Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
KEKERASAN SEKSUAL<br />
<strong>Kekerasan</strong> seksual adalah isu penting <strong>dan</strong> rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap<br />
perempuan karena ada dimensi yang sangat khas bagi perempuan. 1 Persoalan ketimpangan<br />
relasi kuasa antara pelaku <strong>dan</strong> korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan.<br />
Dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasa yang<br />
dimaksud adalah antara laki-laki <strong>dan</strong> perempuan. Ketimpangan diperparah ketika satu<br />
pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban. Kendali ini bisa berupa sumber<br />
daya, termasuk pengetahuan, ekonomi <strong>dan</strong> juga penerimaan masyarakat (status<br />
sosial/modalitas sosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubungan<br />
patron-klien atau feodalisme, seperti antara orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid,<br />
tokoh masyarakat-warga <strong>dan</strong> kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil.<br />
Komnas Perempuan mencatat dalam waktu tiga belas tahun terakhir kasus kekerasan<br />
seksual berjumlah hampir seperempat dari seluruh total kasus kekerasan, atau 93.960 kasus<br />
dari seluruh kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan (400.939). Artinya<br />
setiap hari 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Data ini merupakan hasil<br />
dokumentasi yang berasal dari CATAHU, yaitu catatan tahunan Komnas Perempuan<br />
bersama lembaga-lembaga layanan bagi perempuan korban, pemantauan Komnas<br />
Perempuan tentang pengalaman kekerasan terhadap perempuan di dalam konteks Aceh,<br />
Poso, Tragedi 1965, Ahmadiyah, migrasi, Papua, Ruteng, pelaksanaan Otonomi Daerah,<br />
<strong>dan</strong> rujukan Komnas Perempuan pada data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)<br />
Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 serta Komisi Penerimaan, Kebenaran <strong>dan</strong> Rekonsiliasi<br />
Timor Leste (CAVR).<br />
<strong>Kekerasan</strong> terhadap perempuan adalah setiap perbuatan<br />
berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat<br />
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis,<br />
termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan<br />
atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang,<br />
baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi<br />
(Deklarasi Penghapusan <strong>Kekerasan</strong> terhadap Perempuan, Ps. 1)<br />
1 <strong>Kekerasan</strong> seksual dapat dilakukan <strong>dan</strong> dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan. Dalam naskah ini, karena<br />
fokus kerja Komnas Perempuan, perhatian diberikan kepada pengalaman perempuan berhadapan dengan<br />
kekerasan seksual.<br />
2
Grafik 1<br />
Jumlah kekerasan umum berbanding dengan kekerasan seksual<br />
Meskipun kekerasan seksual terjadi secara berulang <strong>dan</strong> terus menerus, namun tidak<br />
banyak masyarakat yang memahami <strong>dan</strong> peka tentang persoalan ini. <strong>Kekerasan</strong> seksual<br />
seringkali dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata. Pan<strong>dan</strong>gan semacam ini<br />
bahkan didukung oleh negara melalui muatan dalam Kitab Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Hukum<br />
Pi<strong>dan</strong>a (KUHP). Dalam KUHP kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai<br />
pelanggaran terhadap kesusilaan. Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat<br />
perkosaan yang dilakukan, namun juga menciptakan pan<strong>dan</strong>gan bahwa kekerasan seksual<br />
adalah persoalan moralitas semata.<br />
Pan<strong>dan</strong>gan bahwa kekerasan seksual hanya sebagai kejatahan kesusilaan juga tidak terlepas<br />
dari ketimpangan relasi yang menempatkan perempuan sebagai marka atau penanda<br />
kesucian <strong>dan</strong> moralitas dari masyarakatnya. Inilah sebabnya seringkali pembahasan tentang<br />
moralitas berujung pada pertanyaan apakah perempuan masih perawan atau tidak sebelum<br />
pernikahannya, apakah perempuan melakukan aktivitas seksual hanya dalam kerangka<br />
perkawinan, <strong>dan</strong> sejauh mana perempuan memendam ekspresi seksualitasnya dalam<br />
keseharian interaksi sosialnya. Akibatnya, banyak sekali perempuan yang merasa malu<br />
untuk menceritakan pengalaman kekerasan seksual karena malu atau kuatir dianggap “tidak<br />
suci” atau “tidak bermoral”. Sikap korban membungkam justru pada banyak kesempatan<br />
didukung, bahkan didorong oleh keluarga, orang-orang terdekat, <strong>dan</strong> masyarakat<br />
sekitarnya.<br />
Konteks moralitas ini pula yang menjadikan kekerasan seksual lebih sering dipahami<br />
sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan semata. Di satu sisi, pemahaman sebagai masalah<br />
kesusilaan menyebabkan kekerasan seksual dipan<strong>dan</strong>g kurang penting dibandingkan<br />
dengan isu-isu kejahatan lainnya seperti pembunuhan ataupun penyiksaan. Padahal,<br />
pengalaman perempuan korban kekerasan seksual menunjukkan bahwa kekerasan seksual<br />
dapat menghancurkan seluruh integritas hidup korban sehingga ia merasa tidak mampu<br />
melanjutkan hidupnya lagi.<br />
Aspek khas dari kekerasan seksual terkait dengan wacana moralitas juga menjadi salah satu<br />
hambatan terbesar dalam upaya korban memperoleh haknya atas kebenaran, keadilan <strong>dan</strong><br />
pemulihan. Pengaitan peristiwa kekerasan seksual dengan persoalan moralitas<br />
3
menyebabkan korban membungkam <strong>dan</strong> korban justru disalahkan atas kekerasan yang<br />
dialaminya. Karena apa yang dialami korban dimaknai sebagai “aib”, tidak saja bagi dirinya<br />
tetapi juga bagi keluarga <strong>dan</strong> komunitasnya, korban seringkali dikucilkan. Ada pula korban<br />
yang diusir dari rumah <strong>dan</strong> kampungnya karena dianggap tidak mampu menjaga<br />
kehormatan <strong>dan</strong> merusak nama baik keluarga ataupun masyarakat. Pengucilan <strong>dan</strong><br />
stigmatisasi atau pelabelan dirinya sebagai “barang yang rusak” akibat kekerasan seksual itu<br />
bahkan dapat berlangsung sekalipun korban memenangkan kasusnya di pengadilan<br />
Peristiwa kekerasan seksual seringkali juga direkatkan pada penilaian tentang “jejak<br />
