11.01.2016 Views

GRATIS

unplugID-1

unplugID-1

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

INSPIRASI DAN EDUKASI . DIPERSEMBAHKAN OLEH<br />

<strong>GRATIS</strong><br />

1<br />

JAN-FEB 2016<br />

MAJALAH<br />

ALAT MUSIK<br />

DAN MUSISI<br />

TOLERANSI TERHADAP RIDER<br />

KOMUNITAS<br />

Mesin Music Club ITS<br />

STUDIO<br />

Studio Soeara Madjoe<br />

REVIEW<br />

Yamaha THR100H Dual


MENJAGA TATANAN INDUSTRI<br />

DENGAN BUDAYA PARTISIPASI<br />

Selamat datang 2016, selamat datang Masyarakat Ekonomi Asean. Pada tajuk rencana edisi<br />

perdana Unplug ini, pertama-tama saya mewakili segenap tim AVL Times yang tersebar di beberapa negara<br />

Asia dan Eropa mengucapkan terimakasih kepada Anda semua, seluruh insan yang terlibat dalam industri<br />

alat musik Indonesia. Mulai dari studio rehearsal yang menyembul di antara pematang sawah, mobil pickup<br />

yang mengangkut musisi “organ tunggal” dan PA System-nya, festival band 17-an, selebaran bertuliskan<br />

“dicari alat musik” yang menempel di tiap sudut kota, hingga berseliwerannya penunggang sepeda motor<br />

yang menggendong gigbag. Pemandangan inspiratif seperti itulah yang membuat kita merasa berada di<br />

rumah.<br />

Budaya partisipasi adalah tema skripsi saya, yang jika boleh saya kemukakan lagi mengutip<br />

Schaffer dalam Bastard Culture (Amsterdam University Press, 2011), adalah budaya yang lahir akibat<br />

perkembangan media yang semakin interaktif sehingga konsumen dapat berubah menjadi produsen.<br />

Sebuah budaya yang memungkinkan konsumen ikut berpartisipasi dalam proses produksi. Dan budaya<br />

ini dituding sebagai salah satu penyebab media-media yang mengandalkan oplah cetak sebagai ujung<br />

tombaknya mulai gulung tikar.<br />

Agar budaya partisipasi dapat memberi manfaat bagi semua pihak, maka perlu adanya kolaborasi<br />

massa. Budaya ini harus dikelola, bukan dibiarkan mubazir atau malah dihentikan (karena percuma).<br />

Menurut Tapscott dan Williams (Wikinomics: How Mass Collaboration Changes Everything:2006), cara<br />

perusahaan modern untuk sukses adalah dengan berpegang teguh pada empat prinsip : keterbukaan,<br />

kebersamaan, berbagi, bertindak global.<br />

Di majalah Unplug ini, saya mencoba terbuka dan berkolaborasi terhadap konten-konten yang belum<br />

pernah dimuat di media musik (seperti komik), serta melibatkan insan akademis (seperti mahasiswa).<br />

Dengan semangat kebersamaan, Unplug akan melibatkan seluruh insan industri hingga ke end-user dengan<br />

memberdayakan komunitas-komunitas lintas genre dan lintas instrumen. Media online seperti yang<br />

sekarang kita gunakan merubah format majalah cetak menjadi lebih mudah dibagikan dan menciptakan<br />

efisiensi bagi semua kalangan. Dengan harapan, konten-konten pada majalah ini dapat menghancurkan<br />

hambatan geografis dan fisik sehingga menjadi global.<br />

Tidak ada yang meragukan potensi industri alat musik di Indonesia. Melihat contoh Korg Pitchblack<br />

(yang sudah terjual 20 juta unit secara global), membuktikannya dengan penjualan di Indonesia adalah<br />

peringkat 1 dibandingkan negara lain. Sehingga, adalah suatu hal yang mengherankan bahwa media musik<br />

di Indonesia bisa dihitung dengan jari bukan?<br />

Nah, saat melakukan proses brainstorming dengan senior saya di kampus, Erick Erawan yang<br />

menjabat salah satu manager di media lifestyle terkemuka dan pernah menyabet pemain bass terbaik di<br />

kampus, media tentang musik memang sulit karena cakupannya terlalu luas. Padahal, media saat ini harus<br />

berfokus pada niche informasi dengan memiliki keunikan konten. Akhirnya, saya muncul dengan gagasan<br />

media yang khusus mengenai alat musik. Sehingga dengan Unplug, publik lintas genre dapat terakomodasi<br />

dengan berangkat dari satu tema : alat musik.<br />

Berpredikat sebagai satu-satunya media tentang alat musik populer berbahasa Indonesia, saya<br />

rasa inilah momen yang tepat untuk membuktikan pada dunia bahwa industri musik pada umumnya dan<br />

industri alat musik pada khususnya di Indonesia dapat senantiasa memberikan inspirasi bagi seluruh<br />

lapisan masyarakat. Akhir kata, dengan segala kerendahan hati saya selalu terbuka terhadap pertanyaan,<br />

kritik, dan saran. Dan bagi Anda yang juga tertarik dengan dunia Pro Audio, video, dan tata cahaya, silahkan<br />

akses AVL Times Indonesia.<br />

Good luck untuk Joey Alexander. Harapan dan cita-cita Indonesia ada di genggaman tanganmu, nak.<br />

Salam hangat,<br />

Aryo Prionggo S.I. Kom.<br />

Pemimpin Redaksi


DAFTAR ISI<br />

Vol. 1 / Jan-Feb 2016<br />

THE PANEL<br />

klik<br />

Penerbit / CEO<br />

Clarence Anthony<br />

avltimes@gmail.com<br />

klik<br />

klik<br />

This Issue…<br />

Profile<br />

NAIF Toleran Terhadap Rider<br />

Mengupas sepak terjang<br />

KORG di Indonesia<br />

Arif Hidayat dan Geliat Ahay<br />

Drums<br />

Studio<br />

Studio Soeara Madjoe<br />

Komunitas<br />

Mesin Music Club ITS<br />

Teknik<br />

Bagaimana bersuara seperti<br />

Chris Wolstenholme<br />

klik<br />

Event<br />

Berbeda-beda merek, pada<br />

akhirnya satu kiblat sound juga<br />

Line 6 sambangi Bogor<br />

Melodia hadir di Yogyakarta<br />

Mengenal sistem digital wireless<br />

Line 6<br />

Review<br />

Rockwell RMB 32<br />

Yamaha THR 100 H Dual<br />

Unplug Series<br />

Vienetta : Feat The Stupid Aliens<br />

Pemimpin Redaksi<br />

Aryo Prionggo<br />

aryoprionggo@gmail.com<br />

Kontributor<br />

Danu Wisnu Wardhana<br />

Naufal Elroissi<br />

Cover Photo<br />

MP Photography<br />

Iklan dan Promosi:<br />

Indonesia<br />

aryoprionggo@gmail.com<br />

International<br />

avltimes@gmail.com<br />

Account<br />

Bank Danamon: 10738656<br />

Dipersembahkan oleh<br />

Peringatan: Semua isi dilindungi, Tidak ada bagian dari isi majalah yang bisa direproduksi atau digunakan tanpa izin tertulis dari penerbit: C.A. Editorial Consultants (Singapore).<br />

Semua informasi yang terdapat dalam majalah ini hanya sebagai informasi saja. Dan sejauh yang kami ketahui, informasi tersebut benar saat akan dipublikasikan. Ide, komentar,<br />

dan pendapat yang dikemukakan dalam publikasi ini adalah semata-mata dari penulis, narasumber, lembaga pers, serta produsen dan tidak mewakili pandangan editor atau penerbit.<br />

Kami melakukan segala upaya untuk memastikan keakuratan dan kejujuran baik dari sisi editorial maupun konten dari iklan pada saat dipublikasikan. Namun penerbit tidak<br />

bertanggung jawab atas ketidaktepatan atau kerugian yang dapat terjadi. Pembaca disarankan untuk menghubungi produsen dan/atau retailer secara langsung berkaitan dengan<br />

harga produk/jasa sebagaimana dimaksud dalam majalah ini. Jika Anda mengirimkan materi kepada kami, Anda secara otomatis memberikan C.A. Editorial Consultants lisensi<br />

untuk mempublikasikan kiriman Anda secara keseluruhan atau sebagian dalam semua edisi majalah, termasuk edisi berlisensi di seluruh dunia dan dalam format fisik atau digital di<br />

seluruh dunia.<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . event 4<br />

BERBEDA-BEDA MEREK, PADA AKHIRNYA<br />

SATU KIBLAT SOUND JUGA<br />

PARADE PEDAL, INSTRUMEN, DAN AKSI VISUAL DI MUSE NIGHT<br />

ADALAH HAL LUMRAH JIKA SEKELOMPOK PENGGEMAR BAND MENGADAKAN<br />

GATHERING. KITA BISA MELIHAT ADA KOMUNITAS PENGGEMAR YANG SERING<br />

MENGADAKAN KEGIATAN KUMPUL BARENG ATAU MALAM TRIBUTE SEPERTI YANG<br />

DILAKUKAN OLEH PARA PENGGEMAR KOES PLOES, BEATLES, DAN LAIN<br />

SEBAGAINYA. TAPI TANPA MENGECILKAN REPUTASI FANBASE LAINNYA, BISA<br />

DIKATAKAN FANBASE MUSE DI INDONESIA MEMBAWA KONSEP “NGE-FANS”<br />

KE LEVEL YANG LEBIH GILA.<br />

Jika kita beranggapan dedikasi fans<br />

untuk sebuah band adalah dengan dudukduduk<br />

manis mendiskusikan album,<br />

pengaruh kultural, atau kehidupan pribadi<br />

musisi pujaan, maka aksi puluhan anggota<br />

Muse Indonesia Fans Club di event bertajuk<br />

Muse Night 13 Desember lalu seakan<br />

menunjukkan cara menjadi fans dari sebuah<br />

band. Dari sore hingga larut malam, tidak<br />

kurang dari dua belas band membawakan<br />

lagu-lagu Muse dari album awal, Showbiz,<br />

yang terbaru Revolt, dan termasuk lagulagu<br />

dari B-sidenya. Diakui Richy selaku<br />

penggagas event, komunitas dari grup<br />

Facebook yang berjumlah lebih dari 11.000<br />

anggota ini memang kerap membicarakan<br />

sound dari band yang dibentuk sejak 1994<br />

ini. “Terutama lebih sering sound bass-nya<br />

Chris Wolstenholme ya, karena pemain bass<br />

pada umumnya jarang pakai efek aneh-aneh<br />

seperti dia,” jelasnya.<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . event 5<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

Karena kerap berdiskusi tentang<br />

sound, maka tidaklah mengherankan<br />

jika pada hari itu seluruh band selain<br />

menampilkan performa terbaiknya, juga<br />

berlomba-lomba memaksimalkan gear yang<br />

mereka punya. Sangat menarik melihat<br />

mobilitas pergerakan para personil band<br />

yang hilir mudik dengan pedalboard,<br />

instrumen, simbal, dan bahkan amplifiernya<br />

masing-masing. Dan disini terlihat apa<br />

arti dari komunitas. Semua orang, termasuk<br />

Richy yang juga merupakan admin dari grup<br />

tersebut, ikut membantu mulai proses<br />

soundcheck hingga lalu lintas panggung.<br />

Cerminan konsep gotong royong pun<br />

semakin terlihat saat beberapa band saling<br />

meminjamkan personel-nya ke band lain,<br />

sehingga additional player dadakan pun<br />

bermunculan. Tidak hanya itu, bahkan<br />

sebuah pedalboard bass pun ikut dipakai<br />

bergantian oleh beberapa band. “Kota-kota<br />

lain sudah sering mengadakan acara<br />

jamming & gathering seperti ini. Mungkin<br />

saran untuk kota lain agar bisa<br />

mengembangkan dan lebih<br />

menyebarluaskan ke masyarakat,”<br />

ujar Richy.<br />

Cort MBC-1 Jadi Primadona<br />

Salah satu ikon dari Muse tentu saja<br />

adalah Manson yang digunakan Matt<br />

Bellamy. Namun dengan statusnya sebagai<br />

gitar butik buatan Inggris, tentu saja produk<br />

buatan Hugh Manson di Inggris ini tidak bisa<br />

dibandrol dengan harga murah. Untungnya,<br />

sejak tahun lalu Cort bekerja sama dengan<br />

Manson untuk membuat MBC-1 dengan<br />

harga yang jauh lebih terjangkau.<br />

Bak gayung bersambut, Cort<br />

Cort MBC-1 mampu memuaskan penggemar Muse<br />

MBC-1 terbukti laris manis dengan<br />

hampir setengah band yang tampil pada<br />

Muse Night menggunakannya. “Itu Cort<br />

signature-nya Matt Bellamy asli mantab,<br />

clarity jelas dan tebal. Karakternya untuk<br />

bawain lagu-lagu Muse dapat banget. Paling<br />

hanya butuh sedikit setup saja untuk<br />

meningkatkan playability,” ujar Richy<br />

menunjuk produk yang dibuat di Indonesia<br />

itu.<br />

Seperti Muse, gitaris dari band Glorious juga menggunakan<br />

Korg Kaoss Pad (lingkar biru). Bahkan termasuk laser berwarna<br />

hijau untuk memberikan efek visual. Tampak di kiri dua buah<br />

pedalboard bass dengan masing-masing memiliki pedal distorsi<br />

Human Gear Animato yang juga digunakan oleh<br />

Chris Wolstenholme (lingkar merah).<br />

Serbuan Multiefek Digital<br />

Pembahasan menarik yang tidak akan<br />

ada hentinya adalah saat membahas efek<br />

yang digunakan oleh Matt Bellamy dan<br />

Chris Wolstenholme. Dengan gear list yang<br />

berbeda-beda setiap album (karena tiap<br />

album Muse memang memiliki konsep<br />

sound tersendiri), terdapat tantangan besar<br />

untuk meniru gear dari dua personel Muse<br />

tersebut. “Untuk dapetin sound unik seperti


unplug . event 6<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

Chris, para bassist menjadi tertantang dan<br />

ingin mengkoleksi gear ala Chris secara<br />

lengkap. Makanya, bisa dilihat di acara tadi<br />

banyak bassist yang ngeluarin koleksi<br />

efeknya, hehehe,” ujar Richie sambil<br />

mengakui bahwa untuk gear Matt Bellamy<br />

yang cenderung lebih mahal dan lebih<br />

banyak mengandalkan rack system,<br />

kebanyakan gitaris menggunakan multiefek<br />

digital. “Dari multiefek tadi, biasanya kita<br />

tambahin Digitech Whammy. Saya sendiri<br />

menggunakan Zoom G5, sejak pakai ini<br />

tidak ngelirik produk lain karena semua ada<br />

dalam satu paket. Ada Tube Booster untuk<br />

bagian lead, ada 3D Pedal untuk variasi<br />

Whammy yang digabung efek lainnya,”<br />

tambahnya.<br />

Dari Zoom generasi lawas seperti GFX hingga G5 yang terbaru,<br />

si legenda Korg AX1500 dan si sejuta umat Line 6 X3 Live.<br />

Multiefek digital merajalela di panggung Muse Night<br />

Sesuai dengan pengakuan Richy,<br />

multiefek digital pada malam itu memang<br />

merajalela. Dengan banyaknya band yang<br />

tampil bergantian, ini adalah solusi praktis.<br />

“Agar optimal, untuk settingan-nya<br />

disesuaikan dengan karakter masing-masing<br />

pickup gitar, karena setiap gitar beda-beda<br />

karakternya,” demikian sedikit tips dari<br />

Richy. Dari Zoom G5, Richy menyarankan<br />

efek-efek yang digunakan untuk lagu Muse<br />

adalah Fuzz Face, Booster, Delay, Reverb,<br />

Auto Wah, Phaser, Whammy Pitch Shifter,<br />

Tremolo, dan tentu saja ZNR (noise<br />

reduction).<br />

Ramai-Ramai Mengejar Sound Bass<br />

Idaman<br />

Kerap dianggap salah satu bassist<br />

dengan sound terbaik, Chris Wolstenholme<br />

menjadi panutan para bassist yang hadir<br />

di Muse Night. Untuk mencapai sound itu<br />

dengan tingkat keberhasilan tinggi, tentu<br />

diperlukan gear yang sebisa mungkin<br />

mendekati apa yang digunakan oleh Chris.<br />

Jika para gitaris sudah cukup beruntung<br />

dengan kehadiran Cort MBC-1, berbeda<br />

dengan nasib para bassist.<br />

Status, merek asal Inggris, masih<br />

mempertahankan konsep butiknya sehingga<br />

lebih banyak orang berfokus pada<br />

pedalboard dan amplifier. Untungnya,<br />

Chris juga pernah terlihat menggunakan<br />

Fender Jazz Bass. Sehingga tidak salah jika<br />

beberapa anggota Muse Indonesia Fanclub<br />

menggunakan Jazz Bass, salah satunya<br />

Archie yang pada malam itu tampil bersama<br />

The Avenue dan Musikecil. “Gue pakai<br />

Fender Jazz Bass American Vintage ’75<br />

Reissue yang bridge-nya diupgrade pakai<br />

Leo Quan Badass agar sound-nya lebih<br />

modern,” jelas Archie yang bahkan sengaja<br />

membawa Markbass Little Mark III dan<br />

kabinet Marshall DBS 7041. “Sebenernya<br />

setup gue juga termasuk kabinet Gallien-<br />

Krueger 115MBX, tapi karena kemarin<br />

konsep acaranya baru<br />

sebatas jamming, jadi<br />

tidak perlu dibawa<br />

semua lagipula nanti<br />

suara bass gue jadi<br />

dominan banget<br />

hahaha,” tambahnya.<br />

Salah satu yang menarik perhatian<br />

adalah tersembulnya sebuah Human<br />

Gear Animato pada pedalboard Archie.<br />

“Pedalboard gue isinya TC Electronic<br />

Polytune, custom blender untuk mixing<br />

sinyal dry & wet, Boss OC-2, Boss LS-2,<br />

Digitech Bass Synth Wah, EHX Russian<br />

Big Muff Pi, dan Human Gear Animato,”<br />

ujarnya.


