05.05.2015 Views

Menanti Sinterklas di Malam Natal

Menanti Sinterklas di Malam Natal

Menanti Sinterklas di Malam Natal

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

NASIONAL [ GATRA Printed E<strong>di</strong>tion ]<br />

<strong>Menanti</strong> <strong>Sinterklas</strong> <strong>di</strong> <strong>Malam</strong> <strong>Natal</strong><br />

BAGI pemeluk Nasrani, <strong>Natal</strong> adalah hari damai dan penuh sukacita. Tapi tidak bagi Anjar Pamungkas, 28 tahun. <strong>Natal</strong><br />

tahun ini, ia mesti berurusan dengan pihak berwajib. Polisi menetapkannya sebagai tersangka atas penganiayaan<br />

terhadap seorang anak, Ezra Judah.<br />

Kisah bermula awal Januari 2000, <strong>di</strong> rumah Susan Sumbayak, <strong>di</strong> kawasan Meruya, Jakarta Barat. Waktu itu, Susan sedang<br />

marah terhadap Ezra yang ketika itu berusia satu setengah tahun. "Waktu saya lewat, tiba-tiba <strong>di</strong>a manggil, Papam<br />

(panggilan kecil Anjar --Red.) ambil air panas <strong>di</strong> baskom," Anjar berkisah. Tanpa pikir panjang, ia melaksanakan perintah<br />

Susan, menuju dapur.<br />

Di sana, Jovinca, ibunda Ezra, sedang menyiapkan acara awal tahun untuk gereja. Saat Anjar menanyakan air panas,<br />

Jovinca langsung mengambil baskom dan <strong>di</strong>isinya dengan air dari <strong>di</strong>spenser. Baskom berisi air panas sudah terse<strong>di</strong>a,<br />

<strong>di</strong>berikan kepada Susan yang berada <strong>di</strong> ruang tengah. "Saya sempat berpikir air panas itu untuk Ezra," katanya.<br />

Benar, Susan menyuruh Anjar dan Joni Kolang --anggota jemaat-- mengangkat Ezra dan merendamkan kaki anak kecil<br />

yang masih belajar jalan tertatih-tatih itu ke air panas. Jeritan kesakitan tak terbendung, kulit pergelangan kakinya pun<br />

mengelupas seketika. Tapi jeritan tak membuat ibunda Ezra, Jovinca, beranjak dari dapur. Mengapa? "Ibunya tidak berani<br />

keluar," Anjar mengenang.<br />

Kepada Gatra, Anjar mengaku <strong>di</strong>rinya sebenarnya tidak tega, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. "Kesalahan saya, kenapa<br />

muncul <strong>di</strong> depan Susan waktu itu," katanya. Biasanya, ketika melihat Susan sedang marah, Anjar suka menghindar.<br />

Cerita tersebut, tentu saja, versi Anjar. Sang tertuduh, Susan Sumbayak, menolak tu<strong>di</strong>ngan miring itu. "Itu ada orangtuanya.<br />

Saya pikir, tidak perlu saya jawab lagi," katanya sembari telunjuknya mengarah pada Jovinca Eveline Rompas. Menurut<br />

Jovinca, yang <strong>di</strong>alami oleh Ezra adalah kecelakaan. Kala itu, menurut ibu berusia 36 tahun itu, ia berusaha memindahkan<br />

air panas. "Waktu mau <strong>di</strong>tuang ke baskom lainnya, tiba-tiba Ezra mengarah ke saya. Air panas yang saya pegang jatuh,"<br />

katanya. Air panas itu tumpah ke lantai. Vinca --sapaan Jovinca-- secara refleks mengangkat anaknya yang menangis<br />

karena tersiram air panas.<br />

Menurut Vinca, air panas itu untuk mencuci piring untuk acara pertemuan awal tahun. Karena piring yang <strong>di</strong>simpan <strong>di</strong><br />

gudang cukup lama, seperti biasanya, untuk membersihkanya menggunakan air panas. "Ezra waktu itu bersama saya, ke<br />

mana pergi saya bawa," katanya. Setelah Ezra tersiram air panas, Vinca langsung melakukan pertolongan pertama, dengan<br />

memberi salep yang biasa <strong>di</strong>pakai untuk mengobati kulit yang terbakar. Setelah itu, sang anak <strong>di</strong>larikan ke Klinik Bu<strong>di</strong><br />