moralitas” perempuan korban. Perempuan korban dituduh sebagai penyebab atau pemberi<br />
peluang terjadinya kekerasan seksual karena cara berpakaiannya, bahasa tubuhnya, cara ia<br />
berelasi sosial, status perkawinannya, pekerjaannya, atau karena keberadaannya pada<br />
sebuah waktu atau lokasi tertentu. Dalam konteks ini pula, korban kerap dituduh<br />
membiarkan peristiwa kekerasan tersebut ketika ia dianggap tidak berupaya untuk melawan<br />
pelaku, menempatkan dirinya terus-menerus gampang direngkuh pelaku, ataupun terbuai<br />
dengan iming-iming pelaku.<br />
Menyimak berbagai pengalaman kekerasan seksual yang dialami perempuan <strong>dan</strong> dalam<br />
rangka mendekatkan korban akan rasa adil, maka sudah saatnya kekerasan seksual terhadap<br />
perempuan dimaknai sebagai: 2<br />
sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang berakar pada diskriminasi berbasis<br />
gender,<br />
tindakan seksual, atau percobaan untuk mendapatkan tindakan seksual, atau ucapan<br />
yang menyasar seksual, atau tindakan untuk memperdagangkan atau tindakan yang<br />
menyasar seksualitas seseorang yang dilakukan dengan paksaan, intimidasi,<br />
ancaman, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan, atau<br />
dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau atas seseorang<br />
yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya<br />
tindakan yang bersifat seksual itu tidak terbatas pada serangan fisik kepada tubuh<br />
seseorang <strong>dan</strong> dapat termasuk tindakan-tindakan yang tidak melibatkan penetrasi<br />
ataupun kontak fisik<br />
Sejumlah situasi dimana terdapat ketimpangan relasi yang tegas akan meningkatkan<br />
kerentanan perempuan pada kekerasan seksual. Misalnya saja masyarakat yang diatur dalam<br />
sistem pemerintahan yang otoriter <strong>dan</strong> mengagungkan militerisme. Dalam sistem ini,<br />
pelanggaran terhadap hak asasi manusia biasa terjadi, <strong>dan</strong> kekerasan seksual bagian tidak<br />
terpisahkan dari berbagai tindak pelanggaran HAM tersebut. Konteks konflik, terutama<br />
konflik bersenjata, juga meningkatkan kerentanan perempuan pada kekerasan seksual,<br />
khususnya perkosaan, penyiksaan seksual <strong>dan</strong> eksploitasi seksual. Situasi pengungsian<br />
pasca konflik maupun bencana juga menimbulkan kerentanan khusus bagi perempuan<br />
akibat fasilitas barak pengungsian yang tidak dapat dikunci, ketiadaan fasilitas penerangan,<br />
<strong>dan</strong> kondisi barak yang tidak bersekat. Demikian pula situasi dalam tahanan atau serupa<br />
tahanan, seperti yang dialami oleh para pekerja yang disekap oleh majikannya.<br />
2 Rumusan dirangkum dari penafsiran Pengadilan Kriminal Internasional tentang kekerasan seksual yang dikutip dalam<br />
tulisan Patriacia Viseur Seller. The Prosecution of Sexual Violence in Conflict, The Importance of Human Rights as Means of<br />
Interpretation. Diunduh pada 20 Agustus 2010.<br />
http://www2.ohchr.org/english/issues/women/docs/Paper_Prosecution_of_Sexual_Violence.pdf<br />
4
Ranah <strong>Kekerasan</strong> <strong>Seksual</strong><br />
<strong>Kekerasan</strong> seksual bisa terjadi pada siapa saja <strong>dan</strong> kapanpun. Data Komnas Perempuan<br />
menunjukkan kekerasan seksual terjadi disemua ranah yaitu personal, publik <strong>dan</strong> negara<br />
seperti ditunjukkan pada grafik 2. Jumlah paling tinggi terjadi di ranah personal, yaitu ¾<br />
dari total kekerasan seksual. Di ranah personal artinya kekerasan seksual dilakukan oleh<br />
oleh orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan,<br />
perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Banyaknya jumlah kasus<br />
di tingkat personal bisa jadi terkait dengan kehadiran payung hukum, yaitu UU. No. 23<br />
tahun 2004 tentang Penghapusan <strong>Kekerasan</strong> Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang telah<br />
disosialisasikan secara meluas ke masyarakat, bertambahnya lembaga-lembaga yang dapat<br />
diakses oleh perempuan korban, serta meningkatnya kepercayaan korban pada proses<br />
keadilan <strong>dan</strong> pemulihan yang dapat ia peroleh dengan melaporkan kasusnya itu. Pada saat<br />
bersamaan, informasi ini mematahkan mitos bahwa rumah adalah tempat yang aman bagi<br />
perempuan <strong>dan</strong> bahwa perempuan akan terlindungi bila selalu bersama dengan anggota<br />
keluarganya yang laki-laki.<br />
Jumlah kedua adalah kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah publik, yaitu<br />
22.284 kasus. Di ranah publik berarti kasus dimana korban <strong>dan</strong> pelaku tidak memiliki<br />
hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan,<br />
tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal.<br />
Dalam berbagai dokumentasi, ditemukan pula bahwa pelaku kekerasan adalah aparatur<br />
negara dalam kapasitas tugas. Jumlahnya mencapai 1.561 kasus. Dalam konteks pelaku<br />
adalah aparat negara dalam kapasitas tugasnya inilah yang dimaksudkan sebagai ranah<br />
negara. Termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada peristiwa kekerasan,<br />
aparat negara berada di lokasi kejadian namun tidak berupaya untuk menghentikan atau<br />
justru membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut.<br />
Grafik 2<br />
Jumlah <strong>Kekerasan</strong> <strong>Seksual</strong> Berdasarkan Ranah<br />
5
Mengenali Bentuk-Bentuk <strong>Kekerasan</strong> <strong>Seksual</strong>:<br />
Selama 13 tahun perjalanan Komnas Perempuan melakukan pendokumentasian<br />
pengalaman perempuan terhadap kekerasan, Komnas Perempuan mengenali 14 bentuk<br />
kekerasan seksual. Keempat belas jenis kekerasan seksual tersebut adalah (1) perkosaan;<br />
(2) pelecehan seksual; (3) eksploitasi seksual; (4) penyiksaan seksual; (5) perbudakan<br />
seksual; (6) intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan<br />
perksoaan; (7) prostitusi paksa; (8) pemaksaan kehamilan; (9) pemaksaan aborsi;<br />
(10) pemaksaan perkawinan; (11) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; (12)<br />
kontrol seksual termasuk pemaksaan busana <strong>dan</strong> kriminalisasi perempuan lewat aturan<br />
diskriminatif beralasan moralitas <strong>dan</strong> agama; (13) penghukuman tidak manusiawi <strong>dan</strong><br />
