14.09.2015 Views

RITUAL RUWATAN

RITUAL RUWATAN - 1 - WordPress.com

RITUAL RUWATAN - 1 - WordPress.com

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

<strong>RITUAL</strong> <strong>RUWATAN</strong><br />

Dalam masyarakat Jawa, ritual ruwat dibedakan dalam tiga golongan besar<br />

yaitu :<br />

1. Ritual ruwat untuk diri sendiri.<br />

2. Ritual ruwat untuk lingkungan.<br />

2. Ritual ruwat untuk wilayah.<br />

Dalam masyarakat Jawa, ruwatan memiliki ketergantungan pada siapa yang<br />

akan melaksanakan. Jika ruwatan dilakukan oleh orang yang memang<br />

memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, maka biasanya dilakukan<br />

secara besar-besaran yaitu dengan mengadakan pagelaran pewayangan.<br />

Pagelaran pewayangan ini berbeda dengan pagelaran yang pada umumnya<br />

dilakukan. Pagelaran pewayangan dilakukan pada siang hari dan khusus<br />

dilakukan oleh dalang ruwat.<br />

1. Ruwatan Diri Sendiri<br />

ruwatan diri sendiri dilakukan dengan cara-cara tertentu seperti melakukan<br />

puasa (ajaran sinkretisme), melakukan selamatan, melakukan tapa brata.<br />

Dalam masyarakat Jawa, bertapa merupakan bentuk laku atau sering<br />

disebut lelaku. Lelaku sebagai wujud untuk membersihkan diri dari hal-hal<br />

yang bersifat gaib negatif (buruk) juga termasuk dalam ruwatan. Dengan<br />

memasukan kekuatan gaib dalam diri yang bersifat positif (baik), akan<br />

memberikan keseimbangan energi dalam tubuh. Hal ini sering dikemukakan<br />

oleh para spiritualis Jawa sebagai bentuk nasehat untuk mempelajari hal-hal<br />

yang bersifat baik.<br />

Pada saat ini, ruwatan yang dilakukan oleh sebagaian masyarakat Jawa<br />

jauh berbeda dengan kebudayaan peninggalan pada zaman Hindu-Budha.<br />

Ruwatan lebih cenderung dilakukan dengan tidak mengatasnamakan<br />

ruwatan, tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama. Lelaku sebagai<br />

wujud atau bentuk dari ruwatan bagi diri sendiri ini juga sering dilakukan<br />

oleh sebagian mansyarakat Jawa agar mendapatkan kebersihan jiwa.<br />

Rituan Ruwatan Diri Sendiri Menurut Kitab Primbon Mantrawara III,<br />

Mantra Yuda<br />

Jika orang yang merasa selalu sial, dalam kepercayaan Jawa harus<br />

melakukan upacara ruwatan terhadap diri sendiri. Ritual ruwatan ini memiliki<br />

www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

1


www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

banyak sebutan, antara lain adalah Ruwatan Anggara Kencana. Kesialan<br />

yang ada dalam diri manusia dipercaya timbul dari sedulur papat limo<br />

pancer atau sebagai pemicunya berasal dari kekuatan lain (makhluk halus).<br />

Btempat keberadaan sedulur papat ini dapat dilakukan pendeteksian.<br />

Pendeteksian yang dilakukan adalah melalui perhitungan (petungan) Jawa<br />

yaitu : Ha: 1, Na: 2, Ca: 3, Ra: 4 dan seterusnya. Pendeteksian dilakukan<br />

dengan menjumlah neptu orang tuanya dengan orang yang akan melakukan<br />

ritual ini. Jumlah keduanya kemudian dibagi 9 dan diambil sisanya. Jika sisa:<br />

1. Bersemayam di sebelah kiri-kanan mata kanan,<br />

2. Bersemayam di sebelah kiri-kana mata kiri,<br />

3. Bersemayam di telinga kanan,<br />

4. Bersemayam di telinga kiri,<br />

5. Bersemayam di sebelah hidung kanan,<br />

6. Bersemayam di sebelah hidung kiri,<br />

7. Bersemayam di mulut,<br />

8. Bersemayam di sekeliling pusar,<br />

9. Bersemayam di kemaluan,<br />

sebagai syarat dari ritual ini adalah mengambil sedikit darah di sekitar<br />

tempat keberadaan bersemayamnya. Darah ini akan dilabuh (dilarung).<br />

Cara mengambil darah ini adalah dengan mengunakan duri yang kemudian<br />

dioleskan pada kapas puti. Duri dan kapas nantinya akan dilabuh bersamasama<br />

dengan syarat yang lain, berupa :<br />

1. Beras 4 kg,<br />

2. Slawat 1 Dirham (uang senilai emas 1 gram),<br />

3. Ayam,<br />

4. Teklek (sandal dari kayu, atau bisa digantikan sandal biasa),<br />

5. Benang Lawe satu gulung,<br />

6. Telur ayam yang baru saja keluar (belum ada sehari),<br />

7. Gula setangkep (gula Jawa satu pasang), gula pasir 1 kg,<br />

8. Kelapa 1 buah.<br />

Kelapa, benang lawe, telur ayam, beserta kapas dan duri dilabuh sambil<br />

membaca mantera: “Ingsung ora mbuwang klapa lan isine, ananging<br />

mbuwang apa kang ndadekake apesing awakku”. (Aku tidak membuang<br />

kelapa beserta isinya, tetapi aku membuang apa yang menjadikan kesialan<br />

bagiku).<br />

Selain beberapa benda yang dilarung atau dilabuh tersebut, dikrarkan untuk<br />

disedekahkan kepada siap yang dikehendakinya, sebaiknya sodaqoh<br />

kepada orang yang membutuhkan.<br />

www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

2


www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

2. Ruwatan Untuk Lingkungan<br />

Ruwatan yang dilakukan untuk lingkup lingkungan biasanya dilakukan<br />

dengan sebutan mageri atau memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi.<br />