Me<strong>di</strong>ka yang tak jauh dari tempat keja<strong>di</strong>an.<br />

Jovinca juga membantah tu<strong>di</strong>ngan bahwa anak tunggalnya mengalami penyiksaan <strong>di</strong> Pondok Daud. "Omong kosong kalau<br />

Ezra kakinya <strong>di</strong>rendam air panas. Itu omongan <strong>di</strong>a (Anjar --Red.) aja," katanya. Waktu keja<strong>di</strong>an, Anjar memang ada <strong>di</strong> rumah.<br />

"Tapi saya pastikan <strong>di</strong>a tidak melihat keja<strong>di</strong>an itu," ia menambahkan. "Anak itu saya tunggu selama empat tahun, saya<br />

besarkan sen<strong>di</strong>ri. Kalau ada yang menganiaya, saya yang laporkan ke polisi," ujarnya berapi-api.<br />

Vinca dan suaminya, Kristanto Nugroho, sampai sekarang masih aktif sebagai jemaat Pondok Daud. Sedangkan Anjar<br />

sejak paruh tahun lalu sudah <strong>di</strong>keluarkan dari komunitas yang punya pengikut 2.500 orang yang tersebar <strong>di</strong> Jakarta dan<br />

sekitarnya itu.<br />

Junith, seorang yang sudah keluar dari Pondok Daud, punya kesaksian lain. Ia mengaku pernah menyaksikan Ezra<br />

<strong>di</strong>letakkan <strong>di</strong> atas meja batu setinggi 90 sentimeter oleh Susan Sumbayak. Lalu Ezra <strong>di</strong>suruh turun dari meja itu, tapi ia tak<br />

mau dan menangis. Kata Junith, Ezra <strong>di</strong>dorong se<strong>di</strong>kit demi se<strong>di</strong>kit sampai akhirnya terjatuh. Setelah jatuh, ia baru <strong>di</strong>angkat<br />

tapi tak boleh menangis lagi. "Saya melihat bibirnya agak pecah se<strong>di</strong>kit, dan kami yang ada <strong>di</strong> situ tidak boleh menolong<br />

<strong>di</strong>a, sampai <strong>di</strong>a <strong>di</strong>angkat, dan saya pergi meninggalkan ruangan itu," katanya.<br />

Ia bersumpah pernah menyaksikan mata Ezra <strong>di</strong>isolasi alias <strong>di</strong>plester. "Tidak boleh ada yang buka plester itu," kata Junith,<br />

yang sudah 17 tahun bergabung dengan Pondok Daud dan baru pertengahan tahun lalu keluar. Tidak hanya mulut dan<br />

mata yang <strong>di</strong>plester. Karena kenakalannya, pipi kanan-kiri Ezra sering mendapat "ha<strong>di</strong>ah" tamparan dari Susan.<br />

Dewanthi, rekan Junith, membenarkan kesaksian tersebut. "Saya dan yang lain hanya <strong>di</strong>am, Ibu Susan menyuruh kami<br />

pergi merapikan pekerjaan yang lain," tutur Dewanthi. Ia sempat beberapa kali melihat Susan memercikkan sabun pada<br />

mata Ezra.


Perlakuan itu, menurut Anjar, adalah salah satu ajaran yang <strong>di</strong>terapkan <strong>di</strong> Pondok Daud. Jemaat ini mengajarkan bahwa<br />

cinta kepada Tuhan lebih tinggi <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan cinta kepada anak. Karena itu, anak asuh yang tidak patuh layak<br />

<strong>di</strong>siksa.<br />

Namun semua tu<strong>di</strong>ngan itu <strong>di</strong>bantah oleh Vinca. "Kalau anak saya <strong>di</strong>tamparin, nggak mungkin bisa gemuk seperti<br />

sekarang," katanya. "Sudah nggak hidup lagi mungkin. Itu hanya karangan mereka," Vinca menambahkan. Tapi karangan<br />

itu malah membuat Ezra tidak sekolah. Vinca menja<strong>di</strong> paranoid. "Saya jagain terus, sampai saya tidak sekolahkan,"<br />

katanya. Saat keja<strong>di</strong>an, Ezra masih tercatat sebagai siswa Taman Kanak-kanak B Samaria Kudus, Taman Aries, Meruya,<br />

