Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Hambatan Mengakses Keadilan & Pemulihan<br />
Secara umum, ada empat faktor penentu perempuan korban perkosaan dalam mengakses<br />
keadilan <strong>dan</strong> pemulihan, yaitu faktor personal, sosial budaya, hukum <strong>dan</strong> politik. Keempat<br />
faktor ini saling kait-mengait <strong>dan</strong> menentukan tingkat kepercayaan korban untuk<br />
melaporkan kasusnya, menuntut keadilan <strong>dan</strong> menjadi pulih.<br />
Di tingkat personal, perempuan korban perkosaan bisa menderita trauma mendalam akibat<br />
perkosaan yang ia alami. Trauma ini dapat termanifestasi pada kehilangan ingatan pada<br />
peristiwa yang dialaminya, kehilangan kemampuan bahasa, gangguan kejiwaan, rasa takut<br />
yang luar biasa, atau keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakan peristiwa<br />
yang melukainya itu. Kesemua hal ini menyebabkan korban tidak mampu atau tidak<br />
bersedia untuk melaporkan kasusnya.<br />
Faktor sosial budaya seperti konsep moralitas <strong>dan</strong> aib mengakibatkan masyarakat<br />
cenderung menyalahkan korban, meragukan kesaksian korban atau mendesak korban<br />
untuk bungkam. Pada sejumlah masyarakat, konsep “AIB” juga dikaitkan dengan konsep<br />
nasib sial <strong>dan</strong> karma. Perempuan korban perkosaan dianggap bernasib sial karena harus<br />
menanggung balasan dari tindak kejahatan yang pernah dilakukan oleh keluarga atau para<br />
leluhurnya. Menceritakan tindak kekerasan seksual yang ia alami dianggap membongkar aib<br />
yang ada di dalam keluarganya. Situasi ini pula yang mendorong keluarga untuk mengambil<br />
keputusan bagi korban untuk tidak melapor. Cara pikir tentang “aib” seringkali<br />
menyudutkan korban, dikucilkan, atau diusir dari lingkungannya atau bahkan dipaksa<br />
untuk menjalani hidupnya dengan pelaku kekerasan, misalnya dengan memaksakan<br />
perempuan korban menikahi pelakunya.<br />
Pada faktor hukum, ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam memahami hambatan<br />
yang dihadapi korban yaitu aspek substansi, struktur <strong>dan</strong> budaya hukum. Di tingkat<br />
substansi, sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan <strong>dan</strong><br />
diskriminasi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia,<br />
ataupun pengakuan pada tindak kekerasan tersebut masih belum utuh. Dalam konteks<br />
perkosaan, hukum Indonesia hanya mengakomodir tindak pemaksaan hubungan seksual<br />
yang berbentuk penetrasi penis ke vagina <strong>dan</strong> dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat<br />
penetrasi tersebut. 4 Padahal, ada banyak keragaman pengalaman perempuan akan<br />
perkosaan, sehingga perempuan tidak dapat menuntut keadilan dengan menggunakan<br />
hukum yang hanya memiliki definisi sempit atas tindak perkosaan itu.<br />
Di tingkat struktur, lembaga penegak hukum mulai membuat unit <strong>dan</strong> prosedur khusus<br />
untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual.<br />
Sayangnya, unit <strong>dan</strong> prosedur ini belum tersedia di semua tingkat penyelenggaraan hukum<br />
<strong>dan</strong> belum didukung dengan fasilitas yang memadai. Di tingkat kultur atau budaya hukum,<br />
banyak penyelenggara hukum mengadopsi cara pan<strong>dan</strong>g masyarakat tentang moralitas <strong>dan</strong><br />
kekerasan seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan empati pada<br />
perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan korban. Pertanyaan seperti<br />
memakai baju apa, se<strong>dan</strong>g berada dimana, dengan siapa jam berapa merupakan beberapa<br />
pertanyaan yang kerap ditanyakan oleh aparat penegak hukum ketika menerima laporan<br />
kasus perkosaan. Pertanyaan semacam itu tidak saja menunjukkan bahwa tia<strong>dan</strong>ya<br />
4 Lihat Kitab Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Hukum Pi<strong>dan</strong>a Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 289, Pasal 291, Pasal 294<br />
11