Sebagai contoh yang sering kita temui dalam masyarakat sekitar kita adalah<br />

memberikan pagar gaib. Hal semacam memberikan pagar gaib pada<br />

sebuah lokasi (anggap saja rumah) ditujukan untuk beberapa hal, antara lain<br />

:<br />

a. Memberikan daya magis yang bersifat menahan, menolak, atau<br />

memindahkan daya (energi) negatif yang berada dalam rumah atau hendak<br />

masuk kedalam rumah. Metode semacam ini biasanya dilakukan dengan<br />

menanam tumbal yang diperlukan, misalnya kepala kerbau atau kepala<br />

kambing.<br />

b. Memberikan pagar agar tidak dimasuki oleh orang yang hendak berniat<br />

jahat.<br />

c. Memberikan kekuatan gaib yang bersifat mengusir atau mengurung<br />

makhluk halus yang berbeda dalam lingkup pagar gaib.<br />

Berbagai cara memberikan pagar gaib ini dapat dilihat pada buku-buku kuno<br />

yang menceritakan pemagaran diri manusia, lingkungan dan wilayah yang<br />

cukup luas dengan kepercayaan masyarakat Jawa. Tujuan utama<br />

dilakukannya pemagaran gaib pada manusia dan pada lingkungannya ini<br />

apabila tercapai, menurut kepercayaan Jawa akan menjadikan lingkungan<br />

yang aman, sejahtera, jauh dari gangguan makhluk halus.<br />

Pada saat ini, bentuk pemagaran gaib yang sering ditemui dalam<br />

masyarakat Jawa sekitar kita berbentuk menanam rajah, menanam tumbal,<br />

membaca doa untuk membuat pagar dan masih banyak metede lainnya.<br />

Acara atau ritual ruwatan yang ditujukan untuk memagari sebuah lokasi ini<br />

kemudian berubah dalam pelaksanaannya karena sebagian masyarakat<br />

Jawa sekarang sudah cenderung mempercayai hal-hal yang bersifat ilmiah.<br />

Ritual ruwatan dalam masyarakat Jawa yang masih berlaku biasanya<br />

adalah pemagaran gaib yang dilakukan dengan menyediakan berbagai jenis<br />

sesaji dan melakukan ritual sendiri. Penerapan ritual ruwatan tidak jauh<br />

berbeda antara satu tujuan dengan tujuan yang lain. Pelaksanaan yang<br />

umum dilakukan dalam masyarakat Jawa adalah dengan menggelar lakon<br />

pewayangan yang berisi tentang ruwatan itu sendiri. Dalang dalam<br />

menampilkan pagelarannya menyajikan salah satu dari beberapa jenis<br />

lakon.<br />

www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

3


www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

3. Ruwatan Untuk Desa atau Wilayah Yang Luas<br />

Disini akan dijelaskan contoh ruwatan di Kepatihan Danurejan, dari Babon<br />

Primbon Kagungan Dalem KPH Tjakraningrat (Kanjeng Raden hadipati<br />

Danureja IV).<br />

Pada umumnya, pangruwatan Murwa Kala dilakukan dengan pagelaran<br />

pewayangan yang membawa cerita Murwa Kala dan dilakukan oleh dalang<br />

khusus memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan. Pada ritual<br />

pangruwatan, bocah sukerta dipotong rambutnya dan menurut kepercayaan<br />

masyarakat Jawa, kesialan dan kemalangan sudah menjadi tanggungan dari<br />

dalang karena anak sukerta sudah menjadi anak dalang. Karena pagelaran<br />

wayang merupakan acara yang dianggap sakral dan memerlukan biaya<br />

yang cukup banyak, maka pelaksanaan ruwatan pada zaman sekarang ini<br />

dengan pagelaran wayang dilakukan dalam lingkup pedesaan atau<br />

pedusunan.<br />

Proses ruwatan seperti yang diterangkan ini bisa ditujukan untuk seseorang<br />

yang akan diruwat, namun pelaksanaannya pada siang hari. Sedangkang<br />

untuk meruwat lingkup lingkungan, biasanya dilakukan pada malam hari.<br />

Perbedaan pemilihan waktu pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui<br />

