Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
NASIONAL [ GATRA Printed Edition ]<br />
<strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> Braille<br />
<strong>Taman</strong> <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> <strong>Para</strong> <strong>Tunanetra</strong><br />
Usai salat magrib, Irwan Sugema mengambil sebuah buku tebal di depannya. Jarinya dengan cepat menyusuri permukaan<br />
kertas yang dipenuhi bintil kecil. Suara merdunya mengalunkan ayat-ayat <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong>.<br />
Irwan adalah salah satu santri tunanetra yang mondok di Yayasan Raudlatul Makfufin (YRM), yang berlokasi di Ciputat,<br />
Tangerang. Yayasan itu khusus mengajarkan baca <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> pada tunanetra. Irwan, 27 tahun, sudah mondok selama 11<br />
tahun sehinga fasih membaca <strong>Quran</strong> dengan huruf braille.<br />
"Awalnya susah karena makhroj bahasa Arab beda dengan huruf braille biasa," kata Irwan. Setiap hari, habis magrib<br />
sampai isya, ia bersama santri yang lain mengikuti kelas yang diadakan yayasan. Ustadnya adalah pengurus yayasan<br />
sendiri.<br />
Sebagian kitab <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> yang digunakan pesantren ini sudah diubah ke huruf braille. Pada saat ini, di YRM terdapat<br />
delapan santri yang mondok tetap dan puluhan santri ngalong (datang dan pergi). Acara pengajian bersama diadakan<br />
seminggu sekali, tiap Minggu pagi.<br />
Kalau lagi penuh, jumlah tunanetra yang hadir bisa mencapai 20 orang lebih. Santri tunanetra itu datang dari berbagai<br />
penjuru Jakarta, bahkan ada yang datang dari Bekasi. Santri dari luar Jawa juga ada. Misalnya Indaryono, 14 tahun, dari<br />
Bengkulu.<br />
Di kampung halamannya, Indaryono pernah belajar membaca <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> dari seorang ustad yang juga tunanetra. Tapi di<br />
sana <strong>Al</strong> <strong>Quran</strong> braille susah didapat. Atas saran kepala SLB-nya, bocah pemalu ini akhirnya berangkat ke Jakarta. Ia<br />
melanjutkan pendidikan di SMPLB (sekolah menengah pertama luar biasa) sekaligus jadi santri di yayasan.<br />
Semua santri tetap di YRM paginya memang bersekolah umum di luar. Irwan, misalnya, bahkan bergelar sarjana sosial<br />
dari Universitas Muhammadiyah Jakarta. "Saya baru lulus. Sekarang masih nyari pekerjaan," katanya.<br />
Terakhir ia sempat dipanggil tes wawancara di sebuah stasiun TV swasta, untuk posisi operator telepon. Tapi belum ada<br />
panggilan lebih lanjut. "Kayaknya sih nggak diterima, tapi ya ngga apa-apa, yang penting coba lagi," Irwan menambahkan.<br />
Pada saat berbincang dengan Gatra, sedikit pun tidak ada kesan rendah diri karena kebutaannya. Meski sekarang masih<br />
menganggur, Irwan tetap yakin akan bisa mendapat pekerjaan yang layak. "Saya sih orangnya tidak khawatiran. Yang<br />
penting berusaha maksimal," katanya sembari tersenyum.<br />
Sikap sabar Irwan dalam menghadapi sulitnya mencari pekerjaan bagi tunanetra itu hanya potret kecil mentalitas santri<br />
YRM. Apalagi Irwan tidak buta sejak lahir. Dulu ia sempat melihat indahnya dunia. "Saya buta sejak usia 14 tahun, kena<br />
sakit. Awalnya mata kiri dulu, terus yang kanan juga kena," ujarnya kalem.<br />
Ketua Yayasan, Nur Kholiq, 40 tahun, menjelaskan bahwa para santri YRM memang dibimbing untuk menerima takdir<br />
kebutaan itu dengan ikhlas. Nur yang alumnus Institut Ilmu <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> ini bahkan mengatakan bahwa kebutaan itu jangan<br />
dianggap sebagai bencana. Sebaliknya, justru anugerah dari <strong>Al</strong>lah.<br />
"Sebab dengan mata itu kita berbuat dosa, misalnya melihat sesuatu yang haram. Dengan buta, bisa terhindar dari dosa,"<br />
katanya. Malam itu, ketika Gatra berkunjung, jadwal pelajaran adalah ilmu hadis. Ustadnya adalah Muhyi Chairuddin, 40<br />
tahun, pengurus yayasan yang bekerja sebagai guru agama di sebuah SMP swasta.<br />
Dia ikut merancang "kurikulum" kelas sehabis magrib untuk para santri. Kitab yang dipakai, antara lain, Fiqih Islam karya<br />
Sulaiman Rasyid dan kitab klasik Bulughul Marram untuk ilmu hadis. "<strong>Para</strong> santri itu harus tetap belajar agama karena itu<br />
kewajiban. Meski buta dunia, jangan sampai buta akhirat," ujarnya.<br />
Raudlatul Makfufin memang sudah terkenal sebagai tempat belajar agama para tunanetra. Yayasan ini sebenarnya sudah<br />
cukup tua. Ia didirikan pada tahun 1983 oleh Halim Soleh (almarhum), seorang tunanetra yang juga guru agama.<br />
Pemberian nama yayasan juga bermula dari visi Halim agar para tunanetra bisa mendapat pelajaran agama. "Raudlatul<br />
Makfufin dari bahasa Arab, artinya taman tunanetra," kata Nur Kholiq.