bernuansa seksual; (14) praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau<br />
mendiskriminasi perempuan. Keempat belas jenis kekerasan seksual ini bukanlah daftar<br />
final, karena ada kemungkinan sejumlah jenis kekerasan seksual yang belum kita kenali<br />
akibat keterbatasan informasi mengenainya. Seruan ini menghantarkan Komnas<br />
Perempuan untuk menemukan bentuk lain di tahun 2012 dari kekerasan seksual yang<br />
dihadapi perempuan, yaitu (15) pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi.<br />
Dokumentasi Komnas Perempuan memperlihatkan bahwa dari total kasus kekerasan<br />
seksual yaitu 93.960 kasus, kurang dari 10 persen saja kasus kekerasan seksual yang<br />
terpilah, yaitu 8.784 kasus. Sisanya sebanyak 85.176 kasus adalah gabungan dari kasus<br />
perkosaan, pelecehan seksual <strong>dan</strong> eksploitasi seksual. Sementara tiga jenis kekerasan<br />
seksual meliputi prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, praktik tradisi bernuansa seksual<br />
yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan seperti halnya sunat perempuan,<br />
meski ditemukan di dalam berbagai dokumentasi Komnas Perempuan namun tidak<br />
memiliki angka yang pasti.<br />
Grafik 3<br />
Jumlah Kasus <strong>Kekerasan</strong> <strong>Seksual</strong> Berdasarkan Jenis, Data terpilah 1998 – 2010<br />
Pada grafik 3 terlihat bahwa lebih dari 50 persen kasus kekekerasan seksual adalah<br />
perkosaan. Selanjutnya disusul perdagangan perempuan untuk tujuan seksual sebesar 15<br />
persen, pelecehan seksual 12 persen. Sisanya secara berturut kurang dari 10 persen seperti<br />
nampak dalam gambar yaitu penyiksaan seksual, ekspolitasi seksual, perbudakan seksual,<br />
Intimidasi/serangan bernuansa seksual, termasuk ancaman/percobaan perkosaan adalah,<br />
6
Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana <strong>dan</strong> kriminalisasi perempuan lewat aturan<br />
diskriminatif beralasan moralitas <strong>dan</strong> agama, pemaksaan aborsi, penghukuman tidak<br />
manusiawi <strong>dan</strong> bernuansa seksual, pemaksaan perkawinan.<br />
Kompleksitas persoalan kekerasan seksual menuntut kita untuk selalu mengasah kepekaan<br />
untuk mengenali <strong>dan</strong> memahami masing-masing jenis kekerasan seksual. Pemahaman yang<br />
dimaksud bukan hanya atas elemen-elemen dari tindak kekerasan seksual itu, tetapi juga<br />
atas dampaknya bagi perempuan korban. Hanya dengan mengenali kekerasan seksual<br />
secara seksama <strong>dan</strong> utuh, kita dapat ikut mencegah <strong>dan</strong> menangani kekerasan<br />
seksual. Namun demikian dalam tulisan ini baru satu jenis kekerasan seksual yaitu<br />
perkosaan yang akan dibahas secara lengkap.<br />
Pilihan atas perkosaan lebih karena angkanya yang paling tinggi. Selain itu berdasarkan<br />
pengalaman lembaga pengada layanan, perkosaan merupakan salah satu jenis kekerasan<br />
seksual yang sering mereka tangani. Penanganan terhadap kasus perkosaan juga dianggap<br />
rumit, baik karena perangkat hukum tentangnya belum komprehensif <strong>dan</strong> tidak berpihak<br />
pada korban, budaya hukum yang juga belum baik, atau karena budaya masyarakat yang<br />
tidak mendukung korban untuk memperoleh kebenaran, keadilan <strong>dan</strong> pemulihan.<br />
7
PERKOSAAN<br />
Secara umum, perkosaan seringkali dimaknai dalam konteks yang sempit, yaitu sebagai<br />
sebuah tindak pemaksaan hubungan seksual oleh laki-laki terhadap perempuan. Dengan<br />
pengertian ini, maka perkosaan hanya mencakup penetrasi penis ke vagina. Padahal<br />
berdasarkan pengalaman korban, perkosaan dilakukan bahkan dengan menggunakan jari<br />
atau benda-benda tumpul lainnya.<br />
Tindakan perkosaan juga seringkali disangkal sebagai perkosaan karena pada diri korban<br />
tidak ditemukan bukti-bukti terjadinya perlawanan, atau tidak ditemukan bukti a<strong>dan</strong>ya<br />
pemaksaan oleh pelaku. Padahal dalam banyak kasus, tindakan perkosaan terjadi dalam<br />
kondisi dimana korban berada di bawah ancaman yang tidak memberikannya pilihan lain<br />
selain menuruti kehendak pelaku. Alih-alih mendapat dukungan, perempuan korban justru<br />
dituduh sebagai perempuan gampangan <strong>dan</strong> memprovokasi terjadinya tindakan perkosaan<br />
itu.<br />
Dalam kasus di mana terdapat relasi perkawianan antara korban <strong>dan</strong> pelaku akan semakin<br />
sulit. Hal ini karena pan<strong>dan</strong>gan umum bahwa tidak mungkin seorang suami memerkosa<br />
istrinya, karena memang sudah seharusnya ia melayani suami. Sementara dokumentasi<br />
Komnas Perempuan menunjukkan perkosaan dalam perkawinan terjadi. Jumlahnya<br />
memang tidak banyak, yaitu 11 kasus. Namun Komnas Perempuan meyakini jumlah<br />
tersebut bisa lebih banyak jika faktor-faktor seperti korban mau <strong>dan</strong> berani melaporkan<br />
kasusnya, akses pada lembaga layanan lebih mudah <strong>dan</strong> a<strong>dan</strong>ya dukungan dari keluarga,<br />
komunitas <strong>dan</strong> masyarakat bagi korban.<br />
Berdasarkan pengalaman para korban perkosaan itulah <strong>dan</strong> dalam perkembangan<br />
pemikiran hukum yang memusatkan perhatian pada rasa adil korban, maka pemaknaan<br />
perkosaan dikembangkan sesuai dengan pengalaman korban. Dengan demikian, perkosaan<br />
dimaknai sebagai 3 :<br />
Serangan yang diarahkan pada bagian seksual <strong>dan</strong> seksualitas seseorang<br />
dengan menggunakan organ seksual (penis) ke organ seksual (vagina), anus<br />
atau mulut, atau dengan menggunakan bagian tubuh lainnya yang bukan<br />
organ seksual atau pun benda-benda lainnya. Serangan itu dilakukan<br />
dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan ataupun dengan pemaksaan<br />
sehingga mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, di bawah paksaan,<br />
penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau<br />
dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau serangan<br />
atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang<br />
sesungguhnya<br />
3 Ibid.,<br />
8
Mengapa Perkosaan Terjadi<br />
Saya takut hamil <strong>dan</strong> takut dianggap perempuan bukan baik-baik, tidak bisa menjaga kehormatan<br />
diri. Apalagi setelah peristiwa perkosaan itu, pelaku mengancam akan menyebarluaskan kepada temanteman<br />
