11.07.2015 Views

Vol. X No. 1 Juni 2006 - USUpress - Universitas Sumatera Utara

Vol. X No. 1 Juni 2006 - USUpress - Universitas Sumatera Utara

Vol. X No. 1 Juni 2006 - USUpress - Universitas Sumatera Utara

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

ISSN 1410-6434INFO KESEHATAN MASYARAKAT <strong>Vol</strong>ume X, <strong>No</strong>mor 1, <strong>Juni</strong> <strong>2006</strong>, Halaman 1 – 100Terakreditasi <strong>No</strong>. 26/DIKTI/Kep/2005HASIL PENELITIANPerilaku Ibu-Ibu Siswi Sekolah Dasar Kelas VI mengenai Informasi Seksualitas di SD Harapan 3 (1 – 5)Asfriyati, Sri Rahayu Sanusi, dan Abdul Jalil A.A. (Staf Departemen Kependudukan dan Biostatistika FKM USU)Perbedaan Pemeriksaan Sitologi Pap Smear dengan PCR Infeksi HPV 16/18 serta Faktor Determinanpada Ibu Rumah Tangga di Surabaya (6 –12)Chatarina Umbul Wahyuni (Staf Departemen Epidemiologi FKM Unair)Aggregate Health Care Expenditure in Malaysia: Evidence from Cointegration Tests (13 –17)Destanul Aulia (Staf Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM USU)Persepsi Kepala Puskesmas tentang Surveilans Epidemiologi (18 – 22)Ida Yustina dan Heldy B.Z. (Staf Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM USU)Strategi Pencegahan Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue (DBD) melalui PendekatanFaktor Risiko di Kota Medan Tahun 2005 (23 – 31)Irnawati Marsaulina S. dan Arlinda Sari Wahyuni (Staf Departemen Kesehatan Lingkungan FKM USU dan StafDepartemen IKM/IKK/IKP FK USU)Pemanfaatan Kitosan dari Kulit Udang sebagai Membran Hemodialisa (32 – 37)Jamaran Kaban, Hakim Bangun, dan Daniel (Staf Departemen Kimia FMIPA USU, Staf Departemen FarmasiFMIPA USU, dan Staf Departemen Kimia FMIPA <strong>Universitas</strong> Mulawarman)Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara Pemberian Pangan terhadap Respons Glikemik padaSubyek Obes dan <strong>No</strong>rmal (38 – 47)Rimbawan, Hidayat Syarief, Darwin Dalimunthe, dan Albiner Siagian (Staf Departemen Gizi MasyarakatFakultas Ekologi Manusia IPB, Staf Departemen Gizi FK USU, dan Staf Departemen Gizi Kesehatan MasyarakatFKM USU)Analisis Komparasi Pelaksanaan Undang-Undang dan Peraturan Uap Tahun 1930 pada PerusahaanSektor Industri Pengolahan dan Pertanian (Pabrik Kelapa Sawit) Pemakai Pesawat Uap di Provinsi<strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> Tahun 2005 (48 – 56)Salomo Perangin-angin dan Gerry Silaban (Staf Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>dan Staf Departemen Kasehatan dan Keselamatan Kerja FKM USU)Uji Coba Model Perubahan Perilaku Masyarakat terhadap Flu Burung (Studi Kasus di KelurahanHarjosari I, Kecamatan Medan Amplas, Medan) (57 – 65)Fotarisman Zaluchu (Peneliti pada Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>)Pembentukan Standar Harga Baru Askesos dengan Peningkatan Pangsa Pasar (66 – 73)Destanul Aulia (Staf Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM USU)i


TINJAUAN PUSTAKAEvaluasi Penerapan Sikap Kerja 5-S dalam Meningkatkan Produktivitas Perusahaan di PT ABC Tahun2005 (74 – 81)Eka Lestari Mahyuni (Staf Departemen Kasehatan dan Keselamatan Kerja FKM USU)Waspadai Ancaman Filariasis (82 – 85)Heldy B.Z. dan Ida Yustina (Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM USU)Mengenal Nyamuk Aedes Aegypti Vektor Demam Berdarah Dengue (86 – 89)Wirsal Hasan (Departemen Kesehatan Lingkungan FKM USU)Tinjauan Farmakologis Obat-Obat Analgesik untuk Rasa Nyeri (90 – 97)Aswaidar Suleman (Dosen Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Departemen Kesehatan RI Medan)Apakah Upah Minimum Provinsi sebagai Upah Standar? (98 – 100)Lina Tarigan (Staf Departemen Kasehatan dan Keselamatan Kerja FKM USU)ii


HASSIILL PPEENEELLIITTIIANPERILAKU IBU-IBU SISWI SEKOLAH DASAR KELAS VIMENGENAI INFORMASI SEKSUALITAS DI SD HARAPAN 3Asfriyati, Sri Rahayu Sanusi, dan Abdul Jalil A.A.Departemen Kependudukan dan BiostatistikaFakultas Kesehatan Masyarakat <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>Jl. <strong>Universitas</strong> <strong>No</strong>. 21 Kampus USU Medan, 20155ABSTRACTThe open communication and informatioan todays tends to increase themisunderstanding of adolescences about sexuality. Parents are so central insubmitting informations about sexualitity to their childs. This research wereaimed to know the knowledge, attitude and practice of mothers about transfer ofinformation about sexual education to their childs. The sample of thisdescriptive research were mothers having schoolgirl of grade four of SDHarapan 3. The result showed that most of mothers had good knowledge aboutsexual education (70%). All mothers had good attitude obout sexual education.Also, all mothers have ever transferred the information about sexuality andmenstruation to their girls. Based on this findings, It is important to increase theunderstanding of mothers about sexual information and to improve their abilityin communicating such information to their girls.Keywords: Sexual education, Adolescence, SchoolgirlPENDAHULUANRemaja adalah masa peralihan antaratahap anak dan dewasa yang jangkawaktunya berbeda-beda tergantung faktorsosial dan budaya. Cirinya adalah alatreproduksi mulai berfungsi, libido mulaimuncul, intelegensi mencapai puncakperkembangannya, emosi sangat labil,kesetiakawanan yang kuat terhadap temansebaya dan belum menikah. Kondisi yangbelum menikah menyebabkan remaja secarasosial budaya termasuk agama dianggapbelum berhak atas informasi dan edukasiapalagi pelayanan medis untuk kesehatanreproduksi (Sarlito, 1998). Dengan masuknyaremaja ke dalam dunia hubungan sosial yangluas maka mereka tidak saja harus mulaiadaptasi dengan norma perilaku sosial tetapijuga sekaligus dihadapkan denganmunculnya perasaan dan keinginan seksual(Djoko Hartono, 1998).Dengan terbukanya arus komunikasidan informasi serta munculnya doronganseksual maka remaja juga dihadapkan padahal-hal yang mendorong keingintahuannyaakan pengalaman seksual.Perubahan-perubahan kondisi sosialyang diperkirakan berdampak pada perilakuseksual di kalangan remaja meliputi adanyapercepatan arus urbanisasi, masa awalpubertas yang lebih cepat dan melintasibatas-batas budaya. Perubahan sosial tersebutmenyebabkan semakin banyaknya remajayang melakukan hubungan seks pranikahpada usia dini (WHO, 1993).Berdasarkan penelitian yang dilakukanterhadap 27 SMU yang berada di KotamadyaMedan pada tahun 1997 ditemui 85,2% tidakmempunyai pengetahuan yang cukup tentangkesehatan seksual (Yusniwarti & HenryWaluyo,1997).Berdasarkan penelitian yang dilakukandi Jakarta terdapat 30 – 60% remaja yangpernah melakukan seksual tidak mempunyaipengetahuan tentang AIDS (Kelana & IrwanE. Siregar, 1998). Padahal hubungan seksualmerupakan salah satu media penularan AIDSyang paling besar. Dari data di DirektoratJenderal Pencegahan Penyakit Menular dan1


HASIL DAN PEMBAHASANGambaran Karakteristik RespondenTabel 1. Distribusi responden berdasarkankarakteristikKarakteristik n %Umur1. < =35 tahun2. > 35 tahun4 13,326 86,7Total 30 100,0Pendidikan1. Rendah2. Sedang3. Tinggi-1515-50,050,0Total 30 100,0Pekerjaan1. Bekerja2. Tidak bekerja6 20,024 80,0Total 30 100,0Jumlah anak1. 2 orang18 60,012 40,0Total 30 100,0Dari tabel di atas dapat dilihat bahwaresponden banyak pada usia di atas 35 tahun(86,7%), dengan pendidikan hampir samamenengah (SMU) dan tinggi (D3 dan PT).Sebagian besar responden adalah ibu rumahtangga (80%) dan memiliki anak lebihbanyak yang kurang atau sama dengan 2orang saja.Pengetahuan Mengenai InformasiSeksualitas tentang MenstruasiTabel 2. Distribusi responden berdasarkanpengetahuan mengenai menstruasiPengetahuan n %BaikSedangBuruk219-70,030,0-Total 30 100,0Dari tabel di atas diketahui bahwapengetahuan responden lebih banyak yangbaik yaitu 70%.Sikap Mengenai Informasi Seksualitastentang MenstruasiTabel 3. Distribusi responden berdasarkan sikapmengenai menstruasiSikap n %BaikSedangBuruk30--100,0--Total 30 100,0Dari tabel di atas diketahui seluruhresponden memiliki sikap yang baik terhadapinformasi menstruasi.Tindakan Mengenai Informasi Seksualitastentang MenstruasiTabel 4. Distribusi responden berdasarkantindakan mengenai menstruasiTindakan n %PernahTidak Pernah30-100,0-Total 30 100,0Dari tabel di atas diketahui bahwaseluruh responden memiliki tindakan yangpernah memberikan informasi tentangmenstruasi kepada anak wanitanya.Pengetahuan mengenai informasiseksualitas tentang menstruasi berdasarkanumur.Tabel 5. Distribusi pengetahuan respondenmengenai seksualitas berdasarkan umurUmurPengetahuanBaik Sedang Burukn % n % n %< = 35tahun> 35 tahun41713,356,7-9-30Total 21 70 9 30 - -Dari tabel di atas diketahui bahwaresponden yang berumur lebih dari 35 tahunmempunyai tingkat pengetahuan yang baiksebanyak 56,7% sedangkan yang berumur dibawah 35 tahun sebanyak 13,3 % yang baik.Pengetahuan Mengenai Informasi Seksualitastentang Menstruasi Berdasarkan PendidikanTabel 6. Distribusi pengetahuan respondenmengenai seksualitas berdasarkanpendidikanPendidikanPengetahuanBaik Sedang Burukn % n % n %RendahSedangTinggi-813-26,743,3-72-23,36,7------Total 21 70 9 30 - -Dari tabel di atas reponden yangmempunyai pendidikan yang sedangmempunyai pengetahuan yang baik sebesar26,7% sedangkan berpendidikan yang tinggi43,3% berpengetahuan yang baik.----Perilaku Ibu-Ibu Siswi Sekolah Dasar (1 – 5)Asfriyati, Sri Rahayu Sanusi, dan Abdul Jalil A.A.3


Pengetahuan Mengenai Informasi Seksualitastentang Menstruasi Berdasarkan PekerjaanTabel 7. Distribusi pengetahuan respondenmengenai seksualitas berdasarkanpekerjaanPekerjaanPengetahuanBaik Sedang Burukn % n % n %BekerjaTidak Bekerja6152050-9-30----Total 21 70 9 30 - -Dari tabel di atas responden yangbekerja ternyata pengetahuan mengenaiseksualitas sebesar 20% sedangkan yangtidak bekerja sebanyak 50% mempunyaipengetahuan yang baik.Pengetahuan Mengenai Informasi Seksualitastentang Menstruasi Berdasarkan Jumlah AnakTabel 8. Distribusi pengetahuan responden mengenaiseksualitas berdasarkan jumlah anakJumlahPengetahuananak Baik Sedang Burukn % n % n %< = 2 orang 12 40 6 20 - -> 2 orang 9 30 3 10 -Total 21 70 9 30 - -Dari tabel di atas diketahui yangmemiliki anak kurang atau sama dengan duamempunyai pengetahuan yang baik 40%sedangkan yang lebih dari 2 anakmempunyai pengetahuan yang baik 30%.Demikian pula pada pengetahuan yangsedang yang memilki anak lebih dari 2%adalah sebanyak 10%.PembahasanBerdasarkan hasil penelitian sebagianbesar ibu-ibu mempunyai pengetahuan yangbaik tetapi perincian mengenai informasimenstruasi masih belum semuamengatahuinya seperti proses menstruasisecara benar, akibat terhadap kesehatan. Jikadilihat dari pendidikan ternyata sebagianbesar memiliki tingkat pendidikan yangsedang dan tinggi. Hal ini sangatberpengaruh terhadap wawasan si ibu.Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorangakan mempengaruhi pengetahuan seseorangkarena luasnya wawasan yang dimiliki.Sikap responden juga ternyataseluruhnya baik, hal ini didukung olehpernyataan mereka yang setuju untukmemberikan informasi sedini mungkin. Dantidak semua responden merasa tabu untukmenginformasikan seksualitas kepadaanaknya. Selain orang tua peran pihaksekolah terutama guru juga menjadi hal yangpenting untuk menginformasikan informasitentang seksualitas terutama menstruasikepada anak.Dalam hal tindakan juga seluruhreponden telah pernah memberikan informasikepada anaknya dengan alasan agar anaknyatidak terkejut ketika mengalami menstruasidan akan memahami kejadian yang ada padadirinya.KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan1. Pengetahuan ibu-ibu siswi kelas VIsebagian besar adalah baik yaitu 70%,namun mengenai masih ada pengetahuanyang sedang di mana responden kurangmengatahui secara mendalam mengenaiinformasi seksualitas.2. Sikap ibu-ibu siswi kelas VI seluruhnyabaik (100%).3. Seluruh ibu-ibu siswi telah pernahmemberikan informasi seksualitastentang menstruasi kepada siswinya.Saran1. Perlu ditingkatkan pengetahuan ibu-ibuagar lebih mengerti tentang informasiseksualitas terutama proses dan efekterhadap kesehatan kepada anak jikaterjadi menstruasi.2. Perlunya pihak sekolah untuk memberikaninformasi mengenai seksualitas khususnyamengenai menstruasi kepada siswi.DAFTAR PUSTAKAAbdurrahman Wahid dkk., 1996, KesehatanReproduksi Dan Ketimpangan Gender,PT Penerbit Swadaya, Jakarta.Dadang Sulaeman Dr., 1995, PsikologiRemaja Dimensi-dimensi Perkembangan,Mandar Maju, Bandung.Djoko Hartono, 1998, Perilaku SeksualRemaja dan Persepsi Mereka tentangpendidikan Seksualitas di SekolahBuku Program dan Kumpulan AbstrakJaringan epidemiologi Nasional VIII,Denpasar.4Perilaku Ibu-Ibu Siswi Sekolah Dasar (1 – 5)Asfriyati, Sri Rahayu Sanusi, dan Abdul Jalil A.A.


Graeff Judith A, dkk., 1996, KomunikasiUntuk Kesehatan dan PerubahanPerilaku, Gadjah Mada UniversityPress, Yogyakarta.J. Supranto, MA, 1998, Teknik Samplinguntuk Survei dan Eksperimen, RinekaCipta, Jakarta.Kartono Muhammad, Dr, 1998, KontradiksiDalam Kesehatan Reproduksi, PTSinar Agape Press, Jakarta.MD Mukhotib, 1998, Perilaku SeksualRemaja Santri, Buku Program danKumpulan Abstrak Jaringan EpidemiologiNasional, Denpasar.Purnawan Junadi, dr PhD, 1995, Pengantaranalisis Data, Rineka Cipta, Jakarta.Rosalia Sciortino,1999, Menuju KesehatanMadani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.Sarlito Wirawan Sarwono, 1998, Kesehatanreproduksi remaja, Buku program danKumpulan abstrak JaringanEpidemiologi Nasional, Denpasar.Sarlito Wirawan Sarwono, 2001, PsikologiRemaja, PT, Raja Grafindo Persada,Jakarta.Soekidjo <strong>No</strong>topatmodjo, Dr., 2002, MetodologiPenelitian Kesehatan, Rineka cipta,Jakarta.Yusniwarti Yusad & Henry Waluyo, 1998,Sikap dan Pendapat Kepala sekolahMenegah umum terhadap Pendididkanseksualitas bagi pelajar SMU di KodyaMedan, Buku program dan kumpulanabstrak jaringan epidemiologi nasional,Denpasar.Perilaku Ibu-Ibu Siswi Sekolah Dasar (1 – 5)Asfriyati, Sri Rahayu Sanusi, dan Abdul Jalil A.A.5


HASSIILL PPEENEELLIITTIIANPERBEDAAN PEMERIKSAAN SITOLOGI PAP SMEAR DENGANPCR INFEKSI HPV 16/18 SERTA FAKTOR DETERMINAN PADAIBU RUMAH TANGGA DI SURABAYAChatarina Umbul WahyuniDepartemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UnairKampus C Unair, Jl. Mulyorejo Surabaya, 60115ABSTRACTCervical cancer is one of the most common malignancies and the secondworldwide leading cause of death from cancer among women. Enormous studieshave been performed to determine the etiologic agents of cervical cancer and theirroles in cervical carcinogenesis. However, in last two decades a strong correlationbetween Human Papillomavirus (HPV) infection and cervical cancer has beenestablished and the role of HPV as the etiologic agent of cervical cancer has beenaccepted widely. The high risk HPV type which commonly correlate withmalignancies as types 16 and 18. Despite numerous investigations, the pathogenesisof HPV infection incausing cervical cancer is still not clearly understood. Thepurpose of the research is to analyze the differences of HPV infection between Papsmear and PCR examination with determinant factors in Housewife at Surabaya.This research is crossectional study with 75 women who have married more than 15years old as sample. Pap smear and PCR examination with disposable kits were usedfor HPV DNA 16/18 identification. Knowing the determinant factors were usedquestioner. The data were analyzed by Chi square test and Regression Logistic. Theresult of the study showed that Means of housewife ages was 38.2 + 9.9 years. Mostof housewives with age between 26-35 years old (58.7%) had risk to be infectedHPV 16/18 infection 2.5 time than housewife with age less than 25 years old. Mostof housewife with HPV infection by pap smear test (99,5%) got positive HPVinfection by PCR with type HPV 16, only one person got double type with HPV 18.The risk Housewife with poor personal genital hygiene was 1.89 times higher thanhousewife with good personal genital hygiene. Based on the research, it is suggestedthat housewives enhance the personal genital hygiene and have early diagnosis ofcervical cancer, and take pap smear routinely. If possible, also they undergo PCRexamination for specific type of HPV infection.Keywords: HPV 16/18 in housewife, PCR, Pap smearPENDAHULUANHuman Papilloma Virus (HPV) adalahpenyebab infeksi kondiloma akuminata yangditularkan melalui hubungan seksual.Adanya agen penyakit menular seksual inididuga memegang peranan penting dalamkarsinogenesis. Hal ini diungkapkan pertamakali oleh Zur Hausen pada tahun 1976 yangmengarahkan peranan dari Human PapillomaVirus pada patogenesis dari kanker serviksuteri dan lagi didapatkannya koilositosis padakondiloma akuminata (genital warts)maupun pada lesi displasia serviks uteri(Meisels & Morin, 1981). Karena kondilomaakuminata disebabkan oleh HumanPapilloma Virus, maka terkesan bahwa HPVterlibat dalam karsinogenesis serviks uterijuga. Dan sekarang dipercaya bahwa infeksidengan tipe onkogenik HPV adalah salahsatu faktor terpenting dalam perkembangankanker serviks uteri (Zur Hausen,1989;1991).Polymerase Chain Reaction (PCR)telah terbukti sebagai suatu metode yangsangat sensitif untuk menunjukkan adanya6


Human Papilloma Virus pada spesimenjaringan. Metode PCR ini telahdipresentasikan untuk deteksi tipe spesifikdari HPV DNA (Mc Nicol et al., 1992; Bauerand Minos, II 1993).Kajian-kajian molekuler danbiokimiawi secara meyakinkan mendukunghubungan antara HPV dan kanker serviksuteri, ini terbukti dengan adanya HPV yangtelah terdeteksi dalam lebih dari 90% kankerserviks uteri dengan tipe pre dominan adalahtipe HPV 16 (Meanwell, 1981; Resnick etal., 1990, Yoshikawa et al., 1991).Beberapa faktor dikaitkan denganpeningkatan deteksi HPV dalam hubungannyadengan perilaku seksual, seperti umur pertamakali melakukan hubungan seksual, riwayatpenyakit menular seksual, besarnya jumlahpasangan seksual, rendahnya pendidikan danstatus sosial ekonomi, penggunaankontrasepsi oral, kehamilan dan merokok(Laurent, 1985; Mc Nicol et al., 1990;Parazzini et al., 1992; Bauer et al., 1993),tetapi laporan tentang hubungan ini tidakkonsisten di antara para peneliti.Koutsky et al. (1992) pada studikohort melaporkan pada wanita sebelumfollow up dengan sitologi normal didapatkan28% dengan HPV positif, pada smear serviksuteri berkembang menjadi NIS (neoplasiaintraepithelial servikal) III, sebaliknya hanya3% wanita dengan smear negatifberkembang menjadi NIS III setelah 2 tahun.Perbedaan variasi prevalensi tipespesifik HPV ini tergantung pada parametergeografik (Meanwel, 1987), sexualbehaviour, Demografi, dan sosiologi yangberbeda (Agorastos, 1995). Hal ini terlihatpada tingginya prevalensi infeksi HPV padawanita tuna susila 6,13% dan tertinggigolongan high risk HPV 16/18 (Gitsch-G,1991). Pada wanita dengan pasangan seksualmultiple yang berkunjung ke Poli PMS diBelanda didapatkan HPV 16/18 sebesar1,8%, sedangkan di Indonesia angkaprevalensi tipe spesifik HPV belum ada.Dengan ditemukannya tipe spesifikHPV 16/18 pada serviks uteri normal dankanker serviks uteri memberi kesan adanyahubungan antara HPV dan kanker serviksuteri sehingga Ley et al. (1991)menganjurkan untuk meneliti lebih lanjutsecara epidemiologi adanya faktor risikospesifik pada tipe onkogenik HPV 16/18tersebut. Untuk itu permasalahan yang akandikaji dalam penelitian ini adalah:bagaimanakah perbedaan pemeriksaansitologi Pap Smear dengan PCR infeksi HPV16/18 serta faktor determinan pada ibu rumahtangga (IRT) di Surabaya?Tujuan UmumSecara umum penelitian ini bertujuanuntuk menganalisis perbedaan angkakejadian infeksi HPV 16/18 denganpemeriksaan Pap Smear dan PCR sertafaktor determinannya pada ibu rumah tangga.Tujuan Khusus1. Mempelajari dan menganalisis perbedaanangka kejadian HPV 16/18 denganpemeriksaan Pap Smear dan PCR padaIRT.2. Mempelajari dan menganalisis faktorsosio demografi, faktor perkawinan,faktor perilaku seksual, dalamhubungannya dengan kejadian infeksiHPV 16/18 pada IRT.3. Mempelajari dan menganalisis faktorfaktorhigiene genital perorangan yangberpengaruh terhadap terjadinya infeksiHPV 16/18 pada IRT.4. Membentuk model persamaanprobability untuk terinfeksi HPV 16/18.Manfaat PenelitianDapat membantu dalam upayapencegahan timbulnya kanker serviks uteripada ibu rumah tangga agar lebih diniterdeteksi infeksi Human Papilloma Virussampai pada tipe spesifiknya.METODE PENELITIANPenelitian Cross Sectional denganrancang bangun observasional analitik.Sampel yang diambil dari wanita yangdengan usia kawin lebih dari 15 tahun danpernah melakukan hubungan seksual. Besarsampel 75 orang dan cara pengambilansampel dengan multistage sampling.Variabel yang diteliti adalah Faktorsosio demografi meliputi umur, pendidikan,pekerjaan, pendapatan, umur pertama kalikawin, jumlah paritas, jumlah pasanganseksual, penggunaan kontrasepsi oral,higiene genital perorangan, umur pertamakali melakukan hubungan seksual, frekuensimelakukan hubungan seksual, lama telahmelakukan hubungan seksual.Perbedaan Pemeriksaan Sitologi (6 – 12)Chatarina Umbul Wahyuni7


Penelitian dilakukan di 3 kelurahan diKotamadya Surabaya Provinsi Jawa Timur.Sampel dari serviks diambil dalam 2 sampeluntuk tiap responden dengan menggunakaninform concern sebelumnya. Sampel pertamauntuk pemeriksaan Pap Smear di manainstrumen spekulum plastik, sarung tangan,tempat fixaxi, object glass dan deck glassdalam kondisi disposible yang disiapkanfixaxi di lapangan sesuai prosedur dankemudian dikirim ke Laboratorium Sitologidi Fakultas Kedokteran Unair. Sampel keduauntuk pemeriksaan PCR dilakukanpengambilan sampel yang langsungdimasukkan dalam tabung disposible PCRlengkap dengan bahan pengawetnya untukkemudian disimpan dengan suhu 8 derajatCelcius, kemudian dikirim dengan menggunakanIce Box untuk mempertahankan suhu keLaboratorium Biologi di FakultasKedokteran <strong>Universitas</strong> Gadjah MadaYogyakarta. Kuesioner terstruktur dipakaiuntuk mengukur variabel yang diteliti.Data yang diperoleh ditabulasi dalambentuk tabel frekuensi. Analisis datadilakukan dengan uji Chi Square danSpearman’s rho. Analisis pengaruh berbagaifaktor terhadap terjadinya infeksi HPV 16/18serviks uteri dengan Regresi Logistik.HASIL DAN PEMBAHASANAnalisis Pemeriksaan Sitologi Pap Smeardan PCRPada penelitian ini 75 responden dari 3Kecamatan Putat Kecamatan Dupak,Kelurahan Putat Jaya dan Kelurahan Sememisecara keseluruhan dilakukan pemeriksaanbiomolokuler HPV tipe 16 dengan metodePCR (Polymerase Chain Reaction),diperoleh 32 responden (30,7%) positif danhanya 1 responden yang menderita infeksiHPV tipe 18 (1,3%) bersamaan dengan tipe16. Selain dilakukan pemeriksaan infeksiHPV DNA dengan PCR, juga dilakukanpemeriksaan sitologi Pap Smear. Dari hasilpemeriksaan didapatkan prevalensi HPVadalah 1 responden (1,3%). Distribusipemeriksaan sitologi Pap Smear ini terhadapkejadian infeksi HPV 16/18, tampak yangdengan normal smear 7,1% menderita infeksiHPV 16/18, yang dengan keradangan 35,6%menderita infeksi HPV 16/18, sedangkanyang dengan keganasan 50% menderitainfeksi HPV 16/18. Hal ini dapat dilihatdalam Tabel 1.Hal ini sesuai dengan yang ditemukanKoutsky et al. (1992) pada studi kohornyayang melaporkan pada wanita sebelumfollow up dengan sitologi normal didapatkan28% dengan HPV positif, pada smear uteriberkembang menjadi NIS (NeoplasmaIntraepithelial Servikal) III, sebaliknya hanya3% wanita dengan smear negatifberkembang menjadi NIS III setelah 2 tahun.Sebelumnya dilaporkan bahwa HPV 16jarang ditemukan pada serviks uteri normal.Deteksi HPV dalam skrining untuk kankerserviks uteri pada smear uteri normaldidapatkan prevalensi HPV tipe onkogen1,5%, sebaliknya prevalensi cukup tinggipada smear displasia yaitu hampir 100%(Smits,1995).Karakteristik SosiodemografiDalam penelitian ini pada IRTmemiliki rata-rata umur 38,2 + 9,9 tahun.Umur termuda adalah 20 tahun dan tertua 64tahun. Dilihat dari distribusinya, sebagianbesar responden berada pada kelompok umurlebih dari 35 tahun (58,7%). Beberapapeneliti menyatakan bahwa puncak terjadinyainfeksi HPV berada dalam kelompok seksualaktif umur 16-25 tahun (Ley et al., 1991;Van Den Brule et al., 1991). Pada penelitianini angka kejadian HPV 16/18 cukup tinggi(41,4%) pada ibu rumah tangga berumurkurang dari 35 tahun, meskipun hanya 10,7%yang berada dalam kelompok kurang dari 25tahun itu. Dengan uji Chi-Square didapatkanhubungan yang signifikan dengan kejadianinfeksi HPV 16/18 (p =0,003).Tabel 1. Hasil pemeriksaan sitologi Pap Smear menurut kejadian infeksi HPV 16/18 pada IRT diKota Surabaya tahun 2000HPV / 16/18Hasil Sitologi<strong>No</strong>rmal Smear Radang KeganasanTotalTidak 13 (92,9%) 38 (64,4%) 1 (50,0%) 52 (69,3%)Ya 1 (7,1%) 21 (35,6%) 1 (50,0%) 23 (30,7%)Total 14 (100%) 59 (100%) 2 (100%) 75 (100%)8Perbedaan Pemeriksaan Sitologi (6 – 12)Chatarina Umbul Wahyuni


Pendidikan IRT terbanyak padasekolah menengah atas di mana sebanyak36,7% positif terinfeksi HPV 16/18,didapatkan tidak ada hubungan yangsignifikan antara pendidikan dengan InfeksiHPV 16/18 (p = 0,640). Sebagian besar iburumah tangga bekerja (50,7%) dengan suamiyang juga bekerja dan rata-rata pendapatanperbulan kurang dari Rp 300.000. Penelitiandi Amerika Serikat didapatkan hasil bahwaadanya peningkatan infeksi HPV tampakberhubungan dengan rendahnya pendididikandan rendahnya status sosial ekonomi (Baueret al., 1993).Karakteristik PerkawinanDari hasil penelitian ini dapatkan hasilbahwa paling banyak IRT dalam statusmenikah dan IRT yang berstatus ceraihidup/mati tidak ada yang positif terinfeksiHPV 16/18. Analisis univariat pada IRTmenunjukkan tidak ada hubungan antarastatus perkawinan dengan kejadian infeksiHPV 16/18 (p=1,000). Prevalensi HPVsangat kuat hubungannya juga denganriwayat reproduksi. Peningkatan jumlahkehamilan dan peningkatan kelahiran hidupdihubungkan dengan rendahnya prevalensiHPV (Bauer et al., 1993). Ini sesuai denganpenelitian ini di mana ada hubungan yangsignifikan antara jumlah anak dengankejadian infeksi HPV 16/18. Tampak pulaada kecenderungan penurunan frekuensiterjadinya HPV 16/18 seiring denganpeningkatan jumlah anak pada IRT. Hal inidapat dilihat pada Tabel 2.Dalam hal penggunaan kontrasepsi orallebih penting adalah penggunaan kontrasepsihormonal terhadap kejadian infeksi HPV16/18. Penggunaan KB hormon yang positifterinfeksi HPV 16/18 pada IRT (40,5%)tetapi tidak ada hubungan yang signifikanantara penggunaan KB hormon dengankejadian infeksi pada IRT (p = 0,114). Adakecenderungan penggunaan kontrasepsihormonal dengan peningkatan terjadinyainfeksi HPV 16/18. Hal ini berbeda denganpendapat Bauer et al. (1993) bahwapeningkatan prevalensi HPV lebih tinggi diantara pengguna kontrasepsi oral daripadabukan pengguna dan tertinggi di antara yangdiketahui menggunakan sebelumnya, tetapitidak dihubungkan dengan peningkatanlamanya menggunaan kontrasepsi oral.Karakteristik Perilaku SeksualPada IRT yang melakukan hubunganseksual pertama pada umur lebih dari 20tahun, sebesar 37,5% positif terinfeksi HPV16/18 dan tidak ada hubungan yangsignifikan antara umur saat melakukanhubungan seksual pertama dengan kejadianinfeksi HPV 16/18 dengan p = 0,171, begitupula pada jumlah pasangan seksual (p =1,00). Sedangkan dalam hal lama telahhubungan seksual pada IRT lebihdihubungkan dengan umur pertama kalikawin, di mana terbanyak mempunyai lamatelah hubungan seksual lebih dari 10 tahun(72%). Hal ini sesuai dengan mengingatumur pertama kali kawin terbanyakkelompok umur 16– 25 tahun (88%), adanyakecenderungan peningkatan lama telahmelakukan hubungan seksual denganpenurunan kejadian infeksi HPV 16/18.Berdasarkan hasil analisis univariat,menunjukkan adanya hubungan yangsignifikan antara lama telah hubunganseksual dengan kejadian infeksi HPV 16/18(p=0,038). Data lengkapnya dapat dilihatpada Tabel 3.Faktor Higiene Genital PeroranganPada IRT higiene genitalperorangannya jelek dan banyak terinfeksi(45%). Berdasarkan analisis univariatdiperoleh nilai p = 0,180 berarti bahwa tidakada hubungan yang signifikan antara higienegenital perorangan dengan kejadian infeksiHPV 16/8. Dapat dilihat pada Tabel 4.Tabel 2. Hubungan kejadian infeksi HPV 16/18 pada IRT menurut jumlah anak yang dilahirkandi Kota Surabaya tahun 2000HPV 16/18Jumlah Anak yang DilahirkanTotal0 1 – 2 3 – 4 >4Tidak 375%16 55,2% 23 76,7% 10 83,3% 52100%Ya 125%13 44,8% 7 23,3% 216,7%23100%Total 4100%29100%30 100% 12100%75100%Perbedaan Pemeriksaan Sitologi (6 – 12)Chatarina Umbul Wahyuni9


Tabel 3. Hubungan kejadian infeksi HPV 16/18 pada IRT menurut lama telah hubungan seksualdi Kota Surabaya tahun 2000HPV 16/18Lama Telah Hubungan SeksualTotal10 thTidak 550%545,5%4277,8%52100%Ya 550%654,5%1222,2%23100%Total 10100%11100%54100%75100%Tabel 4. Hubungan kejadian infeksi HPV 16/18 pada IRT menurut higiene genital perorangan diKota Surabaya tahun 2000HPV 16/18Higiene Genital PeroranganTotalBaikJelekTidak 4174,5%1155%52100%Ya 1425,5%945%23100%Total 55100%20100%75100%Higiene genital perorangan padawanita sangat penting karena rendahnyahigiene genital perorangan ini akanmempunyai risiko terjadinya infeksi kronistermasuk HPV. Hal ini sesuai dengan adanyakecenderungan peningkatan higiene genitalperorangan seiring dengan peningkatanfrekuensi ganti celana dalam dalam sehari,sebaliknya ada kecenderungan penurunanhigiene genital perorangan seiring denganpenurunan frekuensi ganti celana dalam.Model Persamaan Probability TerjadinyaInfeksi HPV 16/18 pada Ibu RumahTanggaDalam pembuatan Model PersamaanProbability terjadinya infeksi HPV 16/18pada ibu rumah tangga dilakukan analisisregresi logistik untuk mengetahui faktorfaktoryang berpengaruh terhadap kejadianinfeksi HPV 16/18 pada kelompok IRT disekitar lokalisasi antara lain variabel umur,pendidikan, umur kawin pertama, umurhubungan seksual pertama, lama telahhubungan seksual, jumlah pasangan seksual,higiene genital perorangan, penggunaan KBhormon, dan pekerjaan diperoleh hasilsebagai berikut:Tampak bahwa dari semua faktor yangdimasukkan sebagai variabel independen,ada 2 faktor yang berpengaruh terhadapkejadian infeksi HPV 16/18 yaitu higienegenital perorangan dan umur.Variabel-variabel yang lain sepertipendidikan, umur hubungan seksual pertama,umur kawin pertama, jumlah anak dilahirkan,jumlah pasangan seksual, lama telahhubungan seksual, penggunaan KB hormon,dan pekerjaan pada ibu rumah tangga tidakmempunyai pengaruh terhadap kejadianinfeksi HPV 16/18.Terdapat korelasi negatif antara higienegenital perorangan dengan terjadinya infeksiHPV 16/18, yang berarti IRT dengan higienegenital perorangan jelek mempunyai risikolebih tinggi terjadinya infeksi HPV 16/181,86 kali risiko pada kelompok IRT denganhigiene genital baik. Adanya pengaruhhigiene genital perorangan pada kelompokIRT. Hal ini sesuai dengan adanya fakta iburumah tangga dengan higiene genitalperorangan baik sebanyak 25,5% menderitainfeksi HPV 16/18, sedangkan ibu rumahtangga dengan higiene genital peroranganjelek sebanyak 45% menderita infeksi HPV16/18. Hal ini dimungkinkan terjadi karenapada IRT merasa selalu di rumah dan tidakpernah melakukan hubungan seksual denganpasangan lain sehingga merasa lebih amanuntuk terjangkit infeksi dan akhirnya tidakmemperhatikan pentingnya juga higienegenital perorangan. Tingginya persentasehigiene genital perorangan jelek ini didukungdengan adanya hubungan antara higienegenital perorangan dengan jumlah anak yangdilahirkan secara umum.10Perbedaan Pemeriksaan Sitologi (6 – 12)Chatarina Umbul Wahyuni


Tabel 5. Hasil analisis regresi logistik variabel yang berpengaruh terhadap kejadian infeksi HPV16/18 pada IRT di Kota Surabaya tahun 2000Variabel B S.E. Wald Df Sig. Exp 95% CI for Exp(B)(B) Lower UpperHigiene (baik) -0,618 0,320 3,737 1 0,053 0,539 0,288 1,009Umur 11,342 2 0,003Umur 0,920 0,409 5,056 1 0,025 2,509 1,125 5,594(26-20 th)Umur -1,194 0,425 7,908 1 0,005 0,303 0,132 0,696(> 20 th)Constant -,330 0,353 0,874 1 0,350 0,719Selain itu tampak ada kecenderunganpenurunan persentase kejadian higienegenital perorangan seiring denganpeningkatan jumlah anak yang dilahirkan.Sedangkan yang mempunyai jumlah anakyang banyak (lebih dari dua) terdapat padakelompok ibu rumah tangga (56%).Umur berpengaruh terhadap terjadinyainfeksi HPV 16/18, pada umur IRT 26 – 35tahun mempunyai risiko lebih tinggiterjadinya infeksi HPV 16/18 yaitu 2,5 kalidibandingkan dengan risiko pada umurkurang dari 25 tahun Sedangkan kelompokumur lebih dari 35 tahun mempunyai korelasiyang negatif terhadap terjadinya infeksiHPV 16/18 yang berarti semakin tua umuribu semakin rendah risiko terjadi infeksiHPV 16/18 0,303 kali dan mempunyai risikoyang tidak berbeda dengan kelompok umurkurang dari 25 tahun. Hal ini terjadidimungkinkan karena kelompok umur 26 –35 tahun merupakan kelompok umur seksualaktif. Hal yang sama juga diperoleh dalampenelitian di California di mana didapatkankecenderungan umur terhadap terjadinyainfeksi HPV 16/18, wanita kelompok umur22 – 25 tahun mempunyai prevalensitertinggi, sementara yang lebih muda danlebih tua dari kelompok tersebut mempunyaiprevalensi yang lebih rendah (Ley et al.,1991).Pada beberapa penelitian di negara lainmenunjukkan bahwa yang sangatberpengaruh terhadap terjadinya infeksi HPVpada wanita adalah umur dan jumlahpasangan seksual. Prevalensi HPV menurunseiring dengan umur dan meningkatnyajumlah pasangan seksual (Wheeler et al.,1993; Bauer 1993; Ley et al., 1991;Hildesheim et al., 1993).Berdasarkan hasil analisis regresilogistik di atas didapatkan model persamaanprobabilitas terjadinya infeksi HPV 16/18pada kelompok IRT sebagai berikut:1P =0,618 higiene (baik) - 0,92 umur(26-35 th) + 1,194 umur (> 35 th)1 + eSehingga dengan menggunakan modelpersamaan ini, bila seorang ibu rumah tanggadengan higiene genital perorangan yang baikdengan umur antara 26 – 35 tahun, makamempunyai probabilitas terhadap kejadianinfeksi HPV adalah 57,5%. Sedangkan iburumah tangga dengan higiene genitalperorangan baik dengan umur lebih dari 35tahun mempunyai probabilitas terjadinyaHPV adalah 14,04%.KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan1. Prevalensi infeksi HPV 16/18 denganPCR pada IRT adalah 30,7% di manadengan pap smear didapatkan 91,3%-nyadisertai keradangan infeksi lain.2. Angka kejadian infeksi HPV pada IRTumur kurang 35 tahun cukup tinggi(41,1%) serta mempunyai hubungan yangsignifikan.3. Tingginya higiene genital peroranganyang jelek (45%) pada IRT mempunyaihubungan yang signifikan terhadapterjadinya HPV 16/18.SaranDengan hasil penelitian di atasdisarankan pada IRT terutama yang masihmuda untuk lebih memperhatikan higienegenital-nya serta melakukan pemeriksaanPap Smear secara berkala dan bilamemungkinkan memeriksakan tipe spesifikdari HPV yang diderita.Perbedaan Pemeriksaan Sitologi (6 – 12)Chatarina Umbul Wahyuni11


DAFTAR PUSTAKABauer, H.M., Ting Yi., Greer, C.E.,Chambers, J.C., Tashiro, Cathy, J.,Chimera, J., Reingold, A., & Manos,M.M., (1991). Genital HumanPapillomavirus Infection in FemaleUniversity Students as Determined by aPCR-Based Method, JAMA, 265, 472-7.Isacsohn, M., Dolberg L., Sabag S.G., MintriRosenbaum S., Nubani N., DiamantY.Z. Goldsmidt-R. (1994). The InterRelationship of herpes virus, papiloma16/18 virus infection and pap smearpathology in Israil womenKoutsky, L.A., Galloway, D.A., Holmes,K.K., (1988). Epidemiology of GenitalHuman Papillomavirus Infection.Epidemiologi Reviews. <strong>Vol</strong> 10, pp 122– 127.Lambropoulos-AF; Agorastos-T; Frangoulides -E; Karahaliou-R; Bontis-J; DoziVassiliades-I. (1994). Detection ofHuman Papillomavirus using thePolymerase Chain Reaction and typingfor HPV 16 and 18 in the Cervicalsmears of Greek women. Journalmedical Virology. July; 43 (3): pp 228-230.Ley, C., Bauer, H.M., Reingold, A.,Schiffman, M.H., Chambers, C.,Tashiro, C.J., Manos, M.M., (1991)Determinants of Genital HumanPapillomavirus Infection in YoungWomen. Article Journal of theNational Cancer Institute. <strong>Vol</strong> 83. <strong>No</strong>14, July 17, pp 997-1003.Meanwell, C.A., Cox, M.F., Blackledge, G.,Maitland, N J., (1987) HPV 16 DNAin <strong>No</strong>rmal and Malignant CervicalEpithelium: Implications for theAetiology and Behavior of CervicalNeoplasia. The Lancet, Maret 26, pp703 -707.McNicol, P., Guijon, F., Brunham, R., Gray,M., Paraskevas, M., (1992) LaboratoryDiagnosis of Latent HumanPapillomavirus Infection. DiagnMicrobiol infect Dis, 15, 679 - 683.Oriel, J.D., (1971). Natural History OfGenital Warts. British Journal VeneralDisease, 47, pp 1-13.Schneider, A., & Koutsky, L.A., (1992)Natural History and EpidemiologicalFeatures of Genital HPV Infection.Editor in N. Munoz. F.x. Bosch. K.V.Shah & A. Meheus (Eds) (119 thed)(pp 25 - 52) Lyon, Frence: IARCScientific Pulications.Smits, H.L (1995). Intermethods Variationin detection of Human PapillomavirusDNA in Cervical Smears. Journal ofClinical Microbiology. Oct: pp 2631-2636Tsao-Y.P., Yang-KY., Han-CP., Yin-CS.,Yang-YF., Chen-SL. (1994). GenitalHuman Papillomavirus infections inTaiwan. Int. J - Gynecol - Obstet. Jan ;44 (1): 39 - 45.Zur Hausen, H., (1994). MolecularPathogenesis of Cancer of the Cervixand its causation by Specific HumanPapillomavirus Types in HumanPathogenic Papillomaviruses. Editedby H. Zur Hausen, pp 131-150.12Perbedaan Pemeriksaan Sitologi (6 – 12)Chatarina Umbul Wahyuni