perhitungan hari dan pasaran.<br />

Urut-urutan ruwatan sebagai berikut :<br />

a. Dimulai dengan doa pembuka :<br />

“Hong ilaheng, tata winanci awignam mastu samas sidhdhem”<br />

b. Diteruskan dengan pembacaan cerita riwayat Sang Hyang Kala, yang<br />

disampaikan dalam bahasa Jawa dan sisampaikan mirip seperti nyanyian,<br />

tetapi juga bisa berbentuk seperti kalimat pembukaan sang dalang dalam<br />

membuka pagelaran wayang :<br />

“Sinigeg sakathahing para jawata watak nawa sanga, pada retane Sang<br />

Hyang Pramesthi Guru kang tiba ing sela sana sewu, bentar kepara<br />

sewu, mila dalah samangka watu, dadi sajagad.<br />

Ana sawijine yogane Sang Hyang Pramesthi Guru kang tiba telenging<br />

samodra, medal akimplik-kimplik, ing aran Sang Hyang Kamasalah,<br />

bisa ngadeg ing aranan Sang Hyang Candhusekti.<br />

Ing kana kaidenan dening Sang Hyang Pramesthi Guru, sakathahe<br />

jawata watak nawasanga, kinen nggunturana marang Kamasalah,<br />

sakathahe guntur wedang, guntur watu, apa dene guntur geni, pada<br />

www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

4


www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

nurunake, guntur tanana, kang tumama, nora sangsaya suda, malah<br />

sangsaya gedhe kalawun-lawun. Ing kana kocap bebandhem, malar<br />

dadi pepak dandananing sarira, nulya minggah marang gagana arsa<br />

panggih lawan wong tuwanira, iya Sang Hyang Pramesthi Guru”.<br />

c. Diteruskan dengan membaca Pakem Sontheng. Pakem ini dimulai<br />

dilagukan :<br />

“Hong ilaheng pra yoganira Sang Hyang Kamasalah tengerannya, kang<br />

daging Sang Kemala, kadi gerah suwarane, abra lir mustika murub,<br />

amarab”.<br />

d. Setelah Pakem Sontheng selesai, dibacakan :<br />

“Anekak aken prabawa, ketug lindhu lan prahara, geter patertan<br />

pantara, alimaku tanpa suku, alembehan tanpa tangan, aningali tanpa<br />

netra, amyarsa tanpa karna, ambegan tanpa grana, acelathu tanpa<br />

lidah, angan-angan tanpa driya”.<br />

e. Diteruskan dengan pasang tabeik dan membaca Kidung Sastra<br />

Pinandhati :<br />

“Hong Ilaheng Tata winanci awighnam astu nammas siddam. Hong<br />

Ilaheng pra yoganira, sang bawana sariraku, randhu kepuh<br />

pangadhegku, kidang kancil kor tumaku, raiku lemah paesan, mataku<br />

socaning manuk, kupingku sang plempengan, cangkemku<br />

sangagunging wong, lambeku sang sarapati, utegku sang watu rejeng,<br />

ilatku sang lemah polah, janggutku sang watu sumong, guluku sang<br />

lemah dedet, selangku sang darmaraja, bauku sang lemah mraju, geger<br />

lemah gigir sapi, cangklekan lemah lempit-lempitan, dadaku sang<br />

lungka-lungka, wetengku sang lemah mendhak, susuku sang gunung<br />

kembar, penthilku sang asri kembar, wangkungku sang pacul tugel,<br />

silitku elenging landhak, kempungku tlaga mambeng, plananganku<br />

waja glijenm planangan waja binandung, pringsilan waja malela,<br />

uyuhku banyu pancuran, sukerke padhas cecuri, entutku mercu dadari,<br />

iduku parang teritis, riyakky pulut bendala, wentisku lemah bajangan,<br />

delamakanku lemah seta, paturonku lemah bleberan, tindhakku lindhu<br />

prahara, geter pater panebaku, awedi kang buta kabeh, sawedana<br />

Durga Kala, sawedana kertidara, tumurun ingsung madya, wowor ing<br />

dewata muja, ajiku sang ata ati, amaraja nata wuwusku, amahraja ta<br />

ajiku, Ya Yamaraja, Ya Jaramaya, Ya Yamarani, Ya Niramaya, Ya<br />

Yasilapa, Ya Palasiya, Ya Yamidora, Ya Rodomiya, Ya Yamidosa, Ya<br />

Sadomiya, Ya Yadayuda, Ya Dayudaya, Ya Yasiyaca, Ya Cayasiya, Ya<br />

Yasihama, Ya Mahasiya.<br />

www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

5


www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

Yanyangsiyu yusinyangya, yanyangasiyu yusinyangya, yajasiyu<br />

yusijaya, yadangsiyu yusidangya, yawangsiyu yusiwangya, yasangsiyu<br />

yusisangya, yatangisiyu yusitangya, yadangsiyu yusidangya,<br />

yakangsiyu yusikangya, arangsiyu yusirangya, yacangsiyu<br />

yusicangya, yanangsiyu yusirangya, yacangsiyu yusicangya,<br />

yanangsiyu yusinangya, yahangsiyu yusihangya, yahangsiyu<br />

yusihangya”.<br />

Diteruskan dengan membaca atau amateg sastra yang ada di langit-langit<br />

mulut (telak) Bethara Kala. Sastra ini menjadi pepingitan (peringatan) di<br />

jawata (menjadi hal yang dirahasiakan) tidak boleh dibacakan keras-keras<br />

uleh sang dalang. Hal ini dilakukan sambil menundukkan kepala dan tampak<br />

seperti mengheningkan cipta dengan menyanyikan lagi dandhanggula.<br />

“Jatiswara, swaraning pamisik, lamun sira miwiti amaca, kawruhana<br />

kamulane, kembang cempaka kudhup, sari mulya kang bayu manjing,<br />

manjing sang bayu mulya, purnama kang bayu, abali sang bayu mulya,<br />

sabda idep-idepa marang kang yogi, ketawang kapigesang”.<br />

f. Diteruskan dengan membaca “Sastra Banyak Dalang” lagu kentrung :<br />

“Sang raja kumitir-kitir, ing ngendi anggonira linggih, den barung lan<br />

keli, mangore lunga ngidul, anelasar sruwa sepi, sumun dukuh ulung<br />

kembang, bale anyar ginelaran isi kang sumur bandung, toyane ludira<br />

muncar, timbane kepala tugel, taline ususe maling, winarna winantu aji,<br />

asri dinulu tingkahe kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara<br />

