cm -1 .<br />

Namun pada suhu pirolisa ini, diperoleh kenaikan<br />

keamatan pada deformasi C-H 1420 cm -1 dan 876<br />

cm -1 . Pengurangan jalur hidroksil merupakan<br />

petunjuk bahwa penguraian selulosa telah terjadi<br />

(Suárez-Garcia et al. 2002).<br />

Pada suhu 300 hingga 500 o C, masih didapati jalur<br />

hidroksil regangan O-H, 3100-3600 cm -1 dan<br />

keamatan menurun dengan kenaikan suhu. Gugus<br />

berangkap yang lain seperti deformasi C-H 1420 dan<br />

876 cm -1 dan getaran regangan C=C gelang aromatik<br />

dalam lignin 1516 cm -1 masih diperoleh dan<br />

keamatan menurun dengan kenaikan suhu. Pada suhu<br />

600 hingga 800 o C, hanya jalur getaran regangan C=C<br />

dan aromatik C-H yang diperoleh. Ini bermakna<br />

terjadi pengurangan gugus oksigen dengan kenaikan<br />

suhu. Pada suhu 900 o C, tidak ada gugus berangkap.<br />

Ini bermakna bahan telah mencapai grafit. Spektrum<br />

grafit tidak mempunyai jalur infra-merah (Gomez-<br />

Serrano et al. 1996).<br />

III.3. Pengembangan Pori Arang<br />

Garis sesuhu penyerapan nitrogen pada suhu<br />

23


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

77K untuk arang tempurung kemiri hasil pirolisa<br />

pada suhu 800 o C dan waktu tinggal 1, 2, 3 dan 4 jam<br />

ditunjukkan pada Gambar 2. Bentuk garis sesuhu<br />

boleh dikategorikan dalam jenis 1 mengikut<br />

pengkelasan garis sesuhu jerapan fizik oleh IUPAC.<br />

Ini bermakna struktur pori didominasi oleh pori<br />

mikro. Kenaikan suhu pirolisa dari 400 hingga 900 o C<br />

pada waktu tinggal yang tetap 3 jam mengakibatkan<br />

kenaikan penyerapan nitogen. Ini bermakna kapasitas<br />

jerapan arang bertambah. Akan tetapi, pada suhu<br />

pirolisa yang tinggi (900 o C), kemampuan penyerapan<br />

arang semakin rendah. Ini disebabkan oleh pengaruh<br />

pensinteran, yang menyebabkan pengecilan pori dan<br />

pengurangan kebolehcapaian molekul nitrogen<br />

sewaktu proses penjerapan (Guo & Lua 1999).<br />

Pencirian pori untuk menunjukkan<br />

kemampuan penjerapan boleh juga dinyatakan dalam<br />

luas permukaan. Secara umum hubungan luas<br />

permukaan dan kapasitas penjerapan adalah linear.<br />

Pada suhu 400 o C untuk waktu tinggal 1 hingga 4 jam<br />

(Gambar 3), luas permukaan arang masih rendah<br />

karena masih sedikit bahan mudah menguap yang<br />

dilepaskan dari bahan baku. Ini bermakna waktu<br />

diperlukan untuk melepaskan bahan mudah menguap<br />

dan membersihkan struktur mulut pori daripada sisa<br />

bahan mudah menguap. Selepas itu, dengan kenaikan<br />

suhu luas permukaan juga akan semakin tinggi. Pada<br />

suhu 800 o C, waktu tinggal pirolisa 3 dan 4 jam<br />

menunjukkan permulaan pengurangan luas<br />

permukaan berbanding waktu tinggal 1 dan 2 jam<br />

pada suhu yang sama. Apabila proses diteruskan<br />

hingga mencapai suhu 900 o C dalam waktu tinggal<br />

pirolisa 1 dan 2 jam, hasil yang diperoleh<br />

menunjukkan luas permukaan arang mengalami<br />

penurunan dibanding dengan luas permukaan pada<br />

suhu 800 o C, ataupun suhu 900 o C untuk waktu tinggal<br />

1 dan 2 jam. Penurunan luas permukaan ini<br />

berhubung erat dengan proses pensiteran yang diikuti<br />

dengan pengecutan pori sehingga mengurangkan<br />

kapasitas pori (Guo & Lua 1999).<br />

Volume Nitrogen Terserap (cm 3 g -1 )<br />

160<br />

140<br />

120<br />

100<br />

80<br />

60<br />

40<br />

20<br />

0<br />

400 o C 500 o C 600 o C<br />

700 o C 8<br />

900 o C<br />

Waktu tinggal 300jam<br />

o C<br />

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1<br />

Tekanan Nisbi, P/P o<br />

Gambar 2. Garis Sesuhu Arang Penyerapan Nitrogen pada 77K<br />

24


Pengembangan Pori Arang Hasil Pirolisa Tempurung Kemiri<br />

Muhammad Turmuzi<br />

IV. KESIMPULAN<br />

Berdasarkan penelitian di atas dapat disimpulkan:<br />

1. Pada suhu 200 o C sudah mulai penguraian gugus<br />

hidroksil yang bermakna mulai ada penguraian<br />

selulosa. Pada suhu 300 hingga 500 o C getaran<br />

regangan C=C gelang aromatik dalam lignin 1516<br />

cm -1 masih diperoleh dan keamatan menurun<br />

dengan kenaikan suhu. Pada suhu 600 hingga<br />

800 o C, hanya jalur getaran regangan C=C dan<br />

aromatik C-H yang diperoleh. Ini bermakna terjadi<br />

pengurangan gugus oksigen dengan kenaikan suhu.<br />

Pada suhu 900 o C, tidak ada gugus berangkap. Ini<br />

bermakna bahan telah mencapai grafit.<br />

2. Distribusi ukuran pori arang yang dihasilkan dari<br />

tempurung kemiri didominasi oleh pori mikro.<br />

Untuk memperoleh pori yang optimum diperlukan<br />

kondisi pirolisa dengan suhu 800 o C dan waktu 2<br />

jam. Pori yang dihasilkan masih rendah, oleh sebab<br />

itu masih perlu diaktifkan agar diperoleh porI yang<br />

lebih tinggi.<br />

V. DAFTAR PUSTAKA<br />

Armstrong, D.W., Flanigan, V.J., James, W.J., Li, L-<br />

J. & Rundlett, K.L. (1999), Activated<br />

carbon produced from agricultural residues.<br />

US Patent 5,883,040<br />

Bassilakis, R., Carangelo, R.M. & Wojtowicz, M.A.<br />

(2001), TG-FTIR analysis of biomass<br />

pyrolysis. Fuel. 80: 1765-1786.<br />

Gomez_Serrano, V., Pator-Villegas, J., Perez-<br />

Florindo, A., Duran-Valle, C. &<br />

Valenzuela-Calahorro, C. (1996), FT-IR<br />

study of rockrose and of char and activated<br />

carbon. Journal of Analytical and Applied<br />

Pyrolysis. 36: 71-80.<br />

Gonzalez, J.F., Encinar, J.M., Canito, J.L., Sabio, E.<br />

& Chahon, M. (2003), Pyrolysis of cherry<br />

stones: energy uses of different fractions<br />

and kinetics study. J. of Anl. & Apll.<br />

Pyrolysis. 67: 165-190.<br />

Guo, J. & Lua, A.C. (1999), Textural and chemical<br />

characterisations of activated carbon<br />

prepared from oil-palm stone with H 2 SO 4<br />

and KOH impregnation. Microporous and<br />

Messoporous Materials. 32: 111-117<br />

Minkova, V., Razvigorova, M., Goranova, M.,<br />

Ljutzkanov, L. & Angelova, G. (1991),<br />

Effect of water vapour on the pyrolusis of<br />

solid fuels. Fuel 70: 714-719.<br />

Suarez-Garcia, F., Martinez-Alonso, A. & Tascon,<br />

J.M.D. (2002), Pyrolysis of apple pulp:<br />

effect of operation conditions and chemical<br />

additives . J.of. Anl. And Appl. Pyrolysis.<br />

62: 93-109<br />

25


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

OPTIMISASI MULTI–OBJEKTIF BERBANTUAN SIMULASI<br />

DALAM SISTEM MANUFAKTUR SELLULAR<br />

Rika Ampuh Hadiguna<br />

Jurusan Teknik Industri <strong>Universitas</strong> Andalas<br />

E-mail: hadiguna@ft.uand.ac.id<br />

Abstract: In this paper has study developing integrated multi objective model to solving cellular manufacturing<br />

problems. Simulation model is one of some approaches which used to analyze and predict the system<br />

performance. In simulation model that was introduce the IDEF0 as functional model to support the model more<br />

completing. Limitations simulation output that more focus for probabilistic condition until necessary completed<br />

by mathematical programming. Integrating simulation dan mathematical programming would give solution that<br />

comprehensive. The mathematical model that used is goal programming. Study result is show that proposed<br />

model more appropriate to analyze various factors in cellular manufacturing problems. Consequently, the<br />

models provide valuable information needed by practitioners to make decisions in many important design<br />

aspects.<br />

Kata kunci: Multi–Objective, simulasi, goal programming, cellular manufacturing,<br />

PENDAHULUAN<br />

Manufaktur sellular (Cellular Manufacturing,<br />

CM) merupakan aplikasi khusus dari Group<br />

Technology (GT). Prinsip aplikasi ini adalah kluster<br />

mesin-mesin dan komponen-komponen dengan<br />

tujuan meningkatkan effisiensi produksi. Kluster<br />

mesin-mesin dan komponen-komponen lebih dikenal<br />

sebagai sel manufaktur dan part family. Desain sel<br />

manufaktur yang diinginkan adalah sel total<br />

independen agar dapat merealisasikan keunggulan<br />

dari GT. Idealnya tata letak CM dilihat dari<br />

keseluruhan operasi komponen dalam sebuah part<br />

family diselesaikan dalam sebuah sel mesin (Askin<br />

dan Standridge, 1994). Pada kenyataanya, sel<br />

manufaktur yang independen tidak mungkin selalu<br />

ada. Tidak munculnya sel manufaktur yang total<br />

independen memunculkan tipe komponen yang<br />

diistilahkan elemen eksepsional yaitu komponen<br />

tersebut membutuhkan lebih dari satu sel mesin. Sel<br />

mesin yang harus memproses part family lain disebut<br />

dengan mesin bottleneck. Komponen elemen<br />

eksepsional akan menimbulkan biaya-biaya dalam<br />

operasional CM yang berarti ketidak-effektifan (Nair<br />

dan Narendran, 1999). Meskipun beberapa<br />

pendekatan telah dikembangkan dalam banyak<br />

literatur, namun masih terbatas lingkupnya karena<br />

kurang memperhatikan optimisasi biaya secara<br />

menyeluruh. Dalam makalah ini akan dibahas efek<br />

dari alternatif-alternatif kluster mesin-mesin dan<br />

komponen-komponen menggunakan pemrograman<br />

matematikal multi–objektif dan simulasi. Arah<br />

pengembangan model mengacu pada formulasi dasar<br />

dari Hadiguna, 2003b; Hadiguna, 2003f). Formulasi<br />

matematis yang diusulkan berdasar bentuk umum<br />

goal programming.<br />

Sistem manufaktur sellular merupakan<br />

penghubung antara <strong>sistem</strong> konvensional menuju<br />

<strong>sistem</strong> yang lebih modern. Sistem manufaktur<br />

sellular merupakan dekomposisi <strong>sistem</strong> menjadi<br />

kelompok-kelompok mesin dan/atau komponen.<br />

Sebagai contoh, CIMS dan JIT merupakan <strong>sistem</strong><br />

yang membutuhkan <strong>sistem</strong> manufaktur sellular dalam<br />

bentuk fisiknya. Sistem manufaktur sellular<br />

merupakan salah satu konsep dasar pabrik masa<br />

depan. Masalah desain <strong>sistem</strong> manufaktur sellular<br />

cukup kompleks dan luas dikaji dengan melibatkan<br />

banyak tipe model optimisasi. Ada dua tipe masalah<br />

yang harus dibahas, yaitu: pengelompokkan mesin–<br />

komponen dan tata letak sel. Pemecahan dua tipe<br />

masalah tersebut membutuhkan pendekatan yang<br />

terintegrasi mengingat sangat sulit menyelesaikan<br />

kedua permasalahan tersebut sekaligus. Apabila<br />

kedua masalah tersebut telah diselesaikan, maka<br />

masalah lanjutan yang munculnya adalah kinerja dari<br />

rancangan <strong>sistem</strong>. Dalam hal ini membutuhkan<br />

model simulasi yang mampu memberikan prediksi<br />

terhadap kinerja rancangan sekaligus memberikan<br />

pertimbangan-pertimbangan terhadap kemungkinan<br />

pengembangan atau perbaikan <strong>sistem</strong> (Miller dan<br />

Pegden, 2000).<br />

Aplikasi simulasi dalam penyelesaian<br />

masalah <strong>sistem</strong> manufaktur sellular lebih fokus pada<br />

sub masalah tata letak sel. Umumnya model simulasi<br />

digunakan untuk melihat variabel-variabel kinerja<br />

dari setiap skenario yang dibangkitkan. Permasalahan<br />

lanjutan yang muncul adalah memilih alternatif yang<br />

telah disimulasikan tersebut. Peranan model multi<br />

objektif seperti goal programming sangat penting<br />

dalam fase lanjutan ini. Goal programming<br />

merupakan salah satu model multi objektif yang<br />

26


Optimisasi-Objektif Berbantuan Simulasi dalam Sistem Manufaktur Sellular<br />

Rika Ampuh Hadiguna<br />

sangat disarankan penggunaannya (Mansouri dkk,<br />

2000). Dalam makalah ini akan ditunjukkan integrasi<br />

model simulasi dan multi-objektif dalam<br />

penyelesaian masalah <strong>sistem</strong> manufaktur sellular.<br />

Dalam studi ini akan di usulkan metodologi<br />

pengembangan model simulasi <strong>sistem</strong> manufaktur<br />

dengan mengintegrasikan IDEF0 sebagai bagian<br />

yang integral. Metodologi yang diusulkan ditujukan<br />

untuk mengevaluasi performansi <strong>sistem</strong> manufaktur<br />

sellular. Dalam makalah ini yang akan dijadikan<br />

contoh pendemonstrasian metodologi adalah untuk<br />

masalah pada <strong>sistem</strong> perakitan sebagai GT Flow Line<br />

System.<br />

TINJAUAN PUSTAKA<br />

Group Technology (GT) adalah sebuah<br />

pendekatan yang efektif untuk multi produk,<br />

produksi dengan lot kecil atau medium dan produksi<br />

bertipe diskrit. GT adalah sebuah konsep yang<br />

membuat produksi lebih effisien dengan cara<br />

mengelompokkan komponen dan/atau mesin yang<br />

mempunyai kemiripan. Pembahasan terhadap<br />

penerapan GT selama ini banyak fokus pada upaya<br />

merancang sel-sel mesin Suresh dan Slomp, 2001;<br />

Hadiguna dan Widianto, 2003). Perkembangan<br />

model-model dan <strong>teknik</strong>-<strong>teknik</strong> dalam <strong>sistem</strong><br />

manufaktur sellular lebih mengarah pada masalah<br />

pengelompokkan dan tata letak sel yang dipandang<br />

sebagai hal yang terpisah (Hadiguna, 2003d).Hal ini<br />

dapat dilihat dari beberapa studi yang dilakukan oleh<br />

diantaranya Baker dan Maropoulus (1999),<br />

Baykasoglu dan Gindy (2000), Daita dkk (1999),<br />

Efstathiou dan Golby (2001), Mansouri dkk (2000)<br />

dan Nair dkk (1999). Bagaimanapun masalah desain<br />

<strong>sistem</strong> manufaktur sellular adalah pengelompokkan<br />

komponen dan mesin serta pengaturan mesin-mesin<br />

pada intra dan inter cell yang tersedia dengan tujuan<br />

mengoptimalkan objektif yang telah dinyatakan.<br />

Proses desain yang menyeluruh dalam hal<br />

pengelompokkan hingga tata letak sel telah banyak<br />

dikembangkan seperti oleh Da-Silviera (1999),<br />

Efstathiou dan Golby (2001), Hadiguna dan<br />

Setiawan (2003), Hadiguna dan Thahir (2004) dan<br />

Salum (2000).<br />

Perkembangan dunia bisnis yang kompetitif<br />

mengharuskan proses desain <strong>sistem</strong> manufaktur<br />

sellular mempertimbangkan strategi bisnis (Hadiguna<br />

dan Mulki, 2003). Pertimbangan ini biasanya<br />

dilibatkan pada tahap desain tata letak sel. Model<br />

simulasi yang mengadopsi hal ini diantaranya<br />

Altinklininc (2004) dan Rios dkk (2000). Pendekatan<br />

desain fasilitas manufaktur yang menggunakan<br />

secara eksplisit objektif tunggal (single objective)<br />

akan menghasilkan penyelesaian yang bias terhadap<br />

kebutuhan perusahaan. Pelibatan beberapa objektif<br />

menjadi isu penting karena proses desain akan<br />

melibatkan faktor-faktor yang berkaitan dengan<br />

tujuan-tujuan strategis, ukuran-ukuran kinerja <strong>sistem</strong><br />

dan keunggulan kompetitif dalam marketplace.<br />

Berdasarkan prosedur perencanaan tata letak sel<br />

pabrik, diharapkan dapat dibangkitkan beberapa<br />

alternatif tata letak sel (Askin dan Stanridge, 1994).<br />

Tata letak sel yang merupakan permasalahan tata<br />

letak sel diselesaikan dengan membangkitkan<br />

beberapa alternatif tata letak sel dalam hal ini tata<br />

letak sel. Hal ini ditujukan untuk menghasilkan<br />

<strong>sistem</strong> yang memenuhi kebutuhan perusahaan yang<br />

telah dirumuskan pada fase persiapan. Pembangkitan<br />

alternatif tata letak sel dilakukan pada fase definisi.<br />

Keputusan untuk menginstal tata letak sel terpilih<br />

dilakukan pada fase instalasi dimana hasil desain tata<br />

letak sel yang terdiri dari beberapa alternatif dipilih<br />

dengan mengakomodir kebutuhan perusahaan. Paper<br />

ini bertujuan untuk membahas bagaimana cara<br />

mengambil keputusan pemilihan tata letak sel yang<br />

dapat mengakomodasi kebutuhan perusahaan.<br />

Asumsi yang digunakan adalah alternatif tata letak<br />

sel mempunyai kelayakan untuk diimplementasikan.<br />

Simulasi manufaktur telah menjadi sebuah area<br />

aplikasi primer dari teknologi simulasi. Simulasi<br />

telah menjadi pendekatan yang cukup luas yang<br />

digunakan untuk memperbaiki dan menvalidasi<br />

desain <strong>sistem</strong> manufaktur secara luas (Banks, 2000;<br />

Fu dkk, 2000). Aplikasi simulasi pada <strong>sistem</strong><br />

manufaktur termasuk desain fasilitas maupun<br />

pemodelan rantai pasok perusahaan secara luas<br />

(Miller dan Pegden, 2000). Tipe simulasi manufaktur<br />

biasanya digunakan untuk memprediksi performansi<br />

<strong>sistem</strong> atau membandingkan dua atau lebih desain<br />

<strong>sistem</strong> atau skenario (Hadiguna, 2003). Hal ini berarti<br />

bahwa kemampuan untuk mengembangkan dan<br />

mengurai model-model simulasi dengan cepat dan<br />

efektif sangat penting. Menurut Perera dan Liyanage<br />

(2000) sejumlah faktor yang menghalangi proses<br />

pemodelan simulasi antara lain pengumpulan data<br />

yang kurang efisien, dokumentasi model yang<br />

panjang dan buruknya perencanaan eksperimen.<br />

Dalam pemodelan simulasi manufaktur hal yang<br />

tidak kalah pentingnya adalah proses analisis <strong>sistem</strong>.<br />

Dalam mengembangkan model simulasi <strong>sistem</strong><br />

manufaktur khususnya untuk tujuan studi<br />

mengevaluasi performansi <strong>sistem</strong>, maka prosedur<br />

pengembangan model menjadi hal yang krusial.<br />

IDEF0 merupakan model fungsional yang<br />

diwujudkan dalam bentuk terstruktur dan semantik.<br />

Model IDEF0 mengandalkan pada konsistensi<br />

pendeskription <strong>sistem</strong>. Pemodelan IDEF0 banyak<br />

digunakan dalam menganalisis dan mengevaluasi<br />

<strong>sistem</strong> manufaktur khususnya untuk evaluasi<br />

performansi (Pawlikowski dan Kreutzer, 2000;<br />

Hadiguna, 2003).<br />

PENGEMBANGAN MODEL<br />

Model yang dikembangkan merupakan<br />

prosedur hirarki dua tahap. Model ini juga ditujukan<br />

pada tahap tata letak sel. Tahap pertama merupakan<br />

pemodelan simulasi, sedangkan tahap kedua adalah<br />

model Zero–One Goal Programming (ZOGP). Pada<br />

tahap pertama, prosedur yang dikembangkan<br />

ditujukan pada pemodelan simulasi <strong>sistem</strong><br />

27


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

manufaktur yang berkarakter diskrit. Prosedur<br />

dibangun terdiri dari dua bagian besar yaitu<br />

pemodelan IDEF0 dan pemodelan simulasi. Dalam<br />

memahami <strong>sistem</strong> nyata dengan baik dan benar,<br />

maka langkah awal adalah membangun rich picture.<br />

Demikian halnya dalam mengembangkan prosedur<br />

usulani ini perlu digambarkan keterkaitan antara<br />

model simulasi dengan IDEF itu sendiri. Model<br />

IDEF0 secara prinsip menjelaskan bagaimana sebuah<br />

<strong>sistem</strong> bekerja. Pada model IDEF0 bertujuan untuk<br />

memodelkan aktivitas fungsional dalam bentuk<br />

kontak-kontak yang merepresentasikan <strong>sistem</strong> hingga<br />

sub-<strong>sistem</strong> secara hirarki. IDEF0 dilengkapi oleh<br />

struktur ICOM yaitu: Input (I), Control (C), Output<br />

(O) dan Mechanism (M). Proses pemodelan<br />

dilakukan melalui pengamatan secara langsung dan<br />

mempelajari dokumentasi yang tersedia. Agar model<br />

yang dihasilkan rinci, maka diperlukan kerjasama<br />

yang baik antara pemodel dengan “pemilik” <strong>sistem</strong>.<br />

Validasi model dilakukan melalui diskusi dengan<br />

“pemilik” <strong>sistem</strong> dengan terlebih dahulu<br />

menverifikasi keterhubungan semua ICOM terhadap<br />

kotak aktivitas. Secara umum model simulasi<br />

dibangun dari beberapa tahap yaitu pemodelan data<br />

masukan (input modelling), analisis keluaran dan<br />

verifikasi dan validasi model. Secara diagramatik,<br />

integrasi IDEF0 dan simulasi dapat dilihat pada<br />

gambar dibawah ini:<br />

Analisis Aktivitas<br />

Pemodelan IDEF0<br />

Valid<br />

Tidak<br />

Ya<br />

Pemodelan Data Masukan<br />

Pemodelan Simulasi<br />

Tidak<br />

Verified<br />

Ya<br />

Valid<br />

Tidak<br />

Ya<br />

Pengembangan Alternatif<br />

Gambar 2. Diagram Integrasi IDEF0 dan Simulasi<br />

28


Optimisasi-Objektif Berbantuan Simulasi dalam Sistem Manufaktur Sellular<br />

Rika Ampuh Hadiguna<br />

Dalam formulasi ini yang diinginkan adalah<br />

mengevaluasi usulan tata letak sel yang telah<br />

didesain berdasarkan pendekatan kuantitatif dan<br />

kualitatif. Model ini menawarkan dua metodologi<br />

untuk keputusan pemilihan tata letak sel. Metoda<br />

Analytic Hierarchy Process (AHP) disajikan terlebih<br />

dahulu sebagai metodologi stand-alone dan<br />

selanjutnya kombinasi model AHP dengan Zero–One<br />

Goal Programming (ZOGP) sebagai ekstensi untuk<br />

mempertimbangkan kriteria tambahan dalam proses<br />

pengambilan keputusan. AHP merupakan metoda<br />

yang sangat banyak digunakan dalam pengambilan<br />

keputusan yang kompleks serta luas bidang<br />

aplikasinya (Saaty, 2002). AHP juga telah menjadi<br />

salah satu model penyelesaian dalam masalah tata<br />

letak sel. AHP bekerja untuk situasi keputusan yang<br />

melibatkan pemilihan sebuah keputusan dari<br />

beberapa alternatif keputusan berdasarkan multi<br />

kriteria yang terjadi konflik. Kriteria keputusan ini<br />

akan mempunyai tingkat preferensi yang berbeda<br />

dimata pengambil keputusan. Kelebihan dari AHP ini<br />

adalah pengambilan keputusan berdasarkan<br />

pengalaman yang dikendalikan oleh rasio konsistensi<br />

(Peniwati, 2002 dan Saaty, 2002). Pendapat<br />

pengambil keputusan akan mengkuantifikasi kriteriakriteria<br />

dan alternatif dalam bentuk nilai bobot.<br />

Vektor preferensi atai bobot dapat dirumuskan W j<br />

ABC<br />

= (W 1 , . . ., W n ) dimana W j adalah preferensi yang<br />

ditempatkan dalam pemilihan dari sejumlah<br />

alternatif. Bobot terbesar merupakan preferensi<br />

terbesar untuk tata letak sel ke-j. Perluasan<br />

penggunaan metodologi AHP untuk<br />

mempertimbangkan keterbatasan sumberdaya<br />

dilakukan melalui model ZOGP dengan melibatkan<br />

bobot AHP dengan formulasi sebagai berikut:<br />

k -1 m -1<br />

Minimasi ∑ ∑ P (d<br />

-<br />

+ d<br />

+<br />

) + P<br />

-<br />

k<br />

(d<br />

m<br />

) …(1)<br />

k i i<br />

k = 1i<br />

= 1<br />

Kendala:<br />

n<br />

∑ r<br />

ij<br />

x<br />

j<br />

+<br />

j = 1<br />

−<br />

−<br />

+<br />

i<br />

d<br />

i<br />

= R<br />

i<br />

d ; i = 1, . . . , m – 1 …(2)<br />

n<br />

∑ w +<br />

− +<br />

j j<br />

d<br />

m<br />

- d<br />

m<br />

= 1<br />

x …(3)<br />

x j = 0 atau 1 untuk j = 1, . . . , n<br />

d i - , d i + > 0 untuk i = 1, . . . , m<br />

Dimana x j adalah representasi variabel 1–0<br />

dimana nilai 1 berarti dipilih, sedangkan nilai 0<br />

berarti tidak dipilih dari j = 1, 2,…, n tata letak sel.<br />

- +<br />

Variabel deviasi d i , d i adalah vektor-vektor<br />

pencapaian dibawah target dan pencapaian diatas<br />

target i = 1, . . . , m – 1 dari sumber daya objektif,<br />

perangkingan ordinal melalui prioritas P k dimana k =<br />

1,2, . . . , K ranking ordinal dan P 1 > P 2 >> P k . r ij<br />

adalah matriks ukuran n x n koefisien sumberdaya<br />

berkaitan dengan utilisasi sumberdaya dari total<br />

sumberdaya R untuk setiap alternatif tata letak sel. w j<br />

-<br />

pada persamaan (3) adalah bobot AHP dimana d m<br />

digunakan untuk melihat pemilihan yang<br />

dimaksimumkan untuk tata letak sel dengan bobot<br />

tertinggi.<br />

Kriteria adalah ukuran pencapaian dari<br />

keputusan. Cukup banyak kriteria yang dapat<br />

digunakan dalam permasalahan tata letak sel fasilitas<br />

dan cara mengidentifikasi kriteria yang relevan<br />

dengan kebutuhan perusahaan (Siswanto dan<br />

Hadiguna, 2003). Dalam paper ini kriteria yang<br />

digunakan adalah keselamatan kerja, kerjasama tim,<br />

proses pengawasan dan tanggung jawab operator.<br />

Keempat kriteria ini sulit untuk dikuantifikasi, tetapi<br />

sangat dibutuhkan perusahaan dalam operasional sel<br />

manufaktur dan penataan mesin dan peralatan yang<br />

digunakan. Objektif desain sel manufaktur telah<br />

banyak dibahas dalam literatur (Mansouri dkk,<br />

2000).<br />

Pada makalah ini akan ditampilkan sebuah<br />

ilustrasi bagaimana model yang diusulkan bekerja.<br />

Berdasarkan tipe masalah desain <strong>sistem</strong> manufaktur<br />

sellular yang telah disajikan diatas, sebuah contoh<br />

komposit digunakan untuk illustrasi bagaimana<br />

model simulasi dan multi objektif secara terpisah<br />

bekerja menangkap dan menggunakan informasi<br />

yang diperoleh dari pengambil keputusan dalam<br />

konteks proses pemilihan alternatif-alternatif tata<br />

29


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

letak sel yang ada. Masalah yang ditampilkan pada<br />

bagian ini dirancang untuk menampilkan bagaimana<br />

model integrasi yang mengkombinasikan AHP,<br />

ZOGP dan simulasi akan memberikan hasil berbeda.<br />

Tahap pertama adalah pengembangan model<br />

Simulasi. Objektif dari <strong>sistem</strong> manufaktur sellular<br />

dari aspek operasional adalah minimusasi rata-rata<br />

work–in–process (WIP). Berdasarkan model simulasi<br />

ciptaan sebagai contoh numerik untuk<br />

memperkenalkan kinerja model. Model simulasi<br />

diperoleh setelah melalui proses pengelompokkan<br />

mesin dan komponen sebagai sel mesin dan part<br />

families. Model simulasi dikembangkan dengan<br />

memperhatikan ketersediaan anggaran. Berkaitan<br />

dengan hal ini, maka dilakukan modifikasi untuk<br />

setiap alternatif. Alternatif pertama mengandalkan<br />

teknologi permesinan sehingga biaya investasi besar,<br />

sedangkan alternatif tandingan yaitu alternatif kedua<br />

dan ketiga mengandalkan tingkat ketrampilan<br />

operator dengan mereduksi biaya investasi pembelian<br />

mesin. Selanjutnya, setiap alternatif dirancang <strong>sistem</strong><br />

pemindahan bahannya yang akan menghasilkan total<br />

jarak perpindahan. Dalam hal ini, setiap alternatif<br />

dibedakan oleh kapasitas alat pemindahan bahan<br />

sehingga dapat mengurangi frekwensi perpindahan<br />

material. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut maka<br />

model simulasi dikembangkan dan diperoleh WIP<br />

alternatif satu sebesar 5 unit, alternatif kedua sebesar<br />

3 unit dan alternatif ketiga sebesar 2,5 unit. Terlihat<br />

bahwa alternatif ketiga menghasilkan rata-rata WIP<br />

yang lebih kecil sehingga dapat dipertimbangkan<br />

sebagai alternatif terbaik. Namun demikian, aspek<br />

manajemen maupun ketersediaan sumber daya masih<br />

perlu dikaji lebih dalam. Berdasarkan hal inilah maka<br />

model multi objektif dikembangkan untuk<br />

memastikan apakah benar WIP terkecil merupakan<br />

global optimal.<br />

Tahap kedua adalah membangun model<br />

AHP. Pada tahap awal, model AHP diperkenalkan<br />

terlebih dahulu yang ditujukan sebagai pendekatan<br />

multi atribut. AHP ditujukan untuk mengkaji dari<br />

aspek manajemen yang secara kuantitatif sulit diukur.<br />

Berdasarkan metoda kualitatif dengan AHP ini maka<br />

akan diketahui alternatif terbaik berdasarkan<br />

preferensi manajemen terhadap setiap alternatif<br />

berdasarkan aspek-aspek manajemen. Aspek yang<br />

dipertimbangkan antara lain (Hadiguna dan<br />

Setiawan, 2003a) tanggung jawab operator (K1),<br />

kerjasama tim (K2), pengawasan (K3) dan<br />

keselamatan kerja (K4). Penerapan AHP diawali<br />

dengan mendekomposisi masalah menjadi hirarki<br />

multi level sebagai berikut:<br />

Memilih Tata Letak<br />

Tanggung Jawab Kerjasama Pengawasan Keselamatan<br />

Alternatif #1 Alternatif #2<br />

Alternatif #3<br />

Gambar 2. Hirarki Masalah<br />

Kriteria yang digunakan dalam keputusan<br />

berdasarkan studi literatur dimana kriteria<br />

merepresentasikan kebutuhan manajemen sebagai<br />

tata letak sel yang terbaik. Krieria-kriteria ini dapat<br />

dikembangkan lebih jauh dengan cara curah gagasan<br />

dengan pihak manajemen atau para pakar kemudian<br />

di analisis untuk mendapatkan kriteria yang relevan.<br />

Berdasarkan hirarki multi level diatas dilakukan<br />

penilaian perbandingan berpasangan secara bertahap.<br />

Tahap awal pada level kriteria dan selanjutnya pada<br />

level alternatif berdasarkan setiap kriteria. Penilaian<br />

perbandingan berpasangan ini harus memperhatikan<br />

consistency ratio yang mencerminkan tingkat<br />

konsistensi penilaian. Nilai consistency ratio ini<br />

ditetapkan oleh Saaty (2002) yang diharapkan tidak<br />

lebih besar dari 0,10. Software yang membantu untuk<br />

penilaian perbandingan berpasangan ini adalah<br />

Expert Chioce (1995) yang dapat membantu<br />

pengambil keputusan melakukan analisis sensitivitas.<br />

Melalui aplikasi software berdasarkan penilaian<br />

diperoleh prioritas relatif untuk setiap kandidat tata<br />

letak sel. Hasil pembobotan dan grafik analisis<br />

sensitivitas masing-masing dapat dilihat pada Tabel<br />

1. Berdasarkan penerapan metoda AHP terpilih<br />

alternatif–1 tata letak sel karena memiliki bobot<br />

terbesar diikuti alternatif–3 dan alternatif–2 masingmasing<br />

sebagai ranking ke–2 dan ranking ke–3.<br />

Tabel 1. Nilai Prioritas untuk Alternatif, Kriteria, Sintesa<br />

Kriteria<br />

Alternatif K1 K2 K3 K4 Sintesa<br />

(0,066) (0,290) (0,541) (0,103)<br />

Alternatif – 1 0,074 0,236 0,094 0,272 0.443<br />

Alternatif – 2 0,643 0,062 0,678 0,608 0,273<br />

Alternatif – 3 0,283 0,702 0,219 0,120 0,284<br />

30


Optimisasi-Objektif Berbantuan Simulasi dalam Sistem Manufaktur Sellular<br />

Rika Ampuh Hadiguna<br />

Penerapan AHP sebagaimana contoh diatas<br />

merupakan upaya mengakomodir persepsi<br />

manajemen yang kualitatif. Berdasarkan pengalaman,<br />

penguasaan informasi dan pengetahuan yang dimiliki<br />

oleh manajemen akan diperoleh preferensi keputusan<br />

manajemen dalam memilih alternatif tata letak sel<br />

yang dianggap baik. Dalam permasalahan tata letak<br />

sel tentunya harus mempertimbangkan faktor-faktor<br />

kuantitatif lainnya sehingga keputusan yang diambil<br />

optimal. Berdasarkan hal ini langkah selanjutnya<br />

adalah menerapkan ZOPG dengan memasukkan hasil<br />

pembobotan AHP sebagai salah satu objektif.<br />

Tahap ketiga adalah formulasi pemrograman<br />

matematis. Untuk menjelaskan bagaimana proses<br />

integrasi kedua metoda dapat dilakukan dengan<br />

melihat contoh berikut ini. Misalkan saja perusahaan<br />

dalam mengimplementasikan sel manufaktur sebagai<br />

<strong>sistem</strong> manufakturnya mengalokasikan anggaran<br />

sebesar $400. Artinya, besar dana tersebut<br />

merupakan total sumber daya yang tersedia guna<br />

penerapan sel manufaktur oleh perusahaan.<br />

Disamping itu, telah diketahui jarak merupakan<br />

objektif yang harus diperhitungkan untuk<br />

mendapatkan total jarak terpendek. Masing-masing<br />

alternatif tata letak sel telah dianalisis sehingga<br />

diketahui jarak setiap alternatif tata letak sel.<br />

Diasumsi pada contoh ini bahwa tipe tata letak sel<br />

existing dapat dianalisis jarak perpindahannya yang<br />

akan dijadikan batas yang diizinkan. Dalam kasus ini<br />

jarak yang diizinkan adalah 23 m. Hal terakhir yang<br />

tidak kalah pentingnya adalah penggunaan luas lantai<br />

yang dijadikan salah satu objektif. Luas lantai yang<br />

tersedia adalah area yang tersedia saat ini dimana<br />

mesin dan peralatan dapat disusun. Ketersediaan luas<br />

lantai diasumsi sebesar 10 m 2 . Semua data hipotetis<br />

tersebut dalam ratusan. Semua keterbatasan diatas<br />

meruapakn representasi dari R i dalam model ZOGP<br />

dan penggunaan setiap rate r ij dapat dilihat pada<br />

Tabel 2.<br />

Tabel 2. Objektif dan Ketersediaan Sumber Daya<br />

Objektif<br />

r ij<br />

P i<br />

x 1 x 2 x 3<br />

R i<br />

Urutan<br />

Anggaran Implementasi 250 150 100 400 P 1<br />

Jarak yang diizinkan 15 7,5 10 23 P 2<br />

WIP rata-rata 5 3 2,5 10 P 3<br />

Preferensi Manajemen 0,443 0,273 0,284 1 P 4<br />

Formulasi matematis dapat dilakukan dengan<br />

mengikuti bentuk umum formulasi yang telah<br />

dirumuskan pada bagian metodologi. Formulasi dari<br />

contoh permasalahan diatas sebagai berikut:<br />

Min Z = P 1 d + 1 + P 2 d + 2 + P 3 d + -<br />

3 + P 4 d 4<br />

Kendala:<br />

250 X 1 + 150 X 2 + 200 X 3 + d - +<br />

1 - d 1<br />

15 X 1 + 7,5 X 2 + 10 X 3 + d - +<br />

2 - d 2<br />

= 400<br />

= 23<br />

5 X 1 + 3 X 2 + 2,5 X 3 + d - +<br />

3 - d 3 = 10<br />

0,443X 1 + 0,273X 2 + 0,284X 3 + d - +<br />

4 - d 4 = 1<br />

X j = 0 atau 1; d - i , d + i > 0<br />

Setelah diselesaikan formulasi diatas akan<br />

memberikan keputusan yang berbeda dengan<br />

keputusan yang hanya menggunakan metoda simulasi<br />

maupun AHP secara tunggal. Perbandingan antara<br />

setiap model dapat dilihat sebagai berikut:<br />

Tabel 3. Perbandingan Penyelesaian<br />

Alternatif Simulasi AHP Integrasi<br />

1 WIP = 5 (Terbaik– 3) W1 = 0,443 (Terbaik–1) X1 = 1 (Dipilih)<br />

2 WIP = 3 (Terbaik– 2) W2 = 0,273 (Terbaik–3) X2 = 1 (Dipilih)<br />

3 WIP = 2,5 (Terbaik– 1) W3 = 0,284 (Terbaik–2) X3 = 0 (Tidak Dipilih)<br />

31


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

PEMBAHASAN<br />

Berdasarkan hasil perbandingan diatas terlihat<br />

bahwa performansi <strong>sistem</strong> berdasarkan rata-rata WIP<br />

belum tentu lebih baik dibandingkan dengan<br />

preferensi manajemen. Metoda AHP sebagai alat<br />

pengambilan keputusan dengan multi atribut<br />

menunjukkan alternatif pertama lebih baik meskipun<br />

memiliki performansi rata-rata WIP yang terbesar.<br />

Setelah dianalisis dengan model integrasi justru<br />

terlihat bahwa alternatif pertama dan kedua<br />

direkomendasikan. Hal ini berarti alternative<br />

solution.<br />

Simulasi <strong>sistem</strong> manufaktur sangat<br />

memperhatikan fokus perbaikan dari <strong>sistem</strong> sehingga<br />

membutuhkan prosedur pemodelanyang<br />

komprehensif. Prosedur yang diusulkan beranjak dari<br />

pola pikir pembangunan model yang didasarkan pada<br />

pemahaman <strong>sistem</strong> yang menyeluruh, tersruktur dan<br />

hirarki. Hal ini dapat dilakukand engan menerapkan<br />

pemodelan fungsional dengan pendekatan IDEF.<br />

Manfaat yang diperoleh dengan menggunakan<br />

prosedur ini adalah mempercepat pengidentifikasian<br />

data masukan dan proses pembangunan model<br />

simulasi. Hal utama lainnya adalah effisiensi proses<br />

pemodelan. Nilai guna dari keluaran simulasi juga<br />

dapat ditingkatkan karena fokus perbaikan akan<br />

menyentuh banyak aktivitas dalam <strong>sistem</strong><br />

manaufaktur yang kompleks tetapi interdependen.<br />

Masalah keputusan pemilihan tata letak sel<br />

merupakan kombinasi dari faktor-faktor operasional<br />

dan struktur <strong>sistem</strong> sehingga perlu melibatkan<br />

metoda yang berdasarkan pengalaman manajerial dan<br />

pemrograman matematis. Dalam makalah ini telah<br />

ditunjukkan bagaimana integrasi simulasi dan multi<br />

objektif bekerja dalam keputusan pemilihan tata letak<br />

sel dengan menyertakan keterbatasan sumberdaya<br />

yang ada. Dalam makalah ini diperlihatkan<br />

perbandingan antara simulasi sebagai pendekatan<br />

kuantitatif dan pendekatan AHP sebagai pendekatan<br />

kualitatif. Pemanfaatan AHP dalam formulasi goal<br />

programming juga menunjukkan kinerja yang lebih<br />

baik. Hasil AHP dapat diuji dengan goal<br />

programming melalui pelibatan faktor finansial.<br />

Keberhasilan implementasi metodologi yang<br />

diusulkan dalam makalah ini pada masalah praktis<br />

akan dibatasi oleh keterbatasan dalam pemodelan<br />

tetapi formulasi unik yang diusulkan dalam makalah<br />

ini akan meminimisasi keterbatasan tersebut.<br />

KESIMPULAN<br />

Model pemrograman matematis yang<br />

dikembangkan dalam studi ini didasarkan beberapa<br />

model yang telah dikembangkan sebelumnya. Prinsip<br />

yang digunakan dalam formulasi model ini adalah<br />

akomodasi efek-efek ekonomis dalam mengeliminasi<br />

keberadaan komponen eksepsional. Setiap alternatif<br />

dianalisis terlebih dahulu berdasarkan ketiga objektif<br />

diatas. Selanjutnya, alternatif-alternatif desain sel<br />

manufaktur dioptimasi menggunakan formulasi yang<br />

diusulkan tersebut. Model yang diusulkan ternyata<br />

mampu memberikan banyak informasi yang<br />

diperlukan oleh para pengambil keputusan. Hal ini<br />

berarti model mampu memberikan dukungan<br />

pengambilan keputusan berkaitan dengan implikasi<br />

strategik perusahaan.<br />

Model yang diusulkan dalam studi ini adalah<br />

pengintegrasian model simulasi dan multi objektif<br />

yang mampu mengakomodir <strong>sistem</strong> operasi dan<br />

<strong>sistem</strong> struktur. Pemodelan simulasi dikembangkan<br />

melalui model fungsional IDEF, sedangkan model<br />

multi objektif yang dikembangkan mengaplikasikan<br />

AHP dan goal programming. Dalam makalah ini<br />

telah ditunjukkan bagaimana model integrasi bekerja<br />

dalam keputusan pemilihan tata letak sel dengan<br />

menyertakan keterbatasan sumberdaya yang ada.<br />

Keberhasilan implementasi metodologi yang<br />

diusulkan dalam makalah ini pada masalah praktis<br />

akan dibatasi oleh keterbatasan dalam pemodelan<br />

tetapi formulasi unik yang diusulkan dalam makalah<br />

ini akan meminimisasi keterbatasan tersebut.<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

Terima kasih kepada Masrul Indrayana dari<br />

Univeristas Widya Mataram–Jogjakarta atas kritik,<br />

saran serta waktu yang diberikan dalam penyelesaian<br />

studi ini.<br />

REFERENSI<br />

Altinklininc, M., 2004, Simulation based Layout<br />

Planning of A Production Plant, Proceeding of<br />

the 2004 Winter Simulation Conference, 1079 –<br />

1084<br />

Askin, R.G. dan Standridge, C.R., 1994, Modelling<br />

and Analysis of Manufacturing Systems, John<br />

Wiley and Sons, Inc. New York.<br />

Baker, R.P dan Maropoulos, P.G., 2000, Cell Design<br />

and Continuous Improvement, International<br />

Journal Computer Integrated Manufacturing,<br />

13(6), 522–532<br />

Banks, J., 2000, Introduction to Simulation,<br />

Proceedings of the 2000 Winter Simulation<br />

Conference, 9–16<br />

Baykasoglu, A. dan Gindy, N.N.Z., 2000,<br />

MOCACEF 1.0: Multiple Objective Capability<br />

Based Approach to Form Part-Machine Groups<br />

for Cellular Manufacturing Applications,<br />

International Journal of Production Research,<br />

38(5), 1133-1166<br />

Da Silviera, G., 1999, A Methodology of<br />

Implementation of Cellular Manufacturing,<br />

International Journal of Production Research,<br />

37(2), 467 – 479<br />

32


Optimisasi-Objektif Berbantuan Simulasi dalam Sistem Manufaktur Sellular<br />

Rika Ampuh Hadiguna<br />

Daita, S.T.S., Irani, S.A. dan Kotamraju, S., 1999,<br />

Algorithm for Production Flow Analysis,<br />

International Journal of Production Research,<br />

37(11), 2609-2638<br />

Efstathiou, J. dan Golby, P., 2001, Application of A<br />

Simple Method of Cell Design Accounting for<br />

Product Demand and Operation Sequence,<br />

Integrated Manufacturing Systems, 12(4), 246–<br />

257<br />

Fu, C.M. dkk., 2000, Integrating Optimization and<br />

Simulation: Research and Practice, Proceedings<br />

of the 2000 Winter Simulation Conference,<br />

1505–1509<br />

Goldmans, D. dan Tokol, G., 2000, Output Analyzer<br />

Procedures for Computer Simulation,<br />

Proceedings of the 2000 Winter Simulation<br />

Conference, 39–45<br />

Hadiguna, R.A. dan Setiawan, H., 2003, Desain dan<br />

Evaluasi Sel Manufaktur Multi Kriteria, Jurnal<br />

Teknik Industri STT Musi, 3(1), 21–32<br />

Hadiguna, R.A., 2003, Prosedur Multi Objektif untuk<br />

Keputusan Pemilihan Formasi Sel Manufaktur,<br />

Proceeding 2 nd National Industrial Engineering<br />

Conference, <strong>Universitas</strong> Surabaya, 8–16<br />

Hadiguna, R.A. dan Mulki B.S., 2003, Desain<br />

Manufaktur Sellular dengan Mempertimbangkan<br />

Strategi Bisnis, Proceeding Simposium Nasional<br />

RAPI II, <strong>Universitas</strong> Muhammadiyah Surakarta,<br />

100–107<br />

Hadiguna, R.A., 2003d, Sistem Manufaktur Sellular:<br />

Sebuah Tinjauan dan Survei Pustaka, Jurnal<br />

Teknik Industri UNAND, 2(4), 129 – 135<br />

Hadiguna, R.A. dan Wirdianto, E., 2003, Model<br />

Penyelesaian Masalah Pemilihan Alternatif Tata<br />

Letak Sel, Jurnal Sains dan Teknologi STTIND,<br />

2(2), 88 – 97<br />

Hadiguna, R.A., 2003, Pemodelan Simulasi Sistem<br />

Manufaktur Berbantuan IDEF0, Jurnal Spektrum<br />

Industri, 1(1), 31–37<br />

Hadiguna, R.A. dan Thahir, M., 2004, Desain<br />

Formasi Sel Manufaktur dengan<br />

Mempertimbangkan Peralatan Pemindahan<br />

Bahan dan Mesin Posisi Tetap, Jurnal Sains dan<br />

Teknologi STTIND, 3(2), 64 – 77<br />

Hadiguna, R.A. dan Mulki B.S., 2005, Desain<br />

Manufaktur Sellular dengan Mempertimbangkan<br />

Preferensi Manajemen, Prosiding Seminar<br />

Nasional Teknologi Industri XII, ITS, 1061 –<br />

1068<br />

Miller, S. dan Pegden, D., 2000, Introduction to<br />

Manufacturing Simulation, Proceedings of the<br />

2000 Winter Simulation Conference, 63–66<br />

Mansouri, S.A., Husseini, S.M.M. dan Newman,<br />

S.T., 2000, A Review of The Modern<br />

Approaches to Multi-Criteria Cell Design,<br />

International Journal of Production Research,<br />

38(5), 1201–1218<br />

Nair, G.J. dan Narendran, T.T., 1999, ACCORD: A<br />

Bicriterion Algorithm for Cell Formation Using<br />

Ordinal and Ratio-Level Data, International<br />

Journal of Production Research, 37(3), 539–556<br />

Pawlikowski, K. dan Kreutzer, W., 2000, Integrating<br />

Modelling and Data Analysis in Teaching<br />

Descrete Event Simulation, Proceedings of the<br />

2000 Winter Simulation Conference, 158–166<br />

Perera, T. dan Liyanage, K., 2000, Methodology for<br />

Rapid Identification and Collection of Input Data<br />

in the Simulation of Manufacturing System,<br />

Simulation Practice and Theory, 7, 645–656<br />

Peniwati, K., 2002, We Need to Measure, (Not)<br />

Count, Not Number Crunch, Proceeding<br />

INSAHP II, U.K. Petra, Surabaya., Paper 2<br />

Rios, M.C., Campbel, C.A.M. dan Irani, S.A., 2000,<br />

An Approach to the Design of A Manufacturing<br />

Cell under Economic Considerations,<br />

Proceeding of the 11 th International Working<br />

Seminar on Production Economics, 1 – 28<br />

Saaty, T.L., 2002, Hard Mathematics Applied to Soft<br />

Decisions, Proceeding INSAHP II, U.K. Petra,<br />

Surabaya, Paper 1<br />

Salum, L., 2000, The Cellular Manufacturing Layout<br />

Problem, International Journal of Production<br />

Research, 34(16), 1134-1146<br />

Suresh, N.C. dan Slomp, J., 2001, A Multi Objective<br />

Procedure for Assignments and Grouping in<br />

Capacitated Cell Formation Problems,<br />

International Journal of Production Research,<br />

39 (18), 4103–4131<br />

33


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

PERANAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HaKI) DALAM<br />

MENDORONG PERKEMBANGAN INDUSTRI DAN PERDAGANGAN<br />

Syahril Effendy Pasaribu<br />

Staf Pengajar Fakultas Ekonomi UMSU Medan<br />

Abstrak: Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan suatu bentuk kekayaan immaterial bagi pemiliknya<br />

dimana hak milik tersebut mempunyai sifat ekonomis berupa keuntungan yaitu Royalty dan Technical Fee).<br />

Untuk mendorong perkembangan di bidang <strong>industri</strong>, perdagangan dan investasi lebih pesat, dan dalam rangka<br />

mewujudkan iklim yang lebih baik dan merangsang tumbuh dan berkembangnya penciptaan dan invensi dalam<br />

bidang ilmu pengetahuan, seni dan teknologi, maka dibutuhkan perlindungan hukum bagi hak atas kekayaan<br />

intelektual. Sebagai Negara yang ikut menanadatangani Perjanjian TRIP’s 1994 , maka Indonesia berkewajiban<br />

menyesuaikan peraturan perundang-undangan hak milik intelektual yang berlaku di Indonesia dengan berbagai<br />

Konvensi Internasional di bidang HaKI. Sebagai realisasinya dilakukan penataan Instrumen HaKI Nasional<br />

dengan memperbaharui Undang-Undang Haki yang telah ada yaitu Undang-Undang Paten, Undang-Undang<br />

Merek, Undang-Undang Hak Cipta, dan membuat Undang-undang baru tentang Desain Industri, Rahasia<br />

Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Dengan penataan HaKI Nasional tersebut maka Indonesia<br />

sebagai anggota WTO telah memenuhi ketentuan minimal yang disepakati dalam perjanjian TRIP’s Manfaat<br />

yang akan dapat diraih dengan penataan Sistem HaKI ini antara lain akan terbukanya peluang pasar<br />

internasional yang lebih luas dan tersedianya mekanisme perlindungan multilateral yang lebih baik.<br />

Kata kunci : Sistem HaKI, Industri dan Perdagangan<br />

I. PENDAHULUAN<br />

HaKI merupakan salah satu sarana perlindungan<br />

hukum dalam perdagangan bebas dan setiap negara<br />

wajib menata ketentuan perundang-undangannya<br />

yang berkaitan dengan Paten, Merek dan Hak Cipta<br />

sesuai dengan yang tertuang dalam perjanjian TRIPs<br />

(Trade Related Aspecs of Intelektual Property<br />

Rights) bulan September 1994 yang merupakan<br />

rangkaian dari perjanjian WTO (Organisasi<br />

Perdagangan Dunia). Pada mulanya WTO hanya<br />

bertujuan mengatur tentang perdagangan antar negara<br />

termasuk aturan tentang tarif bea masuk negara<br />

anggotanya, tetapi akhi-akhir ini masalah<br />

perlindungan HaKI mendapat perhatian serius dan<br />

dimasukkan dalam perjanjian WTO. Hal tersebut<br />

adalah karena Negara-negara Industri maju seperti<br />

Amerika Serikat, Jepang dan Negara-negara Eropa<br />

semakin menyadari bahwa perlindungan atas hak<br />

milik intelektual dari Negara-negara tersebut akan<br />

mendorong meningkatnya perkembangan <strong>industri</strong><br />

dan perdagangan. Sistem HaKI akan memberikan<br />

konstribusi yang besar bagi Negara dan merangsang<br />

pertumbuhan dan kegairahan dalam bidang Riset dan<br />

Teknologi. Bidang Pokok Sistem HaKI yang telah<br />

ada di Indonesia adalah Paten, Merek, Hak Cipta,<br />

Desain Industri, Rahasia Dagang, Desain Tata Letak<br />

Sirkuit Terpadu yang masing-masing telah memiliki<br />

UU sendiri. Pengaturan Hak atas kekayaan<br />

Intelektual ini sangat penting bukan hanya dari segi<br />

perlindungan hukum tetapi juga karena peranannya<br />

yang penting dalam pengembangan ilmu<br />

pengetahuan dan teknologi serta perdagangan.<br />

Kelancaran perdagangan erat kaitannya dengan<br />

produk <strong>industri</strong> dan produk <strong>industri</strong> itu sendiri<br />

berkaitan dengan teknologi.<br />

II. PERKEMBANGAN HAK ATAS<br />

KEKAYAAN INTELEKTUAL<br />

Hak atas Kekayaan Intelektual atau<br />

Intelektual Property Right dahulunya disebut dengan<br />

Hak Milik Intelektual yaitu suatu hak khusus yang<br />

diberikan oleh Negara untuk penciptaan dan<br />

penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan,<br />

teknologi, sastra dan seni yang termasuk dalam<br />

hukum kebendaan immaterial<br />

Menurut Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya<br />

(2003) Hukum kebendaan Immaterial dibagi ke<br />

dalam :<br />

a. Rahasia Dagang (Undang-undang No.30<br />

Tahun 2000)<br />

b. Desain Industri (Undang-undang No.31<br />

Tahun 2000)<br />

c. Desain Tata Letak Pabrik (Undang-undang<br />

No.32 Tahun 2000)<br />

d. Paten (Undang-undang No.14 Tahun 2001)<br />

e. Merek Dagang dan Merek Jasa, Nama<br />

Dagang, Industri dan Asal Geografis<br />

(Undang-undang No.15 Tahun 2001<br />

f. Hal Cipta dan yang berkaitan dengan Hak<br />

Cipta (Undang-undang No.19 Tahun 2002)<br />

34


Peranan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dalam Mendorong Perkembangan Industri dan Perdagangan<br />

Syahril Effendy Pasaribu<br />

Pemilikan dalam hal ini bukan ditujukan terhadap<br />

benda yang dihasilkan dari kegiatan penemuan dan<br />

penciptaan tersebut tetapi terhadap kemampuan<br />

intelektual manusia yang menemukan atau<br />

menciptakan barang tersebut.<br />

Sebelum disatukan dalam Hak Milik<br />

Intelektual, hak yang tergabung dalam Hak Milik<br />

Intelektual ini terdiri dari Hak Milik Per<strong>industri</strong>an<br />

yang meliputi Paten dan Merek serta Desain <strong>industri</strong><br />

yang berkaitan dengan Teknologi dan Hak cipta yang<br />

berkaitan dengan ilmu pengetahuan, Sastra dan Seni.<br />

Pada tahun 1883 di Paris, Prancis di<br />

sepakati Konvensi Paris (Uni Paris) tentang Hak<br />

Milik Per<strong>industri</strong>an yang kemudian diikuti dengan<br />

pelaksanaan konvensi Brussel, Washington,<br />

Denhaag, London, Lisabon dan Stochholm. Semua<br />

konvensi tersebut menyangkut tentang pengaturan<br />

Hak Milik Per<strong>industri</strong>an.<br />

Konvensi tentang hak cipta diadakan pada<br />

tahun 1880 di Berne Swiss yang disebut dengan<br />

Konvensi Berne, yang selanjutnya diadakan lagi<br />

konvensi di Berlin, Roma,.dan Stockholm.<br />

Pada tahun enam puluhan muncullah<br />

keinginan negara-negara di dunia untuk membentuk<br />

suatu organisasi yang menangani masalah hak milik<br />

intelektual yaitu gabungan dari Hak milik<br />

Per<strong>industri</strong>an dan Hak Cipta yang dimulai dengan<br />

berdirinya BIRPI yang menangani masalah Hak<br />

Milik Per<strong>industri</strong>an dan Hak Cipta. Melalui konvensi<br />

Stochholm tahun 1967 disepakati suatu konvensi<br />

khusus tentang terbentuknya organisasi Dunia untuk<br />

Hak Milik Intelektual yang dikenal dengan WIPO<br />

(World Intelectual Property Organisation).<br />

WIPO sebagai organisasi dunia menjadi<br />

bagian dari PBB sebagi pengelola tunggal Konvensi<br />

tentang Hak Milik Intelektual yaitu Konvensi tentang<br />

Hak Milik Per<strong>industri</strong>an dan Konvensi tentang Hak<br />

Cipta.<br />

Tujuan didirikannya WIPO adalah :<br />

1. Mengembangkan perlindungan hukum bagi<br />

Hak Milik Intelektual diseluruh dunia melalui<br />

kerja sama antara negara-negara peserta.<br />

2. Menjalin kerjasama dalam bidang Tata Usaha<br />

Konvensi–Konvensi internasional dan<br />

perjanjian-perjanjian internasional mengenai<br />

perlindungan hukum bagi Hak Milik<br />

Intelektual.<br />

Kelahiran Konvensi-Konvensi tentang Hak<br />

Milik Intelektual ini adalah sebagai realisasi terhadap<br />

perlunya suatu peraturan yang bersifat global<br />

dibidang hak milik intelektual seiring dengan<br />

perkembangan pesat <strong>industri</strong> dan perdagangan.<br />

Pada akhir-akhir ini permasalahan hak milik<br />

intelektual semakin komplek karena<br />

permasalahannya sudah menyangkut kepentingan<br />

ekonomi dan politik. Hak ini terlihat jelas dari upaya<br />

negara ekonomi maju seperti Amerika Serikat dan<br />

negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropah yang<br />

meminta agar negara-negara berkembang<br />

mengaktifkan perlindungan Hak Milik Intelektual di<br />

negara masing-masing sebagai konsesi timbal balik<br />

dalam perbuatan perjanjian ekonomi.<br />

Menghadapi masalah ini negara-negara<br />

berkembang membalas bahwa untuk memenuhi hal<br />

tersebut diminta kepada AS dan MEE supaya<br />

membuka pasarnya untuk tekstil dan hasil pertanian<br />

negara berkembang.<br />

Karena kondisi yang kurang baik dan semakin<br />

meruncing maka pada bulan September 1994 di<br />

Swiss dibuat perjanjian TRIPS yang isinya antara<br />

lain :<br />

1. Meningkatkan perlindungan terhadap hak atas<br />

Kekayaan Intelektual dan produk-produk yang<br />

diperdagangkan<br />

2. Menjamin prosedur pelaksanaan Hak atas<br />

Kekayaan Intelektual yang tidak menghambat<br />

kegiatan perdagangan.<br />

3. Merumuskan aturan serta disiplin mengenai<br />

pelaksanaan perlindungan terhadap Hak<br />

Kekayaan Intelektual.<br />

4. Mengembangkan prinsip, aturan dan<br />

mekanisme kerja sama Internasional untuk<br />

menangani perdagangan hasil pemalsuan atau<br />

bajakan atas Hak atas Kekayaan Intelektual<br />

dengan tetap memperhatikan berbagai upaya<br />

yang telah dilakukan oleh WIPO.<br />

Muhammad Djumhana dan R.Dubaedillah,<br />

(1997)<br />

Dengan demikian maka pada era globalisasi<br />

ini perlindungan atas Hak atas Kekayaan Intelektual<br />

akan selalu menjadi salah satu topik penting dalam<br />

perjanjian-perjanjian ekonomi dunia.<br />

III. SISTEM HaKI DI INDONESIA<br />

Sistem Hak Kekayaan Intelektual dimulai di<br />

Indonesia dari sejak penjajahan Belanda yaitu<br />

dengan dikeluarkannya keputusan Raja Belanda yaitu<br />

Reglemen Milik Per<strong>industri</strong>an Tahun 1912 Stb 1912<br />

No.545 Juntco Stb 1913 No.214 yang juga<br />

diberlakukan di Hindia Belanda yang mengatur<br />

Merek Dagang.<br />

Demikian juga Hak Paten mulai<br />

dilaksanakan di Hindia Belanda pada tanggal 1 Juli<br />

1912 dengan dikeluarkannya Oktroiwet 1910 tentang<br />

Hak Oktroi (Paten).<br />

Demikian pula ketentuan mengenai hak cipta dimulai<br />

dengan dikeluarkannya Auteursweet 1912 yaitu Hak<br />

Pengarang.<br />

35


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Dengan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus<br />

1945 maka Undang-Undang Merek Dagang dan<br />

Undang-Undang Hak Cipta, berdasarkan pasal II<br />

aturan peralihan UUD 1945 tetap berlaku sedang<br />

Oktroiwet 1910 tidak berlaku lagi karena<br />

kewenangan pemberian Hak Paten menurut<br />

Oktroiwet tersebut berada ditangan Kantor Oktroiwet<br />

Belanda di Nederland sehingga bertentangan dengan<br />

UUD 1945 dan jiwa Proklamasi.<br />

Untuk mengisi kekosongan hukum di<br />

bidang Hak Paten pada tahun 1953 Pemerintah RI<br />

melalui pengumuman Menteri Kehakiman RI<br />

No.j.S.5/41/4/ tanggal 12 Agustus 1953 dan<br />

No.J.6.I/2/17 tanggal 29 Oktober 1953 menerbitkan<br />

ketentuan tentang penyelenggaraan permintaan Paten<br />

di Indonesia menunggu terbitnya Undang-Undang<br />

Paten Nasional.<br />

Sejak tahun 1961 Indonesia telah memiliki<br />

Undang-Undang Merek Nasional dengan<br />

diundangkannya Undang-Undang No.21 Tahun 1961<br />

tentang Merek Perusahaan dan Perniagaan yang<br />

dikenal sebagai Undang-Undang Nasional pertama<br />

dibidang HaKI.<br />

Kelahiran Undang-Undang ini sehubungan<br />

dengan semakin banyaknya beredar barang-barang<br />

yang mempunyai merek tiruan dipasar sehingga<br />

membingungkan masyarakat umum.<br />

Undang-undang ini menganut <strong>sistem</strong><br />

Deklaratif yaitu pemilikan merek adalah pemakai<br />

pertama merek sedang pendaftaran fungsinya hanya<br />

apabila ada klaim dari pihak ketiga atas merek<br />

tersebut.<br />

Sehubungan dengan semakin<br />

berkembangnya norma tata niaga dan semakin<br />

majunya komunikasi dan pola perdagangan antar<br />

bangsa serta semakin maraknya permintaan merek<br />

maka pemerintah merevisi Undang-Undang No.21<br />

Tahun 1961 dengan Undang-Undang No.19 Tahun<br />

1992.<br />

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang No.21<br />

Tahun 1961 disempurnakan dan dirobah termasuk<br />

<strong>sistem</strong> deklaratif dirobah menjadi Sistem Konstitutif<br />

yang lebih menjamin kepemilikan Merek yaitu sejak<br />

pendaftaran merek.<br />

Perkembagan teknologi informasi dan<br />

transportasi ternyata telah menjadikan kegiatan di<br />

sektor perdagangan semakin meningkat dan bahkan<br />

telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal<br />

bersama. Dengan demikian maka era globalisasi<br />

hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim<br />

persaingan usaha yang sehat maka disini Merek<br />

memegang peranan yang sangat penting sehingga<br />

diperlukan <strong>sistem</strong> pengaturan yang lebih memadai.<br />

tentang Hak cipta menggantikan Auteursweet 1912<br />

tentang Hak Pengarang.<br />

Setelah berjalan 5 tahun Undang-Undang No.6<br />

Tahun 1982 direvisi dengan Undang-Undang Nomor<br />

7 Tahun 1987 tentang perobahan atas Undang-<br />

Undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Untuk<br />

melengkapi peraturan perundang-undangan di bidang<br />

Hak Milik Intelektual, pada tahun 1989 pemerintah<br />

RI mengundangkan pula Undang-Undang No.6<br />

Tahun 1989 tentang Paten yang dimaksudkan untuk<br />

mewujudkan iklim dan perangkat perlindungan<br />

hukum di bidang penemuan teknologi . Sebenarnya<br />

dengan ketiga undang-undang tersebut kita telah<br />

memiliki instrument pokok HaKI dalam bidang<br />

Paten, Mererk dan Hak Cipta.<br />

Untuk memenuhi kesepakatan dalam<br />

perjanjian WTO dan Perjanjian TRIPS Tahun 1994<br />

Indonesia harus menata kembali semua perundangundangan<br />

HaKI yang ada di Indonesia untuk<br />

penyesuaian dengan keputusan-keputusan Konvensi<br />

HaKI. Untuk merealisasi hal ini pada tahun 1997<br />

Pemerintah RI dengan DPR merevisi semua Undang-<br />

Undang HaKI di Indonesia masing-masing Undang-<br />

Undang No. 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta,<br />

Undang-Undang No.13 Tahun 1997 tentang Paten<br />

dan Undang-Undang No.14 Tahun 1997 tentang<br />

Merek.<br />

Untuk melengkapi Perundang-undangan bidang<br />

HaKI Pemerintah telah mengundangkan 3 (tiga) buah<br />

undang-undang HaKI sebagai penambahan<br />

perundang-undangan yang telah ada yaitu :<br />

1. Undang-undang No. 30 tahun 2000 tentang<br />

Rahasia Dagang<br />

2. Undang-undang No. 31 tahun 2000 tentang<br />

Desain Industri<br />

3. Undang-undang No. 32 tahun 2000 tentang<br />

Tata Letak Sirkuit Terpadu<br />

Kemudian sejalan dengan ratifikasi Indonesia<br />

terhadap Konvensi-Konvensi Internasional dan<br />

kondisi perkembangan teknologi, <strong>industri</strong> dan<br />

perdagangan yang semakin pesat maka pemerintah<br />

RI menata kembali Undang-undang HaKI yang ada<br />

yaitu masing-masing dengan undang-undang:<br />

1. Paten dengan Undang-undang No. 14 tahun<br />

2001<br />

2. Merek dengan Undang-undang No. 15 tahun<br />

2001<br />

3. Undang-undang No. 19 tahun 2002 tentang<br />

Hak Cipta<br />

Undang-Undang diatas merupakan perubahan<br />

dari Undang-Undang yang lama, namun untuk<br />

memudahkan penggunaannya oleh masyarakat<br />

Undang-Undang tersebut disusun secara menyeluruh<br />

dalam satu naskah (single teks)<br />

Dalam bidang Hak Cipta , pada tahun 1982<br />

diundangkan Undang-Undang No.6 tahun 1982<br />

36


Peranan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dalam Mendorong Perkembangan Industri dan Perdagangan<br />

Syahril Effendy Pasaribu<br />

IV. PERANAN HaKI DALAM MENDORONG<br />

PERKEMBANGAN INDUSTRI DAN<br />

PERDAGANGAN.<br />

Teknologi adalah ilmu pengetahuan yang<br />

diterapkan dalam proses Industri dan lahir dari<br />

kegiatan penelitian dan pengembangan Kegiatan<br />

penelitian tersebut bisa berlangsung dalam bentuk<br />

sederhana dan waktu yang tidak lama dan bisa dalam<br />

bentuk dan cara yang lebih rumit dan memakan<br />

waktu yang lama.<br />

Teknologi yang dihasilkan dari kegiatan<br />

tersebut beraneka ragam sesuai jenis dan<br />

kemanfaatanya.<br />

Kegiatan penelitian yang berhasil menemukan<br />

sesuatu yang berguna bagi masyarakat tentunya<br />

memakai biaya dan melibatkan tenaga, pikiran dan<br />

waktu.<br />

Walaupun penemuan itu diperoleh dengan<br />

memakan waktu, tenaga dan biaya yang besar namun<br />

teknologi tersebut hanya akan memiliki nilai apabila<br />

bisa diproses dalam Industri Berkat <strong>sistem</strong> HaKI,<br />

maka kita sekarang ini bisa menulis dengan pena<br />

tidak dengan bulu ayam. Sistem HaKI (Paten<br />

Sederhana) memungkinkan kita memilki pena<br />

dengan tinta yang melekat pada batang pulpen dan<br />

memiliki berbagai jenis pulpen berdesain manis dan<br />

bisa ditaroh di kantong dan kita bisa membedakan<br />

mana pulpen yang berkualitas. HaKI ada pada<br />

barang-barang keseharian yang lain seperti Sterika,<br />

Mesin jahit, Kulkas, Kipas Angin dan lain-lain.<br />

Bayangkan kenikmatan yang hilang dari para<br />

konsumen kalau tidak ada <strong>sistem</strong> HaKI . Secara<br />

makro matarantai HaKI seperti ini menggerakkan<br />

perekonomian: pabrik, buruh, pajak, devisa,<br />

penerimaan negara dan kegiatan ekonomi lainnya<br />

sekilas A.Zain Purba (2000).<br />

Teknologi pada dasarnya lahir dari karsa<br />

intelektual sebagai karya intelektual manusia karena<br />

kelahirannya telah melibatkan tenaga, waktu dan<br />

biaya (berapapun besarnya), maka teknologi<br />

memiliki nilai atau sesuatu yang bernilai ekonomi<br />

yang dapat menjadi objek harta kekayaan (property).<br />

Dalam ilmu hukum yang secara luas diakui oleh<br />

bangsa-bangsa lain, HaKI atas daya pikir intelektual<br />

tersebut diakui sebagai hak milik yang sifatnya tidak<br />

berwujud. Hak seperti itulah yang dikenal dengan<br />

Paten . Saidin (1997).<br />

Pembangunan di bidang <strong>industri</strong> yang<br />

merupakan media untuk pembangunan ekonomi,<br />

secara terus menerus dicari sumber<br />

pengembangannya, oleh karena itu perlindungan<br />

hukum bagi penemuan (invention) paten adalah<br />

mutlak demi merangsang kereativitas penemuan<br />

sekaligus menciptakan kepastian hukum. Saidin<br />

(1997) .<br />

Hukum Merek itu terbatas pada pengunaan atau<br />

pemakaian merek pada produk-produk yang<br />

dipasarkan dan mengandung nilai ekonomi. Ada<br />

sesuatu benda tak berwujud yang terdapat pada hak<br />

Merek itu, jadi bukan seperti apa yang terjelma<br />

dalam setiap produk yang terlihat atau terjelma itu<br />

adalah perwujudan dari hak merek itu sendiri Saidin.<br />

(1997).<br />

Perlindungan Undang-Undang terhadap hak<br />

cipta adalah untuk menstimulir aktifitas para pada<br />

pencipta agar terus mencipta dan lebih kreatif.<br />

Demikian pula Undang-Undang Paten memberikan<br />

sesuatu hak khusus kepada inventor bagi temuannya,<br />

baik temuan baru maupun perbaikan atas temuan<br />

yang sudah ada, cara kerja baru atau perbaikan cara<br />

kerja baru dibidang teknologi yang dapat diterapkan<br />

dalam bidang <strong>industri</strong>.<br />

Pada temuan ini unsur <strong>industri</strong> penting<br />

karena temuan harus dapat diterapkan dalam bidang<br />

<strong>industri</strong> apakah itu <strong>industri</strong> otomotof, <strong>industri</strong> tekstil,<br />

<strong>industri</strong> parawisata, <strong>industri</strong> pertanian, <strong>industri</strong><br />

makanan dan minum dll.<br />

Untuk memperdagangkan produk-produk<br />

<strong>industri</strong> dibutuhkan merek sebagai tanda untuk<br />

mengenalkan barang dipasaran dan untuk<br />

membedakan barang produk tersebut dengan barang<br />

jenis yang sama yang diproduksi pihak lain berupa<br />

tanda, gambar, nama, kata, huruf, angka, susunan<br />

warna atau kombinasinya yang diatur dalam Undang-<br />

Undang Merek.<br />

Maju pesatnya kemajuan teknologi<br />

khususnya dibidang teknologi <strong>industri</strong>, <strong>industri</strong><br />

telekomunikasi dan transportasi telah mendorong<br />

globalisasi usaha dan perdagangan bagi produkproduk<br />

HaKI keluar batas-batas negara, sehingga<br />

perlindungan dibidang HaKI sendiri dibutuhkan<br />

terutama bagi negara yang teknologinya sudah sangat<br />

maju.<br />

Dengan memiliki sistim HaKI Indonesia<br />

akan dapat memperkuat kemampuannya menghadapi<br />

persaingan dagang global dan dapat meningkatkan<br />

perkembangan teknologinya.<br />

Sementara itu pemerintah Indonesia terus<br />

berupaya mendorong ekspor komoditi non migas ke<br />

luar negeri untuk memperoleh devisa mengingat<br />

dimasa mendatang sumber energi yang selama ini<br />

menjadi andalan akan semakin terbatas, sehingga<br />

perlu mendorong <strong>industri</strong> kecil dan menengah untuk<br />

meningkatkan kreativitas dan inovasinya untuk<br />

menghasilkan produk-produk HaKI yang bisa<br />

diandalkan.<br />

Segi teknis dan ekonomis sutau produk<br />

<strong>industri</strong> akan dipengaruhi dan ditentukan nilainya di<br />

pasaran dan pemanfaatan teknologi akan memperkuat<br />

daya saing produk <strong>industri</strong>.<br />

37


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Oleh sebab itu diperlukan langkah untuk<br />

menciptakan iklim dan suasana yang baik dan<br />

mampu mendorong gairah dan semangat penemuan<br />

dalam bidang Teknologi, ilmu pengetahuan sastra<br />

dan seni.<br />

Dengan terciptanya iklim dan suasana yang<br />

baik itu akan memungkinkan bangsa Indonesia untuk<br />

mengetahui, dan meningkatkan kemampuan dalam<br />

menguasai teknologi.<br />

Salah satu langkah penting dalam<br />

mewujudkan iklim atau suasana tersebut adalah<br />

pembentukan <strong>sistem</strong> perlindungan hukum yang<br />

memadai bagi hak atas kekayaan.<br />

Dengan <strong>sistem</strong> hukum yang memberikan<br />

perlindungan tersebut maka para inventor dan<br />

pencipta dalam bidang HaKI akan memperoleh<br />

kepastian hukum berupa perlindungan atas penemuan<br />

dan ciptaannya tersebut sehingga mereka akan<br />

semangat dan bergairah dalam melakukan penelitian<br />

yang pada gilirannya akan memperkuat iklim yang<br />

baik dalam rangka penyelenggaraan kegiatan yang<br />

melahirkan teknologi.<br />

Dalam rangka perlindungan hukum inilah<br />

pemerintah terus membenahi Hak atas Kekayaan<br />

intelektual yang ada di Indonesia.<br />

Perlindungan hukum yang diberikan oleh<br />

Negara kepada pencipta dan inventor melalui<br />

kemampuan intelektualnya dimaksudkan untuk<br />

kemajuan Industri dan perdagangan dan juga<br />

dimaksudkan untuk mendorong kegiatan penemuan<br />

dan pengembangan teknologi dikalangan bangsa kita.<br />

Perkembangan teknologi informasi dan<br />

transportasi telah menjadikan kegiatan di sektor<br />

perdagangan meningkat secara pesat dan telah<br />

menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama.<br />

Era perdagangan global ini hanya dapat<br />

dipertahankan jika terdapat iklim persaingan usaha<br />

yang sehat. Disinilah HaKI memegang peranan yang<br />

sangat penting sebagai <strong>sistem</strong> hukum yang<br />

memberikan perlindungan yang memadai bagi<br />

pemilik hak tersebut.<br />

Pengaruh perkembangan teknologi yang<br />

semakin besar terhadap kehidupan sehari-hari yang<br />

terlihat dari semakin pesatnya bidang teknologi<br />

informasi, kimia , mekanik dll yang kemudian<br />

membawa pengaruh semakin tingginya kesadaran<br />

masyarakat untuk meningkatkan penggunaan<br />

teknologi sederhana<br />

Perlindungan Paten akan merangsang<br />

pengembangan teknologi dalam masyarakat sehingga<br />

membawa arti dalam perkembangan ekonomi<br />

nasional.<br />

Indonesia memiliki kekayaan lain berupa<br />

keanekaragaman seni dan budaya, keanekaan etnik,<br />

suku, bangsa dan agama yang merupakan potensi<br />

yang cukup penting dan menjadi salah satu sumber<br />

karya intelektual yang perlu dilindungi agar<br />

kekayaan yang bersumber dari kekayaaan intlektual<br />

tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendorong<br />

peningkatan perdagangan dan <strong>industri</strong> dengan<br />

melibatkan penciptanya sehingga akan menigkatkan<br />

kesejahteraan tidak hanya penciptanya tetapi juga<br />

bagi bangsa dan Negara.<br />

Untuk membangun iklim persaingan usaha<br />

yang sehat dalam rangka pelaksanaan pembangunann<br />

maka diperlukan perlindungan hukum terhadap hak<br />

kekayaan intelektual.<br />

Hal ini mengingat bahwa <strong>sistem</strong> HaKI yang<br />

kuat akan memperkuat kepercayaan investor asing<br />

sehingga arus investasi ke Indonesia akan mengalir<br />

dan dengan kuatnya investasi akan mendorong<br />

perkembangan bidang <strong>industri</strong> dan perdagangan<br />

karena HaKI dan investasi merupakan dua sejoli<br />

yang tidak mungkin dipisahkan<br />

Perkembangan pendaftaran HaKI (Paten, Merek dan<br />

Hak Cipta di Indonesia) tergambar pada Tabel-Tabel<br />

lampiran<br />

V. KESIMPULAN<br />

1. Sistem HaKI memiliki peranan vital dalam<br />

perkembangan teknologi setiap Negara,<br />

maka untuk itu dibutuhkan perlindungan<br />

hukum bagi penemuan-penemuan dan hasil<br />

karya cipta, sehingga para investor dan<br />

pencipta semakin bergairah dalam<br />

berkreativitas.<br />

2. Sistem HaKI dibutuhkan oleh setiap Negara,<br />

terutama Negara-negara berkembang sangat<br />

membutuhkan teknologi untuk<br />

pembangunan ekonominya sedang negaranegara<br />

maju berkepentingan untuk<br />

memperluas pasar dari teknologi atau hasilhasil<br />

<strong>industri</strong>nya.<br />

3. Melalui <strong>sistem</strong> HaKI perlindungan hukum<br />

bagi penemu dan karya cipta akan<br />

memperoleh kepastian hukum sehingga<br />

para inventor dan pencipta akan<br />

bersemangat melakukan penelitian dan<br />

menghasilkan kreasi baru yang bermanfaat<br />

bagi pembangunan bangsa dan negara.<br />

4. Meningkatnya sektor perdagangan sangat<br />

erat kaitannya dengan produk <strong>industri</strong> dan<br />

produk <strong>industri</strong> berkaitan erat dengan<br />

teknologi sedang teknologi berkaitan erat<br />

pula dengan kemampuan intelektual<br />

manusia yang harus dilindungi untuk itu<br />

perlindungan hukum HaKI sangat<br />

dibutuhkan peranannya.<br />

38


Peranan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dalam Mendorong Perkembangan Industri dan Perdagangan<br />

Syahril Effendy Pasaribu<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. A.Zain Purba, 2000 Penegakan Hukum di<br />

Bidang HaKI, Ditjen HaKI Departemen Hukum<br />

dan HAM, Jakarta<br />

2. Kartini Mulyadi, Gunawan Wijaya, 2003,<br />

PT.Raja Grafindo, Jakarta<br />

3. Muhamad Djumhana, R.Djubaedillah, 1997, Hak<br />

Milik Intelektual, Sejarah Teori dan Prakteknya<br />

di Indonesia , PT.Citra Aditya Bakti Bandung<br />

4. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan<br />

Intelektual, 1996 PT. Raja Grafindo Jakarta .<br />

5. Kartini Mulyadi, dkk, 2003 Kebendaan pada<br />

Umumnya, Predana Media, Jakarta<br />

6. Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang<br />

Paten, Penerbit Citra Umbara Bandung 2001.<br />

7. Undang-undang No. 15 tentang 2001 tentang<br />

Merek, Penerbit Citra Umbara Bandung 2000<br />

8. Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak<br />

Cipta Penerbit, Citra Umbara Bandung 2002<br />

9. Undang-undang No. 30 tentang 2000 tentang<br />

Rahasia Dagang<br />

10. Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang<br />

Desain Industri<br />

11. Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Tata<br />

Letak Sirkuit Terpadu<br />

39


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

LAMPIRAN<br />

Tabel : 1 Data Paten<br />

Jumlah permohonan Paten lokal, asing, PCT berdasarkan jenis paten Tahun 1991 - 2000<br />

Tahun<br />

Paten Paten Sederhana Jumlah<br />

Lokal Asing PCT Jumlah Lokal Asing Jumlah Total<br />

1991 34 1280 1314 19 3 22 1336<br />

1992 67 3905 3972 12 43 55 4027<br />

1993 38 2031 2069 28 43 71 2140<br />

1994 29 2305 2334 33 60 93 2427<br />

1995 61 2813 2874 61 71 132 3006<br />

1996 40 3957 3997 59 76 135 4132<br />

1997 79 3939 4018 80 80 160 4178<br />

1998 93 1608 145 1846 109 32 141 1987<br />

1999 152 1051 1733 2936 168 19 187 3123<br />

2000 157 983 2750 3890 213 38 251 4141<br />

Total 740 23872 4628 29250 782 465 1247 30497<br />

Sumber<br />

Data<br />

Ditjen HaKI Departemen Hukum dan Ham RI<br />

Tabel 2 : Data Merek<br />

Jumlah permohonan Merek yang diterima, didaftar, ditolak dan ditarik kembali pada<br />

Tahun 1990 - Tahun 2001<br />

Tahun Diterima Didaftar Ditolak Ditarik kembali<br />

1990 19276 8096 2111<br />

1991 1149 278 109<br />

1992 15284 15312 7778<br />

1993 42026 7848 1167<br />

1994 23803 16469 1878<br />

1995 24643 23943 2747 211<br />

1996 28189 22249 2675 517<br />

1997 28339 34533 1507 20<br />

1998 23160 8897 3947 1060<br />

1999 23335 15002 2520 149<br />

2000 31675 22098 923 180<br />

Sumber Data<br />

Ditjen HaKI Departemen Hukum dan Ham RI<br />

40


Peranan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dalam Mendorong Perkembangan Industri dan Perdagangan<br />

Syahril Effendy Pasaribu<br />

Tabel 3 : Data Hak Cipta<br />

Jumlah Permohonan Hak Cipta yang diterima, di daftar dan ditolak Tahun 1991 - 2000<br />

Tahun Diterima Didaftar Ditolak<br />

1991 2835 1584 1198<br />

1992 2980 1988 959<br />

1993 3719 2447 1062<br />

1994 3947 2509 1154<br />

1995 4557 3248 1315<br />

1996 4940 3064 1185<br />

1997 2185 637 228<br />

1998 606 317 242<br />

1999 698 692 138<br />

2000 1049 618 5<br />

Sumber Data<br />

Ditjen HaKI Departemen Hukum dan Ham RI<br />

Diterima Didaftar Ditolak<br />

Tahun Lokal Asing Lokal Asing Lokal Asing<br />

1991 2785 50 1551 33 1182 16<br />

1992 2887 93 1919 69 939 20<br />

1993 3591 128 2356 121 1055 7<br />

1994 3738 209 2366 143 1093 61<br />

1995 4373 184 3134 114 1245 70<br />

1996 4646 294 2869 195 1147 38<br />

1997 2065 120 595 42 223 5<br />

1998 580 26 311 6 222 20<br />

1999 684 14 678 14 138<br />

2000 1026 23 608 10 5<br />

Sumber Data<br />

Ditjen HaKI Departemen Hukum dan Ham RI<br />

41


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Tabel IV: Data PNBP dari Sektor HaKI<br />

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)<br />

melalui Pendaftaran HaKI<br />

Tahun Anggaran Rencana Realisasi<br />

1994/1995 6.512.200.000,00 10.595.334.970,00<br />

1995/1996 7.012.500.000,00 11.417.629.932,00<br />

1996/1997 8.712.300.000,00 12.550.905.325,00<br />

1997/1998 10.012.300.000,00 13.017.814.669,00<br />

1998/1999 11.013.500.000,00 11.889.654.675,00<br />

1999/2000 12.841.000.000,00 22.419.249.115,00<br />

2000 15.081.600.000,00 25.375.108.401,00<br />

Sumber Data<br />

Ditjen HaKI Departemen Hukum dan Ham RI<br />

42


Analisis Waktu Tempuh Angkutan Perkotaan Terminal Amplas-Terminal Sambu di Kota Medan<br />

Faizal Ezeddin<br />

ANALISIS WAKTU TEMPUH ANGKUTAN PERKOTAAN<br />

TERMINAL AMPLAS – TERMINAL SAMBU DI KOTA MEDAN<br />

Faizal Ezeddin<br />

Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik USU<br />

Abstrak: Analisis waktu tempuh angkutan perkotaan pada rule Terminal Amplas-Terminal Sambu Medan<br />

dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran kecepatan perjalanan, kecepatan gerak dan tundaan<br />

sepanjang rule yang dilalui. Dari analisis ditemukan data bahwa waktu tempuh pada rute tersebut yang terdiri<br />

dari kecepatan perjalanan rata-rata dari terminal Amplas ke terminal Sambu adalah 18,06 km/jam sedangkan<br />

dari terminal Sambu ke Amplas adalah 17,76 km/jam. Angka ini masih berada dibawah angka yang ditetapkan<br />

dalam kecepatan perjalanan minimum didaerah perkotaan yaitu 29 km/jam. Beberapa penyebab rendahnya<br />

kecepatan perjalanan angkutan perkotaan mikrobis pada rule ini adalah naik dan turunnya penumpang<br />

disembarang tempat, banyaknya jumlah kendaraan yang melintasi ruas jalan sehingga volume lalu lintas<br />

melebihi kapasitas jalan.<br />

Kata –kata kunci: Kecepatan Perjalanan, Volume Lalu Lintas, Tundaan, Kecepatan, Tingkat Pelayanan<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Persoalan yang paling sulit sekarang dihadapi<br />

perencana, pengatur Jalan Raya dan Transportasi<br />

adalah bagaimana menetapkan peranan mobil,<br />

angkutan perkotaan pada jalan raya. Sebagai salah<br />

satu kota besar di Indonesia, Medan memiliki rute<br />

arus kendaraan angkutan perkotaan yang sangat<br />

banyak dalam rangka memenuhi kebutuhan<br />

masyarakat.<br />

Perkembangan rute yang ada sekaligus didukung<br />

oleh sarana dan prasarana angkutan, membuat<br />

banyak rule yang ditempuh dengan berbagai<br />

alternatif lintasan sekaligus dalam memenuhi<br />

permintaan jasa angkutan umum di dalam kota<br />

Medan.<br />

Akibat banyaknya rute angkutan tersebut dibutuhkan<br />

pula jumlah kendaraan tertentu yang secara langsung<br />

meningkatkan arus lalu lintas di jalan raya<br />

Untuk kelancaran arus lalu lintas (Traffic Light)<br />

pemerintah telah memasang (Traff Light) diberbagai<br />

persimpangan jalan di kota Medan. Demikian juga<br />

pada rute yang dilalui oleh angkutan perkotaan dari<br />

Terminal Amplas ke Terminal Sambu dan sebaliknya<br />

antara lain :<br />

1. Teminal Amplas – Terminal Sambu<br />

a. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Perbatasan<br />

b. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Baru<br />

c. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Sakti Lubis/<br />

Jl. Seksama<br />

PersimpanganJl. SM. Raja – JL. HM Joni<br />

d. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Puri<br />

e. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Turi<br />

f. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Halat<br />

g. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Mesjid Raya<br />

h. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Japaris<br />

i. Persimpangan Jl. Sutomo – Jl. Jl. Asia<br />

j. Persimpangan Jl. Sutomo – Jl. Merbabu<br />

k. Persimpangan Jl. Sutomo – MT. Haryiono<br />

2. Terminal Sambu – Terminal Ampals<br />

a. Persimpangan Jl. MT. Haryono – Jl. Irian Barat<br />

b. Persimpangan Jl. Pandu – Jl. SM Raja/Jl. Cerebon<br />

c. Persimpangan Jl. SM Raja – Japaris<br />

d. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Mesjid Raya<br />

e. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. Halat<br />

f. Persimpangan Jl. SM Raja – Jl. HM. Joni<br />

g. Persimpangan SM Raja – Jl. Turi / Pelangi<br />

h. Persimpangan SM Raja – Jl Sakti Lubis/ Jl.<br />

Seksama<br />

i. Persimpangan SM Raja – Jl. Baru<br />

j. Persimpangan SM Raja – Jl. Perbatasan<br />

Keberadaan Traffic Light pada jalan-jalan<br />

sepanjang rute tersebut yang arus lalu lintasnya pada<br />

umumnya padat sebenarnya sangat membantu<br />

kecepatan angkutan perkotaan pada rute tersebut.<br />

Untuk mengkaji permasalahan lalu lintas<br />

perkotaan tersebut, maka kami menyusun penelitian<br />

ini dengan judul Analisis waktu tempuh Angkutan<br />

Perkotaan Terminal Amplas – Terminal Sambu di<br />

Kota Medan.<br />

2. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN<br />

Maksud dalam penelitian ini adalah untuk:<br />

1. Mendapatkan gambaran kecepatan perjalanan<br />

(travel speed)<br />

2. Mendapatkan gambaran kece-patan gerak (tunning<br />

speed).<br />

3. Mendapatkan gambaran tundaan (delay).<br />

4. Mendapatkan gambaran waktu perjalanan (time<br />

43


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

travel).<br />

Tujuan penelitian ini adalah agar tercapainya<br />

tuntutan dan kebutuhan masyarakat dalam melakukan<br />

perjalanannya yaitu: tertib, teratur, lancar, aman,<br />

nyaman, cepat dan efisien (Morlock, 1985).<br />

3. PERMASALAHAN<br />

Suatu angkutan umum agar mampu memberikan<br />

pelayanan yang aman, lancar, nyaman atau<br />

memberikan kesan positif maka harus dioperasikan<br />

dengan sebaik-baiknya. Bahwa selama ini dapat<br />

dilihat bahwa dalam pelayanannya terutama dalam<br />

kecepatan perjalanannya angkutan umum yang<br />

melayani rute perjalanan dari terminal Amplas ke<br />

terminal Sambu menghadapi beberapa<br />

permasalahan, seperti :<br />

1. Volume<br />

2. Terlalu seringnya menaikkan dan menurunkan<br />

penumpang, dan itu dilakukan disembarang<br />

tempat.<br />

3. Menunggu penumpang terlalu lama di pinggir<br />

jalan<br />

4. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN<br />

Analisis kecepatan perjalanan angkutan kota di<br />

Kotamadya Medan mencakup lingkup pembahasan<br />

yang luas. Oleh karena itu penelitian ini dibatasi<br />

pembahasannya, yaitu:<br />

a Meneliti kecepatan perjalanan angkutan umum<br />

yang melintas rute terminal Amplas - terminal<br />

Sambu (pusat kota).<br />

b. Waktu penelitian dipilih pada jam-jam sibuk<br />

waktu pagi hari, jam 7.00 wib -8.00 wib, siang<br />

hari,jam13.00wib-14.00 wib dan sore hari, jam<br />

17.00 wib -18.00 wib.<br />

Dipilihnya rute terminal Amplas -terminal Sambu<br />

sebagai rute penelitian karena kedua terminal sangat<br />

potensial sebagai tujuan perjalanan (penarik<br />

perjalanan) dan melintasi pusat-pusat kegiatan dalam<br />

kota, yang akibatnya merupakan rute yang ramai<br />

kendaraan angkutan umum serta tata guna lahan<br />

sepanjang rute sangat beragam yang akan<br />

berpengaruh kepada arus lalu lintas.<br />

5. UKURAN ARUS LALU LINTAS<br />

Setiap bagian operasional dari lalu lintas nyatakan<br />

dengan tiga ukuran(Box, Paul C dan Oppenlader,<br />

Josseph C 1976), yaitu:<br />

- Kecepatan<br />

- Volume dan besar arus<br />

- Kerapatan<br />

- Tundaan<br />

- Tingkat pelayanan<br />

5.1 Kecepatan<br />

Kecepatan didefmisikan sebagai pergerakan<br />

rata-rata yang dinyatakan sebagai jarak persatuan<br />

waktu. Umumnya dalam kilometer per jam (km/jam).<br />

Distribusi kecepatan individu yang bermacammacam<br />

dalam arus lalu lintas hams diselidiki serta<br />

beberapa mulai diantaranya digunakan untuk<br />

mewakili keadaan(Hobbs, F.D 1979). Ada dua cara<br />

pendekatan untuk mengukur kecepatan, yaitu :<br />

1. Time mean speed, adalah rata-rata dari kecepatan<br />

kendaraan selama suatu jangka waktu pada suatu<br />

titik tertentu. Jadi time mean speed didasarkan<br />

pada kecepatan masing-masing kendaraan yang<br />

didistribusi dalam waktu.<br />

2. Space mean speed, adalah rata-rata dari kecepatan<br />

di berbagai tempat pada saat tertentu. Space mean<br />

speed pada kecepatan masing-masing kendaraan<br />

yang merupakan distribusi dari posisi.<br />

Berdasarkan waktu perjalanan kecepatan<br />

dibedakan atas dua kecepatan dengan cara<br />

pendekatan space mean speed, yaitu :<br />

1. Average running speed, didefmisikan sebagai<br />

kecepatan kendaraan dengan membagi panjang<br />

segmen (jalur) jalan dibagi dengan running time.<br />

Running time adalah waktu yang diperlukan<br />

kendaraan untuk menempuh potongan jalan selama<br />

bergerak dan tidak termasuk waktu berhenti.<br />

2. Average travel speed, didefmisikan sebagai<br />

kecepatan efektif kendaraan yang sedang dalam<br />

perjalanan antara dua tempat, dan merupakan jarak<br />

antara dua tempat (panjang suatu potongan jalan)<br />

dibagi dengan average travel time (waktu<br />

perjalanan rata-rata) kendaraan untuk menempuh<br />

potongan jalan tersebut. Travel time adalah waktu<br />

yang dibutuhkan oleh sebuah kendaraan dari arus<br />

lalu lintas untuk bergerak dari satu titik ke titik lain<br />

dan didalamnya termasuk waktu berhenti.<br />

Pada perjalanan dimana penun-daan karena berhenti<br />

dimasukkan, maka kecepatan perjalanan rata-rata<br />

pasti lebih lembat daripada kecepatan bergerak ratarata<br />

Berdasarkan Highway Capacity Manual 1985<br />

ukuran kecepatan yang digunakan adalah Kecepatan<br />

perjalanan rata-rata (average travel speed). Hal ini<br />

digunakan karena mudah dihitung dari observasi<br />

kendaraan individu dalam arus lalu lintas, dan rumus<br />

lalu lintas , dan rumus kecepatan yang digunakan :<br />

L L<br />

S = =<br />

n<br />

n<br />

t / n t<br />

∑<br />

i=<br />

1<br />

i<br />

∑<br />

i=<br />

1<br />

i<br />

(1)<br />

Dimana :<br />

S = Kecepatan perjalanan rata-rata (Average<br />

travel speed) (km/jam)<br />

L = Panjang potongan jalan (km)<br />

ti = Waktu (travel time) yang diperlukan<br />

suatu kendaraan (jam)<br />

n = Jumlah travel time yang diteliti<br />

44


Analisis Waktu Tempuh Angkutan Perkotaan Terminal Amplas-Terminal Sambu di Kota Medan<br />