HASSIILL PPEENEELLIITTIIANAGGREGATE HEALTH CARE EXPENDITURE IN MALAYSIA:EVIDENCE FROM COINTEGRATION TESTSDestanul AuliaDepartment of Administration and Health PolicyFakultas Kesehatan Masyarakat <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>Jl. <strong>Universitas</strong> <strong>No</strong>. 21 Kampus USU Medan, 20155ABSRACTWith the increasing demand of health care especially in developing country, it isbecoming important to identify the factors that affect it. This paper attempts toevaluate empirically a few factors that effect aggregate health care expenditure inMalaysia during the period 1971 – 2001. Using the augmented Dickey-Fuller(ADF) to evaluate the time series properties of the variables incorporated in themodel, it is found that all the variables are non stationary on the level and stationaryon the first difference. The result of Johansen’s cointegration test found that thereare two cointegrating equations at both 5% and 1% levels. The normalizedcointegrating relation assuming one cointegrating relation suggest that the demandfor healthcare in Malaysia is price inelastic, but the supply-induced hypothesis isvalid in this country while it is not valid in develop countries. And increased supplyof physicians will lead to decreased price of healthcare in the market andconsequently a reduction in aggregate per capita health care.Keywords: Health care expenditure, Cointegration test, Aggregate health careINTRODUCTIONMalaysia as one of developingcountries in Asia has a population of about23 million. With a larger workforce and anincreasing urban population, there will begreater demands on healthcare system in thecountry. The government, being the majorhealthcare service provider, is under pressureto reform the healthcare system, in order forprivate sector to contribute more on healthexpenditure. However, Malaysia spends onlyabout 3% of its GDP on health services, andYong (2003) consider this expenditure islower than other developing countries.There are numbers of empirical studies,based on international cross-section data, oron individual data especially from developedcountry, have attempted to identify thefactors that bring out differences in healthcare expenditure. However, only a fewresearch conducted in developing countries.Although, it is very important to reallyunderstand that factors, especially indeveloping countries where there isincreasing demand for healthcare system.Despite, healthcare issues have acquiredparamount significant not just in developedcountry like United States, but also indeveloping countries such as Malaysia.Therefore, this paper attempts toempirically examine the factors that affectaggregate health care expenditure inMalaysia during the period 1971 – 2001.Specifically the purpose of this paper is toevaluate empirically the time-seriesproperties of the variables incorporated in themodel using the augmented Dickey-Fuller(ADF) test. The relevant variables thatbelieve as affected aggregate healthexpenditure dictated by health economicsliterature will be utilized. The time seriesproperties of each variable will be tested.This paper will also determine the number ofcointegration vectors and choose ameaningful estimated cointegration equationto asses the effect of various determinants ofhealth care expenditure in Malaysia during13


the period under review. Finally, there willbe an estimate of an error-correction modelto integrate short-run dynamics with long-runequilibrium.MODEL SPECIFICATION UNIT ROOTTESTING AND COINTEGRATIONThere are one dependent variable andfour independent variable employed in thisstudy. The variable chosen dictated by theprevious literature. The relationship betweenthe dependent variable to each independentvariable as suggest by previous study ispositive. The theory behind the positiverelationship is discussed by each paragraphbelow.As a start, early study of aggregatehealth expenditure is done by Newhouse(1977). Newhouse found a strong positivecorrelation between health care expenditureand gross domestic product in developedcountries. Later on, Parkin et al. (1987) andGredtham and Jonsson (1991) also suggestthat in the case of developed countries,variation in health expenditure can beexplained by variation in per-capita GDP.Assuming that the demand for the healthcareis price inelastic, changes in per capitaincome are expected to produce a positiveeffect on the level of health care expenditure.Based on the hypothesis of supplyinduced demand, it is believed that if ratiosof the number of physician to populationincrease, it will also increase the level ofaggregate healthcare expenditure. Theexplanation behind this, is that physician indeveloped countries can counteract theincreased physician density by increasing theutilization of their services, although this ismeans that there will be many unnecessaryvisit, redundant medical care, withoutreducing their fees. This hypothesis isconsistent with the study by Newhouse(1970), Reinhardt (1975) and Rice (1987).According to Murthy and Ukpolo(1994), based on study of Leu (1986), thereis a positive relationship between the totalhealthcare expenditure and the ratio of publichealthcare expenditure to total healthcareexpenditure (public financing of healthcare).According to him, if the demand is increasethen it will perceive as reduced in price ofhealthcare. On the supply side, based onpublic choice perspectives, suggests that theprevalence will reduce incentive for costminimization, and finally will lead toexcessive consumption of healthcare andhence increased total health care expenditure.And finally, unlike the composition ofpopulation in developed countries whichmost of them consists of adult and olderpopulation, the population in developingcountries mostly consists of children andyoung generation or it is like a pyramid. Theheaviest demand for healthcare is mostlyfrom the population below 15 years, while indeveloped countries it is from the population65 years and above. So, instead of using theratio of persons 65 years and over this studyuses the ratio of persons below 15 years.In the light of the above discussion ofeach independent and dependent variable, themodel specify as following:ln PHCE = ln β 0 + β 1 ln PCY + β 2 ln DOC+ β 3 ln PF + β 4 ln AGE + μ (1)wherePHCE = Health care expenditure per capita(current US$)PCY = GDP per capitaDOC = Number of practicing physicianPFper thousand people= The ratio of public health careexpenditure to total health careexpenditureAGE 1 = The ratio of population below 15yearsThe model is specify using doublelogarithmicbecause according to Murthy andUkpolo (1994) it is linearizes the regressioncoefficient of the underlying multiplicativeregression equation, and the regressioncoefficient of this model representelasticities, also this double-logarithmic turnout to be the most often used specification inthe literature. The data used for estimation ofaggregate health care expenditure wereobtained from various issue of AnnualReport issued by Ministry of HealthMalaysia.EMPIRICAL RESULTSBecause most of economic time seriesare not stationary in their levels, it isimportant to check whether each variable arestationary, before estimating the equation. Ifthey are not stationary in their level, they are14Aggregate Health Care Expenditure (13 – 17)Destanul Aulia


cointegrated. These non stationary timeseriesupon receiving a random shock, do notreturn to their long run path.Furthermore, the regression modelcontaining non-stationary macroeconomicvariables will reflect a spurious relationship andyield inconsistent and less efficient ordinaryleast square parameters, unless the variables arecointegrated (Engle and Granger 1987).Cointegration allows individual macroeconomictime-series to be non-stationary but requires alinear combination of such series to bestationary. The cointegrating regression, whichprovides consistent and efficient estimates oflong-run equilibrium parameters, requires thatall the time series used in its estimation beintegrated of an identical order. The order ofintegration of a series refers to the number oftimes the series must be differenced before itbecomes a stationary series.The augmented Dickey-Fuller (ADF)test results are reported in Table 1. Based onthe value of t-statistics and P value of ADFtest on the level, all of the variables fail toreject the null hypothesis of the presence of aunit root, conforming they are not of theorder zero, and they are non-stationary.However, the result of augmentedDickey-Fuller (ADF) test becomes differentfor the first difference. As shown by Table1, the null hypothesis of the presence of aunit root is rejected for all the variables. Sobasically all of the variables in the equationare non stationary on level, and stationary onthe first difference.The result of Johansen’s cointegrationtest Equation 1, is presented in Table 2.The cointegrating regression is estimated bythe Johansen’s maximum likelihoodtechnique. The lag structure of the model inequation 1 is determined on the basis of thecalculated Ljung-Box Q statistic whichreveals no serial correlation in the model.In order to determined the number ofcointegrating relations in equation 1, the firstpart of the table (Table 2) will show theresult of the trace tests and the second partshow the result of maximum eigenvalue test.To determine the number of cointegratingrelation, the first row in the upper table teststhe hypothesis of no cointegrating relation,the second row tests the hypothesis of onecointegrating relation, the third row for twocointegrating relation, the fourth row forthree cointegrating relation and the fifth rowfor four cointegrating relation. All against thealternative of full rank that is all series in theVAR are stationary.The result as shown from the first partof Table 2 show that the trace statistic rejectthe null hypothesis that there is nocointegration between the variables, and alsoreject the hypothesis of one cointegratingrelation. The conclusion for this part of thistable is that trace test indicates there are twocointegrating equations at both 5% and 1%levels. The second part of Table 2, which isthe result of maximum eigenvalue test, alsorejects the hypothesis of no cointegrationbetween variables and the hypothesis of onecointegrating relation, with the same conclusionindicating there are two cointegrating equations atboth 5% and 1% levels.Table 1. Augmented Dickey-Fuller test for orders of integrationt-Statisticln AGE Level 2.809966 0.9981Probfirst difference -9.219067 0.0000ln DOC Level 0.889689 0.8954first difference -5.295922 0.0000ln PHCE Level 4.24983 1.0000first difference -2.229859 0.0271ln PCY Level 4.069851 0.9999first difference -3.252961 0.0021ln PF Level 0.359324 0.7821first difference -5.098862 0.0000Aggregate Health Care Expenditure (13 – 17)Destanul Aulia15


Table 2. The result of Johansen cointegrating testHypothesized Trace 5 Percent 1 Percent<strong>No</strong>. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Critical Value<strong>No</strong>ne ** 0.888502 119.6127 59.46 66.52At most 1 ** 0.779676 60.38156 39.89 45.58At most 2 0.337333 19.53985 24.31 29.75At most 3 0.17545 8.429802 12.53 16.31At most 4 0.112457 3.221045 3.84 6.51*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) levelTrace test indicates 2 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levelsHypothesized Max-Eigen 5 Percent 1 Percent<strong>No</strong>. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Critical Value<strong>No</strong>ne ** 0.888502 59.23111 30.04 35.17At most 1 ** 0.779676 40.84171 23.8 28.82At most 2 0.337333 11.11005 17.89 22.99At most 3 0.17545 5.208757 11.44 15.69At most 4 0.112457 3.221045 3.84 6.51*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) levelMax-eigenvalue test indicates 2 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levelsTable 3. <strong>No</strong>rmalized cointegrating coefficients: 1 Cointegrating EquationPCHE PCY DOC PF AGE1 -1.938895 -1.808324 -0.06921 0.933614(-0.02776) (-0.04554) (-0.09108) (-0.01968)Log likelihood 372.953 (std.err. in parentheses)The cointegrating equation will beprovided by Table 3. Although all possible k-1 cointegrating relation is provided by thetest, the first r estimates is the most interestedestimates, where r is determined by the LR .The normalized cointegrating relationassuming one cointegrating relation r=1 canbe written asPCHE - 1.938895 PCY - 1.808324 DOC -0.06921 PF + 0.933614 AGEThe signs of the coefficient found inthis study are generally consistent with thefindings of the previous study. The sign ofDOC, PF and AGE consistent with thefindings of Gerdtham and Jonsson (1992),Hitiris and Posnett (1992) and Newhouse(1977) but not the sign of PCY. However,the sign of the coefficient of variable PF arecontrary to the findings of Murthy andUkpolo (1994). The empirical result of thispaper is just like the demand for healthcare indeveloped countries, the demand forhealthcare in Malaysia is price inelastic, butthe supply-induced hypothesis is valid in thiscountry while it is not valid in developcountries. And since aggregate per capitawith respect to price is inelastic, increasedsupply of physicians will lead to decreasedprice of healthcare in the market andconsequently a reduction in aggregate percapita health care. However, it is still needfurther research to confirm these findings.Finally, in general, the estimated errorcorrectionmodel, which incorporates all thestationary variables in the system, appearssatisfactory. The coefficient of variablesPCY, DOC, and PF are statisticallysignificant at the 5% level.16Aggregate Health Care Expenditure (13 – 17)Destanul Aulia


CONCLUSIONThis paper attempts to empiricallyexamine the factors that affect aggregatehealth care expenditure in Malaysia duringthe period 1971 – 2001. Using the augmentedDickey-Fuller (ADF) test this paper evaluatesempirically the time-series properties of thevariables incorporated in the model andfound that all of the variables in the equationare non stationary on level, and stationary onthe first difference.This paper also determine the numberof cointegration vectors and indicating thereare two cointegrating equations at both 5%and 1% levels. The normalized cointegratingrelation assuming one cointegrating relationsuggest that the demand for healthcare inMalaysia is price inelastic, but the supplyinducedhypothesis is valid in this countrywhile it is not valid in develop countries.And increased supply of physicians will leadto decreased price of healthcare in the marketand consequently a reduction in aggregateper capita health care.REFERENCESEngle, R.F. and Granger, C.W. 1987.Cointegration and error representation,estimation and testing. Econometrica55:251-276.Gerdtham, U.G. and Jonsson, B. 1991.Conversion factor instability ininternational comparison of healthcareexpenditure. Journal of HealthEconomic 10:227-234.Gerdtham, U.G. and Jonsson, B. 1992. Aneconometric analysis of healthcareexpenditure a cross-section study ofthe OECD countries. Journal of HealthEconomic 11:63-84.Gujarati, D.N. 1995. Basic Econometrics.Singapore:McGraw Hill.Hitiris, T. and Posnett, J. 1992. Spuriousregression in econometrics. Journal ofEconometrics 11:173-181.Murthy, N.R.V. and Ukpolo, V. 1994.Aggregate heathcare expenditure in theUnited States: Evidence fromcointegration tests. Journal of AppliedEconomics 26:797-802.Newhouse, J.P. 1970. A model of physicianpricing. Southern Economic Journal37(2):174-183.Newhouse, J.P. 1977. Medical careexpenditure across national survey.Journal of Human Resource 12(1):115-125.Parkin, D., McGuire, A. and Yule, B. 1987.Aggregate health expenditure andnational income: Is healthcare a luxurygoods? Journal of Health Economic6:190-197.Reinhardt, U.E. 1985. The theory ofphysician induced demand reflectionsare a decade. Journal of HealthEconomic 4:187-193.Rice, T. 1987. Induced demand-can we everknow its extent? Journal of HealthEconomic 6:375-376.Yong, E. 2003. Tapping into the healthcareservices sector in Malysia. KualaLumpur: Western Australian TradeOffice.Aggregate Health Care Expenditure (13 – 17)Destanul Aulia17


HASSIILL PPEENEELLIITTIIANPERSEPSI KEPALA PUSKESMASTENTANG SURVEILANS EPIDEMIOLOGIIda Yustina dan Heldy B.Z.Departemen Administrasi dan Kebijakan KesehatanFakultas Kesehatan Masyarakat <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>Jl. <strong>Universitas</strong> <strong>No</strong>. 21 Kampus USU Medan, 20155ABSTRACTThe role of puskesmas in epidemiology surveillance is not function yet. Actually,it is necessary to do the activity to anticipate the diseases which potential raisein community. The objective of this research is to explain the perception of headof puskesmas about epidemiology surveillance. The research took place inMedan on September 2005, involved 6 informants, with survey design withqualitative approach. The data was gathered by interview. The result of thisresearch shows that the perception of head of puskesmas still not good, due tolack of knowledge, experience, information about epidemiology surveillance. Itis needed to conduct training in order to extend the perception of head ofpuskesmas in Medan. Base on theory, perception influence the behavior ofhuman being.Keywords: Head Puskesmas perception, Surveillance epidemiologyPENDAHULUANLatar BelakangDalam upaya meningkatkan kesehatanmasyarakat melalui pendekatan pencegahan(preventif), sistem surveilans merupakansalah satu mekanisme pengawasan yangsignifikan fungsinya dalam mengantisipasipenyakit-penyakit yang timbul dalammasyarakat. Dalam surveilans, data yangdikumpulkan, diolah sebagai informasi bagisemua pihak yang berkepentingan, untukkemudian digunakan sebagai pusat informasiuntuk melihat kecenderungan penyakit,termasuk dalam merancang programprogramkesehatan masyarakat.Sebagai suatu kegiatan kewaspadaanuntuk mengamati timbul dan penyebaranpenyakit, surveilans epidemiologi dalampraktiknya masih perlu ditingkatkan dalampelaksanaannya oleh instansi kesehatansecara efektif. Sejauh ini kegiatan tersebutbelum dilaksanakan secara optimal, yangdiharapkan dimulai dari puskesmas.Data yang diperoleh dari DinasKesehatan Provinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>menunjukkan bahwa ketepatan (timeliness)pengiriman laporan W2 misalnya hanyasekitar 20%, sedangkan kelengkapan laporanPuskesmas sebesar 63%, serta rumah sakitsebesar 56% dari target minimal nasional80%. Dengan demikian secara nyatasurveilans epidemiologi di <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>belum optimal (Proceedings PenerapanSurveilans Epidemiologi untuk MenjawabTantangan Pembangunan Kesehatan di EraOtonomi Daerah dalam Menuju IndonesiaSehat Tahun 2010, 2004).Perumusan MasalahPuskesmas merupakan saranapelayanan kesehatan masyarakat yang sangatpenting di Indonesia. Terkait denganpelaksanaan sistem surveilans yang bersifatbottom-up, peranan puskesmas dalammelakukan surveilans tentunya menjadisangat penting. Melalui surveilans,puskesmas diharapkan dapat membuatlaporan yang akurat sehingga data yang adabenar-benar mencerminkan kondisikesehatan masyarakat. Namun hingga kini,surveilans epidemiologi umumnya belumdilaksanakan secara optimal, termasuk diKota Medan. Dalam kaitan itu ingin18


diketahui bagaimana persepsi kepalapuskesmas di Kota Medan terkait dengansurveilans epidemiologi yang dimaksud.Persepsi kepala puskesmas diduga memilikiketerkaitan dengan perilaku (dalam hal inipelaksanaan surveilans epidemiologi) dimasing-masing puskesmas.Tujuan PenelitianUntuk menjelaskan persepsi kepalapuskesmas tentang sistem surveilansepidemiologi di Kota Medan, dilihat darifaktor pengetahuan, pengalaman, informasi,dan harapan.Manfaat Penelitian1. Sebagai masukan bagi jajaran Dinaskesehatan Kota Medan untuk optimalnyapenyelenggaraan sistem surveilansepidemiologi.2. Pengembangan ilmu kesehatan masyarakat,khususnya peneliti yang aspek penelitiannyarelevan dengan penelitian ini.METODE PENELITIANPenelitian dilakukan menggunakanrancangan survei deskriptif denganpendekatan kualitatif. Informan penelitianadalah empat kepala puskesmas di KotaMedan, dan dua orang aparat dinas kesehatanKota Medan yang menangani surveilansepidemiologi. Teknik pengambilan sampeldilakukan secara snowball hingga informasiyang dibutuhkan dirasakan cukup mewakiliobjek yang diteliti. Data primer dikumpulkandengan melakukan wawancara takberstruktur terhadap informan terpilih.HASIL DAN PEMBAHASANPengetahuan tentang Surveilans EpidemiologiPengetahuan yang ingin diketahuidalam hal ini adalah segala sesuatu yangdiketahui informan tentang surveilansepidemiologi. Hasil wawancara terhadapinforman yang berasal dari kepala puskesmasmenunjukkan minimnya pengetahuan merekatentang surveilans epidemiologi. Merekamengetahui kegiatan surveilans epidemiologisebagai kegiatan pemantauan penyakit,namun tidak banyak mengetahui hal-hal yangterkait dengan teknis pelaksanaan surveilansdimaksud.Kondisi ini diperburuk oleh nyaristidak pernahnya informan mendapatkanpelatihan yang terkait dengan surveilansepidemiologi. Faktor lainnya yang ikutberperan terhadap rendahnya pengetahuantersebut terkait dengan prioritas programpuskesmas yang tidak menempatkansurveilans epidemiologi sebagai kegiatanprioritas. Kondisi ini berdampak pada kurangtermotivasinya petugas kesehatan untukmemberi perhatian dan memahami secarasungguh-sungguh surveilans epidemiologi.Dalam konteks pengetahuan ini,informan dari Dinas Kesehatan Kota Medanmemiliki pengetahuan yang cukup baiktentang surveilans epidemiologi secarakonsep, dan mampu menjelaskan tahapankegiatan yang harus dilakukan. Namun diamengakui, bahwa Dinas Kesehatan KotaMedan hingga kini belum menjadikansurveilans epidemilogi sebagai kegiatanprioritas yang menjadi sumber informasi bagidinas dalam menjalankan program-programkesehatan masyarakat. Namun demikian,langkah-langkah strategis sudah mulaidipikirkan untuk melaksanakan surveilansepidemiologi tersebut. Menurutnya, untuktahap pertama, pihaknya sedang merencanakansuatu pelatihan terhadap tenaga-tenagakesehatan yang bersinggungan dengan kegiatansurveilans epidemilogi, tidak hanya di jajarandinas kesehatan (termasuk puskesmas), tetapijuga institusi terkait seperti rumah sakit danklinik-klinik kesehatan .Selanjutnya diakui, kegiatan yangdilakukan selama ini baru sampai tahappengumpulan data, melalui kegiatan yangdilakukan SP2TP. “Jadi kalaupun ada datayang kita keluarkan dari dinas dalam bentukangka-angka, itu baru merupakan hasil datayang dikumpulkan, belum diolah, apalagidianalisis,” katanya. “Kita belum bisamelakukan analisis, sebab sumber daya manusiayang kami punyai belum tersedia untuk dapatmelakukan kegiatan itu,” kata informan dariDinas Kesehatan Kota Medan tersebut.Selain keterbatasan sumber dayamanusia, sumber daya organisasi lainnya,seperti finansial, sarana (komputer misalnya),dan jaringan dengan institusi kesehatanlainnya seperti rumah sakit, klinik, danlainnya, juga belum optimal, sehinggasurveilans epidemiologi masih belum dapatdilakukan sebagaimana mestinya. Kegiatanyang masih sebatas pengumpulan datatersebut menyebabkan data yangdisebarluaskan belum dapat dijadikansebagai sumber informasi yang akurat untukPersepsi Kepala Puskesmas (18 – 22)Ida Yustina dan Heldy B.Z.19


digunakan sebagai bahan bagi berbagaiprogram kesehatan masyarakat.PengalamanPengalaman dalam hal ini merupakansegala bentuk kegiatan yang dialamiresponden terkait dengan surveilans.Menurut kepala puskesmas yang menjadiinforman, pengalaman yang bisa merekajelaskan hanya menyangkut pembuatanlaporan SP2TP. “Berdasarkan laporan yangmasuk, kami dapat segera mengetahuimasalah apa yang terjadi di wilayah kerjakami. Jika kondisinya memerlukanpenanganan segera, maka kami akan segerapula mengambil tindakan-tindakan yangdiperlukan,” kata seorang informan.Sejauh ini, jajaran Dinas KesehatanKota (DKK) Medan dan puskesmas belumpernah melaksanakan surveilansepidemiologi, sebagaimana yang seharusnyadilakukan berdasarkan PedomanPenyelenggaraan Sistem SurveilansEpidemiologi Kesehatan yang dikeluarkanMenteri Kesehatan pada 2003. Berdasarkanpedoman tersebut diakui bahwa konsepsurveilans epidemiologi sering dipahamihanya sebagai kegiatan pengumpulan data danpenanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB).Padahal, sesuai WHO, surveilans merupakanproses pengumpulan, pengolahan, analisis daninterprestasi data secara sistematik dan terusmenerus serta penyebaran informasi kepadaunit yang membutuhkannya untuk dapatmengambil tindakan.“Kami belum melaksanakan itu,sehingga belum memiliki pengalaman yangterkait dengan kegiatan tersebut,” katainforman yang merupakan penanggungjawab kegiatan surveilans di DinasKesehatan Kota Medan. Dia mengakui,dalam rangka menuju Indonesia Sehat 2010,manajemen kesehatan membutuhkaninformasi kesehatan yang tersusun dalamSistem Informasi Kesehatan Nasional(SIKNAS), yang merupakan subsistemSistem Kesehatan Nasional. Adapun sistemsurveilans epidemilogi kesehatan merupakansusbsistem dari SIKNAS, yang mempunyaifungsi strategis sebagai intelijen penyakit.“Informasi hasil surveilans epidemiologiyang berkualitas dapat digunakan untukperencanaan, pelaksanaan penanggulangan, danmeningkatkan kewaspadaan dini terjadinyaKLB,” kata informan tersebut serayamenambahkan hambatan utama pelaksanaansurveilans epidemiologi di Dinas KesehatanKota Medan adalah belum adanya komitmenyang kuat dari seluruh unsur staf termasukpimpinan untuk menjalankannya.InformasiInformasi dalam hal ini adalah segalaketerangan yang terkait dengan surveilans,baik dalam bentuk, frekuensi, dansumbernya. Informasi diperlukan dalamupaya membuka wawasan berpikir manusiaterhadap dunia nyata yang dihadapinya.Untuk dapat mengenali inti permasalahanyang sebenarnya, diperlukan informasi yanglebih banyak. Informasi juga merupakanbahan mentah pengetahuan. Semakin banyakinformasi yang diperoleh seseorang tentangsuatu objek, maka semakin baikpengetahuannya tentang objek tersebut.Dalam konteks surveilans epidemiologiini, informasi yang tersedia sebenarnya sudahcukup banyak, baik dalam bentuk peraturanmaupun petunjuk pelaksanaannya. Namunsayangnya, informasi tersebut belumsepenuhnya dipunyai atau dimengerti denganbaik oleh informan yang merupakan kepalapuskesmas. Sejauh penelitian ini dilakukan,yang memiliki Pedoman PenyelenggaraanSistem Surveilans Epidemiologi Kesehatanyang merupakan Keputusan MenteriKesehatan <strong>No</strong>. 1116/Menkes/SK/VIII/2003misalnya, hanyalah penanggung jawabkegiatan surveilans epidemiologi di DinasKesehatan Kota (DKK) Medan.Informan dari DKK Medan inimengakui, bahwa sosialisasi sebagai salah satubentuk kegiatan penyebarluasan informasibelum dilakukan kepada jajaran DKK,termasuk kepada kepala puskesmas danstakeholder lainnya baik rumah sakit maupunpengguna informasi sistem surveilans. “Ya,karena belum adanya komitmen itu, jadi belumada kegiatan yang sungguh-sungguh, yangsalah satu perwujudannya bisa dilihat dalamalokasi anggaran yang signifikan untukterselenggaranya kegiatan surveilansepidemiologi,” kata informan tersebut.Penetapan program di puskesmas yang tidakmenempatkan surveilans epidemiologi menjadisalah satu program prioritas menjadi penyebabmendasar belum dilaksanakannya kegiatanyang berdasarkan Pedoman PenyelenggaraanSistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan2003 memiliki visi: Manajemen KesehatanBerbasis Fakta yang Cepat, Tepat, dan Akurat.20Persepsi Kepala Puskesmas (18 – 22)Ida Yustina dan Heldy B.Z.


HarapanHarapan adalah kondisi yangdiinginkan menyangkut kegiatan surveilans.Dalam konteks harapan ini, informan yangberasal dari kepala puskesmas berharap jikasurveilans epidemiologi merupakan kegiatansistematis yang menunjang terselenggaranyapembangunan kesehatan yang bertujuanuntuk menanggulangi masalah kesehatansecara efektif dan efisien, mereka berharapagar sosialisasi dan pelatihan ditingkatkanterhadap staf puskesmas sebagai pelaksanakegiatan dimaksud. Komitmen yang kuatuntuk terselenggaranya kegiatan tersebutjuga diharapkan muncul dari DinasKesehatan Medan. Menurut mereka, sebagaifront terdepan pelayanan kesehatan masyarakat,puskesmas berupaya melaksanakan programprogramyang terbaik bagi terselenggaranyasistem pembangunan kesehatan yang handal.Dalam kaitan itu, ketersediaan sumber dayaorganisasi menjadi faktor yang menentukanterselenggaranya surveilans epidemiologi.Hal yang sama diutarakan informanyang berasal dari DKK Medan. Pihaknyaberharap sekali kegiatan surveilans epidemiologiini dapat berlangsung sebagaimana yangdituangkan dalam SK Menkes <strong>No</strong>. 1116tahun 2003 tersebut. Diakuinya, jikamengacu pada SK tersebut, sumber dayaorganisasi yang ada di DKK sekarangbelum memadai untuk berlangsungnya kegiatansurveilans epidemiologi. Sesuai SK Menkes,sumber daya manusia yang dibutuhkanuntuk terselenggaranya sistem surveilansepidemiologi kesehatan di tingkat kabupatenadalah tersedianya minimal satu tenagaepidemiologi ahli dengan kualifikasipendidikan S2, dua epidemiolog ahli dengankualifikasi pendidikan S1, dan satu tenagadokter umum.Adapun sarana yang dibutuhkan ditingkat kabupaten di antaranya adalah: (a)jaringan elektromedia, (b) alat komunikasi(telepon, faksimil, SSB, dan telekomunikasilainnya), (c) satu paket kepustakaan, (d)pedoman pelaksanaan surveilansepidemiologi, dan program aplikasikomputer, (e) satu paket formulir, (f) duapaket peralatan pelaksanaan surveilansepidemiologi, dan (g) satu roda empat sertadua roda dua. Sedangkan di tingkatpuskesmas, sumber daya manusia yangdibutuhkan adalah satu tenaga epidemiologterampil, dan sarana yang diperlukanmeliputi: komputer, alat komunikasi, paketkepustakaan, paket pedoman pelaksanaansurveilans epidemiologi dan program aplikasikomputer, paket formulir, peralatanpelaksanaan surveilans dan satu roda dua.“Harapan kami tentu saja, sumber dayayang dibutuhkan tersebut tersedia, danseperti yang kami katakan, sekarang ini kamisedang berusaha meyakinkan semua pihakakan pentingnya surveilans epidemiologiuntuk dilaksanakan dalam upaya membangunsistem informasi yang berkualitas, yangdapat digunakan untuk perencanaan, dan jugasebagai sistem kewaspadaan dini atasterjadinya suatu penyakit,” kata informantersebut.KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan1. Persepsi kepala puskesmas tentangsurveilans epidemiologi masih belumcukup baik, disebabkan relatif rendahnyapengetahuan, pengalaman, informasiyang mereka miliki tentang surveilansepidemiologi.2. Sebagai suatu sistem, surveilansepidemiologi belum dijalankan sesuaidengan petunjuk Menkes yang ada, yangkegiatan utamanya disebutkan meliputipengumpulan data, pengolahan, analisisdan penyebarluasan data. Kegiatan yangdilakukan masih terbatas pengumpulandata, dan belum adanya umpan balikkepada puskesmas menyebabkanmotivasi untuk melaksanakan kegiatantersebut secara proporsional juga masihrendah.Saran1. Persepsi kepala puskesmas perluditingkatkan untuk tercapainya suatupemahaman yang komprehensifmenyangkut apa, bagaimana, dan untukapa surveilans epidemiologi itudilaksanakan dalam rangka pembangunankesehatan yang bervisi Indonesia Sehat,dalam bentuk sosialisasi, pelatihan dankegiatan-kegiatan sejenis.2. Dinas Kesehatan Kota Medan sebagaiinstansi yang membawahi puskesmasdiharapkan memiliki komitmen yangtinggi untuk melaksanakan surveilansepidemiologi, sehingga keinginanmenjadikan surveilans epidemiologisebagai intelijen penyakit dapatterwujud.Persepsi Kepala Puskesmas (18 – 22)Ida Yustina dan Heldy B.Z.21


DAFTAR PUSTAKADepartemen Kesehatan. 2003. SurveilansEpidemiologi dan PenanggulanganKejadian Luar Biasa (KLB)Crider, A.B., G.R. Goethals, R.D.Kavanaugh, and P.R. Solomon. 1983.Psychology. Illinois: Scott, Foresman,and Company.Crow, L.D., dan A. Crow. 1972. GeneralPsychology. New Jersey: Adons & Co.Grinder, R.E. 1978. Adolescence. NewYork: Johm Willey & Sons.Kibler, R.J. 1981. Objectives for Instructionand Evaluation. Boston: Allyn andBacon Inc.Mar’at. 1981. Sikap Manusia Perubahanserta Pengukuran. Jakarta: GhaliaIndonesia.Newcomb, T,M. 1956. Social Psychology.New York: Dryden Press Publishers.Rakhmat, J. 1989. Metoda PenelitianKomunikasi. Bandung: CV RemajaKarya.Tubbs, S.L., dan S. Moss. 1996. HumanCommunications, Prinsip-Prinsip Dasar.Bandung: Remaja Rosdakarya.Wijono, Djoko. Manajemen Kepemimpinandan Organisasi Kesehatan. 1997.Surabaya: Airlangga University Press.Young, K. 1956. Social Psychology. NewYork: Appeton Century Craffts.22Persepsi Kepala Puskesmas (18 – 22)Ida Yustina dan Heldy B.Z.


HASSIILL PPEENEELLIITTIIANSTRATEGI PENCEGAHAN KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) MELALUI PENDEKATANFAKTOR RISIKO DI KOTA MEDAN TAHUN 2005Irnawati Marsaulina S. 1 dan Arlinda Sari Wahyuni 21Departemen Kesehatan Lingkungan FKM USUJl. <strong>Universitas</strong> <strong>No</strong>. 21 Kampus USU Medan, 201552 Departemen IKM/IKK/IKP FK USUJl. Dr. Mansur <strong>No</strong>. 5 Kampus USU Medan, 20155ABSTRACTDengue haemorrhagic fever (DHF) is one of the public health problem in Indonesia.The number of regencies infected by DHF tend to increase. This research was aimedto know the strategy of risk factor approach in preventing the extraordinaryincidence of DHF in Medan. The design of the research was case control study toknow the effects of the internal risk factor (education level, knowledge, attitude andpractice) and external risk factor (environmental hygiene, condition of place ofrelocation of water, existence of mosquito larvae) on the incidence of DHF. Thenumber of samples is 110 households. Data processing was conducted by usingunivariat, bivariate analysis (chi square test) and multivariat (logistics regressiontest). The result of this research showed that there was a significant difference in thepotential risk of the incidence of DHF between good attitude and bad attitude(OR:2,2). There was a significant difference in the potential risk of the incidence ofDHF between good practice and bad practice (OR:2,8). For environmental hygiene,there was a difference of possibility of risk of DHF between clean and dirtyenvironment (OR:2,7). Condition of place of relocation of water showed that therewas a difference in the potential risk of the incidence of DHF between good and badof place of relocation (OR:4,6). The existence of mosquito larvae showed that therewas a difference in the potential risk of the incidence of DHF between the places inwhich the mosquito larvae were found and the places in which there mosquitolarvae was not found (OR 5,8). From all the tested variables, it was known that theexistence of mosquito larvae was the most dominant factor of the incidence of DHF.Intervention strategy is focussed on the existence of mosquito larvae in theenvironment by giving more intensive guidance so that it can encourage the societyto be more active in the prevention of DHF.Keywords: Dengue Haemorrhagic Fever, Internal risk factor, External riskfactor, Preventive strategyPENDAHULUANDi seluruh dunia diperkirakanpenduduk yang berisiko terserang penyakitDBD berkisar antara 2,5 – 3 miliar terutamayang tinggal di daerah perkotaan di negaratropis dan sub tropis. Diperkirakan untukAsia Tenggara terdapat sekurang-kurangnya100 juta kasus Demam Dengue (DD) dan500 ribu kasus DBD yang memerlukanperawatan di rumah sakit, dan 90%penderitanya adalah anak-anak di bawah usia15 tahun. Jumlah kematian oleh penyakitDBD setiap tahunnya diperkirakan rata-rata5%, dengan catatan kematian sekitar 25.000terjadi tiap tahunnya (WHO, 1997).Kota Medan merupakan salah satu kotayang mempunyai penduduk yang padat,dengan mobilitas penduduk yang tinggi, sertamerupakan salah satu wilayah endemis DBD23


yang mempunyai potensi yang besar untukterjadinya KLB penyakit DBD. Pada tahun2003 Kota Medan mengalami KLB penyakitDBD dengan IR sebesar 30,09/100.000penduduk, jumlah kasus DBD sebesar 594orang, dengan kematian 9 orang (CFR 1,5%).Pada tahun 2004 terjadi lagi KLB penyakitDBD dengan IR sebesar 36,68/100.000penduduk dengan jumlah kasus 742 orang,dengan kematian 14 orang (CFR 1,89%).Jika dibandingkan dengan Angka IR nasionalyaitu < 5/100.000 penduduk dan CFRnasional < 1%, maka Kota Medan telahmelewati angka nasional (Dinas KesehatanKota Medan, 2004).Penderita DBD yang dirawat di 10Rumah Sakit Umum (RSU) selama KLBTahun 2004 di Kota Medan yang terbanyakadalah di RSU Dr. Pirngadi Medan sebanyak220 orang (29,9%), RSU Gleaneagles 93orang (12,7%), RSU St. Elisabeth Medan 80orang (10,9%), RSU Deli 49 orang (6,7%),RSU Herna 42 orang (5,7%), RSU SariMutiara 28 orang (3,5%), RSU Advent 25orang (3,4%), RSU Martha Friska 23 orang(3,1%), RSU Sarah 19 orang (2,6%), RSUPermata Bunda 15 orang (2%) dan RSlainnya 19,5% (Dinas Kesehatan KotaMedan, 2004).Kecamatan endemis DBD di KotaMedan sejak tahun 2000-2002 terdiri dari 18kecamatan endemis (85,7%) tahun 2000, 18kecamatan endemis (85,7%) tahun 2001 dan19 kecamatan endemis (90,5%) tahun 2002.Sedangkan kelurahan endemis DBD di KotaMedan tahun 2000 sebanyak 26 kelurahan(17,21%), tahun 2001 sebanyak 26 kelurahan(17,21%) dan tahun 2002 sebanyak 37kelurahan (24,50%)(Siregar, N. dkk., 2003).Adapun tujuan penelitian ini adalah:Untuk menentukan strategi pendekatan faktorrisiko dalam pencegahan KLB penyakit DBDdi Kota Medan Provinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>.METODE PENELITIANRancangan penelitian yang digunakanadalah studi analitik observasional dengan disainstudy case control dengan memilih kasus yangmenderita DBD dan kontrol yang tidak menderitapenyakit DBD. Dalam penelitian kemudiandilihat paparan yang dialami subyek pada waktulalu (retrospektif) melalui wawancara denganmenggunakan kuesioner dan melakukanobservasi pada lingkungan rumah responden.Penelitian dilaksanakan di Kota Medanmulai dari Februari sampai dengan Agustus2005.Responden terdiri dari:a. Responden kasus adalah responden yangpernah menderita DBD di Kota Medandan tercatat di Dinas Kesehatan KotaMedan (Pusat posko DBD Kota Medan)yang berumur < 15 tahun dan orangtuapenderita yang berumur >15 tahun.b. Responden kontrol adalah tetanggaterdekat dengan rumah responden dalamsatu lingkungan yang tidak menderitaDBD yang berumur 15 tahun denganpencocokan (matching) sama dengan kasusdalam hal umur dan kondisi tempat tinggal.Responden terdiri dari kasus: orang tuadari kasus, control: orang tua dari kontrol.Dalam pelaksanaan penelitian inipenelusuran ke belakang dilakukan sampaijumlah kasus terpenuhi sebanyak 110 orang.Pengambilan sampel dengan menggunakankriteria eksklusi yaitu apabila respondenyang terpilih pindah/mandah ke luar kotaatau meninggal dunia maka respondentersebut digantikan dengan responden terpilihyang lain, bila responden terpilih tidakberada di tempat atau tidak maudiwawancarai sampai kunjungan ketiga makaresponden tersebut digantikan denganresponden terpilih lainnya. Seandainyaditemukan anak yang bukan penderita DBD(kontrol) berumur < 15 tahun tetapi ada salahsatu anggota keluarga menderita DBD makaorang tua anak tersebut tidak termasuksebagai responden.Untuk perhitungan besar sampeldigunakan rumus:di manan =Zα2+ ZP −β12PQRP = dan Q = 1 – P( 1+R)Keterangan:R = Perkiraan Odds Rasio = 2α = 0,95 Zα= 1,96 β = 0,10Z = 1,28 P = 0,66 Q = 1 – 0,66 = 0,34β224Strategi Pencegahan Kejadian Luar Biasa (23 – 31)Irnawati Marsaulina S. dan Arlinda Sari Wahyuni


Maka berdasarkan hasil perhitungan diatas didapatkan jumlah sampel minimaluntuk kasus = 98 orang penderita DBD dankontrol = 98 orang yang tidak menderitaDBD dengan perbandingan kasus dan kontrolsebanyak 1:1. Dalam penelitian ini jumlahsampel yang diambil sebanyak 100 orangditambah 10% (allowed) = 110 kasus dan110 kontrol.= 220 sampel.Kerangka Konsep PenelitianData yang telah dikumpulkan diolahdan dianalisis dengan menggunakan programkomputer yaitu: analisis univariat, analisisbivariat dan analisis multivariat.HASIL PENELITIANa. Pengaruh Tingkat Pendidikan terhadapKejadian DBDBerdasarkan uji statistik diperoleh nilaip > 0,05, artinya bahwa tidak ada perbedaankemungkinan risiko terkena DBD padatingkat pendidikan rendah dan tinggi dengankejadian DBD.b. Pengaruh Tingkat PengetahuanMasyarakat terhadap Kejadian DBDDari hasil uji statistik diperoleh nilaip>0,05, artinya bahwa tidak ada perbedaankemungkinan risiko terkena DBD padapengetahuan tidak baik dan baik dengankejadian DBD.c. Pengaruh Sikap Masyarakat terhadapKejadian DBDBerdasarkan hasil uji statistik diperolehnilai p < 0,05, artinya bahwa ada perbedaankemungkinan risiko terkena DBD pada sikapmasyarakat yang baik (mendukung) dengansikap masyarakat yang tidak baik (tidakmendukung) terhadap kejadian DBD di KotaMedan.Nilai Odds Ratio (OR) sebesar 2,2, artinyabahwa kemungkinan orang yang menderita DBDbersikap tidak baik 2,2 kali dibandingkan denganorang yang tidak menderita DBD.e. Pengaruh Kebersihan Lingkungan terhadapKejadian DBDBerdasarkan hasil uji statistik diperolehnilai p < 0,05, artinya bahwa ada perbedaankemungkinan risiko terkena DBD padalingkungan yang tidak bersih denganlingkungan yang bersih. Nilai Odds Ratio (OR)sebesar 2,7, artinya bahwa kemungkinan orangyang menderita DBD lingkungannya tidakbersih 2,7 kali dibandingkan dengan orangyang tidak menderita DBD. Oleh karena nilai ppada uji statistik ini p