wigena, sampurnaning banyak Dalang”.<br />

“Hong Ilaheng pra yoganira.<br />

Sang raja kumitir-kitir anakku si banyak dalang, peksa arep<br />

memantuwa kudu bisa angaji, dukuhe ki ulung kembang bale anyar<br />

tanpa galar, isi ingkang sumur bandung, toyane ludira muncar,<br />

timbane kepala tugel, taline ususe maling, winarna winatu aji, asri<br />

dinulu tingkahe, tingkahe kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara<br />

wigena, saliring mala trimala, sakehing dendha upata, supatane wong<br />

atuwa, ana jaka meneng kembang, denya menek angutapel, wus kebek<br />

jejomprangira, dene sekar anelahi, ana ta prawan liwat, dinulu rupane<br />

ayu, prawan angaku rara, ya ni mara nini mara, anontana kintel muni,<br />

ting caremplung, anggero kang kodok ijo, solahe krangkang rangkang,<br />

sedayane kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigegna, slirane<br />

lara trimala, sakehing dendha upata, supatane wong atuwa, tetangga<br />

yen angrung guwa, kidungku si banyak dalang, saben dina pari dadar,<br />

sedina yen ana angring yen garing keaadak, ngelu puyeng pilek watuk,<br />

kena wisa wutah-wutah, miring murub benceretan, yen angrungu<br />

kidung iki, wong asomah padha banyak dalang, miwah yen prawan<br />

www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

6


www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

tuwa, miwah yen jejaka tuwa, dumadakan gelis krama, kang angidung<br />

maringa begawan, anonton larung keli, pepitu paring kadulu larunge ki<br />

banyak dalang, ajejuluk ki jelarung, garudha cucuke wesi, ora anucuka<br />

lara raga, lara geng wigena, salire mala trimala, sakehing dendha<br />

upata, supatane wong atuwa, sampurnaning banyak dalang”.<br />

g. Diteruskan dengan membaca Sastra Gumbalageni, Geni, atau api yang<br />

datang dari berbagai penjuru angin, yaitu timur, selatan, barat dan utara,<br />

disatukan dan ditolak kekuatan negatifnya dan diubah menjadi sesuatu yang<br />

bermanfaat dengan melakukan pembacaan mantera :<br />

“Hong ilaheng pra yoganira.<br />

Ana geni tekane saka wetan, putih rupane geni, apa pakaryaning geni,<br />

angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh<br />

taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni<br />

teka aneng wetan.<br />

Hong ilaheng pra yoganira.<br />

Ana geni teka saka kidul, abang rupane geni, apa pakaryaning geni,<br />

angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh<br />

taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni<br />

teka ana kidul.<br />

Hong ilaheng pra yoganira.<br />

Ana geni teka saka kulon, kuning rupane geni, apa pakaryaning geni,<br />

angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh<br />

taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni<br />

teka ana kulon.<br />

Hong ilaheng pra yoganira.<br />

Ana geni teka saka elor, ireng rupane geni, apa pakaryaning geni,<br />

angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh<br />

taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni<br />

teka ana elor.<br />

Hong ilaheng pra yoganira.<br />

Ana geni teka saka tengah, lelima rupane geni, apa pakaryaning geni,<br />

angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh<br />

taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni<br />

teka ana tengah”.<br />

www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

7


www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

h. Diteruskan dengan Kidung Sastra Puji Bayu :<br />

“Sang Hyang sekti naga nila warna, dadaku sang naga peksa telaleku<br />

pembebet jagad, asabung kulinting liman, abebed kuliting singa,<br />

acawet angga genitri, liyanan catur wisa, rinejegan rejeg wesi,<br />

pinayungan kala akra, kinemiting panca resi, sinongsongan asih-asih,<br />

premanaku ing sulasih”.<br />

i. Diteruskan dengan Kidung Sastra Mandalagiri :<br />

“Hong ilaheng pra yoganira.<br />

Sang Hyang Tangkep Bapa kasa, kaliyan ibu pertiwi, mijil yogyanira<br />

Sang Hyang Kamasalah, tengerannya kadi daging, swarane kadi gerah,<br />

abra lir mustikamurub, urube amarab arab, anekakaken prabawa, ketuk<br />

lindhu lan prahara, geter pater tan pantara, kagyat Sang Hyang Amarta<br />

arannya, wus ruwat pedhasamengko, yen ana gering kedadak, ngelu<br />

puyeng watuk, kena wisa wutah-wutah, miring murup benceretan, kudu<br />

lumaku rinuwat iki, anata senajata singwang, aranemandalagiri, Sang<br />

Hyang Amarta arannya, wus ruwat padha samengko”.<br />

“Ruwatan dadi pagagan, bale mas sakane dhomas, pinucukan manik<br />

putih, rinawe-rawe kumala marbuk miging gandanira cendhana kara,<br />

gandhane jebat kasturi, kuning sira kocapa Bethara, ijil Bathara kusika,<br />

sang gagra mesi kurusa, umijil Sang Hyang Kuwera, ana sira rupa<br />

buta, ana sira rupa ula, kudu lumaku rinuwat anata sanjata ngngwang<br />

arane panji kumala, pinaputrakaken gunung, arane mandalagiri, Sang<br />

Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko”.<br />

j. Diteruskan dengan Sastra Kakancingan :<br />

“Kunci nira kunci putih, angruwata metuwa sang, mentu sampir lare<br />

kresna, kakrasa kama dindi, langkir tambir pakoninjog, untuinguntuing<br />

matu tingting, tunggaking kayu aren, miwah temu pamipisan,<br />

tumunem pega pagase, miwah kerubuhan lumbung dandang tanen,<br />

kudu lumaku rinuwat, anata sanjataning wang, arane panji kumala,<br />

pinaputrak-akengunung arane, Mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta<br />