Faizal Ezeddin<br />

5.2 Volume dan Besar Arus<br />

Volume dan besar arus adalah dua ukuran<br />

kuantitas dari jumlah lalu lintas yang melintasi suatu<br />

jalur atau jalan selama jangka waktu tertentu. Kedua<br />

ukuran tersebut dinyatakan dengan satuan kendaraan/<br />

jam.<br />

Perbedaan antara volume dan besar arus<br />

yaitu: volume adalah jumlah sebenarnya dari<br />

kecepatan yang diamati atau diramalkan melewati<br />

suatu titik selama jangka waktu tertentu, sedang<br />

besar arus mewakili jumlah kendaraan yang melewati<br />

suatu titik selama interval waktu kurang dari satu<br />

jam, tetapi dinyatakan dalam jam. Besar arus<br />

diperoleh dengan mengambil jumlah kendaraan yang<br />

diamati selama periode kurang dari satu jam dan<br />

dibagi dengan lama pengamatan (dalam jam), maka<br />

jika dalam suatu pengamatan diperoleh volume 100<br />

kendaraan dalam waktu 15 menit, besar arus menjadi<br />

100 kendaraan/ 0,25 jam atau 400 kendaraan perjam<br />

(vph) (Warpani,1990).<br />

5.3 Kerapatan<br />

Kerapatan adalah parameter penting yang<br />

menggambarkan pelaksanaan lalu lintas. Karena<br />

kerapatan menggambarkan jarak antara satu<br />

kendaraan dengan kendaraan lainnya, sehingga<br />

mempengaruhi kebebasan bergerak dalam arus lalu<br />

lintas. Persamaan v = s x D, merupakan hubungan<br />

dasar antara parameter-parameter dari arus tidak<br />

terganggu. Hubungan tersebut dijabarkan dalam<br />

bentuk hubungan antara besar arus dengan kecepatan,<br />

besar arus dengan kerapatan, dan kecepatan dengan<br />

kerapatan. (Lubis, M. Alfian 1998)<br />

5.4 Tundaan<br />

Penundaan (delay) karena berhenti adalah<br />

sederhana untuk didefmisikan dan diukur. Penundaan<br />

karena berhenti menimbulkan selisih waktu antara<br />

kecepatan perjalanan (travel speed) dan kecepatan<br />

berherak (running speed). Sebaliknya, penundaan<br />

karena padatnya lalu lintas sulit untuk diukur dengan<br />

tepat. Penundaan ini ditimbulkan oleh kelambatan<br />

atau macetnya kendaraan pada simpang jalan yang<br />

terlalu ramai oleh kendaraan, lebar jalan yang<br />

kurang, parkir mobil-mobil di jalan sempit, dan<br />

sebagainya. Akibatnya adalah pengurangan<br />

kecepatan bergerak di bawah kecepatan yang<br />

dianggap dapat diterima. Kedua jenis penundaan<br />

mencerminkan waktu yang tidak produktif dan bila<br />

dinilai dengan uang maka hal ini menunjukkan<br />

jumlah biaya yang harus dibayar masyarakat karena<br />

tidak memiliki jalan yang memedai. Waktu tunda<br />

juga menunjukkan keuntungan ekonomis yang dapat<br />

diharapkan bila rute tersebut diperbaiki untuk<br />

mengurangi penundaan dan ini memberikan prioritas<br />

untuk pekerjaan perbaikan jalan.<br />

5.5 Konsep Tingkat Pelayanan<br />

Konsep tingkat pelayanan didefmisikan sebagai<br />

ukuran mutu atau kualitas yang menggambarkan<br />

kondisi operasonal dalam arus lalu lintas yang<br />

dipersepsikan oleh sipengemudi dan<br />

penumpang(Wells, G.R., 1975).<br />

Tingkat pelayanan ditentukan dalam suatu skala<br />

interval yang terdiri dari enam tingkat. Tingkattingkat<br />

ini diklasifikasikan dengan tingkat A, B, C,<br />

D, E dan F dimana A merupakan tingkat pelayanan<br />

yang tertinggi dan F adalah tingkat pelayanan yang<br />

terendah (Clarkson et al. 1988).<br />

6. HASIL ANALISA/PERHITUNGAN<br />

Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan<br />

didapat hasil seperti yang ditujukkan oleh Tabel 1<br />

sampai dengan Tabel 4.<br />

Tabel 1: Kecepatan perjalanan rata-rata (average travel speed )<br />

No. Trayek Rute Kecepatan perjalanan rata-rata (km/jam)<br />

Pagi hari Siang Hari Sore Hari<br />

MedanBus0 P. Pasar - T. 18.39 18.20 17.52<br />

Medan Bus T. Amplas - P. 18.27 18.39 17.88<br />

Medan Bus 46 T. Amplas - P. 17.60 17.35 17.58<br />

Medan Bus T. Amplas - P. 16.84 17.11 16.06<br />

KPUM 03 P. Pasar - T. 18.61 18.84 18.45<br />

KPUM03 T. Amplas - P. 17.89 18.43 17.44<br />

45


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Tabel 2: Kecepatan gerak rata-rata (average running speed)<br />

No. Trayek Rute Kecepatan gerak rata-rata (km/jam)<br />

Pagi hari Siang Hari Sore Hari<br />

Medan Bus 04 P. Pasar - T. Amplas 23.18 22.74 23.05<br />

Medan Bus 04 T. Amplas- P. Pasar 22.46 22.16 21.42<br />

Medan Bus 46 T. Amplas - P. Pasar 21.26 21.40 21.18<br />

Medan Bus 46 T. Amplas - P. Pasar 20.64 20.48 19.26<br />

KPUM 03 P. Pasar - T. Amplas 23.64 23.63 22.86<br />

KPUM 03 T. Amplas - P. Pasar 22.54 22.58 21.98<br />

Tabel 3:Tundaan (delay)<br />

No. Trayek Rute Tundaan (menit)<br />

Pagi hari Siang Hari Sore Hari<br />

Medan Bus 04 P. Pasar - T. Amplas 7.10 6.93 8.63<br />

Medan Bus 04 T. Amplas - P. Pasar 6.30 5.72 5.72<br />

Medan Bus 46 T. Amplas- P. Pasar 5.15 5.73 5.08<br />

Medan Bus 46 T. Amplas -P. Pasar 5.68 5.00 5.38<br />

KPUM 03 P. Pasar - T. Amplas 5.70 5.37 5.22<br />

KPUM 03 T. Amplas - P. Pasar 5.97 5.15 6.13<br />

Tabel 4: Waktu tempuh perjalanan (travel time)<br />

No. Trayek Rute Waktu perjalanan rata-rata (menit)<br />

Pagi hari Siang Hari Sore Hari<br />

Medan Bus 04 P. Pasar - T. Amplas 34.33 34.68 36.02<br />

Medan Bus 04 T. Amplas - P. Pasar 33.82 33.60 34.57<br />

Medan Bus 46 T. Amplas- P. Pasar 29.87 30.28 29.90<br />

Medan Bus 46 T. Amplas -P. Pasar 30.87 30.37 32.37<br />

KPUM 03 P. Pasar - T. Amplas 26.82 26.48 27.05<br />

KPUM 03 T. Amplas - P. Pasar 28.92 29.67 29.67<br />

46


Analisis Waktu Tempuh Angkutan Perkotaan Terminal Amplas-Terminal Sambu di Kota Medan<br />

Faizal Ezeddin<br />

7. KESIMPULAN<br />

• Kecepatan perjalanan rata-rata untuk rute dari<br />

Pusat Pasar ke terminal Amplas adalah 17.76<br />

km/jam, sedangkan untuk rute dari terminal<br />

Amplas ke Pusat Pasar adalah 18.06 km/jam.<br />

Angka tersebut jauh lebih rendah dari satu angka<br />

yang diharapkan dalam kecepatan perjalanan<br />

minimum di daerah perkotaan yaitu 29 km/jam<br />

• Berdasarkan hasil tersebut maka kondisi jalan<br />

untuk rute Pusat pasar - Terminal Amplas dan<br />

sebaliknya berada pada tingkat pelayanan (LOS) E<br />

dengan kecepatan rata-rata > 16 km/jam.<br />

• Dengan kecepatan perjalanan yang sangat rendah<br />

menunjukkan bahwa tujuan penelitian dalam tugas<br />

akhir ini masih belum terpenuhi.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Box, Paul, C, Oppenlader, Josseph, C. 1976. Manual<br />

of Traffic Engineering Studies, Institute of<br />

Transportation Engineers, London<br />

Clarkson, H, Oglesby, R, Hicks, G. 1988. Teknik<br />

Jalan Raya Edisi ke-4, Erlangga, Jakarta<br />

Hobbs, F.D. 1979. Traffic Planning and Engineering,<br />

Pergamon Press, Oxford<br />

Lubis, M. A. 1998. Penelitian Kecepatan dan<br />

Tundaan<br />

Angkutan Umum moda Mikrobis di Kotamadya<br />

Medan, Tugas Akhir, Tidak dipubliksikan,<br />

Fakultas Teknik Jurusan Sipil USU<br />

Morlock, K. E. 1985. Pengantar Teknik dan<br />

Perencanaan Transportasi, Penerbit Erlangga,<br />

Jakarta.<br />

Transportasi Research Board, 1985. Highway<br />

capacity Manual National Research Council,<br />

Washington D.C<br />

Warpani, Suwardjoko, 1990. Merencanakan Sistem<br />

Perangkutan, Penerbit ITB, Bandung<br />

Wells, G. R. 1975. Comprehensive Transport<br />

Planning, Charles Griffin and Company Ltd,<br />

London<br />

47


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

MODEL ANALISIS EKONOMI DAN OPTIMASI PENGUSAHAAN<br />

SUMBERDAYA PERIKANAN<br />

Dede Ruslan<br />

Dosen Fakultas Pengetajuan Ilmu Sosial<br />

<strong>Universitas</strong> Medan<br />

Abstrak: Peranan perikanan laut dalam kerangka pembangunan ekonomi makin hari makin penting. Di<br />

samping untuk pemenuhan konsumsi masyarakat juga peningkatan ekspor. Pembangunan dewasa ini perlu<br />

mengindahkan pertimbangan lingkungan atau "Sustainable Eco-development". Oleh karena itu pengusahaan<br />

perikanan laut sudah seyogyanya memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan, sehingga diperoleh hasil<br />

maksimum lestari baik secara biologi maupun secara ekonomi.<br />

Kata kunci: Hasil maksimum lestari (MSY), hasil maksimum secara ekonomi (MEY)<br />

Pendahuluan<br />

Pembangunan yang pada dasarnya bertumpu<br />

kepada pembangunan ekonomi sangat ditentukan<br />

oleh perkembangan paradigma ekonomi. Dalam<br />

sejarah perkembangan paradigma ekonomi terlihat<br />

bahwa pakar ekonomoi mengabaikan dimensi fisik<br />

dan memusatkan perhatiannya pada dimensi nilai<br />

(value). Pada kenyataannya kesejahteraan diukur<br />

oleh satuan nilai yang tidak dapat lepas dari dimensi<br />

fisik. Dari kacamate ekonomi, penyalahgunaan<br />

sumber daya milik bersama (air, udara, tanah, dan<br />

lain-lain) yang dikenal dengan common property<br />

resources (sumber daya milik bersama) timbul<br />

karena tidak adanya mekanisme keseimbangan yang<br />

dapat membatasi eksploitasinya. Sumberdayasumberdaya<br />

milik bersama dianggap bebas dan<br />

kelangkaannya tidak tercermin dalam setiap<br />

pemanfaatannya.<br />

Ikan merupakan salah satu sumber daya<br />

yang dihasilkan dari laut pengelolaannya harus<br />

diarahkan untuk melestarikan sekaligus<br />

mendatangkan manfaat ekonomi optimum hingga<br />

masa mendatang. Sifat pemilikan bersama atas<br />

sumberdya perikanan serta adanya kebebasan bagi<br />

nelayan untuk ikut serta melakukan pengusahaan<br />

sumberdaya perikanan dan mengembangkan armada<br />

penangkapannya hingga keseimbangan bio-ekonomi<br />

telah menyebabkan terbuangnya rent ekonomi secara<br />

sia-sia. Dalam upaya meningkatkan pendapatannya,<br />

pengusaha, dan nelayan selalu ingin meningkatkan<br />

hasil tangkapan ikan tanpa menghiraukan batas<br />

maksimum jumlah penangkapan baik dilihat dari segi<br />

ekonomi maupun kelestarian sumber-daya alamnya.<br />

Untuk memperbaiki kondisi perekonomian<br />

perikanan melalui efisiensi alokasi sumberdaya,<br />

diperlukan campur tangan pememrintah dalam<br />

pengendalian intensitas pengusahaan sumberdaya<br />

perikanan. Oleh<br />

Berdasarkan hal tersebut di atas, akan<br />

dibahas secara teoritis hubungan antara intensitas<br />

pengusahaan sumberdaya perikanan dan besarnya<br />

keuntungan ekonomi yang dapat dinikmati oleh<br />

masyarakat. Disisi lain perlu diketahui bagaimana<br />

menentukan tingkat optimal(optimasi) pengusahaan<br />

penangkapan ikan dilakukan, sehingga ada batas<br />

maksimum jumlah penangkapan ikan baik dilihat<br />

dari segi ekonomi maupun kelestarian sumber daya<br />

alam.<br />

MODEL ANALISIS<br />

Model analisis yang akan dikembangkan<br />

dalam tulisan ini, yaitu menggunakan pendekatan<br />

bioekonomi. Pendekatan ini memadukan kekuatan<br />

ekonomi yang mempengaruhi <strong>industri</strong> penangkapan<br />

ikan serta faktor biologi yang menentukan produksi<br />

dan suplai ikan (Clark, 1985). Model dasar yang<br />

digunakan dalam analisis adalah model biologi dari<br />

Schaefer (1957) dan model ekonomi dari Gordon<br />

(1954). Pendekatan dalam pembahasan model<br />

tersebut diawali dengan masalah sumberdaya<br />

perikanan, per-tumbuhan alami, dan penang-kapan<br />

ikan yang optimal.<br />

Sumberdaya Ikan<br />

Dalam pengusahaan penangkapan ikan<br />

sudah saatnya menerapkan konsep tentang hubungan<br />

timbal balik ekologis. Suatu <strong>sistem</strong> etika lingkungan<br />

yang dapat mengoperasikan pengertian-pengertian<br />

dan konsep eko<strong>sistem</strong> perlu ditumbuhkan yang dapat<br />

menjadi dasar bagi pembangunan berkelanjutan,<br />

yaitu pembangunan yang dapat mencukupi<br />

kebutuhan hidup rakyat Indonesia sekarang dan<br />

tidak merugikan kehidupan generasi yang akan<br />

datang. Hal ini berkenaan dengan penentuan pilihan<br />

yang berkaitan dengan pengalokasian sumberdaya<br />

alam yang langka di antaranya berbagai alternatif<br />

tujuan penggunaan secara optimal.<br />

Menurut Randal (1987) sumberdaya adalah<br />

sesuatu yang berguna dan bernilai pada kondisi kita<br />

menemu-kannya. Secara umum menurut<br />

sumberdaya alam dikelompokkan menjadi tiga<br />

bagian yaitu (1) sumberdaya alam yang tidak dapat<br />

diperbaharui dengan contohnya adalah barang-barang<br />

tambang (minyak bumi dan batu bara), (2)<br />

48


Model Analisis dan Optimalisasi Pengusahaan Sumberdaya Perikanan<br />

Dede Ruslan<br />

sumberdaya alam mengalir dengan contohnya adalah<br />

energi matahari dan gelombang laut, dan (3)<br />

sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dengan<br />

contohnya adalah hutan dan ikan<br />

Ikan termasuk kelompok ketiga sebagai<br />

sumber-daya alam yang dapat diper-baharui. Sifat<br />

kelompok ini apabila telah dipanen masih akan<br />

tumbuh kembali dalam waktu dan dengan kecepatan<br />

tertentu. Apabila tidak dieksploitasi, jumlahnya tidak<br />

akan bertambah di atas batas maksimum. Sifatnya<br />

dapat diperbaharui. Tetapi juga punya batas, apabila<br />

eksploitasi melebihi batas maksimum, maka<br />

perkembangan dan pertumbuhan akan terganggu dan<br />

akan mengakibatkan kepunahan. Jadi dalam usaha<br />

eksploitasi diperlukan manajemen yang bijaksana.<br />

Pertumbuhan Alami<br />

Secara biologis, stock ikan yang tidak<br />

dieksploitasi akan berkembang hingga batas<br />

maksimum (K), dengan laju pertumbuhan tergantung<br />

pada ukuran kelimpahan stock (S). Pertumbuhan ikan<br />

(individual growth) ditentukan oleh banyak hal<br />

seperti salinitas, temperatur, ketersediaan makanan,<br />

mineral, tingkat fotosintesis, dan lain-lain. Dengan<br />

anggapan hal-hal tersebut relatif konstan sehingga<br />

perkembangan stok ikan secara alami ditentukan<br />

oleh 3 hal yaitu: 1) perkembangbiakan, 2)<br />

pertumbuhan individu, dan 3) kematian secara alami.<br />

Pada saat stok sedikit, pertumbuhan stok<br />

cukup tinggi hingga pada suatu tingkat stok tertentu<br />

pertumbuhan menjadi nol dan stok menjadi konstan<br />

(pertumbuhan alami = kematian alami) (Anderson,<br />

1977).<br />

Schaefer (1957) menggambarkan pertumbuhan<br />

alami stock ikan yang tidak dieksploitasi<br />

sebagai berikut:<br />

Gambar 1: Kurva Pertumbuhan Stok Ikan<br />

Stok (S)<br />

S MAX<br />

C<br />

S = S(t)<br />

S MIN<br />

0 Waktu (t)<br />

(a)<br />

49


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Pertumbuhan<br />

δs/δt<br />

MSY<br />

S*<br />

O S 0<br />

S MAX Stok(S)<br />

(b)<br />

Gambar 1 (a) menunjukkan stok ikan (S) merupakan fungsi waktu (t) ditulis :<br />

S = s (t) ........... (1)<br />

dimana S menujukkan jumlah stok ikan dan t<br />

menunjukkan waktu. Kurva ini menunjukkan fungsi<br />

logistik, dimana secara alami stok ikan tersebut<br />

meningkat mengikuti kurva S = s(t) hingga suatu<br />

tingkat maksimum (Capasity = C), katakan titik C.<br />

Pada titik maksimum (C), stok ikan tidak bertambah<br />

lagi, tingkat pertumbuhan sama dengan tingkat<br />

kematian, yang merupakan keseimbangan.<br />

Gambar 1 (b) menggambarkan tingkat<br />

pertumbuhan stok ikan, dimana pertumbuhan<br />

tersebut merupakan fungsi stok ikan. Schaefer<br />

(1957) menggambarkan pertumbuhan alami stock<br />

ikan yang tidak dieksploitasi tersebut dengan<br />

persamaan<br />

δs/δt = f(S) = r.s.(1 - s/K) ..... (2)<br />

Dimana δs/δt menunjukkan pertumbuhan stok dan r<br />

adalah laju pertumbuhan intrinsik.<br />

Pada saat stok masih sedikit pertumbuhan<br />

meningkat terus hingga mencapai titik maksimum<br />

(C). Setelah titik maksimum, pertumbuhan menurun.<br />

Dan setelah stok mencapai jumlah maksimum,<br />

pertumbuhan menjadi nol atau pada titik<br />

keseimbangan.<br />

Penangkapan Ikan<br />

Dalam eksploitasi sumberdaya alam yang<br />

dapat diperbaharui, tingkat pemanenan jangka<br />

panjang adalah sebesar tingkat pertumbuhan<br />

alaminya. Apabila penangkapan ikan lebih besar dari<br />

pertumbuhan maka pertumbuhan tersebut tidak<br />

dapat menutupi penangkapan, akibatnya stok<br />

berkurang, ikan makin sulit ditangkap dan hasil<br />

penangkapan selanjutnya menurun dan begitu<br />

sebaliknya. Sehingga dengan tingkat usaha<br />

penangkapan tertentu akan diperoleh sejumlah hasil<br />

tangkapan tertentu yang relatif konstan dalam<br />

jangka panjang yaitu sama dengan besarnya tingkat<br />

pertumbuhan alami yang sesuai dan ini disebut<br />

tangkapan lestari (Christy, 1986).<br />

Bila dilaksanakan penangkapan ikan, maka<br />

perubahan netto ukuran stock ikan adalah :<br />

δs/δt = f(s) - H(t) ........................... 3)<br />

dimana H(t) adalah volume panenan atau hasil<br />

penangkapan.<br />

Dalam analisis Schaefer (1954) bahwa hasil<br />

tangkapan merupakan fungsi usaha. Jika hal tersebut<br />

dipadukan dengan tangkapan lestasri tersebut di atas,<br />

maka dapat digambarkan kurva hasil usaha lestari<br />

(Sustainable Yield-Effort Curve) seperti pada<br />

gambar 2.<br />

Dari Gambar 2 terlihat bahwa pada tingkat<br />

stok yang masih melimpah, sedikit saja usaha<br />

penangkapan (effort) yang dapat memberikan hasil<br />

tangkapan sesuai dengan tingkat pertumbuhan alami.<br />

Pada tingkat usaha penangkan (effort=E) yang besar<br />

(berlebihan) kepunahan tidak tertutupi oleh<br />

pertumbuhan akibatnya ikan akan mengarah kepada<br />

kepunahan dan hasil selanjutnya akan menjadi<br />

sangat kurang.<br />

50


Model Analisis dan Optimalisasi Pengusahaan Sumberdaya Perikanan<br />

Dede Ruslan<br />

Gambar 2 :<br />

Kurva Hasil Usaha Lestari (Sustainable -Effort Curve) Penangkapan Ikan<br />

Hasil (H)<br />

E’S<br />

E.S<br />

H* h 1 h 2 h 3<br />

h 0 h 4<br />

E*<br />

O E 0 E 1 E 2 E 3 E 4 Usaha(E)<br />

(b)<br />

Dengan demikian secara fungsional jumlah<br />

hasil atau besar volume panenan akan bergantung<br />

pada jumlah usaha penangkapan (effort), koefisien<br />

daya tangkap(q), dan stok(s) (Gordon, 1986). Secara<br />

matematis ditulis :<br />

H = f ( q, E, S ) ............. (4)<br />

dimana :<br />

H = hasil<br />

E = jumlah usaha penangkapan (effort)<br />

S = stok<br />

q = koefisien daya tangkap (teknologi)<br />

Fungsi tersebut dapat diinterprestasikan<br />

dalam per-samaan sebagai berikut :<br />

H(t) = q.E.S ............................ (5)<br />

sehingga besarnya jumlah usaha penangkapan<br />

(Effort) adalah sebagai berikut :<br />

E(t) = H / q.S ................................ (6)<br />

Secara biologi hasil maksimum secara<br />

lestari dicapai pada saat kurva parabola mencapai<br />

titik paling tinggi yaitu pada saat usaha sebesar E*<br />

atau hasil tangkapan sebesar H*. Keadaan ini disebut<br />

hasil maksimum lestari (Maximum Sus-tainable<br />

Yields) yang dalam kajian ini selanjutnya disingkat<br />

"MSY". Dengan demikian hasil maksimum lestari<br />

(MSY) ini tercapai pada kondisi keseimbangan f(s)<br />

= H(t) dan ds/dt = 0, sehingga :<br />

s = K - q.E.S/r ....................... (7)<br />

Penggabungan antara persamaan (5) dan (7)<br />

diperoleh persamaan fungsi produksi, yaitu :<br />

h(t) = q.E [ K - q.E.K/r ]<br />

= q.K.E - q 2 .K/r.E 2 ................... 8)<br />

Bila dilihat dari segi ekonomi, usaha<br />

penangkapan yang optimal adalah pada saat<br />

keuntungan maksimum (maximum profit). Hal ini<br />

disebut sebagai hasil maksimum secara ekonomi<br />

(Maximum Economic Yields) yang dalam kajian ini<br />

selanjutnya disingkat "MEY".<br />

Untuk menemukan MEY, lebih dulu<br />

dikonversi hasil tang-kapan menjadi penerimaan<br />

dalam bentuk uang. Dimana pene-rimaan (Total<br />

Revenue = TR ) adalah hasil tangkapan [h(t)] dikali<br />

dengan harga ikan (P) disingkat TR = h(t) x P. Dan<br />

tingkat usaha penangkapan (effort) dirobah menjadi<br />

biaya, dimana biaya total (TC) adalah effort (E)<br />

dikali dengan tingkat harga per unit effort (W) atau<br />

disingkat menjadi TC = E x W. Dengan demikian<br />

penerimaan bersih dari pengusahaan sumberdaya<br />

perikanan adalah total pendapatan (Total<br />

Revenue=TR) dikurangi dengan total biaya<br />

penangkapan (Total Cost=TC) atau secara matematis<br />

ditulis sebagai berikut:<br />

MEY = p.h(t) - w.E ............................ (9)<br />

Apabila persamaan (6) dan h = F(s) -<br />

ds/st disubstistusikan kedalam persamaan (9), maka<br />

diperoleh maxsimum economic yield atau hasim<br />

maksimum secara ekonomi (MEY) sebagai berikut :<br />

MEY = p.h - w.h/q.s<br />

= [p - w/q.s].h<br />

= [p - w/q.s] [F(s) - ds/dt] ...................... (10)<br />

Bila w/q.s = w (c), maka MEY bernilai sebagai<br />

berikut :<br />

MEY = [p - w(c)].[F(s) - ds/dt] ...................... (11)<br />

Nilai tersebut merupakan komponen dari<br />

tingkat optimal pengusahaan sumberdaya perikanan,<br />

yang akan dicapai pada saat nilai sekarang (present<br />

value/PV) mencapai maksimum (Scott, 1955;<br />

Anderson, 1986).<br />

51


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Gambar 3 :<br />

Kurva Penerimaan dan Biaya Produksi Perikanan<br />

TC, TR<br />

TR π<br />

TC<br />

TC π<br />

TR<br />

O E π E* E 0 Usaha(E)<br />

Dari grafik di atas, kurva total pendapatan (Total<br />

Revenue = TR) adalah kurva tangkapan lestari yang<br />

diuangkan dan mencapai maksimum pada usaha<br />

(effort=E) sebesar E*. Se-dangkan total biaya (Total<br />

Cost = TC) merupakan fungsi li-near. Keseimbangan<br />

tercapai pada effort sebesar E 0 dan mak-simum<br />

economic yield = MEY terjadi pada E π . Hal ini diperjelas<br />

lagi oleh kurva turunannya, yaitu sebagai<br />

berikut :<br />

Dari grafik berikut ini dapat disimpulkan<br />

bahwa untuk memaksimumkan keuntungan,<br />

"Marginal Revenue = MR" yaitu perubahan setiap<br />

satuan pendapatan harus sama dengan "Marginal<br />

Cost = MC" yaitu peruhaban setiap satuan biaya<br />

ataupun kemiringan dari kurva Total Revenue (TR)<br />

sama dengan kemiringan kurva Total Cost (TC).<br />

Hal ini dicapai pada saat effort sebesar E π , total<br />

penerimaan sebesar TR dan biaya sebesar TC.<br />

Kondisi ini dicapai pada saat jum-lah penangkapan<br />

lebih kecil dari jumlah penangkapan un-tuk<br />

mencapai maksimum sustainable yeild (MSY), yaitu<br />

OE π lebih kecil dari OE* (Anderson , 1977). Jadi<br />

Maksimum economic yield (MEY) cenderung<br />

mendukung kelestarian sumberdaya ikan.<br />

Gambar 4 :<br />

Kurva Marginal Revenue dan Marginal Cost<br />

MR, MC<br />

MC<br />

MR<br />

0 E π E* Usaha (E)<br />

52


Model Analisis dan Optimalisasi Pengusahaan Sumberdaya Perikanan<br />

Dede Ruslan<br />

PENUTUP<br />

Pengelolaan sumberdaya ikan yang<br />

diarahkan untuk melestarikan sekaligus<br />

mendatangkan manfaat ekonomi optimum hingga<br />

masa mendatang perlu dilakukan, sehingga sifat<br />

pemilikan bersama atas sumberdaya perikanan dan<br />

kebebasan bagi nelayan untuk ikut serta melakukan<br />

pengusahaan perikanan tidak mendorong untuk<br />

menangkap ikan sabanyak mungkin. Dengan<br />

demikian, penangkapan ikan yang dilakukan oleh<br />

pengusahaan perikanan harus memperhitungkan hasil<br />

maksimum yang lestari, yaitu terjadinya<br />

keseimbangan antara maksimum suistanable yeild<br />

dengan maksimum economin yeild.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Anderson, L.G. (1986). The economics of fisheries<br />

manage-ment. Baltimore : John Hopkins<br />

University Press.<br />

Clark,C.W. (1985). Bioeconomics modelling and<br />

fisheries management. New York : John Wiley<br />

and Sond.<br />

Gordon,H.S.(1954). The economic theory of a<br />

common-property resource: The fishery. J.<br />

Polit.Econ., 62: 124-42.<br />

Schaefer, M.B. (1957). Some considerations of<br />

population dynamics and economics in<br />

relation to the management of marine<br />

fisheries. J.Fish. Res. Board Can.,14:669-681<br />

Scott,A.D.(1955). The fishery : The objectives of<br />

sole ownership. J.Polit. Econ., 63: 115-124<br />

53


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

PENGARUH PELAKSANAAN BAURAN PEMASARAN TERHADAP PROSES<br />

KEPUTUSAN PEMBELIAN KONSUMEN PADA JAMU DI BANDA ACEH<br />

Rusydi Abubakar<br />

Staff Pengajar Jurusan Manajeman<br />

Fakultas Ekonomi <strong>Universitas</strong> Malikussaleh Lhokseumawe<br />

Email : Rusydi_Abubakar @ yahoo.com<br />

Abstract: An effective marketing program collects all of elemen of the marketing mix into one cohesive program<br />

designed o obtain a company’s terget in order to determine the company’s position towards competition, in<br />

order to win consumers as a target market facing such reality, compnies are required to be able to devlop an<br />

active marketing policy and always follow technological and economical developments. The aim of this study is<br />

to (1) analyze the affect of marketing mix on the purchasing decision of consumers in the jamu industry in Banda<br />

Aceh (2) Knowing what type of the marketing mix element most effect consumers buying the decisions in the<br />

jamu industry in Banda Aceh.The object of the study on independent variable :product, price,promotion and<br />

place. There are 2 methods pf study used,namely th descriptive and verivication methods. The sample in this<br />

study consist of 225 jamu industry consumers scattrd through 3(three) distric in Banda Aceh. The methods of<br />

data collection is documentation, interview and quistionnaries while the data analysis methods is the descriptive<br />

and paet analysis. The results of this study indicate that the elements of the marketing mix simultaneously affect<br />

the consumers buying decision positively and partyaly indicate that the product,price,price and promotion<br />

element have a positive affect,while the place (location) element has a negative effect. At the same time th<br />

marketing mix involving product,price and promotion significantly affect th buyin decision of jamu industry<br />

products in Banda Aceh. The most dominant variable the decision of consumers is th promotion variable,which<br />

an be as high as 28,60 %.<br />

Keywords : Marketing mix, consumer buying decision.<br />

PENDAHULUAN<br />

Era pasar bebas dunia tahun 2020,akan<br />

terjadi liberaliasi ekonomi yan berpangruh trhadap<br />

stuktur pasar yang tidak mengenal lagi batas-batas<br />

antar negara. Persaingan tidak hanya pada skala kota<br />

dn wilayah akan tetapi persaingan kualitas daripad<br />

kuantitas poduk dan pelayanan. Namun selain<br />

tantangan dan persaingan trdapat peluang bagi pelaku<br />

ekonomi untuk ikut memberikan kegiatan pemasaran<br />

yang makin luas.<br />

Dalm erbagai usaha bisnis yang berkmbng<br />

saat ini, baik yang meghsilkan barang maupun jaa,<br />

pern pemasaran sangatlah penting karena merupakan<br />

salah satu fakto kunci penentu kebrhasilan bisnis.<br />

Dengan katalin : pemasaran merupakan inti seluruh<br />

aktivitas bisnis.Ini berkitan dengan fungsi<br />

pemasaran,sebagai penghubung antara prusahaan dan<br />

konsumen (C.M.Lingga Purnama,2001 :1).<br />

Liberalisasi perdagangan merupakan<br />

tuntututan adanya globalisasi, yaitu suatu<br />

pelaksanaan regim kesepakatn system perdagngan<br />

dunia, hilangnya batas-batas negara yang bias<br />

menghambta kelancarn arus barang, jasa, modal dan<br />

finansial secara internaioanl.Ada dua sisi dari<br />

libralisasi perdgnagn, sisi pertama bahwa liberalisasi<br />

membrikan peluang (opportunities), melalui<br />

penurunan hambtan-hambatan tariff dannon tariff dn<br />

meningkatk akses produk-produk domstik ke pasar<br />

internaional. Sisi kedua, liberlisi perdagnagn juga<br />

menjadi ancaman (threat), karena perdagangan beba<br />

menuntut pnghapusan subsidi danproteksi sehingga<br />

dapat membanjirkannay produk-produk asing di<br />

pasar dalam negeri.<br />

Program pemasaran yang efektif meramu<br />

semua unsur-uns0,38ur marketing mix menjadi suatu<br />

program terpadu yang dirancang untuk mencapai<br />

sasaran perusahaan. Pengambilan keputusan tentang<br />

produk,harga, promosi,dan tempat penjualan<br />

hendaknya dapat menciptakan program pemasaran<br />

yang kohesif di pasar sasaran. Dengan demikian<br />

program pemasaran menggabungkan semua<br />

kemampuan pemasaran perusahaan tersebut akan<br />

menjadi sekumpulan kegiatan yang menentukan<br />

posisi perusahaan terhadap pesaing, dalam rangka<br />

bersaing merebut pasar sasaran.<br />

Permintaan obat tradisional (jamu) makin<br />

meningkat. Omset penjualan jamu meningkat 40<br />

prsen setiap tahun. Pada tahun 2000 nilai penjualan<br />

jamu diperkirakan Rp. 800 milliar. Dengan<br />

peningkatan sekitar 38 % berarti nilai pnjualan<br />

menmbus Rp. 1,2 triliun. Adapun hingga akhir tahun<br />

2002, diperkirakan terjadi kenaikan setara,<br />

setidaknya menembus angka penjualan Rp. 1,8<br />

triliun. Yang menggembirakan konsumsi terbesar<br />

jamu tersebut adalah pasar dalam negeri. Artinya<br />

masih banyak konsumen jamu loyal di negeri ini. Hal<br />

ini juga dikuatkan temuan survei MARS (Marketing<br />

Research Specialist) baru-baru ini., bahwa lebih dari<br />

85,40 % konsumen jamu adalah konsumen loyal.<br />

Disebutkan hanya 12,36 % bisa dibujuk untuk pindah<br />

54


Pengaruh Pelaksanaan Bauran Pemasaran terhadap Proses Keputusan Pembelian Konsumen pada Jamu di Banda Aceh<br />

Rusydi Abubakar<br />

ke merek lain, dan hanya 2,24 % yang berencana atau<br />

siap-siap pindah ke merek lain.<br />

Persaingan bisnis <strong>industri</strong> jamu yang<br />

semakin ketat, memaksa setiap perusahaan selalu<br />

berebut perhatian konsumen melalui pemenuhan<br />

kebutuhan dan keinginan pelanggan, dengan<br />

memperhatikan kecenderungan perubahan sosial,<br />

menganalisis kiat-kiat pesaing dan mengamati<br />

perubahan teknologi,ekonomi,politik dan sosial.<br />

Jika ada pelanggan yang menghentikan<br />

pembeliannya atau pindah ke produk lain, perlu<br />

disikapi sebagai suatu perubahan perilaku konsumen.<br />

Perubahan perilaku konsumen semacam ini harus<br />

dilihat sebagai kenyataan yang buruk.<br />

Identifikasi Masalah<br />

Sejauhmana pengaruh pelaksanaan bauran pemasaran<br />

oleh <strong>industri</strong> jamu terhadap proses pengambilan<br />

keputusan pembelian konsumen produk jamu di<br />

Banda Aceh. Dan bauran pemasaran yang mana<br />

pengaruhnya paling besar terhadap pengambilan<br />

keputusan pembelian konsumen pada <strong>industri</strong> jamu.<br />

Hipotesis<br />

Sedangkan sub hipotesis dalam penelitian<br />

ini adalah :<br />

1. Produk berpengaruh terhadap proses<br />

keputusan pembelian konsumen pada<br />

<strong>industri</strong> jamu di Banda Aceh.<br />

2. Harga berpangaruh terhadap proses<br />

keputusan pembelian konsumen pada jamu<br />

<strong>industri</strong> di Banda Aceh<br />

3. Promosi berpengaruh terhadap proses<br />

keputusan pembelian konsumen pada<br />

<strong>industri</strong> jamu di Banda Aceh.<br />

4. tempat berpengaruh terhadap proses<br />

keputusan pembelian pada <strong>industri</strong> jamu di<br />

Banda Aceh<br />

Tinjauan Pustaka<br />

Kotler (2000:4), pemasaran pada umumnya<br />

di pandang sebagai tugas untuk<br />

menciptakan,memperkenalkan, dan menyerahkan<br />

barang dan jasa,pengayaan pengalaman, peristiwa,<br />

orang, tempat,kepemilikan, organisasi, informasi dan<br />

gagasan.<br />

Etzel,et.al (1997:60) bauran pemasaran<br />

adalah kombinasi dari empat variabel atau kegiatan<br />

inti dari system pemasaran perusahaan, yaitu :<br />

produk,harga,tempat,dan promosi. Sedangkan<br />

menurut Mc Charthy dalam buku Kotler (2000:15)<br />

mengklasifikasikan alat-alat pemasaran ke dalam<br />

empat kelompok yang dikenal dengan P dari<br />

pemasaran, yaitu : product,price,place, and<br />

promotion.<br />

(Indriyo,1999 :111), hal ini digambarkan dalam<br />

Gambar 1.<br />

Sumber : Gito Sudarmo, Indriyo. 1999. Manajemen Pemasaran BPFE. Yogyakarta. (Hal.111).<br />

Etzel et al. (1997:193)<br />

55


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

‘’ Product I a set of tangiable and attributes, which<br />

may include packing,colour, price,quality,and brand,<br />

plus the seller service and reputation. A product may<br />

be a good, service,place, person,or idea’’.<br />

Baruan produk menurut Kotler (2000 : 398),<br />

pruduct mix is the set of all products and items that a<br />

particular seller offers for sale. Jadi baruan produk<br />

adalah sekumpulan dari semua produk dan item<br />

produk seperti macam produk, kulaitas produk,<br />

rancangan produk, ciri-ciri produk, merek produk,<br />

kemasan produk, ukuran produk, pelayanan, jaminan<br />

dan pengembalian serta atribut lainnya yang secara<br />

khusus para penjual menawarkan untuk dijual kepada<br />

para pembeli penilaian pelanggan terhadap produk<br />

<strong>industri</strong> jamu. Dapat dilihat dari sisi kemasan,dalam<br />

hal ini menurut Arnold (1996:224) kenyataan bahwa<br />

nilai-nilai inti dari merek cukup konsisten untuk<br />

memungkinkan desain kemasan adalah sesuatu yang<br />

penting Menurut Stanton (1996:269) menyatakan<br />

bahwa merek membedakan produk atau jasa sebuah<br />

perusahaan dari produk saingannya. Dalam kaitannya<br />

dengan produk <strong>industri</strong> jamu, perusahaan<br />

memproduksi selera dan kondisi ekonomi (daya beli)<br />

masyarakat, walupun produk <strong>industri</strong> jamu<br />

bentuknya kecil, tetapi mutunya baik dan manjur.<br />

Harga sering menjadi factor penentu dalam<br />

pembelian,disamping tidak menutupi kemungkinan<br />

factor-faktor lain.<br />

Dengan demikian harga menjadi lebih<br />

penting bagi konsumen sebagai tanda dari apa yang<br />

diharapkan. Menurut Macrae (1996: 131), pembeli<br />

baik yang baru maupun yang lama menggunakan<br />

harga sebagai suatu seleksi terhadap citra kualitas<br />

suatu merek. Berdasarkan kualitas dan harga menurut<br />

Kotler (2000:520) menunjukkan sembilan<br />

kemungkinan strategi harga – kualitas seperti<br />

disajikan seperti pada Gambar 2.<br />

Harga<br />

Tinggi Sedang Rendah<br />

1.Strategi premium 2. Strategi nilai-tinggi 3. Strategi nilai super<br />

4. Strategi penetapan harga 5. Strategi nilai menengah 6. Strategi nilai baik<br />

terlalu tinggi<br />

7. Strategi peneuri 8. Strategi yang sesungguhnya<br />

tidak menghemat<br />

9. Strategi penghematan<br />

Sumber : Kotler,2000, Manajemen Pemasaran. Edisi Millenium. Prenhallindo. Jakarta (hal. 520).<br />

Dalam pengertian umum bauran pemasaran<br />

menurut Kotler (2000:490) tempat adalah sebagai<br />

berikut :<br />

Faktor tempat atau place berarti marketing<br />

channel (distribution channel) are sets of<br />

interdependent organization involved in the process<br />

of making a products or service available for use or<br />

consumption.<br />

Sedangkan menurut Etzel,et al (1997:43)<br />

adalah sebagai berikut :<br />

‘’ Distribution channel consists of the set<br />

of people firms involved in the transfer of title to a<br />

product as the product moves from producer to<br />

ultimate consumer or business user’’.<br />

Untuk mengantisipasi kesenjangan<br />

diantara produsen dan konsumen, maka Keegan<br />

(1996:128) menawarkan alternatif struktur aliran<br />

saluran distribusi produk sebagai berikut : pemilik<br />

pabrik produk konsumen dapat menjual langsung<br />

kepada pelanggan (menggunakan katalog atau<br />

materi cetakan yang lain), lewat toko sendiri<br />

ataupun dengan alternatif strukur yang lain untuk<br />

produk konsumen<br />

Menurut Sutisna (2000:39). Iklan untuk<br />

produk yang dibeli berdasarkan kebiasaan<br />

seharusnya ditampilkan sesering mungkin untuk<br />

mengingatkan konsumen. Sedangkan Supranto<br />

(2000:44) menyatakan bahwa seorang pelanggan<br />

yang loyal akan membicarakan hal-hal yang bagus<br />

tentang produk atau perusahaan yang Selanjutnya<br />

Arnol (1996:177) menyatakan :<br />

‘’Promosi yang pada akhirnya akan menghasilkan<br />

bahwa konsumen naiknya tingkat penjualan. Hal ini<br />

didasarkan pada anggapan bahwa konsumen yang<br />

membeli berdasarkan kebiasan, biasanya tidak<br />

begitu mengingat apa-apa yang akan dibelinya.<br />

Keinginan untuk membeli produk sering muncul<br />

ketika konsumen diingatkan melalui iklan dengan<br />

cara melihat produk itu di toko’’.<br />

Berdasarkan beberapa pendapat pada<br />

pakar di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa<br />

promosi adalah suatu usaha yang dilakukan oleh<br />

perusahaan guna memberikan informasi dan<br />

promosi adalah suatu usaha yang dilakukan oleh<br />

perusahaan guna memberikan informasi dan untuk<br />

memperkenalkan produk kepada konsumen melalui<br />

beberapa media sesering mungkin untuk<br />

membangun kedekatan produk <strong>industri</strong> jamu<br />

dengan para pedagang dan konsumen dengan<br />

harapan agar tertarik untuk membeli produk yang<br />

ditawarkan.<br />

Perilaku konsumen menurut Louden dan<br />

Delta dalam Marius P. Angipora (1999:94), adalah<br />

proses pengambilan keputusan dan kegiatan fisik<br />

individu dalan upaya memperoleh dan<br />

menggunakan barang dan jasa (evaluasi,<br />

memperoleh, menggunakan barang atau jasa).<br />

Dilihat dari derajat keterlibatan konsumen<br />

menurut Kotler (2000 : 177),maka terdapat tipe<br />

atau sudut pandang pengambilan keputusen<br />

keterlibatan tinggi (high involvement) dan<br />

keterlibatan rendah(Low Involvement).<br />

56


Pengaruh Pelaksanaan Bauran Pemasaran terhadap Proses Keputusan Pembelian Konsumen pada Jamu di Banda Aceh<br />

Rusydi Abubakar<br />

Gambar 3. Empat Tipe Perilaku Konsumen.<br />

High Involvement<br />

Low Involvement<br />

Significant Differences between Complex Buying Behavior Variety-seeking Buying Behavior<br />

Bands<br />

Faw Differences between Bands Dissonace-reducing Buying Habitual Buying Behavior.<br />

Behavior<br />

Sumber : Kotler,2000.Manajemen Pemasaran. Edisi Millenium. Prenhallindo. Jakarta. (hal.177).<br />

Metedologi<br />

Penelitian ini menganalisa pengaruh bauran<br />

pemasaran <strong>industri</strong> jamu terhadap proses keputusan<br />

pembeli konsumen. Objek penelitian untuk variable<br />

bebas/independent variable adalah bauran pemasaran<br />

dengan sub variable yaitu : produk,harga.promosi<br />

dan tempat.<br />

Objek penelitian lainnya sebagai variabel<br />

terikat/Dependent Variabel adalah keputusan<br />

pembelian konsumen. Yang dijadikan respon adalah<br />

pengguna produk jamu. Untuk menganalisa objek<br />

penelitian ini dipergunakan pendekatan deskriptif dan<br />

variatif, melalui analisis jalur (Path Analysis).<br />

Manajemen penelitian ini merupakan<br />

pendekatan Ilmu Ekonomi Terutama dari ilmu uang<br />

memfokuskan pada bidang Manajemen Pemasaran<br />

secara khusus pada aspek bauran pemasaran dan<br />

pengaruhnya terhadap proses keputusan pembelian<br />

konsumen pada <strong>industri</strong> jamu di Banda Aceh.<br />

Variabel-varibel dalam penelitian pengaruh<br />

pelaksanaan bauran pemasaran terhadap proses<br />

keputusan-keputusan pembelian konsumen pada<br />

indutri jamu Di Banda Aceh terdiri dari :<br />

1. Variabel bebas/independent variabel (Variabel<br />

X) adalah bauran pemasaran. Sub variable :<br />

produk (X1),harga (X2), promosi(X3) dan<br />

tempat (X4).<br />

2. Produk terikat/Dependent variabel (variabel Y)<br />

adalah proses keputusan pembelian konsumen.<br />

Unit observasi pada penelitian ini adalah <strong>industri</strong><br />

jamu Kota Banda Aceh untuk mendapatkan data<br />

sekunder,konsumen produk jamu yang ada di<br />

Banda Aceh untuk mendapatkan data primer<br />

sebagai unit analisis dalam penelitian ini.<br />

1. Dalam penelitian ini ukuran sample untuk<br />

konsumen (responden) ditentukan<br />

berdasarkan bentuk pengujian statistik yang<br />

akan digunakan untuk menguji hipotesis.<br />

Hipotesis akan diuji dengan menggunakan<br />

Analisis Jalur (Path Analysis). Dengan<br />

demikian ukuran sample minimal untuk<br />

analisis jalur ini, dapat ditentukan melalui<br />

rumus ukuran sample minimal untuk ukuran<br />

korelasi koefisien yang dilakukan secara<br />

iteratif (perhitungan berulang-ulang)<br />

Menentukan ukuran sample secara iteratif<br />

dengan langkah sebagai berikut :<br />

a. Pada iterasi pertama dipergunakan rumus<br />

sebagai berikut :<br />

2. Apabila ukuran sample minimal pada iterasi<br />

pertama dan iterasi kedua harganya sampai<br />

dengan bilangan yang satuannya sama,<br />

maka iterasi berhenti. Apabila belum sama,<br />

lakukan iterasi ketiga dengan menggunakan<br />

rumus 4b, demikian seterusnya sampai<br />

ukuran sample yang akan ditentukan sudah<br />

sama baru berhenti.<br />

3. Berdasarkan keterangan di atas dalam<br />

penelitian ini diambil :<br />

57


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Pada iterasi pertama ini diperoleh sample<br />

sebanyak 75 orang responden yang ditetapkan secara<br />

random.<br />

Iterasi kedua :<br />

Jumlah sample pada iterasi kedua dapat<br />

dihitung dengan rumus diatas sebagai berikut :<br />

frekuensi dan proporsi. Sedangkan mengetahui<br />

tingkat masing-masing item dari variabel maupun<br />

antar variabel penelitian digunakan <strong>teknik</strong><br />

perbandingan skor total responden terhadap skor<br />

maksimumnya.<br />

Untuk dapat mencapai tujuan yaitu<br />

mengetahui pengaruh langsung maupun tidak<br />

langsung dari masing-masing variabel bauran<br />

pemasaran terhadap keputusan pembelian konsumen<br />

dan menguji hipotesis penelitian, maka <strong>teknik</strong> analisi<br />

data digunakan adalah analisis jalur (Path Analysis).<br />

Menurut Harun Al-Rasyid (2001:7), langkah kerja<br />

pengujian hipotesis adalah sebagai berikut: Gambar 4<br />

Berdasarkan perhitungan iterasi kedua<br />

diperoleh sample sebanyak 75 orang responden yang<br />

hampir sama dengan hasil iterasi I. Selanjutnya untuk<br />

menentukan banyaknya sample pada masing-masing<br />

kecamatan di hitung dengan metode alokasi<br />

proporsional menurut (Moh. Nazir,1999:361)<br />

sebagai berikut :<br />

Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan<br />

bauran pemasaran yang diterapkan oleh <strong>industri</strong><br />

jamu, dari hasil angket setiap item pertanyaan dicari<br />

besarnya persentase dengan menggunakan rumus :<br />

Analisis dan Pembahasan<br />

Pada penelitian ini dilakukan penyebaran kuisioner<br />

terhadap 225 orang responden yang berada di Kota<br />

Banda Aceh, khususnya yang berada di Kecamatan<br />

Baiturrahman, Kuta Alam, dan Kecamatan Syiah<br />

Kuala. Karekteristik responden disajikan pada<br />

Tabel.1<br />

Tabel 1. Karekteristik responden Pengguna Produk<br />

Jamu Saat ini<br />

No Uraian Frekuensi Persentase<br />

(%)<br />

1 Ya 212 94,22<br />

2 Tidak 13 5,78<br />

Jumlah 225 100,0<br />

Sebagian besar konsumen <strong>industri</strong> jamu<br />

mengkonsumsi jenis jamu kesehatan, yaitu sebanyak<br />

51,11 persen atau 115 orang. Hal ini menunjukkan<br />

bahwa sebagian besar konsumen mengkonsumsi<br />

jamu hanya untuk menjaga atau memulihkan<br />

kesehatannya saja, bukan digunakan sebagai obat<br />

untuk menyembuhkan penyakit. Perincian mengenai<br />

jenis produk jamu yang dikonsumsi <strong>industri</strong> jamu<br />

disajikan pada table 2.<br />

Rumus di atas digunakan untuk<br />

menganalisis deskriptif dimana respon jawaban<br />

responden pada setiap item digunakan perhitungan<br />

58


Pengaruh Pelaksanaan Bauran Pemasaran terhadap Proses Keputusan Pembelian Konsumen pada Jamu di Banda Aceh<br />

Rusydi Abubakar<br />

Tabel 2 Jenis Produk jamu yang Dikonsumsi<br />

No Jenis jamu Frekuensi Persentase<br />

(%)<br />

1 Jamu Kuat 48 21,33<br />

2 Jamu 115 51,11<br />

kesehatan<br />

3 Jamu 62 27,56<br />

Kecantikan<br />

Jumlah 225 100,00<br />

Alasan konsumen dominan mengkonsumsi<br />

produk jamu adalah karena mutunya. Hal ini<br />

menunjukkan konsumen memulai pembelian terlebih<br />

dahulu sehingga menentukan manfaat produk jamu.<br />

Kemudian alasan kemudahan mendapatkan penjualan<br />

untuk membeli karena hal ini berhubungan dengan<br />

tersedia dan mudah tidaknya produk jamu ada dekat<br />

dengan tempat tinggal konsumen. Karena alasan<br />

harga berhubungan dengan daya beli konsumen<br />

terhadap jenis produk <strong>industri</strong> jamu.<br />

Alasan konsumn di atas, menunjukkan konsumen<br />

produk jamu melakukan proses keputusan pembelian<br />

karena mutu atau kualitas dn kemudahan<br />

mendapatkan tempat penjualannya.<br />

Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini<br />

adalah sebagai berikut :<br />

Pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan<br />

analisa jalur (path analysis). Pengaruh pelaksanaan<br />

bauran pemasaran (X) terdiri dari produk (X1),harga<br />

(X2), promosi (X3), dan tempat (X4) di mana semua<br />

variabel tersebut adalah variabel bebas<br />

(independent). Sedangkan variabel terikat<br />

(dependent) dalam penelitian ini pengambilan<br />

keputusan pembelian konsumen (Y), disamping itu<br />

terdapat variabel residual yang diberi lambang (ε).<br />

Nilai koefisien jalur dari persamaan<br />

struktural tersebut, perlu dilakukan pengujian<br />

signifikannya, untuk mengetahui kebermaknaan<br />

variabel bebas Xi mempengaruhi variabel tidak bebas<br />

(Y), melalui dua langkah pengujian koefisien jalur,<br />

yaitu langkah pertama pengujian hipotesis secara<br />

simultan, sedangkan langkah kedua dilakukan<br />

pengujian hipotesi secara parsial.<br />

Pengujian secara simultan berfungsi menilai<br />

kebermaknaan seluruh koefisien jalur variabel bebas<br />

terhadap koefisien jalur variabel tidak bebas, dan<br />

pengujian secara parsial, menilai kebermaknaan<br />

masing-masing koefisien jalur dari variable bebas<br />

terhadap koefisien jalur dari variabel tidak bebas.<br />

Secara statistik, dalam pengujian hipotesis secara<br />

simultan digunakan uji F (Bahren-Fisher), sedangkan<br />

secara parsial dilakukan uji t-student.<br />

Hasil analisis pengujian secara simultan<br />

menunjukkan bahwa variable bebas mempengaruhi<br />

variable tidak bebas, artinya bahwa variable produk<br />

jamu (X1), harga jamu (X2), promosi jamu (X3),dan<br />

tempat penjualan jamu (X4) berpengaruh terhadap<br />

proses keputusan pembelian konsumen. Secara<br />

matematis, hasil pengujian tersebut dirumuskan<br />

dalam persamaan :<br />

Y=0,452748 X1 + 0,332349 X2 + 0,529537<br />

X3 + 0,50156 X4<br />

Hubungan matematis ini menunjukkan nilai Fhit<br />

sebesar 158,8573796, sedangkan nilai F0,05 adalah<br />

sebesar 2,407, sehingga Fhit > F0,05, berarti Ho<br />

ditolak (signifikan).<br />

Besarnya pengaruh variable bebas terhadap<br />

variable tidak bebas dapat dilihat melalui nilai<br />

koefisien determinasi (R2). Nilai koefisien<br />

determinasi (R2) yang diperoleh adalah sebesar<br />

0,7428, yang berarti bahwa variasi keputusan<br />

pembelian konsumen pada <strong>industri</strong> jamu dipengaruhi<br />

oleh produk jamu (X1), harga(X2), promosi jamu<br />

(X3) dan tempat penjualan jamu (X4) sebesar 74,28<br />

persen. Sedangkan sisanya sebesar 25,72 persen<br />

ditentukan oleh variable lainnya. Dengan kata lain,<br />

sebenarnya keputusan pembelian konsumen pada<br />

<strong>industri</strong> jamu tidak hanya ditentukan oleh variabelvariabel<br />

tersebut,tetapi ditentukan juga oleh faktorfaktor<br />

lainnya.<br />

Secara statistik,hasil analisis dan pengujian<br />

hipotesis secara simultan menunjukkan hasil yang<br />

signifikan, untuk itu perlu dilakukan pengujian<br />

hipotesis secara parsial melalui uji t-student. Untuk<br />

mengetahui pengaruh masing-masing variable bebas<br />

(Xi) terhadap variable tidak bebas (Y) disajikan pada<br />

Table 3.<br />

Tabel 3. Hasil Analisis pada Koefisien Jalur X1,X2,X3, dan X4 terhadap Y Secara Parsial.<br />

Pengaruh<br />

Nilai Koefisien Jalur t-hitung t0,25 Keputusan Kesimpulan<br />

X1,X2,X3,X4<br />

terhadap Y<br />

Pengaruh<br />

0,452748188 13,103 1,960 Ho ditolak Signifikan<br />

X1 Terhadap Y<br />

Pengaruh X2 0,332348555 9,7251 1,960 Ho ditolak Signifikan<br />

Terhadap Y<br />

Pengaruh X3 0,529537138 15,313 1,960 Ho ditolak Signifikan<br />

Terhadap Y<br />

Pengaruh X4 0,050155609 1,459 1,960 Ho diterima Non Signifikan<br />

Terhadap Y<br />

Pengaruh εI<br />

Terhadap Y<br />

0,507130<br />

Sumber : Hasil Analisis<br />

59


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Tabel 4. Persentase Pengaruh Variabel X1,X2,X3 dan X4 terhadap Y<br />

Variabel Independen Pengaruh Pengaruh Tidak Langsung<br />

Total<br />

Langsung (%) X1 X2 X3 X4 Sub<br />

Total<br />

X1 16,93 - -1,51 4,39 0,17 3,05 19.98<br />

X2 9,12 -1,51 - 0,67 0,24 -0,59 8,53<br />

X3 23,16 4,39 0,67 - 0,38 5,44 28,60<br />

X4 0,21 0,17 0,24 0,38 - 0,79 1,00<br />

Pengaruh X1,X2,X3 dan X4 secara simultan terhadap Y 58,11<br />

Pengaruh Variabel lain (ε) terhadap Y 41,89<br />

Total 100,00<br />

Untuk menguji kebermaknaan setiap koefisien jalur<br />

agar digunakan atau tidaknya trimming theory dapat<br />

dilihat dari nilai thitung pada Tabel 4 di atas. Dari<br />

Tabel 4 diketahui bahwa produk jamu<br />

(X1),harga(X2),promosi jamu (X3) secara statistik<br />

berpengaruh nyata terhadap keputusan pembelian<br />

konsumen, sedangkan tempat penjualan jamu (X4)<br />

secara statistik berpengaruh tidak nyata terhadap<br />

keputusan pembelian konsumen. Tidak berpengaruh<br />

disini bukan berarti tidak ada pengaruhnya sama<br />

sekali terhadap keputusan pembelian konsumen, akan<br />

tetapi pengaruhnya sangat kecil sekali didalam<br />

sample sehingga secara statistik di dalam populasi<br />

tidak teruji.<br />

X4 secara statistik berpengaruh tidak nyata terhadap<br />

proses keputusan pembelian konsumen disebabkan<br />

antara lain :<br />

1. Secara umum, perusahaan jamu sudah<br />

berada ditempat konsumen,sehingga<br />

menyebabkan tempat kurang berpengaruh<br />

terhadap proses pengambilan keputusan<br />

pembelian konsumen.<br />

2. Selain pabrik yang sudah berada lingkungan<br />

konsumen, selain itu pedagang perantara<br />

juga banyak menjual produk jamu disekitar<br />

lingkungan konsumen.<br />

Berdasarkan paradigma diatas, maka dapat<br />

diketahui besarnya pengaruh variable (X1)<br />

secara parsial terhadap proses keputusan<br />

pembelian konsumen (Y) dengan trimming<br />

theory. Untuk lebih jelasnya tentang pengaruh<br />

masing-masing variable Xi terhadap Y baik<br />

pengaruh langsung, tidak langsung maupun<br />

pengaruh total dapat dilihat pada table.4<br />

Pengaruh langsung setiap variable X terhadap Y<br />

ditentukan oleh koefisien jalurnya masing-masing<br />

yaitu Pyx1,Pyx2,Pyx3,Pyx4 sedangkan pengaruh Xi<br />

melalui rxixj oleh Pyxi,Pyxj.<br />

Kesimpulan<br />

Berdasarkan hasil penelitian dan<br />

pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka dapat<br />

ditarik beberapa kesimpualan sebagai berikut :<br />

1. Dari pengujian statistik ternyata pengaruh<br />

pelaksanaan bauran pemasaran produk <strong>industri</strong><br />

jamu di Banda Aceh secara simultan<br />

berpengaruh positif (58,11%) hal ini<br />

dicerminkan dari tanggapan/pertimbangan<br />

konsumen atas masing-masing indikator bauran<br />

pemasaran yang meliputi produk, harga, promosi<br />

dan distribusi atau tempat <strong>industri</strong> jamu di Banda<br />

Aceh. Dan jika dianalisis secara parsial produk<br />

berpengaruh positif,harga berpengaruh<br />

positif,promosi berpengaruh positif dan<br />

distribusi atau tempat berpengaruh negatif<br />

terhadap keputusan pembelian konsumen. Dan<br />

juga yang tidak bisa diabaikan oleh <strong>industri</strong> jamu<br />

di Banda Aceh yaitu faktor lain yang<br />

mempengaruhi keputusan pembelian konsumen<br />

yaitu sebesar (41,89%)<br />

2. Pengaruh bauran pemasaran terhadap proses<br />

keputusan pembelian konsumen yang paling<br />

dominan dari unsur bauran yang terdiri dari :<br />

A. Bauran produk yang dilaksanakan oleh<br />

<strong>industri</strong> jamu mempunyai pengaruh secara<br />

signifikan terhadap keputusan pembelian<br />

konsumen pada <strong>industri</strong> jamu di Banda Aceh<br />

(19,98%)<br />

B. Bauran harga yang dilaksanakan oleh <strong>industri</strong><br />

jamu mempunyai pengaruh secara signifikan<br />

terhadap keputusan pembelian konsumen pada<br />

<strong>industri</strong> jamu di Banda Aceh (8,53%).<br />

C. Bauran promosi yang dilaksanakan oleh<br />

<strong>industri</strong> jamu mempunyai pengaruh secara<br />

signifikan terhadap proses keputusan pembelian<br />

konsumen pada <strong>industri</strong> jamu di Banda Aceh<br />

(28,60%)<br />

D. Ditribusi atau tempat yang dilaksanakan oleh<br />

<strong>industri</strong> jamu tidak mempunyai pengaruh non<br />

signifikan terhadap proses keputusan pembelian<br />

konsumen pada <strong>industri</strong> jamu di Banda Aceh<br />

(1,00%)<br />

60


Pengaruh Pelaksanaan Bauran Pemasaran terhadap Proses Keputusan Pembelian Konsumen pada Jamu di Banda Aceh<br />

Rusydi Abubakar<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Arnold, David. 1996. Pedoman Manajemen Merek<br />

(Terjemahan). PT. Ketindo Soho. Surabaya.<br />

Basu Swastha. 1997. Manajemen Pemasaran<br />

Modern. Edisi ke-2, Liberty. Yogyakarta.<br />

. 1999. Manajemen Penjualan. BPFE,<br />

Yogyakarta<br />

Balai Besar POM Banda Aceh, 2002. Daftar Nama-<br />

Nama Industri Jamu di Propinsi Nangroe<br />

Aceh Darussalam. Banda Aceh<br />

Boyd, Walker dan Larreche. 2000. Manajemen<br />

Pemasaran Suatu Pendekatatan Strategis<br />

dengan Orientasi Global. Penerbit<br />

Erlangga. Jakarta.<br />

Brannan, Tom. 1998. Pedoman Praktis untuk<br />

Komunikasi Pemasaran Terpadu<br />

(Terjemahan). Gramedia Pustaka Utama.<br />

Jakarta.<br />

Buchari Alma. 1998. Manajemen Pemasaran dan<br />

Pemasaran Jasa. Edisi ke-2. Penerbit<br />

Alpabeta. Bandung.<br />

C.M. Lingga Purnama. 2001. Strategic Marketing<br />

Plan, Panduan Lengkap dan Praktis<br />

Menyusun Rencana Pemasaran yang<br />

Strategis dan Efektif. Penerbit PT. Gramedia<br />

Pustaka Utama. Jakarta<br />

Cravens, David W. 1999. Pemasaran Strategis. Edisi<br />

ke-4. Alih Bahasa :Lina Salim. Penerbit<br />

Erlangga. Jakarta.<br />

Dyah Hasto Palupi. 2002. Membedah Jurus<br />

Pemasaran Jamu Tradisional. Tabloid<br />

Marketing No. 11/II/4 Edisi 17 Juli 2002.<br />

Engel, James F, Roger D. Blackwell, Paul W.<br />

Miniard. 1994. Consumer Behavior. 6 th<br />

edition. The Dryden Press. Chicago<br />

Etzel, Michael J, Walker, J. Bruce William J.<br />

Stanton. 1997. Marketing, Eleven Edition<br />

McGraw-Hill Companies, Inc, North<br />

America.<br />

Fandy Tjiptono. 2000. Strategi Pemasaran. Penerbit<br />

Andi Offset. Yogyakarta.<br />

Gerson, F, Richard. 1994. Marketing Strategis For<br />

Small Businesse. Crisp Publications<br />

Gonsalves, Karen P. 1998. Service Marketing, A<br />

Strategic Approach. Prentice-Hall. Upper<br />

Sanddle River. New Jersey.<br />

Hanibal Prajogo. 1998. Analisis Kepuasan Anggota<br />

Perorangan Tahun 1997 Atas Pelaksanaan<br />

Atribut-atribut Bauran Pemasaran Eldorado<br />

Executive Club Bandung, <strong>Universitas</strong><br />

Parahyangan. Bandung.<br />

Harun Al-Rasjid. 1994. Analisis Jalur (Path<br />

Analysis) Sebagai Sarana Statistika Dalam<br />

Analisa Kausal. Laboratorium Pengabdian<br />

Pada Masyarakat dan Pengkajian Ekonomi<br />

(LP3ES), Fakultas Ekonomi <strong>Universitas</strong><br />

Padjajaran. Bandung.<br />

Heny Hendrayati. 2002. Pengaruh Bauran Pemasaran<br />

Jasa Terhadap Pengambilan Keputusan<br />

Konsumen untuk Berlangganan Harian<br />

Umum Pikiran Rakyat di Wilayah Kota<br />

Bandung. (Tesis). <strong>Universitas</strong> Padjajaran.<br />

Bandung.<br />

Hitt. Michael A, R. Duane Ireland, Robert E.<br />

Hoskinson. 1997. Manajeman Strategis<br />

Menyongsong Era Persaingan dan<br />

Globalisasi. Alih Bahasa : Armand<br />

Hediyanto. Penerbit Erlangga. Jakarta<br />

Indriyo Gitosudarmo. 1999. Manajemen Pemasaran.<br />

BPFE. Jakarta<br />

Keegan, J. Waren. 1996. Manajemen Pemasaran<br />

Global (Terjemahan). PT. Prenhallindo.<br />

Jakarta.<br />

Kotler, Philip. 2000. Marketing Management. The<br />

Millenium Edition. Prentice Hall<br />

International Inc. USA.<br />

. 2000. Manajemen Pemasaran<br />

Edisi Milenium (Terjemahan). PT.<br />

Prenhallindo. Jakarta.<br />

Gary Amstrong 2001, Prinsip-<br />

Prinsip Pemasaran. Jilid 1 Edisi ke-8. Alih<br />

Bahasa. Damos Sihombing. Penerbit<br />

Erlangga. Jakarta.<br />

1998. Dasar-Dasar Pemasaran.<br />

Edisi ke-2. Alih Bahasa : Alexander<br />

Sindoro.Prenhallindo. Jakarta.<br />

Marius P. Angipora. 1999. Dasar-Dasar Pemasaran.<br />

PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.<br />

Macrae, Chris. 1996. The Brand Chatering<br />

Handbook. Addision Mesly Longman<br />

Limited and The Economist Intelligence<br />

Unit.<br />

Mueller, Daniel J. 1986. Measuring Social Attitudes :<br />

A Handbook for Research & Practioners.<br />

Teacher College Press.<br />

Moh. Nazir. 1999. Metode Penelitian. Ghalia<br />

Indonesia. Jakarta.<br />

Peter. Paul J. dan Jerry C. Olson. 2000. Perilaku<br />

Konsumen dan Strategi Pemasaran.<br />

Erlangga. Jakarta<br />

Porter. Michael E. 1997. Strategi Bersaing Teknik<br />

Menganalisis Industri dan Pesaing. Alih<br />

Bahasa : Agus Maulana. Penerbit Erlangga.<br />

Jakarta<br />

Ruslan Rosady. 1995. Aspek-Aspek Hukum dan<br />

Etika dalam Aktivitas Kehumasan. Ghalia<br />

Indonesia. Jakarta<br />

Schiffman, Leon G ; Leslie Lazar Kanuk. 2000.<br />

Consumen Behavior. Seven Edition,<br />

Prentice Hall International, Inc. Upper<br />

Saddle River. New Jersey<br />

Stanton, William J. 1996. Prinsip Pemasaran. Edisi<br />

ke -7. Diterjemahkan Oleh : Yohanes<br />

Lamarto. Penerbit Erlangga. Jakarta.<br />

Sucherly. 1996. Strategi Pemasaran dalam Industri<br />

Kayu Gergajian dan Pengaruhnya Terhadap<br />

Penjualan (Disertasi). <strong>Universitas</strong><br />

Padjajaran. Bandung.<br />

Sudjana. 1992. Metode Statistik. Edisi ke-4. Tarsito.<br />

Bandung<br />

61


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Sugiyono. 2000. Metode Penelitian Administrasi.<br />

Alpabeta. Bandung.<br />

Sukirno, Sadono. 2000. Pengantar Teori<br />

Mikroekonomi. PT. Raja Grafindo Persada.<br />

Jakarta.<br />

Surachman Sumawihardja, Suwandi Suparlan,<br />

Sucherly. 1991. Intisari Manajeman<br />

Pemasaran. Remaja Rosdakarya. Bandung.<br />

Supranto. J. 2002. Upaya Memuaskan Pelanggan<br />

Agar Menjadi Loyal. Jurnal Ekonomi dan<br />

Bisnis Fakultas Ekonomi <strong>Universitas</strong><br />

Katolik Indonesia Atma Jaya. Jakarta.<br />

Suryana. 2001. Kewirausahaan. Penerbit Salemba<br />

Empat. Jakarta.<br />

Sutisna. 2001. Perilaku Konsumen dan Komunikasi<br />

Pemasaran. PT. Remaja Rosda Karya.<br />

Bandung.<br />

Umar Husein. 2000. Riset Pemasaran dan Perilaku<br />

Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama.<br />

Jakarta.<br />

,1999 Metodologi Penelitian<br />

Aplikasi dalam Pemasaran. Edisi ke-2.<br />

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.<br />

Zeitham Valerie A. Bitner, Mary Jo. 1996, Service<br />

Marketing<br />

Rusydi Abubakar, adalah dosen pada Fakultas<br />

Ekonomi <strong>Universitas</strong> Malikussaleh di<br />

Lhokseumawe, Memperoleh gelar S1 di<br />

Fakultas Ekonomi <strong>Universitas</strong> Malikussaleh<br />

dan memperoleh Magister S2 (M.Si) di bidang<br />

Pemasaran pada <strong>Universitas</strong> Padjajaran<br />

Bandung.<br />

62


Pendeteksian Outlier pada Data Inflasi Aceh<br />

Ratna<br />

PENDETEKSIAN OUTLIER PADA DATA INFLASI ACEH<br />

Ratna<br />

Jurusan Bisnis Fakultas Eonomi <strong>Universitas</strong> Malikussaleh<br />

Abstrak: Pada Penelitian di bidang ekonomi dan keuangan seringkali model ARIMA yang standar tidak dapat<br />

memberikan solusi dari permasalahan yang ada Gouriroux (1997), hal ini terutama berkaitan dengan tidak<br />

terpenuhinya asumsi dasar berdistribusi, seperti berdistribusi normal dan model white noise, data inflasi Aceh<br />

residual dari model intervensi belum berdistribusi normal, mungkin disebabkan pada data tersebut ada outlier.<br />

Untuk mendeteksi outlier dilakukan dengan prosedur literative yaitu dengaN menghitung λ1.t dan λ2.t dan<br />

dipilih λT yang maksimum. Bila λ1.t > λ2.t dinamakan Additive Outlier (AO) dan bila λ1.t < λ2.t Innovational<br />

Oulier (IO). Dalam permodelan data infalsi Aceh untuk melakukan pendeteksian outlier dilakukan dengan<br />

menguji residual dari model intervensi. Setelah dilakukan pengujian ternyata asumsi dasar berdistribusi normal<br />

tidak terpenuhi, karena pada observasi keke 118 (Oktober 1998) terdapat outlier. Setelah dilakukan perhitungan<br />

dengan prosedur literative diperoleh λ1.t > λ2.t dan λT = -4,57683 > C maka ada indikasi Additive Outlier<br />

(AO).<br />

Key words: Pendeteksian Oulier<br />

1. Pendahuluan<br />

Pada penelitian di bidang ekonomi dan<br />

keuangan seringkali model ARMA yang standar<br />

tidak dapat memberikan solusi dari permasalahan<br />

yang ada Gourieroux (1997). Hal ini terutama<br />

berkaitan dengan tidak terpenuhinya asumsi dasar,<br />

seperti stasioner, residual berdistribusi normal dan<br />

model white noise. Pemodelan yang pernah<br />

dilakukan salah satunya adalah indeks harga<br />

konsumen nasional dengan analisis intervensi<br />

Bustaman (2000), indeks harga konsumen umum<br />

dan subkelompok padi-padian dengan analisis<br />

intervensi dan GARCH Rupingi (2001), dan<br />

Analisis Intervensi pada Kasus Data Inflasi Akibat<br />

Krisis Moneter Ratna (2004).<br />

Model-model tersebut asumsi dasar<br />

berdistribusi normal belum dapat dipenuhi, olwh<br />

karenanya mungkin terjadi outlier dalam data<br />

tersebut.Outlier akhir-akhir ini lebih banyak<br />

dipelajari dalam literatur statistik time series, dan<br />

ketertarikan ini juga berkembang dalam bidang<br />

ekonometrik. Pembahasan secara umum tentang<br />

outlier time series, melibatkan definisi dan<br />

kemungkinan efek yang merugikan tentang outlier<br />

time series, diikuti dengan pendeteksian outlier dan<br />

pemodelan outlier.<br />

Barnett dan Lewis (1994) melakukan<br />

penelitian tentang outlier dan mengembangkan<br />

outlier dengan metoda statistik, Bruce dan Martin<br />

(1989) menemukan cara pendeteksian outlier dan<br />

pemodelannya, Harvey dan Durbin (1986)<br />

membahas analisis intervensi yang menyangkut<br />

outlier. Oleh karena itu adanya outlier seringkali<br />

disebabkan adanya intervensi pada data.<br />

2. Metodologi Penelitian<br />

Ada beberapa tipe dan metode pendeteksian<br />

outlier yang berbeda. Jumlah outlier yang dideteksi<br />

bervariasi (baik satu ataupun lebih dari satu), dan ada<br />

perbedaan antara uji-uji untuk mengidentifikasi<br />

outlier dengan jumlah yang diketahui dan tidak<br />

diketahui. Ljung (1993) yang menyatakan bahwa<br />

analisis regresi merupakan pengembangan pertama<br />

dari pendeteksian outlier. Dalam literatur standar<br />

outlier (Tsay, 1986 dan 1988, Chen dan Liu 1993),<br />

suatu time series dimodelkan sebagai ARMA<br />

ditambah intervensi dan outlier.<br />

Ketika terdapat beberapa outlier, estimasi<br />

ω yang telah digambarkan sebelumnya pada periode<br />

ke-t, bisa jadi merupakan suatu estimasi yang unbias<br />

untuk pengaruh outlier pada waktu t, disebabkan oleh<br />

pengaruh dari outlier disebelahnya. Anggap suatu<br />

kasus khusus berikut dari dua buah additive outlier<br />

(AO) dalam model ARMA :<br />

* ( T ) ( T ) θ(<br />

B)<br />

1<br />

2<br />

Z<br />

t<br />

= ω1I<br />

t<br />

+ ω2I<br />

t<br />

+ at<br />

φ(<br />

B)<br />

dengan asumsi bahwa series yang ditetapkan oleh<br />

model ARMA yang sesuai dan ê t merupakan<br />

residual yang diestimasi, sehingga dapat<br />

didefinisikan :<br />

* ( T1 )<br />

( T2<br />

)<br />

e ˆ<br />

t<br />

=π(<br />

BZ )<br />

t<br />

=ωπ<br />

1<br />

( BI )<br />

t<br />

+ωπ<br />

2<br />

( BI )<br />

t<br />

+ at<br />

Jika T tidak diketahui, tetapi parameter time<br />

series diketahui, kita dapat menghitung<br />

λ dan<br />

1. t<br />

λ 2 . t , dimana t = 1, 2, …, n. Akan tetapi dalam<br />

praktek parameter time series sering kali tidak<br />

diketahui dan harus diestimasi. Hal ini berarti bahwa<br />

keberadaan outlier menyebabkan estimasi parameter<br />

2<br />

sangat bias, sehingga σ a akan menjadi<br />

overestimated. Chang dan Tiao (1983) mengusulkan<br />

prosedur pendeteksian iterative untuk mengatasi<br />

situasi jika jumlah AO atau IO tidak diketahui.<br />

Pendeteksian outlier dengan menggunakan prosedur<br />

iterative ada beberapa tahap antara lain:<br />

63


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Tahap I :<br />

Model series Z t diasumsikan bahwa tidak ada outlier. Menghitung residual dari model yang diestimasi<br />

sebagai berikut :<br />

n<br />

φˆ(<br />

B)<br />

2 1 2<br />

eˆ<br />

t<br />

= πˆ(<br />

B)<br />

Z<br />

t<br />

= Yt<br />

dan σˆ<br />

a<br />

= ∑eˆ<br />

t<br />

θˆ(<br />

B)<br />

n t=<br />

1<br />

Tahap II :<br />

Menghitung ˆλ<br />

1. t<br />

dan ˆλ<br />

2 . t<br />

untuk t = 1, 2, …,n dengan menggunakan model yang telah diestimasi<br />

λ ˆ = max max { λˆ<br />

i t<br />

}<br />

T t i<br />

.<br />

dimana T waktu maksimum diketahui. Jika λ ˆ<br />

t<br />

= λˆ<br />

1.<br />

T<br />

> C , C adalah yang sering terjadi pada nilai antara<br />

3 dan 4, kemudian AO pada waktu T dan pengaruh estimasi dengan ωˆ<br />

AT , adalah :<br />

~ ( T )<br />

Z ˆ<br />

t<br />

= Z<br />

t<br />

− ω<br />

AT<br />

I<br />

t<br />

Residual baru dapat dicari dengan cara :<br />

( )<br />

e ~ ˆ ˆ ˆ( )<br />

T<br />

t = et<br />

− ω AT π B It<br />

Jika λ ˆ t = λˆ<br />

2.<br />

T > C , maka ada IO pada waktu T dengan pengaruh ωˆ<br />

IT . Pengaruh IO ini dapat dihilangkan<br />

dengan memodifikasi persamaan<br />

~ θˆ(<br />

B)<br />

( T )<br />

Z<br />

ˆ<br />

t<br />

= Z<br />

t<br />

− ωIT<br />

I<br />

t<br />

φˆ(<br />

B)<br />

( )<br />

dan residual baru dapat dihitung dengan cara : e ~ ˆ ˆ<br />

T<br />

t = et<br />

− ωIT<br />

It<br />

Tahap III :<br />

Menghitung kembali ˆλ 1. t dan ˆλ 2 . t berdasarkan modifikasi residual dan ~ 2<br />

σ<br />

a<br />

, dan mengulang langkah 2 sampai<br />

seluruh outlier dapat diidentifikasi. Estimasi awal untuk π (B)<br />

tetap tidak berubah.<br />

Tahap IV :<br />

Setelah tahap 3 berakhir, dan k outlier untuk sementara telah dapat diidentifikasi pada waktu T 1 , T 2 , …, T k ,<br />

estimasi parameter outlier ω 1 , ω2<br />

,..., ωk<br />

. Parameter time series secara simultan dapat didefinisikan dengan<br />

menggunakan model :<br />

k<br />

*<br />

( T B<br />

Z v B I<br />

j ) θ(<br />

)<br />

t<br />

=∑ω<br />

j j(<br />

)<br />

t<br />

+ at<br />

j=<br />

1 φ(<br />

B)<br />

Tahap 2 sampai dengan tahap 4 diulang sampai semua outlier diidentifikasi dan efeknya secara simultan dapat<br />

diestimasi.<br />

3. Analisis dan Pembahasan<br />

Salah satu indikator ekonomi yang dipantau<br />

terus perkembangannya oleh pemerintah adalah<br />

angka inflasi. Angka ini dihitung berdasarkan rasio<br />

perubahan yang terjadi pada Indeks Harga Konsumen<br />

(IHK) setiap bulan. Dalam skala nasional<br />

penghitungan IHK dilakukan berdasarkan survei<br />

harga konsumen di beberapa kota besar di Indonesia<br />

(BPS, 1998).<br />

Perkembangan inflasi Aceh secara umum<br />

mempunyai pola gradual yaitu pada pertengahan<br />

tahun 1997 terjadi lonjakan inflasi yang sangat<br />

tinggi Kondisi yang seperti ini memberikan<br />

indikasi awal terjadinya sesuatu yang tidak wajar<br />

dalam periode tersebut.<br />

Fenomena lonjakan harga besar tersebut yang terjadi<br />

di Aceh mengakibatkan terjadi inflasi yang tinggi<br />

yang berawal pada bulan Juli 1997 oleh pakar<br />

ekonomi disebut sebagai krisis moneter. Dampak dari<br />

krisis tersebut adalah menurunnya nilai tukar rupiah<br />

terhadap dolar Amerika secara signifikan (Rusman,<br />

1998). Krisis ekonomi yang melanda Aceh pada<br />

bulan Juli 1997 menyebabkan perubahan besar pada<br />

sebagian komoditas yang dibutuhkan masyarakat.<br />

Jika diperhatikan dari bulan ke bulan, maka berbagai<br />

komoditas barang tersebut cenderung meningkat<br />

dengan kelipatan yang lebih besar dibandingkan<br />

dengan masa sebalum krisis (Soemarjan, 1998).<br />

Gejala naiknya berbagai komoditas akibat krisis<br />

moneter tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 yang<br />

cenderung meningkat tajam pada bulan Juli 1997 dan<br />

puncak krisis terjadi pada tahun 1998.<br />

64


Pendeteksian Outlier pada Data Inflasi Aceh<br />

Ratna<br />

20<br />

INFLASI ACEH<br />

10<br />

0<br />

-10<br />

JAN 1989<br />

Date<br />

APR 1991<br />

JUL 1990<br />

OCT 1989<br />

Gambar. 1 Plot data Inflasi Aceh periode Januari 1989 sampai dengan Februari 2003<br />

JUL 2002<br />

OCT 2001<br />

JAN 2001<br />

APR 2000<br />

JUL 1999<br />

OCT 1998<br />

JAN 1998<br />

APR 1997<br />

JUL 1996<br />

OCT 1995<br />

JAN 1995<br />

APR 1994<br />

JUL 1993<br />

OCT 1992<br />

JAN 1992<br />

Tabel 1 Hasil Estimasi dan diagnostic checking untuk data Inflasi Aceh periode keseluruhan (model intervensi)<br />

Parameter Estimasi Standar Error T-Ratio Karakteristik model<br />

φˆ<br />

1<br />

-0,56580 0,07938 -7,13 (*) MSE = 1,88449868<br />

ωˆ<br />

1<br />

6,32687 1,35958 4,65 (*)<br />

φˆ<br />

2<br />

-0,31108 0,08733 -3,56 (*)<br />

σˆ = 1,37277044<br />

φˆ<br />

3<br />

φˆ<br />

4<br />

ωˆ<br />

0<br />

-0,34773<br />

-0,20569<br />

9,21884<br />

0,08838<br />

0,08123<br />

1,36864<br />

-3,93 (*)<br />

-2,53 (*)<br />

6,74 (*)<br />

AIC = 564,803104<br />

SBC = 583,29153<br />

Ljung-Box<br />

Residual white noise<br />

Sumber : Hasil Output Pengolahan dengan menggunakan SAS<br />

Dengan informasi tersebut di atas dapat diduga order b = 7, s = 1 dan r = 0. Secara matematis dugaan model<br />

intervensi (mean model) untuk seluruh pengamatan adalah :<br />

( at<br />

Zt<br />

= ω0<br />

−ω<br />

1BS<br />

)<br />

t−<br />

7+<br />

2 3<br />

1( −φ<br />

B−φ<br />

B −φ<br />

B −φ<br />

B<br />

4 )<br />

1<br />

2<br />

3<br />

Bedasarkan hasil pada Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa model sudah sesuai untuk menggambarkan<br />

fluktuasi Inflasi Aceh periode Januari 1989 sampai dengan Februari 2003. Hal ini ditunjukkan dengan taksiran<br />

parameter yang sama-sama signifikan pada alpha 5 % dan syarat residual white noise juga terpenuhi pada model<br />

tersebut. Secara matematis model dapat ditulis dengan mensubtitusikan parameter model adalah :<br />

Z<br />

t<br />

Z<br />

( at<br />

9,21884−<br />

6,32687B)<br />

St<br />

7<br />

+<br />

2<br />

3<br />

(1 + 0,55065B<br />

+ 0,31108B<br />

+ 0,34773B<br />

+ 0,20569B<br />

4 )<br />

=<br />

−<br />

atau<br />

t<br />

= −0,56580Z<br />

−1,11085S<br />

t−1<br />

t−8<br />

− 0,31108Z<br />

− 0,71195S<br />

t−2<br />

t−9<br />

− 0,34773Z<br />

+ 1,23750S<br />

4<br />

t−3<br />

t−10<br />

− 0,20569Z<br />

− 0,30382S<br />

t−4<br />

t−11<br />

+ 9,21884S<br />

+ 1,30137S<br />

Model intervensi (mean model) di atas dapat diinterpretasikan bahwa krisis yang terjadi mulai bulan<br />

Juli 1997 secara rata-rata berdampak setelah krisis berjalan selama 7 bulan kedepan (sekitar Februari 1998).<br />

Hasil estimasi dan diagnostic checking pada mean model menunjukkan bahwa model telah memenuhi<br />

signifikansi parameter dan residual yang white noise, tetapi asumsi residual model berdistribusi normal belum<br />

terpenuhi seperti terlihat pada Gambar 2 berikut ini.<br />

t−7<br />

t−12<br />

+<br />

+ a<br />

t<br />

65


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Normal Probability Plot<br />

Probability<br />

.999<br />

.99<br />

.95<br />

.80<br />

.50<br />

.20<br />

.05<br />

.01<br />

.001<br />

-6<br />

-5<br />

-4<br />

-3<br />

-2<br />

-1<br />

0<br />

1<br />

2<br />

3<br />

4<br />

Average: -0.0850776<br />

StDev: 1.35537<br />

N: 161<br />

Residual Inflasi Aceh<br />

Kolmogorov-Smirnov Normality Test<br />

D+: 0.084 D-: 0.079 D : 0.084<br />

Approximate P-Value < 0.01<br />

Gambar 2 Pengujian distribusi normal pada residual model ARIMA (0,1,1)(0,1,1) 12<br />

intervensi)<br />

Inflasi Aceh (periode<br />

Setelah model intervensi diperoleh pada data Inflasi Aceh, maka langkah selanjutnya adalah mendeteksi adanya<br />

outlier. Berdasarkan uji distribusi normal Gambar 3<br />

Gambar 3 Plot residual Inflasi Aceh dengan model intervensi akibat krisis pada bulan Juli 1997<br />

Untuk mengetahui apakah residual itu berpengaruh, maka akan dideteksi outlier dengan prosedur iterative<br />

dengan menghitung nilai σˆ = 1,353826776<br />

n<br />

2<br />

τ = ∑ − T<br />

j=<br />

0<br />

π<br />

2<br />

j<br />

= ( π<br />

2<br />

0<br />

a<br />

+ π<br />

2<br />

1<br />

Untuk AO : ˆ = −4, 92926<br />

ω AT<br />

+ π<br />

2<br />

2<br />

+ ... + π<br />

2<br />

32<br />

) = 1,580125<br />

λˆ 1 T<br />

τωˆ<br />

=<br />

σˆ<br />

AT<br />

a<br />

=<br />

1,580125( −4,92926)<br />

= −4,57683<br />

1,353826776<br />

Untuk IO : ωˆ = = −6, 1242<br />

IT<br />

e<br />

T<br />

λˆ 2 T<br />

ωˆ<br />

=<br />

σˆ<br />

IT<br />

a<br />

− 6,1242<br />

=<br />

= −4,523621565<br />

1,353826776<br />

66


Pendeteksian Outlier pada Data Inflasi Aceh<br />

Ratna<br />

n−T<br />

∑<br />

eT<br />

−<br />

π<br />

jeT<br />

+ j<br />

Untuk AO :<br />

j=<br />

0<br />

ωˆ<br />

AT<br />

=<br />

n−T<br />

= −4,<br />

92926<br />

2<br />

π<br />

λˆ 1 T<br />

τωˆ<br />

=<br />

σˆ<br />

∑<br />

j=<br />

0<br />

AT<br />

a<br />

=<br />

j<br />

1,580125( −4,92926)<br />

1,353826776<br />

= −4,57683<br />

Untuk IO : ωˆ = = −6, 1242<br />

IT<br />

e<br />

T<br />

ˆ ωˆ<br />

IT − 6,1242<br />

λ 2 T<br />

= =<br />

= −4,523621565<br />

σˆ<br />

a<br />

1,353826776<br />

Oleh karena λˆ<br />

ˆ<br />

1T<br />

> λ<br />

2T<br />

berarti yang terjadi adalah Additive Outlier (AO)<br />

Setelah dilakukan penghitungan untuk outlier dan dilakukan fitting ulang dengan menggunakan SAS<br />

hasil estimasinya seperti terlihat pada Tabel 3 berikut:<br />

Tabel 3 Hasil Estimasi dan diagnostic checking untuk data Inflasi Aceh setelah dilakukan fitting untuk model<br />

outlier<br />

Parameter Estimasi Standar Error T-Ratio Karakteristik model<br />

ˆ φ<br />

1<br />

ˆ φ<br />

2<br />

ˆ φ<br />

3<br />

ˆ φ<br />

4<br />

ˆω<br />

0<br />

ω<br />

1<br />

ˆω<br />

-0,58281<br />

-0,32953<br />

-0,32412<br />

-0,19850<br />

9,03605<br />

6,20673<br />

-3,30331<br />

0,07994<br />

0,08934<br />

0,09037<br />

0,08185<br />

1,35102<br />

1,34110<br />

1,19074<br />

-7,29 (*)<br />

-3,69 (*)<br />

-3,59 (*)<br />

-2,43 (*)<br />

6,69 (*)<br />

4,63 (*)<br />

-2,77 (*) MSE = 1,80791553<br />

σˆ = 1,34458749<br />

AIC = 559,081575<br />

SBC = 580,651405<br />

2<br />

Ljung-Box Residual white noise<br />

Sumber : Hasil Output Pengolahan dengan menggunakan SAS<br />

Hasil fitting ulang model outlier dalam bentuk matematis dapat ditulis sebagai berikut :<br />