unplug . event 7<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

Archie (tengah), dan Human Gear Animato dengan ciri khas<br />

casing besar berwarna kuning pucat yang menyita perhatian<br />

Human Gear Animato memang bukan<br />

sembarang produk. Pedal distorsi ini dibuat<br />

secara butik di Jepang sehingga tidak<br />

mudah mendapatkannya di sembarang toko.<br />

“Pada dasarnya gue emang fanboy-nya<br />

Chris, hahaha. Jadi wajar dong kalo gue<br />

ngulik efek yang dia pakai karena menurut<br />

gue Chris adalah bassist dengan sound<br />

terunik di dunia. Ternyata efek distorsi<br />

utama dia adalah Human Gear Animato<br />

yang ternyata untuk pesen harus email<br />

langsung owner-nya di Jepang. Alhasil<br />

gue bela-belain beli deh meski harganya<br />

selangit juga. Setelah sampai, suaranya<br />

benar-benar persis apa yang kebayang dan<br />

enak banget di kuping gue,” jelas Archie<br />

yang juga merupakan pemain bass<br />

additional band Brand New Eyes. Dengan<br />

Human Gear Animato ini juga Archie<br />

melakukan rekaman dengan Brand New<br />

Eyes.<br />

Mentang-mentang tergabung di<br />

komunitas Muse, ternyata investasi Archie<br />

tidak hanya untuk lagu Muse semata. “Lebih<br />

ke personal taste, kok. Gue emang udah<br />

jatuh cinta sama distorsinya Animato ini.<br />

Sama kayak gue beli Markbass, gue suka<br />

banget karena ampli ini tidak merubah<br />

karakter Jazz Bass gue,”. Tapi tidak bisa<br />

dipungkiri, tergabung di komunitas yang<br />

getol membahas produk membuat banyak<br />

orang ikut “keracunan” karena semakin<br />

melek akan sound. “Contohnya ada temen<br />

gue yang ikut pesen Animato juga setelah<br />

gue,” tambah Archie.<br />

Sedikit tips dari Archie untuk mengulik<br />

sound ala Chris, “Prinsip dasar Chris tuh ada<br />

tiga kombinasi karakter, Fuzz, Distortion,<br />

dan Synth. Kalau merk sesuaikan saja<br />

dengan budget masing-masing. Buat yang<br />

mau mulai, saran gue sih berburu EHX<br />

Russian Big Muff Pi, setelah itu kita bisa<br />

kembangkan dari situ,” tutupnya.<br />

Backline Dadakan<br />

Pada awalnya, backline (penyediaan<br />

alat musik dan amplifier panggung) Muse<br />

Night akan di-support oleh pihak tertentu.<br />

“Pada detik-detik akhir kami baru diberitahu<br />

bahwa backline itu harus diambil sendiri<br />

ke kantor mereka, sedangkan tidak ada<br />

transportasi yang siap pada saat itu<br />

sehingga kami menyewa secara dadakan<br />

seperangkat backline,” jelas Richy.<br />

Meski amplifier gitar (Hughes &<br />

Kettner Vortex, Laney LV300) dan bass<br />

(Laney RB9) cukup memadai, namun<br />

drumkit Mapex 4 piece-nya tidak dilengkapi<br />

oleh cymbal set yang dalam kondisi layak.<br />

Beberapa bagian yang dalam kondisi layak.<br />

Beberapa bagiannya sudah terlihat sobek.<br />

Untungnya, beberapa drummer dari bandband<br />

utama seperti Musikecil dan Bring Me<br />

menunjukkan profesionalisme-nya dengan<br />

membawa snare dan cymbal set pribadi.<br />

Membawa cymbal set pribadi merupakan sikap profesional yang<br />

terpuji seperti yang dilakukan oleh Bring Me dan Musikecil


unplug . event 8<br />

UNDUH MAJALAH DIGITAL KAMI DI<br />

WWW.AVLTIMES.COM<br />

WWW.CAEDITORIAL.COM/ATI<br />

Meskipun status Morgan Nicholls<br />

hanya sebagai additional dari Muse, namun<br />

membuat para penggemar Muse sadar<br />

bahwa band ini memang mengandalkan<br />

permainan synthetizer dan piano yang kaya.<br />

Sehingga, banyak diantara band-band<br />

pengisi Muse Night yang menggunakan<br />

sequencer. Selain sequencer, kita juga<br />

dapat melihat keyboard arranger PSR S950<br />

dan Roland Juno Gi standby di panggung<br />

yang itu semua bukanlah termasuk paket<br />

dari rental. “Keyboard Yamaha merupakan<br />

pinjaman dari band Glorious dan Roland<br />

Juno Gi milik Bring Me, Muser (sebutan bagi<br />

penggemar Muse-red) kan saling<br />

meminjamkan alat. Positifnya jadi lebih<br />

kenal dan dekat,” jelas Richy.<br />

Komunitas Muse Indonesia Fans<br />

Club ternyata memang peduli dengan<br />

anggotanya. Bagi yang tertarik bergabung<br />

namun belum punya alat, Richy punya<br />

solusi.<br />

“Sering aja dateng ke acara dan tanya-tanya<br />

sama yang punya alat. Kita semua bisa<br />

terbiasa memakai alat-alat ini juga karena<br />

sering jamming bareng jadi tahu fungsi dan<br />

settingan-nya,” tutupnya.<br />

Sikap mulia dari Bring Me dan Glorious yang merelakan<br />

keyboardnya menjadi backline<br />

Contact Person @twitter:<br />

@MuserIndonesia<br />

twitter.com/muserindonesia<br />

12.000+<br />

<strong>GRATIS</strong> DOWNLOAD


unplug . event 9<br />

LINE 6 SAMBANGI BOGOR<br />

MELEK EFEK DIGITAL BERSAMA DENNY CHASMALA<br />

BOGOR MEMANG DIKENAL SEBAGAI KOTA HUJAN, TERMASUK PADA 12<br />

DESEMBER LALU PUN REPUTASI ITU TETAP TERBUKTI OLEH CUACANYA YANG<br />

BASAH SEJAK PAGI HINGGA MENJELANG SORE. NAMUN BELUM JUGA HUJAN<br />

TERSEBUT BENAR-BENAR REDA, SELASAR ERAFONE MEGASTORE GANTIAN<br />

DIHUJANI OLEH JAJARAN LINE UP TERBARU LINE 6. LAMBAT LAUN KERUMUNAN<br />

PENGUNJUNG, TERMASUK DARI KOMUNITAS BOGOR GUITAR FUNATIC (BGF),<br />

LANGSUNG BERKUMPUL DAN MEMBANJIRI LOKASI.<br />

Saat Yamaha memutuskan untuk menaungi<br />

Line 6 tahun lalu, kita dibuat penasaran<br />

akan seperti apa Line 6 diarahkan<br />

khususnya di Indonesia. Ternyata meskipun<br />

Line 6 termasuk merk yang sudah punya<br />

nama di sini, Yamaha malah terlihat lebih<br />

serius dan menggunakan pendekatan<br />

‘jemput bola’ dengan blusukan langsung ke<br />

masyarakat. Alih-alih mengadakan pameran<br />

di mall atau menyebar undangan untuk<br />

datang ke sebuah aula, Line 6 tidak<br />

dijadikan ‘anak rumahan’. “Saya lihat untuk<br />

Line 6 memang perlu untuk merangkul dan<br />

terlibat langsung dengan masyarakat,” ujar<br />

Bhagas Raditya selaku chief promotion &<br />

event dari Yamaha. Menggotong amplifier<br />

DT25, Amplifi, Firehawk, dan HD500, line up<br />

tersebut diajak nongkrong bareng BGF di<br />

Bogor, 50 Kilometer lebih dari markas<br />

mereka di Jakarta.<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . event 10<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

Sesaat sebelum materi dimulai, BGF sudah<br />

memenuhi venue<br />

Secara tidak sengaja, pengunjung dapat membandingkan<br />

Line 6 dengan beberapa produk kompetitor<br />

BGF sendiri merupakan komunitas<br />

yang baru berdiri 1-2 tahun belakangan<br />

tepatnya Agustus 2014, namun terbukti<br />

cukup sering mengadakan kegiatan. Jumlah<br />

anggota di grupnya pun hampir mencapai<br />

lima ratusan orang. Diakui oleh Fikri, salah<br />

satu penggagas event yang bertajuk “Kupas<br />

Dawai : Simple Steps to Optimize Your<br />

Sound&Equipment” ini, bahwa BGF sangat<br />

membutuhkan kegiatan edukatif serupa.<br />

“Saya harus akui lebih banyak pembicaraan<br />

di komunitas ini adalah tentang sound gitar,<br />

dan bagi saya Line 6 sudah tidak diragukan<br />

lagi kualitas multiefeknya,” jelasnya.<br />

Kompetitor Ikut Nimbrung<br />

Silih berganti anggota BGF<br />

memanaskan suasana, silih berganti pula<br />

mereka membawa multiefek masing-masing<br />

dari berbagai brand termasuk gitar pun<br />

hanya pembicara Denny Chasmala yang<br />

menggunakan Yamaha Pacifica 611H<br />

(bahkan terdapat amplifier JCM milik rental<br />

sound juga). Seringkali malah seluruh<br />

multiefek dari merk-merk tersebut tetap<br />

dibiarkan tergeletak bersebelahan. Hal ini<br />

agak kontras dibandingkan event-event<br />

serupa yang biasanya secara ekslusif<br />

mengharamkan merk lain, namun ini<br />

benar-benar menunjukkan keberanian<br />

dan kejujuran Line 6.<br />

“Memang situasi ini tidak bisa dihindarkan,<br />

tapi kami percaya diri dengan kualitas Line<br />

6. Biarkan masyarakat yang menilai,” ujar<br />

Bhagas.<br />

Meskipun terdapat dua buah multiefek<br />

dari brand kompetitor yang dibawa oleh<br />

anggota BGF, namun terdapat juga Line 6<br />

X3 Live. Entah ini milik siapa, multiefek<br />

yang sebenarnya sudah termasuk produk<br />

lawas (karena sudah dihentikan produksinya<br />

alias discontinued) ini membuktikan<br />

reputasinya sebagi produk favorit<br />

masyarakat Indonesia dengan banyaknya<br />

anggota BGF yang secara bergantian<br />

menggunakannya. Seakan sudah lihai dan<br />

khatam, seluruh performer mampu<br />

mengoptimalkan fitur-fitur X3 Live.<br />

Sepertinya semua orang tahu cara menggunakan X3 Live


unplug . event 11<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

Materi Interaktif<br />

Sesuai dengan tajuk utamanya, materi<br />

dengan pembicara Denny Chasmala ini tentu<br />

sudah dapat kita prediksikan yaitu membuat<br />

sound gitar dari produk Line 6. Namun<br />

sayang karena keterbatasan waktu,<br />

pembahasan lebih banyak berkutat pada<br />

multiefek digital dengan Firehawk dan POD<br />

HD500X. Padahal, malam itu Line 6<br />

membawa serta amplifier DT25 dan Amplifi<br />

yang tidak dibahas sedetail dua multiefek<br />

tadi.<br />

Seakan sudah jodoh, venue di Erafone<br />

Megastore sebagai salah satu jaringan gerai<br />

ponsel dan gadget di Indonesia ikut terlibat.<br />

Mungkin kita semua sudah maklum bahwa<br />

Line 6 Firehawk dan Amplifi memang<br />

memiliki fitur-fitur yang dapat dikontrol<br />

melalui aplikasi ponsel pintar. Dengan cerdik<br />

pula Erafone menyediakan ponselnya untuk<br />

mendemonstrasikan kemampuan itu.<br />

Padahal diakui oleh Fikri, pemilihan lokasi<br />

ini tidaklah disengaja. “Setelah beberapa<br />

kali mengadakan kegiatan di cafe dan<br />

studio, kami mendapatkan tawaran lokasi<br />

ini dari Erafone. Saya pikir tidak ada<br />

salahnya mencoba suasana baru,”<br />

ungkapnya.<br />

Pengunjung mencoba mengakses fitur-fitur Firehawk<br />

dengan smartphone.<br />

Produk-produk Line 6 terbukti mampu<br />

menyedot perhatian pengunjung dan BGF<br />

dilihat dari antusiasme dan pertanyaan-<br />

pertanyaan yang dilontarkan kepada Denny<br />

Chasmala, yang mayoritas memang seputar<br />

membuat live sound yang optimal.<br />

“Multiefek-multiefek Line 6 ini mampu<br />

membuat sound yang tebal karena<br />

memungkinkan kita menggunakan dua buah<br />

karakter yang berbeda dan dikeluarkan<br />

secara stereo, sehingga penting untuk<br />

berkoordinasi dengan sound engineer<br />

juga,” terangnya.<br />

Perhatikan sepasang kabel XLR pada Firehawk dan HD500X,<br />

sistem stereo inilah yang diandalkan Denny Chasmala<br />

Sayang sekali kedua speaker aktif<br />

milik rental mengalami masalah pada<br />

tweeter sehingga produk tersebut<br />

didemonstrasikan hanya menggunakan<br />

sebuah speaker saja secara mono. Tapi<br />

cukup mengagumkan karena sound tetap<br />

terasa tebal. Terdapat perbedaan sangat<br />

signifikan dengan X3 Live versi lawas.<br />

Dengan masalah itu pun Denny Chasmala<br />

tetap berhasil memberikan materi yang<br />

interaktif dengan partisipasi pengunjung<br />

yaitu pada saat dia memberikan beberapa<br />

alternatif sound dan mempersilahkan<br />

pengunjung memilih sound yang terbaik.<br />

Interaksi ini semakin terasa saat penonton<br />

menggunakan aplikasi pada ponsel Line 6<br />

untuk membantu Denny Chasmala membuat<br />

sound dan bahkan menyetem Yamaha<br />

611H-nya.


unplug . event 12<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

Penonton Lintas Kalangan<br />

Meskipun area venue tidak terlalu<br />

luas, namun ada hikmah tersendiri di<br />

baliknya. Pernahkah kita sampai kepikiran<br />

sebuah event alat musik di area gerai<br />

ponsel? Kupas Dawai edisi kedua ini<br />

ternyata mampu menyatukan berbagai<br />

pihak. Dengan pengguna smartphone di<br />

Indonesia sebanyak 55 juta orang, tentu<br />

saja acara ini menarik perhatian pengunjung<br />

gerai tersebut bahkan termasuk anak-anak.<br />

Di antara pengunjung, kami berhasil<br />

menemui Taufik pemilik sebuah studio<br />

rental setempat yang mengaku terkesima<br />

dengan Firehawk. “Paling berkesan bagi<br />

saya adalah Firehawk, kemampuannya<br />

dikendalikan melalui smartphone sangat<br />

menarik dan harganya masih masuk akal,”<br />

ujar Taufik dengan penuh antusias.<br />

Meski secara skala dan jumlah<br />

pengunjung tidak semasif jika digelar di<br />

pusat perbelanjaan, namun kita dapat<br />

melihat bahwa hampir seluruh pengunjung<br />

pada malam itu sudah terspesifikasi sebagai<br />

opinion leader yang memiliki kekuatan<br />

untuk mempengaruhi keputusan pembelian.<br />

Di antara audiens, terdapat dealer lokal.<br />

Termasuk dealer produk ponselnya sekalian<br />

“Pastinya untuk tahun 2016 kami<br />

berencana akan lebih banyak acara serupa<br />

yang lebih dekat ke masyarakat seperti ini.<br />

Kami juga ingin lebih banyak bekerja sama<br />

dengan komunitas-komunitas yang ada di<br />

Indonesia, jadi silahkan hubungi kami,”<br />

tutup Bhagas.<br />

Website :<br />

www.id.yamaha.com<br />

www.line6.com<br />

DAPATKAN APLIKASINYA<br />

SEKARANG<br />

KINI ANDA BISA MENDAPATKAN<br />

AVL TIMES DAN UNPLUG DI PONSEL ANDA


unplug . event 13<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

MELODIA HADIR DI YOGYAKARTA<br />

Melodia, salah satu gerai alat-alat<br />

musik dan pro audio terkemuka di<br />

Indonesia, pada 6 November lalu baru<br />

saja membuka cabangnya di Yogyakarta.<br />

Merk-merk seperti Digitech, Electro<br />

Harmonix, Mooer, dan masih banyak<br />

lagi sebenarnya sudah cukup mudah<br />

didapatkan di dealer-dealer resmi di seluruh<br />

Indonesia. Namun, seperti yang dikatakan<br />

Kongko bangun Pambudi sebagai Supervisor<br />

Marketing Communication Melodia, ada<br />

beberapa produk high end atau butik<br />

yang lebih sulit dijumpai seperti Mesa<br />

Engineering, ENGL, Carvin, PRS Guitars<br />

yang buatan USA, dan beberapa lainnya.<br />

“Selama ini orang dari luar Jakarta dan<br />

sekitarnya kan kesulitan untuk mencoba<br />

produk-produk high end tersebut, padahal<br />

budaya Melodia adalah memberikan akses<br />

kepada masyarakat untuk nyobain produkproduk<br />

yang ada, terlepas mau beli atau<br />

tidak itu urusan belakangan.”


