05.05.2015 Views

Pesta Rakyat Pada Perayaan Imlek 2551di Tanah Air - Kliping Berita

Pesta Rakyat Pada Perayaan Imlek 2551di Tanah Air - Kliping Berita

Pesta Rakyat Pada Perayaan Imlek 2551di Tanah Air - Kliping Berita

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

BERITA TANAH AIR MARCH 200<br />

<strong>Pesta</strong> <strong>Rakyat</strong> <strong>Pada</strong><br />

<strong>Perayaan</strong> <strong>Imlek</strong> <strong>2551di</strong><br />

<strong>Tanah</strong> <strong>Air</strong><br />

Jakarta,<br />

SIMPATIK/Indonesia Media<br />

- <strong>Pesta</strong> rakyat! Itulah yang<br />

terjadi pada perayaan <strong>Imlek</strong><br />

2551 (menurut hitungan<br />

Indonesia..red) , Sabtu malam tanggal 5 Februari 2000. Dengan antusias<br />

yang sangat tinggi, masyarakat, tidak kurang dari 3.000 orang<br />

Tionghoa-non Tionghoa, tua-muda datang dari penjuru Jakarta dan luar<br />

Jakarta membaur menjadi satu menyambut hari pertama tahun Naga<br />

Emas di plaza museum Fatahillah. Mulai dari yang naik mercy, sampai<br />

yang memakai sandal jepit, dengan atau tanpa membawa keluarga,<br />

bersama-sama menikmati berbagai atraksi seni budaya seperti Gambang<br />

Kromong, Tanjidor, Barongsai dan Liong.<br />

<strong>Perayaan</strong> <strong>Imlek</strong> secara terbuka yang tidak pernah terjadi dalam 30 tahun<br />

terakhir itu memang benar-benar mencerminkan pesta rakyat. Disaat<br />

rakyat jenuh dengan perkembangan politik yang semerawut,<br />

perkembangan ekonomi yang tidak menentu, dan lain sebagainya, hiburan<br />

rakyat yang murah meriah memang bagaikan pelepas dahaga ketegangan.<br />

Ekspresi cair yang sangat kental dengan nuansa keakraban dan damai<br />

sangat mewarnai suasana pesta rakyat itu.<br />

Dari daerah aslinya, suasana perayaan <strong>Imlek</strong> adalah benar-benar pesta<br />

rakyat menyambut datangnya musim semi, lalu bersama-sama sambil<br />

menari-nari menanam kembali sawah dan kebun dengan tanaman sambil<br />

berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa memohon berkat yang<br />

berkecukupan. Jadi perayaan <strong>Imlek</strong> ini sebenarnya dirayakan oleh<br />

seluruh rakyat, bukan dominasi agama tertentu, karena memang perayaan<br />

untuk menyambut datangnya musim semi, yang kebetulan jatuhnya pada<br />

tanggal satu bulan satu (tahun baru penanggalan Tionghoa).<br />

Sebenarnya pesta rakyat<br />

untuk merayakan <strong>Imlek</strong><br />

itu yang merupakan<br />

tradisi turun-temurun<br />

telah berlangsung ratusan<br />

tahun lamanya di bumi<br />

Nusantara ini. Sampai<br />

tahun 1965-an pesta<br />

rakyat itu dilakukan tanpa<br />

ada tudingan eksklusif,<br />

karena semua rakyat tanpa kecuali bisa ikut bergembira dan<br />

merayakannya. Wawancara kami beberapa minggu yang lalu dengan<br />

beberapa orang yang pernah merasakan suasana pesta rakyat yang belum<br />

dilarang itu, benar-benar telah memberikan gambaran yang sangat jelas<br />

tentang perayaan <strong>Imlek</strong> di masa lalu. Bahkan salah seorang (cukup tua)<br />

