Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
2015. Mengapa memakai nama<br />
divers? Swietenia memang<br />
seorang penyelam. Saat SD dia<br />
suka menyelam di laut<br />
Kepulauan Seribu. Saat itulah<br />
dia jatuh cinta dengan keindahan<br />
alam bawah laut. Waktu itu<br />
kondisi laut masih bersih. Tidak<br />
ada sampah bertebaran. “Dulu<br />
masih ada ikan dan terumbu<br />
karang. Sekarang yang kelihatan<br />
malah sampah,” katanya.<br />
Setelah tamat SMA, Swietenia<br />
berkuliah di Institut Teknologi<br />
Bandung (ITB). Dia mengambil<br />
jurusan teknik lingkungan. Di<br />
bangku kuliah itulah dia belajar<br />
lebih banyak tentang<br />
pengelolaan sampah. Muncul<br />
pertanyaan dari dirinya: mengapa<br />
jarang NGO (nongovernmental<br />
organization atau<br />
lembaga swadaya masya rakat/<br />
LSM) yang berfokus pada sistem<br />
sampah di pulau-pulau kecil?<br />
Padahal, problem sampah di<br />
sana sangat parah.<br />
Menurut Swietenia, seruan<br />
agar tidak membuang sampah<br />
sembarangan kurang ampuh<br />
jika hanya disampaikan secara<br />
lisan. Perlu ada gerakan konkret<br />
yang bisa menginspirasi banyak<br />
orang. Karena itu, tiga tahun<br />
lalu dia mengajak beberapa<br />
kawan yang hobi menyelam<br />
untuk membuat aksi clean-up.<br />
Saat itu mereka membersihkan<br />
sampah di Kepulauan Seribu.<br />
Sampah yang berhasil dikumpulkan<br />
per 100 meter persegi<br />
dikelompokkan sesuai jenisnya.<br />
Sampah yang bisa didaur ulang<br />
dikumpulkan sendiri.<br />
Swietenia rajin mengajak<br />
masyarakat tidak memakai<br />
sedotan. Kampanye itu semula<br />
dianggap angin lalu oleh<br />
masyarakat. Namun, dia tidak<br />
menyerah. Swietenia lantas<br />
mengubah strategi. Sasarannya<br />
beralih ke kalangan perusahaan<br />
(corporate).<br />
Terutama<br />
perusahaan yang punya andil<br />
dalam tumpukan sampah.<br />
Dua tahun berjalan, komunitas<br />
tersebut berubah menjadi<br />
yayasan pada 2017. Namanya<br />
Yayasan Penyelam Lestari<br />
Indonesia. Pendanaan yayasan<br />
berasal dari Kementerian Lingkungan<br />
Hidup dan Kehutanan,<br />
Balai Konservasi Sumber Daya<br />
Alam (BKSDA), Kementerian<br />
Kelautan dan Perikanan (KKP),<br />
serta Kementerian Koordinator<br />
Bidang Kemaritiman.<br />
Swietenia menyebutkan,<br />
kementerian-kementerian itu<br />
memiliki kepedulian pada<br />
problem lingkungan. “Kami<br />
sering tukar saran masalah lingkungan,”<br />
katanya kepada Jawa<br />
Pos. “Kalau mau gabung dengan<br />
yayasan juga gampang, nggak<br />
harus bisa diving,” lanjutnya.<br />
Meski berubah nama, kegiatan<br />
lingkungan tetap jalan<br />
terus. Ibu-ibu di kawasan Kepulauan<br />
Seribu diberdayakan<br />
melalui bank sampah. Katering<br />
yang semula menggunakan<br />
bungkus dari bahan styrofoam<br />
diganti dengan menggunakan<br />
Tupperware. “Edukasi juga<br />
dilakukan kepada anak-anak<br />
di sekolah,” katanya lantas<br />
tersenyum, membuat lesung<br />
pipinya terlihat jelas.<br />
Pada November 2016<br />
Swietenia merintis kerja sama<br />
dengan sebuah perusahaan<br />
restoran cepat saji. Salah satu<br />
temanya adalah mengampanyekan<br />
bahaya plastik.<br />
Semula pihak restoran hanya<br />
mau melakukan clean-up<br />
sekali. Swietenia menolak. Dia<br />
tak mau jika gerakannya hanya<br />
bersih-bersih tanpa mengubah<br />
kebiasaan penggunaan sedotan<br />
plastik. “Saya bilang ke mereka,<br />
gue nggak mau. Kan lo banyak<br />
sampahnya, sedotan lo banyak<br />
sekali,” ungkapnya dengan<br />
logat Jakarta.<br />
Swietenia memang sangat<br />
getol menolak penggunaan<br />
sedotan plastik. Dia mengatakan,<br />
pemakaian sedotan paling lama<br />
hanya sekitar 30 menit. Setelah<br />
itu dibuang. Padahal, dampak<br />
pada lingkungan sangat fatal.<br />
Kegigihannya menekan penggunaan<br />
sedotan plastik akhirnya<br />
membuahkan hasil. Kini beberapa<br />
gerai makanan siap saji di<br />
Jabodetabek tak lagi menggunakan<br />
sedotan plastik.<br />
Swietenia juga bekerja sama<br />
dengan sebuah perusahaan<br />
air minum dalam kemasan.<br />
Dia sengaja menggandeng<br />
perusahaan tersebut karena<br />
menganggapnya punya andil<br />
pada tumpukan sampah. “Di<br />
Kepulauan Seribu banyak<br />
sekali sampah botol air minum<br />
kemasan,” ungkapnya.<br />
Untuk saat ini kerja sama baru<br />
dilakukan di Pulau Untung Jawa.<br />
Namun tahun depan ditargetkan<br />
berkembang ke pulau lain.<br />
Upaya membuat water refill<br />
pernah dilakukan, tapi tak<br />
berjalan lama. Sebab, alatnya<br />
malah diambil maling.<br />
Karena itu, Swietenia kini<br />
memaksimalkan program<br />
bank sampah. Botol bekas<br />
yang masih memiliki nilai jual<br />
diarahkan untuk dibeli kembali<br />
oleh perusahaan air minum<br />
dalam kemasan. “Kalau dibeli<br />
tengkulak, harganya malah<br />
fluktuatif,” ucapnya.<br />
Swietenia mengatakan,<br />
sampah di laut Indonesia tidak<br />
hanya berasal dari dalam<br />
negeri. Dia menceritakan, di<br />
laut Bali, sebagian sampah<br />
berasal dari negara lain,<br />
misalnya Filipina. Karena itu,<br />
edukasi melalui workshop<br />
juga dilakukan hingga ke<br />
kawasan Asia Tenggara. “Kita<br />
butuh sharing juga dengan<br />
negara lain,” tuturnya.<br />
Melalui kegiatan ecotrip<br />
beranggota 30-100 orang,<br />
digelar underwater clean-up<br />
dan beach clean-up. Yang ikut<br />
underwater clean-up harus<br />
memiliki lisensi diving.<br />
Swietenia mengatakan, di<br />
Pulau Rambut yang tak berpenghuni,<br />
tetap saja banyak ditemukan<br />
sampah ukuran besar.<br />
Ada TV, ranjang, bahkan kulkas<br />
dua pintu. Dia menambahkan,<br />
kondisi laut menyerupai supermarket<br />
barang-barang bekas.<br />
Keberadaan sampah plastik<br />
berpengaruh besar terhadap<br />
lingkungan. Plastik yang masuk<br />
laut lama-lama akan mengecil<br />
hingga menjadi mikroplastik.<br />
Mikroplastik itulah yang<br />
dimakan ikan. Lalu, ikan itu<br />
dimakan manusia. Padahal,<br />
ikan tersebut bisa menjadi<br />
pemicu kanker.<br />
“Sudah ada penelitian yang<br />
menyatakan bahwa ikan di Jakarta<br />
mengandung mikro plastik,”<br />
ungkapnya. Sampah plastik juga<br />
bisa mencemari terumbu karang.<br />
Menurut dia, terumbu karang<br />
