04.03.2013 Views

Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Hutan Indonesia<br />

TINJAUAN PUSTAKA<br />

Indonesia dikaruniai dengan hutan alam tropika yang sangat luas (144 juta<br />

hektar). Dari luas tersebut 113 juta hektar ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap,<br />

sedang 30 juta hektar lainnya dicadangkan untuk peruntukan lain (APHI 1998).<br />

Tetapi menurut data dari BPS (1996:216), luas hutan Indonesia adalah 130 juta<br />

hektar. Dari luas itu yang ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap 111.713.000 ha<br />

dan hutan produksi yang dapat dikonversi 19.039.000 ha (Simon, 2000).<br />

Indonesia secara keseluruhan telah kehilangan lebih 20 juta ha tutupan<br />

hutannya antara tahun 1985 dan 1997 – atau sekitar 17 persen dari kawasan hutan<br />

yang ada pada tahun 1985. Pulau-pulau yang mengalami deforestasi terberat<br />

selama periode waktu ini adalah Sulawesi, <strong>Sumatera</strong>, dan Kalimantan, yang secara<br />

keseluruhan kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya. Tabel 1<br />

menyajikan perkiraan laju deforestasi yang dibuat oleh Holmes, berdasarkan<br />

perbandingan dengan data dari RePPProT dan analisis terhadap citra satelit pada<br />

sekitar tahun 1997. Angka-angka estimasi tersebut harus diperlakukan sebagai<br />

perkiraan. Data tutupan hutan khususnya untuk tahun 1997 diliputi oleh berbagai<br />

ketidakpastian. Pertama, angka perkiraannya semata-mata didasarkan pada citra<br />

satelit yang tidak dilacak di lapangan untuk verifikasi. Kedua, citra satelit ini di<br />

beberapa tempat tertutup kabut awan atau dengan kata lain tidak dimasukkan<br />

dalam klasifikasi. Di tiga pulau besar <strong>Sumatera</strong>, Kalimantan dan Sulawesi, luas<br />

kawasan yang dikategorikan dalam "tidak ada data" luasnya mencapai 5,3 juta ha,<br />

atau 18 persen dari kawasan hutan yang "dihitung" (Holmes, 2000)<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


Tabel 1. Kawasan Hutan dan Deforestasi, 1985-1997 (Perkiraan PI/Bank Dunia).<br />

1985 1997<br />

Pulau<br />

Luas<br />

lahan<br />

(juta<br />

Ha)<br />

Luas<br />

Tutupan<br />

hutan<br />

hutan<br />

sebagai<br />

(juta<br />

% luas<br />

Ha)<br />

lahan<br />

Luas<br />

lahan<br />

(juta<br />

Ha)<br />

Tutupan<br />

hutan<br />

(juta<br />

Ha)<br />

Luas<br />

hutan<br />

sebagai<br />

% luas<br />

lahan<br />

Perubahan<br />

tutupan<br />

hutan<br />

1985-97<br />

(Ha)<br />

Persen<br />

perubahan<br />

hutan (%)<br />

<strong>Sumatera</strong> 47,53 23,32 49 47,06 16,63 35 6,69 -29<br />

Jawa dan<br />

Bali<br />

Nusa<br />

Tenggara<br />

13,82 1,35 10 nd nd nd nd nd<br />

8,07 2,47 31 nd nd nd nd nd<br />

Kalimantan 53,58 39,99 75 53,00 31,51 60 8,47 -21<br />

Sulawesi 18,61 11,27 61 18,46 9,00 49 2,27 -20<br />

Maluku 7,80 6,35 81 nd 5,54 nd 0,80 -13<br />

Irian Jaya 41,48 34,96 84 40,87 33,16 81 1,80 -5<br />

Total 190,89 119,71 63 189,70 100,00 50 20,50 47<br />

Sumber: Kawasan hutan tahun 1985 adalah hasil estimasi GFW dari data UNEP-WCMC, Tropical Moist<br />

Forests and Protected Areas: The Digital Files. Version 1. (Cambridge: World Conservation Monitoring<br />

Centre, Centre for International Forestry Research, and Overseas Development Adminstration of the United<br />

Kingdom, 1996). Kawasan hutan tahun 1997 adalah hasil estimasi GFW dari data Departemen Kehutanan,<br />

Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia (PI/Bank Dunia), set data digital dari CD-ROM (Jakarta, 2000).<br />

Catatan: nd = tidak ada data. Holmes meninggal dunia sebelum menyelesaikan analisisnya dan tidak<br />

membuat estimasi tentang hutan di Jawa, Bali, atau Nusa Tenggara. Angka-angka yang dicetak miring adalah<br />

estimasi oleh Holmes berdasarkan asumsi luas lahan yang belum dipetakan pada tahun 1997.<br />

Hasil analisis GFW (Global Forest Watch) menghasilkan estimasi nilai<br />

total tutupan hutan pada tahun 1997 yang lebih rendah daripada yang dibuat oleh<br />

Holmes, dan angka laju deforestasi sedikit agak lebih tinggi, tetapi perbedaan ini<br />

tidak begitu mencolok. Namun jika GFW berasumsi bahwa data dari Inventarisasi<br />

Hutan Nasional dapat diandalkan, maka 6,6 juta ha yang oleh Holmes<br />

teridentifikasi sebagai hutan, sebenarnya adalah perkebunan. Dengan demikian<br />

luas total tutupan hutan mungkin akan menurun menjadi 92-93 juta ha pada tahun<br />

1997, dan laju deforestasi rata-rata antara tahun 1985 dan 1997 menjadi 2,2 juta<br />

ha. Tanpa adanya pengecekan di lapangan, angka estimasi yang lebih tinggi ini<br />

tidak dapat dikutip langsung tanpa keterangan. Tabel 2 menyajikan perkiraan laju<br />

deforestasi yang dibuat oleh Global Forest Watch, berdasarkan data versi<br />

RePPProT dan PI/Bank Dunia yang telah direvisi (GFW, 2001).<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


