You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
APRESIASI SASTRA “PADI NUMADI”<br />
KARYA MADE OLE ADNYANA<br />
Oleh :<br />
IDA AYU MADE GAYATRI, S.SN., M.SI<br />
(Penulis Kreatif / Wartawan)<br />
GAMBARAN UMUM<br />
Padi Numadi, merupakan 8 kumpulan cerpen yang ditulis Made Ole<br />
Adnyana selama 13 tahun (1994-2007). Beberapa judul didalamnya, yakni:<br />
Padi Numadi dan Pawang Tikus (1994); Anak-Anak Hilang di Kota Kecil itu<br />
(1996); Istriku Bernama Sri dan Rahasia Gambuh (1997); Ah, Cuma Lelucon<br />
Kecil (1999); Pohon Pedang Kayu (2006); Capung, Dayu Bulan dan lain-lain<br />
(2007).<br />
Padi Numadi (1994), berkisah tentang pertanian dan kehidupan petani<br />
yang berangsur-angur ditinggalkan generasi berikutnya. Padi Numadi<br />
menyajikan dialog antara seorang kakek dengan cucu. Kisah sederhana<br />
bermula dari pertanyaan: Dari mana asal benih merupakan dialog Nang<br />
Oman Pugur dengan cucunya Wulaningrat Umadewi. Pertanyaan itu juga<br />
diajukan Nang Oman Pugur pada kakeknya I Melik yang ditahan selama 20<br />
tahun karena dianggap mata-mata penjajah. Pugur mewariskan dari<br />
kakeknya I Melik, warisan sawah, integritas dan dedikasi diri sebagai petani.<br />
Baginya, sejarah padi yang hidup di sawah dan diri keluarga mereka seperti<br />
pertautan rahasia tapi pasti, lengkap dengan nasib baik dan buruk. Pugur,<br />
menjadi generasi terakhir yang menjalankan kehidupan sebagai petani.<br />
Anaknya telah menjadi orang sukses dalam akademinya dan juga cucunya<br />
tak lagi menjadi petani.<br />
Pawang Tikus (1994) menceritakan wabah yang menyerang tanah<br />
pertanian. Tikus menjadi penyebab bencana, gagalnya panen petani. Petani<br />
resah dan tak tahu bagaimana mengatasi, menjadi frustrasi dan mencari<br />
jawaban pada pawang tikus yang bernama Jero Mangku Macaling. Pawang<br />
tikus gagal menghentikan bencana itu. Dan akhirnya, petani saling<br />
menyalahkan satu dan yang lainnya, dengan mencari kambing hitam.<br />
Anak-Anak Hilang di Kota Kecil Itu (1996), kisah tentang Jengki anak<br />
dari Sukerti yang tiba-tiba menghilang dari rumahnya. Kedua orangtuanya<br />
khawatir dan mencarinya keman-mana. Tapi, Jengki kembali ke rumah dan<br />
membawa berita bahwa ia menemukan negeri asing yang makmur. Jengki<br />
dan juga teman-temannya menginginkan kehidupan yang menurut ibunya<br />
hanya sekedar impian. Seminggu kemudian, Jengki mengajak temantemannya<br />
sekolah mencari negeri itu. Seluruh anak sekolah menghilang, dan<br />
pada bulan ketiga seluruh anak-anak di kota kecil itu menghilang. Mereka tak<br />
bisa ditemukan kembali.
Istriku Bernama Sri (1997) menceritakan tentang munculnya sawah<br />
ajaib di halaman rumah sebuah keluarga. Sang suami merasa heran dengan<br />
perubahan itu, dan perubahan istrinya yang sejak saat itu hanya mau<br />
dipanggil dengan nama Sri. Sementara itu, di tempat lain para petani<br />
berdemonstrasi ke gedung DPR karena mereka kehilangan sawah-sawahnya.<br />
Rahasia Gambuh (1997), kisah Wak Miki seorang pemimpin kelompok<br />
kesenian Gambuh dan juga sekaligus seorang penari gambuh. Wak Miki<br />
digugat warga dan pemuka desa karena dalam pertunjukannya, tokoh<br />
Rahwana yang batil selalu dibiarkan tetap hidup. Wak Miki tidak ingin<br />
merubah cerita itu, sampai akhirnya ia ditembak hingga mati ketika<br />
memainkan perannya sebagai Rahwana di atas panggung.<br />
Ah, Cuma Lelucon Kecil (1999), berkisah tentang seorang petani yang<br />
menjadi Orang Kaya Baru (OKB), karena menjual sawahnya pada investor. Ia<br />
membeli segala kemewahan dengan uang yang dimiliki. Sawahnya kini<br />
berubah menjadi hotel dan petani itupun bekerja di sana, masih sebagai<br />
petani. Sayangnya, ia dipecat hanya karena memarkir mobil mewahnya tepat<br />
di sebelah mobil mewah menejernya.Lelaki itu lantas meminta seorang<br />