unplug . event 14<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

Kehadiran Melodia di<br />

Yogyakarta sendiri tidak diputuskan<br />

dengan terburu-buru. Beberapa<br />

riset termasuk melalui sosial media<br />

dilakukan oleh tim Melodia.<br />

“Ternyata animo luar biasa datang<br />

dari Yogyakarta. Sebenarnya<br />

Bandung juga merupakan kandidat<br />

kuat, namun kami rasa jaraknya<br />

masih terlalu dekat dengan Jakarta.<br />

Sedangkan kota Yogyakarta<br />

memberikan akses yang mudah<br />

bagi masyarakat kota besar di<br />

sekitarnya seperti Solo dan<br />

Semarang,” jelas Kongko.<br />

Tanggapan masyarakat Yogya<br />

setelah grand opening ternyata<br />

diluar dugaan. “Rupanya<br />

masyarakat Yogyakarta memang<br />

sudah menunggu-nunggu gerai<br />

Melodia yang menyajikan produkproduk<br />

yang tidak biasa. Bukan<br />

yang itu-itu saja. Oleh karena itu,<br />

kami tidak akan bentrok dengan<br />

dealer kami di kota ini karena<br />

memang produk dan pengalaman<br />

berbelanjanya berbeda.”<br />

Menjelaskan pengalaman<br />

berbelanja tersebut, Kongko<br />

menjelaskan bahwa event-event<br />

yang rutin diselenggarakan di<br />

Melodia Jakarta juga akan ada di<br />

Melodia Yogya sehingga diharapkan<br />

membuat lebih ramai industri alat<br />

musik di kota gudeg tersebut.<br />

“Kami yakin lokasi Gejayan ini<br />

sangat strategis, kami juga siap<br />

melayani karakteristik masyarakat<br />

Yogya yang ndagel (humoris-red)<br />

dan nyeni,” tutupnya. Masih<br />

menurut Kongko, Melodia berharap dapat<br />

mengatasi tantangan di masa yang akan<br />

datang seperti produk yang semakin banyak<br />

serta jumlah customer yang juga semakin<br />

bertambah dengan kehadiran cabang baru<br />

ini. Selamat berbelanja, Yogyakarta!<br />

www.melodiamusik.com<br />

www.instagram.com/melodia_jog


unplug . event 15<br />

MENGENAL SISTEM DIGITAL WIRELESS LINE 6<br />

MENGKRITIK SISTEM WIRELESS KONVENSIONAL<br />

DENGAN PRODUK UNGGULAN<br />

DARI MASALAH REGULASI FREKUENSI, NOISE, KUALITAS SUARA, HINGGA<br />

GANGGUAN INTERFERENSI, SISTEM WIRELESS MEMILIKI BEBERAPA<br />

TANTANGAN. PADAHAL, WIRELESS ADALAH KEBUTUHAN UTAMA DALAM SETIAP<br />

LIVE SHOW. BAGI LINE 6, MENGGUNAKAN DIGITAL WIRELESS ADALAH SYARAT<br />

MUTLAK UNTUK MENJAWAB TANTANGAN-TANTANGAN TERSEBUT.<br />

Menurut Line 6, produk gitar wireless juga harus kokoh.<br />

Tampak Yasuo dengan receiver G50 yang terbuat dari logam<br />

Desember lalu, terdengar berita<br />

akan adanya pelatihan bagi para<br />

sales di berbagai outlet resmi Line 6<br />

tentang wireless system. Meskipun<br />

pelatihan ini ditujukan khusus untuk<br />

para sales, tapi rasanya sayang<br />

jika kita tidak ikut nimbrung karena<br />

pembicaranya adalah Sales<br />

Manager Line 6 Asia Pasifik, Yasuo<br />

Matsunaka. Apalagi, perdebatan<br />

“wireless vs kabel” selalu menjadi<br />

bahasan menarik di antara kita<br />

semua.<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . event 16<br />

Ternyata, Yasuo menjelaskan bahwa<br />

sistem wireless dalam konteks alat musik<br />

dapat dibagi menjadi analog dan digital.<br />

Jika kita melihat trend yang semakin kuat<br />

di setiap acara live show saat semua orang<br />

mengabadikan penampilan artis dari<br />

ponselnya, itu bisa menjadi ancaman serius<br />

bagi sistem analog wireless karena sinyal<br />

akan berebutan. Dengan sistem digital<br />

wireless yang diadopsi Line 6, sinyal akan<br />

diubah menjadi data digital sehingga<br />

tidak terganggu oleh sinyal-sinyal lain<br />

di sekitar kita. “Sistem Line 6 didesain<br />

oleh Guy Coker, yang sejak 1997 mulai<br />

mengembangkan teknologi ini. Kini, line<br />

up Line 6 sudah merupakan generasi<br />

keempat,” jelas Yasuo.<br />

Wireless Dengan Simulasi<br />

Dikenal sebagai salah satu pencetus<br />

konsep digital modelling, Line 6 tidak hanya<br />

menanamkan konsep itu di multiefeknya.<br />

Seri Relay yang merupakan wireless guitar<br />

dan microphonenya pun diberikan konsep<br />

serupa. Untuk seri Relay, terdapat fitur<br />

cable tone yang memungkinkan kita memilih<br />

karakter suara dari berbagai panjang kabel.<br />

“Semakin panjang kabel gitar, maka<br />

tone-nya akan semakin kehilangan<br />

brightness. Tapi jika kabelnya pendek,<br />

seperti yang terjadi pada sistem wireless,<br />

maka tone-nya jadi makin bright. Karakter<br />

ini tidak biasa didengar oleh gitaris yang<br />

selalu menggunakan kabel. Sehingga,<br />

dengan adanya fitur cable tone, kita dapat<br />

memiliki tone gitar layaknya pakai kabel,”<br />

inilah jawaban Yasuo mengenai gitaris<br />

yang<br />

selalu<br />

merasa<br />

kabel<br />

adalah<br />

tone<br />

terbaik.<br />

Selain itu, diperkenalkan juga Line 6 Relay<br />

G70 terbaru yang memiliki fitur lebih<br />

komplit seperti tuner, DI Output, AB<br />

Switcher, hingga Gain Booster.<br />

“Sedangkan<br />

bagi pemain<br />

bass, banyak<br />

sekali yang<br />

menyukai<br />

seri Relay<br />

bahkan<br />

hingga di<br />

Line 6 G70 dengan desain baru<br />

dan fitur lebih lengkap<br />

situasi<br />

rekaman<br />

karena<br />

mereka mendapatkan sound senatural<br />

mungkin,” tambahnya. Untuk microphonenya,<br />

beberapa produk Line 6 seperti XD-V75<br />

menanamkan simulasi microphonemicrophone<br />

terkenal dari mulai Shure, AKG,<br />

Sennheiser, Audix, dan Audio Technica.<br />

Meski pelatihan berlangsung singkat,<br />

para sales tampak sumringah dan percaya<br />

diri akan produk-produk ini. Seperti<br />

misalnya Ruli dari Nuansa Musik, “Untuk<br />

wireless gitar dan bass-nya mungkin tidak<br />

akan mengalami kompetisi seketat<br />

microphone karena cukup segmented, tapi<br />

yang paling berkesan bagi saya adalah<br />

microphone XD-V75 nya yang benar-benar<br />

bagus,”. Para sales yang sudah dilatih inilah<br />

yang akan melayani kita di gerai Line 6.<br />

Jadi, ada baiknya agar kita mencoba<br />

mendengar saran dari mereka sebelum<br />

memilih<br />

produk<br />

wireless<br />

yang tepat<br />

bagi<br />

kebutuhan.<br />

XD-V75 juga memiliki simulasi microphone<br />

instrumen seperti Shure SM57<br />

Relay G30 (kiri) dan G50 (kanan), Perhatikan knob cable tone-nya<br />

Website : www.line6.com<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . profile 17<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

NAIF TOLERAN<br />

TERHADAP RIDER<br />

MALANG MELINTANG DI INDUSTRI HIBURAN SEJAK 1995, NAIF TENTU SUDAH MASUK<br />

DALAM JAJARAN BAND PAPAN ATAS INDONESIA. NAMUN BEGITU, TAHUKAH ANDA BAHWA<br />

NAIF MASIH DENGAN SENANG HATI MENERIMA TAWARAN TAMPIL DI PANGGUNG-<br />

PANGGUNG PENTAS SENI (PENSI) SEKOLAH DENGAN TECHNICAL RIDERS YANG CUKUP<br />

WAJAR? KINI UNTUK PERTAMA KALINYA NAIF BUKA-BUKAAN TENTANG RIGNYA KEPADA<br />

KITA SEMUA.<br />

Ditemui di Viky Sianipar Music Centre pada<br />

akhir November lalu, kami berhasil<br />

mencegat NAIF beserta rekan-rekan kerja<br />

pendukung produksinya yang sedang<br />

mempersiapkan diri untuk proyek kolaborasi<br />

dengan arahan Viky Sianipar. Band yang<br />

lahir dari kampus seni kebanggaan ibukota,<br />

Institut Kesenian Jakarta, masih tampil<br />

kompak dengan formasi sejak tahun 2003<br />

yaitu David (vokal), Emil (bass), Pepeng<br />

(drum), dan Jarwo (gitar). Sama seperti<br />

gayanya pada saat live, wawancara kami<br />

yang cukup singkat ternyata tetap penuh<br />

oleh suasana jenaka.


unplug . profile 18<br />

Ditemui di Viky Sianipar Music Centre pada akhir November lalu, kami berhasil<br />

mencegat NAIF beserta rekan-rekan kerja pendukung produksinya yang sedang<br />

mempersiapkan diri untuk proyek kolaborasi dengan arahan Viky Sianipar. Band<br />

yang lahir dari kampus seni kebanggaan ibukota, Institut Kesenian Jakarta, masih<br />

tampil kompak dengan formasi sejak tahun 2003 yaitu David (vokal), Emil (bass),<br />

Pepeng (drum), dan Jarwo (gitar). Sama seperti gayanya pada saat live,<br />

wawancara kami yang cukup singkat ternyata tetap penuh oleh suasana jenaka.<br />

Sebagai band yang lahir dan tumbuh<br />

di lingkungan kampus, adakah<br />

keuntungan dari itu?<br />

David : Ya, kami semua tidak hanya teman<br />

ngeband, tapi juga teman bermain. Jadi<br />

akhirnya lama-lama keterusan main band.<br />

Emil : Karena kampus kami kampus seni,<br />

maka kami banyak bantuan kreatifitas dari<br />

temen-temen juga. Kakak kelas, adik kelas,<br />

teman seangkatan, semua saling support.<br />

Dan sebaliknya kita juga support band-band<br />

lainnya seperti The Upstairs atau White<br />

Shoes And The Couples Company.<br />

Banyak band-band baru yang memulai<br />

karir dengan meng-cover lagu-lagu<br />

NAIF seperti di Youtube, bagaimana<br />

tanggapan NAIF atas fenomena ini?<br />

Emil : Seharusnya mereka menggunakan<br />

waktunya untuk melakukan hal-hal lain<br />

daripada meng-cover lagu kami, contohnya<br />

belajar atau meng-cover lagu lain.<br />

David : Meng-cover coklat buku pelajaran<br />

atau meng-undercover kejahatan korupsi.<br />

Emil : Pokoknya jangan meng-cover lagulagu<br />

Naif, wasting time. Kalau mereka lebih<br />

bagus, maka kita bagaimana?<br />

David : Terus mereka dong yang maju?<br />

Hahaha...<br />

Apa sih sebenernya konsep musik dari<br />

NAIF?<br />

David : Pop! Pop ringan.... semi berat.<br />

Sepanjang karir apakah konsep itu<br />

pernah ada yang berubah?<br />

Serentak : Tidak ada..!<br />

David : ...pengennya yang simple aja<br />

lah lagunya.<br />

Apakah audiensnya yang berubah?<br />

Emil : Oh iya! Tadinya masih sekolah<br />

sekarang sudah kawin, sudah ibu-ibu.<br />

SMA 1 Makassar yang dulu pertama kali<br />

ngundang NAIF ke Makassar, waktu kemarin<br />

kesana lagi sudah pada bawa anak.<br />

David : Bahkan mungkin udah jadi kepala<br />

sekolahnya....(tiba-tiba menjadi lebih<br />

serius)..jadi ya be-regenerasi, bagusnya<br />

sih yang dulu emang udah pada dewasa,<br />

tapi anak sekarang tetap bisa menerima.<br />

Terbukti kita masih sering manggung di<br />

acara anak sekolah.<br />

Emil : Dulu awalnya emang rata-rata cuma<br />

penggemar vintage yang suka sama NAIF,<br />

ya. Atau anak kampus yang pengen genre<br />

yang berbeda dari yang mainstream pada<br />

saat itu. Tapi sekarang anak-anak SMA atau<br />

bahkan SMP bisa kok nyanyi bareng kita.<br />

Pepeng : Masih bisa mengapresiasi juga.<br />

Terakhir, pernahkah ada tawaran<br />

endorsement?<br />

Naif : Pernah sih, tapi belum pernah ada<br />

yang cocok dengan term nya. Kalau ada<br />

tawaran dari produk yang kami suka seperti<br />

yang saat ini kami pakai dan nyaman<br />

dengan kontraknya, ya akan<br />

dipertimbangkan.<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . profile 19<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

Bedah Rig NAIF<br />

David pasrah dengan DI Box apapun yang<br />

disediakan.<br />

Sebenarnya membawa DI Box sendiri tapi<br />

hanya dikeluarkan saat DI Box panggung<br />

bermasalah. “Sayang”, ujar David.<br />

David, Emil, dan Jarwo menggunakan pick<br />

custom buatan krunya, Musdalifah, dengan<br />

ukuran 1 mm.<br />

Jarwo dan Emil men-set ekualisernya flat.<br />

Tidak ada yang menyukai in-ear monitor.<br />

“Interaksinya enggak ada”, menurut Emil dan<br />

David mengaku tidak keluar power-nya.<br />

Adit, teknisi gitar Jarwo, kerap diledek “curang”<br />

oleh sesama teknisi dari band lain karena<br />

simple-nya setup Jarwo.<br />

Strap Jarwo dimodifikasi agar transmitter<br />

wireless Line 6 G50 dapat dengan cepat<br />

dibongkar pasang.<br />

Untuk tipe microphone David tidak<br />

menjelaskan tipenya, “Karena kami beli<br />

sendiri, kok. Tidak di-endorse..hahaha.<br />

Tapi yang jelas gue nyaman dengan merk<br />

Shure”. Sempat di-endorse suatu merk<br />

untuk gitar akustik, kini David lebih nyaman<br />

sendirian. “Untuk gitar lebih suka dan lebih<br />

nyaman pakai akustik karena lebih mudah<br />

DAVID<br />

memainkannya. Sekarang pakai produk<br />

Gretsch White Falcon dan Rancher<br />

Falcon lebih karena gue suka dengan<br />

penampilannya. Wuiiih banget. Gue sering<br />

berdiskusi juga dengan Jarwo tentang<br />

gitar. Ngomong-ngomong gue juga lagi<br />

mengidamkan Gibson Hummingbird”.


unplug . profile 20<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

EMIL<br />

Sudah sejak lama Emil memang<br />

identik dengan Rickenbacker 4003 berwarna<br />

hitam, “Kesan visualnya panjang, cocok<br />

dengan badan gue yang gede.” Sedangkan<br />

untuk rekaman, beberapa bass digunakan<br />

untuk memenuhi kebutuhan lagu. “Beberapa<br />

lagu yang standar gue pakai Fender Deluxe<br />

Special Precision Bass, sedangkan saat ingin<br />

tone yang agak middle dan kasar gue pakai<br />

Epiphone Allen Woody Rumblekat. Makanya<br />

dipakailah Rickenbacker untuk live karena<br />

jangkauan frekuensinya lebih luas. Untuk<br />

Rickenbacker ini semua pickup terpakai,<br />

dan justru pickup bridge lebih sering gue<br />

pake untuk lagu-lagu yang soft ”.<br />

Jika melihat video penampilan NAIF,<br />

Emil juga kerap tampil dengan Ampeg SVT<br />

4-PRO dan kabinet 8x10”. Kombinasi head<br />

dan kabinet itulah yang kerap Emil minta<br />

sebagai rider, “Buat gue lebih clear, dan<br />

sesuai kebutuhan di panggung agar lebih<br />

kenceng aja sih. Kalau untuk rekaman pakai<br />

4x10” saja sudah cukup. Untuk head sih<br />

sebenarnya gue lebih suka Ampeg SVT<br />

Classic, tapi lebih sering adanya SVT-4PRO,<br />

ya enggak apa-apa”.<br />

Uniknya, bahkan tidak ada tuner<br />

sekalipun di dekat kaki Emil. “Tuner pakai<br />

Boss, biasa. Gue tuning dulu sebelum live.<br />

Enggak ada apapun di lantai, paling tadi<br />

dibawain clip tuner sama kru. Cuma gue<br />

hampir enggak pernah ada masalah dengan<br />

seteman atau tuning kok”.


unplug . profile 21<br />

PEPENG<br />

Selain membawa seluruh cymbal-set<br />

nya sendiri, Pepeng tidak meminta suatu<br />

merk drumset tertentu dari rider. “Yang<br />

pasti kondisi harus layak pakai. Di masa lalu<br />

memang sempat minta merk-merk tertentu,<br />

tapi seiring berjalannya waktu saya ingin<br />

lebih fleksibel saja”. Tentang double pedal,<br />

untuk NAIF ternyata banyak gunanya.<br />

Selain karena kebutuhan lagu yang<br />

memiliki sesi solo seperti “David Pepeng<br />

Emil Jarwo”, double pedal juga dibawa<br />

untuk gig yang durasinya lama sebagai<br />

penutup atau bahkan bisa menjadi antisipasi<br />

saat ada masalah di panggung.<br />

”Pernah suatu ketika beater sebelah<br />

kanan lepas pada saat live. Daripada kosong<br />

ya gue isi pake sebelahnya aja..hahaha..”.<br />

Antisipasi sepertinya merupakan kunci<br />

sukses dalam band yang memiliki toleransi<br />

tinggi terhadap technical rider seperti NAIF.<br />

Contoh konkritnya adalah memiliki kru yang<br />

handal. Untuk menghindari drumhead yang<br />

tidak layak pakai, Pepeng membawa<br />

drumhead Evans sendiri dan di tune pada<br />

saat soundcheck. “Itu kerjaan teknisi gue<br />

tuh, karena dia memang udah hapal<br />

settingan gue jadi tinggal hajar aja”.<br />

Snare Mapex / Premier<br />

Tama Iron Cobra<br />

Double Pedal<br />

Custom stick bahan maple,<br />

round wooden tip<br />

(1) Hihat Zildjian Z<br />

Sabian HHX 16<br />

(2) Meinl Crash 18<br />

(3) Paiste Ride 24<br />

(4) Splash Meinl 8<br />

(5) Splash Paiste 10<br />

JARWO<br />

Mengaku musik NAIF membutuhkan<br />

sound gitar yang natural, rig Jarwo sangat<br />

sederhana. “Saya pakai multiefek sejak<br />

sering trouble di ampli. Kalau dulu kan<br />

modelnya gitar harus dicolok ke ampli.<br />

Sekarang gue cari yang simple sajalah”.<br />

Itulah Jarwo, setup nya sekalem<br />

orangnya. Hanya sebuah Digitech RP500<br />

yang dicolok ke return ampli, bukan input.<br />

“Multiefek sekarang udah punya semua<br />

yang gue butuhin. Paling sering gue pakai<br />

simulasi dari Vox AC15 dengan ekualiser di<br />

set flat semua. Output ke front of house<br />

juga dicampur dengan Direct Out yang<br />

keluar dari XLR Out-nya RP500, tanpa<br />

panning left/right dijadikan mono”. Untuk<br />

amplifier, panitia cukup menyiapkan<br />

amplifier “sejuta umat” Marshall JCM 2000<br />

atau JCM 900.<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . profile 22<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