Tabel 1. Distribusi proporsi berdasarkan tingkat pendidikan terhadap kejadian DBD di KotaMedan tahun 2005PendidikanKejadian DBDX 2OR(p - value) (CI 95 %)KasusKontroln % n %Rendah 16 14,55 12 10,91 0,418 1,39Tinggi 94 85,45 98 89,09 (0,655) (0,62 – 3,09)Jumlah 110 100 110 100Tabel 2. Distribusi proporsi berdasarkan pengetahuan terhadap kejadian DBD di Kota Medantahun 2005PengetahuanKejadian DBDX 2ORKasusKontrol(p - value) (CI 95 %)n % n %Tidak Baik 63 42,73 57 51,82 0,66 1,25Baik 47 57,27 53 48,18 (0,417) (0,7 – 0,1)Jumlah 110 100 110 100Tabel 3. Distribusi proporsi berdasarkan sikap terhadap kejadian DBD di Kota Medan tahun2005Kejadian DBDX 2ORSikapKasusKontrol(p - value) (CI 95 %)n % N %Tidak Baik 47 42,73 27 24,55 8,145 2,2Baik 63 57,27 83 75,45 (0,004*) (1,290 – 4,078)Jumlah 110 100 110 100*) Bermakna secara statistikTabel 4. Distribusi proporsi tindakan masyarakat terhadap kejadian DBD di Kota Medan tahun2005TindakanKejadian DBDX 2ORKasusKontrol(p - value) (CI 95 %)n % n %Tidak Baik 72 65,45 44 40 14,297 2,8Baik 38 34,55 66 60 (0,000*) (1,644 – 4,915)Jumlah 110 100 110 100*) Bermakna secara statistikTabel 5. Distribusi proporsi berdasarkan kebersihan lingkungan terhadap kejadian DBD diKota Medan tahun 2005KebersihanKejadian DBDX 2ORLingkungan(p - value) (CI 95 %)KasusKontroln % n %Tidak Bersih 66 60 39 35,45 13,282 2,7Bersih 44 40 71 64,55 (0,000*) (1,582 – 4,714)Jumlah 110 100 110 100f. Pengaruh Kondisi Tempat PenampunganAir terhadap Kejadian DBDBerdasarkan hasil uji statistik diperolehnilai p


penampungan airnya tidak baik 4,6 kalidibandingkan dengan orang yang tidakmenderita DBD. Oleh karena nilai p pada ujistatistik ini p < 0,05, maka variabel ini akandiikutsertakan dalam analisis multivariat.g. Pengaruh Keberadaan Jentik terhadapKejadian DBDBerdasarkan hasil uji statistik diperolehnilai p 0,05 akan di keluarkan secara berurutandimulai dari p value terbesar (BackwardSelection).Pemilihan Kandidat ModelDalam penelitian ini ada 7 variabelyang diduga mempunyai pengaruh dengankejadian DBD, namun untuk membuat modelmultivariatnya terlebih dahulu harus dilakukan pemilihan kandidat yang akan dijadikan model. Variabel yang mempunyainilai p 0,25 dapat dijadikan kandidatmodel multivariat.Setelah variabel sikap dikeluarkandengan nilai p value > 0,05 secara bertahapdi dalam uji regresi logistik berganda, makadidapatkan variabel yang akan masuksebagai kandidat model yaitu: tindakan,kebersihan lingkungan, kondisi tempatpenampungan air dan keberadaan jentik.Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 10.Tabel 6. Distribusi proporsi berdasarkan kondisi tempat penampungan air terhadap kejadianDBD di Kota Medan tahun 2005KondisiKejadian DBDX 2ORTPA(p - value) (CI 95 %)KasusKontroln % n %Tidak Baik 72 65,45 32 29,09 29,178 4,6Baik 38 34,55 78 70,91 (0,000*) (2,614 – 8,158)Jumlah 110 100 110 100*) Bermakna secara statistikTabel 7. Distribusi proporsi berdasarkan keberadaan jentik terhadap kejadian DBD di KotaMedan tahun 2005KeberadaanKejadian DBDJentikKasusKontrolX 2(p - value)OR(CI 95 %)n % n %Ada 72 65,45 27 24,55 37,190 5,8Tidak Ada 38 34,55 83 75,45 (0,000*) (3,243 – 10,462)Jumlah 110 100 110 100*) Bermakna secara statistikStrategi Pencegahan Kejadian Luar Biasa (23 – 31)Irnawati Marsaulina S. dan Arlinda Sari Wahyuni27


Tabel 8. Distribusi proporsi kasus dan kontrol berdasarkan variabel independen, Nilai p, OR(Odds Ratio), dan Tingkat Kepercayaan 95% di Kota Medan tahun 2005Kejadian DBDVariabel Bebas (Independen)X 2ORKasus Kontrol (p – value) (CI 95 %)Tingkat Pendidikan n % n %Rendah 16 14,55 12 10,91 0,418 1,39Tinggi 94 85,45 98 89,09 0,655 (0,62 – 3,09)Jumlah 110 100 110 100Pengetahuan n % n %Tidak Baik 63 42,73 57 51,82 0,66 1,25Baik 47 57,27 53 48,18 0,417 (0,7 – 0,1)Jumlah 110 100 110 100Sikap n % n %Tidak Baik 47 42,73 27 24,55 8,145 2,2Baik 63 57,27 83 75,45 (0,004*) (1,290 – 4,078)Jumlah 110 100 110 100Tindakan n % n %Tidak Baik 72 65,45 44 40 14,297 2,8Baik 38 34,55 66 60 (0,000*) (1,644 – 4,915)Jumlah 110 100 110 100Kebersihan Lingkungan n % n %Tidak Bersih 66 60 39 35,45 13,282 2,7Bersih 44 40 71 64,55 (0,000*) (1,582 – 4,714)Jumlah 110 100 110 100Kondisi TPA n % n %Tidak Baik 72 65,45 32 29,09 29,178 4,6Baik 38 34,55 78 70,91 (0,000*) (2,614 – 8,158)Jumlah 110 100 110 100Keberadaan Jentik n % n %Ada Jentik 72 65,45 27 24,55 37,190 5,8Tidak Ada Jentik 38 34,55 83 75,45 (0,000*) (3,243 – 10,462)Jumlah 110 100 110 100*) Bermakna secara statistikTabel 9. Uji regresi logistik ganda untuk identifikasi variabel yang akan masuk dalam modeldengan nilai p


Maka berdasarkan Tabel 10 dengan p 0,05,maka dengan demikian disimpulkan tidakada perbedaan kemungkinan risiko terkenaDBD pada pendidikan rendah dan tinggi.b). Pengaruh Pengetahuan Masyarakatterhadap Kejadian DBDBerdasarkan hasil penelitian diketahuibahwa pada kelompok kasus terdapatpengetahuan tidak baik mengenai pencegahanpenyakit DBD sebesar 42,73% sedangkanuntuk kelompok kontrol sebesar 51,82%.Untuk kelompok kasus yang tingkatpengetahuannya baik sebesar 57,27% dan padakelompok kontrol sebesar 48,18%..Berdasarkan hasil uji statistik bivariat diperolehnilai p > 0,05 artinya tidak ada perbedaankemungkinan risiko terkena DBD padapengetahuan tidak baik dan pengetahuan baik.c). Pengaruh Sikap Masyarakat terhadapKejadian DBDPada uji statistik, ternyata terbukti secarasignifikan bahwa ada perbedaan kemungkinanrisiko terkena DBD pada sikap masyarakatyang baik (mendukung) dengan sikapmasyarakat yang tidak baik (tidak mendukung)dengan kejadian DBD. Besarnya pengaruhsikap masyarakat yang tidak baik untukkejadian DBD dengan Odds Ratio (OR) 2,2artinya bahwa kemungkinan orang yangmenderita DBD bersikap tidak baik 2,2 kalidibandingkan dengan orang yang tidakmenderita DBD.Hal tersebut mungkin disebabkanmasyarakat sudah terpengaruh oleh gaya hidupperkotaan yang cenderung individualistis, sertatidak perduli dengan kondisi lingkungannyadan lebih cenderung mementingkankepentingan diri sendiri. Faktor lain yangmenyebabkan hal ini juga dimungkinkanoleh petugas kesehatan, petugas kelurahan,dan kader yang kurang aktif dalammemotivasi masyarakat untuk mencegahterjadinya DBD karena keterbatasan danaoperasional.d). Pengaruh Tindakan Masyarakat terhadapKejadian DBDTindakan responden dalam kategori tidakbaik untuk kelompok kasus sebesar 65,45%dan pada kelompok kontrol sebesar 40%.Berdasarkan hasil uji statistik diperolehnilai nilai p < 0,05, artinya bahwa adaperbedaan kemungkinan risiko terkena DBDpada tindakan masyarakat yang baik(mendukung) dengan tindakan masyarakatyang tidak baik (tidak mendukung) dengankejadian DBD di kota Medan. Nilai OddsRatio (OR) sebesar 2,8 artinya bahwakemungkinan orang yang menderita DBDtindakannya tidak baik 2,8 kali dibandingkandengan orang yang tidak menderita DBD.e). Pengaruh Kebersihan LingkunganMasyarakat terhadap Kejadian DBDBerdasarkan hasil uji statistik diperolehnilai p < 0,05, artinya bahwa ada perbedaankemungkinan risiko terkena DBD padalingkungan yang tidak bersih denganStrategi Pencegahan Kejadian Luar Biasa (23 – 31)Irnawati Marsaulina S. dan Arlinda Sari Wahyuni29


lingkungan yang bersih. Nilai Odds Ratio(OR) sebesar 2,7, artinya bahwakemungkinan orang yang menderita DBDlingkungannya tidak bersih 2,7 kalidibandingkan dengan orang yang tidakmenderita DBD.f). Pengaruh Kondisi Tempat PenampunganAir (TPA) Masyarakat terhadap KejadianDBDBerdasarkan hasil uji statistik diperolehnilai p


Depertemen Kesehatan R.I., 1997,Keputusan Menteri Kesehatan tentangPemberantasan Penyakit DBD, Dit.JenPPM & PL. Dep. Kes.RI, Jakarta.Murti, B., 2003, Prinsip dan MetodologiRiset Epidemiologi, Gajah MadaUniversity Press, Yogyakarta, pp 4 - 9Biro Pusat Statistik, 2004. ProyeksiPenduduk <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> MenurutKabupaten/Kota dan Kecamatan Tahun2004-2010, Medan.Sastroasmoro S., 2002, Dasar-DasarMetodologi Penelitian Klinis, SagungSeto, Jakarta.Departemen Kesehatan R.I., 1999, PetunjukTeknis Pengamatan Penyakit DBD,Dit.Jen PPM & PL. Dep. Kes.RIJakarta.Hastono, SP, 2001, Analisis Data, FakultasKesehatan Masyarakat, <strong>Universitas</strong>Indonesia, Jakarta.Beaglehoe. R., Bonita R dan Kjellstrom T.,1997, Dasar–Dasar Epidemiologi,Sutomo A. H., (Terjemahan), GajahMada University Press, Yogyakarta.Strategi Pencegahan Kejadian Luar Biasa (23 – 31)Irnawati Marsaulina S. dan Arlinda Sari Wahyuni31


HASSIILL PPEENEELLIITTIIANPEMANFAATAN KITOSAN DARI KULIT UDANGSEBAGAI MEMBRAN HEMODIALISAJamaran Kaban 1 , Hakim Bangun 2 , dan Daniel 31 Jurusan Kimia FMIPA USU, 2 Jurusan Farmasi FMIPA USU,Jl. Bioteknologi <strong>No</strong>. 1 Kampus USU Medan, 201553 Jurusan Kimia FMIPA <strong>Universitas</strong> MulawarmanSamarinda, Kalimantan TimurABSTRACTChitosan membrane was prepared by dissolving chitosan in acetic acid 1.5%(w/v) as thin layer. Characteristics of the chitosan membrane are diffusion test,tensile strength, elasticity, swelling behaviour and SEM. The diffusion of urea,sodium salycilate and albumin in chitosan membrane at 180 minutes are315.055 mcg/ml, 20.614 mcg/ml and 0 mcg/ml respectively. Based on thisresearch, the chitosan are potential to be used as haemodialysis membrane.Keywords: Chitosan, Membrane, Urea, Na salysilat, AlbuminPENDAHULUANPembangunan yang pesat di bidangindustri di satu sisi meningkatkan kualitashidup manusia yaitu dengan meningkatnyapendapatan masyarakat. Di sisi lain akanberakibat pada penurunan kesehatan akibatadanya pencemaran dari limbah industritersebut. Hal ini terjadi karena kurangnya atautidak memadainya fasilitas peralatan untukmenangani dan mengolah limbah tersebut.Kulit udang yang mengandungsenyawa kimia kitin dan kitosan merupakanlimbah yang banyak dijumpai pada industripengolahan udang yang selama ini belumtermanfaatkan secara optimal. Saat ini budidaya dengan tambak telah berkembangdengan pesat karena udang merupakankomoditi ekspor yang dapat dihandalkandalam meningkatkan ekspor non migas danmerupakan salah satu jenis biota laut yangbernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesiapada umumnya diekspor dalam bentuk udangbeku yang telah dibuang bagian kepala, kulitdan ekornya.Limbah yang dihasilkan dari prosespembekuan udang pengalengan udang danpengolahan kerupuk udang berkisar antara 30– 75% dari berat udang. Dengan demikianjumlah bagian yang terbuang dari usahapengolahan ikan cukup tinggi. Limbah kulitudang mengandung konstituen utama yangterdiri dari protein, kalsium karbonat, kitin,pigmen, abu dan lain-lain.Meningkatnya jumlah limbah udangmasih merupakan masalah yang perludicarikan upaya pemanfaatannya. Hal inibukan saja memberikan nilai tambah padausaha pengolahan udang akan tetapi jugadapat menanggulangi masalah pencemaranlingkungan yang ditimbulkan.Kitin adalah sejenis polisakaridaturunan selulosa yang memiliki gugus N-asetil pada posisi atom C-2. Senyawa inibanyak terdapat pada kulit luar hewaninvertebrata seperti antropoda, moluska, danannelida. Kitin juga terdapat pada dinding seltumbuhan kelas rendah terutama pada selfungi. Kulit-kulit crustaceae seperti kulitudang mengandung 20 – 30% kitin dan kulitkepiting mengandung 15 – 20% kitin danjuga selaput cumi-cumi 100% (Alimuniar,A., dan Zainuddin, R., 1992).Kitosan merupakan polisakarida yangterdapat dalam jumlah melimpah di alam.Kitosan adalah poli [β-(1,4)-2 amino-2 deoxy-D-glukopiranosa] dan merupakan produkdeasetilasi kitin dan tergantung dari kitin yangdiperoleh dan kelarutannya dalam suatu alkaliserta waktu yang digunakan dalam deasetilasi.32


Material ini telah banyak digunakan dalambidang biomedis dan farmasetika dikarenakansifatnya yang biodegradable, biokompatibeldan tidak beracun.Kitin dan kitosan banyak digunakandalam berbagai bidang industri antara lainindustri farmasi, kesehatan, bioteknologi,pangan, biokimia, pengolahan limbah,kosmetik, agroindustri, industri tekstil,industri perkayuan, industri kertas danindustri elektronika (Rismana, E., 2000).Dalam bidang industri farmasi, kitosandapat digunakan sebagai bahan pembuatanmembran namun kekuatan mekaniknyarendah. Oleh karena itu untuk memperbaikikekuatan mekaniknya maka kitosan harusdiikat silang.Pada saat ini penelitian tentangpemanfaatan polimer alam sebagai membran,khususnya membran hemodialisa sedangdikembangkan. Selama ini yang banyakdigunakan sebagai membran hemodialisaadalah membran selulosa dan turunannya.Selain turunan selulosa, pernah jugadilakukan karakterisasi membran kitin untuktujuan dialisis. Kitosan yang merupakanderivat kitin juga berpotensi intuk digunakansebagai membran hemodialisa (Krajang, S.J.,et al., 2000).Berdasarkan hal tersebut di atas penelitiingin membuat membran kitosan untukdimanfaatkan sebagai membran hemodialisa.BAHAN DAN METODEBahan dan AlatBahan yang digunakan dalampenelitian ini adalah kitosan dari kulit udang,albumin, urea, natrium salisilat, NaOH,Reagen Nesler, asam asetat glasial, asamklorida dan asam sulfat yang merupakanproduk E’Merck.Alat yang digunakan dalam penelitianini terdiri dari alat-alat gelas yang biasadigunakan di laboratorium, magnetik stirer,neraca analitis, konduktometer, termometer,plat kaca berpenyangga, spektronik MiltonRoy 1201. Termostat, sel difusi untuk ujidifussi, ASM-SX Shimadzu untuk SEM, alatuniversal Testing Machine type: SC-2DEuntuk uji kekuatan tarik dan Analisis denganspektroskopi FT-IR.Prosedur PenelitianPembuatan Membran KitosanDitimbang 1,5 gr kitosan dandilarutkan dengan menambahkan 100 mlasam asetat 1,5% (v/v). Gel yang terbentukdituang di atas plat kaca dan kemudiandikeringkan pada suhu kamar. Setelah keringditeteskan larutan NaOH 2% (w/v) padapermukaan membran dan dibiarkan satumalam. Film yang terbentuk diimersikanbeberapa kali dalam aquades dan kemudiandikeringkan pada suhu 60 o C dalam ovenselama 24 jam. Pada bagian lain dibuatlarutan induk baku dan ditentukan λmaksimum untuk urea, Na salisilat danalbumin serta dibuat kurva kalibrasi untukurea, Na salisilat dan albumin tersebut.Uji Difusi Urea, Na Salisilat dan AlbuminMelalui Membran KitosanDitempatkan membran kitosan diantara kedua bejana alat difusi. Dimasukkan10 ml larutan urea mcg/ml kedalam bejanadifusi disebelah kiri (A) sementara disebelahkanan (B) dimasukkan aquades denganvolume yang sama. Sel difusi ditempatkanpada thermostat dengan suhu 37 o C. Padaselang waktu tertentu (1, 3, 5, 10, 15, 30, 45,60, 90, 120, 150 dan 180 menit) urea yangterdifusi kedalam bejana B diambil sebanyak1 ml. Sesudah diambil, pada bejana yangsama (bejana B) kemudian ditambahkanaquades dengan volume yang sama (1 ml).Masing-masing larutan urea hasil difusidipanaskan pada suhu 60 o C selama 30 menit,diteteskan reagen nesler dan dibiarkan 20menit, lalu diencerkan dalam labu takar 10ml dengan aquades. Absorbansi larutan yangterdifusi diukur pada λ = 409 nm, denganmenggunakan spektronik Milton Roy 1201.Hasil pengukuran Absorbansi digunakanuntuk menentukan konsentrasi urea yangterdifusi. Untuk uji difusi Na salisilat samadengan uji difusi urea. Perbedaanya dalampenetapan kadar, larutan aliquot diencerkandengan larutan H 2 SO 4 0,1 N dan pengukuranabsorbansinya dilakukan pada λ = 237 nmdan hasil pengukuran absorbansinyadigunakan untuk menentukan konsentrasinatrium salisilat yang terdifusi. Begitu jugadengan uji difusi albumin sama dengan urea,perbedaannya dalam penetapan kadar,larutan aliquot tidak perlu dipanaskan danditeteskan reagen nesler cukup diencerkanPemanfaatan Kitosan dari Kulit Udang (32 – 37)Jamaran Kaban, Hakim Bangun, dan Daniel33


dengan aquades dan pengukuranabsorbansinya dilakukan pada λ = 278 nm.Uji Pengembangan Membran KitosanMembran kitosan yang kering,ditimbang kemudian direndam dalam beakeryang berisi 200 ml aquades. Membran yangdirendam pada selang waktu 1, 30, 60, 120dan 180 menit dikeringkan permukaannyadan ditimbang beratnya. Hasil yang diperolehdigunakan untuk menentukan persentasepertambahan berat atau swelling membran.Untuk menentukan persentase pertambahanberat atau swelling membran digunakanrumus %S = [(P-Po)/Po] x 100 di mana %S= persentase pengembangan membran, Po =Berat membran kering dan P = beratmembran sesudah dicelup pada selang waktutertentu.HASIL DAN PEMBAHASANMembran KitosanMembran kitosan dapat dibuat denganmelarutkan kitosan dalam asam asetat 1,5%(w/v), dengan konsentrasi asam asetat yangdigunakan 1,5% (v/v). Kondisi pengeringanyang paling baik adalah pada suhu 60 o Cdalam oven selama 24 jam. Membran yangdihasilkan tipis, transparan tapi tidak mudahkoyak. Hasil SEM membran kitosan sebelumdilakukan uji difusi, menunjukkan morfologipermukaan yang halus (Gambar 1) denganketebalan 0,0875 cm. Sesudah dilakukan ujidifusi, membran menjadi lebih transparandan pada permukaan, muncul butiran-butiranyang membuat membran menjadi agak kasar.Perubahan ini terlihat dengan foto SEM(Gambar 2).Gambar 2. Foto SEM membran kitosansesudah difusiDifusi Zat melalui Membran KitosanJumlah Zat yang TerdifusiTabel 1. Data konsentrasi zat yang terdifusimelalui membran kitosan persatuan waktuWaktuKonsentrasi (mcg/ml)(menit) Urea Na Salisilat AlbuminKonsentrasi (mcg/ml)0135101530456090120150180350300250200150100500.000136.330144.643148.799157.112169.581182.050190.363206.989223.614248.553273.491315.0550.0004.3865.0445.4825.9216.7988.99111.40412.50014.47416.44717.76320.6140.0000.0000.0000.0000.0000.0000.0000.0000.0000.0000.0000.0000.00000 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180Waktu (menit)Urea Na salisilat AlbuminKurva 1. Perbandingan penetrasi beberapapenetran melalui membran kitosanper satuan waktuGambar 1. Foto SEM membran kitosansebelum difusi34Pemanfaatan Kitosan dari Kulit Udang (32 – 37)Jamaran Kaban, Hakim Bangun, dan Daniel


Data pada tabel dan kurva tersebut,menunjukkan bahwa jumlah urea yangterdifusi pada selang waktu tertentu melaluimembran kitosan, lebih banyak daripada NaSalisilat, sedangkan albumin sama sekalitidak bisa melewati membran.Fluks ZatData Fluks Zat yang Terdifusi melaluiMembran KitosanTabel 2. Data fluks zat yang terdifusi melaluimembran kitosanWaktu Fluks zat (mcg.cm -2 .s -1 )(menit) Urea Na Salisilat0 0.000 0.0001 2.010 0.0653 0.711 0.0255 0.439 0.01610 0.232 0.00915 0.167 0.00730 0.089 0.00445 0.062 0.00460 0.051 0.00390 0.037 0.002120 0.031 0.002150 0.027 0.002180 0.026 0.002Fluks2.521.510.500 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180UreaWaktu (menit)Na salisilatKurva 2. Perbandingan fluks beberapa penetranmelalui membran kitosanDari data pada tabel dan kurva di atas,terlihat bahwa jumlah molekul urea yangmelewati penampang melintang membrankitosan per satuan waktu lebih banyakdibanding Na salisilat.Pada uji Pengembangan pada membrankitosan menunjukkan bahwa membrankitosan tidak mengalami pengembangandalam air seperti terlihat pada Tabel 3.Uji Kekuatan TarikPengujian kekuatan tarik membrandilakukan pada suhu kamar, dengan beratbeban 100 kgf dan kecepatan 10 mm/menit.Kekuatan tarik membran dapat dilihat darinilai Load dan Stroke yang dimilikinya. NilaiLoad (kgf) menyatakan kekuatan tarik padasaat putus, sedangkan stroke (mm/menit)menunjukkan kekuatan regangan pada saatputus. Nilai Load dan stroke biasanyaberbanding terbalik.PembahasanDari berbagai perbandingan massakitosan dalam asam asetat, konsentrasi yangpaling baik adalah 1,5% (w/v), dengankonsentrasi asam asetat yang digunakan1,5% (v/v). Suhu pengeringan yang optimumuntuk penegringan membran kitosan adalahpada suhu 60 0 C selama 24 jam. Pengeringanpada suhu kamar, justru menghasilkanmembran yang kuat dan mengkerut.Setelah mengalami difusi, membrankitosan mengalami pengerutan (Gambar 2).Hal ini menunjukkan bahwa membran hanyamengalami perubahan fisika, tidakmengalami perubahan struktur dan reaksikimia dengan zat yang terdifusi.Tabel 3. Data pengembangan membran kitosanWaktu (menit) 0 1 30 60 90 120 150 180Pengembangan(%) 0 38 50 50 63 63 63 63Tabel 4. Data kekuatan tarik (load), kekuatan regangan (stroke), dan persentasi pertambahanpanjang membran kitosanUlangan Load StrokePanjang(l)Pertambahan Panjang(kgf) (mm/menit) 1 awal (mm) 1akhir (mm)(%)1 1.170 18.940 63.000 72.000 14.2862 0.980 25.750 65.000 78.000 20.000Rata-rata 1.075 22.345 64.000 75.000 17.143Pemanfaatan Kitosan dari Kulit Udang (32 – 37)Jamaran Kaban, Hakim Bangun, dan Daniel35


Difusi Zat Melalui Membran MembranKitosanBerhubung tujuan penelitian ini hanyauntuk melihat terjadinya difusi zat tertentuatau tidak, maka waktu yang digunakandalam penelitian ini hanya sampai 180 menit.Proses difusi dipengaruhi oleh struktur,ukuran pori dan komposisi polimer, sifat danukuran zat serta konsentrasi larutan. Olehkarena berat molekul urea lebih kecildibandingkan Na salisilat dan albumin, makadapat dipahami mengapa jumlah molekulnyayang terdifusi per satuan waktu melaluimembran kitosan (Kurva 1), lebih banyakdaripada Na salisilat. Sebaliknya albuminyang merupakan makromolekul, sama sekalitidak bisa terdifusi melalui membran,dikarenakan berat molekulnya yang terlalubesar.Kinerja membran ditunjukkan antaralain dari nilai fluksnya. Semakin besar nilaifluks, kinerja membran semakin baik. Lebihbesarnya nilai fluks urea dan Na salisilatmelalui membran kitosan per satuan waktu,menunjukkan kinerja membran kitosan yanglebih baik. Hal ini kemungkinan disebabkanoleh struktur membran kitosan yangmemiliki ukuran pori lebih besar. Walaupuntida ada data yang mendukung tentang halini, namun morfologi permukaan membran,baik yang terlihat dengan mata maupunSEM, menunjukkan indikasi ke arah itu.Pengembangan Membran KitosanSwelling (pengembangan) adalahpeningkatan volume suatu material pada saatkontak dengan cairan, gas, atau uap.Pengujian ini dilakukan antara lain untukmemprediksi ukuran zat yang bisa terdifusimelalui material-material tertentu. Ketikasuatu biopolimer kontak dengan cairanmisalnya air, terjadinya pengembangandisebabkan adanya termodinamika yangbersesuaian antara rantai polimer dan airserta adanya gaya tarik yang disebabkan efekikatan silang yang terjadi pada rantaipolimer. Keseimbangan swelling dicapaiketika kedua kekuatan ini sama besar.Berhubung sifat termodinamika polimerdalam larutan berbeda beda, maka tidak adateori yang bisa memprediksikan dengan pastitentang sifat pengembangan. Ketikamembran mengembang, mobilitas rantaipolimer bertambah sehingga memudahkanpenetrasi pelarut. Selain itu ion-ion kecilyang terperangkap dalam membran, berdifusimeninggalkan membran, sehinggamemberikan peluang yang lebih besar bagipelarut untuk mengisi ruang-ruang kosongyang ditinggalkan. Pertambahan beratkitosan disebabkan oleh terisinya pori-porimembran yang kosong oleh air hingga selangwaktu tertentu. Setelah jenuh, membrankitosan tidak lagi mengalami pertambahanberat (beratnya konstan) Dari Tabel 4,diketahui bahwa kekuatan tarik (load)membran kitosan bersifat kuat dan elastis.Spektrum IR membran kitosanmenunjukkan adanya serapan pada daerahbilangan gelombang (cm -1 ): 3325 (N-H bending,O-H stretching), 2885.3 (C-H sp 3 stretching),1651,0 (C=O amida), 1581.5 (C-N). Munculnyapuncak amida, disebabkan kitosan yangdigunakan belum terdeasetilasi seluruhnya(masih mengandung gugus asetamido).KESIMPULAN DAN SARANKesimpulanKitosan dapat dibuat menjadi membrandengan melarutkannya dalam asam asetat1,5% (w/v), dengan konsentrasi asam asetatyang digunakan 1,5% (v/v) dan suhupengeringan 60 o C selama 24 jam Jumlahmolekul urea dan Na salisilat yang terdifusimelalui membran kitosan pada saat 180menit adalah sebesar 315,055 mcg/ml dan20,614 mcg/ml, sedangkan untuk albuminsama sekali tidak terdifusi (0 mcg/ml),sehingga membran ini berpotensi untukdigunakan sebagai membran hemodialisa.SaranDisarankan kepada peneliti selanjutnyauntuk meneliti kemungkinan pemanfatanmembran kitosan sebagai pembalut luka.DAFTAR PUSTAKAAlimuniar, A., Zainuddin, R., (1992), “AnEconomial Technique for ProducingChitosan”, Advances integration chitinand chitosan, London, Elseivier.Boisseson, M., M. Leonard, P. Hubert,(2004), “Physical Alginat HidrogelBased on Hydrophobic or DualHydropobic/Ionic Interaction: BeadFormation, Structur and Stability”,Journal of Colloid and InterfaceScience, 273:131-139.36Pemanfaatan Kitosan dari Kulit Udang (32 – 37)Jamaran Kaban, Hakim Bangun, dan Daniel


Cruz, M.C.P., Sergio P. Ravagnani, Fabio M.S.Brogna, (2004), “Evaluation of theDiffusion Coefficient for ControlledRelease of Oxytetracycline fromAlginate/Chitosan/Poly(Ethylene Glycol)Microbeads in Simulated GastrointestinalEnvironments”, Biotechnologi. Appl.Biochem, 40:243-253.Jones, A.J., (1987).”Membrane and SeparationTechnology”, The Australian Perspective,Australian Government PublishingService, Canbera.Knill, C.J., J.F. Kennedy, J. Mistry, M.Miraftab, G. Smart, M.R. Groocock,H.J. William, (2003), “Alginate FibreModified With Unhydrolysed andHydrolysed Chitosan for WoundDressing”, Carbohydrate Polymers,55:65-76.Krajang, S.J., Anil Kumar Anal, Willem F.Stevens, (2000),”Separatin ofBiomolecules through ChitosanMembranes in Continous DialyzingChamber”, AbstractKrajewska, B., (2001),”DiffusionalProperties of Chitosan HydrogelMembranes”, Journal of ChemicalTechnologi and Biotechnology,76:636-642.Marganof, (2003),” Potensi Limbah UdangSebagai Penyerap logam berat (timbal,kadmium, dan tembaga) di perairan”,Pengantar ke Falsafah Sains, programpasca sarjana IPB. BogorOnar, N., M. Sariisik, (2004). “Using andProperties Biofiber Based on Chitinand Chitosan on Medical Application”,Textile Enginering Department,Turkey, 1-7.Robinson, D.S., (1987), “Food Biochemistryand Nutritional Value”, LongmanScientific & Technical, LongmanGroup, John Willey & Sons, NewYork.Synowiecki, J., Nadia Ali Al-Khateeb,(2003),” Production, Properties andSome New Application of Chitin andIts Derivates”, Critical Reviews inFood Science and Nutrition, 43:145-171.Taqieddin E., Carolyn L., Manssor A.,(2002), “Perm-Selective ChitosanAlginate Hybrid Microcapsules forenzym immobilization Technology”,Pharmaceutical Engineering, <strong>Vol</strong> 22<strong>No</strong>.6:1-3.Pemanfaatan Kitosan dari Kulit Udang (32 – 37)Jamaran Kaban, Hakim Bangun, dan Daniel37


HASSIILL PPEENEELLIITTIIANPENGARUH INDEKS GLIKEMIK, KOMPOSISI, DAN CARAPEMBERIAN PANGAN TERHADAP RESPONS GLIKEMIKPADA SUBYEK OBES DAN NORMALRimbawan 1 , Hidayat Syarief 1 , Darwin Dalimunthe 2 , dan Albiner Siagian 31Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB Bogor2Departemen Gizi Fakultas Kedokteran USU Medan3Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU MedanABSTRACTThis research was aimed to analyze the effects of glycemic index, composition,and frequency of serving of food on glycemic response after lunch. The studydesign was randomized controlled trial with high glycemic index food ascontrol. The location of the research was in Medan, <strong>No</strong>rth <strong>Sumatera</strong> Province.Total subjects were 64 which consisted of 32 normal and 32 obese subjects,based on their body mass index. The number of male and female subjects wereselected equally. Subject aged between 18 to 35 years. Test meals consisted offour types, i.e. high glycemic index food (GI:94), low glycemic index food(GI:52), medium glycemic index (high carbohydrate-low fat, GI:66), andmedium glycemic index (low carbohydrate-high fat, GI:64) served at themorning. Reference food was white bread (GI:100).The study showed that mealswith low glycemic index served at the morning were able to decrease theglycemic responsse of the lunch meals. There was no significant difference(p


penerapan konsep IG pada penanganan DMdan obesitas. Salah satu penyebab keraguanitu adalah terbatasnya studi yangmenganalisis pengaruh IG pangan terhadaprespon glikemik dan insulinemik sepanjanghari. Beberapa peneliti menganjurkan untukmelakukan penelitian sejenis dengan desainyang berbeda pada populasi yang berbeda(etnis, kelompok umur, dan kondisifisiologis) untuk menambah bukti ilmiahberkaitan dengan efek IG pangan padapengendalian glikemik dan insulinemik.Hal yang penting dan mendasar padapengaturan diet bagi penderita DM, termasukuntuk mencegah efek komplikasinya, adalahterkendalinya respon glikemik sepanjang hari(Willet et al. 2002). Beberapa penelitimenduga bahwa modifikasi pangan⎯IG,komposisi dan cara pemberian pangan⎯padapagi, siang, atau, malam hari dapatmemperbaiki pengendalian glikemik (mencegahhiperglikemia) pasca-mengonsumsi panganberikutnya.Pertanyaan yang akan dijawab dalampenelitian ini adalah bagaimana pengaruh IG,komposisi, dan cara pemberian pangan(modifikasi pangan) pagi hari pada responglikemik pasca-mengonsumsi pangan makansiang.Tujuan PenelitianSecara umum, penelitian ini bertujuanuntuk mengetahui pengaruh IG, komposisi,dan cara pemberian pangan pagi hariterhadap respon glikemik pangan makansiang. Sedangkan tujuan khususnya adalahmengetahui perbedaan respon glikemikpasca-mengonsumsi pangan pasca-makansiang antara pangan uji dan pangan patokan;dan mengetahui perbedaan respon glikemikpasca-makan siang menurut IG, komposisizat gizi, dan frekuensi pemberian makan.Manfaat Penelitian• Menghasilkan informasi tambahan(bukti ilmiah) berkaitan denganmodifikasi pangan pada pagi haridan efeknya pada pengendalianglikemik pada siang hari.• Menghasilkan data dasar pentinguntuk penatalaksanaan diet bagipenderita DM dan obesitas.BAHAN DAN METODELokasi dan Waktu PenelitianPenelitian ini dilaksanakan di Medan<strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>. Analisis biokimia darah(hemoglobin, glukosa, trigliserida, dankolesterol) dilakukan dengan bekerja samadengan Laboratorium Klinik Gatot SubrotoMedan. Sedangkan, analisa komposisi zatgizi pangan dilakukan di LaboratoriumKimia Makanan, Departemen GiziMasyarakat IPB. Penjaringan subyekpenelitian dan pengambilan data berlangsungpada bulan Mei – Oktober 2005.Penyiapan PanganPangan AcuanPangan acuan yang digunakan adalahroti tawar (IG:100) yang mengandung 50gram karbohidrat. Alasannya adalah karenaroti tawar lebih mencerminkan mekanismefisiologis dan metabolik daripada glukosamurni (Miller et al., 1997).Pangan UjiBerdasarkan IG-nya, pangan uji dibagimenjadi 2 kelompok, yaitu pangan yangmemiliki IG rendah (IG70). Sedangkan menurut komposisinya,pangan dibagi menjadi dua kelompok, yaiturendah karbohidrat-tinggi lemak (persentasesumbangan kalori 60% dari karbohidrat, 25%dari lemak, dan 15% dari protein) dan rendahlemak-tinggi karbohidrat (dengan persentasesumbangan kalori 25% dari karbohidrat, 60%dari lemak, dan 15% dari protein). Keduajenis komposisi pangan ini juga mewakilipangan dengan IG sedang (IG:55-70).Kuantitas energi pangan uji, masing-masing,adalah 750 kkal.Pangan uji siang hari adalah panganyang memiliki IG tinggi (IG:100) yangmengandung 750 kkal. Pangan siangdiberikan kepada subyek 4 jam setelahpemberian pangan pagi.Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara Pemberian Pangan (38 – 47)Rimbawan, Hidayat Syarief, Darwin Dalimunthe, dan Albiner Siagian39


Tabel 1. Komposisi zat gizi pangan uji setara 750 kkalPangan UjiKarbohidrat 1 Protein Lemak Serat 2g kkal g kkal g kkal gIG-rendah 103,5 414,0 38,0 152,0 20,5 184 4,3IG-sedang (komposisi-1) 112,4 450.0 38,2 152,0 16,2 146,0 4.3IG-sedang (komposisi-2) 56,4 226,0 43,5 175,0 38,9 350,0 4.2IG-tinggi 103,2 412,0 37,4 150,0 20,8 188,0 4,61 by difference; 2 serat total; Komposisi-1: tinggi karbohidrat-rendah lemak;Komposisi-2: rendah karbohidrat-tinggilemakAnalisis Zat GiziPangan uji yang akan diukur IG-nyaterlebih dahulu dianalisis profil gizimakronya, yaitu karbohidrat (karbohidrattotal, available carbohydrate, pati⎯amilosadan amilopektin⎯serat total, dan seratkasar), protein total dan lemak total.Komposisi Pangan UjiPangan uji terdiri atas empat jenis,yaitu pangan uji IG-rendah, pangan uji IGsedangkomposisi-1 (tinggi karbohidratrendahlemak), pangan uji IG-sedangkomposisi-2 (rendah karbohidrat-tinggilemak), dan pangan uji IG-tinggi. Sementaraitu, cara pemberian makan juga dibedakan,yaitu satu kali pemberian dan dua kalipemberian. Kuantitas kalori pangan ujiadalah 750 kkal. Kuantitas pangan untuk duakali pemberian masing-masing adalah 375kkal.Agar memenuhi kriteria nilai IG,selanjutnya IG pangan uji diperkirakandengan metode pengukuran IG pangancampuran (Miller et al., 1997). Indeksglikemik masing-masing pangan penyusunpangan uji diperoleh dari International Tableof Glycemic Index and Glycemic Load(Foster-Powel et al., 2002).Pangan uji IG-tinggi disusun olehkentang rebus, gula, daging sapi rebus,wortel rebus, dan jus semangka, dansecukupnya. Sedangkan pangan uji IGrendah terdiri atas nasi ramos kukus, gulaputih, daging sapi rebus, buncis rebus, danjus apel, dan garam secukupnya.Kentang rebus (IG:96), gula (IG:74),dan wortel rebus (IG:90) sebagai komponenutama pangan uji IG-tinggi menyumbang IGcampuran berturut-turut sebesar 58,6 (65%),12,9 (14%), dan 10,3 (11%). Sementara itu,pada pangan uji IG rendah, buncis rebus(IG:30) dan jus apel (IG:40) berperanmenurunkan IG pangan campuran.Pangan uji IG-sedang (tinggikarbohidrat-rendah lemak) didasarkan padaporsi sumbangan kalori dari karbohidrat,protein, dan lemak pangan. Proporsisumbangan kalori tersebut adalah 60% darikarbohidrat, 25% dari lemak, dan 15% dariprotein. Pangan uji IG-sedang ini terdiri atasnasi ketan hitam kukus, dada ayam goreng,putih telur bebek rebus, susu tepung, buncisrebus, jus apel, gula, dan garam secukupnya.Komposisi kalori pangan uji IG-sedang(rendah karbohidrat-tinggi lemak) adalah60% kalori dari lemak, 25% kalori darikarbohidrat, dan 15% kalori dari protein.Pangan uji ini tersusun dari nasi ketan hitamkukus, dada ayam goreng, lemak kambing,satu porsi susu tepung, buncis rebus, jus apel,dan garam secukupnya.Pengukuran Indeks GlikemikProsedur penentuan IG pangan dilakukandengan prosedur baku (Miller et al. 1997).Pengukuran IG dilakukan di sebuah rumah diMedan. Selama pengukuran IG, subyek beradadalam keadaan duduk santai (aktivitas ringan).Kurva polinomial respons glikemik masingmasingpangan uji ditentukan denganpendekatan trial and error dengan bantuanperangkat lunak Microsoft Excel version 12.Model polinomial terpilih adalah yang memilikinilai R 2 yang paling tinggi.Subyek PenelitianSubyek penelitian berumur 18-30tahun yang terdiri atas dua kelompok, yaitunormal dan kelompok obes. Untuk satu jenispangan uji (perlakuan) dibutuhkan delapanorang subyek normal dan delapan orangsubyek obes (masing-masing empat orangpria dan wanita). Setiap kelompok subyekmengalami perlakuan untuk pemberianpangan sela (dua kali pemberian), setelahtiga hari periode wash out. Jumlah totalsubyek adalah 64 orang.Subyek dilengkapi dengan suratpernyataan kesediaan dan inform consent,serta ethical clearance nomorKS.02.01.2.1.2746 tanggal 16 September2005. Subyek terlebih dulu menjalanipemeriksaan profil biokimia darah (kadar40Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara Pemberian Pangan (38 – 47)Rimbawan, Hidayat Syarief, Darwin Dalimunthe, dan Albiner Siagian


hemoglobin, glukosa, trigliserida, dankolesterol total).Kriteria inklusi subyek adalah: tidakmemiliki riwayat penyakit DM, tidak sedangmangalami gangguan pencernaan, tidakmenggunakan obat terlarang, dan tidakmengonsumsi alkohol. Indeks massa tubuh(IMT) subyek adalah antara 20–25 kg/m 2(normal) dan IMT ≥ 25 (obes). Selanjutnya,subyek tidak memiliki riwayat atau sedangmengalami hipertensi dan tidak sedangmengalami tekanan psikologis. Tingkataktivitas fisik adalah sedang serta merekaberasal dari suku Batak. Subyek dialokasikansecara merata ke dalam setiap kelompok.Penempatan subyek ke dalam kelompokdilakukan secara acak berstrata.Desain PenelitianPengujian efek IG, komposisi zat gizi,dan frekuensi pemberian sarapan padarespons glikemik dan nafsu makan pascamakansiang dilakukan dengan metodeeksperimen dengan studi acak kelompokterkendali (Kelinbaum et al., 1982; Murti2003). Pemberian pangan uji dan penempatansubyek pada kelompoknya dilakukan secaraacak. Pemberian pangan uji (sarapan)dilakukan pada pukul 8.00 WIB, setelahsubyek menjalani puasa, kecuali air.Pemberian Pangan Uji (Satu Kali PemberianMakan)Pada pagi hari (pukul 8.00 WIB),sebelum pemberian pangan uji (sarapan),sampel darah diambil untuk mengukur kadarglukosa puasa. Selanjutnya, sampel darahkembali diambil berturut-turut pada pukul;8.15, 8.30, 9.00, 10.00, 11.00, dan 12.00 WIB.Hal ini berlaku untuk semua kelompokperlakuan. Pada pukul 12.00 WIB, makansiang diberikan kepada semua kelompokperlakuan. Sampel darah kembali diambil padapukul 12.15, 12.30, 13.00, 14.00, 15.00, dan16.00 WIB untuk diukur kadar glukosanya.Pemberian Pangan Sela (Dua Kali PemberianMakan)Tiga hari setelah periode wash-outpangan sela diberikan kepada subyek padasetiap kelompok. Pangan sela diberikan duajam setelah pemberian sarapan. Pangandiberikan dua kali, yaitu setengah (setaradengan 375 kkal) dari kuantitas pangan padasatu kali pemberian pada pagi hari (pukul 8.00WIB) dan setengah lagi pada pukul 10.00 WIB.Masing-masing kelompok menerima panganpatokan (IG-tinggi) pada siang hari. Selamapengujian, subyek hanya diperbolehkan dudukdudukatau berjalan-jalan ringan dan tidakboleh mengonsumsi pangan lain, kecualiminum air. Pengukuran kadar glukosa darahdilakukan pada waktu seperti pada perlakuandengan satu kali pemberian.Respons GlikemikUntuk mengetahui respons glikemikpasca-sarapan, sampel darah diambil berturutturutpada pukul 8.00, 8.15, 8.30, 9.00,10.00, 11.00, dan 12.00 WIB untuk diukurkadar glukosanya. Selanjutnya, pasca-makansiang, kembali sampel darah diambil padapukul 12.00 (sebelum pemberian makansiang, merupakan pengambilan sampel darahsebelumnya), 12.15, 12.30. 13.00, 14.00,15.00, dan 16.00 WIB untuk diukur kadarglukosanya. Sampel darah diambil dengancara finger-prick cappilarry blood samplesdengan kuantitas setiap pengambilan adalah2-3μL. Analisis kadar glukosa darahdilakukan dengan menggunakan metodeglucose oxidase reagent (Liljeberg et al.,1999; Östman et al., 2001).Analisis DataHasil penelitian disajikan sebagaix±SD. Analisis pengaruh pemberian sarapanpada respons glikemik pasca-makan siangdilakukan dengan membandingkan responsglikemik pasca-makan siang antara panganuji dan pangan acuan. Perbedaan responsglikemik antara kelompok pangan uji danpangan acuan dianalisis dengan uji rangkingberpasanganWilcoxon pada setiap titikpengamatan. Perbedaan efek antar perlakuandiuji dengan One-way ANOVA dengan posthoc test Bonferroni menggunakan SPSS forWindows version 12.HASIL DAN PEMBAHASANKondisi Subyek PenelitianUmur subyek berkisar antara 19 dan 32tahun. Secara rata-rata umur subyek prialebih tinggi daripada umur subyekperempuan. Tidak ada perbedaan rata-rataumur subyek menurut jenis kelamin padasetiap kelompok perlakuan.Indeks massa tubuh (IMT) berkisarantara 19 – 24 kg/m 2 untuk kelompok normaldan 26-33 kg/m 2 untuk kelompok obes.Semetara itu, rata-rata kadar glukosa darahpuasa adalah 81.9 dan 80.1 mg/dl, masingmasinguntuk pria dan wanita normal sertaPengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara Pemberian Pangan (38 – 47)Rimbawan, Hidayat Syarief, Darwin Dalimunthe, dan Albiner Siagian41