Jakarta Barat.<br />

Kristanto Nugroho, ayahanda Ezra, mengaku mengalami serentetan teror. Diawali dengan surat kaleng yang tergeletak <strong>di</strong><br />

halaman rumah orangtua Kristanto, F.A. Rompas, <strong>di</strong> Jalan Delman Utama 2/12, Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Januari lalu.<br />

Surat setebal delapan halaman yang <strong>di</strong>bungkus sampul cokelat itu berisi tu<strong>di</strong>ngan penganiayaan terhadap Ezra Judah,<br />

persis seperti yang <strong>di</strong>ramaikan sekarang.<br />

Setelah itu, muncul teror dalam bentuk telepon dan pesan singkat <strong>di</strong> layar telepon seluler. Kristanto dan keluarga masih<br />

bisa menahan <strong>di</strong>ri. "Saya tahu siapa pelakunya, ja<strong>di</strong> saya biarkan saja," katanya. Tak lama kemu<strong>di</strong>an, Kristanto <strong>di</strong>kejutkan<br />

dengan pemunculan kelanjutan isi surat kaleng itu <strong>di</strong> harian sore Suara Pembaruan, 11 Mei 2004. Berikutnya, kasus<br />

tersebut <strong>di</strong>laporkan ke Polda Metro Jaya.<br />

Yang melaporkan adalah Hotma Timbul Hutapea dari Asosiasi Penasihat Hukum Indonesia. Dasar yang <strong>di</strong>gunakan Hotma,<br />

Undang-Undang Perlindungan Anak. Menurut <strong>di</strong>a, kewajiban setiap warga negara yang mengetahui adanya penganiayaan<br />

terhadap anak untuk melaporkannya kepada kepolisian.<br />

Langkah Hotma mendapat dukungan dari Masyarakat Dialog Antar-Agama, Solidaritas Nusa Bangsa, dan Komisi Nasional<br />

Perlindungan Hak Anak. Hotma juga menghubungi Estina, SH, pengacara yang juga kerabat Kristanto, untuk segera<br />

mengambil alih asuh Ezra. Gerah melihat langkah Hotma, akhirnya Jovinca minta bertemu dengan Hotma. "Apa-apaan ini.<br />

Ezra adalah anak saya," katanya. "Kami tidak pernah <strong>di</strong>hubungi, kok tiba-tiba <strong>di</strong>masukin koran?" tanyanya bersungguhsungguh.<br />

Kristanto, sebagai kepala rumah tangga, akhirnya mengumpulkan seluruh keluarganya untuk membahas permasalahan<br />

itu. "Pihak keluarga mempercayakan saya untuk memproses ini," katanya. Adapun tokoh <strong>di</strong> balik semua itu, menurut Kris,<br />

adalah Anjar Pamungkas, anak Sri Hartati, yang tidak lain adalah tantenya sen<strong>di</strong>ri. "Saya tau kenapa <strong>di</strong>a menyerang saya<br />

sekeluarga," katanya. "Ini karena <strong>di</strong>a <strong>di</strong>keluarkan dari gereja setelah dua kali terlibat narkoba," Kris menjelaskan.<br />

Keputusan mengeluarkan Anjar dari gereja, menurut Kris, <strong>di</strong>ambil setelah melalui rapat antar-pendeta. "Di gereja ini nggak<br />

main keluar-keluarin. Ada meeting hamba Tuhan, khusus para pendetanya," katanya. "Saya yang paling keras<br />

mengeluarkan <strong>di</strong>a, karena itu tanggung jawab saya," tutur Kris.<br />

Tu<strong>di</strong>ngan sebagai pengguna narkoba tak <strong>di</strong>tampik oleh Anjar. Itu <strong>di</strong>lakukannya ketika masih kuliah <strong>di</strong> sebuah perguruan<br />

tinggi swasta <strong>di</strong> Jakarta, tahun 1998. Waktu itu, menurut pengakuannya, ia sedang goyah setelah <strong>di</strong>keluarkan dari<br />

Kelompok Pemuridan, karena menolak masuk Rumah Doa (RD) Meruya.<br />

Bagi komunitas Pondok Daud, masuk RD merupakan anugerah. Tapi Anjar menganggapnya sebaliknya. Masuk RD Meruya,<br />

menurut <strong>di</strong>a, sama dengan tidak memiliki hak hidup. "Penolakan saya <strong>di</strong>anggap penghinaan," ia menambahkan. Ia pun<br />

kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>keluarkan dari Kelompok Pemuridan.<br />