yang tertutup plastik selama empat<br />
hari akan mati.<br />
Swietenia menjelaskan, bukan<br />
hanya Kepulauan Seribu yang<br />
dililit permasalahan sampah.<br />
Kondisi serupa terjadi di Kepulauan<br />
Anambas. Di sana<br />
sampah juga bisa ditemukan<br />
di mana-mana. Dia juga menyebut<br />
beberapa pulau di Kalimantan<br />
Utara. Menurut Swietenia,<br />
sebagian warga terbiasa<br />
membuang sampah di bawah<br />
rumah. (*/c9/oni)<br />
TERUSAN 7<br />
KAMIS, 3 <strong>JANUARI</strong> <strong>2019</strong><br />
kalau boleh dibilang. Mampu<br />
menerjang ombak<br />
tsunami yang diduga karena<br />
aktivitas Gunung Sertung,<br />
sebutan nelayan Sidamukti<br />
untuk Gunung Anak Krakatau.<br />
“Seribu satu lah, bisa selamat<br />
itu. Saya juga masih tidak<br />
percaya,” ujar Rasyim yang<br />
ditemui di dekat dermaga.<br />
Rasyim berangkat melaut<br />
bersama empat nelayan lain<br />
di kapal Baru Jaya. Yakni, Heri,<br />
Herman, Topan, dan Oki. Dia<br />
hanya hafal panggilan anak<br />
buahnya yang biasa diajak<br />
mencari ikan. Mereka melaut<br />
sejak Kamis (20/12). Biasanya<br />
sekali melaut mereka bisa<br />
sampai empat atau lima hari<br />
berturut-turut dengan perbekalan<br />
yang cukup. Mereka<br />
pun tidak perlu bolak-balik<br />
ke rumah. “Melaut di Ujung<br />
Kulon. Empat jam perjalanan<br />
dari sini,” ujar Rasyim.<br />
Kamis hingga Sabtu sore itu<br />
mereka nyaris tak mengalami<br />
kendala apa pun. Cuaca cukup<br />
bersahabat. Bulan pun terang.<br />
Mes ki kadang hujan agak lebat.<br />
Sabtu sekitar pukul 17.30,<br />
kapal Baru Jaya memulai<br />
menebar jaring lagi. Menyisir<br />
lokasi yang diperkirakan ada<br />
kerumunan ikan. “Hari-hari<br />
seperti ini yang sedang musim<br />
banyak ikan. Biasanya dapat<br />
2 kuintal udah bagus. Ini dapat<br />
4 kuintal,” tutur dia.<br />
Tebar jaring itu baru selesai<br />
sekitar pukul 20.30. Sedangkan<br />
rekan-rekannya di lima kapal<br />
berbeda sudah menepi ke<br />
dekat pantai. Biasanya nelayan<br />
memang bersandar dengan<br />
berkelompok, bisa lima atau<br />
enam perahu. Itu dilakukan<br />
untuk menghindari ombak<br />
besar saat malam.<br />
Baru selesai menebar jaring<br />
dan hendak bergabung dengan<br />
rekan-rekannya itu, Rasyim<br />
mendengar suara bergemuruh.<br />
Seperti suara kapal besar yang<br />
datang. Tapi, kelihatan bak kabut<br />
putih dari kejauhan. Dengan<br />
berbekal senter laser merah,<br />
dia pastikan apa gera ngan yang<br />
datang tiba-tiba itu. Dia pun<br />
menembakkan sinar laser itu<br />
ke arah datangnya suara tersebut.<br />
“Kalau (sinar laser) mantul itu<br />
kapal. Kalau tembus itu air,” kata<br />
Rasyim. Dia terlihat masih ingat<br />
betul detail malam mencekam<br />
terse but. Benar. Sinar laser itu<br />
tembus.<br />
Rasyim sebagai nakhoda yang<br />
berpengalaman hampir 15 tahun<br />
melaut itu sangat tahu apa yang<br />
harus dilakukan. Tapi, ini bukan<br />
ombak biasa. Ini ombak yang<br />
begitu tinggi. “Dari jauh tinggi<br />
sekali. Sudah ada yang mecah,<br />
tapi masih ada yang bergulunggulung,”<br />
ujar dia.<br />
Dia pun lantas memutar<br />
haluan kapal. Dia menyadari<br />
bahwa memaksakan diri mendekati<br />
daratan justru nahas<br />
akan menimpa. Jalan satu-satunya<br />
adalah menghadapi sekaligus<br />
menaklukkan gelombang<br />
itu. Dia percaya kapal Baru Jaya<br />
mampu mengatasi.<br />
Rasyim lantas memacu kapal<br />
itu dengan kecepatan 6 knot.<br />
Kecepatan penuh. Menuju utara.<br />
Ke arah ombak yang tidak terlalu<br />
tinggi atau yang diperkirakan<br />
sudah terpecah karena berada<br />
di ujung ombak. Di sebelah<br />
selatan gulungan ombak begitu<br />
tinggi. Berdasar pengalamannya,<br />
sebelah selatan juga lebih dangkal<br />
sehingga entakan ombak bisa<br />
sangat berbahaya.<br />
Seluruh awak kapalnya siaga.<br />
Cemas, juga berdoa. Semua<br />
barang sudah diikat dengan<br />
kuat agar bila kena guncangan<br />
keras tidak mudah terempas.<br />
Rasyim ingat betul tinggi<br />
gelombang itu sekitar 30 meter.<br />
Kapal Baru Jaya dengan panjang<br />
15 meter dan lebar 2,5 meter<br />
itu seolah mendaki untuk bisa<br />
melewati ombak tersebut. Tinggi<br />
gelombang tsunami itu dua<br />
kali lipat dari panjang kapal<br />
tersebut. “Kapalnya sampai<br />
berdiri tegak gini,” kata Rasyim<br />
sambil memperagakan tangan<br />
kanannya membuat sudut sikusiku.<br />
Seluruh anak buahnya<br />
pegangan erat pada apa pun.<br />
Dia tak terlalu ingat berapa<br />
lama “pendakian” gelombang<br />
itu terjadi.<br />
Selain pakai teknik pengendalian<br />
kapal, menurut Rasyim,<br />
ada keberuntungan yang menyertainya.<br />
Kapal itu bisa melewati<br />
ombak tinggi dan turun<br />
dengan cukup mulus. “Kalau<br />
saya turun melewati bukit om bak<br />
dengan mengentak, hampir bisa<br />
dipastikan kapal itu akan pecah,”<br />
ujar dia.<br />
Lepas dari ombak pertama,<br />
datang ombak kedua. Tingginya<br />
sekitar 15 meter. Kali ini cukup<br />
mudah bagi Rasyim dan kru<br />
untuk bisa melewati ombak<br />
tersebut. Datang lagi ombak<br />
ketiga dengan tinggi 10 meter.<br />
Setelah tiga ombak besar<br />
tersebut, laut kembali tenang<br />
seperti semula. Setelah<br />
melewati masa-masa kritis<br />
itu, Rasyim pun menghubungi<br />
keluarganya di rumah. Dia<br />
disarankan untuk tidak pulang<br />
dulu. Sebab, kondisi di<br />
kampung Sidamukti juga<br />
porak-poranda oleh terjangan<br />
tsunami.<br />
Pantauan Jawa Pos, Senin<br />
(24/12) masih banyak kapal<br />
yang rusak. Ada juga kapal<br />
yang seperti habis terdorong<br />
ombak besar dengan posisi<br />
melintang.(*/c10/agm)<br />
TERUSAN 7<br />
KAMIS, 27 DESEMBER 2018<br />
General Manager/Pemimpin Redaksi: Andi Ahmadi. Asisten GM: Zaenal Aripin. Redaktur Eksekutif: Bisman Pasaribu. Wakil Pemimpin Redaksi:<br />
Irwan. Korlip: Antonio J. S. Bano. Redaktur: Irwan, Miftakhudin, Eko Iskandar, Antonio J. S. Bano. Sekretaris Redaksi: Sondang. Staf Redaksi: Andi<br />
Mardani, Syahrul Ramadhan, Ahmad Pairudz, Dani Ibrahim, Karsim Putra Pratama. Komisaris: Hazairin Sitepu. Direktur: Hetty, Faturohman S Kanday.<br />
Ombudsman JPG: M.Choirul Shodiq, Rohman Budijanto, Andi Syarifuddin. Fotografer: Arisanto, Raiza Septianto. Pracetak: Yudhi Handoko, Mahmud<br />