(118)<br />

Z<br />

− B S − I +<br />

(9,21884<br />

6,32687<br />

t<br />

=<br />

t−7<br />

(1 + 0,58281B<br />

+ 0,32953B<br />

)<br />

a<br />

t<br />

2<br />

3,30331<br />

+ 0,32412B<br />

t<br />

2<br />

+ 0,19850B<br />

4<br />

)<br />

67


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Selanjutnya menguji residual model outlier ternyata asumsi model berdistribusi normal sudah terpenuhi, hasilnya<br />

seperti pada Gambar 4 berikut:<br />

4<br />

Normal Q-Q Inflasi Aceh Outlier<br />

20<br />

3<br />

2<br />

1<br />

10<br />

Expected Normal Value<br />

0<br />

-1<br />

-2<br />

-3<br />

-4<br />

-4<br />

-2<br />

0<br />

2<br />

4<br />

0<br />

-3.00<br />

-3.50<br />

-2.00<br />

-2.50<br />

3.50<br />

3.00<br />

2.50<br />

2.00<br />

1.50<br />

1.00<br />

.50<br />

0.00<br />

-.50<br />

-1.00<br />

-1.50<br />

Std. Dev = 1.25<br />

Mean = -.01<br />

N = 161.00<br />

Observed Value<br />

Residual intervensi dan outlier<br />

Gambar 4.4 Pengujian distribusi normal pada Inflasi Aceh dari residual model outlier<br />

Setelah outlier terdeteksi pada data Inflasi Aceh, maka akan dilanjutkan dengan pemeriksaan kuadrat<br />

dari residual model tersebut untuk mengetahui ada tidaknya proses ARCH dan GARCH pada residual tersebut.<br />

Proses pengujian ARCH dan GARCH tersebut akan dilanjutkan untuk yang akan datang.<br />

4. KESIMPULAN<br />

Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya,<br />

maka dapat diambil kesimpulan bahawa model<br />

inflasi Aceh yang mengandung outlier adalah<br />

sebagai berikut:<br />

Zt<br />

= (9,21884 − 6,32687B)<br />

St−7<br />

− 3,30331I<br />

a<br />

(1 + 0,58281B<br />

+ 0,32953B<br />

t<br />

2<br />

(118)<br />

t<br />

+ 0,32412B<br />

2<br />

+<br />

+ 0,19850B<br />

5. DAFTAR PUSTAKA<br />

Barnett, V. dan T. Lewis. (1994), Outlier in<br />

Statistical Data, 3 rd ed. John Wiley, Chichester.<br />

Bartlett, M. S. (1946), On the Theoritical<br />

Specification of Sampling Properties of<br />

Autocorrelated Time Series, Journal of the<br />

Royal Statistical Society , B8, 27-41<br />

BPS. (1998), Indeks Harga Konsumen Ibukota<br />

propinsi di Indonesia 1998. Jakarta<br />

Bruce, A.G. dan R.D. Martin. (1989), Leave-k-out<br />

Diagnostic for Time Series (with discussion).<br />

Journal of the Royal Statistical Society, Series<br />

B, 51, 363-424.<br />

Bustaman, U. (2000), Analisis Intervensi Krisis<br />

Moneter pada Indeks Harga Konsumen<br />

Nasional, TA Statistika.<br />

Chang, I dan Tiao,G.C. (1983), Estimation of Time<br />

Series Parameters in the Presence of Outlier.<br />

Technical Report 8, University of Chicago,<br />

Statistics Research Center.<br />

Chen, C. dan L.M. Liu. (1993), Joint Estimation of<br />

Model Parameter and Outlier effects in Time<br />

Series. Journal of the American Statistical<br />

Association, 88, 284-297.<br />

Enders, W. (1995), Applied Econometric Time<br />

4<br />

)<br />

Series, Canada : Jonh Wiley Sons, Inc.<br />

Engle, R. F. (1982), Autoregressive Conditional<br />

Heteroscedasticity with Estimates of the<br />

Variance of United Kingdom Inflation,<br />

Econometrica 50, 987 – 1007.<br />

Gourieroux, C. (1997), ARCH Models and Financial<br />

Applications, Springer – Verlag New York, Inc.<br />

Greenblatt, S.A. (1994), Wavelets in Econometrics:<br />

An Application to Outlier Testing. Working<br />

Paper, University of Reading, Departemen of<br />

Econometrics.<br />

Ljung, G.M. (1993), On Outlier Detection in Time<br />

Series, Journal of the Royal Statistical Society,<br />

Series b, 55, 559-567.<br />

Ratna, (2004). Analisis Intervensi Pada Kasus Data<br />

Inflasi Aceh, Penelitian Dosen Muda, Fakultas<br />

Ekonomi.<br />

Rupingi, A. S. (2001). Analisis Intervensi dan<br />

Generalized Autoregressive Conditional<br />

Heteroscedasticity (GARCH) Pada Kasus Indek<br />

Harga Konsumen Nasional, TA Statistika.<br />

Rusman, R, et al. (1998), Prihatin Lahir Batin :<br />

Dampak Krisis Moneter dan Bencana Elnino<br />

Terhadap Masyarakat, Keluarga, Ibu dan Anak<br />

di Indonesia dan Pilihan Intervensi, Edisi II,<br />

Jakarta : Pusblitbang Kependudukan dan<br />

Ketenagakerjaan, LIPI.<br />

Tsay, R.S. (1986), Time Series Model Specification<br />

in the Presence of Outlier, Journal of the<br />

American Statistical Association, 81, 132-141.<br />

Tsay, R.S. (1988), Outlier, Level Shifts, and<br />

Variance Changes in Time Series, Journal of<br />

Forecasting, 7, 1-20.<br />

Wei, W.W.S. (1990), Time Series Analysis.Canada:<br />

Addison Wisley Pubblishing Company.<br />

68


Problems Evaluation of Transport Systems in Medan<br />

Filiyanti T.A. Bangun<br />

PROBLEMS EVALUATION OF TRANSPORT SYSTEMS IN MEDAN<br />

Filiyanti T.A. Bangun<br />

A Lecture of Faculty of Civil Engineering USU Medan<br />

Email: bfiliyanti@yahoo.com<br />

This paper reports and discusses two major transport/traffic problems in Medan, those are the public transport<br />

systems and the traffic congestions problems. This paper also discusses what factors may cause those problems<br />

and what further traffic problems may be risen by those major cases. In addition, this paper provides certain<br />

suggested solutions which have been discussed with certain important bureaucrats of Medan such as from the<br />

Regional Planning Agency of Medan (Bappeda Kota), from Department of Communications (Dishub Kota) of<br />

Medan and from Department of City and Building Arrangements (Dinas TKTB) of Medan, certain professors<br />

from Tokyo University of Technology, NGO (Non Government Organizations/LSM) of Medan and several<br />

journalists in order to formulate and undertake appropriate actions or further studies to cope with or at least to<br />

minimize the future more severe and complex impacts on the community and the city life systems of Medan.<br />

1. PUBLIC TRANSPORT SYSTEMS IN<br />

MEDAN<br />

Problems of Public Transport Systems in<br />

Medan<br />

1. Overlapping and disorganized public<br />

transport routes & trajectories. Data<br />

from the Department of<br />

Communications (Dishub) of Medan :<br />

the number of Urban Public Transport<br />

(angkot) is 7,583 units (the plafond is<br />

15,272 units) with 248 trajectories; taxi<br />

fleets are 1,187 units (plafond is 2,545<br />

units); cycle & motor trishaws (18,800<br />

units). On 2004, the numbers are<br />

increase, especially the urban taxi,<br />

motor-trishaw in Honda-Win type and<br />

Kancil type. This problems cause<br />

further complex problems such as:<br />

a. Conflicts between angkots’<br />

drivers in order to obtain the<br />

optimum number of<br />

passengers.<br />

b. Unhealthy competitions<br />

among angkots’ operators to<br />

obtain optimum profits.<br />

c. Indisciplines angkots’ drivers<br />

to reach the “daily money<br />

target” (setoran) for the<br />

operators, e.g. stop anywhere<br />

to serve the passengers,<br />

disobey the traffic light/rules<br />

and driving in excessive speed.<br />

Factors raise this problems are as<br />

follows :<br />

• No specific and clear reasons and<br />

background basis/criteria of<br />

determining the trajectories and<br />

routes by the City Government<br />

(Pemko) and Dishub of Medan.<br />

• No specific and clear reasons and<br />

background basis/criteria of<br />

determining and adding the fleet<br />

numbers, the plafond numbers by<br />

the City Government (Pemko) and<br />

Dishub of Medan.<br />

• Less-function of bus-stop/shelter<br />

(halte) and no sanctions for the<br />

angkots’ drivers for not<br />

taking/dropping the passenger at<br />

the halte.<br />

• Too much illegal/informal charges<br />

to the drivers and operators by the<br />

civilians, e.g. safety charge and<br />

passenger scalper money cause<br />

difficulties for the drivers to reach<br />

the “daily money target”.<br />

2. The types and sizes of the fleets are<br />

not in accordance with the road<br />

hierarchy and functions and the<br />

demand of the passengers. E.g.: larger<br />

capacity for buses/angkot (30-40<br />

passengers) that pass the primary artery<br />

roads, which has larger demand of<br />

passengers than collector or local roads.<br />

3. No prohibition for the inter-city<br />

public transport (e.g.: Sutra, Sinabung<br />

Jaya, Sempati, Tapian Nauli, and<br />

illegal taxi) to enter the internal city<br />

area to serve (take/drop) the<br />

passengers. This problem may cause<br />

bankruptcy for urban public transport’<br />

operators.<br />

4. The present of inter-city bus pools<br />

that utilize the side of main roads<br />

(primary artery/collector roads) to<br />

park their busses waiting for the<br />

69


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

sufficient passengers. The Pemko and<br />

Dishub of Medan City have been aware<br />

of this illegal action, however until<br />

now, no actions have been undertaken<br />

to correct this problem.<br />

5. Too many shadow terminals on the<br />

main roads, e.g. : prior to the<br />

entrance/exit accesses of Amplas and<br />

Pinang Baris Terminals, at Simpang<br />

(Sp) Limun, Sp. Sumber Padang Bulan,<br />

Sp. USU, Sp. Halat and Sp. Aksara).<br />

This illegal actions are exactly in front<br />

of the assigned officers either from the<br />

police unit or Dishub. This problem<br />

raises further problems :<br />

a. Narrowing the traffic lanes,<br />

e.g. : from 3 effective lanes per<br />

direction become 1 lane.<br />

b. Increasing the traffic<br />

congestion levels since this<br />

problem usually occur on the<br />

congested sensitive spots.<br />

c. Higher congestion levels cause<br />

longer travel time, less trip<br />

numbers, inconvenience trips<br />

and higher risks for<br />

passengers’ safety.<br />

6. Poor accessibilities of prior to and<br />

subsequent (pra & purna) public<br />

transport. This problem may cause<br />

unattractive public transport and<br />

increase the number of private vehicle<br />

users.<br />

7. Lack of pedestrian facilities including<br />

the crossing facilities. This problem<br />

cause narrowing the effective traffic<br />

lanes and interrupting the traffic flow<br />

for crossing the road.<br />

8. Lack of competent academics experts<br />

and no Transport experts especially<br />

in Public Transport Systems<br />

expertise, involved by the Medan<br />

City Government (Pemko, Pemprovsu,<br />

Dishub, Bappeda) in giving academics<br />

based inputs/analysis to find the best<br />

solutions for the city’s problems. The<br />

involvement of competent academics<br />

experts will minimize the impacts of<br />

“wrong men on the wrong place” of the<br />

high officials/functionaries of Medan<br />

City.<br />

Suggested Solutions on Public Transport<br />

Problems<br />

1. In accordance with all identified<br />

problems above, then several solutions<br />

are suggested in order to cope with the<br />

problems or to minimize the impacts of<br />

the problems. The several solutions are<br />

as follows:<br />

a. Re-routing the fleets of<br />

public transport.<br />

b. Exchanging the size of<br />

several small buses (angkot)<br />

to a medium or a larger bus<br />

in accordance with the road<br />

functions and hierarchy and<br />

the demand of passengers.<br />

c. Training the operators<br />

(drivers and owners) on the<br />

management systems of<br />

running the public transport<br />

enterprise.<br />

d. Eliminating the shadow<br />

terminals, public transport<br />

pools and re-organizing the<br />

public transport facilities,<br />

such as halte/bus-shelter,<br />

bus-bay, ticketing and<br />

waiting-room.<br />

e. Law enforcement on public<br />

transport systems<br />

regulations such as fines the<br />

drivers when not serving the<br />

passenger on the shelter or<br />

terminal, disobey the traffic<br />

light/rules and driving with<br />

excessive speed.<br />

f. Eliminating the illegal<br />

charges from civilians to the<br />

drivers and ensuring the<br />

security from local civilians.<br />

2. It is highly recommended to undertake<br />

an appropriate study involving the right<br />

and competent persons from various<br />

sources such as the decision makers<br />

from the City Government (Pemko),<br />

Dishub, Bappeda of Medan City and<br />

especially involving the Transport and<br />

Regional/Urban Planning Experts from<br />

academicism parties. The study<br />

issues/topics could be as follows :<br />

• Re-routing and re-sizing the fleets<br />

of public transport system in<br />

Medan City based on the road<br />

hierarchies, road functions and the<br />

passengers’ demands.<br />

• Re-organizing the terminal systems<br />

and public transport facilities and<br />

70


Problems Evaluation of Transport Systems in Medan<br />

Filiyanti T.A. Bangun<br />

eliminating the pools of public<br />

transport in Medan City.<br />

• Training of managing and running<br />

the economic enterprise (koperasi)<br />

of public transport systems in<br />

Medan City for the benefits of the<br />

owners and the drivers.<br />

• The planning and development of<br />

Mass Transit Systems (SAUM =<br />

Sistem Angkutan Umum Massa) at<br />

Medan City.<br />

2. TRAFFIC CONGESTIONS IN MEDAN<br />

Factors Cause The Problem<br />

1. The effects of changing the land use<br />

functions in CBD area without<br />

evaluating thoroughly the traffic<br />

management systems considering<br />

overall road networks in Medan. For<br />

instance, the land use function in<br />

Medan CBD area should be office<br />

complex in accordance with RTRWK<br />

Medan (The City Space Arrangement<br />

Plan) 1995-2005. Therefore, the<br />

establishment of several commercial<br />

buildings such as Mall Grand<br />

Palladium, the City Hall, the Crystal<br />

Square and several condominiums in<br />

Medan CBD area without undertaking<br />

an appropriate and thoroughly study on<br />

the regional transport systems in Medan<br />

will cause the traffic problems become<br />

more severe and complex and also<br />

severe financial losses on community<br />

due to the traffic congestion; total<br />

financial losses for the travelers in<br />

Medan is Rp.1.3 millions per day or<br />

Rp.36 billions per month (please see the<br />

attached analysis in ANALISA<br />

newspaper in OPINI column page 18<br />

on Nov 19 th 2004) .<br />

2. Determining the traffic flow<br />

directions by spots and not taking<br />

into account the whole road networks<br />

will definitely add more congestion<br />

spots and levels in the road networks of<br />

Medan City. E.g. changing the two-way<br />

traffic direction into one-way direction<br />

along Jalan Gatot Subroto due to the<br />

existence of Medan Fair Plaza<br />

(Carrefour) without undertaking<br />

appropriate transport systems study<br />

adds more congestion spots and levels<br />

along the street and surroundings<br />

collector and local roads.<br />

3. Lack of competent academics experts<br />

and no Transport experts involved by<br />

the Medan City Government (Pemko,<br />

Pemprovsu, Bappeda, Dishub) in<br />

giving academics based<br />

inputs/analysis to find the best<br />

solutions for the city’s problems. The<br />

involvement of competent academics<br />

experts will minimize the impacts of<br />

“wrong men on the wrong place” of the<br />

high officials/functionaries of Medan<br />

City.<br />

4. The effects of high side-frictions cause<br />

narrowing the width of road lane<br />

(bottleneck). The side-frictions for<br />

instance are :<br />

a. On-road parking.<br />

b. Selling/market on the<br />

trotoir/sidewalk or on-road<br />

market.<br />

c. On-road trishaws and angkots’<br />

pools.<br />

d. On-road social activities (parties or<br />

funeral ceremony).<br />

e. Poor pedestrian’ facilities : on-road<br />

walking and road crossing.<br />

5. Ineffective management of the<br />

signalized and/or unsignalized<br />

intersections, such as follows :<br />

a. Inappropriate design of intersection<br />

geometric (the width, the slope,<br />

minimum sight distance, turning<br />

radius, etc).<br />

b. Incorrect setting of traffic light on<br />

the intersections and poor<br />

coordination of integrated<br />

signalized intersections.<br />

c. Inappropriate canalization.<br />

6. Indiscipline behaviors of the<br />

motorists, e.g. stopping the vehicle<br />

anywhere or overtaking suddenly to<br />

take/drop the passengers, driving the<br />

vehicle with excessive speed and<br />

disobey the traffic light/rules.<br />

7. Imbalance ratio between road<br />

infrastructure development and the<br />

growth rate of vehicles.<br />

Suggested Solutions on Traffic Congestion<br />

Problems in Medan<br />

1. Need urgent study on regional<br />

transportation systems in Medan to<br />

evaluate the road networks thoroughly<br />

including examining and restructuring<br />

the traffic management systems in<br />

Medan. The suggested topic of the<br />

study is “A study of planning and<br />

development of regional<br />

transportation systems of Medan<br />

71


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

City based on RTRWK (The City<br />

Space Arrangement Plan) of Medan<br />

2005-2015 (Studi perencanaan dan<br />

pengembangan transportasi wilayah<br />

Kota Medan berdasarkan RTRWK<br />

Medan 2005-2015). This study will be<br />

including the public transport systems<br />

in Medan as well.<br />

2. Precise and appropriate arrangement of<br />

traffic management systems, such as :<br />

a. Parking location arrangement.<br />

b. Provision of road-crossing facilities<br />

and traffic signals<br />

(rambu and marka jalan).<br />

c. Re-setting the traffic lights.<br />

d. Re-arrangement the traffic flow<br />

directions.<br />

3. Law enforcement on the traffic rules<br />

and training the motorists and public<br />

transport operators about the traffic<br />

rules and the management systems of<br />

public transport enterprises.<br />

3. CONCLUSION<br />

1. Two major transport problems in Medan<br />

City are the public transport systems and the<br />

traffic congestion problems.<br />

2. The main factors cause public transport<br />

problems in Medan City are the overlapping<br />

and disorganized public transport routes &<br />

trajectories.<br />

3. Several factors cause traffic congestion<br />

problems are :<br />

a. Establishment of various commercial<br />

buildings concentrated in city center<br />

(CBD area) without undertaking<br />

appropriate study on regional transport<br />

systems of Medan City.<br />

b. Incorrect method in changing the traffic<br />

flow directions<br />

c. High side-frictions.<br />

d. Ineffective management of signalized<br />

and unsignalized intersections.<br />

e. Indiscipline behavior of motorists.<br />

f. Imbalance ratio between road<br />

infrastructure development and the<br />

growth rate of vehicles.<br />

with the topic of : “A study of planning<br />

and development of regional<br />

transportation systems of Medan City<br />

based on RTRWK (The City Space<br />

Arrangement Plan) of Medan 2005-2015<br />

(Studi perencanaan dan pengembangan<br />

transportasi wilayah Kota Medan<br />

berdasarkan RTRWK Medan 2005-2015).<br />

This study will be including the public<br />

transport systems in Medan as well.<br />

6. Law enforcement in traffic regulations is an<br />

urgent compulsory action to be applied soon<br />

in Medan City.<br />

4. REFERENCE<br />

Bangun, F., and Napitupulu, R., 21 Maret 2005,<br />

Jalan Tol Medan - Tebing Tinggi Lebih<br />

Prioritas dari Medan - Binjai, Sinar<br />

Indonesia Baru: Medan, p. 13.<br />

Napitupulu, R., and Bangun, F., 31 Januari 2005,<br />

Medan, Kota Metropolitan Atau Kota<br />

Metromarpilitan , Waspada: Medan, p. 4.<br />

-, 15 January 2005, Prospek Sistem Angkutan Umum<br />

di Kota Medan, Sinar Indonesia Baru:<br />

Medan, p. 13.<br />

-, 19 November 2004, Apakah Kemacetan Lalulintas<br />

Perkotaan di Medan Hanya Layak Sebagai<br />

Bahan Obrolan Saja , Analisa: Medan, p.<br />

18.<br />

-, 13 November 2004, Kemacetan Lalulintas di Kota<br />

Medan Serius, Waspada: Medan, p. 4.<br />

Pakpahan, E., 26 September 2002, Pembangunan<br />

Terminal Terpadu Kota Medan, Waspada:<br />

Medan, p. 4.<br />

-, 29 Juni 2002, Analisis Dampak Lalulintas Kota<br />

Medan, Waspada: Medan, p. 4.<br />

-, 27 Agustus 2001, Manajemen Lalulintas Kota<br />

Medan, Waspada: Medan, p. 6.<br />

-, 4 Desember 2000, Pembudayaan Disiplin<br />

Berlalulintas Kota Medan, Waspada: Medan,<br />

p. 6.<br />

-, 17 Juli 2000, Analisis Kebijakan Sistem<br />

Transportasi Kota Medan, Waspada: Medan,<br />

p. 4.<br />

4. It is strongly recommended to involve<br />

relevant competent academics experts<br />

especially competent Transport expert in<br />

giving academics inputs/analysis for the<br />

decision-makers of the city.<br />

5. It is highly suggested to undertake a further<br />

study concerning transport/traffic problems<br />

72


Studi Efektifitas Penggunaan Halte di Kota Medan (Studi Kasus: Koridor-koridor Utama Kota Medan)<br />

Jeluddin Daud<br />

STUDI EFEKTIFITAS PENGGUNAAN HALTE DI KOTA MEDAN<br />

(Studi Kasus : Koridor-koridor Utama Kota Medan)<br />

Jeluddin Daud<br />

Abstrak: Halte adalah tempat untuk menaikkan/menurunkan penumpang yang dilengkapi dengan bangunan,<br />

yang keberadaannya disepanjang rute angkutan umum sangat diperlukan. Namun pada kenyataannya di Kota<br />

Medan keberadaan halte belum dimanfaatkan dengan semestinya oleh masyarakat. Berdasarkan pengamatan<br />

penyalahgunaan halte dapat terlihat pada 90% halte di kota Medan, para calon penumpang maupun pengemudi<br />

angkutan umum lebih senang menunggu atau menaikkan penumpang di tempat selain halte dan pedagang kaki<br />

lima memanfaatkan halte untuk menjajakan dagangannya. Ketidakefektifan ini ternyata membawa dampak yang<br />

cukup buruk, seperti kemacetan dan keruwetan lalu lintas, terutama pada persimpangan dan sarana publik.<br />

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk dapat menemukan faktor-faktor yang menjadi penyebab<br />

tidak efektifnya halte sebagai suatu sarana untuk memperlancar kegiatan transportasi.<br />

Kota Medan merupakan wilayah penelitian, di bagi menjadi lima koridor utama. Dimana halte yang<br />

berada pada koridor tersebut menjadi populasi pada penelitian ini. Sampel di ambil dengan menggunakan<br />

metode Proporsionate stratified random sampling (Sampel acak berlapis berimbang), sehingga terpilih 15 halte<br />

yang akan diteliti dengan menggunakan tabel acak. Untuk mengetahui efektifitas penggunaan halte di Kota<br />

Medan, dilakukan wawancara langsung kepada 30 pengguna halte dan 220 pengemudi angkutan umum.<br />

Dilakukan observasi langsung ke lapangan untuk mengetahui kondisi fisik halte.<br />

Berdasarkan analisis yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa halte di Kota Medan sudah tidak efektif<br />

lagi penggunaannya. Hal ini dikarenakan 90% halte di Kota Medan telah berubah fungsi menjadi tempat<br />

berjualan. 60% responden pengguna dan pengemudi menilai kondisi halte di Kota Medan dalam keadaan tidak<br />

terawat dan diabaikan. Sehingga 83.3% pengguna, menggunakan halte hanya sesekali. Sedangkan 71.1%<br />

pengemudi tidak pernah menaikkan/menurunkan penumpang pada halte. Selain itu 46.6% pengemudi menilai<br />

kurangnya penyebaran halte di Kota Medan sehingga tidak dapat melayani kebutuhan masyarakat akan halte.<br />

Untuk mengatasinya 100% responden menyetujui apabila dilakukan peningkatan fungsi terhadap halte. Baik itu<br />

dengan cara sosialisasi terhadap masyarakat, maupun moderenisasi penampilan halte.<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Halte merupakan salah satu fasilitas<br />

transportasi yang disediakan pemerintah sebagai<br />

pendukung dalam mewujudkan <strong>sistem</strong> transportasi<br />

yang efektif dan efisien. Halte diperlukan<br />

keberadaannya disepanjang rute angkutan umum dan<br />

angkutan umum harus melalui tempat yang telah<br />

ditetapkan untuk menaikkan dan menurunkan<br />

penumpang agar perpindahan penumpang lebih<br />

mudah dan gangguan terhadap lalu lintas dapat<br />

diminimalkan. Karena disepanjang rute inilah<br />

keberadaan calon penumpang memberi andil yang<br />

cukup besar terhadap gangguan lalu lintas yang<br />

menyebabkan kemacetan. Penempatan halte<br />

disepanjang rute kendaraan harus sesuai dengan<br />

peraturan yang berlaku, yang telah ditetapkan oleh<br />

dinas lalu lintas jalan raya, dan digunakan sesuai<br />

dengan kegunaannya. Karena apabila keberadaan<br />

halte tersebut diabaikan, maka keberadaannya justru<br />

merupakan penyebab utama dari kemacetan lalu<br />

lintas pada jalur tempat halte berada.<br />

2. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN<br />

Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini<br />

adalah: Untuk dapat mengetahui faktor–faktor yang<br />

menjadi penyebab tidak efektifnya halte sebagai<br />

suatu sarana untuk memperlancar kegiatan<br />

transportasi. Dan diharapkan dapat menjadi bahan<br />

masukan untuk meningkatkan efektifitas penggunaan<br />

halte sehingga manfaat dari keberadaan halte di Kota<br />

Medan dapat tercapai dengan optimal.<br />

3. TINJAUAN PUSTAKA<br />

Pengertian prilaku efektif menurut Catur<br />

(2002), keefektifan dalam konteks perilaku<br />

merupakan hubungan yang optimal antara hasil,<br />

kualitas, efisiensi, fleksibilitas dan kepuasan.<br />

Sehingga keefektifan ditentukan oleh tingkatan dari<br />

sesuatu yang direalisasikan sesuai dengan tujuannya.<br />

Berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal<br />

Perhubungan Darat (1996), Tempat pemberhentian<br />

kendaraan penumpang umum ini merupakan salah<br />

satu bentuk fungsi pelayanan umum perkotaan yang<br />

disediakan oleh pemerintah, yang dimaksudkan<br />

untuk:<br />

<br />

Menjamin kelancaran dan ketertiban arus lalu<br />

lintas<br />

Menjamin keselamatan bagi pengguna<br />

angkutan penumpang umum<br />

Menjamin kepastian keselamatan untuk<br />

menaikkan dan/atau menurunkan penumpang<br />

<br />

Memudahkan penumpang dalam melakukan<br />

perpindahan moda angkutan umum atau bus.<br />

73


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Adapun persyaratan umum tempat perhentian<br />

kendaraan penumpang umum adalah:<br />

1. Berada di sepanjang rute angkutan umum<br />

atau bus.<br />

2. Terletak pada jalur pejalan kaki dan dekat<br />

dengan fasilitas pejalan kaki.<br />

3. Diarahkan dekat dengan pusat kegiatan atau<br />

pemukiman.<br />

4. Dilengkapi dengan rambu petunjuk.<br />

5. Tidak mengganggu kelancaran arus lalu<br />

lintas.<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

Koridor I :<br />

Koridor II :<br />

Koridor III :<br />

Koridor IV :<br />

Koridor V :<br />

Jalan Balai Kota, jalan Putri Hijau, Jalan<br />

K.L Yos Sudarso<br />

Jalan Guru Patimpus, jalan Jend.Gatot<br />

Subroto<br />

Jalan Mayjend S. Parman, jalan Let.Jend<br />

Jamin Ginting<br />

Jalan Jend A. Yani, jalan Pemuda, jalan<br />

Brigjend. Katamso, jalan Ir. Juanda, jalan<br />

Sisingamangaraja.<br />

Jalan Perintis Kemerdekaan, jalan HM<br />

Yamin SH, jalan Letda Sujono.<br />

4.1 Penentuan sampel<br />

4.1.1 Sampel halte<br />

Pengambilan populasi halte dilakukan<br />

dengan cara menghitung seluruh halte yang berada di<br />

sepanjang jalan yang merupakan koridor utama. Dari<br />

hasil observasi ketahui jumlah halte di dalam wilayah<br />

penelitian adalah 45 buah. Sampel yang akan<br />

digunakan untuk penelitian sebanyak 15 sampel.<br />

Jumlah sampel yang diambil pada setiap koridor<br />

ditentukan secara berimbang. Yaitu dengan<br />

menggunakan rumus :<br />

Proporsi =<br />

Jumlah Halte Tiap Koridor<br />

Total Jumlah Halte<br />

× 100%<br />

Jumlah sampel =<br />

Pr oporsi × Total<br />

jumlah sampel<br />

Tabel 1. Jumlah Sampel Halte di Kotamadya Medan<br />

No<br />

Bagian<br />

1 Koridor I<br />

2 Koridor II<br />

3 Koridor III<br />

4 Koridor IV<br />

5 Koridor V<br />

Total<br />

Jumlah<br />

Halte<br />

8<br />

14<br />

5<br />

8<br />

10<br />

45<br />

Proporsi<br />

(%)<br />

Jumlah<br />

Sampel<br />

17.8 3<br />

31.1 4<br />

11.1 2<br />

17.8 3<br />

22.2 3<br />

100 15<br />

Pengambilan sampel dilakukan secara acak<br />

(random sampling). Kemudian memberikan nomor<br />

pada semua populasi. Dengan menggunakan tabel<br />

angka acak, akan diperoleh nomor halte yang akan di<br />

teliti.<br />

4.1.2 Sampel responden<br />

Untuk memperoleh gambaran yang lebih<br />

teliti tentang pengaruh keberadaan Halte di<br />

Kotamadya Medan secara menyeluruh, maka<br />

presentasi data yang disajikan dibagi dalam dua<br />

kelompok jenis responden yaitu pengemudi<br />

angkutan umum dan pengguna halte pada daerah<br />

studi . Sebagai pedoman umum, menurut Gay (1987)<br />

bahwa untuk studi yang bersifat diskriptif ukuran<br />

sampel minimum yang digunakan adalah sebesar<br />

10% dari jumlah populasi. Sedangkan untuk studi<br />

korelasional dan studi kausal-komparatif disarankan<br />

menggunakan sampel minimum sebanyak 30 subjek<br />

atau responden. Sehingga jumlah sampel responden<br />

pengemudi angkutan umum diambil sebesar 10%<br />

dari jumlah populasi angkutan umum. Sedangkan<br />

untuk responden pengguna halte, masing-masing<br />

diambil 30 orang. Untuk tiap koridor terdiri dari 6<br />

orang responden.<br />

Tabel 2. Jumlah Responden Pengemudi Angkutan<br />

Umum<br />

Bagian Jumlah Trayek Populasi Sampel<br />

Koridor I 6 308 31<br />

Koridor II 16 223 22<br />

Koridor III 13 485 49<br />

Koridor IV 10 645 65<br />

Koridor V 19 535 53<br />

Total 2196 220<br />

Dari tabel 7 diatas, diperoleh jumlah<br />

responden pengemudi angkutan umum untuk koridor<br />

I sebanyak 31 orang, koridor II sebanyak 22 orang,<br />

49 orang untuk koridor III dan 65 orang untuk<br />

koridor IV serta 53 orang untuk koridor V. Sehingga<br />

total dari responden pengemudi adalah 220 orang.<br />

5 KOMPILASI DAN ANALISA DATA<br />

5.1 Kondisi Fisik Halte<br />

Halte yang digunakan menjadi sampel pada<br />

penelitian ini sebanyak 15 halte, yang dipilih secara<br />

acak pada wilayah studi.<br />

5.1.1 Jenis Halte<br />

Tempat perhentian kendaraaan yang ada di<br />

Kota Medan termasuk kedalam tempat henti dengan<br />

perlindungan (halte) dan tidak terdapat tempat henti<br />

tanpa perlindungan (shelter). Berdasarkan hasil<br />

penelitian diperoleh gambaran kondisi halte di Kota<br />

Medan :<br />

– 33.3% dalam kondisi fisik yang tidak terawat,<br />

hal ini terlihat karena warna cat yang memudar<br />

dan rusaknya tiang-tiang penyangga halte yang<br />

diakibatkan oleh korosi dan terdapatnya puingpuing<br />

yang merupakan bekas tempat duduk<br />

74


Studi Efektifitas Penggunaan Halte di Kota Medan (Studi Kasus: Koridor-koridor Utama Kota Medan)<br />

Jeluddin Daud<br />

halte. Kondisi tersebut biasanya ditemukan pada<br />

halte yang di bangun oleh pemerintah dan<br />

belum pernah mengalami perbaikan sejak<br />

didirikan.<br />

– 66.7% dalam kondisi fisik yang bersih dan<br />

terawat. Dengan bangunan halte yang masih<br />

baru dan lebih modern, biasanya di bangun pihak<br />

swasta. Pihak swasta tersebut biasanya bertujuan<br />

untuk mempromosikan suatu produk, dengan<br />

memberikan label produk tertentu pada halte.<br />

Hal ini menyebabkan bervariasinya bentuk,<br />

warna, dan dimensi halte di Kota Medan. Tentu<br />

saja melalui perijinan yang dikeluarkan oleh<br />

dinas perhubungan kota Medan.<br />

– 10% halte yang tidak dimanfaatkan oleh<br />

pedagang kaki lima karena kondisi fisik halte<br />

yang sudah sangat rusak, atau halte tidak berada<br />

pada lokasi yang strategis untuk digunakan<br />

sebagai tempat berjualan.<br />

– Sedangkan 90% halte dijadikan tempat berjualan<br />

oleh para pedagang kaki lima, Kios-kios ada<br />

yang sudah menjadi bangunan permanen pada<br />

halte sehingga halte berubah fungsi menjadi<br />

tempat berjualan yang membangkitkan orangorang<br />

untuk kegiatan jual beli pada halte.<br />

Penumpang tidak lagi menggunakan halte untuk<br />

menunggu angkutan umum. Sedangkan kondisi<br />

kios-kios yang bukan bangunan permanen,<br />

kondisi halte menjadi semrawut. Dagangan yang<br />

dijajakan dan gerobak-gerobak jualan<br />

mempersempit ruang gerak pengguna pada halte.<br />

Seperti pada halte nomor 19 pada jalan Gatot<br />

Subroto, nomor 29 dan nomor 31 jalan<br />

Sisingamangaraja, halte nomor 8 pada jalan<br />

Balai Kota dan nomor 39 pada jalan Prop. HM<br />

Yamin,SH.<br />

5.1.2 Fasilitas Halte<br />

Di Kota Medan halte tidak dilengkapi<br />

dengan fasilitas utama maupun tambahan seperti :<br />

– Identitas halte, berupa nama atau nomor.<br />

– Informasi tentang rute dan jadwal angkutan<br />

umum.<br />

– Rambu-rambu untuk menjamin keamanan<br />

pengguna.<br />

– Tidak dilengkapi dengan teluk bus untuk<br />

melancarkan lalu lintas.<br />

– Lampu penerangan, Sehingga pada malam hari<br />

pengguna halte tidak dapat menggunakan halte<br />

untuk menunggu angkutan umum karena<br />

kondisinya yang menjadi sangat gelap.<br />

– Pagar pengaman, agar pejalan kaki tidak<br />

menyeberang di sembarangan tempat.<br />

– Hanya fasilitas tempat sampah dan telepon<br />

umum yang melengkapi beberapa halte di kota<br />

Medan.<br />

– Di Kota Medan halte di bangun diatas trotoar,<br />

dan tidak menyisakan ruang untuk pejalan kaki,<br />

sehingga pejalan kaki yang melintasi halte<br />

tersebut harus menggunakan badan jalan untuk<br />

melewatinya. Tentu saja hal ini mengakibatkan<br />

pengguna jalan lainnya terganggu.<br />

– Sedangkan sebanyak 66.7% halte di Kota Medan<br />

merupakan sarana untuk iklan.<br />

5.1.3 Dimensi Halte<br />

Dimensi halte di Kota Medan sangat<br />

beragam, seperti yang tertera pada tabel 11 di bawah<br />

ini. Hal ini menggambarkan tidak adanya kordinasi<br />

dari pihak pemerintah, karena pemerintah tidak<br />

menerapkan standar untuk dimensi halte pada saat<br />

perbaikan dilakukan. Semua halte dilengkapi dengan<br />

tempat duduk yang lebarnya antara 30-50 cm dan<br />

diletakkan disepanjang badan halte. Hal ini membuat<br />

halte dapat menampung 6 sampai 10 pengguna halte<br />

yang duduk, dan sekitar 20 orang pengguna halte<br />

yang berdiri. Pada semua halte, lindungan dibuat<br />

sama dengan luas halte. Dimensi halte diperlihatkan<br />

pada tabel 3 berikut ini:<br />

Tabel 3. Dimensi Halte<br />

No Bagian Nomor Halte Dimensi<br />

1 Koridor I 2 8.10 m x 2.00 m<br />

5 8.15 m x 1.80 m<br />

8 8.30 m x 1.50 m<br />

2 Koridor II 11 7.75 m x 1.40 m<br />

13 5.10 m x 1.00 m<br />

15 7.25 m x 1.00 m<br />

19 5.10 m x 1.00 m<br />

3 Koridor III 24 5.10 m x 1.00 m<br />

27 8.30 m x 1.50 m<br />

4 Koridor IV 29 7.75 m x 1.40 m<br />

31 7.90 m x 1.60 m<br />

34 7.60 m x 1.60 m<br />

5 Koridor V 37 4.00 m x 1.00 m<br />

Sumber : Hasil Survey<br />

39 7.70 m x 1.60 m<br />

44 8.33 m x 1.90 m<br />

5.1.4 Tata Letak Halte<br />

– Di kota Medan, 53.3% halte dibangun pada<br />

sarana publik dan 46.7% lainnya di bangun pada<br />

lokasi sekolah.<br />

– Halte yang letaknya berdekatan dengan fasilitas<br />

penyeberangan pejalan kaki, seperti zebra cross<br />

atau jembatan penyeberangan , masih berada<br />

pada jarak yang di tetapkan yaitu maksimal 100<br />

meter. Kondisi seperti ini dapat dilihat pada halte<br />

nomor 8 yang berada 100 meter dari jembatan<br />

75


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

penyeberangan, sedangkan halte nomor 34<br />

berada 70 meter dari jembatan penyeberangan.<br />

– Halte yang letaknya sesudah persimpangan,<br />

seperti posisi halte nomor 37 berjarak 50 meter<br />

dari persimpangan, sedangkan yang terletak<br />

sebelum persimpangan, seperti halte nomor 34<br />

berjarak 80 meter sebelum persimpangan.<br />

– Halte yang di bangun pada lokasi sekolah,<br />

berjarak 20 meter dari zebracross.<br />

5.2 Karakteristik Responden<br />

Responden pada penelitian ini dibagi atas<br />

responden pengemudi angkutan umum sebanyak 220<br />

orang dan responden pengguna halte sebanyak 30<br />

orang.<br />

5.2.1 Pengemudi Angkutan Umum<br />

Pada responden pengemudi angkutan umum,<br />

beberapa hal yang ditinjau adalah dari segi usia,<br />

pendidikan, lama bekerja sebagai pengemudi<br />

angkutan umum dan pengetahuan mengenai halte.<br />

1. Identifikasi Responden Pengguna Halte<br />

– Usia, dari hasil survey dapat disimpulkan<br />

usia rata-rata pengemudi angkutan umum di<br />

Kota Medan adalah antara 20–35 tahun yaitu<br />

sebanyak 52.2%.<br />

– Pendidikan, Tingkat pendidikan terakhir<br />

pengemudi terbanyak adalah SLTA/sederajat<br />

yaitu sebesar 53.6%, dengan kondisi demikian<br />

seharusnya pengemui dapat lebih memahami<br />

dan mentaati peraturan lalu lintas.<br />

– Lama Bekerja pengemudi menunjukkan bahwa<br />

49.3% responden pengemudi sudah menjalani<br />

profesi sebagai pengemudi angkutan umum<br />

selama 5 tahun.<br />

2. Pengetahuan Tentang Halte<br />

Faktor utama untuk mengetahui efektif atau<br />

tidaknya suatu halte adalah dengan meneliti<br />

pengetahuan responden mengenai halte itu sendiri.<br />

Hasil survey menunjukkan 62.3% dari pengemudi<br />

angkutan umum mengetahui secara benar fungsi dari<br />

halte, yaitu tempat untuk menaikkan/menurunkan<br />

penumpang.<br />

Responden pengemudi lainnya memiliki<br />

pemikiran sendiri terhadap halte. Hal ini timbul<br />

akibat kondisi fisik halte itu sendiri. Adapun<br />

pengetahuan pengemudi tentang halte dapat<br />

diperlihatkan pada tabel 4 berikut ini:<br />

Tabel 4. Pengetahuan Pengemudi Tentang Halte<br />

Pengetahuan Jumlah %<br />

Tempat menurunkan/menaikkan<br />

penumpang 137 62.3<br />

Tempat berteduh dari kondisi<br />

cuaca 22 10.2<br />

Tempat berjualan 16 7.2<br />

Tempat istirahat/duduk 45 20.3<br />

Total 220 100<br />

3. Ketaatan pengemudi mematuhi peraturan<br />

– Ketidaktaatan para pengemudi terhadap<br />

peraturan lalu lintas, digambarkan dengan<br />

persentase pengemudi yang kadang-kadang<br />

menaikan/menurunkan penumpang pada halte<br />

sebanyak 71.1% pengemudi. Hal ini tentu saja<br />

sangat bertentangan mengingat 62.3%<br />

responden mengetahui dengan pasti fungsi<br />

dari halte.<br />

– Sebanyak 73.8% pengemudi menurunkan/<br />

menaikkan penumpang tidak pada halte<br />

disebabkan atas permintaan penumpang.<br />

4. Penumpang yang menunggu angkutan<br />

umum pada halte<br />

Adapun alasan pengemudi tidak memanfaatkan<br />

halte, karena tidak banyaknya penumpang yang mau<br />

menunggu angkutan umum pada halte. Menurut<br />

60.9% pengemudi hanya kurang dari 5 calon<br />

penumpang yang mau menunggu angkutan umum<br />

pada halte. Hal inilah yang menjadi pemicu para<br />

responden pengemudi sehingga tidak menggunakan<br />

halte untuk menaikkan dan menurunkan penumpang,<br />

dan menaikkan/ menurunkan penumpang di tempat<br />

selain pada halte. Pada tabel 6 berikut diperlihatkan<br />

banyaknya penumpang pada halte ;<br />

Tabel 6. Penumpang yang menunggu angkutan<br />

umum pada halte<br />

Banyaknya<br />

Jumlah %<br />

Kurang dari 5 orang 134 60.9<br />

Antara 5 - 10 orang 54 24.5<br />

Antara 10 - 15 orang 22 10<br />

Lebih dari 15 orang 10 4.6<br />

Total 220 100<br />

5. Kondisi halte di Kota Medan<br />

Dalam menanggapi kondisi halte di Kota<br />

Medan,<br />

– 50.7% pengemudi angkutan umum memberi<br />

tanggapan bahwa kondisi halte di Kota Medan<br />

telah berubah fungsi.<br />

– 37.7% responden menjawab halte di Kota<br />

Medan tidak mendapatkan perawatan dan<br />

cenderung diabaikan.<br />

– 1.4% responden yang berpendapat bahwa halte<br />

digunakan sesuai dengan fungsinya sebagi<br />

tempat untuk menunggu angkutan umum.<br />

– Tingkat kriminalitas yang dialami pengemudi<br />

angkutan umum pada halte, dapat dikatakan<br />

rendah.<br />

6. Fungsi dan Kebutuhan akan halte<br />

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden<br />

menilai halte di kota Medan keberadaannya sudah<br />

berubah berfungsi. Tetapi keberadaannya tetap<br />

76


Studi Efektifitas Penggunaan Halte di Kota Medan (Studi Kasus: Koridor-koridor Utama Kota Medan)<br />

Jeluddin Daud<br />

dibutuhkan oleh 79.7% pengemudi. Dimana 40%<br />

memiliki alasan karena keberadaan halte di Kota<br />

Medan dapat mengurangi kemacetan lalu lintas dan<br />

31% menyatakan halte dapat mengurangi antrian<br />

angkutan umum pada persimpangan ataupun pada<br />

pusat-pusat kegiatan dan sarana publik. Sedangkan<br />

responden yang mempunyai anggapan bahwa<br />

keberadaan halte membuat kota jadi lebih indah dan<br />

alasan lain-lain, masing-masing sebanyak 14.5%<br />

responden.<br />

7. Peningkatan fungsi halte di kota Medan<br />

Dalam usaha untuk menjadikan Kota Medan<br />

yang tertib, salah satu usaha yang harus dilakukan<br />

pemerintah kota terhadap keberadaan halte adalah<br />

dengan melakukan efisiensi dan peningkatkan fungsi<br />

halte itu sendiri.<br />

Untuk mewujudkan efisiensi serta peningkatan<br />

fungsi halte di Kota Medan, sebanyak 95.7%<br />

responden menyatakan setuju terhadap peningkatan<br />

fungsi halte di Kota Medan, dimana 56.1%<br />

responden tersebut mengharapkan kondisi halte yang<br />

bersih, aman dan nyaman. Sedangkan sebanyak<br />

34.8% responden mengharapkan kondisi halte<br />

dimana penumpang mau menunggu angkutan umum<br />

pada halte dan 7,6% responden pengemudi<br />

mengharapkan halte dilengkapi dengan fasilitas yang<br />

memadai sehingga dalam proses<br />

menaikkan/menurunkan penumpang dapat dilakukan<br />

dengan mudah.<br />

8. Saran Kepada Pemerintah<br />

Pemerintah memegang peranan yang sangat<br />

penting untuk mewujudkan efektifitas penggunaan<br />

halte di Kota Medan. Untuk itu 68,1% responden<br />

mengharapkan pemerintah agar melakukan<br />

peningkatan ketertiban dalam hal penggunaan halte.<br />

Saran responden lainnya yaitu sebanyak 20.4%<br />

adalah agar pemerintah melakukan sosialisasi<br />

penggunaan halte terhadap masyarakat Kota Medan,<br />

sehingga masyarakat dapat memanfaatkan halte<br />

sebagai mana mestinya. Saran kepada pemerintah<br />

agar melakukan moderenisasi penampilan halte<br />

dipilih oleh sebanyak 7.2% responden. Hal tersebut<br />

diperlihakan pada tabel 7 berikut:<br />

Tabel 7. Saran pengemudi untuk pemerintah<br />

mengenai keberadaan halte<br />

Saran<br />

Jumlah %<br />

Peningkatan ketertiban penggunaan halte 150 68.1<br />

Moderenisasi penampilan halte 16 7.2<br />

Sosialisasi terhadap masyarakat 45 20.4<br />

Lain-lain 9 4.3<br />

Total 220 100<br />

5.2.2 Pengguna Halte<br />

1. Identifikasi Responden Pengguna Halte<br />

Pada responden pengguna halte, beberapa hal<br />

yang ditinjau adalah dari segi usia, pekerjaan, tujuan<br />

pengguna halte ketika menunggu angkutan umum<br />

pada halte, dan pengetahuan pengguna mengenai<br />

halte.<br />

o Pekerjaan<br />

Pada halte 70% pelajar ataupun mahasiswa yang<br />

menunggu angkutan umum pada halte. Hal ini<br />

disebabkan 46.7% halte di Kota Medan didirikan<br />

pada pusat pendidikan.<br />

o Tujuan Penumpang<br />

Responden yang paling banyak menggunakan<br />

halte adalah mahasisiwa dan muri-murid sekolah<br />

dengan tujuan untuk pergi ke kampus atau<br />

sekolah, yaitu sebanyak 43.3%. Sebanyak 16.7%<br />

responden mempunyai tujuan pergi ke pusat<br />

perdagangan.<br />

2. Pengetahuan Tentang Halte<br />

Faktor utama untuk mengetahui efektif atau<br />

tidaknya suatu halte adalah dengan mengetahui<br />

pengetahuan responden mengenai halte tersebut.<br />

– Pada tabel 8 berikut ini, dapat dilihat bahwa<br />

83.3% responden pengguna halte mengetahui<br />

secara benar fungsi dari halte. Yaitu sebagai<br />

tempat menunggu angkutan umum. Tetapi<br />

sebanyak 83.3% responden pengguna halte<br />

menyatakan menggunakan halte hanya<br />

kadang-kadang saja. Hal ini mencerminkan<br />

kurangnya kesadaran responden untuk<br />

menggunakan halte sebagai tempat tunggu,<br />

dalam rutinitasnya menunggu angkutan umum<br />

sehari-hari. 10% responden menggunakan<br />

halte 2 sampai 3 kali dalam sehari ketika<br />

menunggu angkutan umum. Hanya 6.7%<br />

responden yang menggunakan halte 1 kali<br />

dalam sehari ketika beraktifitas dengan<br />

menggunakan angkutan umum.<br />

– Hal ini disebabkan 46.7% responden<br />

berpendapat bahwa lebih mudah memperoleh<br />

angkutan umum apabila menunggu pada halte,<br />

sedangkan 26.7% responden menunggu pada<br />

halte disebabkan kondisi cuaca pada hari itu.<br />

Frekuensi lamanya penumpang menunggu<br />

angkutan umum pada halte dapat menjelaskan salah<br />

satu yang menjadi alasan responden pengguna untuk<br />

tidak menunggu angkutan umum pada halte. 60%<br />

responden yang menunggu angkutan umum pada<br />

halte memakan waktu 5 sampai 10 menit, Sedangkan<br />

pada tempat selain halte, 56.7% responden<br />

menunggu dalam waktu 5 sampai 10 menit.<br />

Menuggu angkutan umum pada halte memakan<br />

waktu lebih lama bila dibandingkan jika penumpang<br />

menunggu angkutan umum di tempat selain halte.<br />

Hal ini dapat menjadi penyebab keberadaan halte<br />

tidak dimanfaatkan oleh masyarakat dengan<br />

sebagaimana mestinya.<br />

77


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Tabel 8. Pengetahuan Tentang Halte<br />

Pengetahuan Jumlah %<br />

Tempat menunggu angkutan<br />

umum<br />

25 83.3<br />

Tempat berteduh dari panas<br />

2 6.7<br />

Tempat berjualan<br />

- -<br />

Tempat istirahat/duduk<br />

3 10.0<br />

Total 30 100<br />

3. Tempat menunggu angkutan umum<br />

selain pada halte<br />

Ketika menunggu angkutan umum, studi<br />

menunjukkan bahwa 100% responden pernah<br />

menunggu angkutan umum di tempat selain halte dan<br />

tidak ada responden yang tidak pernah menunggu<br />

angkutan umum di tempat selain halte.<br />

Adapun lokasi-lokasi yang biasa digunakan<br />

oleh responden untuk menunggu angkutan umum<br />

selain pada halte, ditemukan bahwa 63.3% responden<br />

memilih untuk menunggu di trotoar yang terdapat di<br />

sepanjang jalan raya. Masing-masing responden 10%<br />

dan 23.3% yang memilih persimpangan jalan dan<br />

tempat yang dekat dengan sarana publik. sementara<br />

itu 3.4% responden menjawab dengan alasan lainlain.<br />

Di Kota Medan masyarakat lebih memilih<br />

menunggu angkutan umum tidak pada halte. Alasan<br />

responden menunggu angkutan di tempat selain halte,<br />

adalah para responden tidak perlu berjalan jauh untuk<br />

mendapatkan angkutan umum, yaitu sebanyak 43.3%<br />

responden. Sedangkan sebanyak 43.3% responden<br />

lainnya menjawab karena pengemudi bersedia<br />

berhenti dimanapun penumpang menunggu, dan<br />

tidak ada responden yang beranggapan bahwa halte<br />

merupakan tempat yang tidak aman dan nyaman<br />

untuk menunggu angkutan umum.<br />

Tabel 9. Alasan menunggu angkutan umum tidak pada<br />

halte<br />

Alasan Jumlah %<br />

Mudah memperoleh angkutan umum 4 13.4<br />

Pengemudi mau berhenti di mana saja 13 43.3<br />

Tidak perlu berjalan jauh 13 43.3<br />

Tidak aman dan nyaman - -<br />

Total 30 100<br />

4. Kondisi keberadaan halte di Kota Medan<br />

Kondisi halte pada wilayah ditanggapi<br />

dengan beragam alasan oleh pengguna halte. Dapat<br />

dilihat dari persentasenya, 60% responden menilai<br />

kondisi fisik halte di Kota Medan tidak terawat dan<br />

diabaikan, baik oleh para pengguna halte maupun<br />

oleh pemerintah kota. Sebanyak 33.3% responden<br />

menilai kondisi halte di Kota Medan telah berubah<br />

fungsi, seperti menjadi tempat berjualan maupun<br />

tempat mangkal para pengamen.<br />

Tetapi keberadaan halte di masyarakat,<br />

menurut 70% responden bahwa di Kota Medan<br />

keberadaan halte masih dibutuhkan oleh masyarakat.<br />

Jika di tinjau dari jumlah penyebaran halte<br />

di Kota Medan, 46.7% responden menilai kurangnya<br />

jumlah penyebaran halte untuk melayani kebutuhan<br />

masyarakat. Hanya 6.7% responden yang menilai<br />

sesuai dengan kebutuhan. Ada juga responden yang<br />

menilai bahwa penyebaran halte berlebih di kota<br />

Medan, yaitu sebanyak 3.3% responden.<br />

Adapun alasan 70% responden yang<br />

menanggapi dibutuhkannya keberadaan halte di Kota<br />

Medan, 19% dari responden tersebut menanggapi<br />

dengan adanya halte pada wilayah studi dapat<br />

mengurangi kemacetan lalu lintas pada<br />

persimpangan, dapat juga mengurangi antrian yang<br />

disebabkan angkutan umum berhenti di manapun<br />

untuk menaikkan atau menurunkan penumpang,<br />

dipilih sebanyak 28.6% responden, sedangkan 19%<br />

responden lainnya menanggapi halte hanya sebagai<br />

tempat berlindung dari kondisi cuaca. Menurut<br />

responden terbanyak, yaitu sebesar 33.3%<br />

beranggapan bahwa keberadaan halte di Kota Medan<br />

dapat membuat tatanan kota menjadi lebih indah.<br />

Tingkat kriminalitas pada halte yang pernah<br />

dialami pengguna halte dapat dikatakan cukup<br />

rendah. Hanya 13.3% yang pernah mengalami tindak<br />

kriminal dengan persentase terbesar pada frekuensi<br />

satu kali pengalaman tindakan kriminal, yaitu sebesar<br />

100%.<br />

5. Saran pengguna terhadap pemerintah<br />

Sebanyak 26.7% responden pengguna halte<br />

menyarankan agar pemerintah melakukan sosialisasi<br />

penggunaan dan manfaat halte terhadap masyarakat,<br />

saran terhadap peningkatan ketertiban penggunaan<br />

halte dipilih oleh 50.0% responden dan 23.3%<br />

responden lainnya lebih memilih moderenisasi<br />

penampilan halte, sehingga masyarakat dapat<br />

menggunakan halte dalam kegiatannya sehari-hari<br />

untuk menunggu angkutan umum. Adapun kondisi<br />

halte yang diharapkan oleh pengguna, dalam usaha<br />

pemerintah untuk mengefektifitaskan penggunaan<br />

halte, sebanyak 53.3% responden mengharapkan<br />

kondisi halte yang bersih, aman dan nyaman<br />

sehingga penumpang angkutan umum mau<br />

memanfaatkan keberadaan halte tersebut. 30%<br />

pengguna halte lainnya mengharapkan kondisi<br />

dimana angkutan umum selalu berhenti pada halte<br />

dan tidak mengindahkan penumpang yang menunggu<br />

di tempat selain halte. Sedangkan kondisi halte<br />

dengan fasilitas yang memadai di pilih oleh 16.7%<br />

responden.<br />

78


Studi Efektifitas Penggunaan Halte di Kota Medan (Studi Kasus: Koridor-koridor Utama Kota Medan)<br />

Jeluddin Daud<br />

6. KESIMPULAN DAN SARAN<br />

6.1 Kesimpulan<br />

Keberadaan halte di Kota Medan tidak<br />

efektifit lagi penggunaannya bila ditinjau dari kondisi<br />

fisik halte, prilaku responden pengemudi halte<br />

maupun prilaku responden pengguna halte.<br />

6.1.1 Ditinjau dari kondisi fisik halte, dapat<br />

tunjukkan bahwa penggunaan halte di Kota<br />

Medan tidak lagi efektif, hal ini disebabkan<br />

karena:<br />

o Bangunan fisik, halte yang di bangun<br />

oleh pemerintah belum pernah<br />

mengalami perbaikan.<br />

o Sebanyak 90% halte di kota Medan<br />

digunakan sebagai tempat berjualan.<br />

o Halte di Kota Medan tidak dilengkapi<br />

dengan fasilitas, baik fasilitas utama<br />

maupun fasilitas tambahan. Seperti<br />

identitas halte berupa nama atau<br />

nomor, informasi tentang rute dan<br />

jadwal keberangkatan, serta ramburambu<br />

untuk menjamin keamanan<br />

pengguna.<br />

6.1.2 Ditinjau dari perilaku pengemudi angkutan<br />

umum :<br />

o Pengemudi angkutan umum pada<br />

wilayah studi tidak menggunakan<br />

halte, sarana untuk<br />

menurunkan/menaikkan penumpang.<br />

Pada prinsipnya pengemudi angkutan<br />

umum menyadari sepenuhnya<br />

manfaat daripada halte, tetapi sebagai<br />

individu pengemudi angkutan umum<br />

merasakan harus adanya dorongan<br />

yang keras dari pemerintah untuk<br />

melaksanakannya<br />

o Untuk itu, pengemudi merasa<br />

perlunya penegasan peraturan bagi<br />

pengguna jalan, untuk memanfaatkan<br />

halte sesuai dengan fungsinya. Yaitu<br />

dengan menaikkan/menurunkan<br />

penumpang pada halte.<br />

o<br />

Di kota Medan, 90% angkutan umum<br />

berupa mobil penumpang umum dan<br />

bukan bus. Hal ini yang memicu<br />

pengemudi<br />

untuk<br />

menurunkan/menaikkan penumpang<br />

di sembarangan tempat, sehingga<br />

halte tidak lagi berfungsi sebagai<br />

mana mestinya.<br />

6.1.3 Responden pengguna halte<br />

o Pengguna halte mengharapkan<br />

kondisi yang aman, nyaman dan<br />

bersih pada halte ketika menunggu<br />

angkutan umum. Tetapi hal tersebut<br />

tidak terwujud pada halte di Kota<br />

Medan.<br />

o Pengemudi angkutan umum bersedia<br />

menurunkan atau menaikkan<br />

penumpang di mana saja. Sehingga<br />

memicu penumpang enggan untuk<br />

berjalan menuju halte.<br />

o Penumpang angkutan umum<br />

memakan waktu lebih lama, 5 sampai<br />

10 menit untuk memperoleh angkutan<br />

umum ketika menunggu di halte. Hal<br />

ini tidak terjadi bila calon penumpang<br />

menunggu angkutan di tempat selain<br />

halte.<br />

6.2 Saran<br />

Seiring dengan perkembangan waktu,<br />

keberadaan halte di Kota Medan, apabila tidak<br />

mengalami perawatan, perbaikan dan perhatian<br />

khusus akan menjadi penyebab kemacetan di Kota<br />

Medan. Dengan berkembangnya waktu, armada<br />

angkutan umum juga akan bertambah banyak<br />

sehingga kemacetan tidak dapat dihindari. Mengingat<br />

kondisi masyarakat yang terbiasa tidak<br />

mengindahkan peraturan, angkutan umum yang<br />

berhenti di sembarangan tempat, sehingga di masa<br />

yang akan datang, Kota Medan akan dihadapkan<br />

dengan masalah transportasi yang sangat kompleks.<br />

Untuk itu hendaknya dari dini, sebelum<br />

masalah transportasi menjadi lebih kompleks,<br />

dilakukan penertiban lalu lintas. Seperti menegaskan<br />

peraturan kepada pengemudi angkutan umum dan<br />

pengguna halte untuk menggunakan halte dalam<br />

kegiatannya.<br />

Dalam mendukung pelaksanaannya<br />

hendaknya kondisi halte juga dalam keadaan bersih,<br />

aman dan nyaman. Serta memudahkan penumpang<br />

untuk memperoleh angkutan umum. Sehingga<br />

masyarakat tertarik untuk menggunakan halte.<br />

Angkutan umum hendaknya juga menggunakan halte<br />

dalam kegiatannya menaikkan/menurunkan<br />

penumpang. Sementara itu hendaknya halte<br />

dilengkapi dengan fasilitas-fasiltas untuk pengguna<br />

halte. Seperti tempat untuk duduk, informasi tentang<br />

rute, jadwal keberangkatan angkutan umum,<br />

jembatan penyeberangan, zebra cross dan ramburambu<br />

untuk keamanan pengguna halte. Untuk<br />

mencapai hal tersebut hendaknya pemerintah<br />

melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar<br />

masyarakat lebih memahami fungsi dari halte<br />

tersebut. Menegakkan disiplin bagi pengemudi<br />

angkutan umum agar pengemudi menggunakan halte<br />

untuk menaikkan/menurunkan penumpang. Hal ini<br />

dpat dengan mudah dilaksanakan mengingat 100%<br />

pengguna halte mendukung apabila pemerintah<br />

melakukan peningkatan terhadap fungsi dan<br />

keberadaan halte<br />

79


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Iskandar, A., 1995. Menuju Lalulintas dan Angkutan<br />

Jalan Yang Tertib, Direktorat Jendral<br />

Perhubungan Darat, Jakarta.<br />

Jalil, A., dkk., 1997. Metode Penelitian buku 2 modul<br />

3-5, <strong>Universitas</strong> terbuka.<br />

Catur, F.R, 2002. Faktor–faktor yang<br />

mengakomodasikan<br />

Ketidakefektifan<br />

Penggunaan Halte, Makalah. Semarang.<br />

Direktorat Jendral Perhubungan Darat. 1996.<br />

Pedoman teknis Perekayasaan Tempat<br />

perhentian Kendaraan Penumpang Umum,<br />

Keputusan Direktur Jendral Perhubungan Darat (<br />

nomor : 271/HK.105/DRJD/96 ).<br />

Morlok, E. K., 1984. Pengantar Teknik dan<br />

Perencanaan Transportasi, Erlangga Jakarta.<br />

Pemerintah Kota Medan, 2004. Lomba Tertib Lalu<br />

Lintas Dan Angkutan Kota Medan. Dinas<br />

Perhubungan Kota Medan. Medan.<br />

Peraturan Pemerintah RI No.41 Tahun 1993 Tentang<br />

Angkutan Jalan.<br />

Sudianto, B.U.,2003. Perancangan Tempat Henti<br />

Bus Dalam Rangka Pembangunan Kota<br />

Semarang, Artikel. Semarang.<br />

Vuchic,V.R, Urban Public Transportation System<br />

and Technology, Prentice- all, Inc., New Jersey,<br />

1981.<br />

Warpani S., (1990). Merencanakan Sistem<br />

Perangkutan, ITB, Bandung.<br />

80


Kajian Persamaan Stabilitas Kolom pada Portal Bergoyang<br />

Faizal Ezeddin<br />

KAJIAN PERSAMAAN STABILITAS KOLOM PADA<br />

PORTAL BERGOYANG<br />

Faizal Ezeddin<br />

Staf Pengajar Teknik Sipil FT. USU<br />

Abstrak<br />

Kapasitas daya dukung kolom berdasarkan panjang efektif umumnya ditetnukan berdasarkan prosedur<br />

nomogram, dan telah diadopsi beberapa peraturan seperti AISC-LRFD (1994), ACI (1995), dan SNI (2000).<br />

Metode ini berdasarkan beberapa asumsi yang kurang realistik, antara lain dengan asumsi semua kolom<br />

mempunyai parameter kekakuan sama, dan hanya tergantung pada panjang, gaya aksial, momen inersia kolom.<br />

Sebuah prosedur untuk menentukan panjang efektif kolom disajikan dlaam tulisan ini dengan menggunakan<br />

fungsi stabilitas berdasarkan modifikasi pesamaan slope-deflection. Metode ini memperhitungkan perilaku<br />

inelastis kolom, ketidak kakuan sambungan balok ke kolom, dan perbedaan parameter kekakuan kolom. Studi<br />

numerik dilakukan untuk mendapatkan pengaruh parameter-parameter terhadap faktor K. kekakuan sambungan<br />

balok ke kolom, parameter kekakuan kolom, dan kondisi ujung-ujung dari batang-batang terkekang ternyata<br />

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap faktor K.<br />

Kata Kunci: Stabilitas, kolom portal bergoyang, kekakuan sambungan, faktor panjang efektif, perilaku<br />

inelastis, <strong>teknik</strong>.<br />

1. Pendahuluan<br />

Kebanyakan peraturan-peraturan yang digunakan<br />

didalam menentukan panjang efektif kolom pada<br />

bangunan baja atau beton menggunakan prosedur<br />

nomogram baik untuk portal bergoyang maupun<br />

tidak bergoyang. Prosedur nomogram ini telah<br />

diaposi oleh tulisan ini, sebuah prosedur<br />

dikembangkan untuk memprediksi panjang efektif<br />

kolom pada portal berdasarkan pengembangan dari<br />

persamaan slope-deflection dengan<br />

memperhitungkan pengaruh ketidak kakuan<br />

sambungan, kondisi beberapa peraturan seperti<br />

AISC-LRFD (1994). ACI (1995), dan peraturan<br />

Indonesia SNI (2000), dan telah digunakan secara<br />

luas oleh para praktisi (1998), dan Liew et al (1992).<br />

Pada Gbr Ia dapat dilihat pengaruh perbedaan beban<br />

pada kolom terhadap panjang efektif kolom seperti<br />

yang dilaporkan oleh Liew et al (1993) ujung-ujung<br />

batang,d an perbedaanparameter kekakuan kolom.<br />

Juga, diberikan hasil numerik dari beberapa contoh<br />

yang dikaji.<br />

Gbr 1.a Karakteristik faktor K pada portal<br />

81


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

2. Persamaan Slope-Deflection yang<br />

termodifikasi<br />

Tinjauan suatu balok-kolom seperti pada<br />

Gbr 1b. persamaan slope deflection dengan<br />

memperhitungkan perilaku inelastis batang dapat<br />

dinyatakan sebagai berikut (Goncalves 1992) dimana<br />

C dan S adalah fungsi stabilitas diberikan seperti<br />

sinαL<br />

−αL<br />

cosαL<br />

C = αL<br />

2 − 2cosαL<br />

−αLsinαL<br />

αL -sinαL<br />

S = αL<br />

2 − 2cosαL<br />

−αLsinαL<br />

(2a)<br />

(2b)<br />

P<br />

α =<br />

(3)<br />

EIπ<br />

E1<br />

η =<br />

E<br />

EIη<br />

⎡<br />

Δ ⎤<br />

M<br />

A<br />

=<br />

⎢<br />

Cθ<br />

A<br />

+ Sθ<br />

B<br />

− ( C + S)<br />

⎥<br />

(1a)<br />

L ⎣<br />

L ⎦<br />

EIη<br />

⎡<br />

Δ ⎤<br />

M<br />

B<br />

=<br />

⎢<br />

Cθ<br />

B<br />

+ Sθ<br />

A<br />

− ( C + S)<br />

⎥<br />

(1b)<br />

L ⎣<br />

L ⎦<br />

⎧<br />

⎪<br />

⎪1,0<br />

E1<br />

⎪<br />

= ⎨<br />

E ⎪<br />

⎪<br />

⎛<br />

02,7243⎜<br />

⎪<br />

⎩ ⎝<br />

dimana λ =<br />

c<br />

P<br />

P<br />

y<br />

⎞ ⎛<br />

⎟ln⎜<br />

⎠ ⎝<br />

2<br />

2π<br />

E<br />

F<br />

y<br />

P<br />

P<br />

y<br />

⎞<br />

⎟<br />

⎠<br />

untuk P<br />

untuk P<br />

⎫<br />

⎪<br />

< 0,39Py<br />

⎪<br />

⎪<br />

⎬<br />

⎪<br />

> 0,39P ⎪<br />

y<br />

⎪<br />

⎭<br />

(6)<br />

Adalah rasio kelangsungan sebagai batas ekuk elastis<br />

dan inelastis ; F y = tegangan leleh dan<br />

KL<br />

λ = (7)<br />

r<br />

Adalah rasio kelangsingan kolom ; K = faktor<br />

panjang efektif kolom, dan r = jari-jari inersia<br />

penampang.<br />

Dalam tulisan ini parameter η = E E1<br />

menggunakan formula dari SSRC karena<br />

berhubungan langsung dengan rasio kelangsingan<br />

kolom.<br />

dimana l = momen inersia penampang tehradap<br />

sumbu tegak lurus bidang tekuk,; L = panjang kolom<br />

; E = modulus elastistias bahan, dan E 1 = modulus<br />

tangen. Bila gaya aksial P = 0, maka C = 4 dan S = 2.<br />

Di sini digunakan metode AISC-LRFD<br />

dapat digunakan untuk mendapatkan parameter<br />

η = E E 1<br />

antar alain :<br />

- Formula tangen modulus AISC-LRFD<br />

diberikan dalam bentuk<br />

3. Fungsi Stabilitas Tergeneralisir<br />

Prosedur yang diberikan Chen dan Lui<br />

(1991( dan Goncalves (1992) digunakan disini untuk<br />

mengembangkan fungsi stabilitas elemen balok<br />

dengan memperhitungkan syrat batasnya. Dengan<br />

mengabaikan pengaruh deromasi aksial, maka nilai<br />

fungsi stabilitas C = 4 dan S = 2. Bila sambungan<br />

balok ke kolom tidak kaku sempurna tetapi fleksibel<br />

(Gbr 2) maka bentuk persamaan slope-deflection<br />

menjadi<br />

Ei ⎡ ⎛ M<br />

A ⎞ ⎛ M<br />

B ⎞⎤<br />

M<br />

A<br />

= ⎢4⎜θa<br />

− ⎟ + 2⎜θ<br />

B<br />

− ⎟⎥<br />

(8a)<br />

L ⎣ ⎝ k ⎠ ⎝ k ⎠⎦<br />

Ei ⎡ ⎛ M<br />

B ⎞ ⎛ M<br />

A ⎞⎤<br />

M<br />

B<br />

= ⎢4⎜θ<br />

B<br />

− ⎟ + 2⎜θ<br />

A<br />

− ⎟⎥<br />

(8b)<br />

L ⎣ ⎝ k ⎠ ⎝ k ⎠⎦<br />

82


Kajian Persamaan Stabilitas Kolom pada Portal Bergoyang<br />

Faizal Ezeddin<br />

Bila persamaan (8a) dan (8b) diselesaikan dalam<br />

bentuk M A dan M B diperoleh<br />

Ei<br />

M<br />

A<br />

= [ Dθ<br />

A<br />

+ TθB<br />

] (9a)<br />

L<br />

Ei<br />

M<br />

B<br />

= [ DθB<br />

+ Tθ<br />

A]<br />

(9a)<br />

L<br />

dimana<br />

⎛ 3 ⎞<br />

4⎜1<br />

+ ⎟<br />

k<br />

D =<br />

⎝ ⎠<br />

⎛ 6 2 ⎞<br />

⎜1<br />

⎟ ⎜1<br />

⎟<br />

k ⎠⎛ ⎞ + +<br />

⎝ ⎝ k ⎠<br />

2<br />

T =<br />

⎛ 6 2 ⎞<br />

⎜1<br />

⎟ ⎜1<br />

+ ⎟<br />

k ⎠⎛ ⎞ +<br />

⎝ ⎝ k ⎠<br />

(10a)<br />

(10b)<br />

4. Persamaan Faktor Panjang Efektif<br />

Model yang digunakan didalam menentukan<br />

nilai K untuk kolom pada portal bergoyang<br />

diperlihatkan pada Gbr 3. kolom yang dikaji adalah<br />

kolom C2 pada gambar. Beberapa asumsi yang<br />

digunakan pada model ini adalah :<br />

Disebut sebagai fungsi stabilitas tergeneralisir, dan<br />

K<br />

=<br />

⎛<br />

⎜<br />

⎝<br />

k<br />

Ei<br />

L<br />

⎞<br />

⎟<br />

⎠<br />

(10c)<br />

Adalah koefisien kekakuan tanpa dimensi pada<br />

sambungan, dan k = kekakuan sambungan dianggap<br />

kekakuan sambungan berperilaku linear dan sama<br />

besar untuk semua balok.<br />

Bila ujung A adalah terhubung fleksibel<br />

dengan batal lain dan ujung lain B dapat berupah<br />

kondisi batas sendi atau jepit, maka memoen ujungujung<br />

dapat dinyatakan sebagai :<br />

Ei ⎡ ⎛ M<br />

A ⎞ ⎛ M<br />

B ⎞⎤<br />

M<br />

A<br />

= ⎢4⎜θ<br />

a<br />

− ⎟ + 2⎜θ<br />

B<br />

− ⎟⎥<br />

(11a)<br />

L ⎣ ⎝ k ⎠ ⎝ k ⎠⎦<br />

Ei ⎡ ⎛ M<br />

B ⎞ ⎛ M<br />

A ⎞⎤<br />

M<br />

B<br />

= ⎢4⎜θ<br />

B<br />

− ⎟ + 2⎜θ<br />

A<br />

− ⎟⎥<br />

(11b)<br />

L ⎣ ⎝ k ⎠ ⎝ k ⎠⎦<br />

Dimana d, T, H adalah fungsi stabilitas<br />

tergeneralisir, dengan persamaan<br />

4<br />

D =<br />

(13a)<br />

4<br />

1+<br />

k<br />

2<br />

T =<br />

(13b)<br />

4<br />

1+<br />

k<br />

12<br />

4 +<br />

H = k (13c)<br />

4<br />

1+<br />

k<br />

Perlu diketahui bahwa bila ujung balok B adalah<br />

jepit, maka rotasi θ B dibuat nol, sedangkan memen<br />

ujung M B adalah nol bila ujung B sendi.<br />

Gbr.3.<br />

Model terakit untuk faktor K pada portal<br />

bergoyang.<br />

1. Semua batang adalah prismatis.<br />

2. Deformasi aksial pada balok diabaikan.<br />

3. Kolom-kolom berdekatan mencapai beban<br />

kritisnya secara bersamaan.<br />

4. Ujung balok terdekat tersambung fleksibel ke<br />

batang-batang lain.<br />

5. Kondisi ujung-ujung jauh balok mungkin<br />

fleksibel, sendi atau jepit.<br />

6. Kondisi ujung-ujung jauh kolom C1 dan C3<br />

mungkin kaku, sendi atau jepit.<br />

7. Kekakuan sambungan balok ke kolom dianggap<br />

konstan dan sama besar.<br />

8. Parameter kekauan L P / EI dapat berbeda<br />

antara satu kolom dengan lainnya.<br />

Dengan menerapkan persamaan slope-deflection<br />

ada struktur terakit Gbr. 3, dan membentuk<br />

persamaan-persamaan keseimbangan pada joint A<br />

dan B, serta keseimbangan gaya geser tingkat maka<br />

diperoleh ;<br />

M ACI +M AC2 +M Ag1 + M Ag2 = 0 (14a)<br />

M AB3 +M AB2 +M Bg3 +M Bg4 = 0 (14b)<br />

M ACI + M CC1 +P 1 Δ 1 =0 (14c)<br />

M AC2 + M BC2 +P 2 Δ 2 =0 (14d)<br />

M BC3 + M DC3 +P 3 Δ 3 =0 (14e)<br />

Pada saat tekuk terjadi maka determinan dari<br />

persamaan (14a) s/d (14e) adalah sama dengan nol<br />

83


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

a<br />

a<br />

det a<br />

a<br />

a<br />

11<br />

21<br />

31<br />

41<br />

51<br />

a<br />

a<br />

a<br />

a<br />

a<br />

12<br />

22<br />

32<br />

42<br />

52<br />

a<br />

a<br />

a<br />

a<br />

a<br />

13<br />

23<br />

33<br />

43<br />

53<br />

a<br />

a<br />

a<br />

a<br />

a<br />

14<br />

24<br />

34<br />

44<br />

54<br />

a<br />

a<br />

a<br />

15<br />

a<br />

a<br />

25<br />

35<br />

45<br />

55<br />

= 0<br />

(15)<br />

Dimana koefisien a 11 s/d a 55 (Essa 1998) adalah<br />

a 11 = K c2 C 2 +K cl (C 1 +R 1 S 1 ) + K g1 (D 1 +R 1 T 1 ) +<br />

K g2 (D 2 +R 8 T 2 ) (16)<br />

a 12 = K c2 S 2 + K cl R 2 S 1 (17)<br />

a = K C + S (1 − R ) (18)<br />

a<br />

a<br />

13<br />

15<br />

53<br />

= a<br />

= a<br />

cl<br />

23<br />

54<br />

[ ]<br />

1<br />

= a<br />

= 0<br />

34<br />

1<br />

= a<br />

35<br />

3<br />

= a<br />

43<br />

= a<br />

45<br />

=<br />

(19)<br />

Yang mana R 1 sampai R 10 adalah koefisienkoefisien<br />

ujung jauh diberikan pada tabel 1; K cl , K c2 ,<br />

dan K c3 adalah masing-masing kekauan lentur dari<br />

kolom C1, C2 dan C3; L 1 , L 2 dan L 3 adalah masingmasing<br />

panjang kolom C1, C2 dan C3 ; K g1 , K g2 , K g3<br />

dan K g4 adalah masing-masing kekakuan lentur dari<br />

balok g1, g2, g3, dan g4 ; P 1 , P 2 dan P 3 adalah<br />

masing-masing beban aksial dari kolom C1, C2 dan<br />

C3; D 1 T 1 , D 2, T 2 , D 3 , T 3 , D 4 dan T 4 adalah fungsi<br />

stabilitas tergeneralisir ditentukan dari pers (10) atau<br />

(13) untuk masing-masing balok g1, g2, g3 dan g4,<br />

C1, S 1 , C 2 , S 2 , C 3 DAN S 3 adalah sama dengan fungsi<br />

stabilitas C dan S masing-masing untuk kolom C1,<br />

C2 dan C3. untuk kolom ke I (Ci), nilai parameter<br />

kekakuan, α I dibutuhkan untuk menentukan fungsi<br />

stabilitas C 1 dan S 1 dari pers (2) diperoleh sebagai<br />

π PiI<br />

2η<br />

2<br />

α<br />

i<br />

=<br />

(31)<br />

KL2 P2<br />

I<br />

iη1<br />

Dimana I i dan I 2 masing-masing momen<br />

inersia kolom Ci dan C 2 ; P i dan P 2 adalah masingmasing<br />

beban aksial dari kolom Ci dan C2; η I dan η 2<br />

masing-masing rasio tangen modulus terhadap<br />

modulus elastis kolom Ci dan C2.<br />

Nilai-nilai yang diberikan pada tabel 1 digunakan<br />

untuk memenuhi kondisi-kondisi berikut.<br />

a. Bila ujung jauh sendi, momen adalah nol pada<br />

ujung tersebut.<br />

b. Bila ujung jauh jepit, rotasi adalah nol pada<br />

ujung tresebut.<br />

c. Bila ujung kolom C1 dan C3 adalah kaku,<br />

rotasi ujung jauh diambil sebagai θ C = θ B<br />

atau θ D = θ A<br />

d. Bila ujung jauh balok adalah kaku, rotasi pada<br />

ujung jauh dan dekat adalah searah dan sama<br />

besar.<br />

Setelah menerapkan kondisi-kondisi diats,<br />

hanya lima besaran yang tidak diketahui dari pers<br />

(15), yaitu θ A , θ B , Δ 1 / l 1 , Δ 2 l 2 Δ 3 / l 3 . karena<br />

nilai parameter kekakuan L P / EI , adalah<br />

berbeda dari satu kolom dengan kolomlainnya, maka<br />

digunakan fungsi stabilitas yang berbeda.<br />

5. Contoh perhitungan<br />

Dalam pengembangan nomogram, dianggap<br />

parameter kekakuan L P / EI , adalah identik,<br />

dimana L = panjang kolom, P = beban aksial pada<br />

kolom, dan I = momem inersia kolom. Juga,<br />

dianggap kondisi ujung jauh kolom atas dan bawah<br />

begitu juga sambungan balok ke kolom adalah kaku.<br />

Namun, pada struktur sebenarnya, parameter<br />

kekakuan mungkin berbeda dari satu kolom edngan<br />

kolom lainnya. Begitu juga sambungan balok ke<br />

kolom mungkin fleksibel. Untuk menunjukkan<br />

pengaruh parameter-parameter tehradap panjang<br />

efektif kolom, ditinjau suatu model struktur seperti<br />

pada Gbr. 4. disini akan diperksa stabilitas kolom<br />

AB. Semua batas terdiri dari porfil W8X58 dari A36<br />

dengan F Y = 250 Mpa dan E = 200000 Mpa.<br />

Semua batang mempunyai panjang sama (L 1<br />

= L 4 = 4 m). beban aksial pada kolom adalah sama<br />

(P 1 = P 2 ). Kondisi ujung jauh kolom atas dan bawah<br />

begitu juga sambungan balok ke kolom dianggap<br />

kaku.<br />

84


Kajian Persamaan Stabilitas Kolom pada Portal Bergoyang<br />

Faizal Ezeddin<br />

5.1. Pengaruh Beban-beban kolom<br />

Pada prosedur menentukan faktor K denagn<br />

nomogram, beban aksial tidak memberikan<br />

kontribusi, namun banyak peneliti (Goncalves 1992,<br />

Bridge dan Fraser 1987 dan Liew et al 1993)<br />

membuktikanbahwa beban aksial pada kolom<br />

mempengaruhi terhadap besarnya faktor K pada<br />

portal tidak bergoyang.<br />

Untuk memeriksa pengaruh beban aksial ini<br />

terhdap bearnya faktor K, beban aksial P 2 pada<br />

kolom AB dipertahankan sama edngan kolom<br />

dibawahnya, sementara beban aksial diatasnya P 1<br />

dibuat bervariasi sehngga o < P 1 P 2 < 2,0. momen<br />

inersia dan panjang semua kolomdibuat tetap. Grafik<br />

faktor K, sebagaimana diperoleh model elastis dan<br />

inelastis dan dari nomogram, terhadap rasio beban<br />

aksial P 1 /P 2 ditunjukkan pada Gbr. 5. Panjang efektif<br />

diperoleh dari analisis inelastis biasanya lebih kecil<br />

dari yang diperoleh analisis elastis.<br />

5.2. Pengaruh dari Panjang Kolom<br />

Untuk mempelajari pengaruh panjang kolom,<br />

fkator K elastis dan inelastis kolom AB akan<br />

ditentukan dari Gbr 4. panjang kolom AB L 2 begitu<br />

juga kolom dibawahnya dipertahankan tetap 4 m,<br />

sedangkan Panjang koom atas L 1 dibuat bervariasi<br />

dari 2 m sampai 8 m. momen inersia semua kolomt<br />

etap dibuat sama.<br />

Pada prosedur nomogram rasio kekakuan<br />

lentur relatif joint ujung-ujung A dan B dari kolom<br />

digunakan menentukan faktor K. karena panjang<br />

koom telah termasuk didalam mengevaluasi rasio<br />

kekakuan lentur, maka dapat dikatakan bahwa<br />

engaruh panjang kolom telah diperhitungkan penuh.<br />

Namu, hal ini tidak memberikan hsil yang<br />

representatif karena dari pada gbr 6, faktor K yang<br />

diperoleh dari model elastis dan inelastis dan<br />

nomogram, di plot sebagai fungsi dari rasio L 1 /L 2 .<br />

faktor K yang diperoleh dari model elastis dan<br />

inelastis meningkat bila rasio L 1 /L 2 semakin besar.<br />

Sebaliknya, ketika rasio L 1 /L 2 semakin besar, faktor<br />

K yang diperoleh dari nomogram cenderung<br />

menurun. Bila rasio L 1 /L 2 semakin besar, faktor K<br />

yang diperoleh dari nomogram cenderung menurun.<br />

Bila rasio L 1 /L 2 > 1,0, aprameter kekakuan dari<br />

kolom atas melebihi kolom AB dan reduksi faktor<br />

panjang efektif dari analisis elastis cukup signifikan<br />

lebih besar dari nilai yang diperoleh nomogram Gbr<br />

6 dapat dilihat hasil analisis elastis tidak sama<br />

edngan nomogram.<br />

Pengaruh Luas Penampang Kolom<br />

Untuk tujuan memeriksa pengaruh luas<br />

penampang kolom atas dan bawah terhadap faktor<br />

panjang efektif, kolom AB yang dianalsia ukurannya<br />

tepta W8X58. (l=9490 cm 4 , r=9,28 cm). kolom ats<br />

dibuat beberapa ukuran dari W8X18 (l= 2576 cm 4 , r<br />

= 8,71 cm) sampai W12X72 (l=24800 cm 4 , r = 13,51<br />

cm). Panjang dan beban aksial pada semua kolom<br />

dibuat ttap. Hasil yang diperoleh seperti ditunjukkan<br />

pada gbr. 7, yang mana faktor K, ditentukan dari<br />

analisis elastis dan inelastis dan nomogram di plot<br />

tehradap rasio l 1 /l 2 . dalam hal ini l 1 dan I 2 masingmasing<br />

momen inersia kolom atas dan W8X58.<br />

faktor K yang diperoleh dari analisis elastis cukup<br />

signifikan perbedannya bila dibandingkan dengan<br />

prosedur nomorgram. Juga, dapat diamati ada<br />

perubahan yang tajam pada faktor K inelastis.<br />

Phenomena ini merupakan petunjuk fakta bahwa dua<br />

parameter penampang, yaitu memen inersia dan jarijari<br />

inersia terlibat dalam Gbr 7.<br />

Gbr. 6 Pengaruh panjang kolom atas pada faktor K<br />

85


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Untuk mengetahui secara terpisah pengaruh<br />

momen inersia terhadap faktor K, profil kolom atas<br />

W8X58 diganti dengan beberapa penapang buatan<br />

sehinggajari-jari inersia tetap sama dengan profil<br />

W8X5 tetapi momen inersia berbeda. Hasilnya<br />

ditunjukkan pada gbr 8, dimana variasi faktor K yang<br />

diperoleh dari moedl elastis dan inelastis dan dari<br />

nomogram, di plot sebagai fungsi dari rasio l 1 /l 2 . jelas<br />

terlihat bahwa faktor K yang diperoleh dari model<br />

elastis sedikit lebihkecil dari yang diperoleh dari<br />

nomogram. Untuk nilai-nilai l 1 /I 2 yang relatif kecil,<br />

faktor K yang diperoleh dari model elastis dan<br />

ienlastis adalah identik. Bila diliht pada rasio l 1 /I 2 ><br />

1, faktor K yang diperoleh dari model elastis dan<br />

inelastis hampir konstan.<br />

5.4. Pengaruh Sambungan Fleksibel balok ke<br />

kolom<br />

Untuk melihat pengaruh sambungan fleksibel<br />

terhadap faktor K, maka kekakuan sambungan balok<br />

ke kolom untuk keempatnya dibuat bervarisi dari nol<br />

sampai 400 MN-m/rad, yang mana dianggap cukup<br />

Terakhir, dikaji secara terpisah pengaruhjari-jari<br />

inersia terhadap faktor K. untuk ini, profil kolom atas<br />

W8X58 diganti dengan beberapa penampang buatan,<br />

sehingag didapt momen inersia tetap sama dengan<br />

W8X58 tetapi jari-jari inersia dibuat berbeda. Hsil<br />

dari analissi ini ditunjukkan pada gbr. 9, diamna<br />

faktor K yang diperoleh dari model elastis dan<br />

inelastis di plot terhadap rasio r 1 / r 2 . dalam hal ini r 1<br />

dan r 2 masing-masing adalah jari-jari inersia kolom<br />

atas dan kolom AB. Sebagaimana dilihat dari gbr. 9.<br />

untuk mewakili berbagai tipe sambungan fleksibel,<br />

yang ditentukan dari percobaan yang umumnya<br />

dijumpai dalam bangunan sebenarnya (Ackroyd dan<br />

Gerstle 1983). Beban aksial, panjang, dan momen<br />

inersia semua kolom dibuat d kosnstan. Pada Gbr 10<br />

ditunjukkan variasi faktor K dari analisis elastis,<br />

inelastis dan nomogram dengan meningkatnya<br />

kekakuan sambungan. Untuk kekakuan sambungan k<br />

> 70 MN-m/rad, faktor K dari analsis elastis, inelastis<br />

relatif stabil. Pada sambungan yang relatif fleksibel<br />

(k


Kajian Persamaan Stabilitas Kolom pada Portal Bergoyang<br />

Faizal Ezeddin<br />

inersia balok dan kolom, untuk tiga kondisi ujung<br />

kolom ats dan bawah yang berbeda, sendi, jepit, dan<br />

kaku. Perlu dicata bahwa fkator K yang didapat dari<br />

nomogram mirip edngan kasus kondisi ujung jauh<br />

jepit.<br />

5. Essa, S.H. (1998), “New Stability Equation<br />

for Columns in Ubraced Frames”, J. Struc.<br />

And Mechanic., (1998), 6(4), 411-425.<br />

6. Liew, J. Y.R. D. W. White and W. F. Chen<br />

(1992), “Beam-Column”, in Construction<br />

Steel Design, an International Guide,<br />

Chap.5.1. P. Dowling et al. (eds.), Elsevier,<br />

England, pp. 105-132.<br />

6. KESIMPULAN<br />

Prosedur nomogram akurat didalam<br />

memprediksi faktor K pada portal bergoyang jika<br />

parameter kekakuan kolom-kolom tersambung<br />

adalah sama dengan kolom yang dianalisa. Bila<br />

parameter kekakuan beberapa kolom tersambung<br />

lebih besar dai kolom yang diperiksa, faktor panjang<br />

efektif meningkat cukup signifikan, karena kolom<br />

tersebut akan memberi gangguan daripada<br />

mengekang kolom yang dianalisa.<br />

Kondisi – kondisi ujung jauh kolom diatas<br />

dan dibawah dari kolomyang diperiksa mempunyai<br />

pengaruh yang signifikan terhadap faktor K kolom<br />

yang dianalisa. Faktor panjang efektif dari prosedur<br />

nomogram adalah mirip dengan kondisi ujung jau<br />

jepit.<br />

Dalam hal pemilihan ukuran dan jenis<br />

sambungan tidak diatur dalam peraturan yang ada,<br />

stabilitas kolom dapat ditingkatkan dengan<br />

menggunakan sambungan balok ke kolom yang lebih<br />

kaku.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. American Institute of Steeel Contruction<br />