yang sempat diwawancara sebelumnya terlihat dalam kerumunan pesta<br />

rakyat Sabtu lalu, memperlihatkan ekspresi yang haru dan mata yang<br />

berkaca-kaca menyaksikan suasana saat itu. Impian saya untuk<br />

menyaksikan kembali perayaan <strong>Imlek</strong> secara meriah tercapai<br />

komentarnya. Tak pernah terbayangkan dalam benaknya bahwa<br />

kenangan di saat muda yang diberangus habis oleh rezim Soeharto dapat<br />

disaksikan kembali di usia uzurnya.<br />

Catatan pemantauan kami yang lain adalah adanya seorang anggota<br />

Brimob yang bertugas bernama Kiet Sun, berwajah sangat chinese,<br />

walaupun kulitnya agak gelap. Mungkin karena banyak terjemur dalam<br />

latihan. Kami sangat mengacungkan jempol kepada anggota Brimob itu,<br />

walaupun tidak sempat kami ajak berbincang-bincang. Dia telah berhasil<br />

keluar dari beleid sindrom minoritas yang menabukan orang Tionghoa<br />

masuk menjadi anggota Militer atau Polisi.<br />

<strong>Perayaan</strong> <strong>Imlek</strong> kali ini<br />

terasa lain. Maklum, sudah


sekitar 30 tahun terakhir<br />

kebudayaan dan berbagai<br />

tradisi Tionghoa dilarang di<br />

Indonesia. Pemerintah<br />

Orde Baru, lewat Instruksi<br />

Presiden no. 14/1967,<br />

dengan tegas melarang<br />

segala bentuk kegiatan<br />

agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa. Alasannya sendiri,<br />

menurut beberapa pengamat, sangat kekanakan, yakni jika berbagai<br />

kegiatan tersebut tetap dilakukan, ditakutkan para warga keturunan<br />

Tionghoa lebih pro pada negara asalnya dibanding pada Indonesia.<br />

Jelas, larangan ini terasa menyakitkan. Tapi meski begitu, kegiatan agama,<br />

kepercayaan, dan adat istiadat ini tetap saja dilakukan oleh warga<br />

keturunan Tionghoa, meskipun tidak secara terang-terangan. "Habis mau<br />

bagaimana lagi, kepercayaan tetap harus kita lakukan. Sebab kita<br />

memohon segala rezeki dan kemudahan kan lewat kegiatan kita itu," kata<br />

Sekretaris Yayasan Wihara Budhi-Darma Jakarta Barat, Alex Liem.<br />

Kini, warga keturunan Tionghoa di Indonesia bisa bernafas lega.<br />

Pasalnya, lewat Keputusan Presiden no. 6/2000 yang diumumkan 18<br />

Januari silam, pemerintah telah mencabut Inpres lama tersebut. Artinya,<br />

berbagai kegiatan kepercayaan dan adat istiadat yang selama ini dilarang<br />

dilakukan secara terbuka kini diperbolehkan. "Saya sangat berterima<br />

kasih kepada Gus Dur yang mencabut larangan itu," kata Alex.<br />

Bukan hanya warga keturunan Tionghoa yang gembira atas pencabutan<br />

larangan tersebut. Warga Indonesia dari berbagai suku yang ada pun<br />

menyambutnya dengan suka cita. Di plaza museum Fatahillah Sabtu<br />

malam ini, misalnya, ribuan orang, tua muda, anak-anak, dewasa,<br />

laki-laki, perempuan, tumpah ruah memenuhi halaman museum. "Sudah<br />

lama saya ingin melihat pertunjukan barongsai langsung tapi tidak pernah<br />

kesampaian. Syukur sekarang bisa," kata Kiki, 27, warga asli Bogor, Jawa<br />

Barat.<br />

Banyak warga lainnya -<br />

baik keturunan Tionghoa<br />

maupun Melayu -<br />

menonton atraksi<br />

barongsai ini dengan<br />

penuh semangat. Mereka<br />

selalu mengikuti kemana<br />

para awak barongsai yang<br />

bergerak kesana kemari di<br />

pelataran museum.<br />

Pertunjukan barongsai dari<br />

Yayasan Bumi Khatulistiwa Jaya asal Tangerang, Jawa Barat disusul<br />

dengan atraksi lain: Liong (naga). Pertunjukan Liong ini bahkan terasa<br />

lebih menarik sebab para awaknya jauh lebih banyak. Kalau pertunjukan<br />

barongsai hanya berawak 6 orang, jumlah awak Liong mencapai 38 orang.<br />

Liong berwarna hijau yang diusung pun panjangnya mencapai 30 meter.<br />

Warga pun kembali mengikuti kemana Liong bergerak meski akhirnya<br />

menyusahkan Liong itu sendiri untuk mengadakan pertunjukan.<br />

Pelukis kenamaan Maria Tjoei secara khusus "turun gunung" dari<br />

sanggarnya di kawasan Puncak untuk mengabadikan suasana meriah di<br />

tengah udara cerah itu. Di tengah keramaian, terlihat Maria mencoba<br />

menuangkan suasana malam itu ke dalam kanvas berukuran 1 meter x 1,5<br />

meter. "Pokoknya saya melukis saja. Karena ini baru pertama kali,"<br />

katanya.<br />

Bersamaan dengan pertunjukan barongsai dan liong, atraksi lain pun<br />

digelar yakni gambang kromong dan tanjidor yang diadakan di atas<br />

panggung persis di depan pintu museum. Menurut Ketua Panitia<br />

Peringatan <strong>Imlek</strong>, Nico Rasidi, anggaran untuk acara ini mencapai Rp 52<br />