Amsori, Bambang Joko Prakoso, Tio Ardiansyah, M. Indra Negara. Desain Iklan: Denis Arfian. Editor: Muhammad Qithfi Rul Aziz. Teknologi Informasi:<br />
Beni Irawan, Alvin. Pemasaran/Sirkulasi: Asep Rachmat (Koordinator), Eti Cahyanih. Manager Iklan: Hafidz. Iklan: Flora Pangestika. Manager Keuangan:<br />
Imam Hidayat. Keuangan: Rizky Marcella, Niki Ayu Minofi, Linda Rose Iskandar. Alamat Redaksi dan Tata Usaha: Perkantoran Suncity Square, Jl M<br />
Hasibuan Blok A40-41, Bekasi. Telp. Redaksi: 021-88863639. Telp Iklan: 021-88863640 (FO & PEMASARAN): 021-88966203. Telp. Keuangan: 021-<br />
88863641, Faks: 021-88863641, 021-88863639. Telp: 021-88966203, 88863641. Bank: Bank CIMB Niaga Bekasi. No.Rek: 925-01- 00699-00-0 a.n PT<br />
<strong>BEKASI</strong> EKSPRES MEDIA. Diterbitkan oleh: PT Bekasi Ekspres Media. Percetakan: PT Bogor Media Grafika Jalan Siliwangi Kav 1 No 34 Komplek<br />
Puslitbang Intel Desa Ciujung, Kabupaten Bogor, Sentul Bogor. No.Telp: (0251) 8655 365. (isi diluar tanggung jawab percetakan).<br />
Wartawan Radar Bekasi selalu dibekali identitas dan tidak menerima uang atau barang berharga lainnya dari narasumber.<br />
Warna FC : Rp. 50.000,-<br />
Halaman 1 FC : Rp. 65.000,-<br />
Advertorial FC : Rp. 30.000,-<br />
Hitam Putih BW : Rp. 35.000,-<br />
Halaman 1 BW : Rp. 50.000,-<br />
Advetorial BW : Rp. 20.000,-<br />
Pengumunan BW : Rp. 30.000,-<br />
Iklan Baris : Rp. 15.000,-<br />
Terjang Gelombang, Kapal Nyaris Tegak<br />
(021)25578300 atau (021)<br />
25578389, email: pengaduan@<br />
kpk.go.id, Faks: (021) 52892456.<br />
“Dapat juga menginformasikan<br />
pada kantor kepolisian setempat,”<br />
ujarnya. Sebelumnya, lanjut Febri,<br />
KPK juga telah secara persuasif<br />
mengingatkan Izil agar menyerahkan<br />
diri secara baik-baik agar<br />
dapat dipertim bangkan sebagai<br />
faktor yang meringankan proses<br />
hukum. Namun, atas imbauan<br />
tersebut, Ayah Merin tak menggubrisnya.<br />
“Kami imbau agar Izil<br />
menghadapi proses hukum ini<br />
secara terbuka sesuai dengan<br />
hukum acara yang berlaku. Jika<br />
ada bantahan akan lebih baik<br />
jika disampaikan pada KPK<br />
sehingga dapat ditelusuri lebih<br />
lanjut,” tuturnya.(*)<br />
Mantan Panglima GAM Masuk DPO KPK<br />
TIDAK bisa dipungkiri, acara<br />
malam tahun baru adalah ladang<br />
pekerjaan bagi musisi tanah air.<br />
Tidak sedikit pula penyanyi atau<br />
grup musik yang menjadikan<br />
kesempatan itu untuk menaikkan<br />
harga mereka.<br />
Bagaimana dengan penyanyi<br />
dangdut sekelas Dewi Persik?<br />
Pemilik goyangan gergaji ini<br />
tak sungkan mengaku mengambil<br />
job di malam<br />
pergantian tahun karena<br />
honor yang didapat bisa<br />
mencapai dua kali lipat dari<br />
biasanya. (agi/jpc)<br />
Malam Tahun Baru Budget Double<br />
Geofisika) tidak memberikan<br />
peringatan gempa tsunami,<br />
karena tidak ada alat di laut.<br />
Kita tidak bisa menyalahkan<br />
BMKG, dan untuk gunung api<br />
ranahnya bukan BMKG, tapi<br />
Badan Geologi,” katanya.<br />
Dalam fase erupsi Anak<br />
Krakatau ini, tiba-tiba lereng nya<br />
mengalami longsor. Menimbulkan<br />
tsunami yang berada di<br />
pantai-pantai terdekatnya. “Kok<br />
tiba-tiba longsor dan<br />
meninggalkan tsunami. Jadi harus<br />
ada sinergi dan koordinasi, antara<br />
BMKG dengan Badan Geologi<br />
ini,” kata Kepala Bidang Mitigasi<br />
Bencana Persatuan Insinyur<br />
Indonesia (PPI) itu. (jpc)<br />
Megathrust Juga Ancaman Selat Sunda<br />
lubang bekas tembakan di<br />
bagian belakang mobil, kaca<br />
depan, dan samping. Selain<br />
itu tim gabungan pun mengaman<br />
kan satu unit motor milik<br />
pelaku berikut sebuah tas yang<br />
terdapat identitas pelaku.<br />
Hasil pemeriksaan sementara<br />
kepada pelaku Serka Jhoni<br />
Kris dianto, yang bersangkutan<br />
me nghabisi korban karena<br />
terpengaruh minuman beralkohol.<br />
Oknum anggota TNI<br />
itu berkali-kali melepaskan<br />
tembakan ke arah korban.<br />
“Dari kondisi terduga pelaku<br />
saat dilakukan penangkapan<br />
diketahui dalam keadaan<br />
mabuk. Pelaku mengejar mobil<br />
dinas korban, kemudian berkalikali<br />
melepaskan tembakan,”<br />
ujarnya saat konferensi pers<br />
di Media Center Kodam jaya,<br />
Rabu (26/12).<br />
Hasil pemeriksaan sementara<br />
kepada pelaku, motif penem bakan<br />
itu bermula dari antara mobil<br />
dinas korban dan motor pelaku<br />
saling bersenggolan. Pela ku yang<br />
sedang terpengaruh minu man<br />
keras itu tak terima dan langsung<br />
mengejar mobil korban.<br />
Pelaku sempat menembaki<br />
kendaraan korban dari arah<br />
belakang. Tak puas di situ, pelaku<br />
kembali mengejar korban. Karena<br />
jalanan sedang macet, pelaku<br />
berhasil meng hadang mobil dari<br />
arah depan. Pelaku kemudian<br />
melepaskan kembali dua kali<br />
tembakan ke arah korban.<br />
Letkol Dono Kusprianto<br />
langsung tewas bersimbah<br />
darah akibat mendapat serangan<br />
senjata api bertubi-tubi dari<br />
pelaku. Korban mendapat luka<br />
tembakan di bagian punggung<br />
menembus ke perut dan di<br />
bagian pelipis. “Usai kejadian<br />
korban langsung kabur menggunakan<br />
ojek. Sekitar pukul<br />
04.10 WIB pelaku berhasil<br />
ditangkap di kediama nnya,”<br />
ujar Kristomei. (wiw/jpc)<br />
Penembak Letkol Dono Kusprianto Dibekuk<br />
tolong. Saat keluar dari rumahnya,<br />
dia melihat korban<br />
sudah dalam keadaan tertelungkup<br />
di dalam warung<br />
kontrakan tersebut. ”Saya keluar<br />
setelah mendengar teriakan<br />
ibunya korban. Saat saya tanya<br />
sama ibunya, katanya ada yang<br />
ngebacok. Kalau pelaku<br />
menggunakan mobil apa motor<br />
orang tuanya tidak tahu,”<br />
ucapnya, Rabu (26/12).<br />
Kondisi korban saat dilihat<br />
sudah dalam keadaan berlumuran<br />
darah dibagian punggung<br />
diduga akibat tikaman senjata<br />
tajam. Lalu, Satia mencoba<br />
mengikat bagian luka dengan<br />
kain dan langsung membawanya<br />
ke Rumah Sakit Sentra Medika<br />
Cikarang.<br />
Saat dirumah sakit itu tim<br />
dokter tidak sanggup menangani<br />
korban karena luka yang cukup<br />
parah. Kemudian, dia membawa<br />
korban ke Rumah Sakit Bhakti<br />
Husada Cikarang. Tidak lama<br />
kemudian, rumah sakit<br />