(1994), “Load and Resistance Faktor Design<br />

Specification Steel Building”, AISC,<br />

Chicago.<br />

2. Akroid, M.H. and Gerstle, K.H. (1983),<br />

“Elastic Stability of Flexibly Connected<br />

Frames,,” J. Struc.Eng., ASCE, 109(1), 241-<br />

245.<br />

3. Bridge, R. Q and Fraser, D. (1987),” Improve<br />

G-faktor Method for Evaluating Effecntive<br />

Lenghths of Column”, J.Struc.Eng. ASCE,<br />

113(6), 1341-1356.<br />

4. Chen, W.F and Lui, E.M. (1991), “Stability<br />

Design of Steel Frames”, CRC Press Inc,<br />

Boca raton, Florida.<br />

87


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

ANARKISME<br />

Rasyidin<br />

Abstrak: Anarki secara umum dipahami sebagai huruhara, atau ketidak teraturan atau kacau balau. Dalam<br />

pandangan orang awam apabila disebut kata-kata anarki adalah tidakada pemerintahan atau tidak ada<br />

pemerintah atau tidak ada aturan perundangan-undangan. Akan tetapi ada pendapat lain tentang anarkisme<br />

merupakan salah satu paham yang mampu memberikan motivasi untuk mengatakan yang sebenarnya. Dengan<br />

demikian anarkisme dapat dimaklumi sebagai sebuah filsafat hidup manusia yang ingin hidup bebas, demi dan<br />

sejahtera. Oleh karena itu anarkisme tidak boleh dipandang sebagai masalah yang dapat mendatangkan<br />

bencana, namun sebaliknya anarkhi merupakan sebuah aliran filsafat yang harus diketahui secara lebih<br />

mendalam.<br />

Key Word : Anarkhisme,filsafat hidup<br />

PENDAHULUAN<br />

Anarkisme sering terjadi di dunia,<br />

terutamanya di negara-negara yang sedang<br />

berkembang. Hal ini ada karena tidak ada kepuasan<br />

bagi sebagian orang, kerajaan terlalu lemah, undangundang<br />

tidak berjalan sebagaimana mestinya,<br />

keperluan masyarakat tidak terpenuhi, suasana politik<br />

dan ekonomi tidak berimbang. Disamping itu adanya<br />

masyarakat tantangan rakyat kepada kerajaan juga<br />

menyebabkan adanya anarkisme. Orang awam<br />

tatkala mendengar anakisme berasa trauma karena<br />

anarkisme akan membawa pengaruh yang tidak baik<br />

terhadap kegiatan kehidupan mereka. Ini karena<br />

anarkisme berhubungan dengan kekerasan dan<br />

kebiadaban. Oleh sebab itu sekiranya anarkisme<br />

berlaku dalam sesuatu kerajaan ia boleh membawa<br />

kehancuran akan ada di tempat tersebut.<br />

Dari segi sejarahnya anarkisme ini telah ada<br />

pada tahun 1798 oleh golongan buruh di pelbagai<br />

negara Eropah seperti Rusia dan Spanyol.<br />

Bangkitnya ajaran ini dihubungkan dengan nama<br />

Schimdt. Proudhon dan Bakunin. Ideologi ini berlaku<br />

di Itali, Prancis dan Spanyol, namun tidak<br />

berkesinambungn. (pada akhir tahun 1960-an). Di<br />

Prancis misalnya, anarkisme muncul pada bulan juni<br />

1968, ketika mahasiswa di Paris melakukan unjuk<br />

rasa dan membawa sepanduk anarkisme, protes.<br />

Gerakan ini kembali dilahirkan oleh sebuah gerakan<br />

kiri baru dan bekerjasama dengan gerakan komunal.<br />

Namun gerakan ini tidak bertahan lama karena tidak<br />

memperoleh dukungan yang kuat dari masyarakat.<br />

Namun selanjutnya anarkisme tersebar dan<br />

berkembang di Asia dan Amerika Serikat.<br />

Pada awal abad ke-19, anarkisme muncul<br />

kembali dan berkembng menjadi lawan terhadap<br />

teori Marxisme. Hal ini disebabkan anarkisme lebih<br />

bersifat libertarian berbanding Marxism yng otoriter.<br />

Walaupun kedua-dua teori ini mempunyai persamaan<br />

dari segi revolusi untuk meruntuhkan rezim borjuis<br />

yang monopoli. Perbedaannya terletak pada keadaan<br />

negara. Marxism menginginkan negara untuk<br />

mencapai tujuannya sedangkan anarkisme<br />

mengingninkan negara dibubarkan, sebab anarkisme<br />

berkeyakinan bahwa dengan adanya negara akan<br />

semakin sukar untuk memperoleh kebebasan karena<br />

terikat dengan aturan atau hokum.<br />

PENGERTIAN ANARKISME<br />

Perkataan anarkisme berasal dari bahasa<br />

Inggris yaitu anarchy. Bahasa Yunani menyebutkan<br />

dengan Anakhos/Anarchia tetapi semua perkataan ini<br />

bermaksud tidak ada pemerintahan atau pemerintah<br />

tanpa aturan dan undang-undang. Anarkisme juga<br />

berarti kacau balau, huru hara dan kekacauan.<br />

Mengikuti pendapat D. Black (1977:123), anarkisme<br />

adalah sebuah kehidupan masyarakat tanpa undangundang<br />

dan tanpa pemerintahan yang mengawasi<br />

masyarakat. Dalam konotasi positif, anarkisme<br />

merupakan ideology social yang tidak mau menerima<br />

pemerintahan yang memerintah secara otoriter. Dari<br />

segi konotasi negatifnya pula, anarkisme merupakan<br />

keyakinan yang tidak mengakui adanya undangundang<br />

atau aturan-aturan dan secara aktif terlibat<br />

dalam meningkatkan situasi kacau – balau dengan<br />

menghancurkan tatanan masyarakat (KOMNAS<br />

HAM 2001:17), oleh karena itu, anarkisme sangat<br />

diakui oleh negara-negara maju seprti Inggeris,<br />

Jerman, Amerika Serikat dan lain-lain.<br />

Selain itu anarkisme juga merupakan suatu<br />

arus intelektual dalam pemikiran social yang<br />

memperjuangkan penghapusan monopoli ekonomi<br />

dalam semua situasi politik dan social yang bersifat<br />

paksaan di dalam masyarakat. Dengan menggantikan<br />

tatanan ekonomi kapitalis, kaum anarkis akan<br />

membangun sebuah perhimpunan bebas dari semua<br />

kekuatan produktif yang didasarkan atas kerjasama<br />

(Rocker 2003 : internet). Kaum anarkis menurut<br />

penghapusan monopli ekonomi dalam segala bentuk<br />

dan menuntut hak milik bersama ke atas tanah dan<br />

semua pengeluaran. Hak untuk memakai fasilitas<br />

tersebut harus diberikan kepada setiap orang tanpa<br />

terkecuali. Kebebasan individu social hanya boleh<br />

ada jikalau semua orang mempunyai hak yang sama<br />

dalam bidang ekonomi.<br />

Anarkisme mempunyai persamaan dengan<br />

liberalisme tentang ide kebahagian dan kemakmuran.<br />

88


Anarkisme<br />

Rasyidin<br />

Seseorang haruslah menjadi norma dalam semua<br />

urusan social. Sama seperti pendapat liberalisme,<br />

anarkisme juga setuju dengan pembatasan fungsi<br />

negara. Jefferson (1935:134) menguraikan konsep<br />

liberalisme, dengan menyatakan bahwa pemerintahan<br />

yang baik adalah pemerintahan yang sedikit mungkin<br />

memerintah. Sedangkan Thoreau (1907:123) yang<br />

mewakili anakisme, menyatakan bahwa pemerintah<br />

yang baik adalah yang tidak memerintah sama sekali.<br />

Menurut Elliot, anarkisme adalah doktrin<br />

politik yang menyokong penghapusan otoritas yang<br />

sah . Pendapat ini menganggap setiap format<br />

pemerintahan itu adalah tirani dan malapetaka.<br />

Mereka ingin individu yang bebas, tanpa adanya<br />

kegiatan militer undang-undang tertulis dan penjara.<br />

Menurut Kropotkin (1933: 24) anarkisme adalah<br />

suatu prinsip atau teori yang dijalankan dalam<br />

masyarakat tanpa pemerintah sesuai di antara<br />

masyarakat tersebut dapat dibentuk tanpa terikat<br />

dengan undang-undang dan otoritas manapun,<br />

namun mereka bebas dari seluruh perjanjian, baik di<br />

antara kelompok, wilayah manapun kepakaran.<br />

Pengertian ini bermakna anarkisme itu bukanlah<br />

sebuah ideology (pandangan hidup), sebaliknya tidak<br />

sebuah teori tentang kehidupan yang bebas dari<br />

perjanjian dan undang-undang manapun.<br />

Manakala Burn beliau mengemukakan<br />

anarkis berarti oposisi kepada pemerintah<br />

berdasarkan kekuatan. Jadi setiap yang berlawanan<br />

dengan pemerintah tidak hanya dianggap sebagai<br />

penentang tetapi juga ditafsirkan sebagai anarkisme.<br />

Oleh karena itu anarkisme digolongkan ke dalam<br />

pertentangan dengan segala macam pemerintah<br />

secara paksa. Justru itu pengamal paham anarkisme<br />

selalu menolak institusi hokum, kepolisian karena<br />

dengan demikian anarkisme menghapuskan berbagai<br />

halangan kepada kelompok ini untuk bebas<br />

melakukan apa saja. Di samping itu, anarkisme<br />

mengandung tiga aspek penting yaitu (i) setiap<br />

manusia harus bebas dari penindasan dan<br />

kapitalisme, (ii) tidak terikat dengan pihak manapun,<br />

dan (iii) bebas dari otoritas kesusilaan agama dan<br />

lainnya (Albert Meltzer 1998:43)<br />

Bekman (1870-1936), pula melihat<br />

anarkisme sebagai kehidupan dalam masyarakat di<br />

mana masyarakat tersebut tidak ada paksaan apapun,<br />

suatu kehidupan tanpa paksaan berarti kebebasan, ciri<br />

ini memberikan suatu gambaran positif tentang<br />

anarkisme serta ketakutan kepada aliran ini.<br />

Anarkisme menginginkan suatu kehidupan yang<br />

penuh dengan kedamian dan bebas tanpa terikat<br />

aturan dan undang-undang dengan penuh dengan<br />

kedamian dan bebas tanpa terikat aturan dan undangundang<br />

dengan pihak manapun. Pandangan ini<br />

bertentangan dengan negara, lembaga keagamaan<br />

atau lembaga lainnya. Oleh karena itu anarkisme<br />

dibenci dan ditakuti, karena orang awam berpendapat<br />

akan menimbulkan kekacauan bukannya<br />

kehidupannya damai (Meltezer 1998)<br />

Asumsi dasar anarkisme adalah kekuasan<br />

dilaksanakan oleh seorang atau satu kelompok orang<br />

tertentu. Ada pendapat dari seorang anarkisme, ramai<br />

orang menyebutkan bahwa kerajaan itu perlu karena<br />

sebagian besar orang tidak mampu mengurus diri<br />

sendiri, namun anarkisme berpendapat bahwa<br />

pemeritah merugikan karena tidak seorang pun dapat<br />

dipercayai untuk mengurus orang lain. Semua<br />

anarkisme menyetujui pernyataan ini. Mereka yakin<br />

manusia mampu mengurus permasalahannya sendiri<br />

tanpa menyerahkan kepada orang lain. Hal ini berarti<br />

tatanan organisasi akan lebih baik dirancang oleh<br />

keperluan manusia berbanding system apapun yng<br />

dipaksakan dari pihak eksternal, kerena system ini<br />

mempunyai sifat (i) sukarela, (ii) fungsional,(iii)<br />

sementara dan (iv)kecil.<br />

Penolakan otoritas dan keyakinan bahwa<br />

masyarakat bersifat memaksa boleh diganti dengan<br />

kerjasama yang bersifat sukarela. Namun esensi<br />

anarkisme sebagai syarat mutlak adalah penghapusan<br />

wewenang atas seseorang oleh seseorang. Jadi jelas,<br />

bahwa ketakutan kepada aliran ini adalah untuk<br />

kepentingan orang/kelompok tertentu. Pengertian<br />

anarkisme sangat berbeda dengan apa yang dipahami<br />

oleh masyarakat pada masa sekarang, karena pada<br />

umumnya masyarakat nilai-nilai positif. Setelah<br />

dikaji paham ternyata tidak seluruhnya salah bahkan<br />

bersifat konstruktif dan akomodatif.<br />

TOKOH DAN ALIRAN ANARKISME.<br />

Tokoh anarkisme yang terkenal ialah seperti<br />

William Godwin (1756-1836). Piere Joseph<br />

Proundhon (1809-1856), Mikhail Bakunin (1814-<br />

1876), Leo Tolstoi (1828-1910), Marx Stirner (1806-<br />

1856), William Morris (1834-1896) dan Peter<br />

Krapotkin (1842-1921). Anarkisme seringkali<br />

dianggap sebagai mewakili aliran pemikiran radikal<br />

yang benar-benar demokratis dan libertarian. Ia<br />

dikemukakan oleh beberapa golongan sebagai satusatunya<br />

kebebasan filsafat politik yang tulen.<br />

Realitasnya adalah agak berbeda. Sejak lahirnya<br />

anarkisme merupakan sebuah doktrin yang antidmokratik.<br />

Memangnya, dua pencetus anarkisme<br />

yang paling penting, Pierre-Joseph Proundhon dan<br />

Michael Bakunin bersifat elitis dan berkuasa mutlak<br />

setinggi-tingginya, (Lyman Tower Sargent 1981 :<br />

148). Walaupun anarkis kemudiannya menoleh<br />

beberapa pencetus sebelumnya, falsafah mereka<br />

masih lagi bermusuhan dengan idea-idea demokratis<br />

dan kekuatan pekerja. Lebih –lebih lagi, permusuhan<br />

anarkis terhadap kapitalisme terpusat pada<br />

pertahanan dan kebebasan individu.tetapui<br />

kebebnasan yangt dipertahankan oleh anakis<br />

bukanlah kebebasan kelas pekerja untuk<br />

menumbuhkn sebuah masyarakat baru secara<br />

bersama. sebaliknya anarkisme mempertahankan<br />

kebebasan pemilki harta wong cilik dan pedagang<br />

kaki lima. Anarkisme mewakili wong cilik<br />

menentang kemajuan kapitalisme yang tidak dapat<br />

dielakkan. Oleh karena itu, ia memetingkan nilainilai<br />

dari masa yang lalu : harta individu, keluarga<br />

89


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

patriarki, rasisme (Lyman Tower Sargent 1984: 149)<br />

Disamping itu ada juga penemu Anarkisme<br />

yng terkenal seperti , Enrico Malatesta (1850-1932),<br />

Elisee Reclus (1830-1905), Benjamin Trucker (1854-<br />

1939) dan Josiah Warren (1798-1874), William<br />

Godwin adalah bapak masyarakat yang tidak<br />

mempunyai kewarganegaraan, beliau adalah<br />

penganut pendapat anarkisme sebagai pemikiran<br />

bahwa yang cinta damai. Truker pula mengatakan<br />

anarkisme senbagai pemikiran bahwa semua hal<br />

ehwal yang berhubungan dengan diri sendiri diurus<br />

oleh individu yng berkenaan dan bahwa negara harus<br />

ditiadakan. Enric Malatesta mengatakan anarkisme<br />

adalah penghapusan ekploitasi dan penindasan<br />

manusia hanya boleh dilakukan melalui pengurusan<br />

kapitalisme dan pemerintah. Peter Kropotkin<br />

mengatakan adalah sebuah sitem sosialis tanpa<br />

kerajaan, Ia dimulai antara manusia dan akan<br />

mempertahankan keupayaan dan kretivitasnya yang<br />

merupakan pergerakan dari manusia Jossiah Warren<br />

mengatakn kebebasan tanpa sosialisme adalah<br />

ketidakadilan dan sosialisme tanpa kebebasan adalah<br />

penghambatan dan keganasan. Di Italia, gerakan<br />

anarkisme telah melahirkan cukup banyak penulis<br />

mengenai anarkis seperti, Luigi Galleani, dan<br />

Camillo Berneri, mereka mengatakan anarkisme<br />

tidak mengharapkan bels kasihan karena percaya<br />

akan dapat melakukan kegiatannya,<br />

mempublikasikan buku dan majalah, menerbitkan<br />

rekaman, mendistribusikan literarture dan aktif dalam<br />

kegiatan politik (Mahajan 2001:759)<br />

Anarkisme boleh di bagikan kepada dua<br />

kategori (i) collectivist anarchism (anarckhi kolektif)<br />

dan (ii) Individulist Anarchism (Anakisme Individu),<br />

Collectivist Anarchism adalah anarkisme yang<br />

dilakukan secara kelompok dan menyeluruh. Mereka<br />

mempersoalkan bahwa segala sesuatu yang dilakukan<br />

secara paksa itu tidak baik. Manakala Individualist<br />

Anarchist adalah anarkisme yang dilakukan secara<br />

bersendirian dirinya sendiri, anarkisme ini tidak<br />

mengenal orang lain karena berasaskan kepada sifat<br />

egonya. Anarkisme ini selalunya melawan kepada<br />

disiplin dan semua otoritas yang ada karena ia tidak<br />

mahu menerima apapun bentuk kesusilaan. Ketika ia<br />

memberikan sesuatu kepada yang lain, misalnya rasa<br />

kasih sayang, persahabatn dan keramah-tamahan<br />

serta perilaku yang baik, itu tidak lain hanya suatu<br />

kepuasan egoisnya dalam kehidupannya.<br />

Bilangan kaum anarkisme adalah ramai,<br />

karena mereka telah muncul dua decade yang lalu.<br />

Oleh itu fluralisme pandangan tidak boleh dihindari.<br />

Walaupun demikian, benang merah2 anarkisme<br />

konsisten dan prinsipnya asasnya keterbukan, maka<br />

anarkisme mempunyai empat benang merah, yaitu (i)<br />

anarkisme menginginkan kebebasan martabat<br />

individu, Ia menolak segala jenis penindasan, Jika<br />

penidas itu kebetulan pemeritah, maka ia akan<br />

memilih masyarkat tanpa pemeritah, (ii) konsekuensi<br />

benang merah pertama adalah anarkisme anti<br />

hierarki, kerena hierarki selalunya berupa struktur<br />

organisasi dengan otoritasnya yang mendasari<br />

penguasaan yang menindas, (iii) anarkisme adalah<br />

paham hidup yang mencita-citakan sebuah kaum<br />

tanpa hirarki baik secara politik, social maupun<br />

budaya dan boleh hidup berdampingan secara damai<br />

dengan semua kaum lain dalam suatu system social.<br />

Ia mempunyai nilai tambah karena memaksimumkan<br />

kebebasan individu dan kesetaraan antara individu<br />

berasakan kerjasama, sukarela antar individu atau<br />

kompulan dalam masyarakat, dan (iv) kesan logis<br />

yang bararti membuktikan kebebasan tanpa<br />

persamaan, hanya bermakna kebebasan tanpa<br />

persamaan, hanya bermakna kebebasan para<br />

penguasa, dan persamaan tanpa kebebasan hanya<br />

berarti perbudakan (Meltzer 1998:12)<br />

Semua jenis paham anarkisme baik paham<br />

anarkisme berkumpulan maupun individu pada<br />

intinya adalah menginginkan kebebebasan.<br />

Anarkisme berpendapat bahwa semua orang boleh<br />

bebas dan boleh bekerjasama dalam bentuk sukarela<br />

dan tanpa paksaan apapun. Mereka mempercayai<br />

bahwa setiap manusia dapat menolong sesamanya<br />

dan mereka percaya bahwa naluri masyarakat sangat<br />

baik, tetapi telah dirusakkan oleh organisasi yang<br />

dibina masa sekarang (Lyman Tower Sargent<br />

1981:148)<br />

Penganut paham anarkhi juga menyadari<br />

bahwa suatu tanggungjawab dari setiap orang tua<br />

terhadap anaknya berhubung kait dengan pendidikan<br />

anak-anak mereka terutamanya mengenai kebebasan.<br />

Karena merasakan terdapat system pendidikan pada<br />

masa kini ada juga bersifat merusak kebebasan dan<br />

kreativitas serta segala kemungkinan lainnya pada<br />

anak-anak mereka.<br />

Namun terdapat satu lagi aliran yang<br />

kadang-kala di hubungkan dengan anarkisme. Ini<br />

adalah sindikialisme. Pendirian sindikialisme<br />

memang percaya pada aksi kelas pekerja kolektif<br />

untuk merubah masyarakat. Pihak sindikialisme<br />

memandang kepada aksi kesatuan pekerja, seperti<br />

boikot umum untuk menumbangkan kapitalisme.<br />

Walaupun beberapa pandangan sindikialisme<br />

mempunyai kesamaan pada permukaan dengan<br />

anarkisme. Berkaitan dengan permusuhannya dengan<br />

politik dan aksi politik. sindikialisme bukanlah<br />

sejenis anarkisme tulen. Dengan menerima keperluan<br />

untuk aksi dan pengambilan keputusn secara luas dan<br />

bersama, sindikialisme lebih baik dari anarkisme<br />

klasik. Tetapi, dengan ,menolak ide aksi politik kelas<br />

pekerja, sindikialisme tidak pernah memberikan<br />

tujuan yang sebenarnya bagi percobaan pekerjaan<br />

untuk mengubah masyarakat.<br />

Pierre-Joseph Proundhon yang dikenali<br />

sebagai bapak anarkisme adalah salah satu kes<br />

contoh. Beliau menentang dengan kuat pembangkitan<br />

kapitalisme di Pranci. Tetapi tentangan Proundhon<br />

terhadap kapitalisme secara keseluruhannya bersifat<br />

memandang ke belakang. Dia tidak mengharapkan<br />

sebuah masyarkat baru yang didasarkn pada harta<br />

bersama, yang dapat menggerakkan penciptaan-<br />

90


Anarkisme<br />

Rasyidin<br />

penciptaan terulang dari revolusi per<strong>industri</strong>an,<br />

Sebaliknya, Proundhon menganggap harta kecil dan<br />

swasta sebagai dasar bagi utopianya. Doktorinnya<br />

adalah sesuatu yang direka bukannya untuk kelas<br />

pekerja yang membangun, tetapi bagi borjuasi kecil<br />

yang semakin lesap, yang terdiri dari tukang-tukang<br />

kraf, pedagang-pedagng kecil dan petani-petani kaya.<br />

Sebenarnya, Proundhon begitu menakuti kuasa<br />

tersusun kelas pekerja yang membangun sehingga dia<br />

menentang kesatuan-kesatuan pekerja dan memberi<br />

dukungan kepada pihak polis yang menghancurkan<br />

aksi permogokkan (McNally 1986:15)<br />

Sesuai dengn pendirian ini, Proundhon<br />

mendukung hampir setiap gerakan mundur yang<br />

dapat didukungnya. Ia merupakan seorang rasis,<br />

dengan menyimpan kebenciannya pada kaum<br />

Yahudi, di mana dia mengharapkan permusuhan<br />

mereka. Dia menentang pembebasan bagi rakyat kulit<br />

hitam Amerika Serikat dan menyokong gerakan bagi<br />

pemilik hamba di selatan semasa Perang Saudara<br />

Amerika. Ia juga mengecam kebebasan wanita,<br />

dengan menulis : Bagi wanita, kebebasan dan<br />

kehidupan baik hanya terletak dalam perkawinan<br />

dalam usaha menjadi ibu, dalam tugas-tugas rumah<br />

tangga (Lyman Tower Sargent 1981:149)<br />

Anarkhis-anarkhis awal menakuti kekuasaan<br />

teratur kelas pekerja modern.Sampai sekarang,<br />

kebanyakan anarkhis mempertahankan ‘kebebasan’<br />

bagi individu swasta menentang bentuk-bentuk<br />

susunan kehidupan social kolektif yang paling<br />

demokrastis. Penulis anarkis kanasa, George<br />

Woodcock, menjelaskan ‘’Walaupun demokrasi<br />

mungkin dibolehkan, anarkis tidak akan<br />

mendukungnya. Anarkis tidak mendukung kebebasan<br />

politik. Apa yang mereka programkan adalah<br />

kebebasan dari politik. ‘’artinya, anarkis menolak<br />

berbagai proses pengambilan keputusan secara<br />

mayoritas dan demokratis. (McNally 1986:86)<br />

Menurut Proundhon anarkhisme<br />

digambarkan sebagai tatanan masyarakat yang nyata<br />

dan tidak berhubungan dengan kekuasaan. Ia<br />

meramalkan kekuasaan pada akhir akan musnah dan<br />

yang tampil adalah tatanan social yang asli terdiri<br />

dari komune-komune otonom. Anarkise sebagai<br />

sebuah ideologi yang jauh dari kekerasan, sama<br />

sekali tidak menyarankan atau menyatakan bahwa<br />

kekerasan merupakan jalan untuk mencapai<br />

tujuannya. Anarkisme didefenisikan oleh Benjamin<br />

R.Tucker sebagai pemikiran bahwa semua yang<br />

berkaitan dengan manusia diurus sendiri oleh<br />

individu yang bersangkutan, atau berdasarkan<br />

hubungan sukarela, dan bahwa harus ditiadakan<br />

(Ahmad Rosadi Harahap, internet 16 Agustus 2003)<br />

Negara hanyalah suatu organisasi yang<br />

hanya akan mempertahankan penindasan. Oleh sebab<br />

bagi anarkisme tidak ada tempat bagi negara,<br />

termasuk negara proletariat dalam Marxisme,<br />

komunis, sosialisme. Bakunin mengatakan<br />

kediktatoran proletariat akan menjadi kekuasaan<br />

yang menindas. Untuk itu dia menawarkan<br />

kolektivisme. Masyarakat anakis tetap memiliki<br />

struktur, namun struktur minimum yang diperlukan<br />

agar keadilan dan kesejahteraan sosial tetap<br />

terpelihara dengan baik. Noam Chomsky mengatakan<br />

tidak semua kekuasaan harus ditolak, tetapi<br />

kekuasaan harus ditentang. Kekuasaan yang tidak<br />

dapat menghadapi tantangan harus dihilangkan.<br />

Sedangkan kekuasaan yang dapat menghadapi<br />

tantangannya (internet 16 Agustus 2003)<br />

Dari keseluruhan perbincangan di atas<br />

dapatlah di pahami bahwa anarkiske adalah<br />

pandangan-pandang berikut : Pertama. Adanya<br />

kebebasan individu dengan menolak semua bentuk<br />

penindasan. Jika yang melakukannya penindasan itu<br />

ialah kerajaan maka ia memilih masyarakat tanpa<br />

kerajaan yang mahukan kebebasan mutlak Kedua,<br />

anarkhis menolakkan kekuasaan otoritas untuk<br />

menindas. Penindasan itulah yang hendak dinafikan<br />

oleh kaum anarkisme, Ketiga, anarkhisme adalah<br />

pahaman kehidupan yang mencita-citakan sebuah<br />

masyarakat tanpa hirarki secara mendalam dari<br />

<strong>sistem</strong> sosial secara damai. Keempat, kebebasan<br />

tanpa persamanan akan memberikan kebebasan<br />

kepada penguasa, dan persamaan tanpa kebebasan<br />

Cuma berarti hamba yang dieksploitas oleh<br />

penguasa.<br />

KARAKTERISTIK UTAMA ANARKISME<br />

Menurut sarjana anarkisme menpunyai beberapa<br />

karakteristik seperti berikut, Mahajan (2001:730)<br />

menyebutkan, Pertama, Penganut paham anarkisme<br />

mewakili sistme sosial yang berasas sukarela, tidak<br />

melakukan otoritas dalam bentuk apapun juga,<br />

Mereka berkeinginan merusak macam-macam<br />

otoritas, terutamanya, peranan gereja dan milik<br />

pribadi seumpama kapitalis. Menurut mereka agama<br />

adalah kecanduan kepada masyarakat dan statis<br />

dalam menuntut kemajuan, manakala kapitalis<br />

menyesatkan dan membohongi kaum lemah.<br />

Kedua, penganut pandangan anarkhisme<br />

mempersoalkan, kapitalisme karena menurut mereka<br />

kapitalisme merupakan penyakit ekonomi yang<br />

berlaku dalam masyarakat, kerena dengan kapitalis<br />

akan mendorong manusia untuk memiliki hak-hak<br />

pribadi yang berlebihan. Di samping itu kapitalis<br />

mendorong ke arah kejahatan demi kesengsaraan<br />

menjadi milik orang ramai (majoritas) dan kapitalis<br />

mengadakan ketidakadilan yang lemah semakin<br />

lemah dan yang kaya semakin kaya, dan juga<br />

kapitalis mendorong terjadinya peperangan, serta<br />

melumpuhkan kehidupan sosial dan rohaniah.<br />

Ketiga, penganut pandangan anarkhisme<br />

anti sangat kepada hukuman, anti kekejaman, anti<br />

status, kerena tidak hanya berlebihan tetapi juga<br />

sangat berbahaya dan kejam kepada masyarakat.<br />

Oleh itu status ini harus bertanggungjawab kepada<br />

ketidaksamaan dan ketidakadilan yang berlaku dalam<br />

masyarakat. Hukuman yang sesuai dengan kesalahan<br />

memang diperlukan dalam paham ini, namun<br />

91


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

bukannya hukuman yang tidak berprikemanusiaan.<br />

Dalam masyarakat penganut paham<br />

anarkhisme, keperluan status selalu muncul<br />

menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Masyarakat<br />

penganut paham anarkhisme selalu di asaskan kepada<br />

keadilan, kebebasan dan sukarela bagi semua kaum.<br />

Di samping itu penganut paham anarkisme<br />

mempersoalkan pemeritah yang diangkat oleh rakyat,<br />

karena menurut pertimbangan mereka pemilihan<br />

umum (Pemilu) adalah sejenis penipuan. Pemilu<br />

sebagai sarana demokrasi dianggap hanya akan<br />

menghilangkan hak-hak individu, sebagai contoh,<br />

orang akan memilih wakilnya-wakilnya yang tidak<br />

dikenal dan belum pasti menjalankan surat<br />

pemilihnya. Hal ini akan terus berulang dalam setiap<br />

kali pemilu akan menjadi suatu kebiasaan buruk bagi<br />

setiap orang. Oleh karena itu anarkhisme menolak<br />

bentuk perwakilaan dalam mengambil keputusan<br />

Anarkhisme juga menolak pemilu karena ia<br />

mengundang ancaman berupa kediktaturan<br />

mayoritas. Bagi kaum anarkhis tidak ada jaminan<br />

bagi para pengikut demokrasi terhadap golongan<br />

minoritas. Hal ini seringkali terjadi ketidakpedulian<br />

hak-hak minoritas baik suku, agama. ras maupun<br />

kebudayaan. Selain itu pemilu mengandung bahaya<br />

nyata akan muncul kelompok-kelompok otoriter<br />

seperti partai komunis yang dapat dilihat dalam kasus<br />

pemilu di Polandia. Di mana partai komunis kembali<br />

memerintahkan dengan memperoleh suara mayoritas.<br />

Mereka berpendapat pemerintah pilihan<br />

rakyat adalah pemeritah amatur dan tidak banyak<br />

yang boleh diharapkan dari mereka. Lagi pun pada<br />

mereka menganggap Badan Legislatif (pembuat<br />

undang-undang) pun gagal dalam menampung<br />

aspirasi, pendapat, buah pikiran atau uneg-uneg dari<br />

masyarakat umum.<br />

Akhirnya pandangan anarkisme percaya<br />

kepada suatu masyarakat tanpa perbedaan golongan<br />

dan kewarganegaraan. Masyarakaat umum tersebut<br />

bekerjasama untuk tujuan tertentu, misalmya<br />

keperluan baik masyarakat umum itu sendiri. Tidak<br />

dapat paksaan dan persaingan yang dan hanya<br />

kerjasama dan tidak boleh ada konflik yang<br />

berpanjangan.<br />

Justeru pengertian anarkhisme adalah<br />

menetang ketidakadilan, ketidaksamaan dan<br />

penindasan, maka beberapa ciri-ciri khusus yang<br />

dijalankan dalam konsep anarkhisme yaitu : Anarkhis<br />

melakukan perubahan dengan cara-cara revolusioner,<br />

perubahan dilakukan dengan cara-cara menolak<br />

partai politik dan negara, menolak keadaan negara,<br />

menolak <strong>sistem</strong> demokrasi disebabkan <strong>sistem</strong> ini<br />

merupakan dasar keadaan otoriter mayoritas, mereka<br />

juga anti politk, anti kepada kepada peraturanperaturan,<br />

serta tujuan anarkisme adalah adanya<br />

masyarakat tanpa adanya negara atau undangundang.<br />

Oleh sebab itulah kaum anarkis, melawan<br />

kapitalisme yang telah adanya didiskriminasi<br />

ekonomi dan menguntungkan kelas atas, Kedua<br />

melawan rasisme. Kaum anarkis menghormati<br />

derajat yang sama dan tiada membedakan bangsa,<br />

ras, warna kulit. Dan golongan ketiga. melawan<br />

saxisme. Kaum anarkhis mengangap semua jenis<br />

seks, wanita, pria dan bahkan diluar dua jenis seks<br />

itu, memiliki hak yang sama atas apapun. keempat<br />

melawan fasisme atau supranasionalis. Kaum anarkis<br />

beranggapan bahwa tiada bangsa yang melebihi<br />

bangsa lain. Kelima, melawan xenophobia-ketakutan<br />

dan kebencian apriori pada hal baru atau asing. Kaum<br />

anarkhis melawannya sebab xenophobia dapat<br />

berkembang menjadi fasisma yang beranggapan<br />

buruk semua hal yang datang dari , keenam, melawan<br />

perusakan lingkungan, habitat dan segala bentuk<br />

perusakan dan atau tindakan kekerasan terhadap<br />

semua makhluk, ketujuh, mngharamkan peperangan<br />

dan semua bentuk kekerasan atau penghancuran<br />

kehidupan adalah nista. Perang adalah sesuatu hal<br />

yang sangat tidak berguna bagi dunia dan<br />

penghuninya. Maka segala sumbernya harus segera<br />

dihapuskan.<br />

KESIMPULAN<br />

Anakhisme bukanlah solusi yang semua<br />

masalah yang dihadapi umat manusia ,bukanlah<br />

utopia tatanan sosial yang sempurna. Pada prinsipnya<br />

anarkisme menolak konsep monopoli yang tidak jelas<br />

dan tidak mempercayai kebenaran yang mutlak atau<br />

cita-cita yang pasti dalam perkembangan umat<br />

manusia. Namun demikian, dalam upaya menuju<br />

kesempurnaan tanpa batas, anarkhisme dapat<br />

mewakili keberagaman sosial dan kondisi kehidupan<br />

manusia.<br />

Anarkhisme sendiri bukanlah sebuah konsep<br />

yang dirumuskan oleh kelompok intelektual, tetapi<br />

merupakan kecenderungan yang ada dalam<br />

kehidupan manusia yang bebas. Kalau tidak<br />

diganggu gugat oleh individu-individu ataupun<br />

organisasi yang merasa dirinya dapat memerintahkan<br />

dalam kehidupan masyarakat sehari-hari niscaya<br />

kehidupan akan berjalan efisien dan tiada kezaliman<br />

(seperti mana yang banyak dipraktikkan oleh negara)<br />

Realitas mengenai implementasi sebuah<br />

masyarat anarkhis sangat sering diragukan, dan<br />

kadang-kadang kita setuju dengan filosofis,<br />

anarkhisme pun menganggap masyarakat anarkhis<br />

sebagai sesuatu yang utopia yang tidak mungkin<br />

diadakan, Banyak oarng yang memandangkan<br />

konsep anarkhisme akan membayangkan sebuah<br />

masyarakat bersadarkan prinsip-prinsip anarkis<br />

sebagai sesuatu yang realistis, ideal dan bahkan<br />

sesuatu yang lemah.<br />

Siapapun yang meneliti secara<br />

perkembangan ekonomi dan sosial yang ada dalam<br />

<strong>sistem</strong> sekarang ini akan mengakui, bahwa tujuantujuan<br />

anarkhisme tidaklah muncul dari pikiran<br />

utopis yang berasal dari sebagian inovator imajinatif.<br />

Akan tetapi merupakan kesimpulan logik dari<br />

penelitian yang menyeluruh terhadap hal-hal yang<br />

92


Anarkisme<br />

Rasyidin<br />

merupakan kesimpulan logik dari penelitian yang<br />

menyeluruh terhadap hal-hal yang merugikan<br />

masyarakat tersebut semakin nyata dan semakin tidak<br />

adil, Kapitalisme monopoli modern dan negara<br />

totaliter merupakan tahap-tahap terakhir dalam suatu<br />

perkembangan yang ada pada dirinya sendiri yang<br />

tiada pilihan lain dalam memperjuangkan nasib<br />

kehidupannya. Hanyalah kebebasan yang boleh<br />

memberikan kepada manusia inspirasi untuk<br />

menghasilkan sesuatu yang hebat dan untuk<br />

menjalankan perubahan sosial dan politik.<br />

Kejahatan negara yang paling zalim adalah<br />

upaya-upaya yang pemeksaan keberanekaragaman<br />

kehidupan sosial ke dalam pembentukan normanorma<br />

tertentu. Dalam hal ini negara merupakan<br />

kemenangan mesin politik terhadap pikiran manusia,<br />

pikiran rasional, perasaan, sikap dan prilaku, melalui<br />

peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.<br />

Kebebasan pun hanyalah merupakan konsep relatif<br />

yang bersifat mutlak.<br />

Seni memerintah manusia tidak akan pernah<br />

menjadi sebuah seni yang mendidik dan memberikan<br />

manusia inspirasi untuk memperbaharui kehidupan<br />

mereka. Penekanan dan pemaksaan hanyalah sebuah<br />

tuntunan amalan tugas-tugas statis yang menghambat<br />

inisiatif yang mustahak, serta akan menghasilkan<br />

hamba-hamba dan bukan manusia yang bebas,<br />

Kebebasan merupakan sebuah intisari kehidupan dan<br />

merupakan kekuatan penyokong perkembangan<br />

intelektual dan perkembangn masyarakat.<br />

Pembebasan manusia dari ekploitasi ekonomi,<br />

intelektual dan politik yang secara tajam di sebut<br />

anarkisme, Anarkhisme merupakan sebuah syarat<br />

untuk evolusi kebudayaan ke tingakat yang lebih<br />

tinggi yang diperuntukkan untuk manusia.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Ahmad Rosadi Harahap, http://<br />

www.geocties.com/vonisnet/ahmad3.htm<br />

internet 16 Agustus 2003<br />

Albert Meltzer. 1998. Anachism : Argument for<br />

against.(atas talian). http:/www.library/writer/<br />

meltzer/sp0015000.htm. (17 Agustus 2003)<br />

Anarhisme. (atas talian)<br />

http:/www.geocities.com/black<br />

post/podium04.htm. 15 Agustus 2003<br />

Baldelli. Giovanni. 1971, Social Anarchisme.<br />

Chicago: Aldeline-Atherton<br />

Berkman.Alexander. 1964.ABC of anarchism. 3d.ed.<br />

London : Freedom Press<br />

Black. Donald 2003. http://fajar.ci.id/lenkap_<br />

hukum1001,cfmidwahyu=12 internet 15<br />

Agustus 2003<br />

Bose.Atindranath. 1967.A history of anarchism.<br />

Calcuta : World Press Private.Ltd<br />

Bukamin, Mekhail. 1950. Marxism,Freedom and the<br />

state, Edited and translated by. K.J Kanafick.<br />

London : Freedom Press<br />

Carter, April .1971. The political theory of<br />

anarchisme. London :Routledge & Kegan Paul<br />

Deleon, Daavid. 1973, The Amarican as anarchist :<br />

social critism in tah 1960s<br />

Denny.J.A. 1999,Visi Indonesia baru setelah gerakan<br />

reformasi, Jakarta: Jayabayaa University Press<br />

Godman William. 1946, Enguiru concerning political<br />

justice and its influence on moral and<br />

happiness. Edited by F.E.L.Prisley. 3. Vols.<br />

Toronto:University of Toronto<br />

http://www.idp.edu.au/adsjakarta/returnedstudents/art<br />

icle27.asp<br />

http://www.rnw.nl.ranesi/htm/anarki.html. 16<br />

Agustus 2003<br />

KOMNAS HAM, SUAR, No. 06/tahun II, Januari<br />

2001<br />

Lyman Tower Sergent. 1981. Contempory political<br />

ideologis. Missiouri : The dorsey Press<br />

Mahajan,M.D.2001..Political Theory:New Delhi:<br />

S.Chand & Companyltd.<br />

Mgr.Aloysius M.Sutrisnatmaka, 2002<br />

http://www,rnww,nl/renesi/html.anarki.html<br />

Peni Hanggarini Koran Tempo Jumat, 10 Mei 2002.<br />

Jakarta<br />

Proundhon, Pierre, yosepd, 1967. General idea of the<br />

revulution in nine teenth century. Translated<br />

by John Revelery Robinson<br />

Rudolf Rocker 2003 : internet,<br />

http://sumbu,neneto,com/mnaskaah<br />

anarko.htm. 1 Agustus 2003<br />

Srivanto, internet 17 Agustus 2003 http://<br />

sosilista.org/071401_05_ideologi.html<br />

93


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

PROSES REDUKSI EKSES LUMPUR AKTIF<br />

DARI IPAL INDUSTRI PEMBUATAN KERTAS<br />

Maya Sarah<br />

Staf Penganjar Teknik Kimia, Fakultas Teknik USU (mayasharid@yahoo.com)<br />

Abstrak: Industri pulp dan kertas merupakan <strong>industri</strong> yang sangat berpotensi menimbulkan pencemaran karena<br />

menghasilkan limbah cair dalam konsentrasi yang cukup tinggi (COD = 700 – 1000 mg/l) dan dalam jumlah<br />

yang relative besar mengingat <strong>industri</strong> ini banyak menggunakan air. Limbah cair <strong>industri</strong> pulp dan kertas<br />

umumnya diolah pada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan <strong>sistem</strong> lumpur aktif. Proses pengolahan<br />

limbah cair ini masih belum effektif karena biomassa yang terbentuk terlalu banyak sehingga membutuhkan<br />

penanganan khusus. Salah satu upaya penanganan ekses biomassa adalah dengan mereduksi volume biomassa<br />

pada kondisi anaerobic menggunakan pelarut NaOH dan HCl. Percobaan ini dilakukan dengan memvariasikan<br />

jenis pelarut, konsentrasi dan temperature. Berdasarkan hasil percobaan diketahui bahwa peningkatan<br />

konsentrasi pelarut dari 0,1 N menjadi 1 N tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap kemampuan<br />

reduksi ekses lumpur aktif dari bioreactor anaerobik. Ditinjau dari jenis pelarut yang digunakan, proses reduksi<br />

dengan pelarut NaOH jauh lebih efektif dibandingkan dengan reduksi menggunakan pelarut HCl dengan<br />

konsentrasi yang sama. Sementara itu dari pengamatan terhadap pengaruh temperature diketahui bahwa<br />

kemampuan reduksi dari bioreaktor anaerobik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Peningkatan temperatur<br />

mengakibatkan ketidakstabilan proses reduksi MLSS <strong>sistem</strong> untuk pengolahan dengan pelarut HCl.<br />

Kata Kunci : Sistem lumpur aktif, biomassa, inokulum, mixed culture<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Industri pulp dan kertas merupakan <strong>industri</strong><br />

yang sangat berpotensi menimbulkan pencemaran<br />

karena menghasilkan limbah cair dalam konsentrasi<br />

yang cukup tinggi (COD = 700 – 1000 mg/l) dan<br />

dalam jumlah yang relative besar mengingat <strong>industri</strong><br />

ini banyak menggunakan air. Limbah <strong>industri</strong> pulp<br />

dan kertas ini harus diolah terlebih dahulu karena<br />

dapat menimbulkan pencemaran lingkungan apabila<br />

langsung dibuang ke badan air.<br />

Limbah cair <strong>industri</strong> pulp dan kertas<br />

umumnya diolah pada Instalasi Pengolahan Air<br />

Limbah (IPAL) dengan <strong>sistem</strong> lumpur aktif yang<br />

terdiri dari bak aerasi dan bak sedimentasi untuk<br />

memisahkan biomassa dengan limbah hasil olahan<br />

sebelum limbah tersebut dibuang ke badan air. Proses<br />

pengolahan limbah cair dengan system lumpur aktif<br />

akan mengkonversi limbah organik kedalam bentuk<br />

gas CO 2 yang dilepas ke atmosfer sebesar 50% dan<br />

50% lagi akan terkonversi menjadi biomassa (Setiadi,<br />

1996). Biomassa yang terbentuk sebagian akan<br />

dikembalikan ke dalam bak aerasi, sebagian lagi<br />

sekitar 15-25% dikeluarkan dengan menggunakan<br />

pompa lumpur dan dialirkan ke unit pengeringan<br />

lumpur.<br />

Proses pengolahan limbah cair ini masih<br />

belum effektif karena biomassa yang terbentuk<br />

terlalu banyak sehingga membutuhkan penanganan<br />

khusus. Proses pengeringan lumpur sendiri<br />

menghadapi masalah penyediaan tempat<br />

pengeringan, pemanfaatan lumpur aktif yang telah<br />

dikeringkan dan sangat bergantung pada faktor sinar<br />

matahari. Masalah yang dihadapi <strong>sistem</strong> lumpur aktif<br />

ini mendorong berbagai penelitian untuk mengatasi<br />

masalah pembuangan ekses biomassa dari IPAL.<br />

Salah satu upaya penanganan ekses<br />

biomassa adalah dengan mereduksi volume biomassa<br />

pada kondisi anaerobik. Saiki Yuko dkk, telah<br />

berhasil mereduksi jumlah biomassa dari unit<br />

pengolahan limbah <strong>industri</strong> bir hingga 40%.<br />

Biomassa tersebut terkonversi secara anaerobik<br />

kedalam bentuk gas metana. Limbah <strong>industri</strong> kertas<br />

merupakan limbah yang kaya akan kandungan bahan<br />

organik sehingga pengolahan limbah <strong>industri</strong> ini<br />

dengan bioreaktor lumpur aktif diperkirakan<br />

menghasilkan biomassa yang cukup banyak sehingga<br />

perlu penanganan secara serius.<br />

2. BAHAN DAN METODE<br />

2.1. Bahan<br />

1. Limbah cair <strong>industri</strong> kertas<br />

2. Inokulum : mixed culture yang telah<br />

diaklimatisasi dengan limbah cair <strong>industri</strong> kertas<br />

dan dikondisikan aerobik dan anaerobic<br />

3. HCl (0,1 N dan 1N)<br />

4. NaOH (0,1 N dan 1N)<br />

94


Proses Reduksi Ekses Lumpur Aktif dari IPAL Industri Pembuatan Kertas<br />

Maya Sarah<br />

umpan<br />

Tangki aerasi<br />

Tangki<br />

sedimentasi<br />

Limbah cair<br />

hasil olahan<br />

recycle<br />

biomassa<br />

Ekses<br />

biomassa<br />

Bioreaktor<br />

anaerobik<br />

Biomassa<br />

sisa<br />

Gambar 1: Rangkaian peralatan<br />

2.2. Alat<br />

1. Unit lumpur aktif yang dilengkapi dengan<br />

tangki aerasi dan tangki sedimentasi<br />

2. Bioreaktor anaerobic<br />

Gambar alat disajikan pada gambar 1<br />

2.3. Metode<br />

Limbah cair <strong>industri</strong> kertas diumpankan kedalam<br />

tangki aerasi yang telah berisi mikroorganisme<br />

aerobik. Aerasi dilakukan untuk mentransfer<br />

sejumlah oksigen kedalam limbah cair, dan tangki<br />

aerasi dioperasikan secara batch selama 2 minggu<br />

hingga konsentrasi MLSS stabil.<br />

Kedalam bak aerasi kemudian diumpankan<br />

limbah cair secara sinambung. Didalam tangki aerasi<br />

terjadi proses perombakan bahan organik kompleks<br />

menjadi CO 2 dan H 2 O secara aerobik. Selama<br />

pengolahan dilakukan pengamatan terhadap COD,<br />

pH dan MLSS <strong>sistem</strong>.<br />

Limbah hasil olahan akan mengalir keluar dari<br />

tangki aerasi secara overflow kedalam tangki<br />

sedimentasi, dimana terjadi pemisahan<br />

mikroorganisme dengan air limbah yang telah diolah.<br />

Mikroorganisme tersebut akan terkumpul satu sama<br />

lain dan membentuk flok mikroorganisme yang<br />

akibat gaya beratnya sendiri akan turun secara<br />

gravitasi ke bagian bawah tangki sedimentasi sebagai<br />

sludge atau lumpur biomassa.<br />

Lumpur biomassa ini akan dikeluarkan dari<br />

tangki sedimentasi dan sebagian kecil (20%)<br />

dikembalikan ke tangki aerasi. Sisanya dialirkan ke<br />

bioreactor anaerobic. Ketika volume Lumpur aktif<br />

didalam bioreactor anaerobic telah mencapai 2,5<br />

liter, maka kedalam bioreactor anaerobic tersebut<br />

dialirkan larutan HCl atau NaOH. Kemudian<br />

dilakukan pengamatan terhadap konsentrasi MLSS.<br />

3. Hasil Dan Pembahasan<br />

Kinerja pengolahan limbah cair <strong>industri</strong> pulp dan<br />

kertas dalam penelitian ini ditinjau dari dua sisi, yaitu<br />

kemampuan penyisihan bahan organik oleh proses<br />

aerobik dan kemampuan mereduksi ekses lumpur<br />

aktif pada proses anaerobik.<br />

3.1. Kinerja Unit Lumpur Aktif<br />

Limbah cair berkonsentrasi 2300 mg/l<br />

diumpankan pada bak aerasi dan mengalami<br />

degradasi biologis secara aerobik oleh<br />

mikroorganisme berkonsentrasi rendah sebesar 29<br />

mg/l. Diawal pengolahan, terjadi lonjakan<br />

konsentrasi bahan organik dalam bak aerasi yang<br />

cukup tinggi akibat peningkatan jumlah<br />

mikroorganisme yang mati, tetapi setelah pengolahan<br />

berlangsung selama 2 hari tercapai kestabilan jumlah<br />

mikroorganisme dalam bak aerasi dan proses reduksi<br />

bahan organik berlangsung hingga mencapai<br />

konsentrasi 1.400 mg/l dengan tingkat efisiensi<br />

penyisihan bahan organik sebesar 36%. Kemampuan<br />

penyisihan bahan organik yang rendah ini<br />

diakibatkan oleh konsentrasi awal mikroorganisme<br />

yang sangat rendah.<br />

Secara umum pH <strong>sistem</strong> relative stabil pada<br />

rentang pH 6,5 – 7,8 sehingga control secara khusus<br />

bagi pH <strong>sistem</strong> tidak diperlukan. Kestabilan<br />

konsentrasi mikroorganisme dalam <strong>sistem</strong> yang<br />

tercapai pada pH yang relative rendah (< 7)<br />

95


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

merupakan suatu indikasi terdapatnya spesies bakteri<br />

pembentuk asam dalam <strong>sistem</strong> lumpur aktif.<br />

Meskipun demikian pada pengolahan limbah ini,<br />

jumlah mikroorganisme yang dapat ditumbuhkan<br />

sangatlah rendah dan jauh dari kondisi ideal. Hal ini<br />

kemungkinan disebabkan oleh proses aklimatisasi<br />

yang kurang baik dan konsentrasi umpan biomassa<br />

yang sangat rendah.<br />

3.2. Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Proses<br />

Reduksi Lumpur Aktif<br />

Jumlah mikroorganisme yang dikeluarkan<br />

dalam <strong>sistem</strong> lumpur aktif hendak direduksi<br />

jumlahnya dalam bioreaktor anaerobik dengan<br />

pelarut HCl dan NaOH berkonsentrasi 0,1 N pada<br />

suhu kamar. Pengaruh pengunaan kedua jenis pelarut<br />

terhadap kemampuan <strong>sistem</strong> anaerobik dalam<br />

mereduksi ekses lumpur aktif disajikan pada gambar<br />

2.<br />

Waktu yang efektif untuk mereduksi jumlah<br />

ekses lumpur aktif dengan proses anaerobic<br />

mengunakan pelarut NaOH dan/atau HCl adalah 100<br />

jam. Reduksi yang dilakukan dalam waktu lebih dari<br />

100 jam akan memicu pertumbuhan mikroorganisme<br />

anaerobic, yang diperkirakan terdiri dari bakteri<br />

pembentuk asam dan/atau bakteri hidrolitik.<br />

Proses reduksi dengan pelarut NaOH jauh<br />

lebih efektif dibandingkan dengan reduksi<br />

menggunakan pelarut HCl dengan konsentrasi yang<br />

sama. Larutan HCl berkonsentrasi rendah cenderung<br />

mengkondisikan medium tempat hidup bakteri<br />

anaerobic menjadi sedikit asam dan memicu<br />

percepatan pertumbuhan bakteri anaerobic setelah<br />

100 jam. Untuk medium yang sedikit basa akibat<br />

penambahan NaOH, bakteri anaerobic cenderung<br />

bersifat netral atau sedikit basa, yang meskipun baik<br />

untuk pertumbuhan bakteri anaerobic seperti bakteri<br />

metanogen, tetapi tahapan pengolahan dengan proses<br />

anaerobic harus melalui tahap pengasaman terlebih<br />

dahulu, yang tentu saja membutuhkan waktu yang<br />

jauh lebih panjang.<br />

3.3. Pengaruh Konsentrasi Pelarut terhadap<br />

Proses Reduksi Lumpur Aktif<br />

Peningkatan konsentrasi pelarut dari 0,1 N<br />

menjadi 1 N tidak memberikan perubahan yang<br />

signifikan terhadap kemampuan reduksi ekses<br />

lumpur aktif dari bioreactor anaerobik. Secara umum<br />

pengolahan dengan HCl dan NaOH masing-masing<br />

untuk konsentrasi 0,1 N dan 1 N memperlihatkan<br />

kinerja yang hampir sama seperti yang disajikan pada<br />

gambar 3 dan 4.<br />

3.4. Pengaruh Temperatur Terhadap Proses<br />

Reduksi Ekses Lumpur Aktif<br />

Kemampuan reduksi dari bioreaktor<br />

anaerobik sangat dipengaruhi oleh temperatur.<br />

Peningkatan temperatur mengakibatkan ketidakstabilan<br />

proses reduksi MLSS <strong>sistem</strong> untuk<br />

pengolahan dengan pelarut HCl karena dapat memicu<br />

percepatan pertumbuhan bakteri anaerobik<br />

pembentuk asam tipe thermophilic disatu sisi.<br />

Ketidakstabilan ini mengakibatkan proses reduksi<br />

Lumpur aktif berlangsung lebih lama, karena<br />

kestabilan baru terjadi setelah 120 jam untuk<br />

temperature 50 o C dan 100<br />

o C. Fenomena ini<br />

diperlihatkan pada gambar 5 dan 6.<br />

Penggunaan pelarut NaOH jauh lebih efektif<br />

dibandingkan dengan pelarut HCl bila dikaitkan<br />

dengan fungsi temperature karena MLSS <strong>sistem</strong> lebih<br />

stabil, dan kalaupun ada fluktuasi jumlahnya sangat<br />

kecil, kecuali diawal pengolahan untuk temperature<br />

pengolahan 90 o C yang diperkirakan terjadi akibat<br />

kesalahan pengambilan data.<br />

4. Kesimpulan<br />

Proses reduksi ekses lumpur aktif dengan<br />

proses anaerobik menggunakan pelarut HCl dan<br />

NaOH sangatlah potensial untuk dilakukan bagi<br />

upaya penanganan ekses lumpur aktif IPAL dari<br />

<strong>industri</strong>. Berdasarkan penelitian untuk mereduksi<br />

ekses lumpur aktif dari limbah <strong>industri</strong> pulp dan<br />

kertas diperoleh tingkat reduksi ekses lumpur aktif<br />

sebesar 8% saja. Tingkat efisiensi proses reduksi ini<br />

amatlah rendah, tetapi hal ini kemungkinan<br />

diakibatkan oleh rendahnya konsentrasi awal<br />

mikroorganisme anaerobic dan rendahnya<br />

konsentrasi pelarut HCl dan/atau NaOH (maksimum<br />

1 N). Akibatnya proses hanya mampu mereduksi<br />

sebagian kecil dari ekses lumpur aktif yang ada dan<br />

mengkondisikan medium dalam keadaan asam atau<br />

basa.<br />

Pengolahan dengan menggunakan pelarut NaOH jauh<br />

lebih efektif dibandingkan dengan pelarut HCl pada<br />

konsentrasi encer (0,1 N dan 1 N). Hal ini<br />

kemungkinan disebabkan oleh kondisi medium yang<br />

cenderung bersifat sedikit basa akibat penambahan<br />

NaOH, sedangkan pada pengolahan dengan medium<br />

sedikit asam akibat penambahan HCl terjadi<br />

percepatan pertumbuhan bakteri pembentuk asam<br />

yang mengakibatkan peningkatan jumlah MLSS<br />

<strong>sistem</strong> ketika proses reduksi berlangsung, dan<br />

sebagai akibatnya terjadi ketidakstabilan <strong>sistem</strong>.<br />

Daftar Pustaka<br />

Gaudy, A.F., Gaudy, E.T., 1981, Microbiology for<br />

Environmental Scientist and Engineers,<br />

McGraw Hill International Book Co, Tokyo,<br />

hal 519-551<br />

Metcalf, Eddy, 1991, Wastewater Engineering :<br />

Treatment, Disposal, Reuse, edisi 3,<br />

McGraw-Hill, hal 378<br />

Saiki, Y., Imabayashi, S., dkk, 1999,<br />

Solubilization of Excess Activated Sludge<br />

by Self Digestion, Water Resources, Vol<br />

33, No 8, hal 1864-1870<br />

Speece, R.E., 1996, Anaerobik Biotechnology for<br />

Industrial Wastewaters, Archae Press,<br />

Nashville, Tennessee, USA, hal 3-6<br />

96


Rumah Susun sebagai Bentuk Budaya Bermukim Masyarakat Modern<br />

Samsul Bahri<br />

RUMAH SUSUN SEBAGAI<br />

BENTUK BUDAYA BERMUKIM MASYARAKAT MODERN<br />

Samsul Bahri<br />

Laboratorium Teori dan Kritik Arsitektur<br />

Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />

ABSTRAK<br />

Makalah ini mencoba menelaah sebuah topic yang akhir-akhir ini mulai disoroti oleh berbagai pihak di<br />

Indonesia, yang pembahasannya mengacu pada tema Arsitektur dan Manusia, yaitu Rumah Susun sebagai salah<br />

satu bentuk budaya bermukin yang diduga adalah “benda baru” produk dari masyarakat Barat. Dala kaitan ini,<br />

kata Budaya dan Modern (Modernisasi) adalah kat akunci yang akan dibahadi lebih jauh. Sudah tentu banyak<br />

sisi dan sudut pandang yang dapat dipergunakan untuk membahas persoalan ini, namun aspek sosical dan<br />

psikologislah yang akan dipilih pada kesempatan ini.<br />

PENDAHULUAN<br />

A. Modernisasi<br />

Modernisasi merupakan topik yang menarik dan<br />

telah menjadi gejala umum di dunia dewasa ini.<br />

Walaupun sebagian orang telah mencba “maju<br />

selangkah” dengan pasca Modemnya, namun<br />

dibelahan dunia lainnya orang masih terpukau oleh<br />

kedatangan fenomena modern, yang tentunya tidak<br />

pernah dibayangkan oleh mereka sebelumnya, dari<br />

ke4hidupan yang tradisional harus diubah dengan hal<br />

yang serba “canggih” yang dihadapi sebagai<br />

kenyataan. Perkembangan yang terjadi disebagian<br />

tempat boleh jadi merupakan lompatan besar atau<br />

hanya sekedar perubahan kecil dan tidak tiba-tiba,<br />

tentunya tidak terlepas dari perkembangan peradaban<br />

manusianya. Sebagaimana para ahli sosiologi<br />

membagi beberapa tahap perkembangan peradaban<br />

manusia di bumi sepanjang sejarahnya. Misalnya<br />

Auguste Comte (1798-1857), seorang sosiolog<br />

Perancis menawarkan konsep 3 tahap perkembangan<br />

peradaban untuk menjelaskan kemajuan evolusioner<br />

umat manusia dari masa primitive sampai ke<br />

peradaban maju pada masa kini 1 , yaitu<br />

- Tahap Teologis, peradaban manusia dimana<br />

semua benda di dunia ini mempunyai jiwa dan<br />

itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada<br />

di atas manusia.<br />

- Tahap metafisis, pada tahap ini manusai masih<br />

percayapada kekeuatan alam dan belum<br />

berusaha mencari hubungan sebab akibat yang<br />

ada.<br />

- Tahap positif dimana manusia telah sanggup<br />

berpikir secara ilmiah dan mengembangkan<br />

ilmu pengetahuannya.<br />

Upaya pemahaman tehradpa proses perkembangan<br />

peradbaan manusai telah banyak membantu dalam<br />

menelaah keadaan duia secar alebih nayta, termasuk<br />

di dalamnya pemahaman akan telah terjadina<br />

modernisasi dihampiri tiap Negara sekarang ini.<br />

Kiranya modernisasi telah menjadi bagian yang tidak<br />

dapt dihindari sejalan dengan teori perkembangan<br />

peradaban itu sendiri. Secara histories dapat dilihat<br />

bahwa modernisasi merupakan suatu proses<br />

pertumbuhan yang mencakup suatu transformasi<br />

total kehidupan bersama yang suatu proses<br />

pertumbuhan yang mencakup suatu transformasi total<br />

kehidupan bersama yang tradisional atau pra-modern<br />

dalam arti teknologi serta organisasi social, kearah<br />

pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri<br />

negara-negara barat yang stabil 2 . Karakter umum<br />

modernisasi yang menyangkut aspek-aspek sosio<br />

demografis masyarakat digambarkan dengan istilah<br />

gerak social (social mobility). Artiya, suatu proses<br />

unsur-unsur social ekonomi dan psikologis mulai<br />

menunjukkan peluang-peluang kearah pola-pola<br />

barumelalui sosialisasi dan pola-pol aperilaku.<br />

Perwujudannya adalah aspek-aspek kehidupan<br />

modern seperti mekanisme, urbanisasi, hingga<br />

globalisasi dan seterusnya. Perubahan-perubahan<br />

social yang terjadi pada masyarakat dapat diartikan<br />

sebagai perubahan structural yang terarah (directed<br />

change) yang didasarkan pada perencanaan (plannedchanged)<br />

atau biasa disebut social-planning.<br />

Perubahan itu juga menyangkut Indonesia yang<br />

mengalami modernisasi melalui perubahan yang<br />

direncanakan, misalnya pada Pembangunan Lima<br />

Tahun (PELITA) yang telah dimulai sejak tahun<br />

1969. 3 Modernisasi pada hakikatnya mencakup<br />

bidang-bidang yang sangat banyak, yang mau tidak<br />

mau harus dihadapi masyarakat. Bidang mana yang<br />

akan diutamakan sangat tergantung pada kondisi dan<br />

kebutuhan suatu negara (masyarakat). Namun<br />

demikian modernisasi ini hampir dipastikan pada<br />

awalnya akan menimbulkan dis-organisasi dalam<br />

masyarakat, apalagi yang menyangkut nilai-nilai atau<br />

norma-norma yang berlaku di masyarakat. Proses<br />

yang terlalu cepat dan tanpa henti hanya akan<br />

menimbulkan disorganisasi yang terus menerus,<br />

karena masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk<br />

mengadakan reorganisasi. Salah satu bentuk<br />

modernisasi yang akan dibahas di sini adalah Rumah<br />

Susun sebagai suatu budaya bermukin yang bersifat<br />

97


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

alternatif pada masyarakat di kota-kota besar. Konsep<br />

rumah susun pada awalnya merupakan solusi yang<br />

dibuat berdasarkan tuntutan baru terhadap<br />

kekuarangan rumah bagi tenaga kerja yang terus<br />

meningkat aibat gerakan modernisasi di sekotr<br />

gerakan modernisasi di sektor lapangan kerja.<br />

Tuntutan tersebut semakin terus bertambah sejalan<br />

edngan meningkatnya produktivitas kerja yang<br />

menjadi ciri-ciri modernisasi, sedangkan keterbatasan<br />

lahan (horizontal) tak dapat diatasi dengan cara<br />

apapun. Dalam keadaan inilah lahir solusi dalam hal<br />

pengadaan perumahan bagi para pekerja melalui<br />

konsep pertumbuhan vertikal. Yang perlu<br />

dipertanyakan adalah : Apakah solusi teknis ini sudah<br />

mempertimbangkan aspek sosial budaya yang ada di<br />

masyarakatnya Secara historis kebutuhan akan<br />

rumah untuk tempat tinggal adalah kebutuhan dasar<br />

manusia yang sama tuanya dengan umur manusia itu<br />

sendiri. Sejak dari pertama manusia menyadari akan<br />

kebutuhan tempat bernaung”, hingga pada masa<br />

sekarang ini rumah tetap menjadi bagian yang tak<br />

terpisahkan dari budaya dan perilaku manusia,<br />

termasuk di zaman modern sekarang ini. Dalam<br />

kaitan ini, yang mengalami perubahan dan<br />

perkembangan adalah peradaban manusia, termasuk<br />

di dalamnya budaya bermukim.<br />

b. Budaya Bermukim<br />

Dapat dikatakan bahwa persoalan tempat tinggal dan<br />

lingkungannya telah ada sejak manusia mulai merasa<br />

mampu mengorganisasikan diri, berhenti<br />

mengembara dalam perburuan, bercocok tanam,<br />

menjinakkan dan mengembangbiakkan ternak, serta<br />

sedikit menguasai alam sekitarnya. Sejak dari fungsi<br />

rumah sebagai tempat bernaung yang sederhana<br />

hingga kini fungsi rumah lebih dari sekedar simbol<br />

status sosial, pengertian dan konsep budaya<br />

bermukim terus berkembang sejalan dengan<br />

perkembangan peradaban manusia itu sendiri.<br />

Perkembangan itu sendiri akan terus berlanjut sampai<br />

batasnya dimana perbadana itdak dapat<br />

mengembangkan dirinya melebihi kapasitas alam<br />

yang tak terhingga. Keterkaitan antara perkembangan<br />

budaya bermukim dan peradaban telah ditandai dari<br />

pengamatan historis terhadap hunian Indian yang<br />

sederhana di Tierra del Fuego sampai pada tempat<br />

bernaung orang Eskimo yang relatif lebih maju.<br />

Atau dari Rumah Pohon yang primitif di pedalaman<br />

Irian hingga Rumah Villa yang banyak dijumpai di<br />

tempat-tempat peristirahatan modern (seperti Puncak,<br />

Cianjur-Jawa Barat). Semua akan memperlihatkan<br />

pada kita bahwa tingkat pemikiran manusia, yang<br />

ditandai dengan ilmu pengetahuannya, menunjukkan<br />

pola-pola bermukim tertentu. Budaya bermukim<br />

yang dianut masyarakat di suatu tempat merupakan<br />

bagian dari budaya masyarakat keseluruhan seperti<br />

halnya adat istiadat. Kelompok masyarakat<br />

tradisional memiliki tata cara turun temurun yang<br />

diwarisi sebagai bagian yang tak terlepaskan seperti<br />

halnya sebuah nama yang melekat pada diri<br />

seseorang. Lain tempat akan lain pula situasinya,<br />

sehingga pola-pola perilaku masyarakatnya berbedabeda,<br />

seperti halnya perbedaan antara rumah Indian<br />

dan rumah Eskimo tadi. Budaya bermukim<br />

masyarakat Indonesia sekarang ini sedang<br />

dihadapkan pada kenyataan baru yang perlu<br />

diperhatikan secara tidak gegabah, karena kesalahan<br />

dalam penerapan akan semakin menambah persoalan<br />

baru. Apakah hal baru yang akan ditemukan<br />

sebelumnya dapat diterima begitu saja dalam tatanan<br />

masyarakat lama Rumah susun sebagai sebuah<br />

alternatif pilihan dalam pemenuhan kebutuhan akan<br />

tempat tinggal, yang dapat digolongkan sebagain<br />

produk dari modernisasi, adalah hal baru yang datang<br />

kehadapan masyarakat. Pada kenyataannya tidak<br />

semua masyarakat dapat mengikuti suasana baru<br />

yang datang dari luar tantanan lama yang sudah turun<br />

temurun. Perlu waktu lebih lama lagi manakala suatu<br />

hal baru itu telah menyangkut aspek-aspek kehidupan<br />

sosial dan pola-pola perilaku. Budaya bermukim<br />

pada masyarakat modern tentunya tidak dapat<br />

dilepaskan dari hakikat modernisasi itu sendiri.<br />

Sebagaimana telah banyak disimpulkan dalam setiap<br />

pembicaraan yang menyangkut modernisasi, bahwa<br />

gaya hidup masyarakat yang tergolong lebih maju<br />

dibandingkan dari tatanan tradisional maupun pramodern<br />

apalagi yang primitif merupakan gambaran<br />

gaya hidup modern.<br />

PEMBAHASAN<br />

a. Budaya Bermukim Masyarakat Indonesia<br />

Masyarakat Indonesia yang agraris itu<br />

dalam waktu yang telah berlangsung lama,<br />

(beberapa generasi) telah memiliki budaya bermukim<br />

yang memiliki ciri khas tersendiri. Dan diakui dalam<br />

waktu yang lebih lama konsep yang dikembangkan<br />

secara evaluasi dan adaptasi itu dianggap sebagai<br />

konsep yang cocok dalam tatanan kehidupan<br />

komunitasnya. Konsep permukiman beberapa<br />

masyarakat adat Minangkabau, Bai, Jewa, Dayak,<br />

Toraja dan sebagainya memiliki ciri-ciri tersendiri<br />

yang masing-masing ada kelebihan dan<br />

kekurangannya sejauh itu dikaitkan dengan budaya<br />

dan kondisi alamnya. Tatanan komunitas yang cocok<br />

dalam masyarakat selalu berusaha dipertahankan<br />

lebih lama sesuai dengan kemampuan dan<br />

perkembangan yang terjadi. Masyarakat pada<br />

dasarnya akan berusaha membentuk keseimbangan<br />

yang dapat mempertahankan konsep-konsep yang<br />

baik serta terus berusaha meningkatkannya menjadi<br />

lebih baik lagi. Jarang sekali masyarakat melakukan<br />

perubahan sporadis terhadap kondisi yang sudah ada,<br />

kecuali revolusi<br />

b. Fungsi dan Kebutuhan Rumah<br />

memang benar adanya apabila Eugene Raskin dalam<br />

bukunya Architecture and People berpendapat<br />

bahwa dalam melakukan aktivitas hidupnya manusia<br />

memerlukan suatu wadah/ruang 4 . Dan rumah adalah<br />

salah satu wujud dari ruang (space) yang sangat<br />

98


Rumah Susun sebagai Bentuk Budaya Bermukim Masyarakat Modern<br />

Samsul Bahri<br />

dibutuhkan oleh manusia, selain kebutuhan sandang<br />

dan pangan, dalam upaya mempertahankan<br />

keberadaan/eksistensi dan kelanjutan hidupnya di<br />

bumi. Selalu berbentuk hubungan yang akrab dan<br />

erat antara aktivitas manusia dengan jenis ruang<br />

penunjang yang dibutuhkan, antara penghuni dan<br />

tempat tinggalnya.<br />

Fungsi rumah tinggal semata dilihat sebagai tempat<br />

tinggal atau tempat berkumpulnya penghuni atau<br />

tempat berlindung dari ancaman fisik dan non fisik<br />

rumah juga mencakup keseluruhan pemenuhan<br />

fungsi lebih rumit dan sangat kompleks sifatnya<br />

seperti falsafah, adat istiadat,religius dan lainnya.<br />

Kesemua fungsi tersebut merupakan cerminan dari<br />

keinginan komunitas masyarakat dalam ruang<br />

rumahnya masing-masing. Pada dasarnya bukan hal<br />

mudah bagi arsitek, atau pihak lainnya dalam<br />

mendefenisikan pengertian fungsiden kebutuhan<br />

rumah bagi kehidupan manusia. Kebutuhan akan<br />

rumah tinggal tidak dapat diselesaikan dengan cara<br />

memnuhi target kuantitasnya saja (jumlah rumah),<br />

melainkan juga menuntut beberapa hal yang<br />

berhubungan dengan kualitas (mutu). Dalam hal ini<br />

hanya penghuni (calon penghuni) yang lebih<br />

mengerti secara benar dan sempurna semua<br />

kebutuhan yang harus dipenuhi oleh rumah<br />

tinggalnya.<br />

Kebutuhan itu sendiri ternyata ada yang bersifat<br />

terukur (seperti kondisi klimatik) dan yang tidak<br />

terukur (seperti estetik). Yang terukur dapat dipenuhi<br />

dengan memperhatikan standar-standar normatif atau<br />

objektif yang diterima, sedangkan yang tidak terukur<br />

lebih subjektif sifatnya. Dalam hal – hal tertentu<br />

seperti itulah peran arsitek dituntut untuk lebih<br />

kreatif dan imajinatif. Pengertian fungsi dalam<br />

arsitektur sendiri perlu dipahami secara mendalam<br />

dengan mengacu pada bidang-bidang psikologi dan<br />

sosial yang terkait. Mulai dari Freud yang<br />

menekankan aspek biologis, lalu Alder yang lebih<br />

pada aspek-aspek sosial, hingga pada Allport Maslow<br />

yang menekankan multi motivational. Fungsi dalam<br />

hal ini tidak terbatas pada fungsi yang berkaitan<br />

dengan dimensi-dimensi fisik serta hubungan<br />

kedekatan ruang dan waktu semata. Namun lebih<br />

jauh lagi sampai pada psikologi pemakai bangunan,<br />

interaksi sosial, perbedaan budaya bahkan makna dan<br />

simbol bangunan.<br />

Benjamin Hadler dalam bukunya ‘’System Approach<br />

to Atchitecture’’ menjabarkan pengertian fungsi dari<br />

bangunan (baca, rumah tinggal) sebagai berikut :<br />

• Fungsi adalah suatu proses.<br />

Fungsi cenderung dipandang sebagai urutan<br />

kejadian, sehingga fungsi dapat menangani<br />

setiap aspek bangunan dalam batasan yang<br />

dinamis<br />

• Fungsi adalah maksud, melihat sesuatu<br />

dalam batasan fungsi adalah melihatnya<br />

dalam batasan tujuan akhir ke arah mana<br />

fungsi tersebut menuju. Dengan kata lain<br />

setiap fungsi mempunyai tujuan dan maksud<br />

tersendiri.<br />

• Fungsi adalah keseluruhan, yang terpadu<br />

secara harmonis dan serasi sesuai dengan<br />

konsep dan sasaran yang hendak dicapai<br />

oleh bangunan (rumah) tersebut<br />

• Fungsi adalah tingkah laku, yang diamati<br />

dan dipikirkan bagaimana bangunan itu<br />

bekerja atau bertingkah laku<br />

• Fungsi adalah hubungan, dimana berbagai<br />

komponen bangunan dihubungkan untuk<br />

membentuk satu kesatuan yang dinamakan<br />

rumah.<br />

• Fungsi adalah keharusan, agar dapat<br />

beroperasi secara wajar maka harus<br />

memiliki sifat-sifat, nilai-nilai dan ciri-ciri<br />

tertentu dan harus dihubungkan dengan cara<br />

tertentu.<br />

Lebih jauh lagi Norbeg-Schutz dalam Intention in<br />

Architecture menerangkan bahwa fungsi dari suatu<br />

bangunan dapat dilihat dari 4 (empat) parameter,<br />

yaitu :<br />

• Kontrol fisik. Salah satu tujuan dari kontrol<br />

fisik adalah menciptakan perlindungan dan<br />

kenayamanan penghuni (pemakai) dari<br />

pengaruh lingkungan seperti iklim,<br />

kebisingan, serangga, debu ataupun dari<br />

manusia lainnya. Dengan kata lain<br />

bangunan harus dapat berperan sebagai alat<br />

kontrol fisik bagi kenyaman fisiologi<br />

manusia.<br />

• Kerangka Aktivitas. Sebuah bangunan<br />

harus dapat menampung aktivitas-aktivitas<br />

penghuninya sesuai dengan fungsi dari<br />

bangunan itu sendiri.<br />

• Social Mileu. Sebuah bangunan diharapkan<br />

dapat berpartisipasi terhadap situasi sosial<br />

yang ada, sesuai dengan fungsi sosial pada<br />

bangunan yang dapat mengutarakan<br />

tentang status <strong>sistem</strong> sosial secara total.<br />

• Simbolisasi Kultural. Arsitektur dapat<br />

dipandang sebagai objek kultural yang<br />

berkaitan erat dengan ideologi, nilai agama,<br />

nilai moral, dan nilai ekonomi<br />

penghuni/masyarakat.<br />

Rumah tinggal sebagai sebuah bangunan dengan<br />

segala fungsi yang dimilikinya dapat<br />

mempertemukan berbagai kebutuhan manusia yang<br />

berbeda-beda, bersifat unik dan memiliki jenjang<br />

ketingkatan dari tingkat rendah hingga tinggi.<br />

Menurut Abraham Maslow 5 ,seorang ahli psikologi,<br />

ada 5 (lima) tingkatan dari kebutuhan manusia yang<br />

dimulai dari kebutuhan tingkat terbawah (lower<br />

needs) hingga pada tingkat kebutuhan teratas (higher<br />

needs). Dimulai dari kebutuhan fisiologis sampai<br />

pada puncaknya adalah kebutuhan untuk perwujudan<br />

diri/self-actualization needs.<br />

Jika kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah belum<br />

terpenuhi secara pantas, maka biasanya akan sukar<br />

99


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan di atasnya<br />

dengan baik.<br />

Adapun 5 (lima) tingkatan kebutuhan manusia yang<br />

dikembangkan Maslow tersebut adalah 6 :<br />

1. Kebutuhan fisiologis<br />

Kebutuhan yang hampir sama pada setiap<br />

makhluk hidup dan merupakan kebutuhan yang<br />

merupakan kebutuhan yang memdasar<br />

(elementr) meliputi : ruang untuk aktivitas,<br />

istirahat,daan kesehatan. Untuk memenuhi<br />

kebutuhan-kebutuhan ini minimal harus tersedia<br />

tempat berteduh/shelter sebagai tempat untuk<br />

istirahat dan tidur, sedangkan kebutuhan lainnya<br />

bisa dilakukan di sekitar tenpat tersebut. Yang<br />

perlu diperhatikan adalah perbedaan kultur dan<br />

iklim yang akan menimbulkan perbedaan dalam<br />

merealisasikan pemenuhan kebutuhan tadi.<br />

2. kebutuhan rasa ama. Manusia memilki naluri<br />

untuk mengendalikan hidupnya, termasuk upaya<br />

harus terhindar atayu menghindar dari<br />

marabahaya yang mengancamnya. Untuk itu<br />

manusia merasa harus memiliki kekuatan untuk<br />

dapat menolak mara bahaya tersebut seperti :<br />

tempat menyimpan dan melindungi miliknya<br />

(fungsi rumah), kepercayaan pada kekuatan alam<br />

dan super natural (refigus), termasuk melakukan<br />

upacara-upacara ritual.<br />

3. kebutuhan sosial. Manusia tidak dapat hidup<br />

sendiri melainkan membutuhkan manusia lain<br />

untuk berkomunikasi dan bergabung dengan<br />

sesamanya dalam rangaka eksistensi manusia itu<br />

sendiri. Bangunan merupakan satu tempat untuk<br />

berinteraksi sesama penghuninya, saling<br />

memberi dan meneriam,berkawan,bercinta dan<br />

sebagainya. Rumah merupakan dunia tersendiri<br />

tempat terjadinya kehidupan kelompok manusia<br />

saling bersosialisasi.<br />

4. kebutuhn akan ke-aku-an (ego needs). Setiap<br />

manusia akan membutuhkan perasaan –perasaan<br />

yang positif,seperti terlihat pada rasa ingin<br />

memiliki dihormati, rasa aman, kepercayaan<br />

diri,keterampilan,kemampuan dan kemandirian.<br />

Pada banyak budaya rumah sering dipakai<br />

sebagai pencerminan status sosial. Sebagai<br />

contoh rumah-rumah bangsawan tempo dulu di<br />

Yogya, dibangun ditenagh-tengah halaman yang<br />

luas dab memiliki pelataran yang luas dan<br />

terawat baik,seolah menunjukkan kesan bahwa<br />

pemiliknya adalah orang yang ramah dan agung,<br />

berhati terbuka dan melindungi (mengayomi).<br />

5. Kebutuhan akan perwujudan diri (Selfactualization<br />

needs). Setiaporang dilahirkan<br />

dengan seperangkat potensi<br />

kemanusian,memiliki kemampuan dan bakat<br />

masing-masing,dan karenanya setiap orang kan<br />

mewujudkan dirinya secara berbeda-beda dan<br />

mempunyai keunikan tersendiri. Tiap generasi<br />

manusia selalu akan merubah apa telah<br />

ada,sekalipun perubahan itu tidak akan lebih<br />

baik dari sebelumnya.Tiap generasi akan selalu<br />

ingin menjadikan dirinya mempunyai<br />

kekhaannya,ingin mengekpresikan zamannya<br />

dalam peta sejarah umat manusia. Hal ini diduga<br />

mendasari dengan kuat perkembangan<br />

pengetahuan manusia dalam berbagai hal, tanpa<br />

peduli dengan keterbatasan alamnya. Kebutuhan<br />

perwujudan diri ini menuntut konsekuensi logis<br />

dalam kaiatan kewaspadaaan manusia dalam<br />

upaya memprtahankan keseimbangan alam dan<br />

lingkungan, yang kalau diabaikan justru akan<br />

menjadi bumerang bagi eksistensi manusia<br />

sendiri.<br />

C. Perkembangan Kota dan Budaya<br />

Masyarakatnya.<br />

Perkembangan kehidupan masyarakat kota-kota<br />

besar sekarang tidak terlepas dari perkembangan<br />

ilmu pengertahuan dan peradaban manusia.<br />

Khidupan masyarakat sudah didominasi oleh asas<br />

ekonomi yang mulai berkembang sejak revolusi<br />

<strong>industri</strong> melanda dunia di balahan barat (Inggris) dan<br />

terus merambah ke belahan dunia lainnya. Institusiinstitusi<br />

yang ada dalam kehidupan masyarakat<br />

mengalami perubahan yang sangat berarti dan<br />

menimbulkan pengaruh yang besar terhadap<br />

kehidupan manusia. Itu artinya berbagai institusi di<br />

masyarakat seperti :politik, pendidikan,agama,,ilmu<br />

pengetahuan,seni (termasuk didalamnya sebagian<br />

arsitektur), keluarga.dan seterusnya telah bergantung<br />

pada mekanisme ketersediaan sumber-sumber<br />

ekonomi.<br />

Kalr Marx, ahli sosiologi, melihat dasar-dasar<br />

ekonomi itu sendiri infrastruktur tempat superstruktur<br />

sosial dan budaya yang lainnya dibangun dan harus<br />

menyesuaikan diri. Artinya kegiatan-kegiatan dalam<br />

tiap institusi non-ekonomi harus bergerak dalam<br />

mekanisme batas-batas yang ditentukan oleh tuntutan<br />

ekonomi. Individu dan faktor-faktor ekonomi dalam<br />

usahanya untuk ‘’hidup sesuai dengan pendapatnya’’.<br />

Juga ditekankan oleh Marx, tuntutan –tuntutan untuk<br />

mencari nafkah agar bisa tepat hidup dapat memakan<br />

waktu dan energi sedemikian besarnya, sehingga<br />

tidak mungkin untuk mengembangkan kemampuan<br />

lainnya. Kenyataan yang terakhir ini kiranya<br />

merupakan fenomena baru di lingkungan masyarakat<br />

pekerja di kota-kota besar yang lingkungannya sudah<br />

dipengaruhi oleh dominasi kepentingan ekonomi.<br />

Kesibukan bekerja sebagai upaya pemenuhan nafkah<br />

untuk hidup telah menjadikan orang tidak<br />

berkesempatan untuk mengembangkan sisi lain dari<br />

hidupnya. Manusia pekerja menjadi roboat dari<br />

pekerjaanya sendiri, sehingga wajar saja jika polapola<br />

perilakunya menjadi ‘’kurang memanusia’.<br />

Pengaruh ekonomi yang telah mendominasi<br />

peradaban manusia, terutama di kota-kota besar,<br />

telah merubah wajah kota menjadi ajang<br />

pertumbuhan kepentingan ekonomi yang ditandai<br />

dengan meningkatnya jenis lapangan kerja dan<br />

pekerjaan itu sendiri. Jumlah pekerja yang<br />

mendatangi kota tidak terbendung lagi banyaknya hal<br />

100


Rumah Susun sebagai Bentuk Budaya Bermukim Masyarakat Modern<br />

Samsul Bahri<br />

ini sejalan dengan teori kebutuhan manusia untuk<br />

mendapatkan kesempatan lebih luas<br />

mempertahankan kelangsungan dan eksistensi<br />

hidupnya di dunia. Semua orang tertarik untuk<br />

mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan hidup<br />

layak di kota – kota dan membiarkan mekanisme<br />

ekonomi yang jelas tidak menjanjikan kehidupan lain<br />

selain aspek ekonomi itu sendiri.<br />

d. Kebutuhan Tempat Tinggal Versus<br />

Keterbatasan Lahan<br />

Salah satu kebutuhan yang tidak terlepas dari<br />

manusia ke manapun manusia adalah kebutuhan akan<br />

tempat tinggal. Semakin banyak jumlah populasi di<br />

kota maka kebutuhan pengadaan tempat tinggal<br />

muncul menjadi problema baru yang harus<br />

dipecahkan. Sementara itu kondisi alam yang relatif<br />

stabil telah menjadi semakin tidak berdaya<br />

menampung setiap perkembangan yang terjadi.<br />

Keterbatasan lahan menjadikan upaya pemenuhan<br />

kebutuhan tempat tinggal tidak dapat terjawab secara<br />

langsung, selagi budaya bermukim masih mewarisi<br />

tradisi lama. Dalam keterbatasan lahan dan<br />

meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal<br />

tersebut, manusia menerapkan solusi perpeahan<br />

masalah dengan cara membangun tempat tinggal<br />

secara vertikal. Banyak cara yang bisa ditempuh<br />

dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan fungsi<br />

rumah yang tepat bagi penghuninya. Salah satu<br />

upaya pemenuhan rumah dalam skala besar sesuai<br />

dengan tuntutan perkembangan kota adalah Rumah<br />

Susun. Untuk sementara solusi ini mampu menjawab<br />

persoalan, yaitu persoalan ekonomi.<br />

e. Rumah Susun Sebagai Fenomena Budaya<br />

Bermukim<br />

baik Maslow maupun Benjamin Handier yang<br />

mempertimbangkan sisi fungsi dan kebutuhan<br />

sebagai bagian penting dalam pengadaan rumah<br />

(bangunan), dalam kondisi kota-kota sekarang ini,<br />

tidak lagi sepenuhnya dapat dipertahankan<br />

pandangannya secara utuh. Banyak hal baru yang<br />

harus “diperbaharui” untuk menjadikan budaya<br />

bermukim rumah susun sebagai bagian dari<br />

peradaban manusia. Tinggal di rumah susun tidak<br />

sama dengan tinggal di rumah biasa (rumah<br />

individu), baik perilaku maupun suasana<br />

lingkungannya berbeda jauh sekali. Perubahanperubahan<br />

gaya hidup, kebiasaan, dan adat istiadat<br />

sangat terasa jika seseorang berpindah dari rumah<br />

tunggal ke rumah susun. Tentunya setiap orang akan<br />

memiliki kemampuan yang berbeda dalam<br />

beradaptasi, dan tidak semua orang memiliki<br />

kemampuan melakukannya. Bagi golongan orang<br />

yang sudah erat dan tidak terpisahkan dengan<br />

tradisinya akan sulit melakukan adaptasi yang<br />

diinginkan, akibatnya yang ada hanyalah pemaksaan<br />

saja. Masyarakat pekerja di kota-kota yang<br />

umumnya adalah pendatang (gejala urbanisasi)<br />

masalah budaya bermukim merupakan salah satu<br />

problema tersendiri di samping persoalan ekonomi<br />

yang menuntut penyelesaian guna mempertahankan<br />

hidup di kota. Kemampuan dan keterampilan untuk<br />

bertahan hidup menjadi seni dan sekaligus senjata<br />

bagi setiap pekerja yang hidup di kota-kota besar<br />

seperti : Jakarta, Surabaya, dan lainnya. Sekalipun<br />

sulit hidup di kota, namun tidak mengurangi minat<br />

masyarakat desa untuk mendatangi kota tersebut.<br />

Akibatnya daya dukung “ruang” kota menjadi<br />

semakin terbatas. Program pengadaan perumahan<br />

bagi pekerja menjadi penting belakangan ini. Selain<br />

dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar manusia,<br />

rumah tinggal dan kedekatan jarak rumah dengan<br />

tempat kerjanya merupakan salah satu persoalan<br />

yang mamu memberikan pengaruh kuat bagi tingkat<br />

produktivitas pekerja itu sendiri. Solusi pendanaan<br />

rumah dengan konsep Rumah Susun menjadi pilihan<br />

yang menarik untuk dikembangkan akhir-akhir ini,<br />

dan apabila mungkin maka akan terus dipertahankan<br />

sebagai konsep yang dapat diterapkan di setiap kota<br />

yang kekurangan lahan untuk perumahan. Tinggal<br />

sekarang bagaimana upaya yang dilakukan untuk<br />

mengatasi persoalan-persoalan budaya yang kelak<br />

akan semakin jelas muncul dalam konsep rumah<br />

susun itu. Tentunya sekarang belum sedemikian jelas<br />

terlihat baik buruknya fenomena baru itu karena<br />

umumnya yang relatif masih baru bagi masyarakat di<br />

beberapa tempat. Di beberapa kasus pembangunan<br />

rumah susun telah dikembangkan konsep budaya<br />

bermukim yang disesuaikan dengan kebudayaan dan<br />

kondisi yang ada. Salah satu diantaranya adalah<br />

rumah susun Dupak di Surabaya, yang dibuat oleh<br />

Johan Silas (Arsitek), yang mengembangkan metode<br />

kampung susun. Artinya gaya hidup kampung yang<br />

telah ada pasa dipertahankan sebagian besar, hanya<br />

saja kalau dulunya kampung-kampung tersebut<br />

berada pada daerah yang horisontal maka di rumah<br />

susun tersebut kampung-kampung disusun secara<br />

vertikal. Konsep ini masih relatif baru dan<br />

berlangsung belum cukup lama sehingga perlu<br />

diperhatikan terus perkembangan yang terjadi untuk<br />

kemudian dapat disimpulkan kelebihan dan<br />

kekurangannya.<br />

KESIMPULAN<br />

Perkembangan masyarakat merupakan bagian yang<br />

tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Arsitektur,<br />

namun seringkali tidak dapat terlaksana dengan baik<br />

(sempurna). Pada kenyatannya pendekatan yang<br />

dilakukan selama era arsitektur modern dengan caracara<br />

rasional, deterministik, standarisasi dianggap<br />

sering hanya menciptakan suatu huubngan yang<br />

renggang, tidak harmonis antara manusia sebagai<br />

pemakai dan ruang (wadah) tempat kegiatan. Rumah<br />

susun sebagai produk dari modernisasi yang sedang<br />

berkembang sekarang ini belum sepenuhnya dapat<br />

diterima dalam kaitan dengan budaya bermukim<br />

manusia. Seringkali yang terjadi adalah pembangnan<br />

rumah susun yang diibaratkan sebagai suatu<br />

pemerkosaan atas hak-hak pribadi pemakainya.<br />

101


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Pemakai dalam keadaan terpaksa tidak mempunyai<br />

alternatif lain selain hanya menerima kenyataan yang<br />

ada. Sama halnya dengan pembangunan perumahan<br />

massal lainnya (real estate oleh Perumnas, BTN, dan<br />

lainnya), rumah susun tidak mampu memberikan<br />

pemecahan pemunuhan kebutuhan manusia secara<br />

utuh. Hal tersebut dapat terjadi karena selama ini<br />

rumah susun dibangun atas dasar pertimbangan<br />

ekonomi dan teknis semata. Kalaupun ada<br />

pertimbangan unsur manusia didalamnya, itu hanya<br />

sebagian kecil yang kalah dominan dibanding unsur<br />

ekonomi dan teknis tadi. Rumah susun baru akan<br />

bermanfaat bila dipandang sebagai suatu usaha<br />

menjawab kebutuhan manusia dari berbagai aspek<br />

kehidupan, tidak hanya dari sisi kuantitasnya saja<br />

tapi juga sisi kualitasnya. Sebagai budaya bermukim,<br />

rumah susun tentunya perlu waktu lama dan<br />

konsisten untuk terus dikembangkan sebagai tradisi<br />

baru dalam kehidupan umat manusia. Terutama di<br />

negara-negara berkembang seperti Indonesia yang<br />

sudah memiliki tradisi lama yang berakar kuat di<br />

kalangan masyarakatnya.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. Rabinwitz, Harvey, Z (1979), Evaluasi<br />

Purnahuni, dalam : Synder, James C Pengantar<br />

Arsitektur. Penerbit Airlangga, Jakarta.<br />

2. ____ (1991) Tata Cara Perencanaan Kepadatan<br />

Bangunan Lingkungan Rumah Susun Hunia.<br />

Departemen P. U. Jakarta.<br />

3. ___ (1983). Pedoman Teknik Pembangunan<br />

Perumahan Sederhana Tidak Bertingkat.<br />

Departemen P. U. Direktorat Jendral Cipta<br />

Karya, Jakarta.<br />

1. Hukum tiga tanpa merupakan usaha Comte<br />

untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat<br />

manusia dari masa primitif sampai keperadapan<br />

Perancis abad ke 19 yang sangat maju”, teori<br />

Sosiologi Klasi dan Modern, (1994), hlm. 84.<br />

2. Sokanto, Soerjono, 1990. Sosiologi Suatu<br />

Pengantar, hlm. 382-386.<br />

3. Ibid, hlm. 383.<br />

4. Eugene Raskin dalam Architecture and People<br />

mengatakan : “……… most of mankind spends<br />

the major part of its time indoors, in<br />

environments of its own creation……… We are<br />

born indoors, live, love, brings up our families,<br />

worship, work, grow old, sincken and indoors”.<br />

5. Dalam bukunya “Motivation and Personality”<br />

(1954), Abraham Maslow mempelopori suatu<br />

pendekatan kepada manusia yang didasarkan<br />

atas studi dari THE FINEST PSYCOLOGICAL<br />

SPECIMENTS yang memperlihatkan manusia<br />

sebagai mahluk yang lebih cakap/arif (capable),<br />

rational dan percaya diri, dari teori-teori<br />

sebelumnya. Studi ini membawa Maslow untuk<br />

mengembangkan diri, dari teori-teori<br />

sebelumnya. Studi ini membawa Maslow untuk<br />

mengembangkan teori motivasi (Human<br />

Motivation) yang lebih populer dengan istilah<br />

HIRARCHY OF NEEDS (tingkat kebutuhan<br />

manusia), untuk menjelaskan hbungan antara<br />

kepribadian dan motivasi manusia.<br />

6. Newmark, Norma L., & Thompson, Patricia, J.,<br />

1977. Self Space & Shelter., hal. 8.<br />

102


METODE PERANCANGAN ASIC YANG SUKSES<br />

Metode Perancangan Asic yang Sukses<br />

Hasdari Helmi<br />

Hasdari Helmi<br />

Staf Pengajar Departemen Elektro Fakultas Teknik USU, Medan<br />

Abstrak: Tulisan ini menjelaskan tahapan perancangan rangkaian elektronika digital yang sukses<br />

menggunakan rangkaian terintegrasi dengan aplikasi khusus. ASIC merupakan rangakaian terintegrasi yang<br />

sengaja dirancang untuk memenuhi tujuan dan fungsi tertentu. ASIC mempunyai keuntungan tertentu, seperti,<br />

kepadatan komponen, kehandalan, kekhususan dan kerahasian chip dan daya rendah serta biaya produksi<br />

rendah untuk jumlah besar. Perancangan ASIC yang sukses dan berhasil baik dengan sekali rancang jadi,<br />

diperlukan seorang perancang yang berpengalaman, metodologi yang tepat, tool dari vendor, hubungan<br />

perancang dan vendor yang baik untuk menghasilkan suatu <strong>sistem</strong> elektronika yang berkerja sesuai keinginan<br />

pemesan.<br />

Abstract: The paper describes important order to design digital electonic circuits successful use Application<br />