wartawan untuk menuliskan ketidakadilan yang menimpa dirinya. Sayangnya<br />
si wartawan kurus berwajah lonjong bermata capek, tak menggubrisnya dan<br />
baginya itu hanya : “Ah, Cuma lelucon kecil”.<br />
Pohon Pedang Kayu (2006) menceritakan seorang lelaki bernama Aku,<br />
mendapat warisan dari kakeknya sebuah pot keramik yang berisi seribu<br />
cerita tentang pohon pedang kayu. Si Aku memelihara warisan pot dari Sang<br />
Kakek, yang menjadi barang langka dan antik. Pot itu membuatnya menjadi<br />
begitu terkenal. Rumahnya banyak dikunjungi wisatawan yang tertarik<br />
dengan barang langka itu. Hingga suatu ketika, ia begitu ingin tahu isi pot<br />
tersebut, dan kecewa mendapati hanya ada tanah didalamnya. Namun<br />
keesokan hari terjadi suatu perubahan besar, tidak ada lagi pengunjung yang<br />
mempercayai ceritanya tentang pot pedang kayu dan sejarahnya.<br />
Pengunjung tidak peduli dengan semua kisah itu. Si aku menyesali dirinya<br />
karena telah meremehkan makna dari kisah pot pedang kayu warisan<br />
kakeknya itu. Selain itu, dalam cerita juga dikisahkan tentang persahabatan<br />
masyarakat desa, termasuk kakek si Aku dengan tentara Jepang pada<br />
penjajahan. Tentara Jepang itu akhirnya menetap hingga memiliki keturunan<br />
di desa Si Aku dan hidup menjadi petani. Pada suatu ketika, mantan tentara<br />
Jepang dan keturunannya itu diusir oleh pemerintah dari desa Si Aku.<br />
Capung Hantu, Dayu Bulan dan lain-lain (2007), romantika atau kisah<br />
cinta seorang petani dengan seorang gadis yang bernama Dayu Bulan yang<br />
berasal dari keluarga kaya. Kisah cinta terlarang (versi penulis) dari dua<br />
orang yang berasal dari kasta brahmana, yakni Dayu Bulan dengan tokoh<br />
Saya, seorang petani berasal dari kasta sudra. Capung, dan Capung Hantu<br />
pada cerita, dan berbagai latar belakang kebudayaan, merupakan simbolisasi<br />
dari kebebasan. Kebebasan yang dikejar orang-orang sekaligus konsekuensi<br />
yang diambil juga begitu menakutkan.
APRESIASI SASTRA<br />
Padi Numadi merupakan kumpulan cerpen yang bersifat filosofis<br />
sebagai manifestasi-kontemplasi keprihatinan penulis terhadap realitas sosial,<br />
budaya dan lingkungan. Ole yang pencemas dan melankolik banyak<br />
melukiskan sikap pesimisnya tentang: ketidakberdayaan masyarakat<br />
menghadapi tantangan dan perubahan transisi sosial-budaya, agraris menuju<br />
kapitalisme (modern). Ketidakmampuan masyarakat mengelola masalah,<br />
kecemasan dan menyerahkannya jawaban pada kekuatan mistik dan<br />
supranatural (dan, Tuhan), tercetus pada kisah Padi Numadi dan Pawang<br />
Tikus:<br />
Apa yang dilakukan ketika Jero Mangku Macaling yang menjadi simbol<br />
dari kekuatan mistis pun tak mampu berbuat apa-apa Tikus-tikus tetap<br />
menyerang. Panen tetap saja gagal. Kelaparan di negeri petani sungguhsungguh<br />
sesuatu yang sangat mengerikan. Seluruh ayah saya tak mampu<br />
menahan menjadi emosi dan kemarahan mereka telah memuncak. Beberapa<br />
ayah saya kehilangan akal sehatnya dan menjadi gila. Ada juga yang mati,<br />
mungkin karena kelaparan atau kehilangan harapan. (Pawang Tikus, 1999).<br />
Keprihatinan Ole terhadap kehidupan masyarakat pedesaan, pertanian<br />
dan nasib petani yang rentan, jelas menjadi pusat ekplorasi gagasan<br />
penulisannya. Mengikisnya integritas dan dedikasi generasi muda untuk<br />
menekuni dan memajukan pertanian juga menjadi sorotan yang tajam dalam<br />
tulisannya. Pesan keprihatinan lingkungan ini tersirat dalam cerita Padi<br />
Numadi; Pawang Tikus; Ah, Cuma Lelucon Kecil; dan, Istriku Bernama Sri.<br />
Sementara, Pohon Pedang Kayu dan Padi Numadi menyisipkan kisah-kisah<br />
pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, yang mungkin masih hidup dan<br />
dipelihara masyarakat di lingkungan daerah kelahiran sang Penulis, Marga<br />
Tabanan.<br />
Gagasan lain seperti: pupusnya impian masyarakat akan kemakmuran<br />