menyatakan korban telah<br />
meninggal dunia.<br />
“Setelah saya melihat<br />
kerumah sakit dan kata dokter<br />
jantungnya sobek. Panjang<br />
lukanya hampir 10 senti meter,<br />
dan kedalamannya saya tidak<br />
tahu, yang pasti jantungnya<br />
sampai sobek kurang lebih 3<br />
sentimeter,” tuturnya.<br />
Menurut dia, korban tidak<br />
setiap hari berada di kontrakan<br />
itu karena harus kuliah di<br />
Jakarta. Biasanya korban berada<br />
di kontrakan saat momen<br />
libur perkuliahan.<br />
“Semalan korban ini jagain<br />
warung orang tuanya. Korban<br />
baru sampai kesini Selasa<br />
(25/12) pukul 17.00, dan<br />
kejadian pada Rabu (26/12)<br />
pukul 02.30,” tukasnya.<br />
Polres Metro Bekasi yang<br />
mendapati laporan tersebut<br />
melakukan penyelidikan.<br />
Korban sebelumnya sempat<br />
dibawa ke RS Polri Kramat<br />
Jati untuk di Otopsi.<br />
Sejauh ini, pihak kepolisian<br />
sudah melakukan olah Tempat<br />
Kejadian Perkara (TKP).<br />
Selain itu, polisi juga meminta<br />
keterangan dari para saksi<br />
yang mengetahui kejadian<br />
penikaman yang korbannya<br />
sampai meninggal dunia.<br />
”Kita sudah lakukan interview<br />
kepada pemilik kontrakan,<br />
security, dan warga sekitar yang<br />
melihat kejadian. Ini baru interview<br />
belum BAP,”ucap Kasat<br />
Reskrim Polres Metro Bekasi,<br />
AKBP Rizal Marito saat dimintai<br />
keterangan di lokasi kejadian<br />
Rabu (26/12).<br />
Dari keterangan yang sudah<br />
diperoleh, pihaknya belum<br />
bisa mengambil kesimpulan.<br />
Sebab orang tua korban masih<br />
belum bisa dimintai keterangan<br />
karena trauma. (pra).<br />
Konon pendukung Bashar Assadlah<br />
yang melakukannya.<br />
Di Druze Center yang megah itu<br />
saya masuk ke lobinya. Di pusat<br />
kota Beirut. Yang dijaga tentara<br />
bersenjata.<br />
Di lobi itu, di dinding tingginya,<br />
hanya ada satu hiasan: kaligrafi.<br />
Indah dan besar: satu rangkaian<br />
lengkap ayat-ayat Al Quran. Dari<br />
surah An-Nas.<br />
“Ini bukan masjid,” jawab staf di<br />
situ.<br />
Saat saya bertanya ini: di mana<br />
masjid umat Druze.<br />
Saya sudah tahu. Druze tidak punya<br />
masjid. Saya tahu: pegangannya lima<br />
rukun Islam: syahadat (bersaksi<br />
bahwa Allah adalah Tuhan dan<br />
Muhammad adalah Rasul), salat,<br />
zakat, puasa dan naik haji. Tapi tidak<br />
pernah menjalankannya.<br />
“Salatnya seperti apa?” tanya<br />
saya.<br />
“Ya salat biasa. Seperti orang Islam<br />
pada umumnya,” jawabnya.<br />
Saya tidak meneruskan pertanyaan<br />
itu. Saya datang tidak untuk berdebat.<br />
Yang hanya akan menyinggung<br />
perasaan mereka.<br />
Ya sudah. Begitu saja.<br />
Saya kan sudah membaca literatur<br />
tentang Druze. Sejak di madrasah<br />
dulu. Yang banyak versinya. Bahwa<br />
Druze itu Islam: Islam zaman Nabi<br />
Ibrahim. Menyebut dirinya<br />
Muwahidin.<br />
Saya pun ke makam khusus orang<br />
Druze. Tinggal jalan kaki ke lokasi<br />
sebelah. Yang juga dijaga tentara<br />
bersenjata.<br />
Semula agak menimbulkan<br />
kecurigaan sang bersenjata. Untuk<br />
apa ada orang asing ke makam.<br />
Tapi ia bisa berbahasa Inggris.<br />
Mengerti maksud kedatangan saya.<br />
Yang tidak akan menuntut balas<br />
bagi yang sudah mati.<br />
“Tapi dilarang memotret ya,”<br />
pesannya. “Dan harus copot<br />
sepatu.”<br />
Tidak masalah.<br />
Saya kan sudah biasa copot sepatu.<br />
Setiap ke makam kakek buyut saya.<br />
Di Takeran, Magetan. Yang bangunannya<br />
besar, untuk ukuran<br />
kuburan. Bangunan kuno. Yang<br />
lantai terasnya mengkilap. Tegel<br />
kuno. Bahkan saya harus bersila<br />
di situ. Saat bertahlil.<br />
Tapi, bahwa tidak boleh memotret<br />
itu masalah besar. Saya ini, ehm,<br />
kan wartawan. Meski no signal.<br />
Tapi juga tidak masalah. Saya<br />
sudah biasa memotret sambil curicuri.<br />
Teman saya juga sudah saya<br />
ajari ‘mencuri’ foto. Kata saya: kalau<br />
saya nanti wawancara mereka kan<br />
lengah. Anda foto itu, itu, dan itu.<br />
Pun saat saya membaca surah An-<br />
Nas di dinding itu. Saya beri kode.<br />
Kedipan mata. Agar saya difoto. Itulah<br />
hasilnya. Lihat fotonya. Saya berdiri<br />
di depan kaligrafi. Tidak terlalu sempurna<br />
memang. Tapi ok kan? Ia kan<br />
memang wartawan dadakan.<br />
Dari dilarang foto menjadi justru<br />
dua orang yang mencuri foto. Saya<br />
ikut melakukannya. Sayang kalau<br />
tidak. Kuburan ini menarik sekali:<br />
banyak cungkupnya. Terbuat dari<br />
beton. Seperti kuburan orang<br />
Tionghoa. Bentuknya saja yang Arab.<br />
Tidak melengkung-melengkung.<br />
Saya pun masuk ke cungkup<br />
utama. Makam ulama besarnya.<br />
Lepas sepatu. Di terasnya. Seperti<br />
ke makam kakek buyut saya: KH<br />
Hasan Ulama.<br />
Saya tidak melihat ‘Druze’ di dalam<br />
cungkup ini. Nisannya memang<br />
besar. Tapi nisan makam Raden<br />
Patah juga besar. Yang di Demak,<br />
Jateng itu. Bahkan lebih panjang.<br />
Nisan kakek buyut saya juga besar.<br />
Meski hanya seperempat nisan<br />
amir Druze ini.<br />
Ayah saya, yang makamnya juga<br />
di komplek makam kakek buyut<br />
itu, berpesan: nisannya sederhana<br />
saja. Sebagai perwujudan tawadluk<br />
pada guru tarekatnya. Cucu kakek<br />
buyut itu: Imam Mursyid Muttaqin.<br />
Yang meninggal dibunuh PKI. Dalam<br />
peristiwa ‘Madiun Affair’ 1948.<br />
Berada di dalam cungkup ulama<br />
Druze itu rasanya seperti di makam<br />
kyai Buntet Cirebon. Banyak al Quran<br />
di situ. Juga banyak sajadah salat.<br />
Karpet terhampar di sekitar nisan.<br />
Saya berdoa sejenak. Untuk yang di<br />
makam itu. Apa pun agamanya. Entah<br />
ia Islam atau bukan Islam.<br />
Sopir saya itu, yang kemudian seperti<br />
teman itu, semula takut. Ketika saya<br />
minta diantar ke pusatnya Druze.<br />
Tapi uang mengalahkan rasa<br />
takutnya.<br />
Apalagi ketika saya minta pergi<br />
ke Moukhtara. Ke istana Walid<br />
Jumlatt yang jauh di gunung itu.<br />
Harus mengemudi jauh ke arah<br />
selatan.<br />
Menyusuri pantai selama satu<br />
jam. Lalu belok ke gunung. Terus<br />
ke gunung berikutnya. Ke gunung<br />
berikutnya lagi.<br />
Meliuk-liuk. Menanjak. Selama<br />
satu jam. Seperti ke kawasan museum<br />
penyair Khalil Gibran.<br />
Hanya saja yang ini di arah<br />