Tabel 2. Kawasan Hutan dan Deforestasi, 1985-1997 (Perkiraan GFW).<br />

1985 1997<br />

Pulau<br />

Luas<br />

lahan<br />

(juta<br />

Ha)<br />

Luas<br />

Tutupan<br />

hutan<br />

hutan<br />

sebagai<br />

(juta<br />

% luas<br />

Ha)<br />

lahan<br />

Luas<br />

lahan<br />

(juta<br />

Ha)<br />

Tutupan<br />

hutan<br />

(juta<br />

Ha)<br />

Luas<br />

hutan<br />

sebagai<br />

% luas<br />

lahan<br />

Perubahan<br />

tutupan<br />

hutan<br />

1985-97<br />

(Ha)<br />

Persen<br />

perubahan<br />

hutan (%)<br />

<strong>Sumatera</strong> 47,58 23,94 48 47,57 16,43 35 -6,51 -28<br />

Jawa dan<br />

Bali<br />

Nusa<br />

Tenggara<br />

13,88 1,37 27 13,88 1,94 28 0,57 27<br />

8,15 1,06 35 8,15 0,46 8 -0,60 -131<br />

Kalimantan 53,72 39,64 74 53,72 29,64 55 -10,00 -25<br />

Sulawesi 18,76 11,19 60 18,75 7,95 42 -3,24 -29<br />

Maluku 7,85 5,79 74 7,85 5,82 74 0,03 1<br />

Irian Jaya 41,41 35,19 85 41,40 33,38 81 -1,81 -5<br />

Total 191,35 118,18 61 191,32 95,62 50 21,56 -18<br />

Sumber: Luas kawasan hutan 1985 berdasarkan rujukan dari WCMC, 1996. Luas kawasan hutan<br />

tahun 1997 didasarkan pada rujukan PI/Bank Dunia, 2000.<br />

Catatan: Pertambahan luas kawasan di Jawa antara 1985 dan 1997 mungkin karena<br />

pengembangan perkebunan. Kualitas data spasial perkebunan yang dimiliki kurang baik, sehingga<br />

tidak memberikan kesempatan untuk melakukan verifikasi asumsi ini. Informasi lebih lanjut<br />

tentang penghitungan luas kawasan hutan, dan masalah-masalah yang terkait dengan kawasan<br />

yang dikategorikan sebagai “tidak ada data”.<br />

Hasil perhitungan berdasarkan citra SPOT Vegetation yang mempunyai<br />

resolusi rendah, yaitu 1.000 meter oleh Badan Planologi Statistika Kehutanan<br />

tahun 2008, laju deforestasi 7 (tujuh) pulau besar, yaitu <strong>Sumatera</strong>, Kalimantan,<br />

Sulawesi, Maluku, Papua, Jawa, serta Bali dan Nusa Tenggara pada periode tahun<br />

2000-2005 rata-rata sebesar 1,09 juta hektar/tahun.<br />

Tabel 3. Laju Deforestasi Indonesia Tahun 2000-2010<br />

No Tahun<br />

<strong>Sumatera</strong><br />

Deforestasi (1000Ha/Tahun)<br />

Kalimantan Sulawesi Papua Jawa Indonesia<br />

1 2000-2001 259,50 212,00 154,00 147,20 118,30 1.018.200<br />

2 2001-2002 202,60 129,70 150,40 160,50 142,10 926.300<br />

3 2002-2003 339,00 480,40 385,80 140,80 343,40 1.906.100<br />

4 2003-2004 208,70 173,30 41,50 100,80 71,70 634.700<br />

5 2004-2005 335,70 234,70 134,60 169,10 37,30 962.500<br />

Jumlah 1.345,50 1.230,10 866,30 718,40 712,80 5.447,80<br />

Rata-rata 269,10 246,02 173,26 143,68 142,560 1.089,56<br />

Sumber :Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan<br />

Hasil Tafsiran Citra Spot Vegetasi Resolusi Spasial 1 Km<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


Pembangunan Hutan Tanaman Industri<br />

Kebijakan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) lahir dari<br />

kesadaran Pemerintah untuk mewujudkan kelestarian sumber daya hutan<br />

sekaligus keberlanjutan peran sosial ekonominya. Dengan asumsi produksi kayu<br />

hutan alam 47 juta m3/tahun dan pertumbuhan industri perkayuan nasional rata-<br />

rata 2-20 persen melalui pendekatan kebutuhan bahan baku industri akan terjadi<br />

defisit kayu pertukangan dan kayu pulp masing-masing sebanyak 1,92 juta<br />

m3/tahun dan 0,7 juta m3/tahun mulai tahun 1988/1989 (Poerwowidodo, 1991).<br />

Atas dasar tersebut pada awal dekade 1990-an, Pemerintah meluncurkan<br />

kebijakan pembangunan HTI yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 7<br />

tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Dalam<br />

kebijakan tersebut dinyatakan bahwa HPHTI adalah hak untuk mengusahakan<br />

hutan di dalam suatu kawasan hutan yang kegiatannya terdiri dari penanaman<br />

pemeliharaan, pemungutan, pengolahan hingga pemasaran. Hak itu diberikan<br />

selama jangka 35 tahun ditambah daur tanaman pokok yang diusahakan<br />

(Aswandi et al., 2007).<br />

Pembangunan HTI merupakan jawaban yang paling tepat dan rasional<br />

karena memiliki berbagai kelebihan. Di satu sisi dapat mengatasi persoalan<br />

kerusakan hutan dan di sisi lain mampu mempertahankan kelangsungan dan<br />

keberlanjutan peran sosial ekonomi hutan yang tercermin dari keberadaan industri<br />

kehutanan. Perbedaan mendasar penyelenggaraan pembangunan hutan berbasis<br />

hutan alam dengan pembangunan hutan berbasis budidaya hutan terletak pada<br />

perubahan bentuk pengusahaan dari pemungutan menjadi bentuk budidaya<br />

tanaman (Aswandi et al., 2007).<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