Specific Integration Circuits (ASIC). ASIC is integrated circuits what is designed to complete fixed functions of<br />

system. ASIC have advantage like complexity, visibility, security , low power and low cost fee production for big<br />

quantity. Designer who is successful and good with first time though is required experiences designing, exactly<br />

methodology, tool from vendor, and so, between designer and vendor have good communications to output a<br />

good system for working is wanted.<br />

Kata kunci: ASIC, kehandalan, chip, tool, vendor, metodologi.<br />

I. PENDAHULUAN.<br />

ASIC (Application Specific Integration<br />

Circuits) merupakan rangkaian terintegrasi aplikasi<br />

yang dirancang dan direalisasikan untuk memenuhi<br />

tujuan dan fungsi tertentu. Rangkaian terintegrasi<br />

Apilikasi khusus (ASIC) adalah salah satu alternatif<br />

realisasi perancangan <strong>sistem</strong> bidang<br />

mikroelektroniknika Hal ini berkaitan dengan<br />

membanjirnya produksi rangkaian terintegrasi pada<br />

era tahun 1970 yang mana sesama pabrik saling<br />

membajak produksi lainnya, sehingga konsumen<br />

tidak dapat membedakan produksi asli pabrik.<br />

Kemudian produksi ASIC ini berkenaan dengan<br />

keperluan peralatan militer serta kebutuhan<br />

komponen dalam ukuran mini.<br />

Umumnya rangkaian ini direalisasikan<br />

dengan meotode semicustom dan full-custom<br />

mempunyai keuntungan tertentu, seperti :<br />

♦ Kepadatan komponen dn performance yang<br />

tinggi.<br />

♦ Kekhususan dan kerahasian chip.<br />

♦ Kebutuhan daya rendah.<br />

♦ Kehandalan tinggi.<br />

♦ Biaya produksi rendah untuk jumlah besar.<br />

Karakteristik perkembangan ASIC ditujukan seperti<br />

pada gambar 1.<br />

Diperlukan waktu<br />

singkat menuju pasar<br />

2 tahun<br />

1 tahun<br />

Hasil Rancangan yang diinginkan:<br />

• lebih handal<br />

• biaya rendah<br />

• lebih cepat<br />

6 bulan<br />

3 bulan<br />

900 MIPS<br />

100 MIPS<br />

10 MIPS 1995 2001<br />

4 MIPS 1991<br />

1989<br />

1987<br />

kompleksitas<br />

rancangan meningkat<br />

Gambar I.1. Perkembangan ASIC ditinjau dari kepadatan dan kecepatan<br />

serta waktu perancangan<br />

103


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

II. Problematika Perancangan ASIC<br />

Masalah yang sering dijumpai pada<br />

perancangan ASIC dimana fungsi <strong>sistem</strong> tidak<br />

bekerja sesuai yang diinginkan. Untuk menghindari<br />

kesalahan hasil rancang diperlukan :<br />

♦ Perancang yang berpengalaman.<br />

♦ Perancang mengerti dan memahami selukbeluk<br />

tahap-tahap proses rancangan ASIC<br />

♦ Memilih tool (alat bantu peracangan) yang<br />

tepat.<br />

♦ Hubungan perancang dengan vendor ASIC<br />

III. TIPE-TIPE ASIC DAN TEKNOLOGINYA<br />

Suatu <strong>sistem</strong> elektronika yang diimplementasikan<br />

menggunakan ASIC harus memilih tipe ASIC,<br />

teknologi ASIC dan penggunaan ASIC sebelum<br />

rancagan diproses lebih lanjut. Hal ini harus<br />

dilakukan seorang perancang, jika tidak ingin<br />

menerima resiko yang fatal.<br />

Terdapat 5 tipe jenis ASIC yang tersedia,<br />

pemesan dapat memilih jenis ASIC untuk<br />

mengimplementasikan <strong>sistem</strong> elektronika yang<br />

dikehendaki, yaitu :<br />

♦ Gate Array<br />

♦ Standard Cell<br />

♦ Programmable logic<br />

♦ Full Custom<br />

Gate array, standard cell, compiled cell dan<br />

programmable logic di sebut ASIC semi-cutom<br />

karena mask yang dibutuhkanhanya beberapa buah<br />

saja, sedangkan ASIC full-custom seluruh mask layer<br />

ditentukan perancang.<br />

III.1. Teknologi ASIC.<br />

Beberapa teknologi tersedia dalam<br />

merancang ASIC sesuai keperluan suatu <strong>sistem</strong> yaitu<br />

: CMOS, TTL, ECL, Ga, As, BICMOS.<br />

Masing-masing teknologi memiliki karakteristik<br />

seperti ditujukan table 2.1.<br />

Salah satu contoh gate HAND menggunakan<br />

teknologi BICMOS ditujukan pada gambar III..1.<br />

Table III.1. Karakteristik teknologi ASIC.<br />

TEKNOLOGI KECEPATAN KEPADATAN DAYA<br />

CMOS<br />

50 MHz<br />

Sangat Tinggi<br />

Sangat Rendah<br />

TTL<br />

100 MHz<br />

Sedang<br />

Rendah<br />

BICMOS<br />

50 MHz<br />

Tinggi<br />

Rendah<br />

ECL<br />

>1 GHz<br />

Rendah<br />

Sangat Tinggi<br />

GaAS<br />

>3 GHz<br />

Sangat Rendah<br />

Sedang<br />

Gambar III.1. Gate NAND 2 – input yang menggunkana teknologi BICMOS.<br />

104


Metode Perancangan Asic yang Sukses<br />

Hasdari Helmi<br />

Wire Lengths<br />

Custumer<br />

input<br />

Design<br />

Capture<br />

Delay<br />

Estimation<br />

Local And<br />

Timing<br />

Simulasi<br />

Automatic<br />

Placement<br />

And Routing<br />

FOUNDRY<br />

Test Vectors<br />

AUTOMATIC<br />

TEST<br />

GENERATION<br />

Gambar III.2. Diagram aliran perancangan ASIC.<br />

Pada umumnya, vendor memberikan tool tahaptahap<br />

perancangan ASIC yang digunakan pabrik,<br />

antara lain : skematik, simulasi aliran proses,<br />

perancangan fisik, pengujian, serta pembuatan<br />

prototip, verifikasi, test prototip. Secara umum proses<br />

perancangan ASIC hampir sama vendor. Masingmsing<br />

tahap harus dilakukan dengan lengkap dan<br />

baik. Gambar III.2, menunjukkan aliran proses<br />

perancangan ASIC.<br />

IV. PERANCANGAN ASIC YANG SUKSES<br />

Seorang perancangan ASIC yang baik<br />

memulai bekerja pada level high behaviroral untuk<br />

mengembangkan bagian-bagian fungsi yang penting<br />

yang menunjang spesifikasi dari rancangan ASIC<br />

yang diminta. Hal ini disebabkan rangkain ASIC<br />

kepadatannya lebih tinggi , misal kepadatan 200.000<br />

gate memerlukan <strong>teknik</strong> perancangan tersendiri untuk<br />

dapat mengontrol <strong>sistem</strong> yang kompleks tersebut. Ini<br />

dapat dilakukan dengan perancangan otomatis<br />

elektronik.<br />

IV.1. Tahapan Perancangan ASIC<br />

Chart Y (Gajski dan Kuhn 1983),<br />

memberikan tahap perancangan ASIC dari level<br />

fungsi terdiri dari 3 tingkatan seperti terlihat pada<br />

gambar IV.1., yaitu :<br />

1. Behavioral<br />

2. Struktural<br />

3. Physical Geometry<br />

BEHAVIORAL<br />

LOGIC SYNTHESIS<br />

SYSTEM<br />

ALGORITMA<br />

STRUCTURAL<br />

MICROARCHITECTURE<br />

SYSTEMS LOGIC PROCCECSOR<br />

ALGORITHMAS<br />

HARDWARE MODUL<br />

REGISTER TRANSFE CIRCUIT ALUs, REGISTER<br />

LOGIC<br />

GATES, FFs<br />

TRANSFER FUNGTION<br />

TRANSISTOR<br />

RECTANGLES<br />

CELL, MODUL PLANS<br />

FLOOR PLAN<br />

CLUSTER<br />

PHYSICAL<br />

PARTITIONS<br />

PHYSICAL/GEOMETRY<br />

Physical Synthesis<br />

Gambar IV.1. Chart Y memperlihatkan tiga tingkatan perancangan<br />

105


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

IV.2. Perancangan Tingkat Behavioral.<br />

Tujuan dari perancangan level ini adalah untuk<br />

mengabaikan banyak hal-hal detail dari fungsi<br />

rancangan. Hal ini sangat menguntungkan perancang<br />

sebab perancangan dilakukan lebih cepat dan akurat<br />

serta memudahan untuk memeriksa kembali suatu<br />

rangkaian dan mengoptimumkannya. Model VHDL<br />

(Verification Hardware Description Languanges)<br />

seperti ditunjukkan gambar IV.2.<br />

Behavioral<br />

VHDL<br />

Specification<br />

Gambar IV.2. Penggunaan VHDL pada tingkat<br />

perancangan behavioral dan structural<br />

IV.3. Perancangan Tingkat Struktural.<br />

Pada tingkat struktural, perancang sudah<br />

dihadapkan pada perancangan hardware yang<br />

sebenarnya. Untuk rangkaian yang sangat kompleks<br />

(>250.00 gate), maka perancangan menjadi sangat<br />

sulit. Untuk mengatasi kesulitan tersebut vendor<br />

menawarakan perangkat yang dapat memberikan<br />

skematik gate yang terstruktur.<br />

IV.4. Perancangan Tingkat Phisical Geometry.<br />

Pada tingkat ini, mendeskripsikan fisik dari<br />

seluruh rancngan yang telah dibuat untuk<br />

menghasilkan suatu data-base bagi pemrosesan<br />

rancangan ASIC yang dikendaki.<br />

IV.5. Standard Electronic design Automation<br />

(EDA)<br />

Tool ini merupakan ‘schematic capture<br />

tools’ yang berguna bagi perancang membuat skema<br />

rangkaian tanpa pensil dan kertas. Gambar IV.3,<br />

menunjukkan contoh sel yang terdapat pada sel –<br />

library.<br />

Structural<br />

A<br />

B<br />

A<br />

B<br />

C X C<br />

X<br />

Sel - librari<br />

Simbol logika<br />

Gambar IV.3: rangkaian Sel – library dan simbol logika<br />

106


Metode Perancangan Asic yang Sukses<br />

Hasdari Helmi<br />

IV.6. Silicon compiler<br />

Silicon Compiler untuk menterjemahkan<br />

perancangan dari level behavioral ke level structural.<br />

Silicon Compiler merupakan alat optomis suatu<br />

rancangan untuk menghasilkan kepadatan layout<br />

logic yang efisien. Tipe-tipe Silicon Compiler antara<br />

lain :random logic, datapath, module compiler dan<br />

tile-based.<br />

IV.7. Sintesis Logika<br />

Sintesis logika merupakan suatu proses yang<br />

dengan otomatis dapat membentuk ekivalen<br />

structural logic dari deskripsi rangkaian behavioral.<br />

Deskripsi rangkaian behavioral digunakan pada<br />

Simulasi digital untuk memverifikasikan rancangan<br />

sejauh mana sudah memenuhi spesifikasi yang<br />

kehendaki.<br />

V. Metodologi Perancangan ASIC<br />

Untuk menghasilkan kualitas ASIC yang<br />

diinginkan, biaya produksi rendah dan waktu<br />

perancangan singkat tanpa mengalami perancangan<br />

ulang diperlukan metodologi peracangan ASIC yang<br />

valid<br />

Terdapat dua metodologi yang umum<br />

digunakan untuk pengembangan perancangan ASIC<br />

yang berhasil, yakni :<br />

1. Metodologi perancangan Botton-Up.<br />

2. Metodologi perancangan Top-Down.<br />

V.1. Metodologi Perancangan Bottom – Up<br />

+Metodologi perancangan Bottom-Up<br />

merupakan metodologi yang banyak digunakan para<br />

perancang. Dimulai dari level struktur, yakni<br />

memilih dan menghubungkan sel/gerbang logika.<br />

Kerumitan dan kepadatan divais rangkaian diatasi<br />

dengan pendekatan hieraksi seperti ditunjukkan<br />

gambar V.1.<br />

Gambar V.1, memperlihatkan beberapa bagian<br />

dari rancangan structural diganti blok kotak yang<br />

mempunyai fungsi tertentu (ditandai dengan huruf<br />

M). kemudian setelah perancangan keseluruhan<br />

selesai, M diganti dengan rangkaian yang sesuai.<br />

Metodologi ini efektif untuk jumlah gate lebih<br />

kecil 10.000 buah. Jika kepadatan divais lebih besar,<br />

metodologi ini akan menyebabkan waktu<br />

perancangan lama, kehandalan menurun dan biaya<br />

tinggi.<br />

Perancangan secara hirarki<br />

V.2. Metodologi Perancangan Top-Down<br />

Metodologi ini perancangan Top-Down<br />

merupakan metodologi perancangan ASIC degnan<br />

kepadatan gate lebih besar 10.000 buah dan lebih<br />

disukai para perancang. Langkah perancangan adalah<br />

menentukan spesifikasi rancangan hingga<br />

keseluruhan rancangan dipisah-pisah menjadi blokblok<br />

logika.<br />

♦<br />

KESIMPULAN<br />

Dari paper ini dapat diambil kesimpulan<br />

bahwa bila seseorang perancang mengerjakan<br />

rancangan ASIC untuk dikatakan sukses dan berhasil<br />

tanpa perancang harus mengikuti langkah-langkah<br />

sebagai berikut :<br />

1. Seorang perancang harus belajar untuk mengerti<br />

dan memahami seluk-beluk tentang ASIC,<br />

teknologi dan proses pembuatan ASIC secara<br />

keseluruhan.<br />

2. Seorang perancang harus mengikuti perkembangan<br />

ASIC melalui informasi yang ada.<br />

3. Perancang harus mengetahui manfaat ASIC yang<br />

dirancang, keuntungan dan kerugian<br />

menggunakan ASIC, jenis ASIC yang<br />

diinginkan, biaya tersedia, waktu perancangan<br />

serta kompleksitas rangkaian.<br />

4. Untuk merancang ASIC yang berhasil dengan<br />

sekali rancang dengan sasaran kualitas produksi<br />

IC yang diinginkan, biaya produksi rendah dan<br />

waktu perancangan singkat maka seorang<br />

perancang harus :<br />

♦ Menggunakan metode perancangan bottomup<br />

(untuk kepadatan 10.00 gate).<br />

Perancangan akan berhasil baik bila dimulai<br />

dari tahap perancangan behavioral, struktur<br />

dan physical geome try.<br />

♦ Menggunakan alat bantu (tool) seperti :<br />

EDA, logic synthesis, silicon compiler.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. Perancangan dan pembuatan <strong>sistem</strong> elektronika<br />

menggunakan mikrokontroller MC68705U3<br />

untuk uji coba pada kenyamanan rumah tangga,<br />

Hasdari Helmi, tesis, ITB Bandung , 1995<br />

2. Hardware Programmable Devices, oleh<br />

Soegijadjo Soegijoko dkk, PAU Bidang<br />

Mikroeloktronika, ITB Bandung, 1992.<br />

Rangkain keseluruhan<br />

M<br />

M<br />

Perancangan flat<br />

Rangkaian yang sesuai<br />

3. Succesful ASIC Design the first time though by<br />

Jhon P.Huber and Mark W.Rosneck<br />

Chapter 1 to 4 Van Nostrand Reinhold<br />

New York, AS, 1991<br />

4. Diktat Kuliah Singkat ‘Pengantar Sistem VLSI’<br />

PAU Bandung, 1988/1980.<br />

107


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

PEMERIKSAAN MUTU BETON DAN MUTU PELAKSANAAN<br />

PEKERJAAN BETON<br />

A. Rajamin Tanjung<br />

Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />

Abstrak: Untuk mengetahui mutu beton dan mutu pelaksanaan dari suatu pekerjaan beton diperlukan<br />

pemeriksaan secara kontinu selama masa pelaksanaannya. Langkah-langkah yang diambil dalam rangka<br />

pemeriksaan tersebut meliputi pengambilan contoh-contoh benda uji, pembuatan benda uji, pemeriksaan benda<br />

uji, pengolahan data hasil uji, perhitungan mutu pelaksanaan dan mutu beton tercapai.<br />

Jumlah pengambilan contoh uji disesuaikan dengan sifat dari pekerjaan beton yang dilaksanakan dan paling<br />

sedikit satu kali dalam satu hari. Setiap kali pengambilan contoh uji dibuat dua buah benda uji. Salah satu dari<br />

kedua benda uji tersebut dirawat di laboratorium dan yang satu buah lagi dirawat di lapangan sampai dengan<br />

umur pemeriksaan yang ditetapkan.<br />

Dari pemeriksaan benda uji didapatkan sepasang data yaitu data beban tekan maksimum yang dapat dipikul<br />

oleh masing-masing benda uji, yang dirawat di laboratorium dan yang dirawat di lapangan. Data tersebut<br />

kemudian diolah sehingga menjadi data hasil uji yaitu data uji tekan benda uji silinder pada umur dua puluh<br />

delapan hari.<br />

Dari data hasil uji ditentukan mutu pelaksanaan yang diukur dengan deviasi standar, serta mutu beton sama<br />

dengan nilai rata-rata dari seluruh hasil uji dikurangi dengan perkalian faktor dari tingkat kegagalan yang<br />

diizinkan dengan deviasi standar. Setiap hasil pemeriksaan sejumlah hasil uji dipakai sebagai dasar untuk<br />

mempertimbangkan apakah perlu diadakan perubahan dalam campuran beton, cara pelaksanaan atau nilai<br />

deviasi standar rencana untuk pekerjaan selanjutnya.<br />

PENDAHULUAN<br />

Dalam gambar rencana serta syarat-syarat<br />

teknis pelaksanaan pekerjaan konstruksi beton<br />

berbertulang yang telah disetujui untuk digunakan,<br />

tercantum dengan jelas mutu beton dari setiap bagian<br />

konstruksi. Mutu beton yang dicantumkan tersebut<br />

adalah salah satu dasar yang dipakai dalam<br />

merencanakan/menentukan dimensi dan penulangan<br />

dari bagian konstruksi dimaksud. Dengan demikian<br />

bila mutu beton yang tercapai dalam pelaksanaan<br />

lebih rendah dari mutu beton perencanaan tadi maka<br />

tingkat kelayakan dari bagian konstruksi yang<br />

berkenaan akan lebih rendah dari tingkat kelayakan<br />

yang direncanakan.<br />

Agar mutu beton seperti dalam perencanaan<br />

tercapai di lapangan, bahan-bahan campuran, proses<br />

produksi, pengangkutan serta proses pencetakan di<br />

tempat akhir dari pekerjaan beton yang dilaksanakan<br />

harus memenuhi peraturan/persyaratan-persyaratan<br />

yang telah ditetapkan.<br />

Untuk mengetahui mutu beton dan mutu pelaksanaan<br />

dari suatu pekerjaan beton diperlukan pemeriksaan<br />

secara kontinu selama masa pelaksanaannya.<br />

Pemeriksaan dilakukan terhadap hasil-hasil uji yang<br />

di dapat dari pengujian benda-benda uji yang dibuat<br />

dari produksi beton yang digunakan untuk<br />

pelaksanaan pekerjaan dimaksud.<br />

Dalam tulisan berikut ini dicoba untuk memberikan<br />

gambaran tentang langkah-langkah yang diambil<br />

dalam rangka pemeriksaan tersebut mulai dari cara<br />

pengambilan contoh uji sampai dengan pengolahan<br />

data hasil uji untuk mendapatkan mutu beton dan<br />

mutu pelaksanaan dari pekerjan beton normal yang<br />

tidak menggunakan bahan campuran tambahan.<br />

PENGAMBILAN CONTOH UJI<br />

Pengambilan contoh uji untuk setiap mutu<br />

beton yang dilaksanakan pada satu hari paling sedikit<br />

1 kali, dan pada setiap kali pengambilan contoh uji<br />

dibuat sepasang benda uji yang terdiri dari 2 buah<br />

benda uji. Tetapi bila jumlah keseluruhan volume<br />

pekerjaan beton untuk setiap mutu beton adalah<br />

sedemikian, sehingga setelah selesai pekerjaan<br />

jumlah contoh uji yang terkumpul untuk masingmasing<br />

mutu beton kurang dari 5 pasang benda uji,<br />

jumlah pengambilan contoh uji dapat disesuaikan<br />

dengan mempertimbangkan sifat dari pekerjaan beton<br />

yang dilaksanakaaan. Pekerjaan untuk bagian<br />

konstruksi beton yang mengalami tegangan tinggi,<br />

pengambilan contoh uji dilakukaan untuk setiap<br />

volume pekerjaan tidak lebih dari 10 m 3 . Pekerjaan<br />

untuk bagian konstruksi beton biasa, pengambilan<br />

contoh uji dilakukaan untuk setiap volume pekerjaan<br />

tidak lebih dari 20 m 3 . Sedang pekerjaan beton<br />

massal yang tidak akan mengalami tegangan tinggi,<br />

pengambilan contoh uji dilakukaan untuk setiap<br />

volume pekerjaan tidak lebih dari 50 m 3 . Pada awal<br />

pekerjaan ada baiknya bila jumlah pengambilan<br />

108


Pemeriksaan Mutu Beton dan Mutu Pelaksanaan Pekerjaan Beton<br />

A. Rajamin Tanjung<br />

contoh uji diperbanyak sehingga disamping benda<br />

uji untuk diperiksa pada umur 28 hari juga ada<br />

benda uji yang dapat diperiksa pada umur 3 hari atau<br />

7 hari. Seshingga dengan demikian gambaran mutu<br />

beton yang tercapai dilapangan dapat diketahui<br />

dalam waktu yang lebih awal.<br />

PEMBUATAN BENDA UJI<br />

Benda uji sebaiknya dibuat berbentuk<br />

silinder berdiameter 150 mm dan tinggi 300 mm,<br />

sesuai dengan benda uji standar menurut peraturan<br />

beton bertulang Indonesia yang terbaru SK-SNI T-<br />

15 1990-03. Alternatif lain dapat dibuat berbentuk<br />

kubus sisi 150 mm. Untuk selanjutnya dalam tulisan<br />

ini silinder berdiameter 150 mm dan tinggi 300 mm<br />

disebut dengan silinder saja.<br />

Acuan benda uji terbuat dari logam kedap<br />

air. Permukaan dalamnya harus rata/tidak<br />

bergelombang. Sebelum pengisian terlebih dahulu<br />

disapu dengan vaselin agar mudah dilepas dari<br />

betonnya. Adukan beton untuk benda uji diambil<br />

langsung dari adukan dengan menggunakan alat yang<br />

kedap air. Bila dianggap perlu adukan tersebut<br />

diaduk lagi sebelum diisikan ke dalam acuan.<br />

Pengisian acuan dilakukan dalam 3 (tiga) lapis yang<br />

tebalnya kira-kira sama. Masing-masing lapisan<br />

dipadatkan dengan cara menusuk-nusuk sebanyak 20<br />

(dua puluh) kali dengan rod (tongkat baja) diameter<br />

16 mm dengan ujung yang dibulatkan. Pemadatan<br />

dapat juga dilakukan dengan vibrator (jarum<br />

penggetar) terutama untuk beton kental. Jarum<br />

penggetar dimasukkan sentris kedalam acuan tanpa<br />

menyentuh dasarnya. Penggetaran dilakukan sampai<br />

permukaan adukan tampak mengkilap oleh air<br />

semen. Kemudian jarum penggetar di tarik vertikal<br />

dari adukan dengan kecepatan lebih kurang 5 cm<br />

perdetik. Pada waktu pemadatan lapisan kedua dan<br />

lapisan ketiga baik dengan rod maupun dengan jarum<br />

penggetar, harus dipastikan bahwa lapisan<br />

sebellumnya yang telah dipadatkan tidak terganggu.<br />

Setelah selesai pemadatan, permukaan beton<br />

diratakan. Untuk mencegah terrjadinya penguapan<br />

benda uji dalam acuan tersebut ditutup dengan kaca<br />

atau logam atau goni basah. Kemudian disimpan<br />

ditempat yang bebas dari getaran. Setelah 24 jam<br />

acuan dibuka dengan hati-hati, dan benda uji diberi<br />

tanda seperlunya. Salah satu dari kedua benda uji<br />

tersebut dirawat di laboratorium dan yang satunya<br />

dirawat di lapangan sampai dengan saat pengujian<br />

pada umur 28 hari atau umur pengujian yang<br />

ditetapkan.<br />

PERAWATAN BENDA UJI<br />

Sepasang benda uji terdiri dari 2 buah benda<br />

uji yang diambil dari adukan yang sama dirawat<br />

sebagai berikut :<br />

Satu buah benda uji dirawat di laboratorium.<br />

Umumnya dilakukan dengan cara merendam dalam<br />

air pada suhu ruangan.<br />

Satu buah benda uji lainnya dirawat di lapangan<br />

seperti cara merawat beton yang telah dicorkan<br />

sebagai bagian konstruksi di lapangan. Umumnya<br />

dilakukan dengan menutupnya dengan goni basah<br />

atau disiram secara berkala .<br />

PEMERIKSAAN BENDA UJI<br />

Pemeriksaan dilakukan untuk menentukan<br />

kuat tekan benda uji. Pemeriksaan benda uji<br />

sebaiknya dilakukan pada sat benda uji berumur 28<br />

hari. Walaupun demikian pemeriksaan benda uji<br />

dapat juga dilakukan pada umur pengujian yang<br />

ditetapkan sesuai dengan keperluan. Pemeriksaan<br />

dilakukan dengan alat uji berupa mesin penekan yang<br />

kekuatannya sesuai dengan keperluan. Bidang<br />

penumpu benda uji berdiameter 254 mm. Pemberian<br />

gaya dilakukan secara kontinu dengan pertambahan<br />

yang konstan tanpa menimbulkan kejutan.<br />

Bila pembacaan tekanan uji adalah dengan<br />

menggunakan jarim penunjuk, ketelitian penunjukan<br />

minimal 1 % dari beban tekan maksimum. Sebelum<br />

pemeriksaan kuat tekan benda uju dilakukan,<br />

terlebih dahulu diperiksa ukuran-ukurannya sebagai<br />

berikut :<br />

Bidang-bidang dari bendauji haris sejajar dengan<br />

ketelitian 0,050 mm. Bila ketentuan tersebut tidak<br />

teroenuhi maka benda uji harus diberi caping.<br />

Ketelitian ukuran diameter lebih kurang 0,25 mm dan<br />

ketelitian ukuran tinggi lebih kurang 2,5 mm. Setelah<br />

ukuran-ukuran benda uji diperiksa dan memenuhi<br />

syarat, benda uji ditempatkan sentris terhadap sumbu<br />

gaya penekanan, Bidang penumpu diturunkan<br />

perlahan-lahan dan hati-hati sampai bidang<br />

permukaan benda uji bertemu dengan bidang<br />

penumpu. Kemudian dilakukan pemberian beban<br />

dengan kecepatan pertambahaan beban sekitar 1.38<br />

kN/m 2 sampai 3.45 kN/m 2 per detik.<br />

Pembebanan dilakukan sampai benda uji mencapai<br />

kegagalan dan selanjutnya dibaca beban maksimum<br />

yang dipikul benda uji selama pemeriksaan.<br />

PENGAMBILAN DATA HASIL UJI<br />

Dari pemeriksaan benda uji didapatkan sepasang<br />

data pengujian yaitu data pengujian benda uji yang<br />

dirawat di laboratorium dan data pengujian benda uji<br />

yang dirawat di lapangan. Masing-masing data<br />

pengujian berisi data sejumlah benda uji berupa :<br />

- Nomor kode benda uji yang menunjuk<br />

lokasi/bagian pekerjaan beton yang diwakili.<br />

- Bentuk benda uji.<br />

- Umur benda uji (hari)<br />

- Beban tekan maximum yang dapat dipikul benda<br />

uji selama pemeriksaan (N) atau (kN).<br />

Mengingat bahwa satu data hasil uji kuat tekan<br />

adalah hasil rata-rata dari uji tekan dua benda uji<br />

silinder yang dibuat dari contoh beton yang sama dan<br />

diuji pada umur 28 hari atau pada umur pengujian<br />

yang ditetapkan, maka langkah pertama adalah<br />

mengambil nilai rata -rata beban tekan maximum<br />

yang dapat dipikul benda uji selama pemeriksaan dari<br />

109


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

masing-masing pasangan benda uji yang dirawat di<br />

laboratorium dan benda uji yang dirawat di lapangan.<br />

Dalam hal ini adalah pasangan yang berbentuk sama<br />

dan bernomor kode sama. Selanjutnya dari data<br />

bentuk benda uji dapat diketahui luas penampang<br />

tekan dari masing-masing benda uji. Dengan<br />

membagi nilai rata-rata beban tekan maximum yang<br />

dapat dipikul oleh benda uji dengan luas penampang<br />

tekannya, diperoleh data kuat tekan rata-rata masingmasing<br />

pasangan benda uji pada umur uji dalam<br />

satuan MPa.<br />

Karena mutu beton identik dengan kuat<br />

tekan yang disyaratkan (f′c) dari beton yang<br />

bersangkutan, yang didasarkan pada hasil pengujian<br />

benda uji silinder umur 28 hari, maka data kuat tekan<br />

rata-rata masing-masing pasangan benda uji pada<br />

umur uji diatas perlu disesuaikan sehingga data kuat<br />

tekan rata-rata masing-masing pasangan benda uji<br />

pada umur uji tersebut menjadi data kuat tekan benda<br />

uji silinder umur 28 hari<br />

Penyesuaian data tersebut dapat dilakukan sebagai<br />

berikut :<br />

• Bila benda uji yang diperiksa adalah kubus sisi<br />

150 mm umur 28 hari, maka kuat tekannya<br />

disesuaikan dengan mengalikannya dengan nilai<br />

0.83.<br />

• Bila benda uji yang diperiksa adalah silinder tapi<br />

denga umur belum mencapai 28 hari maka kuat<br />

tekannya disesuaikan dengan membaginya<br />

dengan nilai konversi yang didapat berdasarkan<br />

hasil percobaan nyata di laboratorium terhadap<br />

benda uji yang dirawat di laboratorium dan atau<br />

di lapangan untuk beton yang sama pada umur<br />

yang bersangkutan. Bila hal tersebut diatas tidak<br />

mungkin dilaksanakan maka nilai konversi<br />

seperti pada tabel-1 dapat digunakan. Untuk<br />

umur benda uji antara, nilai konversi dapat<br />

ditentukan denga cara interpolasi dari nilai yang<br />

ada dalam tabel.<br />

• Bila benda uji yang diperiksa adalah kubus sisi<br />

150 mm dengan umur belum mencapai 28 hari,<br />

kuat tekannya disesuaikan dengan kedua cara<br />

tersebut diatas.<br />

Setelah semua data kuat tekan rata-rata masingmasing<br />

pasangan benda uji pada umur uji<br />

dikonversikan menjadi kuat tekan silinder umur 28<br />

hari, data yang didapat adalah data hasil uji kuat<br />

tekan atau dapat juga disebut data hasil uji.<br />

MUTU PELAKSANAAN<br />

Nilai-nilai sejumlah data hasil uji yang<br />

didapat dengan cara pengambilan data hasil uji<br />

seperti diatas menyebar sekitar suatu nilai rata-rata<br />

tertentu. Penyebaran ini kecil atau besar tergantung<br />

pada tingkat kesempurnaan pelaksanaan pekerjaan<br />

betonnya.<br />

Dengan menganggap bahwa nilai-nilai hasil<br />

uji tersebut menyebar normal maka ukuran dari besar<br />

kecilnya penyebaran dari nilai-nilai hasil uji tersebut,<br />

yang juga menjadi ukuran dari mutu pelaksanaannya<br />

adalah deviasi standar menurut rumus:<br />

n<br />

∑ (x i - X) 2<br />

i=1<br />

s = √ ---------------------<br />

n - 1<br />

dengan, s = deviasi standar<br />

x i = nilai masing-masing hasil uji<br />

X = nilai hasil uji rata-rata menurut rumus:<br />

n<br />

∑ x i<br />

i=1<br />

X = -------------<br />

n<br />

dengan, n = jumlah hasil uji yang diambil, minimum 30<br />

Bila hasil uji yang terkumpul tidak<br />

mencapai jumlah 30, tetapi hanya ada sebanyak 15<br />

sampai 29 hasil uji maka nilai deviasi standar adalah<br />

perkalian deviasi standar yang dihitung dari hasil uji<br />

yang ada dengan faktor pengali seperti tercantum<br />

dalam tabel-2.<br />

Untuk jumlah data hasil uji antara, nilai<br />

faktor pengali dapat diambil denga cara interpolasi<br />

dari nilai-nilai yang ada dalam tabel tersebut.<br />

Sebagai bandingan tentang mutu<br />

pelaksanaan yang tercapai, tabel-3 berikut<br />

menyajikan berbagai mutu pelaksanaan yang diukur<br />

dengan deviasi standar pada berbagai volume<br />

pekerjaan.<br />

MUTU BETON<br />

Dengan menganggap bahwa nilai-nilai hasil uji<br />

menyebar normal dan kemungkinan adanya nilai<br />

hasil uji yang lebih kecil dari nilai kuat tekan yang<br />

disyaratkan (f′c rencana) adalah 5 %, maka mutu<br />

beton yang dicapai adalah : f′c = X - 1,64 s<br />

Bila data hasil uji yang terkumpul tidak mencapai<br />

jumlah 15 maka mutu beton yang dicapai adalah :<br />

f’c = (x - 12) Mpa.<br />

Di samping itu juga harus menjadi perhatian<br />

bahwa tingkat kekuatan atau mutu beton dikatakan<br />

tercapai dengan memuaskan apabila :<br />

• Nilai rata-rata dari semua pasangan hasil uji<br />

yang terdiri dari empat hasil uji yang berturutan<br />

tidak kurang dari (f’c + 0,82 s).<br />

• Tidak satu pun dari hasil uji mempunyai nilai di<br />

bawah 0,85 f’c.<br />

Dengan membandingkan mutu beton<br />

pelaksanaan yang dihitung dengan cara seperti diatas<br />

dengan mutu beton rencana maka mutu beton dari<br />

pekerjaan beton yang telah dilaksanakan dapat<br />

ditentukan apakah memenuhi syarat atau tidak.<br />

Setiap hasil pemeriksaan 30 hasil uji atau<br />

sejumlah hasil uji seperti di atas dipakai sebagai<br />

dasar untuk mempertimbangkan apakah perlu<br />

diadakan perubahan dalam campuran beton, cara<br />

110


Pemeriksaan Mutu Beton dan Mutu Pelaksanaan Pekerjaan Beton<br />

A. Rajamin Tanjung<br />

pelaksanaan atau nilai deviasi standar rencana untuk<br />

pekerjaan selanjutnya.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. American Society for Testing and Materials<br />

(ASTM), “Method of Sampling Freshly Mixed<br />

Concrete” (ASTM C172 – 82).<br />

2. American Society for Testing and Materials<br />

(ASTM), “Test Method for Compressive<br />

Strength of Cylindrical Concrete Speciment”<br />

(ASTM C39 – 86).<br />

3. Departemen Pekerjaan Umum, “Pedoman<br />

Beton 1988 (Draft) Badan Penelitian dan<br />

Pengembangan PU”. 1989.<br />

4. Departemen Pekerjaan Umum, “Tatacara<br />

Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal<br />

SK SNI T – 15 – 1990 – 03”. Yayasan LPMB<br />

Bandung 1991.<br />

5. Yayasan Dana Normalisasi Indonesia,<br />

“Peraturan Beton Bertulang Indonesia 1971 NI–<br />

2 Dep. PUTL Dirjen Cipta Karya”. LPMB<br />

1976.<br />

111


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Tabel 1.<br />

Perbandingan kuat tekan beton pada berbagai-bagai umur untuk benda uji silinder yang dirawat di<br />

laboratorium (dari Tabel 4.1.3.2 Pedoman Beton 1988)<br />

Umur Beton<br />

(hari)<br />

3 7 14 21 28<br />

Semen Portland Type 1 0,46 0,70 0,88 0,96 1,00<br />

Tabel 2. Faktor pengali deviasi standar bila data hasil uji yang tersedia kurang dari 30<br />

(dari Tabel 1 SK SNI – T – 15 – 1990 – 03)<br />

Jumlah Hasil Uji<br />

Faktor Pengali Deviasi Standar<br />

15 1,16<br />

20 1,08<br />

25 1,03<br />

30 atau lebih 1,00<br />

Tabel 3. Mutu pelaksanaan diukur dengan deviasi standar (dari Tabel 4.5.1 PBI – 1971)<br />

Volume Pekerjaan Deviasi Standar (kg/cm 2 )<br />

Sebutan Jumlah Beton (m 3 ) Baik Sekali Baik Dapat Diterima<br />

Kecil < 1000 45 < s < 55 55 < s < 65 65 < s < 85<br />

Sedang 1000 – 3000 35 < s < 45 45 < s < 55 55 < s < 75<br />

Besar > 3000 25 < s < 35 35 < s < 45 45 < s < 65<br />

112


Analisa Keandalan terhadap Penurunan pada Pondasi Jalur<br />

Anwar Harahap<br />

ANALISA KEANDALAN TERHADAP PENURUNAN PADA PONDASI JALUR<br />

Anwar Harahap<br />

Jurusan Teknik Sipil USU<br />

Abstrak: Perencanaan secara tradisional dari pondasi jalur (strip footing) untuk tanah berpasir diperoleh<br />

pertama sekali dari hasil percobaan pada sejumlah lokasi yang terbatas untuk memperoleh besar modulus<br />

elastis (contoh Cone Penetration / CPT ). Kemudian dari perencanaan diperoleh lebar pondasi B . Pada tanah<br />

yang nyata, tanah mungkin dapat ataupun tidak mewakili modulus elastis pada pondasi pada ruang yang<br />

bervariasi (spatial variability). Pada tulisan ini akan dibuat suatu perhitungan dengan metode Monte Carlo<br />

pada suatu massa tanah di ruang yang bervariasi. Hasil penurunan pondasi dibandingkan untuk penurunan<br />

yang dismulasikan dengan hasil aktual dengan menggunakan metode elemen hingga.<br />

Kata kunci : Penurunan Pondasi, Pondasi Jalur, Keandalan, Ruang yang Bervarisi.<br />

PENDAHULUAN<br />

Pada tulisan ini akan disajikan, keandalan dari suatu<br />

pondasi dengan modulus elastis efektif pada ruang<br />

yang acak. Modulus efektif dapat menjadi modulus<br />

elastis lapangan pada penurunan konsolidasi.<br />

Pada modulus elastis lapangan E s<br />

(x) dimana<br />

x adalah posisi ruang. Poison rasio diasumsikan<br />

~<br />

konstan υ =0.35. Suatu analisa dua dimensi dibuat di<br />

sini pada pondasi jalur dengan asumsi panjang ke<br />

luar bidang datar tak terhingga diabaikan, walaupun<br />

penurunan dari pondasi yang sebenarnya umumnya<br />

bergantung pada masing-masing dimensi pondasi<br />

yang direncanakan. Suatu pembagian (mesh) elemen<br />

hingga menunjukkan pondasi yang terletak pada<br />

tanah dengan modulus elastis lapangan acak, dimana<br />

daerah yang terang adalah (x) dengan nilai yang<br />

E s<br />

lebih rendah, seperti ditunjukkan pada gambar 1:<br />

Gambar 1. Pembagian elemen hingga yang terdeformasi<br />

dengan contoh modulus elasis lapangan<br />

2. Metodologi Perencanaan Penurunan<br />

Metode perencanaan adalah berdasarkan pada teori<br />

Janbu, dengan formula untuk penurunan pada<br />

qB<br />

pondasi jalur δ = μ . μ (1)<br />

0 1.<br />

*<br />

E s<br />

~<br />

~<br />

Dimana<br />

q adalah tegangan vertikal (KN/m 2 )<br />

B adalah lebar pondasi.<br />

*<br />

E<br />

s<br />

adalah beberapa pengukuran yang ekivalen<br />

dari modulus elastis tanah<br />

μ<br />

0<br />

adalah faktor pengaruh untuk<br />

kedalaman D dibawah permukaan tanah<br />

adalah faktor pengaruh untuk pondasi<br />

dengan lebar B dan kedalaman lapisan<br />

tanah H<br />

μ<br />

1<br />

Kasus utama dianggap bahwa pondasi terletak pada<br />

permukaan lapisan tanah ( μ<br />

0<br />

=1) dengan<br />

kedalaman H =6m. Beban pondasi diasumsikan<br />

sebesar P = 1250 KN per meter panjang.<br />

Dengan memasukkan harga P maka persamaan 1<br />

dapat dituliskan sebagai berikut :<br />

P<br />

δ = μ . μ<br />

(2)<br />

0 1.<br />

*<br />

E s<br />

Karena tujuan dari penulisan sebagai perbandingan<br />

dengan penurunan pondasi pada teori Janbu, dengan<br />

analisa elemen hingga yang linier. Dengan<br />

menggunakan Modulus Elastis ruang yang konstan<br />

E =30 MPa untuk variasi rasio H / B . Jadi di sini<br />

*<br />

s<br />

dapat dilihat , suatu garis lurus yang mendekati yang<br />

diperkirakan sebesar :<br />

H<br />

μ<br />

1<br />

= a + b ln( )<br />

(3)<br />

B<br />

dimana untuk kasus dengan anggapan Poison rasio<br />

=0.35, Garis yang cocok dan terbaik<br />

mempunyai a = 0. 4294 danb =0.5071, seperti<br />

ditunjukkan pada gambar2. Persamaan penurunan<br />

dapat dituliskan sebagai berikut :<br />

113


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

H P<br />

δ = μ<br />

0<br />

[ a + b ln( )].<br />

(4)<br />

B<br />

*<br />

E s<br />

Gambar 2. Pengaruh rasio H/B pada faktor<br />

pengaruh penurunan μ<br />

1<br />

*<br />

Kasus dimana Es<br />

diperkirakan dengan contoh tanah<br />

pada beberapa tempat untuk pondasi. Misalkan<br />

^<br />

H1E1<br />

+ H<br />

2E2<br />

+ ... EnH<br />

n<br />

E s = (5)<br />

H<br />

dimana<br />

H adalah tebal tanah dari ke i lapisan dan<br />

i<br />

H adalah total tebal dari seluruh lapisan.<br />

Pada tulisan ini lapisan dianggap tunggal, walaupun<br />

ruang yang bervariasi mungkin nampak pada<br />

lapisan., jadi itu diasumsikan bahwa n sampel akan<br />

diambil pada ruang yang sama diatas kedalaman<br />

H sepanjang garis vertikal di pusat dari pondasi.<br />

Pada kasus ini modulus elastis dapat ditulis menjadi<br />

rata-rata aritmetika sebagai berikut :<br />

^ n<br />

1<br />

E = ∑ E i<br />

n i=<br />

1<br />

(6)<br />

Pengukuran kesalahan tidak dilakukan karena tujuan<br />

di sini adalah untuk meperkirakan penurunan pada<br />

kondisi yang bervariasi dengan pengamatan secara<br />

aktual (nyata) dari modulus elastis tanah pada<br />

beberapa titik.<br />

Menggunakan elastis modulus yang diperkirakan,<br />

prediksi penurunan pondasi menurut metode Janbu<br />

menjadi :<br />

⎛ H ⎞ P<br />

δ<br />

pred<br />

= μ0[ a + b ln⎜<br />

⎟.<br />

]<br />

(7)<br />

^<br />

⎝ B ⎠ E s<br />

Jika maksimum penurunan yang diijinkan adalah 40<br />

mm untuk perencanaan , maka<br />

δ<br />

pred<br />

= δ<br />

maks<br />

= 0. 04 m , persamaan 7 dapat<br />

diselesaikan untuk memperoleh lebar pondasi<br />

B yang diperlukan sebagai berikut :<br />

1 Esδ<br />

B = H exp{ − (<br />

b Pμ<br />

^<br />

maks<br />

0<br />

− a)}<br />

(8)<br />

Karena modulus elastis lapangan<br />

(random), dengan harga<br />

berarti nilai B acak.<br />

E^<br />

s<br />

E s<br />

(x) adalah acak<br />

~<br />

perkiraan acak maka ini<br />

Pekerjaan sekarang adalah untuk menaksir distribusi<br />

dari harga penurunan yang aktual pada tiap pondasi<br />

yang direncanakan. Jika persamaan prediksi akurat,<br />

maka diharapkan kira-kira 50% dari penurunan<br />

pondasi lapangan lebih dari δ maks<br />

sementara sisa<br />

yang 50% akan lebih kecil dari penurunan lapangan.<br />

Dengan catatan bahwa ini adalah masalah<br />

probabilitas, misalkan pada lapangan acak (x)<br />

telah dibuat sampel pada n titik untuk memperoleh<br />

disain estimasi s . Dengan memberikan harga<br />

estimasi ini, diperoleh B dengan persamaan 8. Akan<br />

tetapi karena lapangan yang sebenarnya adalah ruang<br />

E^<br />

yang bervariasi, s mungkin dapat mewakili elastis<br />

modulus tanah yang sebenarnya jadi dibuat suatu<br />

probabilitas untuk memperoleh perkiraan penurunan<br />

yang sebenarnya.<br />

E^<br />

3. Perkiraan probabilitas dari penurunan yang<br />

bervariasi.<br />

Penurunan yang bervariasi akan<br />

diperkirakan dengan simulasi Monte Carlo. Detail<br />

dari model elemen hingga dan simulasi untuk<br />

lapangan yang acak dapat dibuat dengan membagi<br />

beberapa elemen.<br />

Model elemen hingga adalah 60 elemen lebar dan 40<br />

elemen dalam, dengan ukuran nominal elemen<br />

Δ x = Δy =0.15 m, memberikan luas daerah tanah<br />

9 m lebar dan 6 m dalam. Simulasi Monte Carlo<br />

mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :<br />

1. Tentukan daerah acak dari modulus elastis ratarata<br />

lokal menggunakan metode Local Average<br />

Subdivision (Sub pembagian lokal rata-rata)<br />

(Fenton.dan Vanmarcke)<br />

2. Sampel acak pada lapangan secara virtual pada 4<br />

elemen langsung di bawah pusat pondasi (pada<br />

kedalaman 0, H/3, 2H/3 dan H). Kemudian hitung<br />

modulus elastis yang diestimasi s , sebagai<br />

harga rata-rata aritmetika.<br />

3. Hitung harga lebar pondasi yang diperlukan<br />

B dengan persamaan 8.<br />

4. Atur masing-masing jumlah elemen η B<br />

terletak<br />

dibawah pondasi pada model elemen hingga dan<br />

lebar elemen, Δx<br />

seperti = B = η Δ B<br />

x . Catatan<br />

bahwa model elemen hingga mengasumsikan<br />

bahwa pondasi adalah jumlah bilangan bulat dari<br />

elemen lebar. Karena B dihitung dengan<br />

persamaan 8 adalah keadaan menerus yang<br />

bervariasi, beberapa pengaturan dari<br />

E^<br />

E s<br />

~<br />

114


Analisa Keandalan terhadap Penurunan pada Pondasi Jalur<br />

Anwar Harahap<br />

Δx<br />

diperlukan. Harga nilai dari Δx<br />

dikekang dan<br />

terletak antara (3/4)0.15 dan (4/3)0.15 untuk<br />

menghindari aspek rasio elemen yang berlebihan<br />

( Δy<br />

ditahan dengan jepit pada 0.15 m terhadap H<br />

= 6 m). Dengan catatan juga daerah acak<br />

digenerate lagi terhadap elemen-elemen yang<br />

diatur, jadi sedikit akurasi akan hilang terhadap<br />

statistik rata-rata lokal. Pada akhirnya harga<br />

sebenarnya dari B yang digunakan dikekang jadi<br />

pondasi kurang dari 4 elemen lebar atau kurang<br />

dari 48 elemen lebar keseluruhan.<br />

5. Gunakan rumusan elemen hingga untuk<br />

menghitung penurunan simulasi δ<br />

sim<br />

.yang akan<br />

memberikan penurunan aktual pada modulus<br />

elastis lapangan yang bervariasi.<br />

6. Ulangi langkah (1) η<br />

sim<br />

sebanyak 100 kali untuk<br />

memberikan 100 realisasi dari δ<br />

sim<br />

.<br />

Rangkaian realisasi dari δ sim<br />

dapat dibuat analisa<br />

secara statistik untuk menentukan keadaan fungsi<br />

densitas probabilitas (dikondisikan pada s ).<br />

Modulus elastis lapangan diasumsikan menjadi<br />

distribusi secara log-normal dengan parameter.<br />

2<br />

2<br />

σ = ln(1 V ) ,<br />

ln E<br />

+<br />

S<br />

1 2<br />

μ<br />

ln E<br />

= ln( μ<br />

E<br />

) − σ<br />

(9)<br />

S<br />

S<br />

ln E<br />

2<br />

dimana V = σ<br />

E S<br />

/ μ<br />

E S<br />

, adalah koefisien variasi.<br />

Karena ( x)<br />

adalah distribusi secara log-normal<br />

E s<br />

~<br />

logaritmanya adalah distribusi normal, dan E s<br />

( x)<br />

~<br />

dapat diperoleh daerah acak (random) Gauss melalui<br />

transformasi sebagai berikut :<br />

Es<br />

( x)<br />

= exp{ μ<br />

ln E ln<br />

G(<br />

x)}<br />

~<br />

S<br />

+ σ<br />

(10)<br />

ES<br />

~<br />

dimana ( ) adalah rata-rata nol.<br />

G<br />

x<br />

~<br />

Persamaan Gauss yang diasumsikan mempunyai<br />

suatu korelasi Markov dengan fungsi korelasi sebagai<br />

2τ<br />

berikut : ρ(<br />

τ ) = exp{ − } (11)<br />

θ ln E<br />

dimana τ adalah jarak antara 2 titik pada lapangan<br />

dan θ<br />

ln E<br />

adalah skala fluktuasi didefinisikan sebagai<br />

jarak pemisahan melewati 2 titik ( ) . Daerah<br />

E S<br />

acak telah diasumsikan adalah isotropis pada tulisan<br />

awal.<br />

Simulasi dibentuk dengan modulus elastis statistik<br />

lapangan yang bervariasi. Modulus elastis ditetapkan<br />

pada 30 MPa, sementara koefisien variasi, V<br />

bervarisi dari 0.1 ke 1.0 dan skala fluktuasi,<br />

θ bervarisi dari 0.1 sampai 15.<br />

ln E<br />

E^<br />

x<br />

~<br />

4. Prediksi dari rata-rata dan varians penurunan<br />

Secara hipotetis bahwa hubungan teori Janbu adalah<br />

cukup akurat, itu dapat digunakan untuk<br />

memprediksi penurunan yang aktual yang<br />

disimulasikan ( δ<br />

sim<br />

) dengan menggunakan<br />

persamaan 4.<br />

H P<br />

δ = μ<br />

0<br />

[ a + b ln( )].<br />

*<br />

B E s<br />

yang memprediksi δ<br />

sim<br />

untuk tiap realisasi jika harga<br />

*<br />

E<br />

S<br />

dapat ditemukan.<br />

Satu kesulitan adalah bahwa harga B pada<br />

persamaan (4) juga diturunkan dari sampel modulus<br />

elastis lapangan yang acak. Ini berarti bahwa<br />

δ adalah fungsi baik<br />

E * S<br />

dan<br />

E^<br />

s<br />

, juga bahwa<br />

*<br />

ES<br />

adalah rata-rata geometrik lokal di atas persegi<br />

ukuran acak B x H . Jika persamaan (8)<br />

disubstitusi ke dalam persamaan (4), maka δ dapat<br />

dinyatakan sebagai berikut :<br />

^<br />

ES<br />

δ = δ<br />

(12)<br />

* max<br />

ES<br />

*<br />

Karena E<br />

S<br />

adalah rata-rata geometrik , di atas<br />

daerah acak dari ukuran pondasi B x H dari<br />

lapangan acak yang terdistribusi secara log-normal<br />

dengan parameter.<br />

*<br />

E[ln<br />

E S<br />

B ] = μ<br />

(13a)<br />

ln E S<br />

*<br />

2<br />

Var[ln<br />

ES<br />

B ] = γ ( B,<br />

H)<br />

σ<br />

ln E<br />

(13b)<br />

S<br />

dimana γ ( B,<br />

H ) adalah fungsi varians (Van-<br />

Marcke, 1984) yang memberikan pengurangan pada<br />

varians terhadap rata-rata aritmetik lokal . Fungsi<br />

varians didefinisikan sebagai koefisien korelasi ratarata<br />

setiap pasang titik di lapangan.<br />

B B H H<br />

∫∫∫∫<br />

ρ(<br />

x1<br />

− x2<br />

, y1<br />

− y2<br />

) dy1dy2dx1dx2<br />

0 0 0 0<br />

γ ( B,<br />

H ) =<br />

2<br />

( H B)<br />

dimana, untuk fungsi korelasi isotropis dengan<br />

2 2<br />

anggapan ini, ρ ( x , y)<br />

= ρ(<br />

x + y ) = ρ(<br />

τ ) lihat<br />

persamaan (11).<br />

Fungsi varians ditentukan secara numerik dengan<br />

menggunakan qudrature Gauss. Parameter distribusi<br />

*<br />

yang tak terkondisi dari ln E S<br />

diperoleh dengan<br />

mengambil ekspektasi dari persamaan (13) terhadap<br />

B :<br />

μ = (14a)<br />

μl ln ES<br />

* ln E S<br />

2<br />

2<br />

' E[<br />

γ ( B,<br />

H )] σ<br />

ln ES ln E S<br />

σ = (14b)<br />

115


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

dimana pendekatan orde pertama dari<br />

E[ γ ( B,<br />

H )] adalah :<br />

E[ γ ( B,<br />

H)]<br />

≅ γ ( μ , H)<br />

(15)<br />

B<br />

Walaupun pendekatan orde kedua terhadap<br />

E[ γ ( B,<br />

H )] diperlukan tetapi secara eksak tidak<br />

berbeda jauh dengan orde pertama.<br />

Jumlah acak (random) nampak pada bagain kanan<br />

dari persamaan (12) adalah s , yang mempunyai<br />

rata-rata dari n pengamatan adalah :<br />

^ n<br />

1<br />

E s = ∑ E i<br />

n i=<br />

1<br />

dimana Ei<br />

adalah modulus elastis yang diamati. Itu<br />

diasumsikan bahwa contoh modulus elastis sampel<br />

didekati dengan ukuran elemen hingga yang sama<br />

(sebagai contoh pengukuran konus CPTdengan<br />

diameter konus 0.15). Dua bagian yang pertama dari<br />

^<br />

E adalah<br />

S<br />

μ ^ = μ<br />

(16a)<br />

ES<br />

2<br />

ES<br />

ES<br />

1<br />

n n<br />

2<br />

( )<br />

2<br />

ij<br />

σ<br />

ES<br />

n i= 1 j = 1<br />

2<br />

γ ( Δx,<br />

H ) σ<br />

ES<br />

σ = ∑∑ρ<br />

≅ (16b)<br />

dimana ρij<br />

adalah koefisien korelasi antara sampel<br />

ke i dan j.<br />

Jika kita dapat mengasumsikan bahwa ES<br />

adalah<br />

akhir pendekatan secara terdistribusi log-normal<br />

dengan parameter diberikan pada persamaan (9)<br />

kemudian δ pada persamaan (12) juga akan<br />

terdistribusi secara log-normal dengan parameter :<br />

'<br />

μ δ<br />

= μ − μ + ln( max<br />

) (17a)<br />

ln ^ ln E<br />

δ<br />

ln E S<br />

S<br />

2 '<br />

ln E S<br />

2 2 ^<br />

*<br />

σ ln δ = σ ln E S − σ − 2Cov[ln<br />

ES<br />

, ln ES<br />

)<br />

(17b)<br />

suku kovarians dapat dituliskan sebagai berikut :<br />

^<br />

*<br />

Cov[ln<br />

E S<br />

,ln E S<br />

) = σ σ<br />

ln E S<br />

. ρ<br />

ave<br />

(18)<br />

ln E ^ S<br />

dimana ρ<br />

ave<br />

adalah korelasi rata-rata antara setiap<br />

titik pada domain yang didefinisikan ES<br />

dan domain<br />

*<br />

yang didefinisikan E<br />

S<br />

. Ini dapat dinyatakan dengan<br />

bentuk integral dan diselesaikan secara numerik,<br />

tetapi pendekatan yang sederhana disarankan dengan<br />

mengamati bahwa ada beberapa jarak rata-rata antara<br />

sampel dan blok tanah di bawah pondasi<br />

τ sedemikian sehingga ρ = ρ τ ) . Untuk<br />

ave<br />

E^<br />

ave<br />

'<br />

^<br />

^<br />

( ave<br />

kasus dengan H= 6 m, harga yang terbaik didapat<br />

dengan coba-coba (trial dan error) sebesar :<br />

^<br />

τ 0. 1<br />

ave<br />

= μ B<br />

(19)<br />

Akhirnya dua hasil di atas bergantung pada lebar<br />

pondasi rata-rata μ B<br />

. Ini dapat diperoleh dengan<br />

pendekatan berikut. Pertama gunakan logaritma dari<br />

persamaan 8 diperoleh :<br />

1 δ<br />

maks<br />

E<br />

ln B = ln H{<br />

− (<br />

b Pμ<br />

0<br />

dengan 2 keadaan :<br />

^<br />

^<br />

~<br />

S<br />

− a)}<br />

(20)<br />

1 δ<br />

maks<br />

ES<br />

μ<br />

ln B<br />

= ln H{<br />

− ( − a)}<br />

(21a)<br />

b Pμ<br />

δ<br />

σ = ( σ<br />

(21b)<br />

2<br />

max 2<br />

ln B<br />

)<br />

bμ<br />

0.<br />

P<br />

0<br />

2 ^<br />

E S<br />

~<br />

dan karena B adalah non negatif, dapat diasumsikan<br />

pendekatan secara distribusi log-norrnal.menjadi<br />

1<br />

2<br />

μ<br />

B<br />

≅ exp{ μ<br />

ln B<br />

+ σ<br />

ln B}<br />

2<br />

Dengan hasil ini parameter dari penurunan yang<br />

terdistribusi secara log-normal dapat diestimasi<br />

dengan persamaan 17 yang memberikan modulus<br />

elastis lapangan<br />

μ , σ dan θ *<br />

E<br />

E<br />

ln E<br />

S<br />

5. Perbandingan penurunan yang diprediksi dan<br />

yang disimulasi.<br />

Rata-rata log-penurunan, seperti yang diprediksi pada<br />

gambar dengan persamaan 17a ditunjukkan pada<br />

gambar 3 dengan rata-rata sampel diperoleh dari hasi<br />

simulasi minimum (V= 0.1) dan maksimum (V=1.0).<br />

Untuk V kecil, hasilnya sangat baik. Untuk V yang<br />

lebih besar, maksimum kesalahan relatif kira-kira<br />

7%, terjadi pada skala fluktuasi yang lebih kecil.<br />

Gambar 3. Perbandingan rata-rata penurunan<br />

yang diprediksi dan yang disimulasi<br />

116


Analisa Keandalan terhadap Penurunan pada Pondasi Jalur<br />

Anwar Harahap<br />

Varians log-penurunan, seperti yang diprediksi pada<br />

persamaan 17b ditunjukkan pada gambar 4dengan<br />

sampel varians diperoleh dari hasil simulasi untuk<br />

tiga koefisien variasi yang berbeda, V .Secara<br />

keseluruhan varians yang diprediksi dengan yang<br />

disimulasi cukup baik.<br />

Gambar 4. Perbandingan varians penurunan<br />

yang diprediksi dan yang disimulas<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

ASCE (1994). Settlement Analysis, Technical<br />

Engineering and Design Guides, adapted from<br />

the US Army Corps of Engineers, No. 9.<br />

Fenton, G.A. and Griffiths, D.V. (2002).<br />

“Probabilistic Foundation Settlement on<br />

Spatially Random Soil,” ASCE J. Geotech.<br />

Geoenv. Eng., 128(5), 381–390.<br />

Fenton, G.A. and Vanmarcke, E.H. (1990).<br />

“Simulation of Random Fields via Local<br />

Average Subdivision,” ASCE J. Engrg. Mech.,<br />

116(8), 1733–1749.<br />

Fenton, G.A, Zhou Haiying , Jaksa B. Mark,<br />

Griffiths D. V. (2003). “Reliability analysis of a<br />

strip footing ”. Applications of Statistics and<br />

Probability in Civil Engineering, Millpress,<br />

Rotterdam.<br />

Vanmarcke, E.H. (1984). Random Fields: Analysis<br />

and Synthesis, The MIT Press Cambridge,<br />

Massachusetts.<br />

Pada gambar 5 probabilitas hasi yang diprediksi<br />

dengan yang disimulasi menunjukkan bahwa<br />

penrunan yang berlebihan dengan beberapa dari<br />

θ .<br />

δ di atas semua harga V dan *<br />

maks<br />

ln E<br />

S<br />

Gambar 5. Perbandingan probabilitas penurunan<br />

yang diprediksi dan yang disimulas<br />

KESIMPULAN<br />

Dari hasil pada gambar 5 menunjukkan<br />

bahwa prediksi penurunan berdasarkan Janbu yang<br />

diberikan pada persamaan 1 mempunyai keandalan<br />

ketika digunakan dalam perencanaan.. Pada gambar 4<br />

menunjukkan hasil yang baik kecuali pada varians<br />

maksimum yang terjadi pada kira-kira θ<br />

ln E S<br />

≅ 1 .<br />

Jadi jika skala tidak diketahui akan konservatif jika<br />

menggunakan θ 1 .<br />

ln E S<br />

≅<br />

117


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

PENGARUH HARDNES PADA BAJA YANG TERENDAM DALAM AIR LAUT<br />

YANG MENGANDUNG BAKTERI PEREDUKSI SULFAT (SRB)<br />

Jalaluddin<br />

Teknik Kimia Fakultas Teknik <strong>Universitas</strong> Malikussaleh<br />

Baja adalah bahan kontruksi yang paling banyak digunakan, tetapi rawan terhadap lingkungan,<br />

terutama bakteri pereduksi sulfat (SRB), dapat mereduksi sulfat menjadi sulfida dan menyebabkan kualitas baja<br />

menjadi menurun akibat berinteraksi dengan lingkungan. Inhibitor merupakan salah satu metoda yang efektif<br />

untuk mengendalikan kekerasan baja akibat dipengaruhi oleh SRB. Inhibitor-inhibitor yang diharapkan<br />

efektif untuk mengendalikan kekerasan baja dalam lingkungan yang mengandung SRB adalah Glutaraldehid,<br />

yang sudah dikenal sebagai inhibitor yang dapat menginhibisi baja dalam lingkungan asam dan mampu<br />

menghambat metabolisme bakteri, dipilih sebagai inhibitor yang diuji dalam penelitian ini.<br />

Hasil analisa XRD pada produk baja yang terbentuk di permukaan spesimen, menunjukkan bahwa besi<br />

sulfida telah terbentuk, ini membuktikan bahwa reaksi baja dipengaruhi oleh metabolisme SRB, sehingga<br />

mempengaruhi kekuatan baja. Glutaraldehid cukup efektif sebagai biosida untuk SRB, dan dapat mengendalikan<br />

kekerasan baja.<br />

Keywords : Hardness,Glutaraldehid, SRB<br />

LATAR BELAKANG<br />

Kekerasan baja sangat dipengaruhi oleh<br />

kerusakan atau kegagalan material yang disebabkan<br />

oleh reaksi material tersebut dengan lingkungan .<br />

Baja adalah bahan kontruksi yang paling rawan<br />

dalam lingkungan atmosfer , air, air laut, dalam tanah<br />

yang tidak atau mengandung bakteri. Kekerasan baja<br />

yang dipercepat oleh bakteri dapat terjadi pada dasar<br />

tangki timbun BBM, dasar dan dinding bak air laut<br />

sebagai media pendingin , dan pada struktur yang<br />

terlapisi biofilm. Salah satu jenis bakteri yang sudah<br />

dikenal dapat meningkatkan kerusakan logam oleh<br />

lingkungan adalah bakteri pereduksi sulfat (sulphate<br />

reducing bacteria).<br />

Proses perusakan baja akibat bakteri<br />

pereduksi sulfat merupakan proses secara tidak<br />

langsung, karena SRB dengan bantuan hidrogen<br />

2- 2-<br />

mereduksi ion sulfat (SO 4 ) menjadi ion sulfida (S<br />

), yang kemudian akan bereaksi dengan ion besi<br />

(Fe 2+ ) menghasilkan besi sulfida yang berwarna<br />

hitam. Senyawa FeS merupakan produk yang tidak<br />

bersifat pelindung atau protektif. Jika hidrogen yang<br />

digunakan pada reaksi metabolisme SRB berasal dari<br />

reaksi katodik baja, maka dapat diperkirakan bahwa<br />

laju kerusakan baja akan dipercepat oleh aktivitas<br />

metabolisme bakteri pereduksi sulfat.<br />

Karena metabolisme SRB yang dapat meningkatkan<br />

laju kerusakan baja sehingga kekerasan baja menjadi<br />

menurun, melibatkan atom-atom H, maka kerusakan<br />

baja oleh SRB dapat dihambat dengan penambahan<br />

inhibitor yang mampu menghambat reaksi katodik<br />

yang menghasilkan H adsorp . Untuk mengenalikan<br />

kekerasan baja oleh SRB, maka laju pertumbuhan<br />

dan populasi SRB juga harus dikurangi. Pada<br />

umumnya, biosida yang mampu membunuh atau<br />

menghambat pertumbuhan bakteri terdiri dari<br />

senyawa organik.<br />

Berdasarkan pertimbangan diatas, maka jenis<br />

inhibitor organik yang dipilih pada penelitian ini<br />

adalah glutaraldehid , salah satu jenis biosida yang<br />

larut dalam air dan dapat menghambat pertumbuhan<br />

SRB, serta sudah dikenal sebagai inhibitor yang<br />

ampuh baja dalam lingkungan asam. Untuk<br />

mengetahui pengaruh glutaraldehid terhadap<br />

kekerasan baja maupun sebagai biosida terhadap<br />

SRB dalam lingkungan air laut, maka perlu<br />

dilakukan penelitian tentang hal tersebut.<br />

Tujuan Penelitian Pengaruh hardness baja yang<br />

terendam dalam air laut yang mengandung SRB<br />

TINJAUAN PUSTAKA<br />

Bakteri Pereduksi Sulfat (SRB)<br />

Bakteri pereduksi sulfat adalah bakteri yang<br />

dapat memanfaatkan energi dari reduksi sulfat<br />

menjadi sulfida. Mengingat sifatnya anaerob, maka<br />

bakteri ini aktif terutama pada peralatan yang<br />

ditanam didalam tanah. Dalam lingkungan yang<br />

mengandung oksigen juga dapat terjadi kondisi<br />

anaerob, yaitu daerah yang terletak dibawah<br />

endapan-endapan yang terbentuk selama proses<br />

berlangsung. SRB adalah organisma yang obligat<br />

anaerob, namun dapat bertahan hidup dalam waktu<br />

yang cukup lama pada kondisi aerasi yang baik bila<br />

tersedia nutrisi yang berlimpah. Keberadaannya<br />

dapat diketahui dengan karakteristik baunya.<br />

SRB termasuk mikro organisnma mesofilik<br />

karena hidup optimal pada temperatur 25 –<br />

40 o C, meskipun beberapa spesies bakteri dapat<br />

hidup dalam rentang temperatur 4–75 o C. SRB dapat<br />

berkembang dalam lingkungan dengan rentang pH<br />

= 5,5 – 8,5 , namun SRB pada umumnya lebih suka<br />

berada dalam lingkungan yang agak basa.<br />

118


Pengaruh Hardnes pada Baja yang Terendam dalam Air Laut yang Mengandung Bakteri Pereduksi Sulfat (SRB)<br />

Jalaluddin<br />

2.3 Mekanisme Kerusakan logam oleh bakteri<br />

Oleh SRB<br />

Proses perusakan baja oleh bakteri pereduksi<br />

sulfat berlangsung dalam lingkungan anaerob.<br />

Spesies SRB yang paling banyak ditemukan dalam<br />

peristiwa mikrobiologi ialah Desulfovibrio<br />

Desulfuricans.<br />

Menurut Kuhr dan Vlugt (27) mekanisme kerusakan<br />

baja oleh SRB berlangsung dengan tahapan reaksi<br />

sebagai berikut:<br />

reaksi anodik 4 Fe 4 Fe 2+ + 8 e<br />

dissosiasi air 8 H 2 O 8 H + + 8 OH -<br />

reaksi katodik 8 H + + 8 e 8 H<br />

2-<br />

depolarisasi oleh SRB SO 4 + 8 H S 2- + 4 H 2 O<br />

Fe 2+ + S 2- FeS<br />

3 Fe 2+ + 6OH - 3 Fe(OH) 2<br />

Reaksi keseluruhan:<br />

2-<br />

4 Fe + SO 4 + 4H 2 O 3 Fe(OH) 2 + FeS + 2 OH -<br />

2.4 Glutaraldehid dapat menegendalikan<br />

kekerasan baja<br />

Glutaraldehid adalah suatu substansi yang<br />

bila ditambahkan kedalam suatu lingkungan dalam<br />

jumlah kecil, dapat menurunkan laju kekerasan<br />

logam dalam lingkungan. Glutaraldehide adalah<br />

salah satu bahan penghambat yang mudah larut<br />

dalam air, alkohol dan benzene, tidak peka terhadap<br />

sulfur dan compatible dengan bahan kimia lain,<br />

toleran terhadap garam-garam dan kesadahan.<br />

Glutaraldehid ini dapat bereaksi dengan ammonia,<br />

gugus amine primer, dan oxygen scavenger.<br />

Glutaraldehide mempunyai rumus kimia<br />

OHC(CH 2 ) 3 CHO atau disebut juga 1,5 – Pentanadial,<br />

dengan berat molekul 100,13 g/mol<br />

Glutaraldehid merupakan biosida yang<br />

sangat penting, mempunyai dua gugus fungsional,<br />

yang mampu bereaksi atau mengikat dua gugus<br />

amin, yang terhubung dengan jembatan karbon.<br />

Walaupun kemampuan glutaraldehid sebagai biosida<br />

meningkatnya pH, namun stabilitas kimia dari larutan<br />

glutaraldehide dalam lingkungan alkali kurang baik,<br />

sehingga membatasi kemungkinan aplikasinya (1) .<br />

METODOLOGI PENELITIAN<br />

3.1 Langkah-langkah Pelaksanaan percobaan<br />

Diagram alir penelitian Pengaruh hardness<br />

baja yang terendam dalam air laut yang mengandung<br />

SRB. ditunjukkan pada gambar 3.1:<br />

Persiapan<br />

sampel<br />

Pembiakan SRB<br />

Persiapan air laut<br />

Perhitungan Populasi<br />

SRB<br />

Perendaman<br />

Glutaraldehid<br />

Pengukuran Hardnes<br />

Penyusunan laporan<br />

Gambar 3.1. Diagram Alir Percobaan<br />

119


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

3.2 Kebutuhan Alat<br />

Percobaan dilakukan menggunakan gelas kimia bertutup yang berisi air laut , SRB dan glutaraldehid<br />

dalam konsentrasi yang divariasikan. Spesimen baja digantungkan di dalamnya. Skema alat uji perendaman<br />

ditunjukkan pada Gambar 3.2 .<br />

Keterangan:<br />

A : Sampel<br />

B : Penggantung terbuat<br />

dari gelas<br />

C : Gelas kimia<br />

Gambar 3.2 Skema Susunan Alat Perendaman<br />

HASIL PEMBAHASAN<br />

4.1 Kurva Pertumbuhan Bakteri<br />

Pertumbuhan bakteri SRB dalam medium B. Postgate dengan perbandingan volume bahan makanan<br />

terhadap volume inokulum 4:1 digambarkan sebagai fungsi waktu pada Tabel 4.1.<br />

Tabel 4.1. Pertumbuhan Bakteri Pereduksi Sulfat<br />

Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9<br />

Jumlah<br />

bakteri<br />

sel/ml<br />

0,00 2,00E+<br />

02<br />

2,55E+<br />

02<br />

7,32E+<br />

05<br />

7,32E+<br />

05<br />

7,00E+<br />

05<br />

6,21E+<br />

03<br />

4,32E+<br />

02<br />

3,36E+0<br />

2<br />

Berdasarkan Tabel 4.1. di atas terlihat bahwa fasa tumbuh terjadi pada hari ke-2 sampai hari ke – 3, sedangkan<br />

fasa exponensial terjadi pada hari ke- 3 sampai hari ke- 4. Fasa stasioner terjadi pada hari ke 4 hingga hari ke 5,<br />

dilanjutkan dengan fasa kematian setelah hari ke 5. Oleh karena itu SRB yang ditanam kedalam medium air<br />

laut yang digunakan dalam pengujian kekerasan (dengan cara perendaman) diambil dari inokulum pada hari<br />

ke 3, dengan pertimbangan bahwa pertumbuhan bakteri tersebut masih dalam fasa eksponensial.<br />

4.2 Pengaruh Konsentrasi SRB Terhadap Kekerasan Baja<br />

Hubungan kekerasan baja waktu perendaman, tanpa dan dengan menggunakan glutaraldehid dapat kita<br />

lihat pada Tabel 4.2 ;<br />

120


Pengaruh Hardnes pada Baja yang Terendam dalam Air Laut yang Mengandung Bakteri Pereduksi Sulfat (SRB)<br />

Jalaluddin<br />

Tabel 4.2. Hasil Uji kekerasan Baja<br />

No Media Uji kekerasan<br />

HRC<br />

1 Air laut + 3,5x 10 8 SRB/100ml (3M) 82<br />

2 Air laut + 3,5x 10 8 SRB/100ml (6M) 79<br />

3 Air laut + 3,5x10 8 SRB/100ml (9M) 78<br />

4 Air laut + 3,5x10<br />

Glutaraldehid (3M)<br />

5 Air laut + 3,5x10<br />

Glutaraldehid (6 M)<br />

6 Air laut + 3,5x10<br />

Glutaraldehid (9M<br />

7 Air laut + 3,5x10<br />

Glutaraldehid (3M)<br />

8 Air laut + 3,5x10<br />

Glutaraldehid (6 M)<br />

9 Air laut + 3,5x10<br />

Glutaraldehid (9 M)<br />

10 Air laut + 3,5x10<br />

Glutaraldehid (3 M)<br />

11 Air laut + 3,5x10<br />

Glutaraldehid (6 M)<br />

12 Air laut + 3,5x10<br />

Glutaraldehid (9 M)<br />

8<br />

8<br />

8<br />

8<br />

8<br />

8<br />

8<br />

8<br />

8<br />

SRB/100ml +50 ppm<br />

SRB/100ml +50 ppm<br />

SRB/100ml +50 ppm<br />

SRB/100ml +100ppm<br />

SRB/100ml +100 ppm<br />

SRB/100ml +100 ppm<br />

SRB/100ml +150 ppm<br />

SRB/100ml +150 ppm<br />

SRB/100ml +150 ppm<br />

86<br />

86,5<br />

87<br />

86.5<br />

87<br />

88<br />

88,5<br />

90<br />

98<br />

Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa,<br />

kekerasan baja dalam air laut menurun apabila<br />

waktu perendaman bertambah dengan konsentrasi<br />

SRB dalam air laut. Pengendalian kekerasan baja<br />

dapat terjadi pada <strong>sistem</strong> yang ditambah<br />

glutaraldehid untuk waktu perendaman > 3 minggu..<br />

Mekanisme kekerasan baja dapat dijelaskan. Makin<br />

besar konsentrasi glutaraldehid makin cepat<br />

membunuh bakteri sehingga populasi SRB dapat<br />

diantisipasi. mengingat bahwa bentuk serangan baja<br />

oleh SRB adalah sanagat kuat sehingga menebabakan<br />

kehilangan berat semakin cepat sehingga dapat<br />

mempengaruhi kekerasan baja tersebut. Kekerasan<br />

baja dalam air laut ditambah SRB dengan dan tanpa<br />

inhibitor, meningkat dengan waktu perendaman.<br />

Dari hasil perhitungan MPN , diketahui<br />

bahwa populasi SRB berkurang dengan waktu<br />

perendaman. Dengan penambahan glutaraldehid ,<br />

SRB hampir tereliminasi setelah waktu perendaman<br />

3 minggu. Berdasarkan data-data tersebut, dapat<br />

disimpulkan bahwa metabolisme SRB yang<br />

dibiakkan dalam medium B. Postgate lebih banyak<br />

menghasilkan H 2 S dari pada senyawa sulfida yang<br />

lain, sehingga laju korosi baja meningkat walaupun<br />

populasi SRB berkurang. Produk korosi baja oleh<br />

H 2 S berupa endapan FeS yang kurang protektif<br />

dilingkungan asam. sehingga proses korosi terus<br />

berlanjut.<br />

4.3. Pengaruh Glutaraldehid terhadap Populasi<br />

SRB<br />

Pengaruh glutaraldehid terhadap populasi<br />

bakteri dalam lingkungan air laut yang ditambah<br />

SRB dapat dilihat pada Gambar 4.1.<br />

Populasi SRB (SRB/m l)<br />

100000000<br />

10000000<br />

1000000<br />

100000<br />

10000<br />

1000<br />

100<br />

10<br />

1<br />

0 2 4 6 8 10<br />

Waktu (minggu)<br />

0 ppm glutaraldehid + 3,5 X 10^6 SRB/ml<br />

0 ppm glutaraldehid + 9,9 X 10^7 SRB/ml<br />

50 ppm glutaraldehid + 3,5 x 10^6 SRB/ml<br />

50 ppm glutaraldehid + 9,9 x 10^7 SRB/ml<br />

100 ppm glutaraldehid + 3,5 x 10^6 SRB/ml<br />

100 ppm glutaraldehid + 9,9 x 10^7 SRB/ml<br />

150 ppm glutaraldehid + 3,5 x 10^6 SRB/ml<br />

150 ppm glutaraldehid + 9,9 x 10^7 SRB/ml<br />

Gambar 4.6 Kurva hubungan konsentrasi<br />

glutaraldehid terhadap populasi SRB dalam media air<br />

laut + 3,5 x 10 6 SRB/ml dan 9,9 x 10 7 SRB/ml<br />

121


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Dari hasil perhitungan MPN SRB terlihat<br />

bahwa populasi SRB dalam air laut berkurang secara<br />

signifikan dengan waktu perendaman. Penambahan<br />

glutaraldehid dalam <strong>sistem</strong> dapat mengurangi<br />

populasi SRB dengan waktu perendaman.<br />

Glutaraldehid sebagai biosida dicapai pada<br />

konsentrasi 150 ppm, dimana SRB dapat dieliminasi<br />

seluruhnya dalam waktu perendaman 3 minggu,<br />

untuk konsentrasi awal SRB 3,5 x 10 6 /ml .<br />

Penurunan populasi SRB dalam air laut tanpa<br />

Glutaraldehid menunjukkan bahwa SRB telah<br />

mencapai fasa kematian pada waktu perendaman 3<br />

minggu. Nutrien yang ada dalam air laut alami serta<br />

sampel baja karbon yang direndam, ternyata tidak<br />

mampu memperpanjang masa kehidupan SRB.<br />

Penambahan glutaraldehid (yang ternyata efektif<br />

sebagai biosida ) telah mempercepat kematian SRB.<br />

4.4 Pengaruh Kekerasan Baja<br />

Sampel baja karbon yang telah direndam<br />

dalam air laut mengandung SRB, setelah dikeringkan<br />

tampak seluruhnya tertutup oleh produk berwarna<br />

coklat. Jika lapisan ini dihilangkan, pada lapisan<br />

bawah terdapat padatan yang berwarna hitam . Pada<br />

permukaan spesimen yang direndam dalam air laut +<br />

SRB dapat merusak baja secara merata dan sumuran.<br />

Pada permukaan spesimen yang direndam dalam air<br />

laut + SRB + glutaraldehid 150 ppm , kerusakan<br />

baja terlihat mulai menurun.Fenomena ini<br />

menunjukkan bahwa konsentrasi glutaraldehid 150<br />

ppm belum mencukupi.<br />

4. Douglas, B., Mellwaine, John Diemer (1998),<br />

The Efficacy of Glutaraldehyde Against<br />

Legionella Harboring Protozoa, Journal<br />

Corrosion<br />

5. Grainger,J.M., Lynch, J.M. (1983),<br />

Microbiological & Methods for Environmental<br />

Biotechnology, Academic Press, Inxc, Florida.<br />

6. Hamilton, W.A. (1983) The Sulphate Reducing<br />

Bacteria : Their Phisiology and Consequent<br />

Ecology, The Metals Society, London.<br />

7. P. Bos , J.G. Kuenen (1983), Microbiology of<br />

Sulfur – Oxidizing Bacteria., The Metals<br />

Society, London.<br />

8. R.C.Tapper ., J.R.Smith , I.B.Beech (1997), The<br />

Effect of Glutaraldehyde on The Development<br />

Of Marine Bioflms Formed on Surfaces AIASI<br />

304 Stainless Steel, Journal Corrosion.<br />

9. R.G. Eagar, J. Leder, J.P. Stanley, A.B. Theis<br />

(1998), The Use of Glutaraldehyde for<br />

Microbiological Control in Waterflood Systems.,<br />

Material Perfomance.<br />

10. Storer, Roberta A. (1997), Annual Book of<br />

ASTM Standards, Metal Test Methods and<br />

Analytical Procedures, Volume 03.02, Wear and<br />

Erosion; Metal Corrosion , ASTM 100 Barr<br />

Harbor Drive, West Conshohocken, PA 19428.<br />

11. Winarno FG, Fardiaz Sukandi (1980), Pengantar<br />

Teknologi Pangan, PT.Gramedia, Jakarta.<br />

5. KESIMPULAN<br />

1. Glutaraldehid mampu mengendalikan<br />

kekerasan baja dengan cara menginhibisi<br />

baja pada waktu perendaman 3 Minggu dan<br />

dosis glutaraldehid 150 ppm dan konsentrasi<br />

awal SRB 3,5 x 10^6/ml.<br />

2. Kekerasan baja dalam air laut lebih<br />

dipengaruhi oleh aktivitas bakteri, karena<br />

reaksi dapat berlangsung secara kontinyu.<br />

3. Kekerasan baja dapat diantisipasi dengan<br />

menggunakan glutaraldehid sebagai biosida<br />

terhadap SRB.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. Bessems, E. (1983), Biological Aspect of the<br />

Assesment of Biocides ,The Metals Society,<br />

London.<br />

2. Herbert, B.N., F. D. J. Stott (1980), The Effects<br />

of Pressure and Temperature on Bacteria in<br />

Oilfield Water Injection Systems, The Metals<br />

Society, London<br />

3. Clubley , B.G. (1988), Chemical Inhibitors for<br />

Corrosion Control, Ciba –Geigy Industrial<br />

Chemicals, Royal Society of Chemistry,<br />

Manchester.<br />

122


Analisis Gangguan Hubung Singkat Tiga Phasa pada Sistem Tenaga Listrik dengan Metode Thevenin<br />

Masykur SJ<br />

ANALISIS GANGGUAN HUBUNG SINGKAT TIGA PHASA<br />

PADA SISTEM TENAGA LISTRIK DENGAN METODE THEVENIN<br />

Masykur SJ<br />

Jurusan Teknik Elektro FT USU<br />

Abstrak: Analisis gangguan hubung singkat tiga phasa pada <strong>sistem</strong> tenaga listrik yang mempunyai dua bus<br />

dapat diselesaikan dengan mudah dengan teori rangkaian biasa seperti teori loop, tetapi untuk system dengan<br />

banyak bus akan menjadi rumit bila diselesaikan dengan teori loop tersebut. Untuk <strong>sistem</strong> yang banyak loop atau<br />

dengan kata lain <strong>sistem</strong> yang mempunyai banyak bus akan lebih mudah dengan menggunakan metode Thevenin.<br />

Tulisan ini akan membahas bagaimana menghitung arus hubung singkat tiga phasa pada suatu lokasi gangguan<br />

dengan menggunakan metode Thevenin.<br />

Kata-kata kunci : hubung singkat, metode Thevenin<br />

Pendahuluan<br />

Dalam <strong>sistem</strong> tenaga ada beberapa studi atau<br />

analisis yang harus dilakukan yaitu analisis aliran<br />

beban, analisis stabilitas dan analisis hubung singkat.<br />

Analisis hubung singkat dapat dibagi pula atas<br />

analisis hubung singkat tiga phasa ( simetris ) dan<br />

analisis hubung singkat tak simetris yaitu hubung<br />

singkat satu phasa ke tanah, hubung singkat dua<br />

phasa ke tanah dan hubung singkat dua phasa.<br />

Dalam tulisan ini akan dibahas gangguan hubung<br />

singkat tiga phasa, karena jenis gangguan ini<br />

menghasilkan arus gangguan yang paling besar dan<br />

dapat merusak peralatan yang dilalui arus hubung<br />

singkat ini. Arus gangguan ini harus diamankan<br />

dengan cepat beberapa detik setelah gangguan<br />

terjadi. Untuk ini dibutuhkan alat pengaman yaitu<br />

pemutus daya ( circuit breaker ) yang kapasitasnya<br />

ditentukan berdasarkan arus gangguan hubung<br />

singkat tiga phasa pada lokasi gangguan.<br />

Kemampuan dari pemutus daya ini untuk<br />

memutuskan arus hubung singkat disebut dengan<br />

Short Circuit Capacity ( SCC ) dalam satuan MVA (<br />

Mega Volt Ampere ).<br />

Metode Thevenin<br />

Metode Thevenin merupakan salah satu dari<br />

sekian metode untuk menghitung arus listrik pada<br />

salah satu cabang dari rangkaian listrik yang terdiri<br />

dari banyak cabang atau banyak loop (rangkaian<br />

tertutup) atau dengan kata lain <strong>sistem</strong> tenaga listrik<br />

yang banyak bus. Penerapan metode Thevenin dari<br />

suatu rangkaian atau jaringan yang rumit yang terdiri<br />

dari banyak sumber tegangan dan impedansiimpedansi<br />

peralatan , pada prinsipnya adalah<br />

menyederhanakan rangkaian yang rumit tersebut<br />

menjadi suatu model rangkaian ekivalen Thevenin,<br />

yang hanya terdiri dari satu sumber tegangan<br />

Thevenin yang dihubungkan seri dengan sebuah<br />

impedansi Thevenin.<br />

Prosedur untuk mengubah jaringan yang rumit<br />

tersebut menjadi model rangkaian ekivalen Thevenin<br />

yang akan dijelaskan sebagai berikut.<br />

Gambar-1 menunjukkan sebuah lingkaran<br />

yang berisi jaringan satu phasa terdiri dari generator,<br />

impedansi generator, impedansi transmisi dan<br />

impedansi transfomator terhubung satu sama lain<br />

yang menunjukkan model satu phasa dari <strong>sistem</strong><br />

tenaga listrik. Kemudian dari model ini ditentukan<br />

titik F dan N dimana lokasi arus hubung singkat akan<br />

dihitung. Titik N adalah menunjukkan netral atau<br />

titik tegangan nol (zero voltage) dan besar tegangan<br />

antara titik F dan N adalah E yaitu besar tegangan<br />

pada lokasi yang ditinjau dalam hal ini lokasi<br />

gangguan. Maka model rangkaian ekivalen Thevenin<br />

dari rangkaian yang rumit tadi ditunjukkan seperti<br />

gambar-2, yaitu telah direduksi menjadi satu sumber<br />

tegangan E yang terhubung seri dengan satu<br />

impedansi Z.<br />

Selanjutnya bagaimana caranya untuk<br />

mendapatkan tegangan E dan impedansi Z dari<br />

rangkaian yang rumit gambar-1. Untuk menentukan<br />

E adalah sangat mudah, dengan memperhatikan<br />

rangkaian ekivalen Thevenin gambar-2, dimana tidak<br />

ada arus yang mengalir melalui Z bila terminal antara<br />

titik F dan N terbuka ( open circuit ), karena itu tidak<br />

ada tegangan jatuh pada Z. Dengan demikian maka<br />

tegangan E adalah merupakan tegangan antara titik F<br />

dan N. Untuk mendapatkan impedansi Z aadalah<br />

lebih sulit, dimana Z sama dengan impedansi total<br />

yang diukur antara titik F dan N apabila semua<br />

sumber tegangan dibuat sama dengan nol atau<br />

dihubung singkat. Biasanya metode untuk<br />

menghitung harga Z tersebut adalah dengan<br />

mereduksi rangkaian yang rumit gambar-1 dengan<br />

cara :<br />

123


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

• Menjumlahkan impedansi-impedansi yang<br />

terhubung seri, misalnya impedansi Za dsan<br />

Zb menjadi Za + Zb.<br />

• Kombinasikan impedansi-impedansi yang<br />

terhubung parallel menjadi satu impedansi<br />

yang dikumpulkan (lumped impedance),<br />

misalnya Zc dan Zd terhubung paralel<br />

dikumpulkan menjadi satu impendansi yaitu<br />

Zc Zd/Zc+Zd<br />

• Transformasi dari bentuk Δ − Υ dan<br />

sebaliknya.<br />

Base tegangan sisi TL 2-3<br />

=<br />

138<br />

13 ,8 = 138kV<br />

13,8<br />

Base tegangan sisi motor-3<br />

=<br />

6,9<br />

138 x = 6, 9kV<br />

138<br />

3. Hitung impedansi tiap-tiap peralatan dalam perunit<br />

berdasarkan pada base yang dipilih sebagai<br />

berikur :<br />

Generator-1 :<br />

50 ⎛13,2<br />

⎞<br />

X"<br />

= 0,15x<br />

x⎜<br />

⎟ = 0, 343pu<br />

20 ⎝13,8<br />

⎠<br />

2<br />

Prosedur Perhitungan Arus Hubung Singkat<br />

Dengan Metode Thevenin.<br />

Misalkan suatu <strong>sistem</strong> tenaga listrik<br />

mempunyai 3 bus seperti ditunjukkan one line<br />

diagram gambar-3. Data dari generator, motor dan<br />

transformator sebagai berikut.<br />

Generator-1 : 20.000 KVA, 13,2 kV, X ” = 15 %<br />

Generator-2 : 20.000 KVA, 13,2 kV, X "= 15%<br />

Motor-3 : 30.000 KVA, 6,9 kV, X "= 20%<br />

Trafo Y-Y : 20.000 KVA, 13,8/138 kV, X = 10%<br />

Trafo Υ − Δ : 15.000 KVA,<br />

6,9 Δ −138 ΥkV<br />

, X = 10%<br />

Dalam hal ini akan ditentukan besar arus hubung<br />

singkat bila gangguan hubung singkat tiga phasa<br />

terjadi pada bus-3 dengan prosedur sbb :<br />

1. Pilih base daya 50.000 KVA dan base tegangan<br />

138 kV pada sisi transmisi TL 1-2.<br />

2. Tentukan base tegangan pada sisi yang lain yang<br />

dipisahkan transformator sebagai berikut :<br />

Base tegangan sisi generator-1<br />

13,8<br />

= 138 x = 13, 8kV<br />

138<br />

Base tegangan sisi generator-2<br />

=<br />

13,8<br />

138 x = 13, 8kV<br />

138<br />

Base tegangan sisi TL 1-3<br />

= 138<br />

13 ,8x = 138kV<br />

13,8<br />

Generator-2 :<br />

2<br />

50 ⎛13,2<br />

⎞<br />

X"<br />

= 0,15x<br />

x⎜<br />

⎟ = 0, 343pu<br />

20 ⎝13,8<br />

⎠<br />

Motor-3 :<br />

2<br />

50 ⎛ 6,9 ⎞<br />

X"<br />

= 0,20x<br />

x⎜<br />

⎟ = 0, 333pu<br />

30 ⎝ 6,9 ⎠<br />

Transformator Y-Y :<br />

2<br />

50 ⎛13,8<br />

⎞<br />

X"<br />

= 0,10x<br />

x⎜<br />

⎟ = 0, 250 pu<br />

20 ⎝13,8<br />

⎠<br />

Transformator Y-Δ :<br />

50 ⎛ 6,9 ⎞<br />

X"<br />

= 0,10x<br />

x⎜<br />

⎟ = 0, 333pu<br />

15 ⎝ 6,9 ⎠<br />

TL 1-2 :<br />

50.000<br />

X = 40x<br />

= 0, 105pu<br />

2 3<br />

138 .10<br />

TL 1-3 :<br />

50.000<br />

X = 20x<br />

= 0, 053pu<br />

2 3<br />

138 .10<br />

TL 2-3 :<br />

50.000<br />

X = 20x<br />

= 0, 053pu<br />

2 3<br />

138 .10<br />

4. Gambarkan model rangkaian impedansi dari one<br />

line diagram gambar-3, yaitu seperti ditunjukkan<br />

gambar-4.<br />

5. Kemudian rangkaian ekivalen gambar-4<br />

direduksi, hasilnya seperti gambar-5.<br />

2<br />

124


Analisis Gangguan Hubung Singkat Tiga Phasa pada Sistem Tenaga Listrik dengan Metode Thevenin<br />