arannya, wus ruwat padha samengko”.<br />

Pada proses ini merupakan penguncian kekuatan gaib yang ditimbulkan<br />

dengan cara atau ritual ruwat.<br />

k. Diteruskan dengan Sastra Panulak, pada proses ini, kekuatan gaib dari<br />

Bethara Kala dibacakan mantera sehingga menurut kepercayaan<br />

masyarakat Jawa, kekuatan gaib tersebut akan musnah :<br />

“Tolak tunggul ing dhadhaku, macam putih ing raiku, singa barong ing<br />

gigirku, baya nyasar ing cangkemku, sarpa naga ing tanganku, raja<br />

www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

8


www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

tuwa ing sikilku, surya candhra ing paningalku, swaraku lir gelap sewu,<br />

nulak sakabehing bilahi, setan balio padha adoh, wong saleksa padha<br />

lunga, wong sakethi padha mati, rep sirep sajagad kabeh.<br />

Kuneng Bathara kalawan sira Sang Hyang Bethari Durga, kudu lumaku<br />

rinuwat, anata sanjataningwang, arane panji kumala, pinaputrekken<br />

gunung, arane Mandhalagir, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat<br />

padha samangko.<br />

Nora sira rupa kala, nora sira rupa Durga, atemahan Uma-uma, arep<br />

ageweya bala, ana lanang ana wadon, si betapasi betapi, sibrenggala si<br />

brenggali, si rahmaya si rahmayi, si kuntara si kuntari, kudu lumaku<br />

rinuwat, anata senjataning wang arane panji kumala, pina putrakaken<br />

gunung, Mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha<br />

samengko.<br />

Kala atemahan Guru, Durga atemahan Uma, Umayana umayini,<br />

widadara widadari, arep mantuk mring khayangan, Hyang Kala Bethara<br />

reswara, amediya swara wija, aweha urip sarasa”.<br />

l. Diteruskan dengan Sastra Ruwat Panggung, dengan dinyanyikan lagu<br />

dandhanggula :<br />

“Hong ilaheng prayogganatara.<br />

Sang Hyang Galinggang kalawan sira Sang Hyang Damarjati, kelire<br />

Hyang Tinjomaya, Peluntur alimun, kekuping Sang Hyng Kuwera,<br />

peracik Sang Retna Adi, deboge Sang Hyang Gebohan, Cangkoke<br />

Bethara Gana, alinggih pang kayu Tera Sumbu, awune Bethara Brama,<br />

arenge Bethara Wisnu, kewala anonton wayang, Sang Hyang Eyang<br />

Guru kang amayang, widadari kang nggameli, anyangang iyang ayine,<br />

suu tegang ora wangewang, sehamana maya, katon kang anonton nora<br />

katon, kabruk-kabruk katung, pralambe yang ana maya katon, kang<br />

tinonton nora katon, kang anonton nora katon”.<br />

m. Diteruskan dengan Sastra Panengeran, dengani dinyanyikan lagu<br />

Dandhanggula :<br />

“Hong ilaheng prayogganatara.<br />

Kang minangka tangeranku, sakti guna nila warna, turuku lindur<br />

buwana, salonjorku lungguh wesi, amunjung kayu perbatang,<br />

sedhakepku oyod nimang, candi sewu ing dhadhaku, adegku katu<br />

kastuba, randhu kepuh ing jengkengku, naga mulat ing guluku, naga<br />

peksa tulaleku, gadhingku warna curiga, cangkemku mas untu manik,<br />

siyungku Hyang pancanaka, lidahku sang sara sekti, brajapati ning<br />

wuwusku, arupa wil panca warna, Sang Hyang Siwah ginugonku, ula<br />

minangka alisku, Durga Durgi ngiringaku, netraku Sang Hyang Surya<br />

www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

9


www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

Candhra,sumuluh ing rat bawana, awedi kang buta dengen, awedi kang<br />

manungsa kabeh, awedi raksasa kabeh, undun ngudu aliweran, lemah<br />

paran lungka-lungka, liman watu rejeng, alas agung anderkara, tetegale<br />

angyangan, songing landhak garung-gungan, ajarat lemah tendhesan,<br />

slirane kang lemah aeng, paomahane durga yekti, lemah wates<br />

jejebangan, lemah setra akil ing wang, kang katungkul manut ingwang,<br />

dandang bango salirane, anauta lara raga, lara geng wigena, salire<br />

mala trimala, tuju teluh teregnyana, budug edan ayan buyan, tuju teluh<br />

tarangyana, supata lawan sengsara, supatane wong atuwa, supatane<br />

adi guru, yoga ruwat dening aku, budug ayan buyan, lumpuh wuta tuli<br />

bisu, tak usapi tangan kiwa, pan aku pangruwat mala, geter pater<br />

pangucapku, ketuk lindhu prabawaku, kilat cleret ing kendhepku,<br />

lebda wara mandi sebda, japa mantra kasektenku, kurdaku galudhug<br />

gelap, aku kang Hyang Candra sekti, aku Sang Hyang Raja Polah, aku<br />