JARWO<br />

Mengenai gitar utamanya, Jarwo<br />

bahkan dengan jujur menjelaskan, “Itu<br />

stratocaster abal-abal engga jelas dari<br />

Mojokerto. Sebenernya kalau buat live saya<br />

engga pilih-pilih gitar. Saya pakai apa yang<br />

ada aja (yang dibawakan oleh teknisi<br />

gitarnya, Adit – Red). Kalau untuk rekaman<br />

baru saya cari-cari sound, untuk lagu yang<br />

sederhana gue pakai gitar yang suaranya<br />

sederhana”. Gauge senar yang digunakan<br />

Jarwo adalah 10-52, bukan 10-46 standar.<br />

Hal ini diakuinya agar mendapatkan<br />

karakter yang lebih keluar dan menonjolkan<br />

low-nya. “Dulu pernah pakai 0.08 tapi kalau<br />

di-bending, yaaah ... suka kelewatan ...<br />

hahaha”. Dan pada saat rekaman inilah<br />

Jarwo baru benar-benar menggunakan<br />

amplifier. “Pilihan saya biasanya Marshall<br />

JTM45, Fender Pro Junior, Vox, atau<br />

Marshall JCM 2000”.<br />

Website :<br />

www.naifband.com


unplug . profile 23<br />

MENGUPAS SEPAK TERJANG<br />

KORG DI INDONESIA<br />

MENGUSUNG MISI PELESTARIAN BUDAYA INDONESIA<br />

SIAPA SANGKA AWAL KEMUNCULAN KORG DI INDONESIA PADA AWAL 1980-AN<br />

JUSTRU TIDAK LANGSUNG MULUS. DIANGGAP PRODUK MAHAL DAN HANYA<br />

DIGUNAKAN OLEH KALANGAN ATAS, PERLU INISIATIF DARI DISTRIBUTOR<br />

INDONESIA UNTUK MEYAKINKAN PUSAT AGAR LEBIH SERIUS MENGGARAP PASAR<br />

KEYBOARD ARRANGER. USULAN ITU TERBUKTI TEPAT KARENA KINI KEYBOARD<br />

ARRANGER KORG MENGGAET LEBIH DARI 30 PERSEN MARKET SHARE<br />

Begitulah Patricia Dharmawan<br />

(General Manager PT Mahkota Musik<br />

Indonesia) selaku distributor yang mewakili<br />

Korg Indonesia saat mengawali cerita<br />

perjalanan Korg hingga akhirnya diterima di<br />

seluruh pelosok Indonesia seperti saat ini.<br />

“Korg didirikan oleh orang-orang yang<br />

sangat hi-tech, cenderung ingin fokus di<br />

terobosan-terobosan teknologi baru. Hal ini<br />

membuat awalnya mereka beranggapan<br />

keyboard arranger bukanlah arena Korg.<br />

Namun setelah mendapati fakta bahwa<br />

arranger juga mendapatkan pasar yang<br />

menjanjikan, Korg sangat serius melayani<br />

segmen ini,” ungkapnya.<br />

Korg memang beberapa kali<br />

melakukan inovasi cerdas dengan mampu<br />

melihat peluang. Salah satu yang paling<br />

dikenang oleh Patricia adalah saat<br />

menjelang munculnya seri Triton.<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . profile 24<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

“Pada waktu itu banyak pengamat industri<br />

yang meramalkan bahwa masanya keyboard<br />

sudah habis. Semua orang akan beralih ke<br />

keyboard controller. Namun Korg tidak<br />

percaya dan tetap menggelontorkan<br />

beberapa seri Triton sekaligus. Alhasil saat<br />

kompetitor lain tengah memikirkan<br />

peralihan pasar menuju controller, Triton<br />

kami melenggang tanpa hambatan dan<br />

meraih penjualan luar biasa,”. Korg<br />

memang benar, era<br />

dimana semua orang<br />

menggunakan<br />

controller dan laptop<br />

tak kunjung terjadi.<br />

Korg Triton, popularitasnya hingga ke serial animasi K-On<br />

Berawal Dari IS35, Menjadi Pa<br />

Bertarung di segmen arranger bukan<br />

perkara mudah. Pengguna keyboard<br />

arranger yang didominasi oleh orang-orang<br />

yang menggeluti bisnis organ tunggal<br />

membuat produk ini sangat sensitif terhadap<br />

perilaku masyarakat. Alhasil, kompetisi di<br />

kelas keyboard arranger menjadi seru<br />

karena setiap pabrikan melakukan konsep<br />

branding yang berbeda-beda menyesuaikan<br />

khalayaknya.<br />

Hal ini dipahami betul oleh Patricia,<br />

yang menuturkan bahwa salah satu kunci<br />

menggaet Pasar arranger adalah konten<br />

tradisional. “Awalnya kami memasukkan<br />

konten-konten tradisional sekitar awal tahun<br />

2000-an ke dalam Korg IS 35, sayangnya<br />

IS 35 ini hanya bertahan selama satu tahun<br />

karena tiba-tiba Korg pusat memutuskan<br />

untuk membuat sebuah keyboard dengan<br />

platform yang sama dan update by<br />

software. Jadilah seri Pa lahir dari konsep<br />

itu. Dan kami mulai lebih serius lagi di<br />

Pa ini,”<br />

Alasan kuat dibalik hadirnya Pa Series<br />

dengan style tradisional adalah selain untuk<br />

mendorong industri musik di masing-masing<br />

daerah atau negara distribusi, juga untuk<br />

mencegah terjadinya black market.<br />

Campur tangan Korg Indonesia terhadap IS 35 (kiri)<br />

melahirkan Pa series (kanan)<br />

Pada masa saat Korg Pa 50 dipasarkan<br />

(sekitar tahun 2004-2005), Korg Indonesia<br />

melaporkan komplain terkait adanya<br />

aktifitas pasar gelap (produk yang beredar<br />

tanpa melalui distributor resmi) tersebut ke<br />

Korg pusat dan ditanggapi dengan serius.<br />

Pasar gelap tersebut juga terjadi akibat<br />

perbedaan harga jual antara negara satu<br />

dengan lainnya.<br />

Akhirnya, solusi lahir dengan<br />

keputusan masuknya style tradisional<br />

yang ternyata terus dipertahankan dan<br />

dikembangkan hingga hari ini. “Sehingga<br />

setiap negara memiliki produk Korg yang<br />

khas. Misalnya, Korg Pa yang dijual di<br />

Indonesia berbeda kontennya dengan yang<br />

di Turki atau India,” jelas Patricia yang<br />

mengenai proses lokalisasi ini.<br />

Hendra selaku Brand Manager Korg<br />

menambahkan, lokalisasi tersebut justru<br />

sudah lebih dahulu dilakukan oleh Korg<br />

Indonesia. “Kita sudah lebih dahulu<br />

melakukan lokalisasi dengan IS 35 tadi.<br />

Karena pada saat itu kami merasa suara<br />

tabla bawaan dari IS 35 berbeda dengan<br />

tabla yang biasa didengar oleh masyarakat<br />

Indonesia, sehingga kami mengakalinya<br />

dengan memproses ulang data MIDI IS 35,”<br />

jelasnya. Apa yang dilakukan oleh Korg<br />

Indonesia terhadap IS 35 ini ternyata<br />

dianggap ide brilian oleh Korg pusat di<br />

Jepang. Meskipun demikian, hanya negaranegara<br />

yang memenuhi target penjualan<br />

tertentu lah yang diberikan lokalisasi ini.<br />

Sekedar catatan, Indonesia menduduki<br />

peringkat pertama untuk penjualan seluruh<br />

produk Korg di Asia dan peringkat tujuh<br />

di dunia.


unplug . profile 25<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

Patricia Dharmawan,<br />

“Lokalisasi senjata ampuh<br />

melawan black market,”<br />

Secara khusus Hendra<br />

menambahkan bahwa<br />

salah satu kualitas<br />

penting yang membuat<br />

Korg Pa mampu<br />

berbicara banyak<br />

adalah style yang<br />

terkandung dalam<br />

produknya berasal dari<br />

sampling instrumen sungguhan. “Dari<br />

instrumen sungguhan itu lalu kami merekam<br />

loop-nya, yaitu satu pola permainan utuh.<br />

Inilah yang membuat suaranya realistis,”<br />

Hendra membandingkan dengan metode<br />

pembuatan sound secara sintetis yang tidak<br />

melibatkan sumber instrumen aslinya.<br />

“Berbeda dengan secara sintetis,<br />

keuntungan menggunakan sampling adalah<br />

suaranya tidak terdengar mesin dan<br />

dinamikanya lebih terasa karena kami<br />

menggunakan the real thing. Bukan sekedar<br />

mirip-miripan lagi,”<br />

Keyboard Sebagai Komoditas Yang<br />

Stabil<br />

Meninjau dinamika ekonomi<br />

yang terjadi beberapa tahun terakhir,<br />

Patricia tidak menampik bahwa beberapa<br />

alat musik mengalami gangguan. Namun,<br />

dia menyatakan keheranannya terhadap<br />

penjualan keyboard yang tidak terpengaruh.<br />

Patricia malah menyoroti situasi menarik<br />

yaitu gejala “pedang bermata dua” dari<br />

penggunaan internet. “Kami diuntungkan<br />

karena product knowledge masyarakat<br />

kota besar menjadi semakin tinggi,<br />

namun kontras dengan masyarakat yang<br />

penggunaan internetnya rendah. Mereka<br />

jadi lebih loyal terhadap produk-produk<br />

model lawas karena tidak mengikuti<br />

perkembangan line-up terbaru,” ujar Patricia<br />

yang senantiasa menjawab tantangan ini<br />

dengan melakukan brand activation<br />

langsung ke daerah-daerah terpencil untuk<br />

memperkenalkan Korg ke para pelaku<br />

usaha organ tunggal.<br />

Dengan melihat langsung tanggapan<br />

pasar di daerahnya masing-masing, Patricia<br />

tidak menyangka justru Pa 600 yang<br />

notabene untuk segmen menengah keatas<br />

mendapat sambutan positif di daerahdaerah<br />

tersebut. “Saat kita yang tinggal di<br />

kota resah mengenai gejolak ekonomi, yang<br />

di desa seakan tidak terkena dampak apaapa,<br />

makanya saya bilang keyboard paling<br />

stabil,”. Hendra juga menambahkan, “Para<br />

pemain organ tunggal itu jangan dikira<br />

orang sembarangan, mobilnya mewahmewah.<br />

Ini karena organ tunggal sudah<br />

menjadi profesi, setiap akhir pekan pasti<br />

mereka main di acara pernikahan,”. Menurut<br />

pengamatan Patricia dan Hendra, tinggi<br />

rendahnya harga yang dipatok para pelaku<br />

organ tunggal ditentukan oleh spesifikasi<br />

keyboard yang digunakan, bukan dari<br />

performa sang musisi.<br />

Namun bukan<br />

berarti Pa 300<br />

yang lebih murah<br />

tidak laku. Ada<br />

momen tertentu<br />

Style yang begitu<br />

dicintai musisi organ tunggal<br />

yang tidak<br />

sengaja<br />

mendongkrak penjualan. Saat tulisan ini<br />

diketik pada bulan Desember 2015, Pa 300<br />

sedang mengalami kenaikan permintaan.<br />

“Ini karena produk kompetitor sedang habis<br />

stoknya,” ujar Patricia.<br />

Berdasarkan catatan Hendra, selama<br />

ini wilayah penjualan keyboard arranger<br />

yang terbaik secara nasional adalah di<br />

Surabaya. Menurutnya, hal ini dikarenakan<br />

Kota Pahlawan itu merupakan pintu gerbang<br />

menuju Indonesia Timur. “Orientasi orang<br />

Indonesia Timur jika belanja itu ke<br />

Surabaya,”. Dirinya juga mengakui bahwa<br />

wilayah-wilayah Indonesia Timur memang<br />

belum dioptimalkan sepenuhnya oleh Korg<br />

karena tingginya biaya untuk mengirim<br />

tenaga product specialist dari Jakarta.<br />

“Meskipun demikian, Manado dan Makassar<br />

penjualannya bagus sekali. Saya menduga


unplug . profile 26<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

ada faktor budaya dari masyarakatnya yang<br />

suka membuat acara. Setiap cafe ada<br />

keyboardnya,” tambahnya.<br />

Agenda 2016<br />

Mengusung brand sebesar Korg,<br />

Patricia memaparkan fungsi dan tugasnya<br />

untuk senantiasa menumbuhkan demand.<br />

Patricia menekankan bahwa aktifitas<br />

komunikasi pemasaran harus sejalan<br />

dengan dealer. “Setiap kami mengadakan<br />

acara promosi ke daerah tertentu pasti kami<br />

menggandeng dealer setempat. Dengan<br />

melibatkan dealer, kami mengangkat<br />

reputasi dan kredibilitas outlet-outlet lokal<br />

karena masyarakat akan melihatnya sebagai<br />

acara mereka,” jelas Patricia. Konsep<br />

kelokalan inilah yang memang dipandang<br />

oleh Hendra sebagai niche market-nya Korg<br />

di Indonesia. Hendra mengklaim, “Tulang<br />

punggung kami memang ada di musik<br />

tradisional. Saya lihat kompetitor sudah<br />

mencoba mengikuti tapi itu hanya musik<br />

pop yang diberi instrumen tradisional, bukan<br />

the real thing,” Sebagai jawaban atas<br />

manuver kompetitor, Korg Indonesia dalam<br />

waktu dekat akan meluncurkan seri Pa<br />

terbaru, Pa 4X yang mereka sebut sebagai<br />

“The Super Arranger”. “Kami sudah<br />

menyiapkan konten yang meliputi 34<br />

Korg siap mengarungi 2016 dengan<br />

The Super Arranger<br />

provinsi di<br />

Indonesia, dari<br />

sebelumnya 21<br />

provinsi,” ujar<br />

Hendra. Masih ada<br />

beberapa hal yang<br />

menjadi PR bagi Korg Indonesia. Menurut<br />

Patricia, dirinya akan lebih menggali dan<br />

mempelajari pasar untuk kebutuhan<br />

bermusik keluarga. “Karena seri Pa kami<br />

masih didominasi oleh pengguna<br />

profesional. Sehingga, dalam waktu dekat<br />

kami akan memproduksi lagu anak-anak<br />

dengan musik gubahan Ibu Kasur, yang<br />

bisa diiringi oleh style-style tradisional<br />

Indonesia,” tuturnya.<br />

Hendra menyimpulkan bahwa Korg,<br />

khususnya pada seri arranger, mengusung<br />

misi untuk melestarikan tradisi dengan cara<br />

yang tidak tradisional. “Caranya dengan<br />

mengawetkan konten-konten yang tadi kami<br />

sebutkan. ‘Kan sayang jika sampai punah,<br />

nah kami ingin menumbuhkan kecintaan<br />

terhadap musik Indonesia dari keyboard.<br />

Kenapa keyboard, karena keyboard adalah<br />

hiburan keluarga,”. Hendra juga<br />

menekankan bahwa produk keyboardnya<br />

sebagai alat musik modern tidak berusaha<br />

menggantikan alat musik tradisional, “Kami<br />

ingin anak-anak dapat mengakrabi suara<br />

alat musik tradisional sekaligus bentukbentuk<br />

musiknya,”<br />

Penjualan Pitchblack Di Indonesia<br />

Menduduki Peringkat Pertama Dunia<br />

Ade Himernio,<br />

“Kualitas yang bicara”<br />

Korg<br />

Pitchblack<br />

Jika kita perhatikan beberapa tahun<br />

terakhir, ada sebuah pedal tuner dengan<br />

kemasan stompbox yang mendadak<br />

pamornya melejit, Korg Pitchblack.<br />

“Kami tidak punya strategi khusus untuk<br />

Pitchblack. Kualitas yang bicara,” ujar Ade<br />

Himernio yang menjabat sebagai Marketing<br />

Communication Korg. Ade menjelaskan,<br />

yang membuat Pitchblack disukai oleh<br />

masyarakat Indonesia selain dari<br />

akurasinya adalah kemasannya yang<br />

praktis, mulai dari stompbox hingga clip<br />

tuner. Korg memang sudah mengalihkan<br />

produk gitarnya ke sister company-nya,<br />

Vox. Namun tidak untuk tuner Pitchblacknya.<br />

“Tuner Pitchblack membuat banyak<br />

gitaris tersadar bahwa inilah yang mereka<br />

butuhkan selama ini,” tambah Ade.


unplug . profile 27<br />

ARIF HIDAYAT DAN GELIAT AHAY DRUMS<br />

PESONA KAYU INDONESIA DALAM DRUMKIT SOLID SHELL<br />

BERAWAL DARI BISNIS STUDIO RENTAL, JUAL BELI ALAT MUSIK, DAN REPARASI<br />

DRUM, KETEKUNAN ARIF HIDAYAT KINI BERBUAH MENJADI AHAY DRUMS. MESKI<br />

BARU DILAHIRKAN EMPAT TAHUN LALU, AHAY LANGSUNG MENGGEBRAK DENGAN<br />

BERBAGAI PRODUK UNIK YANG TIDAK BIASA DIJUMPAI DI PASARAN.<br />

Singkat cerita, begitulah Ahay<br />

diciptakan Arif. Tentu kita sudah maklum<br />

jika dibalik cerita itu pasti ada proses<br />

perjuangan yang panjang. Meski pernah<br />

menjalani peran sebagai karyawan swasta<br />

hingga pegawai negeri, namun ternyata<br />

bisnis rental studio yang dirintisnya sejak<br />

tahun 90-an lah yang membuka jalan<br />

menuju industri alat musik. “Saya<br />

mengawali karir di dunia pertambangan<br />

hingga cadangan emas di tempat saya<br />

bekerja habis dan ditawarkan transfer ke<br />

perusahaan lain. Namun saya lebih memilih<br />

kuliah Ilmu Hukum di Jakarta sambil<br />

menggunakan uang pesangonnya untuk<br />

membuka studio rental tersebut di Bekasi,<br />

bernama Fokus. Tahun segitu masih Rp<br />

3000/jam,” kenang Arif yang mengawali<br />

pendidikan akademisnya di Kimia Analisis.<br />

Namanya juga studio rental, Arif<br />

seringkali terlibat jual beli alat musik bekas.<br />

“Suka ada orang menawarkan alat musik<br />

dalam kondisi rusak, lalu saya perbaiki dan<br />

jual lagi. Itu dilakukan sambil kuliah,”. Arif<br />

mengenang, pada waktu itu media jual beli<br />

alat musik yang sangat efektif adalah surat<br />

kabar Pos Kota karena memang belum ada<br />

internet. “Terutama hari Sabtu atau Minggu,<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . profile 28<br />