Masykur SJ<br />

X<br />

12<br />

= j0,250<br />

+<br />

= j0,605pu<br />

j0,105<br />

+<br />

j0,250<br />

j0,605<br />

X<br />

13<br />

= X<br />

23<br />

=<br />

= j0,636<br />

pu<br />

j0,250<br />

+<br />

j0,053<br />

+<br />

j0,333<br />

1<br />

j0,636 j0,636<br />

3 2<br />

X<br />

12<br />

= impedansi antara bus 1-2<br />

X<br />

13<br />

= impedansi antara bus 1-3<br />

X = impedansi antara bus 2-3<br />

23<br />

6. Rangkaian gambar-5 direduksi lagi dengan cara<br />

transformasi bentuk delta (Δ)<br />

ke bentuk bintang<br />

(Υ)<br />

sebagai berikut:<br />

X<br />

10<br />

= X<br />

20<br />

( j0,636)(<br />

j0,605)<br />

=<br />

j0,636<br />

+ j0,605<br />

+ j0,636<br />

= j0,205<br />

pu<br />

( j0,636)(<br />

j0,636)<br />

X<br />

30<br />

=<br />

j0,636<br />

+ j0,605<br />

+ j0,636<br />

= j0,678<br />

pu<br />

j0,343 j0,343 j0,333<br />

1 3 2<br />

Gbr-5 Rangkaian ekivalen setelah direduksi<br />

Rangkaian setelah transformasi<br />

dalm gambar-6.<br />

Δ − Υ ditunjukkan<br />

7. Dari gambar-6 dapat kita gambarkan model<br />

rangkaian ekivalen Thevenin, tergantung dimana<br />

lokasi gangguan. Jika lokasi gangguan terjadi<br />

pada bus-3 maka titik F dan N terletak antara<br />

bus-3 dan bus tegangan nol ( bus zero voltage<br />

)seperti ditunjukkan gambar-7.<br />

8. Tegangan ekivalen Thevenin Vth adalah sama<br />

dengan tegangan pada bus-3 sebelum terjadi<br />

gangguan yaitu 6,9 kV line to line. Dalam harga<br />

perunit besar tegangan tersebut dibagi dengan<br />

base tegangan pada bus-3 atau pada sisi motor.<br />

Gambar-3 One Line Diagram Suatu Sistem Tenaga<br />

Listrik<br />

6,9/ 3<br />

V th<br />

= = 1, 0 pu<br />

6,9/ 3<br />

j0,250<br />

1 3 2<br />

j0,343<br />

j0,053 j0,053<br />

j0,250<br />

j0,105<br />

j0,333 j0,333 j0,250<br />

j0,343 j0,333<br />

1 3 2<br />

Gbr-4 Rangkaian ekivalen satu phasa<br />

j0,250<br />

9. Impedansi ekivalen Thevenin dihitung sebagai<br />

berikut :<br />

X N<br />

= j0,205<br />

+ j0,343<br />

j0,<br />

548pu<br />

01<br />

=<br />

X O N<br />

= j0,205<br />

+ j0,333<br />

j0,<br />

538pu<br />

2<br />

=<br />

Kedua impedansi ini adalah terhubung paralel dan<br />

seri dengan X<br />

03<br />

, maka diperoleh impedansi antara<br />

titik O dan N.<br />

( j0,548)(<br />

j0,538)<br />

X ON<br />

=<br />

+ j0,678<br />

j0,548<br />

+ j0,538<br />

= j0,<br />

950 pu<br />

125


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Rangkaian gambar-7 akan direduksi seperti<br />

ditunjukkan dalam gambar-8.<br />

j0,205<br />

O<br />

j0,205<br />

( j0,343)(<br />

j0,950)<br />

X th<br />

=<br />

=<br />

j0,343<br />

+ j0,950<br />

= j0,<br />

252 pu<br />

2<br />

j 0,326<br />

j1,293<br />

Maka diperoleh rangkaian ekivalen Thevenin seperti<br />

gambar-9.<br />

1<br />

j0,678<br />

3 2<br />

9. Dengan rangkaian ekivalen Thevenin gambar-9<br />

ini dapat dihitung besar arus gangguan hubung<br />

singkat tiga phasa pada bus-3 yaitu :<br />

j0,343<br />

j0,343<br />

j0,333<br />

Vth<br />

1,0<br />

ISC = = = − j3,<br />

968pu<br />

X j0,252<br />

th<br />

1 3 2<br />

Gbr-6 Rangkaian setelah transformasi<br />

j0,205<br />

O<br />

j0,678<br />

Δ − Υ<br />

j0,205<br />

Besar arus gangguan dalam ampere, adalah besaran<br />

perunit dikalikan dengan base arus yaitu :<br />

50.000<br />

= ( − j3,968)<br />

x(<br />

= − j16.600A)<br />

3x6,9<br />

Jadi besar arus gangguan : I SC<br />

= 16, 6kA<br />

I SC<br />

Xth=j0,151pu<br />

F<br />

1<br />

F<br />

3<br />

2<br />

Isc<br />

j0,343 j0,343<br />

Vth<br />

j0,333<br />

Vth=1,0pu<br />

F<br />

N<br />

Gbr-7 Lokasi gangguan pada bus-3<br />

Gbr- 9 Rangkaian Ekivalen Thevenin<br />

N<br />

j0,343<br />

j0,950<br />

KESIMPULAN<br />

1. Gangguan hubung singkat terhadap <strong>sistem</strong><br />

tenaga listrik yang begitu rumit jaringannya<br />

dapat dianalisis secara mudah dengan<br />

menggunakan metode Thevenin.<br />

N<br />

Gbr-8 Rangkaian setelah gambar-7 direduksi<br />

Jadi impedansi ekivalen Thevenin yang diukur dari<br />

terminal F-N adalah :<br />

2. Besar tegangan dan impedansi ekivalen<br />

Thevenin ditentukan berdasarkan letak titik<br />

gangguan yaitu titik F-N. Jika gangguan pada<br />

bus-3 titik F-N adalah antara bus-3 dengan<br />

netral, begitu juga bila gangguannya pada bus<br />

yang lain.<br />

3. Sehubungan dengan besar tegangan dan<br />

impedansi ekivalen Thevenin, besar arus<br />

gangguan juga tergantung dari letak lokasi titik<br />

gangguan.<br />

126


Analisis Gangguan Hubung Singkat Tiga Phasa pada Sistem Tenaga Listrik dengan Metode Thevenin<br />

Masykur SJ<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. Arthur H.Seidman ; Handbook Of Electric<br />

Power Calculations, McGraw-Hill Book<br />

Company, 1984<br />

2. Joseph A. Edminister ; Theory And Problems Of<br />

Electric Circuits, Shaum’s Outline Series,<br />

McGraw-Hill Bokk Company, 1st Edition 1972.<br />

3. William D. Stevenson Jr ; Elements Of Power<br />

System Analysis, 4 th Edition 1982, McGraw-Hill<br />

Inc.<br />

127


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

KONDISI OPTIMUM PADA HIDROLISA PEKTIN<br />

DARI KULIT BUAH PEPAYA<br />

Farida Hanum<br />

Jurusan Teknik Kimia FT. USU<br />

Jl. Almamater No. 1 Kampus USU<br />

Telp/Fax : (061) 8214396<br />

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh temperatur dan waktu perebusan kulit buah<br />

pepaya dalam pembuatan pektin. Proses yang digunakan dalam penelitian ini adalah hidrolisa dengan larutan<br />

asam (larutan HCl) dengan variasi warna kulit buah pepaya, temperatur serta waktu perebusan kulit buah<br />

pepaya. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa temperatur perebusan yang optimum yaitu 95 0 C serta waktu<br />

perebusan yang optimum 40 menit, dan dari kedua jenis warna kulit buah pepaya yaitu kulit buah hijaukekuningan<br />

dan kuning diketahui bahwa kadar pektin terbanyak dihasilkan dari kulit buah kuning (matang).<br />

Kondisi optimum ini ditentukan berdasarkan perlakuan mana yang menghasilkan pektin dengan kadar tertinggi.<br />

Pektin yang dihasilkan pada penelitian ini berbentuk tepung / kerak yang berwarnas putih kekuningan.<br />

Kata Kunci : Hidrolisa, Peptin, Kondisi Optimum<br />

I. PENDAHULUAN<br />

Pektin terkandung dalam seluruh bagian<br />

tanaman pepaya seperti akar, batang, daun, bunga,<br />

dan buah. Namun kandungan pektin terbesar terdapat<br />

pada bagian buahnya. Pada buah muda perekat sel<br />

disebut protopektin atau bakal pektin. Sementara<br />

pada buah matang protopektin tersebut berubah<br />

menjadi pektin. Pektin ini berupa protopektin yang<br />

memecah karena penmgaruh hormon kematangan<br />

buah. Namun kalau buah terlalu matang pektin akan<br />

berubah menjadi asam pektat yang sangat mudah<br />

larut dalam air-buah sehingga menjadilunak. Itulah<br />

sebabnya untuk pembuatan pektin sebaiknya<br />

digunakan buah matang karena kadar pektinnya<br />

tertinggi.<br />

Sifat-sifat pektin<br />

A. Sifat Fisika:<br />

• Tidak larut dalam pelarut organik, akan<br />

tetapi larut dalam air panas pada suasana<br />

asam<br />

• Pektin cenderung membentuk jel (jelly)<br />

kalau ditambahkan air dan gula dalam<br />

keadaan asam. Namun sifat tersebut<br />

tergantung pada jumlah gugus metoksi<br />

dalam molekulnya. Makin tinggi kadar<br />

metoksi maka makin cepat pektin menjadi<br />

gel<br />

• Berupa zat yang berwarna [putih kekuningkuningan<br />

• Pektin berbentuk tepung atau serbuk<br />

B. Sifat Kimia :<br />

• Merupakan senyawa hidrokarbon yang berat<br />

molekulnya besar yang didalamnya terdapat<br />

sisa-sisa asam galakturonat disambung oleh<br />

atom-atom oksigen menjadi sebuah rantai.<br />

Disamping gugus karboksil dalam rantai ini<br />

terdapat juga gugus COOCH 3<br />

• Pektin tidak dapat larut dalam bentuk<br />

kalsium dan garam magnesium<br />

• Pada hidrolisa pektin terbentuk metanol,<br />

arabinosa, D-galaktosa, dan asam D-<br />

galakturonat yaitu sebuah asam aldehid<br />

yang diturunkan dari D-galaktosa<br />

Manfaat Pektin:<br />

A. Industri makanan dan minuman<br />

• Bahan pembuat tekstur yang baik pada<br />

roti dan keju<br />

• Bahan pengental dan stabilizer pada<br />

minuman sari buah<br />

• Bahan pokok pembuatan jelly, selai,<br />

dan marmalade<br />

B. Industri Farmasi :<br />

• Emilsifer bagi preparat cair dan sirup<br />

• Obat diare pada bayi dan anak-anak<br />

seperti dextrimaltose, kaopec, nipectin,<br />

dan intestisan<br />

• Obat penawar racun logam<br />

• Bahan penurun daya racun dan<br />

meningkatkan daya larut obat-obatan<br />

sulfat<br />

• Bahan penyusut kecepatan penyerapan<br />

bermaca-macam obat<br />

• Bahan kombinasi untuk<br />

memperpanjang kerja hormon dan<br />

antibiotik<br />

• Bahan pelapis perban (pembalut luka)<br />

untuk menyerap kotoran dan jaringan<br />

yang rusak atau hancur sehingga luka<br />

tetap bersih dan cepat sembuh<br />

• Bahan hemostatik,oral, atau injeksi<br />

untuk mencegah pendarahan<br />

C. Industri lainnya :<br />

Pektin juga sering digunakan dalam <strong>industri</strong><br />

kosmetika (pasta gigi, sabun, lotion, krim, dan<br />

128


Kondisi Optimum pada Hidrolisa Pektin dari Kulit Buah Pepaya<br />

Farida Hanum<br />

pomade), <strong>industri</strong> baja dan perunggu<br />

(quenching), <strong>industri</strong> karet (creaming and<br />

thickening agent), <strong>industri</strong> plastik, <strong>industri</strong><br />

tekstil, <strong>industri</strong> bahan sintetis, setta film<br />

nitropectin.<br />

Adapun langkah penelitian yang dilakukan adalah :<br />

A. Perlakuan pendahuluan<br />

Kuulit buah pepaya dipotong kecil-kecil lalu<br />

dihidrolisa dengan menggunakan air panas,<br />

kemudian hasilnya difiltrasi<br />

B. Variabel yang diamati :<br />

• Temperatur perebusan dengan variasi<br />

temperatur 90 0 C, 95 0 C, 100 0 C.<br />

• Eaktu perebusan dengan variasi waktu<br />

35 menit, 40 menit, dan 45 menit.<br />

C. Penelitian kadar pektin ini dilakukan<br />

terhadap dua variasi warna kulit buah<br />

pepaya yaitu yang berwarna hijua-kuning<br />

dan yang berwarna kuning.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Kadar Pektin (gr)<br />

Kadar Pektin (gr)<br />

6.2<br />

6.1<br />

6<br />

5.9<br />

5.8<br />

5.7<br />

5.6<br />

5.5<br />

35 40 45<br />

Waktu Perebusan (menit)<br />

Grafik 1. Hubungan Waktu Perebusan-vs-<br />

Kadar Pektin Pada Kulit Buah Pepaya<br />

Hijau Kekuningan<br />

6.2<br />

6<br />

5.8<br />

5.6<br />

5.4<br />

35 40 45<br />

Waktu Perebusan (menit)<br />

Grafik 2. Hubungan Waktu Perebusanvs-Kadar<br />

Pektin pada Kulit Buah Pepaya<br />

Kuning<br />

90<br />

95<br />

100<br />

90<br />

95<br />

100<br />

PEMBAHASAN<br />

1. Hubungan waktu perebusan dengan kadar pektin<br />

pada kulit buah pepaya hijua kekuningan<br />

Grafik 1 menunjukkan bahwa kadar pektin dari<br />

kulit buah pepaya berwarna hijau kekuningan<br />

yang paling banyak diperoleh yaitu 7,05 gr pada<br />

kondisi operasi temperatur perebusan 95 0 C dan<br />

waktu perebusan 4o menit (kondisi optimum)<br />

Secara teori dari sifat pektin diketahui bahwa<br />

pektin dapat larut dalam air panas pada suasana<br />

asam. Sedangkan air mendidih pada temperatur<br />

100 0 C sehingga apabila temperatur perebusan<br />

lebih tinggi dari 95 0 C maka sebagian kecil air<br />

(larutan HCl dalam air) akan menguap dan<br />

menyebabkan pula hanya sedikit dari pektin<br />

yang ada pada kulit buah pepaya tersebut akan<br />

larut dalam air pada suasana asam. Sedangkan<br />

apabila temperatur perebusan lebih kecil dari 95<br />

0 C maka pektin kurang melarut dalam air<br />

perebus sehingga pektin yang dihasilkan sedikit.<br />

2. Hubungan waktu perebusan dengan kadar pektin<br />

pada kulit buah pepaya kuning<br />

Grafik 2 menunjukkan bahwa kadar pektin dari<br />

kulit buah pepaya yang berwarna kuning<br />

diperoleh kadar optimum sebanyak 7,86 gr.<br />

Kenaikan kadar pektin ini berkisar 0,81 gr.<br />

Perolehan ini sesuai dengan teori yang<br />

mengemukakan bahwa untuk pembuatan pektin<br />

yang kadar dan mutu terbaik diperoleh pada kulit<br />

buah pepaya matang (berwarna kuning). (M.<br />

Dudung, “Agro<strong>industri</strong> Papain dan Pektin “,<br />

1999, hal 11)<br />

KESIMPULAN DAN SARAN<br />

1. Kesimpulan<br />

Dari hasil penelitian ini diperoleh kondisi<br />

optimum pada pembuatan pektin dari kulit buah<br />

pepaya baik yang berwarna hijau kekuningan<br />

dan kuning adalah temperatur dan waktu<br />

perebusan. Temperatur dan waktu perebusan<br />

optimum yang dihasilkan adalah 95 0 C dan 40<br />

menit, serta perolehan kadar pektin terbanyak<br />

terdapat pada kulit buah pepaya yang berwarna<br />

kuning (buah yang sudah matang) yaitu 7,86 gr<br />

dari 100 g bahan baku.<br />

2. Saran<br />

Diharapkan penelitian terhadap oembuatan<br />

pektin ini dapat dilanjutkan dengan variasi bahan<br />

baku buah jeruk dan apel, lalu hasil yang<br />

diperoleh dapat dibandingkan proses manakah<br />

yang bernilai paling ekonomis.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Anonim, “Farmakope Indonesia”, Edisi IV, 1995<br />

Brewster Ray.Q. PhD, “organic Chemistry”, 2 ed<br />

Edition, Prentice Hall Inc, New York, 1953<br />

Fieser L.F & Fieser M, “Introduction to Organic<br />

Chemistry”, D.C. Heat and Company, Boston,<br />

1957<br />

Muhidin Dudung, “Agro<strong>industri</strong> papain dan Pektin”,<br />

PT. Penebar Swadaya, Jakarta, 1999<br />

Sudarmadji Slamet Dkk, “Analisa Bahan Makanan<br />

dan Pertanian”, Penerbit Liberty Yogyakarta<br />

dan Fakultas Pangan dan Gizi UGM, 1989<br />

Winarno F.G., “Kimia Makanan”, PT. Gramedia ,<br />

Jakarta, 1986<br />

129


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

STUDI PEMBUATAN KERIPIK WORTEL<br />

Study On Carrot Chips Manufacturing<br />

Terip Karo-Karo<br />

Abstract: This research is intended to know appropriate pre-frying treatment and precise Calcium Chloride<br />

(CaCl 2 ) concentration for producing better carrot chips. This research uses Completely Randomized Design<br />

(CRD) with two factors, namely Pre-frying (Controle, Freezing, Boiled for freezing and Frozen for boiling) and<br />

CaCl 2 concentration (0,5%; 1,0%; 1,5% and 2,0%). It is done with vacuum frying. The parameter analyzed is;<br />

Rendement, Water Content, Vitamin C Content, Colour preference, Taste and Crispness.<br />

The result of this research show that; Pre-frying treatment has highly significant influence toward; Rendement,<br />

Water Content and Crispness. CaCl 2 concentration treatment has highly significant influence toward;<br />

Rendement, Water Content, Taste and Crispness. The combination of Pre-frying and CaCl 2 concentration has<br />

significantly influence toward Rendement, highly significant influence toward; Water Conten,Taste and<br />

Crispness.<br />

The best quality of carrot chips is produce from combination treatment of Pre-frying (boiled for freezing/P 3 ) and<br />

CaCl 2 concentration treatment (0,5% /K 1 ).<br />

Key Words: Carrot chips, Pre-frying, CaCl 2,<br />

Abstrak: Penelitian bertujuan untuk mengetahui perlakuan Pra-penggorengan yang sesuai dan Konsentrasi<br />

Kalsium klorida (CaCl 2 ) yang tepat untuk mendapatkan keripik wortel (Daucus carota L) dengan mutu yang<br />

lebih baik. Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor yaitu Prapenggorengan<br />

(Tanpa perlakuan, Dibekukan, Direbus kemudian dibekukan dan Dibekukan kemudian direbus)<br />

dan Konsentrasi CaCl 2 (0,5%; 1,0%; 1,5% dan 2,0%). Penggorengan dilakukan dengan cara vakum, dan<br />

parameter yang dianalisa adalah Rendemen, Kadar air, Kadar Vitamin C, organoleptik Warna, Rasa dan<br />

Kerenyahan.<br />

Hasil penelitian menunjukkan perlakuan Pra-penggorengan berpengaruh sangat nyata terhadap Rendemen,<br />

Kadar air dan organoleptik Kerenyahan. Perlakuan Konsentrasi CaCl 2 berpengaruh sangat nyata terhadap<br />

Rendemen, Kadar air, organoleptik Rasa dan Kerenyahan. Kombinasi dari Pra-penggorengan dan Konsentrasi<br />

CaCl 2 berpengaruh nyata terhadap Rendemen, dan sangat nyata terhadap Kadar air dan organoleptik<br />

Kerenyahan.<br />

Keripik wortel mutu terbaik dihasilkan dari perlakuan Pra-penggorengan (Direbus kemudian dibekukan/ P 3 )<br />

dan Konsentrasi CaCl 2 (sebesar 0,5 % /K 1 ).<br />

Kata kunci: Keripik wortel, Pra-penggorengan, CaCl 2<br />

PENDAHULUAN<br />

Wortel (Daucus carota L.) merupakan<br />

tanaman sayuran semusim yang dapat tumbuh<br />

sepanjang tahun. Wortel memiliki batang pendek<br />

yang hampir tidak tampak. Akarnya berupa akar<br />

tunggang yang berubah bentuk dan fisiologi dimana<br />

dapat menjadi bulat dan memanjang, yang disebut<br />

umbi. Umbi inilah yang dikonsumsi sehari-hari<br />

sebagai makanan pendamping atau pelengkap.<br />

Wortel terkenal sebagai sumber vitamin A,<br />

juga mengandung mineral kalsium (Ca), phospor (P)<br />

dan kalium (K) serta merupakan sumber serat yang<br />

baik bagi tubuh. Setiap 100 g wortel mengandung 42<br />

kalori (Novary, 1997). Selain berpotensi sebagai<br />

sumber gizi terutama sumber vitamin A (pro vitamin<br />

A), juga mengandung karbohidrat, protein, vitamin<br />

B dan vitamin C.(Cahyono, 2002). Menurut<br />

Winarno (2002), Sebagian besar sumber vitamin A<br />

adalah karoten yang banyak terdapat dalam bahan<br />

nabati. Tubuh manusia mempunyai kemampuan<br />

untuk mengubah sejumlah besar karoten menjadi<br />

vitamin A. Dalam tanaman terdapat beberapa jenis<br />

karoten, namun yang lebih banyak ditemui adalah α,<br />

β dan γ-karoten, mungkin juga terdapat kriptoxantin.<br />

Sebagaimana produk hortikultura lainnya<br />

wortel juga memiliki sifat yang mudah rusak<br />

(perishable), sehingga sulit mempertahankan wortel<br />

dalam bentuk segar selama penyimpanan dan hal ini<br />

dapat merugikan petani. Diperkirakan bahwa<br />

kerusakan lepas panen sayur-sayuran dan buahbuahan<br />

mencapai 35 – 45 %. Dengan mengolahnya<br />

menjadi keripik wortel maka akan banyak<br />

keuntungan yang dapat diperoleh diantaranya<br />

menyelamatkan hasil pertanian dari sifat mudah<br />

busuk, fluktuasi harga yang sangat bervariasi,<br />

penghematan biaya transportasi, jangkauan distribusi<br />

lebih luas atau dapat meningkatkan nilai komersil<br />

yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan<br />

petani.<br />

130


Studi Pembuatan Keripik Wortel<br />

Terip Karo-karo<br />

Keripik adalah makanan ringan (Snack<br />

food) yang tergolong jenis makanan cracker yaitu<br />

makanan yang bersifat kering , renyah dan<br />

kandungan lemaknya tinggi. Sifat renyah pada<br />

cracker ini akan hilang jika produk menyerap air.<br />

Produk ini banyak disukai karena rasanya enak,<br />

renyah, tahan lama, praktis, mudah dibawa dan<br />

disimpan (Sulistyowati, 2002). Kerenyahan<br />

merupakan faktor penentu mutu keripik. Disamping<br />

struktur dan tekstut, komposisi produk terutama<br />

kadar air menentukan sifat kerenyahan produk,<br />

semakin rendah kadar air suatu produk maka produk<br />

umumnya semakin renyah, (Hariono, 1979 dalam<br />

Evawati, 1997). Disamping kerenyahan, konsumen<br />

juga memperhatikan warna, rasa dan kandungan<br />

keripik tersebut. Penampilan keripik meliputi warna<br />

dan permukaan keripik. Sebagian besar konsumen<br />

menyukai keripik berpenampilan kering, tidak<br />

mengkilat serta tidak gosong. Kekeringan permukaan<br />

keripik dipengaruhi oleh jenis minyak, sementara<br />

warna coklat di permukaan keripik dipengaruhi oleh<br />

komposisi kimia bahan serta waktu dan suhu<br />

penggorengan (Sulistyowati, 2002).<br />

Menurut Sulistyowati (2002), mutu keripik<br />

buah yang dihasilkan dipengaruhi oleh 5 faktor<br />

utama yaitu: kesegaran bahan, proses pengolahan ,<br />

minyak goreng yang digunakan, peralatan dan,<br />

pengemasan. Ada bahan baku keripik yang tidak<br />

memerlukan perlakuan pra-penggorengan tetapi<br />

untuk tujuan tertentu ada juga yang memerlukan<br />

salah satu kombinasi dari berbagai perlakuan prapenggorengan<br />

seperti blansing, perendaman dalam<br />

larutan kapur, pengeringan dan atau perlakuan lain.<br />

Perubahan fisik pada bahan pangan dapat<br />

terjadi pada saat pembekuan dan pemanasan, hal ini<br />

berkaitan dengan elastisitas dinding sel jaringan yang<br />

mengandung air. Selama pembekuan, akan terbentuk<br />

kristal es dan terjadi pemuaian yang dapat merusak<br />

jaringan, demikian juga dengan pemanasan dapat<br />

menghidrolisis karbohidrat dan dapat terjadi<br />

gelatinisasi. Selama pembekuan lambat, kristal es<br />

tumbuh pada ruang interseluler dan merubah bentuk<br />

dan terputusnya dinding sel yang berdekatan, kristal<br />

es mempunyai tekanan uap yang lebih rendah<br />

sehingga sel akan kekurangan air. Pada pembekuan<br />

cepat, kristal es yang lebih kecil terbentuk, ada<br />

kerusakan fisik yang kecil terhadap sel dan gradient<br />

tekanan uap air tidak terbentuk sehingga tidak terjadi<br />

dehidrasi terhadap sel (Fellows, 2000)<br />

Proses pembuatan keripik dari buah dan<br />

sayuran sudah banyak dilakukan pada penelitian<br />

terdahulu misalnya keripik nangka (Purba, 2004),<br />

keripik bengkuang (Lubis, 2004), keripik salak<br />

(Ludfiah, 2004). Selain itu juga keripik dapat<br />

dihasilkan dari bahan pangan hewani misalnya<br />

keripik cumi-cumi dan keripik belut. Pada proses<br />

pembuatan keripik ini digunakan alat penggorengan<br />

vakum dimana alat penggorengan ini menggunakan<br />

suhu di bawah 100 O C dan tekanan kurang dari 1<br />

atm.<br />

Untuk mendapatkan mutu keripik yang baik<br />

dapat dilakukan suatu perlakuan Pra-penggorengan<br />

maupun penambahan bahan kimia. Contoh Perlakuan<br />

pra-penggorengan adalah pada pembuatan French<br />

fries ubi jalar yaitu pemanasan bahan segar<br />

kemudian dibekukan pada suhu –20 o C selama 24<br />

jam, lalu bahan tersebut di thawing, setelah itu bahan<br />

digoreng. Proses French fries ini dapat juga<br />

dilakukan pada pembuatan keripik, seperti wortel<br />

(Sari, 2004)<br />

Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik,<br />

pada proses pembuatan keripik sering juga<br />

menggunakan bahan-bahan pembantu, antara lain:<br />

Perlakuan dengan garam dapur (Na Cl); garam tidak<br />

hanya berfungsi sebagai pengawet tetapi dalam<br />

jumlah sedikit juga merupakan bumbu yang dapat<br />

memberikan rasa pada produk yang dihasilkan<br />

(Winarno dan Jennie, 1983; Desrosier, 1988). Bahan<br />

yang lain adalah Kalsium Klorida (CaCl 2 ); Menurut<br />

Winarno dan Aman (1991), bahwa perubahan<br />

kekerasan buah dapat dipengaruhi dengan<br />

pemakaian kalsium klorida. Kalsium klorida akan<br />

bereaksi dengan gugus karboksil dan pektin yang<br />

terdapat pada buah.Dalam pengolahan keripik,<br />

biasanya dilakukan perendaman bahan dalam larutan<br />

C, yang bertujuan untuk mempertahankan tekstur<br />

agar tidak rusak. Selain dapat memperkeras tekstur,<br />

CaCl 2 juga dapat mencegah terjadinya reaksi<br />

pencoklatan non-enzimatis. Hal ini disebabkan<br />

karena ion Ca bereaksi dengan asam amino sehingga<br />

asam amino tidak bereaksi dengan gula reduksi,<br />

sehingga tidak terjadi pencoklatan pada saat<br />

dilakukan pemanasan (Susanto dan Saneto, 1994).<br />

Sifat dari kalsium klorida yang dapat<br />

digunakan untuk meningkatkan kemantapan tekstur .<br />

Aksi pemanasan dan pelapisan permukaan jaringan<br />

dengan kalsium klorida ditujukan untuk dimetilisasi<br />

dari pektin, yang selanjutnya akan menghasilkan<br />

pembentukan ikatan antara kalsium dan molekul<br />

pektin tersebut (Luh and Woodroof, 1976). Kalsium<br />

klorida dapat mencegah browning disebabkan oleh<br />

efek khelasi (daya ikat) dari Ca terhadap asam amino<br />

(Eskin, et al., 1971). Terjadinya reaksi<br />

pencoklatan pada bahan makanan yang mengandung<br />

karbohidrat dapat dipercepat oleh pengaruh<br />

pemanasan maka komponen gula pereduksi akan<br />

membentuk senyawa berwarna coklat (Mailard<br />

Reaction Type). Reaksi ini terjadi bila gugus NH 2<br />

dari protein, asam amino dan peptida bereaksi<br />

dengan gugus aldosa dari gula pereduksi membentuk<br />

senyawa amadori yang dapat menghasilkan hidroksi<br />

metil furfuraldehida yang dikenal dengan melanoidin<br />

akan menimbulkan warna coklat pada produk<br />

(Winarno, dkk., 1980). Reaksi Mailard terjadi pada<br />

a w 0,3-0,5, semakin tinggi suhu penggorengan maka<br />

semakin cepat pencapaian a w tersebut sehingga reaksi<br />

browning dapat terjadi (Eskin, et al, 1971).<br />

Terserapnya air yang dibawa udara akan<br />

menyebabkan hilangnya sifat renyah keripik. Itu<br />

sebabnya keripik harus dikemas dalam wadah<br />

131


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

tertutup. Pengemasan dapat dilakukan segera saat<br />

keripik sudah dingin. Bahan kemasan yang dapat<br />

digunakan diantaranya plastik tahan panas,<br />

aluminium foil, kaleng, dan stoples (Sulistyowati,<br />

2002).<br />

Penggunaan CaCl 2 sudah banyak digunakan<br />

untuk bahan makanan, khususnya untuk<br />

memperbaiki tekstur bahan pangan. Scott and Twig<br />

(1969) menemukan bahwa 2% kalsium klorida<br />

efektif untuk menghasilkan tekstur yang baik,<br />

sedangkan menurut hasil penelitian Sari (2004)<br />

bahwa hasil French fries yang baik terdapat pada<br />

aplikasi kalsium klorida 0.5 %.<br />

Bagaimana cara dan teknis pengolahan<br />

untuk menghasilkan keripik wortel yang mempunyai<br />

kualitas baik dan disukai belum banyak diketahui.<br />

Oleh karena itu dalam penelitian ini dipelajari<br />

bagaimana cara penggorengan keripik wortel yang<br />

baik, khususnya mempelajari perlakuan prapenggorengan<br />

yang sesuai dan konsentrasi CaCl 2<br />

yang tepat untuk menghasilkan keripik wortel dengan<br />

mutu yang baik dan disukai.<br />

BAHAN DAN METODA<br />

Penelitian dilakukan di Laboratorium<br />

Teknologi Pangan dan Laboratorium Analisa Kimia<br />

Bahan Pangan Jurusan Teknologi Pertanian<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> pada bulan Januari<br />

hingga Maret 2005. Bahan wortel yang diperoleh dari<br />

Pasar Sore Padang Bulan, Medan. Bahan-bahan lain<br />

adalah minyak goreng (merk Barco), garam dan<br />

CaCl 2. Penelitian ini menggunakan Rancangan<br />

Acak Lengkap (RAL) faktorial 2 (dua) ulangan,<br />

dengan model rancangan: Ŷ ijk = μ + α i + β j + (αβ) ij<br />

+ Є ijk<br />

Faktor-I adalah Pra-penggorengan (P) terdiri dari 4<br />

jenis perlakuan dan Faktor-II adalah Konsentrasi<br />

CaCl 2 (K) terdiri dari 4 taraf konsentrasi. Dengan<br />

demikian terdapat 16 kombinasi perlakuan .<br />

Pelaksanaan Penelitian Terdiri dari Beberapa<br />

Tahapan yaitu:<br />

1. Persiapan Bahan, dimulai dari penyediaan dan<br />

pemilihan wortel yang segar, dikupas kulit<br />

arinya, diiris melintang setebal 5 mm, lalu<br />

dicuci bersih. Kemudian dilaksanakan kegiaatan<br />

Pra-penggorengan dengan perlakuan sebagai<br />

berikut:<br />

P 1 = Tanpa ada perlakuan<br />

P 2 = Dibekukan pada suhu -20 o C selama 24<br />

jam.<br />

P 3 = Direbus selama 20 menit kemudian<br />

dibekukan pada suhu -20 o C selama 24 jam<br />

P 4 = Dibekukan pada suhu -20 o C selama<br />

24 jam dan kemudian direbus selama 20<br />

menit<br />

Selanjutnya dilakukan perendaman dalam larutan<br />

CaCl 2 selama 15 menit dengan masing-masing<br />

perlakuan konsentrasi sebagai berikut:<br />

K 1 = Larutan 0,5 % CaCl 2<br />

K 2 = Larutan 1,0 % CaCl 2<br />

K 3 = Larutan 1,5 % CaCl 2<br />

K 4 = Larutan 2,0 % CaCl 2<br />

Lalu bahan ditiriskan airnya dengan menggunakan<br />

peniris, dilanjutkan dengan merendam masingmasing<br />

250 g bahan dari setiap perlakuan dalam<br />

1000 ml larutan garam 0,3 % selama 15 menit,<br />

ditiriskan dan siap untuk digoreng.<br />

2. Penggorengan dilakukan dengan vacuum friyer<br />

pada suhu 85 0 C dan tekanan –700 mmHg selama<br />

45 menit Minyak yang tinggal pada keripik<br />

dikeluarkan dengan cara disentrifus selama 2<br />

menit.kemudian langsung dikemas dengan<br />

aluminium foil dan diseal menggunakan sealer.<br />

Dilakukan penyimpanan selama 1 minggu<br />

(7 hari).<br />

3. Analisa dilakukan terhadap parameter:<br />

• Penetuan Rendemen (Syarief dan Irawati,<br />

1988)<br />

• Penentuan Kadar Air Keripik Metode Oven<br />

(AOAC, 1984)<br />

• Penentuan Kadar Vitamin C (Sudarmadji,<br />

dkk., 1997)<br />

• Uji Organoleptik warna, rasa dan<br />

kerenyahan (Soekarto, 1982)<br />

4. Pengolahan data menggunakan Analisa Sidik<br />

Ragam dan Uji Least Significant Range (LSR)<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa secara<br />

umum perlakuan pra penggorengan memberi<br />

pengaruh terhadap masing-masing parameter yang<br />

diamati (rendemen, kadar air, kadar vitamin C, nilai<br />

organoleptik warna, rasa dan kerenyahan), seperti<br />

terlihat pada Tabel-1.<br />

132


Studi Pembuatan Keripik Wortel<br />

Terip Karo-karo<br />

Tabel-1. Hasil Analisa, Pengaruh Perlakuan Pra-penggorengan dan Uji Least Significat Range (LSR)<br />

Terhadap Parameter yang Diamati.<br />

Penggo<br />

rengan<br />

P 1<br />

P 2<br />

P 3<br />

P 4<br />

Rende men**<br />

(%)<br />

13.88dD<br />

17.95aA<br />

15.62bB<br />

14.95cC<br />

Kadar<br />

Air**<br />

(%)<br />

2.45aA<br />

1.63bcBC<br />

1.75bB<br />

1.13dB<br />

Kadar<br />

Vit C tn<br />

mg/100 g<br />

5.30a<br />

4.23a<br />

4.91a<br />

3.97a<br />

Warna tn<br />

(Skor)<br />

2.86a<br />

2.84a<br />

3.59a<br />

.3.53a<br />

Rasa tn<br />

(Skor)<br />

3.06a<br />

3.15a<br />

3.19a<br />

3.01a<br />

Kere nyahan**<br />

(Skor)<br />

3.31dD<br />

4.11abAB<br />

4.18aA<br />

3.95cC<br />

Ket. : * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, tn = berbeda tidak nyata<br />

Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5%<br />

(huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)<br />

Dari Tabel-1, dapat dilihat perlakuan pra<br />

penggorengan memberi pengaruh sangat nyata<br />

(P0,05)<br />

terhadap kadar vitamin C, warna dan rasa keripik<br />

wortel. Rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan<br />

P 2 (dibekukan) sebesar 17,95 % dan terendah pada<br />

perlakuan P 1 (tanpa perlakuan) sebesar 13,88 %.<br />

Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan P 1 (tanpa<br />

perlakuan) sebesar 2,45 % dan terendah pada<br />

perlakuan P 4 (dibekukan kemudian direbus) sebesar<br />

1,13 %. Kadar vitamin C tertinggi terdapat pada<br />

perlakuan P 1 (tanpa perlakuan) sebesar 5,30 mg/100<br />

g bahan dan terendah terdapat pada perlakuan P 4<br />

(dibekukan kemudian direbus) sebesar 3,97 mg/100 g<br />

bahan. Nilai organoleptik warna tertinggi terdapat<br />

pada perlakuan P 3 (direbus kemudian dibekukan)<br />

sebesar 3,59 (suka) dan terendah terdapat pada<br />

perlakuan P 2 (dibekukan) sebesar 2,84 (agak suka).<br />

Nilai organoleptik rasa tertinggi terdapat pada<br />

perlakuan P 3 (direbus kemudian dibekukan) sebesar<br />

3,19 (agak suka) dan terendah terdapat pada<br />

perlakuan P 4 (dibekukan kemudian direbus) sebesar<br />

3,01 (agak suka). Nilai organoleptik kerenyahan<br />

tertinggi terdapat pada perlakuan P 3 (direbus<br />

kemudian dibekukan) sebesar 4,18 (suka) dan<br />

terendah terdapat pada perlakuan P 1 (tanpa<br />

perlakuan) sebesar 3,31 (agak suka).<br />

Hasil analisa, pengaruh konsentrasi CaCl 2<br />

dan uji Least Significant Range (LSR) terhadap<br />

parameter amatan disajikan pada Tabel-2.<br />

Dari Tabel-2, dapat dilihat bahwa<br />

konsentrasi CaCl 2 memberi pengaruh sangat nyata<br />

(P0,05)<br />

terhadap kadar vitamin C dan warna keripik wortel.<br />

Rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan K 1<br />

(0,5%) sebesar 16,57 % dan terendah pada perlakuan<br />

K 4 (2%) sebesar 14,60 %. Kadar air tertinggi<br />

terdapat pada perlakuan K 1 (0,5%) sebesar 2,38 %<br />

dan terendah pada perlakuan K 4 (2%) sebesar 1,38 %.<br />

Kadar vitamin C tertinggi terdapat pada perlakuan K 4<br />

(2%) sebesar 4,96 mg/100 g bahan dan terendah<br />

terdapat pada perlakuan K 1 (0,5%) sebesar 3,00<br />

mg/100 g bahan. Nilai organoleptik rasa tertinggi<br />

terdapat pada perlakuan K 1 (0,5%) sebesar 4,5 (suka)<br />

dan terendah terdapat pada perlakuan K 4 (2%)<br />

sebesar 2,09 (kurang suka) dan nilai organoleptik<br />

kerenyahan tertinggi terdapat pada perlakuan K 4<br />

(2,0%) sebesar 4,09 (suka) dan terendah terdapat<br />

pada perlakuan K 1 (0,5%) sebesar 3,63 (agak suka).<br />

Tabel-2. Hasil Analisa, Pengaruh Konsentrasi CaCl 2 dan Uji Least Significant Range (LSR)<br />

Terhadap Parameter yang Diamati<br />

Konsentrasi<br />

CaCl 2<br />

(%)<br />

K 1 ( 0.5 )<br />

K 2 ( 1.0 )<br />

K 3 ( 1.5 )<br />

K 4 ( 2.0 )<br />

Rende<br />

men**<br />

(%)<br />

16.57aA<br />

16.07bB<br />

15.16cC<br />

14.60dD<br />

Kadar<br />

Air** (%)<br />

2.38aA<br />

1,76bB<br />

1,44cC<br />

1,38cC<br />

Kadar<br />

Vit C tn<br />

mg/100 g<br />

3.00a<br />

4.65a<br />

4.78a<br />

4.96a<br />

Warna tn<br />

(Skor)<br />

3.48a<br />

3.45a<br />

3.41a<br />

3.48a<br />

Rasa**<br />

(Skor)<br />

4.35 aA<br />

3.38 bB<br />

2.60 cC<br />

2.09 dD<br />

Ket. : * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, tn = berbeda tidak nyata<br />

Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh berbeda nyata<br />

pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)<br />

Kerenyahan<br />

** (Skor)<br />

3.63dD<br />

3.89bcBC<br />

3.95bB<br />

4.09aA<br />

133


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Tabel-3. Hasil Analisa dan Pengaruh Kombinasi Perlakuan Pra-penggorengan dan konsentrasi CaCl 2<br />

Terhadap Parameter yang Diamati<br />

Kombinasi<br />

Perlakuan<br />

Rende<br />

men*<br />

(%)<br />

Kadar<br />

Air**<br />

(%)<br />

Kadar<br />

Vit C tn<br />

mg/100 g<br />

Warna tn<br />

Rasa tn<br />

(Skor)<br />

Kerenyahan**<br />

(Skor)<br />

(Skor)<br />

P 1 K 1 15,96 3,00 5,,07 2,90 4,45 2,40<br />

P 1 K 2 16,39 2,30 5,40 2,80 3,25 3,45<br />

P 1 K 3 14,49 2,25 5,10 2,78 2,35 3,55<br />

P 1 K 4 13,89 2,25 5,63 3,00 2,20 3,85<br />

P 2 K 1 19,19 2,50 3,92 4,20 4,35 3,90<br />

P 2 K 2 18,21 1,75 4,57 3,85 3,35 4,10<br />

P 2 K 3 17,66 1,25 4,92 3,65 2,70 4,15<br />

P 2 K 4 16,73 1,00 3,93 3,65 2,20 4,30<br />

P 3 K 1 16,76 2,25 5,52 3,45 4.25 4,00<br />

P 3 K 2 15,64 1,75 3.74 3,55 3,40 4,05<br />

P 3 K 3 15,34 1,50 5,22 3,70 2,75 4,30<br />

P 3 K 4 14,74 1,50 5,47 3,70 2,35 4,35<br />

P 4 K 1 15,66 1,75 4,97 3,40 4,35 4,20<br />

P 4 K 2 15,34 1,25 5,22 3,60 3,50 3,95<br />

P 4 K 3 14,44 0,75 3,87 3,55 2,60 3,80<br />

P 4 K 4 14,35 0,75 4,48 3,55 1,60 3,85<br />

Ket. : * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, tn = berbeda tidak nyata<br />

Dari Tabel-3, dapat dilihat bahwa kombinasi<br />

perlakuan Pra-penggorengan dan konsentrasi CaCl 2<br />

memberi pengaruh nyata (P


Studi Pembuatan Keripik Wortel<br />

Terip Karo-karo<br />

disebabkan karena CaCl 2 berfungsi sebagai drying<br />

agent yang bersifat higroskopis dimana dapat<br />

menyerap lebih banyak air dari bahan (Hughes,<br />

1987), sehingga semakin tinggi konsentrasi CaCl 2<br />

pada bahan maka kadar air yang dikandung akan<br />

semakin rendah dimana menyebabkan rendemen<br />

yang dihasilkan akan semakin rendah. Kalsium<br />

klorida juga dapat menyebabkan pektin yang ada di<br />

dalam makanan akan menjadi gel kalsium pektinat,<br />

karena itu CaCl 2 ini sering dipakai sebagai pengeras<br />

dan penggaring pada buah dan sayuran yang<br />

dikalengkan/diolah. Namun pada konsentrasi CaCl 2<br />

terlalu tinggi sering mengganggu rasa. Penurunan<br />

nilai organoleptik rasa tersebut disebabkan karena<br />

rasa keripik wortel yang dihasilkan agak pahit yang<br />

berasal dari CaCl 2 yang memang berasa pahit, hal ini<br />

sesuai dengan apa yang dikatakan Winarno (1992),<br />

bahwa untuk memperoleh tekstur yang lebih keras<br />

dapat ditambahkan garam Ca (0.1 – 0,25 %), ion<br />

kalsium akan bereaksi dengan pektin membentuk<br />

kalsium pektinat atau Ca-pektat yang tidak larut.<br />

Pada umumnya untuk maksud tersebut digunakan<br />

garam-garam Ca seperti CaCl 2 , Ca-sitrat, CaSO 4 , Calaktat<br />

dan kalsium monofosfat. Tetapi garam-garam<br />

kalsium ini kelarutannya rendah dan rasanya pahit,<br />

sehingga semakin tinggi konsentrasi CaCl 2 yang<br />

ditambahkan maka rasa keripik wortel tersebut akan<br />

semakin pahit.<br />

Semakin meningkatnya konsentrasi CaCl 2<br />

maka nilai organoleptik kerenyahan akan semakin<br />

meningkat disebabkan karena kalsium klorida<br />

menyerap air di sekeliling bahan sehingga<br />

menyebabkan kadar air semakin rendah dan<br />

mempercepat terjadinya pengeringan yang<br />

mengakibatkan keripik semakin renyah. Menurut<br />

Hughes (1987) kalsium klorida merupakan suatu<br />

tepung tanpa warna yang digunakan sebagai<br />

sequisterant dalam pengolahan sayuran, menyerap<br />

air dari sekelilingnya dan digunakan sebagai drying<br />

agent, karena itu sering digunakan sebagai pengeras<br />

dan penggaring.<br />

Nilai organoleptik kerenyahan tertinggi<br />

terdapat pada kombinasi P 3 K 4 yaitu bahan direbus<br />

kemudian dibekukan dengan perendaman dalam<br />

larutan 2 % CaCl 2. Nilai organoleptik kerenyahan<br />

terendah terdapat pada P 1 K 1 hal ini dikarenakan<br />

karena stuktur dan tekstur bahan tidak banyak<br />

berubah dan konsentrasi CaCl 2 terkecil sehingga<br />

pengurangan air dalam bahan tidak terlalu besar.<br />

KESIMPULAN DAN SARAN<br />

Kesimpulan<br />

Dari hasil penelitian pengaruh Pra-penggorengan dan<br />

Konsentrasi CaCl 2 terhadap parameter yang<br />

diamati dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :<br />

1. Dari hasil aplikasi 4 perlakuan prapenggorengan,<br />

ternyata perlakuan terbaik untuk<br />

menghasilkan keripik wortel berkualitas adalah<br />

perlakuan direbus kemudian dibekukan, hal ini<br />

dibuktikan dengan nilai organoleptik warna, rasa<br />

dan kerenyahan yang baik.<br />

2. Konsentrasi CaCl 2 berpengaruh sangat nyata<br />

terhadap mutu keripik wortel , dimana semakin<br />

tinggi kosentrasi CaCl 2 maka rendemen, kadar<br />

air, organoleptik rasa semakin menurun<br />

sedangkan organoleptik kerenyahan semakin<br />

meningkat. Tetapi tidak berpengaruh nyata<br />

terhadap Vitamin C dan organoleptik warna<br />

keripik wortel.<br />

3. Interaksi antara Pra-penggorengan dan<br />

Konsentrasi CaCl 2 pada pembuatan keripik<br />

wortel memberi pengaruh yang berbeda nyata<br />

terhadap Rendemen, sangat nyata terhadap<br />

Kadar Air dan Organoleptik Kerenyahan, serta<br />

memberi pengaruh tidak nyata terhadap Kadar<br />

Vitamin C, Organoleptik Warna dan Rasa.<br />

Saran<br />

1. Untuk pembuatan keripik wortel yang baik<br />

disarankan dilakukan perlakuan Prapenggorengan<br />

yaitu direbus kemudian dibekukan<br />

dan menggunakan perendaman pada larutan<br />

CaCl 2 0,5 %.<br />

2. Masih perlu dilakukan penelitian tentang<br />

lamanya pembekuan dan perebusan serta cara<br />

yang dapat lebih mengembangkan produk<br />

keripik wortel yang dihasilkan.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

AOAC, 1984. Official Method and Analysis of The<br />

Association of The Official Analytical<br />

Chemists, 14 th Edition, Washington D.C.<br />

Buckle, K.A, R.A. Edward, G.H. Fleet and M.<br />

Wootton, 1987. Ilmu Pangan. Diterjemahkan<br />

oleh Hari Purnomo dan Adiono. UI-Press,<br />

Jakarta.<br />

Cahyono, B., 2002. Wortel. Kanisius, Yogyakarta.<br />

Eskin, H.A., M. Anderson and R.T. Townsend, 1971.<br />

Biochemistry Of Food.. Academic Press, Inc.<br />

Orlando, Florida.<br />

Evawati, A.A., 1997. Mempelajari Proses Pembuatan<br />

Keripik Ubi Kayu Kajian Lama Gelatinisasi<br />

serta Analisa Finansial. Jurusan THP, Fakultas<br />

Pertanian, <strong>Universitas</strong> Brawijaya, Malang.<br />

Fellows, P.J., 2000. Food Processing Technology.<br />

Woodhead Publishing Ltd, England. 2 nd<br />

Edition.<br />

Lubis, F., 2004. Studi pembuatan keripik bengkuang.<br />

Skripsi Jurusan Teknologi Pertanian, USU,<br />

Medan.<br />

Luh, B.S., and J.G. Woodroof, 1976. Commercial<br />

Vegetable Processing. The AVI Publishing<br />

Company, USA.<br />

Novary, E.W., 1997. Penanganan dan Pengolahan<br />

Sayuran Segar. Penebar Swadaya, Jakarta.<br />

Purba, R., 2004. Studi pembuatan keripik nangka.<br />

Skripsi Jurusan Teknologi Pertanian, USU,<br />

Medan.<br />

135


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Sari, D.F., 2004. Pengaruh lama perendaman dan<br />

konsentrasi CaCl 2 terhadap mutu french fries<br />

ubi jalar. Skripsi Jurusan Teknologi Pertanian,<br />

USU, Medan.<br />

Scott, L.E., and B.A. Twigg, 1969. The Effect of<br />

Temperature of Treatment and Other Factor<br />

on Calsium Firming of Processed Sweet<br />

Potatoes. Maryland Univ. Agr. Extn. Serv.<br />

Hort, USA.<br />

Soekarto, S.T., 1982. Penilaian Organoleptik untuk<br />

Industri Pangan dan Hasil Pertanian.<br />

PUSBANG-TEPA, IPB, Bogor.<br />

Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi, 1997.<br />

Analisis Bahan Makanan an Hasil Pertanian.<br />

Liberty, Yogyakarta.<br />

Sulistyowati, A., 2002. Membuat Keripik Buah dan<br />

Sayur. Puspa Swara, Jakarta.<br />

Susanto, T., dan B. Saneto, 1994. Teknologi Hasil<br />

Pertanian. Dana Ilmu, Surabaya.<br />

Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi.<br />

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.<br />

Winarno, F.G., dan B.S.L. Jennie, 1983. Kerusakan<br />

Bahan Pangan dan Cara Pencegahannya.<br />

Ghalia Indonesia, Jakarta.<br />

136


Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Besar UISU Melalui Wadah Lembaga Koperasi<br />

Syahril Effendy Pasaribu<br />

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELUARGA BESAR UISU<br />

MELALUI WADAH LEMBAGA KOPERASI<br />

Syahril Effendy Pasaribu<br />

Effendi Tanjung<br />

Abstrak<br />

UUD 1945 pasal 33 menempatkan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional maupun sebagai bagian<br />

integral tata perekonomian nasional. Dengan kedudukan yang demikian peranan koperasi sangat penting dalam<br />

menumbuhkan dan mengembangkan potensi ekonomi dengan memiliki asas demokratis, kekeluargaan,<br />

kebersamaan dan keterbukaan. Pengembangan koperasi di UISU perlu diarahkan untuk berperan dalam<br />

perekonomian khususnya bagi warga UISU sendiri maupun masyarakat sekitarnya dengan menerapkan prinsipprinsip<br />

koperasi dan kaidah usaha ekonomi koperasi. Potensi warga UISU bisa dimanfaatkan dalam upaya<br />

memperkuat permodalan melalui penyertaan anggota maupun pihak lain yang bukan anggota yang bersedia<br />

mendukung usaha-usaha Koperasi UISU dalam upaya memberdayakan ekonomi warga UISU.<br />

Kata kunci : Pemberdayaan ekonomi<br />

Pendahuluan<br />

Perguruan Tinggi Univeritas Islam <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />

yang berdiri pada awal tahun 1952 adalah merupakan<br />

lembaga perguruan tinggi pertama berdiri di luar<br />

pulau Jawa. Sampai saat ini UISU belum memiliki<br />

badan usaha Koperasi yang beranggotakn<br />

keseluruhan warganya yang didirikan sesuai dengan<br />

ketentuan Undang-undng No. 25 Tahun 1992 tentang<br />

perkoperasiaan.<br />

Koperasi adalah organisasi ekonomi dengan<br />

keanggotaan sukarela. Tom Gunadi, (1983)<br />

Keanggotaan sukarela maksudnya adalah masuk dan<br />

keluar adalah sesuai dengan peraturan yang ada<br />

seperti AD/ART koperasi itu sendiri. Sesuai dengan<br />

UU No. 25 tahun 1992 koperasi adalah merupakan<br />

gerakan ekonomi sebagai badan usaha yang berperan<br />

serta untuk mewujudkn masyarkat adil dan makmur<br />

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.<br />

Aspek melayani kebutuhan anggota adalah salah satu<br />

tujuan utama koperasi yang konkritnya pemenuhan<br />

kebutuhan itu menentukan keberhasilan suatu<br />

koperasi.<br />

Syarat mutlak usaha koperasi haruslah ada kaitan<br />

dengan kehidupan (kebutuhan rimah tangga)<br />

anggotanya atau dengan perkataan lain koperasi<br />

haruslah extension (sambungan atau perluasan) dari<br />

usaha dan rumah tangga anggotanya, maka usaha<br />

koperasi dapat dijalankan secara baik, lebih efektif<br />

dan efisien. Tom Gunadi (1983) oleh sebab itu tujuan<br />

koperasi haruslah benar-benar merupakan<br />

kepentingan bersama dari pada anggotanya dan<br />

tujuan itu hanya akan bisa dicapai berdasarkan karya<br />

dan jasa yang disumbangkan oleh anggota masingmasing.<br />

Pembentukan koperasi UISU<br />

Untuk membentuk koperasi pada umumnya gagasan<br />

datang dari pihak yang berkepentingan atau anjuran<br />

dari pihak pemerintah atau anjuaran dari pimpinan<br />

UISU sendiri. Pihak pendiri harus menyadari bahwa<br />

mereka memang benar-benar membutuhkan adanya<br />

lembaga kopersi. Depertemen Perdagangan dan<br />

Koperasi (1980) secara umum, para pelopor atau<br />

calon pengelola kopersi adalah orang-orang yang :<br />

Mempunyai minat besar, jiwa kemasyarakatan, serta<br />

cita-cita tinggi untuk bekerja bagi kepentingan<br />

orang banyak.<br />

Menyadari peranan koperasi dalam mewujudkan<br />

demokrasi ekonomi dan mempertinggi taraf<br />

hidup rakyat.<br />

Memiliki keberanian, sikap pantang menyerah dan<br />

keyakinan bahwa koperasi mampu dijadikan alat<br />

untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.<br />

Memiliki integritas kepribadian yang tinggi.<br />

Berdasarkan kriteris diatas dapat dismpulkan bahwa<br />

koperasi harus didirikan oleh orang-orang yng<br />

memiliki kapabilitas bila koperasi yang didirikan<br />

tujuannya adalah unuk meningkatkan kesajtweraan<br />

bersama.<br />

Panji Anoraga dan Djoko Sudantoko (2002)<br />

menyrtakan bahwa apabila orang-orang yang dinilai<br />

memenuhi persyaratan unuk dipilih menjadi<br />

pengurus koperasi, maka peku dilaksanakan proses<br />

atau penelitian beberapa hal, seperti :<br />

1. Keadaan serta tingkat kehidupan masyarakat<br />

tempat dimana koperasi itu akan melaksanakan<br />

aktivitasnya.<br />

2. Kesulitan masyarakat bidang apakah yang<br />

menjadi kendala utama guna menentukan<br />

koperasi apakah yang akan dibentuk<br />

3. Hambatan dalam wujud apakah yang sekiranya<br />

menjadi penghalang pembentukan koperasi.<br />

4. Apakah sudah ada koperasi yang telah berdiri<br />

dan bagaimana keadaanya apakah berjalan baik<br />

atau tidak dan apakah faktor yang menghambat<br />

serta mendukung perkembangannya.<br />

137


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

5. Kemungkinan jumlah anggota yang bersedia<br />

bergabung.<br />

6. Tingkat biaya yang mungkin harus dikeluarkan<br />

guna kelangsungan hidup koperasi.<br />

7. Kondisi serta taraf hidup para calon anggota<br />

apakah sudah mampu menghimpun modal awal.<br />

Apabila berdasarkan penelitian terhadap hal-hal<br />

tersebut diatas diperoleh kesimpulan bahwa koperasi<br />

UISU memang layak didirikan maka sebelum rapat<br />

pertama dalam rangka pendirian koperasi UISU<br />

maka para pemrakarsa pendirian koperasi<br />

menghubungi Dinas Koperasi Pemko Medan untuk<br />

mendapatkan informasi tentang cara pendirian<br />

koperasi sehingga ketika koperasi UISU didirikan<br />

akan terhindar dari keadaan dimana koperasi telah<br />

didirikan anggaran dasarnya tidak memenuhi syarat.<br />

Hasil pertamuan dengan Dinas Koperasi dilaporkan<br />

kepada pimpinan UISU untuk mendapatkan saran<br />

dan petunjuk bagi pendirian koperasi UISU.<br />

Kemudian dilaksanakan rapat persiapan<br />

pembentukan koperasi dan menyusun konsep UU<br />

No.25 Tahun 1992 tentang perkoperasian, petunjuk<br />

dan bimbingan pihak Dinas Koperasi dan Pimpinan<br />

UISU serat mempertimbangkan kondisi lingkungan<br />

UISU. Sesuai dengan UU No.25 tahun 1992 hal-hal<br />

pokok yang harus diatur dalam anggaran dasr<br />

koperasi adalah jati diri, tujuan, kedudukan, peran,<br />

keanggotaan, pengurus, pengawas, usaha,<br />

permodalan, sisa hasil usaha dan pembinaan.<br />

Setelah konsep anggaran dasar selesai kemudian<br />

dibahas oleh tim pemrakarsa pendirian Koperasi<br />

UISU dan ada baiknya dikonsultasikan kembali<br />

kepada pimpinan UISU. Kemudian ditetapkan rapat<br />

pembentukan koperasi UISU dengan mengundang<br />

minimal 20 orang dosen/pegawai administrasi UISU,<br />

Pimpinan UISU baik rektorat maupun pimpinan<br />

Fakultas se UISU. Turut juga diundang kepala Dinas<br />

Koperasi Pemko Medan untuk memberikan<br />

bimbingan dan pengarahan dalam rapat pembentukan<br />

koperasi UISU.<br />

Menurut Panji Anoraga dan Djoko Sudantoko,<br />

(2002) agar rapat pembentukan koperasi berjalan<br />

tertib, panitia menentukan acara yang memuat hal-hal<br />

sebagai berikut :<br />

1. Pembentukan oleh panitia<br />

2. Penjelasan oleh Panitia tentang maksud<br />

pendirian koperasi serta hal-hal yang dirintis<br />

oleh Panitia ke arah pembentukan koperasi.<br />

3. Penjelasan dan penerangan oleh pejabat dinas<br />

koperasi<br />

4. Persetujuan rapat tentang pendirian koperasi<br />

5. Pembicaraan dan penetapan anggaran dasar<br />

koperasi<br />

6. Penetapan rencana kerja dan anggaran belanja<br />

koperasi<br />

7. Pemilihan pengurus dan badan pengawas<br />

8. Penentuan nama-nama yang akan<br />

menandatangani naskah akte pendirian koperasi<br />

9. Penyampaian saran dan masukan<br />

10. Pernyataan sumpah dan janji oleh pengurus dan<br />

badan pemeriksa<br />

11. Penutup<br />

Walaupun susunan acara tersebut diatas cukup baik<br />

namun ada baiknya Pimpinan UISU diikut sertakan<br />

memberikan sambutan dan pengarahan pada awal<br />

rapat dan juga dimasukkan sebagai pembina koperasi<br />

UISU agar dalam perjalanan koperasi kebersamaan<br />

akan terjalin dengan baik. Pengurus yang terpilih<br />

dalam rapat menandatangani akte pendirian koperasi<br />

setelah ditandatangani oleh peserta rapat yang hadir<br />

sebagai pendiri koperasi UISU dan kemudian panitia<br />

pembentukan koperasi membubarkan diri karena<br />

telah menyelesaikan tugasnya mendirikan koperasi<br />

langkah berikutnya adalah pengesahan koperasi<br />

UISU sebagai koperasi badan hukum dengan<br />

pengesahan akte pendirian/anggaran dasar koperasi<br />

oleh pejabat yng berwewenang. Untuk mendapatkan<br />

pengesahan sebagai badan hukum pengurus<br />

mengajukan surat permohonan kepada Kepala Dinas<br />

Koperasi Medan dengan melampirkan akte pendirian,<br />

keterangan domisili koperasi dan kelurahan setempat<br />

dan biaya administrasi yang dibutuhkan setelah<br />

pemohon diteliti ternyata telah memenuhi syarat<br />

maka Kepala Dinas Koperasi RI akan menertibkan<br />

surat keputusan penetapan koperasi UISU sebagai<br />

koperasi berbadan hukum dan memenuhi stempel<br />

pengesahan pada akte pendiriaanya. Dengan<br />

demikian koperasi UISU yang didirikan telah syah<br />

sebagai koperasi berbadan hukum.<br />

Bidang usaha yang dapat memberdayakan<br />

ekonomi keluarga UISU :<br />

Misi utama atau maksud didirikannya koperasi<br />

adalah untuk meningkatkan taraf hidup para<br />

anggotanya. Maksud ini taraf hidup para anggotanya.<br />

Maksud ini akan dapat direalisir apabila usaha<br />

(bussines) dikelola dan dikembangkan dengan<br />

keterkaitan usaha yang kuat dengan kebutuhan/usaha<br />

ekonomi anggotanya. Panji Anoraga dan Djoko<br />

Sudantoko (2002) sebagai suatu lembaga ekonomi<br />

koperasi harus menerapkan asas-asas bisnis dan<br />

manajeman yang baik dalam pengelolaannya. Didik<br />

J. Rahbini, (1988) tanpa menerapkan asas tersebut<br />

koperasi akan sulit berkembang karena tidak<br />

memiliki keunggulan. Seperti kita ketahui bahwa<br />

tujuan koperasi, serta motivasi orang yang masuk<br />

menjadi anggota koperasi adalah hasrat untuk<br />

memajukan kehidupan ekonomi mereka. Ada<br />

beberapa hal penting yang harus diperhatikan secara<br />

sungguh-sungguh yang diperhatikan secara sungguhsungguh<br />

oleh pengurus koperasi diantaranya :<br />

Para pengurus koperasi seharusnya memahami<br />

prinsip-prinsip pengelola koperasi secara cermat<br />

Pengurus perlu menetapkan suatu mekanisme kerja<br />

yang mampu menunjang kelancaran usaha koperasi.<br />

Perlu membangun hubungan kemitraan yang saling<br />

menguntungkan antar koperasi dengan lembaga<br />

ekonomi lainnya semisal badan usaha milik negara,<br />

138


Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Besar UISU Melalui Wadah Lembaga Koperasi<br />

Syahril Effendy Pasaribu<br />

kalangan swasta dan koperasi lainnya guna<br />

memperkuat usaha yang telah ditekuni dan<br />

memperoleh berbagai pengalaman berharga. Panji<br />

Anoraga dan Djoko Sudantoko, (2002)<br />

Bidang usaha yang berkaitan dengan kegiatan UISU<br />

adalah bidang yang relevan ditangani oleh koperasi<br />

UISU seperti fotocopi, percetakan,pengadaan barang<br />

ATK untuk kantor dan mahasiswa, catering, kantin,<br />

wartel dan juga proyek simpan pinjam berdasarkan<br />

Syariah Islam. Disamping itu koperasi juga bisa<br />

menangani Cleaning Service Ruangan Kantor,<br />

ruangan kuliah dan labortorium UISU.<br />

Salah satu yang paling penting adalah memahami<br />

pangsa pasar dari usaha koperasi yaitu :<br />

1. Populasi mahasiswa UISU yang cukup besar<br />

yaitu berkisar ± 13. 359 orang<br />

2. Staf pengajar yang jumlahnya berkisar ± 844<br />

orang<br />

3. Pegawai administrasi yang jumlahnya berkisar ±<br />

360 orang<br />

Dengan dukungan dari Pimpinan <strong>Universitas</strong> dan<br />

Fakultas se UISU usaha koperasi UISU bisa<br />

berkembang dengan syarat pengurus koperasi bisa<br />

meyakinkan para pemimpin UISU dan anggota<br />

bahwa koperasi ini akan dapat meningkatkan<br />

kesejahteraan ekonomi keluarga UISU, dan mutu<br />

barang yang ditawarkan benar-benar bisa bersaing<br />

dengan harga pasar dan bisa menjamin rutinitas<br />

pengadaannya. Untuk itu pengurus harus bisa<br />

bekerjasama dengan pihak pemasok sehingga<br />

pasokan kebutuhan koperasi UISU berjalan lancar<br />

dan juga mutu barang tetap terjaga sehingga tidak<br />

mengecewakan para pelanggan koperasi<br />

Pengurus yang akan menjalankan usaha<br />

koperasi UISU haruslah orang yang cakap, jujur dan<br />

memiliki naluri bisnis yang kuat serta memiliki dan<br />

mental wirausaha<br />

Sikap mental wirausaha dalam koperasi<br />

adalah suatu sikap mental dalam berusaha secara<br />

koperatif, untuk mengambil prakarsa inovatif serta<br />

keberanian mengambil resiko an berpegang teguh<br />

pada prinsip identitas koperasi dalam mewujudkan<br />

terpenuhinya kebutuhan nyata serta peningkatan<br />

kesejateraan Panji Anoraga dan Djoko Sudantoko,<br />

(2002)<br />

Untuk dapat melangsungkan kehidupannya<br />

koperasi harus mampu menyesuaikan diri dengan<br />

lingkungan dan perubahannya dan bisa mengelola<br />

perubahan itu.<br />

Analisa SWOT :<br />

Dalam menghadapi perubahan lingkungan dan<br />

mengetahui posisi koperasi dapat dilakukan dengan<br />

mengidentifikasi dengan analisa SWOT yaitu<br />

kekuatan, kelemahan, kesempatan/peluang, dan<br />

ancaman. Berdasarkan analisa SWOT tersebut akan<br />

diperoleh pengaruh positif yaitu yang dapat<br />

mendukung secara positif perkembangan koperasi<br />

yang sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai dan<br />

pengaruh negative yaitu pengaruh yang menghambat<br />

perkembangan koperasi dalam menghadapi<br />

perubahan – perubahan yang akan terjadi sehingga<br />

koperasi memiliki landasan untuk mengantisipasi<br />

perubahan yang akan terjadi dimasa mendatang.<br />

Agar tetap beroperasi dan memiliki kelangsungan<br />

hidup setiap koperasi harus memiliki tujuan yaitu :<br />

a. Profit (keuntungan)<br />

b. Mempertahankan kelangsungan hidup koperasi<br />

c. Pertumbuhan koperasi<br />

d. Tanggungjawab sosial<br />

Semakin tinggi keuntungan yang diharapkan akan<br />

semakin besar risiko yang dihadapi untuk itu<br />

pengurus koperasi perlu memperhitungkan dengan<br />

matang dalam menjalankan usaha koperasi.<br />

Modal Usaha Koperasi :<br />

Dalam mempersiapkan modal usaha koperasi ada<br />

beberapa sumber :<br />

Modal sendiri<br />

Meminjam<br />

Kerjasama<br />

Modal sendiri bisa diperoleh dari simpanan anggota<br />

baik simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan<br />

sukarela, namun jumlahnya adalah terbatas<br />

mengingat koperasi baru berdiri. Meminjam atau<br />

kredit melalui bank konvensional tentu harus<br />

memakai bunga yang bertentangan dengan syariah<br />

Islam.<br />

Kerjasamanya bisa dilakukan dengan perbankan<br />

syariah yang tidak mengenal konsep bunga<br />

Perbankan Syariah membuka peluang pembiayaan<br />

pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan<br />

dan hubungan harmonis. Perbankan Syariah memiliki<br />

empat prinsip yang senantiasa mendasari jaringan<br />

kerja Perbankan dengan <strong>sistem</strong> syariah yaitu<br />

1. Perbankan Non Riba<br />

Bank Syariah perang melawan riba untuk itu<br />

maka bank syariah menghindar muamalah riba<br />

seperti pada bank konvensional<br />

2. Perniagaan halal dan tidak haram<br />

Dalam berbisnis harus halal bukan yang yang<br />

diharamkan oleh syariat Islam.Dalam<br />

perdagangan tidak diperkenankan jual beli<br />

dengan tindakan yang haram<br />

3. Keridhaan pihak-pihak dalan berkontrak<br />

Dalam berbisnis Islam menginginkan setiap<br />

yang terikat dalam perjanjian/kontrak harus<br />

mendapat kepuasaan dalam mengadakan<br />

transaksi oleh karena itu para pihak yang<br />

berkontrak harus ada kerelaan<br />

4. Pengurusan dana yang amanah, jujur dan<br />

bertanggungjawab<br />

Dalam berusaha/berbisnis nilai kejujuran dan<br />

amanah dalam mengurus dana merupakan ciri<br />

yang harus ditunjukkan karena merupakan sifat<br />

dari Nabi dan Rasul dalam kehidupan sehari-hari<br />

Syahrial Effendi Pasaribu (2005) mengingat<br />

UISU adalah lembaga yang didirikan oleh umat<br />

Islam dan koperasi UISU diartikn untuk<br />

memberdayakan ekonomi para pekerja di UISU<br />

kami yakin perbankan syariah akan bersedia<br />

139


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

membantu modal usaha koperasi UISU dengan<br />

syarat koperasi UISU mendapat dukungan penuh<br />

dari Pimpinan UISU dan bidang usaha yang<br />

akan dilaksanakan benar – benar dapat<br />

dilaksanakan oleh pengurus koperasi UISU.<br />

Pengurus koperasi UISU harus menyusun<br />

proposal usaha yang bisa merefleksikan<br />

gambaran usaha koperasi dan mencerminkan<br />

pribadi pengurus yang menjalankan usaha<br />

koperasi yang merupakan dokumen tertulis yang<br />

rinci mengenai usaha yang direncanakan.<br />

Menurut Rambat Lupiyoadi (2004) ada 4<br />

(empat) faktor kritis yang perlu diperhatikan<br />

dalam penyusunan proposal usaha :<br />

1. Tujuan yang realistis<br />

Tujuan yang diinginkan dicapai harus<br />

spesifik,dapat diukur dan ada kesatuan waktu<br />

dan parameternya<br />

2. Komitmen<br />

Bisnis perlu mendapat dukungan dari pihak<br />

anggota, mitra usaha,pekerja dan anggota tim<br />

3. Batasan waktu<br />

Sub sub tujuan harus dibuat secara<br />

berkesinambungan dan ada evaluasi waktu atas<br />

kemajuan – kemajuan yng telah dicapai<br />

4. Fleksibilitas waktu<br />

Harus dapat diantisipasi dan memungkinkan<br />

munculnya alternative strategi yang dapat<br />

diformulasikan.<br />

Rencana usaha sebaiknya disusun sendiri oleh<br />

pengurus namun boleh juga dibuat oleh tim yang<br />

ditunjuk dengan syarat pengurus mengerti isi<br />

proposal usaha tersebut,karena proposal usaha akan<br />

menjadi gambaran awal seberapa jauh kemampuan<br />

manajerial pengurus<br />

Didalam proposal usaha perlu dicantumkan yaitu :<br />

1. Aspek personalia<br />

2. Aspek financial<br />

3. Aspek manajemen<br />

4. Aspek harga<br />

5. Aspek risiko kritis usaha<br />

6. Aspek situasi persaingan<br />

Disamping itu pengurus koperasi harus siap untuk<br />

menjawab setiap pertanyaan dari pihak yang akan<br />

meneliti kelayakan usaha dengan membahas proposal<br />

usaha tersebut. Apabila proposal usaha dinilai layak<br />

tentu bantuan permodalan usaha akan diberikan<br />

setelah memenuhi persyaratan administrasi lainnya.<br />

Dengan modal yang dimiliki sendiri ditambah<br />

dengan bantuan modal dari pihak luar (Perbankan<br />

Syariah) usaha koperasi dapat diwujudkan dan<br />

dijalankan dengan sebaik-baiknya sehingga ekonomi<br />

para anggota dapat diberdayakan.<br />

Peminjaman modal usaha dari pihak luar (perbankan)<br />

harus disetujui oleh rapat anggota yang diadakan<br />

untuk membahas rencana kerja koperasi dan akan<br />

dipertanggungjawabkan kemudian pada Rapat<br />

Anggota Tahunan.<br />

PENUTUP<br />

Kesimpulan<br />

1. Pembentukan Koperasi UISU harus<br />

beranggotakan semua Dosen dan karyawan<br />

UISU dengan dukungan penuh Pimpinan UISU<br />

2. Pengurus Koperasi UISU haruslah orang-orang<br />

yang memiliki jiwa kewirusahaan yaitu yang jeli<br />

menangkap dan memanfaatkan peluang yang<br />

dilandasi pertimbangan rasional, inovatif dan<br />

mampu mengembangkan kemandirian koperasi<br />

3. Untuk memberdayakan ekonomi keluarga besar<br />

UISU, pengurus koperasi UISU harus<br />

membentuk tim bisnis yang tangguh dalam<br />

menjalankan roda usaha<br />

4. Pengurus koperasi UISU perlu menjalin<br />

kerjasama dengan pihak perbankan terutama<br />

bank syariah untuk membantu modal usaha<br />

koperasi dan bimbingan usaha yang akan<br />

dijalankan.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. Didik J. Rahbani, 1988 Koperasi Pendekatan<br />

Bisnis atau Politik<br />

2. Depdagkop RI, 1980 Pengetahuan Harian<br />

Kompas 5 Maret 1988 Perkoperasian<br />

3. Panji Anoraga dan Djoko Sudantoko, 2002<br />

Koperasi Kewirusahaan dan Usaha<br />

Kecil,Rineka Cipta<br />

4. Rambat Lupiyoadi,2004 Entrepreneurship From<br />

Minset to Strategy, Penerbit Fakultas Ekonomi<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia<br />

5. Syahril Effendy Pasaribu, 2005 Kontribusi<br />

Bank Muamalat Terhadap Perkembangan<br />

Perbankan Secara Syariah, Bina Teknik Press<br />

Medan<br />

6. Tom Gunadi, 1983 Sistem Perekonomian<br />

Berdasarkan Pancasila danUUD 1947, Angkasa<br />

Bandung<br />

7. Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang<br />

Perkoperasian<br />

140


Arsitektur dan Lingkungan, Pasca Arsitektur Modern<br />

N Vinky Rahman<br />

ARSITEKTUR DAN LINGKUNGAN, PASCA ARSITEKTUR MODERN<br />

N Vinky Rahman<br />

Staf Pengajar Pada Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>.<br />

Abstrak<br />

• We are indoors, live, love, bring up our families, worship,work,grow old,sicken and die indoors.<br />

Architecture mirrors every aspect of lives-social. Economical spritua (Eugene raskin)<br />

• Architecture is communication between man and environment, (Lynden Herbert).<br />

Telaah singkat dalam makalah ini akan menitikberatkan pada pembahasan mengenai desain dalam<br />

arsitektur melalui pendekatan humanis yaitu pendekatan prilaku dan pendekatan social. Pendekatan ini dipilih<br />

dengan harapan agar dapat memberikan motivasi baru dan pencerahan bagi praktisi rancang bangun dan<br />

rekayas dalam memberikan alternatif solusi desain lingkungan fisik yang lebih tanggap terhadap kebutuhan,<br />

keinginan dan nilai-nilai kemanusiaan, selain juga tanggap terhadap fenomena semakin rusaknya lingkungan<br />

fisik dan alami yang sehat dan nyaman dapat terus berlangsung.<br />

Kata-kata kunci : Arsitektur, Lingkungan ,Arsitektur Modern.<br />

Pendahuluan<br />

Dalam perjalanan sejarah arsitektur,sudah<br />

bukan rahasia lagi bahwa arsitektur modern<br />

menghadapi banyak gugatan dan kegagalan dalam<br />

implementasinya. Berdasarkan telaah literature,<br />

kegagalan tersebut antara lain oleh karena arogansi<br />

yang begitu kental dalam nafas modern yang<br />

ditampilkannya,selain juga karena kekurangpekaan<br />

gerakan ini dalam membaca keberagaman wacana<br />

social yang ada dalam masyarakat yang dilayaninya.<br />

Contoh yang sering dijumpai adalah maraknya<br />

bangunan-bangunan megah, tinggi dan mewah di<br />

kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung dan<br />

Surabaya, yang kondisinya sangat mencolok jika<br />

dibandingkan dengan perumahan-perumahan yang<br />

bahkan cederung kumuh di sekitarnya.<br />

Tidak lagi tersedianya lahan terbuka untuk<br />

bermain, bersosialisasi dan rekreasi bagi masyarakat<br />

setempat juga dibentuk oleh intensitas transportasi<br />

yang begitu tinggi. Arsitektur dan lingkungan binaan<br />

tidak lagi ramah dan tidak mencerimkan kepedulian<br />

akan eksistensi nilai-nilai kemanusian dalam wadah<br />

lingkungan fisiknya. Manusia hanya dianggap<br />

sebagai mesin berjiwa dengan kemampuannya<br />

menghasilkan nilai-nilai ekonomi secara kuantitas<br />

belaka. Fenomena yang mengkhwatirkan ini sebagian<br />

besar dilahirkan dari budaya <strong>industri</strong>alisasi yang<br />

memetingkan nilai ekonomi dan percepatan<br />

perputaran uang. Kekhwatiran ini akan semakin<br />

bertambah jika disadari kemungkinan dampak<br />

buruknya pada lingkungn baik fisik maupun alami<br />

dalam jangka panjang.<br />

Makna Arsitektur<br />

Keberadaan sebuah lingkungan binaan,<br />

termasuk jalan raya di dalam kota yang didiami<br />

manusia memiliki pengaruh yang tidak sedikit<br />

terhadap perilaku dan aktivitas mnusia, bagaimana<br />

manusian merasakan keberadaan diri mereka di<br />

dalamnya dan yang lebih terpenting adalah<br />

bagaimana manusia dapat hidup berdampingan<br />

dengan sewajarnya bersama manusia lainnya. Salah<br />

satu hal yang mendasari gejala ini adalah karena<br />

dalam hidupnya, manusia butuh berkoperasi atau<br />

bekerjasama, suatu hal yang banyak dijumpai dalam<br />

kehidupan sehari-hari, seperti misalnya saat manusia<br />

bersosialisasi dalam lingkungannya. Dalam proses<br />

sosialisais itu, apek komunikasi menjadi penting,<br />

karena dengan komunikasi manusia dapat saling<br />

berbagai pengalaman dalam kehidupan. Proses<br />

komunikasi tersebut juga terjadi antara manusian<br />

dengan lingkungannya dalam bentuk perilaku atau<br />

perangai.<br />

Arsitektur merupaakn bagian dari<br />

lingkungan tempat terjadinya pertukaran informasi<br />

budaya yang melibatkan komunikasi di dalamnya.<br />

Dengan demikian, hal penting untuk dipertimbngkan<br />

adalah bagaimana input informasi yang dimasukkan<br />

ke dalam arsitektur dan output bagaimana yang akan<br />

dihasilkan darinya, bagaimana manusia<br />

menggunakan informasi tersebut dalam kaitannya<br />

dengan aktivitas yang dilakukannya sehari-hari<br />

dalam arsitektur yang mewadahinya. Aritektur<br />

sebagai lingkungan binaan dapat dilihat sebagai<br />

proses dan catatan dari kejadian-kejadian budaya<br />

masa lalu yang dikomunikasikan hingga kini<br />

(Lynden Herbert,1972).<br />

Dalam kaitannya dengan sosialisasi, proses<br />

komunikasi yang terjadi antara manusia dengan<br />

bangunan dalam tingkat masyarakat atau manusia<br />

yang jamak merupakan proses uang beragam dan<br />

tidak mudah untuk dimengerti, namun dalam tingkat<br />

pribadi tidaklah demikian. Proses komunikasi antara<br />

manusia dan arsitektur menyangkut proses<br />

mengalami dan pengalaman yang dimiliki oleh<br />

manusia. Secara pribadi, manusia dapat mersakan<br />

pengalamannya terhadap arsitektur. Ketika proses<br />

mengalami ruang dan bntuk merupakan sebuah<br />

141


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

proses yang dapat dinikmati oleh manusia, maka<br />

ketika itulah arsitejtur trjadi (William Wayne Caudill,<br />

et al, 1978). Arsitektur memiliki peranan penting<br />

dalam membantu manusia dalam proses kegaiatan<br />

yang harus dilakukannaya. Peran arsitektur di sini<br />

adalah mengupayakan kemudahan proses tersebut.<br />

Ditinjau dari segi kebutuhan praktis,yang merupakan<br />

hal yang umum bagi setiap orang, adalah<br />

pengetahuan dan kesadaran seseorang akan selalu<br />

mencari isyarat-isyarat yang menginformasikan yang<br />

diperlukan manusia secara wajar, aman dan nyaman.<br />

Proses pencarian isyarat ini muncul dalam wujud<br />

beragam pada beragam waktu.<br />

Manusia – Lingkungan dan Arsitektur Modern<br />

Era <strong>industri</strong>alisasi yang dimulai pada tahun<br />

1759 memberikan pengaruh yang besar dalam dunia<br />

arsitektur, hingga jiwa uniformity dan anonymous<br />

yang ada pada <strong>industri</strong> muncul dalam wacana<br />

arsitektur, yaitu pada era arsitektur modern.<br />

Pergeseran dan perubahan cara pandang manusia<br />

dalam melihat diri dan eksistensinya dalam<br />

lingkungannya merupakan salah satu pemicu<br />

terjadinya gugatan yang membawa kegagalan bagi<br />

arsitektur modern. Sebagai pengguna dan atau<br />

penikmat arsitektur, dilandasi wawasan informasi<br />

yang semakin luas, manusia semakin mengingnkan<br />

standar kepuasan dan kenyamanan yang lebih baik<br />

pula, antara lain dalam hal arsitektur atau lingkungan<br />

fisik. Di sisi lain, lingkungan fisik secara tidak<br />

langsung membentuk karakter diri manusia, baik<br />

yang menghuni maupun yang menikmatinya.<br />

Pada saat awal kemuncullannya, aritektur<br />

modern antara lain menawarkan ide keserderhanaan<br />

dan keseragaman bentuk fisik dengan menggunakan<br />

pendekatan desain secara rasional. Konsep yang<br />

dihadirkan adalah penekanan pada fungsi dan<br />

efisiensi melalui pemulihan material dan <strong>teknik</strong><br />

rancang bangun yang paling mudah dan praktis, yang<br />

dianggap dapat memoderenisasikan manusia<br />

sehingga didapatkan suatu bentuk tatanan yang<br />

harmonis dengan konsep keabadian yang dapat<br />

dinikmati sepanjang waktu. Tujuan modernisasi<br />

tersebut dapat diartikan sebagai tidak pentingnya lagi<br />

semua hal yang ada kaitannya dengan masa lalu.<br />

Pada dasarnya, teknologi dalam <strong>industri</strong> diciptakan<br />

untuk dapat mempermudah hidup manusia.<br />

Termasuk dalam hal ini rsitektur.Akan tetapi dengan<br />

cara pendekatan, penyampaian dn perwujudan yang<br />

dijumpai dalam aristktur modern, ternyata tujuan<br />

tersebut malah memberikn dampak yang deskriptif<br />

atau memberikan kosekuensi yang buruk bila terus<br />

diterapkan secara membabi buta. Dalam hal ruang<br />

terbuka kota, arsitektur modern bahkan turut<br />

berperan menghadirkan ruang-ruang terbuka kota<br />

yang tidak tergunakan dengan baik (lost Out door<br />

Space).<br />

Dalam konteks social, gerakan modern lebih<br />

menitikberatkan pada rancang bangun dan rekayasa<br />

lingkungan fisik yang mengatur bagaimana manusia<br />

seharusnya menjalani hidupnya (berkeinginan<br />

mengendalikan dan membatasi) dari pada<br />

menawarkan solusi yang memberikan keluasan bagi<br />

manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari<br />

secara normal. Hal ini berarti mengesampingkan<br />

aspek sosia masyarakat sebagai bagian dari nilai-nilai<br />

penentu lingkungan fisik. Mungkin pendapat ini<br />

menunjukkan adanya kesan arogansi tersebut.<br />

Arogansi timbul dari asumsi para praktis agar<br />

rancangan yang dihasilkan dalam kerangka ideology<br />

tersebut mencerminkan citarasa seni dan keindahan<br />

dari klien atau sang pengguna. Kecenderungan ini<br />

muncul pada era-era sebelumnya, oleh karena klien<br />

atau pengguna memilih sendiri perancang yang<br />

dipercayainya memiliki kemampuan keilmuan dan<br />

<strong>teknik</strong> yang tinggi.<br />

Dalam konteks masyarakat tradisional,<br />

perancang bahkan hanya dapat berkarya dalam<br />

kerangka adat dan tradisi yang sudah memiliki<br />

batasan tertentu dalam pelaksanaaanya. Dengan<br />

demikian, bangunan yang dihasilkan benar-benar<br />

mencerminkan sang pengguna; bagaimana pengguna<br />

hidup dalam kesehariannya di dalam kerangka social<br />

setempat yang kemudian diwadahi dalam bangunan.<br />

Oleh karena itu, jika ditinjau dari sisi aspek<br />

kesejarahannya arsitektur non-modern (kalau boleh<br />

disebut demikian) adalah merupakan hasil upaya<br />

yang paling optimal dalam beradaptasi dengan aspek<br />

social masyarakatnya, sedangkan arsitektur modern<br />

pada perkembangannya menunjukkan pola<br />

keseragaman yang anomies dan mengarah pada<br />

adanya ketidakpedulian pada identitas pribadi atau<br />

komunitas local sebagai klien atau pengguna. Sekali<br />

lagi, hal ini memetingkan pada nilai ekonomi dan<br />

percepatan perputaran uang.<br />

Industrialisasi menciptakan konglomerat –<br />

konglomerat baru sebagai klien yang membayar,dan<br />

bukan sebagai klien sebagai pengguna.Hal ini turut<br />

menyebabkan terbetuknya ideology arsitektur<br />

modern. Rumah-rumah tidak lagi dihargai sebagai<br />

wujud aktualisasi diri sebagaimana di ungkapkan<br />

oleh Abraham Maslow, akan tetapi dipandang<br />

sebagai proyek yang bernilai ekonomis bagi<br />

segelintir orang yang sanggup membiayai<br />

pembangunan rumah dalam bentuk blok bertingkat<br />

dan bernilai banyak. Dengan ide ini, pemukiman<br />

dibangun seperti mesin berinti banyak, tanpa adanya<br />

ruang-ruang terbuka sebagai tempat sosialisasi,<br />

tempat bermain anak-anak dan rekreasi. Mengutip Le<br />

Corbusier yang menyatakan pada awal abad ini<br />

bahwa rumah merupakan sebuah mesin di mana<br />

manusia hidup di dalamnya ‘’a house as a machine<br />

for living’’, rumah adalah sebagai mesin di mana kita<br />

hidup di dalamnya , kantor adalah sebuah mesin<br />

untuk di mana orang bekerja didalamnya dan katedral<br />

adalah sebuah mesin di mana kita berdoa di<br />

dalamnya. Pernyataan ini menujukkan adanya<br />

prospek yang mengkhwatirkan, karena apa yang telah<br />

terjadi adalah para perancang kini merancang untuk<br />

mesin bukan untuk manusianya.<br />

142


Arsitektur dan Lingkungan, Pasca Arsitektur Modern<br />

N Vinky Rahman<br />

Secretariadi, Chandigarh India (1958) – Le Corbusir<br />

Ironisnya, pada saat yang sama, Le<br />

Corbuiser sebagai seorang arsitek (yang sering<br />

disebut-sebut sebagai Bapak Arsitektur Modern)<br />

justru terlibat dalam paradigma buruknya arsitektur<br />

modern tersebut. Ia merancang sebuah rumah<br />

bersusun yang dikombinasikan dengan fasilitas<br />

umum dan social yang lengkap seperti sekolah dan<br />

kantor pos di Chandigarh, India. Namun yang terjadi<br />

adalah bangunan perumahan tersebut tidak<br />

mendapatkan tanggapan yang baik dari<br />

penggunaannya. Salah satunya adalah karena rumah<br />

susun tersebut tidak dapat mewadahi perilaku yang<br />

cukup memadai jumlahnya dalam jarak tempuh<br />

relatif dekat. Contoh tersebut mewujudkan bahwa<br />

arsitektur modern belum dapat mewadahi kebutuhan<br />

perilaku spsifik dari klien pengguna, selain<br />

kebutuhan dan persyaratan teknis dan biologis<br />

semata, yang berarti factor manusia dengan segala<br />

keragaman dan perilakunya belum dipertimbangkan<br />

secara masak.<br />

Dengan melihat pola perkembangan yang ada, kini<br />

saatnya kalangan perancang dan kalangan terkait lain<br />

yang berkepentingan mulai meletakkan kembali<br />

nilai-nilai eksistensi manusia dalam lingkungannya.<br />

Perkembangan yang pada saat ini menunjukkan<br />

bahwa kita sudah sampai pada titik dalam sejarah, di<br />

mana nilai-nilai kemanusian, kualitas hidup dan<br />

lingkungan menjadi pertimbangan utama<br />

dibandingkan nilai-nilai ekonomi, kualitas keuangan<br />

dan teknologi. Sebagai akibat dari proses<br />

<strong>industri</strong>alisasi yang cenderung menyeragamkan<br />

tingkat kesejahteraan, banyak ditemukan tanda-tanda<br />

kekosongan jiwa, kebingungan, tujuan yang tidak<br />

jelas bahkan keterasingan yang menunjukkan adanya<br />

degradasi nilai kemanusian (Brenda & Robert Vale<br />

1991 : 124). Dengan memanfaatkan teknologi dan<br />

kemajuan ilmu pengetahuan yang ada semaksimal<br />

mungkin, diharapkan kita dapat meningkatkan<br />

kualitas hidup manusia dalam lingkungannya,<br />

melalui produk arsitektur yang dapat tanggap<br />

perilaku dan tanggap social.<br />

Desain Aristektur dengan Pendekatan Perilaku<br />

Dalam bukunya Designing Place for people,<br />

CM. Deasy mengemukakan tentang prilaku manusia<br />

yang kompleks, dimana studi di dalamnya<br />

melibatkan bidang studi psikologi, sosiologi dan<br />

antropologi. Interskasi antar manusia sebagai salah<br />

satu factor yng mendasari terbetuknya perilaku<br />

manusia, merupakan hal yang tidak kalah<br />

kompleksnya, karena berakar pada factor-faktor<br />

pendorong sebagaimana diungkapkkan oleh<br />

Abraham Maslow, yaitu :<br />

1. kebutuhan akan makanan dan minuman<br />

2. kebutuhan akan rasa aman dan keselamatan<br />

3. kebutuhan akan kasih sayang<br />

4. kebutuhan akan aktualisasi diri<br />

Seluruh factor ini menempati urutan yang sama<br />

pentingnya dalam hidup manusia, dengan perubahan<br />

dan penyesuaian sesuai dengan pertambahan usia.<br />

Berlangsung dalam dinamika waktu yang<br />

berkesinambungan.<br />

Menurut Jon Lang, lingkungan yang ditempati oleh<br />

manusia terdir dari<br />

• lingkungan fisik :<br />

alami dan binaan<br />

• lingkungan terrestrial :<br />

alami, bumi-proses dan struktur<br />

• lingkungan animate : organisme hidup yang<br />

menempati<br />

• lingkungan social : hubungan antar manusia<br />

dan makhluk lain<br />

• lingkungan cultural :<br />

norma perilku dan artefak<br />

• lingkungan biogenic : membentuk<br />

setting/kerangkan fisik bgi kehidupan manusia<br />

• lingkungan sociogenic :<br />

Sistem sosil, norma prilaku dan dipengaruhi oleh<br />

siklus hidup, status social ekonomi dan kegiatan.<br />

Sedangkan perilaku oleh Jon Lang (1994)<br />

didefenisikan sebagai seluruh bentuk kegiatan yang<br />

dapat diamati secara langsung ataupun tidak<br />

langsung.<br />

143


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Pendekatan melalui teori prilaku dalam<br />