sekolah kalau saya sudah tidak perawan jika tidak mau mengikuti semua keinginannya,<br />
termasuk berhubungan seksual. Saya masih ingin sekolah. Saya tidak punya pilihan lain. Pelaku<br />
memanfaatkan situasi ini <strong>dan</strong> terus menerus memerkosa saya. [Korban Perkosaan, 14 th,]<br />
Di banyak masyarakat, relasi kuasa yang timpang antara laki-laki <strong>dan</strong> perempuan telah<br />
berlangsung lama. Dalam situasi ini, perempuan kerap diposisikan sebagai objek seksual,<br />
objek pengaturan, <strong>dan</strong> objek ekspresi kuasa oleh laki-laki. Perkosaan adalah ejah-wantah<br />
atau manifestasi dari relasi kuasa yang timpang itu.<br />
Di dalam konteks ini, karenanya, perkosaan dilakukan tidak sekedar untuk mendapatkan<br />
kepuasan seksual. Perkosaan juga dilakukan untuk melukai, mempermalukan,<br />
merendahkan, <strong>dan</strong> menguasai korban. Dalam konteks konflik perkosaan juga dapat<br />
menjadi alat menaklukkan, menghukum atau memperoleh informasi dari korban, selain<br />
juga digunakan sebagai alat teror untuk menakuti <strong>dan</strong> melemahkan pihak lawan.<br />
Dalam masyarakat yang patriarkhi perempuan dianggap sebagai mahluk yang lemah. Ketika<br />
satu kelompok yang bertikai berhasil menguasai <strong>dan</strong> menaklukkan perempuan bisa<br />
diartikan bahwa pihak lainnya tidak mampu melindungi kaum yang lemah sekalipun.<br />
Dengan demikian mereka juga dianggap tidak bisa melindungi seluruh komunitasnya. Ini<br />
merupakan cara atau strategi untuk melemahkan lawan.<br />
Seperti disampaikan di atas bahwa perkosaan adalah manisfestasi relasi kuasa, maka selama<br />
relasi kuasa yang timpang dipertahankan, selama itu pula perkosaan bisa <strong>dan</strong> terus<br />
berlangsung. Kondisi ini diperburuk bila proses pencarian keadilan oleh korban justru<br />
berhadapan dengan kebuntuan hukum maupun sikap masyarakat yang menyalahkan<br />
korban sehingga korban memilih untuk bungkam. Dalam situasi ini, pelaku menjadi<br />
semakin tidak segan untuk melakukan perkosaan karena bisa lolos dari tanggung jawab atas<br />
tindakannya itu.<br />
Kapan <strong>dan</strong> Dimana Perkosaan Terjadi<br />
Perkosaan bisa terjadi kapan saja <strong>dan</strong> dimana saja- dalam masyarakat yang se<strong>dan</strong>g<br />
berhadapan dengan situasi konflik maupun dalam situasi damai atau normal. Temuan<br />
pemantauan Komnas Perempuan <strong>dan</strong> laporan dari berbagai organisasi pendamping<br />
perempuan korban menunjukkan bahwa pelaku perkosaan bisa saja dari orang-orang<br />
terdekat korban, misalnya suami, ayah, paman, saudara laki-laki, pacar, tetangga, guru,<br />
majikan, tokoh masyarakat, <strong>dan</strong> pejabat publik. Ada pula kasus-kasus dimana pelaku<br />
perkosaan adalah aparat negara yang tidak memiliki relasi personal dengan korban. Artinya,<br />
perkosaan itu dapat terjadi di dalam keluarga, di tempat kerja, di tengah-tengah masyarakat,<br />
<strong>dan</strong> di ranah negara.<br />
9
Data Komnas Perempuan dari 1998-2010 menunjukkan bahwa perkosaan adalah jenis<br />
kekerasan seksual yang paling banyak terjadi, mencapai lebih dari 50 persen dari seluruh<br />
kasus yang didokumentasikan atau 4.845 kasus. Namun demikian tidak ada data pasti<br />
berapa jumlah perkosaan disetiap ranah. Hal ini lebih dikarenakan terbatasnya informasi<br />
yang kami terima mengenainya. Meski tidak ada data pasti, namun jika dilihat dari catatan<br />
tahunan kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya menunjukkan bahwa kekerasana<br />
seksual paling banyak terjadi di ranah personal, <strong>dan</strong> perkosaan adalah kasus yang paling<br />
banyak dilaporkan.<br />
Hak Konstitusional yang Dirampas<br />
Perkosaan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia seperti tertuang dalam<br />
konstitusi kita, Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara<br />
khusus perkosaan merampas hak perempuan sebagai warga negara atas jaminan<br />
perlindungan <strong>dan</strong> rasa aman yang telah dijamin di dalam konstitusi pada Pasal 28G(1).<br />
Karena lahir dari ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki <strong>dan</strong> perempuan, pembiaran<br />
terhadap terus berlanjutnya perkosaan terhadap perempuan merampas hak perempuan<br />
sebagai warga negara untuk bebas dari perlakuan diskriminatif <strong>dan</strong> untuk mendapatkan<br />
perlindungan dari perlakuan diskriminatif itu (Pasal 28I(2)). Akibat dari perkosaan itu,<br />
perempuan korban dapat kehilangan hak untuk hidup sejahtera lahir <strong>dan</strong> batin (Pasal<br />
28H(1)), hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat<br />
martabat manusia (Pasal 28G(2)), <strong>dan</strong> bahkan mungkin kehilangan haknya untuk hidup<br />
(Pasal 28A). Banyak pula perempuan korban yang kehilangan haknya atas pengakuan,<br />
jaminan, perlindungan, <strong>dan</strong> kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di<br />
hadapan hukum (Pasal 27(1) <strong>dan</strong> Pasal 28D(1)) karena tidak dapat mengakses proses<br />
hukum yang berkeadilan.<br />
Landasan Hukum untuk Jaminan Perlindungan dari TIndak <strong>Kekerasan</strong> <strong>Seksual</strong><br />
Nasional<br />
1. Kitab Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Hukum Pi<strong>dan</strong>a (KUHP) Pasal 285, 286<br />
287, 290, 291<br />
2. UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan <strong>Kekerasan</strong> Dalam Rumah Tangga<br />
(PKDRT) Pasal 8(b), 47, 48<br />
3. UU No 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang<br />
pasal 1 (3,7)<br />
4. UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1(15), 17(2), 59 <strong>dan</strong> 66<br />
(1,2), 69, 78 <strong>dan</strong> 88<br />
Internasional<br />
Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1&2, Pasal 68<br />
Resolusi PBB 1820 tentang <strong>Kekerasan</strong> <strong>Seksual</strong> dalam Konflik Bersenjata<br />
Deklarasi penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan (ICPD) pada bulan<br />
Desember 1993<br />
Deklarasi Wina Tahun 1993<br />
10
Hambatan Mengakses Keadilan & Pemulihan<br />
Secara umum, ada empat faktor penentu perempuan korban perkosaan dalam mengakses<br />