adalah saat tepat untuk memasang iklan.<br />

Lama kelamaan, bisnis jual beli alat musik<br />

bekas ini jauh lebih berkembang dan saya<br />

tutup studionya,” tambah Arif.<br />

Nampaknya Arif memang dari awal<br />

sudah ingin menekuni dunia drum, sehingga<br />

masih teringat hasil karyanya saat berkutat<br />

di bisnis jual beli tersebut. “Pernah suatu<br />

ketika saya dapat drum Rolling Concert<br />

Series. Tom-nya dari 8”, 10”, 12”. Floor 15”<br />

dan 18”, Bass drumnya 24”x2. Itu ‘kan bisa<br />

dibuat jadi dua drumkit, lagipula ruang<br />

studio saya yang hanya 3x5 meter persegi<br />

tidak muat. Setelah saya jual untungnya<br />

jadi berlipat ganda,” ujarnya sambil tertawa.<br />

Reparasi Drum Dari Rumah Hingga<br />

Ke Eropa<br />

Didukung oleh banyaknya peluang<br />

bisnis dan berbekal rasa cintanya terhadap<br />

drum membuat Arif getol melahirkan<br />

kembali drum-drum yang rusak. Inilah awal<br />

mula Arif membuat drum sendiri “Kalau<br />

drum rusak, paling sering ‘kan hanya<br />

masalah part yang termakan usia seperti<br />

lug, bracket, atau strainer. Dulu saya<br />

belanja part tersebut di Tiga Putera Pasar<br />

Baru, tidak banyak yang tahu bahwa<br />

mereka menjual part drum,” rujuknya.<br />

Jika masalah part ada solusi tersebut, lain<br />

halnya dengan body/shell. “Saya terinspirasi<br />

saat melihat pembuatan contra bass, yaitu<br />

saat mereka menggulung triplek untuk<br />

dijadikan body-nya. Sehingga mulailah saya<br />

ikutan membuat drum shell dari triplek yang<br />

digulung. Meski masih apa adanya, jadilah<br />

Picollo yang saya jual Rp 150.000,”<br />

jelas Arif.<br />

Arif, menunjukkan<br />

shell Rosewood<br />

berkonstruksi<br />

Stave Block,<br />

memulai Ahay<br />

dari reparasi<br />

drum merk-merk<br />

lain<br />

Saat era Reformasi dimulai, Arif<br />

sempat vakum dari dunia musik karena<br />

dipercaya sebagai pegawai negeri untuk<br />

membangun provinsi Bangka Belitung<br />

hingga akhirnya kembali lagi ke Jakarta<br />

pada tahun 2008. Uniknya, Arif malah<br />

mencoba membuat simbal dari industri<br />

gamelan. Demi mempelajari pembuatan<br />

dan teknik peleburan gong, Arif berkelana<br />

ke Jogja, Solo, dan Klaten. “Saya takjub<br />

dengan simbal Turki. Teknik peleburan<br />

mereka berangkat dari kebutuhan militer di<br />

Jaman Perunggu, dan usaha saya membuat<br />

simbal dengan berangkat dari gong gagal,”<br />

Belum berhasil di simbal, Arif mengalihkan<br />

perhatiannya kembali ke drum. Tapi kali<br />

ini dengan metode pembuatan standar<br />

internasional yaitu berinvestasi ke mesin<br />

bubut. Setelah melihat-lihat drum dengan<br />

konstruksi solid, Arif mencoba membuatnya<br />

dan jadilah Snare prototype pertama Ahay.<br />

Tahap pembuatan shell solid jenis Stave Block<br />

Joint dibentuk dengan cara<br />

diluncurkan ke mata gergaji<br />

yang berputar<br />

Joint dilem hingga<br />

menjadi shell<br />

Shell memasuki tahap<br />

pengecatan dan finishing<br />

Shell<br />

memasuki<br />

ruang<br />

quality<br />

control<br />

Joint disusun seperti puzzle<br />

hingga membentuk shell<br />

Bagian tepi shell diberi<br />

lekukan (bevelling)<br />

Shell<br />

diberi<br />

lubang-lubang untuk<br />

hardware, tampak sebuah<br />

shell dari kayu Rosewood<br />

Siap dikemas dan<br />

dikirim ke outlet<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . profile 29<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

“Dan berkat bantuan Facebook, seluruh<br />

dunia tahu bagaimana saya bekerja dan apa<br />

hasilnya. Akhirnya dari tahun 2011 saya<br />

sudah ekspor,” jelas Arif yang lebih lanjut<br />

menjelaskan bahwa permintaan-permintaan<br />

ekspor datang dari Eropa karena pasar<br />

tersebut jenuh dengan produk drum yang<br />

bahannya itu-itu saja.<br />

Bahkan kegiatan ekspor ini berawal<br />

dari riset bersama dengan pembuat drum<br />

dari Austria dan membuka jalan Arif<br />

memasarkan brand ABD/Denish kesana.<br />

“Saya menjawab tantangan atas pasar yang<br />

jenuh itu dengan menawarkan produk drum<br />

berbahan kayu Merbau berkonstruksi multiply.<br />

Terkadang kami bungkus outer shellnya<br />

dengan veneer Rosewood, pasar Eropa<br />

suka corak Rosewood,” jelas Arif. Kiprahnya<br />

ini berhasil mendatangkan investor pada<br />

tahun 2014 lalu.<br />

Secara keseluruhan, Ahay Drums<br />

adalah sebuah perusahaan yang memiliki<br />

beberapa merek di line-up-nya. Selain Ahay<br />

sebagai flagship dengan konstruksi solid<br />

shell-nya dan ABD/Denish yang merupakan<br />

riset bersama Austria, masih ada Denish dan<br />

Redd. Redd sendiri dikhususkan untuk<br />

memproduksi shell dengan material akrilik,<br />

yang baru saja diluncurkan oleh Arif tahun<br />

2015 lalu. “Untuk ABD/Denish sementara ini<br />

masih ekspor ke Eropa, karena pricing-nya<br />

belum cocok untuk market di Indonesia,”<br />

jelasnya.<br />

Denish, line up low end pun dibuat di fasilitas yang sama dengan Ahay<br />

Manajemen Terpusat<br />

Meski diakui Arif bahwa respon pasar<br />

sejauh ini memuaskan, namun jajaran tim<br />

manajemen perusahaannya tidak ingin<br />

terlena. “Karena kami pernah terkendala<br />

dengan aktifitas distribusi. Kami merasa<br />

lebih efektif memegang kendali distribusi<br />

sendiri. Kami perusahaan Indonesia, maka<br />

seharusnya kami sendiri yang langsung<br />

melayani para outlet Ahay di Indonesia.<br />

Distributor saya adanya di luar negeri,”<br />

Arif juga mengungkapkan bahwa sejak 2016<br />

ini strategi distribusi dan pemasaran di<br />

Indonesia menjadi tanggung jawab Ahay<br />

sendiri demi penyebaran yang lebih lancar.<br />

Termasuk berurusan dengan endorsement,<br />

merchandise, hingga merintis franchise<br />

sekolah musiknya.<br />

Meskipun Denish dan Redd lebih<br />

ditujukan untuk pasar low end, namun Arif<br />

ingin menjamin bahwa kualitasnya tetap<br />

terbaik di kelasnya. Dengan alasan inilah<br />

Arif tidak membuatnya di negeri tirai bambu<br />

meski secara ongkos produksi lebih murah.<br />

“Toh misalnya saya buat 100 produk dengan<br />

kualitas yang nilainya sembilan, dengan<br />

saya buat 1000 produk dengan kualitas 6,<br />

ternyata profitnya sama saja. Waktu yang<br />

terbuang juga sama saja,” jelasnya.<br />

Untuk tahun 2016 ini Arif<br />

mengungkapkan bahwa strateginya untuk<br />

di Indonesia akan<br />

lebih digenjot ke<br />

Denish dan Redd.<br />

Sedangkan Ahay<br />

lebih diprioritaskan<br />

promosinya ke luar<br />

negeri. Tujuannya<br />

adalah membangun<br />

prestis dan brand<br />

image dari Ahay<br />

sehingga<br />

menambah<br />

kebanggaan bagi<br />

para pengguna<br />

True solid shell, si kelas wahid Ahay.


unplug . profile 30<br />

Customer Care Dan Service Centre<br />

Sebagai Ujung Tombak<br />

Arif mengklaim bahwa Ahay dibangun<br />

dengan pendekatan yang berbeda dengan<br />

brand-brand- lain pada umumnya. Hal<br />

pertama yang disebut Arif adalah garansi<br />

1 tahun dan after<br />

sales service selama<br />

5 tahun, salah<br />

satunya adalah<br />

jaminan ketersediaan<br />

spare part.<br />

Memperlakukan produknya bagaikan anak<br />

sendiri, Ahay bahkan memiliki akte kelahiran<br />

Berangkat dari kesedihan Arif melihat<br />

fakta bahwa belum ada drummer Indonesia<br />

yang memiliki signature series sendiri, Arif<br />

ingin seluruh artis endorsee-nya<br />

menggunakan produk Ahay yang sesuai<br />

dengan ciri khas masing-masing. Tidak<br />

heran jika saat ini Ahay berhasil menggaet<br />

sekitar empat puluh endorsee.<br />

Namun yang tidak biasa adalah<br />

adanya garansi sound. “Artinya ketika<br />

pelanggan memesan ke divisi Ahay<br />

Customshop namun sound yang diinginkan<br />

tidak tercapai, bisa refund 100 persen,” ujar<br />

Arif. Dari aspek ini kita bisa melihat<br />

kesungguhan Ahay memperlakukan setiap<br />

pelanggannya benar-benar menjadi anggota<br />

keluarga. “Memang garansi sound yang saya<br />

terapkan dikritik oleh para pembuat drum<br />

lain di luar negeri. Tapi saya yang tahu<br />

pangsa pasar dan selera tipikal drummer<br />

Indonesia. Sayalah pembuatnya. Saya yang<br />

mengalami sendiri proses riset dari mulai<br />

kekerasan kayu, serat kayu, usia kayu, dan<br />

karakteristik suara setiap kayu dari Red<br />

Mahogany, Rosewood, Ebony, Merbau, dan<br />

sebagainya,” Arif merujuk pada saat<br />

drummer mengungkapkan kebutuhan tonenya,<br />

Arif sudah tahu frekuensi apa yang<br />

dibutuhkan untuk lebih dominan dan bahan<br />

apa yang tepat untuk merepronya.<br />

Sehingga, Arif tidak ingin ada campur<br />

tangan lakban, muffler, bantal di dalam bass<br />

drum, gel, atau apapun karena setiap<br />

produknya sudah “jadi” secara sound.<br />

Shell dengan<br />

ukiran seperti<br />

ini dilakukan<br />

oleh divisi Ahay<br />

Customshop<br />

Berangkat dari jasa reparasi drum<br />

(dan masih menjalankan Bengkel Drum<br />

Jakarta), Arif sangat memahami betapa<br />

para musisi sangat mencintai gear-nya<br />

dan menginginkan performa terbaik dari<br />

investasi mereka. “Saya punya target<br />

pribadi bahwa 15 menit adalah waktu<br />

maksimal yang dibutuhkan untuk proses<br />

soundcheck drum saya,” kata Arif mantap.<br />

Pada saat wawancara ini dilakukan, sesekali<br />

pandangan Arif tertuju pada ponselnya.<br />

Arif menantikan laporan dari Cokelat yang<br />

pada saat bersamaan sedang live perdana<br />

menggunakan drumkit Ahay. Hanya demi<br />

melegakan hatinya bahwa target itu<br />

tercapai. “Saya biasa menelpon ke sound<br />

engineer di front of house yang sedang live<br />

hanya sekedar menanyakan apakah ada<br />

kendala dengan drumnya, biasanya cukup<br />

5 menit sudah jadi,”. Bahkan jika Arif<br />

menemukan produknya muncul di situs<br />

jual beli, seringkali dirinya menelpon sang<br />

penjual untuk mengetahui alasannya.<br />

“Sejauh ini untungnya karena motif ekonomi<br />

atau ingin upgrade ke tipe Ahay yang lebih<br />

tinggi, bukan karena tidak puas,”.<br />

Arif menjelaskan, tantangan<br />

berkecimpung di industri alat musik<br />

Indonesia adalah menemukan titik tengah<br />

dari perilaku konsumen yang maunya paling<br />

bagus dan paling murah. Namun Arif merasa<br />

bersyukur karena terbukti bekal ilmu yang<br />

ditekuni sejak kuliah menuntunnya.<br />

“Termasuk saat ini saya sedang<br />

mengembangkan shell jenis metal casting,<br />

saya perlu kembali lagi ke latar belakang<br />

kimia saya,” tutup Arif.<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . studio 31<br />

STUDIO SOEARA MADJOE<br />

KOLEKSI PREAMP BERBEDA UNTUK MEMILIH CITARASA<br />

BERANGKAT DARI KECINTAANNYA PADA MUSIK DAN TEKNOLOGI YANG DIPICU<br />

OLEH RASA PENASARAN DALAM MENDAPATKAN HASIL YANG MAKSIMAL, STUDIO<br />

SOEARA MADJOE DAPAT DIKATAKAN MEWAKILI SEBUAH USAHA YANG TIDAK<br />

SEMATA-MATA DIKAITKAN NILAI INVESTASI<br />

Pemiliknya, Ir.Anjar Prabowo (Bowo) adalah<br />

seorang arsitek yang ketika menjadi<br />

mahasiswa arsitektur Universitas Gajah<br />

Mada membentuk kelompok musik<br />

mahasiswa "Jaran Goyang". Ternyata,<br />

lambat laun passion itu berbuah menjadi<br />

sebuah studio profesional di kawasan<br />

Bintaro.<br />

Bersama Donni selaku studio<br />

engineer, Soeara Madjoe yang<br />

‘mengorbankan’ salah satu kamar di rumah<br />

pribadi Bowo menjadi semacam<br />

laboratorium untuk menguji peralatan baru<br />

yang bahkan belum didistribusikan di<br />

Indonesia. Ini semua tak lepas dari hasrat<br />

mereka yang memang gemar<br />

bereksperimen. Karena Soeara Madjoe lahir<br />

dilandasi oleh semangat yang tulus, Bowo<br />

tidak terlalu memikirkan prospek bisnis<br />

sebagai tujuan utamanya. Sehingga kita<br />

tidak akan pernah menemui promosi di<br />

media manapun. Namun dengan rekam<br />

jejak serta banyaknya klien yang sudah<br />

ditangani, rasanya sayang jika Soeara<br />

Madjoe tidak kita munculkan (untuk<br />

pertamakalinya) di media.<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . studio 32<br />

Dalam melakukan aktivitas, Donni dipandu speaker monitor<br />

Yamaha NS10 (hitam) cocok dengan selera mixing musik<br />

Indonesia dipadu dengan produk Focal Twin 6 dan Auratone<br />

Membuka percakapan, Bowo<br />

menjelaskan bahwa semua berawal dari<br />

rasa penasarannya untuk memproduksi<br />

musik dengan software MIDI. “Awalnya saya<br />

ingin mainan MIDI, jadi pada tahun 1998<br />

saya beli Korg X3 sebagai kontroler untuk<br />

memakai Cakewalk, tapi ternyata pada saat<br />

itu suara MIDI kurang bagus, lalu setahun<br />

kemudian beralih ke Roland VS2480 Digital<br />

Studio Workstation yang suaranya bagus,<br />

analog, tapi ternyata hardisknya lemah,<br />

begitu terjadi crash hilang semua datanya,”<br />

Setelah sekian lama mempelajari<br />

jenis-jenis konverter, Soeara Madjoe<br />

memutuskan melakukan investasi standar<br />

studio pada saat itu dengan memakai<br />

konverter Echo Layla. “Tidak lama kemudian<br />

tiba-tiba saya dapat kontrak untuk merekam<br />

Erik, rekan duet Melly Goeslaw di<br />

soundtrack film Ada Apa Dengan Cinta,<br />

dan hasilnya saya belikan Lavry Blue yang<br />

dipakai sampai sekarang,” kenangnya. Lavry<br />

Blue inilah yang mengawali Soeara Madjoe<br />

membuka bisnisnya di industri musik<br />

Indonesia hingga dikenal dari mulut ke<br />

mulut.<br />

Memburu Produk Neumann<br />

Studio Soeara Madjoe semakin<br />

berkembang setelah merekrut Donni, yang<br />

juga merupakan kerabat dekat Bowo, selaku<br />

studio engineer. Dengan kehadiran Donni,<br />

setiap hari Bowo mulai memperlakukan<br />

Soeara Madjoe sebagai sarana eksperimen<br />

sambil menerima klien-klien di antaranya<br />

Andra & The Backbone, KLA Project, Ari<br />

Lasso, Maia, Duo Maia, Seventeen, dan<br />

masih banyak lagi. “Hampir semuanya yang<br />

populer sudah pernah mastering atau mixing<br />

di sini kecuali artis dari label Musica seperti<br />

Noah,” ujar Bowo yang saat ini sedang<br />

mengerjakan proyek solo Andy Bayou.<br />

Hasil dari bisnisnya membuat Soeara<br />

Madjoe secara bertahap meningkatkan<br />

investasi peralatannya hingga saat ini Bowo<br />

merasa untuk sementara sudah cukup. “Tapi<br />

saya masih ingin sekali Neumann U67. Saya<br />

banyak sekali memakai produk Neumann<br />

termasuk yang TLM67, tapi U67 itu memang<br />

langka,” ujarnya. Menurutnya, karakter<br />

vokal pria pada kebanyakan musik<br />

mainstream Indonesia masih “kurang lakilaki”.<br />

“Yang bisa mensimulasikan dengan<br />

baik hanya U67. Neumann U87 dan TLM103<br />

kurang, M149 apalagi,” jelas Bowo yang<br />

selain masih ingin melengkapi koleksi<br />

Neumann-nya, juga penasaran dengan<br />

produk microphone Peluso. Berbeda dengan<br />

tipikal studio pada umumnya, Soeara<br />

Madjoe tidak memiliki kaca perantara.<br />

Menurut pengalaman Bowo, hal ini<br />

membantu penyanyi berkonsentrasi<br />

terutama bagi yang kurang berpengalaman<br />

dalam rekaman. “Biasanya mereka kurang<br />

lepas ekspresinya atau tegang jika ada kaca.<br />

Dulu memang ada kaca di sini tapi karena<br />

alasan itu saya tutup,” tambahnya.<br />

Koleksi Microphone<br />

Soeara Madjoe<br />

antara lain sepasang<br />

AKG C460B<br />

(atas,hitam),<br />

sepasang Neumann<br />

KM184 (atas,silver),<br />

dan dari kanan ke<br />

kiri Shure SM7B,<br />

EHX RH-R1, 2x<br />

Neumann U87,<br />

Neumann M149,<br />

Rode K2, dan<br />

Neumann TLM67<br />

(bawah)<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . studio 33<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