sebaliknya: di Lebanon selatan.<br />
Ia takut bukan main. “Nanti kita<br />
ditembak,” katanya.<br />
Berkali-kali. Sambil tidak yakin<br />
saya mengerti peringatannya. Lalu<br />
menunjukkan gerakan tembaktembakan.<br />
Dengan tangan dan<br />
jarinya.<br />
All about money.<br />
Ia berangkat juga.<br />
Sampailah saya ke istana Kamal<br />
Jumlatt itu. Yang kini ditempati<br />
anaknya, Walid Jumlatt.<br />
Takut sekali. Sopir saya itu.<br />
Saya tahu. Atau menduga. Masih<br />
ada trauma di pikirannya. Atau<br />
curiga. Akibat cerita yang melegenda.<br />
Permusuhan antara kelompoknya.<br />
Dengan kelompok Druze<br />
sepanjang masa. Masa lalu.<br />
Memang kami tidak diizinkan<br />
masuk. Banyak tentara yang menjaga.<br />
Tapi saya santai saja.<br />
Dataran tinggi komplek istana<br />
ini indah di mata. Lima jam di situ<br />
pun akan saya jalani.<br />
Menunggu redanya ketegangan.<br />
Di dalam hati para penjaga itu.<br />
Saya pun menyapa satu persatu<br />
orang di situ. Dengan ramah. Saya<br />
sapa juga laki-laki tua itu. Yang<br />
berpakaian khas orang Druze: celana<br />
hitam yang kombor di selangkangannya.<br />
Dengan penutup kepala<br />
putih. Seperti topi haji. Tapi kecil.<br />
Seperti Yahudi.<br />
Luar biasa. Druze tua itu baik<br />
sekali. Ramah sekali. Saya justru<br />
diajaknya masuk kantin. Yang<br />
menjadi bagian istana. Sopir saya<br />
ikut. Sambil takut-takut.<br />
Padahal saya justru disuruh makan.<br />
Alhamdulillah. Istrinya yang<br />
menyajikan makanan: nasi hitam<br />
berminyak. Entah makanan apa<br />
itu. Saya kuatkan tenggorokan saya.<br />
Untuk bertekad memakannya. Apa<br />
pun rasanya nanti.<br />
Saya robek juga roti tipis yang<br />
lebar itu. Betapa pun liatnya.<br />
Saya sendok pula acar zaitun itu.<br />
Betapa pun asin kecutnya.<br />
Ternyata itulah nasi bulgur. Baru<br />
sekali ini saya akan makan<br />
bulgur.<br />
Waktu saya kecil kata bulgur itu<br />
terkenal. Dan tercemar. Sudah<br />
sering saya mendengarnya. Orang<br />
desa ramai membicarakannya.<br />
Dengan nada menghina. Dan<br />
melecehkannya.<br />
Waktu itu akhir zaman pemerintahan<br />
Bung Karno. Tidak ada bahan pangan.<br />
Kelaparan di mana-mana. Tidak ada<br />
beras. Biasanya, kalau tidak ada beras,<br />
terpaksa makan nasi jagung. Tapi<br />
jagung juga tidak ada.<br />
Biasanya kami masih bisa dapat<br />
bahan makanan yang terjelek:<br />
gaplek. Singkong yang dikeringkan.<br />
Lalu ditepungkan. Dibuat tiwul.<br />
Itulah ‘kasta’ makanan yang paling<br />
rendah.<br />
Tapi, zaman itu, gaplek pun tidak<br />
ada. Pemerintah membagi sesuatu<br />
yang sangat asing. Untuk pegawai<br />
negeri. Disebut ‘beras bulgur’.<br />
Orang desa sangat membencinya.<br />
Tidak enak di rasa. Terhina di dada.<br />
Istilah ‘sampai makan beras bulgur’<br />
adalah menunjukkan betapa kelaparannya<br />
manusia.<br />
Kami tidak mau makan bulgur<br />
pembagian itu. Kami pilih makan<br />
ganyong. Umbi-umbian yang batang<br />
dan umbinya mirip lengkuas.<br />
Atau umbi lain. Yang masaknya<br />
sangat sulit: agar tidak gatal di lidah.<br />
Saya lupa namanya. Please.<br />
Mencari umbi tersebut juga sulit.<br />
Saya harus ke bawah-bawah rimbunan<br />
bambu liar. Menggali-nggali<br />
tanah di situ. Kadang dapat. Kadang<br />
tidak.<br />
Itulah zaman susah. Dulu.<br />
Kini saya juga lapar. Saat tiba di istana<br />
Druze ini. Berangkat dari Beirut tadi<br />
saya tidak makan pagi. Hanya makan<br />
buah srikaya. Yang banyak sekali di<br />
Beirut. Dan enak sekali rasanya. Dan<br />
murah sekali harganya.<br />
“Siapa yang masak bulgur ini?”<br />
tanya saya ke Druze tua itu.<br />
“Hia,” jawabnya. Sambil menunjuk<br />
istrinya. ‘Hia’ adalah bahasa Arab<br />
untuk ‘dia’.<br />
Sedang ‘hua’ bahasa Arab untuk<br />
‘ia’.<br />
“Enak sekali,” kata saya. Tidak<br />
mewakili tenggorokan saya.<br />
“Syukron jazila,” kata saya lagi.<br />
Druze tua itu tersenyum. Menerima<br />
ucapan terima kasih saya dengan<br />
sangat senang. Pun isterinya.<br />
Saya ternyata dianggapnya bisa<br />
makan bulgur. Bulgur di Lebanon<br />
tidak ada hubungannya dengan<br />
status kaya-miskin.<br />
Selama saya makan itulah.<br />
Beberapa petugas keamanan keluar<br />
masuk kantin. Melihat saya. Bertegur<br />
sapa. Ternyata kantin itu bagian<br />
dari dapur istana. Yang memasakkan<br />
seluruh petugas keamanan di situ.<br />
Sekitar 40 orang banyaknya. Druze<br />
tua tadi, dan isterinya tadi, adalah<br />
juru masaknya.<br />
Bereslah.<br />
Selesai makan itu saya dipersilakan<br />
masuk istana. Bahkan tidak perlu<br />
mengajari sopir mencuri foto. Saya<br />
dibebaskan memotret apa saja.<br />
Sopir saya pun boleh ikut masuk. Ia<br />
bersorak keras. Di dalam hati. Dengan<br />
semangat lautan api. Meluap. Riang<br />
gembira. Luar biasa. Jauh dari bayangannya<br />
yang menakutkan.<br />
Ia mengambil foto melebihi saya.<br />
Minta difoto pula. Tidak habis-habisnya.<br />
Termasuk dengan tentara Druze yang<br />
semula mena kutkannya.<br />
Nanti, dalam perjalanan kembali<br />
ke Beirut, hebohnya bukan main.<br />
Sopir saya itu sangat-sangat happy.<br />
Ia tilpon teman-temannya. Ia ceritakan<br />
kehebatan dirinya: bisa masuk istana<br />
Druze di Moukhtara. Ia kirim fotofotonya.<br />
Lewat HP-nya.<br />
Itulah perjalanan lintas batas yang<br />
jauh. Baginya. Dari benua Hisbullah.<br />
Ke benua Druze.<br />
Saya sendiri sibuk mengamati<br />
semua bangunan ini. Dan ruanganruangannya.<br />
“Ini ruang khusus,” kata petugas<br />
istana.<br />
Di ruang itu ada lukisan Kamal<br />
Jumlatt naik kuda. Besar sekali.<br />
Dengan heroiknya. Dengan pangkatpangkat<br />
ala Bung Karnonya.<br />
“Biasanya beliau dulu duduk di<br />
situ. Menerima pengaduan<br />
masyarakat umum,” tambahnya.<br />
Itu adat kerajaan Arab di masa<br />
lalu. Rakyat jelata pun bisa langsung<br />
mengadu ke raja.<br />
Langsung. Pada hari-hari yang<br />
ditentukan. Tanpa seleksi atau<br />
mobilisasi.<br />
Tentu saya juga banyak ambil foto.<br />
Termasuk foto pohon zaitun tua. Yang<br />
baru setahun dipindah ke situ.<br />
Begitu besar pohon zaitun ini. Begitu<br />
tua tongkrongannya. Bandingkan<br />
dengan pohon zaitun pada umumnya.<br />
Yang hanya seperti pohon lamtoro.<br />
Bahkan lebih kecil dan pendek lagi.<br />