Sesuai dengan konsepsi kebijakan pembangunan HTI, Pemerintah<br />

sesungguhnya telah memiliki sebuah grand design dalam upaya mewujudkan<br />

kelestarian hutan dan keberlanjutan peran industri kehutanan. Intinya,<br />

pembangunan hutan tanaman merupakan jawaban bagi kelestarian sumber daya<br />

hutan. Keterlibatan pihak swasta dalam kegiatan rehabilitasi kawasan yang tidak<br />

produktif menjadi penting. Selain memiliki infrastruktur dan permodalan yang<br />

lebih baik, pihak swasta telah berpengalaman mengelola hutan alam dalam bentuk<br />

konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Meskipun belum memiliki pengalaman<br />

dalam membangun hutan tanaman, setidaknya pengenalan kawasan hutan alam<br />

dapat dimanfaatkan dalam bentuk pengelolaan hutan tanaman. Keterlibatan<br />

pengusaha juga berkaitan dengan upaya percepatan pembangunannya sehingga<br />

dapat berlangsung sesuai dengan rencana. Hal ini tentu akan sangat berbeda bila<br />

hanya bertumpu pada peran dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana yang<br />

terjadi selama ini. Kenyataannya, realisasi kegiatan rehabilitasi hutan yang<br />

dilakukan Pemerintah relatif masih rendah, baik dalam aspek kuantitas maupun<br />

kualitas (Yudhiwati, 2010).<br />

Walau perluasan hutan tanaman untuk pembangunan jangka panjang dan<br />

keberlanjutan industri bubur kayu dan kertas serta kelapa sawit memang penting,<br />

perlu disadari pula adanya kompromi. Menyejajarkan tujuan ganda perluasan<br />

areal penanaman dan pengurangan emisi karbon akan bergantung pada alokasi<br />

lahan yang tepat (misalnya, dengan menargetkan areal tidak berhutan, lahan<br />

terdegradasi, yang disebut dengan lahan kritis, untuk perluasan hutan tanaman<br />

daripada membuka hutan yang baru) dan sejumlah insentif supaya areal lahan<br />

kritis diprioritaskan untuk pembangunan areal penanaman (Yudhiwati, 2010).<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


Tanpa pendekatan yang terkoordinasi antara berbagai tujuan, upaya pada<br />

suatu areal dalam mencapai satu tujuan tertentu dapat menghambat usaha untuk<br />

mencapai tujuan yang lain. Sebagai contoh, potensi investasi besar untuk<br />

pembangunan fasilitas pengolahan dapat mengakibatkan kerugian ekonomi jika<br />

pengalokasian lahan untuk penyerapan karbon mengakibatkan kekurangan bahan<br />

baku bagi industri ini. Di sisi lain, meningkatkan produksi hutan tanaman untuk<br />

menyediakan bahan baku bagi industri pengolahan juga dapat menghambat<br />

berbagai usaha nasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, jika perluasan<br />

lahannya berakibat deforestasi yang meningkat (Poerwowidodo, 1991).<br />

Klasifikasi Ilmiah Eukaliptus<br />

Berdasarkan World Agroforestry Center (2004), tanaman<br />

Eucalyptus hybrid mempunyai sistematika sebagai berikut:<br />

Divisio : Spermatophyta<br />

Sub Divisio : Angiospermae<br />

Class : Dycotyledone<br />

Ordo : Myrtiflorae<br />

Famili : Myrtaceae<br />

Genus : Eucalyptus<br />

Species : Eucalyptus grandis x Eucalyptus urophylla (Eucalyptus hybrid)<br />

Eukaliptus merupakan salah satu jenis tanaman yang dikembangkan dalam<br />

pembangunan hutan tanaman Industri. Kayu Eukaliptus digunakan antara lain<br />

untuk bangunan di bawah atap, kusen pintu dan jendela, kayu lapis, bahan<br />

pembungkus korek api, pulp dan kayu bakar. Beberapa jenis digunakan untuk<br />

kegiatan reboisasi (Mardin, 2009).<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


Eucalyptus sp. merupakan salah satu tanaman yang bersifat fast growing<br />

(tanaman cepat tumbuh). Eucalyptus sp. juga dikenal sebagai tanaman yang dapat<br />

bertahan hidup pada musim kering. Tanaman ini mempunyai sistem perakaran<br />

yang dalam namun jika ditanam di daerah dengan curah hujan sedikit maka<br />

perakarannya cenderung membentuk jaringan rapat dekat permukaan tanah untuk<br />

memungkinkan menyerap setiap tetes air yang jatuh di cekaman tersebut<br />

(Poerwowidodo, 1991).<br />

Marga Eukaliptus terdiri dari 500 jenis yang kebanyakan endemik di<br />

Australia. Hanya dua jenis yang tersebar di wilayah Malesia (Nugini, Maluku,<br />

Sulawesi, Asia Tenggara dan Filipina). Beberapa jenis menyebar dari Australia<br />

bagian utara menuju Malesia bagian Timur. Kergaman terbesar di daerah-daerah<br />

pantai New South Wales dan Australia bagian barat daya (Basuki, 2007).<br />

Hampir semua jenis Eukaliptus beradaptasi dengan iklim muson. Beberapa<br />

jenis dapat hidup pada iklim yang sangat dingin, misalnya jenis-jenis yang telah<br />

dibudidayakan yakni: Eucalyptus alba, Eucalyptus camaldulensis dan<br />

Eucalyptus citriodora. Eucalyptus deglupta adalah jenis yang beradaptasi pada<br />

habitat hutan dataran rendah dan hutan pegunungan dataran rendah pada<br />

ketinggian 1800 mdpl dengan curah hujan tahunan 2.500 – 3.000 mm, suhu<br />

minimum rata-rata 230 C dan maksimum 310 C di dataran rendah dan suhu<br />

minimum rata-rata 130 C dan maksimum 290 C di pegunungan (Basuki, 2007).<br />

Eucalyptus hybrid biasanya dikenal dengan sebutan flooded gum atau<br />

rose gum. Pohonnya dapat mencapai tinggi 75 m, dengan kulit kayu putih halus.<br />

E. hybrid umumnya ditanam dalam skala besar untuk produksi kayu, dengan<br />

penanaman total diperkirakan mencapai 2 M ha pada tahun 1987. Sebagian besar<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


dari jumlah ini ditanam di Brazil (>1 M ha) dan Afrika Selatan (300 000 ha).<br />

Selain itu, E. hybrid juga ditanam dalm jumlah yang besar di Argentina, Australia,<br />

India, Uruguay, Zambia, Zimbabwe dan negara-negara lain (Mardin, 2009).<br />

Hutan Tanaman Industri Eukaliptus<br />

Hutan Tanaman Industri (HTI) pada saat ini menghadapi tantangan yang<br />

cukup berat berkaitan dengan adanya ketimpangan kebutuhan bahan baku<br />

industri dengan kemampuan produksi kayu secara lestari. Permintaan kayu oleh<br />

industri hasil hutan yang semakin meningkat harus dapat dipenuhi oleh HTI.<br />

Permasalahan yang timbul adalah persediaan kayu HTI semakin lama semakin<br />

menurun sebagai akibat kurangnya pohon yang layak untuk ditebang. Keadaan<br />

tersebut mendorong HTI untuk melakukan penanaman tanaman cepat tumbuh<br />

(fast growing). Salah satu tanaman yang diajukan oleh Departemen Kehutanan<br />

sebagai tanaman pokok industri kehutanan adalah Eucalyptus sp (Basuki, 2007).<br />