Meski masih bisa memberikan pelayanan pada jemaat, Anjar tak betah. Ia kemu<strong>di</strong>an bergabung dengan aktivis mahasiswa<br />

lainnya, yang saat itu sedang meneriakkan gerakan reformasi. Ketahuan wajahnya muncul <strong>di</strong> sebuah stasiun televisi saat<br />

berunjuk rasa, Anjar <strong>di</strong>jatuhi hukuman skorsing: <strong>di</strong>larang memberikan pelayanan selama satu tahun.<br />

Pada paruh 1999, Anjar <strong>di</strong>panggil kembali. Kini ia <strong>di</strong>sekolahkan ke Tanjung Pinang, Riau. Sekolah Alkitab GPDI (Gereja<br />

Pantekosta <strong>di</strong> Indonesia) Tanjung Pinang selama sembilan bulan. Sesekali ia pulang dan bergabung dengan komunitas<br />

Pondok Daud. Sekembalinya dari sana, <strong>di</strong>a kena narkoba untuk yang kedua kalinya. "Tapi saya masih bisa melawan,"<br />

katanya. Bahkan Anjar sempat menjalani detoksikasi <strong>di</strong> Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta.<br />

Selesai menjalani detoksikasi, Anjar <strong>di</strong>tahbiskan menja<strong>di</strong> pendeta muda dan sempat tinggal <strong>di</strong> RD Meruya --yang pernah<br />

<strong>di</strong>tolaknya dulu-- selama tujuh bulan. Para pengasuh Pondok Daud menganggap Anjar tak bisa <strong>di</strong>sembuhkan dari<br />

kecanduan narkoba. Anjar pun <strong>di</strong>pecat. Sejak itu, ia bergabung dengan Gereja Bethany Kemayoran sampai sekarang.


Kepada Gatra, Anjar mengaku bahwa <strong>di</strong>a memang meminta bantuan berbagai pihak, termasuk Hotma Timbul Hutapea,<br />

untuk mengadu ke polisi. Motifnya tak semata-mata karena kecewa telah <strong>di</strong>pecat. "Saya terpanggil untuk menyatakan<br />

kebenaran," katanya. Pengungkapan kasus Ezra itu sen<strong>di</strong>ri berlatar belakang sulitnya Anjar menghubungi Tri Renekso<br />

Wibowo, kakak kandungnya, yang sudah lama tidak pulang ke rumah. Hartati, ibu Anjar, khawatir. "Biasanya <strong>Natal</strong> <strong>di</strong>a suka<br />

pulang," katanya.<br />

Spekulasi pun mulai muncul. Ada kabar, Tri Reneksi Wibowo <strong>di</strong>tahan <strong>di</strong> rumah Susan, lantaran kesalahan melakukan<br />

hubungan badan dengan sesama penghuni rumah doa. Namun tu<strong>di</strong>ngan itu <strong>di</strong>bantah oleh Wibowo. "Saya tidak <strong>di</strong>tahan.<br />

Saya waktu itu sakit, ja<strong>di</strong> tidak bisa pulang," katanya. Dari sinilah Anjar teringat kasus yang menimpa Ezra, empat tahun lalu.<br />

Meski saat ini berstatus sebagai tersangka, Ajar Pamungkas masih bisa menghirup udara bebas. "Padahal, saya sudah<br />

menyiapkan <strong>di</strong>ri bila harus masuk penjara," ujarnya. Ia tidak menyesali tindakan polisi yang mengubah status <strong>di</strong>rinya dari<br />

pelapor menja<strong>di</strong> tersangka. "Cuma, seharusnya Susan juga ja<strong>di</strong> tersangka, karena ini satu paket," katanya. Anjar <strong>di</strong>kenai<br />

tuduhan Pasal 180 Undang-Undang Perlindungan Anak.<br />

Kasus "penyiksaan" anak <strong>di</strong> Pondok Daud kontan menja<strong>di</strong> perbincangan luas <strong>di</strong> lintas komunitas. Para mantan jemaat<br />

menuduh kelompok ini sudah keluar dari ajaran Kristiani yang benar, dan karena itu menyesatkan. Inilah yang membuat<br />