lingkungan atau yang oleh Lynden Herbert disebut<br />

sebagi behaviorism theory merupakan salah satu cara<br />

atau alat dalam upaya menghadirkan arsitektur yang<br />

lebih manusiawi. Teori ini mengemukakan prinsip<br />

dasar sebagai berikut :<br />

• Evolusi biologis merupakan hasil dari mutasi<br />

dan seleksi alam yang terjadi secara acak<br />

• Evolusi mental merupakan hasil dari uji coba<br />

yang dilakukan secara acak, dengan latar<br />

belakang imbalan akan sesuatu (rewards) yang<br />

disebut sebagai the carrot and the stick attitude<br />

of learning (imbalan dan hukuman)<br />

• Semua organisme, termasuk manusia, pada<br />

dasarnya merupakan aotumata paslf yang<br />

dikendalikan oleh lingkungannaya, berdasrkan<br />

kemampuan adaptasi masing-masing organisme<br />

terhadap lingkungannya tersebut.<br />

• Pendekatan ilmiah yang tepat untuk diterapkan<br />

adalah melalui pengukuran dan pemetaan secara<br />

kuantitaitf yang diukur dari pola yang berulang<br />

dari setiap gejala yang terjadi.<br />

• ‘Pengkondisiaan’ merupakan kata kunci dalam<br />

menjelaskan bagaimana perilaku manusia,<br />

mengapa dan bagaimana mereka berprilaku,<br />

terlepas dari fakta bahwa pengkodisian memiliki<br />

keterbatasan tersendiri.<br />

Teori perilaku pada awalnya berangkat dari<br />

apa yang disebut sebagai myth of quantifiability,<br />

yang menyatakan bahwa perilaku yang bisa<br />

dipetakan adalah perilaku yang dapat dipilah-pilah<br />

dan diuraikan dalam bentuk kaitan stimulus-respons<br />

(Lynden Herbert, 1972). Sebagimana juga<br />

diungkapkan oleh jon Lang, hubungan antara<br />

manusia dan lingkungannya dapat diuraikan sebagai<br />

berikut :<br />

• Perilaku berlangsung dalam konteks lingkungan<br />

tertentu<br />

• Kualitas lingkungan dapat mempunyai dampak<br />

luas terhadap perilaku dan kepribadian individu<br />

• Lingkungan berperan sebagai pembentuk<br />

kekuatan motivasi pada manusia (proses afektif<br />

dan attitudinal serta adaptasi)<br />

• Hubungan manusia dan lingkungan bersifat<br />

integral dan timbal balik.<br />

Penjelasan menyeluruh tentang organisme<br />

manusia dengan perilakunya tidak hanya<br />

terbatas pada diri apa dan kandungan apa yang<br />

ada pada organisme tersebut, akan tetapi juga<br />

bagaimana manusia berhubungan dengan<br />

lingkungannya ,bagaimana manusia melakukan<br />

modifikasi lingkungan, dan bagaimana<br />

lingkungan juga turut membentuk pengaruh<br />

dalam modifikasi dalam diri manusia itu sendiri<br />

(transaksional), Berhasil atau tidaknya upaya<br />

perancang dalam mengakomodasikan pola<br />

perilaku manusia sangat tergantung pada dua<br />

factor penting, yaitu :<br />

• Informasi yang sangat spesfik<br />

• Kepekakaan perancang dalan menerjemahkan<br />

informasi yang spesifik tersebut ke dalam<br />

bentukan fisik yang paling tepat.<br />

Walaupun tidak semua pola perilaku dapat dapat atau<br />

harus diakomodasi dalam desain, sang arsitektur<br />

harus benar-benar memahami pola-pola yang terjadi,<br />

sehingga desain yang terjadi tidak memberikan<br />

pengaruh buruk terhadap pola keseharian<br />

penggunanya.<br />

Perilaku umum yang dapat dijumpai dalam<br />

sebuah komunitas adalah perilaku sosialnya. Salah<br />

satu upaya untuk menyediakan banyak tempat<br />

pertemuan potensial yng dikembangkan dan ide dasar<br />

bahwa kedekatan (proximity) akan membentuk<br />

hubungan social, misalnya tempat sosialisasi di ruang<br />

terbuka kota (public space) bagi semua aktivitas<br />

publik baik individual maupun kolektif. Semakin<br />

banyak dibuat tempat-tempat pertemuan, maka akan<br />

semakin banyak pertemuan yang terjadi setiap saat.<br />

Kehidupan publik akan berkembang kerena adanya<br />

berbagai kekuatan social dan karakter yang spesifik<br />

adri kelompok masyarakat, yaitu kekuatan-kakuatan :<br />

• Alami<br />

Bersifat ad-hoc, informal dan atraktif. Pada<br />

umumnya ruang semacam ini diperoleh dari<br />

partisipasi masyarakat, selain dapat juga terjadi<br />

secara temporer di pojok-pojok jalan, tangga<br />

atau disepanjang koridor,.<br />

• Buatan<br />

Budaya ruang di Indonesia seperti umumnya<br />

masyarakat Asia lainnya, masih menganggap hal<br />

ini sebagai hal baru. Masyarakat Indonesia<br />

merupakan yang sangat mengagungkan privacy<br />

sehingga kebutuhan untuk berinteraksi secara<br />

social tidak harus terwadahi dalam suatu ruang<br />

terbuka yang dirancang dan terpusat, tetapi dapat<br />

terjadi di mana-mana berdampingan dengan<br />

aktivitas lain. Istilah privacy di sini merujuk<br />

pada adanya kebutuhan individu akan ruang<br />

gerak pribadi dimana tidak semua orang bebas<br />

memasuki ruang pribadi tersebut. Di Indonesia,<br />

dapat diambil contoh Jawa, yang memiliki ruang<br />

terbuka dengan konsep ritual keagamaan dan<br />

kenegaraan yang jauh dari fungsi komersil.<br />

Namun di Bandung, pada masa pemerintahan<br />

Hindia Belanda ruang terbuka mengalami<br />

pergeseran makna ritual sebagai bagian dari<br />

kegiatan ibadah, menjadi makna ekonomi yang<br />

melayani kebutuhan sehari-hari masyarakat.<br />

Dalam bukunya ‘’ Seni Bangunan dan Binakota<br />

di Indonesia.’’ Bagoes P. Wiryomartono<br />

mengemukakan fakta bahwa linieritas antara<br />

alun-lun dan pola permukiman merupakan<br />

bagian dari kegiatan social ekonomi di luar<br />

bangunan, sehingga jalan tidak hanya sebagai<br />

tempat orang berjualan.<br />

144


Arsitektur dan Lingkungan, Pasca Arsitektur Modern<br />

N Vinky Rahman<br />

Dalam sejarah arsitektur barat, sejak akhir<br />

Perang Dunia ke-2, fenomena public space<br />

berkembang seiring dengan bermunculannya<br />

berbagai strata masyarakat dengan kehidupan publik<br />

yang beraneka ragam, kondisi seperti ini analogis<br />

dengan kondisi Indonesia saat ini yang sedang<br />

melakukan pembangunan dengan heterogenitas<br />

masyarakatnya yang tinggi, di mana kondisi<br />

masyarakat individualisme bergeser menjadi<br />

masyarakat demokratis.<br />

Meninjau pada kekuatan legal yang<br />

mempengaruhinya, public space muncul karena<br />

adanya minat yang besar dari masyarakat kota dari<br />

golongan menengah, Golongan ini menjadi pencetus<br />

suatu gerakan yang disebut sebagai gerakan<br />

lingkungan (environment movement), yang salah<br />

satu dari usahanya adalah menuntut pemeritah agar<br />

dapat menghidupkan kembali ruang-ruang terbuka<br />

publik seperti taman, playgroup dan ruang –ruang<br />

terbuka lainnya di kota.<br />

Kecenderungan struktur ruang atau taman –<br />

taman kota yang mulanya berukuran besar dan hanya<br />

terdapat di pusat-pusat kota dan pusat pemerintahan,<br />

kini tersebar di dalam dan sekitar hunian penduduk.<br />

Hal ini diakibatkan oleh karena munculnya berbagai<br />

tipe perumahan dalam lingkungan berkepadatan<br />

tinggi. Salah satu ruang yang menjadi pertimbangan<br />

utama mereka adalah tempat bermain bagi anakanak.<br />

Ruang terbuka untuk bermain anak pada<br />

umumnya terdapat di perkampungan imigran, baik<br />

itu dibuat khusus maupun sebagai perluasan dari<br />

taman-taman yang sudah ada. Orang tua anak-anak<br />

tersebut menginginkan mereka bermain dengan aman<br />

di sekitar rumah mereka, daripada harus secara<br />

khusus datang ke taman pusat bermain oleh adanya<br />

kemungkinan anak-anak mereka akan diganggu oleh<br />

kelompok-kelompok masyarakat yang tidak<br />

menyukai keberadaan mereka. Karakter permainan<br />

pada saat itu lebih diarahkan pada pendidikan.<br />

Kelompok anak-anak tersebut didampingi oleh<br />

pemimpin kelompok atau guru mereka. Sekolah,<br />

hunian dan playgroup merupakan sebuah system<br />

ruang yang saling berkait satu sama lainnya.<br />

Playgroup, apangan sekolah dan taman-taman<br />

setempat, juga jalan lingkungan merupakan sebuah<br />

rona di mana anak-anak dan orang dewasa<br />

berinteraksi dengan lingkungannya (place). Semakin<br />

ia terikat dengan place-nya, perilku seseorang<br />

terhadap lingkungan akan tetap sama walaupun profil<br />

ruangnya berubah. Hal ini menunjukkan adanya<br />

pengaruh besar dari lingkungan terhadap kepribadian<br />

seseorang. Denagan demikian rekan citra, nostalgia<br />

dan kenangan akan lebih berarti dari pada profil<br />

ruang dan fasilitas yang ada.Ruang-ruang yang<br />

terbentuk dari memori dan pencitraan kolektif seperti<br />

ini disebut dengan childhood space. Pola perilaku<br />

pada ruang terbuka kota yang mengambil contoh<br />

tempat bermain anak, merupakan salah satu contoh<br />

bentukan fisik informasi spesifik penggunannya yaitu<br />

anak-anak. Ruang terbuka kota yang sesuai dengan<br />

karakter anak-anak belum tentu akomodatif bagi<br />

kebutuhan bagi kebutuhan dan perilaku orang<br />

dewasa. Dengan demikian aspek social serta nilai<br />

kemanusian dalam pembentukan lingkungan<br />

fisiknya.<br />

Perilaku pengguna dapat juga diterjemahkan<br />

melalui konsep flexibility sebagai cara untuk<br />

mempersoalkan arsitektur dan mengakomodasikan<br />

perbedaan gaya hidup. Konsep ini memberikan<br />

kemungkinan berbagai perubahan dan penyesuaian<br />

yang ingin dilakukan pengguna, atau bhkan membuat<br />

kontribusi-kontribusi individual misalnya pada<br />

rumah tinggal mereka, seperti yang pernah<br />

ditawarkan oleh Adolf Loos dengan membantu<br />

pengguna dalam mengakomodasi beragam kebutuhan<br />

social yang berarti juga tanggap terhadap partisipasi<br />

pengguna (user participation) yang membutuhkan<br />

keleluasaan lebih besar.<br />

Pendekatan Ekologi Pada Arsitektur Vernakular<br />

Pertimbangan pengguna, selain dalam<br />

kaitannya dengan pola perilaku individu maupun<br />

social juga berkaitan dengan isu keseimbangan<br />

lingkungan seperti polusi, pemanasan global dan<br />

perusak lapisan ozon. Ekologi dan keseimbangan<br />

lingkungan merupakan dasar siklus kehidupan<br />

manusia di atas bumi , baik secara biologis maupun<br />

budaya. Desain lingkungan fisik berkaitan erat<br />

dengan perkembangan produk, peralatan, mesin,<br />

artefak, material dan lainnya yang secara langsung<br />

memberikan dampak terhadap ekologi. Dalam<br />

pertemuan para ahli lingkungan dalam Agenda 21 di<br />

Rio de Jeneiro pada tahun 1992, dikemukakan<br />

berbagai fakta yang mengkhwatirkan tentang<br />

pencemaran lingkungan yang berdampak buruk<br />

terhadap bumi yang kita tinggali. Berbagai<br />

kesepakatan telah dicapai dalam pertemuan tersebut,<br />

antara lain dengan mengupayakan semua bentuk<br />

desain yang lebih tanggap terhadap lingkungan<br />

secara positif dan integrative. Desain yang<br />

dikembangkan harus menjadi jembatan antara<br />

budaya, teknologi, dan kebutuhan manusia yang<br />

berarti menempatkan manusia sebagai factor penting<br />

dalam desain. Sekali lagi, nilai kemanusian prilaku<br />

manusia dan nilai-nilai social menjadi faktor penentu<br />

keberhasilan desain yang lebih manusiawi.<br />

Melalui pendekatan ini, desain dibuat dalam<br />

kerangka konsep arsitektur hijau yang di dalamnya<br />

mencakup pemanfaatan seluruh potensi alam dengan<br />

bijak dalam karya arsitektur, sebagaimana dikutip<br />

dari Brenda dan Robert Vale dalam bukunya The<br />

Green Architecture : Design for a Sustainable Future<br />

yaitu bahwa ‘’a green architecture regoinazes the<br />

importance of all people involved with itl’’. Karyakarya<br />

seperti ini banyak dijumpai pada arsitektur<br />

tradisional dan arsitektur vernakular yang banyak<br />

menggunakan kayu sebagai bahan baku utama yang<br />

sudah terbuku selama ratusan bahkan ribuan tahun<br />

bahwa contoh-contoh diri karya arsitektur tersebut<br />

ramah lingkungan, bahkan cenderung fisik tempat<br />

145


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

manusia tersebut tinggal.<br />

Arsitektur harus dapat dinikmati dan dialami<br />

melalui semua indera dan tidak hanya dapat<br />

dinikmati secara visual saja, informasi visual dapat<br />

memberikan gambaran yang utuh, akan tetapi<br />

keindahan yang sebenarnya harus digali dan<br />

dipahami lebih dalam lagi, dan keindahan tersebut<br />

akan dijumpai pada arsitektur vernakular lahir dari<br />

proses pemahaman, proses perwujudan nilai dan<br />

tradisi, serta proses ritualisasi yang menjadikan<br />

arsitektur ini memiliki nilai kekayaan yang lebih<br />

bijak daripada arsitektur yang ada akhir-akhir ini.<br />

Arsitektur vernakular memiliki beberapa ciri yang<br />

menandai perjalanan proses tersebut, yaitu:<br />

• Arsitektur vernakular dibangun bersama<br />

berdasarkan pengetahuan local (local<br />

knowledge) yang praktis dan teknis sifatnya<br />

• Pada umumnya dibangun oleh setiap pengguna<br />

dan kelompoknya, yang berarti arsitektur<br />

vernakular tanggap terhadap kebutuhan<br />

pengguna dengan segala perilaku individu dan<br />

sosialnya<br />

• Menerapkan seni pertukangan local dan kualitas<br />

yang tinggi, uang menunjukkan adanya<br />

penghargaan terhadap nilai-nilai pribadi, tidak<br />

anonymus dan tidak terdapat unsur keseragaman<br />

dalam hasilnya, kecuali dalam batasan nilai adat<br />

dan tradisi tertentu yng tidak boleh dilanggar.<br />

Ketidakseragaman ini muncul Karena dalam<br />

setiap hasil terkandung unsur identitas dan jati<br />

diri penciptanya yang ditransformasikan melalui<br />

seni ketukangan yang diterapkan pada setiap<br />

karya<br />

• Mudah dipelajari dan mudah dipahami, yang<br />

berarti memberikan keleluasaan bagi pengguna<br />

untuk berapresiasi (menikmati,<br />

menggunakan,menjelajahi bahkan mengubah<br />

ulang) secara penuh dalam karyanya.<br />

• Menggunakan material local yang memberikan<br />

identitas lokal yang kuat<br />

• Secara ekologis jenis aritektur ini cukup teruji<br />

oleh zaman (adapun terhadap iklim flora, fauna<br />

dan gaya hidup local<br />

• Skala bangunan manusiawi yang menunjukkn<br />

adanya keinginan untuk memberikan skala ruang<br />

terbuka yang nyaman bagi sosialisasi, bercermin<br />

dan rekreasi bagi warga setempat (socially fit)<br />

Berdasarkan penjelasan di atas, jenis arsitektur<br />

ini mencerminkan pemenuhan kebutuhan social yang<br />

lebih optimal yang dapat mengakomodasi secara<br />

langsung kebutuhan dan keinginn manusia<br />

penggunaannya daripada aritektur yang dibentuk<br />

semata-mata oleh arogansi arsitek modernis,<br />

kepekaan akan skala bangunan, misalnya<br />

memberikan pengaruh yang besar apada masyarakat<br />

untuk memehami konsep yng ada dalam setiap<br />

bentuk fisik, bahkan memberikan kenyamanan<br />

individual bagi setiap manusia yang ingin<br />

menikmatinya secara utuh. Fenomen yang unik ingin<br />

dari arsitektur vernacular ini juga telah diterapkan<br />

dalam desain sejumlah arsitek ternama, seperti Frank<br />

Llyod Wright dan Alvr Aalto.<br />

Berangkat dari pemahaman akan kelebihan yang<br />

ada pada arsitektur vernacular tersebut, yang ada<br />

pada arsitektur vernacular tersebut, eksistensi<br />

manusia pengguna harus menjadi dasar bagi desain<br />

yang akan diciptakan. Setiap budaya memiliki<br />

ideology tersendiri, setiap kelompok social<br />

mempunyai ciri dan karakter tersendiri, setiap<br />

manusia memiliki keinginan dan kebutuhan yang<br />

berlainan pula satu dengan lainnya. Perbedaan<br />

organisasi, kelembagaan, corak social dan perilaku<br />

individu memberikan makna ruang yang berada pula<br />

dan perbedaan akan sulit diakomodasi oleh kaidahkaidah<br />

arsitektur umum yang diuniversalisasikan.<br />

Selain itu perlu juga dipertimbangkan factor-faktor<br />

perbedaan iklim, corak geografis dan karakter alam<br />

dari setiap daerah.<br />

Penutup<br />

Pada akhirnya, lingkungan alami maupun<br />

binaan harus menjadi pertimbangan rekayasa dan<br />

rancang bangun, agar semakin bijak berkarya dalam<br />

konteks kemajuan teknologi yang semakin canggih.<br />

Perkembangan <strong>sistem</strong> informasi dengan keleluasaan<br />

jaringan yang semakin fleksibel, apabila<br />

dimanfaatkan secara bijaksana dapat menjadi<br />

pendukung. Namun apa artinya teknologi jika satu –<br />

satunya pengguna teknologi, yaitu manusia, tidak<br />

dapat menikmati lingkungnnya secara nyaman,<br />

bahkan cenderung mengalami penurunan semangat,<br />

kualitas bahkan harkat. Hal ini akan semakin<br />

memburuk bila keadaan lingkungan alami secara<br />

keseluruhan mengalami perusakan total akibat<br />

kecerobohan praktisi rekayasa dan rancang bangun<br />

dalam membaca fenomena yang sedang berlangsung.<br />

Jika ekspresi fisik pola kehidupan social dipahami<br />

dan dimengerti secara utuh oleh seorang arsitek,<br />

maka dasar pendekatan baru dalam desain melalui<br />

pendekatan perilaku, social dan pendekatan ekologi<br />

dapat menjamin masa depan bagi lingkungan alami<br />

dan binaan yang ditempati oleh manusia.<br />

Daftar Pustaka<br />

1. Altman. Irwin & Stokols, Daniel, (1987),<br />

Handbook of Environment Psychology Vol.<br />

1,New York ; John Willey & Sons.<br />

2. Brolin, Brent C, The Failure of Modem<br />

Architecture, (1976), New York : Van Nostrand<br />

Reinhold Company.<br />

3. Carr, Stephen; Francis, Mark; Rlvlin, Leanne G,<br />

& Stone, Andrew M, (1992), Public Space,<br />

Cambridge : Cambridge University Press.<br />

4. Herbert, Lynden, (1972), A New Language for<br />

Environmental Design, New York : New York<br />

University Press<br />

5. Lang, Jon, (1987), Creating Architectur Theory:<br />

The Role of the Behavior Sciences in<br />

Environmental Design, New York: Van<br />

Nostrand Reinhold Company.<br />

146


Arsitektur dan Lingkungan, Pasca Arsitektur Modern<br />

N Vinky Rahman<br />

6. McDonough, William, (1996), Design, Ecology<br />

and The Making of Things, in Neisbitt, Kate<br />

(ed), Theorizing a New Agenda for<br />

Architecture, New York : Princeto Architecture<br />

Press, pp. 398-407<br />

7. Papanek, Victor, (1995), The Green Imperative :<br />

Ecology and Ethnic In Design and Architecture,<br />

Singapore ; Thames and Hudson.<br />

8. Trancik, Roger, (1986), Finding Lost Space :<br />

Theories of Urban Design, New York : Van<br />

Nostrand Reinhold Company<br />

9. Vale, Brenda & Robert, (1991), The Green<br />

Architecture : Design for a Sustainable Future,<br />

Singapore : Thames and Hudson.<br />

10. Broadbent, Geoffney, et als (eds), (1980).<br />

Meaning and Behavior in the Built<br />

Environment, New York ; John Willey and Sons<br />

147


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

MENCIPTAKAN KENYAMANAN THERMAL<br />

DALAM BANGUNAN<br />

Basaria Talarosha<br />

Staf Pengajar Program Studi Arsitektur USU<br />

Abstract: Indonesia is located in equator line with it’s avarage temperature is 35°C. Its humidity is high, it can<br />

reach 85% (hot humid tropical climate). There are two things that cause extreme climate. Firstly the position<br />

between 2 continent and two ocean. Secondly big different between the area of continent and ocean. This<br />

condition makes disadvantage for human being in doing their activities becaused of up and down of the<br />

temperature that is not comfort for the human body. The best range of temperature for Indonesian people in<br />

doing their activities is 22,8°C - 25,8°C and the humidity 70%. Easiest step to create thermal comfort in<br />

building is using air condition system. How ever it affects to the electrical energy used. This paper proposes to<br />

solve the thermal comfort in building by architectural solution, designing building by considering orientation to<br />

wind direction and sun, using of architecture element and building material, and also elements of landscape.<br />

Keywords: building thermal comfort, energy efficient architecture<br />

Abstrak: Secara geografis Indonesia berada dalam garis khatulistiwa atau tropis, namun secara thermis (suhu)<br />

tidak semua wilayah Indonesia merupakan daerah tropis. Daerah tropis menurut pengukuran suhu adalah<br />

daerah tropis dengan suhu rata-rata 20 o C, sedangkan rata-rata suhu di wilayah Indonesia umumnya dapat<br />

mencapai 35 o C dengan tingkat kelembaban yang tinggi, dapat mencapai 85% (iklim tropis panas lembab).<br />

Keadaan ini terjadi antara lain akibat posisi Indonesia yang berada pada pertemuan dua iklim ekstrim (akibat<br />

posisi antara 2 benua dan 2 samudra), perbandingan luas daratan dan lautannya, dan lain-lain. Kondisi ini<br />

kurang menguntungkan bagi manusia dalam melakukan aktifitasnya sebab produktifitas kerja manusia<br />

cenderung menurun atau rendah pada kondisi udara yang tidak nyaman seperti halnya terlalu dingin atau<br />

terlalu panas. Suhu nyaman thermal untuk orang Indonesia berada pada rentang suhu 22,8°C - 25,8°C dengan<br />

kelembaban 70%. Langkah yang paling mudah untuk mengakomodasi kenyamanan tersebut adalah dengan<br />

melakukan pengkondisian secara mekanis (penggunaan AC) di dalam bangunan yang berdampak pada<br />

bertambahnya penggunaan energi (listrik). Cara yang paling murah memperoleh kenyamanan thermal adalah<br />

secara alamiah melalui pendekatan arsitektur, yaitu merancang bangunan dengan mempertimbangkan orientasi<br />

terhadap matahari dan arah angin, pemanfaatan elemen arsitektur dan material bangunan, serta pemanfaatan<br />

elemen-elemen lansekap.<br />

Kata kunci: kenyamanan thermal bangunan, arsitektur hemat energi<br />

PENGANTAR<br />

Idealnya, sebuah bangunan mempunyai nilai estetis,<br />

berfungsi sebagaimana tujuan bangunan tersebut<br />

dirancang, memberikan rasa ‘aman’ (dari gangguan<br />

alam dan manusia/makhluk lain), serta memberikan<br />

‘kenyamanan’. Berada di dalam bangunan kita<br />

berharap tidak merasa kepanasan, tidak merasa<br />

kegelapan akibat kurangnya cahaya, dan tidak<br />

merasakan bising yang berlebihan. Setiap bangunan<br />

diharapkan dapat memberikan kenyamanan ‘termal’,<br />

‘visual’ dan ‘audio’.<br />

Kenyamanan termal sangat dibutuhkan tubuh agar<br />

manusia dapat beraktifitas dengan baik (di rumah,<br />

sekolah ataupun di kantor/tempat bekerja). Szokolay<br />

dalam ‘Manual of Tropical Housing and Building’<br />

menyebutkan kenyamanan tergantung pada variabel<br />

iklim (matahari/radiasinya, suhu udara, kelembaban<br />

udara, dan kecepatan angin) dan beberapa faktor<br />

individual/subyektif seperti pakaian, aklimatisasi,<br />

usia dan jenis kelamin, tingkat kegemukan, tingkat<br />

kesehatan, jenis makanan dan minuman yang<br />

dikonsumsi, serta warna kulit.<br />

Indonesia mempunyai iklim tropis dengan<br />

karakteristik kelembaban udara yang tinggi (dapat<br />

mencapai angka 80%), suhu udara relatif tinggi<br />

(dapat mencapai hingga 35˙C), serta radiasi matahari<br />

yang menyengat serta mengganggu. Yang menjadi<br />

persoalan adalah bagaimana menciptakan<br />

kenyamanan termal dalam bangunan dalam kondisi<br />

iklim tropis panas lembab seperti di atas. Tulisan ini<br />

mengulas hal-hal yang berkaitan dengan kenyamanan<br />

termal dan konsep-konsep untuk dapat menciptakan<br />

kenyamanan termal di dalam bangunan pada daerah<br />

iklim tropis panas lembab.<br />

148


Menciptakan Kenyamanan Thermal dalam Bangunan<br />

Basaria Talarosha<br />

Berbagai Penelitian tentang Batas-batas<br />

Kenyamanan Termal<br />

Telah disebutkan sebelumnya, Szokolay<br />

dalam ‘Manual of Tropical Housing and Building’<br />

menyebutkan kenyamanan tergantung pada variabel<br />

iklim (matahari/radiasinya, suhu udara, kelembaban<br />

udara, dan kecepatan angin) dan beberapa faktor<br />

individual/subyektif seperti pakaian, aklimatisasi,<br />

usia dan jenis kelamin, tingkat kegemukan, tingkat<br />

kesehatan, jenis makanan dan minuman yang<br />

dikonsumsi, serta warna kulit.<br />

Teori Fanger, Standar Amerika<br />

(ANSI/ASHRAE 55-1992) dan Standar Internasional<br />

untuk kenyamanan termis (ISO 7730:1994) juga<br />

menyatakan hal yang sama bahwa kenyamanan<br />

termis yang dapat dirasakan manusia merupakan<br />

fungsi dari faktor iklim serta dua faktor individu<br />

yaitu jenis aktifitas yang berkaitan dengan tingkat<br />

metabolisme tubuh serta jenis pakaian yang<br />

digunakan. Menurut teori ini, kenyamanan suhu tidak<br />

secara nyata dipengaruhi oleh perbedaan jenis<br />

kelamin, tingkat kegemukan, faktor usia, suku<br />

bangsa, tempat tinggal geografis, adaptasi, faktor<br />

kepadatan, faktor warna dan sebagainya.<br />

Menurut Humphreys dan Nicol<br />

kenyamanan suhu juga dipengaruhi oleh adaptasi dari<br />

masing-masing individu terhadap suhu luar di<br />

sekitarnya. Manusia yang biasa hidup pada iklim<br />

panas atau tropis akan memiliki suhu nyaman yang<br />

lebih tinggi dibanding manusia yang biasa hidup<br />

pada suhu udara rendah seperti halnya bangsa Eropa.<br />

Szokolay<br />

Iklim:<br />

• matahari (besarnya radiasi),<br />

• suhu udara,<br />

• angin (kecepatan udara),<br />

• kelembaban udara luar<br />

Faktor Individu:<br />

• Pakaian<br />

• Aklimatisasi<br />

• Usia dan jenis kelamin<br />

• Tingkat kegemukan<br />

• Tingkat kesehatan<br />

• Jenis makanan dan minuman yang<br />

dikonsumsi<br />

• Warna kulit (suku bangsa)<br />

Tabel 1<br />

Pembandingan Faktor Penentu Suhu Nyaman<br />

Fanger, Standar Amerika<br />

(ANSI/ASHRAE 55-1992), Standar<br />

Internasional (ISO 7730:1994)<br />

Iklim:<br />

• matahari (besarnya radiasi),<br />

• suhu udara,<br />

• angin (kecepatan udara),<br />

• kelembaban udara luar<br />

Faktor Individu:<br />

• Aktifitas<br />

• Pakaian<br />

Humphreys dan Nicol<br />

Iklim:<br />

• matahari (besarnya radiasi),<br />

• suhu udara,<br />

• angin (kecepatan udara),<br />

• kelembaban udara luar<br />

Faktor Individu:<br />

• Aktifitas<br />

• Pakaian<br />

• adaptasi individu<br />

Lokasi geografis<br />

Houghton dan Yaglou (dalam ‘Determining Lines of Equal Comfort’, Transactions of America Society of<br />

Heating and Ventilating Engineers Vol. 29, 1923) menyatakan kenyamanan sebagai fungsi dari radiasi panas,<br />

temperatur, kelembaban udara dan gerakan udara yang disebut sebagai Temperatur Efektif (TE).<br />

Sejalan dengan teori Humphreys dan Nicol, Lipsmeier (1994) menunjukkan beberapa penelitian yang<br />

membuktikan batas kenyamanan (dalam Temperatur Efektif/TE) berbeda-beda tergantung kepada lokasi<br />

geografis dan subyek manusia (suku bangsa) yang diteliti seperti pada tabel di bawah ini:<br />

Pengarang Tempat Kelompok Manusia Batas Kenyamanan<br />

ASHRAE<br />

20,5°C - 24,5°C TE<br />

Rao<br />

20°C - 24,5°C TE<br />

Webb<br />

25°C - 27°C TE<br />

Mom<br />

Ellis<br />

USA Selatan (30° LU)<br />

Calcutta (22°LU)<br />

Singapura<br />

Khatulistiwa<br />

Jakarta (6°LS)<br />

Singapura<br />

Khatulistiwa<br />

Sumber: Bangunan Tropis, Georg. Lippsmeier<br />

Peneliti<br />

India<br />

Malaysia<br />

Cina<br />

Indonesia<br />

Eropa<br />

20°C - 26°C TE<br />

22°C - 26°C TE<br />

149


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Menurut penelitian Lippsmeier, batas-batas kenyamanan manusia untuk daerah khatulistiwa adalah 19°C TE<br />

(batas bawah) – 26°C TE (batas atas). Pada temperatur 26°C TE umumnya manusia sudah mulai berkeringat.<br />

Daya tahan dan kemampuan kerja manusia mulai menurun pada temperatur 26°C TE – 30°C TE. Kondisi<br />

lingkungan yang sukar mulai dirasakan pada suhu 33,5°C TE– 35,5 °C TE, dan pada suhu 35°C TE – 36°C TE<br />

kondisi lingkungan tidak dapat ditolerir lagi. Produktifitas manusia cenderung menurun atau rendah pada kondisi<br />

udara yang tidak nyaman seperti halnya terlalu dingin atau terlalu panas. Produktifitas kerja manusia meningkat<br />

pada kondisi suhu (termis) yang nyaman (Idealistina , 1991).<br />

Gambar: 1<br />

Diagram Kenyamanan sebagai Fungsi dari Temperatur, Kelembaban dan Kecepatan Angin<br />

Sumber: Bangunan Tropis, Georg. Lippsmeier<br />

Berbagai penelitian kenyamanan suhu yang dilakukan di daerah iklim tropis basah, seperti halnya Mom<br />

dan Wiesebron di Bandung, Ellis, de Dear di Singapore, Busch di Bangkok, Ballabtyne di Port Moresby,<br />

kemudian Karyono di Jakarta, memperlihatkan rentang suhu antara 24˙C hingga 30˙C yang dianggap nyaman<br />

bagi manusia yang berdiam pada daerah iklim tersebut.<br />

Sementara itu, Standar Tata Cara Perencanaan Teknis Konservasi Energi pada Bangunan Gedung yang<br />

diterbitkan oleh Yayasan LPMB-PU membagi suhu nyaman untuk orang Indonesia atas tiga bagian sebagai<br />

berikut:<br />

Tabel 2<br />

Suhu Nyaman menurut Standar Tata Cara Perencanaan<br />

Teknis Konservasi Energi pada Bangunan Gedung<br />

• Sejuk Nyaman<br />

Ambang atas<br />

• Nyaman Optimal<br />

Ambang atas<br />

• Hangat Nyaman<br />

Ambang atas<br />

Temperetur Efektif (TE)<br />

20,5°C - 22,8°C<br />

24°C<br />

22,8°C - 25,8°C<br />

28°C<br />

25,8C – 27,1°C<br />

31°C<br />

Kelembaban (RH)<br />

50 %<br />

80%<br />

70%<br />

60%<br />

150


Menciptakan Kenyamanan Thermal dalam Bangunan<br />

Basaria Talarosha<br />

Konsep Kenyamanan<br />

Mengaitkan penelitian Lippsmeier<br />

(menyatakan pada temperatur 26°C TE umumnya<br />

manusia sudah mulai berkeringat serta daya tahan<br />

dan kemampuan kerja manusia mulai menurun)<br />

dengan pembagian suhu nyaman orang Indonesia<br />

menurut Yayasan LPMB PU, maka suhu yang kita<br />

butuhkan agar dapat beraktifitas dengan baik adalah<br />

suhu nyaman optimal (22,8°C - 25,8°C dengan<br />

kelembaban 70%). Angka ini berada di bawah<br />

kondisi suhu udara di Indonesia yang dapat mencapai<br />

angka 35°C dengan kelembaban 80%.<br />

Bagaimana usaha mengendalikan faktorfaktor<br />

iklim di atas untuk memperoleh kenyamanan<br />

termal di dalam bangunan. Cara yang paling mudah<br />

adalah dengan pendekatan mekanis yaitu<br />

menggunakan AC tetapi membutuhkan biaya<br />

operasional yang tidak sedikit. Pendekatan kedua<br />

adalah mengkondisikan lingkungan di dalam<br />

bangunan secara alami dengan pendekatan<br />

arsitektural.<br />

Pengkondisian lingkungan di dalam bangunan<br />

secara arsitektural dapat dilakukan dengan<br />

mempertimbangkan perletakan bangunan (orientasi<br />

bangunan terhadap matahari dan angin), pemanfaatan<br />

elemen-elemen arsitektur dan lansekap serta<br />

pemakaian material/bahan bangunan yang sesuai<br />

dengan karakter iklim tropis panas lembab. Melalui<br />

ke-empat hal di atas, temperatur di dalam ruangan<br />

dapat diturunkan beberapa derajat tanpa bantuan<br />

peralatan mekanis.<br />

1. Orientasi Bangunan<br />

a. Orientasi Terhadap Matahari<br />

Orientasi bangunan terhadap matahari akan<br />

menentukan besarnya radiasi matahari yang diterima<br />

bangunan. Semakin luas bidang yang menerima<br />

radiasi matahari secara langsung, semakin besar juga<br />

panas yang diterima bangunan. Dengan demikian,<br />

bagian bidang bangunan yang terluas (mis: bangunan<br />

yang bentuknya memanjang) sebaiknya mempunyai<br />

orientasi ke arah <strong>Utara</strong>-Selatan sehingga sisi<br />

bangunan yang pendek, (menghadap Timur – Barat)<br />

yang menerima radiasi matahari langsung.<br />

Gambar: 2<br />

Orientasi Bangunan (bentuk memanjang)<br />

menghadap <strong>Utara</strong>-Selatan<br />

b. Orientasi terhadap Angin (Ventilasi<br />

silang)<br />

Kecepatan angin di daerah iklim tropis<br />

panas lembab umumnya rendah. Angin<br />

dibutuhkan untuk keperluan ventilasi (untuk<br />

kesehatan dan kenyamanan penghuni di dalam<br />

bangunan). Ventilasi adalah proses dimana udara<br />

‘bersih’ (udara luar), masuk (dengan sengaja) ke<br />

dalam ruang dan sekaligus mendorong udara<br />

kotor di dalam ruang ke luar. Ventilasi<br />

dibutuhkan untuk keperluan oksigen bagi<br />

metabolisme tubuh, menghalau polusi udara<br />

sebagai hasil proses metabolisme tubuh (CO 2<br />

dan bau) dan kegiatan-kegiatan di dalam<br />

bangunan. Untuk kenyamanan, ventilasi berguna<br />

dalam proses pendinginan udara dan pencegahan<br />

peningkatan kelembaban udara (khususnya di<br />

daerah tropika basah), terutama untuk bangunan<br />

rumah tinggal. Kebutuhan terhadap ventilasi<br />

tergantung pada jumlah manusia serta fungsi<br />

bangunan.<br />

Posisi bangunan yang melintang terhadap<br />

angin primer sangat dibutuhkan untuk<br />

pendinginan suhu udara. Jenis, ukuran, dan<br />

posisi lobang jendela pada sisi atas dan bawah<br />

bangunan dapat meningkatkan efek ventilasi<br />

silang (pergerakan udara) di dalam ruang<br />

sehingga penggantian udara panas di dalam<br />

ruang dan peningkatan kelembaban udara dapat<br />

dihindari.<br />

Jarang sekali terjadi orientasi bangunan<br />

yang baik terhadap matahari sekaligus arah<br />

angin primer. Penelitian menunjukkan, jika<br />

harus memilih (untuk daerah tropika basah<br />

seperti Indonesia), posisi bangunan yang<br />

melintang terhadap arah angin primer lebih<br />

dibutuhkan dari pada perlindungan terhadap<br />

radiasi matahari sebab panas radiasi dapat<br />

dihalau oleh angin yang berhembus. Kecepatan<br />

angin yang nikmat dalam ruangan adalah 0,1 –<br />

0,15 m/detik. Besarnya laju aliran udara<br />

tergantung pada:<br />

Kecepatan angin bebas<br />

Arah angin terhadap lubang ventilasi<br />

Luas lubang ventilasi<br />

Jarak antara lubang udara masuk dan keluar<br />

Penghalang di dalam ruangan yang<br />

menghalangi udara<br />

Pola aliran udara yang melewati ruang<br />

tergantung pada lokasi inlet (lobang masuk)<br />

udara dan shading devices yang digunakan di<br />

bagian luar. Secara umum, posisi outlet tidak<br />

akan mempengaruhi pola aliran udara. Untuk<br />

menambah kecepatan udara terutama pada saat<br />

panas, bagian inlet udara ditempatkan di bagian<br />

atas , luas outlet sama atau lebih besar dari inlet<br />

dan tidak ada perabot yang menghalangi gerakan<br />

udara di dalam ruang. Gerakan udara harus<br />

diarahkan ke ruang ruang yang membutuhkan<br />

atau ruang keluarga. Penggunaan screen<br />

151


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

serangga akan mengurangi aliran udara ke dalam<br />

bangunan. Bukaan jendela (Jalousie atau<br />

louvered akan membantu udara langsung ke<br />

tempat-tempat yang membutuhkan.<br />

Memberi ventilasi pada ruang antara atap<br />

dan langit-langit (khususnya bangunan rendah)<br />

sangat perlu agar tidak terjadi akumulasi panas<br />

pada ruang tersebut. Panas yang terkumpul pada<br />

ruang ini akan ditransmisikan ke ruang di bawah<br />

langit-langit tersebut. Ventilasi atap sangat<br />

berarti untuk mencapai suhu ruang yang rendah.<br />

2. Elemen Arsitektur<br />

a. Pelindung Matahari<br />

Apabila posisi bangunan pada arah Timur dan<br />

Barat tidak dapat dihindari, maka pandangan<br />

bebas melalui jendela pada sisi ini harus<br />

dihindari karena radiasi panas yang langsung<br />

masuk ke dalam bangunan (melalui<br />

bukaan/kaca) akan memanaskan ruang dan<br />

menaikkan suhu/temperatur udara dalam ruang.<br />

Di samping itu efek silau yang muncul pada saat<br />

sudut matahari rendah juga sangat mengganggu.<br />

Gambar di bawah adalah elemen arsitektur yang<br />

sering digunakan sebagai pelindung terhadap<br />

radiasi matahari (solar shading devices).<br />

(1)<br />

Cantilever (Overhang)<br />

(2)<br />

Louver Overhang<br />

(Horizontal)<br />

(1) dan (2) Efektif digunakan pada bidang bangunan yang<br />

menghadap <strong>Utara</strong> –Selatan<br />

(3)<br />

Panels (atau Awning)<br />

(4)<br />

Horizontal Louver<br />

Screen<br />

(3) dan (4) Efektif digunakan pada bidang bangunan<br />

yang menghadap Timur-Barat (juga mengurangi efek<br />

silau pada saat sudut matahari rendah)<br />

(5)<br />

Egg Crate (kombinasai elemen<br />

horizontal dan vertikal)<br />

(6)<br />

Vertical Louver (bisa diputar<br />

arahnya)<br />

(5) dan (6) Paling Efektif digunakan pada bidang bangunan yang menghadap Timur-Barat.<br />

Berfungsi juga sebagai ‘Windbreak’, penting untuk daerah yang mempunyai ‘banyak’ angin.<br />

Gambar 3<br />

Elemen Arsitektur sebagai Pelindung Radiasi Matahari<br />

(Sumber: Egan, Concept in Thermal Comfort, 1975)<br />

Efektifitas pelindung matahari dinilai dengan angka<br />

shading coefficient (S.C) yang menunjukkan besar<br />

energi matahari yang ditransmisikan ke dalam<br />

bangunan. Secara teori angka yang ditunjukkan<br />

berada pada angka 1,0 (seluruh energi matahari<br />

ditransmisikan, misalnya: penggunaan kaca jendela<br />

tanpa pelindung) sampai 0 (tidak ada energi<br />

matahari yang ditranmisikan). Di samping jenis<br />

pelindung yang digunakan (lihat Gambar 3 dan<br />

Tabel 3), material serta warna yang digunakan<br />

(Tabel 4), juga berperan dalam menentukan angka<br />

shading coefficient (S.C). Egan menunjukkan angka<br />

shading coefficient berdasarkan jenis pelindung<br />

sebagai berikut:<br />

152


Menciptakan Kenyamanan Thermal dalam Bangunan<br />

Basaria Talarosha<br />

Tabel 3<br />

Shading Coeficient untuk Elemen Arsitektur<br />

No. Elemen Pelindung Shading Coefficient<br />

1<br />

2<br />

3<br />

4<br />

5<br />

6<br />

7<br />

Elemen arsitektur (eksternal):<br />

Egg-Crate<br />

Panel atau Awning (warna muda)<br />

Horizontal Louver Overhang<br />

Horizontal Louver Screen<br />

Cantilever<br />

Vertical Louver (permanen)<br />

Vertical Louver (moevable)<br />

Sumber: Concept in the Thermal Comfort, M. David Egan.<br />

0,10<br />

0,15<br />

0,20<br />

0,60 – 0,10<br />

0,25<br />

0,30<br />

0,15-0,10<br />

Angka-angka tersebut di atas menunjukkan Egg-Crate dan Vertical Louver (moevable) paling efektif digunakan<br />

sebagai pelindung matahari, hanya 10% energi matahari yang ditransmisikan ke dalam bangunan.<br />

Pelindung radiasi matahari pada beberapa rumah tinggal di kota Medan, umumnya ‘tempelan’, tidak dirancang sebagai<br />

bagian/elemen arsitektur<br />

Pelindung radiasi matahari dirancang sebagai bagian/elemen arsitektur<br />

Gambar 4<br />

ContohPemanfaatan Pelindung Radiasi Matahari pada Bangunan<br />

(Sumber Foto: Dokumentasi Tugas PLB I, Arsitektur USU, Sem A, TA 2003-2004)<br />

Tabel 4<br />

Hasil Pengurangan Panas dari Radiasi Matahari yang Masuk Melalui Jendela Kaca, Berkat Pembayang<br />

Jenis pembayangan: pembayang dicat pada sisi datangnya sinar<br />

Berkurang bila dibandingkan<br />

dengan yang tidak dicat<br />

1. Jalusi di luar menghalangi penyinaran langsung diberi warna putih, krem.<br />

15 %<br />

2. Jalusi dari tembaga putih tipis kemiringan matahari lebih dari 40° sehingga<br />

matahari tidak masuk, diberi warna gelap<br />

15 %<br />

3. Markis dari kanvas, sisi samping terbuka, warna gelap sedang<br />

4. Jalusi model ‘Venetian Blinds’ di bagian dalam jendela. Kisi-kisi menghalangi<br />

penyinaran langsung. Bahan: aluminium yang memantulkan sinar secara difus.<br />

25 %<br />

45 %<br />

5. Penutup jendela, putih atau krem<br />

6. Penutup jendela rapat berwarna gelap<br />

55 %<br />

80 %<br />

Sumber: Pengantar Fisika Bangunan, Mangunwijaya, hal. 118<br />

153


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

3. Elemen Lansekap<br />

a. Vegetasi<br />

Di samping elemen arsitektur, elemen lansekap<br />

seperti pohon dan vegetasi juga dapat<br />

digunakan sebagai pelindung terhadap radiasi<br />

matahari. Keberadaan pohon secara<br />

langsung/tidak langsung akan menurunkan<br />

suhu udara di sekitarnya, karena radiasi<br />

matahari akan diserap oleh daun untuk proses<br />

fotosintesa dan penguapan. Efek bayangan oleh<br />

vegetasi akan menghalangi pemanasan<br />

permukaan bangunan dan tanah di bawahnya.<br />

Lippsmeier memperlihatkan suatu hasil<br />

penelitian di Afrika selatan, pada ketinggian<br />

1m di atas permukaan perkerasan (beton)<br />

menunjukkan suhu yang lebih tinggi sekitar<br />

4°C dibandingkan suhu pada ketinggian yang<br />

sama di atas permukaan rumput. Perbedaan ini<br />

menjadi sekitar 5°C apabila rumput tersebut<br />

terlindung dari radiasi matahari. Efektifitas<br />

pemanfaatan pohon sebagai pelindung<br />

matahari juga dapat digambarkan dengan<br />

angka shading coefficient seperti tabel di<br />

bawah:<br />

Tabel 5<br />

Shading Coeficient untuk Elemen Lansekap<br />

No. Elemen Pelindung Shading Coefficient<br />

Elemen Lansekap<br />

1<br />

2<br />

Pohon tua (dengan efek pembayang yang besar)<br />

Pohon muda (dengan sedikit efek pembayang)<br />

0,25 – 0,20<br />

0,60 - 0,50<br />

Sumber: Concept in the Thermal Comfort, M. David Egan.<br />

Gambar 5<br />

ContohPemanfaatan Vegetasi sebagai Pelindung Radiasi Matahari pada Bangunan Rumah Tinggal di Medan<br />

Sumber Foto: Dokumentasi Tugas PLB I, Arsitektur USU, 2003<br />

154


Menciptakan Kenyamanan Thermal dalam Bangunan<br />

Basaria Talarosha<br />

Pohon dan tanaman dapat dimanfaatkan untuk mengatur aliran udara ke dalam bangunan. Penempatan pohon<br />

dan tanaman yang kurang tepat dapat menghilangkan udara sejuk yang diinginkan terutama pada periode puncak<br />

panas. Menurut White R.F (dalam Concept in Thermal Comfort, Egan, 1975) kedekatan pohon terhadap<br />

bangunan mempengaruhi ventilasi alami dalam bangunan.<br />

Pohon berjarak 1,5 m dari<br />

Bangunan<br />

Pohon berjarak 3 m dari<br />

Bangunan<br />

Pohon berjarak 9 m dari Bangunan,<br />

gerakan udara di dalam bangunan<br />

semakin besar/baik.<br />

baik<br />

semakin baik<br />

Gambar 6<br />

Jarak Pohon terhadap Bangunan dan Pengaruhnya terhadap Ventilasi Alami<br />

Sekumpulan pohon juga dapat dimanfaatkan sebagai ‘windbreak’ untuk daerah yang kecepatan anginnya cukup<br />

besar. Pohon sebagai ‘windbreak’ dapat mengurangi kecepatan angin lebih dari 35 % jika jaraknya dari<br />

bangunan sebesar 5 x tinggi pohon. Bangunan harus dirancang dimana kecepatan angin di daerah pedestrian dan<br />

bukaan kurang dari 10 mph (mil per jam). Untuk bangunan tinggi, pengujian dengan menggunakan model<br />

bangunan yang berskala untuk memprediksi kekuatan bangunan terhadap kecepatan angin seringkali harus<br />

dilakukan dengan menggunakan terowongan angin (wind tunnels). Di bawah ini menunjukkan bagaimana<br />

pengaruh kecepatan angin terhadap manusia.<br />

Kecepatan angin (dalam mph)<br />

0 – 2<br />

2 – 10<br />

10 – 20<br />

20 – 25<br />

25 – 30<br />

30 – 55<br />

55 – 100<br />

> 100<br />

Pengaruhnya terhadap manusia<br />

Tidak ada angin<br />

Angin terasa di wajah dan rambut<br />

Debu naik, kertas terbang, rambut dan pakaian berantakan<br />

Kekuatan angin terasa di tubuh<br />

Payung susah digunakan<br />

Susah berjalan, manusia terasa seperti didorong angin<br />

Angin Topan/Badai, berbahaya bagi manusia dan struktur<br />

Kekuatan angin Tornado, sangat berbahaya bagi manusia dan<br />

struktur<br />

b. Unsur Air<br />

Untuk memodifikasi udara luar yang terlalu panas masuk ke dalam bangunan dapat dilakukan dengan<br />

membuat air mancur di dalam bangunan. Keberadaan air akan menurunkan suhu udara di sekitarnya karena<br />

terjadi penyerapan panas pada proses penguapan air. Selain menurunkan suhu udara, proses penguapan akan<br />

menaikkan kelembaban. Untuk daerah iklim tropis basah seperti di Indonesia yang memiliki kelembaban<br />

yang tinggi maka peningkatan kelembaban harus dihindarkan. Oleh sebab itu penggunaan unsur air harus<br />

mempertimbangkan adanya gerakan udara (angin) sehingga tidak terjadi peningkatan kelembaban.<br />

4. Material/Bahan Bangunan<br />

Panas masuk ke dalam bangunan melalui proses konduksi (lewat dinding, atap, jendela kaca) dan radiasi<br />

matahari yang ditransmisikan melalui jendela/kaca.<br />

155


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Radiasi<br />

Matahari lewat<br />

Jendela<br />

KONDUKSI<br />

PANAS<br />

MELALUI<br />

DINDING<br />

Temperatur Udara<br />

Luar (t o )<br />

KONDUKSI<br />

PANAS<br />

MELALUI<br />

KACA<br />

JENDELA<br />

Temperatur Udara<br />

di Dalam Ruangan (t i )<br />

Radiasi matahari memancarkan sinar ultra violet (6%), cahaya tampak (48%) dan sinar infra merah yang<br />

memberikan efek panas sangat besar (46%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa radiasi matahari adalah<br />

penyumbang jumlah panas terbesar yang masuk ke dalam bangunan. Besar radiasi matahari yang ditransmisikan<br />

melalui selubung bangunan dipengaruhi oleh fasade bangunan yaitu perbandingan luas kaca dan luas dinding<br />

bangunan keseluruhan (wall to wall ratio), serta jenis dan tebal kaca yang digunakan.<br />

Tabel 6<br />

Shading Coefficient untuk Berbagai Jenis Material Kaca<br />

No.<br />

Penggunaan Kaca<br />

Shading Coefficient<br />

Jenis Kaca Warna Tebal<br />

1. Kaca Bening -<br />

-<br />

¼ inci<br />

/ 8 inci<br />

0,95<br />

0,90<br />

2. Heat Absorbing glass abu2, bronze, atau green<br />

tinted<br />

-<br />

3 / 16 inci<br />

/ 2 inci<br />

0,75<br />

0,50<br />

3. Revlective glass dark gray metallized<br />

light gray metallized<br />

-<br />

-<br />

0,35 s/d 0,20<br />

0,60 s/d 0,35<br />

Sumber: Concept in the Thermal Comfort, M. David Egan.<br />

Radiasi matahari yang jatuh pada selubung bangunan dipantulkan kembali dan sebagian diserap. Panas yang<br />

terserap akan dikumpulkan dan diteruskan ke bagian sisi yang dingin (sisi dalam bangunan). Masing-masing<br />

bahan bangunan mempunyai angka koefisien serapan kalor (%) seperti terlihat pada tabel berikut. Semakin besar<br />

serapan kalor, semakin besar panas yang diteruskan ke ruangan.<br />

Tabel 7<br />

Radiasi Matahari dan Serapan Kalor<br />

Permukaan bahan %<br />

Asbes semen baru<br />

Asbes esemen sabgat kotor (6 tahun terpakai)<br />

Kulit bitumen/aspal<br />

Kulit bitumen bila dicat aluminium<br />

Genteng keramik merah<br />

Seng (baru) 64<br />

Seng (kotor sekali)<br />

II. Selulose cat putih<br />

Selulose cat hijau tua<br />

Selulose cat merah tua<br />

Selulose cat hitam<br />

Selulose cat kelabu hitam<br />

Sumber: Pengantar Fisika Bangunan, Mangunwijaya, hal. 117<br />

42-59<br />

83<br />

86<br />

40<br />

62-66<br />

92<br />

18<br />

88<br />

57<br />

94<br />

90<br />

156


Menciptakan Kenyamanan Thermal dalam Bangunan<br />

Basaria Talarosha<br />

Warna juga berpengaruh terhadap angka serapan kalor. Warna-warna muda memiliki angka serapan kalor yang<br />

lebih sedikit dari pada warna tua. Warna putih memiliki angka serapan kalor paling sedikit (10%-15%),<br />

sebaliknya warna hitam dengan permukaan tekstur kasar dapat menyerap kalor sampai 95%.<br />

Tabel 8<br />

Koefisien Serapan Kalor Akibat Pengaruh Warna<br />

Permukaan %<br />

Dikapur putih (baru)<br />

10-15<br />

Dicat minyak (baru)<br />

20-30<br />

Marmer/pualam putih<br />

40-50<br />

Kelabu madya<br />

60-70<br />

Batu bata, beton<br />

70-75<br />

Hitam mengkilat<br />

80-85<br />

Hitam kasar<br />

90-95<br />

Sumber: Pengantar Fisika Bangunan, Mangunwijaya, hlm. 116<br />

Tabel 9<br />

Pengurangan Serapan Kalor yang Berasal dari Radiasi Matahari, bila Permukaan Dicat Putih<br />

Pukul<br />

(Siang hari)<br />

Suhu pelat-pelat seng<br />

Pelat biasa (°F)<br />

Bila dicat putih<br />

(°F)<br />

2.40<br />

127<br />

106<br />

2.45<br />

134<br />

108,5<br />

3.50<br />

128<br />

106,5<br />

4.30<br />

114<br />

99<br />

5.25<br />

102,5<br />

93,5<br />

6.10<br />

89<br />

86,5<br />

6.35<br />

85<br />

84,5<br />

Pengukuran di Lagos, Nigeria (1945)<br />

Sumber: Pengantar Fisika Bangunan, Mangunwijaya, hlm. 118<br />

Selisih suhu<br />

(°F)<br />

21<br />

25,5<br />

21,5<br />

15<br />

9<br />

2,5<br />

0,5<br />

Kesimpulan<br />

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bukanlah hal yang mustahil untuk menciptakan kenyamanan termal<br />

di dalam bangunan walaupun Indonesia memiliki iklim yang berada di atas garis kenyamanan suhu tubuh.<br />

Arsitek hanya perlu memberikan perhatian yang ‘lebih’ terhadap penyelesaian masalah iklim ini.<br />

Kondisi ideal yang harus dibuat untuk menciptakan bangunan nyaman secara termal adalah sebagai berikut:<br />

• Teritis atap/Overhang cukup lebar<br />

• Selubung bangunan (atap dan dinding) berwarna muda (memantulkan cahaya)<br />

• Terjadi Ventilasi Silang<br />

• Bidang –bidang atap dan dinding mendapat bayangan cukup baik<br />

• Penyinaran langsung dari matahari dihalangi (menggunakan solar shading devices) untuk<br />

menghalangi panas dan silau.<br />

157


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Aronin, Jeffrey Allison (1953), Climate &<br />

Architecture, New York: Reinhold<br />

Publishing Corporation.<br />

Boutet, Terry S. (1987), Controlling Air Movement,<br />

New York: McGraw-Hill Book Company.<br />

Departemen Pekerjaan Umum (1993), Standar: Tata<br />

Cara Perencanaan Teknis Konservasi<br />

Energi Pada Bangunan Gedung, Bandung:<br />

Yayasan LPMB.<br />

Egan, M. David (1975), Concept in Thermal<br />

Comfort, London: Prentice-Hall<br />

International.<br />

Lippsmeier, Georg (1994), Tropenbau Building in<br />

the Tropics, Bangunan Tropis (terj.),<br />

Jakarta: Erlangga.<br />

Mangunwijaya, Y.B., (1988), Pengantar Fisika<br />

Bangunan, Jakarta: Djambatan<br />

Roaf, Sue, Manuel Fuentes (2001), Ecohouse, A<br />

Design Guide, Oxford: Architectural Press.<br />

Szokolay S.V, et. al (1973), Manual of Tropical<br />

Housing and Building, Bombay: Orient<br />

Langman.<br />

Yannas, Simos (ed.), (1983), Passive and Low<br />

Energy Architecture, Oxford: Pergamon<br />

Press.<br />

158


Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />

Zuriah Sitorus<br />

PREDIKSI KAPASITAS DAN BIAYA BATAKO SERTA OPTIMALISASI<br />

KEUNTUNGAN BERDASARKAN PROBABILITAS DI P.T. WIJAYA KUSUMA<br />

Zuriah Sitorus<br />

Staf Pengajar Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU<br />

Abstract: Pursuant to method of standard of error penduga least square with the smallest value, hence regresi of<br />

[is non linear [of[ kuadratik most [is] precise wearead for the memprediksikan of capacities and pruduction cost<br />

compared to [by] a othrer; dissimiliar method. Production capacities which [is] [is] adapted for [by] a market<br />

request estimated [by] [among/beteween] 100.000-110.000 unit for the period of month; moon 8 (Agustus) Year<br />

2001, but with the calculation [of] pursuant to most impotant probabilitas capacities given high priority [by]<br />

[is] equal to 50.000-60.000 unit with the storey; level of possibility percentase 33,33%. Productive better<br />

producer [at] capacities 50.000-60.000 unit with the storey; level of possibility percentage 0,00%. Fund<br />

requirement to produce 08 (Agustus) 2001 estimated to range from the Rp. 50.000.000,00 [of] up to<br />

Rp.60.000.000,00<br />

Abstrak: Bersadarkan metode standar error penduga least square dengan nilai terkecil, maka regresi non linier<br />

kuadratik paling tepat dipakai untuk memprediksikan kapaasitas dan biaya produksi dibandingkan dengan<br />

metode lain. Kapasitas produksi yang disesuaikan dengan permintaan pasar diperkirakan antara 100.000-<br />

110.000 unit untuk periode bulan 8(Agustua) tahun 2001,tetapi dengan perhitungan baedasarkan probabilitas<br />

kapasitas yang paling utama diprioritaskan adalah sebesar 50.000-60.000 unit dengan tingkat persentase<br />

kemungkinan 33,33%.Produsen lebih baik berproduksi pada kapasitas 50.000-60.000 unit dengan tingakat<br />

persentase kemungkinan 0,00%. Kebutuhan dana untuk produksi 100.000-110.00 unit, dengan tingkat<br />

persantase kemungkinan 0.00%. Kebutuhan dana untuk produksi 08 (Agustus) 2001 diperkirakan berkisar<br />

antara Rp. 50.000.000,00 sampai dengan Rp. 60.000.000,00<br />

PENDAHULUAN<br />

Pada saat ini bangsa Indonesia masih<br />

mangalami krisis ekonomi berkepanjangan yang<br />

menyebabkan lesunya seluruh perekonomian. Hal ini<br />

menimbulkan suasana yang tidak kondusif dan<br />

berdampak negatif kepada hamper semua dunia<br />

usaaha, contohnya usaha jasa konstruksi (kontraktor),<br />

maupun jasa pengadaan (supplier) material para<br />

produsen. Kejadian ini mengakibatkan<br />

berfluktualisasinya permintaan pasar yang terkadang<br />

diluar dugaan. Hal ini setidaknya membuat para<br />

pengusaha haruslah lebih berhati-hati dalam<br />

menjalankan usahanya agar dapat meraih<br />

keuntungan.<br />

PERMASALAHAN<br />

Pada umunnya kegagalan dalam<br />

menjalankan suatu usaha pengadaan barang<br />

dikarenakan kurangnya perencanaan yang matang.<br />

Hal ini dapat dilihat dari sebahagian pengusaha yang<br />

hanya dari melihat perkembangan pasar dalam<br />

jangka waktu yang singkat atau hanya mengikuti<br />

kecenderungan pasar saja tanpa mengkajinya lebih<br />

jauh, sehingga tidak jarang usaha yang mereka<br />

jalankan mengalami kerugian. Untuk meraih<br />

keuntungan dalam menjalankan uasaah haruslah<br />

direncanakan dengan perhitungan yang matang<br />

berdasarkan atas studi kelayakan yang meliputi<br />

antara lain survey pasar, lokasi, penyediaan bahan,<br />

tenaga kerja dan kemampuan memprediksikan<br />

perminataan pasar.<br />

LANDASAN TEORI<br />

Untuk hal tersebut diatas sesering juga<br />

digunakan jumlah metode stastistik persentase<br />

jumlah produksi yang memenuhi target pemasaran.<br />

Produksi yang tidak sesuai dengan target pemasaran.<br />

Produksi yang tidak sesuai dengan target pemasaran<br />

atau terjual melebihi waktu yang diharapkan<br />

mengakibatkan berkurangnya laba yang diraih. Salah<br />

satu teori yang dapat digunakan untuk<br />

memprediksikan secara linier dan non linier<br />

kuadratik dengan variabel terkontrol yang terbatas ,<br />

serta metode pemulusan (smoothing)<br />

Apabila perkembangan data dari berbagai<br />

variabel bersifat proporsional perhitungan regresi<br />

lebih baik menggunakan regresi linear dan jika<br />

sebaliknya maka menggunakan regresi non-linear<br />

kuadratik.<br />

Persamaan Regresi Linear<br />

Y = a + b x ……………….. (1)<br />

2<br />

( ∑Yi)(<br />

∑ Xi ) − ( ∑ Xi)( ∑ XiYi)<br />

2<br />

n∑<br />

Xi −( ∑ Xi) 2<br />

159


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Konstanta<br />

n∑<br />

XiYi −<br />

b<br />

n Xi<br />

∑<br />

( ∑ Xi)( ∑ XiYi)<br />

2<br />

+ ( ∑Xi)<br />

=<br />

2<br />

= koefisien regresi, Y = nilai yang diperkirakan, X =<br />

Independen Variabel.<br />

Persamaan Regresi Non Linear<br />

Y = ax b ……………… 2)<br />

Y<br />

t<br />

Y =<br />

t<br />

⎛ M −1<br />

⎞<br />

−⎜<br />

⎟<br />

⎝ 2 ⎠<br />

+ Y<br />

……………….. 3)<br />

⎛ M −1<br />

⎞<br />

t + 1=<br />

⎜ ⎟+ .................. +<br />

⎝ 2 ⎠<br />

M<br />

Y<br />

⎛ M −1<br />

⎞<br />

t + ⎜ ⎟<br />

⎝ 2 ⎠<br />

Dimana : Y t adalah respon proses pada saat t<br />

Yt-1 adalah respon proses pada saat t-1<br />

Persamaan Regresi Non Linear Kuadratik<br />

Y = a + b (x) + c (x+2 ) ………… 4)<br />

Dimana :<br />

Y = nilai yang diperkirakan<br />

a = Konstanta<br />

b,c = Variabel Indenden<br />

untuk menghitung parameter a, b dan c adalah :<br />

Σ<br />

Σ<br />

Σ<br />

( Y1<br />

) = na + bΣ( X1) + cΣ( X1)<br />

2<br />

( XiYi)<br />

= aΣ(<br />

Xi)<br />

+ bΣ(<br />

Xi )<br />

+ cΣ(<br />

X<br />

2<br />

2<br />

3<br />

4<br />

( Xi Yi) = aΣ(<br />

Xi ) + bΣ(<br />

Xi ) + cΣ(<br />

X )<br />

Untuk mencari hubungan keterkaitan antara<br />

variabel maka perlu dicari koefisien korelasi sebagai<br />

berikut :<br />

s<br />

2<br />

=<br />

∑<br />

( Yi − Y ) − ∑( Yi − Y )<br />

2<br />

( Yi − Y )<br />

∑<br />

2<br />

3<br />

)<br />

.............5)<br />

a. Hitung totla data (R total )<br />

R total = R 1 + R 2 + R 3 …… R n-1 + R n<br />

b. Hitung rata-rata data (R rata-rata)<br />

Rtotal<br />

Rrata −rata<br />

= ; n = jumlah<br />

n<br />

pengama tan<br />

c. Hitung jumlah kuadrat dari tiap-tiap (S s )<br />

S s = R 1 + R 2 + R 3 …… + R 2 n-1 + R 2 n<br />

d. Hitung<br />

2<br />

Ss<br />

− ( RRATA−RATA)<br />

S =<br />

n −1<br />

e. Hitung kuadart standart deviasi (C u )<br />

2<br />

( S )<br />

0,5<br />

100x<br />

Cu =<br />

Rtotal<br />

f. Hitung optimum N data pengamatan yang<br />

dibutuhkan untuk estimasi rata-rata data dengan<br />

tingkat kesalahan (ρ)<br />

2,00<br />

⎧ Cv<br />

N = ⎨<br />

⎩ρx100⎭ ⎬⎫<br />

g. Uji kecukupan data dengan :<br />

- N > n maka data pengamatan perlu<br />

ditambahkan dengan N-n<br />

- N < maka data layak dikatakan cukup.<br />

Jika perkembangan data dari berbagai<br />

variabel bersifat proposional, perhitungan regresi<br />

lebih baik menggunakan regresi linier, sehingga<br />

untuk menentuukan modal mana yang lebih tepat<br />

dipakai haruslah mempunyai suatu emtode tertentu.<br />

Pada kasus ini metode yang digunakan adalah standar<br />

ERROR penduga least square yaitu :<br />

∑<br />

2<br />

e<br />

Se = dimana, n – 2 = derajat bebas.<br />

n − 2<br />

……………………. 6)<br />

2<br />

2<br />

∑ ∑Y<br />

−α<br />

∑Y<br />

− b∑<br />

E = XY,<br />

a<br />

B = konstanta ……………… 7)<br />

METODOLOGI PENELITIAN<br />

Data-data yang tersedia sebagai dasar<br />

referensi dalam penganalisaan regresi haruslah diuji<br />

kecukupannya. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan<br />

akan periode pengamatan data yang dilakukan dan<br />

tingkat kesalahan yang diinginkan. Untuk<br />

menentukan jumlah data pengamatan secara optimum<br />

dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut:<br />

160


Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />

Zuriah Sitorus<br />

KESIMPULAN<br />

Berdasarkan dari penelitian dengan<br />

penganalisaan data yang dilakukan penulis menarik<br />

kesimpulan antara lain :<br />

1. Memiliki dari hasil standar error penduga least<br />

square, maka metode regresi non linier kuadratik<br />

lebih tepat dari pada metode lain yang digunakan<br />

untuk memprediksikan kapasitas produksi<br />

2. Prediksi biaya produksi juga lebih epat memakai<br />

metode regresi non linier kuadratik<br />

dibandingkan metode lain dengan menggunakan<br />

metode standar error penduga least square<br />

3. Prioritaskan kapasitas pemasaran yang paling<br />

tinggi adalah ada produksi 50.000,00-60.000,00<br />

dengan nilai probabilitas 33,33% dan prediksi<br />

keuntungan berdasarkan keuntungan probabilitas<br />

sebesar Rp. 5.710.545,50 sedangkan prioritas<br />

kedua pada produksi 60.000,00-70.000,00, unit<br />

dengan nilai probabilitas keuntungan<br />

berdasarkan probabilitas sebesar Rp.<br />

3.450.477,26<br />

4. Prediksi pasar memperkirakan permintaan<br />

berkisar pada 100.000,00-110.000,00 (tepatnya<br />

109.590,27 unit) dengan nilai probalibilitas<br />

0,00%<br />

5. Atas dasar item point 1 dan 2 penulis<br />

menyimpulkan bahwasanya produsen lebih baik<br />

berproduksi pada kapasitas 50.000,00-60.000,00<br />

dengan nilai probabilitas 33,33% daripada<br />

kapasitas 100.000,00-110.000,00 unit dengan<br />

nilai probabilitas 0,00%<br />

Untuk perencanaan pada bulan 8 (Agustus<br />

2001) direncakana kapasitas produksi 50.000,00-<br />

60.000,00 unit dan untuk itu dibutuhkan dana sebesar<br />

Rp. 50.138,94 - Rp. 60.165.53 dengan perkiraaan<br />

biaya produksi / unit Rp. 1.002,77.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. Abdulrahman Ritonga, Statistika Terapan Untuk<br />

Penelitian. Jakarta : Lembaga Penerbit<br />

Fakultas Ekonomi <strong>Universitas</strong>Indonesia<br />

2. Anto Dajan, Pengantae Metode Statistik Jilid III<br />

. Jakarta : LP3S, 1986<br />

3. Freddy Rangkuti. Riset Pemasaran. Jakarta : PT.<br />

Gramedia Pustaka Utama. 2001<br />

4. Sri Mulyono. Peramalan Bisnis Dan<br />

Ekonometrika. Yogyakarta : BPFE-<br />

Yogyakarta, 2000<br />

5. Sugiarto, Harijono, Peramalan Bisnis. Jakaraa :<br />

PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000<br />

6. Sudjana, Metode Statistik Bandung : Tarsito,<br />

1996<br />

7. Sudjana, Statistika Untuk Ekonomi Dan Niaga<br />

I. Bandung : Tarsito, 1991<br />

Yacob Ibrahim, Studi Kelayakan Bisnis,<br />

Jakarta : PT.Rineka Cipata, 1998<br />

161


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

162


Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />

Zuriah Sitorus<br />

163


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

164


Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />

Zuriah Sitorus<br />

165


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

166


Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />

Zuriah Sitorus<br />

167


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

168


Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />

Zuriah Sitorus<br />

169


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

170


Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />

Zuriah Sitorus<br />

171


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

172


Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />

Zuriah Sitorus<br />

173


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

174


Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />

Zuriah Sitorus<br />

175


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

176


Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />

Zuriah Sitorus<br />

177


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

178


Prediksi Kapasitas dan Biaya Batako serta Optimalisasi Keuntungan Berdasarkan Probabilitas di PT. Wijaya Kusuma<br />

Zuriah Sitorus<br />

179


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

KERUSAKAN AKIBAT TSUNAMI DAN GEMPA NORTHEN<br />

SUMATRA 26 DESEMBER 2004 TERHADAP BANDA ACEH<br />

DAN SIROMBU NIAS BARAT<br />

Johannes Tarigan<br />

Abstrak: Gempa 26 Desember 2004 telah membuat dunia terkejut karena menimbulkan korban terbesar<br />

sepanjang sejarah akibat tsunami. Gempa ini menewaskan sekitar 180.000 orang diberbagai negara yakni<br />

Indonesia (Aceh dan Nias), Sri Langka, India, Thailand, Myanmar, Malaysia. Tsunami yang menerpa kota<br />

Banda Aceh tidak pernah dibayangkan oleh perancang kota sebelumnya, karena terbukti dipusat kota Banda<br />

Aceh tinggi gelombang tsunami berkisar 3 meter. Umumnya dipusat kota berdiri bangunan yang dibuat pada<br />

jaman penjajahan dahulu dan bangunan ini terendam air stinggi 3 meter. Sedangkan untuk daerah Nias Barat<br />

tsunami yang sama pernah terjadi sebelumnya dikota Sirombu. Tentang pemasangan early warning system<br />

masih bisa diperdebatkan karena biayanya mahal dan rentan waktu antar gempa dan tsunami hanya 20 menit.<br />

Akibat gempa didaerah pantai utara Banda Aceh ada penurunan sebesar 2 meter, sedangkan didaerah Nias<br />

Barat ada kenaikan permukaan tanah sebesar 3 meter. Perlu kajian geologi untuk kedua daerah ini. Apakah<br />

kemungkinan seperti penurunan atau kenaikan permukaan tanah ini akan terjadi diaerah ini. Akibat adanya<br />

likuifaksi tanah pada daerah Banda Aceh perlu diadakan studi mikrozonasi secara lokal didaerah ini. Karena<br />

banyak bangunan yang runtuh akibat gempa perlu kajian kembali peraturan banguanan tahan gempa yang ada<br />

yakni dengan menkaji ulang koefisien dasar gempa untuk daerah Banda Aceh.<br />

Latar belakang<br />

Gempa dahsyat 26 Desember 2004 yang<br />

menimbulkan tsunami telah mengakibatkan korban<br />

yang sangat besar. Jumlah korban sekitar 180 ribu<br />

orang di Aceh, Nias, Thailand, Sri Langka, India,<br />

Myanmar dan Malaysia. Gempa yang terjadi adalah<br />

dengan kekuatan 9 Skala Richter.<br />

Pada dasarnya ada dua cara mengukur skala<br />

gempa yakni dengan Skala Richter dan Skala<br />

Intensitas. Skala Richter adalah berdasarkan energi<br />

yang dikeluarkan di pusat gempa (focus) atau di<br />

hypocenter. Sedangkan Skala Intensitas adalah<br />

berdasarkan derajat kerusakan yang terjadi di<br />

permukaan bumi akibat gempa. Pada tulisan ini<br />

kedua-dua skala tersebut akan disinggung<br />

berdasarkan tinjauan dan kepentingan masingmasing.<br />

Dalam tulisan ini kami mencoba<br />

memberikan hasil penelitian di Banda Aceh, dan<br />

Sirombu, Nias Barat, sejauh mana terjadinya<br />

kerusakan akibat tsunamie dan gempa khusus di kota<br />

Banda Aceh dan Sirombu Nias Barat.<br />

Seismologi aspek<br />

Gempa tanggal 26 Desember 2004 terjadi<br />

pada pagi hari sekitar pukul 7.58 pagi dengan<br />

kedalaman fokus sekitar 30 km dan termasuk gempa<br />

dangkal. Sedangkan epicenter terletak sekitar 255 km<br />

dari kota Banda Aceh, 310 km dari Medan, 1260 km<br />

dari Bangkok, 1605 km dari Jakarta (lihat gambar 1).<br />

Getarannya terjadi sampai di Penang Malaysia, pada<br />

saat itu dapat dirasakan di lantai IX sebuah<br />

apartemen berlantai 21. Selama ini diketahui bahwa<br />

Malaysia adalah daerah yang bebas gempa, tetpi<br />

setelah kejadian ini maka pelu dikaji ulang peta<br />

gempa didaerah ini.<br />

Gambar 1:<br />

Peta letak epicenter Gempa 26 Desember 2004<br />

dengan besar 9 Skala Richter<br />

[USGS, 2005]<br />

180


Kerusakan Akibat Tsunami dan Gempa Northen Sumatra 26 Desember 2004 terhadap Banda Aceh dan Sirombu Nias Barat<br />

Johannes Tarigan<br />

Adapun energi yang dikeluarkan oleh<br />

Gempa tersebut diperkirakan 20 x 10 17 Joule, atau<br />

sama dengan 475 kilitons (475 Mega ton) TNT atau<br />

sama dengan 23.000 kali bom Hirosima. Lama<br />

getaran gempa diperkirakan 3 s/d 7 menit.<br />

Berdasarkan [USGS,2005], bahwa<br />

pergerakan patahan (Indian Plate) mengarah ke <strong>Utara</strong><br />

seperti diperlihatkan di gambar 2. Pergeseran<br />

pertahun diperkirakan 5 cm pertahun.<br />

Gempa 26 Desember 2004 adalah gempa ke 3 yang<br />

pernah terjadi di dunia sejak 1900. Gempa yang<br />

terdahsyat yang sebelumnya adalah di Chili pada<br />

tanggal 22 Mei 1960 dengan besar 9.5 skala richter.<br />

Setelah itu adalah gempa di Alaska, Prince William<br />

Sound pada tanggal 28 Maret 1964 dengan besar 9.2<br />

Skala Richter.<br />

Intensitas Gempa<br />

Berdasarkan Skala Intensitas, Gempa 26 Desember<br />

2004 adalah sbb:<br />

• Banda Aceh<br />

IX<br />

• Meulaboh ,<br />

VIII<br />

• Port Blair, Pulau Andaman (India),<br />

VII<br />

• Hat Yai (Thailand),<br />

V<br />

• Medan, Madras (India) , Maldives<br />

IV<br />

• Rangon (Myanmar), Phuket (Thailand)<br />

III<br />

• Singapura , Sri Langka<br />

II<br />

epicenter<br />

Banda Aceh<br />

Medan<br />

Pada Gambar 3 dapat dilihat peta<br />

berdasarkan derajat kerusakan pada permukaan bumi<br />

yang disebut juga skala intensitas. Pada Skala<br />

Intensitas V ditandai dengan mulai terjadi kerusakan<br />

ringan pada bangunan dan makin tinggi kerusakan<br />

makin parah, sedangkan Intensitas yang paling tinggi<br />

adalah Intensitas XII yakni pada umumnya daerah<br />

kota itu rata dengan tanah. Besaran Intensitas dapat<br />

dilihat di [ Dowrick, 1977 ]. Khusus kota Medan,<br />

pada Gempa 26 Desember tidak ada kerusakan pada<br />

bangunan.<br />

Gambar 2: Pergerakan lempeng Indian kearah<br />

utara. Pergeseran diperkirakan 5 cm pertahun<br />

[USGS, 2005}<br />

181


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Gambar 3: Peta intensitas gempa 26 Desember 2004<br />

Tsunami<br />

Tsunami adalah gelombang besar yang diakibatkan<br />

oleh gempa yang mana epicenternya terletak di laut<br />

dan gelombang tersebut dapat mencapai 30 m<br />

tingginya. Gelombang tersebut dapat menyapu<br />

seluruh yang ada disekitar pantai tempat terjadinya<br />

gempa tersebut. Pada Gambar 4 dapat dilihat<br />

bagaimana terjadinya tsunami dimana didasar laut<br />

terjadi patahan. Patahan tersebut membuat air laut<br />

menjadi surut dan setelah itu energi yang terkumpul<br />

akan membuat air laut mengalir kembali kedarat<br />

dengan kecepatan yang bisa mencapai 500 km/jam.<br />

Patahan tersebut bisa mencapai kedalaman 15 m<br />

sepanjang ratusan kilo meter.<br />

Gambar 4 : Proses terjadinya tsunami [BMG, 2005]<br />

182


Kerusakan Akibat Tsunami dan Gempa Northen Sumatra 26 Desember 2004 terhadap Banda Aceh dan Sirombu Nias Barat<br />

Johannes Tarigan<br />

Gempa 26 Desember 2004 adalah gempa yang<br />

menyebabkan korban tsunami terbesar yang pernah<br />

terjadi dengan korban sekitar 180.000 orang.<br />

Sedangkan sebelumnya pada 26 Agustus 1883 akibat<br />

letusan gunung karakatau menimbulkan tsunami<br />

dengan korban jiwa 36.000 orang dan tahun 1755,<br />

tsunami pernah terjadi di Lisboa Portugal dengan<br />

memakan korban jiwa 60.000 orang. Pada Gambar 5<br />

dapat dilihat jumlah korban di tiap negara akibat<br />

tsunami tersebut.<br />

Berdasarkan besaran Gempa dengan Skala Richter,<br />

maka kemungkinan terjadi tsunami adalah sbb:<br />

Magnitude > 7.9 : potensi tsunami dekat<br />

epicenter kemungkinan besar akan terjadi<br />

7.6> Magnitude> 7.8 : bisa terjadi tsunami<br />

6.5>Magnitude7.5 : tidak ada bahaya tsunami<br />

Kejadian tsunami yang pernah terjadi sebelumnya di<br />

belahan didaerah ini [Oritz and Billham, 2003]<br />

adalah sbb:<br />

• Tahun 1797: 8.4 Skala Richter tsunami di<br />

<strong>Sumatera</strong> Barat, Padang.<br />

• Tahun 1833: 8.7 Skala Richter tsunami di<br />

<strong>Sumatera</strong> Barat.<br />

• Tahun 1843: Tsunami di selatan Pulau Nias<br />

Nias .<br />

• Tahun 1861: 8.5 Skala Richter tsunami di<br />

<strong>Sumatera</strong> Barat<br />

• Tahun 1881: 7.9 Skala Richter tsunami di<br />

Pulau Andaman.<br />

• Tahun 1883: Gunung Krakatau meletus,<br />

terjadi tsunami di Java dan <strong>Sumatera</strong>.<br />

• Tahun 1941: 7.7 Skala Richter, tsunami di<br />

pulau Adaman<br />

Gambar 5 :<br />

Peta korban jiwa pada negara akibat tsunami 26<br />

Desember 2004<br />

183


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Berdasarkan data-data dari USGS, didaerah Lammpuk bahwa ketinggian tsunami mencapai 28 meter. Dan<br />

diperkirakan kecepatan gelombang 500 km/jam. (Lihat Gambar 6)<br />

Gambar 6 : ketinggian gelombang tsunami di<br />

Banda Aceh [USGS, 2005]<br />

Oleh karena itu sangat diperlukan kajian tsunami<br />

didaerah ini untuk masa yang akan datang. Apakah<br />

diperlukan early warning <strong>sistem</strong> didaerah ini untuk<br />

mencegah kecilnya korban jiwa. Tapi apakah effektif<br />

early warning <strong>sistem</strong> masih harus dipelajari karena<br />

masa tenggang waktu gempa dan tsunami pada<br />

kejadian gempa yang lalu hanya 20 menit saja.<br />

Dalam waktu tersebut apakah manusia bisa<br />

melakukan pergerakan menyingkir ke daerah<br />

perbukitan. Karena alat early warning <strong>sistem</strong> itu<br />

terlalu mahal demikian juga perawatan juga terlalu<br />

mahal.<br />

Banda Aceh setelah Gempa 26 Desember 2004<br />

• Penurunan permukaan tanah<br />

Setelah terjadi gempa kondisi tanah di Banda Aceh<br />

berubah, yakni di utara ditepi pantai terjadi<br />

penurunan tanah sedalam 2 meter. Saat ini pantai<br />

yang dulunya kering sekarang terlihat tergenang air.<br />

Tanaman yang akarnya dulu tidak terendam air<br />

setelah gempa menjadi tergenang air sampai<br />

batangnya, seperti terlihat di Gambar 7 dan Gambar<br />

8<br />

184


Kerusakan Akibat Tsunami dan Gempa Northen Sumatra 26 Desember 2004 terhadap Banda Aceh dan Sirombu Nias Barat<br />

Johannes Tarigan<br />

a<br />

b<br />

Gambar 7 : a. sebelum gempa pohon belum tergenang air laut.<br />

b. sesudah gempa pohon sebagian batang tergenang air laut.<br />

Gambar 8: Kondisi pantai yang turun sekitar 2<br />

meter setelah Gempa 26 Desember 2004<br />

[USGS,2005]<br />

Berdasarkan data terjadinya penurunan tersebut<br />

perlu dikaji sebab musababnya. Apakah pada gempa<br />

yang akan datang kemungkinan-kemungkinan<br />

turunnya tanah dapat terjadi lagi. Ataukah ada<br />

kemungkinan permukaan tanah akan naik lagi. Untuk<br />

ini perlu penelitian mendalam oleh ahli-ahli geologi.<br />

Likuifaksi Tanah<br />

Likuifaksi tanah menurut pengamatan kami terjadi di<br />

Banda Aceh. Likuifaksi adalah adanya kandungan<br />

pasir jenuh air yang ada dibawah tanah. Jika terjadi<br />

getaran gempa membuat lapisan pasir tersebut tidak<br />

punya daya lekat satu sama lain sehingga bangunan<br />

diatasnya miring atau turun. Dalam literatur seperti<br />

pada [Dowrick, 1977] kejadian likuifaksi yang<br />

terkenal terjadi di Niigata Jepang pada tahun 1940,<br />

dimana bangunan bertingkat miring, tetapi tidak<br />

rusak.<br />

Kejadian likuifaksi di Banda Aceh terdapat pada<br />

beberapa tempat di depan Mesjid Baiturahman<br />

dimana beberapa bangunan turun 3 meter, seperti<br />

dilihat digambar 9.<br />

Kejadian likuifaksi didaerah ini menjadi hal yang<br />

menarik untuk diteliti oleh ahli geo<strong>teknik</strong>. Dan<br />

dianjurkan untuk membuat mikrozonasi daerah<br />

gempa secara lokal didaerah Banda Aceh dan kotakota<br />

yang terkena likuifaksi di propinsi Nangro<br />

Aceh Darusalam.<br />

Kerusakan bangunan akibat tsunami<br />

Kerusakan bangunan terjadi didaerah Pantai<br />

Uleeelheu Banda Aceh, dimana pada daerah pantai<br />

ini diperkirakan kecepatan gelombang tsunami<br />

sebesar 500 km/jam dengan ketinggian gelombang<br />

sekitar 30 m. Gelombang tersebut dapat menyapu<br />

seluruh pantai pada kejauhan 4 km dari garis pantai.<br />

Jika dipakai rumus<br />

t = s/v,<br />

dimana s : jarak, v : kecepatan dan<br />

t :waktu<br />

185


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

maka waktu tempuh yang diperlukan menyapu<br />

seluruh bangunan yang adalah selama 28 det. Pada<br />

waktu itu terjadi dua kali gelombang pertama kecil<br />

dan yang kedua sangat besar. Kondisi pantai<br />

Uleeelheu setelah Gempa dapat dilihat di gambar 10,<br />

dimana dulunya daerah ini padat penduduk.<br />

Gambar 9:<br />

Likuifaksi di Banda Aceh, dimana sebelum gempa<br />

bangunannya berdiri 3 lantai, setelah gempa 1 lantai<br />

turun kebawah tanah.<br />

186


Kerusakan Akibat Tsunami dan Gempa Northen Sumatra 26 Desember 2004 terhadap Banda Aceh dan Sirombu Nias Barat<br />

Johannes Tarigan<br />

Gambar 10: Bangunan porak poranda diterjang gelombang tsunami di Banda Aceh<br />

Selama ini tidak ada peraturan bangunan yang<br />

mengatur perhitungan khusus untuk tahan tsunami,<br />

tetapi gaya tsunami dapat dipergunakan rumus<br />

dibawah<br />

F = C * V<br />

dimana V = kecepatan gelombang<br />

koefisien geser bangunan<br />

Gaya tsunami<br />

C =<br />

F =<br />

Koefisien geser harus ditentukan berdasarkan berat<br />

bangunan. Jika kecepatan gelombang sekitar 500<br />

km/jam, maka kelihatan tak mungkin bangunan<br />

rumah satu lantai akan bertahan jika dilihat dari berat<br />

bangunannya. Rumah yang bertahan jika<br />

kemungkinan diposisi tersebut kecepatan<br />

gelombangnya melemah atau ada yang menghalangi<br />

gelombang seperti tumpukan kayu atau pohon.<br />

Kerusakan Bangunan akibat Gempa<br />

Sewaktu kejadian gempa ada beberapa bangunan<br />

yang terlebih dahulu rusak walaupun daerah tersebut<br />

tidak kena tsunami seperti Hotel Kuala Tripa, dan<br />

ada beberapa juga yang rusak dulu akibat gempa baru<br />

kemudian datang tsunami seperti bangunan Pante<br />

Pirak Shoping Center. Perbedaan waktu antara<br />

gempa dan tsunami diperkirakan 20 menit. Bangunan<br />

rusak karena ada gaya tambahan gaya horizontal<br />

akibat gempa. Gaya horizontal diperkirakan melebihi<br />

peraturan yang ada. Contoh bangunan dengan gaya<br />

gempa dapat dilihat di gambar 11. Jika terjadi sendi<br />

plastis di kolom maka kemungkinan besar bangunan<br />

tersebut dapat runtuh dengan type sandwich. Hal ini<br />

akan sangat berbahaya karena dapat menimbulkan<br />

korban tertimpa reruntuhan bangunan. Karena gempa<br />

terjadi pada pagi hari dan kebetulan hari minggu<br />

maka khusus pada bangunan perkantoran (seperti<br />

kantor departemen keuangan) yang runtuh tidak<br />

menimbulkan korban.<br />

Untuk itu didaerah terkena tsunami perlu dikaji ulang<br />

tata ruangnya kembali, karena kemungkinan tsunami<br />

datang lagi sangat besar.<br />

Melihat pusat kota Banda Aceh dapat dilihat bahwa<br />

bangunan-bangunan yang ada adalah bangunan tua<br />

dari warisan jaman penjajahan dahulu. Bangunan ini<br />

umumnya terkena tsunami setinggi 3 meter. Tetapi<br />

umumnya bangunan ini tahan terhadap tsunami<br />

karena diperkirakan kecepatan gelombang telah<br />

melemah. Akan tetapi perancang kota tidak pernah<br />

memprediksi bahwa tsunami akan sampai di pusat<br />

kota sampai gempa ini terjadi. Oleh karena itu perlu<br />

dibuat studi tata ruang lagi yang memperhitungkan<br />

daerah-daerah yang berisiko tsunami. Data tsunami<br />

yang terakhir sudah dapat dijadikan dasar yang kuat<br />

untuk merancang tata ruang yang baru untuk kota<br />

Banda Aceh dan kota-kota lainnya yang kena<br />

tsunami.<br />

Gaya gempa H<br />

Gambar 10:<br />

Bangunan yang terkena gempa<br />

187


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Gaya gempa bekerja sebesar<br />

m = masa bangunan<br />

Sa = percepatan gempa<br />

H = m Sa dimana<br />

Berdasarkan besar gempa<br />

Selama ini dibuku literatur percepatan gempa yang<br />

populer adalah gempa El Centro [Roesenblueth and<br />

Newmark, 1971], namun untuk gempa Aceh 26<br />

Desember 2004 dapat dihitung percepatan gempanya<br />

jika data-data gempanya dapat diketahui.<br />

Type kerusakan bangunan akibat gempa di Banda<br />

Aceh [ Tarigan, 2005] adalah sbb:<br />

1. kerusakan sandwich (lihat gambar 11)<br />

2. kolom patah, sebagian miring (lihat Gambar 12)<br />

3. bangunan retak pada dinding.<br />

4. bangunan anjlok, miring, kolom miring jembatan<br />

girdernya miring, abutment bergeser.<br />

5. jembatan girdernya jatuh.<br />

6. menara telekomunikasi tumbang<br />

7. air minum terganggu<br />

8. listrik padam<br />

9. jalan terputus<br />

10. terjadi kelongsoran tebing.<br />

Gambar 12:<br />

Kolom bangunan ini patah di tengah akibat<br />

gempa.<br />

Di gambar 12 yang menarik adalah bangunan ini<br />

mengalami kegagalan struktur dikolom, akan tetapi<br />

masih belum runtuh. Akan tetapi bangunan ini tidak<br />

dapat direprasi lagi karena kolomnya sudah mering<br />

dan patah.<br />

Gambar 11:<br />

Bangunan dengan kerusakan type sandwich<br />

Pada gambar 11 dapat dilihat bahwa kerusakan yang<br />

terjadi adalah type sandwich dimana lantai bangunan<br />

tersebut telah bertindih satu sama lain. Jika ada<br />

penghuni bangunan ini pada saat gempa maka<br />

orangnya akan tertimpa lantai bangunan sehingga<br />

tewas ditempat. Setelah runtuh bangunan ini<br />

diterjang gelombang tsunami 20 menit kemudian.<br />

Yang menarik bahwa gedung sebelahnya tetap dapat<br />

berdiri menahan gaya gempa.<br />

Secara umum bangunan yang rusak di Banda Aceh<br />

diakibatkan oleh gaya Gempa melebihi yang tertera<br />

dalam peraturan, demikian juga rusak karena kondisi<br />

tanah yakni tanahnya terlikuifaksi. Bahaya likuifaksi<br />

umumnya pada tanah berpasir dengan memakai<br />

pondasi dangkal. Ada juga bangunan yang<br />

menggunakan material beton yang rendah.<br />

Berdasarkan penelitian kami ada beberapa bangunan<br />

yang memakai material beton dibawah K 175 dengan<br />

jumlah tulangan yang kurang, baik tulangan Momen<br />

maupun tulangan gesernya. Nyatanya bangunan ini<br />

runtuh setelah kejadian gempa.<br />

Untuk itu perlu kajian kembali peraturan gaya gempa<br />

dan peraturan bangunan tahan gempa untuk<br />

diterapkan didaerah ini.<br />

Kondisi tanah di Sirombu, Nias Barat setelah<br />

Gempa 26 Desember 2004<br />

Kejadian di Sirombu terbalik dari kejadian di Banda<br />

Aceh. Disini tanah di pantai Sirombu diperkirakan<br />

naik 3 meter. Untuk jelasnya dapat dilihat di gambar<br />

13 dibawah dimana Dermaga ini sebelumnya bisa<br />

kapal bersandar dan kapal yang bersandar umumnya<br />

188


Kerusakan Akibat Tsunami dan Gempa Northen Sumatra 26 Desember 2004 terhadap Banda Aceh dan Sirombu Nias Barat<br />

