27.01.2014 Views

Chapter I.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

Chapter I.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

Chapter I.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

BAB I<br />

PENDAHULUAN<br />

A. Latar Belakang<br />

Kedaulatan merupakan salah satu unsur eksistensi sebuah negara. Dari<br />

sudut ilmu bahasa kedaulatan dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan tertinggi<br />

atas pemeritahan negara, daerah, dan sebagainya. Dalam konteks ilmu tata negara,<br />

Parthiana menyatakan bahwa kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan yang<br />

tertinggi yang mutlak, utuh, bulat dan tidak dapat dibagi-bagi dan oleh karena itu<br />

tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain. Namun demikian dalam proses<br />

perkembangan lebih lanjut, telah terjadi perubahan makna kedaulatan negara. 1<br />

Kedaulatan suatu negara tidak lagi bersifat mutlak atau absolut, akan tetapi<br />

pada batas-batas tertentu harus menghormati kedaulatan negara lain, yang diatur<br />

melalui hukum internasional. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah<br />

kedaulatan negara bersifat relatif (Relative Sovereignty of State). Dalam konteks<br />

hukum internasional, negara yang berdaulat pada hakikatnya harus tunduk dan<br />

menghormati hukum internasional, maupun kedaulatan dan integritas wilayah<br />

negara lain. 2<br />

Berkaitan dengan arti dan makna kedaulatan, Jean Bodin menyatakan<br />

bahwa kedaulatan merupakan atribut dan ciri khusus dari suatu negara. Tanpa<br />

adanya kedaulatan, maka tidak akan ada yang dinamakan negara. 3<br />

Ia juga<br />

1 Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional,<br />

Graha Ilmu, Yogyakarta 2011 hal 8<br />

2 Ibid.<br />

3 Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Binacipta, Bandung 1996 hal 89<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


menyatakan bahwa kedaulatan tersebut mengandung satu-satunya kekuasaan<br />

sebagai :<br />

1. Asli, artinya tidak diturunkan dari sesuatu kekuasaan lain;<br />

2. Tertinggi, tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat<br />

membatasi kekuasaannya<br />

3. Bersifat abadi atau kekal;<br />

4. Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi saja;<br />

5. Tidak dapat dipindahtangankan atau diserahkan kepada pihak lain.<br />

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa kedaulatan merupakan suatu<br />

sifat atau ciri hakiki dari negara, di mana negara tersebut berdaulat, tetapi<br />

mempunyai batas-batasnya, yaitu ruang berlakunya kekuasaan tertinggi ini<br />

dibatasi oleh batas-batas wilayah negara itu, di luar wilayahnya negara tersebut<br />

tidak lagi memiliki kekuasaan demikian. 4<br />

Berkenaan dengan hal tersebut,<br />

kedaulatan tidak dipandang sebagai sesuatu yang bulat dan utuh, melainkan dalam<br />

batas-batas tertentu sudah tunduk pada pembatasan-pembatasan yang berupa<br />

hukum internasional maupun kedaulatan dari sesama negara lainnya. Dengan<br />

demikian suatu negara yang berdaulat tetap saja tunduk pada hukum internasional<br />

serta tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan negara lain. Sehubungan<br />

dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan pula bahwa pada masa kini kedaulatan<br />

negara merupakan sisa dari kekuasaan yang dimiliki dalam batas-batas yang<br />

ditetapkan melalui hukum internasional.<br />

4 Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Bina<br />

Cipta, Jakarta.2010. hal 7<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


Melihat dari kenyataan di lapangan, akhir-akhir ini banyak pesawat asing<br />

yang melintas di wilayah udara negara Indonesia. Pesawat-pesawat asing melintas<br />

tanpa seizin menara pengawas yang ada di darat. Biasanya kebanyakan pesawat<br />

yang melintas tanpa izin adalah pesawat-pesawat militer negara asing. Masalah ini<br />

sudah sering terjadi dan dirundingkan bersama dengan negara yang pesawatnya<br />

melintas di wilayah udara negara Indonesia.<br />

Masalah pengelolaan dan pertahanan di wilayah perbatasan sangat terkait<br />

erat dengan konsepsi dasar tentang negara sebagai entitas yang memiliki<br />

kedaulatan, penduduk, dan wilayah serta tafsir atau persepsi atas ancaman yang<br />