Pantang Direct Demi Sound Gitar Tebal<br />

Mengaku gemar bereksperimen<br />

dengan setup dan gear berbeda, Bowo<br />

mengaku secara khusus lebih tertarik<br />

mendalami sound gitar. Menurutnya,<br />

amplifier sangat berpengaruh sehingga<br />

dirinya rela memelihara beberapa produk<br />

sekaligus. Khusus untuk sound gitar<br />

modern, Soeara Madjoe mempekerjakan<br />

head-head kelas atas seperti Mesa Boogie.<br />

“Untuk karakter modern tersebut saya<br />

membunyikan tiga buah amplifier sekaligus<br />

yaitu Single Rectifier, Dual Rectifier, dan<br />

Triple Rectifier lalu ditodong bersamasama,”<br />

seraya menyebutkan bahwa sebuah<br />

ENGL Powerball II juga dimilikinya bahkan<br />

sejak belum didistribusikan secara resmi.<br />

“Jika menggunakan metode direct, bentuk<br />

waveform-nya akan menjadi squarewave<br />

sehingga vokalnya nanti akan tenggelam.<br />

Prinsip ini memang banyak diperbedatkan<br />

oleh para pelanggan saya disini, kalau sudah<br />

begitu terserah mereka saja tapi bagi saya<br />

sound todong tetap yang terbaik,” ujar Bowo<br />

diselingi candanya yang mengibaratkan<br />

sound gitar hasil metode direct bagaikan<br />

suara lalat.<br />

Dengan menggunakan metode todong,<br />

Dalam merekam gitar, Soeara Madjoe pantang direct<br />

Demi mencapai ketebalan sound gitar<br />

pula, Bowo sangat menghindari metode<br />

perekaman secara direct. Menurutnya,<br />

sound gitar harus berasal dari proses<br />

perekaman amplifier menggunakan<br />

microphone (todong).<br />

Soeara Madjoe pernah<br />

melakukan rekaman dengan lima buah<br />

amplifier sekaligus, seperti saat bekerja<br />

bersama Andra & The Backbone. “Saya ragu<br />

akan ada yang mampu menyamai ketebalan<br />

sound gitarnya Andra & The Backbone.<br />

Selain karena menggunakan lima buah<br />

ampli, microphone Shure SM57 yang kami<br />

gunakan sudah dimodifikasi oleh Tabfunkenwek<br />

sehingga membuat mic ini lebih<br />

seimbang frekuensinya. Harus begitu karena<br />

saat menggunakan banyak ampli, mic-nya<br />

harus se-flat mungkin,” klaim Bowo.<br />

Menggunakan metode todong, tentu<br />

sebuah amplifier juga melibatkan kabinet<br />

speaker. Menurut Bowo, impedansi juga<br />

berpengaruh besar. Kabinet dengan nilai 8<br />

ohm, ideal untuk blocking. Sedangkan untuk<br />

single note lebih cocok di 16 ohm karena<br />

frekuensi high dan karakter petikannya<br />

“lebih dapat”.


unplug . studio 34<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

SKEMA TRACKING<br />

Besarnya investasi untuk sound drum<br />

lah yang membuat Bowo lebih serius<br />

menekuni sound gitar di studionya. Dari<br />

sekian banyak teknik untuk tracking yang<br />

pernah dilakukan, Bowo memang mengaku<br />

belum begitu puas untuk sound drum<br />

karena ruangan studionya yang kecil. Selain<br />

drum-nya sendiri harus prima (secara<br />

khusus Bowo menyebut Pearl Master Series<br />

sebagai produk yang dia sukai), belum lagi<br />

masalah player. “Menurut saya Yoyok masih<br />

menjadi drummer rock terbaik di Indonesia.<br />

Energinya luar biasa. Kalau jazz Budi<br />

Haryono, groove nya enak,”<br />

ujar Bowo seraya<br />

menyebutkan bahwa break<br />

event point studionya baru<br />

terjadi di tahun 2010.<br />

Banyak Preamp,<br />

Banyak Citarasa<br />

Tentang banyaknya<br />

preamp koleksinya, Bowo<br />

memang mengakui seiring<br />

waktu dia lebih menyukai<br />

kegiatan mixing dan<br />

mastering karena musisi<br />

semakin banyak yang<br />

memiliki fasilitas tracking<br />

sendiri. Dirinya juga meramalkan bahwa<br />

studio rumahan seperti Soeara Madjoe akan<br />

semakin bermunculan termasuk studiostudio<br />

khusus mixing dan mastering. “Saya<br />

merekomendasikan agar studio berinvestasi<br />

ke preamp, kompresor, dan microphone.<br />

Saya tidak pernah investasi ke ekualiser<br />

karena penggunaannya menurut saya<br />

membuat lagu menjadi tipis,” saran Bowo.<br />

Banyaknya preamp dan kompresor<br />

koleksinya berguna untuk membentuk<br />

citarasa produksinya, yang dibagi oleh<br />

Bowo menjadi American dan British.<br />

Bowo menyebut perbandingan nuansa<br />

album Oasis atau Beatles dengan Earth,<br />

Wind & Fire.<br />

Lalu menurut Donni, studio engineer<br />

Soeara Madjoe yang disapa oleh Ahmad<br />

Dhani sebagai Don I Bart, yang dimaksud<br />

citarasa American adalah nuansa yang<br />

cenderung ke arah modern. Cirinya adalah<br />

instrumennya lebih tertata, vokalnya “tidak<br />

lepas-lepas” dan lebih in your face.<br />

Sedangkan citarasa British lebih ke arah<br />

vintage dengan nuansa live yang lebih<br />

terasa. “Tapi bisa saja dalam satu produksi<br />

kita memakai beberapa jenis preamp,<br />

tergantung lagunya mau diarahkan<br />

kemana,” tambahnya.<br />

SKEMA MIXING


M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

unplug . studio 35<br />

SKEMA MASTERING<br />

Selama bekerja bersama Soeara<br />

Madjoe dan menghadapi berbagai klien,<br />

Donni menganggap seluruh musisi berbedabeda<br />

dan memiliki keunikan tersendiri.<br />

“Semua ada tantangannya, misalnya untuk<br />

Rock harus rapi dan rapat, sementara untuk<br />

genre Melayu harus dibuat “ngampung”<br />

dengan cara vokalnya tidak dibuat rich, ke<br />

arah tahun 70-an,” jelasnya. Sedangkan<br />

untuk konsep Djent yang masih menjadi<br />

kontroversi apakah sudah dapat dikatakan<br />

genre, baik Bowo dan Donni sepakat sudah<br />

ada tanda ke arah sana.<br />

Untuk menuju citarasa modern,<br />

Soeara Madjoe menggunakan produk API<br />

dan Millenia Media, sedangkan untuk<br />

vintage memilih produk Chandler, Neve, dan<br />

Great River. Karena menggunakan banyak<br />

peralatan yang belum didistribusikan di<br />

Indonesia pada saat dibeli, otomatis produkproduk<br />

tersebut beroperasi di tegangan 110<br />

Volt yang justru menurut Bowo lebih enak<br />

hasilnya. Untuk antisipasi, selain diberi label<br />

stiker bertuliskan tegangan yang diperlukan,<br />

peralatan tersebut juga tidak pernah dibawa<br />

keluar studio. “Dulu sempat ada yang salah<br />

colok, tapi untung hanya kena sekringnya,”<br />

kenang Bowo yang merasa Soeara Madjoe<br />

lah studio pertama yang menggunakan API<br />

dan Neve di Indonesia. “Sehingga studio<br />

saya kerap menjadi rujukan saat suatu<br />

distributor akan memasukkan produk<br />

baru,” tutupnya.<br />

Kontak Soeara Madjoe :<br />

lancarmulya@gmail.com


unplug . komunitas 36<br />

BELAJAR, NONGKRONG, DAN JAMMING<br />

BERSAMA MESIN MUSIC CLUB INSTITUT<br />

TEKNOLOGI SEPULUH NOVEMBER<br />

Oleh Danu Wisnu Wardhana<br />

UMUMNYA, MAHASISWA JURUSAN TEKNIK MESIN DIANGGAP IDENTIK DENGAN<br />

DUNIA OTOMOTIF YANG KESEHARIANNYA TIDAK JAUH DARI TUMPAHAN OLI,<br />

RODA GIGI, RANTAI SEPEDA MOTOR, DAN SEBAGAINYA. NAMUN ANGGAPAN<br />

TERSEBUT TERBUKTI SALAH.<br />

Diawali dengan nongkrong dan<br />

jamming bareng, pada tahun 1999 para<br />

mahasiswa Teknik Mesin Institut Teknologi<br />

Sepuluh November (ITS) Surabaya dengan<br />

passion yang sama, membentuk sebuah<br />

klub musik.<br />

Membutuhkan lima tahun, tepatnya<br />

pada tanggal 19 Oktober 2004, klub<br />

tersebut akhirnya diresmikan sebagai<br />

organisasi mahasiswa bernama “Mesin<br />

Music Club” atau biasa disingkat MMC.<br />

Namun penantian itu terbayar setelah<br />

MMC mendapatkan studio latihan sendiri<br />

pada tahun 2006, setelah pihak jurusan<br />

memberikan bantuan berupa ruangan<br />

dan peralatan band.<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . komunitas 37<br />

Struktur organisasi dan piagam kegiatan MMC<br />

Menurut Fajar yang merupakan ketua<br />

MMC periode 2015/2016, MMC memiliki visi<br />

dan misi untuk menjadikan mahasiswa<br />

teknik mesin ITS berprestasi dibidang seni<br />

musik, baik di lingkup internal maupun<br />

eksternal. Struktur keanggotaannya pun<br />

jelas, dengan seluruh mahasiswa S1 sebagai<br />

anggota dan staf serta pengurus inti yang<br />

diseleksi setiap tahun.<br />

Berbagai kegiatan pendukung visi dan<br />

misi tersebut antara lain menyelenggarakan<br />

event musik lingkup kampus maupun<br />

lingkup Surabaya dengan konsep yang<br />

berbeda setiap tahunnya. Selain itu, secara<br />

rutin juga diadakan kegiatan jamming dan<br />

pelatihan berupa teori musik dan cara<br />

memainkannya.<br />

Namanya juga mahasiswa, MMC juga<br />

bahkan turut mengadakan kegiatan belajar<br />

bersama terutama menjelang ujian dan<br />

kuis. Dengan demikian selain hobi yang<br />

tersalurkan, nilai akademis mahasiswa<br />

diharapkan juga turut terjaga.<br />

Sadar memiliki kebutuhan finansial<br />

untuk menjaga MMC tetap lestari, peralatan<br />

studio latihan tersebut juga kerap disewa<br />

oleh teman-teman dari jurusan lain untuk<br />

event-event diluar lingkungan teknik mesin.<br />

Namun hal inilah yang menyebabkan<br />

beberapa alat musik harus diganti karena<br />

pemakaian yang kurang terkontrol. Proses<br />

upgrade tersebut didanai dari hasil<br />

penyewaan alat, donasi jurusan, dan hasil<br />

keuntungan event.<br />

Adrian, Kepala Divisi Inventaris<br />

2015/2016, menjelaskan gear yang saat ini<br />

digunakan di studio MMC. Untuk gitar<br />

elektrik, digunakan Washburn X-20.<br />

“Kelebihan gitar ini menurut saya pada<br />

konfigurasi pickup Humbucker-Single-Single,<br />

sehingga sangat versatile untuk berbagai<br />

genre terutama rock dan metal. Selain itu<br />

harganya terjangkau dan perawatannya<br />

termasuk mudah dengan playability yang<br />

nyaman,” papar Adrian.<br />

Untuk mendukung performa dan tone<br />

gitar tersebut, MMC memilih multiefek<br />

digital Korg Toneworks AX3G yang<br />

merupakan versi simple dari AX3000G.<br />

“Dengan 16 macam drive, bagi kami sudah<br />

mumpuni untuk genre rock dan metal, dan<br />

harganya terjangkau dompet mahasiswa.”<br />

Pada bass digunakan Squier Vintage<br />

Modifier Jazz Bass, dengan pickup single<br />

coil dari Duncan Design. Dengan tone yang<br />

condong ke low-mid ala Jazz Bass dan neck<br />

yang slim C-shaped, menjadikan bass<br />

tersebut nyaman dimainkan untuk berbagai<br />

macam situasi.<br />

Sementara itu, MMC masih setia<br />

menggunakan keyboard Yamaha PSR540.<br />

”Saya akui keyboard ini memiliki banyak<br />

variasi style, sehingga cocok untuk studio<br />

MMC. Selain itu harganya terjangkau serta<br />

awet dengan perawatan yang benar.”<br />

Studio MMC yang peralatannya kerap disewa oleh<br />

mahasiswa jurusan lain<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . komunitas 38<br />

Untuk drum, MMC menggunakan<br />

Drumset Sonor Force 507 dengan tambahan<br />

Crash 16”, Ride 20”, dan Hi-hat 12” dari<br />

Zildjian. Untuk kick pedal single<br />

menggunakan Giblatar, dan double pedal<br />

menggunakan Maxtone.<br />

Bicara mengenai pengetahuan tentang<br />

instrumen dan perawatannya, baik Adrian<br />

dan Fajar sepakat bahwa mahasiswa dan<br />

komunitas musik di lingkup kampus ITS<br />

sangat membutuhkan pencerdasan lebih<br />

lanjut. Minimnya informasi alat musik,<br />

terutama merk lokal yang berkualitas,<br />

menyebabkan kurangnya diskusi tentang<br />

instrumen itu sendiri. “Biasanya nama besar<br />

artis mempengaruhi reputasi dari brand<br />

produknya, sehingga suatu diskusi tentang<br />

alat musik dimulai dari diskusi mengenai<br />

gear yang dipakai oleh seorang artis,” jelas<br />

Fajar tentang faktor yang mempengaruhi<br />

keputusan pembelian mereka.<br />

Fajar (kiri) dan Adrian (kanan) merasa MMC sangat<br />

membutuhkan edukasi mengenai produk berkualitas<br />

Penulis sebagai alumni kepengurusan MMC<br />

yakin, dengan semakin berkembangnya<br />

komunitas mahasiswa di bidang seni musik<br />

akan berakibat positif terhadap<br />

perkembangan industri alat musik di<br />

Indonesia. Karena tidak bisa dipungkiri lagi<br />

bahwa akademisi pun juga turut menjadi<br />

pasar potensial yang selama ini penulis<br />

merasa belum dioptimalkan oleh distributor<br />

alat musik yang ada di Indonesia.<br />

FUN FACT<br />

Seluruh mahasiswa teknik mesin ITS<br />

S1 reguler dianggap anggota MMC<br />

secara otomatis.<br />

Kepengurusan terdiri dari 8 pengurus<br />

inti dan 24 staf.<br />

MMC menggunakan amplifier buatan<br />

Indonesia dengan merk Prima Nada<br />

Musika (bass dan gitar) dan Lexus<br />

KBX100 (keyboard).<br />

M Effect, salah satu event lomba dan festival band<br />

yang diselenggarakan oleh MMC<br />

Oleh: Danu Wisnu<br />

Wardhana<br />

Kepala Divisi Inventaris<br />

Mesin Music Club masa<br />

jabatan 2012/2013<br />

http://mmcits.blogspot.co.id/<br />

Twitter: @MMC_Crew<br />

Instagram: @mmc_its<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

ABOUT THE AUTHOR


unplug . teknik 39<br />

BAGAIMANA MENGHASILKAN SOUND<br />

SEPERTI CHRIS WOLSTENHOLME?<br />

Oleh Naufal Elroissi<br />

Siapa yang nggak tahu lagu Hysteria?<br />

Seorang bassist pasti pernah dengar lagu<br />

ini, atau minimal pernah tahu lagu ini.<br />

Bahkan untuk anak band tahun 2003-an,<br />

sampai ada bercandaan kalo “lu itu baru<br />

bisa dibilang jago kalo bisa mainin bassnya<br />

Hysteria.” Wew!<br />

Bassline legendaris dengan sound<br />

effect bass yang ‘wah’ menjadi pembuka<br />

dari lagu ini. Membuat siapapun yang<br />

mendengarnya langsung tahu kalau lagu<br />

ini adalah Hysteria, ciptaan band asal<br />

Devon, Inggris, MUSE.<br />

Sound bass bergelimang efek menjadi<br />

ciri khas dari Chris Wolstenholme, pencabik<br />

bass dari band yang telah menelurkan 7<br />

album studio ini. Dalam artikel kali ini,<br />

saya akan membahas bagaimana kita bisa<br />

mencoba mengimitasi sound Chris, tentunya<br />

dengan budget yang jauh lebih murah<br />

daripada membeli semua rig yang dimiliki<br />

Chris! Yang pasti, agar lebih afdol, yang<br />

saya tulis kali ini berdasarkan pengalaman<br />

saya sendiri serta pengamatan saya<br />

terhadap rekan-rekan bassist yang juga<br />

penggemar MUSE.<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . teknik 40<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

Mulai dari mana?<br />

Well, untuk awalnya, alangkah baiknya<br />

kalau kita tahu dulu, gear apa saja yang<br />

paling sering digunakan oleh Chris.<br />

Sehingga kita nggak membuang-buang<br />

uang dan waktu secara percuma.<br />

Fender Jazz Bass<br />

Walau bass yang dimiliki Chris nggak hanya<br />

jazz bass, tetapi dengan versatility yang<br />

dimiliki bass ini, menjadikan karakternya<br />

mudah diarahkan kemana saja, termasuk<br />

ke arah sound Muse. nggak harus Fender,<br />

yang penting berkonfigurasi jazz bass.<br />

EHX Big Muff Pi Black Russian<br />

Ini adalah efek fuzz utama<br />

Chris. Nyawa dari sound<br />

bass fuzz-nya Muse.<br />

Berhubung efek ini sudah<br />

discontinue, jadi lumayan<br />

susah dicari di pasaran.<br />

Alternatifnya bisa cari<br />

bekasnya di situs jual beli alat-alat musik,<br />

atau bahkan Ebay. Harganya cukup gelap<br />

belakangan ini, yang pasti sudah mencapai<br />

angka satu juta keatas.<br />

Human Gear Animato Distortion<br />

Efek ini merupakan efek distorsi utama<br />

Chris, butik buatan Jepang. Nggak dijual<br />

bebas, hanya dibuat jika ada pesanan.<br />

Suara dari pedal ini paling kentara di<br />

lagu “Starlight” (setelah<br />

digabung octaver), “Hyper<br />

Music”, dan bahkan<br />

“Hysteria”. Efek ini jarang<br />

standalone, lebih sering diblend<br />

dengan Big Muff agar<br />

menghasilkan frekuensi<br />

low, mid, serta high yang wet sekaligus.<br />

Mau? Siapin aja dana lima jutaan buat<br />

datengin efek ini ke Indonesia.<br />

Boss OC-2 Octaver<br />

EHX Octave Multiplexer<br />

Sesuai namanya, efek ini<br />

berfungsi untuk menurunkan<br />

nada ke satu oktaf (atau<br />

bahkan 2) lebih rendah dari<br />

nada yang kita mainkan.<br />

Menghasilkan sound yang<br />

lebih berat. Harga berkisar<br />

400-600 ribu (OC-2 Taiwan),<br />

800 ribu-1 juta (EHX), 1 juta<br />

(OC-2 Jepang).<br />

Digitech Bass Synth Wah<br />

Sebenarnya efek ini<br />

hanya digunakan untuk<br />

satu lagu saja, yaitu<br />

Hysteria. Tetapi karena<br />

lagu Hysteria sudah<br />

terlalu melegenda,<br />

bahkan menjadi<br />

trademark sound Muse,<br />

maka saya rasa tak ada<br />

salahnya bila ini saya<br />

masukkan ke dalam<br />

salah satu efek utama Chris. Harganya<br />

cukup terjangkau, nabung aja sampai<br />

terkumpul 600 ribu-1 juta.<br />

Akai Deep Impact<br />

Pedal synthesizer tergokil untuk bass yang<br />

pernah diciptakan. Merupakan barang<br />

langka, karena dulunya underrated, dijual<br />

sangat mahal dengan casing plastik<br />

murahan.<br />

Sekarang? Dicaricari<br />

seantero dunia.<br />

Harga? Kalo ga<br />

perlu-perlu amat<br />

mending beli<br />

motor matic deh,<br />

langsung lunas lagi.