Salah satu bentuk HTI yang saat ini memegang peranan penting dalam<br />

menunjang pengembangan industri kayu serat domestic adalah HTI kayu serat<br />

atau HTI pulp. Pentingnya pembangunan HTI pulp antara lain dapat dilihat dari<br />

kenyataan besarnya ketergantungan jenis industri ini kepada kayu serat. Serat<br />

dapat dihasilkan dari bahan yang mengandung selulosa tinggi seperti kayu,<br />

bamboo dan lainnya. Namun pada saat ini lebih dari 90% bahan baku pulp dan<br />

kertas berasal dari kayu, karena kayu mempunyai sifat unggu yaitu, rendemen<br />

yang dihasilkan tinggi, kandungan lignin relatif rendah dan kekuatan pulp dan<br />

kertas yang dihasilkan tinggi (Pasaribu dan Tampubolon, 2007).<br />

Eucalyptus sp. Seperti jenis Eucalyptus urophylla, Eucalyptus grandis<br />

dan Eucalyptus pelita merupakan jenis tumbuh cepat yang dikembangkan sebagai<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


ahan baku industri pulp secara luas di PT Toba Pulp Lestari dengan daur tebang<br />

7-8 tahun. Selain itu, jenis Eucalyptus hybrid terseleksi telah berhasil<br />

dikembangkan secara luas dengan karakter pertumbuhan yang lebih baik jika<br />

dibandingkan tanaman lainnya. Pengembangan Eucalyptus hybrid di Indonesia<br />

masih tertinggal dibandingkan dengan Negara lain seperti China, Kongo, Brazil<br />

dan Afrika Selatan yang telah mengusahakan tanaman jenis ini secara komersial<br />

dengan perbanyakan secara vegetatif (Nikles, 1996).<br />

Hasil-hasil penelitian tentang pertumbuhan atau produktivitas tegakan<br />

Eucalyptus hybrid telah banyak dilakukan di Australia, Brazil dan China,<br />

sedangkan di Indonesia jenis Eucalyptus hybrid belum lama dikembangkan secara<br />

luas sehingga hasil penelitian masih sangat sedikit dan bersifat parsial. Budidaya<br />

Eucalyptus hybrid di Brazil telah menghasilkan pertumbuhan pohon yang<br />

spektakuler, seragam dan kemampuan pangkas yang tinggi. Menurut Goncalves et<br />

al. (1997) pertumbuhan Eucalyptus hybrid di Brazil pada tanah ultisol sangat<br />

beragam dengan kisaran riap rata-rata tahunan pada umur 5 tahun sebesar 1248<br />

m 3 /ha/tahun (Campinhos, 1993).<br />

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, Eucalyptus sp.<br />

memiliki banyak kelebihan-kelebihan dibanding penanaman tanaman lain baik<br />

dari segi manfaat kayu maupun dari segi pertumbuhannya. Dari segi manfaat,<br />

kayunya dapat digunakan untuk bahan bangunan, kusen pintu atau jendela, kayu<br />

lapis, bahan pembungkus, korek api dan sebagai bahan pulp dan kertas. Dari segi<br />

laju pertumbuhannya, tanaman Eukaliptus memiliki tingkat pertumbuhan yang<br />

tergolong cepat. Sehingga pemanfaatan dari tanaman ini dapat dilakukan dengan<br />

waktu yang singkat (Sutisna et. al, 1998).<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


Pemanasan Global<br />

Perubahan iklim global akan memberikan dampak yang sangat parah bagi<br />

Indonesia karena posisi geografis yang terletak di ekuator, antara dua benua dan<br />

dua samudera, negara kepulauan dengan 81.000 km garis pantai dengan dua<br />

pertiga lautan, populasi penduduk nomor empat terbesar di dunia. Posisi geografis<br />

Indonesia menyebabkan bahwa pada setiap saat di dalam wilayah negara ini ada<br />

musim-musim yang saling berlawanan dan bersifat ekstrim, di satu wilayah terjadi<br />

kekeringan dan kekurangan air, di wilayah lain terjadi banjir. Musibah angin<br />

kencang dan gelombang pasang bisa terjadi setiap waktu dan sulit diprediksi<br />

(Winarso, 2009).<br />

Segala sumber energi yang terdapat di bumi berasal dari Matahari. Energi<br />

matahari berbentuk radiasi gelombang pendek (termasuk cahaya tampak) yang<br />

ketika terkena permukaan bumi dan menjadi panas yang menghangatkan bumi.<br />

Permukaan Bumi, menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya<br />

yang berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa. Sebagian<br />

gelombang panas tetap terperangkap di atmosfer bumi karena tertahan gas rumah<br />

kaca (uap air, karbon dioksida, dan metana) yang kemudian dipantulkan kembali<br />

ke bumi dan terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan<br />

bumi terus meningkat yang disebut dengan efek rumah kaca<br />

(Susandi et al, 2008).<br />

Selain efek rumah kaca, pemanasan global juga dipengaruhi proses umpan<br />

balik dari reaksi lingkungan terhadap peningkatan suhu bumi. Sebagai contoh<br />

adalah pada penguapan air. Peningkatan suhu bumi akibat bertambahnya gas-gas<br />

rumah kaca seperti CO2 mengakibatkan lebih banyak air yang menguap ke<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan<br />

terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu<br />

kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkan uap air lebih<br />

besar bila dibandingkan oleh dengan gas CO2. Namun umpan balik ini hanya<br />

berdampak sementara, karena uap air berada di atmosfer dalam kurun waktu<br />

relatif pendek bila dibandingkan dengan CO2 yang relatif lebih lama di atmosfer<br />

(Susandi et al, 2008).<br />

Efek umpan balik yang disebabkan oleh uap air di udara tentunya akan<br />

mengundang pertanyaan tentang keberadaan awan sebagai faktor penyebab efek<br />

umpan balik. Secara logika, awan memantulkan langsung radiasi matahari yang<br />

diterimanya sehingga memberikan efek naungan terhadap permukaan bumi.<br />

Namun disatu sisi, gelombang pendek yang diterima oleh awan dari radiasi<br />

permukaan bumi akan dikembalikan oleh awan sehingga meningkatkan suhu<br />

lingkungan. Peningkatan suhu lingkungan dengan keberadaan awan dapat<br />

langsung dirasakan adalah ketika mendung yang cukup jenuh air menaungi suatu<br />

wilayah yang sebelumnya terkena matahari dalam jangka waktu relatif lama.<br />

Sehingga dapat disimpulkan bahwa awan memiliki peranan terhadap peningkatan<br />

suhu lingkungan yang terjadi melalui proses umpan balik (Susandi et al, 2008).<br />