keadilan <strong>dan</strong> pemulihan, yaitu faktor personal, sosial budaya, hukum <strong>dan</strong> politik. Keempat<br />
faktor ini saling kait-mengait <strong>dan</strong> menentukan tingkat kepercayaan korban untuk<br />
melaporkan kasusnya, menuntut keadilan <strong>dan</strong> menjadi pulih.<br />
Di tingkat personal, perempuan korban perkosaan bisa menderita trauma mendalam akibat<br />
perkosaan yang ia alami. Trauma ini dapat termanifestasi pada kehilangan ingatan pada<br />
peristiwa yang dialaminya, kehilangan kemampuan bahasa, gangguan kejiwaan, rasa takut<br />
yang luar biasa, atau keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakan peristiwa<br />
yang melukainya itu. Kesemua hal ini menyebabkan korban tidak mampu atau tidak<br />
bersedia untuk melaporkan kasusnya.<br />
Faktor sosial budaya seperti konsep moralitas <strong>dan</strong> aib mengakibatkan masyarakat<br />
cenderung menyalahkan korban, meragukan kesaksian korban atau mendesak korban<br />
untuk bungkam. Pada sejumlah masyarakat, konsep “AIB” juga dikaitkan dengan konsep<br />
nasib sial <strong>dan</strong> karma. Perempuan korban perkosaan dianggap bernasib sial karena harus<br />
menanggung balasan dari tindak kejahatan yang pernah dilakukan oleh keluarga atau para<br />
leluhurnya. Menceritakan tindak kekerasan seksual yang ia alami dianggap membongkar aib<br />
yang ada di dalam keluarganya. Situasi ini pula yang mendorong keluarga untuk mengambil<br />
keputusan bagi korban untuk tidak melapor. Cara pikir tentang “aib” seringkali<br />
menyudutkan korban, dikucilkan, atau diusir dari lingkungannya atau bahkan dipaksa<br />
untuk menjalani hidupnya dengan pelaku kekerasan, misalnya dengan memaksakan<br />
perempuan korban menikahi pelakunya.<br />
Pada faktor hukum, ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam memahami hambatan<br />
yang dihadapi korban yaitu aspek substansi, struktur <strong>dan</strong> budaya hukum. Di tingkat<br />
substansi, sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan <strong>dan</strong><br />
diskriminasi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia,<br />
ataupun pengakuan pada tindak kekerasan tersebut masih belum utuh. Dalam konteks<br />
perkosaan, hukum Indonesia hanya mengakomodir tindak pemaksaan hubungan seksual<br />
yang berbentuk penetrasi penis ke vagina <strong>dan</strong> dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat<br />
penetrasi tersebut. 4 Padahal, ada banyak keragaman pengalaman perempuan akan<br />
perkosaan, sehingga perempuan tidak dapat menuntut keadilan dengan menggunakan<br />
hukum yang hanya memiliki definisi sempit atas tindak perkosaan itu.<br />
Di tingkat struktur, lembaga penegak hukum mulai membuat unit <strong>dan</strong> prosedur khusus<br />
untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual.<br />
Sayangnya, unit <strong>dan</strong> prosedur ini belum tersedia di semua tingkat penyelenggaraan hukum<br />
<strong>dan</strong> belum didukung dengan fasilitas yang memadai. Di tingkat kultur atau budaya hukum,<br />
banyak penyelenggara hukum mengadopsi cara pan<strong>dan</strong>g masyarakat tentang moralitas <strong>dan</strong><br />
kekerasan seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan empati pada<br />
perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan korban. Pertanyaan seperti<br />
memakai baju apa, se<strong>dan</strong>g berada dimana, dengan siapa jam berapa merupakan beberapa<br />
pertanyaan yang kerap ditanyakan oleh aparat penegak hukum ketika menerima laporan<br />
kasus perkosaan. Pertanyaan semacam itu tidak saja menunjukkan bahwa tia<strong>dan</strong>ya<br />
4 Lihat Kitab Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Hukum Pi<strong>dan</strong>a Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 289, Pasal 291, Pasal 294<br />
11
perspektif korban tapi juga bentuk mengakimi korban <strong>dan</strong> menjadikan korban mengalami<br />
kekerasan kembali (reviktimisasi).<br />
Persoalan lain yang seringkali muncul adalah tersedia tidaknya perlindungan saksi <strong>dan</strong><br />
korban yang mumpuni. Pada sejumlah kasus, korban tidak mau melaporkan kasusnya<br />
karena kuatir balas dendam pelaku. Korupsi dalam proses penegakan hukum yang begitu<br />
mengurat akar juga menjadi hambatan bagi perempuan korban yang kehilangan keyakinan<br />
bahwa ia akan memperoleh proses hukum yang adil <strong>dan</strong> terpercaya.<br />
Faktor lain yang mempengaruhi akses perempuan korban perkosaan pada proses mencari<br />
keadilan <strong>dan</strong> pemulihan adalah faktor politik. Dalam konteks konflik, proses<br />
pengungkapan kebenaran sangat ditentukan oleh itikad baik politik (good will) penyelenggara<br />
negara. Hal ini karena kasus kekerasan tersebut melibatkan aparat negara sebagai pelaku<br />
kekerasan <strong>dan</strong> terkait dengan a<strong>dan</strong>ya kebijakan-kebijakan negara yang memungkinkan<br />
kekerasan tersebut terjadi <strong>dan</strong> terus berulang. Dalam konteks Tragedi Mei 1998, misalnya,<br />
sikap negara membiarkan peristiwa kekerasan <strong>dan</strong> diskriminasi terhadap masyarakat etnis<br />
Tionghoa, <strong>dan</strong> pada kontroversi tentang ada tidaknya perkosaan pada rangkaian peristiwa<br />
kerusuhan Mei 1998 menyebabkan perempuan korban semakin enggan untuk<br />
mengungkapkan kasusnya. Dalam konteks Aceh, Tragedi 1965 <strong>dan</strong> Timor Leste, misalnya,<br />
sikap negara pada penuntasan pelanggaran HAM masa lalu terus mendua <strong>dan</strong> membiarkan<br />
korban yang telah mengungkapkan kasusnya terus menunggu tanpa batas waktu kapan<br />
proses keadilan akan diawali dengan sungguh-sungguh.<br />
Langkah Kita: <strong>Kenali</strong> <strong>dan</strong> <strong>Tangani</strong> Perkosaan<br />
Menghindari Perkosaan<br />
1. Selalu bersikap waspada. Sikap ini bisa ditunjukkan misalnya:<br />
a. Jika memilih menggunakan taksi sebisa mungkin menggunakan layanan<br />
jemput misalnya dari kantor, hotel, pusat perbelajaan <strong>dan</strong> sebagainya.<br />
Dengan layanan ini perusahaan taksi akan mencatat peredaran taksinya,<br />
sementara kantor/hotel/atau pusat perbelanjaan juga akan mencatat<br />
identitas taksi<br />
b. Tulis identitas taksi meliputi nama taksi, pengemudi, no identitas <strong>dan</strong> no<br />