82.5 dan 81.2 mg/dl masing-masing, untukpria dan wanita obes. Tidak ada perbedaanrata-rata kadar glukosa puasa menurut jeniskelamin dan kelompok perlakuan (Tabel 2).Indeks Glikemik Pangan UjiHasil perhitungan IG (IGsebenarnya) menghasilkan IG sebagaiberikut: pangan uji IG rendah (IG:52), IGsedang(komposisi-1) (IG:66), IG-sedang(komposisi-2) (IG:64), dan IG tinggi (IG:94)(Tabel 3). Angka ini hampir sama dengan IGyang diperkirakan dengan metode bebanglikemik (IG campuran), yaitu 54, 63, 61,dan 91, berturut-turut untuk pangan uji IGrendah,IG-sedang (komposisi-1), IG-sedang(komposisi-2), dan IG-tinggi.Tabel 2. Data dasar subyek penelitianPriaWanitaParameter <strong>No</strong>rmal Obes Nilai<strong>No</strong>rmal<strong>No</strong>rmal Obes Nilai<strong>No</strong>rmalUmur - tahun- bulan23,5±3,46,3±2,625,7±4,36,6±1,9--22,5±3,15,5±2,526,2±5,86,1±2,1--IMT (kg/m 2 ) 20,9±1,6 28,9±3,2 20-25 21,5±0.93 27.7±1,3 2025Tekanan Darah (mmHg)- Sistolik- Diastolik113,1±4,875,0±5,2115.0±5,274,4±5,1110-12070-80111.3±6,272,5±4,5113,1±4,773.1±4,8110-12070-80Haemoglobin (g/dl) 14,2±0,5 14,8±0,6 13 mg/dl 12,7±0,5 12,7±0,4 11 mg/dlKadar glukosa puasa (mg/dl) 81.9±1,8 82.5±1,7 80 80.1±1,5 81.2±1,5 80 (puasa)(puasa)Kadar trigliserida (mg/dl) 99,3±26,5 103,1±22,9 60-165 98,3±25,1 99.8±21,1 40-140Kadar Kolesterol (mg/dl) 164±17,2 155.0±21,3


Tabel 4. Rerata respons glikemik pasca-makan siang (subyek normal)Jenis KelompokRerata Respons Glikemik Pasca-makan Siang (mg/dl) * Menit ke-Pangan0 15 30 60 120 18 240IG tinggi Pangan Acuan 81.2±2.3 a 133.0±3.1 a 155.4±3.1 a 130.4±3.9 a 83.0±3.5 a 81.9±2.8 a 80.4±1.9 a(1 kali) Pangan Uji 80.3±2.0 a 133.7±4.5 a 155,6±5.9 a 130.0±2.2 a 82.8±3.2 a 82.1±2.9 a 80.4±2.3 aIG tinggi Pangan Acuan 82.0±2.0 a 136.5±4.5 a 151.0±3.4 a 127.5±2.2 a 84.5±3.6 a 80.6±1.1 a 80.5±1.1 a(2 kali) Pangan Uji 81.7±2.1 a 136.9±2.1 a 155.1±5.2 b 127.7±2.8 a 84.7±3.8 a 80.6±1.5 a 80.1±1.4 aIG rendah Pangan Acuan 79.6±2.0 a 127.7±3.3 a 142.6±3.9 a 125.8±3.6 a 81.3±3.0 a 79.8±1.3 a 78.8±2.1 a(1 kali) Pangan Uji 79.5±2.7 a 136.1±4.2 b 154,5±4.3 b 128.6±3.7 b 83.8±2.1 b 80.4±2.0 a 78.8±2.4 aIG rendah Pangan Acuan 80.1±2.4 a 125.7±3.3 a 140.6±4.0 a 124.6±3.7 a 86.7±4.7 a 79.1±3.0 a 78.7±3.0 a(2 kali) Pangan Uji 80.4±2.8 a 138.8±2.8 b 156.2±4.4 b 135.4±3.5 b 90.7±4.7 b 80.4±3.0 b 79.3±2.9 bIG-sedang- Pangan Acuan 81.2±2.2 a 137.0±3.9 a 156.6±3.7 a 129.5±3.3 a 89.0±4.6 a 82.1±1.7 a 81.0±1.6 a1 (1 kali) Pangan Uji 81.1±1.6 a 137.5±3.2 a 158.1±3.2 a 128.7±3.8 a 89.1±4.5 a 81.9±2.3 a 80.7±1.4 aIG-sedang- Pangan Acuan 82.3±1.4 a 135.7±3.2 a 153.7±2.9 a 126.5±3.2 a 88.0±3.0 a 84.5±3.2 a 81.2±1.4 a1Pangan Uji 82.8±1.3 a 135.6±4.1 a 157.1±4.8 b 127.5±2.8 b 88.4±2.9 a 84.5±2.4 a 81.5±1.3 a(2 kali)IG-sedang -Pangan Acuan 79.6±1.9 a 133.5±3.3 a 157.2±7.2 a 127.5±3.7 a 89.7±2.7 a 84.91.51 a 81.7±1.2 a2 (1 kali) Pangan Uji 79.5±1.9 a 134.8±3.4 a 147.7±6.9 a 126.9±3.1 a 90.4±3.1 a 84.7±1.5 a 81.9±1.2 aIG-sedang- Pangan Acuan 80.7±1.0 a 125.8±3.6 a 143.4±4.2 a 111.0±3.4 a 87.6±5.0 a 85.4±4.1 a 80.6±1.3 a2Pangan Uji 81.0±1.3 a 123.0±3.6 a 154.6±4.3 b 124.1±3.4 b 88.2±4.9 a 85.8±3.4 a 80.5±1.3 a(2 kali)*x±SD; Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama dan kelompok yang sama menunjukkan perbedaanyang bermakna (p0,05). Empat jam setelah mengonsumsisarapan, kadar glukosa darah sudah kembalike kadar glukosa puasa. Kenyataan inimembuktikan bahwa efek pangan terhadapkadar glukosa darah sudah ‘habis’ setelahdua jam postprandial.Selanjutnya, rata-rata kadar glukosapada menit ke-0 pada perlakuan denganfrekuensi pemberian makan satu kali dan duakali pemberian, masing-masing adalah 80,3dan 81,2 mg/dl untuk subyek normal. Rataratakadar glukosa pada waktu dan perlakuanyang sama untuk subyek obes, masingmasing,adalah 81,4 dan 81,6 mg/dl.Tidak ada perbedaan rata-rata kadarglukosa antara perlakuan dengan frekuensipemberian makan satu kali dengan frekuensipemberian dua kali, baik pada subyek normalmaupun subyek obes (masing-masingp>0,05). Bukti ini juga menepis keraguanterhadap ketepatan pengukuran IG panganyang didasarkan pada luas daerah di bawahkurva respons glikemik dua jam pascapostprandial.Hasil penelitian ini juga menunjukkanbahwa, baik pada subyek normal (Tabel 4dan Gambar 1) maupun pada subyek obes(Tabel 5 dan Gambar 2), kadar glukosa darahmeningkat dengan cepat pada menit-menitawal pasca-pemberian makan siang. Kecualipada perlakuan dengan IG-rendah padasarapan, kurva respons glikemik setelah 15menit pasca-makan siang menunjukkan polakemiringan yang hampir sama.Uji peringkat berpasangan Wilcoxonuntuk setiap perlakuan pada menit ke 15pasca-makan siang menunjukkan tidak adaperbedaan respons glikemik antara panganuji dengan pangan acuan (p>0,05). Hal iniberarti bahwa perbedaan IG yang moderat(sampai dengan 30 satuan) dan perbedaankomposisi pangan pada pagi hari tidak dapatberpengaruh pada respons glikemik terhadappangan pada 15 menit setelah mengonsumsimakan siang.Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara Pemberian Pangan (38 – 47)Rimbawan, Hidayat Syarief, Darwin Dalimunthe, dan Albiner Siagian43


IG TINGGI (1X PEMBERIAN)IG TINGGI (2X PEMBERIAN)KADAR GLUKOSA(mg/dl)1701501301109070PGN UJIPGN ACUAN0 15 30 60 120 180 240KADAR GLUKOSA(mg/dl)1701501301109070PGN UJIPGN ACUAN0 15 30 60 120 180 240WAKTU (menit)WAKTU (menit)KADAR GLUKOSA(mg/dl)1701501301109070IG RENDAH (1X PEMBERIAN)PGN UJIPGN ACUAN0 15 30 60 120 180 240WAKTU (menit)KADAR GLUKOSA(mg/dl)1701501301109070IG RENDAH (2X PEMBERIAN)PGN UJIPGN ACUAN0 15 30 60 120 180 240WAKTU (menit)KADAR GLUKOSA(gr/dl)1701501301109070IG-SEDANG (KOMPOSISI-1)(1X PEMBERIAN)PGN UJIPGN ACUAN0 15 30 60 120 180 240WAKTU (menit)KADAR GLUKOSA(mg/dl)1701501301109070IG-SEDANG (KOMPOSISI-1)(2X PEMBERIAN)PGN UJIPGN ACUAN0 15 30 60 120 180 240WAKTU (menit)KADAR GLUKOSA(mg/dl)1701501301109070IG-SEDANG (KOMPOSISI-2)(1X PEMBERIAN)PGN UJIPGN ACUAN0 15 30 60 120 180 240WAKTU (menit)KADAR GLUKOSA(mg/dl)1701501301109070IG-SEDANG (KOMPOSISI-2)(2X PEMBERIAN)0 15 30 60 120 180 240WAKTU (menit)Gambar 1. Respons glikemik pasca-makan siang (subyek normal)PGN UJIPGN ACUANPada dua jam hingga empat jampostprandial, kadar glukosa darah kembalimendekati nilai kadar glukosa darah puasa.Secara umum, hasil uji peringkatberpasangan Wilcoxon menunjukkan tidakada perbedaan respons glikemik terhadappangan uji dan pangan acuan dua jam pascamakansiang setelah didahului oleh pangan yangmemiliki IG, komposisi zat gizi, dan frekuensipemberian makan yang berbeda pada pagi hari(p>0.05).Pada kelompok pangan IG-tinggi (satukali pemberian), terjadi peningkatan kadarglukosa pasca-makan siang pada menit ke-15hingga menit ke-30, baik pada pangan ujimaupun pada pangan acuan. Baik pada subyeknormal maupun obes, hasil uji peringkatberpasangan Wilcoxon pada masing-masingtitik respons menunjukkan tidak ada perbedaanrespons glikemik pasca-makan siang antarapangan uji dan pangan acuan (p>0,05). Hal iniberarti bahwa pangan IG tinggi tidak dapatmempengaruhi respons glikemik pada siangatau sore hari.Fakta ini sesuai dengan temuanLijeberg et al. (1999) yang menunjukkanbahwa mengonsumsi pangan yang memilikiIG yang tinggi dapat menaikkan kadarglukosa darah sepanjang hari. Indeksglikemik pangan yang tinggi juga berkaitandengan peningkatan kebutuhan insulin(Willet et al. 2002).Hal yang hampir sama juga terjadipada perlakuan dengan pangan uji IG- tinggi(dua kali pemberian), kecuali pada puncakrespons (menit ke 30 pasca- makan siang).Terdapat perbedaan respons glikemik pascamakansiang antara pangan uji dengan panganacuan pada menit ke-30 (p


Tabel 5. Rerata respons glikemik pasca-makan siang (subyek obes)Jenis Kelompok Rerata Respons Glikemik Pasca-makan Siang (mg/dl) * Menit ke-Pangan0 15 30 60 120 180 240IG tinggi Pangan Acuan 82.2±2.0 a 134.0±3.4 a 153.2±3.8 a 133.6±2.1 a 84.2±3.6 a 82.5±2.7 a 80.7±1.8 a(1 kali) Pangan Uji 81.7±2.7 a 134.8±3.8 a 155.2±5.8 a 133.2±3.2 a 83.7±2.7 a 82.5±2.5 a 80.4±1.5 aIG tinggi Pangan Acuan 80.7±2.2 a 130.7±4.5 a 148.8±5.5 a 125.3±3.1 a 82.7±3.0 a 80.6±2.3 a 80.1±1.8 a(2 kali) Pangan Uji 80.9±2.0 a 131.1±4.7 a 153.6±3.3 b 126.6±2.8 b 82.4±2.5 a 80.7±2.1 a 80.2±1.0 aIG rendah Pangan Acuan 81.3±1.8 a 126.2±2.4 a 141.1±3.9 a 126.5±3.2 a 82.7±1.9 a 82.5±1.3 a 82.2±2.0 a(1 kali) Pangan Uji 81.2±1.9 a 133.7±2.6 b 154.7±3.8 b 129.6±3.8 b 85.1±1.8 b 82.9±1.0 a 82.5±1.8 aIG rendah Pangan Acuan 82.0±2.2 a 124.2±2.4 a 139.3±3.5 a 125.2±3.1 a 89.0±4.9 a 83.3±3.7 a 80.9±1.0 a(2 kali) Pangan Uji 82.2±2.4 a 136.7±2.1 b 159.0±4.4 b 136.7±2.1 b 93.0±4.9 b 84.3±3.8 b 81.1±1.1 aIG-sedang-1 Pangan Acuan 81.2±1.3 a 134.7±2.4 a 158.4±4.6 a 127.4±2.9 a 88.7±3.4 a 83.1±1.3 a 81.1±1.0 a(1 kali) Pangan Uji 82.5±3.3 a 134.8±3.2 a 153.8±5.1 a 127.1±3.4 a 87.9±3.1 a 83.0±1.4 a 80.8±1.5 aIG-sedang-1 Pangan Acuan 81.3±1.3 a 135.2±3.2 a 151.3±3.5 a 126.6±1.1 a 89.6±4.2 a 84.8±2.5 a 81.3±1.1 a(2 kali) Pangan Uji 81.4±1.3 a 135.7±2.7 a 155.2±3.6 b 127.8±1.9 b 88.6±5.9 a 84.2±3.1 a 81.9±1.2 aIG-sedang-2 Pangan Acuan 81.3±1.9 a 130.8±4.8 a 149.8±5.3 a 128.8±3.1 a 89.7±2.7 a 82.7±1.3 a 81.6±2.0 a(1 kali) Pangan Uji 81.2±1.9 a 133.7±2.5 a 154.7±3.8 a 129.7±3.9 a 85.2±1.8 a 82.9±1.0 a 82.0±1.8 aIG-sedang-2 Pangan Acuan 82.0±2.1 a 124.2±2.4 a 148.3±3.5 a 125.2±3.1 a 89.0±4.2 a 83.3±3.7 a 80.9±1.0 a(2 kali) Pangan Uji 82.2±2.4 a 136.7±2.1 b 159.0±4.4 b 136.1±3.2 b 93.0±4.9 b 84.3±3.8 b 81.1±1.1 a*x±SD; Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama dan kelompok yang sama menunjukkan terdapatperbedaan yang bermakna (p


Penurunan respons glikemik akanmakin tampak pada pangan uji IG-rendahdengan dua kali pemberian. Pangan IGrendahberdampak pada pelepasan asamlemak hepatik secara perlahan-lahan.Akibatnya adalah perbaikan pada responsglikemik. Hal ini sesuai dengan temuan daripenelitian jangka menengah yangmenunjukkan bahwa pangan yang memilikiIG-rendah dapat memperbaiki pengendalianglikemik dan menurunkan episodehipoglikemik (Järvi et al., 1999).Menurut Wolever (1991), ada beberapamekanisme fisiologis yang bertanggungjawab pada efek metabolik diet yangdicirikan oleh pangan IG-rendah. Salah satumekanisme kunci adalah penghemataninsulin postprandial. Penghematan insulinakan berdampak pada penurunan ambilanglukosa perifer. Sementara itu, fase digestifyang diperlama yang dicirikan oleh panganIG-rendah akan menekan pelepasan asamlemak hetaptik karena penurunan kadarglukosa darah terjadi secara perlahan-lahan.Fenomena ini dapat menjelaskan adanyaperbaikan toleransi glukosa pasca-makansiang ketika didahului oleh pangan IGrendah(Jenkins et al., 1985; dan Wolever etal., 1988; Wolever et al., 1996).Hal ini juga didukung oleh temuanLiljeberg et al., (1999) yang menunjukkanbahwa toleransi glukosa dapat berubah dalamkurun waktu satu hari karena terjadi perbaikansensitivitas insulin pada siang hari setelahmengonsumsi pangan yang memiliki IG rendahpada sarapan pagi.KESIMPULAN DAN SARANKesimpulanBeberapa hal yang dapat disimpulkandari penelitian adalah:• Tidak ada perbedaan respons glikemikyang bermakna pasca-makan siang setelahdidahului oleh konsumsi pangan uji IGtinggidan konsumsi pangan acuan padapagi hari. Perbedaan respons glikemikbermakna terjadi pada puncak responspada perlakuan dengan dua kali pemberian.Sementara itu, terdapat perbedaan responsglikemik bermakna setelah pemberianpangan uji IG-rendah dibandingkan denganpangan acuan pada sarapan, baik dengansatu kali maupun dua kali pemberianmakan. Fakta ini membuktikan bahwapangan yang memiliki IG yang rendahdapat memperbaiki respons glikemik padasiang hari namun tidak demikian halnyadengan pangan yang memiliki IG yangtinggi.• Peningkatkan frekuensi makan pada pagihari – dengan kuantitas kalori total yangsama dengan kuantitas kalori pangandengan sekali konsumsi – dapatmemperbaiki respons glikemik dan/ataumenurunkan kadar glukosa darah padasiang atau sore hari.• Terdapat perbedaan respons glikemikantara pangan uji tinggi karbohidrat-rendahlemak dan pangan uji rendah karbohidrattinggilemak (keduanya pangan IG-sedang)dan pangan acuan. Hal ini membuktikanbahwa perbedan IG sebesar 25-30 satuandapat menurunkan respons glikemik secarabermakna.• Tidak ada perbedaan respons glikemikpasca-makan siang setelah perlakuandengan pangan uji yang sama pada sarapanmenurut jenis kelamin dan kondisifisiologis (normal dan obes). Pada jangkapendek, jenis kelamin dan kondisifisiologis bukan determinan bagi responsglikemik pangan siang hari.SaranUntuk menjaga taraf glukosa darah yangstabil sepanjang hari disarankan untukmengonsumsi pangan yang memiliki IG rendahpada pagi hari. Selain itu, disarankan jugauntuk mengonsumsi makanan secara bertahap(inter-meal). Perlu penelitian lebih lanjuttentang efek jangka panjang mengonsumsipangan IG rendah dan tinggi terhadap responsglikemik dan insulinDAFTAR PUSTAKAFoster-Powel K, Holt SHA, Miler JCB. 2002.International table of glycemic index andglycemic load. Am J Clin Nutr 76:5-56Järvi AE et al. 1999. Improved glycemiccontrol and lipid profile and normalizedfibrinolytic activity on a low-glycemicindex diet in type 2 diabetic patiens.Diabetes Care 22:10-18Jenkins DJA, Wolever TM, Taylor RH. 1985.Slow release dietary carbohydrateimproves second meal tolerance. Am JClin Nutr 42:604-61746Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara Pemberian Pangan (38 – 47)Rimbawan, Hidayat Syarief, Darwin Dalimunthe, dan Albiner Siagian


Kelinbaum DG, Kupper LL, Morgenstern H.1982. Epidemiologic Research:Principles and Quantitative Methods.Van <strong>No</strong>strand Reinhold, NY Kelley,DE. 2003.Liljeberg HGM, Åerberg AKE, Björk IME.1999. Effect of the glycemic index andcontent of indigestible carbohydratesof cereal-based breakfast meals onglucose tolerance at lunch in healthysubjects. Am J Clin Nutr 69;4:647-655Miller JCB, Powel KF, Colagiuri S. 1997.The GI Factor: The GI Solution.Hodder and Stoughton, HodderHeadline Australia Pty LimitedMurti, B. 2003. Prinsip dan Metode RisetEpidemiologi, Edisi Kedua. GajahMada University Press, YogyakartaÖtsman EM, Elmstahl HGML, Bjorck IME.2001. Inconsistency between glycemicand insulinemic responsses to regularand fermented milk products. Am JClin Nutr 74:96-100Willet WC, Manson JA, Liu S. 2002.Glycemic index, glycemic load, andrisk of type 2 diabetes. Am J Clin NutrSupl 76:274S-280SWolever TM, Jekins DJ, Ocana AM, RaoVA, Collier GR. 1988. Second mealeffect: low-glycemic-index foods eatenat dinner improve subsequent breakfastglycemic responsse. Am J Clin Nutr48:1041-1047Wolever TMS. 1991. The glycemic index:methodology and clinical implications.Am J Clin Nutr 54:846-854Wolever TMS, Bolognesi C. 1996. Sourceand amount of carbohydrate affectpostprandial glucose and insulin innormal subjects. J Nutr 126:2798-2806Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara Pemberian Pangan (38 – 47)Rimbawan, Hidayat Syarief, Darwin Dalimunthe, dan Albiner Siagian47


HASSIILL PPEENEELLIITTIIANANALISIS KOMPARASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANGDAN PERATURAN UAP TAHUN 1930 PADA PERUSAHAANSEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN DAN PERTANIAN (PABRIKKELAPA SAWIT) PEMAKAI PESAWAT UAP DI PROVINSISUMATERA UTARA TAHUN 2005Salomo Perangin-angin 1 dan Gerry Silaban 21Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>2Departemen Kasehatan dan Keselamatan KerjaFakultas Kesehatan Masyarakat USUJl. <strong>Universitas</strong> <strong>No</strong>. 21 Kampus USU Medan, 20155ABSTRACTThe aim of this study were to know the implementation of Act and Regulatory ofSteam 1930 (ARS-1930) at manufacturies in industrial processing and agriculturalsector (palm factories) in <strong>No</strong>rth <strong>Sumatera</strong> Province. The study was conducted at 13manufacturies in industrial processing sectors which had no implementation ofOccupational Safety and Health Management System (OSH-MS) and at 25 palmfactories which implement of OSH-MS. Data were gathered by interview usingquestionnaires which were arranged by referring to the ARS-1930 based onmanagement duties, inspector duties and boiler operator duties. The resultsshowed that level of implementation of ARS-1930 by managements atmanufacturies industrial processing and palm factories were bad (


Kecelakaan kerja (termasuk di dalamnyakecelakaan kerja akibat pemakaian pesawatuap) di Indonesia tahun 2000 – 2003,masing-masing sebanyak 93.902 kasus,104.774 kasus, 103.804 kasus, dan 105.846kasus (Djabar, 2004), serta Oktober 2004sebanyak 71.702 kasus (Menakertrans RI,2005). Kanwil I PT Jamsostek (Persero)melaporkan bahwa kasus kecelakaan kerja diProvinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> tahun 2003 – 2004,masing-masing sebanyak 10.819 kasus dan10.048 kasus.Kasus kecelakaan sehubungan denganpemakaian pesawat uap paling banyak adalahpeledakan. Disnakertrans Provinsi <strong>Sumatera</strong><strong>Utara</strong> (2000) mencatat kasus peledakansehubungan dengan pemakaian pesawat uapselama kurun waktu 10 tahun terakhir terterapada Tabel 1.Pemakaian pesawat uap berisiko tinggiterjadinya kecelakaan, oleh karena itu dilarangmenjalankan atau menggunakan pesawat uaptanpa memiliki izin yang diberikan oleh KepalaJawatan Pengawasan Keselamatan Kerja(sekarang disebut Direktur Keselamatan KerjaDepnakertrans RI) sebagaimana tercantum padaPasal 6 Undang-Undang Uap Tahun 1930.Dilakukan pengawasan dan pengujian olehpegawai pengawas khusus bidang pesawatuap (Pasal 13 Undang-Undang Uap Tahun1930) mulai dari pengajuan permohonanpembuatan, pembuatan konstruksi (perakitan),pemasangan, pengoperasian danperbaikan/modifikasi, serta pengoperasianpesawat uap dilakukan oleh operator yangkompeten (bersertifikat) di bidang pesawat uap.Data dari Disnakertrans Provinsi <strong>Sumatera</strong><strong>Utara</strong> tahun 2000 diperoleh bahwa jumlahperusahaan di Provinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>sebanyak 9.723 perusahaan yang di antaranyaterdapat sebanyak 1.148 unit pesawat uap(617 unit ketel uap dan 531 unit bejana uap), 10orang pegawai pengawas spesialis pesawat uapdan sebanyak 684 orang operator pesawat uap.Upaya keselamatan dan kesehatan kerjaterhadap pemakaian pesawat uap diatur dalamUndang-Undang Uap Tahun 1930 (StoomOrdonnantie Stbl. <strong>No</strong>. 225/1930) dan PeraturanUap Tahun 1930 (Stoom Verordening Stbl. <strong>No</strong>.339/1930) sebagai peraturan pelaksanamerupakan produk peraturan perundangandibuat oleh kolonial Belanda yang hinggasaat ini masih berlaku. Substansi kebijakanini mengatur kewajiban manajemen, pegawaipengawas pesawat uap, dan operator pesawatuap.Undang-Undang Uap dan PeraturanUap tahun 1930 (kebijakan K3) merupakansalah satu elemen dari penerapan SistemManajemen Keselamatan dan KesehatanKerja (SMK3) di perusahaan akan terciptatempat kerja yang nyaman, sehat dan amanyang bermuara pada peningkatanproduktivitas tenaga kerja dan kegairahaniklim investasi.Data yang diperoleh dari PT Sucofindo(lembaga audit SMK3 di Indonesia) bahwasejak tahun 1999 – 2004 sebanyak 95perusahaan (79 perusahaan sektor pertanian/pabrik kelapa sawit dan 16 perusahaan sektorindustri pengolahan) di Provinsi <strong>Sumatera</strong><strong>Utara</strong> telah menerima penghargaan auditSMK3.Berdasarkan uraian tersebut di atas,penulis tertarik untuk meneliti pelaksanaanUndang-Undang dan Peraturan Uap tahun1930 pada sektor industri pengolahan dansubsektor pertanian/perkebunan (pabrikkelapa sawit) pemakai pesawat uap diProvinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>.Tabel 1. Kasus kecelakaan (peledakan) sehubungan dengan pemakaian pesawat uap di Provinsi<strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> selama 10 tahun terakhir<strong>No</strong>. Jenis Kecelakaan Industri Lokasi JumlahKasus1. Peledakan Bejana Uap PKS PTPN Langkat 22. Peledakan Bejana Uap PKS Perkebunan Swasta Deli Serdang, Asahan, L. Batu 33. Peledakan Bejana Uap PKS PTPN Langkat 14. Peledakan Bejana Uap PKS PTPN Simalungun 15. Peledakan Ketel Uap Karton Medan Tembung 16. Peledakan Ketel Uap Pabrik Mie Binjai 17. Peledakan Ketel Uap Pabrik Mie Jln. Binjai 18. Peledakan Ketel Uap Pabrik Mie Kabanjahe 18. Peledakan Pipa Pendingin Cold Storage KIM 19. Peledakan Drum Boiler PKS Perkebunan Swasta L. Batu 110. Semburan Air Panas PKS Perkebunan Swasta Asahan 1Analisis Komparasi Pelaksanaan Undang-Undang (48 – 56)Salomo Perangin-angin dan Gerry Silaban49


PERUMUSAN MASALAH1. Sejauh mana tingkat pelaksanaanUndang-Undang dan Peraturan UapTahun 1930 dari aspek kewajibanmanajemen, pegawai pengawas pesawatuap, dan operator pesawat uap padaperusahaan sektor industri pengolahandan pertanian (pabrik kelapa sawit).2. Apakah ada perbedaan kewajibanmanajemen, pegawai pengawas pesawatuap, dan operator pesawat uap terhadappelaksanaan Undang-Undang dan PeraturanUap Tahun 1930 pada perusahaan sektorindustri pengolahan dan pertanian (pabrikkelapa sawit).3. Apa hambatan manajemen, pegawaipengawas pesawat uap, dan operatorpesawat uap terhadap pelaksanaanUndang-Undang dan Peraturan UapTahun 1930.TUJUAN PENELITIAN1. Untuk mengetahui tingkat pelaksanaanUndang-Undang dan Peraturan UapTahun 1930 dari aspek kewajibanmanajemen, pegawai pengawas pesawatuap, dan operator pesawat uap padaperusahaan sektor industri pengolahandan pertanian (pabrik kelapa sawit).2. Untuk mengetahui perbedaan kewajibanmanajemen, pegawai pengawas pesawatuap, dan operator pesawat uap terhadappelaksanaan Undang-Undang dan PeraturanUap Tahun 1930 pada perusahaan sektorindustri pengolahan dan subsektorpertanian/perkebunan (pabrik kelapasawit).3. Untuk mengetahui hambatan pelaksanaanUndang-Undang dan Peraturan UapTahun 1930 dari aspek kewajibanmanajemen, pegawai pengawas pesawatuap, dan operator pesawat uap.HIPOTESIS PENELITIANAda perbedaan kewajiban manajemen,pegawai pengawas pesawat uap dan operatorpesawat uap terhadap pelaksanaan Undangundangdan Peraturan Uap tahun 1930 padaperusahaan sektor industri pengolahan danpertanian (pabrik kelapa sawit).MANFAAT PENELITIAN1. Memberikan informasi kepada perusahaanpemakai pesawat uap dan DisnakertransProvinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> tentang kondisi(tingkat) pelaksanaan Undang-Undangdan Peraturan Uap Tahun 1930 danhambatan pelaksanaannya.2. Memberikan masukan dan menjadipedoman bagi perusahaan yang akanmemakai pesawat uap.3. Memberikan masukan bagi DisnakertransProvinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> terhadappelaksanaan Undang-Undang danPeraturan Uap Tahun 1930 padaperusahaan sektor industri pengolahandan pertanian (pabrik kelapa sawit).4. Menjadi referensi bagi peneliti lain untukmenindaklanjuti penelitian yang berhubungandengan masalah pemakaianpesawat uap.METODE PENELITIANPenelitian ini dilakukan padaperusahaan sektor industri pengolahan danpertanian (pabrik kelapa sawit) yangmemakai pesawat uap di Provinsi <strong>Sumatera</strong><strong>Utara</strong> Bulan Maret – <strong>Juni</strong> 2005. Populasipenelitian adalah seluruh perusahaan sektorindustri pengolahan dan pertanian (pabrikkelapa sawit) pemakai pesawat uap. Sampelpenelitian (purposive sample) adalah 13perusahaan subsektor industri pengolahanyang belum menerapkan SMK3 dan operatorpesawat uap tidak bersertifikat, terdiri dari 13orang mewakili manajemen (pimpinan ataukepala pabrik/manajer produksi/teknisi) 10orang pegawai pengawas pesawat uap dan 14orang operator pesawat uap; 25 perusahaansektor pertanian (pabrik kelapa sawit) yangtelah menerapkan SMK3 dan operatorpesawat uap bersertifikat, terdiri dari 25orang mewakili manajemen (manajer pabrik/asisten pengolahan/asisten teknik), 10 orangpegawai pengawas pesawat uap, dan 50 orangoperator pesawat uap.Jenis penelitian adalah penelitian survaianalitik dengan pendekatan explanatory research.Pelaksanaan penelitian diawali denganinventarisasi jumlah perusahaan dan subyekpenelitian (manajemen, pegawai pengawaspesawat uap, dan operator pesawat uap),mengurus izin penelitian dan pengumpulan data.Pengumpulan data dilakukan dengan observasi50Analisis Komparasi Pelaksanaan Undang-Undang (48 – 56)Salomo Perangin-angin dan Gerry Silaban


lapangan dan wawancara kepada subyekpenelitian menggunakan kuesioner yangdisusun mengacu pada Undang-Undang danPeraturan Uap Tahun 1930, dan Permenaker<strong>No</strong>. Per. 01/MEN/1988 tentang Kwalifikasidan Syarat-Syarat Operator Pesawat Uap.Kuesioner kewajiban manajemen, pegawaipengawas pesawat uap, dan operator pesawatuap masing-masing berisi 20, 47, dan 14pertanyaan. Tiap pertanyaan mempunyai 3pilihan jawaban, yaitu: selalu, kadang-kadang,dan tidak pernah yang masing-masingmempunyai skor 3, 2, dan 1. Kemudian skorseluruh pilihan jawaban pertanyaandijumlahkan. Untuk mengetahui tingkatpelaksanaan Undang-Undang dan PeraturanUap Tahun 1930, rata-rata dari jumlah skorseluruh sampel penelitian pada perusahaansektor industri pengolahan dan pertanian(pabrik kelapa sawit) dikategori-kan: baik,bila rata-rata jumlah skor di antara 85% -100% dari jumlah skor; sedang, bila rata-ratajumlah skor di antara 60% - 84% jumlahskor; buruk, bila rata-rata jumlah skor < 59%dari jumlah skor. Variabel penelitian yangdiamati adalah kewajiban manajemen,pegawai pengawas pesawat uap, dan operatorpesawat uap. Data penelitian dianalisisdengan uji t menggunakan program SPSSversi 12.0.HASIL DAN PEMBAHASAN1. Obyek PenelitianPada Tabel 2 dan Tabel 3 terteradeskripsi perusahaan sektor industripengolahan dan pertanian (pabrik kelapasawit).2. Karakteristik Subyek PenelitianPada Tabel 4 tertera karakteristiksubyek penelitian pada perusahaan sektorindustri pengolahan dan pertanian (pabrikkelapa sawit).3. Tingkat Pelaksanaan Undang-Undang danPeraturan Uap Tahun 1930Tidak ada tempat kerja yang bebas daribahaya kecelakaan terutama pada perusahaansektor industri pengolahan dan pertanian(pabrik kelapa sawit) yang berpotensi dapatmenimbulkan kecelakaan kerja, penyakitakibat kerja, peledakan, kebakaran, dankerusakan lingkungan kerja. Salah satu upayapencegahan kecelakaan dilakukan denganditetapkannya peraturan perundangan olehpemerintah. Undang-Undang dan PeraturanUap Tahun 1930 merupakan regulasi untukmengurangi risiko kecelakaan pada perusahaanyang memakai pesawat uap.Tabel 2. Bidang usaha, P2K3 dan ahli K3 perusahaan pada sektor industri pengolahanBidang Usaha P2K3 Ahli K3 KeteranganPembuatan sabun Tidak ada Tidak ada -Pembuatan karton Tidak ada Tidak ada -Pengolahan tepung pembersih CPO Tidak ada Tidak ada -Pembuatan barang pecah belah Ada Tidak ada P2K3 tidak aktifPembuatan mihun Tidak ada Tidak ada -Pengolahan hasil laut Ada Tidak ada P2K3 tidak aktifVulkanisir ban Tidak ada Tidak ada -Pengolahan minyak goreng Ada Ada P2K3 tidak aktifMakanan ternak Tidak ada Tidak ada -Plywood (kayu lapis) Ada Tidak ada P2K3 tidak aktifPermen Ada Tidak ada P2K3 tidak aktifPengalengan ikan Ada Tidak ada P2K3 tidak aktifMinuman ringan Ada Tidak ada P2K3 tidak aktifTabel 3. Nama PTPN, jumlah PKS, P2K3 dan ahli K3 pada sektor pertanian (pabrik kelapa sawit)Nama PTPN Jumlah PKS P2K3 Ahli K3 KeteranganPTPN III 11 PKS Ada 11 orang -PTPN IV 14 PKS Ada 14 orang 1 orang ahli K3 masihmenunggu pengesahanAnalisis Komparasi Pelaksanaan Undang-Undang (48 – 56)Salomo Perangin-angin dan Gerry Silaban51