Sang Hyang Nawa Krendha, aku Sang Hyang Sikara Jala, aku Sang<br />

Sikara basu, aku Sang Hyang dhundhung mungsuh, aku Sang Hyang<br />

ila-ila, aku Sang Hyang Tunjung putih, aku surak tanpa mungsuh, aku<br />

tengeraning angin, lesus agung aliweran, prahara kalawan tambur,<br />

pangleburan rajamala, ila-ila upadarwa, supata lawan sengsara,<br />

supatane wong atuwa, tan tumama saliraku, tuju teluh taragnyana,<br />

budhug edan ayan buyan, lebur kabeh musna ilang, aku Sang Hyang<br />

Candhusekti, turun sira sakareng, rijajegan rejeg wesi pinayungan<br />

kalacakra, kinemiting widadara, kinemiting widadari, Resi dewa<br />

sogataku, aku Sang Hyang Jaya pamurus”.<br />

n. Diteruskan dengan Kidung Panengeran lanjutan, dengan dinyanyikan<br />

lagu dandhanggula :<br />

“Hong ilaheng prayogganatara.<br />

Kang minangka tangeranku, Sang Hyang Tiga Pelunguhku, dadaku<br />

Sang Ula Naga, Naga Raja selasangku, Naga Mulet ing guluku, Naga<br />

Pulet tulaleku, gadhing warna curiga, cangkemku mas untu manik,<br />

siyungku mas pancanaka, lidahku sang rasa sekti, brajapatining<br />

wuwusku, arupa wil panca warna, Sang Hyang Siwah ginugonku, ula<br />

minangka alisku, Durga Durgi ngiringaku, netraku Sang Hyang Surya<br />

Candhra, sumuluh ing rat bawono, awedi kang buta dengen, tumingal<br />

ing kasektenku, udung-udung ulur-ulur, pilinglung watu tinumpuk,<br />

paran limang watu rejeng, lungka-lungka watu putih, sirate lemah<br />

tandhesan, agerat kang lemah sangar, alang-alang amelakang, tetegal<br />

kang ameyangan, lemah amunuking lembu, lemah aguluning manuk,<br />

lemah anggiring sapi, lemah anjilinthing kendhil, lemah ambara<br />

bathari, sakehe kang lemah aeng, akehe kang watu aeng, teja-teja ing<br />

www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

10


www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

ulatku, kuwung-kuwung lelathiku, durga galudhug gelap, aku Sang<br />

Hyang Nawa Krendha, aku Sang Sikara Jala, aku Sang Sikara basu, aku<br />

Sang Hyang dhundhung mungsuh, aku Sang Hyang ila-ila, aku Sang<br />

Hyang Tunjung Putih, aku Naganilawarna, aku Sang Hyang Naga<br />

Pamolah, aku tengeraning angin, sindhung lesus leliweran, prahara<br />

kalawan geter, udang braja salah mangsa, angagem dendha trisula,<br />

musala kalawan gadha, senjataku luwih sewu, ngongdokaken<br />

mungsuhku bubar, kabeh dewata tumingal kasektenku, aku sang bala<br />

sewu, aku Sang Hyang Guru Taya, tumurun aku sekareng, angadheg<br />

ing nggonku ring windhu, ajamang akarawistha, asesep angga genitri,<br />

trinaya catur bujangga, rinajegan rejen wesi, pinayungan kalacakra,<br />

kinemiting pancaresi, sang kusika gagra mestri kurasa, sang Pritanjala,<br />

surenggana, surenggini, kinemiting widadara, kinemiting widadari,<br />

kinemiting catur loka, endra baruna kuwera, yama luwan bismawana,<br />

nguniweh butawilaksa, padha ngreksa padha kemit, rumeksaa mring<br />

aku, angastuti maring mami, ya ingsung Sang Hyang Dewa Murti,<br />

papaku jati yuswa, sampurna dak tampa mala, niruga nirupa darwa, ya<br />

minamuna mas wahak”.<br />

o. Diteruskan dengan Kidung Sastra Pangruwatan, dengan dinyanyikan<br />

lagu dandhanggula :<br />

“Hong ilaheng prayogganatara.<br />

Ilanga Sanga Dyrga Durgi, sakehe kang alas seng, randhu kepuh karangan<br />

kroya waringin ageng, lemah seta tangkeling wang, kang katungkul manut<br />

ing wang, dandang bango salirane, anglebura lara raga, lara geng lara<br />

wigegna, slirane lara trimala, supatane wong atuwa, tetangga yen angrung<br />

guwa, supata lawan sengsara, supatane Sang Hyang Dewata, supatane<br />

awak dhewe, nguni wah buta wiyaksa, kalawan buta wiyaksi, ila-ila<br />

upadarwa, budhug edan ayan buyan, budhug edan buyan, mumet mules<br />

bencretan, ngelu puyeng pilek watuk, sarta ingkang kena welak, nguni weh<br />

padha rawe, tak usapi tangan kiwa, cakra lepas ing tanganku, ke ka ruwat<br />

mala, geter pater pangucapku, gerah minangka sabdaku, sabda wara japa<br />

mantra, apan iku kasektenku, Sang Hyang Permana ing senenku, ilanga<br />

rupa Kala, ilanga sang rupa buta, ilanga sang rupa sasap, ilanga sang rupa<br />

jugil, ilanga sang rupa jakat, ilangan sang rupa gendruwa, ilanga sang rupa<br />