juta. Jumlah itu didapat dari iuran warga keturunan Tionghoa Jakarta<br />

Barat, hasil bazaar yang diadakan sebelumnya di Pancoran, Jakarta<br />

Selatan, dan sumbangan dari Pemda Jakarta Barat.<br />

Sekitar pukul 21:10 WIB, acara ini<br />

ditutup Walikota Jakarta Barat, namun<br />

para warga tidak langsung meninggalkan


tempat. Sebagian masih berharap ada<br />

pertunjukan lagi, sedang sebagian lagi<br />

duduk-duduk melepas lelah. Mungkin<br />

capek berjalan kesana kemari mengikuti<br />

barongsai dan liong yang terus bergerak.<br />

Tapi perayaan memang belum usai,<br />

tanggal 19 Februari mendatang<br />

perayaan <strong>Imlek</strong> ini akan kembali digelar<br />

di tempat yang sama dengan acara yang<br />

sama pula.<br />

Diperbolehkan lagi perayaan imlek<br />

secara terbuka, menurut sejarahwan UI, Parakitri Simbolon, adalah wujud<br />

pulihnya hak etnis Tionghoa yang selama Orde Baru diingkari. <strong>Pada</strong>hal<br />

dalam sejarah, kebudayaan etnis Tionghoa jelas turut memperkaya<br />

kebudayaan Indonesia, khususnya sastra-sastra Tionghoa di tahun 40-an.<br />

Dalam diskusi yang diselenggarakan Teater Utan Kayu di Jakarta, Jumat<br />

(4/2) malam, sejarahwan yang tidak setuju dengan pengelompokan etnis<br />

ini mengatakan bahwa tanpa campur tangan kekuasaan, etnisitas tidak<br />

akan jadi konflik. Justru sebaliknya, etnisitas akan muncul sebagai<br />

interaksi kultural yang artistik. Di mana pun dan apa pun bentuknya, ia<br />

akan muncul memperkaya maslahat manusia.<br />

Di kelenteng<br />

Suasana sembahyang pada<br />

hari pertama <strong>Imlek</strong>, yang<br />

jatuh pada hari Sabtu<br />

(5/2), di sejumlah<br />

kelenteng/vihara di DKI<br />

Jakarta, Tangerang,<br />

Bekasi dan Bogor, begitu<br />

juga Semarang dan<br />

Pontianak, berlangsung<br />

ramai tetapi tetap<br />

khusyuk.<br />

Di Kelenteng Petak 9, Jakarta Barat, misalnya, ribuan masyarakat yang<br />

merayakan <strong>Imlek</strong> ini datang silih berganti sejak pagi. Semua sudut tempat<br />

doa dipadati manusia-manusia yang semua membawa hio (dupa lidi) yang<br />

menyala. Tidak jarang api hio secara tidak sengaja mengenai lengan,<br />

leher, kepala, bahkan wajah orang lain, namun tidak pernah terjadi<br />

percekcokan sama sekali.<br />

Sementara di Semarang, beberapa kelenteng besar seperti Kelenteng<br />

Gedung Batu, Kelenteng Tae Koh She, Kelenteng Sio Hok Bio di<br />

Wotgandul, Kelenteng Tong Pik Bio, Kelenteng Hok Tek Ceng Sien di<br />

Gang Pinggir Kranggan, sejak Jumat malam hingga Sabtu siang dipenuh<br />

warga Tionghoa. Bahkan, di Kelenteng Gedung Batu Semarang, hingga<br />

Sabtu petang tidak putus-putusnya warga Tionghoa datang bersembayang<br />

di tempat tersebut.<br />

Di Pontianak, bahkan, guyuran hujan sejak Jumat petang tidak<br />

menyurutkan niat warga Tionghoa kota itu untuk bersuka cita. Bahkan<br />

Gubernur Kalbar, H Aspar Aswin, secara khusus menyampaikan pidato<br />

penyambutan <strong>Imlek</strong> 2551 yang ditayangkan melalui TVRI Stasiun<br />