Tabel 4. Karakteristik subyek penelitian pada perusahaan sektor industri pengolahan danpertanian (pabrik kelapa sawit)Subyek PenelitianSektorIndustri Pengolahan(Orang)Sektor Pertanian(Pabrik Kelapa Sawit)(Orang)I. Manajemen:a. Pimpinan/manajer pabrikb. Manajer produksic. Kepala teknikd. AsistenII. Pegawai Pengawas:1. Pengalaman kerja:a. 1 - 5 tahunb. 16 - 20 tahun2. Instansi kerja:a. Disnaker Prov. Sumutb. Disnaker Medanc. Disnaker Deli Serdangd. Disnaker P. Siantare. Disnaker Langkatf. Disnaker L. Batu3. Jabatan rangkap:a. Kadisnakerb. Kasubdisc. KasiIII. Operator1. Pengalaman kerja:a. 1 - 5 tahunb. 6 - 10 tahunc. 11 - 15 tahund. 16 - 20 tahune. 21 - 25 tahunf. 26 - 30 tahung. 31 - 35 tahun2. Kualifikasi operator:a. Kelas Ib. Kelas II58--822321111142714---0014-11082232111114479139533218Tabel 5. Tingkat pelaksanaan Undang-Undang dan Peraturan Uap Tahun 1930 dari aspekkewajiban manajemen, pegawai pengawas, dan operator pesawat uap pada perusahaansektor industri pengolahan dan pertanian (pabrik kelapa sawit)SektorKewajibanIndustri PengolahanPertanian (Pabrik Kelapa Sawit)Rata-rata Kategori Rata-rata Jumlah KategoriJumlah SkorSkorManajemen 34,54 Buruk 53,64 BaikPegawai Pengawas 96,20 SEDANG 116,60 SEDANGOperator 27,14 SEDANG 35,68 BAIKPelaksanaan Undang-Undang danPeraturan Uap Tahun 1930 pada dasarnyamenuntut keterlibatan dan tanggung jawab(kewajiban) semua pihak yang terlibat dalamkegiatan yang berhubungan dengan kerja(produksi).Rata-rata jumlah skor kewajibanmanajemen terhadap pelaksanaan undangundangdan peraturan uap tahun 1930 padaperusahaan sektor industri pengolahansebesar 35,54 termasuk kategori buruk (rataratajumlah skor < 36 atau < 59% dari jumlahskor) dan perusahaan sektor pertanian(pabrik kelapa sawit) sebesar 53,64 termasukkategori baik (rata-rata jumlah skor di antara51 – 60 atau di antara 85% – 100% darijumlah skor). Rata-rata jumlah skor kewajibanmanajemen terhadap pelaksanaan Undang-Undang dan Peraturan Uap Tahun 1930 padaperusahaan sektor pertanian (pabrik kelapasawit) lebih besar dari industri pengolahan.Hal ini menunjukkan bahwa tingkatpelaksanaan Undang-Undang dan PeraturanUap Tahun 1930 oleh manajemen pada sektor52Analisis Komparasi Pelaksanaan Undang-Undang (48 – 56)Salomo Perangin-angin dan Gerry Silaban


pertanian (pabrik kelapa sawit) lebih baikdari industri pengolahan. Manajemenberkewajiban dan bertanggung jawab dalammelaksanakan Undang-Undang dan PeraturanUap Tahun 1930. Undang-Undang danPeraturan Uap Tahun 1930 merupakan salahsatu elemen dasar dari kebijakan K3 yangpenerapannya dalam SMK3 telah menjadikomitmen manajemen dan didukung olehtenaga kerja. Pelaksanaan Undang-Undangdan Peraturan Uap Tahun 1930 olehmanajemen pada perusahaan sektor pertanian(pabrik kelapa sawit) dengan baik merupakanimplikasi dari penerapan SMK3 sedangkantingkat pelaksanaan Undang- Undang danPeraturan Uap Tahun 1930 oleh manajemenpada perusahaan sektor industri pengolahantermasuk kategori buruk menunjukkanbahwa pelaksanaan kebijakan K3 belummenjadi komitmen dan prioritas bagimanajemen sehingga sulit untuk menerapkanSMK3.Rata-rata jumlah skor kewajibanpegawai pengawas pesawat uap terhadappelaksanaan Undang-undang dan PeraturanUap tahun 1930 pada perusahaan sektorindustri pengolahan dan pertanian (pabrikkelapa sawit), masing-masing sebesar 96,20dan 116,60. Rata-rata jumlah skor kewajibanpegawai pengawas pesawat uap terhadappelaksanaan Undang-Undang Uap danPeraturan Uap tahun 1930 pada perusahaansektor industri pengolahan lebih kecil darisektor pertanian (pabrik kelapa sawit),namun rata-rata jumlah skor kewajibanpegawai pengawas kedua sub sektor tersebutsama-sama termasuk kategori sedang (rataratajumlah skor di antara 85 – 119 atau diantara 60% – 84% dari jumlah skor).Keadaan ini menunjukkan bahwa kewajibanpegawai pengawas pesawat uap dalammelakukan pengawasan terhadap pemakaianpesawat uap pada perusahaan sektor industripengolahan dan pertanian (pabrik kelapasawit) sebagaimana yang ditetapkan di dalamUndang-undang dan Peraturan Uap tahun1930 masih belum optimal yang disebabkanjumlah pegawai pengawas yang berkompetendi bidang pesawat uap tidak seimbangdengan obyek pengawasan dan jumlahperusahaan yang ada, di samping ada pegawaipengawas pesawat uap yang merangkapjabatan struktural (kepala dinas, kepalasubdinas, dan kepala seksi).Rata-rata jumlah skor kewajibanoperator pesawat uap terhadap pelaksanaanUndang-Undang dan Peraturan Uap tahun1930 pada perusahaan sektor industripengolahan sebesar 27,14 termasuk kategorisedang (rata-rata jumlah skor di antara 25 –35 atau di antara 60% – 84% dari jumlahskor). Rata-rata jumlah skor kewajibanoperator pesawat uap terhadap pelaksanaanUndang-Undang dan Peraturan Uap Tahun1930 pada perusahaan sektor pertanian(pabrik kelapa sawit) lebih besar dari sektorindustri pengolahan. Tingkat pelaksanaanUndang-Undang dan Peraturan Uap Tahun1930 oleh operator pesawat uap padaperusahaan sektor pertanian (pabrik kelapasawit) lebih baik dari industri pengolahan.Keadaan ini menunjukkan bahwa operatorpesawat uap pada sektor pertanian (pabrikkelapa sawit) mendukung dan menjalankankebijakan Undang-Undang dan PeraturanUap Tahun 1930 sebagaimana yangditetapkan oleh manajemen, di sampingoperator pesawat uap telah dibekali wawasantentang keselamatan dan kesehatan kerjadengan mengikuti pelatihan operator pesawatuap dan memiliki sertifikat kompetensi dibidang pesawat uap.Pemenuhan operator pesawat uap yangberkualifikasi menjadi elemen dasar dariperencanaan manajemen keselamatan dankesehatan kerja dalam penerapan SMK3.Dengan kata lain operator pesawat uap yangberkualifikasi pada perusahaan sektorpertanian (pabrik kelapa sawit) menjadi salahsatu aspek yang menentukan keberhasilanpenerapan SMK3. Sementara kewajibanoperator pesawat uap terhadap pelaksanaanUndang-Undang dan Peraturan Uap Tahun1930 pada perusahaan sektor industripengolahan masih perlu ditingkatkan dankeadaan ini dimungkinkan karena manajementidak memiliki kepedulian terhadapkeselamatan dan kesehatan kerja khususnyakeselamatan dan kesehatan kerja pemakaianpesawat uap yang disertai dengan operatorpesawat uap yang seluruhnya belumdiikutsertakan dalam pelatihan operatorpesawat uap. Kurangnya pengetahuan(wawasan) dan pemahaman operator pesawatuap terhadap Undang-Undang dan PeraturanUap Tahun 1930 akan menimbulkan risikoterjadi kecelakaan (peledakan). Statussebagai operator pesawat uap selama ini diAnalisis Komparasi Pelaksanaan Undang-Undang (48 – 56)Salomo Perangin-angin dan Gerry Silaban53


dalam pengoperasian pesawat uap hanyadidasarkan pada pengalaman kerja saja tanpadibekali kompetensi di bidang pesawat uap.Oleh karena itu pegawai pengawas pesawatuap harus melakukan pengawasan pekerjaanoperator pesawat uap dan manajemenmelakukan pembinaan dan pengawasan bagioperator pesawat uap. Salah satu upayapembinaan yang dapat dilakukan olehmanajemen adalah mengikutsertakan operatorpesawat uap dalam pelatihan operatorpesawat uap yang diselenggarakan olehinstansi Depnaker.4. Perbedaan Kewajiban Manajemen terhadapPelaksanaan Undang-Undang dan PeraturanUap Tahun 1930Hasil analisis uji t menunjukkan bahwaada perbedaan yang signifikan (p < 0,05)rata-rata skor kewajiban manajemen terhadappelaksanaan Undang-Undang dan PeraturanUap Tahun 1930 pada perusahaan sektorpertanian (pabrik kelapa sawit) lebih besardari perusahaan sektor industri pengolahan.Undang-Undang dan Peraturan UapTahun 1930 oleh manajemen pada perusahaansektor pertanian (pabrik kelapa sawit)merupakan wujud dari penerapan K3 denganbaik dan berkesinambungan tidak hanyauntuk kepentingan tenaga kerja tetapi jugakepentingan dunia usaha. Perusahaan yangmelaksanakan manajemen K3 akanterpelihara kondisi dan tempat kerja yangaman, sehat, efisien, dan produktif. Selain itukinerja K3 dan citra perusahaan dapatterpelihara dengan baik.5. Perbedaan Kewajiban Pegawai PengawasPesawat Uap terhadap Pelaksanaan Undang-Undang dan Peraturan Uap Tahun 1930Hasil analisis uji t menunjukkan bahwaada perbedaan yang signifikan (p < 0,05)rata-rata skor kewajiban pegawai pengawaspesawat uap terhadap pelaksanaan Undang-Undang dan Peraturan Uap Tahun 1930 padaperusahaan sektor pertanian (pabrik kelapasawit) lebih besar dari perusahaan sektorindustri pengolahan.Salah satu sumber yang harus ikutberperan dalam meningkatkan kinerjakeselamatan dan kesehatan kerja di tempatkerja adalah adanya unsur pengawasanketenagakerjaan. Pegawai pengawas pesawatuap sebagai penegak hukum di bidangpengawasan pemakaian pesawat uap harusdapat melakukan deteksi dini terhadapkemungkinan adanya bahaya kecelakaanpada perusahaan yang memakai pesawat uap,sehingga pada akhirnya dapat memberikankenyamanan dan keamanan di tempat kerja.Pengawasan pemakaian pesawat uapmerupakan kewajiban pegawai pengawaspesawat uap sebagaimana diatur di dalamUndang-Undang dan Peraturan Uap Tahun1930. Tingkat pelaksanaan Undang-Undangdan Peraturan Uap Tahun 1930 oleh pegawaipengawas pesawat uap pada perusahaansektor industri pengolahan dan sektorpertanian (pabrik kelapa sawit) termasukkategori sedang menunjukkan bahwapegawai pengawas pesawat uap masih perlumeningkatkan kinerja pengawasannya agarterpenuhi kewajiban terhadap pelaksanaanUndang-Undang dan Peraturan Uap Tahun1930.6. Perbedaan Kewajiban Operator PesawatUap terhadap Pelaksanaan Undang-Undang dan Peraturan Uap Tahun 1930Hasil analisis uji t menunjukkan bahwaada perbedaan yang signifikan (p < 0,05)rata-rata skor kewajiban operator pesawatuap terhadap pelaksanaan Undang-undangdan Peraturan Uap tahun 1930 padaperusahaan sektor pertanian (pabrik kelapasawit) lebih besar dari sektor industripengolahan.Pelaksanaan Undang-Undang danPeraturan Uap Tahun 1930 dengan baik olehoperator pesawat uap pada perusahaan sektorpertanian (pabrik kelapa sawit) tidak terlepasdari peran manajemen di dalam melibatkanseluruh komponen di dalam aktivitas produksiagar menerapkan kebijakan keselamatan dankesehatan kerja di tempat kerja. Satu hal perlumenjadi perhatian bagi manajemen padaperusahaan sektor pertanian (pabrik kelapasawit) yaitu peningkatan kualifikasi operatorpesawat uap bersertifikat dari kelas II menjadikelas I mengingat kualifikasi operator pesawatuap harus sesuai dengan kapasitas produksi.Demikian pula manajemen pada perusahaansektor industri pengolahan harusmempekerjakan operator pesawat uap yangmemiliki kompetensi di bidang pesawat uapatau operator yang yang ada wajib mengikutipelatihan operator pesawat uap yangdiselenggarakan oleh instansi Depnaker.54Analisis Komparasi Pelaksanaan Undang-Undang (48 – 56)Salomo Perangin-angin dan Gerry Silaban


7. Hambatan ManajemenHambatan manajemen terhadappelaksanaan Undang-Undang dan PeraturanUap Tahun 1930 pada perusahaan sektorindustri pengolahan lebih banyak dari sektorpertanian (pabrik kelapa sawit), yaitu daripengajuan permohonan (biaya pengurusanakta izin pemakaian pesawat uap cukup besardan waktu yang lama), proses pengoperasian(pengoperasian pesawat uap tanpa operatorbersertifikat) dan reparasi pesawat uap(pemesanan appendages memerlukan waktuyang lama).Minimalisasi manajemen padaperusahaan sektor industri pengolahanterhadap pelaksanaan Undang-Undang danPeraturan Uap Tahun 1930 memerlukanpembinaan dan pengawasan oleh pegawaipengawas Depnaker setempat (kabupaten/kota) yang berkompeten (spesialis pesawatuap) agar manajemen dapat memahami danmelaksanakan Undang-Undang dan PeraturanUap Tahun 1930.8. Hambatan Pegawai Pengawas PesawatUapHambatan pegawai pengawas pesawatuap terhadap pelaksanaan Undang-Undangdan Peraturan Uap Tahun 1930 padaperusahaan sektor industri pengolahan lebihbanyak dari sektor pertanian (pabrik kelapasawit), yaitu mulai dari pengajuanpermohonan pemakaian (manajemen belummemahami Undang-Undang dan PeraturanUap Tahun 1930), pemeriksaan konstruksi(peralatan untuk menunjang pemeriksaanpesawat uap masih kurang), pemeriksaanberkala (manajemen belum menyadarisepenuhnya arti dari pemeriksaan berkala)dan pemeriksaan mendadak pesawat uap(tidak ada sarana dan prasarana untukpemeriksaan mendadak).Hambatan pegawai pengawas pesawatuap terhadap pelaksanaan Undang-Undangdan Peraturan Uap Tahun 1930 padaperusahaan sektor industri pengolahan dapatdiminimalisasi apabila manajemen menyadaripentingnya pelaksanaan Undang-Undang danPeraturan Uap Tahun 1930 di tempat kerjadan pegawai pengawas pesawat uapmelakukan tindakan penegakan hukum bagiperusahaan yang tidak memenuhi persyaratansebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang dan Peraturan Uap Tahun 1930.9. Hambatan Operator Pesawat UapHambatan operator pesawat uapterhadap pelaksanaan Undang-Undang danPeraturan Uap Tahun 1930 pada perusahaansektor industri pengolahan dan sektorpertanian (pabrik kelapa sawit) lebih sedikitdan umumunya bersifat teknis yang secaralangsung berpengaruh terhadap pemenuhankewajiban pelaksanaan Undang-Undang danPeraturan Uap Tahun 1930. Pengoperasianpesawat uap harus berjalan tanpa mengalamihambatan untuk kelancaran dan kontinuitasproduksi, oleh karena itu setiap hambatanteknis yang dihadapi oleh operator pesawatuap agar dilaporkan kepada manajemenuntuk segera ditindaklanjuti dan pegawaipengawas pesawat uap mengetahui danmengawasinya. Di samping itu, operatoryang ditugasi manajemen mengoperasikanpesawat uap harus mempunyai kualifikasidan memenuhi syarat-syarat sebagai operatorpesawat uap.KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan1. Tingkat kewajiban manajemen danoperator pesawat uap terhadap pelaksanaanUndang-Undang dan Peraturan UapTahun 1930 pada perusahaan sektorpertanian (pabrik kelapa sawit) lebih baikdari sektor industri pengolahansedangkan tingkat kewajiban pegawaipengawas pesawat uap pada perusahansektor industri pengolahan dan sektorpertanian (pabrik kelapa sawit) sama(kategori sedang).2. Ada perbedaan rata-rata jumlah skorkewajiban manajemen, pegawai pesawatuap, dan operator pesawat uap terhadapterhadap pelaksanaan Undang-Undangdan Peraturan Uap Tahun 1930 padaperusahaan sektor pertanian (pabrikkelapa sawit) lebih baik dari sektorindustri pengolahan.3. Hambatan pelaksanaan Undang-Undangdan Peraturan Uap Tahun 1930 olehmanajemen, pegawai pengawas pesawatuap, dan operator pesawat uap padaperusahaan sektor pertanian (pabrikkelapa sawit) lebih sedikit dari sektorindustri pengolahan.Analisis Komparasi Pelaksanaan Undang-Undang (48 – 56)Salomo Perangin-angin dan Gerry Silaban55


4. Perusahaan pada sektor industripengolahan masih memerlukan pembinaandan pengawasan yang lebih intens dariDepnaker setempat.5. Penegakan hukum terhadap pelaksanaanUndang-Undang dan Peraturan UapTahun 1930 bagi perusahaan sektorindustri pengolahan.Saran1. Perlu penelitian lebih lanjut tentangpelaksanaan Undang-Undang danPeraturan Uap Tahun 1930 di sektorlainnya sehingga permasalahan pelaksanaanUndang-Undang dan Peraturan UapTahun 1930 di berbagai sektor dapattercakup dan menjadi masukan yangberharga bagi instansi Depnaker.2. Manajemen perusahaan sebaiknyamelapor ke Depnaker setempat apabilapesawat uap yang dioperasikan sudahwaktunya untuk dilakukan pemeriksaanberkala mengingat keterbatasan jumlahpegawai pengawas pesawat uap.3. Undang-Undang dan Peraturan UapTahun 1930 sudah saatnya ditinjaukembali (revisi) mengingat sanksihukumnya (Pasal 26 dan 27) terlaluringan dan tidak sesuai lagi denganperkembangan zaman.4. Keberadaan pegawai pengawas pesawatuap secara kuantitas dan kualitasditingkatkan di kabupaten/kota.DAFTAR PUSTAKADisnakertrans Provinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>. DataKeselamatan dan Kesehatan KerjaTahun 2000.Djabar, A. Kebijakan Pengawasan KeselamatanKerja. Materi Evaluasi dan PenunjukanCalon Ahli K3 Umum TingkatNasional. Cisarua, 23 – 26 Agustus2004.Menakertrans RI, Sambutan Tertulis padaUpacara Hari K3 dan PernyataanDimulainya Bulan K3 Nasional Tahun2005.Peraturan Uap (Stoom Verordening) Tahun1930.Permenaker <strong>No</strong>. Per. 01/MEN/1988 tentangKwalifikasi dan Syarat-Syarat OperatorPesawat Uap.Undang-Undang Uap (Stoom Ordonnantie)Tahun 1930.56Analisis Komparasi Pelaksanaan Undang-Undang (48 – 56)Salomo Perangin-angin dan Gerry Silaban


HASSIILL PPEENEELLIITTIIANUJI COBA MODEL PERUBAHAN PERILAKU MASYARAKATTERHADAP FLU BURUNG(Studi Kasus di Kelurahan Harjosari I, Kecamatan Medan Amplas, Medan)Fotarisman ZaluchuPeneliti pada Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>Jl. Sisingamangaraja <strong>No</strong>. 198 Medan, 20126ABSTRACTAvian influenza (AI) is a major problem of health in Indonesia nowdays. In <strong>No</strong>rth<strong>Sumatera</strong> Province, there were six positive confirmed cases as the sixth cluster ofAI in Indonesia. However, very little research were conducted to study thecommunity behaviour perspective for preventing AI. The objectives of this researchare to find model of the community behavior change and to apply communitybehavior changes model into specific community group. This research was locatedat kelurahan Harjosari I, Medan Amplas using one group pre- and post-testdesign. For pre-test group, 210 respondents were selected by using clustersampling method. This pre-test group was aimed to study their knowledge andattitude of AI. Base from this information, a model for AI prevention program wasdesigned. This model relates to community participation activities using 25 cadresat kelurahan. All cadres were trained for AI preventing program for two weeks.After that, they passed that information about AI to the community base throughtheir regular activities. After three weeks, the post-survey was conducted for 210respondents in Harjosari I to find the impact of this community participationmodel. Also, this research evaluated the effectiveness of this model. In conclusion,community mobilization is a less cost and effective way to increase thecommunity’s awareness of preventing AI. This model increased the goodknowledge of the community from 72,38 to 92,38 percent, and the good attitude ofthem from 42,85 to 53,3 percent. This study recommends that this communityparticipation model can be applied to other places and to different types ofcommunicable diseases.Keywords: Knowledge and attitude, Behavior changes, Avian influensaPENDAHULUANPenyakit flu burung menjadi ancamanbaru yang menyerang Indonesia, yangmenunjukkan tendensi peningkatan sejakditemukan pertama sekali pada tahun 2005.Tingkat kematiannya mencapai 75 persen. Dinegara lain, tingkat kematian akibat flu burungyang diukur berdasarkan Case Fatality Rate(CFR) bahkan bisa mencapai 100 persen.Menurut WHO, sampai dengan Oktober <strong>2006</strong>penemuan kasus di seluruh dunia sudahmencapai lebih dari 248 kasus dengan jumlahkematian sebanyak 146 kasus. Dunia terancamakan timbulnya pandemik yang meluas,sebagaimana pernah terjadi pada HIV/ AIDS.Menggunakan rekomendasi dari WHO,hampir semua negara kini menggunakan sistempengawasan yang sangat ketat untuk mencegahhadirnya virus flu burung ini di negaranya. Halini dikarenakan biaya yang timbul akibatmasalah itu, sekali hadir, amat tinggi. Untukpasiennya saja, setiap kali kasus terjadi,dibutuhkan penanganan yang sangat khususuntuk mencegah penularan pada yang lainyang masih sehat. Belum lagi untuk biayabiayamencari sumber penularan, sertapemusnahan sumber penularan. Dampakpada perekonomian juga amat besar. Padadaerah dimana muncul kasus tak jarangterjadi kepanikan besar sehingga masyarakattidak mau mengkonsumsi unggas sehingga57


merugikan para peternak. Akibat lanjutannyaadalah penurunan pariwisata, peningkatanrisiko kesehatan, serta membesarnya dampakpsikologis masyarakat.Di Indonesia, sejak tahun 2005 sampaidengan bulan awal <strong>No</strong>pember tahun <strong>2006</strong> ini,sudah terdapat 75 kasus konfirmed flu burungdengan jumlah kematian sebanyak 55 kasus.<strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> menjadi daerah yang amatrawan dan potensial untuk terjadinya fluburung. Kejadian Luar Biasa Flu Burung diKabupaten Karo, <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> terjadi padabulan Mei <strong>2006</strong>. Sebanyak 6 dari 7 kasuspenderita flu burung meninggal dunia. Kasusini menjadi kluster keenam dari delapan klusteryang pernah ditemukan di Indonesia, danmenjadi yang terbesar.Unggas di Propinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>sebenrnya sejak tahun 2005 sudah diketahuiterinfeksi flu burung. Karenanya, Gubernur<strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> sudah melakukan langkahpenanggulangan dengan menetapkan <strong>Sumatera</strong><strong>Utara</strong> sebagai daerah penyebaran virus fluburung. Namun nyatanya masalah ini seolahtak kunjung berhenti. Yang dikhawatirkanadalah masalah ini bergerak secara perlahanlahandan tanpa kita sadari.Untuk itu, maka perlu dipikirkan carapenanggulangan yang efektif untuk mencobamenghadapi permasalahan flu burung ini.Upaya yang dilakukan sudah cukup bervariasi.Pengembangan vaksin, rekayasa pengobatandan peningkatan biosekuritas sudah dikerjakanoleh pemerintah. Namun semuanya tentunyamembutuhkan biaya yang tidak sedikit.Salah satu pendekatan yang belum diujicoba dalam menanggulangi penyebaran fluburung adalah dengan menggunakanpendekatan yang melibatkan peningkatan peranserta masyarakat. Peran serta masyarakat didalam penanggulangan penyebaran flu burungamat penting dilakukan dan dikembangkan,karena bukan hanya menyangkut kepadapenyebaran kasus ini saja, namun dapatmembantu pemberantasan berbagai penyakityang berbasis kepada perilaku masyarakat.Perubahan perilaku akan menjadi intervensiyang sangat efektif karena sifatnya berasal darihulu, yaitu dari masyarakat sendiri.Harus diakui bahwa pemerintah kitaamat terbatas dalam menangani masalah ini.Keterbatasan pemerintah akan dapat diatasisekiranya pemerintah melibatkan masyarakatsejak dari awal dengan melakukan perubahanperilaku. Perubahan perilaku akan menjadipencegahan sejak dini dari setiap masalahkesehatan, terutama penyakit menular.Karena itulah, maka penelitian inidilakukan untuk menguji coba perubahanperilaku sebagai upaya penanggulangan.Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah“belum diketahuinya efektifitas modelperubahan perilaku masyarakat dalam upayapenanggulangan penyakit flu burung dimasyarakat.”Penelitian ini bertujuan untuk mengujicoba model perubahan perilaku masyarakatdalam menanggulangi penyebaran flu burung.Diharapkan bahwa model yang akandikembangkan akan menguntungkan karenaefisien dalam rangka meningkatkan promosikesehatan mencegah penyebaran dan penularanpenyakit flu burung. Secara tidak langsung,model ini akan menjadi sebuah model terbarudan pionir sehingga dapat direplikasi olehberbagai daerah lain yang memiliki masalahyang sama. Model ini juga akan dapatdikembangkan ke dalam bentuk lain denganpenyakit yang berbeda.METODE PENELITIANPenelitian ini menggunakan modelpendekatan perilaku menggunakan modelquasi eksperimental dengan rancangan onegroup pre test and post test. Sebelum mengujicoba model dilakukan pre test perilaku,sementara setelah uji coba model dilakukanpost test perilaku.Penelitian dilakukan di KelurahanHarjosari I, Kecamatan Medan Amplas,Medan. Pemilihan lokasi mempertimbangkankedekatan masyarakat dengan lokasipemasaran unggas, serta akses tranportasiyang diperkirakan akan turut memberikanandil dalam meningkatkan risiko kejadian fluburung. Lokasi ini juga mempertimbangkankemudahan pengelolaan rancanganpenelitian. Dengan menggunakan metodecluster sampling, untuk pre test dan post test,pengukuran dilakukan pada masing-masing210 responden.Kategori yang digunakan untukmengukur pengetahuan dan sikap adalah baikjika memenuhi skor 75 persen dari skormaksimal, sedang jika memenuhi 60-74persen dari skor maksimal, dan kurang baikjika hanya memenuhi 59 persen atau kurangdari skor maksimal. Sementara itu, untuk ujistatistik yang digunakan, dibuktikan denganuji beda mean (t-test) pada p=0,05.58Uji Coba Model Perubahan Perilaku (57 – 65)Fotarisman Zaluchu


HASIL DAN PEMBAHASANPengetahuan RespondenKategori yang digunakan untukmengukur pengetahuan dan sikap adalah baikjika memenuhi skor 75 persen dari skormaksimal, sedang jika memenuhi 60-74 persendari skor maksimal, dan kurang baik jika hanyamemenuhi 59 persen atau kurang dari skormaksimal. Sementara itu, untuk uji statistikyang digunakan, dibuktikan dengan uji bedamean (t-test) pada p=0,05.Distribusi pengetahuan respondenmengenai flu burung dapat dilihat pada tabeltabelberikut ini.Tabel 1. Distribusi jawaban responden tentangpengertian dari flu burungPengertian Flu Burung Jumlah PersenPenyakit influenza yang26 12.4hanya menyerang unggasPenyakit influenza yang181 86.2menyerang unggas dan dapatmenular pada manusiaPenyakit menular pada3 1.4manusiaTotal 210 100.0Tabel 1 menunjukkan bahwa ketikadiberikan pertanyaan mengenai pengertianflu burung, sebanyak 86,2 persen respondenmenjawabnya sebagai penyakit influenzayang menyerang unggas dan dapat menularpada manusia.Tabel 2. Distribusi jawaban responden tentanggejala virus flu burung pada hewanGejala yang ditimbulkan Jumlah Persenoleh virus flu burung yangtampak pada hewanPial/jengger tetap warna8 3.8merahPial/jengger warna biru 167 79.5Tidak terjadi pembengkakan 11 5.2didaerah wajah unggasPembengkakan terjadi di 24 11.4sekitar daerah kepalaTotal 210 100Dari Tabel 2 terlihat bahwa daripertanyaan mengenai gejala yangditumbulkan flu burung pada hewan, 79,5persen menjawabnya dengan menyatakanadanya pial/ jengger berwarna biru.Sesuai dengan Tabel 3, gejala yangpaling umum diketahui oleh respondenadalah ditemukannya demam di atas 38derajat C (98,6 persen) dan terjadinya infeksisaluran nafas atas (97,1 persen).Tabel 3. Distribusi jawaban responden tentang gejala virus flu burung pada manusiaGejala yang ditimbulkan virus fluPilihan respondenTotalburung pada manusia Ya Persen Tidak Persen Jumlah %Terjadi infeksi saluran nafas atas 204 97.1 6 2.9 210 100Demam diatas 38 derajat celcius 207 98.6 3 1.4 210 100Batuk batuk 177 84.7 33 15.7 210 100Keluar cairan dari hidung 180 85.7 30 14.3 210 100Sakit kepala 146 69.5 64 30.5 210 100Nyeri otot dan lemas 133 63.3 77 36.7 210 100Sakit menelan 73 34.8 137 65.2 210 100Mata merah 40 19.0 170 81.0 210 100Diare 20 9.5 190 90.5 210 100Tabel 4. Distribusi jawaban responden tentang cara penularan virus flu burungCara penularan flu burung Jumlah PersenKontak langsung dengan setiap unggas yang ada 24 11.4Kontak langsung hanya dengan unggas yang telah terinfeksi virus flu burung 173 82.4Kontak langsung dengan setiap manusia 10 4.8Lainnya 3 1.4Total 210 100Uji Coba Model Perubahan Perilaku (57 – 65)Fotarisman Zaluchu59


Tabel 5. Distribusi jawaban responden tentang sarana penularan virus flu burungSarana penularan flu burungPilihan respondenTotalYa Persen Tidak Persen Jumlah %Makanan yang dijual dipasar 86 41.0 124 59.0 210 100Minuman yang dijual dipasar 45 21.4 165 78.6 210 100Buah - buahan yang dijual di pasar 41 19.5 169 80.5 210 100Kotoran unggas 201 95.7 9 4.3 210 100Cairan lendir dari mulut/hidung unggas 198 94.3 12 5.7 210 100Dari kolam renang 65 31.0 145 69.0 210 100Baju bekas penderita 98 46.7 112 53.3 210 100Pada Tabel 4 terlihat bahwa sebanyak82,4 persen responden menjawab yangmerupakan cara penularan flu burung adalahmelalui kontak langsung dengan unggas yangterinfeksi virus flu burung.Dari Tabel 5 terlihat bahwa umumnyaresponden menjawab jika sarana penularanflu burung itu adalah kotoran unggas yaitusebanyak 95,7 persen kemudian sebanyak80,5 persen responden menjawab bahwabuah- buahan yang dijual dipasar bukanmerupakan sarana penularan virus fluburung.Tabel 6. Cara terbaik pencegahan virus fluburungCara terbaik pencegahan Jumlah Persenvirus flu burungMelalui pemusnahan unggas 66 31.4terinfeksiDengan membiarkan unggas 12 5.7yang terinfeksi matiperlahan-lahanMembersihkan kandang102 48.6ternak sesering mungkinMelalui vaksinasi ternak 29 13.8Lainnya 1 0.5Total 210 100Pada Tabel 6 terlihat bahwa sebanyak48,6 persen responden menjawab bahwamembersihkan kandang ternak seseringmungkin merupakan cara terbaik pencegahanvirus flu burung.Tabel 7 menunjukkan bahwa umumnyaresponden menjawab pada makanan yangberasal dari produk unggas yang terinfeksivirus flu burung dapat dikonsumsi apabiladiolah dengan suhu 80 derajat celcius (58,1persen).Tabel 7. Distribusi jawaban responden tentangsuhu pengolahan makanan yangberasal dari produk unggas yangdapat dikonsumsiMakanan yang berasal dari Jumlah Persenproduk unggas yangterinfeksi virus flu burungdapat dikonsumsi apabiladiolah dengan suhu:30 derajat celcius 44 21.040 derajat celcius 15 7.150 derajat celcius 28 13.380 derajat celcius 122 58.1Lainnya 1 0.5Total 210 100Dari Tabel 8 terlihat bahwa ketikaresponden diajukan pertanyaan mengenaikebiasaan yang paling tepat dalam pencegahanpenyebaran virus flu burung, kebanyakanresponden menjawab menghindari kontakdengan unggas apapun (78,1 persen).SikapDistribusi sikap responden terhadappenyakit flu burung dapat dilihat pada Tabel 9.Perilaku masyarakat berhubungandengan kesehatan masih menjadi masalah.Masyarakat masih banyak yangberpengetahuan rendah dan bersikap buruk.Akibatnya berbagai masalah kesehatan menjadimuncul ke permukaan, atau dipermudahpenyebarannya atau diperberat masalahnyakarena masyarakat turut terlibat di dalamnya.Menurut HL Blum, faktor perilakumenjadi penyumbang dalam masalahkesehatan. Sejalan dengan itu, teori LawrenceGreen juga menyumbangkan pemikiranmengenai kontribusi perilaku dalam masalahkesehatan (Soekidjo, 1993; Barbara Kloss-Quiroga, 2004).60Uji Coba Model Perubahan Perilaku (57 – 65)Fotarisman Zaluchu


Tabel 8. Distribusi jawaban responden tentang kebiasaan pribadi yang paling tepat dalampencegahan penyebaran virus flu burungKebiasaan pribadi yang paling tepatuntuk mencegah penyebaran virus fluburungPilihan respondenTotalYa Persen Tidak Persen Jumlah %Hindari kontak dengan unggas apapun 164 78.1 46 21.9 210 100Mencuci tangan dengan sabun 153 72.9 57 27.1 210 100Jangan tidur dekat unggas 104 49.5 106 50.5 210 100Meninggalkan sepatu atau sandal diluarrumah15 7.2 195 92.9 210 100Tabel 9. Distribusi sikap responden tentang virus flu burung (n=210)Pernyataan SikapSikap RespondenSS % S % N % TS % STS %Sebaiknya masyarakat berhenti total1 0.5 7 3.3 4 1.9 186 88.6 12 5.7mengkonsumsi unggas dan produknyaPeternak ayam didaerah sumber penularan 15 7.1 58 27.6 106 50.5 30 14.3 1 0.5flu burung sebaiknya segera memusnahkanternaknyaKetika melakukan kontak langsung dengan 22 10.5 185 88.1 3 1.4 0 0 0 0unggas sebaiknya perlu menggunakanpelindung khususMasyarakat yang tinggal di daerah dekat 19 9.0 62 29.5 19 9.0 107 51.0 3 1.4ternak unggas sebaiknya segera pindah untukmengantisipasi terjangkitnya penyakit fluburungKetika ada unggas yang mati mencurigakan, 16 7.6 23 11.0 7 3.3 145 69.0 19 9.0mendadak dan dalam jumlah yang besarmaka kita hanya diam saja untukmenghindari kerugian yang lebih besar bagipeternakSetelah kontak langsung dengan unggas 46 21.9 161 76.7 1 0.5 2 1.0 0 0sebaiknya membersihkan diri denganmencuci tangan menggunakan sabun ataupunlarutan desinfektanDidaerah sumber penularan flu burung 56 26.7 151 71.9 3 1.4 0 0 0 0sebaiknya diadakan pemeriksaan terhadappencegahan penyebaran virus flu burungUntuk mencegah infeksi flu burung50 23.8 154 73.3 1 0.5 4 1.9 1 0.5sebaiknya para peternak membersihkankandang ternaknya minimal satu minggusekali dengan larutan desinfektanSetelah mengetahui virus flu burung29 13.8 115 54.8 22 10.5 41 19.5 3 1.4menyerang unggas dan menyebabkankematian yang luar biasa maka anda tidakakan memelihara unggasKetika anda mengetahui unggas anda66 31.4 143 68.1 0 0 1 0.5 0 0terinfeksi virus flu burung maka sebaiknyaanda memeriksakan diri anda untukmengetahui anda juga terinfeksi atau tidakKeterangan:SS=Sangat setuju, TS=Tidak setuju, S=Setuju, STS=Sangat tidak setuju dan N=NetralDi Indonesia, diketahui banyak terjadipenyebaran penyakit menular yangberhubungan dengan perilaku masyarakat. Halini terjadi karena manusia berinteraksi denganlingkungannya sehingga menghasilkanperilaku-perilaku tertentu (Achmadi, 2005).Menurut Benyamin Bloom (Soekidjo,1993), perilaku terdiri dari 3 domain, yaitukognitif, afektif dan psikomotor. Denganasumsi tersebut, maka untuk pengukuranperilaku sebagai hasil pendidikan, ketigadomain tersebut diukur sebagai pengetahuanyang bersifat material, sikap yang bersifattanggapan, dan praktek yang dilakukan.Berkaitan dengan penyebaran virus fluburung, pengetahuan dan sikap masyarakatmasih banyak yang potensial disebut sebagaiperilaku berisiko. Dilihat dari Tabel 1, masihUji Coba Model Perubahan Perilaku (57 – 65)Fotarisman Zaluchu61


ada sebanyak 12,4 persen responden yangmenyatakan bahwa virus flu burung hanyamenyerang unggas. Umumnya, pengetahuanresponden mengenai gejala pada hewanmaupun pada manusia juga tidak lengkap,bahkan cenderung salah (Tabel 2 dan Tabel3). Demikian juga dengan penularan (Tabel4), masih ditemukan responden yangmenyatakan bahwa penularan terjadi jikakontak pada setiap unggas atau setiapmanusia. Ketidaktahuan responden jugaterlihat dari penularan yang menurutbeberapa responden bisa melalui kolamrenang bahkan makanan maupun minuman(Tabel 5). Dalam hal pencegahan, masih adaresponden yang menyatakan bahwapencegahan adalah dengan membiarkanunggas unggas yang terinfeksi mati perlahanlahan(Tabel 6). Untuk memasak makanan(Tabel 7), hanya ada 58,1 responden yangmengetahui dengan benar. Rendahnyapengetahuan responden juga terlihat daripencegahan yang mereka ketahui (Tabel 8).Pada sikap, kecenderungan adanyafenomena menarik terlihat dengan jelas.Sebanyak 14,3 persen responden menyatakantidak setuju pemusnahan unggas di daerahsumber flu burung (Tabel 9). Masih padatabel yang sama, ada responden yangmenyatakan bahwa masyarakat perlu pindahdari kawasannya untuk mengantisipasipenyebaran virus flu burung (masing-masing9 persen sangat setuju dan 29,5 persensetuju) atau hanya berdiam diri saja ketikaterjadi kematian unggas secara mendadak(7,6 persen sangat setuju dan 11 persensetuju). Sikap “ketakutan” terhadap unggasjuga muncul, yaitu 13,8 persen sangat setujudan 54,8 persen setuju untuk tidak akanmemelihara unggas.Dalam epidemiologi, pengetahuan yangtidak lengkap atau cenderung salah, adalahsebuah risiko terhadap penyakit (BarbaraKloss-Quiroga, 2004), bahkan dapatdikategorikan sebagai salah satu faktorpenyebab penyakit (Timmreck, 2004). Secaraepidemiologis, hal ini merupakan fenomenagunung es yang bisa mengakibatkan ledakanpenyakit. Faktor risiko adalah suatu aspekdari perilaku personal atau gaya hidup, suatupaparan dari lingkungan, atau suatukarakteristik yang dibawa lahir, yangberdasarkan penelitian epidemiologidiketahui dapat berhubungan dengan keadaankesehatan seseorang sehingga sedapatmungkin penting untuk dicegah. Merekayang memiliki faktor risiko akan menjadikelompok berisiko. Kelompok berisikoadalah sekelompok orang yang memilikiketerpaparan dengan faktor-faktor risikosehingga memiliki risiko yang paling besaruntuk mendapatkan penyakitDalam kasus flu burung, perilakumasyarakat memang meningkatkan risikoterjadinya flu burung, dibandingkan denganmereka yang berperilaku tidak demikian.Berdasarkan temuan para ahli di WHO,paparan flu burung yang meningkat dikawasan Asia Tenggara terjadi karenaperbedaan faktor risiko tadi. Di negaranegaraAsia Tenggara, perilaku manusianyamemudahkan penyebaran virus flu burung,sehingga dengan demikian menyebabkanrisiko terjadinya penyakit semakin lebihmudah, dibandingkan dengan kawasan lain didunia. Salah satu perilaku yang dimaksudadalah pengetahuan dan sikap yang tidaklengkap, salah atau tidak ada sama sekali,sebagaimana ditemukan di lokasi penelitianini. Perilaku berisiko ini pulalah yangmenyebabkan banyak kasus flu burung diIndonesia terjadi begitu saja sehinggamenghasilkan “ledakan” penyakit yangsemakin besar.Tidak ditemukannya kasus flu burungdi masyarakat—termasuk di lokasipenelitian—bukan berarti bahwa masyarakattersebut bebas dari penyakit. Konsep faktorrisiko tidak berbicara mengenai jaminanbebasnya seseorang atau sekelompok orangdari penyakit jika tidak ditemukan adanyafaktor risiko. Namun dari gambaran di atastadi terlihat faktor risiko berbicara dari sisipotensi. Apalagi dengan pengetahuan dansikap yang tidak seragam, potensi risiko tadibisa lebih besar. Pengetahuan dan sikapadalah masalah yang covert behavior.Perilaku demikian umumnya tertutup.Sementara perilaku yang terlihat adalah overtbehavior (Soekidjo, 1993).Pengetahuan dan sikap meski bersifattertutup, menjadi dasar dalam perilakuindividu dan masyarakat. Kerap disebutkanbahwa jika pengetahuan dan sikap sudahmemadai akan mendorong kepada tindakanyang baik pula. Meski demikian, tidakselamanya hal tersebut yang akan terjadisebab ditemukan ada beberapa kasus yangbersifat pengecualian, dimana tanpa62Uji Coba Model Perubahan Perilaku (57 – 65)Fotarisman Zaluchu


pengetahuan dan sikap yang memadai,tindakan individu dan masyarakat bisa baik.IntervensiIntervensi yang dilakukanmenggunakan model peer education. Modelyang dipilih adalah dengan menggunakanpendekatan pendidikan kelompok dalamsistem pendidikan orang dewasa. Penelitianini mencoba menginventarisir potensi yangada di masyarakat dengan melakukanwawancara, observasi dan penjajagan. Penelitimelakukan eksplorasi berdasarkan informasiyang diperoleh dari tokoh-tokoh kunci, antaralain Kepala Lurah, kepala lingkungan dantokoh masyarakat lainnya. Akhirnya penelitimenemukan bahwa potensi yang bisadimanfaatkan berasal dari adanya kader aktifdi Kelurahan Harjosari I. Sebanyak 25 orangkader kemudian direkrut. Mereka berasal darisetiap lingkungan. Kepada mereka diberikanpelatihan mengenai flu burung. Kader yangdilatih mendapatkan pengetahuan danpembelajaran dengan materi sebagai berikut:1) Gambaran umum penyakit flu burung; 2)Cara penularan penyakit flu burung, 3)Faktor-faktor risiko penyebaran penyakit fluburung; 4) Pencegahan flu burung melaluipendekatan kebersihan diri, dan 5)Pencegahan flu burung melalui komunikasiantar pribadi.Setelah dilakukan pelatihan, makakader tersebut kemudian diberikan tugasuntuk memberikan pengetahuan yang telahdidapatkan kepada masyarakat di wilayahtempatnya berada. Upaya untuk penyebaranpengetahuan yang telah diterima dilakukandengan melakukan penyebaran gagasanlangsung atau melalui pertemuan denganmasyarakat. Waktu yang diberikan untukmelakukan kegiatan ini adalah 3 minggu,sesudahnya dilakukan pengumpulan data preintervensi.Setelah melakukan perhitungansesudah dilakukan intervensi, berdasarkanskor masing-masing, skor pengetahuan dansikap responden dapat dilihat pada Tabel 10.Tabel 10 menunjukkan bahwa sebelumintervensi hanya ada 72,38 persen respondenyang berpengetahuan baik. Setelahintervensi, meningkat menjadi 92,38 persenresponden. Hanya tinggal 0,04 persenresponden yang berpengetahuan kurang baiksetelah intervensi. Untuk sikap, sebanyak42,85 persen responden bersikap baiksebelum intervensi, dan menjadi 53,3 persensesudah intervensi. Tidak ada lagi respondenyang bersikap kurang baik setelah intervensi.Tabel 11 memperlihatkan bahwa untukkedua kategori, yaitu pengetahuan dan sikap,terdapat peningkatan mean jika dibandingkanterhadap sebelum adanya intervensi, yaitusebesar 4,71 pada pengetahuan dan 1,06 padasikap. Secara statistik perubahan pengetahuanmemiliki makna yang signifikan (p0,05).Tabel 10. Distribusi responden berdasarkan pengetahuan dan sikapPengetahuanSikapKategoriPre Intervensi Post Intervensi Pre Intervensi Post IntervensiJumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah PersenBaik 152 72,38 194 92,38 90 42,85 112 53,3Sedang 50 23,80 15 7,14 119 56,6 98 46,6Kurang Baik 8 3,8 1 0,04 1 0,04 0 0Jumlah 210 100 210 100 210 100 210 100Tabel 11. Hasil uji statistikKategori: Pengetahuan Mean Kategori: Sikap 210Pre Intervensi 53,41 Pre Intervensi 37,32Post Intervensi 58,12 Post Intervensi 38,38F 4,654 F 3,160Sig 0,032 Sig 0,076Uji Coba Model Perubahan Perilaku (57 – 65)Fotarisman Zaluchu63


Secara teoretis, perubahan perilakumasyarakat memang bisa dilakukan.Beberapa ahli sudah merekomendasikanterori-teori yang berhubungan dengan hal ini(Soekidjo, 1993; Soekidjo, 2005). Bahkandalam rangka memasyaratkan ide-ide baru,teori difusi inovasi diperkenalkan juga dalambidang kesehatan oleh Everett danShoemaker (Hanafi, 1986). Yang penting,jika kita ingin meningkatkan derajatkesehatan masyarakat, maka kita harusbersedia dan mampu mengubah perilakumasyarakat (Sarwono, 2004).Namun, dalam melakukan perubahanperilaku pendekatan menggunakan potensimasyarakat sendiri, terbukti efektif untukmenghasilkan pengetahuan dan sikap baru.Cara ini juga disebut sebagai pelibatanpartisipasi masyarakat (communityinvolvement). Cara ini sudah banyak diujicoba dalam pemberdayaan masyarakatberbasiskan kelompok, yang salah satunyadalam menghadang penyebaran virus HIV/AIDS. Di Amerika, sebuah riset formativemenjadi dasar bagi pengembangan perilakukelompok di antara mereka yang memilikiusia sebaya sehingga kerap disebut sebagaipeer group.Penelitian ini, yang menggunakanmodel perubahan perilaku yang berbasiskankepada keterlibatan kader terlatih, ternyatacukup efektif untuk mengubah pengetahuandan sikap. Metode pelibatan kader sendirididisain sedemikian rupa, sehinggamemenuhi prinsip situasi belajar yangditetapkan sendiri (self directed outcomesituation), sebagaimana disebutkan olehSasongko (Soekidjo, 2005). Metode iniadalah metode dimana masyarakat (kaderyang dilatih) selama proses pelatihanmenetapkan sendiri hal-hal yang berkaitandengan dirinya sendiri, yang dianggap baikdan bisa dilakukan. Demikian juga halnyadengan “penugasan” untuk mendidikmasyarakat, dianggap sebagai sebuah tujuanyang berasal dari dirinya sendiri.Salah satu upaya untuk mencegahpenyebaran virus flu burung ini memangyang disebut sebagai perombakan budaya.Inilah yang dimaksud oleh Kusnanto(Kompas, 5 Agustus <strong>2006</strong>) sebagai matarantai yang paling lemah dalam kasus ini.Dijelaskan bahwa seandainya masyarakatmau menerapkan pengamanan unggas danternak dengan disiplin tinggi, memusnahkanunggas yang sakit atau mati, tidakmenggunakan pupuk dari kotoran unggas,dan membersihkan telur yang dimasak,penyebaran virus flu burung ini bisa dicegah.Kusnanto merekomendasikan yang upayayang disebutnya sebagai perubahan kulturaldi masyarakat sendiri. Retno dan Ekowati(2005) juga menganjurkan hal yang sama.Dinyatakan bahwa salah satu penyebab daribelum bisa diatasinya masalah penyebaranflu burung adalah pada rendahnya pemahamanmasyarakat. Karena itu diperlukan sebuahupaya untuk meningkatkan pemahaman danpengertian masyarakat akan bahaya flu burung.Metode ini menurut WHO sudah cukupefektif diterapkan di Hongkong ketika virus fluburung sudah mulai merebak di sana.Dikatakan oleh dokumentasi WHO, bahwasetelah diadakan pendidikan kesehatan kepadamasyarakat, maka pedagang dan penjualunggas berada dalam barisan yang turut sertamemusnahkan unggas.WHO, setelah mengevaluasi kondisikesehatan dunia pada tahun <strong>2006</strong> inimerekomendasikan bahwa pembangunankesehatan nasional di masa depan seharusnyamelibatkan peran serta masyarakat. Perubahanperilaku masyarakat dengan menggunakanpendekatan memanfaatkan potensi masyarakatbersifat murah, mudah dan “tersimpan” dimasyarakat.Isu ini sebenarnya sudah lamadisampaikan. Dalam konsep PelayananKesehatan Primer (Primary Health Care), sudahdikenal adanya tenaga-tenaga kesehatan yangbekerja di masyarakat dengan tugas membantumasyarakat untuk mempercayai sepenuhnyausaha dan sumber daya mereka sendiri untumemenuhi kebutuhan kesehatan mereka. Satuhal terpenting adalah agar masyarakatbertanggung-jawab atas kesehatannya sendiri(McMahon dkk., 1999). Masalah kesehatanakan semakin banyak terutama penyakitpenular. Karena itu, sudah saatnyapemerintah mengubah paradigma dariparadigma sakit ke paradigma sehat, yaitumelakukan tindakan pencegahan danpromotif ketika penyakit belum terjadi.Sebagaimana dalam teori riwayat alamiahpenyakit, penanganan kasus flu burung diIndonesia yang jumlah dan frekuensinyasemakin meningkat seharusnya dilakukansecara komprehensif (preventif-promotifkuratif-rehabilitatif)dan terintegrasi dengansistem surveilans yang memadai.64Uji Coba Model Perubahan Perilaku (57 – 65)Fotarisman Zaluchu