dusta, durjana kawisayan ulun, durga uta paripurna, nuraga ni rupa dewa,<br />

ya minamuna maswahak”.<br />

p. Diteruskan dengan Kidung Pangruwat Pamungkas, dengan<br />

dinyanyikan lagu dandhanggula :<br />

“Hong ilaheng prayogganatara.<br />

www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

11


www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

Ruwata Sang Rupa Durga, ruwata sang rupa Buta, ruwata sang rupa<br />

Sasab, ruwata sang rupa Jugil, ruwata sang rupa Jakat, ruwata sang<br />

rupa Mercu, ruwata sang rupa Taya, ruwata sang rupa Dusta, ulun<br />

ingkang angruwata, ulun ingkang angilangna, Durga yuta paripurna,<br />

nuraga nirupa darwa, ya minamuna maswahak”.<br />

Setelah selesai melantunkan Kidung Ruwat Muewakala, rambut anak<br />

sukerta dipotong sebagai syarat yang nantinya akan dilarung. Kemudian<br />

anak Sukerta tersebut dimandikan air bubga setaman oleh yang meruwat.<br />

Setelah itu wong sukerta tadi menjadi anak angkat bagi yang meruwat<br />

(dalang). Segala sesaji, kain putih menjadi milik orang yang meruwat<br />

(dalang ruwat).<br />

Bila orang yang diruwat adalah orang yang mengalami gangguan kejiwaan<br />

(gila), atau sudah lama mengalami kesurupan, maka harus dibacakan<br />

Kidung Rumaya, sekar sinom yang menyebutkan adanya lelembut di<br />

tanah Jawa sebagai berikut :<br />

Tembang Sinom<br />

Apuranen sun angetang, lelembut ing tanah Jawi, kang rumeksa ing nagara,<br />

para ratuning dhedhemit, agung sawahe ugi, yen apal sadayanipun, kena<br />

ginawe tulak, kinarya tunggu wong sakit, kayu aeng lemah sangar dadi<br />

tawa.<br />

Kang rumiyin ing mbang wetan, Durganeluh Maospahit, lawan Raja<br />

Baureksa, iku ratuning dhedhemit, Blambangan winarni, awasta Sang<br />

Balabatu, kang rumeksa Blambangan, Buta Locaya Kediri, Prabu Yeksa<br />

kang rumeksa Giripura.<br />

Sidakare ing Pacitan, Keduwang si Klentingmungil, Hendrjeksa, ing<br />

Magetan, Jenggal si Tunjungpuri, Prangmuka Surabanggi, ing Punggung si<br />

Abur-abur, Sapujagad ing Jipang, Madiyun sang Kalasekti, pan si Koreg<br />

lelembut ing Panaraga.<br />

Singabarong Jagaraga, Majenang Trenggiling wesi, Macan guguh ing<br />

Grobogan, Kaljohar Singasari, Srengat si Barukuping, Balitar si Kalakatung,<br />