unplug . teknik 41<br />

Sansamp PSA-1<br />

Rack preamp yang digunakan Chris,<br />

digunakan untuk menghasilkan sound mild<br />

overdrive. Sudah discontinued, Harga di<br />

pasaran bekas mulai dari 3 jutaan, atau beli<br />

versi barunya PSA-1.1 dengan harga sekitar<br />

7 jutaan.<br />

Marshall DBS 7400<br />

Meski sudah beralih<br />

ke Markbass,<br />

Marshall DBS 7400<br />

ini berperan penting<br />

dalam 20 tahun<br />

pembentukan<br />

karakter sound bass<br />

Muse. Sound ala Marshall yang dirancang<br />

khusus untuk bass, sound British yang warm<br />

dengan tingkat deep yang sangat dalam.<br />

Harga? 11-12 sama Akai Deep Impact.<br />

Tetapi karena ini adalah head ampli, harga<br />

segitu masih terbilang 'wajar'.<br />

Mahal ya?<br />

Nggak semua orang beruntung. Nggak<br />

semuanya bisa beli sama persis dengan apa<br />

yang menempel di rig-nya Chris. Nah, itulah<br />

tujuannya dibuat tulisan ini. Meniru sound<br />

Chris dengan budget seminim mungkin!<br />

1. Pakai multiefek digital<br />

Demi meminimalisir dana, digital multieffect<br />

merupakan salah satu jawaban simpel.<br />

Beberapa multiefek saat ini sudah mampu<br />

mereplika sound-sound pedal terkenal<br />

dengan sangat baik. Sebut saja Zoom B3,<br />

B1xon, jajaran Line 6, dan lain sebagainya.<br />

Tetapi banyak yang lebih sreg dengan<br />

Zoom, karena sound distorsinya lebih cadas.<br />

Lalu, mengapa di gambarnya ada Big Muff<br />

juga? Itu pedalboard saya dulu ketika awalawal<br />

covering Muse hehehe, kurang puas<br />

pakai sound fuzz bawaan Zoom B1x, alhasil<br />

digabung deh!<br />

Dalam multiefek, banyak sekali yang bisa<br />

dikulik. Mulai dari amp simulator, preamp,<br />

atau bahkan efek-efek Chris yang esensial<br />

yang sudah saya sebutkan sebelumnya.<br />

Tak perlu malu menggunakan multiefek,<br />

apalagi didukung dengan teknologi yang<br />

jauh lebih berkembang dibandingkan dulu.<br />

2. Gunakan Pedal Substitusi<br />

Banyak efek yang Chris gunakan yang<br />

harganya diluar nalar manusia berkantong<br />

pas-pasan. Salah satu solusinya lagi adalah<br />

menggunakan efek substitusi yang memiliki<br />

karakter suara yang sama atau minimal<br />

mirip.<br />

Pedal substitusi ini gampang-gampang<br />

susah. Terkadang substitusinya sendiri juga<br />

sudah langka. Solusi lainnya? Ada di poin 3.<br />

Tetapi sebelumnya, kita akan bahas poin<br />

ini terlebih dahulu.<br />

Gunakan multiefek digital sebagai langkah awal<br />

Animato Distortion<br />

bisa ditukar dengan<br />

Digitech Hardwire<br />

CM-2, Vintage Pro<br />

Co Rat, ataupun<br />

Boss OS-2, tinggal<br />

disesuaikan selera<br />

dan mana yang<br />

menurut kita lebih cocok saja.<br />

Vintage Pro Co Rat<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . teknik 42<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

Boss OC-2 karena sudah langka, bisa<br />

menggunakan EHX Octave Multiplexer yang<br />

juga digunakan Chris, atau Boss OC-3.<br />

Kenapa pedal-pedal ini? Bukan pedal octave<br />

lain yang ada di pasaran? Karena pedal<br />

octave yang disebutkan<br />

disini cenderung 'dirt'<br />

ketika dinyalakan.<br />

Beberapa pedal merk<br />

lain octavernya<br />

cenderung clean, yang<br />

menurut saya kurang<br />

cocok dengan sound<br />

Muse.<br />

EHX Octave Multiplex<br />

Sansamp PSA-1 bisa ditukar dengan<br />

Sansamp Bass Driver DI (BDDI). Walaupun<br />

harganya sama, tetapi Sansamp BDDI lebih<br />

ringkas untuk dibawa karena berbentuk<br />

pedal. Alternatif lebih murahnya adalah<br />

dengan menggunakan produk dalam negeri<br />

bermerek Cora Bass DI yang bisa dibilang<br />

kloningan Sansamp BDDI. Cukup untuk<br />

meniru sound ampli tabung.<br />

Akai Deep Impact adalah pedal synth. Synth<br />

yang dihasilkan cenderung seperti envelope<br />

filter. Simak saja lagu “Apocalypse Please”<br />

di bagian breakdown, “I Belong To You”<br />

bagian song. Bisa diakali dengan<br />

menggunakan pedal filter lain. Paling simpel<br />

adalah memaksimalkan pedal Digitech Bass<br />

Synth Wah. Konsekuensinya, harus puterputer<br />

knob kalo mau pake settingan lain.<br />

Wajib dicatat settingannya biar nggak lupa.<br />

Alternatif lain yang sedikit mahal adalah<br />

Line 6 FM4. Chris sebenarnya juga memakai<br />

pedal ini, tetapi hanya untuk sweep filter di<br />

intro “Sunburn” live. Maka dari itu tak saya<br />

masukkan ke pedal yang esensial diatas.<br />

Kelebihan efek ini adalah bisa save hingga<br />

4 preset. Kelemahannya adalah cukup<br />

mahal dan boros tempat di pedalboard.<br />

Opsi lainnya adalah gunakan pedal filter<br />

sesungguhnya seperti Electro-harmonix<br />

Q-tron. Chris sempat memakai pedal ini<br />

walaupun tidak lama.<br />

Line 6 FM4<br />

3. Gunakan Efek Kloningan<br />

Yup, dengan harga rata-rata dibawah satu<br />

juta, builder efek di Indonesia sudah handal<br />

untuk menciptakan kloningan efek-efek<br />

terkenal yang ada di dunia. Sebut saja<br />

Trooper, Infect, ERV, Fatmac, dan lain<br />

sebagainya.<br />

Cukup sebutkan efek apa yang ingin ditiru,<br />

lalu ingin seperti apa tampilan pedalnya, dan<br />

perubahan apa saja yang kita inginkan<br />

dalam efek itu. Akan lebih baik jika kita<br />

sudah cukup mengerti dengan karakter yang<br />

ingin dikejar.<br />

Infect Blender<br />

Cora Bass DI<br />

Efek-efek seperti Big<br />

Muff, Animato,<br />

octaver, filter, serta<br />

preamp cukup banyak<br />

dibuat kloningannya,<br />

jadi cukup aman untuk<br />

meminta mereka<br />

membuatkan efek<br />

yang dipakai Chris.<br />

Rekomendasi saya?<br />

Infect (n.b. : saya<br />

tidak disponsori).


unplug . teknik 43<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

4. Pedal Blender<br />

Mungkin banyak yang belum tahu apa itu<br />

blender. Bukan, bukan untuk membuat<br />

jus. Saya tahu ini jayus, baiklah. Pedal<br />

blender fungsinya adalah mencampur<br />

efek-efek yang kita taruh dalam effect<br />

loop yang tersedia di pedalnya, dengan<br />

sinyal dry bass kalian. Simpelnya, ada suara<br />

efek dan suara asli bass yang terdengar<br />

dari speaker kalian nantinya, jadi seperti<br />

memakai dua ampli sekaligus.<br />

Kenapa perlu pedal ini? Karena pedal-pedal<br />

yang digunakan Chris kebanyakan adalah<br />

efek gitar. Bahkan Big Muff Russian aslinya<br />

adalah efek gitar. Animato juga efek gitar.<br />

Apa yang salah dengan efek gitar digunakan<br />

di bass? Ah tak ada yang salah. Cuma saja<br />

low frekuensi kita jadi nggak kedengeran<br />

lagi. Loh ga nge-bass dong? Nah! Thump<br />

yang hilang ketika dipasangkan efek-efek<br />

gitar akan tetap ada dengan bantuan pedal<br />

blender ini.<br />

Chris tidak menggunakan pedal<br />

ini. Tetapi ia punya 3 ampli<br />

yang menyala bersamaan<br />

dan routing system<br />

yang rumit.<br />

Pedal blender ini<br />

memudahkan kita untuk<br />

mengejar sound Chris yang<br />

deep dan juga lebar secara<br />

frekuensi. Selain buatan lokal, ada juga<br />

buatan pabrikan bermerk dengan harga<br />

yang cukup fantastis. Sebut saja Xotic<br />

X-Blender.<br />

Nah, itulah cara-cara 'meringkas' sound<br />

legendaris Chris Wolstenholme menjadi<br />

lebih ekonomis. Sebagai penutup, saya<br />

akan memajang beberapa pedalboard yang<br />

memang ditujukan untuk meniru sound<br />

Chris tersebut. Pedalboard tersebut<br />

merupakan milik teman-teman saya,<br />

sekaligus ada punya saya juga. Hehehe.<br />

(Referensi : musewiki.org)<br />

Pedalboard 1 (credit : Hanif Shidqi)


unplug . teknik 44<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

Pedalboard 2<br />

(Credit : Iman Ramadhan)<br />

Pedalboard 5 (Credit : Afga Afif)<br />

Pedalboard 3<br />

(Credit : Iman Ramadhan)<br />

Pedalboard 6<br />

Pedalboard 4<br />

(Credit : Iman Ramadhan)<br />

ABOUT THE AUTHOR<br />

Oleh : Naufal Elroissi<br />

Pernah aktif di beberapa band covering, terutama Muse.<br />

Kebetulan bisa nulis artikel juga, karena sesuai dengan<br />

jurusan di kampus LSPR.<br />

Bisa dihubungi di naufalelroissi@gmail.com


unplug . review 45<br />

Rockwell RMB 32<br />

Tidak Hanya Soal Warna-Warni<br />

KALI INI ROCKWELL BENAR-BENAR AKAN BERANI TAMPIL BERBEDA UNTUK MENYAMBUT<br />

2016. KEBERANIAN ITU DITUNJUKKAN DENGAN MUNCULNYA PURWARUPA RMB32 INI.<br />

DENGAN DESAIN FINISHING-NYA YANG BERWARNA-WARNI, RMB32 AKAN LANGSUNG<br />

MUDAH TERLIHAT DI ANTARA BASS LAINNYA DI TOKO. TAPI SEBELUM BASS INI BEREDAR<br />

DI OUTLET-OUTLET TERDEKAT DI SEKITAR KITA, ROCKWELL MENGIRIMKAN RMB32 INI<br />

KEPADA KAMI UNTUK DIULAS SECARA MENDALAM, DAN TERNYATA MEMANG BUKAN<br />

HANYA WARNANYA YANG UNIK.<br />

Secara kasat mata, kita bisa lihat<br />

bahwa RMB 32 menggunakan material<br />

fretboard yang jarang digunakan Rockwell<br />

selama ini, Maple. Bukan berarti Maple<br />

adalah kayu terbaik untuk fretboard sebuah<br />

bass, namun fakta bahwa cukup jarang<br />

menemukan bass dengan bahan ini di<br />

bawah 3 jutaan bisa jadi nilai lebih bagi<br />

RMB 32 karena calon pembeli akan memiliki<br />

semakin banyak alternatif. Namun jangan<br />

khawatir untuk yang lebih suka fretboard<br />

Rosewood. Berdasarkan spesifikasi dapat<br />

kita lihat adanya indikasi bahwa RMB 32<br />

akan tersedia versi Rosewoodnya juga.<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . review 46<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

Desain<br />

Karena faktor inilah yang akan paling<br />

banyak dibicarakan orang-orang begitu<br />

melihat RMB 32, maka tidak ada salahnya<br />

jika penampilan RMB 32 menjadi yang<br />

pertama kita ulas. Yang menarik selain<br />

pemilihan warna pelanginya, metode<br />

finishing bass ini cukup transparan sehingga<br />

serat kayunya tetap terlihat. Hal ini adalah<br />

sebuah langkah jitu karena berhasil<br />

mengesankan RMB32 lepas dari kesan<br />

norak. Sehingga, di samping warnanya yang<br />

semarak, masih ada kesan elegan dengan<br />

mempertahankan serat kayu Swamp Ash<br />

yang memang dikenal indah.<br />

Sayangnya, bentuk dari body-nya<br />

tidak memiliki benang merah dengan<br />

headstock. Padahal, bentuk body tersebut<br />

mengingatkan kita pada bass-bass butik<br />

buatan Eropa atau Amerika dengan harga<br />

selangit. Upaya Rockwell untuk tidak lagi<br />

bermain aman dengan desain unik ini patut<br />

diapresiasi. Mari berharap jika saat tiba<br />

waktunya RMB 32 untuk dijual ke seluruh<br />

Indonesia, pihak Rockwell lebih<br />

memperhatikan detail-detail kerapihan<br />

terutama pada sudut-sudut sambungan<br />

antar bagian. Alangkah lebih baik lagi jika<br />

tersedia pilihan warna lain yang lebih<br />

solid/polos.<br />

Playability<br />

Bicara tentang playability, tentu<br />

perhatian kita langsung tertuju pada feel<br />

pada necknya. Dengan neck yang di-finish<br />

glossy, ternyata jemari kita masih mampu<br />

bertumpu dengan nyaman, kecuali bagi<br />

pemain yang seringkali melalukan teknik<br />

slide, mungkin perlu lebih sering melap<br />

keringat pada bagian neck ini.<br />

Set-up yang pada RMB 32 pada<br />

tulisan kali ini seakan sudah disiapkan untuk<br />

para penggila slap. Mungkin bisa membuat<br />

kita teringat TM Stevens, salah satu pemain<br />

bass dengan teknik slap terbaik, pernah<br />

memiliki signature series dengan warna<br />

serupa RMB 32. Meskipun merk lain, sih.<br />

Dengan action (ketinggian senar) yang tidak<br />

terlalu rendah, lagu Can’t Stop dari Red Hot<br />

Chili Peppers mampu diterjemahkan dengan<br />

baik. Selama dimainkan, kami tidak merasa<br />

perlu melakukan set-up action, apalagi<br />

trussrod-nya segala.<br />

Bahkan bagian belakang dan tutup cover baterai juga dibuat sewarna


unplug . review 47<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I<br />

Pickup misterius Richard Miller<br />

Berpindah ke bagian body, lekukanlekukan<br />

pada bagian tepi membuat RMB32<br />

terasa smooth. Meskipun body RMB 32<br />

menjadi tipis dan sangat ringan, kita akan<br />

tetap merasa bobot body dan neck masih<br />

cukup seimbang. Pasti ini berkat<br />

penempatan neck joint nya yang tepat.<br />

Soundcheck<br />

Jangan mengira ini adalah produk<br />

yang memang ‘menjual tampang doang’.<br />

Apalagi mengingat harganya nya bermain<br />

di bawah 3 jutaan, kita tidak bisa terlalu<br />

menuntut fitur macam-macam. Sehingga<br />

dapat dibayangkan betapa terkejutnya<br />

kami saat membuka cover belakang dan<br />

menemukan sebuah baterai 9 Volt.<br />

Rupanya RMB 32 menggunakan preamp<br />

aktif sehingga kita dapat mengeksplorasi<br />

tone pada bass ini.<br />

Sayangnya kami tidak terdapat keterangan<br />

cukup atas fungsi dari kelima knob-nya.<br />

Dugaan terbaik adalah, kita dapat<br />

menemukan sebuah master volume,<br />

ekualiser 3 band (treble, bass, middle),<br />

dan alih-alih switch, RMB 32 menggunakan<br />

sebuah knob balancer untuk memilih pickup<br />

yang dominan. Namun pembaca tidak perlu<br />

khawatir, semestinya Rockwell akan<br />

mencantumkan seluruh fungsi tersebut<br />

dengan jelas pada website mereka saat<br />

tiba waktunya RMB32 meluncur nanti.<br />

Preamp aktif dan knob balancer ini juga<br />

merupakan konfigurasi elektronik yang<br />

jarang kita temukan pada produk di<br />

kelasnya. Dalam pengujian, kami<br />

menggunakan amplifier Gallien Krueger<br />

700RB dengan kabinet 4x10 masih dengan<br />

merk yang sama. Dengan seluruh knob<br />

ekualiser yang flat, tone dapat terdengar<br />

dengan jelas. Bahkan, seluruh knobnya<br />

sensitif.


unplug . review 48<br />

Fun Fact<br />

Volute joint adalah metode penyambungan neck ke headstock<br />

menggunakan dudukan berbentuk huruf “V”<br />

Volute joint meninggalkan sedikit tonjolan di bawah nut, dan<br />

memberikan kestabilan yang baik namun cukup kompleks untuk dibuat<br />

Ternyata selain playabilitynya yang<br />

menunjang permainan slap, karakter sound<br />

dari RMB 32 juga mengikuti karena secara<br />

keseluruhan karakter nya dapat kita<br />

kategorikan ke arah mid-high yang punchy.<br />

Gain yang besari layaknya karakter bass<br />

modern. Belum ada banyak informasi<br />

mengenai pickup Richard Miller ini karena<br />

kalau di google malah tidak nyambung<br />

dengan alat musik. Tapi toh meskipun<br />

nama ini hanya gimmick sekalipun,<br />

RMB 32 sudah berhasil merepresentasikan<br />

sound modern.<br />

Cavity tershielding dengan<br />

baik oleh<br />

copper foil<br />

lebih dari itu. Material body menggunakan<br />

Swamp Ash, pilihan fretboard Maple dan<br />

tidak lupa dengan binding berwarna putih,<br />

ditambah dengan sirkuit aktif pula.<br />

Selain kita harus mengakui keberanian<br />

Rockwell atas desain yang eksentrik untuk<br />

mengawali semangat tahun baru ini,<br />

mungkin ada keberanian lain dalam hal<br />

pricing yang sulit ditandingi di kelasnya<br />

karena sangat terjangkau. RMB 32<br />

merupakan produk yang wajib dicoba<br />

bagi yang bosan atas produk yang itu-itu<br />

saja tapi dengan budget yang belum<br />

se-kontroversial niatan tersebut.<br />

Rating<br />

Sound : 80<br />

Playability : 75<br />

Desain : 70<br />

Harga : 85<br />

Verdict<br />

Dapat dimaklumi jika tiba-tiba kita<br />

ingin membentuk band reggae karena<br />

melihat warna bass ini. Tapi secara<br />

keseluruhan, RMB32 dapat diapresiasi<br />

Spesifikasi<br />

Body : Swamp Ash<br />

Neck : Maple dengan volute neck joint system<br />

Fingerboard : Maple/Rosewood<br />

Trussrod : Double Action<br />

Radius Fingerboard : 14”<br />

Electronik : 3 Band custom Richard Miller<br />

Pickup : Richard Miller<br />

Hardware : Custom Rockwell<br />

Price list : Rp. 2.850.000<br />

Website :<br />

www.russelrockwell.com<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . review 49<br />