Saya juga tertarik pada bangunan<br />
baru. Yang menempel serasi di istana<br />
itu. Dengan arsitektur postmonya.<br />
Lamat-lamat terbaca tulisan Arab<br />
‘Allah’ di atas sana. Lalu terbaca<br />
tulisan ‘Nas’ jauh di bawah sana.<br />
Menandakan Tuhan dan Manusia.<br />
Ternyata itu masjid.<br />
Saya kaget. Druze punya masjid.<br />
Setengah tidak percaya. Saya masuk<br />
ke dalamnya. Masjid beneran.<br />
Banyak Quran. Banyak rehal - -<br />
tempat baca Quran di lantai.<br />
Saya buka Quran itu. Tidak ada<br />
beda. Tapi juga tidak ada orang<br />
salat di dalamnya.<br />
“Itu masjid Druze?” tanya saya.<br />
“Bukan. Itu masjid moslem biasa,”<br />
jawab tentara di pos penjagaan<br />
itu.<br />
Oh. Begitu. Ya sudah.<br />
Druze memang tidak punya masjid.<br />
Tapi dibangunnya masjid di istana<br />
Druze ini pertanda-pertanda.<br />
Mendekatkan yang sebenarnya<br />
sudah dekat. (Dahlan Iskan)<br />
Druze<br />
Mahasiswa UIN Tewas Ditikam<br />
Otoban adalah jalan tol. Nama<br />
resminya Otoyol. Nama resmi<br />
dalam bahasa Inggrisnya Motorway.<br />
Tapi semua orang Turki<br />
menyebutnya otoban. Mengadopsi<br />
jalan bebas hambatan<br />
di Jerman: Otobahn. Bedanya:<br />
Otobahn Jerman itu gratis.<br />
Mustofa sendiri lahir di Jerman.<br />
Dari orang tua Turki. Lima juta<br />
orang Turki ada di Jerman.<br />
Termasuk Mesut Ozil (Arsenal)<br />
dan Emre Can (Liverpool yang<br />
entah di mana sekarang).<br />
Hubungan Jerman – Turki<br />
memang mendalam. Di masa<br />
sulit dulu. Sejarah menyebut<br />
Jerman berhutang nyawa ke Turki.<br />
Yang selalu membantu Jerman.<br />
Dalam perang apa pun.<br />
Bersama sopir Mustofa ini asyik.<br />
Masa kecilnya di Frank furt. Ia<br />
pernah 20 tahun di Istanbul. Lalu<br />
pindah kerja ke Izmir.<br />
Saat liburan ke Antalya ia<br />
jatuh cinta. Memilih rumah<br />
masa depan di Antalya.<br />
“Istanbul terlalu ruwet,”<br />
katanya. Maksudnya: kotanya<br />
terlalu besar. Dengan segala<br />
problem metropolitannya.<br />
“Izmir juga indah. Tapi kelembaban<br />
udara Antalya lebih<br />
baik,” katanya<br />
Mustofa punya rumah empat<br />
kamar. Di apartemen lima<br />
lantai. Di Pusat kota Antalya.<br />
“Setelah tiga putri saya kawin<br />
istri saya susah,” kata Mustofa.<br />
“Harus bersih-bersih empat<br />
kamar,” katanya.<br />
Antalya adalah kota pantai khas<br />
mediteranian. Mirip Beirut atau<br />
Monaco. Pantai bertebing. Seperti<br />
Pecatu, Bali.<br />
Saya tidak usah ragu dengan<br />
kemampuannya di belakang<br />
kemudi. Meski badannya ‘ndut’.<br />
Ia sudah beberapa kali ke<br />
Makkah. Jalan darat. Mengemudi<br />
bus. Istanbul – Makkah ia<br />
tempuh dalam lima hari. Lewat<br />
Bagdad. Pernah juga lewat Syiria<br />
dan Lebanon.<br />
Mustofa lah yang akhirnya<br />
menemani saya ke Ephasus. Ke<br />
rumah Bunda Maria di sisa<br />
hidupnya. Setelah Jesus disalib.<br />
Mustofa juga yang menemani<br />
saya ke Izmir. Yang ternyata<br />
saya juga ditunggu mahasiswa<br />
kita di sana. Yang juga harus<br />
minta maaf. Tidak sempat<br />
menemui mereka.<br />
Sebagai orang Antalya, Mustofa<br />
tidak tahu kalau sudah ada<br />
Otoyol. Antara Izmir – Bursa.<br />
Hampir 100 Km. Yang diingatnya<br />
dulu perlu waktu tiga jam.<br />
Gunung-gunung ditembus<br />
terowongan. Otoyolnya tiga<br />
jalur di setiap arahnya.<br />
Menjelang Bursa memang harus<br />
masuk jalan lama lagi. Tapi<br />
sebenarnya tidak kalah dengan<br />
Otoyol. Kualitas jalan umum di<br />
Turki mirip jalan tol kita. Bahkan<br />
lebih mulus. Hanya sesekali harus<br />
terkena lampu merah. Saat<br />
melewati kota-kotanya.<br />
Dari Bursa ke Istanbul pun<br />
kini sudah sepenuhnya Otoyol.<br />
Mustofa juga belum tahu itu.<br />
Baru dibuka 1 Desember lalu.<br />
Di jalur ini harus dibangun<br />
jembatan panjang. Melintasi<br />
tekukan laut Marmara. Lalu<br />
masuk terowongan Bosphorus.<br />
Yang panjangnya 5 Km. Yang<br />
dalamnya 106 meter di bawah<br />
daras laut. Yakni laut sempit<br />
yang memisahkan benua Asia<br />
dengan Eropa.<br />
Tapi saya minta dilewatkan<br />
jembatan saja. Meski memutar<br />
20 menit lebih lama. Saya kangen<br />
lihat selat Bosphorus. Dari atas<br />
jembatan. Yang sangat indah.<br />
Toh saya sudah pernah melewati<br />
tunnel baru itu. Minggu lalu. Saat<br />
menuju stasiun kereta jurusan<br />
Ankara.<br />
Pemandangan di bawah<br />
jembatan Bosphorus lebih<br />
menakjubkan dibanding<br />
Golden Gate San Francisco.<br />
Lebih mistis.<br />
Membuat saya ingat sesuatu.<br />
“Tidak usah ikut pesta tahun<br />
baru,” kata hati saya.<br />
Saya pun ingat kejadian tepat<br />
setahun lalu. Di tanggal yang<br />
sama. Saya tergeletak sakit di<br />
rumah. Hanya ditemani isteri.<br />
Anak-cucu baru meninggalkan<br />
Makkah. Menuju Florida.<br />
Bertahun baru di sana.<br />
Saya dan isteri mestinya bersama<br />
mereka. Tapi ada musibah.<br />
Ketika di Madinah dada dan<br />
punggung saya sesak. Luar biasa<br />
menyiksa. Sulit bernafas.<br />
Saya minta dilarikan ke<br />
rumah sakit. Saya mengira<br />
terkena serangan jantung.<br />
Dokter Madinah memeriksa<br />
jantung saya. Dengan alat-alat<br />
modern. “Jantung Anda<br />
istimewa. Pulang saja. Nanti<br />
sembuh sendiri,” katanya.<br />
Saya tidak mau pulang. Lalu<br />
disuntik morphin. Masih tetap<br />
sesak. Tapi nyerinya<br />
berkurang.<br />
Saya putuskan: biar anak-cucu<br />
ke Makkah. Saya dan istri beli<br />
tiket baru: kembali ke Surabaya.<br />
Dengan dada masih<br />
nyeri<br />
sepanjang penerbangan.<br />
Dari bandara Juanda saya<br />
langsung masuk RS. Di internasional<br />
NH Surabaya barat.<br />
Tiga hari opname di situ. Juga<br />
tidak ditemukan apa-apa.<br />
Padahal tetap belum bisa b-a-b.<br />
Sudah satu minggu.<br />
Sampailah saya ingat<br />
Maulana Jalaluddin Rumi. Dan<br />
guru sufi saya di Indonesia.<br />
Tengah malam itu saya<br />
melakukan kegiatan spiritual.<br />
Istri saya menghitung. Saya<br />
tidak mau tasbih mengganggu<br />
konsentrasi.<br />
Pagi harinya saya bisa b-a-b.<br />
Lalu minta keluar RS. Dirawat<br />
istri saja di rumah. Dibikinkan<br />
tajin. Agar ada nutrisi masuk<br />
sistem. Saya bermalam tahun<br />
baru berdua saja. Di tempat<br />
tidur. Anak-menantu memonitor<br />
