Dari desa ke desa - Center for International Forestry Research
Dari desa ke desa - Center for International Forestry Research
Dari desa ke desa - Center for International Forestry Research
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
BAGIAn 2 - Neldysavrino 25<br />
PT. Inhutani V. Sementara kawasan hutan lindung termasuk <strong>ke</strong> dalam Taman<br />
Nasional Bukit Tiga Puluh.<br />
Layaknya masyarakat <strong>desa</strong> di sekitar hutan, mereka hidup bergantung pada<br />
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, hutan dan lahan. Namun<br />
demikian bertani tanaman karet (Hevea braziliensis) masih menjadi pe<strong>ke</strong>rjaan<br />
utama masyarakat <strong>desa</strong> ini, disamping pe<strong>ke</strong>rjaan lain seperti pembalakan<br />
kayu (bebalok), berdagang dan mengambil hasil hutan, seperti getah jernang<br />
(Daemonorops sp.) dan berbagai jenis tanaman rotan. Kecuali bebalok dan<br />
berdagang, mencari getah jernang dan rotan mulai jarang dilakukan karena sulit<br />
mendapatkannya di hutan. Menurut masyarakat hal ini akibat rusaknya hutan<br />
karena telah ditebangi oleh perusahaan maupun masyarakat <strong>desa</strong> yang bebalok.<br />
Pendapatan masyarakat dari hasil tanaman karet masih rendah. Penghasilan ratarata<br />
sebesar Rp. 600.000 tiap bulan masih belum cukup memenuhi <strong>ke</strong>butuhan<br />
rumah tangga. “Harga karet bagus, Rp. 4.000 per kilo, tapi hasil sedikit,” begitu<br />
alasan yang diungkapkan masyarakat <strong>ke</strong>tika ditanya tentang penghasilan<br />
petani karet. Ternyata pola per<strong>ke</strong>bunan karet tradisional yang dilakukan tidak<br />
memberikan hasil yang maksimal.<br />
Sebenarnya penghasilan dari bebalok cukup tinggi. “Bisa Rp 100.000,- sehari<br />
om!” ungkap Tomi bersemangat <strong>ke</strong>tika ditanya tentang penghasilan dari bebalok.<br />
Hanya saja penghasilan yang disebutkan Tomi tadi ibarat rezeki harimau. Artinya<br />
kalau lagi ada rezeki akan dapat uang banyak, namun sebaliknya bila apes tidak<br />
mendapat sepeserpun. Selidik punya selidik ternyata bebalok sangat tergantung<br />
dengan <strong>ke</strong>adaan musim. Rezeki besar hanya didapat di musim <strong>ke</strong>marau, sebaliknya<br />
nasib malang bila musim penghujan atau sedang marak razia kayu.<br />
PEREMPUAn DESA LUBUK KAMBInG<br />
Perempuan di <strong>desa</strong> berpenduduk 4.000 jiwa ini rata-rata hanya mengenyam<br />
pendidikan hingga sekolah dasar. Mereka perempuan yang terbiasa mengerjakan<br />
pe<strong>ke</strong>rjaan rumah tangga dan be<strong>ke</strong>rja di luar rumah untuk membantu mencukupi<br />
nafkah <strong>ke</strong>luarga. Bersama suami mereka ikut menyadap karet, berdagang ataupun<br />
menanam padi ladang, meskipun terkadang hasilnya belum mencukupi.<br />
Kenyataannya, beban <strong>ke</strong>rja yang berat tidak membuat mereka berhenti menjalani<br />
<strong>ke</strong>hidupan sosial di masyarakat. Budaya patriarki yang berlaku tidak melarang<br />
perempuan untuk melakukan berbagai <strong>ke</strong>giatan sosial, seperti pengajian yasinan,<br />
arisan dan lain sebagainya. Namun demikian, dalam hal pengambilan <strong>ke</strong>putusan<br />
mutlak ada di tangan laki-laki.