Ketua Majelis Pondok Daud, Pendeta Jacob Bernhard Sumbayak --suami Susan Sumbayak-- angkat bicara. "Tidak ada<br />

ritual pengorbanan anak <strong>di</strong> agama kami," kata Bernhard dengan nada tinggi.<br />

Menurut Bernhard, Gereja Pusat Pantekosta Indonesia (GPPI) Pondok Daud adalah denominasi Kristen yang sah dan<br />

<strong>di</strong>akui <strong>di</strong> Indonesia. "Karena itu berada <strong>di</strong> bawah instansi Departemen Agama," katanya. Sedangkan GPPI sen<strong>di</strong>ri terdaftar<br />

<strong>di</strong> Dirjen Bimas (Kristen) Protestan, Departemen Agama, sejak Januari 1988.<br />

Dr. Jason Lase, Dirjen Bimas (Kristen) Protestan, membenarkannya. Jemaat Pondok Daud, yang menja<strong>di</strong> anggota sinode<br />

GPPI, sah adanya. "Ini karena GPPI dan Jemaat Pondok Daud sudah memiliki surat resmi sebagai suatu jemaat,"<br />

paparnya. Tapi, menurut Jason, bila peristiwa yang menimpa Ezra benar terja<strong>di</strong>, yang berlaku adalah Undang-Undang<br />

Perlindungan Anak. "Bukan masalah ajaran agamanya," ia menyimpulkan.<br />

Kasus Ezra membuat Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulya<strong>di</strong>, tergerak untuk mendatangi dan<br />

melihat sen<strong>di</strong>ri kon<strong>di</strong>sinya. "Kami sudah mengecek ke rumah orangtuanya," tutur Kak Seto kepada Aulia Chlori<strong>di</strong>any dari<br />

Gatra. "Ezra itu anak yang sangat lincah dan gembira. Cukup pintar juga," katanya. Anak seperti itu, menurut Seto, mestinya<br />

<strong>di</strong>perlakukan dengan penuh kasih sayang oleh kedua orangtuanya. Kak Seto juga melihat bekas luka <strong>di</strong> kaki Ezra. "Betul,<br />

ada bekas luka melepuh <strong>di</strong> kakinya," ujarnya. Bila ternyata terbukti adanya penyiksaan, Kak Seto meminta aparat hukum<br />

mengganjarnya dengan hukuman yang berat. "Tindak tegas sekte itu, termasuk orangtuanya," ia menambahkan.<br />

Direktur Tindak Pidana Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Matheus Salempang, berjani akan terus menyi<strong>di</strong>k kasus<br />

ini sampai tuntas. Tapi ia mengingatkan publik bahwa untuk penyeli<strong>di</strong>kan <strong>di</strong>perlukan waktu yang lama, karena harus<br />

mengumpulkan bukti dan meminta keterangan dari para saksi. "Kita kan harus telusuri satu per satu dan lakukan cek<br />

silang," kata Matheus kepada Elmy Diah Larasati dari Gatra.<br />

Pondok Daud gonjang-ganjing, silang tu<strong>di</strong>ng dan tuntut terja<strong>di</strong>. Untunglah, Ezra Juda tetap ceria. Anak semata wayang<br />

pasangan Kristanto-Jovinca yang lahir pada 1 Agustus 1998 itu kini bobotnya mencapai 33 kilogram, cukup bongsor untuk<br />

ukuran anak seusianya.<br />

Orang-orang dewasa kini ramai membincangkan apa yang pernah terja<strong>di</strong> atas <strong>di</strong>rinya, empat tahun lalu. Tapi ia tak paham<br />

apa yang pernah terja<strong>di</strong> ketika masih belajar berjalan itu. Yang ia tahu, <strong>di</strong> malam <strong>Natal</strong>, <strong>Sinterklas</strong> akan datang membawa<br />

ha<strong>di</strong>ah. Siapa tahu, <strong>Natal</strong> kali ini <strong>Sinterklas</strong> ha<strong>di</strong>r membawa kabar kebenaran, siapa salah, siapa fitnah....<br />

Herry Mohammad, Rachmat Hidayat, dan Dessy Eresina Pinem<br />

[Laporan Utama, Gatra Nomor 07 beredar Jumat, 24 Desember 2004]<br />

URL: http://www.gatra.com/2004-12-24/versi_cetak.php?id=50950

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!