pintu, <strong>dan</strong> segera kirim pada orang terdekat. Atau<br />
c. Segera telpon orang terdekat <strong>dan</strong> informasikan identitas taksi.<br />
Menginformasikan dengan cara ini memungkinkan didengar langsung oleh<br />
pengemudi taksi, <strong>dan</strong> ini bisa membantu mencegah hal-hal yang tidak<br />
diinginkan<br />
d. Jika memilih bus atau angkot umum segera turun jika merasa ada hal yang<br />
aneh <strong>dan</strong> mencurigakan<br />
e. Jika memilih ojek <strong>dan</strong> memungkinkan, pilihlah yang anda kenal atau ojek<br />
langganan. Jangan lupa minta no hp jika ada, juga catat no kendaraan<br />
2. Membekali diri dengan keterampilan bela diri bisa menjadi cara untuk menangkis<br />
perkosaan<br />
3. Melakukan perlawanan, seperti berteriak, memukul, menen<strong>dan</strong>g, lari <strong>dan</strong> lain-lain<br />
jika ada kesempatan<br />
4. Jika ada kesempatan pukul sekeras-kerasnya pada alat reproduksi laki-laki<br />
5. Waspada terhadap sekeliling <strong>dan</strong> orang-orang yang belum dikenal<br />
6. Bangun pemahaman tentang perkosaan. Pemahaman akan perkosaan baik itu<br />
definisi, bentuk, motif <strong>dan</strong> cara-cara yang biasa digunakan pelaku bisa membantu<br />
12
menghindari perkosaan. Pengetahuan tentang dampak perkosaan juga membantu<br />
seseorang dalam mengambil sikap ketika mengalaminya.<br />
Jika Anda Korban<br />
1. Jangan menyalahkan diri sendiri terhadap perkosaan yang anda alami. Bangun<br />
keyakinan bahwa pelakulah yang bersalah. Dengan demikian anda akan memiliki<br />
kekuatan untuk menghadapi <strong>dan</strong> mengambil pilihan tepat penyelesaian kasus<br />
2. Jangan langsung membersihkan anggota ba<strong>dan</strong> atau mandi karena hal ini akan<br />
menghilangkan bukti utama berupa jejak sperma pelaku.<br />
3. Kumpulkan benda-benda yang bisa dijadikan bukti, pakaian yang dikenakan pada<br />
saat kejadian, atau benda-benda pelaku yang mungkin tertinggal. Ingat jangan<br />
menyentuh alat-alat bukti dengan tangan. Gunakan plastik atau benda lain yang<br />
tidak menghilangkan sidik jari pelaku.<br />
4. Segera melapor ke pihak berwajib terdekat. Secara resmi setiap korban perkosaan<br />
harus melapor ke polisi. Polisi akan memberikan Surat Permintaan Visum et Repertum<br />
atau surat dari polisi yang meminta dokter memeriksa tubuh korban<br />
5. Jika korban memilih langsung ke layanan kesehatan, maka pihak kepolisian bisa<br />
didatangkan ke layanan kesehatan tersebut atau<br />
6. Segera ke lembaga layanan terdekat. Perlu diketahui sperma akan berada dalam<br />
vagina 4-5 jam. Namun masih bisa ditemukan disekitar antara 24-36 jam.<br />
7. Cari dukungan baik teman, orang terdekat, pendamping, atau lembaga<br />
pengadalayanan yang dipercaya. Ceritakan apa yang telah terjadi. Ini penting jika<br />
sewaktu-waktu korban mengalami sakit, trauma <strong>dan</strong> sebagainya. Orang yang diajak<br />
bisa membantu dalam proses peradilan.<br />
Jika Anda tahu, Jika Anda Saksi<br />
1. Jangan tinggal diam bila mengetahui a<strong>dan</strong>ya perkosaan. Segera laporkan pada pihak<br />
berwajib.<br />
2. Jangan menyalahkan korban. Dukung ia dalam segala keputusan yang diambil<br />
mengenai perkosaan yang dialaminya <strong>dan</strong> jangan menghakimi jika korban tidak<br />
mau melapor kepada pihak berwajib.<br />
3. Segera bawa ke tenaga medis untuk mendapatkan visum. Tidak semua rumah sakit<br />
bisa mengeluarkan visum. Diantara rumah sakit yang diakui adalah RSCM, Rumah<br />
Sakit Polri, atau Rumah Sakit Daerah yang ditunjuk, rumah sakit yang bekerjasama<br />
dengan P2TP2A, atau yang ditunjuk oleh kepolisian.<br />
4. Segera mencari organisasi layanan untuk pendampingan kasus, baik secara<br />
psykologi maupun hukum.<br />
5. Mendengarkan cerita korban, <strong>dan</strong> catat dengan baik apa yang disampaikan korban.<br />
Hal ini akan bermanfaat jika korban mengalami kondisi tertentu.<br />
6. Berikan informasi kepada korban hak-haknya <strong>dan</strong> juga keberadaan lembagalembaga<br />
yang dapat ia hubungi untuk memperoleh informasi lebih lanjut ataupun<br />
masukan bagi upaya pencarian keadilan <strong>dan</strong> pemulihan<br />
7. Berikan informasi tentang perkosaan seksual kepada anggota keluarga, teman,<br />
tetangga, teman sekerja atau lainnya.<br />
8. Ajak mereka untuk ikut mendukung korban dengan cara tidak menyalahkan<br />
korban, tidak menstigma, tidak mengucilkan apalagi mengusir korban.<br />
9. Ikut serta dalam advokasi perubahan hukum untuk kepentingan perempuan<br />
korban kekerasan, termasuk dengan memantau jalannya proses penegakan hukum.<br />
10. Dukung kerja-kerja lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan<br />
dengan mengumpulkan informasi tentang kekerasan seksual yang terjadi di<br />
13
sekelilingmu, memberikan dukungan, ikut serta dalam kampanye atau dalam<br />
penggalangan <strong>dan</strong>a bagi penanganan korban.<br />
14 JENIS KEKERASAN SEKSUAL LAINNYA<br />
Berikut adalah definisi dari keempat belas jenis kekerasan seksual lainnya:<br />
1. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual adalah tindakan perekrutan,<br />
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan<br />
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,<br />
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,<br />
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh<br />
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang<br />
dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan prostitusi ataupun<br />
eksploitasi seksual lainnya. 5<br />
2. Pelecehan seksual<br />
merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui kontak fisik<br />
maupun non fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual atau seksualitas<br />
seseorang, termasuk dengan menggunakan siulan, main mata, komentar atau<br />
ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi-materi pornografi <strong>dan</strong><br />
keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang<br />
bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung merasa<br />
direndahkan martabatnya, <strong>dan</strong> mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan<br />
<strong>dan</strong> keselamatan. 6<br />
3. Penyiksaan seksual adalah perbuatan yang secara khusus menyerang organ <strong>dan</strong><br />