Nur adalah salah satu generasi awal pengurus yayasan. Pada 1983, bersama Halim, ia ikut merasakan susahnya<br />
mendapatkan fasilitas untuk membantu tunanetra mendapatkan buku-buku agama. Pada waktu itu, mendapatkan <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong><br />
braille sangat sulit, karena jumlahnya sangat terbatas.<br />
Akhirnya, yang dilakukan Halim hanyalah membuka kelas mengaji di rumahnya di kawasan Pulogadung, Jakarta Timur.<br />
"Pada waktu itu, anak-anak tunanetra yang datang banyak, sampai penuh," kata Nur mengenang.<br />
Petolongan <strong>Al</strong>lah datang tahun 1992. Halim memberanikan diri menghadap Menteri Agama, yang ketika itu dijabat Munawir<br />
Sadjali, meminta bantuan tempat karena rumahnya sudah tidak muat lagi menampung anak-anak mengaji. Permintaannya<br />
disetujui.<br />
Departemen Agama (Depag) kemudian memberikan sebuah tempat seluas 700 meter persegi di Jalan Pisangan, Ciputat.<br />
Tempat sekaligus bangunan itulah yang menjadi lokasi yayasan hingga kini. "Jadi, tanah dan bangunan ini milik Depag.<br />
Kami hanya menumpang pakai," kata Nur.<br />
Titik terang untuk mendapatkan <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> akhirnya datang pada 1997. Ketika itu, yayasan berhasil mendapat <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> braille<br />
terbitan Bandung. Agar nanti bisa diperbanyak, diputuskan untuk menyalin <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> braille versi hard copy itu ke dalam file<br />
komputer.<br />
Upaya penyalinan <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> ke versi digital itu makan waktu dua tahun. "Kenapa bisa selama itu, karena kekurangan tenaga<br />
operasional," ujar Zainal Abidin, 32 tahun, pengurus yayasan yang pada waktu itu menjadi tim tukang ketik.<br />
Zainal menjelaskan bahwa sejak awal berdiri, pengurus yayasan tidak pernah digaji. Mereka kerja bakti di yayasan,<br />
membantu para tunanetra, semata-mata lillahi ta'ala. Program penyalinan <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> berjalan lambat karena pengurus juga<br />
harus mencari nafkah di luar.<br />
Kebiasaan itu masih berlaku sampai sekarang. Zainal, misalnya, sehari-hari mencari nafkah dengan bekerja di sebuah<br />
LSM. Sedangkan Nur, ketua yayasan, selain sebagai ustad, adalah seorang pedagang barang rongsok. "Selain itu, ada<br />
masalah teknis. Komputernya cuma satu," Zainal menambahkan.<br />
Dengan segala ketebatasan itulah upaya penyalinan <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> braille ke versi digital dilakukan. Tapi akhirnya selesai juga.<br />
Bukan cuma bahasa Arabnya, melainkan sekaligus terjemahanya. Dan tahun 1999, berkat bantuan sponsor, yayasan bisa<br />
memperoleh mesin cetak sendiri.<br />
Pencetakan <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> braille pun dimulai. Selain untuk memenuhi kebutuhan internal para santri, <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> braille versi<br />
Raudlatul Makfufin --sudah ditashih oleh Depag-- juga dijual untuk umum. "Harganya sekitar Rp 1,2 juta per set," Nur<br />
menjelaskan.<br />
Perbedaan antara <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> biasa dan versi braille memang pada jumlah bukunya. Satu buku tebal <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> braille hanya<br />
berisi 1 juz <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> biasa. Jadi, total 30 juz <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong>, kalau diubah ke dalam huruf braille, akan menjadi 30 buku, yang tiap<br />
buku saja tebalnya mencapai 5-6 sentimeter.<br />
Itu karena huruf braille harus dicetak besar-besar agar bisa teraba tangan. <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> braille ini sudah mencakup<br />
terjemahannya. Karena itulah, Raudlatul Makfufin tidak mencetak <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> braille banyak-banyak, melainkan secukupnya<br />
saja. Biaya produksinya terlalu mahal.<br />
Mereka hanya mencetak berdasarkan pesanan. Bahkan, kalau ada yang hendak membeli langsung <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> braille ke<br />
yayasan, si calon pembeli diharapkan membayar lebih dulu. "Tapi kami juga pernah dapat order. Pernah ada toko buku<br />
yang pesan <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> braille dari kami sampai 30 buah," ujar Nur.<br />
Sejak program komputerisasi tahun 1999, Raudlatul Makfufin sudah mencetak 500 lebih <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> braille pesanan Depag<br />
untuk didistribusikan ke seluruh Indonesia. "Tapi jumlah itu masih kurang karena pada saat ini diperkirakan terdapat 3 juta<br />
tunanetra di Indonesia," ia menambahkan.<br />
Pertengahan tahun lalu, upaya pengadaan <strong>Al</strong>-<strong>Quran</strong> braille secara massal kembali dilakukan lewat program "Sejuta <strong>Al</strong>-<br />
<strong>Quran</strong> Braille". Program itu diluncurkan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. "Meski sebenarnya yang kami cetak jumlahnya tidak<br />
persis sampai sejuta set," kata Nur.<br />
Basfin Siregar<br />
[Astakona, Gatra Nomor 39 Beredar Kamis, 9 Agustus 2007]
URL: http://www.gatra.com/2007-08-24/versi_cetak.php?id=107156