dihadapi. Dengan demikian, pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan dapat<br />

disimpulkan sebagai segala upaya untuk mewujudkan eksistensi suatu negara<br />

yang ditandai dengan terlindunginya kedaulatan, penduduk dan wilayah dari<br />

pelbagai jenis ancaman. Konsepsi ini merupakan bagian dari satu pemahaman<br />

totalitas mengenai konsep ‘keamanan nasional’ yang intinya adalah “kemampuan<br />

negara melindungi apa yang ditetapkan sebagai nilai-nilai inti (core values),<br />

dimana pencapaiannya merupakan sebuah proses terus-menerus, dengan<br />

menggunakan segala elemen power dan resources yang ada serta melingkupi<br />

semua aspek kehidupan. 5<br />

Sesuai Konvensi Chicago 1944, dalam Pasal I dinyatakan bahwa setiap<br />

negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh (complete and exclusive<br />

sovereignity) atas ruang udara atas wilayah kedaulatannya. Dari pasal tersebut<br />

memberikan pandangan bahwa perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan utuh<br />

5 Mufti Makarim. A, Strategi Pengelolaan Dan Pertahanan Wilayah Perbatasan Udara<br />

Republik Indonesia : Tantangan Aspek Politik, Yuridis dan Operasional, tanpa tahun. hal 89<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


atas ruang udara di atas wilayah teritorial, adalah: (1). Setiap negara berhak<br />

mengelola dan mengendalikan secara penuh dan utuh atas ruang udara<br />

nasionalnya (2). Tidak satupun kegiatan atau usaha di ruang udara nasional tanpa<br />

mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana telah diatur dalam suatu<br />

perjanjian udara antara negara dengan negara lain baik secara bilateral maupun<br />

multilateral.<br />

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan<br />

penelitian yang berjudul “Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam<br />

Perspektif Hukum Internasional”<br />

B. Perumusan Masalah<br />

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengemukakan<br />

permasalahan dalam penelitian ini adalah :<br />

1. Bagaimana yuridiksi wilayah udara suatu Negara?<br />

2. Bagaimana prinsip hukum udara yang dianut bangsa-bangsa di dunia<br />

(internasional)?<br />

3. Bagaimana Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum<br />

Internasional?<br />

C. Tujuan Penelitian<br />

1. Tujuan Penelitian<br />

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah<br />

a. Untuk mengetahui yuridiksi wilayah udara suatu Negara<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


. Untuk mengetahui prinsip hukum udara yang dianut bangsa-bangsa di<br />

dunia (internasional)<br />

c. Untuk mengetahui Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam<br />

Perspektif Hukum Internasional.<br />

2. Manfaat Penelitian<br />

Mmanfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:<br />

a. Secara teoritis<br />

Untuk pengembangan studi ilmu hukum selanjutnya, khususnya di bidang<br />

Hukum Internasional yaitu Hukum Udara dan Ruang Angkasa. Serta<br />

penulis berharap agar hasil penulisan skripsi ini dapat menambah khasanah<br />

kepustakaan Hukum Udara dan Ruang Angkasa.<br />

b. Secara praktis<br />

Sumbangsih pada peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya di<br />

bidang kedirgantaraan dan keantariksaan, penelitian ilmu pengetahuan dan<br />

pencarian sumber-sumber alam baru.<br />

D. Keaslian Penulisan<br />

Penulisan skripsi mengenai Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam<br />

Perspektif Hukum Internasional menurut sumber dari jurusan Hukum<br />

Internasional Fakultas Hukum <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara belum ada yang<br />

mengangkat dan mambahasnya.<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


Adapun beberapa skripsi mempunyai profil yang sama dengan judul<br />

skripsi ini berbeda dengan skripsi laun yang topiknya sama/ hampir sama antara<br />

lain :<br />

Tarulina Debora Saragih (2010) dengan judul Pengaruh Asean Charter<br />

(Piagam Asean) Terhadap Yurisdiksi Negara Anggotanya permasalahan dalam<br />

penelitian ini adalah; Proses Ratifikasi Piagam ASEAN, B. Pemberlakuan Piagam<br />