lewat iPhone.<br />
Robert Lai terus khawatir.<br />
Memaksa saya ke Singapura.<br />
Teman baik saya itulah yang<br />
mengatur semuanya. Anda pun<br />
sudah tahu. Dokter di sana<br />
mengatakan bahwa saya sangat<br />
beruntung. Tidak meninggal<br />
saat di Madinah. Atau di<br />
penerbangan panjang kembali<br />
ke Indonesia. Ditambah ke<br />
Singapura. Mestinya saya<br />
dilarang naik pesawat. Dalam<br />
kondisi kritis seperti itu:<br />
pembuluh darah utama saya<br />
(aorta) ternyata pecah.<br />
Sepanjang 50 cm.<br />
Kisah selanjutnya Anda<br />
sudah tahu: ada di disway edisi<br />
pertama sampai edisi akhir<br />
Februari tahun lalu.<br />
Kini, setahun kemudian saya<br />
ada di Istanbul. Dari pedalamanpedalaman<br />
Turki. Begitu melihat<br />
dalamnya laut Bosphorus saya<br />
menetapkan hati: salat dulu di<br />
Blue Mosque. Lalu tidur. Tidak<br />
perlu melihat pesta tahun baru.<br />
Apalagi ikut merayakannya.<br />
Tidur lebih baik dari<br />
melek.<br />
Untuk kondisi saya yang<br />
seperti itu. Yang setahun lalu<br />
seperti itu.<br />
Tahun baru.<br />
Apalah artinya.<br />
Tanpa mengisinya. (dahlan<br />
iskan)<br />
Dobel Alhamdulillah<br />
Temukan Ranjang dan Kulkas Bekas di Pulau Tak Berpenghuni<br />
simpang siur. “Data awal sempat<br />
simpang siur, atas dasar<br />
sinkronisasi dilapangan saat ini,<br />
15 orang meninggal dunia.<br />
Masing-masing 11 teriden tifikasi<br />
ditemukan kemarin Selasa (1/1)<br />
dan empat baru di temukan<br />
siang ini, Rabu (2/1),” ujarnya<br />
kepada sejum lah awak media,<br />
Rabu (02/01).<br />
Dirinya menjelaskan, pada<br />
hari pertama tim gabungan<br />
menemukan dua jenazah, dan<br />
langsung di kenali pihak keluarga.<br />
Pada hari kedua tim kembali<br />
menemukan delapan korban,<br />
dan hari ketiga ada tiga<br />
jenazah. “Kemudian meluruskan<br />
informasi yang tadinya ada<br />
korban balita yang di anggap<br />
meninggal, namun setelah kroscek<br />
tim gabungan ternyata balita<br />
tersebut alhamdulilah selamat<br />
atas nama Reza (3),”k atanya.<br />
Saat ini tim relawan dari<br />
ber bagai unsur terus melaku<br />
20 Korban Longsor Belum Ditemukan<br />
berasal dari urunan para calon<br />
anggota legislatif (caleg) Partai<br />
Gerindra. Rinciannya, sebesar<br />
Rp76 miliar dari sumbangan<br />
caleg tahap pertama yang telah<br />
dilaporkan dalam Laporan Awal<br />
Dana Kampanye (LADK).<br />
Sebanyak Rp51 miliar berasal<br />
dari sumbangan periodik yang<br />
dikumpulkan sejak 23 September<br />
2018 sampai dengan 1 Januari<br />
<strong>2019</strong>. Thomas bilang, Partai<br />
Gerindra juga menerima dana<br />
sumbangan dari masyarakat<br />
untuk pemenangan Prabowo-<br />
Sandi. Namun, dana tersebut<br />
tidak dimasukkan ke dalam<br />
rekening partai dan belum<br />
dilaporkan ke KPU.<br />
”Ini kelompok relawan sebetuln<br />
ya yang mengumpulkan.<br />
Jadi, ini di luar dari Partai Gerindra,<br />
di luar dari BPN Prabowo-<br />
Sandi, dan jumlahnya mencapai<br />
Rp3,5 miliar. Karena ini kan dari<br />
masyarakat luas yang sebetulnya<br />
membantu meneri ma panggilannya<br />
Pak Prabowo dalam<br />
hal ini dan kami sangat-sangat<br />
apresiasi, sangat berterim a kasih<br />
untuk itu,” ungkapnya.<br />
Dalam kesempatan itu, Wakil<br />
Bendahara Umum Partai<br />
Gerindra Satrio Dimas mengatakan,<br />
pihaknya akan berkoordinasi<br />
terus dengan KPU dan<br />
Bawaslu terkait sumbangan<br />
dana dari masyarakat agar tidak<br />
melanggar aturan yang ada.<br />
”Belum kami pakai sama<br />
sekali karena dua minggu lalu<br />
kami ke Bawaslu, kami<br />
menanyakan sebaiknya seperti<br />
apa karena ini kan urusan<br />
pakainya seperti apa, itu<br />
penting juga. Rp3,5 miliar dari<br />
nominal-nominal yang justru<br />
kecil, cuma banyak dan terusterusan,”<br />
katanya. (jpg)<br />
Dana Kampanye Gerindra Capai Rp127 Miliar<br />
taran kali bekasi. Apalagi<br />
pergeseran tanah akibat gerusan<br />
sungai kali bekasi kembali terjadi<br />
di wilayah komplek Kemang<br />
Pratama dan pemukiman warga<br />
Sepanjangjaya, Rawalumbu Kota<br />
Bekasi.<br />
Kejadian yang diketahui pada<br />
Selasa (1/1) ini membuat<br />
tanggul sepanjang 100 meter<br />
pembatas komplek Kemang<br />
Pratama dengan Kali Bekasi<br />
ambles. Amblesnya tanggul<br />
berada di Jalan Ekspres Raya<br />
RT 02/03 dan RW 24.<br />
Tidak hanya itu, akibat gerusan<br />
kali bekasi, warga Sepanjangjaya<br />
RT 05/04 harus merelakan<br />
beberapa bangunannya rusak.<br />
Pergeseran tanah sekitar 50<br />
meter dengan lebar sekitar 5<br />
meter juga berimbas pada<br />
keretakan di 13 pemukiman<br />
warga setempat.<br />
Wakil Kepala BPBD Kota Bekasi<br />
Karsono mengatakan, pergeseran<br />
tanah dan longsor itu terjadi<br />
akibat terkikis aliran kali bekasi.<br />
“Pergeseran tanah pinggir kali<br />
bekasi terjadi lagi di dua tempat<br />
yang menye babkan tembok<br />
pembatas kali di Perumahan<br />
Kemang Pratama longsor dan<br />
13 rumah warga Sepanjangjaya<br />
retak dan ambles hingga satu<br />
warga mengungsi,” kata Karsono,<br />
Rabu (2/1).<br />
Menurut dia, bangunan<br />
kontrakan milik warga di<br />
Sepanjangjaya terancam<br />
ambruk dan hanyut akibat<br />
pergeseran tanah karena<br />
penyusutan air sungai yang<br />
terjadi pada Selasa (1/1).<br />
“Dari pantauan kami, sebab<br />
pergeseran tanah adalah aliran<br />
air sungai yang susut sehingga<br />
kontur tanah menjadi labil.<br />
Beberapa bagian rumah sudah<br />
ambruk dan hanyut. Beberapa<br />
kamar kontrakan juga mengalami<br />
penurunan tanah, kami<br />
masih mencari penyebab pasti<br />
peristiwa ini,”ungkapnya.<br />
Suwardi (58) Warga RT 05<br />
RW 04 Kelurahan Sepanjangjaya,<br />
Kecamatan<br />
Rawalumbu,<br />
menyesalkan lambannya upaya<br />
bantuan untuk warga. Padahal<br />
wilayah<br />
Sepanjangjaya<br />
diakuinya kerap mengalami<br />
longsor akibat pengikisan kali<br />
Bekasi yang cukup parah.<br />
Ia mendesak agar pemangku<br />
kebijakan dari pemerintah<br />
Kota Bekasi bisa meninjau<br />
langsung ke lokasi warga di<br />
Sepanjangjaya, tidak hanya<br />
di Kemang Pratama.<br />
”Kami yang di sini (Sepanjang)<br />
sudah mepet Kali Bekasi<br />
dicuekin saja. Kondisi ini<br />
sudah lama, saya tidak tahu<br />