dengan adanya fakta anak-anak yang kelaparan, anak-anak hilang, terlantar<br />
dan masa depan generasi muda yang kelak menjadi generasi yang hilang<br />
(dari peradaban dan tradisi, atau kriminalitas akibat kemiskinan) merupakan<br />
gambaran realitas kehidupan saat ini. Kisah Anak-Anak Hilang di Kota Kecil<br />
Itu, wajah kemiskinan jelas tergambar dari perkataan Jengki dalam kisah itu:<br />
“Kenyataan tidak pernah menyenangkan. Saya selalu merasa lapar,<br />
saya tak bisa memiliki apa-apa. Ibu tak bisa, bapak tak bisa… saya ingin ke<br />
negeri mimpi…”<br />
Ole memiliki gaya bertutur seorang pendongeng, absurb (tak masuk<br />
akal), berkilas balik dan gaya repetisi dalam karyanya cukup mendominasi.<br />
Repetisi kalimat, bahkan paragraph dapat ditemui pada awal dan penutup<br />
cerita. Repetisi sebanyak satu paragrap terdapat pada cerita Padi Numadi<br />
(1994):<br />
Tuhan adalah jalan keluar yang paling aman bagi seluruh pertanyaan<br />
yang meresahkan setiap orang tua. Terutama, seluruh pertanyaan yang<br />
keluar dari bibir mungil seorang cucu, Wulaningrat Umadewi. Cucu yang<br />
bertubuh mungil, berkulit bening dan teramat cantik. Ayahnya biasa
memanggil dengan sebutan Wulan. Si Kakek amat suka menyapa dengan<br />
nama Uma. Namun si Cantik sendiri lebih suka dipanggil dengan nama paling<br />
lengkap:Ni Luh Putu Wulanigrat Umadewi.<br />
Repetisi dua paragraph dapat ditemui pada Anak-Anak Hilang Di Kota<br />
Kecil (1996):<br />
Seluruh anak menghilang di kota kecil itu. Kemana gerangan generasi<br />
harapan itu bersembunyi Di dunia mana mereka bersembunyi Tidak<br />
kangenkah mereka dengan ibu, bapak, kakak, dan guru-guru sekolah yang<br />
telah memberi (pura-pura memberi) mereka kasih sayang Seluruh anak tak<br />
kunjung pulang. Bagaimana menghubungi mereka<br />
Seluruh ibu dari seluruh anak di kota kecil itu tersedu. Seluruh bapak<br />
adri seluruh anak di kota itu bertopang dagu. Seluruh guru dari seluruh<br />
sekolah dasar di kota itu mencoba mengerti dengan logika pendidikan,tapi<br />
mereka tak menemukan satu teori pun yang menjelaskan dengan mudah<br />
kenapa anak-anak di kota kecil itu menghilang begitu saja, menghilang dari<br />
rumah,mengilang dari sekolah, menghialng dari taman-taman. Menghilang<br />
dari sebuah kota kecil yang kini dilanda pilu mendalam. Apa artinya sebuah<br />
kota tanpa anak-anak.Betapa pilunya sebuah kota yang hanya dipenuhi<br />
keramaian dengan wajah [orang-orang dewasa]sembab dan pucat<br />
Repetisi satu kalimat terdapat pada Ah Cuma Lelucon Kecil (1999): Si<br />
wartawan kurus berwajah lonjong bermata capek. Dan, repetisi dua kalimat<br />
pada Rahasia Gambuh (1997) : Panggung yang menyala… Dunia yang<br />
menyala. Repetisi ini diulang-ulang sepanjang cerita. Repetisi paragraph bisa<br />
jadi suatu hal yang membosankan.<br />
Keterampilan penulisan jurnalistik Ole yang seorang cerpenis,<br />
penyair dan wartawan ini sangat tampak pada penulisan tentang proses<br />
regenerasi dan pelestarian kesenian gambuh (Rahasia Gambuh, 1997). Satusatunya<br />
kisah romantika yang melankolik dan dilukiskan secara puitik,<br />
terdapat pada cerita Capung Hantu, Dayu Bulan dan lain-lain (2007).<br />
Percintaan dari kasta yang berbeda ini sudah banyak ditulis orang, hanya<br />
saja, Ole mampu melukiskannya secara puitik dan membuat pembacanya<br />
bertanya-tanya. Bisa jadi, itu karena gaya bahasa yang sarat dengan<br />
simbolisasi tak bisa dimengerti secara mudah oleh pembaca yang inginkan<br />
bacaan ringan dan mudah dicerna.<br />
Secara keseluruhan, Kumpulan cerpen Padi Numadi sangat menarik<br />
dan direkomendasikan untuk dibaca karena sarat dengan gerakan pemikiranpemikiran<br />
sosial dan lingkungan. Perjuangan terhadap nasib petani,<br />
pertanian dan keberlangsungan kelestarian alam melalui karya sastra ini<br />
memang layak dan patut untuk dihargai!