seksualitas perempuan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa<br />
sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual, pada<br />
seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan darinya, atau dari orang<br />
ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah atau diduga telah<br />
dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga, untuk mengancam atau memaksanya<br />
atau orang ketiga, <strong>dan</strong> untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi atas<br />
alasan apapun, apabila rasa sakit <strong>dan</strong> penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas<br />
hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. 7<br />
4. Eksploitasi <strong>Seksual</strong> merujuk pada aksi atau percoban penyalahgunaan kekuatan<br />
yang berbeda atau kepercayaan, untuk tujuan seksual termasuk tapi tidak terbatas<br />
pada memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial maupun politik dari<br />
5 Disadur dari definisi dalam Un<strong>dan</strong>g Un<strong>dan</strong>g No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />
Orang<br />
6 Komnas Perempuan, Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran <strong>dan</strong> Penanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM<br />
Perempuan Selama Konflik Bersenjata di Poso 1998-2005, Komnas Perempuan, 2009, hal. 132 <strong>dan</strong> rumusan yang<br />
dikembangkan Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dalam Lusia Palulungan, “Bagai Mengurai Benang Kusut: Bercermin<br />
Pada Kasus Rieke Dyah Pitaloka, Sulitnya Pembuktian Pelecehan <strong>Seksual</strong>, Tatap: Berita Seputar Pelayanan, Komnas<br />
Perempuan,2010, hal. 9<br />
7 Merujuk pada definisi penyiksaan sebagaimana tercantum dalam UU No 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi<br />
Menentang Penyiksaan <strong>dan</strong> Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, <strong>dan</strong> Merendahkan<br />
Martabat Manusia, Pasal 1.<br />
14
eksploitasi seksual terhadap orang lain. 8 Termasuk di dalamnya adalah tindakan<br />
mengiming-imingi perkawinan untuk memperoleh layanan seksual dari perempuan,<br />
yang kerap disebut oleh lembaga pengada layanan bagi perempuan korban<br />
kekerasan sebagai kasus “ingkar janji”. Iming-iming ini menggunakan cara pikir<br />
dalam masyarakat yang mengaitkan posisi perempuan dengan status perkawinannya<br />
sehingga perempuan merasa tidak memiliki daya tawar, kecuali dengan mengikuti<br />
kehendak pelaku, agar ia dinikahi.<br />
5. Perbudakan <strong>Seksual</strong> adalah sebuah tindakan penggunaan sebagian atau segenap<br />
kekuasaan yang melekat pada “hak kepemilikan” terhadap seseorang, termasuk<br />
akses seksual melalui pemerkosaan atau bentuk-bentuk lain kekerasan seksual.<br />
Perbudakan seksual juga mencakup situasi-situasi dimana perempuan dewasa <strong>dan</strong><br />
anak-anak dipaksa untuk menikah, memberikan pelayanan rumah tangga atau<br />
bentuk kerja paksa yang pada akhirnya melibatkan kegiatan seksual paksa termasuk<br />
perkosaan oleh penyekapnya 9<br />
6. Intimidasi/serangan bernuansa seksual, termasuk ancaman/percobaan<br />
perkosaan adalah tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa<br />
takut atau penderitaan psikis pada perempuan. Serangan <strong>dan</strong> intimidasi seksual<br />
disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, email, <strong>dan</strong><br />
lain-lain 10<br />
7. Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana <strong>dan</strong> kriminalisasi perempuan<br />
lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas <strong>dan</strong> agama mencakup berbagai<br />
tindak kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, <strong>dan</strong> tidak hanya melalui<br />
kontak fisik, yang dilakukan untuk mengancam atau memaksakan perempuan<br />
mengenakan busana tertentu atau dinyatakan melanggar hukum karena cara ia<br />
berbusana atau berelasi sosial dengan lawan jenisnya. Termasuk di dalamnya adalah<br />
kekerasan yang timbul akibat aturan tentang pornografi yang melandaskan diri<br />
lebih pada persoalan moralitas daripada kekerasan seksual.<br />
8. Pemaksaan Aborsi adalah pengguguran kandungan yang dilakukan karena<br />
a<strong>dan</strong>ya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain. 11<br />
9. Penghukuman tidak manusiawi <strong>dan</strong> bernuansa seksual adalah cara<br />
menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu<br />
yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan. 12 Termasuk dalam<br />
penghukuman tidak manusiawi adalah hukuman cambuk <strong>dan</strong> hukuman-hukuman<br />
yang merendahkan martabat manusia yang ditujukan bagi mereka yang dituduh<br />
melanggar norma-norma kesusilaan.<br />
10. Pemaksaan perkawinan, termasuk kawin paksa <strong>dan</strong> kawin gantung adalah<br />
situasi dimana perempuan terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri,<br />
termasuk di dalamnya situasi dimana perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain<br />
8 Buletin sekjen PBB tentang tindakan-tindakan khusus bagi perlindungan dari eksploitasi seksual <strong>dan</strong> pelanggaran<br />
seksual, St/SGB/2003/13, 9 Oktober 2003 dalam Komnas Perempuan, op.cit., hal. 46<br />
9 Dirumuskan dari pengertian penyiksaan seksual dalam Pasal 7(2)(c) Statuta Roma<br />
10 Komnas Perempuan, Pembela HAM: Berjuang Dalam Tekanan, Komnas Perempuan, 2007<br />
11 op.cit. Komnas Perempuan 2009, hal 132<br />
12 Lihat penjelasan Konvensi Menentang Penyiksaan <strong>dan</strong> Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak<br />
Manusiawi <strong>dan</strong> Merendahkan Martabat Manusia<br />
15
kecuali mengikuti kehendak orang tuanya agar ia menikah, sekalipun bukan dengan<br />
orang yang ia inginkan atau dengan orang yang tidak ia kenali, untuk tujuan<br />
mengurangi beban ekonomi keluarga maupun tujuan lainnya. Pemaksaan<br />
perkawinan juga mencakup situasi dimana perempuan dipaksa menikah dengan<br />
orang lain agar dapat kembali pada suaminya setelah dinyatakan talak tiga (atau<br />
dikenal dengan praktik “Kawin Cina Buta”) <strong>dan</strong> situasi dimana perempuan terikat<br />
dalam perkawinannya sementara proses perceraian tidak dapat dilangsungkan<br />