Menurut Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang<br />

termasuk dalam gas rumah kaca diantaranya CO2, NO2, CH4, SF6, PFCs, dan<br />

HFCs. CO2, NO2, dan CH4 sebagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan<br />

bakar fosil baik dari sektor industri maupun dari transportasi. Sementara SF6,<br />

PFCs, dan HFCs sebagian besar merupakan hasil pemakaian aerosol. Gas-gas ini<br />

menyumbang kurang dari 1%, tetapi tingkat pemanasannya jauh lebih tinggi<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


dibandingkan CO2, NO2, maupun CH4. Tingkat pemanasan ini ditunjukkan oleh<br />

indeks potensi pemanasan global. Dalam indeks ini CO2 digunakan sebagai<br />

parameter. Berikut ini adalah tabel gas rumah kaca dan potensi pemanasan global<br />

yang menurut UNFCCC (CIFOR, 2010).<br />

Tabel 4 : Tabel Indeks Potensi Gas Rumah Kaca pada Pemanasan Global<br />

No Nama Rumus Kimia GWP untuk 100 tahun<br />

1 Carbon Dioxide CO2 1<br />

2 Methane CH4 21<br />

3 Nitrous Oxide N2O 310<br />

4 Perflouromethane CF4 6500<br />

5 Perflouroethane C2F6 9200<br />

6 Perflourobutane C4F10 7000<br />

7 SulphurHexaflouride SF6 23900<br />

8 HFC-23 CHF3 11700<br />

9 HFC-32 CH2F2 650<br />

10 HFC-43-10 C5H2F10 1300<br />

11 HFC-125 C2HF5 2800<br />

12 HFC-134a CH2FCF3 1300<br />

13 HFC-143a C2H3F3 3800<br />

Dampak Pemanasan Global<br />

Pemanasan global membawa berbagai perubahan yang signifikan terhadap<br />

lingkungan, sebagaimana telah kita rasakan sekarang. Bila ditarik benang merah<br />

dari pemanasan global mengakibatkan berbagai efek beruntun sebagai berikut:<br />

1. Ketidakseimbangan iklim secara global. Pemasanan global mengakibatkan<br />

lebih banyak air yang menguap keudara (yang akan memberikan umpan<br />

balik), yang tentunya akan mengakibatkan curah hujan meningkat (secara<br />

global 1%). Seiring dengan peningkatan hujan dan kelembaban udara secara<br />

global, maka akan lebih sering terjadi badai dan bencana alam lain yang<br />

melibatkan udara.<br />

2. Peningkatan suhu permukaan air laut mengakibatkan mencairnya es di kutub-<br />

kutub bumi dan Greendland sehingga terjadi peningkatan permukaan air laut<br />

yang mengakibatkan perubahan luasan daratan yang bisa dihuni. Selain itu<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


dapat mempengaruhi kehidupan terumbu karang dan penyerapan karbon oleh<br />

plankton di laut.<br />

3. Peningkatan suhu global akan mengakibatkan pencairan es pada sumber mata<br />

air dari es (sungai gletser) yang ada di pegunungan sehingga daerah yang<br />

bergantung pada cadangan air ini akan mengalami kekeringan.<br />

4. Peningkatan suhu juga memicu timbulnya berbagai jenis penyakit tumbuhan,<br />

sehingga tanaman pangan akan berkurang produktifitasnya.<br />

5. Gangguan siklus migrasi hewan dan tumbuhan untuk mencari daerah yang<br />

lebih nyaman suhunya. Namun karena perkembangan manusia, tidak dapat<br />

terjadi imigrasi yang seharusnya, sehingga populasi hewan dan tumbuhan<br />

akan semakin berkurang (Soemarwoto 2005).<br />

6. Dampak sosial dan politik akan diderita manusia, Dimana peningkatan suhu<br />

meningkatkan risiko penyakit yang menular melalui air dan vector (malaria,<br />

demam berdarah). Karena penyakit tanaman akan terjadi kelaparan dan<br />

malnutrision sehingga secara keseluruhan akan menurunkan tingkat<br />

kesejahteraan masyarakat dan kestabilan negara. Peningkatan suhu tentunya<br />

juga dapat menyebabkan kebakaran hutan yang semakin memperburuk<br />

kondisi udara serta gangguang kesehatan manusia (ISPA) (Mitchel 1997).<br />

Karbon Hutan<br />

Karbon di permukaan bumi tersimpan dalam empat reservoir, yakni fosil<br />

dan formasi batuan, atmosfer, samudra dan ekosistem daratan termasuk hutan.<br />

Hutan mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai<br />

materi organik dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang<br />

tersimpan dalam biomassa hutan per satuan luas dan per satuan waktu merupakan<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


pokok dari produktivitas hutan. Tumbuhan memerlukan sinar matahari dan gas<br />

asam arang (CO ) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari<br />

dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintesis, CO2 di<br />

udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan<br />

ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa<br />

daun, batang, ranting, bunga dan buah (Hairiah et. al., 2007).<br />

Pada ekosistem di darat, C tersimpan dalam 3 komponen pokok), yaitu:<br />

− Biomassa merupakan massa bagian vegetasi dalam kondisi hidup yakni tajuk<br />

pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim<br />

− Nekromassa merupakan massa bagian pohon yang telah mati baik yang masih<br />

dalam kondisi tegak di suatu lahan (batang atau tunggul pohon), atau telah<br />

tumbang/tergeletak pada permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-<br />

daun gugur (seresah) yang belum terurai.<br />

− Bahan organik tanah merupakan sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan<br />

manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya<br />

dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikelnya lebih kecil dari 2 mm<br />

(Hairiah et. al., 2007).<br />

Berdasarkan kondisinya di alam, ketiga komponen karbon tersebut dapat<br />

dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:<br />

A. Kelompok karbon di atas permukaan tanah, meliputi:<br />

− Biomasa pohon. Proporsi terbesar penyimpanan karbon di daratan terdapat<br />

pada komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan selama<br />

pengukuran, biomasa pohon dapat diestimasi dengan menggunakan<br />

persamaan alometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang.<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