ASEAN terhadap Negara Anggotanya dan analisa Pengaruh Pemberlakuan<br />

Piagam ASEAN terhadap Yurisdiksi Negara Anggotanya.<br />

Fachrizal Lubis (2010) Penerapan Yurisdiksi Unversal Melalui<br />

Mekanisme Ekstradisi Atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts<br />

Humanity) permasalahan dalam penelitian ini adalah: Penerapan Yurisdiksi<br />

Universal, B. Ekstradisi Atas Pelaku Kejahatan Pada Umumnya, C. Kejahatan<br />

Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity)dan Penerapan Yurisdiksi<br />

Universal Melalui Mekanisme Ekstradisi Proses Peradilan Atas Pelaku Kejahatan<br />

Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) Oleh Mahkamah Pidana<br />

Internasional (International Criminal Court) Berdasarkan Yurisdiksi Universal.<br />

E. Tinjauan Pustaka<br />

1. Berdirinya Suatu Negara.<br />

Sebagaimana diketahui dalam literatur-literatur ketatanegaraan khususnya<br />

yang membahas tentang ilmu negara menyebutkan bahwa syarat-syarat berdirinya<br />

suatu negara itu harus memenuhi tiga unsur pokok negara, yaitu adanya suatu<br />

wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat. Ketiga unsur tersebut sudah<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


dipenuhi oleh negara-negara yang sudah berdiri dan ada pada saat ini. Dengan<br />

kata lain, tidak ada satu pun negara yang ada di dunia sekarang ini yang tidak memenuhi<br />

ketiga unsur tersebut.<br />

Unsur wilayah di sini tidak terbatas pada wilayah daratan saja, namun<br />

termasuk juga wilayah laut dan udara. Di dunia ini ada negara yang tidak memiliki<br />

wilayah laut namun tidak satu pun negara yang tidak memiliki ruang udara.<br />

Dalam hukum Romawi, ada suatu adagium yang menyebutkan, bahwa "Cujus est<br />

soluni, ejus est usque ad coelum". Artinya, “barang siapa yang memiliki sebidang<br />

tanah maka ia juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan tanah<br />

tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah”.<br />

Menurut dalil tersebut, apabila suatu negara memiliki tanah maka dengan<br />

sendirinya negara itu akan memiliki ruang udara di atasnya. Ternyata, dalil<br />

tersebut masih bersifat umum dan ada ketentuan lain yang bersifat lebih khusus<br />

sebagai ketentuan pengecualiannya. Ketentuan pengecualian itu menyatakan<br />

bahwa udara sebagai unsur "res communis". Kata "aerrescommunis" dijumpai<br />

dalam kalimat "corpus juris civilis" 6<br />

2. Teori Kepemilikan ruang udara.<br />

Pada tahun 1913 muncul dua teori yaitu :<br />

a. The Air Freedom Theory menyatakan bahwa udara dapat menjadi bebas<br />

karena sifat yang dimilikinya (by its nature is free dan dapat dikelompokkan<br />

menjadi: 7<br />

6 Priyatna, 1972:49<br />

7 Ibid. hal 54<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


1) Kebebasan ruang udara tanpa batas.<br />

2) Kebebasan ruang udara yang dilekati beberapa hak khusus negara<br />

kolong.<br />

3) Kebebasan ruang udara tetapi diadakan semacam wilayah teritorial di<br />

daerah mana hak-hak tertentu negara kolong dapat dilaksanakan.<br />

b. The Air Sovereignty Theory dapat dikelompokkan menjadi:<br />

1) Negara kolong berdaulat penuh hanya terhadap suatu ketinggian<br />

tertentu di ruang udara<br />

2) Negara kolong berdaulat penuh tetapi dibatasi oleh hak lintas damai bagi<br />

navigasi pesawat-pesawat udara asing.<br />

3) Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas.<br />

Teori kedua merupakan kebalikan dari teori pertama yang menyatakan<br />

bahwa udara itu tidak bebas sehingga negara berdaulat terhadap ruang udara di<br />

atas wilayah negaranya. Dalam Teori kedua tampaknya sudah ada pembatasan<br />

negara atas wilayah udara, yaitu adanya hak lintas damai (innocent passage)<br />