Buta Kroda ing Rawa, Kalangbret si Sekargambir, Carub awor kang<br />

rumeksa ing Lamongan.<br />

Gurnita ing Puspalaya, Si Lengkur ing Tilamputih, si Lancuk aneng Balora,<br />

Gambiran sang sang Kaladurgi, Kedunggede Ni Jenggi, ing Batang si Klewr<br />

iku, Nglasem Kalaprahara, Sidayu si Dandangmurti, Widalangkah ing Candi<br />

kayanganira.<br />

www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

12


www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

Semarang baratkatiga, Pekalongan Gunturgeni, Pemalang Ki<br />

Sembungyuda, Suwarda ing Sokawati, ing Tandes Nyai Ragil, Jayalelana<br />

ing Suruh, Buta Tringgiling Tanggal, ing Kendal si Gunting geni, Kaliwungu<br />

Gutuk-api kang rumeksa.<br />

Magelang Ki Samaita, Dadung Awuk Brebes nenggih, ing Pajang Buta<br />

Salewah, Manda-manda ing Matawis, Paleret Rajeg-wesi, Kutagede Nyai<br />

Panggung, Pragota Kartasura, Carebon Setan Kaberi, Jurutaman ingkang<br />

aneng Tegallajang.<br />

Genawati ing Siluman, Kemandang Waringin-putih, si Kareteg Pajajran,<br />

Sapuregol ing Batawi, waru Suli Waringin, ingkang aneng Gunung Agung,<br />

Kalekah Ngawang-awang, Parlapa ardi Merapi, Ni Taluki ingkang aneng ing<br />

Tunjungbang.<br />

Setan Karetek ing Sendang, Pamasuhan Sapu Angin, Kres apada ing<br />

Rangkutan, Wandansari ing Tarisig, kang aneng Wanapeti, Malangkarsa<br />

namanipun, Sawahan Ki Sandungan, Pelabuhan Dudukwarih, Buta Tukang<br />

ingkang aneng Pelajangan.<br />

Rara Amis aneng Tawang, ing Tidar si Kalasekti, Maduretna ing Sundara,<br />

Jelela ing ardi Sumbing, Ngungrungan Sidamurti, Terapa ardi Merbabu,<br />

Lirbangsan ardi Kombang, Prabu Jaka ardi Kelir, Aji Dipa ardi Kendeng kang<br />

den reksa.<br />

Ing pasisir Buta Kala, Telacap Ki Kala Sekti, Kala Nadah ing Tojamas,<br />

Segaluh aran si Rendil, Banjaran Ki Wesasi, si Korok aneng Lowange,<br />

gunung Duk Geniyara, Bok Bereng Parangtaritis, Drembamoa ingkang<br />

aneng Purbalingga.<br />

Si Kreta karangbolongan, Kedung Winong Andongsari, ing Jenu si<br />

Karungkala, ing Pengging Banjaransari, Pagelan kang winarni, aran Kyai<br />

Candralatu, ardi Kendali Sada, Ketek putih kang nenggani, Buta Glemboh<br />

ing Ngayah kajanganira.<br />

Rara Denok aneng Demak, si Batitit aneng Tubin, Juwal-pajal ing Talsinga,<br />

ing Tremas Kuyang nenggani, Trenggalek Ni Daruni, si Kuncung<br />

Cemarasewu, Kala-dadung Bentongan, si Asmara aneng Taji, Bagus-anom<br />

ing Kudus kayanganira.<br />

Magiri si Manglar Munga, ing Gading si Puspakati, Cucuk Dandang ing<br />

Kartika, Kulawarga Tasikwedi, kali Opak winarni, Sangga Buwana ranipun,<br />

Pak Kecek Pejarakan, Cing-cing Goling Kalibening, ing Dahrama<br />

Karawelang kang rumeksa.<br />

Kang aneng Warulandeyan, Ki Daruna Ni Daruni, Bagus Karang aneng<br />

Roban, Pasujayan Udan riris, Widanangga Dalepih, si Gadung Kedung<br />

Garunggung, kang aneng Kabareyan, Citranaya kang neggani, Ganepura<br />

ingkang aneng Majaraga.<br />

www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

13


www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

Logenjang aneng Juwana, ing Rembang si Bajulbali, si Londir ing Wirasaba,<br />

Madura Buta Garigis, kang aneng ing Matesih, Jaranpanolih ranipun, si<br />

Gober Pecangakan, Danapi ing Jatisari, Abar-abir ingkang aneng<br />

Jatimalang.<br />

Arya Tiron ing Lodaya, Sarpabangsa aneng Pening, Parangtandang ing<br />

Kesanga, ing Kuwu si Ondar-andir, Setan Telaga pasir, ingkang aran si<br />

Jalilung, Kala Ngadang ing Tuntang, Bancuri Kala Bancuring, kang angreksa<br />

sukuning ardi Baita.<br />

Rara Dungik Randu Lawang, ing Sendang Retna Pangasih, Buta Kepala<br />

Prambanan, Bok Sampur neng ardi Wilis, Raden Galanggang Jati, aneng<br />

ardi Gajah Mungkur, si Gendruk ing Talpegat, ing Ngembel Rahaden Panji,<br />

Pager Waja Rahaden Kusumayuda.<br />

Si Pentul aneng Kacangan, Pecabakan Dodol Kawit, kalangkung<br />

kasektenira, titihane jaran panolih, kalacakra payung neki, larwaja<br />

kekemulipun, pan samya rinajegan, respati rajege wesi, cametine pat-upate<br />

ula lanang.<br />

Sinabetaken mangetan, ana lara teka bali, tinulak bali mangetan, mangidul<br />

panyabet neki, ana lara teka bali, tinulak bali mangidul, ngulon panyabetira,<br />

ana lara teka bali, pan tinulak bali mangandap kang lara.<br />

mangalor panyabetira, ana lara teka bali, tinulak ngalor parannya,<br />

manginggil panyabet neki, ana lara teka bali, tinulak bali manduwur,<br />

mangisor panyabetnya, ana lara teka bali, pan tinulak bali mangandap kang<br />

lara.<br />

Demit kang aneng Jepara, kalwan kang aneng Pati, kalangkung kasektenira,<br />

keringan samaning demit, ing Ngrema Tambaksuli, Yudapeksa ing<br />

Delanggu, si Kluntung ing Jepara, Gambir Anom aneng Pti, si Kecebung<br />

Kadilangu kang den reksa.<br />

Rara Duleg ing Mancingan, Guwa Langse Raja Putri, kang rumeksa Parang<br />

Wedang, Raden Arya Jayengwesti, kabeh urut pasisir, kula warga Nyai<br />

Kidul, sampun pepak sadaya, para pramukaning demit, nungsa Jawa<br />

paugeran kang rumeksa, Titi Tamat Angidung Rajah Rumaya”.<br />

Ini adalah doa yang dibacakan pada saat melakukan ritual ruwat secara<br />

lengkap dan menurut KPH Tjakraningrat (Kanjeng Raden Hadipati Danureja<br />

IV).<br />

Selesai menyanyikan kidung untuk Ruwat Murwakala, selanjutnya dibuatlah<br />

Rajah Kalacakra yang ditempelkan pada pintu-pintu rumah yang diruwat.<br />

Pembuatan Rajah Kalacakra Balik adalah menulis huruf hanacaraka<br />

www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

14


www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

secara terbalik urur\tannya, dimulai dengan nga ta ba ga ma sampai ka ra<br />

ca na ha dilakukan dengan cara sebagai berikut :<br />

* Ditulis melingkar diatas lempengan emas,<br />

* Sebelumnya melakukan puasa selama 40 hari, hanya berbuka sekali pada<br />

tengah malam saja,<br />

* Pati geni selama sehari semalam penuh,<br />

* Lempengan emas yang sudah menjadi rajah di tanam pada tembok atau<br />

ditanam pada tanah. Penanaman ini dilakukan dengan cara sunduk sate.<br />

* Penulisan huruf dengan aksara Jawa.<br />

Rajah Kalacakra ditulis pada kain atau kertas yang berwarna putih kemudian<br />

ditempel pada tembok atau pintu depan rumah. Penggunaan warna tinta<br />

dengan menggunakan dua warna, misalnya hitam dan merah. Dalam<br />

menulis rajah ini, dengan syarat-syarat sebagai berikut :<br />

* Melakukan puasa selama 21 hari,<br />

* Setiap jam 1 malam harus membakar dupa selama puasa,<br />

Contoh Rajah Kalacakra, seperti dibawah ini.<br />

www.alangalangkumitir.wordpress.com<br />

AAK Culture Library<br />

15

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!