− Biomasa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah berupa semak belukar<br />

berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau<br />

gulma. Estimasi biomasa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil<br />

bagian tanaman (secara destruktif).<br />

− Nekromasa. Batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang<br />

dan tergeletak di permukaan tanah merupakan komponen penting dari karbon<br />

dan harus diukur agar diperoleh estimasi penyimpanan karbon yang akurat.<br />

− Serasah. Serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur yang dapat<br />

berupa daun dan ranting-ranting terletak di permukaan tanah<br />

(Hairiah et. al., 2007).<br />

B. Karbon di dalam tanah, meliputi:<br />

− Biomassa akar. Akar mentransfer karbon dalam jumlah besar langsung ke<br />

dalam tanah dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama. Pada tanah<br />

hutan biomassa akar lebih didominasi oleh akar-akar besar (diameter >2 mm),<br />

sedangkan pada tanah pertanian lebih didominasi oleh akar-akar halus yang<br />

lebih pendek daur hidupnya. Biomassa akar dapat diestimasi berdasarkan<br />

diameter akar proksimal, sama dengan cara untuk mengestimasi biomasa<br />

pohon yang didasarkan pada diameter batang.<br />

− Bahan organik tanah. Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada di<br />

permukaan dan di dalam tanah, sebagian atau seluruhnya dirombak oleh<br />

organisma tanah berupa organism pengurai sehingga melapuk dan menyatu<br />

dengan tanah, dinamakan bahan organik tanah (Hairiah et. al., 2007).<br />

Proses penimbunan karbon dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses<br />

sekuestrasi (C-sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah karbon yang<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


disimpan dalam tubuh tanaman hidup pada lahan dapat menggambarkan<br />

banyaknya CO di atmosfer yang diserap oleh tanaman. Sedangkan pengukuran<br />

karbon yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati<br />

(nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan<br />

ke udara lewat pembakaran (Hairiah et. al., 2007).<br />

Jasa Lingkungan Hutan Sebagai Penyerap Karbon<br />

Kegiatan di sektor kehutanan yang secara potensial dapat menekan<br />

terjadinya perubahan iklim dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu konservasi,<br />

peningkatan pengambilan karbon dan subtitusi penggunaan bahan bakar fosil<br />

dengan biomass. Kegiatan konservasi meliputi perlindungan hutan dari deforestasi<br />

dan degradasi akibat aktivitas manusia. Peningkatan pengambilan karbon (rosot)<br />

dilakukan melalui kegiatan perluasan luas hutan dengan penanaman pohon di<br />

lahan kritis, gundul atau semak belukar dalam kawasan hutan (reforestasi) dan<br />

bukan hutan (afforestasi) serta pengelolaan hutan dengan menggunakan sistem<br />

pengelolaan yang berkelanjutan. Penggantian bahan bakar fosil dengan energi<br />

biomass akan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) secara langsung akibat<br />

dari penurunan tingkat konsumsi bahan bakar fosil dan penanaman lahan kosong<br />

untuk memproduksi biomassa (CIFOR, 2010).<br />

Selama pertumbuhannya, pohon menyerap C dari atmosfer melalui proses<br />

fotosintesis dan menyimpannya dalam biomassa. Pada perkembangan tegakan,<br />

kematian disebabkan oleh persaingan atau bencana alam menghasilkan<br />

perpindahan beberapa cadangan C pada pohon ke bahan organik yang mati atau<br />

ke atmosfer. Pemanenan hutan, melepaskan C dalam jumlah yang besar, namun<br />

tidak seluruhnya. Sebagian dari biomassa yang dipanen tersebut digunakan untuk<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


menghasilkan energi (menggantikan bahan bakar fosil), sementara yang lainnya<br />

digunakan untuk berbagai produk kayu dengan waktu penggunaan tertentu<br />

(Brown, 1997).<br />

Hutan mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya<br />

sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang<br />

tersimpan dalam biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu merupakan<br />

pokok dari produktivitas hutan. Produktivitas hutan merupakan gambaran<br />

kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO2 di atmosfir melalui aktivitas<br />

physiologinya. Pengukuran produktivitas hutan relevan dengan pengukuran<br />

biomassa. Biomassa hutan menyediakan informasi penting dalam menduga<br />

besarnya potensi penyerapan CO2 dan biomassa dalam umur tertentu yang dapat<br />

dipergunakan untuk mengestimasi produktivitas hutan (Heriyanto et al, 2005).<br />

Biomassa kering dapat dikonversi menjadi cadangan karbon yakni 50%<br />

dari biomassa. Metode ini dianggap akurat untuk beberapa tempat. Tidak ada<br />

sebuah metode yang secara langsung dapat mengukur cadangan karbon yang<br />

terdapat pada suatu bentang lahan. Keadaan ini mendorong usaha pengembangan<br />

alat dan model yang dapat menghitung dalam skala besar yang didasarkan pada<br />

pengukuran di lapangan atau penginderaan jauh (Onrizal, 2004).<br />

Secara umum, metode pendugaan cadangan karbon ada dua kategori,<br />

yakni metode destruktif dan metode non destruktif. Metode destruktif dapat<br />

dilakukan dengan (1) menebang semua pohon, (2) menebang beberapa pohon<br />

yang mewakili kelas tegakan dan (3) menebang satu pohon dan membuat model<br />

hubungan biomassa dengan parameter pohon yang mudah diukur, seperti diameter<br />

atau tinggi (Hairiah et. al., 2007).<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