bagi pesawat udara asing. Dengan demikian, apabila ada pesawat udara asing<br />

yang terbang di ruang udara suatu negara maka akan mempunyai risiko yang<br />

berbeda sesuai teori mana yang dianutnya, apakah teori udara bebas atau teori<br />

udara tidak bebas.<br />

3. Teori-teori lain<br />

International Air Transport Agreement. Pada Pasal 1 ayat (1)<br />

International Air Transport Agreement 1944 menyatakan:<br />

"Each contracting State grants to the other contracting State the<br />

Following freedoms of the air in respect of scheduled international air services :<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


1) The privilege to fly across its territory with out landing.<br />

2) The privilege to land for non traffic purposes<br />

3) The privilege to put down passengers, mail and cargo taken on in territory<br />

of the state whose nationality the aircraft possesses.<br />

4) The privilege to take on passengers, mail and cargo destined for the<br />

territory of the state whose nationality the aircraft possesses.<br />

5) The privilege to take on passengers, mail and cargo destined for the<br />

territory of any other contracting state and the<br />

privilege to put down passengers, mail and cargo coming from any such<br />

territory...",<br />

Ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan International Air Transport Agreement<br />

tersebut dikenal juga dengan The Five Freedom Agreement. Selain itu, dalam<br />

Pasal 5 dan 6 Konvensi Chicago 1944 diatur tentang Non Scheduled Flight dan<br />

Scheduled Flight. Dengan demikian, akan timbul beberapa masalah antara<br />

teori-teori yang ada dengan ketentuan-ketentuan mengenai penerbangan<br />

pesawat udara, khususnya penerbangan pesawat udara asing.<br />

Permasalahan yang dapat timbul antara lain bagaimanakah kaitan<br />

antara kedaulatan suatu negara atas ruang udara di atasnya dengan kebebasan<br />

melintas yang dimiliki oleh pesawat asing sesuai perjanjian-perjanjian yang<br />

mengaturnya; bagaimana pula kaitannya dengan ketentuan mengenai non<br />

scheduled flight dan scheduled flight<br />

4. Konvensi Chicago 1944.<br />

Pada Bagian 1 Air Navigation bab 1 General Principles and Application of<br />

the Convention, Article 1 Sovereignty. “The contracting States recognize that<br />

every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its<br />

territory”, berarti bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang penuh dan<br />

mutlak atas ruang udara di atas wilayah teritorialnya. Yang berarti bahwa diruang<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


udara tidak dikenal “hak lintas damai” (innocent Passage). Hal ini akan sangat<br />

bertentangan dengan prinsip yang dituangkan dalam Unclos tahun 1982 yang<br />

mengenal adanya hak lintas damai bagi semua pesawat udara yang akan melintas.<br />

Sehingga dengan adanya pertentangan tersebut haruslah diambil jalan keluar agar<br />

antara satu aturan dapat disesuaikan dengan aturan-aturan yang ada lainnya.<br />

Konvensi Chicago 1944 pada prinsipnya sangat menjunjung tinggi<br />

kedaulatan negara, termasuk atas wilayah udaranya. Akan tetapi, untuk<br />

kepentingan bersama masyarakat internasional, konvensi itu dengan panjang lebar<br />

mengatur sangat rinci aturan-aturan yang terkait dengan penerbangan dan lalu<br />

lintas penerbangan di dunia, khususnya penerbangan sipil, tetapi dalam<br />

lampirannya diatur juga mengenai koordinasi penerbangan militer.<br />

Pada Article 5, non-scheduled flight “ Each contracting State agrees that<br />

all aircraft of the other contracting States, being aircraft not engaged in<br />

scheduled international air services shall have the right, subject to the observance<br />

of the terms of this Convention, to make flights into or in transit non-stop across<br />

its territory and to make stops for non-traffic purposes without the necessity of<br />

obtaining prior permission, and subject to the right of the State flown over to<br />

require landing. Each contracting State nevertheless reserves the right, for<br />

reasons of safety of flight, to require aircraft desiring to proceed over regions<br />

which are inaccessible or without adequate air navigation facilities to follow<br />

prescribed routes, or to obtain special permission for such flights. Such aircraft, if<br />