karena berbagai alasan baik dari pihak suami maupun otoritas lainnya. Tidak<br />
termasuk dalam penghitungan jumlah kasus, sekalipun merupakan praktik kawin<br />
paksa, adalah tekanan bagi perempuan korban perkosaan untuk menikahi pelaku<br />
perkosaan terhadap dirinya.<br />
11. Prostitusi Paksa merujuk pada situasi dimana perempuan dikondisikan dengan<br />
tipu daya, ancaman maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Pengondisian<br />
ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun untuk membuat perempuan<br />
tersebut tidak berdaya untuk dapat melepaskan dirinya dari prostitusi, misalnya<br />
dengan penyekapan, penjeratan hutang, atau ancaman kekerasan. Prostitusi paksa<br />
memiliki beberapa kemiripan, namun tidak selalu sama dengan perbudakan seksual<br />
atau dengan perdagangan orang untuk tujuan seksual 13 .<br />
12. Pemaksaan kehamilan yaitu ketika perempuan melanjutkan kehamilan yang tidak<br />
ia kehendaki akibat a<strong>dan</strong>ya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.<br />
Kondisi ini misalnya dialami oleh perempuan korban perkosaan yang tidak<br />
diberikan pilihan lain kecuali melanjutkan kehamilannya akibat perkosaan tersebut.<br />
Pemaksaan kehamilan ini berbeda dimensi dengan kehamilan paksa dalam<br />
konteks kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana dirumuskan dalam Statuta<br />
Roma, yaitu situasi pembatasan secara melawan hukum terhadap seorang<br />
perempuan untuk hamil secara paksa, dengan maksud untuk membuat komposisi<br />
etnis dari suatu populasi atau untuk melakukan pelanggaran hukum internasional<br />
lainnya<br />
13. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau<br />
mendiskriminasi perempuan Praktik tradisi bernuansa seksual yang<br />
membahayakan atau mendiskriminasi perempuan merujuk pada kebiasaan<br />
berdimensi seksual yang dilakukan masyarakat , ka<strong>dan</strong>g ditopang dengan alasan<br />
agama <strong>dan</strong>/atau budaya, yang dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis<br />
maupun seksual pada perempuan atau dilakukan untuk mengontrol seksualitas<br />
perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan 14 .<br />
14. Pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi, yaitu “pemaksaan penggunaan alat-alat<br />
kontrasepsi bagi perempuan untuk mencegah reproduksi, atau pemaksaan penuh organ seksual<br />
perempuan untuk berhenti bereproduksi sama sekali, sehingga merebut hak<br />
seksualitas perempuan serta reproduksinya”. Persoalan ini sebelumnya pernah diangkat<br />
kelompok perempuan pada masa Orde Baru, yang ditengarai merupakan akibat<br />
dari wacana penurunan laju pertambahan penduduk sebagai salah satu indikator<br />
keberhasilan pembangunan. Kali ini, persoalan pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi<br />
diangkat oleh perempuan dengan disabilitas <strong>dan</strong> perempuan dengan HIV/AIDS.<br />
Mereka melaporkan bahwa pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi kerap ditolerir karena<br />
13 Diambil dari berbagai sumber<br />
14 Ibid.,<br />
16
dianggap bisa mencegah kehamilan yang tidak diinginkan oleh pihak lain di kedua<br />
kelompok ini, tanpa memberikan informasi <strong>dan</strong> kesempatan kepada mereka untuk<br />
dapat memilih sendiri keputusan terkait dengan hak reproduksi yang mereka miliki.<br />
Praktik terbaik Penanganan Kasus Perkosaan<br />
Seorang gadis (H) berusia 15 tahun, masih bersekolah di salah satu SLTP<br />
negeri di Kabupaten Maluku Tengah diperkosa oleh gurunya. H adalah gadis<br />
ke-20 yang mengalami perkosaan dari pelaku. Pelaku mengancam agar H<br />
diam, tidak menceritakan pada siapapun jika masih ingin hidup <strong>dan</strong> lulus<br />
sekolah. Setelah kejadian itu H menjadi murung <strong>dan</strong> menarik diri dari temantemannya.<br />
Seorang teman sekelasnya menemukan catatan H yang menceritakan kejadian<br />
perkosaan itu. Kemudian ia melaporkannya kepada orang tua H. Mendengar<br />
informasi tesebut orang tua H menyalahkannya. Bahkan ibu H ingin<br />
membunuhnya karena dianggap merusak kehormatan keluarga.<br />
Peristiwa ini dilaporkan kepada polsek setempat. Pelaku ditangkap karena<br />
hasil visum menunjukkan bahwa terjadi perkosaan <strong>dan</strong> didukung oleh saksi. Di<br />
dalam tahanan polisi, pelaku ternyata bebas keluar masuk. Hal ini dikarenakan<br />
ia memiliki kedekatan dengan Wakil Kepala Kepolisian Sektor (Wakapolsek).<br />
Alih-alih berkas perkara sampai ke Kejaksaan, pelaku justru melarikan diri<br />
dengan bantuan Wakapolsek. Dalam perjalanannya, kasus ini juga akan<br />
diberhentikan penyelindikannya (SP3) dengan alasan pelaku masuk dalam<br />
Daftar Pencarian Orang. Padahal SP3 hanya boleh dilakukan jika penyidikan<br />
tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan tidak pi<strong>dan</strong>a.<br />
Melihat kasus di atas LAPPAN sebagai organisasi yang mendampingi kasus<br />
tersebut melihat a<strong>dan</strong>ya kejanggalan dalam proses hukum tersebut. LAPPAN<br />
melihat fakta hukum sudah jelas, bukti sudah lengkap, saksi juga ada. Oleh<br />
karenanya, LAPPAN mengajukan surat permohonan kepada pihak Profesi <strong>dan</strong><br />
Pengamanan (ProPam) Polda Maluku untuk melakukan investigasi terhadap<br />
kasus tersebut. Hasil dari investigasi tersebut menunjukkan bahwa Polsek<br />
tidak serius dalam menangani kasus perkosaan itu. Tindak lanjut dari hasil<br />
investigasi adalah Kapolsek <strong>dan</strong> Wakapolsek yang menangani kasus tersebut<br />
dipindahkan. Sementara pengganti Kapolsek yang baru diberi tugas untuk<br />
menangkap pelaku <strong>dan</strong> adili.<br />
Pengadilan memutus pelaku dengan hukuman lima tahun penjara, padahal<br />
jaksa menuntutnya dengan hukuman 12 tahun penjara. Meskipun putusan<br />
tersebut dianggap belum adil baik oleh korban maupun keluarga, namun yang<br />
lebih penting dari semua itu adalah masa depan korban. Atas dukungan<br />
keluarga, LAPPAN mulai membangun pemahaman kepada pihak sekolah<br />
tentang kekerasan seksual, khususnya perkosaan. Upaya tersebut<br />
membuahkan hasil, karena segenap guru menerima kembali korban sebagai<br />
siswa di sekolah itu. Saat ini korban telah menempuh studi di salah satu<br />
Perguruan Tinggi di Ambon.<br />
17