Model Alometrik<br />

Komponen cadangan karbon daratan terdiri dari cadangan karbon di atas<br />

permukaan tanah, cadangan karbon di bawah permukaan tanah dan cadangan<br />

karbon lainnya. Cadangan karbon di atas permukaan tanah terdiri dari tanaman<br />

hidup (batang, cabang, daun, tanaman menjalar, tanaman epifit dan tumbuhan<br />

bawah) dan tanaman mati (pohon mati tumbang, pohon mati berdiri, daun,<br />

cabang, ranting, bunga, buah yang gugur, arang sisa pembakaran). Cadangan<br />

karbon di bawah permukaan tanah meliputi akar tanaman hidup maupun mati,<br />

organisme tanah dan bahan organik tanah.<br />

Pemanenan hasil kayu (kayu bangunan, pulp, arang atau kayu bakar),<br />

resin, buah-buahan, daun untuk makanan ternak menyebabkan berkurangnya<br />

cadangan karbon dalam skala Petak ukur, tetapi belum tentu demikian jika kita<br />

perhitungkan dalam skala global. Demikian juga halnya dengan hilangnya bahan<br />

organik tanah melalui erosi. Beberapa penilaian karbon global memperhitungkan<br />

aliran karbon (khususnya yang berkaitan dengan pohon/kayu) dan dekomposisi<br />

yang terjadi. Tetapi memperoleh hasil penilaian yang konsisten cukup sulit<br />

apabila metode penilaian tidak memperhitungan keseluruhan cadangan karbon<br />

yang ada, khususnya di daerah perkotaan. Canadell (2002) dalam Hairiyah dan<br />

Rahayu (2007) mengatakan bahwa untuk memperoleh potensial penyerapan<br />

karbon yang maksimum perlu ditekankan pada kegiatan peningkatan biomasa di<br />

atas permukaan tanah bukan karbon yang ada dalam tanah, karena jumlah bahan<br />

organik tanah yang relatif lebih kecil dan masa keberadaannya singkat.<br />

Hubungan alometrik merupakan hubungan antara suatu peubah tak bebas<br />

yang diduga oleh satu atau lebih peubah bebas, yang dalam hal ini diwakili oleh<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


karakteristik yang berbeda dalam pohon. Contohnya hubungan antara volume<br />

pohon atau biomassa pohon dengan diameter dan tinggi total pohon, yang disebut<br />

sebagai peubah bebas. Hubungan ini biasanya dinyatakan dalam suatu persamaan<br />

alometrik (Hairiah et. al. , 2007).<br />

Dalam pembuatan model, dibutuhkan peubah-peubah yang mendukung<br />

keberadaan model tersebut, yakni adanya korelasi yang tinggi antar peubah-<br />

peubah penciri. Berbagai model biomassa tegakan hutan yang telah dibangun<br />

didasarkan fungsi dimensi pohon (diameter dan tinggi) dengan analisis regresi<br />

alometrik, fungsi taper, atau persamaan polynomial (Onrizal, 2004).<br />

Johnsen (2001) dalam Onrizal (2004) menyatakan bahwa model penduga<br />

karbon dapat diduga melalui persamaan regresi alometrik dari biomassa pohon<br />

yang didasarkan pada fungsi dari diameter pohon. Hilmi (2003) dalam Onrizal<br />

(2004) telah membangun model penduga karbon untuk kelompok jenis<br />

Rhizophora spp dan Bruguiera spp., dimana kandungan karbon pohon merupakan<br />

fungsi diameter dan atau tinggi pohon, dan fungsi dari biomassa pohon dengan<br />

menggunakan pesamaan regresi alometrik.<br />

Penyusunan model menggunakan analisis regresi dengan metode<br />

pendugaan koefisien regresi metode OLS (Ordinary Least Squares) atau metode<br />

kuadrat terkecil. Metode kuadrat terkecil ini dapat digunakan jika asumsi -asumsi<br />

regresi terpenuhi, yaitu setiap nilai variabel bebas independen terhadap variabel<br />

bebas lainnya, nilai sisaan bersifat acak serta berdistribusi normal dengan rata-rata<br />

nol dan variannya konstan (Sembiring, 1995).<br />

Menurut Draper dan Smith (1992), untuk memilih atau membandingkan<br />

model matematika yang baik (regresi linear) harus memperhatikan standar kriteria<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


perbandingan model, yaitu : koefisien determinasi (R²), nilai sisaan (s) dan<br />

predicted residual sum of squares (PRESS) sebagai uji validasi untuk memilih<br />

persamaan terbaik. Dari 3 kriteria diatas model yang baik adalah R² besar, PRESS<br />

dan sisaan yang kecil. Model yang baik akan dapat digunakan jika memenuhi<br />

asumsi kenormalan sisaan dan keaditifan model (Kuncahyo, 1991).<br />

Hasil Penelitian Karbon Beberapa Jenis Tanaman<br />

Menurut Daping et al. (2005) dalam Fernando (2009), persentase<br />

biomassa di atas permukaan tanah pada jenis Eucalyptus urophylla yang terbesar<br />

terdapat pada bagian batang. Hasil penelitian Daping et al. disajikan pada Tabel 5.<br />

Tabel 5. Biomassa di atas permukaan tanah pada tanaman Eucalyptus urophylla<br />

Bagian 2 Tahun (%) 3 Tahun (%)<br />

Batang 60,2 63,3<br />

Kulit 8,9 7,7<br />

Cabang 14,7 14,1<br />

Daun 16,2 14,6<br />

Sumber : Daping et al. (2005) dalam Fernando (2009)<br />

Produktivitas primer bersih tanaman Eucalyptus urophylla berumur antara<br />

2-3 tahun sebesar 20,5 ton/ha dengan lebih dari 50 % merupakan pertambahan<br />

biomassa pada batang dan 16,7 % serasah. Terlihat bahwa biomassa pada bagian<br />

batang meningkat dengan meningkatnya umur, sebaliknya pada bagian kulit,<br />

cabang dan daun mengalami penurunan.<br />

Berdasarkan hasil penelitian Budiyanto (2006) dalam Fernando (2009)<br />

bagian batang dalam pohon sengon memiliki proporsi terbesar yaitu 71,77 %.<br />

Kadar karbon pohon sengon juga menunjukkan proporsi karbon yang terbesar<br />

pada bagian batang dibandingkan bagian lain (cabang, ranting, daun, kulit), serta<br />

serasah dan tumbuhan bawah. Hasil penelitian Budiyanto disajikan pada Tabel 6.<br />