KESIMPULAN DAN SARANDapat disimpulkan bahwa perilakumasyarakat mengenai flu burung umumnyamasih rendah dan belum lengkap. Awalnya,hanya sebanyak 72,38 persen responden yangberpengetahuan baik dan 42,85 persen yangbersikap baik. Model intervensimenggunakan kader yang sebelumnya sudahada di masyarakat untuk kemudian menjadipenyebar informasi mengenai flu burung dimasyarakatnya sendiri. Model intervensiyang digunakan dalam penelitian ini dapatmeningkatkan pengetahuan dan sikapmasyarakat. Terdapat peningkatanpengetahuan secara signifikan.Pencegahan flu burung dapat dilakukandengan menggunakan pendekatan perilaku.Pemerintah daerah dapat segera menyusunstrategi perubahan perilaku secaramenyeluruh dan berkesinambungan. Strategiini mudah dan murah serta berasal darimasyarakat sendiri. Sepanjang perubahanperilaku berasal dari masyarakat sendiri,maka pemerintah akan lebih mudahmengkonsentrasikan diri kepada riset virusdan pengobatan penyakit ini. Pemerintahdaerah bisa bekerjasama dengan sekolah/perguruan tinggi untuk mengakomodasikanperubahan perilaku ini dalam bentuk prakteklapangan. Dinas Kesehatan Propinsi jugaharus mendisain arah promosi kesehatanyang selama ini dikerjakan kepada bentukpendidikan kesehatan dan perubahanperilaku. Selain itu, model perubahanperilaku dapat diintegrasikan dengan upayapencegahan penyakit menular lainnya dimasyarakat.DAFTAR PUSTAKAAnonim (1995). Kader Kesehatan MasyarakatWHO. Adi Heru (alih bahasa). Jakarta:EGCAnonim (2003). Panduan Praktis SurveilansEpidemiologi Penyakit (PEP). Jakarta:Depkes RI.Anonim (<strong>2006</strong>). Virus AI Telah Meluas. Jakarta:Harian Kompas, 14 Agustus <strong>2006</strong>Ahmadi, UF (2005). Manajemen PenyakitBerbasis Wilayah. Jakarta: Penerbit BukuKompasBarbara Kloss-Quiroga (2004). District HealthManagement (Editor). Germany: InWent-Public Health DivisionGordis, L. (2004). Epidemiology. Philadelphia:Elsevier SaundersHanafi, A. (1986). Memasyarakatkan Ide-IdeBaru. Surabaya: Usaha NasionalKusnanto, H (<strong>2006</strong>). Flu Burung, Ilusi atauBencana. Jakarta: Kompas, 5 Agustus hal 4Mausner, JS., Shira Kramer (1985).Epidemiology-An Introductory Text.Philadelphia: WB Saunders CompanyMcMahon, R, Elisabeth Barton dan Maurice Piot(1999). Manajemen Pelayanan KesehatanPrimer. Poppy Kumala (alih bahasa).Jakarta: EGCMurti, B. (2003). Prinsip dan Metode RisetEpidemiologi. Jogjakarta: UGM Press<strong>No</strong>toatmodjo, S (1993). Pengantar PendidikanKesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan.Jogjakarta: Andi Offset<strong>No</strong>toatmodjo, S (2005). Promosi Kesehatan Teoridan Aplikasi. Jakarta: Rineka CiptaSarwono, S (2004). Sosiologi Kesehatan.Jogjakarta: UGM Press.Uji Coba Model Perubahan Perilaku (57 – 65)Fotarisman Zaluchu65


HASSIILL PPEENEELLIITTIIANPEMBENTUKAN STANDAR HARGA BARU ASKESOS DENGANPENINGKATAN PANGSA PASARDestanul AuliaDepartemen Administrasi dan Kebijakan KesehatanFakultas Kesehatan Masyarakat <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>Jl. <strong>Universitas</strong> <strong>No</strong>. 21 Kampus USU Medan, 20155ABSTRACTGiving incentive for providers in health insurance (PPK = PenyelenggaraPelayanan Kesehatan) to increase their performance in doing their works, can beconsidered as a way to increase the performance in providing the health insurancefor community. The insignificant difference of price standard paid by PT. ASKESfor ASKESKIN and ASKESOS is an example of the unsupportive condition forPPK. However, this condition can be improved with the momentum of Visi MedanSehat 2010, in which the government plans to increase the number of insurer(ASKESOS). This is also means increasing the market share of ASKESOS. With theincrease of 44.86%, there can be a new ASKESOS price standard that significantlydifferent with ASKESKIN price standard. This differences beside has the effect ofincreasing performance of providers, this will also lower the cost sharing by thepatient and finally it will have positive effect to the ASKESKIN insurer even there isno change in their price standard. This study attempt to find the new price standardof ASKESOS that is significantly different with ASKESKIN by the influence ofincreasing in market share.Keywords: ASKESKIN, ASKESOS, Health insurance, Price standard1. PENDAHULUANDengan adanya Visi Medan Sehat 2010yaitu agar tercipta keadilan dan pemerataanpelayanan kesehatan yang bermutu sesuaistandar minimal bagi seluruh masyarakatkota Medan, maka seluruh penyelenggarakesehatan yang berkaitan harus berusahamewujudkan visi ini.Dalam Peraturan Pemerintah <strong>No</strong> 8Tahun 2003, pasal 9 ayat 2 dinyatakan bahwaDinas Daerah Kabupaten/Kota mempunyaitugas melaksanakan kewenangandesentralisasi dalam bidang kesehatan. Iniberarti Dinas Kesehatan Kota Medanmerupakan lembaga tertinggi yang sangatberperan untuk mewujudkan visi ini.Dinas Kesehatan Kota Medan haruskembali memperkuat posisinya menjadiperancang dan regulator sistem kesehatanwilayah. Salah satu hal yang dapat dilakukandalam mewujudkan peran ini, DinasKesehatan Kota Medan dapat melakukanevaluasi terhadap mitra pemerintah dalampenyelengaraan Jaminan PemeliharaanKesehatan sehingga Visi Medan Sehat dapatbenar-benar tercapai2. KONDISI JPK MASYARAKATKOTA MEDANJumlah Penduduk kota Medan tahun2004 berdasarkan data dari kantor statistikkota Medan adalah: 2.006.142 jiwa yangtersebar pada 21 kecamatan dan 151kelurahaan. Pada saat ini sekitar 55.14%penduduk kota Medan sudah terlindungipelayanan kesehatan dan sekitar 44.86% atausebanyak 899.955 jiwa yang belumdilindungi oleh Jaminan Pemeliharaankesehatan.Dari 55.14% penduduk kota Medanyang sudah terlindungi pelayanankesehatannya, sebanyak 28.76% Jaminan66


Pemeliharaan Kesehatan di selenggarakanoleh PT ASKES dan 26.38%diselenggarakan oleh PT Jamsostek besertaasuransi lainnya. Dari 28.76% yang dilayanioleh PT ASKES, 11.91% merupakanPNS/Pens PNS, TNI, Polri dan veteran,2.21% pekerja formal dan 14.63%masyarakat miskin.3. PERMASALAHAN PENELITIANJika kita kembali pada visi untukmenyelenggarakan jaminan kesehatan bagiseluruh masyarakat kota Medan, maka kitamengetahui ada sebanyak 44.86% jiwa yangbelum terlindungi. Penyerahanpenyelenggaraan Jaminan PemeliharaanKesehatan kepada PT ASKES bagi pendudukyang belum terlindungi ini, akanmenyebabkan PT ASKES menyelenggarakanhampir mencapai 77.62%. Keadaan inicenderung akan menciptakan pasar oligopoliyang tentunya mempunyai beberapakelemahan. Dalam hal inilah peranan DKKsebagai regulator sangat diperlukan.Salah satu cara bagi DKK untukmenunjukkan perannya sebagai regulatoradalah melalui evaluasi jenis pelayanan danstandar harga yang ditawarkan oleh PT.ASKES. Kajian ini mencoba mengevaluasistandard harga yang diberikan oleh PTASKES kepada PPK dalam programASKESKIN maupun yang ditawarkan dalambentuk ASKESOS.4. HASIL PENELITIANBerdasarkan hasil regresi di dapatkoefisien pengaruh pangsa pasar terhadappembayaran ASKESOS terhadap PPK adalahRp 6879. Ini berarti bahwa peningkatan 1%pangsa pasar menyebabkan rata-ratapeningkatan pembayaran pada PPK sebanyakRp 6879 bagi rata-rata keseluruhanpelayanan yang disediakan.Hasil uji statistik terhadap standarharga ASKESKIN dan ASKESOS yangditawarkan oleh PT. ASKES adalah tidakberbeda secara signifikian seperti terlihatdalam Tabel 1.Dalam hal ini terlihat bahwa standarharga yang dibayarkan oleh PT. ASKESkepada PPK untuk ASKESKIN danASKESOS tidak berbeda secara signifikan.Hal ini tentu tidak memberi insentif bagiPPK untuk memberikan pelayanan yanglebih baik bagi peserta ASKES. Dalam halini DKK sebaiknya membentuk suatu standarharga baru yang bisa menawarkan insentifbagi PPK.Berdasarkan asumsi bahwa standarharga ASKESKIN yang dibuat adalahstandar maksimal yang palingmemungkinkan, dan unit kos untuk setiappelayanan tidak berubah serta hanyapeningkatan jumlah pangsa pasar yangterjadi (adanya penambahan sebanyak44.86%), maka standar harga baru bagiASKESOS dibuat dengan penyesuaianpeningkatan pangsa pasar saja (denganadanya penambahan pangsa pasar yang barudiharapkan standar harga dapat berbedasecara signifikan), dan ASKESKIN dijadikansebagai tolak ukur untuk menentukan hargastandar ASKESOS baru bagi DinasKesehatan Kota Medan.Hasil penyesuaian harga bagiASKESOS untuk beberapa Rumah Sakit diKotamadya Medan yang merupakan standarharga baru bagi DKK di lampirkan padaLampiran 1.Uji paired sample t-test bagi standarharga baru dibandingkan dengan ASKESKINbagi 5 rumah sakit (RS. Haji, RSU. DR.Pirngadi, RS H. Adam Malik, RSU. MarthaFriska dan RSU Sari Mutiara Medan)menunjukkan perbedaan yang signifikan.Terlihat pada Tabel 2 sampai Tabel 6 . Halini diharapkan dapat mengurangi iur biayabagi peserta askes dan memberi insentif bagiPPK dalam melayani peserta ASKESOSyang pada gilirannya dapat berdampak baikjuga bagi peserta ASKESKIN walaupunstandar harga bagi peserta ini tidak dapatdinaikkan lagi.Tabel 1. Hasil paired sample test ASKESKIN-ASKESOS oleh PT ASKESMean N Correlation t df Sig. (2-tailed)ASKESOS 2248056 34 0.99** -1.3111 33 0.1989ASKESKIN 2260418 34Pembentukan Standar Harga Baru (66 – 73)Destanul Aulia67


Tabel 2. Hasil paired sample test ASKESKIN-ASKESOSDKK, RS. HajiMean N t df Sig. (2-tailed)ASKESKIN 2283676.5 34 -2.7862 33 0.0088DKK 2651348.4 34Tabel 3. Hasil paired sample test ASKESKIN-ASKESOSDKK, RS. PirngadiMean N t df Sig. (2-tailed)ASKESKIN 2283676.5 34 -2.786187 33 0.008771736DKK 2651348.4 34Tabel 4. Hasil paired sample test ASKESKIN-ASKESOSDKK, RS. Adam MalikMean N t df Sig. (2-tailed)ASKESKIN 2283676.5 34 -2.786187 33 0.008771736DKK 2651348.4 34Tabel 5. Hasil paired sample test ASKESKIN-ASKESOSDKK, RS. Marta FriskaMean N t df Sig. (2-tailed)ASKESKIN 2292969.7 33 -2.714596 32 0.01060236DKK 2662137.8 33Tabel 6. Hasil paired sample test ASKESKIN-ASKESOSDKK, RS. Sari MutiaraMean N t df Sig. (2-tailed)ASKESKIN 1505419.35 31 -2.871047 30 0.007434289DKK 1747791.87 315. KESIMPULAN1. Hasil uji statistik terhadap standar hargaASKESKIN dan ASKESOS yangditawarkan oleh PT. ASKES adalah tidakberbeda secara signifikian. Hal ini tidakmemberikan insentif bagi PPKASKESOS.2. Standard harga baru yang dibuat adalahberdasarkan peningkatan pangsa pasardan berbeda secara signifikan3. Hal ini diharapkan dapat mengurangi iurbiaya bagi peserta askes dan memberiinsentif bagi PPK dalam melayanipeserta ASKESOS yang pada gilirannyadapat berdampak baik juga bagi pesertaASKESKIN walaupun standar hargabagi peserta ini tidak dapat dinaikkanlagi.REFERENSIDinas Kesehatan Kota, <strong>2006</strong>. Kajian Menuju“ASKES MEDAN SEHAT”. Medan:Dinas Kesehatan Kota.Pikiran Rakyat (Harian). 2005. PensiunanPemegang ASKES Keluhkan PungutanBiaya. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/04/0303.htm. (22 Jan<strong>2006</strong>)PT. ASKES, 2005. Tarif Harga ASKESKINdan ASKESOS RSU. Sari MutiaraMedanPT. ASKES, 2005. Tarif Harga ASKESKINdan ASKESOS RSU. DR. PirngadiMedanPT. ASKES, 2005. Tarif Harga ASKESKINdan ASKESOS RSU. H. Adam MalikMedanPT. ASKES, 2005. Tarif Harga ASKESKINdan ASKESOS RSU. Haji MedanPT. ASKES, 2005. Tarif Harga ASKESKINdan ASKESOS RSU. Martha FriskaMedanRupawan, K.I. <strong>2006</strong>. Layanan ASKES diBangli. http://www.balipost.co.id. (2April <strong>2006</strong>).Siswono , 2005. Askes Miskin Gratis TapiBayar. http://www.republika.co.id (15September 2005)68Pembentukan Standar Harga Baru (66 – 73)Destanul Aulia


Lampiran 1:NO JENIS PELAYANANRS HAJI MEDANPT. ASKESASKES SOSIAL ASKESKIN ASKES SOSIAL1 Rawat Jalan Tingkat LanjutanP1 12800 12000 13932P1 UGD 19000 20000 232202 P II A (Laboratorium) 28000 28000 32508P II B (Radiologi) 45000 45000 52245PII C (Electromedik) 40000 40000 464403 P III A 35000 35000 40635P III B 85000 85000 98685P III C 300000 300000 3483004 Rawat Inap (per hari)Kelas I 170000 170000 197370Kelas II 130000 130000 150930Kelas III 90000 90000 1044905 Rawat Inap Khusus (per hari)ICCU/ICCU/PICU 395000 400000 464400ICCU 445000 450000 522450HCU/INTERMEDIATE 190000 200000 232<strong>2006</strong> One Day Care (per hari) 90000 90000 1044907 Persalinan (per kasus)Tanpa Penyulit 350000 350000 406350Dengan Penyulita. Per vaginam 750000 750000 870750b. Per abdominan 1750000 1750000 20317508 Tindakan Medis OperatifKelompok I 1300000 1300000 1509300Kelompok II 1750000 1750000 2031750Kelompok III 2500000 2500000 29025009 Tindakan Medis Operasional khususAnak/Mata/Onkologi 4000000 4000000 4644000Orthophedi/THT/Vaskuler 4000000 4000000 4644000Digestif 5000000 5000000 5805000Kebidanan/Obgyn 6000000 6000000 6966000Paru Paket A atau B 24000000 24000000 27864000Plastik/ Urologi 7000000 7000000 8127000Syaraf 13500000 14000000 1625400010 Pemeriksaan Ct-Scana. Tanpa KontrasKelompok I 350000 350000 406350Kelompok II 450000 450000 522450Kelompok III 400000 650000 754650b. Dengan KontrasKelompok I 400000 400000 464400Kelompok II 550000 550000 638550Kelompok III 750000 750000 870750Pembentukan Standar Harga Baru (66 – 73)Destanul Aulia69


NOJENIS PELAYANANRSU. DR. PIRNGADI MEDANPT. ASKESASKES SOSIAL ASKESKIN ASKES SOSIAL1 Rawat Jalan Tingkat LanjutanP1 11600 12000 13932P1 UGD 18000 20000 232202 P II A (Laboratorium) 26800 28000 32508P II B (Radiologi) 42500 45000 52245PII C (Electromedik) 38000 40000 464403 P III A 35800 35000 40635P III B 85000 85000 98685P III C 300000 300000 3483004 Rawat Inap (per hari)Kelas I 161500 170000 197370Kelas II 123500 130000 150930Kelas III 85500 90000 1044905 Rawat Inap Khusus (per hari)ICCU/ICCU/PICU 380000 400000 464400ICCU 425000 450000 522450HCU/INTERMEDIATE 190000 200000 232<strong>2006</strong> One Day Care (per hari) 85500 90000 1044907 Persalinan (per kasus)Tanpa Penyulit 350000 350000 406350Dengan Penyulita. Per vaginam 750000 750000 870750b. Per abdominan 1750000 1750000 20317508 Tindakan Medis OperatifKelompok I 1300000 1300000 1509300Kelompok II 1750000 1750000 2031750Kelompok III 2500000 2500000 29025009 Tindakan Medis Operasional khususAnak/Mata/Onkologi 4000000 4000000 4644000Orthophedi/THT/Vaskuler 4000000 4000000 4644000Digestif 5000000 5000000 5805000Kebidanan/Obgyn 6000000 6000000 6966000Paru Paket A atau B 24000000 24000000 27864000Plastik/ Urologi 7000000 7000000 8127000Syaraf 14000000 14000000 1625400010 Pemeriksaan Ct-Scana. Tanpa KontrasKelompok I 350000 350000 406350Kelompok II 450000 450000 522450Kelompok III 650000 650000 754650b. Dengan KontrasKelompok I 400000 400000 464400Kelompok II 550000 550000 638550Kelompok III 750000 750000 87075070Pembentukan Standar Harga Baru (66 – 73)Destanul Aulia


RS. H.ADAM MALIK MEDANNO JENIS PELAYANANPT. ASKESSga baruASKES SOSIAL ASKESKIN ASKES SOSIAL1 Rawat Jalan Tingkat LanjutanP1 12000 12000 13932P1 UGD 20000 20000 232202 P II A (Laboratorium) 28000 28000 32508P II B (Radiologi) 45000 45000 52245PII C (Electromedik) 40000 40000 464403 P III A 35000 35000 40635P III B 85000 85000 98685P III C 300000 300000 3483004 Rawat Inap (per hari)Kelas I 170000 170000 197370Kelas II 130000 130000 150930Kelas III 90000 90000 1044905 Rawat Inap Khusus (per hari)ICCU/ICCU/PICU 400000 400000 464400ICCU 450000 450000 522450HCU/INTERMEDIATE 200000 200000 232<strong>2006</strong> One Day Care (per hari) 90000 90000 1044907 Persalinan (per kasus)Tanpa Penyulit 350000 350000 406350Dengan Penyulita. Per vaginam 750000 750000 870750b. Per abdominan 1750000 1750000 20317508 Tindakan Medis OperatifKelompok I 1300000 1300000 1509300Kelompok II 1750000 1750000 2031750Kelompok III 2500000 2500000 29025009 Tindakan Medis Operasional khususAnak/Mata/Onkologi 4000000 4000000 4644000Orthophedi/THT/Vaskuler 4000000 4000000 4644000Digestif 5000000 5000000 5805000Kebidanan/Obgyn 6000000 6000000 6966000Paru Paket A atau B 24000000 24000000 27864000Plastik/ Urologi 7000000 7000000 8127000Syaraf 14000000 14000000 1625400010 Pemeriksaan Ct-Scana. Tanpa KontrasKelompok I 350000 350000 406350Kelompok II 450000 450000 522450Kelompok III 650000 650000 754650b. Dengan KontrasKelompok I 400000 400000 464400Kelompok II 550000 550000 638550Kelompok III 750000 750000 870750Pembentukan Standar Harga Baru (66 – 73)Destanul Aulia71


NO JENIS PELAYANANRSU. MARTHA FRISKA MEDANPT. ASKESDINAS KESEHATANASKES SOSIAL ASKESKIN ASKES SOSIAL1 Rawat Jalan Tingkat LanjutanP1 10000 10000 11610P1 UGD 15000 15000 174152 P II A (Laboratorium) 22000 22000 25542P II B (Radiologi) 36000 36000 41796PII C (Electromedik) 30000 40000 464403 P III A 27500 35000 40635P III B 65000 85000 98685P III C 250000 300000 3483004 Rawat Inap (per hari)Kelas I 130000 130000 150930Kelas II 100000 100000 116100Kelas III 75000 75000 870755 Rawat Inap Khusus (per hari)ICCU/ICCU/PICU 350000 350000 406350ICCU 0 0HCU/INTERMEDIATE 150000 150000 1741506 One Day Care (per hari) 70000 70000 812707 Persalinan (per kasus)Tanpa Penyulit 300000 300000 348300Dengan Penyulita. Per vaginam 500000 500000 580500b. Per abdominan 1500000 1500000 17415008 Tindakan Medis OperatifKelompok I 1100000 1100000 1277100Kelompok II 1500000 1500000 1741500Kelompok III 2200000 2200000 25542009 Tindakan Medis Operasional khususAnak/Mata/Onkologi 4000000 4000000 4644000Orthophedi/THT/Vaskuler 4000000 4000000 4644000Digestif 5000000 5000000 5805000Kebidanan/Obgyn 6000000 6000000 6966000Paru Paket A atau B 24000000 24000000 27864000Plastik/ Urologi 7000000 7000000 8127000Syaraf 14000000 14000000 1625400010 Pemeriksaan Ct-Scana. Tanpa KontrasKelompok I 350000 400000 464400Kelompok II 450000 550000 638550Kelompok III 650000 750000 870750b. Dengan KontrasKelompok I 400000 350000 406350Kelompok II 550000 450000 522450Kelompok III 750000 650000 75465072Pembentukan Standar Harga Baru (66 – 73)Destanul Aulia


RSU. SARI MUTIARA MEDANPT. ASKESDINAS KESEHATANASKES SOSIAL ASKESKIN ASKES SOSIALNOJENIS PELAYANAN1 Rawat Jalan Tingkat LanjutanP1 10000 10000 11610P1 UGD 15000 15000 174152 P II A (Laboratorium) 22000 22000 25542P II B (Radiologi) 36000 36000 41796PII C (Electromedik) 30000 40000 464403 P III A 27500 35000 40635P III B 55000 85000 98685P III C 190000 300000 3483004 Rawat Inap (per hari)Kelas I 130000 130000 150930Kelas II 100000 100000 116100Kelas III 75000 75000 870755 Rawat Inap Khusus (per hari)ICCU/ICCU/PICU 350000 350000 406350ICCU 0 0HCU/INTERMEDIATE 150000 150000 1741506 One Day Care (per hari) 70000 70000 812707 Persalinan (per kasus)Tanpa Penyulit 300000 300000 348300Dengan Penyulita. Per vaginam 500000 500000 580500b. Per abdominan 1500000 1500000 17415008 Tindakan Medis OperatifKelompok I 1100000 1100000 1277100Kelompok II 1500000 1500000 1741500Kelompok III 2200000 2200000 25542009 Tindakan Medis Operasional khususAnak/Mata/Onkologi 4000000 4000000 4644000Orthophedi/THT/Vaskuler 4000000 4000000 4644000DigestifKebidanan/Obgyn 6000000 6000000 6966000Paru Paket A atau BPlastik/ Urologi 7000000 7000000 8127000Syaraf 13000000 14000000 1625400010 Pemeriksaan Ct-Scana. Tanpa KontrasKelompok I 350000 400000 464400Kelompok II 450000 550000 638550Kelompok III 650000 750000 870750b. Dengan KontrasKelompok I 400000 350000 406350Kelompok II 550000 450000 522450Kelompok III 750000 650000 754650Pembentukan Standar Harga Baru (66 – 73)Destanul Aulia73


TTIINJJAUAN PPUSSTTAKAEVALUASI PENERAPAN SIKAP KERJA 5-SDALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS PERUSAHAANDI PT ABC TAHUN 2005Eka Lestari MahyuniDepartemen Kesehatan dan Keselamatan KerjaFakultas Kesehatan Masyarakat <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>Jl. <strong>Universitas</strong> <strong>No</strong>. 21 Kampus USU Medan, 20155ABSTRACTBased on Japanese words that begin with ‘S’ Seiri, Seiton, Seiso, SEiketsu andShitsuke, The 5-S are the basic phylosophy to take the total quality managementand the management system to improve the productivity. The 5-S philosophyfocuses on effective work place organization and standardized work procedure. 5-Ssimplifies the work environment, reduces waste and non value activity whileimproving quality efficiency and safety. Sort (seiri) the first S focuses oneliminating unnecessary items from the work place. Sorting is an excellent way tofree up valuable floor space and eliminate such things as broken tools, scrap andexcess raw material. Set in order (Seiton) is the second of the 5-S and focuses onefficient and effective storage methods. This is the excellent way to find outsomething and how to have a specific location where all employees can find it. “Aplace for everything and everything in its place”. Shine (Seiso) is the daily followupcleaning is necessary in order to sustain this improvement. Workers take pridein a clean and clutter free work area and the Shine step will help create ownershipin the equipment and facility. Standardize (Seiketsu) once the first three 5S’s havebeen implemented, that should concentrate on standardizing best practice in thework area. Sustain (Shitsuke) is by far the most difficult S to implement andachieve. Sustain focuses on defining a new status quo and standard of work placeorganization. The evaluations results at the ABC manufacture have to do the 5-Sconcepts but still not for all process. At the process, seiri, seiton and seiso hasimplemented continuously, but at the storage process and personnel, still notimplement the 5-S concepts and we can see at the work place we still found someequipment or document was not arrange properly. To solve that problem, thecompany must give their employee the 5-S program include the standard operatingprocedures to improve the productivity and to implement the 5-S management attheir home or at their work place. In conclusion, it will helpful to the company todevelop the total quality management.Keywords: 5-S philosphy, Total quality management, ProductivityPENDAHULUANPerkembangan dunia perindustrian dalamera globalisasi dan AFTA semakin pesat danmengundang persaingan yang ketat antarindustriyang ada baik industri besar,menengah, ataupun industri kecil. Persainganantarnegara tidak lagi dilandasi oleh jenisdan jumlah ilmu pengetahuan dan teknologi(iptek) yang mampu dibeli dan dipakai tetapioleh adanya sumber daya manusia (SDM)yang mampu mengoperasikan danmemanfaatkan iptek tersebut secara optimal.Dalam mensinergikan kedua hal itu,banyak perusahaan di Indonesia mulaimenerapkan konsep manajemen denganpendekatan baru dalam upaya meningkatkandaya saingnya di pasar yang semakin globalini, misalnya Just In Time (JIT), TotalProductive Maintenance (TPM), Total74


Quality Management (TQM), ISO 9000,Quality Control Circle (QCC), dan lainsebagainya. Semua konsep tersebut tentunyabertujuan baik dan telah dipilih denganseksama untuk menyelesaikan masalah yangdihadapi perusahaan bersangkutan.Namun banyak sekali implementasi darikonsep-konsep tersebut mengalami kesulitan,bahkan di beberapa perusahaan sempat terhenti.Salah satu sebab utamanya adalah rendahnyadaya serap tenaga kerja dalam menerapkanperubahan-perubahan tersebut. Misalnya tingkatdisiplin yang rendah, tempat kerja yangberantakan, belum terbiasa bekerja sesuaidengan sistem dan prosedur, bahkan ada yangmenyebutkan bahwa budaya kerja yang adamasih merupakan budaya pertanian, belumbudaya industri (Setiawan, 1995).Oleh karena itu, sebelum menerapkankonsep-konsep seperti JIT, TPM, TQM, ISO9000, QCC, maka sebaiknya ditanamkanterlebih dahulu budaya industri melaluipenerapan 5-S. Pendekatan ini dikembangkandi Jepang dan merupakan kunci sukses untukmentransformasikan industrinya menjadiindustri kelas dunia. 5-S pada dasarnyamerupakan proses perubahan sikap denganmenerapkan penataan dan kebersihan tempatkerja. Kondisi tempat kerja mencerminkanperlakuan seseorang terhadap pekerjaannyadan perlakuan terhadap pekerjaan inimencerminkan sikapnya terhadap pekerjaannya.Bahkan 5-S dapat dilihat sebagai kegiatanpertama untuk membiasakan diri bekerjadengan standar. Dengan menerapkan prinsip“a place for everything and everything in itsplace”, maka setiap pekerja dapat dibiasakanbekerja dalam lingkungan kerja dengan“standar tempat” yang jelas.5-S adalah prinsip yang paling mudahdipahami. Prinsip ini memungkinkan untukmemperoleh partisipasi secara total. Tidakakan berhasil bila 5-S tidak diterapkan,sebaliknya keuntungan yang diperolehdengan menerapkan 5-S akan terlihat jelas.Dapat dikatakan bahwa 5-S merupakanbarometer yang menunjukkan bagaimanaperusahaan itu dikelola dan merupakan tolokukur bagaimana partisipasi para pekerjasecara total. Pendekatan 5S ini merupakansalah satu langkah manajemen dan sikapkerja yang merupakan langkah pertama yangmemberi tekanan pada tempat kerja yangterorganisir dengan baik dan harus merupakanusaha terpadu di seluruh perusahaan (Osada,2002).PT ABC merupakan salah satu industrimenengah besar yang padat karya danbergerak di bidang industri pangan yangbekerja sama dengan investor Jepang dalamkelancaran proses industrinya. Dari hasilsurvai yang dilakukan peneliti pada PT ABCini, seluruh pekerja bekerja selama 8 jamdisertai satu kali istirahat panjang selama 1jam. Pekerja yang ada terdiri dari pekerjalaki-laki dan perempuan yang dibagi sesuaidengan kriteria yang dibutuhkan dalamproses kerja yang ada. Hampir seluruh bagianproses kerja dilakukan secara manual (kerjafisik).Suasana kerja yang tenang dan teraturdengan pencahayaan yang baik pada mejakerja (500 lux) dan suhu udara yang sesuaidengan temperatur tubuh (22 0 C) juga tingkatkebisingan yang rendah, dapat disimpulkanbahwa faktor lingkungan kerja tidak begituberpengaruh dalam menimbulkan keluhanpekerja dalam bekerja. Namun dari hasilwawancara, manajemen perusahaan menyatakanbelum menerapkan sikap kerja atau program5-S dalam proses produksinya. Namun totalquality product atau manajemen mutuproduk sudah sangat diperhatikan denganadanya pemeriksaan laboratorium terhadapbarang hasil produksi sebelum dipasarkan kecustomer.TINJAUAN PUSTAKAPada dasarnya, 5-S merupakan kebulatantekad untuk mengadakan pemilahan ditempat kerja, mengadakan penataan,pembersihan, memelihara kondisi yangmantap dan memelihara kebiasaan yangdiperlukan untuk melaksanakan pekerjaandengan baik. Nama 5-S berasal dari hurufpertama istilah Jepang; seiri, seiton, seiso,seiketsu, dan shitsuke. Program 5-S padasuatu industri merupakan pembersihan danstandardisasi untuk meningkatkan profitability,efficiency, service, dan safety (keselamatan).Pada dasarnya 5-S ini mudah namun sulituntuk diterapkan (Osada, 2002).Tujuan konsep 5-S adalah membuatdaerah kerja seefisien dan seproduktifmungkin guna menjamin kepuasan customer.Sebelum meninjau implementasi konsep5-S ada baiknya ditinjau terlebih dahulufalsafah konsep 5-S tersebut. Sebagaimanakonsep-konsep lain yang dikembangkan diJepang, konsep 5-S juga memiliki landasanEvaluasi Penerapan Sikap Kerja 5-S (74 – 81)Eka Lestari Mahyuni75


yang inheren di dalamnya (Hardjosoedarmo,2001):1. Landasan pertama mengatakan bahwaproduktivitas datang dari penghapusanpemborosan. Apapun yang kita kerjakan ditempat kerja selalu ada biaya yang berkaitandengan kegiatan tersebut. Misalnya,waktu yang kita butuhkan untuk mencarisuatu informasi selalu menuntut biayadalam arti waktu, tenaga, dan lain-lainnya.2. Landasan kedua yang penting adalahbahwa dalam menghadapi persoalan kitaperlu mengatasi akar dari sebab persoalantersebut, dan bukan hanya mengatasigejalanya. Jadi untuk mengatasi rendahnyaproduktivitas karyawan, antara lain kitaperlu menciptakan tempat kerja danlingkungannya yang nyaman.3. Landasan ketiga menyatakan perlunyapartisipasi seluruh anggota perusahaan.Partisipasi ini memungkinkan manajeruntuk mengerahkan kemampuan seluruhanggotanya.4. Langkah keempat menyatakan bahwamanusia itu tidak sempurna. Ini berartibahwa manusia itu kadang-kadang lupa,mengada-ada, dan sering mengabaikanaturan-aturan serta peraturan. Untukmengurangi hal-hal tersebut diperlukanpendidikan, pelatihan, dan pengawasansecara berkelanjutan.Pendekatan atau sikap kerja 5-S merupakansingkatan dari lima kata berbahasa Jepangyang memiliki huruf pertama S yaitu Seiri(Pemilahan), Seiton (Penataan), Seiso(Pembersihan), Seiketsu (Pemantapan), danShitsuke (Pembiasaan). Lalu apa pengaruhnyabagi kerja? 5-S mampu mengubah danmeningkatkan sikap kerja pekerja (Subagiyo,2003). Adapun penjelasan dari sikap kerja5-S adalah sebagai berikut:1. Seiri = PemilahanUmumnya istilah ini berarti mengatursegala sesuatu, memilah sesuai dengan aturandan prinsip tertentu. Di tempat kerja, kadangkadangterdapat barang-barang di sekitar kitayang jarang digunakan. Barang-barangtersebut jelas mengambil tempat yangsebenarnya tidak perlu terjadi. Di lain pihakdi sekitar kita tentu terdapat berkas-berkasdan barang-barang yang sering kita gunakanbersama dengan anggota-anggota dari tempatkerja lain. Keadaan ini dapat menyebabkanpenundaan kerja karena waktu yang kitagunakan untuk mengambil berkas-berkasatau barang-barang tersebut.Seiri berarti memisah-misahkan berkasberkasatau barang-barang dalam beberapakategori yang sesuai dengan tingkatkeperluannya. Yang diutamakan di sini adalahmanajemen stratifikasi dan mencari penyebabpenyebabnyauntuk menghilangkan yang tidakdiperlukan serta menghilangkan penyebab itusebelum menimbulkan masalah. Dengan seiriini kita dapat menghemat tempat danmenciptakan tempat kerja yang nyamansehingga dapat meningkatkan efisiensi danproduktivitas kerja.2. Seiton = PenataanUmumnya dalam penerapan 5-S, seitonberarti menyimpan barang di tempat yangtepat atau dalam tata letak yang benarsehingga dapat dipergunakan dalam keadaanmendadak. Ini merupakan cara untukmenghilangkan proses pencarian. Yangdiutamakan di sini adalah manajemenfungsional dan penghapusan prosespencarian. Jika segala sesuatu disimpan ditempatnya demi mutu dan keamanan, berartikita telah memiliki tempat kerja yang rapi.Untuk ini perlu dilakukan analisis yangmendalam terhadap penggunaan barangbarangtersebut, siapa yang menggunakannyadan bagaimana menyusunnya. Bergantungpada pola penggunaannya, dapatlah didesainmetode pengaturannya demi penyimpanannyadan pencariannnya kembali secara efektif.3. Seiso = PembersihanSecara umum istilah ini berartimembersihkan barang-barang sehingga menjadibersih. Dalam istilah 5-S, berarti membuangsampah, kotoran, dan benda-benda asing sertamembersihkan segala sesuatu. Di sinidiutamakan pembersihan sebagai pemeriksaanterhadap kebersihan dan menciptakan tempatkerja yang tidak memiliki cacat dan cela. Jadimembersihkan di sini tidak hanya berartimembersihkan gejala yang kotor saja, tetapimeliputi pula analisis mengenai sebabtimbulnya gejala kotor. Misalnya suatu mesinkotor dengan minyak pelumas dan bocordengan air, sesudah kita bersihkan kemudiankita selidiki dari mana munculnya kebocoranair dan minyak pelumas.4. Seiketsu = PemantapanDalam istilah 5-S, pemantapan berartiterus menerus dan secara berulang memelihara76Evaluasi Penerapan Sikap Kerja 5-S (74 – 81)Eka Lestari Mahyuni


pemilahan, penataan, dan pembersihannya.Dengan demikian, pemantapan mencakupkebersihan pribadi dan kebersihan lingkungan.Dalam hal ini terutama diperlukan manajemenvisual dan pemantapan 5-S. Inovasi danmanajemen visual terpadu digunakan untukmencapai dan memelihara kondisi yangdimantapkan sehingga dapat bertindakdengan cepat. Jadi seiketsu pada hakikatnyamemelihara lingkungan yang bersih padasetiap waktu. Di beberapa perusahaan Jepangterdapat tanda-tanda yang jelas di lantai yangmenunjukkan jumlah peti suku cadang yangperlu dipelihara di tempat tersebut. Apabilaterdapat peti-peti di lantai di luar tempat yangditentukan, dapat segera diketahui adanyapenyimpangan dari standar.5. Shitsuke = PembiasaanUmumnya istilah ini berarti pelatihandan kemampuan untuk melakukan apa yangingin dilakukan meskipun sulit dilakukan.Dalam istilah 5-S, ini berarti menanamkanatau memiliki kemampuan untuk melakukansesuatu dengan cara yang benar. Dalam halini penekanannya adalah untuk menciptakantempat kerja dengan kebiasaan dan perilakuyang baik. Walaupun standar telah ditetapkan,pendidikan dan pelatihan para karyawanperlu terus dilakukan. Pendidikan dan pelatihandemikian itu perlu untuk melakukan perbaikanproses secara terus-menerus dan meningkatkanproduktivitas. Para manajer tingkat puncakdan menengah perlu selalu memeliharadisiplin diri. Mereka perlu memberi contohdisiplin yang baik sebelum mereka menuntutbawahannya mengikuti prosedur standar.Untuk mengimplementasikan konsep 5-S di atas diperlukan pengertian, komitmen,dan keterlibatan positif para manajer. Sebabkonsep 5-S dapat dikatakan bersifat ilmiahkarena efeknya dapat diukur. Sebagaimanahalnya dengan kegiatan kendali mutu, programuntuk melaksanakan 5-S perlu desain agarefeknya dapat diukur. Oleh karena itu kitaperlu mendokumentasikan pekerjaan dantempat kerja kita sebelum kita melakukanprogram 5-S. Karena itu tanpa dukungan,komitmen dan keterlibatan manajer, sifatilmiah dari program tidak dapat terwujud.METODE PENELITIANTempat dan Waktu PenelitianPenelitian ini dilakukan di PT ABCyang merupakan salah satu usaha yangmemproduksi pangan dengan bahan baku ubirambat dalam bentuk pasta dan ubi goreng.Adapun alasan pemilihan lokasi penelitianini karena pada perusahaan ini merupakansalah satu industri makanan yang sangatmembutuhkan manajemen yang ketat danbelum mengetahui secara jelas konsepataupun menerapkan sikap kerja 5-S dalamproses produksinya. Penelitian ini dilakukanselama 1 bulan yaitu pada bulan Maret 2005.Populasi dan SampelAdapun yang menjadi populasi adalahkeseluruhan bagian perusahaan. Yang menjadisampel pada penelitian ini adalah seluruhpekerja pada PT ABC sebanyak 72 orangmeliputi bagian manajerial, personalia, danproses.Rancangan PenelitianRancangan penelitian dalam penelitianini merupakan rancangan deskriptif denganpendekatan penelitian kualitatif yangmenggambarkan fenomena secara luasdengan menggunakan metode survai. Studisurvai adalah salah satu pendekatan penelitianyang pada umumnya digunakan untukpengumpulan data yang luas dan banyak.Arikunto (2002) mengutip dari Van Dalenmenyatakan bahwa survai merupakan bagiandari studi deskriptif yang bertujuan untukmencari kedudukan (status) fenomena (gejala)dan menentukan kesamaan status dengancara membandingkan dengan standar yangsudah ditentukan.Variabel yang ditelitiVariabel yang diamati pada penelitianini adalah lingkungan kerja dan metode kerjasetiap pekerja ditinjau dari sudut pandangpelaksanaan konsep atau sikap kerja 5-S.Adapun kerangka konsep untuk rancanganpenelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.HASIL DAN PEMBAHASANPT ABC adalah suatu perusahaan swastanasional yang bergerak di bidang industripangan yang padat karya. Hasil produksi dariperusahaan ini dengan bahan baku ubi rambatyang diolah menjadi kue ubi rambat dalambentuk pasta dan stick goreng, diekspor keJepang menjadi makanan orang Jepang.Evaluasi Penerapan Sikap Kerja 5-S (74 – 81)Eka Lestari Mahyuni77