Pontianak.<br />

Di Vihara Budha Dharma Bekasi, ribuan warga Tionghoa dan warga<br />

sekitar terlihat bergembira menikmati pertunjukan barongsai yang digelar<br />

di halaman vihara, Jumat (4/2) malam. Hujan rintik-rintik yang turun<br />

sejak sore tidak mengganggu pertunjukan yang lama tak pernah<br />

dipertontonkan itu. Gadis-gadis manis dan anak-anak dengan senang hati<br />

memasukkan angpau ke mulut barongsai yang menari lincah.<br />

Ferry, salah satu anggota panitia perayaan <strong>Imlek</strong> setempat menyatakan<br />

kegembiraannya bisa menampilkan kembali barongsai. "Kami hanya<br />

latihan dua minggu. Pemainnya macem-macem. Ada yang Buddha,<br />

Kristen, dan juga Islam," katanya. Dua dari 26 pemain yang malam itu<br />

memeriahkan perayaan tahun baru <strong>Imlek</strong> adalah warga asli Bekasi.<br />

Barongsai lebih besar akan digelar kembali pada malam Cap Go Meh 19<br />

Februari.


Di Bogor, kendati hujan turun sejak Jumat petang hingga tengah malam,<br />

tak mengurangi niat kalangan umat Budha dan Khonghucu datang<br />

bersembahyang di berbagai vihara di Bogor. Barongsai turut<br />

memeriahkan suasana.<br />

Keluarga keturunan<br />

Tionghoa di daerah-daerah<br />

pedesaan yang sehari-hari<br />

bertani seperti di daerah,<br />

Gunung Sindur, Ciseeng,<br />

Parung dan Ciampea<br />

tampak berjalan beriringan<br />

untuk berkunjung ke<br />

rumah-rumah familinya<br />

masing-masing dengan<br />

mengenakan baju baru.<br />

Juga tampak berdatangan<br />

keluarga mereka yang bekerja dan berusaha di Jakarta dengan<br />

menggunakan kendaraannya masing-masing.<br />

Sebagian besar toko di pusat-pusat kota Jakarta yang berpenduduk<br />

sebelas juta jiwa ini tutup, dan lalu lintas tidak seramai hari-hari biasanya.<br />

Aktivitas kemarin lebih sepi, juga karena <strong>Imlek</strong> jatuh pada akhir pekan di<br />

mana sebagian besar perusahaan atau pelaku bisnis biasanya memang<br />

meliburkan diri.<br />

Beberapa kawasan permukiman yang padat penduduk keturunan<br />

Tionghoa relatif lebih semarak dengan ditandai saling kunjung, sementara<br />

untuk kawasan pertokoan lebih sepi. Kawasan pertokoan, seperti<br />

Tamansari, Glodok, Manggadua, dan Roxy bahkan banyak yang libur.<br />

Sedangkan pertokoan Manggadua, Glodok, dan Roxy yang biasanya<br />

ramai dengan ditandai macetnya lalu lintas di sekitarnya, kemarin tampak<br />

lengang.<br />

Di Taman Impian Jaya Ancol, pengelola menghiasai jalan masuk dengan<br />

lentera merah kuning, umbul-umbul merah, serta menyeragamkan petugas<br />

tiketnya dengan kostum warna merah dan kuning menyala. Di Ancol dan<br />

Hotel Horison, pengelola tempat itu memasang spanduk besar bertuliskan<br />

Selamat <strong>Imlek</strong> 2551.<br />

Pengunjung Ancol banyak yang datang secara berombongan. Mereka<br />

menggelar tikar di bawah pohon sambil menikmati makanan yang mereka<br />

bawa dari rumah. "Ini saat yang tepat bagi kami untuk berkumpul.<br />

Saudara saya dari Kalimantan juga datang ke Jakarta," ujar Melly (46),<br />

ibu rumah tangga yang menikmati makanan bersama keluarga besarnya.<br />

Sedang di Bogor, beberapa kawasan bisnis tampak sepi. Toko-toko di<br />

pertokoan di Jalan Empang tampak tutup. Pemandangan yang sama<br />

tampak di pertokoan di Jalan Suryakencana dan Jalan Merdeka, sebagian<br />

besar tutup. Kalangan pemilik toko tersebut memerlukan bersilaturahmi<br />

bersama keluarga<br />

Di SOLO - Kesibukan perayaan <strong>Imlek</strong> di Sala mulai terlihat di Vihara Tin<br />