dan mau ngadu ke siapa. Sudah<br />
tidak bisa berbuat apa-apa.<br />
Masa mau nunggu korban<br />
jiwa dulu,” katanya.<br />
Wardi menuturkan, akibat<br />
pengikisan kali Bekasi karena<br />
tidak adanya tanggul pembatas,<br />
sisa lahan belakang kontrakan<br />
miliknya yang sebelumya<br />
masih ada jarak 30 meter kini<br />
hanya menyisakan 5 meter<br />
dari bibir sungai.<br />
“Kejadian seperti ini sudah<br />
sering terjadi dan sudah sering<br />
dilakukan penanganan sementara,<br />
tapi tidak permanen hanya<br />
pakai karung sama batu kali<br />
disemen. Itu gak kuat kebawa<br />
longsor lagi,”ucapnya.<br />
“Sekarang longsor menimbulkan<br />
retak tembok sama<br />
ubin saya. Tapi ini ngeri kalau<br />
dibiarin bisa-bisa ambles<br />
kontrakan saya. Waktu itu<br />
dibelakang kontrakan masih<br />
luas, masih banyak pohon<br />
pisang sama kelapa warga<br />
masih bisa main,”katanya<br />
Bahkan atas kejadian tersebut<br />
dirinya sempat membuat tanggul<br />
sendiri dengan dana pribadi<br />
hingga puluhan juta. “Sudah<br />
sering longsor, sudah enggak<br />
kehitung. Uang saya saja ada<br />
puluhan juta kepakai buat tanggul<br />
sementara. Tetap saja karena<br />
enggak permanen ambles lagi,<br />
enggak kuat,” jelasnya.<br />
Pihaknya siap direlokasi asal<br />
ada ganti rugi yang jelas karena<br />
tanah miliknya serta warga<br />
sekitar memiliki surat-surat<br />
lengkap. Jika tidak direlokasi<br />
ia berharap segera ada pembuatan<br />
tanggul permanen.<br />
Warga lainnya Sanin (60)<br />
meminta agar pembuatan<br />
tanggul permanen disegerakan<br />
agar tidak menimbulkan<br />
korban jiwa. Karena saat ini<br />
kali dan pemukiman hampir<br />
tidak ada jarak. “Tanahnya<br />
terus ambles bisa-bisa rumah<br />
warga ini ngikut longsor kalau<br />
enggak cepat dibenerin,”<br />
ungkapnya.<br />
Sementara itu Wakil Wali<br />
Kota Tri Adhianto yang baru<br />
meninjau lokasi longsor di<br />
Kemang Pratama berjanji<br />
segera menangani semua<br />
laporan tersebut. Tri juga<br />
meminta agar Dinas Bina<br />
Marga dan Sumber Daya Air<br />
memantau area-area bantaran<br />
kali bekasi yang sekiranya<br />
rawan longsor, jalanan yang<br />
rusak dan berlubang.<br />
Saat peninjauan lokasi<br />
longsor Wakil Wali Kota Tri<br />
Adhianto yang di dampingi<br />
Kepala Bidang Perencanaan<br />
Dinas Bina Marga dan Sumber<br />
Daya Air, Dicky Irawan dan<br />
Kepala Bidang Sumber Daya<br />
Air, Yudianto segera menindak<br />
lanjut laporan warga. Sejauh<br />
ini penanganan baru di<br />
komplek Kemang Pratama.<br />
“Alhamdulillah sudah di tangani<br />
hari ini supaya tidak meluas<br />
memperparah kerusakan, nanti<br />
juga akan di cek semua bantaran<br />
bantaran kali yang rawan<br />
longsor,”ujarnya<br />
Tri mengaku belum mendapat<br />
informasi terkait laporan warga<br />
di Sepanjangjaya. “Ya saya tidak<br />
dapat informasi di Sepanjangjaya<br />
jadi ga sempet memantau lokasi<br />
di situ, Insyaallah saya akan<br />
meninjau,” ungkapnya.<br />
Pantauan Radar Bekasi, kejadian<br />
longsor akibat pengikisan kali<br />
Bekasi juga sempat terjadi di<br />
Jalan Cipendawa, Bojong Menteng<br />
Rawalumbu hingga memakan<br />
badan jalan. Kondisi itu kini belum<br />
ada penanganan.<br />
Selain itu, pengikisan juga<br />
terjadi di TPU Harapan Baru<br />
dan Pemukiman warga di Teluk<br />
Pucung Bekasi Utara. Barubaru<br />
ini terjadi di Kemang<br />
Pratama dan pemukiman warga<br />
bantaran kali di Sepanjangjaya,<br />
Rawalumbu. (pay)<br />
Warga Bantaran Kali Bekasi Was-was<br />
kan pencarian korban yang<br />
masih tertimbun. Sulitnya<br />
medan menghambat tim<br />
relawan gabungan melakukan<br />
evakuasi para korban yang<br />
masih tertimbun.<br />
Selain itu, cuaca yang tidak<br />
mendukung menyulitkan<br />
petugas untuk menggunakan<br />
alat berat.<br />
“Evakuasi kita<br />
dibantu 892 tim gabungan,<br />
dua anjing pelacak, dengan<br />
empat posko pengaduan,<br />
posko penitipan barang milik<br />
korban, posko kesehatan,<br />
posko DVI Polda Jabar. DVI<br />
disini sangat penting dalam<br />
mengidentifikasi jati diri<br />
koban,”jelasnya.<br />
Ditempat yang sama, Gubernur<br />
Jawa Barat Ridwan Kamil<br />
mengucapkan keprihatinaya<br />
atas kejadian bencana yang<br />
menimpa wilayah tersebut.<br />
Upaya sementara difokuskan<br />
pencarian korban selama<br />
tanggap darurat satu minggu<br />
kedepan. “Berbicara kedepan<br />
untuk merelokasi, kita akan<br />
coba namun semua itu balik<br />
lagi kapada warga. Apalagi, di<br />
Kampung ini masih menjunjung<br />
tinggi adat istiadat, kita fokus<br />
pencarian dulu,”tegasnya<br />
Sementara saat ditanya soal<br />
wilayah Jawa Barat yang rawan<br />
bencana, dirinya menilai<br />
bahwa semua wilayah di Jawa<br />
Barat bisa di katakan zona<br />
merah terjadi bencana.<br />
Pasalnya, bencana bisa kapan<br />
dan dimana saja, salah satunya<br />
bencana longsor di Kampung<br />
Garehong, Dusun Cimapag,<br />
Kecamatan Cisolok. “Seluruh<br />
wilayah di Jawa Barat semuanya<br />
termasuk zona merah<br />
atau rawan bencana. Bahkan,<br />
dua pertiga luas Kabupaten<br />
Sukabumi termasuk di zona<br />
merah,”ujarnya<br />
Dari dua pertiga wilayah<br />
Sukabumi yang masuk zona<br />
merah bencana, seperti kejadian<br />
bencana pergerakan tanah di<br />
Kecamatan Curugkembar dan<br />
wilayah lainya. “Kalau melihat<br />
peta Jawa Barat, kususnya<br />
Sukabumi itu semuanya di<br />
anggap zona merah. Dimana,<br />
tercatat di Jawa Barat pada tahun<br />
2018 sebanyak 1.560 bencana,<br />
550 di antaranya bencana<br />
longsor,”bebernya.(cr1)<br />
Tidak hanya Mita, Evelyn Nada Anjani juga ingin mengubah<br />
total penampilannya. Dia ingin lebih cantik, seksi, dan feminim.<br />
“Aku bisa tampil cantik kalau didandani perias, pengin banget<br />
dandan sendiri makanya belajar makeup,” ucap mantan istri<br />
Aming ini.<br />
Perempuan blasteran Indonesia-Jepang ini merasakan sejak<br />
mulai berubah lebih feminim pada 2018, banyak job yang<br />
diterimanya. “Mudah-mudahan tahun ini akan lebih baik<br />
dibandingkan tahun lalu. Memang butuh modal banyak sih<br />
untuk tampil cantik, tapi enggak apa-apalah. Aku senang kok<br />
dibilang cantik,” tandasnya. (esy/jpnn)<br />
Pengin Ubah Penampilan