Tabel 6. Proporsi bobot rata-rata pada bagian pohon sengon<br />

Bagian Pohon % Bobot dalam Pohon %Karbon Tetap<br />

Zat<br />

Terbang<br />

Kadar<br />

Air<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


Batang 71.7 45.59 53.73 0.68<br />

Cabang 12.00 37.08 61.89 1.03<br />

Ranting 7.75 34.38 64.30 1.31<br />

Daun 8.48 30.28 66.70 2.95<br />

Kulit 0.07 28.79 67.19 4.02<br />

Serasah - 16.99 65.32 17.68<br />

Tumbuhan Bawah - 15.77 66.93 17.28<br />

Sumber : Budiyanto (2006) dalam Fernando (2009)<br />

Selanjutnya hasil penelitian Wicaksono (2004) dalam Fernando (2009),<br />

juga menyatakan bahwa bagian batang pohon mangium merupakan bagian yang<br />

memiliki proporsi biomassa terbanyak. Biomassa batang mengalami peningkatan<br />

sejalan dengan bertambahnya umur tanaman, sebaliknya pada bagian cabang,<br />

ranting dan daun mengalami penurunan. Hasil penelitian Wicaksono disajikan<br />

pada Tabel 7.<br />

Tabel 7. Distribusi biomassa menurut bagian-bagian pohon mangium<br />

Bagian Pohon 2 Tahun 4 Tahun 6 Tahun 8 Tahun<br />

Batang (%) 62 70 78 85<br />

Cabang (%) 15 14 13 9<br />

Ranting (%) 7 6 5 3<br />

Daun (%) 16 10 4 2<br />

Sumber : Wicaksono (2004) dalam Fernando (2009)<br />

Penelitian mengenai rumus persamaan allometrik untuk menduga<br />

biomassa tanaman juga telah dilakukan pada berbagai jenis pohon dan spesies<br />

pohon. Rumus persamaan allometrik penduga biomassa untuk beberapa jenis<br />

tanaman disajikan pada Tabel 8.<br />

Tabel 8. Model penduga biomassa untuk berbagai kriteria dan jenis pohon<br />

Jenis Pohon Model Biomassa Sumber<br />

Pohon Bercabang DW= 0.11ρD 2.62 Ketterings, 2001<br />

Pohon Tidak Bercabang DW= (µ/40) ρHD² Hairiah et al., 1999<br />

Sengon DW= 0.0272D 2.831<br />

Sumber: Fernando (2009)<br />

Keterangan :<br />

DW = Estimasi biomassa (kg/pohon)<br />

D = Diameter pohon (cm)<br />

π = Konstanta (3,14)<br />

H = Tinggi pohon (m)<br />

ρ = Kerapatan kayu (g/cm3)<br />

Sugiharto, 2002<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


Kondisi Umum Lokasi Penelitian<br />

PT Toba Pulp Lestari (TPL), Tbk merupakan jenis perusahaan Kayu Serat<br />

dengan produk berupa pulp yang terletak pada 01°-03° LU dan 98°15’00”<br />

100°00’00” BT. Secara geografis terletak di Desa Desa Sosor Ladang, Kecamatan<br />

Parmaksian, Kabupaten Toba Samosir, <strong>Sumatera</strong> Utara. Hak Pengusahaan Hutan<br />

Tanaman Industri (HPHTI) yang dimiliki oleh PT TPL, Tbk terletak pada<br />

beberapa kabupaten di <strong>Sumatera</strong> Utara dengan luas ijin HPHTI berdasarkan SK.<br />

Menhut No. 493/Kpts-<strong>II</strong>/1992 seluas 269.060 ha dengan jangka pengelolaan 43<br />

tahun. Selain HPHTI, PT TPL, Tbk juga memiliki ijin Pemanfaatan Pinus<br />

berdasarkan SK. Menhut No. 236/Kpts-IV/1984 seluas 15.763 ha. Luas total areal<br />

pengelolaan PT TPL, Tbk adalah 284.816 ha.<br />

Areal konsesi PT TPL, Tbk terdiri dari enam sektor yang terletak pada<br />

kabupaten yang berbeda, yakni:<br />

1. Sektor Tele, terletak pada 02°15’00” – 02°50’00” LU dan 98°20’00” –<br />

98°50’00” BT, meliputi Kabupaten Samosir (Kecamatan Harian Boho),<br />

Kabupaten Pak-pak Bharat (Kecamatan Salak dan Kerajaan) dan Kabupaten<br />

Dairi (Kecamatan Sumbul, Parbuluan, dan Sidikalang).<br />

2. Sektor Aek Nauli, terletak pada 02°40’00” – 02°50’00” LU dan 98°50’00” –<br />

99°10’00” BT, meliputi Kabupaten Simalungun (Kecamatan Dolok Panribuan,<br />

Tanah Jawa, Sidamanik, Jorlang Hataran, dan Girsang Sipangan Bolon).<br />

3. Sektor Habinsaran, terletak pada 02°07’00” – 02°21’00” LU dan 99°05’00” –<br />

99°18’00” BT, meliputi Kabupaten Toba Samosir (Kecamatan Habinsaran,<br />

Silaen, dan Laguboti).<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara


4. Sektor Aek Raja/Tarutung, terletak pada 01°54’00” – 02°15’00” 98°42’00” –<br />

98°58’00” BT, meliputi Kabupaten Tapanuli Utara (Kecamatan Siborong-<br />

borong, Sipahutar, Gaya Baru Tarutung, Adian Koting, dan Parmonangan)<br />

Kabupaten Humbang Hasundutan (Kecamatan Dolok Sanggul, Lintong Ni<br />

Huta, Onan Ganjang, dan Parlilitan).<br />

5. Sektor Padang Sidempuan, terletak pada 01°15’00” – 02°15’00” LU dan<br />

99°13’00” – 99°33’00” BT, meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan (Kecamatan<br />

Padang Bolak, Sosopan, Padang Sidimpuan, Sipirok) dan Kabupaten Tapanuli<br />

Tengah (Kecamatan Sorkam dan Batang Toru).<br />

Kondisi Umum Sektor Aek Nauli<br />

Penelitian dilakukan di Sektor Aek Nauli, terletak pada 02°40’00” – 02°50’00”<br />

LU dan 98°50’00” – 99°10’00” BT. Keadaan lahan Sektor Aek Nauli seluruhnya<br />

adalah kering dengan ketingian 250-1.700 m dpl. Jenis tanah di daerah penelitian<br />

adalah Dystropepts, Hydrandepts, Dystrandepts, Humitropepts dan jenis batuan<br />

Tapanuli, Peusangan, Sihapas, Vulkan Tersier, dan Toba. Sektor Aek Nauli<br />

beriklim A (sangat basah) menurut klasifikasi Schmidt Fergusson; 1951, dengan<br />

curah hujan rata-rata 238 mm bulan tertinggi Oktober dan bulan terendah<br />

Agustus. Sungai /anak sungai yang terdapat di areal kerja adalah Bah Parlianan,<br />

Bah Mabar, Bah Boluk, Bah Haposuk.<br />

<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!