LINGKUNGAN KERJAMETODE KERJASIKAP 5-SSeiri = PemilahanSeiton = PenataanSeiso = PembersihanSeiketsu = PemantapanShitsuke = PembiasaanGambar 1. Kerangka konsepPerusahaan ini berdiri pada tanggal 11Juli 1996. Pabrik pengolahan dan kantorperusahaan ini berada di lokasi yang samayaitu di Jl. T. Amir Hamzah Km. 28, DesaJati Utomo, Binjai. Pada awalnya perusahaanini hanya memproduksi kue ubi rambat yangdikukus (pasta), kemudian perusahaan ini mulaimemproduksi ubi rambat yang digoreng(stick). Bahkan sejak Mei 2004, perusahaanini mulai menambah hasil produksinyadengan mengekspor ubi goreng dalam bentuktokoh-tokoh Disneyland seperti MickeyMouse, Hello Kitty, dan sebagainya. Hal inisesuai dengan keinginan pasar Jepang dimana hasil produksi dari perusahaan ini akandipasarkan di Disneyland Jepang.Proses Produksi PerusahaanProses produksi yang ada padaperusahaan ini adalah pengolahan ubi rambatmenjadi pasta (ubi kukus) dan stick (ubigoreng). Pada penelitian ini lebih dikhususkanpada salah satu proses produksi yaitu prosespembuatan kue ubi rambat kukus. Prosespembuatan ubi rambat kukus (pasta) diolahmelalui proses-proses kerja yang dikerjakansecara manual dan mekanisasi. Adapunproses pembuatan pasta dari ubi rambat iniadalah sebagai berikut:1. raw material: bahan baku yaitu ubirambat,2. sorting size 1: penyortiran ukuran ubidari ubi berukuran besar (large), sedang(medium), dan kecil (small),3. weight: ubi yang telah disortir ditimbangberdasarkan ukurannya untuk mengetahuijumlah ubi yang masuk,4. washing: pencucian ubi rambat yangdimasukkan dalam media pencucian.Proses pencucian ubi direndam di dalambak pencucian yang berputar dan pekerjamengambil satu persatu ubi yang belumbersih untuk dibersihkan dengan berusdan dimasukkan kembali ke bak cuci.Begitu seterusnya hingga tiga kalipencucian dan ubi telah bersih daritanah-tanah yang melekat pada ubi,5. sorting size 2: ubi yang telah dicuci danbersih disortir kembali berdasarkanukuran yang telah ditentukan yaitu besar,sedang, dan kecil. Kemudian diangkut kebagian pertama proses untuk dipanggang(baking),6. baking: pemanggangan ubi yang diprosesdi dalam oven (pemanggangan ubi),7. cooling down: ubi yang telah dipanggangdan masak didinginkan beberapa lama diruang terbuka untuk dikupas,8. peeling: proses pengupasan kulit ubiterdiri dari 2 bagian yaitu;- first peeling: yaitu pengupasan pertamadalam bentuk proses mengupas kulitubi yang telah dipanggang- second peeling: yaitu pengupasan keduadalam proses mengupas kulit ubiyang masih tersisa hasil dari prosesfirst peeling. Selain itu jugamembuang bintik-bintik hitam yangterdapat dalam ubi. Bagian ini bisadisebut juga bagian sorting I dariproses inti9. sorting: proses penyortiran isi ubi darikotoran-kotoran ataupun serat-serat yangterdapat dalam isi ubi. Proses kerja yangdibutuhkan di sini adalah ketelitian matasehingga kebersihan ubi lebih terjamin.Bagian ini terdiri dari 2 bagian yaitu:- sorting 2: membersihkan ubi daribintik-bintik hitam yang tersisa danterdapat dalam ubi- sorting 3: menyortir ubi lebih bersihdari bintik-bintik yang mungkin masih78Evaluasi Penerapan Sikap Kerja 5-S (74 – 81)Eka Lestari Mahyuni


terdapat dalam ubi dan kemudian ubidipotong-potong lebih kecil untukdihancurkan pada proses berikutnya10. mincer: ubi yang telah disortir bersihdihancurkan dalam mesin mincer,11. packing: ubi yang telah dihancurkandimasukkan dalam kantong plastik danditimbang beratnya sesuai permintaan,12. sorting plastic: ubi yang telah dimasukkandalam plastik disortir kembali untuk melihatapakah masih ada sisa-sisa kotoran ubi didalamnya,13. vacuum pack: setelah disortir kembalikebersihannya, ubi yang telah dalamplastik dimasukkan ke dalam mesinvakum,14. blancing: setelah divakum dan ter-packingrapi, ubi kemudian diratakan atau dirapikandalam plastik yang telah divakum.15. chiller: ubi kemudian dikukus dalammesin perebusan,16. frozen: ubi yang telah dikemas tersebutkemudian didinginkan kembali dandibekukan dalam ruang pendingin,17. packing: setelah beku (dingin) sisa-sisapembekuan dikikis kemudian ubi dilewatkanmelalui mesin methal detector untukmelihat apakah di dalamnya terdapatbahan-bahan logam atau benda asinglainnya. Apabila tidak ada maka ubidapat dimasukkan dalam kotak (packing),18. storage: ubi yang telah di-pack dalamkotak disimpan dalam ruang pendinginkembali hingga jumlah kotak telahmemenuhi satu container untuk kemudiandikirim ke Jepang.Dari hasil penelitian dapat dilihatbahwa prinsip-prinsip 5-S pada umumnyatelah diterapkan dalam bekerja khususnyapada bagian proses. Secara tidak disadari halini dialami pekerja dalam pelaksanaanprosedur kerjanya. Seperti yang ditunjukkanpada gambar berikut di mana untuk semuabagian proses baik itu bagian peeling ataupunsortir, semua pekerja diharuskan membersihkanalat-alat kerja mereka dan diletakkan kembalidi meja kerja mereka. Hal ini dilakukan setiapwaktu istirahat tiba dan pada saat jam kerjaselesai. Tidak hanya alat yang dibersihkannamun juga tempat kerja dibersihkan darihasil kupasan ubi yang terjatuh, sehinggaruangan kembali bersih sebelum dan sesudahmereka bekerja.Proses Seiri (Pemilahan), Seiton (Penataan),dan Seiso (Pembersihan) pada Tempat Kerjadan Alat-Alat Kerja pada Saat Istirahatdan Setelah Selesai BekerjaGambar 2. Membersihkan hasil kerjamembuang dan mengumpulkankembaliGambar 3. Membersihkan alat-alat kerjayang digunakanPada awalnya metode kerja inidianggap pihak manajerial sebagai upayamenjaga kebersihan dan mutu produk denganalasan barang yang diproduksi adalah berupamakanan sehingga sangat penting menjagakebersihannya. Sayangnya, tidak pernah terpikiroleh pihak manajemen bahwa hal tersebutmerupakan bagian dari penerapan sikap kerja5-S yaitu penerapan dari seiri (pemilahan),seiton (penataan), dan seiso (pembersihan).Gambar 4. Membersihkan tempat kerjaEvaluasi Penerapan Sikap Kerja 5-S (74 – 81)Eka Lestari Mahyuni79


Gambar 5. Membersihkan alat-alat kerjasetelah pekerjaan selesaiUbi yang belum selesai dikupas olehtiap pekerja disusun rapi dan diletakkan dilaci meja sesuai dengan tempat kerja masingmasingpekerja, sehingga ada pengklasifikasiantugas yang jelas antarpekerja dalamarti tidak ada pertukaran bagian kerja yaituubi yang dikupas si A tidak tertukar dengan ubiyang dikupas si B. Dari hal ini menunjukkanpenataan yang jelas terhadap tiap item atauproses kerja yang dilakukan. Dari gambaranini sikap kerja seiri dan seiton juga sudahterpenuhi. Bahkan untuk lebih jelasnyadalam proses pensortiran ubi berdasarkanukurannya dari awal pemilihan raw materialsampai proses telah menunjukkan proses kerjayang menerapkan sikap kerja seiri dan seiton.Hanya saja pada saat proses pemilihan sampaiproses pencucian (washing) sekalipundilakukan di tempat terbuka namun tidakmampu menutup kemungkinan datangnya lalatke tempat penampungan raw material.Mengingat ubi rambat adalah sejenis makananapabila tidak dikontrol kebersihannya akanmengundang datangnya serangga ataubinatang lain seperti lalat ataupun tikus yangdapat mengganggu kualitas produk dankebersihan perusahaan. Namun yang perludiperhatikan jangan sampai serangga inimasuk pada bagian proses yang sudah barangtentu dapat mengurangi kualitas produk yangdihasilkan oleh perusahaan ini.Gambar 6. Raw material dan Washing Process(tempat kerja sedikit becek dankotor)Tidak jauh berbeda dengan bagianproses, setelah bekerja pada awal proses initelah menerapkan sikap kerja seiri, seiton,dan seiso. Di mana ubi-ubi yang tidak sempatdicuci ataupun disortir, dikumpulkan kembalidan dimasukkan ke dalam goni-goni ataupunkarung-karung dan disusun dengan rapi padatempatnya. Begitu juga tempat penampunganraw material juga dibersihkan kembali. Halini dapat ditunjukkan pada gambar berikut:Gambar 7. Penataan ulang dan pembersihanraw material pada saat selesaibekerjaAkan tetapi tidak semua bagian secaraberkesinambungan mengikuti ataupunmenerapkan sikap kerja 5-S ini. Misalnyapada bagian personalia, masih ditemui berkasberkaslama yang disimpan begitu saja. Halini dapat dimaklumi karena alasan yangdikemukakan pada bagian personalia, yaitudapat digunakan untuk membuat laporan padaakhir tahun. Yang mengurangi jawaban iniadalah berkas-berkas yang ada pada proseskerja personalia tidak disusun dengan rapidan tidak sesuai dengan tempatnya, sehinggapekerja sering kebingungan karena lupa padasaat mencari di mana berkas-berkas tersebutpada saat diperlukan. Hal ini sangat merugikanperusahaan karena keefisienan waktu tidaktercipta pada saat tersebut.Pada proses penyimpanan barang yangsudah jadi pada storage (gudang) juga masihbelum memenuhi kriteria 5-S. Masih ditemuipeletakan benda-benda yang tidak teratur danterkesan sembarangan. Hal ini juga ditemukanpada penyimpanan barang-barang yangsudah tidak dipakai lagi. Seperti yang terlihatpada gambar berikut.Hal ini menunjukkan bahwa penerapansikap kerja 5-S belumlah sampai pada tingkatseiketsu (pemantapan) dan shitsuke (pembiasaan)kecuali pada bagian proses. Untuk itu pihakmanajerial perlu mempertimbangkan hal inisebagai suatu masalah yang harus diperhatikan80Evaluasi Penerapan Sikap Kerja 5-S (74 – 81)Eka Lestari Mahyuni


demi peningkatan produktivitas perusahaan.Dalam arti penerapan 5-S haruslah secarakeseluruhan tidak hanya pada bagian-bagiantertentu saja. Pihak manajemen perlumenyadari bahwa setiap pihak memilikitanggung jawab yang sama. Dengan adanyapartisipasi secara keseluruhan perusahaanakan lebih baik dan dapat menunjukkan citrayang baik di mata masyarakat dan padaakhirnya berpengaruh dalam meningkatkanproduktivitas perusahaan dari berbagai pihak.KESIMPULAN DAN SARANDari hasil penelitian dapat disimpulkanbahwa PT ABC pada prinsipnya telahmenerapkan sikap kerja 5-S namun masihbelum menyeluruh dan berkesinambungan.Secara tidak langsung pada bagian prosestelah menerapkan sikap kerja 5-S sesuaidengan urutan kerjanya. Hal ini telah menjadipembiasaan bagi pekerja untuk menerapkansikap kerja yang mendukung manajemen mutupada perusahaan ini. Dan hal ini berkaitandengan hasil produk dari PT ABC berupaproduk pangan dari bahan baku ubi rambatyang diolah sedemikian rupa menjadi pastadan stick ubi koreng.Sedangkan pada bagian personalia danpenyimpanan (storage) sikap kerja 5-S belumterlaksana dengan baik. Masih ditemui adanyaketidakrapian dalam penyimpanan barangataupun berkas. Baik dari tata letaknya ataudari kegunaannya. Hal ini akan memberi sisinegatif pada bagian lainnya khususnya padabagian proses yang telah menerapkan sikapkerja 5-S. Keadaan ini akan merugikanperusahaan dari segi citra dan kepercayaanmasyarakat ataupun customer dan hal iniharus diantisipasi secepat mungkin.Untuk itu dapat direkomendasikanbahwa sebaiknya pihak manajemen segeramenetapkan langkah-langkah dan merancangprosedur kerja yang lebih ketat dalam upayameningkatkan kedisiplinan dari para pekerjauntuk semua bagian, sehingga akan terbentukdalam diri pekerja untuk menerapkan sikapkerja 5-S dalam kehidupannya sehari-hariataupun dalam bekerja. Dengan harapan halini sudah menjadi kebiasaan dan terbawabaik di rumah ataupun di lingkungan kerja,dan hal ini akan sangat menguntungkan danmemberi kontribusi yang besar untukmeningkatkan produktivitas perusahaan. Sebagailangkah awal untuk lebih mengenal sikapkerja 5-S ini ada baiknya pihak manajemenmemberi pelatihan pada pekerja agar dapatmenerapkan sikap kerja 5-S tersebut.DAFTAR PUSTAKAArikunto, Suharsimi, 2002, Prosedur PenelitianSuatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi5, Rineka Cipta, Jakarta.Hardjosoedarmo, Soewarso, 2001, TotalQuality Management, Edisi Revisi,Andi Offset Yogyakarta.Osada, Takashi, 2002, Sikap Kerja 5 S, SeriMananajemen Operasi <strong>No</strong>. 5 PPMSetiawan, Paulus A, 1995, Penerapan 5 S diTempat Kerja, Pendekatan LangkahlangkahPraktis, PHP Institute, Inc.Subagiyo, Bambang Adi, 2003, 5-S danSikap Kerja (http// www/ 5-S % /5697/~ Sikap Kerja 5-S # seri manajemen /ppm / html)http/www//Lean manufacture ~ 5-S %7894310/management/ htmlEvaluasi Penerapan Sikap Kerja 5-S (74 – 81)Eka Lestari Mahyuni81


TTIINJJAUAN PPUSSTTAKAWASPADAI ANCAMAN FILARIASISHeldy B.Z. dan Ida YustinaDepartemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM USUJl. <strong>Universitas</strong> <strong>No</strong>. 21 Medan, 20155ABSTRACTLymphatic Filariasis (LF) has been identified as the second leading cause ofpermanent and long term disability in the world. This disease remains a seriouspublic health challenge in Indonesia. Survey by Ministry of Health on 2005 hasshown there is an increase of districts in <strong>No</strong>rth Sumatra Province which iscategorized as an endemic of filariasis. This situation should be anticipated bystakeholders. Although the LF elimination campaign has been started to eradicateLF in Indonesia since 2002 with strategies such as mass drug administration(MDA), strengthening surveillance, controlling the vector, and communityparticipation is the key of successful of that campaign. In order to make it succes, itis needed to empower the community. It is hoped to eradicate lymphatic filariasisby the year 2020.Keywords: Lymphatic filariasis, Community participation, Community empowermentPENGANTARHasil Survai Darah Jari (SDJ) yangdilakukan Depkes RI pada 2005 perludiwaspadai, sebab di Provinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>sudah ada enam kabupaten yang dinyatakanendemis filariasis, yakni: Asahan, DeliSerdang, Serdang Bedagai, Nias, TapanuliSelatan, dan Labuhan Batu. Sebelumnyahanya tiga kabupaten yakni: Labuhan Batu,Tapanuli Selatan, dan Nias yang dilaporkanendemis filariasis. Adapun rincian Mf ratemasing-masing kabupaten yang dilaporkanDepkes RI tersebut berturut-turut: Asahan(2,1%), Serdang Bedagai (1,3%), Deli Serdang(1,4%), Nias (2,2%), Tapanuli Selatan (3%),dan Labuhan Batu (1,4%). Sesuai denganketentuan yang dibuat WHO, jika dari hasilSDJ ditemukan Mf rate di atas 1%, hal itumengandung arti bahwa daerah tersebut sudahdalam kategori endemis transmisi filariasis danmemenuhi syarat untuk dilakukan pengobatanmassal.Penyakit filariasis – yang mungkin karenakarakteristik penyakitnya yang bersifatmenahun – pemberantasannya oleh instansiterkait sejauh ini belum segencar upayamemberantas penyakit lainnya, TB parumisalnya. Padahal, jika mencermati data hasilSDJ yang dilakukan Depkes RI tersebut,<strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> harus segera melakukanberbagai tindakan nyata di lapangan untukmengurangi bertambahnya penderita penyakityang dapat menimbulkan cacat menetap padatubuh ini.Meskipun filariasis tidak menyebabkankematian, tetapi penyakit ini merupakan salahsatu penyebab utama timbulnya kecacatan,kemiskinan, dan masalah-masalah sosiallainnya. Gejala klinis akut dan kronis daripenyakit ini dapat menurunkan derajatkesehatan dan kualitas sumber daya manusiasehingga menurunkan produktivitas, yangmengakibatkan kerugian ekonomi yang cukupbesar karena penderita tidak dapat bekerja secaraoptimal dalam waktu yang lama (seumur hidup).Hasil penelitian Departemen KesehatanRI bersama Fakultas Kesehatan Masyarakat<strong>Universitas</strong> Indonesia (FKM-UI) pada tahun2000 menunjukkan bahwa biaya pengobatandan perawatan yang diperlukan oleh seorangpenderita filariasis sekitar 17,8% dari seluruhpengeluaran keluarga atau 32,3% dari biayauntuk makan atau sekurang-kurangnyaRp 750.000,- per tahun. Dengan demikian82


penderita akan menjadi beban keluarga dannegara (Depkes RI, 2002).Pada 1994 World Health Organization(WHO) menyatakan bahwa penyakit kaki gajahdapat dieliminasi. Selanjutnya, pada 1997 WorldHealth Assembly (WHA) membuat resolusitentang eliminasi penyakit kaki gajah. Pada2000, WHO menetapkan komitmen globaluntuk mengeliminasi penyakit kaki gajah(“The Global Goal of Elimination of LymphaticFilariasis as a Public Health Problem by theYear 2020”).Menyusul kesepakatan global tersebut,pada 2002 Indonesia mencanangkan gerakaneliminasi penyakit kaki gajah (Elkaga) padatahun 2020. Eliminasi penyakit kaki gajahditetapkan sebagai salah satu program prioritasnasional dengan dua strategi utama, yaknimemutuskan rantai penularan dengan pengobatanmassal di daerah endemis dan upayapencegahan dan membatasi kecacatan melaluipenatalaksanaan kasus klinis filariasis(Depkes RI, 2002).Tulisan singkat ini bertujuan untukmengingatkan kita bersama tentang filariasissebagai suatu penyakit yang merupakandomain kesehatan masyarakat. Meski prosesberjangkitnya penyakit tersebut pada penderitatergolong menahun, namun pasti membuatorang cacat, miskin, tidak berdaya, jika tidakmendapat perhatian dan penanganan yangnyata dan segera dari pihak-pihak terkait.APA ITU FILARIASIS?Filariasis adalah penyakit menular yangdisebabkan oleh infeksi cacing filaria yangditularkan berbagai jenis nyamuk danberdampak pada kerusakan sistem limfa ditubuh manusia. Pada saat nyamuk betinamenggigit manusia, larva infektif keluar darikelenjar ludah nyamuk dan jatuh di kulit,masuk ke tubuh melalui luka yang telah dibuatoleh probosis nyamuk. Di dalam tubuh, larvatersebut akan berpindah ke sistem limfa yangmerupakan sistem pertahanan tubuh manusiaterhadap infeksi dan penyakit. Di dalam sistemlimfa, selama 3 – 12 bulan larva tumbuhmenjadi cacing dewasa jantan dan betina,yang kemudian kawin dan menghasilkanberjuta-juta mikrofilaria.Setiap cacing betina dewasamenghasilkan berjuta-juta microfilariae (Mf)selama hidupnya yang mencapai sekitar 7tahun atau lebih. Adanya cacing dewasa danMf yang dihasilkan dapat mengakibatkankerusakan pada sistem limfa karena padaawalnya terjadi pelebaran saluran limfasehingga mengganggu jalannya cairan limfadan sirkulasi sel-sel kekebalan. Akibatnya,cairan terkumpul dan menyebabkan odema.Lama kelamaan terjadi pembentukan jaringanikat fibrosis sehingga terjadi limfodema berupapembengkakan pada kaki, lengan, payudara,atau alat kelamin. Kerusakan saluran sistemlimfa yang disebabkan cacing dewasa inibersifat permanen walaupun cacing dewasasudah mati.Nyamuk yang menjadi penular filariasisbisa nyamuk yang ada di rumah, got, hutan,maupun yang terdapat di rawa-rawa. DiIndonesia, ada 23 spesies nyamuk dari 5 genusyang menularkan filariasis, yakni Mansonia,Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigeres.Adapun jenis cacing yang menjadi penyebabfilaria di Indonesia dikenal ada tiga jenis,yakni: Wuchereria bancrofti, Brugia malayidan Brugia timori. Dari ketiga jenis cacingtersebut, Brugia malayi mempunyaipenyebaran paling luas di Indonesia.Lingkungan memang sangat berpengaruhterhadap distribusi kasus filariasis dan matarantai penularannya. Biasanya daerah endemisBrugia malayi adalah daerah dengan hutanrawa, sepanjang sungai atau badan air lainyang ditumbuhi tanaman air. Adapun daerahendemis Wuchereria bancrofti tipe perkotaan(urban); daerah-daerah perkotaan yang kumuh,padat penduduknya, dan banyak genangan airkotor sebagai habitat dari vektor yaitunyamuk Culex, sedangkan tipe pedesaan(rural) secara umum kondisi lingkungannyasama dengan daerah endemis Brugia malayi.Filariasis merupakan salah satu penyakittertua dan paling melemahkan yang dikenaldi dunia. Buku-buku medis kuno dari Cina,India, dan Persia melukiskan penyakit ini dalampatung-patung Mesir Kuno dan ilustrasibalok kayu dari Jepang yang menunjukkanorang-orang cacat karena filariasis limfatik.Di Indonesia, filariasis pertama dilaporkanpada 1889. Sejak tahun 2001, Mf ratetertinggi terdapat di Provinsi Papua, Aceh,Maluku, dan NTT dengan kisaran Mf Rate6.9 – 11.6.Berdasarkan hasil survai cepat yangdilakukan oleh Depkes RI tahun 2000,diperkirakan ± 10 juta penduduk sudahterinfeksi filariasis dengan jumlah penderitakronis ± 6.500 orang yang tersebar di 1.553Waspadai Ancaman Filariasis (82 – 85)Heldy B.Z. dan Ida Yustina83


desa, 231 Kabupaten, 26 Propinsi. Data inibelum menggambarkan keadaan yangsebenarnya karena hanya 3.020 Puskesmas(42%) dari 7.221 Puskesmas yangmenyampaikan laporan.Pembengkakan pada kaki penderita filariasisGejala PenyakitPada tahap awal, penderita yang terkenapenyakit ini mengalami demam berulang 1 – 2kali atau lebih setiap bulan selama 3 – 5 hari,terutama bila bekerja berat. Demam ini dapatsembuh sendiri tanpa diobati. Setelah itutimbul benjolan dan terasa nyeri pada lipatpaha atau ketiak tanpa adanya luka badan.Selain itu teraba adanya urat seperti tali yangberwarna merah dan sakit mulai dari pangkalpaha atau ketiak, berjalan ke arah ujung kakiatau tangan. Pada tahap lanjut, terjadipembesaran yang hilang timbul pada kaki,tangan, kantong buah zakar, payudara danalat kelamin wanita, yang lama kelamaanmenjadi cacat menetap. Namun demikian,tidak semua penderita menunjukkan gejaladimaksud. Bisa saja tubuhnya terlihat sehat,tapi dalam tubuhnya sudah terdapat cacingdewasa dan anak cacing yang beredar dalamdarah.Pengambilan darah jari untuk memeriksaadanya cacing filariasis dalam tubuh seseorangdilakukan pada malam hari karena anakcacing beredar di darah pada malam hari.PENCEGAHANMengingat nyamuk merupakan penulardari penyakit ini, tentu saja upayapencegahannya yang utama adalah terhindardari gigitan nyamuk dengan berbagai caraseperti: tidur memakai kelambu, menutupventilasi rumah dengan kawat kasa halus,memasang obat nyamuk, dan memakai obatgosok anti nyamuk. Upaya penting lain yangperlu dilakukan adalah membersihkantempat-tempat perindukan nyamuk dan jugapenyemprotan untuk membunuh nyamukdewasa.Dalam upaya mencegah meluasnyapenderita filariasis, kampanye eliminasifilariasis yang dilakukan pemerintah bertujuanuntuk memutuskan mata rantai penularanmelalui pengobatan massal. Strategi inidiharapkan dapat mengurangi mikrofilariadalam darah tepi, yang akan mengurangipotensi penularan oleh nyamuk. Ada duastrategi yang dilakukan dalam pengobatanmassal ini, yaitu melakukan pengobatanmassal (Mass Drug Administration- MDA)dengan memakai dua macam obat selamaminimal lima tahun berturut-turut untuksemua masyarakat di daerah endemis, ataupengobatan massal dengan menggunakangaram DEC (diethylcarbamazine).PARTISIPASI MASYARAKATSeperti program-program pembangunanlainnya, dalam konteks kampanye eliminasifilariasis, partisipasi masyarakat juga merupakankunci keberhasilannya. Partisipasi dapatdiartikan sebagai keikutsertaan seseorangatau sekelompok anggota masyarakat dalamsuatu kegiatan. Wujud dari keikutsertaandimaksud tentu saja adalah perilaku tertentu,yang positif bagi pencapaian tujuan kegiatan.Perilaku termasuk dalam empat faktoryang oleh Blum, seorang ahli kesehatanmasyarakat yang melakukan penelitian diAmerika Serikat, mempengaruhi statuskesehatan masyarakat. Ketiga faktor lainnyaadalah: lingkungan, pelayanan kesehatan,dan keturunan. Menurut hasil penelitian Blum,lingkungan mempunyai andil yang palingbesar terhadap status kesehatan masyarakatdisusul oleh perilaku, pelayanan danketurunan. Namun demikian, pada negaranegaraberkembang, seperti halnya Indonesia,perilaku memiliki kontribusi yang palingbesar terhadap status kesehatan masyarakat.Mengingat pentingnya perilaku, aspek tersebutdijadikan sebagai pilar utama, selain lingkungandan pelayanan kesehatan, untuk terwujudnya“Indonesia Sehat 2010” yang merupakan visipembangunan kesehatan nasional.Dalam konteks kampanye eliminasifilariasis, perilaku manusia jelas menjadifaktor yang menentukan terjangkitnyaseseorang akan penyakit ini. Sebab sebagusapapun program yang dilakukan oleh84Waspadai Ancaman Filariasis (82 – 85)Heldy B.Z. dan Ida Yustina


pemerintah, tanpa peran aktif masyarakatprogram tersebut tidak akan mencapai hasilyang diharapkan. Program pengobatan massal(MDA) yang bertujuan untuk menurunkanprevalensi (Mf rate) hingga di bawah 1%misalnya, tentu saja menuntut partisipasiaktif masyarakat di daerah endemis untukmengkonsumsi obat sekali setahun selama 5tahun. Dengan berbagai karakteristik yangada pada masyarakat seperti status sosialekonomi, pendidikan, budaya, dan sebagainya,tentunya diperlukan kerja keras untukmeyakinkan masyarakat pentingnyamengkonsumsi obat dimaksud.Terkait dengan perilaku masyarakat,Depkes (2005) mencatat beberapa permasalahanyang ditemui, di antaranya kurangnyapartisipasi masyarakat dalam pemeriksaandan pengambilan darah pada malam hari,tidak tuntasnya pengobatan massal, danperilaku yang tidak aktif dalam mencegahagar tidak digigit nyamuk.Berbagai strategi ditetapkan Depkesuntuk mengeliminasi filariasis, sepertimemutuskan mata rantai penularan melaluipengobatan massal di daerah endemis,mengendalikan vektor, memperkuat kerjasama lintas batas daerah, dan memperkuatsurveilans. Namun demikian, langkah strategislainnya yang perlu dilakukan adalahmemberdayakan masyarakat melalui berbagaipendidikan nonformal. Masyarakat perludiberi pemahaman yang utuh tentang apa,mengapa, dan untuk apa mereka menghindaripenyakit filariasis. Meningkatnya pengetahuanmasyarakat diharapkan dapat mengubahsikap dan tindakan mereka tentang filariasiske arah yang positif.Craig dan Mayo (1995) mengatakan:Empowerment is road to participation.Pemberdayaan merupakan syarat bagiterciptanya suatu partisipasi dalam masyarakat.Belum adanya partisipasi aktif dalammasyarakat untuk menciptakan kondisi yangkondusif pada proses pembangunan mengisyaratkanbelum berdayanya sebagianmasyarakat kita. Keberdayaan memang menjadisyarat untuk berpartisipasi, karena merupakansesuatu yang sulit bagi masyarakat ketikamereka dikehendaki berpartisipasi namuntidak mempunyai pengetahuan yang cukuptentang segala aktivitas yang mendukungproses pembangunan itu sendiri. Partisipasiaktif masyarakat pada gilirannya akanmelahirkan kemandirian masyarakat dalammemelihara kesehatannya. Pokoknya, jikaingin masyarakat berpartisipasi, berdayakanterlebih dahulu mereka, termasuk dalam soalfilariasis ini.DAFTAR PUSTAKACraig, Gary and Marjorie Mayo. 1995.Community Empowerment, A ReaderParticipation and Development. London:Zed Books.Direktorat Jenderal PP & PL Depkes RI,2005. Pedoman Pengobatan MassalFilariasis.Direktorat Jenderal PP & PL Depkes RI,2005. 2005. Pedoman PromosiKesehatan dalam Eliminasi Filariasis.Direktorat Jenderal PP & PL Depkes RI,2005. 2005. Pedoman ProgramEliminasi Filariasis di Indonesia.Direktorat Jenderal PP & PL Depkes RI,2005. 2005. Epidemiologi Filariasis.Depkes, German Agency for TechnicalCooperation (GTZ). 2004. Tool KitHandbook for the Elimination ofLymphatic Filariasis.Waspadai Ancaman Filariasis (82 – 85)Heldy B.Z. dan Ida Yustina85


TTIINJJAUAN PPUSSTTAKAMENGENAL NYAMUK AEDES AEGYPTIVEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUEWirsal HasanDepartemen Kesehatan Lingkungan FKM USUJl. <strong>Universitas</strong> <strong>No</strong>. 21 Medan, 20155ABSTRACTAedes aegypti are widely dispersed in the tropic and subtropic areas. These vectorare extremely well adapted to humans (anthropophilic). They invest smallfreshwater collection areas in home and adjacent places, as breeding place.Transmission of dengue viruses occurs directly from humans who have dengueviruses to mosquitoes. Dengue virus infection begin with inoculation of virus intoblood vessels by an infected Aedes aegypti. The effective strategies for denguecontrol arei community education and participation to identify and eliminatecommon breeding site .Keywords: Aedes aegypti, Dengue, Eliminate of breeding placePENDAHULUANAedes aegypti adalah nyamuk yangsekarang dikenal sebagai vektor yang palingpenting dalam menularkan penyakit DemamBerdarah Dengue (DBD) dari satu penderitake penderita berikutnya di Kota Medan.Karena itu nyamuk ini menjadi target utamadalam usaha menurunkan angka penderitaDBD. Secara taksonomi, Aedes termasuk filum:Anthropoda (berkaki buku); kelas: Hexapoda(berkaki enam); ordo: Dipteria (bersayap dua);subordo: Nemotocera (antene filliform, segmenbanyak); famili: Culicidae (keluarga nyamuk);subfamili: Culicinae; tribus: Culicini; Genus:Aedes (Stegomya); spesies: Aedes aegypti danAedes albopictus. Aedes albopictus di Indonesialebih terkenal sebagai vektor penyakit Cikunguya.Beberapa spesies dari subgenus ini masihditeliti apakah juga mempunyai kemampuanmenyebarkan dengue dalam porsi besar ataukecil yaitu: Aedes polynesinensis, Aedescooki, Aedes tongae, Aedes africanus, Aedesopok, Aedes furciler, Aedes taylori, dan Aedesmediovitatus. Penelitian epidemiologi selamaepidemi tahun 1983 di Malaysia Timurmenunjukkan Aedes albopictus yangberkepadatan tinggi merupakan satu-satunyavektor yang ada.Aedes aegypti adalah spesies nyamuktropis dan subtropis, biasanya hidup antara 35 0Lintang <strong>Utara</strong> dan 35 0 Lintang Selatan, namunditemukan pada 45 0 Lintang <strong>Utara</strong> padamusim panas. Distribusinya juga dibatasiketinggian, biasanya tidak ditemukan padaketinggian 1000 m di atas permukaan laut,tetapi telah dilaporkan pada ketinggian 2121m di India, 2200 m di Kolombia, danketinggian 2400 m di Eritrea.TEMPAT PERINDUKANTempat kesenangan bertelur untukberkembang biak antara Aedes aegypti danAedes albopictus agak berbeda. Aedes aegyptisangat senang hidup dalam rumah, bertelur dibak yang berisi air yang jernih dan tidakmengalir, terutama bak air di kamar kecil(WC), bak mandi, gentong penampung airminum. Di luar rumah sering dijumpai digenangan air yang terdapat dalam ban-banmobil bekas, kaleng-kaleng bekas, kolamkolamkecil, vas bunga yang mengandung air,tempat air minum burung, dan lain sebagainya.Aedes albopictus lebih sering memilih tempatberkembang biak di kaleng-kaleng bekas, banbanbekas yang terisi air, kolam-kolam kecil,karena nyamuk ini lebih suka hidup di luarrumah.86


Tempat bertelur nyamuk juga tergantungsituasi setempat. Di daerah peternakan unggas,misalnya perternakan ayam, larva banyakdijumpai pada tendon minuman unggas. Padadaerah perdesaan dengan banyak rumpunbambu, maka tunggul bekas tebangan bambuyang tergenang air merupakan tempat bertelurnyamuk. Di kebun kelapa, nyamuk akanbertelur di dalam genangan air yang terdapatdalam tempurung yang dibuang, atau buahkelapa yang berlubang karena dimakan bajingyang di dalamnya ada air. Di peternakan lembudan kerbau, larva nyamuk sering dijumpai ditendon air minumnya, bahkan kadang-kadanglarva bisa dijumpai dalam sumur.SIKLUS HIDUPSetelah mendapatkan tempat yangsesuai, maka Aedes aegypti akan menempatkantelurnya pada dinding tendon air. Oleh karenaitu dalam usaha pemberantasan nyamuk ini,sewaktu membersihkan tendon air,dindingnya harus disikat dan digosok. Kalaumendapat genangan air, telur akanberkembang menjadi larva. Kalau tidak adagenangan air telur dapat bertahan dalamkeadaan kering selama beberapa minggusampai beberapa bulan, malah ada literaturyang mengatakan telur bisa bertahan sampaisetahun. Perubahan dari telur menjadi nyamukdewasa sangat tergantung pada situasilingkungan. Hal ini merupakan salah satupenyulit yang perlu diperhatikan pada usahapemberantasan.Jumlah telur yang dihasilkan sekaliwaktu adalah sekitar 100 – 400 butir. Telurmenetas menjadi larva dalam dua hari. Umurlarva 7 – 9 hari, kemudian menjadi pupa.Umur pupa dua hari, lalu menjadi nyamuk.Umur nyamuk betina 8 – 15 hari, nyamukjantan 3 – 6 hari. Siklus hidup Aedes aegyptidapat digambarkan seperti berikut:TELUR LARVA PUPA DEWASAMORFOLOGINyamuk Aedes aegypti dewasaberukuran kecil bila dibandingkan denganrata-rata nyamuk lain, berwarna dasar hitamdengan bintik-bintik putih pada bagian badan,kaki, dan sayap. Pada toraks bagian belakangterdapat garis-garis putih keperak-perakan.Pada bagian toraks ini terdapat sepasang kakidepan, sepasang kaki tengah, dan sepasang kakibelakang. Kaki berwarna hitam dan bergelanggelangputih, sedang sayap mempunyai sisiyang simetris. Bagian abdomen terdiri dari 8segmen, berbentuk silinder yang pada nyamukini ditandai dengan warna agak gelap danpangkal segmen berwarna cerah.Stadium telur nyamuk Aedes aegyptiberwarna hijau seperti sarang tawon,diletakkan satu demi satu pada dinding tempatberkembang biaknya sedikit di ataspermukaan air. Telur dapat bertahan berbulanbulanpada suhu -2 0 C sampai 42 0 C. Namunbila kelembapan terlalu rendah maka telurakan menetas dalam waktu 2 – 3 hari. Dalamkeadaan normal perkembangan telur sampaimenjadi dewasa berlangsung sekurangkurangnya9 hari. Peletakan telur selaludilakukan pada senja hari sebelum gelapantara jam 18.00 sampai 19.00 petang.Larva berada di dalam air jernih dantidak mengalir. Pada toraks terdapat sepasangkait, abdomen mempunyai 8 segmen. Padasegmen ke-8 terdapat sederet gigi sisir yangberjumlah 8 sampai 12 buah. Corong udaraatau sipon mempunyai bentuk yang gemukdan berwarna gelap. Pada sipon terdapatrambut yang lebat. Larva sering berada didasar kontainer. Posisi istirahat padapermukaan air dengan membentuk sudut 45 0 ,dengan posisi kepala berada di bawah. Larvabergerak cepat sekali dan stadium iniberlangsung 4 – 9 hari, untuk selanjutnyamenjadi pupa.Stadium pupa sukar dibedakan denganspesies lainnya. Pupa selalu berada sejajardengan permukaan air dengan bentuk siponkecil/langsing. Pupa tidak membutuhkanmakanan tapi membutuhkan oksigen yangdiambil melalui corong napas. Untuk tumbuhmenjadi stadium dewasa memerlukan waktu 1 –2 hari.KEBIASAAN HIDUPJarak terbang Aedes aegypti per harisekitar 30 – 50 meter, berarti berada padalingkungan beberapa rumah saja dari tempatnyamuk berkembang biak. Jadi, ada tidaknyanyamuk Aedes aegypti pada satu rumah sangattergantung pada kebersihan lingkungan rumahyang bersangkutan dan beberapa rumah disekitarnya.Mengenal Nyamuk Aedes Aegypti (86 – 89)Wirsal Hasan87


Nyamuk dewasa betina menghisap darahmanusia dan karbohidrat tumbuh-tumbuhan.Kejadian ini menarik peneliti dan didugakarbohidrat dari tumbuh-tumbuhan dipakaiuntuk sintesis energi yang digunakan dalamkehidupan sehari-hari, sedang darah manusiadibutuhkan untuk proses reproduksi. Dalamruang gelap nyamuk beristirahat, hinggap padakain yang bergantungan. Nyamuk tertarik olehcahaya terang, pakaian, dan adanya manusia.Sifat antropofilik dan menggigit manusia secaraberulang-ulang sangat penting artinya dalamkedudukannya sebagai vektor dengue. Corporaallata, yaitu kelenjar hipofise pada nyamukmenghasilkan hormon kalau mendapatrangsangan dari serotonin dan adrenalin yangterdapat dalam darah manusia. Nyamuk betinamengisap darah pada umumnya tiga harisetelah kawin dan mulai bertelur pada harikeenam. Dengan bertambahnya darah yangdiisap, bertambah pula telur yang diproduksi.Kesenangan menggigit ini menurut pengamatandi Trinidad agak khas. Pada nyamuk perkotaanlebih suka menggigit pada waktu siang hari(90%) dan waktu malam (10%). Nyamuk desahanya menggigit siang saja. Jam menggigitjuga tertentu terutama pada jam 7.00 pagi, 11.00siang, dan 17.00 sore. Kejadian tersebutkemungkinan juga sinar lampu di perkotaanikut mempengaruhi kebiasaan menggigit.VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUEJika nyamuk Aedes aegypti menggigitmanusia penderita DBD maka virus DBDyang disebut golongan arbovirus (virus yangditularkan melalui artropoda) akan ikut terisapbersamaan dengan darah yang diisap masukke dalam tubuh nyamuk. Virus kemudianberkembang biak di dalam tubuh nyamukselama periode 8 – 10 hari sebelum ini dapatditularkan ke manusia lain selama menggigitdan mengisap darah manusia berikutnya. Lamawaktu inkubasi ekstrinsik ini sangat bervariasitergantung pada kondisi lingkungan, khususnyasuhu sekitar.Nyamuk ini akan tetap terinfeksisepanjang hidupnya, menularkan virus kepadamanusia lain selama menggigit dan mengisapdarah. Nyamuk betina yang telah terinfeksi inidapat menurunkan virus kepada generasinyamuk berikutnya secara transovarian, tetapiini jarang terjadi dan kemungkinan tidakmenimbulkan penularan yang signifikan padamanusia. Virus bersirkulasi dalam darahmanusia terinfeksi selama kurang lebih waktudi mana mereka mengalami demam, dan saatini merupakan waktu yang paling tepat virusterisap oleh nyamuk waktu mengigit penderita.AEDESAEGYPTI(tanpa virus)PENDERITADBDAEDESAEGYPTI(Dengan virus)PEMBERANTASANPENDERITA BARUDBDORANG SEHATPada tahun 1980, the WHO expertCommittee on Vector Biology and Controlmendefinisikan tiga tipe penatalaksanaanlingkungan: 1) Modifikasi lingkungan,tranformasi fisik jangka panjang dari habitatvektor, 2) Manipulsi lingkungan, perubahantemporer pada habitat vektor sebagai hasildari aktifitas yang direncanakan untukmenghasilkan kondisi yang tidak disukaidalam perkembangan vektor, 3) Perubahanpada habitat maupun perilaku manusia, upayauntuk mengurangi kontak manusia denganvektor yang patogen.Penatalaksanaan lingkungan harusdifokuskan kepada penghancuran, perubahan,pembuangan, penguburan atau daur ulangwadah dan habitat larva alamiah yangmenghasilkan jumlah terbesar nyamuk dewasapada setiap komunitas. Program ini harusdilakukan secara bersamaan dengan ProgramPendidikan Kesehatan dan Komunikasi yangmendorong partisipasi masyarakat secaraaktif, misalnya pengevaluasian sanitasi rumahtangga secara, pemeriksaan jentik nyamuksecara regular dan kampanye kebersihan.Program ini memerlukan tenaga tetap yangterlatih cukup banyak sampai ke lingkunganrumah tangga, pengorganisasian yang baikdan pembiayaan yang berkesinambungan.Pengendalian lain dilakukan secarakimiawi dengan pestisida, pengendaliansecara biologis dengan memelihara predatordan pengendalian secara fisik denganmemakai kelambu yang sudah direndamdalam pestisida.88Mengenal Nyamuk Aedes Aegypti (86 – 89Wirsal Hasan


Setelah mendapat gigitan Aedes aegypti yang sudah mengandung virus dengue dalam tubuhnya,manusia akan menghadapi beberapa kemungkinan:AEDESAEGYPTIDENGANVIRUSDENGUEINFEKSIVIRUSDENGUETANPAGEJALAADAGEJALATIDAKTERDETEKSIDENGUETERDETEKSIDENGUEDENGUEFEVERDENGUEHEMORRHAGICFEVER( DHF)DENGUESHOCKSYNDROME(DSS)Skema Pemberantasan Aedes aegypti:|PERAN SERTAMASYARAKATLINGKUNGAN(PemberantasanSarang Nyamuk)VIRUSDBDPEMERINTAH- Tenaga- Organisasi- BiayaKIMIA(Insektisida)BIOLOGI(Predator)FISIK(Kelambu)POPULASIAedes AegyptimenurunPENDERITADBDmenurunDAFTAR PUSTAKAAsih, Y., 1999, Demam Berdarah Dengue,EGC, Jakarta.Behrman, Kliegman, Jenson, 2004, Textbookof Pediatrics, 17th ed., Saunders,Philadelphia.Gershon, A.A., Hotez, P.J., Katz, S.L., 2004,Infectious Diseases of Children, Mosby,Philadelphia.Hasan, R., Alatas, H., 1997, Buku Kuliah IlmuKesehatan Anak, Bagian KesehatanAnak FK UI, Jakarta.Hay, W. cs., 2005, Current Pediatric Diagnosisand Treatment, 17th, Lange MedicalPublication, New York.Suroso, T., 2003, Pencegahan danPenanggulangan Penyakit DemamDengue dan Demam Berdarah Dengue.Departemen Kesehatan RI, Jakarta.Sutaryo, 2004, Dengue, Medika FakultasKedokteran <strong>Universitas</strong> gajah Mada,Yogyakarta.Mengenal Nyamuk Aedes Aegypti (86 – 89)Wirsal Hasan89