Kok Sie, Pasar Besar, dan Vihara Ko Tek Cun Ong, di Jalan Yos Sudarso.<br />

Mulai pukul 11.45 di kedua vihara tersebut silih berganti berdatangan<br />

masyarakat Tionghoa untuk bersembahyang meminta berkah pada Dewa<br />

Kwan Im. Akan tetapi toko-toko dan para pedagang golongan Tionghoa<br />

di sepanjang Jalan Coyudan, Singosaren, dan Pasar Klewer tetap<br />

melakukan aktivitas seperti biasa. Tidak ada kesan pada tahun baru harus<br />

tampil dengan pakaian baru. Hanya tradisi lama, dengan membagibagikan<br />

angpao, kali ini lebih semarak daripada tahun lalu. Sehari<br />

sebelumnya tersiar isu pada acara perayaan <strong>Imlek</strong>, yang menampilkan<br />

empat barongsai untuk keliling menghibur masyarakat, akan terjadi<br />

kerusuhan. Namun ternyata isu tersebut tidak terbukti. Pihak keamanan<br />

yang dibantu Kamra, sejak pukul 08.00 sudah siaga di pojok-pojok jalan,<br />

mengantisipasi segala kemungkinan. Munculnya barongsai dari Majelis<br />

Agama Khonghucu (Makin) yang keliling kota mengambil rute berlainan<br />

benar-benar mendapat sambutan hangat dari masyarakat, baik kalangan<br />

Tionghoa maupun lainnya. Hampir semua rumah yang akan dilalui<br />

barongsai digantungi angpao (bungkusan merah berisi uang). Bahkan,<br />

beberapa rumah menggantungkan tiga atau empat bungkusan merah.<br />

Ketua pimpinan barongsai Makin Sony Setiawan dan Welly Tandio


Wibowo dari Willy Interpress secara terpisah mengaku tidak menduga<br />

sambutan masyarakat sedemikian besar, sehingga empat barongsai yang<br />

ditampilkan merasa kewalahan melahap angpao yang digantungkan di<br />

depan pintu rumah.<br />

Akan Disumbangkan. Sampai petang kemarin, hasil perolehan angpao dari<br />

Makin dan Willy Interpress belum dihitung, baik jumlah bungkusannya<br />

(sampul) maupun total uangnya. ''Sebagian uangnya akan kita<br />

sumbangkan ke badan sosial,'' kata Welly. Sementara itu, sekitar 60 tamu<br />

di Lor In, hotel bintang lima termegah di Sala, tepat ''Hari Sincia''<br />

menikmati suguhan tarian barongsai. Untuk makan siang juga disajikan<br />

menu makanan khas <strong>Imlek</strong>, yu sheng. Masakan Tionghoa itu merupakan<br />

hidangan lezat yang terdiri atas ikan kerapu dengan saos khusus dan<br />

memiliki tujuh macam rasa, ditambah sayur kailan, tahu, dan nasi putih.<br />

''Sayang makanan yang lezat ini hanya dihidangkan satu tahun sekali,''<br />

kata salah seorang tamu seusai menikmati.<br />

Walaupun belum pulih seperti tahun 60-an, pesta rakyat kali ini secara<br />

meyakinkan dan tidak berlebihan merupakan kontribusi awal untuk<br />

tercapainya cita-cita kita bersama yaitu menuju Indonesia Baru, Indonesia<br />

yang demokratis, dengan memberikan penghargaan yang tinggi terhadap<br />

Hak Azasi Manusia.<br />

Semua itu telah lama diteriakkan oleh kawan-kawan mahasiswa, para<br />

pejuang demokrasi dan HAM. Berikut ini kami kutip lagu-lagu yang<br />

sering dinyanyikan oleh kawan-kawan mahasiswa sebagai parlemen<br />

jalanan, penjaga cita-cita bangsa yang setia terhadap nasib bangsanya.<br />

Bergerak dan bersatu, menuju Indonesia Baru<br />

Singsingkan lengan baju, tegakkan cita-cita itu.<br />

<strong>Rakyat</strong> pasti menang, melawan penindasan.<br />

<strong>Rakyat</strong> bersatu pasti menang!<br />

Gong Xi Fa Cai Bangsaku<br />

Solidaritas Pemudi-Pemuda Tionghoa Indonesia untuk Keadilan/<br />

Indonesia Media

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!