engaged in the carriage of passengers, cargo, or mail for remuneration or hire on<br />

other than scheduled international air services, shall also, subject to the<br />

provisions of Article 7, have the privilege of taking on or discharging passengers,<br />

cargo, or mail, subject to the right of any State where such embarkation or<br />

discharge takes place to impose such regulations, conditions or limitations as it<br />

may consider desirable”.<br />

Dalam Pasal 5 di atas dijelaskan tentang Penerbangan tidak berjadwal<br />

(Non schedule Flight) sebagai berikut :<br />

a. Bagi sesama anggota Konvensi, dapat terbang tanpa berhenti, dan atau<br />

mendarat bukan untuk kepentingan komersial (for non traffic purposes)<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


dengan tanpa ijin terlebih dahulu, namun Negara yang dilewati berhak<br />

meminta untuk mendarat.<br />

b. Dapat mendarat tanpa maksud tujuan komersial dengan tanpa ijin terlebih<br />

dahulu, karena alasan keselamatan penerbangan (for reason of safety of<br />

flight) dan Negara anggota memberikan hak kepada pesawat itu untuk<br />

melanjutkan terbang kembali.<br />

c. Bagi pesawat tidak berjadwal yang bersifat komersial, setiap negara<br />

berhak menetapkan aturan-aturan atau persyaratan-persyaratan yang<br />

dipandang perlu.<br />

Pada Article 6 tentang Scheduled air services “ No scheduled international<br />

air service may be operated over or into the territory of a contracting State,<br />

except with the special permission or other authorization of that State, and in<br />

accordance with the terms of such permission or authorization “.<br />

Dalam Pasal 6 dijelaskan tentang penerbangan secara berjadwal yang<br />

menyatakan bahwa tidak satupun penerbangan berjadwal beroperasi di atas atau<br />

ke dalam wilayah territorial Negara sesama anggota konvensi, kecuali dengan<br />

adanya special permission /perjanjian bilateral /multilateral (Perjanjian tersebut<br />

dibuat dengan melibatkan antara Negara yang akan dilewati/ didarati dengan suatu<br />

prinsip timbal balik).<br />

Konvensi itu dihasilkan dari kesadaran risiko bahaya dari moda<br />

transportasi udara, yang jauh lebih tinggi dari modatransportasi lainnya. Oleh<br />

karena itulah, dalam dunia penerbangan diatur sangat rinci, antara lain, mengenai<br />

jalur-jalur penerbangan yang harus dipatuhi semua pesawat sebagai diatur dalam<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


Enroute Charts ICAO, serta siapa yang diberi kewenangan untuk mengawasi dan<br />

mengatur lalu lintas penerbangan di suatu kawasan melalui penetapan flight<br />

information region (FIR).<br />

Sejak konvensi itu dibuat hingga industri penerbangan sipil yang maju<br />

semakin pesat sejak 1970-an, wilayah udara dunia telah diatur sedemikian rupa<br />

oleh ICAO (International Civil Aviation Organization) berdasarkan berbagai<br />

faktor, antara lain ketersediaan berbagai fasilitas pendukung transportasi udara di<br />

masing-masing wilayah. Oleh karena itu, pengaturan lalu lintas udara sejak awal<br />

memang tidak sangat berpatokan pada wilayah kedaulatan suatu negara, tetapi<br />

juga tidak lantas menghilangkan kedaulatan suatu negara atas wilayah udaranya.<br />

Hal itulah yang membuat tidak seluruh wilayah kedaulatan RI, FIR-nya<br />

diatur oleh Jakarta. Sebagian wilayah RI, khususnya di sekitar Kepulauan Riau,<br />