TTIINJJAUAN PPUSSTTAKATINJAUAN FARMAKOLOGIS OBAT-OBAT ANALGESIKUNTUK RASA NYERIAswaidar SulemanJurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Departemen Kesehatan RI MedanJl. Air Langga <strong>No</strong>. 20 MedanABSTRACTPain is a sensory and emotional feeling connected with discomfort and withabnormal tissue and damage to nerves. Pain is a very personal feeling. It meanseach individual have a different pain threshold. In many ways, pain acts to protectthe body by giving signals for some abnormal condition such as inflammation,infection, or muscle fatigue. These stimuli trigger the release of pain mediatorswhich in turn activate pain receptors in the tips of the nervous system found intissue and muscle. From here the stimulus are continued to the brain forintegration and interpretation. Pain can be divided into three types, i.e mild pain,medium pain, and severe pain. Mild pain can be controlled by perifer analgesicslike paracetamol, asetosal, and mefenamat. Medium pain can be controlled byperifer analgesic with the help of coaffein or codein. Severe pain has to be handledby morphia, or other types of opiates.Keywords: Analgetic drugs, Pain, Emotional feelingPENDAHULUANObat-obat analgesik adalah senyawayang dalam dosis terapi dapat meringankanatau menekan rasa nyeri tanpa memiliki kerjaanestesi umum. 5Untuk mengetahui efek farmakologisdari obat analgesik, kita harus mengenallebih dulu apa yang disebut deng an nyeri.Nyeri merupakan suatu keluhan yangmenyebabkan orang sering pergi ke dokteruntuk meminta bantuan dalammenghilangkan rasa sakit/nyeri. Hampirsetiap individu pernah mengalami rasa nyeridan mendapat perawatan dari dokter.Nyeri dapat dianggap sebagai suatugejala penyakit atau kerusakan yang palingsering dan berfungsi untuk mengingatkan,melindungi diri, serta memudahkan diagnosissuatu penyakit dari pasien yang berusahabebas dari rasa nyeri. Nyeri harus ditanggapisebagai suatu isyarat bahaya tentang adanyagangguan di jaringan seperti peradangan(remai, encok), infeksi jasad renik, atauadanya kejang otot. Nyeri yang disebabkanoleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis(kalor, listrik) dapat menimbulkan kerusakanpada jaringan. 5, 6International Association for the Studyof Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagaisuatu sensasi yang tidak mengenakkan danbiasanya diikuti oleh pengalaman emositertentu yang erat kaitannya dengan derajatkerusakan. 3 Dengan demikian nyeri mempunyaikomponen fisiologis (diskriminatif) danpsikologis (afektif) yang kemudian secaranyata dibedakan pada nyeri akut dan kronis.Keadaan ini tidak selalu berarti bahwa setiaprasa nyeri memerlukan analgesik, akan tetapidisepakati bahwa suatu obat golongananalgesia berperan penting dalam mengatasinyeri apapun sebabnya.Untuk dapat melakukan suatu tindakanfarmakoterapi nyeri secara rasional, perludipahami lebih dahulu tentang patofisiologiknyeri dan karakteristik nyeri yang kitahadapi sehingga nantinya dapat dipilih obatyang tepat untuk penyakit/penyebab rasanyeri dengan kondisi penderita yangdihadapi.90


PATOFISIOLOGI NYERINyeri merupakan proses yangkompleks dan melibatkan berbagai serabutsaraf aferen dan eferen yang kejadiannyabelum dapat diterangkan sepenuhnya.Nyeri sering kali dikatakan sebagairespons terhadap stimulus yang merusakjaringan, seperti trauma fisik, mekanik,kimiawi, termal atau penyakit.Stimulus yang merusak jaringan tersebutakan memicu pelepasan zat-zat tertentu yangdisebut dengan mediator nyeri yang akanmengaktivasi reseptor (nosiseptor) nyeri diujung-ujung saraf bebas di kulit, mukosa, danjaringan lain seperti pembuluh darah,jaringan subkutan, fascia otot, periostium,viscera, sendi, dan lain-lain. Organ yangtidak mempunyai reseptor nyeri adalah otak.Mediator yang memberikan rasa sangatnyeri antara lain histamine (10 -8 g/L),serotonin, bradikinin, leukotrien, dan zat-zatnyeri endogen lainnya (yaitu zat yangdihasilkan tubuh sendiri sewaktu terjadinyakerusakan jaringan) seperti ion H + (padapH 20 mmol/L). Selain itu, masihada lagi zat yang termasuk mediator nyeriseperti asetilkolin, dan prostaglandin (Pg).Asetilkolin dengan konsentrasi rendahdapat mensensibilisasi reseptor nyeri terhadapzat nyeri lain sehingga senyawa ini bersamasamadengan senyawa lain yang dalamkonsentrasi yang sesuai secara sendiri tidakberkhasiat, tetapi dapat menimbulkan rasa nyeri.Pg adalah zat nyeri yang berkaitan denganterjadinya kerusakan jaringan (inflamasi).Penelitian membuktikan bahwa Pg dapatmensensibilisasi reseptor nyeri terhadap2, 6, 8stimulasi mekanik dan kimiawi.Transmisi impuls dari nosiseptordilakukan melalui serabut aferen A-delta danserabut aferen C yang diteruskan ke dalamakar dorsal sumsum tulang belakang. SerabutA-delta adalah serabut besar, bermielin,konduksi cepat, dan stimulasinyamenghasilkan nyeri yang jelas, tajam,terlokalisasi, dan sensitif terhadap mekanisyang berlebihan serta kerusakan mekanis dijaringan. Sementara saraf aferen C adalahserabut kecil bermielin, konduksi lambat, danstimulasinya menghasilkan nyeri yangtumpul, tidak terlokalisasi dan persisten,sensitif terhadap panas atau dingin yangekstrim. Contoh nyeri yang dihantarkanmelalui serabut jenis A- delta adalah jenisnyeri tertusuk, sebaliknya contoh nyeri yangdihantarkan melalui serabut jenis aferen Cadalah jenis nyeri terbakar dan pegal. 2.5Dari sumsum tulang belakang, bagiserabut-serabut yang berakhir dalam daerahformatio retikularis, rangsangan akanmenimbulkan reaksi vegetatif sepertipenurunan tekanan darah, dan pengeluarankeringat. Tempat kontak lain yang terpentingdari serabut nyeri adalah thalamus optikus.Dari sini impuls diteruskan tidak hanyaperangsangan pada serabut yang menuju kegyrus postcentralis (celah sentral belakang),tempat lokalisasi nyeri, melainkan impulsjuga diteruskan ke limbik, yang terutamaterlibat pada penilaian emosional nyeri. Olehotak besar dan otak kecil bersama-samadilakukan reaksi perlindungan dan reaksimenghindar yang terkoordinasi (Gambar 1).Intensitas rangsang terkecil yang akanmenimbulkan sensasi nyeri bila rangsangtersebut digunakan untuk waktu lama disebutambang nyeri. Nyeri akan terasa apabila nilaiambang sudah dilampaui.Karena nyeri merupakan suatu perasaanpribadi maka nilai ambang nyeri pada setiaporang akan berbeda-beda. Akan tetapi nilaiambang toleransi nyeri untuk suhu biasanyakonstan, yakni antara 44 – 45 0 C.Nyeri superfisial berhubungan denganrefleks protektif, yang menyebabkanterjadinya refleks respons motoris, sepertimenarik lengan. Sebaliknya, sakit/nyerivisceral tidak ada hubungannya denganrefleks protektif, akan tetapi bila nyeri/sakitnya kuat/keras, terdapat hubungannyadengan berkeringat, mual, muntah, nadilambat, dan tekanan darah menurun.Rasa sakit visceral kadang-kadangdiinterpretasikan sebagai rasa sakit di kulit,ini yang disebut referred pain, misalnya rasasakit pada angina pectoris dirasakan padalengan kiri, atau sakit usus buntu dirasakanpada ulu hati.Berdasarkan hal tersebut di atas, kitamengenal 2 macam sakit:1. Sakit somatis: a. superfisial (sakit padakulit), b. sakit dalam (deep pain): otot,tendon, sendi, dan fascia.2. Sakit visceral: (kolik kantong empedu,nyeri luka lambung)<strong>No</strong>siseptor dijumpai pada kulit,pembuluh darah, jaringan sub kutan, fasciaotot, peristium, viscera, sendi dan strukturlainnya. <strong>No</strong>siseptor ini ada yang bersifatspesifik (hanya berespon terhadap stimulasimekanik, kimiawi, termal dan prosesiskemik), ada pula yang polimodal(berespons terhadap satu proses atau lebih).Tinjauan Farmakologis Obat-Obat Analgesik (90 – 97)Aswaidar Suleman91


Rasa nyeriPenilaian nyeriSistem limbikLokalisasi nyeriKorteksOtak kecilReaksipertahananterkoordinasiThalamus optikusFormasioRetikularisReaksi vegetatifSumsum tulangRefleks pertahananReseptor nyeriPembebasanzat mediatorRangsang nyeriimpuls penghantar nyerireaksi nyeriinhibisi nyeri endogenGambar 1. Terjadinya nyeri: penghantaran impuls, lokalisasi dan rasa nyeri, serta inhibisi nyeriendogen (modifikasi Hackenthal)<strong>No</strong>ksiusKerusakan jaringanPembebasan:H + (pH20mmol/L)AsetilkolinSerotoninHistaminPembentukanKinin/bradikininProstaglandinSensibilisasi reseptorNyeri pertamaNyeri lamaGambar 2. Mediator menimbulkan rangsang nyeri setelah kerusakan jaringan92Tinjauan Farmakologis Obat-Obat Analgesik (90 – 97)Aswaidar Suleman


Trauma/luka pada selGangguan pada membran selFosfolipidDihambat kortikosteroidenzim fosfolipaseAsam arakidonatEnzim lipoksigenaseenzim fosfolipasedihambat obat AINS(serupa aspirin)HidroperoksidEndoperoksidPGG2/PGHLeukotrien PGE2 PGF2 PGO2 ProstasiklinTromboksan A2Gambar 3. Biosintesa prostaglandinNyeripermukaanNyeri INyeri IIKulitContohTusukan JarumcubitanNyerisomaticNyeriDalamanOtot jaringanikat tulangsendicontohkejang otot,sakit kepalaNyeriviseralPerutcontohkolik kantungempedu nyeriluka lambungGambar 4 . Kualitas nyeri berdasarkan lokasi (Theuws, Mutschler Vaupel)Tinjauan Farmakologis Obat-Obat Analgesik (90 – 97)Aswaidar Suleman93


Fungsi NyeriNyeri adalah akibat dari suatu gejalapenyakit atau kerusakan jaringan. Nyeriberfungsi sebagai peringatan danperlindungan penyakit serta untuk suatudiagnosis. Gejala tersebut dapat dirasakansebagai hal yang tak mengenakan, menyiksa,dan kita ingin terbebas darinya. Padabeberapa penyakit, seperti tumor ganas faseakhir, dapat meringankan nyeri merupakantindakan yang bijaksana.Karakteristik NyeriBerdasarkan lamanya, nyeri dapatdibedakan antara nyeri akut dan kronis.Nyeri akut biasanya bersifat sementarasedangkan nyeri kronis kejadian akhirnyasering kali sukar diramalkan sehingga seringmenimbulkan depresi. Oleh karena itu, padanyeri kronis tidak cukup diatasi dengan obatyang bersifat analgesika saja akan tetapiperlu tambahan dari terapi non-farmakologis.Derajat nyeri perlu dibedakan atas nyeriringan, sedang, dan berat. Ini penting dalampilihan obat nyeri, misalnya pada nyeriringan sampai nyeri sedang dapat diberikanobat analgesik non-narkotik, sedangkan nyeriyang berat diberikan obat analgesikanarkotik.Berdasarkan penyebabnya, jenis nyeridibedakan sebagai nyeri pasca-operatif, nyerikarena spasme, nyeri karena infeksi, nyerikarena inflamasi, dan lain-lain. Jenis nyeri iniberkaitan dengan obat yang diberikan. Untuknyeri pasca–operatif dapat diberikan obatnonsteroid anti-inflamasi (NSAID), untuknyeri rematik juga diberikan NSAID, untuknyeri spasme diberikan mitamizol (dipiron),sedangkan nyeri yang disertai demam dapatdiberikan parasetamol.PENANGANAN RASA NYERIBerdasarkan terjadinya, rasa nyeridapat dilawan dengan beberapa cara:1. merintangi terbentuknya rangsanganpada reseptor nyeri perifer dengananalgesika,2. merintangi penyaluran rangsangan disaraf-saraf sensoris, misalnya denganmenggunakan obat anestesi lokal,3. blokade pusat nyeri di SSP dengananalgesika sentral atau dengan anestesiumum.Faktor-faktor psikis pada pengobatannyeri dengan analgesika ini, turut memegangperanan penting seperti kesabaran individudan cara-cara mencekal nyerinya.Obat-obat di bawah ini dapatdigunakan sesuai dengan jenis nyerinya.Nyeri ringan dapat ditangani dengan obatobatperifer seperti parasetamol, asetosal,mefenamat, profipenazon, atauaminofenazon, begitu pula untuk rasa nyeriyang disertai demam. Bagi nyeri sedangdapat ditambahkan kofein atau kodein. Nyeriyang disertai dengan pembengkakan atauakibat trauma (jatuh, tendangan, tubrukan)sebaiknya diobati dengan suatu analgesikantiradang, seperti aminopenazon danNSAID (mefenaminat, nifluminat).Untuk nyeri yang hebat perluditanggulangi dengan morfin atau opiatelainnya. Sedangkan nyeri pada kankerumumnya diobati menurut suatu skemabertingkat empat, yakni dengan pemberian:1. Obat perifer (non-opioid) per oral ataurectal: parasetamol, asetosal.2. Obat perifer bersama kodein atau tramadol.3. Obat sentral (opioid) per oral atau rectal.4. Obat opioid parentral.Guna memperkuat efek analgesic dapatditambahkan co-analgesikum, sepertipsikofarmaka) amitriptilin, levopromazin atauprednisone. 7FARMAKOLOGI ANALGESIKAtas dasar farmakologisnya, analgesikadibagi dua golongan besar yaitu:1. Analgesika perifer (non-narkotika); yangterdiri dari obat-obat yang tidak bersifatnarkotik dan tidak bekerja sentral.2. Analgesika narkotika; khusus digunakanuntuk menghalau rasa nyeri hebat,seperti pada kanker.Golongan 1: Analgesika PeriferYang termasuk golongan ini adalahanalgesik antipiretik, analgesik antiinflamasi,dan obat pirai. Untuk kemudahanpenggunaan di klinik sebagai analgesikmaupun anti-inflamasi, obat-obat ini dibagiatas 3 kelompok yaitu:a. Obat yang berefek analgesik + antiinflamasilemah, contoh parasetamol.94Tinjauan Farmakologis Obat-Obat Analgesik (90 – 97)Aswaidar Suleman


. Obat yang berefek analgesik + antiinflamasiringan sampai sedang, contohderivate asam propionate (ibupropen).c. Obat yang berefek analgesik + antiinflamasikuat, yaitu derivate asamsalisilat (aspirin), derivate pirazolon (fenilbutazon, dipiron), derivate asam asetat(diklofenak), dan derivate oksikan(piroksikam).Hampir semua obat-obat ini bekerja diperifer dengan menghambat biosintesis Pg.ParasetamolParasetamol termasuk golongananalgesik antipiretik dan merupakan turunansenyawa para amino penol. Efek analgesikantipiretiknya tidak berbeda jauh dari aspirin.Obat ini tidak mengiritasi lambung danberefek lemah terhadap trombosit serta tidakberpengaruh terhadap waktu perdarahanmaupun ekskresi asam urat.Farmakokinetika: absorbsinya cepatdan sempurna melalui saluran cerna.Konsentrasi tertinggi dalam plasma dapatdicapai dalam 30 menit, dan masa paruhplasma antara 1 – 3 jam. Distribusi keseluruh tubuh. Terikat dalam plasma 25%.Metabolisme di hepar pada mikrosoma hati.Sebagian besar (80%) parasetamol(asetaminopen) dikonyugasi dengan asamglukuronat dan sebagian kecil dengan asamsulfat. Obat ini dapat juga dihidroksilasi,hasil metabolitnya dapat menimbulkanmetHb dan hemolisis eritrosit.Ekskresi melalui ginjal, sebahagiankecil (3%) sebagai parasetamol.Toksisitas: nekrosis hepar, nekrosistubulus renalis, serta koma hipoglikemia,hepatoksisitas dapat terjadi pada dosistunggal 10 g.IbuprofenObat ini mempunyai efek analgesikyang kekuatannya sama dengan aspirin, danefek anti-inflamasinya ringan sampai sedang.Mempunyai efek iritasi gaster yang lebihringan dari aspirin. Obat ini berpengaruhterhadap trombosit dan memperpanjangwaktu perdarahan. Terjadi toleransi silangdengan aspirin.Asam MefenamatObat ini mempunyai efek analgesikantipiretik yang tidak jauh berbeda denganaspirin. Obat ini mempunyai efek iritasigastrointestinal yang lebih berat, mempengaruhitrombosit, dan dapat menyebabkananemia hemolitik.Asam mefenamat diabsorbsi secaralambat dari saluran pencernaan. Kadarpuncak dalam plasma tercapai dalam 2 – 4jam dengan waktu paruh sekitar 2 – 4 jam.Obat ini dimetabolisme di hepar dankemudian diekskresikan sebagian besarmelalui urine (obat bebas, metabolit hasilkonyugasi) dan sebagian kecil (20%) melaluifeses.SalisilatObat ini mempunyai analgesikaantipiratik dan anti-inflamasi kuat. Potensiefeknya menjadi standar perbandingan bagiobat analgesik lainnya. Efek analgesiknyalebih kecil dari kodein. Pada dosis tinggi (5-8gr/hari) obat ini berefek urikossurik. Obat inimempengaruhi fungsi trombosit,memperpanjang waktu perdarahan, danmenyebabkan hipopro-trombinemia.Absorbsinya baik melalui salurancerna, sebagian kecil di lambung dan terbesardi usus halus. Biotranspormasi salisilatterjadi di banyak jaringan akan tetapiterutama di mikrosoma dan mitokondriahati. Salisilat diekskresi dalam bentukmetabolitnya terutama melalui ginjal,sebagian kecil melalui keringat dan empedu.DipironObat ini mempunyai efek analgesik danantipiretik yang hampir sama dengan aspirin.Efek penghambatannya terhadap enzimsiklooksigenase cepat, reversible, karenadipiron membentuk ikatan kovalen denganenzim tersebut. Obat ini sering menimbulkanskin rash dan fixed drug eruption, tapi jarangmenimbulkan iritasi saluran cerna. Efeksamping yang berat adalah agranulositosis,tapi jarang. Para ahli berpendapat bahwa efekdipiron lebih disebabkan oleh antagonisnyaterhadap efek farmakologik Pg daripadabiosintesisnya.Golongan 2: Analgesika NarkotikaAnalgesika narkotik disebut jugaopioida (mirip opiate) adalah zat yangbekerja terhadap reseptor opioid khas di SSP,sehingga persepsi nyeri dan responsTinjauan Farmakologis Obat-Obat Analgesik (90 – 97)Aswaidar Suleman95


emosional terhadap nyeri berubah ataudikurangi.Minimal ada 4 macam reseptor yangpengikatan padanya menimbulkan analgesiaantara lain: reseptor mu, kappa, delta, dansigma.Efek analgesik yang dihubungkandengan reseptor mu adalah analgesiksupraspinal dan efek lain dari reseptor muini antara lain adalah depresi pernapasan,eforia, ketergantungan. Efek analgesik yangdihubungkan dengan reseptor kappa adalahanalgesik spinal dan efek lain dari reseptorkappa adalah miosis dan sedasi.Efek analgesik dari reseptor deltaadalah disforia, halusinasi, stimulasi sentravasomotor, sedangkan dengan reseptor sigmaberhubungan dengan disforia dan efekpsikomimetik. Lokasinya di sistem limbik.Di dalam tubuh, selain ada sistempenghantar nyeri seperti yang diuraikan diatas, juga terdapat sistem penghambat nyeriendogen yakni oleh zat opiod yang disintesasendiri oleh tubuh yang disebut dengan zatendorfin. Endorfin atau endogen morfinadalah kelompok polipeptida endogen yangterdapat di CCS dan dapat menimbulkan efekyang sama dengan morfin. Endorfin ini dapatmempersulit penerusan impuls nyeri,sekaligus akan menurunkan rasa nyeri(Gambar 1). Zat ini berdaya analgesik kuatdalam arti tidak mengubah persepsi nyerimelainkan memperbaiki “penerimaannya”.Rangsangan listrik dari bagian tertentu otakmengakibatkan peningkatan kadar endorfindalam CCS. Hal ini dapat menerangkanbahwa orang yang dalam keadaan stress ataucedera hebat tidak merasa sakit. Peristiwaplacebo juga dihubungkan denganendorphin.Yang termasuk endorfin adalah:- beta endorphin dengan 31 macam asamamino- alfa dan gama endorphin- dinorfin dengan 17 atau 18 asam amino- enkafalinMEKANISME KERJA ENDORFINEndorfin bekerja dengan jalanmenduduki reseptor-reseptor nyeri di SSP,hingga perasaan nyeri dapat diblokir. Khasiatanalgetis opioida berdasarkankemampuannya untuk menduduki sisa-sisareseptor nyeri yang belum ditempatiendorfin. Tetapi bila analgesika tersebutdigunakan terus menerus, pembentukanreseptor-reseptor baru distimulasi danproduksi endorfin di ujung saraf otakdirintangi. Akibatnya terjadilah kebiasaandan ketagihan.Yang termasuk golongan analgesiknarkotik adalah:1. agonis opiate:a. alkaloid candu seperti morfin, kodein,heroin.b. senyawa sintetis, misalnya metadon,petidin, cara kerja obat ini samadengan morfin akan tetapi berbedamengenai potensi, lama kerja, efeksamping risiko akan ketergantunganfisik.2. antagonis opiate, misalnya: nalokson,nalorfin, pentazosin, buprenorfin.Makalah ini hanya membahas tentangmorfin dan kodein saja.MORFIN DAN ALKALOID OPIUMDalam farmakologi, morfin merupakanobat golongan narkotik analgesik kuat.Morfin mempunyai efek analgesik dannarcosis. Efek analgesik morfin sangatselektif dan tidak disertai oleh hilangnyafungsi densorik seperti rasa raba, getar(vibrasi), penglihatan dan pendengaran, tapipersepsi rasa nyeri tidak selalu hilang setelahpemberian morfin dosis terapi, tapi adaperubahan reaksi terhadap stimulus nyeri.Berbeda dengan salisilat, morfin dapatmengatasi nyeri yang berasal dari alat dalammaupun integument, otot dan sendi.Pengaruh morfin terhadap modalitasnyeri yang tidak dalam (dull pain) danberkesinambungan lebih nyata dibanding-kandengan nyeri tajam dan intermiten. Bergunauntuk nyeri kolik empedu dan kolik renal.Efek non-terapi yang terjadi merupakanefek farmakologis golongan opiate padaumumnya adalah hatuasi, toleransi, adiksi,dan ketergantungan.KodeinKodein termasuk narkotik antitusif,oleh karena itu kodein mempunyai efekenalgesik dan antitusif. Batuk merupakanpertahanan tubuh untuk mengeluarkan bendaasing yang dibatukan atau dibuang ke luartubuh. Benda asing tersebut dapat berupa96Tinjauan Farmakologis Obat-Obat Analgesik (90 – 97)Aswaidar Suleman


kuman, tumor, dahak, dan lain lain yang adakaitannya dengan refleks batuk di jalanpernapasan.Jenis batuk ada 2 macam:1. Batuk tanpa dahak (non-productive cough).2. Batuk dengan dahak (productive cough).Efek Farmakologi KodeinKodein bekerja secara sentral melaluireseptor di otak. Kodein termasuk narkotikanalgesik, meskipun efek analgesiknyamoderat. Untuk efek farmakologisnya, biladibandingkan dengan morfin maka kodein:- sebagai antitusif 1/3 morfin- sebagai analgesik 1/6 morfin- kurang narkotis atau adiktif daripadamorfin- menaikan pain threshold- tidak menyebabkan eforia- dosis berlebih hampir tidak menyebabkandepresi sentral dibandingkan denganmorfin. Efek fatal jarang terjadi.- Menekan refleks batuk.- Mempunyai efek hipnotis.DAFTAR PUSTAKA1. Gilbert J. Hite,1995, Analgesika, dalamPrinsip-prinsip Kimia Medisinal, jilid I,edisi kedua, UGM, Gajah MadaUniversity Press, Yogyakarta2. Guyton, 1987, Sensasi somatik: Nyeri,nyeri visceral, nyeri kepala dan sensasisuhu, dalam Fisiologi Manusia danmekanisme penyakit, Edisi Revisi,Penerbit Buku Kedokteran EGC,Jakarta.3. Grahame-Smith, Aronson, 1985, Drugdependence and abuse, opiates, Theoxford textbook of clinicalpharmacology and drug terapy, OxfordUniversity Press, Oxford, New York,Toronto4. IASP, 1979, Taxonomy of pain terms:A list with definitions and notes onusage. Pain p 2495. Mary J. Mycek, CS, 2001, Antagonisdan analgesic opioid, dalamFarmakologi Ulasan bergambar, Edisi2, Widya Medika, Jakarta.6. Mutschler, E. 1985, Sistem saraf,Analgesika, Dinamika obat. Buku Ajarfarmakologi dan toksikologi, edisikelima.7. Tan Hoan tjay, drs. CS, 2000,Analgesika perifer, analgesikanarkotika, in: Obat-Obat penting,khasiat, Penggunaan, dan efek-efeksampingnya, edisi kelima.8. Wilamana PF. 1995. Analgesikantipiretik, analgesic antiinflamasi nonsteroid dan obat pirai, Farmakologidan Terapi. Edisi ke-4, Jakarta, BagianFarmakologi FKUI, Gaya Baru.9. William O. Foye, Zat Anti Radang <strong>No</strong>nSteroid, dalam Prinsip-prinsip KimiaMedisinal, Jilid II, Edisi kedua, UGM,Gajah Mada University Press,Yogyakarta.Tinjauan Farmakologis Obat-Obat Analgesik (90 – 97)Aswaidar Suleman97


TTIINJJAUAN PPUSSTTAKAAPAKAH UPAH MINIMUM PROVINSI SEBAGAI UPAH STANDAR?Lina TariganDepartemen Kesehatan dan Keselamatan KerjaFakultas Kesehatan Masyarakat <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>Jl. <strong>Universitas</strong> <strong>No</strong>. 21 Kampus USU Medan, 20155ABSTRACTProvince minimum wage (UMP) also called as Regional minimum wage (UMR) in1996 ) is arranged on law <strong>No</strong>. 13/2003. Province minimum wage of <strong>No</strong>rth<strong>Sumatera</strong> in 2005 was established through the recommendation of territorialwages council (Depeda) of <strong>No</strong>rth Sumatra Province by the SK. <strong>No</strong>.561/055/K/2005. The nominal of the UMP is Rp.600.000,- monthly. The UMPdecision is based on the regulation of minimum life needs of 43 components of foodprice/minimum, housing, facilities, clothing and variation of needs in traditionalmarket which is conducted in 19 regencies cities. The UMP is not a standard wage,but a “safety net” which means that the wage received by the workers is not lowerthan their needs each month. The UMP in <strong>2006</strong>⎯Rp.737.793,66,- for unmarriedworkers with working time under a year⎯based on “proper life needs” whichconsists of 46 items in traditional market in 25 regencies. In compliance with theterritorial autonomy realization, every regency/city determines the regency/cityminimum wage (UMK). Furthermore, Depeda decides the province sectoralminimum mage (UMSP) for the enterprises that can sectorally be given above ofUMP <strong>2006</strong>.Keywords: Province minimum wage, Safety net, Proper life needsPENDAHULUANJika kita bicara tentang upah, umumnyayang menjadi permasalahan adalah yangdisebut dengan upah nominal, walaupunupah riil jarang dipermasalahkan. Upahnominal adalah upah yang dinilai berbentukuang, sedangkan upah riil (in natura, in kind)adalah upah yang dinilai bentuk bendamisalnya pengobatan, perumahan,pengangkutan, makanan, dan lain-lain.Saat ini yang ramai dibicarakan parapekerja, pengusaha, dan pemerintah adalahupah nominal yang dinyatakan dalam UpahMinimum Provinsi.Upah Minimum Provinsi (UMP) yangdisebut dengan Upah Minimum Regional(UMR) terdahulu telah ditetapkan pada 1996.UMP selalu mengundang proses tidak setujuatau menolak yang datang dari kalanganorganisasi pekerja buruh, LSM, DPRDbesarnya UMP yang ditetapkan denganalasan klasik yaitu terlalu kecil atau tidakcukup memenuhi kebutuhan hidup pekerjadan keluarganya.Melalui rekomendasi DewanPengupahan Daerah (DEPEDA) Provinsi<strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>, Gubernur <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>telah mengeluarkan Surat Keputusan <strong>No</strong>.561/055/K/2005 tentang penetapan UpahMinimum Provinsi (UMP) <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>tahun 2005 sebesar Rp 600.000,- dan SuratKeputusan <strong>No</strong>. 561/080/K/2005 tentangpenetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi(UMSP) <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> tahun 2005 sebesarRp 630.000,- s.d. Rp 660.000,- (kenaikanantara 5 – 10 % dari UMP tahun 2005 untuksektor yang dibagi dalam 58 subsektorusaha).Upah yang dimaksud merupakan upahterendah dan hanya berlaku bagi pekerjayang mempunyai masa kerja kurang dari 1(satu) tahun sedangkan untuk pekerja/buruhyang mempunyai masa kerja > 1 tahun98


dibandingkan dengan serikat pekerja/buruh(SP/SB) wakil pekerja yang belum berdiri(SP/SB dengan pihak pengusaha secaramusyawarah yang dimuat dalam materiperjanjian kerja, peraturan perusahaan atauperjanjian kerja bersama (PK/PP/PKB).Tahun 2003 dan 2004, Gubernur<strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> digugat oleh beberapaorganisasi pekerja/buruh dan LSM ke PTUNMedan, dan gugatan ini ditolak karenapenetapan UMP oleh Depeda Provinsi<strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> dan SK Gubernur <strong>Sumatera</strong><strong>Utara</strong> dinyatakan sudah sesuai denganmekanisme dan peraturan perundangundanganyang berlaku.UMP tahun 2005 tersebut mendapatprotes dengan mengajukan UMP kepadaGubernur sebesar Rp 900.000,- atau lebihkecil.Apakah penerapan UMP setiaptahunnya sudah sesuai dengan mekanismedan peraturan perundang-undangan yangberlaku? Dan apa sebenarnya yang menjadistandar dalam menetapkan upah pekerja/buruh?PROSES PENETAPAN UMPSesuai dengan ketentuan Permen01/Men/1999 jo Kepmen 226/MEN/2000tentang Upah Minimum dan Undang-Undang<strong>No</strong>. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,dinyatakan setiap tahun pemerintah, dalamhal ini pemerintah Provinsi, menetapkanUMP dengan tujuan agar kesejahteraan atauupah yang diterima pekerja tidakmerosot/lebih rendah dari perkembanganharga-harga di pasar dan inflasi atau denganperkataan lain upah yang diterima pekerjasesuai dengan kebutuhan hidup minimum(KHM) seorang pekerja.Untuk menetapkan besarnya UMP,Gubernur membentuk Dewan PengupahanDaerah (Depeda) <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> melaluiSurat Keputusan (SK) yang mana pengurusterdiri dari unsur pemerintah yang terkait,unsur organisasi pengusaha (Apindo), unsurserikat pekerja, dan unsur pakar atauperguruan tinggi dengan perbandingan 1:1:1.Berdasarkan perbandingan tersebutditetapkan jumlah pengurus Depeda<strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> sebanyak 25 orang yaitu7:7:7 tambah pakar dari perguruan tinggi 4orang (2 orang dari USU dan 2 orang dariUNIMED).Depeda membentuk 2 komisi yaitu :1. Komisi Penelitian dan Pengkajian SistemPengupahan.2. Komisi Perumusan KebijakanPengupahan yang berfungsi membahasperkembangan, pertumbuhan ekonomi,indeks harga konsumen/inflasi kemajuanperusahaan, kondisi pasar kerja,kemampuan rata-rata daerah tetangga,pendapatan per kapita, tata cara penetapanUMP, teknik pengupahan data melaluisurvai.Berdasarkan Kepmen <strong>No</strong>. 81/Men/1995tentang Penetapan Kebutuhan HidupMinimum Pekerja ditetapkan untuk disurvaiharga-harga di pasar yang terdiri dari 43 itemdibagi atas 4 kelompok yaitu:I. Makanan dan minuman terdiri dari 11komponen.II. Perumahan dan fasilitator terdiri dari19 komponen.III. Sandang terdiri dari 8 komponen.IV. Aneka kebutuhan.Survai dilaksanakan anggota Depedapada 19 kabupaten/kota di Provinsi <strong>Sumatera</strong><strong>Utara</strong> dengan obyek survai pasar tradisionaldan masing-masing tim survai terdiri dari 3orang. Hasil survai 19 kabupaten/kotatersebut dibagi 19 diperoleh harga rata-rataRp 509.074,- sebagai dasar penetapan UMPditambah besarnya inflasi tahun 2005 sebesar7,5%, maka angka KHM untuk pekerjalajang Rp 509.079 + (7,5% x Rp. 509.079) =Rp 547.225,-UMP hanya berlaku untuk 1 orangpekerja dengan masa kerja kurang dari 1tahun sedangkan masa kerja lebih dari 1tahun, besarnya dirundingkan secaramusyawarah antara pengusaha dengan SP/SB(Bipartit) untuk disepakati, hasilnya dimuatdalam Perjanjian Kerja (PK), PeraturanPemerintah (PP).Sesuai ketentuan, UMP harus samabesarnya dengan KHM, berdasarkan usuldari anggota Apindo diperiksa olehpemerintah atas pemikiran pertumbuhanekonomi, kemampuan perusahaan, kenaikanBBM, maka didapat kesepakatanpenambahan 9,63% dari KHM, sehinggadiperoleh Rp 600.000,- UMP bahwa untukpekerja tetap dan tidak tetap. UMP belumditetapkan berdasarkan Kebutuhan HidupLayak (KHL).Apakah Upah Minimum Provinsi (98 – 100)Lina Tarigan99


UMP BUKAN UPAH STANDARUMP yang ditetapkan oleh Gubernursering mendapat peroleh dari kalanganpekerja untuk tidak menimbulkan salah tafsirdapat dijelaskan pemerintah menetapkanUMP sebagai ”Jaring Pengaman” (SafetyNet) agar upah yang diterima pekerja tidaklebih rendah dari yang dibutuhkan setiapbulannya.Di samping UMP, ditetapkan juga upahminimum sektoral Provinsi (UMSP) untuk63 subsektor perusahaan yangkemampuannya > 5 – 10%. Dengandemikian upah yang diterima antara Rp630.000,- – Rp 660.000,- (sektorkehutanan/peternakan/ industri/konstruksidan bangunan/angkutan/pergudangan/keuangan dengan 63 sub-sektor).Untuk lebih meningkatkan UpahMinimum Pekerja berdasarkan UU <strong>No</strong>.13/2003 dan sejalan dengan pelaksanaanotonomi daerah ditetapkan kabupaten/kotamembentuk Depeda agar dapat menetapkanUpah Minimum kabupaten/kota (UMK).Surat Edaran (SE) Gubernur kebupati/walikota 5 Juli 2001 sampai saat inibaru 7 Kabupaten/kota membentuk Depedayaitu Asahan, Labuhan Batu, TapanuliTengah, Dairi, Binjai, Tebing Tinggi, danSimalungun. Kabupaten yang menetapkanUMP > UMP adalah Kabupaten Asahan danLabuhan Batu.Selain upah yang ditetapkan sebagaiupah pokok masih ada diberikan tunjangantetap dikaitkan dengan kehadiran pekerja,tunjangan makan, transportasi, tunjanganhadir, dan lain-lain. Kemudian diberikan jugapendapatan nonupah seperti fasilitator berupakendaraan antar-jemput, pemberian makansore cuma-Cuma, tempat penitipan bayi,sarana ibadah, koperasi, beras.Pemerintah Provinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>(Pemprovsu) menetapkan upah minimumProvinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> (UMP) tahun <strong>2006</strong>sebesar Rp 737.794,-/bulan. Keputusan iniberlaku mulai 1 Januari <strong>2006</strong>. Berdasarkan 4item disurvai ke pasar tradisional di 25kabupaten/kota di Provinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>.UMP ini dikuatkan oleh KeputusanGubernur <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> <strong>No</strong>. 561/2624/K/Thn 2005 yang ditetapkan 14 Desember2005. Dengan berlakunya keputusan ini,maka UMP 2005 tidak berlaku lagi. UMPProvinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> merupakan UMPtertinggi kedua setelah DKI Jakarta sebesar819.100,-Melalui hasil survai oleh 24 dari 25anggota Dewan Pengusaha Kota Medanakhirnya Upah Minimum Kota tahun <strong>2006</strong>Kota Medan dengan masa kerja 0 – 1 tahunditetapkan sebesar Rp 750.000,- , besaran inimencapai 93,72% dari hasil survai kebutuhanhidup layak (KHL) dengan nilai Rp799.827,-.Angka Rp 750.000,- muncul dariusulan pemerintah karena antara Apindo danperwakilan pekerja tidak menemuikesepakatan, di mana Apindo mengusulkanRp 720.000,- dan perwakilan pekerja Depedamengusulkan Rp 847.816,-. Kalanganpekerja meminta, jika usulan UMK telahdisetujui, maka perlu dimasukkan komponenUpah Minimum Sektor Kerja (UMSK) yangditetapkan oleh Provinsi merupakanacuannya.PENUTUPDari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:1. UMP bukan upah standar, tetapi sebagaijaring pengaman agar upah pekerja tidakdibanyak dibuat KHM pekerja dan hanyaberlaku bagi pekerja di bawah 1 tahun,bila > 1 tahun besarnya dirundingkanoleh pengusaha dengan SP/SBberdasarkan struktur atau skala upahyang dituangkan PK, PP, ataupemerintah kota.2. Selain UMP masih ditetapkan UMSP 5 –10% > UMP dan tunjangan tetap, tidaktetap, serta fasilitas lainnya.3. Bagi perusahaan besar agar mampumembayar upah pekerja lebih besar dariUMP.4. Apindo, organisasi buruh/pekerja ditingkat kabupaten/kota, provinsi agarproaktif membantu dan membinaanggota di perusahaan.100Apakah Upah Minimum Provinsi (98 – 100)Lina Tarigan


InfoKesehatan MasyarakatThe Journal of Public HealthINFORMASI BERLANGGANANBiaya Berlangganan: Termasuk Biaya Pengiriman (dengan pos udara)• Pulau <strong>Sumatera</strong> Rp 60.000,- (Enam Puluh Ribu Rupiah)/tahun• Luar Pulau <strong>Sumatera</strong> Rp 85.000,- (Delapan Puluh Lima Ribu Rupiah)/tahunLEMBAR PEMESANAN LANGGANANNama: _________________________________________________Alamat : _________________________________________________Kota: _________________________ Kode Pos _______________Telepon : _____________ Fax. ___________ e-mail ______________Instansi : __________________________________________________________________________________________________Pemesanan Tahun Terbitan: _______________________________Pembayaran Tunai TransferTransfer melaluiRekening Bank Mandiri Cabang USU Medana.n. Jumirah, Dra.<strong>No</strong>. Rekening: 106-00-9202303-8Informasi dapat diperoleh pada:REDAKSI Info Kesehatan MasyarakatFakultas Kesehatan Masyarakat <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>Jl. <strong>Universitas</strong> <strong>No</strong>. 21, Kampus USU, Medan, 20155Telp. 061-8213221 Fax. 061-8213221E-Mail: infokesmas_fkmusu@yahoo.com101


INSTRUCTIONS FOR AUTHOR1. Info Kesehatan Masyarakat (The Journal ofPublic Health) is published semester by theSchool Study of Public Health, University of<strong>No</strong>rth Sumatra and intended for thepublication of original papers, literaturestudies, case studies and research report on aspecific theme.2. Should have never been published in otherjournals and be prepared in the followingmanner.a. Manuscripts should be typed by usingMS-Word.b. Manuscripts should be submitted withabstract not more than 250 wordstogether with possible keywords forretrieval.c. Manuscripts should be received byeditorial staff in form of hardcopy andsoftcopy.d. Manuscripts should be typed usingTimes New Roman font (size 12) indouble-spacing on A4 (21 x 29.7 cm)paper and not more than 15 pages,specially for case studies not more than15 pages.e. Original paper and case studies arereporting results in field of public healthor any branch of its. The manuscriptshould follow the order: Title, Name ofauthors, Abstract, Introduction(without sub topic which consists ofbackgrounds, problem formulation,objectives, scientific contribution),Method, Results and Discussion,conclusions and suggestions andReferences. Abbreviations and scientificunit must conform to the internationalsystem.f. Literature studies consist of articlereview in field of public health based onrecent references. The manuscript shouldfollow the order: Title, Name ofauthors, Abstract, Introduction(without sub topic), Discussion (withrelevant sub title) and Concludingremarks (or Conclusion andSuggestions).g. Title should be typed in capital letters,name of authors and their affiliationstogether with current addresses.h. Table-title must be typed above the tableand figure-title must be typed below thefigure.i. References should be name of authors’reference and years according toHarvard system.Examples of references:• Journal articleEach reference should be written in thefollowing order: names of authors, year ofpublication, title of article, name of journal,volume number and inclusive pagination.Asfahl, C. R. 1996. "<strong>No</strong> effect level of subacute carbon monoxide inhalation on mouselung." Journal of Occupational Health. 37:1-4.• Monograph/Book/DissertationEach monograph/book should be followedthe order as: name of authors or editors[ed(s)], year of publication, title of book,place of publication, name of publisher,page (s) quoted.Rosenberg, J. and A. Cairns. 1990. "Effectsof mediation of biological levels ofindustrial chemical." In: Fiserova -Bergerova. Biological monitoring ofworkplace. Michigan: NIOSH, 170-184.Yasui, H. and H. Homa. 1981. Modernhandbook of ergonomics. Philadelphia: W.B. Saunders, 134-6.Cherry, A. 1990. Phtalic anhydride;Induced occupational asthma. Pittsburgh:University of Pittsburgh,: 210-5. Diss.• Article without author"Health effects of poly unsaturated fattyacid" (editorial). 1996. Annual NutritionMetabolism. 28: 256-8.• Articles from InternetYamano, Y. 10 Feb. 2002. “A simpledetermination method bromide ion inplasma of methyl bromide workers.".• Proceeding from scientific meetingObesso, J. A. 1989. "Methyl bromideintoxication." Proceeding of the FirstFumigation Technology. Tokyo:International Society for EnvironmentalChemistry, 26-98• In printing articleHine, C. H. "Methyl bromide poisoning."Science. In pres

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!