Johannes Tarigan<br />

kapal ikan. Dermaga ini relatif baru dibangun dengan<br />

biaya Rp 6 Milyar. Tetapi setelah Gempa Dermaga<br />

ini praktis tidak bisa dipakai lagi karena lautnya<br />

menjadi dangkal dan ujung dermaganya patah.<br />

Digambar 13 dapat dilihat pantai yang dulunya<br />

tergenang air laut, akan tetapi setelah gempa<br />

permukaan tanah naik sehingga menambah luasan<br />

pantai. Pada saat gempa daerah ini juga terkena<br />

tsunami setinggi 10 meter. Ini ditandai dengan<br />

beberap jenis tanaman yang mati akibat terkena air<br />

laut.<br />

Kerusakan bangunan akibat gempa di Banda Aceh<br />

cukup parah, terutama bangunan 4 lantai keatas.<br />

Sedangkan akibat tsunami cukup banyak terutama<br />

bangunan satu lanatai sampai dua lantai. Bangunan<br />

tersebut rusak disaou gelombang tsunami yang<br />

berkecepatan 500 km/jam.<br />

Di Nias Barat kerusakan bangunan umumnya di<br />

sebabkan oleh tsunami, sedangkan oleh Gempa 26<br />

Desember 2004 tidak begitu menonjol.<br />

Literatur<br />

BMG, 2005, Internet, Indonesia.<br />

Dowrick D.J, 1977,<br />

Design, New Sealand<br />

Earthquake Engineering<br />

Oritz and Billham, 2003, National Geophysical<br />

Date JGR, VOL. 108, NO. B4, pp<br />

2215, Tsunami Laboratory, Institute of<br />

Computational Mathematics and<br />

Mathematical Geophysics, USA.<br />

Walaupun skala gempa cukup besar yakni 9 Skala<br />

Richter, akan tetapi tidak mengakibakan banyak<br />

bagunan rusak akibat getaran gempa. Banguanan<br />

yang rusak umumnya karena gelombang tsunami.<br />

Akibat tsunami korban meninggal lebih kurang<br />

sekitar 180 orang yang umumnya ada di pantai Barat<br />

yakni di kecamatan Sirombu dan Mandrehe dan<br />

sebagian korban juga ada di Nias Selatan. Untuk<br />

daerah Sirombu pada gempa sebelumnya juga pernah<br />

terjadi tsunami. Oleh karena itu perlu perhatian dari<br />

perancang kota untuk memperhitungkan tsunami<br />

didaerah tersebut.<br />

Rosenblueth E and Newmark N.M , 1971,<br />

Fundamental of Earthquake Engineering,<br />

Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs, N.J.<br />

Tarigan, 2005, Pembelajaran dari Gempa Mexico,<br />

Liwa, Aceh dan Nias, Seminar DPRD SU<br />

7 Juli 2005, DPRD SU, Medan.<br />

USGS, 2005, Community Internet Intensity Map,<br />

Internet, Denver<br />

Kesimpulan<br />

Gempa 26 Desember 2004, adalah gempa terbesar<br />

yang menimbulkan korban akibat tsunami yang<br />

terjadi. Sedangkan berdasarkan energi yang<br />

dikeluarkan adalah yang tersbesar ke 3 yang terbesar<br />

didunia sejak tahun 1900 dengan besar 9 Skala<br />

Richter dengan intensitas yang paling besar adalah<br />

IX di kota Banda Aceh.<br />

Tinggi gelombang tsunami di Banda Aceh sekitar 30<br />

m dengan kecepatan gelombang 500 km perjam<br />

dengan panjang jangkauan sekitar 4 km. Waktu yang<br />

ditempuh dari pantai ke darat hanya 28 detik.<br />

Sedangkan di Nias Barat tinggi gelombang sekitar 15<br />

m dengan kecepatan 500 km. Gempa ini juga<br />

menyebabkan adanya penurunan tanah di pantai utara<br />

Banda Aceh sebesar 2 meter. Sedagkan di Nias Barat<br />

terjadi permunculan tanah karang di beberapa tempat<br />

antara lain di Sirombu dan timbulnya beberapa pulau.<br />

189


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

MODEL ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS<br />

UNTUK MENENTUKAN TINGKAT PRIORITAS ALOKASI PRODUK<br />

Fatimah<br />

Jurusan Teknik Industri<br />

Fakultas Teknik <strong>Universitas</strong> Malikulsaleh<br />

Abstrak: PT. Ima Mountaz Sejahtera merupakan salah satu pabrik air minum kemasan yang berada di Aceh<br />

<strong>Utara</strong>, yang bertujuan menghasilkan air minum kemasan yaitu, kemasan Cup 250 ml, 600 ml, 1500 ml dan<br />

galon kemudian mengalokasikannya kebeberapa daerah yang ada di Nanggro Aceh Darussalam yaitu, Banda<br />

Aceh, Lhokseumawe, Langsa dan, Samalanga. Pendistribusian dilakukan dengan mempertimbangkan empat<br />

kriteria yaitu: Penjualan, Keuntungan, Pangsa pasar dan Pertumbuhan.Untuk mendapatkan hasil yang optimal<br />

dengan mempertimbangkan empat kriteria tersebut maka dalam penelitian ini diusulkan menggunakan model<br />

analytical hierarchy process sebagai alat pengambil keputusan untuk pengalokasian produk.<br />

Kata kunci: Analytical Hierarchy Process, Tingkat prioritas dan Alokasi produk<br />

1. PENDAHULUAN<br />

PT. Ima Mountaz I. Sejahtera merupakan salah<br />

satu pabrik air minum kemasan yang berada di Aceh<br />

<strong>Utara</strong> Nanggro Aceh Darussalam. PT. Ini<br />

memproduksi produk dalam empat kemasan yaitu:<br />

kemasan Cup 250ml, 600ml, 1500ml dan dalam<br />

bentuk galon. Dalam menyonsong perdagangan<br />

bebas perusahaan ini dituntut untuk mampu<br />

mengikuti perkembangan yang ada, agar mampu<br />

bersaing dengan perusahaan yang memproduksi<br />

barang sejenis. Pemasaran bagi produsen dapat<br />

menyampaikan produk yang dihasilkan secara tepat<br />

dan cepat ketangan konsumen. Dalam pengalokasian<br />

atau pendistribusian produk, PT. Ima Mountaz<br />

Sejahtera menggunakan saluran distribusi tidak<br />

langsung (Distributor) di beberapa daerah pemasaran.<br />

Untuk memenuhi kebutuhan konsumen, perlu<br />

diketahui kemasan mana yang lebih dipentingkan<br />

konsumen. Untuk mendapatkan suatu keputusan<br />

yang optimal II. diperlukan suatu model yang tepat<br />

supaya ada keseimbangan antara permintaan dengan<br />

produk yang didistribusikan kedaerah pemasaran.<br />

Pengambilan keputusan yang kurang tepat dalam<br />

pengalokasian produk dapat menyebabkan kerugian<br />

bagi perusahaan.Secara umum tujuan dari <strong>industri</strong><br />

dapat berupa bagaimana berproduksi secara sukses,<br />

ekonomis, tepat waktu dan memperoleh keuntungan<br />

(Nasution, 1999). Berdasarkan uraian di atas maka<br />

penelitian ini bertujuan menentukan bobot prioritas<br />

masing-masing daerah pemasaran dan masingmasing<br />

jenis produk untuk mengoptimalkan alokasi<br />

produk yang akan dipasarkan kedaerah pemasaran.<br />

2. ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS<br />

(AHP)<br />

AHP<br />

yang diperkenalkan oleh Thomas L. Saaty pada<br />

periode 1970-an dikenal sebagai pendekatan<br />

pengambilan keputusan dengan kriteria majemuk.<br />

Metode ini sangat baik untuk suatu model<br />

pengambilan keputusan yang cukup kompleks dan<br />

adanya konflik di dalam pengambilan keputusan.<br />

Dalam perkembangannya, AHP tidak saja di gunakan<br />

untuk menentukan prioritas pilihan-pilihan dengan<br />

banyak kriteria, tetapi penerapannya telah meluas<br />

sebagai metode alternatif untuk menyelesaikan<br />

bermacam-macam masalah, seperti memilih<br />

portofolio, alokasi budget, transportasi, perawatan<br />

kesehatan, peramalan dan lain-lain (J. Razmi, 1998;<br />

Sri Mulyono, 2002). Dasar kerja metode AHP ada 3,<br />

yaitu: struktur yang berhirarki, penentuan prioritas<br />

dan konsistensi dari suatu keputusan.<br />

3. STRUKTUR BERHIRARKI<br />

Dalam penjabaran hirarki tujuan, tidak ada<br />

pedoman yang pasti berapa level pengambil<br />

keputusan dapat menjabarkan tujuan menjadi<br />

komponen-komponen sampai tidak mungkin di<br />

lakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga di<br />

dapatkan beberapa tingkatan. Karena alasan ini,<br />

maka proses analisis ini di namakan hirarki (Sri<br />

Mulyono, 2002). Akan tetapi, adakalanya dalam<br />

proses analisis pengambilan keputusan tidak<br />

memerlukan penjabaran yang terlalu terperinci.<br />

Struktur yang berhirarki dari metode AHP dapat di<br />

lihat pada gambar 1 berikut.<br />

190


Model Analitycal Hierarchy Process untuk Menentukan Tingkat Prioritas Alokasi Produk<br />

Fatimah<br />

Level 0: Focus<br />

Level 1: Criteria<br />

Level 2:<br />

Subcriteria<br />

Level 3:<br />

Alternative<br />

Gambar 1. Analitycal Hierarchy – Multi Level Criteria<br />

4. PENENTUAN PRIORITAS<br />

Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena ia akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Penentuan<br />

prioritas dapat di lakukan dengan perbandingan berpasangan, biasanya di tampilkan dalam bentuk matriks yang<br />

di sebut dengan pairwise comparison (Sri Mulyono, 2000). Adapun bentuk matriks nya sebagai tabel 1 berikut:<br />

Tabel 1. Matriks Perbandingan Berpasangan<br />

A1 A2 ....... An<br />

A1 W1/W1 W1/W2 ....... W1/Wn<br />

A= A2 W2/W1 W2/W2 ....... W2/Wn<br />

.... ........... ........... ....... ...........<br />

An Wn/W1 Wn/W2 ....... Wn/Wn<br />

Pertanyaan yang biasa di ajukan dalam penyusunan skala kepentingan adalah: elemen mana yang lebih (penting<br />

/ disukai / mungkin / ...) dan berapa kali lebih (penting / disukai / mungkin / ...) <br />

Untuk memperoleh skala yang lebih akurat, sebaiknya pertanyaan-pertanyaan ini di berikan pada orang yang<br />

bertanggung jawab pada bidangnya. Berikut adalah skala kepentingan perbandingan berpasangan.<br />

Tabel 2. Skala Kepentingan Perbandingan Berpasangan<br />

Tingkat<br />

Definisi<br />

Kepentingan<br />

1 Sama pentingnya di banding yang lain<br />

3 Moderat pentingnya di banding yang lain<br />

5 Kuat pentingnya di banding yang lain<br />

7 Sangat kuat pentingnya di banding yang lain<br />

9 Ekstrim pentingnya di banding yang lain<br />

2, 4, 6, 8 Nilai di antara dua penilaian yang berdekatan<br />

Reciprocal<br />

Jika elemen i memiliki salah satu angka di atas ketika di<br />

bandingkan elemen j, maka j memiliki nilai kebalikannya ketika<br />

di banding elemen i<br />

Sumber: Srimulyono, 2000<br />

191


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

5. KONSISTENSI<br />

Suatu tingkat konsistensi tertentu memang<br />

di perlukan dalam penentuan prioritas. Menurut<br />

Saaty (1994) konsisten tidaknya suatu penilaian di<br />

tunjukkan oleh besarnya nilai CR. Apabila CR


Model Analitycal Hierarchy Process untuk Menentukan Tingkat Prioritas Alokasi Produk<br />

Fatimah<br />

7.2. Analisa data pada level ketiga<br />

Pada level ketiga yang akan dianalisa adalah<br />

matriks perbandingan antara daerah pemasaran yaitu:<br />

B.Aceh, Samalanga, Lhokseumawe dan Langsa.<br />

Hasil perhitungan pembobotan prioritas masingmasing<br />

daerah pemasaran terhadap kriteria pada level<br />

kedua sebagaimana ditunjukkan pada tabel 5.<br />

Setelah dilakukan sintesa akhir, diperoleh<br />

prioritas utama dalam pengalokasian produk adalah<br />

daerah pemasaran B.Aceh kemudian disusul dengan<br />

Lhokseumawe, Langsa dan Samalanga dengan bobot<br />

prioritas masing-masing 0.586, 0.170, 0.158 dan<br />

0.085. Sedangkan nilai untuk konsisten rasio hirarki<br />

diperoleh sebesar 0.082 dan ini menunjukkan bahwa<br />

sintesa antara daerah pemasaran dan keempat kriteria<br />

konsisten.<br />

7.3. Analisa data pada level keempat<br />

Pada level keempat, yang akan dianalisis<br />

adalah matriks perbandingan jenis produk yang<br />

dipasarkan pada suatu daerah pemasaran. Analisis ini<br />

dilakukan terhadap keempat jenis produk<br />

berdasarkan keempat kriteria yang ada.<br />

7.3.1. Daerah pemasaran B.Aceh<br />

Dari hasil perhitungan bobot prioritas<br />

berdasarkan kriteria yang ada untuk daerah<br />

pemasaran B.Aceh sebagaimana ditunjukkan pada<br />

tabel 6. Hasil perhitungan sintesa akhir menunjukkan<br />

air kemasan Cup 250 ml menjadi prioritas utama<br />

dalam distribusi produk dan disusul oleh air kemasan<br />

600 ml., 1500 ml dan Galon, dengan bobot prioritas<br />

masing-masing 0.426, 0.265, 0.159 dan 0.075.<br />

Sedangkan nilai untuk konsisten rasio hirarki<br />

diperoleh sebesar 0.069 dan ini menunjukkan bahwa<br />

sintesa jenis produk pada daerah pemasaran B. Aceh<br />

berdasarkan keempat kriteria adalah konsisten.<br />

7.3.2. Daerah pemasaran Lhokseumawe<br />

Dari hasil perhitungan bobot prioritas<br />

berdasarkan kriteria yang ada untuk daerah<br />

pemasaran Lhokseumawe sebagaimana ditunjukkan<br />

pada tabel 7. Hasil perhitungan sintesa akhir<br />

menunjukkan air kemasan 1500 ml menjadi prioritas<br />

utama dalam distribusi produk dan disusul oleh air<br />

kemasan 600 ml., Cup 250 ml dan Galon, dengan<br />

bobot prioritas masing-masing 0.368, 0.314, 0.225<br />

dan 0.092. Sedangkan nilai untuk konsisten rasio<br />

hirarki diperoleh sebesar 0.069 dan ini menunjukkan<br />

bahwa sintesa jenis produk pada daerah pemasaran<br />

Lhokseumawe berdasarkan keempat kriteria adalah<br />

konsisten.<br />

Tabel 5: Bobot Prioritas Masing-masing Daerah Pemasaran terhadap kriteria pada level kedua<br />

Daerah<br />

Kriteria<br />

Bobot<br />

Pemasaran Keuntungan Penjualan Pangsa Pasar Pertumbuhan prioritas<br />

B. Aceh 0.630 0.500 0.647 0.522 0.586<br />

Lhokseumawe 0.175 0.236 0.066 0.200 0.170<br />

Langsa 0.156 0.210 0.073 0.200 0.158<br />

Samalanga 0.040 0.055 0.214 0.078 0.085<br />

λ max 4.189 4.221 4.154 4.471<br />

CI 0.063 0.074 0.051 0.157<br />

CR 0.070 0.082 0.060 0.020<br />

Jenis Produk<br />

kemasan<br />

Tabel 6: Bobot Prioritas Jenis Produk pada Daerah Pemasaran B. Aceh<br />

Berdasarkan Keempat Kriteria<br />

Bobot<br />

Prioritas<br />

Kriteria<br />

Keuntungan Penjualan Pangsa Pasar Pertumbuhan<br />

Cup 250 0.563 0.532 0.302 0.058 0.426<br />

600 ml 0.230 0.254 0.495 0.056 0.265<br />

1500 ml 0.150 0.156 0.148 0.202 0.159<br />

Galon 0.056 0.058 0.055 0.184 0.075<br />

λ max 4.137 4.073 4.278 4.262<br />

CI 0.050 0.024 0.093 0.087<br />

CR 0.05 0.03 0.10 0.10<br />

193


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Tabel 7: Bobot Prioritas Jenis Produk pada Daerah Pemasaran Lhokseumawe<br />

Berdasarkan Keempat Kriteria<br />

Jenis Produk<br />

kemasan<br />

Cup 250<br />

Bobot<br />

Kriteria<br />

Prioritas<br />

Keuntungan Penjualan Pangsa Pasar Pertumbuhan<br />

0.097 0.622 0.112 0.100 0.225<br />

600 ml 0.338 0.202 0.479 0.200 0.314<br />

1500 ml 0.475 0.115 0.308 0.567 0.368<br />

Galon 0.090 0.060 0.102 0.133 0.092<br />

λ max 4.071 4.244 4.267 4.108<br />

CI 0.024 0.081 0.089 0.036<br />

CR 0.03 0.09 0.10 0.04<br />

7.3.3. Daerah pemasaran Langsa<br />

Dari hasil perhitungan bobot prioritas<br />

berdasarkan kriteria yang ada untuk daerah<br />

pemasaran Langsa sebagaimana ditunjukkan pada<br />

tabel 8. Nilai sintesa akhir menunjukkan air kemasan<br />

Cup 250 ml menjadi prioritas utama dalam distribusi<br />

produk dan disusul oleh air kemasan 600 ml., Galon<br />

dan 1500 ml dengan bobot prioritas masing-masing<br />

0.375, 0.278, 0.224dan 0.141. Sedangkan nilai untuk<br />

konsisten rasio hirarki diperoleh sebesar 0.076 dan<br />

ini menunjukkan bahwa sintesa jenis produk pada<br />

daerah pemasaran Langsa berdasarkan keempat<br />

kriteria adalah konsisten.<br />

7.3.4. Daerah pemasaran Samalanga<br />

Dari hasil perhitungan bobot prioritas<br />

berdasarkan kriteria yang ada untuk daerah<br />

pemasaran Samalanga sebagaimana ditunjukkan pada<br />

tabel 9. Hasil perhitungan sintesa akhir menunjukkan<br />

air kemasan 1500 ml menjadi prioritas utama dalam<br />

distribusi produk dan disusul oleh air kemasan Cup<br />

250 ml., Galon dan Cup 250 ml, dengan bobot<br />

prioritas masing-masing 0.316, 0.293, 0.237 dan<br />

0.132. Sedangkan nilai untuk konsisten rasio hirarki<br />

diperoleh sebesar 0.080 dan ini menunjukkan bahwa<br />

sintesa jenis produk pada daerah pemasaran<br />

Lhokseumawe berdasarkan keempat kriteria adalah<br />

konsisten.<br />

Jenis Produk<br />

kemasan<br />

Tabel 8: Bobot Prioritas Jenis Produk pada Daerah Pemasaran Langsa<br />

Berdasarkan Keempat Kriteria<br />

Kriteria<br />

Keuntungan Penjualan Pangsa Pasar Pertumbuhan<br />

Bobot<br />

Prioritas<br />

Cup 250 0.080 0.689 0.700 0.102 0.375<br />

600 ml 0.377 0.098 0.146 0.479 0.278<br />

1500 ml 0.138 0.077 0.103 0.306 0.141<br />

Galon 0.405 0.135 0.051 0.112 0.224<br />

λ max 4.225 4.151 4.153 4.265<br />

CI 0.075 0.051 0.051 0.088<br />

CR 0.06 0.08 0.06 0.10<br />

194


Model Analitycal Hierarchy Process untuk Menentukan Tingkat Prioritas Alokasi Produk<br />

Fatimah<br />

Tabel 9: Bobot Prioritas Jenis Produk pada Daerah Pemasaran Samalanga<br />

Berdasarkan Keempat Kriteria<br />

Jenis Produk<br />

Kriteria<br />

kemasan<br />

Keuntungan Penjualan Pangsa Pasar Pertumbuhan<br />

Bobot<br />

Prioritas<br />

Cup 250 0.277 0.597 0.075 0.297 0.293<br />

600 ml 0.078 0.227 0.151 0.102 0.132<br />

1500 ml 0.548 0.128 0.265 0.056 0.316<br />

Galon 0.096 0.047 0.508 0.546 0.237<br />

λ max 4.163 4.259 4.196 4.244<br />

CI 0.054 0.086 0.065 0.081<br />

CR 0.1 0.06 0.07 0.09<br />

Tabel 10: Prioritas Utama Jenis Produk Yang Dialokasikan<br />

Jenis Produk<br />

Daerah Pemasaran<br />

B. Aceh Lhokseumawe Langsa Samalanga<br />

Cup 250 ml 0.426 0.225 0.375 0.293<br />

600 ml 0.265 0.314 0.278 0.132<br />

1500 ml 0.159 0.368 0.141 0.316<br />

Galon 0.075 0.092 0.224 0.237<br />

8. KESIMPULAN<br />

Berdasarkan pembahasan dan analisis yang<br />

telah dilakukan dapat diambil kesimpulan yaitu:<br />

Prioritas utama distribusi atau pengalokasian produk<br />

pada daerah pemasaran adalah yang memiliki bobot<br />

prioritas tertinggi B. Aceh dengan bobot prioritas<br />

0.586, Lhokseumawe dengan bobot prioritas 0.170,<br />

Langsa dengan bobot prioritas 0.158 dan Samalanga<br />

dengan bobot prioritas 0.085.<br />

Sedangkan jenis produk yang menjadi prioritas<br />

utama dalam pengalokasian produksi kedaerah<br />

pemasaran adalah yang memiliki bobot prioritas<br />

tertinggi seperti yang ditunjukkan pada tabel 10.<br />

9. DAFTAR PUSTAKA<br />

Kasim Muhammad, (2001), Penerapan Analitik<br />

Hirarki Proses dan Goal Programming<br />

Untuk Mengoptimalkan Distribusi Produksi<br />

Pada PT. Coca Cola Amatil Indonesia Unit<br />

Operasi Makasar, Tesis, Statistika, ITS,<br />

Surabaya.<br />

Nasution Arman Hakim, (1999), Perencanaan &<br />

pengendalian Produksi, Guna Widya,<br />

Jakarta.<br />

Razmi J, dan Khan M. K., (1996), Use of Analytic<br />

Hierarchy Process Approach In<br />

Classification of Push, Pull and Hybrid<br />

Push-Pull Systems For Production Planning,<br />

Journal of Operation & Production<br />

Management, Vol. 18, No. 11.<br />

Saaty , Thomas L, (1994), Fundamentals of Decision<br />

Making And Priority Theory With The<br />

Analytic Hierarchy Process, Vol. VI, RWS<br />

Publications<br />

Mulyono Sri, M.SS. Drs., (2000), Peramalan Bisnis<br />

dan Ekonometrika, BPFE, Yogyakarta.<br />

Mulyono Sri, SE, MSc., (2002), Riset Operasi,<br />

Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi<br />

<strong>Universitas</strong> Indonesia.<br />

195


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

MUTUALLY EXCLUSIVE ALTERNATIVE PROJECT UNTUK<br />

ANALISIS KELAYAKAN USAHA INDUSTRI KECIL<br />

A Hadi Arifin<br />

Fakultas Ekonomi <strong>Universitas</strong> Malikussaleh<br />

Abstrak: Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan<br />

manusia Indonesia secara keseluruhan. Dalam hal ini pemerintah telah mengarahkan perhatian agar<br />

pembangunan sektor <strong>industri</strong> dititikberatkan pada peningkatan dan pembangunan <strong>industri</strong> kecil. Industri kecil<br />

kerajinan rotan merupakan <strong>industri</strong> kecil yang paling banyak ditekuni oleh masyarakat di kecamatan Jeumpa<br />

kabupaten Bireuen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prospek usaha <strong>industri</strong> kecil kerajinan rotan di<br />

kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen untuk masa yang akan datang berkaitan dengan adanya gangguan<br />

keamanan yang mengakibatkan berkurangnya pendapatan para pengusaha <strong>industri</strong> kecil kerajinan rotan serta<br />

mengetahui faktor permasalahan yang sedang dihadapai oleh para pengusaha kerajinan rotan khususnya di<br />

kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen.<br />

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang didapat langsung dengan mewawancara<br />

pemilik dari tempat usaha kerajinan rotan yang berasal dari tiga usaha <strong>industri</strong> kerajinan rotan yaitu, Al- Fata,<br />

Coslat Rotan Furniture dan UD.Fadillah. Untuk menguji hipotesis digunakan model Studi Kelayakan Bisnis<br />

yaitu : Net Present Value, Internal Rate of Return, dan Net Benefit Cost of ratio dan lain sebagainya. Dalam<br />

penentuan pemilihan terhadap usaha yang akan diinvestasikan dan memiliki propek digunakan metode Mutually<br />

exclusive alternative project untuk mendapatkan perbandingan dari ketiga usaha tersebut dan diperoleh hasil<br />

bahwa NPV usaha kerajinan rotan Al-Fata adalah Rp 714.104,- Coslat Rotan Furniture Rp 1.147.172,- dan<br />

UD.Fadillah Rp 56.854,- dengan IRR berturut-turut 18,78 %, 37,16 %, dan 18,07 %, dan Net B/C masingmasing<br />

sebesar 1,02; 1,11; dan 1,00. Dari ketiga hasil tersebut, dengan menggunakan metode pemilihan usaha<br />

Mutually exclusive alternative project maka usaha kerajinan Coslat Rotan Furniture yang memiliki NPV, IRR,<br />

dan Net B/C tertinggi yang memiliki prospek yang cukup baik untuk dikembangkan walaupun usaha tersebut<br />

memiliki jumlah investasi yang sangat kecil jika dibandingkan dengan Al-Fata dan UD. Fadillah.<br />

Key words: NPV, IRR, Net B/C dan Mutually exclusive alternative project.<br />

PENDAHULUAN<br />

Pembangunan nasional pada hakikatnya<br />

adalah pembangunan manusia seutuhnya dan<br />

pembangunan manusia Indonesia secara keseluruhan.<br />

Guna mencapai tujuan tersebut, maka pembangunan<br />

dibagi dalam berbagai sektor ekonomi dan sosial<br />

yang dilaksanakan secara bertahap dan terpadu yang<br />

diharapkan dapat mengembangkan berbagai potensi<br />

alam maupun potensi manusianya.<br />

Dalam rangka mengembangkan potensipotensi<br />

tersebut agar lebih rasional dan terarah<br />

diperlukan informasi-informasi yang cukup dan dapat<br />

dipercaya sehingga setiap permasalahan yang<br />

dihadapi dapat dikaji lebih teliti, mendalam serta<br />

direncanakan cara-cara pemecahan yang lebih baik<br />

dan tepat.<br />

Tingginya tingkat pengangguran pada masa<br />

sekarang ini menandakan belum mampunya<br />

pemerintah atau badan usaha swasta dalam<br />

menggunakan atau memanfaatkan sumber daya<br />

manusia yang terus bertambah. Apabila keadaan ini<br />

terus berlanjut maka cepat atau lambat akan<br />

mempengaruhi perekonomian suatu daerah secara<br />

khusus dan perekonomian nasional secara umum dan<br />

juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap<br />

tingkat produktivitas dan produksi secara umum.<br />

Dalam upaya mengatasi hal-hal yang disebutkan di<br />

atas yaitu penerapan tenaga kerja, maka sektor<br />

<strong>industri</strong> kecil dianggap paling mampu menyerap<br />

tenaga kerja yang lebih banyak.<br />

Dalam hal ini pemerintah telah<br />

mengarahkan perhatian agar pembangunan sektor<br />

<strong>industri</strong> dititikberatkan pada peningkatan dan<br />

pembangunan <strong>industri</strong> kecil. Karena <strong>industri</strong> kecil<br />

dianggap paling mampu menyerap tenaga kerja<br />

disekitarnya di samping dapat meningkatkan<br />

pendapatan masyarakat yang berpenghasilan rendah.<br />

Menurut Tunggal (1996:58) <strong>industri</strong> merupakan<br />

himpunan semua penjual suatu produk, di mana<br />

produk yang dihasilkan tersebut merupakan<br />

pengolahan dari suatu bahan tertentu untuk<br />

menghasilkan jasa pelayanan atau produk dalam<br />

bisnis.<br />

Industri kecil mempunyai prospek yang baik<br />

bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat, karena hasil<br />

produksi <strong>industri</strong> kecil seperti kerajinan rotan,<br />

sulaman, bordir, produk-produk suvenir yang<br />

menunjukan ciri khas budaya daerah suatu bangsa<br />

memiliki daya tarik tersendiri bagi konsumen di<br />

samping dapat menunjukkan tingginya kebudayaan<br />

bangsa tersebut.<br />

Industri pengolahan rotan merupakan salah<br />

196


Mutually Exclusive Alternative Project untuk Analisis Kelayakan Usaha Industri Kecil<br />

A. Hadi Arifin<br />

satu <strong>industri</strong> kecil yang banyak dikembangkan oleh<br />

masyarakat terutama di Kecamatan Jeumpa<br />

Kabupaten Bireuen. Industri pengolahan rotan adalah<br />

salah satu <strong>industri</strong> non migas yang menjadi perhatian<br />

pemerintah untuk dikembangkan di samping hasil<br />

produknya yang cukup banyak diminati oleh<br />

masyarakat. Oleh karena itu <strong>industri</strong> pengolahan<br />

rotan di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen<br />

sangat mendukung tujuan pembangunan nasional,<br />

terutama dalam menciptakan lapangan kerja, serta<br />

meningkatkan pendapatan masyarakat. Di samping<br />

itu pengembangan <strong>industri</strong> pengolahan rotan ini<br />

diharapkan dapat mengoptimalkan sumber daya alam<br />

serta sumber daya manusia yang tersedia.<br />

Adapun jenis-jenis kerajinan yang<br />

dihasilkan seperti kursi, meja, sofa, lemari, meja rias,<br />

tudung saji, ayunan, tempat tidur, mainan anak-anak<br />

dan lain sebagainya. Bahan baku rotan biasanya<br />

didatangkan dari pengumpul rotan di kawasan<br />

pedalaman daerah seperti Krueng Simpo, Lhoksukon,<br />

Panton Labu, Jeunib, dan daerah lainnya. Namun<br />

akhir-akhir ini karena konflik yang berkepanjangan<br />

di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam khususnya di<br />

daerah pedalaman yang rawan menyebabkan para<br />

pengrajin rotan kesulitan untuk mendapatkan bahan<br />

baku rotan dengan mutu yang baik dibandingkan<br />

dengan keadaan sebelum terjadinya konflik.<br />

Mengingat terbatasnya bahan baku, dana,<br />

waktu, dan tenaga dalam mengerjakan suatu proyek,<br />

mendorong para investor untuk mengadakan<br />

pemilihan terhadap proyek yang akan memberikan<br />

keuntungan yang lebih baik di antara bermacammacam<br />

proyek/usaha yang mungkin untuk<br />

dikembangkan. Untuk melakukan pemilihan<br />

usaha/proyek yang dapat memberikan keuntungan<br />

maksimum, ditinjau dari hasil kriteria investasi salah<br />

satunya dilakukan dengan cara Mutually exclusive<br />

alternative project.<br />

Ibrahim (2003:170) mendefinisikan<br />

“Mutually exclusive alternative project adalah<br />

memilih salah satu alternatif dari beberapa alternative<br />

yang lebih baik, karena tidak mungkin melakukan<br />

beberapa proyek dalam waktu yang bersamaan, baik<br />

yang disebabkan oleh terbatasnya waktu, dana,<br />

maupun tenaga yang diperlukan”. Kadariah (1986 :<br />

64) menyebutkan bahwa mutually exclusive dapat<br />

terjadi jika harus dipilih antara proyek yang<br />

berlainan, atau antara bentuk atau ukuran yang<br />

berbeda dan proyek yang sama.<br />

Tujuan yang ingin dicapai dalam metode ini<br />

adalah mencari salah satu alternatif yang<br />

memberikan benefit yang terbesar sesuai dengan<br />

kemampuan para investor. Apabila hasil kriteria<br />

investasi tidak konsisten di antara kegiatan<br />

usaha/proyek, maka perlu dipertimbangkan beberapa<br />

faktor, antara lain jumlah investasi yang diperlukan,<br />

waktu pengembalian investasi, serta jangka waktu<br />

pembangunan proyek, maka digunakan metode<br />

Mutually Exclusive Alternative Project.<br />

METODOLOGI<br />

Usaha kerajinan rotan yang dijadikan<br />

sampel merupakan usaha yang telah mendapat izin<br />

resmi dari pemerintah dan terdaftar pada Dinas<br />

Per<strong>industri</strong>an, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten<br />

Bireuen. Data yang digunakan untuk ketiga sampel<br />

usaha kerajinan rotan data primer, kemudian diolah<br />

dengan menggunakan analisis kriteria investasi dan<br />

metode mutually exclusive alternative project guna<br />

menentukan dan memilih salah satu dari tiga usaha<br />

kerajinan rotan yang terbaik untuk dikembangkan.<br />

Menurut Ibrahim (2003:141) formulasi yang biasa<br />

digunakan untuk analisis kriteria investasi dengan<br />

metode Mutually exclusive alternative project adalah<br />

sebagai berikut:<br />

1. Melihat Net Present Value (NPV) merupakan<br />

selisih antara present value dari benefit dan<br />

present value dari biaya-biaya. Menurut Kasmir<br />

(2003:157) Net Present Value (NPV) atau nilai<br />

bersih sekarang merupakan perbandingan antara<br />

PV kas bersih dengan PV Investasi selama umur<br />

investasi. Sedangkan menurut Ibrahim<br />

(2003:142) Net Present Value (NPV) merupakan<br />

net benefit yang telah di diskon dengan<br />

menggunakan social opportunity cost of capital<br />

(SOCC) sebagai discount factor.<br />

NPV<br />

=<br />

n<br />

∑<br />

i=<br />

1<br />

( 1 + )<br />

NB i<br />

i<br />

−n<br />

2. Tingkat pengembalian internal atau dikenal<br />

dengan Internal Rate of Return (IRR) merupakan<br />

suatu <strong>teknik</strong> untuk membuat peringkat usulan<br />

investasi dengan menggunakan tingkat<br />

pengembalian atas investasi.Internal Rate of<br />

Return (IRR) menunjukkan bahwa tingkat bunga<br />

yang akan menghasilkan present value dari<br />

sebuah proyek atau usaha sama dengan nol.<br />

Halim (2003:140) memberikan definisi Internal<br />

Rate of Return (IRR) sebagai “ tingkat bunga<br />

yang dapat membuat Net Present Value dari<br />

sebuah usaha sama dengan nol, karena present<br />

value dari cash flow pada tingkat bunga tersebut<br />

sama dengan internal investasinya”.<br />

NPVi IRR − i +<br />

i i<br />

1 2<br />

−<br />

1<br />

NPV − NPV<br />

( ) ( )<br />

1<br />

3. Net Benefit Cost ratio (NetB/C Ratio) merupakan<br />

perbandingan antara net benefit yang telah di<br />

discount positif dengan net benefit yang telah di<br />

discount negatif..<br />

Net B/C<br />

n<br />

∑<br />

i=<br />

1<br />

= n<br />

∑<br />

i=<br />

1<br />

NB ( + )<br />

i<br />

NB ( −)<br />

i<br />

2<br />

197


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

4. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C)<br />

merupakan perbandingan antara benefit kotor<br />

yang telah di discount dengan biaya secara<br />

keseluruhan yang telah di discount. Adapun<br />

formulanya adalah :<br />

Gross<br />

B/C<br />

n<br />

∑<br />

B(1<br />

+ i)<br />

−n<br />

i=<br />

1<br />

= n<br />

−n<br />

∑Ci<br />

(1 + i)<br />

i=<br />

1<br />

5. Analisis Profitability Ratio akan digunakan<br />

untuk mengukur perbandingan antara selisih<br />

benefit dengan biaya operasional dan<br />

pemeliharaan dibanding dengan besarnya<br />

investasi yang akan dikeluarkan. Ibrahim<br />

(2003:152) mengatakan “Profitability Ratio<br />

merupakan suatu ratio perbandingan antara<br />

selisih benefit dengan biaya operasi dan<br />

pemeliharaan dibanding dengan jumlah<br />

investasi.”Kasmir (2003:163) menyebutkan<br />

bahwa “ Profitability Ratio (PR) merupakan<br />

rasio aktivitas dari jumlah nilai sekarang<br />

penerimaan bersih dengan nilai sekarang<br />

pengeluaran investasi selama umur investasi.”<br />

Nilai dari masing-masing variabel dalam bentuk<br />

present value atau nilai yang telah di discount<br />

dengan discount factor dari Social Opportunity<br />

Cost of Capital (SOCC) yang berlaku dalam<br />

masyarakat.<br />

PR<br />

n<br />

∑<br />

B<br />

−<br />

∑<br />

i=<br />

1<br />

n<br />

∑<br />

i<br />

i= 1 i=<br />

1<br />

=<br />

n<br />

I<br />

i<br />

OM<br />

6. Break event point (BEP) adalah titik pulang<br />

pokok dimana total revenue sama dengan total<br />

cost.<br />

BEP<br />

T<br />

n<br />

∑<br />

=<br />

i=<br />

1<br />

ρ −1<br />

+<br />

i=<br />

1<br />

ρ<br />

ii<br />

TCi −<br />

B<br />

n<br />

∑<br />

B<br />

iep−1<br />

7. Mutually exclusive alternative project, yaitu<br />

metode yang digunakan dalam memilih salah<br />

satu usaha yang memilki prospek yang cukup<br />

baik dilihat dari nilai NPV, IRR dan Benefit<br />

yang diperoleh selama umur ekonomis.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Dari hasil penelitian yang penuli dilakukan diketahui<br />

bahwa untuk mendirikan usaha <strong>industri</strong> kecil<br />

kerajinan rotan diperlukan sejumlah investasi<br />

tertentu. Perkiraan jumlah investasi ini<br />

menggambarkan jumlah investasi yang dibutuhkan<br />

dari pendirian usaha <strong>industri</strong> kecil kerajinan rotan.<br />

Perkiraan jumlah investasi dari tiga usaha <strong>industri</strong><br />

kecil kerajinan rotan seperti terlihat dalam Tabel 1 di<br />

bawah ini.<br />

Tabel 1<br />

Perkiraan Jumlah Investasi dan Modal Usaha Industri Kecil<br />

Kerajinan Rotan Al-Fata<br />

No. Jenis Investasi & Modal Kerja Jumlah<br />

A<br />

1<br />

2<br />

3<br />

4<br />

5<br />

6<br />

Jenis Investasi<br />

Bangunan Usaha<br />

1 unit Mesin Poli<br />

1 unit Mesin Pembengkok<br />

2 unit Kompor Tembak<br />

2 unit Bor Listrik<br />

Alat Perlengkapan lainnya<br />

35.000.000<br />

7.400.000<br />

4.500.000<br />

300.000<br />

200.000<br />

250.000<br />

B<br />

Jumlah Investasi<br />

Modal Kerja<br />

47.650.000<br />

8.000.000<br />

Total 55.650.000<br />

Sumber : Data Penelitian (diolah), 2005<br />

198


Mutually Exclusive Alternative Project untuk Analisis Kelayakan Usaha Industri Kecil<br />

A. Hadi Arifin<br />

Dari Tabel 1 terlihat bahwa total investasi<br />

dan modal kerja yang diperlukan adalah sebesar Rp<br />

55.650.000,-. Jumlah investasi sebesar ini<br />

diperkirakan yang dapat dibiayai sendiri yaitu<br />

sebesar Rp 35.650.000,- Dan sumber dana selebihnya<br />

dibiayai dari pinjaman Bank yang diperkirakan<br />

sebesar Rp 20.000.000,- dengan tingkat bunga 18 %<br />

setahun dan dimajemukkan selama 5 tahun. Sumber<br />

dana yang berasal dari Bank akan dikenakan bunga<br />

pinjaman yaitu sebesar 18 %.<br />

Usaha kerajinan rotan yang dijadikan<br />

sampel perhitungan kedua yaitu usaha kerajinan<br />

rotan Coslat Rotan Furniture dengan perkiraan<br />

jumlah investasi dan modal kerja seperti dalam Tabel<br />

2 berikut :<br />

Tabel 2<br />

Perkiraan Jumlah Investasi dan Modal Usaha Industri Kecil<br />

Kerajinan Rotan Coslat Rotan Furniture<br />

No. Jenis Investasi & Modal Kerja Jumlah<br />

A<br />

1<br />

2<br />

3<br />

4<br />

Jenis Investasi<br />

Bangunan Usaha<br />

Satu unit Kompor Tembak<br />

Satu unit Bor Listrik<br />

Alat perlengkapan lainnya<br />

B<br />

10.000.000,-<br />

175.000,-<br />

120.000,-<br />

100.000,-<br />

Jumlah Investasi<br />

10.395.000,-<br />

Modal Kerja<br />

5.000.000,-<br />

Total 15.395.000,-<br />

Dari Tabel 2 terlihat bahwa jumlah investasi dan modal kerja yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 15.395.000,- .<br />

Kebutuhan dana ini dipenuhi dari modal sendiri sebesar Rp 10.395.000,- ditambah dengan pinjaman pada bank<br />

sebesar Rp 5.000.000,- dengan tingkat bunga pada saat itu 18 % dan jangka waktu pengembalian selama 5 tahun.<br />

Selanjutnya, usaha kerajinan rotan yang dijadikan sampel penelitian yang ketiga yaitu UD. Fadillah<br />

dengan perkiraan jumlah investasi dan modal kerja terlihat dalam Tabel 3 sebagai berikut :<br />

Tabel 3<br />

Perkiraan Jumlah Investasi dan Modal Usaha Industri Kecil<br />

Kerajinan Rotan Fadillah<br />

No. Jenis Investasi & Modal Kerja Jumlah<br />

A<br />

1<br />

2<br />

3<br />

4<br />

5<br />

6<br />

Jenis Investasi<br />

Bangunan Usaha<br />

Satu unit Mesin Poli sedang<br />

Satu unit Mesin Pembengkok<br />

Satu unit Kompor Tembak<br />

Satu unit Bor Listrik<br />

Alat Perlengkapan lainnya<br />

25.000.000,-<br />

5.000.000,-<br />

4.500.000,-<br />

220.000,-<br />

175.000,-<br />

150.000,-<br />

B<br />

Jumlah Investasi<br />

Modal Kerja<br />

35.045.000,-<br />

10.500.000,-<br />

Total 45.545.000,-<br />

Sumber : Data Penelitian (diolah), 2005<br />

Dari Tabel 3 terlihat bahwa jumlah investasi dan modal kerja yang dibutuhkan adalah sebesar Rp<br />

45.545.000,- . Kebutuhan dana ini dipenuhi dari modal sendiri sebesar Rp 35.545.000,- ditambah dengan<br />

pinjaman pada bank sebesar Rp 10.000.000,- dengan tingkat bunga pada saat itu 18 % dan jangka waktu<br />

pengembalian selama 5 tahun.<br />

Untuk melihat gambaran selengkapnya tentang jumlah angsuran, pengembalian pokok pinjaman dan<br />

bunga pinjaman dari ketiga usaha kerajinan rotan yaitu Al-Fata, Coslat Rotan Furniture dan UD. Fadillah<br />

rumusan seperti berikut ini<br />

R<br />

⎡<br />

An⎢<br />

⎣1−<br />

=<br />

−n<br />

i<br />

( + i)<br />

⎤<br />

⎥<br />

⎦<br />

199


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Salah satu piranti yang akan digunakan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu usaha adalah Net<br />

Present Value (NPV). Net Present Value merupakan kriteria investasi yang sangat penting dalam mengukur<br />

suatu usaha apakah layak atau tidak. Net Present Value merupakan Net Benefit yang telah di-discount dengan<br />

Social Opportunity Cost of Capital (SOCC) atau dengan kata lain Net Present Value adalah keuntungan bersih<br />

yang akan diterima setelah disesuaikan dengan tingkat suku bunga yang berlaku.<br />

Untuk mengetahui hasil perhitungan Net Present Value dari usaha <strong>industri</strong> kecil kerajinan rotan untuk<br />

ke tiga usaha yaitu kerajinan rotan Al- Fata, kerajinan Coslat Rotan Furniture dan kerajinan rotan UD. Fadillah<br />

yang berlokasi di Kecamatan Jeumpa akan diperlihatkan pada Lampiran 1, 2 dan 3.<br />

Net Present Value usaha <strong>industri</strong> kecil kerajinan rotan adalah :<br />

NPV<br />

=<br />

n<br />

∑<br />

i=<br />

1<br />

NB i<br />

1<br />

( + i )<br />

−n<br />

NPV Al-Fata = (35.650.000) + 4.923.127+4.172.023 +9.094.918 +<br />

7.708.115 +10.465.922 = 714.104<br />

NPV Coslat = (10.395.000) + 2.578.942 + 2.185.482 + 1.851.970 +<br />

2.666.299 + 2.259.479 = 1.147.172<br />

NPV UD. Fadillah = (35.545.000) + 7.839.332 + 6.643.314 + 8.231.284 +<br />

6.976.169 + 5.911.755 = 56.854<br />

Angka Net Present Value yang menjauhi<br />

angka nol menunjukkan keuntungan bersih yang<br />

diperoleh oleh seorang pengusaha tersebut ada<br />

peningkatan walaupun jumlahnya sangat kecil, hal ini<br />

juga membuktikan bahwa usaha kerajinan rotan<br />

masih layak untuk dikembangkan. Net Present Value<br />

yang sama dengan nol bukan berarti perusahaan tidak<br />

memperoleh keuntungan atau dengan kata lain<br />

perusahaan bukan berada pada pada titik impas<br />

(Break Event Point), akan tetapi Net Present Value<br />

sama dengan nol menunjukkan bahwa perusahaan<br />

tetap mampu memperoleh keuntungan secara normal<br />

yang disebut dengan profit. Langkah selanjutnya<br />

adalah mencari nilai Internal Rate of Return dari<br />

ketiga usaha kerajinan rotan tersebut.<br />

Internal Rate of Return Usaha Industri Kecil<br />

Kerajinan Rotan<br />

Internal Rate of Return adalah tingkat bunga<br />

yang akan menghasilkan nilai Net Present Value<br />

sama dengan nol. Angka Internal Rate of Return<br />

yang diperoleh akan menggambarkan tingkat suku<br />

bunga yang menyamakan nilai Net Present Value,<br />

tentunya Internal Rate of Return yang lebih besar<br />

dari tingkat Social Opportunity Cost of Capital,<br />

sehingga usaha tersebut dapat dikatakan feasible.<br />

Untuk menentukan besarnya IRR lebih jelasnya<br />

terlihat pada Lampiran 1, 2 dan 3.<br />

Berdasarkan hasil perhitungan diketahui<br />

bahwa IRR ketiga usaha kerajinan rotan tersebut<br />

adalah :<br />

IRR=<br />

i1<br />

+<br />

NPV<br />

( ) ( i ) 2 −i1<br />

NPV−NPV<br />

1<br />

IRRAl-Fata=<br />

0,8+<br />

= 0,1878<br />

2<br />

714.104<br />

( ( )) ( 0.25−0.18<br />

)<br />

714.104−<br />

−5.666.204<br />

Jadi : IRR AL-Fata = 18,78 %<br />

IRR Coslat = 37,16 %<br />

IRR UD.Fadillah = 18,07 %<br />

Berdasarkan perhitungan diatas, diperlihatkan bahwa<br />

hasil perhitungan IRR adalah 18,78 %, 37,16 % dan<br />

18,07 % ; lebih besar dari SOCC = 18 % , maka<br />

usaha kerajinan rotan di Kecamatan Jeumpa masih<br />

layak untuk dikembangkan.<br />

Net Benefit Cost of Ratio Usaha Industri Kecil<br />

Kerajinan Rotan<br />

Net Benefit Cost of Ratio merupakan<br />

perbandingan antara Net Benefit yang telah di<br />

discount positif dengan Net Benefit yang telah di<br />

discount negatif, seperti berikut ini:<br />

Net B/C =<br />

Net<br />

B/C<br />

n<br />

∑<br />

i=<br />

1<br />

n<br />

∑<br />

i=<br />

1<br />

NBi<br />

NBi<br />

Al - Fata<br />

( + )<br />

( −)<br />

=<br />

36.364.105<br />

35.650.000<br />

= 1.020<br />

Net B/C Coslat = 1,110<br />

Net B/C UD.Fadillah = 1.002<br />

200


Mutually Exclusive Alternative Project untuk Analisis Kelayakan Usaha Industri Kecil<br />

A. Hadi Arifin<br />

Berdasarkan pada hasil perhitungan di atas,<br />

Net Benefit Cost Ratio yang dihitung lebih besar dari<br />

pada satu (Net B/C > 1), ini menunjukkan bahwa<br />

usaha <strong>industri</strong> kerajinan rotan masih layak untuk<br />

dikembangkan.<br />

IV. Analisis Break Event Point Usaha Industri<br />

Kecil Kerajinan Rotan<br />

Break event point merupakan titik pulang<br />

pokok di mana total revenue sama dengan total cost.<br />

Di lihat dari jangka waktu pelaksanaan sebuah<br />

usaha, terjadinya titik pulang pokok tergantung<br />

pada lama arus penerimaan sebuah usaha dapat<br />

menutupi segala biaya operasi dan pemeliharaan<br />

beserta biaya modal lainnya hasilnya berikut :<br />

TCi − B<br />

i=<br />

1 i=<br />

1<br />

BEP = Tρ<br />

-1<br />

+<br />

B<br />

BEP Al - Fata<br />

n<br />

∑<br />

= 4 +<br />

∑<br />

iep−1<br />

426.375.415 - 466.779.975<br />

60.055.598<br />

- 40.404.560<br />

= 4 +<br />

60.055.598<br />

BEP Al-Fata = 3,3272<br />

~ 3 tahun 9 bulan<br />

ρ<br />

n<br />

BEP Coslat = 3,1227<br />

~ 3 tahun 4 bulan<br />

BEP UD. Fadillah = 2,9349<br />

~2 tahun 2 bulan<br />

Dari perhitungan di atas terlihat bahwa<br />

UD.Fadillah adalah usaha <strong>industri</strong> kecil kerajinan<br />

rotan yang paling cepat mencapai titik pulang pokok<br />

dibandingkan dengan usaha Al-Fata dan Coslat<br />

Rotan Furniture.<br />

Mutually exclusive alternative project<br />

adalah memilih salah satu alternatif dari beberapa<br />

alternatif karena tidak mungkin melakukan beberapa<br />

proyek dalam waktu yang bersamaan yang<br />

disebabkan oleh berbagai faktor. Sasaran yang ingin<br />

dicapai dengan menggunakan metode ini adalah<br />

mencari salah satu dari alternatif yang memberikan<br />

benefit yang terbesar sesuai dengan kemampuan<br />

investor.<br />

Hasil perhitungan kriteria investasi dari<br />

usaha <strong>industri</strong> kecil kerajinan rotan yang terdiri dari<br />

usaha kerajinan rotan Al-Fata, Coslat Rotan Furniture<br />

dan UD. Fadillah seperti yang terlihat dalam Tabel 4<br />

berikut, dengan Social Opportunity Cost of Ratio<br />

(SOCC) sebesar 18 %.<br />

Tabel 4<br />

Net Present Value, IRR, dan Net B/C Usaha Kerajinan Rotan<br />

Al-Fata, Coslat Rotan Furniture, dan UD. Fadillah<br />

No.<br />

1<br />

2<br />

3<br />

Nama Usaha<br />

Kerajinan Rotan<br />

Al-Fata<br />

Coslat Rotan Furniture<br />

UD. Fadillah<br />

NPV<br />

(Rp.)<br />

714.104<br />

1.147.172<br />

56.854<br />

IRR<br />

(%)<br />

18.78<br />

37.16<br />

18.07<br />

Net Benefit<br />

Cost of Ratio<br />

1.02<br />

1.11<br />

1.00<br />

Dilihat dari Net Present Value, usaha rotan Coslat<br />

Rotan Furniture lebih besar dari Al- Fata dan UD.<br />

Fadillah. Dari segi IRR, usaha rotan Coslat Rotan<br />

Furniture juga menunjukkan persentase terbesar<br />

dibandingkan dengan dua usaha lainnya. Begitu juga<br />

dengan nilai dari Net Benefit Cost of Ratio, ternyata<br />

usaha <strong>industri</strong> kecil kerajinan rotan Coslat Rotan<br />

Furniture juga yang memiliki angka terbesar yaitu<br />

1,11 dibandingkan dengan Al-Fata dan UD.Fadillah<br />

yang hanya mampu mencapai break event point.<br />

Jika dilihat dari jumlah investasi antara<br />

ketiga usaha kerajinan rotan yaitu Al – Fata sebesar<br />

Rp 35.650.000,- ; UD. Fadillah Rp 35.545.000,-;<br />

sedangkan Coslat Rotan Furniture lebih kecil sebesar<br />

Rp 10.395.000,- yang hanya merupakan <strong>industri</strong><br />

rumah tangga ( home industry ).<br />

Dari ketiga <strong>industri</strong> kerajinan rotan tersebut<br />

dilihat dari Mutually Exclusive Alternative Project,<br />

maka <strong>industri</strong> yang layak untuk dikembangkan<br />

adalah Coslat Rotan Furniture yang lebih unggul dari<br />

hasil penilaian kriteria investasi yang diperoleh<br />

dibandingkan dengan Al-Fata dan UD. Fadillah.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Astuti, Dewi (2004), Manajemen Keuangan<br />

Perusahaan, Cetakan Pertama, Ghalia<br />

Indonesia, Jakarta.<br />

Gray, Clive dan Payaman Simanjuntak (1993),<br />

Pengantar Evaluasi Proyek, Edisi Kedua,<br />

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.<br />

7<br />

Husnan, Suad (1994), Studi Kelayakan Proyek,<br />

Konsep, Teknik dan Penyusunan Laporan,<br />

UPP AMP YKPN, Yogyakarta.<br />

Ibrahim, Yacob (2003), Studi Kelayakan Bisnis, Edisi<br />

Revisi, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.<br />

Kadariah (1986), Evaluasi Proyek Analisis<br />

Ekonomis, Edisi 2001, LPFE-UI, Jakarta.<br />

_______, Lien Karlina, dan Clive Gray, (1999)<br />

Pengantar Evaluasi Proyek, Edisi Revisi,<br />

LPFE-UI, Jakarta<br />

201


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Kasmir dan Jakfar, (2003) Studi Kelayakan Bisnis,<br />

Edisi Pertama, Prenada Media, Jakarta.<br />

Nitisemito, S. Alex dan Burhan, M. Umar (1991),<br />

Wawasan Studi Kelayakan dan Evaluasi<br />

Proyek, Edisi Kedua, Bumi Aksara, Jakarta<br />

Muhammad, Swarsono dan Suad Husnan (2000),<br />

Studi Kelayakan Proyek. UPP AMP YKPN,<br />

Yogyakarta<br />

Saleh, Irsan Azhary (1986), Industri Kecil, Sebuah<br />

Tinjauan dan Perbandingan, LP3ES, Jakarta.<br />

Soeharto, Imam, (1992), Manajemen Proyek Industri<br />

(Persiapan, Pelaksanaan, Pengelolaan),<br />

Penerbit Erlangga. Jakarta<br />

Sukirno, Sadono, (1985), Ekonomi Pembangunan,<br />

LPFEUI, Jakarta<br />

Umar, Husein (1997), Studi Kelayakan Bisnis,<br />

Manajemen dan Metode. Gramedia Pustaka<br />

Utama, Jakarta.<br />

William, Gordon and Jeffry (1995), Investment,<br />

dalam “Studi Kelayakan Bisnis”, Kasmir dan<br />

Jakfar, Prentice Hall Inc. hal. 7.<br />

202


Analisis Substitusi Penggunaan Input pada Industri Pengolahan Makanan dan Minuman Indonesia<br />

Mawardati<br />

ANALISIS SUBSTITUSI PENGGUNAAN INPUT PADA INDUSTRI<br />

PENGOLAHAN MAKANAN DAN MINUMAN INDONESIA<br />

Mawardati<br />

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui substitusi antara factor produksi modal dan tenaga<br />

kerja pada <strong>industri</strong> makanan dan minuman di Indonesia, apakah relatif mudah atau relatif sukar. Hipotesis<br />

diuji dengan menggunakan model fungsi produksi Constant Elasticity of substitution (CES). Penelitian ini<br />

menggunakan <strong>teknik</strong> data panel dengan data cross section sebanyak 51 perusahaan dan data time series dari<br />

tahun 1998 sampai dengan tahun 2002. Data diperoleh dari BPS dan diestimasi dengan metode General Least<br />

Squares (GLS). Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai elastisitas substitusi pada <strong>industri</strong> makanan dan<br />

minuman di Indonesia lebih besar dari satu atau bersifat elastis. Implikasi dari temuan ini adalah sbstitusi<br />

antara factor produksi modal dengan tenaga kerja pada <strong>industri</strong> makanan dan minuman di Indonesia adalah<br />

relatif mudah.<br />

Kata Kunci: Tenaga Kerja, Modal, Substitusi dan Output<br />

Abstract: The aim of this research is to examine whether the substitution between capital and laboar in food and<br />

beverage industry in Indonesia is relatively easy or difficult. A Constant Elasticity of Substitution (CES)<br />

production function was applied to test the hypothesis. This research used panel data techniques. The data<br />

consist of cross section and time series data on 51 enterprises for the period from 1998 to 2002 obtained from<br />

the Bureau of Statistics (BPS). Estimation was conducted by the method of General Least Squares (GLS). The<br />

results show that the value of substituion elasticity in th Indonesia’s food and beverage industraie is greater than<br />

one, i.e elastic. The implication of the research findings is that the substitution between capital and labor in the<br />

food and beverage <strong>industri</strong>es is relatively easy as measured by the elasticity.<br />

Key word : Labor, Capital, Substitution and output.<br />

PENDAHULUAN<br />

Sasaran utuam pembagunan nasional di<br />

bidang ekonomi adalah terciptanya struktur ekonomi<br />

yang seimbang yaitu terdapat <strong>industri</strong> yang didukung<br />

oleh sector pertanian yang mantap. Walaupun<br />

pergeseran dari sektor pertanian ke sektor <strong>industri</strong><br />

(non pertanian) telah terjadi, namun bila dilihat dari<br />

struktur kesempatan kerja maka jumlah tenaga kerja<br />

yang bekerja pada sektor pertanian masih cukup<br />

besar. Pada tahun 1995 penyerapan tenaga kerja<br />

sektor pertanian sebesar 43,98 persen dari total<br />

tenaga kerja nasional dan sektor <strong>industri</strong> hanya<br />

menyerap sebesar 0,80 persen dari total tenaga kerja<br />

nasional. Tahun 2002 terjadi peningkatan penyerapan<br />

tenaga kerja di sektor <strong>industri</strong> yaitu sebesar 14,05<br />

persen dan pada thun yang sama penyerapan tenaga<br />

kerja masih tetap didominasi oleh sektor pertanian<br />

yaitu sebesar 46,28 persen dari total tenaga kerja<br />

nasional.<br />

Secara umum tenaga kerja di negara sedang<br />

berkembang masih memiliki tingkat pendidikan dan<br />

ketrampilan yang rendah, sehingga bagi <strong>industri</strong><strong>industri</strong><br />

besar dan sedang terutama yang beorientasi<br />

ekspor lebih banya menggunakan peralatan mesin<br />

dari pada tenaga manusia. Keadaan ini menyebabkan<br />

adalanya ketidakcocokan teknologi modern yang<br />

diterapkan di negara berkembang bila dibandingkan<br />

dengan kebutuhan negara tersebut. Teknologi<br />

modern yang cenderung padat modal telah tidak<br />

memungkinkan substitusi yang tinggi antara factor<br />

produksi modal dan tenaga kerja.<br />

Bila dilihat dari jumlah perusahaan maka<br />

jumlah <strong>industri</strong> nasional mengalami penurunan.<br />

Tahun tahun 1997 dan 1998 jumlah perusahaan<br />

<strong>industri</strong> di Indonesia mengalami penurunan sebesar<br />

4,3 persen. Sedangkan di tahun 2002 jumlah tersebut<br />

mengalami peningkatan yaitu sebesar 3,02 persen<br />

jika dibandingkan tahun sebelumnya.<br />

Dilihat dari komposisinya industari makanan<br />

dan minuman nasional termasuk <strong>industri</strong> yang paling<br />

banyak jumlah perusahaannya (BPS, 2000 : 6). Hal<br />

ini dapat dimengerti karena semakin tinggi<br />

pertambahan jumlah penduduk maka semakin besar<br />

kebutuhan terhadap bahan makanan dan minuman<br />

termasuk makanan dan minuman olahan, sehingga<br />

<strong>industri</strong> ini banyak bermunculan dalam berbagai<br />

skala usaha.<br />

Banyaknya <strong>industri</strong> pengolahan makanan<br />

dan minuman ini tidak berarti tinggi pula tingkat<br />

konsumsi penduduk Indonesia, karena harganya yang<br />

relatif tinggi dan tidak terjangkau oleh daya beli<br />

masyarakat terutama golongan menengah ke bawah.<br />

Hal ini sejalan dengan pendapat Gunawan (1994 :<br />

15) yang menyatakan bahwa permintaan makanan<br />

olehan di Indonesia sangat rendah, bukan hanya<br />

karena konsumen yang mengkonsumsi makanan<br />

segar tetapi juga disebabkan oleh tingkat pendapatan<br />

yang rendah dan harga produk olahan yang sangat<br />

mahal untuk konsumen lokal.<br />

203


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Kekurangan makanan bergizi akan<br />

menyebabkan gangguan kesehatan dan tingkat<br />

kecerdasan manusia yang akhirnya dapat<br />

menurunkan kualitas sumberdaya manusia. Keadaan<br />

ini menyebabkan terbatasnya jumlah tenaga kerja<br />

yang berkualitas sebagai input <strong>industri</strong> termasuk<br />

industari makanan dan minuman, disamping faktor<br />

produksi lain seperti bahan baku, bahan bakar dan<br />

modal lainnya.<br />

Dalam perkembangannya <strong>industri</strong> makanan<br />

dan minuman mengalami pertumbuhan modal yang<br />

sangat tidak stabil terutama pada saat terjadi krisis<br />

ekonomi. Kondisi yang tidak stabil ini terutama<br />

terjadi pada tahun 1991 dan tahun 1998.<br />

Pertumbuhan modal pada tahun 1997 sebesar 9,16<br />

persen sedangkan tahun 1998 meningkat dengan<br />

sangat mencolok dengan pertumbuhan sebesar 80<br />

persen. Keadaan ini disebabkan pada tahun-tahun<br />

tersebut rupiah terdepresiasi terhadap dollar Amerika<br />

pada tingkat yang sangat rendah, sehingga untuk<br />

memperoleh bahan baku dari luar negeri<br />

membutuhkan modal yang sangat besar.<br />

Menghadapi masalah ketenagakerjaan yang<br />

cukup besar di negara berkembang dengan semakin<br />

berkembangnya perekonomian ke arah perekonomian<br />

yang bersifat industari, maka sektor <strong>industri</strong>,<br />

terutama <strong>industri</strong> pengolahan, diharapkan mampu<br />

menjadi sektor yang menciptakan banyak lapangan<br />

kerja. Walaupun penyerapan tenaga kerja di sektor<br />

<strong>industri</strong> pengolahan semakin meningkat, namun<br />

masih dalam jumlah yang terbatas.<br />

Terbatasnya kemampuan sektor modern<br />

dalam menyerap sebagian besar tenaga kerja tidak<br />

produktif yang berasal dari sektor tradisional<br />

merupakan masalah yang dihadapi oleh negara<br />

berkembang pada umumnya. Sungguhpun<br />

pertumbuhan produksi tinggi, kesempatan kerja<br />

pertumbuhannya lamban. (Todaro 1993 : 320). Ini<br />

mengindikasikan bahwa sektor industari pengolahan<br />

lebih banyak menggunakan modal (Capital intensive)<br />

dari pada menggunakan tenaga kerja (labor<br />

intensive).<br />

Industri-<strong>industri</strong> yang menggunakan<br />

teknologi modern pada umumnya cenderung padat<br />

modal sehingga akan sulit untuk terjadinya substitusi<br />

antara modal dan tenaga kerja. Namun demikian<br />

beberapa studi pada beberapa <strong>industri</strong> tertentu<br />

menunjukkan kemungkinan potensial dilakukannya<br />

substitusi antara modal dengan tenaga kerja pada<br />

sektor <strong>industri</strong> di negara berkembang (Burton, 1972,<br />

Morawetz, 1996). Oleh karena Indonesia merupakan<br />

salah satu negara berkembang, maka penulis tertarik<br />

untuk meneliti bagaimana substitusi input dalam hal<br />

ini tenaga kerja dan modal apakah relatif mudah atau<br />

relatif sukar pada <strong>industri</strong> makanan dan minuman<br />

nasional.<br />

Tenaga Kerja dan Modal dalam Proses Produksi.<br />

Tenaga kerja dan modal dapat digunakan<br />

sebagai ukuran untuk menganalisis ciri-ciri <strong>industri</strong><br />

dan menyusun kebijaksanaan pembangunan<br />

(Kaneko, 1989 :118). Sedangkan peranan modal dan<br />

tenaga kerja dalam proses produksi dapat dilihat dari<br />

rasio masing-masing input terhadap produksi. Jika<br />

proses produksi bersifat padat modal berarti secara<br />

relatif modal memiliki peranan yang lebih penting<br />

dari faktor produksi lain dalam menghasilkan<br />

produksi. Keadaan ini berakibat balas jasa dari<br />

masing-masing faktor produksi lebih besar diterima<br />

oleh pemilik modal dari pada pemilik faktor produksi<br />

lain.<br />

Di negara-negara sedang berkembang, pada<br />

umumnya tabungan unuk pemupukan modal lebih<br />

kecil dari jumlah yang diperlukan dan sebagian besar<br />

barang modal diimpor (Kaneko, 1989 :119). Oleh<br />

karena itu pengembangan <strong>industri</strong> lebih tepat<br />

diarahkan pada <strong>industri</strong>-<strong>industri</strong> yang lebih sedikit<br />

memerlukan barang modal, apabila diukur dari<br />

jumlah tabungan dan jumlah valuta asing yang<br />

terbatas.<br />

Berkaitan dengan hal tersebut, maka<br />

kebijaksanaan pengembangn <strong>industri</strong> padat karya<br />

lebih tepat diterapkan pada negara-negara sedang<br />

berkembang karena umumnya dihadapkan pada<br />

masalah di bidang ketenagakerjaan. Hal ini sejalan<br />

dengan pendapat Djojohadikusumo (dalam Embang<br />

dan Cahyono, 1990 : 592) menyatakan bahwa pada<br />

azasnya ada suatu cara untuk meluaskan kesempatan<br />

kerja, yaitu melalui pengembangan <strong>industri</strong>, terutama<br />

jenis industari yang bersifat padat karya (labor<br />

intensive) yang dapat menyerap relatif banyak tenaga<br />

kerja dalam proses produksi (labor absorbtive).<br />

Suatu industari dikatakan padat karya ditandai<br />

dengan elastisitas kesempatan kerja lebih besar dari<br />

elastisitas modal.<br />

Skala Hasil<br />

Kombinasi input yang menghasilkan output<br />

optimal harus dapat ditemukan oleh suatu perusahaan<br />

agar perusahaan tersebut berada pada proses produksi<br />

dengan biaya terendah. Skala hasil (return to scale)<br />

memperlihatkan dampak peningkatan proporsional<br />

dari seluruh faktor produksi terhadap produksi.<br />

Return to scale juga perlu untuk mengetahui apakah<br />

suatu perusahaan berproduksi pada increasing return<br />

to scale, constant return to scale atau decreasing<br />

return to scale.<br />

Distribusi Pendapatan dan Intensitas Faktor<br />

Distribusi pendapatan adalah bagian<br />

pendapatan yang diterima masing-masing faktor<br />

produksi dalam hal ini ditentukan oleh sifat teknis<br />

yang terdapat dalam proses produksi, yaitu bagian<br />

dari produksi total secara fisik yang dpat dihasilkan<br />

masing-masing faktor produksi tersebut, dan ini tidak<br />

lain adalah elastisitas produksi terhadap faktor.<br />

Intensitas faktor produksi adalah kata lain dari<br />

input mana yang lebih dominan dari pada input<br />

lainnya, apakah input modal atau tenaga kerja jika<br />

204


Analisis Substitusi Penggunaan Input pada Industri Pengolahan Makanan dan Minuman Indonesia<br />

Mawardati<br />

dua input ini yang digunakan proses produksi.<br />

Informasi ini sangat penting untuk mengetahui proses<br />

produksi yang sedang berlangsung, terutama<br />

kaitannya dengan kebijakan perusahaan itu sendiri<br />

atau kebijakan pemerintah. Sebagaimana telah<br />

dimaklumi bahwa di negara-negara sedang<br />

berkembang diharapkan sektor <strong>industri</strong> dapat<br />

menyediakan lapangan kerja lebih luas lagi.<br />

Kebijakan ini mengisyaratkan bahwa proses produksi<br />

diharapkan lebih bersifat padat tenaga kerja daripada<br />

padat modal.<br />

Elastisitas Substitusi<br />

Fungsi produksi dengan Q = f (K,L),<br />

elastisitas substutusinya (σ) adalah mengukur<br />

perubahan proporsional dalam K/L relatif terhadap<br />

perubahan proporsional dalam tingkat substitusi<br />

teknis di sepanjang kurva isoquant (Nicholson, 1995<br />

: 363). Satu ciri penting dari fungsi produksi adalah<br />

sampai seberapa mudahnya sebuah masukan<br />

digantikan dengan masukan lainnya, apakah relatif<br />

mudah untuk menggantikan tenaga kerja dengan<br />

modal sambil tetap mempertahankan keluaran.<br />

Disepanjang isoquant diasumsikan bahwa tingkat<br />

substitusi teknis akan menurun sementara rasio (K/L)<br />

menurun.<br />

METODE ANALISIS<br />

Penelitian ini menggunakan data skunder<br />

yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS)<br />

sedangkan yang digunakan untuk analisis adalah data<br />

kerat silan (Cross-section) sebanyak 51 perusahaan<br />

dan data runtun waktu (time series) sebanyak 5(lima)<br />

tahun yaitu dari tahun 1998 sampai dengan 2002.<br />

Untuk menganalisis substitusi antara faktor<br />

produksi modal dan tenaga kerja pada <strong>industri</strong><br />

makanan dan minuman Indonesia digunakan model<br />

fungsi produksi Constant Elasticity of Substitution<br />

(CES) sebagai berikut :<br />

Q = γ [δM − ρ + ( 1- δ) TK − ρ −v / ρ<br />

] .................... (1)<br />

( γ>0, 1>δ>0, v>0, ρ≥-1)<br />

dimana :<br />

Q = Jumlah produksi makanan dan minuman<br />

M = Jumlah modal<br />

TK = Jumlah tenaga kerja<br />

v = Parameter skala hasil<br />

γ = Parameter efisiensi<br />

δ = Parameter distribusi ≥<br />

ρ = parameter substitusi<br />

Estimasi model tersebut adalah sebagai berikut :<br />

Ln Q = Ln β 1 + β 2 LnM + β 3 LnTK +<br />

β 4 (lnM-lnTK) 2 + εi .................................... (3)<br />

Parameter persamaan tersebut berkaitan<br />

dengan koefisiennya, sehingga diperoleh :<br />

γ = antilog β 1 ............................................................ (4)<br />

v = β 2 + β 3 ..................................... (5)<br />

δ =<br />

ρ<br />

β<br />

2<br />

β + β<br />

2<br />

................................ . (6)<br />

2 3<br />

− 2β<br />

4<br />

( β<br />

2<br />

+ β<br />

3)<br />

= ....................................... (7)<br />

β β<br />

3<br />

Sehingga elastisitas substitusi menurut Greene dan<br />

Henderson dan Quandt dapat dihitung dengan<br />

persamaan sebagai berikut :<br />

1<br />

σ = .................................... (8)<br />

1 + ρ<br />

Model persamaan (3) diestimasi dengan<br />

menggunakan program shazame komputer yaitu<br />

dengan metode Ordinary Leas Squares (OLS).<br />

Sedangkan untuk mengetahui tingkat signifikansi<br />

variabel independen terhadap variabel dependen yang<br />

dianalisis dapat dilihat pada nilai p-valui variabel<br />

tersebut baik secara individual (t-test) maupun secara<br />

bersama-sama atau serentak (F-test).<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Analisis Ekonometrik<br />

Dalam mengestimasi suatu fungsi<br />

produksi dengan menggunakan Ordinary Least<br />

Square (OLS) maka hasil estimasinya harus<br />

memenuhi asumsi-asumsi klasik. Hasil estimasi<br />

<strong>industri</strong> makanan dan minuman nasional dengan<br />

menggunakan OLS menunjukkan terjadinya<br />

pelanggaran asumsi klasik berupa multikolinearitas<br />

dan serial korelasi positif. Untuk mengobati<br />

pelanggaran asumsi klasik ini maka data tersebut<br />

dianalisis kembali dengan menggunakan General<br />

Least Squares (GLS).<br />

Adapun hasil estimasi dengan General Least Squares<br />

(GLS) adalah sebagai berikut:<br />

Dalam bentuk logaritma (ln) dapat dinyatakan :<br />

Ln Q = ln γ – v/ ρ ln [δM<br />

− ρ + ( 1- δ) TK − ρ ] + εi ................ (2)<br />

(Kmenta 1971: 463; Greene 2000:331)<br />

205


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Hasil Estimasi Fungsi Produksi Industri Makanan<br />

Dan Minuman Nasional<br />

Variabel Koefisien Estimasi p-Value<br />

Ln M<br />

Ln TK<br />

Ln MTK<br />

Konstanta<br />

0,48022<br />

0,48517<br />

0,04818<br />

1,9696<br />

0,000<br />

0,000<br />

0,004<br />

0,000<br />

R 2 = 0,9602<br />

R 2 Adjusted = 0,9594<br />

D-W = 1,9692<br />

Tabel tersebut memperlihatkan bahwa<br />

semua variabel yang diteliti adalah signifikan pada<br />

taraf kepercayaan 99% (α=1%) yang ditunjukkan<br />

oleh nilai p-valuenya masing-masing.<br />

Analisis Ekonomi<br />

Hasil estimasi model penelitian<br />

sebagaimana diperlihatkan pada tabel estimasi<br />

menunjukkan bahwa koefisien parameter modal<br />

(LM) bertanda positif yaitu sebesar 0,48. Hal ini<br />

memberi arti bahwa peningkatan modal sebesar 1%<br />

akan dapat meningkatkan produksi makanan dan<br />

minuman sebesar 0,48%. Ini sesuai dengan teori<br />

produksi yang menyatakan bahwa semakin<br />

meningkatnya modal yang digunakan dalam suatu<br />

proses produksi maka akan dapat meningkatkan<br />

produksi.<br />

Koefisien regresi varibel tenaga kerja (LTK)<br />

juga bertanda positif yaitu 0,49, artinya penambahan<br />

tenaga kerja sebesar 1% akan dapat meningkatkan<br />

produksi makanan dan minuman nasional sebesar<br />

0,49%.<br />

Dari koefisien yang diperoleh dapat dihitung<br />

nilai parameter distribusi (δ) sebesar 0,49 yaitu lebih<br />

kecil dari 0,5 tetapi lebih besar dari 1 (0< δ


DAFTAR PUSTAKA<br />

Analisis Substitusi Penggunaan Input pada Industri Pengolahan Makanan dan Minuman Indonesia<br />

Mawardati<br />

Badan Pusat Statistik, 2000. Indikator Industri Besar<br />

dan Sedang, Jakarta.<br />

.................................., 2002. Indikator Industri Besar<br />

dan Sedang, Jakarta<br />

Burton, H.J (1972). “Elasticity Substitution in<br />

Developing Countries”. Research<br />

Memorandum No.45. Center for Development<br />

Economics, William College, USA<br />

.<br />

Embang M dan Cahyo Tri, 1990. “Analisis Efek<br />

Substitusi dan Efek Output pada Industari<br />

Penggergajian dan Pengolahan Kayu di<br />

Kalimantan Tengah”. dalam Penelitian<br />

Berkala UGM, no.4A, Yogjakarta.<br />

Greene. W.H, 2000. Econometric Analysis.<br />

Prendtice Hall International, Inc, New Jersey.<br />

Joesron, T.S dan Fathorrozi. M, 2002. Teori<br />

Ekonomi Mikro. Salemba Empat, Jakarta.<br />

Kaneko. Y. 1989. “Industri Pengolahan : Analisis<br />

dan Kebijakan”’ dalam Shinichi Ichimura<br />

(Editor), Pembangunan Ekonomi Indonesia.<br />

UI Press-Jakarta.<br />

Kmenta, Jan, (1971). Element of Econometrics. The<br />

Mac Millan Compay, New York.<br />

Nicholson W, 1994. Teori Mikroekonomi, Prinsip<br />

Dasar dan Perluasan. Bina Arupa Aksara,<br />

Jakarta, Jilid 1.<br />

Prima, Roza (1996). “Elastisitas Substitusi dan<br />

Proporsi Modal dan Tenaga Kerja pada Sektor<br />

Industri di Indonesia”. Satuan Analisa Funsi<br />

Produksi. Fakultas Ekonomi <strong>Universitas</strong><br />

Andalas Padang.<br />

207


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Kompresi Data Menggunakan Algoritma Huffman<br />

F. Rizal Batubara<br />

Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik USU<br />

Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk meninjau <strong>teknik</strong> kompresi data dengan menggunakan algoritma Huffman,<br />

beserta contoh kompresi terhadap kata “NUSANTARA”, didapatkan besar file hasil kompresi hanya 30% besar<br />

file aslinya.<br />

Kata kunci: kompresi data, algoritma Huffman<br />

PENDAHULUAN<br />

Dalam dunia komputer dan internet, kompresi file<br />

digunakan dalam berbagai keperluan, jika anda ingin<br />

mem-backup data, anda tidak perlu menyalin semua<br />

file aslinya, dengan memampatkan (mengecilkan<br />

ukuran) file tersebut terlebih dahulu maka kapasitas<br />

tempat penyimpanan yang diperlukan akan menjadi<br />

lebih kecil. Jika sewaktu-waktu data tersebut anda<br />

perlukan, baru dikembalikan lagi ke file aslinya.<br />

Down-load dan Up-load file suatu pekerjaan<br />

yang kadang mengesalkan pada dunia internet,<br />

setelah menghabiskan beberapa waktu kadangkadang<br />

hubungan terputus dan anda harus<br />

melakukannya lagi dari awal, hal ini sering terjadi<br />

pada file-file yang berukuran besar. Untunglah filefile<br />

tersebut dapat dimampatkan terlebih dahulu<br />

sehingga waktu yang diperlukan akan menjadi lebih<br />

pendek dan kemungkinan pekerjaan down-load dan<br />

up-load gagal akan menjadi lebih kecil.<br />

Dua orang mahasiswa mendapatkan tugas<br />

untuk melakukan penelitian mengenai warna baju<br />

yang digunakan oleh orang-orang yang lewat di suatu<br />

jalan tertentu. Tugasnya mudah saja, jika ada orang<br />

lewat dengan baju berwarna merah, mereka cukup<br />

menulis “merah” pada buku pencatat, begitu juga<br />

dengan warna lain.<br />

Pada suatu saat lewat pada jalan tersebut<br />

serombongan tentara yang berjumlah 40 orang,<br />

semuanya memakai seragam berwarna hijau.<br />

Mahasiswa pertama menulis pada buku pencatat<br />

“hijau, hijau, hijau …. “ sampai 40 kali, tapi<br />

mahasiswa kedua ternyata lebih cerdik, dia hanya<br />

menulis pada buku pencatat “hijau 40 x”.<br />

Setelah selesai melaksanakan tugas mereka,<br />

ternyata mahasiswa pertama menghabiskan 10<br />

lembar catatan, sedangkan mahasiswa kedua hanya<br />

menghabiskan 5 lembar catatan, sedangkan hasil<br />

mereka tidak ada bedanya.<br />

Cara yang digunakan oleh mahasiswa kedua<br />

tersebut dapat digunakan sebagai algoritma kompresi<br />

file.<br />

Algoritma Huffman<br />

Dasar pemikiran algoritma ini adalah bahwa<br />

setiap karakter ASCII biasanya diwakili oleh 8 bits.<br />

Jadi misalnya suatu file berisi deretan karakter<br />

“ABACAD” maka ukuran file tersebut adalah 6 x 8<br />

bits = 48 bit atau 6 bytes. Jika setiap karakter tersebut<br />

di beri kode lain misalnya A=1, B=00, C=010, dan<br />

D=011, berarti kita hanya perlu file dengan ukuran<br />

11 bits (10010101011), yang perlu diperhatikan ialah<br />

bahwa kode-kode tersebut harus unik atau dengan<br />

kata lain suatu kode tidak dapat dibentuk dari kodekode<br />

yang lain. Pada contoh diatas jika kode D kita<br />

ganti dengan 001, maka kode tersebut dapat dibentuk<br />

dari kode B ditambah dengan kode A yaitu 00 dan 1,<br />

tapi kode 011 tidak dapat dibentuk dari kode-kode<br />

yang lain. Selain itu karakter yang paling sering<br />

muncul, kodenya diusahakan lebih kecil jumlah<br />

bitnya dibandingkan dengan karakter yang jarang<br />

muncul. Pada contoh di atas karakter A lebih sering<br />

muncul (3 kali), jadi kodenya dibuat lebih kecil<br />

jumlah bitnya dibanding karakter lain.<br />

Untuk menetukan kode-kode dengan kriteria<br />

bahwa kode harus unik dan karakter yang sering<br />

muncul dibuat kecil jumlah bitnya, kita dapat<br />

menggunakan algoritma Huffman.<br />

Aplikasi<br />

Sebagai contoh, sebuah file yang akan<br />

dimampatkan berisi karakter-karakter<br />

“NUSANTARA”. Dalam kode ASCII masingmasing<br />

karakter dikodekan sebagai :<br />

N = 4EH = 01001110B<br />

U = 55H = 01010101B<br />

S = 53H = 01010011B<br />

A = 41H = 01000001B<br />

T = 54H = 0 1010100B<br />

R = 52H = 01010010B<br />

Maka jika diubah dalam rangkaian bit,<br />

“NUSANTARA” menjadi :<br />

01001110010101010101001101000001010011100<br />

10101000100000101010010<br />

yang berukuran 72 bit.<br />

208


Kompresi Data Menggunakan Algoritma Huffman<br />

F. Rizal Batubara<br />

Tugas kita yang pertama adalah menghitung<br />

frekuensi kemunculan masing-masing karakter, jika<br />

kita hitung ternyata N muncul sebanyak 2 kali, U<br />

sebanyak 1 kali, S sebanyak 1 kali, A sebanyak 3<br />

kali, T sebanyak 1 kali dan R sebanyak 1 kali. Jika<br />

disusun dari yang kecil :<br />

U = 1<br />

S = 1<br />

T = 1<br />

R = 1<br />

N = 2<br />

A = 3<br />

Untuk karakter yang memiliki frekuensi<br />

kemunculan sama seperti U, S, T dan R disusun<br />

menurut kode ASCII-nya, begitu pula untuk N dan<br />

A.<br />

Selanjutnya buatlah node masing-masing<br />

karakter beserta frekuensinya sebagai berikut :<br />

U S,1 T,1 R,1 N,2 A,3<br />

Ambil 2 node yang paling kiri (U dan S), lalu<br />

buat node baru yang merupakan gabungan dua node<br />

tersebut, node gabungan ini akan memiliki cabang<br />

masing-masing 2 node yang digabungkan tersebut.<br />

Frekuensi dari node gabungan ini adalah jumlah<br />

frekuensi cabang-cabangnya. Jika kita gambarkan<br />

akan menjadi seperti berikut ini :<br />

Setelah node pada level paling atas diurutkan<br />

(level berikutnya tidak perlu diurutkan), berikutnya<br />

kita gabungkan kembali 2 node paling kiri seperti<br />

yang pernah dikerjakan sebelumnya. Node T<br />

digabung dengan node R menjadi node TR dengan<br />

frekuensi 2 dan gambarnya akan menjadi seperti<br />

berikut ini:<br />

TR,2<br />

T,1 R,1<br />

Kemudian hasilnya kita urutkan kembali (dalam<br />

kasus ini hasilnya tetap). Berikutnya kita gabungkan<br />

kembali 2 node paling kiri. Node TR digabung<br />

dengan node US menjadi node TRUS dengan<br />

frekuensi 4 dan gambarnya akan menjadi seperti<br />

berikut ini :<br />

TRUS,4<br />

US,2<br />

U,1 S,1<br />

N,2 A,3<br />

N,2 A,3<br />

US,2<br />

T,1 R,1 N,2 A,3<br />

TR,2<br />

US,2<br />

U,1 S,1<br />

T,1 R,1<br />

U,1 S,1<br />

Jika kita lihat frekuensi tiap node pada level<br />

paling atas, US=2, T=1, R=1, N=2, dan A=2. Nodenode<br />

tersebut harus diurutkan lagi dari yang paling<br />

kecil, jadi node US harus digeser ke sebelah kanan<br />

node R dan ingat jika menggeser suatu node yang<br />

memiliki cabang, maka seluruh cabangnya harus<br />

diikutkan juga. Setelah diurutkan hasilnya akan<br />

menjadi sebagai berikut :<br />

Kemudian diurutkan lagi menjadi:<br />

N,2 A,3 TRUS,4<br />

T,1 R,1 US,2 N,2 A,3<br />

TR,2<br />

US,2<br />

U,1 S,1<br />

T,1 R,1<br />

U,1 S,1<br />

209


Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005<br />

Kita gabungkan kembali 2 node paling kiri. Node N<br />

digabung dengan node A menjadi node NA dengan<br />

frekuensi 5 dan gambarnya akan menjadi seperti<br />

berikut ini :<br />

0<br />

NATRUS,9<br />

1<br />

NA,5<br />

TRUS,4<br />

NA,5<br />

TRUS,4<br />

0<br />

1<br />

0<br />

1<br />

N,2 A,3<br />

TR,2<br />

US,2<br />

N,2 A,3<br />

TR,2<br />

US,2<br />

0<br />

1 0 1<br />

T,1 R,1<br />

U,1 S,1<br />

Selanjutnya dua node tersisa kita gabungkan<br />

kembali sampai diperoleh pohon Huffman seperti<br />

gambar berikut ini :<br />

NA,5<br />

N,2 A,3<br />

NATRUS,9<br />

TR,2<br />

T,1 R,1<br />

TRUS,4<br />

US,2<br />

U,1 S,1<br />

Setelah pohon Huffman terbentuk, berikan tanda bit<br />

0 untuk setiap cabang ke kiri dan bit 1 untuk setiap<br />

cabang ke kanan seperti gambar berikut :<br />

T,1 R,1<br />

U,1 S,1<br />

Untuk mendapatkan kode Huffman masingmasing<br />

karakter, telusuri karakter tersebut dari node<br />

yang paling atas (NATRUS) sampai ke node karakter<br />

tersebut dan susunlah bit-bit yang dilaluinya.<br />

Untuk mendapatkan kode Karakter N, dari node<br />

NATRUS kita harus menuju ke node NA melalui bit<br />

0 dan selanjutnya menuju ke node N melalui bit 0,<br />

jadi kode dari karakter N adalah 00.<br />

Untuk mendapatkan kode Karakter A, dari node<br />

NATRUS kita harus menuju ke node NA melalui bit<br />

0 dan selanjutnya menuju ke node A melalui bit 1,<br />

jadi kode dari karakter A adalah 01.<br />

Untuk mendapatkan kode Karakter T, dari node<br />

NATRUS kita harus menuju ke node TRUS melalui<br />

bit 1 dan selanjutnya menuju ke node TR melalui bit<br />

0, dilanjutkan ke node T melalui bit 0, jadi kode dari<br />

karakter T adalah 100.<br />

Untuk mendapatkan kode Karakter R, dari node<br />

NATRUS kita harus menuju ke node TRUS melalui<br />

bit 1 dan selanjutnya menuju ke node TR melalui bit<br />

0, dilanjutkan ke node R melalui bit 1, jadi kode dari<br />

karakter R adalah 101.<br />

Untuk mendapatkan kode Karakter U, dari node<br />

NATRUS kita harus menuju ke node TRUS melalui<br />

bit 1 dan selanjutnya menuju ke node US melalui bit<br />

1, dilanjutkan ke node U melalui bit 0, jadi kode dari<br />

karakter U adalah 110.<br />

Terakhir, Untuk mendapatkan kode Karakter S,<br />

dari node NATRUS kita harus menuju ke node<br />

TRUS melalui bit 1 dan selanjutnya menuju ke node<br />

US melalui bit 1, dilanjutkan ke node S melalui bit 1,<br />

jadi kode dari karakter S adalah 111.<br />

210


Kompresi Data Menggunakan Algoritma Huffman<br />

F. Rizal Batubara<br />

Hasil akhir kode Huffman dari file di atas adalah:<br />

KEPUSTAKAAN<br />

N = 00<br />

A = 01<br />

T = 100<br />

R = 101<br />

U = 110<br />

S = 111<br />

Dengan kode ini, file yang berisi karakterkarakter<br />

“NUSANTARA” akan menjadi lebih kecil,<br />

yaitu :<br />

00 110 111 01 10 100 01 101 01<br />

N U S A N T A R A<br />

= 22 bit<br />

Dengan Algoritma Huffman berarti file ini dapat<br />

kita hemat sebanyak 72-22 = 50 bit.<br />

Untuk proses pengembalian ke file aslinya, kita<br />

harus mengacu kembali kepada kode Huffman yang<br />

telah dihasilkan, seperti contoh di atas hasil<br />

pemampatan adalah :<br />

0011011101101000110101<br />

dengan Kode Huffman :<br />

N = 00<br />

A = 01<br />

T = 100<br />

R = 101<br />

U = 110<br />

S = 111<br />

Ambillah satu-persatu bit hasil pemampatan<br />

mulai dari kiri, jika bit tersebut termasuk dalam<br />

daftar kode, lakukan pengembalian, jika tidak ambil<br />

kembali bit selanjutnya dan jumlahkan bit tersebut.<br />

Bit pertama dari hasil pemampatan di atas adalah 0,<br />

karena 0 tidak termasuk dalam daftar kode kita ambil<br />

lagi bit kedua yaitu 0, lalu digabungkan menjadi 00,<br />

jika kita lihat daftar kode 00 adalah kode dari<br />

karakter N.<br />

Selanjutnya bit ketiga diambil yaitu 1, karena 1<br />

tidak terdapat dalam daftar kode, kita ambil lagi bit<br />

keempat yaitu 1 dan kita gabungkan menjadi 11. 11<br />

juga tidak terdapat dalam daftar, jadi kita ambil<br />

kembali bit selanjutnya yaitu 0 dan digabungkan<br />

menjadi 110. 110 terdapat dalam daftar kode yaitu<br />

karakter U. Demikian selanjutnya dikerjakan sampai<br />

bit terakhir sehingga akan didapatkan hasil<br />

pengembalian yaitu NUSANTARA.<br />

Hankerson, Darrel; Harris, Greg A. and Johnson,<br />

Peter D. Introduction to Information Theory and<br />

Data Compression, Chapman & Hall/CRC; 2 nd<br />

edition, 2003.<br />

1. Salomon, David. Data Compression: The<br />

Complete Reference. Springer; 3 th edition, 2004.<br />

2. Williams, Ross N. Adaptive Data Compression.<br />

Springer; 1990.<br />

211


JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI<br />

Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri<br />

ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002<br />

Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155<br />

Homepage: http://www.geocities.com/<strong>jurnal</strong>sti_usu E-mail: jsti@plasa.com<br />

Volume 6 No. 3 Juli 2005<br />

SURAT PENGANTAR<br />

No.<br />

/JO5.1.31/TI/STI/2004-<br />

Kepada Yth :<br />

………………………………..<br />

………………………………..<br />

di<br />

Tempat<br />

No. Isi Surat / Barang Banyaknya Keterangan<br />

1. JURNAL SISTEM TEKNIK<br />

1 (satu) Disampaikan dengan<br />

INDUSTRI<br />

eksemplar hormat sebagai tukar<br />

Jurnal Ilmiah Terakreditas Vol. 6 No. 3 Juli 2005<br />

informasi ilmiah, mohon<br />

lembar di bawah ini<br />

dikirim kembali<br />

Medan, 2005<br />

Pemimpin Umum,<br />

Ir.H.A.Jabbar M.Rambe, M.Eng<br />

NIP. 130 517 496<br />

…………………………………………………………………………………………...<br />

TANDA TERIMA<br />

Telah diterima dari<br />

: Redaksi Jurnal Sistem Teknik Industri<br />

Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong><br />

Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155<br />

Berupa : JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI Vol. 5 No. 4, Oktober 2004<br />

Tanggal diterima<br />

Nama<br />

Jabatan<br />

Institusi<br />

Alamat<br />

Telepon<br />

Tanda tangan/cap<br />

: ………………………………………………………………………………<br />

: ………………………………………………………………………………<br />

: ………………………………………………………………………………<br />

: ………………………………………………………………………………<br />

: ………………………………………………………………………………<br />

: ………………………………………………………………………………<br />

: ………………………………………………………………………………

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!