FIR-nya diatur oleh Singapura. Bukan hanya Indonesia yang sebagian wilayahnya<br />

masuk dalam FIR negara lain. Banyak negara lain di dunia pun mengalaminya,<br />

bahkan Indonesia pun memegang FIR untuk Pulau Christmas milik Australia,<br />

wilayah Papua Niugini dan Timor Leste yang belum lama merdeka. Artinya,<br />

pesawat Australia yang akan terbang dari Sydney ke Pulau Christmas, misalnya,<br />

melapornya harus ke Indonesia. Kenyataan tersebut menegaskan bahwa masalah<br />

alur dan pengaturan penerbangan tidak bisa sepenuhnya dikaitkan dengan<br />

kedaulatan negara.<br />

Dalam Konvensi Chicago Pasal 9 ditetapkan, setiap negara (sebagai wujud<br />

dari kedaulatannya) berhak menetapkan wilayah-wilayah yang dinyatakan<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


terlarang untuk penerbangan, baik karena alasan kebutuhan militer maupun<br />

keselamatan publik. Indonesia pun memiliki "wilayah terlarang" tersebut.<br />

Terkait Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation<br />

Agreement/DCA) RI-Singapura yang sudah ditandatangani di Bali tetapi belum<br />

secara resmi berlaku, memang ada kekhawatiran bahwa ditetapkannya beberapa<br />

wilayah RI sebagai tempat latihan untuk pesawat-pesawat militer Singapura akan<br />

membuat akses penerbangan RI melalui wilayah itu ditutup. Terlebih lagi ada isu<br />

bahwa frekuensi latihan pesawat-pesawat militer Singapura itu akan sangat sering<br />

sehingga dikhawatirkan Indonesia kehilangan "kontrol" atas wilayah-wilayah<br />

yang dipinjamkan kepada Singapura itu.<br />

Antara RI dan Singapura sejak era 1980-an telah ada kesepakatan<br />

mengenai penggunaan wilayah RI untuk tempat berlatih angkatan bersenjata<br />

Singapura. Kerja sama terakhir kedua negara yang tertuang dalam Persetujuan<br />

mengenai Latihan Militer (MTA) di Area 1 dan 2 yang ditandatangani Menteri<br />

Pertahanan dan Keamanan RI Edi Sudrajat dan Wakil Perdana Menteri<br />

merangkap Menteri Pertahanan Singapura Dr Tony Tan pada September 1995,<br />

areanya tidak banyak berbeda dengan apa yang disebut Alpha 1 dan Alpha 2<br />

dalam DCA RI-Singapura yang belum berlaku itu.<br />

5. UU no 15 tahun Undang-Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 1992.<br />

Menurut UU no 15 tahun Undang - Undang Republik Indonesia nomor<br />

15 tahun 1992 Tentang Penerbangan pasal 4 bahwa “Negara Republik Indonesia<br />

berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udara Republik Indonesia” . Hal ini berarti<br />

Sebagai negara berdaulat, Republik Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


utuh di wilayah udara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan Konvensi<br />

Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Ketentuan dalam pasal ini<br />

hanya menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab negara Republik<br />

Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari<br />

wilayah dirgantara Indonesia, sedangkan mengenai kedaulatan atas wilayah<br />

Republik Indonesia secara menyeluruh tetap berlaku ketentuan sebagaimana<br />

diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok<br />

Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia.<br />

Kemudian pada Pasal 5 dinyatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan<br />

kedaulatan negara atas wilayah udara Republik Indonesia, Pemerintah<br />

melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk<br />

kepentingan pertahanan dan keamanan negara, penerbangan, dan ekonomi<br />

nasional. Wilayah udara yang berupa ruang udara di atas wilayah daratan dan<br />

perairan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional sehingga harus<br />

dimanfaatkan bagi sebesar-besar kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.<br />

6. UNCLOS III 1982<br />

Territorial sea and Continous Zone , Section 1. General Provision, Article 2<br />

Legal Status of the territorial sea, of the air space over the territorial sea and of<br />

its bed and subsoil.<br />

1. The souvereignity of coastal state extends, beyond its territory and internal<br />

waters and, in the case of an archipelagic state, its archipelagic waters, to an<br />

adjaeent belt of sea, described as the territorial sea.<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