Yamaha THR 100H Dual<br />

Tonggak Baru Di Kelas Amplifier Modelling<br />

YAMAHA MERILIS AMPLIFIER GITAR? TENTU SAJA HAL INI CUKUP MENGEJUTKAN MENGIN-<br />

GAT MASIH BANYAK DIANTARA KITA YANG MUNGKIN TIDAK MENGETAHUI BAHWA YAMAHA<br />

SEBENARNYA PERNAH MEMBUAT AMPLIFIER, BAHKAN EFEK DIGITAL SEPERTI DGSTOMP<br />

JAUH SEBELUM MEREKA MEMBELI LINE 6. NAH, KITA MENDAPAT KEHORMATAN UNTUK<br />

MENJAJALNYA SEBELUM RESMI DIJUAL DI SINI.<br />

Kesan butik langsung terlihat saat<br />

melihat dan menyentuh permukaan chassisnya.<br />

Material yang keseluruhannya logam<br />

membuatnya seakan berkata “bawalah saya<br />

ke panggung!” Padahal, head ini tergolong<br />

ringan. Dengan adanya kombinasi warna<br />

putih dan lubang-lubang ventilasi, THR 100H<br />

Dual juga memberikan kesan solid dan<br />

elegan. Kesan tersebut akan semakin kuat<br />

saat amplifier ini dalam keadaan “On”<br />

karena tiga buah lampu berwarna merah<br />

turut menyemarakkan amplifier solid state<br />

ini, seakan-akan ini adalah amplifier tabung.<br />

Bukti lain bahwa head amp ini dibuat<br />

dengan sangat serius adalah pada perhatian<br />

khusus dari Yamaha terhadap hal-hal detail<br />

seperti knob. Seksi ekualiser diwakili oleh<br />

knob berwarna putih berbentuk segi enam,<br />

sedangkan pada knob booster, diwakili oleh<br />

sebuah knob model chicken head berwarna<br />

hitam. Percaya atau tidak, secara psikologis<br />

ternyata metode ini membuat kita lebih<br />

cepat memahami fungsi dasar amplifier ini.<br />

Sebelum memulai, perlu diingat<br />

bahwa ini adalah review dari sebuah<br />

purwarupa yang akan dijual di Indonesia,<br />

fitur seperti USB dan Direct Out XLR-nya<br />

tidak diulas. Harga-nya pun baru dapat kita<br />

kira-kira dari situs jual beli luar negeri<br />

seperti “sweetwater.com” karena memang<br />

belum resmi dijual di sini pada saat artikel<br />

ini ditulis.<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . review 50<br />

Bahkan terdapat cooling fan di bagian belakangnya<br />

Fitur<br />

Sekilas melihat susunan knob-knob<br />

yang berderet, kita mungkin berasumsi<br />

amplifier ini memiliki banyak kontrol.<br />

Padahal, sebenarnya amplifier ini hanya<br />

terdiri dari dua buah channel yang dibuat<br />

identik. Dengan memiliki dua buah input,<br />

kita bahkan dapat menggunakan dua buah<br />

gitar dengan masing-masing sound yang<br />

independent.<br />

Namun pastinya hal itu akan sangat<br />

jarang kita temui mengingat pada saat ini<br />

setiap gitaris pasti menggunakan atau<br />

membawa amplifier masing-masing. Oleh<br />

karena itu, kedua input ini lebih masuk akal<br />

untuk dioptimalkan bagi kita yang ingin<br />

memiliki tone yang kaya. Ya, hanya dengan<br />

sebuah gitar saja yang dimasukkan ke Input<br />

1, kita dapat memproduksi suara hasil<br />

gabungan channel 1 dan channel 2! Apalagi<br />

footswitch-nya juga menyediakan fitur<br />

tersebut.<br />

Footswitch yang ergonomis untuk di pedalboard<br />

Satu lagi yang unik adalah hadirnya<br />

presence yang biasanya hanya dapat ditemui<br />

di amplifier tabung. Namun ternyata<br />

tidak hanya itu. Melihat ke panel belakang,<br />

kita malah menemui pilihan jenis tabung<br />

seperti 6V6, EL34, EL84, 6L6, KT88 dan<br />

kelas amplifier A atau AB. Terakhir, kita<br />

dapat memilih daya<br />

yang dikeluarkan<br />

dengan rentang 25<br />

Watt, 50 Watt, atau<br />

100 Watt. Kami<br />

punya keyakinan<br />

kuat bahwa apa<br />

yang dilakukan oleh<br />

Yamaha ini belum<br />

pernah dilakukan<br />

4 kilogram masih masuk akal<br />

diangkat dengan dua jari<br />

oleh amplifier solid<br />

state manapun.<br />

Soundcheck<br />

Jika melihat knob paling kiri,<br />

maka kita akan paham bahwa pada<br />

dasarnya konsep THR 100H Dual adalah<br />

modeling amp. Terlihat dari pilihan sound<br />

yang seakan sudah terkategorisasi seperti<br />

solid, clean, crunch, lead, dan modern. Agar<br />

matching, amplifier ini kita review secara<br />

ekslusif dengan Yamaha AES 620. Pilihan<br />

clean, crunch, dan lead-nya yang cukup<br />

serbaguna. Apalagi, kita diberikan segudang<br />

alternatif dengan pilihan tabung dan kelas<br />

amplfiernya. Kelas amplifier AB terasa lebih<br />

kalem dibandingkan kelas A.<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . review 51<br />

Sedangkan pilihan tabung sebenarnya tidak<br />

terlalu signifikan. Perubahan karakter yang<br />

lebih drastis dapat kita rasakan pada knobknob<br />

ekualisernya yang sangat sensitif.<br />

Namun, perhatian utama kita mungkin<br />

akan lebih tertuju pada saat menggabungkan<br />

channel 1 dengan channel 2. Banyak<br />

tone baru yang mungkin belum pernah kita<br />

dengar sebelumnya saat menggabungkan<br />

karakter drive yang lembut dengan yang<br />

modern, atau dengan yang clean sekalipun.<br />

Inilah mengapa Yamaha menaruh embelembel<br />

“Dual” pada produk ini.<br />

Saran untuk penggila distorsi, ada<br />

baiknya meletakkan pedal booster atau<br />

malah pedal distorsi favorit sebelum input<br />

karena THR 100H Dual hanya menyediakan<br />

sebuah sound hi-gain yaitu modern. Seakan<br />

Yamaha masih belum percaya diri dengan<br />

karakter gaharnya, atau mungkin produk ini<br />

memang bukan target pasarnya. Tapi yang<br />

jelas, setelah berjam-jam bermain dengan<br />

produk ini,<br />

sepertinya<br />

model crunch<br />

dan lead-nya<br />

yang memang<br />

akan lebih<br />

banyak<br />

Channel 1 Aktif<br />

menarik calon<br />

pembeli.<br />

Untuk reverbnya<br />

terlihat<br />

seperti<br />

pemanis saja<br />

karena<br />

kontrolnya<br />

Channel 2 Aktif<br />

memang tidak<br />

banyak,<br />

namun untuk<br />

kualitas<br />

suaranya<br />

masih cukup<br />

berguna.<br />

Channel 1+2 Aktif<br />

THR 100H Dual sudah dipersiapkan<br />

dengan speaker cabinetnya yang dijual<br />

terpisah, yaitu THRC 112 atau THRC 212.<br />

Kedua kabinet ini mampu menerjemahkan<br />

semua keinginan kita dengan grill cloth<br />

(kain penutup speaker)-nya sangat modis<br />

dan mewah. Hanya saja, footswitch-nya<br />

memang tidak menyediakan pilihan untuk<br />

karakter modeling-nya.<br />

Verdict<br />

Desain yang cantik, fisik yang ringan,<br />

dan memiliki segudang fitur sepertinya<br />

sudah cukup untuk merekomendasikan<br />

sebuah amplifier. Namun<br />

untuk yang satu ini kita<br />

akan menemukan lebih<br />

dari itu. Selain memiliki<br />

kemampuan mereproduksi<br />

banyak tone, bisa<br />

jadi kita dapat menggunakan<br />

amplifier ini untuk<br />

Elegan dan garang<br />

dalam satu kemasan<br />

Rating<br />

Fitur : 80<br />

Sound : 79<br />

Desain : 95<br />

Spesifikasi<br />

Tipe : Solid state<br />

Jumlah Channel : 2<br />

Total Power : 100 Watt<br />

Reverb : Ada<br />

Ekualiser : 3 band<br />

Amp Modelling : 5<br />

Input : 2 x ¼ Inchi jack instrument<br />

Output : 2 x ¼ TS (ke speaker)<br />

: 1 x 1/8 (headphone)<br />

: 2 x XLR<br />

Efek Loop : Ada<br />

Tinggi : 12,5 cm<br />

Panjang : 44,5 cm<br />

Lebar : 25 cm<br />

Berat : 4 kg<br />

Harga : Belum diresmikan<br />

menggoda iman pecinta<br />

ampli tabung di luar sana.<br />

Website :<br />

www.id.yamaha.com<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . gear<br />

INFO<br />

PRODUK<br />

Ahay Solid Java<br />

Rosewood Drumset<br />

Mengusung konstruksi solid yang mewah,<br />

Ahay berusaha memberikan kebanggaan<br />

dengan memilih bahan kayu Rosewood<br />

(sonokeling) asli Indonesia. Dan karena<br />

Ahay berkonsep customshop, pilihan<br />

diameternya pun melimpah. Produk ini<br />

tersedia dalam balutan glossy atau natural<br />

satin untuk finishing-nya.<br />

Spesifikasi<br />

Bahan : Javan Rosewood<br />

Konstruksi Shell: Solid Stave Block<br />

Hardware : Ahay Classic Tube Lugs,<br />

Fancy Throw Off, Classic Bass Drum Spurs,<br />

Elegant Bass Drum Mount, Lightweight<br />

Floor Tom Legs<br />

Harga List : Rp 25.000.000<br />

Website :<br />

http://ahaydrum.wix.com/ahaydrums<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . gear<br />

INFO<br />

PRODUK<br />

Egnator Tweaker 40<br />

Ampli Tabung 40 Watt<br />

Sebuah amplifier 40 Watt yang memiliki 2<br />

channel yang bekerja dengan sepasang<br />

tabung power 6L6 dan tiga buah tabung<br />

preamp 12AX7. Meskipun bermain di kelas<br />

Watt menengah, Tweaker 40 memiliki<br />

banyak kombinasi suara berkat sebelas<br />

mini switch-nya.<br />

Spesifikasi<br />

Daya : 40-Watt<br />

Tabung : 2 x 6L6 dan 3 x 12AX7<br />

Kontrol : Bass, Middle & Treble<br />

Switch Voicing : AC, British, atau American<br />

Jumlah Channel : 2<br />

Fitur Independent : Volume & Gain, switch<br />

Tight & Bright Voice, switch Vintage / Modern<br />

Amp, selektor Clean / Hot, switch Mid Cut<br />

Effect Loop : Buffered dengan selektor level<br />

Dimensi : 21 cm x 47 cm x 20 cm<br />

Berat : 10 kg<br />

Harga list : Rp 11.160.000<br />

Website :<br />

www.egnateramps.com/EgnaterProducts/Tweaker/Tweaker40/Tweaker40.html<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . gear<br />

INFO<br />

PRODUK<br />

G&L Tribute Fallout<br />

Inspirasi Vintage Terlahir Kembali<br />

Line up terbaru dari G&L yang terinspirasi<br />

oleh produk lawas mereka di tahun 80-an,<br />

yaitu G&L SC-2 namun dengan sejumlah<br />

penyesuaian agar dapat memenuhi selera<br />

masa kini. Jadi bisa dibilang G&L Fallout<br />

sebenarnya adalah produk reissue, namun<br />

dengan harga yang terjangkau.<br />

Tersedia pilihan warna merah, hitam,<br />

dan biru muda.<br />

Spesifikasi<br />

Konstruksi : Bolt-on<br />

Skala : 25 1/2"<br />

Pickup : G&L AP4285B P-90 di neck dan<br />

G&L AW4470B humbucker di bridge<br />

Kayu Body : Mahogany<br />

Kayu Neck : Hard-rock Maple dengan<br />

fretboard Rosewood<br />

Lebar Nut : 41,25 mm<br />

Neck Radius : 12" / 304,8 mm<br />

Neck Profile : Medium C<br />

Fret : 22 Medium Jumbo, Nikel<br />

Tuning Key : 18:1<br />

Bridge : G&L Saddle Lock<br />

Kontrol : 3-Position Pickup Selector,<br />

Volume, Tone dengan Push/Pull Coil Tap<br />

Harga list : Rp 6.500.000<br />

Website :<br />

www.glguitars.com/instruments/TributeSeries/guitars/fallout/index.asp<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . gear<br />

INFO<br />

PRODUK<br />

H.B.E. Hematoma<br />

Pedal Efek Bass<br />

Salah satu pedal yang dipakai oleh Chris<br />

Wolstenholme dari Muse, Hematoma adalah<br />

pedal efek bass 2 channel bass yang terdiri<br />

dari sebuah preamp dan sebuah overdrive.<br />

Preamp dan overdrive ini dapat dipakai<br />

secara terpisah atau dikombinasikan.<br />

Preamp-nya memiliki kontrol Pre-gain<br />

untuk mem-boost hingga 5db. Sedangkan<br />

overdrive-nya memiliki kontrol Gain, Level,<br />

dan Tone dan juga sebuah kontrol EQ Shift<br />

yang menghasilkan tone yang lebih warm<br />

dan smooth saat diaktifkan.<br />

Spesifikasi<br />

Kontrol : Gain, Tone, Level, EQ Shift,<br />

Pre-gain, Overdrive On/Off (Overdrive),<br />

Pre-gain On/Off (Preamp)<br />

Dimensi : 9 cm x 11,7 cm x 2,22 cm<br />

Harga List : Rp 2.294.000<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . gear<br />

INFO<br />

PRODUK<br />

Line 6 XD-V75<br />

Bagi vokalis, tentu saja microphone wireless<br />

merupakan kebutuhan pokok. Sesuai<br />

kodrat-Nya, setiap suara manusia diberkahi<br />

karakter tone yang berbeda-beda sehingga<br />

memilih microphone yang sesuai dengan<br />

karakter kita merupakan proses yang<br />

memakan waktu. Namun bagi yang ingin<br />

praktis, Line 6 XD-V75 sudah memberikan<br />

10 karakter microphone dari merek-merek<br />

terkemuka di dunia. Bagusnya, Line 6<br />

memiliki fitur Lock Mode agar settingan<br />

kita tidak sengaja berubah saat live.<br />

Spesifikasi<br />

Jarak : 300 feet (+/- 100 Meter)<br />

Jumlah Channel : 14<br />

Tipe Wireless : Digital Wireless Generasi<br />

Keempat<br />

Tipe Handheld : Dynamic, Cardioid Polar<br />

Pattern<br />

Material Handheld : Logam, dengan kapsul<br />

microphone dapat diganti<br />

Display LCD : Channel yang digunakan,<br />

atatus baterai, model microphone<br />

Harga List : Rp 9.700.000<br />

Website :<br />

http://line6.com/xd-v75/<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . gear<br />

INFO<br />

PRODUK<br />

Tech 21 Fly Rig 5<br />

Multiefek Analog<br />

Dengan panjang hanya 30 Centimeter,<br />

Fly Rig 5 dari Tech 21 mengemas lima<br />

efek gitar andalan Tech 21, yang terdiri<br />

dari sebuah clean boost, overdrive ala<br />

Plexi, emulator ampli tabung yang diambil<br />

dari SansAmp, sebuah spring reverb, dan<br />

tape delay.<br />

Fly Rig 5 memungkinkan kita membawa<br />

sebuah pedalboard full analog dengan<br />

format praktis.<br />

Spesifikasi<br />

Material : Casing dan Footswitch Logam<br />

Konektor : ¼ “ High Impedance Input<br />

: ¼ “ Low Impedance Output<br />

Dimensi : 29,2 cm x 6,35 cm x 3,175 cm<br />

Berat : 527 gram<br />

Harga list : Rp 4.700.000<br />

Website :<br />

www.tech21nyc.com/products/sansamp/flyrig.html<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug . gear<br />

INFO<br />

PRODUK<br />

Yamaha Reface Series<br />

Koleksi Keyboard Klasik Dalam Format Mini<br />

Yamaha melakukan gebrakan dengan<br />

meluncurkan empat buah mini keyboard<br />

sekaligus. Segmen mini keyboard yang<br />

sebelumnya cenderung identik dengan<br />

keyboard synthesizer, kini semakin variatif<br />

karena Yamaha dari keempat line-up yang<br />

diberi nama Reface Series ini mencakup<br />

Reface CP yang memiliki suara-suara piano<br />

elektrik seperti Yamaha CP80. Tersedia<br />

juga Reface DX (FM Synth), Reface YC<br />

(organ), dan Reface CS (analog modelling<br />

synthesizer).<br />

Spesifikasi<br />

Amplifier : 2 x 2 watt<br />

Speaker : 2 x 3 cm<br />

Penggunaan Daya : 6 watt<br />

Usia baterai : Sekitar 5 jam<br />

Dimensi : 53 cm x 6 cm x 17,5 cm<br />

Berat : 1,9 kg<br />

Jumlah Tuts : 37, Initial Touch<br />

Harga list : Rp 5.950.000<br />

Website :<br />

http://id.yamaha.com/id/products/musicalinstruments/keyboards/synthesizers/reface/?mode=series#tab=product_lineup<br />

M A J A L A H A L A T M U S I K D A N M U S I S I


unplug 59


unplug 60

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!