2. This soverignity extends to the air space over the territorial sea as well as to<br />

itsbed and subsoil.<br />

Dalam Pasal 2 tentang Status hukum laut teritorial, ruang udara di atas laut<br />

teritorial dan dasar laut serta tanah di bawahnya.<br />

1. Kedaulatan suatu Negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan<br />

pedalamannya dan, dalam hal suatu Negara Kepulauan, perairan<br />

kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya<br />

dinamakan laut territorial.<br />

2. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut territorial serta dasar laut dan<br />

tanah di bawahnya.<br />

Dalam Pasal 49, dijelaskan lingkup kedaulatan suatu negara sebagai<br />

berikut :<br />

1. Kedaulatan suatu Negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis<br />

pangkal kepulauan, yang ditarik sesuai dengan ketentuan Pasal 47, disebut<br />

sebagai perairan kepulauan, tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya<br />

dari pantai.<br />

2. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas perairan kepulauan, juga dasar laut<br />

dan tanah di bawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.<br />

Namun di dalam negara yang berdaulat tersebut harus diberikan hak lintas<br />

alur laut bagi kapal maupun rute penerbangan bagi pesawat udara negara lain. Hal<br />

ini dinyatakan dalam Pasal 53 sebagai berikut : Hak Lintas alur laut kepulauan<br />

(innocent Passage)<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


1. Suatu Negara kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan di<br />

atasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat udara yang<br />

terus menerus dan langsung serta secepat mungkin melalui atau di atas<br />

perairan kepulauannya dan laut teritorial yang berdampingan dengannya.<br />

2. Semua kapal dan pesawat udara menikmati hak lintas alur laut kepulauan<br />

dalam alur laut dan rute penerbangan demikian.<br />

F. Metode Penelitian<br />

1. Jenis Penelitian<br />

Eksistensi rangkaian suatu metode penelitian dapat diawali dari penentuan<br />

jenis penelitiannya, dimana jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan<br />

hukum ini adalah Penelitian Normatif atau disebut juga sebagai penelitian<br />

doktrinal. Penelitian normatif, adalah merupakan penelitian pustaka, sehingga<br />

dalam pengumpulan data-data penulis tidak perlu mencari langsung ke lapangan<br />

akan tetapi cukup dengan pengumpulan data sekunder yang kemudian<br />

dikonstruksikan dalam satu rangkaian hasil penelitian.<br />

Penelitian normatif sebagai studi pustaka, pada dasarnya adalah berfungsi<br />

untuk menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. 8 Dalam penulisan<br />

hukum ini menggunakan penelitian hukum normatif (doktrin) yang bersifat<br />

deskriptif, yaitu penelitian normatif yang dapat diartikan sebagai suatu prosedur<br />

pemecahan masalah yang diteliti dengan mengambarkan atau melukiskan keadaan<br />

hal 112<br />

8 Bambang Sunggono.Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada.1996.<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


objek atau subjek yang diteliti pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak<br />

atau sebagaimana adanya. 9<br />

2. Jenis Data<br />

Dalam penelitian hukum normatif ini jenis data digunakan adalah data<br />

sekunder yaitu, data yang dikumpulkan oleh orang lain. Pada waktu penelitian<br />

dimulai data telah tersedia, atau dapat disebut sebagai data given begitu adanya<br />

karena tidak diketahui metode pengambilannya dan validitasnya. 10<br />

Dimana data sekunder yang dimaksud adalah data yang memberikan<br />

informasi terkait mengenai yuridiksi wilayah udara suatu negara. Dalam<br />

penelitian ini penulis memperoleh data dari studi kepustakaan, berupa literature,<br />

majalah, koran, makalah, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen<br />

resmi, korespondensi, dan semua bahan sekunder lainnya yang terkait dengan<br />

penelitian ini.<br />

3. Sumber Data<br />

Penelitian hukum normatif berdasarkan ketentuan jenis data yang<br />

digunakan adalah data sekunder meliputi 3 (tiga) sumber bahan hukum yaitu<br />

sebagai berikut:<br />

1). Bahan Hukum Primer,<br />

Berupa bahan hukum yang bersifat mengikat karena dikeluarkan oleh<br />

pemerintah yang dapat berupa, norma dasar atau kaidah dasar, peraturan dasar,<br />

peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi,<br />

9 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. 1984. hal 43<br />

10 Bambang Sunggono, Op.Cit, hal 37<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


yurisprudensi, traktat, bahan hukum dari zaman kolonial belanda yang masih<br />

berlaku. 11<br />

2). Bahan Hukum Sekunder,<br />

Bahan yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, dimana<br />

dalam penelitian ini sumber bahan sekunder berasal dari buku-buku ilmiah, hasil<br />

penelitian terdahulu, makalah-makalah ilmiah, korespondensi, dan dokumendokumen<br />

yang terkait dengan penelitian ini.<br />

Dalam penelitian ini dokumen-dokumen, makalah, atau karya tulis<br />

daripenulis terdahulu, adalah berasal dari arsip yang dimiliki oleh Departemen<br />

Luar Negeri RI, dan Departemen Dalam Negeri RI, yang memberikan informasi<br />

mengenai yuridiksi wilayah udara suatu negara<br />

3). Bahan Hukum Tersier,<br />

Bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan mengenai bahan<br />

Hukum Primer dan Sekunder yang berupa Ensiklopedia, Kamus Bahasa Inggris,<br />

Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, dan Bibliografi.<br />

4. Pengumpulan Data<br />

Pengumpulan data dalam suatu penelitian ada banyak macamnya<br />

tergantung pada masalah yang dipilih serta metode penelitian yang digunakan. 12<br />

Sesuai dengan yang telah ditegaskan sebelumnya bahwa jenis penelitian ini adalah<br />

penelitian hukum Normatif, sehingga data-data yang digunakan adalah data<br />

sekunder diperoleh dari membaca, mengkaji, dan menelaah data yang berasal dari<br />

buku-buku, literature, makalah, dokumen-dokumen, Koran, majalah, karya tulis<br />

11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan<br />

Singkat. Jakarta: Rajawali.1985. hal 14-15<br />

12 Bambang Sunggono, Op.Cit., hal 53<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


ilmiah, serta berbagai sumber kajian yang mengulas mengenai penentuan dan<br />

penetapan garis batas landas kontinen oleh penulis dikaitkan dengan ketentuan<br />

yang diaplikasikan pada yuridiksi wilayah udara suatu negara dalam perspektif<br />

hukum internasional<br />

5. Analisis Data<br />

Pada penelitian Hukum Normatif yang menelaah data sekunder, penulis<br />

disini menggunakan teknik analisis logis, sistematis, dan yuridis, untuk mengolah<br />

data-data yang telah dikumpulkan, dianalisis, dan disimpulkan, guna mencapai<br />

tujuan dari penelitian yaitu untuk mencari jawaban dari rumusan masalah yang<br />

diteliti, agar hasil dari penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.<br />

G. Sistematika Penulisan<br />

BAB I<br />

PENDAHULUAN<br />

Pada bab ini membahas tentang Latar Belakang, Perumusan<br />

Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian<br />

Penulisan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan<br />

BAB II<br />

YURIDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA<br />

Pada bab ini akan membahas tentang Pengertian Kedaulatan<br />

Negara, Pengertian Yurisdiksi, Yurisdiksi Negara dalam Hukum<br />

Internasional, Macam-Macam Yurisdiksi Negara dan Kedaulatan<br />

dan Yurisdiksi di Wilayah Perairan dan Udara<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


BAB III<br />

PRINSIP HUKUM UDARA YANG DIANUT BANGSA-<br />

BANGSA DI DUNIA (INTERNASIONAL).<br />

Pada bab ini akan membahas tentang Sejarah Munculnya Hukum<br />

Udara Internasional, Prinsip-prinsip Hukum Udara Internasional,<br />

Pembatasan Yurisdiksi Negara berdasarkan Piagam Organisasi<br />

Internasional dan Sukhoi TNI-AU Cegat Cessna Milik Amerika<br />

BAB IV<br />

YURIDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA DALAM<br />

PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL<br />

Pada bab ini akan membahas Pengertian Perbatasan Negara,<br />

Klasifikasi Perbatasan Negara Penetapan Perbatasan Negara dan<br />

Prinsip dan Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan<br />

Perbatasan Negara<br />

BAB V<br />

KESIMPULAN DAN SARAN<br />

Pada bab ini akan membahas kesimpulan merupakan intisari dari<br />

pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dalam skripsi<br />

ini, sedangkan saran yang ada diharapkan dapat menambah<br />

pengetahuan bagi para pembacanya dan dapat berguna bagi pihakpihak<br />

yang terlibat dalam yuridiksi wilayah udara suatu negara<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!